Pencarian

Sebilah Pedang Mustika 5

Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Bagian 5


lemah sekali, Ia menjadi kaget, Benar2 sianak muda ini telah
mendapat luka dalam yang parah.
"Kalau aku masih mempunyai Siauwhoan-tan sebutir saja,
alangkah bermanfaatnya," ia berpikir, 'Sekarang dimana aku
mesti pergi mendapatkannya". . ."
Bu Yang menjadi bingung sekali, akan tetapi ia
mengendalaikan diri untuk tidak menunjukkan kekhawatiran
itu pada wajahnya, sebab itu dapat mengganggu isterinya, Dan
ia pun berlaku tenang.
"Bagaimana?" tanya Nyonya In, Selagi bertarung, ia masih
mengambil kesempatan memperhatikan pemuda itu, calon
mantunya. "Tidak kenapa," menyahut Bu Yang, berdusta."Sekarang
aku lagi menguruti dia untuk memperlancar jalan darahnya. . ."
Sebenarnya luka Hian Ki itu tak dapat disembuhkan dengan
diurut saja, maka itu, walau dimulut dia berkata demikian, tapi
didalam hati ia bingung tak kepalang.
Disaat itu terdengarlah suara siulan dari arah belakang
gunung, suara itu panjang dan jelas, tetapi dapat diduga,
jauhnya masih beberapa lie, Seruan itu diulangi ber-kali,
kedengarannya: "Bagaikan suara burung hoo, mengaum
pendek bagaikan harimau mementang suara didalam lembah,"
Lo Kim Hong mendengar jelas suara itu, ia lantas tertawa
terbahak, setelah itu ia juga membalas memperdengarkan suara
yang sama. In Bu Yang terkejut, hingga wajahnya menjadi berkerut;
"Bagus, Lo Yayjin!" katanya seraya tertawa dingin,
"Kiranya kau tengah memanggil kawanmu datang kerumahku
ini! Jangan kau khawatir, aku siorang she In tidak nanti berani
tidak menyambut tamu yang mulia itu!"
Menyusul kata2nya itu, Bu Yang pun berseru, nyaring dan
panjang, suaranya jelas seperti seruan pertama tadi sehingga ia
dapat mengacaukan seruannya Lo Tayjin ini, Suaranya itu
mirip dengan "Gelombang menerjang pantai."
Lo Kim Hong kaget, hatinya gentar, Tidak saja ia
merasakan telinganya mendengung, akan tetapi seruan itu telah
melenyapkan suara seruannya barusan, hingga ia menjadi
gelisah, dan ia menjadi tidak tenang hatinya.
Seruan Kim Hong itu adalah sambutan untuk kawannya,
tidak ia sangka, Bu Yang dapat mematahkannya, Ia lantas
mencoba berseru sekali lagi, tetapi karena konsentrasinya
terganggu, suaranya tidak lagi sekeras tadi, bahkan rada
tergetar. Pertempuran itu sendiri berjalan terus, Segera Nyonya In
memperoleh hasil, Yaitu enam sampai tujuh kali ia dapat
menusuk lengan lawannya.
Lo Kim Hong kaget dan kesakitan, ia menjerit keras,
tubuhnya melompat kearah Tan Hian Ki, Itulah ancaman
bahaya untuk sianak muda, Tapi Bu Yang yang melihat
gerakan lawannya itu, tanpa ayal lagi ia memapaki dengan
pukulan Pekkong-ciang, Ia tidak menanti sampai musuh dapat
menjejak kakinya ditanah.
Lo Kim Hong mengangkat tangannya, hendak menangkis
pukulan itu, Maka kagetlah ia tatkala saat ia mencoba
menggeraki tangannya, tangan itu lemas, tak dapat bergerak
menurut keinginan hatinya, Itu semua akibat dari tusukannya
Nyonya In, yang telah mengenai otot2 lengannya, sehingga
terputus karenanya.
In Bu Yang yang menyerang dengan sepeunuh hati, dan
serangannya itu tidak dapat tertangkis lawan, begitu
papakannya berhasil, tubuh Lo Kim hong lantas melayang
balik, bagaikan pohon kering, roboh terbanting keras ketanah,
terus tak bergerak lagi, sebab jiwanya telah melayang saat itu
juga! Nyonya In membersihkan cabang kayunya yang berlepotan
darah itu, "Terima kasih untuk bantuanmu . . ." katanya
perlahan, Baru sekarang ia membuaka mulutnya.
"Bicara dalam hal terima kasih, selama duapuluh tahun ini,
aku tidak tahu sudah berapa ribu laksa kali aku yang harus
mengucapkannya terhadapmu," sahut Bu Yang, perlahan juga.
Walau mereka telah menikah puluhan tahun, akan tetapi
inilah yang pertama kali mereka bertempur ber-sama2
menghadapi satu musuh, dan ini juga yang pertama kali Bu
Yang mendengar Poo Cu menghaturkan terima kasih padanya,
Maka itu bukan main ia merasa manisnya ucapan itu, manis
sekejap kemudian tercampur dengan kepahitan, Ia lantas
teringat bagaimana sikapnya selama duapuluh tahun ini, ia
telah perlakukan sangat dingin isterinya itu.
Juga bagi Nyonya In, inilah yang pertama kali ia mendengar
suaminya menyatakan penyesalannya, tanpa terasa air matanya
berlinang dan mengalir turun.
"Poo Cu, awas! Senjata rahasia!" mendadak Bu Yang
berseru. Dan benar2 beberapa senjata rahasia menembusi pohon
bwee mengarah kearah si Nyonya, Poo Cu tangkas gerakannya,
dan lantas ia menyampok dengan cabang pohon ditangannya
itu, sedang Bu Yang sendiri tidak cuma memberi peringatan,
berbareng dengan itu ia menyentil dengan kedua jari
tangannya, hingga terdengar suara bentrokan dua kali, lalu dua
batang huitoo (golok- terbang), mencelat keluar tembok
pekarangan. Kemudian, "Brak!" daun pintu tertendang menjeblak, dari
sana muncul seorang Toojin (imam) dengan jubah hijaunya,
serta dia diiringi dua orang busu (pahlawan), yang berpakaian
serba- hitam. In Bu Yang segera merangkap kedua belah tangannya;
"Tay Hian Tootiang, selamat bertemu, selamat bertemu," ia
berkata nyaring. "Sebenarnya sudah lama sekali kita tak pernah
bertemu, maka sekarang terimalah ucapan selamat dari aku,
Kau telah berhasil bekerja kepada pemerintah agung! Hanya
masih rada tidak memuaskan hati kau, karena kau cuma
menjadi pengikutnya Lo Kim Hong!. . ."
Inilah kata2 hebat, pujian yang muluk lalu dijatuhkan kaget.
Tay Hian Toojin adalah seorang "panglima" gagah kelas
satu dibawa ke-pemimpinan Tan Yu Liang, Di-jaman
akkhirnya kerajaan Goan, selagi jago2 berusaha bangkit untuk
membangun kerajaan, tiga patriot pecinta negara yang bergerak
itu adalah Cu Goan Ciang, Tan Yu Liang dan Thio Su Seng
yang tenaganya paling besar, Tan Yu Liang itu, yang
menentang pengaruhnya Cu Goan Ciang, pernah berserikat
dengan Thio Su Seng, maka itu In Bu Yang pernah bertemu
dengan imam jubah hijau ini, ketika kemudian Tan Yu Liang
runtuh, Tay Hian Toojin bertukar majikan, ia justeru
menghamba kepada Cu Goan Ciang dengan kedudukan sebagai
congkauw-tauw (guru silat utama), dari pasukan pahlawan
kaisar Kimi-wi, kedudukannya ini ada dibawah kedudukan dari
Lo Kim Hong, Demikian Bu Yang mengejeknya.
Suara siulan isyarat yang didengar Lo Kim Hong, adalah
suara dari imam ini serta dua kawannya, Mereka ini pun dapat
memdengar suara balasannya Lo Kim Hong, dan segera
mereka mengetahui, Lo Kim Hong tengah terlibat
pertempuran, maka meskipun kemudian seruan Kim Hong
dikacaukan oleh In Bu Yang, mereka tetap datang kerumah
siorang she In ini, sebab inilah rumah yang menjadi tujuan
mereka, Sayang mereka tibanya terlambat, Lo Kim Hong sudah
menjadi korbannya Nyonya In dan In Bu Yang.
Tay Hian melihat mayat Lo Kim Hong yang melintang, ia
kaget bukan kepalang, Tapi ia bernyali besar dan
berpengalaman, ia segera dapat menguasai diri, dan ia berpura2
tidak tahu. "Saudara In, ada terjadi apakah disini ?" dia bertanya,
berlagak pilon.
In Bu Yang bersikap dingin. "Lo Kim Hong melukai
tamuku, aku bunuh dia!" sahutnya singkat, terus terang.
"Bukankah bocah itu bernama Tan Hian Ki ?" tanya Tay
Hian. "Benar!" menjawab Bu Yang.
"Mustahil Lo Tayjin tidak memberitahukannya kepada
saudara bahwa bocah ini adalah orang yang dicari pemerintah
agung dan hendak dibekuknya ?" tanya imam itu.
"Dia telah menerangkannya."
Sepasang alisnya imam itu berbangkit berdiri;
"In Bu Yang, inilah kekeliruanmu!" ia menegur. "Kau telah
berjanji dengan Lo Tayjin, bahwa kau suka membantu dia
untuk membasmi semua sisa orang2nya Thio Su Seng, kenapa
sekarang kau justeru melindungi orang itu yang menjadi
pemberontak" kenapa kau justeru membinasakan Lo Tayjin ?"
"Apakah yang salah dari aku ?" Bu Yang bertanya, "Aku
mohon keterangan!"
"Kau adalah Bintang Utara dari gunung Tay San dari Rimba
Persilatan," menyahut Tay Hian, "Mustahil kau tidak mengerti
duduknya persoalan" Didalam kalangan Rimba Persilatan,
yang diutamakan ialah kehormatan dan kepercayaan, tetapi
orang semacam kau, yang memutar balik kata2mu, kau
terhitung orang macam apa ?"
Bu Yang tertawa dingin; "Tay Hian Tootiang, aku ingat kau
adalah jago yang menjadi orang kepercayaan Tan Yu Liang," ia
balik menegor, "maka sekarang, kenapa kau justeru menjadi
Kimi-wi congkauwtauw dari Cu Goan Ciang" Nah, habis
apakah kau hendak mengatakan tentang dirimu sendiri ?"
"Jadi selama ini kau masih setia sama junjunganmu yang
lama?" katanya, "Karenanya kau jadi memancing Lo Tayjin
untuk terus dibinasakan!"
"Hahaha, nyata kau menduga salah!" ujarnya, "Apakah kau
benar2 hendak mengetahui sebabnya aku membinasakan Lo
Kim Hong" Baiklah, tak ada halangannya untuk aku
menjelaskannya, Per-tama2 karena disebabkan dia telah
melukai sahabatku dirumahku ini, hingga dia tidak lagi
memandang mukaku, dan ke-dua adalah untuk kepentinganmu
sendiri!" "Tay Hian merasa heran, hingga ia mengawasi orang dengan
mata mendelong. "Kenapakah untukku?" tegasnya.
Bu Yang tertawa pula, "Itulah untuk mencegah kau menjadi
kecewa sebagai bawahannya Lo Kim Hong!"
Tay Hian tahu ia diangkat hanya untuk disindir, maka itu ia
menjadi sangat gusar;
"In Bu Yang!" bentaknya, "kau terlalu mengandalkan
kegagahanmu hingga kau berani menghina aku!"
Keadaan saat itu genting sekali, diibaratkan anak panah
yang sudah siap dibusurnya, siap untuk ditarik dan dilepaskan,
Justeru itu, busu berbaju hitam yang berada disebelah kiri,
melompat maju kedepan In Bu Yang.
"Masing2 orang mempunyai kemerdekaannya sendiri!"
katanya nyaring, "Karena kau tidak sudi menghamba kepada
pemerintah yang sekarang, tentu kau tidak dapat dipaksa,
Sekarang mari kita bertindak menurut aturan kaum kangouw,
Yaitu aku minta kau suka memberi muka kepadaku, bocah ini
kau biarkan aku membawanya pulang! Tentang urusan Lo Kim
Hong, tidak akan kami menarik panjang pula!" Busu itu
mengatakan demikian karena jeri terhadap Bu Yang.
Tay Hian Toojin tidak bersuara, Meskipun meraka ada
bertiga, mereka merasa tidak unggulan melawan Bu Yang
suami isteri, Bukankah Lo Kim Hong yang gagah juga telah
roboh ditangan mereka ini" Cuma mereka tidak tidak melihat
bahwa Kim Hong sebenarnya binasa ditangannya Nyonya In.
In Bu Yang tidak lantas menanggapi, ia hanya
memperdengarkan: "Hm!" Ia menatap tajam busu itu.
"Aku kira siapa, tidak tahunya ahli pedang Ngobi-Pay Yang
Ciauw Kok!" sahutnya kemudian, "Bagus! Kau hendak
membawa pergi Tan Hian Ki, inilah gampang, Asal kamu
meninggalkan dua orang untuk sebagai penukarannya, Nah,
kamu berdua putuskanlah, kalian sudi atau tidak meninggalkan
dua orang disini!"
Orang itu memang Yang Ciauw Kok adanya, Seorang jago
kenamaan dari Ngobi-Pay, cuma karena lawan yang
dihadapannya adalah In Bu Yang, sedapat mungkin ia
menyabarkan diri, ia terpaksa menggunakan siasat, sebenarnya,
biasanya ia sangat mengagulkan kegagahannya, Sebab lainnya
kenapa ia mau berdamai dengan In Bu Yang ialah kematian Lo
Kom Hong ada banyak faedahnya baginya, Maka adalah diluar
dugaannya In Bu Yang tidak sudi memberi muka padanya,
bahkan ia seperti dipermainkan, Tentu saja, ia menjadi naik
darah. "Usulmu ini usul yang baik!" katanya tertawa dingin,
"Baiklah, akan kami tinggalkan dua orang untuk menjadi syarat
pertukaran, Dua orang itu adalah orang2 yang bernama besar,
yang telah kau kenal baik, dengan mereka ditukar sama satu
bocah tak ternama, aku rasa pertukaran ini setimpal sekali!"
Mendengar itu, In Bu Yang tercengang, hingga ia
mengawasi dua busu itu, Yang Ciauw Kok ada menggendol
sebuah bungkusan besar, bungkusan itu terus ia turunkan, lalu
terus ia membukanya, maka dari dalam sana lantas terlihat dua
kepala manusia yang masih berlepotan darah.
Nyonya In terperanjat, ia mengenali dua kepala orang itu,
sebab mereka itu adalah Cit Siu- Toojin serta Pouw Kian!
Tay Hian Toojin bersama kedua busu datang ke Holan-san
ini untuk membekuk Tan Hian Ki, mereka adalah orang2
pilihan didalam istana kaisar, Setibanya dikaki gunung,
kebetulan merekan berpapasan dengan Cit Siu dan Pouw Kian,
Mereka ketahui, dua orang itu adalah bekas orang2nya Thio Su
Seng yang dari Mongolia menyulundup pulang, tidak ayal lagi
mereka mengepungnya dan berhasil mereka binasakan, Mereka
tidak mau mem-bawa2 mayat, dari itu mereka lalu menebas
kutung kepalanya dua musuh itu, lalu digendol.
Bahwa Nyonya In terperanjat, itu disebabkan ia mengetahui
baik ilmu silat pedang dari Cit Siu, ilmu pedang yang
dinamakan Cit Siu Kiamhoat telah tersohor didalam dunia
kangouw, maka ia heran, mengapa Cit Siu dan Pouw Kian bisa
terbinasa ditangan tiga orang ini, Memang Pouw Kian telah
terhajar oleh Thian Tol, tetapi itu bukan alasan bahwa dia dan
kawannya gampang saja dibinasakan mereka. In Bu Yang juga
terkejut seperti isterinya itu.
"Bagaimana?" Yang Ciauw Kok menegaskan, "Bukankah
jual beli ini lebih menguntungkan kamu?"
"Memang menguntungkan!" sahut Bu Yang, tertawa dingin,
"Bukankah dua yang mampus ditukar dengan satu yang hidup "
Tetapi mestinya ada satu lagi, maka baiklah, kau sendiri yang
menangkapnya!"
Kata2 Bu Yang ini disusuli dengan satu serangan sebelah


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan, Sementara itu busu yang dikanan Tay Hian pun sudah
mendahului turun tangan, hanya dia mengayunkan tangannya
dua kali kearah Bu Yang dan isterinya, menimpuk dengan
jarum2 yang beracun, Busu ini bernama Siang Leng Ho, dia tak
ternama besar seperti Tay Hian atau jago Ngobi-Pay Yang
Ciauw Kok itu, akan tetapi dialah seorang ahli senjata rahasia,
Cit Siu pun mula-nya menjadi korban jarumnya, baru
kemudian imam itu dibinasakan oleh tangan siorang she Yang.
Dengan menerbitkan suara jarum yang diarahkan kepada Bu
Yang, namun mental balik, hal mana membuat Siang Leng Ho,
si-penyerang menjadi kaget sekali, hingga ia mesti
menjatuhkan diri ketanah, dengan cara itu barulah ia dapat
membebaskan diri dari jarumnya sendiri.
Nyonya In tenaga dalamnya tidak semahir sang suami,
meski begitu ia tidak sampai kena dibokong, Sebagai ganti
tenaga dalam, ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya,
dengan menjejak tanah ia mengenjot tubuhnya naik tinggi,
sehingga jarum beracun itu lewat dibawah kakinya, tetapi ia
tidak cuma berkelit, sambil melejit ia terus berjumpalitan,
dengan pedang cabang pohonnya itu terus menikam Yang
Ciauw Kok. Jago Ngobi itu kaget tetapi tidak bingung, sambil berseru ia
menimpuk dengan dua kepalanya Cit Siu dan Pouw Kian, Bu
Yang yang menjadi sasaran, berkelit dengan cepat, Setelah
berkelit, ia terus maju, untuk meninju dada lawan, Inilah
serangan pembalasannya.
Tay Hian Toojin dilain pihak menangkis pedang cabangnya
Nyonya In, Ia menyampok dengan hudtim (kebutan)nya, Ia
menggunakan tenaga imjiu (tenaga lunak), maka itu, ia tidak
dapat membuat senjata si nyonya terlepas.
Bersamaan dengan itu, Yang Ciauw Kok tidak dapat
membebaskan diri dari tangannya Bu Yang, ia terhajar hingga
ter-huyung2. Habis menyerang itu, Bu Yang mengubah gerakan kakinya,
tubuhnya diputar, maka itu, ia tidak menyusul pukulannya
kepada siorang she Yang, tetapi ia justeru menghajar
lengannya si imam, Serangannya ini berbareng dengan tikaman
Nyonya In kearah matanya imam itu.
Tay Hian memang lihay, Ia mengebut pedang cabang bwee
itu, Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga bergerak,
menyambut serangan Bu Yang, Ia beruntung karena dapat
menangkis pedang cabang, begitu juga serangannya Bu Yang,
Sebab Bu Yang tidak bisa menggunakan seluruh kekuatannya,
tenaganya jadi berimbang dengan tenaga si imam.
Ilmu silat pedang Nyonya In sebat sekali, setelah tusukan
yang pertama ditangkis, segera ia menyusul dengan tikaman
yang kedua dan ketiga.
Tay Hian Toojin lantas kena didesak, Beruntung untuknya,
ia ditolong oleh Siang Leng Ho, yang merayap bangun dan
langsung mengayunkan tangannya, menimpuk Nyonya In
dengan dua batang paku Touwkut-teng, dengan pedang cabang
kayunya, Nyonya In memukul jatuh senjata rahasia itu, Oleh
karena itu, si imam jadi dapat bernapas, dan bisa dia menaruh
kakinya dengan tetap.
Yang Ciauw Kok adalah seorang ahli, meskipun ia kalah
satu jurus, ia mendapat kenyataan bahwa In Bu Yang sudah
lemah sekali, Awalnya saja Bu Yang kuat, lalu tenaganya
menjadi kendor, Maka jago Ngibi ini menjadi girang, lantas ia
menghunus sepasang pedangnya, dan maju membantu
kawannya, Dengan tangan kiri ia menikam Bu Yang, dan
tangan kanannya ia gunakan menusuk Nyonya In, Berat dan
hebat serangannya itu.
In Bu Yang masih dapat bertempur terus, dengan sentilan
dua jari tangannya, hingga terdengar suara "Traaang!" ia
membuat pedang Yang Ciauw kok mental, tetapi karena Tay
Hian Toojin dapat memperbaiki kedudukannya, imam ini pun
lantas maju pula, kebutannya menyabet secara hebat, Lihaynya
kebutan ini ialah setiap helainya bisa digunakan untuk
menghajar jalan darah, totokannya lebih hebat daripada totokan
jari tangan umumnya.
In Bu Yang telah dipaksa untuk menggunakan pula
tenaganya, Ia menyerang dengan ilmu silat Pekkhong-ciang
(pukulan udara kosong), Tiga kali Tay Hian Toojin mengebut
dia, tiga kali ia menangkis menghalau serangan itu, Keduanya
jadi bertarung dengan seru.
Sembari bertarung, In Bu Yang mencuri lihat isterinya, Ia
mendapat kenyataan isterinya itu lagi didesak Yang Ciauw
Kok, yang sepasang pedang lihay sekali.
Bicara dalam hal ilmu pedang, Nyonya In masih menang
setingkat daripada Yang Ciauw Kok, hanya dari hal tenaga
dalam, keduanya berimbang, akan tetapi karena jago Ngobi itu
menggunakan sepasang pedang asli, sedangkan Nyonya In
berpedang cabang kayu, si nyonya merasakan kesulitan juga,
sebab sembarang waktu pedang kayunya itu dapat ditebas
kutung, Oleh karena itu, ia mengandali kelincahan tubuhnya.
Yang Ciauw Kok kewalahan juga, sudah tigapuluh jurus ia
mendesak lawannya, tetapi belum juga ia berhasil membabat
kutung cabang pohon dari lawannya.
In Bu Yang tahu akan bahaya, kalau pertempuran terus
berjalan demikian adanya, Ia maju kepada Tay Hian, lalu ia
mengerahkan tenaganya dan menghajar kembali dengan
Pekkhong-ciang, Serangan ini membuat kebutannya si imam
kena dimundurkan, Setelah itu Bu Yang maju setindak, dua jari
tangannya menusuk.
Tay Hian terancam bahaya, selagi kebutannya terhajar,
tubuhnya memperlihatkan lubang kelemahan Segera ia bakal
terhajar ilmu jari Itci-sian, apabila tidak segera datangnya
pertolongan, Sekali lagi Siang leng Ho menimpuk dengan dua
buah pakunya, menyambar dengan menimbulkan suara yang
nyaring, Dengan terpaksa In Bu Yang mengalihkan
serangannya, ia menghajar paku itu hingga keduanya jatuh
ketanah menjadi empat potong!
Tay Hian menjadi mendapat kesempatan pula, Karena ia
tidak diserang terus, ia yang berbalik menyerang pula.
In Bu yang lantas kena terdesak, setelah dua kali
menggunakan banyak tenaga, ia merasakan dadanya mulai
sesak, hawa dingin meresap ke-ulu hatinya, bersamaan dengan
itu ketajaman matanya juga mulai berkurang, dan tubuhnya
bergerak ayal, Walau sempurna tenaga dalamnya itu, tetapi biar
bagaimana juga, tubuhnya bukan terbuat dari besi, setelah
terluka ditangan Pit Leng hong dengan ilmunya Hanim
Tokciang, Ditambah lagi pertarungan dahsyat dengan Lo Kim
Hong, menjadikan tenaganya banyak berkurang, Sudah begitu,
ia juga mesti membantu isterinya dengan keras, Maka sekarang
ia bagaikan pelita yang kehabisan minyak. . .
Tay Hian tidak mau mundur, lagi2 ia menyerang, Bu Yang
berkelit menyamping, dari sana ia menikam dengan satu jari
tangannya, Tay Hian menyangka orang menggunakan Itci-sian,
saking kagetnya, dia melompat untuk membebaskan diri dari
tusukan tangan itu, Disaat imam itu berkelit, In Bu Yang
memaksakan mengerahkan tenaganya untuk mencelat maju
dalam gerakan "Yancu coanthian" (burung walet menembus
langit). Gerakan melompat ini memang perlu, untuk menjauhkan
diri dari serangan pakunya Siang Leng Ho, setelah mencelat,
tubuhnya itu turun dengan cepat, turun kearah Yang Ciauw
Kok, langsung mengancam pundaknya jago Ngobi-pay itu.
Yang Ciauw Kok kaget merasakan ada sambaran angin pada
wajahnya, cepat2 ia membabat dengan memutar balik
pedangnya. In Bu Yang tertawa panjang ketika tangannya itu
dibabat, Ia mengancam dengan tangan kiri, ketika tangannya
itu diserang, ia menarik pulang, dilain pihak, dengan tangan
kanannya ia mencoba merampas pedang lawan!
Berbareng dengan gerakan suaminya itu, Nyonya In juga
turun tangan, ia menikam ketelapak tangannya Yang Ciauw
Kok, maka dalam kagetnya, Yang Ciauw Kok terpaksa
melepaskan sebelah pedangnya, yang terus dirampas si nyonya.
Cepat dan hebat gerakan kedua suami isteri itu, dilain saat
terlihat ditangan mereka masing2 telah memegang sebatang
pedang. . .Sepasang pedang Yang Ciauw Kok yang telah
mereka rampas. Begitu cepat setelah ia mempunyai pedang asli, Nyonya In
langsung menerjang kembali Yang Ciauw Kok, ia tidak mau
men-sia2kan waktu, ia pun berlaku sangat gesit, Ia menyerang
dengan tusukan "Bidadari melempar torak".
In Bu Yang juga menyerang seperti isterinya itu, maka itu
disaat Yang Ciauw Kok berkelit dari pedangnya itu, ujung
pedang si nyonya mampir dilengannya, sampai lengan itu
tergores panjang, Ia merasakan sakit dan kaget, tubuhnya lantas
terhuyung, belum sempat ia berganti napas, sekali lagi ia
terluka, pundaknya kena ditusuk oleh In Bu Yang, yang telah
mengulangi serangannya.
"Lawan terus, Yang Laotee!" Tay Hian Toojin serukan
kawannya, "In Bu Yang sudah tidak bertenaga!"
Sembari berseru, ia maju menyerang Bu Yang, tangan kiri
dengan jurus "Bintang mengejar- rembulan," tangan kanan
dengan pukulan "Gelombang menelan perahu" Tangan yang
disebelahnya itu digunakan menyerang kearah Nyonya In.
In Bu Yang masih sanggup menggerakkan pedangnya
menyambut kebutan si imam, Sungguh kebetulan, selagi ia
bergerak, isterinya pun bergerak, maka dengan berbareng
pedang mereka menghajar kebutan, Dan berbarengan dengan
itu, berhamburanlah kebutan si imam yang kena dibabat
kutung! Tay Hian kaget bukan main, akan tetapi walaupun hatinya
mencelos, ia masih dapat menguasai diri.
"Pundak rata! Pelihara dia dengan biji hijau!" ia berseru. "In
Bu Yang tak dapat bertahan lama!"
Itulah kata2 rahasia, untuk maju lebih rapat, dan
menganjurkan kawannya menggunakan "biji- hijau", yang
berarti senjata rahasia.
Yang Ciauw Kok memtaati anjuran kawannya itu, Oleh
karena sudah tidak mempunyai pedang, ia mengambil dua
cabang pohon bwee, untuk menggunakan cabang kayu itu
sebagai pedang sebagaimana dilakukan Nyonya In tadi, dengan
pedang kayu itu, ia maju lagi.
Siang Leng Ho juga menuruti anjuran si imam, sengan cepat
ia menimpuk In Bu Yang dengan senjata rahasianya, Didalam
keadaan seperti itu, In Bu Yang telah melupakan soal hidup
mati, Dengan tenang ia bahkan bersenandung, begitu bebas ia
bersiul panjang:
"Setelah bersisa hidup habis berperang seratus kali, untuk
apa takut mati"
Maka lihatlah siapa yang mendahului aku pergi ke neraka!"
Senandung itu dibarengi dengan gerakan pedang yang hebat
luar biasa, hingga ia berhasil merontokkan paku rahasia dan
lainnya, yang dilepas musuhnya susul menyusul.
Tay Hian Toojin disesak, dia bertarung dengan cara
berlompatan, terus menerus dia berkelit menyelamatkan diri.
"Bagus!" serunya, sambil tertawa dingin, "Lihat, siapa yang
pergi dulu ke neraka!" Imam ini mengetahui orang lagi nekat,
ia membela diri sekuat tenaga.
Disebelah sana, Yang Ciauw Kok mesti melayani Nyonya
In, Ia tidak kalah dalam hal tenaga dalam tetapi ia kurang
lincah, maka itu, ia didesak nyaonya itu, Tadi dengan pedang
asli melawan pedang kayu, ia kena didesak, maka sekarang
setelah bertukaran senjata, ia lebih tidak berdaya sama sekali
atas pengaruh Nyonya itu, Bahkan belum lama, satu cabang
kayunya telah dipapas kutung Nyonya In!
Dari tiga jago yang menyetroni keluarga In ini, Siang Leng
Ho yang ilmunya paling lemah, akan tetapi ia lihay dalam hal
senjata rahasianya, biasanya ia jitu dengan setiap timpukannya,
itu juga sebabnya, sekalipun In Bu Yang lebih unggul, dia
sangat terganggu akan senjata rahasia lawan, untuk sesaat itu
dia belum berhasil merobohkan lawannya.
Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, In Bu Yang
kembali mengerahkan tenaganya yang tersisa, Dan sekonyong2
ia menghajar pula Tay Hian dengan pukulan
"Menghajar udara kosong" itu, Awalnya ia menghalau kebutan
yang lihay dari imam itu, setelah itu ia menyusul dengan
tusukan "Sengliong inhong" (Menunggang naga mengajak
burung hong), Dengan itu ujung pedangnya mampir didada
Tay Hian Toojin, setelah itu dengan tertawa dingin ia berkata;
"Aku mau lihat siapa mendahului aku pergi ke neraka ?"
Tay Hian Toojin menjerit memuntahkan darah segar,
Setelah berhasil menusuk Tay Hian, habis juga tenaganya In
Bu Yang, tubuhnya lantas terhuyung, napasnya seperti berhenti
berjalan, sudah dadanya dirasakan sakit, matanya pun kabur,
Paling celaka ialah, disaat ia tidak berdaya itu, pundaknya
disambar sebatang panah gelap, yang dilepaskan oleh Siang
Leng Ho, yang membawa berbagai macam senjata rahasia.
Yang Ciauw Kok yang melihat keadaan lawan itu, Ia tidak
mau men-sia2kan kesempatan yang paling baik itu, dengan
cabang kayunya, ia maju menyerang, Ia bukan menusuk atau
membabat, tetapi ia mengemplang, senjatanya itu bagaikan
toya turun dari atas kebawah, mengarah kepala.
Hampir bersamaan dengan serangan yang mematikan itu,
terdengar suara keras "Tas!", lantas darah muncrat menyembur,
diikuti dengan jatuhnya sebuah batok kepala, yang terus
menggelinding ditanah!
Ternyata itu bukanlah In Bu Yang yang roboh dengan
kepala meluncur, Tetapi Yang Ciauw Kok yang tubuhnya jatuh
terbanting dengan batang lehernya telah putus, Sebab disaat ia
hendak menghabisi jiwanya Bu Yang, Nyonya In lebih dulu
menebas dengan cepat sekali, sehingga dialah yang terlebih
dahulu menjadi korban dan berpulang ke rachmatullah!
Inilah untuk pertama kalinya Nyonya In membunuh orang,
meski ia gagah, tapi ia hanya berdiri menjublak melihat tubuh
orang roboh tanpa kepala, dan kepala orang itu bergelinding
ditanah, darahnya berhamburan, Ia berdiri diam dan hatinya
memukul keras, tangan dan kakinya seperti kehilangan tenaga.
Justeru itu Tay Hian Toojin, walaupun dia terluka parah, dia
masih bisa melihat, pikirannya pun masih sadar, Ia
menyaksikan Nyonya In membinasakan Yang Ciauw Kok,
kawannya itu, ia melihat si nyonya lantas berdiri bagaikan
patung, ia lantas mengerahkan sisa tenaganya, ia melompat
bangun, lalu menubruk kearah si nyonya, dengan kebutannya ia
menghajar punggung nyonya itu, Ia berharap berhasil, karena
Nyonya In tengah berdiri menjublak.
In Bu Yang masih dapat melihat tubuh isterinya terhuyung,


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah dari mana datangnya, mungkin saking murkanya, ia
mendapat pula tenaganya, segera ia mengulur tangannya, ia
lalu menotok dengan jari tangannya kepunggung Tay Hian
Toojin, yang berdiri membelakangi dirinya, Tepat pula totokan
Itci-sian itu, maka tidak ampun lagi robohlah si imam, Tetapi
waktu roboh dia masih sempat mengeluarkan seruannya yang
serak; "Bawa lari bocah itu! Inilah jasamu yang utama!" Teriakan
itu adalah untuk Siang Leng Ho, sisa kawan satu2nya.
In Bu Yang tertawa ketika ia berhasil dengan totokannya,
Setelah itu, ia pun habis tenaganya, kaki dan tangannya tak
dapat digerakkan lagi, maka itu, ia kaget melihat Siang Leng
Ho lari kearah Tan Hian Ki, yang masih rebah tanpa sadar,
Saking tidak berdaya, ia cuma bisa menjerit.
Dilain pihak, Nyonya In tidak roboh, dari itu saat melihat
Hian Ki terancam bahaya, ia lari mengejar, walaupun ia juga
telah kehabisan tenaga, dan menyadari tidak nanti ia dapat
menyandak, maka baru melangkah dua tindak, ia lantas
melontarkan pedangnya, Itulah timpukan Tat Mo Kiamhoat
yang disebut "Sinkiam coanin" (Pedang sakti menembus
mega), Tepat serangan ini mengenai punggungnya Siang Leng
Ho selagi dia membungkuk buat menyambar tubuh Hian Ki,
maka itu dia tertembus pedang, tubuhnya itu tertancap ditanah
tanpa bisa berkutik lagi!
Untuk menimpuk, hal mana ia telah menggunakan segenap
tenaganya, Napasnya Nyonya In memburuh. maka untuk
mempertahankan tubuhnya supaya tidak roboh, ia menyender
dipohon bwee, Ia letih sekali, seperti orang yang lagi menderita
sakit berat, sebab tadi ia terhajar hebat oleh kebutan terakhir
dari Tay Hian Toojin, Karena ia telah tergetar terluka pada tiga
belas jalan uratnya.
Sampai disini, sunyilah gelanggang pertempuran itu, dimana
empat mayat rebah malang melintang, juga terdapat tiga orang
yang terluka parah.
Lama kesunyian berlangsung ketika terdengar suara yang
lemah dari In Bu Yang!
"Poo Cu!. . ."
"Bu Yang!. . ." ada jawabannya Nyonya In, jawaban yang
tak kurang lemahnya.
Suara mereka itu bagaikan suara berbisik dari si pengantin
baru, karena keduanya sekarang sangat terharu hati mereka,
dengan tiba2 muncul pula rasa cinta mereka satu dengan
lainnya, Inilah rasa cinta sejati.
"Poo Cu, kau geledahlah tubuhnya Lo Kim Hong. . ."
kemudian Bu Yang berkata pula.
"Nyonya In menurut, ia lantas menghampiri tubuh orang she
Lo itu, untuk memeriksa, Ia mendapatkan beberapa potong
emas dan satu peles kumala, Ia buang emas itu, ia ambil
pelesnya, dan ia lemparkan pada suaminya.
"Bukan ini, kau geledah lagi," berkata suami itu, yang
mencoba melihat isi peles itu.
Nyonya In menahan napas, untuk melawan bau amis dari
darah Lo Kim Hong, Kali ini dari dalam kantung samping ia
menarik keluar sebuah kantung sulam, ketika ia tunggingkan
itu, untuk mengeluarkan isinya, terjatuhlah tiga butir obat yang
warnanya merah muda.
"Mari kasih aku," Bu Yang berkata setelah ia melihat obat
itu. Nyonya In berjalan menghampiri suaminya, Bu Yang
mencium obat itu, ia mengangguk;
"Tidak salah, inilah obat kuat Kouwpun Lengtan dari istana
kaisar," ia berkata, Ia lantas pegang tangan isterinya, sesudah
mencekal erat2, ia buka telapak tangannya, membukanya
dengan per-lahan2, lalu obat itu diletakkan dalam genggaman
isterinya itu. "Poo Cu, aku minta, kau makanlah tiga butir obat ini," ia
berkata, suaranya halus.
"Kau sendiri ?" si isteri balik menanya.
Bu Yang tertawa sedih;
"Ah, Poo Cu, apakah kau masih tidak dapat melihat?"
katanya. "Aku terluka terkena Hanim- Tokciang dari Pit Leng
Hong, luka-ku hebat, darahku rusak, barusan tadi aku juga
telah mengerahkan seluruh tenagaku, maka sekarang, obat ini
tidak bakal menolong lagi padaku, Tetapi tidak demikian
dengan kau, Tiga butir obat ini dapat menolong luka getaran
yang bagaimana hebat juga, maka kau makanlah!. . ."
Isteri itu mengangguk;
"Aku tahu," katanya, Ia lantas periksa nadinya sendiri, ia
memandang suaminya itu, kemudian ia tersenyum.
"Aku adalah sama dengan kau," katanya perlahan, "kita
masih dapat hidup tiga hari lagi. . ."
"Jikalau kau makan obat ini, paling sedikit kau bakal hidup
lagi tigapuluh tahun!" kata sang suami.
Isteri itu tertawa;
"Itulah terlalu lama!" katanya. "Ah, dalam tempo tiga hari,
kita masih dapat berbuat banyak!"
Nyonya In lantas berjalan menghampiri Hian Ki, ia pegang
tubuh orang, untuk bibalikkan, setelah itu dengan cepat ia
membuka mulut sianak muda, lalu ia masukkan tiga butir obat
Lengtan itu! In Bu Yang berdiri menjublak sesaat;
"Poo Cu," katanya kemudian, "kiranya demikian rasa
cintamu kepadaku, aku. . .aku. . ." Ia bicara dengan nada suara
sangat sedih, lalu ia tak dapat melanjutinya, Ia mengangkat
kepalanya memandangi isterinya itu.
"So So adalah seorang anak yang manis," berkata isteri itu
perlahan, "adalah kita yang bukan ayah-bundanya yang baik. .
.Entah bagaimanakah perasaanmu sendiri. . .Buat aku, aku
merasa malu. . ."
"Aku berlipat lebih malu daripada kau," kata Bu Yang, air
matanya bercucuran.
Nyonya In menghela napas dalam2, kemudian sambil
menunjuk tubuh Tan Hian Ki yang rebah dihadapan mereka, ia
berkata; "Matanya So So jauh lebih tajam daripada mata kita, Anak
ini baik hatinya, ia polos dan sederhana, ia dapat dibuat
harapan, maka itu, dengan aku memberikan tiga butir pil, kau
harus dapat mengerti maksud hatiku, Mengertikah kau?"
"Aku mengerti, Kalau sebentar dia mendusin, So So tentu
juga sudah pulang, maka didepan mereka berdua akan aku
meluluskan keinginan mereka, supaya mereka dapat menjadi
suami isteri, Poo Cu, kau. . ."
Isteri itu tersenyum sekelebat, dan air mukanya lantas
menjadi guram pula;
"Aku tidak dapat menanti sampai pulangnya So so," ia
berkata. "Ah, kasihan So So. . . Anaknya Thian Tok pun belum
dewasa, dia lebih2 harus dikasihani. . .Sebenarnya aku hendak
memelihara dan merawat dia hingga besar dan dia menjadi
seorang yang berguna, tetapi sekarang, aku tidak dapat lagi,
Tetapi gambar itu, pernah aku menjanjikan Thian Tok untuk
mengantarkan kerumahnya, dari itu aku mesti pergi kesana dan
aku mesti tiba dalam tempo tiga hari."
Tenang suaranya nyonya In ini tetapi sebenarnya hatinya
kusut, dan Bu Yang bisa merasakan juga goncangan hati
isterinya hanya dengan mendengar saja suaranya, Ia berdiam,
Sebelumnya ia menyangka isterinya itu hendak mati bersama
dengannya, siapa tahu, ternyata orang masih mempunyai
pikiran lain, Biar bagaimana, ia berduka, Tapi, ia bangga
mempunyai isteri seperti Poo Cu, Ia melengak sebentar dan
akhirnya tertawa panjang.
"Poo Cu," katanya, "selama duapuluh tahun, belum pernah
aku perlakukan kau dengan baik, maka siapa sangka, selagi
tidak bisa kita terlahir dalam tahun yang sama, dalam bulan
dan hari yang sama, Sekarang kita bakal menutup mata dalam
tahun, bulan dan hari yang bersamaan! Isteriku, apa lagi yang
aku siorang she In hendak memintanya pula" Poo Cu, kau
pergilah! Segala apa yang tidak benar dari pihakku
terhadapmu, biarlah dilain penitisan saja aku menebusnya. . ."
Nyonya In menunduk,
"Bu Yang. . ." katanya, perlahan, Ia berhenti sebentar,
kemudian baru ia meneruskan: "urusan dibelakang hari adalah
urusan yang samar2, maka itu kalau untuk urusan yang
sekarang ini kau dengar pesanku, aku sudah akan merasa puas,
Baiklah, aku berangkat sekarang! Aku khawatir dalam tempo
tiga hari aku nanti tidak dapat sampai dirumah keluarga Cio,
maka itu baiklah aku pinjam kuda putihnya Hian Ki, kalau
nanti ia mendusin, kau beritahukanlah suruh dia bersama So So
pergi kerumah keluarga Cio untuk mengurus jenazahku, untuk
dia sekalian mengambil pulang kudanya itu, Ah, mungkin...
mungkin ada terlebih baik untuk tidak memberitahukan pada
mereka, biarkan aku menitahkan anaknya Thian Tok saja yang
mengantarkan kuda ini. . ."
Bu Yang berdiam, ia mengawasi isterinya berjalan keluar,
Kuda putih Hian Ki berada diluar pintu pekarangan tengah
memakan rumput, ketika Bu Yang keluar, ia lihat isterinya
sudah naik keatas punggung kuda itu.
Nyonya In tertawa sedih, lalu ia mengangkat cambuknya;
"Didalam dunia ini, tidak ada pesta yang tidak berakhir!"
katanya nyaring, "Demikian hari ini kita berpisah! Didalam
hatimu ada aku, didalam hatiku ada kau, bukankah ini ada jauh
terlebih bermakna daripada impian?"
Cambuk itu digetar keudara, mengancam sang kuda putih,
kuda itu lantas mengerakkan keempat kakinya, untuk berlari,
dan akan segera lenyap dalam cuaca samar2.
Inilah yang dinamakan berpisah mati, bercerai hidup. . .
Bingung Bu Yang mengawasi isterinya itu, yang telah
dibawa lari sang kuda turun dari gunung, setelah orang sudah
tak tampak lagi, baru ia menghela napas panjang, Ketika ia
berpaling, ia merasakan sunyi segala apa, hingga tak tahu ia
mesti berduka atau bergembira, Ia ingat, selama duapuluh
tahun, ia seperti asing dengan isterinya itu, baru hari ini, ia
mengerti akan sang- isteri, Bukankah si isteri telah
membeberkan rahasia hatinya"
Dengan tangannya memainkan cabang pohon bunga bwee,
hati suami ini bekerja. "Aku tidak menyangka mereka berdua
demikian mirip satu dengan yang lain, sama2 bertulang gagah
seperti baja, sama2 berperasaan halus bagai air. . . Ah, segala
perbuatanku yang bersalah tak dapat ditutup dengan apapun
juga. . . ."
Diluar kamar, sang angin malam menebusi pohon2 bwee,
Diatas pohon itu ada tersisa bunga, dan sekarang bunga itupun
rontok pula. Tiba2 Bu Yang ingat almarhum isterinya, Selama duapuluh
tahun, hampir setiap malam isteri itu jalan mondar mandir
dibawah pohon bunga bwee ini, setiap ia melihat bayangan
isterinya itu diantara bunga2, Dan sekarang ia seperti
melihatnya pula. . .
"Soat Bwee!" mendadak ia berseru dan ia maju menubruk.
Pohon bwee lantas ber-goyang2, daun2nya pun pada rontok,
Dalam sekejap itu, Dimatanya Bu Yang terbayang dua
bayangan, yakni bayangan isterinya yang pertama, yang telah
meninggal dunia, dan isterinya yang belakangan, yang baru
saja pergi meninggalkan dirinya, Lalu dalam hayalnya, ia
mendapatkan dua bayangan itu bercampur menjad satu, tidak
bisa ia membedakan lagi, yang mana Poo Cu, yang mana Soat
Bwee, Ketika ia menubruk, ia menubruk bunga bwee, sebab
ke-dua2 bayangan itu telah lenyap seketika..
Sang malam semakin larut, dan sekarang sang rembulan
telah mulai muncul. In Bu Yang berjalan mondar mandir
dibawah pohon bunga bwee itu, Tidak tahu ia, berapa lama
sudah ia berada disitu, melainkan sang rembulan yang naik
terus, dan terus bergeser kearah barat.
Seperti biasa, dari dalam rimba datanglah pekikan si-kera
dan mengaumnya sang harimau, Mendengar suara hewan
tersebut, Bu Yang bagaikan tersadar dari mimpi yang
menakutkan, Didalam pekerangannya itu, tersinari cahaya
rembulan, ia melihat malang melintangnya mayat2, ia menjadi
muak, Maka berkatalah ia didalam hatinya: "Tidak dapat aku
membiarkan semua makhluk kotor ini menodai bungaku ini!"
Ia lantas menjemput peles perak yang tergeletak ditanah,
Itulah peles, yang ia dapatkan dari tubuhnya Lo Kim Hong,
didalam sana ada pil Hoakut-tan, yaitu obat untuk
memusnahkan mayat, yang biasanya dipakai setelah
membunuh orang, untuk menghilangkan jejak tubuh, Nyonya
In tidak mengenal obat itu, dan tadi hampir saja ia akan pakai
sebagai obat biasa.
Tanpa buang waktu lagi, In Bu Yang gusur beberapa mayat
itu, dibawa keluar, ketempat yang sepi, disitu ia
menumpuknya, lalu ia gunakan obatnya Lo Kim Hing itu,
Setelah itu semua mayat itu berubah menjadi cair, dan disitu
juga ia pendam semua sisa tubuh2 itu.
Setelah selesai, tiba2 ia ingat: "Mereka ini adalah bangsa
telur busuk semuanya, tetapi kalau aku dibandingkan dengan
mereka, dapatkah aku". . .Aku benci mereka itu, selayaknya,
aku juga harus membenci diriku sendiri!"
Manusia itu, disaat ajalnya akan tiba, biasanya pikirannya
menjadi sadar, ia ingat baik sekali segala macam perbuatannya
yang sudah2, Demikian dengan In Bu Yang, Ia bukan sedang
menghadapi kematian, tetapi mendadak ia ingat akan segala
perbuatannya itu: ada yang baik, ada yang buruk, tetapi lebih
banyak yang buruk, dan itu tidak dapat ditebus dengan segala
yang baik! Sementara itu angin bertiup semakin keras, hingga In Bu
Yang merasakan hawa dingin yang meresap ke buku2
tulangnya, Kembali, dengan se-konyong2, ia ingat kepada Tan
Hian Ki, Segera ia masuk kedalam, lalu ia pondong tubuh anak
muda itu, Ketika ia memeriksa nadinya, nadi itu tenang2 saja,
Hanya orangnya masih belum mendusin.
Diantara sinar rembulan Bu Yang memandang wajahnya
anak muda itu, Tiba2 ia merasakan sesuatu yang luar biasa,
Pemuda ini, yang tidur demikian tenang, mirip dengan So So
anak gadisnya yang ia sayangi itu, Maka ia menatapnya
terlebih jauh. Ah! inilah roman yang ia merasa kenal, seperti dimana ia
pernah melihat wajah semacam ini, Maka ia lantas mengingat2nya,
Tengah ia meng-ingat2 itu, ia tertawa dengan
sendirinya. Ketika dahulu waktu ia mengasingkan diri di Holan-san,
bukankah Tan Hian Ki ini masih seorang bayi" Maka kenapa ia
heran untuk wajah orang, Tapi ia tidak mengerti, terhadap


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah ini, ia seperti mempunyai hubungan bathin yang kuat,
hubungan yang bukan disebabkan kaitannya dengan So So
anak gadisnya itu.
Bu Yang membopong Hian Ki kekamar tulis, lalu ia
merebahkannya diatas pembaringan, Dengan selimut ia
menutupi tubuh itu, kemudian ia menurunkan kelambu,
Perbuatannya ini mirip dengan pelayanannya So So diwaktu ia
masuk tidur. Setelah itu ia menyalakan dupa, Ia juga membuka sebuah
daun jendela, dan mengundang masuknya angin malam yang
membawa harumnya bunga dan bau rumput, Ketika ia
memandang keluar, ia melihat sinar rembulan telah berada ditengah2
cakrawala. "Ah, mengapa So So masih belum kembali?" ia menanya
dirinya sendiri.
XI. Lagi CINTA SEJATI.
So So tengah mencari Hian Ki, Ia tidak mengetahui pemuda
itu justeru berada didalam kamar tulisnya, lagi tidur nyenyak. .
. . Ditengah gunung tampak si puteri malam naik dengan perlahan2,
Didalam rimba, kecuali suara tindakan kakinya, hanya
ada suara daun2 yang rontok, Adalah suara daun yang rontok
itu mengganggu sekali hati yang risau, Masih So So berjalan
terus didalam rimba, Ia bergidik kalau dari jauh ia mendengar
auman hariman dan pekikkan kera yang memecah kesunyian
sang hutan, suara mana terbawa oleh angin malam, So So tidak
takut, Hanya hatinya tidak tenang karena urusan ayahnya.
Mimpi pun tidak dia, bahwa ayahnya telah melakukan
perbuatan jahat, dosa yang tak terampunkan, Tetapi bagaimana
juga dia tetap adalah ayahnya, Ayahnya itu telah menceritakan
segala apa kepadanya, dan ia dapat melihat mata yang penuh
dengan sinar kesengsaraan hati, juga mendengar suara yang
bergetar pilu, dari seorang berdosa yang hampir melepaskan
napasnya yang terakhir, Maka itu, kuatkah dirinya menegur
ayahnya itu"
Lalu ingatlah ia kepada Tan Hian Ki, Hian Ki yang sangat ia
harapkan, Hanya dengan berada disampingnya Hian Ki, orang
yang paling ia percayakan buat andalan, baru takutnya itu dapat
dikurangi sedikit. . .
Mendadak didalam rimba itu terdengar suara orang berlari2,
seperti orang sedang berkejaran, Apakah itu adalah Hian
Ki" Kalau benar, dia bersama siapakah "
Tindakan kaki itu lantas datang semakin dekat, Lalu
terdengar suara panggilan ber-ulang2; "Enci Un Lan! Enci Un
Lan !" Suara panggilan itu menggetar, tanda suara dari hati yang
goncang, Suara itu mirip dengan suara ayahnya ketika didalam
goa, saat ayahnya me-manggil2 padanya, Ia mengenali, orang
itu bukanlah Tan Hian Ki tetapi Siangkoan Thian Ya.
So So melompat naik keatas sebuah pohon, matanya
memandang kearah dimana suara ber-lari2 itu terdengar.
Disana tampak seorang wanita dengan rambut riap2an, lagi
berlari kencang sekali, dan dia berlari terus walaupun ada
teriakannya Siangkoan Thian Ya, teriakannya itu sampai
terdengar parau, Tidak juga mau dia menghentikan larinya.
"Ah, dialah Siauw Un Lan!" pikir So So, "Kenapa dia
menjadi begini" Apakah dia telah mengetahuinya urusan engko
Hian Ki dengan aku?"
Dalam masa terajuk sang cinta, perasaan seorang nona
paling gampang tersinggung, paling gampang ia ingat dan berandai2
dalam halnya nona yang lain.
Tiba2 So So menjadi ikut merasa kasihan terhadap Un Lan,
Ia memang bersimpati pada siapapun yang bersahabat dengan
Hian Ki, asal yang berhubungan baik dengan Hian Ki-nya itu,
tidak perduli orang yang hendak merampas Hian Ki dari
tangannya. . . Dan lantas saja So So menguntit dua orang itu, Untuk itu ia
dapat bertindak dengan leluasa sekali, Dalam hal ilmu
meringankan tubuh, ia menang jauh daripada Un Lan dan
Thian Ya, Jangan kata disaat itu selagi dua orang itu tak tenang
hatinya, sekalipun di-saat2 biasa, tidak nanti mereka dapat
mengimbangi. Siangkoan Thian Ya baru saja pulih tenaganya, telah sekian
lama ia mengejar, masih tidak dapat ia menyandak si nona,
Hatinya menjadi gelisah.
"Enci Un Lan!" ia memanggil dengan tajam, "kau mau
hidup atau mati, aku tetap akan menemani bersama kau!
Apakah benar didalam hatimu cuma ada satu Tan Hian Ki?"
Sampai disitu, Un Lan menghentikan larinya, Ia tertawa
dingin sambil menoleh, "Inginkah kau mati bersama aku?" ia
menanya. "Sudah sekian banyak tahun, apakah kau masih belum tahu
hatiku?" balik tanya sianak muda.
Un Lan berkata pula dengan dingin; "Tampaknya kau sangat
menurut pada Tan Hian Ki! Hian Ki menguatirkan tidak ada
orang yang menginginkan aku, maka dia menghendaki kau
menjadi seperti bayanganku mengikuti aku! Hm! Kecewa kau
menjadi seorang laki-laki!"
"Eh, apakah maksud dari perkataanmu itu?" Thian Ya tanya,
"Tan Hian Ki menghendaki aku mencari kau, itu juga karena
maksud yang baik."
Un Lan memperlihatkan wajah yang muram, diterangi sinar
rembulan, tampak kulit wajahnya yang pucat, yang membuat
dingin hati siapa yang memandangnya, melihat paras itu, Thian
Ya melengak. Jarak diantara mereka hanya satu tindak, Thian Ya sudah
mementang kedua tangannya, akan tetapi ia tidak berani
menghampiri, untuk merangkul.
"Maksud baik?" kata Un Lan dingin, "Kalau begitu, aku
bersyukur tak habis2nya, Baiklah, Siangkoan Thian Ya!
Benar2kah kau hendak hidup dan mati bersama denganku?"
"Kau titahkan saja," sahut Thian Ya, "Kedalam air, kedalam
api, aku akan terjun! Seratus kali juga, tidak nanti aku
menolak!" "Bagus!" kata si nona, tetap dingin, "Nah, pergilah kau
bunuh Tan Hian Ki! Habis itu kau kembali kesini, nanti kita
sama2 terjun kedalam jurang ini!"
Siangkoan Thian Ya kaget, hingga ia berjingkrak,
"Enci Un Lan! dia berseru. "Kau. . .kau. . .kau gilakah?"
Cinta dan benci bagaikan hanya terpisah sehelai kertas, Un
Lan sangat menyintai tetapi juga ia sangat penasaran, dan pula
ia sangat gusar, maka ia ingin mati bersama, So So mengerti
perasaannya itu, tapi tidak demikian halnya dengan Siangkoan
Thian Ya, maka pemuda ini kaget tak terkira.
Melihat orang terdiam, Un Lan berkata pula, dingin; "Nah,
baiklah, pergi kau temani sahabat baikmu itu, jangan lagi kau
melibat pula aku!" kata2 ini ditutup dibarengi gerakan
tangannya, menotok kearah pemuda didepannya.
Siangkoan Thian Ya tidak berprasangka apa2, ia kena
ditotok dengan jitu, maka seketika itu juga dia terguling robah.
Melihat itu si nona tertawa terbahak, nyaring sekali, terus
dia lari bagaikan angin puyuh ke- dalam rimba yang lebat!
Syukur Siangkoan Thian Ya tidak terluka parah, begitu
cepat ia dapat mengempos semangatnya, tenaganya pulih, lalu
ia bangun berdiri, sesudah ia menggerakkan kaki dan
tangannya, tidak terdapat kekurangan sesuatu apa, ketika ia
hendak mengejar si nona, Tapi rimba lebat sekali, dan si
nonapun telah lari dengan keras, kemanakah dia dapat dicari"
Ketika itu dilangit terlihat melayang mega hitam, sang
Puteri Malam kena terhalang karenanya, menyebabkan rimba
itu menjadi gelap dan seram, begitu juga hati Thian Ya menjadi
kusut sekali. Siangkoan Thian Ya adalah seorang pemuda yang hatinya
bebas, inilah untuk pertama kali ia mendapat pukulan yang
hebat itu, Ia menjadi seperti orang kalap.
"Enci Un Lan! Enci Un Lan!" ia ber-teriak2 pula didalam
rimba itu, berteriak se-keras2nya.
"Hai, Kaukah yang memanggil nama Nona Siauw?" sekonyong2
datang teguran yang tak ter-duga2.
Justeru saat itu gumpalan mega tadi melayang terus
melewati rembulan,maka cahayanya si Puteri Malam mulai
tampak lagi, dan disitu, dihadapannya, Thian Ya melihat empat
orang dengan pakaian mereka yang serba hitam, Dengan lantas
mereka itu mengambil sikap mengurung.
Orang yang berdiri dikiri adalah seorang tua dengan tubuh
kate, romannya bengis mirip malaikat Hian Tan Kong, Dia
maju sambil berjingkrak, matanya mendelik, Agaknya dia
hendak menelan bulat2 pemuda she Siangkoan ini.
"Kau siapa?" bertanya Thian Ya dengan mendongkol. "Aku
memanggil enci Un Lan-ku, ada sangkut pautnya apa dengan
kamu?" Orang kate itu maju satu tindak mendekati, matanya
menatap tajam. "Hm!" terdengar suaranya yang dingin seram,
"Kaukah Siangkoan Thian Ya?" ia menanya.
"Habis kenapa ?"
"Kaukah ahli waris yang baru diangkat dari Butong-pay ?"
Siangkoan Thian Ya heran, Tentang diangkatnya dirinya
menjadi Ciangbunjin, ahli waris yang akan memegang tampuk
pimpinan partainya, masih belum resmi, dan yang
mengetahuinya pun hanya beberapa tetua partainya, maka
heran dia, kenapa orang tua ini telah mendapat tahu juga"
Bukankah dia ini orang luar" Berbareng dengan itu, ia juga
muak melihat kelakuan orang.
"Habis bagaimana?" ia menanya.
Belum berhenti suara pemuda ini, tiba2 sebelah tangan
siorang tua sudah melayang kearah telinganya, Inilah serangan
yang tidak di-duga2, syukur ia bermata jeli dan gesit, dengan
berkelit ia meluputkan telinganya sebagai sasaran, Hanya
karena serangan itu sangat dahsyat sambaran anginnya,
menyebabkan ia merasa sedikit sakit pada kulit pipinya, Oleh
karena itu, ia menjadi naik darahnya.
"Oh, bangsat tua!" ia mendamprat, "Apakah kau kira aku
dapat dibuat permainan?"
Kata2 ini dibarengi Thian Ya dengan serangannya
"Kwahouw tengsan"(Menunggang harimau mendaki- gunung),
semacam tipu silat dari "Tiangkun"(kuntaow panjang).
Siorang tua menangkis, terus ia berlenggak dan berkata
sambil tertawa lebar;
"Mengandali jumlah yang banyak untuk menghina orang,
itulah perbuatan biasa dari partai kamu Butong-pay! Bouw Tok
It tidak mempunyai anak atau cucu, maka itu pembalasan atas
dirinya harus ditimpahkan kepada dirimu! Sekarang kau
berlakulah jinak, kau berlutut dan meng-angguk2 tiga kali
kepada kami, lalu kau turut segala perintahku!"
Siangkoan Thian Ya tidak pandai beradu bicara, ia tidak
menggubris perkataan orang, ia hanya melanjutkan
penyerangan beruntun hingga tiga kali, Dengan itu ia
mengumbar hawa amarahnya.
Mau tidak mau, siorang tua muka hitam itu, menjadi
terdesak, hingga ia mundur tiga tindak, Menyaksikan itu,
siorang berpakaian hitam yang berdiri disebelah barat berseru;
"Ti Toako, buat apa bicara saja tidak karuan dengan dia?"
"Benar!" menimbrung siorang berpakaian disebelah utara,
"Ti Toako, kamu berdua saudara baiknya menghajar habis
dirinya! Apa yang kita kehendaki, Mustahil tak akan
didapatkan?"
"Kamu benar!" tertawa siorang tua kate itu, "Adikku, mari!
Eh, bocah kau tidak tahu diri, maka dilain tahun hari ini adalah
hari ulang tahun kematianmu!"
Atas seruan itu, dari sebelah kanan, seorang tua lain, yang
bertubuh kate juga, sudah lantas menyahuti seraya dia
mengajukan diri, dari itu, Thian Ya lantas dikepung berdua
dikiri dan dikanan, Dua yang lain, kawannya dua penyerang
itu, lalu memasang mata.
Sekarang Siangkoan Thian Ya baru dapat melihat tegas dua
musuhnya itu, Mereka sama2 bertubuh kate, usianya juga
hampir sama, yang terlihat berbeda secara menyolok sekali,
ialah yang satu bermuka merah, yang lainnya hitam, yang satu
bertangan hitam seperti tinta, yang lain merah seperti sapuan
cusee, dan setiap kali tangan itu menyambar, anginnya
menyiarkan bau bacin.
Siangkoan Thian Ya terkejut, dia lantas berseru; "Hai, dua
bangsat tua bangka, apakah kamu Kauwhun Siangsat?"
Pemuda ini menduga tepat, Memang dua orang tua itu ialah
Kauwhun Siangsat,(Dua malaikat jahat Tukang membetot
arwah), Merekalah dua saudara kembar, yang hitam mukanya
si-kakak, bernama Ti- Eng, pelajarannya ialah Tiatseeciang,(
Tangan pasir besi) dan yang bermuka merah sang adik,
namanya Ti Pa, kepandaiannya yaitu Ceksee-ciang,(Tangan
pasir merah), Tangan mereka itu beracun, siapa kena terhajar,
akan keracunan, dalam tempo duabelas jam setelah racunnya
bekerja, binasalah si korban, Karena itu, mereka diberikan
julukan yang menakutkan, Untuk golongan Hitam dipropinsi
Shoatang, nama mereka sangat tersohor.
Siorang tua muka hitam itu tertawa ter-bahak2 mendengar
pertanyaan pemuda itu;
"Kau telah mengetahui namanya Kauwhun Siangsat,
bocah!" katanya mengejek, "Kenapa kau tidak hendak lantas
berlutut dan meng-angguk2 tiga kali kepada kami?"
Si muka merah sebaliknya membentak; "Kau masih hendak
melawan" Hm! Hm! Benar2kah kau tidak lagi menghendaki
jiwamu?" Siangkoan Thian Ya adalah seorang yang bertabiat keras,
dia lebih gampang dihadapi dengan sikap lunak, daripada
diperlakukan kasar, demikian, sikapnya dua saudara she Ti itu
cuma membangkitkan kekesalannya, hingga ia tidak
memperdulikan walau mereka itu lihay dan kenamaan.
"Baru orang2 semacam kamu dengan dua pasang kuku
anjing kalian!" katanya balik mengejek, "tidak nanti kamu
dapat membetot arwah orang atau merampas roh manusia!"
Kata2 ini dibarengi serangan dengan tipu silat
"Membengkokkan busur memanah burung rajawali," tangan
kiri menyerang Ti Eng, tangan kanan menghajar Ti Pa, Maka
repotlah dua saudara kembar itu.
Pertempuran berlangsung terus, dengan cepat telah berjalan
hingga belasan jurus, Sebab ke-dua2 pihak bersikap bengis,
Dua saudara Ti penasaran dan hendak lekas menyudahi,
sedangkan Thian Ya hendak membela diri serta melampiaskan
kekesalannya, Selama itu, kedua malaikat jahat itu kewalahan
juga.

Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm! Hm!" Ti Eng kemudian mengeluarkan suaranya yang
dingin. "Adik, bocah ini tidak tahu mampus tidak tahu hidup,
mari kita kepung dia sepert kita mencekuk kura2 didalam
keranjang!"
Perkataan itu dibuktikan dengan penyerangan, yang disusul
oleh Ti Pa, mereka menyerang dengan serentak, Dengan cepat
mereka merangsek, mendesak sehingga gelanggang menjadi
ciut, dan lantas Thian Ya menjadi terancam bahaya.
Dengan dua musuh bertangan beracun, ia sebenarnya kalah
angin, Untuknya, penyerangan hanya dapat dilakukan setiap
ada lowongan, tetapi sekarang, kesempatan itu seperti telah
ditutup, Dan dialah dipihak yang diserang!
Desakan Ti Eng dan Ti Pa berlangsung terus, mereka maju
dengan perlahan, kalangan terus menjadi semakin ringkas,
Thian Ya melihat itu, ia mengerti ancaman bahaya itu bagi
dirinya, maka ketika kalangan tinggal kira2 delapan kaki,
mendadak ia berseru nyaring, tangannya digerakkan, dari
tangan terbuka menjadi kepalan, dengan tangan ia menyerang
bagaikan "kapak- membelah gunung" atau "martil memecah
batu" Ia telah menggunakan dua2 Kimkong-ciang,(Tangan-
Kimkong) serta Lohan-kun,(Kepalan arhat), guna menggempur
kedua musuh tangguh itu, Ia pun telah mengerahkan semua
tenaga sesuai yang diminta dua rupa ilmu silat itu.
Itulah ilmu warisannya Bouw It Siok, yang mahir kedua
ilmu luar dan ilmu dalam yang telah menciptakan pukulan
menukar tangan terbuka dengan kepalan.
Dua saudara Ti itu segera juga ber-teriak2; "Celaka bocah
ini nekat!" Sembari berteriak, mereka mengundurkan diri,
mereka mengambil sikap membela diri, Rupanya mereka
berlaku cerdik, tidak mau mereka keras dilawan keras.
Memang benar Thian Ya telah berlaku nekat, Kalau ia
terhajar Ti Eng atau Ti Pa, celakalah dia, Sebaliknya kalau
mereka itu terkena kepalannya, mereka pun bakal dapat dapat
susah, mereka bisa mati seketika atau ringannya terluka parah.
Kauwhun Siangsat adalah orang2 kenamaan, malu mereka
roboh ditangan seorang muda, sedang mereka pun telah merasa
pasti bahwa merekalah yang bakal meraih kemenangan.
Siangkoan Thian Ya tidak mau men-sia2kan kesempatan
yang baik, Satu kali ia sudah lolos dari kepungan, tidak ingin ia
nanti kena terkepung lagi, Ia menyerang terus ber-tubi2,
dengan pelbagai pukulannya, yang semuanya jurus2 dari
Kimkong-ciu dan Lohan-kun itu, antaranya jurus "Membentur
roboh tiang langit" "Meng-injak2 gunung Holao-san" dan "Lo
Cia mengaduk laut" Setiap serangan itu bertambah
kehebatannya, Di-akhirnya, sambil melompat menubruk, dia
menghajar dengan tipu silatnya "Burung garuda menyerang
diudara" kepada Ti Pa, yang diarah batok kepalanya!
Orang she Ti siadik itu menjadi kaget sekali, untuk
menyelamatkan dirinya, ia menjatuhkan tubuh ketanah, terus ia
bergulingan beberapa kali.
Dengan begitu bebaslah Thian Ya dari kepungan yang telah
terpecahkan itu, Akan tetapi ia bebas bukan untuk dapat
bernapas, Segera ia diserang pula, kali ini oleh siorang berbaju
hitam yang tadi ber-jaga2 disebelah timur.
"Bocah yang baik, kau hendak kabur?" demikian dia itu
membentak dengan ejekannya. "Jangan- harap! Disini masih
ada aku Thongciu Siang San Liong!"
Dan dia maju dengan Kauwkin Hongliong-pian,(Cambuk
Naga Berduri) yang panjangnya setombak lebih, maka waktu
digeraki, ujung cambuk itu mengeluarkan suara angin keras,
Karena panjangnya itu, kalau dipakai mencambuk memutar,
jangkauannya jadi luas beberapa tombak, Siapa yang kena
terhajar, jangan kata langsung oleh cambuknya, kelanggar
durinya saja, sudah celaka.
Maka beratlah Thian Ya, yang bertangan kosong itu, Begitu
diserang ia menjejak tanah, untuk melompat keatas, setelah
cambuk itu melewati kakinya, ia berjumpalitan, lalu turun
disebelah belakangnya sekitar tiga tombak jauhnya, Ia baru
mendarat belum lagi kuat kuda2nya, seorang musuh yang berjaga2
disebelah barat, juga melompat maju menikam dirinya
dengan pedang ditangannya, sasarannya adalah punggung
orang, Dia merasa pasti dan dia bakal berhasil, sambil
menikam itu dia tertawa ter-bahak2 lalu berseru;
"Kau hendak lari, bocah cilik" Hm, disini ada aku Kongya
Liang!" Siang San Liong dan Kongya Liang ini juga adalah orang2
jahat kenamaan dari Golongan Hitam, bahkan mereka lebih
terkenal daripada Kauwhun Siangsat, Maka mendengar nama
mereka, Siangkoan Thian Ya menjadi terlebih kaget lagi.
Murid Butong Pay ini kenal baik aturan dari partainya, apa
lagi sekarang ia telah dipilih sebagai Ciangbunjin, Adalah
aturan itu yang melarang orang Butong Pay menjadi penjahat,
bahkan tak boleh juga menjadi piauwsu,(Orang yang
mengantar/melindungi barang berharga dan uang) Karena itu
meski pihak Butong tidak bersahabat dengan kaum Golongan
Hitam, mereka juga tidak bermusuhan, lebih2 Thian Ya ini,
yang baru mulai muncul dalam dunia kangouw, Kenapa
sekarang ia dihadapkan musuh2 yang kesohor ini, malah
jiwanya se-akan2 hendak dirampas mereka itu"
Tidak sempat Siangkoan Thian Ya untuk berpikir, Heran
tinggal heran, sedangkan ia lagi terancam bahaya, Maka ia
mesti berusaha, untuk melindungi dirinya.
Siang San Liong dan Kongya Liang sudah merangsek, yang
satu dengan cambuk panjang, yang lain dengan pedang pendek,
Hanya aneh mereka ini, selagi mendesak, mereka agaknya
tidak mau menurunkan tangan jahat, meskipun sianak muda
terpaksa mundur, mereka tidak lantas melukai, hanya lawan
dipaksa kembali kekalangan dimana tadi dia dikepung dua
saudara Ti, hingga dia kembali terkurung pula Kauwhun
Siangsat! Tindakan Siang San Liong dan Kongya Liang ini adalah
cara kaum Golongan Hitam menolong kawan mereka untuk
mendapat muka, Ti Eng lantas tertawa lebar.
"Terima kasih, saudara2!" ia mengucap, Ti Pa sebaliknya
gusar dan ingin melampiaskannya, tanpa berkata-kata, ia
menyerang dengan hebat, tangannya kelihatan merah, bau
bacinnya terbawa angin pukulannya, Ia menyerang kedadanya
sianak muda. Siangkoan Thian Ya repot atas desakan musuh, sedangkan
kepalanya dirasakan pusing akibat bau bacin itu, maka atas
serangan dahsyat itu, ia merasa tidak berdaya untuk
menghindarkan diri lagi.
Disaat yang sangat berbahaya itu, telinga sianak muda ini
mendengar suara nyaring, tetapi halus; "Paman Ti, berlakulah
murah hati!" Ternyata pada saat kritis itu muncul Siauw Un
Lan, Hal itu membuat Thian Ya keheranan, dan Ti Pa melengak,
ia menarik pulang serangannya itu, Otot dijidatnya pada timbul
dan terlihat matang biru.
Siangkoan Thian Ya juga melengak, Ia sebetulnya mau
memanggil si nona, akan tetapi belum lagi ia membuka
mulutnya, jalan darah Siauwhu-hiat dirusuknya telah kena
ditotok, maka tidak ampun lagi, robohlah tubuhnya, Sebab ia
telah diserang Kongya Liang, yang menimpuk dengan sebutir
batu pada jalan darahnya itu.
Walaupun tubuhnya tidak dapat bergerak, Thian Ya tetap
bisa melihat dengan kedua matanya, Ia mendapatkan dua
saudara Ti dan Siang San Liong serta Kongya Liang itu berdiri
dalam dua baris, terhadap Siauw Un Lan mereka bersikap
menghormat, Kemudian terdengarlah suaranya Ti Eng itu;
"Dengan titahnya Lootocu, nona diminta pulang!"
"Aku tidak mau pulang!" menjawab Un Lan.
"Lootocu kangen sekali terhadap nona," berkata pula Ti
Eng, "Sekarang ini Lootocu sudah memilih hari yang baik
untuk ia mencuci tangan guna membungkus pedangnya dan
menutup pintunya, Maka itu diminta nona suka pulang untuk
mewakilkan menjadi penggantinya!"
"Aku tidak mengharapkan itu!" kata si nona pula, singkat.
Matanya Kongya Liang berkedip, Ia maju satu tindak;
"Nona Siauw," ia berkata, "ayahmu sudah berusia lanjut, ia
tidak mempunyai anak laki2 kecuali kau satu anak perempuan,
maka juga usahanya ini, yang ia bangun dengan susah payah,
adalah bagianmu! Mungkin kau tidak mengharapkan warisan
ini, akan tetapi kau juga tentu ingat ayahmu itu. . ."
Un Lan terdiam.
"Ayahmu telah mengatakan, nona," berkata Siang San
Liong, yang turut bicara, "Asal nona pulang, se-gala2nya
ayahmu akan mendengar kata2mu, Urusan dengan keluarga
Kim itu ayahmu tidak akan menyebutnya pula."
Siangkoan Thian Ya dapat mendengar semua pembicaraan
itu, ia tertegun, Ia heran mendapat keempat jago Shoatang itu
demikian menghormati Un Lan, tetapi keheranan itu lantas
merupakan kesadaran setelah mendengar kata2nya Ti Eng,
bahwa orang tua si nona hendak mencuci tangan, serta
menanggalkan pedang dan menutup pintunya.
"Jelaslah kiranya ayah dari Un Lan ini adalah pemimpin
kaum Rimba Hijau," katanya didalam hati.
Sudah tiga tahun ia berkenalan dan bergaul dengan Siauw
Un Lan, belum pernah ia menanyakan asal-usul si nona,
Memang pernah nona itu menyebutkan bahwa dia berasal dari
keluarga yang mengerti ilmu silat, Kata nona itu, "Kalau
seorang pria boleh merantau mencari pengalaman, kenapa
seorang wanita tidak?" Sikap ini ia hargai, Ia merasa angan2 si
nona mirip dengan angan2nya sendiri, Karena itu, senang ia
mengikat janji sendiri untuk menyintai si nona, agar kelak si
nona ini bisa menjadi isterinya, Ia menganggap si nona adalah
seorang nona yang gagah perkasa dan mulia, tidak tahunya,
sekarang ternyata dialah puterinya seorang bandit. . . .
Tetapi Thian Ya masih berpikir terus, Apakah artinya Puteri
seorang bandit" Dapatkah ia memandang hina kepada nona itu"
Ia menjadi berduka sendirinya, Ia hargai nona itu, ia berlaku
jujur terhadapnya, siapa tahu si nona justeru mengelabuinya, si
nona menyimpan rahasia dirinya, dan ia dipandang sebagai
orang luar. . .
Kenapa si nona meninggalkan rumahnya" Adakah sebabnya
itu" Apakah sebab itu" Bukankah si nona wajahnya masgul"
Dan ia sendiri, mengenai kedatangannya kerumah In Bu Yang,
untuk meminta kitab ilmu pedang, tidakkah iapun telah
mendustai nona itu" Kecuali dalam urusan ini, apakah si nona
masih menyembunyikan soal lainnya lagi"
Nona Un Lan seperti memikirkan sesuatu, ia berdiri
menjublak, matanya mengawasi pemuda didepannya, Hati
Siangkoan Thian Ya bergoncang keras.
"Kenapa kamu menangkap dia?" si nona tanya.
Ti Eng menjura, "Harap nona ketahui, bocah ini bernama
Siangkoan Thian Ya," ia menyahuti, menerangkan, "Dialah
Ciangbunjin yang baru dari Butong Pay,"
"Aku tahu!" kata si nona singkat.
"Memang," berkata pula Ti Eng, "Kalau Lootocu bukannya
telah mendengar selintingan dan khawatir nona nanti kena
terpedaya, tidak nanti dia menjadi demikian gelisah dan
memerintahkan aku menyusul nona."
Sembari mengatakan begitu, Ti Eng tersenyum menyeringai.
"Ya, dia Ciangbunjin dari Butong Pay, Habis bagaimana?"
Un Lan tanya, Ia tidak menggubris sikap orang.
"Ayahmu telah malang melintang diselatan dan utara Sungai
Besar, seumur hidupnya belum pernah ada orang yang berani
memusuhi dia," menjawab Ti Eng, "hanya satu kali saja, diluar
tahunya, dia roboh ditangannya satu bangsat tua, Dia
menganggap itulah suatu hinaan besar untuknya, Bangsat tua
itu ialah Bouw Tok It, Ciangbunjin generasi kedua dari Butong
Pay!" "Tentang itu ayah pernah menceritakan padaku," kata pula
Un Lan, "Habis ada apa hubungannya itu dengan dia ini?"
Mendengar itu barulah Thian Ya sadar, Pantas ketika
pertama kali mendengar ia adalah Ciangbunjin, ahli waris dari
Butong Pay, nona itu terperanjat.
Ti Eng memperdengarkan dengan suara "Hm!" beberapa
kali. "Kenapa tidak ada hubungannya?" sahutnya, "Dialah cucu
murid Bouw Tok It! Dialah ahli waris Butong Pay!"
"Peristiwa telah berselang tigapuluh tahun," berkata si nona,
"ketika itu dia ini masih belum lahir! Aku bilang tidak ada
hubungannya, tetap tidak ada hubungannya!"
"Kalau nona mengatakan hendak melepaskan dia, budakmu
yang tua tidak berani menentangmu," berkata Ti Eng, "hanya
budakmu khawatir Lootocu sebaliknya mengatakan ada
hubungannya, dan budakmu ditegur, maka kalau itu sampai
terjadi, sungguh aku tidak sanggup menerimanya!"
Sepasang alisnya Un Lan berbangkit berdiri, "Kau cuma
tahu membebaskan dia!!" ia membentak, "Aku sendiri yang
nanti bicara dengan ayahku!"
Inilah kata2 si nona yang diharapkan Ti Eng, Itu artinya ia
telah lepas dari tanggung jawab, Memang ayahnya itu
memerintahkan mencari anaknya untuk diajak pulang, sebab ia
mendengar kabar sianak berhubungan erat dengan Siangkoan
Thian Ya. "Ti Toako," berkata Kongya Liang, "karena nona suka
pulang bersama kita, baiklah kita lepaskan saja bocah ini,
Cuma kitab ilmu itu harus kita minta pulang darinya,"
Un Lan heran, "Kitab pedang apakah itu?" tanyanya.
Sementara itu Kongya Liang, dengan satu totokan jari
tangannya, telah membebaskan Siangkoan Thian Ya.
"Enci Un Lan, kau hendak pulang kemana?" menanya
sianak muda, Ia baru berjalan mendekat, namun segera ia
dihalangi oleh ke-empat orang.
"Dengan memandang nona, kami beri ampun padamu!"
Kongya Liang mengatakan, "Apakah kau masih tidak mau
mengembalikan kitab ilmu pedang Tat Mo Kiampouw itu?"
"Tat Mo Kiampouw apakah itu?" Thian Ya balik menanya.
"Kau berlagak pilon saja, bocah!" kata Kongya Liang,
tertawa dingin, "Tat Mo Kiampouw apa, kau bilang"
Kiampouw yang tigapuluh tahun lalu Bouw Tok It ambil
dengan tipu dayanya yang licik! Apakah itu bukannya Tat Mo
Kiampouw" Habis apakah itu?"
"Aku justeru menghendaki kitab itu!" sahut Thian Ya,
"Habis apa yang mesti aku serahkan padamu?"
Kongya Liang menatap.
"Mustahil bila Bouw Tok It membawa kitab itu kedalam
peti matinya?" dia tanya, "Kau ahli waris Butong Pay, kalau


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitab tidak ada ditanganmu, habis dimanakah adanya?"
Un Lan menjadi heran, Ia menyelak didepan Kongya Liang.
"Kalau kitab pedang itu adalah kitab miliknya Butong Pay,
perlu apa kita menghendaki itu?" ia kata, "Tidakkah itu akan
jadi merusak nama baik ayahku?"
Kongya Liang memperlihatkan wajah heran,
"Ah, nona," katanya, "Apakah ayahmu belum pernah
memberi keterangan kepadamu" Kitab itu pada asalnya bukan
kepunyaannya Bouw Tok It!"
"Mustahil kitab itu adalah milik ayahku?" si nona tanya, Ia
pun heran, "Belum pernah aku mendengar ayah me-nyebut2
tentang kitab pedang itu."
?"Hal yang se-benar2nya," berkata Ti Eng, "Tat Mo
Kiampouw itu bukan kepunyaannya Bouw Tok It, bukan juga
kepunyaan ayahmu, hanya setelah sampai saat ini, orang yang
bersangkutan dengan kitab pedang itu telah menutup mata,
maka kecuali ayahmu tak ada lain orang yang tepat untuk
menjadi pemiliknya,"
So So yang ditempat persembunyiannya diatas pohon telah
mendapat dengar semua pembicaraan itu, ia juga turut merasa
heran. "Dahulu ibuku telah membantu ayah mencuri kitab itu,"
katanya didalam hati, "karena perbuatannya itu, ibu menyesal
seumur hidupnya, Pasti sekali ibu tidak mendustai
aku...Kenapa kitab itu bukan miliknya engkong luarku". . ."
So So heran, Siangkoan Thian Ya terlebih heran pula,
Memang Pit Leng Hong pernah mengatakan bahwa kitab
pedang itu bukan milik kakek gurunya, tetapi Pit Leng Hong
juga mengatakan, kitab itu adalah milik seorang sakti yang
menyerahkan kepada seorang gagah terkenal yang sama
tersohornya dengan kakek gurunya itu, Orang gagah itu ialah
Tan Teng Hong, Maka kenapa sekarang ayahnya nona Un Lan
pun bersangkutan dengan Tat Mo Kiampouw itu "
Un Lan tak kurang herannya, Ti Eng tertawa, ia berkata
pula; "Kalau nona kurang jelas, silahkan nona pulang untuk
menanyakannya kepada ayahmu, Eh, bocah, kau telah
mendapatkan kembali nyawamu, apakah kau masih tidak rela
mengeluarkan kitab itu?" Kata2 yang belakangan itu ditujukan
kepada Siangkoan Thaian ya.
Thian Ya panas sekali hatinya,
"Kitab itu tidak ada hubungannya dengan aku?" ia berkata
nyaring. "Baiklah, aku beritahu kepada kalian! Tat Mo
Kiampouw berada ditangannya In Bu Yang, jikalau kalian
menghendakinya, pergi kalian ambil sendiri pada In Bu Yang
itu, jangan kalian gembrengin aku! Sekarang ini aku hanya
hendak bicara dengan tenang dengan enci Un Lan!"
Siang San Liong, yang sejak tadi berdiam saja, memperlihat
wajah bengis, "In Bu Yang!" katanya, "Dimana adanya dia?"
"Dia ada diatas gunung Holan-san ini!" sahut Thian Ya ,
nyaring pula. "Hm, kau menggunakan nama In Bu Yang untuk
menggertak kami?" kata Kongya Liang, dingin.
Tapi, Ti Eng berpikir lain, "Nona, apakah bocah ini bicara
benar?" ia menanya Un Lan.
"Tentang kitab pedang itu aku tidak tahu sama sekali,"
menyahut si nona, "Hanya mengenai Siangkoan Thian Ya,
belum pernah dia berkata bohong, dan ini aku ketahui dengan
baik!" "Kalau begitu, maafkan kami hendak geledah dulu
padanya!' berkata Ti Eng.
Alisnya si nona berdiri, "Ti Eng!" serunya bengis.
"Nona," kata orang she Ti itu, hormat. Tapi dengan dingin,
ia menambahkan; "Maafkan budak tuamu yang berlaku kurang
ajar! Bukannya budakmu tidak mau memberi muka kepada
nona, hanya saja kitab pedang itu adalah sangat penting, jikalau
tidak sekarang aku menggeledah dia, akan lenyaplah
kesempatan ini! Kalau nanti Lootocu menegur, siapakah yang
berani bertanggung jawab" . . . Geledahlah dia!"
Un Lan gusar hingga dia menggigil, Empat orang itu
memang adalah pengikut ayahnya, akan tetapi memang benar,
mereka juga masih terhitung pamannya sendiri, Bahwa Ti Eng
menyebut dirinya "Budak tua," itu cuma sebagai tanda
menghormat, Sebenarnya, ayahnya pun memandang tinggi
pada Ti Eng dan kawan2nya itu, Kalau mereka ini tidak
mentaati titah ayahnya, bagaimana pertanggung jawabannya
nanti" mengerti akan hal ini, Un Lan menjadi serba salah.
Justeru itu Ti Eng sudah lantas melompat kedepan Thian
Ya, "Bocah yang baik, angkat tangan!" ia membentak dengan
perintahnya. Siangkoan Thian Ya menjadi sangat gusar, benar ia telah
angkat sebelah tangannya, tetapi ia lakukan itu sebagai satu
serangan, Dan diapun berseru;
"Kenapa aku mesti mengijinkan kamu menggeledah aku?"
Hampir saja Ti Eng kena dihajar, Dia menjadi gusar sekali,
"He, bocah, kau berani berlaku kasar! bentaknya, "Kalau
begitu, kau mesti dibekuk dulu!"
Habis berkata, Ti Eng balas menyerang, perbuatannya itu
diikuti Ti Pa saudaranya, Dengan berbareng mereka
menggerakkan tangan mereka, disertai dengan dua buah rantai
besi! memperdengarkan suara yang nyaring. Ke-dua2 rantai itu
mengarah kebagian lehernya Siangkoan Thian Ya, seperti
hendak dikalungkan.
Kongya Liang dilain pihak menekan dengan pedangnya
kepada punggung orang, sedang Siang San liong dengan
cambuknya menyambar kedua kaki orang.
Diserang berbareng secara demikian, biarpun ia sangat
gagah, Siangkoan Thia Ya tidak berdaya, Disaat ia bakal kena
disambar cambuk dan dikalungi rantai, mendadak saja
terdengar seruan seorang wanita:
"Tahan!"
Seruan itu seperti datang dari tempat jauh, terdengarnya berulang2,
Suara itu halus tetapi berpengaruh, dan dapat
mendatangkan rasa hormat orang.
Ti Eng terkejut, sedang tiga kawannya pada melengak, Tapi,
didalam hati mereka, mereka berkata; "Tidak, tidak bisa jadi
dia! Mana mungkinkah dia?"
Tengah mereka itu terbengong, mendadak terlihat suatu
sinar berkelebat didepan mata mereka, Sinar itu bagaikan
bianglala yang menyambar turun dari langit, Menyusul sinar
itu, muncullah seorang wanita pertengahan umur, yang
tangannya mengibaskan sehelai selendang merah, gerakannya
sangat lincah, Dan belum sempat mereka melihat jelas, senjata
mereka berupa cambuk, pedang pendek dan rantai besi, telah
kena dilibat selendang itu!
Herannya Siangkoan Thian Ya juga tak kalah dengan keempat
lawannya itu, Suara wanita itu bukanlah suara Siauw Un
Lan, Ia lantas mengangkat kepalanya, untuk melihat, lalu ia
mendengar lagi suaranya wanita itu;
"Benar apa yang ia katakan! Kitab pedang itu memang ada
ditangannya In Bu Yang!"
Saat itu keempat jago Rimba Hijau itu berdiri tegak
bagaikan patung, tidak berani mereka mengeluarkan suara,
mereka seperti lagi menghadapi sesuatu yang sangat
berpengaruh, wajah mereka pucat pasi, tanda dari rasa takut
yang hebat, Seperti ketakutan mereka saat menghadapi majikan
mereka! Beberapa saat kemudian, adalah Ti Eng yang tersadar lebih
dulu, Lalu ia mengeluarkan suara tertahan "Mari!" katanya,
Dengan dipinpim olehnya, tiga orang kawannya mengikuti dia
berlutut dihadapan wanita itu.
"Toa siocia, kau. . .kau. . ." kata mereka, suaranya
menggetar, "Ini. . .ini. . ."
"Tidak salah, inilah aku!" menyahut wanita itu, yang
mempunyai wajah yang cantik, lalu sebelah tangannya
dikibaskan, "Apakah kamu tidak mempercayai kata2ku?"
"Hanya, ini. . .ini bagaimana sebenarnya?" menanya Ti Eng
gugup. "I. . .In. ."
"Diam!" membentak si wanita, "Aku melarang kamu
menyebutkan pula nama itu! Aku juga melarang kalian
mengatakan pada siapapun, bahwa kalian telah bertemu dengan
aku!" Ti Eng berempat saling memandang, Tidak ada satu
diantaranya yang berani membuka mulut.
Siangkoan Thian Ya menjadi semakin heran, Beruntun
beberapa hari ia telah menemui hal2 aneh, dan hari ini adalah
yang ter-aneh. "Siapakah nyonya ini?" pikirnya, "Kenapa empat jago
Rimba Hijau ini demikian takut dan begitu menghormatinya"
bahkan takutnya mereka itu jauh melebihi pada enci Un Lan!
Kenapa mereka memanggilnya dengan sebutan Toa siocia"
Bukankah, dari nada suara panggilan mereka, empat jago ini
seperti mengakuinya bahwa mereka adalah bujang atau
budak2nya nyonya ini?"
Selagi Thian Ya masih terbenam dalam pikirannya itu,
Siauw Un Lan telah mendahului dia mengajukan pertanyaan,
karena si nona ter-lebih2 heran lagi daripada pemuda ini, Dia
telah berpikir ber-ulang2, Seingatnya belum pernah sekalipun
bertemu dengan nyonya ini, maka heranlah dia, melihat
bawahan ayahnya demikian menurut kata2nya si nyonya, Lalu
ia maju satu tindak;
"Aku mohon bertanya, apakah she-mu, Nyonya, dan dengan
ayahku bagaimana kau memanggilnya?"
Wanita itu tersenyum, Ia menggerakkan tangannya,
memberi tanda untuk Ti Eng berempat agar berbangkit.
"Apakah nona ini puterinya Siauw Koan Eng?" ia tanya
mereka itu, Sama sekali ia tidak segera memberikan jawaban
kepada si nona.
"Benar," menjawab Ti Eng mengangguk, "Siauw Tocu
menggantikan memegang pimpinan tocu sudah duapuluh
tahun," Nyonya itu tertawa, ia menoleh kepada si nona yang
menanyanya. "Kau bertanya aku ini siapa, nona kecil?" katanya
manis. "Pergi kau pulang, kau tanyakan ayahmu, lantas kau
akan mengetahuinya! Hari ini adalah kali pertama kau bertemu
denganku, aku tidak mempunyai apa2 untuk dihadiahkan
padamu, maka itu aku hanya dapat mengucapkan beberapa
patah kata,'Manusia itu ada mempunyai saat2 berduka dan
bersuka-ria, bercerai dan berkumpul, diibaratkan rembulan ada
saatnya guram dan terang bercahaya, bundar dan somplak, Itu
artinya didalam dunia ini tidak ada benda yang sempurna dan
tanpa cacat, Maka itu andaikata kau mempunyai sesuatu yang
tidak menyenangkan atau mencocoki hatimu, jangan kau
simpan itu didalam sanubarimu."
Mendengar itu, Un Lan tercengang, Ia melihat sinar mata
tajam dari si Nyonya seperti menyapu wajahnya, bahwa hanya
dalam saat sekejap itu, si Nyonya seperti telah mengetahui
rahasia hatinya, Ia merasakan, hanya dengan beberapa patah
kata si Nyonya itu, hatinya seperti telah dapat diredakan
banyak. . . Diantara mereka itu, masih ada seorang lain yang tak kurang
herannya, Dia itu adalah In So So, Saat dia mengawasi wanita
itu, dia merasa hatinya tidak tenteram.
"Ah, dia mirip dengan ibuku!. . ."demikian sekilas
pikirannya, "Bukan hanya mirip dalam sifat, dalam wajahnya
yang terlukis kedukaan, sinar matanya yang seperti
menyembunyikan sesuatu. . ." Tanpa sadar, So So jadi
mengingat akan ibunya sendiri, Ia ingat kematiannya Cio Thian
Tok itu dimalam yang menakutkan.
"Ya, kemanakah ibu telah pergi?" ia bertanya pada dirinya.
Nona yang harus dikasihani ini, sedikitpun ia tidak
mengetahui bahwa ibunya pernah kembali dan telah bertemu
dengan ayahnya, untuk minta diri, untuk pamitan. . .
Lamunan So So telah dibuyarkan oleh suaranya si Nyonya,
Sebab pertanyaan Nyonya itu yang ditujukan kepada
Siangkoan Thian Ya telah menggoncangkan hatinya, Karena
pertanyaan itu mengenai diri "Tan Hian Ki".
Siangkoan Thian Ya sendiri sebaliknya tengah memikirkan
nama "Siauw Koan Eng," Pernah ia mendengarnya nama itu,
Tiba2 ia ingat! Pernah gurunya Bouw It Siok, pada suatu ketika
menyebutnya nama itu, Itulah namanya seorang pemimpin
Rimba Hijau di-lima propinsi Utara, Ketika itu, ia tidak
memperhatikannya, Sekarang ini lain, Ia tidak menyangka
bahwa Siauw Koan Eng itu adalah ayahnya Siauw Un Lan.
Tiba2 lamunannya dipotong si Nyonya, Thian Ya lantas
mengangkat kepalanya, mengawasi Nyonya itu, Ia
mendapatkan si Nyonya tengah memandang dirinya.
"Bukankah kau Siangkoan Thian Ya"' Nyonya itu menanya,
"Bukankah Tan Hian Ki itu sahabat karibmu?"
"Tidak salah!" ia memberi jawabannya. "Kenalkah kau pada
Hian Ki?" Sinar matanya si Nyonya itu bercahaya, "Sekarang, dimana
Tan Hian Ki?" ia bertanya tanpa memperdulikan pertanyaan
yang diajukan kepadanya.
"Dia baru saja pergi mengikuti Nyonya In," sahut Thian Ya.
"Nyonya In itu siapa?" si Nyonya menanya.
"Isterinya In Bu Yang, Digunung Holan-san ini, dimana ada
Nyonya In lainnya lagi?"
Tiba2 wajah si Nyonya menjadi guram, sinar matanya pun
tak bercahaya lagi seperti tadi.
"Apa?" katanya, suaranya bergetar. "Hian Ki. . .dia. . .dia
pergi kerumah keluarga. .keluarga In ?"
Siangkoan Thian Ya mengawasi, Ia heran akan kelakuannya
orang, setelah itu terdengar si Nyonya menghela napas.
"Oh, pohon bwee yang habis menderita dimusim dingin,
dapatkah kau mempertahankan dirimu lagi dari serangan sang
angin". . ." katanya perlahan, Kemudian ia menoleh kepada
empat jago Rimba Hijau itu, sembari mengibaskan tangannya,
lalu ia berkata nyaring;
"Ti Eng, Ti Pa, pergilah kalian! Ingat pesanku, apa yang
terjadi dan lihat hari ini, jangan kau beritahukan pada orang
lain dan siapapun juga!"
Setelah mengucapkan begitu, tanpa menanti jawaban dan
menunggu orang berlalu, nyonya ini terus memutar tubuhnya,
lalu pergi, Gesit sekali gerakannya itu, ia tidak tampak seperti
berlari, namun dalam sekejap saja sudah tak tampak lagi
bayangannya. Menyaksikan caranya orang berlalu itu, Siangkoan Thian Ya
terkejut, Ia tahu ilmu meringankan tubuh apa yang telah


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan nyonya luar biasa itu, Sebab itulah ilmu "Mengeser
rupa,- menukar bayangan" ilmu meringankan tubuh yang lihay
dari Tan Teng Hong, seorang tayhiap yang namanya kesohor
sejajar dengan kakek gurunya.
So So yang mendekam dibelakang pohon kayu besar,
mengawasi nyonya itu berlalu, hanya sekelebat saja tampak
punggungnya, lalu sekejap kemudian telah menghilang,
Berbareng dengan kepergiannya nyonya itu, lantas ia teringat
sesuatu hal. "Dia sangat memperhatikan Hian Ki, adakah dia ibunya
Hian Ki?" ia tanya dirinya sendiri, Ia pernah mendengarnya
Hian Ki menyebut ibunya itu, disaat itu ia seperti berkesan baik
terhadap ibu orang, maka sekarang saat memikir si nyonya, ia
merasakan kemiripannya, Tanpa terasa, ia menjadi girang
hatinya, Hanya ia merasa heran mengapa nyonya itu melarang
Ti Eng dan kawan2nya menyebut nama ayahnya.
"Melihat sikapnya, mendengar suaranya, ia sepertinya
membenci keluarga In. . ." pikirnya pula, "Ada hubungan
apakah diantara dia dengan keluargaku". . ."
Segera ia mendengar suaranya Un Lan, yang berbicara
seorang diri: "Ah, siapakah dia?" Nona ini maksudkan ialah
nyonya yang luar biasa itu.
"Nona Siauw, silahkan kau plang," berkata Ti Eng, yang
menyahuti si nona, walaupun bukannya ia yang ditanya,
"Setibanya kau dirumahmu, segala apa akan lantas menjadi
jelas." Un Lan menoleh kepada Thian Ya, hanya sekejap, lantas ia
menjawab siorang she Ti itu;
"Baiklah, mari kita pulang bersama!" katanya, "Mari kita
melanjuti pekerjaan ayah yang ujung goloknya berlumuran
darah!" "Enci Un Lan, kau tunggu aku," berkata Siangkoan Thian
Ya, "Kalau mau jadi penjahat, marilah kita ber-sama2 pergi
lakukan!" "Eh, bocah cilik, kau banyak rewel!" kata Siang San Liong,
yang tertawa mengejek, "Untuk menjadi penjahat juga kau
belum tepat!"
Lalu ia mengulur cambuknya, untuk menghalangi, Un Lan
memandang kelangit, ia tertawa sedih;
"Benar, tiap orang ada masing2 jodohnya," katanya, "jodoh
itu tidak dapat dipaksakan, Sebagaimana manusia, ada
waktunya bersedih dan gembira, berpisah dan berkumpul,
demikian juga dengan rembulan, ada kalanya guram gelap, ada
waktunya juga bundar dan bercacat. . .Ya, benarlah katanya si
nyonya, maka Siangkoan Thian Ya, kau berdiamlah disini,
kalau sebentar kau bertemu dengan Tan Hian Ki, kau wakilkan
aku memberi selamat padanya, aku mendoakan dia dan si nona
In itu hidup bersama sampai tua, tak ada dukanya, tak ada
sedihnya, biar seumur hidup tidak ada hal2 yang melukai hati
mereka!" Terharu si nona ketika ia mengutarakan itu, So So dan juga
Thian Ya yang mendengarnya itu dengan jelas, Nyatalah si
nona masih menyintai Hian Ki, Siangkoan Thian Ya berdiri
menjublak, dan dari mulutnya itu berulang keluar kata2;
"Benar, orang ada masing2 jodohnya, jodoh itu tidak dapat
dipaksakan. . . .Kata2 itu jelas ditujukan kepadanya, Ia
mengangkat kepalanya, ia melihat si Puteri Malam diatas
pohon, Un Lan sebaliknya telah pergi jauh. . . .
Siangkoan Thian Ya merasakan kesepian yang dahulunya
tak pernah ia rasakan, Didalam dunia yang luas ini, tidak dapat
ia menemukan seorang juga yang menyatu dengan hatinya,
Ada Un Lan tetapi hati si nona tidak menyintai padanya, Ia
lantas ingat Hian Ki, Tidak salah, Hian Ki pernah berkorban
untuknya, dia dianggap sebagai saudara kandung, tetapi, Hian
Ki juga tidak mengerti akan perasaannya, Ia menjadi merasa
tidak karuan, ia merasakan dirinya seperti benar2 sendirian, Ia
merasa didalam dunia ini, orang yang benar2 mengerti dan
memahami dia ialah hanya gurunya yang baru, guru yang
tubuhnya bercacat itu. . .
"Suhu, suhu," ia lalu ber-kata2 seorang diri, "suhu, kenapa
untukku kau masih hendak merampas pedang itu, serta kitab
ilmu pedang itu juga" Sebaiknya kita ber-sama2 cepat2
meninggalkan tempat ini yang melukakan hati. . ."
Se-konyong2 pemuda ini mendapat jawaban yang tidak ia
duga2. "Thian Ya, ah, kau disini" Apakah yang kau ucapkan itu?"
Itulah suaranya seorang tua, dengan suara yang dalam.
Dengan cepat anak muda ini menoleh, maka tampaklah
disana kelima gurunya, yang tengah berjalan memasuki rimba,
Ia menjadi berdiri tercengang.
"Cara bagaimana kau dapat lolos dari tangan lihay si
bangsat tua In Bu Yang?" Ti Wan bertanya, "Ah, apakah kau
terluka?" Melihat Thian Ya diam saja, Ti Wan Tiangloo menyangka
keponakan muridnya itu telah terluka dihajar In Bu Yang.
Siangkoan Thian Ya mundur satu satu tindak;
"Mulai saat ini dan selanjutnya, aku tidak akan perdulikan
lagi urusan Tat Mo Kiampouw itu!" katanya tiba2. "Jikalau
kamu menghendakinya, pergilah kamu minta sendiri pada In
Bu Yang!" Ti Wan heran hingga ia melengak, "Apa kau bilang?" dia
menegasi. "Coba kau periksa nadinya," berkata Ti Hong Tiangloo.
"Mungkin benar2 dia telah terluka. . ."
Siangkoan Thian Ya mengibaskan tangannya, " Siapa bilang
aku terluka?" tanyanya.
"Baik, urusan Kiampouw, kita bicarakan saja dikemudian
hari," kata Ti Hong, "sekarang mari kita pulang dulu ke
Butong-san!"
Empat imam yang lainnya mengangguk berbareng, Mereka
sependapat , In Bu Yang tidak dapat diajak bicara, dilawanpun
mereka tidak dapat mengalahkannya, dari itu paling benar
mereka pulang dulu kegunung Butong-san, untuk memastikan
dulu kedudukan Cingbunjin mereka itu, Baru kemudian
menyusun langkah selanjutnya, apakah mereka nantinya akan
mengumpulkan orang2 Rimba- Persilatan dari golongan
cianpwee, untuk ber-sama2 mereka datangi pula In Bu Yang,
guna menghukum. . . .
Tapi, mereka mendapat sambutan yang diluar dugaan
mereka, Siangkoan Thian Ya mengangkat kepalanya dan
berkata dengan jelas dan tegas:
"Aku tidak mau pulang ke Butong-san! Aku pun bukan lagi
Ciangbunjin dari Butong Pay!"
XII. TIDAK KESAMPAIAN. . .
Ti Wan Tiangloo heran bukan main.
"Siangkoan Thian Ya!" ia membentak. "Apakah kau sudah
gila" Kenapa kau melepaskan kedudukanmu itu yang demikian
baik?" "Aku tidak suka akan kedudukan itu, tetapi pasti ada orang
lain yang menginginkannya!" menyahut Thian Ya tenang.
Matanya imam itu membelalak.
"Siapakah yang menghendaki itu?" ia menanya, berteriak.
"Supek, beberapa suheng yang menjadi muridmu, semuanya
lebih menang daripada aku," sahut Siangkoan Thian Ya.
"Hm!" imam itu mengejek, "Siapakah yang telah
mempengaruhi dirimu?"
"Akulah yang ingin mundur sendiri!" menyahut pula Thian
Ya, "Dengan begitu tidak usahlah supek dan susiok sekalian
bersusah hati lagi mengurus aku, Beberapa suheng itu tentulah
sudah menerima panggilanmu dan telah tiba di Butong-san,
maka itu untuk apa aku pulang ikut membantu meramaikan ?"
Ti Wan memang telah mempunyai pikirannya sendiri, ia
bermaksud hendak mengatur murid2nya itu, bagaimana cara
agar bisa merebut kedudukan Ciangbunjin, untuk salah satu
muridnya itu, Tapi sekarang rahasia hatinya itu telah dibeber
oleh Siangkoan Thian Ya, ia menjadi malu dan gusar.
"Kau ngaco belo!" ia membentak pula, "Apakah kedudukan
Ciangbunjin boleh dibuat permainan" Andaikata benar kau
hendak menyerahkan kedudukan itu kepada suhengmu, kau
juga mesti pulang dulu ke Butong-san, disana kita nanti
mengadakan rapat untuk membicarakan dan memutuskannya!"
Siangkoan Thian Ya tertawa dingin;
"Kenapa mesti begitu rumit, mem-buang2 waktu?" ia
berkata, "Sejak hari ini, aku bukan lagi Ciangbunjin dari
Butong Pay! Maka itu urusan dalam partaimu, aku tak akan
mencampurinya lagi!"
Ti Wan girang bercampur sangat mendongkol.
"Kau berani mengkhianati partai dan sucouw?" ia
membentak dalam murkanya.
"Terhadap budi dan pelajaran suhu Bouw Tok It tidak berani
nanti aku melupakannya," berkata Siangkoan Thian Ya, "Akan
tetapi didalam Rimba Persilatan, sesudah guru menutup mata,
kalau murid mencari guru lain, hal itu bukanlah tidak
diperbolehkan."
"Bagus benar!" Ti Wan berteriak, "Kau telah berguru lagi
kepada siapa?" Empat imam lainnya pun juga gusar sekali.
"Butong Pay adalah partai sejati dalam Rimba Persilatan!"
kata mereka itu. "Semenjak dahulu, ada juga orang yang
membuang apa yang sesat untuk kembali kepada jalan yang
benar, tidak ada yang melepaskan jalan yang benar untuk pergi
kepada yang sesat!"
"Ngaco belo!" membentak yang lain, "Masa seorang
Ciangbunjin pergi memasuki partai lain?"
Maka itu berisiklah suara mereka berempat, Dalam keadaan
kacau itu, karena murkanya lima tetua dari Butong Pay itu,
Justeru dari tempat jauh terdengar suara 'ting tong'nya tongkat
besi, suara itu datangnya cepat sekali.
Butong Ngoloo dapat mendengar suara tongkat itu, wajah
mereka berubah dengan segera, Tanpa terasa, suara mereka
terhenti serentak.
Segera setelah itu terdengar suara tertawanya Pit Leng
Hong, yang terus berkata; "Kelima tua bangka dari Butong
Pay, bukankah aku Pit Leng Hong tidak mendustai kalian"
Bukankah Ciangbunjin kalian telah mengangkat aku menjadi
gurunya karena atas kemauannya sendiri, dan bukannya aku
yang merampas dia" Haha, Siangkoan Thian Ya, kau telah
mendengar tegas, bukan?"
Siangkoan Thian Ya menjura; "Semua aku telah
mendengarnya dengan jelas," sahutnya.
Butong Ngoloo saling mengawasi.
"Pit Leng Hong!" kemudian Ti Wan Tiangloo berkata
dengan gusar. "Kau hebat sekali ya! Kau harus ketahui, Butong
Pay tidak dapat dihina sembarang orang!"
Pit Leng Hong tertawa ter-bahak2, Ia memutar tongkat
besinya, Dengan begitu mukanya yang jelek menjadi
bertambah jelek, mehjadi bengis menakutkan, Dia tertawa
dingin. "Biarpun aku Siorang she Pit sudah bercacat, aku tidak
merasa takut pada siapa juga!" katanya nyaring, "Baiklah,
Biarpun kalian kaum Butong Pay adalah laksana gunung Tay
San yang dapat menimpa mengubur, aku siorang she Pit akan
melonjorkan tanganku untuk menahannya!"
Saking murkanya, paras kelima tetua Butong Pay itu
menjadi merah padam, tetapi meskipun demikian, mereka
harus menguasai diri mereka, Ditangan In Bu Yang mereka
telah terluka terkena pukulan Itci-sian, meski mereka sudah
makan obat Siauwhoan-tan, kesehatan mereka belum pulih
kembali, sedang kepandaiannya Pit Leng Hong ini mereka
telah menyaksikannya dengan mata mereka sendiri, Mana
dapat mereka melawan keras dengan keras"
"Hari ini dapat kau mengumbar bacotmu!" membentak Ti
Wan, "Kau tunggu saja lagi sampai tiga bulan, biar nanti aku
akan mengumpulkan semua rekan Rimba Persilatan untuk
membuat perhitungan denganmu!"
Pit Leng Hong tertawa terbahak;
"Siapa yang mempunyai kesabaran untuk menunggu sampai
tiga bulan!" katanya memandang hina, "Tiga hari juga aku tak
sudi menantinya!"
"Kau suka menanti atau tidak, terserah kepadamu!" berkata
Ti Wan. "Kami akan mencari dirimu untuk berurusan atau
tidak, itulah tergantung pada kami sendiri! Biarpun kau
menjelajahi ke-ujung langit, tetap aku pasti akan mencari
dirimu!" Lagi2 Pit Leng Hon tertawa.
"Hm!" ia bersuara, seraya ia menancapkan tongkatnya
ditanah, matanya mengawasi Butong Ngoloo berlalu pergi,
Dengan mengejek, ia berkata;
"Sesudah tiga bulan kamu hendak mencari aku" Haha!
waktu itu kamu boleh pergi menghadap Giamlo Ong (Raja
neraka) untuk meminta orang!"
"Suhu," berkata Siangkoan Thian Ya kaget, "walaupun
beberapa paman guruku telah berlaku lebih mementingkan
dirinya sendiri, tetapi mereka bukanlah orang2 berdosa tak
berampun, maka itu andaikata dibelakang hari, mereka sampai
datang untuk menuntut balas, aku minta sudilah suhu
memandang diriku dan janganlah suhu berlaku bengis terhadap
mereka. . ."
Pit Leng Hong memperlihatkan wajah guram bercambur
sedih, ketika ia tertawa, ia tertawa berduka;
"Siapa yang mengatakan aku hendak membinasakan mereka
itu?" katanya, "Ah, anak, kau tidak mengerti apa2, Jodoh kita
bakal akan segera berakhir, maka kenapa kau masih menyebut-
nyebut hal2 dibelakang hari". . ."
Aneh, Thian Ya mendengar kata2 gurunya itu, ia heran
bukan kepalang.
"Kalau begitu, apakah artinya kata2 suhu bahwa jika hendak
menagih orang kepada raja akhirat?" katanya dalam hati,
Karena penasaran, ia lantar menanya: "Suhu, kita baru saja
bertemu lagi, mengapa suhu menyebut jodoh kita bakal habis"
Apakah mungkin tecu telah melakukan sesuatu kesalahan?"
Pit Leng Hong meng-geleng2kan kepalanya, ia tertawa pula,
tertawa pilu, dan terlihat kepalanya mengeluarkan keringat,
lalu seperti ada hawa yang keluar bagaikan uap.
"Pedang Kungo-kiam serta kitab pedang Tat Mo
Kiampouw, dua2nya tidak dapat aku mengambilnya kembali
untuk diserahkan padamu," berkata ia masgul.
Siangkoan Thian Ya menduga gurunya bersusah hati karena
disebabkan pedang dan kitab itu, buru2 ia berkata: "Segala
benda sampiran itu, tecu juga tidak menghiraukannya lagi!
Suhu, untuk tecu kau telah menempur In Bu Yang, hal itu saja


Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membuat tecu sangat bersyukur! Suhu, marilah kita cepat
berlalu dari tempat yang tidak karuan ini!"
Siangkoan Thian Ya berkata demikian karena ia tidak
mengetahui bahwa gurunya ini sudah terkena totokan Itci-sian
dari In Bu Yang, hingga dia terluka didalam badan, bahkan
luka itu lebih hebat dan parah dari luka yang didapat oleh In Bu
Yang darinya, dan tadi sikap Pit Leng Hong terhadap Butong
Ngoloo, lima tetua dari Butong Pay itu hanyalah gertakan
belaka. Dengan bantuan tongkat besinya, Pit Leng Hong pun duduk,
"Mari dengar, anak, kemari," ia berkata per-lahan2, "Tidak
boleh tidak, tentang kitab pedang itu mesti hari ini aku
menceritakannya kepada kamu, jikalau tidak, lain hari tidak
ada kesempatannya lagi."
Siangkoan Thian Ya hatinya berdenyutan, Ia melihat
bagaimana sungguh2 sikap gurunya itu, Ia menjadi berkhawatir
dibuatnya. Ketika itu rembulan mulai bergeser ke-tengah2
cakrawala, Dalam kesunyian sang malam, dari atas gunung
terdengar pula suara auman siraja hutan.
"Selam beberapa hari ini kau telah menemui tak sedikit
kejadian2 yang luar biasa," berkata itu guru, "dan seperti
malam ini dapat juga membuat ciut hati orang, maka tidaklah
heran bila kau ingin cepat2 berlalu dari gunung ini, Pada
duapuluh tahun yang lampau, aku juga pernah menemui malam
yang seperti ini, bahkan kejadiannya lebih mengherankan lagi.
. ." Siangkoan Thian Ya memasang telinganya.
"Ketika itu aku pun masih muda belia seperti kau sekarang,"
Pit Leng Hong mulai bercerita lebih jauh, "Semangatku sedang
ber-kobar2, aku ber-cita2 membangun suatu usaha besar,
Kakakku Pit Leng Hi, berdiam didalam markasnya Thio Su
Seng, namanya saja ia menjadi pangcu (ketua) dari Kay Pang
(partai Pengemis di Utara), namun segala pekerjaannya,
sebenarnya akulah yang mewakilkan dia mengurusnya,
Tabiatku juga gemar pesiar dan merantau, maka itu pernah juga
aku pergi ke-selatan dan utara Sungai Besar, bahkan sampai
juga ditapal batas."
Siangkoan Thian Ya ketarik hatinya, ia mendengarkan terus,
"Pada suatu hari, tibalah aku digunung Bekcek-san," Pit
Leng Hong melanjuti, "Didalam gunung itu aku tersesat, Kala
itu disaat magrib ketika aku dengan tiba2 melihat angin menderu2
, kemudian pada waktu yang bersamaan aku juga
mendengar suatu suara yang datangnya dari bawah kakiku,
Awalnya aku menyangka pada bumi yang gempa, Tapi tak
lama kemudian, aku mendengar suara yang menyayatkan hati
yang keluarnya dari dalam tanah, Dimana tanah dibawah
kakiku pada saat itu tiba2 terasa menjadi lembek dan buyar,
Aku lantas menusuk dengan tongkatku, Dan ternyata aku
mendapatkan sebuah liang yang mirip seperti mulut goa, Mulut
goa itu tertutup batu, Lalu batunya lantas aku geser kesamping,
kemudian terlihatlah sebuah goa batu yang kosong.
Siangkoan Thian Ya menjadi semakin tertarik.
"Aku memberanikan diri, Dengan bantuan tambang, aku
turun kedalam lubang goa itu, Didalam keadaannya agak gelap,
tetapi didalam gelap itu aku melihat berkelebatnya pelbagai
senjata tajam, aku merasakan desiran angin yang ditimbulkan
pelbagai senjata itu, Ternyata disitu ada orang yang sedang
bertempur. Dulu pernah aku meyakinkan cara melepaskan
senjata rahasia, dan itu aku pelajari ditempat terang, maka itu
bila ditempat gelap, mataku menjadi kurang awas, Lalu aku
berdiam tidak bergerak, dan memasang mata terus, beberapa
saat kemudian, ketika aku sudah mulai menjadi terbiasa,
walaupun masih samar2, tetapi aku sudah dapat melihat adanya
tiga orang yang sedang bertarung, yaitu dua orang yang
bertubuh besar sedang mengepung seorang tua, dan siorang tua
itu terlihat berbaring rebah diatas pembaringan tanah sedang
menangkis golok dan pedang dua orang itu secara bergantian,
serangan yang dilancarkan dengan cara membacok dan
Pendekar Pemetik Harpa 31 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Bersatu Padu 2
^