Pencarian

Rumah Judi Pancing Perak 1

Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 1


"PENDEKAR 4 ALIS
Rumah Judi Pancing Perak
Bab 1 ... Akhir musim rontok, malam suram. Pada sebuah gang yang gelap, suasana sunyi senyap,
hanya kelihatan sebuah lentera.
Lentera berkerudung warna putih tergantung miring pada sebuah pintu sempit di ujung gang
sana. Di bawah lentera kerudung yang tua itu bergantung sebuah pancing perak yang
mengkilat, serupa pancing yang biasa digunakan tukang kail.
Pancing perak bergoyang-goyang tertiup angin. Desir angin seakan-akan orang menghela
napas menyesal, menyesali manusia yang malang di dunia ini, mengapa sedemikian banyak
manusia yang mau terpancing oleh pancing perak ini "
Put Giok-hui muncul dari keremangan kabut sana dan masuk ke Gin-kau-tu-hong atau rumah
judi pancing perak.
Di dalam kasino tentu saja cahaya lampu terang benderang. Pui Giok-hui menanggalkan
mantelnya yang berwarna gelap sehingga kelihatan baju satin berwarna putih perak yang
dibuat sangat serasi dengan perawakannya, jelas hasil buatan tukang jahit kelas tinggi.
Setiap hari pada waktu yang sama seperti sekarang ini adalah waktu yang membuatnya sangat
gembira, terutama pada hari ini, sebab sekarang ada Liok Siau-hong berdiri di sampingnya.
Liok Siau-hong adalah sahabat yang paling disukainya, juga paling dihormatinya.
Hati Liok Siau-hong juga sangat senang. Kalau pribadi seorang disukai dan dihormati orang,
tentu saja yang paling senang ialah dia sendiri.
2 Ruangan besar rumah judi itu sangat mewah, penuh suasana hangat dan gembira, di antara
bau harum arak bercampur bau harum pupur kualitas tinggi, diselingi bunyi kerincing uang
perak yang nyaring. Rasanya tidak ada sesuatu alat musik yang dapat bersuara lebih menarik
daripada suara gemerincing uang di rumah judi.
Siau-hong suka mendengar suara demikian. Serupa juga kebanyakan orang lain di dunia ini, ia
pun suka hidup senang dan mewah.
Dan kasino 'Pancing perak' adalah sebuah tempat yang mewah, setiap saat menyediakan
segala macam kenikmatan bagi pengunjungnya yang terdiri dan aneka ragam lapisan
masyarakat. Di antaranya yang paling menarik dengan sendirinya tetap judi. Setiap orang asyik
memusatkan perhatiannya atas pertaruhan mereka. Akan tetapi waktu Liok Siau-hong dan Pui
Giok-hui masuk ke situ, tanpa terasa semua orang sama berpaling.
Ada sementara orang bila berada di tengah orang banyak, akan timbul semacam daya tarik
serupa besi sembrani. Liok Siau-hong dan Pui Giok-hui jelas termasuk jenis orang demikian.
"Siapakah kedua orang muda yang luar biasa ini?"
"Yang berbaju satin perak itu adalah adik isteri cukong kasino ini," yang bicara ini seorang
yang kurus kering. Orang demikian adalah jenis penjudi tulen.
"Maksudmu dia adik isteri barunya si Jenggot Biru?"
"Ya, saudara kandungnya."
"Apakah dia ini yang bernama Gin-yau-cu (si elang perak) Pui Giok-hui?"
"Ya, dia inilah."
"Kabarnya dia memang seorang Hoa-hoa kongcu (tukang pelesir) yang sangat terkenal, dalam
hal makan enak, minum arak, main perempuan dan berjudi, semuanya serba mahir, konon
Ginkangnya juga tidak rendah."
Sebab itulah ada yang mengatakan dia ini seorang maling kumbang!" ujar si tukang judi kurus
kering tadi dengan tertawa. "Padahal kalau dia menaksir seorang perempuan, cukup dia
menggerakkan jarinya dan perempuan itu akan datang sendiri, tidak perlu tengah malam
keluyuran merecoki kamar anak gadis orang."
"Kabarnya tacinya, Pui Giok-hiang, juga seorang perempuan cantik yang sangat terkenal."
"Hah, bahkan jauh untuk dapat dilukiskan dengan kata cantik. Hakikatnya dia memang
perempuan yang dapat membikin runtuhnya benteng dan ambruknya negara," sambung
seorang lagi. "Dan siapa pula orang muda di sebelah Pui Giok-hui itu" Mengapa kedua kumisnya serupa
dengan kedua alisnya?"
3 "Jika aku tidak salah terka, tentu dia inilah Liok Siau-hong yang beralis empat itu."
"Liok Siau-hong"!"
Ada sementara orang sewaktu masih hidup sudah menjadi tokoh legendaris dan Liok Siauhong
agaknya termasuk jenis orang demikian.
Menyebut namanya, pandangan setiap orang lantas terarah kepadanya, hanya seorang saja
yang terkecuali.
Orang ini adalah seorang perempuan, dia memakai baju warna hijau apel yang sangat tipis
dan ringan halus serupa kulit badan yang menempel di tubuhnya yang ramping dan montok
itu. Kulit badannya halus licin dan seputih pualam, terkadang tampak seperti kristal yang tembus
pandang. Wajahnya yang molek itu tidak berbedak sedikit pun, biji matanya yang terang dan jernih
adalah hiasan yang paling bagus yang diimpi-impikan setiap perempuan.
Yang luar biasa adalah sama sekali ia tidak mempedulikan Liok Siau-hong yang sedang
mengincarnya. Pui Giok-hui tertawa, katanya sambil menggeleng. "Memangnya kau kira setiap perempuan
pasti akan menyembah padamu bilamana berhadapan denganmu?"
Siau-hong menghela napas. "Sedikitnya dia harus memandang sekejap padaku, aku kan bukan
lelaki yang buruk rupa?"
"Sekalipun kau ingin memandang dia, sebaiknya dipandang dari kejauhan," ujar Put Giok-hui.
"Memangnya kenapa?" tanya Siau-hong.
"Orang ini serupa gunung es," bisik Giok-hui. "Jangan kau coba-coba mengganggunya,
tanganmu bisa berbisul."
Tertawalah Siau-hong. Perlahan ia melangkah ke sana. langsung menuju ke arah gunung es
itu. Betapa pun tingginya gunung es itu juga ingin didakinya, sekarang ia pun ingin mendaki
gunung es ini. Gunung es itu sangat harum. Dengan sendirinya bukan harum bedak, juga bukan harum arak.
Ada sejenis perempuan yang serupa bunga, bukan cuma cantik, bahkan pada tubuhnya teruar
semacam bau harum.
Dan gunung es ini agaknya jenis, perempuan ini.
Sekarang Siau-hong berubah seperti seekor kumbang. Demi mencium bau harum bunga
segera hendak hinggap pada kelopak bunga itu.
4 Untung dia tidak mabuk, dia berhenti di belakang si dia.
Gunung Es tidak berpaling, tangannya yang cantik halus memegang setumpuk fices (koin
yang biasa dipakai untuk berjudi), tampaknya sedang berpikir keras harus ditaruh di mana,
bertaruh besar atau kecil" Dia berdiri di depan meja dadu.
Saat itu bandar judi sedang mengocok dadu, setelah kotak dadu diguncang-guncangkan,
"bruk", lalu kotak digabrukkan di atas meja sambil berteriak, "Ayo pasang! Mulai pasang!
Lekas!" Gunung Es tampak ragu-ragu.
Siau-hong lantas mendekatkan mulutnya ke tepi telinga si dia dan membisikkannya. "Taruh di
bagian kecil!"
Fices yang berada di tangan yang halus itu segera ditaruh di atas meja, tapi bukan bagian kecil
melainkan bagian besar.
"Buka! Stop pasangan!" teriak si bandar. Segera tutup kotak dibuka, titik ketiga biji dadu itu
total jenderal hanya berjumlah tujuh. Tujuh berarti kecil.
Setiap dadu bertitik satu sampai enam. umumnya dalam kotak dadu berisi tiga biji dadu.
bilamana jumlah titik ketiga biji dadu berjumlah 4 sampai 10 berarti kecil, jika berjumlah
antara 11 sampai 17 berarti besar. Bila titik tiga biji dadu sama-sama menunjukkan titik
seragam, umpama tiga kali dua dan seterusnya, maka baik besar maupun kecil dimakan semua
oleh bandar, kecuali pemasang yang bertaruh tembak tepat pada tiga titik seragam tersebut.
"Tujuh kecil, makan besar bayar kecil," demikian si bandar berteriak pula.
Wajah si Gunung Es tampak pucat, ia menoleh dan mendeliki Liok Siau-hong sekejap dan
segera melengos terus tinggal pergi.
Siau-hong hanya menyengir saja tanpa bisa omong apa-apa.
Ada sementara perempuan yang pembawaannya memang berdarah pemberontak, terutama
memberontak terhadap kaum lelaki. Seharusnya Siau-hong memikirkannya sejak tadi bahwa
kemungkinan perempuan ini adalah jenis pemberontak.
Gunung Es terus melangkah di tengah kerumunan orang, pada waktu berjalan gayanya juga
lain daripada yang lain.
"Perempuan yang bergaya semacam ini, biarpun ada seratus ribu orang juga sukar ditemukan
satu, jika kau lewatkan begini saja kan sayang, bila tidak lekas kau kejar dia. kau pasti akan
menyesal nanti," demikian Liok Siau-hong mendorong dirinya sendiri.
Biasanya dia memang sangat menuruti dorongan diri sendiri, maka segera ia menyusul ke
sana. Tapi Pui Giok-hui lantas menyongsongnya dan menegur. "Benarkah engkau ingin mendaki
gunung es?"
5 "Aku tidak takut kedinginan." sahut Siau-hong.
Giok-hui menepuk pundaknya dan berkata. "Tapi kau harus hati-hati, gunung es sangat licin,
bisa tergelincir!"
"Kau sendiri tergelincir berapa kali?" tanya Siau-hong tiba-tiba.
Giok-hui tertawa, tertawa menyengir. Sampai Siau-hong sudah keluar pintu barulah ia
menghela napas dan bergumam, "Tergelincir dari gunung es paling banyak cuma satu kali,
sebab satu kali saja sudah cukup membikin orang terbanting mampus!"
Pada gang yang panjang itu masih tetap gelap. Malam sudah larut.
Kendaraan sama diparkir di luar gang. Orang macam apa pun. Kalau hendak mengunjungi
kasino 'Pancing Perak" harus melalui gang yang panjang dan gelap ini.
Hal ini membuat kasino ini menjadi lebih misterius dan juga tambah merangsang. Misterius
dan merangsang biasanya memang paling kuat daya tariknya.
Pancing perak masih bergoyang goyang tertiup angin, orang yang terpancing oleh "Pancing
Perak' bisa jadi jauh lebih banyak daripada ikan yang dipancing oleh tukang kail
Di tengah malam remang-remang, si Gunung Es berjalan di depan, kini tubuhnya sudah
bertambah sebuah mantel warna hijau muda.
Siau-hong mengintil dan belakangnya, gang yang panjang dan gelap ini tidak ada orang lain.
Mendadak Gunung Es membalik tubuh dan menatap Siau-hong dengan sorot mata yang
dingin. Terpaksa Siau-hong berhenti dan menyengir.
"Untuk apa kau kuntit diriku?" tegur Gunung Es.
"Kubikin kalah taruhanmu. hatiku tidak enak, maka .... "
"Maka hendak kau ganti rugi padaku?" tukas si Gunung Es.
Siau-hong mengangguk
"Cara bagaimana akan kau ganti?"
"Kutahu di kota ini ada satu tempat makan yang buka sepanjang malam, masakannya
lumayan, kini sudah jauh malam, engkau tentu rada lapar."
Biji mata si Gunung Es mengerling, ucapnya, "Cara ini kurang baik, aku mempunyai cara lain
yang lebih baik."
"Oo, bagaimana?" tanya Siau-hong. Tertawa si Gunung Es, "Coba kemari, akan kuberitahu."
Dengan sendirinya Siau-hong menurut dan mendekat ke sana.
6 Sungguh tak tersangka olehnya bahwa gunung es ini juga ada kalanya mencair, yang lebih tak
terpikir olehnya adalah waktu dia mendekat. kontan sebuah tamparan mengenai pipi kirinya,
menyusul pipi kanan juga tergampar satu kali. Cepat amal gerak tangan Gunung Es ini, bukan
saja cepat, bahkan juga keras. Bukan Liok Siau-hong tidak dapat menghindarinya, mungkin
tak terpikir olehnya pukulan orang bisa sedemikian kerasnya.
Apa pun juga, yang jelas dia benar-benar digampar dua kali dengan tepat sehingga dia
melenggong. Gunung Es tertawa, tertawa dingin, lebih dingin daripada es, "Lelaki semacam dirimu sudah
terlalu banyak kulihat serupa lalat dan kepinding, bila melihatnya rasaku lantas muak."
Setelah melengos lalu ia melangkah pergi lagi, sekali ini betapa pun tebalnya kulit muka Liok
Siau-hong juga tidak berani mengintil lagi ke sana. Terpaksa ia menyaksikan Gunung Es itu
menghilang di kejauhan.
Gang itu sangat panjang, jalannya tidak terlalu cepat ketika hampir lenyap di ujung gang sana,
mendadak dan kegelapan menerjang keluar empat lelaki kekar, dua orang menelikung
tangannya, dua orang memegang kakinya.
Gunung Es menjerit kaget, agaknya ia hendak melawan, tapi orang-orang itu tidak serupa
Liok Siau-hong yang sayang pada perempuan, tanpa bicara mereka terus membekuknya dan
diangkat pergi.
Muka Liok Siau-hong masih kesakitan, mestinya ia tidak ingin ikut campur urusan ini. Tapi
sayang, pembawaannya memang suka ikut campur urusan tetek bengek, jika dia menyaksikan
begitu saja empat lelaki kekar mengerubuti seorang perempuan, sungguh pedih sekali hatinya.
Maka ketika keempat orang itu hendak menyeret pergi si gunung es, tahu-tahu seorang yang
berkumis seperti alis telah mengadang di depan mereka sambil menjengek, "Lepaskan dia.
Lalu kalian merangkak pergi, kalau tidak menurut, akan kupukul peyot hidungmu!"
Dengan sendirinya keempat lelaki itu bukan orang yang suka menurut kehendak orang yang
tak dikenal, akan tetapi ketika dua orang benar-benar hidungnya terpukul peyot, yang tidak
menurut terpaksa harus tunduk.
Maka keempat orang terpaksa merangkak keluar gang itu, hidung kedua orang masih terus
mencucurkan darah.
Dalam pada itu si Gunung Es sudah mulai cair, sebab sekujur badannya lemas terkulai
ketakutan, sekarang dia yang memohon kepada Siau-hong. "Aku tinggal di dekat situ,
dapatkah kau antar aku pulang?"
Tempat tinggalnya ternyata tidak dekat, tetapi sedikit pun Siau-hong tidak menggerundel.
Sesungguhnya dia malah berharap tempat tinggal si dia lebih jauh lebih baik.
Sebab sekarang si dia berbaring dalam pelukan Siau-hong, seperti tidak sanggup berduduk
tegak lagi. Untung pintu kereta tertutup rapat, kerai juga diturunkan.
7 Kereta kuda itu terus melaju sekian lamanya, tidak sedikit yang mereka bicarakan, berhenti
bicara, lalu bicara lagi.
"Aku bukan lalat, juga bukan kepinding, aku she Liok, bernama Siau-hong," demikian tentu
saja dia yang buka mulut lebih dulu.
Si Gunung Es tertawa, sekali ini tertawa sungguh-sungguh, ucapnya. "Aku she Ling,
lengkapnya namaku Ling Yak-siang."
Siau-hong tertawa, ia merasa namanya ternyata sangat sesuai dengan orangnya, sebab Ling
Yak-siang artinya dingin seperti es.
"Keempat orang tadi kau kenal?" tanya Siau-hong.
Ling Yak-siang-menggeleng.
"Mengapa mereka mengganggu dirimu?" tanya Siau-hong pula.
Ling Yak-siang ingin buka mulut, tapi mukanya lantas merah, akhirnya menunduk.
Siau-hong tidak tanya lagi. Orang lelaki mengganggu orang perempuan, terkadang memang
tidak perlu pakai alasan apa pun. Apalagi seorang gadis menarik seperti dia ini. Pribadinya
sendiri sudah merupakan alasan yang paling baik dan cukup menarik kaum lelaki untuk
mengganggunya. Kereta itu tidak cepat larinya, kabin kereta sangat enak diduduki, rasanya seperti duduk di
kursi goyang saja.
Bau harum pada tubuh Ling Yak-siang rasanya seperti bau harum anggrek, seperti juga
mawar. Halus, sedap dan memikat.
Andaikan perjalanan ini ditempuh tiga hari tiga malam juga Siau-hong takkan keberatan.
Tiba-tiba Ling Yak-siang berkata, "Rumahku terletak di gang Bahagia, rumah pertama di
sebelah kiri."
"Gang Bahagia terletak dimana?" tanya Siau-hong.
"Tadi sudah kita lalui!" kata si nona.
'Tapi kau ..."
"'Tidak kuhentikan kereta, sebab malam ini aku tidak ingin pulang."
Mendadak Siau-hong merasa jantung sendiri sedang berdetak dengan keras, beberapa kali
lebih cepat daripada biasanya.
Bilamana ada seorang anak perempuan secantik ini berada dalam pelukanmu dan menyatakan
malam ini dia tidak ingin pulang ke rumah, maka dapat dipastikan jantungmu akan berdebar
terlebih cepat daripada Liok Siau-hong sekarang.
8 "Malam mi aku kalah terus menerus, aku ingin berganti sebuah tempat agar berubah mujur,"
ujar Ling Yak-siang.
Hati Siau-hong jadi dingin lagi. Sudah sejak dulu dia sering memperingatkan dirinya sendiri
agar jangan terlalu cepat merasa senang, akan tetapi penyakit ini ternyata sukar berubah.
"Apakah kau tahu di kota ini masih ada sebuah kasino lain yang bernama Kim-kau-tu-hong?"
Siau-hong menggeleng, Kim-kau-tu-hong atau rumah judi pancing emas, mendengar saja
belum pernah. "Kau datang dari daerah lain. dengan sendirinya tidak tahu," ujar Ling Yak-siang.
"Tempat itu sangat rahasia?" tanya Siau-hong.
Si nona mengerling, tanyanya tiba-tiba, "Malam ini engkau ada urusan lain?"
"Tidak ada." tentu saja demikian jawaban Siau-hong. "Apukah kau ingin kubawa dinmu ke
sana?" "Tentu saja."
"Tapi sudah kuberjanji kepada majikan rumah judi itu sama sekali tidak boleh membawa
orang asing ke sana. Jika kau ingin ke sana, kau harus memenuhi suatu permintaanku."
"Harus kututup matamu, bahkan harus berjanji takkan mengintip," kata si nona.
Siau-hong memang ingin ikut pergi, sekarang tambah besar minatnva sebab dia memang suka
kepada rangsangan dan bertualang dengan menyerempet bahaya secara misterius. Makin
tanpa pikir segera ia menyatakan setuju.
Ditatapnya baju orang yang sangat tipis itu, lalu berkala pula dengan tersenyum. "Sebaiknya
kau tutup mataku dengan kain yang agak tebal, terkadang mataku bisa tembus pandang."


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kegelapan! Setelah matanya tertutup kain, Liok Siau-hong baru merasakan apa artinya
kegelapan. Seorang kalau setiap detik, siang dan malam, sepanjang bulan, sepanjang tahun,
selalu berada dalam kegelapan yang tidak habis-habisnya, sungguh entah bagaimana rasanya.
Untuk ini Siau-hong lantas teringat kepada Hoa Ban-lau. Ia merasa Ban-lau benar-benar
seorang maha besar, meski Thian memberikan penderitaan sekejam itu. sama sekali dia tidak
menyesal dan benci, terhadap segala makhluk yang berada di dunia ini dia tetap penuh rasa
cinta kasih dan simpatik.
Siau-hong menghela napas, padahal cuma sebentar saja matanya tertutup kain dan rasanya
sukar untuk ditahan.
Ia merasa kereta itu seperti melalui sebuah jalan ramai, kemudian melintasi sebuah aliran air,
ia mendengar suara orang dan suara air mengalir.
9 Kemudian kereta berhenti. Ling Yak-siang menarik tangannya, katanya dengan lembut,
"Berjalanlah perlahan, ikut padaku, kujamin tempat ini pasti takkan bikin kecewa padamu."
Tangan si nona terasa sedemikian halus, licin dan lunak. Sekarang mereka seperti berjalan
menurun ke bawah, di tengah desir angin terdengar suara serangga, jelas di sekeliling situ
adalah tanah ladang belukar.
Kemudian Siau-hong mendengar pintu diketuk, lalu suara pintu terbuka.
Setelah memasuki pintu, seperu melalui sebuah serambi yang tidak terlalu panjang, setiba di
ujung serambi, sayup-sayup mulai terdengar suara teriakan dan senggakan suara dadu
dikocok, suara gemerincing uang jatuh di meja, suara tertawa lelaki dan perempuan.
"Sudah sampai," kata Ling Yak-siang.
Siau-hong menghela napas lega, ucapnya, "Syukurlah sudah sampai!"
Di depan lantas bergema pula suara pintu diketuk dan suara pintu dibuka, setelah pintu
terbuka, berbagai macam suara di dalam lantas terdengar lebih jelas.
Ling Yak-siang menariknya masuk ke situ, katanya perlahan, "Berdiri dan tunggu di sini,
akan kucari tuan rumah dulu."
Dia lepaskan tangan Siau-hong, bau harum yang memabukkan itu lantas makin menjauh.
Sekonyong-konyong, "blang", suara pintu ditutup dengan keras, lalu suara berisik orang
banyak tadi mendadak juga lenyap secara ajaib.
Jagad raya ini mendadak berubah sunyi senyap. Siau-hong merasa seperti tiba-tiba
dijebloskan ke dalam kuburan. Memangnya apa yang terjadi"
"Nona Ling, Ling Yak-siang!" ia coba memanggil.
Tapi tidak ada jawaban, orang sebanyak itu masakah seluruhnya membungkam. Akhirnya
Siau-hong menarik kain penutup matanya, seketika sekujur badan dingin seluruhnya.
Di dalam rumah ternyata tidak ada orang, seorang pun tidak ada. Lantas kemana perginya
orang-orang tadi"
Jika orang-orang itu menghilang dalam sekejap rasanya tidak mungkin terjadi. Padahal
ruangan ini tidak besar. Ada sebuah tempat tidur, sebuah meja yang penuh santapan dan arak.
Semuanya dalam keadaan utuh belum terjamah.
Tanpa terasa Siau-hong merinding, mendadak diketahuinya bahwa di dalam rumah ini
betapapun tidak mungkin memuat orang sebanyak itu. Padahal siapa pun dapat melihat bahwa
di dalam rumah tadi sesungguhnya tidak ada orang, seorang pun tidak ada.
Akan tetapi Siau-hong jelas-jelas mendengar suara orang banyak tadi. Jika dia percaya kepada
matanya sendiri berarti tidak percaya telinganya sendiri. Padahal telinganya biasanya sangat
sehat dan terpercaya, tidak ada penyakit apa pun. Lantas apakah yang terjadi"
10 Bila di dalam sebuah rumah yang tidak ada seorang pun, tapi bisa memunculkan macammacam
suara, pada zaman itu boleh dikatakan tidak mungkin terjadi. Dan hal yang tidak
mungkin terjadi sekarang justru telah terjadi dan justru dialami oleh Liok Siau-hong.
Mungkinkah rumah ini rumah setan"
Tiba-tiba Siau-hong tertawa. Ia memutuskan takkan memikirkan hal-hal yang sukar
dipecahkan ini. Ia ingin berdaya untuk keluar lebih dulu,
Tapi dia tidak dapat keluar. Rumah ini hakikatnya tidak ada jendela dan pintu, bahkan lubang
apa pun tidak ada. Sekeliling rumah ini, dinding dan pintunya semuanya terdiri dari lapisan
papan besi yang tebal.
Kembali Siau-hong tertawa, menghadapi hal-hal yang memusingkan kepala dan tidak
berdaya, selalu dia tertawa. Kebiasaan ini dianggapnya satu di antara kebiasaannya yang baik.
Tertawa tidak cuma bisa membuat orang lain gembira, juga dapat membuat senang dirinya
sendiri. Akan tetapi sekarang Siau-hong tidak dapat senang.
Santapan di atas meja ternyata santapan pilihan dan dimasak oleh koki kelas satu. bahkan
merupakan santapan kegemaran Siau-hong.
Orang yang memasang perangkap ini jelas telah mengetahui dengan terang kehidupan Liok
Siau-hong sehari-hari.
Arak yang disediakan pun arak Li-ji-hong yang disukai Siau-hong, malahan satu guci penuh
belum terbuka. Di bawah guci tertindih secarik kertas dengan tulisan, "Silakan anda minum
barang secawan, tempat ini disediakan oleh sahabat lama".
Tapi Siau-hong tidak tahu siapa di antara sahabat lama yang sengaja mengerjainya seperti
sekarang ini. Di samping kertas surat itu tertulis juga dua baris huruf kecil dengan gaya tulisan yang
lembut, bunyinya. "Silakan Anda istirahat tiga hari, selelah tiga hari akan kujemput!"
Di bawah tidak ada tanda tangan dan nama penulisnya tapi dari gaya tulisannya jelas adalah
tulisan orang perempuan, tentu surat yang ditinggalkan si Gunung Es Ling Yak-siang.
Dia seperti sudah memperhitungkan Liok Siau-hong pasti akan masuk perangkapnya. Sudah
diperhitungkan secermat ini dan memasang perangkap ini, tujuannya hanya menahan Siauhong
di sini selama tiga hari.
Siau-hong tidak percaya, tapi toh tidak dapat menerka adakah maksud tujuan lain kecuali
menahan dirinya tiga hari di sini.
Ia lantas berduduk dan mengangkat sumpit dilihatnya makanan yang paling disukainya dan
mulai makan 11 Sumpitnya buatan perak, santapan tak beracun, dengan sendirinya mereka tahu. adalah tidak
mudah jika ingin meracuni Liok Siau-hong.
Siau-hong lantas mengangkat guci arak itu, sekali tepuk ia buka tutup guci yang dilas dengan
tanah liat itu. Mendadak terdengar suara "pluk", asap tipis tersembur keluar, lalu "blang", guci
arak jatuh di lantai dan pecah berantakan
Melihat arak yang berceceran di lantai, Siau-hong ingin tertawa, tapi tidak sempat, segera ia
jatuh pingsan. Waktu Siau-hong siuman, ia meraba bajunya basah kuyup, dilihatnya fajar sudah hampir
menyingsing, pegunungan di kejauhan yang semula remang-remang itu kini sudah mulai
kelihatan hijau segar, di tengah semilir angin pagi juga terbawa harum bunga hutan.
Terlihat asap tungku mengepul di sana-sini, tapi di dekat situ tiada kelihatan rumah penduduk.
Jika tempat ini adalah tempat berhentinya kereta semalam, lalu kemana perginya rumah
berdinding besi itu" Jika di sini bukan tempat yang didatanginya, cara bagaimana pula dia
bisa berada di sini"
Dengan susah payah orang-orang itu memasang perangkap untuk menjebaknya, apakah
tujuannya hanya mengantar dia ke ladang belukar ini untuk tidur semalam di sini. Yang lebih
tidak dimengerti adalah apa maksud tujuan mereka itu"
Maka ditanggalkannya baju luar yang basah itu dan disampirkan di pundak, lalu pulang
dengan langkah lebar.
Ia tinggal di Ngo-bok khek-can (hotel panca rejeki) di tengah kota. Sekarang ia ingin pulang
ke sana untuk mandi air panas, makan sekenyangnya, lalu tidur selelapnya. Habis itu akan
dipikirkan hal-hal yang sukar dipecahkan itu.
Dari jauh sudah terlihat papan merek Ngo-hok-khek-can. maka semua urusan yang tidak
menyenangkan telah dilupakannya, sebab segala urusan yang menyenangkan sekarang sedang
menantikan dia di situ.
Tak terduga, yang menunggunya di situ ternyata terdiri dari dua bilah pedang, empat batang
golok, tujuh batang tombak dan sebuah rantai.
Begitu dia masuk hotel itu, serentak terdengar orang membentak, tiga belas orang terus
mengepungnya di tengah. Menyusul terdengar suara gemerantang, seulas rantai besi terus
menjirat ke lehernya.
Besar dan berai rantai besi itu, caranya mengalungi orang juga ahli. Tapi Liok Siau-hong
hanya menggunakan dua jari saja, sekali jepit, rantai itu lantas putus menjadi dua, bagian yang
putus jatuh ke lantai dan menerbitkan suara nyaring.
Orang yang memegang rantai putus itu tergetar mundur dengan sempoyongan, mukanya
pucat, tangannya rada gemetar, ia tuding Siau-hong dan membentak, "Kau ... kau berani
melawan petugas?"
12 "Melawan petugas?" Siau-hong merasa heran, setelah melihat kopiah merah yang dipakai
orang, ia berkerut kening dan menegas, "Kau petugas kepolisian?"
Orang itu mengangguk. Segera seorang lagi membentak di samping. "Inilah Nyo-pothau
(kepala reserse) dari kepolisian kota, kau berani melawan petugas, berarti melanggar hukum!"
"Eh, jadi kalian hendak menangkap diriku" Memangnya apa kesalahanku?" tanya Siau-hong.
"Hm, bukti dan saksi sudah lengkap, memangnya untuk apa berlagak pilon?" jengek Nyopothau.
"Bukti dan saksi" Mana buktinya?" tanya Siau-hong pula.
Di belakang meja pengurus hotel sana berduduk beberapa orang, meski semuanya berdandan
perlente. Tapi air mukanya sama bersungut, semuanya menuding Liok Siau-hong dan
berteriak. "Ya, inilah dia"
"Betul dia. Bangsat beralis empat inilah yang semalam telah memperkosa biniku!" teriak yang
lain. Keruan Siau-hong melenggong.
Dengan suara bengis Nyo-pothau lantas berseru. "Kemarin dalam semalam saja berturut turut
kau lakukan delapan kali kejahatan besar, dan mereka inilah saksinya."
"Dan inilah buktinya," sambung salah seorang petugas sambil menuding bungkusan yang
bertumpuk di belakang meja besar. "Barang-barang ini ditemukan di kamarmu."
Liok Siau-hong tertawa, ucapnya. "Jika benar kucuri barang orang, memangnya akan
kusimpan begitu saja di dalam kamar" Memangnya aku ini kelihatan sedemikian bodoh?"
"Huh, dari lagakmu, tampaknya kau anggap ada orang lain yang sengaja merampok barangbarang
ini untuk diberikan padamu. Memangnya mereka anggap dirimu ini kakek
moyangnya?" jengek Nyo-pothau.
Siau-hong jadi sulit untuk membantah.
Sekonyong-konyong seorang mendengus. "Hm, membunuh orang, merampok, memperkosa
anak istri orang, asal kita tak ikut campur, penjahat pasti tetap bebas di luar hukum."
Ternyata di pojok sana berduduk tiga orang berjubah hijau tua bersulam, berkopiah, rata-rata
sudah berusia lanjut, semuanya duduk kereng di sana, dua orang minum teh, seorang lagi
minum arak. Yang bicara adalah orang yang minum arak itu. Biasanya orang yang suka minum arak
memang lebih banyak omongnya
Siau-hong tertawa, katanya. "Membunuh orang dan merampok, memperkosa anak istri orang,
semuanya tidak kalian urus. Memangnya urusan apa baru kalian mau urus?"
13 Kakek yang minum arak itu mendelik sehingga sinar matanya mencorong jengeknya, "Tidak
peduli apa yang kau lakukan pasti tidak perlu kami urus. Hanya jangan sekali-kali kalian
merecoki kami."
"Memangnya kalian ini orang macam apa?" tanya Siau-hong.
"Masa kau tidak kenal?" tanya si kakek jubah hijau.
"Tidak." sahut Siau-hong.
Kakek itu mengangkat cawannya dan menenggak satu teguk dengan perlahan, tangannya
yang memegang cawan kurus kering seperti cakar burung, bahkan kukunya sangat panjang,
kuku berwarna hijau gelap.
Tapi Siau-hong seperti tidak mempedulikannya.
"Sekarang kau kenal tidak?" tanya pula si kakek.
"Tidak kenal," jawab Siau-hong.
Si kakek mendengus dan perlahan berbangkit. Semua orang dapat melihat baju bagian
dadanya tersulam sebuah wajah yang tampan, tampaknya serupa gadis cantik.
Tapi setelah dia berdiri tegak barulah semua orang tahu yang tersulam pada bajunya adalah
lukisan sebuah kepala manusia bertubuh ular, bercakar burung dan bersayap kelelawar,
sungguh binatang yang aneh.
Meski semua orang tidak tahu asal-usul binatang yang aneh ini, walaupun binatang aneh ini
hanya tersulam di atas baju, tapi setiap orang yang melihatnya segera akan merasa ngeri dan
mengkirik. Tapi Liok Siau-hong tetap tidak ambil pusing.
"Sekarang kau kenal tidak?" tanya pula si kakek.
"Tetap tidak kenal," jawab Siau-hong.
Wajah si kakek baju hijau seakan-akan berubah menjadi hitam, mendadak ia angkat sebelah
tangannya terus menjojoh ke atas meja.
"Crat, kelima kuku jarinya yang serupa cakar burung itu menancap seluruhnya ke dalam meja.
waktu ia menarik tangannya, permukaan meja yang tebalnya dua tiga senti itu telah
bertambah dengan lima lubang.
Mendadak terdengar pula suara gemerantang. Setengah potong rantai terjatuh ke lantai,
rupanya Nyo pothau menjadi ketakutan setengah mati hingga kaki dan tangan terasa lemas
seluruhnya. Serentak di dalam ruangan tercium bau busuk, tiga opas berlari keluar dengan celana basah
kuyup. Rupanya saking ketakutan ketiga opas itu sama terberak dan terkencing.
14 Terpaksa. Siau-hong tidak dapat berlagak tidak tahu lagi, akhirnya ia menghela napas dan
berkata, "Sungguh kungfu yang hebat!"
"Dapat juga kau kenal kungfu yang hebat ini ?" jengek si kakek.
Siau-hong mengangguk dengan tersenyum.
Padahal sejak tadi sudah dapat diketahuinya asal-usul ketiga kakek aneh ini, meski wajahnya
tertawa, sebenarnya tangannya juga berkeringat dingin.
Tiba-tiba si kakek memejamkan mata dan menengadah, lalu bersenandung, 'Sembilan langit
sepuluh bumi, para jin dan semua malaikat sama masuk perguruanku dan harus tunduk
kepada perintah!"
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Sekarang sudah kuketahui siapa kalian."
Kakek berbaju hijau itu mendengus.
"Tapi aku tidak tahu, dalam hal apa kiranya aku bersalah kepada kalian?" tanya Siau-hong
sambil tertawa kecut.
Si kakek menatapnya tajam-tajam, mendadak ia mengacungkan tangannya. Serentak di
halaman belakang sana bergema semacam suara sempritan yang aneh, suaranya memilukan
seperti perempuan ditinggal mati suami, serupa tangisan arwah setan penasaran.
Lalu muncul empat lelaki bertelanjang badan bagian atas dengan dada penuh tertancap jarum,
mereka melangkah masuk dengan menggotong sepotong papan yang sangat besar, di atas
papan penuh termuat bunga seruni berwarna hijau tua.
Kawanan lelaki ini berjalan dengan kaku. Mata melihat lurus seperti orang hilang ingatan,
sekujur badan penuh tertancap jarum, tapi tidak mengucurkan darah setitik pun. Juga tidak
kelihatan kesakitan. Malahan wajahnya tersembul semacam senyuman yang misterius dan
menakutkan. Kakek yang sedang minum teh itu lantas berdiri, ketiga orang mendekati papan yang penuh
muatan bunga seruni hitam itu, semuanya memberi hormat dengan khidmat sambil berdoa.
"Sembilan langit sepuluh bumi, para dewa dan semua jin. Datanglah membela bhakti, sama
menuju nirwana!"
Siau-hong merasa heran, ia coba mendekat ke sana, diambilnya setangkai bunga seruni hitam
itu. Mendadak tangan terasa dingin, sebab baru saja ia mencomot bunga seruni ini, segera
tertampak sebuah mata di bawah tumpukan bunga itu sedang melotot padanya.
Mata ini lebih banyak putih daripada hitamnya, biji mata seakan-akan melompat keluar dari
kelopak matanya sehingga menimbulkan rasa kejut dan seram luar biasa.
Siau-hong menyurut mundur beberapa langkah, ia menghela napas panjang, lalu bertanya,
"Siapakah orang ini?"
"Sekarang orang mati!" sahut si kakek berjubah hijau dengan tak acuh.
15 "Dan siapa dia pada waktu masih hidup?" tanya Siau-hong pula
Kakek itu memejamkan mata pula sambil menengadah, lalu berucap dengan perlahan.
"Sembilan langit sepuluh bumi. para malaikat mengalami bencana tertimpa bahaya, para jin
sama menangis berduka "
Tergerak hati Siau-hong, Apakah dia ini putera Kaucu (ketua agama) kalian?"
Kakek berjubah hijau itu hanya mendengus saja tanpa menjawab.
"Apakah dia mati di tanganku?" tanya Siau-hong lagi.
"Pembunuh harus mati!" jengek si kakek.
Kembali Siau-hong menyurut mundur dua langkah dan menarik napas panjang. Tiba-tiba ia
tertawa dan berkata, "Aneh juga, ada yang hendak menangkap diriku dan ada lagi yang
menghendaki kematianku, padahal aku cuma satu orang. Apa yang kulakukan?"
Si kakek memandang Nyo-pothau sekejap, tanyanya. "Kau pasti akan menangkapnya?"
"Ti ... tidak ... tidak pasti!" jawab Nyo-pothau dengan tergagap.
Belum habis ucapannya, "bluk" ia terus berlutut, tampaknya kaki menjadi lemas saking
ketakutan. "Wah, tampaknya nasibku tak terhindar dari kematian," gumam Siau-hong dengan gegetun.
'Tapi aku pun tahu, sebelum ajalmu tentu kau hendak melawan mati-matian!" tukas si kakek.
"Betul," ujar Siau-hong.
Sekonyong-konyong ia turun tangan, dirampasnya sebilah pedang dan sebatang golok, dengan
golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan ia terus membacok dan menabas tiga kali,
diserangnya si kakek berjubah hijau itu dengan jurus serangan yang aneh, bahkan sekaligus
menggunakan dua jenis senjata yang berlainan.
"Huh, main kampak di depan tukang kayu?" jengek si kakek.
Menggunakan dua jenis senjata yang berlainan dan menyerang dengan jurus yang berbeda
sekaligus, adalah kungfu khas perguruan atau agama si kakek, maka baru saja tiga jurus Siauhong
menyerang, segera dapat dilihatnya dimana letak kelemahannya. Diam-diam si kakek
siap melancarkan serangan balasan dan akan membikin golok dan pedang di tangan Liok
Siau-hong terlepas dari pegangan.
Tak terduga, pada saat itu juga mendadak terdengar suara "trang", Siau-hong telah


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan golok di tangan kiri sendiri untuk membacok pedang di tangan kanan. Karena
adu senjata itu golok dan pedang patah bersama.
16 Selagi si kakek tidak mengerti jurus serangan apa yang digunakan Siau-hong itu, tiba-tiba
terlihat dua potong senjata patah itu menyambar ke arahnya. Berbareng itu Liok Siau-hong
terus mengapung ke udara. Senjata patah disambitkan sekuatnya, lalu orangnya melayang
mundur ke belakang.
Sukar untuk melukiskan kecepatan Siau-hong itu, sampai dia sendiri tidak membayangkan
dirinya mampu melayang secepat itu. Maklumlah, bilamana orang dihadapkan pada pilihan
hidup dan mati, maka tenaga tersembunyi yang mendadak dikeluarkan memang sukar untuk
dibayangkan. Angin meniup semilir di luar. Siau-hong berjumpalitan lagi di udara, lalu mengikuti desir
angin dan melayang ke wuwungan rumah seberang.
Belum ada orang mengejar keluar, tapi suara kakek yang seram terdengar berkumandang.
"Kau bunuh putera para malaikat, biarpun kau naik ke langit atau masuk ke bumi tetap tidak
akan terlolos dari kematian!"
Liok Siau-hong memang tidak naik ke langit, juga tidak masuk ke bumi, tapi dia telah berada
lagi di gang yang menuju ke kasino 'Pancing Perak' itu, dia menyewa kereta dan menuju ke
tempat waktu dia mendusin pagi tadi.
Sesungguhnya apa yang terjadi, sedikit banyak dapatlah dipahaminya sekarang.
Orang-orang itu membuatnya tidur semalaman di ladang belukar, jelas cuma ingin membikin
susah dia. Hendak memfitnahnya supaya dia menanggung dosa yang diperbuat orang lain.
Siau-hong sendiri tahu apa yang dialaminya semalam sukar dipercaya orang andaikan
diceritakannya. Nona cantik si Gunung Es lebih-lebih takkan mau menjadi saksi baginya,
apalagi sekarang dia juga sudah menghilang.
Terpaksa Siau-hong sendiri yang mencari bukti dan saksi untuk mencuci dosanya yang sukar
dibantah ini. Keretanya berjalan sekian jauhnya, benarlah melalui jalan yang ramai semalam, lalu melintasi
sungai dan akhirnya baru sampat di tempat dia terjaga bangun pagi tadi.
Tapi apakah semalam dia benar-benar melalui jalan ini" Apakah di tempat inilah Ling Yaksiang
menariknya turun semalam" Namun tempat ini jelas cuma ladang belukar yang sepi.
Jangankan kasino "Pancing Emas", sebuah gubuk saja tak kelihatan.
Siau-hong berbaring di bawah sebatang pohon besar yang daunnya sudah kering, banyak daun
rontok tertiup angin dan menjatuhi tubuhnya Tanah terasa dingin dan lembab. Ia coba
merenungkan apa yang terjadi.
Semalam jelas-jelas dia melalui jalan ini dan sampai di kasino 'Pancing Emas', kenapa
sekarang tidak terlihat sebuah rumah pun. Jelas-jelas kudengar di dalam rumah ada suara
orang, tapi di dalam rumah ternyata tidak ada bayangan seorang pun. Pada kertas itu jelas
tertulis supaya kutunggu tiga hari di sini, tapi aku justru diantar pergi.
17 Begitulah makin dipikir makin membingungkan, jika ia tidak dapat memberi alibi yang dapat
membuktikan jejaknya semalam jelas dia akan menanggung dosa perbuatan orang lain yang
tampaknya sengaja hendak menjebloskan dia.
Siau-hong menghela napas, sungguh serba runyam, ingin tertawa saja tidak bisa lagi.
Tiba-tiba didengarnya di belakang pohon seperti ada kicau burung kecil yang tidak ada
hentinya. Siau-hong berkerut kening, ia ketuk-ketuk batang pohon, daun rontok berhamburan,
tapi burung di belakang masih berkicau dan tidak mau kabur. Besar amat nyali burung kecil
ini. Tanpa terasa Siau-hong mengangkat kepala dan menoleh ke belakang, siapa tahu kicau
burung di belakang, mendadak berubah menjadi gonggongan anjing.
Sungguh aneh. burung bisa berubah menjadi anjing" Kan peristiwa yang tidak mungkin
terjadi. Selagi Siau-hong terheran-heran, tiba-tiba dilihatnya dan balik pohon menongol keluar sebuah
kepala yang menjulurkan lidah padanya, lalu mencibir.
Kiranya gonggong anjing dan kicau burung adalah perbuatan anak kecil ini, jelas anak ini
sangat pintar, dapat menirukan bunyi burung dan suara anjing dengan sedemikian miripnya.
Anak ini memicingkan mata pula terhadap Siau-hong, lalu berkata. "Dapat pula kutirukan
suara berkelahi anjing jantan dan betina. Kau berikan dua duit padaku dan segera akan
kupertunjukkan."
Tiba-tiba terbelalak mata Siau hong, cepat ia melompat bangun, anak itu digendongnya dan
diciumnya, lalu diberikan sepotong uang perak sambil mengucapkan terima kasih berulangulang.
Anak itu menjadi bingung, tanyanya sambil berkedip-kedip, "Kau beri uang sebanyak ini
padaku mestinya aku yang harus berterima kasih, mengapa malah engkau yang mengucapkan
terima kasih padaku?"
"Sebab baru saja telah kau selamatkan jiwaku," ujar Siau-hong.
Dia bergelak tertawa, diciumnya pula pipi anak itu. Lalu ia pun menirukan anjing
menggonggong dua liga kali, dia melompat ke sana, sekali berjumpalitan lantas menghilang.
Anak itu memandangnya dengan melongo, sungguh ia tidak habis mengerti orang yang baru
ditemuinya ini orang waras atau orang gila. la tidak tahu bahwa orang gila ini justru baru saja
dikerjai orang, bahkan difitnah orang sehingga jiwanya hampir melayang.
Bab 2 ... Tidak semua pengusaha kasino mempunyai prinsip, misalnya kalau engkau menginginkan
orang lain terus menerus menghamburkan uang. maka tidak cuma cara membuatnya
menghamburkan uang dengan gembira dan cepat, tapi juga perlu dia diberi kesempatan untuk
mencari uang. 18 Dan prinsip inilah yang selalu dipegang teguh oleh si janggut biru, si pemilik kasino 'Pancing
Perak'. Sebab itulah 'Pancing Perak' bukanlah kasino yang buka siang malam selama 24 jam
terus menerus, tapi pakai jam kerja tertentu.
Sebelum hari gelap, kasino ini tidak buka dan belum lagi subuh tiba, rumah judi ini pun lantas
kukut alias tutup pintu.
Maklum, siang hari adalah waktunya cari uang, maka orang lain harus diberi kesempatan
untuk mencari uang agar pada malamnya dapat dihamburkan.
Kini hari belum lagi gelap, Liok Siau-hong menyusuri gang yang panjang itu, waktu ia masuk
ke kasino "Pancing Perak" meja judi masih tertutup kain dan belum ada pegawai yang masuk
kerja. Pintu rumah judi itu memang selalu terbuka, tapi sebelum hari gelap biasanya tidak ada orang
yang masuk ke situ. Peraturan ini sudah cukup diketahui oleh para tamu langganan. Bukan
langganan, biasanya juga takkan diterima oleh rumah judi ini.
Maka begitu Siau-hong mendorong pintu angin dan masuk ke situ, baru saja ia menanggalkan
mantel hitam yang baru saja dibelinya serta membuka topi yang setengah menutupi alisnya
yang serupa kumis, segera dua lelaki kekar mendekat dan menghalangi jalannya.
Pada umumnya, di rumah judi macam apa pun pasti banyak menyewa tukang pukul, dengan
sendirinya tukang pukul di kasino 'Pancing Perak' ini juga tidak sedikit. Toa Gu atau si
Kerbau Gede, dan si Buta adalah dua di antara tukang-tukang pukul yang garang dan
menakutkan itu.
Si Buta sebenarnya tidak buta benar-benar, dia sedang mengamati Siau-hong dengan matanya
yang lebih banyak bagian putih daripada bagian hitam itu, lalu menegur dengan garang. "Kau
pernah datang ke sini tidak?"
"Pernah!'" jawab Siau-hong.
"Jika pernah, kan seharusnya kau tahu peraturan tempat ini!" kata pula si buta.
"Rumah judi juga ada peraturan?"
"Tentu saja ada, bukan saja ada peraturan, bahkan jauh lebih keras peraturannya daripada
peraturan pemerintah."
"Hahaha'" Siau-hong bergelak.
Si Kerbau Gede ikut menghardik dengan mendelik. "Sebelum hari gelap, biar pun raja yang
datang kemari juga tetap kami persilakan dia keluar!"
"Masa kumasuk untuk melihat-lihat sebentar juga tidak boleh?" kata Siau-hong.
"Tidak boleh!" bentak Toa Gu, si Kerbau Gede.
Siau-hong, menghela napas, diraihnya mantel dan melangkah keluar, tiba-tiba ia berpaling
dan berkata. "Kuberani bertaruh lima ratus tahil perak, berani kupastikan tidak mampu kau
angkat bangku batu ini."
Di serambi luar memang ada empat buah bangku batu, tampaknya tidak ringan bobotnya.
Toa Gu mendengus, tanpa bicara ia angkat bangku batu itu dengan sebelah tangan.
Jika tangannya tidak sebesar kerbau, tidak mungkin bocah ini bernama Toa Gu alias si Kerbau
Gede. Siau-hong menghela napas menyesal, katanya sambil menyengir, "Wah tampaknya aku harus
mengaku kalah, 500 tahil perak ini akan menjadi milikmu."
Dia benar-benar mengeluarkan secarik Ginbio (sejenis cek) bernilai nominal 500 tahil perak
dan disodorkan.
500 tahil perak bukanlah jumlah yang kecil. Menurut ukuran umum, biarpun dua orang
berfoya-foya ke Heng-hoa-kok, boleh makan minum plus pramuria dan bermalam "all in',
pengeluaran seluruhnya juga takkan lebih daripada 20 tahil perak.
Toa Gu mendelik melihat Ginbio itu, selagi ragu-ragu. si Buta lantas mewakilkan dia
menerimanya. Melihat uang, si Buta pun jadi melek.
19 Dengan sendirinya Ginbio itu surat tanda pembayaran yang sah. Tersembul senyuman
gembira pada wajah si Buta, ucapnya, "Saat ini hari sudah hampir gelap, silakan Anda
berputar keliling di luar sana, kemudian kembali lagi ke sini. Kujamin akan mencarikan
beberapa cukong berkantung tebal sebagai lawan di atas meja nanti."
Siau-hong tersenyum, katanya. "Bolehkah aku berputar sekeliling saja di sini?"
"Tidak boleh!" Toa Gu mendahului menjawab. Mendadak Siau-hong menarik muka. Katanya,
"Kata kalian, sebelum hari gelap perjudian takkan dibuka, tapi mengapa kau taruhan
denganku barusan?"
"Mana aku bertaruh denganmu?" jawab Toa Gu dengan melenggong.
"Hm, kalau tidak taruhan denganku, mengapa kau terima bayaranku 500 tahil perak?" jengek
Siau-hong. Toa Gu jadi gelagapan, mukanya merah padam, tapi tidak sanggup membantah.
Jika kalah bicara secara aturan, terpaksa harus main kepalan. Tapi, ketika kepalan Toa Gu
terkepal dan belum dipukulkan tiba-tiba dilihatnya bocah yang serupa beralis empat ini
menutul kan jarinya pada bangku batu yang baru diangkatnya tadi dan kontan permukaan
bangku batu itu bertambah satu lubang Seketika wajah si Kerbau Gede berubah pucat,
kepalan yang tergenggam erat juga lantas mengendur.
Si Buta berdehem dua tiga kali, ia sikut temannya yang serba salah itu, lalu berkata dengan
senyum yang dibuat-buat "Ah, toh sekarang sudah hampir gelap, tuan tamu ini juga sengaja
datang kemari, jika kita benar-benar mengusirnya, kan terasa tidak enak hati."
Cepat Toa Gu mengangguk, "Ya, benar, di sini juga tidak ada dadu yang diberi timbel, juga
tidak ada penjudi yang menyembunyikan kartu, apa alangannya kita biarkan dia berkeliling
melihat keadaan rumah judi ini."
Meski dia kelihatan seperti seekor kerbau bodoh, padahal sedikit pun dia tidak bodoh, bahkan
pintar melihat arah angin.
Siau-hong tertawa sambil menepuk pundak orang, katanya, "Bagus, sungguh kawan baik,
sehabis berjudi akan kutraktir kalian minum arak ke Heng-hoa-kok!"
Heng-hoa kok atau paviliun bunga cempaka adalah rumah pelacuran kelas mewah di kota ini,
tapi betapa mewahnya tetap tidak sehebat rumah judi 'Pancing Perak' ini. Interior atau
pajangannya juga kalah luks.
Sejauh mata memandang, ruang rumah judi ini benar-benar cerlang cemerlang, megah
mentereng sampai tatakan lilin juga terbuat dan perak murni, belum lagi servisnya. Maka
takkan terasa penakaran bilamana ada penjudi yang kalah seribu atau dua ribu tahil perak di
sini. Di tengah ruangan besar itu penuh segala macam alat judi, asalkan orang dapat menyebutkan
nama sesuatu alat judi, pasti tersedia juga di situ.
Sekeliling ruangan terkapur dengan resik sehingga mirip di rumah salju yang putih bersih,
banyak tergantung lukisan dan tulisan indah di sekeliling dinding.
Sebuah lukisan pemandangan alam yang paling besar justru menghiasi dinding tengah,
lukisan ini ternyata karya pelukis yang tidak terkenal, gunung yang terletak di kejauhan dan
tertutup kabut dilukisnya serupa botol tinta yang tumpah.
Mendingan bilamana lukisan ini ditaruh di tempat lain, tapi justru tergantung pada dinding
tengah ruangan besar ini, dibandingkan lukisan karya seniman ternama yang lain, jelas
bedanya seperti langit dan bumi.
Anehnya Liok Siau-hong justru sangat berminat terhadap lukisan istimewa ini, ia berdiri di
depan lukisan, dipandangnya dari kiri dan diawasinya dari kanan, ditelitinya dari atas dan
diperiksanya dari bawah, begitu menarik sehingga rasanya sangat berat untuk
meninggalkannya.
Toa Gu dan si Buta saling pandang sekejap, sikap mereka pun tampak sangat aneh.
20 Kedua mata si Buta mendelik dan berkata tiba-tiba. "Lukisan ini adalah karya saudara ipar
juragan kami. Lukisannya terlebih konyol daripada lukisanku, di sebelah sana ada lukisan
pemandangan alam Tong-pek-hou. itulah baru dapat disebutkan sebagai lukisan pemandangan
sejati." Toa Gu lantas menyambung. "Mari kutunjukkan lukisan bernilai tinggi itu, kemudian barulah
tuan akan mengetahui lukisan ini pada hakikatnya serupa kentut anjing belaka "
"Tapi aku lebih suka memandang kentut anjing!" ucap Siau-hong.
"Memangnya kenapa?" tanya Toa Gu.
"Sebab pemandangan alam dapat terlihat, dimana-mana. Kentut anjing justru jarang terlihat,"
kata Siau-hong dengan tertawa.
Kembali, Toa Gu melenggong, mukanya bertambah merah padam.
Aneh juga, orang suka memandang, lukisan kentut anjing, kenapa dia mesti gelisah"
Diam-diam si Buta lantas memberi isyarat kepada Toa Gu. Keduanya lantas berputar ke
belakang Liok Siau-hong mendadak kedua orang turun tangan bersama, yang satu kanan dan
yang lain kiri, Siau-hong terus ditelikung.
Lucunya Liok Siau-hong sama sekali tidak melawan.
Si Buta lantas mendengus, "Hm, bocah ini kelihatan suka main gila, baru datang sudah kulihat
pasti bukan orang baik. Jangan dibiarkan hidup."
"Betul, kita gusur dia keluar, lalu bereskan kedua tangannya lebih dulu!" sambung si Kerbau
Gede. Sekali menyerang dapat membekuk Liok Siau-hong, kedua orang itu merasa sangat senang,
serupa dua orang rakus berhasil menangkap seekor kambing gemuk.
Cuma sayang kambing ini bukan saja tidak gemuk, bahkan bukan kambing sungguh-sungguh,
melainkan harimau yang bermantel kulit kambing.
Selagi mereka hendak menggusur Siau-hong keluar, tiba-tiba terasakan orang ini berubah
menjadi sangat berat serupa tonggak besi. Sebaliknya tubuh mereka sendiri lantas terangkat
ke atas malah. Sekali tangan Siau-hong menggentak "blang", kepala si Kerbau Gede dengan tepat beradu
dengan kepala si Buta, kontan keduanya jatuh kelengar.
Siau-hong melemparkan kedua orang itu, ia menengadah dan kembali mengawasi lukisan itu.
Lalu menggeleng kepala dan menghela napas, gumamnya. "Ucapan kalian memang betul,
lukisan ini memang kentut anjing!"
Mendadak ia menarik lukisan yang besar itu. Setelah lukisan itu jatuh, ternyata di
belakangnya ada sebuah pintu rahasia.
Terbeliak mata Siau-hong. Dengan tersenyum ia bergumam pula, "Meski lukisannya kentut
anjing, tampaknya kentut anjing yang sebenarnya masih ada di belakang!"
Bab 3 ... Membuka rumah judi dengan sendirinya bukan pekerjaan yang halal, orang yang
berkecimpung di lapangan ini, hidupnya tentu juga tidak normal, sampai makan dan tidur juga
sama sekali berbeda daripada orang lain.
Sekarang adalah waktunya mereka makan, sebab itulah di ruangan depan tadi cuma dijaga
oleh si Kerbau Gede dan si Buta. Dan kini kedua orang itu sudah terkulai.
Siau-hong menggosok-gosok kedua tangannya, ia memejamkan mata. dengan sebuah jarinya
ia terus meraba ke atas dinding melalui celah-celah pintu. Sesudah meraba naik turun
beberapa kali, tiba-tiba jarinya menekan sambil membentak dengan suara tertahan. "Buka!"
Sungguh ajaib, pintu rahasia ini lantas terbuka dengan sendirinya, setelah menuruni undakundakan
batu, di bawah adalah sebuah lorong.
21 Dalam lorong ada lampu, di bawah lampu ada sebuah pintu lagi. Dua lelaki kekar berjaga di
situ dengan golok terhunus.
Mata kedua lelaki ini tampak kaku serupa patung. Sudah jelas Siau-hong berdiri di depan
mereka, tapi mereka seperti tidak tahu sama sekali. Siau-hong coba berdehem perlahan, dan
kedua orang juga seperti tidak mendengar.
"Krek', pintu rahasia di alas undak-undakan tadi mendadak merapat kembali.
Siau-hong coba melangkah ke depan, kedua lelaki itu tidak bergerak tidak bersuara, juga tidak
merintanginya. Siau-hong lantas mendorong pintu sekalian, dan pintu lantas terbuka.
Di dalam cahaya lampu terang benderang, di situ berduduk tiga orang, dua di antaranya
ternyata sudah dikenal Siau-hong.
Seorang perempuan cantik molek dengan tangan bertopang dagu dan berduduk di samping
piala kristal yang penuh berisi arak berwarna merah dan sedang memandangi Liok Siau-hong
dengan dingin, tegurnya, "Kenapa baru sekarang kau datang?"
Siau-hong jadi teringat kepada ucapan Pui Giok-hui, "Perempuan ini serupa gunung es, jika
berani kau sentuh dia, tanganmu bisa timbul bisul."
Perempuan molek ini memang betul si Gunung Es alias Ling Yak-siang. Dia duduk di depan
Pui Giok-hui. "Awas, gunung es sangat licin, engkau bisa terpeleset!" demikian Pui Giok-hui pernah pula
memperingatkan Liok Siau-hong.
Sekarang Pui Giok-hui lagi tersenyum dan angkat gelas kepada Liok Siau-hong.
Siau-hong juga tertawa, tertawa keras.
"Eh, konon pada waktu kau marah juga bisa tertawa"!" kata Pui Giok-hui
Namun Siau-hong masih terus tertawa.
Tertawa Pui Giok-hui sendiri telah berubah menjadi menyengir, katanya, "Kutahu kau marah
padaku, tapi kan sudah kuperingatkan dirimu sebelumnya"!'"


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kuingat memang seorang sahabatku pernah menasehati diriku agar jangan coba mendaki
gunung es. Sahabatku itu bernama Pui Giok-hui!" demikian ucap Siau-hong dengan tertawa.
"Kuyakin kau pasti ingat!'" ujar Giok-hui dengan wajah cerah.
"Kau tahu" Memangnya kau ini Pui Giok-hui yang kumaksudkan itu?"
Giok-hui menghela napas, ucapnya dengan tersenyum. "Sebenarnya aku ingin menyamar
sebagai orang lain, tapi kukhawatir samaranku tidak mirip."
"Paling tidak kan bisa menyamar sebagai Liok Siau-hong."
Berubah juga air muka Pui Giok-hui. Sekarang menyengir saja tidak dapat lagi.
Siau-hong lantas berpaling ke sana. Katanya pula dengan tersenyum. "Dan kau ini" Apakah
kau Ling Yak-siang yang itu?"
"Dia tidak she Ling!" mendadak Pui Giok-hui menyela.
"Oo, kau tahu siapa dia?" tanya Siau-hong.
"Tidak ada yang mengenal dia lebih jelas daripadaku." ujar Giok-hui.
"Sebab apa?"
"Sebab pada waktu dia dilahirkan, aku menunggu di sampingnya"
"Ah. kutahu sekarang. Dia inilah adik perempuanmu'' seru Siau-hong
"Ya. dia inilah Pui Giok-hiang!" Maka Siau-hong bergelak tertawa pula.
Orang ketiga yang berduduk di antara kedua kakak, beradik ini adalah seorang setengah baya
yang berdandan. Tapi dengan sikap yang halus, mukanya pulih bersih, bibir merah dan gigi
putih rajin, pada waktu mudanya tentu orang akan bilang dia mirip anak perempuan. Sekarang
meski usianya sudah lanjut, Siau-hong melihat orang ini masih mirip anak perempuan.
Dan orang mi juga sedang tersenyum.
Selelah memandangnya sekejap lagi, Siau-hong berkata, "Jika dia ini Pui Giok-hiang,
seharusnya kau ini Lam-hou-cu (si Janggut Biru) !"
22 "Memang betul." sahut orang itu dengan tersenyum.
'Tapi engkau tidak berjanggut, hitam, merah, putih, apalagi biru, tidak ada sama sekali!" kata
Siau-hong. "Kau sendiri punya Hong (phoenix)?" si Janggut Biru balas bertanya
"Tidak" jawab Siau-hong.
"Jika Liok Siau-hong tidak punya Hong, dengan sendirinya si Jenggot Biru juga boleh tidak
punya jenggot!"
Sampai sekian lama Siau-hong memandangnya, ucapnya kemudian dengan menyengir,
"Meski betul juga ucapanmu, tapi aku tetap tidak mengerti, orang semacam dirimu ini
mengapa disebut si Jenggot Biru ?"
"Membuka rumah judi bukanlah pekerjaan yang mudah," tutur si Jenggot Biru. "Jika tidak
kau makan orang lain, orang lain yang akan mencaplok dirimu. Orang semacam diriku ini
mestinya tidak mencari makan pada bidang ini."
"Oo, lantaran orang lain melihat bentukmu lemah lembut begini, tentu mereka menyangka
dirimu seorang yang mudah direcoki, maka mereka sama ingin makan dirimu?"
"Ya," si Jenggot Biru manggut-rnanggut "makanya terpaksa aku harus mencari upaya
khusus." "Upaya apa?" tanya Siau-hong.
Si Jenggot Biru tidak langsung menjawabnya, tapi berpaling dan menutupi mukanya dengan
lengan bajunya yang lebar.
Waktu dia berpaling kembali ke sini, wajahnya ternyata sudah berubah sama sekali, berubah
menjadi jelek, alis tebal, mata besar, gigi bertaring, muka hitam, bahkan penuh dengan
cambang, jenggot lebat hitam kebiru-biruan.
Siau-hong melengak, mendadak ia bergelak tertawa, "Aha, akhirnya pahamlah aku. Si
Jenggot Biru ternyata memang hebat dan tidak membuat kecewa padaku."
Si Jenggot Biru juga tertawa, katanya, "Liok Siau-hong tetap Liok Siau-hong, kau pun tidak
membuatku kecewa."
"Oo?" Siau-hong ingin tahu alasannya.
"Sudah kita perhitungkan sebelumnya bahwa cepat atau lambat kau pasti akan mencari ke
sini." Siau-hong menghela napas, "Aku sendiri justru tidak membayangkan akan dapat mencari
sampai di sini."
"Tapi kau toh datang juga"!"
"Ini adalah karena nasibku lagi mujur, kebetulan dapat kutemukan seorang anak yang pintar
menirukan gonggong anjing."
''Anak yang dapat menirukan suara gonggong anjing kan sangat banyak?" ujar si Jenggot
Biru. "Tapi ada sementara orang yang selain mahir menirukan anjing menyalak, hanya dengan
mulutnya dapat mengeluarkan berbagai macam suara."
Si Jenggot Biru tertawa, katanya. "Ya. setahuku ada seorang dapat menirukan suara
mengalirnya air, suara kereta melintasi jembatan, juga suara ramai seperti di pasar. Semuanya
dapat ditirukannya dengan sangat persis"
'Wah. tampaknya anak ini tidak cuma mahir menirukan segala macam suara, tapi juga mahir
ilmu bicara dengan suara dari perut!"
"Hah, tak tersangka engkau juga seorang ahli!" kata si Jenggot Biru dengan tertawa.
'Dalam seratus hal. sedikitnya ada 80 hal kukuasai dengan baik, orang semacam diriku ini
seharusnya bisa kaya. cuma sayang, aku mempunyai semacam penyakit"
"Oo." heran juga si Jenggot Biru. "Penyakit apa?"
"Aku suka kepada orang perempuan." jawab Liok Siau-hong. "Lebih-lebih suka kepada
perempuan yang seharusnya tidak perlu disukai."
23 Ia menghela napas menyesal, lalu menyambung pula. "Makanya. meski aku ini orang pintar
lagi cekatan, tapi justru senang tertipu."
Si Jenggot Biru tertawa, katanya, "Lelaki yang tidak pernah tertipu oleh perempuan pada
hakikatnya tidak terhitung sebagai lelaki yang tulen."
"Justru lantaran aku ini lelaki yang tulen, lelaki asli, makanya aku sok gagah dan mau menjadi
pengawal binimu, menemaninya duduk di dalam kereta dan berputar di dalam kota. Bahkan
serupa orang tolol, menurut saja ketika mata ditutup olehnya."
"Tatkala mana tidak kau pikirkan bahwa dia akan membawamu ke sini lagi, bukan?"
"Ya. baru setelah aku bertemu dengan anak kecil itulah teringat olehku bahwa suasana pasar
malam dan suara air mengalir, semuanya terletak pada mulut seorang."
"Orang ini selain mahir bunyi-bunyian mulut juga pintar mengendarai kereta." ujar si Jenggot
Biru dengan tertawa.
"Dan suara rumah kosong itu tentu juga dibikin olehnya!"
"Bukan," kata si Jenggot Biru.
Siau-hong jadi melengak, "Bukan.' Memangnya rumah kosong bisa mengeluarkan suara
sendiri" "Rumah kosong itu berada di bawah kasino, asalkan dibuatkan sebuah lubang hawa. suara di
atas lantas menembus ke bawah."
"Ah, pantas sebegitu jauh tak dapat kupecahkan cara bagaimana dia keluar dari rumah itu,"
ujar Siau-hong dengan tersenyum getir.
"Dan sekarang tentunya dapat kau pikirkan sebab apa berbuat demikian?"
"Tentunya kalian sengaja mengerjai diriku sehingga pusing tujuh keliling, agar aku sendiri
bingung dan tidak jelas semalam sesungguhnya berada di mana, lalu kalian memalsukan
diriku untuk melakukan operasi agar aku yang menanggung dosa perbuatan kalian."
"Salah!" seru si Jenggot Biru tiba-tiba.
"Masakah salah"!" heran juga Siau-hong,
"Kami tidak bermaksud membikin engkau menanggung dosa perbuatan kami, tetapi kami
cuma ingin engkau melakukan sesuatu bagi kami."
Pui Giok-hui menyambung. "Asalkan urusan ini dapat dilaksanakan dengan baik, bukan saja
kami akan mencuci bersih segala macam tuduhan padamu itu, bahkan apa yang kau inginkan
pasti kami penuhi."
"Jika kuminta kau jadi iparku, boleh tidak?" ejek Siau-hong.
"Boleh!" tukas si Jenggot Biru. Ia tersenyum lalu menyambung, "Sahabat laksana tangan dan
kaki sendiri, isteri serupa pakaian dan pakaian kan dapat diganti setiap saat?"
"Kau sendiri pernah berganti berapa kali?" tanya Siau-hong.
"Cuma ganti satu kali, empat tukar satu." jawab si Jenggot Biru.
Siau-hong tertawa, "Haha, tidak tersangka orang semacam dirimu bisa rugi berdagang."
Di atas rak dinding belakang tertaruh beberapa gulung lukisan, si Jenggot Biru melolosnya
satu gulung dan diberikan kepada Liok Siau-hong.
"Lukisan siapa ini?" tanya Siau-hong.
"Li Sin-tong si anak ajaib!" jawab si Jenggot Biru.
"Orang macam apa Li Sin-tong ini?"
"Iparku yang dahulu!"
Mestinya Siau-hong sudah menerima lukisan itu, segera ditolaknya kembali dan berkata.
"Lukisan orang lain mungkin aku berminat, tapi lukisan tuan ini sungguh aku tak
menghendakinya "
"Kan tidak ada alangannya coba kau buka dan melihatnya, betapa menakutkannya sebuah
lukisan kan takkan membikin orang mati ketakutan?" ujar si Jenggot Biru dengan tertawa.
24 "Aku sih tidak takut mati kaget atau ketakutan, tapi khawatir mati keki." kata Siau-hong.
Akhirnya gulungan lukisan itu ditentangnya juga, ternyata yang terlukis adalah empat orang
perempuan. Tiga di antaranya yang lebih muda dilukiskan sedang memetik bunga dan ada yang lagi
menangkap kupu-kupu, seorang yang berusia lebih tua kelihatan anggun dan duduk prihatin di
bawah rak bunga seakan-akan gedang mengawasi ketiga rekannya.
"Keempat perempuan ini semula adalah isteriku," tutur si Jenggot Biru.
Siau-hong memandangi perempuan dalam lukisan itu, lalu memandang Pui Giok-hiang pula.
kemudian bergumam. "Hah.tampaknya bisnis yang kau lakukan ini juga tidak rugi."
"Sebenarnya orangnya terlebih jelek daripada lukisannya," tutur si jenggot.
"Iparku tidak gentar kepada siapa pun. Dia justru takut kepada tacinya ini. Maka pada waktu
melukis tentu tidak berani melukisnya terlalu jelek, sebaliknya orang lain yang dilukisnya
terlebih buruk. Jika cuma berdasarkan lukisan ini, biarpun berhadapan dengan mereka juga
belum tentu kau sanggup mengenali mereka."
"Untuk apa aku berhadapan dengan mereka?" Siau-hong mendelik.
"Sebab aku menghendaki kau cari mereka"
"Huh. memangnya hendak kau berikan perempuan lungsuranmu kepadaku?"
"Aku cuma minta kau tanyai mereka dan meminta kembali sesuatu barang.''
"Barang apa?" tanya Siau-hong.
"Lo-sat-pai," kata si Jenggot Biru.
Kening Siau-hong terkerut, air mukanya juga rada berubah. Dia tidak pernah melihat Lo-satpai
tapi pernah mendengar ceritanya.
Lo-sat-pai adalah sepotong batu kemala, batu kemala kuno yang berumur ribuan tahun.
Konon sukar untuk dinilai harganya.
Batu kemala itu tidak terlalu besar, bagian depan terukir 108 malaikat, bagian belakang
terukir isi kitab Hindu kuno yang konon meliputi lebih dari seribu huruf.
"Batu kemala ini sendiri sudah sukar dinilai harganya, yang penting ialah batu kemala ini
merupakan pusaka Makau (agama Ma) dari benua barat. Anak murid Ma-kau yang tersebar di
seluruh dunia bilamana melihat batu kemala ini dipandangnya seperti berhadapan dengan
sang Kaucu sendiri."
"Ya, kutahu," ujar Siau-hong. "Yang aku tidak tahu cara bagaimana Lo-sat-pai itu bisa jatuh
di tanganmu?"
"Ada orang kalah berjudi hingga ludes, lalu menggadaikan Lo-sat-pai itu kepadaku,
digadaikan 50 laksa tahil perak, tapi dalam semalam jumlah 50 laksa tahil itu ludes pula di
atas meja." demikian tutur si Jenggot Biru.
"Wah, sungguh hebat kekalahan orang itu!" ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Memang, selama 13 tahun ini. orang yang kalah paling banyak di rumah judi Pancing Perak
ini ialah dia'"' kata si jenggot.
"Waktu itu tidak kau ketahui siapa dia?"
"Aku cuma tahu dia she Giok. lengkapnya Giok Thian-po. tapi mimpi pun tak kusangka dia
ini putra Giok Lo-sat dari barat!"
Giok Lo-sat dan benua barat itu orang macam apa" Lelaki atau perempuan" cantik atau
buruk" Tiada seorang pun yang tahu, sebab tidak ada yang pernah melihat wajah aslinya.
Namun setiap orang percaya, tokoh Bu-lim akhir-akhir ini yang paling misterius dan paling
menakutkan, tidak perlu diragukan lagi pastilah dia. Bukan saja asal-usulnya misterius, ilmu
silatnya juga misterius, malahan mendirikan suatu aliran agama yang sangat misterius dan
sangat menakutkan, yaitu agama Ma (Mani, orang Persia) dan benua barat.
"Waktu itu apakah dia datang sendirian?" tanya Siau-hong.
25 "Ya. bukan saja datang sendirian, bahkan seperti baru pertama kali ini berkunjung ke daerah
Tionggoan." tutur si Jenggot Biru.
Orang muda yang biasa hidup terpencil di daerah tandus, siapa yang tidak pingin belajar kenal
dengan kehidupan mewah di negeri Tionggoan.
Siau-hong menghela napas, ucapnya. "Bisa jadi lantaran baru pertama kali dia berkunjung
kemari, maka sekaligus lantas terjerumus "
"Setelah kutahu asal-usulnya, mestinya tidak berani kuterima Lo-sat-pai yang digadaikan
padaku itu, tapi dia berkeras mendesak supaya kuterima."
"Ya. tentunya dia terburu-buru ingin menggunakan 50 laksa tahil perak itu sebagai modal
taruhan lagi."
"Padahal bukan maksudnya ingin lekas menang, dia sanggup kalah," kata si Jenggot Biru.
"Orang yang gemar berjudi, kebanyakan memang cuma hobi belaka, kalah menang tidak
menjadi soal baginya. Akan tetapi, tanpa modal kan tidak dapat berjudi, maka banyak penjudi
demi mendapatkan modal judi sampai bininya saja digadaikan atau dijual."
"Jika bini digadaikan kan bisa juga tidak perlu ditebus kembali." ujar si Jenggot Biru. "Tapi
Lo-sat-pai ini mau tak mau harus ditebusnya. Sebab itulah, waktu kuterima barang gadai ini.
hatiku kebat-kebit. Aku menjadi bingung sendiri dimana harus kusimpan barang yang tak
ternilai harganya ini."
"Lantas kau simpan dimana?" tanya Siau-hong.
"Semula kusimpan di dalam sebuah peti besi rahasia di kolong tempat tidurku."
"Dan sekarang?"
"Sekarang sudah hilang!" sahut si Jenggot Biru dengan menghela napas panjang.
"Kau tahu siapa yang mengambilnya'?"
"Di luar peti besi itu ada tiga buah pintu besi dan hanya dua orang saja yang mampu
membukanya."
"Kecuali dirimu sendiri, siapa lagi orang yang lain?" tanya Siau-hong.
"Li He," jawab si Jenggot Biru.
"Binimu yang lagi duduk membaca di bawah rak bunga ini?" tanya Siau-hong.
"Hm, belasan tahun dia menjadi biniku, rasanya belum pernah kulihat dia memegang sejilid
buku apa pun," jengek si Jenggot Biru.
"Dia menjadi binimu selama belaan tahun dan kau ceraikan dia dengan begitu saja?"
"Telah kuberikan mereka setiap orang lima laksa tahil perak.''
"Hanya lima laksa tahil perak dapat membeli belasan tahun keremajaan seorang perempuan,
bisnis ini rasanya tidak merugikan," jengek Siau-hong.
"Ya. kutahu mereka pasti juga kurang puas," ujar si Jenggot Biru menyesal, "sebab itulah ..."
"Sebab itulah Lo-sat-pat itu dicurinya untuk melampiaskan dendam," tukas Siau-hong.
"Cuma perbuatannya terasa agak kejam," kata si Jenggot Biru. "Jelas-jelas diketahuinya
bilamana Lo-sat-pai itu tidak dapat kukembalikan, tentu anak murid Ma-kau takkan
menyudahi urusan ini dan pasti akan menuntut padaku."
"Cinta yang mendalam biasanya akan menimbulkan benci yang sangat, mungkin lantaran
itulah dia menginginkan jiwamu."
"Tapi aku tidak menghendaki jiwanya, aku cuma menginginkan kembalinya Lo-sat-pai."
"Apakah kau tahu di mana dia berada?"
"Dia kabur keluar Kwan (pintu gerbang tembok besar), tampaknya seperti hendak menuju ke
utara, tapi entah mengapa dia berhenti di sekitar Rahasu di hulu sungai Siong-hoa, seperti
hendak melewatkan musim dingin di sana."
"Sekarang sudah masuk bulan kesepuluh, apakah benar kau minta kupergi ke daerah utara
sejauh itu. ke tempat yang bisa membikin hidung terlepas saking dinginnya?"
"Kan dapat kau siapkan sepotong kulit untuk menutupi hidungmu." ujar si Jenggot Biru.
Maka Siau-hong tidak bicara lagi
26 "Jika mempunyai sesuatu pendapat, boleh katakan supaya kita rundingkan bersama."
"Aku cuma ingin bicara satu kalimat," kata Siau-hong setelah termenung sejenak.
"Cuma satu kalimat?" si jenggot menegas.
"Ya. kalimat yang singkat, hanya terdiri dari dua kata!"
"Hanya dua kata?"
"Selamat tinggal." ucap Siau-hong. Habis itu dia lantas berbangkit dan melangkah pergi.
Si Jenggot Biru ternyata tidak merintanginya, ia malah berkata dengan tersenyum, "Rupanya
benar-benar kau hendak pergi" Selamat jalan, aku tidak mengantar!"
Andaikan dia mau mengantar juga tidak keburu lagi, sebab Liok Siau-hong segera melayang
keluar pintu serupa seekor kelinci yang melejit terkejut.
Kedua lelaki kekar di luar itu masih berdiri kaku di sana, masih didengarnya Pui Giok-hui lagi
berkata di dalam rumah tadi, "Tersedia arak sebaik ini tidak diminum dan terus pergi begitu
saja, sungguh sangat sayang."
"Ada sementara orang yang pembawaannya bernilai rendah, disuguh arak tidak mau minum,
dipaksa minum barulah dia mau minum," jengek Pui Giok-hiang.
Terpaksa Siau-hong berlagak tidak mendengar sindiran mereka itu.
Selama beberapa bulan ini sudah terlalu banyak kesulitan yang ditimbulkannya, dia bertekad
akan istirahat sebaik-baiknya dan tidak mau lagi ikut campur urusan orang lain.
Apalagi Auyang Cing masih berada di kotaraja sedang merawat lukanya di samping
menunggui isteri Sebun Jui-soat yang hendak melahirkan.
Dia sudah berjanji kepada mereka, pada waktu salju mulai turun, dia pasti akan pulang ke
kotaraja untuk menemani mereka makan gulai kambing.
Terbayang olehnya pandangan Auyang Cing yang sayu itu. Siau-hong memutuskan esok
pagi-pagi akan berangkat pulang ke kotaraja.


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Undakan batu itu tidak terlalu tinggi, hanya beberapa kali melangkah saja sudah bisa
dicapainya. Meski pintu rahasia di atas itu sudah tertutup kembali, tapi dia yakin mampu
membukanya. Gin-kau tu-hong alias rumah judi Pancing Perak ... Si cantik Gunung Es ... Rumah kosong
buatan pelat besi ... Giok Lo-sat dan benua barat ....
Semua itu akan dianggap Siau-hong sebagai mimpi buruk saja dan takkan dipikir lagi.
Akan tetapi sayang, semua itu ternyata bukan impian. Baru saja dia mendorong pintu rahasia
itu, segera didengarnya di luar ada orang berkata sambil tertawa, "Di sini serba ada. apakah
engkau ingin berjudi, atau cuma ingin minum arak, semuanya masuk perhitunganku!"
"Perhitunganmu" Memangnya kau ini terhitung apa?" jengek lagi seorang.
Suara orang ini kaku lagi tajam. takabur, seperti paling kuasa sendiri, asal buka mulut tentu
memaki orang Siau-hong menghela napas, tidak perlu melihat lagi lantas diketahuinya siapa orang ini.
Akan tetapi rasa ingin tahu membualnya mengintip juga ke luar, maka dengan sebuah jari ia
angkat sedikit lukisan yang menutupi piniu rahasia itu, maka tertampaklah seorang tua
berjubah hijau yang tersulam seekor binatang aneh itu berdiri di depan pintu dan sedang
memandang ke sana-sini dengan sorot mata yang tajam.
Yang bicara tadi berdiri di belakangnya, ternyata dia inilah Nyo-pothau yang sehari-hari suka
berlagak garang itu.
Waktu mengintip lebih jauh. dilihatnya kedua kakek berjubah hijau yang lain juga datang
semua, air mukanya sama dingin dan keren. sorot matanya juga sama terang menakutkan.
Kedua pelipis mereka pun menonjol tinggi serupa dua gumpalan daging lebih. Bagi orang
yang sedikit mempunyai pandangan tajam segera dapat diketahui bahwa Lwekang mereka
sangat dalam dan sukar diukur.
Sungguh aneh sekali, Siau-hong tidak mengerti cara bagaimana ketiga makhluk tua ini bisa
muncul di sini. Setelah menghela napas, perlahan Siau-hong merapatkan kembali pintu
27 rahasia itu, lalu berjumpalitan ke bawah undakan batu lagi. Kedua orang yang berdiri kaku di
depan pintu menyaksikan kembalinya Siau-hong. Kini sorot mata mereka seolah-olah
mengandung senyum. Tapi sekali ini Siau-hong seakan-akan tidak melihat mereka dengan
langkah tegap ia lewat ke sana, lalu berseru, "Lekas kalian sediakan arak, arak suguhan tidak
mau, tapi sengaja ingin minum arak paksaan!"
Dengan sendirinya arak enak sudah tersedia di situ, sekaligus Siau-hong menenggak 13
cawan, Pui Giok-hui dan adiknya, Pui Giok-hiang, serta si Jenggot Biru, mereka cuma
menyaksikannya minum sesukanya.
"Memang sudah kami duga kau pasti akan kembali !" ucapan ini tidak dikeluarkan mereka,
memangnya juga tidak perlu diucapkan.
Kembali Siau-hong menghabiskan tiga cawan lagi, lalu berhenti dan berkata, "Cukup tidak?"
"Apa arak paksa memang lebih sedap daripada arak suguhan?" tanya si Jenggot Biru dengan
tertawa. "Asalkan arak tanpa bayar pasti sedap'" ujar Siau-hong "Haha, jika begitu, akan kusuguh 16
cawan lagi padamu!" seru si Jenggot Biru.
"Jadi!" seru Siau-hong
Dia benar-benar menghabiskan lagi 16 cawan, habis itu baru berduduk di alas kursi, dengan
terbelalak dipandangnya si Jenggot Biru, tiba-tiba ia bertanya, "Benar benar kau takut kepada
Giok Lo-sat dari benua barat?"
"Benar," jawab si Jenggot Biru.
"Tapi kau berani membunuh putranya. Giok Thian-po" tanya Siau-hong pula.
"Aku tidak punya keberanian sebesar itu." jawab si Jenggot Biru, "Dia bukan mati di
tanganku''"
"Apakah betul bukan?" Siau-hong menegas.
Si Jenggot Biru menggeleng, "Betul-betul bukan. Tapi kutahu siapa pembunuhnya, asalkan
dapat kau temukan Lo-sat-pai bagiku, pasti dapat kutemukan si pembunuh itu bagimu untuk
diserahkan kepada Swe-han-sam-yu!"
"Swe-han-sam-yu" Maksudmu tiga sekawan kakek yang tinggal di Thian-liong-tong di
puncak pegunungan Kun-lun itu?"
"Sedikitnya sudah 20 tahun mereka mengasingkan diri di sana, tak tersangka kau pun tahu
akan mereka"
Siau-hong menghela napas. "Aku pun tidak menyangka mereka belum lagi mati."
"Mungkin lebih tak tersangka olehmu bahwa sekarang mereka telah menjadi Hou-hoat-tianglo
(tetua pembela agama) Ma-kau yang diketuai Giok Lo-sat dan barat itu."
"Wah. dia dapat menaklukkan ketiga makhluk tua aneh ini, tampaknya kepandaiannya
memang tidak kecil" ujar Siau-hong.
"Untung aku pun ada akal yang dapat digunakan melayani dia."
"Akal apa?" tanya Siau-hong
"Lebih dulu menemukan kembali Lo-sat-pai dan mengembalikan dan serahkan padanya,
kemudian aku akan menyingkir sejauh-jauhnya dan takkan merecoki dia selamanya."
"Tampaknya cara inilah satu-satunya jalan keluar."
"Ya, sebab itulah mumpung hawa belum terlalu dingin, lekas kau berangkat ke Rahasu sana."
"Kau yakin Li He pasti berada di sana?"
"Darimana kau tahu?"
"Dengan sendirinya ada caraku untuk mengetahuinya."
"Setiba di sana, pasti juga dapat kutemukan dia?"
"Asalkan kau mau pergi ke sana, seumpama tidak dapat menemukan dia tentu juga ada orang
yang siap membawamu untuk mencarinya."
"Orang siapa?"
"Setibamu di sana, tentu ada orang akan mengadakan kontak denganmu."
28 "Siapa?"
"Pergilah dan akan kau ketahui nanti."
"Ketiga makhluk tua aneh itu menyumbat jalan keluar di atas, cara bagaimana dapat
kukeluar?"
Si Jenggot Biru tertawa, "Liang kelinci ada tiga lubang, dengan sendirinya tempat ini juga
tidak melulu sebuah jalan tembus saja."
Ia membalik badan dan menarik pintu di balik dinding yang tertutup, segera tertampak pula
sebuah pintu rahasia.
Siau-hong tidak bicara lagi, ia berbangkit terus pergi. "Kau pun tidak perlu khawatir akan
dikejar mereka, sebab bila mereka mengetahui kau pergi untuk mencari Lo-sat-pai, tidak nanti
dia mengganggu seujung rambutmu."
Sebelum melangkah keluar pintu rahasia itu Siau-hong sempat menoleh dan berkata pula,
"Ada sesuatu ingin kutanyakan padamu."
Si Jenggot Biru mengangguk dan mendengarkan. "Giok Thian-po adalah putra Giok Lo-sat
dari barat, tentunya dia bukan orang yang terlalu bodoh." Kembali si Jenggot Biru
mengangguk. "Lantas siapakah yang memenangkan ke-50 laksa tahil peraknya?"
"Aku," tukas Pui Giok-hiang. Siau-hong tertawa.
'Tapi sayang, didapatnya gampang, hilangnya juga mudah" tidak sampai dua hari. ke-50 tahil
perak itu telah diludeskannya pula di atas meja."
"Dia kalah kepada siapa?" tanya Siau-hong.
"Aku," sambung si Jenggot Biru.
Liok Siau-hong terbahak-bahak, "Hahaha, ini namanya setali tiga uang, setan judi mendapat
jodoh setan judi. kutu busuk juga mendapat kutu busuk."
Sambil tertawa ia terus melangkah keluar, di luar masih ada sebuah pintu, ia coba
mengetuknya, terdengar suara nyaring, "ting-ting", memang betul terbuat dan pelat besi.
Setelah melalui sebuah lorong dan mendaki undakan batu, terlihatlah bintang bertaburan di
langit. Cahaya bintang gemerlapan. jelas malam sudah sangat larut.
Bab 4 ... Angin mendesir, tiba-tiba Siau-hong merasa dingin, sebab tiba-tiba teringat olehnya harus
segera menempuh perjalanan jauh, teringat kepada sungai Siong-hoa yang hampir sepanjang
tahun selalu membeku dan teringat kepada kota Rahasu yang penuh es itu.
Semua orang tahu Liok Siau-hong adalah seorang petualang. Bertualang juga semacam
penyakit, serupa penyakit kanker, tidaklah mudah untuk menyembuhkannya, ingin punya
penyakit ini juga sama sulitnya.
Sebab itulah siapa pun tidak nanti berubah menjadi seorang petualang hanya dalam semalam
saja. bilamana ada seorang berubah menjadi petualang secara mendadak, maka pastilah
disebabkan oleh sesuatu alasan yang sungai khas.
Konon pada waktu Siau-hong berumur 17, dia pernah mengalami sesuatu peristiwa berduka
yang hampir membuatnya terjun ke sungai. Dia tidak jadi bunuh diri dengan terjun ke sungai,
sebab dia telah berubah menjadi petualang.
Petualang selamanya tidak akan terjun ke sungai. Kaum petualang biasanya tidak suka
memperlakukan diri sendiri dengan sadis, sebab satu-satunya orang di dunia yang mau
menjaga diri mereka ialah diri mereka sendiri.
Dan Liok Siau-hong selamanya sangat baik menjaga diri sendiri, bila tersedia kereta, tidak
nanti dia berjalan kaki. Kalau ada hotel mewah dengan sewa tiga tahil perak semalam, tidak
nanti dia tinggal di hotel kelas kambing.
"Sekarang juga dia berada di sebuah hotel, namanya Thian hok-keh-can. Hotel Rejeki.
beberapa kamar utama hotel terkenal ini memang sewanya tigatahil perak semalam.
29 Semua tamu yang pernah bermalam di Thian-hok-keh-can sama mengakui sewa tiga jahil
perak semalam tidaklah mahal.
Tempat tidurnya yang longgar dan lunak, seprainya yang resik, bantalnya yang empuk,
tersedia pula air mandi panas yang dapat diminta setiap waktu.
Siau-hong sedang berbaring di tempat tidurnya, dia baru saja habis mandi air panas dan
bersantap malam yang lezat, ditambah habis minum dua kati arak Tiok-yap-jing yang
terkenal. Dalam keadaan begini, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah
memejamkan mala dan tidur senyenyaknya.
Dia memang sudah memejamkan mata. tapi justru sukar terpulas. Maklum, ada banyak urusan
harus dipikirkannya. Persoalan yang sekarang rasanya seperti ada beberapa lubang
kelemahan, tapi dimana letak titik kelemahan itu justru sukar dipecahkannya.
Apabila dia memejamkan mata, segera terbayang orang perempuan. Yang seorang memakai
baju tipis berwarna hijau apel, mukanya sama sekali tidak berbedak, sikapnya senantiasa
dingin, serupa sebuah gunung es.
Seorang lagi seperti cahaya matahari di musim semi, hangat, genit, menggiurkan Iebih-lebih
kedua matanya, bilamana dia sedang memandangmu rasanya sekaligus sukmamu akan
terbetot. Sukma Liok Siau-hong belum lagi terbetot, sebab pada hakikatnya si dia belum pernah
memandang sekejap pun secara benar terhadap Liok Siau-hong. Akan tetapi Liok Siau-hong
justru selalu memandangi si dia, bahkan selama dua hari terakhir ini. hampir setiap saat, setiap
waktu, senantiasa dapat melihatnya.
Maklumlah, perempuan itu diketahui senantiasa mengintil di belakang Liok Siau-hong,
seakan-akan terikat oleh seulas tali yang tidak kelihatan.
Liok Siau-hong sudah sering menguntit orang, sebaliknya juga sering dibuntuti orang. Cuma
pada saat yang sama sekaligus ada tiga kelompok orang menguntit jejaknya, untuk ini baru
pertama kali dialaminya sekarang.
Tiga kelompok tidak berarti tiga orang.
Anak perempuan yang kelihatan hangat itu hanya satu di antaranya, dan dia merupakan satu
kelompok yang cuma terdiri dari dia sendiri.
Kelompok kedua ada lima orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada orang tua, ada anak
muda., semuanya menunggang kuda tinggi besar dengan persenjataan lengkap, semuanya
melotot dan mendelik, tampaknya mereka tidak khawatir diketahui oleh Liok Siau-hong.
Tapi Siau-hong justru berlagak tidak tahu.
Kelompok ketiga adalah tiga orang cendekia yang berdandan seperti guru, menunggang
kereta besar, ada kacung yang meladeni dengan macam-macam perbekalan, serupa orang
yang sengaja keluar untuk pesiar.
Tapi Siau-hong tahu mereka bukan kaum pelancongan, sekali pandang ia lantas kenal mereka,
betapapun mereka menyamar pasti dapat dikenali Siau-hong. Sebab meski mereka dapat
mengubah dandanannya, tapi sukar mengubah air muka mereka yang selalu dingin dan
angkuh itu. Ketiga guru tua ini dengan sendirinya adalah ketiga Hou-hoat-tianglo dari Makau, yaitu Swehan-
sam-yu. Tiga sekawan orang tua yang tinggal di Thian-Iiong-long di puncak pegunungan
Kun-lun. Siau-hong tidak ingin menghindari mereka, mereka juga cuma menguntit dari jauh dan tidak
menyusulnya. Sebab si Jenggot Biru sudah memberitahukan kepada mereka bahwa satu-satunya orang di
dunia ini yang dapat menemukan kembali Lo-sat-pai bagi mereka, maka orang ini ialah Liok
Siau-hong. Kalau Liok Siau-hong bermalam di Thian-hok-keh-can, apakah ketiga kelompok pengintil itu
juga tinggal di hotel yang sama ini" Sesungguhnya apa kehendak mereka terhadap Siau-hong"
30 Siau-hong merasa kesal, ia tidak takut orang lain mencari perkara padanya, cuma rasanya
tidak enak bilamana harus menunggu orang lain datang mencari gara-gara padanya.
Pada saat dia lagi kesal itulah, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu.
Hah, ini dia! Akhirnya datang juga. Kelompok mana yang datang dan apa yang hendak
dilakukannya"
Siau-hong terus berbaring dengan lebih lurus di tempat tidurnya, tidak bergerak, bahkan tanpa
bertanya terus berseru, "Masuk!"
Waktu pintu terdorong, yang masuk ternyata pelayan yang membawakan poci air minum.
Meski Siau-hong menghela napas lega, tapi juga merasa sangat kecewa. Dia bukan cuma
tidak takut orang lain mencari perkara padanya, terkadang dia malah berharap orang lain lekas
datang mencari gara-gara padanya.
Meski pelayan kelihatan dalang membawakan air minum, tapi gerak-geriknya tampak
mencurigakan, sembari menaruh poci teh di atas meja, ia coba memancing bicara, "Sungguh
dingin hawa hari ini, seperti di akhir tahun saja."
Liok Siau-hong tidak menanggapi, ia memandangnya, ia tahu kata-kata si pelayan pasti masih
bersambung. Benar juga, si pelayan lantas berkata pula, "Hawa sedingin ini. kalau tidur sendirian sungguh
kurang sip!"
"Apakah maksudmu hendak mencarikan seorang perempuan untuk teman tidurku?" ucap
Siau-hong dengan tertawa.
Si pelayan juga tertawa, "Apakah tuan tamu ingin mencari teman tidur?"
"Sudah tentu aku perlu teman tidur, tapi harus kulihat bagaimana bentuknya?" kata Siauhong.
Sambil memicingkan mata si pelayan bertutur, "Wah. kalau perempuan lain tidak berani
kukatakan, tapi perempuan yang ini, ku jamin tuan tamu pasti puast sebab...."
"Sebab apa?" potong Siau-hong.
Si pelayan tertawa pula, tertawa yang misterius, kemudian menyambung dengan suara
tertahan. "Perempuan ini bukan barang lokal, tapi pendatang. Mestinya juga tidak bekerja di
bidang ini pula, kecuali kepada tuan tamu saja. Tampaknya dia tidak mau menerima tamu
yang lain."
"Memangnya dia yang minta kau bicara denganku?" tanya Siau-hong.
Ternyata si pelayan lantas mengangguk.
Seketika mata Siau-hong terbeliak, bayangan si cantik yang hangat itu seakan-akan terbayang
pula di depan mata.
Bab 5 ... Dugaannya memang tidak salah. Nona yang dibawa datang oleh pelayan memang betul si dia.
"Inilah nona Ting, Ting-hiang-ih. dan inilah Liok-kongcu, silakan kalian bersahabat," ucap si
pelayan dengan senyuman penuh arti. Lalu dia mengeluyur keluar sambil merapatkan pintu
kamar. Ting-hiang-ih atau nona Bunga Cengkeh berdiri dengan menunduk dan sedang memainkan
ujung bajunya dengan tangannya yang putih halus, diam saja dengan malu-malu kucing.
Siau-hong juga tidak bersuara, ia ingin tahu sesungguhnya sandiwara apa yang akan
dimainkan perempuan muda ini Dan harapannya ternyata lantas terpenuhi dengan cepat.
Di bawah cahaya lampu yang cukup terang itu, tanpa bicara si cantik terus menarik tali ikat
pinggang dengan dua jarinya.
Sekali tarik dengan perlahan, tali lantai terlepas dan bajunya pun terbuka. Kontan dada yang
putih halus dan dua puting yang kecil kemerah-merahan seketika terpampang di depan mata
Liok Siau-hong.
31 Busyet!!!! Siau-hong terkejut. Sungguh tak terduga olehnya bahwa baju si dia hanya diikat dengan
seutas tali kain saja, lebih-lebih tak terduga olehnya bahwa di balik bajunya sama sekali tidak
terdapat lagi sehelai benang pun.
Menanggalkan baju semacam ini sungguh jauh lebih mudah daripada membuka kain popok
anak bayi. Gayanya yang malu-malu kucing tadi kini mendadak berubah menjadi seperti orok yang baru
lahir, kecuali kulit badan sendiri, hampir tiada terdapat sesuatu apa pun di atas badannya.
"Apakah urusan lain juga kau lakukan secara cepat dan tegas begini?" kata Siau-hong dengan
gegetun. Ting-hiang-ih menggeleng. "Tidak, pada waktu main kucing-kucingan, aku suka berputar
kayun." Dia tersenyum, ia pandang Siau-hong dengan sorot matanya yang bening dan bersih.
'Tapi kan bukan maksudmu mendatangkan diriku untuk bermain kucing-kucingan
denganmu?"
"Ya, bukan," jawab Siau-hong.
"Jika kau tahu untuk apa kudatang kemari, aku pun tahu apa kehendakmu, lalu untuk apa kita
mesti berputar-putar dan main kucing-kucingan?"' ujar Ting-hiang-ih dengan suara lembut.
Senyumnya bertambah menggiurkan, makin memikat, namun bagian tubuhnya yang paling
memikat jelas bukan senyumnya melainkan bagian tempat yang seharusnya tidak boleh
dipandang kaum lelaki, tapi justru ingin dipandangnya.
Dan Liok Siau-hong adalah seorang lelaki. Tiba-tiba ia merasa denyut jantung sendiri
bertambah keras, napas pun tambah memburu, mulut terasa kering.
Agaknya Ting-hiang-ih dapat melihat semua perubahan pada diri Siau-hong ini dan dengan
sendirinya juga perubahan lain yang lebih gawat lagi.


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan ia mendekat, dengan cepat mendadak ia menyusup ke dalam selimut Siau-hong, cara
memberosotnya ke dalam selimut sungguh serupa seekor ikan yang meluncur ke dalam air.
Gesit, licin, dan wajar.
Namun tubuh si dia tidak serupa ikan. Ikan macam apa pun tidak nanti selicin, sehalus, dan
sehangat tubuhnya,
Siau-hong menghela napas. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Setiap saat bila dia merasa
dirinya sukar menahan sesuatu yang memikat, lebih dulu dia suka memaki dirinya sendiri.
Habis itu dia siap menerima hal yang memikat itu.
Tangannya sudah mulai beraksi
"'Serr ... serr ... serr ... " mendadak berbagai macam senjata rahasia menyambar masuk melalui
jendela, ada pisau, ada panah, ada piau, semuanya menyambar ke tubuh mereka dengan cepat
lagi keras. Air muka Ting hiang-ih berubah pucat, segera ia hendak menjerit.
Tapi sebelum dia bersuara, berbagai macam senjata rahasia itu sama patah menjadi dua.
Karena tidak sempat menjerit, mulut Ting-hiang-ih jadi menganga kesima. Mendadak
terdengar pula suara "blang" yang keras, pintu kamar didobrak orang, ada seorang menerjang
masuk dengan golok terhunus.
Orang ini berpakaian ringkas dan bersikap buas, gerakannya juga sangat tangkas, jelas
seorang jagoan yang tidak lemah.
Siapa tahu, baru saja orang itu menerjang masuk, sekonyong-konyong melompat balik lagi
keluar, serupa ada sebuah tangan yang tidak kelihatan mendadak menarik kuduknya.
Menyusul terdengar "blang" pula. Daun jendela juga didobrak orang, seorang meraung dan
menerjang masuk dengan memutar sepasang golok, tapi sambil meraung pula ia terus
melayang keluar jendela di sebelah lain, lalu "bruk", terbanting keras di lantrai batu di luar.
Ting-hiang-ih sampai melenggong, sungguh tak diketahuinya sesungguhnya apa yang terjadi.
32 Pada saat itu juga, kembali seorang menerjang masuk, langsung menyerbu ke tempat tidur,
goloknya yang tebal terangkat tinggi, sambil mendelik pada Liok Siau-hong dia berteriak,
"'Aku mampuskan kau."
Hanya sekian kata saja yang sempat diucapkan, belum lagi goloknya dibacokkan, dia sendiri
malah roboh lebih dulu. Badannya berkerut, mukanya tampak hitam, seperti kesurupan setan,
mendadak ia melonjak-lonjak keluar.
Terjadi hujan senjata rahasia di dalam kamar, beberapa lelaki menerjang masuk keluar, semua
itu seolah-olah tidak dilihat Liok Siau-hong. Ia masih berbaring adem ayem di tempat tidur
tanpa bergerak sedikit pun.
Angin meniup, daun pintu yang didobrak terpentang tadi telah merapat kembali sendiri, daun
jendela yang terbuka juga tertutup lagi.
Liok Siau-hong tetap tenang saja, seperti sudah tahu persis biarpun langit akan ambruk juga
ada orang yang akan menyanggah baginya.
Ting-hiang-ih memandangnya dengan terkesiap, perlahan ia menjulurkan tangannya untuk
meraba dahi Siau-hong, lalu meraba pula jantungnya.
Siau-hong tertawa, "Aku tidak sampai mati ketakutan!"
"Apakah kau pun waras?" tanya Ting-hiang ih.
"Waras, tidak ada penyakit apa pun!" jawab Siau-hong.
Ting-hiang-ih menghela napas, "Ai, jika begitu leluhurmu tentu banyak berbuat hal-hal yang
mulia, makanya segala mara bahaya yang menimpamu segera sirna dan berubah menjadi
selamat. Kemana pun kau pergi selalu dilindungi setan dan malaikat!"
"Memang betul, sembilan langit sepuluh bumi, para jin dan malaikat selalu melindungi diriku
secara diam-diam," kata Siau-hong.
"Jika benar malaikat selalu melindungimu, maka aku pun tidak perlu takut lagi, marilah kita
...." dan tangan Ting-hiang-ih pun mulai beraksi.
"He, setelah kejadian tadi. masakah, masih ada hasratmu untuk ..." Siau-hong memandangnya
dengan tercengang.
Tapi Ting-hiang-ih hanya tersenyum genit, dia menjawabnya dengan gerakan nyata.
Pada saat itulah lampu mendadak padam, keadaan menjadi gelap gulita.
Di dalam kamar yang gelap gulita, segala apa tentu dapat terjadi.
Siau-hong bukan nabi, juga si dia. Maka apa yang mereka lakukan tidak perlu dijelaskan lagi.
Pada waktu Siau-hong mendusin, dirasakannya di atas bantal masih ada sisa bau harum,
namun si dia sudah tidak kelihatan lagi.
Siau-hong terbelalak memandang langit-langit kamar dengan kesima, sampai sekian lamanya
barulah ia bergumam, "Dia menguntitku sepanjang jalan, memangnya cuma ingin?""
Dia tidak mau memikirkannya lagi, sudah sejak lama ia telah bersumpah takkan sok anggap
dirinya paling romantis, paling disukai orang perempuan.
Sementara itu sang surya sudah terbit, cuaca cerah. Dalam keadaan cuaca cerah biasanya hati
Siau-hong juga sangat riang. Akan tetapi begitu dia membuka daun jendela, segera dilihatnya
lima hal yang membuatnya tidak gembira. Sebab yang dilihatnya adalah lima buah peti mati.
Lima buah peti mati digotong oleh sepuluh orang, melintasi halaman di luar terus menuju
keluar hotel. Yang berbaring di dalam peti mati tentunya kelima orang lelaki yang menunggang kuda tinggi
besar dan ikut menguntit di belakangnya itu.
Sesungguhnya siapakah mereka" Mengapa mereka membuntuti dia dan ingin membunuhnya"
Semua ini tidak dimengerti oleh Liok Siau-hong.
Ia cuma tahu kelima orang ini pasti mati di tangan ketiga 'Pak guru' yang tampak berdiri di
serambi seberang sana.
Ia pun tahu sesungguhnya yang dibelanya bukanlah dia. Hanya saja dia diperlukan mencari
kembali batu kemala mestika milik Makau itu.
33 "Jika ada orang di dunia ini yang dapat menemukan kembali Lo-sat-pai itu bagi kalian, maka
orang itu ialah Liok Siau-hong!" demikian pernah si Jenggot Biru berkata kepada mereka.
Ketiga 'Pak guru' yang berdiri di seberang sana juga sedang mengawasi dia. Semuanya
memandangnya dengan sinar mata yang tajam seakan-akan sedang memperingatkan Liok
Siau-hong, "Apabila Lo-sat-pai tidak dapat kau temukan kembali, setiap saat juga kami dapat
membinasakan dirimu f"
Siau-hong merapatkan jendelanya, habis itu baru diketahuinya senjata rahasia yang rontok di
lantai kamar semalam sudah menghilang, yang terletak di situ hanya beberapa biji batu kerikil
saja. Dalam pada itu Ting-hiang-ih muncul lagi. Dia datang dengan membawa semangkuk kuah
yang masih mengepulkan asap panas. Melihat Liok Siau-hong seketika wajahnya
menampilkan senyuman manis, ucapnya dengan suara lembut, "Sudah kuduga engkau pasti
telah mendusin, maka sengaja kuolah semangkuk kuah ayam. Lekas kau minum mumpung
masih panas."
Siau-hong tidak memberi reaksi apa-apa.
Sampai sekian lamanya Ting-hiang-ih menatapnya, katanya pula dengan tertawa,
"Tampaknya engkau terkejut melihat diriku, apakah kau anggap seharusnya aku sudah pergi
dari sini?"
Siau-hong tidak menyangkal.
Ting-hiang-ih lantas berduduk, senyumnya tambah manis, ditatapnya Siau-hong, katanya,
"Akan tetapi aku tidak ingin pergi, lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
Senyumnya tampak sangat aneh, sangat misterius.
Tiba-tiba Siau-hong teringat pada sementara urusan yang kalau sudah selesai diharuskan
membayar. Dalam hal yang sama, setelah selesai tugas si perempuan juga berhak menunggu
pembayaran dari orang lain.
Sudah dua hari Ting-hiang-ih menguntit Siau-hong. bisa jadi lantaran sebelumnya sudah
diketahuinya tangan Siau-hong sangat terbuka, berani bayar banyak, maka dia sengaja hendak
'menggorok' sakunya.
Diam-diam Siau-hong bersyukur dirinya tidak lagi sok mengira si dia tergila gila padanya,
merasa puas atas jalan pikiran sendiri yang telah bertambah malang.
Seorang kalau merasa puas terhadap dirinya sendiri, biasanya akan lebih bermurah hati
kepada orang lain, apalagi Liok Siau-hong memang bukan seorang yang pelit.
Dia merasa dalam sakunya masih ada beberapa lembar Gin-bio yang terdiri dari ribuan tahil
perak, waktu ia merabanya baru diketahuinya cuma tinggal dua lembar saja. Tapi dilolosnya
juga sehelai dan disodorkan kepada Ting-hiang-ih.
Si nona memandang Ginbio itu sekejap, dipandangnya pula Liok Siau-hong, lalu bertanya.
"Kau berikan padaku?"
Siau-hong mengangguk, dan Ting-hiang-ih tertawa, tertawa yang aneh.
"Memangnya kurang banyak?" Siau-hong merasa sangsi, segera dikeluarkan pula sehelai
Ginbio yang lain.
Kedua lembar Ginbio ini merupakan seluruh kekayaannya sekarang, bila dihabiskan, lalu
bagaimana selanjutnya, hakikatnya tidak sempat diperkirakannya.
Kembali Ting-hiang-ih memandang Ginbio baru ini dan memandang Siau-hong pula,
mendadak ia pun mengeluarkan segebung Ginbio, nilai nominal setiap lembarnya rata-rata
juga seribu tahil perak, sedikitnya ada 40 atau 50 lembar.
"Maksudmu hendak kau berikan padaku?" tanya Siau-hong.
"Ya, untukmu semuanya!" kata si nona.
Siau-hong jadi melengak, mimik mukanya serupa orang yang lagi menguap ngantuk dan
mendadak sebuah apel jatuh dari udara dan masuk ke mulutnya.
34 Selama hidupnya entah betapa banyak kejadian berbahaya dan misterius yang dialaminya,
tapi belum penuh terkejut seperti sekarang ini.
Tiba-tiba Ting-hiang-ih bertanya, "Eh apakah kau tahu arti istilah 'makan nasi lunak?" Siauhong
menggeleng. "Perempuan yang mencari uang dengan cara demikian biasanya disebut sundel!"
"Dan lelaki yang mencari uang dengar cara ini disebut 'makan nasi lunak', begitu bukan?"'
tukas Siau-hong.
"Hah. memang kutahu engkau ini orang pintar, diberitahu satu segera mengerti dua," ujar
Ting-hiang-ih dengan tertawa.
"Muka Siau-hong ternyata bisa merah juga, merah jengah, dan setengah menyengir seperti
monyet makan terasi.
Ting-hiang-ih memandangnya dengan tertawa, "Meski wajahku tidak cantik, tapi tidak pernah
kutombaki anak muda cakap yang meniduri diriku."
Muka Siau-hong bertambah merah, nyengirnya bertambah lebar.
"Apalagi, biarpun kau pandang diriku sebagai pelacur, kutahu engkau pasti bukan lelaki yang
suka 'makan nasi lunak'.
Siau-hong menghela napas, dalam hati seperti sangat berterima kasih.
'"Kelima laksa tahil perak ini bukan pemberianku sendiri," kata si nona pula.
"Habis siapa yang memberinya padaku?" tanya Siau-hong cepat.
"Piauciku!" jawab Ting-hiang-ih,
Heran sekali Siau-hong. ia merasa tidak kenal Piauci atau kakak misan si nona, mengapa
orang memberi sejumlah uang itu kepadanya.
"Siapa Piaucimu?" tanya Siau-hong.
"Piauciku ialah bininya si Jenggot Biru, adik perempuan Pui Giok-hui!"
"Pui Giok-hiang maksudmu?" Siau-hong menegas. "Ya, dia mempunyai suatu nama lain,
yakni Hiang-hiang!" si nona menambahkan dengan tertawa. Siau-hong jadi melenggong,
"Piauci tahu hidupmu sangat royal, dia khawatir engkau kehabisan sangu di tengah jalan,
khawatir pula tidurmu kurang nyenyak, maka ... maka ....." dia menggigil bibir dan melirik
Siau-hong. Sekejap, lalu menyambung, "maka dia menyuruh kutemani dirimu"
Tiba-tiba Siau-hong mendengus, "Hm, apa tidak lebih tepat dikatakan dia menyuruhmu
mengawasi diriku?"
Ting-hiang-ih menghela napas, ucapnya, "Memang sudah kuduga engkau pasti akan salah
paham padanya, meski lahirnya Piauci kelihatan dingin, padahal dia sebenarnya seorang yang
simpatik, lebih-lebih terhadapmu..."
"Bagaimana terhadapku?" potong Siau-hong.
Kembali Ting-hiang-ih tertawa, sangat misterius tertawanya, "Kalian pernah berduaan
setengah malaman di dalam sebuah kereta yang gelap, cara bagaimana dia terhadapmu tentu
kau tahu sendiri, masakah perlu tanya padaku?"
Masam muka Siau-hong dan tertawa dingin, tapi entah mengapa, dalam hati terasa manis
juga, terasa senang.
Rasa manis demikian biasanya sudah cukup membuat lelaki rela memasukkan lehernya ke
jiratan yang dipasang orang. Sebab itulah pada waktu Siau-hong meninggalkan Thian-hokkeh-
can, pada sakunya juga telah bertambah dengan lima helai Ginbio ribuan tahil perak.
Penguntit di belakangnya sebaliknya berkurang enam orang. Yang lima sudah masuk peti
mati, yang satu masuk ke dalam pelukannya.
Meski kedua hal ini bukan hasil perbuatannya yang sengaja, tapi ia pun tidak berdaya untuk
menghindarinya. Serupa kebanyakan orang di dunia ini, urusan yang sekiranya
menguntungkannya, biasanya dia tidak suka berusaha menghindarinya. Apalagi setelah SiauRumah
Judi Pancing Perak > Gan K.L. > 35
hong mengetahui sembilan orang penguntitnya kini tinggal tiga orang saja, dengan sendirinya
perasaannya terasa sangat lega.
Bab 6 ... Cuma saja, rasa lega demikian tidak bertahan lama. Pada esok paginya, diketahuinya orang
yang menguntitnya dari tiga orang telah berubah lagi menjadi sepuluh orang.
Agar malamnya bisa tidur nyenyak, sedapatlah Siau-hong tidak menoleh, sebisanya ia
berlagak tidak tahu.
Sebaliknya Ting-hiang-ih justru terus menerus berpaling dan mengintip ke belakang melalui
jendela kecil di belakang kereta.
"Akhirnya ia tidak lahan dan bertanya. "Orang-orang di belakang itu kembali hendak
membuntuti jejakmu?" Dengan ogah-ogahan Siau-hong mengangguk.
"Agaknyu sejak kemarin malam mereka mulai mengintai dirimu."
"Oo?" heran juga Siau-hong.
"Apakah kau tahu siapakah mereka?"
"Tidak!" Siau-hong memang benar tidak tahu.
Ting-hiang-ih lantas menutup jendela kecil itu dan menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan
Siau-hong, tubuhnya yang hangat menempel rapat di dada Liok Siau-hong yang bidang, tapi
kedua tangannya terasa sedingin es.
''Aku takut!" desis si nona sambil merangkul Siau-hong erat-erat.
"Takut apa?" tanya Siau-hong.
"Di antara ketujuh orang penguntit itu ada seorang yang 'kurang separoh' bentuknya sangat
menakutkan!"
"Apa artinya 'kurang separoh'"''
Ternyata yang dimaksudkan 'kurang separoh' adalah mata buta sebelah, telinga hilang satu,
tangan kiri juga buntung dan kaki kiri diganti dengan kaki palsu dari kayu, yang hilang itu
semuanya sebelah kiri.
"Tapi yang paling menakutkan justru separoh bagian yang tidak berkurang itu," kata Tinghiang-
ih pula. Ternyata mata kanan, hidung dan mulut orang itu, semuanya merot, miring, berubah bentuk.
Tanpa sadar Ting-hiang-ih menggenggam tangan Siau-hong erat-erat, ucapnya, "Orang ini
tampaknya serupa boneka kain yang mengerut terkena air, lalu disobek orang separoh bagian
kirinya." "Boneka kain?" Siau-hong merasa bingung.
"Usianya belum begitu lanjut, perawakannya juga kecil, mukanya semula tentu bundar serupa
boneka, tapi sekarang....."
Ting-hiang-ih tidak melanjutkan, dilihatnya sinar mata Siau-hong memancarkan rasa mual,
maka cepat ia berganti nada dan bertanya, "Apakah kau tahu siapa dia?"
Siau-hong hanya menggeleng saja. Dia seperti tidak suka membicarakan orang ini, serupa dia
tidak suka menginjak seekor ular berbisa.
Akan tetapi Ting-hiang-ih justru bertanya lagi, "Namun kau pasti tahu siapa dia bukan?"
Ada sementara orang perempuan memang suka bertanya dan bertanya lagi, apabila dia ingin
tahu sesuatu dan tidak kau beritahukan padanya, bisa jadi dia akan bertanya tiga hari tiga
malam terus menerus tanpa bosan.
Akhirnya Siau-hong menghela napas dan berkata, "Semula orang ini bernama Im-yangtongcu
(si anak Im dan Yang, maksudnya banci), setelah bertemu dengan Sukong Ti-sing, lalu
berganti nama."
"Berganti nama apa?" tanya pula Ting-hiang-ih.
"Im-tong-cu!" tutur Siau-hong.
36 Ting-hiang-ih tertawa, "Semula dia bernama Im-yang-tongcu, tentu lantaran dia memang
seorang banci!"
"Ehmm," Siau-hong bersuara singkat.
"Akan tetapi Sukong Ti-sing telah memusnahkan separo badannya yang lelaki, maka dia
terpaksa berganti nama menjadi Im-tong-cu!" kata Ting-hiang-ih lebih lanjut.
"Ehmm," Siau-hong mengangguk.
"Mengapa Sukong Ti-sing tidak membunuhnya saja sekalian?"
"Sebab biasanya Sukong Ti-sing sangat jarang membunuh orang!"
"Apakah juga disebabkan Sukong Ti-sing menganggap separuh tubuhnya yang perempuan itu
tidak berbuat kejahatan apa-apa?" tanya pula Ting-hiang-ih.
Kembali Siau-hong hanya bersuara "ehmm" saja.
Tiba-tiba Ting-hiang-ih berkata, "Sungguh aku ingin mencari seorang banci, ingin kulihat
sebenarnya bagaimana bentuk kelainan tubuh mereka"1'
"Ada juga sesuatu yang aku tidak mengerti!" kata Siau-hong.
"Hal apa?"
"Mengapa mukamu tidak pernah merah bilamana membicarakan hal-hal demikian."
oooOOOooo Sekarang muka Ting-hiang-ih kelihatan sangat merah, bukan lantaran dia merasa malu, tapi
karena dia baru habis mandi air panas.
Hotel ini bernama Kiat-siang-keh-can atau hotel Selamat. Sewa kamarnya juga tiga tahil
perak semalam dengan servis air mandi panas tersedia siang dan malam.
Dengan sebelah tangan memegang gelung rambut dan tangan lain memegang handuk, Tinghiang-
ih keluar dari kamar mandi, dengan pantatnya yang padat ia mendorong pintu kamar,
serunya sambil tertawa ngikik. "Ai, kamar di sini terlalu mahal, tamu sangat sedikit, di luar


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ada seorang pun. seharusnya kau mandi bersamaku."
Siau-hong tidak menghiraukan, sebab ia sedang tekun mempelajari sebuah peti kayu cendana.
Peti ini terletak di atas meja di depannya, terukir dengan sangat indah, bagian ujung peti
dilapisi emas, serupa jenis peti yang biasanya digunakan menyimpan barang berharga di
keluarga hartawan.
Ketika Ting-hiang-ih membalik tubuh dan melihat peti itu, ia lantas bertanya, "Darimana
datangnya peti ini?"
"Pelayan yang mengantarnya kemari," tutur Siau-hong.
"Siapa yang menyuruhnya?"
"Entah!"
"Apa isi peti ini?" Siau-hong juga tidak tahu.
Ting-hiang-ih mendekatinya dan berkata pula, "Kenapa tidak kau buka saja, memangnya kau
takut akan menerobos keluar seekor ular berbisa?"
"Kutakut nanti menerobos keluar seorang perempuan serupa dirimu," kata Siau-hong.
Setelah melototi Siau-hong sekejap, dengan tertawa Ting-hiang-ih berucap pula. "Aku justru
berharap akan menerobos keluar seorang lelaki, sebaiknya semacam dirimu!"
Tanpa disuruh ia lantas membuka peti itu, tapi wajahnya yang tertawa seketika membeku, ia
melongo kaget. Isi peti ternyata ada ratusan biji gigi putih dan lima utas ikat pinggang hitam, ikat pinggang
yang berlepotan darah.
Gigi Ting-hiang-ih gemertuk, setelah menggigil barulah ia dapat bersuara, "Ini ... ini gigi
manusia?" Siau-hong mengangguk, air mukanya juga kelihatan rada pucat.
"Lalu apa artinya pula kelima utas ikat pinggang hitam ini?"
37 "Tidak tahu," sahut Siau-hong.
'Tampaknya segala apa kau bilang tidak tahu." omel Ting-hiang-ih.
"Aku cuma tahu sesuatu," ujar Siau-hong.
"Coba katakan!"
"Urusan orang lelaki sebaiknya orang perempuan jangan ikut campur, juga jangan bertanya."
Sekali ini Ting-hiang-ih ternyata sangat penurut benar-benar berduduk dan tutup mulut.
Hal ini disebabkan dia lemas ketakutan, setelah tenaga agak pulih, segera ia bersuara pula.
"Ketujuh orang yang menguntit dirimu tadi, tampaknya juga mengenakan ikat pinggang
hitam." Siau-hong hanya menarik muka tanpa menjawab. Diam-diam ia pun merasa kagum atas
kecermatan si nona.
Pembawaan orang perempuan memang lebih cermat daripada orang lelaki, terutama jenis
perempuan yang suka mengusut dan bertanya urusan tetek bengek.
"Ketujuh orang penguntit baru ini apakah sekomplotan dengan kelima orang yang terbunuh
semalam itu?" tanya Ting-hiang-ih pula.
Siau-hong memandangnya tanpa menjawab, sejenak kemudian barulah ia berkata, "Jadi
sengaja kau ingin ikut campur urusanku?"
Ting-hiang-ih tersenyum. "Seharusnya kau tahu, sedikitnya kita bukan lagi orang luar!"
Siau-hong berkala pula, "Jika begitu kau mesti melakukan sesuatu bagiku."
"Urusan apa?" tanya Ting-hiang-ih.
"Antarkan peti ini ke seberang sana!"
"Apa katamu?" teriak si nona.
"Kuminta padamu antarkan peti ini ke kamar seberang, sebab pembunuh kelima orang ini
yang sesungguhnya tinggal di sana."
Ting-hiang-ih memandangnya dengan tercengang, air mukanya berubah pucat lagi.
"Jika urusan kecil begini saja tidak berani kau kerjakan, berdasarkan apa kau berani ikut
campur urusan orang lain!" jengek Siau-hong.
Ting-hiang-ih mengertak gigi, setelah menggentakkan kakinya, "blang", ia tutup peti itu dan
diangkatnya terus menerobos keluar tanpa berpaling.
Siau-hong sengaja tidak memandangnya, tiba-tiba ia merasa hati sendiri jauh lebih keras
daripada dahulu, bagi seorang petualang seperti dia, hal ini jelas semacam perbuatan yang
baik. Cuma sayang, hatinya tetap merasa tidak enak.
Betapapun terasa kejam menyuruh seorang anak perempuan membawa sebuah peti yang
berisi gigi orang mati dan diantarkan kepada tiga orang pembunuh.
"Tapi harus kuberitahukan mereka akan persoalan ini," ia coba menghibur diri sendiri. "Harus
kusuruh dia ke sana. mengingat harga diri ketiga makhluk tua aneh itu, tentunya mereka
takkan membikin susah seorang anak perempuan."
Setelah perasaannya agak tenteram, barulah ia mulai memikirkan hal-hal yang seharusnya
dipikirkannya sejak tadi-tadi.
Ia tidak mengerti sesungguhnya ada permusuhan apa antara orang-orang itu dengan dirinya.
Mengapa mereka menguntitnya sejauh ini dan ingin membinasakannya"
Mengapa mereka sama memakai ikat pinggang hitam" Sesungguhnya mereka berasal dari
organisasi atau sindikat apa?"
Tali hitam, ikat pinggang hitam.
Siau-hong menunduk, ia ingin melihat ikat pinggang sendiri berwarna apa" Tapi lebih dulu
terlihat kaos kaki sendiri yang berwarna putih.
Seketika teringat olehnya akan sindikat 'Sepatu Merah' dan 'Jing-ih-lau' atau gedung baju
hijau. Cuma peristiwa yang mendebarkan tempo hari itu bilamana direnungkan lagi rasanya menjadi
tidak seberapa lagi. Kini yang paling menakutkan adalah Hek-tai-cu atau tali hitam.
38 Jika orang semacam Im-tong-cu juga menjadi anggota komplotan ini, maka dapat
dibayangkan sindikat mereka ini pasti sangat rahasia, ketat dan menakutkan.
Selagi Siau-hong berusaha merenungkan apa yang masih teringat olehnya untuk menemukan
asal-usul sindikat tali hitam ini, dilihatnya Ting-hiang-ih telah kembali, kembali dengan
bertangan kosong.
"Sudah kau antar ke sana peti tadi?" tanya Siau-hong.
"Ehmm." Ting-hiang-ih mengangguk.
"Apa yang mereka katakan?"
"Tidak berkata apa-apa!" muka Ting-hiang-ih masih cemberut, "Sebab mereka tidak berada di
tempat, maka kuserahkan peti itu kepada kacung mereka."
"Kacung itu juga tidak tahu dimana mereka berada?" tanya Siau-hong pula.
Ting-hiang-ih menggeleng, tiba-tiba ia mendengus, "Hm, tidak peduli kau kirim peti itu
kemana pun tetap orang banci itu akan mencari dirimu."
"Tidak nanti dia mencari diriku!"
"Kenapa?" tanya Ting-hiang-ih.
"Sebab sekarang juga hendak kupergi mencari dia!" jawab Siau-hong.
Ting-hiang-ih terkejut, meski dia berlagak hendak marah, tapi sorot matanya menunjukkan
rasa prihatin, tanyanya. "Apakah kau tahu mereka berjumlah berapa orang?"
"Tujuh!"
"Tentunya kau tahu tujuh orang berarti ada 14 tangan?"
"Aku dapat menghitung!"
"Tapi tanganmu hanya sepasang!"
Siau-hong tertawa. "Coba jawab, lebih berharga mana emas satu tahil atau besi satu kati?"
"Tentu saja emas satu tahil !"
"Nah, makanya terkadang sepasang tangan jauh lebih berguna daripada 14 tangan!"
Ting-hiang-ih memandangi Siau-hong melangkah keluar, setiba di ambang pintu, mendadak
ia bertanya, "Kau yakin akan pulang dengan hidup?"
Siau-hong tertawa tanpa menjawab.
"Ada berapa bagian keyakinanmu?"
Mau tak mau Siau-hong menoleh dan berkata. "Untuk apa kau tanya sejelas ini?"
Ting-hiang-ih menarik muka. jengeknya. "Jika setengah keyakinan saja tidak ada, akan lebih
baik kau tinggalkan Ginbio dalam bajumu, umpama aku harus menjadi janda, biarlah jadi
janda kaya."
Siau-hong memandangnya hingga lama. perlahan ia mengeluarkan segebung Ginbio tadi dan
ditaruh di atas mejav tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Jangan khawatir, selama hidupmu ini
tidak nanti menjadi janda."
"Sebab apa?" tanya Ting-hiang-ih.
"Sebab berani kujamin di dunia ini pasti tidak ada lelaki yang berani mengambil dirimu
sebagai isteri."
Bab 7 ... Liok Siau-hong sudah berangkat, dia berangkat seperti mau berjalan-jalan mencari angin.
Leher baju saja tidak dikancingkan dengan baik.
Akan tetapi mengapa dia meninggalkan semua Ginbio itu, apakah lantaran dia tidak yakin
benar akan dapat kembali dengan hidup"
Sesungguhnya betapa menakutkan orang macam Im-tong-cu itu"
Ting-hiang-ih memandangi Ginbio yang terletak di atas meja, mendadak ia menghela napas
dan bergumam, "Ah jika kau tidak pulang, meski aku takkan menjadi janda, tapi ada orang
yang akan menjadi duda."
39 oooOOOooo Halaman Kiat-siang-keh-can meliputi empat kompleks, rombongan Im-tong-cu agaknya
tinggal di deretan halaman keempat, seluruh kompleks diborongnya.
Baru saja Siau-hong seperti mendengar di sana ada suara gurau orang perempuan dan suara
orang bernyanyi, tapi sekarang tidak terdengar lagi.
Ia mengitar ke sana lewat pintu samping belakang, tiada seorang pun dilihatnya, agaknya
hotel ini memang kurang laris. Meski di dalam rumah masih ada cahaya lampu, tapi tidak
terdengar suara apapun. Apakah semua penghuninya tidak berada di tempat.
Sekali melompat Siau-hong naik ke atas pagar tembok yang pendek itu, cahaya lampu
menerangi jendela, tapi tetap tiada nampak bayangan orang.
Di situ rasanya masih ada sisa bau harum bedak orang perempuan dan bau sedap arak dan
santapan, hanya sejenak sebelum ini di sini baru saja ada pesta. Ada sementara orang bila
melakukan sesuatu tidak pernah ketinggalan arak dan perempuan.
Akan tetapi sekarang dimana mereka?"
Angin meniup, mendadak Siau-hong berkerut kening, di tengah tiupan angin itu selain
membawa bau harum bedak dan arak serta daging, rasanya juga ada semacam bau yang
sangat khas. Semacam bau yang biasanya cuma dapat tercium di rumah jagal.
Dia sengaja menerbitkan sedikit suara, tapi di dalam rumah tetap tidak ada sesuatu reaksi
Selagi dia merasa sangsi apakah harus menerjang kc dalam atau tidak, mendadak didengarnya
suara jeritan ngeri.
Suaranya melengking tajam, kedengarannya hampir tidak menyerupai suara manusia.
Jika dikatakan suara ini suara manusia, maka orang ini pasti makhluk aneh yang cacat.
Seketika Siau-hong teringat kepada manusia yang kurang separoh itu.
Apakah mungkin Swe-han-sam-yu lebih cepat satu langkah lagi daripada dia"
Ia melayang lewat wuwungan rumah, didengarnya suara itu berkumandang dari belakang,
cahaya lampu dalam rumah bagian belakang terlebih redup daripada yang di depan, dua sayap
daun jendela dan daun pintu tampak cuma setengah dirapatkan.
Bau anyir darah tambah keras. Cepat Siau-hong melompat turun di depan pintu, perlahan ia
mendorong pintu dengan dua jari.
Segera di dalam ada suara orang mendengus, "Hm, ternyata benar kau datang. Memang sudah
kuduga begitu peti diantar ke sana tentu pula kau akan datang kemari. Silakan masuk, lekas!"
Tapi Siau-hong tidak masuk ke situ. Bukannya tidak berani masuk melainkan tidak tega
masuk. Sebab keadaan di dalam rumah jauh lebih mengerikan daripada di tempat pemotongan
hewan, jauh lebih memualkan.
Tertampak tiga anak gadis yang belum lagi akil balig tergantung miring telanjang bulat seperti
domba yang baru dipotong di tepi tempat tidur, tubuhnya yang polos kelihatan mengucurkan
darah dan menetes ke lantai melalui kedua kakinya yang halus.
Seorang yang kurang separoh menongkrong di ujung tempat tidur serupa iblis jahat dengan
belati terhunus, ujung belati juga masih meneteskan darah.
"Masuk!" teriaknya, suaranya tajam serupa burung hantu, "Kusuruh kau masuk, maka harus
lekas kau masuk, kalau tidak, biarlah kusembelih dulu ketiga budak busuk ini hingga menjadi
Kisah Bangsa Petualang 9 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 17
^