Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 5


dan cepat menjura memberi hormat. "Ai, kenapa sejak tadi tak
kauterangkan, siapa tahu adalah orang sendiri!" katanya
berulang-ulang, lalu ia pun memperkenalkan pada kawankawannya,
"Ini Pho-losiansing, orang yang sering disebut
Cong-taubak (pemimpin) kita, ia adalah Cianpwe (angkatan
tua) dunia persilatan dan juga seorang tabib sakti di zaman
ini, Cong-taubak beberapa kali mengirim salam padamu,
hanya tampaknya terlalu terpencil, sedang kau orang tua
berada di daerah Kanglam, siapa nyana hari ini berjumpa di
sini." Dan sesudah memperkenalkan diri, orang itu she Thio
bernama Jing-goan, ia adalah perwira bawahan Li Lay-hing.
Kemudian Thio Jing-goan menceritakan sebab musababnya
terjadi permusuhan mereka dengan Ngo-liong-pang atau
komplotan lima naga.
Kiranya rombongan Thio Jing-goan yang berjumlah delapan
belas orang ini termasuk orang Li Jiak-sim yang hendak
diselundupkan ke kota Kun-bing untuk melindunginya dalam
pertemuan dengan Go Sam-kui. Siapa tahu di tengah jalan
mereka telah dicegat orang-orang Ngo-liong-pang hingga
wakil Thio Jing-goan yang bernama Cio Cong terluka. malahan
seorang kawan mereka kena ditawan pula.
"Sebenarnya Ngo-liong-pang hanya perkumpulan kecil
setempat saja, pengaruhnya tidak ada dan tiada tempat
kedudukan tetap, hakikatnya adalah gerombolan perampok
berkeliaran yang mengganggu keamanan umum," demikian
tutur Thio Jing-goan kemudian. "Tetapi belakangan mereka
telah bercokol di gunung Liong-ciang-san di dekat sini, pernah
kami hubungi agar mereka suka menggabungkan diri, namun
tak berhasil dan kami pun tak memaksa lebih lanjut. Siapa
duga sekali ini mereka betul-betul keterlaluan dan berani
mencegat kami, dari seorang yang kami tawan dalam
peristiwa ini barulah kami tahu bahwa sejak bulan lalu Ngoliong-
pang sudah kena dibeli oleh Go Sam-kui, hanya secara
resmi belum diterima saja."
"Siapakah pemimpin Ngo-liong-pang itu dan berapakah
pengikutnya?" tanya Jing-cu.
"Jumlah pengikut Ngo-liong-pang ini hanya empat-lima
ratus orang saja," sahut Jing-goan. "Dan sesuai dengan nama
komplotan mereka yang menjadi pemimpin seluruhnya lima
orang, mereka adalah anak murid tokoh silat daerah selatan
Hun-lam terkenal. Kat Tiong-liong almarhum, nama mereka
berturut-turut ialah Thio It-houw, Li Ji-pa, Tio Sam-ki, Ci Si-lin
dan Theng Ngo-him, mereka masing-masing mewariskan
semacam ilmu kepandaian Kat Tiong-liong yang terkenal,
yakni Tiat-soa-cio (pukulan telapak tangan pasir besi), Tetheng-
tui (tendangan sambil tubuh berputar-putar di tanah),
Sam-ciat-kun (toya bertekuk tiga), Tok-cit-le (semacam
senjata rahasia Cit-le yang berduri dan berbisa) dan Ngo-hingkun
(ilmu pukulan lima jurusan)."
"Baiklah," kata Jing-cu kemudian sesudah bertanya jalan ke
atas Liong-ciang-san. "Hari sudah mulai gelap, malam ini juga
kami pergi menyelidiki, besok secara terang-terangan baru
kita meluruk sarang mereka untuk menghajar Ngo-liong (lima
naga) ini." Lalu ia memberi pula sedikit obat pada Cio Cong
dan menghiburnya pasti segera akan sembuh kembali.
Malamnya Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua lantas
berangkat ke sarang berandal Ngo-liong-pang itu. Dekat
tengah malam, mereka sudah merayap sampai di atas
benteng kayu yang didirikan di atas gunung itu. Bangunan itu
ternyata sederhana saja dengan dinding papan dan atap
rumput alang-alang kering serta simpang-siur tak teratur. Di
tengah rumah-rumah gubuk itu terdapat sebuah gedung dari
batu bata, mungkin inilah markas kawanan bandit itu.
Diiringi angin pegunungan yang meniup keras, Jing-cu dan
Wan-lian menggunakan Ginkang atau ilmu mengentengkan
tubuh mereka yang tinggi terus melayang maju di antara
rumah-rumah gubuk itu dan akhirnya tiba di rumah batu itu, di
atas wuwungan rumah itu terdapat dua orang penjaga, tetapi
dengan kesehatan luar biasa mereka telah ditotok roboh oleh
Pho Jing-cu hingga tak berkutik.
Waktu Jing-cu dan Wan-lian mengintai ke bawah, maka
tertampaklah di ruangan pendopo duduk lima orang, mungkin
inilah yang disebut 'Ngo-liong' atau lima naga itu.
"Kita berhasil menawan seorang bawahan Li Lay-hing,
sungguh kebetulan sebagai hadiah kita kepada Ping-se-ong,"
demikian terdengar seorang di antaranya sedang berkata.
"Kabarnya Ping-se-ong sendiri hendak berunding dengan Li
Lay-hing," seorang yang lain menimpali.
"Kau paling suka percaya pada kabar burung," kata yang
pertama tadi. "Dimana-mana Ping-se-ong selalu siap sedia
untuk menghadapi mereka, sekalipun berunding tak akan
berhasil juga"
"Tetapi banyak bawahan Li Lay-hing yang gagah dan
pasukannya kuat, kita harus berjaga-jaga juga sebelumnya,"
kata yang lain.
"Mereka jauh di sana, sedang kita besok sudah akan
boyongan ke Kun-bing, masakah mereka sanggup menyandak
kita?" ujar yang tertua tadi.
"Kuatirnya kalau dia mengirim orangnya yang kosen dan
mendadak kita disergap," sahut yang lain lagi.
"Ah, soalnya toh tinggal sehari dua hari ini saja," kata yang
pertama tadi, "Sekalipun ada orang pandai, sekejap mata juga
susah didatangkan ke sini. Apalagi kita sendiri juga punya
seorang pandai, kenapa takut?"
"Ya, aku jadi ingat padanya. Apakah mestika hidup ini
benar-benar akan menuruti perintahmu?" tanya yang duluan.
"Tentu saja," sahut yang tertua. "Asal kubilang siapa orang
jahat dan suruh dia membunuhnya, maka pergilah dia
membunuhnya."
Pho Jing-cu menjadi heran mendengar kata-kata orang
yang terakhir ini, sungguh tidak masuk akal, masakah ada
seorang yang begitu hebat mau diperintah seperti anak kecil
saja. Dalam pada itu, tanpa sengaja Wan-lian sedikit bergerak
sehingga menerbitkan suara keresekan. Karena itu mendadak
di bawah lantas ada suara orang membentak, "Sobat
darimanakah yang di atas itu, ada petunjuk apakah malammalam
datang ke sini?"
Dan karena sudah konangan, maka Jing-cu menyentuh
Wan-lian dan berkata, "Lekas kaukobarkan api di sebelah
timur sana!"
Segera juga si gadis melesat pergi, sedang Jing-cu tanpa
tedeng aling-aling lagi lantas menampakkan diri.
"Aku hanya kebetulan lewat di sini dan sekalian mencari
seorang sahabat saja," demikian sahutnya tertawa.
Keterangan ini membikin Thio It-houw, tertua dari Ngoliong,
menjadi gusar, "Ha, cari sahabat di atas bentengku, apa
kaukira Ngo-liong-pang gampang diingusi?" demikian ia
berjingkrak. Seketika itu juga mereka berlima menerobos keluar.
"Pukul!" bentak Theng Ngo-him pertama-tama terus saja ia
mengayunkan tangannya, empat biji Tok-cit-le segera
metiyambar ke arah Pho Jing-cu. Namun serangan ini diganda
tertawa "teh jago tua ini, lengan bajunya mengebas, tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu senjata rahasia itu sudah lenyap tanpa bersuara masuk
ke dalam lengan bajunya.
Keruan Ngo-him terheran-heran, ia tidak tahu cara
bagaimana lawannya telah menyulap empat biji Tok-cit-le itu
hingga lenyap tanpa bekas.
"Awas, biji keras!" segera ia memperingatkan kawankawannya.
Dengan 'biji keras' ia maksudkan musuh tangguh.
Dalam pada itu dengan sebelah kakinya berdiri di emper
rumah, dengan gaya 'Kim-khe-tok-lip' atau ayam emas berdiri
dengan kaki tunggal, dengan tertawa Pho Jing-cu melongok
ke bawah dengan sikap menantang.
Li Ji-pa menjadi gusar, begitu ia meloncat, toyanya 'Samciat-
kun' lantas menyerampang kaki musuh.
Jing-cu tahu toyanya itu terbagi dalam tiga bagian yang
bisa menekuk, kalau kena tangkisan lantas menekuk dan
menghantam kepala. Maka pedangnya tak digunakan, ia
tunggu waktu toya orang sudah dekat, mendadak lengan
bajunya yang lebar itu ia kebutkan hingga toya Ji-pa kena
dililitnya. "Turun!" bentak Pho Jing-cu sembari sebelah kakinya ikut
melayang, tanpa ampun lagi Ji-pa kena didepak jatuh dan
hampir saja tak sanggup berdiri.
Dan sedang Jing-cu tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba
sesosok bayangan merangsek naik lagi dengan pukulan keras
yang membawa sambaran angin. Nyata orang ini adalah Lotoa,
si tua, Thio It-houw, yang mewariskan 'Tiat-soa-cio' dari
gurunya, ilmu pukulan telapak tangan pasir besi ini begitu
hebat hingga sanggup melubangi perut kerbau, maka dapat
dibayangkan bila tubuh manusia yang terkena.
Tetapi Pho Jing-cu bukan jago lemah, ketika sedikit ia
mendoyongkan tubuh ke belakang sambil menangkis, seketika
Thio It-houw merasakan pukulannya seperti mengenai kapas
yang empuk saja. Menyusul cepat sekali Jing-cu menggunakan
gaya menangkap dari Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara
menangkap dan mencekal, ia pencet kencang urat nadi tangan
orang terus dibanting ke bawah.
Melihat beberapa saudara angkatnya kecundany, I e *"i
nomor empat, Ci Si-Iin, dengan nekad menerjang juga dcujpii
ilmu pukulan 'Ngo-hing-kun' yang cepat hingga dalam sekejap
saja tujuh atau delapan serangan sudah dilontarkan. Diamdiam
Jing-cu memuji kepandaian orang yang jauh lebih kuat
daripada yang lainnya tadi.
Ngo-hing-kun mengutamakan serangan, tetapi Jing-cu
menyambut orang dengan kepandaian perguruannya Bu-kekkun
yang mengutamakan ketenangan untuk menundukkan
setiap kekerasan musuh. Maka selang beberapa jurus
kemudian semua pukulan Ci Si-lin sudah dapat dipatahkan.
Sementara itu kawanan Ngo-liong-pang beramai-ramai
sudah berkerumun, tetapi api yang dikobarkan Boh Wan-lian
juga sudah menjilat-j ilat karena angin pegunungan yang
santar, maka dalam sekejap saja rumah-rumah gubuk itu
sudah ditelan si jago merah. Lekas kawanan berandal itu
terbagi, sebagian memadamkan api hingga suasana menjadi
kacau. Melihat sudah cukup membuat kalang-kabut musuh,
sekonyong-konyong Pho Jing-cu membentak, "Ha, hanya
begini saja Ngo-liong yang disohorkan! Terima kasih dengan
perkenalan ini!"
Habis itu dengan tertawa ia pun melayang pergi untuk
menggabungkan diri dengan Boh Wan-lian dan meninggalkan
sarang bandit yang masih berkobar-kobar itu.
Seterusnya dari sarang musuh, sepanjang jalan mereka
menertawai nama Ngo-liong yang terlalu disanjung itu. Tibatiba
dari lembah sana terdengar suara tertawaan orang yang
aneh di bawah sinar bintang yang remang-remang, tampak
sesosok bayangan dengan tegak sedang mendatangi dari
depan. "Siapa?" tegur Jing-cu segera.
Dalam keadaan remang-remang orang itu seperti menutupi
mukanya dengan kedua tangan bagai orang berjalan dalam
mimpi dan dengan linglung masih berjalan terus.
"Siapa kau" Apa kau bisu?" bentak Jing-cu pula setelah
dekat. Tiba-tiba orang itu menurunkan tangan yang menutupi
mukanya. "Siapa kau" Mengapa begini galak?" demikian ia
balas bertanya.
Jing-cu tidak menjawab, mendadak ia mengulur tangan kiri
memegang bahu orang, sedang tangan kanan mencekal pergelangan
tangannya terus dibetot ke belakang dengan
gerakan Kim-na-jiu. Tak terduga cepat sekali orang itu
mengipatkan tangannya hingga tangkapan Jing-cu menjadi
luput. Segera Jing-cu membalik tangannya terus memukul dengan
gerak tipu 'Boat-hun-kian-jit' atau menyingkap awan kelihatan
matahari. Namun orang itu tidak berkelit, sebaliknya ia pun
mengangkat tangan menyambut kepalan lawan, maka beradulah
kedua telapak tangan.
"Bagus!" seru Jing-cu tertahan dan tergetar mundur,
sebaliknya orang itupun terhuyung-huyung oleh tenaga
pukulannya dan hampir jatuh.
Sementara Pho Jing-cu sudah bisa melihat jelas orang ini
adalah seorang pemuda cakap memakai baju kuning, sikapnya
gagah dan tangkas, hanya wajahnya lapat-lapat putih pucat
dan sinar matanya buyar guram.
Seketika Jing-cu tergerak hatinya, selagi ia hendak
bertanya, tiba-tiba pemuda itu sudah buka suara dengan
marah-marah, katanya, "Apa kau orang jahat" Baru bertemu
mengapa lantas main pukul?"
"Kami bukan orang jahat," Jing-cu menyahut halus sambil
mendekati orang. "Karena kau berada di sini maka kami
menyangka kau orang Ngo-liong-pang. Apakah kau dari Ngoliong-
pang?" "Ngo-liong-pang" Apakah itu?" tanya pemuda itu malah.
"Itu adalah orang-orang yang berada di atas gunung sana,"
sahut Jing-cu sambil menunjuk ke atas.
"Apakah benteng di atas itu?" kata pemuda itu. "Ha,
tahulah aku, justru di sanalah kutinggal. Apakah orang-orang
itu jahat?"
"Ya, mereka semua orang jahat," sahut Jing-cu. "Aku tak
percaya," ujar pemuda itu sambil menggeleng kepala.
"Apakah kautahu yang dimaksud orang jahat?" tanya Jingcu.
"Entah," jawab si pemuda. "Asal dia memukul dulu, tentu
lah dia orang jahat."
"Salah," kata Jing-cu tertawa. "Misalnya kau melihat
seorang penjahat besar, dapatkah kau memukulnya lebih
dulu?" "Bisa saja," sahut pemuda itu.
"Nah, apakah kau lantas orang jahat juga?" kata Jing-cu.
"Orang-orang di atas gunung ini bersekongkol dengan
pemerintah Boan. Tahu tidak kau pemerintah Boan"
Pemerintah Boan adalah kerajaan bangsa Boan-ciu, bangsa
asing yang menindas bangsa Han kita."
Dalam pada itu Wan-lian sudah mendekat juga. "Dan kini


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapatkah kau memberitahu siapakah kau ini?" demikian ia pun
bertanya. "Siapa aku" Mana aku tahu. Selamanya tiada orang
memberitahu padaku," sahut pemuda itu penuh kesal.
"Kalau begitu, dimana ayah bundamu?" tanya Wan-lian
lagi. Karena pertanyaan ini, mendadak tubuh si pemuda itu
gemetar dan wajahnya semakin pucat, tiba-tiba ia menangis
ter-guguk-guguk bagai anak kecil. Tanpa terasa Wan-lian
mengelus-elus kepala orang, dan sejenak kemudian barulah ia
sadar bahwa orang adalah seorang pemuda cakap, maka lekas
ia menarik tangannya kembali dengan muka jengah.
"Apakah aku telah salah omong, harap kau jangan gusar,"
demikian katanya pula.
Tiba-tiba pemuda itu berhenti menangis, ia mendongak dan
memandang wajah Wan-lian yang mengunjuk welas-asih itu.
"Kau sangat baik, aku seperti mempunyai juga seorang yang
sangat kasih sayang padaku mirip kau ini."
Dan tengah mereka berbicara, dari atas gunung sana
terdengar suara riuh dan api obor yang terang mendatangi
dibarengi dengan suara setuan, "Baju kuning, si Baju kuning!
Dimanakah engkau?"
Pemuda itu menyahut sekali, lalu ia pun berkata kepada
Wan-lian, "Mereka sedang memanggilku."
Perasaan si gadis menjadi berat, ia terharu dengan mata
basah. "Marilah kau ikut bersama kami saja!" demikian katanya
dengan suara rendah.
BeLum pernah pemuda baju kuning ini mendengar suara
yang begitu menarik dan begitu simpatik, seketika timbul
semacam rasa hangat dalam hatinya, ia memandang wajah
Wan-lian dengan teikesima, ia termangu-mangu dan
melangkah maju, tetapi tiba-tiba berhenti pula dan berkata,
"Tidak, aku harus pikir-pikir dulu dan membikin terang apakah
orang-orang di atas gunung ini memang jahat* barulah aku
mau pergi."
Dalam pada itu suara orang memanggil tadi sudah semakin
dekat. "Baiklah, boleh kaupulang dahulu, besok pasti, kami datang
menjengukmu lagi," kata Jing-cu.
Pemuda itu mengangkat tangan sebagai tanda salam
perpisahan, habis itu ia putar badan terus berlari ke atas
gunung bagai terbang cepatnya.
"Ilmu silat pemuda ini sangat hebat, hanya sayang
menderita sakit ingatan," kata Jing-cu pada Wan-lian.
"Ya, penyakitnya ini sungguh aneh, sampai asal-usul diri
sendiri terlupa," ujar si gadis. "Pepek, kenapa kau pun
membiarkannya pergi?"
"Aku menduga ia telah mengalami goncangan batin yang
hebat atau tergoncang oleh sesuatu perbuatan yang salah dan
tidak bisa ditarik kembali lagi, maka di dalam jiwanya
tersembunyi semacam kekuatan yang memaksanya
melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau," demikian
sahut Pho Jing-cu. "Penyakit seperti ini, kalau sebab
musababnya belum diketahui, pasti sangat sulit untuk
disembuhkan, tetapi ia hanya melupakan yang lampau dan
belum lupa akan kejadian masa kini, bukankah tadi kau
dengar ia bilang hendak pulang untuk pikir-pikir, jadi ia masih
bisa berpikir, itu menandakan ingatannya masih belum lenyap
sama sekali. Penderita seperti dia ini tidak boleh kita paksa
melainkan harus menuruti keinginannya."
Dan pada saat itulah, betul juga si pemuda baju kuning itu
lagi memeras otak seperti yang dikatakan Jing-cu, dengan
susah payah ia mengingat-ingat apa-apa yang telah lampau.
Tetapi hanya kejadian-kejadian tiga tahun paling belakang ini
dimana ia berkumpul bersama orang-orang di atas gunung ini
yang dapat diingatnya, lebih lama dari itu tak teringat lagi
olehnya. Hanya samar-samar ia seperti masih ingat pada
suatu hari di musim dingin, ia rebahan di atas suatu bukit
yang penuh teruruk salju, dalam keadaan setengah sadar ia
diketemukan gerombolan orang-orang yang sekarang ini,
tatkala itu ada dua orang dengan golok terhunus hendak
membunuhnya, tetapi sekali sengkelit ia sudah dapat
merobohkan kedua orang itu. Kemudian orang yang bernama
Thio It-houw telah menghentikan tindakan orang-orang itu
dan memberi makanan serta minuman padanya, lalu ia
diajaknya pergi pula bersama mereka.
Mengenai sebab apa ia terebah di atas salju, itulah tak
teringat lagi olehnya. Hanya lapat-lapat ia merasa seperti
pernah membunuh seseorang yang terdekat dan paling
mencintainya, sedang siapa gerangan orang itu ia pun tidak
ingat lagi. Bahkan setiap kali kalau ia mencoba merenungkan
kembali dan ingat sampai di sini, perasaannya lantas bergolak
dan rasanya menderita sekali, bagaimana pun ia tak sanggup
berpikir lebih jauh lagi.
Ia pun ingat sesudah terluntang-lantung kian kemari ikut
gerombolan orang-orang ini, waktu ia ditanya tentang asalusulnya
dan tak berhasil, kemudian mereka telah menggertak
dan mengancam, namun ia tak peduli. Mula-mula orang itu
menyesal, tetapi kemudian amat girang. Kemana saja
selanjurnya selalu ia diberi satu kamar sendiri, malahan pasti
ada orang yang menjaganya dan suruh jangan sembarangan
pergi, dan bila bertemu orang berilmu silat tinggi yang tak bisa
mereka lawan, lantas ia dipanggil membantu. Tetapi ia tak
ingin membunuh, maka selamanya ia hanya membikin lari
musuh saja. Teringat juga olehnya belakangan ini gerombolan orang ini
sering menyebut nama 'Jing-ting' (pemerintah Jing) dan
'pengampunan' serta lain sebagainya. Tetapi bila ia mendekati
mereka, pembicaraan seperti itu lantas dihentikan, la tidak
tahu apakah itu 'Jing-ting' dan 'pengampunan', ia pun malas
untuk memikirkannya.
Dan setelah malam tadi ia diingatkan oleh si orang tua dan
si gadis itu, barulah samar-samar ia ingat kembali, pada waktu
belum lama berselang seperti ada juga yang sering berpesan
padanya supaya berjuang menggulingkan kerajaan Jing dan
mengusir bangsa Boan. Orang yang berpesan padanya itu
seperti sangat dekat hubungannya dengan dia.
Karena itulah ia menduga 'Jing-ting' itu tentulah barang
busuk, dan apakah 'pengampunan'" Itulah yang dia tidak
tahu, hanya karena ada hubungannya dengan kata-kata Jingting
tentunya juga bukan perkataan baik.
Begitulah semalam suntuk ia berpikir dan berpikir terus
sampat pagi. Sementara itu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sudah tiba
kembali di tempat pemondokan mereka, mereka herart
melihat di sana ternyata sudah berkumpul orang banyak
hingga rumah penginapan itu penuh sesak sampai di halaman
depan. Kemudian barulah mereka tahu bahwa orang-orang itu
adalah para pengikut Li Lay-hing yang sengaja dihimpun oleh
Thio Jing-goan.
Kagum juga Pho Jing-cu, di kota sekecil ini dalam waktu
singkat sudah bisa dikumpulkan orang sekian banyaknya.
Lalu Jing-cu menceritakan juga pengalamannya menyelidiki
gunung semalam dan menjelaskan sekedarnya keadaan
sarang musuh. Habis itu rombongan yang cukup besar itu
lantas berangkat. Sebelum lohor, tibalah mereka di atas
gunung. Ternyata Ngo-liong sudah siap sedia memapak
kedatangan mereka.
Pho Jing-cu dan Thio Jing-goan mendahului maju ke depan,
sebelum itu Jing-goan sudah memerintahkan untuk
mengibarkan bendera pengenal mereka yang bertuliskan
'Jwan', yakni Jwan-ong, gelar Li Cu-sing.
"Dengan Ngo-liong-pang kalian selamanya kami tak
bermusuhan, mengapa kalian telah menawan saudara kami?"
demikian Jing-goan segera membentak. "Hari ini kalau kau
tidak membebaskan kawan kami itu, pasti sarangmu sekecil ini
akan kami Tatakan dengan bumi!"
Melihat Pho Jing-cu datang lagi bersama mereka, tertua
Ngo-liong, Thio It-houw, tiba-tiba berubah wajahnya, ia
mendelik, lalu dengan suara keras berkata, "Siapa yang tak
tahu kalian adalah sisa peninggalan Jwan-cat (bangsat Jwanong,
maksudnya Li Cu-sing), kamu boleh menggertak orang
lain, tetapi kalau kalian hendak menggertak kami adalah hal
yang tidak mungkin!" Habis itu dengan gemas ia melirik Jingcu
dan berkata, "Bagus! Kau tua bangka ini terlalu
mempermain-kanku!"
Dan begitu ia memberi tanda, tiba-tiba Theng Ngo-him
yang berdiri di belakangnya mengangkat tangan, sekaligus ia
membidikkan tiga biji Cit-le beracun, yang dua ditujukan pada
Pho Jing-cu dan lainnya mengarah Thio Jing-goan. Dengan
cepat Jing-cu melompat ke samping, lengan bajunya mengebas,
ia sampuk dulu Cit-le yang mengarah Thio Jing-goan baru
kemudian ia membalikkan badan sambil kedua telapak tangan
didorong keluar, dua biji Cit-le yang menuju padanya itu
terkena getaran kekuatan tangannya dan segera terbang
balik. Dalam kagetnya, Li Ji-pa menjerit, lekas ia memukul
jatuh senjata rahasia yang berbalik 'makan tuan' itu.
Sementara Thio It-houw dari samping telah menerjang
dengan tipu 'Pek-guan-thiam-loh' atau monyet putih mencari
jalan, kedua tangannya terus menghantam kepala Pho Jingcu,
tetapi sedikit Jing-cu menggerakkan lengan baju, maka
tangan Thio It-houw tepat kena disampuk hingga terasa panas
pedas kesakitan. Dalam pada itu, L i Ji-pa telah mengayun
toyanya menyerang juga dari belakang kanan dan Ci Si-lin
telah memainkan Ngo-hing-kun memukul dari kiri, mereka
bertiga mengepung Pho Jing-cu seorang. Namun dengan
tertawa dingin Jing-cu malahan menerjang masuk ke tengah
kepungan mereka, kedua lengan bajunya beterbangan
bagaikan menari, ia me-nyampuk ke kiri mengebas ke kanan,
kedua lengan bajunya ternyata melebihi sepasang senjata
tajam, bahkan masih bisa membelit senjata musuh. Meski
ketiga lawannya bisa saling membantu dan bekerja-sama,
tetapi akhirnya toh terdesak hingga kalang-kabut.
Selagi pertarungan seru itu berlangsung, tiba-tiba
terdengar seorang pendek kecil menggertak, ketiga orang
yang duluan sedikit minggir dan orang pendek kecil ini segera
menerjang masuk. Aneh juga, begitu masuk kalangan,
sekonyong-konyong ia menjatuhkan diri, dengan kedua
tangan menyangga badan ia berputar cepat bagai kitiran di
atas tanah dan kedua kakinya secepat angin berulang-ulang
menendang, yang dituju selalu bagi aai bawah dan tengah
badan Jing-cu. Orang itu adalah Lo-sam atau nomor tiga dari Ngo-liong
yang bernama Tio Sam-ki, ia mendapatkan warisan pelajaran
k Te-theng-tui* dari gurunya, ilmu silatnya terhitung nomor
satu di antara lima saudara angkat.
Melihat cara menyerang orang yang aneh, Jing-cu
mengerutkan kening, ia mencoba ikut berputar beberapa kali
menuruti gerak serangan lawan.
Sebenarnya dengan keahlian Jing-cu, betapapun tingginya
kepandaian Tio Sam-ki pasti bukan tandingannya, hanya saja
di samping menghadapi serangan Te-theng-tui ia masih
dikerubuti lagi oleh toya Sam-ciat-kun, Ngo-hing-kun dan TiatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
soa-cio yang sekaligus menyerang sehingga Jing-cu rada
kerepotan juga. Dan sesudah berputar dua kali, mendadak ia
kebaskan kedua lengan bajunya pada Thio it-houw. It-houw
sudah merasakan lihainya kebasan lengan baju tadi, maka ia
cepat berkelit, dan kesempatan itu digunakan Jing-cu untuk
menerobos keluar dari kepungan. Keempat orang itu masih
mengejar, beramai-ramai mereka berteriak, "Tua bangka, kini
kau baru kenal kelihaian kami" Sudah kalah kau hendak lari
kemana?" Jing-cu tertawa dingin, tiba-tiba ia berdiri tak bergerak, ia
menanti sesudah dekat sekonyong-konyong kedua lengan
bajunya beterbangan lagi, tubuhnya memutar cepat, ia
mengeluarkan ilmu silatnya 'Liu-hun-hui-siu' atau dengan
lengan baju beterbangan bagai awan meluncur, ilmu silat
tunggal yang jarang terdapat di kalangan persilatan, untuk
menyambut keroyokan mereka berempat.
Tadi ia menerobos keluar, maksudnya hanya untuk ganti
haluan saja. Begitulah dengan ilmu 'Liu-hun-hui-siu', Pho Jing-cu telah
mengunjukkan ketangkasannya. Sementara itu Theng Ngohim
pun sudah membantu keempat kawan mereka dari
belakang, Cit-le sebutir demi sebutir ditimpukkan.
Cara bertempur Ngo-liong ini ternyata dapat bekerja sama
dengan rapat sekali. Tiat-soa-cio, Sam-ciat-kun, Te-theng-tui
dan Ngo-hing-kun sekaligus telah menyerang bersama.
Kadang-kadang terpencar, tempo-tempo rapat, bahkan pada
waktu Cit-le beracun menyerang, tepat bisa menerobos di
antara tempat luang serangan keempat orang itu.
Dengan cara begitu Ngo-liong mengeroyok sehingga untuk
bisa menang dalam sekejap susah juga bagi Jing-cu.
Sementara itu Thio Jing-goan dan orang-orangnya juga
sudah bertempur ramai dengan berandal-berandal Ngo-liongpang,
sekalipun berandal-berandal itu berjumlah lebih banyak,
tetapi orang-orang Thio Jing-goan adalah orang pilihan, makin
lama makin gagah, lama-lama Ngo-liong-pang kelihatan tak
dapat bertahan lagi dan agaknya segera bisa dikalahkan.
Pada saat itulah, dari kaki gunung tiba-tiba terdengar
terompet berbunyi, tahu-tahu dari bawah naik serombongan
orang berkuda. Mendadak pula Ngo-liong memanggil, "Si Baju
kuning! Si Baju kuning!"
Waktu itu Thio Jing-goan dengan goloknya tengah
mendahului orang-orangnya menyerbu musuh, tiba-tiba ia
melihat seorang pemuda berbaju kuning dengan tangan
kosong sambil menundukkan kepala sedang berjalan seperti
orang yang sedang jalan-jalan sehabis makan dan dengan
tekun sedang memikirkan sesuatu, suara beradunya senjata di
kalangan pertempuran yang ramai dan bunyi terompet serta
genderang yang riuh sedikit pun tak didengarnya. Sebaliknya
demi melihat datangnya pemuda ini, berandal-berandal Ngoliong-
pang lantas memberi jalan padanya.
Jing-goan terheran-heran, tanpa pikir lagi segera ia
mengangkat golok dan membacok kepala pemuda itu, tak
terduga pemuda baju kuning itu hanya sedikit berkelit dan
tahu-tahu malah maju ke depan, entah dengan ilmu pukulan
apa, hanya sekali gebrak saja golok Thio Jing-goan telah kena


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

direbut terus dibuang, lalu ia pun berteriak, "Kenapa kau
begini keji!" Berbareng itu urat nadi pergelangan tangan Thio
Jing-goan telah dipegang dan dengan kepalan tangan kirinya
segera hendak menghantam.
Thio Jing-goan adalah seorang perwira gagah bawahan Li
Lay-hing, siapa duga hanya dalam sekejap saja sudah kena
dicekal oleh pemuda baju kuning, keruan orang-orangnya
pada menjerit kaget.
Dan selagi Thio Jing-goan gugup, mendadak terdengar
seman suara wanita yang nyaring, "Jangan pukul, dia orang
baik-baik!"
Mendengar itu, pemuda itu tersenyum, ia menurunkan
tangannya dan minta maaf, lalu ia meninggalkan Thio Jinggoan
dan memapak maju.
Jing-goan berpaling, ia lihat yang datang ialah Boh Wanlian,
ia menjadi heran tetapi bersyukur pula. Segera pula ia
robohkan beberapa berandal yang mencoba hendak
membokongnya, ia dapat merebut sebatang tombak dan terus
menerjang maju dengan gagah berani.
Sementara itu rombongan orang yang berjumlah sekitar
dua ratus orang kini pun telah menyerbu ke atas, mereka
memakai tanda bendera 'Tay-jing-ping-se-ong', ternyata
rombongan itu dipimpin oleh seorang perwira Go Sam-kui
yang berkedudukan di Ciam-ek, ia mendapat perintah dari Go
Sam-kui untuk mewakilkannya menerima penggabungan
gerombolan Ngo-liong-pang ini.
Kala itu Go Sam-kui secara resmi belum memberontak pada
pemerintah Boan-jing, maka benderanya masih memakai
tanda Tay-jing atau Jing Raya.
"Coba kaulihat apa yang tertulis di atas bendera itu,
bukankah aku tidak mendustaimu!" kata Wan-lian pada si
pemuda baju kuning itu sambil menunjuk bendera yang
bertuliskan 'Tay-jing' itu.
Pemuda itu dapat melihat sendiri Ngo-liong-pang telah
membagi sebagian orangnya pergi menyambut dan memberi
hormat pada perwira pemimpin rombongan yang datang itu,
lalu perwira itu membentak dan memberi komando
serdadunya untuk menangkap orang-orang Thio Jing-goan.
Keruan pemuda itu menjadi gusar, tanpa ragu-ragu lagi ia
menerjang ke dalam barisan orang-orang itu, segera berandalberandal
Ngo-liong-pang pada minggir menyingkir. Maka
dalam sekejap saja ia sudah menerobos sampai di depan
perwira tadi. Melihat para berandal Ngo-liong-pang pada menyingkir,
dan seorang pemuda dengan mata mendelik serta tangan
mengepal menerjang datang, sedang serdadunya ternyata tak
dapat menahannya, perwira itu menjadi terkejut, cepat ia
menarik ku danya menerjang, tak terduga si pemuda baju
kuning dengan kecepatan luar biasa, hanya beberapa kali
lompatan saja tahu-tahu sudah menghadang di depan
kudanya, dengan suara menggelegar ia membentak dan mata
melotot hingga kuda itu kaget dan berdiri tegak.
Lekas perwira itu menahan kudanya dan ia angkat
tombaknya, sekuat tenaga ia menusuk dari atas. Tetapi
pemuda itu tak gentar, ia tidak mundur malahan ia mengulur
tangannya menyambut datangnya tombak orang sambil
membentak pula, "Turun !" Tanpa ampun lagi perwira itu
terbanting jatuh ke bawah kuda.
Waktu seorang bintara dengan mati-matian hendak
menolong, kembali terdengar suara bentakan, "Kembali kau!"
Dan pemuda baju kuning itu pun mengangkat tangannya
menyodok ke dada musuh, tahu-tahu bintara itu terlempar
pergi, senjatanya pun terpental jatuh.
Segera pula perwira tadi dikempit oleh si pemuda sembari
merebut sebatang golok dari seorang serdadu, seketika kepala
perwira itu dipenggalnya. Keruan serdadu Boan dan para
berandal Ngo-liong-pang pada ketakutan dan tiada lagi yang
berani mendekatinya. Pemuda itu menerjang pergi datang
dalam pertempuran itu, seperti memasuki daerah yang tak
bermanusia. Kelima pemimpin Ngo-liong-pang mula-mula kegirangan
waktu mendengar suara pemuda baju kuning. Bala bantuan
telah datang, si pemuda baju kuning pun sudah tiba, meski
musuh lebih tangguh lagi, kini pun tidak takut lagi, begitulah
pikir mereka. Tetapi tak lama kemudian, suara bentakan pemuda baju
kuning makin menjauh dan tidak menuju ke jurusan mereka,
maka mereka pun menjadi heran dan kuatir.
Lewat tak lama kemudian, Theng Ngo-him yang membantu
dengan senjata rahasia dari belakang melihat pemuda baju
kuning dengan wajah gusar telah berlari kembali dan di
tangannya menjinjing satu kepala manusia, ia menjadi girang
dan berteriak, "Si Baju kuning telah datang!"
"Si Baju kuning! Lekas ke sini, tua bangka di depan ini
adalah orang jahat!" seru Li Ji-pa cepat waktu nampak
pemuda itu datang.
Tapi pemuda itu tak berkata apa-apa, ia mengangkat
tangannya, kepala manusia yang masih mengucurkan darah
itu telah melayang ke dalam kalangan. "Plok", tahu-tahu
kepala itu sudah mengenai muka Li Ji-pa.
Waktu melemparkan kepala manusia itu dengan gusar
pemuda itu malah mendampratnya, "Kaulah yang jahat!"
Li Ji-pa tak menyangka oleh timpukan kepala tadi, keruan
permainan toyanya menjadi kacau. Pada kesempatan itulah
Pho Jing-cu lantas merangsek, lengan bajunya menggulung,
toya orang kena dilibat dan terlempar pergi. Waktu Ci Si-lin
memukul dari sebelah kanan, tanpa berpaling lagi, kedua
lengan baju Jing-cu menyampuk ke belakang, dengan tipu
pukulan 'Huan-jiu-gim-yang' atau membalik tangan
menangkap kambing, hanya sekali sengkelit saja Ci Si-lin telah
kena disampuk roboh sehingga kelengar. Berbareng itu, kaki
kanan Jing-cu melayang juga, Li Ji-pa tertendang pergi dan
terbinasa. Ngo-liong atau lima naga kini sudah hilang dua naga,
dengan sendirinya pertahanan mereka segera menjadi
lumpuh. Dengan kekuatan Ngo-liong saja tak mampu
menandingi Pho Jing-cu, apalagi kini hanya tertinggal Samliong.
Hendak kabur pun tak mungkin lagi.
Tio Sam-ki yang menyerang dengan menyangga tubuh
memakai kedua tangannya, hanya mengandalkan kedua
kakinya yang bekerja, lama kelamaan pun tak tahan lagi.
Waktu itu ia sedang membalik tubuh hendak bangun, tetapi ia
sudah diincar oleh Pho Jing-cu, ketika kakinya menyapu sambil
membentak, "Biar kau pun merasakan kakiku ini!"
Dan belum sempat Tio Sam-ki membalik tubuh, ia sudah
kena disapu tulang kakinya dan patah kedua-duanya terus
jatuh menggelongsor.
Dalam pada itu, Theng Ngo-him sedang melepaskan tiga
biji Cit-le yang penghabisan dan segera hendak mundur buat
kabur. Namun Jing-cu malah mengulur tangan menangkap
senjata rahasia itu. Tangannya sudah terlatih ilmu 'Thi-ci-sian'
atau tenaga jari baja, ia tak kuatir terluka dan kena racun,
maka dengan gampang saj a ia tangkap kedua biji Cit-le dan
dengan bergelak tertawa ia berkata, "Nih, kau pun coba-coba
menyambutnya!"
Berbareng itu cepat sekali ia timpukkan kembali kedua biji
senjata rahasia itu. Yang satu tepat membentur Cit-le ketiga
dan yang lain terus menyambar ke tubuh Theng Ngo-him
dengan kecepatan luar biasa. Meski Theng Ngo-him sendiri
ahli senjata rahasia Cit-le, tetapi ia tak mampu menghindari
senjata rahasia miliknya sendiri, maka betul-betul 'senjata
telah makan tuannya', pundaknya telah berlubang terkena
senjata itu, ia menjerit ngeri dan roboh terguling.
Demi nampak gelagat jelek, Thio it-houw berpikir paling
selamat segera angkat langkah seribu. Akan tetapi sudah
terlambat, si pemuda baju kuning tahu-tahu sudah
menghadang di depannya.
"Lekas kau membantuku, bukankah sudah sekian lama aku
memeliharamu!" kata It-houw gugup.
Namun wajah pemuda itu tiada memberi suatu tanda, ia
hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.
Thio It-houw menerobos ke kiri, tetapi belum kakinya
berdiri tegak, pemuda itu sudah menggerakkan tubuhnya
kembali dan sudah bisa menghadang di depannya pula, Ithouw
mencoba menyelusup ke kanan, tetapi kembali si
pemuda itu sudah berada di sana pula.
Keruan It-houw kerupukan, mendadak kedua tangannya
memukul dengan sepenuh tenaga, ia meyakinkan ilmu
pukulan 'Tiat-soa-cio', maka berat pukulannya ini tidak kurang
ribuan kati. "Apa betul kau hendak berkelahi?" kata si pemuda itu
sambil mengangkat tangan menangkis. Dan begitu tangan
beradu, It-houw merasakan seperti memukul batu, ia sendiri
malahan terpental pergi.
Saat itu justru Jing-cu sudah memburu maju, ia
menyambar tubuh orang dan sekaligus menotok hingga Ithouw
lemas terkulai.
Ngo-liong kini sudah terbinasa empat dan satu terluka,
perwira pasukan Boan dari Go Sam-kui sudah mati juga
dipenggal oleh si pemuda baju kuning, tentu saja para
serdadu dan berandal yang tak tahan oleh terjangan dan
gempuran Thio Jing-goan dan kawan-kawan, mereka lari
tunggang-langgang. Thio Jing-goan pun tidak memburu, maka
dalam sekejap saja mereka sudah kabur bersih!
Pada waktu itulah pemuda baju kuning tadi dengan
menggendong tangan sedang berjalan mondar-mandir dengan
menundukkan kepala, Wan-lian mencoba mendampinginya,
dengan kata-kata lemah lembut ia menghiburnya, tiba-tiba
pemuda itu mendongak dan memandang jauh dengan air
mata meleleh, tetapi tiba-tiba pula ia tertawa lebar dan
dengan suara rendah ia berkata kepada Wan-lian, "Kau sangat
baik, aku menurut pada perkataanmu!"
Melihat keadaan pemuda itu, tergerak hati Jing-cu, ia
meninggalkan mereka dan menyeret Thio It-houw ke samping
dan melepaskan totokannya tadi.
"Aku hendak bertanya padamu, jika kau mengaku terus
terang, akan kuampuni jiwamu," demikian kata Pho Jing-cu.
It-houw menjadi girang, "Silakan bertanya, silakan!"
sahutnya cepat.
"Di puncak atas jalanan Can-to di Kiam-kok ada tinggal
seorang tua hitam kurus, kenalkah kau siapa dia?" tanya Jingcu.
"Mengenal Kiam-kok saja aku belum," jawab It-houw
bingung. "Betulkah katamu?" bentak Jing-cu.
"Buat apa berdusta?" sahut It-houw dengan ketakutan.
Tiba-tiba Jing-cu mengulur tangannya menepuk punggung
orang, ia menggunakan ilmu 'Hun-kin-co-kut' atau memisah
otot dan meremuk tulang, saking sakitnya hingga It-houw
menjerit ngeri.
Ilmu 'Hun-kin-co-kut' itu lihainya melebihi segala macam
alat siksaan, orang yang terkena pasti merasa otot dan tulang
di seluruh badan seakan-akan retak, sungguh penderitaan
yang susah ditahan.
"Apa yang bisa kukatakan, kalau memang aku tak
mengetahui, bagaimana?" teriak It-houw kesakitan.
"Melihat orang disiksa masih berkata tidak tahu, pula de=
ngan kepandaiannya hendak mencapai puncak yang ditempati
orang tua hitam kurus itu mungkin juga sulit baginya, agaknya
memang betul-betul tidak kenal siapa orang tua itu. Akan
tetapi mengapa sebelum menghembuskan napasnya yang
penghabisan, orang tua itu masih meninggalkan pesan
tentang Ngo-liong-pang dan minta dicarikan seseorang,
siapakah orang yang harus dicari itu sebenarnya" Apakah
pemuda baju kuning ini?" demikian pikir Pho Jing-cu.
Karena itu pundak It-houw digabloknya lagi sekali sambil
membentak, "Dan darimanakah pemuda baju kuning ini?"
It-houw tak tahan oleh gebukan itu sehingga darah segar
menyembur dari mulutnya, ternyata ia takut disiksa lagi maka
dengan menggigit putus lidah sendiri ia pun membunuh diri.
Saat itu pihak Thio Jing-goan dan kawan-kawan sudah
mengerumuni Pho Jing-cu untuk menghaturkan terima kasih,
mereka mengajak pula bila orang tua ini suka ikut bersama
mereka ke Kun-bing. Dan karena soal Ngo-liong-pang yang
hendak diselidiki tak keruan juntrungannya, maka Jing-cu pun
berpikir tiada jeleknya pergi ke Kun-bing mencari Leng Bwehong
dan Lauw Yu-hong di samping sekalian bisa membantu
Li Lay-hing pula, maka ajakan itu telah diterimanya.
Begitulah duduk perkaranya, Pho Jing-cu, Boh Wan-lian dan
si pemuda baju kuning serta Thio Jing-goan dan kawan-kawan
kemudian telah sampai di Kun-bing, tetapi begitu tiba segera
mereka dikejutkan pula oleh kejadian yang di luar dugaan.
Kiranya begitu datang, segera Thio Jing-goan mendapat
tahu dari kawan-kawannya yang telah tiba terlebih dahulu
bahwa Li Jiak-sim terputus hubungan dengan mereka yang
diadakan secara rahasia. Beberapa hari kemudian barulah
diperoleh berita bahwa Li Jiak-sim bersama seorang laki-laki
yang bermuka codet telah terjebak di dalam Ong-hu. Keruan
Thio Jing-goan dan kawan-kawan kerupukan bagai semut di
dalam wajan yang panas, mereka bermaksud menyerbu OngTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hu untuk menolong pemimpin mereka itu, tetapi maksud ada
tenaga kurang, apa daya" Hendak mengirim berita minta
bantuan juga jarak perjalanan terlalu jauh.
Syukur beberapa hari kemudian mereka mendapat berita
pula. bahwa cucu Go Sam-kui yang bernama Go Se-hoan
menderita semacam penyakit aneh, separoh badannya kaku
mati tak bisa bergerak, sudah banyak tabib-tabib terpandai di
seluruh negeri telah diundang, namun sebegitu jauh belum
ada yang berhasil menyembuhkannya.
Itulah kesempatan yang bagus bagi Pho Jing-cu, tanpa pikir
lagi ia panggul peti obatnya terus melamar ke Ong-hu bahwa
dirinya sanggup menyembuhkan penyakit itu.
Nama Pho Jing-cu yang tersohor di seluruh negeri waktu
itu, dengan sendirinya Go Sam-kui sudah lama mendengarnya,
hanya tak diketahuinya bahwa selain ilmu tabibnya yang sakti
itu, Jing-cu adalah tokoh silat yang terpendam pula.
Maka lamaran Jing-cu pun segera diterimanya dan
disambut dengan sangat hormat. Dan sudah tentu, dengan
ilmu tabib Pho Jing-cu yang sakti, penyakit yang diderita Go
Se-hoan itu tak sulit baginya untuk disembuhkan, hanya satu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

resep saja separoh tubuh yang mati kaku itu sudah bisa
bergerak kembali, lima hari kemudian lantas pulih seperti
biasa. Keruan saja Go Sam-kui menyanjung Pho Jing-cu bagai
dewa, sebaliknya Jing-cu pura-pura memuji pula diri orang,
maka hanya dalam beberapa hari saja ia sudah dianggap
orang sendiri dan diberi izin masuk keluar Ong-hu sesukanya
secara bebas. Tatkala itu Po Tiau yang ikut diseret masuk ke penjara air
oleh Leng Bwe-hong lagi menjalankan siasat menahan lapar,
tetapi kemudian makanan diberikan lagi karena Go Sam-kui
tidak menginginkan kematian Li Jiak-sim, tetapi beberapa hari
kemudian makanan yang dikerek turun itu selalu kembali
dalam sisa yang banyak, hal ini menandakan orang di dalam
penjara itu pasti sedang tak sehat alias jatuh sakit, Go Samkui
mengua-tirkan keselamatan Li Jiak-sim yang besar artinya
bagi gerakan pemberontakannya itu dan diperlukan untuk
mengadakan persekutuan dengan pihak orang, apalagi di
dalam penjara itu terdapat pula Panglima kesayangannya, Po
Tiau, maka diputuskannya menurunkan seorang tabib ke
dalam penjara, ia pikir pilihan paling tepat rasanya ialah Pho
Jing-cu, selain tinggi ilmu pertabibannya, juga erang dari
perantauan jauh, sekalipun rahasianya diketahui juga tiada
bahaya. Dan begitulah dengan kepandaian Pho Jing-cu, akhirnya ia
telah dapat menolong Li Jiak-sim, Leng Bwe-hong dan Lauw
Yu-hong, bahkan melalui orang-orang Thio Jing-goan yang
dipasang di dalam Ong-hu telah diadakan kontak dengan Boh
Wan-lian dan si pemuda baju kuning untuk datang membantu
pada saat yang tepat, maka terjadilah peristiwa Ong-hu
terbakar dan kacau balau.
Demikianlah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menceritakan
pengalaman mereka dengan jelas. Sementara itu lilin pun
sudah terbakar habis, fajar pun sudah mulai menyingsing,
sinar sang surya remang-remang tampak di ufuk timur.
Namun begitu si pemuda baju kuning masih tetap menggeros
dengan nyenyaknya.
Maka paling dulu Li Jiak-sim menghaturkan terima kasih
pada Pho Jing-cu yang telah menolongnya itu, kemudian
sambil menuding si pemuda baju kuning, ia pun berkata,
"Pada diri orang ini tentu tersembunyi rahasia yang luar biasa.
Sungguh sayang ilmu silatnya begini tinggi, tetapi telah
menderita penyakit yang begitu aneh. Dalam keadaan kita
semua membutuhkan tenaga seperti dia sekarang ini, harap
Pho-Locianpwe dan Boh-kohnio berusaha menyembuhkannya
sebisa mungkin."
"Aku pun harus berterima kasih pada Li-kongcu dan Lengtayhiap,"
sahut Pho Jing-cu. "Kalian berdua telah menekankan
bahwa orang tua kurus hitam itu bernama Kui Thian-lan, asal
bisa tahu bahwa orang tua itu she Kui, rasanya penyakit
pemuda ini sudah ada jalannya untuk disembuhkan."
"Apakah arti kata-kata Pho-locianpwe ini?" tanya Jiak-sim
heran. "Ya, bukankah kaulihat sendiri sewaktu ia lewat di bawah
pohon Kui malam kemarin, perasaannya lantas tak tenteram?"
kata Wan-lian tersenyum. "Kemudian pada waktu makan
malam, manisan yang terbikin dari bunga Kui, tiba-tiba ia
marah-marah dan membanting manisan itu hingga
berantakan."
"Nonaku yang baik, makin lama kau makin maju, sedikit
kemahiranku ini selekasnya pasti akan tertumpah semua
padamu," puji Jing-cu sambil tertawa.
Habis itu ia pun berbangkit, ia menggulung sehelai kertas
dan mengkilik-kilik hidung si pemuda, maka terdengarlah
suara pemuda ini sambil menggerakkan kaki tangannya.
"Nah, sekarang kami keluar semua, kini harus melihat ilmu
penyembuhanmu, nona!" kata Jing-cu pula pada Wan-lian
sembari mesem, lalu bersama Bwe-hong dan lain-lain keluar.
Dan sesudah bergerak beberapa kali tiba-tiba pemuda itu
melompat bangun sembari berteriak, "Harimau! Harimau!"
"Jangan takut, ada aku di sini. Mimpi buruk apakah yang
kau alami*?" kata Wan-lian lembut sambil mendekati orang.
Pemuda itu mengetuk kepalanya pelahan lalu ia pentang
pula matanya lebar-lebar dan memandang sekitarnya. "He,
apakah aku telah bertempur dengan orang" Apakah aku
membunuh orang?" tanyanya cepat dan kuatir demi nampak
sepasang pedangnya menggeletak di lantai.
"Tidak," sahut Wan-lian. "Kau turun dari loteng lalu tertidur
di sini!" Pemuda itu berusaha mengingatnya kembali dengan
memusatkan pikirannya, Wan-lian mendampinginya dan
memandang orang dengan sorot matanya yang tajam.
"Apakah ini bukan dalam mimpi?" tanya si pemuda sambil
garuk-garuk kepalanya dan merasa kesal.
"Bukan," sahut Wan-lian. "Kalau tak percaya, coba kau gigit
jarimu sendiri."
"Kalau begitu, ada apa kaudatang ke sini?"
"Kudatang untuk memberitahu padamu siapakah gerangan
kau ini," sahut Wan-lian tenang.
Pemuda itu seperti terkejut. "Silakan lekas kaukatakan,"
katanya kemudian dengan cepat.
"Tetapi lebih dulu harus kauceritakan mimpi buruk apa
yang kau alami tadi, barulah nanti kuberitahukan tentang
dirimu," ujar si gadis.
"Baiklah, biar kuceritakan terlebih dahulu," sahut si pemuda
setelah berpikir sejenak. "Dalam mimpi aku seperti berada di
atas suatu gunung yang tinggi, di atas gunung itu terdapat
dua pohon Kui" berkata sampai pada pohon Kui, wajahnya
tiba-tiba berubah pucat, dan sesudah berhenti sejenak, lalu ia
menyambung lagi, "Dan di bawah pohon ada dua ekor biri-biri,
se-ekoT tua dan seekor muda. Mendadak dari udara
menyambar turun seekor harimau, harimau itu bersayap tetapi
sangat welas asih, ia hanya bermain dengan anak biri-biri itu.
Kemudian entah mengapa biri-biri tua itu telah berkelahi
dengan harimau, dengan tanduknya yang lancip biri-biri tua
itu telah mendesak harimau itu munduT terus, lalu harimau
terbang ke atas terus balas menggigit dengan beringas.
Kemudian aku menimpuknya dengan batu dan dapat
mematahkan sayapnya. Kedua biri-biri itu mengembik, lalu
terjadilah angin puyuh, pohon Kui tertiup patah dan dahannya
mengenai hidungku, lantas aku mendusin tadi."
Sambil mendengarkan cerita orang, Wan-lian berpikir juga,
dan setelah selesai orang bercerita, dengan sorot mata tajam
ia pun berkata, "Dengarlah sekarang, biar aku memberitahu
padamu. Bukankah kau menyangsikan dirimu pernah
membunuh seseorang yang paling kaucintai, tetapi kaulupa
siapa adanya orang itu bukan?"
Tubuh pemuda itu sedikit gemetar, lalu ia pun
mengangguk-angguk.
"Tetapi kau tak berani mengingatnya, sebab orang itu
adalah ayahmu, kau menyangka ayahmu sendiri telah
kaubunuh," sambung Wan-lian.
Mendadak wajah si pemuda berubah hebat, seketika ia
mengulur tangan mencengkeram ke atas kepala Wan-lian.
Namun si gadis berdiri tegak sambil memandang orang
dengan tenang. Tangan pemuda itu sudah menyentuh rambut
si gadis, dengan ilmu silatnya yang begitu tinggi, asal sedikit
meremas saja sek"lipun sepuluh orang Wan-lian tak akan
hidup pula. Tetapi si gadis dengan tersenyum menatap orang
dengan sinar mata tajam hingga pemuda itu tertegun.
"Tetapi sebenarnya kau tak pernah membunuh ayahmu,"
kata Wan-lian lagi dengan pelahan. "Lekas kauangkat
tanganmu, jangan kaukusutkan rambutku, aku bisa marah
kalau kau masih tak mengangkat tanganmu."
Tiba-tiba pemuda itu menghela napas panjang, bagai ayam
jago yang sudah keok ia mendeprok lemas, ia menutupi
mukanyi dan menangis terguguk.
Wan-lian membetulkan rambutnya, ia biarkan orang
menangis sejenak, kemudian barulah ia mendekatinya, ia
pegang pundak orang dan berkata-dengan suara lembut,
"Bangunlah kau. Sudahkah kini kau ingat siapa adanya dirimu
ini?" Pemuda itu menurut dan berdiri. "Belum! Yang kuingat
ialah benar-benar aku sudah membunuh ayah!" sahurnya
kemudian. "Tetapi bila kubilang tidak membunuhnya, pasti kau tidak
membunuhnya, kau percaya tidak" Nah, biar kutunjukkan
sesuatu padamu," ujar gadis itu.
Lalu ia mengambil pit dan kertas di atas meja itu, alat tulis
itu bekerja cepat, tidak antara lama, sebuah lukisan
pemandangan alam sudah selesai digambarnya. Lukisan itu
menunjukkan pemandangan sebuah puncak yang menonjol di
tepi jalan yang berliku-liku dan di bawahnya adalah lembah
dengan lereng-lereng gunung yang curam.
"Lihatlah sekarang, kaukenal tidak tempat ini?" tanya Wanlian
sesudah menyelesaikan lukisannya. Pemuda itu bersuara
heran. "He! Ya, tempat itu aku mengenal betul dan seperti
pernah bertempat tinggal di sana," katanya cepat.
Dan ketika Wan-lian mengerjakan pitnya lagi, ia
menambahi pula dua pohon cemara di antara puncak gunung
yang menonjol itu, di bawah pohon diberinya pula sebuah
rumah petak. "Salah, kau salah melukisnya," seru si pemuda tiba-tiba,
"Rumah itu dekat pohon cemara sebelah kanan dan bukan di
tengah-tengah kedua pohon itu."
"Betul kau," sahut si gadis. "Tempat ini kau lebih hapal
daripada diriku. Sengaja kubikin kesalahan sedikit, tetapi kau
segera mengetahuinya."
Dalam pada itu si pemuda sudah mengambil tempat duduk
sambil menunjang janggut, Wan-lian tak urus padanya, ia
melukis terus, ia menambahi lukisannya tadi dengan dua
orang tua di depan rumah itu, yaitu si orang tua berparas
merah dan si kakek hitam kurus.
Wan-lian adalah putri seniman Boh Pi-kiang yang terkenal,
bakat ilmu sastra dan seni lukisnya diperoleh dari keturunan
orang tuanya, dengan sendirinya lukisannya bagus luar biasa.
Dan setelah selesai semuanya, ia menggoyang pundak si
pemuda dan berkata padanya, 'Lihatlah kini yang lebih jelas,
siapakah di antaranya ialah ayahmu."
Waktu pemuda itu mementang matanya lebar-lebar,
seketika ia pun melompat bangun begitu melihat lukisan itu.
"Tenang, jangan gugup!" ujar Wan-lian.
Wajah pemuda itu berubah hebat, ia berdiri tegak bagaikan
patung di samping lukisan itu. Lama dan lama sekali,
mendadak ia menunjuk pada si orang tua berparas merah
dalam lukisan itu dan berteriak, "Orang inilah yang telah
kubunuh!" "Apakah dia ayahmu?" tanya Wan-lian.
"Seperti betul, tetapi juga seperti bukan," sahut pemuda itu
tak lancar. "Mana boleh jadi?" ujar si gadis.
"Ya, sebab orang ini seperti lebih dekat hubungannya
dengan diriku," kata si pemuda pula sembari menunjuk si
orang tua hitam kurus. "Tetapi asal aku melihat wajahnya,
lantas timbul semacam perasaanku yang jemu tak terkatakan
padanya, tetapi merasa juga kasihan padanya Sudahlah,
singkirkan lukisan itu, aku tak ingin lagi melihatnya dan tak
hendak mengingatnya pula. Nona Boh, cara bagaimana kau
bisa mengenal mereka" Dari mana kau seperti tahu juga
urusanku yang telah lampau itu?"
Wan-lian memegang tangan orang pelahan, dengan suara
lembut ia mengatakan bagai kakak berkata kepada sang adik,
"Janganlah kau menyangka telah membunuh ayahmu lagi!
Tetapi sebenarnya tidak kaulakukan. Kau tak mau mengingat
kembali pada orang tua hitam kurus itu, tetapi sebenarnya tak
pernah kaulupa padanya. Dalam mimpimu yang buruk tadi,
biri-biri tua yang kauceritakan itu melambangkan dia dan anak
biri-biri melambangkan kau sendiri, harimau bersayap adalah
orang tua paras merah itu. Sebab kau menahan diri tak mau
memikirkannya, maka mereka telah muncul dalam wujud lain
dalam mimpimu itu, dan batu yang kausambitkan itu mungkin
adalah senjata rahasiamu."
"Jika begitu, pohon Kui yang patah tertiup angin dan
daliarnya yang mengenai hidungku, cara bagaimana
memecahkannya?"" tanya si pemuda.
"Pohon Kui melambangkan juga si orang tua hitam kurus
itu, nama sebenarnya Kui Thian-lan, apakah kau tak
mengetahuinya?" kata Wan-lian. "Mungkin kaucinta padanya
tetapi juga benci padanya, maka ia mirip biri-biri yang ramah
taman, dan seperti pohon Kui yang patah tertiup angin.
Mengenai dahan pohon yang menimpa hidungmu itu tiada
sangkut-pautnya dengan ramalan mimpimu, itu disebabkan
Pho-pepek mengkilik-kilik lubang hidungmu dan menimbulkan
khayalan dalam impianmu."
Pemuda itu termangu-mangu oleh penjelasan si gadis,
lewat sejenak kemudian tiba-tiba ia menangis terguguk-guguk
lagi. "Kecuali kau membawaku menemui orang tua paras merah
itu, bila tidak, tak bisa kupercaya bahwa dia tidak terbunuh
olehku," katanya kemudian.
Wan-lian mengerutkan kening oleh permintaan orang, ia
berpikir, akhirnya ia mengambil keputusan dan berkata,
"Baiklah, aku akan membawamu pergi menemuinya."
Meski ia tidak yakin bisa menemukan ayah orang, tetapi
asal bisa menyembuhkan penyakitnya, segala jalan hendak
ditempuhnya. Sebulan kemudian, di jalanan Can-to yang curam
tertampak pula tiga orang pria dan wanita pengelana berada
di puncak Kiam-kok itu, mereka adalah Leng Bwe-hong, Boh
Wan-lian dan si pemuda baju kuning.
Setelah mengobrak-abrik istana Ping-se-ong di Kun-bing, Li
Jiak-sim memperkirakan gerakan pemberontakan Go Sam-kui
segera akan dilancarkan, maka pada hari kedua sesudah
mereka semua lolos dari bahaya, bersama orang-orangnya ia
pun kembali ke pangkalannya. Pho Jing-cu dan Lauw Yu-hong
telah menerima ajakan Li Jiak-sim untuk ikut serta, hanya
Leng Bwe-hong bertiga saja yang tetap ingin melanjutkan
rencana mereka untuk menyembuhkan penyakit si pemuda
baju kuning itu.
Sebelum mereka berangkat, Jing-cu telah berpesan pada


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Boh Wan-lian, "Nak, sejak ayahmu meninggal, belasan tahun
mi kita selalu berdampingan bagai ayah dan anak, tetapi ayah
dan anak ada kalanya harus berpisah juga. Pemuda baju
kuning itu adalah seperti batu Giok yang belum diasah, apabila
suatu ketika daya ingatnya sudah pulih kembali, pasti ia akan
memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, apalagi pemuda
itu selalu mengunjuk hati yang jujur dan martabat yang tinggi
meski dalam keadaan tak ingat asal-usul diri sendiri, maka
hendaklah kau menj aganya baik-baik."
Setelah itu, orang tua ini memberi petunjuk-petunjuk pula
seperlunya yang bersangkutan dengan penyakit hilang
ingatan, kemudian barulah mereka berpisah.
Di lain pihak, diam-diam Lauw Yu-hong juga sedang
memberi salam perpisahan pada Leng Bwe-hong. "Begitu
bantuanmu pada nona Boh untuk menyembuhkan pemuda itu
sudah berhasil, harap kau segera kembali," demikian katanya
dengan suara berat. "Kuharap pada suatu hari bisa bersamasama
melihat arus Ci-tong-kang denganmu untuk
mengenangkan kejadian yang telah hanyut terbawa
gelombang ombak sungai itu."
"Aku tidak hilang ingatan seperti pemuda baju kuning itu,
dan aku tidak lupa hal-hal yang dulu Ya, pada suatu hari
pastilah akan kukatakan padamu," demikian sahut Bwe-hong
setelah tertegun sejenak.
Mata Yu-hong berkaca-kaca, ia diam terharu, akhirnya
berpisahlah mereka dengan perasaan berat.
Sama halnya Boh Wan-lian harus berpisah juga dengan
orang tua yang paling dicintainya selama hidup itu. Hanya
sesudah berpisah dari Pho Jing-cu, Boh Wan-lian bergembira
ria segera sesudah jalan berendeng dengan pemuda baju
kuning, makin hari gadis inipun bertambah lincah dan masak,
sinar asmara sudah menyapu bersih awan gelap riwayat
hidupnya yang selama ini merundung perasaannya.
Sebaliknya Bwe-hong masih merasa kesal dan berduka,
tatkala dalam penjara air hampir-hampir saja ia berkata terus
terang siapakah dia sebenarnya, dan waktu berpisah, hampirhampir
juga ia mengaku kejadian-kejadian yang telah silam
pada Yu-hong. Tetapi ia masih bisa menahannya, ia suka pada
wataknya sendiri yang kepala batu, namun kini timbul juga
penyesalannya, pada wataknya sendiri yang terlalu kukuh itu.
Begitulah, maka sepanjang jalan ia hanya mengikut di
belakang Wan-lian dan si pemuda baju kuning. Diam-diam
Bwe-hong tertawa sendiri dengan tugasnya yang aneh ini bila
menyaksikan muda-mudi yang berjalan berendeng di
depannya itu, ia diminta oleh Pho Jing-cu dan Li Jiak-sim
untuk melindungi Boh Wan-lian yang mendampingi si pemuda
baju kuning karena kuatir sewaktu-waktu pemuda ini bisa
mencelakai si gadis bila tengah malam penyakitnya kumat
terus berkeliaran tanpa ingat dirinya sendiri. Namun bila
menyaksikan betapa kasih sayang kedua muda-mudi di
depannya sekarang ini, sekalipun si pemuda lupa daratan tak
kenal siapa pun di jagad ini, rasanya kata-kata Boh Wan-lian
pasti akan diturutinya juga, demikian pikir Bwe-hong.
Dan nyatanya sepanjang jalan daya ingat pemuda ini makin
hari makin jernih hingga selama itu tiada terjadi sesuatu yang
tak diinginkan.
Hari itu lewat lohor, mereka sudah sampai puncak teratas
Kiam-kok. Nampak tempat ini, sorot mata pemuda baju kuning
jelalatan, ia menghalau semua rintangan dijalan dan dengan
cepat dan hafal sekali ia telah menemukan rumah petak di
bawah kedua pohon cemara itu.
Ia menerobos masuk, tetapi tiada seorang pun di dalam
rumah itu, ia meraba benda-benda yang tertinggal di situ,
yakni sebuah bangku dan sebuah meja, di dinding tergantung
sebuah gendewa dengan anak panahnya, tampaknya ia begitu
sayang pada benda-benda itu. Tiba-tiba ia menangis
tergerung-gerung terus berlari keluar.
"Di sinilah, ya, di sinilah aku telah membunuh ayahku,"
demikian ia berteriak sembari menunjuk jurang yang curam di
bawahnya. "Kini aku sudah ingat, aku dibesarkan di rumah ini,
orang tua hitam kurus yang kaulukis itu telah mengajarkan
ilmu silat padaku, mula-mula ia adalah ayahku, tetapi
kemudian mendadak berubah bukan lagi. Lian-cici, kini aku
sudah berada di sini, lekaslah, lekas kauceritakan seseorang
keluargaku."
Tadinya Wan-lian menyangka setelah sampai di tempat
pemuda itu dibesarkan, tentu ia akan ingat kembali segala apa
yang lalu, siapa tahu orang masih tetap lupa ingatan. Dan
ketika Wan-lian ragu-ragu, mendadak Leng Bwe-hong
mendekati sambil menunjuk jauh ke bawah lembah gunung
sana. Ternyata tempat yang ditunjuk itu kelihatan ada berkelipnya
api, kalau mata tidak terlatih tentu tak akan melihatnya.
Dan kalau ada api tentu di sana ada rumah tinggal,
demikianlah pikir Bwe-hong.
Ketika ia melongok ke dalam jurang yang curam dan gelap
itu, tiba-tiba terbayang olehnya pengalaman di Hun-kang
tempo hari dimana dalam pergulatan dengan Coh Ciau-lam,
mereka telah terjerumus ke dalam jurang, tetapi kesemuanya
tiada yang tewas. Meski keadaan ICiam-kok ini jauh lebih
curam daripada Hun-kang, tetapi kalau berilmu silat tinggi,
dan ada orang yang membantunya, rasanya tak akan
terbinasa apabila jatuh ke bawah.
Karena pikiran itu ia berpaling, dilihatnya si pemuda baju
kuning masih tersedu-sedan dengan semangat lesu.
"Sementara kaujaga dia, aku akan mencoba turun melihatnya
ke sana," demikian ia berpesan pada Wan-lian. Habis itu,
kedua tangannya dipentang dan segera ia melompat ke bawah
jurang. Sebelum meloncat turun, Leng Bwe-hong sudah mengincar
dengan baik sebuah batu cadas yang menonjol keluar di
tebing jurang itu, maka dengan Ginkang atau ilmu
mengentengkan tubuhnya yang tinggi itu segera ia meloncat
turun, setibanya di atas batu menonjol yang sudah diincarnya
itu ia terus menutul dengan kakinya, kemudian melompat lagi
ke bawah dengan berganti gerakan pada batu cadas yang lain
dan begitulah seterusnya, maka beruntun belasan kali gerakan
menutul pada batu cadas itu, akhirnya ia bisa menancapkan
kaki dengan selamat di lembah gunung.
Di bawah sana ternyata penuh batu-batu aneh yang
berserakan di sana sini sehingga jalan menjadi tak rata, ia
menyalakan api memeriksa keadaan sekitarnya, tetapi tiada
sesuatu yang luar biasa. Dan selagi ia hendak menuju ke
tempat dimana terdapat sinar api tadi, tiba-tiba didengarnya
ada sambaran angin tajam dari samping.
Leng Bwe-hong sudah kawakan berkelana di Kangouw dan
sudah banyak mengalami pertempuran besar, maka sedikit
mengegos saja, am-gi atau senjata rahasia yang menyambar
datang itu sudah dielakkannya, tetapi api yang dia nyalakan di
tangan itu pun padam.
Keruan ia terkejut, ia lemparkan puntung api itu.
Sementara angin tajam sudah berkesiur lagi, bahkan
membawa suara mendenging yang kencang, suatu tanda
betapa keras sambaran senjata rahasia ini. Dengan
mendengar suara angin Bwe-hong sudah tahu dari arah mana
datangnya serangan, maka sedikit ia menggeser tubuh maka
sebuah am-gi segera lewat dekat pinggangnya.
Dalam pada itu ia gusar juga oleh serangan yang berulangulang
itu, sekali ia mengayun tangannya ke depan, ia sampuk
jatuh senjata rahasia kedua yang sudah menyusul tiba itu,
berbareng itu ia angkat tangan yang lain ke atas, maka
senjata rahasia ketiga pun dapat ditangkapnya.
Waktu Bwe-hong meremas-remas senjata rahasia itu, ia
merasa bentuknya bundar kecil dan di tengahnya berlubang
seperti anting-anting.
"Siapakah kau?" segera pula Leng Bwe-hong membentak.
"Membokong dari tempat gelap, apakah ini perbuatan seorang
jantan?" "Bangsat," tiba-tiba satu suara berat menyambut dengan
seram dari kejauhan. "Mencelakai orang di malam gelap masih
berani bicara tentang kejantanan" Fui, nih, coba kausambut
lagi tiga buah ini!"
Dan belum lenyap suaranya, tahu-tahu tiga buah am-gi
menyambar pula. Kembali Leng Bwe-hong menggunakan cara
mendengar suara angin membedakan arah serangan untuk
menghindarkan diri. Tetapi tahu-tahu menyambar dari sebelah
kanan. Keruan saja Bwe-hong tertipu, ia bisa menghindarkan
sebuah, sedang dua buah lainnya telah mengenai hiat-to atau
jalan darah tubuhnya dengan tepat.
Baiknya Lwekang Leng Bwe-hong sudah sampai
puncaknya, pada waktu menangkap senjata rahasia orang
tadi, segera ia tahu orang ini adalah seorang jagoan, maka ia
sudah siap sedia, begitu luput menangkap am-gi orang segera
jalan darah tubuhnya ia tutup semua, walaupun begitu, tidak
urung ia merasa sakit juga di tempat yang tertotok itu hingga
ia bersuara kesakitan.
Pada saat itu juga, dengan cepat dari tengah semak-semak
yang rindang tiba-tiba melompat keluar seorang berbaju
hitam, agaknya disangkanya Leng Bwe-hong sudah roboh
terkena senjata rahasianya.
"Bangsat celurut, sekarang baru kaurasakan lihainya
nyonya besarmu ini," demikian kata orang itu sambil mencaci
maki. Siapa tahu, rasa sakit Bwe-hong tadi hanya sekejap saja
dan sama sekali tak terluka, ia menjadi gemas oleh kekejian
musuh, kini tiba-tiba nampak munculnya orang, keruan ia tak
sungkan-sungkan lagi, tiga buah senjata rahasianya yang
istimewa, Thian-san-sin-bong, bagai kilat lantas menyambar.
"Nih, biar kau tua bangka inipun merasakan lihainya tuan
besarmu," demikian ia pun balas membentak.
Ketika mendadak nampak tiga sinar hitam keemas-emasan
menyambar dari depan, cepat sekali orang itu yang ternyata
seorang nenek tua sedikit mengegos berbareng pedangnya
me-nyampuk ke depan, maka terdengarlah suara nyaring
diikuti meletiknya lelatu api, menyusul dengan berdiri pada
sebelah kaki, tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang
menggunakan gerakan Thian-pan-kio' atau jembatan papan
besi, ia bermaksud menghindarkan dua 'Sin-bong' yang lain.
Tak terduga cara Leng Bwe-hong melepas am-gi juga
sangat aneh, tiga buah Sin-bong menyambar beruntun,
kedengarannya susul menyusul satu sama lain. Tetapi sial bagi
si nenek, Sin-bong pertama bisa dihindari, kecepatan Sin-bong
kedua seperti agak lambat, tetapi begitu sampai di atas
kepalanya, tahu-tahu Sin-bong ketiga sudah menyambar tiba
secepat kilat hingga membentur Sin-bong kedua itu. Tatkala
itu si nenek lagi menggunakan kepandaiannya yang
mengagumkan dengan badan mendoyong dan berdiri dengan
sebelah kaki, ia sedikit berputar hingga tempatnya sudah
menggeser. Namun begitu Sin-bong ketiga masih tetap
mengenai kain ikat kepalanya hingga terbang dan rambutnya
yang ubanan terurai.
"Sungguh berbahaya," demikian kata si nenek diam-diam
setelah" berdiri kembali. Waktu ia periksa senjatanya, ia lihat
pedang itatergumpil oleh benturan Sin-bong tadi.
la terkejut, belum pernah selama hidupnya bertemu lawan
setanggul ini, ia curiga juga kalau-kalau orang datang hendak
menuntut balas. Karena itu, ketika tubuhnya bergerak, bagai
elang ia menubruk Leng Bwe-hong dari atas sambil pedangnya
membacok, ia menyerang dengan ilmu pedang 'Ngo-khimkiam-
hoat' yang sangat lihai.
Di lain pihak segera Leng Bwe-hong melolos pedang juga,
ia tahu akan bahaya serangan si nenek dari atas itu, lekas ia
memutar sedikit dan melompat mundur, namun belum sempat
ia menancapkan kaki dengan baik tahu-tahu telah terdengar
suara "Bret", lengan bajunya ternyata sudah tersambar ujung
pedang orang. Tentu saja Bwe-hong menjadi gusar, begitu
bergerak, sekali putar ia menyabet dengan pedangnya secepat
kilat sehingga kedua senjata saling bentur dan terpental
mundur. Kedua orang sama-sama tergetar dan tangan
kesemutan. "Sayang pedang Yu-liong-kiam sudah kuberikan pada Lauw
Yu-hong, bila tidak, pasti senjatanya sudah terkuning,"
demikian pikir Leng Bwe-hong. Sebaliknya si nenek juga
sedang berpikir, "Sayang Ngo-khim-kiam-hoat yang
kukeluarkan tadi tidak disertai perubahan di tengah jalan,
kalau tidak, tentu rubuhnya sudah berkenalan dengan
pedangku."
Nyata si orang tua ini tidak tahu bahwa Leng Bwe-hong
adalah ahli waris Thian-san-kiam-hoat.
"Berhenti dulu, siapakah kau sebenarnya?" bentak Bwehong
pula sambil menarik senjata dan membalik badan.
Namun nenek itu hanya menjengek, ia tak menggubris
orang, beruntun ia melontarkan serangan-serangan yang
berbahaya pula.
"Aku menghormatimu yang lebih tua, apa kaukira kutakut
padamu?" kata Bwe-hong gusar.
"Kalau tua, mau apa?" sahut nenek itu sengit. Berbareng
pedangnya menyambar terlebih kencang hingga Bwe-hong
terkurung dalam lingkaran sinar pedangnya.
Bwe-hong tak sabar lagi, ia mainkan Thian-san-kiam-hoat
yang hebat, ia kenal ilmu pedang 'Ngo-khim-kiam-hoat' orang
yang mengutamakan menyerang dari atas dan selalu menindih
senjata lawan ke bawah, bila musuh hendak merubah
kedudukan, segera kesempatan itu didahuluinya menyerang
lagi. Dan justru ilmu pedang Leng Bwe-hong berlawanan
dengan ilmu pedang si nenek, tiap-tiap gerak serangannya
selalu dari bawah ke atas untuk mencari tempat luang musuh
dan setiap serangannya adalah tipu mematikan dari Thiansan-
kiam-hoat yang lihai. Memangnya Thian-san-kiam-hoat ini
adalah himpunan inti sari berbagai ilmu pedang aliran lain
hingga susah diraba perubahannya dan tepat sekali dipakai
mengatasi Ngo-khim-kiam-hoat orang.
Namun nenek itu ternyata sangat ulet, meski ilmu
pedangnya kalah lihai, namun kalau dalam sekejap Bwe-hong
hendak mengalahkannya juga sulit.
Begitulah mereka saling rangsek dengan hebatnya hingga
dalam waktu singkat sudah ratusan jurus mereka bergebrak,
dan baru saja Bwe-hong mematahkan sekali serangan lawan
terus hendak melontarkan serangan balasan, tiba-tiba dari


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas gunung melayang turun dua bayangan orang.
"Kau sedang berkelahi dengan siapa, Leng-tayhiap?"
demikian seru seorang di antaranya dari jauh.
"Nona Boh, kalian sudah datang juga?" sahut Bwe-hong.
"Nih, di sini ada seorang tua gila, kalian jangan mendekat
dulu, biar kubereskan dia".
Rupanya ia kuatir senjata rahasia nenek tua ini terlalu lihai
hingga Wan-lian mungkin dicelakainya.
Tengah Bwe-hong berbicara, serangan si nenek malah
bertambah gencar dan balasan serangan berbahaya
dilontarkan pula. Tiba-tiba ia mengubah serangan lagi dengan
tipu 'Soan-hong-so-yap' atau angin puyuh menyapu daun,
begitu pedangnya menyambar dari atas, mendadak ia
menggeser dan menyabet kaki Bwe-hong, tipu serangan ini
sangat berbahaya lagi keji, terpaksa Bwe-hong menarik
pedang menjaga diri.
Tetapi gerak tipu berbahaya si nenek itu ternyata
pancingan belaka, ketika Bwe-hong menarik pedang buat
menangkis, dengan cepat ia malah melompat pergi beberapa
tombak jauhnya.
"Ada dendam apakah kami dengan kalian bangsat keparat
ini hingga berulang kali telah mengacau ke sini?" demikian
bentaknya tiba-tiba. "Apakah kamu ingin keroyokan" Segera
kami ada yang melayani juga. Bila berani bolehlah coba
mengejarku!"
Mendengar kata-katanya mengandung maksud tuduhan
tertentu, segera Bwe-hong memburu maju cepat.
"Laupopo (nyonya tua), kami bukan orang jahat, sukalah
kau menerangkan maksud perkataanmu tadi," katanya.
Dalam pada itu si pemuda baju kuning sudah mendatangi
juga. "Siapakah yang sedang kauajak bicara" Inilah aku
datang!" demikian ia berteriak.
Sekonyong-konyong nenek itu membalikkan tubuh dan
mengangkat senjata, Bwe-hong menyangka orang hendak
menyerang pula, maka ia mendahului menusuk. Tak terduga
nenek itu hanya berdiri tegak bagai patung, pedangnya yang
terangkat itu berhenti di tengah dada, lekas Bwe-hong
menarik kembali serangan itu.
"O, kiranya kau, anakku!" tiba-tiba nenek tua itu berseru.
Sebenarnya, Wan-lian bersama pemuda baju kuning itu
berada di atas puncak Kiam-kok, tetapi karena sudah lama
Leng Bwe-hong pergi belum nampak kembali, lalu pemuda itu
diajaknya ikut turun ke bawah. Berkat bantuan pemuda itu,
meski harus merayap hati-hati tidak seperti ilmu
mengentengkan tubuh Bwe-hong, namun akhirnya mereka
bisa turun ke bawah dengan selamat.
Waktu itu si pemuda lagi jalan berendeng dengan Boh
Wan-lian dan sedang mendekati Leng Bwe-hong, ketika
mendadak mendengar seruan, "O, anakku!" Tubuh pemuda itu
seketika tergetar, ia meninggalkan Wan-lian dan berlari
mendekat secepat terbang, lekas Bwe-hong menyingkir
memberi jalan, dan pemuda itu lantas menubruk ke depan.
Tiba-tiba senjata si nenek jatuh ke tanah, ia mengulur kedua
tangannya menanggapi tubuh si pemuda itu terus dirangkul
erat-erat. "O, anakku, sudah sekian lamanya kau pergi, apa kau tidak
merindukan kami?" kata si nenek setengah meratap sambil air
matanya berlinang-linang.
Pertemuan kembali ibu dan anak, rasanya sudah terpisah
berabad-abad. Lama dan lama sekali, barulah si pemuda baju
kuning itu berbangkit.
Sementara itu Wan-lian sudah mendekatinya, ia tersenyum
menahan air mata terharu.
"Inilah nona Boh Wan-lian. Lihatlah, Bu, ia baik sekali,"
kata si pemuda tiba-tiba.
"Apakah kaudatang bersama anakku, nona" Sungguh
banyak terima kasih padamu," kata si nenek sambil
memegang tangan Wan-lian.
"Pekbo (bibi), kini ia sudah jernih kembali ingatannya,
bolehlah kau ajak kembali dia," sahut si gadis.
"Baiklah, bawalah aku menemui ayah, mari kalian pun
ikut!" kata pemuda baju kuning. "He, ibu, apakah orang tua
berparas merah itulah ayah" Apakah tempo hari aku tidak
membunuhnya?"
"O, tidak, tentu tidak! Marilah kau menemuinya dulu,"
katanya pula setengah meratap dengan air mata berlinang,
"O, Tuhan mengapa sedemikian hebat penderitaan kami!"
"Pekbo (bibi), pedangmu!" kata Wan-lian kemudian
sesudah menjemput pedang orang yang jatuh tadi.
Dan barulah nenek itu tenang kembali. "Ya, aku harus
membawa kalian kembali, aku kuatir penjahat itu akan datang
lagi!" katanya kemudian.
Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah maju buat memberi
hormat dan menyebut si nenek sebagai angkatan lebih tua
serta berulang-ulang ia minta maaf.
"Ha! Kiranya kita adalah golongan sendiri, aku telah salah
raba," kata nenek itu sambil tepuk-tepuk pundak Bwe-hong.
"Ilmu pedangmu bagus sekali, malam nanti masih
mengharapkan bantuanmu!"
"Pekbo, ada urusan apa tinggal perintah saja, aku yang
muda tentu akan melakukan sebisanya," kata Bwe-hong.
"Ayahnya terluka parah, sudah lebih tiga bulan aku
merawatnya di sini," kata pula si nenek sambil menunjuk
pemuda baju kuning. "Tempat ini sangat rahasia, tetapi entah
mengapa, paling akhir ini seringkah kedatangan orang asing,
dengan senjata rahasiaku 'Kim-goan', aku pernah menakuti
beberapa orang yang datang itu, tetapi asal aku turun tangan,
orang-orang itu segera, angkat kaki, sehingga tidak tahu
kawan atau lawan, di lembah gunung sana juga sering
terdapat tanda-tanda dan isyarat-isyarat."
"Penjahat yang Pekbo katakan tadi apakah termasuk orangorang
itu?" tanya Bwe-hong.
"Bukan," sahut si nenek. "Orang-orang itu seperti bukan
dari satu komplotan, tiap kali tentu ada satu-dua orang
tergolong cabang atas, bukan anjing dan alap-alap
pemerintah."
"Kalau begitu, penjahat-penjahat itu apakah satu
komplotan tertentu?" tanya pula Bwe-hong.
"Tetapi dua malam terakhir ini agak berlainan, ternyata ada
juga pengawal kerajaan yang berkunjung ke lembah sunyi
ini!" kata si nenek.
"Pengawal kerajaan?" Wan-lian heran, "Ah, boleh jadi
mereka mengira Kui-locianpwe masih hidup, maka telah
datang pula menyelidikinya, atau mungkin juga buat mencari
empat kawan mereka yang dulu."
"Bersama empat pengawal kerajaan itu kini ia sudah
bersemayam di sini untuk selama-lamanya!" kata si nenek
sedih dengan suara terputus-putus.
Dalam pada itu, tiba-tiba si pemuda menangis
menggerung-gerung, "Ya, ya, kini aku telah ingat, Kui Kui"
"Ialah ayah-angkatmu," sela si nenek cepat.
Pemuda itu tertegun, tanpa berkedip ia memandang orang
tua itu. Si nenek menyeka air mata yang meleleh di pipi
pemuda itu dengan lengan bajunya. "Tentang kejadian ini,
biarlah nanti ayahmu yang menceritakan," katanya kemudian.
Setelah itu, ia berkata pula kepada Leng Bwe-hong, "Malam
kemarin dulu, ada beberapa pengawal kerajaan yang ternyata
dapat mencari ke rumah batu kami itu. Malam pertama
bersama murid ayahnya, kami dapat membuat mereka ngacir.
Malam kedua mereka datang lagi. Karena kurang hati-hati,
Tiok-kun terkena sebatang anak panah dan terluka tangan
kirinya, beruntung hanya luka enteng saja. O, ya, aku lupa
memberitahukan, Tiok-kun ialah adik perempuannya"
"Aku kenal putrimu, ia cantik sekali," kata Wan-lian.
"Ya, aku si tua bangka betul-betul sudah pikun, waktu nona
bercerita tentang kejadian tempo hari itu, seharusnya aku
sudah mengetahuinya," kata si nenek sambil mengetuk batok
kepalanya sendiri. "Pada hari itu walaupun aku tidak berada di
Kiam-kok, tetapi Tiok-kun menceritakan bahwa ada seorang
tua dan seorang gadis menginap di situ dan telah membantu
membinasakan beberapa pengawal itu. Dan gadis itu tentu
adalah nona?"
Wan-lian mengangguk membenarkan. "Dan orang tua itu
ialah pamanku Pho Jing-cu," katanya.
"Ha, kiranya adalah tabib sakti jaman ini Pho-losiansing
yang dikagumi semua orang gagah dari segala golongan, si
Bu-kek-kiam Pho Jing-cu," kata si nenek tak terduga. "Malam
itu kalau tiada kalian, ayah-angkatnya entah akan merasakan
siksaan dan hinaan apa dari musuh sebelum tewas."
Tiba-tiba, si nenek dengan satu gerakan cepat memburu
maju. "Para penjahat itu ternyata sudah datang lagi!" katanya.
Dengan cepat Bwe-hong mengikuti orang melewati satu
lereng bukit, segera mereka mendengar suara-suara
bentakan. Waktu mereka memandang, terlihat sesosok
bayangan hitam berperawakan tegap sedang menghadapi dua
jago pengawal dengan payah sekali.
Tanpa pikir lagi, sekali bentak dua buah Sin-bong Leng
Bwe-hong sudah mendahului Kim-goan si nenek menyambar
ke depan, maka terdengar dua suara jeritan ngeri, seorang
dari jago-jago pengawal itu masih hendak lari namun Kimgoan,
anting-anting emas, senjata rahasia si nenek sudah
terlepas dari tangannya, tetapi sayang tak mengenai
sasarannya. Nenek itu lebih dulu sampai di tempat, ia lihat seorang
pengawal menggeletak tak berkutik, agaknya binasa terkena
Sin-bong tadi. Begitu melihat Bwe-hong, tidak sempat lagi berkenalan,
dengan cepat si lelaki tegap itu lantas menarik tangan si
nenek dan berkata, "Subo (ibu guru), lekas periksa Suhu
dulu!" Waktu semua orang ikut laki-laki tegap itu masuk ke dalam
rumah, maka tertampaklah sebuah tempat tidur terletak di
tengah-tengah dikitari belasan patok kayu, tiga patok paling
teugal" sudah patah dan tercopot dari tanah. Di pembaringan
itu rebah seorang tua berparas merah, di depannya menjaga
seorang gadis sambil menghunus pedang. Dalam rumah itu
bahkan menggeletak pula seorang pengawal kerajaan.
"Bagaimana?" tanya si nenek kuatir begitu melangkah
masuk. "Beruntung tidak apa-apa, dengan sekali sapu, ayah sudah
dapat mampuskan keparat ini!" kata si gadis.
Sementara itu si pemuda baju kuning sudah menerobos
masuk juga ke dalam rumah. Si gadis kegirangan bercampur
sedih demi mengenali pemuda ini, sambil menarik tangan si
pemuda berulang-ulang ia memanggil, "Koko!"
Pemuda itu menyahut sekali, tetapi segera ia lepaskan
tangan si gadis dan dengan cepat menubruk ke atas tempat
tidur dan merangkul orang tua berparas merah itu.
"Ayah! O, ayah! Kau tidak mati bukan?" teriaknya sambil
menangis. Orang tua itu tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga, ia
sedang istirahat mengumpulkan semangat, waktu mendengar
suara panggilan itu, tiba-tiba ia membuka matanya.
"Siapa bisa matikan aku" Ha, ha! Kiranya kau telah
kembali!" teriaknya keras dan matanya bersinar girang, tibatiba
ia melompat, tetapi sekonyong-konyong pula ia jatuh ke
atas tempat tidurnya dan tak sadarkan diri.
Si nenek sangat terkejut, tetapi Boh Wan-lian sudah
mendahului di depannya, ia memeriksa nadi orang tua itu.
"Pekbo," katanya kemudian, "Ia segera akan siuman
kembali, kalian tak usah kuatir, ia hanya terlalu girang, maka
sementara telah pingsan."
Gadis yang menghunus pedang tadi sementara telah
menyimpan kembali senjatanya, ia menarik-narik tangan Boh
Wan-lian dan menghaturkan terima kasih. "Cici, masih
ingatkah padaku" Terima kasih, sudah dua kali kau membantu
dan menolong kami," katanya.
"Harap jangan sungkan lagi," sahut Wan-lian. "Agaknya
Lopek (paman) sakit pian-sui (mati separuh badan) dan tadi
telah bertempur seru dengan musuh, bukan?"
"Tidak begitu seru," kata si gadis sambil menuding tubuh
yang menggeletak itu. "Bangsat ini telah menubruk ayah,
tetapi tertahan sedikit oleh cagak-cagak kayu itu, segera
dengan sebelah sikunya menahan tubuh, sekonyong-konyong
ayah mengayun kaki hingga tiga cagak kayu kena disapu
putus, penjahat itupun terjungkal dan segera mampus."
"Ilmu serangan bagian bawah orang tua ini sungguh hebat
sekali, tak heran kalau dahulu Kui Thian-lan terluka oleh
kakinya yang lihai ini!" demikian pikir Bwe-hong diam-diam.
Tak lama kemudian betul juga si orang tua itu pelahanlahan
telah sadar kembali, ia merangkul dan mengamat-amati
si pemuda baju kuning. Orang-orang dalam rumah sama
menahan napas saking terharunya, mata Wan-lian ikut
mengembeng basah.
"Ayah, dapatkah kau menceritakan asal-usulku!" kata
pemuda baju kuning dengan suara rendah sesudah agak lama.
Wajah si orang tua berubah pucat demi mendengar
permintaan itu. "Mintalah ibumu yang menceritakannya
dahulu, mana yang kurang biarlah nanti aku yang
menambahkan," sahutnya kemudian.
Maka dengan suara tak lancar dan tangan sedikit gemetar,
si nenek memegang tubuh pemuda itu dan bercerita,
"Namamu ialah Ciok Tiong-bing"
"Tidak, harus dipanggil Kui Tiong-bing," potong si kakek
tiba-tiba. Karena kata-kata itu, mendadak si nenek melototkan
matanya. "Aku hanya ingin dia ingat baik-baik pada ayah angkatnya,"
kata si kakek mencoba menerangkan.
Nenek itu menghela napas, ia mencoba menenangkan diri,
setelah itu barulah ia menyambung ceritanya. "Dan ayahmu
bernama Ciok Thian-sing, dia dan Kui Thian-lan murid dari
Eng-kong-luar-mu," demikian si nenek meneruskan. "Kui
Thian-lan adalah Suheng dan ia adalah Sutenya. Pada lima
puluh tahun yang lalu Engkong-luar-mu itu terkenal dengan
nama Cwan-tiong Tay-hiap Jap Hun-sun dan aku adalah puteri
tunggalnya. Engkongmu tak mempunyai anak laki-laki, maka
kakak-beradik seperguruan ini dianggap seperti anaknya. Aku
belajar silat bersama mereka, maka soal adat istiadat laki-laki
perempuan tak banyak diperhatikan. Hubungan kakak-adik


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperguruan mereka sangat rapat dan akur sekali, hanya saja
Thian-sing berwatak keras dan berangasan, sebaliknya Thianlan
sabar dan tenang. Aku dan mereka seperti saudara
sekandung saja, tetapi meski Thian-sing berwatak keras, aku
malahan bisa lebih cocok. Sesudah kami mulai dewasa, pada
suatu hari Engkongmu secara diam-diam telah bertanya
padaku, bahwa sudah waktunya aku berumah, tangga, maka
perlu mengatakan terus terang, siapa di antara meTeka
berdua yang kupenujui?"
Karena cerita ini, si kakek paras merah itu ternganga.
"Bagian cerita ini belum pernah kudengar darimu!" katanya
kepada si nenek.
"Waktu Engkongmu bertanya padaku, aku baru sebesar
nona Wan-lian, coba pikir, seorang gadis bagaimana berani
menjawab," demikian si nenek melanjutkan. "Tetapi
Engkongmu menggumam dan berkata sendiri, 'Thian-lan
orangnya tulus!' Dan karena perkataannya itu tak tahan lagi
aku menyeletuk, 'Ya, sebab terlalu tulus, maka dalam usia
masih muda sudah mirip seorang kakek-kakek.' Engkongmu
berkata pula, 'Sebaliknya Thian-sing berwatak keras.' Dan
kataku, 'Hanya ini saja yang kurang baik!' Maka tertawalah
Engkongmu terbahak-bahak, katanya, 'Mereka kakak-adik
seperguruan, berturut-turut justru dalam beberapa hari ini
sama-sama mengajukan lamaran padaku. Aku sedang susah
mengambil keputusan, tetapi kini sudah terang, kau sendiri
telah mengatakannya.' Keruan saja aku menjadi malu dan
segera berlari pergi. Besoknya Engkongmu lantas menerima
lamaran Thian-sing."
Mendengar sampai di sini si kakek itu tertawa lebar,
tampaknya sangat gembira.
Tetapi si nenek sebaliknya berwajah muram, dengan
menghela napas ia melanjutkan pula, "Tidak seberapa lama,
aku lantas menikah dengan ayahmu, dan tahun kedua lahirlah
kau dan diberi nama Tiong-bing. Sang waktu lewat dengan
cepat dan selama itu kami hidup rukun dan bahagia. Dalam
sekejap saja enam tahun sudah berlalu, waktu itu usia Thianlan
sudah lebih tiga puluh tahun, tetapi ia masih tetap
membujang. Kami semua tinggal serumah di tempat
Engkongmu dan masih tetap akur seperti saudara. Pernah
ayahmu bertanya padanya mengapa masih belum mau
menikah, ia tidak menjawab. Tetapi aku bisa menerka
pikirannya, namun tidak enak untuk diutarakan, tak pernah
aku mengucapkan sepatah katapun perkataan yang menusuk
perasaannya sebaliknya ia pun tidak merasa benci dan
dendam padaku."
"Ketika kami menikah, pasukan Boan-jing sudah lama
masuk ke pedalaman, tetapi karena kami terpencil di Su-cwan,
sedang propinsi ini menjadi bumi Thio Hian-tiong, kami tidak
banyak mengetahui kejadian di luar. Kemudian sesudah Thio
Hian-tiong tewas, bawahan Sun Ko-bong dan Li Ting-kok
masih tetap menduduki Su-cwan, pasukan Boan masih repot
mengamankan daerah tengah, maka tidak sempat
menggempur ke selatan. Kami seperti tinggal di suatu dunia
luar yang tidak mengetahui apa-apa. Baru pada waktu kau
berumur lima tahun, pemerintah Boan mulai menyerang Sucwan,
asal leluhur ayahmu berada di daerah selatan Su-cwan,
maka ayahmu hendak pulang menjemput familinya mengungsi
ke daerah utara. Waktu itu aku sudah mengandung pula dua
bulan, dengan sendirinya tak bisa mengiringinya. Sebelum
berangkat ia berpesan pada Thian-lan Toako agar suka
menjaga kami, baru setelah itu ia berangkat dengan lega."
"Tak terduga, belum ada setengah bulan sejak ia
berangkat, pasukan Boan-jing sudah membanjiri Su-cwan,
hubungan terputus, rakyat mengungsi jauh. Engkongmu
sudah berusia lanjut, karena kejadian yang sangat luar biasa
itu, belum sampai pasukan Boan tiba, ia sudah
menghembuskan napasnya yang penghabisan. Tetapi sebelum
mangkat ia masih berpesan kepada Thian-lan untuk
melindungi kami pergi mengungsi.
"Dalam masa pelarian itu, penghidupan dalam pengungsian
sungguh sangat menyedihkan, kelaparan dan kehausan sudah
biasa, tempat tinggal lebih-lebih susah, kadang orang banyak
berjubel di suatu tempat, tempo-tempo bermalam di tempat
terbuka di hutan sunyi. Thian-lan ingin menghindarkan
omongan iseng, dan aku justru sedang hamil sehingga tak
bisa berpisah dengan dia, penderitaan lahir batin itu sungguh
susah dilukiskan. Adik perempuanmu justru dilahirkan di hutan
bambu yang sunyi, maka diberi nama Tiok-kun."
"Setelah pasukan Boan memasuki Su-cwan, beruntun
beberapa tahun tergenang dalam kancah peperangan, sudah
dua tahun kami dalam pengungsian, tubuh kami sudah kurus
kering, dirnana-mana kami mencari ayahmu, tetapi sedikitpun
tak berhasil. Belakangan, dari kawan-kawan dunia persilatan
diperoleh kabar bahwa ayahmu sudah tewas dalam suasana
huru-hara itu. Tetapi kami hanya setengah percaya saja."
"Penghidupan dalam pengungsian makin lama makin sulit,
dengan membawa kalian berdua saudara jalan bersama.
Thian-lan pun sangat tidak leluasa. Waktu itu Thian-lan
bersama beberapa ratus petani yang masih agak sehat
berkumpul dan berunding untuk pergi menggabungkan diri
dengan Li Ting-kok, tetapi Thian-lan menguatirkan aku dan
kalian berdua. Ada beberapa kawan pengungsi lantas
memberitahu padanya, bahwa di tempat Li Ting-kok dibentak
'batalion wanita' dan dapat menampung keluarga para
pejuang, tetapi hanya terbatas keluarga lurus pejuang saja.
Kata mereka, dalam pengungsian kenapa banyak pakai adat
istiadat lagi, tidaklah kamu berdua menikah saja?"
Bercerita sampai di sini, nenek itu memandang sekejap ke
arah kakek paras merah.
"Teruskanlah ceritamu, kini aku sudah tahu bahwa itu
bukan salahmu," kata si kakek.
"Usia kita sudah lanjut, soal apa yang pantang
diomongkan" Biarlah di hadapan anak-anak kuterangkan
sekalian," kata si nenek sambil menghela napas.
Setelah itu ia melanjutkan pula ceritanya, "Malam itu juga
Thian-lan bertanya padaku, bagaimana dengan pikiranmu, aku
berpikir agak lama, kemudian baru aku menjawabnya, kabar
berita Thian-sing sedikitpun tiada, anak-anak pun masih kecilkecil,
dalam pengungsian selalu kelaparan dan kehausan,
negara pun sudah hancur, penghidupan seperti ini betul-betul
sengsara sekali, selain menggabungkan diri pada Li Ting-kok,
agaknya memang tiada jalan lain lagi. Kemudian Thian-lan
berkata pula, sebenarnya kupandang kau dan Thian-sing
seperti saudara sendiri. Waktu kita masih belajar bersama,
terus terang memang aku menaruh hati padamu. Tetapi sejak
kau menikah, sudah lama aku matikan pikiranku itu. Untuk
menghindarkan salah paham Thian -sing, aku selalu menjaga
agar tiada sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaannya,
tetapi kini kita dipaksa dan mau tidak mau harus menjadi satu.
Kita adalah kaum Kangouw, kau tidak perlu kukuh soal
kesucian, aku pun tidak pandang janda atau bukan, soal
peradatan ini sama-sama tidak kita perhatikan, maka, adikku,
biarlah kita gunakan tanah sebagai dupa dan berdoa agar
Thian-sing Hiantit bisa memaafkan kita!"
"Dan karena keadaan sudah memaksa, aku dan Thian-lan
rela mengikat diri dalam pengungsian. Namun begitu kami pun
ingin sekedar merayakannya, maka besoknya kami lantas
memberitahu kawan-kawan seperjalanan, mereka semua ikut
girang, mereka mencari dan mengumpulkan banyak rumput
dan kulit pepohonan, bahkan beruntung dapat memburu dua
ekor babi hutan, di suatu kota pedusunan yang sudah
ditinggalkan penduduknya, kami menemukan satu ruangan
untuk dijadikan kamar pengantin, malahan ada kawan yang
menuliskan beberapa baris huruf besar sebagai tanda
kebahagiaan di atas pintu. Kata mereka, 'Selama ini kita hanya
dirundung awan sedih dan kabut malang, biarlah hari ini kita
bergembira, nanti sesudah Thian-lan menikah, biarlah ia
memimpin kita pergi pada Li Ting-kok!' Tak terduga, urusan
memang kadang-kadang sangat kebetulan, justru pada malam
itu juga, belum kami menutup pintu kamar, ayahmu sudah
kembali!" "Kalau tidak begitu kebetulan, tentu tidak membawa
kejadian belakangan ini yang menyedihkan," demikian si kakek
menyambung cerita si nenek. Setelah mengangguk-angguk ia
melanjutkan kembali, "Sesudah aku berpisah dengan ibumu
dan pergi menjemput familiku, tak tahunya di tengah jalan
telah bertemu dengan pasukan Boan, sepanjang jalan aku
hanya kebat-kebit kuatir, aku selalu memilih jalan kecil saja,
tak disangka sesampainya di kampung halamanku, rumahku
sudah menjadi puing, familiku pun telah terbunuh semua,
dalam kesedihan dan kegusaran itu, aku berniat
menggabungkan diri dengan pasukan sukarela, tetapi aku
merindukan anak istri pula, maka aku lantas terbatik
mencarinya. Tatkala itu semua tempat tertimpa malapetaka
yang sama, aku ikut mengungsi dengan orang banyak, kian
kemari aku mencari makan sambil berusaha mencari kalian.
"Sudan dua tahun terlunta-lunta masih belum juga
diperoleh suatu kabar kalian. Pada sore hari itu, rombongan
kami pun tiba sampai di dusun dimana kalian berada. Kami
menjadi heran melihat sekelompok pengungsi yang sedang
bergembira, menyanyi sambil menari, kami heran dan
bertanya apa yang terjadi, seseorang lantas menceritakan,
katanya Toako mereka Kui Thian-lan menikah dalam
pengungsian itu. Segera aku bertanya siapa pengantin
perempuannya, orang itu bilang seorang janda yang sudah
mempunyai dua anak, malahan kabarnya puteri Cwan-tiong
Tay-hiap Jap Hun-sun!"
"Mendengar itu seketika darahku mendidih, hatiku terbakar,
aku membalikkan tubuh lantas berlari pergi. Waktu itu aku
sungguh luar biasa sedihnya karena kehilangan keluarga, pula
berulang-ulang mengalami hal-hal yang tak enak, watakku
yang sudah keras bertambah berangasan, aku tidak bisa
memikirkan kesulitan orang lain lagi. Pikirku dengan gemas,
'Aku menghormati Thian-lan sebagai saudara sedarah
sedaging, dan mempercayakan istri dan menitipkan anak,
siapa, tahu ia malahan menggunakan kesempatan pada waktu
istriku dalam kesusahan untuk memaksa menikahinya,
jahanam yang berhati binatang ini betul-betul tidak bisa
diampuni!' Oleh karena kasih sayang kami suami-istri yang
memang baik sekali, maka waktu mendengar kejadian itu,
segera aku menguruk segala kesalahan atas diri Thian-lan.
Namun setelah berpikir pula, aku ragu-ragu apakah istriku
juga sudah berubah. Maka malam itu tanpa berpikir lagi
segera aku menyelidiki kamar pengantin mereka "
"Ya, aku masih ingat dengan baik malam yang seram itu,"
lanjut si kakek setelah berhenti sejenak. "Aku poles dulu
mukaku dengan hangus dan pergi ke tempat mereka, aku
kuatir kalau dikenalinya. Pikirku, aku harus melihat dulu
bagaimanakah sebenarnya hubungan mereka" Apabila istriku
menikah karena dipaksa oleh Thian-lan, aku segera akan
membunuh manusia berhati binatang itu, tetapi kalau terjadi
karena suka sama suka, segera aku membunuh mereka
berdua. Sebenarnya aku hendak berangkat sesudah lewat
tengah malam, tetapi hatiku yang panas tak tertahankan lagi.
Dari jauh aku melihat para tetamu yang datang memberi
selamat sudah pulang, segera aku menggunakan ilmu berjalan
malam menuju ke sana, aku mendengarkan di luar kamar
pengantin apa yang sedang mereka percakapkan?"
"Tetapi karena pengintipan itu, aku dibuat lebih gusar lagi
hingga dadaku hampir meledak. Istriku ternyata sudah
berpesan pada anak-anak, 'Ingat, mulai besok kalian harus
memanggil Kui-pepek sebagai ayah!' Suaranya begitu wajar,
biasa saja, tiada tanda-tanda sedih atau menderita. Dan selagi
aku hendak turun tangan, mendadak Thian-lan telah berteriak,
'Ada penjahat!' Dalam gusarku, segera aku menimpukkan
beberapa anak panah, tetapi istriku pun mengangkat
tangannya menimpukkan beberapa buah anting-anting, itu
adalah senjata rahasianya yang tunggal dan sudah dilatihnya
sejak kecil!"
"Waktu itu mimpi pun kami tidak menyangka bahwa orang
itu adalah kau," kata si nenek menyambung. "Selama dua
tahun itu penderitaan apa saja yang sudah kaurasakan,
seumpama air mata akan mengalir pun sudah tak bisa lagi
karena sudah kering. Waktu itu kami menduga kau sudah
meninggal, andaikan tidak juga sulit untuk bertemu. Thian-lan
sangat baik sekali terhadapku, setelah aku bersedia
menikahinya, dengan sendirinya aku menyuruh anak-anak
memanggil ayah padanya. Tak disangka-sangka mendadak
kau telah datang, bahkan tanpa bertanya segera
menimpukkan senjata rahasia. Kami menyangka kedatangan
orang jahat, maka aku telah menimpukmu dengan Kim-goan."
"Tak usah kauterangkan lagi, kini segalanya aku sudah
tahu, itu adalah salahku," kata si kakek dengan senyum sedih.
"Tetapi waktu itu karena amarahku sedang memuncak, pikiran
sehatku sudah hilang, maka aku tak menghiraukan apa-apa
lagi. Begitu Thian-lan meloncat keluar, segera aku memberi
beberapa kali serangan yang berbahaya. Tak terduga
kepandaian Thian-lan jauh melebihiku, hanya beberapa
gebrakan segera aku tahu bukan tandingannya. Sementara itu
kau pun sudah datang hendak membantunya sehingga makin
menambah kegemasanku.
Pikirku, "Bagus sekali kalian berdua telah bersatu, malam
ini biarlah kuterima hinaan dan lari, nanti aku akan mencari
guru lain dan belajar lagi, setelah meyakinkan kepandaian
tinggi, akan kucari kalian berdua.'. Bagaimanapun juga aku
harus membalas sakit bati tentang dia merebut anak-istriku
ini." "Dalam pada itu, sesudah Thian-lan menghindarkan
beberapa seranganku tadi, mungkin ia sudah dapat melihat
pukulan-pukulan yang segolongan dengan dia, maka ia lantas
berseru, 'Siapa kati" Lekas katakan agar tidak mencelakai
orang sendiri!' Pada waktu ia berseru sebuah anting-antingmu
telah menyambar lagi dan mengenai 'Sam-li-hiat'-ku, tamutamu
yang masih ada di situ pun berbareng bantu menyerang
dengan bermacam senjata rahasia. Aku diam saja tak
menjawab, aku mencopot baju kuning yang kupakai, baju itu
adalah buatanmu sendiri sesudah kita menikah, biasanya aku
sayang memakainya, tetapi malam itu sengaja kupakai dengan
maksud hendak membikin gusar kau, sayang kau tak
mengenali aku. Setelah kutanggalkan baju kuning itu, dengan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu 'Tiat-poh-san' aku menyambut serangan senjata rahasia
itu, tapi karena harus menghindari serangan Kim-goanmu, aku
terlambat sedikit hingga terluka oleh dua panah dan darah
membasahi baju kuning itu. Tiba-tiba aku menggunakan baju
itu untuk menutup ke atas kepala Thian-lan sambil berteriak,
'Kalau berani bunuhlah aku"' Sekonyong-konyong ia jatuh
terperosok ke bawah, aku membalikkan tubuh dan segera
berlari, lalu apa yang terjadi lagi aku tidak mengetahui."
"Waktu itu memang aku sudah mengenali suaramu, aku
menjadi tercengang, ketika aku mendusin kembali, mana bisa
tampak bayanganmu lagi, terpaksa aku menolong Thian-lan,"
kata si nenek. Sampai di sini hati semua orang ikut merasa berat, suasana
sunyi membeku. "Semua ini disebabkan oleh orang!" kata Wan-lian tiba-tiba
sambil menghela napas.
"Ya, siapa pun tak bersalah, yang salah ialah perang," kata
si nenek bergumam. "Peperangan menghancurkan rumah
tangga, menceraikan keluarga, menimbulkan salah paham dan
membikin lelakon sedih. Perhitungan ini harus dicatat atas
keparat bangsa Boan-ciu!"
"Dan setelah Thian-lan sadar kembali, air matanya
bercucuran," kata pula si nenek melanjutkan. "Sesudah lama
baru ia berkata padaku, 'Moaymoay, kalau Thian-sing ternyata
masih hidup, bagaimanapun kita harus menemukannya dan
supaya kalian berkumpul kembali.' Tentu saja aku pun berpikir
demikian, tetapi watak Thian-sing yang keras berangasan aku
cukup kenal, kukuatir urusan ini sampai mati pun ia tak akan
memaafkan kami."
"Setelah kami tenang kembali, kami lalu berunding lagi
secara mendalam. Kata Thian-lan, 'Karena sudah telanjur,
terpaksa harus membikin susah padamu, biarlah kita tetap
menjadi suami-isteri atas nama saja. Dunia terlalu luas, dalam
sekejap Thian-sing susah dicari juga, penghidupan dalam
pengungsian pun tak bisa diderita terus, pula kau masih
dibebani dua orang anak, tiada jalan kecuali ke tempat Li
Ting-kok untuk menentukan nasib selanjutnya!' Dan begitulah
kami membawa rombongan pengungsi itu menuju ke pasukan
Li Ting-kok berada, di depan umum kami mengaku sebagai
suami-isteri, tetapi sebenarnya hanya berhubungan secara
kakak dan adik. Kinipun aku tak pantang buat bilang terus
terang, dalam beberapa puluh tahun ini, aku dan Thian-lan
boleh dikata putih bersih, tiada sesuatu apa yang di luar
garis!" "Moaymoay, itu sudah lama aku mengetahuinya!" kata si
kakek sambil menyeka air matanya.
Si nenek memandang sekejap padanya, dan selagi ia
hendak bertanya, si kakek telah melanjutkan lagi.
"Tetapi waktu itu aku sudah terlalu gemas atas diri kalian,
karena aku sebatangkara, maka tidak banyak berpikir lagi, aku
lalu mengembara ke seluruh penjuru dunia. Belakangan aku
telah sampai di Sinkiang, di selatan Thian-san aku bertemu
Toh It-hang, seorang yang sengaja menyingkir jauh ke tempat
terpencil di padang pasir, seorang tokoh Bu-tong-pay ternama.
Aku telah belajar padanya dan mendapatkan dua macam
kepandaian, yakni Kiu-kiong-sin-hing-cio dan Wan-yang-lianhwan-
tui. Karena ke-bencianku pada kalian, aku bersumpah
tidak hendak menggunakan ilmu silat golongan kita, aku
memang tinggi hati dan angkali, pikirku, kalau hendak
membalas dendam harus jangan menggunakan kepandaian
yang diperoleh dari ayahmu. Aku pun tahu, kalau soal
kepandaian dari golongan kita sendiri, kau dan Thian-lan
masih jauh di atasku."
"Waktu aku masih kecil, aku pun pernah bertemu Toh Ithang,
ia adalah sahabat karib guruku Hui-bing Siansu," sela
Leng Bwe-hong. "Sayangnya tidak lama setelah aku tiba di
Thian-san, ia lantas meninggal."
"He, kiranya kau adalah murid penutup Hui-bing Siansu,"
kata si nenek heran.
"Pada waktu aku berkelana sampai di Sinkiang, aku pun
mendengar nama Hui-bing Siansu yang tersohor, aku
bermaksud belajar ilmu pedang padanya, tetapi tiga kali aku
naik ke Thian-san dan selalu ia tidak mau menerimaku.
Belakangan karena rongronganku itu, baru ia menyuruhku
mencari guru ternama lainnya dan ia menunjuk Toh It-hang.
Usia orang tua itu kini mungkin sudah dekat seabad,"
sambung si kakek.
"Ya, pantas kau punya Kiam-hoat begitu lihai?" kata si
nenek kepada Leng Bwe-hong sambil mengangguk-angguk,
"Kalau dihitung, kau si orang muda ini ternyata masih
setingkatan dengan kami berdua."
Leng Bwe-hong tersenyum mendengar perkataan orang, ia
merendah dan berkata, "Ah, mana berani aku!"
"Toh It-hang adalah sahabat karib Hui-bing Siansu, sudah
tentu ilmu silatnya termasuk tingkatan atas," demikian si
kakek melanjutkan. "Dan setelah tujuh tahun aku belajar
padanya, ku-yakin sudah mewariskan kedua macam
kepandaiannya tadi, maka buru-buru aku kembali ke Su-cwan
mencari balas pada kalian. Tatkala itu sudah lama Su-cwan
ditaklukkan pemerintah Boan, hanya sisa-sisa pengikut Li Cusing
yang masih bercokol di perbatasan Hun-lam dan Sucwan,
karena mala-petaka peperangan itu, keadaan sudah
banyak berubah maka sobat handai sudah banyak yang
mendahului ke alam baka, aku tak mendapatkan kabar berita
kalian, apalagi hendak menemukannya. Setelah mencari ke
sana kemari, akhirnya tanpa sengaja aku mendengar dari
jago-jago Bu-lim bahwa di puncak Kiam-kok bersembunyi
seorang tokoh silat, aku menduga tentu Thian-lan adanya,
maka dua kali aku mengeluruk ke sana hendak menuntut
balas." "Tak lama sesudah kami menggabungkan diri pada Li Tingkok,
kami lantas mendapat kepercayaannya," ganti si nenek
bercerita. "Thian-lan sangat disayang Li Ting-kok dan aku pun
membantu 'batalion wanita' mereka. Sebenarnya perwira
atasan diperbolehkan tinggal campur dengan keluarga, tetapi
atas kemauan kami sendiri, kami tinggal terpisah. Pada suatu
ketika pernah Li Ting-kok bertanya tentang keganjilan itu,
maka Thian-lan telah berterus terang, dengan spontan Li Tingkok
menyanggupi membantu mencari Thian-sing agar kami
bertiga bisa akur kembali. Rasa setia kawan Li Ting-kok harus
dipuji, dalam kesibukannya memimpin pasukannya itu ia
perintahkan juga orang-orangnya ikut mencari jejak Thiansing,
siapa tahu Thian-sing sudah jauh pergi ke Sinkiang."
"Baju kuning itu adalah buah tanganku sendiri yang
kuberikan pada Thian-sing sewaktu kami menikah. Selama ini
selalu kusimpan baik-baik, di atas baju masih terdapat
beberapa tetes noda darah, maka sengaja kusimpan untuk
Tiong-bing, malahan sejak kecil baju untuk Tiong-bing selalu
kubuatkan dalam warna kuning sehingga dalam pasukan Li
Ting-kok anak ini dipanggil Wi-sah-ji (anak berbaju kuning).
Ada yang heran dan bertanya hal itu padaku, tetapi aku hanya
tersenyum getir dan tak menjawab. Karena itulah, belum
pernah aku menceritakan apa yang sudah terjadi pada Tiongbing,
aku telah bersumpah menunggu mereka ayah dan anak
bertemu kembali baru akan menceritakannya. Dan kini Thian
betul-betul pemurah, mereka ayah dan anak telah berkumpul
kembali!" Sampai di sini, saking terharu oleh cerita itu, air mata si
pemuda baju kuning telah bercucuran. "O, Ibu!" ratapnya
dengan suara rendah.
Si nenek mengelus-elus rambut sang putera dan kemudian
ia melanjutkan ceritanya pula.
"Waktu mula-mula Li Ting-kok menduduki daerah Su-cwan
dan Ku-ciu, kekuatannya waktu itu cukup besar untuk
melawan pasukan Boan. Tetapi sayang, meski sinar sang
surya di waktu senja sangat indah, namun sudah dekat
magrib. Setelah pemerintah Boan mengamankan daerah
tengah, kekuatan pasukan induknya telah dikerahkan
menghadapi Li Ting-kok dari tiga jurusan. Dan justru
pengkhianat-pengkhianat semacam Go Sam-kui dan Ang Singtoh
yang menjadi perintis mereka. Dalam pada itu bawahan
Thio" Hian-tiong yang lain, Sun Ko-bong, tiba-tiba menyerah
pada musuh di garis depan. Karena pukulan-pukulan itu,
terpaksa Li Ting-kok mundur terus dan dikejar sampai Birma
dan akhirnya tewas muntah darah di negeri asing itu. Sebelum
ia meninggal, ia malah menyerahkan sepucuk surat pada
Thian-lan dan berkata, 'Suatu ketika pasti kau akan bertemu
kembali dengan Thian-sing, maka serahkan suratku ini
padanya. Ia adalah murid tokoh silat terkemuka dari Bu-lim
sungguhpun ia tak mempercayaimu, seharusnya percaya
padaku.' Sungguh seorang pemimpin bijaksana dan setia
kawan seperti Li Ting-kok harus dipuji, meski sudah dekat
ajalnya ia masih belum lupa akan urusan pribadiku dengan
Thian-lan."
"Setelan Li Ting-kok wafat, dari Birma kami kembali ke
tanah air, tatkala itu laskar rakyat di Su-cwan sudah
dihancurkan oleh musuh. Thian-lan mengajakku
mengasingkan diri ke Kiam-kok. Ia bilang beberapa kali
pernah diperintah Li Ting-kok datang ke situ, di sana tanaman
subur dan banyak terdapat binatang-binatang, maka soal
makanan tak menjadi masalah, sedang mengenai untuk apa
dulu ia diperintahkan ke Kiam-kok ia tidak menjelaskan dan
aku pun tidak bertanya."
"Ya, maka sesudah kutahu mereka tinggal di sana, segera
aku mencari mereka," sambung si kakek muka merah. "Waktu
itu aku sudah mempunyai seorang murid, namanya Ih-tiong,
kepandaiannya lumayan juga, maka kubawa serta dia ke sana,
aku menyuruh dia menunggu di lembah gunung. Hal ini
sengaja kuatur untuk berjaga-jaga bila aku terbinasa dalam
pertarunganku melawan Thian-lan agar ada orang yang
mengurus mayatku."
"Kedatanganku di tengah malam buta itu sungguh di luar
dugaan Thian-lan, ia bermaksud menjelaskan duduk
perkaranya padaku, tetapi siksaan lahir-batin yang kutahan
selama belasan tahun ini sudah terlalu mendalam, tak nanti
aku mau mendengar lagi ocehannya, begitu berhadapan
segera aku melontarkan tipu-tipu pukulan berbahaya dari Kiukiong-
sin-hing-cio, hingga terpaksa ia harus menangkis.
Mulanya aku menyangka setelah dapat belajar ilmu silat hebat
itu tentu akan dapat memenangkan lawan dengan cepat,
siapa tahu Thian-lan tak menelantarkan latihannya, bukan saja
Tay-lik-eng-jiau-kang dari perguruan sendiri ia latih sampai
puncaknya, bahkan semacam ilmu 'Mi-cio' telah dapat
dilatihnya, ini jarang diketemukan dalam dunia persilatan dan
jauh lebih lihai daripada Kiu-kiong-sin-hing-cio."
"Waktu mulai bergebrak, ia main mundur terus, aku malah
menyangka dia jeri padaku, maka makin gencar aku
menyerang. Memang aku sudah siap untuk gugur
bersamanya. Makin lama makin seru pertarungan kami, ia
mundur terus dan aku juga mendesak terus, sekejap saja ia
sudah terdesak sampai di tepi jurang, pada saat itulah tibatiba
aku mendengar namaku dipanggil orang, aku merandek
dan berpaling, kulihat isteriku sedang mendatangi bersama
seorang pemuda berbaju kuning. Aku menduga pemuda ini
tentu puteraku sendiri yang berpisah sejak kecil, kuingin sekali
bisa melihatnya, aku terkesima sejenak, segera pula aku
memapaknya."
"Siapa duga mendadak ia mengayun tangannya, tiga biji
'Kim-goan' telah ditimpukkannya padaku, ilmu menimpuk amgi
ibunya ternyata sudah diwarisinya, bahkan tenaganya lebih
besar. Dalam pada itu tiba-tiba Thian-lan melompat maju dan
menyampuk jatuh sebuah senjata rahasia itu, seketika itu aku
terkesima hingga tak sempat mengelakkan diri, maka dua biji
Kim-goan lainnya dengan tepat mengenai tubuhku, walau
semua jalan darah sudah kututup sebelumnya, namun terasa
kesakitan juga. Sungguh remuk rendam hatiku saat itu,
pikirku, isteri tak anggap suami dan anak tak mengaku bapa,
bahkan bersatu-padu buat mengeroyokku, untuk apalagi aku
berada di sini" Maka aku membalik tubuh, tanpa pikir aku
terjun ke dalam jurang! Masih kudengar suara jeritan dan
tangisan anak-isteriku di atas sana."
Sampai di sini si kakek berhenti sejenak sambil menghela
napas pelahan. Sementara itu muridnya, Ih-tiong telah
membawakan senampan buah-buahan, ia menuang pula dua
cangkir teh untuk menyuguh tamu. "Makanlah sedikit, Suhu!"
kata sang murid kemudian.
"Sungguh murid yang baik," puji sang guru. "Suhu merasa
beruntung mempunyai murid sepertimu. Marilah bersamasama
makan sedikit."
Lalu Ih-tiong mewakilkan menyambung cerita sang guru
tadi, "Aku disuruh. Suhu menunggu di bawah, sebelumnya
Suhu tak memberitahu apa yang hendak dilakukannya, aku
hanya mendapat tahu bahwa Suhu mencari seorang musuh
terbesarnya, hanya suara bentakan Suhu di atas yang
kudengar, hatiku ikut berdebar-debar. Tak lama kemudian,
tiba-tiba aku lihat Suhu menggelundung dari atas, buru-buru
aku maju menyangganya, syukur Suhu tidak terluka berat,
begitu berbangkit segera aku diajaknya pergi. Waktu aku
tanya, Suhu tak mau menceritakan, ia cuma berpesan agar
aku belajar baik-baik supaya kelak berkepandaian tinggi."
Dan setelah si nenek meneguk tehnya, lalu ia melanjutkan
cerita orang, "Malam itu aku tidur bersama Tiok-kun, tengah
malam tiba-tiba aku terjaga oleh suara seperti orang
bertempur di luar. Lekas aku melompat keluar, sementara itu
aku lihat Tiong-bing sudah memburu keluar dan belum sempat
aku memberitahukan apa-apa padanya, tahu-tahu ia sudah
mengayun tangannya menimpukkan senjata rahasia.
Jodoh Si Mata Keranjang 2 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Latah 30
^