Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 14
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 14
pula. Di lain pihak ketika Ie Lan-cu melayang lewat, kembali
pedangnya menyambar pula, tapi sedikit menekuk pinggang
Sin Liong-cu bisa berkelit cepat. Tiba-tiba Lan-cu membaliki
pedangnya dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' atau naga sakti
memutar ekor, lagi-lagi ia menusuk ke belakang kepala
musuh. Sin Liong-cu dapat menghindarkan diri pula, tahu-tahu
kedua pedang Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao yang bisa bekerjaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sama telah menyerang datang lagi hingga Sin Liong-cu
terdesak masuk ke parit.
Tapi justru di dalam parit yang sempit inilah Sin Liong-cu
telah mengunjuk gerak tubuhnya yang hebat dan aneh yang
jarang diketemukan di dunia persilatan, yaitu ilmu pelajaran
silat Tat-mo yang sudah lenyap selama ratusan tahun itu, ia
bisa berkelit dan berputar bebas di tempat sempit itu, meski
kedua pedang anak dara itu terus menggempur hebat, namun
masih tetap tak bisa mengenainya. Sebaliknya beberapa kali
Sin Liong-cu bermaksud balas rnerangsek melompat keluar
parit juga tak berhasil.
Ilmu pedang kedua gadis itu, yang seorang memperoleh
ajaran asli dari Pek-hoat Mo-li dan yang lain mewariskan
intisari Thian-san-kiam-hoat dari Hui-bing Siansu, kecuali
masih kurang ulet, dalam hal kebagusan ilmu pedang sudah
tiada taranya, maka Sin Liong-cu hanya sanggup berkelit saja
tak berdaya balas menggempur. Karena itu, mau tak mau ia
harus berperasaan dingin juga, pikirnya, "Jika kedua dara ini
saja aku tak sanggup menang, mana berani aku pergi
menantang Pek-hoat Mo-li?"
Dalam pada itu serdadu musuh telah menggunakan
kesempatan itu untuk menyerbu ke atas bukit hingga seorang
diri Li Jiak-sim rada repot membendung pasukan musuh.
Melihat pemuda itu rada kelabakan, lekas Ging-yao
membalik tubuh dan membabat dua kali dengan cepat hingga
dua serdadu musuh yang berani coba mendekat kena dilukai,
sedang Li Jiak-sim telah berhasil juga merampas sebatang
tombak panjang untuk menusuk dan menghantam musuh.
Tapi justru pada saat Bu Ging-yao membalik tubuh
melayani serdadu musuh tadi, cepat sekali Sin Liong-cu telah
melompat ke atas parit, susul menyusul ia melontarkan
pukulan lihai pula hingga membawa angin keras dan tak dapat
ditahan oleh Ie Lan-cu seorang diri.
Kembali pada Pho Jing-cu dan kawan-kawan yang
terkurung di mercu kuno tadi, setelah lewat tengah malam
dan pulih semangatnya segera didahului Ciok Thian-sing,
mereka terus menerjang keluar.
Karena pasukan Boan itu berjaga secara bergiliran, maka
keluarnya mereka segera diketahui dan beramai-ramai segera
mereka dihujani anak panah hingga terpaksa terdesak mundur
lagi. Tapi segera Pho Jing-cu memberi tanda pada Han Hirig,
bersama-sama mereka lantas menanggalkan baju luar dan
kain baju diputar naik turun cepat bagai dua perisai yang
ampuh hingga anak panah musuh tergoncang pergi
bertebaran. Berbareng itu Ciok-toanio lantas melayang maju
sambil pedangnya menyambar cepat ke dalam pasukan
musuh, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang riuh, siapa
yang berhadapan segera kena dibina-sakannya.
Namun pasukan musuh itu memangnya adalah pilihan,
mereka tidak menjadi kacau, sementara itu beberapa jago
bayangkara segerapun datang mencegat, dalam pertarungan
sengit dan gaduh itu, para pahlawan berhasil merangsek
mundur pasukan musuh, tapi masih tetap terkurung rapat tak
dapat menerjang keluar.
Thian-sing menjadi nekad akhirnya begitu telapak
tangannya bekerja cepat, seorang jago bayangkara seketika
kena dihantam mencelat, bila ia menjambret pula seorang
serdadu musuh kena dipegangnya terus dibuat menyapu dan
menghantam. Keruan saja serdadu musuh menjadi gugup. Sedang Pho
Jing-cu dan Ciok-toanio dari kanan-kiri segera juga menerjang
maju hingga berhasil membobol suatu jalan darah.
Ketika pertarungan memuncak sengitnya dengan suara
teriakan gegap-gempita, tiba-tiba Coh Ciau-lam menerjang
datang. Ciok-toanio menjadi gusar, kontan ia memapaki orang
dengan sekali tusukan. Namun Coh Ciau-lam dapat
menangkisnya dalam sekejap saja kembali Ciok-toanio
melontarkan tiga kali serangan hebat.
Diam-diam Ciau-lam terkejut dan heran, sungguh tak
diduganya kiam-hoat nenek ini bisa begitu lihai. Lekas dengan
gerakan 'Liau-kik-jiau-poh" atau menekuk lutut menggeser
langkah, cepat ia memutar ke belakang Ciok Thian-sing, sekali
pedangnya menyambar, dengan tipu 'Giok-li-coan-ciam' atau
si gadis ayu menyusup jarum, mendadak ia menotok 'Honghu-
hiat' di pundak orang. Cuma Thian-sing sempat
membungkuk ke depan terus memutar ke samping menyusul
kedua kakinya beruntun melayang hendak menendang.
Namun sekali serangan tak kena, secepat kilat Ciau-lam
sudah menyelinap lewat di samping Thian-sing, menyusul
mendadak ia menyerang pula tapi giliran Han Hing yang dia
arah. Dengan sekuatnya Han Hing mengangkat tongkatnya
menangkis, didahului suara "trang" yang keras, tahu-tahu
ujung tongkatnya sudah tertabas sebagian, sebaliknya tangan
Ciau-lam pun terasa panas pedas.
Hanya sekejap saja beruntun Coh Ciau-lam telah
menyerang tiga lawan tangguh, Pho Jing-cu menjadi murka
oleh lagak orang. "Pantek dia saja!" bentaknya mendadak.
Habis itu ia memutar pedangnya terus menubruk maju,
segera Ciok-toanio dan Han Hing ikut mengepung dari kedua
sayap. Keruan Ciau-lam terperanjat, lekas ia mundur. Dan karena
serdadu Boan harus melindungi pemimpin mereka terpaksa
mereka pun ikut mundur ke belakang. Sebaliknya para
pahlawan itu berpedoman 'tangkap penjahat harus pegang
benggolannya dulu', maka mereka terus mengincar Coh Ciaulam
seorang saja hingga berhasil juga mereka membobol
suatu jalan darah.
Sembari bertempur Pho Jing-cu dan kawan-kawan berlari,
ketika mendadak didengarnya pula di dekatnya ada suara
teriakan orang bertempur, waktu ia memandang, uba-tiba
terdengar orang berteriak nyaring memanggilnya, "Pho-pepek,
lekas ke sini, lekas!" Nyata suara itu dapat dikenali sebagai
puteri kesayangan sobat kentalnya, Bu Goan-ing, yaitu Bu
Ging-yao. Ketika ia menegasi pula, maka dapat dilihatnya Li Jiak-sim
dan Ie Lan-cu juga berada di situ, ia menjadi girang
bercampur terkejut, mati-matian ia coba menerjang ke sana.
Dengan sendirinya Coh Ciau-lam tidak tinggal diam, segera
ia memburu kembali buat mencegat, beberapa jago
bayangkara cepat juga membanjir datang buat membantu.
Dan karena itu, keadaan segera berubah menjadi ramai, Bu
Ging-yao bertiga terkurung di bukit itu oleh Sin Liong-cu dan
serdadu Boan, kedudukan mereka sangat buruk.
Dalam pertempuran sengit dan gaduh itu, tiba-tiba Han
Hing tak menghiraukan diri sendiri lagi, tongkat bajanya yang
berujung kepala naga ia putar kencang hingga menerbitkan
angin menderu-deru, mati-matian ia coba rnerangsek Coh
Ciau-lam. Sejak Han Hing menggabungkan diri dengan pasukan Li
Lay-hing, oleh karena orang tua ini adalah bekas kawan
pergerakan Li Ting-kok, maka Li Lay-hing dan Li Jiak-sim
memandang orang sebagai angkatan tua dan sangat
menghormat padanya. Bila Han Hing ingat dirinya hampir
tersesat ke jalan yang salah, ia menjadi malu dan berterima
kasih pada kedua saudara Li itu. Kini melihat Li Jiak-sim
terjeblos dalam kepungan musuh, ia pikir usia sendiri sudah
lanjut, ada lebih baik mati-matian mengadu jiwa dengan
musuh dan betapapun juga Li Jiak-sim harus ditolong keluar.
Karena itulah tongkatnya ia putar begitu hebat, setiap ilmu
tongkatnya 'Thian-liong-tiang-hoat' adalah tipu serangan yang
mematikan semua. Dua jago bayangkara mencoba maju
hendak merintanginya, tapi sama sekali Han Hing tak
memikirkan diri sendiri, ia biarkan pundaknya kena dibacok
orang sekali dan dadanya terkena sebuah panah, tapi begitu
tongkatnya menotok, seorang bayangkara segera kena
dirobohkan, menyusul sebelah tangannya menggablok,
kembali batok kepala bayangkara yang lain pecah berantakan.
Begitulah bagai banteng ketaton Han Hing menerjang maju
dengan bermandi darah.
Ciau-lam menjadi gusar, segera ia pun maju memapak,
pedang pusakanya menyambar gemerlapan hebat, namun
sama sekali Han Hing tak gentar, di tengah sinar pedang
orang mendadak tongkatnya terus menyodok. Maka
terdengarlah suara ge-merantang yang keras, tongkatnya
terkurung menjadi beberapa bagian, iganya juga luka tergores
pedang musuh. Sebaliknya Coh Ciau-lam juga kena dihantam
telapak tangannya sekali hingga menjerit kesakitan.
Melihat Han Hing begitu nekad, para pahlawan yang lain
beramai-ramai menerjang maju juga mati-matian.
Sementara itu sekali Ciau-lam menarik diri, secepat kitiran
ia memutar pedangnya, dengan tipu mematikan dari Thiansan-
kiam-hoat mendadak ia membabat dari samping sambil
membentak, "Kau cari mampus!"
Tak terduga, lagi-lagi Han Hing sama sekali tak berkelit dan
menghindarkan diri, bahkan ia malah memapak maju. Maka
tanpa ampun lagi pedang Coh Ciau-lam menembus masuk ke
dada Han Hing, sebaliknya kurungan tongkat Han Hing juga
kena memukul lambung Coh Ciau-lam.
Dengan cepat Ciau-lam masih sempat menjatuhkan diri
terus menggelinding pergi. Di lain pihak darah segar bagai
mata air mancur dari dada Han Hing, orangnya pun
menggeletak ke tanah.
"Lekas kalian pergi menolong Li-kongcu lebih dulu!" teriak
Han Hing waktu Pho Jing-cu hendak membangunkannya.
Habis itu, ia pun menghembuskan napas penghabisan.
Tak tahan air mata Pho Jing-cu bercucuran, ia menjadi
kalap, pedangnya diputar lihai luar biasa. Coh Ciau-lam telah
merasakan dua kali serangan Han Hing tadi, tenaganya sudah
banyak berkurang dan lagi mengatur pernapasannya, maka
tak berani ia mencegat musuh pula.
Karena itu, dengan cepat para pahlawan itu lantas bisa
menerjang ke atas bukit dimana Bu Ging-yao dan kawankawan
terkepung. Melihat kedatangan musuh, kontan Sin
Liong-cu menyambut orang dengan sekali cengkeraman ke
muka Pho Jing-cu. Namun gesit sekali Jing-cu menggeser
pergi ke samping terus balas memotong dengan pedangnya,
sedang Ie Lan-cu dan
Bu Ging-yao berbareng juga mengeroyok dari kanan-kiri,
juga Ciok-toanio tak mau ketinggalan, dengan tipu 'Eng-kiktiang-
kong' atau burung elang menyerang di angkasa dengan
kecepatan luar biasa ia melompat terus menikam dari atas,
menyerang belakangan, tapi datangnya paling dulu.
Waktu itu baru saja tubuh Sin Liong-cu hendak berputar,
tiba-tiba ia menjerit keras, mendadak orangnya pun mencelat
pergi bagai burung terbang cepatnya lewat di atas kepala Ie
Lan-cu. Melihat musuh sudah lari, Jing-cu dan kawan-kawan tak
mengejar dan menggabungkan diri dengan Li Jiak-sim, setelah
nampak mereka bertiga tidak kurang suatu apapun, barulah
merasa lega. "Ilmu silat orang ini sungguh belum pernah kulihat selama
hidup ini," kata Ciok-toanio kemudian menghela napas atas
kepandaian Sin Liong-cu. "Pundaknya tadi telah kena
tersambar pedangku, tapi ia masih sanggup mencelat pergi,
sungguh seorang lawan kuat luar biasa. Cuma sayang ia
tersesat ke jalan yang salah."
Diam-diam Thian-sing juga heran, meski ia sendiri belum
memperoleh ajaran asli perguruannya, tapi melihat gerak
tubuh Sin Liong-cu tadi ternyata sama sekali berlainan
daripada apa yang dipelajarinya dari sang guru, semua orang
juga tak tahu dari aliran manakah ilmu silatnya itu.
Sementara itu Pho Jing-cu telah meletakkan mayat Han
Hing ke dalam parit dan menguburnya di situ. Dengan sangat
hormat lalu Li Jiak-sim menjura tiga kali, kemudian tombak
rampasannya tadi ia angkat terus mengajak pula "Mari, kita
terjang keluar!"
Namun sebelum mereka bertindak, tiba-tiba terlihat
pasukan musuh terbelah minggir ke samping, kembali ada
seregu tentara musuh sedang mendatangi. Yang memimpin
adalah seorang tua dengan jenggot dan alis putih bagai salju,
tangannya membawa sepasang pedang, gerak tubuhnya gesit
cepat, meski Seng Thian-ting rapat mengintil di belakang, tapi
selalu berada dalam jarak 7-8 langkah tertinggal.
Keruan Jing-cu terkejut. "Siapakah orang ini" Tampaknya
ilmu silatnya masih di atas Coh Ciau-lam," katanya heran.
Dan belum lenyap suaranya, cepat sekali orang tua tadi
sudah menerjang tiba sekali kedua pedangnya menggunting,
seketika pedang Pho Jing-cu hampir terpental dari tangan.
Namun Pho Jing-cu adalah tokoh terkemuka dari satu aliran
tersendiri, ilmu pedangnya dengan sendirinya tidak
sembarang-an, dengan enteng ia mendorong gaya
menggunting orang ke samping untuk melepaskan serangan
lawan, menyusul itu cepat sekali ia pun balas menusuk.
Kiranya orang tua ini adalah cikal-bakal Tiang-pek-san-pay,
Hong-lui-kiam Ce Cin-kun. Setelah tiga gebrakan tadi, segera
Pho Jing-cu merasa keuletan lawan hebat sekali, pikirannya
tiba-tiba tergerak, mendadak ia menggunakan tipu 'Ginghong-
sau-liu' atau menyapu dahan pohon menurut arah angin,
dengan pedangnya ia menempel pedang kanan Ce Cin-kun,
berbareng itu lengan bajunya terus mengebas dengan ilmu
silatnya yang tunggal 'Liu-hun-hui-siu' atau awan meluncur
lengan baju beterbangan, tahu-tahu pedang kiri Ce Cin-kun
kena di-belitnya pula.
Kesempatan baik itu telah digunakan Ciok-toanio buat
menusuk ke muka musuh, namun masih bisa Ce Cin-kun
menekan pedangnya ke bawah sambil menunduk-hingga
tusukan Ciok-toanio dapat di elakkan nya, menyusul
pedangnya segera ditarik kembali.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak terduga ilmu pedang Ciok-toanio bisa luar biasa
cepatnya, ia menusuk ke kanan dan ke kiri hingga Ce Cin-kun
dipaksa berputar menghindarkan diri, bila kemudian ia sempat
mengangkat pedang buat menangkis, saat itu Ciok-toanio
sudah melontarkan 7-8 serangan lebih dulu.
Lekas dari sana Seng Thian-ting memburu datang buat
membantu, tepat ia disambut sekali tusukan oleh Pho Jing-cu.
Namun dengan tipu 'Hing-ke-kim-nio' atau belandar emas
malang melintang, kedua potlot bajanya lantas menangkis,
maka terdengarlah suara nyaring keras disertai letikan api,
kedua po-t lotnya tergoncang pergi, tapi orangnya sama sekali
tak tergetar sedikitpun.
"Hebat," diam-diam Jing-cu memuji atas keuletan lawan.
Segera ia menggunakan tenaga dalam, pedangnya sedikit
memutar terus, membabat lagi lambat-lambat, namun penuh
tenaga. Maka terasalah oleh Seng Thian-ting suatu kekuatan maha
besar menindih ke arahnya, tak sanggup lagi ia menancapkan
kaki di tempatnya dan terpaksa melangkah mundur, tapi
kedua potlotnya masih terus melontarkan serangan, meski
kalah, tapi tidak gugup.
Di sebelah sana sesudah Ce Cin-kun bisa menenangkan
diri, kedua pedangnya telah diputar pula begitu hebat hingga
lapat-lapat membawa suara gemuruh, tipu serangannya juga
berubah tak dapat diduga sebelumnya. Betapapun juga
keuletan Ciok-toanio memang masih kalah setingkat, meski
ilmu pedang Ngo-kim-kiam-hoat luar biasa cepatnya, namun
seperti membentur tembok baja saja tak mampu menembus
garis pertahanan lawan. Sebaliknya Ce Cin-kun harus
menggunakan sepenuh tenaga barulah mampu menahan
rangsekan Ciok-toanio. Keruan saja diam-diam ia terkejut dan
heran pula, sungguh tak terduga olehnya sesudah kecundang
oleh Leng Bwe-hong, kini bertemu pula dengan dua jago kelas
wahid. Tak lama pula, berulang kali Ciok-toanio harus menghadapi
serangan berbahaya musuh, ia insyaf bukan tandingan Ce Cinkun,
tapi saat itu serdadu Boan kembali merubung datang
pula, malahan di antaranya ada banyak orang Uigor.
Sementara itu Ciok Thian-sing, Ie Lan-cu dan kawan-kawan
masih terus mempertahankan diri di atas bukit tadi dengan
mati-matian. Ketika melihat Ciok-toanio tercecar musuh, lekas
Ging-yao memutar pedangnya membantu, mendadak dengan
tipu keji ajaran Pek-hoat Mo-li yang disebut 'Peng-choan-tosia'
atau sungai es menuang santar, dari atas segera ia
menikam ke bawah sambil sedikit senjatanya ia sendai, maka
tertampaklah sinar perak berbintik-bintik membawa hawa
dingin menghambur musuh.
Cepat juga Ce Cin-kun menangkis dengan kedua
pedangnya, tapi karena itu ia pun terdesak kembali buat
menjaga diri. Di lain pihak betapa cepat ilmu pedang Cioktoanio,
kesempatan itu telah digunakan untuk menusuk
hingga secepat kilat pedangnya menyambar lewat di atas
pundak Ce Cin-kun.
Oleh karena serangan Bu Ging-yao tadi, sekuat tenaga Ce
Cin-kun menangkis, dan balikan pedangnya terus
digunakannya untuk menyampuk senjata Ciok-toanio, hingga
nyonya tua ini berganti kena didesak mundur. Dan begitulah
terus menerus dan silih berganti Bu Ging-yao dan Ciok-toanio
rnerangsek musuh hingga Ce Cin-kun terkurung di dalam sinar
pedang mereka. Bercerita mengenai Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan
kawan-kawan. Setelah mereka turun gunung untuk mencari Ie
Lan-cu, karena banyak rakyat penggembala yang mereka
kenal, pada hari itu mereka mendapat tahu bahwa ada
seorang gadis jelita sedang menuju ke Turfan. Waktu meTeka
bertanya wajah si gadis itu, maka yakinlah mereka pasti Lancu
adanya. Keruan yang paling girang rasanya adalah Thio
Hua-ciau, berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada
Hui-ang-kin. "Sudahlah, kini aku tak akan merintangi kau lagi, maka
seharusnya kau banyak berterima kasih pada kau punya Lengsioksiok,"
demikian kata Hui-ang-kin menggoda.
Maka tertawalah mereka beramai-ramai, segera mereka
mempercepat perjalanan dan menuju ke arah Turfan.
Tak lama kemudian, mereka pun mengalami serangan angin
badai di gurun pasir itu. Hui-ang-kin dibesarkan di
padang rumput, dengan sendirinya ia kenal lihainya angin itu,
ketika ia mencari tempat berlindung, tiba-tiba dilihatnya di
tempat tak jauh dari tempatnya sekarang ada sebuah tenda
besar, cepat saja Hui-ang-kin membawa kawan-kawannya
memasuki tenda itu, di dalam tenda itu tersulut sebuah lilin
besar, di atas tanah menggeletak seorang laki-laki setengah
umur, di sampingnya terdapat pula seorang laki-laki lain dan
seorang perempuan.
Setelah mengamat-amati mereka sejenak, tiba-tiba Hui-ang
kin berteriak, "He, kalian berdua bukankah Malina dan Mokhidi?"
Rupanya wanita itu tercengang sejurus, lalu ia pun
berteriak, "He, dan kau Hui-ang-kin bukan" Kenapa kau sudah
berubah begini?"
Girang bercampur terharu pertemuan di antara kawan
lama, meTeka bertiga saling rangkul dan mengalirkan air
mata. Tiba-tiba lelaki yang rebah di tanah itu mementang
matanya dan dengan suara parau berkata, "Kau Hui-ang-kin
yang telah datang'" Hendaklah kau membalaskan sakit
hatiku!" "Eh, Asta, kau juga di sini?" seru Hui-ang-kin meloncat
demi mengenali orang.
Lekas Hui-ang-kin memanggil juga Leng Bwe-hong,
katanya, "Inilah kedua saudara angkat Suhengmu Njo Huncong,
dahulu mereka bertiga pernah bersama-sama melintasi
gurun Taklamakan dari utara ke selatan Sinkiang."
"O, kau inikah Leng Bwe-hong, Sute dari Njo-tayhiap?"
tanya Mokhidi cepat.
"Ya" sahut Bwe-hong mengangguk. "Kalian dan Njo-suheng
adalah saudara angkat, dengan sendirinya juga adalah
saudaraku." Habis berkata ia pun memberi hormat pada
mereka. Lekas Mokhidi membalas hormatnya, sedang Asta tiba-tiba
meronta hendak bangun sambil menahan tubuh dengan sikunya,
lalu dengan suara terputus-putus ia berkata, "Leng
Leng Bwe-hong, su sudah lama ak aku ingin menjumpaimu,
dan barulah kini bisa ber bertemu, ta tapi sayang su sudah
terlambat. Di di sini aku ada sebilah Pokiam,
pem pemberian Suhengmu da dahulu, dan ki kini aku tak
memerlukan la lagi, bolehlah kau kau ambil buat
buat membalaskan sakit batiku." Selesai berkata, matanya
membalik dan sejak itu mangkatlah Asta untuk selamanya.
Kiranya Njo Hun-cong, Hui-ang-kin, Mokhidi dan Asta
dahulu adalah sahabat sehidup semati dalam perjuangan.
Mokhidi dan Asta adalah pahlawan perkasa terkenal di antara
suku bangsa Kazak. Setelah Njo Hun-cong tewas dan Hui-angkin
mengasingkan diri, lalu Mokhidi dan Asta terlunta-lunta di
pa-dang rumput luas. Malina adalah seorang nona
penggembala dan teman bermain Mokhidi sejak kecil,
kemudian mereka pun menikah. Bersama Asta mereka bertiga
selalu berada bersama, (kisah tersebut bisa dibaca dalam
Chau Guan Eng Hiong)
"Sungguh aku harus malu diri telah meninggalkan kalian
selama 20-an tahun ini," demikian kata Hui-ang-kin kemudian
sambil menahan air mata.
"Tapi dengan kembalimu ini sudah sangat membesarkan
semangat kami, Hui-ang-kin," ujar Mokhidi.
"Ya, berada bersama kawan-kawan banyak, segala
penderitaan pasti akan sanggup menahan," kata Hui-ang-kin.
"Kini Asta telah meninggal, aku berjanji akan menginjak tanah
dimana darahnya pernah menyiram untuk menuntut balas
baginya." Sementara itu angin puyuh di luar kemah masih bertiup
dengan kerasnya dengan suara berat kemudian Mokhidi
menceritakan awal kematian Asta itu.
Hui-ang-kin, tentu kau masih ingat si Bing Lok, itu kepala
suku Tagar, bukan?" kata Mokhidi. "Dahulu karena puteri Nilan
Si u-kiat. ia pernah memfitnah Njo-tayhiap sebagai mata-mata
musuh, siapa duga dia sendirilah yang benar mata-mata
musuh. Paling akhir ini pemerintah Boanjing telah mengirim
orang menghubunginya dan menyuruh menghasut suku
bangsa di Sinkiang selatan agar menyerah pada pemerintah.
Hal itu tadinya tak kami ketahui, ketika kami berkelana sampai
di pa-dang rumput Garsin di daerah selatan, kami masih tetap
bertamu ke tempatnya. Kebetulan ia sedang kedatangan
seorang utusan pemerintah Boanjing, utusan itu adalah
seorang kakek yang jenggot dan alisnya sudah putih semua
konon adalah cikal-bakal apa yang disebut Tiang-pek-san-pay.
Maka Bing Lok mengumpulkan para bawahannya yang
meliputi 3 kepala suku dan 12 pemimpin kelompok suku
bangsa lainnya buat berunding. Tak terduga di antaranya ada
7 pemimpin kelompok suku tidak sudi takluk pada musuh.
Lebih-lebih Asta tak bisa menahan amarahnya dengan berani
ia mendamprat Bing Lok, karena itu ada lagi dua kelompok
suku lain yang meninggalkan Bing Lok. Segera 9 kepala
kelompok suku bangsa itu meninggalkan tempat berunding
bersama orang-orang mereka. Asta masih berusaha hendak
menginsyafkan Bing Lok, tapi dari malu mendadak Bing Lok
menjadi murka dan Asta kena dibacok sekali olehnya kami
berdua mati-matian menolongnya keluar dari tempat
berbahaya itu, tapi karena kuatir menerbitkan amarah umum,
rupanya Bing Lok tak berani juga mengejar kami. Dan setelah
Asta dapat kami tolong keluar, tak terduga di sini telah
bertemu serangan angin, sungguh tak nyana Asta yang gagah
perwira dan banyak menghadapi pertempuran besar, tidak
tewas di tangan musuh, tapi akhirnya malah tewas di tangan
'orang sendiri'!"
Dengan mengheningkan cipta Leng Bwe-hong memberi
penghormatan terakhir pada Asta, lalu dengan pedang pusaka
yang dia terima dari orang tadi, ia menggali sebuah liang dan
mengubur Asta. "Pedang itu dahulu Njo-tayhiap dapatkan dengan merebut
dari padri Thian-liong-pay di Tibet. Thian-bong Siansu dari
Thian-liong-pay telah memimpin 18 anak muridnya
mengembut Njo-tayhiap, tapi 19 bilah senjata mereka telah
kena dilucuti semua oleh Njo-tayhiap dan di antaranya
terdapat pedang ini," demikian tutur Mokhidi.
Bwe-hong melihat pedang itu mengkilap bersinar
menyilaukan, tampaknya tidak kalah dengan Yu-liong-kiam
milik Coh Ciau-lam, sebenarnya ia hendak memberikan pada
Mokhidi saja, tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, maka ia
mengurungkan maksudnya itu.
Dalam pada itu angin puyuh sudah reda.
"Angin sudah berhenti, marilah kita melanjutkan
perjalanan," ajak Bwe-hong kemudian.
Kembali mengenai Ce Cin-kun, sejak di kota-raja ia
menempur sengit Leng Bwe-hong, kemudian namanya
menggon-cangkan jago-jago silat di seluruh ibukota. Karena
itu Khong-hi lalu memberikan kedudukan padanya sebagai
kepala bayangkara kerajaan dan Seng Thian-ting yang
menjadi wakilnya malah. Sedangkan Coh Ciau-lam tetap
menjadi komandan pasukan pengawal kota-raja.
Ketika Khong-hi bersiap hendak mengerahkan tentaranya
masuk Sinkiang, Tibet dan Mongolia. Ce Cin-kun diutus
sebagai duta khusus untuk menaklukkan kepala suku Tagar,
Bing Lok, dan dengan mudah saja telah berhasil. Bing Lok dan
tiga kelompok suku lainnya menyerah pada pemerintah
Boanjing, bahkan dipilih seribu serdadu yang dipimpin anak
Bing Lok, Bing San, untuk ikut Ce Cin-kun pergi menyambut
kedatangan bala tentara Boan.
Tak terduga di tengah jalan bertemu Seng Thian-ting yang
lari kembali dengan mengenaskan keadaannya, waktu ditanya,
barulah diketahui telah kena dihajar oleh dua anak dara.
Ce Cin-kun sangat marah, diam-diam ia mengomeli Seng
Thian-ting terlalu tak becus, segera ia mendesak Thian-ting
menunjukkan jalan dan memutar balik untuk mencari kedua
gadis itu. Dan secara kebetulan memergoki pertempuran
sengit yang sedang terjadi. Ce Cin-kun menerjang ke bukit itu
melawan Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, sedang seribu orang
Uigor yang dibawa Bing San telah bergabung dengan dua ribu
serdadu yang dipimpin Coh Ciau-lam terus mengepung musuh
dengan rapat. Bercerita tentang Coh Ciau-lam. Setelah merasakan dua kali
serangan Han Hing, lukanya ternyata tidak enteng, berkat
Lwekangnya yang hebat ia mengatur pemapasannya ditambah
menelan pula obat pil 'Pik-ling-tan' terbuat dari teratai salju
Thian-san, waktu ia mengumpul semangat, maka terasalah
hawa hangat naik dari pusarnya, diam-diam iabergirang
sendiri, nyata selama ini Lwekangnya sudah bertambah
banyak. Tapi bila teringat olehnya kemahiran Leng Bwe-hong
masih lebih tinggi lagi, diam-diam ia pun lesu kembali.
Dan selagi Ciau-lam hendak pergi memeriksa keadaan
pertempuran, tiba-tiba dilihatnya Sin Liong-cu berlari kembali
dengan mengalami kekalahan, pundaknya lecet penuh darah,
keruan ia terkejut. "Kenapakah kau?" tanyanya cepat.
"Kenapa" Masih kau tanya?" sahut Sin Liong-cu gusar.
"Gara-garamu menyuruhku merebut pokiam apa segala, siapa
tahu musuh adalah jagoan tinggi, sampai seorang wanita tua
bangka saja dapat menusukku sekali, baiknya hanya luka
enteng, bila tidak, mungkin tulang rongsokku ini sudah
terkubur di gurun pasir ini. Hm, tak mau lagi aku menggubris
padamu!" Sembari berkata ia pun merobek bajunya dan
membubuhi lukanya dengan obat
"Persahabatan kita selama berpuluh tahun ini, apakah sedikitpun
tak kau pikirkan lagi dan pasti akan kautinggal pergi?"
kata Ciau-lam. "Ya, aku akan pulang ke Thian-san untuk berlatih pedang,
siapa telaten ikut pembesar sepertimu," sahut Sin Liong-cu
dingin. Habis itu lengan bajunya mengebas, orangnya lantas
hendak berlalu.
"Sin-toako, nanti dulu!" seru Ciau-lam mendadak. "Jangan
harap kau bisa menahanku lagi," kata Sin Liongcu sambi]
menoleh. "Aku tidak menahanmu, tapi kau telah merasakan sekali
tusukan perempuan tua itu, dan kau kenal tidak siapa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerangan perempuan tua itu?" kata Ciau-lam pula. "Dia bukan
lain adalah ipar seperguruanmu, isteri Ciok Thian-sing,
pedangnya sudah direndam dengan obat berbisa, meski
lukamu tidak berat, tapi dalam 12 jam bila racunnya menjalar
pasti tidak tertolong lagi."
"Ha, apa betul" Lalu bagaimana baiknya!" teriak Sin Liongcu
kuatir dengan wajahnya berubah hebat
Nyata Sin Liong-cu menjadi percaya sungguh pada obrolan
Coh Ciau-lam itu, dan betul saja ia merasa pundaknya rada
gatal pegal. "Makanya aku minta kau suka tinggal sementara lagi di
sini," demikian sahut Ciau-lam kemudian dengan tertawa "Aku
punya obat pemunahnya, cuma harus diminum bersama arak
panas, biar sekarang juga aku menyuruh orang mengambilkan
arak panas." Habis itu, ia lantas memerintahkan seorang
pengawalnya lekas pergi menyeduh sepoci arak panas.
Sebenarnya apakah maksud tujuan Coh Ciau-lam" Kiranya
karena dilihatnya gerak ilmu silat Sin Liong-cu luar biasa
anehnya betapa tinggi kepandaiannya kini sudah jauh di atas
ketika mereka masih di Thian-san, sekalipun umpama gurunya
Toh It-hang, hidup kembali juga tak bisa menimpali lagi,
sedang gerak tubuhnya lebih tak mirip ajaran aliran Bu-tongpay,
maka Ciau-lam sangat curiga, ia justru ingin memancing
orang buat bertanya duduknya perkara
Karena itu lantas berkatalah Coh Ciau-lam. "Sin-toako,"
demikian ia memancing. "Obat pemunahku meski dapat
menghilangkan racun di tubuhmu, tapi ilmu silatmu ini dapat
tidak dipertahankan, itulah aku tak berani menjamin. A i,
perempuan tua bangku itu sesungguhnya terlalu keji, bila
terkena oleh racun pedangnya, sesudah sembuh mungkin
orangnya pe lahan-lahan a-kan menjadi lumpuh juga. Ai, Sintoako,
jika benar kau akan menjadi cacad, sungguh sebagai
saudaramu harus malu tak mampu membalaskan sakit hatimu,
sebab ilmu pedangku bukan tandingan mereka. Ai, coba bila
seumpama aku dapat mempelajari ilmu silat setinggi kau,
tentunya segala apa akan menjadi beres."
Mendengar obrolan Coh Ciau-lam itu, Sin Liong-cu menjadi
kaget bagai disambar petir di tengah hari bolong. "Jika benar
aku akan menjadi cacad, segera aku turunkan ilmu pedangku
padamu, biar kau menjadi ahli pedang nomor satu di jagad ini,
malah akan lebih lihai dari gurumu!' demikian kata Sin Liongcu
penuh sesal. Dalam hati Ciau-lam girang luar biasa tapi lahirnya ia purapura
adem saja katanya pula "Ah, sebagai saudaramu tentu
akan berusaha menyembuhkanmu sebisanya dan tidak nanti
mengharap balas budimu. Cuma maafkan aku ingin bertanya
padamu sedikit saja yakni tentang kiam-hoat yang kau sebut
belum pernah aku melihatmu memainkan pedang, apakah kau
baru saja dapat memahami semacam ilmu pedang dan belum
sempat diunjukkan?"
"Eh, kenapa kau tak percaya padaku?" kata Sin Liong-cu
dengan mata mengerling aneh. "Ketahuilah dalam dua tahun
ini aku telah memperoleh 108 jurus ajaran asli dari Tat-mo,
Tat-mo-kiam-hoat belum tentu di bawah Thian-san-kiam-hoat
perguruanmu!"
Coh Ciau-lam adalah tokoh silat terkemuka dari Bu-lim atau
dunia persilatan, sudah tentu ia tahu tentang Tat-mo-kiamhoat
yang menghilang lama itu. Keruan saja girangnya sekali
ini luar biasa, ia pikir bila benar ia berhasil melatih Tat-mokiam-
hoat hingga bisa menggabungkan kedua macam ilmu
pedang di tangan satu orang, maka sudah pasti ia bakal tiada
tandingannya lagi di seluruh jagad.
Tidak antara lama, arak panas yang diminta telah
dibawakan. Ciau-lam menuang sebungkus obat bubuk ke
dalam arak itu dan menyuruh minum Sin Liong-cu.
Tanpa pikir, segera Sin Liong-cu menurut dan meneguk
habis secangkir arak panas itu. Tak terduga hanya sejenak
saja tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang, perut sakit
bagai di-puntir-puntir.
"Nah, robohlah, roboh!" tahu-tahu Coh Ciau-lam berteriakteriak.
Berbareng tangan mengulur terus hendak
mencengkeram. Luar biasa terkejutnya Sin Liong-cu, sekonyong-konyong ia
menggeram sekali, sedikit ia mengegos, menyusul orangnya
menubruk maju terus memukul sekaligus dengan kedua
telapak tangannya hingga Coh Ciau-lam kena dihantam roboh.
Tapi dengan sedikit menggelundung di tanah, cepat sekali
Ciau-lam melompat bangun lagi sembari pedang pusakanya
terus dilolos juga dan menyabet
"Keji amat kau, Coh Ciau-lam!" teriak Sin Liong-cu gemas.
Berbareng itu sekali enjot secepat terbang orangnya pun
meloncat keluar kemah dan berlari pergi.
Setelah menaruh racun di dalam arak panas itu, Ciau-lam
menaksir Sin Liong-cu pasti akan mampus terkena racun,
maka dengan terburu-buru ia hendak merebut kitab rahasia
pelajaran ilmu silat Tat-mo itu. Tak disangka Sin Liong-cu ulet
luar biasa, meski sudah terkena racun, namun ingatannya
sadar secara mendadak, secepat kilat ia menubruk maju terus
menghantam, dan karena tak berjaga-jaga, Ciau-lam kena
digenjot roboh.
Tapi Sin Liong-cu juga tahu kepandaian Coh Ciau-lam
selisih tidak jauh dengan dirinya, sekali hantam ia bisa berhasil
sesungguhnya sangat beruntung, maka tak berani ia terlibat
lebih lama, lekas ia melarikan diri menuju tempat sepi.
Pasukan Boan kenal Sin Liong-cu sebagai sobat komandan
mereka, dengan sendirinya tiada yang berani merintangi.
Kembali lagi pada Leng Bwe-hong dan kawan-kawan.
Sesudah setengah hari pula mereka tempuh, tiba-tiba
didengarnya di kejauhan ada suara orang bertempur. Dan
ketika mereka hendak mengeprak kuda memburu ke tempat
itu, tiba-tiba tertampak Sin Liong-cu sedang mendatangi
secepat terbang dengan baju sudah sobek.
Lekas Leng Bwe-hong melompat turun dari kudanya untuk
kemudian dengan tepat menghadang di depan Sin Liong-cu
sambil membentak, "Bagus, belum aku mencarimu, kini kau
malah datang mencariku. Hayolah, mari kita bergebrak 300
jurus pula!" Kiranya Bwe-hong menyangka orang membawa
pasukan musuh hendak datang menangkapnya.
Sebanknya Sin Liong-cu bagai banteng ketaton saja terus
melontarkan beberapa kali serangan. "Bagus, kalian
bersaudara seperguruan memang bukan orang baik-baik
semua, kini meski jiwa Sin Liong-cu harus tewas di tangan
kalian, namun pasti juga para ksatria seluruh jagad akan
menertawaimu!" demikian j awabnya kemudian.
Kenal betapa lihainya orang, maka dengan penuh perhatian
Leng Bwe-hong melayani pukulan musuh. Siapa duga, baru
beberapa gebrakan, mendadak Sin Liong-cu menggelongsor
jatuh ke tanah, rupanya racun dalam tubuh mulai bekerja dan
tenaganya juga sudah habis, belum kena pukulan Leng Bwehong,
ia sendiri sudah roboh lebih dulu.
Dan karena mendengar kata-kata Sin Liong-cu tadi mengandung
arti tertentu, lekas Bwe-hong membangunkan
orang dan bertanya cepat, "Ada apa" Perbuatan apa yang
memalukan pada diriku?" ,
"Hm, Coh Ciau-lam meracuni aku, kini di waktu berbahaya
kau pun datang hendak memaksa diriku, tapi aku justru tidak
membiarkan tujuan kalian terkabul!" demikian seru Sin Liongcu
sambil meronta Berbareng itu ia merogoh keluar kitab
pelajaran Tat-mo terus hendak d i sobeknya dengan kedua
tangan. Namun sekali menggablok, cepat Leng Bwe-hong telah
menepuk jatuh kitab yang dipegang orang, waktu ia periksa
keadaan Sin Liong-cu, dilihatnya wajah orang sudah hitam
guram, lekas ia mengeluarkan sebutir 'Pik-ling-tan' terus
dijejalkan ke dalam mulut orang, Sin Liong-cu masih hendak
meronta, tapi sekali Bwe-hong memencet dagunya, tanpa
kuasa Sin Liong-cu membuka mulurnya hingga obat pil itu
dengan sendirinya menggelinding masuk tenggorokannya.
Selang agak lama, beberapa kali Sin Liong-cu membuang
hawa busuk, dadanya terasa juga lebih lega, wajahnya
lambat-laun juga bercahaya kembali.
Setelah bisa sadarkan diri, dengan mata membelalak Sin
Liong-cu memandang Leng Bwe-hong rada tercengang.
"Baiklah sudah kini, racun dalam tubuhmu sudah ditolak
keluar semua," kata Bwe-hong kemudian.
Dalam hati Sin Liong-cu amat berterima kasih, tapi ia masih
tak mau menghaturkan terima kasih, hanya matanya
mengerling aneh dan berkata "Nyata kau berbeda dengan
Suhengmu, Coh Ciau-lam keparat itu. Namun tetap aku masih akan
bertanding pedang denganmu."
"Tak perlu buru-buru," ujar Bwe-hong tertawa. "Bila sudah
pulih kesehatanmu seluruhnya pasti aku akan mengiringi
keinginanmu itu. Dan kini hendaklah kaubawa aku pergi
mencari si keparat Coh Ciau-lam itu."
Sementara itu Kui Tiong-bing sudah mendekat juga dan
memanggil padanya, "Susiok."
"Habaha," Sin Liong-cu bergelak tertawa. "Ilmu pedang
ibumu sangat hebat, mempunyai keponakan sepertimu masih
tidak menghilangkan pamor Susiokmu ini. Baiklah, melihat
muka Leng-sioksiokmu ini, biarlah kuakui kau sebagai Sutit
(keponakan perguruan). Kini ayah-bundamu sedang dikepung
musuh, marilah kita pergi menolongnya lebih dulu."
Bercerita lagi tentang Li Jiak-sim dan kawan-kawan.
Setelah bisa bergabung dengan rombongan Pho Jing-cu lagi,
tentu saja kekuatan mereka menjadi banyak bertambah.
Dikeroyok oleh Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, betapa lihai
Hong-lui-kiam-hoat Ce Cin-kun tetap tak bisa memperoleh
keuntungan apa-apa Dalam pada itu, Seng Thian-ting juga
kena didesak mundur oleh Pho Jing-cu. Sebaliknya karena
dikepung rapat oleh serdadu Boan dan bangsa Uigor,
ditambah pula tiga jagoan kelas satu yang memimpin
pertempuran itu, para pahlawan seketikapun tak mampu
membobol kepungan, mereka hanya memperkuat penjagaan
pada bukit itu, siapa yang berani mendekat segera ditusuk
dengan pedang dan yang jauh mereka panah.
Perubahan cuaca di gurun pasir memang hebat sekali,
sesudah hari menjadi magrib, walaupun di tempat dekat
Turfan yang terkenal sebagai 'benua berapi' itu, toh di waktu
malam terasakan pula hawa dingin yang menusuk tulang.
Untuk menghangatkan badan, serdadu-serdadu Boan
menyalakan api unggun, sinar api yang berkobar menyinari
sekelilingnya hingga terang benderang bagai siang hari.
Dari jauh Lauw Yu-hong memandang ke Thian-san yang
samar-samar tertampak puncak esnya yang menjulang tinggi
mencakar langit, kelap-kelip di angkasa malam gelap. Tibatiba
ia merasa kedinginan, ia merangkul diri Ie Lan-cu. "Dekat
benua berapi ini, di malam hari masih demikian dinginnya
kalau di atas Thian-san, entah akan berapa kali lebih dingin?"
demikian bisiknya.
"Aku dibesarkan di Thian-san, Cici adalah orang daerah
Kanglam, tentu tidak biasa dengan hawa di sini," sahut Lan-cu
tersenyum. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Yu-hong teringat pada
Leng Bwe-hong. Pikirnya apabila ia betul-betul adalah
kawanku di waktu muda itu, dan sebab aku hingga terpaksa ia
harus menyingkir merantau ke tanah asing yang terpencil jauh
dan menderita kedinginan di Thian-san, dan karena itu ia
dendam pada diriku, hal inipun tak bisa menyalahkannya.
Oleh karena pikiran itu, ia menjadi berduka "Apabila pada
suatu hari aku bisa naik ke Thian-san juga betapa aku akan
merasa senang," katanya dalam hati sambil menghela napas.
Waktu itu Bu Ging-yao mendampingi Li Jiak-sim dengan
pedang terhunus sedang mengawasi gerak-gerik musuh,
ketika tiba-tiba dilihat Lauw Yu-hong lagi melamun, ia menjadi
heran. "Lauw-toaci, apa yang sedang kaupikirkan"' tanyanya
segera. Tapi Yu-hong diam tak menjawab pertanyaan orang.
"Lihatlah, siapa yang datang lagi itu!" tiba-tiba terdengar
teriakan Li Jiak-sim.
Waktu mereka menegasi, terlihat keadaan pasukan Boan
agak kacau-balau, dengan mengepalai beberapa ratus bangsa
Uigor, Ce Cin-kun kelihatan telah maju hendak mencegat.
Di bawah sinar api, Lauw Yu-hong bisa melihat dengan
jelas, ia lihat pemimpin rombongan yang membikin kalang-kaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
but barisan serdadu Boan itu sangat mirip sekali dengan Leng
Bwe-hong. "Eh, aneh sekali," kata Jing-cu. "Sungguh bisa begini
kebetulan, Leng Bwe-hong betul-betul datang!"
Waktu mereka menegasi lagi, tertampak Leng Bwe-hong
hanya diiringi beberapa orang saja dan sementara itu sudah
mulai bergebrak dengan Ce Cm-kun.
"Serdadu musuh terlalu banyak, walaupun ilmu silat Leng
Bwe-hong sangat tinggi, mungkin juga tak mampu menerjang
masuk ke sini," ujar Jiak-sim. "Lebih baik kita menerjang turun
saja menggabungkan diri dengan mereka!"
Selagi para pahlawan hendak bertindak, mendadak terlihat
Ce Cin-kun angkat kaki dan segera kabur pergi, bangsa Uigor
yang dipimpinnya itu terdengar berteriak riuh-rendah, mereka
mendukung Leng Bwe-hong dan dalam sekejap saja mereka
telah berontak di garis depan, keruan saja pasukan Boan
menjadi kocar-kacir.
Kiranya pada waktu Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan
kawan-kawan sampai di medan pertempuran itu, mereka
segera dipapak Ce Cin-kun bersama beberapa ratus bangsa
Uigor yang dibawanya itu. Leng Bwe-hong mengangkat
pedangnya menangkis sepasang pedang Ce Cin-kun yang
sementara itu sudah lantas menyerang, dalam pada itu Huiang-
kin mendadak menepuk pundak Leng Bwe-hong sambil
berseru, "Kau mundur saja!"
Habis itu, dengan pecutnya yang panjang itu ia menuding
ke depan sambil membentak, "Hai, apakah kalian masih kenal
padaku" Akulah Hui-ang-kin adanya!"
Melihat kelakuan orang, cepat Ce Cin-kun menusuk dengan
pedangnya, namun Hui-ang-kin hanya berkelit dan tidak balas
menyerang, ia melanjutkan seruannya pula, "Patuhlah pada
perintahku, bunuhlah lebih dulu si tua bangka ini!"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hidup Hui-ang-kin!" tiba-tiba pahlawan-pahlawan Uigor
yang berusia sedikit tua pada bersorak girang. Orang-orang
Uigor lainnya yang lebih muda, meski mereka belum kenal
Hui-ang-kin, tapi mereka sudah pernah mendengar cerita
tentang diri Hui-ang-kin yang maha besar, dalam sekejap saja,
mereka ikut bersorak riuh-rendah dan berbareng itu senjata
mereka berbalik diarahkan ke diri Ce Cin-kun. Keruan Ce Cinkun
menjadi gugup, dengan cepat ia dapat merobohkan dua
orang, sementara itu pecut Hui-ang-kin telah menyambar
sampai di belakang punggungnya juga, lekas ia angkat kaki
dan lantas kabur. Leng Bwe-hong tidak tinggal diam, ia
memburu dengan pedang terhunus.
Saat itu juga, para pahlawan di bukit pasir tadi secara
beramai-ramai pun sudah menerjang turun, Bing San coba
memimpin pasukannya hendak menghadang dan berteriak
hendak menundukkan bangsanya yang mendadak berontak
itu, siapa tahu, setelah bangsa Uigor itu mendapat tahu yang
datang ini adalah Hui-ang-kin, kebanyakan di antara mereka
tak mau tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa Bing San pun
angkat kaki alias buron kalau ia sendiri tidak ingin dihajar oleh
bekas pasukannya itu.
Keadaan yang demikian itu dengan segera lantas berubah
menjadi pasukan penunggang kuda bangsa Uigor itu saling
tempur dengan pasukan Boan.
Sin Liong-cu yang ikut menerjang ke dalam pertempuran
itu, cepat sekali ia berpapasan dengan Coh Ciau-lam yang
sementara itu hendak kabur dengan mengambil jalan yang
sepL "Bangsat, hendak lari kemana kau!" bentak Sin Liong-cu.
Menyusul itu tiba-tiba Ciau-lam merasa angin keras
menyambar dari belakang, kedua tangan Sin Liong-cu
berbareng telah menghantamnya
Lekas Ciau-lam mengegos ke samping dan pedangnya
lantas menusuk juga, Sin Liong-cu tak berhasil dengan
pukulannya yang pertama ia rnerangsek pula namun Ciau-lam
pun tidak lemah, ia menghindarkan tiap serangan lawan, di
samping itu pedangnya balas menyerang dan tangannya
memukul tak kalah hebatnya.
Betapapun lihainya Sin Liong-cu, namun ia bertangan
kosong, ia harus waspada akan pedang musuh. Maka secepat
kilat mereka berdua sudah saling gebrak beberapa jurus.
Sementara itu Seng Thian-ting bersama beberapa jago
pengawal pun sudah memburu tiba.
Nampak keadaan berbahaya itu, lekas Leng Bwe-hong pun
memburu datang untuk membantunya
Dikerubut oleh musuh yang jauh lebih banyak itu, Sin
Liong-cu kena ditusuk sekali oleh Coh Ciau-lam di pundaknya.
Waktu Leng Bwe-hong memburu datang dan memutar
pedangnya memainkan 'Han-to-kiam-hoat', sinar pedang
gemer-depan laksana hujan, baru Coh Ciau-lam bisa
menangkis, tetapi belakang punggungnya sudah kena digablok
oleh Sin Liong-cu, lekas ia menarik pedang dan segera kabur.
Ketika Bwe-hong memutar pedangnya melindungi Sin Liong-cu
yang terluka itu.
"Bagaimana lukamu?" tanyanya kuatir.
"Tak usah kualirkan diriku, kejar saja keparat itu!" sahut Sin
Liong-cu. Nampak pundak orang sudah bermandi darah, Bwe-hong
tahu lukanya tentu tidak enteng. "Hui-ang-kin dan yang lain
sudah mengejar, tentu mereka akan menang," ujarnya.
Setelah itu secara paksa ia menarik mundur Sin Liong-cu.
Dalam pada itu, sekonyong-konyong terdengar pekikan Ie
Lan-cu, menyusul itu terlihat Kui Tiong-bing sedang
mendatangi. "Kau lindungi Susiokmu saja" kata Bwe-hong pada pemuda
itu, habis mana ia menerjang lagi dengan pedangnya.
Sin Liong-cu berniat ikut menerjang juga, tapi segera ia
merasa seluruh tubuhnya sakit pegal, Tiong-bing memutar
pedangnya membuka jalan baginya dan tak memperbolehkan
dia ikut bertempur.
Kiranya tadi waktu Hua-ciau nampak Lan-cu sedang
bertempur di antara pasukan musuh yang kocar-kacir itu,
hatinya menjadi kegirangan, dengan mati-matian ia
menerjang maju hendak memapakinya
Dalam pada itu, Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting yang
sedang kabur, dari depan mereka justru berpapasan dengan
Pho Jing-cu, Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao bertiga. Tiga pedang
yang bersinar gemerlapan mencegat jalan lari mereka
Ciau-lam mengerti bahaya yang sedang mengancam dirinya
itu, lekas ia hendak menerjang ke jurusan lain, akan tetapi
kembali ia dipapaki oleh suami-isteri Ciok Thian-sing.
"Celaka!" keluh Ciau-lam dalam hati. Dalam keadaan yang
genting itu, tiba-tiba ia melihat Thio Hua-ciau sedang
mendatangi, ia menjadi girang, ia putar haluan, dengan satu
tipu yang lihai, secepat kilat ia menusuk ke bawah iga Thio
Hua-ciau. Waktu itu Hua-ciau lagi mencurahkan seluruh perhatiannya
atas diri Ie Lan-cu, ia tidak menduga dirinya akan diserang
secara begitu, dalam gugupnya ia coba mengelakkan diri, tapi
tahu-tahu ia merasa pergelangan tangannya telah kena
dicekal o-rang dan urat nadinya terpencet kencang oleh tiga
jari Coh Ciau-lam, dan segera diangkat pula ke atas untuk kemudian
diayunkan. Sementara itu Ciok-toanio sedang menusuk dengan
pedangnya segera Ciau-lam menyambut orang dengan tubuh
Thio Hua-ciau yang ia ayunkan itu. "Boleh kau menusuknya!"
katanya dengan tertawa sinis.
Dan karena melihat kekasihnya dalam ancaman bahaya
itulah Ie Lan-cu berteriak kuatir. Lekas Ciok-toanio menarik
kembali tusukannya tadi, dan karena itu telah memberi
kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk menerjang pergi
hendak bergabung dengan pengikutnya.
Bagai terbang cepatnya Leng Bwe-hong melayang maju
coba memburu. "Lepaskan orangnya!" bentaknya keras.
Menyusul terlihat Lauw Yu-hong telah mencegat juga dari
samping, senjata rahasia yang tunggal 'Kim-hun-tau', yakni
jaring kawat dengan kaitan halus yang tajam, mendadak
dilemparkan ke atas kepala musuh. Cepat Ciau-lam melompat
menghindarkan diri, tetapi sekonyong-konyong ia merasakan
pergelangan tangannya menjadi pegal linu, menyusul Leng
Bwe-hong telah mengulur tangan dan dua jarinya segera
hendak mencolok matanya
Keruan Ciau-lam gugup, dan karena tangannya sakit linu
tadi, cekalannya menjadi kendor, hingga terpaksa ia harus
melepaskan Thio Hua-ciau. Lekas Leng Bwe-hong
membangunkan Hua-ciau yang terlempar jatuh itu, sedang
Lauw Yu-hong dan Ie Lan-cu berbarengpun sudah memburu
datang. Sementara itu terlihat Bu Ging-yao lagi bergelak tertawa
dengan mengelus pedangnya sebaliknya Coh Ciau-lam juga
sudah bisa lolos kabur.
"Bu-cici, apa yang kau tertawai?" tanya Lan-cu heran demi
nampak sikap orang.
"Ia telah terkena aku punya 'Pek-bi-ciam', tentu ia akan
merasakan untuk selamanya," kata Bu Ging-yao.
'Pek-bi-ciam' adalah semacam senjata rahasia ciptaan Pekhoat
Mo-li, rupanya halus lembut laksana bulu binatang, oleh
karena itu dinamakan 'Pek-bi-ciam' yang berarti jarum alis
putih. Senjata rahasia semacam ini meski tidak membahayakan
jiwa musuh, tetapi cukup keji, apabila telah meresap ke dalam
tubuh, maka susah sekali untuk bisa mengambilnya keluar.
Dua jarum yang mengenai Coh Ciau-lam itu, kesemuanya
telah meresap ke dalam tubuh, sehingga kekuatannya di
kemudian hari banyak menjadi berkurang pelahan-lahan.
Setelah Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting melarikan diri,
sudah tentu sisa serdadu Boan juga lari tunggang-langgang.
Hui-ang-kin tidak mengejar musuh, waktu ia menoleh, ia lihat
dengan mesra Thio Hua-ciau sedang memegang kedua tangan
Ie Lan-cu dan sedang saling pandang penuh arti, kegaduhan
di medan pertempuran itu seperti tak mereka hiraukan.
Dengan senyum simpul Hui-ang-kin mendekati mereka
Waktu mendadak Lan-cu melihat Hui-ang-kin muncul di
antara mereka, hatinya tergoncang hebat.
"O, ibu, bu bukan aku sengaja meninggalkanmu "
katanya dengan suara terputus-putus. Tapi sebelum ia
mengucapkan lebih lanjut, Hui-ang-kin sudah
menyambungnya dengan tertawa.
"Lan-cu, aku pun tidak ingin berpisah denganmu, oleh
sebab itu aku telah menyusul kemari," kata Hui-ang-kin.
"Marilah sekarang kita hidup kumpul bersama seperti suatu
keluarga bahagia yang melewatkan hari-hari
menggembirakan."
Saking terharunya, Lan-cu mengucurkan air mata, ia
menubruk maju dan merangkul Hui-ang-kin erat-erat. "Ibu! O,
ibu, sungguh aku sangat berterima kasih padamu, sayangmu
padaku melebihi anak kandung sendiri," demikian katanya
meratap. "Ya tidak saja kau adalah anakku, tetapi juga keponakan
Leng-sioksiok dan sahabat baik mereka pula," ujar Hui-angkin.
Waktu ia mengucapkan kata-kata terakhir itu, sengaja ia
menuding diri Thio Hua-ciau, hingga Lan-cu menunduk kepala
malu. "Eh, mengapa rambutmu telah banyak putih!" tiba Hua-ciau
berteriak terkejut Waktu semua orang memandang kepala
Lan-cu, betul saja memang tertampak banyak rambutnya yang
sudah ubanan tercampur di antara rambut hitam lainnya
"Kita guru dan murid tiga turunan, ternyata kesemuanya
belum tua sudah ubanan!" kata Hui-ang-kin menghela napas.
Mendadak Thio Hua-ciau tergerak pikirannya "Jangan
kuatir, aku nanti mengobatimu!" katanya tiba-tiba Segera ia
mengeluarkan kotak berbungkus sutera sulam yang
menguarkan bau harum semerbak itu.
Ie Lan-cu memang mempunyai kesukaan pada bungabungaan,
waktu tiba-tiba nampak ada dua tangkai bunga
raksasa berwarna merah-putih itu, ia jadi sangat tertarik.
Dalam pada ini Hua-ciau telah mengangsurkan pula padanya
kantong air. "Lan-cu, lekas kau makan kedua tangkai bunga ini!" kata
Hua-ciau kemudian.
Nampak sikap orang, Lan-cu tertawa geli. "Sungguh kekanakan
sekali kau!" katanya dengan suara rendah. "Bunga
seindah ini, apakah tidak sayang dirusak begitu saja?"
"Sedikitpun aku tidak kekanakan, aku mengharap kau
memakannya," demikian Hua-ciau menegas.
"Sudahlah, boleh kau makan saja seperti yang diminta,"
Hui-ang-kin ikut bicara "Waktu di Thian-san, bukankah kau
juga suka memetik teratai salju untuk kemudian dibuat
menyeduh teh?"
Melihat cara mereka berkata dengan sungguh-sungguh, le
Lan-cu merasa agak aneh, sebenarnya ia sangat suka pada
kedua tangkai bunga itu, tetapi ia juga suka memakan daun
bunga yang segar, sesudah dengan rasa sayang memainkan
bunga itu sebentar, kemudian ia mengunyah dan menelan
kedua tangkai bunga itu yang dirasakannya sangat segar dan
meninggalkan bau harum yang berbekas di mulutnya.
"Em, enak sekali! Masih adakah?" katanya kemudian sambil
kecap-kecap mulutnya.
"Nah, tadi tidak mau, kini malah minta lagi, tapi aku sudah
tak punya lagi," Hua-ciau menggoda dengan tertawa.
"Kalau ingin lagi, maka harus menunggu sampai 60 tahun
kemudian," ujar Hui-ang-kin tertawa.
Lan-cu menjadi bingung mendengar percakapan mereka,
dan Hui-ang-kin juga tidak menerangkan apa artinya itu.
Melihat cara Hua-ciau memberi bunga pada Ie Lan-cu, tak
tertahan Li Jiak-sim bersajak seorang diri dengan suara
pelahan. Sajak yang diucapkannya itu adalah gubahan Nilan Yong-yo
yang waktu itu sangat digemari di seluruh negeri.
Bu Ging-yao tertawa geli melihat sikap pemuda itu, La
memandangnya dan berkata padanya pe lahan, "Bagaimana
Li-kongcu" Kau sedang mengagumi orang atau lagi merasa
iri?" Jiak-sim menjadi jengah, mukanya merah, ia lihat sinar
mata Bu Ging-yao seperti penuh mengandung arti, maka ia
pun membalasnya dan berkata "Ada kau di sampingku, tak
perlu aku kagum juga tak perlu iri pada orang lain."
Keruan saja wajah Bu Ging-yao kini menjadi merah.
Pada saat itu pula Lauw Yu-hong juga sedang saling
mengutarakan rasa rindunya dengan Leng Bwe-hong selama
berpisah. Nampak Lauw Yu-hong banyak lebih kurus, Bwehong
menjadi pedih hatinya tapi ia tetap bungkam saja
"Tadinya aku mengira tak akan bisa berjumpa pula
denganmu," kata Yu-hong kemudian.
"Aku sudah berjanji akan mendaki Thian-san bersamamu,
janji ini belum terlaksana, mengapa kita tak akan berjumpa
pula"'' ujar Bwe-hong tertawa buatan.
Dan setelah para pahlawan bisa berkumpul kembali,
mereka lantas melanjutkan perjalanan, kini Bu Ging-yao yang
menjadi penunjuk jalan mereka
"Baik-baikkah ayahmu selama ini?" tanya Pho Jing-cu
padanya "Justru ayah yang menyuruhku datang kemari buat
menyambut kedatangan Pho-pepek sekalian!" sahut Ging-yao.
Pho Jing-cu dan Bu Goan-ing adalah sahabat karib sehidupsemati,
kini akan segera bertemu, ia merasa gembira sekali.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari depan
tertampak debu mengepul tinggi, kembali ada ratusan orang
penunggang kuda mendatangi ke jurusan mereka.
"Apakah keparat Coh Ciau-lam itu masih berani kembali
lagi?" kata Pho Jing-cu menduga.
Tapi bila ia menegasi lagi, yang memimpin rombongan itu
ternyata adalah seorang anak tanggung. Jing-cu menjadi
heran. Sementara itu terdengarlah Ging-yao telah berseru
memanggil, "Adik, adik!"
Ketika sudah dekat, sekali berjumpalitan si anak tanggung
itu melompat turun dari kudanya terus mendekati Pho Jing-cu
sambil menarik lengan bajunya. "Pho-pepek, apakah kau tak
mengenali aku lagi?" demikian tegurnya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, Sing-hua, kau sudah begini besarnya," kata Jing-cu
bergelak tertawa setelah akhirnya mengenali anak tanggung
itu adalah Bu Sing-hua. "Untuk apa kau membawa orang
demikian banyak?"
Seperti diketahui Bu Sing-hua adalah putera Bu Goan-ing
satu-satunya dan pernah diajari menangkap 'senjata rahasia
dengan lengan baju' oleh Pho Jing-cu, waktu itu ia baru
berumur 11-12 tahun, tapi kini umurnya sudah 15-16 tahun.
Dan karena pertanyaan Pho Jing-cu tadi, berulang-ulang
Sing-hua menarik Pho Jing-cu. "Pho-pepek, lekas kau
menjenguk ayahku, semalam ia telah kena dibokong orang!"
katanya dengan kedua mata tampak merah bendul banyak
menangis. "Bisa terjadi begitu?" tanya Jing-cu kaget. Ia cukup
mengenal Bu Goan-ing memiliki ilmu silat yang tinggi dan
adalah tokoh ternama dari golongan Cong-lam-pay, sungguh
ia tak mengerti di daerah perbatasan terpencil ini ada orang
berani membokongnya.
Ging-yao menjadi kuatir karena berita adiknya itu, ia
mendesak agar adiknya lekas menerangkan duduknya
perkara. "Semalam, selagi aku tidur nyenyak, sekonyong-konyong
aku terjaga oleh suara bentakan ayah," demikian Sing-hua
bercerita "Dan waktu aku melompat bangun, kulihat ada dua
orang penjahat menerobos keluar dari kamarmu "
"Dari kamarku?" tanya Ging-yao tidak habis mengerti.
"Ya dari kamarmu," Sing-hua menegas. "Ayah gusar sekali,
ia memutar golok ' Kim-pwe-gam-san-to* dan lantas melabrak
kedua penjahat itu, satu di antaranya kalau berbicara
suaranya kecil dan kelakuannya lenggang-lenggok seperti
wanita, sangat lucu. Sedang yang lain ialah seorang kakek.
Aku telah menghamburkan segenggaman biji caturku, tetapi
tidak mengenai mereka dan tiba-tiba terdengar ayah menjerit
dan kemudian melompat keluar dari kalangan pertempuran,
sementara itu Njo-sioksiok pun sudah memburu datang, kedua
penjabat itu kemudian berhasil kabur. Waktu ayah membuka
bajunya, tertampak sebagian dadanya telah hitam bengkak,
hari ini masih belum bisa turun dari pembaringan. Sementara
itu ia mendapat laporan dari saudara-saudara Thian-te-hwe,
bahwa di gurun pasir sejauh ratusan li ada pasukan yang
sedang bertempur sengit, maka aku diperintahkan datang ke
sini dengan membawa orang-orang kita untuk melihat apakah
Pho-pepek yang lagi dikepung musuh."
Tiga tahun yang lalu, Bu Goan-ing bersama dua pemimpin
Thian-te-hwe yang lain, Hoa Ci-san dan Njo It-wi, telah
menjelajahi Sinkiang dan mendirikan perkampungan di padang
rumput, dua Sioksiok atau paman yang dikatakan Bu Sing-hua
itu maksudnya adalah mereka berdua Sementara itu mereka
pun sudah maju menemui Congtohcu atau ketua perkumpulan
mereka, Lauw Yu-hong, dan setelah itu memberi hormat pada
Pho Jing-cu. "Boh-cici, jika menurut penuturan saudara cilik ini tadi,
agaknya siluman manusia Hek Hui-hong juga telah sampai di
Sinkiang," kata Kui Tiong-bing pada Boh Wan-lian. "Tetapi
dengan ilmu silatnya mana ia mampu mencelakai Bu-cengcu?"
"Berlagak-lagu seperti wanita, ya, tentunya manusia
siluman Hek Hui-hong itulah," kata Jing-cu sependapat dengan
Tiong-bing. "Eh, Sing-hua, bukankah dia memakai sebuah
kipas baja?"
"Betul, malahan keduanya memakai kipas semua," sahut
Sing-hua mengangguk.
"Keduanya memakai kipas semua" Jangan-jangan siluman
tua itupun sudah datang ke sini?" ujar Jing-cu sambil
mendesak yang lain lekas berangkat
Bwe-hong heran oleh kata-kata Pho Jing-cu tadi tentang
'siluman tua', maka ia lantas bertanya gerangan siapakah yang
dimaksud. "Sian Hun-ting, Pangcu (ketua) dari Tiat-sian-pang. Tak
pernah kau dengar namanya?" sahut Jing-cu.
"O, kiranya dia" kata Bwe-hong. "Kabarnya siluman tua itu
memiliki ilmu silat tunggal dan selamanya tidak mengenal
ampun, dari kalangan apa saja tak mau dia memberi muka,
meski terkenal busuk, tapi belumlah terlalu jahat dan kenapa
sekarang bisa berada bersama dengan Hek Hui-hong yang
terkutuk itu" Pula sebab apa telah datang mencari gara-gara
pada Bu Goan-ing, inilah sungguh aneh"'
Dalam pada itu mereka telah mengeprak kuda secepat
terbang hingga tiada setengah hari sudah sampai di tempat
tujuan. Penghuni perkampungan itu sibuk menyambut
kedatangan tamu, dan ibu Sing-hua kegirangan juga
"Beruntung Pho-pepek datang, ayah Sing-hua dapatlah
tertolong!" demikian katanya
Segera juga Pho Jing-cu dan Bu Ging-yao masuk ruang
dalam menilik keadaan Bu Goan-ing, ternyata wajah orang tua
itu sudah guram, napasnya lemah, melihat kedatangan Jingcu,
tampaknya ia ingin bicara, tapi hanya bibirnya saja sedikit
bergerak dan tak sanggup bersuara.
Lekas Jing-cu memeriksa nadi orang. "Ah, tak apa, tak
berhalangan," demikian katanya kemudian. Habis ini cepat ia
pun mengurut segala urat nadi yang bersangkutan dan
memencet lukanya agar darah berbisa mengalir keluar, lalu
diberikannya sebutir obat buatannya agar dimakan Bu Goaning.
Selang tak lama tiba-tiba wajah Goan-ing berubah segar
kembali. "Ha, keji sekali bangsat tua itu!" teriaknya segera
Lalu dari bawah bantalnya dikeluarkannya sebatang panah
hitam berbisa dan berkata pula "Inilah senjata rahasianya,
kalau tulangku yang rongsok ini kurang keras, mungkin tak
dapat berjumpa lagi dengan kalian."
Nyata Bu Goan-ing tidak mengenali siapa gerangan Sian
Hun-ting itu, sebab Goan-ing selamanya tinggal di daerah
barat-laut, sebaliknya Sian Hun-ting malang melintang di
daerah selatan, maka mereka belum pernah bertemu. Maka
kemudian ia pun menceritakan kejadian semalam, katanya,
"Semalam waktu aku melawan kedua penjahat itu, bangsat
tua itu meski lihai, masih dapat kutahan, kipasnya itu mulamula
dipakai untuk menotok saja, tak terduga kemudian
makin bertempur makin sengit dan akhirnya ujung golokku
membentur kipasnya, maka tiba-tiba dari senjatanya itu
menjeplak dan menyambar keluar beberapa panah berbisa.
Sungguh susah diduga bahwa senjata rahasianya bisa
disembunyikan dalam kipasnya itu."
Panah berbisa yang dihamburkan Sian Hun-ting itu
sebenarnya bila sudah meresap ke dalam darah, maka
orangnya seketika bisa sesak napas terus mati. Syukur
keuletan Bu Goan-ing selama berpuluh tahun melatih diri ini
lain dari yang lain, maka masih sanggup bertahan sampai
datangnya Pho Jing-cu.
Dan bila melihat orang sudah segar kembali, diam-diam
Pho Jing-cu bersyukur juga, tadi ia bilang 'tak apa-apa', tujuan
sebenarnya melulu buat menghibur Bu Ging-yao saja. Kini
benar-benar melihat Bu Goan-ing tak apa-apa, barulah ia
merasa lega. Lalu ia pun melarang Bu Goan-ing banyak bicara,
ia suruh Ging-yao merawat sang ayah agar mengaso baikbaik,
sedang ia sendiri lalu keluar.
Sementara itu Bu-toanio atau nyonya Bu dan para saudara
Thian-te-hwe sudah memotong beberapa ekor kambing dan
menyediakan daharan lain serta arak untuk menyambut
kawan-kawan yang baru tiba itu. Memangnya sudah bosan
Pho Jing-cu, Kui Tiong-bing dan kawan-kawan memakan
rangsum kering yang dibawanya dalam perjalanan, kini bisa
makan besar sepuas-puasnya, tentu saja mereka makan
dengan sangat gembira.
"Pho-pepek," diam-diam Bu-toanio berkata pada Pho Jingcu.
"Menurutmu, kedua penjahat itu bakal datang kembali
tidak?" "Tentu saja, malahan aku kuatir kalau mereka tidak datang
lagi!" sahut Jing-cu.
Dan sesudah berpikir sejenak, lalu ia minta Bu-toanio
memanggilkan Bu Ging-yao dan menyuruh gadis itu bersama
Ie Lan-cu tanpa bersenjata pergi jalan-jalan keluar,
perkampungan. Kemudian katanya pula pada Bu-toanio, "Maafkan enso,
bila kau setuju, aku minta kau pura-pura memasang tanda
berkabung dan menyediakan meja sembahyang seperti orang
lagi kesusahan kematian keluarga."
"Apa maksudmu?" tanya Bu-toanio tercengang.
"Ya, sebagai umpan untuk memancing kedatangan musuh,"
kata Jing-cu. "Kedua manusia rendah itu, lebih-lebih manusia
siluman itu, memang sudah lama aku ingin membasminya."
Karena penjelasan itu, Bu-toanio masih ragu-ragu, ketika
dirundingkan dengan Bu Goan-ing, orang tua ini ternyata
bergelak tertawa. 'Halia, nyawaku ini saja direbut kembali dari
elmaut oleh Pho-toako, kenapa aku mesti pakai pantangan
apa segala. Kalau mau pura-pura hendaklah dibuat semiripmiripnya,
suruh sekalian Ging-yao pergi memberi tahu berita
duka-cita pada setiap rumah tetangga"
Dan setelah mengambil keputusan itu, segera Pho Jing-cu
mengatur siasat. Ia menyuruh Ging-yao dan Lan-cu tidur
bersama di kamarnya semula, ia sendiri dan Ciok Thian-sing
tidur di kamar sebelah, sedang Ciok-toanio dan Bu-toanio satu
kamar, hanya Leng Bwe-hong ditugaskan meronda di luar.
Penjagaan telah diatur rapat sekali, tak terduga berturutturut
dua malam musuh masih tak datang.
"Aku yakin musuh pasti akan datang, jangan kita lengah,"
demikian kata Jing-cu.
Dan betul saja, malam ketiga lewat tengah malam, benarbenar
musuh telah datang, bahkan Bu Ging-yao hampir
menjadi korban.
Tentang Sian Hun-ting, Pangcu dari Tiat-sian-pang, kenapa
bisa jauh-jauh datang ke Sinkiang bersama Hek Hui-hong
yang disebut manusia siluman itu, kiranya ada sesuatu sebab
di dalamnya, ialah karena didesak dan diuber-uber oleh Beng
Bu-wi yang dibantu Ciok Cin-hui.
Seperti diketahui, Beng Kian, putera Beng Bu-wi telah
dibikin malu di bawah tangan Hek Hui-hong ketika ia dipedayai
mengawal 36 puteri ayu untuk Perdana Menteri Nilan, maka
sejak itu Beng Bu-wi lalu membawa puteranya menjelajahi
daerah Kanglam, malahan mengajak pula bantuan Ciok Cinhui,
dan telah mengobrak-abrik sarang Tiat-sian-pang.
Dalam pertarungan sengit itu, Sian Hun-ting dikalahkan
ilmu pedang Ciok Cin-hui yang hebat, sedang Hek Hui-hong
juga hampir mampus di bawah pipa tembakau Beng Bu-wi
yang panjang. Berkat ilmu silatnya yang lihai, begitu kalah
satu gebrakan, segera Sian Hun-ting melepaskan diri terus
melindungi Hek Hui-hong untuk kemudian melarikan diri.
Belakangan mereka masih terus diuber-uber dan susah
menancapkan kaki pula di daerah Kanglam, maka terpaksa
mereka lari ke daerah gurun luas ini.
Kembali tadi, ketika Leng Bwe-hong meronda di luar,
setelah tengah malam, keadaan masih sepi tiada terjadi
sesuatu, maka ia menjadi iseng rasanya, ia coba melorot
keluar pedang pusaka pemberian Asta tempo hari sebelum
mangkat, ia lihat warna pedang itu lorang-loreng, tapi bersinar
tajam, bentuknya juga berlainan dengan pedang buatan
Tiongkok asli, maka ia menjadi tertarik dan memainkannya
sejenak untuk melewatkan waktu senggang.
Tiba-tiba dilihatnya dari arah jalan perkampungan sana
berkelebat bayangan orang, cepat ia memburu maju dengan
pedang terhunus. Setelah dekat, Leng Bwe-hong rada terkejut
karena yang datang itu adalah tiga padri asing, ia menjadi
ragu-ragu pula, pikirnya, walaupun belum pernah kenal Sian
Hun-ting dan Hek Hui-hong, tapi tidaklah mungkin ada padri
asing seperti ini"
Dan selagi ia hendak menegur, didengarnya padri yang
rupanya menjadi pemimpin bersuara heran, lalu Bwe-hong
didekatinya terus bertanya dengan kerlingan mata yang aneh,
"Hai, kau, darimana kau dapatkan pedang itu?"
"Ada sangkut-paut apa pedang ini denganmu?" berbalik
Bwe-hong bertanya.
"Hm, apa kau kenal asal-usul pedang ini?" sahut padri itu
menjengek. "Asal-usul apa segala aku tak peduli, yang kuketahui ini
adalah barang Njo Hun-cong," kata Bwe-hong ketus.
"Hm, barang Njo Hun-cong" Njo Hun-cong adalah
perampok, tahu?" kata padri itu tiba-tiba sengit. "Jika dia tidak
mampus di daerah Kanglam, pasti aku akan menggali
tulangnya dan menyabetnya 300 kali dengan cambuk."
Gusar sekali Bwe-hong mendengar orang berani mencaci
Suhengnya yang paling dicinta dan dihormatinya Tapi ia coba
bersabar diri dan bertanya pula, "Apakah kau ini Thian-bong
Siansu adanya?"
"Eh, kiranya kau pun kenal nama tuan Buddhamu ini?" ujar
padri itu tertawa senang. "Jika begitu, tentunya kau pun tahu
bahwa pedang ini adalah milikku. Maka lekas kauserahkan
kembali baik-baik padaku agar aku mengampuni jiwamu. Bila
tidak, hm, biaraku mengirim kau pergi mencari Njo Hun-cong!"
Melihat lagak orang, diam-diam Bwe-hong berpikir, "Dahulu
Thian-bong Siansu ini pernah memimpin anak muridnya
mengembut Njc-suheng dan senjata mereka malah kena
dilucuti semua oleh Sulteng, termasuk pula pedang pusakanya
yang diberikan Asta ini, maka pantaslah bila ia masih
penasaran. Cuma kejadian itu sudah lebih 20 tahun, entah
selama ini ia bisa memperbaiki diri atau menjadi jahat" Jika ia
sudah berubah baik, sedangkan pasukan Boan segera akan
menjajah ke sini, seharusnya aku mempersatukan semua
suku-suku bangsa dan segala tenaga di daerah Tibet, Mongol
dan Sinkiang untuk melawan musuh, tiada harganya karena
sebilah pedang malah bermusuhan dengannya."
Dan ketika ia berpikir dan ragu-ragu, mendadak padri asing
itu membentak pula, "Hayo, kau mau menyerahkan tidak
pedang itu" Siapa kau" Berani kau membantah perintah Tuan
Buddha?" "Aku adalah Sute Njo Hun-cong," sahut Bwe-hong.
"Ha, Sutenya Njo Hun-cong?" padri itu menegas sambil
menarik muka. "Aku hanya tahu Njo Hun-cong punya seorang
Sute, yaitu Coh Ciau-lam, kenapa sekarang bisa muncul lagi
seorang Sute yang lain" Bagus bila begitu, jika kau adalah
Sute Njo Hun-cong, maka sekarang kau juga harus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar perintah Suhengmu yang masih hidup."
"Apa kau bilang?" tanya Bwe-hong mengkerut kening.
"Hahaha, apa kau masih belum tahu atau pura-pura tidak
tahu" Mungkin juga kau palsu hanya mengaku Sutenya Njo
Hun-cong?" kata Thian-bong Siansu bergolak tertawa "Coh
Ciau-lam membawa pasukan Boan telah sampai di Sinkiang
sini dan mengirim orang ke Tibet meminta maaf padaku untuk
mengampuni Suhengnya yang sudah mati itu dan minta aku
membantu dia mengamankan Mongol dan Tibet, ia malah
berjanji akan mencarikan pedangku, bila tidak bisa ketemu,
pedang Yu-liong-kiam akan diberikan padaku sebagai gantinya
Kini pedangku itu ternyata berada padamu, apalagi yang
hendak kaukatakan" Lekas kau serahkan saja!"
Karena penjelasan itu, sekonyong-konyong mata Leng
Bwe-hong mendelik. "Thian-bong," bentaknya segera,
"Sebenarnya aku tidak menginginkan pedangmu ini, tapi kini
aku justru tidak mau memberikan padamu, bila kau mampu,
hayclah maju mengambilnya sendiri!"
"Tangkap keparat ini, muridku!" teriak Thian-bon g
mendadak. Menyusul mana kedua padri asing lain yang muda segera
menubruk maju dari kanan-kiri.
Namun Bwe-hong tetap berdiri saja di tempatnya ketika
empat kepalan musuh mengenai tubuhnya maka terdengarlah
suara "bluk-bluk" yang keras, yang roboh bukan Leng Bwehong,
sebaliknya kedua padri muda itulah yang telah menggelongsor.
Tidak kepalang gusar Thian-bong Siansu, dengan
menggeram, tiba-tiba ia mencopot jubahnya yang berwarna
merah terus diayun ke atas bagai segumpal awan menutup ke
atas kepala lawan.
Melihat gaya serangan orang cukup hebat, lekas Bwe-hong
menggeser tubuh dan melangkah ke samping menghindarkan
serangan, berbareng itu tangannya terus menjambret ujung
jubah musuh, tapi segera terasa olehnya seperti memegang
sepotong papan besi saja maka tahulah dia Lwekang ThianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bong sudah mencapai puncaknya dan tak boleh dipandang
enteng. Diam-diam ia pun mengumpulkan tenaga dalam terus
menarik. Maka terdengarlah suara berebet sobeknya kain, jubah
padri itu telah terobek sebagian. Namun dengan separah kain
jubahnya yang masih ketinggalan, mendadak Thian-bong
menggunakannya buat menyabet lagi, berbareng itu telapak
tangan kiri tahu-tahu menghantam juga dari bawah kain
jubah. Tapi sekali Bwe-hong mengkeretkan tubuh, hampir saja ia
kena terpukul, sebaliknya karena luput mengenai sasaran,
Thian-bong menjadi kehilangan keseimbangan badan hingga
tubuhnya rada sempoyongan. Cepat sekali Bwe-hong
menendang, tak terduga Thian-bong Siansu masih bisa
mencelat ke atas setinggi lebih dua tombak, lalu dengan kain
jubahnya yang masih dipegang itu kembali menubruk pula dari
atas. Thian-bong Siansu adalah Sute atau adik-guru dari Thianliong
Siansu, cikal-bakal Thian-liong-pay di Tibet Sejak
dikalahkan Njo Hun-cong 20 tahun yang lalu, ia kembali ke
Tibet dan giat melatih diri, setelah lewat 20 tahun, sudah
tentu kepandaiannya sudah jauh lebih maju, maka sesudah
saling gebrak dengan Leng Bwe-hong masih belum ada tanda
bakal kalah. Sementara itu Bu Ging-yao yang tidur sekamar dengan Ie
Lan-cu, setelah lewat tengah malam masih belum terjadi apaapa
maka ia berkata, "Mungkin akal Pho-pepek ini tiada
berhasil, belum tentu musuh mau masuk perangkapnya"
"Tapi tiada jeleknya kita berjaga," ujar Lan-cu. "Di luar ada
Leng-tayhiap yang meronda, bila musuh benar-benar datang,
mungkin belum sampai menerobos masuk kampung sudah
kena dibereskan olehnya masakah kita punya bagian lagi?"
kata Ging-yao pula.
Karena sudah tiga malam berturut-turut berjaga, maka
Ging-yao rada letih dan mengantuk. Sebaliknya Ie Lan-cu
tetap mengumpulkan semangat menjaga dengan pedang
terhunus. Selang tak lama ketika Lan-cu merasa mengantuk, tiba-tiba
tercium olehnya ada bau wangi yang sayup-sayup tertiup
masuk dari luar hingga membikin orang mabuk.
"Celaka!" teriak Lan-cu mendadak. Dan saat itulah dari luar
lantas melompat masuk dua orang melalui jendela
"Hahaha, inilah dia, dua nona cantik berada di sini semua!"
kata seorang di antaranya dengan suara banci sambil tertawa.
Nyata ialah Hek Hui-hong.
Dalam pada itu cepat sekali pedang Lan-cu sudah menusuk
dan ketika Hek Hui-hong menangkis dengan kipasnya
mendadak terdengar suara gemerincing, rusuk kipasnya telah
terta-bas kutung semua, berbareng beberapa puluh jarum
lembut yang tersembunyi di dalam kipas itupun menyambar
keluar. Tapi Lan-cu memutar pedangnya hingga semua jarum
itu tergoncang balik.
Sama sekali Hek Hui-hong tak menduga Ie Lan-cu bisa
begitu lihai, keruan ia menjadi kelabakan malah melayani
jarum sendiri yang hendak makan tuannya itu.
Dari samping lekas Sian Hun-ting mengebas lengan
bajunya hingga jarum-jarum itu tersapu jatuh, menyusul
tubuhnya mendadak melompat ke atas dengan tipu 'Jong-engbok-
tho' atau elang tua menyambar kelinci, lihai sekali Bu
Ging-yao hendak dijambretnya.
Sebagai seorang ahli silat yang selamanya waspada, baru
saja Ging-yao layap-layap mengantuk tadi, karena keributan
itu segera ia pun sadar kembali, cuma pandangannya menjadi
rada kabur dan tenaga seakan hilang, ketika jambretan Sian
Hun-ting tiba, dalam ancaman bahaya itu tiba-tiba Ging-yao
ingat pada tipu lihai yang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li yang
disebut 'Bu-siang-toat-beng' atau setan jahat mencabut
nyawa, cepat ia menjatuhkan diri ke lantai, dan kedua kakinya
terus menendang 'Pek-ji-hiaf di lutut musuh.
Ketika Sian Hun-ting mengkeretkan tubuh menghindarkan
tendangan itu, segera juga Bu Ging-yao menggelinding pergi
ke samping. Dalam pada itu dari belakang pedang Ie Lan-cu
telah menusuk pula Tanpa membalik, Sian Hun-ting meraup
ke belakang, kelima jarinya bagai catok hendak menangkap
pergelang-an tangan si gadis. Namun Lan-cu pun tidak kalah
cepatnya, sedikit memutar ke samping, kembali ia menusuk
lagi. Tapi Sian Hun-ting juga gesit luar biasa, ketika kipasnya ia
gunakan, tahu-tahu iga si gadis hendak ditotoknya pula
Sementara itu Lan-cu merasakan kepalanya sakit seakanakan
pecah, meski ilmu pedangnya amat bagusnya, tapi untuk
melawan Sian Hun-ting sesungguhnya tak sanggup lagi,
terpaksa ia harus main berkelit terus.
Melihat gadis itu sudah menghisap asap dupa pemabuk
masih begitu hebat ilmu silatnya, mau tak mau Sian Hun-ting
terperanjat juga
Di lain pihak Hek Hui-hong telah menggunakan kesempatan
baik itu hendak menggerayangi Bu Ging-yao. Tapi belum
tangannya menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar di
luar jendela ada suara tertawa dingin orang. Menyusul mana
tahu-tahu Hek Hui-hong sendiri yang terjungkal malah.
Sebagai jagoan, cepat luar biasa Sian Hun-ting mengayun
tangannya, satu sinar emas mencelat kembali keluar hingga ia
terhindar senasib dengan sang kawan, habis itu segera ia pun
membentak, "Perempuan keparat, berani membokong?"
Saat itu Ciok-toanio yang menyambitkan senjata rahasia
anting emas dari luar itu sudah bisa berkelit terhadap anting
yang disampuk balik oleh Sian Hun-ting tadi itu. Dalam pada
itu bagai burung Hun-ting sudah melayang keluar jendela
juga. Tentu saja Ciok-toanio tidak membiarkan orang lolos,
kontan ia sambut musuh dengan sekali bacokan ke atas
kepala dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai.
Namun Sian Hun-ting ternyata tidak berkelit, sebaliknya
terdengar ia menggertak, "Kena!" Berbareng itu kipas bajanya
malah digunakan menotok pergelangan tangan Ciok-toanio.
Ciok-toanio bukanlah lawan lemah, ia tertawa dingin sambil
menarik kembali pedangnya dan lantas membabat pula dari
jurusan lain, dalam sekejap saja beruntun ia sudah
memberondong musuh dengan empat kali serangan.
Baru kini Sian Hun-ting kenal lihainya nyonya tua ini, ia
terperanjat, dan segera hendak angkat langkah seribu alias
kabur. Namun belum ia melangkah jauh, dari pojokan yang gelap
mendadak muncul seorang tua berpakaian rajin bagai kaum
cendekiawan yang lemah gemulai, dan berjenggot panjang
melambai. Tanpa bicara Sian Hun-ting mengangkat kipas bajanya
lantas menotok, orang tua itu menggeraki pedangnya pelahan,
tetapi membawa tenaga tersembunyi yang luar biasa
besarnya. Begitu kipas Sian Hun-ting menempel pedang,
segera ia berpikir hendak membarengi dengan tipu 'Sun-cuitui-
ciu' atau mendorong perahu menurut arus air, yakni
mendorong kipas ke atas untuk memotong jari tangan lawan.
Tak ia duga, kipasnya ternyata seperti melekat pada
pedang lawan, jangan kata disurung memotong ke atas,
sedang untuk menggeser saja susah. Lekas Sian Hun-ting
mengumpulkan seluruh tenaganya, kipasnya ia coba tarik,
berbareng mana ia menyerang pula dengan satu tipu 'Kim-najiu'
atau gerakan mencekal dan menangkap, dengan begitu ia
dapat melepaskan diri, lalu tubuhnya melesat, segera ia pun
melompat turun.
Si orang tua itu adalah Pho Jing-cu. Dengan senyum simpul
tersungging di bibirnya, bersama Ciok-toanio segera mereka
mengejar musuh.
Dan ketika Sian Hun-ting melompat ke bawah, baru saja
menancapkan kakinya di bawah loteng, tahu-tahu ia sudah
dinantikan oleh Hui-ang-kin. Dengan pecut panjang yang
diayunkan hingga menerbitkan suara keras, segera Hui-angkin
hendak melilit kipas baja Sian Hun-ting.
Dengan ilmu silatnya yang memang cukup sempurna, Sian
Hun-ting menangkis beberapa kali serangan, akan tetapi lebih
dari itu, ia sudah merasa payah sekali, ia mengerti tak akan
ung-gulan buat melawan terus, maka tiba-tiba jarinya
menekan kipasnya yang mempunyai alat rahasia beberapa
anak panah beracun secepat kilat lantas menyambar.
Waktu Hui-ang-kin menyabet dan menyapu dengan
pecutnya untuk membersihkan serangan panah itu, dengan
cepat Sian Hun-ting telah melompat pergi pula, dan selagi ia
hendak menerobos keluar pintu, tiba-tiba terdengar suara
gertakan, berbareng mana muncul seorang tua beroman
merah, orangnya belum sampai, tapi kakinya telah melayang
lebih dahulu, kedua kalanya beterbangan menendang dengan
'Lian-goan-wan-yang-tui', hingga Sian Hun-ting dipaksa
mundur ke dalam lagi.
Orang yang muncul mendadak ini bukan lain daripada Ciok
Thian-sing. Melihat sekelilingnya penuh dengan jago-jago yang jarang
ditemui selama hidupnya, Sian Hun-ting mengerti bahaya apa
yang bakal menimpa dirinya, namun sebaliknya ia lantas
tinggal diam berdiri saja dengan kipasnya melintang di dada,
kemudian dengan bergelak tertawa ia berkata, "Haha, menang
dengan mengandalkan orang banyak, aku Sian Hun-ting
hanya punya satu kepala, jika kalian menginginkan, sekali-kali
aku takkan berkerut kening."
Akan tetapi Pho Jing-cu, Ciok-toanio, Hui-ang-kin dan Ciok
Thian-sing bungkam, mereka tidak menggubris ocehan orang,
melainkan terus berdiri di empat penjuru.
"Hm, jangan kau jual lagak," mendadak terdengar suatu
suara seram menggema di pinggir telinga memecah
kesunyian. "Cukup bila kau mampu menerima tiga kali
seranganku, segera aku akan melepaskanmu, pasti tidak
mempersulit" Suara itu kecil, tetapi menusuk telinga, tiap
perkataannya sangat jelas.
Sian Hun-ting memandang dengan mata membelalak, tapi
ia hanya mendengar suaranya dan tak nampak orangnya. Dan
ketika ia sedang heran dan terkejut, mendadak suara aneh itu
menggema pula di pinggir telinganya. "Sepasang mata
anjingmu yang lamur ini, mana bisa kau melihatku."
Dan baru suara itu lenyap, tiba-tiba di tengah-tengah
kalangan telah bertambah seorang tua kurus kecil.
Orang ini ialah Sin Liong-cu, ia berperawakan pendek kecil,
gerak tubuhnya aneh dan cepat, secara mendadak ia telah
menongol di tengah kalangan, keruan saja membikin Sian
Hun-ting sangat terperanjat.
Sian Hun-ting sudah biasa malang melintang selama
beberapa puluh tahun di Kanglam, dengan sendirinya adalah
ahli dalam membedakan 'kwalitet' orang, maka ia pun tahu Sin
Liong-cu mempunyai latihan Lwekang yang mendalam sekali,
cukup tentang kemahiran cara mengumandangkan suara tadi,
belum tampak orangnya, suaranya telah menggema di pinggir
telinga erang, kekuatan dalam ini saja sudah sampai di
puncaknya yang belum pernah ia jumpai.
Tetapi Sian Hun-ting sendiri juga mempunyai keuletan
latihan selama beberapa puluh tahun, walaupun ia tahu
dirinya bukan tandingan Sin Liong-cu, tetapi kalau untuk tiga
gebrakan atau serangan saja betapapun kau tak nanti bisa
merobohkan aku, demikian pikirnya.
Setelah mengambil keputusan itu, maka dengan suara
lantang segera ia membentak, "Betulkah katamu tadi?"
"Siapa yang berguyon denganmu," sahut Sin Liong-cu.
"Nah, hitunglah yang betul, serangan pertama segera aku
akan membuatmu menubruk tanah."
Menyusul itu, tiba-tiba Sian Hun-ting merasa bayangan
orang berkelebat di depannya, lengan baju Sin Liong-cu yang
panjang lebar beterbangan mirip tangan raksasa dari atas
lantas menyambar ke mukanya berbareng mana sikut kirinya
pun menyodok ke dada dan kakinya menendang ke lututnya
Serangan aneh dari Sin Liong-cu ini, sekaligus telah
menyerang tiga tempat lawan, bagian atas, tengah dan
bawah, untuk bisa menghindarinya tiada jalan lain terkecuali
harus menggunakan gerakan 'Gun-te-tong' atau bergulung di
tanah, salah satu dari gerakan
'Yam-Jing Capwe-hoan' atau delapan belas jumpalitan dari
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yan Jing, lebih dari itu tiada jalan lain lagi buat
menghindarkan serangan tadi.
Oleh karena itu, Sian Hun-ting tak sempat berpikir panjang
lagi lantas merobohkan diri menggelundung ke bawah untuk
kemudian disusul dengan satu gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau
ikan lele meletik, lalu ia pun bangkit kembali.
Dengan begitu ia betul-betul telah dibikin menubruk tanah
seperti dikatakan Sin Liong-cu tadi.
Dalam pada itu suara aneh tadi kembali menggema pula
"Dan kini serangan kedua akan membikin kau bolak-balik
berputar!"
Belum Sian Hun-ting tenang oleh serangan tadi, tiba-tiba
tertampak Sin Liong-cu dengan tangan kiri mengepal dan
tangan kanan mengulur jari sedang kaki kiri agak berjinjit,
dengan gerakan 'Kim-keh-tok-lip' atau ayam emas berdiri satu
kaki, telah berdiri di sampingnya dengan kepalan siap untuk
memukul ke dada dan jarinya mengarah ke bawah iga,
kakinya yang berjinjit berubah dengan gerakan "Sip-ji-pai-iian'
atau menyebar teratai ke empat penjuru, dengan kuda-kuda
yang siap sedia ini dapat segera dibuat menendang
selangkangan atau mendupak perut, asal sekali bergerak saja
segera bisa membuat musuh roboh tak berkutik.
Sian Hun-ting mengerti bahaya yang mengancam jiwanya,
terpaksa berdiri tak bergerak, seperti tidak bersiap-siap, tetapi
sebenarnya berjaga-jaga dengan ilmu silat yang tinggi untuk
melindungi seluruh tubuhnya
Tetapi Sin Liong-cu tertawa dingin, ia melembungkan dada
dengan lagak seperti hendak menubruk maju. Karena itu Sian
Hun-ting mengira dirinya akan diserang, secepat kilat ia
memutar kakinya, dan betul saja ia telah berputar bolak-balik
yang sebenarnya adalah gerakan ' Pat-kwa-yu-bin-hoat' atau
berputar tubuh menurut pat-kwa, untuk melayani serangan
musuh yang serentak. Dan kecuali gerakan ini, memang tiada
jalan lain lagi untuk mengelakkan serangan.
Tak tahunya Sin Liong-cu tadi hanya bergerak pura-pura
saja, ia tidak menubruk sungguhan, tapi ia menunggu setelah
Sian Hun-ting sudah agak lambat memutar tubuhnya
barulah mendadak ia menggertak pula, "Sekarang serangan
ketiga segera akan kulemparkan kau keluar pintu!"
Setelah itu kedua tangannya bergerak, secepat kilat di
antara angin pukulan dan bayangan tubuhnya, sekonyongkonyong
terdengar Sian Hun-ting menjerit terus mencelat
pergi beberapa tombak jauhnya Sungguhpun begitu, dalam
keadaan bahaya itu, masih sempat juga Sian Hun-ting
melontarkan satu serangan balasan yang lihai, diam-diam ia
mengumpulkan tenaganya untuk menghancurkan kipasnya
sendiri, dalam mana belasan panah beracun segera
menyambar ke arah Sin Liong-cu semua.
Sin Liong-cu tidak menduga bahwa musuh masih bisa balas
menyerang, maka ia pun terkejut, lekas dengan tipu 'It-hochiong-
thian* atau burung bangau menjulang ke langit, ia
meloncat tinggi ke atas.
Pada kesempatan itulah Sian Hun-ting kabur keluar yang
segera dikejar oleh Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin dengan
kencang. Kembali mengenai Leng Bwe-hong yang sedang menempur
Thing-bong Siansu dengan sengit itu, karena se tanding dan
sembabat, maka sudah lama masih belum tampak siapa
unggul atau asor.
Lama-lama Leng Bwe-hong menjadi tak sabar, ia
mengubah gerak tubuhnya, sepotong robekan jubah orang
yang diso-beknya tadi ia puntir kencang hingga mirip sepotong
toya pendek, ia memainkan kiam-hoat yang baru saja dapat
dipelajarinya dari sang guru di waktu akan wafat itu.
Kiam-hoatnya yang baru ini ternyata sangat hebat, ia
memainkan menurut gerakan senjata tajam, potongan toya
dan kasa atau jubah padri itu di tangannya lantas mirip seperti
sebatang pedang yang bisa menusuk, membabat dan
membacok. Sampai suatu saat yang menentukan, tiba-tiba terdengar
suara robekan yang keras, sepotong jubah di tangan Leng
Bwe-hong itu telah dapat melilit bagian lain yang ada pada
Thian-bong Siansu. Ketika Bwe-hong memuntir dengan kuat,
tahu-tahu potongan jubah di tangan Thian-bong hancur
menjadi robekan kain yang kecil.
Bwe-hong masih tidak berhenti, mendadak ia menghantam
pala dengan sebelah tangannya, menyusul itu terdengarlah
jeritan ngeri Thian-bong Siansu, ia terus membalik tubuh dan
segera hendak kabur. Dan selagi Bwe-hong bermaksud
mengejar, pada saat itulah ia merasa dari belakang ada angin
berkesiur, maka ia urung mengejar, sebaliknya ia
membalikkan tangannya lantas menghantam ke belakang.
"Aduh!" terdengar jeritan orang di belakangnya Sebaliknya
Leng Bwe-hong pun merasa tenaga orang ini sangat besar.
Kiranya orang ini bukan lain ialah Sian Hun-ting yang
hendak buron dengan dikejar Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin.
Karena pukulan Leng Bwe-hong tadi, seluruh tubuhnya
menjadi lemas sakit, belum beberapa langkah ia berlari, Pho
Jing-cu sudah keburu menyandaknya, jarinya menotok dan
segera Sian Hun-ting dibikin tak berdaya dan terguling.
Dalam pada itu, dengan membawa kedua muridnya, Thianbong
Siansu berhasil kabur.
Karena harus menempur Thian-bong dengan sengit, Bwehong
menjadi lengah sehingga Sian Hun-ting dapat
menerobos masuk ke kampung, ia lalu minta maaf pada Pho
Jing-cu. "Dua penjahat sudah dapat ditangkap, buat apa Leng-tayhiap
memikirkan lagi," kata Jing-cu. Habis itu mereka beramairamai
lalu menggiring Sian Hun-ting kembali ke dalam
kampung. Sementara itu Ciok-.toanio sedang duduk di ruangan
tengah dan memeriksa Hek Hui-hong. Setelah berada di
dalam, Pho Jing-cu menekan pundak Sian Hun-ting dengan
kedua tangannya sambil menggertak.
"Untuk tujuan apakah kalian datang ke barat-laut sini?"
tanyanya "Dan mengapa berani menerobos ke Bu-keh-ceng
sini" Lekas kau mengaku, kalau tidak, kedua tanganku sedikit
bertenaga saja aku akan meremukkan tulang pundakmu dan
memusnahkan ilmu silatmu dahulu!"
Sian Hun-ting mengenal Pho Jing-cu sebagai tokoh ternama
dari Bu-kek-pay, karena itu ia lantas berteriak, "Pho Jing-cu,
tak perlu kau mendesakku!" Setelah itu ia memandang
sekejap pada Hek Hui-hong yang diringkus itu, kemudian ia
berkata pula dengan menghela napas panjang. "Pendeknya,
binatang inilah yang membikin celaka aku!"
Habis mana, sekuatnya ia mengunyah lidahnya sendiri, dan
setelah menjerit beberapa kali, ia menyemburkan darah dan
roboh terguling, nyata ia telah membunuh diri.
Pelahan Pho Jing-cu menghela napas, mendadak ia teringat
sesuatu, ia mengulur tangan dan meremas ke bawah
rahangnya Hek Hui-hong. Keruan saja yang disebut
belakangan ini menjerit kesakitan karena giginya telah rompal
semua oleh remasan keras Pho Jing-cu, dan darah bercampur
gigi yang rontok itu ia muntahkan ke tanah.
Kiranya Pho Jing-cu kuatir kalau Hek Hui-hong meniru cara
Sian Hun-ting menggigit lidah sendiri untuk membunuh diri,
maka ia telah mendahului meremas rahangnya
"Lebih baik kau bunuhlah aku!" jerit Hek Hui-hong saking
sakitnya. Akan tetapi Pho Jing-cu malah menepuk tengkuknya sambil
menggertak pula "Kau mau mengaku atau tidak?"
Karena tepukan itu, Hek Hui-bong menjerit ngeri, suara
perkataannya menjadi samar-samar tapi masih bisa ditangkap
apa yang dikatakannya. Katanya "Aku datang ke daerah
perbatasan ini terpaksa oleh karena diuber-uber Ciok Cin-hui
dan Beng Bu-wi. Dan Thian-bong Siansu yang menyuruh kami
ke sini!" "Thian-bong yang menyuruhmu ke sini?" tanya Bwe-hong.
"Ke sini untuk keperluan apa?"
Hek Hui-hong bungkam, ia tidak menjawab pertanyaan
orang, ia hanya memandang sekejap ke arah Bu Ging-yao
untuk kemudian menundukkan kepalanya. Karena itu, Bu
Ging-yao menjadi merah mukanya ia menjadi gusar juga,
dengan sekali gablok ia memukul remuk batok kepala Hek
Hui-hong. "Ya, nona Bu, memang tak bisa menyalahkanmu yang
menjadi gusar, tapi masih terlalu murah bagi jahanam ini,"
kata Bwe-hong tertawa Ketika mayat Hek Hui-hong digeledah,
dapat diketemukan sepucuk surat yang Thian-bong kirim
padanya isinya menyuruh dia mengacau ke Bu-keh-ceng,
kemudian membawa surat itu pergi menemui Coh Ciau-lam.
72$ 729 Kiranya Coh Ciau-lam juga tahu bahwa Bu Goan-ing telah
mendirikan perkampungan pula di padang rumput, tetapi ia
pandang arang sebagai 'penyakit kulit' yang tak berarti, maka
ia tidak ingin membereskannya sendiri, ia minta Thian-bong
dan kawan-kawannya yang membereskan Bu-keh-ceng.
Sebaliknya Thian-bong Siansu telah berkomplot pula dengan
Sian Hun-ting yang sementara itu juga telah buron sampai di
daerah perbatasan ini, ia minta Sian Hun-ting dan kawankawan
pergi menyelidiki dahulu. Tak tahunya Hek Hui-hong
menjadi nekat karena tabiatnya yang memang suka akan
paras elok, pada hari pertama ia masuk perkampungan itu, ia
telah melihat Bu Ging-yao. Karena itu tidak sempat menunggu
kedatangan Thian-bong Siansu, ia lantas mendatangi
kampung itu malam-malam bersama Sian Hun-ting dengan
maksud akan 'petik bunga'. Tetapi ia hampir dibacok mampus
oleh Bu Goan-ing, beruntung ada panah beracun Sian Hunting,
sehingga bisa menyelamatkan diri.
"Waktu untuk kedua kalinya mereka kembali lagi hendak
main gila sesudah bergabung dengan Thian-bong, mereka
telah membagi dalam dua kelompok. Tak terduga lagi
terbentur pula dengan banyak ahli silat dan akhirnya tamatlah
riwayatnya. "Melihat cara Coh Ciau-lam mengumpulkan orang pandai
dari berbagai penjuru, agaknya tidak terlalu lama lagi pasukan
Boan tentu akan menjajah kemari secara besar-besaran, kita
harus berjaga-jaga dengan baik," ujar Bwe-hong akhirnya
sesudah berpikir sejenak.
"Besok aku segera akan memerintahkan orang pergi
mengundang semua kepala suku bangsa di Sinkiang selatan
dan tunduk pada perintah Li-kongcu," segera Hui-ang-kin
berkata dengan bersemangat.
"Pahlawan wanita kita telah bersedia mencurahkan
tenaganya kembali, itulah bagus sekali, aku bersedia
menyumbangkan seluruh tenagaku yang tak berarti sebagai
perintis," kata Li Jiak-sim merendah sambil menghormat.
"Kalian tak usah saling sungkan pula," kata Bwe-hong
tertawa. "Semua orang telah letih dalam beberapa hari ini,
baiknya besok saja dirundingkan lagi."
"Kalian semua adalah orang-orang yang selalu sibuk
dengan apa yang disebut urusan negara, sebaliknya aku
adalah orang yang sudah biasa hidup sepi dan menganggur,
mengenai urusan kalian itu sedMtpun aku tidak tertarik," tibatiba
terdengar Sin Liong-cu berkata dengan kerlingan matanya
yang aneh. "Maka aku akan kembali ke Thian-san saja untuk
meyakinkan ilmu pedang. Nah, maafkan aku tidak tinggal lebih
lama lagi."
Akan tetapi segera ia ditahan Leng Bwe-hong. "Sin-toako,
jika kau akan pulang juga tak perlu harus buru-buru,"
katanya. "Tunggulah sampai besok, aku masih ada sesuatu
yang akan kuberitahukan padamu."
"Ya, sudah, mengingat kau pernah menolong jiwaku, aku
menurut kau," ujar Sin Liong-cu. "Tetapi kalau kau ingin aku
ikut campur urusan tetek-bengek, itulah aku tidak sudi."
Dan semalam telah lewat pula, besok paginya, baru saja
fajar menyingsing, Ie Lan-cu sudah berjalan-jalan di lapangan
rumput di luar kampung.
Sesudah turun gunung, perasaan si gadis menjadi bergolak,
padang rumput luas di Sinkiang ini adalah tempat perjuangan
mendiang ayahnya dahulu, boleh dikata selama hidupnya
ayahnya melewatkan di padang rumput Oleh karena itu,
terhadap padang rumput luas di Sinkiang, ia pun merasa ada
semacam kesan yang mendalam sekali yang susah diutarakan,
mirip seperti perasaan terhadap ayahnya.
Pagi sekali ia sudah bangun, perlunya ialah untuk menanti
Leng Bwe-hong buat mengutarakan rasa rindunya kepada
ayahnya almarhum dan perasaan sayangnya terhadap padang
rumput Selagi Ie Lan-cu termenung melamun sendirian, tibatiba
dilihatnya di padang rumput itu ada seorang lain lagi yang
juga sedang berjalan-jalan sendirian, waktu ia mendekatinya,
orang itu telah memanggilnya, "Lan-cu, demikian pagi kau
sudah bangun!" Orang ini ternyata Thio Hua-ciau adanya.
Maka pemuda itupun berlari-lari memapak si gadis. Sesampai
di depan Lan-cu, mendadak ia berdiri tegak dan memandang
terkesima. "Eh, apakah kau menjadi gendeng, apa yang kau lihat?"
tanya Lan-cu heran.
"Rambutmu, Lan-cu, rambutmu ini" seru Hua-ciau tiba-tiba.
Lan-cu menjadi bingung, ia membelai rambutnya sendiri
dengan tak mengerti. "Rambutku" Rambutku kenapa?"
tanyanya. "Rambutmu sudah hitam semua, seujung rambut putih jua.
tiada lagi!" teriak Hua-ciau pula kegirangan.
Setelah itu, ia menarik gadis itu bercermin ke tepi sebuah
kolam, maka jelas terlihat rambut yang hitam gombyok
mengkilap. Karena itu, Lan-cu sendiri terkesima hingga tak
sanggup berkata-kata.
"Adik Lan, sungguh kau manis sekali!" kata Hua-ciau
memuji sambil memegang tangan si gadis dengan mesra.
Tak terduga tiba-tiba terdengar Lan-cu menghela napas.
"Peduli apa rambut putih atau rambut hitam, semua itu tiada
pengaruhnya atas diriku," demikian katanya "Rambut putih tak
usah sedih dan rambut hitam pun tak perlu dibuat-girang,
yang pasti ialah aku harus mengikuti jejak Hui-ang-kin."
Thio Hua-ciau menjadi heran mendengar kata-kata orang.
"He, bukankah kau telah lari keluar dari pegunungan sunyi itu
karena kau tidak ingin dikurung olehnya?" tanyanya cepat.
"Nyata sedikitpun kau tak memahami aku, juga tidak
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memahami Hui-ang-kin," kata Lan-cu. "Kini Hui-ang-kin sudah
bukan Hui-ang-kin yang dulu lagi, aku dan dia kini sudah tidak
berada di pegunungan sunyi lagi, tetapi berada di padang
rumput. Kini aku sangat menjunjung dan menghormati dia,
sama seperti aku menghormati Leng-sioksiok."
Kiranya sesudah mengalami pukulan hebat oleh peristiwa
dulu itu, Lan-cu telah terpengaruh oleh perkataan Leng Bwehong
hingga diam-diam telah lari dari Thian-san. Cinta
kasihnya terhadap Thio Hua-ciau walaupun belum lenyap,
tetapi rasa cintanya sudah diselimuti oleh suatu perasaan lain
yang luar biasa perasaan itu ialah perasaan cinta terhadap
padang rumput, ia akan mewarisi cita-cita ayahnya untuk
menolong dan menghindarkan rakyat penggembala di padang
rumput dari penderitaan.
Begitulah cita-cita itu telah membakar jiwanya rindu kasih
terhadap mendiang ayahnya yang mendalam itu telah
merebut hatinya, rasa cinta asmaranya sebaliknya telah
terdesak ke sudut lain. Maka kini ia belum sempat
mempersoalkan cinta asmara, tentang rambutnya yang putih
telah kembali menjadi hitam, lebih-lebih tidak mendapat
tempat di hatinya.
Maka Hua-ciau terdiam dengan paras muram, tetapi pelahan
ia pun dapat memahami perasaan kekasihnya itu.
"Adik Lan, mengertilah aku sekarang!" katanya kemudian
sambil menarik tangan si gadis. "Waktu ayahku tewas di
tangan musuh, hatiku tatkala itu juga penuh api yang
berkobar-kobar ingin membalas dendam tanpa memikirkan
hal-hal lain. Tetapi, bila kita selalu berada bersama toh itu
juga tidak merintangi perjuangan kita."
Karena kata-kata terakhir ini paras Lan-cu agak kemerahan.
"Sudahlah! Lihat itu, Leng-sioksiok telah datang!" katanya
sembari melepaskan tangan orang.
Ketika itu terlihat Leng Bwe-hong berjalan berendeng
bersama Sin Liong-cu sedang menuju lapangan rumput, tak
lama kemudian tertampak Pho Jing-cu dan yang lainpun
menyusul datang.
"Pagi sekali, Lan-cu," sapa Bwe-hong waktu nampak si
gadis. Dan ia pun tersenyum melihat juga Hua-ciau berada di
situ. Tetapi bila melihat Hua-ciau bermuka muram tak berkatakata,
Bwe-hong merasa heran juga
"Leng Bwe-hong, kau mengajakku ke sini ada urusan apa,
lekas katakan!" sementara terdengar Sin Liong-cu bertanya
Tapi Bwe-hong tak menjawab, hanya diambilnya pedang
yang menyelip di pinggangnya dan diangsurkan pada Sin
Liong-cu, "Coba lihatlah, bagaimana pendapatmu tentang
pedang ini?" katanya kemudian.
Sin Liong-cu mengamati pedang itu dengan teliti, habis itu
ia menyentilnya beberapa kali sambil bersiul panjang, "Ini
adalah pedang pusaka golongan Thian-liong-pay di Tibet,
darimana kau bisa memperolehnya?" tanyanya kemudian.
"Kiranya kau juga kenal asal-usul pedang ini," kata Bwehong
tertawa. "Apakah kau suka akan pedang ini?"
"Jika pedang ini berada di tangan si kepala gundul Thianbong
itu, mungkin aku akan merebutnya," ujar Sin Liong-cu.
"Tetapi kini berada di tanganmu, tak nanti aku merebutnya"
"Kalau memang kau suka, boleh lantas kuberikan nadamu!"
ujar Bwe-hong tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh?" Sin Liong-cu menegas dengan ragu.
"Tentu saja Hanya sebatang pedang, apa yang perlu
disayangkan" Aku selamanya tak pernah menggunakan
pokiam, juga tak pernah dikalahkan orang!" kata Bwe-hong
pula Tiba-tiba Sin Liong-cu mengayunkan pedang di tangannya
itu sambil biji matanya yang aneh itu berputar. "Ha, Leng
Bwe-hong, agaknya kau kuatir aku tidak mau menerima
pedang ini, lantas kau sengaja memancing aku," serunya
kemudian. "Baik, aku terima kebaikanmu ini, tapi tetap aku
masih akan bertanding pedang denganmu!"
"Bagus! Kita boleh bertanding sekarang juga," Bwe-hong
menerima tantangan itu. "Kita berhenti asal salah satu bisa
me-nutul dan tak usah memikirkan tentang kalah atau
menang." Sementara itu Kui Tiong-bing telah membawakan satu
ember kapur. Leng Bwe-hong mengeluarkan 'Jing-kong-kiam'
yang biasa ia pakai, lantas ia mencobloskan ke dalam kapur,
kemudian melompat pergi sambil berseru, "Nah, marilah sini!"
Nampak mereka akan bertanding, le Lan-cu dan Bu Gingyao
terheran-heran, hanya Pho Jing-cu yang tersenyum saja
sambil mengelus jenggotnya
Leng Bwe-hong tahu ilmu silat Sin Liong-cu sangat tinggi,
lebih-lebih paling belakang ini ia telah memperoleh pelajaran
Tat-mo-kiam-hoat pula, kalau tidak diuruk dengan budi dan
diatasi dengan kewibawaan, tak mungkin bisa
menaklukkannya Oleh karena itu, sesudah diberi pedang, ia
tepat pula dengan janji yang dulu untuk bertanding pedang
dengan orang. Pho Jing-cu sudah berpengalaman, sudah tentu ia dapat
menangkap maksud Leng Bwe-hong. Adalah sebaliknya Ie
Lan-cu dan Bu Ging-yao diam-diam kuatir, mereka pernah
menyaksikan ilmu silat Sin Liong-cu yang lihai, dengan berdua
mereka mengeroyok saja masih tak bisa mengalahkan Sin
Liong-cu yang bertangan kosong. Kini Sin Liong-cu bertambah
memakai pedang, tentu saja seperti harimau tumbuh sayap,
mereka kuatir Leng Bwe-hong tak sanggup melawannya
Oleh karena kekuatiran mereka, maka mereka bersiap
berdiri di luar kalangan agar bila perlu segera memberi
pertolongan. Begitulah dengan pedang melintang di dada Sin Liong-cu
berdiri berhadapan dengan Leng Bwe-hong, kedua matanya
memandang tak berkedip, tetapi lama sekali masih belum
tampak mereka bergebrak.
Selagi semua merasa heran oleh sikap mereka itu,
sekonyong-konyong Sin Liong-cu duduk ke bawah malah,
dengan cepat ujung pedangnya mencukil ke atas, segera Leng
Bwe-hong tekan pedangnya menahan serangan lawan, tetapi
secepat kilat Sin Liong-cu lantas berputar beberapa kali di
bawah. Gerak serangan kilat ini, kecuali beberapa orang
tertentu, yang lain pada hakikatnya tidak mengetahui bilakah
ia telah bangkit berdiri kembali.
"Tat-mo-kiam-hoat memang ajaib sekali," kata Pho Jing-cu
melelet lidah pada Ciok-toanio. "Dalam gerakan naik-turun
tadi, sekejap saja ia sudah melontarkan belasan serangan
aneh, kalau bukan Leng .Bwe-hong, memang sungguh sukar
untuk menahannya"
Waktu mereka memandang kalangan pertempuran,
keadaan kembali telah berubah, Sin Liong-cu kini mirip seperti
seorang mabuk keras, langkahnya sempoyongan, kadang
melompat ke atas bagai garuda yang hendak menerkam dari
atas, tempo-tempo ia menubruk ke bawah seperti kupu-kupu
menari di antara tangkai bunga, pedangnya menusuk ke kiri
dan menggores ke kanan, kelihatannya bukan cara orang
bersilat, tetapi sebenarnya tiap gerakannya membawa banyak
perubahan. Di pihak lain Leng Bwe-hong melayani lawannya dengan
tenang, ia memainkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang
hebat, menyerang sambil berjaga. Kalau menyerang ia
memutar pedangnya demikian kencang, dan kalau berjaga ia
membikin lawannya tak berdaya. Karena itu, Tat-mo-kiamhoat
yang begitu aneh dan hebat tetap tak bisa melukai Leng
Bwe-hong se-dikitpun.
Sampai pada saat Sin Liong-cu sudah tak sabar lagi,
mendadak ia berseru aneh, gerak kiam-hoatnya berubah lagi,
di seluruh penjuru kalangan pertempuran kini hanya tampak
bayangan Sin Liong-cu saja pedangnya bersinar berkilauan
bagai bintang berkelip-kelip di langit dan seperti salju yang
menghambur turun. Dalam keadaan demikian ini, bayangan
tubuh Leng Bwe-bong terkurung rapat oleh sinar pedangnya
bahkan Pk" Jing-cu sekalipun tak bisa lagi melihat jelas entah
dengan cara bagaimana kini Leng Bwe-hong harus menjaga
diri. Jika orang lain menguatirkan Leng Bwe-hong, adalah Sin
Liong-cu sendiri sebaliknya menarik napas dingin.
Kelihatannya Leng Bwe-hong terkurung oleh sinar pedangnya
tetapi sebenarnya dengan kiam-hoat yang tiada taranya Leng
Bwe-hong membalas tiap serangan lawan.
Sin Liong-cu merasa di depannya seperti terbentang
tembok baja dan pagar tembaga yang tak mempan oleh
serangannya, dimana pedangnya sampai, di situ lantas
terbentur kembali oleh suatu kekuatan yang luar biasa
besarnya malahan sebaliknya kadang ia harus menghindarkan
daya melekat dari kiam-hoat Leng Bwe-hong yang hebat
Dengan begitu, pertempuran itu telah berjalan ratusan jurus.
Pandangan orang yang menonton telah menjadi kabur dan
mata berkunang-kunang. Pada saat itu juga, mendadak Leng
Bwe-hong melompat keluar, sedang Sin Liong-cu meloncat
tinggi disusul dengan segalung sinar perak telah menyapu ke
pinggang Leng Bwe-hong.
Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao sama menjerit terkejut
keduanya sama-sama memburu maju, tetapi Ciok Thian-sing
lebih cepat dari mereka, ia mengangkat kedua tangannya dan
mendahului di depan sambil membentak, "Sin Liong-cu,
binatang kau, berani kau mencelakai Leng-tayhiap?"
Tak tahunya belum berhenti suaranya tiba-tiba dilihatnya
Leng Bwe-hong sudah berdiri di tempatnya sambil tersenyum
simpul tenang, sebaliknya Sin Liong-cu bagai ayam jago yang
telah keok, dengan lesu berdiri di tempat sejauh tiga tombak
dari Leng Bwe-bong.
"Kiam-hoat Leng-tayhiap betul-betul hebat aku mengaku
kalah," demikian Sin Liong-cu berkata sambil memberi hormat.
Sungguh tidak kepalang tercengangnya Ciok Thian-sing
hingga mulutnya ternganga tak sanggup bersuara. Waktu ia
menegasi, ternyata di baju Sin Liong-cu terdapat banyak
bintik-bintik putih. Karena inilah baru ia mengerti duduknya
perkara, kiranya bintik-bintik putih itu adalah kapur yang
ditinggalkan oleh ujung pedang Leng Bwe-hong yang telah
kena menotal badannya. Apabila dalam pertandingan tadi
benar-benar Leng Bwe-hong memandang Sin Lioag-cu sebagai
musuh, mungkin jiwa Sin Liong-cu sejak tadi sudah melayang
di bawah pedangnya.
Di lain pihak sambil mengangkat pedangnya melintang di
dada, dengan tersenyum Leng Bwe-hong membalas hormat orang
dan menjawab, "Ah, kiam-hoat Sin-toako juga hebat luar
biasa setelah lebih 300 jurus, barulah kebetulan meleng sekali,
sungguh aku luar biasa kagumnya."
Di antara para penonton itu, ilmu pedang dari Thian-san
yang dipelajari Ie Lan-cu sudah ada delapan bagian masak,
tapi dilihatnya hanya memenangkan sejurus saja Leng Bwehong
telah sanggup meninggalkan belasan tanda di tubuh Sin
Liong-cu dalam waktu sesingkat itu, sungguh ia menjadi
terkejut sampai ternganga sama sekali tak dikiranya ilmu
pedang perguruan sendiri sebenarnya ada begitu hebat
Sesaat itu Sin Liong-cu merasa kagum tak terhingga dan
merasa kikuk juga Ia tak mengerti cara bagaimana harus
bicara pula sekonyong-konyong Ciok Thian-sing membentak
lagi padanya "Sin Liong-cu, laki-laki sejati harus bisa
membedakan budi dan benci, ada budi tak kaubalas, ada
benci tak kautuntut, lalu kau anggap ksatria macam apa
dirimu?" Mendadak Sin Liong-cu berpaling sambil mengangkat
pedangnya membungkuk, "Aku terima petuahmu, Suheng,"
demikian katanya. "Ilmu silat Leng-tayhiap tiada
bandingannya, aku hendak membalas budi susah juga hendak
melakukannya tiada jalan lain aku harus ikut padanya dan
bersedia menerima bantuannya untuk menuntut balas
pembokongan Coh Ciau-lam atas diriku, habis itu segera aku
akan pulang gunung tak kembali lagi"
Thian-sing menjadi kurang senang, ia sangat mendongkol
oleh kebebalan Sin Liong-cu yang tak kenal adat itu.
Dan selagi ia hendak berkata pula, tiba-tiba dari jurusan
lain di padang rumput itu beberapa penunggang kuda sedang
mendatangi secepat terbang, setelah dekat orang itu segera
melompat turun dan memberi hormat ke hadapan Bu GoanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ing sambil melapor, "Pasukan Boan telah masuk daerah
Sinkiang secara besar-besaran!"
Kiranya beberapa orang ini adalah mata-mata yang dikirim
Bu Goan-ing untuk menyelidiki perbatasan, di sana dari atas
Hong-hwe-tay yang tinggi, dari jauh mereka sudah melihat
pasukan besar musuh sedang bergerak masuk Sinkiang, maka
cepat mereka melaporkan.
"Perjalanan pasukan besar sangat lambat, sepanjang jalan
tentu ada partisan penggembala.yang menyergap mereka
juga, maka sedikitnya harus belasan hari barulah mereka bisa
menyerang sampai di sini," kata Pho Jing-cu sesudah berpikir.
"Dan dalam sepuluh hari ini, aku tanggung bisa
menghimpun semua suku-suku bangsa di seluruh Sinkiang
selatan ini," kata Hui-ang-kin.
"Tetapi pihak Bing Lok itulah yang merupakan cacing dalam
perut," kata Bu Goan-ing. "Bing Lok adalah kepala suku Tagar,
dan bersama suku Kazak semuanya menetap di padang
rumput Garsin, di padang rumput ini ada lagi belasan
kelompok suku lain, tapi suku Kazak dan Tagar yang paling
banyak. Meski Bing Lok hanya mendapat dukungan 3-4
kelompok suku saja tapi pengaruhnya cukup besar, bila
pasukan Boan datang, mungkin ia akan mengancam sukusuku
bangsa lain agar tunduk pada perintahnya."
"Aku paling kenal orang Kazak, kami berdua saudara
seperguruan selalu membantu bangsa Kazak bertempur, maka
aku bersedia pergi ke padang rumput Garsin sana," ujar Bwehong
ikhlas. "Biarlah aku menghubungi orang Kazak dulu,
kemudian barulah Bing Lok ditaklukkan ke pihak kita."
Mendengar itu, semua orang menganggap usul Leng Bwehong
itu terlalu berbahaya.
"Pengaruh Bing Lok di sana terlalu besar, kau seorang diri
saja, mungkin akan kena tipu muslihatnya." kata Goan-ing.
"Ha selama hidupku entah sudah berapa banyak bahaya
yang pernah kualami, kenapa harus takut pada seorang Bing
Lok?" sahut Bwe-hong tertawa "Apalagi aku masih mempunyai
banyak kawan orang Kazak."
"Aku sendiri adalah suku Kazak," timbrung Sin Liong-cu
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba, "20 tahun lalu pernah aku berbuat sesuatu yang tak
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pendekar Panji Sakti 15
pula. Di lain pihak ketika Ie Lan-cu melayang lewat, kembali
pedangnya menyambar pula, tapi sedikit menekuk pinggang
Sin Liong-cu bisa berkelit cepat. Tiba-tiba Lan-cu membaliki
pedangnya dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' atau naga sakti
memutar ekor, lagi-lagi ia menusuk ke belakang kepala
musuh. Sin Liong-cu dapat menghindarkan diri pula, tahu-tahu
kedua pedang Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao yang bisa bekerjaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sama telah menyerang datang lagi hingga Sin Liong-cu
terdesak masuk ke parit.
Tapi justru di dalam parit yang sempit inilah Sin Liong-cu
telah mengunjuk gerak tubuhnya yang hebat dan aneh yang
jarang diketemukan di dunia persilatan, yaitu ilmu pelajaran
silat Tat-mo yang sudah lenyap selama ratusan tahun itu, ia
bisa berkelit dan berputar bebas di tempat sempit itu, meski
kedua pedang anak dara itu terus menggempur hebat, namun
masih tetap tak bisa mengenainya. Sebaliknya beberapa kali
Sin Liong-cu bermaksud balas rnerangsek melompat keluar
parit juga tak berhasil.
Ilmu pedang kedua gadis itu, yang seorang memperoleh
ajaran asli dari Pek-hoat Mo-li dan yang lain mewariskan
intisari Thian-san-kiam-hoat dari Hui-bing Siansu, kecuali
masih kurang ulet, dalam hal kebagusan ilmu pedang sudah
tiada taranya, maka Sin Liong-cu hanya sanggup berkelit saja
tak berdaya balas menggempur. Karena itu, mau tak mau ia
harus berperasaan dingin juga, pikirnya, "Jika kedua dara ini
saja aku tak sanggup menang, mana berani aku pergi
menantang Pek-hoat Mo-li?"
Dalam pada itu serdadu musuh telah menggunakan
kesempatan itu untuk menyerbu ke atas bukit hingga seorang
diri Li Jiak-sim rada repot membendung pasukan musuh.
Melihat pemuda itu rada kelabakan, lekas Ging-yao
membalik tubuh dan membabat dua kali dengan cepat hingga
dua serdadu musuh yang berani coba mendekat kena dilukai,
sedang Li Jiak-sim telah berhasil juga merampas sebatang
tombak panjang untuk menusuk dan menghantam musuh.
Tapi justru pada saat Bu Ging-yao membalik tubuh
melayani serdadu musuh tadi, cepat sekali Sin Liong-cu telah
melompat ke atas parit, susul menyusul ia melontarkan
pukulan lihai pula hingga membawa angin keras dan tak dapat
ditahan oleh Ie Lan-cu seorang diri.
Kembali pada Pho Jing-cu dan kawan-kawan yang
terkurung di mercu kuno tadi, setelah lewat tengah malam
dan pulih semangatnya segera didahului Ciok Thian-sing,
mereka terus menerjang keluar.
Karena pasukan Boan itu berjaga secara bergiliran, maka
keluarnya mereka segera diketahui dan beramai-ramai segera
mereka dihujani anak panah hingga terpaksa terdesak mundur
lagi. Tapi segera Pho Jing-cu memberi tanda pada Han Hirig,
bersama-sama mereka lantas menanggalkan baju luar dan
kain baju diputar naik turun cepat bagai dua perisai yang
ampuh hingga anak panah musuh tergoncang pergi
bertebaran. Berbareng itu Ciok-toanio lantas melayang maju
sambil pedangnya menyambar cepat ke dalam pasukan
musuh, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang riuh, siapa
yang berhadapan segera kena dibina-sakannya.
Namun pasukan musuh itu memangnya adalah pilihan,
mereka tidak menjadi kacau, sementara itu beberapa jago
bayangkara segerapun datang mencegat, dalam pertarungan
sengit dan gaduh itu, para pahlawan berhasil merangsek
mundur pasukan musuh, tapi masih tetap terkurung rapat tak
dapat menerjang keluar.
Thian-sing menjadi nekad akhirnya begitu telapak
tangannya bekerja cepat, seorang jago bayangkara seketika
kena dihantam mencelat, bila ia menjambret pula seorang
serdadu musuh kena dipegangnya terus dibuat menyapu dan
menghantam. Keruan saja serdadu musuh menjadi gugup. Sedang Pho
Jing-cu dan Ciok-toanio dari kanan-kiri segera juga menerjang
maju hingga berhasil membobol suatu jalan darah.
Ketika pertarungan memuncak sengitnya dengan suara
teriakan gegap-gempita, tiba-tiba Coh Ciau-lam menerjang
datang. Ciok-toanio menjadi gusar, kontan ia memapaki orang
dengan sekali tusukan. Namun Coh Ciau-lam dapat
menangkisnya dalam sekejap saja kembali Ciok-toanio
melontarkan tiga kali serangan hebat.
Diam-diam Ciau-lam terkejut dan heran, sungguh tak
diduganya kiam-hoat nenek ini bisa begitu lihai. Lekas dengan
gerakan 'Liau-kik-jiau-poh" atau menekuk lutut menggeser
langkah, cepat ia memutar ke belakang Ciok Thian-sing, sekali
pedangnya menyambar, dengan tipu 'Giok-li-coan-ciam' atau
si gadis ayu menyusup jarum, mendadak ia menotok 'Honghu-
hiat' di pundak orang. Cuma Thian-sing sempat
membungkuk ke depan terus memutar ke samping menyusul
kedua kakinya beruntun melayang hendak menendang.
Namun sekali serangan tak kena, secepat kilat Ciau-lam
sudah menyelinap lewat di samping Thian-sing, menyusul
mendadak ia menyerang pula tapi giliran Han Hing yang dia
arah. Dengan sekuatnya Han Hing mengangkat tongkatnya
menangkis, didahului suara "trang" yang keras, tahu-tahu
ujung tongkatnya sudah tertabas sebagian, sebaliknya tangan
Ciau-lam pun terasa panas pedas.
Hanya sekejap saja beruntun Coh Ciau-lam telah
menyerang tiga lawan tangguh, Pho Jing-cu menjadi murka
oleh lagak orang. "Pantek dia saja!" bentaknya mendadak.
Habis itu ia memutar pedangnya terus menubruk maju,
segera Ciok-toanio dan Han Hing ikut mengepung dari kedua
sayap. Keruan Ciau-lam terperanjat, lekas ia mundur. Dan karena
serdadu Boan harus melindungi pemimpin mereka terpaksa
mereka pun ikut mundur ke belakang. Sebaliknya para
pahlawan itu berpedoman 'tangkap penjahat harus pegang
benggolannya dulu', maka mereka terus mengincar Coh Ciaulam
seorang saja hingga berhasil juga mereka membobol
suatu jalan darah.
Sembari bertempur Pho Jing-cu dan kawan-kawan berlari,
ketika mendadak didengarnya pula di dekatnya ada suara
teriakan orang bertempur, waktu ia memandang, uba-tiba
terdengar orang berteriak nyaring memanggilnya, "Pho-pepek,
lekas ke sini, lekas!" Nyata suara itu dapat dikenali sebagai
puteri kesayangan sobat kentalnya, Bu Goan-ing, yaitu Bu
Ging-yao. Ketika ia menegasi pula, maka dapat dilihatnya Li Jiak-sim
dan Ie Lan-cu juga berada di situ, ia menjadi girang
bercampur terkejut, mati-matian ia coba menerjang ke sana.
Dengan sendirinya Coh Ciau-lam tidak tinggal diam, segera
ia memburu kembali buat mencegat, beberapa jago
bayangkara cepat juga membanjir datang buat membantu.
Dan karena itu, keadaan segera berubah menjadi ramai, Bu
Ging-yao bertiga terkurung di bukit itu oleh Sin Liong-cu dan
serdadu Boan, kedudukan mereka sangat buruk.
Dalam pertempuran sengit dan gaduh itu, tiba-tiba Han
Hing tak menghiraukan diri sendiri lagi, tongkat bajanya yang
berujung kepala naga ia putar kencang hingga menerbitkan
angin menderu-deru, mati-matian ia coba rnerangsek Coh
Ciau-lam. Sejak Han Hing menggabungkan diri dengan pasukan Li
Lay-hing, oleh karena orang tua ini adalah bekas kawan
pergerakan Li Ting-kok, maka Li Lay-hing dan Li Jiak-sim
memandang orang sebagai angkatan tua dan sangat
menghormat padanya. Bila Han Hing ingat dirinya hampir
tersesat ke jalan yang salah, ia menjadi malu dan berterima
kasih pada kedua saudara Li itu. Kini melihat Li Jiak-sim
terjeblos dalam kepungan musuh, ia pikir usia sendiri sudah
lanjut, ada lebih baik mati-matian mengadu jiwa dengan
musuh dan betapapun juga Li Jiak-sim harus ditolong keluar.
Karena itulah tongkatnya ia putar begitu hebat, setiap ilmu
tongkatnya 'Thian-liong-tiang-hoat' adalah tipu serangan yang
mematikan semua. Dua jago bayangkara mencoba maju
hendak merintanginya, tapi sama sekali Han Hing tak
memikirkan diri sendiri, ia biarkan pundaknya kena dibacok
orang sekali dan dadanya terkena sebuah panah, tapi begitu
tongkatnya menotok, seorang bayangkara segera kena
dirobohkan, menyusul sebelah tangannya menggablok,
kembali batok kepala bayangkara yang lain pecah berantakan.
Begitulah bagai banteng ketaton Han Hing menerjang maju
dengan bermandi darah.
Ciau-lam menjadi gusar, segera ia pun maju memapak,
pedang pusakanya menyambar gemerlapan hebat, namun
sama sekali Han Hing tak gentar, di tengah sinar pedang
orang mendadak tongkatnya terus menyodok. Maka
terdengarlah suara ge-merantang yang keras, tongkatnya
terkurung menjadi beberapa bagian, iganya juga luka tergores
pedang musuh. Sebaliknya Coh Ciau-lam juga kena dihantam
telapak tangannya sekali hingga menjerit kesakitan.
Melihat Han Hing begitu nekad, para pahlawan yang lain
beramai-ramai menerjang maju juga mati-matian.
Sementara itu sekali Ciau-lam menarik diri, secepat kitiran
ia memutar pedangnya, dengan tipu mematikan dari Thiansan-
kiam-hoat mendadak ia membabat dari samping sambil
membentak, "Kau cari mampus!"
Tak terduga, lagi-lagi Han Hing sama sekali tak berkelit dan
menghindarkan diri, bahkan ia malah memapak maju. Maka
tanpa ampun lagi pedang Coh Ciau-lam menembus masuk ke
dada Han Hing, sebaliknya kurungan tongkat Han Hing juga
kena memukul lambung Coh Ciau-lam.
Dengan cepat Ciau-lam masih sempat menjatuhkan diri
terus menggelinding pergi. Di lain pihak darah segar bagai
mata air mancur dari dada Han Hing, orangnya pun
menggeletak ke tanah.
"Lekas kalian pergi menolong Li-kongcu lebih dulu!" teriak
Han Hing waktu Pho Jing-cu hendak membangunkannya.
Habis itu, ia pun menghembuskan napas penghabisan.
Tak tahan air mata Pho Jing-cu bercucuran, ia menjadi
kalap, pedangnya diputar lihai luar biasa. Coh Ciau-lam telah
merasakan dua kali serangan Han Hing tadi, tenaganya sudah
banyak berkurang dan lagi mengatur pernapasannya, maka
tak berani ia mencegat musuh pula.
Karena itu, dengan cepat para pahlawan itu lantas bisa
menerjang ke atas bukit dimana Bu Ging-yao dan kawankawan
terkepung. Melihat kedatangan musuh, kontan Sin
Liong-cu menyambut orang dengan sekali cengkeraman ke
muka Pho Jing-cu. Namun gesit sekali Jing-cu menggeser
pergi ke samping terus balas memotong dengan pedangnya,
sedang Ie Lan-cu dan
Bu Ging-yao berbareng juga mengeroyok dari kanan-kiri,
juga Ciok-toanio tak mau ketinggalan, dengan tipu 'Eng-kiktiang-
kong' atau burung elang menyerang di angkasa dengan
kecepatan luar biasa ia melompat terus menikam dari atas,
menyerang belakangan, tapi datangnya paling dulu.
Waktu itu baru saja tubuh Sin Liong-cu hendak berputar,
tiba-tiba ia menjerit keras, mendadak orangnya pun mencelat
pergi bagai burung terbang cepatnya lewat di atas kepala Ie
Lan-cu. Melihat musuh sudah lari, Jing-cu dan kawan-kawan tak
mengejar dan menggabungkan diri dengan Li Jiak-sim, setelah
nampak mereka bertiga tidak kurang suatu apapun, barulah
merasa lega. "Ilmu silat orang ini sungguh belum pernah kulihat selama
hidup ini," kata Ciok-toanio kemudian menghela napas atas
kepandaian Sin Liong-cu. "Pundaknya tadi telah kena
tersambar pedangku, tapi ia masih sanggup mencelat pergi,
sungguh seorang lawan kuat luar biasa. Cuma sayang ia
tersesat ke jalan yang salah."
Diam-diam Thian-sing juga heran, meski ia sendiri belum
memperoleh ajaran asli perguruannya, tapi melihat gerak
tubuh Sin Liong-cu tadi ternyata sama sekali berlainan
daripada apa yang dipelajarinya dari sang guru, semua orang
juga tak tahu dari aliran manakah ilmu silatnya itu.
Sementara itu Pho Jing-cu telah meletakkan mayat Han
Hing ke dalam parit dan menguburnya di situ. Dengan sangat
hormat lalu Li Jiak-sim menjura tiga kali, kemudian tombak
rampasannya tadi ia angkat terus mengajak pula "Mari, kita
terjang keluar!"
Namun sebelum mereka bertindak, tiba-tiba terlihat
pasukan musuh terbelah minggir ke samping, kembali ada
seregu tentara musuh sedang mendatangi. Yang memimpin
adalah seorang tua dengan jenggot dan alis putih bagai salju,
tangannya membawa sepasang pedang, gerak tubuhnya gesit
cepat, meski Seng Thian-ting rapat mengintil di belakang, tapi
selalu berada dalam jarak 7-8 langkah tertinggal.
Keruan Jing-cu terkejut. "Siapakah orang ini" Tampaknya
ilmu silatnya masih di atas Coh Ciau-lam," katanya heran.
Dan belum lenyap suaranya, cepat sekali orang tua tadi
sudah menerjang tiba sekali kedua pedangnya menggunting,
seketika pedang Pho Jing-cu hampir terpental dari tangan.
Namun Pho Jing-cu adalah tokoh terkemuka dari satu aliran
tersendiri, ilmu pedangnya dengan sendirinya tidak
sembarang-an, dengan enteng ia mendorong gaya
menggunting orang ke samping untuk melepaskan serangan
lawan, menyusul itu cepat sekali ia pun balas menusuk.
Kiranya orang tua ini adalah cikal-bakal Tiang-pek-san-pay,
Hong-lui-kiam Ce Cin-kun. Setelah tiga gebrakan tadi, segera
Pho Jing-cu merasa keuletan lawan hebat sekali, pikirannya
tiba-tiba tergerak, mendadak ia menggunakan tipu 'Ginghong-
sau-liu' atau menyapu dahan pohon menurut arah angin,
dengan pedangnya ia menempel pedang kanan Ce Cin-kun,
berbareng itu lengan bajunya terus mengebas dengan ilmu
silatnya yang tunggal 'Liu-hun-hui-siu' atau awan meluncur
lengan baju beterbangan, tahu-tahu pedang kiri Ce Cin-kun
kena di-belitnya pula.
Kesempatan baik itu telah digunakan Ciok-toanio buat
menusuk ke muka musuh, namun masih bisa Ce Cin-kun
menekan pedangnya ke bawah sambil menunduk-hingga
tusukan Ciok-toanio dapat di elakkan nya, menyusul
pedangnya segera ditarik kembali.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak terduga ilmu pedang Ciok-toanio bisa luar biasa
cepatnya, ia menusuk ke kanan dan ke kiri hingga Ce Cin-kun
dipaksa berputar menghindarkan diri, bila kemudian ia sempat
mengangkat pedang buat menangkis, saat itu Ciok-toanio
sudah melontarkan 7-8 serangan lebih dulu.
Lekas dari sana Seng Thian-ting memburu datang buat
membantu, tepat ia disambut sekali tusukan oleh Pho Jing-cu.
Namun dengan tipu 'Hing-ke-kim-nio' atau belandar emas
malang melintang, kedua potlot bajanya lantas menangkis,
maka terdengarlah suara nyaring keras disertai letikan api,
kedua po-t lotnya tergoncang pergi, tapi orangnya sama sekali
tak tergetar sedikitpun.
"Hebat," diam-diam Jing-cu memuji atas keuletan lawan.
Segera ia menggunakan tenaga dalam, pedangnya sedikit
memutar terus, membabat lagi lambat-lambat, namun penuh
tenaga. Maka terasalah oleh Seng Thian-ting suatu kekuatan maha
besar menindih ke arahnya, tak sanggup lagi ia menancapkan
kaki di tempatnya dan terpaksa melangkah mundur, tapi
kedua potlotnya masih terus melontarkan serangan, meski
kalah, tapi tidak gugup.
Di sebelah sana sesudah Ce Cin-kun bisa menenangkan
diri, kedua pedangnya telah diputar pula begitu hebat hingga
lapat-lapat membawa suara gemuruh, tipu serangannya juga
berubah tak dapat diduga sebelumnya. Betapapun juga
keuletan Ciok-toanio memang masih kalah setingkat, meski
ilmu pedang Ngo-kim-kiam-hoat luar biasa cepatnya, namun
seperti membentur tembok baja saja tak mampu menembus
garis pertahanan lawan. Sebaliknya Ce Cin-kun harus
menggunakan sepenuh tenaga barulah mampu menahan
rangsekan Ciok-toanio. Keruan saja diam-diam ia terkejut dan
heran pula, sungguh tak terduga olehnya sesudah kecundang
oleh Leng Bwe-hong, kini bertemu pula dengan dua jago kelas
wahid. Tak lama pula, berulang kali Ciok-toanio harus menghadapi
serangan berbahaya musuh, ia insyaf bukan tandingan Ce Cinkun,
tapi saat itu serdadu Boan kembali merubung datang
pula, malahan di antaranya ada banyak orang Uigor.
Sementara itu Ciok Thian-sing, Ie Lan-cu dan kawan-kawan
masih terus mempertahankan diri di atas bukit tadi dengan
mati-matian. Ketika melihat Ciok-toanio tercecar musuh, lekas
Ging-yao memutar pedangnya membantu, mendadak dengan
tipu keji ajaran Pek-hoat Mo-li yang disebut 'Peng-choan-tosia'
atau sungai es menuang santar, dari atas segera ia
menikam ke bawah sambil sedikit senjatanya ia sendai, maka
tertampaklah sinar perak berbintik-bintik membawa hawa
dingin menghambur musuh.
Cepat juga Ce Cin-kun menangkis dengan kedua
pedangnya, tapi karena itu ia pun terdesak kembali buat
menjaga diri. Di lain pihak betapa cepat ilmu pedang Cioktoanio,
kesempatan itu telah digunakan untuk menusuk
hingga secepat kilat pedangnya menyambar lewat di atas
pundak Ce Cin-kun.
Oleh karena serangan Bu Ging-yao tadi, sekuat tenaga Ce
Cin-kun menangkis, dan balikan pedangnya terus
digunakannya untuk menyampuk senjata Ciok-toanio, hingga
nyonya tua ini berganti kena didesak mundur. Dan begitulah
terus menerus dan silih berganti Bu Ging-yao dan Ciok-toanio
rnerangsek musuh hingga Ce Cin-kun terkurung di dalam sinar
pedang mereka. Bercerita mengenai Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan
kawan-kawan. Setelah mereka turun gunung untuk mencari Ie
Lan-cu, karena banyak rakyat penggembala yang mereka
kenal, pada hari itu mereka mendapat tahu bahwa ada
seorang gadis jelita sedang menuju ke Turfan. Waktu meTeka
bertanya wajah si gadis itu, maka yakinlah mereka pasti Lancu
adanya. Keruan yang paling girang rasanya adalah Thio
Hua-ciau, berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada
Hui-ang-kin. "Sudahlah, kini aku tak akan merintangi kau lagi, maka
seharusnya kau banyak berterima kasih pada kau punya Lengsioksiok,"
demikian kata Hui-ang-kin menggoda.
Maka tertawalah mereka beramai-ramai, segera mereka
mempercepat perjalanan dan menuju ke arah Turfan.
Tak lama kemudian, mereka pun mengalami serangan angin
badai di gurun pasir itu. Hui-ang-kin dibesarkan di
padang rumput, dengan sendirinya ia kenal lihainya angin itu,
ketika ia mencari tempat berlindung, tiba-tiba dilihatnya di
tempat tak jauh dari tempatnya sekarang ada sebuah tenda
besar, cepat saja Hui-ang-kin membawa kawan-kawannya
memasuki tenda itu, di dalam tenda itu tersulut sebuah lilin
besar, di atas tanah menggeletak seorang laki-laki setengah
umur, di sampingnya terdapat pula seorang laki-laki lain dan
seorang perempuan.
Setelah mengamat-amati mereka sejenak, tiba-tiba Hui-ang
kin berteriak, "He, kalian berdua bukankah Malina dan Mokhidi?"
Rupanya wanita itu tercengang sejurus, lalu ia pun
berteriak, "He, dan kau Hui-ang-kin bukan" Kenapa kau sudah
berubah begini?"
Girang bercampur terharu pertemuan di antara kawan
lama, meTeka bertiga saling rangkul dan mengalirkan air
mata. Tiba-tiba lelaki yang rebah di tanah itu mementang
matanya dan dengan suara parau berkata, "Kau Hui-ang-kin
yang telah datang'" Hendaklah kau membalaskan sakit
hatiku!" "Eh, Asta, kau juga di sini?" seru Hui-ang-kin meloncat
demi mengenali orang.
Lekas Hui-ang-kin memanggil juga Leng Bwe-hong,
katanya, "Inilah kedua saudara angkat Suhengmu Njo Huncong,
dahulu mereka bertiga pernah bersama-sama melintasi
gurun Taklamakan dari utara ke selatan Sinkiang."
"O, kau inikah Leng Bwe-hong, Sute dari Njo-tayhiap?"
tanya Mokhidi cepat.
"Ya" sahut Bwe-hong mengangguk. "Kalian dan Njo-suheng
adalah saudara angkat, dengan sendirinya juga adalah
saudaraku." Habis berkata ia pun memberi hormat pada
mereka. Lekas Mokhidi membalas hormatnya, sedang Asta tiba-tiba
meronta hendak bangun sambil menahan tubuh dengan sikunya,
lalu dengan suara terputus-putus ia berkata, "Leng
Leng Bwe-hong, su sudah lama ak aku ingin menjumpaimu,
dan barulah kini bisa ber bertemu, ta tapi sayang su sudah
terlambat. Di di sini aku ada sebilah Pokiam,
pem pemberian Suhengmu da dahulu, dan ki kini aku tak
memerlukan la lagi, bolehlah kau kau ambil buat
buat membalaskan sakit batiku." Selesai berkata, matanya
membalik dan sejak itu mangkatlah Asta untuk selamanya.
Kiranya Njo Hun-cong, Hui-ang-kin, Mokhidi dan Asta
dahulu adalah sahabat sehidup semati dalam perjuangan.
Mokhidi dan Asta adalah pahlawan perkasa terkenal di antara
suku bangsa Kazak. Setelah Njo Hun-cong tewas dan Hui-angkin
mengasingkan diri, lalu Mokhidi dan Asta terlunta-lunta di
pa-dang rumput luas. Malina adalah seorang nona
penggembala dan teman bermain Mokhidi sejak kecil,
kemudian mereka pun menikah. Bersama Asta mereka bertiga
selalu berada bersama, (kisah tersebut bisa dibaca dalam
Chau Guan Eng Hiong)
"Sungguh aku harus malu diri telah meninggalkan kalian
selama 20-an tahun ini," demikian kata Hui-ang-kin kemudian
sambil menahan air mata.
"Tapi dengan kembalimu ini sudah sangat membesarkan
semangat kami, Hui-ang-kin," ujar Mokhidi.
"Ya, berada bersama kawan-kawan banyak, segala
penderitaan pasti akan sanggup menahan," kata Hui-ang-kin.
"Kini Asta telah meninggal, aku berjanji akan menginjak tanah
dimana darahnya pernah menyiram untuk menuntut balas
baginya." Sementara itu angin puyuh di luar kemah masih bertiup
dengan kerasnya dengan suara berat kemudian Mokhidi
menceritakan awal kematian Asta itu.
Hui-ang-kin, tentu kau masih ingat si Bing Lok, itu kepala
suku Tagar, bukan?" kata Mokhidi. "Dahulu karena puteri Nilan
Si u-kiat. ia pernah memfitnah Njo-tayhiap sebagai mata-mata
musuh, siapa duga dia sendirilah yang benar mata-mata
musuh. Paling akhir ini pemerintah Boanjing telah mengirim
orang menghubunginya dan menyuruh menghasut suku
bangsa di Sinkiang selatan agar menyerah pada pemerintah.
Hal itu tadinya tak kami ketahui, ketika kami berkelana sampai
di pa-dang rumput Garsin di daerah selatan, kami masih tetap
bertamu ke tempatnya. Kebetulan ia sedang kedatangan
seorang utusan pemerintah Boanjing, utusan itu adalah
seorang kakek yang jenggot dan alisnya sudah putih semua
konon adalah cikal-bakal apa yang disebut Tiang-pek-san-pay.
Maka Bing Lok mengumpulkan para bawahannya yang
meliputi 3 kepala suku dan 12 pemimpin kelompok suku
bangsa lainnya buat berunding. Tak terduga di antaranya ada
7 pemimpin kelompok suku tidak sudi takluk pada musuh.
Lebih-lebih Asta tak bisa menahan amarahnya dengan berani
ia mendamprat Bing Lok, karena itu ada lagi dua kelompok
suku lain yang meninggalkan Bing Lok. Segera 9 kepala
kelompok suku bangsa itu meninggalkan tempat berunding
bersama orang-orang mereka. Asta masih berusaha hendak
menginsyafkan Bing Lok, tapi dari malu mendadak Bing Lok
menjadi murka dan Asta kena dibacok sekali olehnya kami
berdua mati-matian menolongnya keluar dari tempat
berbahaya itu, tapi karena kuatir menerbitkan amarah umum,
rupanya Bing Lok tak berani juga mengejar kami. Dan setelah
Asta dapat kami tolong keluar, tak terduga di sini telah
bertemu serangan angin, sungguh tak nyana Asta yang gagah
perwira dan banyak menghadapi pertempuran besar, tidak
tewas di tangan musuh, tapi akhirnya malah tewas di tangan
'orang sendiri'!"
Dengan mengheningkan cipta Leng Bwe-hong memberi
penghormatan terakhir pada Asta, lalu dengan pedang pusaka
yang dia terima dari orang tadi, ia menggali sebuah liang dan
mengubur Asta. "Pedang itu dahulu Njo-tayhiap dapatkan dengan merebut
dari padri Thian-liong-pay di Tibet. Thian-bong Siansu dari
Thian-liong-pay telah memimpin 18 anak muridnya
mengembut Njo-tayhiap, tapi 19 bilah senjata mereka telah
kena dilucuti semua oleh Njo-tayhiap dan di antaranya
terdapat pedang ini," demikian tutur Mokhidi.
Bwe-hong melihat pedang itu mengkilap bersinar
menyilaukan, tampaknya tidak kalah dengan Yu-liong-kiam
milik Coh Ciau-lam, sebenarnya ia hendak memberikan pada
Mokhidi saja, tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, maka ia
mengurungkan maksudnya itu.
Dalam pada itu angin puyuh sudah reda.
"Angin sudah berhenti, marilah kita melanjutkan
perjalanan," ajak Bwe-hong kemudian.
Kembali mengenai Ce Cin-kun, sejak di kota-raja ia
menempur sengit Leng Bwe-hong, kemudian namanya
menggon-cangkan jago-jago silat di seluruh ibukota. Karena
itu Khong-hi lalu memberikan kedudukan padanya sebagai
kepala bayangkara kerajaan dan Seng Thian-ting yang
menjadi wakilnya malah. Sedangkan Coh Ciau-lam tetap
menjadi komandan pasukan pengawal kota-raja.
Ketika Khong-hi bersiap hendak mengerahkan tentaranya
masuk Sinkiang, Tibet dan Mongolia. Ce Cin-kun diutus
sebagai duta khusus untuk menaklukkan kepala suku Tagar,
Bing Lok, dan dengan mudah saja telah berhasil. Bing Lok dan
tiga kelompok suku lainnya menyerah pada pemerintah
Boanjing, bahkan dipilih seribu serdadu yang dipimpin anak
Bing Lok, Bing San, untuk ikut Ce Cin-kun pergi menyambut
kedatangan bala tentara Boan.
Tak terduga di tengah jalan bertemu Seng Thian-ting yang
lari kembali dengan mengenaskan keadaannya, waktu ditanya,
barulah diketahui telah kena dihajar oleh dua anak dara.
Ce Cin-kun sangat marah, diam-diam ia mengomeli Seng
Thian-ting terlalu tak becus, segera ia mendesak Thian-ting
menunjukkan jalan dan memutar balik untuk mencari kedua
gadis itu. Dan secara kebetulan memergoki pertempuran
sengit yang sedang terjadi. Ce Cin-kun menerjang ke bukit itu
melawan Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, sedang seribu orang
Uigor yang dibawa Bing San telah bergabung dengan dua ribu
serdadu yang dipimpin Coh Ciau-lam terus mengepung musuh
dengan rapat. Bercerita tentang Coh Ciau-lam. Setelah merasakan dua kali
serangan Han Hing, lukanya ternyata tidak enteng, berkat
Lwekangnya yang hebat ia mengatur pemapasannya ditambah
menelan pula obat pil 'Pik-ling-tan' terbuat dari teratai salju
Thian-san, waktu ia mengumpul semangat, maka terasalah
hawa hangat naik dari pusarnya, diam-diam iabergirang
sendiri, nyata selama ini Lwekangnya sudah bertambah
banyak. Tapi bila teringat olehnya kemahiran Leng Bwe-hong
masih lebih tinggi lagi, diam-diam ia pun lesu kembali.
Dan selagi Ciau-lam hendak pergi memeriksa keadaan
pertempuran, tiba-tiba dilihatnya Sin Liong-cu berlari kembali
dengan mengalami kekalahan, pundaknya lecet penuh darah,
keruan ia terkejut. "Kenapakah kau?" tanyanya cepat.
"Kenapa" Masih kau tanya?" sahut Sin Liong-cu gusar.
"Gara-garamu menyuruhku merebut pokiam apa segala, siapa
tahu musuh adalah jagoan tinggi, sampai seorang wanita tua
bangka saja dapat menusukku sekali, baiknya hanya luka
enteng, bila tidak, mungkin tulang rongsokku ini sudah
terkubur di gurun pasir ini. Hm, tak mau lagi aku menggubris
padamu!" Sembari berkata ia pun merobek bajunya dan
membubuhi lukanya dengan obat
"Persahabatan kita selama berpuluh tahun ini, apakah sedikitpun
tak kau pikirkan lagi dan pasti akan kautinggal pergi?"
kata Ciau-lam. "Ya, aku akan pulang ke Thian-san untuk berlatih pedang,
siapa telaten ikut pembesar sepertimu," sahut Sin Liong-cu
dingin. Habis itu lengan bajunya mengebas, orangnya lantas
hendak berlalu.
"Sin-toako, nanti dulu!" seru Ciau-lam mendadak. "Jangan
harap kau bisa menahanku lagi," kata Sin Liongcu sambi]
menoleh. "Aku tidak menahanmu, tapi kau telah merasakan sekali
tusukan perempuan tua itu, dan kau kenal tidak siapa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerangan perempuan tua itu?" kata Ciau-lam pula. "Dia bukan
lain adalah ipar seperguruanmu, isteri Ciok Thian-sing,
pedangnya sudah direndam dengan obat berbisa, meski
lukamu tidak berat, tapi dalam 12 jam bila racunnya menjalar
pasti tidak tertolong lagi."
"Ha, apa betul" Lalu bagaimana baiknya!" teriak Sin Liongcu
kuatir dengan wajahnya berubah hebat
Nyata Sin Liong-cu menjadi percaya sungguh pada obrolan
Coh Ciau-lam itu, dan betul saja ia merasa pundaknya rada
gatal pegal. "Makanya aku minta kau suka tinggal sementara lagi di
sini," demikian sahut Ciau-lam kemudian dengan tertawa "Aku
punya obat pemunahnya, cuma harus diminum bersama arak
panas, biar sekarang juga aku menyuruh orang mengambilkan
arak panas." Habis itu, ia lantas memerintahkan seorang
pengawalnya lekas pergi menyeduh sepoci arak panas.
Sebenarnya apakah maksud tujuan Coh Ciau-lam" Kiranya
karena dilihatnya gerak ilmu silat Sin Liong-cu luar biasa
anehnya betapa tinggi kepandaiannya kini sudah jauh di atas
ketika mereka masih di Thian-san, sekalipun umpama gurunya
Toh It-hang, hidup kembali juga tak bisa menimpali lagi,
sedang gerak tubuhnya lebih tak mirip ajaran aliran Bu-tongpay,
maka Ciau-lam sangat curiga, ia justru ingin memancing
orang buat bertanya duduknya perkara
Karena itu lantas berkatalah Coh Ciau-lam. "Sin-toako,"
demikian ia memancing. "Obat pemunahku meski dapat
menghilangkan racun di tubuhmu, tapi ilmu silatmu ini dapat
tidak dipertahankan, itulah aku tak berani menjamin. A i,
perempuan tua bangku itu sesungguhnya terlalu keji, bila
terkena oleh racun pedangnya, sesudah sembuh mungkin
orangnya pe lahan-lahan a-kan menjadi lumpuh juga. Ai, Sintoako,
jika benar kau akan menjadi cacad, sungguh sebagai
saudaramu harus malu tak mampu membalaskan sakit hatimu,
sebab ilmu pedangku bukan tandingan mereka. Ai, coba bila
seumpama aku dapat mempelajari ilmu silat setinggi kau,
tentunya segala apa akan menjadi beres."
Mendengar obrolan Coh Ciau-lam itu, Sin Liong-cu menjadi
kaget bagai disambar petir di tengah hari bolong. "Jika benar
aku akan menjadi cacad, segera aku turunkan ilmu pedangku
padamu, biar kau menjadi ahli pedang nomor satu di jagad ini,
malah akan lebih lihai dari gurumu!' demikian kata Sin Liongcu
penuh sesal. Dalam hati Ciau-lam girang luar biasa tapi lahirnya ia purapura
adem saja katanya pula "Ah, sebagai saudaramu tentu
akan berusaha menyembuhkanmu sebisanya dan tidak nanti
mengharap balas budimu. Cuma maafkan aku ingin bertanya
padamu sedikit saja yakni tentang kiam-hoat yang kau sebut
belum pernah aku melihatmu memainkan pedang, apakah kau
baru saja dapat memahami semacam ilmu pedang dan belum
sempat diunjukkan?"
"Eh, kenapa kau tak percaya padaku?" kata Sin Liong-cu
dengan mata mengerling aneh. "Ketahuilah dalam dua tahun
ini aku telah memperoleh 108 jurus ajaran asli dari Tat-mo,
Tat-mo-kiam-hoat belum tentu di bawah Thian-san-kiam-hoat
perguruanmu!"
Coh Ciau-lam adalah tokoh silat terkemuka dari Bu-lim atau
dunia persilatan, sudah tentu ia tahu tentang Tat-mo-kiamhoat
yang menghilang lama itu. Keruan saja girangnya sekali
ini luar biasa, ia pikir bila benar ia berhasil melatih Tat-mokiam-
hoat hingga bisa menggabungkan kedua macam ilmu
pedang di tangan satu orang, maka sudah pasti ia bakal tiada
tandingannya lagi di seluruh jagad.
Tidak antara lama, arak panas yang diminta telah
dibawakan. Ciau-lam menuang sebungkus obat bubuk ke
dalam arak itu dan menyuruh minum Sin Liong-cu.
Tanpa pikir, segera Sin Liong-cu menurut dan meneguk
habis secangkir arak panas itu. Tak terduga hanya sejenak
saja tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang, perut sakit
bagai di-puntir-puntir.
"Nah, robohlah, roboh!" tahu-tahu Coh Ciau-lam berteriakteriak.
Berbareng tangan mengulur terus hendak
mencengkeram. Luar biasa terkejutnya Sin Liong-cu, sekonyong-konyong ia
menggeram sekali, sedikit ia mengegos, menyusul orangnya
menubruk maju terus memukul sekaligus dengan kedua
telapak tangannya hingga Coh Ciau-lam kena dihantam roboh.
Tapi dengan sedikit menggelundung di tanah, cepat sekali
Ciau-lam melompat bangun lagi sembari pedang pusakanya
terus dilolos juga dan menyabet
"Keji amat kau, Coh Ciau-lam!" teriak Sin Liong-cu gemas.
Berbareng itu sekali enjot secepat terbang orangnya pun
meloncat keluar kemah dan berlari pergi.
Setelah menaruh racun di dalam arak panas itu, Ciau-lam
menaksir Sin Liong-cu pasti akan mampus terkena racun,
maka dengan terburu-buru ia hendak merebut kitab rahasia
pelajaran ilmu silat Tat-mo itu. Tak disangka Sin Liong-cu ulet
luar biasa, meski sudah terkena racun, namun ingatannya
sadar secara mendadak, secepat kilat ia menubruk maju terus
menghantam, dan karena tak berjaga-jaga, Ciau-lam kena
digenjot roboh.
Tapi Sin Liong-cu juga tahu kepandaian Coh Ciau-lam
selisih tidak jauh dengan dirinya, sekali hantam ia bisa berhasil
sesungguhnya sangat beruntung, maka tak berani ia terlibat
lebih lama, lekas ia melarikan diri menuju tempat sepi.
Pasukan Boan kenal Sin Liong-cu sebagai sobat komandan
mereka, dengan sendirinya tiada yang berani merintangi.
Kembali lagi pada Leng Bwe-hong dan kawan-kawan.
Sesudah setengah hari pula mereka tempuh, tiba-tiba
didengarnya di kejauhan ada suara orang bertempur. Dan
ketika mereka hendak mengeprak kuda memburu ke tempat
itu, tiba-tiba tertampak Sin Liong-cu sedang mendatangi
secepat terbang dengan baju sudah sobek.
Lekas Leng Bwe-hong melompat turun dari kudanya untuk
kemudian dengan tepat menghadang di depan Sin Liong-cu
sambil membentak, "Bagus, belum aku mencarimu, kini kau
malah datang mencariku. Hayolah, mari kita bergebrak 300
jurus pula!" Kiranya Bwe-hong menyangka orang membawa
pasukan musuh hendak datang menangkapnya.
Sebanknya Sin Liong-cu bagai banteng ketaton saja terus
melontarkan beberapa kali serangan. "Bagus, kalian
bersaudara seperguruan memang bukan orang baik-baik
semua, kini meski jiwa Sin Liong-cu harus tewas di tangan
kalian, namun pasti juga para ksatria seluruh jagad akan
menertawaimu!" demikian j awabnya kemudian.
Kenal betapa lihainya orang, maka dengan penuh perhatian
Leng Bwe-hong melayani pukulan musuh. Siapa duga, baru
beberapa gebrakan, mendadak Sin Liong-cu menggelongsor
jatuh ke tanah, rupanya racun dalam tubuh mulai bekerja dan
tenaganya juga sudah habis, belum kena pukulan Leng Bwehong,
ia sendiri sudah roboh lebih dulu.
Dan karena mendengar kata-kata Sin Liong-cu tadi mengandung
arti tertentu, lekas Bwe-hong membangunkan
orang dan bertanya cepat, "Ada apa" Perbuatan apa yang
memalukan pada diriku?" ,
"Hm, Coh Ciau-lam meracuni aku, kini di waktu berbahaya
kau pun datang hendak memaksa diriku, tapi aku justru tidak
membiarkan tujuan kalian terkabul!" demikian seru Sin Liongcu
sambil meronta Berbareng itu ia merogoh keluar kitab
pelajaran Tat-mo terus hendak d i sobeknya dengan kedua
tangan. Namun sekali menggablok, cepat Leng Bwe-hong telah
menepuk jatuh kitab yang dipegang orang, waktu ia periksa
keadaan Sin Liong-cu, dilihatnya wajah orang sudah hitam
guram, lekas ia mengeluarkan sebutir 'Pik-ling-tan' terus
dijejalkan ke dalam mulut orang, Sin Liong-cu masih hendak
meronta, tapi sekali Bwe-hong memencet dagunya, tanpa
kuasa Sin Liong-cu membuka mulurnya hingga obat pil itu
dengan sendirinya menggelinding masuk tenggorokannya.
Selang agak lama, beberapa kali Sin Liong-cu membuang
hawa busuk, dadanya terasa juga lebih lega, wajahnya
lambat-laun juga bercahaya kembali.
Setelah bisa sadarkan diri, dengan mata membelalak Sin
Liong-cu memandang Leng Bwe-hong rada tercengang.
"Baiklah sudah kini, racun dalam tubuhmu sudah ditolak
keluar semua," kata Bwe-hong kemudian.
Dalam hati Sin Liong-cu amat berterima kasih, tapi ia masih
tak mau menghaturkan terima kasih, hanya matanya
mengerling aneh dan berkata "Nyata kau berbeda dengan
Suhengmu, Coh Ciau-lam keparat itu. Namun tetap aku masih akan
bertanding pedang denganmu."
"Tak perlu buru-buru," ujar Bwe-hong tertawa. "Bila sudah
pulih kesehatanmu seluruhnya pasti aku akan mengiringi
keinginanmu itu. Dan kini hendaklah kaubawa aku pergi
mencari si keparat Coh Ciau-lam itu."
Sementara itu Kui Tiong-bing sudah mendekat juga dan
memanggil padanya, "Susiok."
"Habaha," Sin Liong-cu bergelak tertawa. "Ilmu pedang
ibumu sangat hebat, mempunyai keponakan sepertimu masih
tidak menghilangkan pamor Susiokmu ini. Baiklah, melihat
muka Leng-sioksiokmu ini, biarlah kuakui kau sebagai Sutit
(keponakan perguruan). Kini ayah-bundamu sedang dikepung
musuh, marilah kita pergi menolongnya lebih dulu."
Bercerita lagi tentang Li Jiak-sim dan kawan-kawan.
Setelah bisa bergabung dengan rombongan Pho Jing-cu lagi,
tentu saja kekuatan mereka menjadi banyak bertambah.
Dikeroyok oleh Ciok-toanio dan Bu Ging-yao, betapa lihai
Hong-lui-kiam-hoat Ce Cin-kun tetap tak bisa memperoleh
keuntungan apa-apa Dalam pada itu, Seng Thian-ting juga
kena didesak mundur oleh Pho Jing-cu. Sebaliknya karena
dikepung rapat oleh serdadu Boan dan bangsa Uigor,
ditambah pula tiga jagoan kelas satu yang memimpin
pertempuran itu, para pahlawan seketikapun tak mampu
membobol kepungan, mereka hanya memperkuat penjagaan
pada bukit itu, siapa yang berani mendekat segera ditusuk
dengan pedang dan yang jauh mereka panah.
Perubahan cuaca di gurun pasir memang hebat sekali,
sesudah hari menjadi magrib, walaupun di tempat dekat
Turfan yang terkenal sebagai 'benua berapi' itu, toh di waktu
malam terasakan pula hawa dingin yang menusuk tulang.
Untuk menghangatkan badan, serdadu-serdadu Boan
menyalakan api unggun, sinar api yang berkobar menyinari
sekelilingnya hingga terang benderang bagai siang hari.
Dari jauh Lauw Yu-hong memandang ke Thian-san yang
samar-samar tertampak puncak esnya yang menjulang tinggi
mencakar langit, kelap-kelip di angkasa malam gelap. Tibatiba
ia merasa kedinginan, ia merangkul diri Ie Lan-cu. "Dekat
benua berapi ini, di malam hari masih demikian dinginnya
kalau di atas Thian-san, entah akan berapa kali lebih dingin?"
demikian bisiknya.
"Aku dibesarkan di Thian-san, Cici adalah orang daerah
Kanglam, tentu tidak biasa dengan hawa di sini," sahut Lan-cu
tersenyum. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Yu-hong teringat pada
Leng Bwe-hong. Pikirnya apabila ia betul-betul adalah
kawanku di waktu muda itu, dan sebab aku hingga terpaksa ia
harus menyingkir merantau ke tanah asing yang terpencil jauh
dan menderita kedinginan di Thian-san, dan karena itu ia
dendam pada diriku, hal inipun tak bisa menyalahkannya.
Oleh karena pikiran itu, ia menjadi berduka "Apabila pada
suatu hari aku bisa naik ke Thian-san juga betapa aku akan
merasa senang," katanya dalam hati sambil menghela napas.
Waktu itu Bu Ging-yao mendampingi Li Jiak-sim dengan
pedang terhunus sedang mengawasi gerak-gerik musuh,
ketika tiba-tiba dilihat Lauw Yu-hong lagi melamun, ia menjadi
heran. "Lauw-toaci, apa yang sedang kaupikirkan"' tanyanya
segera. Tapi Yu-hong diam tak menjawab pertanyaan orang.
"Lihatlah, siapa yang datang lagi itu!" tiba-tiba terdengar
teriakan Li Jiak-sim.
Waktu mereka menegasi, terlihat keadaan pasukan Boan
agak kacau-balau, dengan mengepalai beberapa ratus bangsa
Uigor, Ce Cin-kun kelihatan telah maju hendak mencegat.
Di bawah sinar api, Lauw Yu-hong bisa melihat dengan
jelas, ia lihat pemimpin rombongan yang membikin kalang-kaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
but barisan serdadu Boan itu sangat mirip sekali dengan Leng
Bwe-hong. "Eh, aneh sekali," kata Jing-cu. "Sungguh bisa begini
kebetulan, Leng Bwe-hong betul-betul datang!"
Waktu mereka menegasi lagi, tertampak Leng Bwe-hong
hanya diiringi beberapa orang saja dan sementara itu sudah
mulai bergebrak dengan Ce Cm-kun.
"Serdadu musuh terlalu banyak, walaupun ilmu silat Leng
Bwe-hong sangat tinggi, mungkin juga tak mampu menerjang
masuk ke sini," ujar Jiak-sim. "Lebih baik kita menerjang turun
saja menggabungkan diri dengan mereka!"
Selagi para pahlawan hendak bertindak, mendadak terlihat
Ce Cin-kun angkat kaki dan segera kabur pergi, bangsa Uigor
yang dipimpinnya itu terdengar berteriak riuh-rendah, mereka
mendukung Leng Bwe-hong dan dalam sekejap saja mereka
telah berontak di garis depan, keruan saja pasukan Boan
menjadi kocar-kacir.
Kiranya pada waktu Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan
kawan-kawan sampai di medan pertempuran itu, mereka
segera dipapak Ce Cin-kun bersama beberapa ratus bangsa
Uigor yang dibawanya itu. Leng Bwe-hong mengangkat
pedangnya menangkis sepasang pedang Ce Cin-kun yang
sementara itu sudah lantas menyerang, dalam pada itu Huiang-
kin mendadak menepuk pundak Leng Bwe-hong sambil
berseru, "Kau mundur saja!"
Habis itu, dengan pecutnya yang panjang itu ia menuding
ke depan sambil membentak, "Hai, apakah kalian masih kenal
padaku" Akulah Hui-ang-kin adanya!"
Melihat kelakuan orang, cepat Ce Cin-kun menusuk dengan
pedangnya, namun Hui-ang-kin hanya berkelit dan tidak balas
menyerang, ia melanjutkan seruannya pula, "Patuhlah pada
perintahku, bunuhlah lebih dulu si tua bangka ini!"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hidup Hui-ang-kin!" tiba-tiba pahlawan-pahlawan Uigor
yang berusia sedikit tua pada bersorak girang. Orang-orang
Uigor lainnya yang lebih muda, meski mereka belum kenal
Hui-ang-kin, tapi mereka sudah pernah mendengar cerita
tentang diri Hui-ang-kin yang maha besar, dalam sekejap saja,
mereka ikut bersorak riuh-rendah dan berbareng itu senjata
mereka berbalik diarahkan ke diri Ce Cin-kun. Keruan Ce Cinkun
menjadi gugup, dengan cepat ia dapat merobohkan dua
orang, sementara itu pecut Hui-ang-kin telah menyambar
sampai di belakang punggungnya juga, lekas ia angkat kaki
dan lantas kabur. Leng Bwe-hong tidak tinggal diam, ia
memburu dengan pedang terhunus.
Saat itu juga, para pahlawan di bukit pasir tadi secara
beramai-ramai pun sudah menerjang turun, Bing San coba
memimpin pasukannya hendak menghadang dan berteriak
hendak menundukkan bangsanya yang mendadak berontak
itu, siapa tahu, setelah bangsa Uigor itu mendapat tahu yang
datang ini adalah Hui-ang-kin, kebanyakan di antara mereka
tak mau tunduk pada perintahnya lagi, terpaksa Bing San pun
angkat kaki alias buron kalau ia sendiri tidak ingin dihajar oleh
bekas pasukannya itu.
Keadaan yang demikian itu dengan segera lantas berubah
menjadi pasukan penunggang kuda bangsa Uigor itu saling
tempur dengan pasukan Boan.
Sin Liong-cu yang ikut menerjang ke dalam pertempuran
itu, cepat sekali ia berpapasan dengan Coh Ciau-lam yang
sementara itu hendak kabur dengan mengambil jalan yang
sepL "Bangsat, hendak lari kemana kau!" bentak Sin Liong-cu.
Menyusul itu tiba-tiba Ciau-lam merasa angin keras
menyambar dari belakang, kedua tangan Sin Liong-cu
berbareng telah menghantamnya
Lekas Ciau-lam mengegos ke samping dan pedangnya
lantas menusuk juga, Sin Liong-cu tak berhasil dengan
pukulannya yang pertama ia rnerangsek pula namun Ciau-lam
pun tidak lemah, ia menghindarkan tiap serangan lawan, di
samping itu pedangnya balas menyerang dan tangannya
memukul tak kalah hebatnya.
Betapapun lihainya Sin Liong-cu, namun ia bertangan
kosong, ia harus waspada akan pedang musuh. Maka secepat
kilat mereka berdua sudah saling gebrak beberapa jurus.
Sementara itu Seng Thian-ting bersama beberapa jago
pengawal pun sudah memburu tiba.
Nampak keadaan berbahaya itu, lekas Leng Bwe-hong pun
memburu datang untuk membantunya
Dikerubut oleh musuh yang jauh lebih banyak itu, Sin
Liong-cu kena ditusuk sekali oleh Coh Ciau-lam di pundaknya.
Waktu Leng Bwe-hong memburu datang dan memutar
pedangnya memainkan 'Han-to-kiam-hoat', sinar pedang
gemer-depan laksana hujan, baru Coh Ciau-lam bisa
menangkis, tetapi belakang punggungnya sudah kena digablok
oleh Sin Liong-cu, lekas ia menarik pedang dan segera kabur.
Ketika Bwe-hong memutar pedangnya melindungi Sin Liong-cu
yang terluka itu.
"Bagaimana lukamu?" tanyanya kuatir.
"Tak usah kualirkan diriku, kejar saja keparat itu!" sahut Sin
Liong-cu. Nampak pundak orang sudah bermandi darah, Bwe-hong
tahu lukanya tentu tidak enteng. "Hui-ang-kin dan yang lain
sudah mengejar, tentu mereka akan menang," ujarnya.
Setelah itu secara paksa ia menarik mundur Sin Liong-cu.
Dalam pada itu, sekonyong-konyong terdengar pekikan Ie
Lan-cu, menyusul itu terlihat Kui Tiong-bing sedang
mendatangi. "Kau lindungi Susiokmu saja" kata Bwe-hong pada pemuda
itu, habis mana ia menerjang lagi dengan pedangnya.
Sin Liong-cu berniat ikut menerjang juga, tapi segera ia
merasa seluruh tubuhnya sakit pegal, Tiong-bing memutar
pedangnya membuka jalan baginya dan tak memperbolehkan
dia ikut bertempur.
Kiranya tadi waktu Hua-ciau nampak Lan-cu sedang
bertempur di antara pasukan musuh yang kocar-kacir itu,
hatinya menjadi kegirangan, dengan mati-matian ia
menerjang maju hendak memapakinya
Dalam pada itu, Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting yang
sedang kabur, dari depan mereka justru berpapasan dengan
Pho Jing-cu, Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao bertiga. Tiga pedang
yang bersinar gemerlapan mencegat jalan lari mereka
Ciau-lam mengerti bahaya yang sedang mengancam dirinya
itu, lekas ia hendak menerjang ke jurusan lain, akan tetapi
kembali ia dipapaki oleh suami-isteri Ciok Thian-sing.
"Celaka!" keluh Ciau-lam dalam hati. Dalam keadaan yang
genting itu, tiba-tiba ia melihat Thio Hua-ciau sedang
mendatangi, ia menjadi girang, ia putar haluan, dengan satu
tipu yang lihai, secepat kilat ia menusuk ke bawah iga Thio
Hua-ciau. Waktu itu Hua-ciau lagi mencurahkan seluruh perhatiannya
atas diri Ie Lan-cu, ia tidak menduga dirinya akan diserang
secara begitu, dalam gugupnya ia coba mengelakkan diri, tapi
tahu-tahu ia merasa pergelangan tangannya telah kena
dicekal o-rang dan urat nadinya terpencet kencang oleh tiga
jari Coh Ciau-lam, dan segera diangkat pula ke atas untuk kemudian
diayunkan. Sementara itu Ciok-toanio sedang menusuk dengan
pedangnya segera Ciau-lam menyambut orang dengan tubuh
Thio Hua-ciau yang ia ayunkan itu. "Boleh kau menusuknya!"
katanya dengan tertawa sinis.
Dan karena melihat kekasihnya dalam ancaman bahaya
itulah Ie Lan-cu berteriak kuatir. Lekas Ciok-toanio menarik
kembali tusukannya tadi, dan karena itu telah memberi
kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk menerjang pergi
hendak bergabung dengan pengikutnya.
Bagai terbang cepatnya Leng Bwe-hong melayang maju
coba memburu. "Lepaskan orangnya!" bentaknya keras.
Menyusul terlihat Lauw Yu-hong telah mencegat juga dari
samping, senjata rahasia yang tunggal 'Kim-hun-tau', yakni
jaring kawat dengan kaitan halus yang tajam, mendadak
dilemparkan ke atas kepala musuh. Cepat Ciau-lam melompat
menghindarkan diri, tetapi sekonyong-konyong ia merasakan
pergelangan tangannya menjadi pegal linu, menyusul Leng
Bwe-hong telah mengulur tangan dan dua jarinya segera
hendak mencolok matanya
Keruan Ciau-lam gugup, dan karena tangannya sakit linu
tadi, cekalannya menjadi kendor, hingga terpaksa ia harus
melepaskan Thio Hua-ciau. Lekas Leng Bwe-hong
membangunkan Hua-ciau yang terlempar jatuh itu, sedang
Lauw Yu-hong dan Ie Lan-cu berbarengpun sudah memburu
datang. Sementara itu terlihat Bu Ging-yao lagi bergelak tertawa
dengan mengelus pedangnya sebaliknya Coh Ciau-lam juga
sudah bisa lolos kabur.
"Bu-cici, apa yang kau tertawai?" tanya Lan-cu heran demi
nampak sikap orang.
"Ia telah terkena aku punya 'Pek-bi-ciam', tentu ia akan
merasakan untuk selamanya," kata Bu Ging-yao.
'Pek-bi-ciam' adalah semacam senjata rahasia ciptaan Pekhoat
Mo-li, rupanya halus lembut laksana bulu binatang, oleh
karena itu dinamakan 'Pek-bi-ciam' yang berarti jarum alis
putih. Senjata rahasia semacam ini meski tidak membahayakan
jiwa musuh, tetapi cukup keji, apabila telah meresap ke dalam
tubuh, maka susah sekali untuk bisa mengambilnya keluar.
Dua jarum yang mengenai Coh Ciau-lam itu, kesemuanya
telah meresap ke dalam tubuh, sehingga kekuatannya di
kemudian hari banyak menjadi berkurang pelahan-lahan.
Setelah Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting melarikan diri,
sudah tentu sisa serdadu Boan juga lari tunggang-langgang.
Hui-ang-kin tidak mengejar musuh, waktu ia menoleh, ia lihat
dengan mesra Thio Hua-ciau sedang memegang kedua tangan
Ie Lan-cu dan sedang saling pandang penuh arti, kegaduhan
di medan pertempuran itu seperti tak mereka hiraukan.
Dengan senyum simpul Hui-ang-kin mendekati mereka
Waktu mendadak Lan-cu melihat Hui-ang-kin muncul di
antara mereka, hatinya tergoncang hebat.
"O, ibu, bu bukan aku sengaja meninggalkanmu "
katanya dengan suara terputus-putus. Tapi sebelum ia
mengucapkan lebih lanjut, Hui-ang-kin sudah
menyambungnya dengan tertawa.
"Lan-cu, aku pun tidak ingin berpisah denganmu, oleh
sebab itu aku telah menyusul kemari," kata Hui-ang-kin.
"Marilah sekarang kita hidup kumpul bersama seperti suatu
keluarga bahagia yang melewatkan hari-hari
menggembirakan."
Saking terharunya, Lan-cu mengucurkan air mata, ia
menubruk maju dan merangkul Hui-ang-kin erat-erat. "Ibu! O,
ibu, sungguh aku sangat berterima kasih padamu, sayangmu
padaku melebihi anak kandung sendiri," demikian katanya
meratap. "Ya tidak saja kau adalah anakku, tetapi juga keponakan
Leng-sioksiok dan sahabat baik mereka pula," ujar Hui-angkin.
Waktu ia mengucapkan kata-kata terakhir itu, sengaja ia
menuding diri Thio Hua-ciau, hingga Lan-cu menunduk kepala
malu. "Eh, mengapa rambutmu telah banyak putih!" tiba Hua-ciau
berteriak terkejut Waktu semua orang memandang kepala
Lan-cu, betul saja memang tertampak banyak rambutnya yang
sudah ubanan tercampur di antara rambut hitam lainnya
"Kita guru dan murid tiga turunan, ternyata kesemuanya
belum tua sudah ubanan!" kata Hui-ang-kin menghela napas.
Mendadak Thio Hua-ciau tergerak pikirannya "Jangan
kuatir, aku nanti mengobatimu!" katanya tiba-tiba Segera ia
mengeluarkan kotak berbungkus sutera sulam yang
menguarkan bau harum semerbak itu.
Ie Lan-cu memang mempunyai kesukaan pada bungabungaan,
waktu tiba-tiba nampak ada dua tangkai bunga
raksasa berwarna merah-putih itu, ia jadi sangat tertarik.
Dalam pada ini Hua-ciau telah mengangsurkan pula padanya
kantong air. "Lan-cu, lekas kau makan kedua tangkai bunga ini!" kata
Hua-ciau kemudian.
Nampak sikap orang, Lan-cu tertawa geli. "Sungguh kekanakan
sekali kau!" katanya dengan suara rendah. "Bunga
seindah ini, apakah tidak sayang dirusak begitu saja?"
"Sedikitpun aku tidak kekanakan, aku mengharap kau
memakannya," demikian Hua-ciau menegas.
"Sudahlah, boleh kau makan saja seperti yang diminta,"
Hui-ang-kin ikut bicara "Waktu di Thian-san, bukankah kau
juga suka memetik teratai salju untuk kemudian dibuat
menyeduh teh?"
Melihat cara mereka berkata dengan sungguh-sungguh, le
Lan-cu merasa agak aneh, sebenarnya ia sangat suka pada
kedua tangkai bunga itu, tetapi ia juga suka memakan daun
bunga yang segar, sesudah dengan rasa sayang memainkan
bunga itu sebentar, kemudian ia mengunyah dan menelan
kedua tangkai bunga itu yang dirasakannya sangat segar dan
meninggalkan bau harum yang berbekas di mulutnya.
"Em, enak sekali! Masih adakah?" katanya kemudian sambil
kecap-kecap mulutnya.
"Nah, tadi tidak mau, kini malah minta lagi, tapi aku sudah
tak punya lagi," Hua-ciau menggoda dengan tertawa.
"Kalau ingin lagi, maka harus menunggu sampai 60 tahun
kemudian," ujar Hui-ang-kin tertawa.
Lan-cu menjadi bingung mendengar percakapan mereka,
dan Hui-ang-kin juga tidak menerangkan apa artinya itu.
Melihat cara Hua-ciau memberi bunga pada Ie Lan-cu, tak
tertahan Li Jiak-sim bersajak seorang diri dengan suara
pelahan. Sajak yang diucapkannya itu adalah gubahan Nilan Yong-yo
yang waktu itu sangat digemari di seluruh negeri.
Bu Ging-yao tertawa geli melihat sikap pemuda itu, La
memandangnya dan berkata padanya pe lahan, "Bagaimana
Li-kongcu" Kau sedang mengagumi orang atau lagi merasa
iri?" Jiak-sim menjadi jengah, mukanya merah, ia lihat sinar
mata Bu Ging-yao seperti penuh mengandung arti, maka ia
pun membalasnya dan berkata "Ada kau di sampingku, tak
perlu aku kagum juga tak perlu iri pada orang lain."
Keruan saja wajah Bu Ging-yao kini menjadi merah.
Pada saat itu pula Lauw Yu-hong juga sedang saling
mengutarakan rasa rindunya dengan Leng Bwe-hong selama
berpisah. Nampak Lauw Yu-hong banyak lebih kurus, Bwehong
menjadi pedih hatinya tapi ia tetap bungkam saja
"Tadinya aku mengira tak akan bisa berjumpa pula
denganmu," kata Yu-hong kemudian.
"Aku sudah berjanji akan mendaki Thian-san bersamamu,
janji ini belum terlaksana, mengapa kita tak akan berjumpa
pula"'' ujar Bwe-hong tertawa buatan.
Dan setelah para pahlawan bisa berkumpul kembali,
mereka lantas melanjutkan perjalanan, kini Bu Ging-yao yang
menjadi penunjuk jalan mereka
"Baik-baikkah ayahmu selama ini?" tanya Pho Jing-cu
padanya "Justru ayah yang menyuruhku datang kemari buat
menyambut kedatangan Pho-pepek sekalian!" sahut Ging-yao.
Pho Jing-cu dan Bu Goan-ing adalah sahabat karib sehidupsemati,
kini akan segera bertemu, ia merasa gembira sekali.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari depan
tertampak debu mengepul tinggi, kembali ada ratusan orang
penunggang kuda mendatangi ke jurusan mereka.
"Apakah keparat Coh Ciau-lam itu masih berani kembali
lagi?" kata Pho Jing-cu menduga.
Tapi bila ia menegasi lagi, yang memimpin rombongan itu
ternyata adalah seorang anak tanggung. Jing-cu menjadi
heran. Sementara itu terdengarlah Ging-yao telah berseru
memanggil, "Adik, adik!"
Ketika sudah dekat, sekali berjumpalitan si anak tanggung
itu melompat turun dari kudanya terus mendekati Pho Jing-cu
sambil menarik lengan bajunya. "Pho-pepek, apakah kau tak
mengenali aku lagi?" demikian tegurnya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, Sing-hua, kau sudah begini besarnya," kata Jing-cu
bergelak tertawa setelah akhirnya mengenali anak tanggung
itu adalah Bu Sing-hua. "Untuk apa kau membawa orang
demikian banyak?"
Seperti diketahui Bu Sing-hua adalah putera Bu Goan-ing
satu-satunya dan pernah diajari menangkap 'senjata rahasia
dengan lengan baju' oleh Pho Jing-cu, waktu itu ia baru
berumur 11-12 tahun, tapi kini umurnya sudah 15-16 tahun.
Dan karena pertanyaan Pho Jing-cu tadi, berulang-ulang
Sing-hua menarik Pho Jing-cu. "Pho-pepek, lekas kau
menjenguk ayahku, semalam ia telah kena dibokong orang!"
katanya dengan kedua mata tampak merah bendul banyak
menangis. "Bisa terjadi begitu?" tanya Jing-cu kaget. Ia cukup
mengenal Bu Goan-ing memiliki ilmu silat yang tinggi dan
adalah tokoh ternama dari golongan Cong-lam-pay, sungguh
ia tak mengerti di daerah perbatasan terpencil ini ada orang
berani membokongnya.
Ging-yao menjadi kuatir karena berita adiknya itu, ia
mendesak agar adiknya lekas menerangkan duduknya
perkara. "Semalam, selagi aku tidur nyenyak, sekonyong-konyong
aku terjaga oleh suara bentakan ayah," demikian Sing-hua
bercerita "Dan waktu aku melompat bangun, kulihat ada dua
orang penjahat menerobos keluar dari kamarmu "
"Dari kamarku?" tanya Ging-yao tidak habis mengerti.
"Ya dari kamarmu," Sing-hua menegas. "Ayah gusar sekali,
ia memutar golok ' Kim-pwe-gam-san-to* dan lantas melabrak
kedua penjahat itu, satu di antaranya kalau berbicara
suaranya kecil dan kelakuannya lenggang-lenggok seperti
wanita, sangat lucu. Sedang yang lain ialah seorang kakek.
Aku telah menghamburkan segenggaman biji caturku, tetapi
tidak mengenai mereka dan tiba-tiba terdengar ayah menjerit
dan kemudian melompat keluar dari kalangan pertempuran,
sementara itu Njo-sioksiok pun sudah memburu datang, kedua
penjabat itu kemudian berhasil kabur. Waktu ayah membuka
bajunya, tertampak sebagian dadanya telah hitam bengkak,
hari ini masih belum bisa turun dari pembaringan. Sementara
itu ia mendapat laporan dari saudara-saudara Thian-te-hwe,
bahwa di gurun pasir sejauh ratusan li ada pasukan yang
sedang bertempur sengit, maka aku diperintahkan datang ke
sini dengan membawa orang-orang kita untuk melihat apakah
Pho-pepek yang lagi dikepung musuh."
Tiga tahun yang lalu, Bu Goan-ing bersama dua pemimpin
Thian-te-hwe yang lain, Hoa Ci-san dan Njo It-wi, telah
menjelajahi Sinkiang dan mendirikan perkampungan di padang
rumput, dua Sioksiok atau paman yang dikatakan Bu Sing-hua
itu maksudnya adalah mereka berdua Sementara itu mereka
pun sudah maju menemui Congtohcu atau ketua perkumpulan
mereka, Lauw Yu-hong, dan setelah itu memberi hormat pada
Pho Jing-cu. "Boh-cici, jika menurut penuturan saudara cilik ini tadi,
agaknya siluman manusia Hek Hui-hong juga telah sampai di
Sinkiang," kata Kui Tiong-bing pada Boh Wan-lian. "Tetapi
dengan ilmu silatnya mana ia mampu mencelakai Bu-cengcu?"
"Berlagak-lagu seperti wanita, ya, tentunya manusia
siluman Hek Hui-hong itulah," kata Jing-cu sependapat dengan
Tiong-bing. "Eh, Sing-hua, bukankah dia memakai sebuah
kipas baja?"
"Betul, malahan keduanya memakai kipas semua," sahut
Sing-hua mengangguk.
"Keduanya memakai kipas semua" Jangan-jangan siluman
tua itupun sudah datang ke sini?" ujar Jing-cu sambil
mendesak yang lain lekas berangkat
Bwe-hong heran oleh kata-kata Pho Jing-cu tadi tentang
'siluman tua', maka ia lantas bertanya gerangan siapakah yang
dimaksud. "Sian Hun-ting, Pangcu (ketua) dari Tiat-sian-pang. Tak
pernah kau dengar namanya?" sahut Jing-cu.
"O, kiranya dia" kata Bwe-hong. "Kabarnya siluman tua itu
memiliki ilmu silat tunggal dan selamanya tidak mengenal
ampun, dari kalangan apa saja tak mau dia memberi muka,
meski terkenal busuk, tapi belumlah terlalu jahat dan kenapa
sekarang bisa berada bersama dengan Hek Hui-hong yang
terkutuk itu" Pula sebab apa telah datang mencari gara-gara
pada Bu Goan-ing, inilah sungguh aneh"'
Dalam pada itu mereka telah mengeprak kuda secepat
terbang hingga tiada setengah hari sudah sampai di tempat
tujuan. Penghuni perkampungan itu sibuk menyambut
kedatangan tamu, dan ibu Sing-hua kegirangan juga
"Beruntung Pho-pepek datang, ayah Sing-hua dapatlah
tertolong!" demikian katanya
Segera juga Pho Jing-cu dan Bu Ging-yao masuk ruang
dalam menilik keadaan Bu Goan-ing, ternyata wajah orang tua
itu sudah guram, napasnya lemah, melihat kedatangan Jingcu,
tampaknya ia ingin bicara, tapi hanya bibirnya saja sedikit
bergerak dan tak sanggup bersuara.
Lekas Jing-cu memeriksa nadi orang. "Ah, tak apa, tak
berhalangan," demikian katanya kemudian. Habis ini cepat ia
pun mengurut segala urat nadi yang bersangkutan dan
memencet lukanya agar darah berbisa mengalir keluar, lalu
diberikannya sebutir obat buatannya agar dimakan Bu Goaning.
Selang tak lama tiba-tiba wajah Goan-ing berubah segar
kembali. "Ha, keji sekali bangsat tua itu!" teriaknya segera
Lalu dari bawah bantalnya dikeluarkannya sebatang panah
hitam berbisa dan berkata pula "Inilah senjata rahasianya,
kalau tulangku yang rongsok ini kurang keras, mungkin tak
dapat berjumpa lagi dengan kalian."
Nyata Bu Goan-ing tidak mengenali siapa gerangan Sian
Hun-ting itu, sebab Goan-ing selamanya tinggal di daerah
barat-laut, sebaliknya Sian Hun-ting malang melintang di
daerah selatan, maka mereka belum pernah bertemu. Maka
kemudian ia pun menceritakan kejadian semalam, katanya,
"Semalam waktu aku melawan kedua penjahat itu, bangsat
tua itu meski lihai, masih dapat kutahan, kipasnya itu mulamula
dipakai untuk menotok saja, tak terduga kemudian
makin bertempur makin sengit dan akhirnya ujung golokku
membentur kipasnya, maka tiba-tiba dari senjatanya itu
menjeplak dan menyambar keluar beberapa panah berbisa.
Sungguh susah diduga bahwa senjata rahasianya bisa
disembunyikan dalam kipasnya itu."
Panah berbisa yang dihamburkan Sian Hun-ting itu
sebenarnya bila sudah meresap ke dalam darah, maka
orangnya seketika bisa sesak napas terus mati. Syukur
keuletan Bu Goan-ing selama berpuluh tahun melatih diri ini
lain dari yang lain, maka masih sanggup bertahan sampai
datangnya Pho Jing-cu.
Dan bila melihat orang sudah segar kembali, diam-diam
Pho Jing-cu bersyukur juga, tadi ia bilang 'tak apa-apa', tujuan
sebenarnya melulu buat menghibur Bu Ging-yao saja. Kini
benar-benar melihat Bu Goan-ing tak apa-apa, barulah ia
merasa lega. Lalu ia pun melarang Bu Goan-ing banyak bicara,
ia suruh Ging-yao merawat sang ayah agar mengaso baikbaik,
sedang ia sendiri lalu keluar.
Sementara itu Bu-toanio atau nyonya Bu dan para saudara
Thian-te-hwe sudah memotong beberapa ekor kambing dan
menyediakan daharan lain serta arak untuk menyambut
kawan-kawan yang baru tiba itu. Memangnya sudah bosan
Pho Jing-cu, Kui Tiong-bing dan kawan-kawan memakan
rangsum kering yang dibawanya dalam perjalanan, kini bisa
makan besar sepuas-puasnya, tentu saja mereka makan
dengan sangat gembira.
"Pho-pepek," diam-diam Bu-toanio berkata pada Pho Jingcu.
"Menurutmu, kedua penjahat itu bakal datang kembali
tidak?" "Tentu saja, malahan aku kuatir kalau mereka tidak datang
lagi!" sahut Jing-cu.
Dan sesudah berpikir sejenak, lalu ia minta Bu-toanio
memanggilkan Bu Ging-yao dan menyuruh gadis itu bersama
Ie Lan-cu tanpa bersenjata pergi jalan-jalan keluar,
perkampungan. Kemudian katanya pula pada Bu-toanio, "Maafkan enso,
bila kau setuju, aku minta kau pura-pura memasang tanda
berkabung dan menyediakan meja sembahyang seperti orang
lagi kesusahan kematian keluarga."
"Apa maksudmu?" tanya Bu-toanio tercengang.
"Ya, sebagai umpan untuk memancing kedatangan musuh,"
kata Jing-cu. "Kedua manusia rendah itu, lebih-lebih manusia
siluman itu, memang sudah lama aku ingin membasminya."
Karena penjelasan itu, Bu-toanio masih ragu-ragu, ketika
dirundingkan dengan Bu Goan-ing, orang tua ini ternyata
bergelak tertawa. 'Halia, nyawaku ini saja direbut kembali dari
elmaut oleh Pho-toako, kenapa aku mesti pakai pantangan
apa segala. Kalau mau pura-pura hendaklah dibuat semiripmiripnya,
suruh sekalian Ging-yao pergi memberi tahu berita
duka-cita pada setiap rumah tetangga"
Dan setelah mengambil keputusan itu, segera Pho Jing-cu
mengatur siasat. Ia menyuruh Ging-yao dan Lan-cu tidur
bersama di kamarnya semula, ia sendiri dan Ciok Thian-sing
tidur di kamar sebelah, sedang Ciok-toanio dan Bu-toanio satu
kamar, hanya Leng Bwe-hong ditugaskan meronda di luar.
Penjagaan telah diatur rapat sekali, tak terduga berturutturut
dua malam musuh masih tak datang.
"Aku yakin musuh pasti akan datang, jangan kita lengah,"
demikian kata Jing-cu.
Dan betul saja, malam ketiga lewat tengah malam, benarbenar
musuh telah datang, bahkan Bu Ging-yao hampir
menjadi korban.
Tentang Sian Hun-ting, Pangcu dari Tiat-sian-pang, kenapa
bisa jauh-jauh datang ke Sinkiang bersama Hek Hui-hong
yang disebut manusia siluman itu, kiranya ada sesuatu sebab
di dalamnya, ialah karena didesak dan diuber-uber oleh Beng
Bu-wi yang dibantu Ciok Cin-hui.
Seperti diketahui, Beng Kian, putera Beng Bu-wi telah
dibikin malu di bawah tangan Hek Hui-hong ketika ia dipedayai
mengawal 36 puteri ayu untuk Perdana Menteri Nilan, maka
sejak itu Beng Bu-wi lalu membawa puteranya menjelajahi
daerah Kanglam, malahan mengajak pula bantuan Ciok Cinhui,
dan telah mengobrak-abrik sarang Tiat-sian-pang.
Dalam pertarungan sengit itu, Sian Hun-ting dikalahkan
ilmu pedang Ciok Cin-hui yang hebat, sedang Hek Hui-hong
juga hampir mampus di bawah pipa tembakau Beng Bu-wi
yang panjang. Berkat ilmu silatnya yang lihai, begitu kalah
satu gebrakan, segera Sian Hun-ting melepaskan diri terus
melindungi Hek Hui-hong untuk kemudian melarikan diri.
Belakangan mereka masih terus diuber-uber dan susah
menancapkan kaki pula di daerah Kanglam, maka terpaksa
mereka lari ke daerah gurun luas ini.
Kembali tadi, ketika Leng Bwe-hong meronda di luar,
setelah tengah malam, keadaan masih sepi tiada terjadi
sesuatu, maka ia menjadi iseng rasanya, ia coba melorot
keluar pedang pusaka pemberian Asta tempo hari sebelum
mangkat, ia lihat warna pedang itu lorang-loreng, tapi bersinar
tajam, bentuknya juga berlainan dengan pedang buatan
Tiongkok asli, maka ia menjadi tertarik dan memainkannya
sejenak untuk melewatkan waktu senggang.
Tiba-tiba dilihatnya dari arah jalan perkampungan sana
berkelebat bayangan orang, cepat ia memburu maju dengan
pedang terhunus. Setelah dekat, Leng Bwe-hong rada terkejut
karena yang datang itu adalah tiga padri asing, ia menjadi
ragu-ragu pula, pikirnya, walaupun belum pernah kenal Sian
Hun-ting dan Hek Hui-hong, tapi tidaklah mungkin ada padri
asing seperti ini"
Dan selagi ia hendak menegur, didengarnya padri yang
rupanya menjadi pemimpin bersuara heran, lalu Bwe-hong
didekatinya terus bertanya dengan kerlingan mata yang aneh,
"Hai, kau, darimana kau dapatkan pedang itu?"
"Ada sangkut-paut apa pedang ini denganmu?" berbalik
Bwe-hong bertanya.
"Hm, apa kau kenal asal-usul pedang ini?" sahut padri itu
menjengek. "Asal-usul apa segala aku tak peduli, yang kuketahui ini
adalah barang Njo Hun-cong," kata Bwe-hong ketus.
"Hm, barang Njo Hun-cong" Njo Hun-cong adalah
perampok, tahu?" kata padri itu tiba-tiba sengit. "Jika dia tidak
mampus di daerah Kanglam, pasti aku akan menggali
tulangnya dan menyabetnya 300 kali dengan cambuk."
Gusar sekali Bwe-hong mendengar orang berani mencaci
Suhengnya yang paling dicinta dan dihormatinya Tapi ia coba
bersabar diri dan bertanya pula, "Apakah kau ini Thian-bong
Siansu adanya?"
"Eh, kiranya kau pun kenal nama tuan Buddhamu ini?" ujar
padri itu tertawa senang. "Jika begitu, tentunya kau pun tahu
bahwa pedang ini adalah milikku. Maka lekas kauserahkan
kembali baik-baik padaku agar aku mengampuni jiwamu. Bila
tidak, hm, biaraku mengirim kau pergi mencari Njo Hun-cong!"
Melihat lagak orang, diam-diam Bwe-hong berpikir, "Dahulu
Thian-bong Siansu ini pernah memimpin anak muridnya
mengembut Njc-suheng dan senjata mereka malah kena
dilucuti semua oleh Sulteng, termasuk pula pedang pusakanya
yang diberikan Asta ini, maka pantaslah bila ia masih
penasaran. Cuma kejadian itu sudah lebih 20 tahun, entah
selama ini ia bisa memperbaiki diri atau menjadi jahat" Jika ia
sudah berubah baik, sedangkan pasukan Boan segera akan
menjajah ke sini, seharusnya aku mempersatukan semua
suku-suku bangsa dan segala tenaga di daerah Tibet, Mongol
dan Sinkiang untuk melawan musuh, tiada harganya karena
sebilah pedang malah bermusuhan dengannya."
Dan ketika ia berpikir dan ragu-ragu, mendadak padri asing
itu membentak pula, "Hayo, kau mau menyerahkan tidak
pedang itu" Siapa kau" Berani kau membantah perintah Tuan
Buddha?" "Aku adalah Sute Njo Hun-cong," sahut Bwe-hong.
"Ha, Sutenya Njo Hun-cong?" padri itu menegas sambil
menarik muka. "Aku hanya tahu Njo Hun-cong punya seorang
Sute, yaitu Coh Ciau-lam, kenapa sekarang bisa muncul lagi
seorang Sute yang lain" Bagus bila begitu, jika kau adalah
Sute Njo Hun-cong, maka sekarang kau juga harus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar perintah Suhengmu yang masih hidup."
"Apa kau bilang?" tanya Bwe-hong mengkerut kening.
"Hahaha, apa kau masih belum tahu atau pura-pura tidak
tahu" Mungkin juga kau palsu hanya mengaku Sutenya Njo
Hun-cong?" kata Thian-bong Siansu bergolak tertawa "Coh
Ciau-lam membawa pasukan Boan telah sampai di Sinkiang
sini dan mengirim orang ke Tibet meminta maaf padaku untuk
mengampuni Suhengnya yang sudah mati itu dan minta aku
membantu dia mengamankan Mongol dan Tibet, ia malah
berjanji akan mencarikan pedangku, bila tidak bisa ketemu,
pedang Yu-liong-kiam akan diberikan padaku sebagai gantinya
Kini pedangku itu ternyata berada padamu, apalagi yang
hendak kaukatakan" Lekas kau serahkan saja!"
Karena penjelasan itu, sekonyong-konyong mata Leng
Bwe-hong mendelik. "Thian-bong," bentaknya segera,
"Sebenarnya aku tidak menginginkan pedangmu ini, tapi kini
aku justru tidak mau memberikan padamu, bila kau mampu,
hayclah maju mengambilnya sendiri!"
"Tangkap keparat ini, muridku!" teriak Thian-bon g
mendadak. Menyusul mana kedua padri asing lain yang muda segera
menubruk maju dari kanan-kiri.
Namun Bwe-hong tetap berdiri saja di tempatnya ketika
empat kepalan musuh mengenai tubuhnya maka terdengarlah
suara "bluk-bluk" yang keras, yang roboh bukan Leng Bwehong,
sebaliknya kedua padri muda itulah yang telah menggelongsor.
Tidak kepalang gusar Thian-bong Siansu, dengan
menggeram, tiba-tiba ia mencopot jubahnya yang berwarna
merah terus diayun ke atas bagai segumpal awan menutup ke
atas kepala lawan.
Melihat gaya serangan orang cukup hebat, lekas Bwe-hong
menggeser tubuh dan melangkah ke samping menghindarkan
serangan, berbareng itu tangannya terus menjambret ujung
jubah musuh, tapi segera terasa olehnya seperti memegang
sepotong papan besi saja maka tahulah dia Lwekang ThianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bong sudah mencapai puncaknya dan tak boleh dipandang
enteng. Diam-diam ia pun mengumpulkan tenaga dalam terus
menarik. Maka terdengarlah suara berebet sobeknya kain, jubah
padri itu telah terobek sebagian. Namun dengan separah kain
jubahnya yang masih ketinggalan, mendadak Thian-bong
menggunakannya buat menyabet lagi, berbareng itu telapak
tangan kiri tahu-tahu menghantam juga dari bawah kain
jubah. Tapi sekali Bwe-hong mengkeretkan tubuh, hampir saja ia
kena terpukul, sebaliknya karena luput mengenai sasaran,
Thian-bong menjadi kehilangan keseimbangan badan hingga
tubuhnya rada sempoyongan. Cepat sekali Bwe-hong
menendang, tak terduga Thian-bong Siansu masih bisa
mencelat ke atas setinggi lebih dua tombak, lalu dengan kain
jubahnya yang masih dipegang itu kembali menubruk pula dari
atas. Thian-bong Siansu adalah Sute atau adik-guru dari Thianliong
Siansu, cikal-bakal Thian-liong-pay di Tibet Sejak
dikalahkan Njo Hun-cong 20 tahun yang lalu, ia kembali ke
Tibet dan giat melatih diri, setelah lewat 20 tahun, sudah
tentu kepandaiannya sudah jauh lebih maju, maka sesudah
saling gebrak dengan Leng Bwe-hong masih belum ada tanda
bakal kalah. Sementara itu Bu Ging-yao yang tidur sekamar dengan Ie
Lan-cu, setelah lewat tengah malam masih belum terjadi apaapa
maka ia berkata, "Mungkin akal Pho-pepek ini tiada
berhasil, belum tentu musuh mau masuk perangkapnya"
"Tapi tiada jeleknya kita berjaga," ujar Lan-cu. "Di luar ada
Leng-tayhiap yang meronda, bila musuh benar-benar datang,
mungkin belum sampai menerobos masuk kampung sudah
kena dibereskan olehnya masakah kita punya bagian lagi?"
kata Ging-yao pula.
Karena sudah tiga malam berturut-turut berjaga, maka
Ging-yao rada letih dan mengantuk. Sebaliknya Ie Lan-cu
tetap mengumpulkan semangat menjaga dengan pedang
terhunus. Selang tak lama ketika Lan-cu merasa mengantuk, tiba-tiba
tercium olehnya ada bau wangi yang sayup-sayup tertiup
masuk dari luar hingga membikin orang mabuk.
"Celaka!" teriak Lan-cu mendadak. Dan saat itulah dari luar
lantas melompat masuk dua orang melalui jendela
"Hahaha, inilah dia, dua nona cantik berada di sini semua!"
kata seorang di antaranya dengan suara banci sambil tertawa.
Nyata ialah Hek Hui-hong.
Dalam pada itu cepat sekali pedang Lan-cu sudah menusuk
dan ketika Hek Hui-hong menangkis dengan kipasnya
mendadak terdengar suara gemerincing, rusuk kipasnya telah
terta-bas kutung semua, berbareng beberapa puluh jarum
lembut yang tersembunyi di dalam kipas itupun menyambar
keluar. Tapi Lan-cu memutar pedangnya hingga semua jarum
itu tergoncang balik.
Sama sekali Hek Hui-hong tak menduga Ie Lan-cu bisa
begitu lihai, keruan ia menjadi kelabakan malah melayani
jarum sendiri yang hendak makan tuannya itu.
Dari samping lekas Sian Hun-ting mengebas lengan
bajunya hingga jarum-jarum itu tersapu jatuh, menyusul
tubuhnya mendadak melompat ke atas dengan tipu 'Jong-engbok-
tho' atau elang tua menyambar kelinci, lihai sekali Bu
Ging-yao hendak dijambretnya.
Sebagai seorang ahli silat yang selamanya waspada, baru
saja Ging-yao layap-layap mengantuk tadi, karena keributan
itu segera ia pun sadar kembali, cuma pandangannya menjadi
rada kabur dan tenaga seakan hilang, ketika jambretan Sian
Hun-ting tiba, dalam ancaman bahaya itu tiba-tiba Ging-yao
ingat pada tipu lihai yang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li yang
disebut 'Bu-siang-toat-beng' atau setan jahat mencabut
nyawa, cepat ia menjatuhkan diri ke lantai, dan kedua kakinya
terus menendang 'Pek-ji-hiaf di lutut musuh.
Ketika Sian Hun-ting mengkeretkan tubuh menghindarkan
tendangan itu, segera juga Bu Ging-yao menggelinding pergi
ke samping. Dalam pada itu dari belakang pedang Ie Lan-cu
telah menusuk pula Tanpa membalik, Sian Hun-ting meraup
ke belakang, kelima jarinya bagai catok hendak menangkap
pergelang-an tangan si gadis. Namun Lan-cu pun tidak kalah
cepatnya, sedikit memutar ke samping, kembali ia menusuk
lagi. Tapi Sian Hun-ting juga gesit luar biasa, ketika kipasnya ia
gunakan, tahu-tahu iga si gadis hendak ditotoknya pula
Sementara itu Lan-cu merasakan kepalanya sakit seakanakan
pecah, meski ilmu pedangnya amat bagusnya, tapi untuk
melawan Sian Hun-ting sesungguhnya tak sanggup lagi,
terpaksa ia harus main berkelit terus.
Melihat gadis itu sudah menghisap asap dupa pemabuk
masih begitu hebat ilmu silatnya, mau tak mau Sian Hun-ting
terperanjat juga
Di lain pihak Hek Hui-hong telah menggunakan kesempatan
baik itu hendak menggerayangi Bu Ging-yao. Tapi belum
tangannya menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar di
luar jendela ada suara tertawa dingin orang. Menyusul mana
tahu-tahu Hek Hui-hong sendiri yang terjungkal malah.
Sebagai jagoan, cepat luar biasa Sian Hun-ting mengayun
tangannya, satu sinar emas mencelat kembali keluar hingga ia
terhindar senasib dengan sang kawan, habis itu segera ia pun
membentak, "Perempuan keparat, berani membokong?"
Saat itu Ciok-toanio yang menyambitkan senjata rahasia
anting emas dari luar itu sudah bisa berkelit terhadap anting
yang disampuk balik oleh Sian Hun-ting tadi itu. Dalam pada
itu bagai burung Hun-ting sudah melayang keluar jendela
juga. Tentu saja Ciok-toanio tidak membiarkan orang lolos,
kontan ia sambut musuh dengan sekali bacokan ke atas
kepala dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai.
Namun Sian Hun-ting ternyata tidak berkelit, sebaliknya
terdengar ia menggertak, "Kena!" Berbareng itu kipas bajanya
malah digunakan menotok pergelangan tangan Ciok-toanio.
Ciok-toanio bukanlah lawan lemah, ia tertawa dingin sambil
menarik kembali pedangnya dan lantas membabat pula dari
jurusan lain, dalam sekejap saja beruntun ia sudah
memberondong musuh dengan empat kali serangan.
Baru kini Sian Hun-ting kenal lihainya nyonya tua ini, ia
terperanjat, dan segera hendak angkat langkah seribu alias
kabur. Namun belum ia melangkah jauh, dari pojokan yang gelap
mendadak muncul seorang tua berpakaian rajin bagai kaum
cendekiawan yang lemah gemulai, dan berjenggot panjang
melambai. Tanpa bicara Sian Hun-ting mengangkat kipas bajanya
lantas menotok, orang tua itu menggeraki pedangnya pelahan,
tetapi membawa tenaga tersembunyi yang luar biasa
besarnya. Begitu kipas Sian Hun-ting menempel pedang,
segera ia berpikir hendak membarengi dengan tipu 'Sun-cuitui-
ciu' atau mendorong perahu menurut arus air, yakni
mendorong kipas ke atas untuk memotong jari tangan lawan.
Tak ia duga, kipasnya ternyata seperti melekat pada
pedang lawan, jangan kata disurung memotong ke atas,
sedang untuk menggeser saja susah. Lekas Sian Hun-ting
mengumpulkan seluruh tenaganya, kipasnya ia coba tarik,
berbareng mana ia menyerang pula dengan satu tipu 'Kim-najiu'
atau gerakan mencekal dan menangkap, dengan begitu ia
dapat melepaskan diri, lalu tubuhnya melesat, segera ia pun
melompat turun.
Si orang tua itu adalah Pho Jing-cu. Dengan senyum simpul
tersungging di bibirnya, bersama Ciok-toanio segera mereka
mengejar musuh.
Dan ketika Sian Hun-ting melompat ke bawah, baru saja
menancapkan kakinya di bawah loteng, tahu-tahu ia sudah
dinantikan oleh Hui-ang-kin. Dengan pecut panjang yang
diayunkan hingga menerbitkan suara keras, segera Hui-angkin
hendak melilit kipas baja Sian Hun-ting.
Dengan ilmu silatnya yang memang cukup sempurna, Sian
Hun-ting menangkis beberapa kali serangan, akan tetapi lebih
dari itu, ia sudah merasa payah sekali, ia mengerti tak akan
ung-gulan buat melawan terus, maka tiba-tiba jarinya
menekan kipasnya yang mempunyai alat rahasia beberapa
anak panah beracun secepat kilat lantas menyambar.
Waktu Hui-ang-kin menyabet dan menyapu dengan
pecutnya untuk membersihkan serangan panah itu, dengan
cepat Sian Hun-ting telah melompat pergi pula, dan selagi ia
hendak menerobos keluar pintu, tiba-tiba terdengar suara
gertakan, berbareng mana muncul seorang tua beroman
merah, orangnya belum sampai, tapi kakinya telah melayang
lebih dahulu, kedua kalanya beterbangan menendang dengan
'Lian-goan-wan-yang-tui', hingga Sian Hun-ting dipaksa
mundur ke dalam lagi.
Orang yang muncul mendadak ini bukan lain daripada Ciok
Thian-sing. Melihat sekelilingnya penuh dengan jago-jago yang jarang
ditemui selama hidupnya, Sian Hun-ting mengerti bahaya apa
yang bakal menimpa dirinya, namun sebaliknya ia lantas
tinggal diam berdiri saja dengan kipasnya melintang di dada,
kemudian dengan bergelak tertawa ia berkata, "Haha, menang
dengan mengandalkan orang banyak, aku Sian Hun-ting
hanya punya satu kepala, jika kalian menginginkan, sekali-kali
aku takkan berkerut kening."
Akan tetapi Pho Jing-cu, Ciok-toanio, Hui-ang-kin dan Ciok
Thian-sing bungkam, mereka tidak menggubris ocehan orang,
melainkan terus berdiri di empat penjuru.
"Hm, jangan kau jual lagak," mendadak terdengar suatu
suara seram menggema di pinggir telinga memecah
kesunyian. "Cukup bila kau mampu menerima tiga kali
seranganku, segera aku akan melepaskanmu, pasti tidak
mempersulit" Suara itu kecil, tetapi menusuk telinga, tiap
perkataannya sangat jelas.
Sian Hun-ting memandang dengan mata membelalak, tapi
ia hanya mendengar suaranya dan tak nampak orangnya. Dan
ketika ia sedang heran dan terkejut, mendadak suara aneh itu
menggema pula di pinggir telinganya. "Sepasang mata
anjingmu yang lamur ini, mana bisa kau melihatku."
Dan baru suara itu lenyap, tiba-tiba di tengah-tengah
kalangan telah bertambah seorang tua kurus kecil.
Orang ini ialah Sin Liong-cu, ia berperawakan pendek kecil,
gerak tubuhnya aneh dan cepat, secara mendadak ia telah
menongol di tengah kalangan, keruan saja membikin Sian
Hun-ting sangat terperanjat.
Sian Hun-ting sudah biasa malang melintang selama
beberapa puluh tahun di Kanglam, dengan sendirinya adalah
ahli dalam membedakan 'kwalitet' orang, maka ia pun tahu Sin
Liong-cu mempunyai latihan Lwekang yang mendalam sekali,
cukup tentang kemahiran cara mengumandangkan suara tadi,
belum tampak orangnya, suaranya telah menggema di pinggir
telinga erang, kekuatan dalam ini saja sudah sampai di
puncaknya yang belum pernah ia jumpai.
Tetapi Sian Hun-ting sendiri juga mempunyai keuletan
latihan selama beberapa puluh tahun, walaupun ia tahu
dirinya bukan tandingan Sin Liong-cu, tetapi kalau untuk tiga
gebrakan atau serangan saja betapapun kau tak nanti bisa
merobohkan aku, demikian pikirnya.
Setelah mengambil keputusan itu, maka dengan suara
lantang segera ia membentak, "Betulkah katamu tadi?"
"Siapa yang berguyon denganmu," sahut Sin Liong-cu.
"Nah, hitunglah yang betul, serangan pertama segera aku
akan membuatmu menubruk tanah."
Menyusul itu, tiba-tiba Sian Hun-ting merasa bayangan
orang berkelebat di depannya, lengan baju Sin Liong-cu yang
panjang lebar beterbangan mirip tangan raksasa dari atas
lantas menyambar ke mukanya berbareng mana sikut kirinya
pun menyodok ke dada dan kakinya menendang ke lututnya
Serangan aneh dari Sin Liong-cu ini, sekaligus telah
menyerang tiga tempat lawan, bagian atas, tengah dan
bawah, untuk bisa menghindarinya tiada jalan lain terkecuali
harus menggunakan gerakan 'Gun-te-tong' atau bergulung di
tanah, salah satu dari gerakan
'Yam-Jing Capwe-hoan' atau delapan belas jumpalitan dari
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yan Jing, lebih dari itu tiada jalan lain lagi buat
menghindarkan serangan tadi.
Oleh karena itu, Sian Hun-ting tak sempat berpikir panjang
lagi lantas merobohkan diri menggelundung ke bawah untuk
kemudian disusul dengan satu gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau
ikan lele meletik, lalu ia pun bangkit kembali.
Dengan begitu ia betul-betul telah dibikin menubruk tanah
seperti dikatakan Sin Liong-cu tadi.
Dalam pada itu suara aneh tadi kembali menggema pula
"Dan kini serangan kedua akan membikin kau bolak-balik
berputar!"
Belum Sian Hun-ting tenang oleh serangan tadi, tiba-tiba
tertampak Sin Liong-cu dengan tangan kiri mengepal dan
tangan kanan mengulur jari sedang kaki kiri agak berjinjit,
dengan gerakan 'Kim-keh-tok-lip' atau ayam emas berdiri satu
kaki, telah berdiri di sampingnya dengan kepalan siap untuk
memukul ke dada dan jarinya mengarah ke bawah iga,
kakinya yang berjinjit berubah dengan gerakan "Sip-ji-pai-iian'
atau menyebar teratai ke empat penjuru, dengan kuda-kuda
yang siap sedia ini dapat segera dibuat menendang
selangkangan atau mendupak perut, asal sekali bergerak saja
segera bisa membuat musuh roboh tak berkutik.
Sian Hun-ting mengerti bahaya yang mengancam jiwanya,
terpaksa berdiri tak bergerak, seperti tidak bersiap-siap, tetapi
sebenarnya berjaga-jaga dengan ilmu silat yang tinggi untuk
melindungi seluruh tubuhnya
Tetapi Sin Liong-cu tertawa dingin, ia melembungkan dada
dengan lagak seperti hendak menubruk maju. Karena itu Sian
Hun-ting mengira dirinya akan diserang, secepat kilat ia
memutar kakinya, dan betul saja ia telah berputar bolak-balik
yang sebenarnya adalah gerakan ' Pat-kwa-yu-bin-hoat' atau
berputar tubuh menurut pat-kwa, untuk melayani serangan
musuh yang serentak. Dan kecuali gerakan ini, memang tiada
jalan lain lagi untuk mengelakkan serangan.
Tak tahunya Sin Liong-cu tadi hanya bergerak pura-pura
saja, ia tidak menubruk sungguhan, tapi ia menunggu setelah
Sian Hun-ting sudah agak lambat memutar tubuhnya
barulah mendadak ia menggertak pula, "Sekarang serangan
ketiga segera akan kulemparkan kau keluar pintu!"
Setelah itu kedua tangannya bergerak, secepat kilat di
antara angin pukulan dan bayangan tubuhnya, sekonyongkonyong
terdengar Sian Hun-ting menjerit terus mencelat
pergi beberapa tombak jauhnya Sungguhpun begitu, dalam
keadaan bahaya itu, masih sempat juga Sian Hun-ting
melontarkan satu serangan balasan yang lihai, diam-diam ia
mengumpulkan tenaganya untuk menghancurkan kipasnya
sendiri, dalam mana belasan panah beracun segera
menyambar ke arah Sin Liong-cu semua.
Sin Liong-cu tidak menduga bahwa musuh masih bisa balas
menyerang, maka ia pun terkejut, lekas dengan tipu 'It-hochiong-
thian* atau burung bangau menjulang ke langit, ia
meloncat tinggi ke atas.
Pada kesempatan itulah Sian Hun-ting kabur keluar yang
segera dikejar oleh Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin dengan
kencang. Kembali mengenai Leng Bwe-hong yang sedang menempur
Thing-bong Siansu dengan sengit itu, karena se tanding dan
sembabat, maka sudah lama masih belum tampak siapa
unggul atau asor.
Lama-lama Leng Bwe-hong menjadi tak sabar, ia
mengubah gerak tubuhnya, sepotong robekan jubah orang
yang diso-beknya tadi ia puntir kencang hingga mirip sepotong
toya pendek, ia memainkan kiam-hoat yang baru saja dapat
dipelajarinya dari sang guru di waktu akan wafat itu.
Kiam-hoatnya yang baru ini ternyata sangat hebat, ia
memainkan menurut gerakan senjata tajam, potongan toya
dan kasa atau jubah padri itu di tangannya lantas mirip seperti
sebatang pedang yang bisa menusuk, membabat dan
membacok. Sampai suatu saat yang menentukan, tiba-tiba terdengar
suara robekan yang keras, sepotong jubah di tangan Leng
Bwe-hong itu telah dapat melilit bagian lain yang ada pada
Thian-bong Siansu. Ketika Bwe-hong memuntir dengan kuat,
tahu-tahu potongan jubah di tangan Thian-bong hancur
menjadi robekan kain yang kecil.
Bwe-hong masih tidak berhenti, mendadak ia menghantam
pala dengan sebelah tangannya, menyusul itu terdengarlah
jeritan ngeri Thian-bong Siansu, ia terus membalik tubuh dan
segera hendak kabur. Dan selagi Bwe-hong bermaksud
mengejar, pada saat itulah ia merasa dari belakang ada angin
berkesiur, maka ia urung mengejar, sebaliknya ia
membalikkan tangannya lantas menghantam ke belakang.
"Aduh!" terdengar jeritan orang di belakangnya Sebaliknya
Leng Bwe-hong pun merasa tenaga orang ini sangat besar.
Kiranya orang ini bukan lain ialah Sian Hun-ting yang
hendak buron dengan dikejar Pho Jing-cu dan Hui-ang-kin.
Karena pukulan Leng Bwe-hong tadi, seluruh tubuhnya
menjadi lemas sakit, belum beberapa langkah ia berlari, Pho
Jing-cu sudah keburu menyandaknya, jarinya menotok dan
segera Sian Hun-ting dibikin tak berdaya dan terguling.
Dalam pada itu, dengan membawa kedua muridnya, Thianbong
Siansu berhasil kabur.
Karena harus menempur Thian-bong dengan sengit, Bwehong
menjadi lengah sehingga Sian Hun-ting dapat
menerobos masuk ke kampung, ia lalu minta maaf pada Pho
Jing-cu. "Dua penjahat sudah dapat ditangkap, buat apa Leng-tayhiap
memikirkan lagi," kata Jing-cu. Habis itu mereka beramairamai
lalu menggiring Sian Hun-ting kembali ke dalam
kampung. Sementara itu Ciok-.toanio sedang duduk di ruangan
tengah dan memeriksa Hek Hui-hong. Setelah berada di
dalam, Pho Jing-cu menekan pundak Sian Hun-ting dengan
kedua tangannya sambil menggertak.
"Untuk tujuan apakah kalian datang ke barat-laut sini?"
tanyanya "Dan mengapa berani menerobos ke Bu-keh-ceng
sini" Lekas kau mengaku, kalau tidak, kedua tanganku sedikit
bertenaga saja aku akan meremukkan tulang pundakmu dan
memusnahkan ilmu silatmu dahulu!"
Sian Hun-ting mengenal Pho Jing-cu sebagai tokoh ternama
dari Bu-kek-pay, karena itu ia lantas berteriak, "Pho Jing-cu,
tak perlu kau mendesakku!" Setelah itu ia memandang
sekejap pada Hek Hui-hong yang diringkus itu, kemudian ia
berkata pula dengan menghela napas panjang. "Pendeknya,
binatang inilah yang membikin celaka aku!"
Habis mana, sekuatnya ia mengunyah lidahnya sendiri, dan
setelah menjerit beberapa kali, ia menyemburkan darah dan
roboh terguling, nyata ia telah membunuh diri.
Pelahan Pho Jing-cu menghela napas, mendadak ia teringat
sesuatu, ia mengulur tangan dan meremas ke bawah
rahangnya Hek Hui-hong. Keruan saja yang disebut
belakangan ini menjerit kesakitan karena giginya telah rompal
semua oleh remasan keras Pho Jing-cu, dan darah bercampur
gigi yang rontok itu ia muntahkan ke tanah.
Kiranya Pho Jing-cu kuatir kalau Hek Hui-hong meniru cara
Sian Hun-ting menggigit lidah sendiri untuk membunuh diri,
maka ia telah mendahului meremas rahangnya
"Lebih baik kau bunuhlah aku!" jerit Hek Hui-hong saking
sakitnya. Akan tetapi Pho Jing-cu malah menepuk tengkuknya sambil
menggertak pula "Kau mau mengaku atau tidak?"
Karena tepukan itu, Hek Hui-bong menjerit ngeri, suara
perkataannya menjadi samar-samar tapi masih bisa ditangkap
apa yang dikatakannya. Katanya "Aku datang ke daerah
perbatasan ini terpaksa oleh karena diuber-uber Ciok Cin-hui
dan Beng Bu-wi. Dan Thian-bong Siansu yang menyuruh kami
ke sini!" "Thian-bong yang menyuruhmu ke sini?" tanya Bwe-hong.
"Ke sini untuk keperluan apa?"
Hek Hui-hong bungkam, ia tidak menjawab pertanyaan
orang, ia hanya memandang sekejap ke arah Bu Ging-yao
untuk kemudian menundukkan kepalanya. Karena itu, Bu
Ging-yao menjadi merah mukanya ia menjadi gusar juga,
dengan sekali gablok ia memukul remuk batok kepala Hek
Hui-hong. "Ya, nona Bu, memang tak bisa menyalahkanmu yang
menjadi gusar, tapi masih terlalu murah bagi jahanam ini,"
kata Bwe-hong tertawa Ketika mayat Hek Hui-hong digeledah,
dapat diketemukan sepucuk surat yang Thian-bong kirim
padanya isinya menyuruh dia mengacau ke Bu-keh-ceng,
kemudian membawa surat itu pergi menemui Coh Ciau-lam.
72$ 729 Kiranya Coh Ciau-lam juga tahu bahwa Bu Goan-ing telah
mendirikan perkampungan pula di padang rumput, tetapi ia
pandang arang sebagai 'penyakit kulit' yang tak berarti, maka
ia tidak ingin membereskannya sendiri, ia minta Thian-bong
dan kawan-kawannya yang membereskan Bu-keh-ceng.
Sebaliknya Thian-bong Siansu telah berkomplot pula dengan
Sian Hun-ting yang sementara itu juga telah buron sampai di
daerah perbatasan ini, ia minta Sian Hun-ting dan kawankawan
pergi menyelidiki dahulu. Tak tahunya Hek Hui-hong
menjadi nekat karena tabiatnya yang memang suka akan
paras elok, pada hari pertama ia masuk perkampungan itu, ia
telah melihat Bu Ging-yao. Karena itu tidak sempat menunggu
kedatangan Thian-bong Siansu, ia lantas mendatangi
kampung itu malam-malam bersama Sian Hun-ting dengan
maksud akan 'petik bunga'. Tetapi ia hampir dibacok mampus
oleh Bu Goan-ing, beruntung ada panah beracun Sian Hunting,
sehingga bisa menyelamatkan diri.
"Waktu untuk kedua kalinya mereka kembali lagi hendak
main gila sesudah bergabung dengan Thian-bong, mereka
telah membagi dalam dua kelompok. Tak terduga lagi
terbentur pula dengan banyak ahli silat dan akhirnya tamatlah
riwayatnya. "Melihat cara Coh Ciau-lam mengumpulkan orang pandai
dari berbagai penjuru, agaknya tidak terlalu lama lagi pasukan
Boan tentu akan menjajah kemari secara besar-besaran, kita
harus berjaga-jaga dengan baik," ujar Bwe-hong akhirnya
sesudah berpikir sejenak.
"Besok aku segera akan memerintahkan orang pergi
mengundang semua kepala suku bangsa di Sinkiang selatan
dan tunduk pada perintah Li-kongcu," segera Hui-ang-kin
berkata dengan bersemangat.
"Pahlawan wanita kita telah bersedia mencurahkan
tenaganya kembali, itulah bagus sekali, aku bersedia
menyumbangkan seluruh tenagaku yang tak berarti sebagai
perintis," kata Li Jiak-sim merendah sambil menghormat.
"Kalian tak usah saling sungkan pula," kata Bwe-hong
tertawa. "Semua orang telah letih dalam beberapa hari ini,
baiknya besok saja dirundingkan lagi."
"Kalian semua adalah orang-orang yang selalu sibuk
dengan apa yang disebut urusan negara, sebaliknya aku
adalah orang yang sudah biasa hidup sepi dan menganggur,
mengenai urusan kalian itu sedMtpun aku tidak tertarik," tibatiba
terdengar Sin Liong-cu berkata dengan kerlingan matanya
yang aneh. "Maka aku akan kembali ke Thian-san saja untuk
meyakinkan ilmu pedang. Nah, maafkan aku tidak tinggal lebih
lama lagi."
Akan tetapi segera ia ditahan Leng Bwe-hong. "Sin-toako,
jika kau akan pulang juga tak perlu harus buru-buru,"
katanya. "Tunggulah sampai besok, aku masih ada sesuatu
yang akan kuberitahukan padamu."
"Ya, sudah, mengingat kau pernah menolong jiwaku, aku
menurut kau," ujar Sin Liong-cu. "Tetapi kalau kau ingin aku
ikut campur urusan tetek-bengek, itulah aku tidak sudi."
Dan semalam telah lewat pula, besok paginya, baru saja
fajar menyingsing, Ie Lan-cu sudah berjalan-jalan di lapangan
rumput di luar kampung.
Sesudah turun gunung, perasaan si gadis menjadi bergolak,
padang rumput luas di Sinkiang ini adalah tempat perjuangan
mendiang ayahnya dahulu, boleh dikata selama hidupnya
ayahnya melewatkan di padang rumput Oleh karena itu,
terhadap padang rumput luas di Sinkiang, ia pun merasa ada
semacam kesan yang mendalam sekali yang susah diutarakan,
mirip seperti perasaan terhadap ayahnya.
Pagi sekali ia sudah bangun, perlunya ialah untuk menanti
Leng Bwe-hong buat mengutarakan rasa rindunya kepada
ayahnya almarhum dan perasaan sayangnya terhadap padang
rumput Selagi Ie Lan-cu termenung melamun sendirian, tibatiba
dilihatnya di padang rumput itu ada seorang lain lagi yang
juga sedang berjalan-jalan sendirian, waktu ia mendekatinya,
orang itu telah memanggilnya, "Lan-cu, demikian pagi kau
sudah bangun!" Orang ini ternyata Thio Hua-ciau adanya.
Maka pemuda itupun berlari-lari memapak si gadis. Sesampai
di depan Lan-cu, mendadak ia berdiri tegak dan memandang
terkesima. "Eh, apakah kau menjadi gendeng, apa yang kau lihat?"
tanya Lan-cu heran.
"Rambutmu, Lan-cu, rambutmu ini" seru Hua-ciau tiba-tiba.
Lan-cu menjadi bingung, ia membelai rambutnya sendiri
dengan tak mengerti. "Rambutku" Rambutku kenapa?"
tanyanya. "Rambutmu sudah hitam semua, seujung rambut putih jua.
tiada lagi!" teriak Hua-ciau pula kegirangan.
Setelah itu, ia menarik gadis itu bercermin ke tepi sebuah
kolam, maka jelas terlihat rambut yang hitam gombyok
mengkilap. Karena itu, Lan-cu sendiri terkesima hingga tak
sanggup berkata-kata.
"Adik Lan, sungguh kau manis sekali!" kata Hua-ciau
memuji sambil memegang tangan si gadis dengan mesra.
Tak terduga tiba-tiba terdengar Lan-cu menghela napas.
"Peduli apa rambut putih atau rambut hitam, semua itu tiada
pengaruhnya atas diriku," demikian katanya "Rambut putih tak
usah sedih dan rambut hitam pun tak perlu dibuat-girang,
yang pasti ialah aku harus mengikuti jejak Hui-ang-kin."
Thio Hua-ciau menjadi heran mendengar kata-kata orang.
"He, bukankah kau telah lari keluar dari pegunungan sunyi itu
karena kau tidak ingin dikurung olehnya?" tanyanya cepat.
"Nyata sedikitpun kau tak memahami aku, juga tidak
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memahami Hui-ang-kin," kata Lan-cu. "Kini Hui-ang-kin sudah
bukan Hui-ang-kin yang dulu lagi, aku dan dia kini sudah tidak
berada di pegunungan sunyi lagi, tetapi berada di padang
rumput. Kini aku sangat menjunjung dan menghormati dia,
sama seperti aku menghormati Leng-sioksiok."
Kiranya sesudah mengalami pukulan hebat oleh peristiwa
dulu itu, Lan-cu telah terpengaruh oleh perkataan Leng Bwehong
hingga diam-diam telah lari dari Thian-san. Cinta
kasihnya terhadap Thio Hua-ciau walaupun belum lenyap,
tetapi rasa cintanya sudah diselimuti oleh suatu perasaan lain
yang luar biasa perasaan itu ialah perasaan cinta terhadap
padang rumput, ia akan mewarisi cita-cita ayahnya untuk
menolong dan menghindarkan rakyat penggembala di padang
rumput dari penderitaan.
Begitulah cita-cita itu telah membakar jiwanya rindu kasih
terhadap mendiang ayahnya yang mendalam itu telah
merebut hatinya, rasa cinta asmaranya sebaliknya telah
terdesak ke sudut lain. Maka kini ia belum sempat
mempersoalkan cinta asmara, tentang rambutnya yang putih
telah kembali menjadi hitam, lebih-lebih tidak mendapat
tempat di hatinya.
Maka Hua-ciau terdiam dengan paras muram, tetapi pelahan
ia pun dapat memahami perasaan kekasihnya itu.
"Adik Lan, mengertilah aku sekarang!" katanya kemudian
sambil menarik tangan si gadis. "Waktu ayahku tewas di
tangan musuh, hatiku tatkala itu juga penuh api yang
berkobar-kobar ingin membalas dendam tanpa memikirkan
hal-hal lain. Tetapi, bila kita selalu berada bersama toh itu
juga tidak merintangi perjuangan kita."
Karena kata-kata terakhir ini paras Lan-cu agak kemerahan.
"Sudahlah! Lihat itu, Leng-sioksiok telah datang!" katanya
sembari melepaskan tangan orang.
Ketika itu terlihat Leng Bwe-hong berjalan berendeng
bersama Sin Liong-cu sedang menuju lapangan rumput, tak
lama kemudian tertampak Pho Jing-cu dan yang lainpun
menyusul datang.
"Pagi sekali, Lan-cu," sapa Bwe-hong waktu nampak si
gadis. Dan ia pun tersenyum melihat juga Hua-ciau berada di
situ. Tetapi bila melihat Hua-ciau bermuka muram tak berkatakata,
Bwe-hong merasa heran juga
"Leng Bwe-hong, kau mengajakku ke sini ada urusan apa,
lekas katakan!" sementara terdengar Sin Liong-cu bertanya
Tapi Bwe-hong tak menjawab, hanya diambilnya pedang
yang menyelip di pinggangnya dan diangsurkan pada Sin
Liong-cu, "Coba lihatlah, bagaimana pendapatmu tentang
pedang ini?" katanya kemudian.
Sin Liong-cu mengamati pedang itu dengan teliti, habis itu
ia menyentilnya beberapa kali sambil bersiul panjang, "Ini
adalah pedang pusaka golongan Thian-liong-pay di Tibet,
darimana kau bisa memperolehnya?" tanyanya kemudian.
"Kiranya kau juga kenal asal-usul pedang ini," kata Bwehong
tertawa. "Apakah kau suka akan pedang ini?"
"Jika pedang ini berada di tangan si kepala gundul Thianbong
itu, mungkin aku akan merebutnya," ujar Sin Liong-cu.
"Tetapi kini berada di tanganmu, tak nanti aku merebutnya"
"Kalau memang kau suka, boleh lantas kuberikan nadamu!"
ujar Bwe-hong tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh?" Sin Liong-cu menegas dengan ragu.
"Tentu saja Hanya sebatang pedang, apa yang perlu
disayangkan" Aku selamanya tak pernah menggunakan
pokiam, juga tak pernah dikalahkan orang!" kata Bwe-hong
pula Tiba-tiba Sin Liong-cu mengayunkan pedang di tangannya
itu sambil biji matanya yang aneh itu berputar. "Ha, Leng
Bwe-hong, agaknya kau kuatir aku tidak mau menerima
pedang ini, lantas kau sengaja memancing aku," serunya
kemudian. "Baik, aku terima kebaikanmu ini, tapi tetap aku
masih akan bertanding pedang denganmu!"
"Bagus! Kita boleh bertanding sekarang juga," Bwe-hong
menerima tantangan itu. "Kita berhenti asal salah satu bisa
me-nutul dan tak usah memikirkan tentang kalah atau
menang." Sementara itu Kui Tiong-bing telah membawakan satu
ember kapur. Leng Bwe-hong mengeluarkan 'Jing-kong-kiam'
yang biasa ia pakai, lantas ia mencobloskan ke dalam kapur,
kemudian melompat pergi sambil berseru, "Nah, marilah sini!"
Nampak mereka akan bertanding, le Lan-cu dan Bu Gingyao
terheran-heran, hanya Pho Jing-cu yang tersenyum saja
sambil mengelus jenggotnya
Leng Bwe-hong tahu ilmu silat Sin Liong-cu sangat tinggi,
lebih-lebih paling belakang ini ia telah memperoleh pelajaran
Tat-mo-kiam-hoat pula, kalau tidak diuruk dengan budi dan
diatasi dengan kewibawaan, tak mungkin bisa
menaklukkannya Oleh karena itu, sesudah diberi pedang, ia
tepat pula dengan janji yang dulu untuk bertanding pedang
dengan orang. Pho Jing-cu sudah berpengalaman, sudah tentu ia dapat
menangkap maksud Leng Bwe-hong. Adalah sebaliknya Ie
Lan-cu dan Bu Ging-yao diam-diam kuatir, mereka pernah
menyaksikan ilmu silat Sin Liong-cu yang lihai, dengan berdua
mereka mengeroyok saja masih tak bisa mengalahkan Sin
Liong-cu yang bertangan kosong. Kini Sin Liong-cu bertambah
memakai pedang, tentu saja seperti harimau tumbuh sayap,
mereka kuatir Leng Bwe-hong tak sanggup melawannya
Oleh karena kekuatiran mereka, maka mereka bersiap
berdiri di luar kalangan agar bila perlu segera memberi
pertolongan. Begitulah dengan pedang melintang di dada Sin Liong-cu
berdiri berhadapan dengan Leng Bwe-hong, kedua matanya
memandang tak berkedip, tetapi lama sekali masih belum
tampak mereka bergebrak.
Selagi semua merasa heran oleh sikap mereka itu,
sekonyong-konyong Sin Liong-cu duduk ke bawah malah,
dengan cepat ujung pedangnya mencukil ke atas, segera Leng
Bwe-hong tekan pedangnya menahan serangan lawan, tetapi
secepat kilat Sin Liong-cu lantas berputar beberapa kali di
bawah. Gerak serangan kilat ini, kecuali beberapa orang
tertentu, yang lain pada hakikatnya tidak mengetahui bilakah
ia telah bangkit berdiri kembali.
"Tat-mo-kiam-hoat memang ajaib sekali," kata Pho Jing-cu
melelet lidah pada Ciok-toanio. "Dalam gerakan naik-turun
tadi, sekejap saja ia sudah melontarkan belasan serangan
aneh, kalau bukan Leng .Bwe-hong, memang sungguh sukar
untuk menahannya"
Waktu mereka memandang kalangan pertempuran,
keadaan kembali telah berubah, Sin Liong-cu kini mirip seperti
seorang mabuk keras, langkahnya sempoyongan, kadang
melompat ke atas bagai garuda yang hendak menerkam dari
atas, tempo-tempo ia menubruk ke bawah seperti kupu-kupu
menari di antara tangkai bunga, pedangnya menusuk ke kiri
dan menggores ke kanan, kelihatannya bukan cara orang
bersilat, tetapi sebenarnya tiap gerakannya membawa banyak
perubahan. Di pihak lain Leng Bwe-hong melayani lawannya dengan
tenang, ia memainkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang
hebat, menyerang sambil berjaga. Kalau menyerang ia
memutar pedangnya demikian kencang, dan kalau berjaga ia
membikin lawannya tak berdaya. Karena itu, Tat-mo-kiamhoat
yang begitu aneh dan hebat tetap tak bisa melukai Leng
Bwe-hong se-dikitpun.
Sampai pada saat Sin Liong-cu sudah tak sabar lagi,
mendadak ia berseru aneh, gerak kiam-hoatnya berubah lagi,
di seluruh penjuru kalangan pertempuran kini hanya tampak
bayangan Sin Liong-cu saja pedangnya bersinar berkilauan
bagai bintang berkelip-kelip di langit dan seperti salju yang
menghambur turun. Dalam keadaan demikian ini, bayangan
tubuh Leng Bwe-bong terkurung rapat oleh sinar pedangnya
bahkan Pk" Jing-cu sekalipun tak bisa lagi melihat jelas entah
dengan cara bagaimana kini Leng Bwe-hong harus menjaga
diri. Jika orang lain menguatirkan Leng Bwe-hong, adalah Sin
Liong-cu sendiri sebaliknya menarik napas dingin.
Kelihatannya Leng Bwe-hong terkurung oleh sinar pedangnya
tetapi sebenarnya dengan kiam-hoat yang tiada taranya Leng
Bwe-hong membalas tiap serangan lawan.
Sin Liong-cu merasa di depannya seperti terbentang
tembok baja dan pagar tembaga yang tak mempan oleh
serangannya, dimana pedangnya sampai, di situ lantas
terbentur kembali oleh suatu kekuatan yang luar biasa
besarnya malahan sebaliknya kadang ia harus menghindarkan
daya melekat dari kiam-hoat Leng Bwe-hong yang hebat
Dengan begitu, pertempuran itu telah berjalan ratusan jurus.
Pandangan orang yang menonton telah menjadi kabur dan
mata berkunang-kunang. Pada saat itu juga, mendadak Leng
Bwe-hong melompat keluar, sedang Sin Liong-cu meloncat
tinggi disusul dengan segalung sinar perak telah menyapu ke
pinggang Leng Bwe-hong.
Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao sama menjerit terkejut
keduanya sama-sama memburu maju, tetapi Ciok Thian-sing
lebih cepat dari mereka, ia mengangkat kedua tangannya dan
mendahului di depan sambil membentak, "Sin Liong-cu,
binatang kau, berani kau mencelakai Leng-tayhiap?"
Tak tahunya belum berhenti suaranya tiba-tiba dilihatnya
Leng Bwe-hong sudah berdiri di tempatnya sambil tersenyum
simpul tenang, sebaliknya Sin Liong-cu bagai ayam jago yang
telah keok, dengan lesu berdiri di tempat sejauh tiga tombak
dari Leng Bwe-bong.
"Kiam-hoat Leng-tayhiap betul-betul hebat aku mengaku
kalah," demikian Sin Liong-cu berkata sambil memberi hormat.
Sungguh tidak kepalang tercengangnya Ciok Thian-sing
hingga mulutnya ternganga tak sanggup bersuara. Waktu ia
menegasi, ternyata di baju Sin Liong-cu terdapat banyak
bintik-bintik putih. Karena inilah baru ia mengerti duduknya
perkara, kiranya bintik-bintik putih itu adalah kapur yang
ditinggalkan oleh ujung pedang Leng Bwe-hong yang telah
kena menotal badannya. Apabila dalam pertandingan tadi
benar-benar Leng Bwe-hong memandang Sin Lioag-cu sebagai
musuh, mungkin jiwa Sin Liong-cu sejak tadi sudah melayang
di bawah pedangnya.
Di lain pihak sambil mengangkat pedangnya melintang di
dada, dengan tersenyum Leng Bwe-hong membalas hormat orang
dan menjawab, "Ah, kiam-hoat Sin-toako juga hebat luar
biasa setelah lebih 300 jurus, barulah kebetulan meleng sekali,
sungguh aku luar biasa kagumnya."
Di antara para penonton itu, ilmu pedang dari Thian-san
yang dipelajari Ie Lan-cu sudah ada delapan bagian masak,
tapi dilihatnya hanya memenangkan sejurus saja Leng Bwehong
telah sanggup meninggalkan belasan tanda di tubuh Sin
Liong-cu dalam waktu sesingkat itu, sungguh ia menjadi
terkejut sampai ternganga sama sekali tak dikiranya ilmu
pedang perguruan sendiri sebenarnya ada begitu hebat
Sesaat itu Sin Liong-cu merasa kagum tak terhingga dan
merasa kikuk juga Ia tak mengerti cara bagaimana harus
bicara pula sekonyong-konyong Ciok Thian-sing membentak
lagi padanya "Sin Liong-cu, laki-laki sejati harus bisa
membedakan budi dan benci, ada budi tak kaubalas, ada
benci tak kautuntut, lalu kau anggap ksatria macam apa
dirimu?" Mendadak Sin Liong-cu berpaling sambil mengangkat
pedangnya membungkuk, "Aku terima petuahmu, Suheng,"
demikian katanya. "Ilmu silat Leng-tayhiap tiada
bandingannya, aku hendak membalas budi susah juga hendak
melakukannya tiada jalan lain aku harus ikut padanya dan
bersedia menerima bantuannya untuk menuntut balas
pembokongan Coh Ciau-lam atas diriku, habis itu segera aku
akan pulang gunung tak kembali lagi"
Thian-sing menjadi kurang senang, ia sangat mendongkol
oleh kebebalan Sin Liong-cu yang tak kenal adat itu.
Dan selagi ia hendak berkata pula, tiba-tiba dari jurusan
lain di padang rumput itu beberapa penunggang kuda sedang
mendatangi secepat terbang, setelah dekat orang itu segera
melompat turun dan memberi hormat ke hadapan Bu GoanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ing sambil melapor, "Pasukan Boan telah masuk daerah
Sinkiang secara besar-besaran!"
Kiranya beberapa orang ini adalah mata-mata yang dikirim
Bu Goan-ing untuk menyelidiki perbatasan, di sana dari atas
Hong-hwe-tay yang tinggi, dari jauh mereka sudah melihat
pasukan besar musuh sedang bergerak masuk Sinkiang, maka
cepat mereka melaporkan.
"Perjalanan pasukan besar sangat lambat, sepanjang jalan
tentu ada partisan penggembala.yang menyergap mereka
juga, maka sedikitnya harus belasan hari barulah mereka bisa
menyerang sampai di sini," kata Pho Jing-cu sesudah berpikir.
"Dan dalam sepuluh hari ini, aku tanggung bisa
menghimpun semua suku-suku bangsa di seluruh Sinkiang
selatan ini," kata Hui-ang-kin.
"Tetapi pihak Bing Lok itulah yang merupakan cacing dalam
perut," kata Bu Goan-ing. "Bing Lok adalah kepala suku Tagar,
dan bersama suku Kazak semuanya menetap di padang
rumput Garsin, di padang rumput ini ada lagi belasan
kelompok suku lain, tapi suku Kazak dan Tagar yang paling
banyak. Meski Bing Lok hanya mendapat dukungan 3-4
kelompok suku saja tapi pengaruhnya cukup besar, bila
pasukan Boan datang, mungkin ia akan mengancam sukusuku
bangsa lain agar tunduk pada perintahnya."
"Aku paling kenal orang Kazak, kami berdua saudara
seperguruan selalu membantu bangsa Kazak bertempur, maka
aku bersedia pergi ke padang rumput Garsin sana," ujar Bwehong
ikhlas. "Biarlah aku menghubungi orang Kazak dulu,
kemudian barulah Bing Lok ditaklukkan ke pihak kita."
Mendengar itu, semua orang menganggap usul Leng Bwehong
itu terlalu berbahaya.
"Pengaruh Bing Lok di sana terlalu besar, kau seorang diri
saja, mungkin akan kena tipu muslihatnya." kata Goan-ing.
"Ha selama hidupku entah sudah berapa banyak bahaya
yang pernah kualami, kenapa harus takut pada seorang Bing
Lok?" sahut Bwe-hong tertawa "Apalagi aku masih mempunyai
banyak kawan orang Kazak."
"Aku sendiri adalah suku Kazak," timbrung Sin Liong-cu
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba, "20 tahun lalu pernah aku berbuat sesuatu yang tak
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pendekar Panji Sakti 15