Sang Penerus 9
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 9
Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, maka
orang itu telah jatuh terlentang. Sekali ia berguling. Namun
kemudian iapun terdiam. Sementara itu, orang yang
bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah kehilangan
kendali akan dirinya. Bukan untuk menyerang, tetapi
dengan putus asa ia berlari menuju kepintu gerbang. Tanpa
menghiraukan apapun lagi, orang itu ingin melarikan
dirinya dari jangkauan rantai Nyi Prawara yang telah
menyentuh pinggangnya.
Namun orang itu terkejut. Demikian ia sampai kepintu
gerbang, maka dilihatnya dua ekor harimau siap untuk
menerkamnya. Orang itu semakin menjadi kehilangan akal. Dengan
serta merta ia berbalik kembali masuk kehalaman sambil
berteriak-teriak. Tetapi ia tidak berani lagi mendekati Nyi
Prawara. Seperti orang yang terganggu syarafnya ia berlari
secepat-cepatnya menghilang kehalaman samping yang
gelap sambil masih saja berteriak-teriak.
Sementara itu, Winih sempat mendekati lawannya yang
sudah terbaring diam. Sambil berjongkok disisinya ia
berkata "He, lukamu hanya selapis tipis pada kulitmu. Aku tahu
kau pura-pura mati. Tetapi tidur sajalah dengan nyenyak."
Orang itu masih tetap berbaring diam. Tetapi ia berdesis
"Aku mohon ampun"
"Aku tidak akan membunuhmu. Mudah-mudahan
pemimpinmu juga tidak."
Orang itu tetap tidak bergerak. Sambil tersenyum Winih
bangkit dan melangkah mendekati ibunya yang sudah
berdiri didekat Laksana dan Manggada.
Dalam pertempuran yang sengit itu Manggada dan
Laksana memang merasa dirinya terlalu kecil. Bekal
keduanya terlalu sedikit untuk terjun kedalam pertempuran
seperti itu. Bahkan seorang gadis muda harus melindungi
mereka berdua. Tetapi keduanya tidak dapat ingkar akan kenyataan itu.
Apalagi jika keduanya memperhatikan pertempuran antara
orang-orang berilmu tinggi.
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu ternyata
sempat berteriak marah ketika ia melihat sekilas orang-
orangnya tidak berdaya menghadapi perempuan. Namun ia
sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk membantunya
karena ia sedang terlibat dalam pertempuran melawan
juragan gula yang bersenjata sebuah tombak, yang termasuk
salah satu dari pusaka-pusaka yang diperebutkan.
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu memang harus
mengakui, bahwa lawannya yang sudah terhitung tua itu
merniliki pengalaman yang sangat luas. Betapapun ia
mengerahkan kemampuannya, namun juragan gula itu
masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-
kadang pemimpin perguruan Susuhing Angin itulah yang
terkejut mengalami serangan dengan unsur-unsur gerak
yang tidak diduganya sama sekali.
Kemarahan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu
sudah membakar ubun-ubunnya. Orang-orangnya telah
mengecewakannya. Sementara lawannya membuatnya
jantungnya bagaikan meledak.
Namun pemimpin perguruan dari Susuhing Angin itu
tidak dapat mengingkari kenyataan yang digelar dihadapannya. Orang-orangnya, bahkan orang-orang yang
datang dari perguruan yang lain yang ada di rumah Kiai
Windu Kusuma yang besar dan berhalaman luas itu, telah
dihancurkan oleh lawan-lawan mereka yang jumlahnya
jauh lebih kecil. Meskipun masih terjadi pertempuran
disana-sini, tetapi pertempuran itu tinggal sekedar
penyelesaian saja. Jika para pemimpin itu tidak segera
berhasil mengakhiri lawan-lawannya sehingga dapat
membantu orang-orang yang jumlahnya sudah jauh
menyusut itu, maka mereka tidak lagi mempunyai harapan.
Dengan marah pemimpin, perguruan Susuhing Angin itu
menyerang seperti arus banjir bandang. Juragan gula yang
melawannya sempat terdesak beberapa langkah surut.
Bahkan pemimpin perguruan Susuhing Angm itu sempat
menggeram "Ternyata kau cukup liat Ki Sanak. Tetapi
kesempatanmu tidak terlalu banyak lagi"
Juragan gula itu sama sekali tidak menjawab.
Tombaknya yang terayun mendatar hampir saja menyambar wajah lawannya Tetapi lawannya sempat
mengelak dan bahkan meloncat memasuki jarak jangkau
senjatanya justru ketika tombak lawannya bergerak
kesamping. Dengan derasnya senjatanya terayun mengarah
kedahi. Tetapi tombak juragan gula itu sempat berputar. Dengan
landeannya juragan gula itu sempat menangkis serangan itu
dan menebas senjata lawannya, menyamping.
Namun pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah
menjadi kehilangan kendali. Dengan mengerahkan tenaga
dan kemampuannya, ia berusaha melibat juragan gula itu
pada jarak yang lebih pendek. Pemimpin peguruan
Susuhing Angin itu berusaha agar tombak lawannya tidak
banyak berarti lagi.
Tetapi juragan gula itu cukup tangkas. Meskipun
pertempuran itu jaraknya semakin rapat, namun tombak
juragan gula itu masih tetap berbahaya. Bukan saja
ujungnya. Tetapi pangkalnyapun merupakan senjata yang
sangat berbahaya pula. Ketika pangkal landean tombak, itu
mengenai pundak pemimpin perguruan Susuhing Angin itu,
maka orang itu meloncat beberapa langkah surut.
Pundaknya terasa menjadi sakit sekali. Bahkan rasa-rasanya
ada tulangnya yang retak.
Namun dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai kepuncak. Ketika ia
mempersiapkan diri untuk bertempur habis-habisan, maka
seakan-akan dari matanya telah membayang warna
kemerah-merahan.
Jari-jarinya yang menggenggam senjatanya telah disaput asap tipis yang berwarna kehitam-
hitaman. Seakan-akan memancarkan warna landasan
ilmunya yang hitam pula.
Juragan gula yang melihat lawannya sampai kepuncak
ilmunya, iapun telah mengerahkan kemampuannya pula.
Kakinya yang merenggang, dan sedikit merendah, pada
lututnya, seakan-akan telah menghujam kedalam bumi.
Pertahanannya, menjadi semakin kokoh sehingga sulit
untuk digoyahkan.
Pada puncak kemampuan masing-masing, maka pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah bertekad
untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan segera.
Membunuh lawannya atau mati.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi
kemudian adalah benar-benar pertempuran antara hidup
dan mati. Pemimpin perguruan Susuhing Angin yang
datang dengan dada tengadah beserta beberapa orang
pengikutnya, tidak mau mengorbankan harga dirinya.
Ketika ia memasuki rumah itu, ia merasa yakin bahwa ia
akan memegang peranan penting dalam perebutan pusaka-
pusaka yang amat mahal harganya itu. Setidak-tidaknya ia
akan dapat menjadi penentu disamping Panembahan
Lebdagati sendiri.
Namun ternyata ia telah mendapat lawan yang berilmu
sangat tinggi, bahkan ditangannya telah tergenggam salah
satu dari pusaka-pusaka yang menurut ciri-cirinya adalah
pusaka yang diperebutkan itu.
Namun betapapun pemimpin dari perguruan Susuhing
Angin itu berusaha, maka juragan gula itu masih saja tetap
mampu mempertahankan dirinya.
Demikianlah, pada tataran tertinggi dari hentakan
ilmunya, maka pemimpin dari perguruan Susuhing Angin
itu telah berloncatan berputaran mengelilingi lawannya.
Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga putaran itu
menjadi bagaikan angin pusaran.
Namun yang ada didalam pusaran itu adalah seorang
yang juga berilmu tinggi. Juragan gula dengan tombak
ditangan justru berdiri diam ditempatnya. Kakinya benar-
benar bagaikan berakar menusuk kedalam bumi. Pusaran
yang mengitarinya itu tidak mampu menggoyahkannya.
Meskipun juragan gula itu seakan-akan justru menunduk
sambil memejamkan matanya, namun ia tahu pasti, dimana
lawannya itu berada. Pusaran yang semakin cepat sehingga
berubah menjadi semacam kabut kelabu yang berputar
sama sekali tidak membingungkannya.
Juragan gula itu tahu pasti, bahwa lawannya yang,
berputar itu mengacukan senjatanya siap menggapai
tubuhnya. Tetapi dengan ketajaman inderanya, maka
juragan gula itu seakan-akan melihat ujung senjata
lawannya yang berputar disekelilingnya itu.
Sejenak ketegangan telah mencekam. Nyi Prawara dan
Winih yang telah bebas dari lawan-lawan mereka melihat
pertempuran itu dengan tegang, sedangkan Manggada dan
Laksana menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Dalam pada itu, juragan gula yang berdiri ditengah-
tengah pusaran sambil menundukkan kepalanya serta
memejamkan matanya itu telah memusatkan nalar budinya
pula. Sekali-sekali saja ujung tombaknya bergerak. Bahkan
sekali-sekali terdengar dentang senjata beradu. Tetapi
Manggada dan Laksana tidak mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Kabut kelabu yang berputar itu memang
menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak melihat jelas
apa yang terjadi. Bahkan menurut penglihatannya dalam
keremangan cahaya oncor dikejauhan, didalam pusaran itu
tidak ada gerak sama sekali.
Namun dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu, tiba-
tiba terdengar juragan gula itu berteriak menghentak
mengatasi segala suara dan hiruk pikuk pertempuran.
Disusul oleh teriakan tertahan. Sementara itu, pusaran yang
melingkari juragan gula itu nampak bergejolak sesaat.
Namun kemudian tubuh pemimpin perguruan Susuhing
Angin itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting
di tanah. Dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit,
sementara juragan gula itu sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Tetapi jantung Manggada dan Laksana bagaikan terhenti
berdetak. Ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin
itu terhuyung-huyung kembali dan akhirnya jatuh terguling.
Sementara itu, juragan gula ini masih berdiri tegak
dengan tombak yang merunduk ditangannya. Ujung
tombak itu menjadi merah oleh darah, sementara itu darah
nampak mengalir dari tubuh lawannya yang terbaring diam.
Tetapi Nyi Prawara itupun kemudian berdesis "Kiai"
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
tegang sejenak. Namun Nyi Prawarapun kemudian berlari
mendekati juragan gula yang kemudian jatuh berlutut pada
sebelah lututnya. Bahkan kemudian ia harus berpegangan
pada landean tombaknya yang menjadi tegak disisinya.
Winihpun hampir saja berlari mendekati pula. Namun
langkahnya tertahan. Ia harus berada dekat dengan
songsong yang masih saja dipegang oleh Laksana itu.
"Kiai Padma" desis Nyi Prawara "Apakah Kiai terluka?"
Juragan gula itu menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak
Nyi. Aku hanya merasa sangat letih setelah aku
menghentakkan segala tenaga dan kemampuanku."
"Mari Kiai, aku bantu Kiai menepi." berkata Nyi
Prawara. "Tidak. Tidak usah Nyi. Aku justru ingin melihat apa
yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang lain." berkata
juragan gula itu.
Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Sementara itu,
juragan gula itu justru telah duduk di tanah, sedangkan Nyi
Prawara berdiri disebelahnya. Nampaknya setelah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada
didalam dirinya, juragan gula itu seakan-akan telah
kehabisan tenaganya.
Nyi Prawara memang tidak segera beranjak dari
tempatnya. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian
juragan gula itu memang menjadi lemah.
Dalam pada itu, selagi Nyi Prawara berdiri disebelah
juragan gula itu, ia memperhatikan pertempuran yang
masih membakar halaman rumah yang besar itu; Saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah itu agaknya sudah dapat
menguasai keadaan. Tetapi Ki Prawara sendiri masih
bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Windu
Kusuma, sedangkan Kiai Gumrah berhadapan langsung
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan saudara seperguruannya yang ternyata telah
berkhianat. Kiai Kajar.
Kiai Windu kusuma yang telah pernah bertempur
melawan Kiai Gumrah tetapi tidak tuntas, harus mengakui
bahwa orang yang mengaku dirinya anak Kiai Gumrah itu
juga berilmu tinggi.
Karena itu, Maka Kiai Windu Kusumapun harus
mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun demikian
orang yang bersenjata tombak itu masih belum dapat
dikuasainya. Nyi Prawara memang menjadi berdebar-debar menyaksikan pertempuran yang masih tersisa. Beberapa
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang telah
menyelesaikan pertempuran dihalaman
itu bergeser perlahan-lahan mendekati arena. Dengan wajah yang
tegang mereka melihat beberapa orang berilmu tinggi masih
terlibat dalam pertempuran.
Namun mereka tidak langsung dapat ikut memasuki
arena, karena hal itu justru akan mengecewakan mereka
yang sedang bertempur itu sendiri. Nampaknya Ki Prawara
ingin menyelesaikan lawannya sendiri. Apapun akibatnya.
Pemimpin dari sekelompok orang yang menjadi landasan
utama untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Sedangkan Kiai
Gumrah yang bertempur melawan Kiai Kajar merupakan
pertempuran diantara saudara seperguruan. Dilingkaran
yang lain, Ki Pandi yang bongkok itupun telah bertempur
dengan sengitnya melawan orang yang sudah lama
diburunya. Dalam keriuhan pertempuran itu, beberapa orang yang
ada dihalaman itu masih juga sempat mendengar aum
harimau diluar dinding halaman. Mereka tidak tahu apa
yang telah terjadi. Namun mereka sempat juga membayangkan beberapa orang yang melarikan diri dari
halaman itu telah bertemu dengan dua ekor harimau diluar
halaman. Sementara itu Buta Ijo dan tiga orang saudara
seperguruannya masih sibuk mengawasi orang-orang yang
telah menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri itu
telah dikumpulkan ditangga pendapa setelah mereka
melepaskan senjata-senjata mereka.
Nyi Prawara yang menyaksikan suaminya masih
bertempur dengan garangnya menjadi sangat tegang.
Bahkan Winih-pun telah mengajak Manggada dan Laksana
lebih mendekat, agar ia dapat melihat apa yang terjadi
dengan ayahnya.
Namun baik Nyi Prawara ataupun Winih yang tahu
benar sifat Ki Prawara, sama sekali tidak berani
mencampuri pertempuran itu.
Dalam ketegangan itu, mereka telah dikejutkan oleh
umpatan kasar Kiai Kajar. Dengan serta merta Kiai Kajar
itu meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi
pundaknya. Ternyata bahwa ujung tombak Kiai Gumrah telah
berhasil menyentuh pundak orang itu.
Kiai Kajar yang merasa jari-jarinya dihangati oleh darah
dipundaknya itu menjadi semakin marah, rasa-rasanya
jantungnya telah membara membakar seisi dadanya.
Namun Kiai Gumrah, saudara seperguruan Kiai Kajar
memiliki landasan ilmu yang sama, sehingga seakan-akan
apa yang akan dilakukan oleh Kiai Kajar, Kiai Gumrah
sudah mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya. Bahkan
tataran ilmu mereka yang maningkat selapis demi selapis
rasa-rasanya selalu membuat keseimbangan, sehingga sulit
untuk menentukan siapakah yang akan menang dan kalah.
Tetapi ditangan Kiai Giimrah tergenggam tombak
pusaka perguruan mereka, yang bahkan telah menyentuh
pundak saudara seperguruannya itu.
Meskipun ditangan Kiai Kajar, juga tergenggam senjata
pilihan, tetapi ternyata melihat pusaka perguruannya
ditangan Kiai ?umrah, ketahanan jiwani Kiai Kajar
tergoyahkan pula. Bagaimanapun juga ada perasaan
bersalah yang menyelinap didalam rongga dadanya karena
ia telah berkhianat dengan memberikan
beberapa keterangan tentang pusaka-pusaka yang nilainya sangat
tinggi itu. Bukan saja sebagai barang warisan, tetapi karena
pusaka-pusaka itu berlapis emas dan permata.
Namun sebenarnya Kiai Kajar telah menjadi kecewa
ketika Panembahan itu menyatakan diri berhak atas pusaka
itu pula. Bahkan panembahan itulah yang akan membuat
pusaka-pusaka itu tetap bertuah dengan mencucinya dengan
darah yang masih mengalir di dalam jantung.
Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Ketika ia
melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin terlempar
jatuh dan tidak bergerak lagi, maka ia justru berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi keinginannya. Jika Panembahan itu dapat dikalahkan pula
oleh lawannya, maka ia akan menjadi orang utama yang
dapat memiliki pusaka-pusaka itu. Saudara-saudara Kiai
Gumrah yang hadir dihalaman itu adalah saudara-saudara
seperguruannya pula. Jika ia mampu mengalahkan Kiai
Gumrah. seorang yang dianggap orang terpenting bersama-
sama dengan dirinya sendiri dan juragan gula itu, maka
saudara-saudara seperguruannya yang lain tentu akan
tunduk pula kepadanya. Juragan gula itu sendiri
nampaknya sudah menjadi sangat letih dan tidak berdaya.
Yang kemudian harus dihancurkan adalah orang yang
mengaku anak Kiai Gumrah itu bersama isterinya dan anak
gadisnya. "Setan" geram Kiai Kajar "mereka juga berilmu tinggi."
Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat hati Kiai
Kajar kadang-kadang menjadi bimbang. Apalagi setiap kali
ujung tombak di tangan Kiai Gumrah itu terayun didepan
matanya. Pengaruh pusaka ditangan lawannya, kebimbangan dan ,
kenyataan yang dihadapinya, membuat perlawanan Kjai
Kajar menjadi semakin goyah. Betapapun Kiai Kajar
berusaha untuk tetap tegar dalam sikapnya, namun peletik
kelemahan. telah mewarnai hatinya pula.
Ternyata kelemahannya itulah yang menentukan akhir
dari perlawanannya. Meskipun Kiai Kajar itu telah
berusaha menghalau kegelisahannya itu dengan teriakan-
teriakan yang menghentak-hentak, namun pertahanannya
menjadi semakin goyah.
Itulah sebabnya ketika kedua saudara seperguruannya itu
sampai kepuncak ilmu mereka, maka kegelisahan dihati
Kiai Kajar itu telah berpengaruh pula.
Baik Kiai Gumrah maupun Kiai Kajar dengan puncak
ilmunya, justru tidak lagi meloncat-loncat dan berputaran.
Mereka berhadapan dengan senjata mereka yang merunduk. Serangan-serangan yang mereka lakukan tidak
lagi menghentak-hentak susul menyusul
Pertempuran itu memang nampak menjadi semakin
lamban. Tetapi ketika senjata mereka beradu, maka bunga
api telah berloncatan ke udara.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu mengerti,
betapa besarnya tenaga mereka masing-masing. Saudara-
saudara seperguruan mereka yang sempat menyaksikan
pertempuran itu menjadi sangat tegang.
Bahkan jantung mereka terasa semakin cepat berdenyut
ketika terdengar Kiai Kajar berteriak nyaring sambil
meng:ayunkan senjatanya langsung mengarah ke kening
Kiai Gumrah. Mereka melihat dan merasakan getar
kekuatan tertinggi dari puncak ilmu perguruan mereka.
Kiai Gumrahpun menyadari bahwa Kiai Kajar ingin
dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Karena itu,
maka iapun telah berada dipuncak kemampuannya pula.
Ketika ayunan senjata Ki Kajar itu menyambar dengan,
kekuatan yang sangar besar. Maka. Kiai Gumrah tidak
berusaha untuk menangkisnya. Meskipun ia percaya akan
kekuatan landean tombaknya, namun tenaga Kiai Kajar
yang disertai dengan landasan ilmunya mungkin akan dapat
mematahkan landean tombak yang terbuat dari kayu yang
dihiasi dengan lapisan emas dan permata. Karena itu, pada
saat yang tepat, Kiai Gumrah telah bergeser selangkah,
sehingga serangan yang dahsyat itu tidak mengenainya.
Tetapi Kiai Kiajarpun melihat sikap itu. Dengan cepat,
senjatanya yang terayun itu berputar. Untuk mengimbangi
perubahan gerak senjatanya, Kiai Kajar telah bergeser
kesamping. Tetapi jantungnya bergetar ketika ia melihat ujung
tombak itu dengan cepat bergetar didepan dadanya. Ujung
tombak yang dihormatinya sejak ia berada diperguruannya,
karena tombak itu adalah salah satu diantara lambang
kebesaran guru dan perguruannya.
Waktu yang sekejap itu ternyata telah menentukan. Pada
saat ia bergeser kesamping itulah, maka ujung tombak itu
tidak sekedar bergetar didepan dadanya. Tetapi ujung
tombak itu telah mematuk dadanya.
Terdengar Kiai Kajar itu berteriak nyaring. Namun
ketika Kiai Gumrah menarik tombaknya, maka Kia i Kajar
itu-pun terhuyung-huyung sejenak. Darah memancar dari
lukanya, sehingga membasahi pakaiannya.
Tanpa dikehendakinya, maka senjata Kiai Kajar itu telah
terlepas dari tangannya dan jatuh ditanah.
Beberapa orang saudara seperguruannya yang menyaksikan menahan nafas sejenak. Ketika mereka
melihat Kiai Kajar itu tidak lagi mampu menguasai
keseimbangannya, maka merekapun segera berloncatan
membantu menahan agar Kiai Kajar tidak jatuh terbanting
ditanah Namun, Kiai Kajar memang sudah tidak berdaya. Darah
bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya, sehingga karena
itu, maka saudara-saudara
seperguruannya telah membaringkannya perlahan-lahan.
Kiai Gumrah sendiri berdiri termangu-mangu. Diluar
sadarnya ia memperhatikan tombaknya yang basah oleh
darah segar yang masih mengalir di jantung.
"Tidak" berkata Kiai Gumrah dalam hatinya. "Aku sama
sekali tidak ingin mencuci ujung tombak ini dengan darah
yang masih mengalir di Jahtung."
Sambil menarik nafas panjang, Kiai Gumrah itu
melangkah mendekati Kiai Kajar yang terbaring dikerumuni oleh beberapa saudara seperguruannya.
Tetapi mereka terkejut ketika mendengar teriakan
nyaring yang menggetarkan halaman dan bahkan rumah
yang besar itu. Bukan sekedar teriakan marah. Tetapi
hentakan ilmu yang sangat dahsyat yang dilontarkan
Panembahan Lebdagati.
Akibatnya memang luar biasa. Beberapa orang yang
terluka, yang masih
mungkin untuk mendapatkan penyembuhan, telah menggeliat dan jantungnyapun segera
berhenti berdetak. Bahkan Kiai Kajar yang terluka parah itu
telah menjadi semakin parah. Satu kalimat masih
terucapkan "Saudara-saudaraku. Aku minta maaf atas
kekhilafanku."
"Kiai Kajar" seorang dari saudara seperguruannya itu
meraba tangannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya.
Ketika yang lain meletakkan telinganya didada. maka nafas
Kiai Kajar telah berhenti.
Dalam pada itu, selagi seluruh perhatian seakan-akan
tertumpah pada tubuh Kiai Kajar, maka terdengar Ki Pandi
yang bongkok berteriak nyaring dengan suara wajarnya
"Jangan lari."
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang berpaling. Sementara Ki Pandi melenting
berlari mengejar Panembahan Lebdagati yang bagaikan
terbang meloncati dinding halaman. Namun merekapun
melihat bayangan berikutnya menyusul. Ki Pandi.
Diluar dinding terdengar aum kedua ekor harimau Ki
Pandi. Tetapi suaranya tidak lagi dekat dibalik dinding.
Bahkan ketika suara itu terdengar lagi, rasa-rasanya suara
itu sudah menjadi semakin jauh.
Tidak seorangpun yang sempat membantu Ki Pandi
menghentikan orang itu. Panembahan Lebdagati yang
memang sejak semula tidak dapat mengalahkan Ki Pandi,
ternyata telah gagal lagi. Apalagi ketika ia melihat beberapa
orang yang berdiri dipihaknya telah berjatuhan. Demikian
pula orang-orang yang datang dari berbagai perguruan
itupun telah tidak berdaya lagi.
.Panembahan Lebdagati agaknya merasa tidak akan
banyak berarti jika ia mempergunakan ilmu pamungkasnya,
karena Ki Pandi tentu akan dapat mengimbanginya.
Sehingga karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka lebih
baik ia meninggalkan neraka yang sangat menyakitkan.
Dihalaman rumah itu ternyata telah berkumpul orang-orang
berilmu tinggi yang berusaha mempertahankan pusaka-
pusaka yang dingini-nya itu. Satu kekuatan yang
sebenarnya diiuar dugaannya.
Sepeninggal Panembahan
dan Ki Pandi, maka pertempuran yang tersisa tidak banyak berarti lagi.
Meskipun demikian, Kiai Windu Kusuma yang masih
bertempur melawan Ki Prawara tetap tidak mau menyerah.
Kiai Gumrahlah yang kemudian sambil memegangi
tombaknya melangkah mendekat. Dengan suara yang
bergetar Kiai Gumrah itupun berkata "Kiai Windu
Kusuma. Sebaiknya kau menyerah saja. Kau sudah tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk mempertahankan diri.
Bukan saja karena kau tidak akan dapat mengalahkan
Prawara, tetapi kau sudah dikelilingi lawan-lawanmu.
Kawan-kawanmu telah terbunuh kecuali Panembahan yang
licik itu. Tetapi iapun akan segera dapat dibinasakan oleh
Ki Pandi dan harimau-harimaunya."
"Persetan kau Gumrah. Jika kau takut orang ini mati,
lakukan apa yang ingin kau lakukan." geram Kiai Windu
Kusuma. Bahkan katanya kemudian "Jika kalian merasa
perlu untuk meramai-ramai mengeroyokku, aku sama sekali
tidak akan gentar."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
Kiai Windu Kusuma Justru menyerang Ki Prawara dengan
garangnya. Kerisnya yang besar itu berputaran dan
menggapai-gapai dada lawannya. Sambil meloncat maju
Kiai Windu Kusuma mengayunkan kerisnya kemudian
menusuk kearab lambung.
Dengan tangkas Ki Prawara mengimbangi kecepatan
gerak lawannya. Namun KL Prawarapun melihat betapa
Kiai Windu Kusuma menjadi kehilangan pengamatan diri.
Sekali-sekali oleh cahaya oncor yang lemah, Ki Prawara
sempat melihat sorot mata Kiai Windu Kusuma yang
menjadi liar. "Ki Sanak" berkata Ki Prawara kemudian sambil
meloncat mundur. Namun ketika Kiai Windu Kusuma
akan memburunya sambil mengayunkan kerisnya, maka
ujung tombak Ki Prawara telah merunduk tepat diarah
dada. Tetapi Ki Prawara menjadi ragu-ragu untuk
mendorong tombaknya menghujam kedada Kiai Windu
Kusuma yang nampaknya telah berputus asa itu. Bahkan Ki
Prawara telah meloncat selangkah mundur sambil berkata
"Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak."
Tetapi Kiai Windu Kusuma tertawa. Katanya "Kenapa
kau tidak menusuk jantungku " Ki Sanak, Apakah kau tidak
berani melihat darah atau kau sengaja menghina aku?"
"Menyerahlah" berkata Ki Prawara "apakah artinya
pertempuran ini " Seandainya salah seorang dari kita mati,
tidak akan menimbulkan perubahan apapun juga. Pusaka-
pusaka itu masih akan tetap ditangan Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya. Rumah ini akan tetap saja
hancur dan orang-orang yang telah terbunuh tidak akan
bangkit kembali."
"Persetan" teriak Kiai Windu Kusuma sambil meloncat
menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Prawara sempat mengelak. Sementara itu Kiai
Gumrah telah melangkah semakin dekat sambil, berkata
"Berhentilah."
"Setan tua kau Gumrah. Jika kau akan ikut, ikutlah."
teriak Kiai Windu Kusuma.
"Kau tidak boleh menjadi kehilangan akal, Kiai. Kita
masih mempunyai mulut untuk berbicara." Kiai Gumrah
hampir berteriak.
Namun yang tidak terduga telah dilakukan Kiai Windu
Kusuma. Ketika Kiai Gumrah berdiri tidak terlalu jaun dari
arena untuk mencoba melerai pertempuran itu, tiba-tiba
saja Kiai Windu Kusuma telah meloncat meninggalkan Ki
Prawara justru menyerang orang tua itu.
Yang menyaksikan serangan itu memang terkejut. Nyi
Prawara justru sempat berteriak "Ayah."
Kiai Gumrah juga menjadi terkejut sekali. Justru karena
itu, maka ia tidak dapat mengendalikan nalurinya untuk
menyelamatkan diri. Karena itu, ketika ia melihat Kiai
Windu Kusuma meloncat sambil mengayunkan kerisnya
dengan membabi buta, maka Kiai Gumrah telah
mengangkat ujung tombaknya. Bahkan Kiai Gumrah tidak
sempat mengekang tangannya yang mendorong ujung
tombak itu menghujam kedalam dada Kiai Windu Kusuma.
Apa yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Prawara
ternyata terpaksa dilakukan Kiai Gumrah.
Terdengar Kiai Windu Kusuma berteriak nyaring.
Namun suaranya kemudian
bagaikan menggantung diawan. Semakin tinggi, semakin
tinggi, sehingga
bersamaan dengan tubuhnya yang terguling jatuh ditanah
setelah Kiai Gumrah menarik ujung tombaknya dengan
tangan yang gemetar, maka suara Kiai Windu Kusuma
itupun menjadi semakin lambai. Yang terdengar kemudian
adalah umpatannya yang terakhir "Kau memang iblis,
Gumrah." Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun ia berdiri
temangu-mangu memandang tubuh yang terbaring diam
itu. "Aku tidak dapat berbuat lain " desis Kiai Gumrah yang
menyesal bahwa orang terakhir itu harus dibunuhnya pula.
Ki Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa
boleh buat."
"Aku terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu" desis
Kiai Gumrah. "Ya" Juragan gula yang sudah mendapatkan kekuatannya kembali setelah beberapa saat ia mengalami
keletihan itu menyahut "kami tidak dapat menyalahkan
kau, Kiai."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dipandanginya
ujung tombaknya yang telah dibasahi lagi dengan darah
yang masih mengalir di jantung diluar kehendaknya sendiri.
Demikian, sesaat kemudian orang-orang berilmu tinggi
itupun telah berkumpul. Kiai Gumrah minta agar saudara-
saudara seperguruannya mengumpulkan sisa orang-orang
dari beberapa perguruan yang ada dihalaman itu yang telah
menyerah dan yang masih sanggup untuk berjalan ke depan
tangga pendapa rumah Kiai Windu Kusuma. Selain itu
maka semua saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrahpun
telah diminta berkumpul pula. Yang terluka parah, telah
dibantu oleh saudara-saudaranya berkumpul dipendapa.
Kiai Gumrah harus meyakinkan keadaan semuanya.
Tiga batang tombak dan songsong milik Kiai Gumrah
dan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah
berkumpul dipendapa itu pula.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu
terkejut ketika terdengar pintu pringgitan terbuka. Ketika
mereka berpaling dilihatnya seorang yang muncul dari balik
pintu pringgitan itu.
Beberapa orang serentak bangkit berdiri dengan senjata
terhunus menghadap orang yang melangkah memasuki
pringgitan dari ruang dalam itu.
Tetapi Kiai Gumrahlah yang kemudian mendekatinya.
Dibawah cahaya lampu dipendapa itu. Kiai Gumrah
melihat, bahwa yang datang itu adalah Kundala.
"Kau Kundala" desis Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai" sahut orang itu.
"Dimana kau selama pertempuran berlangsung?"
hartanya Kiai Gumrah.
"Aku berada diatas langit-langit diruang dalam. Aku
tidak tahu harus berbuat apa." jawab Kundala.
"Marilah, duduklah. Kita akan berbicara." berkata Kiai
Gumrah kemudian.
Kundalapun kemudian duduk dipendapa bersama Kiai
Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sementara
itu suasana dihalaman rumah yang luas itu terasa sangat
mencengkam. Disana-sini tergolek tubuh yang berdarah.
Diantara mereka masih terdengar ada yang sedang
mengerang kesakitan.
Karena itu, maka Kia i Gumrah- yang duduk dipendapa
itupun kemudian berkata kepada saudara-saudara
seperguruannya.
"Sebaiknya kita berbuat sesuatu atas mereka yang
terluka. Bukan saudara-saudara kita saja yang akan
mendapat perawatan, tetapi semuanya sejauh kita dapat
melakukan. Karena itu kita dapat minta bantuan mereka
yang telah menyerah, untuk mengumpulkan kawan-
kawannya serta membantu merawat mereka. Namun kita
harus mengawasi pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya."
Dengan demikian, maka beberapa orang saudara
seperguruan Kiai Gumrahpun
segera bangkit dan melangkah turun tangga pendapa, mendekati orang-orang
yang telah menyerah, yang ada dihalaman rumah itu.
Dengan pengawasan saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah, maka orang-orang yang menyerah itu mendapat
tugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang
terluka dan yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Sementara itu langit menjadi merah oleh cahaya fajar,
Regol halaman yang sudah terbuka itu justru ditutup
kembali. Meskipun rumah itu tempatnya terpisah dari
padukuhan-padukuhan,
namun mereka harus tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan akan ada orang
lain yang melihat apa yang telah terjadi dihalaman rumah
yang luas yang menurut penglihatan
orang-orang padukuhan regolnya selalu tertutup.
Namun disamping mereka yang terbaring dihalaman,
ternyata ketika salah seorang saudara seperguruan Kiai
Gumrah membawa dua orang yang sudah menyerah itu
keluar regol, mereka telah menemukan dua sosok tubuh
yang agaknya telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau
Ki Pandi. Agaknya kedua orang itu berusaha untuk
melarikan diri dengan meloncati dinding, namun harimau
Ki Pandi itu sempat melihatnya dan kemudian menerkamnya. Pekerjaan itu belum selesai sampai saatnva matahari
terbit. Sementara itu, Kiai Gumrah, juragan gula, Ki Prawara
yang duduk dipendapa bersama Kundala tengah mengadakan pembicaraan tersendiri. Disisi lain Nyi
Prawara, Winih, Manggada dan Laksana Nampak
termenung merenungi pengalaman yang sangat berkesan
dihati mereka. Mereka mengucap sokur dalam hati, bahwa
mereka masih mendapat perlindungan dari Yang Maha
Agung, sehingga mereka selamat dari bencana yang telah
mencengkam seisi rumah dan halamannya itu.
Manggada dari Laksana yang sejak semula sudah merasa
dirinya kecil, maka mereka merasa menjadi semakin kecil.
Keduanya sama sekali tidak dapat ikut berbuat, sesuatu
ketika terjadi pertempuran yang menentukan, justru di
lingkungan kekuasaan lawan yang jumlahnya jauh lebih
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar dari jumlah saudara-saudara seperguruan Kiai.
Gumrah. . . . Namun Nyi Prawara tidak dapat terlalu lama
beristirahat. Bersama dua orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang lain, maka Nyi Prawarapun telah membantu
merawat saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Bahkan sejauh jangkauan mereka, mereka juga berusaha
menolong para pengikut dari mereka yang ingin merampas
pusaka-pusaka itu dari tangan Kiai Gumrah dan saudara-
saudara seperguruannya, setelah mereka dikumpulkan di
pendapa. Dalam pada itu, Kia i Gumrah yang secara khusus
berbicara dengan Kundala, telah menanyakan kepadanya,
apakah Kundala bersedia untuk mengambil alih pimpinan
dirumah itu. "Aku tidak yakin, bahwa orang-orang yang tersisa itu
akan bersedia menerima aku" berkata Kundala.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Meskipun Kiai Windu Kusuma sampai saat terakhir
masih belum mengetahui, bahwa aku telah mengkhianatinya, namun
kepercayaan Kiai Windu
Kusuma kepadaku sudah jauh menyusut. Bukan karena ia
mencurigai aku bahwa aku tidak setia, tetapi kemampuanku
dianggap kurang memadai."
"Tetapi sebagaimana kau lihat, tidak ada orang iain lagi
di rumah yang besar ini. Kecuali itu, maka kami akan selalu
membantumu jika terjadi sesuatu dirumah ini."
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia
memandang berkeliling. Ia sempat melihat orang-orang
yang tinggal dirumah itu seakan-akan telah kehilangan
dirinya. Yang nampak hanya ujud-ujud kewadagannya saja.
Tidak lagi membayangkan keperkasaan mereka. Apalagi
mereka yang terluka, terbaring sambil menahan desah
kesakitan, sementara. yang menyerah dalam keadaan yang
utuh dan sedang mengumpulkan orang-orang yang terluka,
tidak lagi berani mengangkat wajah mereka. Sedangkan
yang mengawasi mereka hanyalah beberapa orang yang
jumlahnya jauh lebih kecil.
"Jika kau bersedia, Kundala, maka aku akan berbicara
dengan orang-orang itu. Sudah tentu bahwa kami tidak
akan tinggal disini untuk selanjutnya. Mungkin hari ini
kami masih akan berada disini. Tetapi mungkin pula besok
kami sudah akan pergi.
Kundala ternyata ragu-ragu. Namun Kiai Gumrah,
juragan gula dan Ki Prawara telah membesarkan hatinya.
Dengan nada rendah Ki Prawara berkata "Kundala,
orang-orang itu telah kehilangan keberanian untuk berbuat
sesuatu. Bahkan untuk bersikap didalam hatipun seperti itu,
harus tampil seseorang. Kundala, jika kau ingin melahirkan,
perubahan tata kehidupan dilingkungan mereka, sekarang
adalah waktunya Jangan beri kesempatan mereka untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kau harus
mengajukan satu ujud tatanan kehidupan yang masuk akal
dan dapat mereka cerna dengan panalaran. Pada
kesempatan ini kau dapat menawarkan poia masa depan
yang penuh harapan bagi mereka."
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Sementara juragan
gula itu berkata pula "Kau satu-satunya pilihan kami.
Bagaimanapun juga kami masih melihat, bahwa kau masih
sempat berpaling pada hati nuranimu justru disaat yang
paling gawat."
Kundala menundukkan kepalanya. Namun akhirnya ia
berdesis "Aku akan mencobanya."
"Bagus" berkata Kiai Gumrah "aku akan berbicara nanti
dengan orang-orang yang masih tertinggal disini darimanapun mereka datang."
"Tetapi bagaimana dengan Panembahan yang sempat
melarikan diri itu" " bertanya Kundala.
"Ia tidak akan banyak mendapat kesempatan" berkata
Kiai Gumrah "orang bongkok itu tentu akan selalu
membayanginya."
Kundala mengerutkan dahinya. Namun Kiai Gumrah
sempat menjelaskan, bahwa Ki Pandi agaknya tidak akan
pernah melepaskan
orang yang menyebut dirinya
Panembahan itu.
"Jika Panembahan itu pada suatu saat datang kemari,
maka Ki Pandipun tentu akan datang pula kemari," berkata
Kiai Gumrah. Kundala mengangguk-angguk sambil berdesis "Semoga
aku dapat memikul beban ini. Kiai."
"Kau akan dapat melakukannya. Bukankah kami tidak
berada terlalu jauh dari tempat ini?"
Kundala mengangguk sambil menjawab "Terima kasih
Kiai. Mudah-mudahan kami akan dapat mulai dengan satu
bentuk kehidupan baru. Tentu saja yang lebih baik dari
masa yang lalu."
"Kalian harus berani memasuki satu tatanan yang
barangkali sangat berbeda dengan tatanan kehidupan yang
pernah kalian jalani sebelumnya. Tetapi dengan satu
keyakinan, bahwa kalian akan dapat melakukannya."
berkata juragan gula itu.
Kundala tidak menjawab. Namun matanya menerawang
jauh meloncati dinding halaman rumah yang besar itu.
Hari itu, dirumah itu telah dilakukan satu kesibukan
yang luar biasa. Semua orang telah dikerahkan untuk
memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan
perawatan. Bahkan Nyi Prawara rasa-rasanya tidak sempat
lagi untuk beristirahat.
Namun hari itu juga telah digali lubang-lubang kubur
jauh dibagian belakang kebun yang paling jauh dari rumah
yang besar dan berhalaman luas itu.
Hal itu terpaksa dilakukan karena Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya tidak ingin menarik
perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat
dari rumah itu. Jika mereka membawa tubuh-tubuh orang
yang terbunuh di halaman itu ke kuburan, maka tentu akan
mengundang banyak sekali pertanyaan.
Sementara itu, Kundala telah memerintahkan beberapa
orang perempuan yang memang terbiasa bekerja didapur
untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi perempuan-
perempuan itu, tidak dapat menolak. Mereka harus keluar
dari persembunyian mereka didalam rumah yang besar itu
dan masuk kedalam dapur yang luas. Sedangkan persediaan
bahan makanan dirumah itu cukup banyak dan akan
mencukupi untuk waktu yang panjang.
Tetapi perempuan-perempuan lain, yang tidak termasuk
perempuan baik-baik dan bukan pula perempuan yang
sehari-harinya memang dipekerjakan dirumah itu telah
dikumpulkan disatu ruang yang khusus. Kundala memang
berniat untuk menyingkirkan mereka dari rumah itu.
Atas desakan Kiai Gumrah, maka para penghuni rumah
itu yang tersisa dan menyerah, telah menerima Kundala
memimpin mereka. Meskipun Kundala bukan termasuk
salah seorang pemimpin yang tataran ilmunya sejajar
dengan Kiai Windu Kusuma, namun ternyata Kundala
mempunyai kekuatan yang lain. Sebagaimana dikatakan
oleh Kiai Gumrah, maka kesempatan itu memang
dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberikan pola
kehidupan yang baru bagi orang-orang yang tersisa di
rumah itu. Kiai Gumrah ternyata berada dirumah itu tidak hanya
sehari. Bersama dengan saudara-saudara seperguruannya,
mereka diminta untuk tinggal dua tiga hari lagi sampai
keadaan menjadi tenang. Goncangan yang terjadi benar-
benar telah menikam kedalam setiap jantung dari para
penghuni rumah itu.
Ternyata tawaran Kundala tentang pola tatanan
kehidupan yang baru telah menarik perhatian para
penghuni rumah itu yang tersisa. Apalagi Kundala telah
menunjuk sawah, ladang dan pategalan yang sangat luas,
milik Kiai Windu Kusuma yang akan dapat menjadi ladang
kehidupan mereka kemudian selain usaha lain dengan cara
yang lebih baik dari cara yang pernah mereka tempuh.
Dalam waktu tiga hari, maka keadaan rumah itu telah
mulai tenang kembali. Meskipun disana-sini masih
terbaring orang-orang yang lukanya, terhitung parah.
Bahkan ada diantara. mereka yang terpaksa menyusul
kawan-kawannya yang tubuhnya telah terbaring di kebun
belakang dari rumah yang besar itu.
Selama, berada di rumah itu, Manggada dan Laksana
setiap kali diajak Winih untuk ikut mengawasi perempuan-
perempuan yang bekerja didapur. Namun agaknya tugas itu
tidak begitu menyenangkan bagi Manggada dan Laksana.
Hanya karena Winih yang mengajak mereka, maka mereka
tidak menolak. Apalagi keduanya memang tidak tahu, apa
yang sebaiknya mereka lakukan dirumah itu.
Tetapi ketika keadaan menjadi semakin tenang, serta
tatanan baru mulai disusun oleh Kundala dan dua orang
yang ditunjuknya, maka Manggada dan Laksana merasa
bahwa kehadiran mereka sama sekali sudah tidak
diperlukan lagi. Karena itu, maka keduanya telah mulai
membicarakan kepentingan mereka sendiri.
"Kapan kita akan meneruskan perjalanan kita?" bertanya
Manggada. Laksana mengangguk kecil. Katanya "Kita memang
tidak diperlukan lagi disini."
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan kakek." desis
Manggada kemudian.
"Kakek siapa?" bertanya Laksana.
Manggada tersenyum. Tetapi ia masih juga bertanya
"Apakah kau akan berbicara juga dengan Winih" "
"Ah kau. Winih memang cantik. Tetapi ia terlalu
garang." Keduanya tertawa. Sementara Manggada berkata "Kita
menunggu sampai Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya meninggalkan rumah ini, tetapi kita
langsung melanjutkan perjalanan kita yang tertunda-tunda."
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ternyata
sampai saat terakhir kita tetap tidak mengetahui dengan
pasti, siapakah orang-orang yang setiap hari ada disekeliling
kita. Kita juga tidak tahu pasti tentang pusaka-pusaka yang
disimpan oleh Kiai Gumrah."
"Ya. Kita telah melihat satu dunia yang seakan-akan
dibatasi oleh tabir yang tipis. Kita memang dapat melihat
tembus, tetapi tidak jelas" umam Manggada.
Namun di malam hari, ketika Kiai Gumrah dan saudara-
saudara perguruannya duduk dipendapa membicarakan
rencana mereka meninggalkan rumah itu, telah dikejutkan
oleh kehadiran Ki Pandir. Kiai Gumrah dan saudara-
saudara seperguruannya mengira bahwa Ki Pandi tidak
akan secepat itu, datang kembali mengunjungi mereka.
Kiai Gumrahpun kemudian mempersilahkan Ki Pandi
untuk duduk bersama mereka di pendapa.
Dengan singkat Ki Pandi menceriterakan bahwa ia tidak
berhasil menemukan Panembahan Lebdagati malam itu.
Namun Ki Pandipun berkata "Tetapi aku yakin, bahwa aku
akan dapat membayanginya di hari-hari mendatang.
Panggraitaku akan dapat menjadi penunjuk yang dapat
dipercaya untuk membayangi Panembahan itu."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk: Katanya "Kami
berharap demikian, agar Panembahan itu tidak akan
mengacaukan pola tatanan kehidupan baru yang sedang
disusun dirumah ini."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Aku bersukur
bahwa goncangan dirumah ini telah dapat menumbuhkan
sesuatu yang berarti. Jika orang-orang yang tersisa itu dapat
menemukan jalan yang baru itu adalah karena kalian telah
melakukan sesuatu yang bukan saja berarti bagi kalian
sendiri. Ternyata akibatnya bukan sekedar mempertahankan pusaka-pusaka itu, tetapi satu perubahan
sikap hidup bagi banyak orang."
"Kita memang harus mensukurinya, Ki Pandi."
"Itulah sebabnya aku datang kembali. Ketika aku
meninggalkan rumah ini, aku belum sempat mengucapkan
selamat atas keberhasilan kalian." berkata Ki Pandi.
"Tetapi itu juga karena bantuan Ki Pandi. Bukan hanya
saat kami datang kerumah ini, tetapi juga sejak jauh
sebelumnya. Tanpa kehadiran kedua ekor harimau itu,
maka sulit bagi kami untuk mempertahankan pusaka-
pusaka itu dirumahku sebelum saudara-saudaraku
berkumpul"
Ki Pandi menggeleng.
Katanya "Tidak. Kalian
mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan
pusaka itu saat ini."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Pandi berkata
selanjutnya "Tidak ada seorangpun, bahkan sekelompok
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-pun yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu
dari kalian sekarang, selagi kalian masih lengkap atau
setidak-tidaknya sebagian besar dari kalian."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
mulai merenungi kata-kata Ki Pandi yang berkata
seterusnya "Tetapi aku yakin, bahwa tidak selamanya
kalian dapat berkumpul seperti ini. Sebagaimana berlaku
bagi setiap yang hidup, maka satu demi satu kalian tentu
akan pergi. Hingga pada suatu saat, maka pusaka-pusaka
itu tidak akan ada lagi yang dapat mempertahankannya jika
seseorang atau sekelompok orang
berusaha untuk memilikinya. Bahkan mungkin sekelompok orang yang
bermaksud buruk. Apakah karena pusaka-pusaka itu
dianggap bertuah atau karena pusaka-pusaka itu dibalut
dengan bahan yang sangat mahal."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
meraba arah bicara Ki Pandi yang bongkok itu. Dengan
nada dalam ia berkata "Jadi, menurut Ki Pandi, apa yang
sebaiknya kami lakukan?"
"Kiai" sahut Ki Pandi "menurut penglihatanku, kalian
yang mempertahankan pusaka-pusaka itu rata-rata sudah
seumur dengan aku. Berapa tahun lagi kalian masih dapat
bertahan. Lima tahun, atau sepuluh tahun atau berapa"
Kalian sekarang dapat berbangga atas keutuhan kalian
sebagai saudara-saudara seperguruan. Seakan-akan tidak
akan ada kekuatan yang dapat memecahkan hubungan
kalian yang satu dengan yang lain. Tetapi kalian tidak
sempat memikirkan, bahwa saat itu akan datang juga. Satu
demi satu kalian akan tidak ada lagi."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
mulai mengerutkan kening mereka. Kata-kata Ki Pandi itu.
mulai menyentuh jantung mereka.
"Kiai" berkata Ki Pandi kemudian "yang ingin aku
tanyakan kepada Kiai dan saudara-saudara seperguruan
Kiai, a pakah Kiai pernah memikirkan, sia pakah yang akan
meneruskan tugas Kiai menjaga pusaka-pusaka warisan
yang nilainya sangat tinggi itu" Kiai tentu tidak akan dapat
selalu berbangga karena Kiai dan saudara-saudara
seperguruan Kiai masih mampu mempertahankannya. Kiai,
coba marilah kita lihat, yang umurnya masih terhitung
muda disini hanyalah anak, menantu dan seorang cucu
Kiai. Tetapi apakah mereka kemudian akan mampu
melindungi pusaka-pusaka itu sebagaimana Kiai dan
saudara-saudara seperguruan Kiai sekarang ini?"
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata "Aku mengerti Ki Pandi. Pertanyaan Kiai
telah membuka Hati kami."
"Nah" berkata Ki Pandi selanjutnya "nampaknya masih
ada waktu. Kalian harus menyusun kekuatan untuk
meneruskan tugas kalian menjaga pusaka pusaka itu. Satu
angkatan penerus yang setidak-tidaknya
memiliki kemampuan sebagaimana kalian yang sudah tua-tua itu."
"Aku mengerti Ki Pandi" Kiai Gumrah masih
mengangguk-angguk "selama ini kami memang terlalu
berbangga akan diri kami sendiri. Kami memang merasa
bahwa kami merupakan satu kekuatan yang sulit untuk
dapat ditundukkan. Tetapi kami memang melupakan masa
depan sebagaimana yang Ki Pandi katakan."
"Kiai. Aku sangat kagum melihat kemampuan gadis
cucu Kiai itu. Dengan demikian maka akan mempunyai
gambaran, bahwa kalian akan dapat menyusun satu
angkatan penerus sebagaimana Winih yang telah ditempa
menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi. Meskipun pengalamannya masih belum terlalu
banyak, tetapi agaknya penalarannya lebih banyak
membantu nya."
"Nah, Kiai" berkata Ki Pandi pula "Kiai dan saudara-
saudara seperguruan Kiai harus segera mulai."
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandangi saudara-saudara seperguruannya
yang duduk disekitarnya sambil berkata "Bagaimana
pendapat kalian?"
Juragan gula itulah yang menyahut "Aku sependapat
dengan Ki Pandi. Selama ini kita memang terlalu berbangga
akan diri kita sendiri. Bahkan sampai hari ini. Kita
berbangga bahwa kita dapat mempertahankan pusaka-
pusaka warisan serta lambang dari perguruan kita. Sehingga
kita tenggelam dalam kebanggaan ifu. Tetapi kita memang
tidak dapat berpikir bagaimana yang akan terjadi jika lima
tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, keadaan seperti ini akan
terulang. Sementara, orang lain menyusun kekuatan untuk
mulai dengan langkah-langkah baru."
Orang yang selalu-menyebut dirinya berilmu tinggi itu-
pun berkata sambil mengusap-usap lukanya yang masih
terasa pedih "Ya. Kita sekarang mampu melawan orang
yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kita. Kita
dapat mengurangi jumlah mereka seorang demi seorang
dengan cara kita. Namun suatu saat, jumlah kitalah yang
akan dikurangi seorang demi seorang."
Seorang yang lainpun berkata "Apakah kita dapat
menghentikan laju umur kita yang memanjat dari tahun
ketahun?" Kiai Gumrah tersenyum. Katanya sambil mengangguk-
angguk "Ya. Kita lupakan masa depan kita." Tetapi
suaranya kemudian meninggi "Saudara-saudaraku. Aku
sendiri telah menyiapkan pilar penyangga masa depan itu.
Aku punya Prawara, isterinya dan cucu-cucuku. Nah,
bagaimana depgan kalian?"
Buta Ijo itu bergumam hampir kepada dirinya sendiri
"Cucu-cucumu. Berapa jumlah cucumu?"
"Tiga" jawab Kiai Gumrah "seorang perempuan dan dua
orang laki-laki."
Tiba-tiba saja semua orang berpaling kepada Manggada
dan Laksana. Sementara Manggada dan Laksana sendiri
menjadi bingung. Namun Kiai Gumrah itupun berkata
"Sebenarnya aku memang pernah berbicara tentang
pendukung masa depan. Aku juga pernah berbicara dengan
kedua cucu laki-lakiku itu. Sekarang aku ingin menegaskan,
bahwa keduanya akan termasuk menjadi penerus dari
perguruan kita."
Manggada dan Laksana menjadi bingung. Sementara
Kiai Gumrah itupun berkata kepada saudara-saudara
seperguruannya "Tetapi sudah tentu bahwa kalian juga
berkewajiban untuk menyiapkannya. Mungkin anak atau
cucu kalian masing-masing. Suatu ketika mereka akan kita
kumpulkan agar mereka saling mengenal sehingga mereka
akan terikat dalam satu lingkaran persaudaraan sebagaimana kita sendiri."
"Baiklah" berkata Kiai Padma yang lebih dikenal sebagai
juragan gula itu "Aku juga berjanji akan ikut mendukung;
masa depan itu dengan menyiapkan penerus yang akan
menjadi pengawal bagi masa depan. Tanpa mereka kita
memang tidak berarti apa-apa. Apa yang kita pertahankan
dengan penuh kebanggaan sekarang ini, tidak lebih dari satu
mimpi buruk."
Seorang yang lebih banyak mengantuk itupun berkata
"Kita terlalu asyik dengan kebanggaan kita sendiri. He,
bagaimana jika ada diantara kita tidak mempunyai anak
seperti orang berkumis tidak rata itu."
"Siapa bilang" jawab orang yang disebut berkumis tidak
rata "aku mempunyai lebih dari selusin anak meskipun anak
tetangga. Tetapi aku dapat memilih yang terbaik diantara
mereka." "Baiklah" bakata Kiai Gumrah "hari ini kita berjanji
untuk segera mulai dengan mempersiapkan masa depan
itu" Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana menjadi
gelisah. Mereka tidak akan dapat terikat dengan rencana
itu, dengan memaksa diri Manggada berkata "Kiai. Kami
berdua mohon maaf. Kecuali kami berdua merasa sama
sekali tidak berarti disini. kamipun masih mempunyai
kepentingan yang lain. Sejak kami meninggalkan rumah
paman, kami belum pernah sampai kerumah ayah. Jika
suatu hari paman berkunjung kerumah ayah dan kami
belum ada dirumah, maka ayah tentu akan menjadi
gelisah." Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Katanya "Bukankah
kalian sudah menyatakan keinginan kalian untuk tinggal
bersama kami?"
"Waktu itu memang demikian" jawab Manggada "tetapi
betapa bodohnya kami, bahwa kami merasa akan dapat
membantu Kiai."
"Pada suatu hari kau akan kami antar pulang dan
sekaligus minta kepada orang tua kalian bahwa kalian akan
berada dilingkungan kami." berkata Kiai Gumrah
"Terima kasih Kiai. Tetapi sebaiknya kami pulang lebih
dahulu." suara Manggada merendah.
Ki Pandilah yang kemudian menyahut "Jika demikian-,
biarlah aku menemani anak-anak ini. Aku sudah kenal
mereka sejak lama.. Aku akan mengantarnya pula. Suatu
ketika aku akan membawa mereka kembali kepada kalian."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Winih yang duduk disebelah anak-anak muda itu bertanya
"Kalian akan meninggalkan kami ?"
"Orang tua kami akan kehilangan kami, jika kami tidak
pulang" jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Tetapi ingat anak-anak. Kalian adalah cucu-cucuku."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Merekapun sebenarnya merasa sangat berat untuk
meninggalkan Kiai Gumrah. Meskipun mereka tahu bahwa
mereka tidak berarti apa-apa bagi orang tua itu, namun
selama ia berada dirumah Kiai Gumrah, maka ia memang
merasa seolah-olah tinggal dirumah sendiri. Bahkan setelah
anak dan menantu Kiai Gumrah beserta Winih datang,
hubungan mereka dengan keluarga Kiai Gumrah itu
menjadi semakin akrab. Bahkan Manggada dan Laksana
kadang-kadang sering lupa dan merasa bahwa mereka
memang bagian dari keluarga itu.
Namun akhirnya Kiai Gumrahpun telah melepasnya
pula. Juragan gula yang sudah akrab pula dengan kedua
orang anak muda itu, bahkan beberapa orang yang lain,
juga ikut menyesalkan kepergian Manggada dan Laksana.
Namun mereka memang tidak dapat menahannya tanpa
memperhatikan kepentingan anak-anak muda itu sendiri.
Meskipun demikian, kedua anak muda itu masih diminta
untuk singgah dirumah Kiai Gumrah sebelum mereka
benar-benar meninggalkan keluarga itu.
Demikianlah, maka keesokan harinya, Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya itupun telah meninggalkan
Kundala yang nampaknya mulai dapat menguasai orang-
orang yang masih tersisa dirumah itu.
Kepada mereka Kiai Gumrah berkata "Ikutilah jejak
langkah Kundala. Jika kalian berjanji, maka kami tidak
akan melaporkan kegiatan kalian kepada Senapati Pajang
yang mendapat tugas didaerah ini. Tetapi jika kalian
berkeras dengan cara hidup kalian sebelumnya, maka akan
datang gilirannya pasukan Pajang menghancurkan kalian."
Wajah-wajah yang suram itu hanya dapat menunduk.
Namun kata-kata Kiai Gumrah itu meresap dihati mereka.
Ternyata bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu akan langsung pulang kerumah masing-masing.
Hanya mereka yang masih belum sembuh dari luka-
lukanya, akan diantar oleh saudara seperguruan yang
terdekat. Dua orang yang lukanya masih agak parah, akan
dibawa lebih dahulu kerumah Kiai Gumrah. Demikian pula
pusaka-pusaka yang telah berhasil mereka pertahankan itu
akan tetap disimpan dirumah Kiai Gumrah untuk
sementara, sebelum mereka mengambil keputusan lain,
karena tempat itu sudah menjadi tidak tenang lagi.
Ketika Kiai Gumrah dan keluarganya serta kedua orang
saudara seperguruannya yang terluka itu sampai dirumah,
mereka menjadi heran. Dua orang yang tertangkap dan
ditahan dirumah itu ternyata masih tetap menunggu. Ketika
pengaruh ketukan jari-jari Kiai Gumrah telah mengendur,
sehingga keduanya terbangun, keduanya tidak berniat untuk
melarikan diri.
Ternyata mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat
hidup lagi tanpa perlindungan Kiai Gumrah.
"Baiklah. Besok kau akan kami serahkan kepada
Kundala yang sekarang memimpin kawan-kawanmu
dirumah Kiai Windu Kusuma." berkata Kiai Gumrah
kepada mereka. Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksana benar-
benar akan meninggalkan rumah itu. Betapa beratnya hati
keluarga Kiai Gumrah, namun mereka harus melepas
mereka. Meskipun demikian mereka merasa berbesar hati bahwa
Ki Pandi akan membawa mereka sampai kepada orang tua
mereka dan ke!ak, akan membawa mereka kembali
kepadanya. Kedua anak muda itu diharapkan akan dapat
menjadi bagian dari penerus yang akan mengawal lambang
kehadiran mereka...
Winih melepas kedua orang anak muda itu dengan mata
yang basah. Banyak kesan yang tertinggal dihatinya tentang
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua anak muda itu. Setiap kali Winih masih
memperbandingkan keduanya dengan Darpati yang hampir
saja merampas hatinya sehingga ia akan dapat kehilangan
pribadinya. Manggada yang sudah siap untuk berangkat itu berkata
"Aku kagumi kau Winih. Kami berdua bukan apa-apa
dipandangan matamu."
"Kalian salah mengerti kakang." jawab Winih "Aku
bangga terhadap kalian berdua. Ilmu kemampuan dan
kelebihan apapun tidak berarti apa-apa tanpa dukungan
kepribadian yang kuat. Dan kalian sudah memiliki
kepribadian itu. Pada saatnya kalian akan kembali dengan
ilmu dan kemampuan yang tinggi didukung oleh
kepribadian yang sangat kuat."
Manggada mengangguk-angguk, sementara Laksana
berkata "Jika kelak aku kembali, apakah kau masih tetap
menganggap kami sebagai kakakmu sendiri."
"Tentu kakang " jawab Winih.
Dahi Laksana berkerut. Tetapi iapun berdesis "Terima
kasih Winih. Kelak kami tentu akan datang kembali"
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun benar-
benar meninggalkan rumah itu. Nyi Prawara membekali
mereka dengan obat-obatan yang penting bagi mereka
diperjalanan. "Kami titipkan anak-anak ini kepadamu, Ki Pandi."
berkata Kiai Gumrah.
Ki Pandi tersenyum sambil mengangguk. Namun sejenak
kemudian maka merekapun telah pergi.
O0o0)dw(0o0O Setelah seri ARYA MANGGADA III "SANG
PENERUS" berakhir, maka akan dilanjutkan dengan seri
IV dengan judul
"SEJUKNYA KAMPUNG HALAMAN"
Tetapi ketika ARYA MANGGADA menginjakkan
kakinya di Kampung Halamannya justru tanahnya seakan-
akan sedang membara.
Golok Yanci Pedang Pelangi 3 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Hikmah Pedang Hijau 15
Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, maka
orang itu telah jatuh terlentang. Sekali ia berguling. Namun
kemudian iapun terdiam. Sementara itu, orang yang
bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah kehilangan
kendali akan dirinya. Bukan untuk menyerang, tetapi
dengan putus asa ia berlari menuju kepintu gerbang. Tanpa
menghiraukan apapun lagi, orang itu ingin melarikan
dirinya dari jangkauan rantai Nyi Prawara yang telah
menyentuh pinggangnya.
Namun orang itu terkejut. Demikian ia sampai kepintu
gerbang, maka dilihatnya dua ekor harimau siap untuk
menerkamnya. Orang itu semakin menjadi kehilangan akal. Dengan
serta merta ia berbalik kembali masuk kehalaman sambil
berteriak-teriak. Tetapi ia tidak berani lagi mendekati Nyi
Prawara. Seperti orang yang terganggu syarafnya ia berlari
secepat-cepatnya menghilang kehalaman samping yang
gelap sambil masih saja berteriak-teriak.
Sementara itu, Winih sempat mendekati lawannya yang
sudah terbaring diam. Sambil berjongkok disisinya ia
berkata "He, lukamu hanya selapis tipis pada kulitmu. Aku tahu
kau pura-pura mati. Tetapi tidur sajalah dengan nyenyak."
Orang itu masih tetap berbaring diam. Tetapi ia berdesis
"Aku mohon ampun"
"Aku tidak akan membunuhmu. Mudah-mudahan
pemimpinmu juga tidak."
Orang itu tetap tidak bergerak. Sambil tersenyum Winih
bangkit dan melangkah mendekati ibunya yang sudah
berdiri didekat Laksana dan Manggada.
Dalam pertempuran yang sengit itu Manggada dan
Laksana memang merasa dirinya terlalu kecil. Bekal
keduanya terlalu sedikit untuk terjun kedalam pertempuran
seperti itu. Bahkan seorang gadis muda harus melindungi
mereka berdua. Tetapi keduanya tidak dapat ingkar akan kenyataan itu.
Apalagi jika keduanya memperhatikan pertempuran antara
orang-orang berilmu tinggi.
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu ternyata
sempat berteriak marah ketika ia melihat sekilas orang-
orangnya tidak berdaya menghadapi perempuan. Namun ia
sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk membantunya
karena ia sedang terlibat dalam pertempuran melawan
juragan gula yang bersenjata sebuah tombak, yang termasuk
salah satu dari pusaka-pusaka yang diperebutkan.
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu memang harus
mengakui, bahwa lawannya yang sudah terhitung tua itu
merniliki pengalaman yang sangat luas. Betapapun ia
mengerahkan kemampuannya, namun juragan gula itu
masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-
kadang pemimpin perguruan Susuhing Angin itulah yang
terkejut mengalami serangan dengan unsur-unsur gerak
yang tidak diduganya sama sekali.
Kemarahan pemimpin perguruan Susuhing Angin itu
sudah membakar ubun-ubunnya. Orang-orangnya telah
mengecewakannya. Sementara lawannya membuatnya
jantungnya bagaikan meledak.
Namun pemimpin perguruan dari Susuhing Angin itu
tidak dapat mengingkari kenyataan yang digelar dihadapannya. Orang-orangnya, bahkan orang-orang yang
datang dari perguruan yang lain yang ada di rumah Kiai
Windu Kusuma yang besar dan berhalaman luas itu, telah
dihancurkan oleh lawan-lawan mereka yang jumlahnya
jauh lebih kecil. Meskipun masih terjadi pertempuran
disana-sini, tetapi pertempuran itu tinggal sekedar
penyelesaian saja. Jika para pemimpin itu tidak segera
berhasil mengakhiri lawan-lawannya sehingga dapat
membantu orang-orang yang jumlahnya sudah jauh
menyusut itu, maka mereka tidak lagi mempunyai harapan.
Dengan marah pemimpin, perguruan Susuhing Angin itu
menyerang seperti arus banjir bandang. Juragan gula yang
melawannya sempat terdesak beberapa langkah surut.
Bahkan pemimpin perguruan Susuhing Angm itu sempat
menggeram "Ternyata kau cukup liat Ki Sanak. Tetapi
kesempatanmu tidak terlalu banyak lagi"
Juragan gula itu sama sekali tidak menjawab.
Tombaknya yang terayun mendatar hampir saja menyambar wajah lawannya Tetapi lawannya sempat
mengelak dan bahkan meloncat memasuki jarak jangkau
senjatanya justru ketika tombak lawannya bergerak
kesamping. Dengan derasnya senjatanya terayun mengarah
kedahi. Tetapi tombak juragan gula itu sempat berputar. Dengan
landeannya juragan gula itu sempat menangkis serangan itu
dan menebas senjata lawannya, menyamping.
Namun pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah
menjadi kehilangan kendali. Dengan mengerahkan tenaga
dan kemampuannya, ia berusaha melibat juragan gula itu
pada jarak yang lebih pendek. Pemimpin peguruan
Susuhing Angin itu berusaha agar tombak lawannya tidak
banyak berarti lagi.
Tetapi juragan gula itu cukup tangkas. Meskipun
pertempuran itu jaraknya semakin rapat, namun tombak
juragan gula itu masih tetap berbahaya. Bukan saja
ujungnya. Tetapi pangkalnyapun merupakan senjata yang
sangat berbahaya pula. Ketika pangkal landean tombak, itu
mengenai pundak pemimpin perguruan Susuhing Angin itu,
maka orang itu meloncat beberapa langkah surut.
Pundaknya terasa menjadi sakit sekali. Bahkan rasa-rasanya
ada tulangnya yang retak.
Namun dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai kepuncak. Ketika ia
mempersiapkan diri untuk bertempur habis-habisan, maka
seakan-akan dari matanya telah membayang warna
kemerah-merahan.
Jari-jarinya yang menggenggam senjatanya telah disaput asap tipis yang berwarna kehitam-
hitaman. Seakan-akan memancarkan warna landasan
ilmunya yang hitam pula.
Juragan gula yang melihat lawannya sampai kepuncak
ilmunya, iapun telah mengerahkan kemampuannya pula.
Kakinya yang merenggang, dan sedikit merendah, pada
lututnya, seakan-akan telah menghujam kedalam bumi.
Pertahanannya, menjadi semakin kokoh sehingga sulit
untuk digoyahkan.
Pada puncak kemampuan masing-masing, maka pemimpin perguruan Susuhing Angin itu sudah bertekad
untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan segera.
Membunuh lawannya atau mati.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi
kemudian adalah benar-benar pertempuran antara hidup
dan mati. Pemimpin perguruan Susuhing Angin yang
datang dengan dada tengadah beserta beberapa orang
pengikutnya, tidak mau mengorbankan harga dirinya.
Ketika ia memasuki rumah itu, ia merasa yakin bahwa ia
akan memegang peranan penting dalam perebutan pusaka-
pusaka yang amat mahal harganya itu. Setidak-tidaknya ia
akan dapat menjadi penentu disamping Panembahan
Lebdagati sendiri.
Namun ternyata ia telah mendapat lawan yang berilmu
sangat tinggi, bahkan ditangannya telah tergenggam salah
satu dari pusaka-pusaka yang menurut ciri-cirinya adalah
pusaka yang diperebutkan itu.
Namun betapapun pemimpin dari perguruan Susuhing
Angin itu berusaha, maka juragan gula itu masih saja tetap
mampu mempertahankan dirinya.
Demikianlah, pada tataran tertinggi dari hentakan
ilmunya, maka pemimpin dari perguruan Susuhing Angin
itu telah berloncatan berputaran mengelilingi lawannya.
Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga putaran itu
menjadi bagaikan angin pusaran.
Namun yang ada didalam pusaran itu adalah seorang
yang juga berilmu tinggi. Juragan gula dengan tombak
ditangan justru berdiri diam ditempatnya. Kakinya benar-
benar bagaikan berakar menusuk kedalam bumi. Pusaran
yang mengitarinya itu tidak mampu menggoyahkannya.
Meskipun juragan gula itu seakan-akan justru menunduk
sambil memejamkan matanya, namun ia tahu pasti, dimana
lawannya itu berada. Pusaran yang semakin cepat sehingga
berubah menjadi semacam kabut kelabu yang berputar
sama sekali tidak membingungkannya.
Juragan gula itu tahu pasti, bahwa lawannya yang,
berputar itu mengacukan senjatanya siap menggapai
tubuhnya. Tetapi dengan ketajaman inderanya, maka
juragan gula itu seakan-akan melihat ujung senjata
lawannya yang berputar disekelilingnya itu.
Sejenak ketegangan telah mencekam. Nyi Prawara dan
Winih yang telah bebas dari lawan-lawan mereka melihat
pertempuran itu dengan tegang, sedangkan Manggada dan
Laksana menjadi bingung, apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Dalam pada itu, juragan gula yang berdiri ditengah-
tengah pusaran sambil menundukkan kepalanya serta
memejamkan matanya itu telah memusatkan nalar budinya
pula. Sekali-sekali saja ujung tombaknya bergerak. Bahkan
sekali-sekali terdengar dentang senjata beradu. Tetapi
Manggada dan Laksana tidak mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Kabut kelabu yang berputar itu memang
menghalangi penglihatannya, sehingga ia tidak melihat jelas
apa yang terjadi. Bahkan menurut penglihatannya dalam
keremangan cahaya oncor dikejauhan, didalam pusaran itu
tidak ada gerak sama sekali.
Namun dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu, tiba-
tiba terdengar juragan gula itu berteriak menghentak
mengatasi segala suara dan hiruk pikuk pertempuran.
Disusul oleh teriakan tertahan. Sementara itu, pusaran yang
melingkari juragan gula itu nampak bergejolak sesaat.
Namun kemudian tubuh pemimpin perguruan Susuhing
Angin itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting
di tanah. Dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit,
sementara juragan gula itu sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Tetapi jantung Manggada dan Laksana bagaikan terhenti
berdetak. Ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin
itu terhuyung-huyung kembali dan akhirnya jatuh terguling.
Sementara itu, juragan gula ini masih berdiri tegak
dengan tombak yang merunduk ditangannya. Ujung
tombak itu menjadi merah oleh darah, sementara itu darah
nampak mengalir dari tubuh lawannya yang terbaring diam.
Tetapi Nyi Prawara itupun kemudian berdesis "Kiai"
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
tegang sejenak. Namun Nyi Prawarapun kemudian berlari
mendekati juragan gula yang kemudian jatuh berlutut pada
sebelah lututnya. Bahkan kemudian ia harus berpegangan
pada landean tombaknya yang menjadi tegak disisinya.
Winihpun hampir saja berlari mendekati pula. Namun
langkahnya tertahan. Ia harus berada dekat dengan
songsong yang masih saja dipegang oleh Laksana itu.
"Kiai Padma" desis Nyi Prawara "Apakah Kiai terluka?"
Juragan gula itu menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak
Nyi. Aku hanya merasa sangat letih setelah aku
menghentakkan segala tenaga dan kemampuanku."
"Mari Kiai, aku bantu Kiai menepi." berkata Nyi
Prawara. "Tidak. Tidak usah Nyi. Aku justru ingin melihat apa
yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang lain." berkata
juragan gula itu.
Nyi Prawara termangu-mangu sejenak. Sementara itu,
juragan gula itu justru telah duduk di tanah, sedangkan Nyi
Prawara berdiri disebelahnya. Nampaknya setelah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada
didalam dirinya, juragan gula itu seakan-akan telah
kehabisan tenaganya.
Nyi Prawara memang tidak segera beranjak dari
tempatnya. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian
juragan gula itu memang menjadi lemah.
Dalam pada itu, selagi Nyi Prawara berdiri disebelah
juragan gula itu, ia memperhatikan pertempuran yang
masih membakar halaman rumah yang besar itu; Saudara-
saudara seperguruan Kiai Gumrah itu agaknya sudah dapat
menguasai keadaan. Tetapi Ki Prawara sendiri masih
bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Windu
Kusuma, sedangkan Kiai Gumrah berhadapan langsung
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan saudara seperguruannya yang ternyata telah
berkhianat. Kiai Kajar.
Kiai Windu kusuma yang telah pernah bertempur
melawan Kiai Gumrah tetapi tidak tuntas, harus mengakui
bahwa orang yang mengaku dirinya anak Kiai Gumrah itu
juga berilmu tinggi.
Karena itu, Maka Kiai Windu Kusumapun harus
mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun demikian
orang yang bersenjata tombak itu masih belum dapat
dikuasainya. Nyi Prawara memang menjadi berdebar-debar menyaksikan pertempuran yang masih tersisa. Beberapa
orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang telah
menyelesaikan pertempuran dihalaman
itu bergeser perlahan-lahan mendekati arena. Dengan wajah yang
tegang mereka melihat beberapa orang berilmu tinggi masih
terlibat dalam pertempuran.
Namun mereka tidak langsung dapat ikut memasuki
arena, karena hal itu justru akan mengecewakan mereka
yang sedang bertempur itu sendiri. Nampaknya Ki Prawara
ingin menyelesaikan lawannya sendiri. Apapun akibatnya.
Pemimpin dari sekelompok orang yang menjadi landasan
utama untuk mengambil pusaka-pusaka itu. Sedangkan Kiai
Gumrah yang bertempur melawan Kiai Kajar merupakan
pertempuran diantara saudara seperguruan. Dilingkaran
yang lain, Ki Pandi yang bongkok itupun telah bertempur
dengan sengitnya melawan orang yang sudah lama
diburunya. Dalam keriuhan pertempuran itu, beberapa orang yang
ada dihalaman itu masih juga sempat mendengar aum
harimau diluar dinding halaman. Mereka tidak tahu apa
yang telah terjadi. Namun mereka sempat juga membayangkan beberapa orang yang melarikan diri dari
halaman itu telah bertemu dengan dua ekor harimau diluar
halaman. Sementara itu Buta Ijo dan tiga orang saudara
seperguruannya masih sibuk mengawasi orang-orang yang
telah menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri itu
telah dikumpulkan ditangga pendapa setelah mereka
melepaskan senjata-senjata mereka.
Nyi Prawara yang menyaksikan suaminya masih
bertempur dengan garangnya menjadi sangat tegang.
Bahkan Winih-pun telah mengajak Manggada dan Laksana
lebih mendekat, agar ia dapat melihat apa yang terjadi
dengan ayahnya.
Namun baik Nyi Prawara ataupun Winih yang tahu
benar sifat Ki Prawara, sama sekali tidak berani
mencampuri pertempuran itu.
Dalam ketegangan itu, mereka telah dikejutkan oleh
umpatan kasar Kiai Kajar. Dengan serta merta Kiai Kajar
itu meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi
pundaknya. Ternyata bahwa ujung tombak Kiai Gumrah telah
berhasil menyentuh pundak orang itu.
Kiai Kajar yang merasa jari-jarinya dihangati oleh darah
dipundaknya itu menjadi semakin marah, rasa-rasanya
jantungnya telah membara membakar seisi dadanya.
Namun Kiai Gumrah, saudara seperguruan Kiai Kajar
memiliki landasan ilmu yang sama, sehingga seakan-akan
apa yang akan dilakukan oleh Kiai Kajar, Kiai Gumrah
sudah mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya. Bahkan
tataran ilmu mereka yang maningkat selapis demi selapis
rasa-rasanya selalu membuat keseimbangan, sehingga sulit
untuk menentukan siapakah yang akan menang dan kalah.
Tetapi ditangan Kiai Giimrah tergenggam tombak
pusaka perguruan mereka, yang bahkan telah menyentuh
pundak saudara seperguruannya itu.
Meskipun ditangan Kiai Kajar, juga tergenggam senjata
pilihan, tetapi ternyata melihat pusaka perguruannya
ditangan Kiai ?umrah, ketahanan jiwani Kiai Kajar
tergoyahkan pula. Bagaimanapun juga ada perasaan
bersalah yang menyelinap didalam rongga dadanya karena
ia telah berkhianat dengan memberikan
beberapa keterangan tentang pusaka-pusaka yang nilainya sangat
tinggi itu. Bukan saja sebagai barang warisan, tetapi karena
pusaka-pusaka itu berlapis emas dan permata.
Namun sebenarnya Kiai Kajar telah menjadi kecewa
ketika Panembahan itu menyatakan diri berhak atas pusaka
itu pula. Bahkan panembahan itulah yang akan membuat
pusaka-pusaka itu tetap bertuah dengan mencucinya dengan
darah yang masih mengalir di dalam jantung.
Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Ketika ia
melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin terlempar
jatuh dan tidak bergerak lagi, maka ia justru berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi keinginannya. Jika Panembahan itu dapat dikalahkan pula
oleh lawannya, maka ia akan menjadi orang utama yang
dapat memiliki pusaka-pusaka itu. Saudara-saudara Kiai
Gumrah yang hadir dihalaman itu adalah saudara-saudara
seperguruannya pula. Jika ia mampu mengalahkan Kiai
Gumrah. seorang yang dianggap orang terpenting bersama-
sama dengan dirinya sendiri dan juragan gula itu, maka
saudara-saudara seperguruannya yang lain tentu akan
tunduk pula kepadanya. Juragan gula itu sendiri
nampaknya sudah menjadi sangat letih dan tidak berdaya.
Yang kemudian harus dihancurkan adalah orang yang
mengaku anak Kiai Gumrah itu bersama isterinya dan anak
gadisnya. "Setan" geram Kiai Kajar "mereka juga berilmu tinggi."
Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat hati Kiai
Kajar kadang-kadang menjadi bimbang. Apalagi setiap kali
ujung tombak di tangan Kiai Gumrah itu terayun didepan
matanya. Pengaruh pusaka ditangan lawannya, kebimbangan dan ,
kenyataan yang dihadapinya, membuat perlawanan Kjai
Kajar menjadi semakin goyah. Betapapun Kiai Kajar
berusaha untuk tetap tegar dalam sikapnya, namun peletik
kelemahan. telah mewarnai hatinya pula.
Ternyata kelemahannya itulah yang menentukan akhir
dari perlawanannya. Meskipun Kiai Kajar itu telah
berusaha menghalau kegelisahannya itu dengan teriakan-
teriakan yang menghentak-hentak, namun pertahanannya
menjadi semakin goyah.
Itulah sebabnya ketika kedua saudara seperguruannya itu
sampai kepuncak ilmu mereka, maka kegelisahan dihati
Kiai Kajar itu telah berpengaruh pula.
Baik Kiai Gumrah maupun Kiai Kajar dengan puncak
ilmunya, justru tidak lagi meloncat-loncat dan berputaran.
Mereka berhadapan dengan senjata mereka yang merunduk. Serangan-serangan yang mereka lakukan tidak
lagi menghentak-hentak susul menyusul
Pertempuran itu memang nampak menjadi semakin
lamban. Tetapi ketika senjata mereka beradu, maka bunga
api telah berloncatan ke udara.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu mengerti,
betapa besarnya tenaga mereka masing-masing. Saudara-
saudara seperguruan mereka yang sempat menyaksikan
pertempuran itu menjadi sangat tegang.
Bahkan jantung mereka terasa semakin cepat berdenyut
ketika terdengar Kiai Kajar berteriak nyaring sambil
meng:ayunkan senjatanya langsung mengarah ke kening
Kiai Gumrah. Mereka melihat dan merasakan getar
kekuatan tertinggi dari puncak ilmu perguruan mereka.
Kiai Gumrahpun menyadari bahwa Kiai Kajar ingin
dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Karena itu,
maka iapun telah berada dipuncak kemampuannya pula.
Ketika ayunan senjata Ki Kajar itu menyambar dengan,
kekuatan yang sangar besar. Maka. Kiai Gumrah tidak
berusaha untuk menangkisnya. Meskipun ia percaya akan
kekuatan landean tombaknya, namun tenaga Kiai Kajar
yang disertai dengan landasan ilmunya mungkin akan dapat
mematahkan landean tombak yang terbuat dari kayu yang
dihiasi dengan lapisan emas dan permata. Karena itu, pada
saat yang tepat, Kiai Gumrah telah bergeser selangkah,
sehingga serangan yang dahsyat itu tidak mengenainya.
Tetapi Kiai Kiajarpun melihat sikap itu. Dengan cepat,
senjatanya yang terayun itu berputar. Untuk mengimbangi
perubahan gerak senjatanya, Kiai Kajar telah bergeser
kesamping. Tetapi jantungnya bergetar ketika ia melihat ujung
tombak itu dengan cepat bergetar didepan dadanya. Ujung
tombak yang dihormatinya sejak ia berada diperguruannya,
karena tombak itu adalah salah satu diantara lambang
kebesaran guru dan perguruannya.
Waktu yang sekejap itu ternyata telah menentukan. Pada
saat ia bergeser kesamping itulah, maka ujung tombak itu
tidak sekedar bergetar didepan dadanya. Tetapi ujung
tombak itu telah mematuk dadanya.
Terdengar Kiai Kajar itu berteriak nyaring. Namun
ketika Kiai Gumrah menarik tombaknya, maka Kia i Kajar
itu-pun terhuyung-huyung sejenak. Darah memancar dari
lukanya, sehingga membasahi pakaiannya.
Tanpa dikehendakinya, maka senjata Kiai Kajar itu telah
terlepas dari tangannya dan jatuh ditanah.
Beberapa orang saudara seperguruannya yang menyaksikan menahan nafas sejenak. Ketika mereka
melihat Kiai Kajar itu tidak lagi mampu menguasai
keseimbangannya, maka merekapun segera berloncatan
membantu menahan agar Kiai Kajar tidak jatuh terbanting
ditanah Namun, Kiai Kajar memang sudah tidak berdaya. Darah
bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya, sehingga karena
itu, maka saudara-saudara
seperguruannya telah membaringkannya perlahan-lahan.
Kiai Gumrah sendiri berdiri termangu-mangu. Diluar
sadarnya ia memperhatikan tombaknya yang basah oleh
darah segar yang masih mengalir di jantung.
"Tidak" berkata Kiai Gumrah dalam hatinya. "Aku sama
sekali tidak ingin mencuci ujung tombak ini dengan darah
yang masih mengalir di Jahtung."
Sambil menarik nafas panjang, Kiai Gumrah itu
melangkah mendekati Kiai Kajar yang terbaring dikerumuni oleh beberapa saudara seperguruannya.
Tetapi mereka terkejut ketika mendengar teriakan
nyaring yang menggetarkan halaman dan bahkan rumah
yang besar itu. Bukan sekedar teriakan marah. Tetapi
hentakan ilmu yang sangat dahsyat yang dilontarkan
Panembahan Lebdagati.
Akibatnya memang luar biasa. Beberapa orang yang
terluka, yang masih
mungkin untuk mendapatkan penyembuhan, telah menggeliat dan jantungnyapun segera
berhenti berdetak. Bahkan Kiai Kajar yang terluka parah itu
telah menjadi semakin parah. Satu kalimat masih
terucapkan "Saudara-saudaraku. Aku minta maaf atas
kekhilafanku."
"Kiai Kajar" seorang dari saudara seperguruannya itu
meraba tangannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya.
Ketika yang lain meletakkan telinganya didada. maka nafas
Kiai Kajar telah berhenti.
Dalam pada itu, selagi seluruh perhatian seakan-akan
tertumpah pada tubuh Kiai Kajar, maka terdengar Ki Pandi
yang bongkok berteriak nyaring dengan suara wajarnya
"Jangan lari."
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang berpaling. Sementara Ki Pandi melenting
berlari mengejar Panembahan Lebdagati yang bagaikan
terbang meloncati dinding halaman. Namun merekapun
melihat bayangan berikutnya menyusul. Ki Pandi.
Diluar dinding terdengar aum kedua ekor harimau Ki
Pandi. Tetapi suaranya tidak lagi dekat dibalik dinding.
Bahkan ketika suara itu terdengar lagi, rasa-rasanya suara
itu sudah menjadi semakin jauh.
Tidak seorangpun yang sempat membantu Ki Pandi
menghentikan orang itu. Panembahan Lebdagati yang
memang sejak semula tidak dapat mengalahkan Ki Pandi,
ternyata telah gagal lagi. Apalagi ketika ia melihat beberapa
orang yang berdiri dipihaknya telah berjatuhan. Demikian
pula orang-orang yang datang dari berbagai perguruan
itupun telah tidak berdaya lagi.
.Panembahan Lebdagati agaknya merasa tidak akan
banyak berarti jika ia mempergunakan ilmu pamungkasnya,
karena Ki Pandi tentu akan dapat mengimbanginya.
Sehingga karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka lebih
baik ia meninggalkan neraka yang sangat menyakitkan.
Dihalaman rumah itu ternyata telah berkumpul orang-orang
berilmu tinggi yang berusaha mempertahankan pusaka-
pusaka yang dingini-nya itu. Satu kekuatan yang
sebenarnya diiuar dugaannya.
Sepeninggal Panembahan
dan Ki Pandi, maka pertempuran yang tersisa tidak banyak berarti lagi.
Meskipun demikian, Kiai Windu Kusuma yang masih
bertempur melawan Ki Prawara tetap tidak mau menyerah.
Kiai Gumrahlah yang kemudian sambil memegangi
tombaknya melangkah mendekat. Dengan suara yang
bergetar Kiai Gumrah itupun berkata "Kiai Windu
Kusuma. Sebaiknya kau menyerah saja. Kau sudah tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk mempertahankan diri.
Bukan saja karena kau tidak akan dapat mengalahkan
Prawara, tetapi kau sudah dikelilingi lawan-lawanmu.
Kawan-kawanmu telah terbunuh kecuali Panembahan yang
licik itu. Tetapi iapun akan segera dapat dibinasakan oleh
Ki Pandi dan harimau-harimaunya."
"Persetan kau Gumrah. Jika kau takut orang ini mati,
lakukan apa yang ingin kau lakukan." geram Kiai Windu
Kusuma. Bahkan katanya kemudian "Jika kalian merasa
perlu untuk meramai-ramai mengeroyokku, aku sama sekali
tidak akan gentar."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
Kiai Windu Kusuma Justru menyerang Ki Prawara dengan
garangnya. Kerisnya yang besar itu berputaran dan
menggapai-gapai dada lawannya. Sambil meloncat maju
Kiai Windu Kusuma mengayunkan kerisnya kemudian
menusuk kearab lambung.
Dengan tangkas Ki Prawara mengimbangi kecepatan
gerak lawannya. Namun KL Prawarapun melihat betapa
Kiai Windu Kusuma menjadi kehilangan pengamatan diri.
Sekali-sekali oleh cahaya oncor yang lemah, Ki Prawara
sempat melihat sorot mata Kiai Windu Kusuma yang
menjadi liar. "Ki Sanak" berkata Ki Prawara kemudian sambil
meloncat mundur. Namun ketika Kiai Windu Kusuma
akan memburunya sambil mengayunkan kerisnya, maka
ujung tombak Ki Prawara telah merunduk tepat diarah
dada. Tetapi Ki Prawara menjadi ragu-ragu untuk
mendorong tombaknya menghujam kedada Kiai Windu
Kusuma yang nampaknya telah berputus asa itu. Bahkan Ki
Prawara telah meloncat selangkah mundur sambil berkata
"Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak."
Tetapi Kiai Windu Kusuma tertawa. Katanya "Kenapa
kau tidak menusuk jantungku " Ki Sanak, Apakah kau tidak
berani melihat darah atau kau sengaja menghina aku?"
"Menyerahlah" berkata Ki Prawara "apakah artinya
pertempuran ini " Seandainya salah seorang dari kita mati,
tidak akan menimbulkan perubahan apapun juga. Pusaka-
pusaka itu masih akan tetap ditangan Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya. Rumah ini akan tetap saja
hancur dan orang-orang yang telah terbunuh tidak akan
bangkit kembali."
"Persetan" teriak Kiai Windu Kusuma sambil meloncat
menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Prawara sempat mengelak. Sementara itu Kiai
Gumrah telah melangkah semakin dekat sambil, berkata
"Berhentilah."
"Setan tua kau Gumrah. Jika kau akan ikut, ikutlah."
teriak Kiai Windu Kusuma.
"Kau tidak boleh menjadi kehilangan akal, Kiai. Kita
masih mempunyai mulut untuk berbicara." Kiai Gumrah
hampir berteriak.
Namun yang tidak terduga telah dilakukan Kiai Windu
Kusuma. Ketika Kiai Gumrah berdiri tidak terlalu jaun dari
arena untuk mencoba melerai pertempuran itu, tiba-tiba
saja Kiai Windu Kusuma telah meloncat meninggalkan Ki
Prawara justru menyerang orang tua itu.
Yang menyaksikan serangan itu memang terkejut. Nyi
Prawara justru sempat berteriak "Ayah."
Kiai Gumrah juga menjadi terkejut sekali. Justru karena
itu, maka ia tidak dapat mengendalikan nalurinya untuk
menyelamatkan diri. Karena itu, ketika ia melihat Kiai
Windu Kusuma meloncat sambil mengayunkan kerisnya
dengan membabi buta, maka Kiai Gumrah telah
mengangkat ujung tombaknya. Bahkan Kiai Gumrah tidak
sempat mengekang tangannya yang mendorong ujung
tombak itu menghujam kedalam dada Kiai Windu Kusuma.
Apa yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Prawara
ternyata terpaksa dilakukan Kiai Gumrah.
Terdengar Kiai Windu Kusuma berteriak nyaring.
Namun suaranya kemudian
bagaikan menggantung diawan. Semakin tinggi, semakin
tinggi, sehingga
bersamaan dengan tubuhnya yang terguling jatuh ditanah
setelah Kiai Gumrah menarik ujung tombaknya dengan
tangan yang gemetar, maka suara Kiai Windu Kusuma
itupun menjadi semakin lambai. Yang terdengar kemudian
adalah umpatannya yang terakhir "Kau memang iblis,
Gumrah." Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun ia berdiri
temangu-mangu memandang tubuh yang terbaring diam
itu. "Aku tidak dapat berbuat lain " desis Kiai Gumrah yang
menyesal bahwa orang terakhir itu harus dibunuhnya pula.
Ki Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa
boleh buat."
"Aku terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu" desis
Kiai Gumrah. "Ya" Juragan gula yang sudah mendapatkan kekuatannya kembali setelah beberapa saat ia mengalami
keletihan itu menyahut "kami tidak dapat menyalahkan
kau, Kiai."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dipandanginya
ujung tombaknya yang telah dibasahi lagi dengan darah
yang masih mengalir di jantung diluar kehendaknya sendiri.
Demikian, sesaat kemudian orang-orang berilmu tinggi
itupun telah berkumpul. Kiai Gumrah minta agar saudara-
saudara seperguruannya mengumpulkan sisa orang-orang
dari beberapa perguruan yang ada dihalaman itu yang telah
menyerah dan yang masih sanggup untuk berjalan ke depan
tangga pendapa rumah Kiai Windu Kusuma. Selain itu
maka semua saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrahpun
telah diminta berkumpul pula. Yang terluka parah, telah
dibantu oleh saudara-saudaranya berkumpul dipendapa.
Kiai Gumrah harus meyakinkan keadaan semuanya.
Tiga batang tombak dan songsong milik Kiai Gumrah
dan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah
berkumpul dipendapa itu pula.
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu
terkejut ketika terdengar pintu pringgitan terbuka. Ketika
mereka berpaling dilihatnya seorang yang muncul dari balik
pintu pringgitan itu.
Beberapa orang serentak bangkit berdiri dengan senjata
terhunus menghadap orang yang melangkah memasuki
pringgitan dari ruang dalam itu.
Tetapi Kiai Gumrahlah yang kemudian mendekatinya.
Dibawah cahaya lampu dipendapa itu. Kiai Gumrah
melihat, bahwa yang datang itu adalah Kundala.
"Kau Kundala" desis Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai" sahut orang itu.
"Dimana kau selama pertempuran berlangsung?"
hartanya Kiai Gumrah.
"Aku berada diatas langit-langit diruang dalam. Aku
tidak tahu harus berbuat apa." jawab Kundala.
"Marilah, duduklah. Kita akan berbicara." berkata Kiai
Gumrah kemudian.
Kundalapun kemudian duduk dipendapa bersama Kiai
Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sementara
itu suasana dihalaman rumah yang luas itu terasa sangat
mencengkam. Disana-sini tergolek tubuh yang berdarah.
Diantara mereka masih terdengar ada yang sedang
mengerang kesakitan.
Karena itu, maka Kia i Gumrah- yang duduk dipendapa
itupun kemudian berkata kepada saudara-saudara
seperguruannya.
"Sebaiknya kita berbuat sesuatu atas mereka yang
terluka. Bukan saudara-saudara kita saja yang akan
mendapat perawatan, tetapi semuanya sejauh kita dapat
melakukan. Karena itu kita dapat minta bantuan mereka
yang telah menyerah, untuk mengumpulkan kawan-
kawannya serta membantu merawat mereka. Namun kita
harus mengawasi pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya."
Dengan demikian, maka beberapa orang saudara
seperguruan Kiai Gumrahpun
segera bangkit dan melangkah turun tangga pendapa, mendekati orang-orang
yang telah menyerah, yang ada dihalaman rumah itu.
Dengan pengawasan saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah, maka orang-orang yang menyerah itu mendapat
tugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang
terluka dan yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Sementara itu langit menjadi merah oleh cahaya fajar,
Regol halaman yang sudah terbuka itu justru ditutup
kembali. Meskipun rumah itu tempatnya terpisah dari
padukuhan-padukuhan,
namun mereka harus tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan akan ada orang
lain yang melihat apa yang telah terjadi dihalaman rumah
yang luas yang menurut penglihatan
orang-orang padukuhan regolnya selalu tertutup.
Namun disamping mereka yang terbaring dihalaman,
ternyata ketika salah seorang saudara seperguruan Kiai
Gumrah membawa dua orang yang sudah menyerah itu
keluar regol, mereka telah menemukan dua sosok tubuh
yang agaknya telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau
Ki Pandi. Agaknya kedua orang itu berusaha untuk
melarikan diri dengan meloncati dinding, namun harimau
Ki Pandi itu sempat melihatnya dan kemudian menerkamnya. Pekerjaan itu belum selesai sampai saatnva matahari
terbit. Sementara itu, Kiai Gumrah, juragan gula, Ki Prawara
yang duduk dipendapa bersama Kundala tengah mengadakan pembicaraan tersendiri. Disisi lain Nyi
Prawara, Winih, Manggada dan Laksana Nampak
termenung merenungi pengalaman yang sangat berkesan
dihati mereka. Mereka mengucap sokur dalam hati, bahwa
mereka masih mendapat perlindungan dari Yang Maha
Agung, sehingga mereka selamat dari bencana yang telah
mencengkam seisi rumah dan halamannya itu.
Manggada dari Laksana yang sejak semula sudah merasa
dirinya kecil, maka mereka merasa menjadi semakin kecil.
Keduanya sama sekali tidak dapat ikut berbuat, sesuatu
ketika terjadi pertempuran yang menentukan, justru di
lingkungan kekuasaan lawan yang jumlahnya jauh lebih
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar dari jumlah saudara-saudara seperguruan Kiai.
Gumrah. . . . Namun Nyi Prawara tidak dapat terlalu lama
beristirahat. Bersama dua orang saudara seperguruan Kiai
Gumrah yang lain, maka Nyi Prawarapun telah membantu
merawat saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Bahkan sejauh jangkauan mereka, mereka juga berusaha
menolong para pengikut dari mereka yang ingin merampas
pusaka-pusaka itu dari tangan Kiai Gumrah dan saudara-
saudara seperguruannya, setelah mereka dikumpulkan di
pendapa. Dalam pada itu, Kia i Gumrah yang secara khusus
berbicara dengan Kundala, telah menanyakan kepadanya,
apakah Kundala bersedia untuk mengambil alih pimpinan
dirumah itu. "Aku tidak yakin, bahwa orang-orang yang tersisa itu
akan bersedia menerima aku" berkata Kundala.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Meskipun Kiai Windu Kusuma sampai saat terakhir
masih belum mengetahui, bahwa aku telah mengkhianatinya, namun
kepercayaan Kiai Windu
Kusuma kepadaku sudah jauh menyusut. Bukan karena ia
mencurigai aku bahwa aku tidak setia, tetapi kemampuanku
dianggap kurang memadai."
"Tetapi sebagaimana kau lihat, tidak ada orang iain lagi
di rumah yang besar ini. Kecuali itu, maka kami akan selalu
membantumu jika terjadi sesuatu dirumah ini."
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia
memandang berkeliling. Ia sempat melihat orang-orang
yang tinggal dirumah itu seakan-akan telah kehilangan
dirinya. Yang nampak hanya ujud-ujud kewadagannya saja.
Tidak lagi membayangkan keperkasaan mereka. Apalagi
mereka yang terluka, terbaring sambil menahan desah
kesakitan, sementara. yang menyerah dalam keadaan yang
utuh dan sedang mengumpulkan orang-orang yang terluka,
tidak lagi berani mengangkat wajah mereka. Sedangkan
yang mengawasi mereka hanyalah beberapa orang yang
jumlahnya jauh lebih kecil.
"Jika kau bersedia, Kundala, maka aku akan berbicara
dengan orang-orang itu. Sudah tentu bahwa kami tidak
akan tinggal disini untuk selanjutnya. Mungkin hari ini
kami masih akan berada disini. Tetapi mungkin pula besok
kami sudah akan pergi.
Kundala ternyata ragu-ragu. Namun Kiai Gumrah,
juragan gula dan Ki Prawara telah membesarkan hatinya.
Dengan nada rendah Ki Prawara berkata "Kundala,
orang-orang itu telah kehilangan keberanian untuk berbuat
sesuatu. Bahkan untuk bersikap didalam hatipun seperti itu,
harus tampil seseorang. Kundala, jika kau ingin melahirkan,
perubahan tata kehidupan dilingkungan mereka, sekarang
adalah waktunya Jangan beri kesempatan mereka untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kau harus
mengajukan satu ujud tatanan kehidupan yang masuk akal
dan dapat mereka cerna dengan panalaran. Pada
kesempatan ini kau dapat menawarkan poia masa depan
yang penuh harapan bagi mereka."
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Sementara juragan
gula itu berkata pula "Kau satu-satunya pilihan kami.
Bagaimanapun juga kami masih melihat, bahwa kau masih
sempat berpaling pada hati nuranimu justru disaat yang
paling gawat."
Kundala menundukkan kepalanya. Namun akhirnya ia
berdesis "Aku akan mencobanya."
"Bagus" berkata Kiai Gumrah "aku akan berbicara nanti
dengan orang-orang yang masih tertinggal disini darimanapun mereka datang."
"Tetapi bagaimana dengan Panembahan yang sempat
melarikan diri itu" " bertanya Kundala.
"Ia tidak akan banyak mendapat kesempatan" berkata
Kiai Gumrah "orang bongkok itu tentu akan selalu
membayanginya."
Kundala mengerutkan dahinya. Namun Kiai Gumrah
sempat menjelaskan, bahwa Ki Pandi agaknya tidak akan
pernah melepaskan
orang yang menyebut dirinya
Panembahan itu.
"Jika Panembahan itu pada suatu saat datang kemari,
maka Ki Pandipun tentu akan datang pula kemari," berkata
Kiai Gumrah. Kundala mengangguk-angguk sambil berdesis "Semoga
aku dapat memikul beban ini. Kiai."
"Kau akan dapat melakukannya. Bukankah kami tidak
berada terlalu jauh dari tempat ini?"
Kundala mengangguk sambil menjawab "Terima kasih
Kiai. Mudah-mudahan kami akan dapat mulai dengan satu
bentuk kehidupan baru. Tentu saja yang lebih baik dari
masa yang lalu."
"Kalian harus berani memasuki satu tatanan yang
barangkali sangat berbeda dengan tatanan kehidupan yang
pernah kalian jalani sebelumnya. Tetapi dengan satu
keyakinan, bahwa kalian akan dapat melakukannya."
berkata juragan gula itu.
Kundala tidak menjawab. Namun matanya menerawang
jauh meloncati dinding halaman rumah yang besar itu.
Hari itu, dirumah itu telah dilakukan satu kesibukan
yang luar biasa. Semua orang telah dikerahkan untuk
memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan
perawatan. Bahkan Nyi Prawara rasa-rasanya tidak sempat
lagi untuk beristirahat.
Namun hari itu juga telah digali lubang-lubang kubur
jauh dibagian belakang kebun yang paling jauh dari rumah
yang besar dan berhalaman luas itu.
Hal itu terpaksa dilakukan karena Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya tidak ingin menarik
perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat
dari rumah itu. Jika mereka membawa tubuh-tubuh orang
yang terbunuh di halaman itu ke kuburan, maka tentu akan
mengundang banyak sekali pertanyaan.
Sementara itu, Kundala telah memerintahkan beberapa
orang perempuan yang memang terbiasa bekerja didapur
untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi perempuan-
perempuan itu, tidak dapat menolak. Mereka harus keluar
dari persembunyian mereka didalam rumah yang besar itu
dan masuk kedalam dapur yang luas. Sedangkan persediaan
bahan makanan dirumah itu cukup banyak dan akan
mencukupi untuk waktu yang panjang.
Tetapi perempuan-perempuan lain, yang tidak termasuk
perempuan baik-baik dan bukan pula perempuan yang
sehari-harinya memang dipekerjakan dirumah itu telah
dikumpulkan disatu ruang yang khusus. Kundala memang
berniat untuk menyingkirkan mereka dari rumah itu.
Atas desakan Kiai Gumrah, maka para penghuni rumah
itu yang tersisa dan menyerah, telah menerima Kundala
memimpin mereka. Meskipun Kundala bukan termasuk
salah seorang pemimpin yang tataran ilmunya sejajar
dengan Kiai Windu Kusuma, namun ternyata Kundala
mempunyai kekuatan yang lain. Sebagaimana dikatakan
oleh Kiai Gumrah, maka kesempatan itu memang
dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberikan pola
kehidupan yang baru bagi orang-orang yang tersisa di
rumah itu. Kiai Gumrah ternyata berada dirumah itu tidak hanya
sehari. Bersama dengan saudara-saudara seperguruannya,
mereka diminta untuk tinggal dua tiga hari lagi sampai
keadaan menjadi tenang. Goncangan yang terjadi benar-
benar telah menikam kedalam setiap jantung dari para
penghuni rumah itu.
Ternyata tawaran Kundala tentang pola tatanan
kehidupan yang baru telah menarik perhatian para
penghuni rumah itu yang tersisa. Apalagi Kundala telah
menunjuk sawah, ladang dan pategalan yang sangat luas,
milik Kiai Windu Kusuma yang akan dapat menjadi ladang
kehidupan mereka kemudian selain usaha lain dengan cara
yang lebih baik dari cara yang pernah mereka tempuh.
Dalam waktu tiga hari, maka keadaan rumah itu telah
mulai tenang kembali. Meskipun disana-sini masih
terbaring orang-orang yang lukanya, terhitung parah.
Bahkan ada diantara. mereka yang terpaksa menyusul
kawan-kawannya yang tubuhnya telah terbaring di kebun
belakang dari rumah yang besar itu.
Selama, berada di rumah itu, Manggada dan Laksana
setiap kali diajak Winih untuk ikut mengawasi perempuan-
perempuan yang bekerja didapur. Namun agaknya tugas itu
tidak begitu menyenangkan bagi Manggada dan Laksana.
Hanya karena Winih yang mengajak mereka, maka mereka
tidak menolak. Apalagi keduanya memang tidak tahu, apa
yang sebaiknya mereka lakukan dirumah itu.
Tetapi ketika keadaan menjadi semakin tenang, serta
tatanan baru mulai disusun oleh Kundala dan dua orang
yang ditunjuknya, maka Manggada dan Laksana merasa
bahwa kehadiran mereka sama sekali sudah tidak
diperlukan lagi. Karena itu, maka keduanya telah mulai
membicarakan kepentingan mereka sendiri.
"Kapan kita akan meneruskan perjalanan kita?" bertanya
Manggada. Laksana mengangguk kecil. Katanya "Kita memang
tidak diperlukan lagi disini."
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan kakek." desis
Manggada kemudian.
"Kakek siapa?" bertanya Laksana.
Manggada tersenyum. Tetapi ia masih juga bertanya
"Apakah kau akan berbicara juga dengan Winih" "
"Ah kau. Winih memang cantik. Tetapi ia terlalu
garang." Keduanya tertawa. Sementara Manggada berkata "Kita
menunggu sampai Kiai Gumrah dan saudara-saudara
seperguruannya meninggalkan rumah ini, tetapi kita
langsung melanjutkan perjalanan kita yang tertunda-tunda."
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ternyata
sampai saat terakhir kita tetap tidak mengetahui dengan
pasti, siapakah orang-orang yang setiap hari ada disekeliling
kita. Kita juga tidak tahu pasti tentang pusaka-pusaka yang
disimpan oleh Kiai Gumrah."
"Ya. Kita telah melihat satu dunia yang seakan-akan
dibatasi oleh tabir yang tipis. Kita memang dapat melihat
tembus, tetapi tidak jelas" umam Manggada.
Namun di malam hari, ketika Kiai Gumrah dan saudara-
saudara perguruannya duduk dipendapa membicarakan
rencana mereka meninggalkan rumah itu, telah dikejutkan
oleh kehadiran Ki Pandir. Kiai Gumrah dan saudara-
saudara seperguruannya mengira bahwa Ki Pandi tidak
akan secepat itu, datang kembali mengunjungi mereka.
Kiai Gumrahpun kemudian mempersilahkan Ki Pandi
untuk duduk bersama mereka di pendapa.
Dengan singkat Ki Pandi menceriterakan bahwa ia tidak
berhasil menemukan Panembahan Lebdagati malam itu.
Namun Ki Pandipun berkata "Tetapi aku yakin, bahwa aku
akan dapat membayanginya di hari-hari mendatang.
Panggraitaku akan dapat menjadi penunjuk yang dapat
dipercaya untuk membayangi Panembahan itu."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk: Katanya "Kami
berharap demikian, agar Panembahan itu tidak akan
mengacaukan pola tatanan kehidupan baru yang sedang
disusun dirumah ini."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Aku bersukur
bahwa goncangan dirumah ini telah dapat menumbuhkan
sesuatu yang berarti. Jika orang-orang yang tersisa itu dapat
menemukan jalan yang baru itu adalah karena kalian telah
melakukan sesuatu yang bukan saja berarti bagi kalian
sendiri. Ternyata akibatnya bukan sekedar mempertahankan pusaka-pusaka itu, tetapi satu perubahan
sikap hidup bagi banyak orang."
"Kita memang harus mensukurinya, Ki Pandi."
"Itulah sebabnya aku datang kembali. Ketika aku
meninggalkan rumah ini, aku belum sempat mengucapkan
selamat atas keberhasilan kalian." berkata Ki Pandi.
"Tetapi itu juga karena bantuan Ki Pandi. Bukan hanya
saat kami datang kerumah ini, tetapi juga sejak jauh
sebelumnya. Tanpa kehadiran kedua ekor harimau itu,
maka sulit bagi kami untuk mempertahankan pusaka-
pusaka itu dirumahku sebelum saudara-saudaraku
berkumpul"
Ki Pandi menggeleng.
Katanya "Tidak. Kalian
mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan
pusaka itu saat ini."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Pandi berkata
selanjutnya "Tidak ada seorangpun, bahkan sekelompok
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-pun yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu
dari kalian sekarang, selagi kalian masih lengkap atau
setidak-tidaknya sebagian besar dari kalian."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
mulai merenungi kata-kata Ki Pandi yang berkata
seterusnya "Tetapi aku yakin, bahwa tidak selamanya
kalian dapat berkumpul seperti ini. Sebagaimana berlaku
bagi setiap yang hidup, maka satu demi satu kalian tentu
akan pergi. Hingga pada suatu saat, maka pusaka-pusaka
itu tidak akan ada lagi yang dapat mempertahankannya jika
seseorang atau sekelompok orang
berusaha untuk memilikinya. Bahkan mungkin sekelompok orang yang
bermaksud buruk. Apakah karena pusaka-pusaka itu
dianggap bertuah atau karena pusaka-pusaka itu dibalut
dengan bahan yang sangat mahal."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
meraba arah bicara Ki Pandi yang bongkok itu. Dengan
nada dalam ia berkata "Jadi, menurut Ki Pandi, apa yang
sebaiknya kami lakukan?"
"Kiai" sahut Ki Pandi "menurut penglihatanku, kalian
yang mempertahankan pusaka-pusaka itu rata-rata sudah
seumur dengan aku. Berapa tahun lagi kalian masih dapat
bertahan. Lima tahun, atau sepuluh tahun atau berapa"
Kalian sekarang dapat berbangga atas keutuhan kalian
sebagai saudara-saudara seperguruan. Seakan-akan tidak
akan ada kekuatan yang dapat memecahkan hubungan
kalian yang satu dengan yang lain. Tetapi kalian tidak
sempat memikirkan, bahwa saat itu akan datang juga. Satu
demi satu kalian akan tidak ada lagi."
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya
mulai mengerutkan kening mereka. Kata-kata Ki Pandi itu.
mulai menyentuh jantung mereka.
"Kiai" berkata Ki Pandi kemudian "yang ingin aku
tanyakan kepada Kiai dan saudara-saudara seperguruan
Kiai, a pakah Kiai pernah memikirkan, sia pakah yang akan
meneruskan tugas Kiai menjaga pusaka-pusaka warisan
yang nilainya sangat tinggi itu" Kiai tentu tidak akan dapat
selalu berbangga karena Kiai dan saudara-saudara
seperguruan Kiai masih mampu mempertahankannya. Kiai,
coba marilah kita lihat, yang umurnya masih terhitung
muda disini hanyalah anak, menantu dan seorang cucu
Kiai. Tetapi apakah mereka kemudian akan mampu
melindungi pusaka-pusaka itu sebagaimana Kiai dan
saudara-saudara seperguruan Kiai sekarang ini?"
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata "Aku mengerti Ki Pandi. Pertanyaan Kiai
telah membuka Hati kami."
"Nah" berkata Ki Pandi selanjutnya "nampaknya masih
ada waktu. Kalian harus menyusun kekuatan untuk
meneruskan tugas kalian menjaga pusaka pusaka itu. Satu
angkatan penerus yang setidak-tidaknya
memiliki kemampuan sebagaimana kalian yang sudah tua-tua itu."
"Aku mengerti Ki Pandi" Kiai Gumrah masih
mengangguk-angguk "selama ini kami memang terlalu
berbangga akan diri kami sendiri. Kami memang merasa
bahwa kami merupakan satu kekuatan yang sulit untuk
dapat ditundukkan. Tetapi kami memang melupakan masa
depan sebagaimana yang Ki Pandi katakan."
"Kiai. Aku sangat kagum melihat kemampuan gadis
cucu Kiai itu. Dengan demikian maka akan mempunyai
gambaran, bahwa kalian akan dapat menyusun satu
angkatan penerus sebagaimana Winih yang telah ditempa
menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi. Meskipun pengalamannya masih belum terlalu
banyak, tetapi agaknya penalarannya lebih banyak
membantu nya."
"Nah, Kiai" berkata Ki Pandi pula "Kiai dan saudara-
saudara seperguruan Kiai harus segera mulai."
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandangi saudara-saudara seperguruannya
yang duduk disekitarnya sambil berkata "Bagaimana
pendapat kalian?"
Juragan gula itulah yang menyahut "Aku sependapat
dengan Ki Pandi. Selama ini kita memang terlalu berbangga
akan diri kita sendiri. Bahkan sampai hari ini. Kita
berbangga bahwa kita dapat mempertahankan pusaka-
pusaka warisan serta lambang dari perguruan kita. Sehingga
kita tenggelam dalam kebanggaan ifu. Tetapi kita memang
tidak dapat berpikir bagaimana yang akan terjadi jika lima
tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, keadaan seperti ini akan
terulang. Sementara, orang lain menyusun kekuatan untuk
mulai dengan langkah-langkah baru."
Orang yang selalu-menyebut dirinya berilmu tinggi itu-
pun berkata sambil mengusap-usap lukanya yang masih
terasa pedih "Ya. Kita sekarang mampu melawan orang
yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kita. Kita
dapat mengurangi jumlah mereka seorang demi seorang
dengan cara kita. Namun suatu saat, jumlah kitalah yang
akan dikurangi seorang demi seorang."
Seorang yang lainpun berkata "Apakah kita dapat
menghentikan laju umur kita yang memanjat dari tahun
ketahun?" Kiai Gumrah tersenyum. Katanya sambil mengangguk-
angguk "Ya. Kita lupakan masa depan kita." Tetapi
suaranya kemudian meninggi "Saudara-saudaraku. Aku
sendiri telah menyiapkan pilar penyangga masa depan itu.
Aku punya Prawara, isterinya dan cucu-cucuku. Nah,
bagaimana depgan kalian?"
Buta Ijo itu bergumam hampir kepada dirinya sendiri
"Cucu-cucumu. Berapa jumlah cucumu?"
"Tiga" jawab Kiai Gumrah "seorang perempuan dan dua
orang laki-laki."
Tiba-tiba saja semua orang berpaling kepada Manggada
dan Laksana. Sementara Manggada dan Laksana sendiri
menjadi bingung. Namun Kiai Gumrah itupun berkata
"Sebenarnya aku memang pernah berbicara tentang
pendukung masa depan. Aku juga pernah berbicara dengan
kedua cucu laki-lakiku itu. Sekarang aku ingin menegaskan,
bahwa keduanya akan termasuk menjadi penerus dari
perguruan kita."
Manggada dan Laksana menjadi bingung. Sementara
Kiai Gumrah itupun berkata kepada saudara-saudara
seperguruannya "Tetapi sudah tentu bahwa kalian juga
berkewajiban untuk menyiapkannya. Mungkin anak atau
cucu kalian masing-masing. Suatu ketika mereka akan kita
kumpulkan agar mereka saling mengenal sehingga mereka
akan terikat dalam satu lingkaran persaudaraan sebagaimana kita sendiri."
"Baiklah" berkata Kiai Padma yang lebih dikenal sebagai
juragan gula itu "Aku juga berjanji akan ikut mendukung;
masa depan itu dengan menyiapkan penerus yang akan
menjadi pengawal bagi masa depan. Tanpa mereka kita
memang tidak berarti apa-apa. Apa yang kita pertahankan
dengan penuh kebanggaan sekarang ini, tidak lebih dari satu
mimpi buruk."
Seorang yang lebih banyak mengantuk itupun berkata
"Kita terlalu asyik dengan kebanggaan kita sendiri. He,
bagaimana jika ada diantara kita tidak mempunyai anak
seperti orang berkumis tidak rata itu."
"Siapa bilang" jawab orang yang disebut berkumis tidak
rata "aku mempunyai lebih dari selusin anak meskipun anak
tetangga. Tetapi aku dapat memilih yang terbaik diantara
mereka." "Baiklah" bakata Kiai Gumrah "hari ini kita berjanji
untuk segera mulai dengan mempersiapkan masa depan
itu" Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana menjadi
gelisah. Mereka tidak akan dapat terikat dengan rencana
itu, dengan memaksa diri Manggada berkata "Kiai. Kami
berdua mohon maaf. Kecuali kami berdua merasa sama
sekali tidak berarti disini. kamipun masih mempunyai
kepentingan yang lain. Sejak kami meninggalkan rumah
paman, kami belum pernah sampai kerumah ayah. Jika
suatu hari paman berkunjung kerumah ayah dan kami
belum ada dirumah, maka ayah tentu akan menjadi
gelisah." Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Katanya "Bukankah
kalian sudah menyatakan keinginan kalian untuk tinggal
bersama kami?"
"Waktu itu memang demikian" jawab Manggada "tetapi
betapa bodohnya kami, bahwa kami merasa akan dapat
membantu Kiai."
"Pada suatu hari kau akan kami antar pulang dan
sekaligus minta kepada orang tua kalian bahwa kalian akan
berada dilingkungan kami." berkata Kiai Gumrah
"Terima kasih Kiai. Tetapi sebaiknya kami pulang lebih
dahulu." suara Manggada merendah.
Ki Pandilah yang kemudian menyahut "Jika demikian-,
biarlah aku menemani anak-anak ini. Aku sudah kenal
mereka sejak lama.. Aku akan mengantarnya pula. Suatu
ketika aku akan membawa mereka kembali kepada kalian."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Winih yang duduk disebelah anak-anak muda itu bertanya
"Kalian akan meninggalkan kami ?"
"Orang tua kami akan kehilangan kami, jika kami tidak
pulang" jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Tetapi ingat anak-anak. Kalian adalah cucu-cucuku."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Merekapun sebenarnya merasa sangat berat untuk
meninggalkan Kiai Gumrah. Meskipun mereka tahu bahwa
mereka tidak berarti apa-apa bagi orang tua itu, namun
selama ia berada dirumah Kiai Gumrah, maka ia memang
merasa seolah-olah tinggal dirumah sendiri. Bahkan setelah
anak dan menantu Kiai Gumrah beserta Winih datang,
hubungan mereka dengan keluarga Kiai Gumrah itu
menjadi semakin akrab. Bahkan Manggada dan Laksana
kadang-kadang sering lupa dan merasa bahwa mereka
memang bagian dari keluarga itu.
Namun akhirnya Kiai Gumrahpun telah melepasnya
pula. Juragan gula yang sudah akrab pula dengan kedua
orang anak muda itu, bahkan beberapa orang yang lain,
juga ikut menyesalkan kepergian Manggada dan Laksana.
Namun mereka memang tidak dapat menahannya tanpa
memperhatikan kepentingan anak-anak muda itu sendiri.
Meskipun demikian, kedua anak muda itu masih diminta
untuk singgah dirumah Kiai Gumrah sebelum mereka
benar-benar meninggalkan keluarga itu.
Demikianlah, maka keesokan harinya, Kiai Gumrah dan
saudara-saudara seperguruannya itupun telah meninggalkan
Kundala yang nampaknya mulai dapat menguasai orang-
orang yang masih tersisa dirumah itu.
Kepada mereka Kiai Gumrah berkata "Ikutilah jejak
langkah Kundala. Jika kalian berjanji, maka kami tidak
akan melaporkan kegiatan kalian kepada Senapati Pajang
yang mendapat tugas didaerah ini. Tetapi jika kalian
berkeras dengan cara hidup kalian sebelumnya, maka akan
datang gilirannya pasukan Pajang menghancurkan kalian."
Wajah-wajah yang suram itu hanya dapat menunduk.
Namun kata-kata Kiai Gumrah itu meresap dihati mereka.
Ternyata bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai
Gumrah itu akan langsung pulang kerumah masing-masing.
Hanya mereka yang masih belum sembuh dari luka-
lukanya, akan diantar oleh saudara seperguruan yang
terdekat. Dua orang yang lukanya masih agak parah, akan
dibawa lebih dahulu kerumah Kiai Gumrah. Demikian pula
pusaka-pusaka yang telah berhasil mereka pertahankan itu
akan tetap disimpan dirumah Kiai Gumrah untuk
sementara, sebelum mereka mengambil keputusan lain,
karena tempat itu sudah menjadi tidak tenang lagi.
Ketika Kiai Gumrah dan keluarganya serta kedua orang
saudara seperguruannya yang terluka itu sampai dirumah,
mereka menjadi heran. Dua orang yang tertangkap dan
ditahan dirumah itu ternyata masih tetap menunggu. Ketika
pengaruh ketukan jari-jari Kiai Gumrah telah mengendur,
sehingga keduanya terbangun, keduanya tidak berniat untuk
melarikan diri.
Ternyata mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat
hidup lagi tanpa perlindungan Kiai Gumrah.
"Baiklah. Besok kau akan kami serahkan kepada
Kundala yang sekarang memimpin kawan-kawanmu
dirumah Kiai Windu Kusuma." berkata Kiai Gumrah
kepada mereka. Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksana benar-
benar akan meninggalkan rumah itu. Betapa beratnya hati
keluarga Kiai Gumrah, namun mereka harus melepas
mereka. Meskipun demikian mereka merasa berbesar hati bahwa
Ki Pandi akan membawa mereka sampai kepada orang tua
mereka dan ke!ak, akan membawa mereka kembali
kepadanya. Kedua anak muda itu diharapkan akan dapat
menjadi bagian dari penerus yang akan mengawal lambang
kehadiran mereka...
Winih melepas kedua orang anak muda itu dengan mata
yang basah. Banyak kesan yang tertinggal dihatinya tentang
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua anak muda itu. Setiap kali Winih masih
memperbandingkan keduanya dengan Darpati yang hampir
saja merampas hatinya sehingga ia akan dapat kehilangan
pribadinya. Manggada yang sudah siap untuk berangkat itu berkata
"Aku kagumi kau Winih. Kami berdua bukan apa-apa
dipandangan matamu."
"Kalian salah mengerti kakang." jawab Winih "Aku
bangga terhadap kalian berdua. Ilmu kemampuan dan
kelebihan apapun tidak berarti apa-apa tanpa dukungan
kepribadian yang kuat. Dan kalian sudah memiliki
kepribadian itu. Pada saatnya kalian akan kembali dengan
ilmu dan kemampuan yang tinggi didukung oleh
kepribadian yang sangat kuat."
Manggada mengangguk-angguk, sementara Laksana
berkata "Jika kelak aku kembali, apakah kau masih tetap
menganggap kami sebagai kakakmu sendiri."
"Tentu kakang " jawab Winih.
Dahi Laksana berkerut. Tetapi iapun berdesis "Terima
kasih Winih. Kelak kami tentu akan datang kembali"
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun benar-
benar meninggalkan rumah itu. Nyi Prawara membekali
mereka dengan obat-obatan yang penting bagi mereka
diperjalanan. "Kami titipkan anak-anak ini kepadamu, Ki Pandi."
berkata Kiai Gumrah.
Ki Pandi tersenyum sambil mengangguk. Namun sejenak
kemudian maka merekapun telah pergi.
O0o0)dw(0o0O Setelah seri ARYA MANGGADA III "SANG
PENERUS" berakhir, maka akan dilanjutkan dengan seri
IV dengan judul
"SEJUKNYA KAMPUNG HALAMAN"
Tetapi ketika ARYA MANGGADA menginjakkan
kakinya di Kampung Halamannya justru tanahnya seakan-
akan sedang membara.
Golok Yanci Pedang Pelangi 3 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Hikmah Pedang Hijau 15