Pencarian

Sebilah Pedang Mustika 3

Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Bagian 3


itu," Hian Ki mengaku.
"Aku tidak menyangka bahwa demikian dalam kesanmu
terhadap aku, Semoga mulai hari ini kita berdua tak bakal
berpisah lagi!"
So So menyingkap rambutnya, ia tersenyum manis, Cuma
sebentar ia memandang sianak muda, lantas ia menunduk.
"Sembari menabuh khim, aku terus memikirkan kau," ia
berkata pula, mengaku. "Aku ingat halnya kau hendak
membunuh ayahku, Tegang hatiku, aku cemas sekali, Itulah
bukan disebabkan kau dapat membinasakan ayah, Ayah pernah
berkata, jikalau kau mau melawan ayah, untuk dapat
mengimbangi saja, kau masih harus belajar lagi sedikitnya
sepuluh tahun, Aku hanya berkhawatir untuk ayahku, Aku
sangat memuja ayah, maka takut aku bahwa ia benar2 seorang
jahat" Dan aku menguatirkan keselamatanmu andaikata kau
dapat bertemu dengan ayah, Tanpa aku berada bersama, ayah
dapat membunuhmu! Disebelah itu aku memikirkan segala apa
yang aku lihat dan dengar selama dua hari ini, Dimataku,
semua perbuatan ayah tak wajar adanya, lebih2 kenapa ayah
tidak sudi mengembalikan kitab pedang itu dan dia mengurung
Siangkoan Thian Ya. .?" Ya, ayah bersikap tidak manis
terhadapmu, hal itu membuat aku malu sekali, Maka itu,
sebagai seorang yang berdosa, yang hendak menebus dosanya
itu, ingin aku berbuat sesuatu untuk menyenangi hatimu, Untuk
itu, aku juga bersedia untuk berbuat baik terhadap orang yang
biasa berbuat baik terhadapmu, Demikian, aku jadi ingat
Siangkoan Thian Ya, Bukankah dia telah datang kemari
dengan menempuh bahaya" Bukankah dia telah sudi
melepaskan kedudukan sebagai Ciangbunjin partainya, bahkan
dia rela tak mendapatkan kitab pedang, asal itu semua dapat
ditukar dengan kebebasanmu" Aku juga berpikir kau pastilah
hendak menolong dia."
"Siangkoan Thian Ya dialah sahabatku, satu2nya orang
yang mengenal aku dengan baik sekali," berkata Hian Ki,
"Cuma dia masih belum dapat menyelami hatiku sebagaimana
yang kau buat, Aku heran, kenapa pikiranmu selalu sejalan
dengan pikiranku, begitu juga hati kita berdua terangkap
menjadi satu?"
Tanpa terasa keduanya saling memegang tangan mereka
dengan erat sekali, Kemudian si nona menghela napas
perlahan; "Sebenarnya ayahku sangat menyayangi aku," ia
menambahkan, "maka mimpi pun tak terpikir olehku, bahwa
aku bisa menentangnya, Demikian tadi malam aku telah
berlaku dengan diam2 datang kemari unuk membuka pintu goa
ini, untuk menolong membebaskan Siangkoan Thian Ya,
Sebenarnya aku takut pada sikapnya yang bengis itu, tetapi aku
telah mengambil keputusan, andaikata ia salah mengerti dan
hendak menghajar aku, aku tidak akan membalasnya."
"Adikku, kau baik sekali!" Hian Ki memuji, kagum, Ia tahu
betul, kecuali ibunya sendiri yang bijaksana tidak ada orang
lain daripada si nona In ini yang begini polos.
"Benar saja, pada mula kami bertemu, dia bersikap garang
sekali," So So melanjuti, "Cuma tidaklah sampai dia
menyerang aku, setelah dia mendengar perkataanku, aku lihat
dia menggigil, tubuhnya gemetaran, Dia bilang sungguh dia
tidak menyangka bahwa aku sudi berlaku demikian baik hati
terhadapnya, Mulanya dia tertawa, kemudian dia menangis
rupanya saking terharu, kemudian dari itu, kau tahu, dia
mendamprat aku! Dia menegur aku, aku tahu atau tidak bahwa
kau telah mempunyai kekasih. . . ."
"Salah faham itu tadi aku telah menjelaskannya," kata Hian
Ki tertawa, "Apa lagi katanya dia?"
"Aku menahan sabar, aku pendam kesedihanku, aku
membiarkan dia mencaci aku," menyahut si nona, "Aku tetap
berlaku baik padanya , Aku bilang, jikalau dia menghendaki
kitab pedang, aku akan mencurinya untuknya, supaya dia boleh
dapat pergi, Aku pun mengatakan pada dia bahwa kau sudah
lolos dengan selamat, oleh karena itu, tidak ada artinya untuk
dia, berdiam lebih lama pula disini, bahkan lebih baik dia
mengambil kitab pedang dan kabur, sebelum ayahku pulang,
Diluar dugaanku, kembali dia memperlihatkan tabiatnya yang
keras." "Demikian memang tabiatnya Siangkoan Thian Ya!" kata
pula Hian Ki, tertawa.
"Dia bilang kitab pedang itu, adalah kepunyaan partainya
Butong-pay, maka itu katanya, perlu apa dia mengambilnya
dengan jalan mencuri, Dia memastikan, kecuali dia dapat
mengalahkan ayah, hingga ayah rela menyerahkannya kembali,
biarpun aku mengambil untuknya, biarpun dia disuruh pergi,
tidak sudi dia lakukan, Dia telah bersumpah bahwa dia lebih
suka mati daripada berbuat begitu, Sambil tertawa dingin, dia
berkata: "Ayahmu sengaja berlaku bijaksana, dia seperti bermaksud
baik untuk menolong aku, tetapi aku tidak sudi menerima
kebaikannya itu, Kitab itu adalah milikku! Sungguh, aku tidak
mengerti maksudnya itu."
Mendengar sampai disitu, Hian Ki sudah mengetahui
maksud Siangkoan Thian Ya, Maka ia tertawa pula;
"Kau lihat semua lukisan diempat penjuru tembok itu," ia
berkata kepada si nona, sambil tangannya menunjuk
kesekeliling tembok, "Bukankah itu gambar dari ilmu pedang
Tat Mo Kiamhoat?"
"Mungkin benar," menyahut si nona, "Aku mempelajari Tat
Mo Kiamhoat itu baru tiga bagian, semua yang aku pelajari
berada dalam gambar ini, Kau lihat itu gambar jari tangan,
itulah ilmu silat Itci Sian, Aku mengerti sekarang, ayah telah
melukiskan disini semua kepandaiannya, maka itu siapa dapat
meyakinkan semua ini dengan sempurna, dia lebih unggul
daripada belajar menuruti kitab ilmu pedang itu, Ayah
mengurung Siangkoan Thian Ya disini, rupanya ia bermaksud
Thian Ya dapat mempelajarinya, Sekarang tidak mengherankan
lagi, bila Thian Ya tidak ingin berlalu dari goa kurungannya
ini!" So So mengatakan demikian, tetapi ia heran juga, sebab
Thian Ya akhirnya menghilang juga. . .
"Menurut tabiatnya Thian Ya," kata Hian Ki, "Asal dia
sudah bersumpah tidak mau pergi, meskipun langit runtuh dan
gunung ambruk dan goa ini tertimbun, tidak nanti dia lari
keluar, tetapi sekarang dia menghilang, inilah aneh."
Keduanya berpikir, keduanya berbicara lebih lanjut, dengan
dugaan2 mereka, tetap mereka tidak mengerti, tidak ada
kesimpulan yang tepat, Hian Ki menjadi masgul sekali.
"Dia sudah pergi, tidak ada gunanya kita berdiam disini
lebih lama pula," kata So So kemudian, "Mari kita pulang, Kau
tentunya sudah lapar,"
Hian Ki menurut, maka mereka kembali kerumah, melihat
rusaknya lantai dan rumah bwee, yang daunnya rontok
berhamburan, keduanya berduka, Rumah yang tadinya tenang
dan asri, sekarang kacau tidak karuan, Segala apa tampak
menyedihkan dan menyeramkan.
"Coba pinjamkan aku pacul," Hian Ki minta, So So carikan
alat yang diminta itu, Ia mengerti maksud orang.
"Kau bekerjalah sendiri!" katanya sambil memberi hormat,
"Aku mau berganti pakaian sekalian akan memasak sesuatu
untukmu," "Pergilah," menjawab sianak muda, yang terus saja bekerja,
Ia menggali lubang, yang mana memakan waktu juga, sesudah
itu ia memondong tubuhnya Cio Thian Tok untuk dikubur
disitu, dikubur menurut cara yang paling sederhana, Tidak ada
perlengkapan, tidak ada upacara, hanya kemudian, diatas sana
ditumpuk cabang2 pohon dan dedaunan, Ia menjadi sangat
terharu melihat demikian mengenaskan akhir dari seorang
gagah perkasa, yang pernah mengeluarkan tenaga untuk
membela negara.
Belum lama Hian Ki selesai bekerja, So So muncul dengan
pakaian baru, Si nona tidak lantas menghampiri, ia hanya
menyender dipintu.
"Eh, mengapa kau menjublak memandang aku?" menegur ia
sambil tertawa geli, Memang Hian Ki mendelong mengawasi
dia, "Apakah kau belum kenal aku?"
"Dengan dandananmu ini, ya, kau sungguh cantik!" memuji
sianak muda, yang terpesona, hanya setelah itu, ia menghela
napas, Ia masih sedih dan penuh dengan berbagai dugaan.
"Ada apakah yang luar biasa?" tanya si nona, "Bajuku ini
aku buat menurut pola yang dirancang ayahku, katanya inilah
pakaian dari jaman tigapuluh tahun yang lalu, yang ketika itu
sangat digemari, Dan ini sepatu sulam dengan dua ekor burung
hong dan bertabur mutiara, sekarang sudah sangat jarang orang
yang memakainya."
"Ibuku juga mempunyai sepatu semacam ini," berkata Hian
Ki, "Ibu menyimpan itu didalam koper, satu kali aku pernah
melihatnya, cuma belum pernah aku melihat ibu memakainya."
Si nona berdiam sebentar, lalu berkata pula;
"Karena ini adalah dandanan tigapuluh tahun berselang,
tidak heran jika ibumu masih menyimpannya," Ia berkata
demikian, tapi sebenarnya, iapun heran.
So So mengatur barang hidangan dikamar tulis, Ia memasak
dua macam sayur yang disukai Hian Ki, Sebenarnya Hian Ki
ingin memujinya, tetapi saat itu ia masih terbenam dalam
kedukaan, dan ia hanya mengucapkan: "Terima kasih!"
"Sebenarnya kau sedang memikirkan apa?" si nona tanya
kemudian, Pemuda itu mengangkat kepalanya.
"Tidak," sahutnya sembarangan.
Si nona tertawa;
"Aku tahu kau tengah memikirkan ibumu!" katanya, "Itu
hari ketika kau tidur, kau telah mengingau me-manggil2 ibumu
itu, Sungguh bahagia ibumu itu yang mempunyai anak berbakti
seperti kau,"
Habis berkata begitu, nona ini mendadak ingat ibunya
sendiri, ia menjadi sedih sendirinya, saking sedihnya, ia sampai
tak dapat menangis dengan bersuara.
Hian Ki bisa memahami kesusahan hati orang, ia membelai
rambut nona itu.
"Ibuku pasti akan menyukai kau," kata dia perlahan, "Mulai
hari ini, dalam hidupku ada dua orang yang terdekat dan
menyintai aku, yang satu ibuku, yang lain adalah kau."
Airmatanya So So mengucur deras, Ia berduka berbareng
bahagia. "Ah, baru aku ganti baju, sekarang basah lagi oleh air mata,"
katanya malu. "Memang!" berkata sianak muda, "Siapa suruh kau suka
menangis" Mari kita bicara dari hal2 yang menggembirakan!"
"Ya aku ingat sekarang," berkata si nona, "Bukankah waktu
itu kau mengatakan bahwa kamar tulismu mirip dengan kamar
tulisku ini" Sayang sekarang ini pohon2 bwee pada gundul,
Entah sampai kapan aku mempunyai kesempatan bagus akan
dapat pergi melihat rumahmu itu. . . ."
Betapa senang Hian Ki mendengar kata2 itu, tetapi
bersamaan dengan itu, iapun sedikit terkesiap, Entah kengapa,
ia menjadi bersangsi, Semakin ia memperhatikan kamar tulis
ini, makin ia merasakan sesuatu yang aneh, Ia merasa seperti
juga kepalanya ditindih bayangan gelap, hingga ia sukar
bernapas. . . .
"Ah, kau nampaknya ketakutan?" menanya So So, yang
mengawasi wajah orang, sebab sianak muda diam saja,
matanya memandang kesekeliling kamar, mata itu seperti
lenyap sinarnya.
Mendadak Hian Ki berjingkrak bangun;
"Berada dirumahmu ini benar2 aku merasa takut," ia
mengaku, "So So, maukah kau mengikut aku pergi?"
Si nona tertawa manis;
"Tentu saja aku akan ikut kau!" sahutnya.
Pemuda itu bernapas lega, Ia pun lantas merasakan tubuh
yang lemah lembut dari si nona berada dalam pelukannya.
Pada saat itu pemuda ini merasakan pikirannya me-layang2
karena dimabuk cinta itu, Se-konyong2 ia mendengar satu
suara keras dan dingin;
"Kau lepaskan anakku!" Ia menjadi kaget sekali, begitu juga
So So, bahkan nona itu lompat berjingkrak, Ia melihat ayahnya,
yang tiba2 sudah berada didalam kamar tulis itu, berdiri
didepan mereka sejarak lebih kurang tiga kaki, wajah ayahnya
itu bermuram durja, mukanya pucat seperti tak ada darahnya,
Tangan kanan ayahnya itu kemudian diangkat per-lahan2.
Anak ini dapat menduga maksud ayahnya itu.
"Jikalau kau mau bunuh dia, kau bunuhlah aku sekalian!"
berseru ia pada ayahnya itu.
Kepalan Bu Yang seperti tertunda ditengah udara, lalu
kemudian dengan sama perlahannya seperti tadi, diturunkan
pula, Iapun lalu menghela napas.
"Mana ada niatku untuk membunuh orang lagi?" katanya,
"So So, kau suruh dia keluar, hendak aku bicara denganmu."
Nada suara ayahnya ini bukan lagi nada suara memerintah
dari seorang ayah, terdengar seperti nada seorang sahabat yang
memohon sesuatu, So So pun lantas melihat wajah ayahnya
yang dingin itu masih memancarkan sinar kecintaan orang tua
kepada anaknya, Dengan sendiri hatinya menjadi terharu. . .
"Hian Ki, kau keluarlah sebentar," ia meminta pada sianak
muda, suaranya sangat perlahan.
Sianak muda menurut, maka sebentar saja didalam kamar
tulis itu tinggallah siayah dan anak gadisnya berdua saja,
Mereka berdiri berhadapan, saling mengawasi, Mereka
biasanya adalah orang yang paling dekat satu dengan lainnya,
akan tetapi sekarang mereka bagaikan orang asing yang tak
saling kenal. Beberapa saat kemudian, sinar matahari mulai menjadi
meredup. "Didalam hidupku ini cuma kaulah seorang yang aku paling
sayangi," kata sang ayah kemudian, "apapun dapat aku
korbankan kecuali kau."
"Aku tahu itu, ayah," menjawab sianak.
"Ibumu telah pergi," berkata pula siayah, "Selama belasan
tahun ini, aku mengerti hatinya ibumu itu, ia terlarut dalam
kedukaan, begitu juga aku, kapankah aku tidak pernah
berduka" Tentang rumah ini, sebenarnya sudah tidak aku
hendaki lagi, tetapi masih ada sesuatu, jikalau tidak aku
memberitahukan itu pada kau, setelah aku mati nanti, pastilah
hatiku tak akan tenang, maka itu sekarang aku kembali lagi
kesini, Sesudah aku menjelaskan, suka kau mengakui aku


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai ayah, bagus, tidak suka kau mengakuinya, juga bagus,
terserah padamu!"
So So mengangkat kepalanya;
"Ayah, bicaralah," berkata sang anak. "Sebenarnya anakmu
tak dapat meninggalkan kau. ."
VII. TANGANNYA IN BU YANG
Bu Yang menghela napas panjang;
"Selama beberapa hari ini kau telah melihat semua, kau
mendengar semua juga," berkata ayah ini, "Ibumu, Tan Hian
Ki, juga Siangkoan Thian Ya, pasti telah meceritakan sesuatu
tentang diriku kepadamu, maka tidaklah heran jikalau kau
sangat menyesalkan aku."
"Tan Hian Ki tidak mengatakan sesuatu apa tentang diri
ayah," menerangkan sianak.
"Aku tahu apa yang mereka ceritakan, Semua itu benar atau
salah, tidak mau aku membantahnya, Memang waktu dulu itu
aku pernah berupaya merampas kitab ilmu pedang kakekmu
itu, dan sekian lama aku telah memperlakukan sikap dingin
pada ibumu, itu juga merupakan suatu kenyataan, jikalau
mereka mencela aku, aku tak akan gusar."
Kedua tangannya So So bergemetaran, dengan itu ia
menutup wajahnya.
"Kenapa ayah perlakukan dingin pada ibu?" dia menanya,
"Aku dengar, diwaktu ibu menikah dengan ayah, ibu sudah
mengorbankan cintanya seorang ayah dengan anak gadisnya,
Ialah ibu telah membantu ayah mencuri kitab ilmu pedang itu,
Apakah perbuatan ibu itu terhadap ayah masih belum cukup?"
"Dalam hal itu memang aku yang telah tidak berbuat
selayaknya," In Bu Yang mengaku, "Sebenarnya saja aku
menikah dengan ibumu itu hanya untuk kitab itu."
Si nona menjerit tajam, ia mundur dua tindak, Bukan main
sakit hatinya, Tidak pernah ia menyangka ayah ini akan
mengaku terus terang secara demikian, Maka benarlah segala
apa yang telah diceritakan orang kepadanya.
Terdengar In Bu Yang berkata pula, dengan sabar sekali;
"Anak, kau polos dan bersih sekali," katanya, "Kau tidak
mengijinkan orang berbuat kesalahan sedikit juga, Adakah
cuma karena urusan ini, maka kau menjadi takut?"
"Apakah cuma karena ini?" sianak mengulangi, "Belasan
tahun kau telah memperlakukan sikap dingin terhadap ibu,
apakah itu suatu urusan kecil?"
"Bu Yang tertawa, tertawa sedih.
"Selama hidupku, aku telah melakukan sejumlah
kesalahan," ia berkata pula," apa yang dikatakan mereka itu,
ada yang dusta, Tapi, Andaikata semua itu benar, itupun tidak
berarti apa2, Yang paling membuat aku penasaran adalah satu
kesalahan besar yang telah aku lakukan, Di-kolong langit ini
tidak ada seorang juga yang mengetahuinya, Selama belasan
tahun itulah yang membuat aku sangat menyesal, Ya, So So,
mengertikah kau apa yang membuat hati orang menjadi paling
sengsara" Itulah saat melakukan suatu dosa tanpa diketahui
orang lain, tidak ada orang yang menegurnya, hingga dia
menjadi tersiksa sendirinya, tersiksa bathinnya, Inilah hukuman
yang paling kejam dikolong langit ini! hendak kuberitahukan
padamu, Untuk itu aku bersedia untuk kau tegur, untuk kau
ludahi. . . ."
Inilah hal yang tidak di-sangka2, In Bu Yang yang demikian
kosen, seorang jago, berbicara secara demikian menyedihkan,
ia mirip seorang penjahat didepan seorang hakim, hingga ia
rela meminta teguran puterinya sendiri, Tadinya mukanya
pucat, sekarang paras mukanya itu menjadi merah, Itulah tanda
dari perasaannya yang bergolak hebat, dari dalam hati
nuraninya, Akan tetapi So So juga mendapat goncangan hati
yang terlebih hebat lagi, awalnya dia kaget, lalu dia menjadi
heran, akhirnya dia menjadi ketakutan, menjadi patut
dikasihani. "Ayah, kau bicaralah," katanya, suaranya gemetaran,
"Kesalahan besar apa juga yang telah kau lakukan, So So tetap
anakmu." Bu Yang lalu mengerutkan alisnya, sekarang ia dapat
mengutarakan itu.
"Pada dua puluh tahun yang lalu. . ." katanya, "Ah, tunggu
dulu, hendak aku melihat siapa yang telah datang berkunjung. .
." So So ingin meminta ayahnya cerita terus, tetapi ketika ia
sudah memasang telinganya, ia mendengar suara tak wajar,
awalnya jauh dipekarangan luar, tetapi cepat juga telah berada
dipekarangan dalam, Itulah suara dari beberapa orang.
"So So, kau berdiam saja didalam kamar, jangan kau
keluar," berkata sang ayah, Ia kelihatannya sangat gelisah, jauh
melebihi daripada datangnya Cio Thian Tok.
So So melihat keluar dari antara jendela, Ia melihat lima
orang tua berdiri berbaris didalam pekarangan dalam
rumahnya, Tiga diantara Toosu (imam) itu, yang dua adalah
orang biasa, hanya yang satu bertubuh gemuk dan yang satunya
lagi kurus, mereka ini mirip dengan seorang dusun dan seorang
su seng. In Bu Yang tertawa ter-bahak2;
"Butong Ngoloo datang berbareng sungguh suatu
kehormatan untukku!" berkata ia dengan nyaring, Butong
Ngoloo itu ialah lima tetua dari Butong-Pay.
So So terkejut, Ia pernah mendengar namanya lima tetua itu
dari ayahnya, Butong-Pay diakui umum sebagai suatu partai
persilatan yang besar dijaman itu, dan muridnya pun paling
banyak, diantaranya ada murid imam, ada juga murid orang
biasa, artinya yang tidak mensucikan diri, dan ketiga imam itu
adalah Tiangloo2 dari Butong-san, yaitu Ti Wan Tiangloo siketua,
Ti Honag Tiangloo si-penilik, dan Ti Kong Tiangloo
kepala dari pendopo Tat Mo Ih, Orang yang mirip orang dusun
itu ialah Ciu Tong, salah tetua Butong-Pay dari kalangan orang
biasa, dan yang seperti guru sekolah ialah Kok Ciong, juga satu
tetua dari kalangan orang biasa itu, hanya yang satu dari
Butong-Pay golongan Utara (Pak Pay), yang lain dari golongan
Selatan (Lam Pay), Mereka ini berdua satu diSelatan dan satu
lagi diUtara, terpisah jauh satu dengan lainnya, tetapi sekarang
mereka ber-sama2 tiga tetua dari Butong-san, inilah bukan
kejadian yang biasanya.
"Tanpa ada urusan tidak berani kami datang berkunjung,"
berkata Ti Wan Tiangloo, "Hari ini kami datang untuk meminta
orang." Imam ini bicara dengan singkat dan terang tentang maksud
kedatangannya itu. In Bu Yang sudah dapat menduga apa yang
akan dikatakan orang, Coba Butong Ngoloo datang pada dua
hari yang lalu, pastilah ia akan menganggap mereka
mengancam dan dia bakal menjadi gusar sekali, Tapi sekarang,
setelah ia mengalami peristiwa tragis belakangan ini, hatinya
telah menjadi dingin.
"Kamu meminta orang, inilah gampang," sahutnya,
"Silahkan masuk dulu kedalam untuk minum teh."
Jawaban ini diluar dugaan kelima tamu itu, Mereka
menyangka bakal menemui kesulitan, tidak disangka, Bu Yang
lantas saja menerima baik.
"Dimana adanya Siangkoan Thian Ya sekarang?" Ti Hong
tanya, "Apakah kau sudah berbuat sesuatu atas dirinya, ahli
waris dari Butong-Pay kami?"
Ciu Tong adalah seorang yang keras adatnya, tanpa menanti
Ti Hong berhenti bicara, ia sudah turut bicara.
"Jikalau gampang, lekas kau antar dia keluar!" bentaknya,
"Siapa mempunyai selera untuk meminum air tehmu?"
Wajah Bu Yang menjadi muram, akan tetapi ia masih dapat
mengendalikan diri, Ia mendongak dan tertawa bergelak.
"Jikalau Ngoloo tak sabar hatinya, ayolah kita pergi," ia
menjawab, "Mari kita lihat apakah aku orang she In telah
memperlakukan tak selayaknya kepada ahli waris kamu."
"Ayah!" berkata So So dari balik jendela, Ia mengetahui
ayahnya bakal kecele, Ia hendak melompat keluar jendela,
ketika ia mendengar ayahnya berkata dengan lunak;
"So So, tak usah kau campur urusan ini, Aku berjanji
padamu, hari ini aku hendak berbuat murah hati untukmu, kau
jangan khawatir,"
Selagi ayahnya berkata, mereka telah berjalan keluar dari
pintu besar, dan mulai ber-lari2 mendaki bukit, Suara Bu Yang
itupun dikeluarkan melalui tenaga dalam.
Si nona menjadi bingung, ia berlari keluar untuk menyusul,
Baru ia menikung ia telah melihat ayahnya itu bersama Butong
Ngoloo sudah berada didepan pintu goa, Hanya Bu Yang
segera menjadi kaget sekali, sebab pintu goa itu telah ambruk
runtuh, Ia mendahului berlari masuk kedalam goa itu,
kemudian dengan murka ia berseru;
"Kamu sudah bekerja sama merusak pintu goaku ini,
sekarang kamu datang untuk meminta orang!" ia lantas
menyangka, menuduh lima tetua itu.
Ti Hong pun menjadi terlebih murka;
"Kau seorang kesohor!" bentaknya, "Kenapa kau berdusta
macam begini?"
"Dimana kau tahan ahli waris kami?" Ciu Tong menanya,
"Benarkah kau telah menganiaya dia ?"
Dalam murkanya, jago Pak Pay ini sudah lantas menyerang
dengan pukulannya 'Mega menutup gunung Chong San,' lima
jari tangannya menyambar ketulang pipee dari tuan rumahnya.
Bu Yang tertawa dingin, belum lagi serangan itu tiba, ia
sudah menangkis sambil menyambar dan diteruskan dengan
satu tarikan, maka tak ampun lagi, Ciu Tong kena ditarik
keluar goa, Diambang pintu, tuan rumah itu berdiri tegar!.
"Jikalau kamu hendak bertempur, ayolah di-luar!"
tantangnya, "Jangan didalam, nanti kamu membuat rusak
kamar semedhiku!"
Ti Wan Tiangloo sabar sekali;
"Kami bukan bangsa buaya darat," ia berkata, "maka
silahkan kamu berdua menghentikan pukulan kamu, Mari kita
bicara dulu, untuk mengetahui kenyataan, benar atau salah
akan terbukti belakangan."
Kata2 itu kelihatannya menegur kedua pihak, tetapi
sebenarnya Ciu Tong yang dilindungi.
Bu Yang sangat gusar, tetapi untuk menjaga derajat, ia
menahan sabar, Ia telah bertekad untuk melayani mereka itu.
Ti Wan yang berjalan paling belakang, Ia memeriksa
ketanah dipintu;
"Kisu mengatakan pintu goa ini kami yang merusaknya," ia
berkata, tenang, "Kisu adalah seorang kenamaan, pasti kau
dapat melihatnya, Kami memang mengerti sedikit ilmu silat,
tetapi ini bukanlah perbuatan kami, Kisu periksa sendiri,
bukankah ini hanya serangan tangan dari satu orang" Kenapa
Kisu menuduh kami, adakah ini disengaja?"
Hati Bu Yang tercekat, Ia lantas memeriksanya, Memang
benar, kalau dihajar berlima dengan berbareng, akibatnya tidak
nanti berupa demikian macam, Ia telah terlanjur menuduh, Ia
menduga demikian karena Thian Tok sudah mati dan ia
menyangka tidak ada orang lain yang melebihi Thian Tok
kecuali Butong Ngoloo ini, Sekarang ia disenggapi imam tua
itu. "Ya, aku telah melihat keliru," katanya mengaku, "Kalau
begitu, Siangkoan Thian Ya sudah melarikan diri."
"Hm!" Ti Hong Tiangloo tertawa dingin, "Pintu goa ini kau
yang menggempurnya sendiri, sekarang kau menuduh kami,
bagus benar! Apakah maksudmu?"
"Dia sudah mengaku salah sudahlah," Ti Wan Tiangloo
menyelak, "Sekarang kami cuma perlu meminta orang!"
"Kau telah mengurung ahli waris kami, lalu kau juga
sengaja merusak pintu goamu!" Ciu Tong campur bicara, "Hm!
Kau sengaja hendak menimpakan kesalahan kepada orang lain!
Sebenarnya, apakah yang telah kau perbuat atas ahli waris
kami itu?"
Makin hebat pertanyaannya rombongan Butong Ngoloo itu.
In Bu Yang menjadi gusar;
"Untuk membinasakan seorang Siangkoan Thian Ya, perlu
apa aku sampai memakai segala akal begini?" ia berseru, "Asal
aku lemparkan dia kegunung untuk dimakan serigala, lalu aku
menyangkal, apa yang bisa kalian lakukan?"
Alasan ini dapat diterima baik, Memang, perlu apa Bu Yang
memakai akal yang ber-belit2 itu, bahkan sampai merusak
sendiri pintu goanya" Tetapi, Butong Ngoloo berpendapat:
"Kecuali In Bu Yang, tidak ada orang lain yang setangguh dia."
Bu Yang berkata pula;
"Kamu lihat bagian dari goaku ini, ditembok penuh segala
coretan ilmu silat yang sedang aku yakinkan, dengan ini kamu
bisa menduga kenapa aku kurung Siangkoan Thian Ya didalam
goa ini, Mungkinkah kamu tidak dapat mengerti maksudku
yang baik?"
"Tetapi itulah kata2mu sendiri!" kata Ti Kong dingin,
"Siapa yang mengetahui maksudmu yang sebernarnya?"
"Memang!" Kok Ciong membenarkan kawannya itu, "Kau
mengurung dia disini atau tidak, siapakah yang
mengetahuinya" Seandainya saja benar kau kurung dia disini,
habis itu kau menggempur pintunya, bukankah itu berarti kau
berniat kurang baik terhadap dirinya?"
"Kecuali kau cari Siangkoan Thian Ya, kalau tidak, iblis
juga tak akan mempercayaimu!" Ti Hong putuskan.
Selagi Bu Yang belum sempat menjawab tetua Butong-Pay
itu, tiba2 terdengarlah satu suara yang halus tetapi terang;
"Memang benar Siangkoan Thian Ya dikurung didalam goa
ini, akan tetapi pintunya bukanlah ayahku yang
menggempurnya!"
Di antara mereka segera muncul seorang nona, Mereka
semua lantas berpaling dan mengawasi nona itu.
"Nona In, kau hendak menjadi saksi untuk ayahmu?" Ti
Hong Tiangloo tanya, Pertanyaan itu bersifat mengejek.
So So berdiri tegak, sikapnya halus tetapi keren;
"Memang aku menjadi saksi dipihak ayahku," ia menyahut,
tenang. "Tadi malam aku sendiri telah datang kemari dan aku
telah bertemu muka dengan Siangkoan Thian Ya, Adalah
maksudku untuk menolong membebaskan dia, tapi ia
menolak." Ia terus menoleh kepada ayahnya dan berkata;
"Ayah, kau toh tidak memarahi aku bukan?"
"Nona In bermaksud baik sekali!" kata Kok Ciong tertawa.
"Memang juga, dibawah pimpinan panglima gagah tak ada
serdadu yang loyo!" Ti Hong turut mengejek.
Jelaslah mereka tidak mau percaya nona itu, In Bu Yang
menjadi sangat mendongkol dan gusar, Tidak apa orang tidak
mempercayai dia, tetapi anak gadisnya tidak dipercaya juga,


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

inilah hebat, itulah suatu penghinaan terhadap dirinya, Tiba2
saja ia menghajar sebuah batu besar didekatnya hingga batu itu
pecah hancur berhamburan!
Butong Ngoloo terkejut, segera mereka mengambil sikap
bersedia untuk bertempur.
"Kau memaksakan keteranganmu, karena kau tidak berhasil,
kau menjadi malu dan gusar, bukankah?" Ti Wan Tiangloo
tanya. "Untuk bicara dengan pantas, aku mesti melihat dulu, pihak
sana pantas diajak bicara atau tidak!" berkata Bu Yang, sambil
tertawa terbahak, "Karena kau bilang aku memaksakan,
baiklah, sekarang aku memaksa! Siangkoan Thian Ya adalah
seorang anak muda, ia dari tingkatan bawah, tetapi terhadap
aku dia berlaku kurang ajar, Diwaktu tengah malam buta, dia
lancang naik gunung ini dan memasuki rumahku, maka itu aku
bekuk dia dan membunuhnya! Sekarang boleh kamu pergi
mengundang kaum Rimba Persilatan untuk mereka
memberikan keputusannya!"
Butong Ngoloo saling mengawasi, Mereka terbenam dalam
keraguan, Benarkah kata2 orang ini atau dia hanya berdusta"
Ti Wan Tiangloo biasa menghargai diri sendiri, biarpun Bu
Yang berkeras, ia lihat dari pada itu bukannya tidak ada
alasannya, Maka itu ia berkata dengan sabar;
"Jikalau benar Siangkoan Thian Ya memasuki tanpa tujuan
yang jelas, sekalipun kau membunuh dia, aku tidak dapat
mengatakan apa2, Tetapi kau telah mencuri kitab ilmu pedang
dari Butong-Pay, dialah ahli waris kami, maka itu dia datang
untuk meminta kembali kitab itu, maka kenapa kau berani
mengatakan dia datang tanpa alasan?"
Wajah In Bu Yang sedikit berubah, akan tetapi ia menoleh
kepada puterinya dan berkata;
"Sekalipun kata2nya seorang muda tak dapat terlalu
diandalkan, maka itu lain kau mesti berlaku waspada, Aku
melihat Siangkoan Thian Ya sebagai seorang pemuda yang
berbakat baik, kiranya diapun membohongi aku!"
Memang Siangkoan Thian Ya mengatakan dia diutus Bouw
It Siok, bahwa halnya kitab pedang itu dia tidak pernah
memberitahu kepada orang lain, bahwa sebelum dia datang
kegunung Holan-san ini, dia sudah menitipkan sepucuk surat
pada Ti Wan Tiangloo, surat mana baru boleh dibuka Ti Wan
andaikata berselang satu tahun kemudian, tak ada kabar
beritanya tentang dirinya, Tapi sekarang, dalam tempo yang
pendek, Butong Ngoloo telah datang bersama, bahkan mereka
segera me-nyebut2 tentang kitab ilmu pedang itu, Seandainya
Siangkoan Thian Ya tidak berdusta, maka jelas sudah Ti Wan
Tiangloo sudah lancang mendahului membuka suratnya itu,
sebelum watunya satu tahun, Dengan mengatakan Thian Ya
membohongi dia, Bu Yang hendak memberi peringatan kepada
puterinya, supaya puterinya ini pun jangan terlalu percaya pada
Tan Hian Ki, agar anaknya ini nantinya tidak sampai kena
diperdaya. Ti Wan Tiangloo melengak mendengar perkataan tuan
rumah ini. "Dalam hal apakah Siangkoan Thian Ya telah menipu kau?"
ia bertanya. Suratnya Thian Ya memang telah dibuka oleh Ti Wan,
dibuka dengan segera, tanpa menghormati pesan Siangkoan
Thian Ya untuk menanti satu tahun kemudian, Inilah
disebabkan terutama karena Ti Wan sendiri pernah mendapat
khabar angin, bahwa In Bu Yang telah mencuri kitab
pedangnya Bouw Tok It, Ketika ia menerima suratnya Thian
Ya itu, dan Thian Ya lantas pergi tanpa pamitan lagi, ia sudah
lantas menduga urusan kitab itu, Tentu saja ia menjadi curiga
dan menguatirkan murid itu yang telah menjadi ahli waris,
maka ia buka surat orang dan langsung bertindak
mengumpulkan kawan dan segera menyusul ke Holan-san ini,
dengan maksud membantu atau menolongi si ahli waris itu.
In Bu Yang menjawab;
"Siangkoan Thian Ya telah menipu aku, sudah saja, hitung2
mataku buta, Tentang itu tak usah dibahas lagi, Sekarang kau
menyebut tentang kitab ilmu pedang, baiklah, mari kita
bicarakan tentang kitab itu, Aku adalah menantunya keluarga
Bouw, dan kamu sendiri" Kamu pernah punya hubungan
apakah" Mertuaku itu bekas Ciangbunjin dari partaimu, tetapi
kitab pedang yang ia dapatkan itu belum tentu milik partaimu
itu, Didalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada semacam
aturan, Seandainya mertuaku ada pesannya bahwa ilmum
pedangnya itu tidak dapat diwariskan kepada anak perempuan
dan mesti cuma kepada ahli waris, yang kemudian menjadi
Ciangbunjin, nah! aku minta, kamu tunjukkan surat wasiatnya
itu!" Inipun suatu alasan yang dipaksakan In Bu Yang, tetapi
karena itu, merah mukanya Ti Wan Tiangloo, tidak dapat dia
alasan untuk menjawab.
Melhat itu, Kok Ciong melirik kepada tiga kawannya yang
lain, dari berduduk, ia bangun berdiri, Dengan dingin, nadanya
seram, ia berkata;
"Mertuamu itu terbinasa ditanganmu yan berbisa, dia mati
secara mendadak, walaupun dia berpikir untuk menulis surat
wasiatnya, sudah tidak ada ketikanya lagi!"
Mendengar ini, So So kaget bukan kepalang, Tiba2 ia
teringat; "Ayah pernah mengatakan bahwa seumur hidupnya ia
pernah melakukan satu kesalahan besar, yang membuatnya
menyesal, adakah ini adalah kesalahannya itu" Jikalau benar ia
membunuh kakekku, mustahil ibu dapat tetap tinggal bersama
dengannya untuk banyak tahun" Seharusnya, tidak menunggu
sampai sekarang, ibu sudah harus pergi meninggalkannya. . ."
Bu Yang bermuram durja, Pada matanya tampak sinar
membunuh, mendadak saja, ia mendongak dan tertawa
panjang. Kok Ciong adalah murid kepala dari Bouw Tok It, Dan pula
ia lebih tua sepuluh tahun dari pada Bouw It Siok, Katanya
ketika Bouw Tok It meninggal dunia, orang yang
mendampinginya adalah dia sendiri bersama It Siok, Maka itu,
dengan kedudukannya itu, tidak mungkin Kok Ciong
sembarang menuduh Bu Yang.
So So menjadi sangat bekhawatir, ia memandang ayahnya
itu. "Aku siorang she In telah berdosa dimatanya orang banyak,
itu terjadi bukan cuma urusan ini saja!" katanya nyaring, "Tapi
semua tuduhan itu kosong belaka! Butong Ngoloo, hari ini
kalian datang, sikap kalian sangat galak, kiranya kalian datang
untuk menegur aku, Baiklah, aku tidak mau membantah lagi,
Kalian menghendaki cara apa, silahkan kalian menyebutnya,
sekalipun menghadapi pedang atau golok, tak nanti aku
mengerutkan keningku!"
Hati So So bergoncang pula, kata2 ayahnya ini terang
menyatakan Kok Ciong memfitnah belaka, Melihat sikap
ayahnya, itulah jelas bukan sikapnya orang yang berdosa,
melihat itu lega juga hatinya, tetapi tetap ia ragu2, benar atau
tidak kakeknya terbinasa ditangan ayahnya itu. . . .
Kok Ciong tertawa pula dengan dingin;
"Memang biasa seorang berdosa besar, bisa dia memainkan
lidah!" katanya, "Kau boleh mengatakannya aku memfitnah,
tetapi kematian guruku itu akulah yang menyaksikan dengan
mataku sendiri! Adakah kau kira Kok Ciong seorang pendusta"
Mungkinkah aku hendak memfitnah dirimu?"
In Bu Yang mengangkat kepalanya, ia mengawasi kelima
orang itu, sikapnya jumawa;
"Kau berdusta atau tidak, cuma kau sendirilah yang
mengetahuinya!" ia berkata, "Sudah aku katakan, tidak mau
aku membantah, Perlu apa kau banyak bicara lagi?" Ia
mengangkat alisnya, ia menambahkan dengan nyaring:
"Untukku, julukan siorang berdosa besar tetaplah sudah, maka
itu, baiklah, mari aku menambah itu dengan melakukan satu
kedosaan besar lainnya! Maafkan aku, Ngoloo, Sekarang aku
mau menahan kalian!"
Ti Hong menjadi sangat murka;
"In Bu Yang!" serunya, "Kau sangat takebur! Berapa
tingginya kepandaian kau, maka kau berani manahan kami"
Hendak aku lihat, hari ini siapakah yang bakal mengubur
tulang belulangnya digunung belukar ini!"
Butong Ngoloo adalah bagaikan gunung Thay San atau
bintang Pak Tauw dalam kalangan Rimba Persilatan, jangan
kata mereka berlima, satu saja diantaranya tidak nanti berani
orang permainkan, Sekarang In Bu Yang tidak memandang
mata pada mereka, mereka hendak "dibereskan," tidak aneh
mereka menjadi gusar, lebih2 Ti Hong yang beranggasan.
"Hari ini kau hendak menahan kami, itulah bagus!" kata
Kok Ciong dengan tawar, "Kami disebut tiangloo dari Butong-
Pay, tetapi kami belum pernah menyaksikan ilmu pedang Tat
Mo Kiamhoat yang diwariskan oleh Couwsu kami, maka
sekarang adalah saatnya yang paling baik untuk belajar kenal,
Andaikata kami berlima mesti roboh ditanganmu, itulah
berharga, supaya dengan begitu dunia akan mendapat tahu
lihaynya ilmu silat partai kami!"
Kok Ciong ini dikenal sebagai 'Imkan Siucay,'(Sastrawan
Neraka), maka itu bisa dimengerti jikalau dia licin sekali,
Dengan kata2nya itu, diluar ia memuji In Bu Yang, dilain
pihak ia menyindir Bu Yang, yang telah mencuri ilmu silat
Butong-Pay, dengan apa dia menantangi murid2 Butong-Pay
sendiri, maka itu, menang atau kalah, muka Bu Yang tidak
bakal jadi terang cemerlang.
Sepasang alisnya Bu Yang bergerak pula, kembali dia
tertawa lebar; "Kamu bersikukuh bahwa Tat Mo Kiamhoat adalah ilmu
pedang Butong-Pay, baiklah!" katanya, "Hari ini aku siorang
she In tidak hendak menggunakan pedang, aku hanya akan
melayani kalian dengan sepasang tangan kosong! Kalian lihat
bisa atau tidak aku menahan kalian!"
Habis sabarnya Ti Hong, tanpa mengatakan apa2 lagi
tinjunya melayang! Berbareng dengan itu, Butong Ngoloo
mendengar suara tertawa yang nyaring dan panjang, yang
seakan menulikan telinga, lantas mereka melihat tangannya Bu
Yang bergerak laksana kilat, Setelah itu, diantara bentroknya
dua tangan Ti Hong roboh terbanting, menyusul mana tangan
kirinya siorang she In, ialah dua jarinya, mencari jalan darah
giokkoat dan imhiat dari Kok Ciong, Itulah dua jalan darah
yang utama, yang tidak sembarang orang dapat menotoknya,
Rupanya saking panas hatinya, Bu Yang mengarah kedua jalan
darah itu, kalau dia tidak lantas binasa, sedikitnya tubuhnya
akan bercacat. Maka itu, melihat demikian, Ti Kong dan Ciu Tong kaget
tidak terkiar, keduanya berseru, sambil berseru, mereka
melompat maju, Mereka ini ilmunya lebih lihay dari pada Ti
Hong, tangan mereka masing2 menyambar kedada dan
perutnya siorang she In itu.
"Bagus!" Bu Yang berseru seraya segera mengubah cara
bergeraknya, Ia bukannya menangkis, hanya jari tangannya
memapaki Ti Kong, Tepat ia mengenai jalan darah Kiokti,
hingga seketika itu juga, sebagian tubuhnya tiangloo itu seperti
mati kaku, hingga dia terhuyung dua tiga tindak.
Bu Yang tidak berhenti sampai disitu, sikutnya bekerja
terus, mampir ditubuhnya Ciu Tong, hingga dia ini jago
Butong-Pay dari Utara, pinggangnya mesti melengkungmelengking,
menyusul itu, dengan tangan geledek berantai, Bu
Yang terus meninju punggungnya Kok Ciong, Hanya kali ini,
belum lagi tinjunya itu sampai pada sasarannya, ia merasakan
dorongan angin yang keras sekali, hingga ia mesti
membatalkan serangannya itu seraya memutar tubuhnya, untuk
berkelit, Tetapi ia tidak cuma berkelit, hanya dengan kedua
tangannya, ia menahan dorongan yang luar biasa itu, Maka
bentroklah empat buah tangan.
Penyerang itu, yang menolongi Kok ciong, adalah Ti Wan
Tiangloo, orang tertangguh diantara Butong Ngoloo.
"Roboh!" berseru In Bu Yang, yang tak berhenti hanya
karena rintangan itu, Kedua tangannya, dengan masing2
terlentang dan tengkurap, bergerak dengan sangat dahsyat
menghalau tangannya Ti Wan Tiangloo, hingga tetua Butong-
Pay ini mesti terhuyung beberapa tindak, Masih syukur
untuknya, dia tidak sampai terguling roboh.
Lagi2 In Bu Yang memperdengarkan suara tertawanya yang
nyaring dan lantang, karena sekarang ia berpikir; "Aku tidak
menyangka Butong Ngoloo seperti gentong nasi saja! Ti Wan
sendiri cuma dapat menyambut tiga jurusku!" Sebenarnya ia
hendak menyindir mereka itu, dilain saat terlihat Ti Kong
bersama Ti Hong, Kok Ciong dan Ciu Tong, pada berlompat
bangun, bahkan dengan mengambil posisi empat penjuru,
mereka maju mengurung.
Sekarang Bu Yang memandang enteng sekali pada kelima
lawannya itu, Kata dia sambil tertawa dingin;
"Hm! Serombongan kambing menyerbu harimau galak!
Apakah faedahnya jumlah kalian yang banyak?"
Baru sekarang Bu Yang terkejut, Insaflah dia, apabila satu
lawan satu, mereka itu tidak berarti banyak, tetapi apabila
mereka bergabung, mereka merupakan lawan yang tangguh, Ia
memangnya tidak mengetahui, apabila mereka bekerja sama,
empat jago Butong itu menjadi hebat sekali, empat seperti
berubah menjadi delapan,
Hanya mundur satu tindak, Ti Hong berempat sudah
mengambil kedudukan mereka kembali, sekalu lagi mereka
maju dengan berbareng.
Bu Yang telah merasakan tenaga mereka, sekarang ia tidak
berani memandang enteng lagi, Dan lantas ia memasang
kuda2nya, kedua tangnnya dirangkap, tidak lagi dipisah seperti
tadi, Ia pun mengeluarkannya dengan perlahan, Maka sekarang
tenaganya tidak terpencar lagi, Kali ini ia berhasil, dan ia tidak
sampai terhuyung, keempat jago Butong itupun tidak dapat
maju setengah tindak juga, walau dengan penyerangan
tergabuung itu.
Ti Wan yang menyaksikan pertempuran itu, matanya
menjadi seperti menyala, mukanya menjadi suram, Itulah
pertanda bahwa ia sangat gusar, Ia lantas bertindak maju,
perlahan saja tindakannya itu,
In Bu Yang dapat melihat sikap dari tetua Butong-Pay itu, ia
mengeluh dalam hatinya, Melawan empat jago saja ia sudah
merasakan berat sekali, Tapi terpaksa ia mengempos
semangatnya, dan mengerahkan tenaga dikedua tangannya itu.
"In Bu Yang, berkata Ti Wan Tiangloo sambil mengkertak


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gigi, "hari ini beberapa tulangku yang tua hendak aku serahkan
padamu!" kata2 ini disusul dengan diulurnya tangannya, yang
satu dikasih turun dari atas kebawah.
Ancaman Ti Wan ini adalah batok kepalanya Bu Yang,
Berbareng dengan itu Ti Hong berempat juga menyerang
serentak. Bu Yang mencoba mempertahankan diri, ia merasakan
hampir sukar bernapas, Ia tidak kalah, tetapi lawannya itu
dapat bergerak maju satu tindak.
Tipi silat Butong Ngoloo ini ialah yang dinamakan 'Ngolui
Thiansim Cianghoat'(tangan lima- geledek), Kehebatannya
ialah lima menjadi satu, Dengan ini mereka berhasil mendesak
lawan, sia2 Bu Yang mempertahankan diri, pihak lawan dapat
maju sedikit demi sedikit, Maka akhirnya ia berpikir, tidak
dapat terus ia bertahan dengan cara demikian.
Kembali bersinar cahaya matanya jago she In ini, Mendadak
saja dia berseru disusul dengan melayangnya tangannya yang
kiri, diarahkan kepada Ti Hong, salah satu lawan yang paling
lemah. Imam ini terkejut, dengan sendirinya ia kena digertak
beberapa tindak, Melihat itu, Bu Yang girang sekali, Maka
hendak ia melompat untuk menerjang keluar, Tapi ia menjadi
kaget ketika ia merasakan batok kepalanya tersambar angin, Ia
mengerti itulah serangan dari belakangnya.
Memang itulah serangan Ti Wan Tiangloo berdua Ciu Tong,
mereka itu masing2 menggunakan sepasang tangan mereka.
Dalam kagetnya, Bu Yang berkelit untuk menghindar,
karena itu ia batal menerjang keluar, sebaliknya ia menjadi
terkurung kembali.
"Kepala, dan buntut berantai, dari empat penjuru menyerang
berbareng," Ti Wan memberi isyrat perlahan kepada keempat
kawannya, "Jangan terlalu maju." Ti Hong berempat
mengangguk perlahan.
Benar saja, habis itu serangan mereka tidak sehebat tadi,
sebaliknya pertahanan mereka semakin kuat, kemana saja Bu
Yang menyerang, ia seperti membentur tembok yang kokoh
kuat, Beberapa kali ia mencoba menerjang, walau sudah
berusaha kesudahannya tanpa hasil.
Beberapa saat kemudian, kening Bu Yang telah
bermandikan keringat, Dari kepalanya pun keluar hawa seperti
asap. So So merasa cemas hatinya, Ia belum mahir dalam hal ilmu
tenaga dalam, tetapi ia mengerti bahwa ayahnya telah
mengerahkan tenaganya melebihi batas kekuatannya, Itu
artinya ancaman bahaya untuk ayahnya.
Mendadak, Butong Ngoloo berbareng berseru, berbareng
mereka mendesak dengan serangan, diikuti dengan majunya
kaki mereka satu tindak, Ti wan Tiangloo pun ikut menyerang
dua kali dengan beruntun.
Kelihatannya Bu Yang sangat terdesak, ia bagaikan tak kuat
untuk balas menyerang, Dengan begitu kelima lawan dapat
merangsek lebih jauh.
"Walaupun kitab pedang Butong-Pay kami dapat kau curi,"
berkata Ti Wan dengan dingin, "kau yang sangat kesohor
ilmunya, In Bu Yang, tidak nanti kau dapat menahan tulang2
tua dari kami, Kau sekarang akan tunduk bukan" Hm! Kau
sendiri boleh jumawa, hendak kau melenyapkan orang lain,
tetapi kami orang2 Butong-Pay, kami bukannya bangsa jahat
dan busuk, asal kau mau menyerah dan suka mengangguk tiga
kali kepada kami sambil mengembalikan kitab pedang itu, suka
kami berlaku murah hati, akan kami memberi ampun pada jiwa
kecilmu!" Mendengar itu, kedua matanya Bu Yang bersinar pula,
Tetapi ia tidak menunjukkan kemurkaannya, sebaliknya, ia
tertawa; "Kau bicara tentang melenyapkan nyawa, tentang jahat dan
busuk" Ha, kau justeru menyadarkan aku!" jawabnya.
Ti Wan terkejut juga mendengar perkataan orang itu, Maka
ia segera memberi tanda kepada kawan2nya, ia lantas
menyerang pula dengan hebat, untuk mencegah lawan
mendapat kesempatan untuk membebaskan diri.
Beberapa jurus kemudian, dengan satu suara nyaring,
pundak Bu Yang kena terhajar kepalannya Ti Kong Tiangloo.
"Ayah!" teriak So So, "bukan kau yang membunuh kakek,
mengapa kau tidak mau membantah?"
Nona ini berkata demikian, tetapi sebenarnya ia tak tahu
apa2 tentang sebab kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai
anak, dapat ia lihat roman ayahnya, dan ia mau percaya bahwa
ayahnya bukanlah sipembunuh.
Bu Yang telah terkurung, ia sudah merasakan bagaimana
rasa pukulan, akan tetapi ia masih dapat tersenyum, cuma
mulutnya saja yang tidak mengeluarkan suara.
Terdengar lagi, satu kali suara 'Duk!' dan kali ini Ti Wan
Tiangloo yang dapat menyerang dengan jitu, Imam ini lebih
lihay dari pada empat kawannya, maka itu robeklah baju
dipunggungnya siorang she In, hingga dipunggung itu terlihat
jejak tapak tangan yang merah.
"Ayah, inilah pedangmu!" So So berteriak, Ia memegang
Kungo-kiam, hendak ia menghunus pedang itu, untuk
diserahkan kepada ayahnya, Ia tidak dapat melihat saja
ayahnya terdesak demikian rupa, Benar Bu Yang sudah
menantang dengan tangan kosong, tetapi dia dikeroyok
berlima, inilah tidak adil.
Baru sekarang Bu Yang membuka suaranya, Ia menyahut
sambil tertawa jumawa;
"So So, sejak kapan perkataan ayahmu tidak dapat
dihormati?"
Begitu orang she In itu bicara, justeru lagi2 ia dirangsek,
Tampaknya sekarang ia sudah tidak dapat mundur lagi, justeru
itu, ia berseru keras sekali, disaat berseru, sinar matanya
bentrok dengan sinar mata puterinya, So So menjadi kaget dan
ketakutan, Ia melihat sinar mata ayahnya itu , seperti sinar mata
pada waktu sang ayah membinasakan Cio Thian Tok.
"Ayah, jangan!" sang anak berseru, untuk mencegah, Belum
habis suaranya anak ini, terlihat Bu Yang dengan mendadak
menurunkan kedua tangan kedengkulnya, Dengan berkelit
secara demikian, serangan dari kelima tetua Butong-Pay itu
mengenai tempat kosong, Setelah itu, tubuh Bu Yang terlihat
berputar bagaikan angin puyuh, kedua tangannya bergerak,
sepuluh jarinya dipentang, lalu diluar dugaan, Butong Ngoloo
pada roboh terguling, tidak sempat mereka itu menjerit, pada
paras muka mereka terlihat roman mengerikan.
Bu Yang lantas sudah berdiri tegar, kedua tangannya
berhenti bergerak, Dengan tawar ia berkata;
"Aku siorang she In ini bodoh, tetapi akhirnya dapat juga
aku menahan Butong Ngoloo!"
Ti Wan berlima tidak dapat mengatakan apa2, yang ada
hanya suara ditenggorokannya, yapi kata2nya tak keluar,
Rupanya jalan darah mereka sudah tertutup.
"Ayah!" menjerit So So, ketakutan.
"Hari ini ayahmu berlaku sangat murah hati," menyahut
ayah itu, "Coba tadi kau tidak menjerit, mungkin aku telah
melakukan satu lagi pembunuhan besar2an!"
Delapan belas tahun In Bu Yang memendam diri digunung
Holan-san, kecuali ia telah berhasil meyakinkan ilmu
pedangnya, ia juga telah menyempurnakan Itci-sian, ialah ilmu
totok dengan sebuah jari tangan, Dengan ilmu totok ini, ia
dapat membuat orang mati atau bercacat seumur hidup,
terserah kepada belas kasihannya, Butong Ngoloo gagah, tetapi
mereka sangat mendesak, dimana ia tidak dapat menggunakan
pedang seperkat kata2nya yang dihormati, dan disaat sangat
berbahaya itu, Bu Yang terpaksa menggunakan Itci-sian, Inilah
tidak pernah diduga Ti Wan berlima, maka itu robohlah mereka
secara mengenaskan.
Setelah berdiam beberapa saat, Butong Ngoloo dapat juga
bergerak, untuk berduduk, Mereka lantas mengempos
semangat untuk mengerahkan tenaga, Beberapa kali mereka
mencoba dengan sia2 tidak sanggup mereka membebaskan diri
dari totokan lawannya itu, bahkan mereka merasakan napas
mereka bukannya semakin lega, sebaliknya malah semakin
nyeri, Diam2 dinginlah hati kelima jago ini, Mereka menyesal,
Coba mereka membiarkan Bu Yang menggunakan pedangnya,
mungkin mereka lantas binasa, tidak seperti sekarang,
dikalahkan dan terhina, tersiksa juga.
Selagi orang mencoba untuk membebaskan diri, Bu Yang
berdiam saja, hanya matanya mengawasi dengan tajam,
menyapu wajah semua pecundangnya itu, Baru kemudian
terdengar suara tertawanya yang dingin, yang menusuk hati
kelima jago Butong-Pay itu.
Dengan sabar orang she In ini merogoh ke-sakunya, dan
mengeluarkan kitab ilmu pedang yang menjadi sumber
pertikaian itu, Setelah itu baru ia berkata dengan suaranya yang
jumawa; "Oleh karena gara2 kitab ini, maka ahli waris Butong-Pay
serta kamu sekalian tetua daru partai Butong, datang
berkunjung kerumahku ini," demikian katanya, "Sebenarnya
aku siorang she In merasa tidak enak hati, Lantaran pihak
kalian sangat menginginkan kitab ini, baiklah, suka aku berlaku
baik hati, suka aku menyerahkannya kepada kalian, Akan tetapi
didalam Rimba Persilatan mempunyai satu aturan, Kalau satu
ilmu diturunkan, ilmu itu harus diturunkan kepada para murid
atau keturunannya, atau kepada murid yang menjadi ahli waris,
Aku adalah satu anggota dari keluarga Bouw, sebagai keluarga
aku berhasil memahami ilmu pedangku, Sebenarnya sudah
sepantasnya saja aku menurunkan pelajaran ini kepada anak
atau ahli warisku, atau seorang murid, tetapi kalian Butong
Ngoloo, kedudukan kalian sangat mulia, tingkat derajat kalian
sangat tinggi, dari itu tidak dapat aku menerima kalian sebagai
murid yang terlebih rendah derajatnya."
Butong Ngoloo tidak bebas lagi, walaupun mereka sangat
mendongkol, terpaksa mereka bungkam, Mereka menganggap
Bu Yang berbuat berlebihan, memaksa kehendak, sebab ia
berkeras mengaku sebagai seorang anggota dari keluarga
Bouw, Terdengar pula suara angkuh dan dingin dari In Bu
Yang; "Coba hari ini aku tidak memandang pada anak daraku,
Butong Ngoloo, jangan harap kalian dapat pulang dengan
masih hidup!" demikian suaranya itu, "Gara2 sejilid kitab ilmu
pedang, kalian menjual jiwa digunung belukar ini, tidakkah itu
mengecewakan" Karena itu lebih baik aku musnahkan saja
kitab ini, supaya dibelakang hari tidak ada lagi orang yang
mengikuti teladan kalian ini!"
Benar2 In Bu Yang membuktikan kata2nya itu, Dengan
kedua tangannya yang kuat, ia me-robek2 kitabnya itu menjadi
empat bagian, habis itu ia me-remas2nya, maka dilain saat
hancur leburlah kitab mustika itu, terbang dibawa sang angin.
Butong Ngoloo mengawasi dengan hati terkesiap, Bahkan
So So , saking tidak menyangka, sudah mengeluarkan jeritan.
Bu Yang sebaliknya tertawa ter-bahak2, Ia merangkap kedua
tangannya; "Mulai saat ini hingga selanjutnya, cuma aku seoranglah
yang menguasai Tat Mo Kiamhoat!" berkata ia nyaring,
"Jikalau kalian sakit hati, juga kalian khawatir ilmu ini lenyap
untuk partaimu, kalian kirimkan saja Siangkoan Thian Ya yang
menjadi ahli waris kalian, suruh dia datang padaku dan
mengangkat aku menjadi gurunya, aku bukan saja akan
mengajarkan dia ilmu pedang Tat Mo kiamhoat itu, bahkan aku
juga akan mewariskan Itci-sian kepadanya, Dengan begitu
maka jadilah dia muridku yang menerima warisanku, Untuk
partai kalian, kalian boleh memilih orang lain!"
VIII. SAMA LIHAYNYA
Didalam dunia Rimba Persilatan adalah jamak bila seorang
berpindah partai, demi untuk mempelajari ilmu silat partai lain,
Tapi hal ini biasa berlaku hanya buat orang2 dari tingkatan dan
derajat yang lebih muda, Untuk menerima murid yang
merupakan ahli waris dari suatu partai, hal itu belum pernah
terjadi, Maka itu kata2nya In Bu Yang terhadap Butong
Ngoloo ini tak lebih daripada penghinaan belaka, Meski begitu,
tetap Ti Wan berlima tak dapat bersuara, tinggal mata mereka
saja yang bersinar menyala, memperlihatkan kemurkaan
mereka yang sudah memuncak.
So So berpaling ke-lain arah, ia menunduk, tidak hendak ia
mengawasi Butong Ngoloo.
"Ayah!. . . ." ia memanggil.
Bu Yang tidak menanti terhentinya suara puterinya itu, Ia
merogoh sakunya, untuk mengeluarkan sebuah botol kecil,
Dari dalam itu ia mengeluarkan tiga butir pil yang berwarna
hijau, Itulah pil Siauwyang Siauwhoan-tan, yang katanya ia
peroleh dari Kwi Chong Taysu setelah ia bersusah payah
memintanya, pil mana yang semula berjumlah enam butir, yang
tiga sudah diambil So So untuk dipakai mengobati Tan Hian
Ki, maka sekarang sisanya tinggal tiga butir.
Dengan menggunakan kuku tangannya, Bu Yang membela
setiap butir pil itu, satu dibagi menjadi dua, dengan begitu,
semuanya sekarang berjumlah menjadi enam potong, Yang
sepotong ia lantas memasukkan kedalam mulutnya, dikunyah
kemudian ditelan, sisa lima lainnya ia serahkan pada puterinya;
"Kau berikan ini sepotong kepada setiap tua bangka itu,"
katanya tawar, "Seranganku barusan tidak keras, berselang tiga
hari, kesehatan mereka akan pulih kembali, dan ilmu silat
mereka juga tidak akan musnah."
So So menyambuti obat itu, lalu ia bertindak kepada Butong
Ngoloo, Dadanya Ti Wan Tiangloo bergerak naik turun,
tenggorokannya berbunyi nyaring, sedang kedua matanya
mendelik, Itulah tanda bahwa dia sangat gusar, karena dia tidak
sudi menerima obat itu, Bukankah mereka adalah orang2 yang
berkedudukan sangat tinggi" Mana dapat mereka menerima
budi dari In Bu Yang" Kalau kejadian itu sampai tersiar dalam
dunia kangouw (kalangan Sungai Telaga), kemana muka
mereka mesti ditaruh" Tentu saja, karena hal itu mereka
kemudian tidak dapat pula memusuhi lagi pada In Bu Yang.
So So adalah seorang nona yang polos, ia belum mengerti
akan pantangan kaum Rimba Persilatan seperti itu, yang cuma
ia ketahui, tanpa obat itu, Butong Ngoloo bakal menjadi orang
yang cacat, Ia berpikir didalam hatinya: "Mereka sudah tua,
dengan tidak memakan obat ini, kecuali akan mengalami cacat,
ada kemungkinan mereka nanti akan mati karenanya, Tidakkah
itu akan menambah banyaknya dosa ayah?" Karena itu ia tidak
memperdulikan penolakan kelima jago itu.
Hebat nona ini, dengan tangan kirinya ia menekan, maka


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diluar keinginannya, Ti Wan membuka mulutnya, maka
dengan mudah ia memasukkan obat itu kedalam mulutnya,
dimana dalam sekejap, obat itu telah tertelan masuk kedalam
perut, Tetapi si nona masih Khawatir obat itu belum lumer dan
termakan, ia menarik kepala orang hingga melengak, kemudian
ia meng-goyang2nya, Dengan begitu, andaikata Ti Wan mau
memuntahkannya kembali sudah tidak mungkin, Kemudian
dengan cara yang sama ia lakukan pada keempat jago lainnya,
Hingga semua jago2 itu dengan terpaksa memakan obat2 itu,
hingga akhirnya terpaksa juga mereka menerima budinya In Bu
Yang! In Bu Yang tertawa gembira;
"Bagus! Bagus!" ia memuji anak gadisnya, Ia puas sekali.
Cuma sekejap Butong Ngoloo sudah lantas dapat menarik
napas, setelah itu mereka saling mengawasi satu pada yang
lain, sinar mata mereka sayup2, wajah mereka sangat lesu,
Sangat menyedihkan sikap mereka itu.
So So memandangi mereka, Ia merasa heran,
"Tentulah mereka malu dikalahkan ayah," pikirnya,
Kemudian ia berkata pada ayahnya: :Ayah, mereka telah
makan obat, biarkan mereka beristirahat sebentar, Mari kita
pulang, supaya mereka dapat bersamedhi dengan tenang."
Bu Yang tertawa;
"So So kau sangat memahami orang," katanya.
Bu Yang mau meluluskan ajakan anak gadisnya itu untuk
pulang, namun ketika telingannya mendengar suara beradunya
tongkat besi pada tanah, Ia memasang telinganya dan lantas
tertawa; "Mungkinkah ada lagi orang lain yang tak takut mampus
datang kesini untuk meminta kitab ilmu pedang?" katanya.
Boleh dikatakan belum habis suaranya jago ini, disana
sudah tampak orang yang berjalan datang dengan tongkat besi,
dan tongkatnya itu terus memperdengarkan suaranya , sebab
setiap langkah, tongkat itu dipakai menotok tanah.
Melihat orang muncul dari tikungan, So So lantas saja
kaget, Semakin dekat orang datang, semakin nyata terlihat
orangnya. Dialah seorang dengan kumis dan berewok kusut bagaikan
rumput, mukanya ditutup topeng hitam hingga disamping
telinganya, Berewoknya itu muncul dari bawah topeng, Selain
itu, dia hanya mempunyai sebelah tangan yang utuh, sebab
tangan kirinya buntung sebatas sikut dan sikutnya itu nongol
tajam, Rupanya tangannya itu bekas ditebas orang separuhnya,
Tulang sikut yang tajam itu diikat pita merah, Sudah tanagn
kirinya buntung, juga kaki kirinya pincang, kaki itu tak dapat
menginjak tanah, terpisah kaki itu dari tanah ada sekitar tiga
dim, Karena itu, untuk dapat barjalan ia mengandalkan kaki
kanannya dengan ditunjang tongkat besinya itu yang terus
memperdengarkan suara, sebab tongkat itu adalah pengganti
kaki pincangnya itu, Sudah wajahnya luar biasa, juga pakaian
orang itu beda daripada dandanan kebanyakan orang, Dia
memakai baju makwa, baju pendek seperti rompi, yang
melapisi baju panjangnya, Makwa itu berwarna biru, dan
jubahnya bersulam, bahannya bahan mahal, bukan saja bersih
tetapi juga masih baru sekali, Hanya sedikit aneh, pakaian itu
ditambal tujuh atau delapan tambalan, sedang bahan
tambalannya itu adalah kain2 tua yang robek dari berbagai
warna, Maka dialah seorang yang tidak karuan, yang agaknya
mendatangkan rasa jemu. . . .
In Bu Yang melengak setelah mengawasi orang itu, ia
agaknya heran dan kaget;
"Sahabat, adakah kau Tokpi Koayto yang menyebut dirimu
Poantian Sinkay?" ia lantas menegur, suaranya membentak.
Bu Yang benar mengasingkan diri didalam gunung, akan
tetapi ia bukannya sama sekali tak pernah bepergian, Setiap
beberapa tahun sekali, suka juga ia turun gunung, dan
pendengarannya juga masih terang, Demikian kira2 lima atau
enam tahun yang lalu, ia mendengar khabar bahwa didalam
kalangan Hitam, dipropinsi Siamsay Utara telah muncul
seorang begal tunggal, yang luar biasa macam dan tindaktanduknya,
Perampok itu biasa mengincar kaum piauwsu, dan
belum pernah dia memperlihatkan wajah aslinya, Mungkin
disebabkan tubuhnya cacat dan tak utuh lagi, maka dia
menamakan dirinya Poantian Sinkay (si Pengemis Sisa),
Dikalangan Hitam dan putih, dia dikenal sebagai Tokpi Koayto
(begal aneh bertangan satu), Sebenarnya Bu Yang pernah
hendak mencari dia, untuk menjajal kepandaiannya, akan tetapi
karena orang menyembunyikan diri, ia tidak peroleh
kesempatan bertemu, Maka aneh, sekarang sibegal aneh ini
muncul sendirinya.
Mendengar suara Bu Yang itu, Butong Ngoloo juga terkejut,
hingga mereka turut mwngawasi.
"Hm! Hm!" orang cacat itu memperdengarkan suaranya
yang dingin, Lantas dia tertawa hingga dua rintasan, Itu artinya
dia menyangkal tegurannya Bu Yang.
"Kau datang kemari, Tuan, apakah maksudmu?" Bu Yan
bertanya pula, Ia tidak memperdulikan sikap jumawa orang itu.
"Akulah dedengkotnya penjahat!" orang itu menyahuti,
"Aku datang kepada kau, maling kecil, untuk minta kau
berlaku hormat padaku, dan meminta kau menghadiahkan
sesuatu!" Mendengar itu Bu Yang lantas menjadi gusar; "Kau
menghendaki hadiah apa?" dia menanya.
Orang itu tertawa dingin, seram suaranya;
"Kau sudah mencuri kitab ilmu pedang dari Bouw Tok It,"
Sahutnya, "Kau telah pakai itu selama delapan belas tahun,
apakah tempo itu belum cukup lama" Maka sekarang lekas kau
serahkan kitab itu padaku!"
Bu Yang kaget, Tentang kitab itu adalah semacam rahasia,
maka aneh, mengapa pengemis aneh ini bisa mendapat tahu"
Tapi karena ia seorang yang berani dan sudah berpengalaman,
ia tidak menunjukkan sesuatu, hanya tercengang sebentar, lalu
ia bersikap biasa lagi, Ia tertawa terbahak.
"Tuan, dengan tubuhmu semacam ini, apa perlunya kau
dengan kitab itu?" ia menanya, "Tuan menamakan dirimu
Setengah Sisa, sudah selayaknya saja apabila kau tahu diri
sendiri! Apakah kau hendak menggunakan senjata pedang"
Itukan tidak bisa, kecuali kau menitis kembali menjadi satu
orang lain!"
Ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat adalah satu ilmu pedang luar
biasa, cara bagaimana itu dapat dipelajari oleh seorang yang
tangannya buntung dan kakinya pincang" Bu Yang
mengatakan hal sesungguhnya, cuma dia terlalu menghina
orang. So So juga jemu terhadap sicacat itu, tetapi ia juga merasa
ayahnya agak keterlaluan, Maka pikirnya, "Meskipun dia agak
jumawa, tetapi dia adalah seorang cacat, dia seharus dikasihani
juga, kenapa ayah menghina dia?"
Biasanya, kalau seorang yang cacat dibicarakan cacatnya,
dia akan menjadi tidak senang bahkan gusar, akan tetapi aneh
adalah sibuntung dan sipincang ini, dia sama sekali tidak gusar,
Cuma kedua matanya, yang sinarnya keluar dari balik
topengnya, kelihatan bercahaya tajam.
"Aku sendiri tidak dapat memakai pedang karena cacatku,
tetapi muridku dapat," katanya, memberi keterangan,
"Sebenarnya dia sendiri yang hendak datang padamu untuk
merampas kitab itu, hanya karena ia sabar, dia dapat menunggu
waktu, Adalah aku sendiri yang tidak dapat menunda hingga
sepuluh tahun lagi, maka sekarang aku datang meminta barang
curian itu, Aku anggap inilah cuma perbuatan pindah tangan
saja, dan kitab itu untuk kuhadiahkan padanya!"
Baik kelakuannya, maupun cara bicaranya manusia cacat
ini, hebat luar biasa, benar nada suaranya dibuat tajam, tetapi
Bu Yang seperti mengenal suara orang itu, hanya tak ingat,
siapa orang ini dan dimana ia pernah bertemu dengannya, Ia
menjadi berpikir keras untuk meng-ingat2nya, Dengan mata
tajam ia mengawasi mata orang, ia maju setindak lebih dekat.
"Siapakah itu muridmu?" ia tanya, suaranya keras.
"Siangkoan Thian Ya!" Jawabannya juga keras, bahkan
membuat Bu Yang melengak karena heran.
So So tidak kurang herannya, hingga ia berpikir, Berhubung
perkenalannya dengan Tan Hian Ki, sinona menjadi terkesan
baik terhadap pemuda she Siangkoan itu, Pikirnya: "Thian Ya
orang macam apa, mustahil dia sudi menjadi muridnya?"
Tetapi ia halus budi pekertinya, biarpun ia mendongkol, ia
tidak mau mencaci atau menegur pengemis aneh itu, Ia hanya
berdiam saja. Sebaliknya adalah Ti Wan Tiangloo, Bukankah orang menyebut2
ahli waris dari Butong-Pay itu" Kenapa pengemis ini
mengaku ahli waris itu sebagai muridnya" Biar ia menjadi
imam, setelah sekarang pulih kesehatannya, ia menjadi gusar
dan tak dapat mengendalikan diri.
"Ngaco belo!" ia membentak, "Siangkoan Thian Ya adalah
ahli waris Butong-Pay, dia akan menjadi Ciangbunjin,
berdasarkan apa kau, si-jelek ini, berani mengambil dia
sebagai muridmu?"
Orang tanpa daksa itu tertawa, dingin suara tawanya;
"Meskipun aku jelek, akan tetapi dibandingkan dengan
kalian beberapa orang tua pendusta, aku masih jauh lebih
baik!" katanya, "Siangkoan Thian Ya demikian lunak, dia
sendiri ingin mengangkat aku menjadi guru, apakah dengan
begitu kamu mau menganggap aku tidak mempunyai murid
dan hanya hendak merampas Ciangbunjin-mu" Hm!"
Mata Ti Wan terbelalak, hampir2 dia pingsan, Tak terkira
kemurkaan dan kedongkolannya itu, Ketika itu, Bu Yang
menyelak, Tiba2 saja ia ingat akan sesuatu.
"Kau telah datang kemari, apakah kau masih tidak mau
memperlihatkan wajahmu yang asli kepada sahabat lama?"
demikian tanyanya dengan lantang, Kata2 ini disusul satu
lompatan yang gesit, serta sambaran tangan yang cepat, untuk
menjambret topeng sipincang yang buntung itu.
In Bu Yang lihay sekali, jarak diantara mereka juga cuma
beberapa kaki, seharusnya tidak nanti ia gagal dengan
serangannya itu, akan tetapi kenyataannya lain sekali, Adalah
diluar dugaan, bahwa meski kakinya buntung, sipengemis aneh
itu gesit luar biasa, Dengan tongkat besinya diketukkan pada
tanah, hingga bersuara nyaring, tahu2 tubuhna telah melesat
setombak lebih, maka loloslah ia dari cengkeraman siorang she
In. Saking heran, So So sampai menjerit.
"In Bu Yang, kau ingin melihat wajahku yang asli?" tanya
sioran aneh, suaranya dingin, "Hm, mana aku masih
mempunyai wajahku yang asli untuk diperlihatkan kepadamu"
Tapi biarlah bila kau ingin melihatnya, terserah padamu, hanya
aku khawatir kau nanti merasa tidak enakhati!.
. ." In Bu Yang menatap wajah orang itu, Begitu juga So So dan
Butong Ngoloo, mereka turut mengawasi, Mereka pun ingin
sekali mengetahui siapa dia itu.
Siorang aneh mengangkat tangannya kewajahnya, dengan
perlahan ia merabah topengnya, begitu cepat topeng itu
disingkirkan, begitu juga hati Bu Yang bergoncang, sedang si
nona lantas menutupi mukanya, Butong Ngoloo juga tak
kurang herannya, mengawasi dengan bengong, hati mereka
ngiris. Pengemis dengan kaki dan tangan buntung itu benar2
istimewa wajahnya, jelek bukan main, Sungguh diluar dugaan
siapa saja, Muka itu penuh tanda luka yang malang melintang,
ibarat bagaikan benang kusut, Dimata So So dan Bu Tong
Ngoloo, wajah itu jelek dan menakutkan, tapi dimata In Bu
Yang, lebih dari sekedar itu.
Bu Yang adalah seorang ahli pedang nomor satu pada jaman
ini, matanya tajam melebihi orang lain, maka ia dapat melihat
dengan tegas bahwa tapak itu adalah bekas guratan ujung
pedang yang lancip tajam, Guratan itu mirip dengan tulisan
cepat yang singkat oleh seorang ahli, meski guratannya tampak
kacau, tetapi ada jalannya goresan itu, hingga tidak terlihat ditulang2
pipi, tidak juga merusak mata dan hidung, Bu Yang
berpikir, kalau ia yang melakukannya, tidak nanti ia dapat
menggurat seperti itu, Maka, siapakah si-ahli pedang yang
mencacah muka sipengemis aneh ini"
"Bagaimana?" tanya sipengemis, dengan dinginnya, "Kau
tidak mengenali aku" Ia pun tertawa mengejek."
Bu Yang segera memperdengarkan suaranya, yang seperti
gerutuan. "Kau adalah Giokbin Hiapkay Pit Leng Hong! dia
menjawab agak ragu2.
So So telah menutup mukanya, akan tetapi begitu
mendengar suara ayahnya, ia pelan2 menurunkan kedua
tangannya, ia membuka matanya sedikit, untuk melihat, Ia
masih tidak berani memandang orang dengan kedua matanya
dengan lebar, Dalam herannya, ia berkata dalam hatinya;
"Manusia begini aneh tetapi demikian indah julukannya. . . ."
"Giokbin Hiapkay" itu berarti Pendekar Pengemis Wajah
Kumala. Memang juga, pada dua puluh tahun yang lalu, Pit Leng
Hong adalah seorang pria yang tampan sekali, karenanya, ia
memperoleh julukan itu, Hanya karena hidup sebagai pengemis
yang gagah dan murah hati, ia dapat tambahan Hiapkay itu
(Pendekar pengemis), Kakaknya ialah Pit Leng Hi, adalah satu
diantara tiga orang gagah luar biasa pengikut Thio Su Seng,
Mereka bertiga ialah; "Ceng Too Kay" artinya pendeta, si
imam, dan si pengemis, Dua yang lain si pendeta dan si imam
ialah Pheng Eng Giok dan Cit Siu Toojin, Sedang Pheng Eng
Giok itu, ber-sama2 Cio Thian Tok dan In Bu Yang adalah
yang dikenal sebagai "Liong Houw Hong Samkiat, "ialah si
Naga, si Harimau, dan si Burung Pheonix.
Enam jago itu sama tersohornya, hanya didalam hal
kedudukan, Pheng Eng Giok melebihi lima yang lainnya, Ini
disebabkan Pheng Hweesio menjabat menjadi gurunya Cu
Goan Ciang dan Thio Su Seng, Pit leng Hi berada bersama
didalam pasukan tentera, ia mengagumi Pheng Hweesio, ia pun
minta diangkat menjadi murid, maka ia terhitung murid yang
ketiga, Kepandaian Pit Leng Hong ini didapat dari Pit Leng Hi
kakaknya, dengan begitu, meskipun secara tidak langsung,
iapun telah mewarisi kepandaiannya Pheng Eng Giok, hingga
untuk menjunjung paderi itu, ia mengaku ialah murid Eng
Giok, Leng Hong adalah seorang bebas, tidak betah ia berdiam
dalam pasukan tentera, ia bergabung kedalam dunia pengemis,
Ia tidak bergaul rapat dengan In Bu Yang, tetapi mengingat
persahabatan Bu Yang dengan kakaknya, waktu dulu mereka
telah mengaku saudara satu dengan lain, Satu tahun sebelum


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keruntuhan Thio Su Seng, mereka berdua telah terpisah, maka
itu, dengan pertemuan hari ini, sebenarnya mereka sudah
berpisah selama sembilan belas tahun.
Sekarang melihat wajah orang itu, Bu Yang heran sekali,
Ada dua hal yang tak dapat ia simpulkan, Tak banyak tokoh
persilatan yang bisa mengalahkan Leng Hong, maka siapakah
tokoh kosen yang dapat menaklukkan dan mencacah wajahnya
sedemikian rupa" Kenapa dia tidak dibunuh saja" Dan yang
kedua yaitu, dahulu Pit Leng Hong menghormati dia, kenapa
sekarang sipengemis aneh ini datang dengan tingkah laku yang
sangat memandang enteng kepadanya, bahkan menyebut
dirinya 'simaling kecil' dan berani meminta kitab ilmu pedang
padanya" Mungkinkah, karena wajahnya sudah berubah
tabiatnya pun turut berubah juga" Atau, karena dia mengetahui
rahasianya, maka dia jadi berani datang untuk memerasnya"
Mengingat semua itu, Bu Yang menjadi mendongkol.
"Sudah sembilan belas tahun kita tidak bertemu satu dengan
lainnya," katanya sengit, "Sekarang kau datang kepadaku,
apakah maksudmu cuma menghendaki kitab ilmu pedang?"
Pit Leng Hong menjawab tawar;
"Aku telah menerima seorang murid baru, sudah seharusnya
jikalau aku menghadiahkan sesuatu kepadanya, Oleh karena
kitab itu asalnya ialah miliknya, maka jikalau aku tidak
mencari kau, aku mesti cari siapa lagi?"
Bu Yang bertepuk tangan;
"Ha, sayang kau telah datang terlambat satu tindak!"
katanya tawar, "Kitab oitu baru saja aku robek hancurkan!
Jikalau Siangkoan Thian Ya berniat mempelajari ilmu silat
pedang, suruhlah dia menghadap aku."
Pit Leng hong tetap tertawa dingin;
"Justeru karena Siangkoan Thian Ya tidak sudi belajar
padamu, ia jadi sudah mengangkat aku menjadi guru!" ia
melanjutkan, "Baiklah karena kitab sudah kau bikin rusak, aku
sekarang hendak meminta sebuah barang darimu untuk aku
tetap dapat menghadiahkan padanya!"
Kata2 ini ditutup dengan tekanan tongkat besinya ketanah,
dan jejakkan kakinya yang utuh, dengan begitu tubuhnya jadi
mencelat kearah So So, bersamaan dengan itu, tangannya
diulur untuk merampas pedang yang ada ditangan sinona.
So So kaget, hingga ia tak sempat menjerit, Pit Leng Hong
demkian gesit, begitu juga In Bu Yang, Melihat sipengemis
mencelat, ia ikut mencelat juga, disaat tangan sipengemis
diulur, tangannya dipakai untuk menyerang tangan orang itu,
seraya ia membentak;
"Pit Leng Hong, kau berani berlaku begini kurang ajar?"
Hebat serangan Bu Yang, tetapi serangan itu tidak mengenai
sasarannya, dengan kegesitannya, Pit Leng Hong dapat
menghindarkan diri, dengan begitu ia menjadi batal merampas
pedang sinona. "Kau juga mendapatkan pedang Kungo-kiam itu dengan
jalan mencuri!" berkata sipengemis, suaranya terus-menerus
dingin, "Kau mencurinya dengan terang2an, sedangkan aku
dengan jalan merampas, Karena perbuatan kita sama sifatnya,
cara bagaimana kau berani mengatakan aku kurang ajar?"
Hati So So baru saja menjadi tenang, lalu sekarang ia
menjadi heran, sampai ia tercenggang, Aneh kata2nya
sipengemis ini, Kenapa dia mengetahui pedangnya itu adalah
Kungo-kiam dan mengetahui juga ayahnya mendapatkannya
dari mencuri" Ia lantas teringat saat pertama kali ia bertemu
Tan Hian Ki, pemuda itu telah bertanya padanya, apakah
pedang itu warisannya atau bukan. . .Mungkinkah. .
.mungkinkah benar pedang ini hasil curian" Namun, semenjak
ia kecil, ia mengetahui pedang itu sudah ada dirumahnya, dan
ayahnya pernah mengatakan, bahwa pedang itu adalah pusaka
Keluarga In. Tidak berhenti sampai disitu pikiran si nona ini, kalau benar
pedang ini adalah hasil curian, setelah berselang begitu banyak
tahun, kenapa pemiliknya tidak pernah datang untuk mencari
atau memintanya pulang" Mungkinkah sipemilik itu juga telah
dibinasakan ayah"
"Ah, mungkinkah ini adalah dosa besar itu,yang disebut
ayah sebagai dosa yang tak berampun?" ia berpikir lebih jauh.
Tapi cepat juga pikirannya itu berubah lagi, Sipemilik
pedang pasti bukan orang sembarangan, andaikata benar
ayahnya mencuri pedangnya itu dan membunuh pemiliknya,
mustahil dalam dunia Rimba Persilatan tidak timbul
gelombang dahsyat sebagai akibatnya" Seharusnya sahabat2
sipemilik pedang akan bergerak untuk menghukum atau
meminta pulang, tidak nantinya mereka berdian diri saja,
Adalah aneh hari ini sipengemis datang memintanya.
So So menjadi bingung sendiri, hingga ia ingin cepat2
mendapatkan pemecahannya, Hingga lupa kepada sipengemis
yang mukanya menakutkan itu, ia lantas berpaling kepada
ayahnya dan mengawasinya, Ia ingin mengetahui bagaimana
ayahnya akan bertindak terhadap pengemis itu, Melihat pada
ayahnya kembali, ia menjadi heran.
In Bu Yang memperlihatkanroman dan sikap yang tak
biasanya, Dia berdiri diam seperti orang yang tertotok jalan
darahnya, Kulit mukanya agak tegang dan matanya bersinar
tajam, Agaknya ia terbenam dalam ke-ragu2an. Tapi tiba2 saja
ia berseru; "Pit Leng Hong, cepat kau menyingkir! Kalau kau terlambat
satu detik saja, aku bakal tidak dapat menguasai diriku lagi!"
Suara itu bergemetar, sepuluh jari dari kedua tangannya bergerak2,
diluruskan dan ditekuk bergantian, hingga terdengar
suara meretak, Kelihatannya jago ini seperti hendak melakukan
pembunuhan. So So kaget dan takut, hatinya menjadi dingin, Melihat
sikap ayahnya itu, mungkin benar pedang itu mempunyai asalusul
aneh, Kalau tidak, mengapa sikap ayah menjadi seperti
binatang buas yang terluka" Bukankah kata2nya sipengemis
aneh bagaikan tusukan anak panah" Sipenegemis tidak takut
dia bahkan tertawa tergelak;
"In Bu Yang kau mau membunuh aku?" tanyanya, "Jikalau
aku takut, tidak nanti aku datang kemari" Benarkah kau
menganggap, setelah mendapatkan kitab pedang dan
membinasakan Cio Thian Tok, kau pandang dirimu sebagai
ahli pedang nomor satu dikolong langit ini" Selagi masih ada
muridnya Pheng Hweesio disini, aku khawatir tidak dapat kau
bertingkah!"
"Kalau Pheng Hweesio berada disini, mungkin aku takuti
dia tiga bagian," berkata Bu Yang, "Sekarang ini, walaupun
kakakmu hidup lagi aku tidak takut! Kau sendiri, kau makhluk
apakah?" Meluap hawa amarahnya orang she In ini, hingga ia
mengibas dengan tangannya, jari tangannya bergerak bagaikan
orang mementil pipee, Itulah jurus penyerangan dengan Itcisian.
Pit Leng Hong tetap tidak jeri.
"Jikalau kau tidak menggunakan pedang, aku juga tidak
akan memakai senjata!" katanya sama dinginnya, Dia lantas
menancap tongkatnya ditanah, tangannya itu terus diputar,
untuk memapaki serangan Bu Yang.
Butong Ngoloo telah menyaksikan jari tangan yang lihay
dari Bu Yang, mereka telah merasakannya, maka mereka heran
atas keberaniannya sipengemis pincang dan buntung ini.
"Mungkinkah pengemis ini mengerti ilmu sesat, sehingga ia
tidak takut terhadap ilmu Itci- sian?" tanya mereka didalam
hati. Atas tangkisan lawan In Bu Yang berubah paras mukanya,
tangannya ditarik pulang, ia batalkan serangan dengan jari
tangannya, tetapi dengan membuka telapak tanganya, untuk
menyambut tangan orang, Tidak ampun lagi, kedua tangan
bentrok satu sama lain, Tampaknya kedua pihak mengerahkan
seluruh tenaga mereka, tetapi ketika kedua tangan bentrok,
tidak terdengar suara apapun juga, tangan sipengemis lembek
bagaikan getah.
Butong Ngoloo heran, hingga mereka mengawasi dengan
takjub! Nyata Pit Leng Hong mempunyai kepandaian
melemaskan tangan seperti kapas, maka tangan In Bu Yang
seperti memukul lumpur, bukan saja tenaganya jadi tak
berdaya, bahkan sebaliknya tangan itu seperti disedot, Itci- sian
bisa menutup jalan darah, tetapi kali ini, punahlah kekuatannya
itu, Karena itu ia lantas mengubah tangannya menjadi terbuka.
"Gunakan kedua tanganmu berbareng!" Pit Leng Hong
berseru menantang.
"Hm!" In Bu Yang memperdengarkan ejekannya, Ia tidak
memperdulikan tangan itu, ketika ia menyerang kembali, ia
menggunakan sebelah tangannya, Hanya sebentar saja, Bu
Yang telah mengeluarkan keringat dingin pada jidatnya.
Mendadak ia berseru: "Ha, kiranya kaulah yang merusak
pintu goa dari kamar samedhiku ini!"
Pit Leng Hong tertawa;
"Telah aku mengatakannya," jawabnya, "Kau tidak mau
percaya, habis apa lagi yang aku bisa jelaskan" Jikalau aku
tidak menghajar pintu goamu, cara bagaimana aku dapat
membawa pergi Siangkoan Thian Ya?"
So So heran bukan main, Walaupun ia tidak percaya, ia
tetap mesti percaya keterangan pengemis ini, Memang aneh
menghilangnya Thian Ya.
Butong Ngoloo juga heran bukan kepalang, Melihat begini,
mestinya In Bu Yang bakal menemui batunya, Mereka heran
bercampur gembira, Betapa tidak girang melihat lawannya
yang tangguh itu bakal roboh" Mereka tidak memintanya,
tetapi sama juga seperti meminjam tangan manusia aneh ini,
Hanya hati mereka menjadi dingin, ketika mereka ingat
simanusia aneh ini memaksa Thian Ya, bakal Ciangbunjin
mereka menjadi muridnya. . .
Sebenarnya dalam hal tenaga dalam, Bu Yang lebih unggul
dari Pit Leng Hong, kalau sekarang ia kewalahan, itu
disebabkan ia telah banyak mengeluarkan tenaga saat
bertempur dengan Butong Ngoloo, sebab Ngolui Thiansimciang
dari kelima jago Butong hebat sekali, Coba kalau tadi ia
tidak makan pil Siauwhoan-tan, mungkin ia tak dapat bertahan
begitu lama. Beberapa saat kemudian, keringat dijidat Bu Yang
menjadi titik2 besar.
"Gunakan kedua tanganmu!" Pit Leng Hong berkata pula
seraya tertawa dingin.
Memang Bu yang Tak mau menggunakan ke-dua2
tangannya, karena yang dia hadapi adalah seorang cacat, yang
kaki dan tanganya tinggal sebelah" Ia masih percaya akan
ketangguhannya sendiri, iapun akan merasa malu, tetapi
sekarang" sekarang ia menjadi ragu2, Ia tahu bahwa ia sudah
mengeluarkan banyak sekali tenaga, maka andaikata ia
menggunakan ke-dua2 tangannya, juga belum tentu akan
berhasil, Maka sambil menahan perasaan ia tertawa dingin dan
berkata; "Inilah kau yang menghendaki sendiri!'
"Kau gunakanlah kedua tanganmu, mati pun aku tak
menyesal!" menyahut Pit Leng Hong.
Tanpa ayal lagi, Bu Yang merangkap kedua tangannya,
Inilah serangan yang dapat menggempur batu, Tubuh Pit Leng
Hong, yang ditahan cuma oleh sebelah kakinya, lantas bergoyang2
tak henti2nya, bergerak kedepan lalu kebelakang,
kekiri dan kekanan, tubuhnya itu mirip sebuah perahu kecil
diantara hempasan gelombang.
So So yang menyaksikan itu, biar bagaimana ia merasa
jemu, ia toh merasa kasihan juga, Bukankah orang bercacat,
tinggal sebelah kaki dan sebelah tangannya" Karena itu ia
hendak meminta pada ayahnya, untuk memberi ampun, tetapi
mendadak ia melihat paras ayahnya itu berubah, lenyap
keringat dari jidat sang ayah, sebaliknya disitu tampak jelas
urat2nya yang biru.
Meskipun ia merasa heran, si nona masih tidak percaya
bahwa ayahnya lagi terancam bahaya, Karena itu, ia batal
meneriaki ayahnya itu.
Hebat tenaga tangannya sipengemis aneh, Begitu dahsyat
kedua tangannya Bu Yang, tangan itu seperti batu dilempar
kedalam air, hilang tanpa bekas2nya, Sudah begitu dari tangan
siorang aneh telah keluar hawa dingin yang merembes kedalam
tangan lawannya, menembus ke-ulu hati, Bu Yang kaget
hingga ia mesti mengempos semangatnya, untuk
mempertahankan diri, meski begitu ia masih merasakan tak
sanggup. . . Pit Leng Hong merasa puas sekali, ia tertawa lebar, Karena
tertawanya itu, wajahnya tampak jadi semakin luar biasa,
Cuma satu kali ia tertawa, lalu ia berkata dengan suaranya
dingin; "Jikalau kau menyayangi jiwamu, serahkan pedang itu!"
So So yang memegang pedang maju dua tindak;
"Ayah, beri saja dia!" ia berkata kepada ayahnya, Ia seperti
putus asa, Biar bagaimana, ia menyayangi ayahnya itu.
Mata Bu Yang mencorong memandang puterinya, Itulah
sinar berupa teguran, rupanya sang anak mengerti, mau tidak
mau, ia terpaksa mundur kembali.
Dengan tiba2 terdengar Bu Yang membentak, kedua
tangannya ditarik pula, lalu dimajukan kembali, Dibelakang
telapak tangannya dan dijidatnya juga, terlihat otot2 yang
menonjol keluar, seperti ia tengah mendorong beban yang
beratnya mencapai ribuan kati.
So So mengetahui bahwa sang ayah telah mengerahkan
semua tenaga dalamnya, Itulah hebat, Tubuh Pit Leng Hong
kembali bergoyang, senyuman pada mukanya lenyap seketika,
tetapi meskipun demikian, kaki tunggalnya itu tetap bertahan
pada muka bumi, bagaikan karang kokohnya.
Lewat sesaat kemudian, terlihat Pit Leng Hong pun menjadi
seperti Bu Yang, peluhnya keluar mengucur, Hanya berbareng
dengan itu, kulit wajah Bu Yang berubah menjadi matang biru.
Selagi dua jago ini bertempur hebat, mengadu tenaga dalam
mereka, Butong Ngoloo berdiam bersemedhi, mereka berdiam
ditanah untuk memulihkan tenaga mereka, Cuma mata mereka
yang terus mengawasi, mata mereka itu mengeluarkan sorot
heran dan ngeri.
Memang Pit Leng Hong dan juga In Bu Yang sudah
bertarung sampai pada taraf puncak penentuan hidup mati
mereka, Tenaga dalam Bu Yang dikumpul diujung jari
tangannya, dari sana keluar hawa panas, Itulah hawa panas
untuk menahan serangan hawa dingin dari tangan Pit Leng
Hong, hawa untuk membalas serangan.
Sudah tentu Pit leng hong kalah tenaga dalam, sebab ia
mempelajari ilmu Pheng Hweesio dengan perantara kakaknya


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pit Leng Hi, dan apabila sekarang ia dapat melawan, itulah
disebabkan In Bu Yang sudah terlalu lelah habis menempur
Cio Thian Tok dan Butong Ngoloo, semua lawannya tangguh
luar biasa. Kembali sang waktu berjalan lewat, Dari samar2 warna
matang biru dimukanya Bu Yang menjadi semakin terlihat
tegas, Sekarang dia mengeluarkan pula keringat sebesar kedele,
Karena itu, bajunya mulai basah, Dari sinar matanya yang layu,
nyata ia sudah mulai kehabisan tenaga.
Sampai disaat itu, se-konyong2 Pit Leng Hong berseru
secara aneh, tangannya ditolak perlahan kedepan, Bu Yang
menggunakan ke-dua2 tangannya, tapi agaknya ia tak dapat
bertahan, itu terlihat dari kedua tangannya yang mulai
melengkung. Disaat yang sangat genting itu, tiba2 saja Kok Ciong dari
Butong Ngoloo melompat bangun sambil menjerit hebat;
"Kiranya kau simakhluk aneh yang membinasakan guruku!"
Seruan itu tidak hanya membuat So So menjadi bingung,
tetapi juga Bu Yang menjadi heran sekali, Maka orang she In
iniberkata didalam hatinya: "Kelakuan Pit Leng Hong hari ini
memang sangat aneh, Dulu dia dikenal sebagai Kayhiap
(pendekar pengemis), dengan mertua-ku, dia tidak ada
hubungannya, maka itu, kenapa dia melakukan pembunuhan
pada mertua-ku itu" Sebelumnya Kok Ciong menuduh aku,
kenapa sekarang ia berbalik menuduh Pit Leng Hong?"
Bu Yang memandang gelap untuk semua itu, Kematian
Bouw Tok It diliputi suasana misterius, Ketika itu Kok Ciong
memang seperti mendampingi gurunya itu, Waktu itu ditengah
malam Kok- Ciong mendengar suara gurunya sedang
bertempur dengan seorang yang tidak ia kenal, Ia lari
memburu, tetapi musuh itu sudah melarikan diri, tinggal
gurunya yang sudah tidak mampu bicara, muka guru itu
matang biru, warnanya itu sama dengan mukanya In Bu Yang
sekarang, Karena inilah maka ia menuduh Pit Leng Hong.
Kok Ciong tidak cuma berseru, diapun melompat maju
untuk menyerang, Perbuatannya ini diikuti oleh empat
saudaranya, yang maju dengan berbareng, Mereka mengambil
sikap mengurung, sepuluh jari tangan mereka mengarah satu
jurusan, Mereka ini belum pulih keseluruhannya, tetapi Ngolui
Thiansim-ciang dasarnya hebat, tak dapat itu dipandang
enteng. Diserang secara mendadak demikian rupa, Pit Leng Hong
berseru sambil kaki tunggalnya berputar, membawa badannya,
menyusul mana badannya itu melompat, mencelat
berjumpalitan, selagi tubuhnya itu bergelantungan diudara,
kakinya terus menendang, ujung kakinya mencari jalan darah
pekhay diiganya Ti Hong, sedang tangan kanannya yang utuh
itu, menyambar pipi Ti Kong Tiangloo, Tangan kirinya yang
buntung itu masih ada sikutnya yang tajam pula, tajam sebab
dilapis besi yang terbungkus pita merah, maka dengan sikutnya
itu ia menghajar jalan darah sianki didadanya Ti Wan
Tiangloo, Maka itu sungguh hebat sitanpa dakpa ini, berbareng
ia dapat menggunakan tiga anggota tubuhnya itu untuk
menyerang, berbareng kepada tiga musuh yang lihay.
Serangan Butong Ngoloo telah berlangsung tatkala mereka
melihat sasaran mereka mencelat dan berjumpalitan, kedua
tangannya bergerak terpentang, sebelah kakinya bergerak juga,
Ti Hong Dan Ti Kong kaget, hingga hati mereka terkesiap,
belum sempat mereka melihat apa2, tubuh mereka sudah
mental kira2 satu tombak, Hanya syukur buat mereka, jatuh
tubuh mereka tidak terbanting, bahkan seperti ada orang yang
menurunkannya secara perlahan, hingga mereka tak merasakan
sakit, Setelah itu tahulah mereka, bahwa mereka telah ditolong
oleh In Bu Yang, yang membebaskan mereka dari serangan
berbahaya dari Pit Leng Hong.
Sementara itu sikut kiri Leng Hong telah menyambar
kedada Ti Wan, imam ini terancam bahaya, sebab baginya
tidak ada lagi waktu untuk menarik kembali kedua tangannya,
Disamping itu, In Bu Yang telah memperlihatkan
kehebatannya, adalah jari tangannya dengan ilmunya Itci-sian
menyerang kesikut kiri siorang she Pit, tepat diujungnya sikut
hingga pitanya robek dan tampak ujung besinya, terlihat ada
ukuran naga2an, Melihat ukiran itu, Bu Yang kaget sekali,
mendadak saja ia merasa seperti melihat sesuatu yang aneh,
yang membingungkan hatinya, belum lagi jelas baginya, tiba2
ia telah merasakan satu hawa dingin menyerang ulu hatinya,
Dan tak tertahankan lagi ia roboh terguling dengan terbanting,
Dilain pihak tubuh Len Hong yang kurus kering itu, bagaikan
layangan putus, terpental tiga tombak lebih melayang kebawah
tanjakan, kemudian terdengar suara sindirannya "Hm! Hm!"
dan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia menghilang dikejauhan,
tak tampak lagi bayangannya.
In Bu Yang dan Butong Ngoloo tidak dapat berbuat apa2
terhadap musuh itu, barulah setelah bekerja sama, mereka
dapat menghaiar hingga lawan mereka terpental, Lebih dulu Pit
Leng Hong kena tertotok oleh Bu Yang, baru ia digempur
serangannya Butong Ngoloo.
Sekian lama So So menjublak, baru ia tersadar ketika ia
mendengar suaranya Ti Wan Tiangloo, suara yang dalam
sekali; "Dengan ini impas sudah budi atas pemberian obatmu, maka
marilah kita bertemu pula dilain waktu!" lalu mereka berlima
bertindak pergi.
In Bu Yang mengawasi orang berlalu, mulutnya bungkam,
dan wajahnya guram, Agaknya ia masih memikirkan sesuatu
yang masih gelap sekali untuknya, yang sulit dicari pemecahan
dan atas keputusannya.
"Ayah, kau kenapa?" So So menanya.
"Kakek luarmu telah dibinasakan orang aneh itu," menyahut
Bu Yang dengan perlahan, Ia berhenti sebentar, lalu
menambahkan; "Pit Leng Hong terkutung tangannya,
terbuntung kakinya dan dirusak wajahnya, semua itu adalah
perbuatan kakek luarmu itu. . ."
Nona itu menggigil sendirinya, Ia heran, Belum pernah ia
melihat kakek luar itu, akan tetapi menurut keterangan ibunya,
kakek itu tabiatnya keras akan tetapi hatinya lembut, maka ada
dendam apa diantara kakeknya dengan siorang aneh itu,
sehingga keduanya bertempur secara demikian hebat". . ."
"Pit Leng Hong itu dikenal dengan julukannya Giokbin
Kayhiap," berkata pula Bu Yang, "dia tadinya tampan tetapi
telah dibuat oleh kakekmu jadi begitu jelek, sudah tentu saja
dia jadi sangat gusar dan penasaran, maka juga dia telah
gunakan tangan jahatnya untuk menuntut balas, Dilengan
buntungnya itu ada cacahan naga2an, itulah tanda dari kakek
luarmu, Sebenarnya telah aku melihatnya, kecuali kakek
luarmu itu, dikolong langit ini tidak ada orang lain yang lebih
lihay ilmu pedangnya, Hanya sebegitu jauh aku tahu, diantara
mereka tidak ada hubungannya, kenapa mereka jadi bentrok
demikian hebat" Inilah yang membuat aku sangat tidak
mengerti."
So So bergemetar tangannya hingga "Traaang!" pedang
ditangannya terjatuh, terlepas dari cekalan diluar keinginannya,
Selama delapan belas tahun ia hidup tenteram dan damai setiap
hari bergembira, tetapi hari ini ia merasakan pukulan yang
dahsyat, Kejadian yang saling susul dan semuanya hebat2,
hingga hatinya berdebaran.
Ketika pertama kali bertemu dengan Hian Ki, dan Hian Ki
menyinggung tentang pedang ini, ia heran sekali, siapa tahu
kata2nya Poantian Sinkay ini lebih aneh dan mengejutkan,
Bukan hanya pedang ini, disebelahnya masih ada urusannya
kitab ilmu pedang.
"So So," berkata si ayah perlahan, tangannya menunjuk
pada pedang, "Apakah kau masih ingat perkataanku bahwa aku
pernah melakukan suatu dosa besar yang tak dapat aku
lupakan?" "Aku ingat ayah." menyahut si anak dara, tertunduk,
suaranya perlahan.
"Dosa itu timbul kerena pedang ini," In Bu Yang berkata
pula, "Ah, sebenarnya masih terlalu ringan Pit Leng Hong
menyebut kesalahanku itu, Dia mengatakan pedang ini telah
aku curi, Hal yang sebenarnya adalah lebih menakutkan
daripada itu, Aku. . .telah membunuh pemilik pedang itu, dan
dia. . .seumur hidupku dialah orang yang paling baik
terhadapku. . ."
So So menjerit saking kagetnya, Ia melihat kening ayahnya
mengeluarkan keringat, wajahnya penuh rasa penyesalan dan
kedukaan, Melihat itu, ia merasa sangat kasihan,
"Ayah kau ceritakanlah peristiwa itu," ia minta, "Jangan kau
simpan saja, supaya kau dapat melegakan hatimu, jangan kau
buat dirimu sengsara dan menderita karenanya."
"Tidak salah, So So. Memang. . .memang aku mau
memberitahukan padamu. . ." Suara orang tua ini menjadi serak
dan perlahan. So So mengeluarkan sapu tangannya, dengan itu ia
menyusuti peluh ayahnya itu, Ia merasakan keringat itu dingin,
meresap ditangannya, Ia terkejut.
"Peristiwa itu sangat panjang untuk diceritakan, aku
khawatir tak dapat aku menceritakannya sampai habis," berkata
pula si ayah. "Baiklah ayah beristirahat dulu," meminta sang anak dara.
"Pergi ayah bersamedhi, aku akan menunggu dan menjagamu."
"Tidak, tidak usah," berkata ayah itu. "Kau tolong saja aku
mengambil arak Kenghoa Hweeyang ciu, Sudah dua puluh
tahun aku simpan peristiwa ini didalam hatiku, memang sudah
lama aku mau menceritakannya, maka sekarang tidak mau aku
menanti lagi, kendati hanya tiga hari tiga malam sekalipun. . ."
Mendengar itu baru So So tahu bahwa ayahnya telah
mendapat luka parah didalam tubuhnya, bahwa Siauwhoan-tan
masih tidak dapat menolong, maka dia masih memerlukan arak
obatnya, Rupanya luka baru dapat dapat sembuh setelah diobati
selama tiga hari tiga malam.
"Kalau aku pergi, ayah," berkata anak ini. "kau berada
sendirian disini, hatiku tidak tenang. . ."
"Tidak apa, asal kau lekas pergi dan lekas kembali, Kau
bawa itu kerumah batu dimana aku menanti kau, Tidak nanti
datang pula Pit Leng Hong yang kedua."
Terpaksa So So menurut, maka ia pulang dengan ber-lari2,
disepanjang jalan, ia dipengaruhi kekhawatirannya, ia
merasakan pula bahwa disekitarnya ia dikurung dengan segala
rahasia, Bukankah sekalipun ayahnya, karena mengenai pedang
itu, membuatnya berpikir keras"
Tiba dirumahnya, sedih hati si nona, Gundul pohon
bweenya, cabang dan daunnya berserakan ditanah, Disitupun
ada segundukan tanah muncul yang teruruk dedaunan, Sunyi
segala apa, Mendadak ia ingat akan kedatangannya Hian Ki,
yang disusul berbagai peristiwa hebat itu, Sudah datang Butong
Ngoloo, datang pula Sipengemis aneh yang lihay itu, yang
membawa teka-teki baru, Semua kejadian yang tidak di-duga2,
Setelah semua itu, sekarang ayahnya terluka, ayah itu mau
membuka suatu rahasia, kembali ia memikirkan Hian Ki,
Orang yang kepada siapa ia hendak menyandarkan diri, Hanya,
kemana perginya anak muda itu"
Nona ini memanggil, hingga beberapa kali ia tidak
memperoleh jawaban, Ia telah terbenam dalam kesunyian,
Cuma datang jawaban dari kumandang suaranya sendiri, Ia
benar2 tidak mengetahui kemana perginya sianak muda. . . .
Kemana Hian Ki pergi" Mau atau tidak, So So
menenangkan diri, Ia ingat ayahnya hendak bicara empat mata
saja dengannya, dan Hian Ki disuruh menyingkir, Ia pun
memberi tanda pada pemuda itu untuk mengundurkan diri
sementara, Mungkinkah, karena itu Hian Ki menjadi tidak puas
dan emnyalahkan dia" Memang belum lama ia kenal pemuda
itu, tetapi hati mereka sudah lantas terikat satu dengan lain,
Tidak mungkin pemuda itu jengkel hati terhadapnya, tidak
nanti di jadi gusar karenanya, meski benar diantara dia dengan
ayahnya ada ganjalan, Maka itu, kenapa dia tidak menantikan
dirinya" Andaikata pemuda itu mengikuti dan mengintai
pertempuran, seharusnya sekarang juga dia sudah kembali. . . .
Tiba2 So So ingat akan sorot mata yang luar biasa dari Hian
Ki, ketika sianak muda mengundurkan diri.
Ketika ia melangkah memasuki kamar tulis, hatinya pun
seperti kosong, Delapan belas tahun lamanya ia hidup dirumah
ini, baru sekarang ia merasakan rumah itu bagaikan rumah
hantu, Ibunya sudah pergi, ayahnya berdiam dirumah batu,
Kalau nanti ayah itu sembuh, belum tentu dia akan lantas
pulang kerumah, Karena Hian Ki tidak ada, ia meresa sepi
sekali. Walau dalam keadaan seperti itu, So So tidak melupukan
kewajibannya, Ia lantas mengambil cupu2 merah besar yang
ayahnya perantikan menaruh arak kala dibawa ke-mana2, Ia
mengisi cupu2 itu, selagi berbuat begitu, ia ingat lagi pada
Hian Ki saat ia memberi arak itu padanya sehingga sianak
muda itu menjadi tak sadarkan diri, Tapi tak lama dia berpikir,
segera ia lari pula keluar, untuk pergi kerumah batu.
Matahari sudah silam di-barat, kamar batu guram. "Ayah,"
si anak memanggil.
Tak ada jawaban, Tercekat hati si nona, Ia terkejut.
"Ayah!" ia memanggil pula, kali ini ia terus bertindak
masuk, Ia harus me-raba2 untuk sampai dikamar ayahnya,
Akhirnya ia melihat juga ayahnya itu, yang lagi duduk
bersemadhi menghadap ketembok, Baru sekarang hatinya lega.
Dengan terus memegangi cupu2nya, So So menempatkan
diri disisi ayahnya itu, Ia tidak berani mengganggu pemusatan
pikiran ayahnya, dan ia hanya berdiam saja.
Beberapa saat kemudian, terlihat Bu Yang dengan pelahan
mengangkat kepalanya, Iapun lalu mengangkat tangan dan
diulurkan kepada anaknya.
So So lantas mengangsurkan cupu2 ditangannya itu, Si-ayah
menyambuti, terus diteguknya, dan terdengar suara gelokokan.
Lagi beberapa saat kemudian, baru sang ayah membuka
mulutnya, "Anak, kau duduk," suaranya bergemetar, "Kau
dengari penyesalan ayahmu. . ."
Tanpa adanya hawa dingin, si nona menggigil, Sebenarnya
ia sangat ingin mengetahui keterangan ayahnya itu, tetapi
sekarang ia menjadi takut untuk mendengarkannya, Bukankah
itu rahasia ayahnya" Dosa besar apakah yang telah diperbuat
ayahnya" Maka itu, tak tenang pikirannya, Dengan
menguatkan hati, ia mencoba menetapkan diri.
Selagi si-ayah ber-siap mau menceritakan dan sang anak
telah bersiap untuk mendengarkan, Tiba2 terdengar suara


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyanyian mengalun jauh dari dalam rimba, Samar2 tetapi jelas
itulah suaranya seorang wanita;
"Rembulan dilangit mengejar sang surya,
Nona di bumi mengejar kekasihnya,
Sang surya naik di timur,
Sang rembulan silam di barat,
Bidadari di istana rembulan sia2 berduka,"
Demikian nyanyian itu, nyanyian yang sebentar berhanti dan
sebentar diulangi, Selama berhentinya, samar2 terdengar suara
si nona me-manggil2, "Hian Ki! Hian Ki!. . ."
"Siapakah nona itu?" So So men-duga2, "Ada hubungan
apakah antara dia dan Hian Ki" Adakah dia si nona yang disebut2
Siangkoan Thian Ya" Mengapa Hian Ki yang dipanggil
nona itu?"
Tengan ia tenggelam dalam pikirannya, So So dibuat
terkejut suara ayahnya;
"So So, kau pikirkan apa?" begitu ayahnya bertanya, "Mari,
kesini lebih dekat, kau dengari aku, Adakah kau takut" Oh,
aku sendiri takut juga. . ."
Bu Yang lantas mulai menceritakan perbuatannya itu, yang
membuatnya menyesal sekali, yang ia katakan kesalahan atau
suatu dosa besar.
Tatkala itu matahari sudah turun kehabitatnya, maka kamar
batu itu menjadi gelap guram.
IX. AYAH, IBU, ANAK. . .Berpisah semua.
Kemanakah perginya Hian Ki "
Hian Ki pun seperti So So, dalam saat yang singkat itu, telah
menghadapi pelbagai kejadian yang diluar dugaannya.
Tadi malam saat dia datang kerumah Bu Yang dengan
menempuh bahaya, itu melulu untuk menemui So So, Ia telah
berhasil, Bukan saja ia dapat menemui si nona, hati mereka pun
cocok dan si nona suka menyerahkan dirinya kepadanya, Maka
itu bukan main berbunga hatinya, Sayang, tiba2 saja Bu Yang
pulang, lantas ayah dan anak itu berbicara, bahkan si-ayah
hendak membicarakan urusan yang penting, hingga ia disuruh
menyingkir dan So So juga minta ia suka mengundurkan diri
dulu, Ia merasa tidak enak hati, tetapi to ia pergi juga keluar, Ia
berpikir keras.
Bersediakah Bu Yang menyerahkan puterinya kepadanya"
Ia berpikir, Ia sudah menerima tugas untuk membunuh Bu
Yang itu! Dengan adanya tugas itu, dapatkah mertua dan
menantunya dapat akur, untuk hidup berdampingan" Bukankah
erat sekali hubungan diantara ayah dan anak" So So adalah
anak satu2nya, kalau ia membawanya minggat, tidakkah
karenya putus hubungan diantara ayah dan anak itu" Kalau itu
sampai terjadi, siapa berani menjamin So So nantinya tak akan
bersikap tawar, seperti ibunya terhadap Bu Yang, ialah sikap
menyesal dan penasaran terhadap suaminya"
Sifat Hian Ki justeru berbalik dari sifatnya Siangkoan Thian
Lambang Naga Panji Naga Sakti 8 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 25
^