Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 11

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 11


ujar Yong-yo menghela napas. "Kokoh, kita yang terlahir di
keluarga kerajaan sungguh semacam dosa! Kematian Sammoaymoay
juga semacam dosa, dosa asmara!" Mendadak urat
daging pada muka Onghui berkerut lebih menakutkan lagi.
"Dosa asmara! Dosa asmara?" ia menggumam sendiri. "Ya,
dosa asmara," kata Yong-yo pula coba menghindarkan sorot
mata sang bibi. "Si 'penyamun wanita' itu bukan Piaumoay
(adik misan) mempunyai seorang kekasih bernama Thio Huaciau
yang sangat ingin bisa menolongnya keluar penjara. Dan
Sam-moaymoay justru telah jatuh cinta pada kekasih
Piaumoay itu!" Untuk pertama kalinya Onghui mendengar hal
ini, meski ia sendiri merasa sudah sampai ujung pangkal
hidupnya, tetapi terhadap sesuatu urusan puterinya itu ia
masih haus ingin mengetahuinya. Mendadak ia menjadi
bersemangat, tanyanya cepat, "He, bisa terjadi begitu"
Darimana kau tahu?" Yong-yo menghela napas pelahan. "Tak
perlu lagi kau tanya, seketika juga takkan jelas diceritakan,"
sahurnya kemudian. "Biarlah aku ceritakan dulu cara
bagaimana Sam-moaymoay meninggal. Kiranya sesudah nona
Wan-lian mengobrak-abrik istana, Hongsiang mengetahui pula
kehilangan Cu-ko-kim-hu. Benda ini sekali-kali tidak boleh
dicuri orang luar, maka mendadak Hongsiang ingat tatkala
nona Wan-lian menyamar sebagai dayang yang ikut kau
keluar istana, pernah Sam-moaymoay menarik-narik
tangannya dan mengajak bicara padanya, ia menjadi sangat
curiga, segera ia memerintahkan Thaykam pergi
memanggilnya. Sam-moaymoay bilang pada Thaykam yang
datang memanggil itu, 'Kalian tunggu saja sejenak, biar aku
berkemas dulu.'. Dan tak terduga ia lantas gantung diri dalam
kamarnya sendiri!" "Ah, kiranya Cu-ko-kim-hu itu adalah Samkiongcu
yang mencurinya!" seru Onghui tak tahan. "Ya, guna
orang yang dicintainya, ia telah mengorbankan diri!" kata
Yong-yo. Air mata Onghui bercucuran, ia menunduk dan
memukul dada sendiri sambil berkata, "Meski Sam-kiongcu
terpingit dalam istana sunyi, tapi lahirnya memang berbudi
luhur, dibanding aku terang ia lebih bernilai beribu kali!"
"Waktu itu aku sedang menemani Hongsiang membaca di
kamar selatan," sambung Yong-yo dengan suara parau,
"Tibatiba ada seorang dayang yang memberi laporan bahwa
Sam-kiongcu telah gantung diri. Tahu-tahu wajah Hongsiang
merengut dan berkata dengan tertawa dingin, 'Syukur,
memang harus mari!' Sebaliknya aku terkejut luar biasa
hingga hampir pingsan, hendak menangis pun tak keluar air
mata! Tiba-tiba pula Hongsiang bertanya padaku, 'Apa kau
tahu budak (maksudnya Sam-kiongcu) itu ada persekongkolan
dengan pembesar negeri di luar"' Aku menjadi bingung tak
paham dan hati amat berduka, aku tak sanggup buka suara,
maka hanya menggeleng kepala. Kata Hongsiang pula, 'Ha,
besar sekali nyali budak ini, ia mencuri pusakaku Cu-ko-kimhu,
aku sangka dia hendak meniru Thay-peng Kiongcu!' Thaypeng
Kiongcu adalah puteri Bu-cek-thian, Kaisar wanita di
zaman ahala Tong dan pernah bersekongkol dengan pembesar
negeri hendak melakukan kudeta. Hongsiang menggunakan
contoh Thay-peng Kiongcu, mungkin ia menyangka Sammoaymoay
mencuri Kim-hu tentu ada maksud hendak
merebut takhta, sudah tentu ia tak tahu bahwa di dalamnya
bisa terjadi hal-hal yang begitu ruwet" Maka aku bilang, 'Samkiongcu
biasanya sangal baik denganku, aku cukup tahu
selamanya ia tidak pernah ikut campur urusan luar, mana bisa
ia bersekongkol dengan pembesar negeri"' 'Yong-yo, aku
percaya kau tak mendustai aku!' kata Hongsiang tertawa
padaku. Dan sesudah berpikir sejenak, lalu ia berkata lagi, 'Ya,
sudahlah, kejadian keluarga yang memalukan jangan tersiar,
kau saja yang mewakilkan aku memberi perintah agar siapa
pun dilarang membocorkan rahasia peristiwa ini dan sekalian
mewakilkan aku membereskan jenazah budak itu.' Ketika aku
datang ke kamar Sam-moaymoay dan menurunkannya dari
tali gantungan, aku lihat di atas meja tulisnya masih ada
secarik kertas dengan dua baris sajak. Ya, paling akhir ini ia
memang belajar sajak padaku, mungkin belum selesai ia
mengarangnya lantas menggantung diri." Setelah menghirup
tehnya sekali, lalu Yong-yo menyambung lagi, "Kemudian
Hongsiang bertanya padaku lagi, 'Tahu tidak ada orang
menggunakan Cu-ko-kim-hu itu untuk jimat penolong si gadis
pembunuh terpenjara itu.' Aku bilang tidak tahu. Lalu
Hongsiang berkata lagi bahwa semua kejadian itu terlalu
aneh, masakah orang sendiri pun tidak bisa dipercaya lagi,
maka ia hendak menyelidikinya lebih mendalam. Makanya,
Kokoh, tindak-tandukmu hendaklah sedikit berhati-hati, bila
dicurigai Hongsiang, tentulah bisa celaka!" "Apa yang kutakuti
lagi, sekarang?" sahut Onghui tertawa pilu. "Yong-yo, bila kau
kembali ke istana dan Hongsiang bertanya tentang diriku,
bolehlah kau bilang saja tak tahu!" Ketika Yong-yo
memandang Onghui, tiba-tiba hatinya terasa dingin ngeri.
"Kokoh, kalau begitu aku mohon diri saja!" katanya kemudian
dengan air mata meleleh. "Yong-yo," kata Onghui sambil
menghela napas, "Biasanya tiap kali kau datang selalu
membawakan sajakmu yang baru padaku, cuma selanjutnya
mungkin tak bisa membacanya lagi." "Apa kau bilang, Kokoh?"
tanya Yong-yo kaget. Namun segera ia pun merasa ngeri dan
tanpa bertanya lebih jauh ia pun berjalan keluar. Dengan mata
memandang perginya Nilan Yong-yo, Onghui seakan-akan
kehilangan segala perasaan yang dimilikinya! Kembali pada
Leng Bwe-hong bersama Hui-ang-kin yang telah lolos dari
bahaya dengan ilmu mengentengkan tubuh mereka yang
hebat sesudah membikin geger penjara istana. Di sepanjang
jalan Bwe-hong memohon lagi agar Hui-ang-kin suka
menggabungkan diri bersama mereka pergi menemui kawankawan
Ie Lan-cu yang lain. Namun Hui-ang-kin hanya
menggeleng kepala saja, waktu ditanya dimana tempat
tinggalnya Hui-ang-kin pun tidak menjawab. Keruan diamdiam
Leng Bwe-hong mendongkol, pikirnya, aku
menghormatimu sebagai pendekar wanita dari angkatan lebih
tua, pula sahabat baik Suhengku, tapi kenapa kau begini tak
kenal adat" "Leng Bwe-hong," kemudian Hui-ang-kin berkata,
"Tempat tinggalku tak bisa kuberitahukan padamu, jika kau
mampu, bolehlah kau mencarinya sendiri, maafkan aku tak
bisa menemanimu lebih lama lagi!" Habis berkata, sekali
melesat secepat bintang meluncur, tahu-tahu dalam sekejap
saja bayangannya sudah pergi jauh. Waktu Bwe-hong coba
menyelami arti perkataan Hui-angkin tadi seperti sengaja
menyuruh dia mengikutinya, diam-diam ia membatin, "Baiklah,
apa kau kira aku tak sanggup menyusulmu?" Habis itu dengan
Ginkangnya yang tinggi 'Pat-poh-kan-sian' atau memburu
tonggeret dalam delapan langkah, secepat terbang ia
mengintil di belakang Hui-ang-kin. Namun Hui-ang-kin sengaja
anggap tak tahu, melainkan terus berlari cepat ke depan.
Maka terjadilah kejar mengejar secepat kilat. Ternyata
kepandaian kedua orang ini setali-tiga-uang alias sama kuat.
Hui-ang-kin berlari lebih dulu, maka ia selalu di depan dalam
jarak beberapa tombak dari Leng Bwe-hong. Melihat ilmu
mengentengkan tubuh pendekar wanita itu memang nyata
hebat, mau tak mau Leng Bwe-hong sangat kagum juga.
"Pantas ia dan Njo-suheng dahulu terkenal sebagai sepasang
pendekar di padang rumput!" Sekitar setengah jam telah
lewat, kedua orang sudah sampai di hutan sunyi, Bwe-hong
melihat Hui-ang-kin masih terus berlari ke arah Se-san, jalan
pegunungan berliku dan setelah membelok beberapa
tikungan, tahu-tahu bayangan Hui-ang-kin sudah menghilang.
Bwe-hong berhenti melihat sekitarnya, ia lihat kabut
melingkari puncak dan angin gunung meniup santar, nyata
orangnya sudah berada di tengah gunung. Ada apakah Huiang-
kin memancingku ke sini" demikian ia membatin. Apakah
benar-benar ia tinggal di atas gunung sini" Dan tengah ia
ragu-ragu, tiba-tiba didengarnya di arah kiri atas sana ada
suara tertawa orang yang nyaring berkumandang datang
terbawa angin. Cepat sekali Leng Bwe-hong enjot tubuh,
kakinya menutul tebing dan tangannya menahan di dinding
pegunungan yang curam secepat dan segesit kera hingga
sekejap saja sudah sampai di atas. Tapi segera ia merasa ada
angin pukulan yang menyambar dari atas, ternyata di atas
sudah menanti seorang laki-laki tegap berkedok, begitu maju
segera kedua telapak tangannya memukul hebat. Gusar sekali
Bwe-hong oleh serangan orang, dengan gerak tipu 'Hong-kwilok-
hoa' atau angin menggulung bunga rontok, sekali ia
menangkis, kontan ia pun balas memotong ke depan, namun
sedikit orang itu mengegos tahu-tahu serangannya sudah
mengenai tempat kosong. Terkejut juga Leng Bwe-hong,
cepat amat gerak tubuh orang ini" Maka tak berani lagi ia
ayal, sedikit memutar dan tangan membalik, kembali ia
memukul. Tapi dengan mudah saja orang itu menangkis,
sedang tubuhnya tiba-tiba sempoyongan dan orangnya
mendadakpun menubruk maju sambil tangan memukul dan
jari menjojoh, gerak tubuh dan ilmu pukulannya ternyata aneh
luar biasa dan belum pernah dilihat Leng Bwe-hong. Beruntun
orang itu melontarkan enam kali tipu pukulan aneh,
sungguhpun ilmu silat Leng Bwe-hong sangat mendalam dan
ilmu pukulannya sangat hebat, terpaksa ia harus menarik
tangan buat menjaga diri. Bwe-hong diam saja tak membuka
suara dengan perasaan heran, ia lihat tipu serangan orang itu
meski aneh, tapi kekuatannya ternyata masih kurang, setelah
belasan jurus lewat, segera Bwe-hong dapat melihat tempat
kelemahan lawan, mendadak ilmu pukulannya berubah,
kadang ia menjotos dan tempo-tempo memotong dengan
telapak tangan, cepat dan keras membawa angin, dan karena
tak berani menyambut serangan Bwe-hong yang keras dan
lihai ini, orang itu terdesak mundur terus. Yang lebih
mengherankan ialah ilmu pukulan orang itu mula-mula sangat
aneh dan bagus, tapi setelan belasan jurus tak bisa
merobohkan lawan, segera tempat kelemahannya lantas
kelihatan hingga seperti 'harimau kertas' saja, untuk
menggertak belaka. Mendadak Leng Bwe-hong tertawa
terbahak, ketika ia mementang tangan melompat melewati
orang itu, segera ia ber-balik mencegat jalan mundurnya. Dan
ketika Bwe-hong berpikir hendak menghantam roboh orang,
tatkala itu mereka telah berada di tempat lapang yang sedikit
lebar, di bawah cahaya bulan remang-remang sekonyongkonyong
ia menarik kembali pukulannya yang sudah mulai
dilontarkan itu, sebab perawakan orang ini dilihatnya seperti
sudah dikenalnya. Dan selagi Bwe-hong hendak membentak,
tiba-tiba orang itu telah memberi hormat padanya sambil
bergelak tawa dan berkata, "Leng-tayhiap, betapapun juga
memang kepandaianmu lebih tinggi!" Ketika orang itu
membuka kedoknya, tidak 'kepalang girang Leng Bwe-hong.
Ternyata orang ini adalah Han Ci-pang yang tinggal pergi
tanpa pamit tahun yang lalu ketika bersama Lauw Yu-hong
mereka melakukan perjalanan bersama di daerah Hunkang itu.
Dalam pada itu dari rimba di depan sana tiba-tiba terdengar
juga suara suitan panjang, tahu-tahu Hui-ang-kin telah muncul
juga. "Leng-tayhiap, apa kau masih marah padaku sekarang?"
demikian katanya tertawa. "Kalau bukan Han-toako bilang kau
adalah sahabatnya, tadinya aku masih belum berani
mengajakmu ke sini." "Leng-tayhiap, di sana masih ada
beberapa kawan lain sedang menunggu hendak menemuimu,"
kata Ci-pang pula sambil menarik sobat lama ini. Habis itu ia
membawa Leng Bwe-hong menyusuri sebuah rimba lebat,
dalam rimba itu ternyata ada sebuah kelenteng kecil, Han Cipang
menggedor tiga kali pintu kelenteng itu sembari
berteriak, "Buka pintu, kawan lama telah datang!" Maka
dengan cepat pintu kelenteng itu dibuka, ternyata di dalam
terdapat 7-8 orang Lamma dan belasan orang Kazak yang
beraneka corak perawakannya berjubel di sana. Di antara para
Lamma itu Bwe-hong mengenal ada seorang yaitu Congtat
Wancin yang dulu ikut mengawal 'Sik-li-ci' ke Tibet itu, sedang
di antara bangsa Kazak itu ada lebih separah dikenalnya
sebagai kawan seperjuangan lama. Dan karena bisa saling
bersua kembali, mereka merasa senang sekali. "Ada apa jauhjauh
kalian datang ke kota-raja dari perbatasan?" tanya Bwehong
kemudian. Tapi tiada yang menjawab, Ci-pang berpikir
sejenak, lalu dengan tertawa baru ia berkata, "Leng-tayhiap,
kau bukan orang luar, maka tiada halangannya berkata terus
terang padamu." Sembari berkata ia pun melirik sekejap pada
Congtat Wancin. Karena itu cepat Congtat Wancin
menyambung, "Leng-tayhiap ada budi atas diri kami yang tak
pernah kami lupakan selama hidup, boleh Han-tayhiap
katakan saja." Melihat gelagat mereka ini, diam-diam Bwehong
berpikir apakah mereka ada urusan rahasia yang dirinya
tidak enak untuk ikut campur. Tapi belum sempat ia buka
suara, Han Ci-pang sudah berkata lagi, "Bukan kami sengaja
main rahasia, Leng-tayhiap, tapi karena persoalan
menyangkut urusan Tibet yang besar. Apakah Leng-tayhiap
tahu bahwa Dalai Lamma telah mengirim utusan istimewa ke
kota-raja?" "Kemarin dulu aku baru sampai sini dan buru-buru
hendak menolong orang, hakikatnya aku belum mendengar
urusan ini," sahut Bwe-hong. "Tentu kau masih ingat,"
demikian kata Ci-pang pula, "Sebelum Go Sam-kui bergerak,
lebih dulu ia telah bersekongkol dengan Dalai Lamma agar
supaya bila ia kewalahan, Buddha Hidup itu lantas diminta
menjadi juru damai. Kali ini Dalai mengirim utusan ke kotaraja,
soalnya justru hendak mohon perdamaian bagi Go Samkui
itu." "Ya, soal itu di kala aku menolong Lamma jubah
merah di Ngo-tai-san dulu aku sudah pernah mendengar
ceritanya," kata Bwe-hong. "Dan Lamma jubah merah itu
justru adalah utusan istimewa yang dikirim itu," sambung Cipang
pula. "Kecuali meminta damai bagi Go Sam-kui, mungkin
bisa dirundingkan juga tentang penggabungan Tibet." Leng
Bwe-hong sendiri tidak tahu belakangan Han Ci-pang berhasil
menemukan kembali 'Sik-li-ci' hingga diarak para Lamma ke
Tibet, maka diam-diam ia sangat heran mengapa Han Ci-pang
bisa berhubungan begitu baik dengan mereka. "Lamma jubah
merah itu membawa dua-tiga puluh orang ke sini, lalu Congtat
Wancin bersama beberapa kawan Kazak inipun menyusul
tiba," demikian tutur Ci-pang lagi. "Cuma kami tidak ingin
tinggal bersama Ang-ih Lamma (Lamma jubah merah) di hotel
yang disediakan." "Dan kedatanganku sendiri karena
mendengar di kota-raja telah ditangkap seorang 'penyamun
wanita', maka aku lantas buru-buru datang ke sini," kata Huiang-
kin juga. Mendengar semua ini, barulah Leng Bwe-hong
paham sebab apa tadinya Hui-ang-kin tak mau


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan tempat tinggalnya, agaknya karena ia tidak
tahu dirinya pernah berkawan sehidup-semati dengan Han CiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang. Malamnya setelah orang-orang lain masuk tidur, Han Cipang
dan Leng Bwe-hong masih jalan bersama di tengah
rimba di bawah sinar bulan yang terang. "Leng-tayhiap,'' kata
Ci-pang tiba-tiba. "Dua tahun yang lalu aku telah
meninggalkan kalian tanpa pamit, tentu kalian sangat marah
padaku, bukan"'' "Tatkala itu kami memang sangat
menyesalkanmu, tetapi bukan marah padamu," sahut Bwehong.
"Leng-tayhiap," kata Ci-pang lagi dengan menyesal,
"Ada sesuatu yang sesungguhnya aku ingin minta maaf
padamu, aku pernah cemburu terhadapmu." "Itu karena kau
salah paham, padahal aku dan Lauw-toaci tiada apa-apa,"
sahut Bwe-hong tertawa. Tapi Ci-pang menggoyang
tangannya tak membenarkan kata-kata orang. "Leng-tayhiap,"
ujarnya, "Setelah digembleng selama dua tahun ini, aku
menjadi banyak mengerti, segala cinta kasih sesungguhnya
tak dapat dipaksakan. Kau dan Lauw-toaci adalah orang yang
paling kuhormati dan kagumi, kalau aku melihat kalian berada
bersama, pasti aku akan merasa sangat beruntung!" "Hantoako,
maukah kau jangan mempersoalkan ini lagi?" seru Bwehong
dengan rasa penuh derita. Ci-pang memandang orang
dengan penuh heran. Sementara itu bulan sudah terbenam ke
barat, fajar sudah hampir menyingsing. Hanya sebentar Leng
Bwe-hong pergi tidur, ketika esok harinya ia bangun, Hui-angkin
ternyata tak dilihatnya lagi, Waktu bertanya pada Ci-pang,
Ci-pang sendiripun tidak tahu, hanya dikatakannya, "Lihiap ini
pergi-datang selalu sendirian, ilmu silatnya sangat tinggi,
wataknya pun aneh, maka siapa pun tiada yang berani
bertanya padanya. Boleh jadi ia telah pergi berdaya menolong
anak dara itu." Diam-diam Leng Bwe-hong kuatir, tetapi ia pun
tak berdaya, maka ia lantas mohon diri pada Han Ci-pang
untuk pergi mencari Boh Wan-lian. Mendengar bahwa para
kawan yang dulu mengobrak-abrik Ngo-tai-san itu juga sudah
berada di kota-raja, tentu saja Han Ci-pang sangat girang.
Tapi ia masih berpesan pada Leng Bwe-hong agar untuk
sementara jangan membocorkan tentang jejaknya ini dan hal
ini disanggupi Leng Bwe-hong. Apa yang diduga Han Ci-pang
ternyata tidak salah. Memang betul Hui-ang-kin telah pergi
berdaya menolong Ie Lan-cu. Pagi-pagi ia telah bangun dan
lantas berlatih ilmu pedangnya sejurus di atas puncak Se-san
itu, lalu ia bebenah ringkas masuk ke kota-raja lagi. Dalam
hati Hui-ang-kin sangat kesal dan sedih, dan karena
murungnya pikiran ia menjadi lebih tiada berdaya buat
menolong Ie Lan-cu. Karena itu seketika segala kejadian di
masa mudanya terbayang olehnya, mendadak ia mengotak
gigi dan berpikir, "Nilan Ming-hui adalah ibunya, kalau dia tak
mau menolong puterinya sendiri, biarlah aku lantas mengadu
jiwa dengannya." Setelah mengambil keputusan ini, di waktu
senja kala ia lantas masuk ke istana Nilan-onghui lagi.
Mengenai diri Onghui, sejak perginya Nilan Yong-yo,
perasaannya seakan sudah mati, orangnya pun serasa kaku,
seorang diri ia duduk dalam kamarnya, pandangannya seolah
kabur. Selang lama dan lama sekali, lambat-laun baru ia
bangkit, dengan tangannya yang gemetar ia mencabut pedang
pendek itu. "Po-cu, janganlah kau sesalkan daku! Hun-cong,
nantikanlah aku," demikian teriak Onghui mendadak dan
ujung pedang itu ia balik dan cepat menikam hulu hati sendiri.
Sekonyong-konyong daun jendela terbuka, secepat terbang
sesosok bayangan orang melayang masuk. "Ming-hui, hai,
Ming-hui, kenapakah kau?" seru orang itu. Dua tangan yang
kuat telah memayangnya dengan kencang. Rembulan muda
waktu itu baru saja menongol, sinarnya lembut menembus
tirai sutera jendela menyorot diri dua orang wanita yang saling
benci dan iri selama ini, wajah kedua wanita ini sama-sama
pucat lesi. "Hui-ang-kin, janganlah kau benci padaku!"
demikian suara Onghui lemah. Sesaat itu segala rasa benci,
rasa permusuhannya sudah terhapus seluruhnya. Tak tertahan
pendekar wanita yang pernah malang melintang di padang
rumput dan tersohor di daerah perbatasan itu mencucurkan
air mata. "Hui-ang-kin," kata Onghui pula pelahan, "Kita
adalah o-rang Njo-tayhiap yang paling rapat, marilah, biarlah
kita ber-damai saja. Cici, kau tidak benci aku memanggil kau
Cici, bukan?" Tiba-tiba wajah Onghui berubah semu merah,
jantungnya berdetak keras, semangat yang timbul memuncak
sebelum ajalnya ini membikin darahnya seakan mengalir cepat
bagai air terjun di dalam tubuhnya. "Ming-hui, O, Ming-hui
adikku," ratap Hui-ang-kin terharu, "Kita bukan musuh, pasti
aku akan menjaga anakmu baik-baik, sekalipun
mengorbankan jiwaku pasti akan ku berdaya menolongnya
keluar!" Dengan sorot mata yang sangat berterima kasih
Onghui memandang Hui-ang-kin, lalu ia menghela napas
panjang sekali, tenaganya pelahan lenyap, tapi sekuatnya ia
masih mencoba berkata lagi, "Cici, cabutlah pedang pendek ini
dan berikanlah pada anakku, ini adalah barang ayahnya."
Seketika tubuh Hui-ang-kin menggigil. Hui-ang-kin yang begini
keras hatinya dalam keadaan demikian ini telah merasakan
saat yang paling seram selama hidupnya. Pedang itu
menancap masuk hampir sampai gagangnya, sekalipun ada
obat mujizat atau obat dewa juga susah ditolong lagi, dan
kalau dicabut, matinya pasti akan bertambah cepat. Tetapi
mana bisa tak dicabut" Ia berkewajiban menyerahkan kembali
pedang pendek ini kepada puteri Njo Hun-cong! Jidat Onghui
dikecupnya sekali, lalu pelahan Hui-ang-kin membisikinya,
"Jangan kuatir, adikku, pergilah kau dengan hati yang
lapang!" Habis itu, dengan mata meram ia memegang pedang
itu dan dicabutnya cepat. Darah segar bagai pancuran air
muncrat keluar, dengan lemas Nilan-onghui terkulai di lantai.
Tiba-tiba sesuatu terkilas dalam perasaannya, di saat
denyutan jantungnya hampir berhenti itu, pada saat napasnya
yang terakhir belum terhembus, sekuat tenaganya ia mencoba
berkata lagi dengan terputus-putus, "besok waktu sore
mereka akan menggiring menggiring Po-cu ke ke sidang pem
pemeriksaan." Habis berkata, sekali matanya membalik, sejak
itulah ia tak bangun kembali. Hui-ang-kin masih termangumangu
di samping mayat Onghui dengan memegangi pedang
pendek itu. Mendadak didengarnya suara tertawa orang yang
seram di luar jendela, ketika Hui-ang-kin membalik tubuh
dengan pedang terhunus, segera dilihatnya tiga orang tak
dikenal telah masuk ke dalam dengan mendobrak jendela. Di
bawah sinar bulan cukup jelas kelihatan seorang di antara
ketiga orang itu berjenggot panjang putih bagai perak,
perawakannya kurus kecil dan di sampingnya mengikut dua
orang laki-laki berusia setengah umur. Begitu masuk dan demi
nampak di lantai sudah banjir darah, seketika mereka
berteriak kaget. "Hm, besar sekali nyali bangsat perempuan
ini, berani kau membunuh Onghui!" bentak orang tua
berjenggot putih itu segera. Memang hati Hui-ang-kin lagi
mendongkol tak terlampiaskan, tentu saja ia bertambah
gemas, begitu tubuhnya mencelat dan pedangnya
menyambar, kontan ia tusuk orang tua itu. Lekas orang tua itu
mengebas dengan lengan bajunya yang panjang lebar, maka
terdengarlah suara "bret", ternyata bajunya sudah berlubang
tertusuk, sebaliknya pedang Hui-ang-kin juga tergoncang
menceng ke samping. Namun serangan Hui-ang-kin keji luar
biasa, sebelah tangannya mengikuti tusukan pedangnya tadi
mendadak telah menghantam juga. Orang tua itu bersuara
heran sekali, lalu tangannya membalik terus menyodok ke
depan. Mendadak Hui-ang-kin merasa ada suatu kekuatan
raksasa mendorong datang, lekas ia mengikuti daya tenaga itu
dan melompat pergi. Dalam pada itu golok-pedang kedua
lelaki tadi berbareng pun membacok tiba, Hui-ang-kin
mengangkat pedangnya menangkis dengan cepat, maka
terdengarlah suara gemerincing nyaring tanda terputusnya
benda keras. Hui-ang-kin sendiri secepat kilat terus melesat
keluar menerobos daun jendela dan melompat ke bawah dari
loteng yang cukup tinggi, berbareng itu pedangnya bekerja
cepat, kembali dua pengawal istana di bawah itu kena dilukai
pula. Dan ketika ia hendak kabin-, tiba-tiba dilihatnya dari atas
loteng telah melayang turun seorang secepat kilat terus
mencegat di depannya dengan sepasang pedangnya yang
melintang sambil membentak, "Bangsat perempuan jangan lari
!". Namun cepat juga Hui-ang-kin melorot pecutnya yang
panjang dan kontan menyabet sambil balas mendamprat, "Tua
bangka, berani kau merintangiku?" Orang tua berjenggot putih
itu tertawa dingin, ia mengangkat pedang untuk menangkis
hingga pedangnya kena dilibat pecut, ketika Hui-ang-kin
mengayun sekuatnya, siapa tahu sedikitpun orang tua itu tidak
bergerak. Keruan saja Hui-ang-kin sangat terkejut, sungguh
tidak nyana lawannya bisa begini ulet dan kuat, lekas ia
mengendorkan pecutnya dan menariknya kembali. Dalam
pada itu kedua lelaki setengah umur tadipun sudah melompat
turun dan bersama pengawal-pengawal Onghui telah
menyebar ke empat penjuru mengambil kedudukan
mengepung, cuma tidak ikut menerjang maju. Sementara
orang tua berjenggot putih itu sedang melirik Hui-ang-kin
dengan lagak menghina. "Bila kau mampu menangkan
sepasang pedangku ini, aku lantas melepaskanmu," demikian
katanya angkuh. Belum pernah Hui-ang-kin dipandang rendah
orang seperti ini, keruan ia sangat marah, kembali pecutnya
menyapu cepat dibarengi sedikit menyendal hingga pecutnya
menyambar hidup bagai ular yang panjang. "Bagus!" sambut
orang tua itu sambil tubuhnya berputar cepat hingga sekejap
sudah menyerobot sampai di samping Hui-ang-kin, dengan
tipu 'Kim-tiau-tian-sit' atau garuda emas pentang sayap,
pedang kirinya mendadak menusuk bahu lawan. Namun gerak
tubuh Hui-ang-kin tidak kalah cepatnya, begitu pecutnya
menyabet segera pula menggeser tempat, sedang pedang
pendek di tangan yang lainpun balas menyampuk, maka
terdengarlah suara nyaring hingga keduanya sama-sama
tergetar mundur beberapa tindak. Hui-ang-kin merasa
tangannya pedas panas, diam-diam ia terkejut. Sebaliknya
mata pedang orang tua itu tergumpil sebagian, tak tahan ia
pun bersuara heran. Kemudian keduanya saling gebrak pula,
mereka sama-sama tak berani memandang enteng lawan lagi.
Hui-ang-kin mengeluarkan ilmu silat perguruannya yang
hebat, tangan kiri pecut dan tangan kanan pakai pedang, baik
menyerang maupun menjaga dilakukan dengan rapat sekali
dan susah diraba lawan dengan perubahan tipu silatnya yang
ruwet. Sebaliknya orang tua itu ternyata tak gentar berada di
bawah sambaran sinar pedang dan bayangan pecut, sepasang
pedangnya yang dimainkan begitu hebat sehingga sayupTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sayup membawa suara menderu bagai bunyi angin dan guruh,
yang lebih aneh ialah permainan pedangnya di tangan kiri dan
tangan kanan ternyata lain pula tipunya hingga serupa seperti
Hui-ang-kin menggunakan pecut dan pedang yang berlainan
sekaligus, begitu pula tipu serangannya pun sangat ruwet.
Hanya sekejap saja mereka sudah saling gebrak hampir 50
jurus, sekonyong-konyong orang tua itu melompat keluar
kalangan dan membentak, "He, apakah kau anak murid
siluman perempuan tua dari Thian-san?" Karena kata-kata itu,
Hui-ang-kin bertambah gusar, beruntun pecutnya menyabet
tiga kali dengan cepat. "Berani kau memaki guruku?" demikian
dampratnya kemudian. Dan sekarang ia pun barulah tahu
siapa gerangan si orang tua ini. Tingkat orang tua berjenggot
putih ini memang sangat tinggi, ia bukan lain daripada cikalbakal
Tiang-pek-san-pay a-tau aliran Tiang-pek-san (nama
pegunungan di timur laut Tiongkok) yang menciptakan 'Honglui-
kiam-hoat', Ce Cin-kun namanya. Anak murid Ce Cin-kun
ini sangat banyak, Susiok To Tok yang bernama Nikulo dan
Khu Tong-lok yang 18 tahun berselang pernah melukai muka
Leng Bwe-hong itu semuanya adalah muridnya. 50 tahun yang
lalu pernah Ce Cin-kun merantau ke Sin-kiang, tatkala itu
umurnya baru 30-an, Hong-lui-kiam-hoat atau ilmu pedang
angin dan guntur, baru saja tercipta olehnya, maka ia menjadi
congkak dan tinggi hati, seorang diri ia naik ke Thian-san
mencari Hui-bing Siansu (guru Njo Hun-cong, Coh Ciau-lam
dan Leng Bwe-hong), karena mengingat orang sengaja datang
dari jauh, maka Hui-bing Siansu mengunjuk diri menemuinya
dan saling tukar pikiran tentang ilmu pe'dang di puncak Thiansan.
Hui-bing Siansu paling suka pada angkatan muda yang
giat belajar dengan sungguh-sungguh, maka mula-mula ia
sangat menghargainya, katanya memuji Ce Cin-kun, "Usiamu
masih muda, tapi sudah berhasil setingkat ini, sungguh susah
dicari bandingannya. Ilmu pedangmu ini meski ada
kekurangannya namun di daerah Kwangwa (luar tembok
besar) mungkin sudah tiada yang bisa menandingi lagi."
Tatkala itu kalau Ce Cin-kun cukup cerdik dan terus merendah
minta petunjuk atau sekalian mengangkat guru padanya boleh
jadi Hui-bing akan menerimanya dengan baik. Siapa tahu Ce
Cin-kun ternyata bukan orang yang bisa berpikir, ia tidak mau
dipandang sebagai angkatan lebih muda, bahkan minta
bertanding dengan Hui-bing Siansu. Namun tantangan itu
diganda senyum oleh Hui-bing, katanya, "Ah, sudah lama
pedang kutanggalkan, kiam-hoat juga sudah terlupa tidak bisa
lagi me-nandingimu. Apa yang kukatakan tadi hanya bergurau
saja, jangan kau anggap sungguhan." Habis berkata, cepat
tubuhnya melesat pergi dan sekejap saja sudah menghilang.
Sungguhpun Ce Cin-kun sangat terkejut dan heran oleh Gin
kang Hui-bing Siansu yang luar biasa itu, namun ia masih
menyangka ilmu pedang orang benar-benar tak bisa
menandingi dirinya, maka diam-diam ia pun bergirang dan
tidak lagi mencari Hui-bing Siansu, ia meneruskan
pengembaraannya di pegunungan Thian-san. Pegunungan
Thian-san itu panjangnya lebih tiga ribu li, Hui-bing Siansu
sendiri tinggal di puncak utara, sebaliknya di puncak selatan
yang tertinggi masih berdiam pula seorang kosen yang
jejaknya lebih susah dicari daripada Hui-bing. Orang kosen itu
adalah seorang nenek tua, konon di waktu mudanya adalah
seorang begal tunggal (begal tunggal diartikan semua
pekerjaan membegal dilakukan sendirian tanpa pembantu
seorang pun) dan namanya dikenal orang sebagai Pek-hoat
Mo-li atau si iblis wanita berambut putih, karena seluruh
rambutnya sudah ubanan semua. Pek-hoat Mo-li ini sangat
suka diunggulkan, beberapa kali pernah ia mencari Hui-bing
Siansu mengajak bertanding, ada sekali karena tak bisa
menolak lagi oleh ricauan Pek-hoat Mo-li terpaksa ia
bertanding dengannya selama sehari semalam di puncak utara


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dan akhirnya memenangkan sejurus. Dalam marahnya Pekhoat
Mo-li terus berlari kembali ke puncak selatan, sebelum
pergi ia masih menyatakan akan melatih ilmu pukulannya lebih
hebat dan kelak masih akan mengajak bertanding pula. Sejak
itu ia pun tidak merusuhi Hui-bing Siansu lagi sampai Njo Huncong
berguru dan lewat 30 tahun baru Pek-hoat Mo-li datang
lagi mengajak bertanding. Tapi tatkala itu ilmu pukulan Huibing
sudah sampai tingkat yang tiada taranya, maka tidak
sampai setengah jam kembali Pek-hoat Mo-li kalah satu jurus,
dan habis itu barulah ia betul-betul tunduk, cuma luarnya ia
masih belum mau mengaku kalah (Peristiwa ini bisa dibaca
dalam Cau Guan Eng Hiong). Dan waktu Ce Cin-kun datang ke
Thian-san, ketika itu baru saja Pek-hoat Mo-li habis bertanding
untuk pertama kalinya dengan Hui-bing Siansu. Ce Cin-kun
hanya tahu di Thian-san ada Hui-bing seorang dan tidak tahu
masih ada seorang Pek-hoat Mo-li lagi. Dari puncak utara
setelah bertemu dengan Hui-bing lalu ia meneruskan ke
puncak selatan, di sini ia sentil pedangnya sambil bersiul
panjang, lagaknya takabur. Ia melatih sejurus ilmu pedangnya
di puncak gunung itu, lalu dengan suara keras ia berkata
sendiri sambil menghela napas, "Sayang, sungguh sayang di
jagat ini tiada orang yang sanggup lagi bertanding denganku!"
Nyata ia benar-benar menganggap ilmu pedangnya sudah
tiada bandingannya lagi di seluruh jagad dan merasa
menyesal karena tak menemukan tandingan. Tak terduga
belum lenyap suaranya mendadak didengarnya suara tertawa
dingin orang yang menusuk. Terkejut sekali Ce Cin-kun,
segera dilihatnya ada seorang nenek berambut ubanan sedang
mendatangi. Begitu tinggi kepandaian Ce Cin-kun ternyata tak
mengetahui darimana orang tua ini muncul, keruan
terkejutnya ini tidak kepalang. "Orang macam apakah
perempuan tua bangka ini, kenapa tertawa dingin?" segera ia
membentak sembari sepasang pedangnya diputar, yang satu
melintang menjaga di dada dan yang lain mengacung ke
depan menyambut musuh. "Hm, hanya sedikit permainanmu
yang tak menarik ini berani kau memainkan pedang di sini?"
sahut nenek itu dengan sikap penuh menghina. Luar biasa
gusarnya Ce Cin-kun hingga mukanya merah padam, begitu
pedangnya bergerak segera ia berkata lagi, "Ha, jika begitu,
tentu ilmu pedangmu tinggi sekali. Baiklah, mari kita coba
bertanding." Nenek itu tertawa dingin pula, tangannya
menekuk sebatang kayu seadanya dan diayun ke depan, ia
memandang sekejap pada Ce Cin-kun, lalu ikat pinggangnya
dilepas pula. "Hm," jengeknya kemudian, "Meski aku si nenek
tua tak berguna, rasanya masih belum perlu menggunakan
pedang untuk menghajarmu!" Tak tahan lagi amarah Ce Cinkun,
secepat kilat sebelah pedangnya menyambar ke depan
sambil membentak, "Baik boleh kau coba menangkis dengan
batang kayumu itu!" Tapi sedikit berkelit, dengan gerak tipu
'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melilit melingkar langkah,
cepat sekali nenek itu mengayun batang kayunya hingga
membawa sambaran angin, terus menyabet ke pergelangan
tangan Ce Cin-kun. Lekas Cin-kun berkelit, namun ikat
pinggang nenek itu bagai ular hidup tahu-tahu sudah
menyabet juga dengan gaya pecut lemas, kalau sampai kena
terlilit, pasti senjatanya akan terlepas dari tangan. Terpaksa
Ce Cin-kun mundur beberapa tindak, dengan penuh perhatian
ia memutar pedangnya, ia mengeluarkan ciptaan tunggalnya
'Hong-lui-kiam-hoat' yang hebat terus membacok, menusuk
dan membabat, sepasang pedangnya secara bergantian
menyerang dan menangkis serta diputar cepat hingga
mengeluarkan angin yang gemuruh. Tapi begitu nenek tua itu
mengayun ikat pinggang dan memutar batang kayu dengan
kedua tangannya berbareng, caranya ternyata juga
menggunakan gerak tipu yang berlainan, ikat pinggangnya
dipakai sebagai pecut panjang dan batang kayu sebagai
pedang terus merangsek hebat di bawah sinar pedang lawan,
tidak sampai 30 jurus tahu-tahu sepasang pedang Ce Cin-kun
sudah kena terbelit lepas dari tangan, bahkan pergelangan
tangannya tergores luka oleh batang kayu si nenek. "Hm,
sekarang kau tunduk tidak" Bila belum, hayo kita ulangi lagi!"
demikian nenek itu mengejek. Sudah tentu Ce Cin-kun mati
kutu, tanpa berkata lagi ia jemput kembali pedangnya lalu
mengeluyur pergi dengan cepat dan nenek tua itupun tidak
mengejarnya. Nenek tua itu memang Pek-hoat Mo-li adanya,
ialah yang kemudian menjadi guru Hui-ang-kin. Sebab itu kini
demi nampak Hui-ang-kin sebelah tangan memakai pecut dan
tangan lain dengan pedang serta berlainan tipu serangan satu
sama lain, segera Ce Cin-kun yakin Hui-ang-kin adalah anak
murid Pek-hoat Mo-li. Sejak Ce Cin-kun mengalami kekalahan
yang memalukan dari Pek-hoat Mo-li, ia kembali ke Tiang-peksan
dan giat berlatih pula hingga akhirnya menjagoi daerah
Kwangwa sebagai ahli pedang nomor satu. Ketika pasukan
Boanjing menyerbu ke daerah pedalaman pernah juga
meminta bantuannya, cuma waktu itu ia merasa dirinya masih
belum sanggup menandingi Pek-hoat Mo-li, maka ia tak mau
keluar. Sampai kemudian Khu Tong-lok diiris sebelah daun
kupingnya oleh Leng Bwe-hong di daerah Hun-lam dan
kembali ke Tiang-pek-san melaporkan padanya dengan
menangis, waktu ia hitung-hitung sejak ia dikalahkan di Thiansan
sampai kini sudah dekat 50 tahun, ia pikir Hui-bing Siansu
dan Pek-hoat Mo-li tentu siang-siang sudah mati, pula
didengarnya Leng Bwe-hong adalah murid Hui-bing Siansu
dan membikin para jago silat dari Kwangwa ketakutan karena
ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat, tak tahan. Ce Cin-kun
tergerak hatinya dan timbul angkara murkanya. Waktu itu ia
sudah lebih 80 tahun umurnya, tapi tua-tua kelapa, tenaganya
belum berkurang, semangatnya tidak kalah dari yang muda,
maka ia lantas muncul kembali turun gunung dan masuk ke
pedalaman sesudah 50 tahun. Dan begitu ia sampai di
Pakkhia, kebetulan Leng Bwe-hong habis membikin geger
penjara kerajaan. Ia masuk istana menghadap Kaisar, tentu
saja Khong-hi sangat girang, segera ia diperintahkan
membawa dua muridnya itu ke Onghu untuk menyelidiki jejak
'penyamun wanita' yang lolos itu. Kiranya karena rahasia
Khong-hi tergenggam dalam tangan Boh Wan-lian, hal ini
berarti ciri paling lemah baginya, maka ia merasa tidak aman
selama gadis itu belum tertangkap dan terasa seakan duri
dalam hati yang harus dicabutnya. Setelah menerima titah raja
itu, segera Ce Cin-kun membawa kedua muridnya pergi ke
Onghu dan di sini justru keper-gok Hui-ang-kin. Selama
hidupnya Ce Cin-kun paling gemas pada Pek-hoat Mo-li, kini
memergoki muridnya, ia mengambil keputusan harus
membunuhnya untuk mencuci pedangnya. Tatkala ini ilmu
pedangnya 'Hong-lui-kiam-hoat' setelah digembleng lagi
selama SO-an tahun sesungguhnya sudah sampai tingkatan
yang susah diukur. Maka begitu Ce Cin-kun memutar
sepasang pedangnya, angin keras menyambar menderu-deru
dan berwujud segulung sinar putih, daya tekanannya ternyata
sangat mengejutkan. Akan tetapi Hui-ang-kin adalah ahli-waris
Pek-hoat Mo-li, pecut panjang dan pedang pendek di tangan
kanan-kiri bisa dimainkan sedemikian rupa dengan kerja-sama
yang rapat sekali tanpa ada sedikit lubangpun. Mula-mula Ce
Cin-kun menduga dengan latihannya selama lebih 50 tahun
untuk melawan seorang 'bocah kemarin' masakah tidak lantas
berhasil. Maka ia takabur dan berulang kali melontarkan
serangan berbahaya. Tak terduga tipu silat Hui-ang-kin keji
luar biasa, penjagaannya pun rapat sekali, setelah saling
labrak setengah jam lebih, bukan saja Ce Cin-kun belum
unggul sedikitpun, bahkan beberapa kali karena terburu
napsu, hampir saja ia sendiri kena tersabet pecut Hui-ang-kin.
Karena itulah diam-diam ia terkejut, pikirnya, "Dengan tekun
aku melatih Hong-lui-kiam-hoat dengan maksud menuntut
balas pada Pek-hoat Mo-li, dan kini kalau anak muridnya saja
aku tak bisa menangkan, lalu jerih payah selama 50 tahun ini
apa bukan sia-sia saja?" Padahal ia tak tahu bahwa
sesungguhnya Hui-ang-kin terlebih berat rasanya daripada dia.
Meski tipu silat Hui-ang-kin sangat bagus, tetapi apapun juga
masih kalah ulet, setelah mengeluarkan sepenuh tenaga
barulah bisa mengimbangi Ce Cin-kun, malahan setiap kali
senjata beradu, selalu terasa oleh Hui-ang-kin suatu kekuatan
besar memukul ke arahnya bagai sebuah palu mengetok
dadanya. Baiknya ia bisa melawan mati-matian hingga
beberapa puluh jurus dapat dilalui pula. Akhirnya Ce Cin-kun
dapat juga melihat bahwa meski ilmu silat Hui-ang-kin sangat
tinggi, tapi soal keuletan masih kalah daripadanya. Segera ia
merubah permainan Hong-lui-kiam-hoat, ia tidak terburu
napsu menyerang lagi melainkan mengumpulkan tenaga
dalamnya dan disalurkan pada pedangnya, dengan kekuatan
sambaran angin senjatanya yang hebat ini hingga daun
pepohonan di sekitarnya ikut berkresekan tergoncang. Dan
sekaranglah Hui-ang-kin mulai gopoh, ia pikir lawan kuat
sedang dihadapinya dan pengawal-pengawal lain masih ada
yang bersiap di samping, kalau tidak lekas mencari jalan
meloloskan diri, mungkin dirinya bisa celaka dalam istana ini.
Maka cepat sekali ia merangsek beberapa kali, pada waktu Ce
Cin-kun sedikit ayal, mendadak tubuhnya menggeliat dan
pecutnya diayun lempang, dengan tipu serangan 'Giok-taisiam-
yo' atau tali sabuk mengikat pinggang, secepat kilat ia
menyabet pinggang Ce Cin-kun. Lekas Cin-kun menggunakan
gerak tipu 'Kan-te-poat-jang' atau mencabut bawang di tanah
tandus, tubuhnya mencelat tinggi ke atas hingga pecut orang
menyerempet lewat di bawah kakinya. Ce Cin-kun memang
sangat lihai, selagi tubuhnya masih terapung di udara tiba-tiba
dengan tipu 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang lapar menyambar
kelinci, pedang kirinya membabat dari samping dan pedang
kanan menikam ke bawah. Namun Hui-ang-kin sudah
menduga orang bakal mengeluarkan serangan ini, dengan
gerakan 'Jay-hong-tiam-thao' atau burung Hong memanggut
kepala, sedikit ia menunduk dan tubuh memendek, tikaman
orang telah dapat dielakkannya, dan ketika mendadak ia
memutar pula, dengan kuat ia menyendal pecutnya hingga
menegak ke atas terus menusuk ke 'Tan-dian-hiat' di perut Ce
Cin-kun. Tatkala itu pedang Cin-kun yang membabat tadi
justru sudah tiba hingga dengan tepat membentur pecut.
Saking keras benturan itu hingga keduanya sama-sama
tergetar dan melompat mundur. Kiranya keuletan Ce Cin-kun
meski lebih tinggi dari Hui-ang-kin, namun selisih juga
terbatas. Ketika tubuhnya terapung di udara tadi, dengan
sendirinya tak bisa menggunakan tenaga sebagaimana di
tanah datar. Dengan begitu kekuatan mereka menjadi sama
kuat dan benturan kedua senjata membikin mereka samasama
mencelat pergi. Malahan pada waktu Hui-ang-kin
mencelat ke belakang dengan Ginkangnya hingga sejauh
beberapa tombak, pecutnya yang panjang itu masih sempat
diayun pula terus menyabet hingga golok dua orang pengawal
baru saja diangkat hendak memapak tahu-tahu sudah terlilit
pecut dan ketika kaki Hui-ang-kin menempel tanah, sekuatnya
ia menarik, kedua golok musuh itu segera terbetot terbang.
"Maafkan, bibimu tak bisa menemani kalian lebih lama!"
demikian bentak Hui-ang-kin sembari bersiul panjang. Tapi
baru saja ia hendak menerjang pergi, tiba-tiba seorang lelaki
tegap telah menubruknya dari depan, orang inipun memakai
dua senjata yang berlainan, pedang dan golok, terus
membacok padanya. "Kau hendak lari" Jangan harap!"
demikian bentaknya. Ketika pedang Hui-ang-kin balas
membabat, dengan cepat orang itu melompat pergi, lalu ia
pun melontarkan serangan lagi sekaligus pedang dan golok,
nyata yang dimainkan juga Hong-lui-kiam-hoat yang lihai,
cuma sepasang pedang diubahnya menjadi pedang dan golok.
Waktu Hui-ang-kin menegasi orang, ia lihat muka orang ini
terdapat codet bekas luka dan daun kupingnya tinggal
sebelah. Kiranya orang ini termasuk dua laki-laki yang ikut
datang bersama Ce Cin-kun tadi. Ilmu silat orang ini meski
lebih lemah daripada Hui-ang-kin, tapi untuk 8-10 jurus ia
masih bisa bertahan dan sementara itu kembali Ce Cin-kun
sudah memburu datang. "Kau mundur, Tong-lok!" terdengar
Cin-kun meneriaki laki-laki codet itu, menyusul kedua
pedangnya diputar kencang pula dan Hui-ang-kin dapat
dikurung lagi di bawah sinar pedangnya. Tadi Ce Cin-kun
tergetar mundur oleh pecut Hui-ang-kin disaksikan orang
banyak, ia merasa marah luar biasa. Sekali ini tipu-tipu
serangannya bertambah hebat dan makin keji. Sebaliknya
insyaf susah lagi hendak meloloskan diri, Hui-ang-kin pun
menjadi nekad dan menempur orang mati-matian. Maka
seketika sinar pedang diselingi bayangan pecut yang sambarmenyambar
hingga debu pasir beterbangan, tampaknya
menjadi seru dan sengit luar biasa. Tak lama kemudian Huiang-
kin mulai mandi keringat. Betapapun juga ia seorang
perempuan, tenaganya kalah besar dan merasa payah. Dan
selagi ia bermaksud mengunjuk tipu-serangan 'Sin-mo-toatbeng'
atau malaikat elmaut mencabut nyawa, semacam ilmu
silat yang paling lihai dari perguruannya untuk gugur bersama
musuh. Mendadak didengarnya ada teriakan orang, "Hantoako,
kau pergi mencabut jenggot tua bangka itu, aku akan
menagih hutang dulu." Mengenali suara itu, Hui-ang-kin
girang sekali. Segera dilihatnya dari atas suatu pohon besar
bagai burung cepatnya tiba-tiba melayang turun tiga
bayangan orang. Yang pertama dikenalnya sebagai Han Cipang,
yang tengah ialah Leng Bwe-hong, dan yang paling
belakang adalah seorang pemuda baju kuning yang tak
dikenalnya. Sementara itu dengan langkah sempoyongan
bagai orang mabuk, cepat sekali Han Ci-pang menerjang ke
dalam kalangan pertempuran. Ketika Ce Cin-kun menyambut
kedatangannya dengan sekali babatan dan menduga sekaligus
pasti akan membuat Ci-pang terkurung menjadi dua. Siapa
duga serangannya ternyata mengenai tempat kosong, gerak
tubuh Han Ci-pang ternyata aneh luar biasa dan entah cara
bagaimana telah menghindarkan serangan Ce Cin-kun itu.
Keruan Ce Cin-kun tercengang seketika, dan kesempatan itu
telah digunakan Han Ci-pang untuk mendahului dua kali
serangan aneh yang belum pernah dilihat Cin-kun, ia
bermaksud menarik pedangnya untuk mencegat, tapi
serangan Hui-ang-kin harus dilayaninya juga. Maka tak ampun
lagi, segera terdengar suara "plak-plok" dua kali, kedua
pipinya telah kena ditempeleng orang. Cepat Cin-kun balas
menyikut, tapi luput, sebaliknya dagunya lantas terasa sakit
pedas, ternyata jenggotnya yang memutih perak tahu-tahu
telah dibubut orang secomot. Tatkala itu Leng Bwe-hong
sedang menempur laki-laki yang memakai senjata golok dan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang itu, tapi matanya selalu melirik ke arah Han Ci-pang,
kini demi nampak kawannya sudah berhasil, segera ia berseru,
"Nah, sudah cukup, lekas mundur!" Siapa tahu Han Ci-pang
masih belum puas, "bluk", kembali ia gebuk punggung orang
sekali. Tapi sekali ini ia betul-betul kebentur batu, tempat
yang terpukul olehnya ternyata seperti papan baja hingga
tangannya terasa sakit tidak kepalang dan lecet, hampir saja
ia menjerit. Baiknya gerak tubuhnya yang aneh itu bisa lantas
mengundurkan diri dari kalangan pertempuran itu, begitu pula
Hui-ang-kin mengayun pedangnya juga pura-pura menyerang
untuk melindungi sang kawan. Sekalipun amat gusar dan
mendongkol, Ce Cin-kun tetap tak berdaya, ia menjadi jeri
oleh cara menyerang Han Ci-pang tadi hingga tak berani
mengejar. Kiranya hari itu setelah Leng Bwe-hong berpisah
dengan Han Ci-pang, ia lantas datang ke rumah Ciok Cin-hui
dan bertemu dengan para pahlawan yang tentu saja
semuanya menjadi girang. Tapi masih tak bisa mendapatkan
daya upaya yang baik untuk menolong Ie Lan-cu meski sudah
dirunding bersama. "Tidak sedikit jago kelas tinggi yang
menjaga penjara, tapi musuh tampaknya masih kuatir,
kabarnya kemarin telah mendatangkan lagi si tua bangka she
Ce pencipta Hong-lui-kiam itu," demikian Ciok Cin-hui
memberitahukan kawan-kawannya. Mendengar nama Ce Cinkun
disebut, yang tak kenal tak mengapa, tapi Leng Bwe-hong
menjadi terkejut. Ketika masih di Thian-san, pernah Bwe-hong
mendengar cerita Suhunya tentang Ce Cin-kun. Kata sang
guru 'Hong-lui-kiam-hoat' Ce Cin-kun berdiri sendiri, meski
tidak sebagus Thian-san-kiam-hoat kita, tapi tak boleh
dipandang enteng juga. Pula ilmu pedang harus diikuti dengan
keuletan berlatih, makin masak melatih diri, ilmu pedangnya
pun semakin hebat. Dan sebelum ia turun gunung, gurunya
telah menceritakan juga tentang berbagai cabang ilmu pedang
pada zaman itu, katanya, "Ilmu pedangmu sekarang ini bila
dilatih lagi sepuluh tahun mungkin tiada tandingannya lagi.
Tapi kalau menurut keadaan tenagamu sekarang, maka Pho
Jing-cu dari Bu-kek-pay dan Ciok Cin-hui punya 'Liap-kunkiam-
hoat' kira-kira seimbang kekuatannya denganmu, sedang
'Hong-lui-kiam-hoat' dari Ce Cin-kun masih sedikit lebih tinggi
darimu, maka kalau bertemu dia, hendaklah kaugunakan
kebagusan ilmu pedangmu untuk menambal kekurangan
keuletanmu." Habis itu sang guru memberi petunjuk beberapa
jurus kiam-hoat yang bagus lagi padanya. Karena itulah, Leng
Bwe-hong menghitung dirinya sudah hampir sepuluh tahun
turun gunung, kini mendengar datangnya Ce Cin-kun, diamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
diam ia berpikir, "Selama sepuluh tahun ini aku yakin
keuletanku sudah jauh lebih tinggi daripada waktu turun
gunung, tapi entah betapa hebat orang tua ini" Dan bila Suhu
bilang dia adalah seorang lawan tangguh, harus juga aku
berlaku sedikit hati-hati." Dan karena menduga Hui-ang-kin
pasti pergi ke Onghu lagi untuk mendesak Onghui suka
berdaya menolong Ie Lan-cu, maka lekas ia mengajak Kui
Tiong-bing ke Se-san, tapi di tengah jalan malah bertemu Han
Ci-pang yang keluar mencari Hui-ang-kin, maka mereka
bertiga lantas menyusul masuk ke Onghu. Di tengah jalan
Leng Bwe-hong bertanya pada Ci-pang darimana ia mendapat
belajar tipu pukulan aneh itu, dan secara terus terang Ci-pang
menceritakan pengalamannya. Tentu saja Bwe-hong ikut
bergirang dan menghaturkan selamat atas penemuannya yang
aneh. "Tapi sayang waktu itu tak lengkap kupelajari semua,
pula kitab itu telah digondol lari juga oleh seorang aneh,"
demikian kata Ci-pang menghela napas menyesal. Tatkala itu
mereka sudah dekat Onghu, maka Bwe-hong tak sempat
bertanya kenapa Ci-pang tak lengkap mempelajarinya dan
kehilangan kitab itu. Ketika dengan Ginkang yang tinggi
mereka bertiga, Leng Bwe-hong, Han Ci-pang dan Kui Tiongbing,
melayang ke atas sebuah pohon besar dan memandang
ke bawah, kebetulan di Jilat mereka Hui-ang-kin lagi
bertempur dengan Ce Cuwkun dengan sengit. Walaupun Leng
Bwe-hong tak kenal Ce Cin-kun, tapi melihat ilmu pedangnya
serupa dengan Khu Tong-lok yang pernah dikenalnya,
malahan jauh lebih lihai. Pula Khu Tong lok dilihatnya juga
berada di situ menanti kesempatan. Kemudian dilihatnya pula
Hui-ang-kin terdesak musuh, maka ia menduga orang tua ini
pasti Ce Cin-kun adanya. Saat itu juga sebenarnya ia
bermaksud melompat turun buat mengukur siapa unggul atau
asor dengan Ce Cin-kun, tapi setelah dipikir ia coba bersabar
lagi. Setelah menyaksikan lagi tak lama, teringat olehnya Cipang
memiliki beberapa jurus ilmu pukulan aneh yang dapat
digunakan untuk menggertak musuh, maka diam-diam ia
memberi petunjuk pada Ci-pang cara bagaimana turun tangan
agar bisa menghilangkan perbawa Ce Cin-kun dan
melenyapkan lagak sombongnya. Ci-pang menurut petunjuk
itu dan betul juga Ce Cin-kun kena ditempelengnya dua kali,
bahkan jenggotnya kena dibubut juga. Habis ini ia masih
belum kenal kelihaian orang dan mencoba menggebuk lagi
punggung Ce Cin-kun sekali, tapi tangannya malah tergetar
kesakitan, maka cepat ia mengundurkan diri. Harus diketahui
bahwa keuletan Han Ci-pang selisih terlalu jauh dibanding Ce
Cin-kun, hasil serangannya yang aneh tadi adalah berkat
bantuan Hui-ang-kin yang ikut mengeroyok dari samping,
dengan sendirinya tak nanti ia sanggup melawan orang lebih
lama. Tapi bagi Ce Cin-kun yang tak mengetahui rahasia latar
belakang itu, setelah kena ditempeleng dua kali oleh Han Cipang,
pula jenggotnya kena dibubut sebagian, hinaan ini
dirasakannya jauh lebih berat daripada kekalahannya dari Pekhoat
Mo-li dulu. Ia menyangka ilmu silat Han Ci-pang masih
lebih lihai dari Hui-ang-kin, maka tak berani sembarangan
mengejar. Di lain pihak, begitu Han Ci-pang dan Hui-ang-kin
bisa menerjang keluar, segera Kui Tiong-bing maju
memapaknya. Pedang pusaka Tiong-bing 'Theng-kau-pokiam'
begitu diputar hingga berwujud satu lingkaran putih, dalam
sekejap saja belasan senjata jago-jago pengawal sudah
dikuninginya. "Leng-tayhiap, mari kita menerjang pergi!"
demikian teriak Tiong-bing. "Nanti dulu, habis aku menagih
hutang, segera aku menyusul," sahut Bwe-hong. Waktu ia
melompat turun dari atas pohon tadi Khu Tong-lok sudah
diincarnya, maka begitu senjatanya bergerak segera orang itu
yang dia tuju. Cuma tadi karena memperhatikan Han Ci-pang
yang lagi menghajar Ce Cin-kun, maka serangan lihai belum
dilontarkannya, kini Ci-pang dan Hui-ang-kin sudah lolos dari
bahaya, apanya yang dia kuatirkan lagi" Maka begitu
pedangnya berkelebat, dibarengi suara tertawanya yang
panjang, tahu-tahu Khu Tong-lok merasakan tangannya linu
kaku, golok sebelah tangannya sudah mencelat ke angkasa,
waktu pedangnya menangkis pula dan kena dipuntir oleh
balikan tangan Leng Bwe-hong, kembali pedangnya terlepas
dari cekalan juga. Cepat Khu Tong-lok membalik tubuh
hendak angkat langkah seribu, tapi mana bisa kabur lagi,
sekali Leng Bwe-hong mengulur tangan, seketika
punggungnya kena dijambretnya bagai elang mencengkeram
ayam cilik. Waktu Bwe-hong puntir tangan orang dan sekalian
kepalanya dipelintir, ia angkat pedang mengiris ke muka Tonglok
terus memutar pula ke pipi kiri, maka tak ampun lagi daun
kuping Khu Tong-lok telah berpisah dengan tuannya. "Nah,
kini hutang berikut rente sudah lunas, jiwamu kuampuni," kata
Bwe-hong bergelak tertawa puas. Dan ketika tubuh orang
diangkatnya terus diayun, Khu Tong-lok kena dilempar pergi
beberapa tombak jauhnya. Tidak kepalang gusar Ce Cin-kun
hingga matanya merah berapi, ia lihat tiga orang musuh
segera akan lolos begitu saja, tanpa pikir lagi ia melesat cepat
bagai burung terbang terus turun di tengah antara Kui Tiongbing
dan Leng Bwe-hong, menyusul kedua pedangnya
menggunting sekaligus terus memotong ke pinggang Bwehong.
Tatkala itu Hui-ang-kin dan Han Ci-pang sudah berlari
paling depan, hanya Leng Bwe-hong berada paling belakang.
Ce Cin-kun paling jeri pada Han Ci-pang, tapi terhadap Leng
Bwe-hong tidak dipandang sebelah matanya. Cin-kun tidak
kenal Leng Bwe-hong, tetapi Bwe-hong tahu siapa Ce Cin-kun,
maka segera ia mengejek, "Hm, kau tua bangka ini apa ingin
dibubut bersih jenggotmu?" Sembari berkata, sekali melesat,
secepat kilat pedang 'Jing-kong-kiam' menusuk menerobos di
antara sela-sela kedua pedang lawan. Keruan saja Ce Cin-kun
terkejut, lekas ia mendoyong ke belakang sambil sebelah
pedangnya menyampuk menghindarkan tusukan itu. Namun
Leng Bwe-hong masih merangsek maju tanpa ken-dor
sedikitpun, tipu serangannya segera diubah menjadi 'Ciu-cuihing-
ciu' atau perahu menyusur sungai Ciu, tiba-tiba ia
mengayun ke kiri, pada saat tubuh Cin-kun mendoyong dan
im-bangan badannya tak tetap, mendadak ia bentur pedang
kirinya hingga tergoncang pergi, menyusul ia menarik kembali
dan cepat pula terus menusuk lagi ke perut Cin-kun. Beruntun
tiga kali serangan berbahaya itu adalah ilmu pedang Thian-san
yang paling lihai, karena Ce Cin-kun memandang enteng
lawannya hingga nyawanya hampir melayang di bawah ujung
pedang Leng Bwe-hong. Namun sedikitnya Ce Cin-kun adalah
cikal-bakal suatu aliran persilatan tersendiri, tidak percuma
latihannya selama 50-an tahun, dalam keadaan bahaya ia
tidak menjadi gugup, dengan sekuat tenaga ia tahan pedang
dan tubuhnya bagai kiliran memutar ke kiri, dan sedikit ujung
pedangnya menutul tanah, tahu-tahu senjata ini terus membal
ke depan dan menempel batang pedang Leng Bwe-hong terus
didorong pergi, sedang pedang lain masih memotong ke atas
hendak menusuk pergelangan tangan Bwe-hong yang
mencekal senjata. Diam-diam Bwe-hong memuji ketangkasan
orang tua yang hebat ini, ia melompat tinggi secepat burung
dan melayang lewat di sisi kiri Ce Cin-kun, berbareng dengan
tipu 'Sin-liong-tiau-bwe" atau naga sakti membalik buntut, ia
membalikkan pedangnya menusuk pula ke pilingan Ce Cinkun.
Tapi Cin-kun sempat juga menggeser pergi sembari
pedangnya menangkis, maka terdengarlah suara gemerincing
yang nyaring, kedua pedang saling bentur hingga lelatu api
meletik, kedua orang sama tergetar mundur dan pedang
masing-masing tergumpil semua oleh senjata lawan. Dan
karena sekali jajal ini, segera Leng Bwe-hong tahu bahwa
keuletan dan tenaga Ce Cin-kun ternyata sama kuat dengan
dirinya, ia pikir kalau hendak menundukkan orang tua ini
tidaklah gampang dilakukan dalam 30 atau 50 jurus saja.
Maka ia pun tidak ingin terlibat lebih jauh, segera ia
membentak, "Mengingat usiamu sudah begini lanjut, biarlah
aku ampuni kau untuk kembali ke rumah melewatkan hari
tuamu." Habis itu, begitu pedangnya diputar cepat hingga
sinar perak bergulung-gulung, mana bisa lagi para pengawal
Onghu merintanginya hingga sekejap saja sudah kena
diterjang keluar Leng Bwe-hong untuk menggabungkan diri
dengan Kui Tiong-bing dan kawan-kawan. Sungguh celaka
bagi Ce Cin-kun, dengan susah payah giat melatih diri selama
50 tahun dan disangkanya bisa menjagoi jagad, siapa tahu
baru muncul dalam pertempuran sudah berulang ketumbuk
batu. Pertama sama kuatnya menempur Hui-ang-kin,
kemudian kena ditempeleng dan bahkan dibubut jenggotnya
oleh Han Ci-pang, dan paling akhir, kini hampir melayang
jiwanya di bawah pedang Leng Bwe-hong. Dan ketiga orang
itu justru adalah angkatan lebih muda semua daripada dirinya.
Lebih-lebih Leng Bwe-hong yang umurnya ditaksirnya paling
banyak 30-an lebih sedikit, tapi ilmu pedangnya yang begitu
hebat itu entah dipelajari darimana, begitu kebentur, hanya
empat jurus serangan saja dengan keji hampir membuat
jiwanya melayang. Keruan saja hati Ce Cin-kun yang takabur
menjadi dingin, tak nanti ia berani mengejar lagi.
Seorang murid Ce Cin-kun yang lain, Liu Se-giam, senjata
tombaknya yang sudah terkuning oleh pedang wasiat Kui
Tiong-bing, bahkan pahanya suwil dagingnya oleh sabetan
pecut Hui-ang-kin hingga tombak kutung itu dipakai sebagai
tongkat. Sedang Khu Tong-lok yang kini sudah kehilangan
kedua belah daun kupingnya dan muka berlumuran darah,
sambil memandang sang Sute, ia berjalan terseret-seret ke
hadapan sang guru dan minta dibalaskan sakit hatinya dengan
menangis. "Keparat itulah Leng Bwe-hong adanya," demikian lapor
Khu Tong-lok. Keruan saja muka Ce Cin-kun seketika berubah hebat,
seperti biasa ia lantas mengelus jenggotnya, tapi begitu
menyentuh jenggot barulah ia sadar telah kena dibubut orang
secomot, sambil memandang kedua muridnya yang
mengenaskan dan ingat juga keadaan dirinya yang runyam, ia
menjadi malu bercampur gusar dan terkejut sekali. Teringat
olehnya apa yang pernah dikatakan Hui-bing Siansu, maka ia
membatin, "Pantas dulu ia bilang ilmu pedangku masih ada
kekurangannya, nyatanya sampai ilmu pedang anak muridnya
saja masih di atasku." Karena itu, wajahnya menjadi muram,
tanpa berkata lagi ia mengeluyur pergi mencari Coh Ciau-lam.
Mengenai rombongan Han Ci-pang, setelah mereka kembali
ke Se-san dengan selamat, dengan lemas Hui-ang-kin duduk
terus berkata dengan menghela napas, "Onghui sudah mati
dan anak dara itupun tamatlah sudah!"
Bwe-hong kaget mendengar kabar itu. "Cara bagaimana
Onghui mati?" tanyanya cepat.
Lalu Hui-ang-kin menceritakan apa yang dilihatnya pagi
tadi. Saking terharunya, tak tahan lagi Leng Bwe-hong ikut
meneteskan air mata.
Karena itu semua orang duduk termenung tak berkata.
Lama dan lama sekali baru mendadak Hui-ang-kin melonjak
bangun dan berseru, "Ya, hampir saja aku lupa pada pesan
terakhir yang dia tinggalkan!"
"Pesan terakhir apa?" tanya Bwe-hong cepat.
"Ia bilang besok sore mereka akan menggiring Lan-cu ke
sidang pemeriksaan," kata Hui-ang-kin.
"Lalu, apakah maksudmu kita harus mencegat dan
merampasnya di tengah jalan?" tanya Bwe-hong pula.
Hui-ang-kin mengangguk. "Ya, tiada jalan lain kecuali itu,"
katanya. Keadaan menjadi sunyi lagi. Leng Bwe-hong berpikir
sejenak, kemudian ia buka suara lagi. "Mungkin usaha ini
percuma saja," demikian katanya. "Sebelum mereka
menggiring keluar tawanan kerajaan, di sepanjang jalan yang
akan dilalui pasti sudah diadakan pembersihan dan penjagaan
yang kuat, boleh jadi malah dikerahkan pula pasukan
pengawal, lalu cara bagaimana kita bisa turun tangan" Ya,
sekalipun dengan ilmu silat kita yang tinggi bisa menerjang


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk ke sana, tapi paling banyak hanya 'menyingkap rumput
mengejutkan ular', bila kita berhasil membobol penjagaan
pasukan pengawal itu, tentu lebih dulu Lan-cu sudah digusur
kembali lagi ke dalam penjara."
"Kalau begitu, apakah kita harus menyaksikan begitu saja
anak dara itu digiring ke tiang gantungan?" sahut Hui-ang-kin
marah. "Betapapun resikonya kita harus mencobanya juga."
"Aku tidak bilang kita takkan menolong dia, aku hanya ingin
mencari jalan yang paling sempurna," kata Leng Bwe-hong
sabar. Selang sejenak, tiba-tiba kedua matanya berkilatan,
mendadak ia menjura pada Han Ci-pang sambil berkata,
"Tampaknya soal ini hanya Han-toako saja yang bisa
membantu kita!"
Tentu saja Ci-pang bingung dan gugup, lekas ia balas
hormat orang. "Ai, Leng-tayhiap hendaklah jangan mengolokolok
aku. Kepandaianku masih jauh di bawah kalian berdua,
kalau kalian tidak mampu menolongnya, aku sendiri bisa
berbuat apa?"
"Untuk menolong orang tidak selalu harus mengagulkan
kekerasan dan main senjata," ujar Bwe-hong tertawa. "Apalagi
kepandaian Han-toako sesungguhnya juga sangat tinggi,
bukankah jenggot si tua bangka itupun kena kau bubut?"
Habis itu, segera Leng Bwe-hong menarik keluar Han Cipang
dan Hui-ang-kin, mereka berjalan dalam rimba sunyi itu
sambil Bwe-hong menjelaskan akal apa yang telah
diperhitungkannya.
"Han-toako, bagaimana dengan pendapatmu?" demikian
tanyanya kemudian. "Dan berhasil atau tidak usaha ini,
kesemuanya harus tergantung hubunganmu dengan mereka!"
"Ya," sahut Ci-pang mengangguk, "Soal lain aku tak berani
bilang, tetapi tentang mereka terhadap diriku sudah
dipandangnya sebagai orang sendiri, begitu pula terhadap kau
mereka pun merasa berhutang budi."
"Dan kalau sudah berhasil ditolong keluar, anak dara itu
adalah milikku, kau tak boleh berebut denganku," kata Huiang-
kin tiba-tiba. "Untuk apa aku berebut denganmu?" sahut Bwe-hong
tertawa tanpa pikir. "Jika kau mau mengaku dia sebagai
puterimu, aku malah akan menghaturkan selamat padamu!"
Dan setelah selesai mereka berunding, segera mereka
berpisah untuk mengatur seperlunya.
Kembali pada diri Ie Lan-cu. Sesudah ditinggal pergi sang
ibu, hatinya seakan mati, tak berperasaan. Hari itu, ia sendiri
tidak tahu apakah siang atau malam, sipir bui telah membuka
pintu penjara, lebih dulu kedua matanya ditutup dengan kain
hitam tebal, lalu didengarnya suara tindakan orang yang riuh
banyak, ada orang telah menggusurnya ke atas sebuah
kereta. Karena siksaan lebih sebulan ini dan mengalami sekali luka
hati yang parah, Lan-cu tak sanggup menahan lagi rohaniah
maupun jasmaniahnya. Tubuhnya yang lemas itu ikut
tergoncang ke sana kemari oleh getaran roda kereta. Perutnya
pun dirasakan kurang enak, tiba-tiba ia memuntahkan air
kecut. "Hm, sudah tahu rasa bukan, sekarang?" tiba-tiba
didengarnya ada orang mengejek di sampingnya. "Ayahmu
yang berdosa kau yang bayar hutangnya, syukur!"
Tubuh Lan-cu sebenarnya sangat lemah, tapi mendadak ia
menegakkan leher terus mendamperat, "Coh Ciau-lam kau
pengkhianat keparat, kau ada harganya buat menyebut diri
ayahku" Meski ia sudah meninggal, masih beratus ribu kali
lebih bernilai daripada kau yang hidup!"
Tapi kembali Ciau-lam menyindir, "Hm, hendaklah kau
sedikit sopan padaku, keponakanku yang baik, nanti kau
masih perlu bantuan pamanmu ini untuk mengurus
jenazahmu!"
"Manusia tak kenal malu, kau ini paman siapa?" Lan-cu
memaki pula. "Hm, anjing bangsa Boanciu kan!"
Dan ketika Ciau-lam hendak menyiksa orang dengan katakata
yang lebih keji pula, sekonyong-konyong kereta pengiring
paling depan berhenti. Waktu ia menyingkap tirai kereta
memandang keluar, ia lihat dari depan sana mendatangi dua
kereta besar dan sedang membentak minta jalan.
Keruan saja Ciau-lam sangat heran. "Siapakah itu, kenapa
membiarkannya terobosan?" tanyanya segera.
Kiranya Coh Ciau-lam bersama Ce Cin-kun mendapat
perintah membawa 24 jago kerajaan kelas satu dalam enam
buah kereta besar menggiring Ie Lan-cu ke sidang
pemeriksaan di kementerian kehakiman. Dan memang seperti
diduga Leng Bwe-hong dan kawan-kawan malam sebelumnya
sepanjang jalan yang akan dilalui sudah dijaga keras oleh dua
ribu tentara Gi-lim-kun atau pasukan komando kota-raja, dan
tidak sembarang-an orang diperbolehkan berjalan. Malahan
pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat dari penjara dan
menyangka dengan penjagaan serapat itu pasti tak akan
terjadi sesuatu.
"Itulah kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dari Tibet,"
demikian lantas terdengar pengawal di atas kereta yang
ditumpangi Ciau-lam bersama Ie Lan-cu itu menjawab.
"O," sahut Ciau-lam, dan dalam hati ia pun berpikir, "Aku
kira siapa, tahunya rombongan mestika itu!"
Kiranya utusan istimewa Buddha Hidup dari Tibet mendapat
pelayanan sangat baik di kota-raja seperti melayani duta dari
negeri asing. Penjagaan keras yang telah diatur Coh Ciau-lam
itu hanya berlaku bagi penduduk sipil, sebaliknya kereta
kebesaran utusan Buddha Hidup dengan sendirinya tiada yang
berani merintanginya.
Penglihatan Coh Ciau-lam sangat tajam, dari jauh ia lihat
pada kereta utusan itu paling depan berdiri belasan orang
Lamma, dua di antaranya sepgsti sudah dikenalnya. Segera ia
pun ingat seorang di antaranya ialah Lamma yang dulu ikut
mengawal 'Sik-lik-ci' bersama Thio Thian-bong itu. Ini tidak
menjadi soal, tetapi seorang yang lain memakai jubah merah,
sikap dan lagaknya ternyata agak lain daripada Lamma
umumnya. Setelah Ciau-lam mengingatnya lagi, ia baru mengenali
orang ini adalah ketua umum Thian-te-hwe, Han Ci-pang.
Keruan saja ia terkejut.
Dan selagi ia hendak berteriak membongkar rahasia itu,
tiba-tiba di depan sana sudah ada yang berseru, "Orang-orang
ini palsu!" Dan sesaat kemudian, dari dua kereta besar itu
segera melompat keluar banyak orang disusul dengan
menghamburnya senjata rahasia yang berseliweran, golok dan
pedang bersam-baran, bagai sekawanan banteng mengamuk
saja orang-orang itu terus menerjang maju.
Coh Ciau-lam mendapat perintah menjaga sendiri tawanan,
ia kuatir terjadi apa-apa, maka tak berani ia meninggalkan
posnya. Rombongan orang yang menyerbu keluar dari kereta itu
tidak lain daripada Leng Bwe-hong beserta kawan-kawannya,
mereka memang menyamar, tapi kereta kebesaran utusan
Buddha Hidup dan beberapa Lamma pembuka jalan itu
sebaliknya adalah tulen.
Kiranya berhubung jasa Han Ci-pang bisa mendapatkan
kembali Sik-li-ci mereka, para Lamma itu telah
mengundangnya ke Tibet dan memandangnya sebagai tamu
agung. Sekali ini karena kebetulan sama-sama berada di kotaraja,
diam-diam Ci-pang membawa Leng Bwe-hong pergi
mencari Ang-ih Lamma atau Lamma jubah merah yang
menjadi utusan Buddha Hidup itu untuk berunding hendak
meminjam kereta kebesaran dan pas jalan.
Mula-mula Ang-ih Lamma ragu dan merasa serba sulit, tapi
Leng Bwe-hong membujuknya dan memberi jaminan apabila
usaha gagal boleh bilang pada Kaisar bahwa kereta dan pas
jalan mereka itu kena dicuri.
"Pusaka semacam 'Cu-ko-kim-hu' saja dapat kami curi,
apalagi hanya kereta seperti ini?" demikian Bwe-hong berkata.
"Pula Hongsiang sudah cukup kenal kelihaian kami, pasti ia
akan percaya penuh."
Begitulah, karena merasa berhutang budi, meski soal itu
membawa resiko, namun tak bisa Lamma jubah merah itu
menolaknya. Dan setelah dapat meminjam kereta kebesaran utusan
Buddha Hidup itu, dibantu oleh Congtat Wancin yang
memimpin 7-8 Lamma lainnya berjalan di depan serta
memperhitungkan ketepatan waktunya, akhirnya berhasil juga
mereka menerjang ke daerah terlarang itu buat mencegat
kereta tawanan yang membawa Ie Lan-cu. Dan pertarungan
sengit tak bisa dihindarkan lagi.
Keadaan menjadi sunyi lagi. Leng Bwe-hong berpikir
sejenak, kemudian ia buka suara lagi. "Mungkin usaha ini
percuma saja," demikian katanya "Sebelum mereka
menggiring keluar tawanan kerajaan, di sepanjang jalan yang
akan dilalui pasti sudah diadakan pembersihan dan penjagaan
yang kuat, boleh jadi malah dikerahkan pula pasukan
pengawal, lalu cara bagaimana kita bisa turun tangan" Ya,
sekalipun dengan ilmu silat kita yang tinggi bisa menerjang
masuk ke sana, tapi paling banyak hanya 'menyingkap rumput
mengejutkan ular', bila kita berhasil membobol penjagaan
pasukan pengawal itu, tentu lebih dulu Lan-cu sudah digusur
kembali lagi ke dalam penjara."
"Kalau begitu, apakah kita harus menyaksikan begitu saja
anak dara itu digiring ke tiang gantungan?" sahut Hui-ang-kin
marah. "Betapapun resikonya kita harus mencobanya juga."
"Aku tidak bilang kita takkan menolong dia, aku hanya ingin
mencari jalan yang paling sempurna," kata Bwe-hong sabar.
Selang sejenak, tiba-tiba kedua matanya berkilatan,
mendadak ia menjura pada Han Ci-pang sambil berkata,
"Tampaknya soal ini hanya Han-toako saja yang bisa
membantu kita!"
Tentu saja Ci-pang bingung dan gugup, lekas ia balas
hormat orang. "Ai, Leng-tayhiap hendaklah jangan mengolokolok
aku. Kepandaianku masih jauh di bawah kalian berdua,
kalau kalian tak mampu menolongnya, aku sendiri bisa
berbuat apa?"
"Untuk menolong orang tidak selalu harus mengagulkan
kekerasan dan main senjata," ujar Bwe-hong tertawa. "Apalagi
kepandaian Han-toako sesungguhnya juga sangat tinggi,
bukankah jenggot si tua bangka itupun kena kau bubut?"
Habis itu, segera Leng Bwe-hong menarik keluar Han Cipang
dan Hui-ang-kin, mereka berjalan dalam rimba sunyi itu
sambil Bwe-hong menjelaskan akal apa yang telah
diperhitungkannya.
"Han-toako, bagaimana pendapatmu?" demikian tanyanya
kemudian. "Dan berhasil atau tidak usaha ini, kesemuanya
harus tergantung hubunganmu dengan mereka!"
"Ya," sahut Ci-pang mengangguk, "Soal lain aku tak berani
bilang, tetapi tentang mereka terhadap diriku sudah
dipandangnya sebagai orang sendiri, begitu pula terhadap
kau, mereka pun merasa berhutang budi."
"Dan kalau sudah berhasil ditolong keluar, anak dara itu
adalah milikku, kau tak boleh berebut denganku," kata Huiang-
kin tiba-tiba. "Untuk apa aku berebut denganmu?" sahut Bwe-hong
tertawa tanpa pikir. "Jika kau mau mengaku dia sebagai
puterimu, aku malah akan menghaturkan selamat padamu!"
Dan setelah selesai mereka berunding, segera mereka
berpisah untuk mengatur seperlunya.
Kembali pada diri Ie Lan-cu. Sesudah ditinggal pergi sang
ibu, hatinya seakan mati, tak berperasaan. Hari itu, ia sendiri
tidak tahu apakah siang atau malam, sipir bui telah membuka
pintu penjara, lebih dulu kedua matanya ditutup dengan kain
hitam tebal, lalu didengarnya suara tindakan orang yang riuh
banyak, orang telah menggusurnya ke atas sebuah kereta.
Karena siksaan lebih sebulan ini dan mengalami sekali luka
hati yang parah, Lan-cu tak sanggup menahan lagi rohaniah
maupun jasmaniahnya. Tubuhnya yang lemas itu ikut
tergoncang ke sana kemari oleh getaran roda kereta. Perutnya
pun dirasakan kurang enak, tiba-tiba ia memuntahkan air
kecut. "Hm, sudah tahu rasa bukan, sekarang?" tiba-tiba
didengarnya ada orang mengejek di sampingnya. "Ayahmu
yang berdosa kau yang bayar hutangnya, syukur!"
Tubuh Lan-cu sebenarnya sangat lemah, tapi mendadak ia
menegakkan leher tems mendamprat, "Coh Ciau-lam, kau
pengkhianat keparat, kau ada harganya buat menyebut diri
ayahku" Meski ia sudah meninggal, masih beratus ribu kali
lebih bernilai daripada kau yang hidup!"
Tapi kembali Ciau-lam menyindir, "Hm, hendaklah kau
sedikit sopan padaku, keponakanku yang baik, nanti kau
masih perlu bantuan pamanmu ini untuk mengurus
jenazahmu!"
"Manusia tak kenal malu, kau ini paman siapa?" Lan-cu
memaki pula. "Hm, anjing bangsa Boanciu kan!"
Dan ketika Ciau-lam hendak menyiksa orang dengan
katakata yang lebih keji pula, sekonyong-konyong kereta
pengiring paling depan berhenti. Waktu ia menyingkap tirai
kereta memandang keluar, ia lihat dari depan sana
mendatangi dua kereta besar dan sedang membentak minta
jalan. Keruan saja Ciau-lam sangat heran. "Siapakah itu, kenapa
membiarkannya terobosan?" tanyanya segera.
Kiranya Coh Ciau-lam bersama Ce Cin-kun mendapat
perintah membawa 24 jago kerajaan kelas satu dalam enam
buah kereta besar menggiring Ie Lan-cu ke sidang
pemeriksaan di kementerian kehakiman. Dan memang seperti
diduga Leng Bwe-hong dan kawan-kawan malam sebelumnya,
sepanjang jalan yang akan dilalui sudah dijaga keras oleh dua
ribu tentara Gi-lim-kun atau pasukan komando kota-raja, dan
tidak sembarang-an orang diperbolehkan jalan. Malahan pagipagi
sekali mereka sudah berangkat dari penjara dan
menyangka dengan penjagaan serapat itu pasti tak akan
terjadi sesuatu.
"Itulah kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dari Tibet,"
demikian lantas terdengar pengawal di atas kereta yang
ditumpangi Ciau-lam bersama Ie Lan-cu itu menjawab.
"O," sahut Ciau-lam, dan dalam hati ia pun berpikir, "Aku
kira siapa, tahunya rombongan mestika itu!"
Kiranya utusan istimewa Buddha Hidup dari Tibet mendapat


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelayanan sangat baik di kota-raja seperti melayani duta dari
negeri asing. Penjagaan keras yang telah diatur Coh Ciau-lam
itu hanya berlaku bagi penduduk sipil, sebaliknya kereta
kebesaran utusan Buddha Hidup dengan sendirinya tiada yang
berani merintanginya.
Penglihatan Coh Ciau-lam sangat tajam, dari jauh ia lihat
pada kereta utusan itu paling depan berdiri belasan orang
Lamma, dua di antaranya mukanya seperti sudah dikenalnya.
Segera ia pun ingat seorang di antaranya ialah Lamma yang
dulu ikut mengawal 'Sik-lik-ci' bersama Thio Thian-bong itu.
Ini tidak menjadi soal, tetapi seorang yang lain memakai jubah
merah, sikap dan lagaknya ternyata agak lain daripada Lamma
umumnya. Setelah Ciau-lam mengingatnya lagi, ia baru mengenali orang
ini adalah ketua umum Thian-te-hwe, Han Ci-pang.
Keruan saja ia terkejut.
Dan selagi ia hendak berteriak membongkar rahasia itu,
tiba-tiba di depan sara sudah ada yang berseru, "Orang-orang
ini palsu!" Dan sesaat kemudian, dari dua kereta besar itu
segera melompat keluar banyak orang disusul dengan
menghamburnya senjata rahasia yang berseliweran, golok dan
pedang bersambalan, bagai sekawanan banteng mengamuk
saja orang-orang itu terus menerjang maju.
Coh Ciau-lam mendapat perintah menjaga sendiri tawanan,
ia kuatir terjadi apa-apa, maka tak berani ia meninggalkan
posnya. Rombongan orang yang menyerbu keluar dari kereta itu
tidak lain daripada Leng Bwe-hong beserta kawan-kawannya,
mereka memang menyamar, tapi kereta kebesaran utusan
Buddha Hidup dan beberapa Lamma pembuka jalan itu
sebaliknya adalah tulen.
Kiranya berhubung jasa Han Ci-pang bisa mendapatkan
kembali Sik-li-ci mereka, para Lamma itu telah
mengundangnya ke Tibet dan memandangnya sebagai tamu
agung. Sekali ini karena kebetulan sama-sama berada di kotaraja,
diam-diam Ci-pang membawa Leng Bwe-hong pergi
mencari Ang-ih Lamma atau Lamma jubah merah yang
menjadi utusan Buddha Hidup itu untuk berunding hendak
meminjam kereta kebesaran dan pas jalan.
Mula-mula Ang-ih Lamma ragu dan merasa serba sulit, tapi
Leng Bwe-hong membujuknya dan memberi jaminan apabila
usaha gagal boleh bilang pada Kaisar bahwa kereta dan pas
jalan mereka itu kena dicuri.
"Pusaka semacam 'Cu-ko-kim-hu' saja dapat kami curi,
apalagi hanya kereta seperti ini?" demikian Bwe-hong berkata.
"Pula Hongsiang sudah cukup kenal kelihaian kami, pasti ia akan
percaya penuh."
Begitulah, karena merasa berhutang budi, meski soal itu
membawa resiko, namun tak bisa Lamma jubah merah itu
menolaknya. Dan setelah dapat meminjam kereta kebesaran utusan
Buddha Hidup itu, dibantu oleh Congtat Wancin yang
memimpin 7-8 Lamma lainnya berjalan di depan serta
memperhitungkan ketepatan waktunya, akhirnya berhasil juga
mereka menerjang ke daerah terlarang itu buat mencegat
kereta tawanan yang membawa Ie Lan-cu. Dan pertarungan
sengit tak bisa dihindarkan lagi.
Menurut rencana Leng Bwe-hong agar usahanya tidak
sampai gagal, maka seluruh pahlawan yang berada di rumah
Ciok Cin-hui dikerahkan semua, terutama Kui Tiong-bing, Boh
Wan-lian, Thio Hua-ciau, Thong-bing Hwesio, Siang Ing, Thia
Thong dan lain-lain semuanya berilmu silat yang mengejutkan.
Namun begitu, di pihak Ce Cin-kun dikerahkan juga 24 jago
bayangkara kerajaan kelas tinggi, dengan sendirinya kekuatan
mereka pun tidak lemah. Apalagi Coh Ciau-lam yang sudah
banyak berpengalaman, ia berlaku tenang sekali, dengan
pedang terhunus ia menjaga terus di samping Ie Lan-cu,
dalam hati ia berpikir, "Asal Ce Cin-kun dapat menahan Leng
Bwe-hong, selebihnya siapa saja yang berani maju ke sini
tidak nanti kutakuti lagi. Seumpama kepepet, Ie Lan-cu
berada dalam genggamanku, pasti juga mereka memikirkan
keselamatannya!"
Begitulah maka Coh Ciau-lam menanti dengan tenang, ia
lihat di depan sana pertempuran sudah terjadi dengan
serunya, ia lihat meski Leng Bwe-hong sudah muncul, tapi
seketika masih belum mampu menerjang ke arah sini.
Diam-diam Ciau-lam bergirang, dan ketika ia berpikir
memutar kereta kembali ke penjara saja, mendadak dilihatnya
dari depan sana sesosok bayangan berkelebat dan bagai
burung cepatnya melayang kian kemari, sekejap ke timur, lain
saat ke barat hingga tiada yang sanggup merintanginya,
sedangkan Ce Cin-kun dan Seng Thian-ting yang tinggi ilmu
silatnya justru sedang terlibat dalam pertarungan melawan
Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, maka bayangan orang itu
dengan mudah dan cepat gesit sekali sudah menerjang
datang. Keruan Ciau-lam sangat terkejut, waktu ia menegasi, ia
lihat bayangan orang itu telah menubruk ke atas keretanya
dan begitu pecutnya menyabet, kontan dua kawan
pengawalnya telah terguling. Orang ini bukan lain daripada
Hui-ang-kin yang 20 tahun berselang pernah
mengguncangkan daerah perbatasan.
Karena kisah roman di masa mudanya dan suka-duka di
antara mereka, dengan sendirinya Ciau-lam rada jeri
menghadapi Hui-ang-kin. Dalam keadaan sudah mendesak, ia
tidak bisa berpikir banyak lagi, ketika pedangnya bergerak,
dengan tipu 'Jiau-hu-imii-loh' atau si tukang kayu bertanya
jalan, cepat sekali ia menusuk 'Hua-kai-hiat' di leher Hui-angkin.
Namun sedikit mengegos, berbareng pecut dan pedang
Hui-ang-kin segera balas menyerang lagi, pecutnya membelit
senjata lawan dan pedangnya menusuk iga lawan, dua macam
senjata dua tipu serangan yang lihai.
Lekas Ciau-lam menarik pedang ke atas menuruti gaya
pecut, habis itu cepat ia menggeser pergi dan pedang
membalik terus menusuk ke perut Hui-ang-kin sambil
membabat juga kedua kakinya, hanya sekejap saja susul
menyusul ia pun melontarkan beberapa serangan lihai yang
mematikan dari tipu 'In-hou-kui-san' atau menggiring harimau
kembali ke gunung, berubah menjadi 'Kim-tiau-tian-sit' atau
garuda emas pentang sayap, dan belum selesai ini terus
berubah lagi menjadi gerak tipu 'Ih-sing-ti-tau' atau
menggeser bintang mencapai rembulan, dari berjaga tadi
mendadak ia ganti menyerang secara bertubi-tubi tak
terputus. Tapi ilmu mengentengkan tubuh Hui-ang-kin yang sudah
mencapai taraf tiada taranya, beruntun ia pun menggunakan
tiga gerak tipu menghindari serangan dan balas menyerang,
pedangnya berkelebatan dan pecutnya sambar-menyambar,
selangkah pun ia tak mau mengalah.
Dan karena serang-menyerang kedua orang sama
cepatnya, maka sekejap saja belasan gebrak sudah
berlangsung. Kalau soal ilmu kepandaian, keduanya boleh
dibilang setail berbanding setengah kati alias sama kuat, siapa
pun tak bisa menangkan yang lain. Tapi kalau soal tenaga
nyata Coh Ciau-lam bisa bertahan lebih lama.
Dari jarak sedekat itu Hui-ang-kin sudah jelas melihat le
Lan-cu diikat di dalam kereta itu, namun ia belum mampu
menggempur mundur Coh Ciau-lam, sedang dari samping ada
beberapa bayangkara lain mengembut maju lagi, ia menjadi
gugup dan gusar, mendadak ia bersiul panjang terus
membentak. "Coh Ciau-lam, berani kau merintangiku?" Habis itu
pecutnya menyabet sekuatnja dari kiri ke kanan dan tubuhnya
tiba-tiba meloncat ke atas, tanpa menghiraukan jiwanya lagi ia
menerjang maju dengan paksa.
Sama sekali tak diduga Coh Ciau-lam bahwa Hui-ang-kin
bisa berlaku begitu nekad hingga berani tubuh terapung dan
menubmk ke arahnya. Dalam keadaan demikian kalau Coh
Ciau-lam mau turun tangan keji, keduanya pasti akan samasama
kena, dan Hui-ang-kin sendiri tentu akan terluka lebih
berat. Sesaat itu tiba-tiba kisah cinta di masa mudanya sekilas
terlintas dalam hati Coh Ciau-lam. Meski Hui-ang-kin belum
pernah mencintai Coh Ciau-lam, bahkan bersama Njo Huncong
pernah menawannya dan mencambuknya, namun
apapun juga Hui-ang-kin adalah gadis yang pernah dicintai
Coh Ciau-lam. Kini tanpa memikirkan jiwanya Hui-ang-kin menerjang
begitu cepat, belum sempat Coh Ciau-lam berpikir, dengan
sendirinya ia mengegos tubuh, dan karena itu secepat terbang
Hui-ang-kin sudah melayang lewat di sampingnya, sekali
jambret segera tubuh Ie Lan-cu kena disambarnya tems
melompat ke atas kereta tawanan lagi.
Ketika Coh Ciau-lam sadar kembali, namun waktu itu Huiang-
kin sudah melesat pergi lagi sejauh belasan tombak.
Tatkala mana pertarungan kedua belah pihak sedang terjadi
dengan sengitnya dan mulai mendekat.
Ciau-lam tahu Ginkang Hui-ang-kin yang hebat masih di
atasnya, pula dilihatnya pertarungan Leng Bwe-hong kontra
Ce Cin-kun yang sem masih susah dibedakan siapa yang
unggul atau asor, seketika seluruh rasa gusarnya telah
dialihkan pada diri Leng Bwe-hong, segera ia pun
kesampingkan diri Hui-ang-kin, begitu pedangnya bergerak,
cepat ia memburu maju dan bersama Ce Cin-kun mereka
mengeroyok dengan tujuan membinasakan Leng Bwe-hong.
Seperti diketahui dalam pertempuran kemarin sebenarnya
Ce Cin-kun sudah jeri terhadap Han Ci-pang dan Leng Bwehong,
tapi kenapa hari ini ia masih berani bertempur matimatian"
Hal ini kalau diceritakan agak lucu juga.
'^Kiranya begitu Ce Cin-kun datang ke kota-raja dan habis
menghadap Khong-hi, kemudian ia pun saling berkenalan
dengan Coh Ciau-lam dan sama mengunjuk sejurus ilmu
pedang masing-masing. Kata Ciau-lam kemudian,
"JikaCianpwe (angkatan tua) mau tampil ke muka, Leng Bwehong
itu pasti akan kebentur lawan berat sepertimu, asal kita
berdua bersatu mengeroyoknya dapat dipastikan bisa
mampuskan dia."
Waktu itu Ce Cin-kun hanya menjengek dingin, ia pikir di
jagad ini kecuali Pek-hoat Mo-li, siapa lagi yang mampu menandingiku"
Sedangkan 50 tahun yang lalu Hui-bing Siansu
saja tak berani bertanding denganku, apalagi hanya anak
muridnya yang terakhir. Nyata ia masih menyangka Coh Ciaulam
sengaja menaikkan harga diri dan membesar-besarkan
Sute sesama perguruannya.
Tak terduga ketika bentrok di istana Pangeran, hanya 3-4
jurus saja ia sudah dibikin kelabakan oleh Leng Bwe-hong.
Setelah itu, ia malah menyalahkan Coh Ciau-lam dan dengan
marah ia pergi mencarinya dan menegurnya kenapa tidak mau
berterus terang, katanya, "Kenapa kau bicara main sembunyi
hingga aku mengalami kekalahan" Thian-san-kiam-hoat yang
kau mainkan kemarin itu kenapa tidak sama dengan Leng
Bwe-hong punya" Kita sama-sama mengabdi untuk
Hongsiang, terhadap musuh harus bisa mengenal
kepandaiannya, tapi kau justru merahasiakannya dan tidak
mengunjukkan kiam-hoat perguruanmu yang sejati agar aku
bisa berjaga sebelumnya. Hm, hm, terlalu!"
Nyata Ce Cin-kun ini lucu juga, semula ia mengejek Ciaulam
sengaja membesar-besarkan Leng Bwe-hong, tapi kini
malah menyalahkan Ciau-lam sengaja mengumpak dirinya dan
tidak menerangkan kepandaian Leng Bwe-hong yang
sebenarnya. Pikirnya, kau bilang aku bisa menempur Leng
Bwe-hong dengan sama kuatnya, tapi hanya beberapa jurus
saja kenapa aku tak mampu menangkis, jangan-jangan kau
sengaja 'pinjam golok buat membunuh orang' (kiasan seperti
menimpuk batu sembunyi tangan).
Kemudian Coh Ciau-lam bertanya cara bagaimana ia
mengalami kekalahan dari Han Ci-pang dan Leng Bwe-hong,
lalu Cin-kun menceritakan pengalamannya, sudah tentu
kejadian ia ditempeleng Ci-pang dua kali itu tak diuraikannya.
Setelah mendengar cerita orang, Ciau-lam terheran-heran
tak mengerti. Waktu itu Ce Cin-kun berbicara sambil berdiri,
mendadak Ciau-lam mengulur tangan terus menekan ke
pundak orang tua ini sambil berkata, '"Locianpwe, silakan
bicara dengan berduduk saja!"
Tentu saja Ce Cin-kun gusar, dengan sendirinya ia
mengumpulkan tenaga buat menahan, ia mengangkat pundak
membentur ke atas, meski ia sendiri terhuyung-huyung juga,
tapi Coh Ciau-lam juga terbentur hingga tergetar mundur
beberapa tindak.
"Coh Ciau-lam, apakah kau juga hendak menguji diriku?"
demikian damprat Ce Cin-kun marah.
Tapi Ciau-lam menghadapi dengan muka tertawa. "Cianpwe
janganlah gusar dulu," demikian katanya. "Kini aku
menjadi jelas sebab apa kau dikalahkan Leng Bwe-hong. Kau
bukan kalah sungguhan, tapi kena digertak!"
Kiranya dengan sekali jajal tadi segera Ciau-lam tahu
tenaga dalam orang tua ini masih lebih tinggi darinya, kalau
dibanding Leng Bwe-hong sedikitnya masih bisa mengimbangi.
Maka ia berkata lagi, "Dengan ilmu pedang dan tenaga
dalammu tidak nanti dalam sekali dua gebrakan lantas kalah
pada Leng Bwe-hong. Aku sudah pernah bertempur melawan
Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin, tiada halangannya aku
berterus terang padamu, aku dengan Hui-ang-kin adalah
sembabat, sebaliknya sedikit kalah dibanding Leng Bwe-hong,
tetapi selisihnya juga tidak banyak, kini Hui-ang-kin dapat
kaukalahkan, sepantasnya tak nanti kau dikalahkan Leng Bwehong."
Habis ini ia lantas menceritakan sebab dan alasannya.
Katanya pula, "Setelah kemarin aku menyaksikan ilmu
pedangmu, kalau soal tipu serangan dan perubahan
ikutannya, boleh dikata setanding dengan Thian-san-kiamhoat,
tapi kalau soal kebagusannya sebaliknya ilmu pedangmu
kalah setingkat. Namun caramu memainkan pedangmu dapat
kulihat luar biasa uletnya, maka dengan keuletan m u
ditambah kiam-hoat yang hebat, kurasa tidak susah hendak
menempur Leng Bwe-hong dengan sama kuatnya, ia bisa
menangkar kau karena ia terang dan kau gelap, sudah lama
karn i mendengar cerita guru tentang ilmu pedang Hong-luikiam-
hoat, sebaliknya kau baru pertama kali kemarin melihat
Thian-san-kiam-hoat. Memangnya Thian-san-kiam-hoat


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengutamakan cepat, dimana ada lubang segera dimasuki,
jika kau jaga rapat dirimu dengan Hong-lui-kiam-hoat dengan
tenang, kau pasti sanggup bertahan lama, ditambah lagi
keuletan latihanmu, sekalipun tak bisa merobohkan dia, dapat
juga membikin dia letih setengah mati."
Nyata Coh Ciau-lam sudah sangat benci pada Leng Bwehong,
maka ia tidak segan menceritakan seluruh kekuatan dan
kelemahan kedua belah pihak, bahkan mempertunjukkan
sekalian Thian-san-kiam-hoatnya pada Ce Cin-kun. Melihat
beberapa jurus yang dimainkan Leng Bwe-hong kemarin
dalam pertarungan dengan dirinya juga termasuk dalam
permainan pedang Coh Ciau-lam, barulah Ce Cin-kun mau
percaya Ciau-lam tidak merahasiakan, maka ia menjadi berani
kembali dan bersedia bekerja-sama dengan Coh Ciau-lam
untuk membinasakan Leng Bwe-hong.
Begitulah kembali tadi, setelah Leng Bwe-hong keper-gok
lagi dengan Ce Cin-kun, bagai banteng ketaton segera Bwehong
merangsek hebat dan mendahului menyerang,
sebaliknya Ce Cin-kun berlaku tenang mematahkan setiap
serangan lawan. Setelah berlangsung belasan jurus
serangannya tak berhasil, diam-diam Bwe-hong heran. Tibatiba
ilmu pedangnya berubah dengan berbagai gerakan yang
susah diraba agar Ce Cin-kun tak paham kemana serangannya
menuju. Begitu hebat ia memainkan Thian-san-kiam-hoat
hingga sekeliling Ce Cin-kun terasa angin tajam menyambar
dan bayangan berkelebat.
Tentu saja Ce Cin-kun menarik napas dingin, berkat
latihannya selama berpuluh tahun ia coba bertahan rapat,
tiba-tiba pedangnya menjadi seperti begitu antap, ke sana
kemari sangat lambat geraknya, tapi meski lambat, sinar
tajam pedangnya bisa mengurung rapat menjaga diri. Karena
itu, setelah beberapa puluh jurus, keadaan masih belum
nampak siapa unggul atau asor.
Leng Bwe-hong menjadi sengit, kembali tipu serangannya
berubah lagi, ia membentak sekali, lalu jari tangan kirinya
bagai belati mencari kesempatan di sela-sela sinar pedang
musuh untuk menotok jalan darah Ce Cin-kun, sedang Jingkong-
kiam di tangan kanan makin lama makin cepat, meninggi dan
"merendah, tiba-tiba menyabet dari samping, tahu-tahu
menyambar dari depan, Ce Cin-kun harus menjaga serangan
pedang masih harus hati-hati oleh ilmu totokan orang pula,
dalam pertarungan berat ini, akhirnya jidatnya mulai
berkeringat. Dengan tangan kanan memainkan pedang dan tangan kiri
menggunakan telapak tangan, Leng Bwe-hong seperti
sekaligus menggunakan tiga macam senjata, sebab telapak
tangan kirinya kadang menyelingi pula dengan jari menotok
bagai belati, atau sekonyong-konyong bisa membelah juga
dengan telapak tangan bagai sebilah golok, perubahannya
cepat dan aneh, kebagusannya masih jauh di atas Hong-luikiam-
hoat Dahulu waktu Ce Cin-kun rnenciptakan Hong-lui-kiam-hoat
dengan kedua tangannya memainkan pedang dengan tipu
serangan yang berlainan, ia sudah dianggap pencipta ilmu
silat yang belum pernah ada di kalangan Bu-lim atau dunia
persilatan dan amat bangga atas daya cipta dirinya itu. Tapi
kini melihat Leng Bwe-hong dengan tangan kanan memegang
pedang dan tangan lain berupa telapakan diselingi jari
menotok seperti tiga macam senjata sekaligus, gerak tipunya
dibanding Hong-lui-kiam-hoat yang menggunakan sepasang
pedang berbareng, nyata selisihnya entah berapa jauh.
Karena itu mau tak mau Ce Cin-kun terkejut dan kagum.
Baiknya keuletan latihan selama 50 tahun ini masih bisa untuk
memaksakan diri bertahan, cuma bila Leng Bwe-hong merangsek
makin hebat, akhirnya Cin-kun terdesak hingga main
mundur terus. Dan karena pertarungan yang hebat ini, beberapa kereta
telah mereka lewati, memangnya Leng Bwe-hong sengaja
hendak mendesak mundur Ce Cin-kun sambil mendekati
kereta tawanan tadi, tapi ketika ketegangan memuncak, tibatiba
dilihatnya, Hui-ang-kin sudah berhasil, Ie Lan-cu telah
diangkatnya, tapi berlari ke arah yang berlawanan.
Keruan saja Bwe-hong terheran-heran dan segera
pikirannya tergerak pula, ia tidak mengerti mengapa Hui-angkin
kabur seorang diri dan tidak menggabungkan diri dengan
orang banyak, ia pun berpikir pihaknya sudah ditunggu
pasukan Gi-limkun yang menjaga rapat semua jalanan kota,
bila perlawanan diteruskan besar kemungkinan tak bisa
meloloskan diri.
Maka ia pun segera bersuit sekali sebagai tanda agar para
kawan menerjang keluar. Tak terduga meski Ce Cin-kun
terdesak di bawah angin, tapi belum berarti ia sudah kalah,
ketika kedua pedangnya diputar cepat, secara mati-matian ia
terus memantek Leng Bwe-hong hingga susah menarik diri.
Di sebelah sana sesudah Coh Ciau-lam mengelakkan Huiang-
kin yang sudah lari pergi itu, segera ia menubruk ke arah
Leng Bwe-hong sambil membentak dengan tertawa mengejek,
"Hm, Leng Bwe-hong, sekarang lekas kau letakkan senjatamu,
mengingat masih sesama perguruan, biarlah aku mengampuni
jiwamu!" Tapi mendadak Bwe-hong menggeser ke samping terus
menjawab dengan sekali tusukan. "Ha, manusia tak kenal
malu," demikian segera ia mendamprat.
"Hm, ajalmu sudah di depan mata masih belum kau
sadari?" sahut Ciau-lam tertawa dingin. "Baiklah, terpaksa aku
mewakilkan Suhu memberi hajaran padamu."
Habis ini ternyata ia tak pedulikan peraturan Kangouw lagi
sebagai tokoh ternama, bersama Ce Cin-kun segera ia
mengeroyok Leng Bwe-hong.
Dengan demikian, keadaan segera berubah lain, berkat Ce
Cin-kun yang melayani Leng Bwe-hong dari depan, Coh Ciaulam
lantas bisa memainkan pedangnya segesit naga menari di
udara, ia mengeluarkan 'Tui-hong-kiam-hoat' atau ilmu
pedang pemburu angin yang meliputi 72 jurus, satu di antara
ilmu pedang Thian-san yang maha lihai.
Memang Thian-san-kiam-hoat atau ilmu pedang Thian-san
adalah himpunan sari ilmu pedang berbagai aliran, di
antaranya aneh luar biasa setiap tipu serangannya, cepat dan
ruwet, perubahannya susah diraba. Terutama Tui-hong-kiamhoat
sebanyak 72 jurus itu, seluruhnya mengambil kedudukan
menyerang terus menerus yang biasa dipakai bila menemukan
lawan yang lebih lemah.
Meski kepandaian Bwe-hong sebenarnya lebih kuat dari
Ciau-lam, tapi karena mesti melawan dua orang jago, segala
serangannya ditakari duli" oleh Ce Cin-kun, maka Coh C iaulam
tak perlu kuatir serangan balasannya, maka ia
menggunakan Tui-hong-kiam-hoat yang hebat dan
memandang Bwe-hong sebagai lawan yang lebih lemah
baginya. Keruan tidak kepalang gusar Leng Bwe-hong tetapi ia tahu
jago silat bertanding pedang sekali-kali tak boleh naik darah,
maka setelah ia menangkis lagi beberapa kali, ia bisa
menenangkan diri kembali, dengan penuh perhatian segera ia
pun melawan orang dengan 'Han-to-kiam-hoat' atau ilmu
pedang hawa dingin dari Thian-san yang meliputi 64 jurus
untuk menjaga diri sembari balas menyerang pula, sama
sekali ia "tak mau mengalah barang selangkah pun.
Melihat ilmu pedang sang Sute begitu hebat, diam-diam
Ciau-lam terperanjat, pikirnya, "Sungguh tidak kuduga,
berpisah dua tahun, tapi keuletannya sudah bertambah begini
banyak." Dan bila ia ingat diri sendiri selama belasan tahun ini
meski ada kemajuan juga, namun dibanding sang Sute ini
terang selisih jauh, maka tak tahan ia merasa malu sendiri.
Walau begitu toh Tui-hong-kiam-hoat yang dimainkannya
tetap lihai tiada bandingannya, setiap serangannya cukup
ganas, apalagi mengeroyok dua lawan satu, sudah tentu daya
tekanan mereka jauh di atas Leng Bwe-hong, meski sesaat
belum bisa menembus pertahanan lawan, tapi berada di atas
angin sudahlah terang. Makin lama makin cepat sinar pedang
mereka hingga seakan-akan terjalin sebuah jaringan perak
yang mengkeret sempit pelahan dan menindih ke bawah sinar
pedang Leng Bwe-hong.
Makin bertempur mereka semakin sengit, ada dua jago
pengawal berani coba-coba mendekat, tapi angin tajam
menyambar datang disertai bintik' perak yang menyilaukan,
kontan saja mereka terguling pergi dan tubuh mereka
mengalami beberapa luka, entah terluka oleh senjata Leng
Bwe-hong atau salah tertusuk oleh orang sendiri. Karena itu
jago pengawal yang lain menjadi ketakutan dan tak berani
coba-coba lagi.
Pertarungan seru ini kalau dibanding pertempuran di
penjara tempo hari terang jauh lebih sengit dan berbahaya.
Dengan keuletan Ce Cin-kun selama 50 tahun melatih diri,
kekuatannya cukup disamakan lima jagoan pengawal kelas
satu, ditambah lagi kini Coh Ciau-lam yang mahir Thian-sankiam-
hoat membantunya berbareng, dalam keadaan demikian
sekalipun ilmu silat Leng Bwe-hong lain dari yang lain juga tak
tahan oleh rangsekan dua lawan secara bergiliran ini.
"Tiong-bing, lekas kau ke sebelah sini dulu!" seru Bwe-hong
akhirnya. Tapi lama masih belum mendengar suara sahutan
pemuda itu, dalam sibuknya ia sempat melirik ke sana dan
terlihat Kui Tiong-bing sedang dikerubut oleh beberapa jago
pilihan dari kerajaan, dan karena jumlah musuh jauh lebih
banyak, maka pemuda itu tak sempat menarik diri
mendekatinya. Kiranya peristiwa seperti membikin geger Onghu,
mengobrak-abrik penjara dan masuk istana, kesemuanya ini
Kui Tiong-bing sama sekali tidak ikut serta karena dilarang
Boh Wan-lian, selama berbulan-bulan ia terkurung di rumah
Ciok Cin-hui tanpa ada pekerjaan, memangnya ia lagi kesal
ketika tiba-tiba bersama Boh Wan-lian ikut Leng Bwe-hong
pergi merampas kereta tawanan, keruan saja ia sangat
bersemangat bagai macan terlepas dari kurungan, setiap kali
pedang pusaka 'Theng-kau-pokiam' bergerak dan menyambar,
kontan terdengar suara gemerincing nyaring putusnya benda
logam, nyata semua senjata jago pengawal yang coba
merintanginya dari depan telah ditabas kutung semuanya.
Dan selagi ia hendak meneriaki Wan-lian agar bersamasama
menerjang ke depan, tiba-tiba dilihatnya gadis ini
memutar senjatanya hingga berwujud lingkaran sinar emas,
senjata lawan yang menyerangnya juga dikuningi seluruhnya.
Tentu saja Tiong-bing sangat girang. "Eh, Enci Lian, darimana
kau pun mendapatkan sebatang Pokiam?" teriaknya
segera. Tapi Wan-lian tersenyum tanpa menjawab, mereka berdiri
sejajar terus menempur musuh, dua pedang bersatu memutar
ke kanan dan ke kiri dengan cepat, mereka merangsek dan
menerjang musuh dengan senangnya.
Tak terduga pedang wasiat hanya dapat buat menggertak
sementara saja, sebab 24 jago bayangkara yang dikerahkan
Coh Ciau-lam sekali ini kesemuanya berkepandaian tinggi,
beberapa erang tertaitimg senjatanya, segena mereka mundur
dan digantikan kawan yang lain dengan aneka macam senjata
yang tak sama, terutama senjata berat sebangsa perisai, golok
tebal atau senjata enteng sebangsa ruyung, Boan-koan-pit
dan sebagainya yang susah ditabas begitu saja. Apalagi
setelah ada pengalaman, musuh sudah berlaku hati-hati
semua, tidak gampang lagi senjata mereka dikuningi.
Namun kepandaian Kui Tiong-bing juga luar biasa, pula
mengandalkan pedang pusakanya, betapapun juga
kedudukannya lebih menguntungkan. Ketika dilihatnya
serombongan bayangkara merangsek maju lagi, tiba-tiba ia
menggeram sekali, dengan tenaga raksasa mendadak ia
menghantam sebuah perisai musuh hingga mencelat ke udara,
menyusul pedangnya diputar cepat dengan membawa deru
angin, hingga dalam lingkaran beberapa tombak seluruhnya
silau oleh sinar pedangnya yang gemerlapan. Nampak betapa
perkasa pemuda ini, para bayangkara itu tak berani juga
terlalu mendesak.
Ketika keadaan sama-sama bertahan tak terkalahkan,
sekonyong-konyong beberapa jago pengawal yang
mengembut Kui Tiong-bing mundur teratur dan segera
digantikan oleh seorang bayangkara berbaju hijau kurus kecil
yang melayang maju secepat terbang.
Kontan saja Tiong-bing menyambut orang dengan sekali
bacokan, tapi lantas terdengar suara nyaring, tahu-tahu
senjata musuh menempel pada pedangnya, semacam benda
kehitaman sudah menyelonong sampai di depan mukanya,
waktu Tiong-bing mengulur tangan menjambret, tapi luput,
pedang musuh gesit sekali sudah menggeser lagi ke samping
dengan gerakan 'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melingkar
menggeser langkah dan menyusul serangan lihai dilontarkan
pula. Dan kini baru Tiong-bing bisa melihat jelas senjata yang
dipakai musuh ialah sepasang 'Boan-koan-pit' atau potlot
jaksa, maka ia menduga musuh pasti seorang ahli menotok,
tapi ahli menotok kebanyakan mengutamakan kepandaian,
soal tenaga biasanya tentu lemah, namun jago pengawal
kurus kecil ini kenapa begitu hebat tenaga dalamnya, nyata
seorang lawan tangguh yang tidak bisa dipandang rendah.
Musuh di hadapan Tiong-bing ini memang lawan tangguh,
ia bukan lain daripada Seng Thian-ting yang pernah
menempur Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kui di istana Pangeran
To Tok itu, sebagai ahli menotok dengan senjata potlot, maka
ia berjuluk 'Thi-pit-boan-koan' atau si jaksa berpotlot baja,
ilmu silatnya tergolong kelas satu di antara bayangkara
kerajaan dan kedudukannya sejajar dengan Coh Ciau-lam.
Terhadap Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin mau tak mau Seng
Thian-ting masih kalah setingkat, tapi melawan Kui Tiong-bing
kekuatan mereka boleh dibilang seimbang. Tiong-bing menang
karena memakai pedang pusaka, sebaliknya Seng Thian-ting
lebih ulet dan banyak pengalaman, maka pertarungan mereka
menjadi ramai luar biasa dan tetap sama kuatnya.
Dan oleh karena pertarungan mereka yang sangat seru
itulah, maka teriakan Leng Bwe-hong tadi tak bisa diurusnya
meski didengar oleh Kui Tiong-bing.
Sementara itu meski ilmu silat Boh Wan-lian sedikit lebih
rendah, namun tiga jago utama pihak musuh sudah terbagi
melawan Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, maka dengan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang pusaka 'Thian-hong-pokiam' serta senjata rahasia
'Toat-beng-sin-soa' atau pasir sakti pencabut nyawa, hingga
musuh yang mengerubutnya tak berani terlalu mendekat,
dengan begitu untuk sementara ia masih bisa bertahan.
Dan ketika didengarnya suara teriakan Leng Bwe-hong tadi,
ia coba melirik ke arah sana dan terlihat tiga bayangan orang
terkurung dalam sinar pedang yang gulung-gemulung dengan
sambaran angin menderu, tanpa terasa Wan-lian ikut terkejut
dan pandangan silau, ia tahu dengan kepandaiannya tidak
mungkin sanggup menyelip masuk ke dalam garis
pertempuran ketiga orang itu, maka cepat ia bantu meneriaki
Kui Tiong-bing agar lekas pergi mendekati Leng Bwe-hong.
Jarak Wan-lian dengan Tiong-bing sangat dekat, pula suara
gadis ini khusus menimbulkan semacam perasaan pada
pemuda itu, maka begitu mendengar seketika itu juga Tiongbing
melompat naik. "Hendak lari kemana!" bentak Seng Thian-ting cepat.
Berbareng itu kedua Boan-koan-pitnya tiba-tiba menjojoh 'Huicuiliat'
kanan-kiri bahu Tioiig-bing. ' "
Namun pemuda itu bisa memutar cepat, dengan gerak tipu
'Ki-eng-keug-ih* atau elang lapar menyisik bulu, pedangnya
me-nyainpuk dari samping terus membabat sekali ke bawah.
Tapi Seng Thian-ting memang sangat lihai juga, ketika
dilihatnya Tiong-bing beikelit, segera ia tahu kemana orang
hendak menuju, cepat ia membaliki senjatanya terus
menangkis hingga pedang Tiong-bing tergetar pergi. Apalagi
Thian-thig mendadak memutar tubuh dan merubah
tempatnya, potlot bajanya bergerak, kembali ia menotok 'Hunbun-
hiat' di belakang iga Tiong-bing.
Tentu saja Tiong-bing naik darah akhirnya, segera ia pun
menempur orang mati-matian dengan Ngo-kim-kiam-hoat
yang hebat, pedangnya membalik terus memotong ke bawah,
tapi baru setengah jalan mendadak dari memotong ia ganti
membabat dengan gerak serangan 'Thi-so-hing-ciu' atau
gembok besi menambat perahu, ia memotong pundak kanan
musuh. Kedua serangannya itu cepat sekali dan perubahannya tibatiba,
untung Thian-ting sempat mengegos hingga pedang
Tiong-bing menyambar lewat. Menyusul Thian-ting
membentak, mendadak kedua potlotnya menegak, kembali ia
totok 'Tan-dian-hiat' di perut Tiong-bing.
Dengan sendirinya Tiong-bing menjadi gopoh, ia menguatirkan
Leng Bwe-hong yang telah meneriaki dirinya, tapi ia
dicecar mati-matian oleh Seng Thian-ting hingga susah
melepaskan diri.
Di lain pihak, Ce Cin-kun dan Coh Ciau-lam sama-sama
mengeluarkan ilmu pedang mereka yang tunggal menempur
sengit Leng Bwe-hong, makin lama keadaan makin sengit dan
semakin cepat juga, tiga pedang seakan terjalin menjadi
sebuah jaringan sinar perak hingga sinar pedang Leng Bwehong
lambat-laun mengkeret tertindih.
Ketika mereka akan melontarkan serangan lebih hebat buat
merobohkan Leng Bwe-hong, tiba-tiba sesosok bayangan
orang dengan gerak tubuh yang aneh sekali ternyata bisa
menerobos rintangan para pengawal terus menubruk datang.
Keruan The Cin-kun heran dan karena sedikit meleng ini,
cepat sekali pedang Leng Bwe-hong telah menusuk hingga
lengan bajunya sobek tertusuk.
Lekas Cin-kun melangkah mundur, tapi ilmu pedang Leng
Bwe-hong bagus luar biasa, begitu ada kesempatan tidak
pernah dilewatkannya, maka sinar pedangnya berkelebat pula,
segera kedua musuh telah dipotongnya terpisah hingga
kedudukan lawan yang mengeroyok itu kena dipatahkannya.
Bahkan cepat Leng Bwe-hong menerjang maju dan senjata
menyambar pula, terpaksa Coh Ciau-lam mengegos dan
menangkis. Diam-diam Ciau-lam mendongkol sekali, ia pikir Ce Cin-kun
ini percuma hidup sekian tua, kenapa pengalamannya begini
tak berguna. Dengan cara mengeroyok sudah terang hampir
mendekati babak akhir dan segera Leng Bwe-hong bisa
dibinasakan, siapa duga tanpa sebab lantas mundur pergi
hingga memberi kesempatan bernapas bagi Leng Bwe-hong.
Dan kini bila hendak mencari kedudukan yang
menguntungkan seperti tadi, terang akan banyak membuang
tenaga lagi. Ketika Coh Ciau-lam hendak marah, sementara itu
bayangan orang tadi sudah merangsek datang cepat sekali,
namun mata Coh Ciau-lam cukup jeli dan telinga tajam, tanpa
memandang segera dapat diketahuinya pendatang ini
memakai senjata sebangsa golok atau pedang dan hendak
membacok lengan kanannya, dengan sigap ia memutar tubuh
sedikit, mendadak ia angkat kaki terus mendepak. Siapa duga
angin pukulan orang itu tahu-tahu telah sampai di mukanya
entah melalui jalan mana.
Keruan saja Coh Ciau-lam amat terkejut, namun betapapun
juga ia adalah jago terkemuka, menghadapi bahaya tidak
pernah menjadi gugup, tiba-tiba ia mengangkat tangan kiri
dan dengan gerak tipu 'Kim-liong-tam-jiau' atau naga emas
mengulur cakar, dengan tenaga memotong ia hendak
memencet urat nadi pergelangan tangan orang itu.
Siapa tahu orang itupun cepat luar biasa, secara licin
mendadak menarik tangan, menyusul sinar gemerlapan, tahutahu
goloknya membacok dari belakang.
Sungguh tak pernah diduga Coh Ciau-lam bahwa golok
musuh bisa datang dari belakang, agar tidak sampai
berkenalan dengan senjata musuh, cepat ia melompat pergi
sejauh beberapa tombak, dan ketika ia berpaling ingin tahu
siapa lawannya itu, tak tahan lagi ia ternganga heran.
Ternyata orang ini adalah Hari Ci-pang yang pernah menjadi
pecundangnya. Berkat beberapa tipu pukulan aneh yang
dipelajarinya di goa batu Hunkang itu, entah sudah berapa
jago musuh yang telah digertak mundur oleh Han Ci-pang,
maka kini dengan menghadapi bahaya ia datang pula
menolong Leng Bwe-hong,
Orang yang paling dulu melihat dia ialah Ce Cin-kun dan
karena jerinya, maka tadi ia bersuara kaget, ia tak tahu bahwa
sesungguhnya Han Ci-pang juga sangat takut padanya,
kemarin waktu Ci-pang menggebuk punggungnya hingga
merabai balik oleh tenaga dalamnya, rasa sakit di tangannya
itu sampai sekarang masih terasa jarem.
Dan sebab adanya perasaan jeri itulah, maka Ci-pang tak
berani menubruk Ce Cin-kun, sebaliknya membokong Coh
Ciau-lam, dan betul saja, begitu berhadapan, dengan tiga kali
tipu serangan golok dan telapak tangan sekaligus
dilontarkannya, Coh Ciau-lam telah dipaksa melompat keluar
kalangan. Dengan begitu daya tekanan Leng Bwe-hong
menjadi ringan, dan dengan sendirinya kembali ia berada di
atas angin lagi.
Dulu waktu Ci-pang dikalahkan Coh Ciau-lam di goa batu
Hunkang karena perebutan Sik-li-ci, dimana Ciau-lam
menempur Ci-pang yang memakai golok 'Pat-kwa-ci-kim-to'
dengan bertangan kosong tanpa susah-susah, tapi kini melihat
tipu silat Ci-pang begini aneh dan lihai, tak tahan Ciau-lam terheran-
heran, pikirnya, "Kenapa orang dogol ini tidak sampai
dua tahun sudah bisa mempelajari ilmu silat yang begini
bagus?" Dalam pada itu Ci-pang belum berhenti, kembali ia
melontarkan beberapa serangan aneh pula. Terpaksa Ciau-lam
menarik pedang menjaga diri, dan dalam hati ia pun semakin
heran dan mendongkol.
Di sebelah sana setelah satu lawan satu Leng Bwe-hong
mendesak Ce Cin-kun hingga main mundur terus. Pada waktu
merangsek musuh dan ketika lewat di samping Kui Tiong-bing,
masih sempat Bwe-hong menyelingi sekali pukulan ke arah
Seng Thian-ting, meski tak mengenai sasaran, tapi angin
pukulannya sudah membikin kedua potlot baja Thian-ting
tergoncang pergi, dan kesempatan itu segera digunakan
Tiong-bing untuk melompat keluar kalangan dan melindungi
Anak Harimau 13 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16
^