Pencarian

Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9

Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Bagian 9


TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
. . ." "Ah, Toheng terlalu memuji," ujar Cu Pek-ih dengan tertawa. "Lalu bagaimana pula dengan
Hoa-san-kiam-hoat kalian?"
Hoa-san-gin-ho memutar pedangnya sehingga menimbulkan deru angin yang keras, sumbu lilin
diruangan sama bergoyang, sebentar mengkeret dan lain saat memanjang.
Lalu ia berkata dengan menggeleng, "Tentang Hoa-san-kiam-hoat. . . Haha, susah, pahit, sepat,
tidak sedap, cuma. . . .ya, lumayanlah!"
Ditengah gelak tertawanya pedang berputar terlebih kencang, angin tajam menyambar dan api
lilin seluruh ruangan mendadak padam.
Dengan alis berkerut Mao Kau membentak, "Nyalakan lampu!"
Dalam kegelapan terdengar orang berlari, tentu anak buahnya berusaha mengambil lampu.
Sejenak kemudian, lampu telah menyala lagi.
Pada saat cahaya lampu terpancar itulah, serentak terdengar beberapa orang menjerit kaget.
Kiranya sejak tadi Jin-beng-to-hou yang selalu berkerudung itu diam saja, kedatangan Cu Pekih
dan lain-lain sama sekali diremehkannya. Tapi pada saat lampu menyala kembali, tahu-tahu
seorang lelaki tinggi besar bercaping dan berbaju ijuk sudah berdiri didepannya serta menarik
kain kerudungnya, selagi Jin-beng-to-hou merasa gusar, orang yang menarik kain kerudungnya
sudah menjerit kaget lebih dulu.
Waktu semua orang memandang kesana, tertampak orang berbaju ijuk yang menjerit kaget itu
lantas membuka caping dan menanggalkan baju ijuknya sehingga kelihatan rambutnya yang
kusut dan bajunya yang hitam.
Nyata dia inilah si Thauto berambut kusut. Matanya yang tinggal satu itu tampak gemerdep,
codet pada mukanya juga berubah merah membara, serupa benar dengan bekas luka pada
muka Jin-beng-to-hou.
Serentak Jin-beng berbangkit dengan tubuh agak gemetar, mantelnya juga lantas tersingkap
sehingga kelihatan jenggotnya yang putih serta lengan baju kirinya yang kosong tanpa tangan.
Kedua orang berdiri berhadapan, si Thauto dan Jin-beng-to-hou bukan saja perawakan sama
tingginya, bekas luka dimuka dan sikap keduanya juga serupa, bedanya cuma bekas luka Jinbeng-
to-hou itu tepat menyerempet lewat mata kirinya sehingga mata itu tidak sampai buta.
Persamaan kedua orang ini membuat semua orang terkesiap pula, keadaan menjadi hening,
semuanya merasa heran.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Si Thauto tampak gemetar dan berucap, "Ahh. . . .engkau. . . ."
Mendadak ia berlutut dan menyembah sambil berteriak, "O, ayah! Mengapa engkau tidak sudi
bertemu denganku, mengapa. . . ."
Thauto berbaju hitam yang kelihatan gagah perkasa ini sekarang menyembah sambil menangis
ter-gerung seperti anak kecil.
Jin-beng-to-hou memandang si Thauto tanpa bersuara, hanya jenggotnya yang putih itu
kelihatan juga rada bergetar. Sorot matanya tampak buram, sejenak kemudian dua titik air mata
menetes membasahi pipinya.
Dengan alis berkerut Mao Kau juga tidak bicara, sekarang dapat dipahaminya ocehan Hoa-sangin-
ho dan Cu Pek-ih tadi kiranya cuma untuk memencarkan perhatian orang banyak saja. Lalu
mereka memutar pedang dengan kencang untuk memadamkan lampu, pada saat panik itulah si
Thauto lantas mendekati Jin-beng-to-hou untuk menyingkap kain kerudungnya supaya antara
dan anak dapat bertemu.
Ia cukup tahu seluk beluk kedua ayah beranak ini, sebab itulah dia tidak terharu oleh adegan si
Thauto yang menyembah dan menangis itu, sebaliknya ia merasa kesal.
Tangisan si Thauto tidak mereda, ia masih terus berteriak, "O, ayah, mengapa engkau tidak
sudi menemuiku. . . . ."
Mendadak Jin-beng-to-hou membentak, "Siapa ayahmu!" Sambil mengentak kaki segera ia
hendak tingga pergi.
Serentak Cu Pek-ih dan Gin-ho Tojin melompat maju dan menghadang didepan orang.
"Ai, Locianpwe, masakah engkau sedemikian tega terhadap anak sendiri?" kata Cu Pek-ih.
"Banyak urusan!" bentak Jin-beng-to-hou sambil mendorong kedepan dengan kedua
tangannya. Cepat Cu Pek-ih berdua mengelak, tapi pada saat itu juga si Thauto pun sudah menubruk maju
dan merangkul erat kedua kaki Jin-beng-to-hou sambil berseru dan menangis, "Ayah, jika mau
bunuh, boleh kau bunuh diriku saja!"
Sorot mata Jin-beng-to-hou tampak beringas, namun tubuh tidak dapat bergerak lagi,
jengeknya, "Hm, memangnya kenapa jika kubunuh dirimu?"
Mendadak ia menengadah dan tertawa latah, tertawa yang penuh rasa duka dan penasaran,
teriaknya, "Haha, hari ini tidak ada lagi orang she Siu yang akan ikut campur urusanku!"
Habis berkata telapak tangannya sebagai golok terus membacok keatas kepala si Thauto.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Semua orang menjerit kuatir, tapi telapak tangan yang kurus itu segera berhenti ketika
menyentuh rambut si Thauto yang kusut dan tidak diteruskan.
Mao Kau menghela napas panjang, ucapnya, "Ong-heng, kejadian sudah lama lampau, untuk
apa pula engkau mengingatnya lagi?"
Jin-beng-to-hou bergelak tertawa pula, teriaknya, "Melupakannya". . . .Haha, melupakannya". .
." Ia tertawa seperti orang menangis sehingga menimbulkan rasa heran bagi pendengarnya,
dengan suara parau ia menyambung lagi, "Lantaran anak durhaka ini, aku telah mengorbankan
segala hasil usahaku dan sebelah lenganku, selama dua puluh tahun aku hidup sengsara
ditengah gurun yang gersang, dan sekarang ada orang menyuruhku melupakannya". . . ."
Sekejap itu kejadian dua puluh tahun yang lampau se-akan2 terbayang kembali, masih teringat
jelas olehnya seraut wajah dengan pandangannya yang menghina sesamanya serta nada yang
dingin itu berkata kepadanya;
"Manusia ini ciptaan Tuhan, sekalipun engkau ayahnya juga tidak berhak mencabut nyawanya,
telah kau buntungi sebelah lengannya, akupun akan membuntungi sebelah lenganmu, kau
bacok mukanya, akupun akan membacok sekali pada mukamu, inilah pelajaran bagimu bahwa
setiap tindak-tanduk orang didunia ini tidak boleh didasarkan atas kehendak pribadi seorang
dan boleh sembarang membikin cacat atau mencabut jiwa orang lain."
Dirasakan dingin pada lengan kiri sendiri, betapa mata golok orang telah menguntungi
lengannya itu, kejadian yang tak mungkin dilupakannya selama hidup.
Teringat olehnya selagi dirinya tersiksa dan menggeletak ditanah karena terluka parah itu,
putranya justru ikut minggat bersama orang she Siu itu. Dengan merintih ia telah bersumpah
pasti akan menuntut balas kejadian itu.
Menuntut balas dan menuntut balas. . . . .
Mendadak ia membentak, "Jika kau mau mengakui diriku sebagai ayahmu, kecuali kaupun
memperlakukan putra orang she Siu itu dengan cara yang sama, bacok mukanya dan buntungi
sebelah tangannya, habis itu baru boleh kau temui aku lagi."
Mendadak ia dorong tubuh si Thauto, dikenakannya mantelnya yang longgar, secepat terbang
ia terus melayang keluar.
"Ayah!" teriak si Thauto, langsung ia mengejar keluar, hanya sekejap saja bayangan mereka
sudah ditelan kegelapan.
Hoa-san-gin-ho menghela napas menyesal. ucapnya pelahan, "Ai, sungguh tak tersangka SinTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com
jiang Ong Lu-peng yang sudah tua masih tetap membawa perangai sekeras ini, padahal. . .
.orang yang hadir disini masakah cuma mereka saja yang ingin menuntut balas kepada
keturunan orang she Siu?"
========================================================================
========================
= Apalagi yang akan dihadapi Ko Bun yang kini harus menghadapi kemunculan musuh
sebanyak ini"
= Adakah jalan keluar untuk menghapus semua sengketa yang menyangkut balas membalas
ini" === Bacalah jilid lanjutannya ===
========================================================================
========================
Bersambung 14 Jilid 14 Air muka Mao Kau kelihatan dingin dan mengangguk pelahan. Sedangkan Thia Ki dan Poa
Kiam saling pandang sekejap. Cu Cu-bing yang berjuluk Sian-tian-sin-to (si golok kilat) juga
menampilkan senyuman misterius.
. == oo OOO oo ==
Saat itu Mao Bun-ki sedang melarikan kudanya dengan cepat, tapi jaraknya dengan Ko Bun
justru semakin jauh. Nyata lari kuda ternyata tidak dapat menyusul kecepatan lari orang.
Ko Bun mendengar derap kaki kuda semakin jauh tertinggal dibelakang, mendadak ia
berputar, membelok kedalam hutan lebat disebelah kiri sana.
Setelah menyusuri hutan itu ditengah remang malam kelihatan sebuah perkampungan yang
dibangun dengan sangat megah, dengan cepat ia melayang masuk ke perkampungan itu.
Ia heran suasana sunyi senyap, padahal biasanya kedatangannya segera disambut meriah.
Langsung ia menuju keruangan tengah, disitupun tidak ada orang. Hanya diatas meja secarik
kertas yang tertindih dibawah lampu.
Waktu Ko Bun mengambil dan membacanya, isinya cuma beberapa huruf saja dan berbunyi:
'Kongcu, atas perintah Toako kami, tak dapat lagi kami meladeni Kongcu.' Yang bertanda
tangan dibawahnya adalah Thio Jit, Ong Peng dan Thio It-tang.
Kening Ko Bun bekernyit, tiba-tiba terdengar suara langkah orang pelahan bergema dari
ruangan belakang, jelas sedang menuju kesini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Di tengah malam sunyi, suara langkah orang ini kedengaran sangat seram.
"Siapa?" bentak Ko Bun dengan suara tertahan.
Tabir tersingkap, sesosok tubuh kaku dengan wajah bercodet melangkah masuk dengan
membawa sebatang lilin putih.
Dia ternyata juga Hoan-hun atau si mayat hidup.
Cahaya lilin menyinari wajahnya yang pucat, ia tersenyum terhadap Ko Bun, sukar diraba apa
arti senyumannya ini.
Ko Bun terkesiap, serunya, "Engkau sudah kembali" Dan orang tadi?"
Hoan-hun atau mayat hidup kelihatan bingung, pelahan ia menggeleng.
"Hah, apakah sejak tadi engkau tidak pernah pergi dari sini?" seru Ko Bun pula.
Pelahan Hoan-hun mengangguk, sorot matanya memandang jauh kegelapan malam, ucapnya
pelahan, "Mereka sudah pergi semua, tertinggal aku saja disini."
Suaranya serak, nadanya kaku, tidak membawa emosi apa pun, kedengaran seperti suara dari
kuburan. Ko Bun menyurut mundur dan menjatuhkan diri diatas kursi, gumamnya, "Jika engkau tidak
keluar, lantas siapakah orang tadi?"
Ia coba mengamat-amati wajah "mayat hidup" ini, setiap orang yang melihat tampangnya ini
pasti akan menyesal.
Inilah sebuah wajah yang tidak menyerupai manusia, kulit daging pada mukanya sudah kaku,
ditambah lagi codet yang jelek dan sorot mata yang kaku, juga gerakan yang kaku pula. . . .
Diam-diam Ko Bun membatin, "Adalah mudah bagi orang yang mau menyamar seperti
bentuknya ini, asalkan perawakannya mirip dia. . . . Tapi siapa pula orang yang menyamar
seperti dia tadi?"
Selagi dia memikirkan hal yang sukar dimengerti ini, tiba-tiba diluar ada orang berseru, "He, dia.
. . dia juga berada disini!"
Ko Bun terkejut dan menoleh, terlihat Mao Bun-ki melangkah masuk dengan pandangan
keheranan terhadap Hoan-hun, mendadak ia berpaling dan berkata kepada Ko Bun, "Se. .
.sesungguhnya siapa kau?"
"Masa engkau tidak kenal lagi padaku?" sahut Ko Bun dengan tersenyum.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Kukenal dirimu, tapi engkau menyamar, aku. . . aku. . . ." mendadak matanya basah, tubuh
rada gemetar, ucapnya pula dengan tersendat, "Dengan sepenuh hati kupasrahkan seg. . .
segalanya kepadamu, tapi. . . .tapi belum lagi kuketahui sesungguhnya siapa dirimu."
Ia menunduk dan akhirnya air mata tak tertahan lagi.
Hati Ko Bun merasa terharu, tapi tetap tersenyum dan menjawab, "Aku ialah aku, jangan
engkau berpikir terlalu banyak."
Dengan tersendat Bun-ki berkata, "Tak perlu engkau berdusta lagi padaku, setiap orang
memang dapat menutupi perasaan sendiri, tapi kecuali orang mati, siapa pula didunia ini yang
mampu mengatasi sorot mata sendiri dan membuat kulit daging muka sendiri berubah menjadi
kaku seperti batu untuk menyembunyikan segala perasaannya?"
Hati Ko Bun tergetar, hanya muka orang mati saja yang dapat berubah kaku seperti batu,
ucapan ini menyadarkan dia, mendadak ia berbangkit dan membentak, "Betul, bila orang itu
memakai kedok, kulit daging mukanya juga akan berubah kaku serupa orang mati."
Sambiul bicara, sorot matanya lantas beralih kearah Hoan-hun.
"Apa katamu?" tangan Bun-ki.
Belum lenyap suaranya, "tring", tatakan lilin jatuh kelantai, keadaan menjadi gelap.
"Lari kemana?" bentak Ko Bun.
Dalam kegelapan seorang lantas menjengek, "Hm, orang she Siu, jadinya engkau tetap terjebak
olehku." Tergetar hati Ko Bun, cepat ia menggeser kepojok dinding.
Mao Bun-ki lantas berseru, "Hah, jadi. . . jadi engkau memang benar keturunan Siu Tok?"
Dalam kegelapan kembali orang mendengus lagi, "Betul, dia memang putra Siu Tok, masakah
sekarang engkau masih belum mau mengerti?"
Suaranya nyaring tajam dan tidak serupa suara lelaki lagi.
"Su. . . Suci, engkau datang"!" seru Bun-ki dengan suara gemetar.
Ko Bun juga berseru kaget, "Buyung Siok-sing!"
Dalam kegelapan malam, samar-samar kelihatan bayangan seorang muncul didepan jendela
dan menjengek, "Betul, aku ini Buyung Siok-sing. Nah, jaga pintunya, Sumoai, jangan sampai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dia kabur!"
Ia berhenti sejenak, lalu berucap pula, "Bocah she Siu, kau kira dirimu maha pintar dan dapat
mengelabui setiap orang, sesungguhnya engkau adalah seorang tolol. Jika kau mau menuntut
balas, seharusnya kau lakukan secara terang-terangan, mengapa sengaja kau tipu Sumoaiku"
Manusia yang paling kejam didunia ini adalah orang yang suka menipu hati anak perempuan,
Sumoaiku masih suci bersih dan engkau sampai hati mempermainkan dia!"
"Suci, jangan. . . jangan kau katakan lagi. . . ." jerit Bun-ki dengan pedih, air mata pun
bercucuran. "Jangan bergerak, diam saja disitu," kata Buyung Siok-sing. Lalu sambungnya, "Orang she Siu,
sudah lama kutahu engkau tidak bermaksud baik, cuma sayang belum kudapatkan akal untuk
membongkar kedokmu. Kulihat Sumoai semakin merana dan tidak boleh kutinggal diam, Kupikir
untuk menuntut balas terhadap keluarga Mao, tentu dengan segala daya upaya engkau akan
mencari kelemahannya, terutama segala sesuatu yang tidak menguntungkan Jit-kiam-sam-pian
pasti akan kau cari, betul tidak?"
Ia tertawa dingin, lalu melanjutkan, "Belasan tahun yang lalu, pada waktu aku masih kecil, pada
suatu malam tiba-tiba datang kerumahku seorang lelaki berlumuran darah, dia itulah si golok
kilat Cu Bing, sebelum ajalnya dia menceritakan apa yang terjadi, aku dan ibu telah
menguburnya. Kemudian aku pun menjadi murid guruku yang berbudi itu. Selama belasan
tahun ini telah kulupakan kejadian masa lampau, baru setelah bertemu denganmu, kupikir bila
benar kau musuh keluarga Mao, tentu engkau akan senang mendapat tahu kejadian dahulu itu,
maka aku lantas menyamar dan sengaja ditemukan olehmu. Semula engkau tidak percaya, tapi
setelah kau selidiki dan diketahui belasan tahun yang lalu memang pernah terjadi peristiwa
berdarah itu, maka akhirnya orang pintar semacam dirimu pun tertipu olehku."
Ia tertawa ejek, lalu menyambung lagi, "Sungguh lucu, engkau malah memberi nama padaku
sebagai Hoan-hun, masa tidak kau pikirkan didunia ini masakah ada mayat hidup segala" Saat
ini Cu Cu-bing berada dalam kuburnya, mungkin tulang belulangnya juga sudah ancur, tapi
tampaknya kau sangat gembira. Sudah beberapa kali ingin kubinasakan dirimu, jika bukan
lantaran Sumoai, tentu sudah lama jiwamu amblas."
Bun-ki masih menangis, dahi Ko Bun alias Siu Su juga berkeringat dingin.
Terdengar Buyung Siok-sing berkata pula, "Jika Sumoai tidak mengingatkan kulit muka orang
mati segala, tentu sampai saat ini engkau masih terkelabui. Nah, orang pintar, maksud uraianku
ini adalah untuk menyadarkan dirimu bahwa segala di dnia ini tidak ada kepintaran yan mutlak
dapat membodohi orang lain."
Siu Su termenung sejenak, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, "Haha, memang
betul, didunia ini mana ada mayat hidup segala" Semula aku cuma berpikir wajah Hoan-hun
yang kaku itu kan dapat ditiru oleh setiap orang, tidak kupikirkan hal lain dibalik samarannya ini.
Sekarang aku cuma ingin tanya sesuatu padamu, mengapa di Leng-un-si tadi engkau mau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bersusah payah membawa pergi mayat Thia Hong."
Buyung Siok-sing tampak melengak, "Siapa yang pernah ke Leng-un-si tadi?"
Kembali Siu Su terkesiap, pikirnya, "Jika bukan dia, lantas siapa pula yang menyamar sebagai
Hoan-hun tadi?"
Terdengar Buyung Siok-sing berkata pula, "Nah, Sumoai, pembicaraannya kukira sudah
selesai, kenapa engkau tidak lekas turun tangan."
Bun-ki masih menunduk dan menangis, seperti tidak mendengar ucapannya.
Dengan suara keras Buyung Siok-sing membentak, "Apakah tidak kau dengar ucapanku,
Sumoai" Inilah orang yang mencuri hatimu, dia yang menipumu, dia musuhmu yang hendak
membunuh ayahmu!"
Mendadak Bun-ki mengangkat kepala dan bertanya dengan suara gemetar, "Apakah. . . apakah
engkau memang sengaja mendustaiku" Jadi sama. . . . sama sekali engkau tidak sungguh2
baik padaku". . "
Kerongkongannya serasa tersumbat, dia tidak dapat meneruskan lagi. Gadis yang sedang
mabuk kepayang ini benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Mendadak Siu Su menghela napas panjang, ucapnya pelahan, "Ya, aku memang bohong
padamu." Dia bicara sangat pelahan, setiap katanya serupa pukulan godam yang meremuk rendamkan
hati Bun-ki. Si nona menjerit dan memburu kedepan Siu Su.
Kedua kepalan Siu Su tergenggam erat dan berdiri kaku, sorot matanya yang terang


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergemerdep dalam kegelapan serupa kerlip bintang kejora dilangit yang pekat.
Begitu kebentrok dengan sinar mata anak muda ini, mendadak Bun-ki menjerit lagi, ia
mendekap mukanya dan membalik tubuh terus berlari pergi.
"Sumoai, Sumoai!" teriak Buyung Siok-sing.
Namun Mao Bun-i sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Mendadak Buyung Siok-sing berpaling menghadapi Siu Su, ucapnya dengan gemas, "Coba kau
lihat, itulah nona yang telah kau tipu, telah kau lukai hatinya, sebaliknya sampai saat ini dia tidak
sampai hati mencelakaimu."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Siu Su berdiri kaku, sorot matanya tampak guram juga.
"Sedemikian tulus ikhlasnya terhadapmu, jika engkau mempunyai perasaan, tidak layak kau
bikin susah dia lagi, jika ada hati nuranimu selanjutnya jangan kau temui dia, meski ayahnya. . .
. ." "Sakit hati ayah setinggi langit!" tukas Siu Su mendadak, singkat tapi tegas.
"Jadi engkau tetap ingin menuntut balas, tetap akan kau tipu dia lagi?" bentak Buyung Sioksing.
"Ya, tanpa kompromi!" jawab Siu Su dengan membusungkan dada.
Belum lenyap suaranya, serentak Buyung Siok-sing menubruk maju terus menghantam
dadanya. Namun Siu Su sempat mengengos. Tapi serangan Buyung Siok-sing segera berubah, sekarang
kedua telapak tangannya menyerang sekaligus, tangan kiri memotong pinggang dan kepalan
kanan menghantam lambung, hendak didesaknya supaya Siu Su terpepet ke ujung dinding.
Siapa tahu tubuh Siu Su mendadak meluncur keatas, dalam keadaan demikian bila kedua
kakinya bergerak tentu dapat menendang muka lawan dan terpaksa Buyung Siok-sing harus
melompat mundur.
Tapi Siu Su sama sekali tidak bermaksud melancarkan serangan balasan, begitu meluncur
keatas dia terus melayang kesamping.
Buyung Siok-sing membentak, tangannya membalik untuk menghantam punggung lawan.
Tanpa menoleh Siu Su melompat lebih jauh kesana, jengeknya, "Buyung Siok-sing, aku sudah
mengalah tiga jurus!"
"Siapa minta kau mengalah"!" demikian jengek Buyung Siok-sing, kedua tangannya bergerak
lagi, sekaligus ia menyerang pula tujuh kali.
Serangannya ganas tanpa kenal ampun, semuanya mengincar tempat maut ditubuh Siu Su, bila
kena cukup membuatnya binasa.
Dengan kepandaian "mendengarkan suara membedakan arah", Siu Su tidak berpaling, namun
setiap serangan Buyung Siok-sing dapat dihindarnya dengan tepat.
"Hm, biarpun engkau tidak balas menyerang tetap akan kubinasakan dirimu," jengek Buyung
Siok-sing. Belum habis ucapannya, se-konyong2 sebelah tangan Siu Su menyampuk kebelakang, karena
tidak ter-sangka2, pergelangan tangan kanan Buyung Siok-sing terserempet sehingga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kesemutan dan sukar terangkat lagi tangannya.
Hendaknya maklum, kungfu Buyung Siok-sing sangat tinggi, jika serangan Siu Su tidak
dilancarkan pada saat yang tepat, betapapun sukar mengenai lawan. Inilah intisari ilmu silat
"menyerang pada saat tak terduga oleh lawan".
Selagi Buyung Siok-sing melengak, terdengar Siu Su menjengek, "Buyung Siok-sing hari ini
kuampuni jiwamu, camkanlah dengan baik!"
Ketika kata terakhir diucapkan, suaranya sudah berada berpuluh tombak jauhnya.
Sampai sekian lama Buyung Siok-sing berdiri terkesima, akhirnya ia menyurut mundur dan
jatuhkan diri diatas kursi sambil bergumam, "Sumoai. . . .O, Sumoai, ayahmu mempunyai
musuh selihai ini, ai. . . ."
Dia merasa hati tertekan dan tubuh lemas, bicara saja enggan.
Dalam pada itu secepat terbang Siu Su telah melayang pergi, setelah melintasi pagar tembok,
tiba-tiba terdengar kesiur angin dibelakang.
Dengan gusar ia membentak, "Buyung Siok-sing, masih berani kau susul kemari"!"
Selagi ia hendak menghantam kebelakang, mendadak seorang menegurnya, "Aku adanya,
Kongcu!" Siu Su tahan pukulannya yang sudah hampir dilontarkan, berbareng ia terus turun kebawah dan
berpaling, terlihat seorang melompat turun dari pagar tembok, kiranya Kiu-ciok-sin-tu Liang
Siang-jin, si laba-laba kaki sembilan.
Meski kungfu Liang Siang-jin tidak terlalu tinggi, tapi ginkangnya tergolong kelas top, dengan
enteng ia hinggap didepan Siu Su.
Dengan girang Siu Su memegang pundak orang dan bertanya, "He, Liang-toako, cara
bagaimana engkau kemari?"
"Aku tidak pernah pergi dari sini dan selalu menunggu kedatangan Kongcu." jawab Liang Siangjin.
"Soalnya. . . . ."
Mengapa Thio Jit dan lain-lain sama pergi tanpa pamit?" potong Siu Su.
"Memang hendak kukatakan kepada Kongcu bahwa selanjutnya terpaksa tak dapat kubekerja
lagi bagimu," tutur Siang-jin dengan menyesal, "Maka Thio Jit dan saudara yang lain juga. . .Ai. .
." Ia menghela napas dan tidak melanjutkan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Siu Su tertegun, ia lepaskan pundak orang, tanyanya pula dengan pelahan, "Memangnya ada. .
. ada persoalan apa?"
"Soalnya seorang musuh Kongcu telah menunjukkan sesuatu benda tanda pengenal dari
seorang penolongku masa lampau, dengan tanda pengenal penolongku itu dia minta kubantu
menyelidiki jejak Kongcu. . . . ."
Tergetar hati Siu Su oleh penuturan Liang Siang-jin ini.
"Tapi Kongcu pun tidak perlu kuatir, sambung Liang Siang-jin. "Setelah berkumpul sekian hari
dengan Kongcu, sudah kukenal pribadimu, mana bisa kubocorkan rahasiamu kepenolongku itu,
setelah kupertimbangkan, terpaksa. . . ."
"Terpaksa tidak membantu pihak manapun, begitu?" tukas Siu Su dengan tersenyum.
Liang Siang-jin menunduk, katanya, "Ya, kuyakin Kongcu pasti dapat memaklumi kedudukanku
yang serba sulit ini."
Siu Su berpikir sejenak, katanya kemudian, "Liang-heng sungguh seorang kawan sejati,
betapapun engkau tidak mau mengkhianati diriku, dengan keterus-teranganmu ini, sungguh aku
sangat berterima kasih padamu, mana dapat kusalahkan dirimu?"
Semakin lugas cara bicara Siu Su, semakin membuat hati Liang Siang-jin tidak enak.
Siu Su tertawa dan berkata pula, "Padahal mulai sekarang jejakku juga tidak perlu dirahasiakan
lagi, maka Liang-heng juga tidak perlu serba salah lagi terhadap sahabatmu itu, silakan kau
katakan kepadanya mengenai jejakku sekarang."
Liang Siang-jin tampak kikuk, katanya kemudian, "Musuh Kongcu itu datang dari Kun-lun-san,
bahkan terhitung Sute pejabat ketua Kun-lun-pai sekarang. Kungfunya yang tinggi tergolong
kelas top didunia persilatan."
"Anak murid Kun-lun-pai?" Siu Su menegas dengan kening bekernyit.
"Sebelum menjadi murid Kun-lun-pai, orang ini sudah terhitung jagoan didunia persilatan, dia
bernama Tio Kok-beng dan berjuluk Bu-ih-cian (panah tanpa sayap), belasan tahun yang lalu
bermusuhan dengan ayah Kongcu. . . . ."
"Musuh mendiang ayah sama juga musuhku." tukas Siu Su tegas.
Setelah termenung lagi sejenak, kemudian Liang Siang-jin berkata, "Setelah jejak Kongcu
terbuka, tentu musuh akan muncul disetiap tempat, untuk ini hendaknya Kongcu selalu
waspada. Ai, sungguh menyesal tidak. . . tidak kubantu lagi, semoga Kongcu selalu diberkati
dengan selamat. . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ia termenung seperti ingin bicara apa-apa lagi, tapi akhirnya dia memberi hormat dan mohon
diri. Tanpa bicara Siu Su menyaksikan kepergian orang, mendadak dirasakan semuanya serba
sunyi. Jagat raya ini seolah-lah tersisa dia sendiri saja, dedaunan berbunyi gemersik tertiup
angin serupa musuh yang sedang mengintai disekelilingnya.
. == oo OOO oo ==
Sang surya telah terbit. Angin meniup semilir.
Air danau Barat (Se-oh) yang tenang itu mulai bergelombang pelahan dan memantulkan cahaya
yang menyilaukan mata.
Meski masih pagi namun permukaan danau sudah mulai ramai, semua perahu pesiar telah
berkumpul ditepi danau menanti penumpang.
Perahu pesiar itu tertambat berderet-deret memenuhi tepi danau. Angin pagi sayup-sayup
membawa bau sedap arak dan santapan yang merangsang selera.
Terdengar suara senda gurau orang mulai ramai, dibawah pepohonan Liu ditepi danau yang
rindang penuh berjubel orang, hanya dalam waktu singkat, di-mana2 orang berkerumun. . . . .
Hari ini adalah sidang pleno kaum kesatria yang diselenggarakan oleh jago utama dan orang
kaya nomor satu di Hangciu, yaitu Leng-coa Mao Kau. Semua kesatria yang diundang telah
berkumpul di Se-oh.
Deretan perahu pesiar itu digandeng dengan ikatan tali atau rantai sehingga ratusan perahu
terpajang serupa sebuah istana terapung.
Para nona penghibur diatas perahu sama memandangi para tamu yang naik keatas perahu
dengan pandangan gembira dan juga heran.
Banyak penumpang itu melangkah kedalam perahu dengan pelahan, ada yang main lompat
begitu saja. Mereka bersenda gurau dan makan minum, cara mereka minum arak serupa orang
biasa minum teh saja.
Meski pakaian mereka rata-rata sangat perlente dan terhormat, tapi sukar menutupi gerak-gerik
mereka yang tangkas dan kasar, sorot matanya yang tajam, dadanya yang bidang. . . .
Diam-diam para nona penghibur mengagumi lelaki yang kekar dan kuat ini. Biasanya yang
mereka layani adalah kaum Susing atau orang terpelajar yang lemah lembut atau saudagar
yang gemuk dengan perutnya yang buncit, atau para mengiring yang kotor tutur katanya. Sering
juga kaum pelancong yang awam, kakek dan nenek yang jalannya ter-tatih2 atau kaum wanita
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dengan anak kecil dan sebagainya.
Tapi hari ini apa yang mereka lihat serba baru semuanya, diam-diam mereka bergembira,
mereka tidak tahu bahwa kaum lelaki kekar dan tegap ini setiap saat dapat mendatangkan
banjir darah bagi mereka, setiap saat bisa membikin danau yang tenang ini bergolak.
Sekonyong-konyong dari tepi danau sebelah sana bergema suara aba-aba.
Serentak para tokoh yang berada dibawah pepohonan, diantaranya termasuk Leng-coa Mao
Kau, Cu-bo-sin-kiam Ting Ih, Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing, Ha-siok-siang-kiam berdua saudara
Ong dan jago ternama lain, mereka terus naik keatas perahu.
Diantara orang-orang itu, yang paling menyolok adalah dua kakek yang berbaju perlente
dengan sikap gagah, tapi sangat asing didunia Kangouw.
Ada lagi seorang yang diam-diam mengherankan orang, kelihatannya orang ini seperti sesosok
mayat hidup, mukanya ada bekas luka yang kemerahan dibawah cahaya matahari.
Diam-diam para jago membicarakan siapa mereka" Mengapa sikap Mao Kau tampak sangat
sungkan terhadap mereka"
Dengan wajah berseri Mao Kau beramah tamah dengan para tamu undangannya, namun
dibalik kegembiraannya itu, sorot matanya menampilkan juga rasa kuatir yang sukar dijelaskan.
Dia berdiri dihaluan kapal dan menyapu pandang sekeliling, tiba-tiba bergema orang bersorak
diseling orang menyapa memberi salam.
Rasa murungnya segera lenyap dan berubah menjadi rasa bangga, serunya sambil
mengangkat tangannya keatas, "Terima kasih banyak-banyak atas kedatangan saudara2
sekalian, mumpung sekarang kita berkumpul disini, silakan hadirin makan minum dulu
sepuasnya, habis itu barulah kita memasuki acara pokok nanti. . . ."
Ditengah puji sorak orang banyak pelahan ia mengundurkan diri kedalam kapal.
"Mao-toako", kata Lim Ki-cing yang mengiringinya dengan tertawa, "Umpama anak orang she
Siu itu saat ini berada disini tentu juga akan mundur teratur bilamana melihat betapa besar
kekuatan yang mendukung Mao-toako disini!"
Mao Kau tertawa senang.
Tiba-tiba Thia Ki mendengus, "Hm, jika anak muda itu berwatak serupa bapaknya, biarpun
sorak gemuruh orang banyak lebih lantang lagi juga sukar menggertaknya mundur."
Seketika wajah berseri Mao Kau berubah kelam.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Cepat Poa Kiam menukas dengan tertawa, "Tapi biarpun dia tidak mau mundur, jika kita berdua
sudah disini, bisa berbuat apa dia?"
Hati Mao Kau kembali dibuat besar lagi. Dan begitulah dia sebentar senang dan sebentar sedih,
sungguh makan tidak merasakan enak, tidur juga kurang nyenyak.
Entah selang berapa lama, terdengar ada orang berseru diluar, "Kini perjamuan sudah selesai,
diharapkan Mao-toako tampil untuk bicara."
Lalu ada seorang lagi berteriak, "Mao-toako telah memperlakukan kita sehormat ini, apa pun
permintaan Mao-toako pasti akan kami laksanakan baginya."
Semangat Mao Kau terbangkit, segera ia melangkah keluar dan berseru, "Selama ini berkat
dukungan saudara2 sekalian sehingga dapatlah Mao Kau berkumpul dengan kalian seperti
sekarang. Walaupun aku menyadari ada juga perbuatanku yang salah, tapi dalam hati nuraniku
kurasa dapat bertanggung jawab terhadap para sahabat. Misalnya kejadian belasan tahun yang
lalu, ketika itu orang she Mao tanpa menghiraukan resiko sendiri telah berusaha menumpas si
iblis Siu Tok, semua itu juga demi kesejahteraan saudara-saudara khususnya dan dunia
Kangouw umumnya."
Serentak semua orang berkeplok memuji, sebab terbunuhnya Siu Tok oleh Mao Kau dahulu
memang sangat menggemparkan.
Mao Kau tertawa, katanya pula, "Tapi sekarang keturunan Siu Tok konon telah muncul didunia
Kangouw, jika dulu Mao Kau membinasakan Siu Tok demi membela para kawan, sekarang
kumohon bantuan para sahabat agar beramai menghadapi keturunan Siu Tok itu."
Serentak hadirin bersorak setuju.
Dengan lantang Mao Kau berseru pula, "Atas dukungan para kawan, tentu saja aku. . . ."
Pada saat itulah mendadak ditengah orang banyak seorang berteriak, "Orang she Mao jangan
membual!" Semua orang terkejut dan berpaling kesana. Tertampaklah dihaluan sebuah perahu berpajang
indah berdiri seorang perempuan hamil, dengan tangan bertolak pinggang ia menuding Mao
Kau dan memaki, "Jika benar engkau menghargai kawan, tentu Thia Hong takkan kau bunuh!
Hanya mulutmu saja yang manis, padahal engkau manusia berhati binatang!"
Kebanyakan hadirin kenal perempuan hamil ini adalah salah seorang tokoh Jit-kiam-sam-pian,
yaitu Wan-yang-siang-kiam Lim Lin. Dengan sendirinya mereka heran melihat Lim Lin memaki
Mao Kau dengan beringas sambil menangis.
Dengan air muka berubah Mao Kau berkata, "Thia Hong serupa saudara kandung orang she
Mao, mana bisa kubunuh dia, kenapa. . . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Lim Lin berteriak pula dengan parau, "Tanpa malu berani kau bilang Thia Hong serupa saudara
kandung. Sekarang coba jawab, jika benar dia tidak kau bunuh, dimana dia berada, lekas
katakan." Serentak pandangan semua orang berpusat kearah Mao Kau.
Biarpun Mao Kau seorang gembong persilatan, menghadapi beratus pasang mata yang penuh
pertanyaan itu, gugup juga dia. Dengan suara tergagap ia berkata, "Ya, me. . . memang. .
.memang Thia-toako telah meninggal."
Dengan kalap Lim Lin berteriak pula, "Siapa yang membunuhnya?"
Mao Kau melenggong, sejenak ia tidak dapat bicara. Seketika orang ramai berkasak-kusuk
membicarakan hal ini.
Mendadak terdengar orang mendengus, seorang muncul dari belakang Mao Kau, seorang yang
berwajah kaku dan juga bertubuh tegak kaku serupa mayat hidup, dengan bengis ia berteriak,
"Akulah yang membunuh Thia Hong!"
Sambil menggreget Lim Lin berteriak, "Selamanya kita tidak kenal, apalagi bermusuhan,
mengapa kau bunuh dia?"
Hoan-hun atau si mayat hidup mendengus, "Dia berdosa terhadap Mao-toako, maka kubunuh
dia." Seketika terjadi lagi kegemparan, semua orang sama membatin, "Kiranya benar Mao Kau yang
mendalangi pembunuhan Thia Hong."
Hampir semua hadirin itu tahu hubungan erat antara Thia Hong dan Mao Kau, sekarang
diketahui Mao Kau sampai hati membunuh kawan karib sendiri, karuan semuanya merasa ngeri
juga. Sesudah menyapu pandang hadirin sekejap, lalu Hoan-hun berseru paula, "Tujuh belas tahun
yang lalu Mao-toako membuka Piaukok gelap. . . ."
Bahwa rahasia pribadinya secara terang-terangan dibongkar Cu Cu-bing didepan umum,
keruan Mao Kau menjadi murka, mendadak sebelah tangannya menolak kedada Hoan-hun
sambil membentak, "Mengoceh apa kau" Mundur!"
Karena tolakan itu, Hoan-hun sempoyongan dan "blang", ia jatuh terjengkang diatas kapal, tapi
ia masih berteriak pula, "Mao-toako, apa yang kulakukan ini adalah demi membela dirimu,
mengapa aku malah. . . . ."
Hadirin yang memang sudah ngeri terhadap kekejian Mao Kau, kini mendengar pula dia pernah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
membuka Piaukok gelap yang dipandang kotor oleh sesama orang persilatan, sekarang teman
sendiri dipukul lagi hingga terjungkal, keruan semua orang tambah patah semangat dan tidak
dapat membenarkan tindakan Mao Kau itu, diam-diam ada sebagian hadirin lantas
mengundurkan diri.
Melihat usaha yang dipupuknya selama belasan tahun akan hancur dalam sekejap ini, Mao Kau
tambah gelisah, berulang ia memberi salam kepada hadirin dan berseru, "Sabar saudarasaudara,
dengarkan penjelasanku, janganlah kalian percaya kepada ocehan mereka. . . . ."
Mendadak Lim Lin melompat ke haluan kapal Mao Kau.
Segera Mao Kau membentak, "Kau mau apa?"
"Jika kau tega membunuh Thia Hong, boleh kau bunuh saja diriku sekalian!" teriak Lim Lin
dengan penuh duka. Ditengah suaranya yang parau itu serentak ia melancarkan serangan,
semuanya serangan maut.
Biarpun lihai serangan Lim Lin, tapi dia sedang mengandung, perutnya besar sehingga gerakgeriknya
tidak leluasa. Dari malu Mao Kau menjadi murka, bentaknya, "Perempuan bejat, berani kau main gila disini."
Sambil mengengos, telapak tangan lantas menabas dan tepat mengenai pundak Lim Lin. Tanpa
ampun Lim Lin menjerit dan jatuh terkapar, meledaklah tangisnya.
Pada umumnya manusia bersimpati terhadap kaum perempuan yang lemah, apalagi sekarang


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lim Lin lagi hamil, menyaksikan Mao Kau sampai hati menganiaya wanita hamil, semua orang
menjadi gusar. Meski mereka tetap jeri terhadap wibawa Mao Kau, tapi sudah banyak yang
mengeluarkan suara dengusan, bahkan sebagian lagi lantas tinggal pergi.
Kedua saudara Ong dari Ho-siok-siang-kiam saling pandang sekejap, melihat tindakan Mao
Kau yang kejam ini, tanpa terasa mereka jadi teringat kepada ucapan Ko Bun, pikir mereka,
"Akhir-akhir ini Mao Kau ternyata begini sombong dan membiarkan putri sendiri bertindak kasar
terhadap kaum angkatan tua, sekarang keadaannya sudah mendekati tercerai-berai dan
dikucilkan para pendukunnya, kenapa kesempatan ini tidak kami gunakan untuk
menumpasnya?"
Berpikir demikian Ong It-beng lantas berteriak, "Wahai para kawan, orang she Mao ini cuma
lahirnya saja kelihatan alim, padahal batinnya kotor dan keji, biarpun kita pernah sehidup-semati
dengan dia, tapi melihat kelakuannya yang se-wenang2 ini, betapapun kita tidak dapat tinggal
diam." Ong It-peng juga lantas melolos pedang dan berseru, "Thia-toaso, biarlah kami akan
membalaskan sakit hatimu."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Sret", kontan ia menusuk iga kiri Mao Kau.
Hoan-hun, si mayat hidup telah berdiri disudut kapal sana, sorot matanya menampilkan rasa
senang, Thia Ki dan Poa Kiam juga saling pandang sekejap dan tersenyum puas.
Selagi Co-jiu-sin-kiam Ting Ih hendak melompat maju, mendadak ia dicegah Lim Ki-cing serta
dibisikinya, "Alangkah senangnya duduk tenang menyaksikan pertarungan antara dua harimau,
jika main gagah-gagahan tentu akan rugi sendiri."
Ting Ih melengak, tapi akhirnya dia duduk kembali.
Dalam pada itu Mao Kau sempat menghindari serangan Ong It-peng, bentaknya, "It-peng,
apakah engkau sudah gila?"
Ong It-peng mendengus, sekaligus ia menyerang lagi tiga kali. Dia memainkan pedangnya
dengan tangan yan g tersisa, bagian yang diserang selalu tempat yang mematikan, sungguh
lihai sekali. Muka Mao Kau tampak kelam, jelas tidak kepalang rasa gusarnya. Tapi rupanya dia juga
menguatirkan sesuatu, maka dia tidak ingin bertempur dengan Ong It-peng, cepat ia mengelak
lagi kesamping sambil berseru, "Ayo maju!"
Waktu serangan Ong It-peng dilancarkan lagi, se-konyong2 empat jalur cahaya terang
menyambar tiba dengan membawa suara mendesing, menyusul terdengarlah senjata beradu
dan menimbulkan suara nyaring, lalu Ong It-peng melompat mundur sambil melepaskan
pedangnya. Tertampak empat orang berjubah biru dan bersepatu hitam dengan pedang terhunus berbaris
menghadang didepan Ong It-peng, baik maju maupun mundur, semuanya sudah terjaga oleh
pedang keempat orang berjubah biru itu.
Hati Ong It-peng terkesiap, pikirnya, "Orang she Mao sungguh licin sekali, rupanya lebih dulu
dia sudah menyembunyikan anak buahnya disini. . . ."
Belum habis pikirnya, terdengar Mao Kau berseru dengan lantang, "Ong-lotoa, dalam hal apa
aku kurang baik padamu, hendaknya kau jelaskan didepan orang banyak supaya segalanya
menjadi terang!"
Dengan sendirinya kedua Ong bersaudara tidak berani menceritakan kejadian mereka dibikin
malu oleh Mao Bun-ki di Se-oh tempo hari. Maka Ong It-peng menjawab menjawab dengan
suara bengis, "Kau ingkar janji dan tidak tahu malu, diam-diam membuka Piaukok gelap untuk
merampok kawan sendiri, diam-diam membunuh Thia Toako, perbuatanmu yang kejam dan
kotor ini tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun, kami bersaudara hanya ingin menegakkan
keadilan bagi sesama saudara dunia persilatan, tidak perlu bicara tentang persengketaan
pribadi segala."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ucapannya cukup menarik simpati hadirin yang belum tinggal pergi, banyak yang terpengaruh
dan serentak berbangkit dengan senjata siap ditangan, Keruan para perempuan penghibur yang
semula bergembira itu menjadi panik.
Mao Kau menjadi murka, ia memberi tanda dan membentak, "Serang!"
Begitu aba-aba diberikan, serentak keempat jago pedang berseragam biru bergerak, empat
pedang menusuk sekaligus.
"Hm, kaum keroco juga berani pamer didepanku"!" jengek Ong It-peng, berbareng pedangnya
berputar, cahaya pedang kemilauan, serentak keempat pedang lawan tertahan, Menyusul
pedangnya melingkar, cepat ia balas menyerang.
Keempat jago pedang berseragam biru juga bukan jago rendahan, mereka sudah terlatih dan
dapat bekerja sama dengan rapat. Setelah menghindarkan serangan lawan, secepat kilat
mereka melancarkan dua belas kali serangan lagi, semuanya mengincar tempat maut ditubuh
Ong It-peng. Namun Ong It-peng dapat mematahkan setiap serangan lawan, pengalaman tempurnya sangat
luas, betapa keempat jago pedang seragam biru mencecarnya tetap tidak mampu membobol
garis pertahanannya, sebaliknya terkadang Ong It-peng melancarkan serangan balasan pula.
Dengan begitu kedua pihak menjadi saling bertahan dan sukar merobohkan lawan.
Melihat itu, diam-diam Mao Kau gelisah, ia pikir jika pertempuran berlangsung lebih lama lagi,
bisa jadi keempat jago pedang yang digemblengnya sekian tahun akan musnah pula secara siasia.
Apalagi bila mengingat keempat jago pedang lain yang ikut pergi bersama Thia Hong
kemarin, saat ini ternyata belum kelihatan pulang.
Pelahan Mao Kau bergeser kesamping Hoan-hun, dengan suara mendesis ia tanya, "Kemarin
waktu membunuh Thia Hong, apakah kau lihat keempat jago pedang baju biru?"
Hoan-hun mengangguk dengan kaku, "Lihat."
"Dan kemana mereka?" tanya pula Mao Kau.
"Sudah mati." jawab Hoan-hun dengan tetap dingin.
Mao Kau melengak, desisnya, "Cara bagaimana matinya?"
"Tentu saja terbunuh, masakah mereka mati sakit?" jawab Hoan-hun ketus.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan menggreget Mao Kau menegas, "Siapa yang membunuh mereka?"
Belum lagi Hoan-hun menjawab, terdengar suara dering nyaring dihaluan kapal, waktu
menoleh, terlihat dua pedang mencelat ke udara dan jatuh kedalam danau. Dua orang
berseragam biru cepat melompat mundur dengan bertangan kosong tanpa senjata.
Ong It-peng terus membayangi mereka sambil membentak, "Kena!"
Sinar pedang terpencar menjadi dua jalur dan menyambar tenggorokan kedua lawan secepat
kilat. Meski kepandaian jago pedang berseragam biru itu tidak lemah, tapi serangan Ong It-peng
sungguh cepat dan ganas sehingga membuat mereka rada kerepotan. "Cring-cring",
sedapatnya mereka berusaha menangkis.
Walaupun tenggorokan mereka terhindar dari tembusan pedang lawan, tidak urung pundak
mereka tersayat hingga mengucurkan darah.
Kedua jago berbaju biru yang lain bermaksud menolong kawannya, tapi mereka pun tergetar
mundur oleh pedang Ong It-peng yang berputar balik, tangan mereka kesemutan sehingga
hampir saja tidak mampu mengangkat pedangnya lagi.
Sendirian Ong It-peng mengalahkan empat jago pedang andalan Mao Kau, dia sangat bangga,
dengan pedang melintang didada ia menatap Mao Kau dengan tajam, dengusnya, "Siapa lagi
jago yang akan kau tampilkan?"
Gemerdep sinar mata Mao Kau, sekilas pandang dilihatnya sebagian besar hadirin sama
melotot padanya. Sedangkan kedua kakek Thia Ki Dan Poa Kiam tetap duduk santai
ditempatnya, sikapnya dingin dan tak acuh seperti tidak berminat terhadap apa yang terjadi
disekitarnya. Juga Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing dan Co-jiu-sin-kiam Ting Ih, keduanya juga bersikap tak
acuh. Pikiran Mao Kau bekerja cepat, segera ia berkata pula, "Ong-lotoa, hendaknya kau ingat
pertemuan ini kuadakan demi menghadapi keturunan orang she Siu. Apa yang terjadi dahulu
kalian bersaudara juga punya andil, buat apa sekarang kita malah bertengkar sendiri dan
melupakan urusan yang lebih penting?"
"Perbuatanmu yang kejam dan rencanamu yang keji terhadap kawan sendiri, apakah semua itu
juga demi menghadapi keturunan orang she Siu?" jengek Ong It-peng.
Mendadak Mao Kau berputar tubuh dan berseru terhadap hadirin, "Apakah saudara-saudara
tahu bahwa keturunan orang she Siu itu bukan lain daripada orang yang menamakan dirinya
Kim-kiam-hiap yang akhir-akhir ini telah menggemparkan dunia Kangouw itu?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Keterangan ini membikin kaget semua orang, bahkan ada yang bersuara terkejut.
Maklumlah, meski munculnya Kim-kiam-hiap belum lama, tapi tindak-tanduknya sudah menjadi
bahan cerita dunia Kangouw. Berbareng itu didunia Kangouw juga muncul berbagai cerita
misterius yang lain yang menyangkut kelihaian Kim-kiam-hiap, dengan sendirinya juga ada
berita yang menjelekkan namanya dan mengatakan perbuatannya terlalu kejam.
Bilamana berita yang tersiar itu benar, maka hal itu tidak ada ubahnya seperti Siu Tok kedua
telah lahir kembali di Kangouw. Peristiwa "Siu-siansing" masa lampau masih teringat baik oleh
sebagian besar hadirin, maka keterangan Mao Kau telah membuat mereka tertegun.
Betapa tajam pandangan Mao Kau, melihat hadirin sudah terpengaruh oleh keterangannya,
diam-diam ia bergirang, cepat ia menyambung, "Hari ini aku telah menanggung salah paham
kawan sendiri, kematian bagiku tidaklah menjadi soal, namun bila persatuan kita selama ini
akan pecah begitu saja, sungguh aku sangat menyesal. . . . ."
Ia lantas ter-batuk2, ia tahu para pengikutnya telah mulai tidak percaya lagi padanya, maka
sedapatnya dia mengulur waktu untuk menunggu terjadinya sesuatu keajaiban disamping
berusaha membujuk lagi hadirin agar mau berpikir lebih panjang lagi.
Bicara sampai disini, mendadak ia menghela napas panjang dan tidak meneruskan.
Mendadak Lim Lin berbangkit, teriaknya pula sambil menuding Mao Kau, "Dahulu kau jebak Siu
Tok dengan muslihatmu yang keji, lebih dulu kau bikin cacat kedua kakinya. Ditimbang dari
semua itu, hanya engkau biang keladinya, jika mau menuntut balas, yang akan dicari putra Siu
Tok jelas cuma kau saja."
Lalu ia berpaling kearah hadirin, serunya pula dengan menangis, "Jangan lagi kalian mau
percaya kepada ocehannya, kasisan Thia Hong, setelah bekerja mati2an baginya, akhirnya
malah menjadi korban keganasan Mao Kau sendiri."
Belum habis ucapannya mendadak sebelah tangan Mao Kau menghantam, pukulan dahsyat
membuat Lim Lin yang hamil itu tidak tahan lagi, ia jatuh terjungkal dan pingsan.
Serentak Ong It-peng berteriak, "Lihatlah kawan-kawan, nasin Thia-toako suami istri adalah
contoh bagi kita. Jika sekarang tidak kita binasakan bangsat she Mao yang tak berbudi ini, kelak
kita pun akan mengalami nasib yang sama seperti Thia-toako berdua."
"Sret," segera ia mendahului menusuk Mao Kau dengan pedangnya.
Ong It-beng tahu betapa tinggi kepandaian Mao Kau, ia tahu kalau satu lawan satu sang kakak
pasti bukan tandingannya, maka cepat ia pun melolos pedang dan menubruk maju, "sret",
kontan ia pun menabas pinggang Mao Kau.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sebagai sahabat lama, Mao Kau juga tahu paduan pedang kedua Ong bersaudara tidak boleh
dipandang enteng. Cepat ia meraba pinggang, sekali berputar segera angin menderu, seutas
cambuk panjang melayang keudara, kontan pedang Ong It-peng tertangkis kesamping,
menyusul cambuk menyambar kebawah menggulung pedang Ong It-beng.
Dengan sendirinya Ong It-peng tidak menunggu sampai pedang terlibat oleh cambuk musuh,
cepat ia menarik kembali pedangnya dan melompat mundur berdiri sejajar dengan Ong It-peng.
Begitu kedua orang bergabung, tanpa ayal lagi mereka menubruk maju pula, kedua pedang
lantas menyerang lagi, yang seorang menusuk dari kanan, yang lain menabas dari kiri.
Serangan gabungan ini tentu saja jauh lebih kuat daripada tadi, tanpa terasa semua orang
sama bersorak memuji.
Terkesiap juga Mao Kau melihat kedua Ong bersaudara dapat melancarkan ilmu pedang
"Liang-gi-kiam-hoat", Segera ia putar cambuknya dengan lebih gencar, ditengah bayangan
cambuk timbul juga semacam daya isap yang kencang sehingga membuat kedua pedang lawan
saling bentur. Kedua Ong bersaudara kaget, cepat mereka menarik kembali pedangnya, sekali berputar
pedang mereka menusuk lagi kedepan.
Setelah daya isap cambuknya tidak mampu melepaskan pedang dari pegangan lawan, tahulah
Mao Kau sukar untuk mengalahkannya.
Dia cukup licik, ia tahu semua orang hanya menonton saja disamping, sebab mereka masih jeri
terhadap wibawanya, tapi bila dia memperlihatkan sedikit kelemahan, serentak orang-orang itu
pasti akan maju mengerubutnya.
Maka sedapatnya ia berlagak tenang dan sengaja mengejek, "Huh, Liang-gi-kiam-hoat ternyata
cuma begini saja! Ayolah coba lagi!"
Segera Ong It-peng balas membentak, "Orang she Mao jangan berlagak pilon, jika kau tahu diri,
lekas serahkan nyawamu saja!"
Serangan mereka tambah gencar, sama sekali Mao Kau tidak bisa lebih unggul.
Menyaksikan keadaan demikian, hadirin kasak-kusuk lagi, ada yang menyatakan kagumnya
terhadap kelihaian Ho-siok-siang-kiam, ada yang meragukan ketahanan Mao Kau. Malahan ada
yang mengusulkan membantu kedua Ong bersaudara untuk membereskan Mao Kau dan
mengangkat pemimpin persekutuan yang baru.
Tidak jauh dari deretan perahu sana, dibawah pohon yang rindang berdiri seorang nona jelita,
dengan alis berkerut dia mengikuti pertarungan Mao Kau dan kedua Ong bersaudara.
Pembicaraan tadi dan kasak-kusuk para penonton juga dapat didengarnya dengan jelas, setiap
kata orang serasa sembilu menusuk hulu hatinya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan muka pucat dan bibir gemetar ia bergumam pelahan, "O, ayah! Benarkah engkau orang
kejam begitu" Jadi akibat pengkhianatan pengikutmu ini adalah hasil kerjamu sendiri" O,
Tuhan, apa yang harus kulakukan?"
Dia, Mao Bun-ki, hampir tidak diperhatikan oleh hadirin yang asyik mengikuti pertarungan sengit
itu. Nona itu berdiri bingung di balik pohon dan tidak tahu bagaimana baiknya.
Dengan sendirinya tak dilihatnya dibawah pohon diseberang danau sana juga berdiri seorang
pemuda cakap berbaju hijau. Dia juga sedang mengikuti pertarungan Mao Kau melawan kedua
Ong bersaudara, begitu tajam sorot matanya dan merasa pasti nasib Mao Kau ditakdirkan akan
berakhir. Se-konyong2 terjadi kegaduhan, air muka anak muda itu bercahaya, sebab dilihatnya Co-jiusin-
kiam Ting Ih telah bertindak dan ikut terjun didalam arena pertempuran, dia berdiri dipihak
kedua Ong bersaudara dan mengerubuti Mao Kau.
Dengan demikian kekuatan Mao Kau lantas tertampak terdesak dibawah angin, meski anak
buahnya bermaksud ikut maju membantu, tapi melihat Lim Ki-cing dan lain-lain juga siap
tempur, maka tidak ada yang berani bergerak.
Tiga jalur sinar tajam dihaluan kapal berputar lincah bagaikan naga hidup melingkari bayangan
cambuk, setiap jurus serangan ketiga orang selalu mengincar tempat maut, serangan kedua
Ong bersaudara dan Ting Ih sudah tidak kenal ampun lagi terhadap orang yang tadi masih
dipandangnya sebagai saudara tua.
Mao Kau juga pantang menyerah, semula dia berusaha mengulur waktu untuk menunggu
munculnya bala bantuan, tapi keajaiban yang ditunggu tidak kunjung tiba, sebaliknya malah
menimbulkan antipati hadirin yang lain sehingga Ting Ih ikut mengeroyoknya, keruan ia gugup
dan juga murka sehingga bertempur dengan mati-matian.
Semula Ting Ih bertiga melengak melihat Mao Kau menyerang dengan nekat, tapi segera
mereka tahu serangan kalap ini pun merupakan keputus-asaan lawan. Hal ini dapat dirasakan
dari serangan cambuk Mao Kau, tampaknya gencar, namun lemah.
Sebagai jago pedang kawakan, dengan segera mereka mengetahui apa yang terjadi. Mereka
saling pandang sekejap dengan tertawa.
Teriak Ting Ih, "Orang she Mao, menyerah saja sebelum kepalamu berpisah dengan tubuhmu!"
Akan tetapi Mao Kau meraung murka, cambuk menyambar lagi terlebih cepat. Namun seperti
sudah diduga Ting Ih bertiga, kekuatan Mao Kau memang sudah surut ibaratnya pelita
kehabisan minyak. Begitu cambuk kebentur ketiga pedang, kontan tertekan dan sukat berputar
lagi. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pada detik yang gawat bagi Mao Kau itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, selarik sinar
merah berkilau menyambar datang secepat kilat.
Co-jiu-sin-kiam mendengus, mendadak pedang yang menusuk Mao Kau itu berputar keatas
memapak datangnya cahaya merah.
Begitu kedua pedang beradu, seketika pedang Ting Ih merasa terhisap oleh semacam tenaga
yang maha kuat sehingga tidak sanggup bertahan. Keruan kejutnya tak terkatakan.
"Lepas!" terdengar lagi bentakan orang.
Di tengah gemerdepnya bayangan yang memenuhi angkasa, benarlah pedang Ting Ih lantas
terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur dan berdiri melongo.
Segera sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Mao Bun-ki sudah berdiri disisi Mao Kau
dengan pedang merah terhunus. Air mukanya tampak dingin, entah pedih, entah gusar.
Sekali tangan Bun-ki terayun keatas, seketika pedang Ting Ih yang melengket pada pedang
merahnya mencelat ke udara dan jatuh jauh ditepi danau sana.
Kekuatan yang jarang terlihat dan tak pernah terdengar ini sungguh sangat menggemparkan
para penonton, muka Ho-siok-siang-kiam juga pucat, maklum, sebelum ini mereka memang
sudah pernah merasakan betapa lihainya daya isap pedang merah Mao Bun-ki itu.
Baru saja gerak tubuh Mao Kau berdiri tegak kembali, cambuk lantas berputar pula, "Tarrr",
tahu2 leher Ong It-beng yang lagi terkesima itu terlilit.
"Pergi!" bentak Mao Kau sambil menyendalkan cambuknya.
Sama sekali Ong It-beng tidak sempat menjerit dan tahu-tahu napasnya putus, tubuhnya yang
jangkung juga ikut terangkat oleh ayunan cambuk dan terlempar kedalam danau.
Bergemuruhlah sorak puji orang banyak, beberapa tukang perahu dan nona penghibur yang
menyaksikan kejadian itu menjadi ketakutan dan lari terbirit-birit tanpa menghiraukan perahu
dan harta milik mereka lagi.
Alis Bun-ki bekernyit, belum lagi dia sempat bersuara, cambuk Mao Kau kembali beraksi lagi,
langsung mengarah leher Ong It-peng.
Rupanya begitu melihat pedang merah Mao Bun-ki, seketika rontoklah nyali kedua Ong
bersaudara, makanya Ong It-beng semudah itu diserang oleh Mao Kau.
Sekarang Ong It-peng juga ketakutan, namun dia berusaha melawan sekuatnya, mendadak
pedang dilemparkan kedada Mao Kau, ia sendiri melompat kesamping dan terjun kedalam
danau untuk menyelamatkan diri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dalam keadaan murka Mao Kau tidak perduli lagi bagaimana penilaian hadirin yang lain
kepadanya, mendadak ia membalik tubuh dan melototi Ting Ih. Sorot matanya yang dingin


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam membuat Ting Ih ngeri.
Pelahan Ting Ih menyurut mundur kesamping Pek-poh-hui-hoa.
"Hm, apa yang akan kalian katakan lagi sekarang?" jengek Mao Kau.
"Ai, Mao-toako," cepat Lim Ki-cing berseru, "apa yang terjadi ini kan tidak ada sangkut-pautnya
denganku, mengapa aku pun kau tegur" Kalau adik Bun-ki tidak segera turun tangan, tentu aku
pun akan membantu Mao-toako."
Mao Kau mendengus dan pelahan menggeser maju lagi dengan penuh nafsu membunuh.
Air muka Lim Ki-cing tampak pucat. Mendadak tangannya membalik, pergelangan tangan Ting
Ih dicengkeramnya sambil berteriak, "Mao-toako, kuserahkan dia kepadamu dan aku pun
mohon diri saja!"
Bersambung ke 15.
Jilid 15 Mendadak ia lemparkan Ting Ih kearah Mao Kau, ia sendiri lantas melompat kesana,
melayang keatas pohon liu, sekali dahan pohon melenting, tubuhnya ikut terbang kesana,
dengan beberapa kali gerakan yang sama, dapatlah ia menghilang dalam sekejap.
Mimpi pun Ting Ih tidak menyangka Lim Ki-cing dapat bertindak sekejam ini kepadanya. Karena
pergelangan tangan tercengkeram, sekujur badan terasa lemas sehingga tanpa kuasa ia
terlempar kearah Mao Kau.
Nafsu membunuh Mao Kau tampak berkobar, kontan ia papak tubuh orang dengan suatu
pukulan "Blang" dengan tepat dada Ting Ih yang bidang itu terhantam, kontan Ting Ih meraung
dan tumpah darah, tubuh pun mencelat dan jatuh kedepan Thia Ki dan Poa Kiam yang tetap
berduduk santai ditempatnya.
Kedua kakek itu tetap tenang saja, mereka saling pandang sekejap, hanya kulit muka mereka
sedikit bergerak, tapi tidak bersuara.
Kiranya mereka sedang bicara dengan ilmu "Toan-im-jip-bit", semacam ilmu mengirimkan
gelombang suara, Poa Kiam sedang bertanya, "Apakah kau lihat anak Su?"
Thia Ki menjawab, "Sejak tadi sudah kulihat, dia sembunyi ditepi danau seberang sana. Tapi tak
dapat menghindari pandanganku. Cuma dia tidak mau memperlihatkan dirinya, maka sebaiknya
kitapun tidak perlu ikut campur."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Jika jelas dia sudah datang, untuk apa lagi kita berdiam disini" Ayolah pergi saja!" kata Poa
Kiam. Kiranya kedua kakek ini menyusul Siu Su ke daerah Kanglam, tapi seketika mereka tidak dapat
menemukan anak muda itu. Sesudah berundung, mereka sengaja mencari Mao Kau lebih dulu
dengan berlagak hendak membantunya, tapi tujuan sebenarnya agar dapat bertemu dengan Siu
Su. Sekarang setelah mereka melihat Siu Su sudah datang, mereka tidak mau tinggal lagi disitu,
serentak mereka melayang ketepi danau sana.
Dari jauh Siu Su dapat melihat berkelebatnya kedua kakek ini, cepat ia pun mengeluyur pergi,
agaknya dia tidak suka bertemu dengan mereka.
"Kalian hendak kemana?" seru Mao Kau terhadap kedua kakek.
Dia menaruh harapan kedua kakek ini akan membantunya untuk menghadapi keturunan Siu
Tok, sekarang kedua kakek pergi tanpa pamit, keruan ia terkejut dan mendongkol. Segera ia
bermaksud mengejarnya.
Tapi Bun-ki lantas menghadang dan berkata, "Ayah, tak perlu menyusul mereka. Diatas kapal
masih ada seorang yang lebih menggemaskan, masa ayah tidak tahu?"
Karena pengikutnya sama berkhianat, pikiran Mao Kau menjadi kacau, dengan gusar ia
berteriak, "Siapa dia?"
Pelahan Bun-ki mengalihkan pandangnya terhadap Hoan-hun dan mendengus, "Masakah ayah
mengira dia Siam-tian-sin-to Cu Cu-bing yang sebenarnya?"
Hati Mao Kau tergerak, teriaknya, "Habis siapa dia kalau bukan Cu-bing?"
"Cu Cu-bing sudah lama mati," kata Bun-ki, dia sengaja memalsukan nama Cu Cu-bing dan
menyamar serupa mayat hidup untuk menipu ayah. Malahan dia bukan mayat hidup pertama,
yang menyamar sebagai mayat hidup pertama adalah Suciku."
Semakin banyak dia bicara semakin bingung orang lain, bukan saja Mao Kau bingung, bahkan
orang yang mengaku "Hoan-hun" juga tidak mengerti.
Setelah melenggong sejenak, lalu Mao Kau bertanya, "Sucimu. . . .dia yang menyamar Hoanhun
lebih dulu". . . ."
Bun-ki menghela napas, katanya, "Urusan ini cukup panjang untuk diceritakan, seketika juga
sukar kujelaskan. . . ." mendadak ia membalik tubuh dan berkata kepada Hoan-hun, "Jika kau
benar seorang kesatria sejati, hendaknya kau perlihatkan wajahmu yang asli, seorang lelaki
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kenapa mesti main tutup kepala dan ganti nama segala" Perempuan saja tidak sudi berbuat
demikian."
Tiba-tiba teringat olehnya Siu Su yang memakai nama samaran "Ko Bun" itu, maka pada
nadanya lantas menunjukkan perasaannya yang bertentangan, ya mendongkol, ya menyesal
dan hampa. Mendadak "Hoan-hun" kedua ini mendongak dan tertawa latah.
"Apa yang kau tertawai?" tegur Bun-ki dengan kening bekernyit.
"Hahaha, memang betul, sebabnya aku menyamar sebagai mayat hidup adalah untuk menipu
ayahmu," seru Hoan-hun dengan tertawa. "Tapi aku pun tidak pernah menyangka Hoan-hun
pertama itu juga palsu. Selama hidupku tidak pernah kutemui urusan yang liku-liku dan
membuat orang bingung seperti ini. Asalkan lebih dulu kau ceritakan duduknya perkara ini, pasti
juga akan kuperlihatkan wajah asliku."
"Ucapanmu dapat dipercaya?" tanya Bun-ki.
"Mengapa tidak" Kata-kata seorang lelaki sejati masa dijilat kembali," ujar Hoan-hun.
"Begini soalnya," Bun-ki mulai menutur. "Suciku Buyung Siok-sing ingin menyelidiki asal-usul
putra Siu Tok itu, maka dia menyamar sebagai Cu Cu-bing yang sudah mati itu dan
menyelundup ketempat putra Siu Tok."
"O, jadi dia sengaja menyamar seperti ini." gumam Hoan-hun, baru sekarang ia tahu duduknya
perkara, "Sebaliknya kukira didunia ini memang ada orang serupa mayat hidup begini, tak
terduga aku telah tertipu olehnya."
"Suciku memang maha cerdik, mana dapat kau tandingi dia," jengek Bun-ki, "Yang kau pikirkan
hanya membantu putra Siu Tok, kau pun mengira mudah menyamar sebagai Hoan-hun, lalu
membawa mayat Thia Hong ketempat ayah, padahal Thia Hong juga terbunuh oleh putra Siu
Tok." Mendadak Mao Kau berseru, "Sesungguhnya siapakah putra Siu Tok, dimana dia sekarang?"
Diam-diam Bun-ki menghela napas, ia berlagak tidak mendengar pertanyaan sang ayah,
katanya pula terhadap Hoan-hun, "Nah, sudah kuberitahukan duduk perkara ini, sekarang
bagaimana dengan dirimu?"
Orang itu termenung sejenak, mendadak ia tertawa dan berseru, "Apakah perlu kau tahu siapa
diriku?" Tangan Bun-ki bergetar pelahan sehingga pedang merah yang dipegangnya gemerdep, sambil
menatap ujung pedang ia berkata, "Jika tidak kau katakan terus terang, mungkin pedangku ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
akan memaksamu bicara."
Hoan-hun menjengek, "Hm, apakah aku akan bicara atau tidak, betapapun aku akan belajar
kenal dengan pedangmu."
"Baik!" bentak Bun-ki, kontan cahaya merah terus menyambar kedepan.
Rupanya Hoan-hun memang sengaja hendak menguji sampai dimana kehebatan pedang
merah si nona, ia tidak mundur, sebaliknya memapak maju, tangan menyampuk dari samping
untuk menghantam punggung pedang.
Siapa tahu, baru saja telapak tangannya menyentuh batang pedang, seketika tubuhnya
tergetar, telapak tangannya serasa terhisap oleh semacam tenaga gaib yang timbul dari pedang
merah itu sehingga sukar ditarik kembali.
Sambil membentak pelahan Bun-ki mendorong pedangna kedepan, "Sesungguhnya siapa kau,
lekas katakan!"
Belum lenyap suaranya, mendadak tubuh Hoan-hun bisa memanjang keatas, sebelah kakinya
terus menendang pergelangan tangan Bun-ki yang memegang pedang.
Cepat Bun-ki mengengos kesamping, pada kesempatan itulah Hoan-hun terus melayang keluar
jendela. Sungguh tak terduga oleh Bun-ki bahwa orang mampu lolos dari isapan pedang merahnya, ia
terkesiap. Terdengarlah suara tertawa nyaring berkumandang dari luar, "Haha, apakah kau ingin tahu
siapa diriku" Lihatlah ini!"
Menyusul suara tertawa itu, selarik sinar emas lantas menyambar tiba.
Mao Kau terkejut dan cepat mengelak. Pedang Bun-ki lantas menyampuk, "tring", sinar emas itu
terhisap oleh pedang merah. Waktu mereka memeriksanya, kiranya sebilah pedang emas kecil.
Air muka Mao Kau berubah, serunya tanpa terasa, "Kim-kiam-hiap!"
Ia memburu kedepan jendela kapal, tertampak pepohonan melambai tertiup angin, cuaca sudah
dekat magrib, mana ada bayangan Kim-kiam-hiap segala.
Ia berdiri termenung, gumamnya kemudian sambil menghela napas, "Sungguh tidak nyana
keparat yang menamakan dirinya Kim-kiam-hiap bisa berada diatas kapalku."
"Ayah," ucap Bun-ki dengan menunduk, "engkau. . . .engkau. . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Meski banyak yang ingin dibicarakannya dengan sang ayah, tapi kerongkongan serasa
tersumbat oleh rasa duka yang tak terhingga.
Mao Kau lantas menuju kehaluan kapal lagi, dia seperti ingin bicara pula dengan hadirin yang
belum bubar itu, tapi sekilas pandang yang masih berada disitu, ternyata sudah tersisa sangat
sedikit. Seketika hati terasa sedih sehingga sukar bersuara dan cuma termenung memandangi
sedikit orang itu.
Biasanya suksesnya seorang pahlawan hanya melalui perjuangan yang panjang dan bersusah
payah, tapi pada waktu hancur bisa hanyut dengan cepat serupa es yang cair terbakar api.
Dia berdiri dihaluan perahu dengan perasaan hampa, sedapatnya ia coba menyampaikan
beberapa patah kata, "Selama hidup ini Mao Kau berkecimpung didunia Kangouw, soal sukses
atau gagal tidak perlu lagi dibicarakan, yang membesarkan hatiku adalah saudara-saudara
ternyata masihsudi menghargai orang she Mao dan. . . . ."
Belum lanjut ucapannya, se-konyong2 bergema derap kaki kuda yang ramai dari kejauhan, dari
suaranya dapat ditaksir sedikitnya ada belasan penunggang kuda.
Sejenak kemudian, tertampaklah muncul serombongan penunggang kuda, yang paling depan
adalah seorang pemuda berwajah kuning gagah perkasa, sembari melarikan kudanya dia
berteriak dari kejauhan, "Saudara-saudara yang hadir disini silakan lekas meninggalkan danau
ini agar tidak ikut menjadi korban!"
Suaranya lantang menggema angkasa. Semua orang yang masih tinggal disitu sama terkesiap.
Sebagian tidak menghiraukan seruan Mao Kau lagi, beramai-ramai mereka membubarkan diri.
Mao Kau menjadi gusar, dapat dikenalinya pemuda berbaju kuning itu, teriaknya, "Kim Ciauhiong,
kau pun datang mengacau"!"
Kiranya pemuda ini adalah satu diantara Tahy-hing-siang-gi, kedua kesatria dari Thay-hing-san.
Sambil memutar cambuknya Kim Ciau-hiong bergelak tertawa dan berteriak, "Betul, aku pun
datang, saat kematianmu pun sudah tiba, Mao Kau!"
Mendadak ia menghentikan kudanya, ia tuding kebelakang sana dengan cambuknya, "Coba
lihatlah, sarangmu sudah kubakar menjadi abu, para pengikutmu sudah sama meninggalkan
dirimu, saat ini engkau serupa anjing buduk yang tidak punya rumah lagi, apa pula artinya hidup
bagimu" Lekas serahkan nyawamu saja!"
Sambil bicara cambuknya memberi tanda, serentak belasan penunggang kuda itu memutar
balik kesana, hanya sekejap saja debu yang mengepul lantas buyar tertiup angin.
Kejut dan gusar sekali Mao Kau, waktu ia memandang kesana, memang betul tempat
kediamannya tampak diliputi asap tebal, api telah berkobar dengan dahsyatnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kuatir terjadi apa-apa atas diri sang ayah, cepat Bun-ki memegangi pundak Mao Kau dan
berkata, "Ayah, engkau sudah tua, sudah waktunya harus tirakat saja. Kesempatan ini bolehlah
kita gunakan mencari suatu tempat tetirah yang cocok untuk mengasingkan diri agar anak dapat
melayani ayah dengan tenang, hal ini kan lebih baik daripada tetap berkecimpung didunia
Kangouw yang kotor ini?"
Hati Bun-ki sendiri juga sudah remuk, maka ia pun tidak ingin bertemu lagi dengan Siu Su.
Leng-coa Mao Kau termangu sekian lama, mendadak ia bergelak tertawa.
Bun-ki jadi melenggong malah, tak tersangka olehnya dalam keadaan begini sang ayah masih
dapat tertawa. Ia tidak tahu sang ayah adalah seorang gembong iblis yang berjiwa lain daripada
yang lain, mana orang biasa dapat menyelami jalan pikirannya"
Di tengah tertawa latahnya Mao Kau berkata, "Jangan takut nak, orang-orang ini tak dapat
membikin keder ayahmu. . . ." sampai disini sorot matanya berubah mencorong, ucapnya pula
dengan beringas, "Sebelum ayah kemari, lebih dulu sudah kusiapkan satu tindak lanjut, kalau
cuma sedikit pukulan seperti ini belum dapat meruntuhkan iman ayahmu."
Diam-diam Bun-ki merasa kagum juga terhadap keteguhan jiwa sang ayah. Tapi bilamana
teringat kepada lawan seperti Siu Su yang juga sukar dirobohkan, mau-tak-mau ia pun ngeri.
Mao Kau memandang anak perempuan kesayangan dengan tajam, dapat dilihatnya dalam hati
putrinya ini pasti menanggung sesuatu rahasia.
Setelah berpikir, mendadak ia bergumam, "Ya, ya, tahulah aku!"
Tergetar hati Bun-ki, "Ayah tahu apa?"
"Putra Siu Tok itu adalah Ko Bun dan Ko Bun itu ialah samaran putra Siu Tok." kata Mao Kau
pelahan. Gembong dunia persilatan ini memang mempunyai daya pikir diatas orang biasa. Tubuh Bun-ki
tergetar, tanpa terasa ia menyurut mundur dua tindak dengan air mata bercucuran.
Pada saat itulah mendadak seorang membentak, "Mao Kau, lihatlah siapa ini yang berada
disini"!"
Waktu Mao Kau memandang kesana dengan terkejut tertampak ditengah danau mendadak
menongol keluar sebuah kepala yang rambut sudah beruban, namun lengket diatas kepala
karena basah, kedua matanya yang tua memancarkan sinar terang, kiranya dia inilah jago tua
dalam air, Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti, si elang bermata merah api.
Sambil membentak cambuk Mao Kau lantas menyabat kesana.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Meski cambuk cukup panjang, namun sabatannya tidak mencapai sasarannya, hanya air danau
yang tepercik dan muncrat ke sekitarnya.
Siau Ti tertawa, "Orang she Mao, untuk apa berlagak kereng lagi" Biarpun didaratan engkau
dapat malang melintang, cobalah turun kedalam air, mari kita tentukan siapa yang lebih
unggul"!"
Dia mengambang setengah badan diatas air, nyata kemahirannya berenang sukar ada
bandingannya. Tidak kepalang gusar Mao Kau, "Tua bangka she Siau, jika berani naiklah kemari!"
Siau-lotiau tertawa keras, "Untuk apa kunaik kesitu" Didalam air sekarang sudah siap beratus
kawan kami dari danau Koyu dan Angtiok, sepantasnya kami menyuguh kau minum air danau
sekenyangnya."
Hati Mao Kau terkesiap pula.
Tiba-tiba air danau beriak, seorang menongol lagi dari dalam danau dan berteriak, "Orang she
Mao, masih kenal padaku tidak?"
Belum lagi Mao Kau menjawab, Siau-lotiau telah menyela dengan tertawa, "Untuk apa banyak
omomg dengan dia, apakah saudara kita dibawah sudah siap?"
Kiranya orang yang muncul belakangan ini adalah Siau Peng, si ikan emas, putra tungal Siau
Ti. "Setiap saat siap bergerak, ayah!" seru Siau Ti dengan tertawa.
"Baik, mulai!" teriak Siau Ti.
Siau Peng mengiakan, kembali ia menyelam kedalam air bagai ikan, permukaan air hanya
menimbulkan riak kecil dan segera tenang kembali.
Kejut dan gusar Mao Kau, bentaknya, "Siau-loji, sesungguhnya permainan apa yang hendak
kau lakukan?"
"Tidak perlu tanya, segera engkau akan tahu sendiri," seru Siau Ti dengan tertawa.
Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara gemuruh, beberapa perahu didekat Mao Kau
mendadak tenggelam kebawah, perahu yang ditumpanginya juga mendadak berguncang keras,
badan perahu juga mulai ambles.
"Cepat mundur, ayah!" teriak Bun-ki kuatir.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pada saat itu juga tampak belasan lelaki berbaju hitam ketat memanjat keatas perahu. Cepat
Bun-ki mengayun pedangnya, sekali sinar menyambar, tahu-tahu belasan orang itu sudah
menghilang lagi kedalam air.
Mao Kau sempat melompat ketepi danau. Baru saja dia meninggalkan kapalnya, badan kapal
lantas tenggelam dengan cepat. Lim Lin yang masih tergeletak tak sadar itu ikut karam kedalam
danau. Bun-ki tidak sempat menghiraukan orang lain, ia putar pedangnya dan menerjang, dengan
terbungkus cahaya merah, secepat terbang ia pun melayang ketepi danau.
"Hahaha, Siau-loji, memangnya dapat berbuat apa terhadapku?" Mao Kau tertawa latah.
Siau Ti juga tertawa, "Huh, kau kira kami benar-benar hendak membinasakanmu" Kami
sengaja ingin menyaksikan cara bagaimana kau lari terbirit-birit dan itu sudah cukup."
Dari malu Leng-coa Mao Kau menjadi gusar, "Tua bangka she Siau, bolehlah kau tetap
sembunyi didalam air, tapi begitu kau injak daratan, segera kucincang dirimu hingga hancur
lebur." "Haha, apakah akan kau tunggu diriku disitu?" ejek Siau Ti.
"Betul, lihat saja!" kata Mao Kau.
========================================================================
========================
= Sesungguhnya apa yang terjadi atas tempat kediaman Mao Kau, kemana perginya anak
muridnya" = Apa pula yang akan dilakukan Ko Bun alias Siu Su yang masih harus menghadapi musuh lain
diluar Mao Kau"
=== Bacalah jilid lanjutannya ===
========================================================================
========================
Apakah tidak kau pikirkan sarangmu yang sudah terbakar menjadi puing itu" Bila kau tunggu
disini, kedua saudara Kim dari Tahy-hing-san pasti akan kegirangan," seru Siau Ti dengan
tertawa. Kembali Mao Kau melengak.


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ingat orang she Mao," seru Siau Ti pula, "selanjutnya jangan se-kali2 muncul diatas permukaan
air, begitu berada dipermukaan air, senantiasa akan kunantikan dirimu disitu."
Ditengah gelak tertawanya dia lantas menyelam dan menghilang didalam air.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan gregetan Mao Kau berdiri ditepi danau, sungguh ia merasakan nasib sendiri yang
nelangsa, orang kalau lagi apes, di-mana2 pun akan dihina orang.
Bun-ki menghela napas, katanya sedih, "Ayah, marilah kita coba pulang melongok rumah!"
"Kalau sudah terbakar, apanya yang mau dilongok!" jawab Mao Kau dengan mendongkol.
Walaupun begitu ucapannya, tidak urung ia lantas mendahului melayang kesana.
Saat itu matahari hampir terbenam, tiba-tiba beberapa gumpalan awan hitam bergeser tiba
sehingga cuaca yang semula cerah berubah menjadi guram.
Danau Barat yang semula ramai dengan para pelancong telah berubah menjadi sunyi, dengan
cepat Mao kau dan Bun-ki berlari kerumahnya, hanya sebentar saja dari jauh lantas tercium bau
hangus yang menusuk hidung.
Perkampungan Mao meliputi areal seluas beberapa hektar, tapi kini beratus bangunan megah
itu sudah berubah menjadi puing. hanya beberapa puluh penunggang kuda berbaju hitam
tampak berkitaran di sekeliling lautan api.
Mao Kau tahu umpama ada orang ingin memadamkan api tentu juga telah diusir oleh kawanan
penunggang kuda itu, anak buahnya yang bertugas jaga kalau tidak kabur tentu juga sudah
terbunuh semua.
Dalam gusarnya Mao Kau berteriak murka dan memburu kesana secepat terbang.
Siapa tahu kawanan penunggang kuda berbaju hitam itu seperti sudah memperhitungkan Mao
Kau pasti akan pulang, maka sebelum Mao Kau mendekat, lebih dulu mereka sudah kabur lebih
dulu, hanya dari jauh berkumandang suara orang berteriak, "Orang she Mao, yang membakar
perkampungan adalah kedua saudara Kim kami, jika engkau merasa penasaran silakan datang
ke Tay-hing-san untuk mencari kami. . . . ."
Suara itu lambat-laun menjauh, akhirnya lenyap bersama derapan kaki kuda yang riuh tadi.
Mao Bun-ki berlari mengelilingi lautan api, katanya kemudian, "Ayah, api tidak dapat
dipadamkan, andaikan padam juga segalanya sudah terlambat."
Dengan muka kelam Mao Kau mencari suatu tempat yang agak kecil api yang berkobar, lalu
menerjang kedalam. Karuan Bun-ki berteriak kaget, cepat ia ikut melompat kesana.
Tertampak api hanya berkobar dengan hebatnya disekeliling luar, tapi lantaran perkampungan
ini sangat luas, maka beberapa gedung besar bagian tengah malah belum terjilat api.
Sekali hantam Mao Kau membikin pintu tengah terpentang dan cepat menyelinap kedalam. SeTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com
konyong2 dari ruangan pendopo yang sekelilingnya telah terjilat api itu berkumandang suara
orang tertawa dingin.
Mao Kau terkesiap dan cepat berhenti.
Terdengar seorang menjengek, "Hm, baru sekarang kau datang, Mao Kau" Sudah cukup lama
kutunggu disini!"
"Siapa?" bentak Mao Kau.
Diam-diam Mao Bun-ki juga sudah ikut masuk kesitu.
Tertampak asap memenuhi ruangan, dibagian dalam sana muncul sesosok bayangan orang seolah2
hantu yang menongol dari tengah kabut.
Selama hidup Mao Kau berkelana didunia Kangouw dan entah betapa banyak peristiwa besar
yang ditemuinya, tapi dalam sekejap ini tanpa terasa timbul juga rasa ngerinya. Dengan kedua
telapak tangan siap berjaga ia membentak, "Jadi kau ini Siu. . . ."
Bayangan itu mendengus dan melangkah maju, katanya, "Lihatlah lebih jelas siapa diriku?"
Ternyata orang ini berbaju perlente, berwajah cakap, bersikap kereng, nyata dia memang Siu
Su adanya. Mao Kau dan Bun-ki sudah menduga siapa yang akan dihadapinya, tidak urung mereka
menjerit kaget juga, tubuh Bun-ki juga agak gemetar.
Setajam sembilu Siu Su menatap Mao Kau, ia sengaja tidak memandang Bun-ki sekejap pun,
ucapnya sekata demi sekata, "Mao Kau, apakah sudah kau lihat jelas. Nah, aku inilah putra Siusiansing
yang hendak menagih hutang berdarah delapan belas tahun yang lalu kepadamu."
Lamat-lamat Mao Kau merasa raut wajah dan juga perawakan anak muda didepannya itu mirip
benar dengan Siu-siansing yang menunggang kuda sendirian dan disergapnya ditengah
pegunungan sunyi berkabut pada delapan belas tahun yang lampau itu.
Sesaat ia merasa seperti melihat arwah Siu-siansing, tanpa tertahan ia pun mengkirik dan
menyurut mundur, butiran keringat pun menghiasi dahinya.
"Utang darah harus dibayar dengan darah, apakah kau mau lari?" bentak Siu Su sambil
mendekati Mao Kau selangkah demi selangkah.
Setiap langkah anak muda itu serupa menginjak ulu-hati Mao Kau dan membuatnya bergetar.
Sebenarnya Mao Kau bukan kaum pengecut, tapi demi berhadapan dengan Siu Su, entah
mengapa ia menjadi jeri, sebab perbawa Siu-siansing delapan belas tahun yang lalu itu masih
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
membuatnya gentar. Dia juga belum lupa kepada tulisan "Sepuluh tahun kemudian, hutang
darah dibayar dengan darah" yang membuatnya tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur itu.
Bun-ki menggreget, mendadak ia berteriak, "Lekas pergi ayah, biar kutahan dia!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu bayangan Siu Su sudah melayang tiba dan menghantam
dada Mao Kau. Gerak tubuhnya sangat gesit, jurus serangan aneh, setiap gerak langkahnya sedemikian gagah,
nyata benar persamaannya dengan mendiang Siu-siansing alias Siu Tok dahulu.
Karena jeri, Mao Kau tidak berani menangkis, sambil meraung ia terus lari keluar.
"Lari kemana?" bentak Siu Su, segera ia hendak mengejar.
Tapi Bun-ki lantas berteriak, "Siu Su, jangan. . . .jangan kau kejar lagi. . . ."
Suaranya gemetar, penuh rasa sedih dan hampa.
Tergetar hati Siu Su, tapi ia tidak menoleh, dengan mengertak gigi ia tetap mengejar keluar.
Air mata Bun-ki bercucuran, mendadak pedangnya menusuk dari samping dengan ujung
pedang agak gemetar.
Dilihatnya Siu Su tidak berusaha menghindar, diam-diam ia berpikir dengan pedih, "Jika
seranganku mematikan dirimu, pasti aku pun akan ikut mati bersamamu. . . ."
Baru timbul pikiran ini, mendadak dilihatnya tangan Siu Su mengebas kesamping, dengan dua
jari ia menyelentik batang pedang Mao Bun-ki, "Tring", seketika Siu Su merasa jari kesemutan,
tenaga selentikan lenyap. Dalam kagetnya terpaksa ia berhenti.
"Ken. . . kenapa engkau harus menuntut balas?" tanya Bun-ki dengan suara gemetar.
Siu Su menarik napas dalam-dalam, jawabnya, "Sakit hati pembunuhan ayah sukar dihapus!"
"Betul, sakit hati pembunuhan ayah tak dapat dihapus, tapi bila engkau hendak membunuh
ayahku, terpaksa harus kubunuhmu lebih dulu," seru Bun-ki dengan menangis.
Mendadak Siu Su menubruk maju sambil mengertak, sebelah tangannya lantas menghantam
muka si nona. Bun-ki lantas memejamkan mata malah dan menurunkan pedangnya, katanya, "Baiklah, boleh
kau bunuh diriku saja!"
Seketika tersirap darah Siu Su, ia tahan mentah-mentah serangannya. Wajah si nona yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sayu dengan butiran air mata menghiasi pipinya itu membuat hati Siu Su sekeras baja itu
menjadi kusut. Dengan mata terpejam Bun-ki berucap, "Ayahku sudah tua, sekarang telah ditinggalkan pula
anak buahnya, rumah musnah dan keluarga hancur, sudah cukup engkau membuatnya
sengsara, apa pula yang akan kau lakukan terhadapnya?"
Mendadak alis Siu Su menegak, teriaknya, "Dan cara bagaimana dia membikin celaka ayahku,
sampai tulang belulang saja tercerai berai. . . ."
Di tengah teriakannya ia terus melompat pergi, berkobarnya api dendam telah memutuskan
benang cintanya. Meski Bun-ki mengejar keluar, namun sukar menyusulnya lagi.
Tapi baru saja Siu Su menerobos keluar lautan api dan belum sempat lari lebih jauh, sekonyong2
seorang menegurnya dengan tertawa, "Haha, biarpun kau lari kian kemari tetap sukar
lolos dari penguntitan kami!"
Belum lenyap suaranya, dua sosok bayangan secepat terbang sudah hinggap didepannya.
Siu Su terkejut, nyata yang berdiri didepannya adalah dua kakek berbaju mentereng, mereka
ialah Poa Kiam dan Thia Ki.
Melihat kedua kakek ini, mau-tak-mau Siu Su menghela napas gegetun dan terpaksa berdiri
disitu. Dalam pada itu Bun-ki sudah menyusul tiba, melihat kedua kakek itu ia pun melenggong.
Sambil menuding ke barat sana, Thia Ki berseru, "Nona Mao, ayahmu lari kesana, lekas kau
susul!" Poa Kiam lantas menyambung, "Anak muda ini takkan mampu berkutik jika kami berdua tua
bangka sudah menghadang disini, betapapun dia tidak bisa mengejar lagi kesana."
Bun-ki memandang Siu Su sekejap, tampaknya ingin bicara sesuatu tapi urung.
"Ada urusan apa boleh dibicarakan kelak, sekarang lekas kau pergi saja." ujar Thia Ki.
Dengan tersenuym pedih Bun-ki berkata, "Terima kasih atas bantuan kedua Cianpwe. . . ."
Segera ia membalik tubuh dan berlari pergi kearah yang ditunjuk Thia Ki tanpa memandang Siu
Su lagi. Siu Su termangu sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Kutahu kalian sengaja
mencegah kutuntut balas kematian ayahku, sebab itulah selalu kuhindari penguntitan kalian.
Padahal sakit hati ayah sedalam lautan, kenapa kalian. . . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Eh, kenapa kau laupa kepada pesan ibumu?" sela Thia Ki, "Yang selalu kau pikir hanya sakit
hati ayah, tak pernah kau pikirkan bilamana Mao Kau kau bunuh, betapa ibumu akan berduka?"
Poa Kiam lantas menyambung, "Padahal kalau tidak atas permintaan ibumu, untuk apa kami
bersusah payah menyusul kemari."
"Permusuhan lebih baik diakhiri daripada berlarut, inilah pesan yang sering diucapkan ibumu,"
tukas Thia Ki. "Ayahmu sudah meninggal, biarpun Mao Kau kau bunuh juga ayahmu tidak dapat
hidup kembali."
"Apalagi kau sendiri," sambung Poa Kiam pula, "Sekarang dia sudah cukup mengenaskan kau
kerjai, apa pula yang akan kau lakukan terhadapnya?"
Begitulah kedua kakek itu terus bicara sambung menyambung, sama sekali tidak memberi
kesempatan bicara bagi Siu Su.
Dengan menunduk perasaan Siu Su bergolak dengan hebat, sampai lama sekali baru berkata
dengan menghela napas, "Setelah kedua paman berada disini, apa yang dapat kukatakan lagi. .
. ." "Aku tidak peduli kau mau bilang apa, pendek kata, mau atau tidak mau kami berdua harus
selalu mendampingimu sampai kami membawamu kembali ketempat ibumu sana." kata Thia Ki.
"Ya, terserah kepada kehendak paman." ujar Siu Su.
"Nah, beginilah baru anak baik," ujar Thia Ki dan Poa Kiam dengan tertawa cerah.
"Di tempat tinggal Siautit sana tersedia macam-macam arak enak, silakan para paman ikut
minum barang beberapa cawan disana," kata Siu Su kemudian.
"Hahaha, sungguh anak yang baik, hobi kedua pamanmu rupanya sudah kau kenal benar," ujar
Thia Ki dengan tertawa.
Kedua kakek itu lantas ikut Siu Su pulang kegedung itu, setelah Hoan-hun dan anak buah Liang
Siang-jin pergi semua, rumah ini lantas sunyi senyap tidak berpenghuni.
Siu Su menyalakan lampu dan membawakan arak, meski cuma ada arak tanpa hidangan, tapi
ketiga orang dapat minum dengan gembira, bahkan Siu Su seperti sudah melupakan segala
macam duka lara.
Habis satu botol, air muka Siu Su belum berubah, sebaliknya muka Thia Ki lantas merah,
malahan Poa Kiam sudah mulai sinting dan ber-ulang2 minta tambah arak lagi.
Segera Siu Su mengambil lagi sebotol. Setelah habis terminum botol kedua ini. Thia Ki gan Poa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kiam benar-benar mabuk hingga lupa daratan.
Gemerdep sinar mata Siu Su, ia coba memanggil, "Thia-toasiok, Poa-jicek?"
Tentu saja tidak ada jawaban.
Siu Su menghela napas dan berucap, "Maaf jika aku kurang sopan terhadap kedua paman.
Demi menuntut balas sakit hati ayah, terpaksa mesti bikin susah kedua paman untuk
sementara."
Segera ia bawa Thia Ki dan Poa Kiam keruang bawah tanah, disitu tersimpan macam-macam
arak. Kedua orang tua itu dibaringkan digudang arak ini.
Arak yang tersimpan disini adalah arak pilihan dan tersimpan puluhan tahun lamanya, waktu
diminum terasa enak, sesudah masuk keperut akan cepat membuat mabuk, dan sekali mabuk
sukar untuk siuman kembali.
Siu Su bergumam pula, "Sekali kedua paman mabuk sedikitnya berlangsung selama tiga hari,
maaf jika Siautit tinggal pergi, kelak setelah kubalas dendam baru akan kumohon ampun
kepada paman."
Dia tinggalkan gudang dibawah tanah itu, pintu digembok.
Pintu gudang sangat kuat, jika sudah siuman, untuk keluar juga Thia Kim dan Poa Kiam akan
berkutetan sekian lamanya.
Sementara itu senja sudah tiba pula.
Dibawah cahaya sang surya yang ke-merah2an mendadak dilihatnya ditengah ruangan besar
itu telah bertambah dua sosok bayangan panjang.
Siu Su terkejut, baru saja ia berhenti melangkah, segera terdengar orang menegur dengan
suara parau, "Siu-kongcu, apakah arak masih tersedia?"
Sinar mata Siu Su mengerling tajam, lalu tertawa dan menjawab, "Arak tentu saja ada, tapi perlu
dibuktikan dulu apakah engkau setimpal untuk minum arakku atau tidak?"
Terlihat olehnya dua orang berjubah hijau berduduk disebelah meja besar sana dengan air
muka kaku dingin. Ternyata dua Hoan-hun kembar.
Hoan-hun yang sebelah kiri berkata dengan tertawa, "Barangkali aku setimpal mendapat
suguhan arak?"
Air muka Siu Su agak berubah, bentaknya pelahan, "Siapa diantara kalian adalah Buyung Sioksing?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Kami berdua bukan Buyung Siok-sing." jawab kedua Hoan-hun itu dengan tertawa.
Di tengah gelak tertawa mereka, sekali tangan mereka mengusap muka masing-masing,
seketika tertanggal kedok yang mereka pakai.
Waktu Siu Su mengawasi, tertampak seorang diantaranya berhidung tegak dan bermulut besar
mukanya kereng, dia inilah Kim-kiam-hiap Toanbok Hong-cing.
Seorang lagi beralis panjang dan bermata besar, berjenggot pendek, wajah yang cakap
membawa semacam kebosanan orang hidup. Kiranya dia inilah Ciok Ling yang sudah berpisah
setahunan itu. Kemunculan kedua orang secara mendadak ini membuat Siu Su tercengang, seketika ia tidak
dapat bicara. Dengan tersenyum Toanbok Hong-cing berkata, "Akulah yang membawa sesosok mayat dari
Leng-un-si kerumah Mao Kau, entah jasa ini setimpal untuk mendapatkan suguhan arak Siuheng
atau tidak?"
"Ah, kiranya perbuatanmu!" seru Siu Su terkejut dan bergirang.
Sudah lama tanda tanya ini tersimpan dalam hatinya dan baru sekarang terjawab.
"Haha, kawan lama bertemu kembali, adalah pantas kusuguhi arak," seru Siu Su dengan
gembira. "Cuma sayang, sementara ini gudang arak telah kugunakan sebagai penjara dan tak
dapat kuambilkan araknya."
"Haha, masakah benar kuminta disuguhi arak" Aku cuma menggoda dirimu saja," seru Toanbok
Hong-cing dengan tertawa. Mendadak ia sambung dengan serius. "Hubungan kedua kakek Thia
dan Poa tidak sembarangan dengan Siu-heng, mengapa engkau mencekoki mereka hingga
mabuk dan mengurungnya didalam gudang arak" Sungguh aku tidak mengerti akan maksud
perbuatanmu ini?"
Siu Su tertawa, "Haha, tampaknya setiap tindakanku sukar mengelabui mata telinga saudara."
Lalu dengan prihatin ia berkata pula, "Soalnya kedua pamanku itu berkeras membujukku agar
menyudahi permusuhan ini, maka. . . . ."
Mendadak Ciok Ling menyela, "Apa salahnya jika permusuhan dihapus saja daripada terus
berlarut, untuk ini kuyakin ibumu pasti juga akan bersyukur."
Siu Su tidak menanggapi ucapannya, sebab saat ini dia datang bersama Toanbok Hong-cing,
betapapun dirinya tidak pantas bicara kasar padanya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Didengarnya Toanbok Hong-cing telah berkata pula, "Siu-heng, meski kita baru berkenalan, tapi
rasanya seperti sahabat lama saja. Ada sedikit pendapat pribadiku entah Siu-heng sudi
mendengarkan atau tidak?"
"Silakan bicara saja." kata Siu Su.
"Menurut pendapatku," ujar Toanbok Hong-cing, "Meski benar Mao Kau adalah pembunuh
ayahmu, musuh yang tak terampunkan bagimu, tapi dia juga paman satu2nya, adik ibumu.
Apalagi antara putri kesayangannya juga ada hubungan mesra dengan Siu-heng sendiri,
keruwetan antara kasih dan dendam ini sungguh sukar dimengerti oleh orang luar seperti kami
ini, namun seperti bunyi pepatah, 'dimana dapat mengampuni orang, hendaknya diampuni' Siuheng
telah mendesak Mao Kau sedemikian rupa sehingga dia kabur serupa anjing buduk yang
tak punya rumah lagi, apakah tidak cukup sampai disini saja kau ampuni jiwanya?"
Kim-kiam-hiap Toanbok Hong-cing bicara dengan tulus dan simpatik, lugas apa adanya. Hanya
cara bicara demikianlah dapat menggetarkan perasaan Siu Su.
Anak muda itu terdiam sejenak, katanya kemudian, "Sesungguhnya persoalan ini memang
sangat ruwet sehingga Siaute sendiri tidak tahu cara bagaimana mengakhirinya, tapi. . . .kalau
saudara menyatakan saat ini Mao Kau telah menghadapi jalan buntu, betapapun Siaute belum
dapat menerima kenyataan ini."
"Tapi dia sudah jelas tidak dapat bercokol lagi di Hangciu, didunia persilatan juga sudah
kehilangan pamor, biarpun kungfunya tinggi selanjutnya sudah tidak berpengaruh lagi, paling2
dia cuma dapat mencari suatu tempat pengasingan untuk menghabiskan hari tuanya."
Siu Su menggeleng, "Tokoh angkuh semacam Mao Kau, mana dia rela mengakhiri hari tua
dengan hidup kesepian" Meski pangkalannya di Hangciu sudah tumbang, tapi jauh sebelum dia
mengadakan pertemuan besar para kesatria di Hangciu ini, lebih dulu dia sudah mengatur jalan
mundur agar kelak dapat bangkit kembali. Tatkala mana tentu tidak gampang lagi jika ingin
menumpasnya."
"Adakah fakta yang mendukung tuduhanmu ini?" tanya Toanbok Hong-cing.
"Masa anda tidak melihat sesuatu keganjilan," ujar Siu Su. "Dalam pertemuan besar para
kesatria yang baru saja berlangsung dengan gagal, kesepuluh Giok-kut-sucia andalan Mao Kau
kan tidak ada yang muncul, Jit-sing-pian Toh Tiong-ki ada hubungan erat dengan dia, sampai
saat ini dia juga tidak tampak batang hidungnya. Memang sukar melihat keganjilan ini jika tidak
diperhatikan dengan cermat, tapi setelah diketahui, banyak keganjilan lantas terlihat."
"Tapi diantara kesepuluh murid andalan Mao Kau itu kan sudah tewas beberapa orang". . . ."


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumam Toanbok Hong-cing.
"Betul, memang beberapa diantaranya sudah mati, tapi masih ada Toat-beng-sucia, Gin-tosucia
dan Thi-kun-sucia, ketiga orang ini tergolong jago pilihan diantara kesepuluh murid
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
andalannya itu, apalagi murid utama Giok-kut-sucia, Thi-tah-sucia Ci To selama ini belum
pernah muncul sama sekali."
"Jit-kiam-sam-pian saja sudah hancur, apalagi cuma kesepuluh murid Mao Kau, apa yang perlu
ditakuti?" ujar Toanbok Hong-cing.
"Yang menakutkan bukanlah kesepuluh anak muridnya itu, tapi dikuatirkan mereka secara
diam-diam mengumpulkan segala macam sampah masyarakat Kangouw dan membentuk suatu
kekuatan gelap," tutur Siu Su, "Umumnya serangan terang mudah dihindar, sergapan gelap
sukar dijaga. Kekalahan Leng-coa Mao Kau sekali ini adalah karena dia terlalu pongah, terlalu
banyak pamer kekuatan, bilamana dia menunggu kesempatan dan bergerak secara diam-diam,
rasanya sukar bagi kita untuk menghadapi dia."
Terkesiap juga Toanbok Hong-cing oleh uraian Siu Su ini, ucapnya, "Analisa Siu-heng sungguh
sangat mengagumkan. . . . ."
"Sudah sekian lama Mao Kau merajai dunia Kangouw," sambung Siu Su pula, "Segala urusan
baik dari golongan putih maupun kalangan hitam, selalu dia punya andil tertentu. Selama
duapuluh tahun ini harta benda yang telah dikumpulkannya pasti cukup mengejutkan
jumlahnya. Tapi setelah rumahnya dimusnahkan oleh api, ternyata dirumah ini tidak kelihatan
ada harta yang dikumpulkannya selama ini?"
"Jangan-jangan telah digunakannya sebagai dana untuk mengumpulkan anak buah dan
memupuk kekuatan?" ujar Toanbok Hong-cing.
"Tepat, memang begitulah adanya." seru Siu Su.
Sejenak Toanbok Hong-cing termenung, katanya kemudian, "Bila betul apa yang kita duga ini,
maka orang she Mao itu harus diakui memang seorang gembong iblis yang maha hebat. . . ."
"Sebab itulah baik yang menyangkut urusan pribadi maupun berhubungan dengan kepentingan
umum, betapapun aku tidak dapat menyudahi persoalanku dengan Mao Kau." kata Siu Su.
"Setelah penjelasanku ini, tentu kalian berdua dapatlah memaklumi kesulitanku."
Seketika Toanbok Hong-cing dan Ciok Ling saling pandang.
Sampai agak lama barulah Ciok Ling berkata, "Tapi masih ada satu hal kukira engkau perlu
memperhatikannya."
"Urusan apa?" tanya Siu Su.
"Tidak sedikit mendiang ayahmu pernah mengikat permusuhan dengan orang Kangouw,
sekarang kau muncul dengan wajah aslimu, tentu banyak sekali orang yang akan menuntut
balas padamu," tutur Ciok Ling.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Hal ini sudah kuketahui," sahut Siu Su.
"Bahwa kau ingin mencari Mao Kau untuk menuntut balas, disamping itu kau pun harus berjaga
kepada orang yang akan menuntut balas padamu, kurasakan engkau jadi sedemikian terpencil,
namun watakmu juga sedemikian keras. . . .ai!" Ciok Ling mengakhiri ucapannya dengan
menghela napas.
Namun dapatlah Siu Su menangkap betapa perhatian orang tua yang dipandang sebagai
pamannya itu terhadap dirinya.
Tak tersangka olehnya tokoh Kangouw kawakan, pendekar pedang yang sudah bosan akan
kehidupan yang fana ini, ternyata sedemikian besar memperhatikan dirinya. Seketika hati Siu
Su terasa terharu dan berterima kasih, ucapnya denan tersenyum pedih, "Sejak Kiu-ciok-sin-tu
meninggalkan diriku, aku memang merasa terpencil dan tidak mempunyai pendukung lagi. Tapi
sampai saat ini dapat kuketahui, aku masih mempunyai beberapa kawan sejati."
Mendadak Toanbok Hong-cing berseru, "Ketua Kai-pang, LengLiong Pangcu, baik ilmu silatnya
maupun pengaruhnya tergolong tokoh terkemuka dunia Kangouw, orang ini pun sangat
simpatik, mengapa engkau tidak mohon bantuannya?"
"Orang tua ini sudah pernah bertengkar mulut denganku, kukira selanjutnya tidak mungkin dia
membantuku." tutur Siu Su. Dia tersenyum pedih, lalu menyambung, "Orang Kangouw sekarang
sama tahu Mao Kau telah berantakan ditinggal pengikutnya dan sudah menghadapi jalan buntu,
siapa pula yang tahu kekuatanku juga sangat kecil, bahkan lebih terkucil daripada Mao Kau."
Ciok Ling sedang menatap kedok "Hoan-hun" yang dipegangnya, katanya tiba-tiba, "Apakah
kau tahu sebab apa kutemui dirimu dengan memakai kedok ini?"
Tanpa menunggu jawaban Siu Su, segera ia menyambung, "Kukira betapa pun engkau takkan
mampu menerkanya. Soalnya, sejak berkenalan dengan Toanbok-heng, hatiku yang semula
dingin, hampa dan putus asa itu, tiba-tiba jadi hangat kembali, terutama setelah melihat dia
memakai kedok ini, aku menjadi tertarik untuk menirunya, sebab kupikir adalah sangat mudah
membuat kedok tiruan begini, maka dalam waktu beberapa hari saja telah kubikin sejumlah
kedok muka yang tipis begini. . . ."
"Apakah ada maksudmu menyuruhku juga memakai kedok begini?" sela Siu Su.
Ciok Ling tersenyum, "Dalam dongeng kuno banyak cerita tentang seorang dapat berubah
menjadi beberapa orang. Bilamana kita juga mengumpulkan sekian sahabat dan sama-sama
memakai kedok yang serupa, lalu siapakah yang tahu 'Hoan-hun' manakah samaran Toanbok
Hong-cing dan mana pula samaran Siu Su. Dengan cara begini bukankah sekaligus engkau
juga dapat menyulap dirimu menjadi beberapa orang?"
"Wah, bilamana ada tokoh dunia persilatan lain juga meniru caramu membuat kedok ini untuk
berbuat kejahatan, lantas cara bagaimana kita harus bertindak?" ujar Siu Su.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Untuk ini kukira tidak perlu kau kuatir," ujar Toanbok Hong-cing, "Untuk membuat kedok
demikian, meski mudah diuraikan, tapi sesungguhnya bukan pekerjaan gampang. Memang
sederhana cara membuatnya, tapi orang yang paham pembuatan kedok ini boleh dikatakan
dapat dihitung dengan jari, Sekalipun benar ada orang lain juga membuat kedok mayat hidup
begini, hal ini malah beruntung bagi kita sehingga orang lain akan dikelabui. Cara demikian
sebenarnya kurang gemilang tapi untuk menghadapi manusia licik seperti Mao Kau, cara ini
sama tepatnya untuk menghukum dia."
Siu Su terdiam agak lama, katanya kemudian dengan pelahan, "Tindakan ini memang tepat
untuk menghadapi Mao Kau, tapi aku merasa tidak boleh menggunakan kedok ini untuk
menghindari musuh mendiang ayahku, sebab kemunculanku sekali ini justru ingin membikin
lunas segala utang-piutang ayahku dahulu."
Toanbok Hong-cing saling pandang sekejap dengan Ciok Ling. Akhirnya Ciok Lin berkata,
"Apapun juga tetap akan kuberi sebuah kedok begini kepadamu, digunakan atau tidak terserah
kepadamu sendiri."
Siu Su tertawa dan menerima kedok tipis itu dan disimpannya didalam baju. Sementara itu hari
sudah gelap, sampai sekian lama mereka duduk diam diruangan gelap, semuanya
merenungkan urusannya sendiri.
Dalam keheningan, sekonyong-konyong bergema suara nyaring gelang tembaga daun pintu
diketuk. "Ada orang menggedor pintu," seru Siu Su dengan suara tertahan sambil berbangkit.
Belum lenyap suaranya, serentak Toanbok Hong-cing telah berlari kesana sambil mengenakan
kedoknya, desisnya, "Biar kubukakan pintu!"
Siu Su memandangi bayangan orang berkelebat dalam kegelapan halaman, sesaat kemudian,
sesosok bayangan melayang kembali dan berdiri ditengah halaman.
Dengan heran Siu Su bertanya, "Apakah diluar tidak ada orang" Siapa yang mengedor pintu?"
Bayangan yang berdiri dihalaman itu mendadak mendengus, "Akulah yang menggedor pintu!"
Siu Su melengak, mendadak teringat olehnya siapa orang ini, serunya, "Hei, Buyung Siok-sing,
untuk apa kau kemari?"
"Benar, aku memang Buyung Siok-sing adanya." jengek orang itu, "Aku ingin tanya padamu,
kemana perginya Sumoaiku oleh perbuatanmu?"
Dengan lebih ketus Siu Su menjawab. "Bila kutahu dia pergi kemana saat ini, tentu sejak tadi
sudah kukejar kesana."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Baru saja Buyung Siok-sing mendengus, mendadak dari samping muncul lagi sesosok
bayangan yang serupa dengan dia, begitu sorot mata kedua orang kebentrok, seketika mereka
sama melengak. Bayangan orang ini tentulah Toanbok Hong-cing yang baru kembali dari membuka pintu itu.
"Siapa kau?" tegur Buyung Siok-sing dengan suara bengis.
"Kau sendiri siapa?" jawab Toanbok Hong-cing dengan tertawa. "Kau mayat hidup, aku juga
mayat hidup, masa engkau tidak kenal padaku?"
Diam-diam Ciok Ling juga mengeluarkan kedoknya dan dipakai, lalu ia pun melompat
kehalaman sana sambil berseru. "Disini masih ada lagi mayat hidup, kau kenal padaku?"
Kejut dan gusar Buyung Siok-sing, bentaknya dengan gusar, "Orang she Siu, tidak perlu kau
main sandiwara, aku cuma minta kau serahkan kembali Sumoaiku, kalau tidak, terpaksa harus
kuseret dirimu kedepan guruku untuk memberi pertanggungan jawab kepada beliau."
Tergerak pikiran Siu Su, mendadak ia pun memakai kedok pemberian Ciok Ling tadi dan
berseru, "Siapa yang she Siu" Aku juga mayat hidup, apa kau kenal padaku"!"
Tadi dia sembunyi dibalik pohon ditepi danau supaya tidak menyolok mata, sebab itulah dia
sengaja memakai baju hijau, tak tersangka sekarang baju hijau justru tepat untuk menyamar
sebagai Hoan-hun atau mayat hidup.
Sekali bertepuk tangan ia terus melompat kesamping Toanbok Hong-cing. Sekarang tiga orang
berkedok tiruan berdiri melingkar disitu, semuanya diam saja, perawakan mereka hampir sama.
Dengan mata melotot Buyung Siok-sing memandangi ketiga orang itu tanpa berkedip, sukar lagi
baginya untuk mengenali siapa diantaranya Siu Su.
Terdengar ketika orang tertawa bersama. Dengan mendongkol mendadak Buyung Siok-sing
menerjang ketengah ketiga orang itu, kedua tangan bekerja cepat, dalam sekejab ia menyerang
belasan kali. Jurus serangannya sangat aneh, ketiga orang dicecar secara bergantian, habis itu salah
seorang diantaranya lantas diterjangnya. Siu Su bertiga tidak mau balas menyerang, sebab
mereka memang tidak mau melukai Buyung Siok-sing, tapi mereka juga tidak ingin dikenali
Buyung Siok-sing dari gerak serangan mereka, maka begitu diterjang oleh Buyung Siok-sing,
sedapatnya Siu Su main mengelak.
Setelah menerjang yang satu, segera Buyung Siok-sing menerjang orang kedua, cepat
Toanbok Hong-cing juga menghindar kesamping. Tapi pada saat yang sama Buyung Siok-sing
terus menerjang Ciok Ling dan begitu seterusnya, setelah terjang sini-sana, akhirnya keempat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
orang jadi bercampur baur.
Ketika keempat orang berhenti bergerak, bukan saja Buyung Sok-sing tidak tahu lagi siapa Siu
Su, bahkan Siu Su bertiga juga sukar membedakan lagi siapa diantaranya Buyung Siok-sing,
sebab gerakan mereka tadi sama cepatnya dan sama gesitnya sehingga pandangan menjadi
kabur dan tidak saling kenal lagi.
Seketika mereka berempat berdiri bingung ditempat, tidak ada yang mau bersuara.
Merasa akalnya berhasil dengan baik, diam-diam Buyung Siok-sing bergirang, pikirnya lagi,
"Saat ini bila aku angkat kaki lebih dulu, mereka bertiga pasti takkan menyangka akulah yang
pergi dulu, sebab diantara empat orang yang paling ingin pergi dulu pastilah Siu Su.
Memang pada saat itu telah timbul maksud Siu Su untuk pergi dari situ, anak muda itu lagi
berpikir, "Urusan pribadiku belum selesai, jika aku terlibat urusan dengan Buyung Siok-sing,
tentu akan berlarut-larut, lebih baik aku angkat kaki lebih dulu, biar kutingalkan Buyung Sioksing
kepada mereka berdua."
Tengah Siu Su berpikir, Buyung Siok-sing juga sudah ambil keputusan untuk pergi, ia pikir, "Bila
kupergi sekarang juga, kedua orang yang lain tentu mengira yang pergi adalah Siu Su,
Rahasia Mo-kau Kaucu 7 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Rase Terbang 18
^