Pencarian

Sebilah Pedang Mustika 6

Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Bagian 6


menikam itu kelihatannya sangat dahsyat, akan tetapi yang
kadang2 mengeluarkan suara seruan dan jeritan itu justru
adalah dua orang pengeroyok itu! Maka dari itu, kejadian itu
sungguh luar biasa."
Setelah berhenti sejenak, lalu dilanjutkan lagi, "Ketika itu
aku masih muda, aku biasanya selalu menuruti kehendak
hatiku, Dua orang bertubuh besar dan kuat mengepung seorang
tua, bahkan seorang tua yang kelihatannya lagi sakit, hatiku
menjadi panas, Itulah perbuatan yang tidak pantas, hina sekali,
Maka timbullah niatku untuk membantu siorang tua, Lantas
saja aku mengambil keputusan, seketika itu juga aku
melompat, dan maju menerjang dengan memutar tongkatku,"
Akan tetapi, sebelum seranganku tiba, aku justru telah
mendengar suara teriakan siorang tua: "Anak muda, kau
mundur jauh sedikit! Hati2, supaya kau sendiri tidak turut
terlibat dan terpelanting!"
"Hebat tenaga dalam siorang tua, suaranya itu mendengung
didalam goa, Aku tercengang bahkan heran, dan cepat-cepat
aku mundur kebelakang, Untung buatku, mataku semakin
terbiasa diruang yang gelap itu, Sekarang aku dapat melihat
siorang tua menggengam sebatang rotan, dengan itu ia
melayani kedua penyerangnya itu, dan juga melihat bagaimana
dua musuh itu dapat kena dia permainkan, bagaikan kucing
menggoda tikus, Buyarlah serangan kedua orang itu, Beberapa
kali terlihat mereka mencoba menyingkir, tetapi selalu saja
mereka terhalang oleh rotan yang cukup panjang itu, Akhirnya
baru aku menginsafi bahwa siorang tua itu sangat lihay, Karena
itu, jadi timbul rasa kasihanku terhadap dua penyerang itu,
Yang sebelumnya aku muak terhadap mereka, yang telah
menghina seorang tua yang sakit2an pula, Begitulah aku
memintakan keampunan untuk mereka." Kataku: "Karena
sudah jelas mereka tidak dapat melukai kau,Loojinkee, baiklah
mereka disuruh pergi saja." 'Orang tua itu tertawa ter-bahak2.
"Baiklah!" katanya, 'Dengan memandang kau, saudara kecil,
'suka aku memberi sedikit kelonggaran. . .'
Dan kata2 itu dibarengi dengan dua serangannya yang saling
susul, hebat sekali serangannya itu, Diluar dugaanku, kedua
lawannya itu terbinasa seketika.
'Mari!' ia memanggil aku, tangannya menggapai, dan aku
lalu menghampirinya,
'Kau meminta ampun untuk mereka ini, tahukah kau, siapa
mereka"' ia tanya aku, suaranya dingin, Aku memang tidak
kenal mereka, maka aku lantas menjawab dengan terus terang,
bahwa aku tidak tahu.
'Bukankah kau datang kemari untuk mencari kitab pedang
Tat mo Kiampouw"' siorang tua tanya lagi padaku.
Atas pertanyaannya ini, aku menjawab bahwa aku
sebenarnya belum pernah mendengar tentang kitab ilmu
pedang itu, Mendengar jawabanku ini, agaknya dia menjadi
terlebih lunak.
'Jikalau bukannya tadi aku melihat hatimu baik,' katanya
kemudian, 'hari ini kau jangan harap dapat keluar dari goa ini,
Kau lihat! Selama duapuluh tahun lebih, mereka yang pernah
datang kegoa batu ini, mereka semua berkumpul disitu!'
Dia menunjuk, dan aku mengikuti jari tangannya itu,
Terlihat dipojok tembok banyak bertumpuk tulang-belulang
dan tengkorak manusia, Bergidik aku menyaksikan semua
kerangka itu. Siorang tua itu menghela napas panjang, Ia berkata pula:
'Sama sekali bukannya aku kejam, tetapi jikalau aku
membiarkan mereka keluar lagi dari sini, maka didalam dunia
kangouw bakal terbit gelombang yang semakin dahsyat, kata
peribahasa, Jin wi cay su, niauw wi sit bong, (Manusia mati
karena harta, burung mati karena makan), Inilah tepat sekali,
Demikian juga dengan mereka yang paham ilmu silat, banyak
diantaranya yang terbinasa karena pedang mustika, atau kitab
ilmu pedang yang luar biasa, Semua itu hanya disebabkan satu
kata2 tamak! Tapi kau beda, kau datang kemari bukan dengan
sengaja, suka aku. . . untuk pertama kali. . . .bertindak diluar
kebiasaan, aku akan membiarkan kau pergi keluar. . .Ah, anak
muda, siapakah namamu"'
Untuk pertanyaan itu, aku memberitahukan she dan namaku,
Mendengar itu, matanya siorang tua terbelalak.
'Pernah apakah kau dengan Pit Ceng Coan"' dia tanya,
Itulah ayahku, aku menjawab.
'Pit Leng hi"' dia tanya lagi,
Itulah kakakku.
'Lantas saja dia tertawa ter-bahak2, Jikalau begitu, kau
bukanlah orang luar!' katanya gembira, 'Pernahkah ayah dan
kakakmu itu menyebut namaku" Aku adalah Tamtay It Ie,'
Mendengar nama itu, aku heran hingga aku
memperdengarkan suara kaget, Aku tahu Tamtay It Ie ini, Dia
masih termasuk golongan cianpwee dari ayahku, dan dia telah
menghilang sejak beberapa puluh tahun yang lampau, siapa
tahu dia sebenarnya masih hidup, Tamtay It Ie menunjuk
kepada tumpukan tulang belulang manusia itu,
'Aku mentertawakan mereka,' ia berkata, perlahan, 'sebab
mereka tidak sanggup membuang ketamakkan mereka, Karena
kitab ilmu pedang, mereka terbinasa, Hanya tadinya, akupun
hampir tak beda dengan mereka itu, Hanya karena kitab
pedang, aku mengasingkan diri, aku rela hidup sepi selama sisa
hidupku, Hendak aku meyakinkan semacam ilmu silat yang
sakti, Tetapi sekarang walaupun aku berhasil juga, aku sendiri
bakal tidak bisa hidup lebih lama lagi. . .'
Aku terbengong mengawasi orang tua itu, dia rebah diatas
pembaringan dengan wajahnya yang menandakan bahwa dia
sedang diserang penyakit, tubuhnya kurus hingga menggiriskan
hati bagi yang melihatnya, Tapi dia masih dapat tertawa tawar,
lalu ia berkata lagi:
'Kau tentu tidak dapat melihat bahwa sebenarnya aku telah
Cao hwee jip mo (tersesat jalan), hingga sebagian dari tubuhku
tak dapat digerakkan lagi, Selama setengah bulan ini, aku
hidup hanya mengandalkan pada batu stalactite,'
Mendengar keterangannya orang tua itu, aku merasakan
lidahku menjadi kering, Selama setengah bulan orang tak
makan nasi dan lainnya, kecuali batu itu, Orang yang demikian
sempurna tenaga dalamnya, sungguh sukar dicari keduanya.
'Tamtay It Ie meneruskan ceritanya; 'Kitab pedang Tat Mo
Kiampouw itu asalnya ialah warisan dari Tat Mo Couwsu
(Bodhidarma) pendiri dari Siauwlim Pay, buah hasil setelah
bersamedhinya selama delapan belas tahun menghadap
tembok, Sesudah menciptakan ilmu pedangnya itu,
Bodhidarma lantas menbuat kitabnya, Maka itu, untuk dapat
meyakinkan ilmu pedang itu. terlebih dahulu orang mesti
mempunyai latihan tenaga dalam yang sempurna dasarnya,
Inipun sebabnya kenapa didalam kitab ada tertera kecuali ilmu
pedang juga terlampir ilmu melatih jalan pernapasan untuk
mengempos semangat, Beberapa puluh tahun aku sudah
berdiam didalam goa ini untuk meyakinkannya, namun aku
hanya dapat melatih bagian luarnya saja, tidak berani aku
menyebutnya sudah meyakinkan dengan mahir.'
'Disaat berakhirnya kerajaan Song,' orang tua itu
menerangkan lebih jauh, Siauwlim Pay terpecah menjadi
Siauwlim Pay dan Butong Pay dan kitab Tat Mo Kiampouw ini
telah terjatuh kedalam tangan Butong Pay itu, Sesudah
penyerbuan bangsa Mongolia, kitab ilmu pedang ini hilang
tidak ketahuan rimbanya, karena itu para jago2 silat dari
berbagai golongan sibuk mencarinya, untuk mendapatkannya
kembali, Barulah pada tigapuluh yang berselang aku berhasil
memperoleh keterangan, Kiranya ditengah kalutnya
peperangan, kitab itu telah dirampas oleh seorang guru negara
bangsa Mongol bernama Atujin, Belasan jago Butong Pay yang
melindungi kitab itu, yang mencoba menyelamatkan diri, telah
terbinasa dalam peperangan itu, Itulah sebabnya kenapa prihal
kitab itu menjadi hilang jejak, Atujin sendiri tidak mengerti
akan isinya kitab, lalu ia serahkan kitab itu kepada muridnya
yang bernama Moa Ek Can, Murid ini mengetahui pentingnya
kitab itu, tetapi ia juga tidak dapat meng-artikan isinya, lalu
untuk memperoleh hasil ia mendapat suatu akal, Ia lantas
mengundang ahli2 silat pedang, alasannya ialah untuk
meyakinkan ber-sama2, Dari sepuluh orang yang diundang,
yang sembilan menolak, jago2 silat yang menerima undangan
itu, akhirnya celakalah dirinya, Moa Ek Can sangat licik, Ia
selalu mencurigai ahli2 silat itu, ia khawatir, setelah jago2 itu
mengerti ia takut kitab itu akan disalin dan dibawa pergi, Maka
ia tidak pernah memperlihatkan kitab itu secara utuh
seluruhnya, ia menyalinnya menjadi banyak bagian secara terpisah2,
ia menyuruh mereka masing2 memahami bagiannya,
Dan ia juga gagal dengan usahanya yang licik ini, Sebab mana
dapat kitab itu di-pecah2" Dengan dipisahkan, artinya tak akan
dapat dipahami dengan sempurna, Namun usaha kerasnya
akhirnya berhasil juga walaupun hanya sedikit, Lalu datanglah
tindakannya yang terakhir, yang telengas, Semua ahli silat
undangannya itu diracun, agar ia sendirilah yang akan
menjagoi dunia!
Tapi ada seorang ahli dapat meloloskan diri, hanya sewaktu
melarikan diri, ia kena terpanah dengan anak panah beracun,'
'Kau tahu, jago silat yang berhasil buron itu adalah salah
satu sahabatku,' siorang tua itu melanjutkan, 'Ketika hampir
tiba saatnya ia hendak menghembuskan napas terakhirnya, ia
membuka rahasia itu kepadaku, Setelah mengetahui rahasia itu,
aku lantas bertindak, Tujuanku ada dua, per-tama2 aku tidak
ingin kitab ilmu pedang itu terjatuh kedalam tangan bangsa
Mongolia, Kedua, aku sendiri berharap untuk menjadi jago
silat nomor satu dikolong langit ini, Begitulah dengan diam2
aku pergi ke-istana kaisar Mongolia, disana aku berhasil
mencuri kitab ilmu pedang itu, Untuk itu aku sampai mesti
membinasakan delapan belas pahlawan bangsa Mongolia itu,
Aku lantas melarikan diri, untuk mmenyingkir dan akhirnya
aku bersembunyi mengasingkan diri didalam goa ini,'
Aku menjadi sangat kagum saat mendengar penuturan
Tamtay It Ie itu, Sungguh ia hebat, Dan untuk ilmu silat
pedang itu, hampir separuh hidupnya ia tak pernah melihat
sinar matahari, Kemudian aku tidak dapat berdiam diri
mendengarkan saja, Lalu aku berkata;
'Sekarang ini dunia sedang kacau, orang2 gagah tengah
berjuang untuk mengusir bangsa asing, Aku rasa waktu
berhasilnya hanya tinggal menunggu hari saja, maka itu aku
ingin dapat berdiam disini untuk merawat kau, loojinkee, Aku
percaya setelah kau sembuh, bukankah kau dapat keluar dari
sini untuk mewujudkan impianmu"'
Tamtay It Ie menyeringai mendengar kata2ku itu,
'Karena kerasnya tekadku mempelajari ilmu pedang, aku
tersesat,' ia berkata, berduka, 'sekarang ini tidak ada obat lagi
untuk menyembuhkan aku, bahkan aku tidak tahu lagi, berapa
lama aku akan tinggal hidup didalam dunia yang fana ini,
Hanya karena maksud hatiku belum tercapai, kalau nanti aku
meninggal dunia, mataku susah dimeramkan. . ."
Siangkoan Thian Ya terus mendengarkan.
Pit Leng Hong melanjutkan lagi; "Aku lantas bertanya, apa
lagi yang diberatkan siorang tua, Dia menghela napas dan
berkata: 'Separuh dari hidupku aku gunakan untuk memahami
kitab itu, akhirnya aku berhasil juga, Karena tidak boleh kitab
ini mengikuti aku terkubur didalam goa, aku mau mencari satu
orang yang dapat dipercaya dan diandalkan, untuk membuat
kitab ini tersebar terus turun temurun,'
Mendengar itu, hatiku tercekat, Tamtay It Ie melirik diriku,
Ia berkata: 'Kau berhati mulia, kau dapat menjadi orang
perantaraku, tetapi dengan kepandaian kau seperti sekarang ini,
apabila kau mem-bawa2 kitabku ini, kitab ini bisa membuat
kau celaka, Maka itu, tidak dapat kitab ini aku serahkan
padamu,' Ia lalu terus menunjuk kepada tumpukan tulang
belulang orang korban2nya itu, katanya; 'Inilah manusia yang
tidak tahu diri, yang berani datang kemari untuk memperoleh
kitab ini, Ya, dengan kepandaian yang mereka punyai,
walaupun mereka berhasil mendapatkan kitab, mereka juga
tidak dapat berbuat apa2, sebab belum cukup pengetahuan bagi
mereka untuk meyakinkannya,'
Mendengar itu, aku berdiam saja, hanya aku sedikit gegetun.
Tamtay It Ie menghela napas, lalu ia melanjutkan lagi perlahan2:
' Di-hadapan mataku hanya ada tiga orang yang dapat
mewariskan kitab pedang ini, Dari mereka itu, yang satu belum
tentu sudi menerimanya, Orang yang kedua justru tak aku
sukai, tidak nanti akan aku berikan kitab ini padanya, Maka itu
kini tinggallah orang yang ke-tiga, Dialah Tayhiap Tan Teng
Hong,' Mendengar itu, aku heran sekali, aku lantas bertanya, siapa
dua orang itu yang disebutkan duluan,
'Tiga orang yang aku maksudkan itu,' ia menyahuti, 'yang
pertama adalah Pheng Hweesio, Yang lainnya yaitu Bouw Tok
It, dan yang ketiga ialah Tan Teng Hong yang telah aku
sebutkan, Pheng Hweesio adalah seorang guru besar,
pelajarannya pun pelajaran asli, pastilah dia tidak akan
menghiraukan kitab pedang ini, maka kalau aku serahkan kitab
ini kepadanya, dia bisa akan merasa terhina, Dia lebih lihay
daripada aku, mana mau dia menerima warisan dari aku"
Orang yang kedua adalah Bouw Tok It, Dalam hal ilmu
pedang, dialah orang satu2nya dijamannya itu, Karena kitab ini
asalnya kepunyaan Butong Pay, tepat kalau kitab diserahkan
padanya, tetapi mengenai dirinya, aku bersangsi dan aku
bercuriga, Sebab aku mempunyai tabiat yang aneh, Semakin
orang menghendaki kitab ini, semakin tidak sudi aku
memberikan padanya, pasti aku tidak akan memberikannya!"
Mendengar sampai disitu, Siangkoan Thian Ya memotong;
Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan couwsu
Bouw Tok It," kata dia, "Akan tetapi aku pernah mendengarnya
dari orang-orang tua tentang perbuatan2nya yang mulia,
Kenapa Tamtay It Ie mengatakan demikian tentang dirinya?"
"Memang!" sahut Pit Leng Hong. "Pada awalnya akupun
berpikir seperti kau ini, aku sampai menanyakan dia, Atas
pertanyaanku itu, dia menunjuk kepada salah satu dari dua
penyerangnya yang baru saja dia binasakan itu, Kau lihat, dia
berkata, orang ini ialah murid kepala dari Bouw Tok It, Tidak
tahu darimana Bouw Tok It dapat selintingan, dia telah
memerintahkan muridnya ini datang mencariku, untuk
meminta kitab kembali dengan paksa, Maka itu tak sudi aku
memberikannya! Memang kitab ini milik Butong Pay, tetapi
setelah kitab ini menghilang begitu lama, dan aku yang
mendapatkannya dengan taruhan nyawaku, serta aku telah


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan separuh usiaku untuk meyakinkannya, dengan
sendirinya aku pantas menjadi si-pemilik dari kitab ini! dan
Butong Pay tak lagi berhak untuk memintanya kembali!"
Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya berpikir;
"Benar-benar soal yang pelik sekali, Couwsu ingin cepatcepat
mendapatkan kitab ini kembali, karenanya dia jadi
dipandang sebelah mata oleh Tamtay It Ie, Melihat
persoalannya, sebenarnya tidak terlalu penting," Tengah ia
berpikir, Pit Leng Hong sudah berkata lagi;
"Setelah bicara jelas tentang kitab pedang itu, Tamtay It Ie
lantas meminta aku suka pergi mencari Tan Teng Hong, untuk
menyampaikan pesan, supaya Tan Teng Hong segera datang
mengambil kitab itu dari dirinya, Aku menerima tugas itu
dengan senang hati, Sebabnya" pertama, karena aku memang
mengharapkan Tayhiap Tan Teng Hong itu, dan yang kedua,
aku memang punya tujuan sendiri. . ." Disaat mengucapkan
demikian, pada wajahnya yang jelek itu terlihat rona merah,
seperti orang yang lagi merasa jengah.
Siangkoan Thian Ya merasa heran, tetapi ia berdiam saja, Ia
hanya memasang telinga, lalu Pit Leng Hong melanjutkan lagi;
"Sekarang ini aku telah tua dan jelek wajahku, maka itu
kalau aku menceritakan riwayatku dulu itu, mungkin kau tak
akan mentertawakan aku, Dahulu Bouw Tok It dan Tan Teng
Hong itu sama2 terkenal, orang2 gagah di jamannya
menamakan mereka dua Tayhiap tanpa tandingan, Sementara
itu mereka sama-sama mempunyai anak dara yang luar biasa
juga, ke-dua2nya nona itu elok bagaikan bunga, indah bagaikan
kumala, dan dua2nya juga pintar dan gagah, Puterinya Bouw
Tok It bernama Poo Cu, sedangkan puterinya Tan Teng Hong
ialah Soat Bwee, Banyak kaum pendekar muda didunia
kangouw, tidak ada seorang juga yang tidak berharap menjadi
menantu salah satu diantara mereka itu, Ketika itu aku belum
sejelek sekarang ini, terhadap Nona Tan, aku pernah memikir
yang muluk-muluk, Maka aku pikir, setelah nanti pertemuanku
dengan jago tua itu, aku akan mempergunakan kesempatan ini
untuk menjalin hubungan erat dengan Tan Teng Hong, karena
Aku sangat mengharapkan, setelah aku membantu dia
mendapatkan kitab ilmu pedang, aku akan lebih leluasa
membuka mulut dengan mengirim seorang perantara untuk
meminang puterinya.
Sebelum aku meninggalkan goa, aku pergi mencari banyak
buah2an dan juga memburu seekor babi hutan, semua itu aku
serahkan pada Tamtay It Ie untuk makanan dia beberapa hari,
Setelah itu, aku lalu berangkat menuju kerumah Tan Teng
Hong, Namun perjalananku kali ini kurang beruntung, karena
setibanya aku dirumah keluarga Tan itu, kebetulan tuan rumah
sedang bepergian, Atas pertanyaanku maka aku diberitahukan,
bahwa Nona Tan baru saja menikah pada bulan yang lalu, dan
mempelai laki2nya ialah sahabat kakakku. . In Bu Yang,
Kepergiannya Tan Teng Hong inipun untuk mengantarkan
puterinya itu, Oleh sebab itu, aku menjadi sangat berputus asa, Meskipun
begitu, aku tidak lantas meninggalkan rumah keluarga Tan itu,
aku masih berdiam beberapa waktu untuk menantikan
kembalinya tuan rumah, Ketika kemudian Tan Teng Hong
pulang dan menerima pesanku, dia girang bukan kepalang, Dia
memuji tinggi diriku, Dia mengatakan aku benar2 berbaik hati
dan tidak tamak, bahwa aku dapat dipercaya dan dapat
memegang kehormatan orang2 kangouw, Dihari kedua, dia
lantas ajak aku berangkat ke Bekcek-san, untuk menjumpai
Tamtay It Ie, Setibanya digunung itu, aku harus mentaati
aturan yang keras dari kaum kangouw, Yaitu disaat seorang
Cianpwee bila hendak mewariskan sesuatu kepada orang yang
bakal jadi ahli warisnya, selaku orang luar tidak dapat aku
hadir bersama, maka itu, aku tidak turut masuk kedalam goa,
setelah menunjukkan letak goa itu kepada Tan Teng Hong, aku
lantas disana duduk seorang diri untuk menantikan.
Akan tetapi, Ternyata kedatangan kami berdua telah
terlambat, sebab, ketika kami tiba, Tamtay It Ie sudah menutup
mata, Sudah begitu, Tan Teng Hong juga kalah selangkah oleh
Bouw Tok It, Karena Bouw Tok It begitu ia kehilangan murid
kepalanya, dia lantas datang mencari, Dan dia sampai digoa
lebih dulu satu tindak daripada Tan Teng Hong, dia bahkan
telah berhasil mendapatkan kitab Tat Mo Kiampouw itu,
setelah mendapatkan kitab itu ia bergirang bukan main,
sampai2 ia seperti lupa daratan, ia me-muji2 dengan suara
keras, Saat itu, Tan Teng Hong juga telah tiba, Maka
bertemulah kedua orang kenamaan itu didalam goa rahasia itu.
Berbicara terus terang, hal pertemuannya mereka itu, baru
belakangan hari aku mengetahuinya dengan jelas, waktu itu
aku tak tahu bagaimana persoalannya mereka jadi bentrok,
Mereka sama2 kesohor, tetapi hanya karena kitab pedang itu,
mereka jadi seperti lupa diri, mereka telah bertempur hebat
antara hidup dan mati!
Sungguh, itulah pertempuran yang sangat dahsyat, Tan Teng
Hong mempunyai pedang Kungo-kiam, pedang pusakanya,
sebilah pedang mustika pula, Begitu bergerak, dia lantas berada
diatas angin, Dari dalam goa, mereka bertempur sampai keatas,
dan sampai pula keluar ditempat terbuka, yaitu diatas puncak
yang datar, Keduanya telah mengeluarkan segenap kepandaian
mereka masing2, semua pukulan-pukulan yang mematikan.
Aku menyaksikannya sambil sembunyikan diri dibelakang
batu, aku sampai susah bernapas, Aku tidak berani
mengeluarkan suara.
Pertempuran itu berlangsung sampai seribu jurus lebih,
berlanjut terus hingga matahari mulai doyong kebarat, Sampai
akhirnya, pedang mustika dari Tan Teng Hong dapat
membabat putus pedangnya Bouw Tok It, Melihat itu, aku
girang bukan main, Aku memang meng-harap2kan Tan Teng
Hong yang memperoleh kemenangan, dalam kegiranganku,
aku melihat didalam arena pertempuran terjadi hal yang diluar
dugaan, Setelah pedang terkutung, bukannya Bouw Tok It
menjadi terdesak, tapi justru dia jadi lebih lihay, dia berkelahi
dengan lebih bersemangat, Ternyata dia telah menggunaka
ilmu simpanannya yang telah diyakinkan olehnya puluhan
tahun yaitu ilmu silat Tayceng Hiankang.
Bicara dari hal tenaga dalam, dijaman itu adalah Pheng
Hweesio yang nomor satu, Dibanding dengan Tan Teng Hong,
Bouw Tok It menang seurat, karena itu, mereka jadi
berimbang, Sesudah bertempur sekian lama, keduanya menjadi
letih dengan sendirinya, Selama itu, pedangnya Tan Teng Hong
telah melukai Bouw Tok It dibeberapa tempat, Bouw Tok It
sebaliknya dapat menghajar Tan Teng Hong dengan dua
sabetan tangan terbuka.
Sampai pada satu ketika, se-konyong2 Bouw Tok It berseru
dengan ancamannya: 'jikalau tetap kau tidak tahu diri, akan aku
rampas pedangmu!'
Diancam begitu, Tan Teng Hong menjadi sangat murka.
'Baiklah!' serunya, 'jikalau kau sanggup merampas
pedangku, didalam kalangan kangouw sudah tidak ada lagi
orang yang bernama Tan Teng Hong!'
Tan Tayhiap pintar dan halus budi pekertinya, biasanya
kalau bergaul dengan orang, ia bersikap lemah lembut, akan
tetapi kali ini ia dihina Bouw Tok It, ia menjadi seperti kalap,
Maka ia menyerang secara hebat sekali, Ia sepertinya bersedia
untuk binasa bersama! Dengan tiba2 saja pedangnya
berkelebat, dan pundak Bouw Tok It mengucurkan darah segar,
tetapi Bouw Tok It malah tertawa Terbahak, sebab dipihak lain
terlihat Tan Teng Hong terhuyung mundur beberapa tindak,
paras mukanya pucat pias, dan juga dua buah gelang
pedangnya telah kena dirampas putus oleh Bouw Tok It!
Demikian hebat keadaan mereka berdua, Saking kaget dan
takut, aku jadi lupa akan diriku sendiri yang sedang
bersembunyi, aku berseru! sambil berteriak, akupun melompat
keluar dari tempat persembunyianku, Segera aku mendengar
suara tertawa nyaring yang panjang, yang berkumandang
dilembah, sedang Bouw Tok It tak tampak lagi bayangannya,
sebab ia telah angkat kaki karena menyangka aku adalah
kawannya Tan Teng Hong, Dilain pihak, Tan Teng Hong
duduk numprah ditanah.
'Syukur ada kau! katanya padaku.
Ternyata Tan Teng Hong terluka didalam, lukanya itu lebih
parah daripada luka pedang dari Bouw Tok It, Cuma waktu itu
ia memaksakan diri, dia tidak mau memberitahukan kepadaku,
Sesudah beristirahat sebentar, dia lantas mengajak aku lekas
pulang, Aku mengantarkan dia sampai dirumahnya, Dia terluka
parah dan sangat letih, keesokannya dia jatuh sakit, dan lantas
mengirim orang ke Huiliong Pang (Partai Naga Terbang),
mengundang Pangcu (ketua)nya partai itu, Yaitu Siauw Koan
Eng. . ." Siangkoan Thian Ya terperanjat;
"Siauw Koan Eng?" tanyanya. "Bukankah ia yang
mempunyai beberapa pengikut yang lihay, seperti Ti Eng dan
Ti Pa serta Siang San Liong dan Kongya Liang ?"
Pit Leng Hong meng-angguk2 seraya menunjukkan roman
heran; "Nyatanya bukan sedikit urusan kaum kangouw yang kau
ketahui," katanya, sambil terus melanjuti: "Sebenarnya mereka
itu berasal dari orang2 tidak ternama, tetapi setelah dipimpin
Siauw Koan Eng, baru mereka memperoleh nama besar, Siauw
Koan Eng itu adalah calon murid dari Tan Teng Hong,
Belakangan lagi baru aku mendapat tahu, Tan Teng Hong
memanggil muridnya itu untuk memesan agar si-murid
mengurus jenazahnya nanti."
Kalau itu adalah pesan terakhir, mengapa Tan Teng Hong
tidak memanggil pulang saja anak dan mantunya" Siangkoan
Thian Ya tanya.
"In Bu Yang berada jauh di Kanglam dan waktu itupun
tengah pecah peperangan, Tan Teng Hong sendiri lagi
menghadapi saat-saat kritis, mana ada waktu lagi untuk
memanggil itu anak dan mantunya?" menjawab Pit leng Hong,
"Hanya saja, sungguh aku tidak menyangka, lantaran aku
kebetulan bertemu dengan Tamtay It Ie, aku jadi seperti terlibat
urusan mereka itu, Di-malam saat Tan teng Hong
menghembuskan napasnya yang terakhir, hanya ada aku dan
Siauw Koan Eng didepan pembaringannya, Tan Teng hong
memberitahukan kepada Siauw Koan eng perihal kitab pedang
itu serta segalanya, sampai dia bertempur dengan bouw Tok It,
sehingga mendapat luka itu, Pada akhirnya, dia minta kami
suka menerima pesannya, Dia kata: 'Dari kalian berdua, yang
satu adalah murid angkatku, yang lain ialah orang yang
mengetahui duduknya persoalan dari awal hingga akhir.
Pit Leng Hong kaulah orang yang mengajak aku menemui
Tamtay It Ie, dan yang membuat Bouw Tok It kaget sampai
melarikan diri, yang merawati dan mengantar aku sampai
dirumah ini, kalau tidak ada kau, tentulah aku terbinasa
ditengah jalan, Maka itu aku sangat bersyukur kepadamu,
Kalau aku telah menutup mata, pesanku aku serahkan pada
kalian berdua, Diantara kalian tidak perduli siapa, Siapa yang
sanggup merampas kitab ilmu pedang itu dari tangan Bouw
Tok It, maka kitab itu menjadi hak miliknya, Aku berharap
sukalah kalian menjalankan baik2 pesanku ini, Disini aku telah
menulis surat wasiatku, dimana aku telah mencatat segala
sesuatu dengan jelas, dari itu, andaikata dikemudian hari
karena kitab ini terjadi kesulitan dengan pihak Butong Pay,
kalian boleh perlihatkan surat wasiatku ini, Untuk saat ini,
surat wasiat ini biarlah Pit Leng Hong yang pegang,' Habis
berkata demikian, berhenti sudah napasnya, Maka demikianlah
akhir perjalanan dari seorang Tayhiap (Pendekar) yang tidak
beruntung, yang telah berpulang kealam baqa dengan
membawa penasaran. ."
Pit Leng Hong menghela napas panjang, setelah itu baru ia
meneruskan lagi; "Sesudah Tan Teng Hong menutup mata, aku
lantas bersepakat dengan Siauw Koan Eng, Kami telah setuju
untuk menggunakan segala cara dan kebiasaan kami, untuk
mendapatkan kembali kitab pedang itu, hanya ada sedikit beda
dari amanat Tan Teng Hong, kamu berjanji, siapapun diantara
kami berdua yang berhasil, kitab itu harus diberikan kepada
puterinya Tan Teng Hong, se-kali2 kami tidak boleh
memilikinya sendiri."
"Bukankah pikiran ini asalnya keluar dari suhu ?"
Siangkoan Thian Ya tanya.
"Benar," jawab Pit Leng Hong. "Bagaimana kau dapat
mengetahui itu ?"
Siangkoan Thian Ya tersenyum, Didalam hatinya, ia
berkata: "Rupanya suhu tidak dapat melupakan puterinya Tan
Teng Hong, Nona itu sudah menikah, belum tentu dia
mengetahui apa yang suhu pikirkan tentang dirinya. . .Untuk si
nona, suhu berani hendak merampas kitab dari tangannya ahli
pedang nomor satu dikolong langit itu, inilah cara menyatakan
cintanya yang sangat dalam, Kalau begitu, dibanding aku
dengan Siauw Un Lan, aku kalah. . ."
Pit Leng Hong melanjuti lagi penuturannya: "Kami berdua
menginsafi bahwa kepandaian kami masih sangat rendah,
masih kalah sangat jauh dibanding dengan Bouw Tok It, oleh
karena itu kami berjanji akan meyakinkan dulu ilmu silat kami
selama sepuluh tahun, setelah itu baru kami pergi mencari
Bouw Tok It, Walaupun ada janji itu, aku sendiri tidak dapat
bersabar demikian lama, Begitulah, baru lima tahun
semeninggalnya Tan Teng Hong, seorang diri aku telah pergi
mencari Bouw Tok It."
"Kenapa begitu ?" Siangkoan Thian Ya tanya, heran.
"Ketika itu Thio Su Seng telah mati dalam peperangan
disungai Tiangkang, Bersama dia telah binasa juga kakakku,
Pheng Hweesio dan yang lainnya, Dari tiga pahlawan Thio Su
Seng, yang dapat meloloskan diri hanya In Bu Yang satu
orang, Isterinya In Bu Yang yaitu Tan Soat Bwee, puterinya
Tan Teng Hong, kabarnya pun turut terbinasa didalam
peperangan di Tiangkang itu, Mendengar kabar itu, tentu sekali
akupun berduka, Disamping itu, kemudian aku mendapat kabar
lain, yang membuat kedukaanku bertambah, Itulah kabar
bahwa tidak lama setelah meninggalnya isterinya, In Bu Yang
telah menjadi menantunya Bouw Tok It."
"Ada kemungkinan In Bu Yang tidak mengetahui sebab
dari kematian mantan mertuanya, biarpun begitu, aku sangat
merasa menyesal untuk Tan Soat Bwee, Sayang, belum lagi
jenazahnya dingin, suaminya sudah menikah lagi, bahkan yang
dinikahi justru puteri musuh ayahnya, Setahu kenapa, semenjak
saat itu aku jadi membenci In Bu Yang, Sebenarnya dari
kakakku, secara tidak langsung aku pernah pelajari ilmu silat


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauwyang Hiankang dari Pheng Hweesio, tetapi karena tekad
yang keras, aku tidak terus mempelajarinya sampai sempurna,
aku ambil jalan lain yang singkat, yaitu aku meyakinkan
dengan satu ilmu lain yang tak kalah sakti bernama Hanim
citsat-ciang, Aku percaya, apabila aku dapat meyakinkannya
selama sepuluh tahun, aku akan sanggup melayani seorang
jago kelas satu, tetapi aku tidak dapat bersabar, aku khawatir
Bouw Tok It keburu mewariskan kepandaiannya kepada
menantunya, Benar aku membenci In Bu Yang, akan tetapi
pada waktu itu, tidak terlintas pada diriku untuk membinasakan
orang yang pernah dinikahi Tan Soat Bwee."
Siangkoan Thian Ya heran akan sikap orang ini, tetapi ia
berdiam saja. "Kebetulan tahun itu Bouw Tok It merayakan ulang
tahunnya yang ke-51," Pit Leng Hong kembali melanjuti
ceritanya, "Aku lantas mencari keterangan tentang keluarga
Bouw Itu, Aku memakai perantara para anggota2 dari Kay
Pang (partay Pengemis), Lalu tepat dihari pesta ulang tahun itu,
aku menyusup diantara tamu2 undangan, Sewaktu Bouw Tok It
melayani tetamunya, dengan diam2 aku masuk kedalam kamar
tidurnya, Adalah maksudku untuk mencari dan mencuri kitab
pedang itu, Disaat aku baru menemukan dua gelang, yang
Bouw Tok It rampas dari pedang Tan Teng Hong, tiba2 aku
mendengar tindakan kaki orang diluar pintu, cepat2 aku
menyembunyikan diri dikolong pembaringan, Ternyata yang
datang itu bukannya Bouw Tok It, tetapi adalah In Bu Yang
bersama isterinya yang baru dinikahi, Aku lantas mendengar
suaranya In Bu Yang: 'Kau cepat cari kitab pedang itu, aku
akan menunggu kau diluar, di-gunung2an palsu, Kalau ada
sesuatu, aku akan memberi tanda dengan berdehem dan
batuk2,' Ketika itu ditangan In Bu Yang ada membawa
sebatang pedang, yaitu pedang pusaka dari Tan Teng Hong,
Menurut Tan Teng Hong oleh Siauw Koan Eng pedang itu
akan diserahkan kepada Tan Soat Bwee, maka itu, melihat
pedang itu ada ditangan In Bu Yang, aku jadi curiga.
Aku kenal pedang itu, maka tentu Bouw Tok It pun
mengenalnya, Andaikata dia benar2 tidak tahu bahwa In Bu
Yang adalah bekas menantunya Tan Teng Hong, tapi dengan
melihat pedang itu, seharusnya ia bercuriga, dengan demikian,
kenapa Bouw Tok It justru menikahkan puterinya pada In Bu
Yang" Selagi aku berpikir demikian, aku mendengar suara
perlahan dari Bu Yang yang me-manggil2: 'PooCu! Poo Cu!
Atas panggilan itu, isterinya lantas saja membenahi barang2
yang telah ia geser, Baru saja ia selesai, gorden pintu telah
tersingkap, dan Bouw Tok It berjalan masuk diikuti
keponakannya, yaitu Bouw It Siok.
Bouw Tok It heran melihat anaknya itu; 'Ah, kiranya kau
disini!' kata si-ayah itu. 'Bu Yang diluar lagi mencari kau,'
Anak itu cerdik, ia menyahuti; 'Aku khawatir ayah kena
diloloh, maka itu aku datang kemari untuk melihat, Mau apa
Bu Yang mencari aku"'
Sang ayah tertawa dan berkata; 'Mana begitu gampang2 aku
diloloh hingga mabuk" Oh, ya, Bu Yang ada diluar, pergi kau
tanya sendiri padanya!'
Anaknya itu lantas bertndak keluar, selang sesaat, setelah
berlalunya anaknya itu, aku mendengar suara Bouw Tok It;
'Orang mengatakan anak perempuan berpihak pada orang luar,
ini adalah benar, bukan omong kosong belaka. . .Hm! It Siok,
selama kau berada ber-sama2 Bu Yang, apakah kau melihat
sesuatu yang mencurigakan pada diri dia itu"'
'Aku tidak melihat sesuatu,' menyahut It Siok, sang
keponakan. Bouw Tok It lantas me-nepuk2 perlahan pada tembok, disitu
ia memutar sebuah batu bata dan mencabutnya, maka disitu
terlihat sebuah kotak yang terbungkus kain sulaman, Ia
meletakkan kotak itu diatas meja.
Karena kitab pedang ini, sia2 belaka Tan Teng Hong
mengorbankan jiwanya,' katanya menghela napas, 'selama
banyak tahun terakhir ini, hatiku pun tidak tenteram, Kau
adalah anggota keluarga Bouw, anggota satu2nya yang pria,
oleh sebab itu dikemudian hari kitab ini mesti diwariskan
kepada kau, maka itu ilmu silat pedang Tat Mo Kiamhoat
selanjutnya akan menjadi ilmu pedangnya keluarga Bouw, Eh,
It Siok, tahukah kau kenapa aku mengambil In Bu Yang
sebagai menantuku "
"Inilah justru hal yang hendak aku tanyakan kau, paman,'
sahut It Siok. Itu disebabkan karena isterinya yang telah meninggal dunia
adalah puterinya Tan Teng Hong, menerangkan Bouw Tok It,
Ketika dahulu waktu Tan Teng Hong bertempur dengan aku
memperebutkan kitab ini, aku menduga dia pasti binasa
dibawah pukulan dari ilmu silatku Tayceng Sinciang, maka itu
aku percaya, selain Tan Teng Hong, tidak ada orang Rimba
persilatan yang mengetahui kitab ini ada padaku.
Akan tetapi Tan Teng Hong mempunyai anak perempuan
serta mantunya, Pada saat ajalnya Tan Teng Hong, adakah dia
memberitahukan hal kitab pedang ini kepada anak dan
mantunya itu" Inilah soal yang selalu membuat aku berpikir,
Sebenarnya aku juga berniat membinasakan Bu Yang, Namun
perbuatan itu sepertinya bertentangan dengan hati-nuraniku,
Semasa hidupku aku selalu menganggap diriku seorang yang
mulia, karena itu belum pernah aku membunuh seseorang yang
tidak bersalah dan berdosa.
Bahwa aku telah mencelakai Tan Teng hong, itu juga
kulakukan karena saking terpaksa, dan peristiwa itu membuat
aku sangat menyesal dan berduka hingga sekarang, Oleh
karena itu, mana dapat hanya disebabkan kecurigaan saja aku
membunuh Bu Yang" maka dari itu, aku lantas nikahkan Poo
Cu kepada Bu Yang itu, Dengan begitu aku bisa menyelidiki
Bu Yang, apakah dia mengetahui atau tidak tentang kitab ilmu
pedang ini, Andaikata benar dia mendapat tahu, dengan adanya
ikatan mertua dan menantu, aku percaya urusan bisa disudahi
saja, Tapi sebenarnya In Bu Yang adalah seorang yang licin,
yang harus diwaspadai, sebab selama beberapa bulan ini, tidak
pernah ia membuka rahasia mengenai urusan kitab ilmu pedang
ini, Aku Khawatir, sepeninggalnya aku nanti, tidak ada orang
lain yang dapat mengendalikan dia, Poo Cu benar adalah
anakku, akan tetapi aku tidak ingin kitab ini terjatuh ketangan
orang lain she, Maka inilah sebabnya kenapa sekarang aku
bicara jelas begini, kepadamu, Aku ingin kau membantu aku
menyelidiki Bu Yang dan Poo Cu, tentang gerak-geriknya,
apabila kau mendengar atau melihatnya, kau mesti cepat2
memberitahukan padaku, Kau tahu, kejadian barusan membuat
aku tak dapat tidak bercuriga. . ."
Mendengar sampai disitu, bulu-roma Siangkoan Thian Ya
bangun sendirinya, pikirnya; "Sucouw menyebut dirinya orang
gagah dan mulia, siapa tahu diapun selicik ini, Dari sini dapat
diketahui ternyata kitab Tat Mo Kiampouw itu adalah barang
yang membawa sial,"
Habis menutur begitu, Pit Leng Hong pun menghela napas,
Ternyata pandangan dan anggapan dia mirip dengan Siangkoan
Thian Ya, Setelah melegakan dadanya, ia melanjuti lagi;
"Sungguh, kitab ilmu pedang itu tak sedikit mencelakai
orang, Aku melihat dan merasakannya sendiri, bagaimana satupersatu
jago2 silat telah membuang nyawanya, bahkan aku
sendiri telah dibikin jadi bercacat dan jelek semacam ini
karenanya,"
Waktu dia mengucapkan perkataan itu, suara Pit Leng Hong
makin lama semakin lemah, napasnya makin mendesak.
"Sudahlah, suhu," kata Thian Ya, coba menghibur, "urusan
yang memilukan ini baiknya jangan di-sebut2 lagi. . ."
Tetapi Pit Leng Hong berpikir lain, Lalu ia berkata pula;
"Beberapa saat kemudian, Bouw It- Siok pun berlalu, maka
didalam kamar itu tinggallah Bouw Tok It seorang, Kitab ilmu
pedang pun tetap terletak diatas meja, Tidak berapa lama
kemudian, Bouw Tok It duduk menyender ditempat tidur,
kedua kakinya diturunkan hingga kedua kaki itu tepat berada
didepan hidungku, Hatiku menjadi tegang sendirinya, Inilah
saat yang paling baik untuk aku turun tangan, Mungkin diluar
sadarku sendiri, aku telah mengeluarkan sedikit suara, Sekonyong2
aku mendengar bentakannya Bouw Tok It; 'Siapa
yang sembunyi dikolong pembaringan" Lekas keluar!'
Aku tidak memberikan jawaban, sebaliknya, aku
mengerahkan tenagaku pada kedua tanganku, lalu dengan hebat
aku sambar kakinya, dengan begitu kuku tanganku telah
mencakar luka jalan darah yongcoan-hiat dikakinya itu, Lantas
hawa dingin yang beracun dari tanganku itu menyerang masuk
kedalam jalan darahnya itu, terus menerjang ke-ulu hatinya,
Bouw Tok It boleh menjadi seorang ahli silat kenamaan
dijamannya itu, Tapi mana dia ketahui ilmu silat tanganku yang
istimewa! Hanya saja dia memang sangat lihay, meski dia
sudah terluka, tapi dia masih dapat menggunakan tenaganya
dan mendepak aku, hingga aku terguling roboh, Ketika dia
telah melihat diriku, Dia tertawa dingin dan berkata; 'Kiranya
kau, Giokbin Kayhiap Pit Leng Hong! Apakah perlunya kau
mendekam dikolong pembaringanku ini"'
Aku menghendaki kitab pedang,' aku jawab dia, 'Kau
serahkan kitab itu padaku, nanti aku berikan kau obat pemunah
untuk mengobati lukamu,'
Tapi dia tertawa lebar dan berkata; 'Aku siorang she Bouw,
selamanya belum pernah aku mengemis apapun juga dari orang
lain! Lagi pula orang dengan kepandaian seperti kau ini, mana
dapat kau melukai aku"'
Mendadak wajahnya berubah menjadi bengis, dia
membentak diriku; 'Ha, Engkaukah orang itu yang di-Bekceksan!'
Dia rupanya telah mengenali suaraku, Aku menjadi nekat,
mendadak saja aku menubruk dia, tanganku menyambar
beruntun hingga tiga kali, dan diapun menjadi sangat gusar,
sambil berteriak dia menyabet tanganku hingga patahlah
sebelah lenganku, Dengan tertawa dingin dia berkata lagi;
'Baiklah, kau harus diberi tanda mata!' Aku lantas merasakan
sambaran angin pada mukaku itu lalu seperti di-tusuk2 rasa
dingin, Dalam kaget dan takut, aku melompat ke jendela, Bouw
It Siok yang telah mendengar suara berisik, segera muncul,
akan tetapi ia tidak berhasil membekuk aku.
"Dan bagaimana dengan kakek guruku itu ?" tanya Thian
Ya, suaranya tergetar.
"Bouw Tok It berniat menyiksa aku, dia tidak sadar bahwa
dirinya telah terkena tanganku," berkata Pit Leng Hong,
menyahuti, "Dia telah terhajar pukulan Hanim Citsat-ciang,
tenaganya tak dapat menuruti kemauan hatinya, dia menolak
obat pemunahku, dengan begitu, karena pukulan hawa
dinginku sudah menyerang sumsumnya, maka walaupun ia
percaya akan kesempurnaan tenaga dalamnya, tapi semua itu
sudah terlambat untuk dapat menolong dirinya, dan dia hanya
mengobral mem-buang2 tenaganya sendiri, Semenjak itu dia
rebah diatas pembaringannya, tubuhnya makin lama menjadi
semakin lemah, Setelah tenaganya habis, matilah dia secara
tiba2, berbareng dengan itu, In Bu Yang si-menantu yang
manis setelah dapat mencuri kitab ilmu pedangnya itu, juga
segera mengangkat kaki meninggalkan rumah keluarga Bouw!.
. .Tapi bagaimana dengan aku" Penderitaanku lebih hebat dan
menyedihkan daripada Bouw Tok It itu, Aku berubah menjadi
seorang yang setengah hidup setengah mati, aku telah bercacat
lengan dan mukaku, yang menjadi begini jelek, aku menjadi
sipengemis yang celaka, Lenyap sudah semangatku, Semangat
yang hendak menunggangi harimau dan menakluki naga, pupus
cita2ku terbawa hanyut sang air!"
Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bergidik sendirinya,
Sungguh hebat peristiwa yang panjang ekornya itu, Setelah
sekian lama mereka berdiam, lalu Pit Leng Hong berkata lagi,
suaranya serak dan perlahan, katanya;
"Sekarang ini pelakunya bakal tiba pada babak penutupnya,
In Bu Yang telah terhajar pukulanku Hanim Citsat-ciang,
paling lama dia hanya dapat bertahan tiga hari, maka itu
sekarang lekaslah kau pergi kerumah dia, kau salin kitab ilmu
pedang itu yang telah dia ukir didalam kamar batunya, setelah
itu, kau rusak dan musnahkan temboknya itu! Selanjutnya
kaulah satu2nya orang yang mewarisi ilmu silat pedang Bodhidarma
itu! Cepat, cepat pergi! Jangan takut! Sekarang ini
biarpun Bu Yang dapat mengukir langit, dia tak dapat berbuat
apa2 lagi terhadap dirimu!"
PENUTUP. SEMUANYA DIBAWA HANYUT. . .
"Sudahlah, jangan sebut2 lagi kitab pedang itu!" barkata
Siangkoan Thian Ya. "Siapa yang memiliki kitab itu, dia tidak
akan ada hari akhir yang beruntung! Suhu, paling benar kita
cepat meninggalkan tempat hantu ini!
Pit Leng Hong membuka mulutnya tetapi suaranya sangat
perlahan, dengan susah payah barulah Thian Ya dapat
mendengar, Ia menjadi kaget sekali.
"Suhu!" katanya, suaranya gemetar, "Apa suhu bilang"
Apakah suhupun terluka oleh pukulan Itci- Sian dari In Bu
Yang itu" Apakah suhu juga mau pergi ?"
Pit Leng Hong mengangguk, lalu ia memperlihatkan
senyuman sedih, tangannya diangkat, dipakai untuk menunjuk
kerumah keluarga In, Tidak lama kemudian, parasnya seperti
membeku, ketika Siangkoan Thian Ya mengulurkan tangannya
untuk meraba, tubuh gurunya itu sudah tidak ada napasnya
lagi. . . . Mendadak saja anak muda ini merasakan dadanya sesak,
pikirannya kacau, Ia ingin menangis dan menjerit, tetapi
suaranya tak mau keluar, Tidak ada jalan lain, ia lalu
menyingkapi tumpukan rumput, dan menggali tanah, kemudian
didalam sana ia letaki tubuh gurunya, lalu diuruk, untuk
ditutupi. . . "Tan Teng Hong! Tan Teng Hong!" mendadak Siangkoan
Thian Ya ber-seru2 sendirinya, Itulah nama yang ia rasanya
kenal baik, Siapakah yang pernah menyebutnya"
Se-konyong2 terdengar suara tajam didalam rimba, lalu
sebuah tubuh manusia terlihat mencelat, lari kearah rumah
keluarga In. "So So!" berteriak Thian Ya, yang dapat mengenal tubuh
orang itu, In So So tidak berpaling, dia lari terus, Rupanya dia
telah dapat mendengar semua perkataannya Pit Leng Hong.
Heran Thian Ya,
"Kalau dia telah bersembunyi disini dan mencuri dengar
pembicaraan kami, kenapa dia tidak mau menemui aku ?"
Thian Ya tanya dirinya sendiri, Hati anak muda ini menjadi
goncang, tubuhnya menggigil, Lantas saja ia lari, untuk
menyusul In So So. . .


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

***** In Bu Yang menanti sekian lama, puterinya masih belum
kembali, Ia membuka lebar jendela dan pintunya, untuk
membuat sinarnya rembulan dapat memancar masuk, masuk
bersama bayangannya pohon bwee, kedalam kamar tulisnya
itu, Waktu itu si Puteri Malam sudah berada di-tengah2
cakarawala, menandakan hari sudah jauh malam Angin bersiursiur,
membawa harumnya bunga bwee.
In Bu Yang berdiam, pikirannya terlintas segala peristiwa
yang telah berlalu, Ya, segala macam perbuatannya, ada yang
baik, ada juga yang buruk, Bagaikan kilat, semuanya itu datang
dan pergi, Dalam keadaan tidak karuan rasanya itu, ia
mendengar tindakan kaki yang ringan, hingga ia terperanjat.
"So So!. ." serunya, Lalu; "Ah!. . .kau. . ."
Itu bukanlah So So, puterinya, tetapi adalah seorang lelaki
yang tubuhnya kasar, yang usianya sudah lima puluh tahunan,
Mukanya orang ini ada bekas luka goresan, kumisnya pendek
dan kaku. In Bu Yang yang telah mengawasinya, segera ia
mengenalinya, "Kaukah Siauw Koan Eng, pangcu dari
Huiliong Pang! katanya.
Orang itu mengangguk;
"Ingatanmu masih bagus!" sahutnya, "Ketika kau menikah
dengan Siocia kami, aku pernah gajak gijik membantu kamu,
aku telah membantu mengatur pesta! Hanya, kau sekarang
telah menjadi menantunya keluarga Bouw, kau bukan lagi
menantu keluarga Tan! Ha, sungguh sukar bila kau masih ingat
kami!" Itulah kata2 yang bernada sindiran.
"Habis kau mau apa?" menanya Bu Yang, suaranya dingin.
Siauw Koan Eng pangcu dari Huiliong Pang (partai Naga
Terbang) menyahuti dengan sabar;
"Maksud kedatanganku," katanya, "pertama, untuk meminta
kitab ilmu pedang, dan kedua untuk meminta orang,"
In Bu Yang mendongak dan tertawa lebar.
"Kembali datang seorang yang mau minta kitab ilmu
pedang!" katanya nyaring, "Ha, apakah kaupun tepat memiliki
kitab ilmu pedang itu?"
Siauw Koan Eng tetap berlaku tenang, "Jikalau Siocia kami
masih belum meninggal dunia, kitab ilmu pedang itu memang
mesti menjadi miliknya," ia menjawab, "tapi karena kau
sekarang adalah menantunya keluarga Bouw, sedang kitab ilmu
pedang keluarga Bouw itu dapatnya dari hasil mencuri dari
keluargan Tan, mana dapat kitab itu tetap berada ditangannya
menantu dari musuhnya Tan Teng Hong" sedangkan Tan Teng
Hong itu hanya mempunyai aku murid satu2nya!"
In Bu Yang tertawa dingin ketika ia memberikan
jawabannya. "Kitab ilmu pedang itu tidak mungkin aku dapat
membawanya keliang kubur, meski begitu, tidak dapat aku
kembalikan kepada kau! Sekarang tentang orang! Siapakah dia
yang hendak kau minta aku serahkan?"
"Pit Leng Hong!" sahut Siauw Koan Eng singkat.
In Bu Yang bergidik dengan tiba2, Hanya sebentar, lantas ia
tertawa pula ter-bahak2.
Siauw Koan Eng menjadi gusar; "In Bu Yang, kau
tertawakan apa?" dia membentak.
"Aku tidak menyangka," menjawab Bu Yang, "Pit Leng
Hong si-siluman begitu aneh tetapi masih mempunyai sahabat
karib, dan kau sebagai sahabat yang kesudian mengurus
jenazahnya!"
"Apa?" tanya Koan Eng heran, "Apakah Pit Leng Leng telah
mati?" In Bu Yang menyahutnya dengan tawar: "Pit Leng Hong
telah terhajar olehku dengan Itci-sian, dan telah tertutup tujuh
jalan darahnya, maka aku percaya dia tidak bakal sanggup
keluar dari gunung ini, jikalau kau mencari dia, tak usah
sampai satu harian, asal kau mengitari tempat ini sejauh
sepuluh lie, pasti kau bakal menemukan mayatnya!"
Matanya Siauw Koan Eng menjadi gelap secara mendadak,
kemurkaan dan kedukaannya berkumpul menjadi satu, Sekonyong2
ia tertawa bagaikan kalap.
"In Bu Yang, kau. . .kau bagus sekali, sudah menurunkan
tangan jahatmu itu!" ia berseru, "Pit Toako, ah Pit Toako!
Ingatkah kau dahulu kita telah menerima pesan dari guru yang
baik hatinya dan bagaimana kita telah bersumpah, walau tubuh
kita hancur lebur, kita akan dapatkan kitab Tat Mo Kiampouw
itu" Kau memang adalah seorang ksarria, kau menepati
sumpahmu! Hanya tidaklah kau duga, kau bukannya mati
ditangan bangsat tua she Bouw itu, kau justru terbinasa
ditangan mantu yang jempolan dari Tan Teng Hong,
ditangannya In Bu Yang! Oh, guruku yang baik dan kau Pit
Toako, mana dapat kalian di-alam baqa memeramkan mata" Pit
Toako, kau sebagai orang luar tetapi kau mendahului aku mati,
apakah dengan begitu tidak kecewa aku yang menjadi murid
partaiku ?"
Hebat suaranya Siauw Koan Eng ini, bagi pendengarannya
Bu Yang itu adalah terlebih hebat daripada
cacian, Akan tetapi, In Bu Yang juga baru sekarang
mengerti duduknya persoalan, katanya dalam hati: "Aku
menyangka Pit Leng Hong dan mertuaku tidak mempunyai
sangkut pautnya satu dengan lain, aku heran kenapa diantara
mereka ada sakit hati yang begini hebat, tak tahunya semua itu
kiranya disebabkan oleh kitab ilmu pedang. . ."
Dalam murkanya itu, Siauw Koan Eng menatap dengan
mata tajam, In Bu Yang juga mengawasi, lalu dengan nada
dingin dia bertanya: "Siauw Koan Eng, apakah benar2 kau
hendak menempur aku?"
Koan Eng tidak takut, dia menyambut tantangan itu,
Sebenarnya Koan Eng bisa muncul disitu adalah untuk mencari
puterinya, Setelah dia mengutus Ti Eng berempat, dia
mendapat kabar bahwa Siangkoan Thian Ya berada bersama
seorang yang bernama Tan Hian Ki, orang yang sedang dicari
pihak pemerintah, sebab Tan Hian Ki dipandang sebagai
pemberontak, setelah dia menerima kabar ini dengan perasaan
khawatir, sebab Siangkoan Thian Ya dan Tan Hian Ki itu
adalah sahabat-sahabat puterinya, Sekarang Hian Ki lagi dikepung2
pahlawan2 kaisar, Inilah barbahaya,
Dia khawatir puterinya dipincuk Siangkoan Thian Ya, Kalau
itu sampai terjadi, ada kemungkinan puterinya nanti akan
celaka ditangan pahlawan2 kaisar itu, Dia juga khawatir Ti Eng
berempat tidak nanti sanggup melindungi puterinya, Maka itu,
dia melakukan perjalanan dengan ter-gesa2, Sebenarnya dia
tak tahu bahwa In Bu Yang tengah mengasingkan diri
digunung itu, Hanya, setelah memasuki gunung, secara tidak
sengaja ia menemukan bekas jejak tongkatnya Pit Leng Hong.
Dengan Pit Leng Hong, dia sudah lebih dari sepuluh tahun
tidak bertemu, tapi setelah melihat bekas tongkat itu, dia
percaya sahabatnya itu juga berada didalam gunung ini, dan dia
percaya pasti ada sebab2nya kenapa Pit Leng Hong itu bisa
berada digunung ini.
Oleh sebab itu, ia lantas mengikuti bekas jejak tongkat itu,
untuk mencari sahabatnya, Diluar dugaannya ia telah menyusul
sampai dirumahnya keluarga In, Maka bertemulah ia dengan In
Bu Yang, Tapi, yang terlebih tidak disangka, disini ia
mendengar kabar buruk tentang diri Pit Leng Hong, Prihal
kematian diri sahabatnya itu.
Ia adalah muridnya Tan Teng Hong, walaupun murid tidak
resmi, namun Tan Teng Hong telah membantu dirinya, hingga
ia menjadi pemimpin utama kaum Rimba Hijau dilima propinsi
Utara, Maka itu, tentu saja ia selalu mengingat akan kebaikan
dan kecintaan dari gurunya itu, oleh karenanya iapun selalu
ingat akan pesan gurunya mengenai kitab ilmu pedang.
Dan pula ia ingat Pit Leng Hong walau sebagai orang luar,
tetapi Pit Leng Hong telah mengorbankan dirinya, Dilain
pihak, ia merasa muak terhadap In Bu Yang, Orang she In ini
adalah Mantu keluarga Tan, kenapa samapai ia melupakan
ikatan keluarga itu" Kenapa, selain sudah menikah dengan
puterinya Bouw Tok It, dia juga membinasakan Pit Leng
Hong" Maka itu naiklah darahnya, ia tidak menghiraukan lagi
akan hidup matinya!
Demikian katanya: "Sekali pun Bouw Tok It aku tak takut,
kenapa aku mesti jeri terhadapmu?" dia berteriak, "Baiklah!
Jikalau kau benar mempunyai kepandaian, ayo! kau
binasakanlah aku sekalian!"
Dia menatap muka orang, hingga dia dapat melihat bekas
luka diwajah Bu Yang, luka bekas goresam pedang, In Bu
Yang mengawasi dengan sikapnya yang dingin, yang
memandang ringan.
"Kau hendak menuntut balas untuk Pit Leng Hong?"
katanya, "Nah, inilah saatnya yang paling baik! Eh, mengapa
kau masih tidak mau turun tangan ?"
Siauw Koan Eng berseru keras, bersamaan dengan itu
sebelah tangannya diangkat lalu diayunkan kebawah dengan
jurus "Menggempur gunung Hoa San," ia arahkan batok kepala
sebagai sasaran, Ia menyadari bahwa ia bukanlah tandingan In
Bu Yang, maka itu ia telah mengerahkan segenap tenaganya,
untuk menyerang antara hidup dan mati, atau se-tidak2nya
akan terluka bersama.
Atas ancaman bahaya itu, In Bu Yang tidak bergerak, ia
terus duduk diam, tanpa menangkis, tidak berkelit, dan
wajahnya tidak wajar.
Melihat itu, Siauw Koan Eng menjadi heran, hingga ia
membatalkan serangannya, lalu ia mengawasi, maka segera
terlihat olehnya perubahan atas wajah Bu Yang itu, yang
sekarang parasnya menjadi matang biru tipis dan sinar matanya
menjadi guram, mirip dengan matanya bangkai ikan.
Ah!" ia berseru akhirnya. "Kau pun telah terhajar Hanim
Citsat-ciang dari Pit Leng Hong?"
"Maka itu, aku mengatakan bahwa inilah saat yang paling
baik untukmu!" menjawab Bu Yang sambil tertawa
menyeringai. "Kenapa kau masih tidak mau turun tangan"
Jikalau kau berhasil membunuh aku, aku tanggung namamu
bakal menggemparkan Rimba Persilatan, dan semenjak hari ini
hingga seterusnya, kaulah orang gagah satu2nya dikolong
langit ini!"
Siauw Koan Eng merasa ragu, tangannya itu berhenti diatas
kepalanya In Bu Yang, Ia sendiri adalah seorang jago
kangouw, dan selalu menganggap dirinya gagah, karena itu
mana dapat ia menurunkan tangan kepada seorang yang tak
bersedia untuk melawannya, apalagi lawannya itu adalah
seorang jago yang tengah menderita luka parah" Namun,
jikalau ia benar2 melewatkan kesempatan emas ini, dibelakang
hari ia pasti akan mengalami kesulitan, Bagaimana kalau nanti
In Bu Yang dapat sembuh dari lukanya ini" Siapa nanti yang
dapat mengalahkan dirinya"
Tidak dapat Siauw Koan Eng bersangsi lama2, Akhirnya ia
berseru: In Bu Yang, jangan kau memancing kemarahanku!
Biarlah dunia mentertawakan diriku, tapi hari ini, aku mesti
membinasakan kau, seorang manusia tak berbudi!" Sambil
berseru begitu, ia gerakkan pula tangannya.
Tepat disaat yang kritis itu, mendadak terdengar suara
seruling yang seakan datang dari tempat yang jauh. . .
Awalnya, suara itu halus terdengar, lalu nadanya dengan
cepat berubah menjadi tinggi, kemudian iramanya berubah
lagi, seperti gembira bercampur duka, bagaikan orang
menangis ter-sedu2, mirip tangisan janda yang diceraikan atau
ditinggal mati suaminya, dan dilain saat lagi, suara itu dingin
bagaikan es membeku. . . .
Selagi suara seruling itu merayu-rayu, wajah Siauw Koan
Eng pun menjadi pucat sekali, karena dihadapannya, ia melihat
tubuh In Bu Yang bergemetar keras, menggigil seluruhnya,
Mana ia dapat menghajar lawan dalam keadaan seperti itu"
Se-konyong2 Siauw Koan Eng menjerit tajam, tubuhnya
melompat keluar, sedang In Bu Yang tetap duduk berdiam
bagaikan patung batu yang tak bernyawa.
Tiba diluar, Koan Eng memanggil nyaring dengan suara
menggetar: "Toa. . .toasiocia, ini..ini.. apakah ini mimpi
belaka". . ."
"Ya, apakah ini adalah impian?" demikian terlintas dipikiran
In Bu Yang. Itulah suara seruling yang dikenal baik, yang
mengingatkan Bu Yang pada saat2 dari tigapuluh tahun yang
telah lampau Ketika itu ia bersama Tan Soat Bwee ber-main2
dengan gembira dan asyik, Soat Bwee yang tengah gembira
meniup seruling. . .
Akan tetapi ini bukanlah mimpi, ini adalah kenyataan.
Sesaat kemudian, terdengarlah satu suara, suara yang
menggoncangkan hati.
"Bukan, ini bukanlah impian. . .Yang benar adalah aku telah
kembali. . .Kau datang kesini, apakah yang kau cari?" demikian
suara itu, jawaban yang merupakan pertanyaan juga.
"Aku. . .aku. ." sahut Siauw Koan Eng. "Kitab ilmu pedang.
. .Pit. .Pit Leng Hong. . .Dia bersama aku telah menerima pesan
terakhir dari ayahmu, untuk mendapatkan kembali Tat Mo
Kiampouw, dan diserahkan padamu, Pit. . .Pit Leng Hong. .dia
mati karena mencari kitab ilmu pedang itu. . ."
Tidak tegas kata2nya Koan Eng, suaranya pun menggetar,
suatu tanda betapa tegangnya perasaannya, Kalau dia
berkhawatir, Sebaliknya In Bu Yang sangat ketakutan, dia
sampai seperti merasakan telah hilang kesadarannya. . .
Dalam kehidupannya, In Bu Yang telah mengalami entah
berapa banyak ancaman bahaya, entah sudah berapa banyak
pula musuh tangguh yang dia hadapi, tetapi belum pernah dia
merasakan saat yang seperti ini, sekarang ini dia merasa
menjadi begini lemah dan tak berdaya, Selamanya belum
pernah ada seorang pun seperti wanita ini yang dapat
membuatnya demikian takut, Inilah wanita yang pernah sangat
menyintainya, tetapi sekarang dia merasakan takut yang luar
biasa, sedangkan sebelumnya, tidak pernah seharipun ia tidak
mengingat wanita ini, tetapi sekarang begitu si wanita muncul,
ia menjadi takut terhadapnya!
Diluar terdengar suaranya Siauw Koan Eng, samar2 dan
menggetar: "Siocia, karena kau sudah datang, tidak usahlah aku
mencapaikan diri lagi meminta kitab ilmu pedang itu, hanya
sayang, kau telah datang terlambat satu tindak, karena kitab itu,
Pit Leng Hong telah berkorban jiwa."
"Apa, Pit Leng Hong?" bertanya si wanita, "Apakah dia
Giokbin Kayhiap si Pengemis Mulia- Berwajah Kumala" Ah,
kitab ilmu pedang itu entah telah mencelakai berapa banyak


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. . ."
Wanita ini tidak begitu berduka mendengar kematiannya Pit
Leng Hong, sebab dia datang untuk suatu urusan lain.
Siauw Koan Eng menghela napas perlahan, Ia mengetahui
juga sedikit tentang perasaan hatinya Pit Leng Hong, maka ia
tidak menyangka si wanita yang Pit Leng Hong cintai itu,
sedikit pun tidak mengetahui isi hati orang, bahkan namanya
pun hampir telah dilupakan. . .
"Kalau begitu, Siocia, biarlah aku pergi lebih dulu," kata ia
pula, "Aku masih hendak menolong Pit Leng Hong mengurus
jenazahnya itu."
"Baiklah, kau boleh pergi," menyahut si wanita, yang
dipanggil Siocia (Nona) itu, "Anak perempuanmu baru saja
ber-sama2 Ti Eng dan Ti Pa sekalian pergi turun gunung. . ."
"Oh, begitu?" kata Koan Eng agak kaget. "Jadi benar Un
Lan ada disini?" Habis berkata, dia lalu melompati tembok
pekarangan, dan lantas meninggalkan rumah In Bu Yang itu.
Tindakan Siauw Koan Eng yang berat dan cepat itu
dirasakan Bu Yang seperti menginjak hatinya. Dengan
kepergiannya Koan Eng, maka disitu tinggallah si wanita
seorang diri, Suara langkahnya lantas saja terdengar perlahan,
Dia tengan berjalan masuk kedalam kamar, Tangannya
memegang seruling kumala, bajunya putih laksana salju.
Dimatanya Bu Yang, sidia masih seperti dahulu, ketika dia
berjalan mondar mandir diantara pohon2 bwee itu, Yaitu
sehabis meniup sebuah lagu, lalu ia akan ber-jalan2, perlahanlahan,
Sudah duapuluh tahun mereka berpisah hidup ibarat
bercerai mati, namun terlihat lagi sekarang wajahnya tetap
tidak berubah, hanya gerak-geriknya sedikit beda, tidak seperti
dulu lagi, Dahulu dia adalah seorang Nona yang lincah, tetapi
sekarang alisnya yang kecil berkerut karena menanggung duka,
Ia tidak berani mengawasi dia, ia tidak berani menatap sinar
matanya itu... Sinar mata yang tajam, melebihi tajamnya
pedang Kungo-kiam, yang membuat orang lain tak dapat
menatapnya, Wanita itu berjalan terus, setindak demi setindak,
hingga berada didepannya.
Siapakah wanita ini" Dialah Tan Soat Bwee, isterinya yang
terdahulu, atau isteri pertamanya si In Bu Yang! Benarkah itu"
Bukankah dahulu In Bu Yang telah menyaksikannya dengan
kepala dan matanya sendiri, tubuh isterinya itu telah digulung
gelombang sungai Tiangkang, dan dibawa hanyut pergi" Tetapi
sekarang bagaimana dia dapat muncul disini dengan tidak
kekurangan sesuatu apapun, dan dengan keadaan sehat
walafiat. "Bu Yang, kau baik," katanya, "Ya, kau baik. . ."
Bu Yang berseru, "Soat Bwee! Kau. . .kau. . ." Dia hendak
melompat maju, tetapi dia terhalang oleh tatapan mata dingin
dari wanita itu.
Keduanya berdiri diam, sinar mata mereka bentrok, Cinta
dan penasaran mengaduk menjadi satu- dalam hati Soat Bwee,
Beberapa saat kemudian, baru ia berkata, perlahan sekali;
"Kau tentunya telah menyangka sudah lama aku telah
terbinasa, hanya sayang Thian (Tuhan) tidak sudi menuruti
pengharapanmu itu, Aku masih belum mati! Apakah kau
menyesal dan putus asa" Aku tahu, sekarang ini kaulah ahli
pedang nomor satu dikolong langit ini, maka itu kau hunuslah
Kungo-kiam, kau boleh bunuh lagi diriku!"
"Soat Bwee! Soat Bwee!" kata Bu Yang, suaranya
bergemetar. "Sudahlah, kau jangan mengucapkannya lagi. . ."
Tapi Tan Soat Bwee tertawa dingin,
"Haha! In Bu Yang yang menganggap dirinya orang gagah,
ahli pedang yang terbesar, juga tahu takut! Pada duapuluh
tahun yang silam, kau telah joroki aku tercebur kedalam
sungau Tiangkang, waktu itu kau sedikitpun tidak terlihat jeri,
maka kenapa sekarang kau takut?"
Bu Yang mukanya pucat pias bagaikan mayat, tubuhnya
menggigil, mulutnya ber-gerak2, seperti ia hendak mengatakan
sesuatu, ia telah mencobanya, tetapi gagal, Kata2nya itu
tercegah suaranya Tan Soat Bwee, suara yang mengandung
kemarahan; "Apakah kau takut aku bicara?" demikian isteri itu, "Aku
justeru hendak membuka mulutku! Ketika dahulu waktu kau
joroki aku kedalam sungai Tiangkang, tahukah kau apa yang
ada didalam pikiranku kala itu" Hari itu junjungan kita
bertempur mati2an dengan Cu Goan Ciang, kau bersama aku
telah merampas sebuah perahu kecil, diantara gelombang yang
dahsyat, terjadi hujan anak panah yang deras dan kita
menerjang keluar, Aku telah terkena panah beracun dari
musuh, napasku tinggal satu2, Ketika itu aku berpikir,
walaupun kau sering mengatakan padaku bahwa kita akan
selalu sehidup semati, tetapi waktu itu hatiku tak tega
mengajak kau mati bersama... Aku melihat kau juga terluka,
sedang waktu itu perahu kita hampir terkejar musuh. . . Ketika
itu aku merasakan sangat bahagia, aku berani bersumpah
kepada Tuhan. . .bahwa ketika itu aku menyintai kau melebihi
daripada aku menyayangi diriku sendiri, lebih berlipat seratus
kali, mungkin juga seribu kali! Ketika itu aku menguatkan
diriku, aku pergi keluar perahu, niatku untuk terjun kedalam
sungai, agar kau dapat terluput dari kejaran musuh, Akan tetapi
kau. . .adalah waktu itu, kau telah muncul dan berada
dibelakangku. . .Aku menyangka kau dapat menerka maksud
hatiku, dan kau hendak mencegah aku mencebur, tetapi siapa
duga, kau justeru menolak punggungku, kau menolak dengan
kuat hingga membuat aku tercebur kedalam gelombang sungai
Tiangkang itu! Haha, In Bu Yang! Coba kau terlambat sedikit
saja menjoroki aku, sudah pasti aku telah melompat kedalam
air, waktu itu tentulah aku akan mati dengan rela, karena aku
mati untuk orang yang kucintai, Tapi sekarang, aku belum
mati, sebaliknya kau, kau telah mati dalam hatiku!"
Muka Bu Yang dari biru menjadi pucat, dari putih menjadi
merah, dan dari merah kembali putih pula. . .ia berganti rupa
beberapa kali, Dan beberapa kali ia mau membuka mulut,
tetapi selalu gagal, Akhirnya, dapat juga ia berkata perlahan;
"Kalau aku mengingatnya sekarang, sungguh aku ingin mati
waktu itu. . .Ya, selama dua puluh tahun ini, aku telah
membuatnya kau sengsara, tetapi aku sendiri, mana pernah aku
hidup bahagia" Setiap hari, setiap malam, aku selalu menegur
diriku sendiri, aku tersiksa liangsim- (hati nurani)ku,
Kesengsaraanku itu mungkin terlebih hebat daripada siksaan
dalam delapan belas tingkat Neraka, Tidak, aku tidak berani
memohon maaf dari kau! Nah! kau cacilah aku, kau cacilah
secara hebat, sesukamu!. . ."
Tan Soat Bwee terus tetap bersikap dingin, tapi pada sinar
matanya terlihat masih ada sisa dari rasa kasih sayang saat ia
menyapu pada wajah suaminya itu, Dan ia tidak membuka
mulutnya meski Bu Yang meminta ia mencacinya.
"Kau tidak sudi mencaci aku, aku akan mencaci diriku
sendiri," berkata pula Bu Yang, "Soat- Bwee, tahukah kau apa
yang aku pikir waktu itu" Ya, Dalam keadaan yang sangat
berbahaya itu, kau masih memikir untuk aku, sedangkan aku,
aku memikir untuk diriku sendiri! waktu itu kau terluka parah,
aku merasa bahwa aku tidak akan sanggup menyelamatkan
kau, maka aku berpikir: 'Daripada kau ditawan musuh, hingga
kau bakal menderita siksaan dan sengsara, lebih baik kau
kupendam dalam ganasnya gelombang sungai Tiangkang itu,'
Pikiranku itu sebenarnya adalah pikiran untuk menghibur diri
sendiri, semuanya palsu belaka, Sebenarnya aku mempunyai
maksud lain, Maksud yang aku tidak dapat mengatakan untuk
menjelaskannya, Sebenarnya aku takut mati, dan aku tamak
akan kehidupan, disaat yang genting dan berbahaya itu, aku
melepas kewajibanku melindungi isteri, aku hanya berpikir
bagaiamana cara meloloskan diri sendiri, bahkan aku berpikir,
setelah kau menutup mata, aku akan menjadi ahli pedang
nomor satu dikolong langit ini! Memang, banyak orang2 yang
menganggap aku adalah seorang yang gagah perkasa, tetapi
mana mereka tahu, bahwa hatiku sebenarnya busuk sekali!
Disaat yang kritis seperti itu, aku justru menjoroki kau kedalam
sungai! Dan aku telah mengambil pedang pusakamu! Didalam
kepungan musuh, aku menerobos keluar, belum lagi pakaianku
kering, aku telah lari pergi mencari Bouw Tok It, Semua itu
aku lakukan untuk kepentingan diriku sendiri, agar aku dapat
menjadi jago pedang yang utama, Ya, Soat Bwee, kau cacilah
aku, kau cacilah!"
Air matanya Tan Soat Bwee mengalir turun, tetes demi
tetes, Ia tidak menyangka bahwa In BU Yang akan
memberikan pengakuannya itu, Maka hatinya yang lembut dan
mulia, lantas hendak memaafkannya, Tapi ia masih dapat
menguasai dirinya, Dan ia tertawa dingin.
"Maka dengan begitu jadilah kau menantunya keluarga
Bouw itu!" katanya tajam, "Ha, aku sampai lupa! Sampai
sekarang ini, aku masih belum melihat pengantinmu yang baru
itu! Mana pengantinmu itu?"
Soat Bwee bukannya tidak tahu, Waktu telah lewat
duapuluh tahun, Bu Yang dan Poo Cu telah menikah lama,
tetapi kata2 "pengantin" itu telah keluar dengan sendirinya.
In Bu Yang tertawa sedih.
"Dia?" katanya. "Dia sudah pergi. . .Siapa yang
mementingkan dirinya sendiri, lambat laun dia pun bakal disia2kan
oleh orang lain. . .Kau menganggap aku telah mati,
maka dia. . .dia tentu telah menganggapnya aku telah mati juga.
. .Aku ingat, seumur hidupku, belum pernah aku memuji
didepanmu, memuji wanita yang kedua, akan tetapi sekarang
tidak dapat aku tidak mengatakannya, Sesungguhnya, Poo Cu
mirip dengan kau, dialah seorang nona yang baik sekali, tetapi
aku, dengan segala kepalsuan aku telah menipu dia, aku telah
menipunya untuk kepentinganku menyuruh dia mencuri kitab
ilmu pedangnya Bouw Tok It! Itulah aku, dari isteriku yang
pertama telah aku dapatkan pedang mustika nomor satu
dikolong langit ini, dan dari isteriku yang kedua, aku
memperolehnya kitab ilmu pedang yang tidak ada
tandingannya dalam dunia ini! Dengan begitu jadilah aku jago
pedang nomor satu didalam dunia, Tapi akibatnya, aku
kehilangan cintanya kedua isteriku. . .Ah, kitab ilmu pedang itu
masih mempunyai ceritanya sendiri yang ber-liku2,
Sebenarnya, Soat Bwee, kitab itu adalah kitab milik ayahmu,
maka sekarang didalam dunia ini, kau pemilik yang sah dari
kitab itu!"
Soat Bwee tertawa dingin.
"Aku telah sangat menderita, duapuluh tahun aku
menanggung penasaran," ia berkata, "sekarang aku datang
mencari kau, apakah kau anggap aku datang untuk kitab ilmu
pedang itu?"
Bu Yang mementang semua pintu dan jendela.
"Aku menginsafi bahwa kesengsaraanmu itu tak dapat
kutebus," ia berkata, perlahan sekali, "Selama duapuluh tahun
ini, aku selalu memikirkan daya untuk mengurangi
penderitaanku, tetapi selama ini belum pernah aku berhasil
menebus dosaku, Hanya, aku tahu, tidaklah sukar untuk kau
mengetahui isi hatiku yang se-benar2nya, Nah, cobalah kau
melihatnya! Itu bunga bwee diluar jendela! Cara mengaturnya
kamar tulis ini! Semuanya itu aku mengikuti caramu!"
Mau tidak mau, Soat Bwee memandangnya, Diluar terlihat
sisa2 pohon bwee yang daun2nya telah rontok, tetapi
dicabangnya masih ada beberapa kuntum bunga itu, Iapun
memandang ke sekeliling kamar tulis itu, Ia memandangnya
tanpa mengeluarkan suara.
In Bu Yang melanjuti: "Aku telah mengajarkan anak
perempuanku memasak sayur yang biasa paling kau sukai, aku
menyuruhnya membuat pakaian yang paling kau gemari,
Sekarang dia telah berusia delapan belas tahun, Tanpa terasa
aku telah mengajari dia, hingga dia menjadi mirip dengan kau,
hatinya begitu lembut, begitu jujur, dalam kehidupannya dia
tidak mengetahui bahwasanya dunia ini begitu kotor, Itu
disebabkan aku ingin selalu melihat bayanganmu didalam
dirinya!" Dengan sangat perlahan Soat Bwee mengucapkan sesuatu,
Kata2nya Bu Yang ini sangat menyentuh hatinya, Sebenarnya
ia sangat bersedih, tetapi iapun lega dan terhibur, maka tanpa
merasa, buyarlah sebagian dari rasa penasarannya.
"Benarkah itu?" katanya perlahan, "Kau pun telah
mempunyai seorang anak perempuan?"
Bu Yang mengangguk,
"Kau tunggu sebentar," katanya, "dia akan segera pulang."
Tapi, tiba2 Soat Bwee merasakan sesuatu yang sangat
menyakitkan hatinya.
"Bu Yang!" katanya tajam, "Tahukah kau, kenapa malam ini
aku datang mencari kau" Tahukah kau apa yang ada dalam
pikiranku" Sebenarnya aku telah bersumpah, selama sisa
hidupku ini, tidak sudi aku melihat kau lagi, aku juga tidak
menghendaki kitab ilmu pedang itu, akan tetapi aku telah
melanggar sumpahku itu! Kau tahu, ini semua kulakukan demi
anakku, untuk seorang anak laki-laki2!"
In Bu Yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Anak laki2mu" Oh, jadi kita mempunyai
seorang anak laki2 "
Tan Soat Bwee mengangguk perlahan, "Disaat kau
menjoroki aku kedalam sungai Tiangkang, aku tengah
mengandung dua bulan," menerangkan isteri ini.
Bu Yang menjerit, dia berjingkrak, lantas dia memukul
dadanya, Air matanya pun segera bercucuran deras.
"Aku pantas mati, aku pantas mati!" ia men-jerit2. "Oh,
hampir akupun membinasakan anakku sendiri. . ."
Amarahnya Tan Soat Bwee bangkit kembali.
"Dia bukanlah anakmu!" katanya sengit, dan dingin.
"Seumur hidupnya dia belum mengetahui bahwa dia
mempunyai seorang ayah seperti kau!"
"Ya, memang benar demikian," kata Bu Yang, perlahan.
"Memang aku tidak lagi mempunyai muka untuk menjadi
ayahnya. . ."
"Selama duapuluh tahun, aku sendiri yang memelihara dan
merawat dia," berkata Soat Bwee, "akulah yang telah mendidik
dia menjadi seorang manusia yang hatinya putih bersih, Dia
dengan kau sudah tidak ada hubungan apa2! Aku telah
mengatakan padanya, bahwa ayahnya telah lama mati!"
Hati Bu Yang terasa sakit bagai di-sayat2, Tidak berani ia
memandang sinar mata isterinya itu,
Setelah ia terdiam sekian lama, beberapa saat kemudian
baru ia membuka mulutnya.
"Soat Bwee, aku mengerti kau, "ia kata. "Kau tidak
menghendaki ia mengenali ayah semacamku ini, Memang aku


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak pantas menjadi ayahnya! Sekarang aku hanya ingin minta
kau dapat menceritakan sesuatu tentang anak itu, kemudian
biarlah aku akan melihat dia, untuk satu kali saja. . .Ah, kita
sudah berpisah duapuluh tahun lamanya, kalau di-hitung2, dia
tentu telah berusia duapuluh tahun juga, Selama duapuluh
tahun itu bagaimana kehidupan kalian ibu dan anak". . ."
Hati Soat Bwee tercekat. "Ya, mungkin mereka bakal
bertemu juga," pikirnya, Ia mengawasi suaminya itu.
Bu Yang berada didepan jendela, berdiri diam, wajahnya
basah dengan air mata, tangannya memegang sebatang cabang
pohon bwee, agaknya dia menahan tubuhnya dengan
mengandalkan pohon bwee itu, kemudian ia menghela napas.
"Jikalau bukan karena dia, tidak nanti aku hidup sampai
sekarang ini," ia berkata sesaat kemudian. "Ketika kau joroki
aku kedalam sungai, walaupun aku terluka parah, aku berupaya
melawan arus yang dahsyat, disebabkan untuk melindungi dia,
Aku bergulat melawan gelombang, dan akhirnya aku berhasil
menyelamatkan diriku, Demikian, bersama dia aku hidup, kami
bersama hidup selama duapuluh tahun ini. . . Selama duapuluh
tahun itu, aku mengajari dia ilmu surat, aku juga ajari dia ilmu
silat dan jurus pedang, Semua paman2nya adalah bekas
rekan2mu dulu, semuanya turut menurunkan ilmu silatnya,
Duapuluh tahun aku hidup menyembunyikan diri, tidak ada
seorangpun juga yang mengetahui aku masih hidup dalam
dunia ini. . ."
Bu Yang terkejut, "Semua bekas rekanku mengajari dia ilmu
silat?" ia menanya.
"Benar! Tapi mereka tidak tahu, bahwa dia adalah anakmu,"
sahut isteri itu. "Aku hendak menjadikan dia seorang yang
berkepandaian tinggi, maka dengan membekali warisan bekas
junjunganku, aku memerintahkan dia pergi mencari Ciu Kong
Bit, dan Ciu Kong Bit menganggap dia adalah anaknya bekas
rekannya, melihat dia cerdas dan nyali besar, dia sangat
disayangi, oleh paman2 lainnya, mereka juga memberi ilmunya
dengan sungguh2. Ya, sekarang aku baru mengerti, semua
pamannya itu, bekas rekan2mu semua, ternyata juga
mempunyai maksud tertentu. . ."
Ciu Kong Bit itu adalah kepala dari bekas pengikutnya Thio
Su Seng, setelah runtuh sang junjungan Thio Su Seng, dia
menyembunyikan diri, tetapi dia tetap ber-cita untuk bangkit
kembali, guna melanjutkan angan2 besar dari junjungannya itu.
Tubuh Bu Yang gemetaran. "Apa maksud dari mereka itu?"
ia bertanya. Soat Bwee tertawa dingin. "Mereka bermaksud menyuruh
dia membunuh kau!" sahutnya.
"Apa" Dia hendak membunuh aku?" Bu Yang menegaskan.
"Mereka itu tidak tahu bahwa dia adalah anakmu," kata pula
Soat Bwee. "Tetapi mereka tahu Cu Goan Ciang mau
mengundang kau turun gunung!"
Bu Yang menjadi sangat bernapsu.
Cepat bilang, Cepat!" desaknya, "Siapakah namanya anak
kita itu?"
"Aku tidak menghendaki dia she In, aku ingin dia memakai
she-ku," sahut sang isteri. " Dia bernama Tan Hian Ki!
Bukankah dia pernah datang dirumahmu ini" jikalau bukan
karena dia, tidak bakalan aku datang kegunung Holan-san ini!
Eh, eh, Bu Yang, kau. . .kau kenapakah?"
Tubuh Bu Yang mendadak limbung, tanpa berdaya dia
roboh terbanting, mukanya pucat sekali bagaikan mayat. "Oh,
Thian!. . ." keluhnya tajam.
Sekarang mengertilah Bu Yang akan segalanya, Tan Hian
Ki itu adalah puteranya sendiri, Tetapi Tan Hian Ki juga adalah
pemuda yang sangat dicintai puterinya! maka inilah pukulan
sangat hebat untuknya.
Soat Bwee heran bukan main, ia kaget bukan kepalang,
Kenapa suaminya itu roboh" Kenapa dia bisa pingsan secara
demikian mendadak" Tanpa pikir panjang, ia menubruk suami
itu, untuk disadarkan dirinya, Setelah duapuluh tahun, inilah
kali pertama tangannya kembali menyentuh tangan suami itu,
Dan tangan itulah yang pada duapuluh tahun yang lalu
menjoroki dia tercebur ketengah gelombang sungai Tiangkang!
sesaat kemudian Bu Yang sadar, Saot Bwee hendak menarik
pulang tangannya, tapi mendadak ia merasakan tangan Bu
Yang itu dingin sekali, Ia lalu menatap Bu Yang juga menatap
dirinya, maka kedua mata mereka bentrok satu dengan lainnya.
Soat Bwe melihat wajah Bu Yang sangat guram, sinar
matanya merah tua, "Kenapa?" tanyanya. "Apakah kau terluka
parah" Mengapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?"
Soat Bwee adalah seorang ahli silat, ia mengerti luka yang
didapat Bu Yang tak dapat diobati lagi, Saat itu, buyarlah
segala budi, dan segala sakit hati, Ia dapat merasakan
bagaimana tangan Bu Yang meng-usap2 tangannya, mengusap
dengan perlahan seperti duapuluh tahun yang lampau itu. .
Hati Bu Yang telah dilimpahkan semua kepada anak
gadisnya, "Kalau So So ketahui ini. . ." pikirnya, Ia tidak berani
memikirnya, "Syukur So So belum pulang. . ."
Tan Hian Ki dan In So So adalah anak Bu Yang, dan kedua
anak itu saling menyintai! Kalau saja mereka sampai menikah,
menjadi suami isteri!. . .
Ia menguatkan hatinya, ia mencoba bangkit bangun, Lalu ia
berkata keras: "Soat Bwee, Lekas! cepat! cepat kau bawa dia
pergi!" Tapi Soat Bwee bingung, tak dapat ia memahami hati suami
itu, Ia tidak menginsafi luka hati suami yang sangat hebat
berlipat ganda, daripada luka hatinya sendiri.
Soat Bwee menjublak, Ia melihat tubuh Bu Yang itu
gemetaran, lalu ia melihat mata Bu Yang itu diarahkah
kepembaringan didalam kamar tulis itu, Dan kelambu
pembaringan itu mendadak bergerak sendirinya, Segera satu
pikiran melintas dikepalanya.
"Apa?" serunya, ?"Hian Ki disini?"
Hian Ki baru saja sadar, ia membuka matanya dengan perlahan2,
ketika ia menyingkap kelambu, justru ia melihat ibunya
menghampiri dirinya, Bermimpikah dia" Ia lantas menggigit
jari tangannya! Oh, tidak! Ia sadar!
Soat Bwee girang bercampur sedih, "Hian Ki! Hian Ki!"
serunya, "Kau baik?"
"Baik, ibu!" sahut anak itu cepat. "Aku terluka dari Lo Kim
Hong, lalu aku, ditolong oleh dia! dan Hian Ki menunjuk
kepada Bu Yang.
Soat Bwee melirik suami itu, ia berkata dengan dingin,
"Kiranya kau. . .kau juga. . .
Sebenarnya hendak Tan Soat Bwee mengatakan, ". .kau juga
masih mempunyai kasih sayang seorang ayah. . ." akan tetapi
ia menjadi terkejut sekali, Ia melihat mata Bu Yang mendelik,
tangannya di-ulap2kan, lalu ia berseru dengan suara serak:
"Cepat kalian pergi, lekas! Pergilah yang jauh, untuk selama2nya
jangan kalian menginjak lagi gunung Holan-san ini. .
." Tiba2 saja, Soat Bwee menjadi gusar, "Bagus ya!" ia
berseru. "Kau mengusir kami! Duapuluh tahun kami ibu dan
anak hidup bersama, siapa. . .siapa. . ."
Bu Yang menguatkan hatinya, ia memotong: "Sudah, jangan
bicara lebih jauh! Lekas pergi, cepat!"
Dalam gusarnya Soat Bwee heran. "Dia ketakutan! Apa
yang dia takuti?" pikirnya.
Hian Ki juga heran bukan kepalang. "Selama duapuluh
tahun ibu tidak pernah keluar dari rumah, kenapa sekarang ibu
bisa kenal In Bu Yang?"
Ia melihat sikap yang luar biasa diantara ibunya itu dengan
In Bu Yang, ia menjadi heran pula, Inilah sangat
mengherankan, Suasana saat itu sangat tegang, Maka, dari
bergirang, Hian Ki jadi menggigil sendirinya.
"Anak Ki, mari kita pergi!" tiba2 Soat Bwee berkata, Anak
itu dicekal tangannya oleh ibunya, tetapi Hian Ki berontak, Ia
tampaknya sangat bingung.
"Tidak," katanya perlahan, "Aku mau menanti pulangnya So
So. . .Ibu, kau tentu akan menyukai dia. . ."
Hati Soat Bwee terkesiap, Hendak ia bertanya, "Siapa, itu
So So?" Tetapi puteranya telah maju dua tindak, mendekati Bu
Yang, dengan sinar mata memohon, ia kata perlahan: Kau telah
menjanjikan aku, agar So So mengikuti aku pergi, maka itu aku
hendak menantikan dia kembali, sampai dia kembali!"
Kata2 itu terdengar oleh Soat Bwee bagaikan Halilitar,
Tengah ia bingung , ia melihat wajahnya Bu Yang pucat
bagaikan mayat, tubuh Bu Yang limbung, Justru pada saat itu,
terdengar Hian Ki menjerit tajam, matanya tertuju keluar
kamar, Disana, dibawah pohon Bwee, satu bayangan orang
berkelebat melintas, terlihat ujung baju melambai diantara
sambaran angin.
"So So! So So!" Hian Ki memanggil, "Ibuku. . . ."
Mendadak kata2 ini terhenti, Ia kaget, ia melihat wajah So So
sangat pucat, seperti orang yang sangat ketakutan, seperti
hatinya sangat terluka, Semuanya itu tampak nyata disinar
matanya si Nona.
Hian Ki menjadi sangat bingung, "So So!. . ."ia memanggil
lagi, Tapi ia tidak dapat meneruskannya.
So So menutupi mukanya, dia menjerit hebat, lantas dia
berlari, pergi. Hanya meninggalkan suara tangisannya yang
ter-gerung, yang masih terdengar. . .
Soat Bwee berdiri menjublak, tenaganya seperti habis,
Sekarang mengertilah dia akan segala apa yang terjadi, Hanya
Hian Ki yang masih bingung, yang masih gelap, Tapi ia ingat
akan So So, maka iapun lari tanpa memikir lagi, menyusul! Ia
telah melompati tembok pekarangan, tanpa ibunya dapat
mencegah dirinya, sebab ibunya saat itu tak dapat lagi
menggerakan kakinya. . .
Pada saat bersamaan, terdengar pula jeritannya Bu Yang,
dan tubuhnya terus roboh, dari mulutnya terdengar keluhan:
"Inilah dosaku. . .Inilah dosaku. . ." Suaranya itu makin lama
makin lemah. Soat Bwee merasakan tubuhnya beku, ia memaksa
membuka kedua matanya, Ia pun memaksa untuk bergerak,
menghampiri suami itu, Ia tidak berani memikir, ia tidak berani
membuka suara juga..
"Biarkan mereka pergi. . ." kata pula Bu Yang, "biar mereka
pergi. . Aku minta kau bakar rumah ini, lantas kau bawa pulang
abuku ke Kanglam. . .Aku tidak mau dikubur ditempat yang
melukakan hati ini. . ."
Sampai disitu, suaranya tak lagi terdengar nyata,
Sebenarnya dia masih dapat bertahan hidup lagi tiga hari, tetapi
pukulan bathin yang diterimanya hebat sekali, dan dia tak kuat
menahannya, Maka itu, jago pedang nomor satu dikolong
langit ini, saat itu juga telah berpulang kedunia lain, matanya
tertutup rapat tak melihat lagi. . .
Itulah berpisah mati, bercerai hidup selama duapuluh tahun,
dan sekarang, berpisah untuk se-lama2nya, tak bakal bertemu
lagi. . . . Maka Soat Bwee tidak tahu ia menyintai atau ia membenci,
ia seperti lagi bermimpi. . Suaminya, puteranya. . . Suaminya,
puteranya. . .Kemana mereka pergi. . .Hatinya sangat kusut,
sangat pepat, menangis pun tidak ada air matanya, Ia merasa
lebih celaka, lebih sakit hati, daripada saat ia dijoroki Bu Yang
kedalam gelombang sungai Tiangkang itu. . .Hebat sangat
pukulan ini, maka iapun menjerit, tubuhnya roboh disamping
tubuh Bu Yang. . . .
Digunung Holan-san masih ada dua orang lagi, yang sangat
sakit hatinya, Mereka adalah In So So dan Tan Hian Ki,
Hampir So So tidak dapat bertahan, tetapi ia berlari terus, ia
lari untuk menyingkir dari Hian Ki, Ia telah tahu segala. . . .
Diantara angin yang ber-tiup2, terdengarlah jeritannya Hian
Ki, jeritan yang keluar dari tersayatnya hati: "So So, So So!
Kau tunggu aku! So So, meskipun kau tidak sudi
memperdulikan aku lagi, kau haruslah mengucapkan sepatah
kata. . ."
Tapi So So tidak mau berhenti lari, tidak mau dia berpaling,
Diantara mereka hanyalah sang angin yang menjadi pesuruh
mereka, untuk menyampaikan jeritan Hian Ki itu dan
tangisannya So- So. . . .
Hati Hian Ki sangat kalut, samar2 ia merasakan duduknya
persoalan, tapi ia penasaran, ia ingin mengetahui dengan jelas,
Ia melihat bulan begitu indah, ia seperti mendengar pula
nyanyian So- So tinggi diatas gunung, tapi malam ini, alam itu
sama seperti sediakala, Hanya So So yang lenyap. . . .
Hian Ki mengejar terus, se-kuat2nya, Makin lama,
terpisahnya ia dengan So So semakin dekat. "So So," ia
berkata, "kau mengatakan, didunia ini hanya akulah orang yang
terdekat denganmu, yang paling rapat, bahwa selanjutnya, tak
perduli diujung langit, didasar lautan, kau hendak mengikuti
aku, supaya kita tetap selalu bersama. . . . Tapi, So So,
sekarang. . . kau. . . kenapakah". . . ."
"Tidak, tidak, Hian Ki, tidak dapat!" demikian suara si nona.
"kau tidak tahu, Hian Ki!. . ." So So berlari terus, ia lari
semakin kencang, Ia mendaki, mendaki keatas hingga hampir
sampai dipuncak. . .
Se-konyong2 ada suara panggilan, nyaring: "Saudara Hian
Ki! Saudara Hian Ki!" Hian Ki segera menoleh, ia melihat
Siangkoan Thian Ya, Karena ia berpaling, lari Hian Ki
tertahan, maka So So telah terpisah lagi dari dirinya beberapa
puluh tombak. "Saudara Thian Ya, lain kali saja kita bertemu lagi!"
menjawab Hian Ki.
Akan tetapi Thian Ya lari mendatangainya, napasnya tersengal2,
dia seperti kehabisan napasnya "Saudara Hian Ki. . ."
katanya. "Tat Mo Kiampouw itu milikmu! Kungo-kiam
milikmu juga!"
Hian Ki heran. "Apa?" dia tanya, Tapi dirinya berlari terus,
bagaikan terbang, tanpa menoleh.
"Eh, eh, perlahan sedikit!" Thian Ya men-jerit2. "Kau
dengar aku!. . ."
Hian Ki tidak menghiraukannya, dia melompat ketempat
yang tinggi, Disana dipuncak gunung, terlihat baju So So berkibar2,
tubuhnya ber-goyang2. . . .Pemuda itu menjerit keras,
tubuhnya melesat dengan gerakan "Yancu coanin," (Burung
walet- menembus mega), Ia mencelat beberapa tombak, kearah
puncak gunung. Sia-sia Siangkoan Thian Ya mengejar, apalagi dia telah
terlalu letih, hingga dia tak tampak lagi tubuh Hian Ki
sahabatnya itu, Tetapi dia tetap masih men-jerit2: "Saudara
Hian Ki, bukankah kakek luarmu bernama Tan Teng Hong"


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tat Mo Kiampouw itu dicuri Bouw Tok It! Kungo- Kiam milik
isterinya In Bu Yang yang pertama! Semua itu harus menjadi
milikmu. . . ."
Siangkoan Thian Ya hanya mengingat baik2 kata2 gurunya
Pit Leng Hong, Guru itu mengatakan, kitab ilmu pedang harus
dikembalikan kepada anaknya Tan Teng Hong, Dia tidak tahu
bahwa Tan Soat Bwee masih hidup didalam dunia ini, dia
hanya ingat Tan Teng Hong itu kakek luarnya Hian Ki, Dia
wataknya kasar tetapi dia jujur, dia tidak memikir
hubungannya antara Hian Ki dan So So, dia melainkan ingat
pesan gurunya yang mesti diwujudkan, maka dia lari menyusul
Hian Ki, untuk menyampaikan kata2 itu. . . .
Se-konyong2 terdengar suara nyaring: "Ser!" Bagaikan
guntur disiang bolong! Lalu Hian Ki mengerti segala
persoalannya Mendadak So So mengayunkan tangannya, melemparkan
Kungo-kiam, suaranya terdengar bergetar: "Hian Ki, Hian Ki,
kau. . .kau sudah mengerti bukan" Jangan kau dekati aku!. . ."
Saat itu Hian Ki seperti kehilangan semangatnya, tetapi ia
lari terus, ia bagaikan tak dapat mengendalikan dirinya, Ia tak
tahu, So So itu hendak menyingkir darinya atau Nona itu
terpeleset, mendadak tubuh So So itu terjatuh kebawah gunung,
kedalam jurang yang ribuan tombak dalamnya!
Angin gunung men-deru2, diantara lembah2 terdengar
jeritannya Hian Ki ber-ulang2, jeritannya bagaikan kalap,
Bersamaan juga terdengar suara sambutan Siangkoan Thian Ya
yang menjerit pula:
"Telah terjadi apakah?" Tapi ia tidak memperoleh jawaban.
Disekitar gunung masih terdengar jeritannya Hian Ki; "So
So! So So!" bagaikan orang kalap, Hian Ki terus mencari
keseluruh penjuru, Tentu saja, dia tidak dapat menemukan si
Nona. Juga Siangkoan Thian Ya, ia tidak tahu kemana harus
menyusul Hian Ki! Jauh disana terlihat api ber-kobar2 besar,
angin gunung men-deru2, dilain bagian, masih juga terdengar
jeritannya Tan- Hian Ki.
Dan rumahnya In Bu Yang, rumah itu telah menjadi abu,
menjadi puing! Maka segala2nya, Cinta dan Kebencian, segala dosa,
semuanya hanyut terbawa air. . . .
TAMAT. Kisah selanjutnya "PENG CONG HIAP ENG" ( DUA
MUSUH TURUNAN )
Pendekar Kidal 25 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Kisah Pedang Bersatu Padu 18
^