Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 10

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 10


Tile Kiang jamu kedua tetamunya, ia dan Kong Kiat
menemani begitu-pun beberapa saudaranya yang lain.
Tengah dahar mereka membicarakan tentang Kang Siau
Hoo. Cie Kiang bilang, orang she Kang itu adalah satu
bandit yang di Tin-pa dan di Su-coan Utara banyak berbuat perkara pelanggaran. Maka kalau Siau Hoo datang ke
Tiang-an, See-an, ia minta kedua hamba negeri itu suka bekuk saja padanya.
"Dengan segala senang hati," demikian Liu Jie-ya dan
Teng Jie-ya berikan janjinya. "Kita-pun sudah titahkan orang orang kita cari padanya untuk ditangkap."
Kong Kiat tutup mulut, ia tidak mau campur bicara,
karena ia tidak puas Cie Kiang minta bantuannya pembesar negeri, sedang ia-pun tahu Kang Siau Hoo ada sangat
liehay, hingga beberapa orang polisi diwilayah See-an pasti tidak mampu berbuat suatu apa. Harapannya adalah
kepada beberapa batang hui-piau, maka itu ia harap-harap Siau Hoo datang terlambat beberapa hari lagi, agar piau yang dipesannya keburu dirampungkan pembuatannya. Ia
percaya benar, piaunya tidak bakal meleset dan Siau Hoopun tidak akan bersedia.
Sampai waktunya lampu-lampu dinyalakan, perjamuan
masih dilanjutkan, dan orang masih terus pasang omong
dengan asyik. Diluar rumah, langit ada gelap. Tapi Cie Kiong telah berhenti bicara tentang Kang Siau Hoo, apabila ada lain orang yang menimbulkannya, ia melirik dengan
mata separuh melotot pada orang itu! Ia jadi tidak suka orang bicarakan halnya Siau Hoo. Sekarang ia nampaknya jadi gelisah.
Syukur tidak lama kemudian perjamuan telah ditutup
dan kedua Jie ya itu pamitan dan pergi. Sesudah antar
kedua tetamunya, disebelah perintah orang lekas. bebenah, Cie Kiang-pun suruh semua orang berjaga-jaga, semua
mesti selalu siap senjata, tidak boleh enak-enakan tidur, bahwa bila ada terdengar suara apa saja, semua mesti segera lari, terutama untuk bunyikan gembreng. Gembreng ini ada suatu pertandaan untuk orang-orang polisi. Tentang ini tadi ia sudah bicara masak-masak dengan dua tetamunya itu.
Kong Kiat bersenyum ewa kapan ia saksikan cara
pemujaannya piausu itu. Ia angap Cie Kiang ada seorang yang sangat dogol. Maka ia segera masuk ke kamarnya.
Dua batang lilin yang dinyalakan adalah alat penerangan didalam kamar, disitu duduk menghadapi kaca, Ah Loan
sedang sisiri rambutnya yang kondenya telah dibuka. Hal ini ada membuat suami itu menjadi heran, tetapi ia tidak berani tanya apa-apa, ia berdiri mengawasi saja. Ia
menduga-duga kenapa isterinya itu berisir diwaktu malam.
Ah Loan tidak perdulikan suami itu ia terus sisiri
rambutnya yang gemuk dan hitam mengkilap. Suami itu
jadi tergiur hatinya, hingga dalam hatinya ia kata :
"Nona begini cantik, ia telah terjatuh kedalam tanganku, tetapi aku tidak bisa mempunyai dia. Sama sekali. ia tidak suka bicara kepadaku. Bagaimana aku bisa antap ini"
Semua ini adalah urusannya Kang Siau Hoo yang buat
hatinya jadi tidak tenteram. Bila tidak ada Kang Siau Hoo, dia tentu suka berlaku baik dengan aku ... "
Diam-diam Kong Kiat berkerot gigi, ia jadi benci sangat pada Siau Hoo hingga ia ingin Siau Hoo segera muncul
didepannya, untuk ia hajar tembus perutnya dengan piau.
Ah Loan sudah selesai menyisir rambut, kondenya ia
telah ubah menjadi sebuah kuncir, hingga ia kembali jadi seperti si nona yang belum menikah.
Melihat demikian Kong Kiat jadi heran, dari heran ia
jadi mendelu, hingga ia buka matanya lebar-lebar.
"Apa artinya ini?" tanya ia. "Kenapa kau ubah kondemu
jadi taucang" Apakah ini bukannya menunjukkan bahwa
kau tidak sudi jadi pengantin?"
Ah Loan seperti dengar itu, ia berbangkit. Ia sekarang pakai baju hijau tangan pendek yang sepan, didalam itu samar-samar kelihatan baju dalamnya warna merah.
Dibawah sinar lilin keelokannya si nona jadi bercahaya.
Sekejab saja berubahlah hatinya Kong Kiat. Dari gusar, ia menjadi gembira.
"Dengan sebenarnya, kuncir ada terlebih bagus daripada konde," kata ia sambil tertawa. "Baiklah, kalau malam kau pakai kuncir, besok pagi kau ganti pula dengan konde,
supaya orang tidak mentertawakannya!".
-ooo0dw0ooo- Jilid 17 KETIKA Itu Ah Loan menoleh, hingga kelihatanlah
rantai emasnya yang bergemerlap. Tak tahan hatinya Kong Kiat, ia ulur tangannya akan raba itu.
"Apakah ini terbuat dari emas?" tanya ia. "Dimana
dibuatnya" Di Tin-pa tidak nanti ada tukang sepandai ini!"
Ah Loan tolak orang punya tangan, atas mana Kong
Kiat balik cekal itu.
"Sebenarnya kenapa kau tak hendak baik dengan aku?"
tanya ia tetapi sambil tertawa.
Ah Loan tarik pulang tangannya, ia samber goloknya
yang tergantung ditembok.
Kong Kiat kuatir ia nanti diserang pula, segera ia-pun samber pedangnya.
Sinona, atau si "Isteri," ambil goloknya untuk kembali bercokol diatas pembaringan, ia hunus itu buat terus
digosoki dengan saputangannya yang merah.
Melihat itu, Kong Kiat tertawa sendirinya, lantas ia
letaki pula pedangnya. Ia sebenarnya niat dekat isteri itu untuk dajak bicara, tapi ia sangsi, ia kutitir "ketemu pakunya". Maka ia jadi berdiri diam. Hanya kemudian,
dengan jumawa ia kata: "Malam ini belum tentu Kang Siau Hoo datang! Jikalau dia toh datang, kebetulan sekali. aku memang sudah siap untuk melayaninya! Tidak tunggu
sampai dia dapat lihat aku, aku akan buat dia mampus!
Kemudian ... "
Dia ingin lanjutkan bahwa ia hendak wakili Kun Lun
Pay menyinkirkan musuhnya. bahwa setelah mana ia
hendak pergi "terbang melayang," karena ia toh tak
hiraukan lagi "Isteri" itu, akan tetapi, ia berhenti dengan tiba-tiba karena Ah Loan, yang deliki ia, sudah loncat turun dari pembaringannya. sambil bawa goloknya nona itu pergi keluar.
Kong Kiat cepat menyusul, hingga ia masih dapat lihat
isterinya itu menjejak tanah akan loncat naik keatas
genteng. Ia tertawa sendirinya. Ia-pun lalu melesat naik untuk menyusul.
Disebelah depan merkea, dibalik tembok, ada pegawai
piaukiok yang sedang pasang mata sambil sembunyi, dia
tidak lihat suami istri itu. tahu-tahu dia tampak ada orang di atas genteng, karena dia tidak dapat melihat roman orang, terus saja dia berteriak : "Ada penjahat!" Tangannyapun lantas menyusul memalu gembreng.
Kong Kiat terkejut, ia mendongkol, ia lompat turun pada pegawai itu, terus ia berikan dupakan, hingga orang rubuh terguling berikut gembrengnya yang kembali menerbitkan suara berisik.
"Orang tolol!" pemuda itu mendamprat. "Apakah kau
benar tidak lihat kamarku masih ada apinya dan aku baru keluar dari kamar!"
Itu waktu berisiklah suara orang didalam piau-tiam itu, segera muncul Kat Cie Kiang bersama Tio Cie Liong, Tan Cie Cun, Yo Cie Kie", Wan Cie hiap dan lain-lain, yang semua bersenjata lengkap. Sedang diantara pegawai-pegawai ada yang telah nyalakan tanglung. Yang hebat
adalah pegawai yang bunyikan paso tembaga dengan seru.
"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!" Kong Kiat segera
berseru berulang-ulang. "Bersama isteriku aku naik keatas genteng untuk meronda, tapi si tolol ini sudah lantas palu gembrengnya! Sebenarnya dia belum melihat nyata! ... "
Ketika itu si pengawal merayap bangun tetapi Kong Kiat dupak pula padanya hingga ia kembali ngusruk jatuh,
kemudian pemuda itu sentil kupingnya pegawai yang
memain paso seraya mendamprat juga.
Cie Kiang mendongkol berbareng malu kapan ia sudah
ketahui duduknya hal.
"Sudah, jangan berisik!" kata ia, "Kalau orang luar
dengar ini, kita malu! Kita toh ada bangsa piausu" Akh!"
Cie Kiang minta semua orang undurkan diri, tapi jusrru itu, pintu depan terdengar tergedor hebat. Inilah sebab suara gembreng tadi telah dapat didengar oleh orang ronda, siapa sudah lantas lari kekantor untuk beri laporan pada para pembear negeri, hingga Sin-na Teng Jie datang bersama
orang-orangnya, semua membawa gaetan dan thie-chio,
Teng Jie sendiri siap dengan goloknya.
"Mana penjahatnya?" tanya orang polisi ini, apabila ia telah dibukakan pintu dan nerobos masuk kedalam.
"Penjahat sudah kabur," sahut Cie Kiang dengan
terpaksa, mukanya merah. "Tadi orangku ada dengar suara diatas genteng, ketika aku datang, penjahat itu sudah lenyap kabur ... "
"Pasti dia ada satu penjahat terbang," nyatakan Teng Jie.
"Bisa jadi dia belum kabur jauh."
Ia terus perintah ambil tangga dengan itu ia naik sendiri keatas genteng. Tapi benar seperti katanya Cie Kiang,
penjahat tidak ada. Maka ia lantas turun pula.
"Jangan kuatir, Liok-ya," orang polisi ini menghibur
tuan rumah. "Aku nanti tinggalkan beberapa orang untuk bantu kau buat penjagaan."
"Jangan, tidak usah," Cie Kiang menampik. "Kita disini ada yang jaga malam, orang-pun tidak sedikit. Pendeknya asal kita sudah kurung si penjahat, kita nanti bunyikan gembreng, itu waktu Jie-ko barulah datang bersama orang-orangmu untuk membantu!"
Teng Jie berpikir.
"Begitu-pun baik," kemudian ia kata. "Tapi aku percaya penjahat tidak akan berani datang pula ... "
Lantas kepala polisi ini ajak orang-orangnya berangkat pulang.
Kong Kiat masuk ke kamarnya, tak lama lagi Ah Loan-
pun menyusul masuk.
"Lihat, semua orang itu tak ada gunanya!" kata suami
itu dengan sangat mendongkol. "Aku benar-benar tak
mengerti, selama beberapa tahun ini piau apa yang mereka lindungi" Bagaimana orang-orang tak berguna itu bisa
merantau dalam dunia kangouw" Tadinya aku dengar Kat
Liokya ada satu hoohan kenamaan, sekarang ternyata
begini saja Kim-too Gin piau Tiat Pa Ong itu ... Kalau tidak ada mereka yang membuat kacau, pasti sekali aku sudah
mampu bekuk Kang Siau Hoo."
Ah Loan antap orang ngoceh, ia diam saja, tetapi
mukanya merah, ia lemparkan goloknya keatas meja, ia
jatuhkan diri keatas kursi disamping meja itu, dimana ia bertopang dagu dengan sebelah tangannya.
Kong Kiat masih mendelu, ia menggerutu dalam
hatinya: "Benar-benar gila! Aku telah bantu orang-orang Kun
Lun Pay, apa yang akn harap" Pau Lootaucu nikahkan
cucunya perempuan padaku, tetapi aku seperti bukan
menikah saja! Teranglah orang telah tak pandang mata
padaku, aku jadi sia2kan hari depanku! Apakah dengan
begini aku tetap ada satu laki-laki?"
Ia lemparkan pedangnya keatas pembaringan.
"Masa bodoh sekarang!" ia menggerutu pula, tetap
dalam hati. "Aku tidak mau campur pula urusan disini,
besok aku berangkat dari Kwan-tiong ini!"
Baru ia pikir sampai disitu, pikirannya segera berubah pula.
"Itulah aku tak dapat lakukan," demikian datang pikiran baru, "Secara begini benar-benar aku dipaksa kabur oleh Kang Siau Hoo, sampai-pun isteriku aku tinggal pergi!
Apakah itu tidak memalukan?"
Ia lirik Ah Loan disampingnya, ia nampak orang dengan
kuncirnya yang menarik hati, yang menambah kecantikannya, hingga ia merasa berat untuk meninggalkanya. Walau-pun si nona sendiri tidak
mencintai kepadanya. Maka ia jadi masgul.
"Dasar si tua bangka she Pau yang liehay!" akhirnya ia berpikir pula. "Aku telah terjebak tipu Bie Jin Kee, tipu perempuan cantik! Sekarang aku bukan meulu mesti jaga
diri dari Kang Siau Hoo, juga dari mereka orang-orang Kun Lun Pay terhadap siapa aku tidak mestinya berlaku jujur lagi ..."
Lebih jauh ia-pun ingat pula hatinya ketika hendak
berangkat dari Tay-san-kwan, selagi berpisahan Pau Kun Lun telah serahkan padanya dua pucuk surat untuk kat Cie Kiang dan Kang Siau Hoo, tetapi dalam suratnya Cie Kiang itu-pun terlampir untuk Kang Siau Hoo pula. Ia lalu
menduga-duga: Ada apa bedanya diantara dua buah surat
itu?" Saking penasaran dan ingin tahu, Kong Kiat segera cari surat itu yang ia terus buka, di depan api ia baca. Demikian bunyi nya:
"Kepada Kang Siau Hoo yang terhormat!
Kau pasti hendak menuntut balas dan membunuh aku, baiklah aku nanti kurbankan jiwa tuaku ini! Aku undang kau ke San-im-
kok di distrik Lokyang. disitu aku akan serahkan padamu kepalaku yang sudah ubanan! Aku tidak akan menyesal!
Hormatnya Cin Hui." Setelah tabis membaca, Kong Kiat bawa surat itu ke
depan Ah Loan, tetapi karena ia kuatir si nona tidak
mengarti surat, ia terus bacakan bunyinya, sesudah mana, ia tertawa secara mengejek, sedang surat itu ia robek hancur.
"Kau sudah lihat sekarang!" kata ia, Loo ya-cu pesan
aku, apabila sudah sangat terpaksa, surat ini aku mesti sampaikan pada Kang Siau Hoo! Tapi aku tidak akan
lakukan itu! Umpama pedangnya Kang Siau Hoo sudah
menancap didalam di dadakupun tidak nanti aku bocorkan tempat sembunyinya Loo-ya-cu! Aku tahu, dengan bantu
Kun Lun Pay, bagiku tiada faedahnya. Terus-terang aku
katakan bahwa bugeenya Kang Siau Hoo ada terlebih
liehay dari padaku, walau-pun demikian, satu kali aku
bantu kau, aku akan membantu sampai di akhirnya! Aku
berhenti membantu sesudahnya Kang Siau Hoo bunuh aku!
ini bukan berarti aku sangat tolol dan dogol tetapi aku hendak pegang kepercayaan dan kehormatanku!"
Lantas ia-pun tidak mau tinggalkan bekas2nya surat itu, ia bawa ke api dan dibakar menjadi abu, kemudian ia putar tubuhnya akan menghampiri pembaringan, sembari pegang
pedangnya ia rebahkan diri.
Sikap gagah dari si pemuda membuat Ah Loan heran
dan kagum, bukannya ia gusar, ia justeru menoleh akan
mengawasi. Itulah orang muda dengan siapa dia sudah
jalankan upacara terhadap Langit dan Bumi, ialah sebagai suaminya yang syah. Sekarang pemuda itu tidur tetapi
dengan cekal pedang dan tidak salin pakaian, tidak lepaskan kaos kaki dan sepatu, maka umpama kata ketika itu Kang
Siau Hoo muncul disitu, pasti dia akan lompat bangun akan bertempur mati2an ... Kalau dia sampai binasa, apa tidak kasihan"
Lantas nona ini berpikir lebih jauh.
Pertama terhadap Lie Hong Kiat, kalau tidak suami ini
yang bantu menangkis orang she Lie itu, entah berapa
banyak kurban lagi akan rubuh dipihak Kun Lun Pay"
Sekarang terhadap Kang Siau Hoo. Apakah yang akan
terjadi" Suaminya hendak membela mati pula! Tetapi ia
telah perlakukan tidak bagus kepadanya, ia pandang suami itu bagaikan musuh saja.
Ah Loan jadi sangat berduka. Ia turun
dari pembaringannya. Ia niat menghampiri dan bangunkan
suami itu untuk mereka bicara dengan manis. Ia ingin
utarakan cinta-kasihnya.. Tapi tiba ia bersedih hati,
airmatanya terus turun, maka ia duduk pula, dengan kedua tangannya ia tutupi muka. Ia menangis.
Kong Kiat tidak hiburkan isterinya itu. Waktu itu kalau dia berbangkit dan menghampirinya, dengan manis-budi
dan lemah-lembut dia menghiburkan, bisa jadi si nona
menangis dalam rangkulannya. Tetapi dia telah tertidur.
Hingga lewatlah satu ketika yang baik ...
Ah Loan berbangkit pula, ia ingin mendekati suami itu
untuk selimuti tubuhnya. Akan tetapi disaat itu tiba-tiba ada suatu perasaan yang cegah ia, hingga ia jadi berdiri diam saja.
Sesudah tadi piau-tiam sangat berisik, sekarang segala apa ada sunyi-senyap. Justeru itu didalam pekarangan
dalam ada terdengar suatu suara sangat keras bagaikan
bukit ambruk. Saking terperanjat, Ah Loan samber goloknya, akan
tetapi sebelum ia loncat ke luar, Kong Kiat yang terbangun dengan kaget, dengan bawa pedangnya, sudah mendahului
ia lompat keluar kamar.
Pegawai yang memasang mata tadi-pun kaget, tetapi ia
ingat akan pengalamannya, ia
tidak berani palu gembrengnya ia hanya kabur kedalam, gembreng dan
pukulannya ia lemparkan ketanah.
Kong Kiai sampai dipekarangan akan tampak suatu batu
besar terletak melintang, ia lantas teriaki orang untuk bawakan lentera.
Ketika itu Kat Cie Kiang muncul bersama Thio Cie
Liong, Tan Cie Cun, Yo Cie Kin dan yang lain2, disusul oleh pegawai lain lantas bunyikan gembrengnya.
Orang segera kenalkan batu itu adalah tugu disudut
tembok diluar piau-tiam, yang berukiran "Tay Sin Sek Kam Tong." Orang menjadi heran sekali, semua menduga-duga, siapa sanggup cabut dan angkat itu dan membawanya
kedalam piau-tiam. Semua orang ternganga.
"Pasti Kang Siau Hoo telah datang!" akhirnya Kong Kiat bilang. Kemudian lompat naik kegenteng untuk mencari.
Yo Cie Kin dan yang lain2 segera menyusul.
Mereka mencari kesegala penjuru, akan tetapi Kang Siau Hoo tidak kedapatan.
Tidak antara lama, Sin-na Teng Jie-pun datang bersama
sejumlah polisi. Mereka pasang tangga untuk turut naik keatas genteng. Datangnya orang polisi ini membuat piautiam jadi tambah berisik.
Ah Loan, yang telah turut keluar, tidak ambil tindakan apa-apa malah ketika ia dengar dugaannya Kong Kiat,
bahwa yang datang adalah Kang Siau Hoo. Ia sampai
malas angkat goloknya. Begitulah ia memikir untuk lantas kembali ke kamarnya. Dengan lesu ia bertindak kedalam.
Akan tetapi ketika ia melihat jendela kamarnya, ia terkejut.
Ia ingat benar, ketika tadi ia susul Kong Kiat memburu keluar, ia tidak tiup padam api dikamarnya, akan tetapi sekarang kamarnya itu tak ada penerangan. Orang semua
sedang kaget, heran dan sibuk, tidak ada yang perhatikan kamar si nona ini.
Dengan merasa heran tetapi-pun dengan hati2, sedang
goloknya siap-sedia, Ah Loan bertindak dengan pelahan-
lahan masuk kedalam kamarnya itu. Ia tidak dapat lihat suatu apa, ia tidak dengar suaa apa-pun yang mencurigai. Ia dapat jemput bahan api untuk dinyalakan, buat ia pasang lampu.
Kemudian ia tutup pintu, kembali ia perhatikan seluruh kamarnya, sampai-pun ia longok kolong pembaringan. Ia
tidak lihat atau dapatkan apa juga! Ia tengah memeriksa, Kong Kiat telah kembali dan terus masuk kedalam kamar.
"Kau cari apa?" tanya suami ini.
Isteri ini berdiam, mukanya jadi merah tetapi ia tidak menyahut, ia diam saja..Ketika ia telah angkat kepalanya, ia tercengang. Ditembok ada tertempel sehelai surat. Ia hendak lompat akan ambil itu, siapa tahu, Kong Kiat sudah mendahuluinya. Sebab suami ini-pun telah dapat lihat surat itu. Ia tidak senang, ia lompat terus samber kertas itu dari tangannya sang suami, disebelah itu, ia angkat goloknya.
"Beri aku lihat!" ia minta sambil mengancam.
Kong Kiat tidak perdulikan ancaman itu, ia tidak mau
menyerahkannya, dan itu keduanya jadi bergujangan,
hingga kertas jadi tersobek dua.
Dengan bawa sobekannya yang sebelah, Kong Kiat
loncat keluar kamar.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah Loa yang dapat sobekan yang sebelahnya, dengan
napas sengal-sengal ia bawa itu kedepan api, ia beber dan baca :
"Adik Ah Loan yang baik,
Sepuluh tahun kita sudah berpisahan, setiap saat aku memikir untuk ... urusan telah sampai disini ... kita berdua mesti lebih dahulu ...
Besok ... Kang ... Ah Loan cuma bisa baca demikian, kata-kata lainnya
berada dalam sobekan yang dirampas Kong Kiat, akan
tetapi, inipun sudah cukup untuk ia dapat mengarti
maksudnya surat itu. Jadi Siau Hoo tidak pernah lupai dia
... " Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran. Walaupun demikian, ia toh segera bakar sobekan surat itu.
Dilain pihak Kong Kiat sudah pergi kelain kamar, akan
baca sobekan surat itu tanpa gangguan. Ia cari api, dimuka itu ia membaca:
... bicara ... pagi2 ... kita bertemu ... di jembatan Pa Kio.
... Siau Hoo."
Masih ada dua huruf lain yung tidak nyata, tapi rupanya itu ada kata-kata:
"Dengan ini ...
Kong Kiat menduga, itu dimaksudkan tugu yang
dilemparkan itu, untuk hunjuk tenaga besar dan orang yang melemparnya. Ia bersenyum ewa. Ia padamkan api, ia
kembali kepekarangan.
"Pasti Kang Siau Hoo sudah kabur, pergi lekas susul
padanya!" dia kata pada Cie Kiang beramai. Kemudian ia sendiri lantas kembali kekamarnya. Ia dapatkan isterinya sedang rebah diatas pembaringan, tapi ia terus berkata :
"Kang Siau Hoo sudah gunakan ketika orang ribut diluar dan kanar kita ini kosong, ia masuk ke dalam untuk
meningglkan suratnya. Mana sobekan yang sebelahnya lagi"
Mari beri aku lihat!"
Ah Loan tidak menjawab, ia tidak bangun, hanya ia
cekal goloknya.
Kong Kiat tidak berani dekati isteri itu.
"Surat itu sangat penting!" katanya, agaknya ia sangat sibuk, hinga ia banting kaki. "Hal ini ada mengenai kalah-menangnya kaum Kun Lun Pay, penting mengenai mati-
hidupnya engkongmu! Lekas beri aku lihat surat itu!"
Dengan mendonglol Ah Loan jawab:
"Aku sudah bakar itu!"
Kong Kiat melengak, tetapi cuma sebentar saja, lalu ia kata-kata: "Janganlah kau goda aku!. Kalau urusan jadi hebat, itulah tidak mengenai aku, aku paling juga lepas tangan."
Ah Loan angkat kepalanya, ia melotot.
"Apakah kau memang tak dapat tak membantunya"
Apakah kau memang tak boleh tak lepas tangan?" tegaskan ia.
"Nah, itulah sebabnya!" sahut Kong Kiat dengan tertawa dingin. "Pertama2 adalah kepercayaan dan kehormatan
seperti aku bilang tadi, dan kedua oleh karena kita berdua sudah jadi suami-isteri?"
Ah Loan tertawa mengejek. Tapi ia ada sangat berduka,
ia rebahkan pula kepalanya.
Kong Kiat kewalahan, ia menghela napas.
"Jangan kau bersikap demikian," kata ia kemudian.
"Secara begini kau ganggu aku, kau buat aku tidak dapat menahannya. Surat tadi walau-pun sudah terobek dua, aku toh dapat bade makudnya. Dia telah tantang kita untuk
besok pibu di Pa Kio, tapi besok kau tidak usah pergi, kau tunggu saja disni, tidak sampai tengah hari pasti aku akan dapat lukai Kang Siau Hoo dan tawan padanya! Baiklah,
cukup sampai disini!"
Kong Kiat putar tubuhnya dan pergi keluar.
Ah Loan terkejut, ia menjadi lebih2 berduka.
Kong Kiat pergi keluar akan terus kumpulkan Cie Kiang
semua, berikut Sin-na Teng Jie si Malaikat Tukang tawan.
Mereka berkumpul dikantoran untuk bermupakatan. Kong
Kiat dengan terus-terang kata pada mereka itu : "Tadi, selagi kekalutan disini, Kang Siau Hoo sudah masuk
kedalam kamarku, setelah meninggalkan sehelai surat, dia angkat kaki."
Semua orang menjadi heran dan kaget.
"Kepandaian Kang Siau Hoo sebagai hui-cat, si bandit
terbang, memang ada tinggi sekali," Kong Kiat tambahkan,
"Maka kita harus atur akal atau lukai dia dengan senjata rahasia. Aku ada punya beberapa batang piau, sayang
semua ada piau buatan-sudah-jadi, bukannya piau pesanan.
hingga tak cocok untuk aku, hanya lumayan saja. Asal aku bisa berdiri berhadapan dengan dia, satu kali saja aku ayun tanganku, aku pasti dapat melukai padanya.
Piauw dan kaum Liong Bun Pay tidak sembarangan
digunakan, tetapi satu kali digunakan, seratus kali lepas,
seratus kali tak akan gagal. Suratnya Kang Siau Hoo tadi
..." "Ya, mana surat itu?" Teng Jie memotong.
"Selagi murka, aku telah robek itu," sahut Kong Kiat.
"Dia menulis ringkas saja, ialah ia janjikan aku untuk besok kita adu kepandalan di Pa Kio."
Mukanya Kat Cie Kiang jadi pucat, ia jerih dengan
lantas. Duluan melawan Lie Hong Kiat mereka sudah tdak berdaya, apapula melawan Kang Siau Hoo, ia percaya pasti mereka akan kalah.. Ia merasa bahwa piau dan Kie Kong
Kiat tidak dapat diandalkan. Kalau besok mereka tidak
pergi ke Pa Ko, tentulah mereka akan ditertawakan, atau Kang Siau Hoo akan datang cari mereka.
Sebaliknya apabila mereka pergi, untuk sambut
tantangan, entah berapa banyak kurban akan rubuh,
kurban2 terbinasa atau terluka. Dan kalau sekali ini mereka kena dijatuhkan pula, celakalah Kun Lun Pay, tidak usah sampai Siau Hoo datang untuk binasakan mereka semua,
mereka akan sudah mati sendirinya karena malu ...
Selagi Cie Kiang sibuk sendirinya. Kong Kiat dan Teng
Cie sudah bicara bisik2, maka ia segera mendekati untuk dengar pembicaraan mereka itu. Mereka damaikan daya
untuk bekuk Kang Siau Ho. Teng Jie tidak terlalu gagah akan tetapi pengalamannya sebagai orang polisi membuat ia mempunyai banyak akal, maka sekarang ia hendak
gunakan tipu, mendengar mana, Kong Kiat, dan Cie Kiang juga jadi kagum. Malah kekuatirannya piausu she Kat ini jadi lenyap dengan segera.
"Baiklah, besok aku harapkan Teng Jieya saja!" berkata ia. "Tentang ini kita jangan bicarakan pada lain orang, bukan kita kuatirkan orang nanti bocorkan kepada Kang
Siau Hoo hanya dikuatirkan Kang Siau Hoo sendiri yang
dapat curi dengar ..."
Cie Kiang berkata-kata dengan suara perlahan sekali.
"Jangan terlalu berkuatir, Kat Susiok!" kata Kong Kiat sambil goyang-goyang tangan. "Aku lihat kepandaiannya
Kang Siau Hoo tak aakan melebihi apa yang ia telah
perlihatkan. Sekarang silahkan Teng Jie-ya pulang, disini kita akan perintah beberapa orang untuk berjaga-jaga terus, besok kita boleh bertemu pula di Pa kio. Aku percaya kita pasti akan dapat bekuk Kang Siau Hoo!"
"Melainkan satu hal aku hendak jelaskan," berkata Teng Jie. "Kang Siau Hoo mesti kita tangkap, tetapi
kesalahannya tidak seberapa, dia tidak dapat dibuat mati!"
"Kita juga inginkan cukup asal dia dapat dibekuk," Kong Kiat bilang. "Kita kehendaki, sebagai hui-cat dia nanti mendekam dalam penjara untuk empat atau lima tahun,
supaya selama itu ia tidak dapat ketika akan latih ilmu silatnya, agar kemudian setelah ia merdeka pula, hilanglah kepandaiannya itu hingga kita tidak usah kuatirkan pula padanya ..."
"Memang sudah cukup asal dia mendekam empat atau
lima tahun dalam penjara," kata Cie Kiang. "Siapa
mengerti silat, apabila dia tak dapat ketika akan berlatih, urat dan tulang-ulangnya akan jadi kaku sendirinya,
selanjutnya dia tak akan mampu berlatih pula."
Sampai disitu, Teng Jie berangkat pulang bersama
orangnya. Ketika Cie Kiang semua kembali kepekarangan, tugu
tadi sudah disingkirkan oleh orang-orangnya. dikembalikan ketempat asalnya. Ingat batu itu, diam-diam Cie Kiang
berkuatir pula.
"Besar luar biasa tenaganya Siau Hoo." pikir ia. "Dia
demikian liehay, umpama dia dapat dibekuk besok, aku
kuatir dia bisa buron pula dari penjara, pasti dia akan datang mencari balas, itu waktu, bisakah aku hidup lebih lama?"
Bukan main berdukanya piausu ini. Maka ia minta Cie
Liong semua membantu buat penjagaan2, ia sendiri mauk
ke kamarnya untuk tidur dengan pintu dikunci dan dipalang juga, dengan pakai meja untuk menjaga daun pintu itu.
Walau-pun demikian, karena kekuatirannya untuk piebu
besok, ia tak dapat tidur.
Kie Kong Kiat pun, setelah meronda lagi diatas genteng, lalu masuk kedalam kamarnya dimana ia dapati isterinya tidur dengan gotok ditangan, nampaknyn isteri itu sedang tidur nyenyak. Ia bawa api kemuka isterinya yang demikian cantik, hingga menggiurkan hatinya, maka itu, bukan main menyesalnya ia, karena ia tidak mampu dapati nona ini ...
Ia tidak berani mengawasi lama2, ia kuatir isteri itu bangun dan bacok ia, ia letaki api dimeja. Ia masih berdiri diam, hatinya bekerja ...
"Jikalau aku tetap baiki padanya, mungkin dia jadi
bertambah benci padaku," berpikir suami yang tidak
beruntung ini. "Baiklah besok, sehabis bekuk Kang Siau Hoo aku beritahukan dia bahwa aku hendak pergi,
barangkali dia nanti cegah aku berangkat, dan akan berbalik mencintai aku ..."
Habis berpikir demikian, Kong Kiat tutup pintu, ia
padamkan api, terus ia naik ke pembaringan untuk tidur, pedangnya ia letaki disamping tubuhnya. Ia sengaja rebah jauh dari isterinya, ia harap ... si isteri mendekati dan tanya ia ... Tapi ia tidur belum lama, sang fajar sudah datang, ia bangun, ia buka pintu dan pergi keluar.
Pagi itu langit mendung, hujan gerimis turun..
"Siapkan kuda!" ia perintah satu pegawai piau-tiam, ia sendiri lantas cari Cie Kiang diruangan dalam.
Kat Piuasu juga sudah bangun dari tidurnya, ia sedang
cuci muka. "Buat apa cuci muka lagi?" pemuda itu mendesak. "Kita
mesti segera! Kalau kita ayal2an, nanti tipu-daya kita yang sudah diatur menjadi gagal. Kang Siau Hoo tentulah
kabur!" "Ya, aku akan segera siap!"sahut Cie Kang dari dalam
kamarnya, "Tunggulah aku diluar!"
Kong Kiat menurut, ia pergi keruangan luar akan tengok yang lain2. ia dapatkan Cie Liong, Cie Hiap, Cie Kin, Cie Cun dan Cie Yong sudah dandan rapi, maka ia terus
kembali kekamarnya untuk dandan juga. Ia pakai celana
hijau, ia tidak lupa pada piaunya, dengan tenteng
pedangnya ia lekas keluar pula.
Cie Kiang, dengan bawa goloknya sudah muncul
didalam pekarangan dimana ia dongak memperhatikan
cuaca, hingga ia dapat perasaan, juga sang alam ada
berduka terhadap mereka ... Tapi ia kuatkaa hatinya.
"Saudara-saudara," ia berkata, "kepergian kita sekarang ini ke Pa Kio untuk tempur Kang Siau Hoo, ada beda
dengan halnya dahulu kita lawan Lie Hong Kiat. Melawan Lie Hong Kiat adalah untuk muka terang dan Lie Sun Piau Tiam kita, tetapi kali ini kita hendak tangkis musuhnya seluruh kaum Kun Lun Pay, kita hendak singkirkan musuh besar dari suhu! Sekalinya ini kita pergi dengan tidak ada orang luar diantara kita. Kalau perlu, kita mesti adu jiwa kita, kita lukai dia, bunuh dia, atau tawan hidup" tetapi jangan sekali kita antap dia lolos!."
"Sudah cukup, Kat Su-siok!" Kong Kiat kata dengan
tidak sabaran. "Sudah, jangan omong terlalu banyak, lekas kita berangkat!."
Tujuh atau delapan ekor kuda sudah siap diluar pintu
pekarangan, maka Cie Kiang semua lantas pergi keluar, tapi Kong Kiat kembali kekamarnya dimana ia dapatkan Ah
Loan masih tidur nyenyak, goloknya tetap terletak
disampingnya, ia kerebongi istri itu dengan selimut,
kemudian setelah pakai tudung rumputnya yang besar, ia bertindak keluar. Di luar Cie Kiang semua sudah bercokol atas kuda mereka masing-masing.
"Lekas, lekas!" mereka itu balik mendesak.
Kong Kiat masih titahkan pegawai piau-tiam tutup dan
kunci pintu pekarangan, baru ia loncat naik atas kudanya.
Ia yang membuka jalan, yang lain mengikuti padanya.
Berisik sekali adalah suaranya kaki kuda mereka, yang
melewati kota yang ramai, terus menuju keluar kota.
Diwaktu masih demikian pagi, dengan gerimis halus,
mereka kabur ke arah Pu Kio. Mereka baru berhenti
setibanya dimuka jembatan, dengan hati masing-masing
tegang, mereka hanus golok mereka. Kong Kiat setiap kali raba piaunya, matanya mengawasi keempat penjuru, juga
ke pepohonan dan kemuka air.
Dijembatan, kecuali satu-dua orang, yang memakai
payung dan menenteng keranjang, tidak ada orang lain
yang berlalu-lintas.
"Kita datang terlalu pagi," kata Cie Kiang.
"Apakah Kang Siau Hoo tak dustakan kita?" tanya Cie
Cun. Kong Kiat diam saja, ia terus memasang mata
kesekitarnya. "Mari kita cari tempat untuk beristirahat," Cie Yang
usulkan. "Disebelah Timur sana ada warung teh."
Usul itu dapat kesetujuan, dengan lintasi jemnbatan
mereka pergi kesebelah Timur dimana ada dua buah
warung teh, yang memasang tetarap atau gubuk atap, meja dan kursinya sembarangan saja, Hari masih pagi tetapi
kedua-dua warung teh itu sudah ada banyak juga
tetamunya. yang terdiri dari tukang buah dan tukang
sayuran, mereka itu minum teh sambil dahar. Tapi Kong
Kiat tahu, mereka adalah orang-orang polisi dari See-an-hu yang sedang menyamar, bersedia unsuk tawan Kang Siau
Hoo. Cie Kiang kuatir orang curigai mereka.
"Baik kita pergi kepasar saja," kata ia. "Disini ada terlalu banyak orang!"
Baru mereka mau pergi kepasar, lantas dari jurusan
Timur mereka lihat mendatangnya satu orang yang
memakai payung, sebelah tangannya yang lain menenteng
satu kurungan burung hoa-bie, terapi ketika orang itu telah datang dekat, ternyata dia dalah Sin-na Teng Jie yang
sedang menyamar.
Selagi mendekati, Teng Jie berpura-pura menegur Cie
Kiang, habis itu, ia kata dengan pelahan: "Jaring sudah dipasang. Aku sudah ketahui Kang Siau Hoo ambil tempat di Hok Goan Tiam dikota Timur akan cetapi tadi malam
dia tidak pulang kepenginapannya itu, barangkali dia akan pulang tak lama lagi. Disini disekitarnya lima lie, disemua kampung, sudah ada orang-orang kita, maka kecuali dia
bisa terbang. dia tidak bakal lolos. Baik kau singgah disini saja, aku-pun akan menantikan disini. Umpama Kang Siau Hoo datang, beri tanda lirikan padaku, lantas kita turun tangan."
Kong Kiat dapat dengar perkataannya orang polisi itu.
"Apabila benar Kang Siau Hoo datang, kau jangan
kesusu tak keruan," ia kata. "Satu atau dua orang boleh maju akan menghampiri padnya. tapi jangan lantas turun tangan, bicara dahulu padanya untuk ulur tempo, selama itu kita semua maju mengurung, untuk segera ..."
Kong Kiat belum bicara habis atau segera semua orang
dengar suara kelenengan kuda, yang datangnya dari arah Timur, apabila semuanya berpaling. Mereka lihat itu
penunggang kuda sedang mendatangi, Kudanya hitam,
orangnya memakai baju hijau dan tudung rumput,
tubuhnya tinggi," usianya muda. Dia adalah Kang Siau Hoo yang dinantikan itu!.
Sudah sepuluh tahun Tan Ce Cun berpisah dari
puteranya Kang Cie Seng, dia toh masih kenali bocah itu yang sekarang telah jadi satu pemuda gagah, maka juga ia lantas tarik tangannya Kat Cie Kiang.
"Kang Siau Hoo datang! Itulah dia!" Katanya dengan
roman kuatir. Mendengar itu, Sin-na Teng Jie lantas menyingkir dari
rombongan piausu itu.
Semua mata lantas diarahkan kepada Si penunggang
kuda hitam itu.
Kang Siau Hoo mendatangi dengan tenang, malah
tampangnya bersenyum-senyum, pedangnya menerbitkan
suara diantara suara kelenengannya. Ia lewat terus melewati Kat Cie Kiang semua menuju ke Barat, akan mendaki
jembatan, kemudian dari atas kudanya ia palingkan tubuh, tangannya menggapaikan Kie Kong Kiat.
"Mari!" ia memanggil sambil bersenyum.
Ke Kong Kiat sudah raba piaunya, akan tetapi
menampak orang bersikap sangat tenang dan mereka itu, ia batalkan maksudnya untuk membokong.
"Hati2 jangan sembarangan turun tangan!" ia pesan Cie
Kiang semua. "Juga larang orang-orang polisi lancang
bergerak! Siau Hoo pandai berenang dan selulup, jikalau dia terjun ke air kita tidak berdaya lagi untuk bekuk padanya
..." Setelah itu, ia-pun beri kudanya naik ke jembatan, untuk menghampiri.
"Sahabat," berkata ia, "hari ini ada hari yang
memutuskan kemenangan atau kekalahan atau hidup dan
mati, dari itu baiklah lebih dahulu dijelaskan, kita hendak bertempur dengan cara apa" Sambil naik kuda atau ditanah saja?"
Kang Siau Hoo mengawasi, agaknya ia tidak mengarti.
"Eh, siapakah yang berjanji menantang kau datang
kemari untuk adu kepandaian?" tanya ia.
Kalau orang ada sabar, Kong Kiat segera menjadi gusar.
"Toh kau yang janjikan!" ia berseru "Tadi malam kau
telah tinggalkan surat didalam kamarku!"
Siau Hoo tertawa.
"Aku bukannya janjikan kau!" kata ia. "Aku datang ke
Kwantiong adalah mencari musuh untuk menuntut balas.
Aku tidak cari siapa juga kecuali Si orang she Pau dan si orang she Liong!."
Kong Kiat cekal gagang pedangnya, ia gusar bukan
kepalang. "Surat tadi malam toh ada suratmu?" Ia berseru.
"Dengan itu kau janjikan aku akan kita piebu pagi ini! Apa benar itu bukan tulisanmu?"
Siau Hoo angkat kepalanya dengan angkuh.
"Tidak salah, surat adalah aku yang tulis," ia menjawab.
"Akan tetapi aku bukannya janji dengan kau!"
Matanya Kong Kiat mendelik.
"Habis kau janjikan siapa?" ia tegaskan.
"Siau Hoo unjuk air muka yang keren.
"Yang aku janjikan adalah Pau Ah Loan, cucu
perempuan Pau Cin Hui!" jawab ia dengan nyaring. "Aku
tidak punya sangkutan apa juga dengan kau sekawanan
orang-orang rendah yang tidak ada harganya untuk diladeni berkelahi! ..."
Tidak tnggu sampai orang tutup mulutnya, Kie Kong
Kiat sudah hunus pedangnya dan menikam dengan segera
mengarah dada. Kemurkaannya Kong Kiat bukan main
besarnya. Siau Hoo kedut kudanya, untuk menyingkir sedikit dari
tusukan itu. Dalam sengitnya, Kie Kong Kiat kirim tikaman yang
kedua. Sekali ini Siau Hoo cabut pedangnya dan menangkis.
Sampai disitu Cie Kiang majukan kudanya dengan
sebelah tangan pedang ruyung kongpiau dan sebelah yang lain golok Kunlun-too, sikap ini segera ditelad oleh Cie Liong, Cie Kin dan Cie Cun semua. Mereka menyerbu
kejembatan akan desak Siau Hoo. Selagi pemuda she Kang itu hendak layani semua musuh itu, yang tidak membuat
hatinya gentar, tiba-tiba kelihataa dari arah Barat
mendatanginya satu penunggang kuda, siapa terus saja
menuju ke jembatan. Ia lantas saja kenali Ah Loan. Karena itu ia lintangkan pedangnya.
"Jangan turun tangan dahulu!" ia berseru. "Dia itu


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah orang yang aku janjikan! Dia sudah datang, aku
hendak bicara sedikit padanya, setelah itu, barulah kita bertempur!"
Ia lantas majukan kudanya kedekat loneng jembatan,
dengan pedang terus melintang ia mengawasi ke arah Ah
Loan, siapa datang dengan dandanan sebagai satu gadis-
remaja, bukannya sebagai satu nyonya. Sepasang kucirnya telah diubah menjadi satu saja kuncir yang panjang, hingcg ia tampaknya jadi terlebih menarik hati, hanya sekarang ia tidak memakai pupur atau yancie. Ia berpakaian serba hijau dengan sepasang sepatu sulam yang indah. Dibebokong
kudanya yang berbulu merah ada tergantung golok, bukan golok kong-too yang pendek buatan Keluarga Ma tapi gotok Kunlun-too.
Kiau Hoo awasi nona itu, tanpa merasa ia tertawa
meringis. "Nona Pau, sepuluh tahun kita sudah tidak bertemu,
apakah kau masih kenali aku?" ia mendahului menegur.
Tampangnya Ah Loan ada muram, tetapi kedua biji
matanya yang hitam ada terbuka lebar, dari mana ada air mata yang melainkan mengembeng. Ia tidak mengucap apa-apa, hanya tubuhnya sedikit gemetar. ketika itu hujan
gerimis turun lebih besar, maka mukanya si nona,
rambutnya dan bajunya turut basah juga, air hujan mengalir kemukanya. Tentulah air matanya turut air hujan itu
mengalir turun ...
Cie Kiang semua sudah kurung Siau Hoo, akan tetapi
karena datangnya si nona, aksinya mereka jadi terhalang,
malah melihat sikapnya si nona dan Siau Hoo itu, mereka jadi heran. Maka semua melainkan mengawasi saja.
Kie Kong kiat panas bukan main, dengan tiba-tiba ia
tikam pula Siau Hoo. Ia memang berada cukup dekat
dengan lawan itu.
"Trang!" demikian satu suara keras nyaring. Itulah
tangkisannya Siau Hoo.
Menjadi sangat sengit karenanya, Kong Kiat hendak
menyerang pula. tapi sekarang Ah Loan menghalau dengan ia menghunus goloknya.
"Aku larang siapa juga turun tanan!" ia berseru seraya hadapi kong Kiat semua, sikapnya, suaranya, dan keren.
"Cuma aku yang akan bunuh padanya! Sekarang aku
hendak tanya dulu dia!"
Siau Hoo juga perdengarkan suaranya.
"Benar! Urusan kita kedua keluarga Kang dan Pau tidak
ada sangkut-pautnya dengan orang luar!"
Kong Kiat masih tetap sengit, hingga ia tertawa
menyindir. "Tetapi kau harus ketahui!" ia beri ingat, "Dia adalah isteriku. Kita sudah jalankan upacara nikah secara syah!
Jikalan kau hinakan dia, pedangku akan segera buat kau mampus."
Siau Hoo tertawa meringis, ia pandang Ah Loan.
"Kita mest cari tempat dimana kita berdua bisa bicara,"
kata ia pada si nona. "Pembicaraan dari sepuluh tahun ada terlalu banyak, kila mesti lakukan itu dengan pelahan-lahan, sehabis
itu, kalau aku bisa, aku nanti ujudkan
pembalasanku, jikalau tidak, umpama aku terbinasa
ditanganmu sekalian, aku tidak akan menyesal!"
Ah Loan menangis.
"Aku-pun hendak cari kau untuk kita bicara," jawab ia.
"Kita mesti bicara dengan jelas. Nah, marilah kita pergi ke sebelah Timur jembatan!"
Siau Hoo manggut.
"Baik, marilah!" ia nyatakan akur. Ia lantas memberi
hormat pada Cie Kiang beramai, ia tambahkan pada
mereka: "Tuan-tuan tunggu sebentar aku hendak pergi
bersama nona Pau ke Timur sana untuk bicara beberapa
patah kata."
"Jangan ikut dia pergi, Pau Kohnio," Yo Cie Kin
mencegah. "Dia tidak kandung maksud baik!"
Cie Kiang juga hendak ajak kawan2nya akan ikuti Ah
Loan, ia kuatir nona itu kena didustakan, tetapi Kie Kong Kiat cegah mereka.
"Jangan perdulikan mereka, biar mereka pergi pasang
omong!" kata suami ini, yang segera timbul cemburunya.
Meski begitu, ia juga lirik semua kawan itu untuk memberi tabda.
Ah Loan sementara itu sudah jalankan kudanya ke arah
Timur. Cie Kiang semua membuka jalan.
Siaw Hoo jalankan kudanya mengikuti si nona, ia baru
turun dari jembatan dan jalan belum ada sepuluh tindak, tiba-tiba ia dengar samberan angin. Maka segera ia
mendekam diatas kudanya, menyusul mana sebatang piau
lewat diatasan kepalanya.
Menyusul itu, Kong Kiat sndah ayun tangannya, hingga
piau yang kedua menyamber pula, akan tetapi kali ini Siau Hoo, yang telah putar tubuhnya, sambuti itu dengan dua jari tangannya.
Kong Kiat majukan kudanya beberapa tindak, kembali ia
kirim penyerangan yang ketiga kali, ia telah menjuju
dengan baik. Siau Hoo lihat itu, ia-pun ayun tangannya, piau musuh
ditangannya itu lanias melesat, menyamber piau musuh
yang ke tiga, hingga ditengah jalan kedua piau telah
bersomplokan, dengan terbitkan suara keras kedua piau
jatuh ketanah. "Apakah masih ada lagi?" ia tanya sambil tertawa.
Akan tetapi sebagai jawaban, sejumlah orang meluruk
padanya, berbagai galah gaetan menyamber padanya. Tiga gaetan menyamber kaki kuda, gaetan yang ke empat maju
kelengannya yang kanan.
Untuk tolong lengannya itu, Siau Hoo gunakan
tangannya yang kiri. Tetapi berbareng dengan itu, dua
batang piau samber ia saling-susul, hingga berbareng ia mesti berbalik jaga diri dari sasaran piau. Selagi ia loloskan diri dari bahaya piau, kudanya telah kena digaet musuh.
Menyusul itu, Cie Kiang semua maju menyerang.
Demikian tipu daya mereka itu untuk bekuk lawannya.
Siau Hoo menghadapi ancaman bahaya besar, tetapi
walau demikian, meski-pun kudanya sudah lantas rubuh
hingga ia turut terpelanting, tubuhnya sendiri tidak ikut terguling ditanah, karena dengan satu gerakan sebat, ia bisa lompat berdiri. Hanya gaetan yang tajam telah menancap didagingnya. hingga ia mendapat luka juga. Dengan
menahan sakit, ia sekarang gunakan pedangnya untuk buat perlawanan. Ia telah mesti layani Cie Kiang, Kie Kong
Kiat, Tio cie Liong, Kim Cie Yong, Wan Cie Hiap, Yo Cie Kin dan Sin-na Teng Jie serta polisi2 lainnya, yang telah
dengan sebat datang berkumpul hingga pertempuran jadi
berjalan dengan sangat seru.
*** XIII AH LOAN yang berjalan dimuka sudah mendekati
pasar, pikirannya kusut, ia sedang memikirkan apa yang ia mesti ucapkan sebentar. Ia ada berduka dan bingung. Ia sama sekali tidak menyangka yang Kie Kong Kiat akan
gunakan tipu. Ia terkejut ketika ia dengar suara berisik, dan apabila ia menoleh, ia dapatkan justeru Siau Hoo sedang terpelanting dari atas kudanya, karena kudanya itu rubuh tergaet, dan lengannya berdarah. Maka segera ia putar
kudanya untuk dilarikan balik. Sementara itu Siau Hoo
sudah rubuhkan Cie Hiap dan Cie Kin, setelah membuka
jalan, ia lompat keluar kalangan akan menyingkir keatas jembatan.
Kie Kong Kiat mengejar, ia dapat menyandak dengan
segera, karena ia masih tetap bercokol diatas kudanya, keduanya bertempur secara kipah, satu diatas kuda, yang lain berjalan kaki. Kendati demikian, Siau Hoo tidak jerih sedikitpun, malah dijurus kelima, ia tusuk rubuh lawan itu dari kudanya, berbareng dengan mana ia loncat naik atas orang punya kuda itu, yang segera ia beri kabur kesebelah Barat jembatan.
Ah Loan coba candak pemuda kita.
"Siau Hoo! Siau Hoo!" ia memanggil2 suaranya sangat
berduka. Mukanya Siau Hoo merah padam. ia ada mendongkol
dan gusar. Ia sangka Ah Loan telah bersekongkol bersama Kong Kiat semua untuk perdayai padanya, hingga ia kena
dibokong. Ia tabas kutung secabang yangliu, di antara hujan gerimis ia pandang si nona sambil bersenyum ewa.
"Bagus!" kata ia. "Kau dan kawan2mu sangat pintar dan
telengas sekali. Ah Loan oh, perempuan hina-dina! Kau
sudah lupa akan janjimu bahwa kau hendak jadi isteriku, sekaran setelah selang sepuluh tahun ... "
Berkata sampai disitu, Siau Hoo rasai hatinya sakit, lebih sakit, lebih sakit dari pada luka dibahunya itu.
Justeru itu diarah Barat itu ada mendatangi polisi
serombongan orang polisi yang menunggang kuda, sedang
disebelah Timur. Kat Cie Kiang mendatangi bersama Sin-
na Teng Jie dan yang lain2.
Menampak demikian, Siau Hoo timpuk Ah Loan dengan
cabang yangliunya, lantas ia kaburkan kudanya, sama sekali ia tidak mau menoleh lagi, karena hatinya sangat panas. Ia menuju ke arah Selatan.
Ah Loan berkelit dari cabang yangliu itu, iapun kaburkan kudanya untuk menyusul.
"Siau Hoo, Siau Hoo!" ia memanggil berulang-ulang,
"Siau Hoo, mari."
Siau Hoo kabur terus, menoleh-pun tidak.
Ah Loan menyusul sampai kira-kira satu lie, sia2 saja, pemuda itu sudah pergi semakin jauh bersama kudanya Kie Kong Kiat, dengan terpaksa ia tahan kudanya, air matanya mengucur bercampuran air hujan.
Tidak lama rombongannya Cie Kiang dan Sin-na Teng
Jie telah dapat susul si nona. Kepala polisi itu menunggang kuda ia diikuti oleh orang-orangnya.
"Sudah, jangan kejar!" kata Ah Loan. "Siau Hoo telah
terluka ... "
"Ini ada urusan polsi, kita tidak dapat mencegahya," Cie Kiang bilang, "Kie Konya semua telah terluka, kita mesti lekas bawa mereka kekota untuk diobati! Nah, marilah!"
Cie Kiang mengucap demikian selagi Teng Jie dan
orang-orangnya mengejar teus.
Dengan terpaksa Ah Loan menurut, ia ikuti susok itu
kembali. Dijembatan Pa Kio, beberapa orang polisi telah siapkan dua buah kereta sewaan, orang-orang yang terluka ialah Yo Cie Kin, Wan Cie Hiap dan Kie Kong Kat, telah dinaikkan keatas kereta. Cie Hiap adalah yang terluka paling berat, yang paling enteng adalah Kong Kiat. Kalan dua yang lain rebah diam saja sambil merintih, Kong Kiat tidak mau
diam, ia hendak loncat turun dari keretanya. Ia terluka pada paha kiri darahnya membasahi pakaiannya. Ia ada sangat gusar, maka juga ia berteriak2 minta kudanya, pedangnya juga, katanya ia hendak kejar pula pada musuh.
Kapan Ah Loan kembali, Kong Kiat awasi isteri itu
sambil tertawa dingin.
"Isteriku, kau lihat!" berkata ia dengan ejekannya,
"Untuk kaum Kun Lun Pay aku Kie Kong Kiat sudah
mendapat luka! Darah ini merah, sama dengan warnanya
kun yang kau pakai diwaktu kita menikah!" Ia tepuk2
dadanya, ia tambahkan: "Jangan kau lihat saja bahwa
suamimu terluka, tetapi ingatlah, suamimu ada satu laki-laki sejati! Besok atau lusa, aku-pun akan berikan semacam tikaman kepada Kang Siau Hoo, supaya dia dapat luka
yang terlebih hebat daripada lukaku ini!"
Kat Cie Kiang berduka.
"Sudah, sudah," kata ia sambil menghela rapas. "Kouya, kau jangan bergusar lebih lama. Mari kita pulang dahulu
untuk beristirahat. Teng Jie-ya beramai sedang kejar Kang Siau Hoo, dia tentu akan berhasil membekuknya, sebab
Kang Siau Hoo juga terluka berat dan ia pasti tidak mampu lari jauh."
Ah Loan diam saja, ia masih berduka. Melihat lukanya
Kong Kiat, ia terharu, ia merasa kasihan. Ia merasa bahwa ia sudah bersikap keterlaluan terhadap suami itu. Maka akhirnya ia masukkan goloknya kedalam serangka, ia
mendekati kereta.
"Sudah, kau jangan gusar," katanya, yang berhenti
menangis, dengan rada likat, "Mari kita pulang. Kau telah menderita untuk kita, aku merasa tak enak hati ..."
Mendengar kata-kata itu, Kong Kiat merasa puas,
hatinya menjadi lega, hingga ia seperti rasakan lukanya hilang sakitnya. Ia lalu bersenyum.
"Aku tidak menderita," katanya. "Untukmu, untuk luo-
ya-cu, untuk sababat2 Kun Lun Pay, jangankan baru
terluka, Walau-pun terbinasa, bagiku tidak ada artinya.
Tidaklah aku malu menjadi cucunya Liong Bun Hiap!"
Ah Loan berdiam, ia seka kering air matanya.
"Marilah!" Ce Kiang lantas mengajak berangkat.
Kedua kereta segera dijalankan, Cie Kiang dan Ah Loan
semuanya luntas mengiringnya. Di belakang mereka ada
tujuh atau delapan orang polisi. Rombongan ini terdiri dari mereka yang naik kuda dan berjalan kaki.
Hujan, yang turun lebih besar, masih belum mau
berhenti. Dari kejauhan kota Tiang-an seperti terbenam kabut.
Mereka kalah tetapi Cie Kiang tidak begtu malu dan tak terlalu berduka seperti waktu mereka dipencudangi Lie
Hong Kiat, karena sekarang, Kang Siau Hoo telah kena
dilukai. Ia-pun mengharap-harap, dengan bantuannya
pembesar negeri, Kang Siau Hoo nanti kena dibekuk.
Kekuatirannya adalah apabila orang she Kang itu bisa lolos.
Ia dapat kenyataan, dalam ilmu pedang, dalam ilmu
menyanggapi piau, Siau Hoo ada jauh terlebih liehay dari pada Lie Hong Kiat. Karena itu, ia kagumi pemandangan
luar biasa dari gurunya, yang sejak sepuluh tahun yang lalu ada berkuatir untuk pembalasannya Kang Siau Hoo. Ia
insaf, walau gurunya liehay, guruu itu masih tak dapat bandingkan dengan puteranya almarhum Kang Cie Seng
itu. Satu hal lain juga membuat Cie Kiang berpikir. Itulah
sikapya Ah Loan terhadp Kang Siau Hoo, sebagaimana tadi ia saksikan sendiri. Mau atau tidak, ia jadi bercuriga.
"Apakah artinya ini?" tanya ia dalam hatinya. "Dimasa
kecilnya Siau Hoo pernah tinggal di rumah suhu. Apa
mungkin ia selama itu ia telah buat perhubungan rahasia dengan Ah Loan?"
Demikian ia memikirkan hal itu sehingga mereka sampai
di piau-tiam dimana segera ia urus tiga orang yang luka itu, yang masing-masing dapat sebuah kamar. Cie Liong
beramai lantas berikan obat, sedang beberapa pegawai
diperintah undang tabib istmewa untuk luka-luka.
Tidak lama ada datang beberapa sahabat piausu, guru
silat dan orang dari kantor negeri, yang dengar perihal pertempuran itu, untuk meghibur dan menanyakan
jalannya pertempuran. Setelah mereka pulang Cie Kiang
baru tengok Cie Hiap dan Cie Kin, melihat siapa, hatinya sedikit lega, karena dua saudara itu tidak terancam jiwanya.
Kemudian ia tengok Kong Kiat yang sedang bicara dengan Ah Loan. Air matanya Ah Loan masih mengembeng, ia
berduka. "Bagaimana?" ia tanya pemuda itu.
Kong Kiat lantas berduduk, dengan tangannya yang
kanan ia tepuk2 lukanya.
"Tidak ada artinya!" kata ia sambil tertawa. "Jikalau
sekarang Kang Siau Hoo datang pula, aku pasti bisa tempur dia seperti tadi!"
Meskipun ia bersikap gagah, namun mukanya Kong Kiat
pucat dan keringat menetes turun dari dahinya, suatu tanda bahwa ia menahan sakit.
"Sudah, jangan kau bergusar lagi," Cie Kiang
menghibur. "Aku percaya orang-orang polisi bisa bekuk
padanya. Atau umpama ia bisa lolos, selanjutnya ia akan jadi pemburon, lambat-laun ia bakal kena ditangkap juga.
Sekarang kau baik2 rawat lukamu, setelah kau sembuh, kita nanti berdamai pula."
Diam-diam Cie Kiang lirik Ah Loan, makudnnya ialah
buat minta nona ini merawat dengan telaten, karena
dimatanya lukanya Kong Kiat tidak enteng. Namun Ah
Loan melainkan hanjuk kemsgulannya.
Dengan masgul Cie Kiang undurkan diri, ia pergi
kekantornya, disini ia duduk bersantap bersama Cie Liong dan Cie Cun.
Selagi orang bersantap, Sin-na Teng Jie pulang dengan
napas memburu, baru ia loncat turun dari kudanya, Cie
Kiang telah sambut padanya.
"Apakah Kang Siau Hoo dapat ditangkap?" tanya piausu
ini dengan bernapsu.
"Tidak, tidak," jawab Teng Jie-ya dengan menggelengkan kepala. "Binatang itu benar liehay! Sudah dua puluh tahun aku bekerja sebagai polisi, aku pernah
tangkap Co Siang Hui, aku pernah bekuk. In Lie Pa, akan tetapi belum pernah aku hadapi penjahat selicin ini!
Kudanya Kie Kou-ya tidak terlalu kuat larinya, akan tetapi ditangannya kuda itu bisa kabur bagaikan terbang. Aku
telah mengejar tigapuluh lie lebih, sudah lintasi beberapa hutan-rimba dan dua aliran sungai, entah bagaimana, tahu-tahu kita telah kehilangan padanya! Dia datang dari luar kota tetapi heran, dia ketahui lebih baik dari pada kita tentang keletakan dan keadaan tempat kita ini ..."
Cie Kang masgul sekali dan berkuatir mendebgar
keterangan itu.
"Dengan lolosnya dia, dia meninggalkan ancaman
bencana untuk dikemudian hari," kata Teng Jie kemudian.
"Syukur kalau dia datang pula sebentar malam. Apabila dia dapat lolos pula, aku nanti meletakkan jabatan2ku!
Sekarang aku hendak kembali kekantor untuk beristirahat.
Kat Liok-ya, jangan kau kuatir, sebentar malam aku nanti datang pula bersama orang-orangku untuk berjaga."
Cie Kiang manggut2. Ia mohon perhatiannya Teng Jie,
yang setelah itu lantas berlalu.
Kemudian orang duduk bersantap.
Sesudah dahar cukup. Cie Kiang undang Cie Cun datang
kekamarnya sendiri, untuk mereka berbicara berdua saja.
"Sutee, kau lihatkah tadi tingkahnya Ah Loan ketika ia berhadapan Kang Siau Hoo dijembatan Pa Kio?" tanya
suheng itu. "Biasanya kalau kita sebut2 Siau Hoo,
tampangnya tentu berubah2, atau ia kertek gigi atau
melelehkan air mata, maka aku menduga satu kali mereka berbadapan, mereka mesti jadi musuh hesar. Akan
tetapiapa yang ternyata tadi" Siau Hoo melawan tertawa saja, dia sebaliknya hanya menangis, dia tidak segera cabut goloknya untuk menyerang secara mati2an! Bahkan
sebaliknya dia ajak Kang Siau Hoo pergi untuk mereka
bicara diluar tahu kita. Dan lagi, ketika Teng Jie-ya ajak orang-orangnya mengejar, katanya Siau Hoo sudah terluka, tak usah dikejar pula. Sikapnya Ah Loan buat aku heran dan curiga. Apakah bisa jadi ia telah berobah adat
sekarang" Atau dia bukan benar-benar membenci Siau Hoo.
Bisa jadi lebih dahulu daripada ini, dengan Siau Hoo dia sudah punya satu perhubungan! Hanya mengenai, dugaan
yang belakangan ini, aku sangsi benar ..."
Tan Cie Cun pun heran, hinga ia berdiam sekian lama.
"Mengenai ini aku tidak berani bilang apa-apa namun
melihat sikapnya tadi aku juga heran," menyatakan sinshe ini. "Memang benar, selagi masih kecil Siau Hoo dan Ah Loan tinggal dan sering bermain bersama, hanya ketika itu Siau Hoo baru berumur empat belas dan Ah Loan dua belas tahun."
Cie Kiang bertambah bingung.
"Yang satu berumur empat-belas dan yang lain dua
belas, sesama kecil itu mereka bukannya belum tahu apa-apa!" kata ia.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cie Cun mengeleng kepala.
"Aku percaya tak mungkin sudah terjadi sesuatu," kata
ia pula. "Disebelah penjagaan keras dari suhu, Siau Hoopun tidak tinggal lama pada suhu, begitu ia telah lukai Liong Tiong-ko, ia lantas buron. Aku-pun telah saksikan sendiri ketika Siau Hoo datang bersama Long Tiong Hiap, Ah Loan gusar berkerot gigi. Tak mungkin ada
perhubungan rahasia diantara mereka berdua, dan aku
lihat, dengan suaminya, Kie Kong Kiat, dia ada mencinta sekali ..."
Masih Cie Kiang tak dapat lepaskan kesangsiannya.
Selanjutnya mereka lalu bicarakan soal penjagaan
sebentar malam, kemudian Cie Cun pergi ke depan.
Diwaktu lohor itu hujan berhenti turun, melainkan cuaca tidak lantas menjadi terang.
Cie Kiang tetap masgul, dan ketika sang sore
mendatangi, alisnya mengerut semakin rapat, karena
kemasgulannya. Selagi malam mendatangi, piausu ini
seperti terasa bahwa suatu raja iblis bakal datang
kepadanya. Lain2 orang semua coba empos semangat mereka, tetapi
didalam hatinya mereka toh berkuatir juga, mereka terkejut sendirinya apabila mereka dengar suara apapun.
Sore itu walau-pun baru habis bersantap, Cie Kiang
masih suruh koki siapkan beberapa rupa sayur untuk
dikantor, arak tak berkecuali, katanya untuk mereka yang jaga malam. Ia harap-harap kedatangannya Sin-na Teng Jie serta rombongan orang-orang polisinya.
Sampai jam dua lewat barulah muncul seorang kepala
polisi she Thio serta belasan opas. Kepala polisi she Tho itu kata: "Teng Jie-ya masuk angin, ia tidak bisa datang, dia titahkan aku yang bantu Liok-ya membuat penjagaan.
Dikantor juga telah disiapkan polisi cadangan, asal mereka dengar suara gembreng, mereka bisa segera datang kemari."
"Datang beberapa orang-pun sudah cukup," Cie Kiang
bilang, dengan paksakan diri. "Belum tentu malam ini akan terjadi sesuatu. Kang Siau Hoo terluka bukannya enteng, dia-pun lelah berikut kudanya, barangkali dia tidak bisa segera datang pula ..."
"Jikalau Kang Siau Hoo sendirian saja, masih tidak
sukar," kata si orang she Thio itu, "asal dia jangan datang sambil ajak2 Le Hong Kiat, itulah sulit."
Cie Kiang paksa tertawa.
"Dunia kangouw ada luas, orang yang pandai silat ada
banyak," berkata ia, "Siau Hoo dan Lie Hong Kiat itu
pastilah tidak kenal satu dengan lain."
"Dua2 mereka memang berbugee sempurna," Cie Cun
turut bicara, "akan tetapi mereka sama-sama terluka, aku kira mereka tidak akan dapat berbuat banyak, kita kaum Kun Lun Pay tidak nanti sampai membuat apa-apa yang
memalukan."
Cie Kiang merasa tidak enak hati, ia lantas simpangkan pembicaraan. Ia-pun lantas tempatkan orang she Thio ini dan orang-orangnya berdiam didalam kantorannya, Cie
Cun bersama Cie Yong ditugaskan menemani mereka
minum arak, dilain pihak ia sudah pesan koki untuk jangan sediakan banyak arak, ia kuatir bila datang saat perlu, mereka itu nanti sudah sinting dan tak dapat bergerak
bangun. Sekawanan setan mabuk mana sanggup bekuk
Kang Siau Hoo"
Lekas sekali sudah jam tiga.
Dikantoran itu api ada menyala terang.
Orang ada banyak, arak sedikit, akan tetapi seluruh
ruangan ada ramai, karena orang bercakap2 dengan asyik.
Diantaranya ada yang keluarkan dadu untuk lewatkan
tempo. Didalam pekarangan ada dinyalakan dua tanglung besar,
"khiw-su-hong" namanya, artinya lentera yang tak dapat padam meski-pun ada angin besar sekali. Disamping itu ada berduduk empat pegawai piau-tiam dengan sebuah
gembrengnya yang besar. Yang tiga sedang ngelenggut,
yang satunya memasang mata kesekitarnya, kadang2 saja ia menoleh keatas genteng disebelah belakangnya, agaknya ia
kuatir ada orang dari genteng menyerang itu dengn batu!
Disebelah depan ada kamarnya Kie Kong Kiat dan Ah
Loan. Sampai waktu itu Kong Kiat masih belum tidur. Ia tak
dapat tidur karena hatinya senantiasa pikirkan Siau Hoo, dari siapa ia hendak berjaga-jaga. Luka dipahanya
menerbitkan rasa sakit yang sangat, akan tetapi di depan isterinya ia coba tidak perdengarkan rintihan, beberapa kali ia gulak gulik.
Ah Loan juga belum tidur, ia duduk diatas pembaringannya menyender pada tembok, pikirannya
sedang kusut, diam-diam ia menangis didalam hati.
Dikamarnya sepasang suami-isteri itu
api telah dipadamkan, akan tetapi dari jendela ada menembus
cahaya api dari luar.
Melihat orang yang sedang rebah di depannya, nona Pau
merasa terharu. Iapun memikiri engkongnya yang berada
ditempat jauh. Orang tua itu mesti hidup dalam perantauan, dengan hati tidak tentam. Ia juga ingat Kang Siau Hoo, belum ia sempat bicara kepada Siau Hoo, Siau Hoo sudah kena dibokong. Syukur dia itu punya bugee liehay. Kalau tidak dia tentu telah terbinasa dijembatan Pa Kio itu, atau sedikitnya kena ditawan. Ia percaya, lukanya Siau Hoo
tidak hebat, hanya ia kenapa dia itu nampaknya sangat
benci padanya. "Dengan cabang yangliu dia sambit aku, apa itu
bukannya tanda dari kebenciannya kepadaku?" tanya ia
pada dirinya sendiri. "Tapi toh dia bilang, kata-kata sepuluh tahun ada terlalu banyak dan untuk itu ada dibutuhkan
pembicaraan2 yang jelas, maka teranglah diapun tidak
pernah lupakan aku ... Pasti sekali dia tidak ketahui bahwa aku menikah dengan terpaksa. Bisakah dia memaafkan aku"
Dia tak tahu bahwa dilahir aku ada jadi isterinya Kong Kiat, akan tetapi dalam batinku hal yang sebenarnya
tidaklah demikian ..."
Selagi si nona ngelamun demikian, datang pertanyaan
dari luar jendela: "Apakah Kie Kouya sudah tidur?"
Terputusnya lamunannya Ah Loan, kenali itulah
suaranya Cie Kiang.
"Dia sudah tidur," ia lekas menyahut. "Apa ada urusan, Kat Su-siok?"
"Tidak," ada jawabannya sang paman guru. "Aku hanya
hendak beritahukan agar dia tetapkan hati, supaya ia
beristirahat dengan tenang. Sekarang dikantorku ada
belasan orang polisi membantu buat penjagaan. hingga kita tdak usah berkuatir lagi. Kang Siau Hoo tentu tidak berani datang pula."
Tiba-tiba Kie Kong Kiat tertawa. Hanya baru tertawa
sebentar, ia sudah berhenti dengan lantas. Karena lukanya mendatangkan rasa sakit.
"Aku belum tidur," kata ia kemudian dengan pelahan.
"Aku duga pasti malam ini Siau Hoo bakal datang pula.
Aku sedang tunggui dia untuk lakukan pertempuran yang
memutuskan!"
Cie Kiang dengar perkataan itu dengan bergidik, tadinya ia sudah pikir untuk pergi tidur tetapi segera ia robah itu, ia jadi tidak berani pergi beristirahat.
"Kau jangan kuatir," kata ia dengan paksakan tertawa.
"Malam ini pasti tidak akan terjadi suatu apa! ..."
Habis berkata begitu, Cie Kiang mencelat keatas genteng untuk meronda, kemudian ia masuk kepekarangan dalan
dimana ada dinyalakan sebuah lentera khie-su-hong. Disini
Tio Cie Liong menjaga bersama satu pegawai. Didalam
kamarnya ada ia punya isteri besama sanak dan mantunya.
Didalam kamar masih ada cahya api dan ia sangka itu
adalah tanda dari kekuatiran, mereka tak dapat tidur.
Masih Cie Kiang meronda kelain2 bagian. Hujan gerimis
turun halus sekali.
"Biarlah hujan turun semakin besar," kata ia dalam hati.
ia duga kalau hujan turun secara besar Kang Siau Hoo tentu tidak bisa datang. ia menguap dua kali ketika ia
menghampiri Cie Liong.
"Aku sangat mengantuk, aku ingin tidur," kata ia.
"Sebentar aku nanti gantikan kau."
Lalu dengan langsung ia menuju ke kamar Timur. Disini
tidak ada pelita atau lilin, sinar terang masuk dari jendela.
Ia terus tutup pintu, sambil manguap ia naik atas
pembaringannya. Ia bercokol diatas pembaringan untuk
buka sepatunya. Ia baru loloskan sebelah sepatunya, atau dari kolong pembaringan muncul sebelah tangan yang
mencekal pedang berkilauan hingga ia kaget bukan main, tanpa merasa lagi ia keluarkan jeritan tertahan. Ia memikir buat loncat turun dari pembaringan guna lari kepintu dan terus lari keluar. Akan tetapi sudah kasep!
Kang Siau Hoo sudah mendahului muncul dari kolong
pembaringan, ia tekan murid Kun Lun Pay itu, untuk cegah dia berbangkit.
Karena ia berseru dan beriontak, Cie Kiang menerbitkan suara, hingga Cie Liong lompat menghampiri ke jendela.
"Ada apa?" dia tanya.
Cie Kiang ada bertubuh besar, tenaganya-pun besar
sekali, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Kang Siau Hoo, ia mirip dengan seekor tikus di depan seekor kucing.
Siau Hoo tekan tubuhnya pada pembaringan dan
pedangnya ditandalkan pada tenggorokannya. Cie Kiang
bungkam saking takutnya,hingga ia tidak jawab Cie Liong.
"Aku tidak akan bunuh kau, asal kau bicra secara terus terang," Siau Hoo kata dengan berbisik. "Dimana
sembunyinya Pau Cin Hui dan dua saudara Liong" Setelah kau beri keterangan, aku segeta berlalu dari sini!"
"Aku nanti beri tahu, kau lepaskan dahulu padaku," kata piausu ini.
"Aku nanti lepaskan kau," bilang Siau Hoo sambil
terawa perlahan. Ia-pun angkat pedangnya.
Cie Kiang berbangkit, ia terus duduk. Ia-pun menghela
napas. "Saudara Kang, kita tidak bermusuhan, kenapa kau
mengarah aku?" ia tanya.
"Bagaimana kau bilang tidak bermusuhan?" Siau Hoo
baliki, sambil tertawa mengejek. "Pada sepuluh tahun yang lalu, dihalaman bukit Cie Nia, apakah aku tidak ditolongi guruku, pasti aku telah terbinasa ditanganmu! Tapi itu ada permusuhan kecil, aku sudah tidak pikirkan itu. Yang aku cari adalah si tua bangka she Pau dan dua saudara Liong!
Lekas kau beri tahukan aku dimana adanya mereka itu?"
Dengan samping pedangnya, Siau Hoo ketok orang
punya kepala. "Sampai sekarang Cie Teng telap berada di Cie-yang,"
sahut Cie Kiang dengan terpaksa. "Cie Kie baru beberapa hari yang lalu telah berangkat dari rumahku ini, aku tidak tahu dia menuju kemana. Suhu sendiri sudah pergi
menyingkir ke rumah sahabatnya. Suhu ada punya banyak
sahabat, entah kepada sahabat yang mana suhu menumpang tinggal. Turut katanya Ah Loan, engkongnya
itu berangkat sendirian saja, hinga ia-pun tidak ketahui kemana engkongnya sudah menuju ... "
Siau Hoo bersenyum sindir.
"Akan tetapi Ah Loan ada bawa sepucuk surat
engkongnya yang dialamatkan untukmu." Cie Kiang
tambahkan. "Surat itu sekarang ada dikantoranku, jikalau kau ingin lihat, nanti aku ambilkan."
Siau Hoo manggut.
"Ya, aku hendak lihat apa yang ditulisnya dalam surat
itu," ia bilang. "Aku ikut kau kekantormu."
Ia buka pintu, ia suruh Cie Kiang jalan di depan, ia
sendiri mengikuti dengan pedang terhunus.
Ketika itu diluar kamar sudah berkumpul banyak orang,
semua sudah siap sedia dengan galah gaetan, piau dan
panah. Melihat mereka, Kat Piausu menjadi kaget dan
kuatir, hingga ia berlambat dengan tindakannya.
"Jangan takut!" Siau Hoo kata dengan tenang, sambil
tertawa, tetapi sebelah tangannya dipakai menjambak
punggung Cie Kiang. " Selama mereka tidak serang aku,
aku-pun tidak akan serang padamu!"
Cie Kang segera hadapi semua kawannya.
"Jangan sembarang bergerak!" ia serukan mereka. "Kang
Siau Hoo datang tidak bermaksud jahat, dia cuma ingin
bicara kepada kita" ia rogoh sakunya dan keluarkan
serenceng anak kunci, yang ia terus lemparkan pada Cie Liong kepada siapa ia segera kata : "Sutee, tolong kau buka peti besar dikantoran, kau ambilkan suratnya suhu untuk Kang Siau Hoo, dia ingin baca itu. Lekas!"
Cie Liong telah sambuti anak kunci itu, ia lantas pergi kekantoran yang berada diruangan depan.
Itu waktu semua orang, pegawai-pegawai piau-tiam dan
orang-orang polisi, sudah kurung Siau Hoo, tetapi karena Cie Kiang berada dibawah pengaruh, mereka sangsi untuk turun tangan, malah mereka tidak berani datang terlalu dekat. Semua mata mengawasi tetamu tidak diundang itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 18 SIAU HOO tetap berlaku tenang, Sedikit-pun tidak
tertampak kejerihan pada romannya. Ia pasang mata tajam pada semua pengurungnya.
Ah Loan juga muncul dengan membawa goloknya. Ia-
pun tidak mau datang dekat, ia berdiri dipintu angin
dimana ia pikirkan surat engkongnya.
"Surat engkong kepada Kang Siau Hoo terlalu
menyedihkan, ia seperti juga memohon belas-kasihan, maka itu, walau bagaimana besar-pun kesalahannya dulu hari, setelah sekarang dia memohon ampun hatinya Kang Siau
Hoo mestinya dapat dibuat tergerak, ia harus buat habis ganjalan diantara mereka, supaya mereka perbaiki pula
persahabatan mereka. Kalau Siau Hoo ambil sikap
persahabatan ini, aku nanti larang orang banyak ini serang padanya, kemudian aku nanti ajak dia ke suatu tempat
dimana berdua aku bisa pasang omong mengenai
persahabatan kita pada sepuluh tahun yang lampau ... "
Karena ia memikir demikian Ah Loan tetap sembunyi
diri, supaya kang Siau Hoo tidak dapat lihat padanya
sebaliknya ia bisa dengan leluasa awasi pemuda itu.
Sebentar kemudian, Cie Liong sudah kembali bersama
surat yang dimaksudkan, ia hendak mendekati Siau Hoo
untuk serahkan surat itu, tetapi pemuda ini latas
mencegahnya, katanya: "Tak usah aku yang membacanya,
cukup kau yang membacakannya untuk aku dengar!"
Dengan siap sedia dengan pedangnya, Siau Hoo
menantikan, ia tidak ingin orang dapat bokong padanya.
Cie Liong buka suratnya Pau Cin Hui dan baca itu
dibawah penerangannya api.
Semua orang turut mendengarkan, lebih-lebih Ah Loan,
yang dapat dengar jelas setiap kata-kata.
Pau Cin Hui menulis antaranya sebagai berikut :
"Aku telah menyesal sekali sesudah melakukan perbuatanku pada sepuluh tahun yang lalu itu. Tapi ayahmu, Kang Cie Seng, sudah bujuk dan sembunyikan isteri orang, sudah selayaknya ia mendapat kematiannya itu. Maka kalau kau mau mengarti duduknya hal dan bersedia buat lenyap permusuhan, kita berdua keluarga boleh tetap menjadi sahabat. Bila kau tetap ingin menuntut balas, itu-pun gampang untuk dilakukannya. Aku mohon kepastian, apabila kau berjanji tidak akan ganggu sedikit jua murid-muridku, aku akan segera munculkan diri, aku akan serahkan jiwaku yang tua kepadamu!"
Ah Loan menangis, air matanya melelh turun, tetapi ia
tetap mengawasi pemuda itu, yang berdiri tegak jauhnya sepuluh tindak lebih dari padanya.
Mula-mula tertampak Siau Hoo terharu, akan tetapi
sesudah surat dibacakan habis, wajahnya segera menjadi muram, lalu ia tertawa dingin.
"Sungguh bagus tua-bangka yang licin itu!" demikian
terdengar suaranya yang tajam. "Sekarang dia telah hunjuk surat minta keampunan kepadaku untuk dustai aku, supaya aku menaruh belas kasihan memaafkan padanya, nanti dia perintah pula kau semua untuk bokong aku! Sekarang
sampaikan jawabku padanya, tidak peduli dia harus
bagaimana dikasihani, aku tidak daput beri ampun
padanya! Dahulu ayahku telah dipaksa olehnya sampai
ayahku lari sembunyi kedalam gunung dimana untuk
beberapa hari ia kelaparan dan kedinginan, kemudian
dengan diam-diam ayahku bisa pulang, ia cuma bisa
mencambak beberapa suap nasi dingin, ia hanya dapat
ambil beberapa tail perak dengan apa ia kabur pula dalam ketakutan yang sangat. Dalam keadaannya itu, walau
ayahku ada seorang busuk, namun ia harus dikasihani,
apapun ia tidak melakukan suatu pelanggaran hukuman
mati, tetapi toh Pau Cin Hui tidak mempunyai rasa kasihan padanya, ayahku itu masih dikejar-kejar terus sampai
kedalam gunung dimana ayahku telah dibunuh mati! Dulu
dia tidak sudi beri ampun pada ayahku, cara bagaimana dia bisa minta aku beri ampun padanya."
Berkata sampai disitu, kedua matanya pemuda ini
menjadi seperti berapi, sedang tangannya membalingkan
pedangnya. "Sudah Pau Cin Hui bunuh ayahku, dia juga tidak
beritahukan hal itu kepada ibuku!" ia berkata pula, "Maka kasihan si nyonya janda she Kang dan anaknya yang piatu, yang mesti hidup sengsara dan menderita bathin dan lahir.
Satu kali tua-bangka yang licin dan jahat itu sudah cegat aku ditengah gili-gili sawah, dia hendak bunuh aku, benar dia batal melakukannya, namun itulah disebabkan dia takut orang pergoki keganasannya itu. Kalau tidak Ie-thio Cie han nasehatkan aku menyingkir kekota, tentu aku akhir-akhirnya binasa juga ditangannya! Sungguh mengenaskan
keadaan keluarga selama terlunta-lunta dua-tiga tahun, aku menderita sangat. kemudian Pau Cin Hui suruh aku tinggal dirumahnya, dia sengaja berlaku-baik dan manis padaku, tetapi setiap hari dia suruh aku angon babi dan rawat kuda, berbareng
dengan mana dia antap dua anaknya menendangi, mendupaki, mengemplangi dan mendamprat
aku! Bagaimana aku bisa lupakan semua pengalaman pahit getir itu" Sekarang aku tidak punya sangkutan apa-apa juga dengan kau semua, sekarang sudah tetap aku hendak
binasakan dua saudara Liong dan Pau Cin Hui, tidak ada orang yang dapat membujuki aku!"
Baru Siau Hoo berhentikan kata-katanya itu atau satu
orang menerjang ia dengan satu bacokan. Dengan sebat ia menangkis dengan pedangnya. Segera ia kenali Ah Loan
sebagai penyerangnya.
"Bagus," berkata ia, "Tadi siang di Pa Kio kau sudah
bantui Kie Kong Kiat jalankan tipu untuk bokong aku,
setelah itu tidak berhasil, sekarang kau masih ada punya muka untuk ketetuui aku" Sungguh aku tidak sangka, baru selang sepuluh tahun kau sekarang berubah jadi begini rupa!
Sungguh, aku tak sudi perdulikan pula pada kau ..."
Ah Loan berduka berbareng mendongkol, sampai ia tak
dapat berkata apa-apa, hanya air matanya meleleh. Dengan kertek gigi ia membacok pula.
Siau Hoo dorong Cie Kiang sambil ia tangkis pula
serangan itu lalu ia balas menyerang, malah ia merdesak dengan hebat sekali, baru tiga gebrak, ia sudah tendang terlepas dan terpental golok Kun-lun-too.
Melihat demikian, orang semua maju menyerang.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah Loan jadi seperti nekat, ia maju dengan sikap hendak menyeruduk dengan kepalanya, rupanya ia ingin sekali Siau Hoo babat batang lehernya supaya ia terbinasa disitu, tetapi Siau Hoo berpikir lain. Dengan tangannya, ia tangkis
sesuatu serangan, dengan tangan kirinya ia samber
tubuhnya si nona, yang ia terus kempit.
Berada dalam kempitannya pemuda kita, yang tenaganya
besar, Ah Loan tidak berdaya, sia-sia saja ia berontak.
Siau Hoo gunakan pedangnya akan buka jalan, setelah
mendekati genteng, ia mencelat naik, sambil bawa terus Ah Loan.
Diatas genteng ada Tan Cie Cun serta dua pegawal yang
sedang menjaga, ia lihat nona Pau tertawan, ia segera maju untuk merintangi.
"Siau Hoo, kau hendak buat apa pada si nona?" ia tanya, goloknya membarengi menyambar.
Siau Hoo tidak menjawab, ia tangkis bacokan itu
seterusnya ia layani bertempur, tapi baru dua jurus, ia berhasil mendupak musuhnya hingga rubuh dari atas
genteng jatuh kebawah.
Kedua pegawal, yang jadi kaget dan takut, karena
tergesa-gesa telah tergelincir sendiri dari atas genteng.
Siau Hoo tidak terus menyingkir, sambil kempit terus Ah Loan ia berdiri sambil memandang kebawah, pedangnya
diangkat. "Sapa diantaramu yang berani naik ke atas genteng, dia tidak sayang lagi jiwanya!" ia berseru dengan tantangannya.
Kemudian, sembari tunduk ia kata pada Ah Loan: "Kau
jangan takut. Ah Loan. Aku hendak bawa kau kesuatu
tempat, supaya kita bisa bicara. Ada banyak hal yang aku hendak ucapkan."
Ah Loan masih berontak-berontak, dia menangis, malah
ia gigit lengannya pemuda kita.
"Aku tidak bisa ikut kau!" kata ia. "Sekarang aku tidak punya omongan untuk dibicarakan denganmu! Lekas kau
lepaskan aku, atau kau segera bunuh padaku!"
Lengan kirinya Siau Hoo digigit sampai ia merasakan
sangat sakit tetapi ia tidak pedulikan itu, malah sebaliknya ia bersenyum. suatu tanda bahwa ia merasa puas sekali.
Selama itu, Kie Kong Kiat telah muncul diantara kawan-
kawannya, bukan main gusarnya melihat isterinya kena
ditawan musuh, sambil mengacung-acungkan pedangnya ia
mendamprat. Ia hendak loncat naik keatas genteng, apa
mau ia tidak mampu lakukan itu. Luka dipahanya membuat ia tidak bisa gerakkan kedua kakinya dengan leluasa. Ia sudah mencobanya beberapa kali, namun setiap kali gagal.
Cie Kiang dan Cie Liong juga telah mencegah dengan
nasihatnya: "Sudah, jangan sibuk tak keruan! Kang Siau Hoo sudah
dikurung, tidak nanti dia bisa melarikan diri ..."
"Tapi apakah mesti dibiarkan dia bawa lari isteriku?"
Kong Kiat berseru.
Ketika itu Ah Loan telah berhasil melepaskan diri dari kempitannya Siau Hoo, karena hatinya pemuda kita
menjadi limbung, selagi ia mencoba akan rampas orang
punya pedang, pemuda itu joroki ia. Setelah itu, Siau Hoo putar tubuhnya untuk pergi.
Itu waktu dari atas genteng disebelah depan ada
menyambar beberapa batang anak panah, Siau Hoo berkelit diri. Itu adalah serangannya beberapa orang polisi yang gunakan tangga untuk naik digenteng diruangan depan itu.
Siau Hoo tidak berniat melukai hamba-hamba negeri. ia
menyingkir dari mereka dengan lari kelain jurusan,
langkahnya cepat luar biasa.
Sebentar waktu itu diatas tembok diatas genteng dan
berbagai ruangan, sudah ada orang-orangnya Cie Kiang dan orang-orang polisi, akan tetapi mreka tidak berdaya, mereka
jerih untuk maju mendekati pemuda kita. Mereka hanya
berteriak: "Tangkap! Dia lari ke Timur! Kejar!"
Suara mereka itu ada keras, tetapi nyalinya ciut, asal Siau Hoo mendatangi ke arah mereka menyingkir, malah
diwatu mundur. ada diantaranya yang terpeleset jatuh.
Maka itu, Siau Hoo jadi ada mendelu sekali, hingga dilain saat. walaupun orang ikuti dia, dia telah bisa lenyapkan diri.
Teng Jie dan orang-orangnya datang tidak lama
kemudian yang hanya bisa mencari ubek-ubekan dengan
tidak ada hasilnya.
Cie Kiang ada sangat menyesal dan tawar hatinya,
hingga ia cuma bisa menghela napas berulang-ulang.
"Sudah, sudahlah!" katanya. "Dia tak dapat ditangkap!"
Akan tetapi dia tidak mencegah orang masih buat
banyak berisik.
Kong Kiat telah dipepayang oleh Cie Liong beramai
untuk diantar kedalam, tetapi dia ada sangat gusar, karena Siau Hoo telah perhina sangat padanya sebab isterinya kena dikempit! Untuk sesaat ia coba berontak-berontak, tetapi pedangnya telah dirampas, karena orang kuatirkan ia jadi nekat.
Adalah Ah Loan sendiri, dengan bawa goloknya, sudah
loncat naik keatas genteng, akan cari pemuda kita. Malah ia menyusul sampai digentengnya rumah lain orang. Ia
mencari dengan sia-sia. Ia melainkan dapatkan sang malan yang
gelap, karena awan-awan saling berkumpul, menandakan akan turunnya hujan. Kadang-kadang
terdengar guruh serta terlihat berkelebatnya kilat beberapa kali.
"Kiranya Siau Hoo ada seorang busuk!" pikir ia
kemudian. "Dalam suratnya, engkong sudah memohon
dengan sangat, dia masih tidak hendak memberi ampun,
dia mau juga bunuh engkong. Dia-pun telah perhina aku
dimuka orang banyak!"
Oleh karena hatinya panas, Ah Loan masih mencari
terus, ia tidak niat lantas pulang. Ia lewati beberapa rumah, hingga beberapa ekor anjing tetangga, yang lihat ia
berkelebat sebagai bayangan, sudah lantas perdengarkan gonggongannya saling sahut.
Disebuah gang Ah Loan loncat turun. Gang itu ada
gelap dan sunyi sekali. Ia tidak tahu berapa jauh sudah terpisah dari piau-tiam. Napasnya ada sedikit memburu
maka itu, ia berhenti sebentaran, ia masih mendongol dan masgul, air matanya mengembeng. Selagi ia hendak keluar dari gang itu, tiba-tiba dari belakangnya ada orang sambar kedua lengannya.
"Siapa kau?" ia membentak. Ia-pun meroleh.
Justeru itu, kilat berkelebat, hingga ia lihat nyata
mulanya orang itu. Itulah Kang Siau Hoo! Maka ia tidak berontak.
"Lepaskan aku!" ia berteriak.
Akan tetapi orang itu tidak mau lepaskan cekalannya.
"Aku tak dapat lepaskan kau!" kata Siau Hoo. "Aku
hendak bicara dulu ke padamu. Aku hendak menjelaskan
bagaimana selama sepuluh tahun aku telah menderita,
bagaimana aku telah belajar silat untuk menuntut balas, untuk cari kau juga, tetapi tak kusangka bahwa kau tiada punya liangsim! ... "
"Kau tidak hendak ampuni engkong, cara bagaimana
kau mengharap liangsimku?" Ah Loan baliki seraya
banting-banting kaki. Ia menangis.
Siau Hoo menghela napas. Dengan tiba-tiba ia lepaskan
kedua cekalannya, ia memutar tubuh dan loncat keatas
genteng. Ah Loan tidak panggil pemuda itu, ia-pun tidak
mengejar pula, hanya sambil tenteng goloknya ia keluar dari gang itu sampai ia berada dijalan besar sebelah Selatan yaitu Lam Toa-kay.
Ketika itu sang hujan telah mulai turun terus menjadi
besar dan guruh berbunyi beberapa kali, halilintar-pun menyambar-nyambar. Maka itu, ketika sinona kembali
kepiau-tiam, ia telah bermandikan air hujan, hingga air matanya bercampuran dengan air langit itu.
Dipiau-tiam keadaan telah jadi sunyi pula, tetapi orang-orang polisi tidak lantas berlalu. Cie Kiang dan Cie Liong semua sedang sibuki sinona barulah mereka lega kapan
mereka tampak nona itu pulang dengan tidak kurang suatu apa.
"Bagaimana, nona?" mereka menyambut. "Apa kau
tidak berhasil menyandak Kang Siau Hoo" Dia lari
kemana?" Ah Loan geleng kepala.
"Kita baik jangan musuhkan dia terlebih jauh," kata Cie Kiang kemudian, seraya menghela napas dengan lesu
sekali. "Begini keras kita atur penjagaan kita-pun berjumlah besar, namun dia bisa datang dan pergi dengan merdeka ...
Dia ada terlalu lihay, kita tidak berdaya terhadapnya ...
Karena dia sudah angkat kaki, aku percaya dia tidak akan datang pula menganggu kita, dia tidak akan lukai siapa juga
diantara kita. Adalah suhu dan dua saudara Liong yang
mesti berhati-hati menjaga dirinya. Kalau Siau Hoo dapat cari mereka, dia tentu tidak akan berlaku murah seperti disini ... "
"Aku pikir baik besok kita kirim orang ke Cieyang." Ce Cun nyatakan, "Suheng Liong Cie Teng mesti diberi
kisikan untuk dia sembunyikan diri. Tenttng Cie Khie kita tidak usah kuatirkan, sekarang barang kali ia sudah pergi keperbatasan. Kemudian bersama-sama Nona Ah Loan kita
harus suhu untuk dengar keputusannya, umpama suhu suka adu jiwanya, kita juga sediakan jiwa kita untuk membantu.
Kalau orang Kun lun Pay binasa, biarlah binasa semuanya Tidak dapat dibiarkan Kang Siau Hoo cuma hendak
binasakan suhu dan dua saudara Liong. Tapi andaikata
suhu tidak bersedia untuk adu jiwa, kita boleh minta suhu tetap sembunyikan diri, kita ramai-ramai antar dia ke
Pakkhia. Pakkhia adalah ibu kota, mustahil Kang Siau Hoo berani berbuat sesuka hatinya disana."
Cie Kiang pikirkan usul itu, lalu ia goyangkan tangan.
"Tak dapat kita berbuat demikian," berkata ia kemudian.
"Jikalau kita susul suhu, siapa tahu Siau Hoo nanti dengan diam-diam kuntit kia" Apabila itu sampai terjadi, sama juga kita tunjukkan jalan kepadanya. Tentang ini baik kita
damaikan nanti saja dengan pelahan-lahan. Tempat suhu
sekarang ada sangat terahasia, umpama Siau Hoo ada
orang yang memberitahukannya-pun belum tentu dia dapat mencarinya."
Setelah berkata begitu, setelah nenghela napas, Cie
Kiang suruh Ah Loan kembali ke kamarnya.
Nona itu menurut.
Kong Kiat rebah diatas pembaringan sambil merintih,
karena lukanya jadi lebih hebat, sebab ia telah paksa
keluarkan terlalu banyak tenaga dan jatuh. Mendengar
rintihan itu, Ah Loan merasa pilu. Ia mengarti lukanya
"suami" itu semua adalah untuk ia dan disebabkan urusan engkongnya.
Sesudah letaki goloknya, nona ini pasang api. Ia tidak menangis lagi, sebaliknya ia jadi gusar, ia benci Siau Hoo.
Ia anggap Siau Hoo sudah menghina ia, baik dengan kata-katanya mau-pun dengan perbuatannya. Ia duduk dengan
pikiran kusut. Sang hujan masih turun, suaranya beberapa kali diiringi suara guntur.
Kong Kiat terus merintih, dengan terlebih hebat.
Tidak tega Ah Loan mendengari lebih lama rintihan itu, ia menghampiri.
"Bagaimana dengan lukamu" Apa itu jadi lebih hebat?"
ia tanya dengan penuh perhatian.
Kong Kiat berhenti merintih, ia bersenyum. Ia
mengeleng kepala.
"Tidak apa-apa, tidak nanti aku mati," jawabnya. "Aku
masih mempunyai tenaga untuk nanti dipakai mengadu
jiwa dengan Kang Siau Hoo! Jangan Siau Hoo bangga atau jumawa dengan kemenangannya ini, walaupun ilmu
pedangku kalah jauh, aku toh masih mempunyai lain daya untuk lawan padanya! Lihat saja ..." Ia menghela napas. Ia tambahkan: "Ah Loan, sekarang aku sudah mengarti. Kau
ada punya perhubungan dengan Siau Hoo, kalau tidak,
tidak nanti kau menangis ketika kau bertemu dia di Pa Kio dan tadi dia telah kempit padamu dibawa naik ke atas
genteng. Aku Kie Kong Kiat ada satu laki-laki, turunanku juga ada jauh lebih terhormat dari pada Kang Siau Hoo, maka itu aku tidak butuhkan kau sebagai isteriku!
Tunggulah sampai lukamu ini sembuh, bersendirian aku
akan cari Loo-ya-cu untuk tuturkan duduknya hal sesudah mana, aku akan angkat kaki, aku akan cari Kang Siau Hoo.
Sejak itu aku tidak punya sangkutan apa juga dengan
keluarga Pau. Itu waktu kau boleh bantui Kang Siau Hoo akan kepung aku, atau semua orang Kun Lun Pay
musuhkan aku, aku tidak takut! Aku ada punya pedang,
piau yang aku pesan-pun akau sudah rampung dibuat, aku tak takuti siapa juga!"
Setelah habis kata-katanya itu, Kong Kiat menarik
napas, lantas ia berdiam.
Ah Loan juga berdiam. Perkataannya suami itu buat ia
berduka dan malu, hingga sembari tunduk air matanya
turun mengalir. Hampir ia tuturkan tentang perhubungannya dengan Siau Hoo semasa mereka berdua
masih kecil. Namun karena malu sendirinya ia tidak dapat katakan itu. Ia-pun malu dan kuatir engkongnya gusar dan berduka apabila halnya itu sampai diketahui sang engkong.
Justeru engkongnya paling benci orang main cintaan,
apapula cintanya dia dan Siau Hoo dilakukan ketika
mereka masih kanak-kanak. Malah orang yang ia cinta ada anak dari musuh.
"Kau ngaco-belo," akhirnya ia kata pada Kong Kiat.
"Aku tidak punya perhubungan dengan Siau Hoo. Dia
justeru ada musuh keluargaku! Dia telah desak engkong dan sekalian susiok, cara bagaimana aku ada perhubungaa
dengannya" Tadi aku menangis di Pa Kio karena aku
sangat mendongkol sebab dia telah terlalu menghina aku.
Apa aku dapat buat untuk lampiaskan kemendongkolanku
itu, karena kepandaian kita tidak ada seperti kepandaiannya dia itu?"
"Seperri kepandaiannya dia itu?" Kong Kiat ulangi.
"Memang betul ilmu silat pedangku, kepandaian ya-heng-
sinku, semua itu tidak nempil terhadap dia, akan tetapi aku percaya betul senjata piauku akan dapat buat dia mampus!
Sayang sudah banyak tabun aku telah tidak melatih piau hingga tanganku jadi kaku. Tunggulah setelah lukaku sudah sembuh, aku gunakan tempo beberapa hari untuk berlatih pula dengan sungguh-sungguh. Setelah itu barulah aku cari Siau Hoo. Andaikata Siau Hoo sanggup menyanggapi pula
piauku, aku bersumpah untuk selama-lamanya aku tidak
akan merantau pula dikalangan kangouw!"
"Biar bagaimana, kau tidak bisa bilang aku ada punya
perhubungan dengan Siau Hoo," kata Ah Loan sambil
menangis. "Jikalau sampai orang luar dengar itu, aku tidak mau mengarti!"
Kong Kiat merintih, tetapi ia tahan sakitnya dan tertawa.
"Aku tidak akan sampaikan itu pada orang luar," kata ia.
"Tapi aku hendak tanya kau: Kau telah nikah aku, kenapa kau tidak hendak baik padaku" Kalau aku tidak dapat luka, pasti kau masih tak sudi bicara kepadaku!"
Ditanya demikian Ah Loan bungkam. Ia kucurkan air
mata, ia gigit bibirnya. Napasnya-pun memburu. Tapi
kemudian ia toh buka mulutnya.
"Bukan saja aku tidak mau baik kepadamu, juga tidak
dengan dia!" demikian katanya. "Ibu telah menutup mata siang-siang, ayah seumur hidupnya tinggal diluaran, tidak ada orang siapa tinggal berdekatan dengan aku kecuali
engkoug, maka itu apa yang engkong bilang, aku turut, aku tidak mau menentangnya. Demikian aku menikah dengan
kau karena aku turuti kehendak engkong. Sebenarnya aku tidak mau menikah, aku ingin buat seumur hidupku
menemani engkong saja ..."
Kong Kiat merintih, lalu ia tertawa dingin.
"Sayang nasibnya engkongmu itu buruk," kata ia.
"Kenapa dia dapat musuh sebagai Kang Siau Hoo" Kalau
Siau Hoo dapat mencarinya, jiwa engkongmu itu pasti
bakal lenyap! Umpamakan cari lain orang untuk bantu kau kaum Kun Lun Pay aku kuatir tidak akan ada orang sebagai aku yang bersedia mengorbankan jiwa!"
Setelah mengucap demikian, Kong Kiat merintih pula,
lantas ia berdiam untuk tidur.
Ah Loan mendongkol mendengar sindiran itu hingga
sebaliknya daripada berkasihan, ia jadi membenci.
"Toh tidak semestinya aku mengandalkan orang?" pikir
ia dengan hati panas. "Biarlah, hidup atau niati, aku mesti bekerja sendiri! Dahulu engkong telah bunuh orang, karena mana ia tanam bibit permusuhan, jikalau sekarang dia
binasa ditangannya Kang Siau Hoo, dia tidak boleh
menyesal dan penasaran, akan tetapi kebinasaannya itu
mesti sebagai laki-laki, barulah dia jadi satu enghiong!"
Oleh krena berpikir demikian Ah Loan segera ambil
keputusan, ia hendak berangkat besok ke Sin Im Kok,
Lokyang menyusul engkongnya itu muncul, agar mereka
berdua, engkong dan cucu perempuan, hidup atau binasa
bersama-sama. Setelah ini, ia tutup pintu dan padamkan api, lantas ia naik ke pembaringan untuk tidur. Goloknya tetap terletak disampingnya.
Malam itu hujan turun melit, suaranya seperti saling
sahut dengan rintihannya Kie Kong Kiat, karena mana, Ah loan jadi sukar pulas.
Sampai keesokannya pagi sang hujan masih belum mau
berhenti, hanya sekarang turunnya jadi kecil sekali, gerimis seperti kemarinnya selagi orang bertempur di jembatan Pa Kio.
Ah Loan telah pikir untuk berangkat selagi lain-lain
orang belum bangun, untuk itu ia bisa siapkan sendiri
kudanya, akan tetapi ia lihat Kong Kiat sedang tidur suami itu baru saja dapat tidur ia tidak tega meninggalkannya. Iapun lihat dahi mengkerut dari suaminya, yang dalam
tidurnya itu sedang menderita sakit hebat.
"Walau aku tiada keakuran, dia toh tetap ada suamiku,"
pikir ia dalam kesangsiannya "Dia-pun terluka untuk
urusan keluargaku, maka jikalau sekarang aku tinggalkan dia, aku jadi berlaku keterlaluan. Sedikitnya aku harus bicara dahulu kepadanya. Dengan berangkat diluar
tahunya, engkong tentu tidak setujui aku, ia bisa jadi gusar, mungkin ia titahkan aku kembali pula."
Ah Loan terus bersangsi, sehingga Cie Kiang dan yang
lain-lain-pun telah bangun dari tidurnya, tidak terkecuali Kong Kiat.
"Tolong ambilkan aku air," Kong Kiat minta setelah ia
merintih. Ah Loan teriaki pegawai untuk mengambilkan teh, ia
tuang secangkir, ia suguhkan itu pada suaminya, malah ia yang tuangkan ke dalam mulutnya.
Setelah dapat minum, Kong Kiat merasakan tubuhnya
agak lebih segar.
"Nona Loan, tadi malam aku salah bicara kepadamu,
aku minta kau jangan sesalkan aku," berkata ia. "Kang Siau Hoo itu adalah musuhnya keluargamu. Pada sepuluh tahun yang lalu, tempo Long Tiong Hiap datang ke Cieyang
untuk membuat ribut, apabila ia tak kena dipukul mundur oleh engkongmu, boleh jadi namanya Kun Lun Pay sudah
jatuh. Maka aku duga dengan bugeenya yang liehay itu,
barangkali engkongmu tak ada dibawahan Siau Hoo.
Bahwa engkongmu tidak berani lawan Siau Hoo, itulah
disebabkan semangatnya telah jadi lemah, karena dahulu gurunya Kang Siau Hoo sudah buat ia tak berdaya, hingga ia menyangkanya Siau Hoo pasti sama juga bugeenya


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liehaynya seperti gurunya itu. Menurut penglihatanku
engkongmu sudah berkuatir secara keterlaluan. Jikalau dia lawan berkelahi dengan sungguh-sungguh pada Kang Siau
Hoo dan disebelah itu kita berdua membantui padanya, aku percaya masih belum pasti sang manjangan bakal rubuh
ditangan siapa ..."
Kong kiat berhenti sebentar, lalu ia menyambungkan.
"Adalah kekeliruanku bahwa kemarin aku telah tuduh aku punya perhubungan dengan Kang Siau Hoo. Dulu Kang
Siau Hoo telah ojok-ojok Long Tiong Hiap satroni
rumahmu membuat kacau, ia telah lukai juga beberapa
orang Kun Lun Pay, dan itu tak mungkin kau bersahahat
dengan dia. Aku keliru bicara sebab aku sedang terluka, pikiranku kalut. Aku harap kau anggap saja kata-kataku itu tidak ada."
Mukanya Ah Loan merah sendirinya. ia jengah
berbareng berduka. Kong Kiat membuat ia ingat peristiwa kedatangannya Long Tiong Hiap ke rumahnya, ingat itu, ia jadi benci Siau Hoo. Tapi entah kenapa, setiap kali lenyap rasa kebenciannya itu, demikan-pun sekarang ini. Ia
membenci pemuda kita, ia menyintai, ia-pun berkasihan ...
Maka sebisa-bisa ia kendalikan diri untuk tidak bicara sembarangan dengau Kong Kiat. Karena sikapnya suami ini pula, berubah putusannya untuk berangkat hari itu juga.
Tidak lama piau-tiam jadi ramai pula, dengan
kunjunnnya sejumlah tamu yang terdiri dari piausu, guru silat dan sahabat-sahabat, yang telah dengar kejadian
semalam untuk menanyakan dan menghibur. Diantaranya
ada Cin Tek Giok, mantunya Hoa ciu loohiap Lie Cin Hiap yang dulu pernah membantu tempur Lie Hong Kiat dia
sekarang buka piau tiam sendiri. Kapan ia lihat lukanya Kong Kiat bertiga Cie Kin dan Cie Hiap, segera ia kirim orang ke Hoa-ciu, mengambil obat luka buatannya sendiri, kemudian baru ia bicara kepada Cie Kiang, berduaan saja.
"Lie Hong Kiat sekarang berada di Sin-an, Hoolam,"
kata orang she Lie ini. "Barangkali ia hendak menuju ke Barat, ke Kwantiong."
Mendengar ini Cie Kiang kaget, wajahnya melukiskan
kekuatiran. "Siau Hoo tidak menjadi soal," pikirnya. "Asal dia dapat cari suhu dan dua saudara Liong, dia tidak bakal ganggu aku. Tidak demikian dengan Lie Hong Kiat. Musuhnya dia adalah aku dan ia pernah dikalahkan, sekarang dia datang pula. Kong Kiat sedang sakit. Cie Tiong tidak ada di sini, siapa nanti sanggup layani padanya?"
Saking kuatir, Cie Kiang jadi duduk salah berdiri salah, tapi meski-pun demikian, didepannya Cin Tek Giok ia coba tenangkan diri. Akan tetapi setelah sahabat itu pamitan pulang, ia jadi bingung tidak keruan. hingga ia memikir hendak tutup saja piau-tiamnya dan angkat kaki. Ia
menduga pasti dengan datangnya kali ini, Hong Kiat
tentulah akan ada lebih jauh terlebih liehay dan galak.
Walau hatinya sangat sibuk, Ce Kiang toh tidak bicara
suatu apa pada yang lain-lain.
Sorenya Cin Tek Giok telah kirimkan obat lukanya, yang walau-pun tidak semanjur Kim-kong Keng-seng-san buatan Thay Bu Siansu tapi ada beda daripada obat-obat di pasar.
Cie Kiang lantas obati ketiga kawannya, malah lukanya
Kong Kiat ia yang mengobati sendiri. Lukanya Kong Kiat tidak hebat, sebab Siau Hoo tikam ia melulu karena
penyerangannya secara membokong, kalau tidak, tidak
nanti ia dilukai.
Belasan hari lewat dengan cepat. Selama itu, Cie Kiang terus sibuk, ia tidak tunggu sampai lukanya sembuh betul, ia sudah pergi kebengkel besi Tek Hok dijalan See Toa-kay untuk ambil pesanannya dua puluh batang piau, untuk
selanjutnya, ia berlatih dengan rajn.
Sorenya hari itu Cie Kiang bicara dengan Kong Kiat dan Ah Loan. Ia masih tidak bendak beritahukan akan
kedatanganya Lie Hong-Kiat, ia melainkan kata, "Sesudah dua kali aku diganggu Lie Hong Kiat dan Kang siau Hoo, aku malu untuk usahakan terus Lie Sun Piau Tiam ini.
Selama dua bulan ini, selain aku tidak pegang pekerjaan lagi, langganan-pun tidak ada yang datang minta
perlindungan, ini terang disebabkan umum sudah ketahui nama Kun Lun Pay tidak berpengaruh lagi seperti dulu-dulu. Dimana suhu sendiri umpatkan diri di tempat yang orang tidak ketahui, cara bagaimana orang bertetap hati akan titipkan barangnya kepada kita?"
"Memang aku merasa, tidaklah
tepat engkong sembunyikan diri," nyatakan Ah Loan. "Kita-pun jadi tidak ketahui keadaannya engkong. Umpama engkong sakit, aku
jadi tidak bisa rawati padanya. Lagi-pun aku percaya, lama-lama Siau Hoo akan dapat cari padanya. Maka pikirku,
lenih baik engkong muncul sekarang saja! ..."
"Tidak, suhu tidak boleh muncul!" menentang Cie Kiang
dengan goyangkan tagan. "Suhu sudah berusia lanjut, apa bila dia sampai celaka ditangannya Kang Siau Hoo, kita yang menjdi muridnya bagaimana ada punya muka akan
hidup di dalam dunia" Sekarang dia tinggal ditempat yang terahasia sekali, mustahil Siau Hoo mampu cari padanya"
Suhu juga ada bertubuh sehat sekali, tidak nanti dia dapat sakit!"
"Tapi aku anggap, memang lebih baik loo-ya-cu
muncul," Kang Kiat setujui Ah Loan. "Kita semua bantu
suhu, kita adu jiwa kita dengan Kang Siau Hoo. Kalau
tidak, urusan akan terus tergantung, tak ada keputusannya.
"Kat Susok, kau ada punya banyak uang, tanpa jadi
piausu kau dapat dengan kecukupan, tidak demikian kalau Sie Sun Piau Tiam ditutup, semua pegawaimu akan
terlantar hidupnya, mereka bisa mati kelaparan ..."
"Piautiam Kun Lun Pay tidak bisa ditutup," Ah Loan
bilang. "Tidak mudah engkong angkat namanya sejak tiga atau empat puluh tahun yang lalu, sedang sekarang
pekerjaan bukanna tidak ada sama sekali. Usaha Lie Sin Piau Tiam mungkin terhalang, tidak demikian dengan yang lain-lainnya. Maka satu kali susiok tutup perusahaanmu, itu bisa memberi akibat buruk kepada yang lain-lainnya. Dari sekalian piau-tiam kaum Kun Lun Pay kita, adalah yang di Tangan ini, Han-tiong dan Cie-yang yang paling besarm."
Cie Kiang segera ubah sikapnya.
"Akupun bukannya niat tutup piau-tiam ini," kata ia.
"Aku-pun bukan sudah tawar hati! Aku hanya pikir untuk keluar mengerahkan seantero tenagaku akan layani Kang
Siau Hoo dan Lie Hong Kiat!"
"Bagaimana, susiok" Mungkinkah ada dengar kabar apa-
apa?" tanya Kong Kiat yang merasa aneh. "Kabarnya Hong Kiat tidak mati, apa benar dia hendak datang pula untuk cari kita" Aku tidak takut!"
"Bukan-bukan!" Kat Cie Kiang membantah, seraya
goyang-goyangkan tangan. "Lie Hong Kiat tidak ada kabar beritanya ia sudah mati atau masih hidup tidak ada yang ketahui. Aku percaya tidak nanti dia datang kembali ke Kwan-tiong. Sebaliknya Kang Siau Hoo mungkin ia sudah
pergi ke Kwan-tiong. Aku kuatirin kedua saudara Liong
sekarang sudah hilang jiwanya. Maka aku pikir untuk
berangkat kesana."
"Untuk apa itu, susiok?" Ah Loan tanya.
"Aku hendak cari ayahmu," jawab Cie Kiang. "Disana
kita nanti kumpulkan semua murid Kun Lun Pay, kita
undang orang gagah dari berbagai propinsi guna diminta bantuannya untuk dengan bersatu tenaga kita hadapi Kang Siau Hoo dan Lie Hong Kiat."
Adalah maksud utama dari Kat Cie Kiang akan
singkirkan diri dari orang yang ia buat jerih adalah Lie Hong Kiat, ia kemukakan alasan itu. Adalah tutupi malu.
Siapa tahu, mendengar itu, Kie Kong Kiat gebrak meja.
"Bagus!" berseru ia ini. "Aku memang niat ketemui
mertuaku. Karena loo-ya-cu tidak mau cut-tau-, mertuaku yang harus maju sebagai wakil, dan aku dapat
membatunya! Kita akan tempur Kang Siau Hoo untuk
lakukan pertempuran yang memutuskan! ... "
"Bagus, Kat Suiok!" Ah Loan nyatakan setujunya.
"Sekarang lekas sisiok atur dan siapkan segala apa, besok kita berangkat!"
Cie Kiang masih betpkir sekian lama, barulah barulah ia ambil putusan.
"Baiklah!" kata ia sambil manggut, malah terus ia
perintah orang siapkan pauhok dari kuda, urusan piau-tiam ia serahkan pada Tio Cie Liong dan Tan Cie Cun. Mereka ini dipesan untuk sementara tidak boleh terima pekerjaan.
"Dalam segala hal berlakulah sabar, kau tunggu
kembalinya aku," ia pesan lebih jauh.
Kemudian Cie Kiang masuk kedalam untuk pesan isteri
dan anak mantunya.
Kat Siau Kong sudah sembuh, lengan kirinya
meninggalkan cacat, tubuhnya sekarang kurus pucat, ia
tidak lagi jumawa seperti biasanya.
Malam itu lewat dengan aman, besoknya cuaca ada
terang. Sebuah kereta telah disiapkan untuk Kie Kong Kiat, luka siapa yang belum sembuh menyebabkan dia tak dapat naik kuda, disebelah itu ada lima ekor kuda, ialah untuk Ah Loan dan Cie Kiang serta tiga pegawai piau-tiam.
Pada tukang kereta Kong Kiat sudah lantas pesan:
"Sekeluarnya dari kota kau mesti bedal kereta ini, supaya bisa susul dan ikuti mereka yang naik kuda. Hanya hati-hati agar kereta tidak sampai ringsak ... "
Hal itu Ah Loan dan dengan rambutnya terkepang
panjang, pakaiannya serba hijau. Ia menungang kuda bulu merah, ia nampaknya cantik. Cuma orang-orang yang
menaruh perhatian sajalah dapatkan ia ada sedikit kurus.
Cie Kiang masih berkata berbagai pesanan, baru ia
loncat naik atas kudanya dan suruh tiga pegawainya jalan paling depan.
Rombongan ini keluar dari pintu sebelah Selatan menuju ke Barat, mutar ke Utara, mengikuti jalan umum. Kereta keledai tidak bisa jalan cepat-cepat, hingga Kong Kiat jadi uring-uringan. Terutama ia tidak bisa tunggang kuda!
Apakah itu tidak memalukan engkongnya, Liong Bun
Hiap" Akhirnya, sesudah tak dapat tahan mendelunya, ia tarik pedangnya yang diletaki disampingnya, dengan itu ia sodok pinggangnya kusir kereta.
"Berhenti! Aku tidak dapat duduk terus dalam kereta
keledai yang bobrok ini! Jalannya pelahan masih tidak apa
tetapi yang hebat adalah goncangan dan bantingannya aku tidak tahan!"
Terus ia turun dari kereta, ia menghampiri satu pegawai piau-tiam.
"Sun Cit, kau duduk kereta, kudamu kau beri aku yang
tunggangi!"
"Kie Kouya," berkata Cie Kiang, yang tahan kudanya.
"Lukamu belum sembuh benar, cara bagaimana kau bisa
tunggangi kuda?"
"Tidak!" Kong Kiat geleng kepala "Aku tidak sanggup
duduk kereta, aku hendak naik kuda saja," ia menghampiri Sun cit, yang ia hendak gusur turun dari kudanya, hingga pegawai piau-tiam itu terpaksa mengalah, segera ia turun dari kudanya itu, kemudian ia bantui pemuda itu naik
keatas kudanya itu. Ia-pun ambilkan pedangnya Kong Kiat untuk dicantelkan dipelana.
Bukan main girangnya Kong Kiat sesudah ia bercokol
atas kuda, ia bepaling pada Ah Loan, ia tertawa, lalu ia cambuk kudanya dilarikan mendahului yang lain-lain.
Cie Kiang kedipi mata pada Ah Loan.
"Inilah tidak bisa." berkata ia dengan pelahan. "Luka
suamimu baru sembuh, luka itu bisa kambuh kembali
karena bergosok-gosok pelana. Mari kita jalan pelahan-
lahan." Demikian kuda dan kereta semua sengaja jalan ayal-
ayalan. Kong Kiat telah larikan kudanya kira-kira satu lie ketika ia menoleh ke belakang, ia dapatkan rombongannya
ketinggalan terlalu jauh, dengan terpaksa ia tunggui mereka itu. Ia ada tidak sabaran.
"Lekas, lekas!" ia mendesak berulang-ulang.
"Atau suruhlah kereta itu kembali saja. Kereta ini
membuat kita berabe saja!"
Cie Kiang dan Ah Loan tidak perdulikan desakan itu,
mereka tetap jalan dengan pelahan. kereta-pun tidak
diperintah pulang. Mereka terus ikuti kereta itu.
Ketika itu hawa udara ada panas-terik.
Diakhirnya mereka sampai ditepi sungai Wie Sui,
mereka seberangi sungai itu.
Diwaktu tengahari, mereka sampai didalam kota Ham-
yang dimana mereka singgah untuk bersantap, sekalian
beristirahat, setelah itu perjalanan dilanjutkan pula ke arah Barat.
Cie Kiang lakukan perjalanan ini melulu untuk
meninggalkan Tiang-an, See-an, guna menyingkir dari
ancamannya Lie Hong Kiat, ia tidak mempunyai lain
maksud lagi. Di Han-tiong juga ia tidak akan dapatkan
pikiran baik atau undang orang kosen, guna bantu pihaknya menangkis Kang Siau Hoo. Maka itu, begitu lekas sudah
meninggalkan kota Tiang-an, hatinya menjadi lega,
disepanjang jalan sama sekali ia tertampak gelisah.
Disebelah piausu ini, walau-pun Ah Loan ingin lekas
menemui ayahnya, ia-pun tidak mendesak agar perjalanan dilakukan dengan cepat, ia juga berduka. Ia ketahui
ayahnya, juga lainnya orang yang ia kenal tidak akan
sanggup lawan Kang Siau Hoo.
"Bugeenya Siau Hoo ada terlalu tinggi!" demikian ia
berpendapat. Maka akhirnya ia jadi mendongkol, ia
berkerot gigi. "Siau Hoo tak dapat lupakan permusuhannya, sesudah ia
berhasil membunuh engkong, baru ia puas ... Bagaimana
ini?" pikir si nona terlebih jauh, pikirannya kusut. "Siau Hoo sangat menjemukan ... Keluarga Pau harus sangat
dikasihani ..." Saking jengkelnya hampir nona Pau ini
melelehkan air mata ia benci Siau Hoo, tetapi-pun ia
mencintainya. Karena demikanlah, nona ini tidak pikir untuk buat
perjalanan segera.
Adalah Kong Kiat yang menjadi sangat sibuk sendirinya.
Ia ingin percepat perjalanan itu, tetapi rombongannya itu terus jalan dengan lambat-lambatan. Ia jalan belum
limapuluh lie, lukanya telah mengeluarkan darah, karena tapuknya telah pecah pula, ia mesti merasakan sakit bukan main. Seperti diiris-iris saja. Toh tidak urung ia masih larikan kudanya. Sering-sering ia cekal gagang pedangnya, ia raba kantong piau, matanya memandang keempat
penjuru. Tapi kapan ia menoleh ke belakang, ia jadi
mendelu. Sang kereta terus berjalan seperti merayap. Kalau dikereta itu tidak ada Ah Loan, ia pasti sudah umbar
adatnya! Atau sedikitnya ia akan tinggalkan mereka itu.
"Aku tidak sanggup menangkan Siau Hoo, tetapi aku
mesti lawan dan adu jiwa padanya sampai dia mampus!"
demikian ia ngelamun karena panas hatinya itu. "Meski
dengan cara menggelap, aku mesti gunakan. Melainkan
dengan cara ini aku bisa perlihatkan Ah Loan bahwa aku ada satu enghiong terbesar, dengan cara ini barulah aku bisa buat Ah Loan kagum dan mencintai kepadaku."
Hari itu waktu maghrib, mereka sampai di Bu-kong.
Menuruti hatinya Kong Kiat tidak ingin singgah, ia hendak jalan terus malam-malam, tetapi rasa sakitnya ada luar biasa hingga untuk turun dari kudanya, Ce Kiang mesti
membantuinya, dengan dipepayang ia diantar ke kamarnya
dalam sebuah rumah penginapan, disini ia paling dahulu dipakaikan obat.
Keras hatinya orang she Kie ini. walau-pun ia merasakan sangat sakit. Ia masih tidak mau rebah, ia hanya duduk sambil nyender ditembok, dengan paksakan diri ia bicara dan tertawa seperti biasa, ia teriaki jongos akan lekas siapkan barang hidangan serta araknya. Dengan suara
perlahan ia tertawa dan bicara dengan Ah Loan.
Setelah saksikan orang punya semangat itu, Ah Loan
merasa bahwa Kong Kiat benar-benar laki-laki sejati,
hatinya kuat, tubuhnya ulet, nyalinya besar, hingga dengan sendirinya datanglah kekagumannya. Maka itu walau-pun
ia ada sangat berduka, ia suka juga layani suami itu bicara dengan lemah lembut.
Di tempat penginapan itu Cie Kiang tidur sendiri dalam sebuah kamar lain, dan tiga pegawainya bertempat
diruangan umum. Rumah penginapan itu ada ramai,
tamunya kebetulan banyak, dari itu dari setiap kamar
terdengar suara orang bercakap-cakap, lagu suaranya dari berbagai daerah. Suara jadi berisik karena ada bocah
penjual bakpau, yang memasuki sesuatu kamar menawarkan barang dagangannya. Sedang kemudian
terdengar suaranya orang-orang polisi, yang rewel dengan tuan rumah, sebab mereka datang untuk membuat
pemeriksaan pada tamu-tamu. Adalah selewatnya jam dua, baru hotel jadi sunyi. Sebagai gantinya terdengar suara menggeros.
Api dalam semua kamar telah dipadamkan, tetapi orang
takut hawa panas, pintu kamar telah dipentang, kecuali pintu kamarnya Cie Kang, yang dikunci, dan pintu
kamarnya Kong Kiat, yang dirapatkan. Api dalam
kamarnya pemuda ini juga dipasang terang-terang
Dengan sebuah kipas bulu Kong Kiat mengipas diri.
Kepada isterinya ia tuturkan hal pengalamannya di
Hoolam, tentang segala perbuatannya engkongnya, Liong
Bun Hiap. Ah Loan tidak tertarik akan dengarkan segala cerita itu, akan tetapi ia sendiri tidak juga mau tidur, dari itu ia terpaksa antap orang bicara sendiri, ia memikir kelain jurusan. Sekarang, mau atau tidak ia mulai terpengaruh oleh sikap gagah dari suami ini, yang begitu jauh ia
perlakukan, sebagai musuh saja. Ia-pun bingung akan
kedudukannya yang ganjil itu.
"Apakah tetap begini penghidupanku selanjutnya?"
sekali-sekali ia pernah pikir. "Kalau nanti Kong Kiat sudah sembuh benar dan aku sudah ketemu engkong, dan urusan
engkong dapat diselesaikan, mau atau tidak aku toh mesti jadi isterinya Kong Kiat, isteri dalam artian yang benar ...
Kalau itu sampai terjadi, bagaimana urusanku dengan Siau Hoo" Apakah aku mesti bunuh saja Siau Hoo itu" ... "
Ingat itu, hampir Ah Loan alirkan air matanya.
"Baiklah kau tidur lebih dahulu," kemudian Kong Kiat
kata sambil tertawa. "Besok kita akan lanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali."
"Aku belum mengantuk," sahut Si nona sambil
menggeleng kepala.
Kong Kiat pandang isteri itu, ia kagum berbareng
berkasihan. Ia lantas geraki tubuhnya, untuk berduduk
dengan benar. Ah Loan geser tubuhnya membagi tempat.
Hampir disaat itu Ah Loan dengar suara elahan napas
diluar jendela, ia terperanjat, segera ia berbangkit dan pergi keluar untuk melihatnya.
Kong Kiat, dengan melawan rasa sakitnya turut
berbangkit, sambil bawa pedangnya ia menyusul keluar.
Malam itu, bintang-bintang ada jarang.
Diluar kamar, diruangan dalam, ada rebah tidur lima
atau enam orang.
Ah Loan periksa semua ruangan, juga atas genteng, ia
tidak lihat dan dengar suara apa-pun kecuali suara angin malam, yang meniupnya dari arah sungai Wie Sui.
"Kau dengar suara apa?" tanya Kong Kiat, yang berdiri
di belakang isterinya. "Apakah kau dapat lihat orang?"
Ah Loan geleng kepala, ia tidak menyahut, ia hanya
putar tubuh untuk kembali kekamar mereka. Wajahnya saat itu pucat sekali.
Kong Kiat berdiri dipintu kepada apa ia pepegangan, ia memandang keluar. Dengan tertawa yang dibuat-buat,
dengan suara nyaring, ia kata: "Rembulan ada demikian
indah-permai, didalam pekarangan ini juga ada orang tidur, dan Kang Siau Hoo bukannya iblis, cara bagaimana ia bisa datang kemari" ..."
Justeru itu diatas genteng, ia lihat suatu benda hitam, segera ia rogoh sakunya akan keluarkan pisau dengan apa ia menimpuk. Dan menyusul itu lalu terdengar suatu suara
aneh yang dibarebgi dengan jatuhnya suatu benda.
Dengan tindakan dingkluk-dingkluk Kong Kiat pergi
menghampiri, maka itu ia dapat kenyataan yang ia telah berhasil menangkap seeker kucing bulu hitam.
Suara berisik itu menyebabkan dua orang terbangun dari tidurnya.
"Ada apa?" mereka tanya.
"Tidak apa-apa, kucing!" Kong Kiat jawab. Ia jemput
kucing yang terluka itu dibawa kedalam kamar untuk
diperlihatkan pada isterinya. "Ini dia makhluknya yang tadi buat kau kaget!" kata ia sambil tertawa.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Latah 14 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 2
^