Pencarian

Sang Ratu Tawon 3

Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bagian 3


Eng-gan Lo-jit adalah pemimpin besar Cap-ji-lian-hoan-bu, pengaruhnya luas, anak buahnya banyak dan tersebar dimana-mana. Ia selalu dihormati sesama kaum persilatan, baik dari kalangan Hek-to maupun Pek-to.
Siau-hong menguhtit di belakang rombongan Eng-gan Lo-jit yang tak berhasil menjumpai Sebun Jui-soat, saat ini mereka telah melanjutkan perjalanan kembali.
Siau-hong menduga Lo-jit pasti akan mencari kota besar atau dusun yang ramai untuk beristirahat. Ternyata dugaannya keliru, di sebuah tanah lapang di pinggir jalan mereka menghentikan kudanya untuk beristirahat.
Kemudian para penunggang itu duduk bergerombol, seakan sedang merunding sesuatu persoalan penting, padahal bukan itu yang mereka lakukan.
Kali ini dugaan Siau-hong pun meleset. Mereka rupanya sedang bersantap dengan lahapnya. Tanpa terasa Siau-hong sendiri juga merasa lapar, padahal ia tidak membawa rangsum, dalam sakunya hanya ada beberapa keping uang perak.
Di jalanan yang sepi dan jauh dari rumah penduduk begini, dimana ia bisa membeli makanan" Maka ia pun mengendap-endap mendekati mereka yang sedang bersantap untuk menguping pembicaraan mereka.
Seorang berkata, "Bagaimana kalau malam ini kita main dadu?"
"Main dadu makmu!" sahut rekannya.
"He, kenapa kau?" rekan yang lain bertanya.
"Tahukah kau apa yang paling kutakuti?"
"Apa?"
"Meraba paku pintu. Suatu ketika aku pernah mendapat tugas mencari orang, waktu itu orang yang kucari tak dapat kutemukan, lalu aku bermain dadu, kau tahu apa hasilnya" Sudah 27 kali putaran, sekalipun aku tidak pernah menang."
"Karena hari ini tak bertemu Sebun Jui-soat, maka kau tak mau main dadu?"
"Ya, aku tak mau."
"Kunasihati kau untuk tetap bertaruh."
"Kenapa?"
"Sebab begitu bertemu Sebun Jui-soat, belum tentu kau punya kesempatan lagi untuk bermain dadu."
"Maksudmu kita tak mampu membunuhnya?"
"Aku tidak yakin."
"Kurasa kita pasti bisa membunuhnya."
"Kau yakin?"
"Tentu, kalau kita yang berjumlah puluhan ini menyerang dia dengan senjata rahasia pada saat yang tak terduga, jangankan dia manusia biasa, dewa pun belum tentu bisa meloloskan diri."
Sekarang Siau-hong baru tahu tujuan kedatangan mereka. Kiong Kiu pasti dendam terhadap Jui-soat, maka ia mengutus Lo-jit untuk membokongnya.
Kiong Kiu memang kehilangan jejak dirinya, ia tidak tahu kalau dirinya berbalik ke rumah Jui-soat. Kini dirinya merasa tenang karena jejak Jui-soat pun tak diketahui siapa pun. Sekarang ia bisa duduk tenang menantikan Jui-soat menjemput Samon, Siau-giok dan Lau-sit.
Walau judi bukan kegemaran Lo-jit, tapi ada kalanya ia pun ikut pasang taruhan sekadar mengendorkan ketegangan. Malam ini ia tak bergairah untuk ikut bertaruh, ia hanya mengawasi anak buahnya saja yang sedang main dadu.
Takaran minum Lo-jit juga lumayan, kadang bisa menghabiskan 20 mangkuk, tapi malam ini baru dua mangkuk yang diminumnya, sudah terasa kepala pusing. Orang yang punya beban pikiran memang lebih mudah mabuk, juga tidak bergairah untuk bermain judi.
Sebetulnya Eng-gan Lo-jit termasuk orang yang berpikiran terbuka, jarang ada masalah yang menjadi beban pikirannya, memang belakangan ini banyak persoalan yang melanda dirinya. Semenjak ia salah langkah, beban pikirannya makin menumpuk hingga sering membuatnya murung.
Sedikitnya ia adalah pemimpin besar Cap-ji-lian-hoan-bu, mengapa mesti tunduk kepada Kiong Kiu" Ia kuatir suatu saat nasibnya akan seperti Yap Sing-su, sebab hanya tinggal dia seorang yang mengetahui rahasia Kiong Kiu, memang tidak seharusnya ia tahu hal ini.
Usianya sudah lanjut, hartanya sudah bertumpuk-tumpuk, apalagi yang diharapkan, mengapa ia rela diperintah Kiong Kiu" Tak tahan godaan uang emas dalam jumlah besar" Untuk apa harta karun sebanyak itu" Memangnya akan dijejalkan ke dalam peti matinya dan dibawa ke liang kubur"
Ia tahu Liok Siau-hong selalu menjunjung kesetia kawanan, tadinya setelah terjadinya perampokan itu, ia hendak minta tolong kepadanya. Tapi sekarang dirinya harus tunduk kepada Kiong Kiu, harus melacak jejak Siau-hong dan membunuhnya bila sudah ditemukan.
Sekalipun Sebun Jui-soat bukanlah seorang bijaksana, namun selamanya ia tidak pernah membunuh orang yang tak bersalah, maka banyak kaum persilatan yang menaruh hormat dan mengaguminya. Sekarang ia pun mendapat perintah untuk membunuhnya.
Ia mengangkat cawannya dan sekali teguk menghabiskan isinya, ia sudah tak tahu sejak kapan permainan dadu sudah bubar. Ketika mendusin, tubuhnya sudah bersandar di atas meja di sebuah losmen besar, kepalanya masih terasa berat dan pusing. Goloknya pun sudah lenyap entah kemana, yang ada hanyalah secarik kertas di atas meja, di atasnya tertulis: Sebun Jui-soat - kota Tiang-an.
Golok. Golok berada dalam genggaman Siau-hong. Ia mainkan golok itu dan mulai tertarik dengan pantulan cahaya surya yang membias di atas golok itu.
Jika suatu hari ia memakai golok untuk menghadapi musuh, maka akan digunakannya pantulan sinar itu untuk menyilaukan mata musuh, dengan begitu kemenangan pasti di tangannya, untuk itu dia harus berterima kasih kepada Eng-gan Lo-jit, karena gara-gara golok Lo-jit lah ia bisa menemukan teori ini.
Siau-hong tersenyum cerah.
Saat ini tentu Eng-gan Lo-jit telah membawa anak buahnya menuju kota Tiang-an, sesuai dengan petunjuk tulisan yang ditinggalkan di atas meja.
Mau tak mau memang ia harus ke sana, memangnya ia tidak kuatir nyawanya melayang kalau tetap tinggal di situ.
Siau-hong memang tidak berbohong, surat yang ditulisnya itu memang mengatakan "Sebun Jui-soat - kota Tiang-an", di antara kedua kata itu sengaja ia kosongi, bisa saja yang ia maksudkan adalah "Sebun Jui-soat tidak berada di Tiang-an."
Siau-hong tiba-tiba teringat tulisan orang kuno, mengapa mereka selalu memberi lowongan untuk tulisannya, rupanya itulah gunanya tempat kosong itu. Tempat kosong pada tulisannya itu dimaksudkan memang Sebun Jui-soat tidak berada di kota Tiang-an.
Bukankah Jui-soat pergi ke tempat persembunyian Samon" Setelah Siau-hong menghitung-hitung, seharusnya Jui-soat sudah berjumpa dengan Samon.
-00- Sebun Jui-soat tidak berjumpa Samon. Ia hanya menyaksikan tebing karang yang curam dan gelombang ombak yang tenang serta rumah kayu yang dilukiskan Siau-hong sebelum ia berangkat.
Ia mulai menyesal, mengapa menyanggupi permintaan Siau-hong untuk membawa Samon dan kawan-kawannya. Kenapa bukannya dia bersama Siau-hong berangkat mencari mereka dan dirinya yang melindungi keselamatan mereka"
Bukankah dengan demikian bisa bersama-sama tinggal di situ, menikmati pemandangan yang indah ini. Walau menyesal, namun Jui-soat tetap melanjutkan langkahnya menuju ke rumah kayu, tanpa ragu sedikitpun.
Sebun Jui-soat memang selalu tampil sebagai lelaki sejati. Karena itu ketika sampai di depan pintu rumah kayu itu, ia mengetuk pintu beberapa kali. Ia akan menunggu sampai tuan rumah membukan pintu baginya dan mempersilakannya masuk, demikian pula kali ini, ia menunggu di depan pintu.
Namun sampai sekian lama belum ada juga orang yang membukakan pintu baginya, bahkan lapat-lapat ia mencium bau anyir darah. Terpaksa ia melanggar kebiasaannya itu. Akhirnya ia pun mendobrak pintu hingga terpentang, lalu dengan cepat melangkah masuk.
Di ruang tengah hanya ada meja kursi, di atas meja ada poci dan cawan, lain barang tidak ada. Jui-soat tidak langsung menerjang ke arah kamar tidur, ia memanggil dulu beberapa kali pada tuan rumah, setelah tidak mendapat jawaban, barulah ia menerjang masuk.
Kamar pertama kosong, tiada nampak bayangan, begitu juga kamar kedua. Baru pada kamar ketiga ia menemukan seorang gadis. Gadis yang terluka parah, hampir mati.
Ia yakin gadis ini bukan Samon, wajah gadis ini tidak seperti wajah Samon yang digambarkan Siau-hong. Kalau bukan Samon, tentulah Siau Giok.
Gadis ini belum putus nyawa, dari tenggorokannya masih terdengar suara rintihan lirih. Jui-soat membawa Siau Giok ke keretanya. Di tangan Siau Giok tampak tergenggam segulung kertas, diambilnya kertas itu dan dibentangkan.
Di atas gulungan kertas itu tertulis huruf-huruf yang ditulis dengan darah: "Lau-sit Hwesio tidak lau-sit".
Siau-hong tidak tahu kalau di rumah kayu di atas tebing itu telah terjadi sesuatu. Juga tidak tahu kemana Samon dan Lau-sit Hwesio pergi. Apalagi keadaan Siau Giok yang sedang terluka parah, ia pun tak tahu.
Lebih-lebih Siau-hong tidak tahu kalau Sebun Jui-soat sedang menolong Siau Giok dan tidak melanjutkan perjalanannya, Jui-soat bahkan sedang mencari penginapan di sebuah kota kecil dan mencari tabib untuk mengobati Siau Giok.
Menurut perhitungannya memang seharusnya Jui-soat sudah kembali, namun sampai sekarang bayangannya pun belum nampak. Ia mulai cemas dan gelisah. Apakah Jui-soat mengalami sesuatu peristiwa" Atau Samon yang mengalami bencana" Atau pula keduanya"
Sang surya sudah mulai beranjak ke barat, Siau-hong masih menantikan dengan gelisah.
Kini rembulan juga mulai menuju ke tengah angkasa, ia masih duduk menanti dengan penuh harapan di depan pintu, memandang ke jalanan dengan penuh kecemasan.
Jui-soat sangat memahami perasaan Siau-hong, ia tahu Siau-hong sedang menantikan kedatangannya, tapi saat ini ia benar-benar tidak bisa kembali begitu saja. Siau Giok banyak kehilangan darah, ia butuh istirahat, tak mungkin ia bisa bertahan bila Jui-soat memaksa pulang. Kendati Jui-soat memahami perasaan Siau-hong, namun ia tidak berdaya. Kini ia sendiri juga mulai gelisah.
Dari tulisan pada gulungan kertas yang digenggam Siau Giok tadi, jelas hilangnya Samon dan luka Siau Giok ada hubungannya dengan Lau-sit Hwesio. Apa yang sebenarnya terjadi" Dimanakah Lau-sit Hwesio sekarang"
Ingin rasanya Jui-soat segera bertemu Siau-hong, menyerahkan teka-teki ini kepadanya untuk dipecahkan dan diselesaikannya sendiri. Tapi melihat wajah Siau Giok yang begitu pucat dan tiada hentinya merintih, mana tega ia meninggalkannya begitu saja" Karena itu ia hanya bisa menanti, menanti dengan sabar.
Siau-hong masih menunggu dengan sabar. Tiga hari yang !alu, ia berpendapat Jui-soat pasti akan kembali dalam tiga hari ini. Jadi total ia sudah menunggu selama enam hari. Dapat menunggu selama enam hari sudah merupakan rekor bagi dirinya, untuk itu ia cukup kagum pada dirinya sendiri. Kini ia sudah memutuskan untuk menunggu lagi satu hari.
Hari ini adalah hari kesembilan, bukan hari ketujuh, karena Siau-hong sudah menunggu lagi dua hari. Dalam dua-hari terakhir, ia sudah 124 kali berniat meninggal tempat itu, namun 124 kali pula gagal. Sebab setiap kali kakinya hendak melangkah meninggalkan tempat itu, segera muncul pikiran, "Jika Samon tiba dan tidak menemukan dirinya, apa yang bakal terjadi?" Maka Siau-hong pun tetap menunggu, menunggu dengan penuh derita.
Senja telah tiba. Saat senja bagi kebanyakan orang adalah waktu yang menyenangkan, semua anggota keluarga kumpul kembali. Begitu juga bagi muda-mudi, saat senja begini adalah waktu yang ditunggu-tunggu, menantikan sang kekasih untuk berkencan.
Siau-hong masih menunggu.
Tiba-tiba secercah senyuman menghiasi bibirnya, dari kejauhan sana terdengar suara derap kaki kuda.
Senja ini merupakan senja yang menggembirakan baginya. Dilihatnya kereta kuda Sebun Jui-soat dilarikan menghampiri. Namun kegembiraan ini hanya sepintas saja merasuk dalam hatinya, dan akhirnya lenyap.
Siau-hong hanya melihat Jui-soat yang lusuh, wajah dan pakaian penuh debu serta Siau Giok dengan wajah pucat bagai mayat.
Saat ini Siau-hong hanya diam saja mendengarkan penuturan Siau Giok.
"Suatu hari, Lau-sit berkata akan pergi selama beberapa hari untuk suatu urusan, setelah 7-8 hari kemudian barulah ia kembali."
"Ketika kembali, kebetulan aku sedang berjalan-jalan di pesisir, ketika kembali, dengan suara keras aku memanggil Samon, tapi Samon tidak menjawab teriakanku.
"Kemudian kusaksikan Lau-sit Hwesio sedang memeluk Samon, waktu itu Samon tidak meronta, mungkin Lau-sit Hwesio sudah menotok Hiat-to-nya. Maka dengan suara keras aku menegur Lau-sit Hwesio, 'Apa yang kau lakukan"'."
"Lau-sit tidak menjawab, dia hanya tersenyum cabul ke arahku, maka aku langsung menerjang ke arahnya melancarkan serangan."
"Tiba-tiba ia melepaskan Samon, lalu mencabut pedang yang tergantung di dinding dan menusuk aku, kungfunya sungguh menakutkan. Mungkin dia mengira aku sudah mati terbunuh, maka tinggal pergi begitu saja.
"Sebelum ajal menjemputku, aku menulis pesan pada secarik kertas, kertas yang ditemukan Sebun-ya."
"Kemudian?" tanya Siau-hong tak sabar.
"Kemudian aku sampai di sini."
Sebenarnya Lau-sit Hwesio benar-benar lau-sit atau hanya pura-pura saja" Tak seorang pun tahu akan hal ini, orang hanya tahu kungfunya tinggi. Dalam hal ini memang tak perlu diragukan, siapa yang berani mengusiknya, ia hanya akan menghadapinya dengan tertawa saja, namun keesokannya pasti mayat orang yang mengusiknya itu ditemukan orang.
Sudah enam bulan Lau-sit tak terdengar lagi beritanya, tak seorang pun tahu apa yang sedang dilakukannya. Enam bulan yang lalu, ketika pertama kali Siau-hong bertemu kembali dengan Lau-sit, ini terjadi di pulau itu, secara tiba-tiba ia muncul dari dalam peti mati.
Ketika itu Siau-hong sudah curiga. Apakah betul Lau-sit telah ditangkap orang dan dimasukkan ke dalam peti"
Tiba-tiba teringat oleh Siau-hong, pembicaraannya dengan Lau-sit di pulau itu. Siau-hong yakin, Lau-sit pasti tahu rahasia pulau itu.
Tiba-tiba pula terlintas sesuatu persoalan dalam benak Siau-hong. Jangan-jangan Lau-sit telah terbujuk oleh si kakek kecil dan menjadi 'manusia yang bisa menghilang?"
Beberapa kali Lau-sit berhasil menyelamatkan dirinya, Samon dan Siau Giok. Jangan-jangan Lau-sit memang bersekongkol dengan Kiong Kiu"
Jika Kiong Kiu ingin menghabisi nyawanya, kenapa tidak dilakukan di pulau itu" Kenapa malah melepas dirinya pergi dari sana"
Kenapa Kiong Kiu berbuat begitu"
Sebab apa Lau-sit menculik Samon"
Perasaan Siau-hong kalut dan kusut, ia mendongakkan kepala, memandang awan yang menggantung di langit, awan putih yang tadinya menutupi langit tertiup pergi oleh angin, langit kembali cerah.
Mendadak terlintas dalam pikirannya, langit takkan berubah walau silih berganti awan menutupinya. Asalkan dirinya mampu memisahkan Lau-sit dari Kiong Kiu, bukankah semuanya akan menjadi jelas" Jadi kunci dari semuanya ini adalah si kakek kecil itu!
Sekarang ia teringat akan ucapan si kakek kecil itu ketika memaksanya untuk bergabung dengan komplotannya. Jelas tawaran itu tak masuk akal, karena si kakek kecil tahu Liok Siau-hong tak berminat.
Kemudian ia dibiarkan pergi, bahkan dibiarkan pergi bersama Samon, apakah tindakannya ini sengaja ia lakukan supaya dirinya tidak bisa melupakan Samon"
Jelas tujuan si kakek memang ingin dia bergabung dengan mereka. Jika Siau-hong bergabung dengan mereka, sudah pasti skandal perampokan itu akan segera dapat diketahuinya. Nama besarnya dapat dipulihkan. Bahkan Samon akan muncul menemui dirinya yang telah merindukannya.
Sekarang tinggal satu pertanyaan yang masih mengganjal pikirannya. Mengapa si kakek bersikeras memaksanya bergabung" Bukankah komplotan itu mempunyai kemampuan luar biasa, jangan-jangan si kakek sedang mempersiapkan sebuah rencana yang lebih besar dan menggemparkan"
Bila demikian, si kakek jelas butuh bantuannya. Sebab itulah si kakek dengan segala daya upayanya berusaha menjerat dirinya.
Rupanya si kakek tidak memahami Siau-hong, mana mungkin dia rela dicaci-maki kawan persilatan bila bergabung dengan komplotan mereka dan melakukan perbuatan yang melanggar aturan. Biarpun Siau-hong menderita karena cinta!
Harus diakui kecerdikan si akek memang luar biasa, ia sanggup menghimpun begitu banyak jago persilatan di pulau itu, sanggup merampok harta karun sebesar itu. Suatu pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang.
Untuk menghadapi orang semacam ini, Siau-hong hanya mempunyai satu macam cara, "tak mau terbelenggu oleh cinta!". Ia bertekad akan melawan si kakek kecil dan Kiong Kiu, mengungkap skandal perampokan dan pembunuhan para jagoan sampai tuntas.
Setelah mengambil keputusan, Siau-hong merasa perlu melakukan dua hal. Ia harus kembali ke rumah kayu di atas tebing itu dan menyelidikinya, apakah ada sesuatu tanda yang ditinggalkan di sana"
Tak mungkin Lau-sit menculik Samon tanpa sebab, ia pasti akan melakukan sesuatu agar Siau-hong tahu apa yang sedang dilakukannya atau memberi landa dimana Siau-hong bisa menemukan dirinya dan Samon.
Jika memang di rumah kayu itu tidak ada sesuatu yang mencurigakan, barulah ia akan melakukan tindakan lain. la akan pergi ke Tiang-an, lalu mencari Eng-gan Lo-jit hingga ketemu. Jika berhasil bertemu dengan Lo-jit, ia pun akan dapat menemukan Kiong Kiu, dengan begitu ia bisa menemukan Lau-sit dan Samon.
Namun sebelumnya ia harus berpamitan dulu pada Sebun Jui-soat.
Suara seruling masih mengalun. Sebun Jui-soat juga masih berdiri di situ. Perabotan dalam rumah juga masih seperti dulu. Hanya kali ini Siau-hong bukan datang ke sana, tapi pergi ke sana.
Di atas meja ada cawan arak, cawan dengan arak Tiok-yap-jing yang hijau bening. Seketika semangatnya timbul kembali. Tak ada lagi perasaan sedih karena perpisahan.
"Kau tidak menunggu sampai Siau Giok sembuh baru berangkat?" tanya Jui-soat perlahan.
Siau-hong menggeleng, lalu katanya, "Tempat ini paling aman baginya untuk merawat lukanya."
"Kau hendak menyerahkan 'singkong panas' padaku?" seru Jui-soat.
"Kau keliru."
"Oya?"
"Dia bukan singkong, terlebih bukan singkong panas yang bisa membuat tanganmu kepanasan."
"Lalu dia itu apa?"
"Gadis, seorang gadis cantik yang sedang terluka, jika aku tidak terburu-buru, tak nanti kuserahkan kesempatan ini kepadamu, apalagi kesempatan mendekati gadis cantik."
"Banyak gadis cantik di luar sana, setiap saat jika mau mereka lantas akan berebut mendekati aku, buat apa aku tergiur pada kesempatan ini?"
"Karena kau Sebun Jui-soat."
"Aku tidak mengerti."
"Kau tahu, apa kata orang di luar tentang dirimu?"
"Apa kata mereka?"
"Bukan salju yang ditiup Sebun Jui-soat, melainkan darah."
"Lalu apa hubungannya dengan Siau Giok?"
"Besar hubungannya."
"Oya?"
"Siau Giok terluka, mengalirkan banyak darah, hanya kau seorang yang bisa meniup darah di lukanya, hanya kau seorang yang bisa mengubahnya menjadi gadis cantik yang lincah."
"Sampai kapan aku harus merawatnya?"
"Sampai dia bisa bangkit dan berjalan, atau ...."
"Atau apa?"
"Atau sampai dia ingin pergi dari sini atau juga ...."
"Masih ada atau apa?"
"Atau sampai kau berharap dia pergi."
"Mungkinkah aku berharap dia jangan pergi?"
"Susah dijawab, sebab dia gadis yang pintar membuat hati orang senang."
"Kau minta aku merawatnya, pasti akan aku lakukan, tapi kau pandang Sebun Jui-soat ini manusia apa?"
"Manusia yang bisa diajak bergurau."
"Buat apa kau mengajak aku bergurau?"
"Karena hatimu murung, murung karena akan berpisah."
"Oya?"
"Aku bergurau untuk menghalau kemurunganmu itu."
"Bagaimana denganmu, kan kau yang akan berpisah?"
"Sama sekali tidak."
"Berarti kau manusia tak berperasaan."
"Kau salah, aku justru orang paling berperasaan."
"Perasaan apa?"
"Perasaan gagah."
"Aku tak paham."
"Kau ingin paham?"
"Ya."
"Kalau begitu kita bersulang," kata Siau-hong sambil mengangkat cawannya..
Ketika Jui-soat selesai menghabiskan araknya, Siau-hong bangkit berdiri.
"Kau akan pergi sekarang," tegur Jui-soat.
"Ya."
"Lalu bagaimana aku memahami dirimu?"
Siau-hong pun menabuh mangkuk dengan sumpitnya sambil berdendang.
"Aku bersumpah, naik ke bukit golok! Tumbuhkan semangat, lewati semua kesulitan! Kegagahan tak terbatas, keangkuhan lelaki sejati! Kuterjang neraka jahanam, kuhancurkan sarang kaum laknat! Kutantang harimau, kubasmi bencana! Hari ini berangkat, entah kapan kembali" Mumpung masih sempat, minum hingga mabuk. Perjumpaan hari ini, entah kapan baru bersua kembali" Semoga kau dan aku dapat kembali berjumpa. Kuteguk secawan arak, biar lekat di hati."
Selesai berdendang, arak pun sudah habis. Siau-hong membalik badan dan berlalu.
"Tunggu sebentar!" teriak Jui-soat sambil mendekati Siau-hong.
la tidak bicara, hanya menjulurkan tangan, menggenggam tangan Siau-hong, kemudian bersenandung pula.
"Ingatlah kasih dan persahabatan, Kobarkanlah semangat perjuangan, lain waktu kita pasti akan berjumpa. "
Siau-hong melepaskan genggaman tangan Jui-soat, lalu dengan langkah lebar berlalu dari situ. Berlalu dengan cepat sambil mengulangi senandung Jui-soat tadi.
Pada saat terakhir ia hendak menghirup sisa kuah itulah tiba-tiba dari arah jalanan sana, sebuah kereta yang dihela empat ekor kuda mendatangi. Sambil masih memegangi mangkuk bakminya, Siau-hong memperhatikan kereta kuda yang megah dan mewah itu.
Ketika tiba di depan kedai bakmi itu, kusir kereta yang berpakaian ringkas segera menarik tali les kuda dan menghentikan keretanya, berhenti persis di depan Liok Siau-hong. Lalu terdengar seorasg berkata dari dalam kereta dengan suara merdu, "Kenapa kau malah minum kuah daging bikinan orang lain?"
Jelas suara si Kuah daging! Bila si Kuah daging ada di dalam kereta, tentu Kiong Kiu juga berada di sana. Hilang sudah selera Siau-hong untuk menghirup sisa kuah yang masih tersisa itu.
Dengan wajah berseri-seri penuh senyuman, si Kuah daging menyuguhkan semangkuk kuah daging yang masih panas dan diletakkan di hadapan Siau-hong.
"Kau sudah tak berselera dengan kuah daging bikinanku?" tegur si kuah daging sambil tersenyum genit.
Siau-hong tidak menjawab, ia angkat mangkuk berisi kuah daging itu dan langsung dihirupnya sampai ludes.
Kiong Kiu sudah turun dari dalam kereta, duduk di samping Siau-hong, lalu serunya kepada si penjual bakmi, "Siapakan sepoci arak Li-ji-ang!"
Cara kerja penjual bakmi sungguh cekatan, dalam waktu tak lama, sepoci arak yang dipesan sudah dihidangkan di meja Kiong Kiu berdua.
Kiong Kiu menuang dua cawan arak, dengan tangan kiri ia menyodorkan secawan ke hadapan Siau-hong.
"Mari kita bersulang," kata Kiong Kiu kalem.
Siau-hong menerima cawan yang disodorkannya, tanyanya sambil menatap tajam wajah Kiong Kiu, "Kenapa kita mesti bersulang?"
"Si kucing kan sudah berhasil menangkap si tikus, bagaimanapun harus dipermainkan sebentar, kini si kucing menyuguh si tikus secawan arak, masakah si tikus menolak?"
Siau-hong tertawa getir, tanpa banyak bicara ditenggaknya arak itu.
Perlahan-lahan Kiong Kiu mencicipi dulu araknya, kemudian baru menenggaknya pula, setelah itu barulah ia berkata, "Ehm, arak enak!"
"Enak mana dibanding kuah daging bikinanku?" timbrung si Kuah daging.
"Tentu saja tak bisa dibandingkan?" jawab Kiong Kiu sambil tertawa.
"Kenapa tak bisa dibandingkan?"
"Masakah kucing dibandingkan dengan tikus?"
"Maksudmu kucing minum arak wangi, tikus minum kuah daging, maka tak bisa dibandingkan."
Kontan Kiong Kiu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, seharian kucing naik kereta, tikus harus berjalan kaki, kucing bisa tidur nyenyak dalam kereta, tikus harus menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa, menahan kantuk dan penat, mana bisa dibandingkan?"
Si Kuah daging ikut tertawa terpingkal-pingkal, tampaknya ia gembira sekali.
"Bagus, bagus sekali, sebuah perumpamaan yang bagus," seru Siau-hong sambil bertepuk tangan, "Kalau kalian pandai bermain sandiwara, mengapa tidak melakukan suatu pekerjaan?"
"Pekerjaan apa?"
"Bermain opera tentunya."
Seketika Kiong Kiu tidak bisa tertawa lagi, katanya, "Aku benar-benar kagum padamu."
"Kenapa?"
"Sebab dalam keadaan seperti ini, kau masih sanggup bergurau."
"Ini salah satu cara si tikus menghibur diri."
"Kalau begitu pergilah menghibur diri," kata Kiong Kiu ketus.
"Kau mengusirku?"
"Bukankah kau ingin kabur dari cengkeramanku?"
"Bolehkah aku mengajukan sebuah pertanyaan sebelum aku kabur?"
"Pertanyaan apa?"
"Aku ingin tahu, cara bagaimana kau menyusul aku?"
"Ah, kan mudah sekali."
"Mudah bagaimana?"
"Ya, sangatlah mudah."
"Bagaimana?"
"Duit."
"Duit?"
"Ya, duit, dengan duit setan pun takluk, apalagi manusia?"
"Kau bayar seseorang untuk menguntit aku?"
"Bukan, keliru kau."
"Keliru?"
"Aku saja tak sanggup menyusulmu, siapa lagi yang sanggup melakukannya" Sekalipun ada juga belum tentu dapat kusuap dengan uang."
"Justru itu aku tidak mengerti."
"Orang yang kubayar tidak hanya satu, tapi banyak."
"Banyak" Berapa banyak?"
"Aku sendiri pun tidak sanggup menghitung berapa banyaknya."
Sekali lagi Siau-hong tidak mengerti dan bertambah bingung.
"Kau ingin tahu semuanya?" tanya Kiong Kiu dengan tertawa.
"Memangnya kau bersedia mengatakan" Kalau kau keberatan, aku tak akan memaksa," sahut Siau-hong.
Kiong Kiu berdiri dan berjalan menuju ke depan papan nama kedai bakmi itu dan telunjuknya menuding sesuatu di situ.
Siau-hong mengarahkan sorot matanya mengikuti arah tudingan jari Kiong Kiu, ternyata di atas papan nama kedai situ terdapat tanda berbentuk segitiga.
"Kode rahasia apa itu?" tanya Siau-hong.
"Ini pertanda Liok Siau-hong ada di sini."
"Oh...."
"Dan tahukah kau, berapa harga sepoci arak wangi ini?"
"Memangnya berapa?"
Kiong Kiu tidak menjawab, dari sakunya ia mengeluarkan sekeping emas dan diserahkan kepada si penjual bakmi. Penjual bakmi terkekeh-kekeh gembira setelah menerima uang emas itu, sampai-sampai sepasang matanya hanya tinggal satu garis saja.
"Sekarang kau sudah mengerti?"
Setelah hening sebentar, kembali Kiong Kiu berkata, "Sekali lagi aku beritahukan kepadamu, aku telah memberi pesan kepada orang banyak, bila melihat ada orang beralis empat lewat, beri tanda panah ke arah yang dituju, jika ia sedang beristirahat atau bersantap, beri tanda segitiga, siapa yang memberi tanda, maka ia akan mendapat upah, nah, sekarang kau pikirkan sendiri, sampai dimana kau sanggup pergi?"
Dengan bangga Kiong Kiu tertawa terbahak-bahak.
Sambil berkerut kening, Siau-hong mengelus kedua alisnya yang tumbuh di atas bibir dengan tangan kanan. la teringat akan pesan Lau-sit Hwesio, "Cukur kedua alis matamu, tentu tak akan ada orang yang mengenalimu".
Mencukur alis mata" Rasanya sungguh menggelikan. Siau-hong tak tahan, akhirnya ia pun tertawa terbahak-bahak.
"He, apa yang kau tertawakan?" tegur Kiong Kiu keheranan.
"Aku menertawakan diriku sendiri, aku memang kelewat tolol."
"Kenapa?"
"Kalau tak bisa kabur, mengapa mesti ngotot?"
"Jadi kau sudah kapok?"
"Betul, aku kapok," jawab Siau-hong.
"Padahal kau tinggal di sini pun aku tidak keberatan, hanya ...." tiba-tiba Kiong Kiu tertawa sinis.
"Hanya apa?"
Kiong Kiu menarik tangan si Kuah daging dan memeluknya mesra, lalu katanya dengan nada mengejek, "Aku bersedia menemanimu, tapi aku punya arak wangi, perempuan cantik, sedangkan kau" Mana Samon?" Kembali Kiong Kiu tertawa terbahak-bahak senang.
Siau-hong melotot, kemudian tanpa mengucapkan sesuatu, ia beranjak pergi dari situ.
"Kau mau kemana?" tegur Kiong Kiu.
"Tidur," jawab Siau-hong tanpa berpaling.
Baru beberapa langkah ia berjalan, mendadak ia kembali dan menghampiri Kiong Kiu sambil menjulurkan tangan ke depan.
Dengan pandangan tak habis mengerti, Kiong Kiu memandang wajah Siau-hong sambil bertanya, "Apa yang kau inginkan?"
"Uang emas."
"Memangnya kau pernah titip padaku?"
"Bukan, tapi aku akan meninggal kode rahasia pada papan nama losmen yang kutempati, oleh sebab itu aku minta upahku."
Kiong Kiu melengak, sesaat tak tahu harus berkata apa.
Dengan rasa bangga Siau-hong tertawa, lalu serunya, "Ayo, mana upahku."
Kiong Kiu tetap bungkam, wajahnya mulai memucat.
"Rupanya kau orang yang tidak bisa pegang janji," sindir Siau-hong.
Tanpa banyak bicara, Kiong Kiu lemparkan sekeping uang emas ke arah Siau-hong. Dengan penuh rasa bangga Siau-hong mempermainkan uang emas itu, sambil melempar-lemparkan uang itu ke udara, ia beranjak pergi pula.
Baru berjalan beberapa langkah, ia berpaling dan berpesan kepada Kiong Kiu dengan tertawa, "Besok pagi aku akan meninggalkan kode rahasia lagi di kedai tempat aku sarapan, jangan lupa upahku!"
Siau-hong berlalu dengan tertawa-tawa, suaranya makin lama makin menjauh ....
Salah satu kegemaran Liok Siau-hong adalah minum arak, terlebih minum sambil tiduran, Begitu berbaring telentang di atas ranjang, ia akan meletakkan secawan arak di atas dadanya, begitu ingin minum, ia pun tinggal menarik napas panjang, dan arak pun akan terhirup olehnya.
Sekarang ia sedang berbaring telentang di atas ranjang, di atas dadanya juga sudah tersedia secawan arak. Namun sampai arak dingin, belum juga ia menghirupnya.
Pertama kali ia minum arak dengan cara seperti itu, Lopannio duduk di sampingnya, begitu arak habis diteguk, Lopannio akan segera memenuhi cawan araknya lagi. (Baca seri pertama PENDEKAR EM PAT ALIS).
Sekarang Lopannio tidak berada di sampingnya, ia pun merasa sayang untuk menghabiskan isi cawannya, kalau habis, siapa yang akan menuang baginya" Ia malas untuk melakukannya, walaupun bagi dirinya sendiri, hanya orang yang tak bisa menikmati hiduplah yang akan melakukan hal sebodoh itu.
Teringat akan hal ini, tiba-tiba saja muncul rasa rindunya akan Lopannio. Lopannio adalah seorang perempuan cantik, ia kawin terlalu muda. Orang menyebut dia Lopannio karena ia kawin dengan seorang Lopan, yaitu Cu Ting, termasuk sahabat Liok Siau-hong juga.
Karena istri sahabatnya, hubungannya dengan Siau-hong hanya sebatas melayani makan minum saja, lain tidak. Cu Ting dijuluki orang sebagai Lopan, namun ia tidak mempunyai usaha dagang, ia memiliki ketrampilan membuat orang-orangan yang dapat berjalan.


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbayang pula oleh Siau-hong, apabila Cu Ting sanggup membuat sebuah Liok Siau-hong palsu yang dapat berjalan, tentu kesulitan yang sekarang dihadapinya ada kemungkinan sudah beres.
Kenyataan sekarang Cu Ting tidak ada, Samon pun tak ada. Jika Samon berada di sisinya, dapat mati bersamanya ia pun akan puas.
Sekonyong-konyong Siau-hong bangkit dari tidurnya, hingga cawan yang penuh arak pun berantakan membasahi bajunya. Ia memukul kepala sendiri sambil mengumpat dalam hati, "Goblok benar aku ini!"
Ya, kalau ia rela mati bersama Samon, mengapa takut dikuntit Kiong Kiu" Kenapa tidak langsung mencari Samon saja" Siapa tahu dengan gabungan ilmu silat mereka berdua bisa mengalahkan Kiong Kiu"
Ya, siapa tahu"
Berpikir begitu, segera Siau-hong berlari ke arah pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, terlihat ada seorang sedang mengawasi pintu kamarnya, orang itu lekas berpaling ke arah lain. Wajah orang itu masih asing baginya, namun seragamnya justru sangat dikenalnya, seragam pengawal kerajaan.
Ternyata bukan hanya seorang saja yang sedang mengawasi Siau-hong, di dekat meja sana juga ada seorang pengawal kerajaan yang sedang tiduran. Agaknya mereka berdua bertugas secara bergilir, yang seorang mengawasi dan yang seorang tidur, begitu sebaliknya.
Mengapa kedua orang pengawal kerajaan bisa berada di situ" Mereka dibayar Kiong Kiu atau karena perintah Thay-peng-ong yang memang hendak membekuk dirinya"
Siau-hong segera putar badan dan menerjang ke arah jendela, namun di bawah jendela pun terlihat seorang pengawal kerajaan sedang berdiri di sana, seorang lagi sedang tidur di sampingnya. Siau-hong hanya bisa tertawa getir menyaksikan hal ini.
Si kucing saja sudah susah dihadapi, apalagi sekarang ditambah dengan beberapa ekor kucing kecil. Terpaksa Siau-hong kembali ke kamarnya, berbaring telentang dan meletakkan secawan arak yang telah diisinya di atas dada.
Fajar telah menyingsing, embun pagi telah menguap. Para pengawal yang semalaman berjaga menggeliat melemaskan otot, mereka merasa lega karena telah selesai bertugas dan sudah saatnya untuk bebas tugas.
Ya, Siau-hong telah membantu mereka bebas tugas. Di saat mereka menggeliat melemaskan otot itulah secara beruntun Siau-hong telah menutuk jalan darah penting di tubuh mereka, maka para pengawal itupun benar-benar bebas tugas, tidak terkecuali yang tadinya sedang tidur.
Meraba golok yang tergantung di samping pinggangnya, tanpa terasa Siau-hong tersenyum sendiri. Baru pertama kali inilah Siau-hong menyamar sebagai pengawal kerajaan. Mau tak mau Siau harus mengagumi Kiong Kiu, hanya dialah yang bisa memaksa dirinya menyamar.
Siau-hong membawa masuk seorang pengawal kerajaan dan dibaringkan di tempat tidur, untuk menggantikan dirinya yang sekan-akan masih tertidur lelap. Setelah mengatur rapi segalanya, barulah ia beranjak keluar pintu kamar hendak pergi.
Belum sempat ia membuka pintu, ternyata sudah ada orang yang mendorongnya.
Si Kuah daging! Si Kuah daging masuk dengan membawa sebuah nampan, di atasnya masih mengepul semangkuk kuah daging dan empat biji bakpao. Si Kuah daging meletakkannya di atas meja, kemudian memberi hormat kepada Siau-hong dan berkata, "Silakan Liok-ya dari pengadilan sarapan dulu."
Siau-hong dibuat tak bisa tertawa, menangis pun tak dapat. Lekas ia tanggalkan pakaian seragam pengawal kerajaan, serunya, "Aku bukan Liok-ya dari pengadilan!"
"O, kalau begitu silakan Liok Siau-hong sarapan dulu," kata si Kuah daging pula sambil tersenyum.
"Aku tak berselera," sahut Siau-hong dengan nada tetap tinggi.
"Lebih baik kau sarapan dulu."
"Kenapa?"
"Karena Kiu-ya bilang, ia tak rela memberimu uang lagi."
"Dia sudah merampok begitu banyak harta, apa salahnya berbagi sedikit denganku?"
"Ah, masakah kau tidak tahu?"
"Apanya yang tidak tahu?"
"Orang semakin kaya biasanya makin pelit, apalagi disuruh menghamburkan secara cuma-cuma."
"Bukankah dia sudah menhamburkan cukup banyak hanya untuk menguntit aku?"
"Itu kan karena terpaksa."
"Kalau begitu ..."
"Kalau begitu apa?"
"Terpaksa aku harus sarapan."
Setelah melahap habis sarapannya, ujarnya kepada si Kuah daging, "Aku ingin minta tolong kepadamu, maukah?"
"Kau ingin semangkuk kuah daging lagi?"
"Bukan."
"Lantas apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin menemui Kiong Kiu."
Si Kuah daging ragu-ragu sejenak, lalu katanya, "Apa yang ingin kau sampaikan kepada Kiong Kiu" Sampaikan saja kepadaku."
Tidak bisa, harus kusampaikan sendiri kepadanya."
"Kenapa?"
"Sebab dengan begitu, aku akan senang."
Si Kuah daging hanya diam saja, lalu beranjak pergi dari situ. Ternyata Kiong Kiu tidak tinggal di dalam losmen, ia berada di kereta. Selama ini seluruh kegiatan Kiong Kiu dilakukan di atas kereta, ia tidak mau menggunakan barang-barang yang pernah dipakai orang lain.
Ketika Siau-hong berjalan menuju ke kereta, terlihat Kiong Kiu sedang duduk di kursi kusir sedang termenung. Begitu melihat kehadiran Siau-hong, Kiong Kiu tidak melakukan penyambutan, ia hanya mengawasi Siau-hong-dengan pandangan dingin. Siau-hong balas menatapnya, juga tidak bicara.
Orang yang pertama kali buka mulut malah bukan mereka berdua, justru adalah si Kuah daging, katanya, "Ia ingin bicara kepadamu." Setelah berkata, si Kuah daging masuk ke dalam kereta dan menurunkan tirai jendela.
Dengan pandangan penuh tanda tanya, Kiong Kiu menatap Siau-hong.
Akhirnya Siau-hong buka suara, "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan."
"Aku tahu."
"Kau sudah tahu."
"Ya, si Kuah daging sudah bilang."
"Tidak kau tanya apa yang hendak kusampaikan?"
"Tidak perlu."
"Kenapa?"
"Kan kau bisa bicara sendiri."
"Yang ingin kusampaikan adalah usir saja kusirmu.".
"Kenapa?" berubah wajah Kiong Kiu.
"Karena sudah tidak kau butuhkan."
"Lalu siapa yang mengemudikan keretaku?"
"Aku!"
"Kau?" tanya Kiong Kiu keheranan.
"Ya, aku."
Kenapa kau mau menjadi kusirku?" "Karena aku tak bisa lepas dari pengejaranmu." "Tapi ...."
"Kalau aku jadi kusirmu, bukankah kau tak perlu menguntitku lagi dan akan kutunjukkan jalannya," tukas Siau-hong. "Kemana akan kau bawa aku?" "Tidak tahu."
"Kau pun tak tahu?" tanya Kiong Kiu semakin heran. "Siapa tahu dalam perjalanan nanti baru aku teringat." "Tempat apa?"
"Jika kau ingin tahu, usir saja kusirmu. Bila nanti aku sudah teringat, tentu akan kuberitahukan kepadamu."
Kiong Kiu tidak bicara lagi, ia ambil cambuk kusir dan dilemparkan ke arah Siau-hong, kemudian ia pun masuk ke dalam kereta.
Bersambung ke bagian 5
Sang Ratu Tawon
Oleh Khulung/Gan KL
Bagian 5 TAMAT Angin laut berhembus kencang. Menerpa tubuh Siau-hong yang berdiri di tebing curam. Terbayang olehnya suara tarikan napas Samon yang lembut dan beraturan ketika sedang tidur.
Sekarang ia mengerti, mengapa muda-mudi yang sedang berkasih mesra menyukai pantai, mengawasi gulungan ombak, mencari kenangan masa lalu. Suara gelombang ombak di tepi pantai seakan bisikan kekasih di sisi telinga. Tepi pantai sering mengingatkan seseorang akan kenangan paling manis, mesra dan tak terlupakan.
Siau-hong telah mengambil keputusan. Bila akan menetap, ia akan menetap di tepi pantai. Tapi bagaimana dengan Samon" Samon, o, Samon, dimanakah kau berada"
Lentera. Lentera di tangan Liok Siau-hong. Cahaya lentera bergoyang-goyang mengikuti langkah Siau-hong. Dengan bantuan cahaya lentera, Siau-hong menyusuri segenap sudut rumah, jangankan tanda rahasia, sedikit jejak pun tak ada.
Ternyata Lau-sit Hwesio sama sekali tidak meninggalkan pesan, benarkah begitu" Siau-hong anggap hal ini tidak masuk akal. Dengan berbagai akal dan muslihat, mereka menggiring Siau-hong masuk perangkap, jelas tujuan mereka menculik Samon adalah untuk mengancamnya agar menyerah.
Kenyataan sekarang Siau-hong tidak menemukan apa-apa. Mungkinkah Lau-sit menculik Samon tidak ada hubungan apa-apa dengan si kakek kecil" Mungkinkah Lau-sit benar-benar tidak lau-sit terhadap Samon"
Lentera diletakkan di atas meja.
Dengan cepat perasaan waswas Siau-hong lenyap, bukan karena ia percaya Lau-sit Hwesio tidak lau-sit, tetapi karena saat itu ia telah menemukan sesuatu. Dua huruf kecil, sangat kecil. Bukan ditulis dengan tangan, tapi diukir dengan ujung pisau: "Kiong Kiu".
Padahal tadi ia sudah meneliti setiap sudut rumah, tapi lupa meneliti meja dimana sekarang lentera diletakkan, dua huruf kecil yang terukir jelas di situ.
Sejak awal ia memang sudah menduga, peristiwa ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Kiong Kiu, namun setelah membaca kedua huruf yang diukir Lau-sit dengan ujung pisau ini, perasaan Siau-hong baru bisa benar-benar lega.
Selama ini justru ia takut kalau lenyapnya Samon tak ada hubungan dengan Kiong Kiu. Kini semuanya sudah jelas, orang yang harus dihadapi adalah Kiong Kiu. Bila ingin menemukan Kiong Kiu, ia harus mencari Eng-gan Lo-jit. Bila ingin menemukan Eng-gan Lo-jit, ia harus berangkat ke Tiang-an.
Maka berangkatlah Siau-hong menuju ke Tiang-an.
-00- Arak. Arak dalam cawan. Arak dalam cawan berada di tangan Eng-gan Lo-jit, inilah cawan ke-24 yang ditenggaknya malam ini. Eng-gan Lo-jit menyangka dirinya akan lekas mabuk, karena secara tiba-tiba ia melihat sebilah golok tergeletak di samping cawan yang baru saja diletakkannya. Eng-gan mengucek matanya.
"Tak perlu kau mengucek matamu, kau memang belum mabuk," terdengar suara seorang di belakangnya.
Lo-jit berpaling, namun tak nampak bayangan seorang pun. Dengan termangu Lo-jit mengawasi golok di atas meja, tanyanya, "Darimana kau tahu jika aku belum mabuk?"
"Karena golok yang kau lihat adalah golok sungguhan, bukan khayalan," sahut suara itu.
Ketika baru setengah jalan suara itu berkumandang, Lo-jit dengan cepat berpaling ke belakang, namun tetap saja tak dijumpai bayangan seorang pun. Dengan kesal Lo-jit mengambil golok di atas meja, tanyanya, "Bukankah ini golokku?"
"Memang milikmu."
"Dan sekarang?"
"Tetap milikmu."
"Untuk apa kau bawa golokku?"
"Untuk menakut-nakuti dirimu."
"Mengapa kau berbuat begitu?"
"Agar kau mau ke kotaraja."
"Tampaknya kau memahami diriku, siapa kau?"
"Aku tak mau memahami dirimu, aku adalah Liok Siau-hong." Selesai bicara, Liok Siau-hong sudah duduk di hadapan Lo-jit.
"Mengapa aku harus ke kotaraja?" kembali Lo-jit bertanya.
"Karena aku berharap kehidupannya akan lebih nyaman."
"Apa hubungannya?"
"Ketika kau mencari Sebun Jui-soat kebetulan aku berada di sana, jika aku tidak memancingmu pergi, mungkin tiap hari kau akan merecoki aku, mana bisa aku hidup tenteram dan nyaman?"
"Bagaimana kau bisa di sana?"
"Karena sedang menunggu Sebun Jui-soat pulang."
"Kemana dia?"
"Pergi menjemput Samon."
"Sekarang dimana Samon?"
"Tak berhasil dijemputnya."
"Tak berhasil?" tanya Lo-jit keheranan.
"Itulah sebabnya aku harus ke kotaraja."
"Memangnya Samon di sana?"
"Aku tidak tahu."
"Lantas untuk apa kau ke kolaraja?"
"Mencarimu."
"Mencari aku" Untuk apa" Aku toh tidak tahu kemana Samon pergi."
"Kau tahu."
"Aku tahu" Kau saja tidak tahu, lalu darimana aku tahu?"
"Justru aku tahu kalau kau tahu."
Lo-jit menjadi bingung sendiri.
"Aku pun tahu kalau kau sesungguhnya tidak tahu dimana Samon berada," kembali Siau-hong berkata.
Lo-jit semakin bingung.
"Tapi aku tahu, kau pasti tahu dimana seorang lain berada," kata Siau-hong pula.
Berbinar mata Lo-jit, serunya tertahan, "Jadi orang ini yang tahu dimana Samon berada?"
Siau-hong tertawa, ujarnya, "Bukankah sudah kukatakan, kau tidak mabuk."
"Siapa orang yang kau maksud?"
"Kiong Kiu."
Lo-jit menghabiskan secawan arak lagi, padahal sudah tidak ada tamu lain di kedai itu, tinggal mereka berdua. Tak ada orang lain, tapi tiba-tiba terdengar suara desingan senjata rahasia berhamburan.
Reaksi Siau-hong cukup cepat, namun tetap terlambat, terlambat menyelamatkan Eng-gan Lo-jit. Sekalipun Lo-jit belum mabuk, tapi sudah banyak arak masuk ke dalam perutnya, bagaimanapun juga reaksinya akan berkurang.
Karena itu ketika Siau-hong menarik tangan Lo-jit sambil menerjang ke atas, keadaan sudah terlambat. Siau-hong memang tidak terluka, yang terluka adalah Eng-gan Lo-jit.
Sasaran serangan senjata rahasia itu memang bukan dirinya, melainkan Eng-gan Lo-jit. Orang yang hendak mereka bunuh memang Eng-gan Lo-jit!
Setelah menjebol atap rumah, Siau-hong melompat ke tengah jalan. la tidak mengejar si penyerang gelap, karena pertama, si penyerang gelap pasti akan berpencar, setelah melepaskan serangan, tak mungkin mereka menunggu hasil serangannya, berhasil atau tidak hasil serangan mereka sudah tak dipedulikan, karena mereka tahu sedang berhadapan dengan siapa, jika tidak segera melarikan diri, hanya ada jalan kematian bagi mereka. Kedua, yang hendak mereka bunuh bukan dirinya, melainkan Eng-gan Lo-jit, jelas dirinya sudah diintai cukup lama, tujuan pembunuhan ini adalah untuk membungkam mulutnya. Maka sekarang yang harus dilakukan Siau-hong adalah mengorek rahasia Kiong Kiu dari mulut Eng-gan Lo-jit.
Namun tak ada rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Lo-jit, yang ada hanya kata penyesalan. la tahu Lo-jit terkena senjata rahasia beracun, sudah hampir mampus, namun ia tidak memotong ucapan penyesalan Lo-jit. Ucapan penyesalan yang dilakukan menjelang ajal adalah cara untuk mendapatkan ketenangan batin, maka Siau-hong tidak menukasnya.
Siau-hong mendengarkan dengan tenang. Raut penderitaan yang terlintas di wajah Lo-jit lambat-laun berubah tenang, ia menatap Siau-hong dan bertanya, "Maukah kau maafkan aku?"
Siau-hong hanya mengangguk tanpa menjawab. Melihat Siau-hong mengangguk, senyuman langsung menghias bibir Lo-jit.
Dengan suara lirih ia berbisik, "Ada ... se ... sebuah ... ra ... rahasia ... ingin ku ... kuberitahukan ... pada ... mu ...."
Liok Siau-hong diam saja, hanya mendekatkan telinganya diatas bibir Eng-gan Lo-jit. Siau-hong hanya sempat mendengar tiga patah kata, tiga patah kata terakhir dari Eng-gan Lo-jit, "... Kiong Kiu Thay ...."
Pemimpin besar Cap-ji-lian-hoan-bu Eng-gan Lo-jit, siapa sangka hanya gara-gara ingin memperoleh uang lebih banyak, akhirnya harus mati dengan tragis.
Kiong Kiu Thay" Apa itu Kiong Kiu Thay" Siau-hong termenung memeras otak, memikirkan rahasia yang diucapkan Eng-gan Lo-jit menjelang ajal.
Kiong Kiu kelewatan" (Thay = kelewatan(. Kiong Kiu kelewat takabur". Kiong Kiu kelewat lihai" Kiong Kiu berada di Thay-san" (Thay = dari kata Thay-san(. Rahasia Kiong Kiu berada di Thay-san" Markas Kiong Kiu berada di Thay-san" Harta karun disembunyikan di Thay-san"
Siau-hong sudah memutuskan tidak akan memikirkan hal itu lagi.
Eng-gan Lo-jit bisa mati dengan mata meram, namun bagi Siau-hong, kematian Lo-jit dianggapnya tidak bernilai, masih banyak rahasia Kiong Kiu yang belum diungkapnya. Siau-hong menghela napas panjang, perasaannya masgul.
Bila orang sudah mati, segala urusan telah beres, namun bagi yang masih hidup, tetap harus memikul beban budi dendam dunia persilatan, membersihkan diri dari tuduhan. Hidup di dunia Kangouw memang tidak bebas.
Kembali terpikir oleh Siau-hong untuk pensiun. Teringat juga akan seseorang yang mendampingi dirinya setelah pensiun, Samon. Teringat Samon, seketika darah mengalir lebih cepat dalam tubuhnya.
Ya, Samon, dimana dia sekarang" Lau-sit Hwesio dimana kau sekarang" Kiong Kiu, dimana kau bersembunyi" Kemana dia harus mencari Samon"
Semua pertanyaan itu ia tak tahu jawabannya. Yang ia tahu adalah mencari, mencari jejak mereka. Maka ia memutuskan untuk ke kotaraja, menampakkan diri di sana agar Kiong Kiu lah yang mencari dirinya.
Kotaraja. Kotaraja adalah kota yang sangat ramai, penuh orang berlalu-lalang, kereta hilir mudik tiada hentinya. Liok Siau-hong ikut berhimpitan di antara orang banyak. Yang dicari hanya sebuah rumah makan.
Sudah 38 rumah makan didatangi Siau-hong, akhirnya pilihannya jatuh pada rumah makan yang terbesar, paling bersih dan ramai. Dan yang lebih penting baginya, rumah makan ini sudah dipenuhi para langganan.
Begitu melangkah masuk, tiada pelayan yang mempersilakan dia duduk, semua pelayan sedang sibuk melayani pelanggan yang sudah ambil tempat duduk. Walaupun begitu, ia tampak gembira karena susasana semacam inilah yang ia cari.
Ia celingukan kian kemari, akhirnya dilihatnya hanya ada sebuah meja dengan tiga orang tamu. Tiga lelaki kekar berotot, mata besar dan alis tebal. Siau-hong hendak menjadikan ketiga lelaki kekar ini sebagai sasarannya.
Lekas ia menghampiri meja ketiga lelaki kekar itu, setelah sampai, ia pun mengawasi ketiganya dan berkata, "Boleh aku duduk di sini?"
"Tidak boleh!" sahut salah seorang dengan suara keras.
Siau-hong menarik kursi dan langsung duduk. Ketiga lelaki itu melotot ke arahnya.
"Sudah kubilang tidak boleh, mengapa kau malah duduk di situ, memangnya kau tuli?" bentak lelaki tadi.
Siau-hong tertawa, sahutnya sambil menggeleng, "Aku tidak tuli."
"Kalau begitu, cepat minggat dari sini!"
"Minggat" Memangnya kau tidak tahu siapa aku?"
"Siapa kau?"
"Liok Siau-hong!"
Ketiga lelaki itu melengak, kemudian memandang Siau-hong dan tertawa terbahak-bahak. Lalu salah seorang yang lain mengejek, "Kau Liok Siau-hong?"
"Ya, betul."
"Kau tahu, aku siapa?"
"Siapa?"
"Aku juga she Liok."
"Oya?"
"Liok Thay-liong." (Thay-liong = naga besar)
"Nama yang bagus," sorak Siau-hong.
Ketiga lelaki itu tercengang, lalu menatap Siau-hong. Yang ditatap dengan santainya mengambil cawan arak di hadapan Liok Thay-liong, lalu katanya, "Mari bersulang!"
Liok Thay-liong melengak.
Sekali teguk, Siau-hong habiskan isi cawannya, setelah itu katanya pula, "Kau Thay-liong, aku Siau-hong (burung Hong kecil), kita memang cocok."
"Itulah dial" teriak Liok Thay-liong sambil menggebrak meja, "bapak memang cocok dengan anak, naga besar cocok dengan burung hong kecil, memangnya aku tak tahu?"
"Tentu saja, cuma ada satu hal yang tidak aku pahami?"
"Hal apa?"
"Siapa yang bapak dan siapa yang anak?"
Ketiganya tertawa terbahak-bahak keras sekali seakan baru saja mendengar lelucon yang paling lucu, bahkan tertawa sampai terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut. Tentu saja kelakuan mereka ini mengundang perhatian tamu yang lain, semua tamu memandang ke arah meja mereka.
Salah seorang lelaki kekar menuding Siau-hong sambil masih tertawa, "Kau benar-benar tidak paham?"
"Ya."
Mendadak mereka berhenti tertawa seakan mulutnya tersumbat, wajah yang tadinya ceria, sekarang menjadi tegang.
Dilihatnya Siau-hong sedang menggosok sudut meja yang terbuat dari kayu keras menjadi bubuk dan berhamburan di lantai, itulah yang menjadikan alasan mengapa mereka berhenti tertawa mendadak.
Kini mereka tak sanggup tertawa lagi, dan mulai percaya kalau orang yang ada di hadapan mereka itu benar-benar adalah Liok Siau-hong. Rasa tegang masih menghiasi wajah mereka, dengan mata terbelalak mengawasi Liok Siau-hong.
Kembali Siau-hong tersenyum, tegurnya, "He, kalian belum menjawab pertanyaanku tadi."
Dengan wajah seperti orang yang hendak menangis, Liok Thay-liong bertanya, "Pertanyaan yang mana?"
"Siapa bapak dan siapa anak?"
Liok Thay-liong menggampar wajah sendiri sambil menyahut, "Kau adalah bapaknya, aku adalah anak kura-kuramu." Selesai menjawab, kembali ia gampar mukanya sampai merah bengap.
"Jawabanmu keliru," sahut Siau-hong dengan menggelengkan kepala.
Wajah Liok Thay-liong terlihat jelek, seperti lagi ketakutan dan juga seakan ingin menangis. Katanya dengan gemetar, "Jawabanku salah" Memangnya kau yang ingin menjadi anak kura-kuraku?"
Sekarang gantian kedua rekan Liok Thay-liong yang menggampar mukanya, muka yang sudah bengap menjadi lebih tidak keruan bentuknya. Malah seorang berkata, "Maaf Liok-ya, dia memang goblok, tidak pandai bicara. Mohon Liok-ya sudi melepaskan kami!"
"Aku toh tidak menyuruh kalian melakukan sesuatu, buat apa kalian sewot" Nah, sekarang katakan, siapa bapaknya dan siapa anaknya?"
Mendadak ketiga lelaki itu berlutut sambil menyembah berulang-ulang, sahutnya hampir berbareng, "Kau bapaknya, kami anak kura-kuramu."
"Kembali kalian melakukan kesalahan yang sama."
Dengan terbelalak mereka mengawasi Siau-hong.
"Memangnya burung Hong bisa beranak kura-kura?" tanya Siau-hong.
"Tidak bisa," sahut mereka serentak.
"Lantas darimana datangnya anak kura-kura macam kalian?"
Terdengar suara gamparan yang ramai, kali ini ketiganya menggampar muka sendiri dengan keras. Begitulah, maka dalam waktu singkat nama Liok Siau-hong menjadi dikenal di seantero kotaraja. Siau-hong yakin semua orang persilatan akan tahu kalau dirinya sekarang berada di kotaraja. Di antaranya tentu adalah Kiong Kiu dan Lau-sit Hwesio, bila Kiong Kiu memang ingin mencari Siau-hong, tentu dia akan datang ke kotaraja.
Saat ini yang terbayang oleh Siau-hong malah bayangan Samon, apa yang sedang dipikirkan Samon"
Tentu saja Samon sedang memikirkan Siau-hong. Sejak Siau-hong meninggalkan dirinya, ia selalu memikirkannya, terlebih sejak dibawa pergi Lau-sit Hwesio, ia makin terkenang akan Siau-hong. Setiap saat ia selalu mengharap Siau-hong muncul di hadapannya, beberapa kali ia sudah ingin mencari Siau-hong, tapi kemana mencari"
Di tempatnya sekarang, segala keperluan Samon dilayani oleh beberapa dayang, ia pun bebas mau kemana pergi, tak ada yang menghalanginya. Lau-sit Hwesio tak perlu kuatir dia akan kabur, karena ia tahu Samon tak mungkin kabur, kabur pun akan kemana"
Maka sejak awal, Samon hanya bisa menunggu, menunggu takdir yang mengatur. Semua harapannya diletakkan pada Siau-hong.
Setiap hari Lau-sit selalu menjenguknya, namun setiap kali pula tanpa bicara. Lain dengan hari ini, Lau-sit menjenguknya dengan senyum di wajahnya, katanya serius, "Ada kabar baik!"
"Kabar apa?" jawab Samon hambar.
"Kabar yang kau harapkan."
Dalam hati Samon bergirang, tapi tanyanya hambar, "Kalian sudah memperoleh kabar Liok Siau-hong?"
"Dia di kotaraja."
"Kotaraja" Berapajauh dari sini?"
"Tiga hari perjalanan."
Samon tak bicara lagi.
"Kunasihati kau, lebih baik jangan ada pikiran macam-macam," kata Lau-sit.
"Pikiran apa?" tanya Samon tertegun.
"Kabur dan mencari Liok Siau-hong."
"Memangnya kau cacing dalam perutku?"
"Hwesio hanya punya sedikit kepandaian tembus pandang," katanya sambil tersenyum, lalu menatap Samon lekat-lekat, "Janganlah kau kabur, itu demi kebaikanmu sendiri."
"Kenapa demikian?"
"Sebab bila kau kabur ke kotaraja, maka kau tak akan bertemu dengan Liok Siau-hong."
"Kenapa" Memangnya dia tidak di sana?"
"Dia di sana tiga hari yang lalu."
"Dan sekarang?"
"Sekarang kemungkinan dia di sini."
"Di sini?"
"Maksudku sekitar sini, dia belum bisa menemuimu."
"Kenapa?"
"Karena belum waktunya mempertemukan dia denganmu."
"Kapan akan kalian pertemukan kami?"
"Bila sudah sampai waktunya."
Bisa juga diartikan mungkin selama hidup tidak akan sampai waktunya, sebab bila Siau-hong tidak mengabulkan permintaan Kiong Kiu, ketika sampai waktunya, mungkin yang dijumpainya adalah Samon yang sudah tak bernyawa.
Karena itu, ketika Lau-sit menyuruh orang menjemput Siau-hong di kotaraja. Siau-hong di tempatkan di sebuah rumah mewah.
Tatkala Siau-hong bertemu Lau-sit, kapan akan mempertemukan dirinya dengan Samon, jawaban yang didapat seperti jawaban Lau-sit kepada Samon.
Siau-hong tahu arti jawaban itu, artinya ia harus mengandalkan kemampuan sendiri untuk menemui Samon. Ia tahu tujuan Kiong Kiu menjemput dirinya, tak lain ingin memberitahu dirinya bahwa Samon ada di situ, hanya saja saat ini Siau-hong tak mungkin bisa menjumpainya.
Bila Siau-hong tahu akan hal ini, tentu pikirannya akan gelisah, dengan demikian akan semakin mudah bagi Kiong Kiu untuk membujuk Siau-hong mengabulkan permintaannya.
Siau-hong paham akan hal ini, semakin lama dirinya berada di situ, semakin mudah ia tak bisa bertahan. Maka ketika di tempatkan di rumah mewah, tanpa sungkan lagi ia makan minum sepuasnya, dan kemudian tidur.
Ketika mendusin, malam sudah tiba, inilah saatnya untuk melakukan penyelidikan. Langit gelap, tiada bulan dan bintang di langit. Siau-hong merasa badannya telah segar. Berdiri di atap rumah, Siau-hong memandang sekelilingnya, sejauh mata memandang, hanya deretan rumah yang berlapis-lapis, tempat yang ia tinggali termasuk deretan rumah kecil.
Ia yakin, bila berhasil menemukan rumah yang paling besar, kemungkinan dirinya akan bisa bertemu Samon. Tak mungkin bagi dirinya hanya duduk menanti, ia harus berusaha melakukan pencarian, ia yakin pasti bisa menemukan Samon.
Dugaan Siau-hong memang benar, sayangnya, ia kalah cepat. Ketika ia berhasil menemukan rumah paling besar, Samon sudah tidak di sana. Yang ada hanya Lau-sit Hwesio!
Lau-sit seakan sudah menduga akan kedatangan Siau-hong, katanya, "Kau memang cerdik."
"Sayang, masih ada yang lebih cerdik," sahut Siau-hong dingin.
"Sebetulnya tidak."
"Oya?"
"Dia hanya menerima laporan kau tidak di kamar, maka segera memindahkan Samon dari sini, lalu menyuruhku menunggumu."
"Untuk apa menunggu aku" Toh yang ingin kujumpai bukan kau?"
Lau-sit tertawa, ujarnya, "Perempuan itu kosong, Samon adalah Lau-sit Hwesio, mencari aku sama seperti mencari Samon."
Siau-hong ingin tertawa, tapi tak bisa. Ia mendekati Lau-sit dan mengulurkan tangan.
"Kau mau apa?" tegur Lau-sit.
"Bukankah kau tadi bilang 'Samon adalah Lau-sit'."
"Benar."
"Begitu bertemu Samon, perbuatan pertama yang akan aku lakukan adalah memeluknya, maka aku ingin memelukmu."
Belum selesai Siau-hong berkata, lekas Lau-sit mundur sambil menggoyang-goyangkan tangan, serunya, "Jangan, jangan, kau tak boleh berbuat begitu."
"Kenapa?"
"Karena Hwesio orang laki-laki, sesama lelaki tidak boleh berpelukan."
"Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau adalah Samon?"
"Persoalan ini mempunyai arti yang sangat dalam, sebaiknya kita bicara lain soal saja."
"Soal lain apa?"


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persoalan yang besar," kata Lau-sit Hwesio dengan sungguh-sungguh.
"Persoalan besar" Ada persoalan besar apa lagi?"
"Persoalan besar menyangkut mati hidup dua manusia."
"Siapa" Salah satunya aku?"
"Kau memang cerdik."
"Jadi yang satu adalah Samon?"
"Ai, orang cerdik macam kau, kenapa justru tak punya pikiran terbuka?"
"Pikiran terbuka apa" Dalam hal apa aku tidak terbuka?"
"Mengenai usul si kakek kecil, kenapa kau tetap keras kepala?"
Dengan tajam Siau-hong menatap Lau-sit, kemudian menggeleng berulang-ulang. Lalu katanya pula, "Walau aku tak bisa memahamimu, tapi seharusnya kau punya prinsip, mengapa kau berubah pikiran" Kenapa kau bersedia menjadi anak buahnya, menjadi 'manusia yang bisa menghilang'?"
"Karena pikiranku sudah terbuka," sahut Lau-sit.
"Pikiranmu terbuka" Pikiran apa?"
"Tentang kehidupan manusia."
"Tentang kehidupan manusia" Kau paham?"
"Sangat memahami."
"Lalu menurutmu seperti apakah kehidupan manusia itu?"
"Kehidupan manusia adalah hidup bahagia. Selamanya Lau-sit Hwesio hidup susah, serba menderita, akhirnya apa yang aku peroleh" Manusia hidup hanya puluhan tahun, mengapa aku harus menyiksa diri" Apa yang dikatakan si kakek memang betul, 'Kalau ada kesempatan untuk senang, kenapa tidak kau manfaatkan'. Jangan sampai telanjur tua, baru kau menyesal."
Sekali lagi Siau-hong menatap Lau-sit, lalu katanya sambil tertawa getir, "Inikah pengertianmu tentang kehidupan manusia" Kesenangan yang kau cari dengan bergabung si kakek kecil?"
"Memangnya aku keliru?"
"Keliru besar, tahukah kau sisi lain kehidupan manusia?"
"Apa itu?"
"Kebenaran, setia kawan, cinta kasih dan hati nurani."
Lau-sit tertawa terbahak-bahak, "Jadi ini yang kau jadikan alasan hingga jalan pikiranmu tidak terbuka."
"Justru karena pikiranku terbuka, maka aku menolak bergabung, paham kah kau?" kata Siau-hong sambil tersenyum,
"Aku tetap tidak paham."
"Kau paham atau tidak, bagiku bukan masalah, yang jelas pandanganmu tentang kehidupan manusia tidak sejalan dengan pikiranku."
"Di antara kita telah terjadi benturan kepentingan, maka sekarang kita berseberangan sebagai lawan."
"Kalau begitu kau akan menerima nasibmu."
"Kenapa?"
"Sebab selamanya kebenaran akan selalu menang, kelaliliman akan hancur."
Lau-sit tertawa lagi, ujarnya pula, "Hahaha, kau jangan lupa, masih ada pepatah lain."
"Pepatah apa?"
"Kebenaran meningkat satu jengkal, kejahatan meningkat satu langkah."
Siau-hong juga tertawa, "Tahukah kau, kebenaran dan kejahatan sama sekali berbeda?"
"Memang berbeda."
"Oleh karena itu jangan kau samakan, satu jengkal kebenaran mungkin bisa mencapai sepuluh langkah, sementara satu langkah kejahatan mungkin hanya satu inci."
Lau-sit termenung tanpa menjawab.
Sambil tertawa Siau-hong melanjutkan, "Aku justru tidak paham akan satu hal."
Dengan penuh tanda tanya Lau-sit memandang Siau-hong, tapi tidak bicara. Maka Siau-hong berkata pula, "Si kakek kecil sudah memiliki jago tangguh macam kau dan Kiong Kiu, mengapa ia masih menghendaki aku?"
"Sebab kau sangat berguna baginya."
"Paling berguna?" kata Siau-hong tidak habis mengerti. "Kungfu Kiong Kiu lebih menakutkan, masakah aku lebih berguna ketimbang dia, yang benar saja."
"Memang benar begitu," jawab Lau-sit meyakinkan.
Kali ini Siau-hong yang tercengang.
Lau-sit melanjutkan, "Sebab tugas yang harus diselesaikan si kakek kecil, hanya kau yang bisa melaksanakannya."
"Orang lain tak mampu" Kau dan Kiong Kiu juga tidak?"
"Kan sudah kubilang, hanya kau yang mampu."
"Kenapa?"
"Sebab sebenarnya kaulah si 'manusia yang bisa menghilang', pada masalah ini, hanya kau saja yang bisa mendatangkan rasa waswas orang lain."
"Masalah apa?"
Lau-sit diam tidak menjawab.
"Kau tak tahu?" tanya Siau-hong.
"Aku tahu."
"Kenapa tidak kau jelaskan?"
"Tak bisa kujelaskan di sini."
"Lalu dimana?"
"Di tempat Kiong Kiu."
"Kenapa mesti di sana?"
"Karena merupakan rahasia besar, bila sudah kujelaskan, hanya ada dua pilihan bagimu."
"Dua pilihan?"
"Ya, pertama adalah jalan kehidupan, berarti kau harus bersedia menjadi 'manusia yang bisa menghilang'."
"Berarti jalan kematian adalah yang kedua?"
"Benar, karena setelah kau tahu rahasia ini dan tetap menolak, maka hanya ada jalan kematian bagimu, oleh sebab itu Kiong Kiu harus ada saat aku menjelaskan padamu."
"Kiong Kiu sanggup membunuhku?" tanya Siau-hong sambil tertawa.
"Tepat."
"Baik, kalau begitu kita berangkat."
"Berangkat kemana?"
"Menjumpai Kiong Kiu."
"Sekarang?"
"Ya, aku sudah tidak sabar mendengar rahasia itu."
"Kau tahu, setelah mendengar rahasia ini hanya ada dua jalan?"
"Aku tahu."
"Kau pilih yang mana?"
"Kalau kau" Tentu kau tak ingin mati bukan?" Siau-hong balik bertanya.
"Tentu, siapa orangnya yang ingin mati?"
"Nah itu, aku pun tak ingin mati."
"Kalau begitu kau bersedia menjadi 'manusia yang bisa menghilang'?" seru Lau-sit gembira.
"Kalau tidak mau, memangnya masih bisa hidup?"
"Tidak bisa," jawab Lau-sit tegas.
"Aku ingin tetap hidup," kata Siau-hong dengan tegas pula.
Pintu gerbang. Pintu gerbang dalam keadaan terbuka. Lau-sit berdiri di depan pintu gerbang itu, katanya pada Siau-hong yang berdiri di sampingnya, "Silakan masuk! Di halaman depan ada tiga kamar, masing-masing ada penghuninya, mereka sedang menantikan dirimu."
"Tiga orang?" tanya Siau-hong.
"Aku hanya tahu dua orang, Kiong Kiu dan Samon yang kau rindukan."
"Yang seorang?"
"Tidak akan kujelaskan, sebab kau pun belum tentu dapat menjumpainya."
"Oya?"
"Tergantung rezekimu, silakan kau pilih salah satu. Bila yang kau pilih adalah kamar Samon, sebelum mati kau masih bisa bermesraan dengannya. Jika yang kau pilih kamar Kiong Kiu, maka silakan ucapkan kata perpisahan."
Siau-hong kembali tertawa. "Bagimana seandainya kamar yang kupilih adalah kamar orang yang tak kau sebut?" tanya Siau-hong.
"Kau bisa mati tanpa sebab, bisa juga gembira."
"Bolehkah aku bertanya di depan setiap kamar sebelum kumasuk?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Sebab begitu kau bertanya, akan ada permainan menarik menantimu."
"Permainan apa?"
"Kau akan disumbang banyak barang."
"Barang apa?"
"Am-gi, kuyakin Am-gi itu akan dapat mencabut nyawamu,"
"Bila sudah masuk kamar."
"Apapun boleh kau lakukan."
"Kalau begitu, selamat tinggal!"
Bintang masih bertaburan, namun halaman rumah yang besar itu gelap-gulita. Kecuali ketiga kamar, pohon dan gunung-gunungan, tiada sesuatu lagi yang bisa dijumpai Siau-hong.
la sudah memutuskan untuk berjalan lurus ke depan, memilih kamar yang di tengah. Langkahnya ringan, ia yakin orang yang berada di dalam tak akan menyadari kehadirannya. Ia tidak langsung mendorong pintu, dari dalam pun tiada terdengar suara.
Tak mungkin Samon berada di dalam, jika benar dia ada di dalam, seharusnya ia dapat mendengar suara napasnya. Ia ingin berganti pilihan, namun ragu-ragu. Jika seandainya Samon benar-benar sedang tidur, lalu bagaimana"
Oleh karena ragu-ragu itu, cukup lama ia berdiri di depan pintu itu. Keheningan mencekam hati Siau-hong, tiada terdengar suara apapun, apalagi suara orang mengigau atau menggeliat di atas tempat tidur.
Akhirnya Siau-hong memutuskan untuk tetap mendorong pintu. Begitu pintu terbuka, secepat kilat ia menerobos masuk. Secara otomatis pintu menutup kembali. Dalam kamar sangat gelap, Siau-hong tak dapat melihat apapun, bahkan tangan sendiri pun tak terlihat. Namun ia bisa merasakan ada seorang di sini, seorang lelaki.
Tiba-tiba ia merasakan adanya angin serangan yang ditujukan ke arah jantungnya, secara refleks Siau-hong melompat mundur untuk menghindar. Sebelum Siau-hong berdiri tegak, kembali angin serangan dilancarkan ke arah jantungnya, kini Siau-hong sudah tak bisa menghindar, karena di belakangnya sudah dinding.
Ternyata Siau-hong tidak mati. Orang yang menyelamatkan dirinya bukan orang lain, tapi dirinya sendiri, bukan pula kungfunya, melainkan ketajaman otaknya. Sebelum serangan mengenai tubuhnya, Siau-hong berseru, "Hoa Ban-lau!"
Seruannya itulah yang telah menyelamatkan jiwanya. Kecuali Hoa Ban-lau, siapa lagi yang sanggup mengincar bagian jantung dengan jitu dalam kegelapan" Tangan yang semula akan dipakai membunuh, sekarang berubah lembut penuh persahabatan. Tangan itu telah menggenggam tangan Siau-hong.
"Bagaimana kau bisa berada di sini?" Berbareng Siau-hong dan Ban-lau mengucapkan kalimat yang sama.
Dalam kegelapan yang mencekam, sekalipun Siau-hong tak dapat melihat wajah Ban-lau, tapi ia tahu, Ban-lau pasti sedang mengawasinya, maka mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Hoan Ban-lau menggandeng tangan Siau-hong menuju ke sisi meja, katanya, "Silakan duduk!" Liok Siau-hong pun duduk.
Hoa Ban-lau ikut duduk, sejenak kemudian katanya, "Di sini tidak ada lentera."
"Kita bicara dalam kegelapan saja."
"Mau bicara kenapa aku bisa sampai di sini atau bicara bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Mendingan bicara soal dirimu dulu."
"Lau-sit Hwesio yang mengajakku ke sini," Hoa Ban-lau menerangkan.
"Mengapa dia mengajakmu ke sini?"
"Selama ini aku telah membantumu melacak siapa di belakang 'manusia yang bisa menghilang' namun tiada hasilnya, sebaliknya aku berhasil menyelidiki suatu peristiwa."
"Peristiwa apa?"
"Tahukah kau bahwa baginda raja sedang mencari pengawal pribadi yang bisa diandalkan?"
"Aku tak ingin tahu."
"Sebenarnya aku pun juga begitu, hanya kudengar baginda raja sedang mencarimu."
"Mencari aku?" tanya Siau-hong terperanjat.
"Kau kaget bukan?" kata Ban-lau. "Aku pun sempat kaget, sebab itulah aku menyelidiki kabar itu."
"Hasilnya?"
"Kabar itu benar."
"Jadi baginda raja ingin mengangkatku sebagai pengawal pribadi?"
"Betul."
"Kenapa?"
"Sebab ada orang yang menunjuk dirimu."
"Siapa?"
"Pangeran Thay-peng-ong."
Liok Siau-hong berdiri dengan mulut melongo, lalu katanya. "Pangeran Thay-peng-ong" Aku tiada sangkut-paut dengannya, untuk apa dia menunjuk aku?"
"Aku sendiri tidak tahu."
"Thay-peng-ong kan tahu aku suka kehidupan bebas, mana mungkin menjadi pengawal pribadi?"
"Aku sendiri tidak mengerti, sebenarnya ada apa di balik semua itu?" ujar Ban-lau.
"Kau melanjutkan penyelidikan?"
"Betul."
"Apa hasilnya?"
"Tidak ada, aku hanya tahu Lau-sit Hwesio pernah menemui Thay-peng-ong."
"Oya?" tanya Siau-hong terperanjat.
"Oleh sebab itu aku mencari Lau-sit Hwesio."
"Lalu dia mengajakmu kemari."
"Benar."
"Apa yang dikatakannya kepadamu?"
"Aku disuruh menunggu di sini, katanya dalam waktu singkat akan bertemu dirimu."
"Lantas mengapa kau menyerangku."
"Karena selama beberapa malam ini selalu ada orang membokong aku, aku tidak tahu siapa mereka, ketika kutanyakan kepada Lau-sit Hwesio, dia sendiri tidak tahu, hanya dia berpesan agar aku hati-hati, kalau ingin tahu aku disuruh menangkap hidup-hidup pembokong itu."
"Tapi seranganmu tadi mematikan."
"Karena aku tidak tahu kau yang datang dan kungfu pembokong itu sangat tinggi, bahkan muncul seperti dirimu tadi, kecuali melancarkan serangan mematikan, kesempatanku hidup tidak besar. Untung kau mengenali aku."
"Kalau begitu yang kau jumpai sekarang bukan Liok Siau-hong hidup, melainkan mayat Liok Siau-hong."
"Tapi aku percaya nasibmu selalu mujur," kata Ban-lau sambil tertawa.
Siau-hong tidak menjawab. Tiba-tiba saja terlintas ucapan Eng-gan Lo-jit sebelum ajal, yaitu kata "Thay". Mungkinkah yang dimaksud Thay-peng-ong" Jangan-jangan memang pangeran Thay-peng-ong. Benarkah begitu maksudnya" . Mungkin rahasia yang dia maksud pangeran Thay-peng-ong yang menunjuk dirinya"
Sesaat kemudian Hoa Ban-lau menegurnya, "Adakah sesuatu?"
"Aku teringat seseorang."
"Siapa?"
"Orang mati."
"Siapa?"
"Eng-gan Lo-jit."
"Eng-gan Lo-jit sudah mati!"
"Betul."
"Sebelum mati apakah dia mengatakan sesuatu?"
"Ya, sepotong kata 'Thay'."
"Pangeran Thay-peng-ong"'
"Aku pun berpikir begitu."
Hoa Ban-lau terdiam pula dan berpikir.
"Tahukah kau macam apa pangeran Thay-peng-ong?"
"Tidak tahu, bagaimana denganmu" Apakah kau pernah bertemu dengannya?"
"Aku belum pernah bertemu."
"Aneh, kenapa dia menunjuk dirimu" Apa tujuannya?"
"Kita harus menemui seseorang."
"Lau-sit Hwesio maksudmu?" tanya Ban-lau.
"Betul, mungkin dia bisa menjawab pertanyaanmu ini," kata Siau-hong. "Tapi lebih baik kita cari seorang lain."
"Siapa?"
"Kiong Kiu."
"Kiong Kiu" Kau tahu dia dimana?"
"Di sini. Kata Lau-sit di sini ada tiga rumah, salah satunya ditinggali Kiong Kiu."
"Kalau begitu sekarang kita mencarinya."
Sekonyong-konyong dari luar rumah terdengar seorang berseru dengan suara berat, "Tidak perlu!"
Ruangan pun menjadi terang-benderang, delapan dayang dengan membawa lentera perlahan-lahan melangkah masuk. Kiong Kiu berjalan di belakang kedelapan dayang itu, mukanya dingin dan penuh kebanggaan.
"Rupanya kau," kata Ban-lau.
"Betul, rupanya kau sudah mendengar langkah kakiku," sahut Kiong Kiu.
"Jadi kaulah Kiong Kiu, orang yang setiap malam datang membokong aku" Kenapa?"
"Karena aku berharap kau terbiasa ingin membunuhku, lalu ...." ujar Kiong Kiu dengan tertawa bangga.
"Lalu orang yang terbunuh adalah aku," tukas Siau-hong.
"Tepat sekali."
"Siasat 'meminjam pisau membunuh orang' yang lihai," kata Ban-lau.
"Sayang, Siau-hong selalu beruntung, hanya saja ...." kata Kiong Kiu sambil mendengus.
"Hanya saja sekarang aku tidak memiliki keberuntungan lagi," sela Siau-hong.
"Keberuntungan ada batasnya."
Liok Siau-hong terdiam, bukan lantaran tak ada yang perlu dibicarakan lagi, melainkan ia beranggapan jalan pikiran Kiong Kiu justru merupakan keberuntungan baginya, dengan begitu akan muncul sikap memandang enteng di hati Kiong Kiu. Sekali orang memandang enteng lawan, akan membuat orang kurang hati-hati, dengan begitu orang akan sulit meraih kemenangan.
Kembali Ban-lau bertanya, "Kau kenal pangeran Thay-peng-ong?"
"Aku kenal Lau-sit Hwesio," jawab Kiong Kiu.
"Oya?"
"Lau-sit kenal pangeran Thay-peng-ong, jadi menurutmu, aku kenal tidak dengannya?"
"Belum tentu."
"Kenapa?"
"Liok Siau-hong kenal Samon, tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan Samon," jawab Ban-lau.
"Belum waktunya."
"Kapan?"
"Bila waktunya sudah tiba."
"Dimana?"
"Dalam perjalanan."
"Kemana?"
"Ke alam baka."
"Kau hendak membunuh kami semua."
"Mungkin."
"Tiada pilihan bagi kami?"
"Ada satu orang."
"Siapa?"
"Liok Siau-hong."
"Aku boleh memilih?" timbrung Siau-hong sambil menatap Kiong Kiu.
"Boleh."
"Memilih apa?"
"Jadi setan atau 'manusia yang bisa menghilang'."
"Kalau menolak jadi 'manusia yang bisa menghilang' berati aku pasti jadi setan."
"Kujamin pasti."
"Tampaknya kau sangat percaya diri," seru Siau-hong.
"Benar."
"Tapi kau kehilangan jejakku ketika berada di rumah Sebun Jui-soat."
"Yang penting sekarang kau sudah jatuh ke tanganku lagi," jengek Kiong Kiu sambil tertawa dingin.
"Itu kan karena aku yang membiarkan diri masuk perangkap."
"Jika aku tidak menyandera Samon, memangnya kau mau masuk perangkap?"
"Dengan segala muslihat kau memancingku ke sini, apa sih tujuanmu?" tanya Siau-hong pula dengan mata menyipit.
"Kan sudah kukatakan, masakah perlu kuulangi lagi."
"Kalau aku menolak, kenapa mesti jadi setan?"
"Karena kau bakal merusak segala yang sudah kurencanakan."
"Semua orang yang berusaha menggagalkan rencanamu narus mati?"
"Benar."
"Kalau aku berjanji tidak merusak rencanamu?"
"Tetap akan kubunuh."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak percaya kepadamu."
"Kenapa tidak percaya?"
"Sebab kau adalah Liok Siau-hong yang suka mencampuri urusan orang lain."
"Wah, tampaknya kau sangat memahami watakku," seru Siau-hong sambil tertawa.
"Aku sih tidak paham, tapi rekanku."
"Si kakek kecil?"
"Betul."
"Jadi semua itu rencana si kakek kecil?"
"Hanya dia yang bisa membuat rencana sedemikian sempurna dan hanya kau yang bisa menyelesaikan rencananya itu."
"Jika aku menolak, kau akan membunuhku, bukankah dengan demikian rencananya itu takkan berhasil?"
"Benar."
"Bukankah patut disayangkan?"
"Memang menyedihkan, oleh karena itu kami belum membunuhmu dan masih mengharap kerja samamu."
"Apa gunanya?"
"Banyak."
"Kenapa tidak kau terangkan keuntungannya bagiku, siapa tahu hatiku tergerak."
"Kau bisa memiliki Samon."
"Cuma itu?"


Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bisa hidup mewah, harta berlimpah dan punya kedudukan terhormat."
"Semuanya aku tidak ingin."
"Paling tidak kau bisa hidup bebas tanpa beban, apa yang kau mau segera akan terpenuhi."
"Memangnya bisa?"
"Bisa saja, asalkan kau mampu menyelesaikan tugas ini."
"Segalanya bisa kuperoleh?"
"Ya, semuanya bisa kau dapatkan."
"Aku tidak percaya."
"Kau harus percaya, karena orang yang akan memberi segalanya itu adalah baginda raja."
"Baginda raja yang sekarang?"
"Bukan."
"Bukan?" Siau-hong bingung tidak habis mengerti, ia berdiri tercengang.
"Ya, tetapi baginda raja yang akan datang," Kiong Kiu menjelaskan.
"Kok bisa?"
"Sebab baginda raja yang sekarang sudah tidak ada lagi."
"Kenapa?"
"Karena akan mati," Kiong Kiu menjelaskan lebih lanjut dengan suara hambar.
"Kenapa baginda raja mati."
"Siapa pun bisa mati."
"Berarti baginda raja berikutnya tentu pangeran Thay-peng-ong?" tanya Siau-hong lagi.
"Benar."
"Jadi kalian minta aku menjadi 'manusia yang bisa menghilang' dengan tujuan membunuh baginda raja?"
"Tepat sekali."
"Keliru besar."
"Keliru?"
"Si kakek kecil keliru besar, aku pun demikian. Kusangka si kakek memahami diriku, ternyata aku keliru."
"Kenapa bisa keliru?"
"Ternyata dia tidak memahami diriku, mana mungkin aku bersedia melakukannya?"
"Si kakek belum tentu salah, kau yang keliru."
"Oya" Dimana kekeliruanku?" tanya Siau-hong melotot.
"Kau lupa akan satu hal."
"Apa itu?"
"Sifat manusia."
"Sifat manusia?"
"Sifat manusia selain ada cinta, juga ada takut, kemaruk, senang dan sedih."
"Jadi aku melupakan hal ini?"
"Betul, makanya si kakek menyuruh kami selalu mengingatkanmu."
"Caranya dengan menculik Samon" Menjadikan dia sebagai sandera untuk memancing perhatianku?"
"Masakah kau tidak rindu pada Samon" Kau tidak ingin berdampingan dengan Samon" Kau tak ingin Samon terbebas dari kesedihan dan kekuatiran" Kau tidak ingin hidup bahagia bersamanya?"
"Aku harap bisa mendapat semuanya, hanya kalau untuk itu tangan harus berlumuran darah, aku yakin tidak lebih tiga orang yang mau melakukannya di dunia ini."
"Tiga orang yang mana?"
"Dia!" kata Siau-hong sambil menunjuk Hoa Ban-lau.
"Lalu?"
"Aku dan Sebun Jui-soat."
"Bagus."
"Apanya yang bagus?"
"Aku berhasil memancingmu kemari, sungguh sangat baik bagi kami."
"Tapi bagi si kakek, bukankah malah tidak baik?"
"Ya, menyesal pun harus dihadapi."
"Boleh aku bertanya?"
"Silakan, anggap saja permintaanmu yang terakhir sebelum ajal."
"Benarkah pangeran Thay-peng-ong adalah 'manusia yang bisa menghilang'?"
"Betul."
"Apakah Jui Sing mati di tangannya?"
"Siau Ang-cu dan Thia Tiong juga mati di tangannya."
"Apakah di bunuh di dalam ruang rahasia itu?"
Kiong Kiu manggut-manggut, lalu katanya, "Benar, dia menyuap Yap Sing-su untuk mengatakan bahwa Jui Sing dan kawan-kawan mati terbunuh satu jam sebelum ditemukan."
"Rencana yang matang."
"Betul, kecuali tentang kau."
"Berarti kedatanganku di luar rencana kalian?"
"Tiba-tiba kau muncul di pulau itu, maka si kakek kecil berminat menjadikanmu 'manusia yang bisa menghilang' untuk membunuh baginda raja."
"Jadi sekarang yang paling berkuasa adalah pangeran Thay-peng-ong."
"Benar, ia telah mengumpulkan banyak jagoan berilmu tinggi."
"Kenapa bukan dia sendiri yang membunuh baginda raja?"
"Tidak mungkin," kata Kiong Kiu. "Jika turun tangan sendiri, mana mungkin akan memperoleh dukungan kalangan istana?"
"Tampaknya kau akrab dengan pangeran Thay-peng-ong?" tanya Siau-hong sambil menatap tajam Kiong Kiu.
"Tak ada orang yang lebih akrab."
"Berarti sejak kecil kalian sudah kenal?"
"Malah sebelum lahir aku sudah kenal."
"Bagaimana bisa?"
"Karena akulah pangeran Thay-peng-ong!"
Semua orang melengak dan tertegun. Dengan terbelalak Siau-hong mengawasi Kiong Kiu tanpa berkedip, mulut ternganga dan tidak sanggup bicara.
Dengan bangga Kiong Kiu menatap Siau-hong, katanya sambil tertawa, "Kau terkejut?"
"Mimpi pun tak terbayang."
"Masih ada satu peristiwa lagi yang tak kau bayangkan?"
"Apa itu?"
"Kau akan segera mampus!"
Begitu selesai bicara, Kiong Kiu menunjuk ke arah pintu. Obor terang benderang menyinari halaman, puluhan orang membawa obor telah mengepung tempat itu.
"Apa maksudmu?" tegur Siau-hong.
"Masuk tanah susah tembus," kata Kiong Kiu, lalu ia bertepuk tangan sekali. Kembali bermuncul puluhan orang di atap rumah.
"Apa pula maksudmu?"
"Punya sayap tidak bisa terbang."
"Tampaknya kau bertekad membunuhku," kata Siau-hong sambil tertawa.
"Tepat sekali."
"Bolehkah aku bertanya lagi?"
"Tentu."
"Pernahkah mendengar suatu pepatah?"
"Pepatah apaan?"
"Dalam kematian muncul kehidupan."
Kiong Kiu tersenyum sinis, penuh ejekan. Katanya pula, "Kau takkan punya kesempatan itu."
"Tampaknya begitu, maukah kau penuhi permintaanku yang terakhir?"
"Apa itu?"
"Bebaskan Hoa Ban-lau dan Samon."
"Boleh saja," dengan santai Kiong Kiu mengabulkan permintaan Siau-hong.
"Masih ada lagi," kata Siau-hong tawar.
"Apa lagi?"
"Aku ingin bertemu Samon."
"Kau pasti akan bertemu dengannya, tapi tidak sekarang."
"Tidak sekarang?"
"Ya."
"Kapan?"
Kiong Kiu menuding keluar, lalu katanya, "Ketika kau sudah berhadapan denganku di luar Sana."
"Wah, kau sungguh lihai, ingin memecah perhatianku."
"Semua orang menyanjungmu, maka aku perlu berhati-hati menghadapimu, segala cara akan kugunakan untuk meraih kemenangan."
Siau-hong menatap Kiong Kiu, ia sungguh kagum padanya, pandangannya terhadap Kiong Kiu ternyata salah besar.
Setelah di luar rumah, Siau-hong mengulur tangan, "Silakan!"
"Seharusnya kau lebih dulu."
"Kenapa?"
"Karena itulah jalan kematian."
Fajar. Fajar telah menyingsing, menandakan mulainya kehidupan. Kenyataan yang harus dihadapi Liok Siau-hong adalah bayang-bayang kematian.
Apa yang akan dilakukan Kiong Kiu, mengapa sikapnya begitu tenang, santai dan acuh tak acuh" Ketika Siau-hong sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, tiba-tiba Kiong Kiu bertepuk tangan.
Terlihat gadis yang siang malam terbayang oleh Siau-hong muncul di situ. Ketenangan dan kekuatan yang tadinya telah Siau-hong himpun, kini buyar demi melihat kehadiran Samon.
Seandainya saat ini Kiong Kiu melancarkan serangan, dapat dipastikan Siau-hong akan menderita kekalahan. Tapi Kiong Kiu tidak melakukannya.
Siau-hong menatap Samon. Samon balas menatap Siau-hong, tidak nampak sedih di wajahnya, sebaliknya sangat tenang. Mengapa Samon bisa begitu tenang" Apakah dia tidak tahu saat ini Siau-hong sedang menghadapi bahaya kematian"
Samon melangkah perlahan mendekati Siau-hong, ketika hampir sampai, tiba-tiba ia berbalik badan menghadap ke arah Kiong Kiu.
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu padanya?" tanya Samon.
Kiong Kiu hanya tertawa menjengek, sindirnya, "Silakan ucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa."
Samon tersenyum, kemudian ia mendekati Siau-hong dan membisikkan sesuatu. Setelah itu menyingkir ke belakang Siau-hong.
Kiong Kiu hanya mengawasi saja, katanya, "Masih ada yang ingin kau sampaikan?"
"Tidak ada," jawab Siau-hong.
Kiong Kiu menengadah dan tertawa seram.
"Kita akan bertarung dengan tangan kosong?" tanya Siau-hong dengan tenang.
"Silakan kau yang memilih."
"Senjata apapun yang kuminta, akan kau siapkan?"
"Betul."
"Bagus kalau begitu." "Senjata apa yang kau inginkan?" "Cambuk!"
Berubah hebat wajah Kiong Kiu, tanyanya, "Cambuk?"
"Betul," jawab Siau-hong dingin.
Kiong Kiu menghela napas berulang kali, kemudian ia pun bertepuk tangan.
Kini Siau-hong telah menggenggam cambuk, cambuk yang cukup panjang, tanyanya pula, "Kau akan melawanku dengan tangan kosong?"
"Ya," jawab Kiong Kiu angkuh.
"Bagus kalau begitu," kata Siau-hong, lalu ia menggetarkan cambuk itu hingga menimbulkan suara yang menusuk telinga.
Tiba-tiba paras muka Kiong Kiu berubah hebat, matanya merah membara, ia terus mengawasi belakang Siau-hong tanpa berkedip. Semua orang juga mengawasi belakang Siau-hong.
Siau-hong segera mengerti apa yang terjadi. Sekarang ia pun paham apa yang dibisikkan Samon di tepi telinga itu.
Samon tidak melakukan apa-apa, ia hanya melepas pakaiannya satu per satu sampai bugil. Bugil yang menimbulkan rangsangan birahi. Rangsangan birahi yang merupakan kelemahan manusia hidup, apalagi bagi orang yang sedang hertarung, paling pantang terpengaruh.
Inilah titik kelemahan Kiong Kiu. Samon sangat memahami Kiong Kiu, terlebih titik kelemahannya, maka ia minta Siau-hong memakai cambuk, sementara ia berbugil untuk memancing birahi Kiong Kiu.
Getar cambuk kembali menggeletar, sorot sinar sang surya memantul di tubuh Samon yang bugil, membuat napsu birahi Kiong Kiu makin memuncak.
Ketika Samon menari-nari erotis, Kiong Kiu pun mulai tak tahan, ia mulai merobek pakaiannya, mencakar badan sendiri bagai orang kalap, napasnya terengah-engah.
"Cambuk aku! Cambuk aku!" teriaknya berulang-ulang.
Namun Siau-hong justru menarik cambuknya, diam mengawasi Kiong Kiu.
"Cepat!" teriak Samon.
Siau-hong tidak mencambuk Kiong Kiu, ia salurkan tenaganya ke cambuk panjang itu hingga melurus keras, lalu ditusukkan ke tubuh Kiong Kiu. Menusuk tepat di jantungnya!
Suasana hening. Sinar mentari menyinari seluruh jagad.
Sampan. Sampan yang terombang-ambing mengikuti gelombang ombak. Dengan nyaman dan santai, Siau-hong berbaring di tengah sampan, di atas dadanya tergeletak secawan arak, arak Tiok-yap-jing kesukaannya.
Samon dengan manja bersandar di tubuhnya. Bisiknya mesra di tepi telinga Siau-hong, "Tahukah kau akan satu hal?"
"Apa itu?"
"Baginda raja ingin bertemu denganmu."
Siau-hong tersenyum, ia balas bertanya, "Kau pun harus tahu akan satu hal?"
"Apa?"
"Sekarang aku justru ingin menjadi 'manusia yang bisa menghilang'."
"Kenapa" Apakah kau ingin membunuh baginda raja?"
"Bodoh kau," kata Siau-hong menatap Samon dengan mesra.
"Aku memang bodoh, kalau kau tak suka, buang saja ke laut."
Liok Siau hong memeluk Samon erat-erat, bisiknya, "Siau Giok, Sebun Jui-soat, Hoa Ban-lau juga sudah pulang. Dunia kembali tenang, kalau aku tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk bersenang-senang, terhitung manusia apakah aku?"
"Pada dasarnya kau memang bukan manusia," kata Samon sambil tersenyum.
"Memangnya aku babi."
"Kau bukan manusia, juga bukan babi, kau adalah burung Hong kecil, Liok Siau-hong!"
T A M A T Pendekar Panji Sakti 25 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Peristiwa Bulu Merak 4
^