Sang Penerus 8
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 8
dengan Kiai Kajar. Menurut pendapatku, baik Panembahan
itu, maupun Kiai Kajar akan berusaha untuk dapat
langsung menguasai pusaka-pusaka itu, sehingga aku akan
dapat menemukannya jika aku berada didekat orang yang
membawa pusaka itu"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Tentu
kami tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Pandi tidak berhasil
menemui Panembahan, jangan menyalahkan kami"
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak
menjawab. Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu
telah mempercayakan pusaka-pusaka itu kepada Kiai
Gumrah, juragan gula dan satu lagi diserahkan kepada Ki
Prawara dan Nyi Prawara.
"Masih ada satu lagi. Siapakah yang akan membawa
songsong itu?"
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Songsong itu
memang tidak secara khusus dapat dipergunakan sebagai
senjata. Namun songsong itu mempunyai nilai yang tinggi
bagi Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya.
Karena itu, maka orang yang selalu menyebut dirinya
berilmu tinggi itu berkata "Songsong itu akan berada
ditangan ketiga cucu Kiai Gumrah. Namun dua orang
diantara kami harus melindunginya."
"Bagus" sahut Buta Ijo "tetapi jika mereka juga harus memasuki sarang Kiai Windu Kusuma dengan membawa
songsong itu, bukankah sama saja artinya dengan
memanggil perhatian para pengikut Kiai Windu Kusuma
yang sedang bertugas"
"Tetapi kita memerlukan semua orang untuk bersaman
sama memasuki lingkungan lawan. Jumlah kita yang hanya
tiga belas orang ditambah dengan tiga orang cucu Kilai
Gumrah itu tentu akan menjadi terlalu sedikit dibandingkan
dengan jumlah lawan"
"Kau belum menghitung Ki Pandi dan kedua ekor
harimaunya " berkata Ki Prawara kemudian.
Saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah berkata
"Baiklah. Mereka akan memasuki regol halaman rumah itu
setelah salah seorang diantara kita membuka pintu itu dari
dalam" "Baik" berkata juragan gula itu "demikian pintu terbuka,
maka mereka akan memasuki halaman. Songsong itu
memang akan menarik perhatian. Tetapi kita dapat
mempergunakan sekaligus sebagai pancingan. Namun hal
itu baru akan kita lakukan setelah kita membersihkan
sebagian para pengikut Kiai Windu Kusuma yang akan
dapat mengganggu benturan akhir dari serangan kita"
"Tetapi aku ingin memperingatkan kalian" berkata Kiai
Gumrah "kita semuanya bukan pembunuh-pembunuh yang
tidak berjantung. Kita menjunjung tinggi ajaran perguruan
kita. Jika kita datang kesarang lawan kali ini adalah justru
dalam rangka mempertahankan hak kita yang ingin mereka
kuasai" Tetapi Buta Ijo itu menyahut "Apa yang dapat kita
lakukan jika kita tidak boleh membunuh" Bukankah itu
berarti kita sekedar membunuh diri?"
"Apakah kau artikan ajaran perguruan kita seperti itu?"
bertanya Kiai Gumrah.
Buta Ijo itu terdiam. Sementara Kiai Gumrahpun berkata
"Kita mengerti batas kewajaran ajaran perguruan kita.
Tetapi bukankah kita juga dapat melumpuhkan lawan tanpa
membunuhnya"
Tentu saja dalam batas-batas kemungkinan"
Saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angaguk. Buta Ijo itupun mengangguk-angguk
pula. Sambil menunggu tengah malam, maka Kiai Gumrah
dan saudara-saudara seperguruannya telah mempersiapkan
diri sebaik-baiknya. Mereka melihat senjata-senjata mereka,
agar pada saatnya tidak mengecewakannya. Kiai Gumrah,
juragan gula serta Ki Prawara telah menggegam tombak
ditangan mereka masing-masing. Tombak yang akan
mereka pergunakan langsung dipertempuran yang bakal
terjadi di rumah besar yang menjadi sarang Kiai Windu
Kusuma. Menjelang tengah malam, maka segala macam persiapan
benar-benar telah mapan. Karena itu, maka Kiai
Gumrahpun segera minta saudara-saudara seperguruannya
bersiap. "Anak setan" geram orang yang selalu menyebut dirinya
berilmu tinggi "Buta Ijo itu telah mendekur"
Juragan gula itulah yang kemudian membangunkannya.
Sambil mengguncang lengannya ia berkata "He. Bangun
dari mimpi burukmu itu"
Buta Ijo itu terkejut. Sekali ia menguap sambil
menggeliat. Tetapi kawannya yang selalu terkantuk-kantuk
membentak "He, tutup mulutmu. Seekor katak dapat
meloncat masuk kedalam mulutmu yang terbuka itu"
"Setan kau" geram Buta Ijo itu "kenapa kau tidak
kembali kekuburan itu saja"
Tetapi saudara seperguruannya yang lain berkata "Kau
yang selalu mengantuk, ternyata tidak semudah Buta Ijo itu
untuk dapat benar-benar tidur"
"Sudahlah" berkata juragan gula itu "kita akan segera
berangkat"
Kiai Gumrahpun kemudian telah memberikan pesan-
pesan terakhir kepada saudara-saudara seperguruannya.
Mereka diperingatkan untuk berusaha memasuki halaman
rumah itu dengan diam-diam. Mereka harus dapat
mengurangi lawan sebanyak-banyaknya.
Tetapi diperingatkan pula bahwa mereka
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu sekali lagi berdiri dalam lingkaran. Sejenak
mereka memusatkan nalar budi mereka untuk mempersiapkantugasme-reka yang sangat berat.
Sejenak kemudian, maka terdengar Kiai Gumrah berkata
"Semoga kita selalu mendapat perlindungan dari yang
Maha Agung"
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itupun mulai bergerak. Mereka membenahi
pakaian mereka agar tidak justru mengganggu tugas
mereka. Senjata merekapun sudah siap pula. Setiap saat
mereka akan mempergunakannya.
Dalam kegelapan
malam, maka saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mulai merayap mendekati
rumah yang terhitung besar yang menjadi sarang Kiai
Windu Kusuma dan para pengikutnya. Didalam rumah itu
juga terdapat orang-orang berilmu tinggi yang lain.
Seperti yang direncanakan, maka saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu akan bergerak sendiri-sendiri.
Mereka akan memasuki halaman rumah itu dengan
meloncati dinding. Namun seperti yang ditentukan, ketiga
orang cucu Kiai Gumrah serta dua orang yang akan
melindungi mereka, baru akan memasuki halaman rumah
itu setelah pintu gerbang dibuka.
Yang kemudian harus membawa payung yang
bertangkai agak panjang itu adalah Manggada dan Laksana.
Namun mereka tidak akan membawa songsong itu
bersama-sama. Tetapi bergantian.
Meskipun mereka tidak akan memasuki halaman
bersama-sama dengan yang lain, namun berlima mereka
telah bergerak mendekati pintu gerbang, meskipun masih
pada jarak yang terbatas. Winih sengaja tidak memasang
selongsong payung yang berwarna putih itu. Tetapi
menyulubunginya dengan baju lurik hitam milik kakeknya
agar warna kuning keemasan yang mengkilat itu tidak
justru memantulkan cahaya oncor yang sengaja dipasang
disudut-sudut dinding halaman rumah itu.
Sementara itu, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya yang lain telah merayap mendekati dinding
rumah itu. Dengan diam-diam mereka berusaha untuk
dapat meloncati dinding. Dari saudara seperguruan mereka
yang telah mengamati dinding halaman rumah itu dari luar
serta keterangan terperinci yang diberikan oleh Kiai
Gumrah berdasarkan keterangan kedua orang tawanannya,
maka mereka dapat memilih tempat-tempat, yang paling
aman untuk meloncat memasuki halaman.
Yang mula-mula mencapai dinding halaman itu adalah
o-rang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi. Sejenak
ia mendengarkan setiap suara dengan saksama. Namun
sudut dinding halaman ditempat ia menempelkan tubuhnya
itu sangat sunyi. Tidak terdengar suara apapun juga.
Karena itu, maka orang itu telah memberanikan diri
untuk meloncat menggapai bibir dinding halaman itu.
Perlahan-lahan ia beringsut naik, sehingga akhirnya ia
berhasil memandang kedalam.
Keadaan didalam halaman itupun sangat sunyi, padahal
menurut perhitungannya, jika besok mereka akan bergerak
mengambil pusaka-pusaka itu dirumah Kiai Gumrah, maka
mereka tentu sudah membuat persiapan-persiapan.
Sejenak kemudian orang itupun telah menelungkup datar
diatas bibir dinding halaman. Dengan baju yang terbuat dari
kain lurik ketan ireng serta celana komprang yang juga
berwarna hitam serta kain panjang latar ireng, maka orang
itu tidak begitu nampak. Apalagi cahaya oncor yang lemah
tidak sempat menggapai tempat itu.
Untuk beberapa saat lamanya ia masih menelungkup
melekat bibir dinding halaman. Dengan saksama ia
mengamati keadaan. Oleh cahaya lampu minyak yang
dipasang diserambi, maka samar-samar ia dapat melihat
keadaan halaman belakang rumah yang besar itu.
Baru kemudian ia melihat dua orang duduk diserambi,
dibawah bayangan kere bambu yang sebagian masih
digulung naik. Justru karena itu, maka orang itu menjadi sangat berhati-
hati. Bahkan orang itu masih memperhitungkan bahwa
tentu masih ada orang lain yang bertugas di halaman
belakang itu. Ternyata beberapa saat kemudian, orang itu melihat dua
orang petugas yang lain berjalan melintasi serambi, menuju
ke sebelah rumah itu. Nampaknya mereka memang sedang
meronda berkeliling.
Orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi harus
menahan nafas ketika kedua orang itu ternyata berjalan
seakan-akan menuju ketempatnya.
Untunglah bahwa kedua orang yang meronda berkeliling
itu tidak melihatnya. Demikian kedua orang itu lewat,
orang yang melekat dibibir dinding halaman itu menarik
nafas dalam-dalam.
Namun demikian, kedua orang itu menjauh, maka orang
itupun segera meloncat turun didalam halaman rumah itu.
Perlahan-lahan sekali ia beringsut. Disusunnya dinding
halaman itu. Perlahan-lahan ia berusaha mendekati kedua
orang yang duduk diserambi itu,
Orang itu berhenti sejenak dibawah sebatang pohon
kemuning yang rimbun. Diperhatikannya suasana rumah
itu dengan sungguh-sungguh.
Sekali lagi orang itu tertegun. Dalam keheningan malam
ia mendengar suara perempuan tertawa tertahan-tahan
dibelakang serambi tempat dua orang yang sedang duduk
dibayangan kere bambu itu.
Sejenak kemudian, maka pintu serambi itu terbuka.
Seorang perempuan didorong keluar lewat pintu itu.
Hampir saja perempuan itu terjatuh menimpa kedua orang
yang sedang duduk diserambi itu.
Perempuan itu masih tertawa. Ketika dua orang yang
duduk diserambi itu menyeretnya untuk duduk bersamanya. Ketika perempuan itu mulai mengigau, maka saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengerti, bahwa perempuan
itu sedang mabuk. Tetapi menurut penilaiannya, perempuan itu tentu bukan perempuan baik-baik.
"Setan" geram orang yang menyebut dirinya berilmu
tinggi itu ia terpaksa mengurungkan niatnya mendekati
kedua orang di serambi itu.
Tetapi kesan yang didapatkannya adalah, bahwa isi
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah yang besar itu ternyata adalah warna-warna buram,
sehingga sepantasnyalah bahwa isi rumah itu dibersihkan
sama sekali. Demikian orang itu beranjak pergi, maka terdengar lagi
suara tertawa berkepanjangan. Masih juga terdengar suara
perempuan, tetapi bukan perempuan yang telah berada
diserambi itu. Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu bergumam
meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati ia menyelinap
kebelakang gerumbul perdu disebelah rumah yang besar itu.
Ia mulai yakin, bahwa rumah itu masih belum tertidur
meskipun sudah lewat tengah malam. Namun iapun yakin
pula, bahwa seisi rumah itu sama sekali tidak menduga,
bahwa beberapa orang yang asing bagi mereka telah berada
di halaman rumah itu.
Ketika orang itu kemudian melihat dua orang penjaga
yang berjalan hilir mudik didekat pintu butulan pada
dinding halaman yang menghadap ke samping, maka
saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah menghembus kedua telapak tangannya sambil berdesis
"Apaboleh buat. Jika daya tahan kalian cukup tinggi, maka
kalian tidak akan mati. Tetapi jika kalian ternyata mati, itu
bukan salahku, karena ilmuku memang terlalu tinggi bagi
kalian" Dengan hati-hati orang itu merayap mendekati.
Kemudian demikian ia meloncat keluar dari kegelapan,
maka, tangannya telah melayang menyambar tengkuk salah
seorang dari kedua orang itu.
Orang itu memang tidak sempat mengaduh. Sesaat ia
terhuyung-huyung. Namun kemudian orang itupun terjatuh
di-tanah. Sementara itu kawannya terkejut. Tetapi ia juga tidak
mendapat kesempatan. Satu pukulan yang sangat keras
telah mengenai ulu hatinya sehingga orang itu terbungkuk
kesakitan, baru
kemudian telapak tangan saudara seperguruan Kiai Gumrah itu menghantam tengkuknya.
Orang itupun telah kehilangan kesadarannya. Iapun
kemudian telah terjatuh pula.
Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu
tersenyum sambil berdesis "Mudah-mudahan kalian tidak
mati. Kiai Gumrah berpesan agar kami tidak menjadi
pembunuh yang haus darah. Tetapi bukankah kalian sama
sekali tidak menitikkan darah?"
Orang itu kemudian masih sempat menyeret kedua sosok
tubuh.itu kedalam gerumbul disebelah pintu butulan.
Tetapi ia sadar, bahwa tidak hanya kedua orang itu
sajalah yang harus diselesaikan lebih dahulu, sebelum
mereka benar-benar memasuki rumah itu dan berusaha
bertemu dengan Kiai Windu Kusuma dan orang-orang
penting lainnya yang tinggal dirumah itu.
"Aku ingin bertemu dengan Kiai Kajar" berkata orang itu
didalam hatinya "ia seorang
yang terlalu manja diperguruan. Tetapi aku tidak yakin bahwa ilmunya
melampaui ilmu saudara-saudara seperguruannya"
Namun baginya Kiai Kajar adalah seorang yang sangat
bodoh. Jika sekelompok orang yang tinggal dirumah itu
berhasil memiliki pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai
Gumrah, maka Kiai Kajar itu tentu hanya mendapat bagian
yang kecil saja. Bahkan seandainya pusaka-pusaka itu harus
dibagi diantara saudara-saudara seperguruannya, maka ia
akan mendapatkan lebih banyak.
Tetapi orang itu bergumam "Tetapi pusaka-pusaka itu
bukan milik siapa-siapa diperguruan"
Sejenak orang itupun beringsut pula. Ia menuju sudut
belakang gandok rumah itu. Namun ia terkejut ketika ia
menemukan sebatang tombak pendek yang tergeletak di
tanah, baru kemudian ia melihat jejak sesuatu yang ditarik
ke gerumbul disudut gandok yang gelap itu. rerumputan
dan daun-daun perdu yang patah menuntunnya menemukan dua sosok tubuh yang terbaring diam.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
telah menyembunyikan tombak itu pula didekat tubuh yang
membeku itu. "Juga tidak ada darah " desisnya.
Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
telah berada dihalaman rumah itu kecuali yang bertugas
melindungi songsong didepan pintu gerbang utama. Mereka
yang ada dihalaman itu telah berusaha membersihkan para
petugas yang berjaga-jaga. Bahkan orang-orang yang
meronda berkelilingpun telah mengalami nasib buruk pula.
Sementara itu Kiai Gumrah sendiri dan Ki Pandi masih
berada di halaman depan yang luas. Mereka berjongkok di
belakang sebatang pohon soka yang daunnya menjadi
sangat rimbun. Bunganya yang kemerah-merahan nampak
hampir disetiap ujung ranting-rantingnya.
Keduanya agaknya masih menunggu. Juragan gula
itulah yang mendapat tugas untuk memberikan isyarat jika
mereka akan memasuki rumah yang besar itu. Namun
sebelumnya akan ada isyarat-isyarat kecil untuk menandai
kesiagaan semua saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu. Yang terjadi kemudian adalah gerakan yang diam dari
mereka yang memasuki halaman rumah itu. Orang yang
selalu terkantuk-kantuk
itu ternyata telah berhasil memasuki longkangan samping setelah berhasil meloncati
dinding disebelah seketheng. Dua orang yang ada
dilongkangan itupun tidak berdaya ketika orang itu
menyentuhnya. Sementara itu, Buta Ijo yang bertubuh seperti raksasa itu
justru telah masuk kedalam dapur dengan membuka
dinding perlahan-lahan. Ketika ia membuka geledeg ia
masih menemukan beberapa potong makanan.
Tetapi sentuhan-sentuhan mangkuk digeledeg itu telah
membangunkan seorang anak muda yang tidur di dapur itu.
namun, demikian
anak muda itu bangkit, maka mulutnyapun telah dibungkam oleh Buta Ijo yang masih
mengunyah sepotong ledre pisang.
Anak muda itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa
tekanan yang sangat keras ditengkuk dan punggungnya.
Namun kemudian anak muda itu telah tertidur kembali.
"Kau akan tidur untuk waktu yang lebih lama dari
kebiasaanmu anak muda" desis Buta Ijo itu "mungkin besok
tengah hari kau baru akan menyadari keadaanmu lagi"
Buta Ijo itupun kemudian telah beringsut dari tempatnya.
Ketika ia melewati pintu dapur disisi lain, ternyata ia sudah
berada di sebuah longkangan.
"Kiai Gumrah tidak menyebut longkangan ini" berkata
orang itu didalam hatinya.
Untuk beberapa saat Buta Ijo itu mengamat-amati
tempat itu. Beberapa kali ia memperhatikan bangunan
disebelah Iongkangan yang berdinding bambu sebagaimana
dinding dapur itu. Namun ia menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya Buta Ijo itu mengangguk-angguk ketika
ia teringat pesan Kiai Gumrah, bahwa memang telah dibuat
bangunan baru. Dapur itupun merupakan bangunan
susulan karena dapur yang sebenarnya telah dipergunakan
untuk kepentingan lain.
"Agaknya didalam bangunan disebelah longkangan itu
tinggal beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma atau
pengikut Panembahan yang dibawanya kemari" berkata
Buta Ijo itu didalam hatinya.
Tetapi Buta Ijo itu tidak akan memasuki bangunan
didepan longkangan itu. Jika ia terperosok kedalamnya,
maka ia tentu akan bertemu dengan beberapa orang
pengikut Kiai Windu Kusuma. Raksasa itu tidak akan mati
ketakutan, tetapi dengan demikian, maka suasana tentu
akan segera menjadi ribut.
Karena itu, maka Buta Ijo itu akan menghindari saja
tempat itu dan kembali keluar lewat dinding bambu didapur
yang telah dibukanya.
Sejenak kemudian Buta Ijo itu sudah ada diluar. Ia tidak
mau meninggalkan jejak yang dapat menarik perhatian.
Karena itu, maka dilekatkannya lagi dinding bambu yang
telah dibukanya itu.
Tetapi sebelum ia beranjak, dua orang dengan tergesa-
gesa mendekatinya. Dua orang peronda yang masih lolos
dari tangan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Sambil mengacukan senjatanya, seorang diantara
keduanya itu membentak "Siapa kau, he?"
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun tertawa sambil menjawab "kau aneh. Kenapa kau
bertanya seperti itu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Buta
Ijo itu berkata "Bukankah aku yang dua hari yang lalu
datang dari perguruan Susuhing Angin?"
Kedua orang itu masih termangu-mangu. Tetapi yang
seorang kemudian berkata "Bohong. Yang datang dari
perguruan Susuhing Angin telah aku kenal semuanya"
"Ternyata tidak. Kenapa kau tidak mengenal aku" desis
Buta Ijo dengan tenang.
"Menyerahlah.
Bagaimana kau berhasil masuk kelingkungan kami yang tertutup ini" geram orang yang
lain. Ujung senjatanya mulai bergetar.
Tetapi Buto Ijo masih tenang-tenang saja. Bahkan iapun
berkata pula "Kalian memang aneh. Jika aku bukan orang
dari perguruan Susuhing Angin, bagaimana aku dapat
masuk kemari?"
"Tidak ada gunanya kau berbohong. Jika kau orang dari
Susuhing Angin, apa yang kau lakukan disini?"
Buta Ijo itu melihat berkeliling. Namun kemudian
katanya perlahan-lahan "Tetapi jangan berkata kepada
siapapun. Aku ingin masuk ke dapur"
"Untuk apa?" bertanya salah seorang dari kedua peronda
itu. "Aku lapar" Buta Ijo itu menjawab sambi] tertawa.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
ternyata Buta Ijo telah memanfaatkan kesempatan itu.
Dengan cepat ia meloncat menyusup diantara dua ujung
senjata kedua orang itu. Dengan cepat pula kedua
tangannya meraih kepala kedua orang itu.
Kedua orang itu tidak sempat mengetahui apa yang
terjadi kemudian. Duniapun segera menjadi gelap.
Buta Ijo itu terbelalak melihat akibat perbuatannya.
Kepala kedua orang itu menjadi retak. Dan darah telah
mengalir. "Bukan maksudku" desis Buta Ijo yang menjadi sangat
gelisah "aku bukan pembunuh yang mendapat kepuasan
karena kematian orang lain"
Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Iapun kemudian
telah menyeret kedua orang itu dan membenamkannya
dibelakang gerumbul. Kedua pucuk senjata itupun telah
dibuangnya kedalam gerumbul itu pula.
Setelah menenangkan hatinya sejenak, Buta Ijo itupun
mengendap-endap pula di kegelapan. Ia telah melingkari
rumah yang besar itu. Namun dengan serta-merta Buta Ijo
itu telah berhenti, menyusup kebalakang gerumbul ketika ia
melihat sesuatu yang bergerak. Perlahan-lahan mulutnya
telah berdecak seperti suara seekor bilalang.
Ketika dari gerumbul yang lain juga terdengar suara yang
sama, maka Buta Ijo itupun yakin, kalau yang dilihatnya
bergerak itu adalah saudara seperguruannya.
Karena itu, maka Buta Ijopun telah mendekatinya.
Sebenarnyalah bahwa yang bersembunyi dibelakang
gerumbul itu adalah saudara seperguruannya yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan dengan kumis yang panjang
diujungnya. "Aku terpaksa membunuh" desis Buta Ijo.
"Apaboleh buat" desis yang berkumis. Lalu katanya
"Sebenarnya kita dapat mengetrapkan ilmu sirep saja"
"Jangan" cegah Buta Ijo "sirepmu tidak akan berarti bagi
orang-orang berilmu tinggi dirumah itu. Justru hanya akan
mengundang kecurigaan saja. Jika mereka menyadari
bahwa ada sirep, maka mereka justru akan segera bersiap-
siap" Orang berkumis panjang dikedua ujungnya
itu mengerutkan dahinya. Katanya "Sirepku melampaui ilmu
sirep yang manapun. Kaupun akan tertidur pula karenanya"
"Jika saudara-saudara kami tertidur, apa yang akan kami
lakukan?" "Setan kau" geram orang berkumis itu.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buta Ijo itu tertawa. Tetapi orang berkumis itu cepat
berdesis "Kau jangan mengacaukan rencana kita"
Buta Ijo itu menutup mulutnya.
Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat
beberapa orang keluar dari pintu samping dengan senjata
siap ditangan. Mereka berhenti sejenak ketika pemimpin
sekelompok orang itu memberikan perintah "Menyebar.
Bayangan itu tentu masih belum keluar."
"Ternyata mereka sudah mengetahui bahwa ada orang
lain di halaman rumah ini" gumam orang berkumis itu.
"Beri isyarat" sahut Buta Ijo.
"Kau sajalah. Suaramu lebih mirip dengan suara burung
bence daripada suaraku"
"Tetapi orang-orang itu sudah berada dihadapan hidung
kita. Jika mereka mendengar suara burung bence disini,
maka mereka tentu akan berdatangan kemari" desis Buta
Ijo. Kawannya tidak menjawab. Tetapi tiga orang diantara
mereka yang menyebar itu melangkah mendekati gerumbul
tempat keduanya bersembunyi.
Ketika ketiga orang itu benar-benar menyibak dedaunan
gerumbul itu, maka kedua orang itu tidak mempunyai
pilihan lain. Dengan cepat kedua orang itu meloncat dan
menerkam ketiga orang itu. Orang berkumis itu menangkap
seorang diantara mereka tepat dikepalanya. Satu putaran
yang keras sekali ternyata telah mematahkan leher orang
itu. Sementara sekali lagi Buta Ijo itu meraih dua kepala
dan membenturkannya.
Tetapi keduanya tidak lagi dapat bersembunyi. Tiga
orang yang lain yang bergerak kesamping telah melihat
serangan singkat yang telah melumpuhkan tiga orang
kawannya itu. Karena itu, maka ketiga orang itupun segera
berteriak "Mereka ada disini"
"Wah" desah Buta Ijo "tetapi bukan kita yang
menyebabkan kehadiran kita diketahui"
"Tidak. Tentu bukan kita. Ketika mereka keluar dari
pintu samping rumah itu, mereka sudah mencari seseorang.
Tentu orang kantuk itu yang menyebabkannya"
"Jangan menuduh" jawab Buta Ijo.
Demikianlah, maka orang-orang yang keluar dari pintu
samping itu segera mengepung Buta Ijo dan orang berkumis
panjang diujungnya itu.
Dengan demikian maka keduanya tidak dapat berbuat
lain. Mereka harus bertempur menghadapi beberapa orang
yang mengepung mereka. Namun Buta Ijo itu masih
berdesis "Jika terjadi seperti ini, bagaimana kita dapat
menghentikan perlawanan mereka tanpa membunuh?"
"Tetapi bukan niat kita membunuh. Jika ada yang mati,
itu salah mereka sendiri" jawab orang berkumis itu.
"Ya, salah mereka sendiri " sahut Buta Ijo.
Pemimpin sekelompok orang yang mengepung kedua
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun berkata
lantang "Menyerahlah. Mungkin kalian masih dapat
diampuni" "Jika kami diampuni, apakah kami boleh pergi?"
bertanya Buta Ijo.
"Itu bukan persoalanku. Itu persoalan pemimpinku"
jawab pemimpin kelompok itu.
"Siapa pemimpinmu?" bertanya orang berkumis tipis.
"Itu bukan urusanmu" jawab pemimpin kelompok
"sekarang menyerahlah. Lemparkan senjata kalian. Melangkah maju perlahan-lahan"
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian
ia menggamit saudara seperguruannya sambil berdesis
"Kita melangkah maju"
Kedua orang itupun melangkah maju. Mereka terhenti
ketika pemimpin kelompok itu berteriak "Lemparkan
senjata kalian"
Buta Ijo itu termangu-mangu. Luwuknya yang besar
masih berada disarungnya. Demikian pula senjata orang
berkumis itu. Ia membawa sepasang trisula yang masih
terselip pada ikat pinggangnya, bersilang dipunggungnya.
"Perlahan-lahan tarik senjata kalian dari sarungnya"
teriak orang itu yang dengan sengaja ingin diperdengarkan
kepada orang-orang yang ada didalam rumah itu.
Sebenarnyalah bahwa para pemimpin dari kelompok-
kelompok yang ada dirumah itu mendengarnya. Seorang
diantara mereka berdesis "Bodoh. Seharusnya ia tidak
memerintahkan untuk mencabut senjata dari sarungnya.
Biar saja senjata itu dilemparkan bersama sarungnya"
Baru saja orang yang ada didalam rumah itu
mengatupkan bibirnya, yang dicemaskan itu sudah terjadi.
Buta Ijo dan orang berkumis itu memang menarik senjata-
senjata mereka. Tetapi mereka tidak melemparkan senjata
itu. Dengan cepat mereka telah meloncat menyerang
dengan garangnya.
Orang-orang yang mengepung dengan senjata teracu itu
terkejut. Mereka tidak mengira bahwa kedua orang yang
sudah dikepung itu masih berani menyerang.
Namun mereka terlambat menyadari kesalahan mereka.
Buta Ijo itu memutar luwuknya dengan cepat. Beberapa
buah senjata terpelanting dari tangan pemiliknya. Namun
mereka tidak sempat berbuat sesuatu karena ayunan luwuk
itu berikut nya telah menyambar tubuh mereka.
Beberapa orang telah terpelanting jatuh. Sementara itu
beberapa orang yang lain telah berteriak kesakitan.
Tajamnya trisula telah melukai beberapa orang pula.
Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Namun Buta Ijo
yang mempunyai kesempatan lebih dahulu tidak menyia-
nyiakannya. Dengan cepat orang bertubuh raksasa itu
berloncatan menyerang, sehingga lawan-lawannyapun
berjatuhan. Demikian pula orang berkumis itu. Sepasang trisulanya
berputaran dikedua tangannya. Setiap kali senjata lawannya
yang sempat terjepit oleh mata trisula yang bercabang tiga
itu, tentu terhempas dari tangan. Putaran trisula itu
merupakan kekuatan yang dapat merenggut senjata lawan
dengan kekuatan yang besar.
Namun kedua orang itu tidak melayani lawan-lawannya
terlalu lama. Keduanyapun kemudian sepakat untuk
bergeser dari tempatnya dan berlari ke halaman belakang.
Beberapa orang yang tersisa telah mengejar mereka
berdua. Namun yang terjadi benar-benar menggetarkan
jantung. Ketika mereka melewati sudut belakang rumah
yang besar itu, maka dua orang yang berlari dipaling
belakang telah terlempar jatuh. Demikian beberapa orang
berhenti, maka dua orang lagi jatuh terpelanting sambil
mengaduh kesakitan.
Lima orang yang tersisa menjadi bingung. Mereka
melihat seseorang berlari dari sudut belakang rumah itu dan
menghilang di kegelapan.
Pertempuranpun telah menjalar. Dari longkangan rumah
itu terdengar suara kentongan memberikan isyarat kepada
seisi rumah itu untuk bersiap menghadapi bahaya yang
ternyata telah ada dihalaman rumah itu pula.
Tetapi tiba-tiba saja suara kentongan itu terputus.
Beberapa saat tidak terdengar lagi isyarat itu. Tetapi
kemudian dari longkangan yang lain, telah terdengar lagi
suara kentongan dengan nada titir.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak
mempunyai pilihan lain. Merekapun telah bergerak
bertindak. Beberapa kelompok pengikut Kiai Windu
Kusuma, orang yang disebut Panembahan, Kiai Kajar dan
orang-orang dari perguruan Susuhing Angin dan semuanya
yang ada didalam lingkungan rumah yang besar itu telah
menghambur keluar pula.'
Orang-orang yang bergerak dalam kelompok-kelompok
itu memang setiap kali terkejut. Tiba-tiba saja mereka
diserang oleh orang-orang yang berloncatan dari gerumbul-
gerumbul perdu. Setelah terjadi pertempuran sejenak, maka
orang itu segera berlari. Namun orang-orang yang
mengejarnya, tiba-tiba saja telah mendapat serangan dengan
cepat pula. Dua tiga orang terjatuh dengan luka-luka yang
parah. Dengan demikian maka para pengikut orang-orang yang
berkumpul dirumah yang besar itu dengan cepat menjadi
susut. Tubuh mereka terbaring silang melintang di halaman
samping dan halaman belakang.
Kiai Gumrah dan Ki Pandi yang berada di halaman
depan masih menunggu isyarat juragan gula sebagaimana
disepakati. Sementara itu juragan gula yang ada disamping
rumah yang besar itu, telah melibatkan diri pula. Ujung
tombak ditangannya beberapa kali telah mematuk orang-
orang yang berlari-larian dan kejar-mengejar disekitarnya.
Bahkan juragan gula itu sendiri juga harus ikut berlari-
larian. Akhirnya orang-orang yang tinggal dirumah itu
menyadari, bahwa orang yang datang memasuki halaman
rumah itu jumlahnya cukup banyak. Karena itu, maka
sekali lagi terdengar suara kentongan yang memberikan
isyarat bahaya tertinggi bagi mereka yang tinggal di rumah
itu. "Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Windu Kusuma
kepada seorang kepercayaannya.
"Beberapa orang telah menyerang rumah ini, Kiai" jawab
orang itu. "Berapa orang?" bertanya Kiai Windu Kusuma.
"Belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi rasa-
rasanya dimana-mana ada. Mereka memakai baju lurik
hitam, celana hitam dan kain serta ikat kepala tatar ireng
yang juga kehitam-hitaman"
"Apakah kalian tidak dapat menyelesaikannya?"
bertanya Kiai Windu Kusuma.
"Aku cemas, bahwa tidak lama lagi orang-orang kita
sudah habis dibantai oleh mereka. Mereka bersembunyi di
balik geurmbul yang gelap..Namun kemudian tiba-tiba saja
mereka menyergap jika ada orang-orang kita yang berlari-
lari dekat tempat persembunyian mereka"
"Kenapa kalian berlari-lari?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Kami mengejar diantara mereka yang berlari untuk
bersembunyi ditempat-tempat gelap"
"Pikirkan. Bukankah kalian yang dungu" Kiai Windu
Kusuma yang marah berteriak.
Orang kepercayaannya itu tidak menjawab. Sementara
itu orang yang disebut Panembahan yang juga sudah
berkumpul diruang tengah itu berkata "Semua gerakan
harus mulai diatur."
"Jangan menunggu sampai semua orang-orangku
dibantai habis. Kita semuanya harus segera bertindak"
berkata Kiai Windu Kusuma kepada orang-orang yang ada
di ruang dalam "Maksudmu?" bertanya Kiai Kajar.
"Semua orang harus keluar untuk menyongsong orang-
orang yang telah berani memasuki halaman rumah ini?"
jawab Kiai Windu Kusuma.
"Apakah kau tidak lagi mampu mengatasinya. Kau tuan
rumah disini. Kau harus dapat mengamankan tamu-
tamumu" berkata pemimpin Perguruan Susuhing Angin.
"Kita mempunyai kepentingan bersama-sama. Jika
orang-orangku habis dibantai, kita akan menjadi semakin
lemah. Selagi hal itu belum terjadi, perintahkan orang-orang
kalian dan bahkan kita semua untuk keluar"
"Seberapa orang yang telah memasuki halamanmu"
Siapa pula mereka?" bertanya Kiai Kajar.
"Jangan berpura-pura lagi. Kita semuanya menjadi
cemas. Jika sekelompok orang berani memasuki halaman
rumahku, mereka tentu bukan orang kebanyakan" jawab
Kiai Windu Kusuma.
Yang menjawab adalah orang yang nampaknya paling
berpengaruh diantara mereka. Panembahan itu. Katanya
"Kita tidak dapat berpura-pura tenang disini. Aku setuju,
semua kekuatan yang ada harus mulai bergerak. Semuanya
barus mulai diatur dengan tertib. Jika kita tidak langsung
ikut campur, maka kita sendiri akan mengalami kesulitan"
Karena yang berbicara adalah orang yang sangat
berpengaruh diantara mereka, maka tidak seorangpun yang
membantah. Sementara Panembahan itu berkata "Kita
harus mengetahui, siapakah orang yang datang itu. Aku
condong menduga bahwa mereka adalah Kiai Gumrah dan
kawan-kawannya. Ternyata rencana kita untuk datang,
kerumahnya telah bocor, sehingga ia lebih dahulu datang
kepada kita"
"Itu tidak penting" jawab Kiai Kajar "mereka akan kita hancurkan disini"
"Kita harus menemukan orang yang telah membocorkan
rahasia ini" berkata pemimpin perguruan Susuhing Angin
"Tidak perlu sekarang" jawab Kiai Windu Kusuma "yang
penting kita hadapi orang-orang yang datang itu lebih
dahulu" Orang-orang yang ada diruang dalam itupun telah
mempersiapkan diri. Sementara itu, sebagaimana dikatakan
oleh Panembahan, maka para pengikut dari berbagai
macam perguruan itupun telah diperintahkan untuk ikut
serta keluar dari bilik-bilik mereka.
Karena itu, maka terdengar pula suara kentongan dalam
nada yang berbeda. Bukan sekedar memperingatkan bahaya
tertinggi bagi orang-orang yang ada didalam rumah yang
besar dan halaman yang sangat luas itu. Tetapi nadanya
menyiratkan perintah bagi semua orang untuk keluar.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak
tahu maksud isyarat itu. Namun bunyi kentongan itu
memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka harus
menjadi lebih berhati-hati.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah sesaat kemudian, kelompok-kelompok
yang ada di rumah itu telah keluar pula. Bukan hanya para
pengikut Kiai Windu Kusuma.
Namun merekapun segera disergap oleh saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah yang bertebaran di halaman.
-)000d-w000( Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 7 Tamat SEPERTI yang sudah terjadi, maka orang-orang yang
keluar kemudian itupun mengalami kesulitan menghadapi
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Mereka seakan-
akan muncui begitu saja dari kegelapan, menyerang dengan
garangnya. Sebelum mereka menemukan orang yang
menghilang itu, maka dari.arah lain telah meloncat
bayangan, yang lain menyerang dengan cepat. Senjatanya
menebas orang-orang terdekat. Tetapi sebelum yang lain
mampu berbuat banyak, maka orang itupun telah
meninggalkan mereka. Dua tiga orang yang mengejar? tiba-
tiba saja harus menghadapi orang lain yang menyerang dari
arah yang lain pula.
Demikianlah halaman rumah itu menjadi bagaikan
diaduk oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah
mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri agar ujung-
ujung senjata, mereka tidak membunuh lawan-lawan
mereka. Tetapi-mereka memang tidak mempunyai pilihan
lain. Dalam keadaan yang gawat, maka sikap merekapun
telah terpengaruh pula, karena mereka tentu tidak ingin
membiarkan diri mereka sendiri yang harus jatuh menjadi
korban. Dalam kekalutan itu, maka beberapa orang pemimpin
yang ada diruang dalam telah keluar pula. Mereka menuju
ke tempat yang berbeda. Namun mereka kemudian telah
meneriakkan perintah agar para pengikut mereka semuanya
mengepung halaman rumah itu dimulai dengan melekatkan
punggung mereka pada dinding halaman dan menggiring
orang-orang yang memasuki halaman itu ke halaman yang
terbuka disisi sebelah kiri rumah yang besar itu.
"Kita akan membantai mereka disana" teriak para
pemimpin itu. Para pengikutnya itupun mulai menyadari kebodohan
mereka. Karena itu, maka merekapun segera bergerak
kedinding halaman. Berdiri berjajar pada jarak yang sama.
Kemudian dengan aba-aba yang diteriakkan oleh Kiai
Windu Kusuma dari serambi samping yang kemudian
disambung sahut-menyahut, mereka bergerak maju.
Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di
halaman itu mengerti apa yang mereka hadapi. Mereka
melihat orang-orang yang berlari-larian menebar mengelilingi halaman rumah itu, Merekapun sadar, bahwa
orang-orang itu akan menyisir seluruh halaman untuk
menemukah orang-orang yang bersembunyi di halaman
rumah itu. Karena itu, maka mereka tidak menemukan pilinan lain.
Mereka harus menghadapi orang-orang yang menebar itu.
Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang dari beberapa
perguruan yang berkumpul di tempat itu menjadi berdebar-
debar. Mereka melihat beberapa orang pengikut Kiai
Windu Kusuma yang telah menjadi korban. Bahkan kawan-
kawan mereka yang baru saja keluar dari dalam rumah
itupuri telah banyak yang menjadi korban pula.
Karena itu, ketika aba-aba Kiai Windu Kusuma yang
disambung sahut menyahut telah menggetarkan seluruh
halaman, maka orang-orang yang mengepung halaman itu
mulai melangkah maju dengan senjata yang merunduk.
Setiap saat mereka siap untuk menghujamkan senjata
mereka. Tetapi kebun belakang dari rumah yang besar itu cukup
gelap oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu.
Dengan demikian maka orang-orang yang berjalan menyisir
halaman itu tidak segera melihat, dimana lawan mereka
bersembunyi. Namun ada beberapa orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang mempunyai cara yang sama untuk
menghindar meskipun mereka tidak saling bicara lebih
dulu. Tiga orang diantara mereka telah memanjat pohon
yang cukup besar di kebun belakang rumah yang besar itu.
Ternyata gelap malam dan gerumbul-gerumbul perdu
cukup melindungi mereka dari orang-orang yang berjajar
melangkah maju dengan senjata yang merunduk itu.
Mereka sama sekali tidak melihat bahwa ada orang-orang
yang sedang melekat pada dahan pepohonan.
Tetapi beberapa orang yang lain tidak dapat menghindar
lagi. Mereka benar-benar telah digiring ke halaman samping
yang terbuka. Sementara beberapa orang pemimpin dari
berbagai perguruan telah berada di tempat itu pula.
Namun dalam pada itu, juragan gula itupun menyadari
bahwa keadaan sudah semakin gawat. Karena itu, maka
semua kekuatan harus dikerahkan. Sehingga dengan
demikian, maka juragan gula itu menganggap bahwa sudah
sampai saatnya pintu gerbang halaman rumah itu dibuka
dan membiarkan cucu-cucu Kiai Gumrah yang membawa
songsong itu masuk kehalaman. Dengan demikian, maka
mereka akan dapat memancing perhatian para pemimpin
yang sedang menunggu di halaman samping, sementara
orang-orangnya berusaha menggiring-saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar suitan
nyaring. Suaranya menggetarkan udara di seluruh halaman
yang luas itu. Suaranya bukan sekedar bunyi, yang nyaring.
Tetapi getarannya telah menerpa isi dada orang-orang yang
mendengarnya Orang-orang yang datang dari berbegai perguruan itu
memang terkejut mendengar suitan nyaring itu Rasa-
rasanya dada mereka telah dihentak oleh kekuatan yang
sangat besar. Dengan demikian, maka mereka harus
mengerahkan daya tahan mereka untuk menjaga agar
mereka tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuh
mereka. Narnun suitan itu bagi Kiai Gumrah merupakan isyarat.
Ia harus membuka pintu gerbang halaman rumah itu.
Tetapi sebelum Kiai Gumrah yang membawa sebatang
tombak itu beranjak, maka Ki Pandipun berdesis "Biarlah
aku saja yang membuka."
Ki Pandi yang bongkok itulah yang kemudian berlari ke
pintu gerbang: Dua orang penjaga, pintu gerbang itu memang sedang
kebingungan. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi.
Mereka hanya mendengar isyarat pertanda bahaya. Bahkan
kemudian perintah bagi semua orang yang ada di rumah
yang besar itu. Bahkan ia mendengar para pemimpinnya
berteriak memberikan aba-aba.
Ketika mereka melihat orang bongkok berlari-lari
menuju pintu gerbang, merekapun segera bersiaga.
Demikian Ki Pandi itu mendekat, maka kedua orang itu
dengan serta-merta telah menyerangnya.
Namun mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-
tiba saja mereka terpelanting jatuh. Kepala mereka seakan-
akan telah dibenturkan ditanah.
Pandangan mata merekapun menjadi gelap. Senjata-
senjata mereka terlempar tanpa mereka ketahui dimana
senjata-senjata itu terjatuh. Ternyata kedua orang itupun
menjadi pingsan karenanya.
Karena itulah, maka Ki Pandipun dengan cepat
mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang itu.
Tetapi ternyata beberapa orang yang sedang sibuk di
halaman samping dan belakang itupun melihat apa yang
terjadi. Karena itu, maka beberapa orang telah berlari-lari
menuju ke pintu gerbang halaman depan. Halaman yang
terbuka, yang dikira tidak menjadi tempat persembunyian
orang-orang yang memasuki halaman rumah yang besai itu.
Karena itu, maka halaman depan rumah itu agak luput
dari perhatian penghuni rumah itu. Bahkan merekapun
tidak ingin menyelesaikan pertempuran itu di halaman
depan. Tetapi di halaman samping yang juga terbuka, yang
tidak mendapat pemeliharaan sebagaimana halaman depan
yang diatur dengan rapi dan ditanami dengan beberapa
pohon bunga diantara tebaran rumput yang hijau.
Tetapi meskipun pohon bunga itu terhitung jarang,
namun dapat juga dipergunakan untuk bersembunyi Kiai
Gumrah dan Ki Pandi.
Pintu gerbang yang terbuka itu memang merupakan
isyarat bagi kelima orang yang membawa songsong yang
disimpan dengan baik oleh Kiai Gumrah atas nama
perguruannya. Karena itu, maka demikian mereka melihat
pintu itu terbuka, merekapun segera berlari memasuki pintu
gerbang itu. Namun, demikian mereka masuk, maka mereka segera
melihat Ki Pandi tengah menghalau beberapa orang yang
menyerangnya. Kehadiran kelima orang itu memang mengejutkan.
Apalagi seorang diantara mereka membawa sebuah
songsong yang terbungkus, namun yang masih dapat dilihat
kilatan warna kuning keemasan jika kain yang membungkusnya itu tersingkap.
Demikian mereka berada di halaman, maka Winih lah
yang telah menarik baju lurik yang dipergunakan menutupi
payung itu. Tutup itu sudah tidak ada artinya lagi, justru
payung itu sengaja ditunjukkan untuk menarik perhatian
orang-orang terpenting yang ada di rumah itu.
Sebenarnyalah beberapa orang yang berlari-larian ke
halaman depan memang mengejutkan para pemimpin yang
sudah berada di serambi menghadap ke halaman samping
yang terbuka untuk menunggu orang-orang yang akan
digiring ke halaman itu
Apalagi ketika seorang diantara mereka berteriak
"Mereka berada di halaman depan Lihat, songsong itu."
Beberapa orang pemimpin yang ada di rumah itu
memang segera tertarik untuk menyaksikannya. Karena itu,
maka merekapun segera bergeser melingkari serambi rumah
itu. Sebenarnyalah mereka melihat songsong
kuning gemerlapan memantulkan cahaya oncor yang ada di sudut-
sudut halaman dan bahkan di serambi depan. Songsong
kuning keemasan yang dilingkari warna hijau ditengahnya.
Melihat songsong itu, maka Kiai Kajar telah menggeram
"Mereka telah mengantarkannya sendiri. Aku harus
berterimakasih kepada mereka."
"Mereka benar-benar sombong" desis Kiai Windu
Kusuma "Tetapi mereka tentu akan menyesal."
Disebelah mereka orang yang disebut Panembahan itu
berkata "Aku akan mengambilnya. Juga tombak-tombak
yang tentu mereka bawa kemari"
Kiai Kajar mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Sementara Susuhing Angin justru
telah melangkah mendekati sekelompok orang yang
membawa dan melindungi songsong itu.
Tetapi ternyata bukan hanya mereka. Beberapa orang
yang lainpun telah mengikutinya pala.
Sementara itu di halaman belakang telah terjadi
keributan. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi.
Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah tidak
mampu bersembunyi lebin lama ketika orang-orang yang
mengepung halaman itu bergerak menyisir kebun
menggiring mereka ke halaman samping.
Tetapi orang-orang dari beberapa perguruan yang
berkumpul di rumah itu menjadi berdebar-debar. Ternyata
mereka harus bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi.
Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun sulit
bagi mereka untuk dapat bertahan.
Dalam kekalutan pertempuran itu, maka saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memanjat pohon
telah berloncatan turun. Mereka justru telah berada di
belakang kepungan. Ketika mereka menyerang dari
belakang, maka orang-orang yang berusaha menggiring
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu terkejut.
Sehingga dengan demikian maka kepungan merekapun
telah terkoyak.
Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang sudah berada di longkangan dalam serta
bahkan memasuki pintu butulan, terkejut ketika mendengar
jerit beberapa orang perempuan. Ternyata mereka telah
tersesat memasuki satu ruang yang berisi beberapa
perempuan yang beberapa diantaranya sedang mabuk.
Ketika kawannya menjerit ketakutan melihat kehadiran
saudara seperguruan Kiai Gumrah, perempuan yang mabuk
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu justru tertawa berkepanjangan.
Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah keluar lagi
dari ruangan itu. Dengan hati-hati seorang diantaranya
menyusup ke ruang yang lain. Namun rumah itu seakan-
akan telah menjadi kosong. Bahkan ketika ia memasuki
ruang tengah, maka yang dijumpainya adalah Buta Ijo yang
juga sedang termangu-mangu.
"Mereka telah pergi keluar" desis Buta Ijo.
Keduanyapun kemudian telah memasuki ruangan-
ruangan yang lain dan mencari jalan untuk menuju ke pintu
pringgitan. Ternyata pintu pringgitan meskipun sudah ditutup, tetapi
tidak diselarak. Dengan demikian mereka membuka pintu,
maka mereka melihat apa yang terjadi di halaman depan
yang terbuka. Sejenak kedua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah
yang ada di pringgitan itu menjadi tegang. Mereka melihat
beberapa orang yang tentu berilmu tinggi sedang melintasi
halaman depan. "Tentu mereka para pemimpin dari perguruan-perguruan
yang berkumpul disini" desis Buta Ijo.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya pada
kawannya. "Aku ingin beristirahat disini" berkata Buta Ijo.
"Gila. Kau biarkan saudara-saudara kita bertempur
sementara Kau akan tidur di laicak itu?" geram kawannya.
"Aku sudah bertempur. Kiai Gumrah tentu sejak tadi
bersembunyi disana." jawab Buta Ijo.
"Tetapi bukan karena Kiai Gumrah malas. Bukankah
menurut kesepakatan kita, Kiai Gumrah memang harus
menunggu di halaman depan sehinga terdengar isyarat
untuk membuka pintu gerbang?"
Buta Ijo tidak menjawab. Tetapi ia melangkah melintasi
pendapa menuju ke tangga yang menghadap ke halaman
depan. Saudara seperguruannya itupun telah mengikutinya
pula dibelakangnya.
Sesaat mereka berdua berdiri termangu-mangu di
pendapa. Namun mereka kemudian mendengar keributan
terjadi di halaman samping yang terbuka.
"Apa yang terjadi?" Desis Buta Ijo.
"Pertempuran di halaman samping." jawab saudara
seperguruannya itu.
Buta Ijo Itu termangu-mangu.
Namun sambil memandang ke halaman depan ia bertanya "Kita akan pergi
kemana?" "Kita turun, ke halaman depan. Nampaknya orang-orang
berilmu tinggi itu akan berkumpul disana, justru setelah
payung itu dibawa masuk. Bukankan Kiai Gumrah sengaja
memancing para pemimpin dari berbagai perguruan itu
untuk datang kesana?"
"Apakah saudara-saudara kita tidak akan mengalami
kesulitan melawan orang-orang yang terlalu banyak itu." "
"Mudah-mudahan tidak. Namun yang harus tampil ke
halaman itu adalah Ki Prawara dan isterinya, juragan gula
yang kikir itu dan Kiai Gumrah sendiri. Bukankan pusaka-
pusaka itu ditangan mereka?"
"Tetapi juragan gula itu tidak kikir" jawab Buta Ijo
"Menurut pendapat ku, ia tidak pernah menunda
pembayaran gula yang diserahkan kepadanya ."
"Tetapi ia membeli dengan harga murah dan menjual
dengan harga mahal."
"Itu termasuk satu keahlian" jawab Buta Ijo.
Namun saudara seperguruannya berdesis "Mereka
hampir mulai. Kita tidak bisa berlama-lama disini."
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak
berkerut. Ia belum melihat juragan gula, Ki Prawara dan
isterinya di halaman depan, sementara para pemimpin dari
perguruan-perguruan yang ada di rumah itu sudah
mendekati mereka yang membawa songsong setelah mereka
memasuki regol halaman yang telah terbuka.
Dalam pada itu. orang yang disebut Panembahan yang
ada diantara mereka yang mendekati songsong sudah
berada di halaman itu tidak segera melihat orang bongkok
yang nampaknya dengan sengaja berdiri dibelakang
sekelompok orang yang membawa dan yang harus
melindungi songsong itu.
Beberapa langkah kemudian orang-orang berilmu tinggi
itu berhenti. Panembahan, orang yang paling berpengaruh
diantara para pemimpin perguruan yang ada di rumah
itulah yang bertanya "Siapakah yang memerintahkan kalian
datang untuk menyerahkan songsong itu kemari ?"
Yang menjawab adalah salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah "Kami datang tidak untuk
menyerahkan songsong ini. Kami datang karena kami
tidak.dapat menahan, diri lagi oleh tingkah laku kalian yang
sangat menyakitkan itu. Bagi kami, lebih baik kam i datang
kemari untuk membuat penyelesaian tuntas daripada kami
harus selalu menunggu dengan gelisah, karena kalian ingin
merebut pusaka-pusaka kami."
"Siapakah kau ?"bertanya Panembahan.-
"Aku bukan siapa-siapa. Bertanyalah kepada Kiai Kajar."
Panembahan itu memang berpaling kepada Kiai Kajar.
Sementara Kiai Kajar melangkah maju sambil berdesis
"Kau cucurut kecil. Dimana Gumrah. Aku ingin membuat
penyelesaian tuntas. Akulah yang berwenang menyimpan
pusaka-pusaka itu. Bukan Gumrah."
Namun para pemimpin perguruan yang berkumpul di
rumah itu terkejut ketika mendengar jawaban dari balik
segerumbul pohon soka yang sedang berbunga itu.
Kiai Gumrahlah yang kemudian melangkah mendekat dengan membawa
tombak pusakanya sambil berkata "Sudah lama aku menunggu kesempatan untuk
bertemu denganmu Kiai Kajar." "Gumrah"
gumam Kiai Kajar. "Aku ingin mengucapkan
terimakasih, bahwa kau sempat memberitahukan kepadaku lewat salah seorang
pengikutmu bahwa besok rumahku akan didatangi oleh
Kiai Windu Kusuma dan orang-orang berilmu tinggi yang
lain." "Setan" geram pemimpin perguruan Susuhing Angin
"Jadi kaukah yang telah berkhianat."
Wajah-wajah itu memang menjadi tegang. Namun
Panembahan itu tertawa. Katanya "Kau percaya akan kata-
katanya. Satu usaha untuk membuat kita saling curiga."
"Tetapi bukankah masuk akal bila Kia i Kajar berkhianat"
Bukankah ia berasal dari perguruan yang sama dengan
orang-orang yang menyimpan pusaka-pusaka itu." jawab
pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Kau memang gila" geram Kiai Kajar "itu adalah salah
satu sifat licik Kiai Gumrah. Aku memang mengenal orang
itu sejak lama. Aku memang saudara seperguruannya.
Karena itu aku tahu, bagaimana ia berusaha membenturkan
kekuatan kita masing-masing."
Tetapi Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Maaf Kiai Kajar.
Aku terlalu tergesa-gesa mengucapkan terimakasih kepadamu. Meskipun aku tahu bahwa pemberitahuanmu
itu termasuk usahamu untuk menjebak aku."
"Diam" bentak Kiai Kajar "tetapi apapun yang sudah kau
katakan, sekarang kau datang membawa pusaka-pusaka itu.
Jadi kau ingin menyerahkannya, serahkan segera sebelum
terjadi sesuatu."
"Kau tentu tahu bahwa bukan itu maksudku" jawab Kiai
Gumrah "aku datang justru untuk mempertahankannya."
"Cukup. Itu satu permainan yang buruk. Kami tidak
akan membiarkan pengkhianatan itu terjadi. Dibelakang,
orang-orang kami sudah banyak yang menjadi korban."
teriak pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Bukan hanya terlalu banyak" Kiai Gumrah menyahut
"pada saatnya nanti, maka semua orang yang tidak
menyerah akan mati. Termasuk kalian."
"Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan ini"
pemimpin perguruan Susuhing Angin itu masih berteriak.
Namun Panembahan itulah yang menjawab lantang.
Suaranya tiba-tiba saja telah menggelegar menggetarkan
setiap jantung "Hanya orang dungu yang percaya igauan Kiai Gumrah.
Aku tidak percaya. Aku tidak pernah menganggap Kiai
Kajar berkhianat kepada kita."
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu termangu-
mangu sejenak. Namun ia menyadari, bahwa Panembahan
itu sudah marah. Karena itu, maka ia tidak menyahut lagi.
Baru kemudian dengan lantang Panembahan itu
berbicara, sementara getaran suaranya masih saja memukul
isi dada "Sekarang, tugas kita menyelesaikan mereka. Aku
justru merasa bersyukur bahwa mereka telah datang untuk
menyerahkan pusaka-pusaka itu. Purnama tinggal beberapa
hari lagi. Tetapi disini banyak terdapat jantung segar yang
masih ada dalam dada. Karena itu, maka aku akan mencuci
tombak itu dengan darah yang masih mengalir di jantung
yang masih tergantung pada tangkainya."
Tetapi Kiai Gumrahpun bertanya "Darimana kau tahu
bahwa sebelum purnama tombak ini harus dicuci dengan
darah yang masih mengalir di dalam jantung."
"Pertanyaanmu aneh Kiai. Seharusnya kau tahu akan hal
itu Kiai Kajar juga mengetahuinya. Semua orangpun juga
mengetahuinya." jawab Panembahan.
"Tetapi justru aku tidak mengetahuinya. Bagiku tombak
ini adalah tombak sewajarnya. Tetapi karena landeannya
dibuat dari bahan yang mahal, serta riwayat dari tombak ini
yang mempunyai arti khusus bagi perguruan kami, maka
kami akan mempertahankannya dengan segala kemampuan
yang ada pada kami."
Panembahan itu tertawa. Katanya "Betapa dungunya
kau Kiai. Kau sia-siakan tuah yang ada di dalam tombak
itu. Karena itu serahkan tombak itu kepadaku."
"Aku juga berhak atas tombak itu." geram Kiai Kajar.
Kiai Gunirah tertawa pula. Katanya "Aku tahu bahwa
kita yang berada disini akan saling memperebutkan tiga
batang tombak yang disimpan oleh perguruan kami serta
songsong yang kuning keemasan itu. Yang penting bagi
kalian, apakah tuah pusaka-pusaka itu atau emas dan
permata yang terdapat pada pusaka-pusaka itu " Atau
barangkali keduanya-duanya "
"Persetan Gumrah" teriak Kiai Kajar "serahkan tombak
itu kepada kami"
"Dan kalian akan berkelahi memperebutkannya ?"
bertanya Kiai Gumrah.
"Ada ampat batang pusaka yang akan kami ambil dari
kalian" berkata Kiai Windu Kusuma "persoalan diantara
kami kemudian, bukan urusanmu. Tetapi kau tidak akan
dapat membenturkan kepentingan kami satu dengan yang
lain. Usahamu untuk mengadu domba itu tidak akan
berarti." "Sangat menarik" jawab Kiai Gumrah "tetapi baiklah.
Meskipun aku tidak sependapat dengan pendapat kalian
bahwa pusaka itu harus dicuci dengan darah yang masih
mengalir di jantung, namun jika kalian memaksanya, maka
benar-benar aku akan melakukannya, mencuci tombak ini."
Panembahan itulah yang tertawa. Katanya "Kau kira kau
merasa seorang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan "
Baiklah. Kita akan membuktikannya apakah aku mampu
mempertahankan dalan waktu yang singkat. Ingat, aku
akan mengambilnya. Jantungmu menurut pendapatku
adalah jantung yang paling baik untuk mencucinya."
Namun Panembahan itu terkejut. Ia melihat seseorang
yang ada dibelakang mereka yang membawa dan siap
melindungi songsong itu bergerak dan melangkah maju
sambil berkata "Tidak semudah itu Lebdagati."
Panembahan itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya
orang itu tajam-tajam. Namun kemudian ia menggeram
"Kau bongkok buruk. Aku sudah mengira bahwa kau.akan
melibatkan diri. Ceritera tentang harimau jadi-jadian itu
telah memastikan, bahwa kau akan hadir dalam persoalan
ini." "Aku menunggumu, Panembahan Lebdagati. Sejak kau
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lolos dari tanganku di sarangmu itu, maka aku telah
mengembara untuk dapat menemukanmu."
"Seharusnya kau menyadari keadaan dirimu. Kau
bongkok, buruk dan dungu. Untuk apa kau mencari-cari
aku, sementara kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku?"
bertanya Panembahan.
"Sekarang kita buktikan, apakah kau dapat berbuat apa-
apa atau tidak." jawab Ki Pandi.
Wajah Panembahan itu menjadi tegang. Sekali-sekali
dipandanginya Kiai Gumrah yang membawa satu diantara
tombak-tombak pusaka yang dicarinya. Namun ia sadar
bahwa ia tidak dapat mengabaikan kehadiran orang
bongkok itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada kawan-
kawannya "Jaga agar tombak dan songsong itu tidak lolos.
Setidak-tidaknya yang ada di halaman ini. Biarlah aku
menyelesaikan orang bongkok ini lebih dahulu."
Orang bongkok itu memang bergeser menjauhi mereka
yang membawa songsong, iapun segera mempersiapkan diri
menghadapi Panembahan itu sambil berkata "Marilah
Panembahan. Aku ingin agar persoalan yang ada diantara
kita segera tuntas."
Panembahan itu tidak dapat berbuat lain. Ia sadar, orang
bongkok itupun mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ia
dapat berbuat apa saja sebagaimana yang dapat
dilakukannya. Karena itu, maka Panembahan itupun harus berhati-hati
menghadapinya Demikian Panembahan itu bergeser, maka Kiai Kajarlah
yang serta merta menghadapi Kiai Gumrah. Dua orang
saudara seperguruan yang memiliki kelebihan diantara
saudara-saudaranya yang lain.
Ketika Kiai Windu Kusuma dan pemimpin dari
perguruan Susuhing Angin itu akan bergerak, maka dua
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memang
ditugaskan untuk melindungi songsong itupun bergerak
pula. Namun mereka tertegun ketika dari halaman samping
telah muncul dua orang suami isteri. Seorang diantaranya
membawa tombak pula. Ki Prawara dan Nyi Prawara.
Tetapi ternyata Ki Prawara dan Nyi Prawara tidak
sempat mendekat. Dua orang diantara mereka yang
menyertai para pemimpin mereka itupun telah menyongsong suami isteri itu. Seorang diantara keduanya
adalah murid terpercaya dari perguruan Susuhing Angin.
Seorang yang bertubuh tinggi besar. Berkumis lebat, namun
berkepala botak. Ia tidak mengenakan ikat kepalanya
dengan baik. Bahkan dengan sengaja menunjukkan
kepalanya yang botak itu. Sedangkan yang seorang lagi
adalah seorang kepercayaan Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara dan Nyi Prawarapun berhenti untuk menanti
kedua orang itu. Demikian kedua orang itu mendekat,
maka kepercayaan Kiai Windu Kusuma itu menggeram
"Setan. Ternyata seorang diantaranya seorang perempuan."
Orang bertubuh tinggi besar itupun mengumpat. Katanya
"Kalian menghina kami. Tetapi kalian akan menyesal
sampai tujuh turunan. Aku memang memerlukan seorang
perempuan. Perempuan-perempuan pemabuk itu sangat
menjemukan bagiku."
Wajah Nyi Prawara menjadi merah. Tetapi iapun segera
bergeser sambil berkata "Katakan apa yang akan kau
katakan, karena kesempatanmu akan segera berakhir. Nanti
kau tidak akan dapat mengatakan apapun juga setelah
nyawamu lepas dari tubuhmu."
Orang bertubuh raksasa itu membelalakkan matanya.
Tetapi iapun kemudian tertawa "Jarang aku temui
perempuan yang garang seperti perempuan ini. Tetapi justru
karena itu, maka ia adalah
perempuan langka yang
banyak dicari."
Nyi Prawara tidak dapat menahan gejolak
perasaannya lagi. Kemarahannya telah membakar jantungnya dan
membuat darahnya mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan
serta-merta Nyi Prawara
itupun telah meloncat menyerang. Serangan yang tak diduga sama sekali oleh
orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka ia tak
sempat mengelak lagi. Ketika kaki Ny i Prawa ra yang
mengenakan pakaian khususnya terjulur lurus kearah dada,
maka orang yang bertubuh tinggi besar itupun hanya
sempat memiringkan tubuhnya sambil melindungi dadanya
dengan sikunya.
Namun ternyata bahwa tenaga serangan Nyi Prawarapun tidak terduga pula. Dengan kekuatan tenaga
dalamnya, maka serangan itu benar-benar telah mengguncang tubuh lawannya itu.
Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata telah terdorong
surut. Namun ia masih
mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga raksasa itu tidak terjatuh.
Namun bahwa serangan perempuan itu sempat
mengguncang tubuhnya, maka raksasa itu benar-benar
merasa tersinggung.
Sambil menggeram orang itu telah mempersiapkan
dirinya. Tangannya mengembang siap untuk menangkap
dan meremas tubuh Nyi Prawara yang jauh lebih kecil dari
tubuh raksasa itu.
Namun sebelum ia bergerak, terdengar suara tertawa
berkepanjangan. Seorang yang juga bertubuh tinggi besar
melangkah mendekat sambil berkata "He, ternyata dilihat
dari ukuran tubuh, agaknya kita akan dapat menjadi lawan
yang seimbang."
Raksasa yang siap meremas tubuh Nyi Prawara itu
termangu-mangu.
Dilihatnya dua orang yang datang mendekat. Seorang
diantaranya adalah orang yang bertubuh tinggi besar,
sebagaimana dirinya sendiri.
Nyi Prawara yang juga berpaling itupun berkata
"Menyingkirlah Buta Ijo. Apa kau kira aku tidak dapat
melawannya."
"Tidak. Bukan itu Nyi" Berkata Buta Ijo "Jika aku
melawannya, agaknya akan menjadi tontonan yang
menarik. Dua orang raksasa berkelahi, He, Nyi. Masih ada
banyak lawan yang bakal datang kemari. Dihalaman
samping itu mengalir orang-orang yang jumlahnya cukup
banyak." "Aku tidak peduli mereka. Aku ingin melawan raksasa
dungu ini. Carilah lawan yang lain."
"Ia sudah merendahkan martabatku sebagai seorang
perempuan." berkata Nyi Prawara.
Buta Ijo itu mengangguk angguk kecil. Ia memang
mendengar kata-kata tajam yang menusuk perasaan Nyi
Prawara. Karena maka katanya "Baiklah. Ia memang
menghinamu. Tetapi biarlah aku bermain-main dengan
yang seorang lagi."
"Serahkan itu kepadaku." barkata Nyi Prawara.
"Nampaknya kau ditunggu didekat pintu gerbang itu."
berkata Buta ljo.
Ki Prawara memperhatikan pertempuran yaug sudah
terjadi di dekat pintu gerbang. Ternyata ada beberapa orang
yang harus bertempur melawan dua bahkan tiga orang.
Karena itu, maka Ki Prawara yang membawa satu
diantara tombak-tombak pusaka itupun segera meloncat
kearah pintu gerbang sambil berkata "Selesaikan raksasa
dungu itu, Nyi"
Nyi Prawara tidak menjawab. Tetapi iapun segera
beringsut untuk menghadapi raksasa yang telah merendahkan martabatnya itu.
Buta Ijo itulah yang kemudian termangu-mangu,
sementara kawannya lebih dahulu telah berhadapan dengan
kawan raksasa yang bertempur melawan Nyi Prawara itu.
Untuk sementara Buta Ijo justru kebingungan. Namun
kemudian ia telah melihat pertempuran di dihalaman
sebelah kiri yang terbuka telah bergeser pula. Beberapa
kawan Buta Ijo itu memang terdesak. Lawan mereka masih
terlalu banyak.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali
tidak gentar menghadapi lawan yang berapapun jumlahnya.
Tetapi ia menjadi ngeri melihat tubuh yang silang
melintang dimana-mana. Tetapi Buta Ijo itupun menyadari,
tanpa berbuat demikian, maka justru saudara-saudara
seperguruannya-lah yang akan terbaring diam di halaman
dan dikebun yang luas itu.
"Pertempuran yang gila" desis Buta Ijo itu.
Namun Buta Ijo itu tidak dapat berdiam diri. lapun
segera berlari dan bergabung dengan saudara-saudara
seperguruannya yang harus bertempur melawan kelompok-
kelompok orang yang datang dari beberapa perguruan itu.
Pertempuran itu dilihat dari jumlahnya memang tidak
seimbang. Tetapi saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang
yang datang dari beberapa perguruan itu. Pemimpin-
pemimpin mereka yang berilmu tinggi ternyata telah
berkumpul didekat pintu gerbang karena mereka memang
terpancing oleh songsong yang berwarna kuning keemasan
itu, sebagaimana diinginkan oleh Kiai Gumrah.
Karena itu, maka dengan kemampuan yang tinggi, serta
kerja sama yang sangat baik, saudara-saudara seperguruan
Buta Ijo itu mampu mengacaukan lawan mereka yang
jumlahnya jauh lebih banyak itu. Satu-satu orang-orang dari
beberapa perguruan itu jatuh dan tidak mampu bangun lagi.
Meskipun saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu bukan
pembunuh yang tidak berjantung, tetapi dalam keadaan itu,
mereka akan sangat sulit untuk mengekang ujung senjata
mereka. Tanpa niat untuk membunuh, maka beberapa
lawan-pun telah terbunuh, sementara yang lain terluka
parah. Dalam pertempuran yang kalut itu, maka Buta Ijopun
segera berbaur dengan saudara-saudara seperguruannya
yang jumlahnya tidak begitu banyak itu. Namun dengan
gerak yang cepat dalam garis perlawanan yang tidak
menentu, maka lawan-lawan mereka memang menjadi
bingung. Bahkan masih ada saudara-saudara seperguruan
Buta Ij? itu yang menyerang, namun kemudian berloncatan
menjauh, sementara orang lain telah berlari sambil
menyambar dengan senjatanya.
Dalam pada itu. para pemimpin dari beberapa perguruan
serta pengawal-pengawal terbaik mereka telah bertempur
pula didekat pintu gerbang. Seorang Putut kepercayaan Kiai
Windu Kusuma yang berusaha langsung meraih songsong
yang dibawa oleh Laksana harus berhadapan dengan
Winih. Putut memang terkejut ketika lawan yang
dihadapinya itu seorang perempuan yang masih terlalu
muda. "Kenapa kau ikut memasuki halaman rumah ini "
Apakah kau tidak tahu, bahwa halaman ini akan menjadi
neraka bagi mereka yang telah berani memasukinya?"
bertanya Putut itu.
Sambil memutar rantainya Winih menjawab "Aku
memang sudah berniat melakukannya. Nah bersiaplah. Kita
akan bertempur."
"Siapa namamu?" bertanya Putut itu. Ternyata Winih
tidak, merahasiakan namanya. Karena itu, maka iapun
menjawab "Namaku Winih."
"Winih. Kaukah yang sering
disebut-sebut oleh
Darpati?" "Mungkin" jawab Winih "sayang, bahwa aku harus
membunuhnya ketika ia berniat menjadikan aku barang
taruhan." "Kau telah membunuh Darpati?" bertanya Putut itu.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Aku terpaksa melakukannya" jawab Winih.
Putut itu tertawa. Katanya "Jangan mengigau. Darpati
adalah anak muda berilmu tinggi. Ia memang terbunuh.
Tetapi tentu bukan kau yang membunuhnya."
"Percaya atau tidak, itu bukan persoalanku. Sekarang
kita akan bertempur. Bersiaplah."
Putut itu termangu-mangu sejenak. Namun perempuan a
itu nampak yakin akan dirinya sendiri, sehingga karena
maka Putut itu harus berhati-hati menghadapinya.
Winih yang sudah memutar rantainya tidak menunggu
lebih lama lagi. Ialah yang telah mendahului menyerang
Putut yang bersenjata pedang itu. Dengan loncatan-
loncatan yang cepat. Winih berusaha untuk menembus
pertahanan Putut itu.
Tetapi Putut juga mempunyai bekal yang cukup untuk
menghadapi Winih. Dengan tangkas Putut itu mengimbangi kecepatan gerak Winih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya celah
terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka saling
menyerang dan menghindar. Beberapa kali Winih berhasil
mendorong lawannya berloncatan surut. Tetapi kemudian
Winih-lah yang harus melangkah mundur karena serangan
lawannya yang datang beruntun.
Namun Putut itu menjadi semakin tegang ketika ternyata
perempuan itu memang tidak dapat segera ditundukkan. .
Bahkan ia mulai mempercayainya, bahwa perempuan
muda itu telah berhasil mempertahankan dirinya terhadap
Darpati, meskipun mungkin ia tidak sendiri. .
Tetapi semakin lama Putut itu menjadi semakin gelisah.
Winih ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi!
Menilik ujudnya, perempuan itu tentu masih sangat muda.
Namun adalah diluar dugaannya, bahwa perempuan muda
itu benar-benar telah mampu mendesaknya.
Putut itu tahu benar bahwa Darpati termasuk seorang
yang berilmu tinggi. Tetapi jika benar perempuan muda itu
dapat membunuhnya, maka perempuan yang bernama
Winih itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, pertempuran didekat pintu gerbang itu-
pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang telah langsung
terlibat. Demikian pula juragan gula itupun telah berada di-
dekat pintu itu pula.
Dengan demikian tiga buah tombak pusaka dan sebuah
songsong telah terkumpul didekat pintu gerbang itu.
Namun bukan sebagai benda-benda yang akan dipersembahkan kepada Panembahan Lebdagati serta Kiai
Windu Kusuma dan kawan-kawannya. Tetapi senjata itu
justru telah dipergunakan untuk melawan mereka.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan
pertempuran habis-habisan dari dua kelompok orang-orang
berilmu tinggi. Ternyata Kiai Windu Kusuma kemudian
berhadapan dengan Ki Prawara yang juga membawa
sebuah diantara tombak pusaka itu, sedangkan juragan gula
itu bertempur melawan pimpinan perguruan Susuhing
Angin yang masih saja selalu mencurigai Kiai Kajar tentang
kebocoran rencana mereka untuk menjemput pusaka-
pusaka itu dirumah Kiai Gumrah.
Namun dalam pada itu, Kiai Kajar sendiri harus
bertempur dengan mempertaruhkan segala-galanya melawan Kiai Gumrah. Keduanya saudara seperguruan
yang dianggap memiliki kelebihan dari saudara-saudara
seperguruannya yang lain disamping juragan gula itu.
Sementara itu, diarena pertempuran yang lain, beberapa
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih
bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan.
Namun jumlah mereka memang menjadi semakin susut.
Meskipun demikian, namun orang-orang itu masih tetap
merupakan bahaya yang sungguh-sungguh bagi saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Tiga orang saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah
terluka meskipun tidak parah. Justru orang yang selalu
menyebut dirinya sambil bergurau berilmu tinggi. Seorang
lagi yang lebih banyak mengantuk dari pada tidak.
Sedangkan yang lain adalah seorang yang kurang
bersungguh-sungguh menghadapi lawannya. Orang yang
berjambang tebal itu menganggap permainan yang
dilakukan sangat menyenangkan. Baru ketika lengannya
tergores senjata lawannya, orang itu menjadi sangat marah
dan bersungguh-sungguh. Namun kemarahannya telah
menimbulkan banyak kesulitan bagi lawan-lawannya.
Dalam pada itu Buta Ijopun telah berada diantara
saudara-saudara seperguruannya. Ternyata saudara-saudara
seperguruannya telah berusaha untuk memancing dilingkungan yang lebih luas dari halaman yang terbuka
disisi sebelah kiri rumah yang besar itu. Tetapi juga
menebar kehalaman depan. Semakin luas medan, maka
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu sempat
membuat lawan-lawan mereka kadang-kadang kebingungan. Kadang-kadang orang-orang yang berpakaian
serba hitam itu bagaikan hilang lenyap dalam bayang-
bayang dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul
bagaikan terbang menyambar korban yang terdekat dengan
sejata-senjata mereka.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Buta
Ijo ternyata memilih cara
yang lain. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia justru
berlari naik ke pendapa,
kemudian melintasi pringgitan mendorong pintu dan masuk ke ruang
dalam. Ampat oang bersama-sama mengejarnya dengan senjata teracu. Dibelakangnya tiga orang
yang lain telah memburu
pula. Buta Ijo itu ternyata tidak berlari terus, Demikian ia
menyelinap dibalik pintu, iapun segera menunggu.
Keempat orang yang memburunya itu terkejut. Demikian mereka melintasi pintu, maka dari sisi pintu itu
terayun selarak pintu yang berat menghantam mereka. Dua
orang yang berada didepan telah terpental membentur
orang-orang yang ada dibelakangnya. Keempat orang itu
seakan-akan telah terlempar kembali keluar dari pintu
pringgitan. Ketiga orang yang memburu dibelakang mereka terkejut.
Mereka bahkan berloncatan surut.
Dua orang diantara keempat orang yang jauh terlentang
itu segera berloncatan bangkit. Namun kepala mereka yang
membentur lantai pendapa itu membuat mereka merasa
pening. Sementara dua orang yang berada didepan memang
mencoba juga untuk bangkit. Tetapi wajah mereka mulai
dibasahi oleh darah yang mengalir dari luka. Seorang
diantara mereka telah melelehkan darah dari sela-sela
bibirnya. Tiga giginya patah, sementara bibirnya menjadi
pecah-pecah, sedang yang seorang lagi dahinya bukan saja
menjadi memar, tetapi juga terluka dan menitikkan darah
pula. "Setan" geram kawannya. Tetapi mereka tidak berani
berlari memasuki ruang dalam. Ternyata raksasa yang
berlari keruang dalam itu tidak mempergunakan senjatanya
sendiri. Ia telah menyerang justru dengan selarak pintu.
Dengan hati-hati dua orang diantara mereka telah
melintasi pintu. Mereka melihat ruang dalam itu kosong.
Raksasa itu tentu sudah berlari dan bahkan mungkin
bersembunyi. Dibelakang mereka tiga orang yang lain mengikuti kedua
orang kawannya, sedangkan dua orang yang terluka itu
berada dipaling belakang.
Sejenak kemudian tiba-tiba mereka terkejut. Mereka
mendengar, jerit perempuan-perempuan yang berkumpul
dibilik dibelakang ruang dalam. Agaknya raksasa itu telah
masuk kedalam bilik perempuan-perempuan itu.
Ketika orang-orang yang mengejar raksasa itu berlari
kearah bilik itu, mereka telah saling bertubrukan dengan
beberapa orang perempuan yang berlari-larian keluar dari
bilik itu. Dari dalam bilik itu terdengar suara membentak-bentak
"cepat keluar, atau aku bunuh kalian. Cepat sebelum aku
kehilangan akal."
Perempuan-perempuan itu memang menjadi ketakutan
dan berlarian keluar justru pada saat orang-orang yang
memburu Buta Ijo itu berlari menuju kebilik karena mereka
mendengar suara perempuan yang menjerit-jerit.
Selagi orang-orang yang mengejarnya itu menyibak
perempuan yang berlari-larian menjauhi bilik itu, maka
Buta Ijopun telah berlari pula. Dengan cepat ia menyelinap
kesudut serambi disamping ruang dalam.
Orang yang mengejarnya itu menjadi lebih berhati-hati.
Mereka tidak langsung memburu melalui sudut serambi itu.
Raksasa itu akan dapat dengan tiba-tiba menyerang mereka.
Dengan hati-hati mereka telah memasuki serambi yang
panjang. Namun mereka sama sekali tidak melihat Buta Ijo.
Orang yang tertua diantara mereka yang mengejar Buta
ijo itu berdesis "Kita berpencar. Tetapi hati-hati. Orang itu
licik sekali."
Dengan demikian, maka mereka telah membagi diri
menjadi dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari ampat
orang, namun dua diantaranya telah terluka dan kesakitan,
sedangkan kelompok yang lain terdiri dari tiga orang.
Dengan hati-hati mereka menyelinap diantara dinding-
dinding rumah yang besar itu.
Tetapi ternyata mereka memang mengalami kesulitan
melawan raksasa itu. Meskipun mereka lebih menguasai
medan karena mereka memang tinggal dirumah itu, tetapi
Buta Ijo tiba-tiba saja dapat menyergap mereka. Dua orang
diantara keempat orang itu telah mengalami nasib yang
buruk pula. Buta Ijo telah memukul mereka dengan selarak
pintu dari balik selintru.
Seorang diantara mereka tidak saja sekedar berdarah.
Tetapi orang itu langsung jatuh dan menjadi pingsan.
Tengkuknya serasa menjadi patah oleh selarak pintu itu.
Sedangkan seorang lagi terduduk sambil memegang
perutnya yang dihantam selarak pintu itu pula.
Dua orang yang sudah terluka sebelumnya itu menjadi
ragu-ragu. Namun mereka masih juga memberanikan diri
untuk mencari raksasa yang bersembunyi didalam rumah
itu. Sementara itu, di halaman. Nyi Prawara yang hatinya
telah dibakar oleh kata-kata lawannya yang bertubuh
raksasa itu, bertempur dengan tangkasnya. Meskipun
tenaganya tidak sekuat raksasa itu, namun kecepatannya
bergerak telah membuat lawannya menjadi bingung. Rasa-
rasanya perempuan itu berloncatan berputaran disekitar
tubuhnya. Kadang-kadang bahkan sempat hilang dari
tangkapan penglihatannya. Namun tiba-tiba perempuan itu
meloncat menyerang dengan cepatnya.
Raksasa itu mulai gelisah. Semula ia merasa, bahwa ia
tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Bahkan raksasa
itu ingin menangkap perempuan itu tanpa melukainya.
Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, maka
raksasa itu mulai menjadi gelisah.
Dalam keadaan terdesak maka raksasa itu tidak
mempunyai pilihan daripada mempergunakan senjatanya
Sebuah parang yang besar dan berat
Namun Nyi Prawara sama sekali tidak tergetar hatinya,.
Dengan senjata rantainya maka Nyi Prawara telah
memberikan perlawanan yang justru semakin mendebarkan
jantung lawannya.
Nyi Prawara yang bertumpu pada kecepatan geraknya.
membuat raksasa itu semakin bingung. Ia kadang-kadang
hanya dapat mengayun-ayunkan parangnya sementara
sasarannya telah meloncat mengambil jarak.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kemarahan yang semakin menyala didadanya,
raksasa itu mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi
kekuatan alami yang dimilikinya, ditempa pula dengan
latihan yang berat, yang melampaui kekuatan lawannya
yang dilambari dengan kekuatan dalamnya, tidak mampu
melindungi tubuhnya dari sengatan senjata lawannya.
Rantai yang berputaran itu, sekali-sekali terayun menebas
dengan derasnya, namun kemudian tiba-tiba mematuk
dengan cepat. Raksasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak ketika
ia merasakan dadanya menjadi panas. Ujung rantai Nyi
Prawara mematuk dadanya yang tidak terlindung.
Ternyata sentuhan rantai itu tidak saja membuat
dadanya merasa panas bagaikan disentuh bara api
tempurung. Tetapi dadanya telah terkoyak pula, sehingga
darahpun telah meleleh dari luka itu.
Raksasa itu menggeram. Dengan suaranya yang berat ia
berkata "perempuan celaka. Kau ternyata tidak tahu diri.
Aku masih berusaha menahan diri agar aku tidak
merusakkan kulitmu meskipun hanya segores kecil. Namun
kau telah melukai dadaku."
"Aku tidak hanya akan melukaimu, tetapi aku akan.
membunuhmu" jawab Nyi Prawara.
"Meskipun kau sudah melukai aku, tetapi aku masih
memberimu kesempatan. Menyerahlah. Jika kau menyerah,
kau tidak akan aku bunuh." berkata orang bertubuh raksasa
itu. "Itu tidak termasuk pilihanku. Pilihanku hanya dua.
Membunuhmu atau kau membunuhku." jawab Nyi
Prawara. "Aku senang kepada perempuan-perempuan yang
garang. Tetapi kau terlalu garang." berkata orang itu.
Nyi Prawara tidak menjawab. Kata-kata itu sangat
memanaskan hatinya. Karena itu, tiba-tiba saja rantainya
sudah bergetar menyambar bibir raksasa itu,
Hanya satu sentuhan kecil, karena raksasa itu cepat
menarik wajahnya. Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah
memecahkan bibirnya, sehingga terasa darah yang hangat
mulai mengalir dari lukanya itu.
Orang bertubuh tinggi besar itu meloncat surut. Dari
mulutnya terdengar umpatan kasar.
"Setan betina. Kau benar-benar tidak tahu diri." orang itu
masih akan mengumpat lagi. Tetapi sekali lagi rantai Nyi
Prawara bergetar. Hampir saja bibir orang itu sekali lagi
dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara. Untunglah bahwa
raksasa itu masih sempat mengelak.
Dengan demikian, pertempuran segera menyala kembali.
Nyi Prawara ternyata tidak kalah garangnya dari lawannya
yang bertubuh raksasa. Parangnya yang besar dan berat itu
terayun-ayun mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar
telah dibakar oleh kemerahannya sehingga ia sama sekali
tidak mengekang dirinya lagi.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari
menyerang dan menyerang. Nyi Prawara bergerak terlalu
cepat. Lebih cepat dari ayunan senjatanya itu.
Sementara itu, saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang bertempur melawan orang-orang dari
berbagai perguruan yang ada di rumah itu, masih harus
mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan
mereka sudah berkurang cukup banyak, namun jumlah
mereka masih terlalu banyak. Sehingga dengan demikian,
maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih
harus berlari-larian untuk menghindari serangan-serangan
yang tiba-tiba dari arah yang tidak diperhitungkan.
Dalam pada itu, Buta Ijo yang berlari-larian didalam
rumah yang besar itu, telah berhasil mengurangi lawan-
lawannya. Sehingga akhirnya menjadi tinggal seorang saja.
Hati orang itu tiba-tiba saja menjadi kecut. Orang yang
dikejarnya itu seakan-akan benar-benar telah berubah
menjadi raksasa yang garang dengan taring-taringnya yang
besar dan runcing. Kedua tangannya seakan-akan telah
mengembang serta jari-jarinya yang terluka siap menerkamnya. Orang yang tinggal sendiri itu benar-benar telah
kehilangan keberaniannya. Ketika raksasa itu melangkah
mendekat, maka orang itu tiba-tiba telah meloncat
melarikan diri.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dilemparkannya selarak pintu yang terbuat dari kayu itu.
Selarak itu telah membantunya menyelesaikan beberapa
orang tanpa membunuhnya. Beberapa diantaranya menjadi
pingsan, sedang yang lain terluka parah sehingga tidak lagi
mampu memburu raksasa itu lagi.
Ketika Buta Ijo itu kemudian bergerak menyusuri
ruangan rumah yang besar itu, ia jusiru terkejut. Ia telah
berada disebuah ruangan tempat perempuan-perempuan
yang ketakutan itu bersembunyi. Demikian perempuan-
perempuan itu melihat Buta Ijo itu masuk, maka
merekapun telah menjerit-jerit lagi dan berlari menghambur
keluar. Seorang diantara perempuan itu kakinya terantuk
sesosok tubuh seseorang yang pingsan karena tengkuknya
dipukul dengan selarak pintu oleh raksasa itu, sehingga
dengan demikian perempuan itu telah jatuh tertelungkup.
Buta Ijo yang melihatnya diluar sadar telah berlari
kearahnya dan berusaha menolongnya. Namun demikian
rempuan itu melihat wajah Buta Ijo yang telah menakut-
nakutinya itu, maka perempuan itu justru semakin,
menjerit-jerit.
Buta Ijopun menjadi bingung. Karena itu kemudian
dilepaskannya perempuan itu. Ia mengurungkan niatnya
untuk menolongnya. Buta Ijo yang kebingungan itu justru
berlari keluar menjauhi tempat itu.
Buta Ijo menjadi agak bingung ketika tiba-tiba ia sudah
berada diserambi yang sepi. Lampu minyak yang berada di
ajuk-ajuk berkeredipan disentuh angin.
Dengan ragu-ragu ia membuka pintu samping. Perlahan-
lahan ia melangkah keluar. Diluar nampak sepi. Namun ia
mendengar keributan yang terdengar diarah yang lain.
"O, aku berada dibagian belakang rumah yang besar ini.
Bukankah tadi aku sudah berada disini?"
Buta Ijo itupun justru mencari lagi pintu dapur. Ia tahu
bahwa didapur masih ada makanan.
Dihalaman depan, pertempuran menjadi semakin seru.
Orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itu
menjadi semakin mengalami kesulitan. Jumlah mereka
semakin berkurang. Namun saudara seperguruan Buta Ijo
yang terlukapun bertambah pula. Bahkan seorang diantara
mereka mengalami luka yang agak parah. Sedangkan
seorang yang bertubuh kecil harus menyingkir pula dari
arena, karena punggungnya serasa patah. Sebuah bindi
yang besar telah menghantam punggungnya itu ketika ia
lengah. Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, maka Buta
Ijo sambil mengunyah makanan telah melibatkan diri pula.
Demikian ia melihat beberapa orang saudara seperguruannya terluka, maka ia tidak lagi mencari selarak
pintu. Tetapi ia sudah mencabut lagi luwuknya. Dengan
tenaganya yang sangat besar, maka iapun telah berloncatan
diantara beberapa orang yang mencoba mengurungnya.
Didekat pintu gerbang, maka pertempuranpun menjadi
semakin sengit pula. Orang-orang berilmu tinggi telah
meningkatkan kemampuan mereka pula.
Winih yang bertempur melawan seorang Putut yang
ilmunya telah mapan, harus mengerahkan kemampuannya.
Tetapi Winihpun pernah ditempa dengan laku berat,
sehingga ia telah benar-benar menjadi seorang gadis yang
aneh. Gadis yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Beberapa kali Putut itu berusaha untuk memecahkan
pertahanan Winih dengan menghentakkan kemampuannya.
Tetapi setiap kali justru harus meloncat mundur. Rantai di-
tangan Winih berputar dengan cepat untuk melindungi
dirinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi lebih rapat dari
sebuah perisai.
Dengan demikian maka ujung senjata Putut itu tidak
mampu menembus pertahanan gadis itu.
Bahkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka
justru ujung rantai itulah yang telah berhasil menyusup
disela-sela senjata lawannya. Satu sentuhan kecil ternyata
telah mampu mengoyak kulit lawannya, sehingga darahpun
mulai mengembun.
Putut itu mengumpat kasar. Luka itu memang tidak
banyak mempengaruhi tenaga
dan kemampuannya meskipun perasaan pedih telah menyengat. Justru luka itu
seakan-akan menjadi seperti minyak yang menyiram
jantungnya yang membara.
Api kemarahanpun menjadi semakin berkobar didalam
dadanya. Demikianlah maka pertempuranpun menjadi semakin
sengit. Putut itu menyerang semakin garang. Namun yang
kemudian memecahkan pertahanan lawannya adalah
Winih lagi. Ujung rantainya yang menebas mendatar telah
menggores pundak lawannya, sehingga
luka telah menganga. Luka yang lebih dalam dari luka dilengannya.
Putut itu menjadi semakin marah. Namun ia mulai
percaya bahwa gadis itu telah membunuh Darpati.
Karena itu, maka iapun mulai bergeser memancing agar
Winih bergerak pula menjauhi orang-orang yang telah
mendatangi rumah itu dan bertempur didekat pintu gerbang
itu. Ia ingin membawa Winih bertempur diantara orang-
orang yang datang dari berbagai perguruan yang ada
ditengah halaman. Yang telah bergeser dari halaman
disebelah kiri rumah yang besar itu, bergerak ke halaman
depan, yang disangkanya telah menggiring lawan-lawan
mereka, agar bertempur ditempat yang lebih luas dan
mapan. Namun sebenarnyalah bahwa mereka justru telah
terpancing oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
yang sengaja bertempur diarena yang luas, karena jumian
mereka yang jauh lebih sedikit dari jumlah lawan-lawan
mereha. sehingga mereka dapat berlari-larian dan saling
mengisi yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian, meskipun beberapa kali crang-orang
yang ada dirumah itu yang berasal dari beberapa perguruan
berusaha untuk mengepung mereka, namun kepungan itu
setiap kali tentu pecah, karena sulit bagi mereka untuk
dapat menjaring semua saudara saudara seperguruan Kiai
Gumrah, justru karena mereka selalu bergerak silang
menyilang diarena yang luas.
Jika mereka berhasil membentuk lingkaran, maka tiba-
tiba saja dua tiga orang diantara lawan-lawan mereka yang
berada diluar lingkaran, telah menyerang dan mengoyak
kepungan itu. Sementara mereka yang ada didalam serentak
menghentak pula, sehingga kepungan itupun menjadi
berserakan kembali.
Namun hal itu luput dari
penglihatan Putut yang bertempur melawan Winih.
Ia mengira bahwa orang-
orang yang berkumpul dari
beberapa perguruan dalam
jumlah yang besar itu akan
dapat segera menguasai beberapa orang yang telah
menyerang rumah itu.
Tetapi ternyata Winih
tidak mudah untuk dipancing menjauhi songsong yang dibawa oleh
Laksana itu. Setiap kali
Putut itu berloncatan menjauh, maka Winih tidak dengan
tergesa-gesa memburunya. Tetapi ia bertahan ditempatnya
sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan. Putut itu memang menjadi gelisah. Sementara itu, ia
menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan
perempuan yang masih sangat muda itu sendiri.
Karena itu, yang dilakukan oleh Putut itu kemudian
adalah sekedar menyerang dan kemudian dengan cepat
menghindar. Jika Winih memburu selangkah dua langkah,
maka Putut itu meloncat semakin jauh.
Namun Winih masih tetap tidak terpancing. Ia memang
tidak ingin menjauhi songsong yang berwarna kekuning-
kuningan dengan lingkaran hijau itu.
Betapapun kemarahan, kejengkelan dan kebencian
membakar seluruh isi dadanya dan membuat darahnya
mendidih, tetapi Putut itu memang tidak dapat berbuat
banyak. Bahkan ketika ia mencoba dengan tiba-tiba
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang sambil menghentakkan kemampuannya, justru
ujung rantai Winih telah menyambar keningnya. Hanya
lapisan kulitnya sajalah yang tersentuh ujung rantai itu.
Namun Putut itu berteriak marah sekali. Apalagi ketika
darah yang hangat terasa meleleh sampai kepipinya
Tetapi apapun yang dilakukan oleh Putut itu sama sekali
tidak mampu menggoyahkan pertahanan Winih yang muda
itu. Disisi lain, Ki Prawara barhadapan dengan Kiai Windu
Kusuma. Ia sudah menggeser seorang saudara seperguruan
Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawara datang dengan membawa
salah satu pusaka yang diperebutkan itu, maka seakan-akan
seseorang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk
langsung berhadapan dengan pemimpin landasan kekuatan
dari orang-orang yang akan merampas pusaka-pusaka yang
sangat berharga itu dari tangan Kiai Gumrah.
Namun bagaimanapun juga, Ki Prawara sekali-kali
masih harus melihat keadaan anaknya meskipun hanya
sekilas. Ia memang menjadi agak cemas menyaksikan Putut
yang menyerang dengan garangnya. Namun yang juga
berusaha memancing Winih untuk menjauhi songsong itu.
Bahkan ia akan mengalami kesulitan jika gadis itu
memasuki lingkungan pertempuran yang luas dihalaman
itu. Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, justru Ki
Prawara kadang-kadang harus berloncatan surut sambil
mengambil jarak dari lawannya untuk sekedar dapat
melihat keadaan Winih.
Namun oleh cahaya oncor dipintu gerbang yang terbuka
itu, lamat-lamat Ki Prawara sempat melihat darah di wajah
lawan anak gadisnya itu.
Sebenarnyalah, bahwa keadaan Putut itu menjadi
semakin sulit. Bahwa Winih sama sekali tidak terpancing
itu telah membuat Putut itu semakin marah. Bahkan
kemudian kehilangan pegangan. Ia menjadi tidak sabar.
Tetapi juga tidak mampu berbuat lebih banyak.
Sementara itu, tidak ada orang lain yang dapat
diharapkan dapat membantunya karena semua orang telah
bertempur ditempat yang tersebar.
Tetapi ketidak-sabaran orang itu, ternyata telah
menyeretnya kedalam keadaan yang paling buruk. Ketika
kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya, sementara
darah semaian banyak menitik dari luka-lukanya, maka
Putut itu menjadi mata gelap. Ia tidak lagi berpijak pada
penalarannya. Dengan mengerahkan segenap sisa kemampuannya,
maka Putut itupun menyerang Winih membabi buta.
Diputarnya senjatanya seperti baling-baling. Kemudian
meloncat sambil menebas langsung kearah leher Winih.
Tetapi Winih telah siap menghadapi Putut yang
kehilangan akal itu. Dengan cepat Winih meloncat
mengelak, sehingga pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Putut yang menjadi seperti mabuk itu telah menggeliat.
Pedangnya yang berputar itu tiba-tiba telah mematuk
kearah dada Winih.
Winih bergeser dengan cepat. Demikian ujung pedang
itu meluncur didepan tubuhnya yang miring, maka Winih
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Rantainya
berputar dengan cepat dan satu sabetan yang sangat deras
telah menyambar leher Putut itu.
Terdengar jerit kesakitan menggetarkan jantung. Luka
telah menganga dileher Putut itu. Sejenak ia terhuyung-
huyung. Namun kemudian tubuhnya telah terjerembab
jatuh terguling ditanah.
Winih meloncat mundur sambil memalingkan wajahnya.
Iapun kemudian telah bergeser dan berdiri dibelakang
Laksana yang membawa songsong itu, sementara Manggada berdiri disebelahnya dengan senjata ditangan.
Winih seakan-akan ingin menyembunyikan dirinya setelah
rantainya melukai lawannya dan bahkan kemudian Putut
itu tidak lagi bergerak sama sekali.
Ki Prawara yang setiap kali seakan-akan terdesak oleh
lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anak
gadisnya menyelesaikan lawannya.
Namun Ki Prawara tidak sempat merenungi kemenangan anaknya lebih lama. Hampir saja senjata Kiai
Windu Kusuma menyentuh keningnya.
Dengan terhentinya perlawanan Putut itu, maka Ki
Prawara dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Kiai Windu Kusuma yang telah menggenggam
senjata yang mendebarkan. Senjata yang agaknya hanya
dipergunakan dalam keadaan yang paling gawat. Sebilah
keris yang besar dan berwarna kahitam-hitaman. Namun
dalam keremangan cahaya oncor diregol, nampak pamor
keris itu berkedipan.
Ketika Kiai Windu Kusuma melihat lawannya
memperhatikan senjatanya, maka iapun
berkata "Dengan pusakaku
ini, aku tidak gentar menghadapi tombak yang
betapapun tinggi tuahnya.
Keris raksasa ini adalah
peninggalan orang yang
tidak terkalahkan
pada masanya. Ia adalah guruku
yang ditakuti setiap orang." Ki Prawara mengerutkan dahinya. Tombaknya telah merunduk,
sementara ujungnya bagaikan bergetar.
"Kita akan melihat, seberapa besarnya tuah senjata kita
masing-masing." berkata Kiai Windu Kusurna.
"Aku tidak bersandar pada tuah senjataku. Akhirnya
semuanya tergantung kepada siapa yang memegangnya."
jawab Ki Prawa ra.
"Kenapa kalian pertahankan pusaka itu dengan
mempertaruhkan nyawamu?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Tombak ini adalah peninggalan sebagaimana senjatamu. Jika kami mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawa, karena kami menghormati pusaka
ini sebagai warisan yang sangat berharga. He, kau lihat
emas dan tretes berlian pada landean tombak ini " Apakah
kau dapat memperkirakan berapa saja harganya ?"
"Setan kau?" geram Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara itu menyahut pula "Karena itu, kami tidak
berpikir untuk mempertahankan tuah senjata ini dengan
mencucinya dengan darah yang masih mengalir dijantung."
Kiai Windu Kusuma tidak menjawab. Tetapi ketika
kerisnya mulai terayun, Ki Prawara itupun meloncat
kesamping sambil berkata "Aku
bersandar kepada
perlindungan Yang Maha Agung, justru karena kami yakin,
bahwa kami sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kami
mempertahankan hak milik kami."
Kiai Windu Kusuma yang mulai meloncat menyerang
itu masih juga sempat menjawab "Aku pernah mendengar
kata-kata itu dari mulut Kiai Gumrah ketika aku datang
untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Omong kosong yang
tidak berarti."
Ki Prawara tidak menjawab lagi. Serangan Kiai Windu
Kusuma ternyata cukup berbahaya sehingga Ki Prawara
harus meloncat surut.
Ki Prawa ra memang pernah mendengar ceritera dari
Kiai Gumrah sebelumnya, bahwa Kiai Windu Kusuma
memang pernah datang untuk mengambil pusaka-pusaka
itu dirumah Kiai Gumrah. Namun usaha itu telah gagai.
Kiai Windu Kusuma yang pernah bertempur dengan
Kiai Gumrah itu mulai menilai lawannya yang lebih muda
itu. Ternyata bahwa anak Kiai Gumrah itu memiliki ilmu
yang tidak terpaut dari Kiai Gumrah sendiri.
Dalam pada itu, Winih yang masih berdiri dibelakang
Laksana dan Manggada untuk menyembunyikan penglihatannya atas tubuh Putut yang terbaring diam
dengan darah yang mengalir dari lukanya, justru sempat
melihat pertempuran yang terjadi di tengah-tengah halaman
itu. Ia melihat ibunya yang sedang bertempur melawan
seorang yang bertubuh raksasa. Namun seperti juga Ki
Prawara yang tidak mencemaskan isterinya, maka
Winihpun melihat, betapa ibunya benar-benar menguasai
lawannya. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu
terhuyung-huyung, maka Nyi Prawara justru telah meloncat
surut menjauhinya.
Nyi Prawara tidak menyelesaikah pertempuran itu.
Dibiarkannya raksasa itu jatuh berlutut. Kemudian
terduduk sambil mengerang kesakitan.
Yang mendekatinya justru Buta Ijo yang berlari keluar
dari arena petempuran. Digoyang-goyangnya tubuh raksasa
yang terduduk itu sambil berkata "Lain kali berhati-hatilah
terhadap perempuan. Nah, kau sekarang sudah merasakan,
betapa kau menemukan kesenangan itu."
Raksasa yang sudah tidak berdaya itu tidak menjawab.
Namun Buta Ijo itu tidak sempat bergurau lebih lama.
Beberapa orang telah mengejarnya dan bahkan dua
diantaranya telah mendekati Nyi Prawara yang baru saja
bergeser dari lawannya yang bertubuh raksasa.
Winih melihat kedua orang itu. Tetapi ia tidak mau
meninggalkan Laksana dan Manggada. Karena itu, maka
ia-pun justru berteriak "Ibu, aku disini."
Nyi Prawara mendengar suara anaknya. lapun tahu
bahwa anaknya berada bersama songsong yang didekat
pintu gerbang. Karena itu, sebelum ia melihat Winih, Nyi
Prawara sudah berlari menuju kepintu gerbang. Suara
anaknya itu telah membuatnya cemas. Sedangkan kedua
orang yang mendekatinya dengan senjata teracu itu justru
telah memburunya. Mereka mengira bahwa Nyi Prawara
itu berlari untuk mnghindari mereka berdua meskipun Nyi
Prawara itu telah mengalahkan orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Namun Nyi Prawara memang tidak meninggalkan arena
karena serangan kedua orang itu. Bahkan ia tidak
menghiraukan ketika kedua orang itu mengejarnya.
Winih yang melihat ibunya berlari kearahnya dan dikejar
oleh dua orang itu menjadi cemas. Mungkin ibunya tidak
menyadari bahwa dua orang telah memburunya, bahkan
tidak terlalu jauh dibelakangnya. Karena itu, maka
Winihpun telah berian menyongsong sambil berteriak "Ibu,
dua orang dibelakang ibu."
Nyi Prawara yang melihat anaknya tidak dalam
kesulitan, bahkan muncul dibelakang Laksana dan
Manggada berlari menyongsongnya, dadanya terasa
menjadi lapang. Karena itu, maka iapun segera berhenti
berpaling sambil memutar rantainya.
Kedua orang yang mengejarnya itu terkejut. Merekapun
berhenti dan bersiap untuk menyerang.
Namun yang mereka hadapi kemudian adalah dua orang
perempuan. Yang seorang bahkan seorang perempuan yang
masih terlalu muda.
Namun kedua orang yang mengejarnya itu menjadi ragu-
ragu. Seorang diantara kedua orang perempuan itu telah
mengalahkan raksasa yang ditakuti dilingkungan mereka
itu, sedang merekapun melihat tubuh Putut yang berilmu
tinggi itupun telah terbaring diam.
Karena itu, maka keduanya menjadi ragu-ragu. Ketika
Winih dan ibunya bergerak maju, maka keduanya justru
bergeser mundur.
Winih tidak mau maju lagi. Kepada ibunya ia berdesis
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus membantu menjaga songsong itu."
Ibunya mengangguk. Bahkan katanya kemudian "Baiklah aku akan menbantumu. Biar saja kedua orang itu,
apa saja yang akan dilakukan."
Ketika kemudian ternyata kedua perempuan itu tidak
mengejarnya kedua orang itu justru menjadi bingung. Ia
harus berpikir ulang jika mereka akan menyerang. Tetapi
untuk meninggalkan begitu saja harga dirinya telah
direndahkan. Dalam kebingungan maka seorang diantara mereka telah
bersuit nyaring. Suaranya memang menyentuh setiap
telinga mereka yang ada dihalaman rumah yang besar itu.
Meskipun masih juga terdengar teriakan-teriakan, bentakan-
bentakan dan geram kemarahan, namun orang-orang dari
perguruan Susuhing Angin tertarik oleh isyarat itu. Bagi
mereka, isyarat itu merupakan permintaan untuk membantu, karena orang yang memberikan isyarat itu
berada dalam kesulitan.
Tetapi orang-orang dari perguruan Susuhing Angin
sebagaimana orang-orang yang datang dari perguruan lain,
masih sedang bertempur ditengah-tengah halaman depan:
Sementara itu kawan-kawan mereka masih saja berkurang
seorang demi seorang. Karena itu, maka tidak seorangpun
yang sempat mendekat untuk memenuhi isyarat itu. Bahkan
hampir setiap orang dari perguruan Susuhing Angin ingin
membunyikan isyarat seperti itu pula.
Karena itu, maka kedua orang itu menjadi semakin
gelisah. Tetapi karena tidak ada orang yang datang
membantunya, sementara keduanya sadar, bahwa menyerang kedua orang perempuan itu akan sama halnya
dengan membunuh diri, maka keduanyapun justru bergeser
semakin lama semakin menjauh.
Namun mereka terkejut ketika mendengar seseorang
membentak "Pengecut. Bunuh kedua orang perempuan itu."
Mereka mengenal suara itu dengan baik. Suara itu
adalah suara pemimpin perguruan mereka.
Ketika keduanya berpaling kearah suara itu, maka
mereka melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu
bertempur dengan sengitnya melawan seseorang yang
bersenjata tombak. Seorang yang sudah memasuki hari-hari
tuanya. Namun ternyata orang itu masih dengan
tangkasnya memutar tembaknya.
Kedua orang itu menjadi semakin bingung. Tetapi
mereka tidak berani melanggar perintah yang diucapkan
oleh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu. Karena itu,
maka betapapun hati mereka menjadi kecut, namun
keduanyapun melangkah maju mendekati Nyi Prawara dan
Winih. Kedua perempuan itupun sudah bersiap sepenuhnya
menghadapi mereka. Namun, keduanya melihat, betapa
kedua orang itu menjadi bimbang.
Namun, terdengar lagi suara pemimpin perguruan
Susuhing Angin berteriak "Bunuh perempuan itu. Jangan
ragu-ragu. Meskipun mereka perempuan, tetapi mereka
telah membunuh kawan-kawan kita."
Kedua orang itu memang tidak mempunyai pilihan.
Sambil berteriak nyaring untuk mengatasi kebimbangannya
keduanya berlari menyerang.
Nyi Prawara dan Winihpun telah mengambil jarak.
Mereka segera mengetahui bahwa kedua orang itu bukan
terhitung orang-orang penting dalam keluarga perguruannya. Meskipun mereka termasuk terpilih dalam
tugas dirumah Kiai Windu Kusuma itu, tetapi mereka
bukan orang-orang dari tataran atas.
Meskipun demikian, Nyi Prawara dan Winih tidak mau
menjadi lengah. Demikian keduanya menyerang, maka Nyi
Prawara dan Winihpun telah menyongsongnya sambil
memutar rantainya.
Ternyata seperti yang diperhitungkan,
keduanya memang tidak mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk
melawan Nyi Prawara dan Winih.
Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka
keduanyapun telah kehilangan kesempatan untuk melawan.
Winih sempat membelit senjata salah seorang diantara
mereka. Sebuah kapak yang cukup besar.
Ketika Winih menghentakkan rantainya, maka kapak
itupun telah terlepas dan tangannya.
Orang itu tidak mampu berbuat sesuatu ketika rantai
Winihpun kemudian terayun kedadanya.
Seleret luka menyilang didada orang itu. Terdengar
orang itu berteriak nyaring. Selangkah ia terdorong surut.
Cinta Bernoda Darah 4 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Pendekar Sadis 3
dengan Kiai Kajar. Menurut pendapatku, baik Panembahan
itu, maupun Kiai Kajar akan berusaha untuk dapat
langsung menguasai pusaka-pusaka itu, sehingga aku akan
dapat menemukannya jika aku berada didekat orang yang
membawa pusaka itu"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Tentu
kami tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Pandi tidak berhasil
menemui Panembahan, jangan menyalahkan kami"
Ki Pandi mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak
menjawab. Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu
telah mempercayakan pusaka-pusaka itu kepada Kiai
Gumrah, juragan gula dan satu lagi diserahkan kepada Ki
Prawara dan Nyi Prawara.
"Masih ada satu lagi. Siapakah yang akan membawa
songsong itu?"
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Songsong itu
memang tidak secara khusus dapat dipergunakan sebagai
senjata. Namun songsong itu mempunyai nilai yang tinggi
bagi Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya.
Karena itu, maka orang yang selalu menyebut dirinya
berilmu tinggi itu berkata "Songsong itu akan berada
ditangan ketiga cucu Kiai Gumrah. Namun dua orang
diantara kami harus melindunginya."
"Bagus" sahut Buta Ijo "tetapi jika mereka juga harus memasuki sarang Kiai Windu Kusuma dengan membawa
songsong itu, bukankah sama saja artinya dengan
memanggil perhatian para pengikut Kiai Windu Kusuma
yang sedang bertugas"
"Tetapi kita memerlukan semua orang untuk bersaman
sama memasuki lingkungan lawan. Jumlah kita yang hanya
tiga belas orang ditambah dengan tiga orang cucu Kilai
Gumrah itu tentu akan menjadi terlalu sedikit dibandingkan
dengan jumlah lawan"
"Kau belum menghitung Ki Pandi dan kedua ekor
harimaunya " berkata Ki Prawara kemudian.
Saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah berkata
"Baiklah. Mereka akan memasuki regol halaman rumah itu
setelah salah seorang diantara kita membuka pintu itu dari
dalam" "Baik" berkata juragan gula itu "demikian pintu terbuka,
maka mereka akan memasuki halaman. Songsong itu
memang akan menarik perhatian. Tetapi kita dapat
mempergunakan sekaligus sebagai pancingan. Namun hal
itu baru akan kita lakukan setelah kita membersihkan
sebagian para pengikut Kiai Windu Kusuma yang akan
dapat mengganggu benturan akhir dari serangan kita"
"Tetapi aku ingin memperingatkan kalian" berkata Kiai
Gumrah "kita semuanya bukan pembunuh-pembunuh yang
tidak berjantung. Kita menjunjung tinggi ajaran perguruan
kita. Jika kita datang kesarang lawan kali ini adalah justru
dalam rangka mempertahankan hak kita yang ingin mereka
kuasai" Tetapi Buta Ijo itu menyahut "Apa yang dapat kita
lakukan jika kita tidak boleh membunuh" Bukankah itu
berarti kita sekedar membunuh diri?"
"Apakah kau artikan ajaran perguruan kita seperti itu?"
bertanya Kiai Gumrah.
Buta Ijo itu terdiam. Sementara Kiai Gumrahpun berkata
"Kita mengerti batas kewajaran ajaran perguruan kita.
Tetapi bukankah kita juga dapat melumpuhkan lawan tanpa
membunuhnya"
Tentu saja dalam batas-batas kemungkinan"
Saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angaguk. Buta Ijo itupun mengangguk-angguk
pula. Sambil menunggu tengah malam, maka Kiai Gumrah
dan saudara-saudara seperguruannya telah mempersiapkan
diri sebaik-baiknya. Mereka melihat senjata-senjata mereka,
agar pada saatnya tidak mengecewakannya. Kiai Gumrah,
juragan gula serta Ki Prawara telah menggegam tombak
ditangan mereka masing-masing. Tombak yang akan
mereka pergunakan langsung dipertempuran yang bakal
terjadi di rumah besar yang menjadi sarang Kiai Windu
Kusuma. Menjelang tengah malam, maka segala macam persiapan
benar-benar telah mapan. Karena itu, maka Kiai
Gumrahpun segera minta saudara-saudara seperguruannya
bersiap. "Anak setan" geram orang yang selalu menyebut dirinya
berilmu tinggi "Buta Ijo itu telah mendekur"
Juragan gula itulah yang kemudian membangunkannya.
Sambil mengguncang lengannya ia berkata "He. Bangun
dari mimpi burukmu itu"
Buta Ijo itu terkejut. Sekali ia menguap sambil
menggeliat. Tetapi kawannya yang selalu terkantuk-kantuk
membentak "He, tutup mulutmu. Seekor katak dapat
meloncat masuk kedalam mulutmu yang terbuka itu"
"Setan kau" geram Buta Ijo itu "kenapa kau tidak
kembali kekuburan itu saja"
Tetapi saudara seperguruannya yang lain berkata "Kau
yang selalu mengantuk, ternyata tidak semudah Buta Ijo itu
untuk dapat benar-benar tidur"
"Sudahlah" berkata juragan gula itu "kita akan segera
berangkat"
Kiai Gumrahpun kemudian telah memberikan pesan-
pesan terakhir kepada saudara-saudara seperguruannya.
Mereka diperingatkan untuk berusaha memasuki halaman
rumah itu dengan diam-diam. Mereka harus dapat
mengurangi lawan sebanyak-banyaknya.
Tetapi diperingatkan pula bahwa mereka
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu sekali lagi berdiri dalam lingkaran. Sejenak
mereka memusatkan nalar budi mereka untuk mempersiapkantugasme-reka yang sangat berat.
Sejenak kemudian, maka terdengar Kiai Gumrah berkata
"Semoga kita selalu mendapat perlindungan dari yang
Maha Agung"
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itupun mulai bergerak. Mereka membenahi
pakaian mereka agar tidak justru mengganggu tugas
mereka. Senjata merekapun sudah siap pula. Setiap saat
mereka akan mempergunakannya.
Dalam kegelapan
malam, maka saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mulai merayap mendekati
rumah yang terhitung besar yang menjadi sarang Kiai
Windu Kusuma dan para pengikutnya. Didalam rumah itu
juga terdapat orang-orang berilmu tinggi yang lain.
Seperti yang direncanakan, maka saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu akan bergerak sendiri-sendiri.
Mereka akan memasuki halaman rumah itu dengan
meloncati dinding. Namun seperti yang ditentukan, ketiga
orang cucu Kiai Gumrah serta dua orang yang akan
melindungi mereka, baru akan memasuki halaman rumah
itu setelah pintu gerbang dibuka.
Yang kemudian harus membawa payung yang
bertangkai agak panjang itu adalah Manggada dan Laksana.
Namun mereka tidak akan membawa songsong itu
bersama-sama. Tetapi bergantian.
Meskipun mereka tidak akan memasuki halaman
bersama-sama dengan yang lain, namun berlima mereka
telah bergerak mendekati pintu gerbang, meskipun masih
pada jarak yang terbatas. Winih sengaja tidak memasang
selongsong payung yang berwarna putih itu. Tetapi
menyulubunginya dengan baju lurik hitam milik kakeknya
agar warna kuning keemasan yang mengkilat itu tidak
justru memantulkan cahaya oncor yang sengaja dipasang
disudut-sudut dinding halaman rumah itu.
Sementara itu, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya yang lain telah merayap mendekati dinding
rumah itu. Dengan diam-diam mereka berusaha untuk
dapat meloncati dinding. Dari saudara seperguruan mereka
yang telah mengamati dinding halaman rumah itu dari luar
serta keterangan terperinci yang diberikan oleh Kiai
Gumrah berdasarkan keterangan kedua orang tawanannya,
maka mereka dapat memilih tempat-tempat, yang paling
aman untuk meloncat memasuki halaman.
Yang mula-mula mencapai dinding halaman itu adalah
o-rang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi. Sejenak
ia mendengarkan setiap suara dengan saksama. Namun
sudut dinding halaman ditempat ia menempelkan tubuhnya
itu sangat sunyi. Tidak terdengar suara apapun juga.
Karena itu, maka orang itu telah memberanikan diri
untuk meloncat menggapai bibir dinding halaman itu.
Perlahan-lahan ia beringsut naik, sehingga akhirnya ia
berhasil memandang kedalam.
Keadaan didalam halaman itupun sangat sunyi, padahal
menurut perhitungannya, jika besok mereka akan bergerak
mengambil pusaka-pusaka itu dirumah Kiai Gumrah, maka
mereka tentu sudah membuat persiapan-persiapan.
Sejenak kemudian orang itupun telah menelungkup datar
diatas bibir dinding halaman. Dengan baju yang terbuat dari
kain lurik ketan ireng serta celana komprang yang juga
berwarna hitam serta kain panjang latar ireng, maka orang
itu tidak begitu nampak. Apalagi cahaya oncor yang lemah
tidak sempat menggapai tempat itu.
Untuk beberapa saat lamanya ia masih menelungkup
melekat bibir dinding halaman. Dengan saksama ia
mengamati keadaan. Oleh cahaya lampu minyak yang
dipasang diserambi, maka samar-samar ia dapat melihat
keadaan halaman belakang rumah yang besar itu.
Baru kemudian ia melihat dua orang duduk diserambi,
dibawah bayangan kere bambu yang sebagian masih
digulung naik. Justru karena itu, maka orang itu menjadi sangat berhati-
hati. Bahkan orang itu masih memperhitungkan bahwa
tentu masih ada orang lain yang bertugas di halaman
belakang itu. Ternyata beberapa saat kemudian, orang itu melihat dua
orang petugas yang lain berjalan melintasi serambi, menuju
ke sebelah rumah itu. Nampaknya mereka memang sedang
meronda berkeliling.
Orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi harus
menahan nafas ketika kedua orang itu ternyata berjalan
seakan-akan menuju ketempatnya.
Untunglah bahwa kedua orang yang meronda berkeliling
itu tidak melihatnya. Demikian kedua orang itu lewat,
orang yang melekat dibibir dinding halaman itu menarik
nafas dalam-dalam.
Namun demikian, kedua orang itu menjauh, maka orang
itupun segera meloncat turun didalam halaman rumah itu.
Perlahan-lahan sekali ia beringsut. Disusunnya dinding
halaman itu. Perlahan-lahan ia berusaha mendekati kedua
orang yang duduk diserambi itu,
Orang itu berhenti sejenak dibawah sebatang pohon
kemuning yang rimbun. Diperhatikannya suasana rumah
itu dengan sungguh-sungguh.
Sekali lagi orang itu tertegun. Dalam keheningan malam
ia mendengar suara perempuan tertawa tertahan-tahan
dibelakang serambi tempat dua orang yang sedang duduk
dibayangan kere bambu itu.
Sejenak kemudian, maka pintu serambi itu terbuka.
Seorang perempuan didorong keluar lewat pintu itu.
Hampir saja perempuan itu terjatuh menimpa kedua orang
yang sedang duduk diserambi itu.
Perempuan itu masih tertawa. Ketika dua orang yang
duduk diserambi itu menyeretnya untuk duduk bersamanya. Ketika perempuan itu mulai mengigau, maka saudara
seperguruan Kiai Gumrah itu mengerti, bahwa perempuan
itu sedang mabuk. Tetapi menurut penilaiannya, perempuan itu tentu bukan perempuan baik-baik.
"Setan" geram orang yang menyebut dirinya berilmu
tinggi itu ia terpaksa mengurungkan niatnya mendekati
kedua orang di serambi itu.
Tetapi kesan yang didapatkannya adalah, bahwa isi
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah yang besar itu ternyata adalah warna-warna buram,
sehingga sepantasnyalah bahwa isi rumah itu dibersihkan
sama sekali. Demikian orang itu beranjak pergi, maka terdengar lagi
suara tertawa berkepanjangan. Masih juga terdengar suara
perempuan, tetapi bukan perempuan yang telah berada
diserambi itu. Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu bergumam
meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati ia menyelinap
kebelakang gerumbul perdu disebelah rumah yang besar itu.
Ia mulai yakin, bahwa rumah itu masih belum tertidur
meskipun sudah lewat tengah malam. Namun iapun yakin
pula, bahwa seisi rumah itu sama sekali tidak menduga,
bahwa beberapa orang yang asing bagi mereka telah berada
di halaman rumah itu.
Ketika orang itu kemudian melihat dua orang penjaga
yang berjalan hilir mudik didekat pintu butulan pada
dinding halaman yang menghadap ke samping, maka
saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah menghembus kedua telapak tangannya sambil berdesis
"Apaboleh buat. Jika daya tahan kalian cukup tinggi, maka
kalian tidak akan mati. Tetapi jika kalian ternyata mati, itu
bukan salahku, karena ilmuku memang terlalu tinggi bagi
kalian" Dengan hati-hati orang itu merayap mendekati.
Kemudian demikian ia meloncat keluar dari kegelapan,
maka, tangannya telah melayang menyambar tengkuk salah
seorang dari kedua orang itu.
Orang itu memang tidak sempat mengaduh. Sesaat ia
terhuyung-huyung. Namun kemudian orang itupun terjatuh
di-tanah. Sementara itu kawannya terkejut. Tetapi ia juga tidak
mendapat kesempatan. Satu pukulan yang sangat keras
telah mengenai ulu hatinya sehingga orang itu terbungkuk
kesakitan, baru
kemudian telapak tangan saudara seperguruan Kiai Gumrah itu menghantam tengkuknya.
Orang itupun telah kehilangan kesadarannya. Iapun
kemudian telah terjatuh pula.
Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu
tersenyum sambil berdesis "Mudah-mudahan kalian tidak
mati. Kiai Gumrah berpesan agar kami tidak menjadi
pembunuh yang haus darah. Tetapi bukankah kalian sama
sekali tidak menitikkan darah?"
Orang itu kemudian masih sempat menyeret kedua sosok
tubuh.itu kedalam gerumbul disebelah pintu butulan.
Tetapi ia sadar, bahwa tidak hanya kedua orang itu
sajalah yang harus diselesaikan lebih dahulu, sebelum
mereka benar-benar memasuki rumah itu dan berusaha
bertemu dengan Kiai Windu Kusuma dan orang-orang
penting lainnya yang tinggal dirumah itu.
"Aku ingin bertemu dengan Kiai Kajar" berkata orang itu
didalam hatinya "ia seorang
yang terlalu manja diperguruan. Tetapi aku tidak yakin bahwa ilmunya
melampaui ilmu saudara-saudara seperguruannya"
Namun baginya Kiai Kajar adalah seorang yang sangat
bodoh. Jika sekelompok orang yang tinggal dirumah itu
berhasil memiliki pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai
Gumrah, maka Kiai Kajar itu tentu hanya mendapat bagian
yang kecil saja. Bahkan seandainya pusaka-pusaka itu harus
dibagi diantara saudara-saudara seperguruannya, maka ia
akan mendapatkan lebih banyak.
Tetapi orang itu bergumam "Tetapi pusaka-pusaka itu
bukan milik siapa-siapa diperguruan"
Sejenak orang itupun beringsut pula. Ia menuju sudut
belakang gandok rumah itu. Namun ia terkejut ketika ia
menemukan sebatang tombak pendek yang tergeletak di
tanah, baru kemudian ia melihat jejak sesuatu yang ditarik
ke gerumbul disudut gandok yang gelap itu. rerumputan
dan daun-daun perdu yang patah menuntunnya menemukan dua sosok tubuh yang terbaring diam.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
telah menyembunyikan tombak itu pula didekat tubuh yang
membeku itu. "Juga tidak ada darah " desisnya.
Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
telah berada dihalaman rumah itu kecuali yang bertugas
melindungi songsong didepan pintu gerbang utama. Mereka
yang ada dihalaman itu telah berusaha membersihkan para
petugas yang berjaga-jaga. Bahkan orang-orang yang
meronda berkelilingpun telah mengalami nasib buruk pula.
Sementara itu Kiai Gumrah sendiri dan Ki Pandi masih
berada di halaman depan yang luas. Mereka berjongkok di
belakang sebatang pohon soka yang daunnya menjadi
sangat rimbun. Bunganya yang kemerah-merahan nampak
hampir disetiap ujung ranting-rantingnya.
Keduanya agaknya masih menunggu. Juragan gula
itulah yang mendapat tugas untuk memberikan isyarat jika
mereka akan memasuki rumah yang besar itu. Namun
sebelumnya akan ada isyarat-isyarat kecil untuk menandai
kesiagaan semua saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu. Yang terjadi kemudian adalah gerakan yang diam dari
mereka yang memasuki halaman rumah itu. Orang yang
selalu terkantuk-kantuk
itu ternyata telah berhasil memasuki longkangan samping setelah berhasil meloncati
dinding disebelah seketheng. Dua orang yang ada
dilongkangan itupun tidak berdaya ketika orang itu
menyentuhnya. Sementara itu, Buta Ijo yang bertubuh seperti raksasa itu
justru telah masuk kedalam dapur dengan membuka
dinding perlahan-lahan. Ketika ia membuka geledeg ia
masih menemukan beberapa potong makanan.
Tetapi sentuhan-sentuhan mangkuk digeledeg itu telah
membangunkan seorang anak muda yang tidur di dapur itu.
namun, demikian
anak muda itu bangkit, maka mulutnyapun telah dibungkam oleh Buta Ijo yang masih
mengunyah sepotong ledre pisang.
Anak muda itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa
tekanan yang sangat keras ditengkuk dan punggungnya.
Namun kemudian anak muda itu telah tertidur kembali.
"Kau akan tidur untuk waktu yang lebih lama dari
kebiasaanmu anak muda" desis Buta Ijo itu "mungkin besok
tengah hari kau baru akan menyadari keadaanmu lagi"
Buta Ijo itupun kemudian telah beringsut dari tempatnya.
Ketika ia melewati pintu dapur disisi lain, ternyata ia sudah
berada di sebuah longkangan.
"Kiai Gumrah tidak menyebut longkangan ini" berkata
orang itu didalam hatinya.
Untuk beberapa saat Buta Ijo itu mengamat-amati
tempat itu. Beberapa kali ia memperhatikan bangunan
disebelah Iongkangan yang berdinding bambu sebagaimana
dinding dapur itu. Namun ia menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya Buta Ijo itu mengangguk-angguk ketika
ia teringat pesan Kiai Gumrah, bahwa memang telah dibuat
bangunan baru. Dapur itupun merupakan bangunan
susulan karena dapur yang sebenarnya telah dipergunakan
untuk kepentingan lain.
"Agaknya didalam bangunan disebelah longkangan itu
tinggal beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma atau
pengikut Panembahan yang dibawanya kemari" berkata
Buta Ijo itu didalam hatinya.
Tetapi Buta Ijo itu tidak akan memasuki bangunan
didepan longkangan itu. Jika ia terperosok kedalamnya,
maka ia tentu akan bertemu dengan beberapa orang
pengikut Kiai Windu Kusuma. Raksasa itu tidak akan mati
ketakutan, tetapi dengan demikian, maka suasana tentu
akan segera menjadi ribut.
Karena itu, maka Buta Ijo itu akan menghindari saja
tempat itu dan kembali keluar lewat dinding bambu didapur
yang telah dibukanya.
Sejenak kemudian Buta Ijo itu sudah ada diluar. Ia tidak
mau meninggalkan jejak yang dapat menarik perhatian.
Karena itu, maka dilekatkannya lagi dinding bambu yang
telah dibukanya itu.
Tetapi sebelum ia beranjak, dua orang dengan tergesa-
gesa mendekatinya. Dua orang peronda yang masih lolos
dari tangan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Sambil mengacukan senjatanya, seorang diantara
keduanya itu membentak "Siapa kau, he?"
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun tertawa sambil menjawab "kau aneh. Kenapa kau
bertanya seperti itu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Buta
Ijo itu berkata "Bukankah aku yang dua hari yang lalu
datang dari perguruan Susuhing Angin?"
Kedua orang itu masih termangu-mangu. Tetapi yang
seorang kemudian berkata "Bohong. Yang datang dari
perguruan Susuhing Angin telah aku kenal semuanya"
"Ternyata tidak. Kenapa kau tidak mengenal aku" desis
Buta Ijo dengan tenang.
"Menyerahlah.
Bagaimana kau berhasil masuk kelingkungan kami yang tertutup ini" geram orang yang
lain. Ujung senjatanya mulai bergetar.
Tetapi Buto Ijo masih tenang-tenang saja. Bahkan iapun
berkata pula "Kalian memang aneh. Jika aku bukan orang
dari perguruan Susuhing Angin, bagaimana aku dapat
masuk kemari?"
"Tidak ada gunanya kau berbohong. Jika kau orang dari
Susuhing Angin, apa yang kau lakukan disini?"
Buta Ijo itu melihat berkeliling. Namun kemudian
katanya perlahan-lahan "Tetapi jangan berkata kepada
siapapun. Aku ingin masuk ke dapur"
"Untuk apa?" bertanya salah seorang dari kedua peronda
itu. "Aku lapar" Buta Ijo itu menjawab sambi] tertawa.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
ternyata Buta Ijo telah memanfaatkan kesempatan itu.
Dengan cepat ia meloncat menyusup diantara dua ujung
senjata kedua orang itu. Dengan cepat pula kedua
tangannya meraih kepala kedua orang itu.
Kedua orang itu tidak sempat mengetahui apa yang
terjadi kemudian. Duniapun segera menjadi gelap.
Buta Ijo itu terbelalak melihat akibat perbuatannya.
Kepala kedua orang itu menjadi retak. Dan darah telah
mengalir. "Bukan maksudku" desis Buta Ijo yang menjadi sangat
gelisah "aku bukan pembunuh yang mendapat kepuasan
karena kematian orang lain"
Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Iapun kemudian
telah menyeret kedua orang itu dan membenamkannya
dibelakang gerumbul. Kedua pucuk senjata itupun telah
dibuangnya kedalam gerumbul itu pula.
Setelah menenangkan hatinya sejenak, Buta Ijo itupun
mengendap-endap pula di kegelapan. Ia telah melingkari
rumah yang besar itu. Namun dengan serta-merta Buta Ijo
itu telah berhenti, menyusup kebalakang gerumbul ketika ia
melihat sesuatu yang bergerak. Perlahan-lahan mulutnya
telah berdecak seperti suara seekor bilalang.
Ketika dari gerumbul yang lain juga terdengar suara yang
sama, maka Buta Ijo itupun yakin, kalau yang dilihatnya
bergerak itu adalah saudara seperguruannya.
Karena itu, maka Buta Ijopun telah mendekatinya.
Sebenarnyalah bahwa yang bersembunyi dibelakang
gerumbul itu adalah saudara seperguruannya yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan dengan kumis yang panjang
diujungnya. "Aku terpaksa membunuh" desis Buta Ijo.
"Apaboleh buat" desis yang berkumis. Lalu katanya
"Sebenarnya kita dapat mengetrapkan ilmu sirep saja"
"Jangan" cegah Buta Ijo "sirepmu tidak akan berarti bagi
orang-orang berilmu tinggi dirumah itu. Justru hanya akan
mengundang kecurigaan saja. Jika mereka menyadari
bahwa ada sirep, maka mereka justru akan segera bersiap-
siap" Orang berkumis panjang dikedua ujungnya
itu mengerutkan dahinya. Katanya "Sirepku melampaui ilmu
sirep yang manapun. Kaupun akan tertidur pula karenanya"
"Jika saudara-saudara kami tertidur, apa yang akan kami
lakukan?" "Setan kau" geram orang berkumis itu.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buta Ijo itu tertawa. Tetapi orang berkumis itu cepat
berdesis "Kau jangan mengacaukan rencana kita"
Buta Ijo itu menutup mulutnya.
Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat
beberapa orang keluar dari pintu samping dengan senjata
siap ditangan. Mereka berhenti sejenak ketika pemimpin
sekelompok orang itu memberikan perintah "Menyebar.
Bayangan itu tentu masih belum keluar."
"Ternyata mereka sudah mengetahui bahwa ada orang
lain di halaman rumah ini" gumam orang berkumis itu.
"Beri isyarat" sahut Buta Ijo.
"Kau sajalah. Suaramu lebih mirip dengan suara burung
bence daripada suaraku"
"Tetapi orang-orang itu sudah berada dihadapan hidung
kita. Jika mereka mendengar suara burung bence disini,
maka mereka tentu akan berdatangan kemari" desis Buta
Ijo. Kawannya tidak menjawab. Tetapi tiga orang diantara
mereka yang menyebar itu melangkah mendekati gerumbul
tempat keduanya bersembunyi.
Ketika ketiga orang itu benar-benar menyibak dedaunan
gerumbul itu, maka kedua orang itu tidak mempunyai
pilihan lain. Dengan cepat kedua orang itu meloncat dan
menerkam ketiga orang itu. Orang berkumis itu menangkap
seorang diantara mereka tepat dikepalanya. Satu putaran
yang keras sekali ternyata telah mematahkan leher orang
itu. Sementara sekali lagi Buta Ijo itu meraih dua kepala
dan membenturkannya.
Tetapi keduanya tidak lagi dapat bersembunyi. Tiga
orang yang lain yang bergerak kesamping telah melihat
serangan singkat yang telah melumpuhkan tiga orang
kawannya itu. Karena itu, maka ketiga orang itupun segera
berteriak "Mereka ada disini"
"Wah" desah Buta Ijo "tetapi bukan kita yang
menyebabkan kehadiran kita diketahui"
"Tidak. Tentu bukan kita. Ketika mereka keluar dari
pintu samping rumah itu, mereka sudah mencari seseorang.
Tentu orang kantuk itu yang menyebabkannya"
"Jangan menuduh" jawab Buta Ijo.
Demikianlah, maka orang-orang yang keluar dari pintu
samping itu segera mengepung Buta Ijo dan orang berkumis
panjang diujungnya itu.
Dengan demikian maka keduanya tidak dapat berbuat
lain. Mereka harus bertempur menghadapi beberapa orang
yang mengepung mereka. Namun Buta Ijo itu masih
berdesis "Jika terjadi seperti ini, bagaimana kita dapat
menghentikan perlawanan mereka tanpa membunuh?"
"Tetapi bukan niat kita membunuh. Jika ada yang mati,
itu salah mereka sendiri" jawab orang berkumis itu.
"Ya, salah mereka sendiri " sahut Buta Ijo.
Pemimpin sekelompok orang yang mengepung kedua
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun berkata
lantang "Menyerahlah. Mungkin kalian masih dapat
diampuni" "Jika kami diampuni, apakah kami boleh pergi?"
bertanya Buta Ijo.
"Itu bukan persoalanku. Itu persoalan pemimpinku"
jawab pemimpin kelompok itu.
"Siapa pemimpinmu?" bertanya orang berkumis tipis.
"Itu bukan urusanmu" jawab pemimpin kelompok
"sekarang menyerahlah. Lemparkan senjata kalian. Melangkah maju perlahan-lahan"
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian
ia menggamit saudara seperguruannya sambil berdesis
"Kita melangkah maju"
Kedua orang itupun melangkah maju. Mereka terhenti
ketika pemimpin kelompok itu berteriak "Lemparkan
senjata kalian"
Buta Ijo itu termangu-mangu. Luwuknya yang besar
masih berada disarungnya. Demikian pula senjata orang
berkumis itu. Ia membawa sepasang trisula yang masih
terselip pada ikat pinggangnya, bersilang dipunggungnya.
"Perlahan-lahan tarik senjata kalian dari sarungnya"
teriak orang itu yang dengan sengaja ingin diperdengarkan
kepada orang-orang yang ada didalam rumah itu.
Sebenarnyalah bahwa para pemimpin dari kelompok-
kelompok yang ada dirumah itu mendengarnya. Seorang
diantara mereka berdesis "Bodoh. Seharusnya ia tidak
memerintahkan untuk mencabut senjata dari sarungnya.
Biar saja senjata itu dilemparkan bersama sarungnya"
Baru saja orang yang ada didalam rumah itu
mengatupkan bibirnya, yang dicemaskan itu sudah terjadi.
Buta Ijo dan orang berkumis itu memang menarik senjata-
senjata mereka. Tetapi mereka tidak melemparkan senjata
itu. Dengan cepat mereka telah meloncat menyerang
dengan garangnya.
Orang-orang yang mengepung dengan senjata teracu itu
terkejut. Mereka tidak mengira bahwa kedua orang yang
sudah dikepung itu masih berani menyerang.
Namun mereka terlambat menyadari kesalahan mereka.
Buta Ijo itu memutar luwuknya dengan cepat. Beberapa
buah senjata terpelanting dari tangan pemiliknya. Namun
mereka tidak sempat berbuat sesuatu karena ayunan luwuk
itu berikut nya telah menyambar tubuh mereka.
Beberapa orang telah terpelanting jatuh. Sementara itu
beberapa orang yang lain telah berteriak kesakitan.
Tajamnya trisula telah melukai beberapa orang pula.
Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Namun Buta Ijo
yang mempunyai kesempatan lebih dahulu tidak menyia-
nyiakannya. Dengan cepat orang bertubuh raksasa itu
berloncatan menyerang, sehingga lawan-lawannyapun
berjatuhan. Demikian pula orang berkumis itu. Sepasang trisulanya
berputaran dikedua tangannya. Setiap kali senjata lawannya
yang sempat terjepit oleh mata trisula yang bercabang tiga
itu, tentu terhempas dari tangan. Putaran trisula itu
merupakan kekuatan yang dapat merenggut senjata lawan
dengan kekuatan yang besar.
Namun kedua orang itu tidak melayani lawan-lawannya
terlalu lama. Keduanyapun kemudian sepakat untuk
bergeser dari tempatnya dan berlari ke halaman belakang.
Beberapa orang yang tersisa telah mengejar mereka
berdua. Namun yang terjadi benar-benar menggetarkan
jantung. Ketika mereka melewati sudut belakang rumah
yang besar itu, maka dua orang yang berlari dipaling
belakang telah terlempar jatuh. Demikian beberapa orang
berhenti, maka dua orang lagi jatuh terpelanting sambil
mengaduh kesakitan.
Lima orang yang tersisa menjadi bingung. Mereka
melihat seseorang berlari dari sudut belakang rumah itu dan
menghilang di kegelapan.
Pertempuranpun telah menjalar. Dari longkangan rumah
itu terdengar suara kentongan memberikan isyarat kepada
seisi rumah itu untuk bersiap menghadapi bahaya yang
ternyata telah ada dihalaman rumah itu pula.
Tetapi tiba-tiba saja suara kentongan itu terputus.
Beberapa saat tidak terdengar lagi isyarat itu. Tetapi
kemudian dari longkangan yang lain, telah terdengar lagi
suara kentongan dengan nada titir.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak
mempunyai pilihan lain. Merekapun telah bergerak
bertindak. Beberapa kelompok pengikut Kiai Windu
Kusuma, orang yang disebut Panembahan, Kiai Kajar dan
orang-orang dari perguruan Susuhing Angin dan semuanya
yang ada didalam lingkungan rumah yang besar itu telah
menghambur keluar pula.'
Orang-orang yang bergerak dalam kelompok-kelompok
itu memang setiap kali terkejut. Tiba-tiba saja mereka
diserang oleh orang-orang yang berloncatan dari gerumbul-
gerumbul perdu. Setelah terjadi pertempuran sejenak, maka
orang itu segera berlari. Namun orang-orang yang
mengejarnya, tiba-tiba saja telah mendapat serangan dengan
cepat pula. Dua tiga orang terjatuh dengan luka-luka yang
parah. Dengan demikian maka para pengikut orang-orang yang
berkumpul dirumah yang besar itu dengan cepat menjadi
susut. Tubuh mereka terbaring silang melintang di halaman
samping dan halaman belakang.
Kiai Gumrah dan Ki Pandi yang berada di halaman
depan masih menunggu isyarat juragan gula sebagaimana
disepakati. Sementara itu juragan gula yang ada disamping
rumah yang besar itu, telah melibatkan diri pula. Ujung
tombak ditangannya beberapa kali telah mematuk orang-
orang yang berlari-larian dan kejar-mengejar disekitarnya.
Bahkan juragan gula itu sendiri juga harus ikut berlari-
larian. Akhirnya orang-orang yang tinggal dirumah itu
menyadari, bahwa orang yang datang memasuki halaman
rumah itu jumlahnya cukup banyak. Karena itu, maka
sekali lagi terdengar suara kentongan yang memberikan
isyarat bahaya tertinggi bagi mereka yang tinggal di rumah
itu. "Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Windu Kusuma
kepada seorang kepercayaannya.
"Beberapa orang telah menyerang rumah ini, Kiai" jawab
orang itu. "Berapa orang?" bertanya Kiai Windu Kusuma.
"Belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi rasa-
rasanya dimana-mana ada. Mereka memakai baju lurik
hitam, celana hitam dan kain serta ikat kepala tatar ireng
yang juga kehitam-hitaman"
"Apakah kalian tidak dapat menyelesaikannya?"
bertanya Kiai Windu Kusuma.
"Aku cemas, bahwa tidak lama lagi orang-orang kita
sudah habis dibantai oleh mereka. Mereka bersembunyi di
balik geurmbul yang gelap..Namun kemudian tiba-tiba saja
mereka menyergap jika ada orang-orang kita yang berlari-
lari dekat tempat persembunyian mereka"
"Kenapa kalian berlari-lari?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Kami mengejar diantara mereka yang berlari untuk
bersembunyi ditempat-tempat gelap"
"Pikirkan. Bukankah kalian yang dungu" Kiai Windu
Kusuma yang marah berteriak.
Orang kepercayaannya itu tidak menjawab. Sementara
itu orang yang disebut Panembahan yang juga sudah
berkumpul diruang tengah itu berkata "Semua gerakan
harus mulai diatur."
"Jangan menunggu sampai semua orang-orangku
dibantai habis. Kita semuanya harus segera bertindak"
berkata Kiai Windu Kusuma kepada orang-orang yang ada
di ruang dalam "Maksudmu?" bertanya Kiai Kajar.
"Semua orang harus keluar untuk menyongsong orang-
orang yang telah berani memasuki halaman rumah ini?"
jawab Kiai Windu Kusuma.
"Apakah kau tidak lagi mampu mengatasinya. Kau tuan
rumah disini. Kau harus dapat mengamankan tamu-
tamumu" berkata pemimpin Perguruan Susuhing Angin.
"Kita mempunyai kepentingan bersama-sama. Jika
orang-orangku habis dibantai, kita akan menjadi semakin
lemah. Selagi hal itu belum terjadi, perintahkan orang-orang
kalian dan bahkan kita semua untuk keluar"
"Seberapa orang yang telah memasuki halamanmu"
Siapa pula mereka?" bertanya Kiai Kajar.
"Jangan berpura-pura lagi. Kita semuanya menjadi
cemas. Jika sekelompok orang berani memasuki halaman
rumahku, mereka tentu bukan orang kebanyakan" jawab
Kiai Windu Kusuma.
Yang menjawab adalah orang yang nampaknya paling
berpengaruh diantara mereka. Panembahan itu. Katanya
"Kita tidak dapat berpura-pura tenang disini. Aku setuju,
semua kekuatan yang ada harus mulai bergerak. Semuanya
barus mulai diatur dengan tertib. Jika kita tidak langsung
ikut campur, maka kita sendiri akan mengalami kesulitan"
Karena yang berbicara adalah orang yang sangat
berpengaruh diantara mereka, maka tidak seorangpun yang
membantah. Sementara Panembahan itu berkata "Kita
harus mengetahui, siapakah orang yang datang itu. Aku
condong menduga bahwa mereka adalah Kiai Gumrah dan
kawan-kawannya. Ternyata rencana kita untuk datang,
kerumahnya telah bocor, sehingga ia lebih dahulu datang
kepada kita"
"Itu tidak penting" jawab Kiai Kajar "mereka akan kita hancurkan disini"
"Kita harus menemukan orang yang telah membocorkan
rahasia ini" berkata pemimpin perguruan Susuhing Angin
"Tidak perlu sekarang" jawab Kiai Windu Kusuma "yang
penting kita hadapi orang-orang yang datang itu lebih
dahulu" Orang-orang yang ada diruang dalam itupun telah
mempersiapkan diri. Sementara itu, sebagaimana dikatakan
oleh Panembahan, maka para pengikut dari berbagai
macam perguruan itupun telah diperintahkan untuk ikut
serta keluar dari bilik-bilik mereka.
Karena itu, maka terdengar pula suara kentongan dalam
nada yang berbeda. Bukan sekedar memperingatkan bahaya
tertinggi bagi orang-orang yang ada didalam rumah yang
besar dan halaman yang sangat luas itu. Tetapi nadanya
menyiratkan perintah bagi semua orang untuk keluar.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak
tahu maksud isyarat itu. Namun bunyi kentongan itu
memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka harus
menjadi lebih berhati-hati.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah sesaat kemudian, kelompok-kelompok
yang ada di rumah itu telah keluar pula. Bukan hanya para
pengikut Kiai Windu Kusuma.
Namun merekapun segera disergap oleh saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah yang bertebaran di halaman.
-)000d-w000( Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 7 Tamat SEPERTI yang sudah terjadi, maka orang-orang yang
keluar kemudian itupun mengalami kesulitan menghadapi
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Mereka seakan-
akan muncui begitu saja dari kegelapan, menyerang dengan
garangnya. Sebelum mereka menemukan orang yang
menghilang itu, maka dari.arah lain telah meloncat
bayangan, yang lain menyerang dengan cepat. Senjatanya
menebas orang-orang terdekat. Tetapi sebelum yang lain
mampu berbuat banyak, maka orang itupun telah
meninggalkan mereka. Dua tiga orang yang mengejar? tiba-
tiba saja harus menghadapi orang lain yang menyerang dari
arah yang lain pula.
Demikianlah halaman rumah itu menjadi bagaikan
diaduk oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah
mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri agar ujung-
ujung senjata, mereka tidak membunuh lawan-lawan
mereka. Tetapi-mereka memang tidak mempunyai pilihan
lain. Dalam keadaan yang gawat, maka sikap merekapun
telah terpengaruh pula, karena mereka tentu tidak ingin
membiarkan diri mereka sendiri yang harus jatuh menjadi
korban. Dalam kekalutan itu, maka beberapa orang pemimpin
yang ada diruang dalam telah keluar pula. Mereka menuju
ke tempat yang berbeda. Namun mereka kemudian telah
meneriakkan perintah agar para pengikut mereka semuanya
mengepung halaman rumah itu dimulai dengan melekatkan
punggung mereka pada dinding halaman dan menggiring
orang-orang yang memasuki halaman itu ke halaman yang
terbuka disisi sebelah kiri rumah yang besar itu.
"Kita akan membantai mereka disana" teriak para
pemimpin itu. Para pengikutnya itupun mulai menyadari kebodohan
mereka. Karena itu, maka merekapun segera bergerak
kedinding halaman. Berdiri berjajar pada jarak yang sama.
Kemudian dengan aba-aba yang diteriakkan oleh Kiai
Windu Kusuma dari serambi samping yang kemudian
disambung sahut-menyahut, mereka bergerak maju.
Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di
halaman itu mengerti apa yang mereka hadapi. Mereka
melihat orang-orang yang berlari-larian menebar mengelilingi halaman rumah itu, Merekapun sadar, bahwa
orang-orang itu akan menyisir seluruh halaman untuk
menemukah orang-orang yang bersembunyi di halaman
rumah itu. Karena itu, maka mereka tidak menemukan pilinan lain.
Mereka harus menghadapi orang-orang yang menebar itu.
Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang dari beberapa
perguruan yang berkumpul di tempat itu menjadi berdebar-
debar. Mereka melihat beberapa orang pengikut Kiai
Windu Kusuma yang telah menjadi korban. Bahkan kawan-
kawan mereka yang baru saja keluar dari dalam rumah
itupuri telah banyak yang menjadi korban pula.
Karena itu, ketika aba-aba Kiai Windu Kusuma yang
disambung sahut menyahut telah menggetarkan seluruh
halaman, maka orang-orang yang mengepung halaman itu
mulai melangkah maju dengan senjata yang merunduk.
Setiap saat mereka siap untuk menghujamkan senjata
mereka. Tetapi kebun belakang dari rumah yang besar itu cukup
gelap oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu.
Dengan demikian maka orang-orang yang berjalan menyisir
halaman itu tidak segera melihat, dimana lawan mereka
bersembunyi. Namun ada beberapa orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang mempunyai cara yang sama untuk
menghindar meskipun mereka tidak saling bicara lebih
dulu. Tiga orang diantara mereka telah memanjat pohon
yang cukup besar di kebun belakang rumah yang besar itu.
Ternyata gelap malam dan gerumbul-gerumbul perdu
cukup melindungi mereka dari orang-orang yang berjajar
melangkah maju dengan senjata yang merunduk itu.
Mereka sama sekali tidak melihat bahwa ada orang-orang
yang sedang melekat pada dahan pepohonan.
Tetapi beberapa orang yang lain tidak dapat menghindar
lagi. Mereka benar-benar telah digiring ke halaman samping
yang terbuka. Sementara beberapa orang pemimpin dari
berbagai perguruan telah berada di tempat itu pula.
Namun dalam pada itu, juragan gula itupun menyadari
bahwa keadaan sudah semakin gawat. Karena itu, maka
semua kekuatan harus dikerahkan. Sehingga dengan
demikian, maka juragan gula itu menganggap bahwa sudah
sampai saatnya pintu gerbang halaman rumah itu dibuka
dan membiarkan cucu-cucu Kiai Gumrah yang membawa
songsong itu masuk kehalaman. Dengan demikian, maka
mereka akan dapat memancing perhatian para pemimpin
yang sedang menunggu di halaman samping, sementara
orang-orangnya berusaha menggiring-saudara-saudara
seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar suitan
nyaring. Suaranya menggetarkan udara di seluruh halaman
yang luas itu. Suaranya bukan sekedar bunyi, yang nyaring.
Tetapi getarannya telah menerpa isi dada orang-orang yang
mendengarnya Orang-orang yang datang dari berbegai perguruan itu
memang terkejut mendengar suitan nyaring itu Rasa-
rasanya dada mereka telah dihentak oleh kekuatan yang
sangat besar. Dengan demikian, maka mereka harus
mengerahkan daya tahan mereka untuk menjaga agar
mereka tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuh
mereka. Narnun suitan itu bagi Kiai Gumrah merupakan isyarat.
Ia harus membuka pintu gerbang halaman rumah itu.
Tetapi sebelum Kiai Gumrah yang membawa sebatang
tombak itu beranjak, maka Ki Pandipun berdesis "Biarlah
aku saja yang membuka."
Ki Pandi yang bongkok itulah yang kemudian berlari ke
pintu gerbang: Dua orang penjaga, pintu gerbang itu memang sedang
kebingungan. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi.
Mereka hanya mendengar isyarat pertanda bahaya. Bahkan
kemudian perintah bagi semua orang yang ada di rumah
yang besar itu. Bahkan ia mendengar para pemimpinnya
berteriak memberikan aba-aba.
Ketika mereka melihat orang bongkok berlari-lari
menuju pintu gerbang, merekapun segera bersiaga.
Demikian Ki Pandi itu mendekat, maka kedua orang itu
dengan serta-merta telah menyerangnya.
Namun mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-
tiba saja mereka terpelanting jatuh. Kepala mereka seakan-
akan telah dibenturkan ditanah.
Pandangan mata merekapun menjadi gelap. Senjata-
senjata mereka terlempar tanpa mereka ketahui dimana
senjata-senjata itu terjatuh. Ternyata kedua orang itupun
menjadi pingsan karenanya.
Karena itulah, maka Ki Pandipun dengan cepat
mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang itu.
Tetapi ternyata beberapa orang yang sedang sibuk di
halaman samping dan belakang itupun melihat apa yang
terjadi. Karena itu, maka beberapa orang telah berlari-lari
menuju ke pintu gerbang halaman depan. Halaman yang
terbuka, yang dikira tidak menjadi tempat persembunyian
orang-orang yang memasuki halaman rumah yang besai itu.
Karena itu, maka halaman depan rumah itu agak luput
dari perhatian penghuni rumah itu. Bahkan merekapun
tidak ingin menyelesaikan pertempuran itu di halaman
depan. Tetapi di halaman samping yang juga terbuka, yang
tidak mendapat pemeliharaan sebagaimana halaman depan
yang diatur dengan rapi dan ditanami dengan beberapa
pohon bunga diantara tebaran rumput yang hijau.
Tetapi meskipun pohon bunga itu terhitung jarang,
namun dapat juga dipergunakan untuk bersembunyi Kiai
Gumrah dan Ki Pandi.
Pintu gerbang yang terbuka itu memang merupakan
isyarat bagi kelima orang yang membawa songsong yang
disimpan dengan baik oleh Kiai Gumrah atas nama
perguruannya. Karena itu, maka demikian mereka melihat
pintu itu terbuka, merekapun segera berlari memasuki pintu
gerbang itu. Namun, demikian mereka masuk, maka mereka segera
melihat Ki Pandi tengah menghalau beberapa orang yang
menyerangnya. Kehadiran kelima orang itu memang mengejutkan.
Apalagi seorang diantara mereka membawa sebuah
songsong yang terbungkus, namun yang masih dapat dilihat
kilatan warna kuning keemasan jika kain yang membungkusnya itu tersingkap.
Demikian mereka berada di halaman, maka Winih lah
yang telah menarik baju lurik yang dipergunakan menutupi
payung itu. Tutup itu sudah tidak ada artinya lagi, justru
payung itu sengaja ditunjukkan untuk menarik perhatian
orang-orang terpenting yang ada di rumah itu.
Sebenarnyalah beberapa orang yang berlari-larian ke
halaman depan memang mengejutkan para pemimpin yang
sudah berada di serambi menghadap ke halaman samping
yang terbuka untuk menunggu orang-orang yang akan
digiring ke halaman itu
Apalagi ketika seorang diantara mereka berteriak
"Mereka berada di halaman depan Lihat, songsong itu."
Beberapa orang pemimpin yang ada di rumah itu
memang segera tertarik untuk menyaksikannya. Karena itu,
maka merekapun segera bergeser melingkari serambi rumah
itu. Sebenarnyalah mereka melihat songsong
kuning gemerlapan memantulkan cahaya oncor yang ada di sudut-
sudut halaman dan bahkan di serambi depan. Songsong
kuning keemasan yang dilingkari warna hijau ditengahnya.
Melihat songsong itu, maka Kiai Kajar telah menggeram
"Mereka telah mengantarkannya sendiri. Aku harus
berterimakasih kepada mereka."
"Mereka benar-benar sombong" desis Kiai Windu
Kusuma "Tetapi mereka tentu akan menyesal."
Disebelah mereka orang yang disebut Panembahan itu
berkata "Aku akan mengambilnya. Juga tombak-tombak
yang tentu mereka bawa kemari"
Kiai Kajar mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Sementara Susuhing Angin justru
telah melangkah mendekati sekelompok orang yang
membawa dan melindungi songsong itu.
Tetapi ternyata bukan hanya mereka. Beberapa orang
yang lainpun telah mengikutinya pala.
Sementara itu di halaman belakang telah terjadi
keributan. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi.
Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah tidak
mampu bersembunyi lebin lama ketika orang-orang yang
mengepung halaman itu bergerak menyisir kebun
menggiring mereka ke halaman samping.
Tetapi orang-orang dari beberapa perguruan yang
berkumpul di rumah itu menjadi berdebar-debar. Ternyata
mereka harus bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi.
Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun sulit
bagi mereka untuk dapat bertahan.
Dalam kekalutan pertempuran itu, maka saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memanjat pohon
telah berloncatan turun. Mereka justru telah berada di
belakang kepungan. Ketika mereka menyerang dari
belakang, maka orang-orang yang berusaha menggiring
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu terkejut.
Sehingga dengan demikian maka kepungan merekapun
telah terkoyak.
Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang sudah berada di longkangan dalam serta
bahkan memasuki pintu butulan, terkejut ketika mendengar
jerit beberapa orang perempuan. Ternyata mereka telah
tersesat memasuki satu ruang yang berisi beberapa
perempuan yang beberapa diantaranya sedang mabuk.
Ketika kawannya menjerit ketakutan melihat kehadiran
saudara seperguruan Kiai Gumrah, perempuan yang mabuk
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu justru tertawa berkepanjangan.
Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah keluar lagi
dari ruangan itu. Dengan hati-hati seorang diantaranya
menyusup ke ruang yang lain. Namun rumah itu seakan-
akan telah menjadi kosong. Bahkan ketika ia memasuki
ruang tengah, maka yang dijumpainya adalah Buta Ijo yang
juga sedang termangu-mangu.
"Mereka telah pergi keluar" desis Buta Ijo.
Keduanyapun kemudian telah memasuki ruangan-
ruangan yang lain dan mencari jalan untuk menuju ke pintu
pringgitan. Ternyata pintu pringgitan meskipun sudah ditutup, tetapi
tidak diselarak. Dengan demikian mereka membuka pintu,
maka mereka melihat apa yang terjadi di halaman depan
yang terbuka. Sejenak kedua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah
yang ada di pringgitan itu menjadi tegang. Mereka melihat
beberapa orang yang tentu berilmu tinggi sedang melintasi
halaman depan. "Tentu mereka para pemimpin dari perguruan-perguruan
yang berkumpul disini" desis Buta Ijo.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya pada
kawannya. "Aku ingin beristirahat disini" berkata Buta Ijo.
"Gila. Kau biarkan saudara-saudara kita bertempur
sementara Kau akan tidur di laicak itu?" geram kawannya.
"Aku sudah bertempur. Kiai Gumrah tentu sejak tadi
bersembunyi disana." jawab Buta Ijo.
"Tetapi bukan karena Kiai Gumrah malas. Bukankah
menurut kesepakatan kita, Kiai Gumrah memang harus
menunggu di halaman depan sehinga terdengar isyarat
untuk membuka pintu gerbang?"
Buta Ijo tidak menjawab. Tetapi ia melangkah melintasi
pendapa menuju ke tangga yang menghadap ke halaman
depan. Saudara seperguruannya itupun telah mengikutinya
pula dibelakangnya.
Sesaat mereka berdua berdiri termangu-mangu di
pendapa. Namun mereka kemudian mendengar keributan
terjadi di halaman samping yang terbuka.
"Apa yang terjadi?" Desis Buta Ijo.
"Pertempuran di halaman samping." jawab saudara
seperguruannya itu.
Buta Ijo Itu termangu-mangu.
Namun sambil memandang ke halaman depan ia bertanya "Kita akan pergi
kemana?" "Kita turun, ke halaman depan. Nampaknya orang-orang
berilmu tinggi itu akan berkumpul disana, justru setelah
payung itu dibawa masuk. Bukankan Kiai Gumrah sengaja
memancing para pemimpin dari berbagai perguruan itu
untuk datang kesana?"
"Apakah saudara-saudara kita tidak akan mengalami
kesulitan melawan orang-orang yang terlalu banyak itu." "
"Mudah-mudahan tidak. Namun yang harus tampil ke
halaman itu adalah Ki Prawara dan isterinya, juragan gula
yang kikir itu dan Kiai Gumrah sendiri. Bukankan pusaka-
pusaka itu ditangan mereka?"
"Tetapi juragan gula itu tidak kikir" jawab Buta Ijo
"Menurut pendapat ku, ia tidak pernah menunda
pembayaran gula yang diserahkan kepadanya ."
"Tetapi ia membeli dengan harga murah dan menjual
dengan harga mahal."
"Itu termasuk satu keahlian" jawab Buta Ijo.
Namun saudara seperguruannya berdesis "Mereka
hampir mulai. Kita tidak bisa berlama-lama disini."
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak
berkerut. Ia belum melihat juragan gula, Ki Prawara dan
isterinya di halaman depan, sementara para pemimpin dari
perguruan-perguruan yang ada di rumah itu sudah
mendekati mereka yang membawa songsong setelah mereka
memasuki regol halaman yang telah terbuka.
Dalam pada itu. orang yang disebut Panembahan yang
ada diantara mereka yang mendekati songsong sudah
berada di halaman itu tidak segera melihat orang bongkok
yang nampaknya dengan sengaja berdiri dibelakang
sekelompok orang yang membawa dan yang harus
melindungi songsong itu.
Beberapa langkah kemudian orang-orang berilmu tinggi
itu berhenti. Panembahan, orang yang paling berpengaruh
diantara para pemimpin perguruan yang ada di rumah
itulah yang bertanya "Siapakah yang memerintahkan kalian
datang untuk menyerahkan songsong itu kemari ?"
Yang menjawab adalah salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah "Kami datang tidak untuk
menyerahkan songsong ini. Kami datang karena kami
tidak.dapat menahan, diri lagi oleh tingkah laku kalian yang
sangat menyakitkan itu. Bagi kami, lebih baik kam i datang
kemari untuk membuat penyelesaian tuntas daripada kami
harus selalu menunggu dengan gelisah, karena kalian ingin
merebut pusaka-pusaka kami."
"Siapakah kau ?"bertanya Panembahan.-
"Aku bukan siapa-siapa. Bertanyalah kepada Kiai Kajar."
Panembahan itu memang berpaling kepada Kiai Kajar.
Sementara Kiai Kajar melangkah maju sambil berdesis
"Kau cucurut kecil. Dimana Gumrah. Aku ingin membuat
penyelesaian tuntas. Akulah yang berwenang menyimpan
pusaka-pusaka itu. Bukan Gumrah."
Namun para pemimpin perguruan yang berkumpul di
rumah itu terkejut ketika mendengar jawaban dari balik
segerumbul pohon soka yang sedang berbunga itu.
Kiai Gumrahlah yang kemudian melangkah mendekat dengan membawa
tombak pusakanya sambil berkata "Sudah lama aku menunggu kesempatan untuk
bertemu denganmu Kiai Kajar." "Gumrah"
gumam Kiai Kajar. "Aku ingin mengucapkan
terimakasih, bahwa kau sempat memberitahukan kepadaku lewat salah seorang
pengikutmu bahwa besok rumahku akan didatangi oleh
Kiai Windu Kusuma dan orang-orang berilmu tinggi yang
lain." "Setan" geram pemimpin perguruan Susuhing Angin
"Jadi kaukah yang telah berkhianat."
Wajah-wajah itu memang menjadi tegang. Namun
Panembahan itu tertawa. Katanya "Kau percaya akan kata-
katanya. Satu usaha untuk membuat kita saling curiga."
"Tetapi bukankah masuk akal bila Kia i Kajar berkhianat"
Bukankah ia berasal dari perguruan yang sama dengan
orang-orang yang menyimpan pusaka-pusaka itu." jawab
pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Kau memang gila" geram Kiai Kajar "itu adalah salah
satu sifat licik Kiai Gumrah. Aku memang mengenal orang
itu sejak lama. Aku memang saudara seperguruannya.
Karena itu aku tahu, bagaimana ia berusaha membenturkan
kekuatan kita masing-masing."
Tetapi Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Maaf Kiai Kajar.
Aku terlalu tergesa-gesa mengucapkan terimakasih kepadamu. Meskipun aku tahu bahwa pemberitahuanmu
itu termasuk usahamu untuk menjebak aku."
"Diam" bentak Kiai Kajar "tetapi apapun yang sudah kau
katakan, sekarang kau datang membawa pusaka-pusaka itu.
Jadi kau ingin menyerahkannya, serahkan segera sebelum
terjadi sesuatu."
"Kau tentu tahu bahwa bukan itu maksudku" jawab Kiai
Gumrah "aku datang justru untuk mempertahankannya."
"Cukup. Itu satu permainan yang buruk. Kami tidak
akan membiarkan pengkhianatan itu terjadi. Dibelakang,
orang-orang kami sudah banyak yang menjadi korban."
teriak pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Bukan hanya terlalu banyak" Kiai Gumrah menyahut
"pada saatnya nanti, maka semua orang yang tidak
menyerah akan mati. Termasuk kalian."
"Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan ini"
pemimpin perguruan Susuhing Angin itu masih berteriak.
Namun Panembahan itulah yang menjawab lantang.
Suaranya tiba-tiba saja telah menggelegar menggetarkan
setiap jantung "Hanya orang dungu yang percaya igauan Kiai Gumrah.
Aku tidak percaya. Aku tidak pernah menganggap Kiai
Kajar berkhianat kepada kita."
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu termangu-
mangu sejenak. Namun ia menyadari, bahwa Panembahan
itu sudah marah. Karena itu, maka ia tidak menyahut lagi.
Baru kemudian dengan lantang Panembahan itu
berbicara, sementara getaran suaranya masih saja memukul
isi dada "Sekarang, tugas kita menyelesaikan mereka. Aku
justru merasa bersyukur bahwa mereka telah datang untuk
menyerahkan pusaka-pusaka itu. Purnama tinggal beberapa
hari lagi. Tetapi disini banyak terdapat jantung segar yang
masih ada dalam dada. Karena itu, maka aku akan mencuci
tombak itu dengan darah yang masih mengalir di jantung
yang masih tergantung pada tangkainya."
Tetapi Kiai Gumrahpun bertanya "Darimana kau tahu
bahwa sebelum purnama tombak ini harus dicuci dengan
darah yang masih mengalir di dalam jantung."
"Pertanyaanmu aneh Kiai. Seharusnya kau tahu akan hal
itu Kiai Kajar juga mengetahuinya. Semua orangpun juga
mengetahuinya." jawab Panembahan.
"Tetapi justru aku tidak mengetahuinya. Bagiku tombak
ini adalah tombak sewajarnya. Tetapi karena landeannya
dibuat dari bahan yang mahal, serta riwayat dari tombak ini
yang mempunyai arti khusus bagi perguruan kami, maka
kami akan mempertahankannya dengan segala kemampuan
yang ada pada kami."
Panembahan itu tertawa. Katanya "Betapa dungunya
kau Kiai. Kau sia-siakan tuah yang ada di dalam tombak
itu. Karena itu serahkan tombak itu kepadaku."
"Aku juga berhak atas tombak itu." geram Kiai Kajar.
Kiai Gunirah tertawa pula. Katanya "Aku tahu bahwa
kita yang berada disini akan saling memperebutkan tiga
batang tombak yang disimpan oleh perguruan kami serta
songsong yang kuning keemasan itu. Yang penting bagi
kalian, apakah tuah pusaka-pusaka itu atau emas dan
permata yang terdapat pada pusaka-pusaka itu " Atau
barangkali keduanya-duanya "
"Persetan Gumrah" teriak Kiai Kajar "serahkan tombak
itu kepada kami"
"Dan kalian akan berkelahi memperebutkannya ?"
bertanya Kiai Gumrah.
"Ada ampat batang pusaka yang akan kami ambil dari
kalian" berkata Kiai Windu Kusuma "persoalan diantara
kami kemudian, bukan urusanmu. Tetapi kau tidak akan
dapat membenturkan kepentingan kami satu dengan yang
lain. Usahamu untuk mengadu domba itu tidak akan
berarti." "Sangat menarik" jawab Kiai Gumrah "tetapi baiklah.
Meskipun aku tidak sependapat dengan pendapat kalian
bahwa pusaka itu harus dicuci dengan darah yang masih
mengalir di jantung, namun jika kalian memaksanya, maka
benar-benar aku akan melakukannya, mencuci tombak ini."
Panembahan itulah yang tertawa. Katanya "Kau kira kau
merasa seorang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan "
Baiklah. Kita akan membuktikannya apakah aku mampu
mempertahankan dalan waktu yang singkat. Ingat, aku
akan mengambilnya. Jantungmu menurut pendapatku
adalah jantung yang paling baik untuk mencucinya."
Namun Panembahan itu terkejut. Ia melihat seseorang
yang ada dibelakang mereka yang membawa dan siap
melindungi songsong itu bergerak dan melangkah maju
sambil berkata "Tidak semudah itu Lebdagati."
Panembahan itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya
orang itu tajam-tajam. Namun kemudian ia menggeram
"Kau bongkok buruk. Aku sudah mengira bahwa kau.akan
melibatkan diri. Ceritera tentang harimau jadi-jadian itu
telah memastikan, bahwa kau akan hadir dalam persoalan
ini." "Aku menunggumu, Panembahan Lebdagati. Sejak kau
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lolos dari tanganku di sarangmu itu, maka aku telah
mengembara untuk dapat menemukanmu."
"Seharusnya kau menyadari keadaan dirimu. Kau
bongkok, buruk dan dungu. Untuk apa kau mencari-cari
aku, sementara kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku?"
bertanya Panembahan.
"Sekarang kita buktikan, apakah kau dapat berbuat apa-
apa atau tidak." jawab Ki Pandi.
Wajah Panembahan itu menjadi tegang. Sekali-sekali
dipandanginya Kiai Gumrah yang membawa satu diantara
tombak-tombak pusaka yang dicarinya. Namun ia sadar
bahwa ia tidak dapat mengabaikan kehadiran orang
bongkok itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada kawan-
kawannya "Jaga agar tombak dan songsong itu tidak lolos.
Setidak-tidaknya yang ada di halaman ini. Biarlah aku
menyelesaikan orang bongkok ini lebih dahulu."
Orang bongkok itu memang bergeser menjauhi mereka
yang membawa songsong, iapun segera mempersiapkan diri
menghadapi Panembahan itu sambil berkata "Marilah
Panembahan. Aku ingin agar persoalan yang ada diantara
kita segera tuntas."
Panembahan itu tidak dapat berbuat lain. Ia sadar, orang
bongkok itupun mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ia
dapat berbuat apa saja sebagaimana yang dapat
dilakukannya. Karena itu, maka Panembahan itupun harus berhati-hati
menghadapinya Demikian Panembahan itu bergeser, maka Kiai Kajarlah
yang serta merta menghadapi Kiai Gumrah. Dua orang
saudara seperguruan yang memiliki kelebihan diantara
saudara-saudaranya yang lain.
Ketika Kiai Windu Kusuma dan pemimpin dari
perguruan Susuhing Angin itu akan bergerak, maka dua
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memang
ditugaskan untuk melindungi songsong itupun bergerak
pula. Namun mereka tertegun ketika dari halaman samping
telah muncul dua orang suami isteri. Seorang diantaranya
membawa tombak pula. Ki Prawara dan Nyi Prawara.
Tetapi ternyata Ki Prawara dan Nyi Prawara tidak
sempat mendekat. Dua orang diantara mereka yang
menyertai para pemimpin mereka itupun telah menyongsong suami isteri itu. Seorang diantara keduanya
adalah murid terpercaya dari perguruan Susuhing Angin.
Seorang yang bertubuh tinggi besar. Berkumis lebat, namun
berkepala botak. Ia tidak mengenakan ikat kepalanya
dengan baik. Bahkan dengan sengaja menunjukkan
kepalanya yang botak itu. Sedangkan yang seorang lagi
adalah seorang kepercayaan Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara dan Nyi Prawarapun berhenti untuk menanti
kedua orang itu. Demikian kedua orang itu mendekat,
maka kepercayaan Kiai Windu Kusuma itu menggeram
"Setan. Ternyata seorang diantaranya seorang perempuan."
Orang bertubuh tinggi besar itupun mengumpat. Katanya
"Kalian menghina kami. Tetapi kalian akan menyesal
sampai tujuh turunan. Aku memang memerlukan seorang
perempuan. Perempuan-perempuan pemabuk itu sangat
menjemukan bagiku."
Wajah Nyi Prawara menjadi merah. Tetapi iapun segera
bergeser sambil berkata "Katakan apa yang akan kau
katakan, karena kesempatanmu akan segera berakhir. Nanti
kau tidak akan dapat mengatakan apapun juga setelah
nyawamu lepas dari tubuhmu."
Orang bertubuh raksasa itu membelalakkan matanya.
Tetapi iapun kemudian tertawa "Jarang aku temui
perempuan yang garang seperti perempuan ini. Tetapi justru
karena itu, maka ia adalah
perempuan langka yang
banyak dicari."
Nyi Prawara tidak dapat menahan gejolak
perasaannya lagi. Kemarahannya telah membakar jantungnya dan
membuat darahnya mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan
serta-merta Nyi Prawara
itupun telah meloncat menyerang. Serangan yang tak diduga sama sekali oleh
orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka ia tak
sempat mengelak lagi. Ketika kaki Ny i Prawa ra yang
mengenakan pakaian khususnya terjulur lurus kearah dada,
maka orang yang bertubuh tinggi besar itupun hanya
sempat memiringkan tubuhnya sambil melindungi dadanya
dengan sikunya.
Namun ternyata bahwa tenaga serangan Nyi Prawarapun tidak terduga pula. Dengan kekuatan tenaga
dalamnya, maka serangan itu benar-benar telah mengguncang tubuh lawannya itu.
Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata telah terdorong
surut. Namun ia masih
mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga raksasa itu tidak terjatuh.
Namun bahwa serangan perempuan itu sempat
mengguncang tubuhnya, maka raksasa itu benar-benar
merasa tersinggung.
Sambil menggeram orang itu telah mempersiapkan
dirinya. Tangannya mengembang siap untuk menangkap
dan meremas tubuh Nyi Prawara yang jauh lebih kecil dari
tubuh raksasa itu.
Namun sebelum ia bergerak, terdengar suara tertawa
berkepanjangan. Seorang yang juga bertubuh tinggi besar
melangkah mendekat sambil berkata "He, ternyata dilihat
dari ukuran tubuh, agaknya kita akan dapat menjadi lawan
yang seimbang."
Raksasa yang siap meremas tubuh Nyi Prawara itu
termangu-mangu.
Dilihatnya dua orang yang datang mendekat. Seorang
diantaranya adalah orang yang bertubuh tinggi besar,
sebagaimana dirinya sendiri.
Nyi Prawara yang juga berpaling itupun berkata
"Menyingkirlah Buta Ijo. Apa kau kira aku tidak dapat
melawannya."
"Tidak. Bukan itu Nyi" Berkata Buta Ijo "Jika aku
melawannya, agaknya akan menjadi tontonan yang
menarik. Dua orang raksasa berkelahi, He, Nyi. Masih ada
banyak lawan yang bakal datang kemari. Dihalaman
samping itu mengalir orang-orang yang jumlahnya cukup
banyak." "Aku tidak peduli mereka. Aku ingin melawan raksasa
dungu ini. Carilah lawan yang lain."
"Ia sudah merendahkan martabatku sebagai seorang
perempuan." berkata Nyi Prawara.
Buta Ijo itu mengangguk angguk kecil. Ia memang
mendengar kata-kata tajam yang menusuk perasaan Nyi
Prawara. Karena maka katanya "Baiklah. Ia memang
menghinamu. Tetapi biarlah aku bermain-main dengan
yang seorang lagi."
"Serahkan itu kepadaku." barkata Nyi Prawara.
"Nampaknya kau ditunggu didekat pintu gerbang itu."
berkata Buta ljo.
Ki Prawara memperhatikan pertempuran yaug sudah
terjadi di dekat pintu gerbang. Ternyata ada beberapa orang
yang harus bertempur melawan dua bahkan tiga orang.
Karena itu, maka Ki Prawara yang membawa satu
diantara tombak-tombak pusaka itupun segera meloncat
kearah pintu gerbang sambil berkata "Selesaikan raksasa
dungu itu, Nyi"
Nyi Prawara tidak menjawab. Tetapi iapun segera
beringsut untuk menghadapi raksasa yang telah merendahkan martabatnya itu.
Buta Ijo itulah yang kemudian termangu-mangu,
sementara kawannya lebih dahulu telah berhadapan dengan
kawan raksasa yang bertempur melawan Nyi Prawara itu.
Untuk sementara Buta Ijo justru kebingungan. Namun
kemudian ia telah melihat pertempuran di dihalaman
sebelah kiri yang terbuka telah bergeser pula. Beberapa
kawan Buta Ijo itu memang terdesak. Lawan mereka masih
terlalu banyak.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali
tidak gentar menghadapi lawan yang berapapun jumlahnya.
Tetapi ia menjadi ngeri melihat tubuh yang silang
melintang dimana-mana. Tetapi Buta Ijo itupun menyadari,
tanpa berbuat demikian, maka justru saudara-saudara
seperguruannya-lah yang akan terbaring diam di halaman
dan dikebun yang luas itu.
"Pertempuran yang gila" desis Buta Ijo itu.
Namun Buta Ijo itu tidak dapat berdiam diri. lapun
segera berlari dan bergabung dengan saudara-saudara
seperguruannya yang harus bertempur melawan kelompok-
kelompok orang yang datang dari beberapa perguruan itu.
Pertempuran itu dilihat dari jumlahnya memang tidak
seimbang. Tetapi saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang
yang datang dari beberapa perguruan itu. Pemimpin-
pemimpin mereka yang berilmu tinggi ternyata telah
berkumpul didekat pintu gerbang karena mereka memang
terpancing oleh songsong yang berwarna kuning keemasan
itu, sebagaimana diinginkan oleh Kiai Gumrah.
Karena itu, maka dengan kemampuan yang tinggi, serta
kerja sama yang sangat baik, saudara-saudara seperguruan
Buta Ijo itu mampu mengacaukan lawan mereka yang
jumlahnya jauh lebih banyak itu. Satu-satu orang-orang dari
beberapa perguruan itu jatuh dan tidak mampu bangun lagi.
Meskipun saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu bukan
pembunuh yang tidak berjantung, tetapi dalam keadaan itu,
mereka akan sangat sulit untuk mengekang ujung senjata
mereka. Tanpa niat untuk membunuh, maka beberapa
lawan-pun telah terbunuh, sementara yang lain terluka
parah. Dalam pertempuran yang kalut itu, maka Buta Ijopun
segera berbaur dengan saudara-saudara seperguruannya
yang jumlahnya tidak begitu banyak itu. Namun dengan
gerak yang cepat dalam garis perlawanan yang tidak
menentu, maka lawan-lawan mereka memang menjadi
bingung. Bahkan masih ada saudara-saudara seperguruan
Buta Ij? itu yang menyerang, namun kemudian berloncatan
menjauh, sementara orang lain telah berlari sambil
menyambar dengan senjatanya.
Dalam pada itu. para pemimpin dari beberapa perguruan
serta pengawal-pengawal terbaik mereka telah bertempur
pula didekat pintu gerbang. Seorang Putut kepercayaan Kiai
Windu Kusuma yang berusaha langsung meraih songsong
yang dibawa oleh Laksana harus berhadapan dengan
Winih. Putut memang terkejut ketika lawan yang
dihadapinya itu seorang perempuan yang masih terlalu
muda. "Kenapa kau ikut memasuki halaman rumah ini "
Apakah kau tidak tahu, bahwa halaman ini akan menjadi
neraka bagi mereka yang telah berani memasukinya?"
bertanya Putut itu.
Sambil memutar rantainya Winih menjawab "Aku
memang sudah berniat melakukannya. Nah bersiaplah. Kita
akan bertempur."
"Siapa namamu?" bertanya Putut itu. Ternyata Winih
tidak, merahasiakan namanya. Karena itu, maka iapun
menjawab "Namaku Winih."
"Winih. Kaukah yang sering
disebut-sebut oleh
Darpati?" "Mungkin" jawab Winih "sayang, bahwa aku harus
membunuhnya ketika ia berniat menjadikan aku barang
taruhan." "Kau telah membunuh Darpati?" bertanya Putut itu.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Aku terpaksa melakukannya" jawab Winih.
Putut itu tertawa. Katanya "Jangan mengigau. Darpati
adalah anak muda berilmu tinggi. Ia memang terbunuh.
Tetapi tentu bukan kau yang membunuhnya."
"Percaya atau tidak, itu bukan persoalanku. Sekarang
kita akan bertempur. Bersiaplah."
Putut itu termangu-mangu sejenak. Namun perempuan a
itu nampak yakin akan dirinya sendiri, sehingga karena
maka Putut itu harus berhati-hati menghadapinya.
Winih yang sudah memutar rantainya tidak menunggu
lebih lama lagi. Ialah yang telah mendahului menyerang
Putut yang bersenjata pedang itu. Dengan loncatan-
loncatan yang cepat. Winih berusaha untuk menembus
pertahanan Putut itu.
Tetapi Putut juga mempunyai bekal yang cukup untuk
menghadapi Winih. Dengan tangkas Putut itu mengimbangi kecepatan gerak Winih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya celah
terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka saling
menyerang dan menghindar. Beberapa kali Winih berhasil
mendorong lawannya berloncatan surut. Tetapi kemudian
Winih-lah yang harus melangkah mundur karena serangan
lawannya yang datang beruntun.
Namun Putut itu menjadi semakin tegang ketika ternyata
perempuan itu memang tidak dapat segera ditundukkan. .
Bahkan ia mulai mempercayainya, bahwa perempuan
muda itu telah berhasil mempertahankan dirinya terhadap
Darpati, meskipun mungkin ia tidak sendiri. .
Tetapi semakin lama Putut itu menjadi semakin gelisah.
Winih ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi!
Menilik ujudnya, perempuan itu tentu masih sangat muda.
Namun adalah diluar dugaannya, bahwa perempuan muda
itu benar-benar telah mampu mendesaknya.
Putut itu tahu benar bahwa Darpati termasuk seorang
yang berilmu tinggi. Tetapi jika benar perempuan muda itu
dapat membunuhnya, maka perempuan yang bernama
Winih itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, pertempuran didekat pintu gerbang itu-
pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang telah langsung
terlibat. Demikian pula juragan gula itupun telah berada di-
dekat pintu itu pula.
Dengan demikian tiga buah tombak pusaka dan sebuah
songsong telah terkumpul didekat pintu gerbang itu.
Namun bukan sebagai benda-benda yang akan dipersembahkan kepada Panembahan Lebdagati serta Kiai
Windu Kusuma dan kawan-kawannya. Tetapi senjata itu
justru telah dipergunakan untuk melawan mereka.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan
pertempuran habis-habisan dari dua kelompok orang-orang
berilmu tinggi. Ternyata Kiai Windu Kusuma kemudian
berhadapan dengan Ki Prawara yang juga membawa
sebuah diantara tombak pusaka itu, sedangkan juragan gula
itu bertempur melawan pimpinan perguruan Susuhing
Angin yang masih saja selalu mencurigai Kiai Kajar tentang
kebocoran rencana mereka untuk menjemput pusaka-
pusaka itu dirumah Kiai Gumrah.
Namun dalam pada itu, Kiai Kajar sendiri harus
bertempur dengan mempertaruhkan segala-galanya melawan Kiai Gumrah. Keduanya saudara seperguruan
yang dianggap memiliki kelebihan dari saudara-saudara
seperguruannya yang lain disamping juragan gula itu.
Sementara itu, diarena pertempuran yang lain, beberapa
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih
bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan.
Namun jumlah mereka memang menjadi semakin susut.
Meskipun demikian, namun orang-orang itu masih tetap
merupakan bahaya yang sungguh-sungguh bagi saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Tiga orang saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah
terluka meskipun tidak parah. Justru orang yang selalu
menyebut dirinya sambil bergurau berilmu tinggi. Seorang
lagi yang lebih banyak mengantuk dari pada tidak.
Sedangkan yang lain adalah seorang yang kurang
bersungguh-sungguh menghadapi lawannya. Orang yang
berjambang tebal itu menganggap permainan yang
dilakukan sangat menyenangkan. Baru ketika lengannya
tergores senjata lawannya, orang itu menjadi sangat marah
dan bersungguh-sungguh. Namun kemarahannya telah
menimbulkan banyak kesulitan bagi lawan-lawannya.
Dalam pada itu Buta Ijopun telah berada diantara
saudara-saudara seperguruannya. Ternyata saudara-saudara
seperguruannya telah berusaha untuk memancing dilingkungan yang lebih luas dari halaman yang terbuka
disisi sebelah kiri rumah yang besar itu. Tetapi juga
menebar kehalaman depan. Semakin luas medan, maka
saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu sempat
membuat lawan-lawan mereka kadang-kadang kebingungan. Kadang-kadang orang-orang yang berpakaian
serba hitam itu bagaikan hilang lenyap dalam bayang-
bayang dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul
bagaikan terbang menyambar korban yang terdekat dengan
sejata-senjata mereka.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Buta
Ijo ternyata memilih cara
yang lain. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia justru
berlari naik ke pendapa,
kemudian melintasi pringgitan mendorong pintu dan masuk ke ruang
dalam. Ampat oang bersama-sama mengejarnya dengan senjata teracu. Dibelakangnya tiga orang
yang lain telah memburu
pula. Buta Ijo itu ternyata tidak berlari terus, Demikian ia
menyelinap dibalik pintu, iapun segera menunggu.
Keempat orang yang memburunya itu terkejut. Demikian mereka melintasi pintu, maka dari sisi pintu itu
terayun selarak pintu yang berat menghantam mereka. Dua
orang yang berada didepan telah terpental membentur
orang-orang yang ada dibelakangnya. Keempat orang itu
seakan-akan telah terlempar kembali keluar dari pintu
pringgitan. Ketiga orang yang memburu dibelakang mereka terkejut.
Mereka bahkan berloncatan surut.
Dua orang diantara keempat orang yang jauh terlentang
itu segera berloncatan bangkit. Namun kepala mereka yang
membentur lantai pendapa itu membuat mereka merasa
pening. Sementara dua orang yang berada didepan memang
mencoba juga untuk bangkit. Tetapi wajah mereka mulai
dibasahi oleh darah yang mengalir dari luka. Seorang
diantara mereka telah melelehkan darah dari sela-sela
bibirnya. Tiga giginya patah, sementara bibirnya menjadi
pecah-pecah, sedang yang seorang lagi dahinya bukan saja
menjadi memar, tetapi juga terluka dan menitikkan darah
pula. "Setan" geram kawannya. Tetapi mereka tidak berani
berlari memasuki ruang dalam. Ternyata raksasa yang
berlari keruang dalam itu tidak mempergunakan senjatanya
sendiri. Ia telah menyerang justru dengan selarak pintu.
Dengan hati-hati dua orang diantara mereka telah
melintasi pintu. Mereka melihat ruang dalam itu kosong.
Raksasa itu tentu sudah berlari dan bahkan mungkin
bersembunyi. Dibelakang mereka tiga orang yang lain mengikuti kedua
orang kawannya, sedangkan dua orang yang terluka itu
berada dipaling belakang.
Sejenak kemudian tiba-tiba mereka terkejut. Mereka
mendengar, jerit perempuan-perempuan yang berkumpul
dibilik dibelakang ruang dalam. Agaknya raksasa itu telah
masuk kedalam bilik perempuan-perempuan itu.
Ketika orang-orang yang mengejar raksasa itu berlari
kearah bilik itu, mereka telah saling bertubrukan dengan
beberapa orang perempuan yang berlari-larian keluar dari
bilik itu. Dari dalam bilik itu terdengar suara membentak-bentak
"cepat keluar, atau aku bunuh kalian. Cepat sebelum aku
kehilangan akal."
Perempuan-perempuan itu memang menjadi ketakutan
dan berlarian keluar justru pada saat orang-orang yang
memburu Buta Ijo itu berlari menuju kebilik karena mereka
mendengar suara perempuan yang menjerit-jerit.
Selagi orang-orang yang mengejarnya itu menyibak
perempuan yang berlari-larian menjauhi bilik itu, maka
Buta Ijopun telah berlari pula. Dengan cepat ia menyelinap
kesudut serambi disamping ruang dalam.
Orang yang mengejarnya itu menjadi lebih berhati-hati.
Mereka tidak langsung memburu melalui sudut serambi itu.
Raksasa itu akan dapat dengan tiba-tiba menyerang mereka.
Dengan hati-hati mereka telah memasuki serambi yang
panjang. Namun mereka sama sekali tidak melihat Buta Ijo.
Orang yang tertua diantara mereka yang mengejar Buta
ijo itu berdesis "Kita berpencar. Tetapi hati-hati. Orang itu
licik sekali."
Dengan demikian, maka mereka telah membagi diri
menjadi dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari ampat
orang, namun dua diantaranya telah terluka dan kesakitan,
sedangkan kelompok yang lain terdiri dari tiga orang.
Dengan hati-hati mereka menyelinap diantara dinding-
dinding rumah yang besar itu.
Tetapi ternyata mereka memang mengalami kesulitan
melawan raksasa itu. Meskipun mereka lebih menguasai
medan karena mereka memang tinggal dirumah itu, tetapi
Buta Ijo tiba-tiba saja dapat menyergap mereka. Dua orang
diantara keempat orang itu telah mengalami nasib yang
buruk pula. Buta Ijo telah memukul mereka dengan selarak
pintu dari balik selintru.
Seorang diantara mereka tidak saja sekedar berdarah.
Tetapi orang itu langsung jatuh dan menjadi pingsan.
Tengkuknya serasa menjadi patah oleh selarak pintu itu.
Sedangkan seorang lagi terduduk sambil memegang
perutnya yang dihantam selarak pintu itu pula.
Dua orang yang sudah terluka sebelumnya itu menjadi
ragu-ragu. Namun mereka masih juga memberanikan diri
untuk mencari raksasa yang bersembunyi didalam rumah
itu. Sementara itu, di halaman. Nyi Prawara yang hatinya
telah dibakar oleh kata-kata lawannya yang bertubuh
raksasa itu, bertempur dengan tangkasnya. Meskipun
tenaganya tidak sekuat raksasa itu, namun kecepatannya
bergerak telah membuat lawannya menjadi bingung. Rasa-
rasanya perempuan itu berloncatan berputaran disekitar
tubuhnya. Kadang-kadang bahkan sempat hilang dari
tangkapan penglihatannya. Namun tiba-tiba perempuan itu
meloncat menyerang dengan cepatnya.
Raksasa itu mulai gelisah. Semula ia merasa, bahwa ia
tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Bahkan raksasa
itu ingin menangkap perempuan itu tanpa melukainya.
Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, maka
raksasa itu mulai menjadi gelisah.
Dalam keadaan terdesak maka raksasa itu tidak
mempunyai pilihan daripada mempergunakan senjatanya
Sebuah parang yang besar dan berat
Namun Nyi Prawara sama sekali tidak tergetar hatinya,.
Dengan senjata rantainya maka Nyi Prawara telah
memberikan perlawanan yang justru semakin mendebarkan
jantung lawannya.
Nyi Prawara yang bertumpu pada kecepatan geraknya.
membuat raksasa itu semakin bingung. Ia kadang-kadang
hanya dapat mengayun-ayunkan parangnya sementara
sasarannya telah meloncat mengambil jarak.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kemarahan yang semakin menyala didadanya,
raksasa itu mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi
kekuatan alami yang dimilikinya, ditempa pula dengan
latihan yang berat, yang melampaui kekuatan lawannya
yang dilambari dengan kekuatan dalamnya, tidak mampu
melindungi tubuhnya dari sengatan senjata lawannya.
Rantai yang berputaran itu, sekali-sekali terayun menebas
dengan derasnya, namun kemudian tiba-tiba mematuk
dengan cepat. Raksasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak ketika
ia merasakan dadanya menjadi panas. Ujung rantai Nyi
Prawara mematuk dadanya yang tidak terlindung.
Ternyata sentuhan rantai itu tidak saja membuat
dadanya merasa panas bagaikan disentuh bara api
tempurung. Tetapi dadanya telah terkoyak pula, sehingga
darahpun telah meleleh dari luka itu.
Raksasa itu menggeram. Dengan suaranya yang berat ia
berkata "perempuan celaka. Kau ternyata tidak tahu diri.
Aku masih berusaha menahan diri agar aku tidak
merusakkan kulitmu meskipun hanya segores kecil. Namun
kau telah melukai dadaku."
"Aku tidak hanya akan melukaimu, tetapi aku akan.
membunuhmu" jawab Nyi Prawara.
"Meskipun kau sudah melukai aku, tetapi aku masih
memberimu kesempatan. Menyerahlah. Jika kau menyerah,
kau tidak akan aku bunuh." berkata orang bertubuh raksasa
itu. "Itu tidak termasuk pilihanku. Pilihanku hanya dua.
Membunuhmu atau kau membunuhku." jawab Nyi
Prawara. "Aku senang kepada perempuan-perempuan yang
garang. Tetapi kau terlalu garang." berkata orang itu.
Nyi Prawara tidak menjawab. Kata-kata itu sangat
memanaskan hatinya. Karena itu, tiba-tiba saja rantainya
sudah bergetar menyambar bibir raksasa itu,
Hanya satu sentuhan kecil, karena raksasa itu cepat
menarik wajahnya. Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah
memecahkan bibirnya, sehingga terasa darah yang hangat
mulai mengalir dari lukanya itu.
Orang bertubuh tinggi besar itu meloncat surut. Dari
mulutnya terdengar umpatan kasar.
"Setan betina. Kau benar-benar tidak tahu diri." orang itu
masih akan mengumpat lagi. Tetapi sekali lagi rantai Nyi
Prawara bergetar. Hampir saja bibir orang itu sekali lagi
dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara. Untunglah bahwa
raksasa itu masih sempat mengelak.
Dengan demikian, pertempuran segera menyala kembali.
Nyi Prawara ternyata tidak kalah garangnya dari lawannya
yang bertubuh raksasa. Parangnya yang besar dan berat itu
terayun-ayun mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar
telah dibakar oleh kemerahannya sehingga ia sama sekali
tidak mengekang dirinya lagi.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari
menyerang dan menyerang. Nyi Prawara bergerak terlalu
cepat. Lebih cepat dari ayunan senjatanya itu.
Sementara itu, saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang bertempur melawan orang-orang dari
berbagai perguruan yang ada di rumah itu, masih harus
mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan
mereka sudah berkurang cukup banyak, namun jumlah
mereka masih terlalu banyak. Sehingga dengan demikian,
maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih
harus berlari-larian untuk menghindari serangan-serangan
yang tiba-tiba dari arah yang tidak diperhitungkan.
Dalam pada itu, Buta Ijo yang berlari-larian didalam
rumah yang besar itu, telah berhasil mengurangi lawan-
lawannya. Sehingga akhirnya menjadi tinggal seorang saja.
Hati orang itu tiba-tiba saja menjadi kecut. Orang yang
dikejarnya itu seakan-akan benar-benar telah berubah
menjadi raksasa yang garang dengan taring-taringnya yang
besar dan runcing. Kedua tangannya seakan-akan telah
mengembang serta jari-jarinya yang terluka siap menerkamnya. Orang yang tinggal sendiri itu benar-benar telah
kehilangan keberaniannya. Ketika raksasa itu melangkah
mendekat, maka orang itu tiba-tiba telah meloncat
melarikan diri.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dilemparkannya selarak pintu yang terbuat dari kayu itu.
Selarak itu telah membantunya menyelesaikan beberapa
orang tanpa membunuhnya. Beberapa diantaranya menjadi
pingsan, sedang yang lain terluka parah sehingga tidak lagi
mampu memburu raksasa itu lagi.
Ketika Buta Ijo itu kemudian bergerak menyusuri
ruangan rumah yang besar itu, ia jusiru terkejut. Ia telah
berada disebuah ruangan tempat perempuan-perempuan
yang ketakutan itu bersembunyi. Demikian perempuan-
perempuan itu melihat Buta Ijo itu masuk, maka
merekapun telah menjerit-jerit lagi dan berlari menghambur
keluar. Seorang diantara perempuan itu kakinya terantuk
sesosok tubuh seseorang yang pingsan karena tengkuknya
dipukul dengan selarak pintu oleh raksasa itu, sehingga
dengan demikian perempuan itu telah jatuh tertelungkup.
Buta Ijo yang melihatnya diluar sadar telah berlari
kearahnya dan berusaha menolongnya. Namun demikian
rempuan itu melihat wajah Buta Ijo yang telah menakut-
nakutinya itu, maka perempuan itu justru semakin,
menjerit-jerit.
Buta Ijopun menjadi bingung. Karena itu kemudian
dilepaskannya perempuan itu. Ia mengurungkan niatnya
untuk menolongnya. Buta Ijo yang kebingungan itu justru
berlari keluar menjauhi tempat itu.
Buta Ijo menjadi agak bingung ketika tiba-tiba ia sudah
berada diserambi yang sepi. Lampu minyak yang berada di
ajuk-ajuk berkeredipan disentuh angin.
Dengan ragu-ragu ia membuka pintu samping. Perlahan-
lahan ia melangkah keluar. Diluar nampak sepi. Namun ia
mendengar keributan yang terdengar diarah yang lain.
"O, aku berada dibagian belakang rumah yang besar ini.
Bukankah tadi aku sudah berada disini?"
Buta Ijo itupun justru mencari lagi pintu dapur. Ia tahu
bahwa didapur masih ada makanan.
Dihalaman depan, pertempuran menjadi semakin seru.
Orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itu
menjadi semakin mengalami kesulitan. Jumlah mereka
semakin berkurang. Namun saudara seperguruan Buta Ijo
yang terlukapun bertambah pula. Bahkan seorang diantara
mereka mengalami luka yang agak parah. Sedangkan
seorang yang bertubuh kecil harus menyingkir pula dari
arena, karena punggungnya serasa patah. Sebuah bindi
yang besar telah menghantam punggungnya itu ketika ia
lengah. Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, maka Buta
Ijo sambil mengunyah makanan telah melibatkan diri pula.
Demikian ia melihat beberapa orang saudara seperguruannya terluka, maka ia tidak lagi mencari selarak
pintu. Tetapi ia sudah mencabut lagi luwuknya. Dengan
tenaganya yang sangat besar, maka iapun telah berloncatan
diantara beberapa orang yang mencoba mengurungnya.
Didekat pintu gerbang, maka pertempuranpun menjadi
semakin sengit pula. Orang-orang berilmu tinggi telah
meningkatkan kemampuan mereka pula.
Winih yang bertempur melawan seorang Putut yang
ilmunya telah mapan, harus mengerahkan kemampuannya.
Tetapi Winihpun pernah ditempa dengan laku berat,
sehingga ia telah benar-benar menjadi seorang gadis yang
aneh. Gadis yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Beberapa kali Putut itu berusaha untuk memecahkan
pertahanan Winih dengan menghentakkan kemampuannya.
Tetapi setiap kali justru harus meloncat mundur. Rantai di-
tangan Winih berputar dengan cepat untuk melindungi
dirinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi lebih rapat dari
sebuah perisai.
Dengan demikian maka ujung senjata Putut itu tidak
mampu menembus pertahanan gadis itu.
Bahkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka
justru ujung rantai itulah yang telah berhasil menyusup
disela-sela senjata lawannya. Satu sentuhan kecil ternyata
telah mampu mengoyak kulit lawannya, sehingga darahpun
mulai mengembun.
Putut itu mengumpat kasar. Luka itu memang tidak
banyak mempengaruhi tenaga
dan kemampuannya meskipun perasaan pedih telah menyengat. Justru luka itu
seakan-akan menjadi seperti minyak yang menyiram
jantungnya yang membara.
Api kemarahanpun menjadi semakin berkobar didalam
dadanya. Demikianlah maka pertempuranpun menjadi semakin
sengit. Putut itu menyerang semakin garang. Namun yang
kemudian memecahkan pertahanan lawannya adalah
Winih lagi. Ujung rantainya yang menebas mendatar telah
menggores pundak lawannya, sehingga
luka telah menganga. Luka yang lebih dalam dari luka dilengannya.
Putut itu menjadi semakin marah. Namun ia mulai
percaya bahwa gadis itu telah membunuh Darpati.
Karena itu, maka iapun mulai bergeser memancing agar
Winih bergerak pula menjauhi orang-orang yang telah
mendatangi rumah itu dan bertempur didekat pintu gerbang
itu. Ia ingin membawa Winih bertempur diantara orang-
orang yang datang dari berbagai perguruan yang ada
ditengah halaman. Yang telah bergeser dari halaman
disebelah kiri rumah yang besar itu, bergerak ke halaman
depan, yang disangkanya telah menggiring lawan-lawan
mereka, agar bertempur ditempat yang lebih luas dan
mapan. Namun sebenarnyalah bahwa mereka justru telah
terpancing oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah
yang sengaja bertempur diarena yang luas, karena jumian
mereka yang jauh lebih sedikit dari jumlah lawan-lawan
mereha. sehingga mereka dapat berlari-larian dan saling
mengisi yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian, meskipun beberapa kali crang-orang
yang ada dirumah itu yang berasal dari beberapa perguruan
berusaha untuk mengepung mereka, namun kepungan itu
setiap kali tentu pecah, karena sulit bagi mereka untuk
dapat menjaring semua saudara saudara seperguruan Kiai
Gumrah, justru karena mereka selalu bergerak silang
menyilang diarena yang luas.
Jika mereka berhasil membentuk lingkaran, maka tiba-
tiba saja dua tiga orang diantara lawan-lawan mereka yang
berada diluar lingkaran, telah menyerang dan mengoyak
kepungan itu. Sementara mereka yang ada didalam serentak
menghentak pula, sehingga kepungan itupun menjadi
berserakan kembali.
Namun hal itu luput dari
penglihatan Putut yang bertempur melawan Winih.
Ia mengira bahwa orang-
orang yang berkumpul dari
beberapa perguruan dalam
jumlah yang besar itu akan
dapat segera menguasai beberapa orang yang telah
menyerang rumah itu.
Tetapi ternyata Winih
tidak mudah untuk dipancing menjauhi songsong yang dibawa oleh
Laksana itu. Setiap kali
Putut itu berloncatan menjauh, maka Winih tidak dengan
tergesa-gesa memburunya. Tetapi ia bertahan ditempatnya
sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan. Putut itu memang menjadi gelisah. Sementara itu, ia
menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan
perempuan yang masih sangat muda itu sendiri.
Karena itu, yang dilakukan oleh Putut itu kemudian
adalah sekedar menyerang dan kemudian dengan cepat
menghindar. Jika Winih memburu selangkah dua langkah,
maka Putut itu meloncat semakin jauh.
Namun Winih masih tetap tidak terpancing. Ia memang
tidak ingin menjauhi songsong yang berwarna kekuning-
kuningan dengan lingkaran hijau itu.
Betapapun kemarahan, kejengkelan dan kebencian
membakar seluruh isi dadanya dan membuat darahnya
mendidih, tetapi Putut itu memang tidak dapat berbuat
banyak. Bahkan ketika ia mencoba dengan tiba-tiba
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang sambil menghentakkan kemampuannya, justru
ujung rantai Winih telah menyambar keningnya. Hanya
lapisan kulitnya sajalah yang tersentuh ujung rantai itu.
Namun Putut itu berteriak marah sekali. Apalagi ketika
darah yang hangat terasa meleleh sampai kepipinya
Tetapi apapun yang dilakukan oleh Putut itu sama sekali
tidak mampu menggoyahkan pertahanan Winih yang muda
itu. Disisi lain, Ki Prawara barhadapan dengan Kiai Windu
Kusuma. Ia sudah menggeser seorang saudara seperguruan
Kiai Gumrah. Ketika Ki Prawara datang dengan membawa
salah satu pusaka yang diperebutkan itu, maka seakan-akan
seseorang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk
langsung berhadapan dengan pemimpin landasan kekuatan
dari orang-orang yang akan merampas pusaka-pusaka yang
sangat berharga itu dari tangan Kiai Gumrah.
Namun bagaimanapun juga, Ki Prawara sekali-kali
masih harus melihat keadaan anaknya meskipun hanya
sekilas. Ia memang menjadi agak cemas menyaksikan Putut
yang menyerang dengan garangnya. Namun yang juga
berusaha memancing Winih untuk menjauhi songsong itu.
Bahkan ia akan mengalami kesulitan jika gadis itu
memasuki lingkungan pertempuran yang luas dihalaman
itu. Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, justru Ki
Prawara kadang-kadang harus berloncatan surut sambil
mengambil jarak dari lawannya untuk sekedar dapat
melihat keadaan Winih.
Namun oleh cahaya oncor dipintu gerbang yang terbuka
itu, lamat-lamat Ki Prawara sempat melihat darah di wajah
lawan anak gadisnya itu.
Sebenarnyalah, bahwa keadaan Putut itu menjadi
semakin sulit. Bahwa Winih sama sekali tidak terpancing
itu telah membuat Putut itu semakin marah. Bahkan
kemudian kehilangan pegangan. Ia menjadi tidak sabar.
Tetapi juga tidak mampu berbuat lebih banyak.
Sementara itu, tidak ada orang lain yang dapat
diharapkan dapat membantunya karena semua orang telah
bertempur ditempat yang tersebar.
Tetapi ketidak-sabaran orang itu, ternyata telah
menyeretnya kedalam keadaan yang paling buruk. Ketika
kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya, sementara
darah semaian banyak menitik dari luka-lukanya, maka
Putut itu menjadi mata gelap. Ia tidak lagi berpijak pada
penalarannya. Dengan mengerahkan segenap sisa kemampuannya,
maka Putut itupun menyerang Winih membabi buta.
Diputarnya senjatanya seperti baling-baling. Kemudian
meloncat sambil menebas langsung kearah leher Winih.
Tetapi Winih telah siap menghadapi Putut yang
kehilangan akal itu. Dengan cepat Winih meloncat
mengelak, sehingga pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Putut yang menjadi seperti mabuk itu telah menggeliat.
Pedangnya yang berputar itu tiba-tiba telah mematuk
kearah dada Winih.
Winih bergeser dengan cepat. Demikian ujung pedang
itu meluncur didepan tubuhnya yang miring, maka Winih
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Rantainya
berputar dengan cepat dan satu sabetan yang sangat deras
telah menyambar leher Putut itu.
Terdengar jerit kesakitan menggetarkan jantung. Luka
telah menganga dileher Putut itu. Sejenak ia terhuyung-
huyung. Namun kemudian tubuhnya telah terjerembab
jatuh terguling ditanah.
Winih meloncat mundur sambil memalingkan wajahnya.
Iapun kemudian telah bergeser dan berdiri dibelakang
Laksana yang membawa songsong itu, sementara Manggada berdiri disebelahnya dengan senjata ditangan.
Winih seakan-akan ingin menyembunyikan dirinya setelah
rantainya melukai lawannya dan bahkan kemudian Putut
itu tidak lagi bergerak sama sekali.
Ki Prawara yang setiap kali seakan-akan terdesak oleh
lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anak
gadisnya menyelesaikan lawannya.
Namun Ki Prawara tidak sempat merenungi kemenangan anaknya lebih lama. Hampir saja senjata Kiai
Windu Kusuma menyentuh keningnya.
Dengan terhentinya perlawanan Putut itu, maka Ki
Prawara dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Kiai Windu Kusuma yang telah menggenggam
senjata yang mendebarkan. Senjata yang agaknya hanya
dipergunakan dalam keadaan yang paling gawat. Sebilah
keris yang besar dan berwarna kahitam-hitaman. Namun
dalam keremangan cahaya oncor diregol, nampak pamor
keris itu berkedipan.
Ketika Kiai Windu Kusuma melihat lawannya
memperhatikan senjatanya, maka iapun
berkata "Dengan pusakaku
ini, aku tidak gentar menghadapi tombak yang
betapapun tinggi tuahnya.
Keris raksasa ini adalah
peninggalan orang yang
tidak terkalahkan
pada masanya. Ia adalah guruku
yang ditakuti setiap orang." Ki Prawara mengerutkan dahinya. Tombaknya telah merunduk,
sementara ujungnya bagaikan bergetar.
"Kita akan melihat, seberapa besarnya tuah senjata kita
masing-masing." berkata Kiai Windu Kusurna.
"Aku tidak bersandar pada tuah senjataku. Akhirnya
semuanya tergantung kepada siapa yang memegangnya."
jawab Ki Prawa ra.
"Kenapa kalian pertahankan pusaka itu dengan
mempertaruhkan nyawamu?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Tombak ini adalah peninggalan sebagaimana senjatamu. Jika kami mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawa, karena kami menghormati pusaka
ini sebagai warisan yang sangat berharga. He, kau lihat
emas dan tretes berlian pada landean tombak ini " Apakah
kau dapat memperkirakan berapa saja harganya ?"
"Setan kau?" geram Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara itu menyahut pula "Karena itu, kami tidak
berpikir untuk mempertahankan tuah senjata ini dengan
mencucinya dengan darah yang masih mengalir dijantung."
Kiai Windu Kusuma tidak menjawab. Tetapi ketika
kerisnya mulai terayun, Ki Prawara itupun meloncat
kesamping sambil berkata "Aku
bersandar kepada
perlindungan Yang Maha Agung, justru karena kami yakin,
bahwa kami sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Kami
mempertahankan hak milik kami."
Kiai Windu Kusuma yang mulai meloncat menyerang
itu masih juga sempat menjawab "Aku pernah mendengar
kata-kata itu dari mulut Kiai Gumrah ketika aku datang
untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Omong kosong yang
tidak berarti."
Ki Prawara tidak menjawab lagi. Serangan Kiai Windu
Kusuma ternyata cukup berbahaya sehingga Ki Prawara
harus meloncat surut.
Ki Prawa ra memang pernah mendengar ceritera dari
Kiai Gumrah sebelumnya, bahwa Kiai Windu Kusuma
memang pernah datang untuk mengambil pusaka-pusaka
itu dirumah Kiai Gumrah. Namun usaha itu telah gagai.
Kiai Windu Kusuma yang pernah bertempur dengan
Kiai Gumrah itu mulai menilai lawannya yang lebih muda
itu. Ternyata bahwa anak Kiai Gumrah itu memiliki ilmu
yang tidak terpaut dari Kiai Gumrah sendiri.
Dalam pada itu, Winih yang masih berdiri dibelakang
Laksana dan Manggada untuk menyembunyikan penglihatannya atas tubuh Putut yang terbaring diam
dengan darah yang mengalir dari lukanya, justru sempat
melihat pertempuran yang terjadi di tengah-tengah halaman
itu. Ia melihat ibunya yang sedang bertempur melawan
seorang yang bertubuh raksasa. Namun seperti juga Ki
Prawara yang tidak mencemaskan isterinya, maka
Winihpun melihat, betapa ibunya benar-benar menguasai
lawannya. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu
terhuyung-huyung, maka Nyi Prawara justru telah meloncat
surut menjauhinya.
Nyi Prawara tidak menyelesaikah pertempuran itu.
Dibiarkannya raksasa itu jatuh berlutut. Kemudian
terduduk sambil mengerang kesakitan.
Yang mendekatinya justru Buta Ijo yang berlari keluar
dari arena petempuran. Digoyang-goyangnya tubuh raksasa
yang terduduk itu sambil berkata "Lain kali berhati-hatilah
terhadap perempuan. Nah, kau sekarang sudah merasakan,
betapa kau menemukan kesenangan itu."
Raksasa yang sudah tidak berdaya itu tidak menjawab.
Namun Buta Ijo itu tidak sempat bergurau lebih lama.
Beberapa orang telah mengejarnya dan bahkan dua
diantaranya telah mendekati Nyi Prawara yang baru saja
bergeser dari lawannya yang bertubuh raksasa.
Winih melihat kedua orang itu. Tetapi ia tidak mau
meninggalkan Laksana dan Manggada. Karena itu, maka
ia-pun justru berteriak "Ibu, aku disini."
Nyi Prawara mendengar suara anaknya. lapun tahu
bahwa anaknya berada bersama songsong yang didekat
pintu gerbang. Karena itu, sebelum ia melihat Winih, Nyi
Prawara sudah berlari menuju kepintu gerbang. Suara
anaknya itu telah membuatnya cemas. Sedangkan kedua
orang yang mendekatinya dengan senjata teracu itu justru
telah memburunya. Mereka mengira bahwa Nyi Prawara
itu berlari untuk mnghindari mereka berdua meskipun Nyi
Prawara itu telah mengalahkan orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Namun Nyi Prawara memang tidak meninggalkan arena
karena serangan kedua orang itu. Bahkan ia tidak
menghiraukan ketika kedua orang itu mengejarnya.
Winih yang melihat ibunya berlari kearahnya dan dikejar
oleh dua orang itu menjadi cemas. Mungkin ibunya tidak
menyadari bahwa dua orang telah memburunya, bahkan
tidak terlalu jauh dibelakangnya. Karena itu, maka
Winihpun telah berian menyongsong sambil berteriak "Ibu,
dua orang dibelakang ibu."
Nyi Prawara yang melihat anaknya tidak dalam
kesulitan, bahkan muncul dibelakang Laksana dan
Manggada berlari menyongsongnya, dadanya terasa
menjadi lapang. Karena itu, maka iapun segera berhenti
berpaling sambil memutar rantainya.
Kedua orang yang mengejarnya itu terkejut. Merekapun
berhenti dan bersiap untuk menyerang.
Namun yang mereka hadapi kemudian adalah dua orang
perempuan. Yang seorang bahkan seorang perempuan yang
masih terlalu muda.
Namun kedua orang yang mengejarnya itu menjadi ragu-
ragu. Seorang diantara kedua orang perempuan itu telah
mengalahkan raksasa yang ditakuti dilingkungan mereka
itu, sedang merekapun melihat tubuh Putut yang berilmu
tinggi itupun telah terbaring diam.
Karena itu, maka keduanya menjadi ragu-ragu. Ketika
Winih dan ibunya bergerak maju, maka keduanya justru
bergeser mundur.
Winih tidak mau maju lagi. Kepada ibunya ia berdesis
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus membantu menjaga songsong itu."
Ibunya mengangguk. Bahkan katanya kemudian "Baiklah aku akan menbantumu. Biar saja kedua orang itu,
apa saja yang akan dilakukan."
Ketika kemudian ternyata kedua perempuan itu tidak
mengejarnya kedua orang itu justru menjadi bingung. Ia
harus berpikir ulang jika mereka akan menyerang. Tetapi
untuk meninggalkan begitu saja harga dirinya telah
direndahkan. Dalam kebingungan maka seorang diantara mereka telah
bersuit nyaring. Suaranya memang menyentuh setiap
telinga mereka yang ada dihalaman rumah yang besar itu.
Meskipun masih juga terdengar teriakan-teriakan, bentakan-
bentakan dan geram kemarahan, namun orang-orang dari
perguruan Susuhing Angin tertarik oleh isyarat itu. Bagi
mereka, isyarat itu merupakan permintaan untuk membantu, karena orang yang memberikan isyarat itu
berada dalam kesulitan.
Tetapi orang-orang dari perguruan Susuhing Angin
sebagaimana orang-orang yang datang dari perguruan lain,
masih sedang bertempur ditengah-tengah halaman depan:
Sementara itu kawan-kawan mereka masih saja berkurang
seorang demi seorang. Karena itu, maka tidak seorangpun
yang sempat mendekat untuk memenuhi isyarat itu. Bahkan
hampir setiap orang dari perguruan Susuhing Angin ingin
membunyikan isyarat seperti itu pula.
Karena itu, maka kedua orang itu menjadi semakin
gelisah. Tetapi karena tidak ada orang yang datang
membantunya, sementara keduanya sadar, bahwa menyerang kedua orang perempuan itu akan sama halnya
dengan membunuh diri, maka keduanyapun justru bergeser
semakin lama semakin menjauh.
Namun mereka terkejut ketika mendengar seseorang
membentak "Pengecut. Bunuh kedua orang perempuan itu."
Mereka mengenal suara itu dengan baik. Suara itu
adalah suara pemimpin perguruan mereka.
Ketika keduanya berpaling kearah suara itu, maka
mereka melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin itu
bertempur dengan sengitnya melawan seseorang yang
bersenjata tombak. Seorang yang sudah memasuki hari-hari
tuanya. Namun ternyata orang itu masih dengan
tangkasnya memutar tembaknya.
Kedua orang itu menjadi semakin bingung. Tetapi
mereka tidak berani melanggar perintah yang diucapkan
oleh pemimpin perguruan Susuhing Angin itu. Karena itu,
maka betapapun hati mereka menjadi kecut, namun
keduanyapun melangkah maju mendekati Nyi Prawara dan
Winih. Kedua perempuan itupun sudah bersiap sepenuhnya
menghadapi mereka. Namun, keduanya melihat, betapa
kedua orang itu menjadi bimbang.
Namun, terdengar lagi suara pemimpin perguruan
Susuhing Angin berteriak "Bunuh perempuan itu. Jangan
ragu-ragu. Meskipun mereka perempuan, tetapi mereka
telah membunuh kawan-kawan kita."
Kedua orang itu memang tidak mempunyai pilihan.
Sambil berteriak nyaring untuk mengatasi kebimbangannya
keduanya berlari menyerang.
Nyi Prawara dan Winihpun telah mengambil jarak.
Mereka segera mengetahui bahwa kedua orang itu bukan
terhitung orang-orang penting dalam keluarga perguruannya. Meskipun mereka termasuk terpilih dalam
tugas dirumah Kiai Windu Kusuma itu, tetapi mereka
bukan orang-orang dari tataran atas.
Meskipun demikian, Nyi Prawara dan Winih tidak mau
menjadi lengah. Demikian keduanya menyerang, maka Nyi
Prawara dan Winihpun telah menyongsongnya sambil
memutar rantainya.
Ternyata seperti yang diperhitungkan,
keduanya memang tidak mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk
melawan Nyi Prawara dan Winih.
Dengan demikian, maka dalam waktu singkat, maka
keduanyapun telah kehilangan kesempatan untuk melawan.
Winih sempat membelit senjata salah seorang diantara
mereka. Sebuah kapak yang cukup besar.
Ketika Winih menghentakkan rantainya, maka kapak
itupun telah terlepas dan tangannya.
Orang itu tidak mampu berbuat sesuatu ketika rantai
Winihpun kemudian terayun kedadanya.
Seleret luka menyilang didada orang itu. Terdengar
orang itu berteriak nyaring. Selangkah ia terdorong surut.
Cinta Bernoda Darah 4 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Pendekar Sadis 3