Pencarian

Sang Ratu Tawon 1

Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bagian 1


"Sang Ratu Tawon
Pendekar 4 Alis
Seri 9 Oleh Khulung/Gan KL
Bab 1 Bagaimana dengan Samon" Dimana dia" Peti telah terangkat, terdengar Siau Giok lagi mendesak, "Ayo, lekas, lekas!"
Siau-hong kelabakan setengah mati, bila melihat peti ini digotong pergi. Samon tentu gelisah dan mungkin bisa gila, tapi apa yang dapat dilakukannya"
Teringat akan hal ini, hati Liok.Siau-hong serasa hancur luluh.
Hati Samon pasti juga remuk redam.
Namun apa gunanya jika cuma hati saja yang remuk redam, biarpun kepala dibenturkan pada dinding hingga hancur juga tetap tidak berguna.
Akhirnya bisa dirasakan juga 'mati kutu' memang tidak enak, dan sukar ditahan.
Entah makan obat kuat apa, kedua kuli penggotong peti itu dapat melarikan peti itu dengan cepat.
Lau-sit Hwesio terus memegang tangan Liok Siau-hong dan ditepuk-tepuk perlahan serupa seorang tua lagi membelai anak kecil agar jangan nakal.
Sungguh dongkol sekali Liok Siau-hong, rasanya ia ingin mengetuk pecah kepala gundul si Hwesio.
Kedua kuli penggotong peti itu berjalan begitu cepat, seakan sejak masih dalam perut ibunya sudah belajar menggotong peti.
Lau-sit Hwesio masih bisa tersenyum.
"Hwesio ini memang pembawa sial, setiap bertemu dengannya, pasti kesialan akan datang."
Ia paham kata makian dari seluruh negeri, jumlah kata makian sedikitnya ada lima ratus macam, mestinya sudah siap akan dihamburkan kepada Lau-sit Hwesio, tapi sayang, ia tak berdaya memaki, bersuara saja tidak bisa.
Dimanakah Samon"
Bagaimana perasaannya menyaksikan orang memisahkan anak ayam jantan dengan dia" Dapatkah dia membunuh diri saking sedihnya"
Jika dapat mati akan lebih baik malah, kalau tidak mati dan harus hidup sendirian, cara bagaimana dia akan bertahan hidup"
Bisa jadi dia akan mencari akal untuk naik ke atas kapal, kepandaiannya kan jauh lebih hebat daripada apa yang dibayangkan orang"
Kalau dia tidak naik ke atas kapal, apakah dia akan naik ranjang lagi bersama orang lain"
Hati Liok Siau-hong terasa pedih, makin dipikir makin tidak enak.
Mestinya Liok Siau-hong bukan jenis lelaki yang berpikiran sempit, tapi seorang yang sedang jatuh cinta biasanya akan berubah menjadi lebih egois.
Tiba-tiba terdengar kedua kuli penggotong peti juga mulai mencaci-maki, "Peti sialan, bikin susah melulu, ingin makan enak saja terganggu!"
"Ya, memang maknya dirodok!"
"Kukira peti ini lebih baik kita lemparkan saja ke laut supaya tidak membikin susah lagi!"
Kawanan kelasi yang sudah kenyang asam garam ini tentu saja bukan orang baik-baik, jika sedang kalap, segala apa dapat diperbuatnya.
Tapi Liok Siau-hong tidak ambil pusing malah, ia berbalik berharap hal ini benar-benar dilakukan oleh mereka.
Siapa tahu kedua kelasi ilu justru berubah pikiran. Tiba-tiba seorang berkata, "Eh, bagaimana kalau kila coba memeriksa apa isi peti ini?"
Bagi Liok Siau-hong hal ini tentu akan sangat kebetulan baginya. Tapi sayang, Siau Giok telah menggembok peti ini.
"Dapatkah kau buka gembok ini?" tanya salah seorang kelasi.
"Tidak!" jawab yang lain.
"Kau berani merusak gemboknya?"
"Kenapa tidak berani?"
"Jika ditanya Kiu-siauya, siapa yang bertanggung jawab?"
"Kau!"
"Nenekmu!" maki yang lain. "Kutahu kau ini memang pengecut!"
"Rasanya kau pun tidak banyak berbeda!"
"Sebab itulah lebih baik kita bawa kembali peti ini, taruh saja di dalam gudang dan bereslah segalanya!"
"Blang", akhirnya peti itu dijatuhkan dengan berat, di bawah adalah suara papan yang dijatuhi benda berat.
Kedua orang sama menghembuskan napas lega, jelas tempat ini adalah dek kapal Kiong Kiu itu. Tugas mereka sudah rampung, dunia sudah aman bagi mereka.
Lau-sit Hwesio juga menghembuskan napas, rasanya seperti sedang bilang, "Selang beberapa hari lagi anak ayam jantan dan keledai gundul sudah bisa pulang ke rumah."
Dunianya juga sudah aman.
Tapi bagaimana dengan Liok Siau-hong"
Dia diam saja, sampai napas saja tidak ada lagi, waktu Lau-sit meraba lubang hidungnya, memang betul sudah berhenti bernapas.
Keruan si Hwesio terkejut, "Hei, kenapa jadi begini?"
Tidak ada jawaban, tidak ada reaksi dan tetap tidak ada napas.
Apakah mungkin seorang bisa mati gemas dan dongkol.
"Wah, engkau tidak boleh mati, betapapun Hwesio tidak mau berjubal bersama orang mati di dalam sebuah peti!"
Tetap tidak ada reaksi dan tetap tidak ada napas.
Memangnya ada orang yang mati karena mendongkol"
"Kalau kau mau mati, jangan sekarang, aku tidak mau berdesakan dalam satu peti denganmu," kata Lau-sit pula.
bab 2 Tetap tiada jawaban, napas pun tetap tidak ada.
Tiba-tiba Lau-sit Hwesio tertawa malah, "Aha, jika hendak kau tipu diriku supaya kubuka Hiat-tomu, maka kau pasti keliru duga. Orang bajik tidak panjang umur, orang jahat justru awet hidup, kutahu engkau takkan mati!"
Akhirnya Liok Siau-hong menghembus napas juga, di dalam peti memang sumpek, ditambah lagi menahan napas, tentu saja tambah tidak enak. Betapapun dia tidak ingin mati sungguh-sungguh.
Gembira sekali Lau-sit Hwesio, ia tertawa, "Haha, meski aku tidak ingin berjubal dan berkelahi denganmu di dalam peti, namun bicara sendirian juga tidak menarik, asalkan kau mau menurut sedikit, dapat kubuka dulu Hiat-to bisumu."
Liok Siau-hong memang penurut, seorang kalau tiga Hiat-to penting tertotok, tidak penurut juga akan menjadi penurut.
Dan si Hwesio ternyata bisa pegang janji, benarlah segera ia membuka Hiat-to bisu Liok Siau-hong.
"Kau keledai gundul mampus!" hampir saja makian ini dilontarkan Liok Siau-hong begitu dia dapat bersuara. Namun urung diucapkannya.
Terkadang dia juga seorang yang bisa berpikir panjang dan cerdik, betapapun ia tidak ingin Hiat-to bisunya ditotok lagi oleh si Hwesio.
Malahan dia sengaja bicara dengan ramah, "Sebenarnya tidak perlu kau perlakukan diriku secara begini." "Begini apa?" tanya si Hwesio. "Tidak perlu menotok Hiat-to segala," ujar Siau-hong. "Tapi Hwesio kuatir kau marah!" "Kenapa aku marah?"
"Habis kalau ayam betina mendadak berubah menjadi keledai gundul, kan ayam jantan bisa marah-marah"!" "Haha, kau salah!" Siau-hong tertawa. "Salah apa?"
"Ayam jantan kecil kan sudah lama bukan anak ayam jantan lagi! Sudah berubah menjadi ayam jantan tua, ayam jago," demikian Siau-hong menambahkan.
"Apa bedanya ayam jago dan anak ayam jantan?" "Banyak bedanya," jawab Liok Siau-hong. "Yang paling jelas bedanya adalah ayam jago sudah banyak bergaul dengan ayam betina, tapi selama ini hanya mempunyai kawan seekor Keledai gundul."
Ia meneruskan dengan sungguh-sungguh, "Apalagi ayam betina itu memang tidak ada di sini, kalau tertinggal di sini juga tidak menjadi soal, sebaliknya bila keledai gundul tertinggal di sini, bisa jadi secepatnya akan berubah menjadi bangkai keledai, betapapun aku tidak dapat menyaksikan teman sendiri berubah menjadi bangkai."
Kembali Lau-sit Hwesio memegang tangan Siau-hong, jelas dia jadi terharu, katanya, "Ehm, engkau memang seorang sahabat sejati."
"Seharusnya kau tahu sejak dulu," ujar Siau-hong,
"Baru tahu sekarang, kan belum terlambat, bukan?"
"Jika sekarang kau buka Hiat-toku juga belum terlambat."
"Ya, memang belum terlambat," segera Lau-sit Hwesio menyatakan setuju.
Siau-hong tersenyum dan menantikan si Hwesio bertindak.
Siapa tahu dengan adem ayem si Hwesio berkata pula, "Meski belum lagi terlambat, tapi sayang, rasanya masih terlalu dini sedikit!"
"Masih terlalu dini?" Siau-hong menegas.
"Ya, masih terlalu dini!"
"Memangnya ingin kau tunggu sampai kapan?" tanya Siau-hong.
"Paling sedikit harus menunggu sampai berangkatnya kapal!"
Seketika Siau-hong tutup mulut.
Sungguh ia kuatir dirinya tak tahan terus mencaci-maki, sebab ia tahu, betapapun ia mencaci-maki toh takkan memampuskan keledai gundul ini.
Terpaksa ia harus bersabar dan menunggu lagi.
Yang membuatnya kesal adalah berjejal dalam sebuah peti bersama keledai gundul ini.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Dapatkah kau memberi bantuan padaku?"
"Coba katakan," jawab si Hwesio.
"Dapatkah kau totok pula suatu tempat Hiat-toku yang lain?" "Hai, apakah kau sinting" Memangnya Hiat-to apa yang kau minta ditotok?"
"Sui-hiat (totokan yang membuat tidur)," kata Siau-hong. Dalam keadaan demikian memang tidak ada hal lain yang lebih menggembirakan daripada tidur.
Lau-sit Hwesio menghela napas, katanya, "Tampaknya nasibmu memang lagi mujur."
"Apa katamu" Aku mujur?" Siau-hong menjadi gemas.
Lau-sit Hwesio mengangguk, "Sedikitnya engkau masih mempunyai seorang kawan yang dapat menotokmu, sebaliknya Hwesio tidak punya."
Siau-hong jadi melenggong dan serba runyam, tapi segera ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi sebab dia lantas tertidur.
Gelap gulita. Dalam keadaan tidur segalanya terasa gelap. Sesudah mendusin juga tetap bermimpi buruk.
Dimanakah Samon"
Waktu tidur ia seperti melihat Samon sedang berlari kian kemari, entah hendak lari kemana dan juga tidak tahu berlari menghindari apa"
Ia ingin menyusulnya, tapi jarak mereka semakin jauh, lambat-laun cuma tersisa setitik bayangan orang saja.
Namun sesudah mendusin, bayangan Samon pun tidak terlihat. Ia merasakan tubuhnya seperti berguncang perlahan, jelas kapal sudah berlayar, sudah berada di tengah laut.
Dirasakan anggota badannya sudah dapat bergerak dengan bebas. Cuma dia tidak bergerak, ia sedang memikirkan cara bagaimana akan mengerjai Lau-sit Hwesio, meski keledai gundul ini tidak terhitung ingkar janji, begitu kapal berlayar segera Hiat-to yang tertotok lantas dibuka. Tapi kalau bukan gara-gara keledai gundul ini, sepasang anak ayam yang saling cinta mana bisa terpencar"
Bila teringat kepada impian buruk tadi, terbayang kesulitan yang sedang dihadapi Samon, sungguh ia ingin mengetok kepala gundul orang hingga hancur,
Tapi apa gunanya meski dia hancurkan kepala gundul orang, betapapun si keledai gundul adalah sahabat lama, bahkan tidak terlalu busuk. Untuk dihajar adat sekadarnya memang boleh, untuk mengerjainya secara berat rasanya tidak perlu.
Laju kapal sangat mantap, jelas cuaca sangat baik, angin tenang dan hari terang, malahan mendapat angin buritan.
Perlahan Siau-hong menjulurkan tangannya dan bermaksud menotok dulu Hiat-to si kepala gundul, habis itu baru akan menghajarnya.
Siapa tahu, begitu tangan terjulur, segera Siau-hong merasakan keadaan tidak beres. Peti ini mendadak berubah sangat harum, bau harum yang sudah sangat dikenalnya.
Jelas ini bukan bau apek si kepala gundul, Hwesio macam apapun tak mungkin ada bau harum begini. Bahkan Hwesio perempuan (nikoh) juga tidak ada.
Ketika ia membalik tangannya dan menangkap tangan orang, segera dirasakan tangan ini halus licin, jelas inipun bukan tangan Lau-sit Hwesio. Keruan jantung Liok Siau-hong berdetak keras.
Dalam kegelapan terdengar seorang berkata, "Akhirnya engkau mendusin juga."
Suaranya lembut dan penuh rasa gembira.
"Hah, kau ... benar engkau?" suara Liok Siau-hong menjadi gemetar saking senangnya.
"Ya, memang benar aku."
Sungguh Siau-hong tidak percaya, juga tidak berani percaya. Yang di dalam peti jelas-jelas Lau-sit Hwesio adanya, kenapa sekarang bisa berubah menjadi Samon" Namun suara ini memang benar adalah suara Samon.
Tangan si dia Iantas memegangi tangan Siau-hong dan diangkat untuk meraba mukanya dan ... dadanya. Nyata tubuh si dia juga lagi gemetar.
Gemetar yang menggetar sukma, gemetar yang juga sudah dikenalnya.
Siau-hong tidak menghiraukan apa-apa lagi, sekuat tenaga ia peluk si dia. Seumpama ini cuma mimpi juga baik, ia berharap impian ini takkan terjaga bangun untuk selamanya.
Ia merangkui dengan erat. Sekali ini dia tidak ingin membiarkan si dia lolos dari pelukannya.
Si dia juga balas memeluknya dengan erat, ya menangis, ya tertawa, bahkan menciuminya dengan mesra, menciumi seluruh wajahnya, Iehernya dan dadanya.
Bibir si dia terasa hangat dan halus.
"Ini bukan mimpi, ini sesungguhnya," ucap si dia dengan menangis. "Sungguh ini bukan mimpi!"
Kejadian ini sungguh jauh lebih ajaib daripada di alam mimpi.
"Cara bagaimana engkau kemari?"
"Entah!"
"Dimanakah Lau-sit Hwesio?"
"Entah!" si dia memang tidak tahu.. "Aku bersembunyi di kolong ranjang dan menyaksikan mereka menggotong pergi peti itu, saking cemasnya aku jatuh pingsan."
"Kemudian?"
"Sesudah siuman, ternyata aku sudah berada lagi di dalam peti, sungguh rasanya seperti bermimpi saja," "Dan ini bukan mimpi!" "Mutlak bukan!"
Ini memang bukan mimpi, ia gigit bibirnya, Siau-hong merasa sakit, rasa sakit bahagia.
Memangnya ini keajaiban yang diciptakan Siau Giok pula" Apakah benar dia mempunyai kemampuan sebesar ini"
Semua tanda tanya ini memang sukar untuk dijelaskan, tapi hal ini tidak penting bagi mereka, yang penting adalah sekarang mereka telah bertemu dan berkumpul kembali. Mereka berpelukan dengan erat, seperti sudah bertekad akan berpelukan untuk selama hidup.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara "duk" sekali, seperti ada orang menendang peti. Terasa peti bergetar. Namun Siau-hong tidak bergerak, Samon juga tidak. Mereka tetap berangkulan dengan erat, namun Siau-hong dapat merasakan bibir Samon rada dingin.
Segera terdengar lagi suara "duk", getaran peti sekali ini terlebih hebat.
Siapakah yang menendang peti"
Samon menjilat bibirnya yang sudah rada kering, desisnya, "Ini bukan Kiong Kiu"!"
"Oo!?" Siau-hong merasa bingung.
"Tidak nanti dia melakukan hal iseng seperti ini," kata Samon pula.
Siau-hong tertawa dingin. Tiba-tiba timbul rasa gemasnya dan juga rada kecut. Ia tidak mengerti mengapa bila menyebut Kiong Kiu, nada Samon tetap membawa rasa segan dan hormat"
Mendadak Siau-hong menegak dan menumbuk peti sekuatnya.
Tak terduga gembok peti sudah dibuka, karena itulah sekali dia menegak segera dapat melompat keluar.
Gudang kapal gelap gulita dan bertimbun macam-macam barang dan peti. Di luar peti mereka ini tidak ada orang, tapi di atas belandar yang melintang di atas kepala mereka tergantung satu orang, serupa seekor ikan mati yang menyangkut pada kaitan, kelihatan masih bergoyang-goyang di atas kail.
Sekarang orang yang tergantung seperti ikan terkail ini lagi bergoyang ke sini untuk menendang peti, "duk," peti berbunyi pula.
"Hah, Lau-sit Hwesio!"
Hampir saja Liok Siau-hong berteriak, sungguh ia tidak percaya kepada matanya sendiri.
Bahwa Samon bisa mendadak masuk ke dalam peti, sedangkan Lau-sit Hwesio yang semula berada di dalam peti sekarang tergantung dikerek orang. Mengapa bisa terjadi begini"
Mulut Lau-sit Hwesio tampak penuh air liur, setelah Liok Siau-hong melepas kain penyumbat mulutnya, barulah dia menghembuskan napas lega.
"Thian yang tahu apa yang terjadi!" demikian tutur si Hwesio dengan bingung. "Semula aku sangat sadar, entah mengapa, tahu-tahu tertidur dan tidak ingat apapun."
"Waktu engkau mendusin, tahu-tahu sudah digantung orang di sini?" tanya Siau-hong.
Lau-sit Hwesio menghela napas menyesal, "Untung engkau masih berada di dalam peti, kalau tidak, sungguh aku tidak tahu sampai kapan aku akan tergantung begini?"
"Dan sekarang engkau juga tidak tahu!" kata Siau-hong. Si Hwesio melengak, segera ia memperlihatkan wajahnya yang bersahabat dan berucap, "Tapi aku tahu ... aku tahu engkau pasti akan menurunkan aku!"
"Rasanya aku belum perlu terburu-buru," ujar Siau-hong. "Tapi aku menjadi tidak sabar lagi!" "Apakah tidak enak tergantung begini?" Lau-sit Hwesio menggeleng kepala dengan cepat. Tampaknya dia benar-benar sangat resah, sampai keringat dingin pun mengucur. Liok Siau-hong lantas berduduk di atas dek dan memandangnya dengan mendongak, tanyanya pula dengan adem ayem, "Di atas tentu lebih sejuk daripada di bawah, bukan?"
Agaknya kepala Lau-sit Hwesio sudah pegal karena menggeleng terus sejak tadi, mendadak ia berteriak, "Ya, sangat sejuk, sejuk sekali!"
"Jika begitu mengapa engkau berkeringat?"
"Sebab aku marah terhadap diriku sendiri, mengapa mengikat sahabat dengan orang macam begini."
Siau-hong tertawa, tertawa lebar.
Betapapun lenyaplah sebagian besar rasa dongkolnya. Selagi dia hendak melepaskan si Hwesio, sekonyong-konyong di luar ada orang berdehem, agaknya akan mendorong pintu dan masuk ke situ.
Cepat Siau-hong menyusup lagi ke dalam peti dan perlahan merapatkan tutup peti.
Sebelum tutup peti merapat sama sekali, dapat dilihatnya pintu terdorong dan masuklah dua orang, yang berjalan di depan seperti salah seorang penggotong peti tadi.
Diam-diam Siau-hong berdoa semoga sekali ini mereka tidak lagi menggotong peti ke tempat lain.
Keadaan di dalam peti gelap gulita, di luar juga tak terdengar sesuatu suara apapun. Hendak berbuat apakah kedua orang itu"
Jika mendadak mereka melihat seorang Hwesio tergantung di atas, mengapa mereka tidak memberi reaksi apapun"
Siau-hong menggenggam tangan Samon, terasa dingin tangan si dia.
Tangan Siau-hong sendiri juga tidak hangat, baru sekarang dia menyesal, tadi mestinya dia melepaskan Lau-sit Hwesio. Baru sekarang ia mengerti, bilamana seorang hanya memikirkan mengerjai orang, seringkali yang dikerjai adalah dirinya sendiri.
Ditunggunya lagi sekian lamanya dan di luar tetap tidak ada sesuatu gerak-gerik!
Tentu saja Siau-hong gelisah, hampir saja ia ingin membuka tutup peti untuk melihat sesungguhnya apa yang terjadi di luar.
Pada saat itulah mendadak ada orang mengetuk peti di luar, "tuk-tuk-tuk", ketukan yang sangat perlahan.
Suara ini pasti bukan didepak dengan kaki, tentu juga bukan diketuk oleh Lau-sit Hwesio yang kaki dan tangannya terikat. Suara ketukan ini serupa ketukan pintu seorang tamu yang sangat sopan.
Cuma sayang, sang tuan rurnah tidak menyambut kedatangannya. Tuan rumah mestinya hendak membuka pintu, tapi nyonya rumah menarik tangannya dengan kuat.
Tuan rumah tidak membukakan pintu, terpaksa si tamu yang membuka sendiri, hanya terpentang sebuah celah kecil, sangat kecil, namun sudah cukup baginya.
Liok Siau-hong ingin mengintip keluar, tapi mendadak tertiup hawa panas dari luar. Hawa panas yang sangat harum, sedap.
Biarpun orang yang tidak pernah makan daging sapi juga pasti akan kenal hawa panas itu adalah bau sedap kuah daging.
Siau-hong sering makan daging sapi, juga suka minum kuah daging, tapi sekarang dia justru ingin tumpah.
Sebab lambungnya terasa kejang, hatinya juga tenggelam.
Mungkinkah semua ini permainan si Kuah daging alias si tawon" Serupa kucing mempermainkan tikus seteJah tikus kena ditangkapnya"
Lambat-laun hawa panas itupun buyar.
Segera Siau-hong melihat sepasang mata sedang mengintip di luar peti, sorot matanya menampilkan senyuman yang nakal dan jahil.
Lalu terdengar seorang bernyanyi di luar, lagunya tentang ayam berkotek.
Kembali Siau-hong melenggong. Suara nyanyian ini bukan suara si genit Kuah daging, suara nyanyian orang itu sungguh teramat buruk, bahkan lagu anak-anak yang sering dinyanyikan Siau-hong sendiri jauh lebih enak didengar daripada nyanyian orang ini.
Penyanyi ini ialah Lau-sit Hwesio.
Mendadak Siau-hong menolak tutup peti, segera dilihatnya seorang berjongkok di luar dengan tangan memegang semangkuk kuah daging yang masih panas, dia memang betul Lau-sit Hwesio adanya.
Bukankah tadi si keledai gundul digantung orang" Kenapa sekarang bisa muncul di sini dengan membawa semangkuk kuah daging yang masih mengepul panas"
Lau-sit Hwesio berkedip-kedip dan berucap, "Lantaran Hwesio orang jujur, maka selalu diberkati Buddha."
Kejadian ini memang agak gaib, tampaknya memang sukar dilaksanakan oleh tenaga manusia.
Siau-hong juga berkedip-kedip dan bertanya, "Eh, memangnya sang Buddha sedang menyembelih sapi?"
"Hus, Buddha maha pengasih, membunuh makhluk berjiwa adalah pantangan."
"O, jadi sang Buddha yang memberimu semangkuk kuah daging?"
"Juga bukan, ngawur kau."
"Lalu darimana bisa ada semangkuk kuah daging ini?"
"Coba kau terka?" kata si Hwesio dengan tertawa.
Dengan sendirinya Siau-hong tidak dapat menerka.
Warna dan bau kuah daging ini tidak asing lagi baginya, namun dia lebih suka melihat semangkuk tinja daripada melihat kuah daging yang harum dan sedap ini. Sebab ia tahu hanya seorang saja yang mampu memasak kuah daging semacam ini, yaitu si genit Kuah daging.
Dengan perlahan Lau-sit Hwesio berkata, "Kuah ini adalah antaran seorang sahabatmu."
"Oo"!" heran juga Siau-hong.
"Dia bilang kalian tentu terlampau lelah selama dua hari terakhir ini dan perlu mendapat obat kuat."
Menyebut obat kuat, mukanya menjadi rada merah, cepat ia menambahkan, "Kata-kata ini berasal dari kawanmu itu dan mengharuskan Hwesio meneruskannya kepadamu."
"Sekarang dia berada dimana?" tanya Siau-hong.
"Dia bilang selekasnya akan kembali ke sini untuk menjengukmu, engkau diminta jangan kuatir."
Dengan menarik muka Siau-hong berkata, "Aku juga minta kau sampaikan beberapa patah kata kepadanya."
"Silakan bicara."
"Katakan padanya, aku lebih suka makan tinja daripada minum kuah dagingnya."
Mendadak seorang menghela napas dari balik sebuah peti lain dan berucap, "Ai, orang baik-baik mengapa mesti makan tinja segala."
Begitu habis ucapannya, segera seorang anak perempuan melompat keluar dari belakang peti.
"Siau Giok!" teriak Siau-hong.
Anak perempuan ini memang Siau Giok adanya, dengan tertawa ia pandang Siau-hong sambil berkedip-kedip, lalu berkata sambil menunjuk Lau-sit Hwesio, "Kalau begitu lebih baik pergi dengannya saja."
"Siapa sudi?" sahut Siau-hong cepat.
"Kenapa?"
"Karena ada kau."
Seketika merah jengah muka Siau Giok.
"Kenapa tidak kau temani dia saja?" timbrung Lau-sit.
"Kan Samon bisa minum cuka," sahut Siau-hong.
Samon tersenyum, lalu katanya pula, "Kenapa kau tidak mau minum kuah daging, memangnya juga cuma suka minum cuka?"
Mendadak Siau-hong merampas mangkuk kuah itu dari tangan Lau-sit Hwesio dan berseru, "Sekarang aku menjadi ingin minum kuah daging."
Dengan sendirinya sangat sedap rasa kuah daging itu.
"Tampaknya di dunia ini tidak cuma seorang saja yang mahir membuat kuah seenak ini," ujar Siau-hong dengan gegetun.
"Siapa pula yang mahir?" tanya Siau Giok.
"Kau!"
"Aku cuma mahir makan saja."
"Kuah ini bukan buatanmu?"
"Selain suka makan, aku pun pandai mencuri, kuah ini hasil curianku dari dapur sana."
"Adakah orang di dapur sana mahir mengolah kuah sedap begini?"
"Ya, cuma satu orang."
"Siapa?"
"Si Kuah daging."
Seketika Siau-hong bungkam.
Siau Giok mengerling, lalu berkata pula, "Padahal seharusnya dapat kau pikirkan, sekali ini dia pasti juga telah naik kapal."
"Kenapa pasti?"
"Sebab diam-diam telah kusembunyikan sebuah sekoci, maka dia yakin kalian telah kabur dengan menumpang kapal, kalau tidak, mustahil takkan ditemukan mereka."
Setelah menghela napas, lalu Siau Giok menyambung, "Juga lantaran tidak dapat menemukan kalian, maka selama dua hari ini Kiu-siauya dan Kiongcu selalu marah-marah, untung mereka tidak oernah menyangka siapa yang mengatur dan melaksanakan hal-hal ini."
"Memangnya siapa yang mengaturnya?" tanya Siau-hong.
Siau Giok menuding hidung sendiri tanpa bicara. "Kau?" Siau-hong menegas. "Memangnya siapa lagi selain aku?" "Engkau yang mengantar Samon ke sini?" "Dengan sendirinya aku, siapa lagi?" "Juga engkau yang mengerek si Hwesio?" "Yang menurunkan dia juga aku," tukas Siau Giok. Siau-hong memandangnya dengan melongo, serupa kepala anak dara itu mendadak bertanduk.
"Engkau tidak percaya aku dapat berbuat demikian, bukan?" tanya Siau Giok.
Siau-hong memang rada tidak percaya.
"Sampai kau pun tak percaya, apalagi Kiu-siauya dan Kiongcu," ujar Siau Giok dengan tertawa.
"Makanya mereka tidak menyangka akan dirimu."
"Ya, mimpi pun tidak tersangka."
Siau-hong menghela napas dan menggeleng kepala. la merasa pameo yang mengatakan 'seorang tidak dapat dinilai dari wajahnya' memang tidak salah.
Pada saat itulah di suatu tempat di ruangan kapal ini terdengar suara keruyukan.
Semua orang terkejut, tapi segera diketahui mereka, tempat yang berkeruyukan itu adalah perut Lau-sit Hwesio.
Siau Giok tertawa terpingkal-pingkal sambil menuding perut si Hwesio.
Muka Lau-sit Hwesio menjadi merah, ucapnya rikuh, "Kenapa mesti geli" Hwesio kan juga manusia, kalau lapar tentu perutnya berkeruyukan."
"Tapi cara berkeruyuk perut Hwesio terlebih merdu daripada perut orang lain," ucap Siau Giok dengan tertawa geli.
"Sayang Hwesio sendiri tidak suka mendengarkan suara keruyukan."
"Hwesio suka mendengarkan apa?"
"Hwesio cuma suka melihat saja. Kalau ada sayur asin, ada lobak kering, ada tahu kuah, asalkan dapat dimakan semuanya ingin kulihat."
"Suka juga kuah daging?"
"Hwesio tetap Hwesio, tetap pantang makan barang berjiwa." "Kalau begitu Hwesio hanya bisa melihat dan mendengarkan bunyi perut sendiri," kata Siau Giok, lalu sambil berpaling ke arah Samon, katanya pula, "Kau juga tidak suka bukan?" "Ya, aku tidak suka," jawab Samon. "Kau tidak lapar?" "Biarpun kelaparan juga tidak sudi."
"Kiranya minum cuka juga bisa membuat perutmu kenyang," kata Siau Giok dengan cekikikan.
Sampai di sini, mendadak mangkuk kuah di tangan Siau-hong yang belum habis terminum itu dirampas oleh Lau-sit, lalu berseru, "Hwesio juga suka minum kuah daging."
"Bilakah Hwesio mulai melanggar pantangan makan?" Siau Giok berolok.
"Pada waktu kelaparan," jawab Lau-sit Hwesio sambil menenggak sebagian besar sisa kuah itu, "biarpun perut pecah dan dikutuk Buddha juga tidak menjadi soal."
"Apa benar tidak menjadi soal?" tanya Siau-hong. "Memang ada soal, yaitu soal nyawa, maka Hwesio ...." Belum lanjut ucapan Lau-sit Hwesio, mendadak ia roboh terjungkal dengan mulut mengeluarkan busa.
Seketika Siau-hong juga merasakan kepala sendiri rada pening, serunya, "Wah, celaka kuah ini beracun!"
"Siapa yang menaruh racun?" seru Siau Giok kaget. "Justru ingin kutanya padamu," kata Siau-hong, ia hendak menubruk maju, tapi kaki dan tangan sudah terasa lemas.


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Giok menggeleng-geleng dan berucap, "Tidak, bukan ... bukan aku ...."
Melihat wajah Siau-hong yang beringas, sungguh ia ingin lari, cuma sayang Samon telah menghadang jalan perginya sambil menjengek, "Habis siapa kalau bukan kau?"
Siau Giok tidak bersuara, sebaliknya seorang di luar pintu menggantikannya menjawab, "Bukan dia, tapi aku!"
Jika di dunia ini hanya seorang saja yang mampu membuat kuah daging sedap itu, dengan sendirinya juga cuma seorang saja yang dapat menaruh racun di dalam kuah, yaitu si genit Kuah daging sendiri.
Kuah daging yang dibuatnya sangat sedap dan indah dipandang, orangnya juga sangat harum dan menarik, terutama hari ini. Dia kelihatan berdandan secara khusus, baju yang dipakainya sangat serasi dan berwarna indah, pupurnya sederhana tapi sangat cocok dengan kulit mukanya.
Baru sekarang Liok Siau-hong mengetahui si Kuah daging sangat pandai memakai baju yang serasi dan juga sangat mahir bersolek.
Memangnya berdandan untuk diperlihatkan kepada siapa"
Meski tidak banyak kuah yang diminumnya, tapi kepala Siau-hong terasa pening, mata pun rada berkunang-kunang serupa orang yang mabuk arak. Mendadak ia berteriak, "Kutahu engkau pasti takkan berbuat apa-apa terhadapku."
"O, ya?" sahut si Kuah daging.
"Tentu, kalau tidak, untuk apa kau berdandan begitu?"
Dengan ketus si Kuah daging mendengus, "Tentu saja aku tidak akan berbuat apa-apa terhadapmu, aku cuma ingin menyuruh kau makan tinja saja."
Rupanya sejak mula dia sudah berada di sini, semuanya telah didengar olehnya. Bisa jadi dia justru datang bersama dengan Siau Giok tadi.
Akan tetapi melihat sikap Siau Giok yang ketakutan itu, agaknya bukan begitu halnya. Siau Giok seperti ketakutan setengah mati dan bermaksud mengeluyur keluar.
Sama sekali si Kuah daging tak menghiraukan. Kapal berada di tengah laut, orang berada di atas kapal kemana dia mampu kabur"
Agaknya Siau Giok juga tahu akan hal ini, dia tidak kabur, sebaliknya pintu kabin terus ditutupnya dengan rapat.
Serentak si Kuah daging berpaling, tanyanya dengan melotot, "Kau mau apa?"
"Aku tidak mau apa-apa, aku cuma minta kau minum kuah daging bersama si Hwesio!" kata Siau Giok.
Kuah daging tadi memang masih tersisa sedikit. Dengan tertawa Siau Giok berkata pula, "Caramu memasak kuah itu sangat enak, jika tidak dihabiskan kan sayang?"
Air muka si Kuah daging berubah. Jika pupurnya agak tebal tentu perubahan air mukanya takkan kelihatan, cuma sayang, dia memakai pupur dengan sederhana sehingga setiap perubahan air mukanya segera terlihat.
Air muka Samon sebaliknya tidak berubah. Sejak tadi air mukanya kelam, dengan tajam ia pandang si Kuah daging.
Meski Siau Giok sedang tertawa, namun di balik tertawanya juga tersembunyi sebilah pisau.
Mereka sangat memahami si Kuah daging, rasanya tidak ada orang Iain di dunia ini yang dapat memahami si genit itu seperti mereka. Dalam hal ini si genit Kuah daging juga tahu jelas. Dengan mendelik ia tanya Siau Giok, "Kau berani?" "Kenapa "aku tidak berani"!" jawab Siau Giok dengan tersenyum. "Tampaknya engkau mulai takut, sebab tadinya kau kira kami akan takut padamu, namun kami tidak takut, maka engkau sendiri menjadi takut."
Cara bicaranya seperti sangat ruwet dan membingungkan, padahal dalil ini cukup sederhana. Jika engkau tidak takut padaku, akulah yang takut padamu.
Hubungan antara manusia dan manusia Iain memang sering terjadi begini.
Perlahan Samon mengeluarkan seutas kawat baja yang sangat panjang serta diusap dan dipelintir. Kawat baja ini sangat halus, tapi ulet dan kemilauan.
Berada di tangan Samon yang putih halus itu, kawat baja berubah menjadi senjata ampuh, seketika terlihat profil seorang penari pedang. Rupanya ujung kawat baja itulah serupa ujung pedang. Sekali jarinya menyentil, seketika timbul gemerdep sinar pedang.
"Tak tersangka ilmu pedang nona Samon sehebat ini," ujar Siau Giok dengan tersenyum.
"Hal-hal yang tak tersangka di dunia ini memang sangat banyak," kata Samon dengan hambar.
Si Kuah daging tidak bicara lagi, segera ia menuju ke sana, sisa kuah di dalam mangkuk diminumnya hingga habis. Namun tidak menimbulkan reaksi apapun, jelas sebelumnya dia sudah minum obat penawar.
"Di dalam kuah itu tercampur ludah si Hwesio, apakah enak rasanya?" tanya Siau Giok dengan tertawa.
Si Kuah daging diam saja.
"Ludah Hwesio susah didapat, seharusnya kau sangat beruntung bisa mencicipinya," kata Siau Giok sambil tersenyum.
"Ya, sungguh aku sangat beruntung," kata si Kuah daging dingin.
"Oh, sungguh tak kuduga," kata Siau Giok tetap tersenyum.
"Sekarang bolehkah kupergi?" tiba-tiba ia bertanya.
"Tidak boleh!" jawab Samon.
"Memangnya apa lagi yang harus kulakukan?"
"Buka!"
"Buka" Buka apa?"
"Buka pakaianmu, buka seluruhnya hingga telanjang bulat."
Air muka si Kuah daging kembali berubah, ia melototi Samon dengan gemas.
Samon tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, tangannya tetap memainkan kawat baja.
Si Kuah daging menoleh dan mendeliki Liok Siau-hong. Siau-hong lagi tertawa. Kecuali tertawa, rasanya dia tidak bisa berbuat lain. Meski dia tidak pingsan, tapi reaksinya kelihatan sangat kaku.
"Tidak perlu pikirkan dia, kan pernah dia melihat kau buka baju?" jengek Samon.
Nyata dia masih cemburu. Seorang perempuan yang cemburu biasanya tidak mempedulikan dalih apapun.
Terpaksa si Kuah daging mulai membuka bajunya satu per satu.
"Hah, cepat benar caranya membuka pakaian!" ujar Siau Giok dengan tertawa.
"Sebab dia sudah biasa," tukas Samon.
Siau Giok sengaja menghela napas, "Aku cuma heran mengapa dia tidak pernah masuk angin."
Meski gemas setengah mati di dalam hati, terpaksa si Kuah daging pura-pura tidak mendengar.
Pada waktu memakai baju, si Kuah daging adalah perempuan yang cantik, sesudah telanjang bulat, dia bertambah cantik. Kedua kakinya panjang lurus dan padat, kulitnya putih halus, pada waktu kedua pahanya merapat, satu jari saja sukar menembusnya.
Tidak perlu disangsikan lagi, dia adaiah perempuan yang dapat menghanyutkan sukma kaum lelaki, terhadap hal ini biasanya dia juga cukup yakin akan kemampuan sendiri.
Siau Giok menghela napas pula, "Wah, betapa indah garis tubuhnya, apabila aku lelaki, pasti aku sudah jatuh kelengar." "Cuma sayang, kau bukan lelaki," kata Samon. "Untung bukan, kau pun bukan," ujar Siau Giok. "Tapi kalian juga bukan perempuan," seru si Kuah daging tiba-tiba.
"Bukan?" Siau Giok menegas.
"Jika kalian ingin menjadi perempuan sejati, kalian masih perlu banyak belajar," kata si Kuah daging.
"Boleh kau ajari kami!" kata Siau Giok.
Si Kuah daging memandangnya, sorot matanya tiba-tiba menampilkan semacam perasaan yang aneh, perasaan yang penuh nafsu birahi yang tak terperikan.
Entah mengapa, muka Siau Giok menjadi merah jengah secara mendadak.
Perlahan si Kuah daging berkata, "Mengapa tidak kau buka bajumu, supaya dapat kuajari kau?"
Kerongkongan Siau Giok terasa kering dan tidak sanggup berucap lagi.
Si Kuah daging mendekatinya dengan langkah gemulai, langkah yang berirama dan membawa semacam kekuatan gaib yang jahat.
Sekonyong-konyong sinar tajam berkelebat menusuk dadanya.
Itulah kawat baja Samon yang telah berubah menjadi kaku lurus serupa pedang, bahkan lebih tajam daripada ujung pedang.
Si Kuah daging terpaksa melompat dan berjumpalitan ke belakang sehingga bagian tubuhnya yang paling misterius terpampang jelas di depan mata Siau Giok.
Kawat baja yang lurus ini segera berubah menjadi cambuk dan menyabet kaki si Kuah daging. Cepat si Kuah daging menarik kaki dan melompat ke belakang Liok Siau-hong, telapak tangannya lantas mengancam Giok-cim-hiat di belakang kepalanya.
"Jika kau serang lagi, segera dia mampus!" ancam si Kuah daging.
Terpaksa Samon tidak berani bergerak lagi.
Siau Giok juga tidak bergerak, tapi mukanya tetap merah memandangi tubuh yang bugil itu.
Si Kuah daging tertawa, ucapnya sambil memicingkan sebelah mata, "Siau Giok, mestika hatiku, kusuka padamu, selama ini kusayang padamu. Masakah kau lupa pada waktu kecil sering kupeluk dirimu dan tidur bersama?"
Wajah Siau Giok tambah merah, tanpa terasa ia mengangguk.
"Sekarang jika kau bunuh Samon, tentu aku akan lebih sayang padamu," kata si Kuah daging pula.
Siau Giok tampak ragu dan menatap mata orang. Sinar mata si Kuah daging penuh mengandung daya pikat yang jalang dan jahat.
Sekonyong-konyong Siau Giok menubruk ke arah Samon, secepat kilat ia merampas kawat bajanya. Jelas Samon tidak menyangka akan perbuatan Siau Giok ini, terlebih tidak menyangka gerak tangan anak dara itu bisa sedemikian cepatnya. Kontan kawat baja itu terampas, sekali sinar tajam berkelebat, tahu-tahu menyambar ke tenggorokan si Kuah daging.
Serangan ini terlebih di luar dugaan, dan juga cepat luar biasa.
Sayang si Kuah daging juga tidak dapat tertipu, sedikit mendak, dapatlah ia menghindar dan bersembunyi di belakang Siau-hong.
"Apakah kalian menghendaki kematiannya"!" ancam si Kuah daging pula.
Siau Giok tidak berani bergerak lagi.
Perlahan si Kuah daging berdiri, tertawanya sangat gembira, katanya, "Sekarang bolehkah aku minta kalian melakukan sesuatu?"
"Apa?" tanya Siau Giok.
"Buka?" seru si Kuah daging, sinar matanya mencorong, "Keduanya sama buka, buka seluruhnya hingga telanjang bulat."
Siau Giok melirik Samon sekejap. Wajah Samon kelihatan pucat.
"Akan kuhitung sampai sepuluh, jika kalian belum juga membuka, di sini akan segera bertambah seorang mati," lalu si Kuah daging mulai menghitung, "Satu ... dua ... tiga ...."
Siau Giok mulai menanggalkan bajunya, terpaksa Samon juga menurut. Mereka tahu apa yang diucapkan si Kuah daging pasti juga dapat dilaksanakannya.
Dia menghitung dengan cepat, terpaksa mereka pun membuka baju dengan sama cepatnya.
Si Kuah daging tertawa ngikik," "Hihi, kiranya kalian juga sudah biasa main buka-bukaan!" Sampai di sini ia pun menyambung hitungannya. "Empat... lima ... enam ...."
Tak terduga mendadak tangan Liok Siau-hong membalik, dengan dua jari ia pencet pergelangan tangan si Kuah daging terus disengkelit ke belakang, kontan si Kuah daging menggeletak terbanting seperti ikan mampus.
Mestinya Siau-hong tidak mudah menjatuhkan lawan, soalnya si Kuah daging agak ceroboh. Seorang memang tidak boleh ceroboh, dalam keadaan apapun tidak boleh terlalu gembira sehingga lengah.
Siau Giok terus menubruk maju dan menindihnya dengkulnya menekan punggung orang, sambil tertawa ia bertanya kepada Siau-hong, "Mengapa sampai sekarang engkau baru turun tangan?"
"Mestinya hendak kutunggu setelah dia menghitung sampai sepuluh baru akan turun tangan," jawab Siau-hong dengan tertawa.
Samon menggigit bibir dan melototinya sekejap, mukanya yang pucat menjadi rada merah jengah.
Mungkin si Kuah daging terbanting cukup keras, sampai sekian lama dia baru mampu bicara, "Hei, apakah kalian hendak memperkosa diriku?"
"Kami tidak berminat, dia juga tidak perlu berbuat demikian," kata Siau Giok sambil melirik Siau-hong.
"Jika begitu, harus lekas kalian lepaskan diriku, kalau tidak. kalian juga jangan harap akan lolos dengan selamat," ucap si Kuah daging.
"Oo"!" Siau Giok melengak.
"Asalkan sebentar saja tidak melihat diriku, tentu Kiu-ko akan mencariku kemana-mana. Memangnya kalian mampu kabur kemana setelah berada di atas kapal ini?"
Siau Giok memandang Samon, kedua orang sama-sama diam. Mereka tahu apa yang dikatakan si Kuah daging memang betul.
Si Kuah daging tertawa pula dan berucap dengan lembut, "O, Siau Giok, mestika hatiku, lekas singkirkan dengkulmu, pegal sekali punggungku!"
Karena Samon tidak memberi reaksi apa-apa, terpaksa Siau Giok memandang Liok Siau-hong.
Tiba-tiba Siau-hong bertanya, "Adakah sekoci penyelamat di atas kapal ini?"
"Ada dua," cepat Siau Giok menjawab.
"Apakah dijaga orang?"
"Penjaganya dapat kita bereskan, tapi biarpun dapat kita rebut juga tidak ada gunanya."
Maksud ucapan Siau Giok jelas hendak menyatakan siapa pun tidak sanggup menghadapi Kiu-siauya. Cuma hal ini tidak dikatakannya secara terus terang. Untuk menurunkan sekoci, lalu mendayungnya hingga sekoci tidak dapat ditemukan kapal besar ini, sedikitnya diperlukan waktu satu jam. Dan Kiong Kiu pasti takkan memberi kesempatan satu jam kepada mereka.
Siau-hong berpikir sejenak, katanya kemudian, "Orang di atas sana saat ini belum mengetahui Siau Giok telah berkhianat, jika dia berusaha merebut sekoci tentu tidak sulit."
"Akan tetapi ...."
Mendadak Siau-hong memotong ucapannya, "Saat ini biasanya Kiong Kiu berada dimana?"
"Berada di kamarnya," sahut Siau Giok.
"Kecuali dia, adakah tokoh kelas tinggi lain di atas kapal ini?"
Siau Giok menggeleng, "Selamanya dia pergi datang sendirian."
"Kamarnya tentu adalah kabin utama kapal ini?"
"Apakah engkau hendak mencarinya?" tanya Samon tiba-tiba.
Siau-hong tertawa, "Mestinya aku tidak ingin mencarinya, tapi sekarang mau tak mau harus kudatangi dia."
"Sebab apa?" Samon tampak kuatir.
"Sebab hendak kujual sesuatu barang kepadanya, rasanya mau tak mau dia harus membeli."
"Barang apa?" tanya Samon.
"Semangkuk besar kuah daging yang harum dan sedap," jawab Siau-hong.
Seketika mencorong sinar mata, Samon, "Berapa harga yang akan kau minta?"
"Harga yang kuminta tidak terlalu tinggi," tanpa memberi kesempatan bertanya lagi kepada Samon, segera ia meneruskan, "Sekarang masukkan dulu si Kuah daging ke dalam peti. Begitu aku berangkat, kalian harus segera merebut sekoci, kedua-duanya."
Samon memandangnya dengan prihatin, "Bisa jadi Kiong Kiu tidak menghendaki kuah daging ini, mungkin dia cuma menghendaki jiwamu."
Siau-hong tertawa, "Bekerja apapun sedikit banyak kan harus menyerempet bahaya" Nanti, bila kalian cuma melihat Kiong Kiu sendiri naik ke atas geladak dan tidak melihat diriku ...."
"Segera kami membunuh dia!" tukas Samon.
Siau-hong mengangguk perlahan, dalam hati terasa tidak enak.
Dia tidak menghendaki nyawa si Kuah daging, terlebih tidak mengharapkan persoalannya berkembang sejauh itu. Cuma sayang sama sekali tidak ada kesempatan memilih lagi baginya.
Samon memegang tangannya dan bertanya, "Bilakah engkau mau ... mau berangkat?"
"Begitu si Hwesio siuman segara kuberangkat!" jawab Siau-hong.
Samon tersenyum, "Tentu saja harus menunggu dia siuman, peti ini kan perlu digotong oleh seorang lelaki."
Siau-hong juga tersenyum, tapi hati terasa berat. Ia tahu bukan itulah yang hendak diucapkan Samon, dapat dilihatnya sorot matanya yang kuatir dan sedih.
Tapi sekarang apa yang dapat dikatakan si dia" Biarpun dia tahu perpisahan ini sangat mungkin adalah perpisahan selamanya, terpaksa si dia harus membiarkannya pergi, sebab ia tahu, sama ekali tiada pilihan lain baginya.
Siau Giok memandang mereka, tiba-tiba ia berkata, "Saat ini si Hwesio belum lagi mendusin dan peti masih kosong, masakah kalian membiarkannya kosong begitu saja?"
Akhirnya Lau-sit Hwesio siuman. Liok Siau-hong sudah pergi, si Kuah daging telah dimasukkan ke dalam peti.
Sudah tiba waktunya mereka bergerak. Tapi Samon belum lagi mau pergi. Ia pandang Siau Giok, sorot matanya penuh rasa terima asih, ucapnya perlahan, "Sudah sejak kecil kau ikut mereka kakak beradik?"
"Ya, sejak aku berumur tujuh," tutur Siau Giok. "Aku anak atim piatu, jika tidak ditolong Loyacu, sejak dulu aku sudah mati tenggelam di laut."
"Oleh sebab itulah engkau selalu sangat setia kepada keluarga Kiong," kata Samon.
Siau Giok berkedip-kedip, "Jika nona Samon berhasrat mengobrol denganku, nanti setelah berada di atas sekoci masih banyak waktu untuk mengobrol."
Samon seperti tidak mendengar ucapannya, katanya pula, "Orang macam apakah Kiu-siauya itu, tentu kau tahu dengan sangat jelas."
Terpaksa Siau Giok mengangguk.
"Sekarang Liok Siau-hong pergi mencarinya, kepergiannya ini sangat mungkin takkan kembali lagi."
"Akan tetapi ...."
Segera Samon memotongnya, "Bila Siau-hong mati, Kiongcu pasti juga mati. Dan kalau Kiongcu mati, tidak seorang pun di antara kita dapat hidup, sebab itulah ...." Mendadak ia menarik tangan Siau Giok dan menyambung, "Sebab itulah ada sesuatu urusan ingin kubicarakan lebih dulu denganmu."
"Apakah urusan ini harus dibicarakan sekarang juga?" Samon mengangguk, "Ya, hanya satu kalimat saja yang ingin kukatakan."
"Satu kalimat apa?" "Terima kasih padamu."
Siau Giok memandangnya, matanya pun merah dan basah. "Meski sekarang kita masih terancam bahaya, tapi kalau tidak ada engkau, sedikit kesempatan ini saja tidak kita peroleh," kata Samon. "Sebab itulah, bila sekali ini kita berhasil menyelamatkan diri, kuharap engkau dapat berada bersama kami untuk selamanya." Siau Giok menunduk dengan muka merah. Dengan sendirinya dapat dipahaminya maksud Samon, "Kami" yang disebutnya dimaksudkan Samon dan Liok Siau-hong.
Dengan lembut Samon berucap pula, "Aku ini perempuan pencemburu, tapi sekali ini kubicara dengan setulusnya."
"Tahun ini umurku enam belas," akhirnya Siau Giok berkata dengan lirih.
Umur 16 adalah masa akil baliq kaum remaja.
"Liok Siau-hong memang lelaki yang menyenangkan, kupercaya kebanyakan anak perempuan pasti suka padanya," ucap Siau Giok pula.
"Dan kau?" tanya Samon.
Dengan muka merah Siau Giok menjawab, "Dengan sendirinya tak dapat kukatakan aku tidak suka padanya, namun ... namun apa yang kulakukan ini bukanlah karena dia."
"Bukan karena dia?" Samon menegas.
"Ya, bukan, mutlak bukan!" suara Siau Giok tegas dan pasti, siapa pun dapat mengerti_dia tidak bohong.
"Habis apakah demi diriku?" tanya Samon.
"Juga bukan," jawab Siau Giok dengan memperlihatkan semacam pandangan yang aneh. "Aku berbuat demikian adalah karena demi diriku sendiri."
Keterangan ini sangat di luar dugaan Samon, "Tapi mestinya engkau tidak perlu menyerempet bahaya semacam ini."
"Aku mempunyai alasan," kata Siau Giok.
"Dapatkah kau beritahukan padaku?"
"Sekarang tidak, apabila Liok Siau-hong dapat kembali dengan hidup pasti akan kuberitahukan padamu. Tatkala mana umpama kalian tidak ingin tahu juga tidak boleh," kata Siau Giok pula dengan tersenyum kecut.
Sudah lewat tengah malam, angin reda, laut tenang.
Kapal melaju dengan cepat dan anteng. Menurut kecepatan berlayar begini, petang esok lusa tentu akan mencapai daratan.
Masa dinas kawanan kelasi di atas kapal terbagi dua kelompok, yang tidak dinas sudah tidur. Berada di geladak kapal akan dapat mendengar suara mendengkur kawanan kelasi.
Suara mendengkur siapa pun pasti bukan suara yang enak didengar. Tapi bagi Liok Siau-hong sekarang suara mendengkur mereka justru sangat enak didengar, sebab suara dengkuran mereka itu membuat Siau-hong merasa aman.
Apakah Kiong Kiu juga sudah tidur" Tentu saja tidak, umpama tidur juga tidak selelap ini. Dia seorang yang luar biasa, seorang manusia super, segala yang dimilikinya sukar dibayangkan oleh siapa pun. Dia seperti senantiasa berada dalam keadaan sadar.
Betapa perasaan Liok Siau-hong terhadap seterunya ini" Hal-hal yang menyangkut orang ini sudah banyak didengarnya, tapi bertemu secara muka berhadapan muka adalah kejadian lain.
Kabar mengenai dirinya di luaran, entah benar atau tidak, siapa yang tahu pula"
Di malam yang sunyi dan tenang ini, apa yang sedang dilakukannya"
Duduk termenung" Atau meresapi kesepiannya" Kelasi yang dinas kerja sedang sibuk di pos masing-masing, siapa pun tidak berani meninggalkan tempat tugasnya.
Di luar kabin tidak ada penjagaan. Memangnya siapa yang berani mengganggu Kiu-siauya"
Maka dengan sangat mudah dapatlah Liok Siau-hong menemukan kabin utama, pintu kamar tertutup rapat, di luar tiada seorang pun.
Siau-hong tidak ragu dan sangsi, ia yakin Kiu-siauya pasti berada di dalam kamar kabin itu. Tapi sebelum dia mengetuk pintu, mendadak didengarnya semacam suara aneh di dalam kamar.
Semacam suara rintihan dengan napas yang terengah, serupa seekor binatang yang lagi meronta mendekati ajalnya.
Siau-hong tercengang. Ia heran apakah di dalam kamar ada orang lain yang sedang disiksa oleh Kiong Kiu"
Bukankah di dunia ini banyak terdapat manusia yang suka memperlakukan orang dengan sadis demi kepuasan sendiri"
Mendadak terdengar di dalam ada orang meratap tertahan, "Tolong ... lekas tolong ... aku ... aku tidak tahan lagi!" Siau-hong juga tidak tahan lagi.
Dia sangat benci kepada orang gila yang suka menyiksa orang lain. Sekuatnya ia mendobrak pintu dan menerjang ke dalam.
Tapi segera ia melongo.
Di dalam cuma ada satu orang. Seorang muda dengan rambut kusut dan muka pucat, dengan badan setengah telanjang sedang meronta dan berguling di lantai. Badannya yang putih dan agak kurus itu berlepotan darah, darah yang mengucur akibat ditusuk jarum olehnya sendiri. Hal ini terbukti pada jarum yang dipegangnya.
Kamar kabin ini terpajang sangat indah, baju yang terlempar di lantai juga buatan ahli jahit dengan bahan kelas tinggi.
Tidak perlu disangsikan lagi, inilah kamar kabin Kiong Kiu. Lantas siapakah anak muda ini" Mengapa dia menyiksa dirinya sendiri"
Agaknya anak muda itu pun terkejut melihat kemunculan Liok Siau-hong. Tapi dia telah kehilangan rasio sama sekali oleh semacam penderitaan dan kehendak yang sukar ditahan.
Mendadak ia merintih pula, "Cam ... cambuk ... cambuk ...."
Di ujung tempat tidur memang tergantung seutas cambuk.
"Gunakan cambuk itu, sabetlah diriku ... sabetlah sekerasnya!"
Namun Siau-hong tidak melakukannya, ia cuma memandangnya dengan dingin.
Orang itu juga memandangnya, sorot matanya penuh rasa memohon dan minta dikasihani, "Kumohon, lekas ... lekas kau ambil cambuk itu dan cambuklah diriku!"
Tapi Siau-hong lantas berduduk malah, berduduk di kejauhan.
Sekarang dapat dipikirnya, orang ini sangat mungkin ialah Kiong Kiu, ia tahu di dunia ini ada sementara orang yang suka menyiksa dirinya sendiri.
Menyiksa diri meski semacam penyakit kelainan jiwa, tapi juga semacam pelampiasan.
Selama ini Liok Siau-hong tidak mengerti orang semacam ini, setelah melihat Kiong Kiu sekarang, mendadak ia paham.
Lantaran terlalu banyak yang diperolehnya, bahkan diperolehnya dengan teramat mudah, sebab itulah gejolak nafsunya hanya dapat dilampiaskan pada waktu dia menyiksa dirinya sendiri.
Siau-hong memandangnya dengan dingin, "Apakah kau sedang menunggu kedatangan Kiongcu" Dia suka mencambuk orang, dan aku tidak suka."
Sorot mata orang itu dari mohon belas kasihan berubah menjadi benci, ucapnya dengan beringas, "Apa yang kau sukai" Samon?"
Mendadak ia terbahak-bahak, tertawa latah, "Hahahaha, jika kau sangka perempuan itu seorang gadis suci, jelas kau salah besar. Dia cuma perempuan sundel!"
Siau-hong menggenggam tangannya dengan menahan perasaannya.
Tertawa orang itu bertambah gila, "Haha, dia memang sundel tanpa tara, tanpa bayar juga ia mau naik ranjang dengan siapa pun. Pada waktu berumur 13 juga dia sudah mulai naik ranjang."
Mendadak Siau-hong berlari ke sana, cambuk disambarnya. Dia takkan murka dimaki, tapi orang menista nona yang dicintainya, betapapun, dia tidak tahan. Setiap lelaki pasti tidak tahan.
Dengan tertawa keras orang itu berkata pula, "Haha, apakah kau marah" Sebab kau tahu apa yang kukatakan memang benar!"
Siau-hong memburu maju, mendadak cambuknya menyabet tepat di dada orang yang putih dan agak kurus itu.
Sekali cambuk sudah menyabet, untuk menyabet kedua kalinya menjadi tidak sulit lagi.
Bersambung ke 2
Sang Ratu Tawon
Oleh Khulung/Gan KL
Bagian 2 Sorot mata orang itu seketika juga mencorong lebih terang, tapi mulutnya tetap memaki tiada berhenti, semakin keras cambuk Siau-hong menyabet, semakin puas pula sorot matanya dan makiannya juga bertambah kotor.
Inilah pelampiasan berganda. Mendadak tubuhnya meringkuk, lalu mengendur, kemudian lantas rebah telentang dan tidak bergerak lagi.
Dia sudah mendapatkan kepuasan.
Liok Siau-hong menyurut mundur dan berduduk, bajunya juga sudah basah kuyup oleh keringat. Rasa murkanya juga sudah terlampias.
Tiba-tiba dia juga merasakan dirinya seperti mendapatkan semacam kepuasan yang aneh. Tapi perasaan ini membuatnya hampir tumpah.
Ia memejamkan mata, sedapatnya ia menahan perasaan sendiri. Waktu ia membuka mata lagi, orang yang telentang di lantai tadi sudah menghilang.
Kamar kabin sunyi senyap, kalau tangannya tidak memegang cambuk, bisa jadi akan disangkanya telah bermimpi buruk.
Pada saat itulah seorang muncul dari sebelah dalam sana, rambutnya terikat rapi, bajunya yang putih bersih tiada kusut sedikit pun, wajahnya yang tampan seperti ukiran membawa semacam sikap yang dingin, ketus dan angkuh, tapi juga keras serta sorot matanya yang tajam.
Inilah orang muda tadi, orang yang suka memperlakukan diri sendiri dengan sadis itu.
Siapa yang mau percaya" Tapi mau tak mau Liok Siau-hong harus percaya.
Ini bukan keajaiban, juga bukan mimpi buruk, tapi fakta, kejadian nyata yang terkadang terlebih aneh, lebih menakutkan dan menjijikkan daripada mimpi buruk.
Dengan sorot mata setajam sembilu orang itu menatap Siau-hong, katanya tiba-tiba, "Akulah Kiong Kiu!"
"Kutahu," sahut Siau-hong tak acuh.
Sekarang ia tahu orang macam apakah Kiong Kiu itu, dia bukanlah dewa atau manusia luar biasa, bahkan dia hanyalah seorang bedebah yang memuakkan. Orang yang mempunyai kelainan jiwa.
"Tentunya tak kau sangka akan kedatanganku di tempatmu ini," sambung Siau-hong.
"Di dunia ini memang banyak orang yang tidak takut mati, kan tidak cuma kau sendiri saja," jengek Kiong Kiu.
"Tapi aku takut mati," kata Siau-hong.
"Makanya sekarang engkau pasti sangat menyesal."
"Menyesal?" Siau-hong menegas.
"Ya, tentu kau menyesal mengapa tadi tidak membunuhku."
Siau-hong menghela napas, "Tadi memang ada kesempatan bagiku untuk membunuhmu."
"Dan tidak kau lakukan," kata Kiong Kiu. Siau-hong tertawa sambil memandang cambuk yang dipegangnya. Air muka Kiong Kiu tidak memperlihatkan rasa kikuk apapun, seakan cambuk ini tadi tidak pernah menyentuh tubuhnya.
"Tidak kubunuh dirimu adalah salahku sendiri, aku tak menghendaki rasa terima kasihmu, cuma ...."
Mendadak ucapan Siau-hong terputus, sebab Kiong Kiu telah melakukan sesuatu pula yang sangat aneh. Mendadak Kiong Kiu membuka bajunya sehingga kelihatan dada dan punggungnya, ternyata kulit tubuhnya putih mulus.
Siau-hong jadi melenggong, kemana bekas cambukan dan darah yang melumuri badan orang ini" Sungguh ia tidak mengerti.
Meski dia pernah mendengar cerita orang, ada semacam kungfu gaib, bila ilmu gaib itu sudah terlatih sampai taraf tertentu, maka akan timbul semacam kekuatan gaib, luka baru apapun dapat sembuh dalam waktu singkat. Namun selama ini dianggapnya cerita demikian cuma omong kosong belaka.
Kiong Kiu memakai lagi bajunya, lalu memandang Siau-hong dengan tenang, tanyanya "Sekarang semuanya sudah jelas bagimu, bukan?"
"Jelas apa?" tanya Siau-hong.
"Tadi engkau tidak salah, sebab pada hakikatnya engkau tidak mempunyai kesempatan untuk membunuhku."
"Jadi kau pun tidak perlu berterima kasih padaku!" "Maka sekarang mau tak mau kau pasti akan mati." Siau-hong tertawa pula.
"Siapa pun kalau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dilakukan, maka dia harus mati," ucap Kiong Kiu.
"Apalagi telah kulihat pula hal yang seharusnya tidak boleh kulihat!" tukas Siau-hong.
Mendadak Kiong Kiu menghela napas perlahan, "Cuma sayang, saat ini belum dapat kubunuh kau."
"Sebab tidak pernah kau bunuh orang tanpa bayaran bukan?" tanya Siau-hong.
"Bagimu, untuk ini dapat kulanggar kebiasaanku itu."
"Memangnya apa kehendakmu?"
Kiong Kiu memandangnya dengan lekat, sampai agak lama baru bertanya, "Dimana dia?"
Pertanyaan ini terasa agak janggal, "dia" yang dimaksudkan tidak dijelaskannya.
Tapi tanpa sangsi Siau-hong lantas menjawab, "Berada di dalam peti."
"Kau tahu siapa yang kutanyakan?"
"Kutahu," jawab Siau-hong, segera ia balas bertanya, "Kau pun tahu dia telah jatuh dalam cengkeraman kami?"
"Kau bilang kau takut mati, tapi kau datang juga kemari, dengan sendirinya engkau bukan sengaja mengantar kematianmu!"
Kedua orang saling tatap, sorot mata kedua orang sama menampilkan semacam perasaan aneh. Perasaan aneh yang sedikil banyak membawa rasa kagum dan hormat.
Rasa kagum dan hormat terhadap lawan ini sering kali jauh lebih khidmat daripada rasa hormat terhadap sahabat.
Selang agak lama barulah Kiong Kiu berucap pula, "Hendak kau gunakan jiwanya untuk menukar jiwa kalian berdua?"
"Bukan berdua, tapi berempat," jawab Siau-hong.
"Kedua jiwa yang lain ialah Lau-sit Hwesio dan Siau Giok?"
Siau-hong mengangguk. Betapapun dia harus mengakui orang ini memang ada segi-seginya yang melampaui manusia.
"Dan yang kau minta ...."


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku cuma minta waktu satu jam," tukas Siau-hong. "Akan kubawa pergi dia, kapalmu berlayar ke arah balik, sejam kemudian akan kubebaskan dia."
"Kedua sekoci di atas kapal sudah kau rebut semua?" Tanya Kiong Kiu.
"Ya, kuyakin Siau Giok pasti takkan membuatku kecewa." "Sejam kemudian akan kau lepaskan dia untuk bergabung denganku?"
"Ya, empat orang kan tidak perlu menggunakan dua sekoci, sebuah di antaranya justru kusiapkan buat dia."
"Sangat cermat juga pikiranmu." "Apa yang kukatakan juga pasti kutepati." "Hanya orang yang tidak banyak omong bisa menepati janji." "Kau lihat aku ini orang yang banyak omong?" tanya Siau-hong.
Dia memang bukan lelaki jenis ini.
"Dapat kau lupakan apa yang kau lihat selama beberapa hari ini?"
"Tidak," jawab Siau-hong tegas.
Siapa pun takkan melupakan macam-macam kejadian yang telah dilihatnya ini.
"Dapat kau jaga rahasia bagi kami?"
Siau-hong tertawa, "Urusan kalian ini, umpama kuceritakan, siapa yang mau percaya."
Kiong Kiu memandangnya dengan sorot mata puas, katanya, "Tampaknya engkau tidak biasa sembarangan berjanji sesuatu kepada orang lain."
"Memang," jawab Siau-hong.
"Orang yang tidak mudah memberi janji tentu juga lebih dapat dipercaya. Maka kuharap pada waktu kutemukan dia pasti dalam keadaan selamat tanpa kurang apapun." "Pasti!" kata Siau-hong.
"Aku juga percaya saat ini sekoci pasti sudah diturunkan." "Sangat mungkin," ucap Siau-hong.
Perlahan Kiong Kiu berbangkit, "Jika begitu, asalkan engkau sudah turun ke dalam sekoci, tentu akan kau lihat kapal ini telah berbalik arah."
Dia berdiri menandakan pembicaraan ini sudah berakhir.
Siau-hong juga berdiri, katanya dengan tersenyum, "Bicara urusan bisnis denganmu sungguh pekerjaan yang menyenangkan."
"Aku pun sama," sahut Kiong Kiu.
Dengan langkah lebar Siau-hong menuju ke pintu.
Sambil mengawasi punggung seterunya itu, mendadak Kiong Kiu berkata pula, "Kuharap inilah penghabisan kalinya."
"Pertemuan penghabisan kali?" Siau-hong menegas.
Kiong Kiu mengangguk, "Ya, bilamana kita berjumpa pula, kuyakin kita takkan gembira seperti ini."
-00- Laut gelap, ombak bergolak.
Sekoci terombang-ambing di tengah gelombang sehingga mirip sebulir beras di tengah air kuali yang mendidih.
Liok Siau-hong dan Lau-sit Hwesio mendayung bersama, Siau Giok yang memegang kemudi.
Kapal Kiong Kiu sudah putar haluan, sudah sangat lama sekoci mereka meluncur di tengah kegelapan laut.
Tiba-tiba Lau-sit Hwesio bertanya, "Apakah benar sudah kau lihat Kiong Kiu?"
"Ehm!" Siau-hong mengangguk.
"Sesungguhnya orang macam apakah dia?"
Siau-hong termenung. Kata-kata ini sering dia tanyakan kepada orang lain, sekarang justru orang lain yang bertanya kepadanya.
Dia lagi menimbang cara bagaimana harus memberi jawaban.
"Entah!" akhirnya ia menjawab. Inilah hasil pertimbangannya.
Semakin lama ia berpikir, semakin dirasakan kata "entah" adalah jawaban yang paling tepat. Sebab sesungguhnya dia tidak dapat memahami orang ini.
"Kalian sudah berjumpa, sudah bicara, dan engkau tetap tidak tahu"!" tanya Lau-sit Hwesio.
Siau-hong menghela napas, "Aku cuma tahu setitik."
"Setitik apa?"
"Sama sekali aku tidak mau melihat dia lagi, juga sama sekali tidak ingin bergebrak dengan dia."
Tiba-tiba Siau Giok yang memegang kemudi di buritan menghela napas dan berkata, "Cuma sayang, ada sementara urusan umpama benar engkau tidak mau mengerjakannya, seringkali mau tak mau harus kau kerjakan."
"Memangnya pasti akan kulihat dia lagi?" tanya Siau-hong.
Siau Giok diam saja memandang kegelapan laut, seperti tidak mendengar pertanyaannya. Adakah di dalam hati anak dara ini tersembunyi sesuatu rahasia"
Sekoci lain terikat dengan tali di buritan sekoci yang mereka tumpangi ini. Mendadak Siau Giok meluruskan kemudinya dan menarik sekoci di belakang itu, katanya, "Sekarang tentu sudah tiba waktunya kita lepaskan dia!"
Tanpa bicara Samon terus membuka peti, tertampak si Kuah daging meringkuk di dalam peti, tetap dalam keadaan telanjang bulat dan tidak bergerak.
Tubuhnya yang bugil tampak halus dan berkilauan terkena sinar bintang.
"Apakah kau tidak mau pergi?" tanya Samon. "Untuk apa pergi" Di dalam peti ini terasa hangat dan enak sekali," jawab si Kuah daging.
"Tidak ingin pulang untuk menemui Kiu-komu?" "Jika aku tidak pulang, lambat atau cepat dia pasti akan menyusul kemari, buat apa aku gelisah?"
Mendadak si genit berdiri, tubuhnya yang telanjang bulat tampak berkilau di bawah remang malam dan tepat berdiri di depan Lau-sit Hwesio.
Dengan mata terpicing si genit bertanya, "Sudah berapa lama Hwesio tidak melihat perempuan bugil?"
"Rasanya ... rasanya sudah ada beberapa ratus tahun," ucap Lau-sit Hwesio dengan menunduk.
Mendadak si Kuah daging tertawa ngikik, "Eh, ternyata Hwesio tidak berani memandang padaku."
"Karena Hwesio tahu, imannya belum teguh sempurna," sahut Lau-sit tertawa getir.
"Memangnya Hwesio juga bisa tergoda?" "Siapa bilang Hwesio tidak bisa tergoda?" Kembali si Kuah daging tertawa, terus berduduk di pangkuan Lau-sit Hwesio, katanya, "Wah, duduk di pangkuan Hwesio ternyata jauh lebih enak daripada meringkuk di dalam peti." Seketika Lau-sit Hwesio mandi keringat.
Dengan sendirinya ia tahu si genit sengaja mengacau supaya sekoci tidak dapat meluncur dengan cepat. Jika dia tidak kembali ke sana, dengan sendirinya Kiong Kiu akan menyusul kemari.
Tapi sayang, biarpun dalam hati berpikir demikian, Lau-sit Hwesio justru tidak berdaya, bukan saja tangannya tidak berani digunakan mendorong si genit, bahkan bergerak saja tidak berani.
Si Kuah daging mengerling genit, tiba-tiba ia bertanya pula, "Sudah berapa lama Hwesio tidak pernah memegang orang perempuan."
"Eh ... entah!" jawab Lau-sit Hwesio dengan gelagapan.
"Tidak tahu atau lupa?"
"Tid .... O, lupa!"
"Wah, kalau begitu, bagaimana rasanya meraba orang perempuan saja sudah kau lupakan. Biarlah kuberi kursus lagi-dari permulaan!" sambil tertawa si Kuah daging lantas memegang tangan Lau-sit Hwesio.
Saking takutnya hampir saja Lau-sit Hwesio menjerit, untunglah pada saat itu sebuah tangan mendadak terjulur tiba dan memegang pergelangan tangan si genit, sekali sengkelit, kontan si genit mencelat dan "plung", dia tercebur ke dalam laut.
Siau-hong tepuk-tepuk tangannya yang baru dipakai melemparkan si genit, lalu berkata, "Potong saja tali pengikat sekoci di belakang itu, apakah dia mau naik ke situ atau tidak terserah padanya, tidak perlu kita urus lagi."
"Jika dia mati tenggelam, lantas bagaimana?" tanya Siau Giok.
"Biarkan saja," jawab Siau-hong.
"Ah, cara yang baik, putusan yang tegas!" seru Siau Giok dengan tersenyum.
Cara ini memang cara yang paling bagus untuk menghadapi orang semacam si Kuah daging.
Kelihatan si Kuah daging timbul tenggelam di tengah laut sambil berteriak, "Liok Siau-hong, kau keparat, jahanam, tidak nanti kuampuni dirimu, pada suatu hari pasti akan kucincang dirimu dan akan kumakan dagingmu!"
Betapa keras ia mencaci-maki, Liok Siau-hong berlagak tidak mendengar sama sekali.
Lau-sit menghela napas, ujarnya tertawa getir, "Rupanya dia ketemu batunya."
Pada saat itulah mendadak ombak mendampar, "blang", seketika dunia terasa gelap, Mungkinkah akan terjadi hujan badai"
Sekoci berguncang dengan hebat, keadaan gelap gulita, kerlip bintang pun tidak kelihatan, membedakan arah saja tidak bisa.
Lau-sit Hwesio memegang tepian sekoci dengan kedua tangan, mukanya pucat lesi, berulang ia mengeluh, "Wah, bagaimana. bagaimana baiknya?"
"Apakah Hwesio tidak dapat berenang?" tanya Siau Giok. "Melihat air di dalam baskom saja Hwesio takut, mandi pun tidak berani," sahut Lau-sit.
"Ah, kiranya ...." belum Ianjut ucapan Siau Giok, mendadak ombak besar mendampar lagi sehingga dia tertolak jatuh.
Cepat Siau-hong memburu maju untuk memegang kemudi, tapi biarpun kemudi terpegang dengan kencang, apa gunanya jika membedakan arah saja sukar"
Sambil menyengir Lau-sit Hwesio berkata, "Sekarang Hwesio jadi paham."
"Paham apa?" tanya Siau-hong.
"Paham sebab apa begitu cepat Kiong Kiu menerima permintaanmu," setelah menghela napas si Hwesio menyambung pula, "tentunya bocah itu sudah menghitung, dalam waktu singkat akan berjangkit hujan badai di lautan ini, ia tahu kita pasti tidak dapat lolos dari rintangan ini."
"Tapi jangan lupa, adik perempuannya sekarang juga berada di sini, sekoci yang ditumpanginya tidak lebih besar daripada perahu kita," ujar Siau-hong.
"Kau pun jangan lupa, budak itu adalah siluman rase, sebaliknya kita cuma sekawanan itik," kata Lau-sit Hwesio.
Siau-hong termenung, katanya kemudian dengan menghela napas, "Jika si Rase tua berada di sini, tentu selamatlah kita."
"Rase tua itu orang macam apa?" tanya Lau-sit Hwesio.
"Dia juga bukan orang yang luar biasa," tutur Siau-hong.
"Cuma, kalau di dunia ini ada 300 cara membuat perahu tidak terbalik, sedikitnya dia paham 299 cara di antaranya."
Mendadak seorang menukas, "Aku paham 300 cara seluruhnya!"
Mendadak papan dasar perahu kecil mereka tersingkap dan kepala seorang menongol, kepala dengan rambut ubanan dan sinar mata yang mencorong.
"Hei, Rase tua!" teriak Siau-hong. "Mengapa kau belum mati?"
Si Rase tua berkedip-kedip, sahutnya, "Pernah kau lihat ikan mati tenggelam di dalam laut?"
"Tidak pernah," javvab Siau-hong.
Ikan dapat mati di dalam air, tapi pasti bukan mati tenggelam.
Dengan tertawa si Rase tua berkata pula, "Di daratan aku seekor rase tua, setiba di dalam air, aku adalah seekor ikan."
"Ikan apa?" tanya Siau Giok.
"Ikan kakap!" tukas Siau-hong dengan gelak tertawa.
-00- Hujan badai sudah berlalu.
Betapapun kecilnya sebuah perahu, betapa besarnya ombak, asalkan dikemudikan oleh seorang ahli, tentu dapat dilaluinya dengan selamat. Dan si Rase tua adalah pelaut maha ahli.
"Selama ini kau bersembunyi dimana?" tanya Siau-hong.
"Dengan sendirinya di dalam air," jawab si Rase tua.
Asalkan dapat menyelam, di dalam air memang tempat yang paling aman.
"Apa yang kau makan?" tanya Siau-hong pula.
"Ikan!"
Gizi ikan mentah memang jauh lebih banyak daripada ikan ang-sio atau ikan goreng. Sebab itulah tangan si Rase tua tetap sangat kuat untuk memegang kemudi.
"Mengapa engkau bisa berada di dalam perahu ini?"
"Kulihat perahu kecil ini diisi air minum, kutahu ada orang mau memakainya," tutur si Rase tua dengan tertawa. "Aku pun tahu jika tidak terpaksa, tidak mungkin ada orang mau menumpang perahu penyelamat ini."
Sejak tadi Siau Giok hanya mendengarkan saja, tiba-tiba ia menyela dengan gegetun, "Tampaknya orang ini memang benar seekor rase tua."
Lau-sit pun ikut gegetun, katanya, "Kukira kelak kau pun akan menjadi rase betina."
Siau Giok tertegun mendengar ucapan si Hwesio, mendadak ia pun bertanya, "Benarkah kau tak pernah mandi?" "Siapa bilang?"
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan?" "Justru aku paling suka kebersihan."
Cahaya senja menghiasi langit.
Sorot mata si Rase tua juga berubah cemerlang serupa cahaya senja.
"Sekarang kita menuju kemana?"
"Rase tua tentu pulang ke sarang rase," sahut si Rase tua dengan tertawa riang, sebab ia tahu, dengan kemudi di tangannya, mau tak mau orang Iain harus ikut pergi ke sana.
"Seperti apa sih sarangmu itu?" tanya Siau Giok. "Tentunya tempat yang sangat menyenangkan, bila kau sudah pernah ke sana, kujamin kau pasti ingin tinggal lebih lama di sana." "Kau pernah ke sana?" tanya Siau Giok pada Siau-hong. Siau-hong hanya manggut-manggut, matanya berkedip-kedip. Terbayang oleh Liok Siau-hong rumah papan yang sumpek beserta penghuninya yang kasar dan liar serta kamar mandi yang berpetak-petak itu.
Entah mengapa, bila teringat tempat itu, dalam hati lantas timbul semacam perasaan hangat yang sukar diungkapkan.
Dengan memicingkan mata si Rase tua bertanya, "Diam-diam tentu kau pun ingin lekas pulang ke sana seperti diriku, bukan?"
"Ya," mau tak mau Siau-hong mengaku.
Si Rase tua tertawa, mendadak ia menuding ke depan, "Coba lihat, apa itu?"
Waktu Siau-hong menoleh, terlihatlah daratan.
Daratan yang jaya dan menyenangkan, akhirnya mereka pulang kandang juga.
Dengan sendirinya mereka pasti akan pulang, sebab mereka tidak pernah kehilangan keyakinan dan keberanian.
Si Rase tua berjingkrak gembira serupa anak kecil.
Pantainya, pesisirnya, bahkan batu karangnya, semuanya sudah dikenal mereka dengan baik. Dimana pun dia berada, asalkan memejamkan mata, lantas seperti melihatnya. Biarpun mata ditutup juga dia dapat menemukan setiap tempat itu.
Tapi begitu dia mendarat, seketika ia melengak.
Pantainya, pesisirnya, batu karangnya, semuanya memang tidak berubah. Tapi sarang rasenya justru sudah berubah.
Rumah gubuk yang rendah dan sumpek itu telah berubah menjadi bangunan baru, jendela pun sudah ditempeli kertas penahan angin yang putih bersih, dari dalam tidak lagi terdengar suara gelak tertawa orang ramai. Sarang rasenya ternyata sudah berubah sunyi serupa kuburan. Kuburan yang baru dan indah.
Liok Siau-hong juga merasa heran, katanya, "Apakah engkau merasa tidak kesasar?"
Padahal ia yakin si Rase tua tidak nanti kesasar. Di dunia ini memang tidak ada rase yang tidak menemukan sarangnya sendiri. Namun di dunia ini juga pasti tidak ada sesuatu yang tidak pernah berubah, sarang rase juga dapat berubah.
"Pada waktu kau berangkat, sarang rasemu kau serahkan kepada siapa?" tanya Siau-hong.
"Rase jantan keluar rumah, dengan sendirinya sarangnya diserahkan kepada rase betina," mendadak Siau Giok menyela.
"Ah, aku paham," kata Siau-hong.
"Paham apa?" tanya si Rase tua.
"Rase betinamu itu pasti juga seekor siluman rase," kata Siau-hong. "Biasanya siluman rase tidak tahan menjadi janda, dia mengira engkau sudah terkubur di dasar laut, maka sarang rasemu ini bisa jadi sekarang sudah berganti tuan rumah."
Si Rase tua menjengek. "Hm, siapa yang berani menyentuh rase betinaku, barangkali dia telah makan hati harimau."
Mereka berdiri di balik batu karang, dari sini dapat melihat pintu sarang rase yang dicat baru itu.
Mendadak pintu terbuka, seorang melangkah keluar dengan santai, orang ini berhidung besar seperti paruh elang, jidatnya lebar.
Liok Siau-hong menghela napas pula, katanya, "Orang lain tidak berani mengganggu binimu, orang ini pasti berani."
"Kau kenal dia?" tanya si Rase tua.
"Ya, aku pun tahu, sangat sedikit urusan yang tidak berani diperbuatnya."
"Siapa dia?"
"Pemimpin besar Cap-ji-lian-hoan-bu (persekutuan ke-12 pelabuhan), Eng-gan Lo-jit."
Air muka si Rase tua berubah.
"Aku tidak heran jika sarang orang lain direbut olehnya, aku cuma heran mengapa dia bisa sampai di sini," kata Siau-hong pula. "Mengapa tidak kau tanya dia?" ujar Siau Giok. Mendadak si Rase tua menyela, "Tempat ini wilayah kekuasaanku, aku yang berhak tanya dia."
Sembari berkata dia terus melangkah ke sana. Sorot mata Eng-gan Lo-jit yang tajam itu juga sedang menatapnya.
Si Rase tua balas rnenatap dengan sama tajamnya "Eh, kemari kau!" tegur Eng-gan Lo-jit mendadak. "Aku memang hendak ke situ," kata si Rase tua. "Perahumu?" tanya Eng-gan Lo-jit sarnbil menudirig sekoci. "Mestinya bukan, sekarang betul."
"Tadi di atas perahu seperti ada empat lima penumpang?" "Ehm!"
"Mana yang Iain-lain?"
Si Rase tua memandangnya dengan mata setengah terpicing, jawabnya, "Apakah engkau polisi?" Eng-gan Lo-jit menggeleng.
"Apakah kau tahu tempat ini semula berada di bawah kekuasaan siapa?"
Kembali Lo-jit menggeleng dan bertanya, "Siapa?"
"Aku!" kata si Rase tua sambil menuding hidung sendiri.
"O, kau si Rase tua?"
"Makanya yang harus bertanya ialah aku dan bukan kau!" kata si Rase tua. Habis itu kontan ia mulai bertanya, "Siapa kau" Untuk apa datang kemari" Seluruhnya datang berapa orang" Yang Iain-lain berada dimana?"
"Mengapa engkau tidak coba berpaling?" jengek Lo-jit.
Waktu si Rase tua menoleh, tahu-tahu dua orang berbaju hitam ringkas sudah merunduk sampai di belakangnya. Belum lagi dia sempat membalik tubuh, serentak kedua orang itu turun tangan secepat kilat, kontan ia ditelikung.
"Sekarang siapa yang berhak bertanya?" jengek Eng-gan Lo-jit.
"Kau!" jawab si Rase tua sambil menyengir.
Lo-jit hanya mondengus saja dan membalik tubuh, dengan langkah lebar ia masuk ke rumah, serunya, "Bawa dia ke sini!"
"Blang", segera pintu ditutup lagi.
Si Rase tua telah digusur ke dalam oleh kedua orang berbaju hitam, di pojok rumah dan di belakang sedikitnya ada tujuh delapan orang berseragam hitam yang bersembunyi di sekitar sarang rase ini.
Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda, ada lagi 20-an penunggang kuda sedang meronda kian kemari di sekitar sana, dari dandanan mereka jelas semua perwira tingkat Jit-bin, perwira tinggi.
Diam-diam Siau-hong berkerut kening, gumamnya, "Mulai kapan Lo-jit berlagak kereng begini?"
Dapat dilihatnya kedua orang yang meringkus si Rase tua tadi memiliki kungfu yang tinggi, gerak tubuhnya gesit, cara turun tangannya cepat. Jago-jago yang bersembunyi itu pasti juga bukan jago rendahan. Orang yang mampu mengerahkan jago kelas tinggi sebanyak ini sebagai pengawal tidaklah banyak di dunia ini, jelas Eng-gan Lo-jit bukan ukurannya.
Mendadak salah seorang penunggang kuda yang lagi meronda di kejauhan sana melarikan kudanya ke sini, dari pojok rumah sana segera seorang berseragam hitam menyongsong.
Cepat perwira penunggang kuda itu melompat turun dan memberi hormat kepada si baju hitam. Pakaian penunggang kuda itu jelas menunjukkan pangkatnya memang perwira tinggi, tapi sikapnya sangat menghormat kepada si baju hitam, serupa seorang prajurit berhadapan dengan atasannya.
"Tampaknya bukan cuma dia saja yang kereng, anak buahnya ternyata juga bukan orang kecil," ujar Siau Giok.
"Orang-orang berbaju hitam ini pasti bukan anak buah persekutuan ke-12 pelabuhan," kata Samon
"Darimana kau tahu?" tanya Siau-hong.
"Kabarnya Eng-gan Lo-jit bukanlah bandit, tapi juga bukan manusia baik-baik."
"Memangnya kau kira kawanan berbaju hitam itu orang baik?" tanya Siau-hong.
Padahal ia tahu orang-orang ini pasti bukan anak buah Lo-jit, sebab Lo-jit tidak pernah berhubungan dengan kaum pembesar negeri. Dalam keadaan membingungkan ini, sungguh dia ingin beradu mulut dengan seseorang.
Tapi Samon justru tidak menggubrisnya lagi.
Siau-hong memencet hidung Samon dan berkata, "Mengapa engkau berubah bisu?"
Samon sengaja menarik muka, "Memangnya kau minta aku omong apa?"
Kembali Siau-hong mencolek pipinya, "Kutahu engkau pasti sudah mengetahui siapa mereka?"
"Dengan sendirinya kutahu mereka bukan orang baik-baik."
"Berdasarkan apa kau bilang begitu?"
"Berdasarkan ucapanmu."
"Kau percaya kepada ucapanku?"
"Tidak percaya kepada ucapanmu, habis percaya pada ucapan siapa?"
Siau-hong tertawa, mendadak ia rangkul pinggang Samon dan menciumnya. Ingin menolak pun tidak dapat, dengan lemas Samon jatuh ke dalam pangkuannya.
"Hei, tolonglah, jika kalian ingin bermesraan, seharusnya kalian melihat tempat dan pilih waktu," kata Siau Giok mendadak Ketika melihat adegan itu.
"Jika hatimu tidak tahan, boleh juga kubiarkan dia menciummu," kata Samon.
"Cuma sayang saat ini mulutku tidak sempat," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Mulut mereka memang lagi sibuk. Tapi mulut kedua orang-yang berada di depan rumah sana juga tidak menganggur.
Perwira tinggi yang berseragam mentereng tadi sedang bicara kepada si baju hitam dengan sikap munduk-munduk, bicaranya sangat lirih, namun sikapnya khidmat, seperti sedang memberi lapor situasi militer yang sangat rahasia.
Si baju hitam sebaliknya tertampak rada tidak sabar, dia sedang memberi tanda agar perwira itu lekas pergi saja.
Dengan suara tertahan Samon berkata, "Orang ini pasti murid Thian-liong-pay sekte selatan."
"Kau tahu pasti?" tanya Siau-hong. "Ginkang Thian-liong-pay sekte selatan sangat istimewa, kedua orang yang meringkus si Rase tua tadi juga menggunakan Kim-na-jiu-hoat khas Thian-liong-pay, sebab itulah aku berani bilang mereka pasti bukan anak buah Lo-jit."
Sekali ini Siau-hong tidak bersuara, sebaliknya Siau Giok bertanya, "Sebab apa kau bilang begitu?"
"Kau tahu Toasuheng perguruan Thian-liong-pay sekarang adalah kebiri (banci) pembawaan, sebab itulah dia terus mengabdikan diri pada kaisar di istana dan menjadi Thaykam (dayang kebiri). Konon akhir-akhir ini" kekuasaannya sangat menonjol, maka para saudara seperguruannya lantas ditarik semua ke dalam istana. Sebab itulah anak murid Thian-liong-pay sekte selatan sekarang sembilan di antara sepuluh adalah jago pengawal istana."
"Pantas sampai para perwira tinggi juga tunduk kepada mereka," kata Siau Giok.
"Biarpun pembesar yang lebih tinggi juga akan tunduk di depan mereka," ujar Samon.
"Tapi kawanan pengawal istana mengapa bisa datang ke sini ikut Eng-gan Lo-jit?" tanya Siau Giok.
"Mengapa tidak kau Tanya dia?" Samon berolok.
"Jika nona Samon benar-benar menyuruhku untuk bertanya pada dia, tentu aku akan pergi bertanya," kata Siau Giok.
Dia tidak pergi, sebab perwira yang tampak munduk-munduk itu mendadak menegak, sebaliknya si baju hitam yang kereng itu terus roboh.
Sekilas Siau-hong seperti melihat sinar pisau berkelebat di tangan si perwira dan menikam pinggang si baju hitam.
Karena tikaman itu, kontan tubuh si baju hitam lantas lemas. Tapi cepat si perwira menahannya dan dipayang ke arah sarang rase sambil mengiringinya bicara dengan tertawa. Namun si baju hitam sudah tidak mendengarnya lagi.
Dipandang dan sudut tempat beradanya Liok Siau-hong, kebetulan terlihat baju bagian iganya berlepotan darah.
Bagian iga adalah tempat mematikan, tikaman itu sungguh keji dan jitu.
Mana mungkin seorang perwira bisa menguasai kungfu sehebat itu" Mengapa pula menikam jago pengawal istana"
Terdapat orang-orang macam apa lagi di sarang rase ini dan rahasia apa"
Tangan Liok Siau-hong sudah mengendurkan pegangannya pada Samon. Siau Giok juga tidak memandang mereka lagi.
Apa yang terjadi di depan mereka itu sangat menarik dan menegangkan, juga sangat misterius, perhatian mereka teralih ke sana.
Perwira itu sudah hampir sampai di pintu belakang sarang rase, para penunggang kuda yang Iain perlahan juga mulai melarikan kudanya ke sini.
Tiba-tiba dari balik pojok rumah sana berkelebat seorang berbaju hitam dan si perwira sedang menyapa padanya, entah apa yang dibicarakannya.
Segera si baju hitam melompat maju dengan cepat, tapi mendadak sinar pisau berkelebat pula, kembali si baju hitam ditikam bagian iganya.
Serangan ini terlebih jitu dan lebih cepat daripada tadi, belum lagi sempat bersuara si baju hitam lantas roboh terkapar.
Tampaknya perwira ini bukan saja seorang jago silat kelas tinggi, caranya membunuh orang juga berpengalaman.
Namun sekarang dia sudah berada di daerah terlarang, semua penjaga yang bersembunyi telah dikejutkan oleh perbuatannya, belasan orang berbaju seragam hitam lantas muncul dengan senjata terhunus.
Kawanan penunggang kuda di kejauhan sana juga lantas melarikan kudanya dan menerjang ke sini, barisan paling depan bersenjata tombak, kepandaiannya menunggang kuda sangat mahir, jelas adalah panglima yang sudah banyak bcrpengalaman di medan tempur.
Barisan yang di belakang justru memakai senjata pendek yang biasa digunakan orang Kangouw, malahan ada yang terlihat membawa kantung senjata rahasia.
Perwira pembunuh tadi melempar mayat si baju hitam yang dibunuhnya terakhir tadi sambil membentak, "Kudatang untuk menangkap orang atas perintah Ongya (pangeran, raja muda), barang siapa berani membangkang akan dihukum bunuh tanpa perkara."
Di antara orang berseragam hitam segera ada yang balas membentak, "Kami inilah pasukan pengawal istana Ongya, kalian terhitung orang macam apa?"
Belum lenyap suaranya, dia sudah menerjang tiba dengan kuda tunggangannya, barisan depan dengan tombak panjang terus menyerbu dengan dahsyat.
Sedang barisan belakang mendadak melompat meninggalkan pelana kudanya, rupanya hendak mencari kesempatan untuk menerjang ke dalam sarang rase.
Nyata semuanya menguasai Ginkang yang tinggi, caranya menyambitkan senjata rahasia juga sangat keji.
Thian-liong-pay sekte selatan terkenal Ginkang dan senjata rahasianya, maka kedua pihak boleh dikatakan ketemu tandingan yang setimpal, cara turun tangan mereka juga tidak kenal ampun.
Liok Siau-hong sampai melongo menyaksikan kejadian itu, sungguh ia tidak paham mengapa bisa terjadi demikian"
Namun dia juga dapat melihat suatu hal lagi, yaitu ilmu silat anak murid Thian-liong-pay itu ternyata tidak sehebat sebagaimana berita yang tersiar, sebaliknya kawanan penunggang kuda berseragam perwira itu justru jago silat kelas tinggi.
Sebab hanya dalam sekejap itu lima-enam orang berseragam hitam sudah dirobohkan, daun jendela sarang rase juga jebol di sana sini, tujuh delapan orang sudah berhasil menerobos ke dalam.
Perwira yang dengan mudah menikam mati dua orang berseragam hitam tadi sekarang telah membunuh lagi dua orang. Dan orang pertama yang menerobos ke dalam sarang rase ialah dia.
Melihat caranya membunuh orang, segera Liok Siau-hong teringat kepada koki di rumahnya dahulu.
Waktu kecilnya dia suka mengeluyur ke dalam dapur untuk melihat kokinya memotong sayur dan mengupas ketela. Cara si perwira membunuh orang serupa benar cara kokinya merajang sayur dan mengupas ketela.
Cepat dan tepat, setiap gerakan pisaunya tidak pernah meleset. Lantas sesungguhnya terdapat orang-orang macam apalagi di dalam rumah"
Kan sedikitnya terdapat si Rase tua dan Eng-gan Lo-jit" Betapapun Liok Siau-hong tidak dapat tidak mengakui mereka adalah sahabatnya.
Sahabat, betapa indahnya istilah ini. Seorang tidak boleh tidak mempunyai sahabat.
Setiap orang juga tidak boleh menyaksikan sahabatnya dibunuh orang seperti cara orang merajang sayur dan mengupas ketela.
Apakah seorang boleh tinggal diam dan pura-pura tidak tahu bila mendengar jeritan ngeri sahabatnya"
Tidak boleh, sedikitnya Liok Siau-hong tidak boleh. Sudah didengarnya suara jeritan si Rase tua, semacam jeritan yang sangat aneh, serupa jeritan anak perempuan kecil yang sedang diperkosa. Anak perempuan yang sangat kecil.
Siau-hong ingin berlagak tidak mendengar, tapi dia tidak dapat berbuat demikian.
Samon memandangnya, tanyanya tiba-tiba, "Rase tua sahabatmu bukan?"
"Bukan," jawab Siau-hong. "Engkau tidak ingin menolongnya?"
"Ya, tidak."
Siau-hong benar-benar tak ingin menolongnya, sebab sesungguhnya ia tidak yakin akan mampu melawan perwira yang pasti bukan perwira tulen itu. Namun begilu dia toh menerjang juga ke sana.
Keadaan di dalam rumah ternyata sangat mengerikan. Sebagian besar kawanan seragam hitam yang semula malang melintang itu sekarang sudah roboh terkapar, ada yang rebah di tengah genangan darah sendiri, ada yang tergantung di kusen jendela serupa ikan mampus.
Mata golok kawanan perwira itu sama berlepotan darah. Beberapa mata golok mengancam tenggorokan Eng-gan Lo-jit, juga kuduk si Rase tua.
Ketika melihat Siau-hong menerjang tiba, si Rase tua dan Lo-jit serupa melihat bintang penolong yang turun dari langit.
Sebaliknya kedatangan Liok Siau-hong dipandang oleh kawanan perwira itu sebagai burung tolol yang masuk jaring sendiri.
Hanya Liok Siau-hong saja yang dapat merasakan dirinya sesungguhnya apa"
Liok Siau-hong tetap Liok Siau-hong, seorang yang tidak terhitung sangat baik, tapi juga tidak terlalu buruk, terkadang sangat pintar, sering juga bodoh, terkadang sangat emosional, sering juga tenang dan dingin.
Dan begitu menerjang ke dalam rumah, mendadak Siau-hong berubah menjadi dingin dan tenang. Betapapun kedatangannya adalah untuk menolong orang dan bukan hendak mengantar kematian.
Maka lebih dulu ia telah menyediakan jalan mundur bagi dirinya sendiri. Bilamana tidak berhasil menolong orang lain, terpaksa ia harus menolong diri sendiri lebih dulu.
Kawanan perwira itu memandangnya dengan dingin. Siau-hong tertawa, dengan hormat ia menyapa, "Wah, jauh-jauh kalian datang kemari dengan mengerahkan pasukan sebesar ini apakah tujuan kalian hanya ingin menangkap kedua orang ini saja?" Tidak ada yang menjawab, tidak ada sesuatu reaksi. "Memangnya mereka melanggar hukum?" tanya Siau-hong. Tetap tidak ada jawaban, tidak ada yang bersuara. Mendadak Siau-hong merasa lambungnya kecut, rasanya seperti habis mabuk dan telah ditelanjangi orang.
Sebab mendadak orang yang rebah di tengah genangan darah itu sama melompat bangun, orang mati yang bergantungan itupun bergerak setangkas harimau kelaparan.
Senjata yang mengancam kuduk si Rase tua dan tenggorokan Lo-jit serentak berubah sasaran dan mengancam dada dan lehernya. Mendadak Siau-hong merasa dirinya telah terjebak ke dalam jaring, sebuah jaring yang dianyam dengan 46 orang dan 37 mata golok. Ia merasa seakan dirinya serupa ikan yang terjebak dalam jala, meronta-ronta berusaha lepas dari dalam jala.
Tangannya yang sudah diangkat untuk mengetuk pintu pun terhenti, ia pun membatalkan maksudnya, akhirnya setelah ragu sejenak, dengan hati-hati didorongnya pintu pondok itu. Dengan langkah berat ia masuk ke dalam, segera tertampak olehnya Lau-sit, Siau Giok dan Samon sedang duduk mematung di tengah ruangan.
Mereka bertiga pun telah melihat keihadiran Siau-hong, tapi aneh, tak ada perasaan girang yang melintas di wajah mereka. Walau berpisah hanya beberapa hari, mengapa tak nampak perasaan girang di wajah mereka" Samon pun demikian, apakah ia tidak merindukan dirinya"
Tiba-tiba jantung Siau-hong berdetak kencang, apa yang sebenarnya terjadi" Dengan penuh tanda tanya Siau-hong masih mengawasi wajah mereka satu per satu, akhirnya berhenti pada wajah Samon.
Samon tersenyum, tersenyum getir.


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong tak kuasa menahan diri lagi, segera katanya. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi" Apakah kalian tidak senang melihat aku kembali" Janganlah memandang aku dengan cara seperti itu."
"Kau ingin kami bersikap bagaimana?" tanya Lau-sit sambil menatap tajam Siau-hong.
"Paling tidak kalian kan bisa menyapa aku, menatap aku dengan wajah tersenyum, atau bertanya keadaanku walau hanya sekadar basa-basi saja."
Pedang Berkarat Pena Beraksara 5 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 15
^