Pencarian

Bu Kek Kang Sinkang 5

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Bagian 5


kencang. Teringat pengalaman dimana tubuhnya seperti dibungkus oleh dinding hawa
sakti yang tebal, ia mengira ngira, dengan cara apa Khu Han Beng menguntungi lengan gadis Bwe Hoa Pang.
Tentu getaran tenaga saktinya, menyusup kedalam urat nadi gadis itu dan
memaksa gerakkan pedangnya!
Jika kau menguasai kesaktian yang dapat menguasai lawan dari jarak jauh,
dimana dengan getaran tenaga dalam tanpa gerakkan sudah dapat menjatuhkan
lawan, kau memang hanya membuang waktu jika mempelajari ilmu yang lain.
Tidak heran Khu Han Beng tidak dianjurkan mempelajari kitab kitab sakti
tersebut! Diam diam, bergidik hati Tan Leng Ko membayangkan kedahsyatan ilmu sakti
Khu Han Beng. Bocah ini selain masih muda belia, juga jarang bergaul.
Pengertiannya terhadap sesama manusia kurang sekali! Ia sendiri masih belum benar benar dapat menyelami watak bocah ini.
Khu Han Beng dapat menjadi seorang pendekar yang luar biasa, tapi juga dapat menjadi seorang iblis tanpa tanding, jika ia salah jalan!
Tan Leng Ko segera menarik napas dalam dalam, menenangkan hatinya yang
terguncang. Katanya kemudian,
"Yang kukagum darimu, bukan saja kepandaianmu yang hebat, melainkan kau
mampu menyembunyikannya dengan baik tanpa orang lain tahu"
Khu Han Beng tersenyum,
"Tentu saja tidak ada yang mencurigai. Boleh dibilang aku tidak pernah
berkelahi, atau bertanding dengan orang lain, tentu saja tidak ada yang tahu.
Yang kulatih tidak mengandung gerakkan silat, paling paling aku dianggap
seorang ahli sihir. Lagipula, jika tidak terpaksa, aku dilarang menunjukkan gejala yang mencurigakan di Lok Yang Piaukok".
Sedikit banyak, Tan Leng Ko sekarang paham. Guru Khu han Beng jelas tidak
ingin kepandaian Khu Han Beng mengundang perhatian yang dapat mengancam
keselamatan ruang pustaka!
Tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Tan toakonya, seperti teringat oleh sesuatu, dengan muka gembira Khu Han Beng menatap Tan Leng Ko:
"Ingatkah toako, ketika muncul bukankah aku mengucapkan sesuatu"
Tan Leng Ko ingat hal ini.
"Kalau tidak salah, kau mengucapkan terima kasih kepada suhumu"
Sambil tertawa senang, Khu Han Beng berkata:
"Tan toako, mungkin sukar bagimu untuk mempelari Bu Kek Kang Sinkang, tapi
kutahu kau berkeinginan sekali mempelajari lengkap jurus Ouw Yang Ci To. Aku telah mendapat ijin untuk mengajarkannya padamu secara lisan"
Bergetar tubuh Tan Leng Ko mendengar perkataaan ini.
Ia telah salah menduga, terimakasih yang tadi diucapkan oleh Khu Han Beng,
rupanya tidak berhubungan dengan permintaan ijin menanyakan urusan Khu
Han Beng melainkan bocah itu berterima kasih yang berhubungan dengan Ouw
Yang Ci To! Bocah itu tentu beranggapan, dirinya tentu berkeinginan kuat untuk mempelajari lengkap Ouw Yang Ci To, dan bocah itu berniat mewujudkan impiannya.
Niat yang mulia!
Sayangnya, Bocah itu tidak mengetahui, bahwa ia pernah menolak mempelajari
Ouw Yang Ci To!
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, Ternyata dugaannya tidak semuanya
salah! Sedikitnya ada satu yang benar. Tidak semua hal diceritakan locianpwee itu pada Khu Han Beng! Jika bocah itu tahu, tentu tidak akan menyebut perihal Ouw Yang Ci To padanya.
Setelah termenung sejenak, ia berkata perlahan:
"Dari caramu berkata, nampaknya ada persyaratan yang harus kupenuhi"
Khu Han Beng mengangguk:
"Tan toako memang harus menyanggupi satu syarat"
"Entah apa syarat itu"
"Syarat guruku. Tan Toako dilarang untuk menyebut perihal diriku atau suhu
kepada orang lain!"
"Nampaknya terhadap Khu Congpiautau, akupun dilarang cerita"
"Dilarang berbicara pada siapapun!"
"Tentu ada sebab sebabnya"
"Menurut guruku, beliau membiarkan, Tan toako untuk mengetahui isi kamarku
agar memaklumi urusan ini tidak dapat diceritakan ke orang lain"
Tiba tiba semacam pikiran terbesit dibenak Tan Leng Ko,
"Apakah kau yang meminta, atau suhumu yang menganjurkan" tanyanya perlahan.
"Suhuku yang menganjurkan"
Tan Leng Ko mengumpat dalam hati!
"Benar benar seorang rase tua yang licin!"
Tentu saja suhu bocah itu yang menganjurkan!
Entah apa alasannya, locianpwee itu memang menginginkan dia untuk
mempelajari Ouw Yang Ci To. Dia yang enggan, karena asal usul ilmu itu tidak jelas. Dia tidak dapat mempelajari ilmu hasil curian.
Walau locianpwee itu dengan menyembuhkan Giok Hui Yan, telah menanam
budi yang tidak sedikit, dan kendati ia telah menyanggupi permintaannya untuk menjaga ruang pustaka, bukan berarti locianpwee itu berhasil menjinakkan
dirinya. Dirinya bukan jenis yang mudah ditekan oleh orang lain. Rupanya locianpwee itu juga cukup memahami wataknya, yang tidak dapat dipaksa dengan kekerasan.
Tanpa terasa, Tan Leng Ko mengulang dalam hati, ucapan locianpwee itu yang
masih terngiang dibenaknya.
"Terserah padamu, kau akan mempelajari kitab itu atau tidak. Aku enggan
memaksamu!"
Betul locianpwee itu tidak pernah mengharuskan dirinya untuk mempelajari Ouw Yang Ci To, tapi bukankah melalui Khu Han Beng, secara tidak langsung ia telah memaksa dirinya untuk mempelajari Ouw Yang Ci To"
Bocah itu nampak senang sekali dapat melakukan sesuatu untuk
kepentingannya, bukankah sukar baginya untuk menolak"
Lagipula bila ia menolak, tentu Khu Han Beng akan curiga dan akan banyak
bertanya padanya.
Locianpwee itu enggan melibatkan Khu Han Beng terhadap urusan mereka
berdua, nampaknya ia juga sudah memperhitungkan, Tan Leng Ko juga tidak
ingin bocah itu terlibat!
Selain harus menyanggupi syarat itu, dia mau tidak mau harus mempelajari Ouw Yang Ci To. Sekali tepuk dua lalat!
Wajah Tan Leng Ko terlihat menjadi murung. Dia kalah segala galanya. Ilmu
silatnya tidak nempil, sekarang kalah licik. Untung locianpwee itu seperti berniat baik padanya. Jika berniat buruk, lalu apa jadinya"
"Nampaknya toako tidak terlalu gembira mempelajari Ouw Yang Ci To" ujar Khu Han Beng dengan nada rada kecewa melihat sikap toakonya yang seperti sedih.
"Tentu saja aku sangat senang" tukas Tan Leng Ko cepat sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menampilkan raut muka yang riang. Ia tidak ingin
mengecewakan bocah itu.
pikirnya dalam hati,
"Boleh saja aku mempelajarinya, toh tidak ada yang tahu jika tidak kugunakan"
Khu han Beng ikut tertawa senang. Girang hatinya dapat melakukan sesuatu
bagi toakonya. "Sudah berapa lama kau dibukit ini?" tanya Tan Leng Ko mengalihkan pembicaraan.
"Apakah ini pertanyaan yang kelima?"
Tan Leng Ko tidak langsung menjawab, katanya kemudian:
"Jatah kubertanya seharusnya hanya yang berhubungan dengan urusan
pribadimu"
Khu Han Beng tersenyum melihat toakonya kembali merajuk.
"Sedari pagi aku melatih Bu Kek Kang Sinkang bersama suhu"
Setelah terpekur sejenak, Tan Leng Ko bertanya:
"Apakah kalian tidak menyadari bencana yang menimpa Lok Yang Piukok?"
"Apa maksudmu, toako" tanya Khu Han Beng dengan muka kelam.
Akhirnya Tan Leng Ko memutuskan menceritakan apa yang telah terjadi.
Khu Han Beng mendengarkannya tanpa bersuara. Kendati Tan Leng Ko
menyingkat ceritanya, toh tetap memakan tempo yang cukup lama.
Selesai bercerita, dia terus menerus menatap Khu Han Beng, mencoba
membaca reaksinya.
Lama lama timbul rasa ngeri dihati Tan Leng Ko, Sinar bola mata bocah ini tidak mengandung perasaan apapun, tiada pancaran kemarahan atau kegusaran.
Tempo ceritanya menghabiskan waktu seperempat kentungan lebih, selama ini,
kelopak mata Khu Han Beng sama sekali tidak bergerak!
Seperti mata patung es yang mati, tidak memancarkan sesuatu yang hidup!
Tubuhnya juga tiada yang bergerak. Lapat lapat Tan Leng Ko dapat merasakan, semacam hawa yang menggiris seperti memancar dari tubuh bocah ini!
Tan Leng Ko mendehem baru ia hendak bertanya, mendadak Khu Han Beng
berkelebat, lenyap dari hadapannya.
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, mencoba menenangkan hatinya. Ia
tidak tahu apakah ia telah melakukan kesalahan atau tidak. Cepat ia
menggerakkan kakinya menyusul bocah itu.
Bayangan tubuhnya bergerak sesuai dengan irama gerakkan kakinya. Dengan
setia mengikuti kemana ia pergi, seperti bayangan kematian yang selalu
melekat, menghantui setiap manusia!
**********************
Depan pintu gerbang Lok Yang Piaukok telah bersih dari mayat, Tan Leng Ko
tidak melihat Giok Hui Yan, mungkin sedang berbincang bincang dengan Su-
lopehnya mengenai urusan Mi Tiong Bun.
Dengan berjalan perlahan, Tan Leng Ko memasukki pekarangan halaman
depan, dia melihat Khu han Beng berdiri dengan murung diantara mayat mayat
piasu yang ditutup tikar, berjejer membentuk barisan panjang.
"Siapa siapa yang melakukan perbuatan keji ini, toako" tanya Khu han Beng tanpa menoleh ketika Tan Leng Ko menghampirinya.
Tan Leng Ko termenung sejenak, sebelum menjawab:
"Ratusan orang kangouw, diantaranya Pek Kian Si dari Kanglam, Dua Srigala dari hongsan, dan banyak lagi yang tidak kukenal"
"Dan sekarang mereka mengejar yaya-ku ke kota Po Ting?"
Tan Leng Ko mengangguk. kemudian katanya perlahan:
"Sebaiknya, kita jumpai lebih dahulu Mo Tian Siansu"
Khu Han Beng mengiakan perlahan, ia mengikuti Tan Leng Ko memasukki ruang
tamu dimana Mo Tian Siansu sedang menikmati hidangan teh, dengan sabar
menunggu kedatangan mereka.
"Siancai...siancai... Tak kusangka dikota Po-Ting terdapat teh seharum ini" puji Mo Tian Siansu tak tahan.
Tan Leng Ko mengakui teh itu benar benar wangi. Ia yang pernah mengantar
barang Ke Kota Po-Ting, tahu dengan pasti kota itu memang terletak di jalur lintas perdagangan.
Tidak heran banyak barang berkualitas tinggi, terutama teh dan rempah rempah yang dibawa dari negeri seberang.
Yang dia heran dan juga geli, darimana bhiksu ini sempat sempatnya
memperoleh teh sewangi itu. Sebab setahunya, di dapur tidak ada.
Ia yang lebih gemar minum arak, jadi tertarik juga ingin meminumnya, tergoda oleh bau harumnya. Jika tidak sungkan pada Mo Tian Siansu, teh poci itu
mungkin sudah direbutnya.
"Susiok" sapa Khu Han Beng, membungkuk badan memberi hormat.
"Kemarilah, nak! Biar kulihat dirimu lebih jelas"
Mo Tian Siansu memegang pundak Khu Han Beng yang mendekat. Bhiksu itu
tersenyum senang, melihat perawakkan Khu Han Beng yang gagah, dan
susunan tulangnya yang baik, cocok sebagai ahli silat. Supeknya tentu akan
gembira mendapat murid yang berbakat baik seperti bocah ini.
"kuberitakan kabar baik padamu. Goan Kim Supek berkenan mengangkatmu
sebagai murid penutup"
Berubah wajah Tan Leng Ko mendengar hal ini. "Kionghi!....Kionghi!" serunya memberi selamat kepada Khu Han Beng sambil tertawa senang.
Hatinya menjadi girang bukan main! Ketika Khu Han Beng mengatakan disuruh
gurunya belajar ke Siaulimsi, ia berpikiran bocah itu tentu berguru pada Pek Bin Siansu. Tak disangkanya, Khu Han Beng diangkat sebagai ahli waris Goan Kim
Taysu yang sangat terkenal itu.
Menurut penuturan Khu Han Beng, Goan Kim Taysu juga menguasai Bu kek
Kang Sinkang, walau hanya sampai tingkat tiga.
Entah suatu kebetulan atau tidak, Khu Han Beng yang dipilih sebagai murid
akhir, Tan Leng Ko tidak tahu. Yang dia tahu, sebagai murid, tingkat Bu Kek Kang Sinkang Khu Han Beng tentu dibawah tingkatan Goan Kim Taysu.
Tan Leng Ko cenderung lebih menyukai Khu Han Beng berguru kepada Goan
Kim Taysu yang terkenal arif dan alim ketimbang gurunya yang sekarang.
Walau hebat bak naga sakti tanpa kelihatan ekor, dimata Tan Leng Ko suhu
bocah itu yang sekarang, tidak lebih dari seorang pencuri. Seorang pencuri yang memiliki kepandaian seperti setan. Seorang sakti yang mencapai tingkat sebelas dari sebuah ilmu yang bernama Bu Kek Kang Sinkang!
"Susiok...?"
"Siancai...siancai..." sela Mo Tian Siansu."Dengan pengangkatanmu sebagai murid supek, urutan dan panggilan menjadi kacau. Kau boleh memanggilku
susiok atau suheng. Terserah padamu" "Susiok, benarkah yaya-ku dalam bahaya?"
Mo Tian Siansu tersenyum, katanya perlahan: "Yang pinceng tahu, yaya-mu bersama seseorang yang susiokmu kenal baik. Dia tentu akan menbantu yayamu. Dia pula Ia yang memberitahu pinceng, yaya-mu berada di kota Po-Ting. "
"Siapakah orang itu?"
"Dia bernama Buyung Hong, seorang berkepandaian tinggi yang tentu tidak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu hal buruk pada yaya-mu"
Tak tahan Tan Leng Ko ikut menimbrung: "Pernah kudengar nama itu. Setahuku ia bukan jenis yang gemar menolong orang. Kenapa ia mau membantu Khu
congpiauthau?"
Tan Leng Ko seperti menangkap kepedihan dibalik senyuman Mo Tian Siansu,
"ia memang bukan, tapi bagaimanapun juga dia seorang lelaki sejati. Ia sudah mengetahui Khu Pek Sim adalah suteku, ia tentu tidak ingin pinceng kecewa
padanya" Ditinjau dari keyakinan Mo Tian Siansu pada Buyung Hong, Tan Leng Ko dapat
menarik kesimpulan, hubungan mereka tentu tidak sekedar hanya kenal. Tapi ia tidak mendesak lebih jauh, Tan Leng Ko tidak yakin dapat memperoleh jawaban yang memuaskan.
Ia juga mengurungkan niatnya yang lain. Tadinya ia hendak memprotes Hong
Naynay yang dipikirnya pilih kasih. Seingatnya, dia tidak pernah dihidangkan teh seharum ini oleh Hong Naynay. Rupanya teh itu diperoleh Mo Tian Siansu dari sobatnya yang bernama Buyung Hong.
"Susiok, dapatkah perjalanan kita ke Siaulimsi ditunda, aku ingin sekali membantu yaya" ujar Khu Han Beng memohon.
Mo Tian Siansu tidak dapat menahan ketawanya, "Sungguh besar nyalimu! Dari gerak gerikmu, dapat kulihat kau tidak menguasai silat. Sungguh bocah
pemberani!" katanya seraya mengacungkan jempol.
Tan Leng Ko tak dapat menahan kagetnya. Bhiksu sakti dari Siaulimpay yang
berpandangan tajam, tidak mampu melihat kemampuan Khu han Beng!
Buru buru ia membungkuk terbatuk batuk, menyembunyikan perubahan
wajahnya. Dengan sigap Mo Tian Siansu menuangkan secangkir teh dan
memberikannya pada Tan Leng Ko.
"Terima kasih. Pukulan Pek Kian Si tadi rupanya masih mempengaruhi
kesehatanku" katanya sambil meminum teh harum itu.
Sebetulnya bukan tujuannya mengincar teh itu, tapi malah kebetulan, akhirnya dia dapat juga mencicipi rasa teh wangi ini. Memang nikmatnya luar biasa, kental dan manis.
"Keadaan yaya sangat berbahaya, aku tidak dapat berpangku tangan" kata Khu Han Beng dengan kuatir.
Mo Tian Siansu termenung sejenak, dia dapat memahami perasaan bocah itu.
Kemudian katanya:
"Sebaiknya kau bertemu dulu dengan Goan Kim Supek, biar beliau yang
memutuskan langkah sebaiknya"
Khu Han Beng menarik napas dalam dalam, dia tidak dapat menyembunyikan
kekecewaannya. "Besok setelah sarapan pagi, kita berangkat. Sebaiknya kau beristirahat yang cukup" kata Mo Tian Siansu membujuk.
Khu Han Beng mengiakan, kemudian berpamitan bersama Tan Leng Ko untuk
pergi tidur. Sambil berjalan disebelah Khu Han Beng, Tan Leng Ko berkata perlahan:
"Kepandaian Buyung Hong tinggi sekali, kuyakin dia mampu melindungi Khu Congpiauthau"
Khu Han Beng tidak bicara, ia seperti tidak berminat membicarakan soal itu.
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, katanya kemudian: "Aku harus
memeriksa regu penjaga, kuharap tidak ada pengacau yang datang malam ini"
"Justru kuharap kedatangan pengacau" gumam Khu Han Beng dengan datar.
Meremang bulu tengkuk Tan Leng Ko mendengar ucapan tanpa nada. Tiada
luapan emosi, kemarahan atau ancaman. Tidak juga bernada dingin, hanya
rasanya terdengar lebih menakutkan!
"Apa yang akan kau lakukan" Memperagakan kepandaianmu yang hebat
didepan susiokmu atau dihadapan orang orang Mi Tiong Bun?" tukasnya cepat.
Khu Han Beng terdiam. Kesedihan muncul diwajahnya. Diam diam Tan Leng Ko
bernapas lega, bersedih jauh lebih baik ketimbang tanpa perasaan.
"Sebaiknya kau pergi tidur saja!" bujuk Tan Leng Ko.
Khu Han Beng mengangguk. Kemudian melangkah menuju kamarnya.
Tan Leng Ko memandang kepergian bocah itu sambil menggigit bibirnya.
Hatinya pedih. Ia dapat merasakan betapa bocah itu menyalahkan dirinya sendiri yang tidak berbuat sesuatu untuk mencegah bencana yang menimpa Lok yang
Piaukok. Apakah suatu faktor kebetulan, Khu Han Beng diajak berlatih semenjak pagi oleh suhunya, atau..."
"Tidak boleh kupikirkan sekarang, banyak yang harus kukerjakan" gumamnya sambil mengayun langkah, melakukan rutinitasnya.
Malam semakin dingin, bulan sudah bersembunyi dibalik bukit. Kentongan
berbunyi dua kali ketika Tan Leng Ko selesai dengan tugasnya. Heran juga ia, Giok Hui Yan tidak kelihatan batang hidungya. Tak terasa Tan Leng Ko berjalan mengarah kamar gadis itu yang bersebelahan dengan kamar kamar Su-Tongcu
bertiga. Baru sepuluh langkah kaki, ia memasukki lorong jalan didepan deretan kamar
kamar tamu, ia telah dicegat oleh Su-lopeh.
"Jika kau berniat menemui Ji-siocia, baiknya besok saja" kata Su-lopeh dengan nada tidak senang.
"Tak kusangka, Su-lopeh belum tidur" kata Tan Leng Ko sambil tertawa.
"Cara ketawamu bisa mengagetkan orang mati, apakah kau memang sengaja
hendak membangunkan orang tidur?" ujar Su-lopeh kesal.
Tan Leng Ko tersenyum, dia tidak marah diomeli Su-lopeh.
Pertarungan sengit tadi membuat mereka semua letih sekali. Bukannya
berisitirahat, Su-lopeh malah berjaga di depan pintu kamar Giok Hui Yan.
Tan Leng Ko yakin, dua tongcu lainnya tentu sedang menjagai jendela di
belakang kamar. Mereka tidak berani lengah. Meleng sedikit, Ji-siocia mereka yang cerdik tentu bakal merat kabur!
Betul Giok Hui Yan berniat pulang, tapi bukan berarti ia mau dipaksa pulang.
Sedikit banyak Tan Leng Ko sekarang dapat meraba watak gadis itu.
"Yaa, sebaiknya aku pergi tidur. Nikmat rasanya berselimut, dimalam sedingin ini. Semoga Su-lopeh dapat tidur dengan nyenyak" bisiknya pelan.
Su-lopeh mendengus, dia seperti merasa sindiran Tan Leng Ko.
Tan Leng Ko meninggalkan Su-Tongcu sambil diam diam tertawa dalam hati.
Keluar dari lorong jalan, Tan Leng Ko agak kaget juga melihat Khu Han Beng
berdiri dikejauhan. Jari tangan bocah itu didekatkan ke bibirnya, kemudian
memberi isarat tangan agar Tan Leng Ko mengikutinya.
Mereka berjalan biasa menuju kehalaman belakang.
"Letihkah kau toako?" tanyanya.
"Maksudmu?"
Khu Han Beng memusatkan perhatiannya. Setelah yakin tiada orang, tubuhnya
melayang melompati pagar tembok.
Mau tak mau Tan Leng Ko berdecak kagum. Kaki bocah itu tidak terlihat
menekuk, tubuhnya melayang keatas begitu saja seperti diterbangkan angin
melintasi pagar tembok yang tinggi dalam sekali lompat, sedangkan dia harus menggunakan pantulan dari jejak kaki dipinggir tembok dua kali, sebelum
hinggap diatas pagar.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khu Han Beng melambai untuk mengikutinya. Tan Leng Ko mengerahkan
ginkang melompat, kemudian berlari menuju lapangan rumput dibelakang sana.
Begitu ia tiba, Khu Han Beng tidak membuang waktu, langsung berkata:
"Jurus kedelapan dari Ouw Yang Ci To...
Khu Han Beng menguras ingatannya, menyebut lisan jurus demi jurus.
Baru Tan Leng Ko maklum maksud pertanyaan bocah itu. Besok Khu Han Beng
sudah harus pergi, tidak banyak waktu yang tersisa baginya untuk memberi
ajaran Ouw Yang Ci To. Toh masih menyempatkan diri untuk dirinya. Benar
benar bocah ini sangat kasih padanya.
"Berapa banyak yang dapat kau ingat, toako?" tanya Khu Han Beng mendadak.
Tan Leng Ko menyengir. Pikirannya melayang kemana mana, hingga tidak
terlalu memperhatikan. Ia mencoba mengulang,
"Jurus kedelapan dari Ouw Yang Ci To..."
Kemudian terdiam, tidak dapat meneruskan.
Dengan sabar Khu Han Beng menanti kelanjutan ucapan Tan-toakonya.
"Hanya perkataan itu saja yang kuingat" ujar Tan Leng Ko agak jengah.
Khu Han Beng menghela napas, setelah termenung sebentar, ia mematahkan
sebatang ranting seraya berkata:
"Mungkin sebaiknya kuperagakan seperti kita melatih jurus ketujuh"
Lalu secara kaku tapi jelas perlahan, Khu Han Beng mengayunkan sisa ranting ditangannya.
Terenyuh juga hati Tan Leng Ko melihat keseriusan bocah itu yang begitu
memeperhatikan kepentingannya. Walau badannya masih letih dan sakit bukan
main dari pertarungan tadi, ia tidak mau mengecewakan Khu Han Beng,
terpaksa Tan Leng Ko memusatkan perhatiannya.
Sebentar bentar Khu Han Beng berhenti, melafalkan baitan kata kata yang
melukiskan posisi tubuh, tangan dan langkah kaki. Begitu timbul pengertian, ia bergerak sesuai dengan apa yang digumamnya.
Khu Han Beng mengulang gerakkannya sebanyak tiga kali, yang kemudian ditiru oleh Tan Leng Ko.
Jurus demi jurus Tan Leng Ko meniru gerakkan Khu Han Beng yang semakin
lama semakin sukar. Di jurus ketiga belas ia harus memutar badannya ditengah udara secara lambat. Gerakkan yang jauh lebih sulit dibanding gerakkan cepat.
Beberapa kali Tan Leng Ko mengulang, selalu tidak berhasil.
"Apa gerakkan pinggang yang memutar, bersamaan dengan ayunan golok?"
Setelah sekian lama tidak mendengar jawaban, Tan Leng Ko menoleh, dia tidak melihat Khu Han Beng berdiri ditempatnya. Entah sudah berapa lama bocah itu pergi, Tan Leng Ko menghela napas. Bocah ini seperti gurunya, mirip setan yang dapat datang pergi semaunya tanpa ketahuan.
Setelah beristirahat sejenak, kembali ia mencoba jurus ketiga belas dengan
tekun hingga tak terasa waktu bergeser dengan cepat, kokok ayam mulai
terdengar, menandai fajar telah menjelang.
"Coba tekuk pinggangmu lebih kedalam, toako" mendadak terdengar ucapan Khu Han Beng.
Tan Leng Ko menghentikan gerakkannya, dan melihat bocah itu tiba tiba sudah berdiri ditempatnya semula. Wajahnya sudah tidak murung lagi, bahkan sebuah senyum terkulum diujung bibirnya.
Malah boleh dibilang cengar cengir, matanya berkilat kilat, gembira sekali
nampaknya. "Darimana kau?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Tak ingin aku menganggu toako yang asyik berlatih, maka kupergi ke dapur sebentar untuk mengambil ini"
Tangannya menyuguhkan seguci arak kepada Tan Leng Ko. Tangan yang
satunya mengangkat satu guci yang lain, dan menuangkan arak kemulutnya.
Dari bau yang teruar, Tan Leng Ko mencium arak Tiok Yap Jing. Sambil tertawa ia berkata:
"Sekarang, baru benar benar kuakui kehebatanmu! Tak kusangka, kau dapat menemukan tempat penyimpanan arak Hong Naynay"
"Jika toako tidak bilang aku telah minum arak, aku juga tidak akan bilang toako yang mencurinya"
"Memang bukan aku yang mengambilnya" protes Tan Leng Ko.
"Benar! Tapi gimanapun juga, Hong Naynay lebih percaya ucapanku dibanding toako" kata Khu Han Beng sambil mengedipkan mata.
"Tapi bukankah Hong Naynay akan segera mengetahui, guci araknya ada yang hilang?" kata Tan Leng Ko dengan cemas.
"Tidak! Hong Naynay tidak akan lekas menyadari"
"Kenapa?"
"Sebab sudah kusiapkan penggantinya, sehingga jumlah guci arak tidak
berkurang, hanya isi guci guci ditumpukkan bawah sudah banyak berisi air" kata Khu Han Beng sambil menyengir.
Tan Leng Ko tidak dapat menahan gelak tawanya. Hatinya senang melihat
bocah itu seperti sudah pulih keadaannya, walau sedikit heran, seharusnya
mengambil dua buah guci arak, tidak memerlukan tempo lama. Tapi mungkin
bocah ini harus mengaduk aduk dapur untuk menemukannya. Dia sendiri yang
berkali kali mencoba mencuri, tidak pernah berhasil menemukan tempat dimana Hong Naynay menyembunyikan araknya.
"Kau harus memberitahu tempat penyimpanan guci arak itu" kata Tan Leng Ko dengan semangat.
Khu Han Beng seperti jual mahal, dia tidak mau untuk mengatakannya walau
Tan Leng Ko berkali kali membujuknya.
Tiba tiba Tan Leng Ko tertawa licik, katanya kemudian seperti seekor rase:
"Pertanyaanku yang kelima, Dimana tempat penyimpanan guci arak Hong
Naynay?" Khu Han Beng tertegun!
"Sungguh tidak adil, bukankah jatah pertanyaan itu hanya digunakan yang ada hubungan dengan urusan pribadiku?" protes Khu Han Beng.
"Bukankah selain Hong Naynay, hanya kau pribadi yang mengetahui lokasi tempat itu!" kata Tan Leng Ko akal akalan.
"Memang licik sekali toakoku ini!" keluh Khu Han Beng menyerah.
Tan Leng Ko tertawa senang. Ia mendengar dengan cermat ketika dengan
perlahan Khu Han Beng membisikkan tempat itu padanya.
Tak terasa, matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan sinar paginya
yang hangat menerangi mereka yang asyik berbincang bincang sambil
menikmati arak,
Tidak lama kemudian, Tan Leng Ko membuang guci araknya yang kosong,
sambil menepuk pundak Khu Han Beng, ia berkata:
"Ayuh, kita sarapan pagi. Hari ini biasanya Hong Naynay memasak bubur ayam, sudah lama aku tidak mencicipinya"
Khu Han Beng ikut membuang guci araknya dan berjalan lebih dahulu didepan
toakonya. "Tunggu sebentar!" kata Tan Leng Ko yang bergegas menghampiri dan meraih beberapa utas rambut panjang yang menempel dibaju Khu Han Beng. Seutas
rambut yang hitam, gemuk dan indah sekali. Diam diam Tan Leng Ko tertawa
geli, rambut itu jelas bukan milik bocah itu. Apa bocah yang sudah gemar minum arak, juga sudah mulai pat gulipat dengan perempuan"
************************************
Ketika mereka memasukki ruang makan, nampak Mo Tian Siansu duduk di ujung
sebelah kiri meja persegi panjang, menikmati bubur ayam tanpa ayam.
Bhiksu itu tersenyum kemudian menyilahkan mereka duduk. Tan Leng Ko
mengambil tempat membelakangi pintu masuk sedangkan Khu Han Beng duduk
disebelah kanannya.
Timbul rasa kagum dihati Tan Leng Ko. Dia maklum, Bhiksu ini tidurnya telat sekali, tapi bangunnya juga pagi sekali. Suatu kebiasaan baik, hasil tempaan disiplin bertahun tahun.
"Apakah tidur kalian nyenyak semalam?" sapa Mo Tian Siansu halus.
Tan Leng Ko menengok Khu Han Beng yang juga melirik padanya. Orang
bodohpun tahu mereka belum tidur. Selain muka mereka yang kusam, pakaian
mereka juga belum diganti.
"Beng-sauya menemaniku meronda semalaman, hatinya gundah, dia tidak bisa tidur" sahut Tan Leng Ko menjawab.
Mo Tian Siansu mengangguk seperti memahami, kemudian ia berkata:
"Sebaiknya kalian makan agak banyakkan, untuk mengganti tenaga yang banyak hilang"
Tanpa disuruh kedua kali, keduanya meracik, menyantap bubur ayam Hong
Naynay yang enaknya bukan main.
Sedikit sekali mereka berbicara, namun banyak sekali makannya. Entah diramu dengan apa, kuah yang berwarna kuning keemasan dicampur dengan warna
bubur yang putih, selain warnanya menarik, rasanya juga nikmat sekali.
Jika tidak menghabiskan sedikitnya tiga mangkuk, Tan Leng Ko seperti merasa berdosa pada dirinya.
Tidak sedikit Khu Han Beng menyantap, juga tidak sedikit ia melamun tersenyum senyum sendirian. Mau tidak mau timbul rasa ingin tahu dihati Tan Leng Ko,
prilaku cengar cengir bocah ini, tidak seperti biasanya.
Baru ia hendak bertanya, tiba tiba terdengar bentakkan diselingi isak tangis Giok Hui Yan dibelakangnya.
"Tega sekali kau!"
Tan Leng ko menengok kebelakang, ia menatap Giok Hui Yan dengan bengong!
Wajah gadis ini walau digenangi air mata, masih manis luar biasa. Pipinya yang merah menahan marah, ujung bibirnya yang mungil gemetar menahan isak,
sungguh pemandangan cantik bagaikan lukisan klasik.
Hanya... Rambutnya yang hitam lemas panjang bak untaian mutiara, telah
hilang. Giok Hui Yan berdiri menangis dekat pintu masuk dengan kepala gundul plontos!
Tan Leng Ko berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa!
Dia memang pernah melihat seorang nikoh, itupun dari kejauhan lagipula
kepalanya yang gundul ditutup kerudung kain, tidak telanjang polos begini. Dia tidak menyangka seorang perempuan gundul ternyata mempunyai bentuk batok
kepala yang begitu bulat, begitu bagus tapi juga terlihat rada aneh.
Baru ia hendak bertanya mendadak tangan Giok Hui Yan melayang, menampar
pipinya. "Plaaak!!!" Tan Leng Ko yang masih tertegun, gelagapan dengan pipi membengkak!
saking kerasnya tamparan itu, kepalanya sampai memutar kekanan,
pandangannya berkunang kunang. Namun, dia seperti melihat Khu Han Beng
menutup mulut dengan tangannya, tertawa sambil mengedipkan mata padanya.
"Tidak seharusnya kau membalas, membotakki kepalaku" jerit Giok Hui Yan sedih.
Terdengar suara ketawa Khu Han Beng yang ditahan, dia memincingkan mata
menatap pipi Tan Leng Ko yang bengkak. Rupanya bukan hanya Giok Hui Yan
saja yang ia ketawai, Tan Leng Kopun turut menjadi korban tertawanya.
"Plaaak!!!" pipi Khu Han Beng ikut bengap ditampar Giok Hui Yan yang memakinya cacing buku tidak becus, dan segala macam makian yang diumbar
tanpa berhenti.
"Sekali lagi kulihat kau tertawa, kuhantam kau sampai mampus!" ancam Giok Hui Yan sambil melotot pada bocah itu.
Agak kaget juga Tan Leng Ko melihat reaksi Khu Han Beng yang tidak melawan.
tentu bukan hal yang sulit jika bocah itu mau menghindar. Rupanya jika tidak terpaksa, Khu Han Beng benar benar tidak akan menunjukkan kemampuannya.
"Kenapa kau lakukan itu, hayoh jawab?" perhatian Giok Hui Yan kembali terpusat pada Tan Leng Ko.
Baru Tan Leng Ko hendak menjawab, terdengar suara Su-lopeh dari pintu
masuk. "Bukan dia yang melakukannya, Ji-siocia!"
Sebelum ia menoleh, Tan Leng Ko melirik Khu Han Beng yang menatap
kebelakangnya dengan muka heran.
Cepat ia menengok, Su-Tongcu bersama kedua rekannya memasukki ruang
makan dengan muka kelam. Kepala ketiga orang itu tampak memantulkan sinar
matahari pagi. Keadaan tiga tokoh Mi Tiong Bun ternyata tidak banyak beda
dengan Ji-siocianya, kepala mereka juga telah gundul!
"Walau dia berkepandaian tinggi, mustahil kami tidak mengetahui
kedatangannya" dengus Su-lopeh sambil melotot pada Tan Leng Ko.
"Siapa yang telah mencukur rambut kalian?" tanya Khu Han Beng dengan heran.
"Justru kami ingin bertanya pada tuan rumah, kenapa semua tamunya dipangkas rambutnya, kecuali..." Su-lopeh melirik pada Mo Tian Siansu. "Kecuali aku" kata bhiksu itu sambil tersenyum tenang. "Benar! kecuali Siansu karena..." "Karena pinceng memang sudah tidak berambut, apalagi yang harus dicukur?"
Giok Hui Yan yang sedang marah, sempat sempatnya melengos jengah. Ucapan
Mo Tian Siansu seperti telah memancing daya khayalnya, membayangkan
bagian tubuh yang tidak pantas dibayangkan.
Segera ia memusatkan perhatiannya, jika bukan Tan Leng Ko yang melakukan,
apakah locianpwee sakti itu yang telah mencukur rambutnya" Apa dikarenakan
ia telah melanggar daerah larangan" Bukankah Lok Yang Piaukok tidak
termasuk daerah larangan"
Sementara Giok Hui Yan termenung, terdengar Su-lopeh berkata: "Kuyakin seorang yang berkepandaian tinggi bersembunyi ditempat ini, bahkan bisa lolos dari pengamatan Mo Tian Siansu" jengek Su-lopeh menyindir.
Mo Tian Siansu memejamkan matanya. Mukanya sedikit memerah jengah.
Kamar tidurnya hanya beberapa langkah dari kamar mereka. Tapi dia tidak
mendengar sesuatu yang janggal.
"Pihak Mi Tiong Bun ingin sekali berkenalan dengan orang itu" kata salah satu tongcu yang berdiri disebelah Su-lopeh.
"Akulah yang mencukur rambutnya" ujar Khu Han Beng tiba tiba sambil menunjuk Giok Hui Yan.
Yang ditunjuk mendengus, sambil melotot Giok Hui Yan Berkata ketus:
"Huh! kutampar saja kau tidak bisa mengelak, cacing buku semacam dirimu yang tidak bisa silat, jika tidak lekas diam bakal kutampar kau sekali lagi!"
Su-lopeh menatap Khu Han Beng dengan dingin, sedangkan Mo Tian Siansu
mengangkat tangan mencegah bocah itu untuk berbicara lebih lanjut.
Tidak ada yang percaya Khu Han Beng yang melakukan perbuatan itu...kecuali
Tan Leng Ko! Dilihat dari cara bocah itu yang tadi senyum senyum sendirian, Tan Leng Ko
percaya, yang mencukur rambut Giok Hui Yan, memang perbuatan Khu Han
Beng. Bocah itu tidak main pat gulipat. Ketika ia sibuk memangkas gundul Giok Hui Yan, rambut yang melayang ada beberapa utas yang menempel dibajunya.
Menurut perhitungan Tan Leng Ko, Khu Han Beng yang sedang kesal
memerlukan pelampiasan, dan ia memilih mengerjai gadis itu. Selain gadis itu pernah lancang memasukki kamarnya, Giok Hui Yan juga telah membotakki
kepala toakonya. Ia tidak terima, maka bocah itu membalas perbuatan Giok Hui Yan dengan cara yang sama. Gigi dibalas dengan gigi, gundul dibalas dengan
gundul! Hanya yang ia tidak habis mengerti, siapa yang membotakki Su-Tongcu bertiga"
Dilihat dari reaksi Khu Han Beng dan cara ia bertanya, Tan Leng Ko yakin bukan perbuatan bocah itu!
Jika bukan Khu Han Beng, lalu siapa yang mencukur mereka" Dan untuk apa"
Apakah suhu bocah itu yang melakukan" Seorang sakti seperti itu sukar
dipercaya berbuat iseng begitu. Lagipula tidak mudah dalam waktu singkat
menemukan kamar mereka dari deretan puluhan banyaknya... kecuali orang itu
orang dalam, salah satu penghuni Lok Yang Piaukok.
Tiba tiba mendesir hati Tan Leng Ko, mukanya berubah dengan hebat! Apakah
suhu Khu Han Beng selama ini memang tinggal disini dan merupakan salah satu penghuni Lok Yang Piaukok"
Samar samar Tan Leng Ko seperti mendengar Mo Tian Siansu seperti berkata:
"Apapun juga maksud orang itu, selain mencukur rambut kalian, ia tidak melakukan hal yang buruk"
Ia sudah tidak begitu mendengar jelas sahutan Su-lopeh, Tan Leng Ko
tenggelam dengan pemikirannya. Menurut perhitungannya, walau
kepandaiannya terhitung lumayan, ia tidak yakin locianpwe itu berlega hati
mempercayakan ruang kitab pusaka itu padanya. Lagipula boleh dibilang ia
belum memulai tugasnya, lalu siapa yang telah menjaga isi kamar Khu Han Beng sebelum dirinya"
Dia benar benar tidak percaya jika bertahun tahun ruangan itu tanpa dijaga! Dan ditilik dari sikap bocah itu yang acuh ketika Pek Kian Si memegang tasnya. kecil kemungkinannya Khu Han Beng yang ditugaskan untuk menjaga.
Meremang bulu kuduk Tan Leng Ko, ucapan Su-lopeh tidak salah!
Di perumahan ini besar kemungkinan benar benar terdapat seorang
berkepandaian tinggi yang bersembunyi. Seseorang yang selama ini menjagai
ruangan kitab pusaka itu, seseorang yang telah menotok puluhan orang
kangouw ditigapuluh enam nadi pembuluh darahnya. Seseorang yang
mempunyai kepentingan untuk mengawasi muridnya setiap saat, dan cara
terbaik untuk melakukan itu adalah ikut menghuni di Lok Yang Piaukok!
Siapa lagi yang cocok dengan diskripsi diatas selain suhu Khu Han Beng!
Walau tidak mungkin Gu-Suko tidak terlibat, tapi ia yakin suhu Khu Han Beng bukan Gu-Suko! Selain orang itu benar benar tidak bisa silat, bukankah Giok Hui Yan pernah berkata Gu-Suko banyak tahun tidak pernah meninggalkan kota Lok
Yang! Sedangkan penghuni Lok Yang Piaukok boleh dibilang rata rata sering
bepergian. Memang benar setiap pengantaran barang terdapat catatan siapa
siapa yang pergi menghantar barang, tapi tidak jarang di saat saat terakhir dengan alasan urusan pribadi terjadi aplusan, atau pertukaran orang. jika
kesempatan itu digunakan untuk melakukan pencurian kitab, boleh dibilang tidak ada yang mencurigai dan tidak mungkin dapat dilacak.
"BRUAKK!!!" suara keras menyadarkan Tan leng Ko dari lamunannya. Dari bunyinya yang khas, ia maklum kembali pintu gerbang dihancurkan orang.
Ia menghela napas seraya berkata,
"Sebaiknya gerbang depan tidak usah diberi pintu lagi, toh dalam sekejap bakal hancur lagi."
Baru ia sadar, ternyata ia telah menggumam sendirian. Ruang makan ini dalam sekejap telah kosong. Mo Tian Siansu, Giok Hui Yan dan yang lain rupanya
sudah duluan memburu keluar. Rupanya ketika ia asyik melamun, mereka lebih
dahulu mengetahui atas datangnya musuh.
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, sehabis pertarungan yang
melelahkan semalam, ditambah ia diharuskan melatih Ouw Yang Ci To, dirinya
terasa penat bukan main. Sayangnya kesulitan seperti tidak mengenal lelah
menyusahkan dirinya. Dia tidak tahu siapa yang menghancurkan pintu gerbang, yang jelas persoalan baru sedang menantinya.
Tiba tiba teringat olehnya sikap Khu Han Beng yang mengharapkan Lok Yang
Piaukok kedatangan pengacau. Membayangkan sikap bocah itu semalam, yang
terlalu diam, tidak memancarkan perasaan sedikitpun, kembali timbul rasa takut dihati kecil Tan Leng Ko. Ia benar benar tidak berani membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh bocah itu. Dengan kemampuannya, bukan mustahil terjadi hal hal yang tidak inginkan!
Buru buru ia melangkah keluar, cepat matanya mencari Khu Han Beng diantara
puluhan orang yang memadati di depan pintu gerbang yang hancur. Ia hanya
melihat anak buahnya yang berkerumun membentuk barisan, dan Su-lopeh
bertiga berdiri dekat Giok Hui Yan didepan sana, sedangkan Mo Tian Siansu
sedang melangsukan pertempuran.
Diam diam Tan Leng Ko menarik napas lega, ketika tidak melihat Khu Han Beng, entah kemana lagi bocah itu pergi. Ia tidak ada waktu mengurusinya, segera ia maju kedepan menyongsong rombongan orang orang itu,
Dari cara mereka menyematkan bunga bwe hitam terbuat dari besi di dada atas sebelah kiri, Tan Leng Ko segera menyadari siapa yang datang mencari gara
gara! Kali ini nampaknya rombongan Bwe Hoa Pang dipimpin oleh seorang nenek tua
dengan badan yang rada membongkok, berdiri paling depan disebelah kanan
sebuah tandu yang digotong oleh empat lelaki kekar. Tangan kanannya
memegang sebuah tongkat yang entah terbuat dari kayu apa, berwarna hitam
kemerahan. Ujung tongkat yang runcing sedang menyerang Mo Tian Siansu.
Bhiksu itu menggeser tubuhnya kekiri, kemudian mengayun tangannya
mengarah pinggang lawannya. Pukulannya beradu dengan tangan kiri nenek
bongkok mengeluarkan suara keras yang mengagetkan orang.
Mo Tian Siansu tersirap, ia sama sekali tidak menyangka kalau gerakkan
serangannya yang disertai hawa murni sebanyak tujuh bagian ternyata tidak
dapat berbuat banyak. Sebaliknya diam diam nenek bongkok juga mengakui
kehebatan bhiksu dari siaulimpay ini.
Kembali angin pukulan ayunan tongkat menggulung kencang bagaikan sebuah
gelombang dahsyat langsung menyapu kearah tubuh Mo Tian Siansu. Yang
diserang segera mengebaskan ujung bajunya yang lebar, dan dalam tempo
singkat melancarkan beberapa serangan susulan yang dengan mudah dapat
ditahan oleh nenek bongkok.
Sebentar saja kedua tubuh mereka saling berkelebatan, kadang menyatu
melangsungkan pertarungan jarak dekat, kadang mereka mengandalkan
keampuhan tenaga sakti menyerang dari kejauhan.
Serangkaian gerakkan tongkat dan pukulan tangan silih berganti, cepat dilawan dengan cepat, gerakkan lambat bertemu dengan lambat. Gebrakkan lambat
yang disertai hawa murni, sering menimbulkan suara nyaring yang memekakkan
telinga. Dalam tempo singkat puluhan jurus sudah lewat, lama kelamaan
pertempuran mulai terlihat berjalan tidak seimbang, Mo Tian Siansu mulai lebih banyak bertahan dibanding menyerang.
Setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, tubuh Mo Tian Siansu mundur
kebelakang menyeringai sakit. Gerakkan tongkat nenek bongkok yang aneh,
memaksa bhiksu itu untuk mengadu tenaga. Sambil mengemposkan semangat,
Mo Tian Siansu mengerahkan tenaga sebanyak dua belas bagian.
"Blang!" terdengar letupan dahsyat ketika tenaga dalam nenek bongkok itu beradu dengan tenaga sakti Mo Tian Siansu yang mengerahkan Siau Thian
Sinkang.

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gulungan angin panas menerpa wajah Tan Leng Ko, rasanya seperti disayat
pisau, otomatis tubuhnya bereaksi, hawa dingin berputar mengelilingi tubuhnya, hentakkan hawa liar yang menganggu tubuhnya kembali berkurang.
Lekas ia menghampiri Mo Tian Siansu yang terhuyung lima langkah dengan
wajah bersemu pucat membiru, jelas luka dalamnya tidak ringan. Kaget juga Tan Leng Ko melihat ketangguhan nenek bongkok itu yang tubuhnya tidak bergeser, jelas tenaga dalam nenek itu jauh lebih tinggi dari bhiksu siaulimsi.
Tan Leng Ko memberi hormat pada Mo Tian Siansu, katanya dengan perlahan:
"Sebaiknya Siansu beristirahat didalam, biar aku saja yang menghadapi mereka"
Mo Tian Siansu mengangguk, Baru melangkah beberapa tindak, bhiksu itu
memuntahkan darah segar, badannya terkulai pingsan. lemas. Lekas Tan Leng
Ko memanggil salah satu piasu untuk mengusung bhiksu itu ke kamarnya.
Tan Leng Ko membalikkan badannya, melangkah beberapa depa dan berhenti
didepan nenek bongkok itu. Diam diam ia terkejut, banyak perempuan yang ia
pernah ketemui. Ada yang muda, juga ada yang telah berusia. Belum pernah ia bertemu dengan seorang nenek yang begini jeleknya.
Kulit wajah nenek ini yang berkeriputan bukan soal baginya. Seorang nenek
memang tidak mungkin mulus, yang luar biasa letak mata, hidung dan mulutnya seperti salah tempat. Mata kirinya berjejer tidak sama dengan yang sebelah
kanan. Hidungnya tidak persis ditengah melainkan seperti menyilang. Mulutnya yang mencong kekanan dibubuhi gincu merah yang tebal. Kedua pipinya
dipenuhi bedak tebal yang mengering, retak retak seperti tanah sawah dimusim kemarau. Sungguh luarbiasa! Rupanya pertarungannya dengan Mo Tian Siansu
barusan, tidak membuatnya berkeringat.
Tak tahan Tan Leng Ko menggumam dalam hati:
"Jika Hong naynay bersanding disamping nenek ini, tentu girang bukan main.
Sebab untuk pertama kalinya, ia akan merasa dirinya lebih cakap!"
Nenek bongkok juga sedang memerhatikan Tan Leng Ko dengan mata jelalatan.
"Kau sungguh enak dilihat, tidak terlampau tampan tapi berkesan jantan, ciri lelaki sejati" pujinya.
Tan Leng Ko merasa muak, hampir ia muntah muntah. Ia merasa ditelanjangi
oleh sorot mata nenek bongkok itu yang penuh pancaran birahi.
"Jika kau hendak mencari jodoh disini, kuyakin kau salah alamat" katanya dengan tawar.
nenek Bongkok itu tertawa, katanya kemudian:
"sebetulnya bukan itu niat kedatanganku, tapi jika kau berniat meminangku, belum tentu aku menolak"
Walau hatinya masih dirundung kemarahan, sempat sempatnya Giok Hui Yan
mengikik perlahan.
Tan Leng Ko menyengir, nenek jelek ini nampaknya gemar tanya jawab, bisa
runyam dirinya jika diladeni, cepat ia menukas:
"Jika kalian tidak terlalu goblok, tentunya sudah mendengar peristiwa semalam yang terjadi disini."
"Nampaknya, kau tidak begitu menyukai kedatangan kami" ujar nenek bongkok itu sambil tertawa ramah.
Tan Leng Ko kembali menghela napas, katanya:
"Sudah tiga kali kalian datang kemari, sebanyak dua kali pintu gerbang kami hancur tidak karuan. Dan kalian selalu lupa untuk membayar ongkos gantinya.
perusahaan ini bisa bangkrut gara gara ongkos pintu... Sebetulnya untuk apa lagi kalian kemari?"
Nenek bongkok itu tidak langsung menjawab, melainkan menoleh perhatiannya
seperti tertarik pada Giok Hui Yan dan Su-lopeh bertiga.
"Bhiksu siaulimsinya hanya satu, kenapa yang kepalanya gundul ada lima?"
gumamnya, perlahan tapi jelas.
Giok Hui Yan memekik marah, ia menerjang nenek bongkok itu, tapi dihadang
delapan orang yang berbaju hitam, yang berwajah kaku dengan kening
menonjol. Mata mereka mencorong mengkilat, menatap tajam Giok Hui Yan
yang maklum mereka seperti melatih semacam barisan tangguh.
Gerak gerik delapan orang ini berirama menduduki posisi patkwa. Tapi Giok Hui Yan tidak perduli, dalam kegusarannya ia segera menyerang orang yang berdiri didekatnya.
Lihay amat serangannya, hawa pedang mencicit keluar dari tangannya, dengan
pesat menghantam lawan yang menempati posisi timur. Orang itu mengelak dari serangan maut, dengan menempati posisi tenggara.
Tujuh orang rekannya secara bersamaan menggeser tubuh, kembali membentuk
posisi patkwa. Selain perhitungan waktu mereka yang tepat, cara mereka
berpindah seperti dikuasai oleh satu pikiran, tidak ubahnya seekor gurita yang dengan leluasa dapat menggerakkan kedelapan tangannya!
Yang berdiri dibelakang Giok Hui Yan segera menotok, mengincar urat nadi
penting di punggung gadis itu. Giok Hui Yan lekas menarik napas kedua lengan berkembang tubuhnya meronta sekali, melayang naik dua tombak meluputkan
diri dari sasaran.
Ditengah udara tubuh gadis itu berputar sekali dan dalam keadaan berbaring
tangannya mengayun, membalas menyerang. Dengan ginkangnnya yang tinggi,
tubuhnya menukik lurus kebawah seenteng kapas, turun dibelakang salah satu
baju hitam yang menduduki posisi utara.
Su-lopeh bertiga tidak tinggal diam, cepat mereka memasukki barisan patkwa itu membantu Ji-siocianya. Diam diam Giok Hui Yan bersyukur, untung tenaga
dalamnya mengalami banyak kemajuan, jika tidak tentu tidak dapat bertahan
lebih dari lima jurus, lawan mereka bukan saja tangguh perorangan, barisan
mereka juga hebat dan aneh.
Giok Hui Yan berpekik nyaring, teriaknya tiba tiba:
"Barisan pedang Mi-Tiong-su-heng-tin!"
Berdebar hati Tan Leng Ko ketika melihat Su-lopeh dan rekannya berkelebat
membentuk segi tiga, mengelilingi Giok Hui Yan yang berdiri dipusatnya.
Pandangan mata Tan Leng Ko menjadi kabur melihat kelebatan bayangan
mereka yang bergerak cepat sekali. Didalam barisan patkwa terdapat barisan
pedang Mi Tiong Bun yang tidak kalah hebat dan anehnya.
Giok Hui Yan tidak berani gegabah, menghadapi barisan patkwa delapan orang
baju hitam yang maju mundur menyerang, ia harus menempatkan diri pada
posisi yang tepat.
Dari mulutnya, keluar kata kata sandi yang memerintahkan Su-lopeh bertiga
selain mematahkan serangan, juga mengembangkan kelincahan langkah dan
gerakkan tubuh yang enteng, menggasak ketimur atau mendesak kebarat, maju
mundur sambil berputar. Selain indah dilihat, juga dapat dirasakan hawa maut tebal yang terkandung dari gerakkan barisan itu.
Kedua barisan bergerak makin cepat laksana dua gilingan yang saling beradu.
Setiap jurus serangan ganas dibalas dengan telengas, setiap serangan keji
dibalas jurus keji. Setiap tipu dilawan dengan muslihat, benturan keras sering terdengar.
Pertarungan berlangsung hingga ketegangan yang memuncak. Mereka
mengadu kelincahan dan ketangkasan, saling merebut kesempatan. Cara keras
dilawan keras jelas menguras tenaga, dan nampaknya akan memakan waktu
yang lama. Kelihatan sekali sebelum darah tumpah, tidak ada yang mau
mengalah, tidak ada yang menyerah kalah sebelum roboh binasa.
"Benar benar hebat!, siapa mereka?" tiba tiba terdengar pujian dari orang didalam tandu.
Dengan nada sungkan, nenek bongkok menjawab:
"Mereka dari perkumpulan Mi Tiong Bun!. Walau mereka sekarang terlihat unggul, kuyakin mereka tidak akan dapat bertahan jika barisan patkwa ditambah menjadi enam belas orang"
Mendengar tanya jawab mereka, hati Tan Leng Ko tenggelam. Benar ucapan
nenek bongkok itu, orang orang Mi Tiong Bun nampak lebih unggul, tapi ia juga melihat masih puluhan orang berbaju hitam yang berbaris tenang, jelas jago jago pilihan yang ketangguhannya tidak perlu diragukan. Jika barisan patkwa
ditambah orang, belum tentu Giok Hui Yan dan lopehnya mampu bertahan.
Mo Tian Siansu sudah terluka parah, sedangkan dikalangan mereka seperti
belum menggerakkan kekuatan intinya. Belum lagi orang didalam tandu yang ia tidak ketahui siapa adanya. Ditilik dari gaya nenek bongkok yang sungkan
padanya, tentu seorang jago hebat.
Wajah Tan Leng Ko berubah serius, nampaknya sukar menahan mereka.
Kembali bencana maut mengancam Lok Yang Piaukok. Sekarang Tan Leng Ko
benar benar mengharapkan kehadiran Khu Han Beng. Walau tadinya ia tidak
mengharapkan bocah itu turun tangan, tapi ia lebih tidak ingin Lok Yang Piaukok dibantai!
Matanya melongok kesana kemari, tapi bocah itu tidak terlihat batang hidungnya.
Tan Leng Ko menyesali sikapnya yang melamun tadi, sehingga tidak
memperhatikan kemana perginya Khu Han Beng.
"Hentikan!" mendadak Tan Leng Ko berteriak.
Nenek bongkok itu mengalihkan padangannya dari pertempuran.
"kenapa harus berhenti?" tanyanya ramah.
"Sebab jika kedatanganmu ingin mencari Mustika Kemala Pelangi, kuijinkan kau mencarinya disini."
Mata nenek bongkok itu berkedip, hatinya mulai tertarik. Cepat ia bersiul nyaring yang di ringi dengan mundurnya kedelapan orang berbaju hitam dari
pertarungan. Dengan sigap mereka berjejer rapi dibelakang nenek itu.
Su-lopeh bertiga yang ditinggalkan lawannya, tidak merubah posisinya, tetap mengelilingi Giok Hui Yan untuk melindunginya.
Tak terasa Giok Hui Yan menjerit tertahan. kali ini ia tidak dapat memahami maksud Tan Leng Ko sebenarnya. Tan Leng Ko menatapnya seraya
menggeleng kepala perlahan. Mengisyaratkan Giok Hui Yan untuk
mengundurkan diri, tidak terlibat dalam pertempuran.
"Bukankah Mustika Kemala Pelangi berada di tangan Khu Pek Sim yang sedang berada di kota Po Ting?" tanya nenek bongkok itu dengan heran.
"Kukenal kecerdikkan Khu Congpiathau, siapa tahu ia menggunakan tipu
memancing harimau meninggalkan gunung, untuk mengalihkan perhatian" kata Tan Leng Ko perlahan.
Nenek bongkok itu menatap Tan Leng Ko dengan tajam, lama ia termenung.
Kemudian gumamnya pelan:
"Siapa tahu Mustika itu masih berada di Lok Yang Piaukok"
"Bukannya tidak mungkin" ujar Tan Leng Ko perlahan.
"Dan kau tahu dimana ia menyembunyikannya?" tanya nenek bongkok dengan mata menyorot mengkilat.
Berdebar juga jantung Tan Leng Ko, ia cukup mengenal kilatan mata seperti itu, sorotan yang biasanya hanya dimiliki oleh seseorang yang menguasai tenaga
dalam yang sempurna sekali. Hanya ia tidak habis mengerti, kenapa sorotan
mata Khu Han Beng hanya terlihat bening seperti orang biasa"
"Dan kau akan menyerahkan mustika itu padaku?" bentakkan halus nenek bongkok terdengar mendesak.
Agak gelapan juga Tan Leng Ko yang tersadar dari lamunannya. Cepat ia
menukas: "Kau harus percaya, tidak ada satu orangpun disini yang mengetahui dimana Khu Congpiauthau menyimpan Mustika Kemala Pelangi. Jika kau menjadi
dirinya, mungkinkah rahasia itu kau ceritakan pada orang lain?"
Nenek Bongkok itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Tan Leng Ko lama sekali, seperti menimbang apakah pemuda dihadapannya sedang berbohong atau
tidak. "Jika kalian tidak melakukan perusakkan, kuantar kalian menggeladah tempat ini tanpa perlawanan" ujar Tan Leng Ko membujuk.
"Dan jika kami tidak menemukannya?"
"Mustika itu ketemu atau tidak, selesai mencari kalian harus berjanji segera meninggalkan tempat ini"
Giok Hui Yan memandang Tan Leng Ko dengan heran. Berkali kali ia menahan
dirinya untuk tidak bertanya. Sebab ia cukup menyadari, begitu ia bertanya, nenek bongkok itu justru malah curiga kepada Tan Leng Ko. Hanya ia benar
benar tidak dapat mengikuti pemikiran pemuda itu. Siasat apa yang sebenarnya ia sedang lakukan"
Tan Leng Ko membiarkan dirinya dipandang oleh mereka. Sudah terlampau
banyak anak buahnya yang gugur menghadang musuh, ia harus menggunakan
kecerdikkannya.
Menurut perhitungannya, sekarang ia yakin suhu Khu Han Beng pasti berada di Lok Yang Piaukok, dan tentu tidak membiarkan kamar bocah itu yang berisi kitab kitab pusaka didekati orang, apalagi diperiksa.
Dengan kesaktiannya yang seperti setan, si naga sakti tentu dapat menghalau serbuan orang orang Bwe Hoa Pang dengan mudah. Selain ia dapat memaksa
suhu Khu Han Beng memperlihatkan ekornya, ia juga dapat mencegah bencana
yang menimpa Lok Yang Piaukok. Sekali tepuk dua lalat!
Dengan dalil yang sama, Tan Leng Ko membalas kelicikkan suhu Khu Han
Beng! Setelah termenung sekian lama, akhirnya nenek bongkok itu terdengar berkata:
"Sebenarnya maksud kedatangan kami kemari, ingin menagih hutang"
"Hutang apa?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Hutang sebuah tangan. Tangan yang tadinya menempel dilengan murid
kesayangan pangcu kami"
Tan Leng Ko menahan napasnya, perbuatan Khu Han Beng yang mengutungi
tangan tempo hari, seperti dugaannya ternyata berbuntut panjang.
"Bagaimana cara membayarnya?" tanya perlahan.
Sambil tersenyum ramah, nenek bongkok itu menjawab:
"Sedikitnya harus dibayar dengan sebuah tangan pula. tentu saja berikut dengan rente rentenya"
"Dan dikarenakan kau memperoleh kesempatan untuk menemukan Mustika
Kemala pelangi ditempat ini, sekarang kau mengubah niatmu"
"Tentu saja tidak!" sahut nenek bongkok itu sambil tersenyum.
Jawaban nenek bongkok diluar dugaan Tan Leng Ko.
"Apa kau tidak maui mustika itu?" tanyanya heran.
"Tentu saja mau, hanya aku yakin tidak akan dapat menemukan mustika itu ditempat ini"
"Apa dasar keyakinanmu?" tanya Giok Hui Yan tak tahan menimbrung.
"Jika ucapanmu benar Khu Pek Sim tidak bodoh, untuk apa ia meninggalkan mustika itu tetap disini hanya menjadi incaran orang banyak" Bukankah lebih baik, jika ia menyuruh orang lain yang paling ia percaya, untuk menghantar
mustika itu ketempat tujuan. Sementara ia bisa saja membawa barang palsu dan membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian orang banyak. Tipu kuno berjalan ke timur, menyerang ke barat, bukan barang baru bagiku"
Tan Leng Ko melenggong. Ucapan nenek bongkok bukan saja dapat diterima
akal. Bahkan bukan mustahil memang begitu adanya. Diam diam hatinya sedih
juga membayangkan orang yang paling dipercaya Khu Congpiauthau ternyata
bukan dirinya. Sambil menggertakkan giginya, Tan Leng Ko telah memutuskan satu hal. Cepat
ia bertanya: "Jika hutang itu sudah dibayar, apakah kau akan meninggalkan tempat ini"
"Jika hutang telah terbayar secara lunas dan pantas, tentu saja aku akan puas dan akan pergi dari sini"
"Dan kau tidak akan datang lagi kesini mencari perkara"
Nenek bongkok itu tertawa perlahan, katanya kemudian:
"Mungkin sukar dipercaya, sebenarnya aku paling malas mencari perkara, tapi juga tidak ingin orang mencari perkara padaku"
Tan Leng Ko terdiam, lama merenung. Ujarnya kemudian perlahan:
"Kau boleh menguntungi tanganku"
"Apa apaan kau"!" teriak Giok Hui Yan kuatir sambil menghampiri Tan Leng Ko.
"Kenapa kita tidak labrak mereka saja?" protesnya tidak setuju.
Tan Leng Ko tersenyum pahit, semalam ketika selesai memeriksa regu penjaga, bersama sama anak buahnya yang bertugas, mereka telah mengubur deretan
mayat mayat korban. Hanya mayat Bok Siang Gak yang ia bakar jasadnya. Ditilik dari kereta di kota Lok Yang tempo hari, ia bertekad untuk mengantar abu
jenazah pemuda itu kepada rombongannya.
"Aku tidak menginginkan korban baru. Mereka terlampau kuat!" bisiknya
"Bukankah locianpwe itu akan membantu kita" bisik Giok Hui Yan.
Perlahan Tan Leng Ko menggeleng. Sukar baginya untuk menjelaskan kepada
Giok Hui Yan. Jika suhu Khu Han Beng hendak membantu, pertempuran
semalam tentu tidak akan timbul korban begini banyak. Locianpwee itu hanya
membantu jika kepentingannya terancam.
Ia sudah mencoba menjebak nenek bongkok itu, sayang sekali siasat tepuk
lalatnya sukar terlaksana. Nenek bongkok ini enggan memeriksa Lok Yang
Piaukok, dan tetap bermaksud untuk menagih hutang.
Tadinya ia berharap Khu Han Beng akan turun tangan, tapi jika bocah itu pergi berlatih, tentu nanti malam baru kembali.
Pulang pergi ia pikirkan. Jika ia dapat menyelematkan Lok Yang Piaukok, apalah artinya sebuah tangan. Hitung hitung, sebuah pengorbanan yang cukup
berharga. Hanya satu hal yang memberatkan pikirannya. Giok Hui Yan tentu tidak akan
tinggal diam melihat tangannya dikutungi. Jika terjadi pertempuran, orang Mi Tiong Bun juga belum tentu akan lolos dari kematian. Hanya satu cara untuk
mencegah Giok Hui Yan turun tangan.
"Maukah kau melakukan sesuatu untukku?" tanyanya pada Giok Hui Yan.
Giok Hui Yan mengiakan.
"Maukah kau berjanji melakukan apa yang kuminta?"
"Aku berjanji dan mau melakukan! Lekas katakan, apa yang kau pinta?"
"Kumuak melihat kepalamu yang gundul! Kuingin kau cepat pergi dari sini. Makin cepat makin baik!" ujar Tan Leng Ko dengan dingin.
Dengan muka pucat, Giok Hui Yan menatap Tan Leng Ko dengan pandang tidak
percaya! Sikap dingin dan ucapan Tan Leng Ko sungguh menusuk dan
menyakitkan hatinya!
Tanpa memperdulikan Giok Hui Yan, Tan Leng Ko lekas menghampiri nenek
bongkok yang tersenyum senyum sendirian.
"Kau maui tangan kiriku atau tangan kanan?"
"Pokoknya sebuah tangan, Kiri boleh kanan boleh. Aku tidak serakah meminta kedua duanya, hanya ..."
Ucapan nenek bongkok itu terpotong oleh jeritan isak tangis Giok Hui Yan yang melarikan diri, meninggalkan Lok Yang Piaukok dengan air mata bercucuran dan dengan hati yang hancur. Su-lopeh bertiga yang kebingungan tidak mengerti,
dengan tergopoh menyusul, mengejar Ji-siocianya sebelum kehilangan jejak.
Nenek bongkok itu tidak mencegah mereka. Bagaimanapun juga jika tidak
terpaksa, ia enggan mencari perkara terhadap perguruan Mi Tiong Bun yang
disegani. Lagipula dengan kepergian mereka, bukankah urusan akan jauh lebih mudah.
Tan Leng Ko menggigit bibirnya sampai berdarah, matanya berkaca kaca tapi ia tidak mengalihkan pandangannya. Ia terus menatap nenek bongkok didepannya.
"Hanya apa" katanya parau.
"Hanya untuk rentenya, aku ingin meminta sebuah tangan dari tiap orang yang berada disini. Baik dia tua, muda, laki perempuan, anak anak, pokoknya setiap orang wajib menyumbang sebuah tangannya"
Tergetar hati Tan Leng Ko mendengar ucapan ini. Dia benar benar tidak
menyangka nenek yang genit, gemar tersenyum ramah, ternyata seorang yang
berhati sadis! Dengan menahan kemarahan, ia berkata:
"Beberapa istri para piasu, ada yang baru melahirkan. apakah kau mempunyai niat mengutungi tangan seorang bayi?"geramnya.
"Tentu saja tidak! Masakkan aku sekejam itu"
Lalu sambil tersenyum ramah, nenek bongkok berkata:
"Terlalu kejam rasanya jika aku hanya menguntungi tangan seorang bayi
sedangkan bayi lain tidak, bukankah tidak adil baginya. Maka jika terdapat
sepuluh bayi manusia yang tinggal disini, maka aku mengingikan sepuluh
tangannya. Asal bukan bayi kucing atau anjing, satupun tidak boleh ada yang ketinggalan!"
Sebuah tangan diminta ganti rugi dengan ratusan tangan bahkan tangan puluhan orok bayi yang baru dilahirkan! Sungguh permintaan nenek bongkok itu benar
benar diluar perikemanusian!
"Tak kusangka terhadap seorang bayipun, kau tidak memiliki kasih sayang!"
desis Tan Leng Ko marah bukan main.
Nenek bongkok kembali tersenyum katanya dengan lembut:
"Justru aku termasuk penyayang. Aku tidak percaya dengan prinsip membabat rumput hingga keakar akarnya. Terlampau kejam rasanya jika ayam, anjing yang tidak bersalah ikut menjadi korban!"
Sungguh luarbiasa tabiat nenek bongkok itu. Rasa iba dan tidak teganya hanya ditujukan kepada binatang piaraan!
"Sebuah ganti rugi yang benar benar bikin rugi!" tiba tiba terdengar suara dari ruangan dalam.
Diam diam Tan Leng Ko menarik napas lega melihat kehadiran Khu Han Beng
yang menghampiri mereka dengan tenang. Matanya memandang bocah itu
bertanya tanya, tapi Khu Han Beng hanya menjawab dengan sedikit
mengangguk padanya.
"Bocah kau harus belajar banyak. Dalam hitungan dagang jika aku untung, tentu saja kau yang merugi"
"Ucapan bagus. Sedikit sekali yang paham, berdagang sebetulnya sama dengan berjudi, yang satu menang yang lain pasti kalah. Selama ini, aku memang curiga dengan dalil sama sama untung" kata Khu Han Beng tawar.
Berkeridip mata nenek bongkok mendengar cara Khu Han Beng berbicara, ia
merasa tertarik.
"Ditilik dari ketenanganmu, apa kau si bocah iblis yang telah mengutungi Hoa-ji?"
Khu Han Beng tidak langsung menjawab, ia termenung sejenak. Kemudian
katanya: "Pertanyaanmu tidak menarik. Aku tidak begitu suka ditanya, juga tidak gemar menjawab"
"He...he..he, kecil kecil sombong sekali kau, apa kau mengandalkan jumlah mereka yang banyak?"
Khu Han Beng menoleh kebelakang kepada para piasu yang berdiri dengan
wajah tegang. "Kalian sebaiknya berisitirahat masuk kedalam" katanya perlahan.
Para piasu tidak segera melakukan ucapan Khu Han Beng, malah memandang


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah itu dengan bingung.
"Kalian cepat ikuti perintah Beng-sauya" bentak Tan Leng Ko pada mereka.
Tergopoh gopoh mereka masuk kedalam dalam keadaan tidak mengerti apa
yang sebenarnya bakal terjadi.
Tak terasa seruan heran keluar dari mulut nenek bongkok.
"Apa kepandaian kalian begitu hebat, menghadapi kami yang sebanyak ini hanya berdua?"
"Tidak berdua, dia maju sendirian" kata Tan Leng Ko sambil mengundurkan diri, berdiri dibelakang Khu Han Beng.
Nenek bongkok menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal, dia rada tidak
mengerti. Dia yakin bocah ini adalah bocah yang seperti dituturkan Hoa-ji murid pangcunya. Yang kata suhengnya memiliki ilmu sihir, tapi misalnya bocah ini memiliki kepandaian seperti iblispun juga mustahil rasanya menghadapi
rombongannya hanya sendirian.
"Sebaiknya kita membicarakan pembayaran pokok hutangnya dulu, rentenya dapat kita bicarakan kemudian" kata Khu Han Beng perlahan,
"Itupun boleh, seperti kukatakan tadi, aku bukan orang yang serakah. Kau bebas memilih, kutungi tangan kiri atau tangan kananmu dulu"
Dengan lambat, Khu Han Beng mengeluarkan golok kayu dari balik bajunya.
Matanya tidak bergerak, menatap ujung golok. Kecuali ibu jari kiri yang mengelus perlahan mata golok kayunya yang tumpul, tubuhnya tidak ada yang bergerak.
Lapat lapat semcam hawa yang menggiris tajam, lebih tajam dari sebuah golok mustika, keluar dari tubuhnya menggulung kearah nenek bongkok.
"Awas, Hu-pangcu!" terdengar suara kaget dari dalam tandu. Terlambat!
Yang terlihat hanya sebuat kilatan benda bewarna kayu, tahu tahu nenek
bongkok yang dipanggil hu-pangcu terhuyung, darah merah mengalir deras
membasahi bajunya. Tongkat kayunya jatuh ketanah terpotong potong beserta
tangan kanannya yang putus sepenggal bahu!
Tampaknya tidak ada seorangpun yang tahu dengan gerakkan apa Khu Han
Beng telah memutuskan lengan nenek bongkok!
Saking cepatnya tubuh Khu Han Beng bergerak, tanpa terasa kelopak mata
mereka yang menyaksikannya berkedip, begitu mata terbuka mereka melihat
bocah itu masih berdiri ditempatnya semula, memegang golok kayu yang
menetes darah segar!
Lebih lebih nenek bongkok yang terhenyak kaget dan menjublek ditempatnya.
Wajahnya menjadi pucat pias, peluh dingin jatuh bercucuran dengan deras. Ia seperti lupa dengan rasa sakitnya!
Hu-pangcu atau nenek bongkok berdiri tertegun dengan sepasang matanya
terbelalak lebar dengan mulut melongo, untuk beberapa saat lamanya dia hanya bisa memandang Khu Han Beng dengan wajah kebingungan dan tidak habis
mengerti! "Seperti katamu, setiap orang yang berada disini wajib menyumbang sebuah tangan. Telah kubayar dulu hutang pokok dengan tanganmu" ujar Khu Han Beng tawar.
Selesai berucap, Khu Han Beng mengibas tangannya perlahan kedepan, golok
kayunya bergetar, segulung hawa tebal yang bergerak seperti getaran udara
panas yang sering terlihat ditengah jalanan dikala tertimpa terik matahari, mengarah pada nenek bongkok kemudian membelok terpecah meluncur ke lima
arah dari delapan orang berbaju hitam yang bersamaan menjerit kesakitan! Lima buah tangan berdetam jatuh ketanah bersamaan!
"Sebagai pedagang sekarang sedikitnya kau sudah untung lima kali lipat. Jika kau anggap kami masih menunggak, mari kita membicarakan rente rentenya"
Pertunjukkan tenaga dalam yang demikian sempurna, langsung membuat Hu-
pangcu merenung membisu, begitu pula orang orangnya. Semuanya terpesona
dengan muka pucat, membiru ketakutan, tidak ada yang berbicara!
Mendadak Berubah hebat muka nenek bongkok, serunya kaget bercampur takut:
"Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi!"
Ketujuh kata itu merupakan sebaris syair yang indah, seharusnya membawa
kenikmatan bagi yang mengatakannya. Namun, ketika nenek bongkok
mengucapkan ketujuh patah kata itu, suaranya diliputi oleh perasaan ngeri,
perasaan seram dan takut!
Semacam rasa ketakutan yang bercampur dengan perasaan hormat. Semacam
rasa hormat yang timbul secara tulus dari lubuk hatinya, yang ditujukan khusus terhadap seseorang yang luarbiasa!
Tertarik juga Khu Han Beng mendengar seruan nenek itu. Tak terasa ia
mengulanginya sepatah demi sepatah:
"Mendengar rintik hujan ditengah malam disebuah loteng kecil!"
Sambil menotok nadinya memberhentikan aliran darah. nenek bongkok berkata:
"Darimana kau memperoleh golok kayu itu?"
Timbul juga rasa ingin tahu, Khu Han Beng memutuskan untuk menjawab:
"Golok ini dibeli dipasar Lok Yang seharga satu tahil perak"
Walau kecewa dengan jawaban Khu Han Beng yang seperti mengejek, nenek
bongkok terus mendesak:
"Apakah sebelumnya kau pernah mendengar bait syair itu?"
"Yaa, pernah kubaca syair kuno itu disebuah buku"
"Tahukah kau arti sebenarnya dari Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi?"
Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian katanya:
"Kukira seorang yang sedang mabuk dan kesepian, memikirkan nasibnya yang malang... mungkin ditinggal kabur oleh kekasihnya"
Sambil menggigit bibirnya menahan sakit, nenek bongkok berteriak keras:
"tujuh kata itu tertera disebilah golok yang melengkung, dan merupakan lambang dari seorang yang tiada tandingan dijamannya. Tapi justru muridnya, Ting Peng yang berhasil mencapai taraf yang lebih tinggi lagi, tingkatan penggunaan golok kayu. Konon dewa golok, Ting-locianpwee pernah melangsungkan pertandingan
lisan dengan Cia sam-sauya"
"Cia Sam-sauya yang mana" tanya Khu Han Beng tertarik.
"Sam-sauya dari bukit Cui im san, perkampungan Liu Kiam San Ceng!"
Tan Leng Ko menahan napasnya, jantungnya berdebar. Ia pernah mendengar
nama kedua orang luarbiasa itu yang sudah lama mirip dongeng. Tapi tiada yang pernah tahu apakah mereka jadi melangsungkan pertandingan sesungguhnya
untuk menentukan ilmu siapa yang lebih unggul!
Lama Khu Han Beng termenung, katanya kemudian:
"Kenapa kau tanyakan hal ini padaku?"
"Karena walau golokmu tidak melengkung, daya serang golokmu justru
melengkung. Apakah kau ahli waris dari Ting-locianpwee?"
Khu Han Beng tidak menjawab, sebetulanya ia tidak begitu mengikuti pertanyaan nenek bongkok itu.
Mendadak terdengar seruan orang dari dalam tandu.
"Dia bukan!"
"Darimana kau tahu?" tanya nenek bongkok penasaran.
"Karena yang digunakannya bukan ilmu golok. Tenaga membeliuk yang
disalurkan melalui goloknya, adalah ciri sebuah ilmu kuno aliran murni yang berasal dari Thian tok!"
Perlahan tirai tandu terbuka, seorang jangkung berkulit hitam berusia sekitar empat puluhan, melangkah turun. Hidungnya luar biasa besarnya. selain
mancung keterlaluan, juga membengkok seperti hidung betet.
Terperanjat sekali nenek bongkok mendengar pernyataan rekannya yang diluar
dugaan. Tak dapat menahan rasa ingin tahunya, ia bertanya:
"Apa nama ilmu yang digunakannya?"
Sihidung betet tersenyum tapi tidak menjawab, ia menghampiri Khu Han Beng
yang memandangnya dengan acuh.
"Apa hubunganmu dengan Goan Kim Taysu?" tanyanya.
"Aku diangkat menjadi ahli warisnya" jawab Khu Han Beng perlahan.
Lama sihidung betet termenung. Kemudian ucapnya:
"Harus kuakui kejeniusannya. Tak kusangka di Tionggoan ternyata ada yang berhasil memiliki ilmu yang boleh dibilang mustahil dipelajari itu. Bahkan dapat melatih seorang bocah tanggung menggunakan tingkat dasar, benar benar luar
biasa!" Kemudian ia menoleh pada nenek bongkok, tanyanya:
"Memandang diriku dan suheng, maukah kau menyudahi urusan ini?"
Nenek bongkok menghela napas, kemudian mengangguk. Sebetulnya ia rada
kecewa, ia mengharapkan orang Thian tok ini membantu usahanya tapi
nyatanya malah mengajak mengundurkan diri. Ia tidak begitu kenal dengan
sihidung betet dan suhengnya. Hanya ia cukup tahu, pangcunya sangat
menghormati mereka, bila tidak memiliki kepandaian yang istimewa, tentu tidak diperlakukan sebagai tamu agung. Perlahan ia mengajak rombongannya pergi
dari situ. Tidak terlihat reaksi dari Khu Han Beng, ia hanya diam ketika sebelum berlalu sihidung betet kembali berujar:
"Boleh kau sampaikan pesan pada gurumu, pewaris asli aliran Mahayana dalam waktu dekat akan mengunjungi Siaulimsi"
Hanya Tan Leng Ko yang dapat mengikuti percakapan mereka berdua. Sihidung
betet salah mengira Khu Han Beng mewarisi Bu Kek Kang Sinkang dari Goan
Kim Taysu, sedangkan ia tahu betul, jangankan dilatih, bertemu muka saja
bocah itu belum pernah!
Dengan sendirinya Tan Leng Ko menjadi heran, darimana sihidung betet
mengetahui Bu Kek Kang Sinkang"
Tan leng Ko tidak mengetahui dan tidak pernah menyangka, justru ilmu itu
merupakan kepandaian asli dari aliran Mahayana!
Tanpa terasa ia berseru:
"Darimana kau tahu Goan Kim Taysu memiliki Bu Kek Kang Sinkang?"
Sihidung betet mengeluarkan seruan tertahan.
"Iii hhh! darimana kau tahu nama itu?" tanyanya terkejut sambil menatap Tan Leng Ko dengan tajam.
Untuk kedua kalinya Tan Leng Ko merasa heran, tatapan sihidung betet tidak
mencorong tajam seperti ciri jago silat. Malah sorotan matanya mirip orang
biasa, seperti sorotan mata Khu Han Beng.
"Tidak seharusnya kau mengenal nama itu, sekali lagi kutanya padamu.
Darimana kau tahu?"
Tangannya terjulur kedepan membuat gerakkan mencekeram perlahan.
"Ai ikkk!" leher Tan Leng Ko terasa dicekik oleh sebuah tangan kuat dan tak nampak. Sekujur tubuhnya kejang, tidak mampu meronta, dirinya seperti
dibungkus hawa tebal tanpa ujud.
Melihat Tan-toakonya dalam bahaya, cepat Khu Han Beng turun tangan.
"Blang!" dua gulungan tenaga pukulan saling membentur satu sama lainnya hingga menimbulkan suara ledakkan yang amat keras, tubuh Tan Leng Ko
terdorong oleh angin padat yang menerbangkannya sejauh puluhan kaki!
Dengan terengah engah Tan Leng ko menarik napas, lekas ia berdiri. Matanya
menyaksikan Khu Han Beng terhuyung mundur empat tindak, sedangkan tubuh
sihidung betet sama sekali tidak bergerak, meski kakinya yang berpijak ditanah telah melesak kedalam hingga mata kaki.
"Semuda ini sudah memiliki hawa sakti setangguh ini, benar benar hebat kau!"
puji sihidung betet. Hatinya mulai tertarik pada bocah yang luarbiasa ini.
"Walau tinggi iweekangmu, betapapun kau tidak dapat melawanku" lanjutnya.
"Kenapa aku tidak dapat melawanmu?" tanya Khu Han Beng tidak tahan.
"Karena suhumu, Goan Kim Taysu paling paling hanya mampu bertanding
imbang denganku"
"Aku tidak percaya dengan ucapanmu" dengus Khu Han Beng dingin.
"Bagaimanapun juga, kami lebih mengenal sifat ilmu ini darimu. Ditinjau dari cara Goan Kim Taysu yang mempelajari ilmu ini, paling banyak ia hanya dapat
mencapai tingkat tiga atau empat saja. Lagipula ia harus mengoper sinkangnya untuk melatih dirimu, tingkatnya tentu menurun, sekarang paling ia hanya di tingkat dua atau tiga saja"
"Apa kau sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi?"
"Aku sudah mencapai tingkat tiga!"
Khu Han Beng termenung lama sekali. Ia tidak tahu tingkat berapa yang ia sudah raih, hanya rasanya tidak mungkin bisa lebih tinggi dari Goan Kim Taysu.
Ucapan sihidung betet benar. Ia tidak mungkin menang melawan.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu. Kukagum dengan apa yang telah kau capai semuda ini. Tapi kuharap kau tidak merintangi diriku"
Perlahan perhatian sihidung betet beralih kepada Tan Leng Ko yang mendengar percakapan mereka dengan hati berdebar debar.
Mendadak Khu Han Beng mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring,
suara pekikkannya membuat sekitarnya bergetar keras seakan akan diterjang
gempa. Golok kayunya dibuang, perlahan bocah itu merentang kedua lengannya lurus
kesamping. Hembusan angin kencang panas seperti bara api menimbulkan desis suara
berderai menindih hidung betet dari dua arah, bagaikan gelombang pasang
mengamuk menggulung garang.
Angin pukulan Khu Han Beng belum tiba, segulung tenaga dahsyat diselingi
suara yang menggelegar, telah menggencet sihidung betet lebih dahulu. Dengan wajah berubah serius, sihidung betet cepat mengangkat kedua tangannya
setinggi pundak, kemudian mendorong perlahan kearah samping. Terjadi keras
melawan keras, iweekang beradu dengan tenaga sakti!
"Blang!" terdengar suara ledakkan yang memekakkan, debu dan tanah berhamburan, di ringi angin kencang yang mementalkan orang disekitarnya.
Tergali sebuah liang sebesar lubangan kerbau, jebol dan menganga lebar!
Sihidung betet yang tinggi besar terpental empat tombak lebih, jatuh terduduk, badannya seperti ditumbuk martil laksaan kati, darah menyembur sejauh
setombak dari mulutnya. kakinya terkulai lemas seperti tidak bertulang, remuk tergencet dihajar tenaga dahysat dari dua arah yg berlawanan!
Nenek bongkok merinding, serasa terbang arwahnya, nyalinya pecah. Orang
yang dapat membuat pangcunya sungkan tentu berkepandaian luarbiasa.
Nyatanya, hanya dalam satu dua gebrak, tamu undangan pangcunya, keok
dalam keadaan mengenaskan!
Tidak hanya orang Bwe Hoa Pang yang ketakutan, Tan Leng Ko merasa bulu
kuduknya meremang seram. Sungguh diluar jangkauan akal kedahsyatan ilmu
bocah ini. Apalagi sikapnya yang diam kaku, berdiri tanpa memancarkan
perasaan! Sihidung betet mengerang tertahan, ia meronta kemudian katanya lemah.
"Bilang pada Kotla suheng, Bu Kek Kang Sinkang tingkat lima telah muncul!"
kemudian ia merenggangkan nyawa, orangnya ambruk tersungkur tewas
menyedihkan! Pening kepala Tan Leng Ko begitu mendengarnya!
Goan Kim Taysu yang mempelajari ilmu itu puluhan tahun hanya mencapai
tingkat tiga, sedangkan bocah ini, menurut sihidung betet telah mencapai tingkat lima! Bukankah berarti tenaga saktinya lebih hebat dari Goan Kim Taysu" Suatu hal yang sukar dipercaya!
Tapi seperti apa yang Khu Han Beng katakan. Ia hanya melatih tenaga sakti
yang disalurkan kepadanya. Walau sukar dipercaya, Tan Leng Ko masih bisa
memaklumi. Yang ia benar benar tidak habis mengerti, jika Khu Han Beng
memiliki kesaktian yang lebih tinggi tingkatannya dari Goan Kim Taysu, lalu untuk apa ia disuruh suhunya belajar ke Siaulimsi"
"Tunggu sebentar!" ujar Khu Han Beng ketika melihat nenek bongkok hendak berlalu, yang dipanggil perlahan menghentikan langkahnya.
"Sauya, masih ada pesan apa?" tanya nenek bongkok dengan suara parau.
"Kalian datang bersama, selayaknya juga pulang bersama" kata Khu Han Beng sambil melirik mayat sihidung betet.
Dengan isyarat tangan, nenek bongkok menyuruh anak buahnya menggotong
mayat orang Thian-tok itu ke dalam tandu.
"Jika sauya tidak ada pesan lagi, kami mohon diri..."
"Ingin kutanya, apakah kami berhutang?" tanya Khu Han Beng tawar.
"Kalian sudah tidak punya hutang lagi. Bukan saja sudah dibayar lunas, bahkan berikut bunga yang lima kali lipat banyaknya" jawab nenek bongkok sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Terpaksa ia menjawab dengan cara demikian. Ia cukup menyadari hanya
jawaban itu satu satunya yang dapat ia berikan. Lain dari itu, maka urusan bisa lebih panjang, sedangkan usianya bisa lebih pendek. Walau umurnya sudah
banyak, tapi ia masih ingin hidup, dan belum berniat mati.
Kenapa semakin tua seseorang yang umurnya tinggal sedikit, semakin tamak
hidup" Bahkan seperti takut mati. Anehnya yang masih muda, lebih berani
menghadapi resiko. Biasanya, hanya anak muda yang nekat bunuh diri malah
gara gara urusan sepele, seperti patah hati.
"Kutahu orang tidak boleh berhutang, kuharap kalian juga melunasi hutang kalian" kata Khu Han Beng perlahan.
"Hutang apa" tanya nenek bongkok dengan wajah pucat.
"Walau ongkos ganti pintu tidak seberapa, bagaimanapun juga kalian toh belum membayar ganti ruginya"
"Sauya ingin ganti rugi, ongkos pintu yang sudah dua kali kami hancurkan?"
tegas nenek bongkok.
"Benar!"
Diam diam nenek bongkok menarik napas lega. Sesaat, ia membayangkan ganti
rugi yang lebih buruk ketimbang hanya beberapa tahil perak.
Tanpa banyak bicara, ia merogoh sakunya dan melempar sekeping tahil emas
yang jatuh beberapa kaki dari Tan Leng Ko. Sungguh keterlaluan caranya!
Seperti seorang juragan yang menyumbang ke seorang pengemis.
Melihat perbuatan nenek bongkok itu, Khu Han Beng menghela napas. Katanya
pelan seraya menoleh pada Tan Leng Ko:
"Pernah kubaca disebuah kitab, jangan kau menghina orang jika kau tidak ingin dihina."
"Sebuah kalimat yang baik!" sahut Tan Leng Ko mengangguk.
"Aku tidak menyukai kalimat itu"
"Kenapa?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Kalimat itu mengandung nasehat, aku tidak menyukai nasehat"
Selesai berkata, tubuh Khu Han Beng berkelebat,
"Plak! Plaak!" terdengar dua kali tamparan.
Ujung bibir nenek bongkok berdarah. Bedak dipipinya yang mungkin mencapai
setengah kati banyaknya, beterbangan kemana mana. Tidak satu butirpun yang
mampu menyentuh tubuh Khu Han Beng. melainkan seperti membentur dinding
tebal menepis mengikuti arah angin.
Tan Leng Ko yang menyaksikan pemandangan yang luarbiasa ini melongo
dengan mulut menganga! Sudah dua kali ia menyaksikan kejadian seperti ini...
tidak! malah tiga kali!
Yang pertama terjadi semalam, tapi kejadian serupa justru bukan menimpa
tubuh Khu Han Beng!
Mendadak terjadi perubahan hebat diwajah Tan Leng Ko. Teringat olehnya Hek I Houw yang tidak mudah terkejut berubah pucat ketika menyaksikan
pemandangan yang juga membuatnya lupa menutup mulut. Pemandangan yang
menyebabkan tanpa ia sadari, dirinya telah menelan seekor serangga!
Tak terasa Tan Leng Ko meludah, masih terasa lalat yang memasukki mulutnya
semalam. "Mungkin aku tidak salah lihat, semalam" gumamnya perlahan. Sebetulnya apa yang dilihatnya semalam"
Dihina sedemikian rupa di depan anak buahnya, kemarahan nenek bongkok
memuncak, dari mulutnya keluar rintihan suara aneh bercampur gusar. Matanya mencorong tajam siap mengadu jiwa. Tapi hatinya menjadi ragu ketika ia
memandang bola mata Khu Han Beng yang hitam tidak berkedip. Ia tidak
merasakan perasaan lain kecuali hawa kematian tebal yang terpancar dari tubuh bocah itu.
Seumur hidupnya, baru kali ini nenek bongkok benar benar merasa takut. Ia
seperti telah menatap langsung, wajah asli Giam-loo-ong yang sebenarnya.
"Walau aku tidak suka dengan kalimat itu, tapi bukan berarti aku tidak setuju"
gumam Khu Han Beng tawar.
Setelah termenung sebentar, perlahan nenek bongkok berjalan. Tubuhnya yang
sudah bongkok, hanya perlu sedikit membungkuk untuk memungut kepingan
emas dan menyerahkan secara hormat kepada Tan Leng Ko. Kemudian
mengajak anak buahnya berlalu dari situ.
"Tunggu sebentar!" ujar Khu Han Beng untuk kedua kali. Yang dipanggil kembali menghentikan langkahnya.
Kali ini nenek bongkok hanya diam menunggu.
"Sebaiknya kalian tidak usah lagi mengirim orang kemari. Aku percaya prinsip membabat hingga keakar akarnya. Tidak kejam rasanya jika ayam, anjing yang
tidak bersalah ikut menjadi korban!" kata Khu Han Beng yang membuat Tan Leng Ko terkejut.
"Akan kusampaikan pesan sauya pada pangcu kami" ujar nenek bongkok lirih, kemudian kali ini benar benar berlalu dari situ.
Lama Tan Leng Ko memerhatikan Khu Han Beng yang berdiri diam
memperhatikan kepergian rombongan Bwe Hoa Pang. Yang cukup melegakan
hati Tan Leng Ko, hawa menakutkan yang keluar dari tubuh bocah itu perlahan sirna.
Ketika melihat Khu Han Beng menghela napas, tanpa terasa Tan Leng Ko
berkata:

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak semua orang bisa tidur nyenyak setelah membunuh orang, apalagi untuk pertama kali"
"Yaa, pertama kali kubunuh orang"
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Tan Leng Ko prihatin.
Ia teringat pengalamannya. Pertama kali ia membunuh orang, perutnya terasa
mual. Ia muntah muntah hingga asam lambungnya terkuras habis. Tiga hari dia tidak bisa tidur, peluh dingin membasahi tubuhnya setiap kali terbayang kejadian itu.
Berdesir hati Tan Leng Ko ketika mendengar jawaban Khu Han Beng:
"Aku tidak merasakan apa apa"
Untuk beberapa saat, Tan Leng Ko termangu. Mendadak sebuah pertanyaan
bodoh keluar dari mulutnya.
"Kenpa kau bunuh dia?"
Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian jawabnya:
"Aku tidak sengaja membunuhnya"
"Kau tidak sengaja membunuhnya?" ulang Tan Leng Ko kaget.
Dengan perlahan Khu Han Beng berkata:
"Dia mengatakan bahwa dirinya sudah mencapai tingkat tiga, kupikir aku tidak mungkin telah mencapai tingkat itu"
"Yaa, semestinya tingkat latihanmu masih belum cukup untuk menandinginya"
ujar Tan Leng Ko tak tahan.
"Oleh karena itu diam diam kukerahkan sepuluh bagian tenaga dalamku"
Setelah kembali menghela napas, Khu Han Beng melanjutkan:
"Tak kusangka hasilnya menjadi begini"
Tan Leng Ko ikut menghela napas, ia tidak tahu apakah tewasnya sihidung betet memang sebuah takdir atau sebuah nasib sial" Kehebatan tenaga sakti Khu Han Beng bukan saja diluar perhitungan sihidung betet dan dirinya, bahkan
nampaknya juga diluar dugaan bocah itu sendiri.
Ada satu hal, sedikitnya membuat hati Tan Leng Ko terhibur. Ia percaya bocah ini tidak berniat membunuh lawannya. Tapi ada satu hal lain, juga membuat
hatinya kuatir.
"Kau tidak mirip, seperti seorang yang sedang menyesal"
"Menyesal?" tanya Khu Han Beng tak mengerti.
"Menyesal telah salah membunuh"
"Haruskah aku menyesal?"
"Seharusnya iya"
Sukar bagi Tan Leng Ko untuk menjelaskan. Sudah pasti ia pernah membunuh
orang, malah tidak sedikit. Hanya jika ia salah membunuh, sedikit banyak timbul penyesalan dibatinnya.
"Aku tidak paham, toako"
"Apa yang kau tidak mengerti?" tukas Tan Leng Ko cepat.
"Pernah kudengar mati hidup disebuah pertarungan adalah suatu hal yang jamak"
"Benar!"
"Dia tewas karena tidak kuat. Jika aku yg tidak kuat dari bentrokkan tadi, bukankah aku yang tewas! Haruskah aku menyesal baginya?"
Tan Leng Ko termenung sekian lama, sukar baginya untuk membantah ucapan
Khu Han Beng. Katanya perlahan:
"Membunuh seperti merokok. Semestinya untuk pertama kali rasanya tidak enak, dan lama kelamaan mudah menjadi kebiasaan, malah bisa ketagihan. Walau kau
tidak merasakan tidak enak, aku tidak ingin kau mempunyai kebiasaan
membunuh. Rasa menyesal dapat mencegah hal itu menjadi suatu kebiasaan"
Rada kikuk juga Tan Leng Ko melihat reaksi Khu Han Beng yang sukar dibaca
olehnya. Bocah itu hanya diam saja. Ia tidak mengiakan, tapi juga tidak
membantah. Tak tahan dengan suasana kaku itu, akhirnya Tan Leng Ko menambahkan:
"Kutahu kau tidak menyukai sebuah nasehat, hanya..."
"Kutahu toako berkata untuk kepentinganku" potong Khu Han Beng sambil tersenyum.
"Sungguh baik jika kau ketahui hal itu" kata Tan Leng Ko ikut tersenyum lega.
"Kuketahui toako benar benar sayang padaku. Apa yang toako hendak katakan padaku, tentu aku akan dengar"
"Walau toakomu cerewet banyak memberi nasehat?" gurau Tan Leng Ko.
"Kan pernah kukatakan, walau aku tidak suka nasehat, tapi bukan berarti aku tidak setuju"
"Kalau begitu, ada satu hal lagi yang ingin kubicarakan" ujar Tan Leng Ko serius.
Khu Han Beng diam mendengarkan.
"Caramu menguntungi mereka, terkesan... agak sadis!"
Khu Han Beng berpikir sejenak, setelah menghela napas ia berkata:
"Aku tidak tahu sadis apa tidak, hanya kalau tidak diperlakukan begitu mereka tentu akan menyerbu sekaligus"
Kembali Tan Leng Ko terdiam. Menghias pohon dengan bunga palsu memang
suatu cara ampuh. Dengan memecah nyali mereka, Khu Han Beng berhasil
menggertak pergi orang Bwe Hoa Pang. Konon katanya Li Toa Jui, sipemakan
manusia, secara tidak sengaja menggunakan siasat ini untuk menggertak kabur musuhnya yang berkepandaian jauh lebih tinggi.
Jika tidak diperlakukan sadis hingga mereka menjadi jeri, dapatkah bocah itu menahan serangan mereka sekaligus" Walau terkesan sadis, bukankah cara
Khu Han Beng merupakan cara yang paling tepat, paling efektif untuk
menghadapi mereka" Salahkah caranya"
Tan Leng Ko menjadi ragu, lamaa ia berpikir. Kemudian dengan nada prihatin, Tan Leng Ko akhirnya berkata:
"Bagaimanapun juga, perbuatanmu barusan, bukanlah kelakuan seorang
pendekar sejati"
"Aku memang tidak ingin menjadi seorang pendekar"
"Kau tidak ingin?" tanya Tan Leng Ko kaget.
Khu Han Beng menggeleng.
"Pernah kubaca, bangsa kita mempunyai jumlah penduduk paling banyak di dunia karena memiliki daya tahan hidup paling tinggi"
"Hal ini disebabkan bangsa kita pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan"
"Benar! Sayangnya, yang pandai menyesuaikan diri belum tentu memiliki tingkat moral yang tinggi. Malah orang bermoral tinggi biasanya kalah dalam
pertandingan"
"Apa hubungannya dengan perilaku seorang pendekar?" tanya Tan Leng Ko bingung.
"Kehidupan seorang pendekar dituntut dan dituntun oleh nilai benar-salah.
Bagaimana bisa menang, jika sebelum pertandingan, dirinya sudah lebih dahulu terbelenggu oleh dalil baik-buruk"
"Justru dalil itu yang membedakan karakter seorang pendekar dengan yang lain"
bantah Tan Leng Ko.
"Makanya aku tidak ingin menjadi seorang pendekar" kata Khu Han Beng tersenyum pahit.
"Kau tidak ingin membela orang baik dengan melawan orang jahat?" tanya Tan Leng Ko terperanjat.
Setelah menghembus napas, Khu Han Beng berucap:
"Konon sedikit jumlah orang yg benar benar jahat, begitu pula tidak banyak jumlah orang yang benar benar baik"
"Maksudmu?" tanya Tan Leng Ko tidak mengerti.
"Manusia memang mahluk aneh, mahluk kebiasaan. Orang dianggap baik
karena sering melakukan kebiasaan yang baik, jarang melakukan yang buruk
tapi bukan berarti tidak pernah"
Tak tahan Tan Leng Ko menukas:
"Apa yang dianggap jahat, sebenarnya bukan berarti mereka tidak pernah menolong orang?"
"Benar. Selain kebiasaan mana yang lebih sering, bobot dari yang dikerjakan juga sangat menentukan"
Entah kenapa, Tan Leng Ko teringat tokoh legendaris Yap Kay yang pisaunya
terkenal jarang membunuh, malah lebih sering menolong orang. Sedangkan
tokoh sakti yang dijuluki Anakan Iblis ketika berhasil mengalahkan majikan Istana Kelabang Emas berubah bobotnya, dari seorang yang dianggap jahat menjadi
seorang pendekar yang disegani.
"Darimana kau tahu semua ini?"
"Aku pernah membacanya" jawab Khu Han Beng perlahan.
Setelah keduanya terdiam cukup lama, akhirnya Tan Leng Ko memecahkan
kesunyian: "Lalu apa yang kau inginkan?"
"Aku hanya ingin mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya. Aku juga tidak ingin orang mengangguku atau orang yg kusayang"
"Jika ada orang yang sedang susah, apakah kau tidak berniat untuk
menolongnya?"
Khu Han Beng tidak menjawab, mendadak Tan Leng Ko menyaksikan sikap
bocah itu kembali diam kaku.
"Ada apa?"
"Sebuah kereta sedang meluncur kesini"
Tan Leng Ko memusatkan perhatiannya selain suara suasana, ia tidak
mendengar yang lain. Dengan agak ragu ia berkata:
"Aku tidak mendengar apa apa"
"Mereka bukan musuh" gumam Khu Han Beng perlahan.
"Darimana kau tahu?"
"Sebab selain kusir, mereka datang hanya bertiga"
"Darimana kau yakin mereka hanya bertiga?" tanya Tan Leng Ko heran.
Khu Han Beng menatap Tan-toakonya sejenak, ujarya kemudian:
"Sebab aku hanya mendengar tiga nafas didalam kereta. Tiga orang tua yang berulang kali menghela nafas kuatir"
"Kau dapat mendengar percakapan mereka?" tanya Tan Leng Ko terkejut.
Sayup sayup ia memang telah mendengar ringkikan kuda yang mendekat,
namun jaraknya masih terdengar ratusan tombak jauhnya. Dan bocah ini bukan
saja mampu mendengar nafas mereka bahkan dapat mendengarnya dengan
jelas sekali, hingga mampu menentukan usia mereka!
"Semoga Bok-Sauya tidak kurang apa" gumam Khu Han Beng meniru yang didengarnya.
"Aaah! Rombongan Pak Sian Gin Siauw" pekik Tan Leng Ko tak terasa. Teringat olehnya kereta yang ditumpangi oleh Bok Siang Gak tempo hari.
"Siapa Bok-Sauya yang dimaksud?" tanya Khu Han Beng tertarik.
Sambil menghela napas sedih, Tan Leng Ko menceritakan apa yang telah terjadi dan bagaimana dengan gagah pemuda itu melindungi bahkan tewas dalam
pertarungan sengit kemarin.
"Pemuda yang tidak mengenal kita malah terbunuh karena telah membantu Lok Yang Piaukiok?" tanya Khu Han Beng dengan muka berubah hebat.
Melihat bocah yang biasanya bersikap tenang dan hambar terhadap suatu
urusan, bisa menunjukkan sikap yang seperti itu, timbul rasa heran dihati Tan Leng Ko. Ia menatap bocah itu dengan tajam. Sayangnya, Tan Leng Ko tidak
dapat menerka apa yang dipikirkan Khu Han Beng, ia hanya dapat mengangguk
membenarkan. "Kenapa ia melakukan hal itu?" tanya Khu Han Beng dengan nada sedih.
Tan Leng Ko termenung sejenak. Ia memang pernah menduga sebabnya, tapi
karena bersifat hanya sebuah dugaan, lagi karena bersifat pribadi tak pantas rasanya jika ia ucapkan.
"Mungkin... mungkin sifat yang tidak mementingkan diri seperti ini hanya dimiliki oleh seorang pendekar sejati" katanya perlahan.
Khu Han Beng berpikir lama sekali. Ucapnya kemudian:
"Nampaknya sifat pendekar sejati memang berbeda dengan yang lain"
Tan Leng Ko menghela napas, katanya pelan:
"Walau tangannya telah terbelunggu...Walau pasti kalah dalam pertandingan, seorang pendekar sejati hanya mengenal, apa yang harus mereka lakukan harus mereka lakukan, apapun yang terjadi"
Khu Han Beng tidak menjawab melainkan menundukkan kepala termenung lama
sekali. Sementara itu kereta kuda yang pernah dilihat Tan Leng Ko dikota Lok Yang berhenti didepan gerbang Lok Yang Piaukok.
Tiga orang tua berpakaian sederhana turun dari dalam kereta dan menghampiri mereka.
"Kutahu maksud kedatangan kalian" tegur Tan Leng Ko dengan nada sedih.
"Kau tahu maksud kedatangan kami?" seru salah satu dari mereka heran.
Tan Leng Ko mengangguk.
"Biar kujemput Bok Sauya kalian di dalam"
"Kenapa Sauya tidak keluar sendiri?" tanya orang tua itu semakin heran.
Tan Leng Ko tidak menjawab, ia melesat masuk. Tak lama kemudian, keluar
dengan menenteng sebuah guci kecil dengan kedua tangannya.
Kejut dan sangsi terlintas diwajah orang orang Pak Sian Gin Siauw ketika
menerima abu jenazah Bok Siang Gak. Setelah yakin tidak salah melihat, air
mata mengucur deras membasahi pipinya. Pundak mereka bergerak gerak,
mereka menangis tanpa mengeluarkan suara.
Mata Tan Leng Ko ikut berkaca kaca, ia dapat merasakan betapa besar kasih
mereka terhadap sauyanya.
"Siapa yang melakukan hal ini"....Apa sebenarnya yang telah terjadi?"
Dengan suara parau, Tan Leng Ko kembali mengulangi ceritanya. Tapi reaksi
mereka benar benar diluar dugaannya.
"Sauya kami tidak mengenal kalian, tapi malah tewas karena membantu kalian.
Ceritamu sungguh sukar dipercaya"
Tan Leng Ko tertegun. Sepintas, ceritanya memang tidak masuk akal. Akhirnya ia memutuskan untuk berkata:
"Kuakui ceritaku sukar dipercaya, tapi memang begitulah kenyataannya"
Pemimpin rombongan Pak Sian Gin Siauw mendengus,
"Jika kau katakan Sauya kami tewas karena memperebutkan Mustika Kemala Pelangi masih mendingan, tapi dikarenakan membela kalian...." ia tidak meneruskan ucapannya, hanya tak hentinya tertawa dingin.
Tan Leng Ko cukup menyadari tiada gunanya berdebat dengan mereka,
tanyanya dengan singkat:
"Lalu apa yang hendak kalian lakukan?"
"Siapa yang bersalah, harus dihukum!"
"Ucapan bagus!" sela Khu Han Beng tiba tiba.
"Siapa kau bocah?"
Khu Han Beng menjawab perlahan:
"Aku boleh dibilang Sauya tempat ini"
"Apakah kau mengatakan, kau yang bertanggung jawab atas tewasnya sauya kami?"
"Benar!"
Diam diam tumbuh rasa kagum dihati pemimpin rombongan melihat seorang
bocah tanggung sudah berani bertanggung jawab, namun ia juga jadi ingin tahu:
"Bagaimana cara pertanggungan jawabmu?"
"Aku akan mencari mereka yang melakukan penyerbuan satu persatu" kata Khu Han Beng demi sekata.
"Kau akan mencari ratusan orang yang tidak ketahuan rimbanya satu persatu?"
tanya Tan Leng Ko kaget.
"Benar!" sahut Khu Han Beng pendek.
"Apakah kau mengenal siapa siapa yang menyerbu kemari?" tanya pemimpin rombongan tertarik.
"Aku hanya tahu satu dua nama saja"
"Dari mereka kau berharap mengetahui siapa siapa saja yang melakukan"
"Benar!"
"Apakah kau hendak membantai ratusan orang kang-ouw?" tanya Tan Leng Ko kuatir.
Khu Han Beng termenung sejenak, katanya dengan tawar:
"Aku tidak dapat membiarkan mereka tanpa menerima hukuman"
Pucat wajah Tan Leng Ko mendengar ucapan Khu Han Beng. Bocah menyendiri,
yang tidak begitu peduli dengan baik buruk atau salah benar, hanya mengikuti kemauan suara hatinya. Dengan kepandaian setinggi itu... Bergidik hati Tan
Leng Ko membayangkan apa yang bakal terjadi.
Tapi apa yang dapat ia lakukan" Budi pekerti tidak mungkin dapat ia terangkan hanya dengan satu dua hari, apalagi bocah ini hendak pergi. Untung hendak
pergi belajar ke siaulimsi, tentu disana akan diajarkan mengenai cara
menghargai kehidupan.
Tan Leng Ko termenung, watak bocah ini mirip dengan Giok Hui Yan yang juga
gemar membawa adat sendiri. Ciri adat seseorang yang biasa dimanja atau
biasa di kuti kemauannya. Tidak heran bila ayah atau anak buah gadis itu sering kewalahan menghadapinya.
Mengingat keadaan yang pernah dialami anak buah Giok Hui Yan menimbulkan
semacam pikiran dibenak Tan Leng Ko. Cepat ia bertukas:
"Pernahkah kau belajar cara memusnahkan kepandaian silat seseorang?"
"Ilmu itu termasuk bahagian ilmu urat nadi. yaa, pernah kupelajari"
"Orang persilatan menganggap kematian seperti pulang kandang. Tahukah kau hukuman yang paling kejam, yang paling mereka takuti?"
Khu Han Beng menggeleng.
"Orang persilatan paling takut jika kepandaian silat mereka lenyap untuk selamanya. Jika kau hendak menghukum mereka, musnahkan saja kepandaian
mereka hingga mereka menjadi orang biasa"
setelah terpekur sebentar. Akhirnya Khu Han Beng berkata hambar:
"Baik! Kumusnahkan kepandaian silat mereka"
Tan Leng Ko tidak dapat menutupi kesedihan hatinya, dia tidak punya pilihan lain, sedikitnya ia telah berusaha, menyelamatkan entah berapa banyak jiwa
manusia. Anehnya, pemimpin rombongan Pak Sian Gin Siauw malah tertawa, seperti telah mendengar hal yang lucu.
"Sekecil ini, sudah memiliki semangat besar. Hebat juga kau, sayang aku tidak mempercayai ucapanmu"
"Kau tidak percaya, aku mau melakukan hal itu?"
"Aku tidak percaya, kau mampu melakukan hal itu"
Khu Han Beng berpikir sebentar, lalu tanyanya dengan tenang:
"Lalu apa yang kau ingini?"
"Kuingin kau mengikuti kami pulang" kata pemimpin rombongan sambil menyerahkan guci abu jenazah kepada anak buahnya.
"Kenapa aku harus ikut kalian?"
"Karena aku tidak dapat mengambil keputusan, hanya toaya kami yang dapat memutuskan. Sebagai orang yang bertanggung jawab, sudah tentu kau harus
ikut kami pulang"
"Aku tidak dapat mengikuti kalian"
"Dapat atau tidak, kau harus ikut!" ancam pemimpin rombongan sambil tertawa seram tubuhnya berkelebat, tangannya bergerak cepat menotok.
"Beng-Sauya!" pekik Tan Leng Ko cemas.
Ia juga kuatir dan takut Khu Han Beng akan melakukan pembunuhan kembali.
Sungguh diluar dugaannya, ternyata pemimpin rombongan Pak Sian Gin Siauw
bukan saja berhasil menotok, malah dapat menggotong tubuh bocah itu dengan
mudah. Gesit Tan Leng Ko bergerak menghadang orang itu.
"Jika kau menghalangi kami, mungkin aku akan membunuhnya" ancamnya.
"Apakah kau tega membunuh seorang bocah?" kuatir Tan Leng Ko bercampur bingung. Ia tidak percaya orang ini mampu mengalahkan Khu Han Beng dengan
mudah. Tapi nyatanyta, tubuh bocah itu terselampir diatas pundak orang itu.
Apakah bocah itu sengaja mengalah"
"Aku tidak tega. Hanya jika kau tidak membiarkan kami pergi, biar kita sama sama merasakan rasanya kehilangan sauya"
"Apakah kalian hendak mengacau disini?" tegur Khu Han Beng tiba tiba.
"Iiihhh!" jerit orang itu tertahan. Cepat ia mengangkat tubuh bocah itu tinggi tinggi diudara sambil memandang dengan heran.
"Seharusnya kau tidak dapat berbicara" katanya dengan penuh selidik.
"Yaa, setelah tertotok seharusnya aku sudah tidak dapat berbicara"
Dengan pandangan mata bingung bercampur ngeri, tangan kanannya kembali
bergerak cepat, menotok dibeberapa tempat di tubuh Khu Han Beng. Kali ini ia memastikan ketepatan dan besar kecil tenaga yang dibutuhkan. Alangkah
kagetnya ketika ia masih mendengar bocah itu berkata:
"Aku tidak ingin kalian membuat keributan disini"
"Apakah jalan darahmu telah bergeser beberapa dim dari tempat aslinya?" tanya pemimpin rombongan dengan takjub.
"Akupun tidak tahu" jawab Khu Han Beng pendek.
Sambil membentak menghemposkan semangat, pemimpin rombongan kembali
menotok Khu Han Beng. Bukan hanya tepat dijalan darah, bahkan sekitar dan
sekeliling urat nadi tersebut tidak luput dari totokkannya.
Setelah puas dengan hasil kerjanya, pemimpin rombongan segera mengangkut
tubuh tubuh Khu Han Beng, melayang masuk kedalam kereta di kuti oleh anak
buahnya. Tan Leng Ko yang tidak mengerti kenapa bocah itu tidak melakukan perlawanan, segera melompat menghadang didepan kereta kuda. Tiba tiba matanya
terbelalak. Suatu pemandangan luar biasa membuat Tan Leng Ko terpana,
mulutnya terbuka lebar lebar!
Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda. Jelas bukan jenis kuda sembarangan, ditilik dari bentuk kepala segi tiga yang meruncing ramping dan otot ototnya yang menggempal. Empat ekor kuda tersebut tentu telah dilatih secara ketat, bukan saja derap kaki mereka berirama, bahkan langkah kaki mereka jatuh tepat dalam tempo yang sama. Betapa besar daya tarik yang dihasilkan dari gerakkan


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sukar untuk dibayangkan.
Dari busa yang keluar dari mulut kuda kuda tersebut, dan debu yang mengepul dari hentakkan enam belas kaki, mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk
maju kedepan. Anehnya, jarak Tan Leng Ko dengan empat kuda tersebut tidak
berubah! Kereta beroda menjadi sebuah benda yang tidak dapat digerakkan, menjadi
sebuah benda yang seperti terpantek mati, seperti dibebani sesuatu yang amat berat hinga melengket dengan tanah.
"kalian tidak dapat memaksaku untuk pergi dengan kalian" tiba tiba terdengar ucapan Khu Han Beng dari dalam kereta.
"Hentikan!" teriak pemimpin rombongan menyuruh kusirnya untuk menghentikan kudanya.
Timbul rasa iba dihati Tan Leng Ko melihat kaki binatang yang malang itu
gemetaran, peluh deras membasahi tubuh mereka di ringi nafas mereka yang
terengah-engah.
"Kau tidak boleh membunuh diri" kembali terdengar suara bocah itu dari dalam.
"Mati sekarang atau nanti, sama saja bagiku. Aku telah gagal menjaga Bok-Sauya" terdengar suara sedih pimpinan rombongan.
Tan Leng Ko ikut merasa sedih. Setelah menghela napas, ia menghampiri Khu
Han Beng yang perlahan turun dari dalam kereta. Bocah itu menggapai
tangannya kearah pohon siong yang tumbuh dekat tembok pagar.
Sehelai daun segar terpetik dari jarak puluhan kaki dan melayang lurus
ketangannya. Jari tangan Khu Han Beng seperti mengukir diatas daun segar
tersebut mengikuti bentuk sebuah simbol. Kemudian menyerahkannya kepada
pemimpin rombongan. Katanya:
"Berikan daun ini kepada Pak Sian Gin Siauw"
"Untuk apa?" tanya pemimpin rombongan yang menerimanya dengan bingung
"Terbunuhnya Bok-Sauya bukan karena kesalahanmu, melainkan karena telah membantu Lok Yang Piaukiok. Dengan menunjukkan daun itu kepada toayamu,
kujamin ia tidak akan menyalahkanmu lagi"
"Apa keistimewaan daun ini?" tanya pemimpin rombongan yang tidak mengerti.
Walau daun itu terdapat semacam goresan aneh toh tidak berbeda dengan daun
siong yang lain.
"Kau tidak paham, toayamu tentu mengerti"
Pemimpin rombongan menatap Khu Han Beng dengan tajam, namun ia tidak
bertanya lagi. Tak lama kemudian, ia mengajak rombongannya berlalu dari situ.
Bersama Khu Han Beng, Tan Leng Ko menyaksikan kereta kuda itu menghilang
dibalik tikungan. Setelah menghela napas, ia berkata:
"Sungguh diluar dugaanku, kau memutuskan untuk tidak melawan"
"Sauyanya tewas karena membantu kita, patutkah aku menyusahkan orang
orangnya yang setia dan sayang padanya?"
**********************************
Kereta kuda yang berlari kencang, hampir menabrak Khu Pek Sim yang sedang
menyeberang jalan. Segera ia menghindar sambil tertawa pahit ketika melihat kusir kereta itu malah memaki dan melotot padanya, seolah olah kesalahan
terletak pada dirinya.
Ia bersama Buyung Hong baru saja tiba di kota Tiang-an. Yang diluar
perhitungannya, kecuali peristiwa yang menewaskan Buyung Ki, boleh dibilang perjalanannya selama ini lancar, bebas dari segala keributan.
Mereka singgah disebuah tempat makan, memesan beberapa macam penganan
dan dua buah guci arak.
"Apakah kita telah tiba ditempat tujuan?" tanya Buyung Hong mendadak.
"Kenapa kau menduga kita telah tiba ditempat tujuan?"
"Sebab kau ingin cepat cepat sampai ditempat tujuan. Jika kita hanya melalui kota ini, paling banter kita hanya memesan makanan untuk dibawa, tidak makan disini"
Khu Pek Sim menghela napas panjang, akhirnya mengakui:
"Yaa, kita telah sampai"
Mendadak dengan wajah serius, Buyung Hong berkata:
"Apakah kau mengantar benda itu padanya?"
"Siapa yang kau maksud?"
Buyung Hong menjawab sepatah demi sepatah:
"Seorang yang bermarga Kho"
"Kenapa kau beranggapan demikian?"
"Karena dia adalah tokoh persilatan di kota Tiang-an yang paling berpengaruh.
Hanya dia yang menguasai empatpuluh sembilan jago rimba persilatan yang
beroperasi diantara dua tepi sungai besar hingga wilayah Kwangtong"
Khu Pek Sim menimbang sejenak, kemudian katanya:
"Yaa, benda itu harus kuserahkan kepadanya"
Melihat Khu Pek Sim seperti telah terbuka padanya, Buyung Hong tidak mau
menyia nyiakan kesempatan.
"Sebetulnya siapa yang menyerahkan benda itu kepadamu?"
Khu Pek Sim tidak menjawab, hanya meneguk araknya perlahan.
"Dua dari tiga persyaratanmu sudah kupenuhi. Begitu ada kesempatan, aku tentu menepati janjiku mengajarkan sebuah ilmu kepada cucumu..."
"Seorang gadis!" potong Khu Pek Sim tiba tiba.
Giliran Buyung Hong berdiam diri, ia juga meneguk araknya.
"Beberapa minggu lalu, sepucuk surat diatas sebuah peti mendadak muncul dimeja kerjaku. Tentu saja menarik perhatianku" cerita Khu Pek Sim perlahan.
"Apa yang menarik dari isi surat itu?"
"Isi surat itu biasa saja, hanya isi peti itu yang diluar dugaanku"
"Apa isinya?"
"Seribu tahil emas dibayar kontan hanya untuk membaca isi surat itu. Dan lima ribu tahil emas akan diberikan untukku jika aku melakukan perintah surat itu"
Pedang Darah Bunga Iblis 13 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bara Naga 13
^