Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 6

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 6


Hendaklah jangan kausesalkan aku, Thian-sing, semula aku
mengambil ketetapan memberitahukan anak-anak urusan kita
bila sudah dekat ajalku karena aku tak ingin jiwa anak-anak
yang masih murni bersih itu ikut tertutup bayangan gelap,
maka mereka tak tahu kalau kaulah ayah mereka yang
sebenarnya. Dan begitu ia mengayun tangannya, segera
Thian-lan berteriak, 'Jangan, dia ayahmu!' Akan tetapi, sudah
terlambat!"
"Ya, memang selama itu aku pun heran dengan kelakuan
ayah dan ibu," kata Kui Tiong-bing, si pemuda baju kuning.
"Meski mereka sangat rukun, tetapi di malam hari aku tidur
bersama ayah dan adik bersama ibu, malahan dalam
hubungan sehari-hari mereka pun sangat ramah-tamah satu
sama lain, jauh berbeda sekali dengan para paman dan bibi
yang pernah kulihat dalam pasukan. Tetap tak pernah terpikir
olehku bahwa di dalamnya tersangkut hal-hal yang begitu
ruwet." "Malam peristiwa itu, dengan air mata berlinang ayahangkat
dan ibu membeberkan duduk perkaranya padaku,
mendadak aku seperti disambar petir di siang bolong,
mencelos hatiku, tak tahu aku harus benci pada siapa, aku
hanya benci pada diri sendiri! Dalam keadaan lapat-lapat,
sadar tak sadar aku berlari turun gunung seperti keranjingan
setan dengan pedang terhunus, ayah-angkat hanya menghela
napas melihat perubahanku, ia pun tidak menahan diriku!"
"Setelah turun gunung, aku tak tahu kemana harus mencari
ayahku yang sebenarnya. Hanya terasa olehku siang dan
malam, bahkan setiap saat setiap detik seakan-akan ada suatu
bisikan di telingaku yang berkata, 'Kau telah membunuh
ayahmu sendiri!' Batinku tersiksa sekali, semalam suntuk aku
berlari di hutan sunyi, aku menyiksa diriku sendiri. Kejadian
selanjutnya adalah pada suatu malam hari di musim dingin di
kala salju turun dengan lebarnya, aku roboh dan pingsan di
hutan sunyi itu"
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara keresekan pelahan
di luar, segera si nenek memberi tanda dan sebelum ia
membuka suara, Leng Bwe-hong sudah melompat keluar
dengan cepat. "Suara ini belum tentu adalah manusia, tetapi ada baiknya
berjaga-jaga," ujar si nenek. "Kini ada Leng-tayhiap meronda
di luar, kita boleh tak kuatir lagi diganggu segala manusia
celurut." "dan entah berapa lama sudah aku rebah di tanah salju itu,
ketika kemudian aku ditolong oleh kawanan berandal Ngoliong-
pang," demikian si pemuda menyambung. "Setelah itu
aku lantas hilang ingatan, sampai asal-usul diriku sendiri
terlupa semua."
"Dan kejadian selanjutnya biarlah aku yang menceritakan,"
kata Boh Wan-lian. Lalu ia pun menuturkan pengalamannya,
dimulai sejak bertemu si pemuda baju kuning sampai berhasil
menyembuhkan penyakit hilang ingatannya.
"Sungguh kami tak tahu cara bagaimana harus berterima
kasih padamu, nona Wan-lian," kata si nenek terharu sambil
memegang tangan si gadis.
Tiba-tiba si kakek mengamati-amati Boh Wan-lian, ia teguk
air tehnya. "Nona, kini aku pun ingat akan kau," demikian
katanya kemudian. "Kau adalah orang yang ikut menyaksikan
pertarungan seru di Kiam-kok tempo hari itu. Menurut cerita
Tiok-kun, kau malah membantu kami, bukan" Pada malam itu
kau juga berada di Kiam-kok, itu adalah untuk kedua kalinya
aku datang membikin perhitungan dengan Thian-lan Suheng.
Urusan memang kadang-kadang sangat kebetulan, tatkala itu
Tiok-kun sudah dewasa, seperti kakaknya, ia pun melukaiku
dengan am-gi, sebaliknya untuk menolongnya aku telah
merangkul seoTang jago pengawal kerajaan terkemuka,
asalnya seorang kepala bandit yang di kalangan Kangouw
terkenal dengan nama 'Pat-pi Lo Cia' Jiau Pa, dan bersamasama
terjerumus ke dalam jurang. Meski akhirnya dapat
kubunuh, namun aku sendiri pun cacat dibuatnya."
"Ya, malam itu karena hatiku terpukul, aku telah ikut terjun
ke dalam jurang," sambung Tiok-kun sambil sebelah
tangannya membetulkan rambutnya dan tangan lain
memegang lengan Boh Wan-lian, "Beruntung aku dibesarkan
di tanah pegunungan, ilmu mengentengkan tubuhku meski tak
bisa dikatakan tinggi, namun gerak tubuhku masih cukup
gesit, aku terguling-guling ke bawah, akhirnya aku
mendapatkan ayah telah tertolong oleh Ih-suheng, segera
pula aku maju menemuinya. Meski ayah terluka, tetapi amat
girang demi nampak diriku, ia memegang tanganku dan
bertanya ini dan itu. Aku telah memberitahu padanya selama
ini aku selalu tidur bersama ibu yang sangat kasih sayang
padaku itu. Tahu akan hal ini, ayah menggumam sendiri, 'Jika
begitu, apa hanya namanya saja suami-isteri"' Aku pun tak
paham apa maksud perkataannya itu."
"Pantas tadi ia bilang sudah lama mengetahuinya,"
demikian diam-diam si nenek membatin.
"Karena lukaku cukup parah, maka terpaksa Ih-tiong dan
Tiok-hun merawat diriku di lembah sunyi ini," demikian si
kakek menyambung sambil tertawa, "Dan beberapa hari
kemudian-setelah ibu Tiong-bing menemukan kami, barulah
dengan bergotong-royong kami mendirikan rumah batu ini.
Suami-isteri bisa berkumpul kembali, sungguh rasanya hidup
di dunia lain. Ia menceritakan seluruhnya padaku dengan air
mata berlinang-linang, maka pahamlah aku semuanya, hawa
amarahku telah lenyap seluruhnya. Paling akhir ia masih kuatir
aku tak percaya, lalu dikeluarkannya surat peninggalan Li
Ting-kok dan diangsurkan kepadaku. Isi surat itu ternyata
sangat jelas, dengan kehormatannya sebagai seorang
pemimpin besar ia menjamin bahwa Thian-lan bukan manusia
rendah sebagaimana yang kuduga, dan bahwa hidup mereka
sebagai suami-isteri hanya dalam nama saja!"
Si kakek berhenti sejenak, ia mengelus-elus kepala si
pemuda, lalu ia melanjutkan pula, "Sungguh kalau bukan ingin
bersua kembali denganmu, tatkala itu aku sudah berpikir akan
menghabisi nyawaku sendiri. Betapa tidak, Thian-lan Suheng
begitu berbudi dan setia kawan, tapi aku sebaliknya begitu
gila hingga mengakibatkan kematiannya, sungguh aku ini lebih
mirip binatang!"
"O, nak, sejak kini kuingin kau she Kui untuk membalas
budinya, kelak kalau kau menikah dan mendapatkan anak lakilaki,
yang pertama harus menjadi bagian dari Thian-lan
Suheng untuk menyambung abu keturunan keluarga Kui, dan
yang kedua baru terhitung cucuku sendiri buat menyambung
keturunan she Ciok. O, nak, hendaklah selama hidupmu ini
kau selalu ingat akan budi kebaikan ayah-angkatmu itu!"
Begitulah, suka-duka, benci dan budi antara si kakek muka
merah, Ciok Thian-sing, dan Kui Thian-lan menjadi terang,
saking terharunya semua orang ikut menghela napas panjang
oleh kisah kedua orang tua itu.
Tiba-tiba si nenek mengambil buntalan di belakang sang
putera, ia membuka buntalan itu dan terlihatlah isinya
beberapa potong baju kuning.
"O, anakku, meski kau telah menderita selama beberapa
tahun, namun jerih-payah ibumu ternyata masih dapat
kaurasa-kan, walau kau telah hilang ingatan, tapi pakaianmu
warna kuning tidak pernah kautinggalkan," demikian kata si
kakek terharu. Si nenek termangu, tiba-tiba ia memilih satu baju kuning itu
dan disodorkan pada si kakek. "Lihatlah, Thian-sing," katanya,
"Bukankah baju ini adalah pemberianku waktu kita menikah
dahulu, di atas baju ini masih ada sedikit noda tetesan
darahmu!" Si kakek menerima baju itu dan memeriksanya, kembali ia
meneteskan air mata terharu lagi.
"Baju ini kami simpan terus," kata si nenek pula, "Pada
waktu Tiong-bing genap delapan belas tahun, barulah aku
menyerahkan padanya, kukatakan baju ini adalah pusaka
warisan, kelak dengan bukti baju ini dapat ketemukan seorang
keluarga sendiri yang hilang. Tatkala itu ia terheran-heran,
pernah juga ia bertanya, kubilang belum waktunya ia
mengetahui hal-hal itu, dan betul juga baju ini ia simpan baikbaik.
Coba lihat, meski terlunta-lunta sekian tahun, bukankah
baju ini masih disimpannya baik-baik?"
Si kakek membentang baju kuning itu, kejadian-kejadian
selama tiga puluh tahun ini seakan-akan terbayang olehnya,
pedih rasanya bagai disayat-sayat. Baju kuning ini sudah tua
dan rombeng, tetapi dalam pandangannya masih baru seperti
waktu diterimanya dari sang isteri dahulu.
Sekonyong-konyong si kakek menyuruh si pemuda
mengambilkan api.
Di hutan sunyi ini tentunya tiada lampu, maka dalam rumah
itu hanya mengandalkan sinar obor dari kayu-kayu kering,
maka sepotong kayu berapi diambil si pemuda. Tiba-tiba
kakek tua itu menutup baju yang dibentangnya ke atas obor
itu hingga sekejap saja sudah terbakar.
"Hari ini kita sudah berkumpul kembali, baju ini tidak
membawa lambang baik, biarlah kita musnahkan saja,"
demikian kata orang tua itu.
Menyaksikan terbakarnya baju kuning itu, perasaan semua
orang ikut terharu.
"He, apakah itu?" seru Boh Wan-lian tiba-tiba sambil
menunjuk ke arah baju yang terbakar itu.
Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk,
ternyata baju kuning yang terbakar itu tiba-tiba timbul sebuah
lukisan di atas kain yang sudah hangus itu. Gambar itu
melukiskan sebuah air terjun bagai kerai mutiara yang
menutupi sebuah goa di belakangnya dengan pintu tertutup
rapat. Di atas kain hangus itu timbul juga sebaris tulisan
dengan huruf-huruf besar yang berbunyi : 'Co-sam-yu-si,
Tiong-capji', artinya kiri tiga, kanan empat dan tengah dua
belas. Semua oranj* imm melihat tulisan itu yang tak
dipahami apa maksudnya. Semenluiii itu dengan cepat sekali
baju kuning tadi sudah terbakar habis menjadi abu.
Wan-lian mencoba mengingat dan menghapalkan baik-baik
bunyi tulisan tadi, ia pikir mungkin lukisan tadi akan berguna
di kemudian hari.
"Kenapa di atas baju ada gambar tersembunyi, cara
bagaimanakah membikinnya?" kata si kakek heran.
"Pernah aku mendengar dari Pho-pepek," tutur Wan-lian,
"Bahwa ada semacam rumput kalau dibakar dan abunya
dicampur air untuk tinta tulis, bekas tulisannya tidak kelihatan,
tapi kalau dibakar barulah tulisan itu timbul. Cara ini banyak
digunakan perkumpulan komplotan rahasia di kalangan
Kangouw untuk surat-surat rahasia yang penting. Cuma
rumput semacam ini sangat sukar didapatkan, cara
memakainya juga sangat sedikit yang tahu."
"Tulisan tadi kukenali sebagai tulisan tangan Thian-lan
Suheng," kata si kakek. "Tapi apakah arti tulisan itu?"
"Aku pun tak pernah tahu hal ini," ujar si nenek. "Sejak ia
mengasingkan diri ke Kiam-kok sini, tabiatnya lantas berubah
pendiam, kadang-kadang dalam sehari tak mengucapkan
sepatah kata pun juga. Kapan ia menulis di atas baju kuning
itu sama sekali aku tak tahu."
Kalau orang-orang dalam rumah ini tengah mempersoalkan
tulisan di atas baju kuning itu, adalah saat itu juga Leng Bwehong
yang diminta meronda di luar lagi merasa kesepian,
dengan pedang terhunus ia meronda mengelilingi rumah.
Sunyi senyap malam di lembah pegunungan itu, kunangkunang
memancarkan cahaya berkelap-kelip, timbul dan
lenyap. Bwe-hong terkenang pada lelakon sedih orang-orang
di dalam rumah itu, ia pun terbayang pengalaman diri sendiri
yang penuh derita, tanpa tertahan ia menjadi berduka.
Tengah ia termenung, tiba-tiba dilihatnya dari jauh ada dua
sosok bayangan orang yang lagi mendatangi dengan cepat,
"Tentunya kedua orang ini adalah penyatron yang
dimaksudkan si nenek itu, biarlah aku mengikuti jejak
mereka," demikian Bwehong membatin.
Segera ia menyelusup ke dalam semak alang-alang yang
lebat Gerakan kedua orang itu ternyata cepat sekali, hanya sekejap
saja mereka sudah berada di depan Leng Bwe-hong.
"Kabarnya tua bangka she Kui itu mengasingkan diri di sini,
tapi kenapa tak kelihatan batang hidungnya dan yang terlihat
hanya sebuah gubuk saja?" demikian terdengar seorang di
antaranya berkata.
"Kita tunggu Han-toako dulu, tentu ia punya akal, kuatirnya
kalau dia tidak datang," sahut yang lain.
Tatkala itu jarak mereka dengan tempat persembunyian
Leng Bwe-hong hanya empat sampai lima tombak saja
jauhnya. Diam-diam Bwe-hong menjemput secomot tanah
kering, lalu ia menyentil dengan jarinya dan tepat mengenai
pundak orang yang berdiri di belakang itu. Keruan saja orang
itu kaget, ia menoleh dan celingukan, tapi tak ada sesuatu
yang ia lihat. Dalam pada itu kebetulan angin meniup keras, beberapa
daun kering tertiup jatuh dari atas pohon.
Tampaknya orang itupun bukan golongan lemah, tadi
disangka pundaknya terkena debu pasir yang jatuh dari atas
pohon, tetapi ia berpikir lagi, ia menjadi curiga, masakah
kotoran yang jatuh dari atas pohon bisa membikin pundaknya
panas pedas. "Baiknya kita berdiri sejajar saja, agaknya ada kawan
segolongan di sini!" demikian katanya pada sang kawan.
"Ah, To-toako, ada apakah yang kaulihat?" sahut orang
yang di depan itu sambil menoleh.
Tapi orang yang dipanggil To-toako itu tak menjawab, ia
ikat kencang bajunya, terus melompat ke atas pohon, dan
selagi ia hendak memeriksa sekitarnya, tahu-tahu dahan
pohon yang ia injak patah, beruntung ilmu mengentengkan
tubuhnya tidak jelek, dengan gerakan 'Sa-hing-to-huan' atau
berjumpalitan di tanah pasir, dengan enteng sekali ia bisa
menancapkan kaki ke bawah terus celingukan pula ke sana
kemari. Melihat kelakuan orang, Leng Bwe-hong tak dapat
menahan lagi rasa gelinya, ia tertawa terkakak-kakak.
"Kawan darirnanakah ini" Silakan unjuk muka dan belajar
kenal beberapa gebrak, kenapa main sembunyi" Macam orang
gagah apakah ini?" demikian orang itu mendamprat.
"Sejak tadi aku sudah di sini, salahmu sendiri yang tak
melihat," sahut Bwe-hong sambil menampakkan diri.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salah seorang dari mereka bernama Thio Goan-cing
berjuluk 'Oh-soa-sin' (si malaikat maut hitam), keduanya
adalah benggolan bandit terkenal dari Siam-say, kalau soal
ilmu silat mereka memang tidak rendah, tetapi Ginkang dan
am-gi mereka masih jauh dibanding Leng Bwe-hong. Maka
kena dipermainkan tadi, mereka menjadi gusar, dari kanan
dan kiri segera mereka merangsek berbareng.
Namun Bwe-hong sudah siap, sudah berdiri tenang, ketika
Thio Goan-cing mulai memukul dari kanan, mendadak ia
mengangkat telapak tangan memotong, Goan-cing terkejut,
lekas dengan tipu 'Jiu-hun-pi-pe' atau tangan menyentil pipa,
ia menghindarkan serangan Bwe-hong itu.
Di samping lain secepat kilat To Hong telah menotok juga
dengan jarinya yang bagai belati, ia mengincar 'Yong-coanhiat'
di pinggang Leng Bwe-hong, tetapi ia telah keburu
menyingkir, malahan kontan ia membalas menotok 'Soan-gihiat'
orang sambil mengejek, "Ha, kiranya kau pun bisa
menotok!" Serangan balasan ini amat cepatnya hingga To Hong
terpaksa membungkuk dan menarik perut, sungguhpun
totokan itu luput, namun bajunya sudah kesrempel hingga
robek. "Siapa kau?" bentak To Hong kaget sambil melompat
pergi"Dan kau siapa?" balas Bwe-hong.
Sementara itu Thio Goan-cing sudah bisa melihat jelas
wajah Leng Bwe-hong dengan guratan bekas luka, ia
terperanjat, "Apakah kau bukan Thian-san-sin-bong Leng
Bwe-hong?" tanyanya cepat.
"Ha, kau juga kenal namaku?" sahut Bwe-hong angkuh.
"Kau hidup bebas di daerah barat-laut, buat apa ikut
datang mengaduk di air keruh?" kata Goan-cing pula.
"Mengaduk di air keruh" inilah yang tak dimengerti Bwehong.
Karena itu, segera ia membentak, "Air keruh apa
maksudm?" Kau berani datang ke sini merecoki seorang tua
yang cacad, itulah aku tak bisa tinggal diam!"
Mendengar itu, cepat To Hong memberi hormat. "Lengtayhiap,"
demikian ia menyapa, "Apa kaumaksudkan Kui
Thian-lan sudah cacad" Kami bukan musuhnya, ia berada
dimana" Sukalah kaubawakami menemuinya!"
Dan sebelum Bwe-hong menjawab, dari jauh tiba-tiba
mendatangi pula tiga orang secepat terbang. Waktu Bwe-hong
meneaasi. ternvata ketiga orang pendatang ini berusia lanjut
semua. Di lain pihak Thio Goan-cing dan To Hong segera memberi
hormat sesudah berhadapan dengan ketiga orang itu.
"Lo-tongkeh, Tat-tusi dan Loh-thocu, kalian telah datang
semua, kita adalah kawan-kawan sesama golongan, maka
sete-guk air hendaklah diminum bersama!" demikian mereka
menyapa. Leng Bwe-hong paham istilah-istilah dan peraturan Lok-lim
atau kaum bandit bila bertemu sasaran yang hendak mereka
rampas, lalu kebetulan kesamplok kelompok begal lain yang
juga sedang mengincar, maka ada dua jalan untuk
menentukan, yakni secara halus atau secara kekerasan.
Dengan kekerasan maka kedua belah pihak harus saling labrak
mati-matian, dan kalau memakai cara halus, maka siapa yang
melihat mendapatkan bagian sama rata. 'Air seteguk diminum
bersama' istilah yang disebut maksudnya mengajak kompromi
untuk membagi bersama sasaran mereka itu.
Karena itulah Bwe-hong menjadi heran, ia tidak tahu 'jualbeli'
dagangan apakah yang hendak dilakukan orang-orang itu
di lembah sunyi ini"
"Inilah dia pendekar besar dari daerah barat-laut, Thiansan-
sin-bong Leng Bwe-hong," demikian Goan-cing
memperkenalkan Bwe-hong pada ketiga orang yang datang
belakangan itu.
Tapi mereka seperti tidak ambil pusing akan nama besar
Leng Bwe-hong, mereka hanya mengangguk-angguk saja.
"Dan ini Lo-tongkeh dari Cwan-pak, Lo Thay, yang ini Tusi'
dari Ciok-te, Tat Sam-kong dan yang ini ialah Thocu dari Jingyang-
pang, Loh-taylingcu," demikian satu persatu Goan-cing
memperkenalkan mereka juga pada Leng Bwe-hong. 'Tusi'
adalah semacam gelar kebesaran keturunan suku banesa Bui
di daerah Hun-lam.
Bwe-hong kenal nama ketiga orang itu sebagai tokoh-tokoh
terkemuka dan disegani di daerah Su-cwan, ia sendiri hanya
terkenal di daerah barat-laut, namun selamanya tak pernah
berkunjung ke Su-cwan, tidak heran kalau mereka
menganggap sepi dirinya. Tapi ia pun heran mengapa dalam
semalam ini sekaligus bisa datang begitu banyak jago cabang
atas, bahkan di antara mereka terdapat Tat-tusi yang terkenal
ilmu Gwakangnya yang hebat bagai otot kawat tulang besi.
"Leng-tayhiap adalah sahabat si tua she Kui," demikian
Goan-cing berkata pula. "Tadi ia bilang bahwa orang she Kui
itu sudah cacad dan kami sedang minta dia suka membawa
kita pergi menemuinya."
Karena itu ketiga orang belakangan ini lantas
membenarkan dan menyatakan setuju.
Maksud Leng Bwe-hong hendak memberitahu kepada
mereka tentang tewasnya Kui Thian-lan, tetapi setelah dipikir,
ia mengurungkan maksudnya itu. "Mereka mengaku sahabat
Kui Thian-lan, biarlah aku membawa mereka pergi menemui
Ciok-lothaythay dulu," demikian pikirnya.
Dalam pada itu si nenek, kakek muka merah, si pemuda
baju kuning dan Boh Wan-lian lagi asyik mempersoalkan
lukisan Kui Thian-lan yang ditinggalkan di atas baju kuning
secara rahasia itu. Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh
ramai datangnya orang banyak di luar.
"Apa mungkin kedatangan musuh tangguh hingga Leng
Bwe-hong tak bisa menahannya?" kata si nenek terkejut
sembari mencabut pedang terus melompat keluar. Dilihatnya
Bwe-hong berjalan paling depan di antara orang-orang itu.
"Ciok-lothaythay," seru Bwe-hong segera demi nampak
keluarnya si nenek, "Beberapa sobat ini ingin bertemu, kata
mereka kenalan baik dari Kui-locianpwe."
Mendengar Bwe-hong memanggil nenek tua itu 'Cioklothaythay'
atau nyonya tua keluarga Ciok, Thio Goan-cing dan
Tat-tusi menjadi terheran-heran.
"?Enso Kui, apakah masih ingat kami?" demikian mereka
menyapa berbareng sambil memberi hormat. "Apakah Thianlan
Hengtiaag(saudara) juga berada di sini?"
Wajah si nenek berubah hebat oleh pertanyaan orang.
"Thian-lan sudah menjadi korban di tangan jago pengawal
kerajaan, kedatangan kalian sudah terlambat," sahutnya
kemudian. "Tapi suamiku Ciok Thian-sing malahan berada di
sini, cuma saia ia nun cacad. maka kami tak berani
mengundang sobat lama masuk ke dalam."
Habis berkata, dengan pedang melintang di depan dada, ia
berdiri di ambang pintu dengan kereng penuh waspada.
Thio Goan-cing dan Tat-tusi adalah kenalan Kui Thian-lan
pada waktu mereka berada dalam pasukan Li Ting-kok, Thio
Goan-cing berasal seorang kepala berandal, kala itu pun di
bawah perintah Li Ting-kok. Tat-tusi pernah sekali memberi
jalan pada pasukan Li Ting-kok tatkala lewat wilayahnya,
waktu itu yang diutus pergi berunding dengannya ialah Kui
Thian-lan, sedang si nenek resminya dikenal isteri Kui Thianlan,
maka tak heran kalau mereka begitu bertemu lalu
memanggilnya 'Kui-lothaythay' atau nyonya keluarga Kui.
Begitu mendengar cerita si nenek, serentak Thio Goan-cing
dan Tat-tusi menjadi kememek! Hakikatnya mereka tidak tahu
si nenek masih mempunyai seorang suami yang lain, mereka
sangsi apakah orang tidak berbohong, tetapi waktu melihat si
nenek melintangkan pedang di depan dada berjaga di ambang
pintu, mereka pun tidak berani sembarangan bergebrak
dengannya. Di masa silam, si nenek pun terkenal sebagai seorang
pendekar wanita di tengah-tengah pasukan Li Ting-kok, ia
mempunyai Ngo-khim-kiam-hoat tersohor di seluruh daerah
Su-cwan. Tat-tusi masih tak apa, tetapi Thio Goan-cing sudah
jeri dulu. Ketika mereka ragu-ragu, dari jauh tiba-tiba tampak pula
segerombolan bayangan orang.
Waktu semua orang menegasi ke sana, terdengarlah Lohtaylingcu
berkata, "O, kiranya Ciok-toaso. Aku bernama
Lohtaylingcu, dulu pernah menerima budi ayahmu, juga
pernah menghadiri perjamuan pernikahanmu, kalau Cioktoako
berada di sini, perkenankanlah Siaute masuk
menjumpainya."
Loh-taylingcu adalah anak murid golongan Go-bi-pay, pada
masa mudanya suka berkelahi dan pemabukan sehingga
pernah cekcok dengan dua orang tokoh lihai dari kalangan
Kangouw, beruntung mendapat pertolongan ayah Ciok-toanio,
Cwan-tiong Tayhiap Jap Hun-sun, barulah urusan menjadi
selesai. Karena pengalamannya itu, kelakuannya lalu banyak
berubah, dan karena itu juga terhadap Jap Hun-sun ia merasa
berhutang budi. Belakangan waktu Ciok Thian-sing menikah,
ia pun datang memberi selamat. Sejak perjamuan nikah itu,
tiga puluh tahun sudah lalu, urusan Ciok-toanio dan Kui Thianlan
dengan sendirinya ia tidak tahu.
Dan karena itu, si nenek mencoba mengamat-amati orang
dengan pedang tetap terhunus. "Terima kasih atas maksud
baik sobat ini," katanya pada Loh-taylingcu. "Tetapi suamiku
sudah cacad karena pengawal kerajaan, tadi malam mereka
masih mencari ke seluruh lembah sunyi dan telah melukai
puteriku, kini suamiku sedang menantikan kedatangan anjing
dan alap-alap itu oula. ia tidak ingin menyangkutkan urusan
itu nada para sahabat."
"Bisa terjadi peristiwa seperti itu?" tanya Loh-taylingcu
gusar. Dan ketika sedang berbicara, gerombolan orang dari jauh
tadi kini telah sampai di depan rumah batu itu.
"Coba lihat! Apakah ini bukan tuan-tuan besar pengawal
kerajaan itu!" kata si nenek tertawa dingin.
Loh-taylingcu berpaling, betul saja ia lihat lima orang
dengan pakaian seragam pengawal kerajaan, mereka telah
berpencar dan mengambil kedudukan mengepung.
"Biar kubereskan mereka!" kata Loh-taylingcu. Tapi
sebelum ia bertindak, segera ia ditarik Lo Thay.
"Loh-toako, jangan dulu, kita jangan ikut keciprat air keruh
ini!" kata Lo Thay.
Tiga di antara lima pengawal itu adalah jagoan kelas satu
dari istana raja, yang memimpin bernama Ong Kang, pernah
menggetarkan kilangan silat karena ilmu pukulannya 'Kim-koksan-
jiu', dan kedua orang yang lain bernama Sin Thian-hou
dan Sin Thian-pa, mereka adalah saudara, telah menjagoi
Kangouw dengan 'Go-kau-kiam-hoat' dari keluarga Ang di
Jong-ciu. Sedang dua orang yang lain lagi adalah pengawal
gubernur Siarn-say, yang seorang bernama Ang Tiu dan yang
lain Ciau Tit, dutunya juga bekas orang Lok-lim (bandit),
belakangan kena dibeli oleh Congtok atau gubernur Siam-say,
kini mereka datang hanya sebagai penunjuk jalan saja.
Ang Tiu dan Ciau Tit sudah kenal Lo Thay, Tat-tusi dan
Thio Goan-cing serta tahu kalau ilmu silat mereka tidak
rendah, maka segera mereka memberitahu Ong Kang.
"Kami mendapat perintah menangkap Ciok Thian-sing,
orang lain yang tidak bersangkutan tidak akan diganggu.
Sobat-sobat, maka berilah kami keleluasaan!" kata Ong Kang
segera pada orang-orang yang berada di situ.
"Tidak boleh jadi!" bentak Loh-taylingcu tiba-tiba.
"Toako, orang lain yang menjadi titik tujuan mereka masih
belum buka mulut, buat apa kauribut?" kata Lo Thay
sebaliknya. Lo Thay, Thio Goan-cing, To Hong dan Tat-tusi meski
terhitung tokoh Lok-lim dan menjagoi daerahnya masingmasing,
tetapi mereka hanya orang-orang Lok-lim biasa saja
dan tak bisa dibandingkan dengan Li Cu-sing serta Thio Hiantiong,
mereka hanya bergerombol bercokol di rimba dan
gunung, yang diminta asal bisa menancapkan kaki dengan
aman, maka dengan pasukan pemerintah biasanya tidak saling
ganggu, bahkan kadang-kadang malahan saling memberi
'kang-thau' atau rejeki untuk cari selamat bersama. Dengan
sendirinya menyuruh mereka melawan pengawal kerajaan dan
melindungi orang yang hendak ditangkap atas titah raja, itulah
betul-betul tidak mereka inginkan, apalagi dengan Kui Thianlan
dan Ciok Thian-sing, mereka pun tiada ikatan
persahabatan sehidup-semati.
Dalam pada itu si nenek sudah mengangkat pedangnya di
depan dada, ia memberi hormat pada Loh-taylingcu. "Banyak
terima kasih kepada sobat yang berhati mulia ini," demikian
katanya, "Hanya saja aku si nenek tua tak berani membikin
susah kawan, walaupun aku sudah berumur, baiknya masih
belum pikun, biarlah aku yang menerimanya! Kawan, silakan
menyingkir! Aku akan mencoba cakar alap-alap dan anjing
Kaisar keparat ini!"
la menggerakkan pedangnya dan segera hendak maju,
namun Leng Bwe-hong telah mendahuluinya menghadang ke
depan. "Ciok-toanio," kata Bwe-hong, "Beberapa ekor kelinci ini
biarlah serahkan padaku, sudah lama aku tidak merasakan
daging kelinci, jika tangan Toanio pun merasa gatal, nanti aku
tinggalkan dua ekor untukmu!"
Habis berkata, ia mengenjotkan kaki bagaikan garuda
terbang, tiba-tiba ia melayang melintasi kepala semua orang
untuk kemudian menancapkan kakinya di depan kelima
pengawal kerajaan itu.
"Baiklah, aku yang tua mengalah, kalau kau ada selera,
boleh kaucaplok seluruhnya!" kata si nenek bergelak tertawa.
"Nah, urusan oleh tuan rumah telah diserahkan padaku,
kini kalian boleh maju semua!" kata Bwe-hong dengan sorot
mata tajam. "Kau toh bukan sasaran kami, buat apa kau hendak
mewakilkan orang memikul resiko ini," teriak Ang Tiu. "Hai
kawan, air sungai tak menggenangi air sumur, aturlah urusan
diri sendiri. Gunung selalu hijau, air terus mengalir, dimana
kita tidak ingin mengikat permusuhan, maka biarlah kami
menganggapmu sebagai kawan, bagaimana?"
Dengan kata-kata Leng Bwe-hong tadi yang sangat bersifat
menantang, mengapa Ang Tiu berbalik bisa begitu sungkan
padanya" Kiranya karena teriakan Loh-taylingcu tadi. Ang Tiu
mengenal Lo Thay dan Tat-tusi adalah lawan tangguh, ia


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuatir bila begitu Leng Bwe-hong bergebrak, orang-orang itu
bisa membelanya. Orang-orang itu semuanya ia kenal sebagai
jagoan cabang atas kalangan Lok-lim, walaupun Bwe-hong tak
dikenalnya, namun melihat gerak tubuh yang ditunjukannya
tadi, sudah tentu bukan orang sembarangan. Di pihaknya ada
lima orang, kalau untuk melayani suami-isteri Ciok Thian-sing
ditambah putri dan muridnya, kekuatan mereka masih
berlebihan. Tetapi kalau orang-orang gagah ini ikut campur,
jelas tidak akan menguntungkan pihaknya. Maka terpaksa
dengan menahan dongkol ia pakai kata-kata halus dan
mengajak bersahabat.
Nyata ia mengira Leng Bwe-hong juga seperti Lo Thay dan
kawan-kawannya dari kalangan Lok-lim, dan dapat ditarik ke
pihaknya untuk diperalat. Siapa duga karena perkataannya
tadi malahan menimbulkan kegusaran Leng Bwe-hong.
"Ngaco-balo, siapa kawanmu?" bentak Bwe-hong. "Hayo,
majulah semua kepadaku seorang saja!" Habis itu ia berpaling
dan berkata juga kepada Lo Thay dan kawan-kawannya,
"Kawan-kawan, kalau kalian menghargaiku, harap jangan ikut
membantu, agar mereka tidak berkata kita menang dengan
mengeroyok."
Tatkala itu, cuaca sudah berubah, malam yang gelap kini
sudah remang-remang mendekati fajar. Ong Kang yang
menjadi pemimpin mereka sudah dapat melihat jelas muka
Leng Bwe-hong, ia lalu maju ke depan.
"Apakah kau Leng Bwe-hong?" tanyanya dingin.
"Kalau ya. mau apa?" jawab Bwe-hong angkuh.
"Nah, lihatlah yang jelas kawan-kawan, inilah Thian-sansin-
bong Leng Bwe-hong yang tersohor malam-malam
mengacau Ngo-tai-san dan merampas 'Sik-li-ci', semua ada
bagiannya," kata Ong Kang tertawa aneh sambil
menggerakkan tangannya memberi tanda pada kawankawannya.
"Bwe-hong, orang lain boleh takut padamu, tak
nanti kau bisa menakut-nakuti kami, baiknya kau ikut dengan
kami saja!"
Kiranya sesudah Coh Ciau-lam lolos di Hun-kang, ia telah
kembali dan melaporkan, segera pemerintah Boan-jing
menyebar gambar Bwe-hong ke seluruh penjuru dan
menganggapnya sebagai penjahat kelas satu, kalau
dibandingkan tentu saja lebih berharga daripada suami-isteri
Ciok Thian-sing. Dan tanpa sengaja Ong Kang dan kawankawan
telah memergoki Bwe-hong, mereka terkejut
bercampur girang.
Ong Kang mengandalkan kepandaian 'Kim-kong-san-jiu'
yang selama hidupnya belum ketemukan tandingan
sebenarnya dan bermaksud mencari lubang buat menduduki
jabatan Thong-ling atau komandan pengawal, siapa tahu
sesudah Coh Ciau-lam kembali ke ibu-kota, kedudukan itu oleh
Khong-hi telah diberikan pada Ciau-lam, bahkan Thio Sing-pin
yang menjabat wakil Thongling saja tak bisa meraih
kedudukan itu. Karenanya Ong Kang sangat penasaran, sudah
lama ia mencari kesempatan agar bisa bertanding dengan
Leng Bwe-hong, dengan begitu secara tak langsung ia hendak
menurunkan pamor Coh Ciau-lam.
Karena kata-kata Ong Kang tadi, Leng Bwe-hong hanya
tertawa dingin saja, segera pedangnya dilolos, dan selagi ia
hendak buka suara sekonyong-konyong terdengar suara
bentakan dari belakangnya.
"Leng-toako, beri bagian padaku!" kata suara itu.
Berbareng itu dari dalam rumah, melompat keluar seorang
dengan tangan menghunus sepasang pedang, orang itu bukan
lain adalah si pemuda baju kuning, Kui Tiong-bing.
Secara acuh tak acuh Leng Bwe-hong melemparkan
pedangnya ke atas untuk kemudian disambut kembali. "Ia
adalah putra Ciok-locianpwe, juga salah seorang yang kamu
cari. Karena kedatangannya ini dengan sendirinya aku tak bisa
mencaplok semuanya," katanya tertawa.
Ong Kang menarik muka. "Kalau kau ingin mewakili si tua
bangka she Ciok, baiklah coba kita buat aturannya, bila kalian
berdua kalah, bagaimana?" katanya dingin.
"Kalau aku kalah, biar kami sekeluarga kautangkap semua,"
sahut Tiong-bing.
"Termasuk juga aku," sambung Bwe-hong.
"Itu tidak adil," sela Loh-taylingcu tiba-tiba. "Mereka sendiri
belum mengatakan bagaimana syaratnya jika mereka yang
kalah!" "Itu tak usah, toh mereka tak akan bisa lolos," kata Bwehong
temberang. "Kurangajar, betapa tinggi kepandaianmu, berani kau
pandang sebelah mata orang lain?" kata Ong Kang gusar.
"Kami tak biasa adu mulut, marilah kita putuskan di tempat
luas!" "Nanti dulu," kata Ang Tiu menahan. "Meski kita sudah
menyatakan menangkap buronan pemerintah, tetapi kita
semua adalah orang Bu-Iim (kalangan persilatan), aku hendak
minta Loh-toako suka menjadi saksi, peraturan tadi adalah
mereka sendiri yang menetapkan maka janganlah kalian
mengatakan kami menang dengan jamlah lebih banyak."
Ternyata Ang Tiu masih tetap menguatirkan Tat-tusi dan
kawan-kawan membantu Leng Bwe-hong, maka dengan
perkataannya itu ia hendak mengikat mereka. Kalau mereka
diminta menjadi saksi, dengan sendirinya mereka tidak bisa
ikut campur tangan.
Loh-taylingcu menjengek, tetapi Lo Thay mendahului, "Itu
sudah tentu, kami pun ingin menambah pengalaman!"
'Terima kasih kalian suka menghargai diriku dan tidak
membantu pihak manapun, itu bagus sekali!" kata Bwe-hong
sambil merangkap tangannya memberi hormat, "Ciok-toanio,
kau pun tak usah ikut datang," katanya pula.
Sejak tadi si nenek masih berjaga di ambang pintu dengan
pedang terhunus. "Untuk apa aku ikut?" demikian sahutnya.
"Aku si nenek tua kalau tidak mempercayaimu, dapatkah kami
menyerahkan nasib sekeluarga padamu" Kalian hendak
berkelahi, nah, lekas berkelahi, pergilah jauh sedikit, suamiku
sedang sakit, jangan kalian berisik di sini!"
"Tuh, kamu dengar, Toanio tidak mengijinkan kita
bertempur di sini, di lembah gunung sana cukup luas, marilah
kita pergi ke sana," kata Bwe-hong tertawa lebar.
Dan waktu Ong Kang menggerakkan tangannya, segera
kelima pengawal itu berlari menuju suatu tanah datar di
lembah sana. "Apakah mereka tidak buron, beranikah mereka menyusul
ke sini?" tanya Sia Thian-hou diam-diam.
"Itu tidak mungkin?" kata Ong Kang tertawa.
"Belum tentu, Ong-toako, sampai kini mereka belum lagi
berangkat!" kata Sin Thian-pa sambil menoleh.
Maka kedua saudara Sin itu memperlambat langkah
mereka, dan selagi mereka hendak menyindir musuh yang
masih belum menyusul, tiba-tiba mereka melihat dua
bayangan hitam bagaikan kilat telah melayang datang, dan
belum sempat mereka melihat jelas, dua sosok bayangan itu
sudah melayang lewat di depan mereka dengan membawa
kesiumya angin.
Sekonyong-konyong Ong Kang pun mengenjot tubuh, bagai
burung terbang ia memburu ke depan, kedua saudara Sin
mendadak pun sadar, mereka pun mengejar dengan cepat.
Tapi baru saja kedua saudara Sin sampai di tanah datar itu
sesudah mengitari suatu lereng gunung, mereka lihat kedua
bayangan tadi sudah berdiri tegak di tengah-tengah tanah
datar itu. Mereka ialah Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing
yang masing-masing sudah menghunus pedang menantikan
musuh. "Tuan-tuan besar pengawal, perjalanan yang hanya
beberapa langkah saja, mengapa kalian begitu lama!"
demikian Tiong-bing menyindir.
Karena perkataan itu, kedua saudara Sin tertegun dan
mendongkol, mereka baru mengerti bahwa dengan cara
begitu musuh tadi telah sengaja mengukur tenaga mereka.
"Hm, jangan kausombong dulu, termasuk hitungan apa
ilmu mengentengkan tubuh" Coba nanti kau berkenalan dulu
dengan 'Go-kau-kiam-hoat' kami baru kautahu rasa," damprat
mereka dalam hati.
Tak lama kemudian, rombongan Lo Thay pun sudah datang
semuanya, di antara mereka malah telah bertambah seorang
gadis berbaju merah, dengan sepasang matanya yang jeli
sedang memandang Kui Tiong-bing.
Gadis berbaju merah ini adalah Boh Wan-lian, dengan
pedang tergantung di pinggangnya, tangannya menggenggam
pula 'Toat-beng-sin-soa', pasir sakti pencabut nyawa.
Sebenarnya maksud kedatangannya membantu, tetapi begitu
ia melangkah keluar pintu, oleh si nenek ia dipesan kalau
bukan tiba saat yang membahayakan hendaklah jangan sekalikali
ikut campur tangan, supaya tidak menurunkan dan
merusak nama baik Leng Bwe-hong, sebab itu, ia hanya
mencampurkan diri di antara orang banyak dan dengan tak
berkedip memandang Kui Tiong-bing.
Ketika nampak di antara orang banyak itu telah bertambah
dengan seorang gadis berbaju merah yang bersikap aneh,
tanpa terasa Ong Kang pun memandangnya beberapa kali.
"Hayo, katakan, perkelahian cara apa yang kamu
inginkan?" bentak Bwe-hong memulai, "Kamu hendak maju
lpna orang berbareng atau satu persatu bergiliran?"
"Kami banyak dan kalian sedikit, biarlah kau yang
mengatasinya " balas Ong Kang tak mau unjuk kelemahan di
depan orang, banyak.
"Kalau lima orang maju sekaligus, itu tidak adil," sambung
Loh-taylingcu. "Baiknya begini, masing-masing paling banyak
maju dua orang. Pihak Leng-tayhiap hanya ada dua orang,
maka boleh dua orang maju berbareng atau boleh juga satu
orang maju sendirian."
Karena itu, ketika Ong Kang bermaksud menyuruh kedua
saudara Sin maju dulu, tiba-tiba sudah didahului oleh dua
pengawal gubernur, Ciau Tit dan Ang Tiu.
"Sudah lama kami mendengar Ciok-locianpwe mempunyai
ilmu silat yang tinggi, maka kami ingin belajar kenal beberapa
gebrakan dengan putranya, kalau Leng-tayhiap hendak maju
sekalian juga boleh," demikian seru mereka.
Kedua orang ini memang licin, mereka tahu kalau ilmu silat
mereka di bawah pengawal kerajaan, tetapi kuatir juga
dipandang hina, maka begitu maju segera mereka menunjuk
hendak melawan si pemuda baju kuning dan dengan
perkataan mereka tadi untuk mengikat Leng Bwe-hong, meski
mereka berkata. "Leng-tayhiap hendak maju sekalian juga
boleh", namun mereka mengerti dengan nama Leng Bwe-hong
yang tersohor, tak nanti mau maju melawan mereka
berbareng. Sedang terhadap si pemuda baju kuning memang
mereka tidak memandang berat.
Betul juga dugaan mereka, dengan tertawa dingin Leng
Bwe-hong diam saja. Sebaliknya Kui Tiong-bing, si pemuda
baju kuning telah tertawa terbahak-bahak, tanpa pikir lagi ia
melompat maju seperti lawan-lawannya ini tiada artinya
baginya. "Hayo, majulah sekarang! Kamu berdua mana ada
harganya sampai Leng-toako turun tangan sendiri!" demikian
ia pun berseru.
Ciau Tit memakai sepasang 'Hong-thian-khik' yang
mempunyai ujung tajam berbentuk mulut bebek, di kalangan
pengawal gubernur ilmu silatnya tergolong nomor satu. Waktu
melihat Kui Tiong-bing secara malas-malasan berkata tanpa
memasang kuda-kuda, tiba-tiba ia menyerang, ia sodok bahu
kiri Kui Tiong-bing.
Sedang Ang Tiu yang menggunakan golok 'Ci-kim-to', ia
memutar ke belakang Tiong-bing dan cepat memotong
pinggang orang, kedua orang menyerang sekaligus dari muka
dan belakang dengan maksud segera membinasakan Kui
Tiong-bing. Akan tetapi dengan sekali bentakan yang menggelegar,
tiba-tiba Kui Tiong-bing mengangkat pedangnya ke atas, maka
terdengarlah suara putusnya benda keras, ujung tajam senjata
Ciau Tit sudah terkuning, tanpa berpaling lagi, berbareng
tangan kiri Kui Tiong-bing menyampuk ke belakang untuk
menyambut serangan golok Ang Tiu dibarengi mendorong
pergi, Ang Tiu merasakan suatu kekuatan yang maha besar
menindih datang, goloknya yang beratnya lebih tiga puluh kati
itu hampir terlepas dari tangan, lekas ia mundur beberapa
tindak ke belakang.
Ciau Tit sudah berpuluh tahun berlatih senjata ini, siapa
sangka baru saja bergebrak sekali sudah kena dikuningi ujung
senjatanya ia menjadi gusar dan juga jeri.
Sementara itu beberapa jurus sudah lewat, ia lihat ilmu
pedang Kui Tiong-bing tidak saja sangat hebat dan aneh,
bahkan bertenaga besar, betul-betul susah dilawan olehnya
baiknya ia mempunyai banyak pengalaman, segera ia
mengeluarkan kepandaiannya yang licin 'Ngo-kui-toan-hunkhik',
ia menusuk, menikam, menyungkit dan menekan, purapura
menyerang tetapi sebenarnya untuk menghindari bahaya
serangan lawan, ia mengitari tubuh Kui Tiong-bing, sedang
Ang Tiu dengan goloknya selalu menyerang dari samping,
maju dan merangsek berbareng, dengan cara begitu baru
mereka bisa bertahan.
Ini adalah pertempuran untuk pertama kali sejak Kui Tiongbing
pulih kejernihan pikirannya. Waktu dilihatnya Boh Wanlian
menyandarkan diri pada satu batu dan sedang
memandang padanya dengan tersenyum, semangatnya segera
bertambah, kedua pedangnya dimainkan sedemikian rupa,
hingga hanya tampak sinar pedang yang gemerlapan, tak
lama kemudian Ciau Tit dan Ang Tiu sudah terkurung rapat di
antara sinar pedangnya.
Lo Thay dan lain-lainnya menyaksikan pertempuran itu
dengan terheran-heran, sungguh tak pernah mereka duga
bahwa putra Ciok Thian-sing pun mempunyai ilmu silat yang
begitu lihai. Setelah pertempuran berjalan lagi, Tiong-bing sudah dapat
meraba permainan senjata Ciau Tit hanya serangan
kembangan saja, tapi tak berani beradu sungguh-sungguh, ia
tertawa geli, ia mengincar baik-baik suatu gerakan musuh,
segera ia gunakan tipu 'Giau-li-joan-ciam' atau gadis genit
menyusup jarum, bagai kilat ia menusuk cepat. Terpaksa Ciau
Tit melangkah mundur, senjata Khik yang kiri ia tangkiskan ke
atas dengan tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat api


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerangi langit, berbareng senjata kanan dari atas
menghantam ke bawah dengan tipu 'Pek-ho-sit' atau bangau
putih pentang sayap. Serangan senjata kanan itu hanya purapura
saja sambil menjaga diri, sedang senjata kiri yang betulbetul
menyerang dengan tipu berbahaya.
Tak ia duga, serangan Tiong-bing juga hanya serangan
pura-pura saja, begitu senjata kiri Ciau Tit diangkat, segera ia
menarik pedangnya dengan cepat dan merubah serangan
dengan tipu 'Guan-kau-ti-ko' atau monyet memetik buah, ia
menyerang dari sebelah kanan, menusuk terus menjugil, sinar
pedang berkelebat, tahu-tahu sudah di depan musuh.
Ciau Tit berteriak kaget, lekas kedua senjata Khiknya
hendak menangkis, tapi Tiong-bing telah membentak, pedang
kirinya menyampuk, sebelah senjata Khik musuh segera
terkutung menjadi dua, berbareng kakinya menendang dan
membuat terbang pula Khik yang lain. Dalam pada itu pedang
kanannya tidak ayal juga, dan tipu 'Guan-kau-ti-ko' tadi ia
ubah menjadi 'Swan-hong-sau-hio' atau angin puyuh menyapu
daun, dibarengi suara jeritan ngeri, sebelah tangan Ciau Tit
sudah berpisah dengan tuannya, waktu kaki Tiong-bing
melayang pula, tubuh Ciau Tit yang besar laksana kerbau kena
disapu dan tepat menumbuk satu batu besar hingga mampus.
Beberapa serangan tadi begitu cepat bagai kilat dan letikan
api, waktu Ang Tiu dapat melihat jelas dan ia hendak mundur,
namun sudah terlambat, dengan sekali lompat bagai burung
garuda, Tiong-bing sudah menyambar dari atas, lekas Ang Tiu
mengangkat golok Ci-kim-to buat menangkis, akan tetapi
susah ditahan pula maka terdengarlah suara "erat",
pergelangan tangan Ang Tiu sudah tertebas lebih dulu,
menyusul tubuhnya pun terbelah menjadi dua.
Tipu serangan Kui Tiong-bing tadi disebut 'Jong-eng-boktou'
atau burung garuda menyambar kelinci. "Nyata pemuda
ini sudah mewariskan seluruh kemahiran ibunya," demikian
diam-diam Leng Bwe-hong memuji setelah menyaksikan
pertempuran kawannya ini dan dapat membinasakan dua
musuh dalam waktu singkat saja.
Ketiga jagoan kerajaan walau memandang rendah kedua
kawan pengawal mereka dari gubermiran itu, namun mereka
pun tak menduga bahwa hanya dalam sekejap saja kedua
orang itu sudah terbinasa dengan ngeri di bawah pedang
pemuda berbaju kuning itu. Sedang lawan utama, Leng Bwehong
masih belum turun tangan!
Karena itu, Ong Kang mengkerutkan kening, dan selagi ia
hendak turun kalangan sendiri menghadapi sepasang pedang
Kui Tiong-bing dengan ilmu silatnya "Kim-kong-san-jiu' (ilmu
pukulan baja), namun kedua saudara Sin sudah mendahului
maju berbareng.
"Kui-hiante, kau sudah kembali pokok malah sudah ada
untung, yang dua ini tinggalkan buatku saja!" seru Bwe-hong
dari samping sambil melesat, bagaikan angin cepatnya ia maju
menggantikan Kui Tiong-bing.
Go-kau-kiam-hoat kedua saudara Sin itu adalah ajaran Ang
Si-pek, caranya ialah dimainkan dua orang berbareng dengan
senjata berlainan, waktu yang seorang menggunakan 'Kau'
atau gaetan dan yang lain dengan 'Kiam' atau pedang.
Sin Thian-hou menggunakan sepasang gaetan peranti
menggaet senjata musuh, menyerang dan menabas, sedang
pedang dimainkan Sin Thian-pa mengutamakan serangan
yang berbahaya.
Tersohornya kombinasi 'Go-kau-kiam-hoat' dalam kalangan
silat ialah karena mereka bisa menyerang dan bertahan
dengan kerja-sama yang rapat dan tepat sekali, biasanya yang
memakai pedang meski juga mengutamakan serangan, tetapi
bila bertemu musuh yang tangguh dan berbalik menyerang,
maka mau tak mau harus menarik pedang buat menjaga diri.
Sebaliknya dua saudara Sin dengan kombinasi gaet dan
pedang sedi-kitpun tak perlu menjaga, oleh karena itu, dalam
tiga puluhan tahun ini dua bersaudara Sin selamanya tak
pernah dipecundangi orang. Pada waktu berada di ibu-kota.
Coh Ciau-lam pernah mencoba mengadakan pertandingan
persahabatan dengan mereka, setelah mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, akhirnya hanya seimbang saja.
Leng Bwe-hong sudah lama berkelana dan banyak
berpengalaman di kalangan Kangouw, ia cukup mengetahui
lihainya Go-kau-kiam-hoat, maka begitu nampak senjata
kedua bersaudara Sin, segera ia mengenal mereka adalah
Ang-bun Tecu atau anak murid dari keluarga Ang.
Walaupun si pemuda berbaju kuning, Kui Tiong-bing,
mempunyai kepandaian yang tinggi, tetapi ia kuatir orang
masih hijau, cetek pengalamannya dan tidak paham cara
melayani serangan musuh yang berlainan senjata itu, maka
cepat Bwe-hong maju menggantikannya.
"Awas!" bentak Thian-pa yang segera mengirim satu
tusukan ke dada Leng Bwe-hong, setelah mereka mengambil
tempatnya masing-masing.
Bwe-hong tahu cara mereka, satu menyerang dan yang lain
menjaga untuk mencari kelemahan lawan, ia hanya
tersenyum, ia berdiri tenang menanti ujung pedang Thian-pa
hampir menempel dadanya, baru tubuhnya mendadak
bergerak, pedangnya menangkis cepat, menyusul tanpa
berpaling pedangnya terus menyampuk ke belakang, tepat
sekali sepasang gaetan Thian-hou yang menyerang dari
jurusan lain kena ditangkis juga.
Saking cepat gerakan serta tangkisan itu hingga kedua
bersaudara Sin terkejut. Ketiga orang begitu bentrok masingmasing
lantas mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian
saling melotot bagai ayam jago aduan. Mereka berdiri secara
segitiga, dengan penuh perhatian saling mengawasi pihak
lawan dan tidak berani sembarangan bergerak.
Tiga puluh tahun yang lalu pernah Tat-tusi menyaksikan
Go-kau-kiam-hoat dari Ang Si-pek, maka ia tahu pertandingan
yang mendebarkan ini.
"Kalau ketemukan tandingan tangguh, barulah bisa seperti
keadaan ini," katanya bisik-bisik pada Loh-taylingcu. "Kedua
saudara Sin hendak menunggu Leng Bwe-hong menyerang
lebih dulu, kemudian baru mencari kelemahannya buat
merangsek. Tampaknya Thian-san-sin-bong ini memang betulbetul
hebat." Dan belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar bentakan
Leng Bwe-hong, berbareng pedangnya membabat dari
samping dengan cepat, lekas TTiian-pa memutar pedangnya,
sedangkan Thian-hou melompat ke samping sambil gaetannya
menyerang dengan tipu 'Tay-ping-tian-sit' atau burung
rajawali mementang sayap, gaetannya langsung mengait leher
Leng Bwe-hong. Tipu serangan Leng Bwe-hong tadi disebut 'Liong-bun-samkik-
liong' atau memukul arus tiga kali di gerbang naga, sekali
menyerang beruntun tiga macam gerakan, ujung pedangnya
cepat mencari sasaran. Tetapi belum habis gerakannya, tibatiba
ia mendengar dari belakang ada sambaran angin, lekas ia
mengegos, kemudian secepat kilat melompat maju pula, tibatiba
Sin Thian-pa merasa silau oleh sinar gemerlap yang
menyerang mukanya, lekas ia mundur, tetapi sudah terlambat,
ia merasakan lengan kirinya kesakitan, ternyata ia telah kena
dilukai oleh Leng Bwe-hong.
Sementara itu, Thian-hou pun telah menggerakkan gaetan
kirinya menyerang cepat dengan tipu 'Kim-kau-sui-tio' atau
menurunkan kaitan emas untuk memancing, ia bermaksud
menangkap tangan kanan Leng Bwe-hong, namun
sekelebatan Bwe-hong telah memutar tubuh, pedangnya ikut
berputar dengan gerak 'Bou-te-khim' atau menggelar
permadani di lantai, dengan cepat pedangnya beradu dengan
gaetan musuh, Sin Thian-hou merasa seperti ada tenaga besar
yang menempel, gaetannya ternyata kena ditarik pergi, ia
kaget sekali. Senjata gaetannya khusus dibuat untuk merebut senjata
musuh, siapa duga malahan kena ditarik pergi oleh kekuatan
Lwekang Leng Bwe-hong. Lekas ia menggerakkan gaetan
kanan untuk menolong, dalam pada itu Thian-pa yang hanya
ter-luka ringan kinipun menyerang pula. Waktu Bwe-hong
menarik pedangnya dengan berputar, belum sempat ia
mengambil kedudukan yang menguntungkan, senjata musuh,
gaetan dan pedang, beruntun sudah menyerang datang, cepat
ia mengayun pedang untuk menghalau semua serangan lawan
itu sambil dalam hati diam-diam memuji kedua bersaudara
yang bisa bekerja-sama dengan rapat sekali itu. Sudah ia
gunakan tipu serangan paling lihai, namun mereka masih bisa
melakukan serangan balasan yang makin lama makin hebat.
Nampak kedua saudara Sin itu bertempur dengan matimatian,
Leng Bwe-hong tak berani ayal, segera ia
mengeluarkan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang paling
hebat bagai seekor ular naga yang menari di angkasa,
berbareng jarinya yang seperti belati di tengah sinar pedang
yang gemerlapan selalu mencari jalan darah musuh. Bagaikan
putaran roda, ketiga orang itu mengitar kian kemari, sampai
orang-orang yang menyaksikan di samping, matanya
berkunang-kunang.
Sesudah ratusan jurus, kedua bersaudara Sin mulai tampak
mengeluarkan keringat di jidat, sebaliknya Leng Bwe-hong
masih tetap gagah seperti tak merasa apa-apa. Orang yang
menyaksikan masih belum bisa nampak sesuatu, tetapi Ong
Kang sudah mengetahui gelagat jelek, kedua tangannya
bergerak, ia siap-siap hendak maju.
"Kedua saudara harap mundur dulu, biar aku yang minta
sedikit ajaran kiam-hoat dari Leng-tayhiap," demikian
teriaknya. Mendengar itu, kedua bersaudara Sin secara sengit
memberi beberapa kali serangan kilat dengan maksud hendak
mundur. Tetapi tiba-tiba Leng Bwe-hong tertawa panjang.
"Ha, tak mungkin lagi meski mengaku kalah," bentaknya
kemudian. Serangannya segera berubah, pedangnya naik turun cepat,
kedua bersaudara Sin itu merasakan hawa dingin tajam
mengitari diri mereka, sekelilingnya hanya tampak bayangan
Leng Bwe-hong, tiada jalan untuk mereka meloloskan diri.
"Leng Bwe-hong yang keji, baiklah kita mengadu jiwa,"
teriak mereka sambil mengertak gigi. Pedang dan gaetan
mereka bekerja lebih rapat lagi, mereka keluarkan seluruh
kepandaian untuk melayani Leng Bwe-hong.
Ong Kang sudah maju hendak menggantikan kawannya,
tetapi dilihatnya ketiga orang itu masih terus bertempur
dengan mati-matian, sinar pedang berkelebat cepat hingga
tiada jalan untuk menerobos masuk.
Kedua belah pihak sudah berjanji di muka, bahwa tidak
boleh maju lebih dari dua orang, kini pihak mereka dua orang
mengerubuti seorang, hal ini sudah menurunkan pamor, kalau
dia ikut terjun masuk, sekalipun bisa menang toh bakal dibuat
buah tertawaan jago-jago dunia persilatan. Apalagi Ong Kang
adalah benggolan ternama dengan K.im-Iceng-san-jni yang
tersohor selama tiga puluhan tahun, di depan jagoan begini
banyak lebih-lebih ia tidak ingin ditertawai.
Dan selagi Ong Kang ragu ragu, tiba-tiba dilihatnya si
pemuda baju kuning Kui Tiong-bing di pihak lawan telah maju
pelarian. "Leng-toako tidak sempat melayanimu, biar aku menerima
beberapa gebrakan," seru pemuda itu.
Memang Ong Kang sedang serba-salah, keruan majunya
Tiong-bing menjadikannya girang. "Kalau begitu, hayolah lolos
pedangmu!" katanya segera.
"Siauya (tuan muda) selamanya tidak pernah melolos
senjata lebih dulu. Dan mana senjatamu?" sahut Tiong-bing.
"Kau ingin satu lawan satu" Baik, aku membiarkan kau
menyerang dulu tiga kali."
Mendengar itu, Ong Kang tertawa lebar dan merasa geli.
"Pemuda ini tentunya ayam cilik yang baru menetas, dengan
ilmu silat Kim-kong-san-jiu aku telah menggetarkan dunia
persilatan dan selamanya tidak pernah memakai senjata,
sebaliknya ia malahan menyuruhku mengeluarkan senjata,
sungguh tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit,"
demikian ia berpikir.
"Kau boleh tanya paman-paman dan mamak-mamak yang
ada di sini, kapan pernah mendengar aku, Ong Kang,
menggunakan senjata?" katanya kemudian sambil tertawa
terpingkal-pingkal. "Seranglah dengan sepasang pedangmu
sebisanya, boleh coba apakah aku bisa menerimanya?"
Melihat lagak orang, Tiong-bing menjadi mendongkol.
"Terlalu pagi untukmu tertawa, nanti kalau sudah terang siapa
yang kalah atau menang, waktu itu bila kau masih bisa
tertawa, itulah kau betul-betul orang gagah," katanya
menyindir. "Baik kalau kau tidak memakai senjata, Siauya pun
melayanimu dengan tangan kosong."
Habis berkata, ia lolos sepasang pedangnya dan ia timpukkan
ke tembok gunung, segera pecahan batu bercipratan,
kedua pedang itu ternyata amblas masuk sampai dekat
gagangnya. "Nah, kini aku pun tidak bersenjata, kau tak perlu kuatir
lagi bukan?" kata Tiong-bing pula. "He, kenapa kau masih
belum mau menyerang" Kau mau berkelahi atau tidak?"
Melihat Kui Tiong-bing menunjukkan tenaga menimpuk
pedang tadi, orang-orang yang menyaksikan menjadi terkejut.
Walaupun mereka sudah menyaksikan caranya menempur
Ciau Tit dan Ang Tui tadi, tetapi mereka lebih-lebih tahu
betapa lihainya Ong Kang. Mereka pikir sekalipun Kui Tiongbing
melawannya dengan senjata masih belum tentu bisa
mengunggulinya, kenapa ia berani begitu sombong dan
jumawa, dengan usianya yang masih begitu muda, malahan
berani menempur tokoh ternama dari dunia persilatan dengan
tangan kosong"
Boh Wan-lian juga menyaksikan di antara orang-orang itu,
ia lihat semua orang pada bisik-bisik dengan wajah mengunjuk
rasa kuatir, sedang tadi waktu Ong Kang maju ke depan,
lagaknya begitu angkuh. Ia tahu tentu orang ini adalah
pemimpin mereka, tentu memiliki ilmu silat yang luar biasa.
Karena itu, tanpa terasa ia telah maju beberapa tindak ke
depan. "Lekas panggil kembali kakakmu itu," kata Loh-tayling-cu
pada Boh Wan-lian karena disangkanya ia adalah puteri Ciok
Thian-sing. "Orang ini mempunyai Gwakang sudah sampai
puncaknya, Kim-kong-san-jiu miliknya itu tiada tandingannya
di kolong langit. Biar Leng-tayhiap saja yang melayaninya


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin masih bisa mengimbanginya."
Mendengar kata-kata Loh-taylingcu, mula-mula Wan-lian
agak terkejut, tetapi sehabis penuturannya, barulah ia merasa
lega. Pikirnya, "Ilmu silat Tiong-bing terpaut tidak banyak
dengan Leng Bwe-hong, orang ini bilang Leng Bwe-hong
dapat menandinginya, kalau begitu, sekalipun Tiong-bing
bakal kalah, sedikitnya bisa bertahan untuk beberapa saat,
tatkala itu, Leng Bwe-hong tentu sudah bisa membereskan
kedua lawannya." Walaupun demikian, dalam hati ia masih
berdebar-debar. Karena kasih sayangnya, ia menjadi begitu
memperhatikan nasib pemuda itu, tanpa terasa setindak demi
setindak ia maju mendekati kalangan pertempuran.
Waktu itu semua orang tengah memperhatikan cara
bagaimana Kui Tiong-bing menempur lawannya hingga tiada
yang memperhatikan Boh Wan-lian. Walaupun Loh-taylingcu
mengetahui, tetapi La melihat tangan kanan Wan-lian
menggenggam kencang seperti menyembunyikan senjata
rahasia. Ia pikir, biar dia maju, kalau keadaan memaksa dan
harus memberi bantuan juga tidak jelek. Apalagi di pihak sana
tiga jago sudah maju semua, andaikan ia maju membantu si
pemuda baju kuning, dengan tiga lawan tiga juga belum
melanggar janji tadi.
Sementara itu demi mendengar Tiong-bing bilang hendak
memberi serangan tiga kali lebih dulu, Ong Kang tak tahan
amarahnya. "Dengan sekali pukulanku, kalau kau tak terpukul
hancur lebur, itulah baru mukjijat," demikian pikirnya.
"Eh, kenapa masih belum turun tangan" Apa kau hendak
meninggalkan pesanmu yang terakhir?" ejek Tiong-bing lagi.
Gusar sekali Ong Kang, ia menubruk maju sambil
menggeram, ia pentang tangannya yang lebar bagai kipas dan
membawa angin tajam segera memukul pelipis Tiong-bing.
Tapi sedikit mengegos Tiong-bing sudah bisa menghindarkan
serangan itu. Cepat Ong Kang menyerang pula hingga
beruntun Tiong-bing mundur tiga tindak, ia masih bisa
mengelakkan semua serangan musuh.
Karena serangannya tak berhasil, tiba-tiba Ong Kang
melompat maju, kedua telapak tangannya berubah menjadi
kepalan terus menghantam, berbareng dengan tipu 'Ji-kuipak-
mui' atau dua setan menggedor pintu, ia menonjok kedua
belah pipi Kui Tiong-bing.
Serangan itu begitu cepat laksana kilat, sampai Loh-taylingcu
berseru kaget, hati Boh Wan-lian ikut berdebar-debar
pula, ia memejamkan mata tak berani memandang lagi.
Waktu itu, semua orang yang menyaksikan pertempuran itu
menduga Kui Tiong-bing tentu akan celaka, tak tahunya
gerakan Tiong-bing begitu cepat dan aneh, dengan licin sekali
pada saat yang paling berbahaya mendadak ia menundukkan
kepala dan menerobos pergi di bawah tangan Ong Kang.
"Aku sudah bilang memberi kau kesempatan memukul dulu
tiga kali, nah, bukankah itu tadi sudah terjadi?" teriak pemuda
itu. Tiong-bing berlatih 'Tay-lik-eng-jiau-kang' sejak kecil pada
ayah-angkatnya, Kui Thian-lan. 'Tay-lik-eng-jiau-kang' dengan
'Kim-kong-san-jiu' sifatnya serupa, ia pernah mendengar cerita
ayah-angkatnya bahwa ilmu silat 'Nge-kang' itu
mengutamakan serangan-serangan secara beruntun sekaligus,
yang di-kuatirkan ialah kalau serangan itu belum bisa
menundukkan musuh, maka itu berarti menurunkan
semangat. Lebih jauh Kui Tiong-bing mengandalkan dirinya sejak kecil
hidup di antara lereng gunung dan berkawan kera-kera, bakat
ilmu mengentengkan tubuhnya sudah sampai puncaknya,
maka dengan sengaja ia mengeluarkan kata-kata tadi untuk
membuat gusar lawannya, beruntun ia berkelit tiga kali untuk
menurunkan lagak sombong musuh. Sekalipun begitu,
pundaknya masih kena tersapu oleh angin pukulan Ong Kang
hingga terasa panas pedas. Kui Tiong-bing sudah matang
meyakinkan ilmu silat luar-dalam, kalau guru silat biasa
mengetoknya dengan palu tidak akan membuat sakit padanya.
Maka rasa panas pedas tadipun membuatnya terperanjat,
barulah ia percaya ilmu silat Ong Kang memang lain daripada
yang lain. Sebaliknya Ong Kang tidak tahu bahwa Kui Tiong-bing telah
merasakan lihainya pukulan tadi, ia lihat orang betul-betul bisa
mengelakkan tiga kali serangannya, betul juga perbawanya
banyak berkurang, ia tak berani gegabah lagi. ia terkejut dan
juga gusar, dengan tangan kiri melindungi dada, tangan kanan
segera memukul lagi ke dada Kui Tiong-bing, ia menggunakan
pukulan yang paling hebat dari Kim-kong-san-jiu.
Merasakan ada tenaga yang luar biasa besarnya
menyerang dada, di sinilah Tiong-bing mengunjukkan
keperkasaannya, ia meloncat naik, dengan Tay-lik-eng-jiaukang,
tangannya mencakar Ong Kang. Waktu itu kedua
tangan Ong Kang justru sedang memukul berbareng, keruan
saja mereka kebentur, dengan sekali gertak, sepuluh jari Kui
Tiong-bing seperti gaetan besi telah mencengkeram
pergelangan tangan Ong Kang. Lekas Ong Kang membalikkan
telapak tangannya, ia gunakan gaya membanting dari Kimkong-
san-jiu, tangannya diangkat ke atas, tahu-tahu tubuh
Tiong-bing terangkat naik. Dalam keadaan demikian soal
tenaga, ia sudah kalah lebih dulu karena badannya terapung,
akan tetapi untuk kedua kalinya ia mengeluarkan serangan
yang aneh, dengan gerakan paling hebat dan membawa
resiko tibatiba ia rmendoyong ke belakang, segera kaki kiri
memancal dada Ong Kang.
Karena gerakan Kui Tiong-bing yang luar biasa ini Ong
Kang mengangkat tubuh OTang sekuat tenaganya,
sekonyong-konyong Tiong-bing mengendorkan cekalannya,
dengan sekali jumpalitan ia melompat pergi hingga beberapa
tombak jauhnya.
Pada waktu Tiong-bing menyerang secara aneh tadi, Ong
Kang terpaksa menekuk tubuhnya ke bawah untuk berkelit,
walaupun dadanya luput dari tendangan, tidak urung pahanya
kena didepak hingga ia terguling pergi jauh.
Setelah menancapkan kakinya kembali, Tiong-bing melihat
tangannya yang kena dipegang Ong Kang tadi luka lecet dan
berdarah. Sebaliknya sesudah Ong Kang bangkit kembali dan
melihat tangannya gosong seperti terbakar dan ada bekas
sepuluh garis merah. Kedua orang sama-sama terkejut,
masing-masing tidak menyangka kekuatan lawan begitu
hebat. Walaupun sama-sama merasakan lihainya lawan, tetapi
bagi pihak penonton, Kui Tiong-bing telah berhasil
menghindarkan serangan bahaya tadi dengan ilmu
mengentengkan tubuhnya yang tinggi, sebaliknya Ong Kang
harus berguling ke tanah, terang Ong Kang sudah kalah satu
jurus. Keruan semua orang tercengang heran. Tadinya mereka
memandang rendah Kui Tiong-bing, tetapi kini mereka
menjadi kagum. Sejak namanya 'terdaftar' di antara orang-orang gagah,
belum pemah Ong Kang menemukan tandingan yang begitu
kuat seperti Tiong-bing, sama sekali tak diduganya bisa
terjungkal di tangan seorang 'bocah cilik' yang belum terkenal.
Kini ia tak berani memburu kemenangan lagi, ia mengambil
tempat yang baik, ia mengumpulkan tenaga dalam Kim-kongsan-
jiu yang lihai, ia menyerang sambil berjaga untuk
melayani Tay-lik-eng-jiau-kang milik Kui Tiong-bing.
Dengan begitu, maka keadaan lantas berubah. Kekuatan
masing-masing memang terpaut tak banyak, Ong Kang sudah
malang melintang di kalangan Kangouw lebih tiga puluh
tahun, entah sudah berapa banyak orang kosen yang ia
hadapi, kekayaan pengalamannya tentu Kui Tiong-bing tak
bisa menandinginya. Maka sesudah ia ganti siasat dengan
berlaku tenang, ia menunggu kesempatan hingga Kui TiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bing dipaksa di pihak terserang, mereka bergebrak dengan
cepat dan begitu memukul segera ditarik kembali, sama-sama
tak berani lengah sedikitpun.
Menurut penglihatan jago-jago yang menonton, meski
tubuh mereka tidak kebentur, tetapi dibanding pukulanpukulan
berbahaya tadi kini lebih mendebarkan hati.
Sesudah lama, pelahan-lahan Tiong-bing mulai merasa
payah, mendadak ia membentak, ia mengincar datangnya
kedua tangan lawan, sekonyong-konyong kedua telapak
tangannya pun diulur berbareng, empat tangan beradu lagi
dan masing-masing terpental mundur beberapa tindak.
Kesempatan itu digunakan Tiong-bing untuk merubah cara
bertempur. Waktu Ong Kang menubruk maju lagi, tiba-tiba
gerakan Tiong-bing sudah lain, angin pukulannya tidak
sekeras tadi, tetapi tiap gerakannya tersembunyi kekuatan
besar yang tak kelihatan, sedikit Ong Kang kena senggol
segera dirasakan tangan lawan begitu lemas bagai kapas,
namun membawa tenaga sangat besar yang balik menyerang.
Keruan ia sangat terkejut, lekas ia mengeluarkan seluruh
kemampuannya untuk melayani Kui Tiong-bing.
Pukulan Kui Tiong-bing ini ialah kekuatan dalam dari 'Mi-cio'
ditambah kekuatan luar dari 'Eng-jiau-kang'. Ayah-angkat Kui
Thian-lan selain paham ilmu 'Eng-jiau-kang' dari perguruan
sendiri juga telah meyakinkan 'Mi-cio' atau tangan kapas
selama dua puluh tahun lebih dari kaum Lwekeh. Di dunia
persilatan, orang yang meyakinkan ilmu luar-dalam hanya dia
seorang. Dan nyata Kui Tiong-bing kini sudah mewarisinya.
Dengan 'Mi-cio' Kui Tiong-bing bisa meremas batu menjadi
tepung, ditambah 'Tay-lik-eng-jiau-kang' untuk menempur
'Kim-kong-san-jiu' milik Ong Kang sebenarnya mudah baginya
untuk memperoleh kemenangan. Tetapi keuletan dan
pengalaman Ong Kang sudah sampai puncaknya, 'Kim-kongsan-
jiu' Ong Kang dapat dimainkan sesuka hatinya, sebaliknya
meski Tiong-bing memiliki ilmu silat yang paling wahid, namun
kalah dalam hal pengalaman, maka dengan kombinasi dua
rupa pukulan hanya sekedar bisa berimbang saja.
Pertarungan Leng Bwe-hong melawan kedua bersaudara
Sin pun sudah sampai puncaknya, pedang Bwe-hong makin
lama makin cepat, kedua bersaudara Sin didesak sampai
basah keringat, tetapi mereka pun. mengeluarkan seluruh
kemahirannya, dengan serangan-serangan paling lihai dari
'Go-kau-kiam-hoat', kerj a-saraa mereka begitu rapat tak
tembus angin. Walaupun begitu toh mereka masih kewalahan, ilmu
pedang Leng Bwe-hong adalah warisan ahli pedang paling
wahid, setiap gerak-geriknya selalu di luar dugaan orang.
Pertempuran Thian-san-kiam-hoat Leng Bwe-hong
melawan Go-kau-kiam-hoat yang terkenal dari kedua
bersaudara Sin sebenarnya adalah pertandingan yang jarang
diketemukan di dunia persilatan, akan tetapi tampil
kemukanya Kui Tiong-bing telah membikin hilang perhatian
para penonton. "Pertandingan pedang semacam ini sungguh susah
diketemukan selama hidup!" kata Loh-taylingcu kagum. "Cuma
sayang pertunjukan baik hari ini terlalu banyak, pertandingan
Cio-hoat di sebelah sana lebih-lebih adalah pertunjukan yang
jarang dalam dunia persilatan, sungguh sayang aku tidak
tumbuh sepasang mata lebih banyak."
Begitulah ia pandang Leng Bwe-hong, tak tertahan pula ia
melihat Kui Tiong-bing. Tetapi akhirnya seluruh perhatiannya
ditumplekkan pada pihak Kui Tiong-bing yang sedang menempur
Ong Kang. Jago-jago yang berada di situ agaknya sama
penasaran. Ini bukan tanda bahwa Cio-hoat Kui Tiong-bing
lebih mengagumkan daripada Kiam-hoat Leng Bwe-hong, tapi
disebabkan karena Kui Tiong-bing adalah 'bocah' yang baru
muncul, sedang yang dihadapi sebaliknya adalah jagoan yang
sudah ternama, malahan menurut pandangan para jago itu,
walaupun tampaknya berimbang tetapi ilmu silat Kui Tiongbing
lebih tinggi. Mengenai Leng Bwe-hong melawan kedua bersaudara Sin,
sungguhpun mereka bertahan dengan Go-kau-kiam-hoat
secara luar biasa, tetapi mereka pun kenal Leng Bwe-hong
yang tersohor di daerah barat-laut, mereka tak berani
memastikan pihak mana yang bakal menang, tapi seumpama
Leng Bwe-hong yang menang masih kurang menarik dan
mengherankan bagi mereka daripada Kui Tiong-bing.
Begitulah tengah para jagoan itu penuh perhatian
menyaksikan pertempuran seru antara Kui Tiong-bing dan
Ong Kang, di sebelah sana Leng Bwe-hong melawan kedua
bersaudara Sin juga sudah sampai saat yang menentukan.
Waktu itu Sin Thian-pa sedang menyerang dengan tipu
'Hing-kang-cat-tau' atau memotong dari samping, ia
memotong pinggang orang, bermaksud membendung
serangan Leng Bwe-hong yang bertubi-tubi. Tetapi Bwe-hong
tidak gampang kecun-dang, sedikit mengegos ia sudah
meluputkan diri dari serangan itu, berbareng pedang di tangan
tidak menjadi kendor, tiba-tiba Thian-pa nampak pedang Leng
Bwe-hong menyambar ke lehernya secepat kilat, sungguh
bukan main kejut Thian-pa, lekas ia menjatuhkan diri ke
bawah, berbareng ia hendak menyerang pula dengan 'Tiangcoa-
jiau-jiu' atau ular panjang membelit pohon, ia hendak
memotong kedua kaki Bwe-hong, siapa tahu baru ia bergerak,
tahu-tahu dengan cepat sekali Bwe-hong sudah mendahului
menendang dengan tipu 'Swan-hong-sau-hio' atau angin
puyuh menyapu daun, tanpa ampun lagi kedua tulang kakinya
kena disapu patah.
Dalam pada itu sepasang gaetan Sin Thian-hou telah
menyerang dari belakang, Leng Bwe-hong tertawa dingin,
tubuhnya mengegos cepat terus memutar, ia bisa
menghindarkan serangan membokong itu, tidak berhenti
sampai di situ, begitu membalik ia barengi dengan memukul.
Karena luput serangannya dan belum sempat Thian-hou ganti
haluan, tahu-tahu dadanya sudah terpukul oleh Leng Bwehong,
ia terhuyung-huyung mundur, mendadak pedang Bwehong
sudah sampai di mukanya pula, dalam keadaan jiwanya
terancam itu tanpa pikir lagi ia mengangkat tangan buat
menangkis, maka terdengarlah suara "krak", lima jari
tangannya sudah jatuh tertabas, ia menjerit ngeri, gaetannya
pun jatuh, sementara Leng Bwe-hong tidak me-ngendorkan
pedangnya, ia menikam kuat, segera Sin Thian-hou tertusuk
tembus. Waktu para jagoan berpaling dan mengetahui Leng Bwehong
dengan cepat sudah membereskan kedua lawannya,
mereka menjadi saling pandang terkejut. Tetapi yang paling
terkejut dan menjadi gugup adalah Ong Kang.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu Kui Tiong-bing makin lama makin perkasa. Ong
Kang tak berani mengulur waktu lagi, tiba-tiba timbul muslihat
jahatnya, ia pura-pura menyerang. Tiong-bing terpaksa
menangkis cepat, tetapi mendadak Ong Kang maju ke depan,
ia papaki pukulan itu dengan pundak kirinya, hingga tepat
kena dipukul oleh Kui Tiong-bing, tetapi pada kesempatan itu
juga ia sudah melompat maju, kelima jarinya bagaikan cakram
menyengkal pergelangan tangan Kui Tiong-bing terus dibetot
sekuat tenaganya.
Nyata dengan spekulasi kena gebukan itu, Ong Kang
menggunakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menawan dan
memegang hendak menawan Kui Tiong-bing. la telah
menyaksikan kedua bersaudara Sin sekaligus dibinasakan
Leng Bwe-hong, ia insyaf bukan tandingan orang, maka
Tiong-bing hendak ditawannya sebagai barang jaminan.
Tak terduga olehnya meski pengalaman Tiong-bing masih
cetek hingga terjebak, namun berkat ilmu silatnya yang hebat,
dalam keadaan bahaya itu ia bisa berlaku tenang, tangan yang
kena dipegang Ong Kang tadi ia tarik hingga sekeras besi,
sungguhpun belum bisa lepas dari cekalan orang, tetapi Ong
Kang tak sanggup membetotnya. Sementara tangan kiri
Tiong-bing tak menganggur, ia menjotos cepat, "Plak', dagu
Ong Kang tepat kena ditoyor hingga darah menciprat, kedua
baris gigi depannya ikut copot dan sakitnya meresap tulang.
Ong Kang melepas tangan terus melompat mundur.
Dalam pada itu saking memperhatikan Kui Tiong-bing,
sejak tadi Boh Wah-lian telah bergeser ke depan, dan ketika
dilihatnya Tiong-bing terancam maut, tanpa pikir ia memburu
maju, dan saat itulah kebetulan Ong Kang melompat mundur
dan berpapasan dengan Boh Wan-lian.
Keruan Ong Kang amat girang, mendadak ia menubruk si
gadis, lekas Wan-lian sambut serangan itu dengan 'Toat-bengsin-
soa' atau pasir sakti pencabut nyawa yang sudah
disiapkannya sejak tadi. Namun sama sekali Ong Kang tak
berkelit hingga semua pasir beracun itu masuk dagingnya, ia
masih terus menubruk maju, dan karena tak menduga akan
keberanian musuh, Wan-lian tertegun dan pergelangan
tangannya kena dipegang dan dipencet Ong Kang terus
tubuhnya diangkat serta dipakai sebagai senjata sambil
diayun-ayunkan, sebenarnya Kui Tiong-bing sudah
menggenggam senjata rahasia Kim-goan, terpaksa ia urung
menimpuknya. ?"Lepaskan dia, aku akan mengampuni jiwamu!" seru
Tiong-bing sambil mengudak di belakang Ong Kang yang telah
melarikan diri sambil menggondol Boh Wan-lian itu.
Tapi Ong Kang tak menghiraukan teriakan itu, ia tertawa
sinis dan masih berlari terus dengan cepat.
Terpaksa Tiong-bing mengejar lebih kencang setelah
menyambar sepasang pedangnya yang menancap di batu tadi.
Segera Leng Bwe-hong pun menyusul dan diikuti semua orang
yang ingin tahu bagaimana kejadian selanjurnya. Tapi karena
Boh Wan-lian jatuh dalam cengkeraman Ong Kang, maka tiada
seorang pun yang berani memakai kekerasan senjata.
Maka sekejap saja kejar mengejar itu sudah melintasi dua
lereng gunung, tiba-tiba di depan mereka terbentang kolam
yang lebar, terdengar suara gemericiknya air, air terjun
menggerujuk dengan kerasnya dan di bawahnya berwujud
satu kolam yang lebar, di pinggir kolam itu ada sebuah goa,
air yang menggerujuk itu bercipratan terkena batu-batu padas
di bawahnya hingga berwujud sebuah tirai air yang mengalingi
goa itu. Sinar sang surya pagi hari menyorot indah, tetapi
tiada seorang pun yang sempat menikmati keindahan alam
itu, tanpa berkata-kata mereka masih terus mengejar ke
depan. Cepat sekali Leng Bwe-hong mengudak, sejak tadi yang
lain sudah jauh ditinggalnya di belakang, kini ia sudah
menyan-dak Kui Tiong-bing, jaraknya dengan Ong Kang pun
tidak jauh lagi.
"Kau minggir dulu, biar aku yang menolong dia," kata Bwehong
pelahan pada Kui Tiong-bing.
Tiong-bing menurut saja, ia menyingkir memberi jalan pada
Leng Bwe-hong, lalu dilihat Bwe-hong mengayun tangannya
dan tiga buah "Thian-san-sin-bong' bagai kilat telah
menyambar. "He, apa itu?" teriak Tiong-bing kaget. Tapi tak keburu lagi
mencegah saking cepatnya Bwe-hong bertindak.
Dalam pada itu Ong Kang lagi kabur secepatnya sambil
mengempit Boh "Wan-lian, 1i1>a-tiba didengarnya angin
tajam menyambar dari belakang, tanpa berpaling tubuh Boh
Wan-lian tenis diayunnya ke belakang sebagai tameng.
Keruan semua orang menjerit kaget dan paras Tiong-bing
pucat pasi, rubuh serasa lemas, disangkanya pasti tubuh si
gadis akan tertancap oleh ketiga 'Thian-san-sin-bong' itu.
Di luar dugaan Ong Kang, cara Leng Bwe-hong menyambitkan
am-gi ternyata aneh sekali, tiga buah Sin-bong itu
terbagi dari arah kiri, kanan dan tengah, tapi semua hanya
serangan percobaan saja dan seluruhnya menyamber lewat
samping tubuh Boh Wan-lian yang diayun Ong Kang itu. Siapa
tahu masih ada Sin-bong keempat yang disusulkan Leng Bwehong
secepat kilat dan tahu-tahu sudah sampai sasarannya,
lekas Ong Kang hendak menggunakan tamengnya lagi, namun
terlambat, "Plok", lengan kanannya sudah ditembus Sin-bong
itu. Ia kesakitan hingga tangannya menjadi lemas, maka
terlepaslah Wan-lian dari kempitannya. Pada saat itu juga
didengarnya pula suara teriakan Leng Bwe-hong yang sudah
dekat, keruan tak sempat lagi ia mengurus tawanannya itu, ia
terus berlari secepatnya tanpa pikir lagi.
Bwe-hong membangunkan si gadis yang tak berkutik itu
dan memunahkan totokan Ong Kang tadi. "Ini kukembalikan
padamu dalam keadaan baik-baik, kiranya tak perlu lagi kaukuatir,"
kata Bwe-hong sambil tertawa kepada Kui Tiong-bing
yang sudah datang juga.
Sementara itu Ong Kang masih terus ngacir dengan cepat,
di samping lengannya yang kesakitan itu, tiba-tiba terasa pula
seluruh tubuhnya kaku dan gatal, pandangannya pun mulai
gelap, luar biasa terkejutnya, lekas ia mengumpulkan
semangat, segera ia ingat tadi telah kena disambit segenggam
pasir yang ternyata berbisa. Keruan ia terkejut sekali, di lain
pihak Leng Bwe-hong dan kawan-kawan yang mengejar sudah
mendekat juga. Karena tiada jalan lain, terpaksa Ong Kang melompat ke
depan menerobos tirai air terjun itu, ia mengumpulkan tenaga
pada sebelah tangannya terus menggablok pintu goa dengan
gerakan 'Tok-cio-kay-pi' atau tangan tunggal membelah pilar,
hingga terdengarlah suara "Biang" yang keras.
Dengan ilmu kepandaian 'Kim-kong-san-jiu' yang lihai itu,
tentu saja tenaga Ong Kang luar biasa besarnya karena itulah
segera batu kerikil berhamburan disusul dengan suara
mencicit-nya pintu batu, ternyata pintu goa itu sudah
terpentang setelah terkena pukulan Ong Kang tadi. Sebaliknya
saking kerasnya mengeluarkan tenaga, Ong Kang sendiri
terpental balik dan patah tulang tangannya, lebih dulu ia kena
diguyur air terjun, lalu terjerumuslah dia ke dalam kolam
jurang di bawah itu, kelihatan ia masih meronta-ronta
berusaha menyelamatkan diri, tetapi lantas tenggelam tak
timbul lagi. Ketika Leng Bwe-hong sampai di tepi kolam itu, hanya
tertampak oleh mereka gelombang air kolam yang
mendampar. Nyata pengkhianat dunia persilatan dan ahli
Lwekeh itu sudah tamat riwayatnya di dasar kolam.
Menyaksikan kejadian itu, para benggolan dari berbagai
golongan itu terkesima dan bungkam. Mereka telah
menyaksikan pertarungan sengit tadi sampai matinya Ong
Kang yang mengerikan hingga mayatnya hanyut tak menentu,
dalam hati mereka masing-masing timbul perasaan tersendiri.
"Syukur, keparat ini memang siang-siang sudah harus
menerima hukumannya ini," demikian kata Loh-taylingcu
menghela napas sesudah agak lama semuanya diam.
Dalam pada itu Tat-tusi telah memandang Leng Bwe-hong
beberapa kali, dalam hati ia sedang membatin, "Meski belum
pernah aku bertanding melawan Ong Kang, tapi melihat
kepandaiannya tadi tampaknya tidak di bawah 'Tiat-poh-san'
kemahir-anku, namun kini hanya beberapa senjata rahasia
Leng Bwe-hong saja sudah mengakibatkan kematiannya.
Thian-san-sin-bong ini rupanya memang sesuai namanya yang
tersohor."
Sebaliknya waktu itu Lo Thay dengan mata terpentang
lebar lagi mengawasi goa batu di balik air terjun itu.
Bersama Kui Tiong-bing waktu itu Boh Wan-lian juga sudah
datang mendekat, ketika dilihatnya pemandangan seputar goa
itu, tiba-tiba teringat olehnya akan sebuah lukisan, hatinya
tergerak. "He, apa sini bukan tempat yang dilukis ayah-angkatku di
atas baju kuning itu?"" tanya Tiong-bing pada si gadis.
"Betul, goa bertirai air ini memang yang dimaksud dalam
lukisan itu," sahut Wan-lian pelahan. Habis ini ia menggapai
tangan meminta Bwe-hong datang ke tempat mereka.
"Aku tak mau mengganggu kalian," kata Bwe-hong
tersenyum demi nampak muda-mudi ini lagi asyik bicara
berbisik-bisik.
Sebagaimana diketahui, semalam di waktu baju kuning
dibakar si kakek, Leng Bwe-hong sendiri sedang meronda di
luar. Maka barulah ia tahu sekarang sesudah mendengar
cerita Boh Wan-lian. Ia pun sangat tertarik oleh lukisan itu, ia
coba memejamkan mata memikirkan apakah arti lukisan itu.
"Lukisan rahasia yang ditinggalkan Kui-locianpwe itu
sampai Ciok-toanio tak diberitahu, agaknya di dalamnya
tersangkut soal yang maha penting, ada baiknya kita coba
menyelidiki ke dalam goa itu," kata Bwe-hong kemudian.
"Nanti dulu," tahan Wan-lian. "Di atas lukisan itu tertulis
pula huruf-huruf 'Co-sam-yu-si, Tiong-capji', apakah artinya ini
coba kau memecahkannya."
"Mungkin itulah tanda rahasia," sahut Leng Bwe-hong.
"Mungkin juga tanda itu menunjukkan tempat atau satuan
barang yang disembunyikan itu."
Sementara itu para benggolan itu menjadi curiga demi
melihat Bwe-hong bertiga sedang bicara bisik-bisik sendiri,
terutama Lo Thay menjadi sibuk, sebentar ia berdiri, lain saat
ia duduk, ia pandang goa bertirai air itu, lalu mengamati Leng
Bwe-hong bertiga.
Dan ketika masing-masing pihak mempunyai pikiran
sendiri-sendiri, tiba-tiba di angkasa lembah sunyi itu terdengar
suara mendengingnya sebuah anak panah yang menjulang
tinggi ke atas, menyusul kemudian melayang lewat pula dua
buah anak panah lain. Lalu Lo Thay kelihatan berbangkit terus
bersuit panjang.
Selagi Bwe-hong heran, tak lama kemudian dari lereng
gunung sana telah muncul seorang tua bungkuk, parasnya
jelek, tapi gerak-geriknya gesit dan sebat, begitu cepat ia
berjalan tanpa menimbulkan debu dan dalam sekejap saja
orangnya sudah berada di depan mereka.
Lo Thay paling girang oleh kedatangan orang tua itu,
segera ia maju menyambutnya. "Han-toako, sudah lama kami
menunggumu," demikian ia menyapa sambil memberi hormat.
Lalu Loh-taylingcu dan Tat-tusi pun menyambut
kedatangan orang dengan girang pula. Walau To Hong dan
Thio Goan-cing tak mengenal orang tua ini, tapi melihat Lo
Thay dan lainnya begitu menghormat padanya, mau tak mau
mereka ikut menyongsongnya.
Hanya Leng Bwe-hong bertiga masih tetap duduk tenang
seenaknya, mereka coba menyelami juga maksud tujuan
kedatangan jago-jago Lok-lim serta orang tua bungkuk itu.
Belum sempat orang tua yang dipanggil Han-toako itu
berkenalan dengan Leng Bwe-hong, tiba-tiba dilihatnya pintu
goa itu sudah terpentang. "Ya, inilah tempatnya, apa sudah
ada yang masuk?" demikian katanya segera pada Lo Thay.
Lo Thay menggoyang-goyang kepala tanda tidak ada.
"Marilah kita masuk bersama," ajak Tat-tusi. "Seteguk air
diminum bersama, biarlah kita bagi sama rata!"
"Tapi di sebelah sana masih harus dibagi tiga bagian," kata
Loh-taylingcu pula sambil menunjuk Leng Bwe-hong bertiga.
"Mereka tak tahu, tiada bagian mereka," sahut Tat-tusi.
Telinga Bwe-hong cukup tajam, maka dari jauh sayupsayup
masih dapat didengarnya orang-orang itu sedang bicara
dengan istilah Lok-lim tentang membagi air segala. "Apakah
dalam goa itu disembunyikan harta karun hingga menarik
perhatian benggolan-benggolan ini untuk membagi rejeki?"
pikirnya. Sedang Tat-tusi dan Lo Thay hendak mengajak To Hong
dan Thio Goan-cing masuk goa bersama, namun si orang tua
bungkuk tadi telah mencegah. "Jangan dulu," demikian
katanya. "Biarlah seorang membuka jalan dulu, dan siapa
berani, biarlah kita bagi dia sebagian lebih banyak!"
"Aku," seru Lo Thay mendahului terus melompat maju.
Cepat sekali Lo Thay melompat menerobos air terjun itu
melewati kolam yang lebarnya tujuh tombak terus masuk goa.
Sedang begundalnya penuh perhatian menantikan hasil
penyelidikan sang kawan, Leng Bwe-hong bertiga juga berdiri
menyaksikan perbuatan mereka. Suasana seketika agak
tenang. Hanya sekejap saja, tiba-tiba terdengarlah suara jeritan di
dalam goa, waktu semua orang menegasi, tertampaklah
dengan rambut terurai dan mandi darah Lo Thay telah berlari
keluar, sedang dari dalam goa masih menghambur keluar
anak-anak panah, tampaknya di bagian dalam telah dipasang
jebakan. Agaknya Lo Thay tak lemah juga, meski terluka ia masih
bisa menerjang keluar, segera ia enjot tubuh dengan gerakan
'It-ho-jiong-thian' atau burung bangau menjulang ke langit ia
bermaksud melintasi kolam kembali ke tempatnya tadi. Siapa
duga sehabis terluka, tenaganya sudah banyak berkurang,
kolam itu-pun terlalu lebar, hingga sampai di tengah
mendadak tenaganya tak cukup lagi, sehingga orangnya
menjeblos ke bawah jurang.
Loh-taylingcu berteriak kaget tanpa pikir ia melesat cepat
bagai meluncurnya anak panah, ia menekuk tubuh di atas
kolam lebar itu dan tepat masih menyandak serta menyambar
tubuh Lo Thay, terus mencelat lagi ke seberang sana.
Menyaksikan ketangkasan Loh-taylingcu, semua orang


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersorak memuji, begitu pula diam-diam Leng Bwe-hong
mengagumi ilmu mengentengkan tubuh orang yang tinggi.
Loh-taylingcu dan Lo Thay adalah sahabat karib selama tiga
puluhan tahun, sama-sama berwatak keras, pemabukan,
membunuh dan merampok, belakangan Loh-taylingcu banyak
berubah diinsyafkan Cwan-tiong Tayhiap Jap Hun-sun.
Sebaliknya Lo Thay semakin menjadi-jadi, bahkan sedikit jiwa
ksatrianya semula kinipun sudah lenyap, ia kini adalah
manusia tamak, serakah, pikiran cupet, maka lambat laun
hubungannya dengan Loh-taylingcu menjadi sedikit renggang.
Meski begitu, Loh-taylingcu tak pernah melupakan
persahabatan lama, pada saat jiwa orang terancam, tanpa
pikir ia telah menolongnya.
Dan setelah berada di seberang sana dengan selamat Lohtaylingcu
memeriksa luka sang kawan, ia lihat tubuh Lo Thay
terkena beberapa anak panah dan darah masih mengucur
terus, ia menjadi bingung, tapi segera ia kempit tubuh orang
terus melompat ke seberang sini kembali, lekas ia minta
sedikit obat bubuk putih keluaran Hun-lam dari Tat-tusi untuk
membubuhi luka itu, untuk sementara darah berhenti tapi Lo
Thay masih belum siuman, mungkin karena terluka dan
banyak mengeluarkan tenaga, maka orangnya telah pingsan.
"Lo-toako mungkin tak tertolong lagi," kata Loh-taylingcu
sedih. "Coba berikan ini," kata Leng Bwe-hong tiba-tiba sambil
menyodorkan sebutir obat pil warna hijau muda.
Loh-taylingcu memandang Bwe-hong, ia ragu-ragu.
"Pik-ling-tan terbuat dari teratai salju di Thian-san,
betapapun hebat lukanya pasti dapat tertolong!" kata Bwehong.
Semua orang terkejut mendengar keterangan ini, sungguh
tidak terduga bahwa Leng Bwe-hong yang baru dikenal itu
dengan sukarela memberi obat mustajab itu. Keruan Lohtaylingcu
yang merasa paling berterima kasih.
Dan setelah keadaan Lo Thay cukup membaik, suasana
telah tenang kembali.
"Begitu panjangkah pikiran Li Ting-kok sampai bisa
menduga berpuluh tahun kemudian barang pusakanya akan
kita incar?" ujar Tat-tusi ragu-ragu.
"Dan persoalannya sekarang adalah barang itu masih kita
inginkan tidak?" kata Thio Goan-cing.
"Coba tunggu dulu datangnya dua orang," sela si orang tua
bungkuk tadi setelah berpikir sejenak.
Mendengar percakapan mereka, tahulah Leng Bwe-hong
apa yang mereka maksudkan. Ketika ia sedang berpikir, tibatiba
Wan-lian berbangku; ia tarik Kui Tiong-bing dan
menyenggol Leng Bwe-hong. "Marilah kita bertiga masuk
dulu," demikian ia berkata.
Melihat ketiga orang itu hendak memasuki goa, Thio Goancing
berpikir, baik juga kalian bertiga dipakai umpan sebagai
pembuka jalan, nanti kami tinggal mengeduk hasilnya. Karena
itu lantas ia berkata, "Bagus, jika Leng-tayhiap yang masuk,
tentu tak akan mengecewakan!"
Tapi Loh-taylingcu mencegah, katanya, "Jangan Lengtayhiap,
lebih baik kalian tunggu dulu."
Bwe-hong memandang Wan-lian, ia lihat sorot mata si
gadis penuh keyakinan atas diri sendiri, tergerak hatinya.
"Alt. tak apa," sahutnya kemudian, Habis itu ia pun
mendahului melompat ke depan goa itu, ia menerobos tirai air
terjun dan segera disusul Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian.
Setibanya di sana, Wan-lian mencoba memeriksa keadaan
diri mereka, ia lihat tubuh Leng Bwe-hong hanya terciprat
beberapa butir air saja, sedang Tiong-bing sedikit lebih
banyak, sebaliknya dadanya sendiri ada sebagian basah
tersiram air. Diam-diam ia berpikir, "Di antara kepandaian
yang kudapat belajar dari Pho-oepek, ilmu mengentengkan
tubuhku terhitung yang paling memuaskan, dulu saja di Bukeh-
ceng 'Kuai-thau-to' Thong-bing Hwesio harus memuji
kemahiranku itu. Siapa tahu dengan lompatan menerobos air
terjun melintasi kolam, segera kentara aku masih ketinggalan
jauh dari Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing. Pantas nama
Leng Bwe-hong gilang gemilang di daerah barat-laut, nyata
segala ilmu kepandaiannya sudah mencapai puncaknya yang
tertinggi."
Sementara itu sesudah berada di depan goa, mereka telah
berhenti sejenak, "Coba kaudorong pintu goa yang sebelah
situ agar kita bisa melihat lebih jelas keadaan di dalam," kata
Bwe-hong pada Tiong-bing.
Pemuda ini menurut, ia mengumpulkan tenaga terus
mendorong pintu batu itu. "Buka!" bentaknya keras. Dan
berkisarlah pintu goa itu mepet ke dinding.
Karena terbukanya pintu goa dengan lebar, maka cahaya
matahari dapat menyorot masuk sampai ke dalam.
Waktu semua orang memandang, terlihatlah di dalam goa
ada dua baris patung yang berjajar di kanan dan kiri, jarak
tiap-tiap patung itu kira-kira setombak, ada yang membawa
golok, pedang, ada pula yang membawa tombak dan lain-lain.
Patung-patung itu diukir dengan rupa yang aneh dan
menakutkan ditambah hawa dalam goa yang dingin gelap,
keruan makin menambah seramnya suasana.
Apabila mereka mengamati lagi, kelihatan di atas lantai
dalam banyak terserak anak panah serta senjata-senjata lain
yang sudah patah, pula di antara senjata di tangan patungpatung
itu-pun banyak yang putus. Di tengah goa ternyata
kosong tiada suatu barang apapun. Makin ke dalam goa itu,
tak kelihatan apaapa lagi saking dalamnya goa itu dan juga
karena tak tercapai sinar matahari.
"Tampaknya di dalam sini penuh alat perangkap sampai
patung-patung pun bisa bergerak," kata Bwe-hong sesudah
berpikir. "Panah-panah di lantai ini tentunya menghambur
ketika Lo Thay masuk tadi, sedang senjata-senjata patah itu
pasti terkuning oleh Lo Thay waktu ia melindungi diri
sebisanya. Maka kita harus hati-hati, jangan sampai masuk
perangkap seperti Lo Thay."
"Kita sudah masuk mulut macan, kalau mundur tentu akan
ditertawai mereka," ujar Kui Tiong-bing.
Wan-lian hanya tersenyum, ia jemput beberapa potong
batu, ia minta Bwe-hong dan Tiong-bing mundur dulu, lalu ia
berikan batu-batu itu kepada Leng Bwe-hong.
"Caramu menimpuk am-gi sangat jitu, coba kau timpuk
sebuah batu di kiri mulut goa sana, batu kedua menimpuk
pula kira-kira setindak ke dalam dari tempat batu pertama,
lalu batu ketiga maju lagi setindak, coba kita lihat bagaimana
akibatnya," demikian pinta Wan-lian. Lalu ia berpaling pada
Tiong-bing. "Dan kau siapkan pedangmu di samping Lengtayhiap
untuk melindunginya dari hamburan panah."
Bwe-hong menuruti petunjuk si gadis, beruntun ia sambitkan
tiga buah batu, tapi tiada terjadi suatu apa.
"Coba sekarang batu keempat," kata Wan-lian.
Bwe-hong menurut pula. Tapi begitu batu itu jatuh,
mendadak lantai yang terkena sedikit ambles, lalu serentetan
anak panah telah menghambur keluar dari bawah, namun
panah yang menyambar datang itu dapat disampuk jatuh oleh
angin pukulan Leng Bwe-hong sebelum Tiong-bing
menggerakkan pedangnya.
"Kau sangat pintar, nona Boh," puji Bwe-hong girang.
"Dengan cara perhitunganmu ini, tentunya batu keempat
kalau ditimpukkan sebelah kanan goa tentu tiada terjadi
sesuatu dan batu kelima lantas menimbulkan menghamburnya
anak panah. Coba kita lakukan sekali lagi."
Lalu ia jemput pula lima potong batu dan menimpuk seperti
katanya itu, tapi dugaannya meleset, batu pertama saja sudah
membikin panah beterbangan di luar dugaan. Bwe-hong talc
serapat menyampuk dengan angin pukulannya, maka ia
melompat ke samping. Sedang Tiong-bing cepat memutar
pedangnya hingga panah-panah itu terkuning dan jatuh
berserakan. "Perhitungan sebelah kiri betul, tapi kanan salah, lalu
bagaimana nona?" tanya Bwe-hong tersenyum kecut.
Wan-lian tidak menjawab, ia termenung sejenak
memikirkan tulisan yang dibacanya di atas lukisan rahasia,
kemudian berkatalah dia, "Leng-tayhiap, boleh kaucoba lagi,
sekali ini kalau masih salah, terpaksa kita mundur teratur."
"Bagaimana caranya?" tanya Bwe-hong.
"Coba kauhitung mulai tiga tindak dari sebelah kiri," Wanlian
menjelaskan. "Dari sana kau melompat ke kanan di antara
patung-patung itu lalu kau berjalan empat langkah ke depan,
kalau empat langkah ini tiada terjadi apa-apa, maka inilah
perhitungan kita yang betul. Kini kau boleh coba."
Leng Bwe-hong mencobanya lagi menuruti petunjuk itu, ia
menimpuk mulai langkah ketiga sebelah kanan dan ternyata
tidak terjadi sesuatu, kedua, ketiga dan keempat masingmasing
berjarak selangkah, kesemuanya tiada terjadi sesuatu.
"Betul sudah," seru Wan-lian girang. "Kini, boleh kaucoba
menimpukkan batu kelima, tentu akan keluar anak panah
pula." Dan benar saja anak panah lantas menyembur keluar
begitu batu yang Leng Bwe-hong sambitkan pada tindakan
kelima. Cuma jaraknya sudah jauh, maka belum sampai mulut
goa, panah-panah itu sudah jatuh di tengah jalan.
"Jika begini," kata Bwe-hong, "Kita melompat empat
langkah ke kanan, lalu melompat ke tengah dan jalan 12
langkah lagi, terus melompat ke kiri dan jalan tiga langkah,
begitu seterusnya bolak-balik, betul tidak?"
"Ya, makanya disebut 'Co-sam, yu-si, Tiong-capjP (kiri tiga,
kanan empat, tengah dua belas)," kata Wan-lian.
Segera Bwe-hong jemput pula beberapa batu, berturutturut
ia sambitkan lagi dengan kuat ke tengah dan .betul saja
batu ketiga belas barulah menimbulkan keluarnya anak panah.
"Jelas sudah," katanya senang. "Mari kita masuk!"
"Nanti dulu," cegah Wan-lian dengan tiba-tiba, "Kita harus
menghitung pula letak patung-patung itu apakah juga
berdasarkan langkah-langkah tadi."
Segera Bwe-hong mencobanya lagi, tapi anak panah lantas
menghambur pula. Agar tidak terjadi apa-apa, ternyata batubatu
itu harus j aturi di depan patung.
"Jelaslah kini," kata Bwe-hong. "Kalau kita dirintangi patung
itu, tak boleh kita lewat di sampingnya, tapi harus melompat
lewat di atasnya, hanya tak boleh juga terlalu jauh, harus
tepat selangkah di depannya baru selamat."
"Betul," kata Wan-lian. "Coba kini kausambit tubuh patungpatung
itu." Dan waktu Bwe-hong menyambitkan, tiba-tiba patung yang
terkena batu itu malah terdorong ke depan, golok di
tangannya terus membacok mengenai lantai. Kemudian
setelah berputar beberapa kali, lalu patung itu kembali ke
tempatnya semula.
"Patung-patung itu tak boleh disenggol," ujar Wan-lian.
"Kena senggol juga tak apa," kata Leng Bwe-hong tertawa,
"Patung-patung ini barang mati dan hanya bisa sekali
bergerak, asal kita lantas menjauhinya, tentu akan selamat.
Tentu saja, supaya tidak repot, lebih baik jangan
menyenggolnya."
"Dan kini kita boleh masuk belum?" tanya Tiong-bing.
"Boleh sudah," sahut Bwe-hong. "Beruntung ada nona Boh
yang cerdik dan bisa memecahkan kesulitan ini dengan cepat."
"Dan beruntung juga ada kau yang bisa menimpuk batu
dengan begitu jitu." Sahut Wan-lian.
"Kau salah, Boh-cici," sela Tiong-bing tertawa. "Jitu atau
tidak sambitan batu itu, yang paling sulit ialah tenaga dalam
yang ia gunakan, sebutir batu kecil bisa menimbulkan tekanan
keras hingga menimbulkan keluarnya anak panah, itulah yang
hebat." "Ya, pendeknya aku sangat kagum," kata si gadis tertawa.
"Dan kini marilah kita masuk!"
Maka masuklah mereka ke dalam goa dengan pedang
terhunus dan Wan-lian diapit di tengah. Mereka masuk melalui
sisi kiri, setelah melangkah tiga tindak, segera Bwe-hong
melompat ke kanan, ia menancapkan kaki di antara patungpatung
batu, kemudian menyusul Wan-lian dan Tiong-bing
melompat tepat di tempat Bwe-hong tadi sehingga mereka
berjajar lurus.
Kemudian Bwe-hong melangkah maju lagi setindak di sisi
kanan, ia kosongkan tempatnya itu. "Mari, kau ke sini." ia
panggil si gadis.
Melihat jarak tempat itu cukup jauh, Tiong-bing pikir soal
melompat tidak susah, yang susah adalah menginjak di
tempat yang tepat, terutama kalau ilmu mengentengkan
tubuh orang belum masak betul. Karena itu segera ia berkata,
"Biarlah sementara waktu kautinggal di sini saja, aku dan
Leng-tayhiap yang menyelidikinya."
Wan-lian tersenyum melihat perhatian si pemuda atas
dirinya, ia sangat berterima kasih tapi juga geli, "Jangan
kuatir, sedikit kepandaian ini rasanya aku masih bisa," katanya
kemudian dengan pe lahan.
Habis itu, sekali ia mengenjot tubuh, dengan tepat sekali
tempat luang itu sudah diinjaknya dengan jitu. Meski Ginkangnya
belum bisa menimpali Bwe-hong dan Tiong-bing, tapi di
kalangan persilatan sudah tergolong kelas satu juga.
Dan begitulah dengan cara perhitungan mereka tadi, secara
berliku-liku mereka masuk ke dalam goa. Karena keadaan
gelap, Bwe-hong menyalakan api, lalu mereka maju lebih ke
dalam dengan hati-hati, tak lama kemudian, tampaklah bagian
dalam goa itu banyak terdapat arca-arca Buddha yang tinggi
besar dan jumlah seluruhnya ada 18, nyata itulah 'Cap-pek-lohan'
yang terkenal dari Buddha. Waktu itu mereka sudah
sampai di pojok terakhir.
Menurut perhitungan, tatkala itu mereka persis berada di
depan patung Buddha pertama. "Coba kautimpukkan
beberapa anting-antingmu ke kanan dan kiri, apa ada terjadi
sesuatu atau tidak," kata Bwe hong pada Tiong-bing.
Pemuda ini menurut, segera ia menimpuk ke kanan dan ke
kiri masing-masing tiga buah Kim-goan atau anting-anting
emas. Tapi tidak ada sesuatu reaksi apa pun yang
mencurigakan. "Tampaknya jika ada disembunyikan sesuatu yang
berharga, tempatnya pasti di atas panggung arca atau di
bawahnya," ujar Bwe-hong. "Maka di depan arca-arca ini tiada
sesuatu alat rahasia, mungkin untuk menggampangkan
pekerjaan orang yang menyembunyikan mestika ini."
"Ya, aneh kenapa mereka tak memasang alat-alat rahasia


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesudah harta mestika mereka pendam?" kata Tiong-bing.
"Memang rada mengherankan," kata Wan-lian setelah
berpikir, "Jika harta mestika itu dipendam di sini, tentu benda
itu sangat berat hingga perlu digotong beberapa orang, maka
di sekitar ini tiada perangkapnya agar keluar-masuknya
mereka bisa bebas. Tapi kalau benda mestika umumnya tiada
bobot yang berat, sungguh ini susah untuk dimengerti."
"Cuma ini hanya dugaanku saja," katanya lagi sesudah
berhenti sejenak, "Jika memang patung-patung ini tiada alat
perangkapnya, marilah kita coba memeriksanya."
Habis itu, merela memeriksa ke kanan dan kiri, Tiong-bing
sendiri lagi tertarik oleh patung paling tengah, ia
memandangnya dengan termenung-menung.
Kepandaian Bwe-hong tinggi dan nyalinya besar, maka ia
memeriksa sembilan patung di sebelah kanan secara berani, ia
lihat patung-patung itu hitam gelap, tapi rasanya keras ketika
dipegang seperti terbuat dari besi, berbeda sekali dengan
patung-patung yang biasa dilihatnya di kelenteng. Waktu
Wan-lian disuruh memeriksa di sisi kiri keadaannya serupa
saja. Dan selagi Bwe-hong hendak coba menggeser salah satu
patung itu, mendadak didengarnya seruan Boh Wan-lian,
"Tiong-bing!"
Kiranya ketika si gadis sedang memeriksa patung di sisi kiri
itu, tiba-tiba dilihatnya Tiong bing berdiri tegak terpaku sambil
melongo, ia sangka penyakit pemuda ini telah kumat kembali
menjadi gendeng, maka ia menjerit kaget.
Ia tak tahu bahwa Tiong-bing tertarik oleh patung itu
karena memang patung itu lain daripada patung lainnya, tapi
mirip sekali dengan seseorang yang ia kenal betul, ia sedang
berpikir siapakah gerangan orang itu, dan sesudah pergidatang
diingatnya, akhirnya barulah ia ingat bahwa itu adalah
patung Li Ting-kok, panglima bawahan Thio Hian-tiong yang
patriotik melawan bangsa Boan-jing dimana ayah-angkatnya
dulu pernah masuk dalam pasukannya.
Dan karena girangnya melihat patung Li Ting-kok yang
disukainya sejak kecil, maka Tiong-bing merangkulnya eraterat
dan menggoyangnya, "Li-pepek, oh, Li-pepek, masih
ingatkah kau padaku?" demikian ia berseru.
Sekonyong-konyong ia terkejut ketika terasa tangannya
seperti menyentuh sesuatu yang licin dingin, bahkan seakanakan
bisa bergerak, lekas ia melepas tangannya terus
melompat mundur. Dan haru saja ia menginjak garis terlarang
menurut perhitungan mereka tadi, anak panah bagai hujan
sudah menghambur keluar, syukur Ginkangnya cukup tinggi
hingga sekali mencelat, ia telah menancapkan kakinya di
tempat yang aman.
Dalam pada itu melihat ada bahaya, segera Bwe-hong
menimpukkan sisa batu yang dipegangnya tadi hingga anakanak
panah itu terpukul jatuh semua.
Dan selagi Tiong-bing melompat kembali tadi, telah terjadi
pula sesuatu yang aneh, dari pinggang patung tadi mendadak
menyambar keluar satu sinar putih ke mukanya, lekas Bwehong
menyambitkan sebuah Sin-bong hingga sinar itu
merandek sedikit, tapi masih terus menyambar ke depan, saat
itulah Tiong-bing sudah sempat melolos pedangnya terus
menangkisnya. Maka terdengarlah suara "Trang" yang
nyaring, sepasang pedang Tiong-bing ternyata terkuning dan
sinar putih itupun jatuh ke lantai.
Waktu itu Bwe-hong dan Wan-lian sudah memburu maju,
mereka lihat di atas tanah menggeletak suatu benda mirip
pedang dan masih kelogat-keloget bagai ular, bentuk benda
itu sempit, ujungnya tumpul dan gagang pendek.
Tiong-bing pegang gagang benda itu dan diangkatnya, ia
merasa benda itu lemas seperti sabuk, pelahan ia mencoba
menggulungnya, ternyata gampang saja benda itu bisa
ditekuk, ia menjadi kecewa, "Bagaimana benda ini bisa
digunakan sebagai senjata," katanya.
Tapi berlainan dengan Leng Bwe-hong, ia menjadi girang
demi nampak benda ini. "Kui-hiante, coba kaugerakkan
sekuatnya hingga lempang, kita lihat bagaimana jadinya,"
demikian ia berkata.
Waktu Kui Tiong-bing menggerakkan benda itu menurut
permintaan orang, mendadak benda itu bisa mulur sewaktu
diayun, tahu-tahu benda itu bersinar mengkilap dengan
membawa angin tajam, sama sekali tak menunjukkan
kelemasan benda itu. "Kenapa senjata ini begitu aneh,"
katanya kemudian sambil menyimpan kembali benda itu.
"Tak perlu kita ributkan apakah ini benda pusaka atau
bukan," kata Wan-lian tak sabar. "Bagaimana perasaanmu,
ingat tidak kau pada kejadian-kejadian dahulu?"
"Ya, segalanya aku telah mengingatnya," sahut si pemuda.
"Patung ini adalah Li-pepek."
"Li-pepek?" Bwe-hong heran. "Li-pepek siapa?"
"Siapa" Ialah Li Ting-kok Ciangkun!" sahut Tiong-bing.
"Ah, betul kalau begitu, coba lihat pedang penemuanmu
tadi," kata Bwe-hong girang.
Setelah pedang itu diterimanya dari Tiong-bing, kemudian
dengan sorot mata tajam ia menunjuk sesuatu di atas benda
tersebut. "Lihatlah, tulisan apakah ini" Coba kaubaca!" kata
Bwe-hong. Tiong-bing membacanya, ia lihat tulisan itu berbunyi:
"Theng-kau-pokiam, warisan orang bijaksana, ditinggalkan
untuk pahlawan sejati"
Li Ting-kok "Jika begitu, ini adalah pedang pribadi Li Ting-kok, pantas
begini bagus," ujar Wan-lian. "Cuma untuk apa ia
meninggalkan tulisan ini" Dan kenapa pedang ini disimpan
dalam goa sunyi ini" Lebih mengherankan ialah cara
bagaimana benda ini bisa mendadak menyambar, apakah
mungkin di jagad ini terdapat pedang terbang?"
"Tentang pedang terbang adalah omong kosong, sebabnya
bisa terbang karena sentuhan keras Kui-hiante tadi," kata
Bwe-hong, "Kalau tak percaya, marilah ikut padaku."
Lalu ia menjemput senjata rahasianya, Sin-bong, yang
pecah terbentur pedang itu tadi dan berkata, "Thian-san-sinbong
ini kerasnya bagai besi, dengan tenaga sambilanku
masih terbelah menjadi dua, agaknya pedang ini lebih bagus
daripada Yu-liong-kiam milik Coh Ciau-lam."
Sembari berkata, Bwe-hong membawa kedua kawannya itu
ke patung Li Ting-kok. "Lihatlah apa ini?" katanya pula sambil
menunjuk suatu benda lain di dekat patung itu.
Waktu Tiong-bing mengambilnya, ia lihat benda itu hitam
mirip seutas ikat pinggang, ia coba menekan, diketahuinya
benda itu berlapis dua dan di dalamnya kosong, ia coba
memasukkan pedang temuannya tadi, ternyata cocok sekali,
nyata itulah sarung pedangnya.
"Sarung pedang ini dapat dilipat, boleh kau mencobanya,"
ujar Leng Bwe-hong tertawa.
Tiong-bing menurut pula dan betul juga apa yang
dikatakan Leng Bwe-hong.
"Pedangmu itu tadinya terlipat di pinggang patung ini," kata
Bwe-hong kemudian setelah memeriksa tubuh patung itu.
"Dan tadi karena kau menyentuhnya dan menggoyangkan
dengan keras sehingga mengendorkan ikatannya, lantas
pedang ini mencelat keluar dari sarungnya."
"Darimanakah kau mengetahui semuanya ini, Leng-tayhiap?"
tanya Tiong-bing heran.
"Ya, dahulu waktu aku masih belajar di Thian-san,"
demikian Bwe-hong menutur, "Guruku, Hui-bing Siansu
pernah bercerita tentang orang-orang kosen di zaman itu
serta segala macam pedang wasiat Ia bilang ada sebatang
pedang yang disebut 'Theng-kau-kiam' asalnya dari pedang
pribadi Him Teng-kiong, pahlawan bangsa pada akhir dinasti
Beng yang berkedudukan di Liau-tang, pedang itu digembleng
dari sari baja keluaran daerah timur-laut sana, maka
mempunyai daya hidup yang bisa mulur dan bisa ditekuk,
bahkan dapat dipakai sebagai ikat pinggang, dengan pedang
ini Him Teng-kiong banyak membinasakan musuhnya yang
jahat. Belakangan Him Teng-kiong menjadi korban pembesar
dorna kebiri Gui Tiong-hian, lalu pedangnya tak diketahui lagi
kemana perginya. Siapa tahu kini bisa diketemukan di sini.
Melihat tulisan tadi, mungkin kemudian pedang ini jatuh di
tangan Li Ting-kok, dan sesudah laskar Li Ting-kok hancur,
lalu ia menyerahkan pada seorang perwira kepercayaannya
untuk disimpan di sini agar kelak bisa ditemukan seorang
pahlawan, huruf-huruf yang menyebutkan 'warisan orang
bijaksana' tentunya dimaksudkan Him Teng-kiong."
Mendengar cerita ini Tiong-bing terkejut. "Sudah sering
kudengar cerita dari ayah-angkatku," katanya kemudian.
"Ia bilang Him Teng-kiong sudah dapat dibandingkan Gak
Hui. Pedangnya bisa dipakai Li Ting-kok, itulah boleh
dikatakan tepat orangnya, dan kini mana berani aku memiliki
pedang ini" Leng-tayhiap, ilmu pedangmu tiada bandingannya,
senjata ini tepatnya untukmu saja."
"Kau yang menemukan, sudah seharusnya kau yang
memiliki," ujar Bwe-hong tertawa. "Kalau aku tidak berlebihan,
aku akan bilang ilmu pedangku berlainan dengan
kemahiranmu. Dengan senjata biasa saja aku bisa memainkan
ilmu pedangku dengan sama hebatnya untuk menandingi
pokiam musuh, maka pedang ini tidak banyak berguna bagiku,
sebaliknya besar faedahnya buatma Tapi bila kau merasa tak
setimpal dengan pedang ini, bolehlah kau merawatnya dahulu,
kelak kalau kau menemukan orang yang cocok, barulah
kauserahkan padanya."
Mendengar omongan orang yang terus terang, Tiong-bing
tak banyak bicara lagi. Dan pada saat itulah tiba-tiba di mulut
goa sana terlihat ada sinar api, ada orang telah masuk.
"Siapkan senjatamu yang baru itu, boleh kau mencobanya
pada para pendatang ini," kata Bwe-hong.
Lalu mereka bertiga bersiap-siap menanti, tampaklah
beberapa bayangan orang yang masuk itu melompat ke sana
sini dan tak lama kemudian sudah mendekat.
Waktu ditegasi ternyata seluruhnya ada tiga orang yang
masuk, ialah si orang tua bungkuk itu, seorang lagi Tat-tusi
dan yang lain tak mereka kenal.
Kiranya setelah lewat agak lama menanti masih belum kelihatan
Leng Bwe-hong bertiga keluar lagi, para benggolan itu
menjadi gelisah dan kuatir, segera Tat-tusi hendak menerobos
masuk menyusul, namun si orang tua bungkuk itu telah
mencegahnya ketika didengarnya dari jauh ada suara suitan
panjang yang berkumandang.
"Nanti dulu, biar mereka membuka jalan, kita nanti tinggal
keduk hartanya," demikian kata orang tua bungkuk itu.
Dalam pada itu dari jauh terlihat mendatangi lagi seorang,
ternyata seorang tua juga yang masih sigap, segera ia
menyapa orang tua bungkuk itu dengan panggilan Han-toako,
atau lengkapnya bernama Han Hing.
"He, urusan menjadi mudah setelah Ho-loheng datang,"
demikian kata Han Hing sembari mengangkat tangan
menyambut kedatangan orang, "Ho-loheng adalah orang yang
diperintah Li Ting-kok untuk memasang alat rahasia di goa ini
bersama Kui Thian-lan dulu."
Habis itu ia pun memperkenalkan kawan-kawannya itu,
maka tahulah orang tua ini bernama Ho Ban-hong, seorang
arsitek kenamaan pada 30 tahun berselang, ia pandai
membikin bermacam-macam ragam senjata rahasia, ilmu
silatnya pun tidak jelek.
"Dan mana kedua kawan yang lain?" tanya Han Hing.
"Waktu memasuki lembah gunung, kami telah bersimpang
jalan," sahut Ho Ban-hong. "Mereka hendak pergi mencari si
orang she Kui itu, dan aku sendirian menuju kemari."
"Ya, sebab kukuatir dirintangi orang she Kui itu, maka
sebelum berangkat kami telah mengajak dua orang jago lagi,
siapa tahu sekarang diketahui orang she Kui itu sudah mati,"
demikian kata Han Hing.
"Ah, tahu begitu, tak perlu lagi kita mengajak mereka dan
bisa hemat dua bagian," kata Ho Ban-hong menyesal.
"Belum tentu begitu gampang," sela Tat-tusi. "Meski o-rang
she Kui sudah mati, mungkin masih ada rintangan lain. Tadi
yang masuk goa itu si 'Thian-san-sin-bong' dan si pemuda
baju kuning, kekuatan mereka tidak di bawah Kui Thian-lan.
Kalau jumlah kita lebih banyak rasanya resiko kita pun akan
lebih kecil."
"Ah, sudahlah, asal kita bagi mereka masing-masing satu
bagian kan beres," ujar Loh-taylingcu.
"Ha, percuma saja kau disebut ahli Gwakang, kenapa harus
takut pada dua bocah itu?" ejek Han Hing. Nyata ia belum
kenal lihainya Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, sebab
waktu Ong Kang tewas, ia masih belum datang.
"Siapa takut?" sahut Tat-tusi sengit, "Tapi kalau orang
memang lihai, mana boleh kaupandang rendah! Mana
petanya, biar aku seorang diri memasuki goa."
"Ya, memang kita harus menyelidiki goa dulu," kata Ho
Ban-hong cepat "Tapi kalau orang banyak kurang leluasa,
paling baik kalau tiga orang saja. Maksud Tat-tusi tadi ada
Kitab Pusaka 15 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Pedang Tanpa Perasaan 6
^