Pencarian

Bunga Ceplok Ungu 2

Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Bagian 2


kepandaian tinggi, masakan hanya menunggu hari kematian di
atas gunung begini" Gajah meninggalkan gadingnya, manusia
meninggalkan namanya. Kalau saudara dapat melakukan
sesuatu bagi kesejahteraan negara dan bangsa, alangkah
baiknya untuk nama saudara turun temurun."
"Sebutan seorang pendekar besar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, itulah saudara yang berkata. Itu juga
saudara yang mengagung-agungkan. Aku sendiri, tidak!
Malahan seumpama aku ditanya seseorang siapakah pada
zaman ini yang pantas memperoleh sebutan seorang pendekar
besar berilmu kepandaian tinggi, tidak lain hanyalah Saudara.
Sekarang Sri Sultan sudah memperoleh bantuanmu, apa
faedahnya menarik-narik aku si tolol dan si goblok?"
Lagi-lagi Arya Wirareja tertawa tergelak.
"Hahaha, kau keliru Saudara! Keliru! Kau menyebut aku
sebagai seorang pendekar besar" Hmm, Sri Sultan menghargai
aku, karena di ibukota tiada orang lain kecuali diriku. Pangkat ini kuterima, tetapi sebenarnya untuk waktu sementara...
sampai datanglah orang yang tepat. Dan itulah Saudara!
Turunlah ke ibukota dan aku akan menyerahkan pangkat dan
jabatanku kepadamu."
"Saudara Wirareja! Ucapanmu ini benar-benar membuat
hatiku malu. Aku ini bisa apa?"
"Saudara Harya Udaya! Siapa yang tidak tahu akan sejarah kebesaranmu" Engkaulah pengawal andalannya Pangeran
Purbaya pada zaman itu. Engkaulah yang memimpin semua
laskar pejuang. Engkaulah yang mengepalai para pendekar.
Karena itu timbullah pikiran Baginda hendak memberi tugas
padamu. Tugas untuk memberi nasehat kepada mereka agar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meletakkan senjatanya. Syukurlah, bilamana mereka lalu mau
bekerja di bawah pemerintahan Baginda."
"Andaikata mereka tidak sudi menyerah?"
Untuk kesekian kalinya, Arya Wirareja tertawa. Katanya
lancar, "Aku percaya, saudara seorang laki-laki sejati yang sadar akan arti hidup ini. Cukuplah Saudara memberitahukan
kepadaku, dimanakah alamat mereka semua. Dan jasa ini
tetap jatuh ditangan-mu. Aku hanya merupakan salah seorang
pelaksanamu."
Mendengar ujar Arya Wirareja, Bagus Boang terkesiap
hatinya. Ia menunggu jawaban Harya Udaya dengan hati
berdebar-debar. Sudah semenjak tadi, Arya Wirareja
menyinggung-nyinggung nama ayahnya. Terang-terangan ia
menyatakan permusuhannya. Kalau sampai mempergoki
dirinya, pastilah akan terjadi suatu pertarungan mati hidup.
Dalam pada itu Harya Udaya seperti sedang menimbang-
nimbang sibuk. Sejenak kemudian terdengarlah jawabannya
berhati-hati. "Sudah lama aku meninggalkan teman-temanku. Aku
sendiri belum mengetahui perkembangan mereka yang
terakhir. Dimanakah mereka kini berada, akupun tidak jelas
lagi. Baiklah begini saja! Berilah aku waktu tiga atau empat bulan! Kau boleh datang kemari lagi dan aku akan
memberikan jawabanku yang pasti."
Terdengarnya ia masih dalam keadaan maju mundur.
Tetapi kata-katanya dapat diartikan juga bahwa setelah tiga bulan ia akan dapat menyerahkan daftar nama rekan-rekannya seperjuangan. Dengan begitu ia bermaksud
mengesankan kepada Arya Wirareja, bahwa ia akan bekerja
sesaksama-saksamanya. Dan jasa itu harus ditukar dengan
pangkat serta jabatan yang dijanjikan kepadanya. Memperoleh kesan demikian, Bagus Boang dongkol dan amat gusar.
Pikirnya, kau tadi mempermasalahkan nafsu perseorangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
antara keluarga sendiri yang membawa-bawa malapetaka
rakyat jelata. Kau tadi berkata tak sudi ikut campur lagi urusan tetek bengek. Tetapi nyatanya engkau berjanji hendak
membuka rahasia markas teman-temanmu seperjuangan
dengan jalan menyelidiki serta mendaftar namanya. Bukankah
engkau hendak mencelakai orang-orang gagah belaka"
Arya Wirareja tertawa puas. Ia percaya akan janji singa
Banten itu. Katanya, "Baiklah, setelah tiga bulan aku datang kemari. Sementara ini aku akan membuat laporan keduli Sri
Baginda agar mempersiapkan hak-hak Saudara. Sekarang
ijinkan aku pamit."
Harya Udaya tidak menahannya. Ia mengantar sampai di
halaman. Waktu itu bulan mulai bercahaya. Kecerahannya
cukup menyibakkan tirai malam di atas gunung, la merenungi
kepergian Arya Wirareja selin-tasan. Kemudian berjalan
perlahan-lahan menghampiri pohon kamboja yang tumbuh di
depan jendela. Ia berhenti merenungi bunganya yang putih
bersih. Kemudian bersenandung perlahan,
kaulah kamboja tempat manusia mati
menyampaikan salamnya yang sejati
dengan pedang panjang mengarungi bumi
akhirnya hanya kebagian empat meter persegi
Terharu hati Bagus Boang mendengar bunyi senandungnya.
Pikirnya, Harya Udaya ini ternyata seorang yang halus pula
budinya. Kalau tidak, masakan dapat bersenandung segala. Ia bersenandung tentang pohon kamboja yang tumbuhnya
seringkali di atas pekuburan. Tapi dia sengaja menanam
pohon itu di depan jendela. Apakah bermaksud melukiskan diri sendiri yang berniat menunggu hari kematian di sini" Teringat bahwa ibunya menanam pohon kamboja di depan jendela juga
hatinya terguncang. Ia merasakan suatu persamaan.
Persamaan apakah itu, ia sendiri tidak dapat mengerti. Dia
dikenal sebagai seorang pengkhianat. Rasanya tidak pantas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkin pula ada alasan tertentu. Hanya alasan apa itu" dia berpikir lagi.
Selagi ia berpikir demikian, ia mendengar langkah
mendatangi halaman. Bagus Boang heran. "Mengapa Arya
Wirareja datang kembali?" Ia mengangkat kepalanya,
mengintip keluar jendela. Sesosok bayangan manusia datang
memasuki halaman. Setelah diamat -amati ia kaget sampai
berjingkrak. Ternyata yang datang Suryakusumah.
Harya Udaya nampaknya heran pula. Tetapi dia seorang
jago yang sudah banyak pengalamannya. Dalam keherannya
ia lantas waspada. Dengan mengerling mata ia mengawaskan
tamu yang tidak di undang itu. Kemudian bertanya dengan
tawar. "Kau mencari apa" Hampir tengah malam engkau
datang kemari. Siapakah engkau, Tuan muda?"
"Aku Suryakusumah," sahut pemuda itu.
"Aku datang kemari atas perintah guruku Ganis Wardhana.
Beliau menanyakan kesehatanmu."
Harya Udaya terperanjat bercampur heran. Dengan air
muka berubah, dia berkata penuh selidik.
"Kulihat usiamu masih muda belia. Kenapa sudah berani
bermain dusta dihadapan-ku" Bukankah Ganis Wardhana
sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu?"
Ganis Wardhana dan Naganingrum adalah pewaris ilmu
sakti Syech Yusuf. Pada zaman perjuangan melawan Kompeni
Belanda, Syech Yusuf membentuk suatu himpunan laskar
rakyat dengan nama Himpunan Sang-kuriang. Setelah dia
dibuang keluar Jawa, Ganis Wardhana menduduki kursi
pimpinan. Suryakusumah kini menyebut-nyebut Ganis
Wardhana sebagai gurunya. Sudah barang tentu hal itu
mengherankan Bagus Boang.
Tak kukira Suryakusumah murid Ganis Wardhana, pikir
Bagus Boang. Pantas saja jurusnya yang aneh dapat memukul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dadaku dengan tepat. Dan Harya Udaya ini meskipun
selamanya hidup di atas gunung, ternyata tajam
pendengarannya. Ia ketahui juga, wafatnya Paman Ganis
Wardhana. Kalau begitu, jangan-jangan ia sudah mengetahui
juga dimanakah pendekar-pendekar pembela negara kini
berada. Dia hanya berpura-pura pandir di depan Arya
Wirareja. Memikir demikian ia sadar akan keliudayanan
lawannya. "Benar," sahut Suryakusumah. "Justru Beliau sudah wafat, timbullah keputusanku hendak datang kemari menyampaikan
titahnya. Apakah Bibi sehat-sehat saja" Bolehkah aku datang menghadap padanya?"
Harya Udaya menaikkan kernyit dahinya. Ia mencurigai
pemuda itu. Menimbang bahwa Suryakusumah berhak
memanggil isteri-nya dengan bibi, ia lalu tertawa dingin.
Katanya menyahut, "Sudah sepuluh tahun lewat, isteriku tak mau lagi berhubungan dengan dunia luar. Karena itu tak usah engkau menemuinya. Sewafatnya Ganis Wardhana, rekan
Anden Suriadiraja menggantikan kedudukannya. Apa sebab
paman gurumu itu tidak datang sendiri" Seumpama dirasakan
kurang tepat, mestinya sebelum meninggal gurumu bisa
datang kemari pula. Mengapa justru engkaulah yang
diperintahkan" Bukankah tidak tepat sekali?"
Suryakusumah tertawa dingin pula. Dengan lancar, pemuda
itu berkata: "Paman Harya Udaya, kau memang manusia
liudayan. Pastilah kau sudah mengetahui latar belakang
kedatanganku ini, tetapi berlagak bodoh. Guruku dan Bibi
Naganingrum adalah saudara sekandung. Mengingat hal itu,
Guru tidak mau mengambil kitab Syech Yusuf yang ada
padamu. Dia menyabarkan diri. Sekarang Beliau sudah wafat.
Menurut pendapatmu apakah sudah selayaknya bila ilmu
warisan Syech Yusuf itu disimpan di sini. Buku ilmu pedang itu milik Himpunan Sangkuriang. Paman Harya Udaya sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pinjam selama dua puluh tahun. Masakan kurang tepat
bilamana Himpunan Sangkuriang meminta bukunya kembali?"
"Hm," dengus Harya Udaya. Kemudian ia tertawa melalui hidungnya. "Berapa kali kau membawa-bawa nama Himpunan Sangkuriang. Apakah kau mendapat titah pula, bahwa
sesudah memperoleh kembali kitab tersebut, maka kau akan
menduduki kursi pimpinan Himpunan Sangkuriang?"
"Sebenarnya Suryakusumah seorang pemuda tolol. Hanya
karena menerima pesan Guru, terpaksa aku menerima wasiat
Himpunan Sangkuriang itu," jawab Suryakusumah. Ia berhenti sejenak. Lalu meneruskan, "Baiklah, memang benar! Tetapi sebelum aku mendapatkan kembali buku wasiat Himpunan
Sangkuriang tak mau aku melakukan tugas mulia itu."
"O, begitu?" Harya Udaya tersenyum mengejek. "Kecuali kau siapa lagi yang tahu buku ilmu pedang Syech Yusuf
berada di tanganku?"
"Aku baru mengetahui delapan bulan yang lalu," sahut Suryakusumah. "Tentang hal itu, Paman Anden Suriadiraja memberi keterangan begini. Buku warisan Syech Yusuf
termasuk pedang Sangga Buwana adalah milik Himpunan
Sangkuriang. Tetapi mengingat bahwa Bibi Naganingrum
adalah pewaris almarhum Syech Yusuf, maka guruku Ganis
Wardhana membiarkan saja urusan tersebut sampai dua puluh
tahun lebih. Pastilah Paman sudah cukup untuk memahami.
Nah, bukankah sikap guruku itu karena menghargai Paman
dan Bibi?"
Harya Udaya menarik napas. Namun masih saja ia bersikap
dingin. Dengan tertawa melalui hidungnya, ia menyahut:
"Meskipun buku itu milik Syech Yusuf, tapi sebenarnya bukan milik Himpunan Sangkuriang. Aku berani bertaruh, bahwa
gurumu Ganis Wardhana belum pernah melihat buku
tersebut."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar," kata Suryakusumah. "Kitab ilmu pedang Sangga Buwana itu adalah udayaptaan
Arya Wira Tanu Datar. Kemudian jatuh di tangan Kakek
Guru Syech Yusuf. Kakek guru seorang penudayapta ilmu sakti Nokilalaki Lampobatang (Nama dua gunung di Sulawesi Syech
Yusuf dari Makasar) sebagai peringatan asal usul Beliau.
Mendengar keterangan Guru tentang ilmu pedang Arya Wira
Tanu Datar yang dibawa Bibi Naganingrum, timbullah ilham
guruku hendak manunggalkan kedua ilmu sakti tersebut demi
kejayaan laskar perjuangan yang tergabung dalam Himpunan
Sangkuriang. Inilah wasiat yang kuterima. Dikemudian hari,
akulah yang wajib melaksanakannya."
"Bagus! Kau seorang pemuda yang bersemangat!" potong Harya Udaya. "Kau mendongeng tentang kakek gurumu
segala. Adakah kau pernah mendengar sendiri dari mulut
kakek gurumu bahwa buku ilmu pedang itu berada di tangan
isteriku?"
"Paman Harya Udaya!" bentak Suryakusumah penuh sesal.
"Engkau seorang pendekar besar yang kenamaan. Tetapi
heran aku, mendengar engkau mengucapkan kata-kata itu.
Engkau seolah-olah menyangkalnya. Mustahillah bahwa
engkau menghendaki saksi-saksi dan bukti-bukti segala
tentang beradanya buku tersebut di sini. Kau tadipun sudah
mengakui."
Didamprat demikian, betapapun juga muka Harya Udaya
berubah menjadi merah. Sekarang ia menyahut dengan suara
keras, "Jika engkau membawa surat wasiat Syech Yusuf untuk meminta kembali kitab ilmu pedang itu, mungkin aku akan
memberikan. Syech Yusuf tidak mempunyai pewaris wanita
lain kecuali isteriku. Karena itu, buku tersebut diberikan
kepadanya. Gurumu Ganis Wardhana tahu tentang hal itu.
Karena itu, tak mau ia datang untuk memperebutkan."
Mendengar serentetan tanya jawab itu, hati Bagus Boang
berdebar-debar. Pikirnya, pantas, tatkala Ratna Permanasari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memainkan ilmu pedang tadi pagi, ia diwajibkan menyanyi-
menyanyi. Menyanyikan lagu peringatan terhadap Arya Wira
Tanu Datar di zaman Mataram. Tak tahunya, dialah seorang
ahli pedang tanpa tandingan di zaman itu. Sekarangpun ia
mewarisi sebuah kitab udayaptaannya. Dan aneh pula
Suryakusumah ini. Siapa mengira, bahwa dia pewaris ketua
laskar himpunan! Ah, benar-benar sepadan andaikata dia
didampingi Fatimah di kemudian hari.
Dalam pada itu, ia mendengar Suryakusumah tertawa
panjang. Itulah suara tertawa yang sering didengarnya apabila pemuda itu gusar.
"Ah, kiranya beginilah Harya Udaya yang pernah
menggetarkan dunia dua puluh tahun yang lampau," katanya mengejek.
Mendengar ejekannya, Harya Udaya yang merasa diri
pantas menjadi ayahnya gusar. Lalu membentak dengan suara
sengit, "Hm, sekalipun gurumu sendiri yang datang, tak bakal dia berani mengucapkan kata-kata demikian terhadapku. Kau
mahluk apa sampai berani mengumbar mulut didepanku?"
Suryakusumah tidak gentar. Matanya menyala bagaikan
harimau. Ia menyahut dengan tegas, "Semenjak aku mendaki gunung ini, aku tak memikirkan lagi mati hidupku. Hanya
kukhawatirkan, manakala kematianku akhirnya tersiar luas,
Paman Anden Suriadiraja pasti akan membaca surat wasiatku
yang berada dalam kamarku. Mungkin kau tak gentar
menghadapi Paman Anden Suriadiraja. Tetapi Himpunan
Sangkuriang bersendikan pendekar-pendekar besar di seluruh
Jawa Barat yang ratusan orang jumlahnya. Kompeni Belanda
sendiri segan berlawanan dengan terang-terangan. Entahlah,
kalau Harya Udaya kekasih malaikat...."
Mendengar ucapan Suryakusumah, hati Harya Udaya
gentar juga. Namun tak sudi ia kalah gertak. Serunya nyaring,
"Aku Harya Udaya! Sepanjang hidupku belum pernah aku
kena gertak. Jika aku tak sayang pada umurmu yang masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
muda, udayata-udayatamu, ke-beranianmu, semangatmu dan
hari depanmu, hm.... sudah semenjak tadi aku membi-
nasakanmu. Jadi kau benar-benar menghendaki kitab ilmu
pedang itu?"
Ucapan Harya Udaya itu mengandung pernyataan keras
dan lunak. Bagus Boang yakin, bahwa Suryakusumah yang tak
kenal takut itu akan membalas dengan kata-kata keras pula.
Ternyata dugaannya meleset sama sekali. Suryakusumah tidak
bersikap keras lagi, tapi sebaliknya malahan terdengar
setengah memohon. Heran Bagus Boang, sampai ia
menempelkan telinganya pada dinding rapat-rapat
"Memang semenjak aku masih kanak-kanak, kau berangan-
angan ingin menjadi seorang ahli pedang tiada tandingnya lagi di kolong langit ini," kata Suryakusumah. "Kau ingin menjadi seorang ahli nomer wahid. Ingin menjadi pendekar maha
besar yang akan merajai orang-orang gagah pada zaman ini.


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, betapa engkau sudi mengembalikan kitab ilmu
pedang itu kepada yang berhak menyimpannya. Aku tahu hal
itu." Ucapan Suryakusumah itu benar-benar mengenai
sasarannya, sampai paras muka Harya Udaya berubah hebat.
Pendekar itu lalu membentak dengan suara menggeletar,
"Bagus! Kalau kau sudah tahu, mengapa datang kemari?"
"Baiklah, jika engkau tak sudi mengembalikan kitab ilmu pedang itu," ujar Suryakusumah dengan suara sabar. "Tetapi engkau harus mengembalikan seseorang kepadaku. Aku
berjanji, setelah orang itu kau kembalikan kepadaku, aku tak akan membicarakan lagi perkara kitab curian Syech Yusuf
sepanjang umurmu."
Mendengar bunyi perkataan Suryakusumah, Harya Udaya
tercengang sampai terhenyak. Benarkah ia mau menukar
kedudukan Ketua Himpunan Sangkuriang dengan seseorang"
Siapakah orang itu, sampai dia pun dengan rela menyerahkan
kitab ilmu pedang Syech Yusuf yang semenjak lama menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
incaran pendekar-pendekar" Mendadak ia curiga. Wajahnya
lantas menjadi tegang. Katanya penuh ancaman, "Berkatalah, siapa yang kau maksudkan itu! Bila salah kata, telapak
tanganku ini akan memecah kepalamu."
Harya Udaya merasa diri mengkhianati junjungannya.
Karena takut kena balas rekan-rekannya seperjuangan, ia
selalu waspada.
Lambat laun sikap kewaspadaannya itu berubah menjadi
semacam penyakit mencurigai segalanya. Ia takut kena balas, di-samping pula takut isterinya direnggut dari padanya.
Karena kecuali dirinya sendiri, ia menudayantai isterinya
dengan segenap hatinya. Pada saat itu, ia memandang paras
Suryakusumah dengan berbagai macam dugaan. Apakah
pemuda ini datang dengan maksud hendak mengambil
kembali kitab ilmu pedang isterinya atau bermaksud pula
meminta isterinya atas nama keluarga Ganis Wardhana"
Ataukah pemuda ini pernah melihat Ratna Permanasari dan
kemudian diam-diam jatuh udayanta kepadanya" Dan
sekarang hendak menukarnya dengan kitab ilmu pedang" Dia
boleh menanjak menjadi seorang pendekar besar pada
dewasa itu, tetapi semua dugaannya sama sekali meleset.
Suryakusumah waktu itu mundur dua langkah karena
melihat ancaman Harya "daya yang bengis, la tahu, Harya
Udaya bukan sembarang orang, namun hatinya tak gentar.
Berkatalah dia dengan suara tegas, "Aku minta serahkan kembali Bagus Boang!"
Mendengar nama orang yang disebutkan, Harya Udaya
benar-benar tercengang.
"Apa?" serunya tak mempercayai pen: dengarannya sendiri.
Lalu menegas, "Bagus Boang" Siapa Bagus Boang itu?"
"Hm, jangan kau berlagak tak tahu!" bentak
Suryakusumah. "Kuda putihnya Bagus Boang kulihat tertambat pada pohon diluar. Baiklah, seumpama dia kau persalahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena memusuhi dirimu, tetapi masakan engkau seorang
pendekar besar hendak membinasakan seseorang yang
sedang menderita luka parah?"
Harya Udaya berpikir sejenak. Lalu sadarlah apa maksud
Suryakusumah. Katanya minta pembenaran. "Bukankah Bagus Boang seorang pemuda menderita luka parah yang telah
ditolong anakku Ratna Permanasari" Dengan sebenarnya, aku
belum melihatnya. Aku baru tiba kembali di rumah. Aku
mendengar kabar, ia tidur di kamar depan ini. Hai, apa sebab ia memusuhi aku?"
Suryakusumah seperti tidak mendengar kata-kata Harya
Udaya. Dengan berlagak menekan lawan, ia berkata: "Nah, bagaimana" Sebuah kitab ilmu pedang wanita Syech Yusuf
kita tukar dengan seorang pemuda. Pastilah tiada rugimu."
Mendengar ujar Suryakusumah yang menempatkan narria
Bagus Boang di atas kitab ilmu pedang, penyakit kecurigaan
Harya Udaya timbul kian tegang. Dengan penuh selidik ia
minta keterangan, "Sebenarnya, siapakah Bagus Boang itu, sampai kau mau menukarnya dengan kitab ilmu pedang Syech
Yusuf" Ini berarti pula, bahwa engkau rela mengorbankan
kedudukanmu sebagai Ketua Himpunan Sangkuriang
dikemudian hari demi pemuda yang kau sebutkan tadi. Eh,
siapa dia" Siapa dia yang begitu berharga?"
Suryakusumah tercengang mendengar ucapan Harya
Udaya. Nampaknya pendekar besar itu benar-benar belum
mengetahui perihal Bagus Boang. Dengan menatap wajah
Harya Udaya yang bengis, ia berkata: "Bagus Boang terluka parah karena kena pukulanku. Kalau ia binasa karena tak
dapat melawan dirimu disebabkan luka parahnya, apa kata
kaum pendekar terhadap diriku" Itulah sama halnya aku
membantu seorang pengkhianat!"
Mendengar kata-kata Suryakusumah yang bersifat ksatria
itu hati Bagus Boang menjadi terharu. Sebaliknya, Harya
Udaya yang merasa dirinya telah berkhianat terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
junjungannya kaum pendekar, bertambah gelap pikirannya.
Dengan tertawa tergelak-gelak ia menyahut, "Aku, Harya Udaya, yang pernah malang melintang di seluruh persada
bumi Priangan semenjak puluhan tahun yang lalu, baru hari ini mendengar suatu kejadian yang aneh. Benarkah ada suatu
kejadian, seorang calon ketua kaum pendekar, rela
mengorbankan kedudukannya untuk ditukarkan dengan
musuhnya" bagus! bagus! Nampaknya engkau seorang ksatria
jempolan!"
"Tak berani aku menerima pujianmu itu!" sahut
Suryakusumah dingin. "Di dalam perkara Bagus Boang, aku tidak hanya bersedia mengorbankan kedudukanku di
kemudian hari, tapipun bersedia mengorbankan jiwaku."
"Bagus! Kalau begitu bersedialah mampus!" bentak Harya Udaya garang. Dan dengan sebat ia melompat menerkam.
Kedua jarinya yang tajamnya tak ubah dua batang baja
menyambar kepala Suryakusumah.
BAGUS BOANG KAGET BUKAN KEPALANG menyaksikan
sambaran yang begitu cepat. Itu serangan tak terduga sama
sekali. Gurunya pendekar Mundinglaya terkenal akan
kegesitannya, namun dibandingkan dengan kecepatan Harya
Udaya, mungkin pula takkan mampu menangkis. Apalagi
Suryakusumah. Memang Suryakusumah terperanjat menghadapi serangan
itu. Dia sudah menduga bahwa lawannya seorang jago yang
sudah terkenal sejak dua puluh tahun yang lalu. Namun sama
sekali tak diduganya bahwa kecepatannya begitu tinggi. Tiada kesempatan lagi ia hendak menangkis atau mengelak. Dengan
memejamkan kedua matanya ia menunggu tibanya maut.
Tetapi ia seorang pemuda yang tak pernah mengenal takut.
Masih ia melontarkan tinjunya ke arah kepala Harya Udaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua belah pihak berhadap-hadapan. Jaraknya hanya dua
langkah. Baik serangan Harya Udaya maupun lontaran tinju
Suryakusumah pasti mengenai sasaran. Tetapi kesudahannya
membuat hati Bagus Boang kagum. Mereka berdua tiada
kurang suatu apa. Tiba-tiba saja tubuh Harya Udaya
berkelebat seperti lenyap. Dan tinju Suryakusumah menghajar batang kamboja yang. seketika itu juga patah berantakan
dengan suara gemuruh. Dan mahkota daunnya rontok
bertebaran. Suryakusumah tercengang. Ia tak merasakan sesuatu.
Seluruh anggota tubuhnya tiada yang merasa sakit. Pada saat itu terdengarlah suara disampingnya.
"Ah, benar! Kau benar-benar murid Ganis Wardhana!"
Suryakusumah kaget. Mau ia berputar, mendadak pipinya
terasa dingin. Dua jari mengusap pipinya lembut lembut.
Tentu saja hatinya tercekat. Terus saja ia berputar dengan
mengerahkan seluruh tenaganya. Kemudian kedua tinjunya
memukul dengan berbareng. Biarpun Harya Udaya tinggi
ilmunya, tapi kena serangan demikian, pastilah dadanya akan jebol. Diluar dugaan, tenaganya seperti hilang terhisap. Ia memukul suatu sasaran yang lunak. Karena itu ia heran
bercampur kaget.
Dari balik dinding Bagus Boang dapat mengintip
pertarungan permulaan itu dengan jelas. Hebat gempuran
Suryakusumah. Tetapi dengan jurus yang sederhana Harya Udaya dapat
menggagalkannya. Kemudian dengan sebat, jari-jarinya
menyambar iga-iga. Suryakusumah sadar akan bahaya itu.
Sayang terlambat. Tahu-tahu tubuhnya mati kaku. Dan ia
roboh terguling tanpa dapat berkutik.
Kagum luar biasa Bagus Boang menyaksikan cara Harya
Udaya melayani Suryakusumah. Hanya dua jurus belaka,
namun cukup merebahkan tokoh seperti Suryakusumah.
Sekarang ia percaya benar akan kabar berita tentang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketangguhan pendekar itu. Benar-benar ilmu kepandaiannya
sudah mencapai puncak kesempurnaan. Melihat dia mahir
berkelahi dengan tangan kosong, maka Bagus Boang tak
sangsi lagi bahwa ilmu pedangnya pun pasti susah diraba
kehebatannya. Tak terasa ia menghela napas. Katanya dalam
hati, aku mendaki Gunung Patuha memang dengan elan
hendak mati. Tapi tak kusangka sama sekali bahwa terjadinya begini cepat. Malam ini, ya malam ini aku akan berangkat
pergi memasuki dunia baru.
Hati-hati ia meloloskan sarung pedangnya. Segera ia
hendak membuka pintu dan terus menerjang. Betapapun juga,
Suryakusumah sudah berusaha merebut jiwanya. Dan pemuda
itu diiuar dugaannya ikhlas pula mengorbankan jiwanya, la
sadar, bahwa ilmu kepandaiannya tidak lebih tinggi daripada Suryakusumah. Namun ia tak "menghiraukan akibat
terjangannya nanti. Malu rasanya bila ia menggunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri.
Ia malu pada diri sendiri dan malu pula kepada
Suryakusumah yang bersifat seorang ksatria sejati. Masakan
dia akan membiarkan Suryakusumah tertengkurap di tangan
musuh" Tetapi baru saja kakinya hendak meloncat menerjang
pintu, tiba-tiba ia mendengar langkah kaki ringan dari dalam rumah. Dan muncullah Ratna Permanasari dengan wajah
pucat. "Ayah! Apa yang terjadi?" seru Ratna Permanasari dengan suara manis. Gadis itu mengira ayahnya telah menghajar
Bagus Boang. la mendekati ayahnya.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi," jawab ayahnya. "Hanya kurcaci cilik mencoba-coba membuat onar di sini. Karena
kelancangannya terpaksa aku membekuknya."
"Ah, kurcaci manakah yang berani lancang masuk kemari
tanpa seijin Ayah?" ujar Ratna Permanasari. Segera ia
menghampiri dengan membawa pelita. Dan begitu melihat
tubuh Suryakusumah menggeletak tak berkutik, ia lega hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bercampur heran. Tatkala ia mengamat-amati raut mukanya,
ia bertambah heran. Ini bukan kurcaci cilik yang mencoba
hendak membuat onar, pikirnya. Karena wajah pemuda itu
luar biasa gagah kesannya. Meskipun tubuhnya tak dapat
berkutik lagi, namun sinar matanya tajam. Ia menatap wajah
ayahnya tanpa gentar sedikit-pun. Masakan dia pantas di
sebut kurcaci?"
Oleh kesan ini, Ratna Permanasari menoleh pada ayahnya.
Juga ayahnya memperlihatkan rasa heran pula. Selagi
demikian, ayahnya berkata kepadanya: "Ratna! Kau membawa apa?"
Ratna Permanasari membawa sepasang baju dan celana
panjang. Itu pakaian Bagus Boang yang dicuudayanya tadi
pagi karena kena gumpalan darah. Sebagai gantinya, Ratna
Permanasari mengenakan pakaian ayahnya kepada Bagus
Boang. Pemuda itu sendiri semenjak tadi pagi sibuk
mengenangkan tentang dirinya, sehingga tidak
memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Sekarang
pakaian Bagus Boang sudah kering dijemurnya. Tatkala
sedang dalam perjalanan ke kamar Bagus Boang, gadis itu
mendengar suara ribut-ribut di luar. Dalam tergopoh-
gopohannya ia lari ke halaman sambil membawa pakaian
kering itu. Tadinya ia mengira ayahnya memergoki Bagus
Boang. Melihat yang dihajar ayahnya bukan Bagus Boang,
hatinya bersyukur. Tapi sekarang ayahnya minta keterangan
tentang pakaian yang dibawanya. Seketika itu juga, wajahnya menjadi merah dan mulutnya jadi tergugu. Sulit ia menjawab.
"Ini... kepunyaan... orang itu."
"Kepunyaan siapa" Bagus Boang?" Ayahnya menegas
"Benar," sahut Ratna Permanasari dengan suara perlahan.
Tiba-tiba suaranya berubah bernada tinggi. "Eh, kapan Ayah mengenal namanya" Apakah Ayah pernah bertemu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Udaya melihat kegopohan dan keheranan puterinya.
Ia hanya mendengus. Lalu berkata memerintah. "Berikan
kepadanya! Lantas kausuruhlah keluar menemui aku!"
Ratna Permanasari kenal lagak lagu ayahnya. Begitu
mendengar perintah ayahnya yang mengandung ancaman, air
mukanya berubah. Kelopak matanya mendadak basah tanpa
disadarinya sendiri. Lalu berkata mencoba. "Ayah! Dia baru saja sembuh. Kenapa Ayah bersikap keras terhadapnya"
Sekiranya Ayah ingin berbicara, masakan tidak bersabar lagi sampai esok hari. Mustahillah bahwa ia seorang jahat."
Tetapi baru saja Ratna Permanasari menjelaskan kata-
katanya, tiba-tiba pintu kamar terjeblak. Dan muncullah Bagus Boang dengan pedang ditangan.
"Tak usah engkau berpayah-payah menyuruh anakmu
memanggil aku. Ini aku!" kata Bagus Boang. Suaranya lancar, jelas dan tegas.
Tatkala itu, Ratna Permanasari telah me-naruhkan pelitanya
di atas meja serambi depan. Diluarpun bulan memancarkan
caha-nya yang cukup cerah. Harya Udaya melihat perawakan
dan wajah Bagus Boang dengan jelas, la heran menyaksikan
keberanian pemuda itu. Setelah diamat-amati raut wajahnya,
hatinya terkesiap. Pikirnya dalam hati, aku seperti pernah
melihat dia, tapi di mana"
Sudah lama ia tak pernah turun gunung. Karena itu jarang
ia bertemu dengan manusia. Tetapi heran, ia seperti pernah
melihat wajah dan perawakan Bagus Boang. Hanya kapan dia
pernah bertemu tak dapat ia mengingat-ingat. Yang terang,
kini ia menghadapi seorang pemuda satu lagi yang tidak
mengenal takut.
"Ayah! Tanyailah dia dengan baik-baik!" Ratna Permanasari memohon. "Baru saja ia sembuh. Karena itu janganlah Ayah sampai membuatnya kaget."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Heran, Harya Udaya mendengar ucapan gadisnya. Sebagai
seorang Ayah yang telah berpengalaman, itulah kata-kata
yang mempunyai arti dalam. Namun ia tak mau mengerti.
Dengan garang ia menyahut, "Ratna! Kau minggirlah! Dan tutup mulutmu!"
Belum pernah ayahnya bersikap segarang itu kepadanya.
Perasaannya tertusuk dan hatinya terasa pedih. Merasa diri
tak dapat berbuat lain, ia menghampiri pohon kamboja.
Kemudian berdiri bersandar punggung seraya menatap
ayahnya dengan memandang pilu.
Dalam pada itu terdengar ayahnya membentak Bagus
Boang dengan suara menggeledek. "Hai anak muda! Benar-
benar kau berhati gede sampai berani berlagak begini di
rumah ini. Hm...hm... Siapakah yang memerintahkanmu
kemari?" "Itulah paman-paman serta rekan-rekan seperjuangan,"
jawab Bagus Boang dengan tegas. "Mengapa?"
Mendengar jawaban Bagus Boang, Harya "daya menyapu
dengan pandangnya yang tajam. Setelah merenung sejenak,
ia berkata menyelidiki: "Kalau begitu, ayahmu pasti bekas rekanku pula. Siapakah namanya" Apakah jabatannya semasa
mengabdi kepada Pangeran Purbaya?"
Heran Ratna Permanasari mendengar ucapan ayahnya. Apa
sebab ayahnya dengan cepat dapat menebak asal usul
pemuda itu" la tak tahu, bahwa dengan sekali pandang saja
ayahnya sudah dapat mengenal pedang Bagus Boang. Itu
disebabkan ayahnya seorang ahli pedang jempolan.
Bagus Boang tidak menyadari keahlian mata Harya Udaya.
Dia pun heran sampai tertegun sejenak. Kemudian mundur
selangkah dengan memegang pedangnya erat-erat. Semakin
bulatlah hatinya, hendak melawan Harya Udaya mati atau


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup. Karena lawannya ternyata sudah dapat menebak asal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
usulnya dengan tepat. Hanya saja ia sangsi. Suara Harya
Udaya tidaklah segarang tadi, meskipun tetap teguh.
Pemuda itu tahu, bahwa ayahnya justru Pangeran Purbaya
yarig di sebut Harya Udaya. Ibunya sendiri tidak pernah
membicarakan perjuangan ayahnya berkepanjangan. Tetapi
Guru dan paman-paman gurunya yang mewarisi ilmu
andalannya masing-masing tidak dapat melupakan ke-
perwiraan dan kegagahan ayahnya. Itulah sebabnya, hatinya
berdebar-debar mendengar nama ayahnya disinggung Harya
Udaya. Pada saat itu ia membayangkan betapa gagah
pendekar pedang Harya Udaya pada zaman mudanya
disamping ayahnya. Sayang, sekarang dia justru ditugaskan
untuk membinasakan ahli pedang itu.
Melihat Bagus Boang mundur, Harya Udaya maju selangkah
dengan pandang curiga.
"Jawablah pertanyaanku! Cepat!" bentaknya mengguntur.
"Dengan memandang bekas-bekas rekan seperjuanganku kau dapat kuampuni jiwamu. Tapi jawab dahulu dengan terus
terang siapa ayahmu?"
Bagus Boang tidak gentar. Bahkan hatinya kini mendadak
terasa sakit mendengar nada pertanyaan Harya Udaya yang
berkesan seolah-olah memandang rendah ayahnya. Lantas
saja ia membentak pula dengan suara keras. "Mustahil engkau masih menghargai dan menyayangi rekan-rekan
seperjuanganmu. Bagimu yang penting justru hendak
melaporkan alamat teman-temanmu seperjuangan. Bagus,
jiwa rekan-rekanmu akan kau tukar dengan suatu tanda jasa."
Hebat sindiran itu bagi pendengaran Harya Udaya.
Sebenarnya tadi, ia sudah mau mendengarkan permohonan
puterinya hendak memperlakukan Bagus Boang dengan
istimewa. Apalagi, ia sudah dapat mengenal pedang yang
berada di tangan anak muda itu. Tetapi sekarang pemuda itu
justru menusuk lukanya yang paling parah. Ia heran dan
gusar. Lantas saja mendesak. "Ah! Kau bisa bangun secepat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu setelah meneguk air Tirtasari. Nyatalah, bahwa engkau
memiliki ilmu kepandaian pula. Hm... hm... jadi engkau telah mendengar pembicaraanku tadi dengan Arya Wirareja?"
"Memang aku telah mendengar semua pembicaraanmu
dengan jelas. Sepatah ka-tapun tak terlepas dari
pendengaranku," sahut Bagus Boang tanpa gentar sedikitpun.
Mendengar jawaban Bagus Boang, tanpa berkedip lagi
Harya Udaya menatap padanya. Membentak, "Sebenarnya,
apa perlumu datang kemari" Apakah juga perkara buku ilmu
pedang?" "Aku datang kemari atas perintah Guru dan bekas kawan-
kawan seperjuanganmu untuk membinasakan dirimu. Manusia
yang tidak kenal budi lagi. Manusia yang menamakan dirinya
seorang pendekar besar, tapi yang sampai hati hendak
menjual teman-teman seperjuangan untuk ditukarkan dengan
pangkat mentereng...."
Mendengar ucapan Bagus Boang, Ratna Permanasari kaget
luar biasa sampai wajahnya menjadi pucat.
"Apa?" jeritnya. "Engkau hendak membunuh ayahku?"
Sebaliknya Harya Udaya tertawa terbahak-bahak. Dengan
mengulum senyum merendahkan, ia berkata: "Kau ini hendak membunuh aku" Apakah andalanmu?"
"Jangan terlalu sombong," bentak Bagus Boang dengan hati panas. "Meskipun aku bukan tandinganmu, tapi sekarang sadarlah engkau, bahwa di kolong langit ini masih ada
manusia yang tak takut kehilangan nyawa demi mengabdi
kepada udayata-udayata luhur. Sebaliknya, semoga kau sadar, bahwa manusia yang senang menjual nama untuk
kepentingan diri sendiri, bakal diasingkan oleh teman-
temanmu seperjuangan, tanah air dan alam itu sendiri. Kalau tidak percaya, boleh kau coba. Aku akan mati. Tetapi setelah ini, seorang demi seorang akan datang menemui untuk
membuat perhitungan. Kau boleh hebat! Tapi sanggupkah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
engkau membunuh sekalian lawan-lawanmu yang terdiri dari
ribuan manusia?"
Betapapun juga hati Harya Udaya tergetar mendengar
alasan pemuda itu yang masuk akal. Memang hebat ancaman
itu. Namun ia tak sudi kalah gertak. Maka tertawalah ia
menghibur diri. "Benar-benar aneh! Hanya dalam waktu
setengah malaman saja, rumahku dikunjungi dua orang
pemuda yang tak takut mati. Memang, memang benar. Semua
pendekar besar di kolong langit ini berasal dari seorang
pemuda! Bagus! Bagus! Nah, kau hendak membinasakan aku,
mengapa tidak segera menerkam?"
"Malam ini aku sudah mengambil keputusan," sahut Bagus Boang." Pemuda yang roboh ini seorang ksatria yang jarang terdapat dalam kolong dunia. Dia bernama Suryakusumah. Dia
datang kemari hendak mengambil kitab ilmu pedang Syech
Yusuf yang menjadi hak himpunannya. Bebaskan dia dan
berikan kitab itu kepadanya. Setelah itu aku akan melawanmu bertempur sampai mati."
Harya Udaya melemparkan pandang kepada Bagus Boang
dengan sudut matanya. Kemudian tertawa terbahak-bahak
geli. "Aneh! Aneh! Benar-benar aneh!" katanya. "Terang sekali engkau kena dilukai pemuda itu dengan pukulan jurus
pendekar Ganis Wardhana. Jika tiada permusuhan hebat tidak
mungkin pemuda itu sampai menurunkan tangan jahatnya.
Tetapi kenapa kau justru memohonkan pengampunan"
Malahan pula membantu meminta kitab Jlmu pedang yang
dituntutnya! Aneh, sungguh aneh! Di dunia manakah pernah
terjadi dua musuh hebat saling mengorbankan nyawanya
untuk membuat senang hatinya masing-masing?"
"Itu urusan kami berdua, kau tak perlu tahu," sahut Bagus Boang dengan suara tetap. "Pendek kata, kau sudi
mendengarkan permintaanku atau tidak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau berkata apa?" bentak Harya Udaya dengan bengis.
"Kau berkata tidak perlu aku tahu" Baiklah, aku tidak akan mencampuri persoalanmu. Tapi apa sebab engkau justru
mencampuri persoalanku dengan pemuda itu?"
Ratna Permanasari kenal arti bentakan ayahnya. Dengan
memberanikan diri, ia maju sambil berkata setengah memekik.
"Ayah!"
Pada saat itu Bagus Boang mendengar suatu kesiur angin.
Cepat ia mengelak sambil membabatkan pedangnya. Tetapi ia
menikam sasaran kosong. Ia kagum dan cepat-cepat berputar
tubuh. Suatu kesiur angin tiba lagi. Dan tahu-tahu pedangnya sudah lenyap dari genggamannya. Tatkala ia melebarkan
matanya, ia melihat Harya Udaya sudah bergerak lagi dengan
pedangnya. Tengah tercengang, kembali ia mendengar kesiur
angin menyerang padanya. Dan pedangnya kembali lagi dalam
genggamannya. Sekarang ia tidak hanya tercengang dan
kagum, tetapi kaget bercampur keudayal hati. Ia sudah
menduga semenjak tadi, bahwa lawannya seorang pendekar
tangguh. Ia malahan sudah mengira, lawannya bakal
mempermainkannya. Ternyata semua dugaannya benar.
Hanya terlalu cepat. Keruan saja ia menjadi keudayal hati.
"Telah kukembalikan pedangmu!" kata Harya Udaya.
"Apakah kau masih saja tidak mau menyerang aku" Ratna!
Mundurlah!"
Dengan mengibaskan tangannya, ia membuat puterinya
mundur terhuyung enam langkah jauhnya. Sudah barang
tentu Ratna Permanasari tercengang diperlakukan demikian.
Selamanya belum pernah ia menyaksikan kegusaran ayahnya
sampai sedemikian rupa.
Bagus Boang benar-benar keturunan seorang jago yang
memiliki semangat perjuangan baja. Meskipun sadar lawannya
sangat tinggi ilmu kepandaiannya, namun hatinya tidak
gentar. Sesaat tadi ia berkeudayal hati selintas. Tetapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semangat perwiranya segera timbul. Terus saja ia memutar
pedangnya dan menyerang Harya Udaya dengan serangan
berantai. Dengan sederhana Harya Udaya membebaskan diri dari
serangan Bagus Boang. Kemudian maju mendekat dengan
menyekat bidang gerak.
Bagus Boang kaget tatkala menikam sasaran kosong. Ia
mendengar kesiur angin di belakang tengkuknya. Cepat ia
berputar dan membabatkan pedangnya. Kemudian mencecar
Harya Udaya dengan serangan gabungan warisan paman-
paman gurunya. Hebat serangannya. Jurus-jurusnya kuat,
tangguh dan mematikan. Gerakan pedangnya tak ubah arus
gelombang yang men-dampar pantai tak berkeputusan.
Sesungguhnya, ilmu pedang Bagus Boang bercorak campur
aduk. Semenjak berumur dua belas tahun, ia dididik gurunya.
Kemudian dia bergantian diajari teman-teman seperjuangan
gurunya Mundinglaya. Mereka semua bekas pendekar-
pendekar Pangeran Purbaya. Itulah sebabnya, mereka
mewariskan ilmu andalannya masing-masing dengan sungguh-
sungguh. Mereka terkenal sebagai jago-jago yang memiliki
keahliannya masing-masing yang tinggi. Maka tidaklah
mengherankan, Bagus Boang memiliki ilmu keragaman yang
tinggi mutunya.
Harya Udaya heran menghadapi keragaman serangan
Bagus Boang. Namun tiap-tiap serangannya dapat
dipecahkannya dengan mudah. Hanya saja, hatinya benar-
benar menjadi pedih. Karena ia kenal keragaman serangan
Bagus Boang yang ternyata milik rekan-rekan
seperjuangannya pada dua puluh tahun yang lalu. Sekaligus
timbullah berbagai pertanyaan yang berkelebat tiada henti
dalam benaknya. Pikirnya penuh selidik, "Sebenarnya siapakah anak muda ini, sampai kawan-kawanku rela mewariskan
puncak-puncak jurus kepandaiannya kepadanya?" Setelah
sibuk menduga-duga, akhirnya berkatalah ia: "Ilmu pedangmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Suryakusumah. Apa
sebab engkau sampai kena dilukainya?"
Bagus Boang tak sudi mendengarkan ucapan Harya Udaya.
Dengan sungguh sungguh ia memusatkan seluruh
perhatiannya. Serangannya terus menerus menghujani tiada
hentinya. Sedikit demi sedikit ia mengerahkan seluruh ilmu
kepandaiannya untuk menumpas lawannya. Kadangkala ia
menggunakan ilmu pedang Mundinglaya. Kadangkala ajaran
paman-paman gurunya. Semuanya dilakukan dengan
sempurna. Namun dengan enak saja, Harya Udaya dapat
mengelakkan. Malahan pendekar itu sudah dapat menduga
sasaran jurus Bagus Boang yang sedang digerakkan.
"Bagus! Ini tikaman Mundinglaya! Ha, ini jurus ajaran
lskandar. Eh, ini tipu muslihat Tirtayasa. Pastilah ini ajaran pendekar Makasar, Kraeng Galesung."
Harya Udaya mengoceh terus menerus setiap kali ia
mengelakkan serangan Bagus Boang.
Betapa dongkolnya hati Bagus Boang, ia kagum juga.
Ternyata Harya Udaya dapat menebak tiap tipu jurusnya
dengan jitu. Mau tak mau, hatinya gentar pula.
Tiga puluh ilmu jurus telah lewat dengan cepat. Sejurus
kemudian, Harya Udaya tertawa dingin. Berkatalah pendekar
itu, "Benarbenar mengherankan! Semua jurusmu adalah jurus-jurus ajaran semua sahabatku. Mengapa begitu" Apakah
benar-benar engkau diperintahkan mereka untuk
membinasakan aku" Siapa saja yang menyuruh engkau
kemari?" la mengelak sambil berpikir. Berkata lagi, "Pangeran Purbaya hilang tiada kabarnya. Harya Sokadana tiada pula
pernah muncul lagi dalam percaturan sejarah. Karena itu, tak mungkin mereka berdua yang memberi perintah kepadamu.
Baiklah, meski guru-gurumu bergabung, menjadi satu hendak
mengurung diriku"mereka takkan mampu berbuat sesuatu
kepadaku." Sampai di sini Harya Udaya tertawa terbahak-bahak. Katanya meneruskan. "Memang ilmu pedangmu sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hebat. Kau takkan dapat dilawan oleh pendekar-pendekar
sejajarmu. Tapi kalau mengharap aku dapat kaujatuhkan,
janganlah terlalu besar mimpimu... sepuluh tahun lagi belajar, belum juga engkau dapat menyinggung bayanganku saja."
Benar-benar sombong Harya Udaya. Tetapi apa yang
diucapkannya sesungguhnya mendekati kebenaran. Sekian
lamanya Bagus Boang mencoba mendesaknya, namun
bayangannya saja benar-benar tak dapat disentuhnya.
Dalam pada itu, Ratna Permanasari bingung bukan
kepalang. Ayahnya berkelahi sambil berbicara. Suaranya
makin lama makin keras. Itu suatu tanda ancaman maut mulai
tiba. Maka ia berkata dengan penuh cemas. "Ayah! Biasanya Ayah menyayangi seseorang yang memilki ilmu kepandaian.
Karena itu, ampunilah dia!"
Diluar dugaan, ayahnya hanya mendengar. Malahan lantas
berkata, "Orang semacam dia, betapa mengerti apa artinya aku mengampuni nyawanya. Sekarang kuberi ampun
nyawanya. Tapi sepuluh tahun lagi... hm... lihat! Setelah
merasa diri mempunyai sayap, pastilah akan datang lagi
memusuhi aku. Dan pada saat itu, belum tentu dia
mengampuni nyawaku sekiranya aku dapat dikalahkannya."
Setelah berkata demikian, tangannya menyambar. Ratna
Permanasari kaget melihat ayahnya hendak menurunkan
tangan maut. Tanpa berpikir panjang lagi ia melesat
menghadang di depan Bagus Boang sambil memekik. "Ayah!
Ilmu silatmu tiada bandingnya di dalam dunia ini. Masakan
sepuluh tahun lagi tak dapat menandingi pemuda ini lagi,
sehingga hati Ayah khawatir?"
Saat itu Bagus Boang sadar pula akan datangnya maut. la
mendengar kesiur angin dahsyat dan sudah meraba tubuhnya
pula. Namun hatinya tiada gentar. Dengan gagah ia
menunggu. Tiba-tiba tenaga dahsyat yang menyerangnya
lenyap. Selagi ia heran menebak-nebak, terdengarlah Harya
Udaya berkata nyaring: "Baiklah, kali ini kuampuni nyawamu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepuluh tahun lagi datanglah kemari mencari aku. Waktu itu
kita akan bertanding untuk menetapkan siapa di antara kita
yang jantan dan betina. Tapi manakala kau datang kemari
sedang ilmumu belum sempurna, itulah artinya kau mencari
mampusmu sendiri. Kau dengar?"
Hebat ancaman itu, sampai hati Bagus Boang tergetar. Ia
kaget tatkala tubuhnya terasa terangkat naik. Setelah
berputar-putar di udara sekian lamanya, terdengarlah suara
Harya Udaya garang. "Pergilah!"
Dan pada saat itu, ia dilemparkan seperti bola keranjang
keluar halaman. Heran ia, apa sebab berat tubuhnya seperti
tiada. Tubuhnya melayang turun. Sebentar tadi masih nampak
cahaya bulan. Kemudian pudar dan berkabut. Kepalanya
terbentur pada suatu tebing. Dan dunia serasa berputar.
Setelah itu, ia tak sadarkan diri.
*** 3 SEORANG PERTAPA YANG ANEH
UNTUK KEDUA KALINYA selama berada di Gunung Patuha
Bagus Boang mengalami jatuh pingsan. Kali ini matahari
sudah sepenggalah tingginya. Dengan demikian sudah sepuluh
jam lewat. Dan seperti pengalamannya yang lalu, ia terasa
seperti diuruti. Apakah ia berada kembali di atas tempat tidur di dalam kamar Ratna Permanasari" Ingatannya mulai terang,
la teringat betapa dirinya diputar seperti gangsingan oleh
Harya Udaya. Kemudian dalam keadaan mabuk, ia
dilemparkan ke dalam jurang. Teringat pula bagaimana Ratna
Permanasari menaruh perhatian besar kepadanya. Ia yakin
bahwa gadis itu telah menolongnya dan membawanya kembali
ke dalam rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan ia membuka mata. Sekonyong-konyong


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasalah bahwa punggungnya bergeser dengan alas dasar
yang kasar, la terkejut dan segera sadar bahwa dirinya tidak berada di atas tempat tidur. Dalam kagetnya, panca inderanya bekerja. Suatu bau anyir menusuk hidungnya. Tatkala ia menj enakkan mata dengan perasaan kaget bercampur heran, ia
melihat suatu pemandangan yang menggoncangkan hatinya.
Apakah yang sedang berjalan di atas dadanya ini"
Sekali pandang, ia melihat suatu warna merah membara
berjalan menggerumut di atas dadanya. Sekarang tidak hanya
dadanya saja. Juga perutnya terasa dingin, juga lehernya. Ia kaget setengah mati tatkala sadar bahwa itulah ular merah
yang sedang melilit dirinya. Ia menjenakkan mata. Dan begitu bau anyir menusuk hidungnya, dengan mengerahkan tenaga
ia melesat dengan menjejak tanah.
Bagus Boang bukanlah seorang pemuda lemah, la memiliki
ilmu kepandaian yang sudah hampir mencapai kesempurnaan.
Itulah sebabnya ia gesit. Sayang, ia baru saja pingsan karena terbanting ke dasar jurang. Tenaganya belum pulih
seluruhnya. Meskipun demikian, ia dapat merenggutkan diri.
Sekarang ia dapat melihat bentuk ular yang tadi melilit
dirinya. ular itu sebesar mulut cangkir. Warnanya merah
mulus. Panjangnya kurang lebih enam meter. Lidahnya yang
bergerak-gerak tiada hentinya bercabang tiga. Selama
hidupnya baru kali itu, ia melihat jenis ular demikian.
Kepala Bagus Boang kala itu masih terasa berat.
Penglihatannya belum tetap. Ia tahu, dirinya berada di mulut sebuah gua. Rupanya setelah tubuhnya terlempar masuk ke
dalam jurang, kepalanya membentur pada tebingnya. Ia
terpental dan terbanting masuk ke dalam mulut gua. Itulah
sebabnya pula ia menjadi pusing. Sadar bahwa dirinya dalam
bahaya, segera ia mundur dengan perlahan-lahan menepi ke
dinding gua. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di luar gua, matahari cerah menebarkan cahayanya. Hanya
saja, kecerahannya terhalang kabut tebal. Dengan demikian
tiada mampu menembus gua. Ruang dalam nampak remang-
remang dan suram.
Tiba-tiba ia melihat suatu bayangan berkelebat. Ternyata
ular merah itu menyambar padanya dengan kecepatan kilat.
Kaget ia melompat sejadi-jadinya. Penglihatannya pudar dan
sekelilingnya serasa berputaran. Tapi masih ingat dia akan
pintu masuk gua.
Terus saja ia lari keluar. Diluar dugaan, ia berada di
tengah-tengah tebing jurang. Ia menoleh ke kiri dan sepintas lihat nampaklah padanya suatu tetumbuhan yang berakar
panjang. Segera ia hendak menyambar dengan maksud untuk
merangkaki tebing. Namun tak keburu lagi. Kedua kakinya
telah terkilir. Karena kaget, ia melompat untuk membebaskan kedua kakinya. Sayang tidak berhasil. Kecuali tenaganya
sudah banyak berkurang, ternyata ular itu memiliki tenaga
raksasa. Selagi ia mengerahkan tenaga hendak mencoba meloloskan
diri secepat mungkin, lengannya terasa tersentuh sesuatu
yang dingin. Kembali ia menjadi kaget. Tahulah dia, seluruh tubuhnya telah terlilit ular merah itu.
Namun ia seorang pemuda yang dipersiapkan gurunya
untuk menjadi seorang pejuang yang tangguh dikemudian
hari. Dalam kagetnya, tiada ia kehilangan akal. Cepat ia
meraba-raba pinggangnya kemudian mencari pedangnya.
Tangannya hanya menyentuh sarungnya. Teringatlah dia,
bahwa pedangnya telah terhunus dari sarungnya tatkala
menggempur Harya Udaya. Entah terjatuh di mana pedang
itu. Hatinya mengeluh.
Tiba-tiba suatu bau anyir dan manis memasuki hidungnya.
Lalu kulit mukanya terasa dingin. Itulah ular merah yang
sedang menjilati kulit mukanya. Aneh sifat ular itu. Untuk
merobohkan lawan, tak mau ia menggunakan bisanya. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti percaya kepada ketangguhan dirinya. Sebaliknya,
Bagus Boang kaget setengah mati. Pada saat itu, tak sempat
lagi ia berpikir lama-lama. Teringatlah dia, bahwa untuk
melawan ular, seseorang harus menguasai kepalanya dahulu.
Maka cepat ia menyambar leher ular itu dan dipencetnya matimatian.
Ular itu agaknya kaget. Dia bertenaga besar. Sebelum
lehernya kena tercekik, mulutnya dipentang lebar-lebar. Ia
mencoba menggigit muka Bagus Boang sambil
mengencangkan tenaga lilitannya. Hebat penderitaan Bagus
Boang. Seketika itu juga, napasnya terasa menjadi sesak. Ia mencoba melawan, namun tenaga lengannya terasa menjadi
berkurang. Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia mengatur
pernapasannya. Sekali lagi maksudnya terhalang. Bau anyir
manis ular itu mengganggu pernapasannya. Kepalanya pening
dan ingin lontak saja. Dan dengan tak dikehendaki sendiri, ia jatuh terduduk tak bertenaga lagi.
Benar-benar dalam keadaan bahaya pemuda itu. Ia sudah
nyaris jatuh pingsan lagi. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk
benaknya kuat-kuat. Sadarlah dia, bahwa ancaman bahaya
yang mengerikan ialah apabila ular itu mamagutkan giginya.
Manakala ia sudah kena bisanya, meskipun tiba-tiba
mempunyai sayap, takkan mampu membebaskan diri dari
maut. - Sadar akan hal itu, cepat-cepat ia menem-. pelkan
mukanya ke tubuh ular yang melilitnya. Ia sudah tak dapat
menggerakkan kaki maupun tangannya. Satu-satunya anggota
badannya yang bisa digerakkan hanya mulutnya belaka. Suatu
naluri menusuk ingatannya. Mengapa tidak menggunakan gigi
selagi terjepit" Teringat akan daya guna giginya, timbullah semangat perjuangannya. Segera ia mengeraskan hatinya.
Dengan sekuat tenaga ia melawan rasa mau pingsan. Lalu
menggigit leher binatang itu dengan sekuat-kuatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kena tergigit Bagus Boang, ular merah itu bergerak karena
kesakitan. Lilitannya bertambah kencang sampai ekornya
nampak bergetaran.
Bagus Boang sadar. Bahwa satu-satunya jalan untuk
menolong jiwanya hanyalah giginya. Sekali melepaskan
kesempatan itu, akan matilah dia. Maka dengan menyalakan
api pemusatan hatinya, ia terus menggigit dan menggigit. Ia tak menghiraukan segalanya. Tidak menghiraukan akibatnya.
Tidak menghiraukan reaksi binatang itu. Sebab sekali lengah, akan hilanglah pemusatannya.
Tiba-tiba ia menjumpai suatu kesulitan lagi. Tubuhnya ular
yang digigitnya robek dan darahnya menyembur dengan
derasnya. Celakanya langsung menutupi lubang hidungnya.
Dengan begitu pernapasannya lantas jadi terganggu.
Sesaat ia merasakan halangan itu. Tiba-tiba timbullah
tekadnya, la terus menghisap darahnya dan menghirupnya.
Bau anyir maupun kemungkinan bisa jahat, tidak ia pedulikan.
Tekadnya hanya satu: daripada mati terbunuh lebih baik mati berbareng. Oleh
tekad ini, kian
sentosalah hatinya. Tetapi karena ia terus menerus
menghisap darah, lambat laun perutnya menjadi kembung. Meskipun demikian tidak juga ia mau berhenti. Pikirannya hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu: ular itu harus dihisap habis darahnya. Dengan demikian, tenaganya akan berkurang. Bila berkurang tenaganya dengan
sendirinya lilitannya akan menjadi kendor. Itulah suatu
kesempatan untuk membebaskan diri. Dan perhitungan Bagus
Boang ternyata tepat.
Karena darahnya terkuras banyak, tenaga ular itu benar-
benar menjadi bumerang. Lilitannya mengendor. Dan tak lama
kemudian tubuhnya jatuh dengan sendirinya di atas tanah.
Bagus Boang merasa menang kini. Tapi dia masih terus
menghisap sampai darah ular itu terasa berkurang. Dan
barulah dia teringat akan ancaman bisa. Maka cepat-cepat ia melepaskan gigitannya sambil bersiaga menghadapi
kemungkinan. Ternyata binatang itu tidak bergerak lagi dan
mati karena kehabisan darah.
Melihat ular merah itu mati, hatinya bersyukur. Tetapi
napasnya tersengal-sengal, la masih duduk terjongkok
semenjak tadi. Tenaganya terasa terkuras habis, sehingga
seluruh sendi-sendi tulang serta ruasnya menjadi lunglai dan nyeri. Karena itu cepat-cepat ia mengumpulkan semangat
hidupnya untuk mengatur pernapasannya. Diluar dugaan,
selagi ia menarik napas, tubuhnya gemetaran. Perutnya
kemudian bergolak. Maka tahulah ia, itu akibat darah ular
merah yang membuat perutnya tadi menjadi kembung.
Khawatir bahwa kemungkinan besar mengandung bisa pula, ia
nekat hendak mendesaknya dengan mengandalkan latihan
pernapasannya. Segera ia mulai bersemadi dengan memusatkan seluruh
perhatiannya. Lalu ia menyedot napas panjang-panjang. Mula-
mula dengan perlahan-lahan. Setelah merasa tiada
halangannya, mulailah dia dengan tarikan napas kuat. Dan
pada saat itu, kembali tubuhnya tergetar bahkan tergoncang-
gon-cang. Perutnya bergolak bagaikan tumpuan air terkocak di dalam suatu wadah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mencoba menahan diri. Tetapi sekarang, perutnya sakit
seperti tertusuk ribuan jarum. Keringat dingin berbau anyir merembes keluar sangat derasnya. Penglihatannya mulai
menjadi kabur. Maka dengan segera ia melepaskan diri dari
arus napasnya. Ia terkejut setengah mati, karena maksud itu tak mudah dilaksanakannya. Napasnya perlahan menyesak.
Inilah peristiwa yang belum pernah dialami sepanjang
hidupnya. Masakan semangat hidup dapat terlengket pada
arus napas" Buru-buru ia menghimpun tenaganya dan dengan
penuh semangat ia mencoba memecahkan teka-teki itu.
Tetapi sebelum dapat menyelami arti peristiwa itu,
penglihatannya menjadi gelap dan untuk yang ketiga kalinya
selama di Gunung Patuha, ia jatuh pingsan.
Ia tersadar kembali tatkala perutnya terasa sakit. Lalu ingin buang air besar. Maka dengan merangkak ia menjenguk di
mulut gua yang ternyata berada di tengah-tengah tebing. Dan di tebing itulah, ia memenuhi, hajatnya.
Luar biasa perutnya bergolak, sehingga isi perutnya seolah-
olah dikuras habis oleh suatu tenaga yang tak nampak.
Untunglah, sewaktu di rumah Ratna Permanasari, ia hanya
makan nasi lembek dan sekedar lauk-pauk. Meski demikian,
bau anyir ular itu luar biasa mengganggu penciumannya.
Setelah memenuhi hajat, tenggorokannya terasa kering
panas. Suatu perasaan dahaga yang tak tertahankan lagi. Ia
melongok ke bawah. Di jauh sana"di dasar jurang, nampak
suatu lubang air. Tetapi untuk sampai di sana tidak mudah
dilakukan. Tebing jurang nampak licin dan di dekat mulut gua hanya terdapat sebatang akar panjang. Panjang akar itu masih jauh berada di atas dasar jurang. Seumpama berhasil sampai
diujung-nya, ia harus melompat turun ke bawah yang
tingginya masih dua puluh meter lebih.
Tetapi hidup ini memang aneh. Kalau seseorang belum
ditakdirkan mati, masih saja terdapat suatu pertolongan yang seolah-olah kebetulan sekali. Ia mencoba memeriksa gua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata didalamnya terdapat suatu kubang air berair sangat jernih. Sudah barang tentu, ia bersyukur bukan main. Tanpa
menghiraukan segala, terus saja ia menelungkup dan
meneguk airnya sepuas-puas hatinya.
Setelah perutnya kenyang, barulah dia teringat akan-
membersihkan badan. Tetapi baru saja niat itu hendak
dilakukan, kembali perutnya sakit. Dan segera ia berhajat
untuk yang kedua kalinya. Demikianlah sampai lima kali.
Setiap kali selesai berhajat, tenggorokannya kering. Setelah minum puas-, puas, kembali lagi perutnya sakit.
Pada hajat yang ketujuh kalinya, tenaganya terasa terkuras
habis. Ia kaget berbareng cemas. Pikirnya, apakah aku kena
bisa" Segera ia mandi membersihkan badan. Teringatlah dia
akan kata-kata orang, bahwa untuk membendung penyakit
berbuang air haruslah membuat tubuhnya menjadi dingin.
Namun usaha itupun tidak berhasil, sampai ia harus
memenuhi berhajat lagi sampai yang kesembilan kalinya.
Apakah aku harus mati di sini" pikirnya. Ia tak takut mati.
Tetapi mengingat ibunya, betapapun juga hatinya lemas. Lalu timbullah tekadnya. "Biarlah aku mati, asalkan tubuhku dapat ditemukan. Dengan begitu, Ibu tak selalu menunggu aku."
Setelah memperoleh pikiran demikian, segera ia
mengencangkan pakaiannya. Kemudian lari ke mulut gua
sambil melayangkan pandang ke arah akar panjang yang
merambat urut tebing. Entah akar apa, tetapi nampaknya
kuat. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera memanjat dengan segenap sisa tenaganya, setelah menguji kekuatannya.
Tetapi jalan pikiran tak selalu beriring dengan tenaga
himpunan. Baru sampai di tengah-tengah dinding yang
membatasi seberang jurang, tenaganya sudah habis. Ia
mendongak ke atas. Kira-kira tinggal sepuluh meter lagi, ia akan sampai di atas. Hatinya lantas saja mengeluh. Sebab
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesukaran mencapai tebing atas samalah halnya dengan
melorot ke bawah. Kedua-duanya membutuhkan tenaga
penuh. Dalam usaha menolong diri secara naluriah, ia menjejakkan
kakinya pada tebing. Sekonyong-konyong suatu kejadian ajaib mengejutkan hatinya. Tubuhnya membal ke atas seperti bola
karet memukul tanah. Begitu kuat membalnya sampai
pegangannya terlepas. Tatkala tubuhnya turun kembali
dengan derasnya suatu pikiran berkelebat dalam benaknya. Ia mengulangi perbuatannya tadi.
Kedua kakinya diincarkan pada dinding yang agak
menonjol. Begitu sampai ia menjejak dengan sekuat tenaga.
Benar saja, tubuhnya terpental membal tinggi ke atas sampai melalui tepi tebing. Bukan main girangnya. Cepat-cepat ia
berjungkir balik di udara dan mendarat di atas tanah dengan selamat. Tetapi begitu tiba di atas tanah, ia rebah pingsan untuk yang keempat kalinya.
Lama sudah Bagus Boang rebah pingsan " tak sadarkan
diri. Waktu matahari turun ke barat, perlahan-lahan ia
memperoleh kesadarannya kembali. Segera ia menjenakkan
mata. Satu hal yang dijumpai untuk yang pertama kalinya
ialah bau harum sedap menusuk hidungnya. Secara wajar
teringatlah dia pada pengalamannya. Terus saja berseru,
"Ratna! Ratna!"
Sejalan dengan seruannya, segera ia sadar penuh. Ia
menggeletak di atas tanah berhawa dingin. Seluruh ruas
tulangnya nyeri luar biasa. Namun suatu hawa hangat berjalan merayapi seluruh tubuhnya dengan sangat nyaman. Teringat
akan pengalamannya yang aneh, terus saja ia membuka
matanya lebar-lebar agar memperoleh ingatan yang lebih
segar. Sekonyong-konyong ia mendengar suara halus merdu
yang didahului dengan suara tertawa empuk manis.
"Siapa yang kau panggil" Ratna dewikz" Siapakah Ratna"
Ah, pastilah engkau tengah bermimpi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dialah Fatimah. Lengkapnya Syarifah Fatimah. Gadis itu
menjumpai Bagus Boang menggeletak di atas tanah, la tak
mengira Bagus Boang jatuh pingsan, karena napasnya
berjalan teratur. Dan tubuhnya terasa hangat. Itulah sebabnya ia mengira Bagus Boang tengah memimpikan menemukan
ratna7) indah. Mendengar suara Fatimah, Bagus Boang heran bercampur
girang. Tetapi ia kecewa pula karena yang berada di dekatnya bukan Ratna Permanasari gadis Harya udaya yang telah
memikat hatinya.
"Fatimah! Bagaimana kau tahu aku berada di sini?"
tanyanya heran.
"Aku mengikuti jejak tapak kudamu," sahut Fatimah.
"Tatkala hampir mencapai rumah Harya udaya, masih sempat aku mendengar kata terakhir Paman Harya Udaya. Ia
menyebut-nyebut jurang. Kemudian kudengar pula suara
tangis. Eh, tangis siapa?" Fatimah tersenyum. Melanjutkan,
"Hm, kau membuat hatiku kaget setengah mati, apa sebab kau berani melawan Paman Harya Udaya."


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diingatkan tentang pengalamannya bertempur melawan
Harya Udaya, Bagus Boang lantas saja menjadi lesu.
Kegembiraannya yang sebentar tadi diperolehnya tatkala
dapat melesat tinggi melampaui tinggi tebing, lenyap begitu saja. la menarik napas kemudian berkata seraya bangun
menegakkan punggung.
"Ya, Harya Udaya memang seorang ahli pedang yang tiada taranya di jagad ini."
Sepuluh tahun lamanya dia belajar ilmu pedang dari
gurunya, Mundinglaya. Kecuali itu, paman-paman gurunya
masih pula memberi ajaran ilmu keistimewaannya masing-
masing, la yakin, bahwa dengan berbekal ilmu kepandaian
yang kaya dengan keragaman itu ia akan mempunyai harapan
untuk menjagoi sekalian pendekar di kemudian hari. Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahunya, baru saja digunakan untuk melawan Harya Udaya, ia
kena dirobohkan dengan mudah. Sekalian ilmu saktinya tiada
berdaya sama sekali. Itulah sebabnya, ia sangat malu dan
menyesali ketidakmampuannya.
Tetapi Syarifah Fatimah tetap tertawa riang mendengar
ujarannya. Wajahnya berkesan ramai dengan senyum
simpulnya yang manis sedap. Katanya memuji, "Apakah kau mengira, ilmu pedangmu tak berarti" Kau kena dihantam
pukulan maut Suryakusumah, walaupun demikian masih
engkau mampu melawan Harya Udaya."
Bagus Boang hendak bangkit, tapi Fatimah mencegahnya
cepat-cepat. Katanya lagi, "Jangan bergerak dahulu. Meskipun kau tidak menderita luka dalam, tetapi kau nampaknya
terbanting dari atas. Pastilah kau menderita luka luar. Setidak-tidaknya semua ruas tulangmu terasa nyeri, bukankah
begitu?" Bagus Boang mengangguk. Tak menduga sama sekali,
bahwa dengan tiba-tiba Fatimah meraih dirinya dan memijat-
mijat pundak sampai ke pinggangnya. Bagus Boang
terhenyak. Parasnya merah. Untunglah Fatimah tidak
melihatnya. "Tak usahlah!" katanya sambil menyingkirkan tangan Fatimah dengan halus. "Meskipun ruas tulangku nyeri, namun tidak mengganggu diriku sama sekali."
Fatimah tak sakit hati, meskipun ia heran melihat sikap
tawar Bagus Boang. "Nampaknya engkau terlalu banyak
berpikir. Apakah yang kaupikirkan?"
Bagus Boang menundukkan mukanya ke tanah. Ia teringat
kepada Ratna Permanasari yang telah merawat dirinya dengan
cermat. Meskipun Fatimah bersedia untuk merawatnya dengan
sungguh-sungguh, namun entahlah, hatinya enggan kena
sentuhnya. Maka cepat-cepat ia menenangkan dirinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian menyahut dengan suara sedih. "Aku sedang
memikirkan Suryakusumah."
Fatimah menghela napas. "Kamu berdua memang aneh.
Benar-benar aneh. Asal bertemu kalian berkelahi. Tetapi
begitu berpisah, saling memikirkan. Lucu! Sungguh lucu!
Tahukah engkau, bahwa pada saat ini Suryakusumah sedang
mencarimu?"
"Aku telah bertemu dengan dia," sahut Bagus Boang Fatimah heran. "Dimana?"
"Di rumah Harya Udaya. Dan sejak itu, barulah aku tahu bahwa dia benar-benar seorang pemuda jantan dan jujur,"
kata Bagus Boang. Kemudian ia menceritakan sepak terjang
Suryakusumah dengan cermat.
Mendengar kata-kata Bagus Boang, Fatimah tertawa
terpingkal-pingkal. Katanya kemudian, "Sayang! Sayang, Suryakusumah tidak mendengar kata-katamu yang memujinya
setengah mati. Kalau ia mendengar... Ah sayang, dia bukan
seorang gadis pula. Sekiranya dia seorang gadis.... hm...."
Heran Bagus Boang mendengar ucapan Syarifah Fatimah.
Dengan tajam ia mengamat-amati wajah Fatimah. Lalu
berkata, "Ya, benar.... Sekiranya dia seorang gadis, aku pasti jatuh cinta padanya. Dia seorang pemuda jantan sejati."
Bagus Boang tidak meneruskan perkataannya. Ia heran
melihat Fatimah menundukkan mukanya. Pipi gadis keturunan
Arab itu nampak merah muda. Sesungguhnya jelita wajah
Fatimah. Hanya saja ia heran sendiri, apa sebab hatinya tidak tergerak juga.
"Kau terlalu... " ujar gadis itu. "Masakan engkau tidak mengerti hatiku?"
"Fatimah! Maaf, maksudku, aku benar-benar sedang
memikirkan Suryakusumah." potong Bagus Boang dengan
suara sungguh-sungguh. "Oleh karena aku semata, dia sampai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jatuh ke dalam tangan Harya Udaya. Masakan aku bisa tidur
nyenyak atau makan enak dengan membiarkan dia kena
siksa." "Apakah dia kena siksa?" Fatimah menegakkan kepala.
"Entahlah. Setidak-tidaknya hatinya tersiksa."
Fatimah menghela napas lagi. Ia merenungi tanah. Lalu
berkata, "Paman Harya Udaya terlalu hebat bagi kita berdua.
Seumpama kita berdua mengerubutnya, belum berarti apa-
apa baginya. Baiklah kita bersabar dahulu. Kita pulang dan
memberi laporan kepada orang-orang tua kita. Asalkan
seluruh pendekar bekas pengawal ayahnya bersatu padu,
biarpun Paman Harya Udaya memiliki sayap tidak akan
mampu menandingi."
Bagus Boang manggut-manggut, namun hatinya tetap
memikirkan Suryakusumah. Pikirnya, "Kau berkata, aku tidak mengerti hatimu. Sebaliknya engkau justru tidak mengerti hati Suryakusumah yang mencintaimu benar-benar."
Fatimah menegakkan pedangnya kembali. Ia merenungi
Bagus Boang. Sejenak ia berkata mengalihkan pembicaraan.
"Kulihat kau lesu. Pastilah engkau lapar. Kau lapar bukan?"
Biarlah aku mencari dua ekor ayam hutan. Kau bisa sabar
menunggu, bukan?"
Halus suara Fatimah. Itulah suara yang penuh dengan cinta
kasih. Dan mendengar suara Fatimah, betapapun juga hati
Bagus Boang tergerak. Baru ia hendak menolak, Fatimah
sudah melesat pergi. Gesit gerakan gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah menyelinap di balik rimbun belukar.
Melihat sepak terjang Fatimah, Bagus Boang menghela
napas. Hatinya berduka bercampur pilu. Ia tahu, Fatimah
mencintainya. Agaknya gadis itu berani berkorban apa saja
demi dirinya. Tetapi bagaimana dengan Suryakusumah"
Sekiranya ia menerima cinta kasih Fatimah, tak sampai hatinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memikirkan nasib Suryakusumah yang nyata-nyata sudah
berani berkorban untuk dirinya. Kecuali itu, pandang mata
Ratna Permanasari yang lembut tidak gampang lenyap dari
ingatan. Malah setiap kali ia merasa kena rangsang api asmara Fatimah, bayangan gadis itu bertambah terang dalam kelopak
matanya. Sekarang ia berada seorang diri di tengah hutan di tepi
jurang. Karena pikirannya kosong, segera teringatlah dia pada pengalamannya tadi. Ajaib! Apa sebab dia tadi dapat melesat tinggi sampai melampaui tebing" Perubahan apa yang terjadi
dengan dirinya" Memikirkan peristiwa itu, segera ia bersemedi menghimpun semangat. Suatu perasaan nyaman merayap ke
dalam tubuhnya. Bahkan pembuluh-pembuluh darahnya
terasa tertembus oleh suatu hawa hangat. Apakah ini"
Pemuda itu sama sekali tak tahu, bahwa ular merah yang
terhisap darahnya itu adalah termasuk semacam binatang
yang jarang terdapat dalam dunia ini.
Binatang itu tergolong raja yang bisanya tiada yang
sanggup melawan. Ular-ular sejenisnya akan lari menghindari, manakala mencium bau anyirnya yang khas. Karena merasa
diri ditakuti jenisnya, maka ular merah itu jarang
menggunakan bisanya, apabila sedang berburu atau
menghadapi apa saja. Sebab tenaganyapun jarang
tandingannya. Dia mampu melilit seekor gajah sampai
membuatnya lumpuh. Itulah sebabnya, ia tidak menggunakan
taring racunnya tatkala melilit tubuh Bagus Boang.
Menghadapi tenaga manusia, masakan perlu membuang-
buang bisanya yang berharga"
Tapi nyatanya, ia binasa akibat kesombongannya sendiri.
Diluar dugaannya, Bagus Boang menggigitnya dan menghisap
darahnya sampai terkuras habis. Itu suatu kejadian yang aneh dan jarang terjadi dalam sejarah manusia.
Darah ular merah itu, sesungguhnya mengandung racun
hebat. Barangsiapa kena racun bisanya, akan mati hangus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbakar. Tetapi secara kebetulan Bagus Boang meneguk
kubangan air di dalam gua yang justru menjadi tempat minum
ular itu. Setiap kali ular itu minum, liurnya yang merupakan pemunah bisa teraduk didalamnya. Dengan demikian, racun
yang terkandung dalam perut Bagus Boang terpunah
sekaligus. Akibatnya, ia berbuang air terus menerus. Setelah isi perut habis terkuras, yang tertinggal hanya sarinya. Sari racun dan sari pemunah. Kedua unsur racun itu lantas saja
saling beraduk. Akhirnya mempunyai daya sakti yang hebat.
Bagus Boang kini tidak hanya ditakuti ular karena sudah kebal, tapi juga mempunyai kegesitan tak ubah gerakan ular itu
sendiri. Tubuhnya menjadi ringan, karena tenaga ular merah
yang mengeram dalam dirinya. Itulah sebabnya, ia membal
balik ke udara tatkala kakinya kakinya menjejakkan tanah.
Tubuh pemuda itu kehilangan daya berat. Dan yang
mementalkan adalah tenaga gerak sari-sari darah ular merah.
Keruan saja, begitu Bagus Boang merasakan perubahan
dalam dirinya, segera ia ingin mencobanya. Benar saja, begitu kakinya menjejak tanah, sekaligus ia terlontar tinggi di udara.
Dua tiga kali ia mencoba. Kemudian mencoba berlari cepat.
Karena belum mengenal tenaga sakti ular itu, ia kehilangan
keseimbangan. Tubuhnya terbentur pada pohon sampai
kulitnya menjadi carut marut. Namun begitu, hatinya girang
bukan main. Inilah suatu kemajuan yang belum tentu dapat
dicapai seorang berilmu dalam tiga puluh tahun.
Oleh rasa girangnya, ia lupa pesan Fatimah. Ia sibuk
dengan latihan. Dari tempat ke tempat ia meloncat-loncat.
Akhirnya dengan tak disadarinya, ia sangat jauh meninggalkan tempatnya semula. Sekarang, meskipun ia tersadar, ia takkan dapat menemukan tempatnya kembali karena pada waktu itu,
ia sudah berada di pinggang Gunung Patuha sebelah timur.
la heran, tatkala mendengar suara orang sedang menyanyi.
Hebat suaranya. Nadanya mengalun tinggi tak ubah guruh.
Lagunya sinom Sunda. Begini bunyinya :
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bungah amawarta suta bungangang teu aya tanding teja
teja sulaksana nu dianti siang wengi ayeuna atos sumping
ama matur rewu nuhun seja didama dama bahu denda
nyakrawati binatara nyangking teu kerajaan
Alih bahasa bebas:
senanglah mendapat anak senang yang tiada terkira siapa
gerangan bakal tiba yang dinanti siang dan malam sekarang
sudahlah sampai saya senantiasa berdoa maksud hati didamba
damba jadilah raja berwibawa serta bijak membawa wibawa
kerajaan Bagus Boang terkejut, karena ia kini kenal suara itu. Itulah suara Harya Udaya. Lebih terkejut lagi, setelah ia merenungi bunyi bait nyanyiannya. Siapakah yang ditunggu dan didamba-dambakan"
Beberapa saat ia berdiam diri menduga duga. Pikirnya, "Ia mendamba sesuatu. Tapi nyanyiannya penuh nada
penantangan. Seolah-olah menantang seluruh alam. Siapakah
yang ditantangnya?"
Memikirkan demikian, ia mendongak ke atas. Sekonyong-
konyong terdengarlah suara seruling yang ditiup dengan
berbareng disekitar dirinya. Hati pemuda itu terkesiap. Mau ia menduga, bahwa baik nyanyian maupun seruling itu seakan-akan dialamatkan kepadanya. Lantas saja ia merasa diri
tengah dipermain-mainkan.
Aneh nada seruling itu. Begitu ia mendengarkan dengan
cermat kepalanya terasa menjadi pusing. Sadar akan bahaya,
ia segera melarikan diri. Sekian lama ia berlari-lari, tapi aneh.
Ia seperti tak dapat keluar dari jarring-jarring suara itu.
Teringatlah dia kepada tutur kata gurunya, bahwa suara lagu itu pun dapat dipergunakan untuk menyerang musuh bagi
seorang yang sudah sempurna ilmu kepandaiannya. Karena
itu, cepat-cepat ia menutup kedua telinganya. Kemudian
berlari kencang dengan tidak mendengar suara itu lagi. Benar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja, ia sekarang dapat terlepas dari jarring nada suara.
Segera ia melepaskan kedua tangannya dan berjalan mendaki
gunduk tanah yang berada di depannya. Di atas gunduk itu
terdapatlah suatu makam yang terawat baik-baik. Terdapat
pula sederet tulisan:
Di sini berkubur Pancapana" manusia tak kenal setan dan
Tuhan Aneh bunyi tulisan itu sehingga Bagus Boang keheran-
heranan. Sejenak ia mencoba menebak-nebak maksudnya
yang tersembunyi, namun sia-sia belaka. Karena tak mengerti siapa yang terbaring di situ, ia hanya menduga pastilah
makam seseorang di zaman kuno. Tak peduli orang itu
berpaham bagaimana, ia lantas membungkuk hormat.
Orang-orang sakti zaman kuno memang aneh lagak
lagunya, pikirnya. Dia terbaring di sini. Tetapi tulisan itu entah siapa yang membuat.
Setelah ia membungkuk hormat, seruling yang tadi
terdengar melengking dari tempat ke tempat, berhenti dengan mendadak. Tempat itu lantas saja terasa sunyi lengang.
Waktu itu petang hari sudah tiba. Di atas pegunungan,
alam cepat menjadi gelap. Hal itu disebabkan oleh awan tebal yang selalu menyelimuti gunung di sepanjang masa. Namun
sebaliknya, bulan cepat nampak di angkasa. Kecerahannya
terasa memenuhi persada bumi, sehingga cukup memberi
penerangan kepada pandang mata Bagus Boang yang tajam.
"Gunung ini nampaknya banyak terdapat ancaman bahaya
yang beraneka ragam. Aku harus berhati-hati."
Ia bergerak hendak melangkahkan kaki. Dan suara seruling
terdengar lagi. Kali ini hanya terdengar tunggal. Datangnya dari arah depan.
Setelah berpikir sejenak, Bagus Boang mengarah ke suara
seruling dengan tidak memedulikan lagi ancaman bahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pohon-pohon lebat yang menghadang di depannya,
diterjangnya dengan berani. Ia mendengar bunyi desis di sana sini. Pastilah itu suara ular yang kaget mendengar bunyi
langkahnya. Hanya saja, begitu ia tiba, sekalian binatang itu lari berserabutan. Heran ia, menyaksikan kejadian itu. Ia
belum sadar, bahwa hal itu terjadi karena darah ular merah
yang telah merasuk di dalam tubuhnya.
Sekonyong-konyong suara seruling itu melagukan suatu
lagu yang masih asing baginya, la heran, tatkala merasakan
pengaruhnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar dan hatinya
berdebar-debar.
"Lagu apakah ini sampai bisa mempunyai wibawa begini?"
ia bertanya pada dirinya sendiri.
Nada suara itu mula-mula kendor lambat, kemudian makin
lama makin cepat seperti sedang mengiringi seorang penari
gendang pencak. Penari gendang pencak itu terbayang
seorang perempuan dengan gaya lenggak lenggoknya yang
dapat menggugah rasa birahi. Sekarang tidak hanya itu saja.
Lagu suara seruling berubah menjadi iringan lagu tari penuh hawa nafsu. Mendengar suara seruling ini, urat syaraf Bagus Boang menjadi tegang sendiri. Benar, selama hidupnya belum
pernah ia bersentuh dengan seorang gadis. Walaupun
demikian, nalurinya sudah mengisahkan masa akil baliq.
Dengan demikian, ia lantas saja dapat menangkap dan
mengerti akan maksud suara seruling itu.
Bagus Boang cepat-cepat menjatuhkan diri dan duduk
menenangkan urat syarafnya yang terasa menjadi tegang.
Tahulah dia kini, arti tutur kata gurunya dahulu tentang nada suara yang dapat menyerang seseorang. Memperoleh ingatan
ini buru-buru ia melakukan semadi ajaran gurunya. Mula-mula masih ia terpengaruh, malahan hampir ia terloncat untuk ikut menari-nari karena kena ditarik lagu suara seruling. Tetapi setelah ia berkutat beberapa waktu lamanya, hatinya menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tenang kembali, la mengosongkan diri untuk melawan
pengaruh dari luar. Ternyata ia benar-benar terbebas.
Sekarang ia mencoba mendengar alunan suara seruling
dengan telinganya dan bukan dengan hatinya. Suara seruling
itu menukik tinggi melewati mahkota pohon-pohon. Karena
begitu terpusat perhatiannya, sampai rasa lapar dan
dahaganya lenyap pula. Yakinlah kini ia tak terpengaruh lagi oleh suara nada lagu. Maka dibukalah matanya dengan
perlahan-lahan. Mendadak didepan-nya, sekitar sepuluh meter jauhnya, ia melihat sepasang mata berkilauan yang memancar
dengan sangat tajam.
"Binatang apakah itu?" Ia terkejut dan mundur beberapa langkah. Sekonyong-konyong sinar tajam itu lenyap. Bagus
Boang berhenti dan mengamat-amati. Bulu tengkuknya
meremang. Katanya di dalam hati.
"Gunung Patuha benar-benar gawat. Setelah aku bergumul dengan ular merah, kini menghadapi suatu teka teki lagi.
Jangan-jangan sejenis ular lagi yang lebih besar. Apakah


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harimau" Betapapun dia gesit, tetapi masakan dapat lenyap
begini cepat?"
Selagi sibuk menduga-duga, pendengarannya yang tajam
mendengar bunyi napas seseorang yang memburu. "Ah,
orang! Tapi mengapa memiliki mata yang tajam?" serunya di dalam hati. Ia berlega hati, tapi masih berteka teki juga.
Karena orang itu belum terang apakah musuh apakah teman.
Dalam pada itu, suara seruling masih saja menukik-nukik
tinggi dengan irama yang selalu berubah-ubah. Kadang
melukiskan suara serangan, kadang suatu kerinduan.
Kemudian berubah pedih pilu penuh haru. Lalu marah serta
dendam. Dan yang lebih hebat, manakala sedang melukiskan
leng-gak lenggok seorang perempuan yang penuh nafsu
gairah. Seseorang yang kena diserang irama demikian, apabila tidak teguh hatinya, pastilah imannya akan berguguran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Boang masih muda remaja. Belum pernah ia kena
sentuh wanita. Meskipun diubar-ubar bara asmara Fatimah,
hatinya belum tergerak. Kecuali tatkala berjumpa dengan
Ratna Permanasari. Itupun belum cukup satu hari. Itulah
sebabnya, ia tak kena pengaruh suara seruling. Yang terasa
hanya ketajamannya yang mampu menembus jantungnya
seperti tertusuk jarum.
Tatkala ia melangkah maju, ia mendengar suara orang
merintih. Suara napas terdengar memburu pula. Kini bahkan
menjadi tersengal-sengal. Dan mendengar suara rintihan itu, hati Bagus Boang iba. Belum pernah ia berkenalan dengan
manusia itu, tetapi dasar hatinya penuh kemanusiaan dan
budinya halus pula. Maka ia mudah menjadi terharu.
Oleh rasa itu, ia maju selangkah demi selangkah
menghampiri suara rintihan itu. Bulan di atas Gunung Patuha tidaklah begitu terang cahayanya. Sinarnya terhalang pula
oleh mahkota daun. Setelah maju beberapa langkah, barulah
penglihatan Bagus Boang menangkap suatu bayangan orang
yang sedang duduk bersimpuh.
Orang itu berjenggot panjang. Rambutnya telah putih
semua. Suatu tanda bahwa usianya sudah lanjut.
la duduk bersimpuh di atas tanah dengan kedua tangannya
di tengah dadanya. Melihat sikap itu, hati Bagus Boang
tercekat. Cara bersemadi begini ini samalah dengan ajaran
ibunya. Itulah ilmu menutup diri untuk membendung
pengaruh-pengaruh dari luar.. Ba-rangsiapa sudah mencapai
kemahirannya, tidak akan tergoncang oleh suara apa saja.
Guntur atau geledekpun tidak akan mampu mengusik. Karena
itu ia heran, apa sebab orang tua tergoyang-goyang oleh
suara seruling semata. Kesan wajahnya berada dalam
ketakutan. Tatkala itu suara seruling makin menghebat. Dan tubuh
orang tua itu bergoyang goyang, la seperti hendak terloncat dari sim-puhnya, namun nampak ia menahan diri beberapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kali. Suatu kali, kakinya sampai mencelat setinggi satu kaki di atas tanah dan buru buru ia mempertahankan diri dengan
mati-matian. Melihat peristiwa demikian, hati Bagus Boang
tercemas juga. Tahulah dia, bahwa orang itu tidak akan dapat mempertahankan diri lebih lama lagi.
Sekarang suara seruling itu tidak ber-iraman cepat lagi.
Tetapi berubah menjadi sayup-sayup dan berirama lamban.
Dan mendengar perubahan yang sama bahayanya, orang itu
nampak berputus asa. Terdengar dia berkata dengan suara
parau. "Sudahlah... sudah." Dan segera ia hendak melompat bangun.
Bagus Boang kaget menyaksikan kekalahan itu. Entah apa
sebabnya, ia tiba-tiba menaruh iba kepadanya. Tanpa berpikir panjang lagi, terus saja ia melompat meng-hampir. Tangan
kirinya ditekapkan pada bahu orang itu. Sedang tangan
kanannya memijit pinggang. Itulah cara membantu keteguhan
iman melalui pembuluh darah. Menurut keterangan ibunya,
seseorang yang kena dipegang pinggangnya akan
memperolehnya ketenangannya kembali. Ia sendiri belum
merasa mahir benar, namun ilmu tersebut memang tinggi
mutunya. Kena ditem-pat pinggangnya, lantas saja orang itu
memperoleh keteguhannya kembali.
Bagus Boang girang memperoleh hasilnya. Tengah
demikian tiba-tiba ia mendengar seseorang memakinya
dengan nada gusar.
"Keparat, bangsat kecil ini! Sudah diampuni, masih merusak usahaku."
Bagus Boang kaget. Meskipun tidak melihat orangnya, tapi
ia kenal suaranya. Itulah suara Harya Udaya yang mendongkol karena terusak usahanya mengalahkan orang itu. Agaknya dia
sedang bertempur mengadu keuletan. Dan memperoleh
pikiran, Bagus Boang menyesal. Katanya di dalam hati
menyesali diri. "Ya, kenapa aku lancang menolong orang ini.
Bukankah aku belum mengetahui baik buruknya" Kalau dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang kemari untuk mengganggu ketentram-an rumah
tangga Harya Cidaya, bukankah sudah wajar apabila pendekar
itu mempertahankan diri dengan menggempurnya mati-
matian. Sekarang aku merusak segalanya. Sudah barang tentu
ayah Ratna Permanasari marah. Lebih-lebih apabila nanti
ternyata bahwa orang ini iblis yang pantas untuk dilenyapkan.
Memperoleh pertimbangan demikian, hati Bagus Boang
gelisah sendiri. Sebaliknya, napas orang tua itu nampak
menjadi tenang. Ia sedang meluruskannya dengan hati-hati.
Bagus Boang tidak mengganggunya. Ia sedang sibuk pula
dengan pikirannya sendiri. Sejenak kemudian setelah sadar
akan peristiwa yang baru dialami, cepat-cepat ia duduk
bersemadi. Ia membuka matanya kembali setelah fajar hari
tiba. Tatkala itu embun pegunungan turun dengan rapat.
Sekujur badannya jadi basah dingin.
Tak lama kemudian sinar matahari mulai tersembul di
udara. Alam menjadi cerah lembut. Sekarang ia mengamat-
amati orang yang telah ditolongnya itu. Ternyata ia duduk di belakang pagar berduri. Wajahnya terlindungi rumpun, bunga
yang tumbuh lebat mulai di depan mulut gua.
Rambut, kumis dan jenggotnya ternyata tidak seputih
dugaannya semalam. Masih banyak warna hitamnya. Hanya
saja terlalu tebal kumisnya sehingga menutupi mulutnya.
Sedang rambutnya terurai panjang sampai meraba tanah.
Jenggotnya tidak terpelihara. Orang demikian itu, entah sudah berapa tahun tidak memeliharanya dengan baik-baik. Mungkin
tidak pernah cukur pula. Meskipun demikian, wajahnya
nampak berseri, tenang dan bersih. Pastilah dia bukan
tergolong manusia berhati busuk.
Tiba-tiba kedua matanya tersenak. Lalu memandang sinar
matahari dengan tajam. Hebat sinar matanya, seakan-akan
dapat menembus rahasia alam. Kemudian ia tersenyum
kepada Bagus Boang seraya berkata, "Kau putera Pangeran Purbaya yang ke berapa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sabar suaranya, tapi bagi pendengaran Bagus Boang
sangat mengejutkan. Bagaimana orang itu dapat menebak
asal usul dirinya dengan sekali bicara" Karena belum kenal
dengan jelas lawan atau kawan, ia menjawab: "Semenjak
kanak-kanak aku selamanya hidup dengan Ibu."
Mendengar jawaban Bagus Boang, orang itu heran.
Pandangnya mengesankan rasa sangsi, katanya: "Mengapa
ilmu ibumu mirip Pangeran Purbaya" Ah, malah bukan mirip
lagi. Ibumu justru mengerti ilmu pangeran Purbaya. Ibumu
yang mengajarimu ilmu tata semedi, bukan?"
Bagus Boang mengangguk.
Orang itu merenungi wajah Bagus Boang dengan kepala
menebak-nebak. Katanya lagi, "Apakah... apakah..." ia tak meneruskan. Setelah berbimbang-bimbang sebentar, berkata
meneruskan, "Aku kenal Pangeran Purbaya. Dialah kakak
seperguruanku. Karena itu aku kenal ilmu tata semedinya."
Mendengar orang itu menyebut ayahnya sebagai kakak
seperguruannya, hati Bagus Boang berdebar-debar. Ia tak
dapat menguasai perasaannya lagi. Maka terloncatlah
perkataannya, "Ibuku memang seringnya membicarakan
Beliau, tapi...tapi...."
Orang itu lantas tertawa riuh. Wajahnya berubah lucu. Ia
tak ubah seperti seorang pemuda yang sebaya dengan Bagus
Boang. Katanya setengah bersorak, "Ha, tahulah aku sekarang apa sebab engkau berada di pinggang Gunung Patuha."
"Bukan ibuku yang menyuruh, tapi aku diperintahkan
guruku," kata Bagus Boang dengan nada meninggi.
"Gntuk apa?" Orang tua itu terkejut dengan wajah berubah.
"Aku harus membunuhnya."
"Siapa?"
"Harya Udaya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah!" Orang tua itu heran bercampur kaget. "Apakah kau tidak sengaja berbohong padaku?"
"Masakan aku berdusta padamu" Tak berani aku begitu,"
sahut Bagus Boang dengan sungguh-sungguh.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Rupanya ia percaya
kepada kesungguhan paras muka Bagus Boang. Katanya
dengan suara lega. "Bagus. Kau duduklah dengan tenang *
di situ." Bagus Boang tidak membantah. Ia duduk di atas batu
besar. Sekarang ia dapat melihat tegas keadaan orang itu.
Ternyata ia duduk di depan mulut gua seperti terkurung.
Tempatnya dipagari kawat berduri. Bagus Boang tak berani
menyangka, bahwa orang tua itu tersekap atau terkurung di
tempat itu. Karena apabila mau, dengan mudah ia dapat
menerobos keluar. Maka ia heran, apa guna kawat berduri
yang mengurungnya.
"Siapakah yang mengajarimu ilmu kepandaian?"orang tua itu bertanya.
"Guruku yang baik budi."
"Siapa?"
"Paman Mundinglaya. Kecuali itu paman-paman guru
lainnya dengan baik hati pula mengajari aku beberapa macam
ilmu kepandaian."
Orang tua itu heran mendengar keterangan Bagus.
Kemudian tertawa senang. Katanya, "Mundinglaya! Iskandar!
Suradimeja! Hasanudin! Jayapuspita! Galuh Waringin!
Suriamenggala! Ketujuh pendekar itulah pastilah termasuk
pula guru-gurumu bukan?"
"Benar," lagi-lagi Bagus Boang heran. Pikirnya, apa sebab orang tua itu untuk kedua kalinya dapat menebak rahasia
dirinya dengan tepat" Menimbang bahwa orang itu pasti
bukan orang sembarangan, maka dengan suara rendah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata: "Mereka semua pendekar-pendekar ulung. Hanya
karena ketololanku, aku hanya mewarisi ilmu kepandaian
mereka tak lebih dari tiga bagian."
Orang tua itu tertawa senang mendengar kerendahan hati
Bagus Boang. Katanya menyahut, "Tiga bagian kali tujuh.
Bukankah menjadi dua puluh satu bagian" Ha, dengan begitu
engkau melebihi kepandaian gurumu."
"O, tidak... tidak," Bagus Boang membantah dengan gugup.
Wajahnya menjadi merah karena hatinya tersinggung.
Namun orang tua tidak menggubris keadaan hatinya. Masih
saja ia tertawa selintasan. Kemudian menegas, "Apakah
engkau tidak diajari ilmu tata menghimpun tenaga dat?"
"Tidak! Aku hanya memperoleh petunjuk dari Ibu. Dan
semua guruku kemudian memberi petunjuk-petunjuk yang
berguna." Orang tua itu mendongak ke udara. Parasnya berubah
menjadi sungguh-sungguh. Sejenak kemudian berkata
seorang diri. "Dia masih begini muda belia. Seumpama saja malaikat
mengajari dia ilmu tenaga himpunan dat semenjak di dalam
kandung-v an, dia baru mencapai tataran delapan atau
sembilan bagian. Tetapi apa sebab dia sanggup melawan
seruling Harya Udaya yang begitu dahsyat" Aku sendiri tidak sanggup, mengapa dia justru lebih tangguh" Bukankah ini
aneh?" Orang tua itu tak mengerti, bahwa justru usia Bagus Boang
yang muda belia itulah yang menyebabkan bebas dari
pengaruh seruling Harya Udaya. Keadaan dirinya seperti
seorang yang tidak mengerti suatu lagu asing. Walaupun
iramanya berganti-ganti dan berpindah-pindah dari lagu ke
lagu, tetap saja ia asing. Karena itu bebas dari tata rasa lagu itu sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan rasa heran, orang tua itu memandang kepada
wajah Bagus Boang. Ia mengamat-amati untuk memperoleh
keyakinan, bahwa Bagus Boang memang benar-benar seorang
pemuda remaja. Kemudian ia beringsut maju mendekati batas
pagar. Kedua lengannya dijulurkan ke depan melalui bawah
pagar. Lalu berkata memerintah, "Coba kau doronglah aku dengan tenaga dat mu. Kedua tanganmu tempelkan pada
telapak tanganku!"
Bagus Boang tahu, bahwa orang tua itu sedang ingin
meyakinkan diri. Maka ia menurut. Kedua tangannya
ditempelkan pada telapak tangan orang tua itu.
"Nah, sekarang kerahkan tenaga dat mu sekuat kuatmu!"
perintah orang tua itu
Bagus Boang menurut saja. Ia segera mengerahkan tenaga
himpunannya. "Hati-hati! Aku akan melawanmu!" Orang tua itu memberi peringatan. Kemudian ia mengerahkan tenaga himpunannya
pula untuk melawan.
Bagus Boang kaget. Ia merasakan suatu tenaga tolak yang
luar biasa. Tubuhnya lantas saja bergoyang-goyang. Karena
kedua tangannya tidak sanggup melawan, segera ia hendak
membantu dengan kedua kakinya. Tiba-tiba orang tua itu
tidak melepaskan tangan kanannya. Jari telunjuknya
menunjuk ke udara. Lalu ditusukkan perlahan pada lengan
Bagus Boang. Dan pemuda itu terpelanting mundur delapan
langkah. Tubuhnya membentur sebatang pohon. Dan
ditempat itulah dia baru dapat berdiri tegak dengan bersandar pada pohon.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus! Bagus!"
seru orang tua itu
dengan gembira.
"Tenaga himpunanmu tiada
celanya. Hanya saja
kau belum mahir.
Tapi apa sebab engkau bisa tahan
memasuki jaring
nada seruling Harya
Udaya?" Bagus Boang tidak mendengarkan kata-kata orang tua itu. Ia heran atas
tenaga himpunan orang tua itu yang dapat menggeser
tubuhnya terpelanting sampai delapan langkah jauhnya.
Orang tua itu pun hanya menggunakan tenaga telunjuknya
saja. Tetapi tenaganya hebat luar biasa. Rasanya dirinya tak ubah sehelai daun rontok kena tertiup angin lewat. Dan
tenaga demikian ini hanya dapat dimiliki oleh beberapa orang saja pada zaman itu.
Menurut gurunya, pada zaman itu yang memiliki tenaga
himpunan demikian hanya lima orang. Pertama, Ki Tapa.
Kedua, Harya Udaya. Ketiga, Ganis Wardhana. Keempat,
Harya Sokadana dan Kelima, Watu Gunung. Tenaga himpunan
mereka seimbang, sehingga susah menilai urutannya. Dan
teringat nama Watu Gunung murid seorang sakti Resi Budha
Wisnu. Dia bermukim di atas Gunung Tangkuban Prahu.


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecuali tenaga himpunannya bagaikan tenaga dua ekor
gajah, ia mengenal macam racun juga. Karena itu, buru-buru
Bagus Boang memeriksa tangannya. Jangan-jangan orang
itulah yang bernama Watu Gunung. Tetapi ternyata tidak ada
perubahan sesuatu. Hatinya menjadi lega.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya orang tua itu mengerti keresahan hati Bagus
Boang. Dengan tertawa ia berkata, "Kau tebaklah, siapa kau ini!"
Gntuk ketiga kalinya, Bagus Boang kena ditebak keadaan
hatinya. Ia merasa diri tak ubah seseorang yang kena
terdorong ke pojok sehingga mati kutu. Maka jawabnya
dengan suara merasa kalah. "Menurut tutur kata guruku, pada zaman ini kecuali Pangeran Purbaya, masih terdapat lima
orang tokoh sakti yang menjagoi wilayah Jawa Barat. Yang
pertama Ki Tapa. Sayang, belum pernah aku bertemu
dengannya. Kabarnya, Beliau bermukim di atas Gunung Mu-
nara. Yang kedua, Harya Udaya, kemudian Ganis Wardhana.
Setelah itu Harya Soka-dana. Dan yang terakhir Watu Gunung.
Apakah Paman bukan pendekar sakti Ki Tapa atau Harya
Sokadana?"
Orang tua itu tertawa tergelak-gelak. Sahutnya, "Bukankah engkau dapat mengukur tenaga himpunanku tadi?"
"Ilmu kepandaianku masih sangat rendah, betapa dapat
kubuat ukuran untuk menilai tenaga himpunan Paman," kata Bagus Boang dengan hati-hati. "Sebentar tadi, aku merasakan tenaga tolak Paman yang luar biasa kuatnya. Aku hanya
mempunyai satu pengalaman. Itulah tatkala aku berlawanan
dengan Harya Udaya. Kurasa tenaga himpunan Paman tak
kalah dengan Harya Udaya. Mungkin pula malah melebihinya."
Senang, orang tua itu mendengar pujian Bagus Boang.
Hatinya lantas saja merasa cocok. Wajahnya segera berubah
riang dan nampak berseri-seri. Katanya, "Aku bukan Ki Tapa.
Bukan pula Harya Sukadana, Watu Gunung atau Ganis
Wardhana. Cobalah terka sekali lagi. Kau hampir benar."
Bagus Boang segera mengasah ingatan. Dasar ia berotak
cerdas, tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya
kemudian dengan hati-hati. "Paman berkata, aku hampir saja dapat menebak. Tetapi sebenarnya selama hidupku, aku bakal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempunyai suatu teka teki yang tidak akan dapat
kupecahkan."
"Apa itu?" orang tua itu tertarik hatinya.
Bagus Boang teringat akan bunyi tulisan pada makam di
depan gua. Melihat lagak lagu orang tua itu yang aneh, ia
menduga jangan-jangan nama Pancapana itu justru dia. Maka
ia memberanikan diri. "Sewaktu aku datang kemari hendak melintasi makam itu, kulihat sebuah papan nama yang
mentereng. Pancapana...."
"Hai! Hai! Kau menyindir aku bukan" Kau menyindir aku
bukan?" potong orang tua itu.
Bagus Boang tercengang. Tapi dasar berotak cerdas, lantas
saja ia dapat menebaknya. Ia membalas ucapan orang tua
dengan tersenyum.
"Bagus! Bagus! Kau memang sudah kenal aku!" seru orang tua itu. "Akulah memang yang bernama Pancapana. Aku adik seperguruan Ki Tapa pula. Begini, begini... ah panjang
ceritanya."
Belum lagi habis kata-katanya, Bagus Boang sudah berdiri
tegak dan memberi hormat. Dan melihat Bagus Boang
memberi hormat padanya, buru-buru orang tua itu berkata,
"Hai, hai! Kau berbuat apa kepadaku" Aku orang pegunungan.
Sepatutnya kau panggil saja aku sebagai saudara Pancapana."
"Betapa aku tak berani sekurang ajar begitu," seru bagus Boang seraya memberi hormat.
"Mengapa tidak?" sergah Pancapana. Tiba-tiba ia
memperoleh suatu ide, katanya dengan penuh semangat,
"Nanti dahulu, sebenarnya kau bernama siapa?"
"Bagus Boang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pancapana memiringkan kepalanya. Kemudian berkata
memuji. "Nama bagus! Bagaimana kalau kau sekarang
mengangkat aku sebagai paman gurumu?"
Mendengar usul itu, Bagus Boang kaget tak terkira. Gugup
ia menyahut, "A... a...aku mempunyai kepandaian apakah sampai berani mengangkat Paman sebagai guruku"
Kedudukan Paman lebih tinggi daripada guruku sendiri.
Sepantasnya, aku memanggil kakek."
Pancapanan tertawa geli. Wajahnya berubah menjadi
kekanak-kanakan. Dengan memoncong-moncongkan
mulutnya, ia berkata: "Memang benar, baik gurumu maupun pendekar-pendekar bekas pengawal Pangeran Purbaya kenal
belaka padaku. Tetapi meskipun aku berada di atas mereka,
apakah halangannya mengambilmu sebagai muridku" Mari kita
adakan upacara pelantikan ini. Dengan begitu hubungan kita
berdua tidak kaku. Apakah justru ada sebutan guru, malah
menjadi kaku" Baiklah, kau angkat aku sebagai paman
kandungmu sendiri. Ya, itu lebih baik! Lebih baik! Kau lantas jadi keponakan kandungku."
Pancapana lantas saja tertawa berseri1 seri. Mendadak ia
melompat berdiri,, lalu menandak-nandak sambil bertepuk
tangan. Mulutnya tiada hentinya melahirkan kata, "Bagus!
Bagus!" Sebaliknya Bagus Boang terperanjat sampai berjingkrak.
Aneh orang tua ini, pikirnya. Ia tak tahu, bahwa pada zaman dua puluh tahun yang lalu, dunia pernah mengenal sepak
terjang seorang pendekar jempolan bernama Pancapana. Dia
seorang jujur, bersifat kekanak-kanakan, Jenaka dan berilmu sangat tinggi. Ia tidak memedulikan pertimbangan-pertimbangan umum dan adat istiadat yang banyak ikatannya.
Lagak lagunya bebas merdeka bagaikan seekor kuda binal
yang tidur berselimut awan dan lari mengejar angin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"A... a... aku masakan pantas menjadi keponakanmu?" seru Bagus Boang tergagap. "Aku ini hanya pantas menjadi
cucumu." "O, tidak, tidak!" Potong Pancapana dengan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Kau tahu darimanakah asal usul kepan-daianku?" katanya lagi. "Itulah kedua kakak seperguruanku yang memberi
dasarnya. Karena itu pantas kau mengangkat aku sebagai
paman kandungmu! Pangeran Purbaya...."
Sampai di sini kata-kata Pancapana terpotong. Dua orang
bujang datang dengan membawa niru penuh makanan dan
minuman. Sebelum mereka tiba, langkah kakinya sudah
terdengar lebih dahulu dengan terang.
"Eh, lihat! Makan dan minum tiba dengan sendirinya. Ini adalah hadiah Tuhan Semesta Alam," kata Pancapana dengan tertawa bersyukur.
Dengan berdiam diri, kedua bujang itu meletakkan nirunya
yang masing-masing berisi penuh dengan nasi, sayur, ikan,
buah-buahan dan minuman. Malahan ada dua botol minuman
keras pula, lengkap dengan dua cawan.
Bertemu dengan dua bujang Harya Udaya, Bagus Boang
merasa mendapat kesempatan bagus. Segera dia bertanya,
"Ratna DewiKZ Permanasari baik-baik saja bukan" Mengapa bukan dia sendiri yang datang?"
Kedua bujang itu saling memandang, kemudian
mengelengkan kepala berbarengan. Mereka menuding telinga
dan mulutnya untuk memberitahu bahwa mereka berdua bisu
tuli. Pancapana tertawa bergelak. Katanya kepada Bagus
Boang, "Meskipun kau menjerit setinggi langit akan sia-sia belaka. Kuping mereka ditusuk sampai tuli. Dan lidahnya
tinggal sepertiga. Kau tak percaya" Coba buka mulutnya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Boang mengernyitkan dahinya. Gntuk membuktikan
kebenaran ucapannya itu, dengan gerakan tangan ia meminta
agar mereka membuka mulutnya masing-masing. Dan benar.
Lidah mereka tinggal sepertiga.
"Siapa yang melakukan begini kejam?" Tak terasa
terlontarlah pertanyaannya.
"Siapa lagi kalau bukan Harya Udaya," sahut Pancapana dengan suara dingin. "Sekalian pembantu rumahnya
terpotongi lidahnya. Dan telinganya ditusuknya sampai tuli.
Kau sendiri sudah berani gegabah tiba di sini. Kaupun akan
mengalami nasib demikian pula."
Bagus Boang terdiam, ia bukan gemetar mendengar
ancaman itu, tapi pedih memikirkan sepak terjang ayah Ratna Permana-sari. Pikirnya sibuk, "Apa sebab ayah Ratna
permanasari berbuat sekejam itu" Apakah dia benar-benar
bermaksud hendak merahasiakan tempat tinggalnya" Kalau
benar demikian, maka kedatangan Arya Wirareja pasti atas
undangannya sendiri."
Pancapana berkata pula, "Setiap malam Harya Udaya
menyiksa diriku dengan nyanyian iblis itu. Dengan tenaga tak mampu ia mengalahkan. Tetapi sekarang dia kalap. Terus
menerus aku diganggunya, sehingga aku perlu membuat
makamku sendiri. Bertahun-tahun lamanya, aku beradu
kepalan, tinju dan kaki. Tadi malam hampir saja aku rubuh,
seandainya engkau tidak datang menolong."
Mendengar ujar Pancapana. Bagus Boang ingin menyela
apa sebab tidak melarikan diri saja. Tapi belum lagi mulutnya bergerak, Pancapana sudah berkata lagi. "Mungkin benar dugaanmu. Aku ini manusia yang mau menang sendiri. Karena
itu, aku tak sudi meninggalkan gua ini sebelum dia mengaku
kalah. Tapi setelah bertahan hampir lima belas tahun di sini, malam tadi akulah yang nyaris roboh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lima belas tahun?" Bagus Boang berseru karena
terperanjat. "Benar. Bukankah aku masih nampak muda?" sahut
Pancapana seperti mengejek dirinya sendiri. Tiba-tiba ia
mengalihkan pembicaraan. "Ha, makan dan minuman ada
pula. Mari kita rayakan pertemuan kita ini. Eh, bagaimana"
Kau sudi mengangkat aku sebagai paman kandungmu atau
tidak?" Perubahan itu sangat cepat bagi Bagus Boang. Melihat
perubahan wajah Pancapana, gugup ia menyahut,
"Sebenarnya ini suatu penghargaan bagiku. Tapi... tapi...
bagaimana aku bisa mengangkat Paman sebagai paman
kandungku. Kepandaian Paman sangat tinggi, sedangkan
aku?" "Kenapa berpikir yang bukan-bukan?" potong Pancapana.
Ia nampak kecewa, lalu berkata menginsyafi diri. "Apakah karena usiaku sudah tua bangka ini, engkau tidak sudi
mengangkat aku sebagai paman kandungmu" Ya, memang...
memang... mukaku memang jelek. Tampangku seperti
monyet. Memang... memang..." Tiba-tiba Pancapana
menangis sangat sedihnya, la menutupi mukanya dan
menyibakkan kumisnya yang lebat.
Bagus Boang heran bercampur kaget. Ia tak mengira,
orang tua itu menangis sedih dengan perkara kecil begitu.
Hatinya lantas menjadi bingung. Katanya gugup setengah
membujuk. "Baiklah...baiklah! Aku menurut..."
Bagus Boang mengira bahwa dengan ke-putusannya itu,
Pancapana akan berhenti bersedu sedan. Tak tahunya dia
malah makin meningkatkan suara tangisnya. Katanya
menggerembeng. "Kau menurut karena merasa kupaksa,
bukan" Kau menurut karena iba padaku bukan" Aku tak mau
dikasihani. Katakan saja terus terang, bahwa kau tak sudi
mempunyai paman seperti tampangku!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lucu lagak lagu orang tua itu. Hati Bagus Boang menjadi
geli. Namun melihat kesungguhannya, ia heran pula. Apa
sebab di dunia ini ada seseorang ingin diangkat menjadi
seorang paman kandung sedangkan asal susulnya tidak jelas"
Apa pula keuntungannya" Ia membujuk dan menyesali seperti
laku seorang suami terhadap isterinya. Sebaliknya ia pandai pula menangis dan sakit hati seperti seorang perempuan.
Pancapana ternyata tidak berlagak sampai di situ saja.
Sekonyong-konyong ia berdiri dan melempar-lemparkan piring
dan minumannya sehingga membuat kedua bujang Harya
Udaya terperanjat dan bingung.
Menyaksikan peristiwa itu, Bagus Boang tertawa. Benar-
benar tertawa. Kemudian berkata, "Pamanku yang baik budi.
Bagaimana aku dapat menolak maksud Paman yang luhur"
Mari-mari kita mulai mengangkat keponakan dan paman
kandung. Apakah kita menggunakan batu atau tanah?"
"Kau bersungguh-sungguh?" Pancapana menguji.
"Demi Tuhan! Demi bumi! Demi langit! Demi..." sahut Bagus Boang dengan sungguh-sungguh.
"Sudah, sudah, sudah! Cukup!" seru pancapana gembira.
Dan tiba-tiba tangisnya hilang. Kemudian tertawa terbahak-
bahak. Katanya lagi, "Aku berada di sini, di belakang kawat berduri. Karena aku tak dapat keluar, kaulah yang harus
mengalah. Aku akan menghormat dari sini dan kau
menghormat dari sana sampai mencium bumi!"
Bagus Boang memperhatikan letak pagar kawat berduri itu.
Heran ia, apa sebab Pancapana tak mau meloncati pagar
kawat itu. Mengingat ilmunya yang begitu tinggi, sudah
barang tentu ia mampu melompati pagar kawat itu dengan
sangat mudah. Sebaliknya ia tidak berbuat demikian, bahkan
seperti sengaja mengurung diri.
Dalam pada itu, Pancapana benar-benar memberi hormat
padanya, melihat orang setua itu memberi hormat kepadanya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buru-buru ia menekuk lututnya dan mencium bumi. Terdengar
kemudian Pancapana berkata dengan sungguh-sungguh.
"Kami Pancapana dan Bagus Boang, kedua-duanya anak
Tuhan dan musuh setan. Dengan upacara ini masing-masing
mengangkat diri sebagai paman dan keponakan kandung.
Semenjak ini suka duka kami pikul bersama. Barangsiapa
menyalahi janji, apalagi sampai mengingkari, semoga Tuhan
mengutuk hidup kami sampai ke akhirat."
Bagus Boang menirukan bunyi sumpah itu dengan takzim.
Hatinya tiba-tiba terasa menjadi terharu. Setelah itu, masing-masing menyiram bumi dengan secawan arak. Dan Pancapana
menjadi puas luar biasa, sampai wajahnya berseri-seri dengan dibarengi tertawa lebar.
"Sudah! Sudah! Cukup! Mari kita minum secawan arak!"
la mendahului meneguk araknya. Kemudian diangsurkan
kepada Bagus Boang agar meneguknya pula sampai habis.
Sebenarnya Bagus Boang belum biasa minum arak. Tapi takut
kena salah, ia meneguknya dengan sekali habis. Justru
demikian, ia mengesankan suatu semangat yang berkobar-
kobar. "Harya Udaya memang manusia sinting!" gerutu Pancapana dengan suara jernih. "Masakan kita berdua hanya disuguh arak kampung. Dahulu pernah aku menerima sebotol arak
wangi dan luar biasa mustajab. Tapi hanya satu kali itu saja.
Mungkin dia kena omelan ayahnya."
"Tentu saja, karena arak itu sangat sukar diperoleh," sahut Bagus Boang
"Bagaimana kau tahu?" Pancapana heran.
"Arak wangi itu bernama Tirtasari, bukan?"
"Hai! Mengapa kau tahu" Memang benar Tirtasari! Aku
dapat mengenal baunya." Pancapana bertambah heran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringat pengalamannya dengan Ratna Permanasari, wajah
Bagus Boang merah jambu. Tapi teringat pula bahwa paman
kandungnya berwatak angin-anginan, ia dapat menghibur diri.
Ia hendak membuka mulutnya, tapi batal dengan sendirinya.
Pancapana tertawa lebar. Meskipun wataknya angin-
anginan tapi sesungguhnya otaknya cerdas luar biasa. Dengan segera ia dapat menebak hati keponakannya.
"Memang cantik anak Harya Udaya," katanya. "Sayang, mengapa dia anak orang sinting itu!"
Bagus Boang menundukkan mukanya, la tak mau melayani.
Hatinya terasa segan. Karena perutnya sudah diamuk rasa
lapar tak terhingga, dengan berdiam diri ia langsung
menyambar makanan di atas niru. Sebentar saja ia
menghabiskan tujuh mang-kok sekaligus.
"Bagus! Bagus! Kau bersemangat!" seru Pancapana dengan gembira. "Aku jamin sebulan lagi, kau sudah jadi besar."
Bagus Boang tersenyum. Lucu pamannya itu. la
dianggapnya seperti bocah kemarin sore yang masih bisa
tumbuh karena makan banyak.
Setelah mereka habis makan dan minum sepuasnya, kedua
bujang Harya Udaya segera berlalu dengan membawa piring
dan cawan.

Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, anakku!" kata Pancapana. "Cobalah sekarang katakan dengan sebenarnya, apa sebab engkau mau membunuh Harya
Udaya!" "Menurut guru, Harya Udaya berkhianat kepada bangsa
dan negara, la pun menikam bekas junjungannya dari
belakang dengan mengandalkan pedangnya. Karena itu, guru
dan sekalian paman guruku memberi perintah padaku untuk
membinasakan." Bagus Boang memberi keterangan.
Pancapana sudah lama terpisah dari pergaulan. Karena itu
ia senang mendengar orang bercerita. Itu disebabkan ia sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sangat rindu pada suara manusia. Maka begitu ia mendengar
Bagus Boang bercerita langsung pada intinya, hatinya tidak
puas. Katanya memotong, "Eh, anakku, kau berbicara terlalu cepat, seperti diburu setan. Cobalah berbicara perlahan-lahan!"
Bagus Boang dalam kesulitan kini. Sebab kalau ia bercerita
dari asal mula, dengan sendirinya akan menyangkut asal usul dirinya. Hal inilah yang tidak dikehendaki, la harus
merahasiakan nama ayahnya, dirinya dan keluarganya. Tapi
apakah hal ini berlaku pula terhadap Pancapana yang kini
sudah menjadi paman kandungnya"
Teringat bahwa Pancapana agaknya sudah dapat menebak
asal usulnya, ia merasa diri tak pantas berahasia terhadapnya.
Maka dengan suara rendah ia berkata, "Paman, keponakanmu ini tidak beruntung, karena dengan tidak kukehendaki sendiri menjadi putera Pangeran Purbaya yang sekarang menjadi
buronan pemerintah... Banten!"
Mendengar keterangan Bagus Boang, Pancapana tidak
menunjukkan rasa heran. Matanya berseri-seri dan dengan
tertawa gelak ia berkata, "Aku sudah mengira! Aku sudah mengira! Ayahmu adalah kakak seperguruanku. Karena itu,
kalau engkau mengangkat aku sebagai paman kandung, tak
salah bukan" Aku sangat cinta dan menjunjung tinggi ayahmu.
Karena aku takut kehilangan hubungan, maka engkau kupinta
menjadi keponakan kandungku. Kau menyesalkah?"
Bagus Boang terharu. Meskipun lagak lagu Pancapana
angin-anginan, tapi terasa betapa orang tua itu sangat
menghormati, menghargai dan mencintai ayahnya. Maka
dengan berlinangan air mata, ia menyahut cepat: "Tidak! Aku justru berbesar hati, karena sekarang aku mempunyai
sandaran."
"Ah, anakku, kau benar!" kata Pancapana. "Pastilah sudah membaca tulisan di atas makam itu. Selama hidupnya,
Pancapana tidak kenal Tuhan dan setan. Tapi baru hari ini aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kenal padamu. Kaulah hidupku!" Sampai di sini ia tertawa riang hingga tubuhnya tergoncang-goncang. Berkata lagi,
"Baiklah, kau tidak usah meneruskan ceritamu. Dengan
sepatah katamu itu, sudahlah jelas bagiku. Malahan nanti aku dapat bercerita lebih jelas lagi. Sekarang, bagaimana setelah engkau bertemu dengan Harya "daya?"
Dengan menghela napas, Bagus Boang menyahut: "Aku
sudah bertemu dengan Paman Harya Udaya. Sekarang aku
berada di sini. Bukankah seperti Paman?"
"O, tidak, tidak!" sahut Pancapana cepat. "Kau kalah melawan Harya Udaya. Itu sudah wajar. Tapi aku tidak kalah
daripadanya. Hanya semalam, hampir saja aku kena
dikalahkan seumpama kau tidak datang menolong."
Pancapana berhenti merenung-renung. Ia memandang ke
tanah. Berkata kepada dirinya sendiri. "Anak iblis itu, memang cantik jelita. Kau berada di sini, mengapa dia tidak kemari"
Pastilah ada sebabnya. Gadisnya yang cantik itu menaruh hati padamu bukan"
Memperoleh pertanyaan itu, wajah Bagus Boang terasa
menjadi panas. Ia sendiri menaruh hati kepadanya. Tetapi
gadis itu sendiri tak berani ia mewakili hatinya.
"Paman! Kisahku memang kurang lengkap," akhirnya dia berkata. "Tatkala aku mendaki gunung ini, salah seorang kawan melukaiku."
"Eh, nanti dulu. Seorang kawan melukaimu. Bagaimana
itu?" potong Pancapana.
Terasalah kini dalam hati Bagus Boang, bahwa paman
kandungnya itu tidak hanya pandai mendengarkan tapi juga
seorang yang teliti serta cermat. Maka ia menuturkan riwayat perjalanannya dengan selengkap-lengkapnya. Kemudian
mengesankan, "Pu-teri Harya Udaya bernama Ratna
Permanasari. Ia merawat diriku dengan sangat cermat,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehingga aku diberinya buah Dewa ratna dan seteguk air
Tirtasari."
"Nah, apa kubilang?" seru Pancapana girang. "Itulah suatu tanda, dia menaruh hati padamu. Mengapa kau berputar-putar
Pendekar Panji Sakti 16 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Senyuman Dewa Pedang 1
^