Pencarian

Rumah Judi Pancing Perak 2

Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 2


delapan potong."
Sekuatnya Siau-hong mengertak gigi untuk menahan rasa mualnya, tumpah biasanya bisa
membikin orang lemas.
Im-tong-cu, si manusia kurang separoh, terlihat menyeringai dan berkata pula, "Meski ketiga
perempuan busuk ini tidak ada sangkut paut apa pun denganmu, namun sayang, kau terkenal
seorang penyayang wanita, tentunya tidak lega kau saksikan mereka mati di depan
hidungmu."
40 Makhluk aneh yang jahat ini benar-benar dapat memegang titik kelemahan Liok Siau-hong.
Hati Siau-hong menjadi tertekan. Dia memang benar tidak sampai hati
Ternyata hati Siau-hong tidak sekeras sebagaimana dugaannya sendiri, biarpun jelas
diketahuinya cepat atau lambat ketiga anak perempuan itu tetap sukar terhindar dari kematian,
tapi dia tetap tidak tega menyaksikan mereka mati di depannya.
Terpaksa ia melangkah masuk ke situ.
Im-tong-cu terbahak, "Haha, mestinya kami tak ingin membunuhmu, tapi seharusnya tidak
boleh kau ..."
Suara tertawanya mendadak berhenti, tiga titik sinar tajam menerobos masuk membobol
jendela, sekali titik terang berkelebat, tahu-tahu ketiga titik perak itu menancap di
tenggorokan ketiga anak perempuan telanjang tadi.
Im-tong-cu meraung murka terus menubruk ke sana, bukan menubruk ke arah Liok Siauhong,
tapi hendak mengejar orang yang menyambitkan senjata rahasia di luar jendela itu.
Akan tetapi Liok Siau-hong tidak tinggal diam Ketiga anak perempuan itu sudah mati, ia tidak
mempunyai resiko lagi, tidak dibiarkannya Im-tong-cu angkat kaki begitu saja.
Im-tong-cu mengapung di udara, kaitan besi tangan kiri menggantol pada belandar, tubuhnya
lantas berputar seperti gasingan, sebelah kakinya yang palsu menerbitkan suara menderu
keras, nyata kaki palsu itu pun terbuat dari besi.
Sekali dia mengeluarkan gerakan yang aneh ini, siapa pun sukar mendekatinya. Liok Siauhong
juga tidak dapat mendekat, terpaksa ia menyaksikan orang berputar tiada hentinya.
Sekonyong-konyong kaitannya mengendur dan tubuh Im-tong-cu terus terlempar keluar
jendela secepat panah. Nyata dia tidak menginginkan keunggulan, yang diharapkan hanya
meloloskan diri. Rupanya dia cukup tahu diri bahwa dia pasti bukan tandingan Liok Siauhong.
Cuma sayang, din tetap agak menilai rendah Liok Siau-hong. Baru saja dia hendak meluncur
keluar, tangan Liok Siau-hong mendadak terangkat, kedua jarinya menutuk perlahan.
Segera terdengar suara "trang". Im-tong-cu terbanting di luar jendela kaki besi membentur
lantai dan memercikkan lelatu api.
Siau-hong tidak ingin membunuhnya, hanya dengan gerak cepat ia menutuk Hiat-to lawan.
Selagi dia hendak menyusul keluar untuk mengusut asal-usulnya dan maksud tujuan
kedatangannya. Mendadak cahaya tajam berkelebat pula di halaman luar, tenggorokan Imtong-
cu juga tertancap oleh sesuatu senjata rahasia.
"Siapa itu?" bentak Siau-hong.
Malam sangat kelam, bintang bulan suram, mana ada bayangan orang yang kelihatan, karena
tidak terlihat apa-apa, dengan sendirinya tidak dapat mengejar.
"Ai, untung mereka datang bertujuh, masih sisa enam yang hidup," gumam Siau-hong dengan
gegetun. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba ada orang menjengek di belakangnya, "Hm. tapi sayang,
sekarang setengah orang hidup saja tidak tersisa lagi."
Yang bicara cuma satu orang, tapi bayangan yang tercetak di tanah ada tiga orang, tersorot
oleh cahaya lampu dari balik jendela sehingga tertarik memanjang.
Swe-han-sam-yu. tiga sekawan orang tua dari Kun-lun-san. Perlahan Siau-hong membalik
tubuh, katanya kemudian, "Apakah keenam orang lainnya bukan orang hidup lagi?"
Salah seorang kakek itu mendengus, "Jika mereka masih hidup, tadi tentu takkan mudah
bagimu untuk keluar dari rumah ini."
Rupanya keenam orang yang dimaksudkan bersembunyi di sekitar tempat ini dan menantikan
Liok Siau-hong masuk perangkap, di luar dugaan mereka, tanpa sesuatu suara, jiwa mereka
sudah melayang dalam kegelapan.
41 Tidak perlu diragukan keenam orang itu pasti jago kelas tinggi seluruhnya, untuk membunuh
mereka mungkin tidak sulit, tapi hendak membunuh mereka sekaligus tanpa menerbitkan
suara, hal inilah yang tidak gampang.
Maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi ilmu silat ketiga kakek ini serta betapa keji dan jitu
serangannya. Siau-hong menghela napas dan diam-diam memperingatkan dirinya sendiri agar apa pun juga
jangan sembarangan merecoki mereka.
Pada tangan seorang tua ini kelihatan memegang cawan arak dan masih ada sisa araknya,
kecuali Koh-siong Siansing dari Swe-han-sam-yu. siapa lagi di dunia ini yang mampu
membunuh orang dalam sekejap mata hanya dengan sebelah tangan saja"
Koh-siong Siansing menghirup araknya seceguk, lalu mendengus, "Mestinya kami ingin
menyisakan setengah orang hidup ini, cuma sayang, meski ada kepandaianmu untuk
membunuh orang, tapi tidak punya kepandaian menyelamatkan orang."
"Masa tadi bukan kalian yang turun tangan?" tanya Siau-hong.
"Hm, benda sebangsa rongsokan besi begini, sudah belasan tahun tidak pernah kujamah," ujar
Koh-siong Siansing dengan angkuh.
Senjata rahasia yang bersarang di tenggorokan Im-tong-cu itu adalah sebatang paku segitiga
yang terbuat dengan sangat indah. Ketiga gadis cilik tadi juga mati di bawah paku serupa.
Hanya sebentar saja wajah mereka sudah berubah hitam, tubuh juga mulai mengerut, nyata
pada paku itu terdapat racun yang sangat ganas.
Maka Siau-hong percaya senjata rahasia itu pasti bukan milik Swe-han-sam-yu. Bilamana
seorang sudah memiliki tenaga dalam maha tinggi. Bisa menggetar rontok bunga dari jarak
ratusan langkah, dapat memetik daun untuk melukai musuh, maka sekenanya digunakan
beberapa biji batu kerikil juga lebih daripada cukup untuk menyerang musuh dan tidak perlu
menggunakan senjata rahasia berbisa keji semacam ini.
Tapi mau lak mau ia harus bertanya, sebab dia tidak mengerti siapakah yang turun tangan
sekeji ini. Koh-siong Siansing memandang Siau-hong dengan dingin Katanya, "Sudah lama kudengar
kau ini tokoh angkatan muda yang paling lihai, tapi tidak kulihat sedikit pun tanda demikian
atas dirimu."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, jawabnya, "Terkadang bila aku bercermin, aku pun selalu
merasa kecewa alas diriku sendiri."
"Sepanjang jalan ini hendaknya hati-hati dan lebih waspada," pesan Koh-siong.
"Ya, tentu, sebelum kutemukan kembali Lo-sat-pai kalian, mana boleh kumati," ujar Siauhong.
Koh-siong Siansing mendengus lagi sekali, mendadak ia mengebaskan lengan bajunya, di
tengah deru angin dan goyang ranting pohon, dengan cepat bayangan ketiga kakek itu lantas
menghilang. Sungguh Ginkang yang maha sakti, sungguh watak yang sukar dilayani, barang siapa
mempunyai tiga lawan semacam ini, pasti hatinya tak bisa terlalu gembira.
Dengan dua jari Siau-hong menjepit sehelai daun rontok dan diperiksa, lalu dibuang lagi,
gumamnya, "Daun sudah kering, bila dua hari lagi lebih ke utara, tentu salju akan turun, orang
yang tidak takut dingin boleh silakan terus mengintil padaku."
Bab 8 ... Di dalam rumah masih ada cahaya lampu.
Pada waktu dia berangkat tadi, cahaya lampu mestinya sangat terang, tapi sekarang sudah
jauh lebih guram.
42 Pintu masih tetap selengah tertutup seperti waktu dia berangkat tadi, tiba-tiba timbul suatu
pertanyaan yang selama ini belum pernah terpikir olehnya, "Apakah dia sedang menunggu
diriku?" Tadinya dia berharap semoga Ting-hiang-ih lekas pergi, makin jauh makin baik, tapi sekarang
jika si dia benar-benar pergi, perasaannya pasti tidak enak.
Apapun juga, bilamana kau tahu ada seorang sedang menantikan kedatanganmu di rumahmu,
hatimu pasli akan timbul semacam perasaan hangat. Perasaan ini serupa seorang pemburu
yang menyendiri ketika pulang ke rumah pada hari yang dingin, tiba-tiba diketahuinya di
rumah sudah ada orang yang menyediakan perapian sehingga tidak lagi dirasakan kesepian
dan dingin. Hanya petualang semacam Liok Siau-hong yang dapat memahami betapa berharganya
perasaan semacam ini.
Sebab itulah ketika dia mendorong pintu, agak tegang juga perasaannya. Pada saat ini dan
adanya perasaan demikian sungguh dia tidak menghendaki seorang diri masuk ke sebuah
rumah yang kosong dan dingin.
Ternyata di dalam rumah masih ada orang. Si dia belum lagi pergi.
Dia duduk membelakangi pintu di bawah cahaya lampu yang agak guram, rambutnya yang
panjang gompyok semampir di atas pundak dan sedang disisir perlahan dengan sebuah sisir
kayu hitam. Pada umumnya wanita memang suka menyisir rambut sebagai pengisi waktu
pada saat merasa kesepian.
Melihat si dia, tiba-tiba Siau-hong merasa cahaya lampu itu seakan-akan banyak terlebih
terang. Apa pun juga, ditemani seorang akan terlebih baik daripada tinggal sendirian. Tiba-tiba ia
merasakan semakin menanjak usianya, semakin tidak tahan hidup menyendiri.
Akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaannya itu, ia cuma bicara dengan singkat dan
hambar, "Akhirnya aku kembali juga dengan hidup!"
"Ehmm," si dia tidak menoleh.
"Aku tidak mati, kau pun tidak pergi, tampaknya kita berdua belum tiba pada waktunya untuk
berpisah."
Si dia tetap tidak berpaling, ucapnya perlahan, "Apakah kau harapkan selamanya aku tidak
berpisah denganmu?"
Siau-hong tidak menjawab. Sebab tiba-tiba diketahuinya perempuan yang duduk di sini dan
sedang menyisir rambut ini bukanlah Ting-hiang-ih.
Si dia seperti lagi tertawa dingin, tangan yang memegang sisir kelihatan putih mulus, kukunya
sangat panjang. Dia masih terus menyisir, bahkan semakin keras cara menyisirnya seakanakan
hendaK melampiaskan dongkolnya terhadap rambutnya sendiri. "He, kau?" seru Siauhong
dengan terbelalak.
"Ya, tak kau sangka bukan?" jengek si dia.
"Ya. memang tak kusangka," Siau-hong mengaku.
"Aku pun tidak mengira dirimu ini ternyata seorang perayu, ada satu suka satu, ada dua suka
dua." akhirnya si dia berpaling, mukanya kelihatan pucat dengan hidungnya yang mancung,
sinar matanya serupa kerlip bintang di langit.
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Sekali ini aku tidak bermaksud mendaki gunung es,
memangnya gunung es malah hendak mendaki diriku?"
Jika Pui Giok-hiang benar sebuah gunung es, maka gunung es juga ada kalanya bisa bermuka
merah. Muka Pui Giok-hiang sekarang sudah merah, ia lagi melototi Liok Siau-hong dengan
pandangan yang gemas dan berucap dengan gemas. "Apakah selamanya engkau tidak dapat
bicara secara manusia?"
43 "Terkadang juga bicara, tapi hanya bertemu dengan manusia baru kubicara," jawab Siau-hong
dengan tertawa.
Memangnya aku bukan manusia" Dengan sendirinya ucapan ini tak dapat dilontarkan si dia.
Hanya matanya saja yang semakin besar melotot.
Kembali Siau-hong tertawa, "Dua hari yang lalu kudengar orang berkata bahwa wujudmu
kelihatan galak, tapi sebenarnya seorang sangat simpatik. Cuma sayang, cara bagaimanapun
kupandang sekarang tetap tidak kulihat akan kebenaran hal itu."
"Ada orang bilang aku sangat simpatik?" Pui Giok-hiang menegas.
"Ehmm," Siau-hong mengangguk. "Siapa yang bilang begitu?" "Tentunya kau tahu siapa yang
omong begitu." "Hm, apa adik misanku yang romantis itu, si Bunga Ceng-keh?" jengek Giokhiang.
Perlahan Siau-hong berdehem dua kali sebagai jawaban, tiba-tiba ia merasa muka sendiri
menjadi rada merah.
Pui Giok-hiang memandangnya dengan dingin, lalu bertanya pula, "Selama dua hari ini
tentunya dia selalu berada bersamamu." Terpaksa Siau-hong mengaku.
"Dan sekarang dimana dia?" tanya Pui Giok-hiang.
Siau-hong jadi melengak, "Kau pun tidak tahu kemana dia pergi?"
"Aku baru datang, cara bagaimana bisa tahu?" jawab Giok-hiang.
"Ai. bisa jadi dia khawatir bilamana kupulang akan berubah menjadi makhluk ajaib yang
berhidung separuh dan bermata satu, mungkin dia tidak sampai hati melihat keadaanku itu,
maka dia telah pergi lebih dulu."
"Hm, dia memang seorang perempuan yang berhati lemah, pada waktu membunuh orang saja
mata selalu terpejam," jengek Pui Giok-hiang.
Pada saal itulah tiba-tiba di luar seorang tertawa ngikik dan menanggapi, "Hihi, betapa pun
hanya Piauci yang memahami pribadiku. Tempo hari, lantaran kubunuh orang dengan mata
terpejam, makanya bajuku penuh berlepotan darah."
Di tengah suara tertawa nyaring. Ting-hiang-ih telah melompat masuk serupa seekor burung
walet yang gesit.
Meski suara tertawanya kedengarannya manis, tapi keadaannya tampak agak kedodoran, baju
robek dan rambut kusut, tampaknya serupa burung walet yang baru terbidik ekornya, oleh
ketapel anak nakal.
Sebaliknya Pui Giok-hiang lantas menarik muka dan menegur, "Hm, tak tersangka bisa juga
kau kembali ke sini?"
"Kutahu Piauci berada di sini, dengan sendirinya aku harus kembali ke sini," jawab Tinghiang-
ih dengan tertawa.
Giok-hiang juga tertawa, manis sekali tertawanya, "Terkadang aku suka marah padamu, tapi
aku pun tahu, apa pun juga engkau tetap Piaumoayku yang baik, engkau selalu sangat baik
padaku." "Cuma sayang, kesempatan bertemu muka kita tidak banyak, engkau lebih suka tinggal
bersama Piauko dan selalu meninggalkan diriku dalam keadaan kesepian," sahut Ting-hiangih.
Semakin manis tertawa Giok-hiang, katanya, "Ah, bicaramu saja enak didengar, padahal aku
pun tahu, sudah lama kau lupakan diri kami."
"Siapa bilang?" jawab Ting-hiang-ih.
Giok-hiang melirik Siau-hong sekejap, "Bilamana kalian sedang bermesraan, memangnya kau
ingat kepada kami?"
Maka keduanya tertawa lagi dengan sangat manis dan enak didengar, lapi bagi pandangan
Liok Siau-hong rasanya tambah lama tambah tidak beres.
Di tengah suara tertawa haha-hihi itulah sekonyong-konyong terdengar "krek" sekali, sisir
yang dipegang Giok-hiang mendadak berubah menjadi serentetan anak panah, jeruji sisir yang
44 berjumlah 40 atau 50 itu mendadak berubah serupa barisan anak panah yang menyambar ke
arah Ting-hiang-ih.
Pada saat yang sama dari tangan Ting hiang-ih juga terbidik tujuh titik sinar perak, yang di
arah adalah tujuh Hiat-to maut di bagian dada Pui Giok-hiang.
Sekali menyerang keduanya sama-sama mengincar bagian yang mematikan, semuanya
bermaksud membinasakan lawan dalam sekejap itu.
Kedua perempuan itu tidak memejamkan mata, tapi Siau-hong yang memejamkan mata, ia
tidak tega menyaksikan apa yang terjadi.
Waktu ia membuka mata, dilihatnya dinding depan sana menancap tujuh titik sinar perak,
sedangkan Pui Giok-hiang telah rebah di tempat tidur dan Ting-hiang-ih sudah melayang
pergi. Terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan yang gelap, suaranya penuh rasa
benci dan dendam, "Ingat, tidak nanti kuampuni jiwamu!!"
Baru habis ucapannya, mendadak suaranya berubah menjadi jeritan kaget, lalu jeritan kaget
itu pun terputus secara mendadak, kemudian tidak terdengar suara apa pun.
Suasana lantas sunyi senyap. Pui Giok-hiang masih menggeletak di tempat tidur tanpa
bergerak, sampai suara napasnya saja tidak terdengar.
Siau-hong duduk di tepi ranjang dan mengawasinya memandang, dadanya. Dada yang
montok dan menegak.
Tiba tiba Siau-hong tertawa. "Kutahu kau belum mati." Dada orang mati tidak sedemikian
memikat seperti Pui Giok-hiang sekarang, tetapi dia masih tetap diam saja seperti orang mau
tanpa reaksi apa pun.
Sampai sekian lamanya Siau-hong memandangnya, mendadak ia berbangkit terus berbaring
sekalian di samping Giok-hiang.
Maka dia juga seakan-akan berubah orang mati. Sebaliknya orang mati yang lain lantas hidup
kembali. Tangannya mulai bergerak, kakinya juga bergerak.
Sebaliknya Siau-hong tidak bergerak. Tiba-tiba Pui Giok-hiang mengikik. "Hihi, kutahu kau
pun tidak mati."
Akhirnya Siau-hong memberi reaksi, ia pegang tangan yang putih halus dan sedang beraksi
itu. "Kau takut apa" Aku bukan isteri kawin sah si Jenggot Biru, kau pun bukan sahabatnya," lalu
Giok-hiang tertawa dan menyambung pula, "memangnya kau takut kepada Ting-hiang-ih"
Tapi berani kujamin sekali ini, dia pasti takkan kembali lagi ke sini."
Siau-hong menghela napas, ia tahu bilamana sekali ini Ting-hiang-ih masih dapat kembali,
mustahil kalau tidak berubah menjadi makhluk aneh yang hilang hidung dan buta mata
sebelah. Namun ia pun tidak terlalu risau, sebab sudah dilihatnya ke tujuh titik perak yang menancap
di dinding itu adalah Sam-ling-tau-kut-ting, sejenis paku segitiga.
"Dia menguntit diriku, apakah engkau yang menyuruhnya?" tanya Siau-hong tiba-tiba.
"Selamanya kita tidak ada permusuhan, untuk apa kubikin celaka dirimu?" jawab Giok-hiang.
"Bikin celaka diriku?" Siau-hong merasa tidak mengerti.
"Sekarang dia serupa sebuah gunung api yang setiap saat bisa meletus, siapa yang
dikuntitnya, setiap saat orang itu bisa terbinasa olehnya."
"Wah, jika begitu, tampaknya nasibku masih mujur juga," ujar Siau-hong sambil tersenyum
getir. "Dua orang perempuan yang kutemui, yang seorang gunung es, yang lain gunung api."
"Gunung api terlebih bahaya daripada gunung es, lebih-lebih gunung api berupa 30 laksa tahil
emas yang berada padanya," tukas Giok-hiang.


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"30 laksa tahil emas" Darimana datangnya emas sebanyak itu?" tanya Siau-hong.
"Hasil mencuri!" jawab Giok-hiang.
"Dimana ada emas sebanyak itu untuk dicurinya?"
45 "Di gudang kekayaan Hek-hou-tong (gedung harimau hitam)."
Baru sekarang Siau-hong tahu duduk perkaranya, ia menghela napas dan bergumam. "Hekhou-
tong. Hek-lai-cu .... "
"Betul, para gembong pimpinan Hek-hou-tong sama memakai tali ikat pinggang berwarna
hitam." Meski Hek-hou-tong adalah sebuah sindikat uang yang baru muncul di dunia Kangouw, tapi
ketatnya organisasi dan besarnya pengaruh konon sudah jauh melampaui Jing-ih-lau pada
masa lampau. Juga kekuatan dan dananya tidak dapat ditandingi oleh Kay-pang dan Tiamjong-
pay. Kay-pang terkenal sebagai organisasi kaum jembel terbesar di dunia Kangouw, sedangkan
anak murid Tiam-jong-pay hampir seluruhnya keluarga hartawan, di pegunungan Tiam-jong
juga ada tambang emas, maka kedua aliran ini terkenal kaya raya.
Akan tetapi Hek-hou-tong terlebih kaya. Dan uang biasanya serba bisa, setan saja doyan duit.
Inilah pangkal utama sebabnya Hek-hou-tong dapat menonjol dalam waktu secepat ini.
"Konon sebabnya Hek-hou-tong ditakuti adalah karena duitnya terlalu banyak, dengan
sendirinya gudang uang mereka adalah bagian yang terpenting, penjagaannya tentu sangat
ketat," kata Siau-hong.
"Kukira memang begitu," kata Giok-hiang. "Selama dua hari ini juga dapat kulihat jago kelas
tinggi yang bekerja bagi Hek-hou-tong jauh lebih banyak daripada apa yang pernah
kubayangkan Dengan kemampuan apa Ting-hiang-ih dapat menguras gudang kekayaan
mereka?" "Mungkin dia hanya mempunyai sedikit kemampuan saja, tapi dengan setitik kemampuan ini
sudah cukup baginya."
"Oo?" Siau-hong merasa sangsi.
"Kau tahu siapakah Tongcu (kepala) Hek-hou-tong?" tanya Giok-hiang.
"Hui-thian-giok-hou (harimau kemala terbang)!" sahut Siau-hong.
"Nah, dia sendiri isteri Hui-thian-giok-hou." Siau-hong melenggong.
"Konon akhir-akhir ini Hui-thian-giok-hou sering tidak di rumah, maka kesempatan ini
digunakan Ting hiang-ih untuk membawa lari isi gudang kekayaan Hek-hou-tong. dia
minggat bersama seorang kacung Hui- thian-giok-hou."
Setelah tertawa, lalu Giok-hiang menyambung. "Sebenarnya kau pun tidak perlu heran,
perempuan yang kabur bersama gendaknya dengan membawa harta simpanan sang suami,
jelas dia bukan orang pertama, juga pasti bukan orang terakhir."
Akhirnya Siau-hong menghela napas gegetun, "Ai, tampaknya si Muka Pulih (anak muda
yang suka jual tampang untuk memelet perempuan) ini tidak rendah kepandaiannya sehingga
sanggup menyuruhnya minggat dengan menyerempet bahaya besar."
"Apa engkau merasa cemburu?" tanya Giok-hiang dengan tertawa.
Siau-hong menarik muka, jengeknya. "Aku cuma ingin tahu sesungguhnya orang macam
apakah dia itu?"
"Tapi sayang sekarang tidak dapat kau lihat dia lagi." Kata Giok-hiang.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong
"Sebab dia sudah dipotong jadi delapan bagian oleh Liau-si-ngo-hiong dan dimasukkan ke
dalam peti, kini sudah dikirim kembali ke Hek-hou-tong."
Liau-si-ngo-hiong atau lima jago keluarga Liau yang dimaksud tentunya kelima orang yang
menguntit di belakang sejak permulaan perjalanan Liok Siau-hong itu.
Baru sekarang juga diketahui Siau-hong bahwa sebenarnya yang dibuntuti bukanlah dirinya
melainkan Ting-hiang-ih.
"Sesudah si Muka Pulih mati barulah Ting-hiang-ih mengetahui orang Hek-hou-tong
menguntit jejaknya, maka dia menjadi takut, maka....."
46 "Maka akulah yang dicarinya," tukas Siau-hong. "Setiap orang Kangouw kan tahu, Liok Siauhong
yang beralis empat itu tidak boleh sembarangan direcoki, sampai maha raja juga ada
hubungan baik dengan dia, bahkan Pek-in-sengcu dan Giam Tok-ho juga terjungkal di bawah
tangannya. Bila Ting-hiang-ih mendapatkan pengawal sehebat ini, tentu saja Hek-hou-tong
tidak berani sembarangan bertindak."
"Tapi mereka pasti tidak menyangka masih ada lagi tiga pengawal yang jauh lebih lihai selalu
melindungi diriku secara diam-diam."
"Ya, makanya di antara 13 orang mereka yang datang telah mati 12 orang."
"Siapa lagi sisa yang seorang itu?"
"Hui-thian-giok-hou sendiri."
"Dia juga datang?" Siau-hong terkejut. "Dimana dia sekarang?"
"Tadi sepertinya masih berada di luar, sekarang tentunya sudah pulang."
"Sebab apa dia pulang?" tanya Siau-hong.
"Sebab orang yang hendak dicarinya pasti sudah ditemukannya," tutur Giok-biang. "Cara
bekerjanya biasanya tegas dan tuntas. Ia pun tahu engkau tidak lebih hanya boneka yang
diperalat saja oleh Ting-hiang-ih, tidak nanti dia mencari dirimu."
"Maka dapatlah aku merasa lega," ucap Siau-hong dengan dingin, "sebab kungfu Hui-thiangiok-
hou terlalu tinggi, jika dia mencari diriku, pasti mati aku."
"Sudah tentu kutahu engkau tidak gentar padanya," kata Giok-hiang. "Cuma kesulitan
demikian kalau dapat dihindarkan kan lebih baik."
Siau-hong berpaling dan menatapnya tajam, tiba-tiba ia bertanya. "Tampaknya
pengetahuanmu mengenai Hek-hou-tong jauh lebih jelas daripada Ting-hiang-ih."
Giok-hiang menghela napas, "Bicara terus terang, akulah yang memperkenalkan Ting-hiangih
kepada Hui-thian-giok-hou sebab itulah aku pun ikut malu atas perbuatannya yang rendah
ini." "Juga lantaran dia tidak jadi menikahimu, tapi mengawini Ting-hiang-ih, karena gemasnya
maka engkau lantas berjudi mati-matian dan akhirnya kawin dengan si Jenggot Biru."
Giok-hiang mengangguk, ucapnya perlahan. "Ya makanya antara diriku dengan si Jenggot
Biru boleh dikata tidak ada keakraban bathin, sungguh aku sangat menyesal, mengapa
kukawin dengan orang yang membuka rumah judi."
Umumnya, baik lelaki maupun perempuan, apabila mengalami patah cinta, kebanyakan akan
mencari penyaluran, kalau tidak mabuk-mabukan, bisa jadi berjudi hingga lupa daratan,
kemudian sekenanya mencari pasangan, tapi setelah sadar kembali, biasanya lantas timbul
penyesalan yang tak terhingga, tapi beras sudah menjadi nasi, terpaksa tidak dapat berbuat
apa-apa lagi. Tentu saja kisah tragis demikian ini, juga kisah yang umum. Biasanya kaum lelaki terlalu
sibuk bekerja, si perempuan tidak tahan kesepian lalu akan main pat gulipat dengan lelaki
lain, bahkan minggat bersama gendaknya. Kejadian ini pun sangat jamak.
Rupanya Ting-hiang-ih khawatir Siau-hong takkan menggubris padanya lagi bila mengetahui
seluk-beluknya, maka dia tidak memberi kesempatan bicara kepada Im-tong-cu. Ia harus
turun tangan lebih dulu dan membunuhnya.
Ketika diketahuinya Pui Giok-hiang menyusul tiba. mestinya Ting-hiang-ih bermaksud
angkat kaki. tapi begitu dia keluar, segera diketahuinya penguntitan Hui-thian-giok-hou.
Terpaksa ia balik lagi, tak tersangka ia lantas dipaksa keluar pula oleh Pui Giok hiang.
Semua persoalan itu sudah ada penjelasan yang cukup beralasan.
Akan tetapi Liok Siau-hong belum merasa puas. entah mengapa ia merasa di dalam urusan ini
pasti ada lagi intrik dan rahasia lain yang belum diketahuinya.
"Konon Hui-thian-giok-hou adalah seorang yang sangat misterius, selamanya jarang ada
orang yang melihat wajah aslinya," kata Siau-hong.
47 Maklumlah, gembong sesuatu sindikat rahasia yang di zaman ini dikenal sebagai 'Godfather'
tentu harus selalu menjaga kemisteriusannya agar dapat hidup terlebih panjang.
"Namun kau tentunya harus dikecualikan." demikian Siau-hong menyambung pula. "Kau
pasti pernah melihat dia?"
"Ya, sangat sering kulihat dia," Giok-hiang mengaku.
"Sesungguhnya dia orang macam apa?" tanya Siau-hong. "Akhir-akhir ini banyak orang
berpendapat ada dua tokoh Kangouw yang paling misterius dan paling menakutkan, kedua
orang ini adalah Se-pak-siang-giok." Se-pak-siang-giok, dua Giok (kemala) dari barat dan
utara, maksudnya Hui-thian-giok-hou dari utara dan Giok Lo-sat dari barat.
"Jika namanya dapat disejajarkan dengan Giok Lo-sat, maka dia pastilah seorang yang lihai
dan berhati keji."
"Bagaimana bentuknya?" tanya Siau-hong.
"Meski usianya sudah lebih 40, tapi tampaknya cuma antara 35-an, perawakannya pendek
kecil, kedua matanya jelilatan seperti mata kokok beluk."
"Dia she apa dan siapa namanya?"
"Entah," jawab Giok-hiang.
"Masa kau pun tidak tahu'" desak Siau-hong.
"Agaknya dia juga mempunyai kisah hidup yang memilukan hati, sebab itulah tidak pernah
dia menyebut nama dan asal-usulnya sendiri di depan orang lain, aku pun tidak dikecualikan."
Tiba-tiba tangan Giok-hiang mulai beraksi lagi. Siau-hong sendiri diam saja.
"Sekarang semuanya sudah kau ketahui, apa pula yang kau takuti?" ucap Giok-hiang dengan
suara lembut. Siau-hong tidak menjawab
"Sudah jauh malam begini, angin pun meniup kencang di luar masa kau tega mengusir pergi
diriku?" suaranya genit menggiurkan, tangannya juga bekerja terlebih aktif.
Akhirnya Siau-hong menghela napas. "Dengan sendirinya takkan kuusir dirimu, namun ...."
"Namun apa?" desak Giok-hiang.
Siau-hong memegang lagi tangan si dia yang terlalu aktif ucapnya, "Aku hanya ingin
membikin terang sesuatu urusan lebih dulu."
"Urusan apa?" tanya Giok-hiang.
"Kedatangan Ting-hiang-ih ke sini jelas adalah karena ingin menggunakan diriku sebagai
tameng, dan bagaimana dengan kedatanganmu ini?"
"Memangnya kau pun menganggap hendak kuperalat dirimu?"
"Kuharap kedatanganmu ini adalah karena jatuh hati padaku, cuma sayang, jalan pikiran
demikian ini sukar untuk dipercaya biar pun kuhabis menenggak 30 kati arak."
Giok-hiang menghela napas, "Jika kau minta kubicara sejujurnya, baiklah akan kukatakan,
kedatanganku ini adalah karena ingin membicarakan sesuatu bisnis denganmu."
"Bisnis apa?" tanya Siau-hong.
"Dengan diriku akan kutukar Lo-sat-pai yang akan kau temukan nanti," tutur Giok-hiang.
"Diriku sudah kukirim franko ke sini sekarang, akan kuserahkan lebih dulu kepadamu, nanti
kalau Lo-sat-pai sudah kau dapatkan, harus juga kau serahkannya kepadaku."
Dia tertawa, lalu menyambung. "Aku kan isteri si Jenggot Biru, jika kau serahkan Lo-sat-pai
kepadaku berarti sudah menunaikan tugas, maka tidak merugikan sedikit pun padamu."
"Tapi bagaimana kalau ... kalau tidak dapat kutemukan Lo-sat-pai ?"
"Ya. anggap saja nasibku yang kurang mujur, kan aku yang mengajukan tawaran ini secara
sukarela tidak nanti kusesalkan dirimu."
Suara Giok-hiang bertambah genit. "Malam sudah selarut ini, angin pun sedemikian kencang,
aku jadi semakin tidak berani ke luar."
Siau-hong juga menghela napas, "Kau sudah kukatakan, tidak nanti kuusir dirimu, tapi kan
dapat kuusir diriku sendiri?"
48 Dia benar-benar berbangkit, tanpa menoleh ia melangkah ke luar. Mendadak terdengar suara
gemuruh, tempat tidur yang kukuh dan kuat itu mendadak runtuh berantakan.
Maka tertawalah Siau-hong.
Didengarnya suara caci maki Pui Giok-hiang, maka tertawa Siau-hong bertambah riang,
serunya, "Kau kacau tidurku, aku pun membikin engkau tidak dapat tidur."
Dia bukan nabi, juga bukan kuncu (gentleman). Untung dia adalah Liok Siau-hong, satusatunya
Liok Siau-hong dan tidak ada yang kedua.
Tidak ada yang dapat membayangkan malam ini dia tidur di mana"
Ternyata dia tidur di atap rumah, maka pada waktu mendusin esok paginya, mukanya hampir
kering tertiup angin. Dia menggelengkan kepala sampai sekian lamanya barulah ia dapat
melemaskan tangan dan kakinya.
Untung Pui Giok-hiang sudah pergi, maklum, siapa pun pasti tidak dapat tidur di tempat tidur
yang sudah berantakan.
Tentunya si dia juga tidak dapat melampiaskan gemasnya alas diri Siau-hong yang tidur di
atap rumah, maka rasa dongkolnya lantas dilampiaskan atas pakaiannya.
Pada waktu Siau-hong ingin ganti baju barulah diketahui segenap pakaiannya telah moratmarit
dan compang-camping, semuanya robek. Satu-satunya baju panjang yang masih utuh
juga telah bertambah beberapa baris huruf yang berbunyi, "Liok Siau-hong. hatimu sungguh
lebih kecil daripada Siau-keh (ayam kecil), daripada bernama Hong cilik kenapa namamu
tidak diganti saja menjadi Liok Siau-keh?"
Ayam juga tidak jelek, paling tidak daging ayam kan cukup lezat. Maka kecuali ayam goreng,
di atas meja Siau-hong masih terdapat satu porsi sosis, satu porsi telur dadar dan satu porsi as
inan. Sedikitnya Liok Siau-hong telah menghabiskan empat mangkuk bubur panas itu. Kini
badannya masih terasa pegal, tapi bhathinnya sangat gembira.
Cuma sayang, kegembiraannya tidak berlangsung lama ketika dia hendak menambah bubur
lagi, sekonyong-konyong seorang mengantarkan sepucuk surat untuknya.
Kertas surat kelihatan sangat indah, tulisannya juga bagus, bunyi surat itu, "Rase garang itu
sudah pergi belum" Aku tidak berani mencari dirimu, kau berani mencari diriku tidak" Kalau
tidak berani berarti cucu kura-kura".
Siau hong kenal yang membawakan surat itu adalah si pelayan, dari nada tulisannya dengan
sendirinya ia pun tahu penulis surat itu ialah Ting-hiang-ih.
Masakah dia belum lagi mati"
"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan surat ini kepadaku?"
"Seorang nona, yaitu nona Ting yang kemarin datang bersama tuan tamu," tutur si pelayan.
Dia ternyata benar-benar tidak mati.
Seketika Siau-hong melupakan sakit pegal badannya, serentak ia melonjak bangun dan
berseru, "Dimana dia" Lekas antar ke sana!"
Waktu tiba di tempat tujuan, terlihat pintu setengah dirapatkan. Setelah pintu didorong, segera
tercium bau harum semerbak.
Di dalam rumah tidak ada bunga, tapi ada satu orang yang berbaring di tempat tidur.
Bukan untuk pertama kalinya Siau-hong mencium bau harum demikian, jelas inilah bau
harum tubuh Ting-hiang-ih. Dan yang berbaring di tempat tidur itu ialah perempuan yang
berbau harum ini.
Cahaya matahari menyinari jendela, suasana dalam rumah adem ayem penuh rasa hangat dan
menyenangkan. Si dia berbaring di sebuah tempat tidur yang sangat longgar dan empuk,
berlapis selimut yang tersulam sepasang merpati.
Selimut yang berwarna merah mencorong dengan burung merpati hijau kelabu, air mukanya
kemerah-merahan, rambutnya hitam gilap, jelas baru saja disisir. Wajahnya kelihatan
tersenyum, agaknya sedang menantikan kedatangannya.
49 Tiba-tiba timbul lagi perasaan hangat Liok Siau-hong, tapi ia sengaja menarik muka dan
berkata, "Untuk apa kau minta kudatang kemari" Apakah ingin mengembalikan 50 laksa tahil
perak itu kepadaku?"
Ting-hiang-ih juga sengaja memejamkan mata dan tak menghiraukannya.
"Hm, seorang kalau sudah mempunyai 30 laksa tahil emas, untuk apalagi 50 laksa tahil
perak?" jengek Siau-hong.
Ting-hiang-ih tetap tidak menghiraukannya, akan tetapi matanya yang terpejam itu tiba-tiba
mengucurkan dua baris air mata.
Butiran air mata perlahan mengalir ke pipinya yang merah, serupa butiran embun di atas
kelopak bunga mawar.
Hati Siau-hong menjadi lunak lagi, perlahan ia mendekat ke sana dan ingin mengucapkan
beberapa kata lembut.
Tetapi tidak sempat dia bicara, sebab tiba-tiba diketahuinya sesuatu yang aneh. Perempuan
yang jelita itu tampaknya seperti menyurut lebih pendek bagian bawah selimut tampaknya
seperti kosong, Aneh, mengapa bisa begini"
Sungguh Siau-hong tidak berani memikirkannya, mendadak ia singkap selimut bersulam
indah itu, seketika ia seperti tercebur ke dalam air dingin, sekujur badan seperti beku.
Ting-hiang-ih masih tetap harum, tetap sangat cantik, dadanya masih tetap montok menegak,
pinggangnya masih ramping, akan tetapi kedua tangannya dan kedua kakinya, semuanya
sudah lenyap. Siau-hong memejamkan mata, dia seperti melihat sebuah wajah yang kurus kecil dengan
matanya yang jalang serupa mata bu
rung tentu penuh mengandung rasa keji dan benci sedang menyeringai terhadap Ting-hiangih,
"Kubuntungi kedua tangannya coba kau berani lagi mencuri emasku atau tidak"
Kubuntungi kedua kakimu, coba kemana lagi akan kau lari?"
Siau-hong mengepal kedua tinjunya erat-erat. Setiap lelaki memang berhak membekuk
kembali isterinya yang minggat, untuk ini dia tidak sirik kepada Hui-thian-giok-hou, ketika
diketahui Ting-hiang-ih ditangkap pulang, paling-paling cuma timbul perasaan kecut dan
bimbang saja. Tapi sekarang keadaannya menjadi lain.
Siapa pun tak berhak menganiaya sekejam ini kepada orang lain. Ia benci kepada kekerasan
yang melampaui balas. Seperti halnya pak tani benci kepada wereng.
Waktu dia membuka mata, diketahuinya Ting-hiang-ih juga sedang memandangnya, sudah
memandangnya sekian lama.
Sorot matanya tidak ada tanda marah, hanya ada rasa duka. tiba-tiba ia berucap perlahan,
"Lekas pergi!"
Semula dia menghendaki kedatangan Siau-hong, setelah bertemu mengapa malah
menyuruhnya lekas pergi" Apakah tidak menginginkan Siau-hong melihat keadaannya yang
mengenaskan ini" Atau khawatir Hui-thian-giok-hou akan muncul mendadak"
Bisa jadi surat yang ringkas itu ditulisnya atas paksaan Hui-thian-giok-hou, mungkin di
sinilah suatu perangkap "
Perlahan Siau-hong melepaskan selimut, ia pindahkan kursi ke depan tempat tidur dan
berduduk, meski tidak bicara satu kata pun, tapi tidak ada ubahnya seperti telah memberi
jawaban tegas, "Aku takkan pergi !"
Apa pun alasannya dia minta Siau-hong pergi, sekarang Siau-hong sudah bertekad akan


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal di sini untuk menemaninya. Sebab ia tahu sekarang dia sangat memerlukan seorang
teman, pada waktu Siau-hong sendiri kesepian, bukankah si dia juga pernah menemaninya"
Siau-hong pasti bukan orang yang berjiwa sempit, biar pun orang lain pernah berbuat sesuatu
kesalahan padanya, dengan cepul juga akan dilupakannya. Selamanya dia cuma mengingat
kepada kebaikan orang lain.
50 Dengan sendirinya Ting-hiang-ih juga paham maksudnya, kecuali merasa berduka, sorot
matanya bertambah lagi rasa terima kasih yang tak tcrkatakan.
"Sekarang tentunya kau tahu urusanku," suara Ting-hiang-ih sangat lirih, seolah-olah
khawatir didengar orang lain, "Ke-30 laksa tahil emas itu tentu saja tidak dapat kubawa kian
kemari. Demi memaksa kuserahkan kembali emas itu, dia telah menyiksa diriku sedemikian
rupa." Siau-hong pikir sekarang tentu saja tak dapat kau kembalikan emas itu kepadanya, mengapa
baru akan kau serahkan kembali setelah dia menyiksa dirimu" Emas itu kan miliknya,
memang seharusnya kau kembalikan kepadanya.
Dengan sendirinya pikiran ini tidak diucapkan oleh Siau-hong, betapapun ia tidak tega
menusuk lagi perasaannya.
Angin mendesir di luar, daun rontok bertaburan. Apa yang mesti diucapkan Liok Siau-hong"
Menghiburnya tidak diperlukan lagi. sebab betapapun ia menghiburnya tetap Lak dapat
memperbaiki keadaan yang sudah terjadi.
Cukup lama keduanya bungkam. Mendadak Ting-hiang-ih bertanya. "Apakah kau tahu sebab
apa pula kucuri ke-30 laksa tahil emas itu?"
Siau-hong menggeleng, terpaksa ia pura-pura tidak tahu. Tapi penjelasan Ting-hiang-ih
ternyata sangat di luar dugaannya, "Juga lantaran Lo-sat-pai itu."
Alasan ini tidak baik, sebab itulah juga tidak terasa sebagai dusta.
"Kutahu Li He membawa lari Lo-sat-pai, juga mengetahui dia sudah pulang ke Lau-ok," kata
Ting-hiang-ih pula. "Lau-ok?" Siau-hong tidak mengerti.
"Lau-ok sama dengan Rahasu," tutur Tmg-hiang. "Rahasu adalah bahasa daerah setempat,
artinya Lau-ok (rumah tua)," demikian Ting-hiang-ih menjelaskan pula. "Kau kenal Li He?"
tanya Siau-hong.
Ting-hiang-ih mengangguk, tiba-tiba Wajahnva menampilkan Semacam perasaan yang aneh,
setelah ragu sejenak, akhirnya berkata pula dengan perlahan, "Dia sebenarnya ibu tiriku."
Jawaban ini lebih-lebih di luar dugaan Siau-hong.
Malahan Ting-hiang-ih lantas menjelaskan lagi. "Sebelum Li He kawin dengan si Jenggot
Biru, sebenarnya dia ikut ayahku."
"Ayahmu ...?" Siau-hong merasa bingung.
"Sekarang beliau sudah wafat," tutur Ting-hiang. "Aku dan Li He selama ini masih terus ada
kontak." Li He adalah ibu tiri Ting-hiang-ih, sedang Pui Giok-hiang adalah Piauci atau kakak
misannya, dan kakak misan ternyata merampas suami ibu tirinya, suami Ting-hiang-ih sendiri
dulunya diperkenalkan kepadanya oleh sang Piauci.
Tiba-tiba Siau-hong merasa hubungan di antara ketiga perempuan itu sungguh terlalu ruwet,
biar pun sudah dijelaskan oleh Ting-hiang-ih tetap membuatnya bingung.
Rupanya Ting-hiang-ih dapat melihat jalan pikiran Siau-hong, ucapnya dengan pedih,
"Perempuan adalah kaum lemah, banyak pengalaman kaum wanita yang malang, mereka
sering dipaksa melakukan hal-hal yang mestinya tidak suka diperbuatnya. Tapi kaum lelaki
sedikit pun tak memahami mereka, sebaliknya menghinanya malah."
Siau-hong menghela napas, ucapnya. "Aku ... aku mengerti."
"Perbuatan Li He sekali ini meski tidak benar, tapi aku bersimpatik kepadanya," kata Tinghiang-
ih pula. Dia mencuri Lo-sat-pai suaminya, dan kau nyolong emas suamimu, perbuatan kalian memang
setali tiga uang alias sama, dengan sendirinya kau bersimpatik padanya.
Dengan sendirinya pikiran ini tidak diucapkan Siau-hong, tapi Ting-hiang-ih dapat
melihatnya. "Kubilang perbuatannya tidak benar, maksudku bukan lantaran dia mencuri Lo-sat-pai,"
untuk pertama kalinya Ting-hiang-ih memperlihatkan rasa duka dan marah. "Seorang
51 perempuan kalau disia-siakan suaminya, cara bagaimana pun dia membalasnya adalah
pantas." Ini adalah jalan pikiran kaum wanila, kebanyakan perempuan sama mempunyai
pendirian semacam ini.
Ting-hiang-ih adalah orang perempuan. Sebab itulah Siau-hong menyatakan sependapat.
"Kukatakan dia berbuat salah adalah karena dia mestinya tidak boleh berjanji akan menjual
Lo-sat-pai kepada Kah Lok-san," kata Ting-hiang-ih pula.
"Kah Lok-san dari Kanglam?" melengak juga Siau-hong, sebab ia tahu orang yang disebut ini.
Kah Lok-san adalah hartawan maha kaya yang terkenal di daerah Kanglam (selain sungai
Tiang-kang atau Yangce), juga seorang dermawan terkenal, hanya sedikit orang yang
mengetahui bahwa dahulunya dia adalah bajak laut besar yang malang melintang di samudra
raya, sampai-sampai suku Ainu dari kepulauan lautan timur (penduduk asli Jepang di
kepulauan Okinawa dan sekitarnya) juga sebagian besar berada di bawah kekuasaannya.
Suku Ainu itu terkenal ganas, kejam, tangkas, dan tidak takut mati, hidupnya kebanyakan
menjadi bajak laut, sifatnya pagi satu sore dua, tidak dapat dipercaya. Tapi Kah Lok-san
justru dapat mengatasi mereka sehingga takluk benar-benar, dari sini dapat dibayangkan,
betapa lihainya tokoh Kah Lok-san ini.
"Kutahu Li He telah mengadakan perundingan rahasia dengan utusan Kah Lok-san yang
sengaja dikirim ke daerah Tionggoan," tutur Ting-hiang-ih pula. "Bahkan mengenai harganya
juga sudah diputuskan, lelah disepakati untuk bertemu lagi di Rahasu, di sana akan dilakukan
pembayaran dan penyerahan barang."
"Jika mereka berunding di daerah Tionggoan, mengapa mesti berjanji pula untuk bertemu lagi
di kota kecil yang terpencil jauh di utara sana?" tanya Siau-hong.
"Ini pun salah satu syarat yang diminta Li He," tutur Ting-hiang-ih. "Ia tahu kekejian dan
keganasan Kah Lok-san, ia khawatir dicaplok mentah-mentah, sebab itulah ia berkeras akan
menyerahkan barangnya di Lau-ok." "Sebab apa?"
"Sebab di sanalah kediaman asal ayahku," tutur Ting-hiang-ih. "Dia juga belasan tahun
tinggal di sana. Baik tempat maupun orang di sana sudah cukup apal baginya, beradadi sana,
betapa pun besar kekuatan Kah Lok-san juga tidak dapat berbuat sewenang-wenang
kepadanya. "Jika demikian, tampaknya dia juga seorang perempuan yang sangat cerdik dan lihai," ujar
Siau-hong. Ting-hiang-ih menghela napas, "Maklum, mau tidak mau dia harus berundak agak cerdik,
sebab dia sudah terlalu sering ditipu kaum lelaki."
'Tapi dia toh memberitahukan rahasia ini kepadamu," ujar Siau-hong.
"Ya, sebab setelah dia membawa lari Lo-sat-pai. orang pertama yang dicarinya ialah diriku."
"Oo?" tak terduga juga oleh Siau-hong,
"Dia juga berjanji padaku, asalkan pada akhir tahun aku dapat mengumpulkan 20 laksa tahil
emas, maka ia akan menjual Lo-sat-pai kepadaku."
"Untuk apa kau incar Lo-sat-pai?"
"Sebab aku pun ingin menuntut balas," dengan menggreget Ting-hiang-ih menyambung pula.
"Sudah lama kutahu Hui-thian-giok-hou mempunyai simpanan perempuan lain, aku
dianggapnya duri di dalam daging, gendaknya itu lebih-lebih benci padaku, sebab selama aku
masih hidup, tentu sukar baginya untuk menjadi permaisuri Hek-hou-tong secara resmi."
"Masa mereka bermaksud membunuhmu?"
"Jika aku kurang cerdik, mungkin sudah lama kumati di tangan mereka. Akan tetapi, bilamana
Lo-sat-pai sudah kupegang, mereka pasti tidak berani lagi merecoki diriku."
Jika seorang perempuan berani membeli sesuatu barang dengan 20 laksa tahil emas, tentu
alasannya cukup kuat.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong
52 "Sebab dengan memegang Lo-sat-pai, maka jadilah aku Kau-cu ketua agama) Lo-sat-kau atau
Ma-kau yang dikenal orang. Bahkan Hui-thian-giok-hou sendiri juga jeri terhadap pemimpin
agama dari barat ini."
Matanya yang kelihatan sayu itu mendadak terbeliak, dia mencernakan pula sesuatu rahasia
yang Sangat mengejutkan orang.
Kabarnya Giok lo-sat dari barat itu sudah mati, mati secara mendadak pada saat putranya
mulai masuk ke daerah Tionggoan. Ketua Ma-kau itu meninggalkan pesan. "Bila aku mati,
Lo-sat-pai kuberikan kepada siapa yang memegangnya, dia itulah yang akan menjadi Kaucu
penerus, jika ada yang berani membangkang, hukumannya dicincang, mati pun masuk neraka
dan takkan menitis untuk selamanya."
Giok Lo-sat dari benua barat tentu saja seorang yang sangat cerdik dan maha lihai, dia
khawatir sesudah dirinya mati, untuk memperebutkan kedudukan, anak muridnya mungkin
akan saling membunuh dan menghancurkan agama yang telah dipupuknya dan dibesarkannya
seperti sekarang ini. Sebab itulah dia sengaja meninggalkan pesan yang merupakan hukum
yang tak dapat dibantah itu.
Lantaran itu juga, makanya lebih dulu Lo-sat-pai itu sudah diwariskannya kepada putranya
sendiri. Cuma sayang, Giok Thian-po juga serupa anak badung dari keluarga hartawan umumnya,
anak yang kelewat dimanja orang tua, akhirnya jadi rusak.
"Jika di alam baka Giok Lo-sat mengetahui putra kesayangannya itu menggadaikan Lo-sat-pai
di rumah judi, kuyakin dia akan murka sehingga tumpah darah," kata Ting-hiang-ih pula.
Siau-hong menghela napas panjang, akhirnya ia tahu duduknya perkara mengapa ada orang
sebanyak itu ingin merebut Lo-sat-pai dengan cara apa pun.
"Demi memperingati wafatnya Giok Lo-sat dan juga untuk mengangkat Kaucu baru. para
Hou-hoat-tianglo dan anak murid yang berkuasa telah memutuskan akan mengumpulkan
segenap anak murid yang penting untuk bertemu di puncak Kun-lun-san pada tanggal tujuh
bulan satu nanti."
Dan apabila pada hari tersebut engkau dapat hadir dengan membawa Lo-sat-pai, maka engkau
yang akan diangkat menjadi Kaucu baru Ma-kau, selanjutnya juga tidak ada orang lagi yang
berani bertindak kasar padamu," tukas Siau-hong.
Pengaruh Ma-kau sudah berakar cukup mendalam dan merata di seluruh dunia, barang siapa
dapat menjabat Kaucu, seketika akan berubah menjadi orang yang paling berpengaruh di
dunia Kangouw, seorang kalau sudah berkuasa, maka keuntungan moril dan material juga
akan diperolehnya dengan mudah.
Daya pikat ini jelas sukar dilawan oleh siapa pun. Pantas Ting-hiang-ih berusaha
mendapatkan Lo-sat-pai tanpa memikirkan resiko apa pun.
Siau-hong menghela napas, tiba-tiba ia merasakan urusan ini jadi semakin ruwet, tugasnya
juga semakin berat dan sulit.
Cuma ada satu hal yang membuatnya tidak mengerti maka tanyanya, "Mengapa Li He sendiri
tidak membawa Lo-sat-pai ke Kun-lun-san?"
"Sebab dia khawatir sebelum mencapai Kun lun-San akan mati dulu di tengah jalan," kata
Ting-hiang. "Dia lebih takut kalau-kalau hidupnya tak bisa bertahan sampai tanggal tujuh
bulan satu tahun depan."
Maklumlah, sebelum tiba hari yang ditentukan itu, berada di tangan siapa pun, Lo-sat-pai itu
lebih mirip bom yang dapat meledak setiap waktu dan menghancur leburkan si pemegang.
"Biasanya dia sangat cerdik, ia tahu jalan yang paling selamat adalah menjual Lo-sat pai
kepada orang lain," setelah menghela napas menyesal, Ting-hiang-ih melanjutkan, "seorang
perempuan sebaya dia, jika hidupnya tidak punya sandaran dan jiwanya juga tidak tenteram,
biasanya lantas mencari duit mati-matian, maka...."
53 "Maka meski hubungannya denganmu lain daripada yang lain, dia tetap minta kau beli Lo-satpai
dengan 20 laksa tahil emas." tukas Siau-hong.
"Ya, sayang sekarang aku lebih mengenaskan daripada dia," ucap Ting-hiang-ih dengan
pedih, ''akulah yang benar-benar tidak punya apa-apa lagi."
"Sedikitnya kau masih mempunyai seorang sahabat." sambung Siau-hong dengan tersenyum
ewa. "Engkau?" Ting-hiang-ih menegas.
Siau-hong mengangguk, tiba tiba timbul semacam perasaan yang sukar dijelaskan.
"Mestinya mereka bukan 'sahabat', hubungan mereka justru jauh lebih akrab daripada sahabat.
Akan tetapi sekarang ....
Ting-hiang-ih memandangnya, sorot matanya menampilkan semacam perasaan yang sukar
dijelaskan, entah berduka" Bersyukur" Atau berterima kasih"
Selang agak lama, tiba-tiba ia bertanya, "Dapatkah kau sanggupi suatu permintaanku"'"
'Katakan saja," sahut Siau-hong.
"Bagiku sekarang, biar pun Lo-sai-pai juga tidak berguna lagi," kata Ting-hiang-ih. "Tapi
tetap kuharapkan akan dapat melihatnya, sebab ... sebab aku telah berkorban segalanya
baginya. Jika melihatnya saja tidak pernah, mati pun aku penasaran."
"Kau harapkan setelah kutemukan barang itu, akan kubawa ke sini untuk diperlihatkan
padamu?" Ting-hiang-ih mengangguk, lalu ia pandang Siau-hong lekat-lekat, "Engkau mau berjanji?"
Mana bisa Siau-hong menolak, ''Cuma hal ini paling cepat baru dapat terlaksana sebulan lagi,
tatkala mana engkau masih berada di sini?"
"Aku akan berada di sini," jawab Ting-hiang-ih dengan sedih, "sekarang aku sudah seorang
cacat, mati atau hidup takkan diperhatikan lagi oleh mereka."
Matanya menjadi merah, air matanya menetes pula, "Apalagi orang semacam diriku ini
kemanakah dapat kupergi?"
Rembulan mulai tinggi di tengah langit, suasana bertambah sunyi.
Perlahan Siau-hong mengusap air mata Ting-hiang-ih dengan lengan bajunya, ia duduk lagi.
Sampai sekian lama barulah Ting-hiang-ih menghela napas, lalu berkata,"Sudah waktunya
kau pergi."
"Kau minta kupergi?" tanya Siau-hong
Ting-hiang-ih tersenyum, 'Tentunya engkau tidak dapat berduduk menemani diriku
selamanya."
Meski tersenyum, namun wajahnya jauh lebih pedih daripada waktu menangis tadi.
Siau-hong ingin bicara tapi urung.
"Apakah engkau ingin bertanya sesuatu kepadaku?" tanya Ting-hiang.
Siau-hong mengangguk. Memang ada sesuatu yang mestinya tidak pantas ditanyakannya, ia
tidak ingin menyinggung perasaan nya, tapi mau tidak mau ia harus bertanya, "Hui-thiangiok-
hou sebenarnya orang macam apa?"
Jawaban Ting-hiang-ih juga serupa Pui Giok-hiang. ternyata dia juga tidak tahu asal-usul dan
nama asli Hui-thian-giok-hou. Keterangan yang dapat diberitahukannya hanya asal-usulnya
sangat misterius, gerak-geriknya sukar diraba, perawakannya kurus kecil, sorot matanya
setajam elang, tidak menaruh kepercayaan kepada siapa pun, sekalipun istrinya juga tidak
terkecuali. Akan tetapi ilmu silatnya sangat tinggi, selama ini belum pernah menemukan
tandingan. Siau-hong bertanya. "Sesungguhnya tempat macam apakah Rahasu itu?"
"Tempat itu pun serupa pribadi Hui-thian-giok-hou, misterius dan menakutkan, penduduk di
sana sama berjiwa sempit, berpikiran picik, selalu bersikap memusuhi setiap pendatang baru
kecuali dua orang, apa yang dikatakan orang di sana sebaiknya jangan dipercaya."
"Dua orang macam apakah yang bicaranya boleh dipercaya?" tanya Siau-hong.
54 "Yang seorang berjuluk Kambing Tua, dia adalah bekas pegawai ayahku, seorang lagi
bernama Tan Cing-cing. sejak kecil dibesarkan bersamaku, jika mereka tahu engkau adalah
sahabatku, tentunya mereka akan membantumu sepenuh tenaga."
Siau-hong mengingat-ingat kedua nama itu dengan baik.
"Selewatnya Tiongciu (pertengahan bulan kedelapan), cuaca di sana lantas mulai dingin,
belum lagi bulan kesepuluh, air sungai sudah membeku," tutur Ting-hiang-ih.
Liok Siau-hong juga pernah mendengar bilamana Siang-hoa-kang sudah membeku, maka
sungai berubah menjadi sebuah jalan raya yang lengang.
"Orang yang tidak pernah berkunjung ke sana selamanya sukar membayangkan betapa dingin
tempat itu," tutur Ting-hiang-ih pula, "Pada waktu hawa paling dingin, begini ingus keluar
dan hidung segera akan beku menjadi es, sampai hawa napas yang terembus keluar juga akan
beku menjadi biji es."
Siau-hong menghela napas, tanpa terasa ia meninggikan leher bajunya.
"Kutahu selama ini engkau cuma berada di daerah Kanglam, tentu takut dingin," kata Tinghiang.
"sebab itulah engkau harus lekas berangkat ke sana mumpung hawa belum terlalu
dingin, di tengah jalan sebaiknya engkau membeli beberapa potong baju kulit penahan
dingin." Tiba-tiba Siau-hong merasa hangat lagi, apa pun juga, Ting-hiang-ih jelas tetap
memperhatikannya.
Seorang kalau mengetahui di dunia ini ternyata ada orang yang memperhatikan dirinya, tentu
hatinya akan merasa senang.
Cuma masih ada juga sesuatu urusan perlu ditanyakan lagi dengan jelas.
Setelah termenung sejenak, lalu Siau-hong berkata. "Kematian Giok Lo-sat tentu akan
menimbulkan keruwetan di dalam agamanya, demi menghindari kemungkinan menangkap
ikan di air keruh oleh anasir tertentu, maka kematiannya sampai saat ini masih dirahasiakan."
"Ya. memang tidak banyak orang yang mengetahui rahasia ini," ujar Ting-hiang-ih.
"Dan darimana kau tahu?" tanya Siau-hong.
"Kau tahu, di bawah Hek-hou (harimau hitam) terbagi lagi menjadi Pek-kap (merpati putih),
Hwe-long (serigala kelabu) dan wi-kian (anjing kuning), ketiga seksi ini mempunyai lugas
sendiri-sendiri. Wi-kian bertugas melacak, Hwe-long bertugas membunuh dan kewajiban Pekkap
adalah mencari info dan menyampaikan berita di segenap penjuru."
"Bahwa Hek-hou-tong dapat menonjol secepat ini, sebagian adalah jasa ketiga seksi ini yang
dapat bekerja cepat dan efektif. Hampir setiap tokoh dunia persilatan yang terkenal, baik
mengenai asal-USUlnya bentuk wajahnya dan ciri ilmu silatnya serta segala sesuatu
kekhususannya, pada seksi merpati putih itu pasti terdapat dokumentasi yang lengkap. Sebab
itulah sebelum kulihat dirimu lebih dulu sudah kuketahui engkau ini orang macam apa."
Dan apakah dia juga mengetahui kelemahan Siau-hong terlelak pada orang perempuan,
makanya timbul niatnya akan menggunakan Siau-hong sebagai tameng"
Siau-hong tidak memikirkan hal ini, apa yang diperbuat orang lain terhadapnya biasanya tidak
suka dipikirkannya, sebab itulah hatinya bisa selalu riang gembira.
Tiba-tiba Ting hiang-ih tertawa, tertawa pedih dan kecut. "Sebenarnya aku menjabat dua
kedudukan di dalam Hek-hou-tong."


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oo?" heran juga Siau-hong.
"Selain menjadi alat pelampias pemimpin umum Hek-hou-tong, aku pun merangkap menjadi
kepala seksi merpati....."
Bab 9 ... Akhirnya Siau-hong berangkat juga. Ucapan Ting-hiang-ih memang tidak salah, dengan
sendirinya ia tidak dapat menemaninya selama hidup.
55 Cuaca cukup cerah, sinar sang surya tetap gilang gemilang, tapi rencana Siau-hong tidak riang
lagi seperti tadi.
Bila teringat kepada persoalan yang ruwet dan penukaran yang akan dihadapi sungguh ia
ingin terjun ke sungai saja dan habis perkara.
Daun rontok memenuhi halaman, dilihatnya seorang anak perempuan berumur belasan berdiri
sendirian di bawah pohon yang sudah kering, tangan anak perempuan itu memegang sepucuk
surat, dengan pandangan sangsi dan heran ia sedang mengawasi Liok Siau-hong.
Siau-hong mendekatinya, tiba-tiba ia menegurnya dengan tertawa, "Bukankah aku yang
sedang kau tunggu?"
Anak perempuan itu terkejut, jawabnya tergagap. "Apakah ... apakah engkau ini Liok Siauhong
yang beralis empat itu?"
"Betul, aku ini Liok Siau-hong. Dan kau?"
"Namaku Jiu Peng"
"Hui-thian-giok-hou yang menyuruhmu ke sini, bukan?" Jiu Peng mengangguk.
Kembali Jiu Peng mengangguk sambil mengangsurkan sepucuk surat.
Baik sampul maupun kertas suratnya, semuanya dari bahan kertas pilihan, tulisannya juga
sangat rajin. Surat itu berbunyi:
Tuan Siau-hong yang terhormat.
Anda pendekar besar masa kini, lelaki ajaib zaman ini, sudah lama kukagumi nama Anda,
cuma sayang selama ini tidak dapat bertemu.
Ada pun istriku. Hiang-ih, jika Anda menyukainya, terpaksa kupersembahkan dia bagimu
sekedar sebagai tanda kagumku kepada Anda. Semoga diterima dengan senang hati. Kelak
bilamana sempat, tentu akan kusiapkan arak untuk diminum bersama dengan Anda. Mengenai
biaya makan minum di sini sudah kubayar sampai akhir bulan, terlampir adalah kuitansi dari
hotel yang bersangkutan, mohon diterima dengan betul.
Terlampir pula surat perceraian istriku agar segala urusan menjadi beres. Mohon diterima
sekalian. Tanda tangan di bawah ternyata betul Hui-thian-giok-hou adanya.
Dengan sabar Siau-hong membaca surat ini, tiba-tiba ia merasa kesabaran sendiri sudah ada
kemajuan, ternyata surat ini tidak sampai dirobeknya.
Dilihatnya si gadis Jiu Peng masih berdiri di situ dan memandangi Siau-hong dengan mata
terbelalak, agaknya dia juga sangat tertarik oleh lelaki cakap yang beralis empat ini.
"Kau tunggu jawahanku?" tanya Siau-hong dengan tertawa. Jiu Peng mengangguk. Dengan
sendirinya Hui-thian-giok-hou sangat ingin tahu bagaimana reaksi Siau-hong setelah
membaca suratnya.
"Jika begitu pulang dan katakan kepadanya bahwa aku sangat berterima kasih atas hadiahnya,
sebab itulah aku pun akan menghadiahkan sesuatu kepadanya."
"Apakah perlu kubawa pulang ke sana?" tanya Jiu Peng.
"Barang ini tak dapat kau bawa, harus diambil sendiri ke sini," kata Siau-hong.
Tiba-tiba Jiu Peng memperlihatkan rasa takut. "Namun ...."
"Namun ingin kuberitahukan padamu lebih dulu," sela Siau-hong, Hadiah apakah yang akan
kuberikan padanya, supaya dapat kau berikan pertanggungan jawab kepadanya?"
Jiu Peng tampak merasa lega. tanyanya, "Hadiah apa yang akan kau berikan kepadanya'
"Bogem mentah!" jawab Siau-hong.
Jiu Peng tampak melenggong karena tidak paham apa yang dimaksudkannya, ia pun tidak
berani berunya, ingin tertawa juga tidak berani.
Siau-hong tidak tertawa, ia coba menjelaskan, "Bogem mentah akan kuberikan tepat pada
hidungnya. 56 ooo000ooo Sekeluarnya dari hotel. Liok Siau-hong terus menuju ke depan melalui jalan yang berdebu.
Belum ada satu li jauhnya, tiba-tiba diketahuinya dua hal yang sangat tidak
menyenangkannya.
Jalan ini ternyata sangat sepi, kecuali dia sendiri dan Hwe-han-sam-yu. hampir tidak terlihat
ada penguntit yang lain.
Dalam saku Siau-hong kini selain tersisa sedikit uang receh, dia tidak punya bekal lain lagi.
Dia suka keramaian, suka melihat macam ragam orang berkeliling di sekitarnya, biarpun
diketahuinya ada sementara orang tidak bermaksud baik kepadanya |uga tidak dihiraukannya.
Satu-satunya urusan yang dapat merisaukan dia hanya kesepian. Jika di dunia ini masih ada
urusan yang dapat membuatnya takut, maka utusan ini juga cuma kesepian.
'Miskin' bukankah juga sejenisnya kesepian" Bukankah datangnya kesepian selalu berikutan
dengan datangnya kemiskinan" Pada waktu ada uang, kesepian akan mudah dihalau.
Bilamana kantongmu kosong barulah akan kau rasakan kesepian serupa kantongmu, biarpun
dicambuk juga tak mau pergi.
Siau-hong menghela napas, untuk pertama kalinya ia merasa angin yang meniup dari depan
itu sungguh sangat dingin.
Pada waktu lohor Siau-hong hanya mengisi perut dengan sepiring nasi campur. Sedangkan
ketiga kakek yang masih terus menguntitnya itu telah menghabiskan empat kati daging rebus,
empat lima macam santapan pilihan dan menghabiskan pula beberapa poci arak.
Saking mendongkolnya hampir saja Liok Siau-hong mendekati mereka dan memberitahukan
bahwa orang yang berusia lanjut sebaiknya jangan terlalu banyak makan barang berminyak,
arak juga perlu dikurangi, kalau tidak, akan mudah terserang penyakit darah tinggi, sakit
jantung dan kencing manis.
Jelas makan siang ini berlangsung dengan tidak memuaskan, mestinya dia tidak perlu
memberi tip atau persen kepada pelayan, tapi sayang, seorang kalau biasa menjadi tuan besar,
biar pun sudah rudin, sifat tuan besar itu tetap sukar berubah.
Sebab itulah setelah tutup rekening, isi saku Siau-hong tambah kurus.
Padahal Rahasu masih jauh di sana, tanpa bekal cara bagai mana dia akan melanjutkan
perjalanan" Dia tidak dapat merampok atau mencuri, tidak dapat menipu, apalagi mengemis.
Bila orang lain, terang perjalanan ini tentu akan dibatalkan"
Untung Liok Siau-hong bukan orang lain, Liok Siau-hong tetap Liok Siau-hong, menghadapi
kesulitan macam apa pun dia tetap optimis, selalu ada akalnya untuk memecahkan setiap
kesulitan. Menjelang magrib, angin meniup terlebih dingin orang berlalu lalang di jalan hampir tidak
kelihatan lagi.
Liok Siau-hong justru lagi berjalan-jalan dengan santai seperti halnya orang yang habis
makan kenyang dan lagi melancong di daerah pertokoan yang paling ramai di kotaraja.
Padahal satu piring nasi campur yang dimakannya sudah sejak tadi tercerna habis, namun di
dalam hati dia lagi tertawa, sebab betapa pun dia berjalan, kemana dia pergi, ketiga kakek
sialan itu harus mengikut di belakangnya.
Siapa pun tahu Liok Siau-hong lebih licin daripada belut lebih cerdik daripada setan, sedikit
lengah saja bisa jadi bayangannya akan menghilang dan sukar dicari lagi. Maka selama Siauhong
tidak berhenti untuk makan malam, ketiga kakek itu juga tidak berani berhenti.
Sudah barang tentu, bukan pekerjaan enak bila perut kosong harus makan debu dan minum
angin di tengah perjalanan jauh ini.
Selama hidup belum pernah Hwe-han-sam-yu tersiksa seperti sekarang. Akhirnya Koh-siong
Siansing tidak tahan, sekali lengan bajunya mengebas. seperti burung saja dia melayang ke
sana dan hinggap di depan Liok Siau-hong.
57 Siau-hong tersenyum, tegurnya, "Mengapa kau cegat jalanku" Apakah kau anggap cara
berjalanku kurang cepat?"
Dengan muka masam Koh-siong Siansing berkata, "Aku cuma ingin bertanya sesuatu
padamu." Kakek ini memangnya bukan orang yang punya rasa humor, apalagi yang tensi di dalam
perutnya sekarang hanya api amarah belaka, kontan ia bertanya, "Ingin kutanya padamu, kau
tahu waktu tidak?"
Siau-hong berkedip-kedip, katanya. "Ya. rasanya sekarang sudah tiba waktunya makan."
"Jika tahu, mengapa tidak lekas kau cari suatu tempat untuk makan?" kata Koh-siong Siansing.
"Sebab aku belum mau." jawab Siau-hong.
"Mau atau tidak mau tetap harus makan," teriak Koh-siong Sian-sing.
Siau-hong menghela napas, "Memaksa orang berjudi atau memaksa orang berzina sudah
sering kudengar, tapi belum pernah kudengar ada orang memaksa orang lain untuk makan."
"Dan sekarang kau sudah kau dengar pula," kata Koh-siong Siansing.
"Soalnya aku mau makan atau tidak, lalu ada sangkut-paut apa denganmu?" tanya Siau-hong
tiba-tiba. "Setiap manusia kan harus makan nasi, coba katakan, kau manusia atau bukan?"
"Benar, setiap manusia pasti makan nasi, tapi ada sejenis manusia yang tidak dapat makan."
"Jenis manusia apa?" tanya Koh-siong
"Orang yang tidak gablek duit!"
Akhirnya Koh-siong baru tahu duduknya perkara, sorot matanya menampilkan senyuman
geli, katanya segera, "Bagaimana jika ada orang mau mentraktirmu?"
"Itu pun perlu melibat keadaan." sahut Siau-hong dengan tak acuh.
"Melihat keadaan bagaimana?"
"Perlu kulihat dulu apakah dia mentraktirku dengan sesungguh hati dan sejujurnya atau
tidak," sahut Siau-hong.
"Jika kutraktir dirimu dengan sesungguhnya hati, kau pergi tidak?"
Siau-hong tersenyum. "Jika benar-benar hendak kau traktir diriku, dengan sendirinya tidak
enak kutolak."
Koh-siong menatapnya, "Engkau tidak punya uang untuk makan, ingin ditraktir orang, tapi
kau justru tidak mau buka mulut, malah perlu kubuka suara lebih dulu untuk minta
persetujuanmu."
"Sebab sudah kuperhitungkan dengan baik engkau pasti akan mencari diriku," ujar Siau-hong
dengan tak acuh, "Sekarang setelah kau datang, bukan saja soal makan, urusan tempat tinggal
juga harus kau tanggung."
Sampai sekian lama Koh-siong menatapnya pula, akhirnya ia menghela napas panjang dan
berkata. "Ai. berita yang tersiar di dunia Kangouw ternyata tidak bohong, untuk bergaul
dengan Liok Siau-hong memang betul tidak mudah."
ooo000ooo Akhirnya santapan enak dan arak sedap harus disuguhkan, tidak terkecuali pula teh kelas
tinggi. "Kau minum arak?" tanya Koh-siong Siansing.
"Kalau sedikit tidak minum," jawab Siau-hong.
"Oo. maksudmu, bila mau minum harus minum sepuasnya?"
"Ya, supaya puas. harus minum banyak dan cepat."
Segera Siau-hong menuang satu mangkuk penuh, menengadah dan arak itu dituang kedalam
mulut, sekaligus ia tenggak habis semangkuk arak itu.
58 Caranya minum arak bukan dengan 'minum' melainkan 'dituangkan' ke dalam mulut. Di dunia
mi tidak sedikit orang yang kuat minum arak, tapi menuang arak ke dalam mulut serupa Liok
Siau-hong tidaklah banyak.
Koh-siong memandangnya dengan terkesima, untuk pertama kalinya ia tersenyum, ia pun
menuang satu mangkuk arak dan ditenggaknya.
Caranya menenggak arak ternyata juga bergaya "tuang". Dalam hati Siau-hong bersorak, "Si
tua ini ternyata juga boleh!"
Koh-siong tampak bangga, katanya. "Minum arak selain cepat, juga harus puas. Boleh minum
tiga atau lima mangkuk, betapa cepat cara minumnya tidak menjadi soal."
"Kau sanggup minum berapa banyak?" tanva Siau-hong. "Berapa banyak minumnya juga
tidak soal, baru terhitung hebat apabila tidak dapat mabuk biar pun minum sebanyakbanyaknya."
Kakek yang dingin dan suka menyendiri ternyata lantas berubah menjadi seorang lain
bilamana bicara tentang minum arak.
Siau-hong tersenyum dan berkata. "Kau sanggup minum berapa berapa banyak dan tidak
sampai mabuk ?"
"Entah, belum pernah kucoba."
"Memangnya engkau tidak pernah mabuk?"
Koh-siong Siansing tidak menyangkal, ia balas bertanya, "Engkau sendiri sanggup minum
berapa banyak dan tidak mabuk?"
"Cukup secawan kuminum sudah terasa rada mabuk, seribu cawan yang kuminum juga tetap
begini." Untuk ketiga kalinya sorot mata Koh-siong menampilkan senyuman, ucapnya. "Makanya
engkau tidak pernah mabuk benar-benar?"
Siau-hong juga tidak menyangkal, ia mendongak, kembali semangkuk dituang pula ke dalam
kerongkongan. Pemain catur ketemu tandingan yang sama kuat adalah suatu pertandingan yang menarik.
Sama menariknya jika peminum arak ketemu tandingan yang setimpal.
Kedua kakek lain, Jing-Liok dan Han-bwe, tidak menghiraukannya, tanpa bicara mereka
berdiri dan mengeluyur keluar.
Malam sunyi, kedua orang berpangku tangan dan mendongak memandangi langit, sampai
agak lama barulah Jing-tiok bersuara perlahan. "Sudah berapa lama Lotoa tidak pernah
mabuk?" "Sudah 53 hari," sahut Han-bwe.
"Sudah kuduga hari ini Lotoa pasti akan mabuk-mabukan," ujar Jing-tiok.
Selang sejenak, Han-bwe juga menghela napas dan berucap, "Sudah berapa lama kau pun
tidak pernah mabuk?" "Hampir 23 tahun," sahut Jing-tiok.
"Sejak kita bertiga mabuk bersama dahulu itu, lalu tidak pernah lagi kuminum seceguk pun?"
"Di antara kita bertiga, jika ada seorang selalu berada dalam keadaan sadar, hidup kita barulah
dapat bertahan lebih lama."
"Jika dua orang tentunya akan lebih baik."
"Makanya sudah hampir 20 tahun kau pun tidak pernah minum."
"Ya, 20 tahun kurang 17 hari."
"Padahal takaran minummu jauh lebih kuat daripada Lotoa," ujar Jing-tiok dengan tertawa.
Han-bwe juga tertawa, "Ah, mana, yang paling kuat takaran minumnya tentu saja dirimu."
"Tetapi kutahu, di dunia ini tidak ada orang yang tidak pernah mabuk."
Memang betul, asalkan masih minum arak suatu ketika pasti mabuk. Hal ini tidak dapat
dibantah oleh sapa oun. Sebab itulah Liok Siau-hong juga sudah mabuk.
Rumah ini sangat luas. ada perapian yang besar, Siau-hong berbaring di suatu tempat tidur
yang sangat longgar dalam keadaan telanjang bulat.
59 Bagi Siau-hong, tidur dengan memakai baju serupa halnya kentut dengan membuka celana,
perbuatan yang merepotkan dan berlebihan.
Barang siapa kalau mabuk, tidurnya pasti akan sangat nyenyak. Siau-hong juga tidak
terkecuali, cuma waktu sadarnya dia jauh lebih cepat daripada orang lain.
Di luar jendela sekarang gelap gulita, di dalam rumah juga gelap pekat, dia sudah mendusin,
menghadapi kegelapan yang tak berujung dan kosong ini, dia termangu-mangu hingga lama.
Teringat macam-macam urusan baginya, banyak hal tidak dapat diceritakannya kepada orang
lain, bahkan ia sendiri pun tidak berani memikirkannya. Bisa jadi lantaran ingin melupakan
hal-hal itu, makanya dia sengaja beradu minum arak dengan Koh-siong Siansing dan sengaja
mabuk. Akan tetapi baru saja ia mendusin dan buka mata, yang segera teringat justru macam-macam
urusan itu. Yang seharusnya dilupakan mengapa justru tidak dapat dilupakannya" Yang mestinya teringat
mengapa justru tidak dapat teringat"
Diam-diam Siau-hong menghela napas, ia bangun dengan perlahan, seolah-olah kuatir
mengejutkan orang di sampingnya.
Padahal di sampingnya tidak ada orang. Tapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar orang
menghela napas perlahan. Nyatanya, meski di sampingnya tidak ada orang, tapi di dalam
rumah ini ada orang.
Bab 10 " Dalam kegelapan lamat-lamat terlihat sesosok bayangan berduduk di depan sana. Entah kapan
datangnya, juga sudah berapa lama orang berduduk di situ"
"Ada tamu, tuan rumah tidur seenaknya, kukira bukan cara demikianlah melayani seorang
tamu," terdengar orang itu berkata.
"Rasanya aku tak pernah mengundang tamu siapa pun, agaknya Anda juga bukan tamuku,
malahan bagaimana bentuk wajahmu belum pernah kulihat," sahut Siau-hong.
"Apa susahnya jika ingin melihat wajahku." perlahan orang itu lantas berdehem, pintu di
belakangnya lantas terbuka.
Cahaya api meletik, menyalakan sebuah lampu. Seorang berbaju hitam ringkas dengan kedok
kain hitam, muka lonjong kurus muncul dan kegelapan sana.
Pakaian orang itu perlente, sikapnya anggun, matanya bersinar, berwibawa. Akan tetapi tetap
kelihatan menyeramkan, bahkan jauh lebih menyeramkan daripada si baju hitam yang berdiri
di belakangnya.
"Ternyata boleh juga," kata Siau-hong dengan tertawa. "Boleh juga" Kau maksudkan
tampangku boleh juga?" tanya orang itu.
"Wajahmu ini ternyata tidak berbeda jauh daripada dugaanku," kata Siau-hong dengan
tertawa. "Kau tahu siapa aku?" melengak juga orang itu. "Ya, Kah Lok-san, betul tidak?"
Orang itu mengembuskan napas dan berkata, "Pernah kau lihat diriku?"
Siau-hong menggeleng.
"Tapi kau kenal aku," kata pula orang itu.
Liok Siau-hong tersenyum, "Kecuali Kah Lok-san, siapa pula yang mau mencari diriku ke
tempat ini di bawah cuaca sedingin ini." Selain Kah Lok-san, siapa lagi yang mempunyai
pengiring tokoh Bu-lim kelas tinggi dengan menyandang pedang antik begiMaka tergelaklah
Kah Lok-san Tertawanya juga seram menakutkan, bahkan membawa semacam gaya mengejek ucapnya,
"Bagus. Liok Siau-hong memang tidak malu sebagai Liok Siau-hong, memang hebat dan


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya pandangan tajam.
60 "Terima kasih, aku cuma kebetulan melihat, tanpa terasa lantas kusebutkan."
Mendadak Kah Lok-san berhenti tertawa, ditatapnya Siau-hong sampai lama sekali, kemudian
berkata pula dengan perlahan, "Dan kau pun tahu maksud kedatanganku?"
"Lebih baik kudengarkan keteranganmu sendiri," kata Siau-hong.
"Kuminta kau pulang?" "Pulang" Pulang kemana?"
"Pulang ke duniamu yang gemilapan dengan kerumunan nona manis, ke restoran yang
tersedia santapan enak dan arak, ke rumah judi dengan segala macam kemewahannya, ke
tempat-tempat itulah yang pantas didatangi Liok Siau-hong."
Siau-hong menghela napas. "Ya, ucapanmu memang benar, aku pun sangat ingin pulang ke
sana, cuma sayang ..."
"Jangan kuatir," tukas Kah Lok-san, "kutahu akhir-akhir ini kantongmu lagi kempes, maka
lebih dulu sudah kusiapkan sangu yang cukup bagimu."
Segera ia berdehem pula. seorang hamba tua berambut putih membawa dua lelaki kekar
masuk dengan menggotong peti penuh berisi emas perak yang bercahaya gemilapan
menyilaukan mata.
"Darimana kau datangkan barang-barang ini masa tidak repot?" ujar Siau-hong sambil
berkerut kening.
"Kutahu Ginbio memang lebih praktis daripada uang kontan," kata Kah Lok-san "Tapi
betapapun tidak lebih menarik daripada emas perak yang menyolok seperti sekarang ini. Agar
dapat menggelitik hati seseorang, perlu digunakan barang yang nyata." "Betul juga" ujar Siauhong
"Dan kau mau terima tidak?" tanya Kah Lok-san.
"Harta tentu saja menarik, mengapa tak kuterima?"
"Dan kau mau terima?" tanya Kah Lok-san.
"Harta tentu saja menarik, mengapa tidak kuterima?"
"Dan kau pun mau pulang?"
"Tidak mau!" Siau-hong tersenyum, lalu menyambung, "Terima dan tidak adalah satu soal,
pulang atau tidak juga satu soal lagi. Dua soal tidak dapat dihubung-hubungkan."
Kah Lok-san juga tertawa. Manusia ini ternyata juga luar biasa, din dapat tertawa pada saat
yang mestinya tidak perlu tertawa.
"Inilah pancingan dengan harta benda," katanya kemudian, "kutahu juga terhadap orang
semacam dirimu ini pasti takkan berhasil jika melulu menggunakan pancingan dengan harta
saja." "Lantas apa pula yang kau sediakan ?"
"Kalau tidak dapat dipancing dengan harta benda, dengan sendirinya harus digunakan
kekerasan."
"Ehm. bagus!" ujar Siau-hong.
"Tidak bagus !" mendadak si baju hitam menyambung. "Tidak bagus?" tanya Siau-hong.
"Namamu termashur, pergaulanmu memenuhi jagat, sampai kaisar yang sekarang juga suka
padamu. Jika kubunuh orang semacam dirimu ini tentu akan banyak mendatangkan
kesulitan," ujar si baju hitam.
"Lantaran itulah takkan kau bunuh diriku?"
"Ya. tidak," sahut si baju hitam.
"Kebetulan, aku tidak ingin mati."
"Cuma sayang sekali pedangku keluar dari sarungnya pasti menemukan darah,"
"Dan inikah yang kau maksudkan kekerasan?" kembali Siau hong tertawa.
"Ini cuma satu peringatan saja."
"Lalu bagaimana sesudah peringatan?"
Perlahan si baju hitam menurunkan lampu, perlahan pula mengangkat tangannya, "creng",
tahu-tahu pedang sudah terlolos. Cahaya pedang gemilapan seakan haus ingin minum darah
segar musuh. Siau-hong menghela napas. "Ternyata benar senjata tajam yang sukar dicari."
61 "Untuk apa engkau menghela napas?" tanya si baju hitam. "Aku merasa bersyukur bagimu
pada waktu bersyukur bagi
orang lain terkadang aku pun menghela napas. "Oo?" bingung juga si baju hitam.
Maka Siau-hong menjelaskan lagi, ''Kau bawa senjata tajam sehebat ini, tapi rela menjadi
budak orang semacam Kah Lok-san. Kalian datang dan Kanglam, sepanjang jalan ternyata
tidak bertemu dengan sahabatku itu, sungguh mujur kau."
"Memang kenapa bila bertemu dengan sahabatmu?" tanya si baju hijau.
"Jika bertemu dengan dia, saat ini pedangmu sudah berada di tangannya dan kau pasti sudah
masuk liang kubur." "Hm, besar amat suaramu," jengek orang itu. "Ini bukan suaraku, tapi
suaranya." "Memangnya siapa dia?" "Sebun Jui-soat!"
Urat hijau pada tangan yang memegang pedang itu nampak menonjol, dengan murka orang
itu mendengus, "Tapi sayang, engkau sendiri bukan Sebun Jui-soat."
Pada detik itulah pedangnya lantas menusuk, hawa pedang menyayat kulit. Tenaga yang
mengejutkan, arah yang jitu dan kecepatan yang menakjubkan.
Pedang setajam itu dan ditusukkan secepat itu, daya serangnya tidak ada ubahnya seperti
sambaran kilat.
Dan siapakah yang dapat mengelakkan serangan kilat itu" Hanya Liok Siau-hong!
Dia masih tetap berbaring dengan tenang, mendadak sebelah tangannya terjulur, dua jarinya
menjepit perlahan.
Inilah gerak jari yang menakjubkan dan tidak ada bandingannya di dunia,
Inilah tindakan yang tiada taranya dan sukar untuk dibayangkan. Sekali jari menjepit, seketika
sinar pedang lenyap dan hawa pedang sirna.
Pada saat itulah sekonyong-konyong genting rumah tersingkap sebagian, seorang memberosot
ke bawah segesit kera, kedua tangan bergerak sekaligus, berpuluh bintik perak terus
berhamburan an ke arah Liok Siau-hong.
Inilah serangan maut yang tak terduga dan sukar dijaga. Terdengar suara "blak-bluk" yang
ramai, berpuluh macam senjata rahasia sama mengenai selimut yang membungkus tubuh Liok
Siau-hong. Hanya menggunakan selimut saja.
"Padahal jaraknya sedemikian dekat, tenaga sambitan senjata rahasia itu cukup kuat
menembus dinding, tapi ternyata tidak dapat menembus selimut ini, sebaliknya malah terus
terpental balik dan
berserakan di lantai.
Orang yang memberosot dari atas itu masih menggelantung di belandar, ucapnya dengan
gegetun. "Sudah lama kudengar jari sakti Liok Siau-hong tidak ada bandingannya, tak
tersangka tenaga dalamnya juga sehebat ini."
Siau-hong tertawa, "Sesungguhnya aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa seorang pada
waktu terancam bahaya, tenaganya bisa bertambah besar."
Mendadak ia menjulurkan tangan yang lain dan perlahan meraba batang pedang yang masih
dijepit itu dan berkata, "Ehm, sungguh pedang bagus."
Habis berkata pedang terus dilepaskannya. Si baju hitam melengak, "Kau ..."
Siau-hong tertawa pula, "Aku bukan Sebun Jui-soat, maka pedang kukembalikan kepadamu
Jiwa juga tetap milikmu." Si baju hitam melongo dan Kah Lok-san tertawa. "Inilah
kekerasan," kata Kah Lok-san dengan tersenyum, "dipancing dengan harta tidak mempan,
dipaksa dengan kekerasan tidak berhasil, lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Mengapa engkau tidak pulang saja?" kata Siau-hong. Ucapan yang aneh, tapi Kah Lok-san
seperti tidak mendengarnya, ia berkata pula, "Ada pameo yang mengatakan Enghiong
(pahlawan ksatria) sukar menembus Bi-jin-juan (rintangan wanita cantik) tidak perlu
disangsikan lagi. Anda adalah seorang Enghiong. lantas sekarang di mana adanya si cantik?"
Sudah tentu si cantik sudah siap. "Si cantik berada di luar pintu.
62 Ketika angin meniup, tercium bau harum semerbak. Seorang hamba tua yang berkuku sangat
panjang sedang mencungkil sumbu pelita dengan sebatang korek kuping perak lalu di luar
seorang perempuan setengah baya dengan dandanan sederhana melangkah masuk dengan
dipapah oleh seorang gadis cantik berbaju ungu.
Nyonya setengah umur ini berperawakan langsing, berkulit pulih, gerak-geriknya memikat,
rambutnya tersisir rapi, di bawah cahaya lampu, kulit badannya tertampak lebih halus
daripada si gadis.
Siapa pun dapat menduga pada masa remajanya pasti seorang perempuan molek, sekarang
mesti sudah setengah baya, daya tariknya tetap dapat membuat berdetak jantung setiap lelaki.
Bagi kaum lelaki, perempuan setengah baya yang kenyang pengalaman ini terkadang jauh
lebih memikat daripada gadis yang masih hijau plonco.
Akan tetapi si gadis berbaju ungu yang berada di sampingnya ternyata lain daripada yang lain.
Segala daya tarik si nyonya sirna sama sekali dan tidak menimbulkan perhatian orang lain.
Sukar untuk melukiskan kecantikan gadis ini, serupa sukarnya melukiskan betapa perasaan
orang tersentuh ketika untuk pertama kalinya meresapi cinta.
Dengan menunduk gadis itu ikut melangkah masuk, lalu berdiri diam saja di sana. Seperti
tidak sengaja ia melirik Siau-hong sekejap.
Seketika juga timbul perasaan aneh dalam hati Liok Siau-hong, balikan terjadi pula perubahan
aneh pada bagian badan tertentu.
Lirikan si gadis serupa bara api yang tidak kelihatan dan sewaktu-waktu dapat membakar
nafsu birahi lelaki.
Setelah melihat gadis itu barulah Siau-hong paham betul bentuk perempuan macam apakah
yang dapat dianggap sebagai perempuan cantik.
Kah Lok-san duduk santai di kursinya, menikmati mimik wajah Liok Siau-hong. Katanya
kemudian dengan perlahan, "Dia bernama Jo-jo, dia sangat menggiurkan orang bukan?"
Siau-hong tidak dapat menyangkal.
"Tampaknya engkau sangat menyukai dia," kata pula Kah Lok-san.
Siau-hong juga tidak dapat membantah. Perlahan Kah Lok-san menghela napas, "Baik, setiap
saat jika kau mau pulang, setiap saat dia akan ikut bersamamu dengan membawa peti ini."
Perlahan Siau-hong juga menghela napas, dan berkata, "Jika begitu, hendaknya kau suruh dia
menungguku di sini." "Bilakah engkau akan pulang?" tanya Kah Lok-san. "Begitu
menemukan Lo-sat-pai, segera juga aku pulang." Air muka Kah Lok-san berubah,
"Sesungguhnya apa kehendakmu baru akan kau sanggupi untuk pulang sekarang" Apa
permintaanmu?"
Biji mata Siau-hong berputar, kalanya, "Sebenarnya aku tidak menghendaki apa-apa, namun
sekarang aku jadi teringat kepada sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Kah Lok-san.
"Kuminta hidung Sukong Ti-sing."
Kah Lok-san tampak melenggong, "Emas dan si cantik engkau tidak mau, mengapa justru
minta hidungnya?"
"Sebab ingin kulihat bagaimana macamnya sesudah kehilangan hidung, ingin kulihat apakah
dia masih mampu menyaru sebagai setan untuk menakuti orang atau tidak?"
Kah Lok-san menatapnya tanpa bersuara, mendadak ia terbahak bahak.
Suara tertawanya telah berubah menjadi lantang. "Hahaha! Bagus, tak kusangka sekali ini
tetap tidak dapat kugertak dirimu. Cara bagaimana dapat kau lihat penyamaranku?"
Dengan ucapannya ini sama halnya dia telah mengaku dirinya sebagai Sukong Ti-sing.
"Tidak sulit," ujar Siau-hong dengan hambar, "dapat kucium bau malingmu!"
"Bau maling?" Sukong Ti-sing menegas. "Ya, baik maling besar maupun maling kecil tentu
membawa semacam bau, " ujar Siau-hong. "Engkau adalah raja pencuri, malingnya maling,
dengan sendirinya baumu terlebih keras daripada maling lain, apalagi .... "
63 "Apalagi apa?" Sukong Ti-sing menegas. "Biarpun aku dalam keadaan mabuk, kecuali maling
semacam dirimu ini, orang lain jangan harap akan dapat menyusup masuk ke tempatku ini dan
mencuri pakaianku."
Pakaian Siau-hong semula ditaruh di ujung tempat tidur dan sekarang memang tidak kelihatan
lagi. Sukong Ti-sing tertawa, "Aku cuma membikin alasan bagimu agar kau dapat meringkuk terus
di bawah selimut, memangnya siapa mengincar bajumu yang tidak laku sepicis itu."
"Dengan sendirinya kau pun tidak menghendaki kepalaku," kata Siau-hong.
"Kepalamu terlalu besar, dibawa terlalu berat, dipajang di rumah juga makan tempat."
"Habis apa kehendakmu?" "Ingin melihat dirimu." "Masa belum cukup kau lihat diriku?"
"Jika kau sangka aku yang ingin melihat dirimu, maka salah besar. Bagiku bila melihat
sekejap dirimu, segera aku bisa tumpah."
"Habis siapa yang ingin melihat diriku?"
"Kah Lok san," jawab Sukong Ti-sing.
"Kah Lok-san yang tulen?" tanya Siau-hong.
Sukong Ti-sing mengangguk. "Ya, dia ingin tahu bagaimana wujudnya makhluk aneh yang
beralis empat ini dan berapa lihainya?"
"Untuk itu, mengapa dia sendiri tidak datang kemari?" "Dia sudah datang," ujar Sukong Tising.
"Dia sudah berada di rumah ini?" kata Liok Siau-hong menegas.
"Ya, dia sudah berada di sini, coba dapatkah kau kenali dia atau tidak?"
Di dalam rumah sekarang seluruhnya ada sembilan orang. Kecuali Liok Siau-hong sendiri dan
Sukong Ti-sing, yang seorang ialah si lelaki berbaju hitam dan berpedang antik itu, seorang
lagi si ahli senjata rahasia yang masih bergelantungan di belandar rumah, seorang hamba tua
yang berkuku sangat panjang, seorang gadis cantik setengah baya. selebihnya adalah dua
lelaki kekar penggotong peti.
Di antara ketujuh orang ini, siapakah samaran Kah Lok-san
tulen" Siau-hong mengamat-amati si baju hitam beberapa kejap, katanya kemudian, "Engkau
menyandang pedang antik, ilmu silatmu tidak lemah, juga berkedok, jangan-jangan engkau
inilah Kah Lok-san?"
Si baju hitam diam saja.
Tapi Siau-hong lantas menggeleng-geleng dan berucap, "Tidak, tidak mungkin."
"Mengapa tidak mungkin." tanya si baju hitam saking tidak
tahan. "Sebab meski ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kurang perbawa."
"Darimana kau tahu Kah Lok-san pasti mempunyai perbawa?" tanya si baju hitam.
"Jika dia tidak mempunyai perbawa, cara bagaimana dahulu dia dapat merajai lautan dan
memerintah anak buahnya?"
Maka si baju hitam tidak dapat bicara lagi.
Orang kedua yang diawasi Siau-hong adalah si ahli senjata yang bergelantung di belandar
seperti kera itu, tetapi cuma dipandangnya sekejap, lalu ia menggeleng dan berkata, "Tidak
mungkin dirimu Kah Lok-san."
"Sebab apa?" tanya si kera.
"Sebab orang semacam Kah Lok-san tidak nanti bergelantungan di atap rumah serupa orang
hutan." Maka orang ini pun tidak dapat bicara lagi.
Giliran selanjutnya adalah si hamba tua yang berkuku panjang itu.
"Melihat kedudukanmu, tidak seharusnya kau piara kuku sepanjang ini," ujar Siau-hong.
"Korek kuping perak vang kau gunakan untuk mencukil sumbu pelita tadi kulihat terbuat
dengan sangat indah bahkan biasanya digunakan orang Kangouw untuk menguji sesuatu
64 makanan beracun atau tidak. Kulihat sinar matamu tajam, langkahmu mantap, Lwekangmu
pasti tidak lemah."
Hamba tua tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, "Jangan-jangan kau anggap diriku inilah
Kah Lok-san?"
"Kau pun bukan," sahut Siau-hong dengan tertawa. "Sebab apa?" tanya si hamba tua. "Sebab
engkau tidak sesuai," kata Siau-hong. "Tidak sesuai?" melengak si hamba tua. ''Dahulu Kah
Lok-san merajai lautan, sekarang dia juga seorang hartawan besar setempat, dalam
makanannya beracun atau tidak, tentu ada pengiringnya yang akan mengujinya, padanya
sendiri untuk apa mesti membawa barang tetek bengek begini?" Maka hamba itu pun
bungkam. Kedua kuli penggotong peti itu lebih-lebih tidak mungkin samaran Kah Lok-san,
anggota badan mereka kasar, kekar tanpa wibawa, sekali pandang saja orang akan tahu
mereka berasal dari golongan rendahan.
Sekarang Siau-hong sedang mengincar si nona cilik berbaju
ungu. "Kau kira dia samaran Kah Lok-san?" tanya Sukong Ti-sing
dengan tertawa.
"Dia juga mungkin," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Dia juga mungkin?" hampir saja Sukong Ti sing berteriak.
"Dengan kecantikan dan daya tariknya, memang setiap lelaki bisa menyembah di bawah
kakinya dan rela diperlakukan apa pun olehnya," ujar Siau-hong. "Selama ratusan tahun
terakhir ini, bajak laut terkenal yang merajai lautan sana memang ada seorang perempuan
cantik yang meruntuhkan iman siapa pun. Cuma sayang".."
"Sayang apa?" tanya Sukong Ti-sing.
"Sayang usianya terlalu muda. Paling-paling hanya bisa jadi putri Kah Lok-san saja."
Sukong Ti-sing memandangnya, sorot matanya menampilkan semacam rasa kagum padanya,
"Dan sekarang tinggal satu orang lagi."
Yang tersisa tinggal si Nyonya setengah baya itu.
"Apakah dia samaran Kah Lok-san?" tanya Sukong Ti-sing pula.
"Dengan sendirinya juga tidak mungkin," ujar Siau-hong, "Sudah lebih 30 tahun yang lalu
Kah Lok-san malang melintang di lautan raya sana, umurnya sekarang sedikitnya sudah 50
atau 60 tahun."
Padahal usia nyonya cantik ini tampaknya baru 40-an. "Konon Kah Lok-san bertenaga
raksasa pembawaan, bahkan gagah perkasa dan seorang sanggup melawan beratus orang,"
ucap Siau-hong pula. "Dahulu bila terjadi pertempuran perebutan pengaruh di lautan, dia
selalu mendahului anak buahnya menyerbu musuh lebih dulu. Dia tangkas dan berani dan
sukar ditandingi."
Sedangkan nyonya setengah baya itu kelihatan lemah lembut. Dengan tersenyum Sukong Tising
berkata, "Meski cukup beralasan uraianmu, tapi kau lupa pada suatu hal yang paling
penting." "Oo?" Siau-hong melengak.
"Kau lupa bahwa Kah Lok-san adalah seorang lelaki gagah perkasa, sedangkan nyonya kita
ini seorang perempuan,"
"Hal ini kukira tidak penting."
"Oo?" kini Sukong Ti-sing yang melenggong.
"Di dunia Kangouw sekarang banyak orang mahir menyamar, ilmu rias sudah berkembang,


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelaki bisa menyamar sebagai perempuan, dan perempuan juga dapat menyaru sebagai lelaki,
soal ini sudah tidak mengherankan lagi."
"Apapun juga. tentunya kau anggap dia tidak mungkin samaran Kah Lok-san."
"Ya, memang tidak mungkin." ujar Siau-hong.
65 "Tapi setahuku Kah Lok san benar-benar berada di rumah ini," kata Sukong Ti-sing. "Jika
mereka bertujuh bukan Kah Lok-san, lantas siapakah Kah Lok-san?"
"Sebenarnya tidak pantas kau tanya."
"Mengapa tidak pantas kutanya?"
"Sebab kau pun tahu urusan di dunia ini seperti orang main catur, banyak ragam
perubahannya. Ada hal yang tidak mungkin terjadi justru dapat terjadi. Ada urusan yang tidak
mungkin terlaksana sekarang juga dapat terlaksana. Bahkan lautan pun bisa ditimbun menjadi
daratan. Apalagi urusan lain."
"Makanya....."
"Makanya nyonya kita ini mestinya tidak mungkin samaran Kah Lok-san, tapi justru
samarannya."
"Jadi maksudmu, dia lelaki yang menyamar sebagai perempuan"''
"Ehm," Siau-hong mengangguk.
"Kah Lok-san merajai samudera dan memerintah kawanan bajak, dengan sendirinya dia
seorang lelaki kekar dan berwajah bengis, jika wajahnya sehalus ini, mana mungkin kawanan
bajak bisa tunduk padanya?" ujar Sukong Ti-sing dengan tertawa.
"Mungkin sudah kau lupakan julukannya pada masa lampau, aku sih tidak pernah lupa," kata
Siau-hong. "Coba jelaskan," pinta Sukong Ti-sing.
"Dahulu dia berjuluk Thi-bin-hong-ong (raja naga bermuka besi), sebabnya dia meniru
panglima perang dinasti dahulu yang bernama Tik Jing, pada waktu menyerbu musuh di
medan perang selalu memakai topeng tembaga yang beringas."
Setelah tersenyum, Siau-hong menyambung lagi. "Padahal Tik Jing terkenal berwajah cakap,
ia tahu wajah sendiri tidak dapat menakuti orang, sebab itulah dia sengaja memakai topeng,
kukira Kah Lok-san juga demikian."
Seketika Sukong Ti-sing menjadi bungkam juga.
Sedangkan nyonya selengah baya itu lantas menghela napas dan berkata, "Bagus. sungguh
pandangan tajam."
"Ya, lumayan, meski tidak luar biasa." ucap Siau-hong dengan bangga.
"Betul, aku inilah Kah Lok-san," kata si nyonya tiba-tiba. "Aku inilah Thi-bin-liong-ong masa
lampau dan si dermawan masa kini di daerah Kanglam."
Ketika menyebut "Kah Lok-san", wajahnya yang molek itu seketika berubah menjadi dingin,
waktu menyebut "Thi-bin-liong-ong" terpancar sorot matanya yang tajam dan selesai bicara,
dia benar-benar telah berubah jadi seorang yang lain.
Meski wajah dan pakaiannya tidak berubah seluruhnya, tapi sikapnya dan gayanya telah
berubah sama sekali, serupa sebilah pedang tajam yang terlolos dari sarungnya, sampai Siauhong
juga dapat merasakan keseramannya.
Dia memandang Siau-hong lekat-lekat, lalu menyambung pula, "Cuma aku pun tidak habis
mengerti, cara bagaimana dapat kau lihat samaranku?"
Siau-hong tersenyum, ucapnya, "Lantaran dia." Dia yang dimaksud adalah Jo-jo, si nona
jelita, bilamana memandangnya, sorot mata Siau-hong lantas penuh gairah dan penuh rasa
takjub. Sebaliknya sinar mata Kah Lok-san lantas penuh rasa murka dan curiga, dia menegas.
"Lantaran dia, katamu" Apakah dia yang memberi isyarat padamu?"
Melihat sikap Kah Lok-san itu, tertawa Siau-hong semakin riang, sahutnya tak acuh, "Jika kau
pikir demikian juga boleh, sebab kalau dia tidak berada di sini, aku pasti takkan menyangka
engkau inilah Kah Lok-san."
Tangan Kah Lok-san yang berpegangan pada bahu Jo-jo itu mendadak mengencang, seketika
wajah Jo-jo yang cantik itu menampilkan rasa kesakitan.
66 Diam-diam Siau-hong menghela napas, baru sekarang ia tahu pasti hubungan di antara
mereka. Mereka diumpamakan rase tua yang licin, kelinci yane cantik dan halus, elang yang rakus dan
burung kenari yang kehilangan kebebasan ....
Dia tidak tega lagi melihat si nona tersiksa, cepat ia memberi penjelasan. "Anak perempuan
seperti dia, kemana pun dia pergi.
lelaki tentu akan memandang beberapa kejap lebih banyak padanya."
Kah Lok-san hanya mendengus saja.
"Akan tetapi lelaki yang berada di sini justru tidak memandangnya sama sekali, bahkan
meliriknya saja tidak berani, padahal perempuan dilahirkan justru untuk dipandangi lelaki.
Bahwa mereka tidak berani memandangnya, tentunya bukan karena takut si nona akan marah,
tetapi kepadamu, maka ..."
"Maka apa?" tanya Kah Lok-san.
"Maka aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, semua lelaki yang berada di sini rata-rata
bukan jagoan rendahan, mengapa mereka sama takut padamu" Jangan-jangan engkau inilah
Kah Lok-san yang membunuh orang tanpa berkedip itu?"
Kah Lok-san menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berseru, "Bagus,
uraian bagus, cara berpikirmu juga bagus."
"Kedatanganmu kan bukan untuk mendengarkan khotbahku, tapi kau datang untuk melihat
diriku, kau ingin tahu aku ini orang macam apa, begitu bukan?"
"Betul," sahut Kah Lok-san.
"Dan sekarang sudah kau lihat?"
"Betul."
"Bagaimana, orang macam apakah diriku ini?" "Seorang pintar." "Bagus, jawaban bagus."
"Engkau tidak cuma pintar saja, bahkan berpendirian teguh, beriman kuat, urusan apa pun
sangat sulit menggoyahkan pikiranmu, kupikir jika benar ada sesuatu urusan yang hendak kau
lakukan, pasti urusan itu akan kau selesaikan sampai tuntas biar pun ada seribu rintangan yang
harus kau hadapi."
"Bagus, pendapat yang bagus!" kata Siau-hong.
"Jadi kau ini seorang sahabat yang baik, tapi juga seorang lawan yang menakutkan," dengan
tajam Kah Lok-san pandang Siau-hong, lalu menyambung, "Cuma sayang, engkau bukan
sahabatku, maka bagimu hanya ada satu jalan yaitu mati!"
"Hanya ada mati bagiku?" Siau-hong menegas. "Ya, harus mati tidak ada pilihan, tidak boleh
tidak!" jengek Kah Lok-san.
ooo000ooo Malam bertambah larut, angin semakin dingin. Si baju hitam masih berdiri tegak seperti
tonggak di situ, si hamba tua mengeluarkan sebuah kikir kecil dan sedang mengikir kukunya
yang panjang itu.
Orang yang menggelantung di belandar rumah itu entah sejak kapan sudah anjlok ke bawah,
sama sekali tidak menerbitkan suara.
"Pandanganmu memang tidak keliru," kata Kah Lok-san, "mereka bertiga memang jago yang
tidak boleh diremehkan, tadi meski sudah dapat kau tangkis tusukan maut Losam dan
hamburan senjata rahasia Loji. tapi kalau ditambah lagi dengan serangan Lotoa, tentu
keadaannya akan sangat berbeda."
Liok Siau-hong memandang hamba tua yang berambut putih itu dan bertanya. "Apakah
dirimu yang dimaksud Lotoa?"
Hamba tua itu hanya mendengus saja, ia menekuk jarinya, kuku panjang pada jari tengah
lantas terlipat serupa kertas, ketika mendadak dijentikkan, "crit", dimana desing angin
67 menyambar, kertas tutup jendela yang terletak tujuh delapan kaki jauhnya itu telah tertusuk
satu lubang kecil oleh angin selentikan kukunya itu.
Apabila kuku ini tepat menusuk di tubuh manusia, maka dapat dibayangkan bagaimana
akibatnya. ( Tanpa terasa Siau-hong bersorak memuji, "Bagus, sungguh hebat! Tenaga jari
sakti yang lihai dan benar-benar ilmu sakti andalan Hoa-san."
"Hm, boleh juga pandanganmu," jengek si hamba tua. "Jurus pedang maut Kong-tong-pay,
hujan senjata rahasia perguruan Sin-cap niocu, ditambah lagi tenaga jari sakti Hoa-san pay,
tampaknya hari ini nasibku akan sukar diramalkan," ucap Siau-hong dengan gegetun.
Tiba-tiba Sukong Ti-sing tertawa, katanya, "Orang lain sama bilang pandanganmu tidak jelek,
tapi JUstru hendak kukatakan pandanganmu kurang baik!"
"Oo?" Siau-hong ingin tahu.
"Hanya asal-usul kungfu mereka bertiga yang kau sebutkan tapi kau lupa bahwa di sini masih
ada dua tokoh lagi yang terlebih menakutkan,' ujar Sukong Ti-sing,
"Aku tidak lupa," sahut Siau-hong.
"Memangnya aku kau hitung atau tidak?"
"Tidak," kata Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Sukong Ti-sing.
"Sebab dalam pandanganku, sama sekali engkau tidak menakutkan, sebaliknya rada-rada
menyenangkan."
Sukong Ti-sing tertawa.
"Tentunya tidak kau sangka akan kukatakan engkau ini rada menyenangkan, bukan?"
"Aku pun tidak menyangka dapat kau lihat nona Jo-jo yang lembut ini sedemikian
menakutkan," sahut Sukong Ti-sing.
"Aku pun dapat melihat seginya yang menyenangkan," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Orang yang menyenangkan biasanya kan juga menakutkan" Mungkin hal ini sukar
dimengerti, tapi nanti bilamana engkau benar-benar jatuh cinta kepada seorang, barulah akan
kau pahami artinya.
"Kukira engkau juga tidak pernah mendengar sesuatu pameo." kata Sukong Ti-sing pula.
"O, pameo apa?" tanya Siau-hong.
"Lemah lembut menarik, kejar nyawa rampas sukma!"
Siau-hong berpaling dan memandang Jo-jo, ucapnya sambil menggeleng, "Sungguh aku tidak
percaya nona lemah lembut seperti dirimu ini memiliki kepandaian mengejar nyawa dan
merampas sukma orang?"
"Aku sendiri tidak percaya," ujar Jo-jo dengan tertawa.
Tertawanya manis, suaranya merdu tapi gerak tangannya lebih keji daripada ular berbisa.
Justru pada saat dia tertawa manis itulah, serentak dia turun tangan. Dinar emas berkelebat,
secepat kilat menusuk leher.
Senjata yang digunakannya adalah tusuk kundai emas yang dipakai n y a.
Tangan Siau-hong sudah bergerak dan siap menjepitnya, jepitan Siau-hong belum pernah
meleset. Akan tetapi sekali ini baru saja tangan terjulur, segera ditariknya kembali, sebab pada saat
cahaya emas berkelebat itulah tiba-tiba diketahuinya ujung tusuk kundai itu berduri, terdapat
duri lembut yang tak terhitung jumlahnya.
Dengan sendirinya duri tusuk kundai itu beracun, Jo-jo bukan orang pertama yang
menggunakan cara keji untuk menghadapi jepitan jari Liok Siau-hong itu.
Bahwa Siau-hong dapat hidup sampai sekarang jelas bukan lantaran nasibnya selalu mujur.
Yang pasti matanya memang tajam, reaksinya cepat, begitu tangan ditarik kembali, serentak
tubuhnya menggeser ke samping sehingga tusuk kundai lawan tepat menyambar lewat
lehernya. 68 Sekali tangan Jo-jo berputar, tusuk kundai menusuk pula. Tusuk kundai ini pendek dan gesit,
perubahan serangannya tentu saja sangat cepat, hanya sekejap saja sudah belasan kali ia
menusuk, sudut yang ditusuk selalu bagian yang sukar terhindar, yang diincar selalu bagian
mematikan. Tusuk kundai nona yang kelihatan lemah-lembut ini ternyata jauh lebih menakutkan daripada
pedang si baju hitam tadi.
Cuma sayang, lawan yang dihadapinya ialah Liok Siau-hong. Jika serangannya sangat cepat,
cara berkelit Liok Siau-hong terlebih cepat. Beruntun dia menyerang 16 kali dan berturutturut
Liok Siau-hong mengelak 15 kali, mendadak tangan Siau-hong membalik dan tepat
mencengkeram pergelangan tangan yang pulih halus itu.
Pergelangan tangan halus itu tidak tega dipatahkan, biasanya Siau-hong memang penyayang
perempuan, apalagi perempuan cantik, mana dia sampai hati"
Akan tetapi si nona justru berhati keji, sambil menggeliat, sebelah kakinya menendang, yang
diincar adalah selangkangan Liok Siau-hong, bagian yang vital dan fatal.
Serangan ini sesungguhnya tidak pantas dilakukan, apalagi oleh seorang gadis jelita. Siapa
pun tidak menyangka anak perempuan lembut dan menyenangkan seperti dia bisa melakukan
serangan sekeji ini.
Tapi Liok Siau-hong justru sudah menduga akan kemungkinan ini, pada saat kaki orang
terangkat, berbareng ia pun memutar pergelangan tangan si nona sehingga orangnya terlempar
ke sana, sedapatnya nona itu berjumpalitan di udara untuk kemudian jaluh ke dalam pangkuan
Kah Lok-san. Kah Lok-san tampak berkerut kening, tanyanya, "Kau terluka tidak?"
Cara bertanyanya ternyata sangat halus dan penuh perhatian.
Jo-jo menggeleng, perlahan ia melepaskan diri dan pelukan Kah Lok-san, mendadak
tangannya membalik, tusuk kundai yang dipegangnya langsung menikam dada Kah Lok-san.
Perubahan ini sama sekali tak terduga oleh Liok Siau-hong. bahkan mimpi pun tak terpikir
oleh Kah Lok-san.
Serangan ini jelas serangan yang fatal, yang mematikan.
Kah Lok-san memang tidak malu sebagai seorang gembong, biar pun terancam bahaya, dia
tidak menjadi panik, dia masih dapat melancarkan serangan balasan, sekali turun tangan
segera ia cekik leher Jo-jo.
Muka Jo-jo tampak pucat sebagai mayat, terdengar suara "krok-krok" dari tenggorokannya
yang tercekik. Makin kencang cekikan Kah Lok-san, katanya dengan menyeringai. "Perempuan hina, akan
ku ..." Belum lanjut ucapannya, "crat", sebuah kuku yang panjang tepat menusuk Giok-cimhiat
di bagian belakang kepalanya.
Ini pun serangan yang mematikan. Segera Kah Lok-san melepaskan cekikannya, ia meraung
sambil membalik tubuh dan menubruk ke arah si hamba tua.
Akan tetapi baru saja ia membalik tubuh, serentak angin tajam menyambar tiba pula. Belasan
bintik perak sama bersarang di punggungnya, sebatang pedang secepat kilat juga menyambar
tiba dan tepat menusuk pinggangnya.
Sekali berhasil dengan serangannya, keempat orang serentak mundur bersama, mundur ke
pojok ruangan. Setelah pedang dicabut, darah segar lantas berhamburan, Kah Lok-san ternyata tidak lantas
roboh, mukanya tampak beringas dan sangat menakutkan. Matanya melotot seakan-akan
melompat ke luar dari rongga matanya, ia mendelik terhadap keempat orang itu, teriaknya
dengan suara parau, "Ken .., kenapa kalian lakukan...."
Si baju hitam menggenggam pedangnya dengan erat, urat hijau tampak menonjol di punggung
tangannya, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, ruas jarinya berubah menjadi putih,
bahkan kelihatan bergemetar.
69 Tidak terkecuali yang lain, si hamba tua dan orang yang bergelantungan di atas belandar itu
juga sama gemetar.
Meski berhasil menyerang, rupanya mereka pun ketakutan sehingga tidak sanggup bicara.
Yang masih dapat bicara dengan tenang justru ialah Jo-jo. sambil menggigit bibir ia lantas
mendengus, uHm, kau sendiri tentunya paham kenapa kami bertindak demikian."
Sejenak Kah Lok-san mendelik lagi, lalu mengembuskan kata-kata terakhir, "Sungguh aku
tidak paham ...."
Ucapannya itu makin lemah dan pada saat kata terakhir terdengar hanya embusan napas
belaka. Dia tidak paham, sampai ajalnya rupanya dia tetap tidak paham kenapa beberapa orang
kepercayaannya itu berbalik menyerang dan membunuhnya.
Cahaya pelita semakin buram.
Suasana di dalam rumah sunyi senyap, sampai suara napas dan detak jantung seakan-akan
juga berhenti. Kah Lok-san telah roboh terkulai di tengah genangan darahnya sendiri.
Siau-hong mengendurkan tangannya, tiba-tiba ia merasa tangan sendiri juga berkeringat
dingin, rupanya kejadian tadi juga cukup menegangkan urat sarafnya.
Orang pertama yang membuka mulut masih tetap Jo-jo. Entah mengapa, mungkin ini
buktinya lidah orang perempuan secara kodrat memang lebih lemas dan lincah daripada lidah
orang lelaki. Jo-jo membalik tubuh dan berhadapan dengan Liok Siau-hong, katanya, "Tentunya tak pernah
kau sangka kami akan membunuh dia"!
Siau-hong menyangkal, ia percaya siapa pun pasti tidak pernah menduga kejadian ini.
"Apakah kau pun tidak tahu sebab apa kami membunuh dia?" tanya Jo-jo pula.
Siau-hong merasa ragu untuk menjawab.
Perjodohan yang tidak sesuai selalu akan menimbulkan tragedi atau drama yang memilukan.
Hal ini bukannya Siau-hong tidak tahu, cuma dia tidak ingin bicara, ia tebih suka si nona
sendiri yang membeberkannya.
Wajah Jo-jo memang kelihatan sangat berduka dan juga murka, katanya kemudian dengan
emosional, "Dia telah menguasai diriku dengan kekerasan, aku dipaksa menjadi barang
permainannya, dijadikan alat pelampiasnya. Dia juga berhasil menggenggam kelemahan
mereka bertiga, dia memeras mereka dan memaksa mereka jadi budaknya. Maka kami
berkomplot, sudah lama kami ingin membunuh dia, cuma sayang, sebegitu jauh belum ada
kesempatan baik."
Tidak perlu disangsikan lagi Kah Lok-san adalah seorang tokoh yang sangat menakutkan,
kalau tidak ada kesempatan yang menguntungkan dan dirasakan pasti berhasil dengan
sendirinya mereka tidak berani sembarangan bertindak.
"Apakah sekali ini justru telah kubikin kesempatan baik bagi kalian untuk membunuhnya?"
tanya Siau-hong.
Jo-jo mengangguk, katanya, "Ya. maka kami sangat berterima kasih padamu, kami sudah siap
membalas kebaikanmu ini."
"Membalas kebaikan" yang diucapkan seorang perempuan, apalagi anak perempuan secantik
Jo-jo, biasanya mengandung arti khusus.
Tapi sikap Jo-jo ternyata sangat prihatin, dengan sungguh-sungguh ia berkata pula, "Kami
tahu perjalanan ini bertujuan mencari Lo-sat-pai, kami juga tahu pada hakikatnya engkau


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tidak yakin apakah Lo-sat-pai akan bisa kau temukan, sebab persyaratan yang ada
pada kami sekarang jelas lebih baik daripada dirimu."
"Oo" Lantas maksudmu?" tanya Siau-hong dengan berkedip-kedip,
"Asalkan kau mau, kami dapat membantumu dengan sepenuh tenaga," jawab Jo-jo.
"Cara bagaimana akan kalian bantu diriku?" tanya Siau-hong
70 pula. Jo-jo menuding peti besar yang penuh berisi emas perak itu dan berkata. "Peti semacam ini
masih ada 11 buah di atas kereta kami. Sementara ini, Li He tidak tahu bahwa Kah Lok-san
sudah mati malahan ia pun belum kenal wajah Kah Lok-san yang sebenarnya, sebab
itulah......"
"Sebab itulah jika aku memalsukan Kah Lok-san, dengan 12 peti emas ini kugunakan untuk
membeli Lo-sat-pai kepada Li He, maka benda pusaka itu dapat kuperoleh dengan sangat
mudah, begitu maksudmu?"
Jo-jo tidak langsung menjawab, ia menghela napas, lalu berkata pula, "Kah Lok-san memang
tidak salah lihat, sedikit pun dia tidak salah menilai dirimu. Engkau memang betul seorang
yang cerdas dan pintar."
"Tapi aku tetap tidak habis mengerti, sebab apakah kalian bertindak demikian?" ujar Siauhong.
"Sebab kami tidak ingin orang lain mengetahui bahwa Kah Lok-san terbunuh oleh kami,"
tutur Jo-jo setelah berpikir sejenak.
"Oo, apakah kaitan takut anak muridnya akan menuntut balas?" tanya Siau-hong,
"Tidak, tidak ada orang yang akan menuntut balas baginya," ucap Jo jo dengan tertawa,
"Cuma....."
"Cuma dia kan seorang yang kaya raya, harta benda yang ditinggalkan tak terhitung
jumlahnya," tukas Siau-hong dengan tertawa. "Dan orang yang membunuhnya dengan
sendirinya tidak mungkin dapat ikut mewarisi harta bendanya, begitu?"
"Ai, engkau benar-benar seorang cerdas, sungguh kelewat pintar," ujar Jo-jo dengan
menghela napas gegetun.
"Dan karena kalian merasa tidak yakin mampu membunuh diriku untuk menghilangkan saksi
hidup, kalian juga kuatir rahasia peristiwa ini akan tersiar, maka kalian lantas mencari jalan
untuk memelet diriku," ucap Siau-hong pula.
"Dengan syarat yang kami kemukakan itu, memangnya belum lagi memuaskan dirimu?"
tanya Jo-jo sambil memicingkan mata.
Siau-hong tertawa, katanya, "Cuma sayang orang yang hadir di sini dan langsung
menyaksikan kejadian ini kan tidak cuma aku sendiri, mereka kan juga punya mata dan
mulut?" "Yang hadir di sini semuanya adalah orang kami sendiri," ujar Jo-jo, "Hanya Sukong-tayhiap
saja yang orang luar."
"Aku bukan Tayhiap (pendekar besar), tapi Taycat (maling besar)," tukas Sukong Ti-sing
dengan tertawa.
"Ya, jelas kami tahu Sukong-taycat adalah sahabat baik Liok Siau-hong, apabila Liok Siauhong
mau kompromi dengan kami dan menyetujui usul yang kami ajukan tadi, kuyakin
Sukong-taycat pasti takkan berkhianat dan menjual Liok Siau-hong." kata Jo-jo.
Mendadak Sukong Ti-sing mendelik dan berteriak, "Kubilang diriku ini Taycat, mengapa kau
pun sebut aku sebagai Taycat?"
"Aku kan cuma menurut saja. Orang menurut kan lebih baik?" sahut Jo-jo dengan tersenyum
geli. Sukong Ti-sing jadi tertawa juga.
Betapa pun seorang maling kan juga manusia, apalagi lelaki. Seorang nona cantik, apa pun
yang dikatakannya di depan orang lelaki, biasanya si lelaki pasti akan merasa tertarik dan
senang. Tampaknya Jo-jo sangat percaya kepada kecantikannya sendiri, dengan gaya menggiurkan ia
melirik Sukong Ti-sing dan bertanya, "Bagaimana dengan pendapatmu?"
"Sukong-taycat bukanlah sahabat baik Liok Siau-hong." jawab Sukong Ti-sing. "Maka setiap
saat bilamana mau dia dapat menjual Liok Siau-hong. Hanya saja biasanya Sukong-taycat
71 tidak suka mencari perkara dan mendapat kesulitan, lebih-lebih urusan yang tidak enak ini.
maka....."
"Maka Sukong-taycat juga setuju?" tukas Jo-jo dengan tertawa.
"Tapi Sukong-taycat juga ada sebuah syarat," jawab Ti-sing. "Syarat" Syarat apa pula?" biji
mata Jo-jo tampak berkerling. "Memangnya Sugong-taycat juga minta kutemani dia tidur?"
Ucapan mi sungguh sangat mengejutkan, terlebih mengejutkan daripada tendangan mautnya
yang mengincar bagian vital Liok Siau-hong tadi.
Sukong Ti-sing juga melenggong, tapi lantas bergelak tawa, katanya, "Wah, anak perempuan
cantik semacam dirimu ini, jika tidur di sampingku mungkin aku bisa terjaga bangun meski
lagi tidur nyenyak."
"Habis apa yang kau minta padaku?" tanya Jo-jo dengan tersenyum manis.
"Asalkan Lo-sat-pai didapatkan, keempat perempuan itu harus dilepaskan," jawab Sukong Tising.
"Keempat perempuan yang mana" Maksudmu Li He dan kawan-kawannya?"
"Ehmm," Ti-sing mengangguk.
Jo-jo berkedip-kedip, katanya tiba-tiba, "Aneh juga mengapa engkau sedemikian
memperhatikan mereka" Memangnya mereka pernah menemani tidur padamu?"
Sukong Ti-sing mendelik padanya, ucapnya kemudian sambil menggeleng kepala dan
menyengir, "Ai, tampaknya dirimu ini serupa anak perempuan yang alim, mengapa kalau
bicara selalu berduri?"
Jo-jo tertawa, katanya, "Sebab setiap kali aku bicara hal-hal demikian akan selalu terasa
bergairah dan merangsang."
Sukong Ti-sing menggelengkan kepala pula, ucapnya, "Aku cuma ingin tanya padamu, kau
terima syaratku atau tidak?"
"Dengan sendirinya kuterima," jawab Jo-jo tanpa pikir. Serentak Sukong ti-sing berdiri. Ia
melambaikan tangan kepada Liok Siau-hong dan berseru, "Sampai bertemu pula!"
"He, nanti dulu!" teriak Siau-hong mendadak, "Dimana pakaianku?"
Sukong Ti-sing tertawa, katanya. "Di sini ada seorang nona secantik ini, untuk apa pula kau
minta pakaian" Bilakah kau berubah menjadi begini bodoh?"
Habis berkata, sekali lompat, tahu-tahu ia sudah melayang keluar jendela, hanya sekejap saja
suara tertawanya sudah menjauh dan lenyap.
ooo000ooo Aneh juga, dalam waktu singkat suasana di dalam rumah menjadi lengang juga, entah sejak
kapan orang-orang itu sudah pergi semua, hanya tinggal Liok Siau-hong yang masih
berbaring di tempat tidur dan Jo-jo yang berdiri di depannya.
Nona itu kelihatan sangat jinak, lembut dan hangat, mendadak ia mengajukan lagi pertanyaan
yang terlebih mengejutkan, "Apakah kau ingin kutemani kau tidur sekarang?"
"Ya, ingin," jawab Siau-hong dengan terus terang.
Rupanya sekali ini dia tidak merasa kaget oleh tawaran nona jelita itu, malahan mata pun
tidak berkedip sama sekali.
"Jika ingin," Jo-jo tertawa, suaranya sedemikian lembut dan menghanyutkan pikiran setiap
lelaki, "boleh kau tidur sendirian di sini....."
Mendadak ia membalikkan tubuh, tanpa berpaling ia terus
melangkah pergi,
Setiba di luar pintu barulah ia menoleh dan melambaikan tangannya sambil berseru. "Selamat
tinggal sampai jumpa esok !"
"Blang", pintu lantas digabrukkan. Suasana kembali sunyi.
72 Liok Siau-hong melongo, dengan mata terbelalak ia memandang langit-langit kamar, dalam
hati ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. "Aneh, mengapa selalu kutemui orang-orang
yang aneh begini" Selalu kualami kejadian-kejadian yang ajaib ini"
Ia tidak tahu bahwa dunia ini memang penuh keajaiban! Dan kejadian yang aneh-aneh masih
terus akan menimpanya.
T A M A T Silahkan Ikuti lanjutan petualangan Liok Siau-hong dalam Buku 5. Keajaiban Negeri Es.
Pedang Dan Kitab Suci 21 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Naga Naga Kecil 9
^