Pencarian

Sang Ratu Tawon 2

Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bagian 2


Lau-sit segera tersenyum dibuat-buat, kemudian katanya pula, "Hai, baik-baikkah kau" Bagaimana dengan perjalananmu" Apakah di tengah samudra tidak ada hujan badai lagi?"
"Hanya itu?" tanya Siau-hong sambil melotot.
"Lalu harus bagaimana?"
"Apa tidak ada kata-kata yang lain?"
Lau-sit, Siau Giok dan Samon hanya menatap Siau-hong lekat-lekat, kemudian menjawab hampir berbarengan, "Ada."
"Kau saja yang berkata," ucap Siau-hong kepada Samon.
"Tahukah kau mengapa aku tidak menunggumu di tepi pantai atau di atas batu karang?"
"Aku tidak tahu."
"Karena kau akan mendapat kesulitan."
"Kesulitan" Kesulitan apa" Kesulitan memang selalu menghadangku, tapi apa hubungannya dengan kau tidak menunggu aku?"
"Besar sekali hubungannya!"
"Coba katakan."
"Pertama, karena kau ada kesulitan, maka aku tidak punya keinginan menunggumu." "Lalu?" "Saat kau datang tadi, kami sedang membicarakan kesulitanmu ini."
"Wah, kalau begitu aku akan menghadapi kesulitan besar."
"Ya, besar sekali." "Besar bagaimana?" "Betul, sebesar kepalamu." "Tapi kepalaku kan tidak besar."
"Kalau kau tahu kesulitan yang akan kau hadapi, kepalamu akan membesar tiga kali," tukas Siau Giok.
Kini Siau-hong merasakan kepalanya telah membesar tiga kali.
Mendadak Lau-sit bertanya, "Kedatanganmu ke pulau itu tentu tidak membuahkan hasil bukan?"
"Darimana kau tahu?" balas tanya Siau-hong sambi! menatap tajam Lau-sit Hwesio penuh keheranan.
"Setelah kau berangkat berlayar, di sini telah terjadi suatu peristiwa."
"Peristiwa apa?"
"Ada orang menjual berlian dari harta karun yang dirampok itu."
"Oya?"
"Bahkan ada orang yang telah melihat Tan Peng, Li Tay-tiong, Sun Ngo-thong dan Iain-lain."
"Eh,, tunggu sebentar, siapakah Tan Peng, Li Tay-tiong dan Sun Ngo-thong itu?"
"Mereka itu termasuk para jagoan yang ikut mengawal harta karun yang dirampok itu."
"Maksudmu ada orang yang telah bertemu mereka."
"Bukan."
"Bukan?"
"Bukan begitu, tetapi ada orang yang telah menemukan mayat mereka," jawab Lau-sit pula.
"Mayat mereka?"
"Sebetulnya ketika ditemukan, mereka belum menjadi mayat, bahkan masih sempat mengucapkan beberapa kata."
"Apa yang mereka katakan?".
"Kata-kata yang akan membuatmu pusing tujuh keliling."
Siau-hong masih menatap Lau-sit, menunggu ia melanjutkan perkataan. Namun yang ditunggu tidak berkata-kata lagi, Lau-sit terdiam.
Tatapan Siau-hong dialihkan ke Siau Giok. Siau Giok yang ditatap Siau-hong hanya menundukkan kepala, lalu katanya setelah menarik napas panjang, "Kata Tan Peng, yang mencuri harta karun itu adalah kau."
Sungguh kejut Siau-hong tak terkatakan.
Segera Samon melanjutkan, "Li Tay-tiong juga mengatakan hal yang sama."
"Ya, Sun Ngo-thong juga mengatakan begitu," lanjut Lau-sit Hwesio.
"Kalau mulut orang banyak mengatakan hal yang sama, masakah masih tidak dipercayai...." kata Siau Giok.
"Ada yang tidak percaya, yaitu aku," sela Siau-hong.
"Sayang, mereka tidak akan percaya kepada omonganmu, apapun penjelasanmu," kata Samon.
"Mereka" Mereka siapa?"
"Pasukan kerajaan, para jago tangguh yang diutus Thay-peng-ong untuk manangkap kau."
"Menangkap aku?"
"Betul."
"Ketika mayat Tan Peng, Li Tay-tiong dan Sun Ngo-thong ditemukan, apakah berada di satu tempat?"
"Tidak, mayat mereka bahkan ditemukan dalam jarak yang cukup jauh."
"Sungguh mengerikan!" gumam Siau-hong.
"Apanya yang mengerikan?" tanya Samon heran.
"Rencana busuk Kiong Kiu ini," jawab Siau-hong.
"Kau yakin semua ini rencana Kiong Kiu?"
"Tentu, karena aku pernah bertemu dengan Tan Peng, Li Tay-tiong dan Sun Ngo-thong serta Iain-lain di pulau itu."
Mendadak Lau-sit menatap tajam Liok Siau-hong, menatap keempat alisnya.
"Memangnya kenapa dengan keempat alisku?" tanya Siau-hong keheranan.
"Kau harus mencukur dua di antaranya," sahut Lau-sit pula.
"Kenapa?"
"Karena kau terkenal memiliki empat alis, semua orang tahu kau yang mencuri harta karun itu, maka semua orang akan mencarimu, jika kau tetap memelihara keempat alismu itu, bukankah dengan mudah kau akan diketemukan."
"Mencukur keempat alisku?" Siau-hong berjingkat sambil mengelus kedua alisnya yang berada di atas bibir. "Sungguh sayang sekali."
"Yang kumaksud bukan mencukur kedua alis yang kau elus itu," kata Lau-sit.
"Apa" Harus mencukur kedua alis mataku," teriak Siau-hong gusar.
"Ya, asalkan kau mencukur kedua alis matamu itu, kujamin tidak akan ada yang mengenalimu lagi."
"Lebih baik kau bunuh aku saja," teriak Siau-hong pula.
"Kenapa harus membunuhmu."
"Karena kau ingin mencukur alis mataku."
"Bukan begitu, kan aku hanya menyarankan saja."
"Lebih baik kau jangan menyinggung soal alisku lagi."
"Baik, baiklah, aku tak akan menyinggung lagi."
Siau-hong segera menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Lau-sit, lalu katanya, "Nah, begitu baru kau adalah sahabatku."
Mendadak Lau-sit menarik tangannya yang akan dijabat Siau-hong, sahutnya, "Sahabat adalah sahabat, tapi tangan kita berbeda, lebih baik jangan saling bersentuhan."
"Kenapa?"
"Karena tangan Hwesio tumbuh dari makan barang tak berjiwa, sedangkan tanganmu tidak."
Siau-hong melengak.
Siau Giok dan Samon tertawa cekikikan sambil tangannya menutupi mulut.
Ketika Siau-hong menarik tangannya, justru Lau-sit mulai menjulurkan tangannya.
"He, kenapa justru sekarang kau yang ingin menjabat tanganku?" tegurnya.
"Sebab tiba-tiba aku sadar akan satu hal, aku teringat masa kecilku dulu, rasanya aku pun pernah makan barang berjiwa, jadi tanganku juga pernah tumbuh dari barang berjiwa."
Melihat persabahatan mereka berdua, kembali Samon dan Siau Giok tertawa cekikikan.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan?" tanya Siau-hong setelah menjabat tangan Lau-sit.
"Ada sementara persoalan, walaupun sangat terang, namun sulit dipahami, tapi ada juga persoalan yang tidak jelas, namun justru mudah dipahami. Karena itu kuanjurkan, kau carilah seseorang."
"Siapa?"
"Seorang sabahatmu."
"Sahabatku?"
"Masalah skandal perampokan harta karun ini, kita telah menjadi orang buta bermata melek, jadi lebih baik kau cari orang buta sungguhan, mungkin dia malah bisa mengungkap skandal ini."
"Hoa Ban-lau?"
"Betul."
-00- Hoa Ban-lau, bunga memenuhi loteng. Mengendus bau harum bunga, Siau-hong merasa hatinya hangat dan lega, seperti juga hubungan persahabatannya dengan Hoa Ban-lau. Adakah perasaan lain yang jauh lebih hangat dari suatu persahabatan"
Liok Siau-hong teringat akan Samon. Cinta. Cinta hanya terasa manis dan mesra, berbeda dengan kehangatan yang terpancar dari suatu persahabatan.
Siau-hong merasa puas dengan kesimpulan yang diambilnya itu, dengan perasaan gembira ia menaiki tangga loteng. Menurut dugaannya, Hoa Ban-lau pasti takkan mengira langkah itu berasal dari kakinya, karena kali ini langkahnya terasa lebih cepat dan ringan.
Belum sampai di atas, ia sudah berseru dengan riang, "Tak perlu kau tebak siapa yang datang!"
Namun tiada jawaban, bahkan suara tawa Hoa Ban-lau yang khas pun tak terdengar. Begitu sampai di-atas, Siau-hong segera mendorong pintu dan melangkah masuk. Bunga segar masih bertebaran di lantai, perabot ruangan masih seperti yang dulu, hanya satu yang berbeda.
Biasanya di saat senja atau cuaca cerah, Hoa Ban-lau selalu duduk di samping jendela untuk mendengarkan suara angin senja, tapi hari ini mengapa ia tidak ada di tempat"
la melangkah mendekat kursi di samping jendela itu, lalu duduk dan termenung, banyak hal-hal yang penuh tanda tanya berkecamuk dalam pikirannya. Kemanakah Hoa Ban-lau"
Mendadak terdengar suara langkah kaki yang sedang menaiki tangga, Siau-hong tidak bergerak, bahkan napasnya pun seakan-akan terhenti.
Hoa Ban-laukah yang telah pulang"
Dia tak tahu, karena memang belum pernah mendengar suara langkah Hoa Ban-lau ketika menaiki tangga. Bukannya ia tidak pernah menyaksikan Hoa Ban-lau menaiki tangga, namun pada hakikatnya ia memang tidak pernah memperhatikan suara langkah Hoa Ban-lau.
Suara langkah sudah mendekati pintu, pintu pun sudah didorong orang.
"Siapa di situ?" tanya orang itu.
Siau-hong tertawa.
Hoa Ban-lau memang Hoa Ban-lau, biarpun Siau-hong duduk tak bergerak, ia masih dapat merasakan bahwa di dalam ruangannya ada orang.
"Kagum, sungguh kagum!" seru Siau-hong.
"Tak perlu kau mengagumiku."
"Kenapa?"
"Karena dengan beginilah aku bisa bertahan hidup."
Siau-hong menatap wajah sahabatnya itu, perasaan kagum masih terpancar dari wajahnya.
"Aku sungguh heran," ujarnya.
"Heran bagaimana?"
"Pada saat seperti ini, kau malah baru pulang?"
"Memangnya kenapa?"
"Bukankah biasanya di saat seperti ini kau selalu duduk di samping jendela menikmati keindahan dan angin senja?"
"Kebiasaan manusia kan bisa berubah."
"Jadi kebiasaanmu ini sudah berubah?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Bagaimana dengan kau" Memangnya kau tidak berubah?"
"Aku" Aku tidak pernah mengubah kebiasaanku."
"Memangnya begitu?" kata Hoa Ban-lau sambil tersenyum.
"Kebiasaanku apa yang berubah?" tanya Siau-hong dengan tercengang.
"Kau kan sudah menjadi kaya, baru saja berhasil mencuri harta karun senilai 35 juta tahil perak."
"Hahaha, ternyata kau pun sudah mendengar berita ini," sahut Siau-hong tertawa terbahak-bahak.
"Benar."
"Kau mendengar dari siapa?"
"Go Piau."
"Siapa dia?"
"Masakah kau tidak tahu."
"Kenapa aku harus tahu."
"Sebab Go Piau adalah salah seorang pengawal harta karun itu."
"Dia sendiri yang menyampaikan kepadamu?"
"Ya."
"Dan kau percaya kepadanya?"
"Bila seorang sudah mendekati ajal, mungkinkah dia berbohong?"
Siau-hong tak bisa menjawab.
"Kenapa tidak kau jawab?"
"Apa yang bisa kukatakan" Kau kan lebih percaya kepada kata-kata orang yang hampir mampus ketimbang kata-kata sahabatmu sendiri."
"Memangnya aku pernah berkata begitu?"
"Bukankah kau mengatakan ...."
"Aku kan cuma bertanya- kepadamu, apakah mungkin kata-kata orang yang hampir mati itu berbohong?" tukas Ban-lau.
"Bukankah artinya kau ...."
"Benar," kembali tukas Ban-lau.
"Jadi kau pun lidak yakin apa yang dikatakan Go Piau itu benar?"
"Betul sekali, itulah sebabnya aku keluar untuk berjalan-jalan adalah untuk mencari tahu kcbenaran berita itu, kalau aku tidak keluar, masakah kau pun bisa duduk di samping jendela sambil menikmati keindahan senja" ...."'
"Kau keliru," tukas Siau-hong.
"O?" "Walau aku duduk di sini, namun aku tidak menikmati keindahan senja."
"Kenapa?"
"Karena aku menguatirkan keselamalanmu."
Hoa Ban-lau tertawa senang.
Setelah terdiam sejenak, lalu kata Ban-lau, "Kau memang benar sahabatku yang sejati."
"Kata-katamu memang tepat sekali."
"Kau kemari apakah juga disebabkan kasus itu?"
"Ya, lalu bagaimana dengan jalan-jalanmu itu, apakah berhasi! mencari tahu"."
"Aku menemukan satu hal."
"Apa itu?"
"Anak buah Thay-peng-ong sedang melacak kemana-mana untuk membekukmu."
"Jelas kejadian ini merupakan intrik, sebuah rencana keji yang ditimpakan kepadaku," kata Siau-hong tertawa getir.
"Intrik" Rencana keji siapa?"
"Intrik dan rencana keji Kiong Kiu."
"Kiong Kiu memang sangat lihai."
Kemudian Siau-hong pun menceritakan pengalamannya selama ini.
-00- Bersambung ke 3
Sang Ratu Tawon
Oleh Khulung/Gan KL
Bagian 3 Liok Siau-hong bukanlah ikan, maka dia hanya diam saja, ia tahu bila bergerak, maka golok yang sudah menempel di dada dan lehernya segera akan mencabut nyawanya.
Dalam keadaan apapun, Siau-hong berusaha untuk bersikap tenang. Siau-hong sudah cukup lama masuk ke dalam kabin, belum ada tanda-tanda ia hendak keluar.
Samon gelisah, namun ia yakin Siau-hong masih mampu mengatasi kawanan berbaju hitam itu, tapi mengapa sampai begitu lama ia belum keluar"
Apa yang dialaminya" Apakah ia mengalami mara bahaya" Sungguh Samon merasa sangat gelisah, ingin rasanya ia menerjang ke dalam, namun Lau-sit Hwesio telah mencegahnya, ia menarik lengan bajunya dan menghadang di depannya.
"Kenapa kau menghalangiku?" tegur Samon.
"Bukan maksudku menghalangimu," sahut Lau-sit.
"Kalau bukan kehendakmu, mengapa kau berdiri menghalangiku?"
"Aku harus bertindak begini."
"Jadi maksudmu ada orang yang menyuruhmu menghalangiku."
Lau-sit mengangguk.
"Siapa?" kembali Samon bertanya.
"Liok Siau-hong!"
"Kapan dia menyuruhmu?"
"Secara langsung dia memang tidak menyuruhku."
Samon melenggong keheranan sambil memandang si Hwesio.
"Kujamin dia tidak mengharap kau masuk ke dalam," sambung si Hwesio.
"Kenapa?"
"Mereka sedang membicarakan sesuatu rahasia."
"Darimana kau tahu?"
"Justru aku tahu."
"Kalau begitu ...." Samon tetap kuatir.
Namun si Hwesio sudah menukas, "Janganlah kau kuatir, ia tak bakal tertimpa bahaya."
"Betulkah?"
-00- Sekarang semua golok itu mengancam kuduk dan tenggorokan Liok Siau-hong, namun tak lama kemudian ancaman golok itu sudah ditarik kembali.
Si Rase tua memandangnya dengan tertawa, "Mereka datang dari jauh secara besar-besaran, tujuannya cuma ingin menangkap satu orang."
"Siapa?" tanya Siau-hong. "Kau!" jawab si Rase tua.
Baru sekarang Siau-hong menyadari sesungguhnya dirinya apa" Seekor burung tolol yang masuk jaring sendiri.
Kawanan perwira dan orang berseragam hitam Iantas mengundurkan diri, darah yang berlepotan dimana-mana sudah dibersihkan.
Kecekatan kerja mereka serupa benar seorang koki kelas satu membersihkan sayur yang akan dipotongnya.
Dengan sendirinya darah itu bukan darah tulen, sebab tidak berbau anyir.
Sungguh Siau-hong ingin memencet hidung sendiri, mengapa hal ini tidak diperhatikannya" Apakah lantaran dirinya selalu menghindari mencium bau anyir darah"
Tapi dia tidak dapat bergerak sama sekali, sedikitnya 13 Hiat-to penting di tubuhnya telah ditotok orang.
Manusia umumnya memang selalu penuh kontradiksi, selalu. Tapi perhatian Liok Siau-hong tidak seluruhnya terpusat atas diri perwira yang membunuh beberapa orang dalam sekejap tadi.
"Kalian belum saling kenal?" tanya Lo-jit.
Siau-hong menggeleng.
"Tapi dia tahu engkau ialah Liok Siau-hong."
"Aku pun tahu dia," ujar Siau-hong.
"Oo"!" melengak juga Lo-jit. "Sedikitnya kutahu dia mempunyai sebilah pisau ajaib," kata Siau-hong pula.
Lo-jit tersenyum, "Apakah kau ingin melihat pisau ajaibnya?"
"Ehmm," Siau-hong mengangguk.
Sekali tangan perwira tadi bergerak, segera pisau terlolos dari sarungnya. Panjang pisau cuma dua jengkal, lebar mata pisau cuma beberapa senti, hampir setengah panjang pisau adalah tangkainya.
Begitu pisau menikam, segera mata pisau ambles ke dalam tangkai.
"Siapa pun yang tertikam mati oleh pisau ini, dengan sangat cepat dia akan hidup kembali," tutur Lo-jit dengan tertawa. Dan bagaimana dengan darahnya" Sangat gampang. Asalkan pada bagian tubuh yang akan ditikam ditaruh kapsul cairan merah, setiap saat tentu bisa membuat baju berlepotan darah.
Kini di dalam rumah cuma tersisa tiga orang saja, kedua lainnya sedang memandangnya.
Sedikit banyak sorot mata kedua orang itu membawa rasa malu, betapapun mengkhianati sahabat sendiri bukanlah pekerjaan yang gilang gemilang.
"Tak kau sangka bukan?" yang membuka suara lebih dulu adalah Eng-gan Lo-jit.
Memang Siau-hong tidak menyangkanya.
"Jika aku, aku pun tidak menyangka dan juga akan terperangkap," kata Lo-jit pula.
Siau-hong mengakui kebenarannya, ini memang sebuah perangkap yang sangat bagus.
"Ini bukan saja sebuah perangkap yang bagus, bahkan permainan sandiwara yang sangat menarik, semuanya telah memainkan perannya dengan hidup," ujar Lo-jit tertawa, tertawa terbahak-bahak, lalu lanjutnya, "Liok Siau-hong sungguh harus dikagumi, di saat terancam bahaya bisa bersikap begitu tenang."
Si rase tua juga tertawa, katanya pula, "Dalam keadaan apapun dan dimana pun, dia memang bisa bersikap tenang, sungguh mengagumkan."
"Sungguh keterlaluan gurau kalian ini," ketus suara Siau-hong. "Kalau aku tidak bersikap tenang, bukankah sudah sedari tadi nyawaku melayang."
"Janganlah kau masukkan ke dalam hati, aku hanya menguji kemampuanmu saja, harap kau maafkan," sahut Lo-jit. "Mengapa harus kau uji segala?" "Sebab ada satu hal aku perlu bantuanmu." "Mau minta tolong masakah harus dengan cara begitu?" "Karena kasus itu sangat aneh dan berbahaya."
"Ehm!"
Sorot mata Eng-gan Lo-jit yang tajam itu seakan-akan dapat menembus hati Liok Siau-hong, mendadak ia ganti pokok pembicaraan, katanya. "Pertengahan bulan yang lalu, dua hari sebelum hari raya Tiongciu, mendadak terjadi skandal besar di dunia Kangouw."
Liok Siau-hong tidak memberi reaksi.
la anggap keterangan Lo-jit tidak mengherankan, sebab setiap hari di dunia Kangouw selalu terjadi macam-macam skandal.
"Namun skandal yang terjadi sekali ini agak lain daripada yang lain," tutur Lo-jit pula dengan suara rendah. "Inilah perampokan paling besar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia Kangouw, juga peristiwa yang paling misterius."
Mau tak mau Liok Siau-hong mendengarkan dengan cermat. "Dalam perampokan ini hampir menyangkut segenap perusahaan pengawalan terkemuka, hampir semua tokoh Piaukiok yang bersangkutan ikut terjaring, jumlah yang dirampok juga sangat besar, merupakan rekor dalam sejarah perampokan mana pun."
Maka Lo-jit menjelaskan lebih lanjut, "Sebab harta benda itu bukan milikku melainkan milik pihak kerajaan, para kawan pengusaha pengawalan mengantarkan perbekalan ini ke kotaraja." Siau-hong tetap mendengarkan.
"Bahwa harta pengiriman dirampok, para jago pengawal juga hilang dalam semalam saja, sedangkan satu-satunya saksi mata yang masih hidup juga mendadak mati dua hari kemudian," Lo-jit memandang Siau-hong sekejap, lalu menambahkan, "Dia mati di ruang rahasia markas besar Cap-ji-lian-hoan-bu."
Eng-gan Lo-jit menunduk, urat hijau tampak menonjol di dahinya. Baginya peristiwa itu bukan saja sangat menggemparkan, juga penghinaan bagi kerajaan yang tak dapat dicuci bersih selamanya.
Setelah selesai mendengar cerita itu, semua memandang ke arah Siau-hong, menanti reaksinya. Siau-hong pun berbalik mengawasi Lo-jit, lalu tanyanya, "Apakah sudah ada yang meilyelidiki?"
"Setelah kejadian itu," tutur Lo-jit lagi, "pernah ada yang ditugasi untuk memecahkan peristiwa itu, akan tetapi sampai saat ini mereka belum juga berhasil mendapatkan sesuatu petunjuk apapun."
la pandang Siau-hong lekat-lekat, lalu menyambung dengan perlahan, "Sesungguhnya siapakah biangkeladinya yang melakukan perampokan itu" Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanmu yang luas di dunia Kangouw, dapatkah kau beri sedikit gagasan?"
Siau-hong diam saja tanpa bicara. Tak lama kemudian ia pun bertanya, "Adakah tempat yang mencurigakan?"
Semalam sebelum perampokan besar itu terjadi, kebetulan ada serombongan tukang kayu pembuat patung Buddha dan bokhi berlalu di tempat kejadian, mereka membawa gerobak besar berisi kayu untuk membangun patung Buddha beserta bokhi."
"Membuat patung dan bokhi?"
"Ya."
"Selanjutnya?"
"Malamnya rombongan itu pergi, setelah kami selidiki ternyata mereka tukang kayu yang dikirim istana Thay-peng-ong, lain hal tak ada lagi yang mencurigakan."
"Oya?" kata Siau-hong dengan kening berkerut seperti sedang berpikir.
Sekarang ia tahu kawanan berseragam hitam itu adalah jago pengawal istana, kawanan berseragam perwira itu juga. Dan yang dapat mengerahkan mereka, yang dapat memerintahkan mereka main sandiwara cuma ada satu orang.
"Konon di antara keluarga kerajaan sekarang, yang paling jaya dan berkuasa, kecuali sri baginda sendiri ialah pangeran Hu-kui-ong," demikian kata Siau-hong.
"Memang betul," ujar Lo-jit.
"Dan kabarnya pangeran tua ini sudah mengangkat seorang putra pangeran pewarisnya."
"Betul juga."
"Konon meski usia pangeran kecil ini masih muda belia, tapi bijaksana dan pintar sehingga sangat dihormati orang."
"Ya, betul."
"Jadi kawanan berbaju hitam itu yang disuruh menyelidiki?"
"Betul."
"Lalu apa sangkut-pautnya denganmu?" tanya Siau-hong pada si Rase tua.
"Sebetulnya tidak ada, hanya kebetulan liang raseku ini kedatangan seseorang."


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa?"
"Kau."
"Aku?"
"Menurut Eng-gan Lo-jit, jika aku tidak mampus, berarti kau pun masih hidup, maka kami menunggumu di sini."
"Akhirnya kalian berhasil."
"Aku lagi menunggu dirimu," katanya sambil memandang Siau-hong. "Setiap orang di sini semua menanti kedatanganmu."
Siau-hong tidak memberi tanggapan.
"Aku pun tahu beberapa di antara orang-orang ini adalah sahabatmu, meski sekali ini mereka telah menjual dirimu, tapi tak dapat kau salahkan mereka," kata Lo-jit pula.
Siau-hong memang tidak menyesal dan tidak menyalahkan siapa-siapa. la cuma menyesali dirinya sendiri.
Pangeran Hu-kui-ong memberi batas waktu sampai tanggal 15 bulan 6, padahal sekarang sudah Iewat satu hari.
Pantas wajah Eng-gan Lo-jit tampak kusut.
"Orang Kangouw yang ikut tersangkut dalam peristiwa ini sedikitnya ada ribuan keluarga, masakah sama sekali engkau tidak dapat memberi komentar?" kata Lo-jit pula.
Mendadak Siau-hong menjawab, "Dengan sendirinya ada komentarku."
"Nah, jika begitu mengapa tidak bicara?"
"Bila engkau menyuguh minum beberapa cawan lebih dulu-padaku, lalu bertanya dengan ramah-tamah, bisa jadi sampai saat ini aku sudah bicara tiga ribu suku kata."
"Jika sekarang kusuguh minum arak padamu, apakah terlambat?"
"Asalkan ada suguhan arak, kapan saja boleh dan tidak terlalu terlambat," ujar Siau-hong dengan terlawa.
Maka arak lantas disuguhkan, secawan demi secawan, cara minum Siau-hong jauh lebih banyak daripada biasanya, juga jauh lebih cepat.
Dia ingin mabuk. Hanya bila sudah mabuk barulah dia dapat menguraikan isi hatinya secara lugas di depan orang yang baru dikenalnya.
Memang sudah tiba saatnya dia harus bicara sejujurnya. la tahu betapa gawatnya urusan ini, setiap kata yang diucapkannya harus membuat orang ini percaya.
Maka dia mulai berkata, "Aku suka orang perempuan, suka makan enak, berjudi, semuanya itu adalah kegemaranku. Sebab aku takut. Ketakutan yang paling besar adalah kesepian, terlebih bila habis berbuat sesuatu pekerjaan, kesepian yang sukar ditahan itu mendorongku menjatuhkan diri ke dalam pelukan setiap perempuan yang sekiranya bersedia bermalam denganku. Asalkan tidak sendirian, perempuan macam apapun jadi."
"Akan tetapi kehidupan demikian lama-lama juga membosankan, membuat orang gila. Sebab itulah aku ingin ganti cara hidup, sedikitnya aku harus mencoba gaya hidup baru, lantaran itulah kuputuskan untuk berlayar."
Semua mendengarkan dengan tenang tanpa memberikan sesuatu komentar.
Siau-hong lantas menyambung, "Aku ingin memilih sebuah kapal yang akan berlayar dalam waktu singkat, maka kucari si Rase tua. Waktu itu aku tidak tahu barang apa yang dimuat oleh kapalnya, ketika kapal hampir tertimpa bencana barulah kutemukan barang muatan kapal itu adalah patung Buddha dan bokhi."
Lalu dia mulai menguraikan apa yang dialaminya, tentang pulau yang misterius dan manusia-manusia misterius yang bias 'menghilang' itu.
Meski ia pun tahu di dalam hal-hal ini masih banyak rahasia lain yang tidak diketahuinya, namun dia tidak menyimpan sesuatu rahasia lagi dari segala apa yang diketahuinya, semuanya diceritakan. Betapapun ia tidak dapat membikin susah orang lain yang tak berdosa, ia percaya peristiwa ini cepat atau lambat pasti akan terbongkar hingga jelas dan tuntas.
Pada waktu bertutur selalu diperhatikannya gerak-gerik Lo-jit, Namun air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu perasaan apapun.
"Apa yang kuuraikan meski kedengarannya sangat janggal dan sukar dipercaya, tapi semua ini adalah kejadian yang sebenarnya," kata Siau-hong akhirnya.
"Ya, aku percaya," jawab Lo-jit tiba-tiba.
Siau-hong merasa lega.
Tapi Lo-jit lantas menambahkan, "Apa yang kau katakan hampir setiap kata dapat kupercaya, sebab biasanya aku memang sangat mudah percaya kepada orang lain, maka ...."
Nyata di balik ucapannya masih ada ucapan lagi.
Segera Siau-hong bertanya, "Maka apa?"
"Maka tidak ada gunanya apakah kupercaya ceritamu atau tidak," sahut Lo-jit dengan hambar.
"Tidak ada gunanya?" Siau-hong menegas. "Habis diperlukan siapa yang percaya supaya ada gunanya?"
"Apakah pangeran Hu-kui-ong bias dipercaya?" tanya Siau-hong.
"Tentu," jawab Lo-jit.
"Kalau begitu sampaikan kepadanya bahwa ada orang yang pernah melihat harta karun itu dan salah seorang pengawalnya."
Tak ada yang tahu, ketika Siau-hong melihat hal itu, ia harus mengalami bahaya gulungan ombak dan hujan badai. Bahkan nyaris ia kehilangan nyawa, hampir saja ia tewas di bawah tangan Ho-siangsi. Ketika selamat, ia menemukan sebuah ruang rahasia tempat bokhi dan harta karun disimpan.
Setelah hening sejenak, segera Siau-hong berkata kepada si Rase tua, "Padahal kaulah yang mengangkut harta karun itu."
Kali ini yang terkejut tidak hanya si Rase tua, Eng-gan Lo-jit dan kawanan berbaju hitam serta para perwira juga terkesia, padahal sebelumnya ia sudah menyinggung soal itu.
Dalam sekejap si Rase tua terkepung di tengah, ia hanya bias tersenyum kecut.
"Tapi saat itu kau juga tidak tahu hal itu," lanjut Siau-hong. Seketika si Rase tua merasa lega, seakan beban beribu kati yang tadinya menimpa dadanya telah lenyap. "Dimana harta itu sekarang?" tanya Lo-jit. "Kalau kuberitahu, apakah kau akan percaya?" "Bagaimana aku bisa tak percaya, begitu peristiwa itu terjadi, aku yakin hanya kaulah yang bisa membongkar skandal ini."
"Bagus kalau begitu, sekarang silakan kau segera melapor kepada Thay-peng-ong, katakan kepadanya, dalam lima belas hari aku pasti akan membawa kembali harta itu."
"Aku akan pergi bersamamu." "Jangan." "Kenapa?"
"Karena tempat itu sangat berbahaya."
Siau-hong memang sudah terbiasa menempuh bahaya seorang diri, ia tak suka melibatkan orang lain.
Lo-jit tahu akan hal ini, maka ia tidak memaksa.
"Sekarang yang kubutuhkan adalah sebuah perahu besar dan si Rase tua."
Rase tua berjingkrak girang, bagaimana tidak" Lo-jit ditolak, namun dirinya malah diminta ikut, sungguh ia sendiri pun sukar percaya.
Rasa girang si Rase tua berlangsung tak lama.
Ketika perahu sampai di tengah laut, dengan sekoci seorang diri Siau-hong melanjutkan perjalanannya, setelah sebelumnya membawa air dan rangsum secukupnya.
Seorang diri Siau-hong tidak menemui hujan badai lagi, masih teringat olehnya pesan si kakek, "kalau ingin ke sini, kau harus mengikuti arus hangat yang mengalir ke sini", maka ia biarkan sekocinya terombang-ambing mengikuti arus.
Berulang kali ia mencelupkan tangannya ke air laut untuk mengetahui apakah airnya hangat atau dingin. Namun setelah sekian lama belum juga ditemukan arus air hangat.
Ia mulai gelisah dan ragu, apakah benar untuk mencapai pulau itu harus mengikuti arus air hangat"
Dalam kesendirian dan gelisahnya, ia pun menyesalkan satu hal, mengapa Samon tidak diajak"
Andai Samon berada di sisinya, ia tidak akan peduli arus air akan membawanya kemana sekalipun ke ujung dunia. Betapa indahnya saat itu.
Padahal saat itu Samon berada dalam perahu si Rase tua yang ditinggalkan tadi, apakah mereka sudah putar balik" Apakah ia juga sedang memikirkan dirinya"
Terkenang pula akan diri Siau Giok, lalu Lau-sit. Apakah mereka sedang bergurau dan mengenangkan dirinya pula" Apakah si Hwesio benar-benar Lau-sit (jujur)"
Ketika sadar dari lamunannya, Siau-hong pun terkesima demi nampak di kejauhan sana tertampak bayangan pulau.
Jantungnya berdebar. Apakah benar pulau itu yang dicarinya"
Langit cerah, bintang bertaburan berkelap-kelip.
Siau-hong memandang ke langit menikmati pemandangan itu, tentu akan lebih nikmat jika ada Samon di sampingnya.
Tapi sekarang ia sudah tidak menyesal lagi.
Banyak persoalan yang harus diungkapnya dan selama ini menjadi teka-teki bagi dirinya. Tentang Gak Yang, Kiong Kiu, si kakek kecil di pulau itu, si Kuah daging sendiri dan sekarang ditambah lenyapnya harta karun dan jagoan persilatan.
Ia bertekad semua itu harus diungkap sampai tuntas.
Satu per satu semuanya terbayang dalam pikirannya.
Bagaimana mungkin begitu banyak jagoan bisa lenyap dalam semalam, sudah pasti mereka itu ada di pulau misterius itu.
Mereka sudah tak mampu melakukan apa-apa, seakan sudah kehilangan tenaga sama sekali. Apakah karena setiap hari dijejali kuah daging"
Itukan yang dilakukan si Kuah daging"
Lalu apa tujuannya "Mengapa tidak mencabut nyawa mereka saja, kan habis perkara" Mengapa membiarkan mereka hidup sengsara dan penuh derita"
Terbayang oleh Siau-hong, harta senilai 35 juta tahil perak yang dirampok orang.
Apakah si kakek kecil itu biang-keladinya" Lalu Gak Yang yang disuruhnya mengirim dan mencarter kapal si Rase tua" Lalu apakah Kiong Kiu sebagai pelaksana semua ini"
Begitu banyak jago silat berkumpul di sana, tidak sulit bagi mereka kalau mau merampok harta itu. Namun hal ini tidaklah penting, namun siapakah yang membunuh Jui Sing"
Tiba-tiba ia teringat ucapan si kakek kecil, ''cara membunuh orang hanya ada satu jenis". Sebelum membunuh harus menyiapkan jalan mundur dahulu, sehingga tidak meninggalkan jejak. Cara ini sebenarnya perlu perencanaan yang rapi, kesabaran dan kecerdikan pelaku.
Lalu apakah si kakek yang membunuh Jui Sing" Tidak, tidak mungkin ia turun tangan sendiri. Apakah Kiong Kiu pelakunya" Logikanya memang dia, namun cara bagaimana ia turun tangan"
Di ruang dimana Jui Sing bersembunyi dijaga dengan ketat, hanya Thia Tiong dan Siau Ang-cu saja yang bisa keluar masuk dengan bebas.
Apakah Kiong Kiu berhasil menyuap kedua orang itu" Mestinya begitu, namun kenapa kedua orang itupun terbunuh" Mustahil mereka berdua bunuh diri.
Kalau bukan dia, lantas siapa yang bisa masuk ke situ" Hanya satu macam orang saja yang bisa. 'Manusia yang bias menghilang'!
Setelah segala pertanyaan itu terlintas dalam pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk mencari si kakek kecil itu, barangkali dialah orang yang tahu 'Manusia yang bisa menghilang' itu.
Setelah membuat keputusan itu, hal yang penting baginya adalah pergi tidur, memulihkan tenaga.
Matahari bersinar terang, menyinari jagad raya. Siau-hong baru mendusin setelah terkena sorot sinar mentari. Ia bangun dari tidurnya, terasa semangat dan tenaganya telah pulih.
Siau-hong turun dari sekocinya, melangkah ke daratan, lalu menyusuri jalan setapak yang penuh ditumbuhi akar rotan, sesekali ia menyingkirkan akar rotan yang menghalangi. Tanah rumput masih sama seperti ketika pertama kali ia ke sini, tidak ada yang berubah. Hanya kali ini tidak ada Gak Yang yang menyambut kedatangannya.
Jangankan Gak Yang, bayangan orang pun sudah tak ada. Semuanya hening, mencekam. Tiada suara, kecuali suara air yang mengalir dan bunyi dedaunan yang tertiup angin.
"Sungguh keadaan yang menyenangkan," tegur seseorang.
Siau-hong terkejut, lekas ia membalikkan badan ke arah datangnya suara. Ternyata si pembicara adalah seorang kakek dengan kepala botak, senyum ramah menghiasi bibirnya, pakaiannya dari kualitas yang terbagus.
Si kakek kecil! Keadaannya masih seperti ketika pertama kali bertemu.
Ditatapnya si kakek, lalu tegurnya sambil tersenyum, "Bikin kaget aku saja."
"Kau merasa heran dengan keadaan pulau ini?" "Ya, begitulah." "Memangnya misterius?" "Ya."
"Akulah pemilik pulau ini." "Kau sendiri heran?" "Tentu."
"Jadi kau tahu apa tujuanku kembali kemari?" tanya Siau-hong.
"Ya, tentunya akan banyak pertanyaan yang akan kau ajukan, dan sangat membutuhkan jawabanku."
"Jadi kau bersedia menjawab."
"Menurutmu?"
"Kau pasti bersedia."
"Kenapa begitu?"
"Sebab kau tak perlu merahasiakan semua ini, kau adalah orang yang cerdik dan berilmu tinggi."
"Sungguh tepat alasanmu itu, hanya aku masih punya harapan."
"Apa itu?"
"Kuharap kedatanganmu kembali ke sini adalah untuk memberitahu sesuatu hal kepadaku." "Hal apa?"
"Kau bersedia bergabung denganku." "Kalau soal itu, tentu kau akan kecewa." "Aku tahu." "Tahu darimana?" "Karena kau datang seorang diri."
"Oh."
"Jika kau ingin bergabung dengan kami, tentu kau akan mengajak Samon," kata si kakek dengan menghela napas gegetun, lalu sambungnya, "Aku harap kau akan merubah keputusanmu."
"Maaf, tak bisa kujanjikan."
"Ya, aku tahu," kata si kakek kecil sambil mengangguk.
"Apalagi yang kau ketahui."
"Liok Siau-hong yang selalu pegang janji."
Siapa yang tak akan senang jika dipuji orang, hakikatnya semua orang suka dipuji, apalagi sekarang yang memujinya adalah si kakek kecil yang serba misterius ini. Demikian juga dengan Siau-hong, ia merasa sangat bangga.
Kembali si kakek berkata, "Kau sanggup menghindarkan diri dari serangan Kiong Kiu di atas perahu tempo hari, aku yakin kau lebih cerdik dari siapa pun, dan aku percaya pada akhirnya kau pasti akan dapat membongkar perampokan harta karun itu."
"Namun aku hanya tahu tentang satu hal," sahut Siau-hong. "Hal apa?"
"Otak perampokan itu adalah dirimu, harta karun dan para jago yang hilang itu aku yakin pasti berada di pulau ini."
"Hanya sebagian saja yang benar."
"Sebagian yang mana?"
"Bagian ucapanmu yang di depan."
"Jadi maksudmu, harta karun dan para jagoan itu tidak berada di pulai ini?" lanya Siau-hong dengan hati tercekat.
"Betul."
"Lalu kemana harta karun dan orang-orang itu dibawa pergi" Oleh siapa?"
"Kiong Kiu, ia punya rencana lain terhadap para jagoan itu, sementara harta karun itu kan mesti digunakan."
"Masakah dia mampu menghabiskan harta itu."
"Memang dia tidak mampu, tapi kalau yang menghabiskan orang banyak, tentu juga harta itu akan habis."
"Rupanya harta itu digunakan untuk berfoya-foya penghuni pulau ini, pantas saja tidak terlihat penghuni lainnya kecuali kau," seru Siau-hong, baru sekarang ia mengerti mengapa tidak terlihat bayangan orang lain selama ia berbincang dengan si kakek.
"Aku pun sekarang sedang mencari seorang yang cocok untuk menggantikan kedudukanku sebagai penjaga pulau, dan sekarang aku sudah punya pilihan?" kata si kakek dengan tersenyum.
"Siapa?"
"Kau."
"Kenapa mesti aku?"
"Karena kau pasti bisa memperalat mereka. Orang-orang itu tak tahan hidup kesepian, mereka sudah terbiasa berfoya-foya, minum arak, main perempuan dan sebagainya mereka lakukan, manusia semacam inilah yang mudah dibekuk dan diperalat. Masakah kau tak tahu."
"Bukankah hal ini justru adalah harapanmu?"
"Memang, tapi aku sendiri sering kesepian."
"Jadi selama ini kau tak berhasil mencari orang yang bisa menggantikan kedudukanmu?"
"Oleh sebab itu aku memilihmu sebagai pengganti, hanya kau yang kuanggap mampu."
Siau-hong tersenyum tidak menjawab. Setelah sama-sama berdiam, si kakek akhirnya mulai membuka mulut, "Sekarang apalagi yang ingin kau ketahui tentang skandal itu.?"
"Sudah kuketahui hampir semuanya, namun ada satu hal yang masih belum kupahami."
"Apa itu?"
"Kematian Jui Sing."
"Kakek itu tertawa, kemudian sahutnya, "Ingatkah kau akan 'manusia yang bisa menghilang' yang pernah kusinggung tempo hari?" Siau-hong manggut-manggut mengiakan.
"Cara bagaimana pembunuh Jui Sing bisa menghilang?"
Si kakek tidak menjawab pertanyaannya, malah katanya memperingatkan Siau-hong, "Kau harus menjaga diri baik-baik, marabahaya sedang menantikanmu."
Setelah itu si kakek hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan Siau-hong tadi. Siau-hong pun tidak mendesak, dalam hal ini dia bisa bersabar. Siau-hong tahu manusia macam apa si kakek ini, jika ia mau menjawab suatu pertanyaan, tanpa perlu berpikir panjang lagi tentu ia akan menjawabnya, tapi bila tidak mau, biarpun ditanyakan ribuan kali juga dia tak mau menjawab.
Lalu dia pun menemani si kakek minum arak sambil bercakap-cakap di atas sekoci.
Sekoci sudah meninggalkan pantai, kembali terombang-ambing oleh ombak. Siau-hong berdiri di buritan sambil mengawasi ujung baju si kakek yang berkibar terhembus angin laut, sementara otaknya masih berputar memikirkan kata-kata terakhir si kakek tadi.
Cuaca sangat cerah. Liok Siu-hong justru berharap cuaca menjadi buruk, dia berharap ucapan si kakek kecil tentang mara bahaya yang dimaksud adalah masalah cuaca buruk. la tahu si kakek sangat menguasai ilmu cuaca.
Tapi kenyataan cuaca sangat cerah, langit biru, air laut bening dan samasekali tak ada gelombang laut, suasana tenang.
Lalu apa dimaksud si kakek dengan marabahaya itu" Apakah akan ada rencana jahat terhadap dirinya" Akan ada intrik jahat yang akan menimpa dirinya"
Siau-hong menjadi agak kuatir, biarpun biasanya ia seorang yang berpembawaan tenang. Perubahan hati manusia memang lebih sukar diduga daripada perubahan cuaca.
Dalam dugaannya, si kakek tak mungkin berani mencelakai dirinya. Namun bagaimana dengan Kiong Kiu" Apakah dia yang berniat mencelakai dirinya" Kiong Kiu memang masih merupakan misted bagi dirinya.
Sejak Siau-hong mulai menangani kejadian ini, memang ia sudah mencurigai Kiong Kiu, mungkinkah dia yang membunuh Jui Sing" Tapi ia tak tahu cara bagaimana Kiong Kiu memasuki ruang rahasia, namun kenyataan Jui Sing, Thia Tiong dan Siau Ang-cu telah tcrbunuh.
Ia memang sengajak tidak mengajak Eng-gan Lo-jit, ia kuatir bila mengajaknya akan 'mengusik rumput mengejutkan ular'. Siau-hong memang berharap akan dapat mengungkap siapa pembunuh Jui Sing dan kawan-kawannya itu.
Walaupun ia telah melihat sendiri harta karun rampokan itu, namun bukan berarti ia telah berhasil mengungkap skandal perampokan harta karun itu.
Pasir putih terasa lembut, memantulkan sinar keperak-perakan ketika tertimpa sinar matahari.
Liok Siau mengira akan bertemu seseorang setelah mendarat, paling tidak Samon akan menunggunya di situ. Semestinya memang Samon menunggunya di tepi pantai itu, namun kenyataan tak nampak bayangan seorang pun di sana. Ketika berpisah memang dia tidak pernah berjanji untuk menunggunya di situ, namun dalam angan-angannya dia akan melakukannya.
Tadinya ia membayangkan akan bertemu dengan Samon, kemudian bercumbu dengannya di tepi pantai, duduk di atas batu karang sambil menikmati matahari tenggelam di ufuk barat, barulah kemudian menemui Lau-sit Hwesio dan Siau Giok. Tapi kini semua itu hanyalah tinggal angan-angan saja.
Angin semilir berhembus di sepanjang pesisir pantai, namun tetap tak nampak bayangan manusia pun, bahkan bekas tapak kaki pun tak nampak. Apakah mereka mengalami sesuatu peristiwa"
Liok Siau-hong mempercepat langkahnya. Setelah melewati pesisir pantai berpasir putih itu, ia menyusuri batu karang. Dari situ nampak pemandangan yang sangat indah.
Siau-hong tak berminat untuk menikmati pemandangan yang indah itu, hatinya sedang gundah.
Setelah melewati pantai berbatu karang yang panjang, sampailah ia di depan sebuah tebing karang yang tinggi, segera Siau-hong melompat naik sampai puncak bukit karang tertinggi.
Dari situ tetap saja tak nampak bayangan seorang manusia pun, juga tak nampak bayangan Samon. Mengapa Samon tak menunggunya" Apakah ia tidak cemas" Apakah ia sudah tak ingin bertemu dengannya"
Demikian pikirnya sambil mengawasi pondok yang tempo hari di tempatinya bersama Lau-sit dan Iain-lain. Apakah ada sesuatu yang menimpa mereka"
Siau-hong mendekat pondok itu, laju berhenti sejenak di depan pintu, ia masih sangsi. Pintu pondok tertutup rapat, tak terdengar suara manusia pun dari dalam.
Tanpa terasa langit sudah gelap, malam pun telah tiba. Hoa Ban-lau masih duduk di kursinya, duduk termenung sambil memeras otak.
Siau-hong menyulut lentera di atas meja. Sinar lentera menyinari wajah Hoa Ban-lau yang masih termenung serius. Siau-hong berdiri tenang di depannya sambil mengawasi sahabatnya.
Sampai lama kemudian, baru Hoa Ban-lau berkata sambil menghela napas panjang, "Menurut ceritamu tadi, pelaku perampokan itu pastilah si kakek kecil dan Kiong Kiu, tapi ada yang lebih penting lagi, yaitu menemukan siapa pelaku pembunuhan terhadap Jui Sing."
"Benar, si 'manusia yang bisa menghilang'."
"Apakah si kakek kecil itu menjelaskan bagaimana supaya manusia bisa menghilang?"
"Ya, ada beberapa cara."
"Apakah bunuh diri termasuk salah satunya?"
Siau-hong melompat kaget bagai tersengat listrik.
"Benar," serunya tiba-tiba, "mungkin saja Jui Sing mati bunuh diri."
Namun segera teringat satu hal, segera sambungnya, "Tapi kan dia hidup berkecukupan, keluarga bahagia, kenapa harus bunuh diri" Apa kau tahu hasil otopsi yang dilakukan Yap Sing-su?"
Menurut hasil pemeriksaan Yap Sing-su, Jui Sing sudah mati satu jam sebelum ditemukan, mati karena ditusuk golok yang sangat tipis dan tajam, sekali tikam lantas mati. Serangan golok itu dilancarkan dengan cepat sehingga luka tikaman hampir tidak kelihatan.
Tikaman di dada yang mengenai paru-paru itu menyebabkan darah membanjiri rongga dada, maka darah pun tidak memancar keluar.
Sekonyong-konyong Hoa Ban-lau pun berseru, "Ya, kematian Jui Sing pasti bukan karena bunuh diri."
"Aku pun menduga begitu, tak mungkin ia bunuh diri." "Yang bunuh diri malah kemungkinan adalah Siau Ang-cu atau Thia Tiong, malah bisa jadi keduanya."
"Maksudmu setelah mereka berdua disuap dan diancam, maka setelah membunuh Jui Sing barulah mereka bunuh diri?"
"Bukankah hal ini masuk akal?"
"Jadi sekarang tugasku haya mencari satu orang saja."
"Siapa?"
"Yap Sing-su."
"Untuk apa kau mencarinya?"
"Ingin kutanya mengenai luka di tubuh mereka bertiga, apakah luka ketiganya seperti yang telah dia katakan?"
"Ada yang kau curigai?"
"Ya, seumpama luka mereka bertiga seperti yang dia katakan, tewas tertembus golok yang cepat, maka tak seorang pun di antara mereka bertiga yang mati bunuh diri."
"Kok bisa?"
"Sebab tak seorang dari mereka bertiga mempunyai kemampuan melancarkan serangan kilat, apalagi untuk digunakan bunuh diri."
-00- Seharusnya malam ini bulan purnama, namun tak terlihat bulan penuh di angkasa. Seluruh langit diselimuti awan hitam, bergerak mengikuti hembusan angin, angin yang bertiup kencang.
Liok Siau-hong berdiri di depan pintu gerbang kediaman Yap Sing-su, ujung bajunya berkibar terhembus angin. Seorang pelayan muncul dari balik gerbang, menegurnya dengan suara keras, "Malam sudah larut, majikan tidak menerima pasien lagi."
"Aku ingin periksa, masakah tidak bisa?" tanya Siau-hong.
"Kau mau periksa?"
"Betul."
"Kau kan sehat, tak nampak seperti orang penyakitan, kecuali?"
"Kecuali apa?"
"Kecuali kau mengidap penyakit saraf."
Begitu selesai bicara, "Blang!", ia membanting pintu.
Siau-hong segera mendorong dengan kedua tangannya, kembali pintu terbuka lebar.
"He, apa-apaan kau" Mau apa kau?" tegur si pelayan sambil melotot gusar.
"Aku hanya ingin memberitahu satu hal kepadamu."
"Soal apa?"
"Jika kau tidak memperbolehkan aku menemui majikanmu, mungkin akan ada satu orang yang benar-benar mengidap penyakit saraf."
"Siapa?"
"Aku."
"He, kau mengejek aku ya?" teriak pelayan itu bertambah gusar.
"Tidak, aku berkata sebenarnya, karena harta karun senilai 35 juta itu nyaris membuatku gila."
Pelayan itu melengak, lalu berdiri tertegun.
"Sekarang bolehkah aku menemui majikanmu?" tanya Siau-hong pula.
Si pelayan menatap Siau-hong dengan wajah ketakutan.
"Kau ... kau apakah Liok Siau-hong?" serunya tergagap.
Siau-hong hanya mengangguk.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pelayan itu tiba-tiba melayangkan pukulan ke arah Siau-hong. Hanya sekali sengkelit, pelayan itupun roboh terjungkal ke tanah.
Lentera terletak di atas meja, di tengah ruangan yang luas, cahayanya temaram. Seseorang duduk di belakang meja, duduk diam tanpa bergerak, di atas meja masih tertaruh kertas, pit dan tinta bak.
"Apakah kau Yap Sing-su?" tanya Siau-hong sambil berjalan menuju ke ruangan itu.
Orang itu hanya mengangguk, lalu mengangkat tangan kanannya mempersilakan Siau-hong duduk. Tanpa sungkan Siau-hong pun duduk.
Orang itupun mengangkat pit, mengolesi dengan tinta bak dan menulis beberapa huruf, "Ada urusan apakah?"
Siau-hong melengak. Sejak kapan Yap Sing-su menjadi bisu" Dengan termangu-mangu Siau-hong mengawasi orang itu. Yap Sing-su tertawa, dia hanya menuding telinganya sendiri.
"Kau masih bisa mendengar?" tanya Siau-hong.
Yap Sing-su mengangguk.
Baru saja Siau-hong hendak mengajukan pertanyaan, mendadak ia merasa sorot mata Yap Sing-su seperti pernah dikenalnya. Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu perkataan, "Asalkan kau berhasil menemukan Kat Tong, maka segalanya akan berhasil".
Teringat pula akan suatu peristiwa di pulau itu ....
Sepasang tangan yang dingin secara tiba-tiba muncul dari balik patung Buddha dan langsung mencekik lehernya. Tangan yang dingin itu tiba-tiba pula menjadi seperti tidak bertenaga sama sekali, setelah ia berhasil menenangkan diri, ia pun mengawasi orang yang mencekik lehernya itu.
Dialah Kat Tong, ia tak akan pernah melupakan sorot mata Kat Tong yang khas itu, sorot mata semacam itulah yang sekarang sedang memandang pada dirinya. Sorot mata Yap Sing-su ternyata persis sama seperti sorot mata Kat Tong.
Segera dengan suara keras Siau-hong menegur, "Kau bukan Yap Sing-su!"
Yap Sing-su kelihatan sangat terperanjat. "Kau adalah Kat Tong!" seru Siau-hong pula. Dengan tubuh bergetar Kat Tong bangkit berdiri sambil melancarkan serangan, bukan saja dia anak angkat Eng-jiau-ong angkatan ketiga, namun juga adalah menantu kesayangan keluarga Ong, berjuluk Tay-lik-sin-eng (elang sakti bertenaga raksasa), tentunya ilmu cakar elangnya sangat lihai.
Sejak awal Siau-hong sudah bersiaga, ia menunggu pukulan cakar elang Kat Tong menyambar, dengan sebuah tebasan kilat ia membabat pergelangan tangan lawan.
"Krak!", tulang pergelangan tangan kanan Kat Tong tertabas patah.
Kat Tong terkapar roboh, namun anehnya, hanya karena patah tulang pergelangan tangannya, kenapa Kat Tong bisa roboh terkapar"
Siau-hong terperanjat, cepat ia menyambar tubuh Kat Tong yang tergeletak di lantai, lalu memeriksanya, ternyata di belakang kepala Kat Tong tertancap tiga batang jarum berwarna putih.
Secepat kilat Siau-hong menerjang ke depan, tertampak sesosok bayangan berkelebat lewat di ujung dinding. Siau-hong segera melakukan pengejaran dengan Ginkangnya yang tiada bandingan.
Dari jauh terlihat sebuah kuil bobrok dan terbengkalai. Ketika sampai di tanah lapang depan kuil, bayangan itu berhenti. Liok Siau-hong pun ikut berhenti, ia berdiri dengan penuh waspada dan bersiaga.
Perlahan-lahan bayangan itu membalikkan badan.
Awan gelap telah terhembus pergi oleh angin yang kencang, secercah cahaya rembulan menyinari wajah bayangan itu.
Siau-hong terkejut, sebab wajah bayangan ini persis sama dengan wajah Kat Tong yang tadi.
Diakah Yap Sing-su yang sebenarnya"
Belum sempat Siau-hong bertanya, orang itu sudah tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kungfu Liok Siau-hong memang bukan omong kosong," kata orang itu.
"Tapi masih kalah dibandingkan caramu melepaskan senjata rahasia."
"Hahaha, jangan lupa, aku juga hebat dalam ilmu mengubah wajah."
"Tak kusangka Thi-koh Taysu dari Siau-Iim-si juga pandai ilmu mengubah wajah."
"Guruku hanya mengajarkan aku agar jangan merusak dan menodai nama baik beliau," kala orang itu dengan suara berat. "Berarti kaulah Yap Sing-su yang sebenarnya?" "Betul sekali."
"Yap Sing-su adalah salah seorang dari empat tabib terkenal pada zaman ini, sudah lama namanya harum, selain ilmu pertabiban, ia juga merupakan ahli waris Thi-koh Taysu dari Siau-lim-si, selama ini dikenal berjiwa ksatria dan suka menolong, tetapi mengapa sekarang justru kau telah membunuh orang tanpa sebab?" "Siapa yang kubunuh?" "Kat Tong!"
"Darimana kau tahu kalau aku yang membunuh Kat Tong" Apakah kau menyaksikan sendiri aku yang membunuh?"
"Jarum perak itu mengenai Hiat-to mematikan di belakang kepalanya, jelas serangan itu menggunakan tenaga dalam yang tinggi dari aliran Siau-lim."
"Tajam juga penglihatanmu, analisamu pun lihai." "Jadi kau mengakui Kat Tong mati di bawah tanganmu." "Kalau ya kenapa" Kalau tidak kenapa pula?" "Kalau sudah kau akui, ini menandakan Yap Sing-su sudah berubah, dia seorang lelaki sejati."
"Tak kusangka mulut Liok Siau-hong pun sangat lihai," sahut Yap Sing-su.
"Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Yap Sing-su mendengus dingin dan tidak menjawab. "Tampaknya kau tahu aku bakal mencarimu," kata Siau-hong pula.
"Benar, memang aku yakin kau pasti akan mencariku." "Kenapa?"
"Sebab hanya aku seorang yang tahu penyebab kematian para korban."
?"Benarkah mereka tewas oleh tikaman golok kilat?"
"Benar."
"Benarkan mereka tewas satu jam sebelum diketemukan?"
Yap Sing-su tidak menjawab, wajahnya tampak sangat menderita, seakan sedang menderita sesuatu penyakit yang menyiksa.
Siau-hong mendesak lebih jauh, "Sebenarnya sudah berapa lama mereka tewas" Ketika kau masuk ke sana, apakah mereka baru saja dibunuh?"


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka ...." hanya itu yang sempat Yap Sing-su ucapkan, ia tak sanggup melanjutkan ucapannya seakan tenggorokannya tersumbat.
Siau-hong sadar, saat inilah yang menentukan bagi Yap Sing-su, jika dia bicara terus terang, berarti dia telah meninggalkan orang yang selama ini menjadi pelindungnya, tapi jika tidak, maka sepanjang hidupnya selanjutnya akan tetap menjadi 'boneka' orang itu."
Akhirnya Yap Sing-su mengambil keputusan, serunya, "Mereka toh sudah mati ...."
Belum habis ucapannya, badannya tiba-tiba roboh terjungkal ke tanah. Padahal ketika Yap Sing-su berbicara tadi, Siau-hong sudah waspada dan mengawasi daerah sekitarnya serta memperhatikan wilayah situ dengan cermat.
Dia tidak menyaksikan apa-apa, juga tidak mendengar suara yang mencurigakan, namun tetap saja Yap Sing-su kena dibokong orang.
Baru saja Siau-hong berjongkok untuk memeriksa keadaan Yap Sing-su, mendadak dari balik kuil bobrok di depan sana melintas cahaya lentera. Mula-mula cahaya lentera itu redup, sejenak kemudian barulah seluruh ruangan kuil menjadi terang benderang.
Siau-hong tahu, dirinya tak perlu melanjutkan memeriksa mayat Yap Sing-su, rahasia yang ingin dia ketahui berada dalam kuil ini, maka ia pun masuk ke dalam ruangan kuil. Pintu kuil setengah terbuka, cahaya lentera menyorot keluar dari balik pintu.
Sesaat Siau-hong ragu, apakah dirinya mesti menerobos begitu saja ataukah membuka pintu itu lebar-lebar baru kemudian masuk ke dalam" Sulit bagi Siau-hong menentukan pilihannya, keduanya sama-sama berbahaya.
Siau-hong memang tak perlu menentukan pilihannya, sudah sering kali ia menghadapi situasi seperti ini, apa salahnya kalau ia pun menempuh salah satu cara itu.
Setelah berketetapan, Siau-hong hendak mendorong pintu itu lebar-lebar, belum sampai tangannya mencapai daun pintu, ia hentikan gerakan tangannya, tiba-tiba saja bayangan Samon muncul dalam benaknya, seakan ia sedang tersenyum manis kepadanya.
Hanya orang yang sudah mengenal cinta tahu apa artinya takut. Siau-hong tidak takut mati, namun itu dulu, sebelum mengenal Samon, saat itu hatinya tak terbeban perasaan cinta. Sekarang ia sudah mengenal apa artinya cinta, tiap kali teringat Samon, ia selalu membayangkan kekuatiran Samon akan dirinya, bagaimana selanjutnya Samon bisa berkelana di dunia persilatan bila kehilangan dirinya"
Tangan Siau-hong tidak jadi meneruskan mendorong pintu kuil, malahan ditariknya kembali tangan itu.
Orang yang berada dalam kuil pastilah seorang jagoan yang lihai, orang yang punya kesabaran luar biasa untuk menunggu dirinya masuk ke dalam kuil, tak mungkin dia bukan manusia yang luar biasa.
Rasa kuatir Siau-hong makin bertambah, dia hanya berdiri mematung di depan pintu kuil, biarpun angin gunung bertiup kencang mengibarkan ujung bajunya, ia tetap sama sekali tidak bergerak.
Ia sadar, saat ini cara terbaik untuk menghadapi lawan adalah mengadu kesabaran, siapa yang terbaik dialah pemenangnya, yang kalah tentu akan memperlihatkan titik kelemahannya.
Jika Siau-hong tidak dapat bersabar, maka hanya ada dua cara baginya. Pertama, menyerempet bahaya dengan menerjang ke dalam atau, kedua, segera meninggalkan tempat ini dan lupakan penyelidikan kematian Yap Sing-su dan sebagainya.
Namun jika lawan yang tak bisa menahan diri, tentu dia akan bersuara atau menerjang keluar. Cara apapun yang dipilih lawan, tetap saja akan lebih menguntungkan Siau-hong. Bila sampai orang itu bersuara, segera Siau-hong bisa mengetahui tempat persembunyiannya, bahkan ada kemungkinan akan tahu siapakah dia.
Jika orang itu menerjang keluar, tentu akan lebih menguntungkan Siau-hong, paling tidak ia tidak perlu kuatir akan dibokong orang itu. Betapapun lihainya kungfu orang itu, selamanya Siau-hong tidak pernah merasa kuatir.
Siau-hong tahu, musuh yang bersembunyi di dalam kuil tidak hanya satu orang, sebab ia bisa mendengar ada orang sedang berbisik-bisik di situ, sayang hembusan angin gunung cukup kencang sehingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, juga tak bisa membedakan apakah lawan lelaki atau perempuan, tua atau muda.
Tapi ada satu hal yang ia ketahui, musuh sudah mulai kehilangan kesabaran. Dalam hal kesabaran, ia selalu yakin dirinyalah orang yang paling sabar di dunia ini, kalau tidak, mungkin dirinya sudah tak mampu berdiri lagi di situ, entah sejak kapan dirinya sudah mampus. Liok Siau-hong tetap berdiri diam tak bergerak.
Benar saja dugaannya, lawan yang berada di dalam kuil rupanya memang telah kehilangan kesabaran. Sekonyong-konyong terdengar suara seorang perempuan menegurnya dengan suara merdu, "Apa kau tidak merasakan angin bertiup makin kencang dan makin dingin?"
Siau-hong hanya tertawa. Suara si Kuah daging! Mendengar suara si Kuah daging, bagaimana mungkin ia tidak tertawa"
Sahut Siau-hong sambil tetap tertawa, "Biarpun angin bertiup bertambah kencang dan dingin, rasanya lebih nyaman daripada masuk ke dalam dan terjebak dalam kepungan serangan pedang."
"Darimana kau tahu aku menggunakan pedang dan bukan golok atau senjata lain?" suara seorang lelaki menimpali.
Senyuman manis yang tadinya menghiasi wajah Siau-hong seketika berubah menjadi senyuman membeku kaku. Kiong Kiu!
Mendengar suara Kiong Kiu yang begitu bersemangat, bagaimana mungkin senyuman Siau-hong tidak berubah menjadi beku kaku.
Siau-hong tidak menjawab, ia menjulurkan tangannya dan perlahan-lahan membuka pintu kuil yang setengah tertutup itu lebar-lebar.
Belum sempat Siau-hong melangkah masuk ke dalam kuil, sekonyong-konyong angin kencang berhembus masuk pula sehingga membuat cahaya lentera bergoyang tiada hentinya. Cahaya lentera yang bergoyang menjadi tidak jelas menerangi wajah si Kuah daging dan Kiong Kiu, sekan mencerminkan perasaan mereka yang tidak menentu.
Setiap kali bertemu dengan kenalan lama, Siau-hong selalu tertawa. Kali inipun Siau-hong tertawa, tegurnya, "Maaf, kalian harus menunggu terlalu lama."
Basa-basi yang menjemukan. Kiong Kiu ingin tertawa, namun tak bisa tertawa. Lain dengan si Kuah daging, ia tertawa terkekeh-kekeh.
bab 3 "Di luar kan dingin dan angin bertiup kencang, mengapa tidak dari tadi masuk ke dalam dan mencicipi kuah daging yang kubuat?" ujar si Kuah daging dengan masih tertawa.
"Aku justru kuatir, kalau aku masuk sejak tadi, mungkin malah tidak bisa mencicipi kuah dagingmu lagi," sahut Siau-hong dengan tertawa pula.
"Jadi sekarang kau ingin mencicipi kuah daging yang kubuat?"
"Tidak, kalau yang membuat Giam-lo-ong (raja akhirat) malah Akan kucicipi."
Si Kuah daging tertawa cekikikan. "Kita kan sudah cukup lama tak bertemu, masakah akan kusuguhkan kuah bikinan Giam-lo-ong?" godanya.
"Kau mungkin tidak, tapi bagaimana dengan Kiu-ya?"
"Kau keliru," sahut Kiong Kiu dengan suara berat.
"Oya?"
"Jika aku ingin membunuhmu, tentu sudah kulakukan sejak kau berada di rumah Yap Sing-su."
"Jadi kau sudah menduga kalau aku akan mencari Yap Sing-su?"
"Aku tidak yakin, hanya menduga kemungkinan besar kau akan ke sana, maka selama beberapa hari aku selalu mengawasi rumah Yap Sing-su."
"Kenapa?"
"Menunggu kedatanganmu."
"Kini aku sudah datang, kenapa kau tidak membunuh aku?"
"Sekarang belum waktunya."
"Kenapa?"
"Sebab kau datang seorang diri."
"Jadi kau pun ingin membunuh Samon?"
"Tidak cuma Samon, masih ditambah Siau Giok dan Lau-sit Hwesio."
"Jadi kami berempat ingin kau bunuh semua?"
Kiong Kiu hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Kenapa?"
"Karena aku benci kalian berempat."
"Boleh saja kau membenci aku atau Samon dan boleh juga kalau kau ingin membunuh Siau Giok, tapi mengapa kau juga membenci seorang Hwesio?"
"Jika tidak ada dia, mungkin kalian sudah mampus di pulau itu."
"Jika selama hidup kau tak bisa menemukan mereka?"
"Pasti bisa."
"Kau yakin?"
Kiong Kiu mendengus dingin.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin akan menemukan mereka?" tanya Siau-hong.
"Bila selama hidup aku tak bisa menemukan mereka, maka kau pun jangan harap dapat bertemu mereka pula."
"Kenapa?" tanya Siau-hong terperanjat. .,
"Karena mulai sekarang aku akan selalu menguntit kau, kecuali bila kau sudah tak ingin berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan bisa menemukannya."
Siau-hong bergidik dan bulu kuduknya berdiri demi mendengar perkataan Kiong Kiu itu.
"Jadi itu sebabnya kau mengawasi rumah Yap Sing-su dan menunggu aku selama beberapa hari ini?"
"Bukan."
"Bukan?"
"Semula kuduga kalian berempat yang akan datang sehingga aku dapat sekaligus membunuh kalian, tak kusangka yang datang hanya kau seorang, maka terpaksa aku harus memancingmu kemari."
"Tujuanmu memancingku kemari hanya ingin memberitahu bahwa mulai sekarang kau akan selalu menguntitku."
"Betul."
"Bila kau menguntit aku secara diam-diam, bukankah dalam waktu singkat kau dapat menemukan mereka?"
"Ehm," Kiong Kiu berdehem, kemudian dengan tertawa dingin ia pun meneruskan, "Aku justru ingin kau tahu."
"O." "Pernahkah kau melihat kucing menangkap tikus" Apakah kucing akan langsung melahap tikus tangkapannya?"
Dingin perasaan Siau-hong mendengar ucapan Kiong Kiu itu.
Kembali Kiong Kiu berkata, "Tujuanku justru agar kau tahu, hingga tak berani menjumpai Samon betapapun rindunya kau, aku ingin melihat kau makan tak enak tidur pun tak nyenyak, ingin kusaksikan kau bertambah kurus, lahir batin tersiksa." Kiong Kiu pun tertawa puas.
"Jika aku mati, kau pun jangan harap dapat menjumpai mereka," ujar Siau-hong tenang.
"Sebelum kau mati, masakah tak ingin berjumpa Samon untuk terakhir kalinya?"
Siau-hong diam saja, tiba-tiba bayangan gelap melintas dalam benaknya, bukan bayangan kematian, namun bayangan Samon yang kian kurus dan murung karena tak berjumpa dengan dirinya. Ada perasaan takut hal ini terjadi.
Menyaksikan perubahan muka Siau-hong yang ketakutan dan penuh rasa kuatir, senyuman dingin Kiong Kiu berubah menjadi tertawa terbahak-bahak penuh keriangan, penuh kebanggaan.
Siau-hong memandang sekejap ke arah Kiong Kiu, kemudian beralih ke Kuah daging, lalu tegurnya, "Kenapa kau tidak menyuguhku kuah daging?"
"Kau ingin minum kuah daging buatanku?" tanya si Kuah daging tercengang.
"Ya, benar."
"Kau masih punya selera untuk mencicipi kuah daging buatanku?"
"Hanya kematian yang bisa membebaskan penderitaan manusia, lebih baik jadi setan gentayangan daripada jadi setan kelaparan, bukan lebih baik begitu" Lagi pula ...."
"Lagi pula apa?" tanya si Kuah daging.
"Lagi pula kalau tidak minum kuah daging, darimana aku punya kekuatan untuk bermain petak umpet dengan kalian?"
Si Kuah daging menatap tajam Siau-hong beberapa saat, kemudian tanpa berkata-kata lagi ia membalikkan tubuh dan berjalan masuk ke ruang belakang.
Ketika muncul lagi, si Kuah daging sudah membawa semangkuk kuah daging yang masih mengepulkan uap panas.
Tanpa sungkan lagi Siau-hong langsung menghirup kuah panas itu hingga habis, kemudian sambil mengusap mulutnya, ia berkata, "Masih ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."
"Masalah apa?"
"Setiap kali pergi, apakah kau selalu membawa kuah daging?"
"Tidak selalu."
"Tapi setiap kali kita bertemu, kau selalu bisa menyuguhku kuah daging panas."
"Aku memang khusus menyediakan buatmu," sahut si Kuah daging sambil tersenyum manis.
"Oya?"
"Bukankah kau pun pernah berkata, lebih enak jadi setan kekenyangan daripada menjadi setan kelaparan?"
"Ya, betul."
"Itu sebabnya aku selalu menyiapkan kuah daging untukmu."
"Wah, kalau begitu aku harus berterima kasih padamu ya," ujar Siau-hong tertawa getir.
"Tak perlu kau berterima kasih, yang kuharap hanya setelah kau menjadi setan kekenyangan, janganlah kau datang merecoki aku."
"Sekarang aku sudah kenyang, bolehkah aku pergi?"
"Silakan pergi kalau kau ingin pergi, siapa yang ingin menahanmu di sini?"
"Kau melepaskanku begitu saja?"
"Ya, begitulah."
"Berarti kau tak ingin melakukan pertarungan yang tak kau yakini akan menang?"
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu sampai jumpa pula."
Begitu selesai berkata, Siau-hong segera mengerahkan Ginkangnya meninggalkan kuil bobrok itu.
Bila kucing beradu lari melawan tikus, siapa yang lebih cepat" Ketika Liok Siau-hong berlari meninggal kuil bobrok itu, tiba-tiba terbayang olehnya akan hal ini. Semestinya kucing akan lebih cepat, tapi tikus masih bisa menerobos masuk ke liang, bisa bersembunyi dimana saja, sementara kucing belum tentu bisa menerobosnya. Siau-hong bukan tikus, ia pun tak menginginkan dirinya seperti tikus.
Sekalipun Kiong Kiu menganggapnya demikian, namun Siau-hong tak sudi memikirkannya. Karena itu Siau-hong tak ingin bersembunyi, tiada gunanya bersembunyi. Siau-hong yakin, Ginkangnya masih lebih tinggi daripada Ginkang Kiong Kiu. Karena itu ia melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan raya.
Walau menggunakan Ginkang di jalan raya akan menarik perhatian orang banyak, tapi jauh lebih gagah daripada bersembunyi macam anak kura-kura, lagi pula dengan berlarian cepat seperti itu, siapa yang tahu kalau itu adalah Liok Siau-hong"
Senja telah tiba. Cahaya lampu yang remang-remang menerangi jalanan di kota kecil itu. Biarpun Siau-hong memiliki daya tahan yang hebat, tapi seharian tanpa makan dan minum, akhirnya akan kelelahan juga. Dia sudah berlari seharian, siapa yang sanggup menyusulnya.
Kota kecil ini sangat aman untuk makan minum dan beristirahat, demikian anggapan Siau-hong. Ia pun memasuki kota kecil ini
Di tepi jalan masih tertampak sebuah kedai penjual bakmi yang sangat sederhana. Siau-hong pun melanjutkan langkahnya menuju ke kedai itu untuk sekadar tangsal perut.
Ia tak ingin menarik perhatian orang lain, maka sehabis menangsal perut dengan semangkuk bakmi kuah hangat, ingin rasanya mencari tempat yang bersih dan aman untuk beristirahat serta mengumpulkan tenaga.
Tujuannya hanya untuk menghindari pengejaran Kiong Kiu dan secepatnya dapat bersua kembali dengan Samon.
Penjual bakmi itu seorang kakek, pakaiannya lusuh, rambutnya sudah beruban seluruhnya, wajahnya penuh keriput menandakan seumur hidupnya penuh dengan perjuangan. Dengan ramah penjual bakmi menyapa Siau-hong, "Tuan ingin makan apa?"
"Tolong buatkan semangkuk bakmi daging sapi," sahut Siau-hong sambil mengambil tempat duduk.
"Segera akan aku siapkan," jawab si penjual bakmi sambil tersenyum ramah, "apakah perlu disiapkan sepiring ca sayur asin dan sepoci arak hangat?"
"Tidak usah, tambahkan saja dua butir telur."
Mengendus bau harum semerbak bakmi kuah daging sapi membuat perut Siau-hong semakin keroncongan. Dalam waktu singkat ia telah menghabiskan semangkuk bakmi daging sapi itu, sampai-sampai kuah daging sapi yang tersisa sedikitpun hendak dihirupnya sampai ludes.
Bersambung ke bagian 4
Sang Ratu Tawon
Oleh Khulung/Gan KL
Bagian 4 Mentari sudah merangkak tinggi. Panasnya terasa menyengat. Siau-hong duduk di kursi kusir dengan tenang. Cambuknya diayunkan ringan, kereta kuda meluncur cepat. Kenapa" Karena Siau-hong sudah menemukan cara yang jitu untuk melepaskan diri dari kejaran si kucing.
Mendadak kereta dilarikan semakin kencang. Kiong Kiu tak tahan; ia pun melongok keluar kereta dan menegur Siau-hong, "He, adakah sesuatu yang kau kejar?"
"Ya, benar," jawab Siau-hong tanpa berpaling, kembali cambuknya diayunkan.
"Kenapa terburu-buru?"
"Aku ingin menjumpai seseorang."
"Kan tidak perlu terburu-buru."
"Memang seharusnya tidak perlu terburu-buru."
"Kalau begitu mengapa harus sekencang ini?"
"Sebab sebelum senja aku harus sudah sampai di rumahnya."
"Bukankah kau mengatakan tidak perlu terburu-buru."
"Bukan aku yang terburu-buru, tapi dia."
"Dia?"
"Ya, dia selamanya tidak mau menerima tamu pada malam hari."
"Jadi sebelum malam, kau harus sudah sampai di sana?"
"Benar."
"Kalau begitu kan yang terburu-buru adalah kau."
"Bukan, dia yang membuat peraturan, maka aku harus cepat sampai, sebelum malam tiba dia harus sudah bertemu dengan tamunya, bukan aku."
Matahari semakin doyong ke barat. Kereta semakin lambat. Ketika angin berhembus, terendus semerbak harum bunga.
"Orang yang ingin kau temui itu gemar sekali bunga bukan?" tanya Kiong Kiu dari dalam kereta.
"Ya."
"Rumahnya tentu banyak tertanam bunga."
"Ya."
"Apa nama tempat tinggalnya?"
"Ban-bwe-san-ceng."
"Sebun Jui-soat! Orang itu yang ingin kau temui?"
"Betul."
"Mau apa kau cari dia?"
"Menyampaikan suatu pesan."
"Tak boleh kudengar pesanmu itu?"
"Tiap kali berbincang dengan sahabatku, aku tak ingin ada orang lain yang mendengar."
"Kau ingin minta bantuannya?"
"Mungkin."
"Kau ingin minta dia menyampaikan kabar kepada Samon?"
Siau-hong tidak menjawab.
Kereta berhenti di sebuah rumah yang dipenuhi tumbuhan bunga di sekitarnya.
Siau-hong meletakkan cambukya, melompat turun dan berjalan ke depan pintu rumah serta mengetuknya, lalu tanyanya kepada Kiong Kiu, "Kau ingin ikut masuk?"
"Kan sudah kau katakan tadi, lalu buat apa aku masuk" Lebih baik aku menikmati pemandangan indah di luar sini."
"Ternyata memang kau seorang pintar," puji Siau-hong sambi] tertawa.
"Kau terlalu memuji."
"Kalau kau memang orang pintar, coba sekarang terka, apa yang ingin kupinjam darimu?"
Kiong Kiu tidak menjawab, hakikatnya memang dia tak tahu.
Siau-hong tertawa.
"Ingin kupinjam pisau cukur kumismu."
Di tengah gelak tawa Siau-hong, tiba-tiba sebilah pisau cukur melayang keluar dari dalam kereta, melayang ke arahnya.
"Nih, kuhadiahkan padamu," sahut Kiong Kiu ketus.
Kiong Kiu melongok keluar, dilihanya Siau-hong sedang mencukur kumisnya dengan santai.
Tak tahan Kiong Kiu menegurnya, "Bukankah setelah malam Sebun Jui-soat tak mau menerima tamu?"
"Betul."
"Kenapa kau malah mencukur kumis di sini?"
"Karena selama ini aku tidak pernah mencukur kumis, maka harus kulakukan dengan santai. Kau tak usah kuatir, sebelum malam tiba, aku pasti sudah selesai bercukur."
"Tampaknya...."
"Tampaknya apa?" tukas Siau-hong.
"Kau kelihatan lebih ganteng dengan keempat kumismu itu, lebih baik jangan kau cukur."
"Aku harus mencukurnya."
"Kenapa?"
"Karena aku harus menemui Sebun Jui-soat."
"Kau harus menemuinya?"
"Kalau tak bertemu dengannya, aku tak akan bisa bertemu Samon lagi."
"Tidak bertemu dia pun kau kan masih bisa menemui Samon."
"Oya?" tanya Siau-hong sambil menatap lawan bicaranya.
"Kau tidak percaya?"
"Aku percaya, hanya tidak berani menemuinya."
"Kenapa?"
"Aku takut perjumpaan itu adalah perjumpaan yang terakhir."
?"Kan belum tentu kubunuh kalian."
"Oya?"
"Tentu."
"Apa syaratnya?"
"Kau memang cerdik."
"Itulah sebabnya aku masih hidup."
"Syaratnya kau harus bergabung dengan kami,"
"Itu kemauanmu sendiri?"
"Bukan?"
"Berarti kernauan si kakek kecil."
"Betul."
Siau-hong tertawa, lalu meletakkan pisau cukur itu dan mengusap wajahnya, ujarnya pula, "Coba lihat, bukankah sekarang aku lebih ganteng?"
Kiong Kiu hanya mengawasinya, tanpa bicara.
Siau-hong berpaling ke arah kereta dan berseru, "Kuah daging!"
Si Kuah daging segera menongolkan kepalanya.
"Coba lihat, bukankah tampangku lebih ganteng?" Si Kuah daging menatapnya, lalu memandang Kiong Kiu, juga tidak bicara.
Sambil tertawa Siau-hong berkata pula, "Kalian pasti kaget melihat kegantenganku ini, maka tidak sanggup bicara, kalau begitu sebaiknya sekarang aku menemui Sebun Jui-soat."
Matahari telah tenggelam. Angin malam bertiup menghembuskan bau harum semerbak bebungaan, Siau-hong merasa nyaman. Setelah menarik napas panjang, katanya, "Hari yang indah, mengapa kita harus saling bunuh?"
Kiong Kiu tidak menanggapi, hanya mendengus dingin. Kembali Siau-hong berkata, "Mengapa kau berniat membunuhku, bukankah lebih baik kau mengajak si Kuah daging menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan."
Paras Kiong Kiu berubah, katanya hambar, "Hari sudah gelap."
"Aku tahu."
"Kenapa Sebun Jui-soat tidak menyambutmu?"
"Mungkin dia sedang menyiapkan masakan untuk menyambutku."
"Jadi kau akan bersantap di dalam?"
"Aku bahkan ingin tidur di sana."
"Kalau begitu pergilah."
"Sebelum masuk, ingin kunasihati kau."
"Cepat katakan."
"Kau pun cepatlah menanak nasi, jangan sampai kau nanti masuk angin."
Kiong Kiu tersenyum, katanya, "Tak perlu kau menasihati aku, lekaslah kau masuk, besok kita masih harus melanjutkan perjalanan."
"Kenapa aku harus melanjutkan perjalanan?"
"Sebab sudah kuputuskan untuk memecatmu sebagai kusir."
"Padahal aku pun sudah tak ingin menjadi kusir lagi."
"Oya?"
"Bcsok aku sudah menjadi manusia yang bebas, tak perlu kuatir lagi dikejar-kejar si kucing."
"Kita buktikan saja besok."
Siau-hong berjalan santai menuju ke pintu rumah, katanya dengan tertawa gembira, "Esok adalah hari yang penuh harapan."
Dalam ruangan tidak nampak ada bunga, namun bau harum bunga semerbak memenuhi ruangan. Siau-hong berdiri bersandar sebuah kursi sambil mengawasi Sebun Jui-soat.
Arak dalam cawan di tangan Sebun Jui-soat berwarna hijau, sementara pakaiannya berwarna putih. Siau-hong menghela napas panjang, katanya, "Sepanjang hidup pernahkah kau merasa gundah?"
"Pertanyaan itu pernah kau ajukan," jawab Jui-soat.
"Dulu kau jawab tidak pernah."
"Daya ingatmu cukup bagus."
"Sekarang bagaimana?"
"Pernah."
"Jadi kau pernah merasa gundah."
"Gundah karena kumis."
Siau-hong mengawasi wajah Jui-soat, lalu tanyanya, "Jadi kau gundah karena tak punya kumis?"
"Bukan."
"Bukan?"
"Aku gundah karena melihatmu tanpa kumis."
"Oya" Kenapa?"
"Dulu kau pernah mohon bantuanku, tapi aku mensyaratkan kau harus mencukur bersih kumismu."
"Wah, kau pun punya daya ingat yang bagus, memang inilah untuk pertama kalinya aku mencukur kumis demi orang lain."
"Kau sudah mencukur kumis, maka aku merasa gundah."
Sekali teguk Siau-hong menghabiskan secawan arak yang disuguhkan di atas meja, kemudian menatap lekat-lekat Sebun Jui-soat.
Dengan perlahan Jui-soat juga menghirup araknya, lalu katanya, "Arak ini paling cocok kalau dinikmati perlahan-lahan."
"Aku tahu."
"Kenapa tidak kau lakukan tadi?"
"Aku menunggumu."


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menunggu aku" Menunggu apa?"
"Menunggu perkataanmu."
"Perkataan apa?"
"Perkataan yang bisa menghilangkan kegundahanku."
Sekali teguk Jui-soat habiskan araknya, setelah meletakkan cawan di atas meja, barulah ia berkata, "Kemana pun kau pergi, aku akan ikut."
"Sekarang kau tuang kedua cawan itu, kita minum perlahan-lahan," ujar Siau-hong. "Kita bersulang untuk ucapanmu ini."
"Aku bersulang untuk kumismu," sahut Jui-soat.
Lalu kedua orang itu tertawa, perlahan-lahan mereka habiskan araknya.
Irama seruling sayup-sayup terdengar di kejauhan, kemudian berganti dengan suara khim.
"Agaknya kegemaranmu sudah berubah."
"Tidak."
"Kenapa bisa berganti suara khim."
"Suara seruling panjang mengalun, kemampuannya membersihkan tidak sebesar irama khim."
"Kemampuan membersihkan" Membersihkan apa?"
"Membersihkan hawa membunuh."
"Membersihkan hawa membunuh?"
Jui-soat hanya mengangguk.
"Membersihkan hawa membunuh siapa?"
"Orang yang berada dalam kereta."
"Jadi kau pun bisa merasakan hawa membunuhnya."
"Hawa membunuhnya sangat tebal."
"Tahukah kau siapa yang ingin dibunuhnya?"
"Yang jelas bukan aku."
"Juga bukan hanya aku."
"Siapa lagi?"
"Lau-sit Hwesio, Samon dan Siau Giok."
"Ada yang tidak jelas bagiku."
"Apa itu?"
"Mengapa dia ingin membunuh Lau-sit?"
"Lalu apa lagi?"
"Siapakah Samon dan Siau Giok itu?"
Selesai Siau-hong bertutur pengalamannya, arak dan makanan di meja pun sudah ludes. Jui-soat menatap tajam Siau-hong, katanya, "Kesulitan yang kau timbulkan tidak kecil."
"Itulah sebabnya kudatang mencarimu."
"Aku punya cara menghadapinya, lekaslah tidur agar kita punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan."
"Bolehkan kuucapkan sesuatu?" "Tidak boleh." "Kenapa?"
"Aku sudah tahu apa yang hendak kau ucapkan." "Kau tahu?"
"Ya, lebih baik simpan dulu ucapanmu itu," kata Jui-soat sambil menggak habis araknya.
"Baiklah kalau begitu, biar ucapan terima kasihku kusimpan dulu."
Sambil tertawa riang, Siau-hong juga menenggak habis araknya.
Fajar telah menyingsing. Angin fajar berhembus sepoi-sepoi, masih menguarkan bau harum bunga. Bunga bergoyang sangat indah dan menawan.
Siau-hong bangun paling pagi, tapi tiada waktu baginya untuk menikmati pemandangan.
Kiong Kiu termasuk orang yang pandai menikmati hidup, tapi tak paham bagaimana menikmati pemandangan. Tahunya hanya tidur agar tenaga pulih dan semangat segar.
Umumnya perempuan suka akan keindahan bunga, namun saat ini si Kuah daging pun tak dapat menikmati keindahan bunga.
Lelaki yang suka bangun kesiangan, tentunya perempuan yang mendampinginya tidur juga akan bangun kesiangan.
Sebun Jui-soat berdiri di kebun bunga, sedang menikmati keindahannya, hanya dia seoranglah yang bisa menikmati keindahan bunga.
Kabut sudah buyar. Surya pun mulai memancarkan sinar panasnya. Burung-burung berkicau, terbang meninggalkan sarangnya.
Tempat berdiri Jui-soat sudah berpindah, ke samping kereta yang ditumpangi Kiong Kiu. Hawa membunuh memancar masuk ke dalam kereta, mendadak Kiong Kiu berjingkat bangun dari tidurnya.
Ketika tirai disingkap, dilihatnya Sebun Jui-soat berdiri di situ. Berdiri dengan wajah dingin.
Ketika Kiong Kiu menoleh ke arah pintu rumah, dilihatnya Siau-hong sedang tertawa mengejek ke arahnya sambil menggapaikan tangan. Langkah Siau-hong tak terhitung cepat, namun hanya sekejap saja sudah sampai di kejauhan.
Kiong Kiu segera menarik tali les kudanya, namun keretanya tetap tak bergerak. Kiong Kiu hanya sempat melihat berkelebatnya cahaya, mendadak kuda-kudanya sudah roboh terkapar.
Gerakan Jui-soat melolos pedang, menusuk dan menyimpan kembali pedangnya dilakukan dengan sangat cepat, baru pertama kali inilah Kiong Kiu menyaksikan gerakan pedang secepat ini.
Sementara itu bayangan Siau-hong sudah semakin menjauh. Jui-soat menatap Kiong Kiu, mengawasinya tanpa berkedip.
"Kenapa kau bunuh kudaku?" tegur Kiong Kiu.
"Aku hanya tidak ingin kau mengejar sahabatku."
"Bila aku tetap mengejarnya?"
"Kau akan senasib dengan kudamu."
"Kau yakin akan berhasil?" jengek Kiong Kiu.
"Sebun Jui-soat yakin akan kemampuannya."
"Benarkah begitu?"
Sebun Jui-soat diam tak menjawab, Kiong Kiu pun diam tak bergerak.
Liok Siau-hong merasa kehidupan di dunia ini benar-benar menyenangkan, kicau burung yang merdu, hembusan angin yang lembut, bahkan rumput liar sepanjang jalan yang tampak hijau.
Sahabat, makhluk yang menyenangkan, tak boleh tidak ada di dunia ini. Persahabatan Siau-hong dan Jui-soat hanyalah hubungan sesama orang Kangouw, namun di kala Siau-hong menghadapi kesulitan, Jui-soat pasti siap membantunya.
Jui-soat minta Siau-hong mencukur kumisnya, ia pun melakukannya, walau kumisnya itu bagian tubuhnya yang paling disayangi.
Siau-hong tahu, saat ini tak mungkin Kiong Kiu sanggup menyusulnya.
Ia menghentikan langkahnya, menarik napas panjang dan menikmati udara segar pegunungan.
Ketika tanpa sadar ia meraba atas bibirnya yang sudah kelimis, ia pun tersenyum geli sendiri. Membayangkan bila nanti Samon melihat kumisnya yang sudah kelimis, tentu gadis itu akan terkejut setengah mati.
Tentu yang akan paling terkejut adalah Lau-sit Hwesio, takkan disangkanya Siau-hong benar-benar telah mencukur kelimis kumisnya untuk menghindari pengejaran musuh, walau yang mengejarnya itu bukanlah pengawal kerajaan yang dikirim Thay-peng-ong.
Kiong Kiu memang jauh lebih lihai daripada para pengawal kerajaan, tak nanti Siau-hong takut kepada para pengawal itu, yang dia takutkan adalah Kiong Kiu. Kungfu dan kecerdikan Kiong Kiu benar-benar sangat menakutkan baginya. Sanggupkah Jui-soat menghalangi Kiong Kiu" Mampukah dia mengalahkannya"
Langkah Siau-hong tiba-tiba terhenti. Jika Jui-soat bukan tandingan Kiong Kiu, lantas bagaimana baiknya" Jika terjadi sesuatu pada Jui-soat, bukankah dia akan menjadi orang yang berdosa" Makin berpikir, Siau-hong makin tidak tenang.
Gara-gara aku, Jui-soat harus bertarung melawan Kiong Kiu, tapi mengapa dirinya malah pergi begitu saja" Kenapa ia membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya sendirian" Berpikir begitu, segera Siau-hong berlari sekencang-kencangnya kembali ke arah darimana ia datang.
Matahari tepat di tengah angkasa. Kupu-kupu terbang di antara bebungaan yang tumbuh di situ. Di samping rumpun bunga, lalat hijau berkeliaran memperdengarkan dengungan yang menjijikkan.
Begitu melihat lalat hijau, Siau-hong pun mengendus bau amisnya darah. Tak nampak adanya kuda, kereta apalagi manusia. Secepat terbang Siau-hong berlari menuju ke dalam rumah..
Semua perabot masih di tempat, rapi tersusun, tapi kemana perginya Jui-soat" Di dalam rumah hanya ada dia seorang.
Ketika angin berhembus masuk, tanpa terasa Siau-hong bergidik. Apakah aku telah melakukan kesalahan besar"
Siau-hong keluar rumah, mendekati tanah dengan ceceran darah, tangannya bergoyang mengusir gerombolan lalat hijau yang berkumpul di situ. Kini gerombolan lalat telah terusir pergi, kupu-kupu masih berterbangan di antara bebungaan untuk mengisap madu.
Siau-hong berdiri termangu di situ, mengawasi genangan darah yang telah mengering.
"He, kau berdoa untuk arwah kuda-kuda itu?" tegur seseorang, dan tiba-tiba sebuah tangan terjulur memegang bahunya. Suara dan tangan Sebun Jui-soat, tangan yang halus Iembut dengan kuku tergunting rapi.
Siau-hong tetap berdiri termangu, memandang Jui-soat yang sedang tersenyum dan sedang mengawasi dirinya. Bagi Siau-hong, senyuman Jui-soat ini terasa lebih hangat daripada sinar matahari.
"Jadi bukan darahmu?" tanya Siau-hong.
"Kalau darahku, masihkah aku bisa berdiri di sini?" jawab Jui-soat tenang.
"Jadi benar ini darah kuda."
"Kenapa kau balik kemari?"
"Aku takut."
"Takut aku terbunuh?"
Siau-hong mengangguk.
Jui-soat menggoncangkan tangannya yang masih memegang bahu Siau-hong.
"Melihat sikapmu ini, bila nanti kau butuh tenagaku lagi, tak perlu kau mencukur kumismu lagi."
Siau-hong tersenyum getir. Siau-hong masih mengawasi genangan darah di tanah, katanya, "Terus terang aku merasa kuatir."
"Kau sangka aku sudah mati?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Sebab kau suka kebersihan, mana mungkin membiarkan genangan darah membikin kotor tempatmu ini?"
Jui-soat tertawa, "Sebetulnya aku pun tak tahan, cuma saat ini aku belum sempat membersihkannya."
"Tak sempat?"
"Betul, karena kau telah muncul kembali."
"Sebelum aku kembali, apa yang kau lakukan?"
"Muntah di tepi sungai."
"Muntah" Kau muntah?" tanya Siau-hong heran.
Jui-soat mengangguk tanpa menjawab.
"Kenapa?" tanya Siau-hong pula.
"Karena aku telah bertemu seorang yang tengik hingga membuat perutku mual, maka aku muntah."
"Siapa?"
"Kiong Kiu."
"Memangnya kenapa dia?"
"Dia mohon aku menghajarnya."
"Dan kau lakukan?"
"Tidak, ketika seorang jagoan siap bertarung, pikirannya tidak boleh bercabang, dia sengaja hendak mengacaukan pikiranku."
"Lalu?"
"Lalu dia menghajar dirinya sendiri."
"Kau tak menggubrisnya?"
"Ya, pikiranku tak boleh bercabang."
"Kemudian?"
"Dia dicambuk orang".
"Siapa yang mencambuknya?"
"Si Kuah daging. la menghajarnya tiada henti, tapi Kiong Kiu malah berteriak kegirangan."
"Dan kau sendiri?"
"Pergi ke sungai dan muntah, kalau tidak, aku ...."
"Kalau tidak, kenapa?"
"Kalau tidak, aku akan tumpah di sini dan tak bisa lagi tinggal di sini."
"Wah, kalau itu yang terjadi, kan aku harus mengganti rumahmu."
"Kau tahu nilai rumahku?"
"Memangnya berapa?"
"Kau kenal Ho Siu?"
Siau-hong tertawa. Mana mungkin ia tidak kenal Ho Siu, orang terkaya saat ini"
Masih teringat dalam benaknya, ketika ia sedang tiduran di ranjang sambil menikmati arak, tiba-tiba muncul tiga manusia aneh di depannya. Ketiganya yaitu Giok-bin-long-kun (si tampan berwajah kumala) Liu Ih-hin, Toan-jong-kiam-khek (pendekar pedang perantas usus) Siau Jiu-ih dan Jian-li-tok-heng (berjalan sendiri ribuan li) Tokko Hong.
Sebenarnya sulit bagi ketiganya untuk kumpul bersama, namun telah berkumpul menjadi pengawal Tan-hong Kiongcu. Ketika Tan-hong Kiongcu masuk ke dalam kamarnya dan berlutut memohon bantuannya, saat itulah Siau-hong mendobrak atap rumah dan melarikan diri. Kemudian ia bersembunyi di rumah kakek Ho, rumah reyot di tempat terpencil, bekas rumah pujangga besar Liok Hong-ong.
Rumah yang dipenuhi barang-barang antik itu dalam sekejap telah dihancurkan oleh ketiga manusia aneh itu, termasuk segala perabotannya. Dan sekarang Jui-soat menyinggung hal itu, apakah ia pun menganggap nilai rumahnya senilai rumah kakek Ho itu"
Maka Siau-hong pun berkata, "Memangnya harga rumahmu ini senilai rumah kakek Ho?"
"Kau keliru besar," sahut Jui-soat sambil menggeleng.
"Keliru?"
"Aku kan hanya bertanya padamu 'berapa nilai rumahku?"
"Memangnya?"
"Setiap pemilik rumah bisa jadi suatu saat menjadi orang terkenal, maka rumahnya pun menjadi tak ternilai."
"Memang betul ucapanmu itu, rumah kakek Ho juga hanyalah gubug kayu reyot, tapi pernah dipakai oleh pujangga besar Liok Hong-ong, maka nilainya susah diperkirakan."
'"Begitu juga dengan rumahku ini, mana mampu kau menggantinya?"
"Kau keliru, aku justru sangat mampu menggantinya."
"Oya?"
"Ya, nanti setelah aku menjadi dewa," kata Siau-hong dengan tertawa.
"Rupanya kau hanya ingin menghindari tanggung jawab."
"Anggap saja begitu, kan sekarang kau belum perlu pindah."
"Kali ini kau keliru."
"Oya?"
"Sebab aku akan segera pindah."
"Kenapa?"
"Karena kau yang akan menempati rumah ini."
"Aku?"
"Kiong Kiu mengira kau telah pergi, mimpi pun dia takkan menduga kau kembali kemari, walau betapa banyak mata-mata yang dia sebar, jangan harap dapat menemukan dirimu."
"Dan kau sendiri?"
"Pergi."
"Kemana?"
"Ingin belajar ajaran Buddha."
"Belajar ajaran Buddha" Pada siapa?"
"Tentu saja kepada Hwesio."
"Hwesio yang mana?"
"Lau-sit Hwesio."
"Memangnya Lau-sit Hwesio mengerti ajaran Buddha?"
"Aku tidak tahu."
"Kau tidak tahu" Kalau tidak tahu, mengapa belajar padanya?"
"Aku hanya ingin belajar satu jurus."
"Jurus apa?"
"Duduk tenang pikiran tak kalut."
"Duduk tenang pikiran tak kalut" Buat apa belajar begitu?" tanya Siau-hong semakin heran.
"Agar saat berhadapan dengan dua perempuan cantik pikiran tidak kalut, hati tidak tergoda."
"Siapa kedua perempuan itu?"
"Samon dan Siau Giok."
"Maksudmu ingin mengajak mereka ke sini?" tanya Siau-hong tertawa.
"Memangnya kau tidak suka?"
"Tapi tempat ini kan belum tentu aman."
"Bagaimana supaya aman?" tanya Jui-soat pula.
"Hanya ada satu cara."
"Cara apa?"
"Membunuh Kiong Kiu."
Siau-hong percaya akan kemampuan Jui-soat. Karena itu Siau-hong merasa aman dan nyaman. Tetapi saat ini pikiran Siau-hong justru sedang melayang, membayangkan Samon! Rasa rindunya tak tertahankan, berharap segera dapat bertemu.
Tiba-tiba muncul keinginan untuk cuci tangan di baskom emas, mengundurkan diri dan mengasingkan diri. Ya, memang ia sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, sekarang ia mulai merasa muak akan kehidupan di dunia Kangouw yang penuh dengan pertumpahan darah, berbagai perselisihan dan kelicikan.
Ia hanya berharap bisa berkumpul dengan Samon, lalu mencari suatu tempat dan tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Lalu ia mengawasi kedua tangannya sendiri dan tersenyum.
Setelah sadar dari lamunannya, ia mendengar suara derapan kaki kuda yang ramai, suara derapan puluhan ekor kuda. Lekas ia bangkit berdiri, ia putuskan untuk melihat dulu siatuasi, maka ia menyelinap ke balik tumbuhan bunga yang rimbun.
Siapakah yang datang" Apakah Sebun Jui-soat telah berkhianat"
Baru kedua pertanyaan itu melintas dalam benaknya, para penunggang kuda itu telah berhenti di depan rumah Jui-soat. Mereka memakai seragam berwarna hitam dan ternyata dipimpin oleh orang yang sudah dikenalnya.
Eng-gan Lo-jit! Pemimpin besar Cap-ji-lian-hoan-bu.
Mau apa dia datang kemari" Siapa yang dia cari" Dirinya atau Sebun Jui-soat" Ada urusan apa pula" Berbagai pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Siau-hong, ia hanya tahu akan satu hal, Eng-gan Lo-jit datang kemari untuk mencari orang.
Ternyata yang dicari bukan dia, karena begitu tiba di depan pintu, segera Eng-gan Lo-jit berseru, "Eng-gan Lo-jit dari Cap-ji-lian-hoan-bu datang menyambangi Sebun-kongcu!"
Tahulah ia sekarang bahwa Jui-soat tidak mengkhianati dirinya, dalam hati ia merasa malu, dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri yang tidak percaya kepada sahabat. Setelah menghela napas panjang, segera ia mengerahkan Ginkangnya, berlari ke arah Eng-gan Lo-jit. Ia hanya ingin tahu, untuk apa Lo-jit mencari Jui-soat"
Elang Terbang Di Dataran Luas 6 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 21
^