Pencarian

Tujuh Pedang Tiga Ruyung 3

Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Bagian 3


karena kekuatannya dianggap sudah lebih dari cukup.
Perlahan Ko Bun mendongakkan kepala dan tersenyum, baru saja Sik Ling merasakan
senyumannya itu sangat aneh, orang telah berkata, "Mengapa kita harus bercakap-cakap di
tengah halaman" Mari, biar kutraktir kalian bersantap dan sekalian sebagai perjamuan untuk
menyambut kedatangan Saudara Kiong."
Setelah tertawa dan berhenti sejenak, ia menambahkan, "Maklumlah, perutku terasa lapar."
Tiba-tiba ia berseru lagi, "Saudara Kiong, caramu membawa lencana Jian-kut-leng apakah
tidak terasa lelah?"
Kiranya sejak tadi Giok-bin-sucia berdiri dengan memegang buntalan hitam itu dengan
tangan diluruskan ke muka.
Mendengar hal ini, ia tertawa dan menjawab, "Ini belum seberapa, sekalipun aku
memegangnya setahun juga tak menjadi soal."
"Huh, besar amat lagaknya!" mendadak seseorang mengejek.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Giok-bin-sucia terperanjat, ia coba memandang sekelilingnya, tapi kecuali mereka beberapa
orang tak tertampak ada orang lain.
Air muka Giok-bin-sucia yang putih seketika berubah menjadi marah seperti hati babi,
teriaknya gusar, "Sobat, kalau ingin bicara kenapa main sembunyi" Kalau ada urusan, kenapa
tidak disampaikan langsung berhadapan dengan orang she Kiong?"
Oh Ci-hui dan Sik Ling juga terkejut, mereka tak tahu siapakah yang begitu berani
mengucapkan kata-kata tadi.
Baru habis Giok-bin-sucia membentak, suara tadi kembali berkumandang, "Kalau bicara di
hadapanmu lantas mau apa?"
Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di hadapannya telah bertambah seseorang, sungguh
cepat luar biasa gerakan orang ini.
Wajah Kiong Si-cang yang diliputi rasa gusar kontan lenyap tak berbekas begitu melihat
orang ini, sambil tertawa sapanya, "O, kiranya kau!"
"Ya, aku, mau apa?" kata orang itu.
Demi melihat wajah orang itu, jantung Sik Ling dan Ko Bun berdetak keras, pikir mereka, "Ah,
tak tersangka di kolong langit ini terdapat gadis secantik ini!"
Sementara itu dengan tertawa Oh Ci-hui juga lantas berseru, "He, Mao-mao, kiranya kau
juga datang?"
Gadis itu tertawa manis, dengan lemah gemulai ia melangkah maju. Kemudian dengan
kerlingan matanya yang jeli, katanya manja, "O, kiranya Oh-samsiok" Kenapa aku tidak
melihatmu tadi?"
Oh Ci-hui tertawa, katanya, "Kau tidak ikut suhumu, mau apa pulang kemari?"
"Aku pulang menengok ayah!" jawab Mao-mao sambil membenahi rambutnya dan tertawa
merdu. Biji matanya yang jeli segera mengerling wajah Ko Bun.
Ditatap begitu, pipi Ko Bun terasa panas, perasaannya bergolak.
Mao-mao berpaling lagi ke arah Kiong Si-cang, lalu tanyanya, "Baik-baikkah ayah?"
"Suhu sangat baik!" sahut Kiong Si-cang.
"Untuk apa kaubawa mainan itu keluar rumah?" tanya si nona pula.
Dalam pada itu Sik Ling sedang berpikir, "Kiranya dia putri Leng Coa Mao Kau!"
Melihat potongan tubuhnya yang ramping, ia jadi teringat kepada Mao Ping, diam-diam ia
berduka. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Memang benar gadis ini adalah putri tunggal Mao Kau, namanya Mao Bun-ki. Ia dilahirkan
pada waktu Mao Ping minggat dari rumah, tahun ini berusia delapan belas.
Putri kesayangan "Mao-toaya" tentu saja biasa dimanja. Anehnya ia justru tidak belajar imu
silat dari ayahnya yang termashur dalam dunia persilatan, sebaliknya jauh-jauh pergi ke Ho-pak
dan entah belajar pada guru yang mana"
Dengan sinar mata berkilat, Kiong Si-cang mengawasi gadis itu tanpa berkedip.
Tiba-tiba si nona membalik badan dan bertanya, "Kalian mau bersantap, aku turut diundang
tidak?" Ko Bun sebetulnya sedang termenung dengan menunduk kepala, segera ia mendongakkan
kepala, katanya dengan tertawa, "Jika nona sudi, tentu saja baik sekali."
Waktu itu Sik Ling memperhatikan pedang yang tersandang di punggung Bun-ki, tidak
terlihat olehnya senyuman Ko Bun yang rikuh.
Tak heran kalau Sik Ling memperhatikan pedang Mao Bun-ki, sebab senjata itu memang
aneh bentuknya. Sarung pedangnya bukan terbuat dari emas, bukan pula dari besi, tapi terbuat
dari kulit kucing yang dibentuk sepotong demi sepotong dan digabungkan menjadi satu.
Mungkin di dunia ini hanya sarung pedang ini terbuat dari kulit kucing.
"Sengaja kau undang saja belum tentu kau mau, "kata Mao Bun-ki sambil tertawa. Lalu ia
membalik badan dan menambahkan, "Aku harus pergi dulu. He, Kiong-loji, lain kali jangan
terlalu sok kalau bicara. Hati-hati lidahmu keseleo."
Giok-bin-sucia cuma menyengir saja sambil memandangi bayangan punggung si nona
menjauh dari situ.
Gadis itu memang luar biasa, datang sangat cepat, perginya juga seperti terbang begitu saja.
Sambil geleng kepala, Oh Ci-hui tertawa, gumamnya, "Budak cilik ini memang binal, siapa
yang menjadi suaminya kelak tentu akan konyol."
Ko Bun termangu pula beberapa saat lamanya, sambil tertawa kemudian ia buka suara,
"Konon hidangan kota Tin-kang sangat lezat, belum pernah aku mencobanya."
Lalu serunya kepada Kiong Si-cang yang masih berdiri tertegun, "Saudara Kiong, apakah
tetap kau bawa benda itu sambil bersantap?"
Siapakah sebenarnya "Kim-kiam-hiap" yang memusuhi Leng-coa Mao Kau" Siapa pula
pemuda Ko Bun" Apakah dia inilah Kim-kiam-hiap"
Apa yang akan dialami Giok-bin-sucia Kiong Si-cang dan apa pula yang akan terjadi dengan
munculnya si nona cantik Mao Bun-ki"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
- Bacalah jilid ke - 4 -
Jilid 04 "Ya, kukira terpaksa harus demikian, memangnya ada cara lain yang lebih baik?"
Semenjak bertemu dengan Mao Bun-ki, nada Kiong Si-cang seakan-akan berubah menjadi
dua orang yang berbeda.
Oh Ci-hui tertawa, godanya, "Hubungan Hiantit dengan Mao-mao tidak jelek bukan?"
Merah wajah Kiong Si-cang, sementara itu hati Ko Bun juga merasa kecut.
Esok paginya pelayan yang bertugas membawakan air panas untuk setiap kamar, dengan
hati-hati mengetuk pintu sebuah kamar kelas satu, sebab ia tahu orang yang menginap disitu
mempunyai asal-usul yang besar sekali, murid Mao-toaya yang disegani.
Jika Leng-coa Mao Kau tahu ada seorang pelayan sebuah rumah penginapan di kota Tinkang
juga mengetahui nama besar "Mao-toaya", dia pasti akan merasa bangga sekali.
Pelayan itu mengetuk pintu beberapa kali. Ketika tiada jawaban dari dalam, ia
mendorongnya perlahan sambil melongok ke dalam. Tapi tiba-tiba ia menjerit histeris, kemudian
putar badan dan lari terbirit-birit tanpa menggubris poci berisi air panas yang tertumpah. Ia lari
seperti lihat setan.
Kebetulan Sik Ling baru melangkah keluar dari kamar, nyaris pelayan itu menumbuk
tubuhnya. Dengan cepat ia pegang tubuh pelayan itu seraya membentak, "Hei, ada apa?"
Sambil menuding ke kamar Kiong Si-cang, dengan tergagap pelayan itu menjawab, "Toaya .
. . temanmu . . . temanmu itu . . . celaka!"
Walaupun Sik Ling sendiri tidak ada urusan penting, namun selama beberapa hari ini
sarafnya selalu tegang. Hal ini jauh berbeda dengan keadaannya pada masa lalu. Maka kini
demi mendengar laporan si pelayan, dengan terkejut serta merta ia memburu ke kamar Kiong
Si-cang dan melongoknya . . . .
Apa yang terlihat olehnya membuatnya menjerit tertahan. Dengan cepat ia lari ke kamar Oh
Ci-hui sambil berteriak, "Saudara Oh, Saudara Oh . . . . "
Dengan masih mengantuk Oh Ci-hui muncul di depan pintu. Melihat itu Sik Ling berpikir,
"Nyenyak amat tidurmu."
"Saudara Sik, ada apa?" tanya Oh Ci-hui sambil mengelus perutnya yang gendut, seakanakan
tak senang karena orang telah mengganggu tidurnya.
Sik Ling tak mempedulikan ketidak senangan orang, dengan gugup katanya, "Giok-bin-sucia
tertimpa musibah, harap Saudara Oh segera menengoknya!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mendengar berita itu, tak sempat bersepatu lagi, dengan kaki telanjang Oh Ci-hui berlari ke
kamar depan. Tubuhnya yang gemuk tampak sedikit gemetar.
Dengan cemas ia mendorong pintu kamar, tapi pemandangan yang terpampang
dihadapannya membuatnya menjerit kaget. Seandainya tidak berpegangan pintu, mungkin ia
sudah roboh terjungkal.
Giok-bin-sucia berdiri tegak menghadap pintu, matanya mendelik, mukanya diliputi rasa
kaget bercampur ngeri, telapak tangan kiri terayun ke depan tapi berhenti di tengah jalan,
karena itu secara aneh tangan itu terkatung begitu saja, sementara tangan kanan sebatas siku
ke bawah tertancap di dinding. Sebab itu sekalipun sudah agak lama nyawanya amblas, ia
masih berdiri tegak di tempat semula.
Sinar fajar yang menyorot masuk lewat jendela tepat menyinari wajah sebelah kiri mayat
Kion Si-cang, hal ini membuat pemandangan disitu bertambah seram.
Oh Ci-hui memeriksa sekeliling ruangan itu. Tiba-tiba ia bersuara kaget dan lari kesana. Dari
atas meja ia mengambil sebuah benda yang berkilat. Sik Ling yang berada di belakangnya
segera mengenali benda itu adalah sebilah pedang emas.
"Lagi-lagi benda terkutuk ini . . . . "gumam Oh Ci-hui dengan wajah pucat.
Ketika ia mendongakkan kepala lagi, air mukanya kembali berubah hebat. Ternyata sehelai
kain hitam menempel di atas dinding. Itulah kain hitam yang dipakai untuk membungkus
lencana Jian-kut-leng. Di atas kain hitam tertulis empat huruf yang ditulis dengan kapur, tulisan
itu berbunyi, "Dengan darah membayar darah".
Sampai disini terbuktilah Kim-kiam-hiap memang ada hubungannya dengan kematian Siu
Tok pada 17 tahun yang lalu.
Sambil memegang pedang emas itu, Oh Ci-hui bergumam lirih, "Pedang mini ini adalah yang
kedua." Tiba-tiba ia memandang Sik Ling, kemudian tanyanya, "Sik-heng, apakah kau lihat pedang
emas yang pertama itu?"
Sik Ling menggelengkan kepala, "Mungkin berada di kamar Saudara Ko!"
Mereka berdua segera lari ke kamar Ko Bun, waktu itu si pemuda baru bangun dari tidurnya.
Mendengar cerita Oh Ci-hui, dengan terkejut pemuda itu berseru, "Apa" Saudara Kiong mati?"
Sewaktu Oh Ci-hui menanyakan pedang emas itu, Ko Bun termenung beberapa saat
lamanya. Kemudian menggelengkan kepala, "Aku memang pernah melihatnya, tapi setelah itu
aku tak tahu pedang itu ditaruh di mana!"
Pedang emas itu hilang lenyap, tapi Oh Ci-hui menganggap bukan suatu kejadian serius,
maka merekapun menyampingkan masalah itu.
"Kalau hilang, sudahlah, "demikian ia berkata, "Saudara Ko tak perlu pikirkan lagi."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ia mendekati meja di tepi jendela dan meletakkan pedang emas di sana. Ia menuang air teh
dan minum dua cegukan, lalu berkata sambil menghela napas, "Dengan tewasnya Kiong-loji,
Mao-toako benar-benar kehilangan seorang pembantunya yang setia. Ai, aku benar-benar tidak
mengerti Kim-kiam-hiap bisa memiliki kepandaian sehebat ini?"
Dengan mata kepala sendiri Sik Ling pernah menyaksikan kelihaian Giok-bin-sucia Kiong Sicang.
Dia mampu menghancurkan batu hijau dengan injakan kaki, jelas tenaga dalamnya telah
mencapai puncak kesempurnaan.
Sik Ling bepikir, "Kungfu Kim-kiam-hiap sungguh luar biasa padahal ilmu silat Kiong Si-cang
juga terhitung jago kelas satu dunia persilatan, tapi nyatanya ia terbunuh juga secara
mengerikan di tangan orang itu."
Ko Bun juga menuang dan minum seteguk air teh, kemudian sambil mendekat katanya,
"Padahal aku tinggal di kamar sebelah Saudara Kiong, mengapa semalam aku tidak mendengar
suara apa-apa?"
Oh Ci-hui menghela napas, "Ai, jangankan suara membunuh orang, uang sejumlah sepuluh
laksa tahil perak diangkut pergi dari kamar sebelah juga tidak kita rasakan!"
Merah muka Sik Ling bila teringat peristiwa itu. Tapi iapun merasa heran, jika Kim-kiam-hiap
khusus membalaskan dendam bagi kematian Siu Tok, itu berarti antara dia dengan Siu Tok ada
hubungan yang luar biasa. . . .
Segera terpikir pula olehnya, "Menurut apa yang kuketahui, Siu Tok tidak bersanak dan tidak
berkeluarga. Orang yang ada hubungan dengan dia juga cuma adik Ping seorang . . . ."
Teringat pada diri Mao Ping, ia teringat pula kepada manusia aneh berbaju kepingan
tembaga dan emas itu, pikirnya lebih jauh, "Urusan ini pasti ada hubungannya dengan mereka."
Tapi hubungan apakah itu" Sekalipun ia sudah putar otak sekian lamanya, tetap tak berhasil
mendapatkan jawabannya.
Setelah Mao Ping minggat dari rumah, dalam dunia persilatan hanya dia sendiri yang tahu.
Ketika Mao Ping dilarikan kedua manusia aneh juga hanya dia saja yang tahu, tapi dia tak ingin
mengutarakannya, sebab ia mengira apa yang diketahuinya sangat terbatas. Padahal apa yang
diketahuinya sebenarnya jauh lebih banyak daripada orang lain.
Sehabis minum secangkir air teh, Oh Ci-hui mendekati meja dengan maksud memenuhi
cangkirnya lagi. Mendadak ia menjerit kaget, "Hah, kemana larinya pedang emas tadi?"
Ketika dilihatnya daun jendela terbuka segera ia melompat keluar dengan cepat luar biasa,
tapi suasana di luar jendela hening, sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Ketika itu fajar baru menyingsing, sang surya memancarkan sinar keemasan menyinari bumi.
Dengan gelisah ia melompat ke atas rumah, tapi disanapun tak nampak sesosok bayangan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mereka bertiga berada dalam kamar, tapi pedang emas yang terletak di meja bisa lenyap tak
berbekas di luar tahu mereka, padahal dua dari tiga orang yang berada di situ tergolong jago
silat kelas tinggi.
Ketika melayang masuk lagi lewat jendela, kaki Oh Ci-hui yang belum lagi sempat memakai
sepatu tidak merasakan dingin.
Dengan tercengang Sik Ling bertanya, "Apakah pedang emas itu lenyap lagi?"
Pat-bin-ling-long duduk lemas di atas kursi, ia cuma tertawa getir sambil mengangguk.
Perutnya yang buncit bergerak naik-turun serupa katak yang kebanyakan minum air,
keadaannya lucu dan mengenaskan.
Perlahan Ko Bun menghampirinya, wajahnya yang tampan membawa mimik yang sukar
dipahami orang. Ia membetulkan letak kopiahnya, kemudian berkata dengan lantang, "Pedang
emas sudah hilang, dirisaukan juga tiada gunanya. Lebih baik Saudara Oh pikirkan cara yang
baik untuk mengatasi urusan ini."
Ketika sinar matahari menyorot masuk lewat hendela, dari balik lengan bajunya yang longgar
seakan-akan ada mengkilat cahaya emas, namun Sik Ling dan Oh Ci-hui tak melihatnya.
Ko Bun baru pertama kali datang ke Hangciu. Ia menarik napas dalam-dalam menyambut
terbitnya matahari musim semi ini. Ia merasa hawa udara seolah-olah mengandung bau yang
tidak dikenalnya. Tanpa terasa ia menghirup sekali lagi. Ia tahu di dalam darahnya mengalir
udara kota Hangciu, maka ia tersenyum penuh arti.
Setelah menghadapi musibah berulang kali, jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Oh Cihui
adalah minta pertolongan kepada Mao Kau, padahal orang yang benar-benar terpukul oleh
peristiwa itu bukan dia, melainkan Mao Kau sendiri.
Jika dia ingin cepat-cepat bertemu dengan Mao Kau, tapi Ko Bun ingin berpesiar dulu ke
danau Se-oh. Berhubung Oh Ci-hui berniat membaiki pemuda itu, tentu saja keinginannya itu
dipenuhinya. Berjalan menyusuri tepian telaga yang indah dengan air yang tenang serta bunga teratai
yang merah, hati Ko Bun terasa lega dan nyaman.
Sebuah perahu kecil berlabuh di balik pohon liu yang lebat sana, ketika mereka lewat di
sisinya, tiba-tiba seorang menyingkap tirai perahu sambil menyapa, "Samsiok, kalian juga
datang?" Ternyata orang ini adalah Mao Bun-ki.
Sekilas terlintas rasa girang di wajah Ko Bun, tapi alasannya bergirang sukar diraba.
Oh Ci-hui tertawa, sahutnya cepat, "Haha, kami lagi kesal karena tak ada perahu pesiar,
sungguh beruntung berjumpa dengan kau."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Akupun lagi kesal karena berpesiar seorang diri, memang sangat kebetulan bisa bertemu
dengan kalian, "kata Mao Bun-ki pula sambil tertawa merdu.
Suara gadis itu bagaikan kicau burung kenari, kecantikannya seperti bunga yang sedang
mekar, di tempat yang indah ini, ia tampak terlebih cantik bagai bidadari.
Ko Bun mengawasinya tanpa berkedip, ia seperti terkesima.
Perahu itu perlahan bergerak mendekat, Mao Bun-ki berdiri di ujung geladak bagaikan
bidadari. Sambil melompat ke atas perahu, Oh Ci-hui berseru tertawa, "Mao-mao, makin lama kau
makin cantik."
Mao Bun-ki tertawa senang, ia menunjuk Sik Ling dan Ko Bun, tanyanya, "Siapakah kedua
orang ini?"
Oh Ci-hui segera memperkenalkan mereka.
Mao Bun-ki menatap Sik Ling lekat-lekat, kemudian berkata, "Ah, jadi engkau ini paman Sik
Ling!" Setelah tertawa merdu, ia menambahkan, "Pernah kudengar ayah membicarakan dirimu,
katanya engkau adalah sahabat karib A-ih (bibi)."
Sik Ling tidak berkata apa-apa, ia memandang jauh kesana, memandang bukit di kejauhan
dengan termangu.
Dengan sedih Bun-ki berkata lagi, "Ketika aku dilahirkan, A-ih telah pergi meninggalkan
rumah. Ayah mencarinya kesana kemari, tapi tidak menemukannya. Aku betul-betul tidak habis
mengerti, kemana dia pergi?"
Sik Ling menghela napas dan berpaling kembali, ketika sekilas melihat Ko Bun, wajah
pemuda itu tampak berkerut aneh, tangannya menggenggam cangkir teh erat-erat seperti kuatir
cangkir itu akan jatuh. Tanpa terasa dia mengawasinya beberapa kejap, berbagai ingatan
berkecamuk dalam benaknya.
Agaknya semua orang sama tenggelam dalam kenangan lama.
Tiba-tiba Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui mengetuk meja sambil tertawa, serunya, "Kenangan
masa lalu ada baiknya jangan disinggung lagi. Hari ini kita harus bergembira ria. Saudara Sik,
kau seorang lelaki sejati, mengapa hari ini bersikap semacam anak gadis" Hahaha, harus
dihukum, harus dihukum!"


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan sampan bergerak ke tengah telaga, bunga teratai tersimak, bau harum semerbak di
udara. Ko Bun berjalan ke tepi jendela dan menarik napas, ketika berpaling kembali wajahnya
telah tenang kembali seperti semula.
"Bagaimana dengan ayahmu?" Oh Ci-hui membuka pembicaraan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan kening berkerut sahut Bun-ki, "Sepanjang hari ayah bermuram durja. Ketika
mendengar sembilan orang Sin-pian-ki-su mati konyol, beliau marah sekali. Katanya jika sampai
terjadi lagi peristiwa serupa, beliau akan turun tangan sendiri."
Sekali lagi Pat-bin-ling-long menghela napas. Sebenarnya dia hendak memberitahu tentang
kematian Giok-bin-sucia, tapi setelah memandang Mao Bun-ki sekejap, niat itu dibatalkan.
"Blang," tiba-tiba terjadi benturan yang keras, begitu keras benturan itu hingga cangkir di
tangannya jatuh ke lantai dan tubuhnya hampir saja terjengkang dari tempat duduknya.
Cepat Mao Bun-ki berpegangan pada sisi meja, meski badan perahu menjadi oleng, untung
barang-barang di meja tak sampai tumpah. Dengan berkerut kening ia melongok keluar jendela.
Tampak sebuah perahu melintang tepat di sisi perahu mereka.
Dengan marah gadis itu menegur, "Hei, apakah kalian tak punya mata" Seenaknya saja
main tumbuk!"
Dari balik jendela perahu sana menongol keluar dua buah kepala, mukanya merah karena
kebanyakan minum arak. Sambil memandang wajah Mao Bun-ki, dengan senyuman tengik,
serunya, "Wah, galak amat perempuan ini!"
"Kalau perahumu rusak tertumbuk, pindah kemari temani Toaya, pasti Toaya akan
mengganti dengan sebuah perahu baru, "kata yang seorang lagi.
Mendengar ucapan orang yang tidak senonoh, air muka Mao Bun-ki berubah pucat menahan
gusar. Oh Ci-hui memburu ke tepi jendela, dampratnya dengan gusar, "Anjing buta, kautahu siapa
ini?" Belum lanjut ucapannya ia telah dicegah Mao Bun-ki, sebab nona ini ingin berkelahi. Jika
identitasnya diketahui lawan, niscaya pertarungan tak bakalan berlangsung.
Tiba-tiba gadis itu berjalan ke buritan. Tak lama setelah ia kembali lagi, perahu mereka
mendadak berubah arah dan balas menumbuk perahu lawan.
"Blang", benturan keras tak terhindarkan lagi. Kedua kepala yang menongol keluar dengan
cengar-cengir saling membentur hingga benjut, dengan kaget mereka menarik kepalanya
masing-masing. Mao Bun-ki tertawa geli, Ko Bun juga tertawa. Rupanya ia tertarik pada peristiwa semacam
ini, sedangkan Sik Ling sedang memikirkan sesuatu yang aneh.
"Sewaktu terjadi benturan keras tadi, cangkir di tangan Oh gemuk sampai terpental ke lantai,
kenapa cangkir Ko Bun tidak terlepas, malah setetes airpun tidak tumpah" Mengapa bisa
begini?" demikian ia berpikir. "Jangan-jangan ia berilmu tinggi, tapi sengaja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menyembunyikannya" Namun bila dilihat dari luar, dia sama sekali tidak mirip seorang yang
pandai kungfu."
Perlu diketahui, orang yang belajar ilmu silat pasti memiliki ciri khas yang berbeda dengan
orang biasa. Bagi mereka yang berlatih gwakang (tenaga luar), biasanya akan berotot kuat, kaki dan
tangannya kasar, langkahnya mantap, tubuhnya kekar. Sedang bagi mereka yang berlatih
lwekang (tenaga dalam), kedua matanya kebanyakan bersinar tajam dan kedua pelipisnya
menonjol tinggi.
Apalagi jika orang itu berlatih ilmu kebal sebangsa Kim-ciong-toh, Thi-po-san, Yu-cui-koanceng
atau Cap-sa-tay-po, ciri-cirinya akan tampak semakin nyata dan mudah terlihat.
Sementara Sik Ling masih termenung, perahu mereka kembali oleng. Rupanya ada orang
melompat ke atas perahu mereka.
Mao Bun-ki tertawa dingin. Dari dinding perahu ia lolos pedang bersarung kulit kucing itu,
kemudian katanya kepada Oh Ci-hui, "Sam-siok, pernah kau dengar dari ayah tentang pedang
ini?" Dengan tertawa Oh Ci-hui menggeleng kepala.
"Nah, kalau begitu sekarang juga akan kutunjukkan padamu," seru Bun-ki sambil
menyingkap tirai dan melangkah keluar.
Tampaknya Ko Bun juga ingin menyaksikan ilmu silat si nona, dengan cepat ia menyusul
keluar. Pat-bin-ling-long berpaling ke arah Sik Ling dan berseru, "Saudara Sik, mari kitapun ikut
menonton keramaian. Bapak harimau tak nanti beranak anjing. Ilmu silat budak ini pasti luar
biasa." "Ya, jangan bicara yang lain, melulu pedangnya saja sudah jelas benda mestika, "kata Sik
Ling sambil tertawa, "Cuma kalau menggunakan pedang itu untuk menghadapi kaum keroco,
hal itu terlalu dibesar-besar kan."
Sambil tertawa mereka keluar dari ruang perahu. Terhadap pertarungan yang akan
berlangsung sama sekali tidak terpikir, siapa tahu, begitu tiba di luar, apa yang tertampak jauh
di luar dugaan. Jika pertarungan sampai berkobar, jelas urusan jadi tidak sederhana lagi.
Di atas geladak perahu yang luasnya sekitar dua tombak itu telah berdiri angkuh lima orang
lelaki berbaju ringkas dengan pedang terhunus. Oh Ci-hui tidak terlalu menaruh perhatian
kepada mereka, sebab kedua 'muka merah' tadipun berada di antara mereka.
Sinar mata Oh Ci-hui saat itu tertuju kepada dua orang lelaki jangkung ceking yang berdiri di
haluan perahu sana. Ia merasa seperti kenal mereka, andaikan tidak kenal betul, paling tidak
pernah bertemu di suatu tempat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tiba-tiba ia bertepuk tangan, teringat olehnya siapa gerangan itu. Cepat ia memburu ke
depan sambil berteriak, "Harap kalian jangan berkelahi dulu, kita semua adalah orang sendiri,
bila ada persoalan . . . ."
Belum habis dia berkata, kedua orang jangkung itu telah membentak bersama, "Tak perlu
banyak omong!"
Salah seorang diantaranya tiba-tiba melayang maju dengan cepat luar biasa, langsung
telapak tangan kirinya menghantam muka Oh Ci-hui. Angin pukulan tajam bagaikan golok, lebih
dulu Oh Ci-hui telah merasakan pipinya panas pedas.
Buru-buru Oh Ci-hui miringkan kepala dan menghindarkan diri dari serangan tersebut. Dalam
repotnya ia sempat melihat lengan baju kanan orang itu kosong melompong. Ini semakin
meyakinkan dirinya, siapakah orang ini. Sudah barang tentu ia lebih-lebih tak berani
melancarkan serangan balasan.
Tapi serangan yang dilancarkan orang itu secepat kilat. Sre, sret, beruntun dua kali serangan
kembali dilancarkan. Semuanya mengarah bagian yang mematikan. Jangan kira lengan
kanannya buntung, pukulan-pukulannya betul-betul amat lihai.
Oh Ci-hui terdesak sampai-sampai bicarapun tak sanggup. Ia tetap tak berani melancarkan
serangan balasan. Posisinya kian terdesak hingga jiwanya terancam bahaya.
Mao Bun-ki membentak nyaring dan menerjang maju siap memberi bantuan.
Tapi lelaki ceking lainnya segera membentak, kedua telapak tangan menghantam sekaligus.
Terpaksa Bun-ki menyingkir ke samping.
Geladak perahu itu tidak begitu luas, setelah ke empat orang terlibat dalam pertempuran,
maka tiada tempat luang lain lagi yang bisa dipakai.
Ko Bun berdiri jauh di pinggir pintu, dan mengikuti jalannya pertarungan itu dengan seksama.
Sementara Sik Ling enggan turun tangan, ketika dilihatnya gerak serangan kedua lelaki
ceking itu cepatnya bukan main, dia lantas berpikir dengan heran, "Aneh, siapakah kedua orang
ini?" Selewatnya tiga gebrakan, Oh Ci-hui semakin terdesak sehingga kalang kabut. Kungfu yang
dikuasainya memang tidak sehebat nama besarnya, apalagi dua tahun belakangan ini tubuhnya
bertambah gembrot, ini menyebabkan gerak geriknya bertambah tidak lincah.
Lelaki ceking itu tertawa dingin, serangannya tambah gencar hingga Pat-bin-ling-long
bermandi keringat dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Lain halnya dengan Mao Bun-ki, ia putar pedang bersarung kulit kucing dengan tangan
kirinya, ia bergerak kian kemari bagaikan bidadari. Telapak tangan kanan juga melepaskan
pukulan enteng. Meski semua pukulan si lelaki ceking itu cukup dahsyat, tapi semuanya dapat
dipunahkan si nona dengan mudah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sik Ling berasal dari perguruan ternama. Setelah menyaksikan pukulan kedua orang lelaki
ceking itu, ia dapat merasakan betapa sempurnanya tenaga dalam mereka. Tapi ia lebih
terperanjat lagi sesudah melihat ilmu pukulan Mao Bun-ki. Dengan pengalamannya yang luas
ternyata tak diketahuinya asal-usul ilmu pukulan yang digunakan nona itu.
Ilmu pukulan kedua lelaki ceking itu adalah ilmu pukulan aliran utara sebangsa Pit-kwaciang.
Walaupun jurus serangannya tiada sesuatu yang aneh, tapi kecepatannya membuat
orang agak repot untuk menyambutnya. Apalagi angin pukulannya menderu deru, membuktikan
tenaga dalam mereka cukup sempurna.
Oh Ci-hui betul-betul kececar, sesungguhnya ia ingin melancarkan serangan balasan, tapi
hati merasa kuatir. Sedikit kurang berhati-hati, mendadak orang berlengan tunggal itu
melancarkan pukulan ke arah iganya dengan jurus Sin-liong-jut-in (naga sakti keluar dari mega).
Dalam kejutnya Oh Ci-hui berusaha berkelit ke samping. Lelaki berlengan tunggal itu tertawa
dingin, kontan Oh Ci-hui mendengus tertahan. Jalan darah Ki-bun-hiat tertutuk menyebabkan
tubuhnya terkapar lemas.
Jika lelaki berlengan tunggal ini berhasil merobohkan lawannya, di pihak lain Mao Bun-ki
juga di atas angin, mendadak bentaknya, "Dengan kepandaian semacam ini saja berani
berlagak, hmm . . tak tahu malu."
Lelaki jangkung naik pitam, sambil bersuit dan melompat mundur, kemudian ia memberi
tanda kepada lelaki berlengan tunggal, serunya, "Lotoa, beri dia senjata rahasia!"
Sementara itu air muka Ko Bun agak berubah setelah menyaksikan kelihaian Mao Bun-ki,
sedangkan Sik Ling menghela napas dan berbisik, "Orang baru selalu bermunculan di dunia,
orang lama memang pantas digantikan oleh orang baru. Ilmu silat anak perempuan itu sungguh
luar biasa . . . "
Ia betul-betul merasa kagum, hilanglah ambisinya ingin menonjol di dunia Kangow. Ia lantas
berpeluk tangan menyaksikan jalannya pertarungan itu.
Jago pedang muda yang dahulu dianggap orang punya masa depan cemerlang sama sekali
tak berambisi lagi. Ia enggan berebut nama dengan orang, padahal semua ini tak lain hanya
dikarenakan oleh cinta yang gagal.
Kedua orang ini melompat mundur, tapi serentak mereka menerjang maju lagi.
Dalam pada itu Oh Ci-hui yang roboh tertutuk jalan darahnya dapat mengikuti semua
kejadian dengan jelas. Tak tertuliskan rasa gelisah dan cemasnya, "Mao-mao sungguh
gegabah, "demikian ia berpikir, "Masa dia berani bertarung melawan Ho-siok-siang-kiam?"
Kiranya kedua orang lelaki jangkung ini bukan lain adalah Ho-siok-siang-kiam yang namanya
terdapat dalam deretan Jit-kiam-sam-pian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Si lelaki bertangan buntung itu bukan lain adalah Ong It-peng yang lengannya dipatahkan
oleh Siu Tok dahulu. Karena luka membusuk, terpaksa lengan harus dipotong, sedangkan yang
lain sudah tentu ialah Ong It-beng.
Begitu setelah mundur Ho-siok-siang-kiam mendadak menerjang maju pula, cahaya pedang
menyambar bagaikan pelangi melintas di udara.
Cahaya pedang Ong It-peng menyambar dari sebelah kiri ke kanan, sedangkan cahaya
pedang Ong It-beng menyambar dari kanan ke kiri, sret, sret, serangan mengacip mengancam
tubuh Bun-ki dengan lihai.
"Ilmu pedang bagus!" diam-diam Sik Ling memuji.
Mao Bun-ki sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Betul juga, serangan itu cuma gerak
tipu. Ketika serangan tiba di tengah jalan, tahu-tahu berubah arah dan membuat gerak setengah
melingkar dan mengancam tenggorokan dan bawah perut gadis itu.
Kedua serangan itu dilakukan pada saat yang sama, suatu kerja sama yang rapi.
Oleh karena lengan kanan Ong It-peng sudah kutung, dia mainkan pedangnya dengan
tangan kiri. Walaupun demikian serangannya justru lebih ganas dan keji.
Kiranya selama beberapa tahun belakangan ini kedua Ong bersaudara tersebut giat berlatih
ilmu pedang Ji-gi-kiam-hoat yang dimainkan bersama. Kekuatannya tentu saja hebat sekali.
Bun-ki tertawa, sekali bergeser tahu-tahu ia sudah bergerak tiga kaki ke samping. Waktu
tangannya bergerak, semua orang merasakan silau oleh cahaya merah yang berkelebat. Hanya
sekejap mata saja tahu-tahu Mao Bun-ki telah melolos pedangnya.
Cahaya pedang itu tidak hijau kebiruan, tapi berwarna kemerahan. Cahayanya mengejutkan,
pedangpun mengagumkan, entah senjata itu terbuat dari bahan apa"
Begitu pedang terlolos, semua orang baru terkejut, malah Sik Ling yang sudah lama
berkelana pun tak tahu asal-usul pedang itu.
Apalagi Ko Bun, ia menatap pedang tersebut tanpa berkedip.
Kedua Ong bersaudara juga ahli pedang. Entah berapa ratus batang pedang mestika pernah
dilihatnya, tapi sekarang air muka merekapun berubah hebat.
Dengan cepat mereka putar pedang membentuk setengah lingkaran, menyusul terus
menusuk ke tengah. Sementara ujung pedang berbunyi mendengung karena getaran tenaga
dalam mereka, kemudian secara tiba-tiba berubah menjadi puluhan lingkaran kecil yang
menghujani tubuh Mao Bun-ki. Itulah jurus Jit-gwat-ceng-hui (matahari dan rembulan berebut
cahaya), suatu jurus ampuh dari ilmu pedang Ji-gi-kiam-hoat mereka.
Waktu itu Oh Ci-hui masih berbaring di atas tanah. Meskipun matanya terpentang lebar,
sayang tak bisa mengikuti jalannya pertarungan itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kiranya sewaktu roboh tadi, kebetulan kepalanya menghadap ke samping sana. Oleh karena
badannya tak mampu bergerak, otomatis kepalanya tak bisa berputar. Rasa gelisahnya waktu
itu ibaratnya seekor babi di ujung pisau tukang jagal.
Senyuman tetap menghiasi wajah Mao Bun-ki. Tiba-tiba cahaya pedangnya memanjang
menyongsong cahaya pedang Ho-siok-siang-kiam.
Sementara itu Ho-siok-siang-kiam merasakan pedang yang terpegang seperti bertemu
dengan suatu tenaga isapan yang kuat sekali. Rasanya tak sanggup bertahan dan
menyodorkan pedangnya ke arah lawan.
"Bawa kemari!" bentak Mao Bun-ki sambil tertawa.
Di tengah cahaya yang bertaburan, bayangan manusia terpencar. Ho-siok-siang-kiam
serentak melompat mundur ke belakang. Tangan mereka sudah kosong. Dengan terbelalak
kaget mereka mengawasi musuh tanpa berkedip.
Senyum Mao Bun-ki semakin manis. Tangannya terjulur ke depan dan terlihatlah kedua bilah
pedang kedua Ong bersaudara melengket di atas pedang yang berwarna merah itu.
Dengan suatu getaran keras, tiba-tiba gadis itu mengayunkan pedangya. Kedua pedang
rampasan itu mencelat ke udara dan tercebut ke dalam danau.
Kembali semua orang terkejut, demonstrasi tenaga dalam si gadis terbukti memang luar
biasa. Sudah hampir tiga puluh tahun nama besar Ho-siok-siang-kiam mengisi sejarah persilatan.
Kecuali kecundang di tangan Siu-sianseng tempo dulu, selama belasan tahun terakhir ini tak
pernah menemukan musuh tangguh. Tapi kenyataannya sekarang, belum sampai tiga
gebrakan, pedang mereka sudah dirampas oleh seorang gadis ingusan yang tidak diketahui
asal-usulnya. Maka dapat dibayangkan bagaimana perasaan mereka sekarang.
Bagi seorang jago pedang, terampasnya senjata mereka dianggap sebagai suatu
penghinaan, apalagi dengan kedudukan Ho-siok-siang-kiam dalam dunia persilatan yang cukup
disegani. Dengan perasaan bagaikan diiris-iris, kedua Ong bersaudara cuma bisa memandang Mao
Bun-ki dengan melongo. Kepandaian silat gadis itu betul-betul membuat mereka terkesiap.
Biasanya kelima orang muridnya itu sangat menghormati guru mereka bagaikan
menghormati dewa, sekarang mereka pun merasa sangat sedih sehingga air muka pun
berubah. Orang tadi tidak merah lagi wajahnya, sebaliknya berubah menjadi pucat hijau. Sekalipun
mereka menggenggam pedang, namun tak seorangpun berani turun tangan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah Ho-siok-siang-kiam mundur, Oh Ci-hui yang tergeletak di tanah pun bisa melihat
keadaan mereka dengan jelas.
Dari mimik wajah mereka dan tangan mereka yang kosong, segera diketahuinya kedua
orang itu sudah kecundang. Kejut dan girang bercampur aduk dalam hatinya.
Ia terkejut karena Mao Bun-ki bisa mematahkan nama besar Ho-siok-siang-kiam, padahal
kedua orang itu adalah sahabat ayahnya. Entah cara bagaimana sakit hati itu akan ditagih nanti.
Dia girang karena putri sahabatnya memiliki ilmu silat sangat lihai. Dalam suasana yang
penuh kesulitan dewasa ini, tak bisa disangkal lagi kalau nona ini adalah seorang pembantu
yang bisa diandalkan. Sebab tidak banyak jago di dunia ini yang sanggup mengalahkan Hosiok-
siang-kiam. "Ilmu pedang kalian berdua sungguh hebat sekali, "kata Mao Bun-ki sambil tersenyum.
Perlahan ia menyarungkan kembali pedangnya ke sarung kulit kucing. Kemudian katanya pula,
"Cuma, bila dengan kepandaian kalian ini ingin bikin keonaran di Se-oh sini dan menumbuki
perahu orang, kukira kalian perlu belajar lebih giat lagi."
Air muka Ho-siok-siang-kiam berubah menjadi hijau pucat, saking gusarnya tubuh mereka
menggigil, sepatah katapun tak sanggup diucapkan lagi.
Mao Bun-ki kembali menyindir, "Aku tahu, kalian berdua pasti tidak puas bukan" Itu tak
menjadi soal, bila kalian ingin cari diriku lagi, langsung saja mencari orang she Mao di kota
Hangciu ini."
Tiba-tiba air muka Ho-siok-siang-kiam berubah hebat, serunya hampir bebareng, "Apakah
ayahmu adalah Leng-coa Mao Kau?"
"Tepat sekali!" jawab Bun-ki sambil tertawa.
Mendengar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi Ho-siok-siang-kiam mengentak kaki
terus melompat kembali ke atas perahu mereka sendiri.
Lalu Bun-ki berpaling ke arah kelima orang lelaki yang lain, tegurnya dengan tertawa,
"Mengapa kalian belum enyah dari sini?"
Suaranya lembut dan enak didengar, tapi mendatangkan perasaan yang seram bagi kelima
orang itu. Tanpa bicara merekapun melompat ke atas perahu sendiri.
Siapa tahu, dalam gugupnya mereka lupa tenaga dalam sendiri masih cetek, tak ampun lagi
"plung! plung!" beberapa orang diantaranya tercebur ke dalam telaga.
Bun-ki tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kejadian itu. Mendadak dilihatnya Oh Ci-hui
masih menggeletak di tanah. Ia lantas menghampirinya dan membebaskan jalan darahnya yang
tertutuk. Begitu Oh Ci-hui melompat bangun, ia menumpahkan riak kental, lalu ia menarik napas
panjang.

Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Sam-siok, menyakitkan dirimu saja, "kata Bun-ki dengan tertawa.
Dengan murung dan napas tersengal, sahut Oh Ci-hui, "Tersiksa sedikit tidak mengapa, tapi
tahukah nona bahwa engkau telah membuat bencana besar?"
"Bencana apa?" tanya Bun-ki dengan heran.
"O, nonaku! Kau telah menghajar orang setengah harian, apakah belum kau ketahui
siapakah mereka itu?"
Bun-ki menggeleng kepala.
"Ya, akupun tahu kau pasti tidak kenal mereka, "kata Oh Ci-hui. "Sebab jika tahu tak nanti
kau hajar kedua orang itu."
Gelisah juga Bun-ki mendengar ucapan itu, desaknya, "Siapakah kedua orang itu" Sam-siok,
kalau bicara jangan bertele-tele!"
"Mereka adalah Ho-siok-siang-kiam yang sama tinggi namanya bersama ayahmu."
Melengak Bun-ki mendengar keterangan itu.
Sik Ling juga terperanjat, sambil melangkah maju serunya, "Jadi mereka Ho-siok-siangkiam?"
Hanya Ko Bun saja tetap berdiri dalam kegelapan dengan wajah senyum tak senyum, entah
apa yang dipikirnya.
Bun-ki menghampirinya, dengan tertawa tegurnya, "Hei, kau lagi melihat apa" Aku berkelahi,
kenapa tidak kau bantu?"
Sambil geleng kepala, Ko Bun tertawa getir, "Bukannya aku tak mau membantu, apa daya
kalau aku tak mampu" Mana aku berani mencari penyakit sendiri?"
Terkikik geli Bun-ki, "Coba lihat, masa bicara semacam ini."
Padahal dia dan Ko Bun baru kenal, namun gadis itu sedikitpun tidak nampak malu.
Sik Ling heran juga menyaksikan lagaknya itu, mana dia tahu bahwa sejak dilahirkan Mao
Bun-ki belum tahu apa yang disebut malu.
Menyaksikan kepolosan gadis itu, Ko Bun tersenyum, "Pedang nona menarik sekali,
bolehkan kumohon lihat sebentar?"
"Boleh sih boleh, Cuma . . . "tiba-tiba Bun-ki menarik napas panjang kata yang terakhir itu.
"Cuma apa?"
"Cuma kalau bicara lagi, janganlah pakai mohon segala, bikin kikuk saja, "seru si nona
dengan perasaan geli.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Nona ini sungguh polos dan lugas, "pikir Sik Ling dengan tersenyum.
Ketika gadis itu melolos pedangnya, Ko Bun mundur dua langkah seperti merasa terkejut.
Sik Ling juga kaget, "Kenapa cahaya pedang ini sedemikian aneh?"
"Coba kauraba, "kata Bun-ki sambil tertawa.
Ko Bun berdiri agak jauh, dia menggeleng kepala.
Sambil tertawa, Oh Ci-hui segera menghampirinya seraya berkata, "Kenapa takut meraba
pedang?" Ia sendiri lantas mengulurkan tangannya dan meraba batang pedang tersebut.
Tapi baru saja ujung jari menyentuh pedang, mendadak sekujur badannya bergetar.
Melonjak kaget, cepat ia menyurut mundur dengan wajah pucat, jeritnya, "He, apa yang
terdapat pada pedang ini?"
Bun-ki cekikik geli, "Sam-siok, kau tertipu, "serunya.
Kemudian sambil mengerling sekejap ke arah Ko Bun, ia menambahkan, "Kau lebih pintar
tampaknya."
Sik Ling sendiri meski ikut tertawa, namun hati amat terkejut. Sudah lama dia menjelajahi
dunia, tapi belum pernah melihat ada orang melonjak lantaran meraba pedang, bahkan
mendengarpun belum pernah.
Sementara itu, tiba-tiba dari tengah danau meluncur datang sebuah sampan kecil dengan
kecepatan tinggi. Bukan saja si pendayung sampan itu hapal dengan keadaan disini, tenaga
dayungnya juga kuat sekali. Dalam waktu singkat sampan itu sudah mendekat.
Ketika tiba di depan perahu yang ditumpangi Mao Bun-ki, tiba-tiba dia memutar dayungnya
sehingga perahu itu berhenti. Lalu dengan gerakan yang enteng melayang naik ke atas perahu,
gerakannya lincah, jelas seorang jagoan tangguh dari dunia persilatan.
Begitu tiba di atas perahu, orang itu lantas menegur Mao Bun-ki, "Tampaknya kau membuat
keonaran lagi?"
Ko Bun melihat orang itu masih muda, wajahnya tampan, tubuhnya jangkung dan
mengenakan baju warna kuning emas. Matanya memandang ke atas dengan sikap angkuh.
Orang ini ternyata bukan lain daripada Giok-bin-sucia Kiong Si-cang yang telah tewas terbunuh
di rumah penginapan tempo hari.
Air muka Ko Bun berubah hebat, sekujur badan menggigil, agaknya ia merasa ngeri dan
takut karena orang yang telah mati terbunuh tahu-tahu muncul kembali dalam keadaan segar
bugar. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sik Ling juga terperanjat, tapi Mao Ping dan Oh Ci-hui hanya tersenyum saja, seakan-akan
kejadian itu tak perlu dikejutkan.
Perlahan Mao Bun-ki memasukkan pedang ke sarungnya, lalu sambil tersenyum berkata,
"Dari mana kau tahu aku membuat keonaran?"
Sedangkan Oh Ci-hui berseru, "Apakah Ho-siok-siang-kiam telah sampai di rumah Maotoako"
Cepat amat langkah mereka!"
Pemuda tampan itu memandang sekeliling perahu, kemudian berhenti pada wajah Ko Bun,
katanya dengan tertawa, "Mereka belum sampai di rumah suhu, hanya secara kebetulan
kujumpai di tepi danau. Mereka marah-marah, bahkan bilang hendak pulang ke Ho-siok dan tak
mau mencampuri urusan di sini lagi."
Dia tersenyum, ia memandang Mao Bun-ki sekejap dan menambahkan, "Hmm, siapa suruh
kedua makhluk tua itu berani mencari gara-gara pada Hau-po-sin-kiam milik adik Ki" Salah
mereka, mencari penyakit sendiri."
Dari pembicaraannya dapat diketahui pemuda inipun memandang rendah kemampuan Hosiok-
siang-kiam, selain bermaksud mengumpak Mao Bun-ki.
Betul juga, Mao Bun-ki tersenyum manis demi mendengar pujian tersebut.
Perlahan pemuda tampan itu mendekati Ko Bun, sekulum senyuman masih menghiasi
wajahnya. Walau Ko Bun berusaha menenangkan hatinya, tak urung pucat juga wajahnya.
Oh Ci-hui tertawa sambil menghampirinya dan berkata, "Saudara Ko, mari kuperkenalkan
dirimu dengan seorang jago kosen."
Ia mengedipi Ko Bun, lalu menuding pemuda tampan itu, katanya, "Dia inilah salah seorang
dari kesepuluh murid Leng-coa Mao-toako, tokoh ketiga dalam Giok-kun-sucia. Orang
menyebutnya sebagai Leng-hong-sucia (utusan angin sejuk) Kiong Liang-cang. Kiong-jihiap,
semoga kau bisa bergaul akrab dengan dia."
Kiong Liang-cang tertawa, katanya, "Melihat sikap Saudara Ko ini, agaknya kenal juga
dengan kakakku. Orang persilatan memang tak sedikit yang salah sangka kami berdua saudara
sebagai satu orang."
Kemudian ia berpaling ke arah Oh Ci-hui dan melotot, lalu berkata lagi, "Oh sam-siok, tak
usah memberi tanda kedipan mata kepada Saudara Ko. Berita kematian kakakku sudah
kuketahui. Tak heran bila ia terperanjat melihat kedatanganku, tentunya dia mengira ada orang
mati bisa hidup kembali."
Setelah mendengar penjelasan ini, baru Ko Bun mengerti akan duduknya perkara. Tanpa
terasa dia perhatikan orang yang bernama Leng-hong-sucia ini lebih seksama.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara di mulut dia mengucapkan beberapa kata sungkan, dalam hati dia berpikir,
"Kecerdikan dan keculasan Leng-hong-sucia tampaknya di atas kakaknya. Sekalipun
mendengar berita kematian kakaknya, sama sekali ia tidak memperlihatkan rasa sedih. Bisa
diketahui betapa kejinya orang ini. Padahal Oh Ci-hui cuma mengedip mata, tapi ia bisa
menebak maksud orang, bahkan membongkarnya secara terang-terangan. Manusia semacam
ini, makin pintar makin berbahaya pula bagi masyarakat . . . "
Karena ditegur secara terang-terangan, Oh Ci-hui tertawa jengah. Buru-buru ia mengalihkan
pembicaraan ke soal lain dengan memperkenalkan Sik Ling.
Air muka Sik Ling dingin dan kaku, rupanya iapun tidak puas pada keketusan orang.
Sementara itu Kion Liang-cang sedang bertanya, "Sewaktu kakakku tewas, apakah Saudara
Ko juga hadir di sana?"
Ko Bun manggut-manggut, sikapnya kembali acuh-tak acuh.
Oh Ci-hui menghela napas, katanya, "Kematian kakakmu memang mengenaskan, tapi Kiong
hiantit jangan terlalu sedih . . . "
Diam-diam Sik Ling mendengus, pikirnya, "Orang sama sekali tidak tampak sedih, omong
kosong melulu Pat-bin-ling-long ini . . . ."
Tampaknya Kiong Liang-cang tidak begitu suka pada 'Oh-samsiok' ini, bahkan tanpa
sungkan-sungkan untuk memperlihatkan ketidak sukaannya itu. Hakikatnya ia tidak menggubris
perkataan Oh Ci-hui tersebut.
Kepada Mao Bun-ki, ia berkata, "Suhu selalu menguatirkan dirimu, takut kau bikin gara-gara,
padahal beliau juga terlalu banyak pikir. Dengan pedangmu ini, masa engkau sampai
kecundang di tangan orang?"
"O, jadi kau anggap aku hanya mengandalkan keampuhan pedang ini saja?" seru Mao Bunki
mendongkol, "jangan kau anggap ilmu silatmu paling hebat. Hmm, dengan bertangan
kosongpun aku mampu meroboh kau."
Seketika air muka Kiong Liang-cang rada berubah, tapi sedapatnya ia bersabar, katanya lagi
sambil tersenyum, "O, tentu, tentu saja. Siapa yang tidak kenal pada murid kesayangan Toliong-
siancu" Jangankan aku, biarpun kami bersepuluh Saudara maju sekaligus juga tak
mampu menandingi dirimu!"
Kali ini Mao Bun-ki benar-benar marah, sambil mengentak kaki dia berseru, "Bagus, kau
berani menyebut nama guruku" Hm, tampaknya kau sudah bosan hidup?"
Buru-buru Oh Ci-hui melerai, dengan senyumnya yang khas dia berkata, "Ai, kalian masih
saja seperti sepuluh tahun berselang, asal bertemu lantas ribut. Apakah tidak malu akan
ditertawakan orang?"
Diam-diam Sik Ling berpikir pula, "Tampaknya Kiong Liang-cang juga jatuh hati kepada nona
Mao . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ko Bun sedang memandang langit, seakan-akan sedang termenung karena mendengar
nama seseorang.
Nama "To-liong-siancu" (si dewi pembunuh naga) yang disebut Kiong Liang-cang tadi
seolah-olah tidak menarik perhatian orang, seakan-akan nama itu tak ada harganya
diperhatikan orang. Hal ini bukan dikarenakan pengetahuan mereka yang dangkal, tapi karena
mereka dilahirkan agak lambat puluhan tahun sehingga asing terhadap nama seseorang tokoh
perempuan yang kedudukannya sejajar dengan Hay-thian-ko-yan.
Tentu saja hal inipun disebabkan watak To-liong-siancu sendiri yang suka menyendiri,
sekalipun memiliki kungfu maha tinggi, tapi jarang sekali perlihatkan diri dalam dunia persilatan.
Demikianlah, setelah Oh Ci-hui angkat bicara, untuk sesaat suasana dalam ruang perahu itu
menjadi hening.
Kiong Liang-cang melenggong sejenak, air mukanya sebentar terang sebentar kelam.
Diolok-olok orang di depan umum memang sesuatu yang tak enak, tapi perasaan lain memaksa
dia mau tak mau menerima ketidak enakan tersebut.
Perlahan dia berjalan ke haluan perahu, tiba-tiba ia membalik badan, katanya, "Silakan
kalian pesiar dulu, aku akan pulang memberi laporan kepada suhu bahwa Oh-samsiok dan Siktayhiap
dari Bu-tong datang."
Hati Sik Ling tergerak, ia tahu orang persilatan masih belum melupakan namanya.
Kiong Liang-cang sekali lagi menjura, sementara sampan yang ditumpangi tadi sudah
terbawa arus hingga terpisah dua tombak lebih dari tempat semula.
Ia sengaja hendak pamer ginkang, sekali melejit ia mengapung ke udara, kedua lengan
terpentang lalu meluncur ke depan.
Dia sudah mengincar sasarannya pada sampan itu dengan seksama, ia akan melayang
turun di atas sampan dengan enteng. Tentu saja tujuannya yang terutama adalah untuk
dipamerkan kepada Mao Bun-ki.
Siapa tahu, ketika daya layang mulai berakhir dan kaki hampir turun di atas sampan,
mendadak sampan kecil itu bergeser beberapa kali ke samping seakan-akan ada orang yang
secara tiba-tiba menarik sampan itu.
"Plung!" tak ampun lagi ia tercebur ke dalam danau, air muncrat ke empat penjuru.
Oh Ci-hui sekalian menjadi terkejut. Sik Ling juga merasa kejadian ini di luar dugaan, tanpa
terasa ia melirik sekejap ke arah Ko Bun.
Dilihatnya anak muda itu sedang membelai rambutnya yang terembus angin, wajahnya sama
sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, sekali lagi perasaan Sik Ling tergerak.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sebenarnya Kiong Liang-cang berniat pamer kepandaian, siapa tahu malah tercebur ke air.
Untung sejak kecil ia hidup di Kanglam dan mahir berenang, begitu tenggelam dengan cepat ia
muncul kembali ke permukaan air dan berenang ke arah perahu.
Walaupun akhirnya berhasil juga naik kembali ke atas perahu pesiar, toh keadaannya basah
kuyup persis ayam yang kecemplung ke dalam sungai, mengenaskan sekali keadaannya.
Bila dibandingkan kegagahan serta kejumawaannya ketika naik ke atas perahu tadi, tentu
saja keadaannya sekarang sangat konyol.
"Siapa yang main gila padaku?" serunya gemas, "aku . . . ."
Saking gusarnya dia tak mampu melanjutkan ucapannya.
Mao Bun-ki yang baru keluar dari ruang perahu tertawa geli melihat keadaannya yang
mengenaskan itu, rupanya gadis ini sangat senang bila pemuda itu tertimpa musibah.
Namun tak seorangpun yang mengetahui kejadian yang sebenarnya, tapi ada dua
kemungkinan yang bisa berakibat demikian.
Pertama, ada orang menyelam ke bawah dan menarik sampan itu ketika tubuh orang hampir
turun keatas perahu. Kedua, ada orang yang melancarkan pukulan jarak jauh sehingga sampan
itu terdorong ke belakang.
Walaupun demikian, kedua kemungkinan inipun rasanya sukar terjadi. Apalagi kemungkinan
yang kedua, sebab dalam dunia persilatan dewasa ini tidak banyak orang yang memiliki tenaga
dalam sedemikian sempurnanya. Apalagi beberapa orang yang berada di atas perahu
sekarang, kendatipun mereka terhitung jago kelas tinggi dalam dunia persilatan, tapi mustahil
bisa memiliki tenaga dalam sedemikian sempurnanya.
Inilah sebabnya biarpun Kion Liang-cang marah-marah, tapi tak menemukan sasaran yang
tepat untuk melampiaskan hawa amarahnya itu. Tentu saja terhadap tertawa ejekan Mao Bun-ki
ia cuma bisa menahannya dalam hati, kecuali itu apa pula yang bisa dia lakukan"
Suasana menjadi canggung, hanya pada wajah Ko Bun dan Mao Bun-ki terlihat senyuman.
Meski wajah Kiong Liang-cang sekarang tidak bisa dibilang 'pucat seperti mayat', paling tidak
keadaannya sudah lemas dan lesu.
Sesudah perahu merapat di pantai, pengaruh Leng-coa Mao-kau di kota Hang-ciu segera
terlihat jelas. Setiap orang yang berada di tepi telaga, dari lapisan masyarakat manapun,
semuanya menyapa dengan hormat kepada Kiong Liang-cang yang mengenaskan itu. Wajah
mereka sama sekali tak berani menampilkan perasaan tercengang atau geli.
Tempat tinggal Leng-coa Mao-kau lebih mengejutkan lagi, mungkin tiada gedung yang lebih
besar dan lebih megah daripada gedungnya di seluruh kota Hang-ciu ini, sekalipun rumah
pembesar setempat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pintu gerbang yang berwarna merah terpentang lebar, dua buah singa batu berdiri di tepi
pintu dan mengawasi setiap orang yang berlalu lalang, seakan-akan Leng-coa Mao-kau sendiri
sedang mengawasi setiap jago persilatan di dunia ini.
Setiap orang yang berjalan bersama putri kesayangan atau murid kesayangan Mao Kau
tentu saja tidak perlu lapor atau minta ijin masuk, maka mereka langsung diantar ke dalam
ruang tamu Leng-coa Mao Kau yang diatur secara megah dengan perabot yang mewah.
Ko Bun berjalan di samping Oh Ci-hui, tiba-tiba ia menarik ujung bajunya sambil berbisik,
"Saudara Oh, sudah sekian hari kita berkumpul, boleh dibilang kita sudah sama-sama tahu
keadaan masing-masing, persoalan yang mengganjal hati Oh-heng juga telah kuketahui.
Apalagi selama ini Oh-heng sudah banyak membantuku, entah boleh tidak sekarang akupun
membantu Saudara Oh?"
Mendengar itu, Oh Ci-hui sangat girang, ia tidak menyangka persoalan yang selama ini tak
berani ia singgung kini telah disinggung lebih dulu oleh yang bersangkutan. Namun diluar ia
sengaja bersikap rikuh, "Ah, mana, mana . . . kenapa Ko-heng berkata demikian . . . "
Ko Bun tersenyum, katanya lagi, "Ketika Saudara Oh kehilangan barang kawalan, siaute juga
ikut di sampingmu. Sayang siaute tak bertenaga, tak bisa membantu apa-apa kepada Saudara
Oh. Kalau dibicarakan, sungguh memalukan sekali. Untunglah siaute mendapatkan kasih
sayang dari orang tuaku . . ."
Berbicara sampai disini, sengaja ia berhenti.
Oh Ci-hui tak tahan, sambil tertawa dia lantas menukas, "Siaute tahu keluarga Saudara Ko
kaya rara. Dalam pandangan orang lain uang kawalanku yang hilang itu mungkin suatu jumlah
yang besar, tapi sudah pasti tak terpandang sebelah mata oleh Ko-heng. Cuma siaute tidak
punya jasa apa-apa, mana berani kuterima pemberianmu itu?"
"Wah, kalau Saudara Oh berkata demikian, sama artinya dengan memandang asing diriku,
soal uang, tanggung beres."
Mimpipun Oh Ci-hui tidak mengira kalau pemuda kaya ini begini murah hati kepadanya.
Tentu saja tak terlukiskan rasa terimakasihnya kepada Ko Bun.
Terdengar Ko Bun berkata pula, "Jika bertemu dengan Mao-tayhiap nanti, tolong Saudara
Oh mengakui diriku sebagai sahabat karibmu, dengan demikian jika uang kawalanmu yang
hilang itu kujamin, orang lain tentu tak bisa bilang apa-apa."
Sudah barang tentu Oh Ci-hui mengiakan berulang kali, bahkan merasa amat berterimakasih
karena Ko Bun telah memikirkan kepentingannya dengan begitu sempurna. Jangankan baru
mengakui dia sebagai sahabat, sekalipun harus mengakui Ko Bun sebagai Bapak pun sanggup.
Diam-diam Ko Bun mencibir, cibiran yang menandakan perasaan senang karena apa yang
dituju telah tercapai.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara kedua orang itu sedang berbicara dengan suara lirih, tiba-tiba dari dalam
terdengar seseorang berdehem, kemudian menegur dengan lantang, "Apakah Oh-losam yang
membawa Sik-lote datang bersama?"
Suara itu tajam melengking, amat menusuk pendengaran, membuat siapa saja yang
mendengar akan merasa tidak enak.
Tanpa terasa semua orang berpaling. Tertampaklah melangkah keluar seorang kakek tinggi
kurus, bertulang kening tinggi, berhidung elang, mata cekung dan sinar matanya tajam.
Sekalipun wajahnya penuh keriput yang menandakan usianya telah lanjut, namun langkah


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya masih tetap gagah perkasa, sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya.
Buru-buru Oh Ci-hui melangkah ke depan dan memberi hormat, sahutnya dengan tertawa
yang dibuat-buat, "Mao-toako, baik-baikkah engkau" Sudah lama sekali siaute tidak datang
menyampaikan salam kepada toako."
Mao Kau terbahak-bahak, lagak lagunya sengaja dibuat-buat sambil menarik tangan Oh Cihui
serunya, "Kita kan sesama Saudara sendiri, kenapa sungkan?"
Dengan sinar mata yang tajam dia awasi wajah setiap orang, kemudian sambil tertawa ia
menghampiri Sik Ling, katanya, "Sudah sekian tahun tak berjumpa, tak tersangka adik masih
semuda ini, tidak seperti kakakmu ini, sudah tua, tua sekali . . . . "
Dengan suara yang mendekati keluhan, dia mengakhiri perkataannya itu. Walaupun ia
mengaku sudah tua, tapi setiap orang tahu, itu cuma ucapan di bibir, sedang hatinya belum
tentu mau mengakui ketuaannya itu.
Waktu itu perhatian semua orang tertuju pada wajah pentolan Bu-lim ini, oleh karena itu
perubahan sikap Ko Bun sama sekali tidak diperhatikan orang.
Tapi manusia macam Ko Bun tak nanti mendapat perlakuan dingin dimanapun dia datang.
Sinar mata Mao Kau perlahan beralih ke wajahnya, sambil tersenyum katanya, "Adik ini masih
asing bagiku, tentunya seorang jago muda yang belum lama muncul di dunia persilatan,
bukan?" Setelah tertawa nyaring, ia melanjutkan, "sudah sekian tahun tak pernah kutinggalkan kota
Hang-ciu, terhadap jago-jago muda dari persilatan boleh dibilang asing sekali."
"Kali ini Mao-toako salah melihat, "seru Oh Ci-hui cepat, "Ko-lote ini adalah kenalanku ketika
mengawal barang menuju ke Oh-tang dahulu, seandainya tiada Ko-lote, mungkin papan merek
Peng-an piaukiok sudah rontok dan bangkrut."
"Oo!" Mao Kau bersuara tercengang.
Agaknya Oh Ci-hui merasa keterangannya belum cukup, dengan cepat ia berkata lagi,
"Jaman seperti ini, teman yang baik seperti Ko-lote sungguh sukar dicari. Mao-toako, betul
tidak?" "Betul, betul!" Mao Kau mengangguk.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Maka dengan mudah Ko Bun berhasil menimbulkan kesan baik bagi pentolan Bu-lim ini
dalam pertemuan yang pertama ini.
Maklumlah, di dunia ini banyak jalan yang bisa menimbulkan kesan baik orang lain terhadap
diri sendiri, tapi tak bisa disangkal uang adalah suatu cara yang paling cepat dan efektif.
Dari sekian banyak orang, hanya Sik Ling saja yang merasa curiga, sebab hanya dia yang
tahu Ko Bun dan Oh Ci-hui belum lama berkenalan. Ia tidak habis mengerti, kenapa Ko Bun
menggunakan berbagai macam cara untuk menarik kesan baik Oh Ci-hui dan Mao Kau.
Ia yakin di balik semua ini pasti tersembunyi suatu rahasia besar, sekalipun ia dapat
menebaknya sebagian, namun segan untuk mengutarakannya. Bahkan dia berharap apa yang
diduganya itu bisa lebih dekat dengan kenyataan.
Setelah Mao Kau mendapat tahu kedua kejadian terakhir yang tak terduga itu, senyuman
bangga yang semula menghiasi wajahnya seketika lenyap.
Sekalipun begitu, ia tetap berlagak tenang. Ketika Oh Ci-hui melaporkan tentang Kim-kiamhiap
dia lantas berkata, "Oh-losam, kita adalah saudara sendiri. Janganlah mengagumi
kehebatan orang lain dan meremehkan kemampuan sendiri. Kendatipun Kim-kiam-hiap memiliki
tiga kepala dan enam tangan, jangan harap akan lolos dari cengkeramanku."
Baru sekarang sinar mata Ko Bun beralih dari wajah Mao Kau, ia pandang sekeliling ruang
besar ini. Tiba-tiba sinar matanya tertarik oleh sebuah benda yang berada dalam ruangan ini. Kiranya
di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja altar yang berlapiskan kain hitam. Hal ini sangat
menyolok dibandingkan dengan perabot lain yang berada dalam ruangan.
Sinar matanya yang aneh dan sukar diraba artinya kembali terpancar, seakan-akan tidak
sengaja pemuda itu berjalan mendekati altar itu dan memperhatikannya dengan seksama.
Oh Ci-hui segera menghampirinya seraya berbisik, "Di dalam pemujaan berkerudung itu
berisikan lencana Jian-kut-leng milik Mao-toako. Kau tahu di balik lencana itu terdapat suatu
cerita yang amat menggemparkan dunia persilatan."
Ko Bun menundukkan kepala sambil mengiakan, diam-diam tangannya yang tersembunyi
dalam lengan baju terkepal erat . . . .
Atas undangan tuan rumah dan dalam keadaan sukar menolak, malam itu Ko Bun dan Sik
Ling menginap dalam gedung milik gembong dunia persilatan ini.
--- ooo0ooo ---
Malam kelam, angin mendesir menggoyangkan daun pepohonan di taman belakang gedung
keluarga Mao. Udara sangat gelap, langit tiada rembulan, hanya ada sinar bintang yang jarang-jarang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Di antara bintang yang berkelip di angkasa, tiba-tiba dari belakang taman melompat keluar
sesosok bayangan manusia. Siapakah orang yang berani mendatangi tempat Leng-coa Mao
Kau yang merupakan pentolan dunia persilatan dewasa ini dalam kegelapan malam seperti ini"
Agaknya ilmu meringankan tubuh orang itu amat sempurna, berada dalam keadaan apapun
tidak menimbulkan sedikit suarapun. Dengan enteng dia melayang ke atas pohon, agaknya
sedang memeriksa keadaan sekeliling.
Kemudian seenteng burung ia melayang naik dari tempat semula. Sesudah di atas rumah
dengan beberapa kali lompatan lagi ia sudah berada beberapa tombak lebih jauh.
Kemudian bersembunyi di atas emper rumah yang besar dan melongok ke bawah. Ruangan
di bawah tak lain adalah ruang tengah gedung keluarga Mao.
Tampaknya ilmu meringankan tubuh orang ini sangat lihai, sekali lagi dia berjumpalitan dan
melayang turun. Orang ini berpakaian hitam ketat, muka juga berkain kedok hitam.
Selama sekian tahun belakangan Mao Kau tak pernah kuatir ada Ya-heng-jin (orang berjalan
malam) akan menyatroni rumahnya. Tak heran kalau suasana di dalam ruangan hening sepi,
tak terdengar sesuatu suara.
Dengan sangat berhati-hati orang itu celingukan sekejap sekeliling tempat itu, lalu membuka
pintu dan menerobos masuk ke dalam. Langsung melayang ke meja pemujaan berkain hitam itu
dan siap menyingkapnya . . .
Mendadak terdengar bentakan nyaring dari belakang. Dengan terkejut ia berpaling, tampak
seorang telah berdiri angker di depan pintu.
Tampaknya penyatron ini enggan berjumpa dengan orang, tiba-tiba ia membalik badan terus
melesat keluar ruangan.
Yang muncul dan membentak itu ialah Mao Bun-ki, secepat kilat ia mencegat orang itu.
Siapa tahu baru Mao Bun-ki bergerak, mendadak orang itu berputar selincah ikan dalam air.
Ia ganti arah secara tiba-tiba dan menyelinap keluar pintu dengan cepat luar biasa.
Merasa terkecoh, Mao Bun-ki menjadi gusar. Dengan cepat ia mengejar lagi, gadis itu
enggan membangunkan orang lain. Dengan wataknya yang suka menang sendiri dia ingin
menawan orang itu dengan kepandaian sendiri.
Memang inilah yang diharapkan si penyatron, begitu keluar dari pintu ruangan langsung dia
melompat keluar dinding pekarangan.
Meski ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi, akan tetapi ginkang Mao Bun-ki juga tidak
lemah. Demikianlah satu di depan dan yang lain di belakang, dalam waktu singkat mereka
sudah lari beberapa puluh tombak jauhnya meninggalkan gedung keluarga Mao.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Waktu itulah Mao Bun-ki baru membentak, "Sobat, kalau kau punya keberanian untuk datang
kemari, mengapa sekarang melarikan diri terbirit-birit seperti tikus"!"
Ya-heng-jin itu bergelak tertawa, mendadak ia menghentikan larinya dan membalik badan,
menyongsong kedatangan Mao Bun-ki.
Mimpipun Bun-ki tidak mengira orang itu bisa membalik badan secara tiba-tiba, padahal ia
sedang memburu dengan tubuhnya yang sedang meluncur kencang, tampaknya segera akan
menumbuk tubuh Ya-heng-jin tersebut.
Perlu diketahui, kecepatan gerak tubuh kedua orang itu sungguh sukar dilukiskan, hampir
mencapai kecepatan suara. Maka baru saja Mao Bun-ki berkata, tahu-tahu sudah berada di
hadapan orang. Untuk menghindarkan ke samping jelas tak sempat. Dalam keadaan demikian terpaksa ia
mengerem sebisanya, syukur jaraknya dengan Ya-heng-jin itu masih satu kaki jauhnya. Namun
bau harum badan seorang gadis perawanpun dapat terembus lawan.
Kembali Ya-heng-jin itu tertawa.
Merah wajah Mao Bun-ki, dengan nada gusar serunya, "Sobat, pentanglah matamu . . . ."
Belum habis ia berkata, orang itu menukas sambil tertawa, "Masa cara bicara seorang nona
seperti kaum penyamun?"
Ya-heng-jin ini bersuara parau dengan logat utara.
Sekali lagi air muka Mao Bun-ki berubah merah jengah, maklum sejak kecil dia memang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga persilatan, otomatis cara bicaranya dan tingkah lakunya
ketularan cara orang persilatan. Dulu ia memang tidak merasakan, setelah ditegur ia menjadi
malu sendiri sebab bagaimanapun juga sebagai gadis ia enggan dikatai orang sebagai
penyamun. Maka orang yang sebenarnya hendak 'menangkap maling' sekarang berbalik tertegun karena
dipandang orang sebagai 'penyamun'.
Dengan sinar mata tajam dari balik kedok Ya-heng-jin itu mengawasinya tanpa berkedip. Ia
seperti merasa geli, kemudian sambil melirik sarung pedang yang menongol di punggung si
nona, ia berkata dengan setengah mengejek, "Pada mulanya aku mengira keluarga Mao dari
kota Hang-ciu adalah suatu tempat yang luar biasa, siapa tahu . . . . hmk!"
Rasa menghina yang tak terperikan telah diperlihatkan pada suara jengekannya itu.
Bun-ki tak tahan, belum pernah ada orang berani mengucapkan kata-kata yang tidak hormat
pada keluarga Mao. Dengusan tersebut membuatnya naik pitam, tapi di depan Ya-heng-jin ini ia
tak sanggup mengucapkan sepatah katapun meski pada hari-hari biasa di pandai bicara.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sambil membentak tangan kirinya bergerak kemuka sebagai pancingan, kemudian tangan
kanan menabas dengan jurus Cui-niau-so-ih (burung hijau menyisir bulu), ia sabat samping
tengkuk lawan. Serangan ini bukan saja cepat dan mendadak, Mao Bun-ki yakin sekalipun serangan ini tak
berhasil merobohkan lawan, paling tidak bisa merebut posisi mendahului.
Siapa tahu secara gampang Ya-heng-jin itu dapat mengegos, tiba-tiba tangan kirinya
membentuk gerak lingkaran, lalu tangan kanannya menonjok. Serangan telapak tangan
berubah menjadi pukulan kepalan, jari tengah dan telunjuk menonjok dan menghantam jalan
darah Cian-cin-hiat di bahu Mao Bun-ki.
Terkesiap gadis itu, bukan saja serangan Ya-heng-jin itu amat cepat, yang lihai adalah
tangan kiri kanan bisa menggunakan serangan yang berbeda sekaligus.
Pukulan telapak tangan kanan yang dahsyat dengan ruas jari yang menghantam Hiat-to
sungguh jurus serangan sakti. Yang lebih hebat lagi adalah pukulan tangan kirinya, jurus
serangan yang digunakan sungguh belum pernah dilihatnya selama ini.
Diam-diam ia berpikir, tanganpun tidak berhenti. Dalam waktu singkat ia sudah bergebrak
tiga jurus dengan musuh, semua jurus serangan yang keras.
Kiranya pembawaan To-liong-siancu bertenaga sangat kuat, meski seorang perempuan,
namun ilmu pukulan To-liong-pat-it-sik yang diciptakannya tergolong ilmu pukulan aliran keras.
Belum pernah ada orang yang berhasil meraih keuntungan terhadap ilmu pukulannya itu.
Kendatipun demikian, di tangan Mao Bun-ki, ilmu pukulan itu tak mampu mengimbangi
kehebatan gurunya. Lagipula jurus serangan yang dipakai musuh juga sangat hebat, ini
membuat serangannya sukar mencapai sasaran dengan tepat.
Sepuluh gebrakan kemudian Bun-ki mulai tidak tahan, ia terkejut oleh kelihaian musuh. Tibatiba
satu ingatan terlintas dalam benaknya, segera ia membentak, "Tahan!"
Ya-heng-jin itu tertegun, serangannya menjadi kendur. Mao Bun-ki terus mundur dan melolos
pedangnya. "Silakan rasakan kelihaian pedangku ini!" bentaknya dengan tertawa dingin.
Pedang di tangan kanannya segera digetarkan, cahaya tajam segera memenuhi angkasa.
Diantara suara mendengung keras pedang itu berubah menjadi lingkaran pedang kecil
berwarna merah membara bagaikan gumpalan api mengurung tubuh Ya-heng-jin tersebut.
Sekarang Ya-heng-jin itu baru tahu, rupanya teriakan berhenti Mao Bun-ki tadi hanya siasat
untuk mengulur waktu. Selagi ia merasa geli, tebasan pedang gadis itu telah menyambar tiba.
Sebelum serangan tiba, lamat-lamat ia sudah merasakan hawa panas yang menyengat. Ia
tak berani menyambut serangan itu secara gegabah. Dengan suatu gerak enteng ia berkelit ke
samping. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mao Bun-ki membentak, pedang kembali berputar membentuk satu lingkaran. Lingkaran
kecil yang berkobar seperti api itu segera menyambar tubuh lawan bagaikan seekor naga
berapi. Kembali Ya-heng-jin itu berkelit ke samping.
Ketika Mao Bun-ki mencecar secara gencar, mendadak Ya-heng-jin itu bersuit nyaring
sambil melejit ke udara, kedua tangannya terentang dan sekali lagi badannya melambung ke
atas. Inilah Siang-thian-ti (tangga naik ke langit), suatu ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Dengan lejitan tersebut, Ya-heng-jin itu sudah tiga tombak lebih di udara. Serangan Mao
Bun-ki tak bisa lagi mengenai tubuhnya. Dengan penasaran gadis itu berpikir, "Hm, asal
tubuhmu merosot ke bawah segera kuhadiahkan serangan lagi."
Siapa tahu Ya-heng-jin itu berputar satu lingkaran di udara, dengan kepala di bawah dan kaki
di atas, seperti anak panah terlepas dari busur ia meluncur ke samping kemudian kakinya
menjejak dahan pohon di sana dan kembali mengapung jauh ke depan.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh orang itu lantas lenyap dari pandangan mata.
Sekarang Mao Bun-ki baru sadar bahwa ginkang orang itu jauh di atas kepandaiannya.
Mungkin tadi orang cuma bermaksud memancingnya keluar dari gedung keluarga Mao.
Gadis ini baru saja terjun ke dunia persilatan. Sejak berhasil mengalahkan Ho-siok-siangkiam,
disangkanya kepandaian sendiri paling top di dunia. Tapi setelah berjumpa dengan Yaheng-
jin tadi, dia baru tahu bahwa ilmu pukulan maupun ilmu meringankan tubuhnya masih
kalah jauh dibandingkan orang. Betul ia berhasil memukul mundur lawan dengan pedang
mestikanya, tapi hal ini bukan sesuatu yang pantas dibanggakan.
Ia mulai bertanya-tanya di dalam hati, siapa gerangan Ya-heng-jin atau manusia pejalan
malam itu"
Dengan hati yang kesal ia berjalan kembali ke rumah. Dari kejauhan terdengar bunyi
kentongan bergema empat kali, ini menandakan waktu sudah lewat tengah malam, tak lama lagi
fajar akan menyingsing.
Keesokkan harinya, ketika Sik Ling bangun dari tidurnya, ia melihat Ko Bun yang tidur
sekamar dengannya masih tidur sangat nyenyak. Ia tidak membangunkannya, diam-diam ia
keluar kamar. Embun telah kering, sang surya sudah tinggi di langit.
Diam-diam Sik Ling menghela napas. Beberapa tahun belakangan ini ia selalu bangkit lebih
lambat. Ia sangsi apakah dirinya sudah mulai tua.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Menyongsong embusan angin sejuk di pagi hari ini, ia menarik napas panjang-panjang.
Untuk melemaskan otot, tanpa terasa sejurus demi sejurus ia berlatih ilmu pukulan Bu-tong-pai
yang dikuasainya.
Meskipun setiap jurusnya dilakukan dengan amat lambat, namun penuh tenaga. Meski jurus
semacam ini tiada kelihatan indah, namun untuk bisa mencapai taraf seperti ini orang harus
berlatih berpuluh tahun.
Serangkaian jurus pukulan baru selesai dimainkan, tiba-tiba terdengar orang bersorak
memuji, ketika ia berpaling, tertampak Ko Bun sambil mengancing baju berdiri di depan pintu.
"Saudara Sik, permainan yang bagus!" puji Ko Bun dengan tertawa.
Sik Ling juga tersenyum, ditatapnya sekejap pemuda itu dengan bangga, kemudian
sahutnya, "Dengan bakat Saudara Ko yang bagus, jika mau berlatih silat pasti akan beratus kali
lipat lebih hebat daripadaku."
Ko Bun dan Sik Ling saling pandang sekejap, lalu tertawa lagi, agaknya diantara mereka
sudah ada perasaan tahu sama tahu.
Dari balik pepohonan di dalam taman perlahan muncul seorang gadis berbaju hijau. Dari
kejauhan ia sudah menyapa dengan tertawa, "Pagi amat kalian bangun!"
"Nona juga bangun pagi!" sahut Ko Bun dengan tertawa.
Gadis itu tak lain adalah Mao Bun-ki, sambil mencibir ia berseru, "Huh, aku bukan lagi
bangun pagi, hakikatnya semalaman aku tidak tidur!"
Setelah berhenti sejenak, ia bertutur pula, "Coba aneh tidak, semalam disini kedatangan
maling yang ingin mencuri pedang. Untung . . . untung, dapat kupergoki dan kupukul lari."
"Dengan kepandaian nona, tentu saja tidak menjadi soal hanya menghadapi seorang maling
saja, "kata Ko Bun dengan tertawa.
Merah muka Bun-ki, ia menundukkan kepala sambil memainkan ujung baju. Tak lama
kemudian ia mendongak lagi dan memandang Sik Ling, katanya, "Paman Sik, coba aku lagi sial
atau tidak. Beberapa hari ini kota Hang-ciu benar-benar sangat ramai, konon Co-jiu-sin-kiam,
Wan-yang-siang-kiam meski untuk sementara sudah pergi, tapi tak sampai dua hari lagi mereka
akan kembali kemari. Sedang aku . . . justru dua hari lagi, aku mesti meninggalkan tempat ini."
Walau ia bicara kepada Sik Ling, namun matanya melirik ke arah Ko Bun, jelas perkataannya
sengaja diperdengarkan kepada pemuda itu.
"Nona, hendak kemana?" tanya Sik Ling dengan tertawa.
"Pulang ke rumah guruku! Setiap tahun sekali aku pulang dari Ho-pak."
"Kebetulan aku juga hendak pergi ke Ho-pak, "tiba-tiba Ko Bun berkata, "entah . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Belum habis ia berkata, dengan girang Bun-ki menyambung, "Kalau kau mau pergi
bersamaku itu lebih baik lagi, sepanjang jalan aku akan punya teman."
Gadis itu betul-betul masih polos dan lugas, iapun mempunyai kesan yang baik kepada Ko
Bun, maka ia bicara terus terang tanpa tedeng aling-aling.
Tersembul senyuman aneh di ujung bibir Ko Bun.
Sik Ling dapat melihat hal itu dari samping. Ia terkesiap, dengan perasaan ngeri ia melirik
sekejap ke arah pemuda itu.
Diam-diam ia menghela napas dan berlalu dari situ, ia merasa seakan-akan telah
mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak perlu diketahuinya.
Tiba-tiba dari depan sana dilihatnya ada tiga orang pemuda berbaju emas sedang berjalan
mendekat. Ia sengaja menunduk kepala dan tidak memandang mereka.
Ketiga pemuda berbaju emas itupun hanya melirik sekejap ke arahnya, kemudian berjalan
lewat. Tak lama kemudian terdengar ketiga orang itu berseru berbareng, "Adik Ki, kami telah
pulang."

Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan langkah lebar mereka menuju ke samping Mao Bun-ki, tapi ketika melihat Ko Bun
berdiri dekat pintu mereka tertegun.
"Sudah pulang ya pulanglah, kenapa ribut?" jengek Bun-ki dingin.
Sekali lagi ketiga pemuda itu melengak dan tak tahu apa yang mesti diucapkan pula.
Sementara itu Ko Bun juga sedang memandang ketiga orang pemuda tampan itu. Mereka
rata-rata berwajah ganteng, bertubuh tegap, sikapnya jumawa sekali, pikirnya, "Mungkin
beberapa orang ini juga termasuk dalam kelompik Giok-kut-sucia. Ehm, agaknya mereka punya
peranan juga di gedung ini."
Sementara ia mengamati mereka, ketiga pemuda berbaju emas itupun mengawasinya. Ko
Bun tersenyum dan membalik badan masuk ke kamar, tapi wajah ketiga orang itu sudah
teringat baik dalam benaknya.
Dia tahu Bun-ki pasti masih mengawasinya, meski timbul perasaan hangat dalam hatinya,
tapi dengan cepat perasaan tersebut ia tekan. Diam-diam ia memperingatkan dirinya sendiri,
"Kau jangan melibatkan diri dalam urusan cinta dengan siapapun jua, sebab cinta hanya akan
merugikan dirimu sendiri. Apakah kau lupa bahwa kehadiranmu di dunia ini sama sekali tidak
didasarkan oleh cinta?"
Dua hari kemudian, ketika Co-jiu-sin-kiam dan Pek-poh-tui-hoa berdua tiba di gedung
keluarga Mao, Ko Bun menyerahkan sepuluh laksa tahil perak kepada Oh Ci-hui, lalu mohon diri
kepada Sik Ling yang juga akan pergi itu dengan membawa rasa terima kasih yang tak
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terkirakan dari Oh Ci-hui, beserta putri kesayangan Mao Kau. Berangkatlah dia meninggalkan
kota Hang-ciu melalui pintu kota utara.
Sesungguhnya siapa dan orang macam apakah pemuda Ko Bun ini"
Keanehan apa yang terdapat pada pedang mestika mao Bun-ki" Siapakah penyatron
berkedok itu"
- Bacalah jilid ke 5 -
Jilid 05 Jalan antara Hang-ciu dan Ho-pak, entah sudah berapa kali pernah dilalui Mao Bun-ki
seorang diri, boleh dikatakan sudah hapal di luar kepala.
Ko Bun berduduk tenang di atas kudanya dan mengikuti jejak si nona, namun kedua
matanya tidak terlalu tenang. Tiada hentinya ia memandang si nona dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas. Tentu saja kelakuan Ko Bun ini membikin jantung Bun-ki berdebar-debar.
Baru pertama kali ini selama hidup Bun-ki mempunyai perasaan semacam ini. Rasanya
enak, semacam perasaan nikmat yang sukar diuraikan.
Belum jauh mereka meninggalkan kota Hang-ciu, dari belakang lantas menyusul tiba
beberapa penunggang kuda.
Ko Bun berkerut kening, katanya kepada Bun-ki, "Mungkin para suhengmu lagi yang
menyusul kemari."
"Dari mana kautahu?" ujar Bun-ki dengan tertawa.
Belum lenyap suaranya, benarlah terdengar penunggang kuda dari belakang sedang
berteriak, "Adik Ki! Adik Ki!"
Ko Bun angkat pundak terhadap Bun-ki, nona itupun tertawa geli.
Empat penunggang kuda yang menyusul tiba itu memang semuanya anggota Giok-kut-sucia.
"Leng-hong-sucia" Kiong Liang-cang yang culas dan licik itupun termasuk diantaranya. Dia
cukup sungkan terhadap Ko Bun, sebaliknya ketiga pemuda berbaju emas yang lain segera
mengerumuni Bun-ki tanpa memandang Ko Bun barang sekejappun.
Salah seorang pemuda yang berkulit badan putih dan bersikap bangor lantas berkata, "Atas
perintah suhu, kami diberi tugas ke empat propinsi di utara, yaitu Ho-pak, Ho-lam, Oh-lam dan
Oh-pak. Menurut pendapat sumoay, siapa diantara kami yang paling cocok pergi ke Ho-pak?"
Cara bicaranya membawa sikap dan senyuman menyanjung si nona.
Tapi Bun-ki menjawab dengan tidak senang, "Peduli siapa diantara kalian yang mau pergi
kesana?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Perlahan Kiong Liang-cang memindahkan tali kendalinya ke tangan kiri, tangan kanan lantas
mengeluarkan beberapa biji mata uang, katanya, "Nah, barang siapa dapat menebak berapa biji
yang kugenggam ini, dia yang akan mengiringi adik Ki ke Ho-pak. Sebaliknya jika kalian tidak
dapat menebak, maka . . maka akulah . . . . "
Diam-diam Ko Bun merasa geli, pikirnya, "Tampaknya diantara sesama saudara
seperguruan mereka ini sama menaksir kepada nona Ki."
Dengan tersenyum Ko Bun mengikuti permainan menebak mata uang diantara keempat
saudara seperguruan itu. Apabila keempat orang itu mengetahui apa arti yang terkandung di
balik senyuman Ko Bun ini, tentu tiada seorangpun diantara mereka mengharapkan tugas
senang mengiringi si cantik ini.
Alhasil, si pemuda berwajah putih itulah yang 'beruntung', ketiga pemuda lain tampak
kecewa dan tinggal pergi dengan kesal.
Dengan tersenyum Ko Bun lantas mendekati pemuda muka putih itu dan menyapa,
"Bolehkah kutahu siapa nama anda yang terhormat?"
Pemuda muka putih itu meliriknya sekejap dan menjawabnya dengan angkuh, "Namaku
Khong Hi, orang kangouw menyebutku "Giok-bin-sucia" (si duta batu kemala) . . . ."
Belum habis ucapannya ia lantas berpaling kearah Bun-ki dan mengajaknya bicara dengan
sikap lain. Sedikitpun Ko Bun tidak sirik, ia tetap tersenyum simpul. Sebaliknya Bun-ki merasa dongkol,
sungguh ingin ia mengenyahkan "Giok-bin-sucia" sejauhnya, maka sikapnya sangat dingin
terhadap sang suheng, sebaliknya melirik mesra ke arah Ko Bun.
Khong Hi bukan orang tolol, rasa dongkolnya sepanjang jalan lantas dilampiaskan terhadap
diri Ko Bun, ya mengejek, ya menjengek.
Namun Ko Bun tetap tidak menghiraukannya.
Sikap garang dan angkuh Mao Bun-ki sebelum ini sekarang juga berubah sama sekali. Dia
sekarang lebih sering bersikap malu-malu kucing serupa gadis pingitan. Entah apa yang
menyebabkan gadis yang tidak kenal apa artinya malu ini mengalami perubahan sebesar ini"
Setiba di Go-hin, karena kamar hotel tak tersisa lagi, terpaksa Ko Bun bersatu kamar dengan
Giok-bin-sucia Khong Hi.
Tengah malam, tiba-tiba Khong Hi mendengar di luar jendela ada suara jentikan jari yang
biasa dilakukan Ya-heng-jin atau pejalan malam di dunia Kangouw.
Dia sudah berpengalaman, reaksinya sangat cepat. Segera ia meloncat turun dari tempat
tidurnya dan mengenakan sepatu. Dilihatnya Ko Bun sedang mendengkur dengan nyenyaknya.
Ia menjengek dan menggerutu di dalam hati, "Huh, seperti babi mampus!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan gesit ia terus melompat keluar jendela, ingin dilihatnya adakah terjadi sesuatu di
luar. Betul juga, dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di depan sana, namun gerak-geriknya
terlihat lamban. Khong Hi mendengus, tanpa pikir ia melayang ke arah bayangan orang itu.
Agaknya Mao Bun-ki juga terjaga bangun dan merasa sesuatu suara di luar. Dengan cepat
iapun memburu keluar, tapi suasana di luar sunyi senyap tiada terlihat sesuatu.
Ia ragu sejenak, lalu ia memburu ke depan sana. Dengan cepat ia mengitari rumah
penginapan itu. Sekilas dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di balik pohon di kejauhan
sana, tanpa pikir ia mengejar kesana.
Di tengah malam buta terdengar anjing di tetangga sebelah menggonggong. Mungkin karena
mencium bau orang asing, atau bisa jadi tidak tahan kesunyian malam sehingga meraung
seperti serigala di tengah hutan.
Bun-ki tidak berani gegabah. Dengan gesit ia berlindung di balik pohon dan mengintai
kesana. Segera dapat dilihatnya sesosok bayangan bertengger di atas pohon sebelah sana
dengan sikap seperti menantang.
Dengan gusar Bun-ki membentak perlahan, tiga titik sinar perak segera menyambar ke
depan. Siapa tahu orang itu tetap tidak bergerak. Tiga batang "To-liong-ciam" (jarum pembunuh
naga) yang disambitkan Bun-ki itu tepat mengenai tubuhnya.
Anehnya bayangan manusia itu tetap tegak di atas, tidak bergerak, malah mendenguspun
tidak, seakan-akan jarum To-liong-ciam andalan To-liong-siancu sama sekali tak berguna.
Keruan kaget Bun-ki. Pedang segera dilolos, cahaya merah membara segera menyambar,
tapi gadis itu segera menjerit kaget.
Diantara cahaya merah yang terpancar dari pedangnya itu ia sempat mengenali bayangan itu
adalah Giok-bin-sucia Khong Hi. Serangannya segera dibatalkan. Cepat ia melompat maju
menghampiri suhengnya itu.
Akan tetapi setelah ia menyaksikan air muka suhengnya itu, ia menjerit kaget pula dan
berdiri mematung dengan wajah pucat seperti mayat.
Ternyata dalam waktu yang amat singkat itu, Giok-bin-sucia Khong Hi ditemukan mati dalam
keadaan mengerikan. Jalan darah Giok-ceng-hiat di belakang kepalanya ditutuk orang,
mayatnya tergantung di atas pohon dengan kawat.
Tiga batang jarum To-liong-ciam yang ditimpukkan Bun-ki tadi secara rapi ditemukan
menancap di atas jalan darah Ji-swan-hiat dan Ki-bun-hiat di dadanya. Di tengah kegelapan
dapat terlihat ujung jarum yang berkilat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Di tengah malam gelap, wajahnya kelihatan pucat kehijau-hijauan, biji matanya melotot
seakan-akan tidak tahu apa sebab kematiannya.
Angin berhembus membuat Bun-ki merinding, ia tak berani memandang lagi.
Sekarang ia baru merasa dirinya adalah seorang perempuan, banyak urusan yang tak bisa
dihadapinya seorang diri, terutama dalam persoalan yang menyangkut mati dan hidup.
Mendadak ia teringat akan Ko Bun. Kembali ia merasa ngeri, cepat ia lari kembali ke rumah
penginapan sambil berpikir, "Mungkinkah dia . . .?"
Manusia macam setan yang berada dalam kegelapan itu seakan-akan iblis keji dari neraka,
dimanapun dan setiap saat dapat menjulurkan cakar setannya untuk merenggut nyawa orang
yang ada hubungannya dengan Leng-coa Mao Kau.
Bimbang hati Bun-ki, takut dan bingung, untuk sesaat ia merasa kehilangan akal.
"Perbuatan siapakah ini?" demikian ia pikir, "Kim-kiam-hiap" Atau Ya-heng-jin yang
berkedok hitam itu?"
Bayangan pohon di bawah remang cahaya bintang seakan-akan berubah seperti bayangan
setan yang mengadang jalan pergi Bun-ki, tanpa terasa gadis itu bergidik dan berkeringat
dingin. "Masa orang yang sudah berada dalam liang kubur bisa bangkit kembali dan datang
membalas dendam?"
Ia tak berani berpikir lebih jauh, tak berani menjelaskan bagaimana datangnya kengerian itu
kepada dirinya sendiri, meski bingung dan tak tahu apa yang mesti dipikirkan, tapi bayangan Ko
Bun segera timbul lagi dalam benaknya.
Segera ia menerobos kegelapan dan lari kembali ke rumah penginapan.
Dalam waktu singkat ia sudah tiba di penginapan itu, dilihatnya daun jendela kamar Ko Bun
dalam keadaan terbuka lebar.
Tanpa pikir ia melompat masuk ke situ. Ternyata Ko Bun masih tertidur nyenyak. Cepatcepat
ia menghampirinya dan menepuk tubuh yang berselimut itu, tapi dengan segera
diketahuinya yang ditepuk itu bukanlah tubuh manusia.
Keruan ia terkejut, cepat ia menarik selimut. Ternyata isinya cuma bantal guling belaka,
kemana perginya Ko Bun"
Ia berdiri melongo di depan pembaringan.
"Apakah nona Bun-ki disitu?" tiba-tiba dari belakang almari terdengar seorang bertanya
dengan takut-takut.
Cepat Bun-ki melongok ke belakang almari. Dilihatnya Ko Bun berdiri ketakutan disitu.
Setelah mengetahui yang datang adalah Mao Bun-ki, anak muda itu kelihatan lega.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Agaknya ia tak tahan berdiri lagi, ia terkulai lemas bersandar pada almari, bisiknya dengan
gemetar, "O, jika kau tidak datang lagi, aku bisa mati ketakutan."
Lalu ia tuding dinding dengan tangan gemetar.
Bun-ki berplaing ke arah yang ditunjuk. Di atas dinding telah bertambah selembar kain hitam.
Meski gelap dalam kamar, namun masih bisa terbaca empat huruf besar yang tertera di sana,
"Dengan darah membayar darah."
Kembali Bun-ki terkesiap, peristiwa tujuh belas tahun yang lalu pernah didengar olehnya,
tulisan "Dengan darah membayar darah" membuatnya ngeri.
Dengan suara gemetar kembali Ko Bun berkata, "Aku masih tertidur nyenyak ketika tiba-tiba
dari jendela melompat masuk seorang yang menempelkan kain hitam itu di atas dinding,
kemudian ia membangunkan aku dan tanya siapa diriku. Setelah itu kabur lagi lewat jendela."
"Macam apakah orang itu?" tanya Bun-ki sambil menghela napas, "apakah mengenakan
baju serba hitam dan kepalanya juga tertutup kain kerudung hitam?"
"Ya, ya, betul, itulah orangnya, "sahut Ko Bun sambil mengangguk, "rupanya nona kenal
orang itu!"
Bun-ki geleng kepala, kemudian memandang ke empat huruf besar itu dengan termangu.
Perlahan Ko Bun keluar dari balik almari. Ia pandang bayangan punggung gadis itu,
wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut seperti dikatakannya tadi.
Akan tetapi begitu Bun-ki berpaling, wajahnya kembali berkerut seakan-akan orang
ketakutan. Dengan rasa kasihan Bun-ki memandang pemuda tampan itu, lalu menghampirinya sambil
berbisik, "Jangan takut, aku akan menemanimu disini, mau?"
Tapi begitu perkataan itu diutarakan, tiba-tiba air mukanya berubah merah.
Dengan berseri gembira Ko Bun lantas berseru, "Jika nona bersedia menemaniku, sungguh
baik sekali, kalau tidak . . . ."
Kalau tidak apa" Meski tidak diteruskannya tapi Bun-ki sudah mendapat alasan untuk tinggal
dalam kamar anak muda itu.
Sesudah menyalakan lampu, mereka duduk di kedua sisi meja. Bun-ki merasa sinar mata Ko
Bun mencorong bagai kobaran api sehingga hatinya juga mulai terbakar, terbayang olehnya
musim semi yang indah dan hangat.
Tanpa terasa tangan mereka saling menggenggam dengan kencang.
Maka sampai pagi tiba mereka tetap duduk dalam keadaan begini. Bun-ki melupakan
segalanya, bahkan lupa di atas pohon di luar sana masih tergantung mayat suhengnya dalam
keadaan mengerikan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bagaimana dengan Ko Bun" Apakah iapun melupakan segalanya" Dari senyuman yang
menghiasi bibirnya dapat terlihat jawabannya, hanya sayang pada waktu itu Bun-ki tidak
memperhatikannya.
Keesokkan harinya terjadi kesibukan dalam kantor pejabat keamanan kota Go-hin. Kepala
polisi, Thi-jio (pentung baja) Ong Wi-kiat dibuat kebingungan oleh sesosok mayat lelaki yang
ditemukannya itu, terutama baju warna emas yang dikenakan mayat tersebut membuatnya
amat terkejut. Tapi semua itu adalah teka-teki, sebelum tiba saat dibukanya teka-teki itu tak seorangpun
mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Sejak itu, hubungan Ko Bun dan Bun-ki berlangsung makin mesra. Siapapun merasa kagum
terhadap dua sejoli ini. Tapi banyak kejadian di dunia ini sukar diketahui keadaan yang
sesungguhnya jika hanya dilihat dari luar saja. Demikian juga hubungan antara Ko Bun dengan
Bun-ki. Bagaimanapun juga kedua muda-mudi ini memang pasangan yang setimpal. Pergaulan
bebas sepanjang perjalanan, lama kelamaan tumbuh juga benih cinta dalam hati mereka,
terutama Bun-ki. Ia bukan saja berubah menjadi lembut dan pemalu, bahkan semua kepandaian
seorang perempuan melayani seorang lelaki telah dilakukannya pada Ko Bun, membuat
pemuda itu untuk pertama kalinya merasakan kehangatan dan kemesraan dari lawan jenisnya.
Sejak itu, di dalam hati Bun-ki yang suci bersih itu lantas tertera "cinta" atas diri Ko Bun.
Siapapun tahu cinta pertama seorang gadis biasanya paling murni dan indah, tentu juga tak
terlupakan selamanya.
Kematian Khong Hi yang mengerikan meski mendatangkan perasaan sedih Bun-ki, sebab
bagaimanapun mereka dibesarkan bersama, empat huruf besar yang tertera di atas dinding pun
mendatangkan perasaan ngeri baginya . . . sebab sedari kecil ia sudah sering mendengar kisah
yang berhubungan dengan keempat huruf tersebut.
Akan tetapi rasa sedih dan ngeri itu kini tidak mendapatkan tempat lagi dalam hatinya, sebab
seluruh hatinya sekarang telah dipenuhi oleh huruf "cinta".
Tentu saja Ko Bun juga dapat merasakan kekuatan yang timbul dari huruf "cinta" itu di dalam
hati si nona, dari tindak-tanduk serta cara bicara Bun-ki ia dapat merasakan semua itu.
Tapi seperti juga sebelumnya, ia selalu membawa senyuman yang misterius, membuat
siapapun sukar menembusi rahasia hatinya lewat wajahnya yang tampan dan gagah itu.
Dia adalah seorang yang penuh diliputi rahasia.
Hanya saja Bun-ki tak dapat merasakan hal itu. Sepanjang jalan ia seperti malaikat penjaga
yang selalu melindungi sastrawan "yang lemah tak bertenaga" ini. Bagaikan seorang ibu yang
mengurusi makan minum anaknya, seperti seorang istri yang mengucapkan kata-kata lembut
dan mesra kepada suami.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dari Hang-ciu menuju ke utara perjalanan dapat dilakukan melalui kanal. Penduduk di sekitar
kanal amat padat, terutama wilayah Kangsoh dan Ciatkang, boleh dibilang merupakan daerah
yang paling ramai di daratan Tionggoan.
Oleh karena itu sepanjang jalan ini sesungguhnya tak perlu terjadi sesuatu peristiwa
pembunuhan dan sebagainya. Tapi karena kemunculan Kim-kiam-hiap, hal ini membuat para
jago persilatana di wilayah tersebut menjadi lebih bergairah dan gembira.
Hal ini dikarenakan dunia persilatan sudah terlalu lama tak terjadi sesuatu perkara. Mereka
yang biasanya tiada hubungan dengan Leng-coa Mao Kau dan mereka yang menaruh dendam
terhadap si "ular sakti" ini sama berharap akan menyaksikan "keramaian" tersebut. Mereka ingin
tahu "Mao-toaya" yang sudah sekian tahun merajai kolong langit ini mampu bertindak apa untuk
menghadapi Kim-kiam-hiap setelah berulang kali menerima pukulan yang berat.
Sementara para begundal Leng-coa Mao Kau tak perlu diterangkan lagi, mereka lebih
tegang dan kuatir, karena mereka tak tahu kapan Kim-kiam-hiap akan mampir ke rumah mereka
dan memberi hadiah setimpal kepada mereka.
Mao Bun-ki sudah sering melakukan perjalanan melalui jalan raya ini. Semua jago persilatan
yang ada hubungan dengan Mao Kau di sepanjang jalan ini tentu saja kenal pada putri pentolan
Bu-lim ini. Hampir pada setiap tempat, asal Bun-ki muncul di tengah keramaian, pasti ada jago
kenamaan daerah setempat yang datang menyambanginya.
Bun-ki seperti rada muak terhadap mereka itu, tapi Ko Bun justru menunjukkan rasa
tertariknya. Bahkan dengan setiap jago persilatan yang berkunjung selalu dapat bercakapcakap


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan intim. Ia selalu menanyakan nama mereka, alamatnya dan sebagainya. . .
Sesungguhnya Bun-ki agak heran dengan tingkah laku Kongcu kaya ini. Ia tidak mengerti
mengapa pemuda ini bisa menaruh perhatian terhadap jago persilatan itu, tapi asal Ko Bun
senang, diapun ikut merasa senang pula.
Malam ini mereka mendapatkan hotel di kota Siok-ih, malam pada permulaan musim panas
selalu indah. Perlahan Bun-ki membuka jendela dan memandang bintang yang bertaburan di angkasa,
bisiknya, "Malam ini kita tak perlu keluar. Panggil saja beberapa macam hidangan, marilah kita
bersantap disini saja."
Ko Bun tertawa dan menghampirinya, membelai bahunya dengan lembut.
Belum lagi dia bicara, sambil tertawa Bun-ki berkata pula, "Kau ingin mengajak keluar,
bukan?" Sambil menekuk pinggang, dia melanjutkan, "Aku heran, mengapa kau suka bicara dengan
lelaki-lelaki busuk macam mereka itu, mengapa kita tidak makan berduaan saja disini?"
Ko Bun tetap tidak berkata ap2, tapi akhirnya mereka berdua keluar juga.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Walaupun keramaian malam di kota Siok-ih tidak terlalu meriah, tapi pasar malam di kota
penghubung ini cukup menarik.
Setelah keluar rumah penginapan, Ko Bun dan Bun-ki menyusuri jalan raya dari selatan lalu
belok ke kiri. Tiba-tiba sinar mata Ko Bun mencorong, ia melirik Bun-ki dan tertawa.
Gadis itu memandang kesana, seketika alisnya yang lentik berkernyit.
Sejauh mata memandang, hampir semua orang yang berada di jalanan itu mengenakan baju
berwarna kuning emas. Tak ada baju warna lain yang tampak disitu. Tentu saja ini bukan
secara kebetulan, tapi hanya ada satu alasan, yakni semua orang yang berada di jalanan ini
adalah anak buah "Leng-coa" Mao Kau.
Selagi mereka berdua saling pandang dengan heran, tiba-tiba dua orang lelaki berbaju emas
mengadang di depan mereka sambil membentak, "Malam ini jalanan disini akan dipinjam oleh
Thi-jiu-san-wan (monyet sakti bertangan baja) Ho-siya. Jika kalian ingin bersantap lebih baik
pergi ke tempat lain. Semua rumah makan yang berada di jalan ini tak ada yang kosong pada
malam ini."
Sekali lagi Bun-ki mengerutkan dahinya, sedangkan Ko Bun lantas tertawa, sambil menuding
ke arah Bun-ki katanya, "Kautahu siapakah nona ini?"
Belum habis ia berkata, tangannya sudah diseret Bun-ki dan diajak pergi. Sambil berjalan
gadis itu mengomel tiada hentinya, "Kenapa kau menyebutkan namaku" Tampaknya disini
terjadi sesuatu, aku enggan melibatkan diri."
Berputar biji mata Ko Bun, lalu tersenyum. Tiba-tiba dari depan sana muncul belasan orang.
Ko Bun bersuara heran. Belasan orang ini semuanya mengenakan baju compang-camping,
jelas mereka adalah orang Kai-pang.
"Mana ada pengemis yang berjalan secara bergerombol di jalanan?" demikian pemuda itu
berpikir. Tiba-tiba dilihatnya sinar mata seorang pengemis yang menatap mereka itu bersinar
tajam sekali. Hatinya kembali tergerak, sebab ini menunjukkan bahwa pengemis tersebut memiliki
lwekang tinggi.
Ternyata rombongan pengemis itu berjalan menuju ke jalan tadi. Sedang kedua lelaki
berbaju emas tadi bukan saja tidak mengalangi, malah menyingkir jauh-jauh.
Ko Bun tercengang, sedang Bun-ki juga lagi bergumam sambil memandang rombongan
pengemis itu, "Aneh, mengapa mereka bisa bentrok dengan pihak Kai-pang" Siapa yang
membuat gara-gara ini?"
Melihat itu Ko Bun tertawa, pikirnya, "Ah, jelas kaupun seorang yang suka pada keramaian."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah menunduk dan termenung sejenak, tiba-tiba Bun-ki menarik tangan Ko Bun dan
diajak putar haluan ke arah tadi. Sambil berjalan katanya, "Kau tentu akan senang sekarang.
Akan kuajak kau melihat keramaian."
Kecuali tersenyum, agaknya Ko Bun tak bisa bersikap lain.
Setiba di ujung jalan, kedua lelaki berbaju emas tadi lantas membungkukkan badan memberi
hormat. Ko Bun tercengang, pikirnya, "Masa mereka sudah kenali siapa gadis ini?"
Tentu saja Bun-ki juga mempunyai perasaan yang sama, siapa tahu dari belakang mereka
tiba-tiba ada seorang berdehem.
Ketika Ko Bun berpaling, dilihatnya seorang lelaki berbaju emas bersama tiga orang lainnya
telah berdiri di belakang mereka. Rupanya karena ramainya suasana, maka langkah keempat
orang ini tak diperhatikan oleh mereka.
"Ah, kiranya orang yang diberi hormat oleh mereka bukan kami berdua, "demikian Ko Bun
berpikir sambil tertawa geli.
Mata lelaki berbaju emas itu memandang ke atas dengan angkuhnya, ia sama sekali tidak
memandang ke arah Bun-ki berdua.
Rupanya Bun-ki juga mendongkol oleh sikapnya itu, sambil mendengus mendadak ia
mendorong bahu orang itu dengan keras.
Karena dorongan itu, kontan lelaki berbaju emas itu terhuyung-huyung mundur tiga langkah,
hampir saja ia tak mampu berdiri tegak.
Menyaksikan itu, ketiga orang rekannya membentak gusar. Salah seorang diantaranya,
seorang lelaki setengah umur berwajah merah, segera melompat maju. Tangan kirinya
bergerak ke muka Mao Bun-ki, sedang tangan kanan terus menghantam dada gadis itu.
"Budak cilik, kau cari mampus?" bentaknya dengan marah.
Air muka Bun-ki berubah. Apabila sasaran serangan tersebut adalah seorang lelaki, maka
hal ini bisa dimaklumi. Tapi dia adalah seorang gadis, bagian dada justru merupakan bagian
terlarang. Tak heran gadis itu semakin marah. Baru saja dia hendak memberi hajaran, tiba-tiba tubuh
lelaki tinggi besar yang menyerang itu ditarik orang ke belakang secara paksa.
Diam-diam Ko Bun tertawa geli menyaksikan kejadian itu.
Kiranya sesudah lelaki berbaju emas itu terdorong mundur oleh Bun-ki tadi, tentu saja ia
murka. Tapi setelah menatap wajah gadis itu, setelah melihat jelas wajah orang yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mendorongnya, buru-buru dia melompat maju dan menarik lelaki yang memukul itu ke
belakang. Ditarik sekeras itu, lelaki itu menjerit kesakitan. Kiranya lelaki berbaju emas itu bukan lain
adalah Thi-jiu-sian-san (monyet sakti berlengan baja) Ho Lim yang termashur namanya di
sekitar wilayah Kang Soh dan Ciatkang.
Karena kuatir tanpa disadari ia menarik bahu anak buahnya dengan Eng-jiau-kang
andalannya. Tak heran lelaki tersebut tak tahan.
Ho Lim sama sekali tidak peduli anak buahnya itu. Buru-buru dia menghampiri Bun-ki dan
menjura, katanya sambil tertawa, "Rupanya Mao-toakohnio yang datang. Maaf jika paman tidak
melihat dirimu, harap jangan kau marah."
Bun-ki mencibir, "Huh, kukira Ho-sisiok tidak kenal lagi padaku."
Dengan pandangan hina dia melirik sekejap lelaki tadi, ejeknya, "Agaknya orang gagah ini
perlu belajar kenal dulu padaku."
Dari tanya-jawab barusan, agaknya lelaki berwajah merah itu sudah tahu nona yang dimaki
"budak" itu adalah putri Mao-toa yang terhormat. Kontan mukanya berubah merah, sekalipun
mendengar "tantangan" Bun-ki tersebut juga belagak seolah-olah tidak mendengar.
Biarpun ia punya nama yang cukup lumayan dalam dunia persilatan, tapi mana berani
beradu kekuatan dengan putri Mao-toaya atau tuan besar Mao.
"Tadi berlagak sok, sekarang ketakutan . . ." geli sekali Ko Bun menyaksikan kejadian itu tapi
seperti juga sebelum ini, dia tetap tersenyum penuh arti.
"Kedatangan nona sungguh kebetulan sekali, sungguh kebetulan sekali . . . ." suara tertawa
Thi-jiu-sian-wan mengingatkan orang pada monyet, namun sinar matanya yang tajam dan
pelipisnya yang menonjol tinggi . . . . ciri khas seorang jago yang bertenaga dalam sempurna,
membuat orang tak berani memandang enteng padanya meski geli terhadap kejelekan
wajahnya. "Kalian sudah datang dari jauh, paman harus baik-baik menjamu kalian. Hari ini, kebetulan . .
." Belum habis dia berkata, Bun-ki menukas, "Ho-sisiok tentu saja harus menjamu kami, Cuma
kukuatir sebelum perjamuan selesai sudah kena digebuk oleh Ta-kau-pang (pentung
penggebuk anjing)."
Setelah tertawa cekikikan, sengaja ia tarik tangan Ko Bun dan diajak pergi, katanya, "Lebih
baik kami pergi saja!"
"Nona jangan bergurau, hari ini kami betul-betul ada urusan penting. Sebetulnya aku sudah
mengutus orang ke Hang-ciu untuk memberi kabar kepada ayahmu, tapi sampai sekarang
belum juga ada kabar beritanya. Aku sedang gelisah setengah mati, sungguh kebetulan non
datang kemari."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sambil berkata dan tertawa, Thi-jiu-sian-wan segera memberi tanda mempersilakan Bun-ki
berjalan di depan.
Dengan serius Bun-ki lantas berkata, "Paman Ho, kenapa kau mencari perkara pada Kaipang"
Bukankah ayah sudah bilang, kita jangan mencari gara-gara pada makhluk-makhluk
menjemukan itu" Bicara terus terang, tiada lubang yang tidak disusupi mereka. Berurusan
dengan mereka sungguh menjemukan sekali."
Thi-jiu-sian-wan menghela napas panjang, katanya, "Kalau dibicarakan, sungguh panjang
sekali ceritanya. Masa aku tak tahu orang-orang Kai-pang itu menjemukan?"
Mereka lantas masuk ke jalan itu, diantara sekian orang hanya Ko Bun saja yang kelihatan
paling tenteram, santai langkahnya seperti sedang berjalan-jalan keliling kota saja.
Setelah mengawasi sekeliling tempat itu, dia baru tahu 'masalah besar' yang dikatakan Thijiu-
sian-wan tadi sesungguhnya bukan omong kosong belaka. Cukup melihat situasi jalanan
tersebut dapatlah diketahui bahwa kata 'masalah besar' saja masih belum cukup melukiskan
keadaan yang sebenarnya.
Kiranya jalan yang puluhan tombak panjangnya itu terdapat banyak sekali rumah makan
yang berdiri di kedua sisi jalan, tampaknya tempat ini merupakan pusatnya rumah makan di
kota ini. Ketiga-empat puluh buah rumah makan sekarang berada dalam keadaan penuh dengan
tamu, baik duduk di atas loteng, di bawah loteng, dalam ruangan maupun di luar ruangan.
Menurut penilaian Ko Bun, ia menduga orang-orang yang hadir dan memenuhi puluhan
rumah makan ini pasti anak buah Leng-coa atau paling tidak adalah jago yang mereka undang.
Anehnya, tiga-empat puluh rumah makan yang penuh dengan jago-jago persilatan ini
seharusnya gaduh suasananya, tapi ternyata keadaannya hening. Sekalipun terdengar suara
pembicaraan juga dilakukan dengan bisik-bisik.
Dengan senyum dikulum Ko Bun memandang sekeliling tempat itu. Dari sinar matanya dapat
diketahui dalam hati anak muda misterius ini telah timbul pelbagai rencana.
Hampir setiap tiga langkah berdiri seorang lelaki berbaju emas. Melihat kehadiran
rombongan mereka, orang-orang itu sama memberi hormat.
Thi-jin-sian-wan berjalan di sisi Bun-ki dan langsung menuju ke arah sebuah rumah makan
yang paling besar. Tentu saja Bun-ki juga dapat merasakan anehnya suasana, bahkan jauh
Kisah Sepasang Rajawali 29 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 10
^