Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 11

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 11


Ah Loan lihat seekor kucing yang besar, yang perutnya
ditembusi pisau, binatang itu mencoba berontak-berontak, maka Kong Kiat lekas cabut pisau yang menancap, lantas beri binatang itu lari keluar, kemudian ia cuci tangan, ia tutup pintu dan padamkan api, lalu ia naik kepembaringan untuk tidur, pedangnya tetap ia letaki disampingnya.
Ah Loan masih berpikir sekian lama, akhirnya ia bisa
juga tidur. Keesoknya pagi orang bangun untuk terus dandan dan
dahar setelah mana, perjalanan dilanjutkan menuju ke
Barat. Kong Kiat tetap menunggang kuda, karena sia-sia saja Cie Kiang dan ketiga pegawainya bujuki ia untuk naik kereta, hanya sekarang ia tidak kaburkan kudanya seperti kemarin, ia jalankan binatang tunggangan itu berendeng dengan Ah Loan dengan siapa ia bisa bercakap-cakap. Ia ada gembira, sebaliknya isterinya ada dalam kemasgulan.
Diwaktu sore mereka sampai di Tay-san-kwan, langsung
mereka pergi ke Kun Lun Piau Tiam dimana Cie Tiong
sambut mereka. Cie Tiong telah dengar kabar hal
pertempuran dengan Siau Hoo di Pa Kio dan Kong Kiat
temuka. "Bagaimtna dengan engkong?" Ah Loan segera tanya
begitu lekas ia lihat Cie Tiong.
"Ia ada baik," jawab Tie Tiong, yang tidak bicara
banyak, karena ia terus repot menyambut Cie Kiang dan
Kong Kiat, terutama untuk lantas jamu mereka, untuk
bersantap malam.
Ah Loan ingin ketahui lebih banyak tentang engkongnya, ia ulangi pertanyannya, maka sehabinya
mereka dahar, Cie Tiong tidak bisa bungkam lebih lama.
"Nanti aku beri keterangan tetapi jangan kau sibuk tak keruan," kata piausu she Lou ini. "Suhu sampai di San-im dengan tidak kurang suatu apa, ia telah menumpang di
rumahnya Ho Tiat Siong. Ho Tiat Siong sudah tua,
umurnya lebih tua lima atau enam tahun daripada suhu, ia sudah berumur lebih dari delapan-puluh tahun, gawenya
setiap hari adalah liamkeng saja. karena ia sangat memuja Buddha. Ia ada punya dua anak lelaki yang mengarti bugee, keduanya pernah jadi piausu, benar sekarang mereka hidup bertani, tetapi kadang-kadang
masih ada sahabat- sahabatnya yang kunjungi mereka. Ia-pun ada punya
beberapa cucu lelaki, yang semua sudah berusia dua-puluh lebih, yang sedang belajar silat, dari itu mereka ini-pun ada punya banyak sahabat yang sering datang pada mereka.
Oleh karena itu suhu anggap, walau-pun tempat ada sunyi tetapi suasananya ramai, terlalu banyak orang sembarangan datang dan pergi, ia merasa tidak bisa berdiam lama-lama dirumah sahabatnya itu. Begitulah sedang lima hari
dimuka, suhu sudah tinggalkan rumahnya Ho Tiat Siong
itu, ia pergi seorang diri, dengan menunggang kuda dan bekal goloknya. Suhu-pun larang aku ikut atau ikuti dia ..."
Ah Loan kaget hampir menangis.
"Kemana engkong pergi seorang diri?" tanya ia.
"Suhu menuju ke Selatan," Cie Tiong berkata dengan
pelahan, "katanya ia hendak pergi ke Sucoan. Suhu bilang ia ada punya beberapa sahabat disana."
"Tapi belum pernah aku dengar engkong bilang dia ada
punya sahabat di Su-coan," kata Ah Loan. "Justeru disana dia ada punya musuh-musuh, seperti Long Tiong Hiap."
"Dugaanku mungkin suhu bangkit semangat kegagahannya," Kong Kiat campur bicara. "Bisa menjadi ia sengaja keluar untuk cari Kang Siau Hoo."
"Itulah tidak bisa jadi," kata Cie Tiong. "Suhu berangkat dari Lok-yang menuju ke Selatan. Aku telah antar dia
sampai di Kim-gu-kiap, sampai disitu ia gusar, ia larang aku mengikuti terlebih jauh, hingga aku pulang dengan
terpaksa. Kalau kau datang kemarin lohor aku tentu belum kembali."
Semua orang jadi diam. Cie Kiang dan Cie Tiong
kerutkan dahi, Ah Loan tunduk kepala, sebelah tangannya bertopang dagu, sebelah yang lain menepas air mata. Kong Kiat awasi isterinya itu berpeluk tangan berkerot gigi. Tapi tidak lama ia perdengarkan tertawa dingin.
"Sungguh liehay Kang Siau Hoo itu!" kata ia dengan
sengit. "Dia desak Pau Kun Lun binga keadaannya
demikian menyedihkan, mesti merantau dan terlunta-lunta, dia punya rumah tetapi ia tidak bisa pulang ..."
"Pelahan sedikit ..." Cie Tiong mencegah, tangannya
diulap-ulapkan.
Akan tetap Ah Loan telah dengar itu, ia bangun berdiri, tangannya menggebrak meja. Ia-pun banting-banting
kakinya. "Aku tidak bisa tahan sabar lagi!" berseru nona ini. "Aku mesti cari engkong! Aku berdua engkong mesti cari Kang Siau Hoo, untuk adu jiwa kita! Oh, kang Siau Hoo! ... " ia menangis. Dan seperti Siau Hoo ada diluar jendela, ia
berseru : "Eh, orang kejam, mari, kemari! Kalau kau
inginkan jiwa engkong, kau ambillah jiwaku dahulu!"
"Jangan sibuk, nona," membujuk Cie Tiong. "Suhu ada
sehat dan kuat tubuhnya, dengan pergi ke Su-coan, dia pasti
tidak akan kurang suatu apa. Suhu sudah berpengalaman, dia kenal seluk-beluknya dunia kang-ou, seandainya Siau Hoo susul dia, tidak nanti ia dapat tercandak."
Cie Kiang juga bantu membujuki.
"Tapi sudah tiga-puluh-tahun engkong tidak pernah
keluar," kata Ah Loan. "Engkong pasti sudah asing dan
tidak kenal jalanan, sebaliknya Siau Hoo ada punya banyak sahabat disana, Long Tong Hiap lihat engkong, tentu ia akan menahannya dan akan segera kirim kabar pada Siau
Hoo supaya Siau Ho datang binasakan engkong! ..."
Cie Tiong menggeleng kepala.
"Itulah tidak mungkin terjadi," ia bilang. "Pasti sekali Long Tiong Hiap tidak akan lakukan perbuaan semacam
itu. Ketika pada sepuluh tahun yang lalu snhu kalahkan Long Tiong Hiap, suhu sndah tidak mendesak, itu
disebabkan ia tidak ingin tanam permusuhan, ia berlaku murah. Dan ketika Long Tiong Hiap pulang ke Su-coan,
selama itu tidak pernah dia merantau pula, kalau diri
bicarakan halnya suhu, dia hunjuk hormatnya."
"Meski umpama benar Long Tiong Hiap muncul pula
untuk satrukan loo ya-cu. itulah yang aku harapkan,"
berkata Kie Kong Kiat. "Aku memang ingin dia coba-coba pedang dan piauku!"
Ah Loan dibujuk terus sampai ia tidak menangis lagi dan gusar. tetapi ia tidak mau duduk. ia berdiri menyender dijendela, diantara kain jendela ia bisa memandang sang rembulan yang permai.
Cie Tiong berjaga, ia kuatir si nona "buron" pula seperti dahulu.
Sampai jam dua baru orang berpisahan, untuk masuk
tidur. Ah Loan dan Kong Kiat tetap dapatkan kamar pengantin
mereka. Kong Kiat ada bergembira sekali, hingga ia godai isterinya akan peristiwa disaat mereka jadi pengantin, bahwa si nona sudah tolak dia masuki kamarnya. Tapi
walau-pun ia telah bergurauan, namun Ah Loan diam saja, alisnya terus dikerutkan. kemudian dia rebah dengan tidak buka pakaian lagi.
Kong Kiat rebah celentang sambil mengawasi langit-
langit kelambu, karena ia berdiam, kembali ia rasakan sakit pada pahanya yang terluka itu.
Ah Loan dapat tidur sesudah ia lelah sendirinya karena berduka. Tapi keesoknya pagi, baru jam lima ia sudah
mendusin, dengan diam-diam ambil goloknya dan sembat
buntalannya, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya terus menuju keistal akan siapkan kudanya.
Semua orang masih belum bangun. Lou Cie Tiong
tadinya sukar dapat tidur, ia waspada, apa mau, sesudah sekian lama si nona diam saja, ia jadi lelah dan mengantuk, akhirnya ia tidur juga.
Maka dengan tidak ada sesuatu rintangan, Ah Loan bisa
tuntun kudanya keluar dari pekarangan, ia loncat naik atas kudanya itu, yang ia segera beri lari menuju ke Selatan dijalan pegunungan.
Diwaktu pagi demikian, gunung masih tertutup kabut,
puncknya tak tertampak sama sekali, sedang pepohonan
yang terdekat, kelihatan bagaikan bayangan saja. Burung-burung juga masih sedang tidur, belum ada yang bercica atau beterbangan. Maka itu, kaki kudanya Ah Loan
perdengarkan suara congklang yang tegas sekali diluar
sangkaan Ah Loan, belum dua lie memasuki daerah
pegunungan itu, dari belakangnya ia dengar suara
panggilan: "Nona Loan! Ah Loan!"
Suara itu berkumandang nyata sekali.
Ah Loan tidak perdulikan panggilan itu, ia kaburkan
terus kudanya. Suara itu terdengar pula. berulang, malah makin lama,
terdengarnya makin dekat.
Ah Loan kabur terus, sampai tiga atau empat lie, selama itu ia sudah lintasi lima atau enam tikungan, selagi ia lari terus, tahu-tahu di depan ia muncul satu penunggang kuda yang merintangi perjalanannya, ia lantas hunus goloknya, siap unuk menerjang. Tapi orang itu, yang napasnya
tersengal-sengal lantas berkata, "Nona Loan, hayo mari kita pulang! Kita harus berdamai, kita mesti ada punya daya!
Tak dapat kau pergi seorang diri. Jangankan di Su-coan yang kau tidak kenal keletakanyna, walau daerah
pegunungan Ciu Nia ini-pun kau tidak boleh sembarang
lintasi, tikungannya ada terlalu banyak, lagi lima atau enam lie kau akan kesasar, sampai satu bulan-pun kau bakal tidak dapat keluar dari sini, sedang disini berdiam Gin-Pau Ou Lip serta puteranya, yang semua ada seotang perempuan, mana kau dapat berjalan sendirian disini" Sekarang-pun kau tidak usah, buat perjalanan seperti baru-baru ini untuk pertama kali kau pergi ke Tiang-an, See an ..."
Orang itu adalah Lou Cie Tiong, ialah satu-satunya
susiok (paman seperguruan) yang Ah Loan paling hormati, siapa ternyata telah ketahui minggatnya Ah Loan dan
sudah lantas susul padanya. Maka Si nona lantas saja jadi sangat berduka, hingga air matanya turun dengan tak dapat dicegah lagi.
"Aku tidak bisa kembali," ia berkata. "Ketika tadi
malam kau bilang engkong berangkat seorang diri, hatiku sudah jadi tidak tenteram. Sekarang aku hendak susul
engkong, siapa juga tadi dapat cegah dan perintah aku
kembali ke Tay san-kwan!"
Cie Tiong menarik napas.
"Suhu pergi seorang diri, aku juga merasa tidak
tenteram," ia kata dengan masgul. "Aku juga mau ikuti
suhu, tetapi ia telah melarangnya. Nona ketahui baik
adatnya suhu. Sekarang kau hendak pergi menyusul,
umpama kau dapat cari ia, aku percaya iapun akan gusari kau. Maka baik kau kembali dahulu, tunggu lagi beberapa hari, sehingga lukanya Kie Kouya sudah sembuh betul,
barulah kau berdua boleh berangkat. Barangkali aku-pun turut kau pergi."
Ah Loan bersenyum tawar.
"Tunggu sampai lukanya sembuh" Aku musti tunggu
sampai kapan?" tanya ia. "Sebenarnya sekarang-pun ia
sudah bisa menunggang kuda, yang tidak bisa adalah untuk suruh dia jalan terus-terusan siang dan malam. Sudahlah, Su-sok jangan kuatirkan aku, tapi andaikata kau sangsi, bagaimana kalau sekarang juga kau turut aku?"
Cie Tiong jadi berpikir.
"Kau lihat, uang sepeser-pun aku tak membawanya,
demikian-pun senjataku," ia menjawab kemudian. "Tapi
baiklah, tungu aku kembali dahulu untuk anbil uang dan golokku."
"Jikalau kau kembali, Kong Kiat tentu akan turutku,"
kata si nona. "Kalau dia turut bersama, jadi sukarlah kita lakukan perjalanan ini. Bagaimana kita dapat susul
engkong" Mari kita berangkat sekarang saja, aku ada bekal dua-puluh tail lebih, cukup untuk kita pakai sampai di Hantiong. Sesampainya disana kita tak usah kuatir lagi.
Tentang golok, itulah tidak perlu. Dalam gunung ini hanya
ada rombongannya Ou Lip, selama beberapa tahun ini dia katanya baik dengan kita keretanya Kun Lun Pay belum
pernah dia ganggu, dari itu tak usah kita kuatir
terhadapnya."
Kembali Cie Tiong berpikir, akhirnya ia manggut-
manggut. "Baiklah, aku antar kau sampai di Han-tiong," katanya.
"Disana kita nanti pikir pula."
Ah Loan jadi sangat girang.
"Nah, susiok, silahkan kau jalan di depan!" kata ia.
"Aku harap dalam tempo dua hari kita akan sudah sampai di Hentiong. sesudah berstirahat sebentar disna, kita lantas melanjutkan menuju ke Sucoan!"
Cie Tiong menurut, ia memajukan kudanya melewati Si
nona. "Tapi jangan terlalu terburu nafsu, nona," ia memberi
nasihat. "Tentu engkongmu tidak kurang suatu apa. Aku
merasa pasti ayahmu ketahui baik bahwa engkongmu ada
punya beberapa sahabat disana, engkongmu ada seorang
yang teliti, tentunya dia ada mempunyai tempat untuk
pernahkan diri. Disebelah itu aku ingin sekali bisa bertemu dengan Kang Siau Hoo. Baiklah aku jelaskan padamu.
Ketika dahulu Siau Hoo bokong Liong Cie Teng dan kabur dengan kuda curian, dalam gusarnya suhu perintah aku
kejar padanya. Digunung Lam San aku berhasil menyandak Siau Hoo. Pada waktu itu bugeenya Siau Hoo masih sangat rendah, asal aku mau, aku bisa bekuk padanya, akan tetapi aku berpikir lain. Ayahnya toh adalah suteeku, sedang ia sendiri ada satu bocah. Demikian aku tidak tega
membinasakannya, malah aku hunjukkan dia jalan untuk
kabur ke Su-coan. Sesudah aku lepaskan padanya, Cie Khie semua dapat susul aku, bersama mereka aku berpura-pura
turut mengejar lebih jauh, sampai di Ban-goan, Su-coan Utara. Kita dapat susul Siau Hoo. Waktu itu Siau Hoo,
sedang singgah disebuah rumah makan, kudanya yang
ditambat diluar dikenali oleh Cie Khie. Lantas Cie Khie naik keloteng untuk bunuh Siau Hoo. Sangat terancam
adalah keadaan Siau Hoo pada saat itu. Syukur aku dapat mendahului naik keloteng, aku segera beri tanda dengan kedipan mata padanya. Atas itu Siau Hoo dobrak jendela akan lontat turun. Begitulah, dua kali aku tolong jiwanya Siau Hoo, maka aku percaya, apabila aku bertemu ia
sekarang, ia mesti bisa menimbang budiku itu. Inilah
sebabnya kenapa aku ingin bisa bertemu kepadanya."
Ah Loan yang mendengar keterangan itu tidak kata
suatu apa, akan tetapi selagi terus larikan kudanya ia ingat pemuda sie Kang itu. Waktu dahulu itu, mereka sama-sama masih kecil, tapi ia ingat benar, dengan ayahnya terbinasa dan ibunya menikah pula, keadaannya Siau Hoo ada sangat menyedihkan dan harus dikasihani! engkongnya dan kedua saudara Liong telah berlaku sangat kejam terhadap Cie
Seng dan Siau Hoo. Maka itu ingat hal ini, reda pula
gusarnya terhadap Siau Hoo.
Kedua ekor kuda tidak dilarikan keras, akan tetapi
mereka bisa jalan dengan cepat. Nyata Cie Tiong kenal baik jalanan disini dan ia selalu cari jalanan yang agak rata.
Cuaca jadi makin terang, burung-burung
mulai beterbangan sambil perdengarkan suaranya. Pepohonan
semua nampaknya hijau dan segar. Angin meniup halus
dan membawakan bau bunga-bunga yang harum semerbak.
Hampir habis perjalanan gunung itui dilalui, selama itu mereka tidak pernah ketemu lain orang siapa juga.
Dengan naiknya matahari, Ah Loan sudah mandi
keringat, bebokongnya telah basah semua, napasnyapun
rada memburu. Dilain pihak, Cie Tiong ada tetap tenang.
"Lou Susiok, aku haus, dimana kita bisa dapat air?"
tanya si nona. Cie Tiong menoleh, ia menyahut dengan pelahan :
"Lewat lagi tikungan di depan, kita akan ketemui beberapa rumah perududuk gunung, aku kenal satu diantaranya
seorang she Thia. Aku-pun sekalian hendak minta
pertolongannya untuk ia pergi ke Tay-san-kwan tentang
kepergian kita ini, agar disana semua orang tidak sibuk dan berkuatir tak keruan. Hati-hati, nona," ia terus pesan, "tidak jauh dari sini ada pasanggrahan berandal, yang terdiri dari orang orangnya Ou Lip, jumlah mereka besar dan
tabiatnya-pun kasar, tidak kenal persahabatan kangouw ..."
Ah Loan diam. Ia sebenarnya tidak senang, ia tidak takut pada berandal, tapi ia sekarang sedang punya urusan
penting, ia tidak boleh timbulkan urusan yang tiada
faedahnya ia cambuk kudanya akn ikuti sang susiok.
Mereka telah melalui belum setengah lie, belum lagi
mereka sampaikan tikungan, tiba-tiba mereka dengar suara kuda mencongklang disebelah belakang mereka. Keduanya
menoleh dengan segera, maka segera mereka lihat lima
penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Semua
merekn masih muda, pakaiannya ringkas dan bersenjatakan golok masing-masing.
Ah Loan menduga pada orang jahat, ia raba goloknya,
baru ia mencabutnya separuh, Cie Tiong sudah mencegah.
"Jangan sembrono," paman ini perintahkan. "Itu yang
pakaiannya sutera adalah anaknya Ou Lip." Lantas ia putar kudanya dimajukan, kemudian sambil tertawa, ia kata :
"Ou Lo-jie, aku nupang jalan disini, aku harap kau sudi
memandang kepadaku. Bagaimana dengan Loociangkui,
apa ia ada banyak baik?"
Dengan "Loo ciang-kui" diartikan Ou Lip.
Anak Ou Lip ini bernama Ou Po San gelar Siau Yo
Cian, atau Yo Cian Kecil. Ia sedang awasi Ah Loan, dari itu ia kurang perhatikan Cie Tiong, sesudah ditegur, baru ia menoleh. Terus saja ia tertawa dengan jawabannya: "Kita ada bersahabat, buat apa sebut-sebut numpang jalan?" Tapi lantas ia tunjuk Ah Loan, sambil tertawa pula ia tanya.
"Siapakah nona itu?"
"Dia ada cucu perempuannya guruku," sahut Cie Tiong.
"Dia sudah menikah dengan Kie Kong Kiat."
"Oh, Nona Pau Ah Loan?" kata Po San. "Ah ... " ia
masih terus awasi nona itu dengan mata keranjangnya.
"Kita ada punya urusan penting, kita mesti lakukan
perjalanan lekas," berkata Cie Tiong, "nah, Loo jie, sampai lain hari!"
Ou Po San tidak menjawab, sebaliknya ia memberi tanda
dengan mata pada orang-orangnya, atas mana keempat
liaulo itu keprak kuda mereka buat dimajukan melewati, untuk segera mencegat jalanan. Ia-pun turut berbuat
demikian. Mukanya Ah Loan jadi merah-padam saking mendongkolnya, sedang tangannya segera cekal pula
gagang golok. Air mukanya Cie Tiong-pun turut berubah, hanya ia
masih sanggup kendalikan diri.
"Loo-jie, apakah artinya ini?" tanya ia dengan sabar.
"Bukankah kita ada bersahabat?"
"Aku tidak punya maksud apa-apa," sahut Po San
sambil bersenyum. "Dengan Nona Ah Loan ini aku baru
pertama kali bertemu, aku ingin pasang omong dengannya, aku hendak undang dia naik keatas gunung supaya kita bisa minum beberapa cawan arak."
"Loo-jie, terima kasih untuk undanganmu ini," Cie
Tiong bilang. "Dengan sebenarnya kita ada punya urusan yang penting sekali, kita mesti segera lanjutkan perjalanan kita, yang tidak boleh terlambat. Lain hari saja aku
mengunjunginya untuk buat kau repot."
Mendengar itu, tampangnya Ou Pu San berubah. Ia
bersenyum tawar.
"Loo Lou, jangan kau tidak tahu diri!" berkata ia. "Kau adalah orang-orang Kun Lu Pay. inilah Kau mesti
mengarti. Sebenarnya diantara kita bukan saja tidak ada persahabatan, malah ada bermusuhan, hanya karena kau
sendiri ada seorang yang baik ayahku pesan supaya aku
berlaku istimewa baik terhadapmu, semna kereta piau
dibawah perlindunganmu aku tidak ganggu. Mengenai
urusan kita sekarang, melihat nona ini, aku merasa sedikit senang, dari itu aku hendak undang dia naik kegunung
untuk kita minum arak, sama sekali aku bukan hendak


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suruh dia temankan aku ..."
Po San ucapkan kata-katanya itu sambil goyang sedikit
kepalanya, tetapi sebelum suaranya berhenti, Ah Loan yang tidak bisa tahan sabar lagi, sambil hunus goloknya sudah majukan kuda seraya berseru : "Tutup mulutmu, telur
busuk!" Melihat orang menyerang, Ou Po Sa berkelit sambil
miringkan tubuh, dan kudanya-pun dimundurkan, atas
mana, Ah Loan mendesak, bacokannya menyusul,
gerakannya ada sebat luar biasa.
Sekali ini Po San tidak sempat berkelit atau mundur lagi, malah ia telah keluarkan jeritan yang mengerikan, tubuhnya menyusul rubuh dari kudanya, karena lengannya yang
kanan, yang diangkat untuk menangkis, kena dibabat
kutung. Ia rubuh untuk terus binasa.
Melihat demikian, keempat jadi kaget berbareng gusar,
hingga lantas maju menyerang.
Ah Loan layani semua musuh itu, baru dua-tiga jurus,
dengan beruntun ia telah rubuhkan dua diantaranya, atas mana dua yang lain segera kabur ke arah Utara.
Sebenarnya Nona Pau hendak kejar mereka itu, karena
mendongkolkannya yang sangat, akan tetapi Lou Cie
Tiong, yang sejak tadi berdiam tertegun di pinggiran, segera maju untuk mencegah.
"Mari!" ia berseru. "Mari kita lekas menyingkir!"
Ia loncat turun dari kadanya, ia jumput sebuah golok
musuh, sesudah mana, ia loncat naik pula atas kudanya
untuk dilarikan.
Ah Loan menurut, ia ikuti paman itu, yang menuju ke
Selatan. Lebih dahulu daripada itu, mereka lintasi tikungan didepannya. Ketika mereka sedang menuju sebuah bukit,
dari belakangnya mereka lihat mendatanginya belasan
penunggang kuda. Ketika Cie Tiong yang berkuatir,
menoleh, ia kenali salah satu diantaranya ada Ou Po Kang, anak sulungnya Ou Lip, juga Jie Ceecu Ie Tay Piu, berandal yang paling garang dan rombongan di Ciu Nia itu. Yang
lainnya ada lima atau enam belas liaulo.
Po Kang maju paling muka, belum lagi ia datang cukup
dekat, tangannya telah diayun ke depan, beruntun dua kali, atas mana dua batang piau menyambar ke arah Ci Tiong
dan Ah Loan. Mereka berkelit akan hindarkan diri dari
senjata rahasia itu.
Cie Tiong tambah berkuatir berbareng mendongkol.
Lantas saja ia serukan Ah Loan : "Kita mesti melawan
mereka! Habis bertempur, kita angkat kaki!
Segera mereka siap, terutama mereka waspada terhadap
piau. Po Kang dan rombongannya sampai dengan lantas.
"Lou Ce Tiong! Pau Ah Loan!" ia berseru, "kau mesti
ganti jiwa saudaraku! Tidak ada bicara lagi! Lekas kau turun dari kuda untuk terima binasa!"
Cie Tiong dan Ah Loan majukan kudanya untuk
mendahului menyerang kemudian, karena tidak merdeka
bertempur di atas kuda, mereka loncat turun akan lanjutkan pertempuran itu. Karena ini, kuda mereka jadi pada kaget dan kabur.
-oo0dw0oo- Jilid 19 PERTEMPURAN berjalan dengan kalut, suara beradunya berbagai senjata berisik sekali. Orang juga
bertempur kurang leluasa karena tidak ratanya tanah.
Rombongan Ou Po Kang berjumlah lebih besar, akan
tetapi menghadapi Cie Tiong dan Ah Loan, terutama si
nona yang gagah dan sedang gusar, mereka tidak mampu
berbuat banyak. Lekas sekali Ah Loan dengan goloknya
Kun-lun-too, telah rubuhkan lima atau enam liaulo. Ie Tay Piu telah ikuti Ou Lip buat sepuluh tahun lebih, karena kegalakannya, ia pernah bunuh banyak jiwa, terutama
karena ilmu pedangnya lihay, akan tetapi sekarang
menghadapi Ah Loan, ia tak sanggup melayani lebih
daripada sepuluh jurus, suatu bacokan membuat ia rubuh dan jiwanya melayang!
Lou Cie Tiong dilain pihak telah papas buntung dua jari tangannya Ou Po Kang hingga, karena tak dapat menahan
sakitnya, putera sulungnya Gin piau Ou Lip ini, segera kabur bersama sisa liaulonya.
Ah Loan masih gusar, walau-pun napasnya sudah
memburu keras, ia masih hendak kejar musuh.
"Sudah, jangan kejar!" Cie Tiong mencegah. "Mari kita
lekas berlalu!"
Dan orang she Lou ini segera cari kuda mereka untuk
mereka angkat kaki. Tapi sebelum mereka berhasil,
kelihaan Ou Lip mendatangi bersama enam atau tujuh
liaulo. Melihat kepala kampak dari Cin Nia itu, yang ia kenali dengan baik, bukan main kagetnya Cie Tiong.
"Mari lekas!" ia serukan pula Ah Loan. "Itu dia Gin-
piau Ou Lip, yang piaunya Liehay bukan buatan!"
Diluar dugaan orang she Lou ini, Ah Loan bukannya lari untuk angkat kaki, dia justru maju memapaki kepala
berandal itu. Karena dengan tiba-tiba si nona ingat, Ou Lip adalah musuhnya. Dahulu pada sepuuh tahun yang
lampau, Si Pau Perak ini sudah lukai ayahnya dengan
piaunya yang liehay itu.
Sambil berlari-lari Ah Loan berteriak. "Yang mana Gin-
piau Ou Lip! Kalau kau agah, mari kita bertempur satu
sama satu! Mari! ... "
Nona ini belum sempat tutup mulutnya, atau Ou Lip,
yang mukanya berewokan dan bengis telah ayun tangannya
yang kanan disusul dengan tangan kiri, menyusul mana,
melesatlah senjata rahasianya.
Ah Loan lihat serangan itu, ia berkelit kekanan, tetapi tiba-tiba ia rasakan sakit pada iganya kiri, karena iga ini keserempet piau, hingga ia mesti menahan rasa sakit.
Sementara itu, piau yang kedua telah menyusul. Sebelum ia keburu berkelit, pundak kanannya telah kena tertancap
piau, ia merasakan begitu sakit, hingga goloknya lantas terlepas dan jatuh. Ketika dengan tangan kirinya ia hendak cabut piau itu, Ou Lip dan rombongannya sudah memburu
kepadanya. Cie Tiong-pun sudah lantas memburu untuk lawan
musuh untuk tolongi nona juga.
Ou Lip telah perintah orang-orangnya membelenggu Ah
Loan, kemudian ia hadapi Cie Tiong, sebelah tangannya
yang sudah genggam piau, ia pakai mengancam, romannya
yang angker telah hunjuki bebengisan luar biasa,
berewoknya sampai seperti bangun berdiri.
"Bagus betul!" demikian ia perdengarkan suara seram,
sambil bersenyum sindir. "Selama sepuluh tahun aku
hunjuk sikap persababatan dengan Kun Lun Pay, siapa
sangka sekarang, cucu perempuannya Kun Lun Pay sudah
binasakan putraku! Sekarang kau lekas pergi, aku kasi
tempo tiga hari untuk kau suruh orang she Pau, ayah dan puteranya, datang naik kegunungku ini, untuk menemui
aku! Jikalau mereka datang barangkali jiwa cucunya ini akan ketolongan, tapi selewatnya tiga hari, aku akan
kutungkan batang lehernya perempuan jahat ini, untuk
nanti diantar ke Han-tiong!"
Cie Tiong rangkap kedua tangannya, ia memberi hormat.
"Ou Ciangkui, peristiwa hari ini tidaklah disangkai,"
berkata ia. "Nona Pau beradat keras, ia sudah lakukan satu
kekeliruan, akan tetapi aku mohon sangat kau sudi
merdekakan padanya: Ia ada isterinya Kie Kong Kiat."
Ou Lip tetap perlihatkan senyuman sindirnya, senyuman
menyengir juga.
"Jangan kau gunakan namanya Kie Kong Kia untuk
takut-takuti aku!" ia berkata "Aku tidak takut kepada
cucunya Liong Bun Hiap! Aku tidak lantas bunuh
perempuan jahat ini karena aku masih memandang
kepadanya! Tapi sekarang kau sebut-sebut namanya,
baiklah dia juga harus datang kemari sekalian! Mereka
bertiga mesti datang padaku untuk meujura dan memohon
maaf, disertai uang seribu tail perak! Dengan hanya cara itulah, aku suka beri ampun jiwanya perempuan busuk ini!
Sekarang aku suka berikan kelonggaran, ialah tiga hari menjadi lima hari! Kalau tempo itu lewat mereka tak perlu datang pula!"
Lou Cie Cong masih hendak berkata-kata untuk minta
keringanan, akan tetap Ou Lip geraki tangannya
mengancam. "Apakah kau masih tidak mau pergi?" ia berseru. "Sudah bagus bagimu yang aku beri ampun padamu! Apakah kau
hendak cari mampus?"
Lou Cie Tiong berdiam, ia jerih untuk piau yang liehay itu, maka dengan bengong ia awasi Ah Loan diringkus
dengan si nona tidak berdaya, percuma saja dia berontak dan mencaci kalang-kabutan sedang liaulo ada banyak. Dia tidak punya guna lagi, sebab sebelah tangannya keplek, sebelah yang lain tidak bersenjata. Nona itu dikasi naik atas seekor kuda dan dbawa pergi.
Bahna jengkel Cie Tiong membanting-banting kaki,
hampir ia mewek.
"Sudah, lekas pergi!" Ou Lip mengancam pula,
tangannya lagi-lagi digeraki.
Cie Tiong mati kutunya. Ia insyaf yang ia tidak berdaya.
Buat adu senjata ia tidak takut, tapi lawan piau, musuh sukar. Ia-pun mengarti, percuma saja ia membelai, bisa-bisa ia binasa karenanya. Kalau itu sampai terjadi, entah
bagaimana nasibnya Ah Loan. Maka dengan lesu ia
mendaki bukit untuk berlalu dari situ. Adalah setelah
sampai dilain sebelah dari bukit, ia lempar goloknya, ia jatuhkan diri untuk duduk dan menangis dengan sedih.
Benar-benar ia penasaran, tetapi ia tidak berdaya ... "
"Apa aku masih ada punya muka akan menemui suhu
dan suheng?" tanya ia seorang diri. "Suhu sudah pergi ke Su-coan, dalam tempo lima hari bagaimana aku dapat susul dia untuk ajak datang kemari" Kalau Pau Cie In seorang diri yang diajak kemari, pasti urusan tidak akan jadi beres.
Cie In justeru bermusuh dengan Ou Lip apakah iapun sudi datang?"
Cie Tiong insaf urusan ada sangat kesusu, maka ia lantas berbangkit, ia pergi ketempat tinggi, akan memandang
kecekitarnya. Diujung Barat ia lihat kudanya sedang makan rumput sendirian, maka ia jemput goloknya dan lari
menghampiri kudanya itu.
"Tidak ada lain jalan, aku mesti pulang akan cari Cie
Kiang untuk ajak dia tolongi Ah Loan," ia pikir kemudian.
Ia tahu, selamna dua-puluh tahun Cie Kiang biasa mundar-maudir di Cin Nia dan belum pernah bentrok dengan Ou
Lip. Ia harap Cie Kiang akan berhasil membujuki kepala kampak dan Cin Nia itu.
Dengan naik kudanya Cie Tiong kembali ke Utara.
Belum ia jalan jauh ia berpapasan dengan serombongan
kereta piau, yang dilindungi oleh dua piausu orang-
orangnya Hoa-cu Lie Cin Hiap. Ia kenal dua piausu itu, ia ketemui mereka dan bicara sebentar, tetapi ia tidak
ceritakan tentang Ah Loan. Ia tanya kalau-kalau mereka kenal Ou Lip.
"Siapa kenal dia itu?" sahut kedua piausu itu. "Saban
kita lewat disini. Setiap kali ketemu liaulonya, kita bayar lima tail perak sebagal bee-lou-chie (uang sewa jalan).
Kebiasaan ini sudah mulai sejak mulanya Loo-piausu Lie Cin Hiap ambil jalan Cin Nia ini. Sebenarnya kita tidak takut pada Ou Lip yang kepanpandaiannya tidak tinggi,
yang liehay adalah piaunya yang tidak pernah meleset,
karena itu kita tidak menghendaki cari gara-gara
kepadanya."
Mendengar ini, Cie Tiong putus asa. Ia jadi tak bisa
harap suatu apa dari piausu ini. Demikian mereka
berpisahan dan ia jala terus ke Utara. Disaat ia baru keluar dari mulut gunung, disebelah depan ia lihat enam
penunggang kuda. Untuk kegirangannya, ia segera kenali mereka sebagai Kat Cie Kiang dan Kie Kong Kiat serta
empat pegawai piautiam, diantaranya ada dua pegawainya sendiri.
"Lou Susiok, apakah kau tidak lihat Ah Loan?"
demikian Kong Kiat mendahului menanya begitu lekas
mereka datang dekat satu pada lain.
Mukanya Cie Tiong menjadi merah karena malu. Denan
terpaksa ia menghampirkan. "Diluar dugaanku nona Ah
Loan telah terbitkan peristiwa hebat," ia menyahut dengan lesu. "Nona Ah Loan sudah binasakan puteranya Ou Lip,
juga sudah bunuh Ie Tay Piu, setelah mana ia dilukai
dengan piaunya Ou Lip, terus ia ditawan dibawa keatas
gunung ... "
Bukan kepalang kagetnya Kie Kong Kiat. Tapi segera ia
hunus pedangnya.
"Mari kita cari Ou Lip!" ia berseru. Ia keprak kudanya.
"Tahan!" berseru Cie Kiang seraya maju untuk
mencegahnya. "Kita tidak boleh berlaku sembrono!"
Kong Kiat bersenyum sindir.
"Apakah aku mesti jerih terhadap piaunya?" tanya dia.
"Aku juga ada punya piau. Aku justeru hendak adu piau
dengannya, akan buktikan siapa yang terlebih liehay!"
Kong Kiat lupa segala apa. Bukankah isterinya telah
orang lukai dan ditawan" Mana ia sanggup tahan sabar
lebih lama pula. Maka lupa akan lukanya, ia kaburkan
kudanya tanpa dapat dicegah.
"Ou Lip, berandal anjing!" demikan ia berseru-seru
ditengah jalan. "Ou Lip, mari menggelinding turun dari gunungmu, mari kau tem pur Kie Toaya! Atau Kie Toaya
nanti injak rata sarangmu!"
Cie Kiang dan Cie Tiong bersama empat pegawainya
lantas menyusul.
"Kie Kouya, sabarlah!" mereka menteriaki berulang-
ulang. "Ingat, Nona Ah Loan ada ditangan mereka, kalau kita caci mereka dan mereka gusar, jiwanya Ah Loan ada dalam bahaya! ... "
-odw0o- XIV KONG KIAT dengar teriakan ini, ia terus tahan larinya
kudanya. Agaknya ia insyaf nasihat itu.
"Habis bagaimana?" tanya ia dengan napas memburu.
"Lacur bagiku, aku datang ke Kwan-tiong ini unuk dapat
malu karena urusan kaum Kun Lun Pay! Aku terhina tidak hanya oleh kau bangsa lelaki tetapi juga oleh orang
perempuan! Ah Loan sudah menikah dengan aku tetapi
dalam segala hal ia tidak suka dengar aku, sekarang ia buron dan masuk kedalam mulut harimau! Apakah ini
bukan bararti orang sengaja hendak menghina aku turunan Liong Bun Hiap?"
Cie Kiang gusar mendengar kata-kata itu, tapi Cie Tiong malang ditengah.
"Justeru Nona Ah Loan tertawan diatas gunung, cara
bagaimana kita berbentrok dengan orang sendiri?" kata ia.
"Mengenai urusannya Nona Ah Loan ini, sia-sia akan
kita ambil sikap keras. Baiklah kau, suheng, pergi pada Ou Lip, bicara dengan baik kepadanya. Barangkali, dengan kita menghaturkan sejumlah uang, ia suka merdekakan Si nona
... " Cie Kiang menghela napas.
"Ya, sekarang aku sudah tidak punya muka lagi ... " kata ia dengan masgul. "Kehormatannya Kun Lun Pay pada aat
ini sudah ludas. Biarlah, asal Ah Loan dimerdekakan,
walau-pun mesti menjura dan berlutut aku nanti lakukan ...
" "Aku suka turut kau menemui Ou Lip," Kong Kiat
nyatakan. "Daripada kau turut naik kegunung, lebih baik sekarang juga kau bunuh aku!" Cie Kiang bilang. "Kalau kau turut naik dan kau berhadapan dengan Ou Lip, mana kau bisa
tahan sabar" Jikalau kejadian kau tempur Ou Lip, sudah terang jiwaku bakal melayang diatas gunung itu. Aku tidak jerih terhadap golok atau tumbaknya Ou Lip, aku tidak
lihat mata pada kawan dan liaulonya, tetapi yang aku
kuatirkan hanialah hui-piaunya!"
Kong Kiat bersenyum, ia lempar pedangnya, ia lolosi
kantong piaunya, kemudian ia tepok-tepok sakunya,
tubuhnya. Iapun pentang kedua tangannya.
"Kau lihat!" kata ia pada Cie Kiang, "sekarang aku tidak punyakan sepotong juga besi, dan lukaku masih belum
sembuh, ada aku masih sanggup berkelahi dengan Ou Lip"
Isteriku itu, tidak perduli dia baik atau buruk, dengan dia telah ditawan, dibawa keatas gunung, aku sudah hilang
muka, maka jikalau aku tidak ketemui Ou Lip untuk
berdamai kepadanya, habislah kehormatanku semua, mana
aku bisa ketemui orang lagi?"
Cie Kiang manggut-manggut.
"Baiklah," jawab ia akhirnya. "Aku juga tidak akan
bawa senjata."
Cie Tiong kedipi mata pada Cie Kiang, maksudnya
mencegah suheng itu ajak Kong Kiat, akan tetapi Cie Kiang tidak dapat lihat itu, malah suheng ini terus berkata
padanya: "Cie Tiong, kau berdiam disini menantikan. Aku berdua pergi untuk sebentar saja, segera akan kembali."
Lantas, dengan ajak Kong Kiat, sambil tunggang kuda,
berdua mereka menuju keatas bukit.
"Lebih baik kau bekal senjata," kata Cie Tiong dan
empat pegawainya juga.
"Aku tidak hendak bawa senjata," sahut Kong Kiat.
"Bukankah kau kuatir aku bentrok dengan Ou Lip" Untuk
kau tidak ada halangannya," ia tambahkan pada Cie Kiang.
Cie Kiang berpikir sesaat, lantas ia geleng kepala.
"Tidak perlu," berkata ia. "Kalau kita bawa senjata dan Ou Lip dapat lihat itu, sebelum ia bicara, dia akan sudah serang kita! ... "
Lantas Cie Kiang jalankan kudanya di sebelah depan,
mengikuti jalan gunung yang berbelit-belit itu, melewati beberapa tikungan, sampai mereka lihat sebuah puncak
yang tinggi dan lebat dengan pepohonan, penuh diliputi kabut. Jalanan disini-pun sempit.
"Itulah tempatnya Ou Lip," kata Cie Kiang sambil
menoleh pada Kong Kiat. Kemudian ia melanjutkan,
dengan pelahan sekali. "Puncak itu dinamakan Tui Yau
Hong, artinya puncak jatuhnya burung yau, karena burung yau tak mampu terbang keatasnya. Dengan mengandalkan


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hui-piaunya, sudah dua puluh tahun Ou Lip berdiam disini, tidak ada orang berani main gila terhadapnya, malah
pasukan serdadu negara masih tidak mampu menindasnya."
Kong Kiat terus mengikuti naik sampai di tengah jalan
dimana kuda tidak mampu mendaki terlebih jauh.
"Mari turun," Cie Kiang mengajak. "Sesampainya disini
kita mesti turun dari kuda, atau kalau kita paksa jalan terus sambil menungang kuda, satu kali terpeleset, habislah kita.
Itulah berbahaya!"
Denga terpaksa Kong Kiat turun dari kudanya. Ia
merasakan sangat sakit pada lukanya. Selagi ia turun,
terdengarlah satu suara didalam sakunya, itulah dua batang piau yang ia diam-diam umpatkan. Syukur Cie Kiang tidak dengar suara beradunya kedua senjata itu.
Sambil tuntun kuda mereka bertindak naik. Tidak jauh
sampailah mereka pada sepasang pohon angco.
"Disini kita tambat kuda kita, tidak akan hilang," kata Cie Kang.
Kong Kiat menurut.
Selagi mereka menambat, dari atas puncak terdengar
teguran : "Hei! Kau buat apa?"
Cie Kiang nengok, ia lihat enam liaulo dengan golok
ditangan mengawasi mereka. Ia lantas memberi hormat
dengan perkenalkan diri : "Aku Kat Cie Kang dari Lie Sun Piau Tiam dan See-an-hu, aku datang bersama ini tuan Kie Kong Kiat untuk kunjungi toaciang-kuimu Ou Toaya. Kita tidak bekal senjata, kita datang tidak dengan maksud jahat, maka saudara-saudara tolonglah mewartakanya kepada Ou
Toaya!" Enam liaulo itu lantas bicara satu dengan lain, kemudian satu antaranya berlalu:
"Kita tunggu saja," kata Cie Kiang pada kawannya. Ia
tahu liaulo itu pergi untuk. memberi kabar.
Kong Kiat berdiam, didalam hatinya ia mencaci maki
Ou Lip. Karena pahanya sakit, ia cari batu besar untuk berduduk.
"Kie Kauya," Cie Kiang pesan pula, "kalau kita sebentar ketemu Ou Lip dengan huipiaunya, seratus lebih ilaulonya saja bukannya tandingan kita, kaau kite bentrok dan
terbinasa, bersama kita akan binasa juga nona Ah Loan ... "
Kong Kiat manggut, ia tetap tidak sudi bicara.
Mereka menunggu tidak lama, lantas muncul satu taubak
yang Cie Kiang kenal sebagai Ang-lian Khau-cu Khu Jie si Kunyuk Muka Merah, orang kepercayaannya Ou Lip, yang
menyekal sepasang golok.
"Kiou Jie-ko!" ia mendahului menegor. "Sudah lama
kita tidak bertemu, apa kau banyak baik?"
Khu Jie tidak menjawab, dengan kedua mata
membelalak, ia mengawasi dua orang itu, wajahnya
melukiskan kegusaran.
Cie Kiang maju lagi beberapa tindak, kedua tangannya
diangkat, dengan paksakan diri ia tertawa dan kata pula,
"Khu Jie-ko, tolong kau antar kita ketemui Ou Ciang-kui.
Sama sekali diluar sangkaan, su-titku perempuan, Pau Ah Loan, sudah lukai kedua saudara Ou, malah Ie Toako juga turut memperoleh keapesan. Aku datang bukan untuk
mohonkan keampunan bagi Ah Loan, aku hanya hendak
menemui Ou Ciang-kui untuk haturkan maaf kepadanya."
ia terus tunjuk Kong Kiat, yang berdiri disebelah belakang, ia tambahkan : "Inilah Siauya Kie Kong Kiat, cucu dari Liong Bun Hiap. Ia suaminya Pau Ah Loan ... "
"Oh, kau masih ada muka untuk menemui Ciangkui
kami?" begitulah ada jawaban kaku dari Khu Jie. "Lou Cie Tiong telah datang dengan ajak-ajak budak perempuan she Pau, bagaimana kejam perempuan itu sudah binasakan
Jiesiau ciang-kui dan Ie Toaya! Sudah bagus yang kita telah lepaskan Lou Cie Tiong, maka cara bagaimana kau berani datang untuk mencari mampus" Budak perempuan she Pau
itu, untuk dilihat juga sudah tidak dapat dilihat! Sesudah dia diajak tidur oleh beberapa saudara kita, tadi baru saja kami potong tubuhnya menjadi delapan potong ... "
Kie Kong Kiat menjadi gusar, hingg ia maju hendak
menerjang. Cie Kiang lihat sikapnya pemuda ini, ia segera
mencegah. "Perkataannya Ang-lian Khau-cu tak dapat dipercaya,"
ia peringatkan kawannya ini. "Ou Lip benar ada satu
berandal akan tetapi dia tidak ada sedemikian busuk. Ah Loan pasti belum binasa ... "
Mukanya Kong Kiat merah padam, napasnya memburu.
"Khu Jie-ko. ingatlah persahabatan kita," Cie Kiang
lantas kata pula pada Si Kunyuk Muka Merah. "Aku Si
orang she Kat telah mundar mandir digunungmu ini lebih daripada dua-puluh tahun, dari itu persahabaan kita
bukanlah persahabatan dari satu dua hari. Ah Loan sudah binasakan tuan mudamu. Kalau karena itu kau bunuh
padanya, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan aku, akan tetapi walau-pun bagaimana, aku ingin ketemui Ou
Ciangkui ... "
Kie Kong Kat tidak sabaran mendengar ucapan sangat
merendah itu, hingga ia tumbuk bebokongnya Cie Kiang.
"Pergilah kau pulang! Biar aku sendiri yang ketemui Ou Lip!" katanya dengan sengit.
Cie Kiang segera putar tubuh, sepasang alisnya
mengkerut. "Kenapa kau masih tidak tahan sabar?" kata ia dengan
roman memohon "Percaya aku, pasti Ah Loan belum
binasa, inilah aku berani tanggung. Ou Lip juga ngeri untuk bermusuh dengan kita, terutama ia jerih terhadap suhu.
ketika pada sepuluh tahun yang lalu ia lukai Cie In, ia sudah
lantas kirim utusannya kepada suhu akan menghaturkan maaf. Sekarang dia lepaskan Cie Tiong, itu membuktikan bahwa ia masih tetap malui kita. Hanya kita tidak boleh desak ia, kalau ia terdesak, itu akan
menyebabkan benar-benar Ah Loan nanti hilang jiwa ... "
Kong Kiat masih gusar.
"Walau-pun Ah Loan tidak dibunuh, tetang dia telah
terhina, itulah tak bisa!" kata ia dengan sengit.
Cie Kiang goyangkan tangan.
"Itu-pun tidak bisa menjadi," kata ia. "Tabiatnya Gin-
pau Ou Lip sama dengan suhu, ia paling benci orang yang gila paras elok, orang-orangnya boleh berbuat segala
macam kejahatan tetapi ia larang untuk atau ganggu orang perempuan. Siapa ketahuan langgar larangannya itu, dia pasti akan dibinasakan!"
Kong Kiat mau percaya juga keterangan itu, hatinya
menjadi sedikit lega.
Itu waktu Khu Jie sudah perintah satu liaulo pergi
melaporkan pada Ou Lip, ia sendiri bersama belasan liaulo lainnya telah lantas jaga mulut jalanan, sikapnya masih tetap menghunjukkan kemurkaannya.
Tidak antara lama Ou Lip muncul bersama beberapa
orang diatas puncak.
Cie Kiang segera pesan Kong Kiat untuk bisa kendalikan diri, lalu ia maju beberapa tindak akan terus memberi
hormat pada kepala berandal itu.
"Ou Toako!" kata ia dengan sikapnya yang menghormat.
"Bersama-sama Kie Kong Kiat aku datang untuk
menghaturkan maaf!"
Kong Kiat diam saja, tapi romannya menghunjukkan
kemendongkolannya. Ia mendekati Cie Kiang.
Gin-piau Ou Lip berdiri dengan sikap yang angker. Ia
ada punya kulit yang hitam dan muka berewokan. Matanya yang merah ada tercampur sinar kedukaan. Ia awasi Kong Kiat dan kawannya sudah naik kepuncak, sesudah mereka
datang dekat, baru dia buka mulutnya.
"Kat Loo-liok," demikian katanya, "Aku tidak punya
kata-kata buat diucapkan, pergilah kau pulang, kau jangan
mengganggu disini, agar tidak merusak persahabatan kita dari belasan tahun. Kau suruh Kie Kong Kiat maju!
Memang sudah sejak lama aku dengar namanya yang besar, sekarang aku hendak bicara kepadanya!"
Kong Kiat tanpa menantikan jawabannya Cie Kiang
mendahului dengan pertanyaannya, "Pau Ah Loan adalah
isteriku, tentang dia binasakan puteramu, itu ada soal lain!
Sekarang aku hendak tanya kau, dia sudah mati atau
belum?" Ou Lip melirik pada jago muda ini.
"Kalau dia sudah mati, bagaimana?" ia balik tanya.
"Pasti ada soalnya!" sahut Kong Kiat sambil tertawa
menyindir. Mukanya Ou Lip meujadi merah karena gusar.
"Kie Kong Kiat kau sudah datang ketempatku ini, kau
jangan bertingkah," ia peringatkan. "Jangan kau anggap dirimu ada cucunya Liong Bun Hap hingga aku jadi jerih terhadapmu! Pau Ah Loan sudah bunuh puteraku, dia juga telah bunuh pembantuku, Ie Tay Phi! ini adalah
penghinaaan yang seumur hidupku belum pernah aku
terima! Kalau dia bukannya telah menikah denganmu, pasti aku sudah bereskan dia sedari siang-siang!"
Mendengar itu, suatu tanda Ah Loan masih hidup, Kong
Kiat tertawa. "Sekarang kita bisa bicara!" kata ia seraya ulur
tangannya akan tepuk pundaknya kepala berandal itu.
Ou Lip segera mundur beberapa tindak. Ia kuatir Kie
Kong Kiat karena ada cucunya Liong Bun Hiap, pandai
tiam-hiat hoat, ilmu menotok jalannya darah.
Kejumawaan Kong Kiat bangkit dengan segera. Terang
Ou Lip bilang, karena malui ia, Ah Loan jadi belum
dibunuh. "Kau memandang aku, marilah kita ikat tali persahabatan!" ia bilang. "Kau antar turun dengan baik-baik isteriku itu, supaya aku bisa ajak ia pulang, nanti di belakang hari aku akan haturkan terima kasih padamu,
untuk balas budimu ini. Sekarang ada seorang bernama
Kang Siau Hoo yang lekas akan datang ke bukit Tim Nia
ini buat injak rata pesanggrahanmu ini! Dalam kejadian itu, huipiau perakmu tidak ada gunanya. Itu waktulah aku
datang untuk bantu kau. sebab cuma aku yang sanggup
takluki padanya!"
Ou Lip gusar hingga ia berjingkrak.
"Jangan kau sebut-sebut namanya Kang Siau Hoo untuk
gertak aku!" Ia berseru. "Aku lebih-lebih tidak takut
kepadamu, Kie Kong Kiat! Ah Loan sudah berada dalam
tanganku, mati dia tidak bisa lantas mati tetapi hidup-pun dia tak bakal hidup dengan merdeka menurut sesukanya!
Pada Lou Cie Tiong-pun aku sudah terangkan, ialah dalam tempo lima hari, si orang she Pau ayah dan anaknya,
bersama kan juga mesti datang kegunungku ini, sesudah
kau bertiga bayar dengan merendah, sesudah berlutut akan hunjuk hormat dihadapan kedua layon dua putera dan
pembantuku, kemudian kau mesti serahkan uang lima ribu tail dan kuda sepuluh ekor. Setelah itu aku nanti kutungkan sebelah tangannya Pau Ah Loan. Baru aku antar dia turun dari gunung ini! Apabila semua itu tidak dipenuhi, aku bersiap sedia untuk lakukan segala apa juga."
Kong Kiat gusar bukan kepalang hingga ia ayun
kepalannya. Cie Kiang kaget tetapi segera ia mencegah.
Ou Lip mundur pula, tetapi ia tertawa gelak-gelak.
"Kie Kong Kiat, jangan banyak tingkah!" ia berkata.
"Isterimu telah berada dalam tanganku. Seumur hidupnya, aku Gin-piau Ou Lip, ada jadi satu laki-laki sejati, akan tetapi sekarang, aku nanti terpaksa perkosa dia!"
Kong Kiat berontak, tetapi Cie Kiang peluki ia dengan
keras, hingga ia tidak manpu mendekati kepala berandal itu.
Sambil cegah Kong Kiat. Cie Kiang kata pada Ou Lip:
"Ou Lip Toako, memandanglah kepadaku. Kenapa kau
ingin tanam bibit permusuhan dengan kita kaum Kun Lun
Pay dan keluarga Kie dan Liong-bun?"
Agaknya Ou Lip kena terpengaruh oleh pertanyaan ini.
"Sama sekali bukannya aku hendak tanam bibit
permusuhan kepada pihakmu," bakata ia. "Kau ketahui
sendiri, selama belasan tahun terhadapmu aku berlaku
sungkan. Lebih-lebih dengan Kie Kong Kiat, aku tidak
punyai sangkutan apa juga. Tapi sekarang adalah pihakmu sendiri yang sudah datang cari gara-gara. Nah mari turut aku, untuk melihat penderitaan pihakku!"
Ia lantas saja bertindak.
"Sabarkan diri sebisa-bisa," kembali Cie Kiang pesan
Kong Kiat, yang ia bisiki.
Kong Kiat berpikir sebentar, lantas ia coba atasi dirinya sendiri.
Keduanya lantas bertindak mengikuti Ou Lip dan
rombngannya, sedang Khu Jie dan orang-orangnya jalan
disebelahnya belakang mereka.
Tidak lama sampailah mereka dipasanggrahan, yang
merupakan rumah-rumah bertembok tanah, terdiri lebih
daripada tiga puluh buah atau ruangan, sedang disebelah itu
ada lagi kira-kira tiga-puluh buah rumah gua. ialah lamping gunung yang digali merupakan terowongan atau kamar.
Kong kiat tampak jumlahnya liaulo yang berkumpul
makin lama jadi makin banyak, kira-kira seratus jiwa atau lebih, yang semua mencekal senjata tajam dengan sikap
mengurung. Mau atau tidak ia merasa jerih juga, sedang Cie Kiang telah jadi ketakutan sekali. Hanya Kong Kiat masih bisa kendalikan diri dengan terus bersikap gagah dan jumawa.
Ou Lip ajak dua tamunya yang istimewa ini kesebuah
ruangan, ke depannya dua peti mati. Berdiri didepan itu air matanya lantas saja maleleh turun, namun ketika ia buka mulutnya, suaranya ada sember dan bengis.
"Lihatlah!" demikian katanya. "Anakku, Po San, sudah
berumur dua-puluh lima tahun. dia sudah punyakan isteri dan anak. Dan ini, pembantuku Ie Tay Pia, sudah ikut,
untuk belasan tahun, keluarganya semua mengandal
kepadaku! Tapi sekarang, mereka berdua terbinasa secara kecewa! Kau ada orang-orang kangouw, kau bukannya
tidak kenal peri-kepantasan, coba pikir, betapa kejam
adanya Pau Ah Loan! Bisakah peristtwa ini dibuat habis dengan cara gampang saja?"
Cie Kiang menghela napas.
"Ini adalah kejadian yang tak disangka-sangka," berkata ia. "Hanya, aku tahu pasti, tentulah bukan maksud sengaja dari Ah Loan untuk binasakan mereka berdua, inilah tentu ada suatu kekeliruan!."
"Satu kali kedua pihak telah gerakkan senjata tajam
untuk bertempur," Kie Kong Kiat-pun turut berkata, "maka sudah bisa dipastikan, salah satu mesti terluka. Siapa terbinasa tanpa sebab atau alasan, itu namanya binasa
secara menyedihkan dan kecewa, itulah namanya permusuhan, akan tetapi kalau orang binasa dalam
pertempuran yang syah, dalam hal itu permusuhan tidak
ada sama sekali. Lihatlah aku sendiri, aku telah tertikam pedangnya Kang Siau Hoo, lukaku bukannya enteng, akan
tetapi aku tidak benci Siau Hoo, hanya dibelakang hari, apabila aku berdua bisa bertemu pula satu dengan lain, jikalau aku ada punya kepandaian, aku nanti tikam
padanya. Atau jika aku tidak punya guna, dia bakal tikam pula padaku! Kau, Gin-piau Ou Lip, sudah menduduki
bukit Cin Nia ini lebih daripada dua puluh tahun, selama itu kau bukannya tidak pernah lukakan atau binasakan
orang, maka heran, kenapa sekarang orang lukai pihakmu, lantas kau jadi begini penasaran?"
Matanya Ou Lip jadi mendelik.
"Apabila kau bicaru secara demikian," ia bilang, "aku
boleh lantas bunuh Ah Loan, tidak ada ampun lagi!"
"Jikalau kau bunuh dia, aku akan buat kau juga tak
hidup lebih lama!" Kong Kiat mengancam.
Ou Lip tertawa menghina.
"Sampai saat ini kau masih berani bertingkah?" ia tanya.
Sambil berkata demikian, Ou Lip mainkan bibirnya pada
orangnya, yang semua lantas maju untuk menyerang, akan tetapi dengan satu kedipan mata, ia cegah mereka maju
terlebih jauh. Wajahnya Kong Kiat berobah menjadi pucat, tapi
walaupun demikian ia tetap hunjuk kejumawannya. Ia
tertawa. "Jangan kau gunakan banyak orang untuk gertak aku!"
ia bilang. "Jikalau kau benar hendak bertempur, bicaralah terus terang, setelah itu barulah kita bertanding!"
Air mukanya Ou Lip juga lantas jadi berubah.
"Sebenarnya untuk binasakan kau adalah gampang
sekali," ia kata kemudian. "Tetapi kau telah terluka, dengan binasakan kau aku tidak terhitung sebagai orang gagah.
Nah, pergilah kau turun gunung, dalam tempo lima hari
kau boleh datang kembali, dengan ajak Si orang she Pau, ayah dan anak, itu waktu kita nanti berdamai pula!"
Kong Kiat menjadi lebih sabar.
"Kau suruh aku turun gunung buat undang si orang she
Pau ayah dan anak, itulah gampang," ia bilang. "Hanya
untuk berlutut dan manggut-manggut di depan peti-mati ini aku dapat lakukan. Tentang uang lima ribu tail, pasti aku bisa bawa untukmu. Sekarang kau perlu ijinkan aku
bertemu dengan isteriku, aku mesti dapat kepastian yang ia masih hidup, baru setelah itu aku pergi!"
Ou Lip berpkir sebelumnya ia sambil putusan, akhirnya
ia manggut. "Baik, aku pasti ajak kau lihat isterimu," ia jawab.
"Marilah!"
Kepala berandal ini lantas bertindak, Kong Kiat dan Cie Kiang mengikuti di belakang mereka tetap mengikut pula rombongan liaulo. Mereka hampirkan sepetak gua. Dua
buah gua memakai jeruji besi yang kasar, mirip dengan
penjara, dan bagian dalamnya lebih gelap daripada gua-gua lainnya.
"Itulah dia disana," kata Ou Lip.
Kong Kiat bertindak kepintu gua yang ditunjuk, justeru Ah Loan bertindak kedepan akan menghampiri pintu itu.
Rambutnya Nona ini tidak sampai awut-awutan dan
mukanya tidak kotor, akan tetapi tangannya yang kanan,
dari pundak sampai di gelang-gelangannya, telah berlepotan darah. Iapun ada sehat.
"Buat apa kau datang kemari?" ia menegor, dengan buka


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya lebar-lebar.
"Dengan menahan sakit, aku datang bersama Kat Susiok
untuk tolongi kau," Kong Kiat jawab isteri itu.
"Tak perlu kau tolong aku!" kata Ah Loan dengan
sengit. "Biar mereka bunuh aku, itulah terlebih baik pula!
Pergi kau pulang! Dan jaga engkongku agar ia tidak
pulang!" Meski ia mengucapkan demikian, Si nona toh
mengucurkan air mata.
"Nona Loan, sabarlah untuk beberapa hari lagi," Cie
Kiang menghibur. "Ou Toaciangkui juga tidak berniat
membunuh kau. Dalam tempo lima hari kita akan datang
pula untuk merdekakan kau ... "
"Tidak usah sampai lima hari, sekarang atau besok-pun
aku pasti dapat tolong kau!" kata Kong Kiat.
Ou Lip yang berada disamping mereka, tertawa
menghina mendengar kata-katanya Kong Kiat itu.
Kemarahannya Kong Kiat meluap pula, ia berpaling
pada kepala rampok itu.
"Aku inginkan hari ini juga kau merdekakan isteriku!"
kata ia dengan sengit. "Kalau ada pembicaraan, kita boleh damaikan itu belakangan. Tetapi jikalau kau niat menghina aku, itulah tak dapat."
Ou Lip tetap tertawa secara meghina.
"Kau bicara secara sangat gampang!" ia bilang. "Dengan merdekakan padanya, tidakkah kebiasaannya anak dan
pembantuku ini jadi terlalu kecewa" Sekarang tidak ada
pembicaraan lainnya lagi, aku telah berikan kau tempo lima hari untuk cari si orang she Pau ayah dan anak, supaya mereka datang kemari, selewatnya tempo itu kau tak usah datang pula, nona Pau ini jangan kau harap-harap lagi!"
Ou Lip hampirkan gua, untuk periksa jerujinya, yang
kasar. "Kau lihat, meski-pun seekor macan tutul yang dikurung disini, dia tidak nanti mampu kabur!" ia kata, tetap ia tertawa menghina. "Umpama kau memikir datang diwaktu
malam untuk menolong dia ini, itulah sama saja dengan
kau cari mampus sendiri!"
Jarak antara Kong Kiat dan raja gunung ini ada kira-kira dua-puluh tindak, Kong Kiat telah jadi sangat gusar, ia raba piaunya, sekejap saja, ia sudah serang raja gunung itu.
Akan tetapi Ou Lip ada liehay, ia telah waspada dan celi matanya, ia-pun telah menduga jelek keadaan pemuda itu, maka Ia sudah lantas egos tubuh ketika tangan orang
terayun, senjata rahasia itu menyambar tempat kosong.
Menyusul serangan gelap dari Kong Kiat, semua liaulo
yang telah saksikan itu, segera maju menyerang.
Lacur adalah Cie Kiang, sebelum ia tahu apa-apa, ia
sudah kena dirubuhkan.
Kong Kiat tangkis serangan, dengan cepat ia dapat
rampas sebuah golok, dengan itu ia buat perlawanan.
Musuh berjumlah terlalu besar, golok dan tumbak
menyerang dengan berbareng dan saling susul. Mau atau
tidak pemuda ini repot juga. Ia terutarna terhalang oleh rasa sakit pada lukanya. Ia telah rubuhkan beberapa liaulo, ia paksa buka jalan untuk menyingkir turun dari bukit itu.
Tapi sejumlah liaulo mencegatnya, hingga ia lari kembali mendaki bukit sambil merayap ia tidak bisa bergerak cepat.
Ou Lip telah saksikan pertempuran itu sambil siap sedia dengan piaunya, ia tunggu sampai pemuda itu mencil
sendirian, ia lantas ayun tangannya. Piau itu mengenai paha kiri, Kong Kiat tak tahan sakit, ia rubuh, tubuhnya menggelinding kebawah. Kawanan liau sudah sedia untuk
sambut ia dengan hujan bacokan atau tikaman. Syukur Ou Lip cepat mencegah, maka ia cuma dikepung untuk
dibelenggu. Ketika sakunya digeladah, disitu masih
kedapatan sebatang piau pula.
"Ah, orang rendah," Ou Lip menghina. "Cara
bagaimana kau berani gunai piau dihadapanku" ia benar-
benar seperti datangkan angin ke depannya Thian Su atau dihadapan Seng Jin menjual kitab Sam Jie Keng!"
Kong Kiat tidak takut meski-pun ia sudah tertelikung.
"Binatang!" ia mendamprat. "Dua ratus orang kepung
aku, juga kau menggunai piau, apakah itu namanya orang gagah?"
Ou Lip tertawa.
"Buat apa kau masih bicara tekebur?" tanya ia. "Kau
cucunya Liong Beng Hiap, kau anggap dirimu tidak ada
tandingannya dalam kalangan kang-ou, tetapi kau sekarang kena aku bekuk!"
Kong Kiat gusar hingga matanya mendelik. Ia berontak
walau-pun lukanya tambah, ia tidak perdulikan tambang
pengikat tubuhnya ada kasar. Tapi kawanan liaulo tekan ia hingga tidak bisa berkutik.
"Bawa dia kedepan penjara!" Ou Lip menitah.
Kong Kiat digotong kedepan penjaranya Ah Loan, untuk
sengaja beri si nona lihat suaminya itu.
Benar-benar Ah Loan jadi berduka, hingga air matanya
meleleh. "Suruh mereka bunuh saja kita!" ia kata pada suaminya.
"Biar kita menjadi suami-isteri didalam dunia baka, disana aku akan baik dengan kau!"
Mukanya Kong Kiat sangat pucat, tetapi ia paksakan diri untuk tertawa.
"Tidak usah kau mengucapkan demikian," katanya.
"Mereka hendak binasakan, kita atau tidak, terserah kepada mereka! Tidak menyesal aku andai-kata aku terbinasa,
hanya menyesal yang aku tidak bisa wakilkan Kun Lun Pay membinasakan Kang Siau Hoo!"
Ah Loan jadi semakin berduka, ia tunduk, ia menangis
tersedu-sedu. "Orang she Ou, sekarang aku hendak minta suatu apa
kepadamu," Kong Kiat kata pada Ou Lip. "Aku minta
didepan isteriku ini, kau bunuh aku! Atau, kau penjarakan aku dalam satu kamar ... "
Ou Lip tertawadijngin, tanpa kata apa-apa ia berlalu dari situ, untuk kembali ke kamarnya sendiri. Ia merasa puas karena tertawannya Ah Loan dan Kong Kiat, ia anggap
cukuplah untuk membalas sakit hati anak dan orang
kepercayaannya.
Setelah itu muncul dua orang kepercayaannya yang lain
ialah Ang-lian Khau jie Khu Jie dan Tong-twie Ciau Su si Gembolan Kuningan. Mereka tanya tindakan apa harus
diambil terhadap Kie Kong Kiat, yang mengupat caci tak putusnya. Mereka tanya, apa tak baik bunuh saja orang
tawanan itu. Ou Lip menggeleng kepala.
"Dia ada cucunya Liong Bun Hiap, mesti dia ada punya
banyak suheng dan sutee," ia beri keterangan, "jikalau kita binasakan padanya, permusuhan jadi besar sekali, di
belakang hari mesti ada lain orang yang terlebih pandai yang datang satroni kita."
"Aku dengar didalam kalangan kangouw, bugeenya Kie
Kong Kiat ini sudah kesohor liehay," berkata Khu Jie,
"malah katanya ia sudah pecundangi Lie Hong Kiat
muridnya Siok Tiong Liong, maka itu, umpama dia
dibinasakan dan kemudian ada datang lain orang, mustahil dia sangup lawan hui-piaunya ciangkui?"
Ou Lip geleng-geleng pula kepalanya.
"Sekarang tahan dulu dia digua yang lain," ia perintah,
"pisahkan dia sedikit jauh dari isterinya. Jangan ganggu jiwanya."
Khu Jie pandang Ciau Su, agaknya ia tidak setuju akan
putusan pemimpinnya.
"Bagaimana dengan Kat Cie Kiang?" Cau Su tanya.
"Dia masih belum mati ... "
"Coba gotong dia kemari!" pemimpin itu kata.
Khu Jie dan Ciau Su segera undurkan diri, mereka
kembali tidak lama bersama beberapa liaulo, yang pepayang kat Cie Kiang. Piausu ini tidak ditelikung tetapi pundak dan bebokongnya telah terluka berat, mukanya pucat. Ia-pun merintih saja.
Ou Lip perintah beri piausu itu duduk dikursi.
"Kat Loo-liok, aku menyesal atas kejadian ini," berkata ia. "Sama sekali aku tidak pikir untuk celakai kau, semua ada salahnya Kie Kong Kiat seorang. Rupanya ketika ia
turut kau kesini, ia sudah kandung pikiran tidak baik, maka itu kau telah kena diakali dia!"
Cie Kiang merintih.
"Tentang ini tidak usah dibicarakan lagi," kata ia.
"Setelah terjadi seperti sekarang, aku sudah habis daya.
Kalau kau masih ingat persahabatan kita, tolong kau
perintah beberapa orangmu antar aku turun gunung. Di
kaki bukit Cie Tiong sedang tunggui aku, kau serahkan aku padanya, supaya dia bisa bawa aku pulang ke Tiang-an,
selanjutnya aku tidak akan campur pula urusan ini! ... "
"Bagus, bagus," Ou Lip kata sambil manggut. "Karena
kau tidak hendak campur pula urusan ini, kau sudah tidak punya urusan apa-apa lagi, dikemudian hari, bagaimana
juga adanya perkaraku dengan Pau Kun Lun, dengan kau,
Kat Loo-liok, sudah tidak ada sangkutannya!"
Lantas kepala berandal ini titahkan beberapa liauo segera siapkan sepotong papan, buat gotong Cie Kiang turun
kebawah bukit, untuk diserahkan pada Cie Tiong, ia sendiri bersama sejumlah liauo lantas pergi meronda didepan dan belakang gunungnya, disemua gua, kemudian ia berikan
pesannya kepada orang-orangnya, supaya mulai hari ini
dilarang turun gunung untuk "bekerja", semua dimestikan setiap hari, siang dan malam, buat penjagaan saja dengan waspada. Ia-pun pesan, Ah Loan dan Kong Kiat mesti
diberikan makanan cukup, supaya luka-luka mereka
diobati, supaya mereka itu tidak mati.
Setelah semua beres. Ou Lip kembali kekamarnya untuk
berstirahat, tapi tidak lama datang laporan dari liaulo yang antar Cie Kiang turun, akan sampaikan ucapannya Cie
Tiong, kata mereka:
"Liok-ya sudah diserahkan pada Lou Cie Tiong. Cie
Tiong minta diberi tempo beberapa hari untuk dia pergi Piau Kun Lun."
Kepala rampok ini terima laporan sambil bersenyum, ia
tidak bilang suatu apa. Dengan satu tanda dengan tangan, ia suruh liaulonya itu undurkan diri.
Sudah dua-puluh tahun lebih Ou Lip berkuasa
dipegunungun Cin Nia, bukan hanya piausu tidak berani
ganggu ia, pun lain-lain berandal tidak ada yang mencoba mengadu-biru. Disitu ada tiga buah-puncak, ialah Tui Yau Hong tempat kedudukannya sendiri, di Barat Gu Siat Na
tempat kedudukan puteranya ke dua, Siau Yo Cian Ou Po
San, dan yang ketiga Put Cu Nia yang dijaga oleh putera sulungnya, Ou Po Kang, tapi karena Po Kang telah terluka, sekang dijaga oleh Pek Mo Hou, satu taubak kepercayaan.
Diwaktu magrib Pek Mo Hou datang bersama sejumlah
liaulo, lebih dahulu ia pasang hio di depan layonnya Po San dan Ie Tay Piu, ia menangis, kemudian ia masuk kedalam menemui Ou Lip, siapa sedang berkumpul besama Khu Jie
dan Ciau Su. Ia lantas berikan keterangannya: "Tadi Lou Cie Tiong berangkat seorang diri ke Selatan, ia bilang bahwa ia hendak cari gurunya atas titahnya ciangkui, dari itu kita antap dia lewat."
Ou Lip manggut.
"Itulah, benar," jawab ia. "Sekarang kita tunggui Pau
Kun Lun, apabila dia datang, aku nati buat perhitungan dengannya!"
"Dugaanku belum tentu Pau Kun Lun berani datang
kemari," menyatakan Pek Mo Hou. "Dia-pun sudah sukar
dicarinya, entah dia telah pergi kemana. Sebabnya ialah Kang Siau Hoo sudah pergi ke Tin-pa untuk cari dia, guna menuntut balas bagi Kang Cie Seng."
Ou Lip berdiam sekian lama.
"Kang Siau Hoo itu orang macam apa?" tanya ia
kemudian. "Kabarnya dia berbugee tinggi, melebihi Kie Kong Kiat, Lie Hong Kiat dan Long Tong Hiap," Pek Mo Hou
terangkan. "Kalau tidak demikian, cara bagaimana Pau
Kun Lun takuti sangat padanya?"
"Pikirku baiklah kita bersahabat dentan Kang Siau Hoo
itu," Khu Jie nyatakan pikirannya. "Baik kia perintah orang cari padanya untuk undang dia naik kegunung kita ini, dan angkat dia menjadi Jieceecu. Mengenai Kie Kong Kiat,
baiklah kita bunuh saja padanya dengan diam-diam, untuk ringankan segala apa. Pau Ah Loan ada seorang
perempuan, kepandaiannya juga berbatas, kita tetap kurung padanya, nanti aku yang jagai, aku tanggung dia tidak bakal minggat. Kalau nanti Pau Kun Lun datang dengan bawa
uang, ia boleh tengok anaknya itu, tetapi untuk dia bawa pergi, itulah tak dapat. Kita mesti tahan terus Ah Loan untuk dijadikan barang tanggungan, kalau tidak, Pau Kun Lun pasti bakal datang buat menuntut balas."
Ou Lip bersangsi dengan usul itu, ada dua hal yang
menjadi sebabnya. Ia setuju Kang Siau Hoo diundang, buat jadi kepala rampok yang ke dua, tetapi ia kuatir, sesudah jadi jie-ceecu, Siau Hoo akan rampas kedudukannya. ke
dua, ia tetap jerih terliadap Pau Kun Lun, sebab sekali-pun benar ia dapat buat tunduk muridnya, tetapi jago tua itu sendiri memang ada liehay dan makin tua kepandaiannya
bertambah" Bagaimana kalau Pau Kun Lun nekat hendak
tolong puterinya" Umpama Pau Kun Lun suka menalah
dan ia diberi ijin bawa Ah Loan pergi, siapa berani
tanggung apabila di belakang hari ia tidak menuntut balas juga" Kalau mereka bentrok, pasti Pau Kun Lun ada
terlebih liehay daripada Kie Kong Kiat.
Mereka berdiam sekian lama, putusan masih belum
didapat, mereka terus berkumpul untuk minum arak.
Barulah setelah itu Khu Jie bersama Ciau Su dan Hou pergi meronda, setelah meronda mereka lalu pergi kekamarnya
masing-masing untuk beristirahat.
Adalah Ang-lian Khau-cu Khu Jie si Kunyuk Muka
Merah yang tak dapat tidur, pada otaknya ada berpeta
seorang perempuan, ialah Pau Ah Loan, yang kena ditawan oleh Ou Lip.
Diatas gunung itu orang perempuan tidak ada, atau bisa dianggap tidak ada ... Ou Lip ada punya isteri, yang sudah masuk tengah tua. Dua orang perempuan lain adalah
jandanya Ou Po San dan Ie Tay Pin, semua ada orang
rampasan dari kaki gunung dan romannya-pun je!ek. Khu
Jie sudah berumur dua-puluh lebih, ia jadi berandal sudah tujuh atau delapan tahun, ia masih belum beristeri, tidak heran, menampak Ah Loan yang cantik hatinya jadi
tertarik, hingga ia ingin mendapatkannya.
"Tetapi, dia ada demikian Liehay, umpama dia suka jadi isteriku, aku sendiri mesti pikir-pikir dulu ... ," demnikian ia ngelamun. "Baiklah aku gunai ketika ini sedangnya ia
terluka dan terpenjara, aku coba baiki padanya ... "
Lantas dengan bawa goloknya khu Jie keluar dari
kamarnya. Malam itu bintang-bintang dan rembulan ada terang dan
angin menghembus keras.
Baru jalan beberapa tindak, Khu Jie sudah merandek. Ia baru ingat yang ia tidak punyakan anak kunci untuk buka pintu gua penjara, bahwa anak kuncinya disimpan sendiri oleh Ou Lip. Lagi-pun kunci penjara ada besar dan berat luar biasa tak dapat dibuka dengan lain anak kunci.
Akhirnya Khu Jie berkeputusan: "Besok aku akan
berdaya dapatkan anak kunci dari Ou Lip, tetapi sekarang aku pasang omong dulu dengan si manis, supaya ia ketarik kepadaku."
Demikian, dengan putusannya itu ia bertindak kearah
gua penjara. Ia jalan dengan tindakan hati-hati.
Dua liaulo penjaga penjara yang melihat ada orang
lantas berbangkit dengan goloknya.
"Siapa?" mereka menegur.
"Aku!"
sahut Khu Jie, yang terus bertindak menghampiri. Mengenali siapa yang datang itu, kedua liaulo memberi
hormat. "Pergilah kau berdua istirahat," Khu Jie bilang. "Aku
yang menggantikan menjaga disini."
Dua liaulo itu lantas berlalu.
Khu Jie lantas menghampiri pintu penjara, ia melihat
kedalam gua, yang gelap, hingga ia tidak dapat lihat dimana si nona berada.
"AhLoan!" ia memanggil. "Ah Loan?"
Dari dalam tidak ada suara jawaban. Khu Jie raba kunci yang besar dan kasar. Ia melongok kedalam.
"Pau Ah Loan, bangun!" ia memanggil pula. "Aku Sam-
ceecu Ang-lian Khaucu Khu Jie. Aku ada orang baik,
jikalau kau sudi bersahabat kepadaku, aku suka tolongi kau."
"Pergi!"
Itulah jawabannya si nona yang gusar.
Khu Jie tertawa.
"Kau jangan sangsikan aku, aku benar ada orang baik-
baik," ia berkata pula. "Aku-pun ada muda-belia. Jikalau kau suka turut aku, nanti selang beberapa hari, pasti aku akan tolong kau."
Belum Khu Jie tutup mulutnya atau dari belakangnya
tahu-tahu ada sepasang tangan yang cekuk batang lehernya.
Ia kaget dan berontak, tapi ia tidak bisa lepaskan diri, goloknya terlepas, mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Selagi ia mati daya orang telah benturkan
kepalanya pada jeruji penjara hingga sekejap kemudian, ia tak ingat suatu apa lagi, tubuhnya rubuh.
Ah Loan didalam gua menjadi terkejut. Ia sedang sangat menderita karena luka di iga kiri dan pundaknya kanan, sedang hatinya sangat berduka dan berkuatir karena
ditawannya Cie Kiang dan Kong Kiat, yang hendak
menolongi adanya. Ia tidak takut mati, akan tetapi berdiam didalam gua itu ada satu siksaan. Gua yang gelap itu
kedapatan banyak semut besar dan lipan (kelabang).
terutama semut sangat mengganggu padanya. Disaat itu-
pun ia sangat jemu terhadap Anglian Khau-cu yang ceriwis, yang ia duga ada kandung maksud busuk. Ia sedang pikir akan sembat suatu apa akan timpuk taubak itu, kerika ia dengar suara napas tertahan dari Kunyuk Muka Merah itu, yang goloknya terus jatuh, disusul sama rubuh tubuhnya.
Dan akhirnya dimuka penjara timbul satu bayangan tinggi-besar. Ia menjadi terperanjat.
Samar-samar kelihatan bayangan tinggi-besar itu ulur
kedua tangannya meraba kunci penjara. setelah mana
terdengar bunyi suara yang keras, disusul dengan jatuhnya barang berat ketanah dan terpentangnya pintu besi itu, dan kemudian, tubuh tinggi besar itu bertindak masuk.
"Kau siapa?" ia segera menegur.
Orang itu berhenti bertindak, lalu terdengar suaranya
yang berat. "Jangan takut, aku Kang Siau Hoo!" demikian jawaban
itu. Ah Loan kaget berbareng girang, dan berduka juga,
selagi hatinya memukul, air matanya mengucur dengan
segera. Ia sampai tidak sanggup mengucap sepatah kata jua pun.
"Ah Loan, mau turut aku pergi dari sini!" demikian
suaranya Siau Hoo pula.
Baru sekarang si nona bisa menyahut, sambil menangis.
"Ikut kemana?" tanya dia. "Jikalau bukan karena kau,
aku tidak akan sampai alami kejadian seperti ini."
Elahan napas dari Siau Hoo terdengar nyata.
"Sekarang kita jangan bicara banyak dahulu," kata ia.
"Turutlah aku kesuatu tempat. Aku perlu segera kembali akan tolongi suamimu, Kie Kong Kiat!"
Dengan masih menangis. Ah Loan paksa bertindak
keluar, baru ia datang dekat atau Siau Hoo sudah ulur
kedua lengannya yang kuat untuk kempit padanya, maka
Ah Loan teruskan merangkul pada bebokongnya. Ia masih
menangis tersedu-sedu.
"Jangan nangis," kata Siau Hoo. "Kalau ada liaulo yang dengar suaramu, ada sukar untuk tolongi Kie Kong Kiat."


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berkata begitu Siau Hoo, bentindak keluar,
dimuka pintu ia dupak tubuhnya Khu Jie hingga tubuh itu terlempar masuk kedalam gua. Ia sekarang geser tubuh si nona untuk digendong, sesudah mana cepat sekali ia
mendaki bukit buat naik keatas, kedua tangannya setiap kali
samber batu atau oyot. Ia bisa berlalu, dari gua dengan tak ada liaulo yang pergoki.
Ah Loan tidak lagi menangis, cuma sekarang melainkan
air matanya yang mengalir. Ia kagum bukan main untuk
pemuda kita yang kuat tenaganya itu, yang gesit gerak-
gerakannya. Tanpa merasa teringatlah ia pada masa mereka masih kanak-kanak ketika Siau Hoo panjat pohon akan
turunkan layangannya yang nyangkut. Sekarang ia kagumi akan kepandaian silatnya. Terus ia diam saja, ia antap dirinya dibawa pergi, melewati puncak. Beberapa kali ia dibawa meloncati jurang yang lebar, atau loncat turun dari tempat tinggi kebawah, hingga mau atau tidak, hatinya
kebat kebit. Tapi Siau Hoo senantiasa sampaikan tempat yang dituju, tidak pernah kakinya terpeleset. Akhirnya dengan hati-hati sekali ia diturunkan diatas sebuah batu yang besar, rata dan licin.
"Kau tunggu sebentar disini, aku hendak tolongi Kie
Kong Kiat, segera aku akan kembali." kata Siau Hoo.
"Ya pergilah," si nona menjawab dengan suaranya
sangat sedih. Bagaikan kera gesitnya Siau Hoo sudah mulai mendaki
pula bukit, keatas puncak dimana sekarang mulai terlihat cahaya api.
Nyatanya Khu Jie, yang kena dicekik hingga pingsan,
telah tersadar, dari dalam gua ia sudah berteriak-teriak, hingga liaulo yang menjaga paling dekat jadi kaget dan datang kepadanya, Pek Mo Hou dan Ciau Su juga datang
dengan segera. Paling belakang, muncul Ou Lip. Apabila kepala rampok itu ketahui Ah Loan lenyap, segera ia
perintahkannya akan dua atau tiga puluh obor, untuk
liaulonya mencari dengan berpencaran.
Cahaya banyak obor itu membunt mereka bisa melihat
seperti siang hari saja. Ketika itu Siau Hoo berada diatas puncak, ia berdiri mengawasi mereka. Tidak ada orang
yang menyangka Siau Hoo berada diatas puncak.
Dari berbagai gua, masih saja ada hiauto liaulo yang
baru keluar, akan berkumpul dengan kawan-kawan mereka.
Dibawah diatas mana Siau Hoo berdiri-pun ada
beberapa gua, kebetulan ada tiga liaulo yang lari keluar dari sarangnya. Pemuda ini dengan berani loncat turun, hingga kedua pihak jadi berhadapan.
"Siapa?" tanya ketiga liaulo itu sambil memburu.
Siau Hoo tidak menjawab dengan mulutnya, ia berikan
penyahutan dengan sabatan pedangnya, hingga dua liaulo rubuh dengan segera, sedang yang ketiga ia cekik tanpa dia ini keburu berdaya. Gerakannya ada cepat bagaikan kilat.
"Dimana kau kurung Kie Kong Kiat?" Siau Hoo tanya.
"Ajak aku kepenjara itu!"
Liaulo itu ketakutan tubuhnya bergemetaran.
"Aku nanti antar kau ... " kata ia yang terus pimpin
pemuda ini kesebuah gua di sebelah Timur.
Tidak jauh dan mereka ada beberapa liaulo lain, yang
sedang mencari, mereka lihat seorang kawannya ada yang bekuk. mereka lantas perdengarkan suitan selaku pertanda, atas mana, jawaban utau sambutan datang dari berbagai
jurusan, dari mana obor-obor segera kelihatan bergerak mendatangi kearah mereka ini.
"Lekas!" Siau Hoo desak orang tawanannya.
Mereka memasuki gua yang dituju, yang dalam dan
gelap, cahaya terang semenga-menganya adalah sebuah
pelita yang suram. Disitu ada berjaga-jaga empat liaulo.
Ketika mereka lihat ada orang masuk, sedang satu
kawannya berada dibawah pengaruh, mereka sembat golok
dan segera maju menyerang.
Siau Hoo tangkis serangan, sebentar saja ia dapat
rubuhkan dua musuh, tapi dua liaulo lainnya keburu lolos berikut orang tawanannya sendiri. Ia tidak perdulikan, ia hanya menghampiri Kong Kiat, yang rebah dengan masih
terbelenggu tangan dan kaki, tanpa ayal lagi ia kempit pemuda itu untuk dibawa pergi.
Kong Kiat kenali orang yang datang menolong padanya.
"Orang she Kang, gunakan saja pedangmu akan
putuskan tambang ini, aku sanggup loloskan diriku sendiri!"
berkata ia. Siau Hoo tidak perdulikan kata-katanya pemuda itu,
dengan sebelah tangan terus mengempit, ia putar
pedangnya untuk keluar dari gua, dari arah depan ia
tampak serombongan dari seratus lebih liaulo, yang asyik meluruk kepadanya, suara mereka berisik, sekejap saja
datanglah gelombang penyerangan mereka itu.
Dengan pedangnya Siau Hoo tangkis beberapa senjata
yang paling dulu menyambar ia, menyusul itu ia menabas atau menikam, merubuhkan beberapa liaulo, kemudiun ia
loncat naik keatas, kebatu gunung, untuk mendaki puncak.
Itu ada arah dari mana tadi ia datang atau turun. Ia lolos dari berbagai senjata.
Menggantikan berbagai alat senjata pendek yang tak
berguna lagi itu sekarang Siau Hoo dapatkan beberapa
potong huipiau menyerang ia. Ia lihat nyata datangnya
serangan itu, berbareng dengan lompat berkelit, ia-pun menangkis dengan pedangnya akan sampok jatuh beberapa
piau itu, ia telah dapat lihat orang yang menggunai piau, yang berdiri diantara rombongan liaulo, orang siapa ada
berewokan. Cahaya api yang terang membuat ia bisa
melihat tegas. "Tentulah dia Gin-piau Ou Lip adanya," ia menduga-
duga. Lantas ia selipkan pedangnya dibebokong, dengan
tangan kiri terus kempit Kie Kong Kiat, tangan kanannya siap sedia untuk sambuti senjata rahasia
Ou Lip dapat kenyataan penolong dari Kie Kong Kiat itu telah berada diatas batu, yang tingginya tiga tumbak lebih.
Dari situ tidak ada jalan lagi untuk nanjak keatas dan juga tidak ada jalan untuk turun. Yang membuat ia sibuk adalah beberapa piaunya sudah lolos, tak sanggup mengenai
sasarannya. "Coba naik!" ia coba perintah liaulonya. Ia titahkan
mereka naik saling susun, yang dibawah
pasang pundaknya, demikian seterusnya. Diam-diam ia-pun
siapkan sebatang piau. Tentu sekali ini ia mau menyerang dengan mengincar dulu.
Demikan, selagi beberapa coba naik, dengan tiba-tiba Ou Lip menyambit dengan piaunya itu.
Sekali ini piau itu tetap tidak mengenai sasarannya,
malah-pun tidak jatuh, karena dengan satu gerakan gesit, Siau Hoo sambuti itu untuk dicekal. Dan selagi si kepala berandal tercengang, pemuda kita ayun tangannya, piaunya menyamber turun, mengenai jitu batok kepalanya Ou Lip, hingga kepala rampok itu rubuh seketika
Kawanan liau jadi kaget, mereka terbitkan suara sangat berisik.
Beberapa liaulo yang naik saling susul, dia telah diserang oleh Siau Hoo, hingga yang manjat paling atas terluka, dan yang disebelah bawah, rubuh sendirinya. Dan selanjutnya tidak ada lagi yang berani naik pula.
Dalam kalutnya kawanan itu, Siau Hoo berlalu dengan
terus kempit Kong Kiat, ia enjot diri untuk mencelat
ketinggi untuk manjat, untuk mana ia gunai kedua kakinya, terutama sebelah tangannya, yang jambret batu atau oyot yang merambat. Hingga diluar sangkaan siapa juga, ia
sangup naik terus keatas, seperti tadi ia kempit Ah Loan.
Hingga dilain saat, ia mendekati batu besar, rata dan licin dimana ia tunda si nona Pau. Ia terus letaki tubuhnya Kong Kiat, ia hampirkan batu. Tapi, segera ia berdiri bagaikan terpaku.
Disitu, batu ada, orangnya tidak! Ah Loan entah pergi
kemana, suaranya-pun tidak terdengar. Disitu melainkan terlihat pepohonan dan terdengar hanya suaranya angin.
"Ah Loan!" ia memanggil. "Ah Loan!"
Sia-sia pemuda ini memanggil-manggil,
suara jawabannya si nona tetap tidak ada.
"Eh, bukakan dahulu belengguanku!" Kong Kiat teriaki
pemuda kita. Ia-pun bingung.
Siau Hoo mendekati pemuda itu, ia tabas putus semua
tambang. "Ah Loan! Ah Loan!" berteriak-teriak pula.
Kong Kiat loloskan ringkusannya, ia merayap bangun.
"Ah Loan! Ah Loan!" ia urut memanggil-manggil.
Tetapi tidak ada suara jawaban.
"Bagaimana ini" Apakah tadi Ah Loan ada disini?"
Kong Kiat tanya.
Siau Hoo sibuk bukan main, ia banting-banting kaki.
"Ya, tadi dia disini!" ia jawab. "Paling dulu aku tolongi dia, aku bawa dia kenari, untuk bisa tolongi kau, aku minta
dia menantikan disini! Aku pergi tidak lama kenapa ia bisa hilang?"
Kong Kiat kaget dan sibuk.
"Ah Loan! Ah Loan!" ia memanggil-manggil. "Ah Loan,
aku disini."
Tetap suata jawaban tidak ada.
"Apakah mungkin dia kena ditawan pula?" Kong Kiat
tanya Siau Hoo.
"Tak mungkin, tak mungkin!" sahut Siau Hoo seraya
geleng-geleng kepalanya. "Puncak ini tidak ada tempat
mendakinya diempat penjuru! Kecuali aku, tidak ada yang orang mampu naik kemari!"
"Apakah mungkin dia dimakan macan tutul?" tanya
Kong Kiat. "Apa di Cin Nia ini ada binatang buasnya?"
Siau Hoo kaget, ia segera perdatakan empat penjuru,
tanah disekitarnya. Ia tidak lihat tapak kaki binatang liar, ia tidak dapatkan tanda-tanda darah disitu.
Kong Kiat turut mencari tanda-tanda, ia jadi semakin
sibuk. "Mari kita lihat kebawah!" ia mengajak. "Barangkali Ah Loan merasa tempat ini tidak aman, ia sudah menyingkir turun! ... "
"Itulah tak bisa menjadi!" Siau Hoo bilang. "Seorang diri ia tidak akan mampu turun dari sini! Di depan sana ada batu kalang-kabutan, kalau ia terpeleset, ia akan tergelincir kejurang dan terbinasa! Di belakang sana ada selokan yang dalam ... "
Baru mengucap demikian, Siau Hoo kaget sendirinya.
Dengan tiba-tiba ia ingat suatu hal hebat.
"Apakah tak mungkin Ah Loan jadi nekat?" demikian
pikiran yang baru muncul di otaknya. Kalau dugaan ini
benar, Ah Loan pasti sudah bunuh diri.
"Ah Loan! Ah Loan!" kembali Kong Kiat memanggil-
manggil. Karera tidak ada jawaban, pemuda ini bertindak maju
dengan pelahan-lahan.
"Kau gagal!" kata ia pada Siau Hoo, yang ia mendekati.
"Kau tidak pandai bekerja! Jikalau bukannya kau usilan, tidak nanti Ou Lip berani bunuh aku, aku sendiri bakal sanggup loloskan diri, hingga Ah Loan tak usah lenyap tak keruan ... "
Siau Hoo tidak menjawab, ia sedang masgul, bingung
dan uring-uringan.
"Siapa yang perintah kau untuk menolongi kita?" Kong
Kiat tanya pula, dengan suaranya menyesali. "Kenapa kau ketahui kita kena ditawan Ou Lip dan dikurung didalam
gua?" "Sejak kau berangkat dari Tiang-an, aku sudah
menguntitnya," Siau Hoo jawab. "Karena kau jalan terlalu lambat dan aku tidak sabaran, aku lantas mendahului. Aku lintasi bukit Cin Nia. Di Cungo-tin aku ketemu satu
sahabatku, Kau-too Cek Eng, Si Golok Gaetan. Aku lantas minta sahabatku itu menyelidiki tentang kau sekalian, aku sendiri menantikan di Cu-ngo-tin. Dua hari sudah lewat, Cek Eng masih tidak peroleh kabar apa-apa, hingga aku jadi heran. Tadi, mendekati magrib, Cie Tiong lewat didusun itu, aka telah bertemu dengan dia. Kebanyakan orang Kun Lun Pay ada musuhku tetapi dengan Cie Tiong aku
bersahabat, ia pernah berbuat baik terhadap aku, maka itu kita lantas pasang omong. Dan dia aku peroleh keterangan halnya Ah Loan dan kau rubuh oleh piaunya Ou Lip dan
tertawan, karena itu aku segera datang menolongi. Aku
bersendirian saja, dari itu perlu aku tolong kau secara bergantian, akan tetapi siapa nyana sekarang Ah Loan
lenyap ... Ah!"
Ia menghela nafas, ia banting kakinya.
Kong Kiat bersenyum tawar.
"Kau ada bermusuh dengan kita, kenapa kau tolongi
kita?" ia tanya. "Ah Loan ada cucunya Pau Kun Lun,
kenapa kau sibuki kelenyapannya?"
Siau Ho masih menghela napas.
"Kita berdua tidak bermusuhan," kata ia, "Disegala
tempat kau corat coret kata-kata untuk tawan aku, walaupun demikian, aku tidak benci kau. Sebabnya adalah
kenyataan selama di Ceng-yang, kau sudah kurbankan
uangmu untuk mengamal terhadap penduduk yang
bersengsara. Kau ada seorang hiap-gie, dari itu aku tidak pikir untuk buat kau celaka. Tidak demikian biar-pun kau ada cucunya Liong Bun Hiap, apabila aku berniat
mencelakainya aku bisa lakukan itu sama gampangnya
seperti aku membalikkan telapakan tanganku!"
Kie Kong Kiat tertawa dengan dingin.
"Dari siapakah kau dapat pelajari ilmu silat?" ia tanya.
"Turut apa yang aku dengar, gurumu ada seorang tua kurus kering. Entah she dan namanya."
"Aku juga tidak tahu guruku orang she apa," sahut Siau Hoo.
"Tentang ini, sekarang aku tidak sempat membicarakannya. Di kaki gunung ini ada seekor kuda,
ialah kuda putih yang kurampas di Pa Kio, pergi kau
tunggangi kuda itu bantu pergi ke Cungo-tin dimana ada Lou Cie Tiong. Seperginya kau, aku nanti cari pula Ah
Loan." Gusar Kong Kiat mendengar kata-kata itu.
"Kenapa isteriku kaulah yang mesti cari?" ia tanya
dengan sengit. "Kau ada kandung maksud apa terhadap
isteriku?"
"Aku yang loloskan diri dari penjara, sekarang dia
lenyap, adalah keharusanku untuk cari dia," Siau Hoo
jawab. "Gunung disini ada tinggi dan tebing, rimbanya
dalam dan lebat, kau mana mampu mencarinya?"
Kembali pemuda itu tertawa dingin.
"Itulah melulu disebabkan luka-lukaku!" kata ia,
"Tunggu sampai aku sudah sembuh, bukan saja aku akan
datangi gunung ini akan cari si berandal untuk menuntut balas, aku juga hendak tempur pula kau!"
Siau Hoo tidak gusar. Ia manggut.
"Baiklah," kata ia, "terserah kepadamu untuk tempur
aku sesukamu, pasti aku akan melayaninya, tapi sekarang aku tidak dapat berdiam lama-lama disini, nanti aku
gendong turun padamu, supaya kau naiki kudaku akan
pergi cari lebih dahulu, kemudian aku akan segera cari Ah Loan, untuk antarkan dia ke Cu-ngo-tin. Jangan kau curigai aku. Aku Kang Siau Hoo ada satu laki-laki sejati! Benar sesama kanak-kanak aku ada bersahabat baik, akan tetapi engkongnya adalah musuh marhum ayahku, tak mungkin
karena urusan cinta aku kurbankan sakit hati ayahku itu.
Lain dari itu, diapun sudah menikah kepadamu, maka itu, tidak bagus akan aku kandung maksud jelek terhadap
dirinya. Tentang kejujuranku kau akan membuktikan kelak kemudian hari, jikalau aku lakukan perbuatan yang
serendah itu, kau boleh pergi ke Kiu Hoa San di Kang-lam akan cari guruku, pasti guru atau suhengku bakal bunuh aku!"
Kong Kiat bungkam akan kata-kata sebagai kesatria,
sebaliknya daripada melayani bicara pula, ia terus
memanggil-manggil Ah Loan sampai beberapa kali namun
ia tetap tidak peroleh jawaban. Maka akhirnya, sambil
menghela napas ia memandang kekaki bukit dimana ia
tidak tampak suatu apa.
"Marilah!" kata Siau Hoo, yang terus gendong pemuda
itu untuk diajak turun.
Kong Kiat paserah diri. Ia lihat bagaimana caranya ia
dibawa turun dari tempat tinggi dan berbahaya itu, saking ngerinya, beberapa kali ia keluarkan jeritan tanpa merasa.
Maka mau atau tidak, diam-diam ia mesti akui orang punya kepandaian.
-oo0dw0oo- Jilid 20 "SIAU HOO benar-benar lihay, aku tak dapat
menandinginya, aku benar-benar kalah ... "
Tidak lama sampailah mereka di kaki bukit, di sebuah
jalanan. Disini si luka diturunkan ke tanah, ia tidak sanggup lagi berjalan.
"Kau tunggu disini, aku hendak ambil kuda," kata Siau
Hoo, yang terus lari.
Kong Kiat duduk dengan napas tersengal-sengal, bukan
dia yang menggendong dan turun gunung akan tetapi ia toh merasa letih sekali ia dongak keatas gunung, ia tidak lihat suatu apa, kecuali sang rembulan yang suram.
"Ah Loan! Ah Loan!" ia memanggil-manggil pula.
Tidak ada jawaban. Hanya kemudian ia dengar tindakan
kaki kuda, disusul munculnya kuda putih dengan Siau Hoo diatas bebokongnya.
Setelah sampai, Siau Hoo loncat turun, sebagai gantinya ia pondong Kong Kiat dinaikkan keatas kuda.
"Kau terus ambil jalan ini kearah Selatan." kemudian ia cabut pedangnya dan serahkan itu sambil tambahkan: "Ada kemungkinan sebelumnya keluar dari daerah pegunungan
ini kau akan ketemu berandal, muka ambillah pedang ini untuk bela diri."
Kong Kiat sambuti pedang itu, ia menghela napas, orang telah kena dibuat tunduk oleh pemuda kita. Sikap laki-laki dan budi-pekerti yang halus dari Siau Hoo melenyapkan
kejumawaan atau kepala besarnya Kong Kiat.
"Saudara Kang," kata ia akhirnya, "mulai hari ini aku
Kie Kong Kiat takluk kepadamu, jikalau kau tidak
menampik, aku ingin menjadi sahabatmu. Sejak saat ini aku berjanji akan coba melenyapkan permusuhan kau kedua
pihak, dan aku tidak akan bantu pula Kun Lun Pay untuk satrukan kau."
Siau Hoo menghela napas.
"Tentang ini baik di belakang hari saja kita bicarakan pula," kata ia. "Sekarang pergilah kau dengan lekas, jikalau kau tunggu sampai siang dan berandal keburu turun
gunung, tidak gampang untuk kau keluar dari sini."
Kong Kiat manggut.
"Kau hendak cari Ah Loan, apabila kau berhasil, kau
nasihatkan padanya untuk dia pergi ke Cu-ngo-tin," ia
pesan. "Kalau dia tak dapat dicari, ya sudahlah, memang manusia, hidup atau mati sudah suratan takdir ... "
Siau Hoo menghela napas pula ketika ia berikan
janjinya. Kong Kiat tancap pedangnya disamping pelana, lantas ia beri kudanya bertindak menuju Selatan.
Siau Hoo berdiri mengawasi dengan termangu, baru
setelah kaki kuda pergi makin jauh, mulailah ia dengan tugasnya mencari Ah Loan. Ia menghadapi kesukaran dari sang rembulan yang cahaya makin suram.
Ia memanggil berulang: "Ah Loan! Ah Loan!"
Sang bayu yang menderu-deru membuat satu suara
panggilan itu.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lama pemuda ini telah jalan ubek-ubekan akhirnya ia
berhenti disebuah batu besar atas mana ia terus rebahkan diri. Ia masgul bukan main. Sambil rebah ia pandang sang awan, sang bulan juga yang suram. Ia ada bingung
memikirkan kemana perginya si nona. Ia ada terlalu letih hingga tanpa merasa ia meram sendirinya dan tertidur. Ia sadar dengan segera dengar berisiknya ocehannya burung-burung didekatnya. Cuaca sudah sudah terang. Batu dan
rumput basah dengan air embun, juga tubuhnya Siau Hoo
hingga ia merasakan dingin. Ia lalu bangun, ia loncat naik kebatu gunung di depannya, untuk mulai mendaki naik,
hingga dilain saat ia telah sampai di tempat semalam di mana ia tinggalkan Ah Loan. Batu yang besar masih ada
tapi Ah Loan tetap lenyap. Ia coba perhatikan tempat
disekitarnya, tidak juga ia dapatkan tanda-tanda daripada si nona. Kembali ia menjadi bingung. Ia pergi ketepi jurang, ia melongok kedalam selokan, yang airnya tidak terlalu
dalam. "Apa mungkin Ah Loan nekat dan buang diri kedalam
selokan ini?" ia menduga-duga kalau benar, apakah
sebabnya" Apabila ia sangat berduka"
Penasaran Siau Hoo, maka terus ia loncat turun
keselokan Dengan berenang pemuda ini menghampiri tepi dimana
ada batu besar yang berlumut. Ia coba berpegangan pada batu itu. Tiba-tiba ia lihat suatu apa didekat batu itu segera ia naik kedasar dan lompat pada benda itu yang lantas
diambilnya. Itu adalah sepatu perempuan, yang disulam, dan warnanya merah. Setelah perhatikan itu, Siau Hoo
terperanjat, berkuatir dan berduka.
"Pasti Ah Loan telah terbinasa dalam selokan ini."
pikirnya! "Mungkin ia nekad atau ia diserang oleh binatang buas ... "
Maka kembali ia terjuni keair, ia mencari mengubek
selokan sekian lama dengan sia-sia, kemudian ia ikuti aliran sampai di tempat dimana air itu mengalir kebawah
merupakan semacam curug. Dibawah itu ada tanah yang
banyak pepohonannya, dan ada pohon-pohon kayu bekas
terkampak, suatu tanda tukang-tukang potong kayu biasa datang disitu.
Untuk bisa mencari kebawah, Siau Hoo cari jalan untuk
turun. Lebih dulu dari itu, ia simpan sebelah sepatu sulam itu didalam sakunya. Ia turun dengan melapay antara batu dan pepohonan. Disitu ada lembah ada jalanan kecilnya, ada selokan kemana air selokan diatas mengalir lebih jauh, seperti sebuah kali kecil. Di lamping jurang ada empat lima gua yang tidak ada jendelanya.
Siau Hoo periksa semua gua itu, yang kosong dari
manusia, melainkan ada beberapa ekor kelinci yang terus kabur dan sembunyi. Tapi terang gua-gua itu pernah
ditinggali manusia dan rupanya telah kosong sejak beberapa tahun.
"Mungkin Ah Loan belum mati ... " pikir pemuda ini,
yang terus memanggil-manggil pula: "Ah Loan! Ah Loan!"
Tidak ada jawaban untuk panggilan itu, maka sambil
menghela napas Siau Hoo bertindak lebih jauh, sampai ia telah lalui lembah itu dan berhadapan dengan sebuah bukit.
"Ah Loan!" ia memanggil lagi. "AhLoan!" Ia jalan terus, malah ia lintasi bukit itu hingga sinar matahari
menyilaukan mukanya.
Disini pemburu itu ketemu dua pemburu yang satu
membawa gaetan kong-cee, yang lainnya membawa busur
dan panah. Mereka itu sedang mendaki bukit. Siau Hoo
cepatkan tindakanya untuk menghampiri mereka, setelah
datang dekat, ia angkat kedua tangannya memberi hormat.
"Jiewie, aku numpang tanya," ia kata. "Apakah jiewie
ada lihat satu nona turun dari gunung ini?"
Kedua pemburu itu heran nampaknya.
"Satu nona?" tanya satu diantaranya. "Berapa usianya"
ia pakai baju apa?"
"Dia sudah berumur duapuluh lebih," jawab Siau Hoo.
"Dia sebenarnya ada satu nyonya muda ... Ia pakai, kalau tak salah, baju hijau, bersepatu merah yang tinggal sebelah
... " Dua pemburu itu mengawasi, mereka tidak lantas
memberi penyahutan. Terang mereka ada heran. Pakaiannya Siau Hoo kuyup basah, dan pakaiannya itu
kotor dengan lumut. Rupanya mereka menyangka bahwa
mereka sedang berhadapan dengan seorang yang otaknya
miring. "Aku tidak lihat orang perempuan," kemudan kata satu
diantaranya. "Disini tidak biasanya ada orang perempuan, sedang diwaktu pagi orang lelaki-pun jarang kedapatan."
"Digunung ini ada binatang buas macam apa?"
"Segala macam-pun ada, kelinci, rusa, harimau dan
macan tutul!"
Setelah berikan penyahutan itu, kedua orang itu sambil tertawa lantas ngeloyor pergi.
Siau Hoo berdiri diam dengan pikiran bekerja.
"Pastilah Ah Loan telah binasa," berpikir ia. "Semalam setelah aku tinggalkan padanya, dia didatangi binatang buas, karena sedang terluka dan tak bersenjata, ia tentu tidak mampu usir binatang buas itu dan ia kena digigit, dibawa lari, hingga sebelah sepatunya ketinggalan."
Dimatanya pemuda ini segera berpeta romannya sinona
yang berlepotan darah hingga berbareng berduka, ia-pun jadi gusar.
"Aku mesti jajah bukit ini dan sapu habis semua
binatang alasnya!" pikir ia dalam sengitnya. "Sakit hatinya Ah Loan mesti dibalas!"
Akan tetapi, baru ia berpikir demikian, atau datang lain pikiran pula.
"Aku tolol! Ah Loan toh ada gadisnya keluarga
musuhku dan dia-pun sudah menikah dengan lain orang!
Dengan tolongi diapun aku sudah berbuat berlebih-lebihan!
Selama sepuluh tahun aku belajar silat, maksudku itu
adalah untuk menuntut balas, tetapi sekarang, setengah tahun sejak aku turun gunun, apa yang aku lakukan adalah keruwetan belaka, aku mencari pusing sendiri, sama sekali aku belum pernah ketemui musuh-musuh yang sejati, Pau
Kun Lun dan dua saudara Liong! Dan aku-pun masih
belum ketahui tentang ibu dan adikku sendiri, mereka
masih bidup atau sudah menutup mata ... Secara demikian apa aku tidak sia-siakan cape lelah guruku yang telah
mendidiknya " Kenapa aku abaikan cita-citaku selama
sepuluh tahun?"
Karena memikir demikian. Siau Hoo lantas kuatkan
halinya. Sekarang ia jalan mudun untuk cari jalanan
gunung menuju ke Selatan. Ia ielah jalan sekian lama
sampai ia merasa lapar sekali, tubuhnya lelah. Ia jalan terus sampai di tepi jalan ia dapatkan beberapa rumah bergua, ialah pondokan ditanah pegunungan. Ia lantas mampir, ia minta disediakan bahmie yang hitam, sambil dahar, ia
tanya tuan rumah tentang Ah Loan, roman tentang Ah
Loan, roman siapa ia lukiskan dengan petaannya.
Akan tetapi tuan rumah tidak dapat lihat nona yang
ditanyakan itu.
Sehabis dahar dan membayar harga bakmie, Siau Hoo
bertindak keluar menuju ke Selatan.
Melihat karah mana orang menuju, tuan rumah segera
memburu keluar.
"Tuan, jangan pergi ke Selatan ... " kata ia dengan
pelahan. "Tidak jauh di sebelah Setatan itu ada bukit Put Cu Nia ... "
"Apakah bukit itu ada harimaunya?" tanya Siau Hoo.
"Hariman tidak ada tetapi ada makhluk yang terlebih
lihay daripada harimau," sahut tuan rumah yang baik budi itu. Terus ia cekal tangan tamunya diarik kembali kedalam rumahnya. Kemudan ia kata pula sambil berbisik : "Tuan rupanya ada orang yang biasa buat perjalanan, mustahil kalau tidak ketahui yang Put Cu Nia itu ada cabang dari
Twie Yau Hong" Baru saja Pek Mo Hou dan orang-
orangnya lewat disini untuk pulang kebukitnya, diantaranya ada beberapa orang yang aku kenal mereka ini bilang
bahwa mereka baru kembali dari Twe Yau Hong dimana
katanya Ou Tay-ong Gin-piau Ou Lip siapa ia terbinasa tadi malam oleh serangan piau ... Ou Lip menggunai piau," ia berbisik lebih jauh dengan makin pelahan, "dengan piaunya itu entah ia telah hajar mampus berapa banyak jiwa orang, sekarang ia binasa karena piau, itulah namanya pembalasan Thian. Karena kebinasaannya Ou Lip ini, digunungnya
pastilah akan jadi kalut, mugkin mereka akan berbentrok.
Aku ada punya beberapa tamu lain, mendengar hal itu
mereka jadi kuatir melanjutkan perjalanannya, mereka mau singgah lagi beberapa hari. Barangkali juga, katena dengar Ou Lip sudah binasa, barisan tentara negeri bakal datang membasmi. Maka tuan, jikalau kau hendak melanjutkan
perjalanan, baiklah tunggu sampai sudah ada rombongan
saudagar-saudagar serta piau su-piausu pelindungnya.
Sekarang silahkan tuan singgah dahulu beberapa hari,
perihal uang, kau ada punya atau tidak, itu tidak menjadi soal!"
Siau Hoo bersenyum.
"Terima kasih untuk kebaikanmu, tuan," berkata ia.
"Tapi aku tidak punya uang, aku tidak usah kuatir terhadap berandal aku rasa mereka itu tidak perlu maui jiwaku lagi pula aku sendiri memangnya berniat mencari mati ... "
Setelah berkata begitu, Siau Hoo memberi hormat, terus ia bertindak pula keluar.
Tuan rumah itu tercengang, tadinya ia masih hendak
memanggil kembali kepada tamunya itu, tapi beberapa
tamu lainnya mencegah dengan berkata : "Biar dia pergi!
Biarkan dia cari mati sendiri! Pek Mo Hou dan
rombongannya itu memang sedang kalap! ... "
Siau Hoo bertindak belum jauh, ia dengar perkataannya
orang itu, teapi ia bersenyum. Ia bertindak kearah Selatan.
Ia sebenarnya niat lupakan Ah Loan, apamau ia tidak
mampu berbuat demikian. Dalam sangsinya ia percaya si
nona masih hidup. Disebelah itu ia ingin bisa ketemui
semua binatang alas, untuk binasakan semuanya!
"Baiklah aku satroni sarang berandal, untuk bunuh
beberapa puluh diantaranya, untuk kemudian aku cari
seekor kuda dengan apa aku bisa berangkat ke Cu-ngotin."
kemudian ia berpkir lebih jauh. Karena iu, ia lantas buka tindakan lebar.
Benar seperti katanya tuan rumah pondokan, tidak
seberapa jauh, sesudah lewati beberapa tikungan, Siau Hoo lihat sebuah bukit dihadapannya. Macamnya bukit itu
bagaikan kuda dongak, ia menduga bukit itu mesti Put Cu Nia adanya dan sarangnya Pek Mo Hou orangnya Ou Lip.
Dengan tidak meraa gentar Siau Hoo jalan terus sampai
dimuka bukit. Diatas, bukit ada berkumpul beberapa piluh orang, terang mereka ada kawanan berandal, hanya jarak yang pisahkan mereka membuat ke dua pihak tak bisa lihat nyata muka masing-masing. Rupanya kawanan itu juga
lihat ada orang lewat di kaki bukit, akan tetapi karena orang bersendirian tanpa tunggang kuda dan tidak mengendol
bungkusan juga, mereka tidak mencegatnya. Mereka tidak perlu dengan seorang miskin. Tapi diluar dugaan mereka.
Siau Hoo justru bertindak mendaki, hingga mereka jadi
kaget, segera juga mereka berseru, menberi tanda kepada kawan-kawan lainnya.
Sebentar saja, kawanan berandal telah berkumpul
banyak, malah Pek Mo Hou pun muncul dengan tumbak di
tangan, dari masih jauh-jauh ia sudah menegur dengan
bengis : "Mau apa kau datang kemari! Berhenti!"
Siau Hoo dengar itu tetapi ia berjalan naik terus. Adalah setelah terpisah hanya beberapa puluh tindak dari
rombongan berandal itu, baru ia tunda tindakannya, ia
mengawasi mereka dengan roman keren.
"Apakah kau bukannya Pek Mo Hou?" ia tanya. "Aku
datang untuk pinjam seekor kuda! Aku juga sekalian
hendak nasihatkan kau sekalian supaya lekas-lekas
bubarkan diri, akan masing-masing cari penghidupan
sendiri secara halal jikalau tidak, pembesar negeni bakal datang bersama pasukan tentaranya akan basmi kau semua.
Kau tidak akan dapat terus duduki gunung ini untuk melulu mengganggu dan mencelakai orang-orang pelancongan dan
kaum saudagar."
Pek Mo Hou menjadi gusar.
"Kau makhluk apa?" tanya ia. "Bagaimana kau berani
omong besar?"
Siau Hoo-pun medelik.
"Aku Kang Siau Hoo!" ia perkenalkan diri. "Akulah
yang tadi malam hajar mampus Gin-piau Ou Lip!"
Sekalian liaulo tidak percaya keterangan itu, dalam
gusarnya mereka angkat senjatanya hendak menyerang.
Pek Mo Hou merasa heran, ia segera mencegah, dengan
mata tajam ia awasi pemuda di depannya itu, yang
tubuhnya tinggi dan kekar. Setelah berselang sesaat ia betsenyum tawar.
"Sudah lama aku dengar namamu!" katanya kemudian,
"Jadinya kau adalah orang yang tadi malam membinasakan Ou Coaciang-kui serta sudah tolongi Kie Kong Kiat dan
Pau Ah Loan! Memang aku telah dengar kau telah ketemu
seorang gagah luar biasa dari siapa kau telah pelajarkan ilmu silat yang liehay, sekarang aku tidak heran lagi. Kau
datang untuk pinjam kuda" Baiklah, aku nanti keluarkan beberapa ekor untuk kau pilih supaya dengan ini kita dapat ikat tali persahabatanmu!"
Pek Mo Hou benar-benar suruh satu liaulo pergi untuk
tuntun datang beberapa ekor kuda.
Menampak sikapnya orang itu, lenyap kemurkaannya
pemuda kita. "Dengan baik hati sekali lagi aku peringatkan supaya kau lekas bubarkan!" Ia kata pula.
Pek Mo Hou tertawa.
"Jangan kau kuatir," katanya. "Dengan Ou Toako telah
menutup mata, aku memang tidak bisa tancap kaki lebih
lama pula disini. Tentu aja aku akan angkat laki dengan sesukaku sendiri, jikalau orang lain yang memaksanya, aku pasti akan adu jiwaku! Saudara Kang walau-pun kita baru berkenalan akan tetapi tentang kau, aku ketahui dengan baik. Kau adalah puteranya marhum Kang Cie Seng, yang
telah dibunuh oleh Pau Kun Lun itu. Saudara, orang dari kalangan Rimba Hijau ada sangat kagumi kau, malah Ou
Toako sendiri semasa hidupnya ada mengharap kedatanganmu, ia mengharap supaya berhasil membinasaa
Pau Kun Lun. Hanya, saudara, aku lihat kau kecewa. Kau telah sempurnakan ilmu sitat akan tetapi sepak terjangmu ada keliru, bukannya kau segera membalas kepada Pau Kun Lun kau justeru satrukan pihakku! Kie Kong Kiat itu adalah anjing Kun Lun Pay, sedang Pau Ah Loan adalah budak
yang memalukan dari kaum Kun Lun itu, tetapi kau justeru dengan mati-matian coba belai mereka! Kenapa kau tak
dapat bedakan budi dan permusuhan" Apakah dengan
begini kau masih anggap dirimu satu enghiong?"
Siau Hoo pentang kedua matanya, ia bertindak maju.
"Apakah benar kau berani caci aku!" tanya ia.
Pek Mo Hou kaget, ia mundur. Iapun tertawa dingin.
"Kau hanya berani menghinakan aku, apakah artinya
itu?" ia tanya. "Kita tidak bermusuhan satu dengan lain, umpama kau basmi habis pihakku, kau pasti tak dapat
banggakan itu kepada orang lain! Yang benar pergilah kau cari musuhmu!" ia memberi hormat dengan angkat kedua
tangannya, ia tambahkan : "Coba pikir, benar atau tidak kata-kataku ini" Kau ada satu laki-laki, pikirlah biar benar, bagaimana Pau Kun Lun sudah bunuh ayahmu, bagaimana
dia telah paksa hingga ibumu menikah pula! ... "
Siau Hoo berdiam. Ia paling tidak senang mendengar
kata-kata demikian macam.
Sementara itu liaulo yang tadi diperintah sudah kembali bersama tiga kuda, dan Pek Mo Hou sudai lantas undang ia untuk pilih satu diantaranya.
"Jangan sungkan-sungkan," berkata kepala rampok ini.
"Uang-pun bila kau membutuhkan, baru tiga atau lima-
ratus aku sanggup menyediakannya. Aku kagumi kau
sebagai satu laki-laki."
Siau Hoo tidak jawab raja gunung itu, ia hanya lantas
pilih seekor kuda, kemudian ia loncat naik atas
bebokongnya binatang itu yang terus ia larikan turun
kebawah bukit. Pek Mo Hou mengawasi seraya titahkan liaulonya
serukan : "Kang Siau Hoo, sampai ketemu pula!"
Siau Hoo tetap kaburkan kudanya, sama sekali menoleh-
pun ia tak sudi. Ia ada mendongkol. Ia pikirkan bagaimana licinnya Pek Mo Hou, yang jerih terhadap ia, tetapi
sebaiknya sudah coba mengobor ia dengan sebut Pau Kun
Lun, terang kepala berandal itu ingin ia tempur ketua Kun Lun Pay itu agar keduanya, atau satu diantaranya terbinasa.
"Tapi, ada benarnya juga apa yang dia katakan," ia pikir terlebih dahulu. "Memang pada sepuluh tahun yang lalu
itu, perbuatannya Pau Cin Hui terhadap keluargaku ada
sangat kejam. Maka sekarang aku tidak harus pikirkan
lainnya hal lagi, paling dahulu aku mesti wujudkan
pembalasanku!"
Oleh karena ini, sekeluarnya dari mulut gunung, Siau
Hoo larikan kudanya bertambah keras, ketika ia akhirnya sampai di Cu-ngo-tin, langsung ia menuju ke Bou Kee
Tiam, rumah penginapan dimana Lou Cie Tiong singgah,
akan terus panggit keluar paman guru itu.
"Apakah Kie Kong Kiat telah sampai disini?" ia tanya.
"Ya, tadi pagi," jawab Cie Ting. "Bagaimana dengan Ah
Loan?" "Aku tak dapat cari padanya," sahut Siau Hoo sambil
geleng kepala. "Mungkin ia telah jadi kurbannya binatang liar."
Cie Tiong berduka.
"Apakah kau tidak mau masuk untuk beristirahat?"
tanya ia. "Kong Kiat sedang tidur, nanti aku beri bangun supaya dia bisa bicara kepadamu."
"Jangan," pemuda kita mencegah. "Aku tidak hendak
bicara kepadanya. Apabila dia penasaran, suruhlah dia
pergi pula ke Cin Nia untuk mencarinya. Gin-piau Ou Lip sudah binasa, tidak ada orang yang dibuat jeri pula. Aku ada punya urusan sangat penting, aku mesti segera
berangkat. Nah, tolong susiok ambilkan pedangku!"
Cie Tiong masuk kedalam, untuk keluar pula dengan
membawa pedang.
Siau Hoo sambuti pedangnya, terus ia tuntun kudanya
keluar. "Siau Hoo, tunggu dulu!" Cie Tiong menyusul. "Aku
ada sedikit omongan!"
Siau Hoo berhentikan tindakannya.
"Satu enghiong barus murah hati," Cie Tiong berkata.
"Pau Cin Hui benar telah lakukan kesalahan, akan tetapi mengingat usianya sudah lanjut, apakah kau tidak dapat mengampuni jiwanya yang tua itu?"
Mendengar itu, air mukanya Siau Hoo menjadi muram,
berdiam sampai sekian lama.
"Baiklah," sahut ia kemudian, "dengan memandang
kepadamu, Lou Su-siok, aku nanti berlaku sedikit murah hati terhadapnya."
Sehabis bilang begitu, pemuda ini beri hormat pada


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paman-guru itu, ia terus tuntun pula kudanya akan pergi kejurusan Selatan, kesebuah rumah penginapan lain. Ia
tanya tentang Kau-too Cek Eng sudah kembali atau belum.
Dan ia peroleh jawaban yang membenarkan.
Adalah kebenaran saja yang Siau Hoo bertemu dengan
Cek Eng si Golok Gaetan ini. Itu hari di Bu-kong, di rumah penginapan, ia telah curi dengar pembicaraan diantara
Kong Kiat dan Ah Loan, ia-pun dapat intai sikapnya kedua suami isteri itu agaknya menyintai satu dengan lain, hatinya jadi tawar. Begitulah ia memikir untuk pergi dahulu ke Cieyang, buat cari persaudaraan Liong, akan kemudian baru cari Pau Cin Hui. Dalam perjalanannya ini, sesampainya di Cu-ngo-tin, apa mau ia ketemu kepada sahabatnya itu.
Cek Eng adalah sahabat dari sepuluh tahun yang lalu
yang dikenal Siau Hoo selama di Su-coan Utara, dia adalah saudara seperguruan dari Toan-too Yo Sian Tay dan Hon-too Lu Hiong. Dari dua saudara seperguruannya itu, Cek Eng telah pulang kekampung halamannya di Hoo-lam, dan
Lu hong telah menutup mata karena sakit. Bekerja sebagai piausu di Long-tiong-hu, pada Hok Lip Piau Tiam, Cek
Eng tidak cocok dengan Kim-kah-sin Ciau Tek Cun, ia
letakkan jabatannya, ia lantas hidup mengembara. Selama beberapa tahun penghidupannya tiada menyenangkan
baginya. Demikian ia merantau sampai di Hantiong dimana ia jual silat sambil jual obat-obatan. Itu hari selagi jual silat di Cung-tin ia telah bertemu Siau Hoo, tidak tempo lagi ia tunda pertunjukannya dan ajak Siau Hoo mampir ke
hotelnya. Memang sudah sekian lama ia dengar halnya
pemuda kita. Didalam kamar hotel, keduanya bicara
banyak tentang perpisahan mereka selama sepuluh tahun.
akan diakhirnya Cek Eng utarakan kehendaknya akan
bantu pemuda ini cari musuhnya. Ia-pun nyatakan
dugaannya, Pau Cin Hui mesti sembunyi didekatnya Tin-
pa, katanya Pau Kun Lun banyak musuhnya, dia pasti tak lari jauh.
Siau Hoo terima baik niatnya sahabat ini untuk bantu ia, maka terus ia minta sahabat itu pergi menyelidiki baginya Pau Cin Hai, ia sendiri menantikan dihotel di Cu-ngo-tin itu. Ia ingin sergap Pau Cin Hui dengan tiba-tiba, agar tidak menggeprak rumput hingga ular menjadi kaget dan kabur."
Seberlalunya sang sahabat, Siau Hoo keram diri didalam rumah penginapannya itu. Dua hari sudah berselang, Cek Eng belum kembali, lalu diwaktu magrib, selagi ia pergi kesebuah warung arak ia berjumpa dengan Lou Cie Tiong.
Diantara paman-guru dan keponakan ini ada perhubungan
manis. Dalam pembicaraan, Cie Tiong ceriterakan hal
terlukanya Ah Loan dan Kie Kong Kiat, yang tertawan
berandal di Cin Nia, bahwa ia baru saja antaran Cie Kiang, yang juga terluka parah, ke Tay-san-kwan, bahwa ia ada dalam perjalanan ke Lam-ceng untuk minta Lau Cie In
berdaya menolongi Ah Loan dan Kong Kiat.
Mengetahui Ah Loan ada dalam bahaya, Siau Hoo
menjadi sibuk, disebelah ia menyatakan suka membantu, ia sudah lantas pergi. Demikian ia tolongi si nona dan Kong Kiat, untuk mana ia sampai binasakan Ou Lip, akan tetapi kesudahannya ia tak sangka bahwa Ah Loan lenyap entah
kemana, hingga sekarang ia jadi sibuk pula. Adalah setelah ia bentemu Pek Mo Hou, baru ia bisa sedikit legakan hati dan robah tujuan. Begitulah ia kembali pada Cie Tiong dan terus cari Cek Eng.
"Aku telah berhasil memperoleh kabar," berkata Cek
Eng setelah Siau Hoo menghampiri ia didalam kamarnya.
"Tua-bangka she Pau itu sudah pergi ke Su-coau Utara, ada orang yang lihat dia di Utara Kiamkok, katanya dia sedang menuju ke Selatan, entah kemana. Ia bersendirian saja
sambil menunggang kuda. Dua saudara Liong tetap masih
berada di Cieyang akan tetapi mereka sengaja uwarkan
cerita bahwa mereka sudah antar piau. Akan tetapi yang sebenarnya mereka sembunyikau diri didalam kota."
Mendengar keterangan ini, Siau Hoo berkerot gigi.
"Terima kasih! Nah, sampai ketemu pula!" kata ia pada
Cek Eng seraya memberi hormat, terus ia pergi kekantor tuan rumah, akan minta bungkusannya yang kemarin ini ia titipkan, kemudian ia cepat keluar akan meloancat naik atas kudanya buat segera diberi menuju ke Selatan. Ia tetap pakai kudanya yang diperoleh dari Pek Mo Hou itulah ada seekor kuda bulu hitam mulus dan gesit.
Siau Hoo sudah lantas tetapkan rencananya, ialah paling dahulu pulang ke Tin-pa akan cari ibu dan adiknya, akan
satroni Pau Ce Lim musuh yang telah terluka hingga
bercacat, yang dulu perlakukan ia sangat kejam, kemudian ia kan menuju ke Cie-yang, untuk cari dua saudara Liong untuk dibinasakannya. Yang terakhir ia hendak berangkat ke Sucoan Utara guna cari Pau Cin Hui. Ia sudah janji pada Lou Cie Tiong bahwa terhadap Pau Kun Lun ia akan
berlaku murah hati, tetapi entah nanti, sesudah ia
berhadapan kepada musuh itu, ia tak dapat pastikan ia
sauggup kendalikan diri atau tidak.
Melarikan terus kudanya, Siau Hoo tidak snggah lagi di Hantiong-hu, ketika ia mulai mendekati Tin-pa, hatinya bimbang, karena dua perasaan berduka dan bergusar
kumpul jadi satu. Pada jam dua lohor, ia mulai memasuki kota Tin-pa. Maugkin karena merantau ke Kang-lam dan
Pendekar Bodoh 6 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 13
^