Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 13

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 13


kepadanya, dia sangat berpengaruh, dia bisa bantu kita menghadapi Kang Siau Hoo!"
Pau Cin Hui angguk-anggukkan kepala.
"Baik, baik," sahut ia. "Aku hendak temui padanya,
untuk lihat dia ada orang macam apa."
Dan ia terus larikan kudanya ke depan untuk susul
rombongan kereta piau itu.
Cie Khie-pun larikan kudanya mengikuti.
Kelakuan mereka ini membuat semua orang menjadi
kaget, tetapi mereka tidak berani turut maju, hanya
diantaranya ada yang kata : "Ha, tua-bangka itu rupanya ingin rasai hajaran!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 22 KETlKA ITU, Pau Kun Lun telah dapat susul
rombongan kereta di sebelah depan. Ia dapat lihat tegas belasan penunggang
kuda yang menjadi pengiring
rombongan, adalah anak-anak muda, semua dari usia dua-
puluh lebih, romannya gagah, semua menggantung golok
pada pelananya masing-masing.
Tiga pengiring lihat ada orang mendatangi, dengan
lantas mereka memutar tubuh untuk mencegat, mata
mereka dibuka lebar.
"He, tua-bangka, mau apa kau majukan kudamu
kemari?" mereka menegor.
Cin Hui mendongkol didamprat secara demikian,
mukanya menjadi merah-padam. Ia-pun mendelik.
"Eh, jangan sembarangan mencaci orang!" ia-pun
menegor. "Aku hendak menuju ke Barat, ada urusan
penting, ini toh ada jalanan umum yang semua orang boleh lalui?"
"Meski kau ada punya urusan penting, kau mesti
mengalah, kasih kita lewat lebih dahulu!" kata tiga
pengiring itu. "Jangankan kau, walau-pun orangnya sunbu yang mesti membawa kabar penting, dia tak berani larikan kudanya di sebelah depan kita!"
Lantas mereka maju mendekati, mereka menjoroki orang
tua itu supaya tubuhnya terpelanting dari atas kuda.
Pau Kun Lun jadi gusar sekali, dengan sebelah tangan ia sampok tangan mereka itu, hingga justeru merekalah yang terlempar dari atas kudanya.
Atas kejadian itu, lain-lain pengiring perdengarkan suara mereka, dan lerotan kereta-pun segera diberhentikan.
Sekejap saja jago Kun Lun Pay ini sudah dikurung, semua penunggangnya telah menghunus golok.
Liong Cie Khie belum dapat candak gurunya, apabila ia
lihat keadaan mengancam itu, ia putar kudanya untuk
diberi lari balik.
Pau Cin Hui sudah lantas hunus golok Kun-lun-too,
ketika ia kibaskan goloknya semua pengurungnya pada
mundur. Ia unjuk air muka merah-padam, matanya terbuka lebar, kumis jenggotnya bergerak-gerak.
"Sahabat-sahabat, mari kita bicara terlebih dahulu!" ia perdengarkan suaranya yang keras. "Aku tahu bahwa kau
adalah orang-orangnya Thio Hek Hou dari Pa-tiong.
Selama beberapa tahun ini, meski-pun aku tak pernah
datang ke Su-coan Utara ini, namun aku pernah dengar
namanya Thio Hek Hou itu, maka sekarang aku minta Thio Hek Hou keluar bicara kepadaku!"
Suara jawaban lantas terdengar dari sebuah kereta.
Orang itu berumur kurang lebih tiga-puluh tahun,
kepalanya botak tubuhnya tiuggi tetapi tegap dan gesit, mukanya hitam, pakaiannya terbuat dari sutera semua. Dia berdini atas keretanya.
"Akulah Thio Hek Hou!" demikian jawabannya seraya
ia tepuk dada. "Tua bangka, kau pentang matamu dan lihat, aku adalah Hek-hou Thio Toa-thayya!"
Cin Hui mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar.
"Oh, kau Thio Hek Hou?" berkata ia. "Bagus! Aku
sudah berusia lanjut, aku tidak ingin bentrok kepadamu, cukuplah asal kau perintah orangmu buka jalan untuk aku lewat!"
Thio Hek Hou, si Harimau Hitam, tertawa dingin.
"Kau bicara secara gampang sekali!" kata ia. "Kau telah lihat bendera diatas keretaku, sesudah lihat itu, baru kau datang menyusul, maka itu adalah tanda hahwa kau hendak main gila terhadap aku, kau sengaja tidak memandang mata padaku! Tambahan pula kau-pun sudah rubuhkan beberapa
saudaraku! Kau sekarang bilang kau hendak lanjutkan
perjalananmu! Hm! Mana
ada urusan sedemikian
sederhana" Hayo beritahukan she dan namamu, aku ingin
ketahui kau ada tua bangka campur-aduk asal dari mana"
Setelah mendengar namamu, Thio Thayya nanti ajar adat
padamu!" Pau Kun Lun menuding dengan goloknya.
"Thio Hek Hou, kau jangan sembarang mencaci orang!"
ia menegor. "Kau ingin ketahui aku siapa" Kau boleh pergi ke Long-tiong akan tanya keterangan pada Long-tiong-hiap Cie Kie, dia kenal aku! Aku adalah Pau Cia Hui yang
selama lima-puluh tahun dalam kalangan Kang-ou dikenal sebagai Pau Kun Lun!"
Mendengar disebutnya nama itu, air mukanya Thio Hek
Hou benar-benar berubah, sedang semua pengiringnya yang mengurung, sudah lantas undurkan diri.
"Itulah satu nama yang aku telah dengar lama," kata ia kemudian dengan tertawa menghina. "Kiranya Pau Kun
Lun. Sekarang baiklah kita bicara secara sedikit sungkan.
Seandainya aku dengar namamu pada sepuluh tahun yang
lampau, barangkali aku akan lompat mencelat saking
kagetnya, akan tetapi sekarang, lauko, namamu sudah
luntur! Baiklah kau ketahui, sekarang ini Kun Lun Pay
sudah didupak terbalik oleh Kang Siau Hoo. Rupanya kau tak dapat bertahan lebih lama di Tin-pa dan karena itu kau lari kemari! ?"
Mendengar itu, Cin Hui malu berbareng gusar, maka
sambil geraki goloknya ia maju kearah kereta.
Thio Hek Hou segera loncat turun dari keretanya dan
dari salah satu orangnya dia sambuti sebatang toya besi, lalu dengan putar itu ia mendahului menghajar musuhnya yang bercokol diatas kuda.
Jago tua itu keprak kudanya untuk menyingkir dari
serangan. Kira-kira dua-puluh pengiringnya Thio Hek Hou yang
tunggang kuda dan jalan kaki sudah maju pula untuk
mengurung dan menyerang. Akan teiapi Thio Hek Hou
segera cegah mereka.
"Mundur kau semua!" piausu ini berseru seraya angkat
toyanya. "Buat hajar tua-bangka ini, perlu apa ramai-ramai sampai turun tangan ?"
Suara itu membuat semua pengiring mundur pula.
Jalanan disitu ada lebar, dengan mundurnya banyak
orang, yang membuat satu bundaran, kelihatanlah satu
kalangan yang besar.
Pau Kun Lun selagi turun dari kudanya, kelihatan nyata gerakannya yang lambat karena tubuhnya yang besar dan
gemuk. Thio Hek Houw mengawasi sambil bersenyum
menghina, ia telah siap dengan toyanya.
"Mari maju !" ia menantang. "Hari ini aku ingin coba-
coba tempur Pau Kun Lun! Asal aku menangkan kau satu
orang, itu artinya aku telah menangkan semua Kun Lun
Pay!" Sekarang Pau Cin Hui jadi tenang sekali, malah
wajahnyapun tidak lagi merah padam sebagai tadi,
melainkan tetap ia bersikap keren. ia telah gulung tangan bajunya, setelah mana, ia maju lebih jauh, goloknya
bergerak. Thio Hek Hou lihat orang mulai menyerang, ia turunkan
toyanya dari atas ke bawah, untuk tekan Kun-lun-too.
setelah mana ia teruskan balas menyerang, sebelah
kakinyapun dikasi maju. Toyanya yang berat kembali turun kearah kepala.
Pau Kun Lun tidak berkelit, bahkan ia angkat goloknya
menangkis serangan hebat itu, hingga kedua senjata beradu keras dan menerbitkan suara nyaring. Jago itu cekal
goloknya seperti biasa, tidak demikian dengan Thio Hek Hou, yang tangannya jadi kesemutan hebat, hingga mau
tidak tidak, ia mundur dua tindak. Tapi ia tidak mau unjuk kelemahan, segera ia maju pula, toyanya kembali
menyerang. Pau Cin Hui sambut serangan lawan itu, akan tetapi
sekali ini Thio Hek Hou tidak mau adu tenaga, dengan
cepat ia menyamber kesamping seraya tubuhnya turut
miring, toyanya menyapu kaki.
Atas serangan ini Pau Kun Lun tidak elakkan diri. Ia
melainkan angkat sebelah kakinya seraya golok ditudingkan ketanah untuk tangkis sapuan itu.
Hek Hou tarik pulang toyanya, ia berlompat jauh ke
depan, dari situ ia hajar punggung lawannya. Ia bisa
bergerak dengan gesit.
Pau Cin Hui bisa putar tubuhnya dengan lekas, goloknya dipakai menangkis pula. Ia tidak menantikan lagi, ia terus balas menyerang, dengan tubuhnya yang besar ia maju
mendesak. Golok Kun-lun-too lantas berkelebat-berkelebat diantara sinar matahari, sedang toya yang berat, menyamber-nyamber sambil perdengarkan suara anginnya.
Thio Hek Hou melayani sampai lebih dan sepuluh jurus,
setelah itu ia mulai kewalahan. Adalah diluar dugaannya, yang jago tua itu masih tetap gagah. Dengan terpaksa ia lompat keluar kalangan.
Pau Kun Lun tidak mau mengerti, ia memburu. Dalam
keadaan seperti itu, ia bisa berlaku sebat, goloknya turun
dengan cepat dan berat. Hek Hou menangkis dengan sia-
sia, bersama toyanya ia rubuh. Dan selagi ia rebah
tengkurap, jago tua itu maju menghampiri padanya, tubuh siapa segera diangkat!
Semua pengiring menjadi kaget, mereka lantas terpecah
dua : yang nyalinya kecil mundur dengan segera, yang
nyalinya besar maju berniat menolongi pemimpinnya.
Sekarang Pau Kun Lun cekal tubuh Thio Hek Hou
dengan kedua tangannya. Ia tidak mundur, malah ia hadapi semua pengiring-pengiring itu. Ia sama sekali tidak niat binasakan Thio Hek Hou, maka juga ketika tadi ia
menyerang, ia hanya gunakan belakang goloknya yang
mengenai pundak kiri musuhnya, akan tetapi walau-pun
demikian, piausu itu tidak sanggup lawan serangan golok yang berat.
Selagi orang berdiam, Pau Kun Lun tertawa, terus ia
kata pada pecundangnya : "Maafkan aku, aku telah berlaku lancang! Kau benar kalah tetapi aku kagumi padamu! Buat bilang terus terang, ketika pada sepuluh tahun yang lalu aku kalahkan Long Tiong Hiap, aku tidak gunakan tenaga
seperti sekarang aku layani kau!"
Thio Hek Hou masih saja merasakan sakit sekali, seluruh tubuhnya basah dengan keringat, dan kepalanya-pun
keringat menetes turun. Ia lantas saja goyang-goyangkan tangan pada semua orang-orangnya.
"Aku kagum, aku kagumi kau, Pau Loo piausu," kata ia
kemudian. "Aku heran, kau ada demikian gagah, kenapa
kau takut terhadap Kang Siau Hoo?"
Ditanya begitu, Cin Hui mukanya menjadi merah
dengan tiba-tiba. Tapi segera ia bersenyum ewa.
"Tentang sikapku, nanti pelahan-lahan aku jelaskau
kepadamu," ia berkata. "Sekarang silahkan kau beristirahat terlebih dahulu ... "
Disamping mereka ada sebuah kereta, jago tua ini angkat tubuhnya Hek Hou diletaki diatas kereta itu, kemudian ia hadapi semua pengiring kepada siapa ia angkat kedua
tangannya memberi hormat.
"Maafkan aku!" kata ia dengan hormat.
Semua orang itu menjadi tercengang, kalau tadi mereka
gusar, sekarang mereka jadi sabar. Mereka tidak sangka si orang
tua berbuat demikian baik hati terhadap pemimpinnya. Segera mereka menghampiri pemimpin itu,
untuk tengok lukanya.
Dari sebuah kereta-pun turun dua orang perempuan
muda, akan lihat Hek Hou.
Sampai disitu, Liong Cie Khie larikan kudanya akan
menghampiri gurunya.
Pau Kun Lun undurkan diri dari kereta, ia membungkuk
dan jemput goloknya, ia memandang muridnya dan
bersenyum, tandanya ia puas sekali. Dengan sabar ia
simpan goloknya itu, lalu dengan sebelah tangan ia tarik kudanya, dengan tangan yang lain ia urut kumisnya.
"Rombongan itu hendak menuju kemana?" kemudian ia
tanya kusir kereta.
Kusir yang ditanya bernyali kecil, ia ketakutan, ia tidak berani menjawab. Sebaliknya ia sembunyikan diri ke
belakang kereta.
Cie Khie jadi gusar, hingga ia deliki mata.
"Kau dengar tidak pertanyaan guruku?" ia menegor.
"Lekas jawab!"
"Jangan berlaku keras kepadanya," Pau Kun Lun larang
muridnya. Ketika itu, dua perempuan muda itu telah pernahkan
Hek Hou atas keretanya, sesudah mana, piausu ini kirim satu orangnya akan undang si jago tua.
Pau Kun Lun serahkan kudanya pada muridnya, dengan
tangan kosong ia datang menghampiri.
"Baimana kau rasakan lukamu?" jago tua ini mendahului menanya sambil tertawa.
Tbio Hek Hou menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa," ia menyahut. "Loo-cianpwee, jikalau
kita tidak bertempur, kita tidak akan berkenalan. Aku ingin bersahabat denganmu."
Jago tua itu girang sekali mendengar pengutaraan itu.
"Aku memang gemar bersahabat," sahut ia. "Bila kau
tidak cela aku, aku Pau Cin Hui ada terlebih tua
daripadamu, biarlah aku jadi si toako."
Thio Hek Hou tertawa. Ia rangkap kedua tangannya.
"Bagus, bagus!" katanya. "Toako, sebenarnya hari ini
kita hendak pergi ke Gie-liong, disana aku ada punya dua sahabat karib, ialah Tiang-pat-chio Lau Kiat si Tumbak Panjang dan Hoa-Thayswee Chio Seng si Dato Kembang.
Aku niat menyamper mereka, akan bersama-sama pergi
bersembahyang ke gunung Ngo Bie San. Tapi sekarang aku ketemu kau, pundakku-pun terluka, aku urungkan saja
niatku itu. Jikalau toako tiada punya urusan penting, mari kita pergi ke Gie-liong, aku perkenalkan kau dengan dua sahabatku itu, disana kita berdiam beberapa hari untuk merapatkan persahabatan kita. Maukah toako turut aku?"
Pau kun Lun memang ingin sangat peroleh sahabat, ia
menjadi girang sekali.
"Aku suka sekali," ia manggnt. "Aku memang ada
punya urusan untuk mana aku ingin mohon bantuan kau."
Ia lantas saja kembali pada Cie khie buat ambil kudanya, ketika itu Cie Khe, dengan matanya yang tajam, sedang
mengawasi kedua nyonya muda, agaknya ia mengiri.
"Binatang Thio Hek Hou ini sungguh beruntung," ia
kata dalam hatinya. "Sebaliknya aku ada sial-dangkalan!
Sekali ini aku datang ke Su-coan Utara, bukan saja aku kehilangan si manis dan ludas uangku, tubuhku-pun
mendapat luka-luka parah! Malah sekarang, aku ketemu
suhu yang tentunya akan tilik aku. Dasar Kang Siau Hoo Si celaka!"
Cie Khie tidak sempat ngelamun lebih jauh, gurunya
telah suruh dia menemui Hek Hou untuk belajar kenal.
Hek Hou berkata dengan suara merendah : "Aku telah
dengar nama kau ... " akan tetapi ia tidak unjuk perhatian besar terhadap Cie Khie ini.
"Naiklah ke keretamu!" kata ia kepada kedua gundiknya
sesudah mana, ia memberi tanda akan rombongannya
mulai berangkat, menuju ke Barat.
Pau Kun Lun bercakap-cakap kepada beberapa
pengiring, diantara siapa ada yang bersikap tawar, mereka sering-sering melirik, suatu tanda mereka masih belum
puas. Dalam perjalanan ini, Cie Khie tidak merasa senang.
"Suhu, buat apa jalan sama-sama dengan mereka ini?"
diam-diam murid ini kisiki gurunya. "Mereka semua mirip dengan kawanan berandal!"
Tapi Pau Cin Hui tidak perdulikan muridnya itu.
Dalam perjalanan ini, dimatanya banyak orang yang
telah saksikan peristiwa tadi, kehormatannya Pau Cin Hui naik tinggi, apa pula didalam rornbonan itupun ia yang paling istimewa besar tubuhnya.
Sesudah melalui dua-puluh lie lebih, rombongan ini
sampai di Gie-liong.
Thio Hek Hou beri perintah menuju ke dusun Timur,
akan berhenti di toko beras Seng Hin toko mana ada
kepunyaannya Hoa-Thayswee Chio Seng.
Chio Seng ini, pada sepuluh tahun yang lalu ada satu
buaya darat, sampai sulit untuk dia mencari sesuap nasi, maka itu ia telah menumpang tinggal dirumahnya Longtiong-hiap Cie Kie, walau-pun demikian, ia masih tidak tahu diri, begitulah ia main gila dengan Say Siang Go, ialah isterinya Kim-kah-sin Ciau Tek Cun, sehingga dia sudah diberikan hajaran oleh Kang Siau Hoo. Inipun sebabnya
kenapa, waktu Kang Siau Hoo datang pada Cie Kie untuk


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belajar silat, selagi Siau Hoo diuji tenaganya dengan toya berat, dia sudah jaili Siau Hoo hingga kesudahannya Cie Kie cambuki ia dan diusirnya. Sejak itu, selama sepuluh tahun, ia kembali luntang-lantung, ia hidup mirip dengan penjahat saja. Tapi ia ada punya roman cakap, banyak
menarik perhatiannya orang-orang perempuan. Demikian
di Ge-liong ini, isterinya satu saudagar telah gilai padanya.
Nyonya itu bisa main gila karena suaminya yang jadi
saudagar dalam perantauan, setahun penuh tidak penah
pulang. Saudagar itu ada punya sawah-kebun, yang tidak dapat terawatkan. Maka, sesudnhnya Chio Seng ditempel Si nyonya hartawan itu, dengan lambat-laun ia kangkangi
harta benda itu. Pamili dan pegawai-pegawainya si
hartawan tak berhasil merintanginya, karena selain si
nyonya berpihak pada Chio Seng, juga Chio Seng telah
dapat pengaruhnya Tiang pat-chio Lau Kiat, yang menjadi saudara angkatnya. Lau Kiat tidak melainkan berharta, iapun jadi hartawan jagoan. namanya sama kesohornya
dengan Thio Hek Hou. Chio Seng-pun telah tempel
pembesar negeri, maka kemudin ia segera terkenal sebagai Chio Sam Thayya!
Begitulah hari itu, melihat datangnya Thio Hek Hou
dalam satu rombongan besar, Chio Sam Thayya menjadi
girang sekali, tapi ia heran kapan ia nampak sahabat itu membawa luka, hingga diwaktu masuk kedalam, tamu ini
mesti di pepayang dua orang. Disebelah itu, ia heran
sahabat itu datang bersama-sama dua orang lain. Yang ia tidak kenal, dua orang mana ada punya tubuh tinggi-besar dan romannya bengis, malah yang satunya, yang
pundaknya miring, pakaiannya terdapat bekas darah.
Dengan tidak merasa ia mengawasi dengan buka matanya
lebar-lebar. "Chio Lau-sam, aku bawakan kau dua sahabat baru!"
kata Thio Hek Hou pada saudara angkat itu. "Mereka ada sahabat baru akan tetapi aku percaya, nama mereka kau
pernah dengar dan telah lama kagumi!" ia lantas tunjuk Cin Hui. "Ini adalah Pau Kun Lun dari Tin-pa dan ini Twiesan-hou dari Cie-yang," Ia-pun tunjuk Cie Khie.
Chio Seng berjingkrak saking heran dan kagum.
"Aha!" ia berseru, "Benar-benar nama-nama yang sudah
lama aku kagumi!"
Tuan rumah ini segera perintah sambuti kuda tamunya,
maka sesaat itu toko beras itu menjadi repot. Keluarganya Thio Hek Hou-pun diundang kedalam dimana ada tempat
yang luas, cuma kuda dan kereta yang dikirim ke hotel
disebelah tokonya.
Orang-orangnya Thio Hek Hou lantas saja dijamu,
diajak minum arak oleh orang-orangnya Chio Seng, Hek
Hou, Cin Hui dan Cie Khie dilayani oleh Chio Seng sendiri diruangan tengah.
Hek Hou duduk dikursi dengan separuh rebah karena
lukanya, tetapi ia bisa bicara sambil tertawa, dengan
gembira ia tuturkan Chio Seng bagaimana ketika tadi ia tempur Pau Kun lun, sehingga akhirnya mereka jadi
berkenalan. Ia mengaku secara laki-laki bagaimana ia kena dirubuhkan.
Chio Seng kelihatannya heran dan kagum, berulang-
ulang ia pandang orang tua itu.
Pau Cin Hui berlaku manis-budi sekali, pada tuan rumah dan Hek Hou, ia membahasakan "lau-tee" adik yang tua "
"Memang biasanya, siapa tidak bertempur, dia tidak
akan kenal satu dengan yang lain," kata Chio Seng
kemudian. "Sejak sepuluh tahun yang lalu, aku sudah
kagumi Pau Lauko. Sekarang baiklah lauko berdiam
denganku disini, kita harus bersahabat rapat!"
"Asal lautee tidak cela aku." Pau Kun Lun nyatakan.
Cie Khie yang berdiam saja, tidak puas dengan
perubahan sikap guruya. Tadinya guru ini besar kepala, tetapi sekarang guru itu jadi sangat manis budi. Ia terus tutup mulut, beberapa kali ia pejamkan mata akan
bayangkan si juita yang beberapa kali ia ketemukan "
Selagi mereka bercakap-cakap lebih jauh, tiba-tiba Hek Hou tepuk meja.
"Baru aku ingat, Pau Toako, satu hal buat aku heran!"
kata si Harimau Hitam ini, "Toako, baru hari ini kita
bertemu, segera aku telah belajar kenal dengan bugeemu.
Golok Kun-lun-too sanggup layani kong-pian dari guruku,
Pwee-ciu Hou, dan toya besi dari Tiat Tiang Ceng tetapi satu kabaran yang aku dapati membuat aku kurang
mengerti. Aku pernah dengar ceritanya seorang dari Tiangan, See-an, bahwa kau telah didesak oleh Kang Siau Hoo hingga tak ada jalan untuk kau lari, bahwa murid-muridmu yang pandai, yang jumlahnya lima atau enampuluh orang
telah dilukai atau binasa, malah cucu perempuanmu, satu hiap-lie juga yang bugeenya melebihi Long Tiong Hiap,
berdua suaminya, Kie Kong Kiat, masih tidak sanggup
lawan orang she Kang itu. Apa bisa jadi Kang Siau Hoo
ada punya tiga kepala dan enam lengan berikut tujuh-puluh dua tangan atau dia punyakan wasiat tambang!"
Ditanya demikian, Pauw Kun Lun merasa sangat
tersinggung hingga ia diam saja, ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Chio Seng tertawa menghina.
"Aku kenal Kang Siau Hoo pada sepuluh tahun yang
lalu, malah aku berdua pernah bertempur! Permainan
goloknya adalah bacokan kalang kabutan, bukannya ilmu
kepandaian! Dia pernah panggil bapak pada tiga batang
toya besi dari Long Tiong Hiap, yang dia tidak mampu
angkat! Aku berdua bermusuh satu dengan lain, maka
apabila aku dapat kesempatan akan bertemu dengannya
pasti aku tak akan kasih hati padanya!" Pau Kun Lun
menghela napas dalam apabila ia telah dengar ucapan itu, ia lantas saja kerutkan dahi.
"Kang Siau Hoo yang sekarang ini bukan lagi satu bocah tak keruan seperti dulu-dulu," katanya. "Sampai sekarang ini aku belum pernah ketemu pula kepadanya tetapi aku
tahu baik orang yang ia telah angkat jadi gurunya. Asal Kang Siau Hoo dapat wariskan kepandaian gurunya itu
walau-pun baru satu atau dua bagian, kita ... ah!" Ia
berhenti sebentar. Setelah itu, ia nampaknya jadi dapatkan
semangatnya, terus ia kata pula : "Tadi Thio Lautee tanya aku kenapa aku takut terhadap Kang Siau Hoo, bukan"
Buat bicara terus terang, aku tidak takut padanya, yang membuat aku takut adalah terhadap gurunya itu. Roman
gurunya itu sebagai satu anak sekolah, tubuhnya halus dan lemah, pada tiga atau empat puluh tahun yang lalu, ia
sudah berusia lanjut, sekarang ia pasti sudah tua sekali.
Tidak ada orang ketahui she dan namanya guru itu, tetapi bugeenya tidak ada yang tidak takuti. Pada empat puluh tahun yang berselang, orang kosen dalam kalangan
kangouw cuma ada dua, ialah Siok Tiong Liong dan Liong Bun Hiap. Ketika itu namaku masih belum terkenal. Tetapi waktu itu Siok Tiong Liong dan Liong Bun hiap pernah
mendapat malu ditangannya guru itu, berdua mereka biasa malang-melintang, tidak ada yang sanggup menandinginya akan tetapi begitu lekas mereka dengar kedatangannya
orang tua itu, mereka jadi ciut nyalinya, mereka sembunyi seperti kelinci melihat anjing pemburu ... "
Thio Hek Hou ketarik mendengar keterangan itu, tapi
Chio Seng tertawa besar.
"Pau Lauko, pastilah kau salah dengar!" berkata ia.
"Dulu Kang Siau Hoo datang pada Long Tiong Hiap, dia
minta diterima menjadi murid, Long Tiong Hiap tidak sudi menerimanya, sengaja dia di permainkan, dia disuruh
angkat-angkat toya besi yang berat, dari itu, orang yang mempunyai kepandaian liehay seperti empe itu mana sudi terirna dia sebagai muridnya. Pasti itulah ada kabar bohong belaka, lauko percaya itu, kau jadi ketakutan sendiri. Baru kemarin ini aku dengar kabar Kang Siau Hoo datang ke
Sucoan Utara ini, katanya dia jadi begal ditengah jalan, di Loo Su Nia dia telah binasakan dua polisi untuk begal
keluarganya tiekoan dari Hong an! Dia benar bernyali
besar, sesudah rampas isteri tiekoan, dia masih berani ajak
nyonya itu singgah di hotel, dia paksa si nyonya untuk jadi isterinya, hingga nyonya itu gantung diri ... "
Mendengar ini Cie Khie rasakan kepalanya pusing dan
sakit, dadanya sesak, hatinya memukul.
"Atas kejadian ini, pengurus hotel telah melaporkan
pada pembesar negeri," tuan rumah melanjutkan penuturannya, "waktu polisi datang, Kang Siau Hoo lari kabur, kepalanya kena dikemplang toya berkali-kali.
Sekarang ini katanya bocah itu berubah macamnya,
kulitnya jadi hitam, tubuhnya gemuk, malah-pun dia
pelihara kumis yang panjang!"
Cie Khie dalam kagetnya hampir bangun untuk sipat
kuping. Pau Kun Lun jadi sengit sekali, entah ia membenci,
entah ia gusar, dengan tiba-tiba ia numbuk meja!
"Ayo!" Cie Khie menjerit, bahna kaget. Suara tumbukan
itu terdengar bagaikan guntur bagi kupingnya.
"Eh, Cie Khie!" menegor sang guru pada muridnya,
siapa ia awasi dengan tajam.
"Suhu ... " sahut Cie Khie, tubuhnya gemetaran.
Pau Kausu perdengarkan tertawanya, matanya bersorot
tajam. Cie Khie takut bukan main. Kalau gurunya ketahui
rahasianya itu, pasti ia bakal dibunuh mati. Mukanya Cie Khie jadi sangat pucat, kedua kakinya jadi lemas, kalau ia tidak sedang duduk, pastilah ia sudah jatuh mendeprok
ditanah. Pau kun Lun tertawa pula, kemudian ia kata pada
muridnya: "Cie Khie, ingatkah kau perbuatan busuk dan hina dina
dari Kang Cie Seng dahulu" Aku tidak sangka bahwa Kang Siau Hoo, menjadi terlebih jahat dan cabul dari pada
ayahnya! Dulu, sehabisnya membinasakan Cie Seng, aku
menyesal, aku insaf Siau Hoo adalah bibit penyakit, aku toh tidak tega singkirkan jiwanya, siapa nyana sekarang, setelah berhasil mempelajari kepandaian, tidak saja dia musuhkan aku, dia juga berbuat sangat jahat dan busuk! Umpama
sekarang dia tidak bermusuhan kepadakupun, aku toh
hendak lakukan perbuatan mulia, aku mesti tugaskan diri untuk membantu masyarakat menyingkirkan manusia keji
itu!" Cie Khie bergidik, namun sekarang hatinya lega. Ia
mengerti, gurunya gusar karena kejahatannya Siau Hoo,
bukan disebabkan curigai perbuatannya yang terkutuk dan kejam. Ia tahu guru itu pasti tidak sangka, kejahatan itu adalah buah tangannya sendiri.
Pau Cin Hui lalu menjura pada Hek Hou dan tuau
rumah. "Memang benar aku datang kemari karena desakannya
Kang Siau Hoo," berkata ia pula, "tetapi aku meninggalkan Han-tiong justeru untuk
cari dia, untuk
lakukan pertempuran mati atau hidup, sekarang ternyata dia ada demikian jahat, maka umpama kata dia tidak cari aku, aku sendiri nanti cari padanya! Mengenai maksudku ini, sayang aku sudah tua, sedang munidku ini, walau-pun dia ada
muridku yang tersayang, apa mau luka-lukanya masih
belum sembuh. Luka itu dia dapatkan beberapa hari yang lalu di waktu dia bertempur dengau Kang Siau Hoo. Sudah terang kita berdua bukanlah tandingannya Kang Siau Hoo, oleh karena itu, aku memikir untuk mohon saudara-saudara empunya bantuan. Saudara-saudara adalah orang-orang
gagah di Sucoan Utara ini dan orang-orang mulia dari
dunia kangouw, aku percaya tidak akan saudara-saudara
duduk diam saja mengawasi penjahat demikian cabul
melakukan terus kejahatannya. Bila saudara-saudara
sanggup membantu aku menyingkirkan Kang Siau Hoo itu,
tentang tanggungjawab perkara jiwanya terhadap pembesar negeri, akulah yang pikul semua. Orang-orang Kun Lun
Pay adalah sebagai saudara empunya keponakan sendiri,
dari itu selanjutnya, untuk pergi ke Han-tiong dari tempat lainnya, saudara-saudara pasti ada merdeka ?"
"Lau Toako, mengapa kau mengucap demikian?" Chio
Seng memotong jago tua itu. "Kang Siau Hoo adalah
musuhku juga! Kita berada disini, cara bagaimana kita bisa ijinkan dia berangkat ke Barat" Mustahil aku mengantap dia kabur ke Su-coan ini untuk cari hidupnya?"
"Loo Sam!" berkata Hek Hou dengan gembira, "pergilah
kau perintah orang undang toake datang kemari, untuk kita damaikan urusan menghadapi Kang Siau Hoo ini!"
Hoa Thay-swee Chio Seng segera kirim satu orangnya
untuk undang toako mereka, ialah Tiang-pat chio Lau Kiat, seraya dilain pihak ia-pun perintah lekas siapkan sebuah meja perjamuan.
"Aku anggap, jumlah kita disini makin banyak maka
baik," kata Pau Kun Lun kemudian. "Kang Siau Hoo telah belajar silat beberapa tahun, pastilah ia peroleh kepandaian yang istimewa. Paling baik jikalau kita bisa undang Pwee-ciu-hou Kho Loo-suhu serta Tiat Tiang Ceng dan Long
Tiong Hiap ... "
"Kho Loo-suhu sudah undurkan diri, pasti dia tidak akan campur segala urusan seperti kita ini," Chio Seng bilang.
"Tiat Tiang Ceng kabarnya sedang berada dalam propinsi Su-coan, entah dimana. Buat layani satu Kang Siau Hoo, anggap tidak perlu kita mesti undang orang-orang. Apapula
Long tiong hiap Cie Kie, lebih-lebih kita tak perlu undang padanya! Dia-pun adalah musuh kita!"
"Kabarnya selama sepuluh tahun ini, Long Tiong Hiap
hidup tenang, cara bagaimana dia bolehnya mendapat salah dari kau, saudara-saudara?" Cin Hui tanya.
"Dia sendiri memang hidup tenang, akan tetapi anaknya, Cie Gan In, ada menjemukan sekali!" jawab Chio Seng.
"Dia suka sekali ganggu aku!"
"Bagaimana kepandaiannya Cie Gan In itu?" Cin Hui
tanya pula. "Kepandaiannya tak dapat dicela," menerangkan Chio
Seng, "malah ilmu pedangnya ada terlebih liehay daripada ayahnya. Dia sekarang berumur kurang lebih dua puluh
tahun, sepantaran dengan Kang Siau Hoo, tabiatnya ada
terlebih angkuh dari pada ayahnya. Dia telah menikah
dengan Cin Siau San, cucu luar dari Siok Tiong Liong. Ilmu pedangnya Cin Siau San tak dapat ditandingi oleh
mertuanya lelaki. Dia sering-sering naik keledai hitam yang kecil untuk malang-melintang diluaran!"
Mendengar hal Cin Siau San ini Cie Khie terperanjat,
hingga air mukanya pucat sendirinya. Ia segera ingat
pengalamannya di sore hari itu dalam sebuah kampung,
hatinya jadi ciut sendirinya.
Pau Kun Lun duduk diam, ia buat main kumis
jenggotnya. Hatinya Chio Seng dan Thio Hek Hou kuncup
sendirinya selagi mereka bicarakan halnya keluarga Long Tiong Hiap mereka mirip dengan Pau Kun Lun yang
dengar disebutnya nama kang Siau Hoo.
Untuk sesaat ruangan jadi sunyi, akan tetapi diluar
segera terdengar suara berisik. Itulah Tiang-pat-chio Lau
Kiat si Tumbak Panjang, yang datang bersama sejumlah
orangnya, dia bertindak masuk dengan sikapnya yang
angkuh, ketika Cin Hui sambut ia dengan memberi hormat sambil tertawa, ia membalasnya hanya dengan angguk
sedikit, sedang Liong Cie Khie ia tak perhatikan sama
sekali. Ketika itu, barang hidangan sudah mulai disajikan, maka Chio Seng lantas undang semua tamu ambil tempat duduk.
Lau Kiat dipersilahkan duduk dikursi pertama, Cin Hui
dikursi kedua. Cie Khie tidak ada yang perhatikan, ia
jengah sendirinya, ia ngeloyor keluar, sesampainya
dipekarangan, orang awasi dia sambil bersenyum agaknya mereka itu tertawai ia yang ada punya kepala gede dan
berowokan tak terurus tetapi memakai baju anak sekolah yang pendek dan sesak!
Cie Khie bertindak terus ke pintu, ia merasa sangat tidak enak, tindakannya dibuat berat keras. Dalam hatinya, ia mengutuk Kang Siau Hoo, yang ia anggap menjadi lantaran ia terhina di mana-mana!
Ia bertindak kejalan besar, kedua matanya bersorot
bengis. Ia tidak berani buka tindakan lebar akan berjalan cepat, karena setiap kali ia berlaku demikian, terus ia menahan sakit, karena semua lukanya, di pundak, dilengan dan pinggaug, jadi seperti ditusuk-tusuk. Diam-diam ia dapat kenyataan, orang-orang dijalan besar agaknya sangat perhatikan padanya, maka ia lantas masuk dalam sebuah
rumah makan. Didalam restoran itu ada banyak tamu, ketika ia mulai
bertindak masuk, ia dengar beberapa orang tertawa,
diantaranya ada yang kata dengan suara nyaring : "Dia
datang, dia datang! Lekas. Lihat murid terlihay dari Kun Lun Pay!"
Tamu-tamu itu ada orang-orangnya Thio Hek Hou dan
Chio Seng, mereka semua mengerti ilmu silat, mereka ada bangsa buaya darat. Sikap mereka bukannya menghina, Cie Khie anggap itu sebagai suatu kehormatan, maka ia terus memberi bormat kepada mereka. Ia jadi gembira.
"Silahkan duduk!" demikan sorang mengundang. "Chio
Sam-ya sedang buat pesta, santapanaya lezat-lezat, araknya wangi, kenapa kau tidak bersantap disana?"
Cie Khie geleng-geleng kepalanya yang gede, ia menjebi.
"Siapa sudi bersantap sama-sama disana?" kata ia.
"Guruku dan mereka ada berbahasa panggilan saudara, aku dipandang sebagai keponakan mereka, maka aku puas" Aku Liong Cie Khie ada murid kepala dari Pau Kun Lun,
sekarang aku sudah berusia empat puluh lebih, buat belasan tahun aku telah kepalai Ceng Wan Pianw Tiam di Cieyang, dan dalam Cie-yang Sam Kiat, aku ada yang nomor
dua, dengan Long Tiong Hiap dari Su-coan Utara aku
pernah adu kepandaian, sekarang disini aku mesti jadi
orang terlebih muda, itulah sebabnya yang membuat aku
tak puas."
Rombongan orang itu tertawa besar, suaranya riuh.
"Sekarang kau hanya sebawahan setingkat saja dari Thio Jieya dan Chio Sam-ya, akan tetapi kalau nanti datang
Pwee Ciu Hou dan Tiat Tiang Ceng, kau mungkin akan
menjadi cucu!" berkata seorang diantara mereka.
Cie Khie mendongkol, hingga ia tumbuk meja dan
kakinya menjejak lantai.
"Semua ini ada gara-garanya Kang Siau Hoo yang
dipelihara biang anjing!" ia berseru. "Jikalau tidak mustahil aku jadi dapat pengalaman demikian mendongkolkan?"
Kembali orang tertawa riuh.
Masih Cie Khie mendongkol, berulang-ulang ia damprat
Siau Hoo. Diantara sekalian tamu ada seorang bukan dari
rombongannya Thio Hek Hou dan Chio Seng, dia sudah
lantas perhatikan orang she Liong itu. Dia berumur kurang-lebih empat puluh tahun, mukanya hitam tubuhnya lebih
jangkung daripada tubuhnya Cie Khie tetapi terlebih kurus, dandanannya sangat sembarangan, kedua biji matanya
bersinar. Dia semakin ketarik kapan dia dengar disebut-sebutnya nama Kang Siau Hoo.
Seorang, yang rupanya orangnya Chio Seng, menuangi
Cie Khie secangkir arak.
"Sahabat, kau damprat Kang Siau Hoo, kau jangan
takut!" berkata ia. "Mari minum secawan ini untuk
menambah semangat! Aku hendak beritahukan satu hal
kepadamu. Kang Siau Hoo itu pasti takut datang ke Gie-
liong ini, sebab di Loo Su Nia dia sudah lakukan kejahatan.
Perkaranya itu telah berubah menjadi hebat, sampai-pun surat dinas dan residensi telah sampai ditempat kita ini. Hal ini baru saja tadi aku dengar dari Phang Taoya dari kantor tiekoan."
Liong Cie Khie sudah sambuti arak itu, tetapi ia kaget sampai tangannya ngelejat, hingga arak tumpah mengenai bajunya seorang yang memakai baju hijau. Orang itu
menjadi gusar. "Matamu buta, orang celaka!" dia membentak seraya
memutar tubuh dan sebelah tangnnya melayang.
Inilah Cie Khie tidak sangka, ia-pun sedang kaget,
kepalan mengenai lengannya yang sakit, sehingga ia
menjerit kesakitan, maka itu ia menjadi gusar, tetapi selagi ia hendak balas menyerang, tiba-tiba si tamu muka hitam dan jangkung, loncat bangun.
"Hei, sahabat-sahabat, jangan kau bicara sembarangan!"
ia menegor. "Kang Siau Hoo itu adalah saudaraku, dia ada satu laki-laki sejati! Dalam hal dia mencegat orang ditengah jalan, aku hendak percaya, tetapi tuduhan bahwa dia begal keluarga tiekoan, inilah aku sangkal! Umpama tuduhan itu benar, aku bersedia akan mewakili dia depan pengadilan!


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu betul, saudaraku itu pasti tidak akan lakukan perbuatan demikian macam!"
Kata-kata itu membuat orang banyak heran, hingga
semua mata ditujukan kepadanya.
Ada dua orang yang rupanya kenal orang ini, mereka
menghampirkan akan tolak tubuhnya orang itu.
"Eh, Loo Ngo, kau tentu keliru!" demikian kata satu
diantaranya. "Sudah sepuluh tahun kau tidak bertemu
dengan Kang Siau Hoo, kau juga tidak bersahabat rapat, perlu apa kau belai dia?"
Orang yang dipanggil Loo Ngo itu agaknya sudah agak
sinting. "Kenapa tidak bersahabat kekal?" kata ia, dengan mata
dibuka lebar. "Siau Hoo itu justeru saudaraku senasib. Pada sepuluh tahun yang lalu aku anjurkan dia masuk dalam
kalangan Rimba Hijau, akan tetapi dia menolaknya, dari itu, mustahil sekarang dia sudi begal keluarga pembesar"
Pasti itu ada perbuatannya seorang jahanam terkutuk, yang sudah berani palsukan namanya Siau Hoo!"
Cie Khie gusar mendengar perkataannya orang itu, yang
berarti mencaci kepadanya. Ia juga tidak lihat mata orang punya tubuh jangkung kurus, maka ia menghampiri, terus saja ia menyerang.
Orang she Ngo itu turut gusar, ia buat perlawanan, maka keduanya segera berkelahi, secara rapat, hingga mereka jadi
bergumulan. Cie Khie bertubuh besar, ia sebenarnya
bertenaga kuat, akan tetapi ia sedang terluka hebat,
gerakannya lambat, dari itu lekas juga ia dapat dibuat rubuh, kepalanya justeru mengenai guci arak.
Diantara sekalian tamu ada yang bersorak seraya tepuk-
tepuk tangan. "Tidak apa! Hayo bangun, bertempur pula!" demikian
ada juga yang menganjurkan, yang mengadu dombakan.
Tamu-tamu yang tidak usilan, menyingkir siang-siang.
Tuan rumah dengan berdiri diatas bangku, menyelak
sama tengah. "Sudah, sudah!" kata ia.
Cie Khie masih gusar, ia berbangkit, ia menghampiri
tuan rumah yang dibetotnya turun dari bangkunya, sesudah mana, ia samber bangku itu buat terus dipakai menyambit siorang she Ngo.
Orang itu angkat sebuah kursi untuk dipakai menangkis, hingga bangku dan kursi jadi bentrok dengan keras, hingga keduanya patah dan rusak.
Dalam sengitnya si orang she Ngo samber guci arak
diatas meja, dengan itu ia sambit lawannya.
Cie Khie hendak berkelit, tetapi tidak keburu, poci arak telah mampir di pipinya yang hitam tembem, hidungnya
lantas muncratkan darah hidup, hingga ia jadi kalap, ia lari kemeja pengurus akan samber golok cingcang, dengan apa ia timpuk orang she Ngo itu. Apa mau timpukan meleset, golok mengenai kepalanya seorang botak, hingga kepala itu terus mengucurkan darah!
Si botak ini ada orangnya Thio Hek Hou, ia kesakitan
dan gusar, dari pinggangnya ia cabut pisau belatinya, segera ia hampirkan orang she Liong itu.
"Orang buta!" ia mendamprat.
Cie Khie mundur, dari sampingnya segera ada orang
mencegat si botak itu.
Demikian restoran itu jadi kacau.
Si orang she Ngo lompat keluar, ia berdiri ditengah jalan, ia tepuk-tepuk dada.
"Orang she Liong," ia berseru seraya menuding.
"Sekalian bersama-sama Pau Kun Lun, jikalau benar ada
laki-laki, tunggulah di Gie-liong sini, dalam tempo sepuluh hari, pasti aku dapat ajak saudara Kang Siau Hoo datang kemari! Jikalau berani, jangan menyingkir, tetapi apabila kau tak punya guna, pergilah kau kabur!"
Ce Khie gusar, ia balas memaki, ia berlompat untuk
keluar, akan tetapi beberapa orang cegah ia dengan pegangi keras kedua lengannya. Ia berasa sakit pada lengan kirinya, ia teraduh-aduh.
"Lepaskan tanganku!" ia minta.
Ia waktu si orang she Ngo sudah lantas angkat kakinya, sedang si botak yang terluka, ada orang yang cegah dan hiburi.
Cie Khie tahu ia bersalah, ia menghampiri kurbannya, ia menjura berulang-ulang ia menghaturkan ma"af.
Orang itu masih gusar, ia masih memaki beberapa kali,
baru ia simpan pisau belatinya.
Sampai disitu kegaduhan jadi reda, kecuali kursi-meja
yang terbalik dan perabotan yang jatuh pecah.
Ci Khie duduk dibangku, napasnya memburu. Ia seka
hidungnya yang berdarah dengan tangan bajunya.
"Orang she Ngo itu orang macam apa?" kemudian ia
tanya. "Apa benar-benar dia kenal Kang Siau Hoo" Apakah diantara tuan-tuan ada yang kenal padanya?"
"Dia adalah Hek-pacu Ngo Kim Piu," sahut satu orang.
"Hm, segala bu beng siaupwee!" Cie Khie menghina,
mulutnya menjebi.
"Tetapi di Su-coan Utara namanya terkenal juga," kata
seorang lain. "Tadinya dia ada orang Rimba Hijau, diatas gunung Siang Cu San dia pernah jadi satu taubak besar!
Pada kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Kang Siau Hoo
telah terlunta-lunta sampai di Su-coan Utara, boleh jadi karena sangat terpaksa ia menjadi liaulo untuk beberapa hari digunung Siang Cu San itu, hingga ia jadi kenal baik dengan Ngo Kim Piu. Ketika Siang Cu San dibasmi, Ngo
Kim Piu kena ditawan, tujuh tahun lamanya, dia mesti
mendekam dalam penjara! Dia telah dikompes dan disiksa, tapi dia hanya mengaku sebagai orang culikannya penjahat, dia sangkal dirinya jadi berandal. Baru tahun yang lalu dia keluar dari penjara, hidupnya tak berketentuan, benar dia tidak berbuat jahat. Tapi tetap dia suka juga ganggu rumah perjudian. Sebab dia bekas keluaran penjara, orang pandang juga padanya sebagai satu hoohan, sekarang dia tak
kekurangan makan dan pakaian. Selama belakangan ini
namanya Kang Siau Hoo ramai dibuat sebutan, rupanya dia sengaja memperbesar-besarkannya, antaranya dia bilang
bagaimana pada sepuluh tahun yang lalu dia bersahabat
dengan Kang Siau Hoo, yang katanya dia pernah tolong
jiwanya ... "
Mendengar itu, diam-diam Cie Khie bergidik sendirinya.
"Lau Liong, jangan takut!" kata beberapa orang
disampingnya si Harimau Gunung ini, yang nyalinya sudah ciut. "Apa Kang Siau Hoo bisa buat jikalau dia serta kita semua saudara, kita semua sanggup lawan padanya! Lebih baik bila dia datang kemari, dia telah lakukan kejahatan di Loo Su Nia, pembesar negeri memang bendak bekuk
padanya!" Cie Khie masih bergidik napasnya sekarang tidak terlalu memburu lagi, ia lantas berpura-pura besarkan hati.
"Aku tidak takut! Kalau aku tidak tunggui Kang Siau
Hoo disini, aku bukannya satu hoohan!" ia berseru. Segera ia berbangkit untuk bertindak pergi.
Tuan rumah menghampiri tamunya.
"Toaya, barang-barangku
banyak yang rusak, bagaimana?" ia tanya.
Cie Khie mendelik.
"Kau hendak suruh aku yang ganti?" ia tanya. "Orang
she Ngo itu sudah kabur, pergi kau susul padanya! Kalau aku mesti mengganti, menurut pantas aku mengganti
separohnya!"
Selagi tuan rumah melongo, dua orang polisi muncul
dipintu. Cie Khie kaget, mukanya pucat. Ia mundur dua tindak,
tangannya meraba bangku, siap untuk hajar kalau-kalau dia hendak dibekuk.
Kedua polisi itu rupanya tidak niat melakukan
penangkapan, mereka hanya tanyakan halnya perkelahian
tadi. mereka tengok Cie Khie dan si botak yang terluka, lantas mereka ngeloyor pergi.
Setelah orang sudah pergi, baru Cie Khie rasakan
hatinya lega. "Sekarang aku harus tahu diri," kemudian Cie Khie
berpikir, "Tubuhku terluka aku tidak sanggup berkelahi.
Kalau pekara di Loo Su Nia diseidiki, aku pasti akan dapat dikenalinya, karena aku berkulit hitam, inilah berbahaya bagiku. Baik aku gertak suhu supaya dia lekas berlalu dari sini ... "
Ia rogo sakunya keluarkan sepotong perak kecil, yang ia serahkan pada tuan rumah, dengan itu ia minta urusan
dibuat habis. Ia-pun menjura dua kali pada si botak seraya berkata : "Toakoo aku yang salah!! Tadi aku dibuat sangat gusar oleh si orang she Ngo hinggaa aku jadi kalap, dengan berkesudahan aku keliru bacok kau ... "
"Sudah, jangan ngoceh tak karuan." sahut si botak, yang mukanya masih berlepotan darah, yang kepalanya
dibungkus tapi bungkusannya berdarah juga. "Sekarang aku tahu bahwa kau adalah Twie-san-hou Liong Cie Khie dari kaum Kun Lun Pay! Nyatalah kau semua adalah orang-orang tak punya guna!"
Walau-pun dimaki demikian namun Cie Khe tidak jadi
gusar, sebaliknya ia maggut pula berulang-ulang, ia
memberi hormat. lantas ia ngeloyor keluar dari rumah
makan itu. Ia jalan dengan tunduk, ia mendongkol dan
berduka, ia jalan menuju ke toko berasnya Hoa-Thayswee Chio Seng.
*** Bab 16 TOKO BERASNYA CHIO SENG ADA punya tiga
pintu serta satu pintu besar disamping. Cie Khie bertindak di pintu besar itu. Begitu ia sampai di pekarangan dalam, ia
segera dengar sorakan yang ramai, apabila ia angkat
kepalanya, ia tampak suatu kalangan bundar dimana ada
berkumpul banyak orang, antaranya Lau Kiat, Thio Hek
Hou dan Chio Seng, sedang Pau Kun Lun berada di tengah-tengah sedang bersilat dengan golok Kun-lun-too-nya. Yang dipertunjukkan itu adalah "Kie seng kan )oat Sip-pat sie"
atau delapan belas jurus "Mengusir bintang mengejar
rembulan." Ini ada suatu ilmu silat yang Cie Khie tidak mampu pahami walaupun ia sudah pelajarkan lamanya tiga tahun.
Goloknya berkelebatan, kumis jenggotnya jago tua itu
turut bergoyang melambai. Dia ada punya tubuh besar,
gemuk dan berat, akan tetapi dia bergerak dengan cepat dan hebat, hingga sekalian penontonnya jadi tercengang dan akhirnya bertampik sorak memberi pujiannya. Ketika Cin Hui berhenti bersilat napasnya hanya sedikit memburu.
"Sungguh Loo-enghiong ada bersemangat, gagah dan
kuat!" orang memuji. "Kelihatannya Loo-enghiong tak
beda dengan orang dari usia dua atau tiga puluh tahun!"
"Permainan tadi seumur hidup kita belum pernah kita
lihat!" demikian pujian yang lain.
Thio Hek Hou, yang duduk dikursi, telah unjukkan
jempolnya. Hoa Thayswee Chio Seng, yang berpaling dan bicara
dengan seorang didekatnya, mengunjuklan keheranan
sangat. Dan Lau Kiat, yang tadinya bersikap angkuh-angkuhan,
terpesona mengawasi jago tua itu.
Dengan tengteng goloknya Pau Kun Lun hadapi tuan
rumah beramai. "Pelajaran silat kita kaum Kun Lu Pay ada Su lou-kun,
Pat-to-too dan juga Cap-sie-chiu," menerangkan ia dengan roman
puas, "tetapi walau-pun muridku banyak, kepandaian mereka masih belum sempurna. Diantara
murid-muridku yang bisa wariskan sembilan bagian dari
kepandaianku cuma ada Lou Cie Tiong, Thio Cie Cay dan
cucuku si Ah Loan, dan yang mendapat tujuh atau delapan bagian ialah Kat Cie Kiang, Kee Cie Beng, Liong Cie Khie
" " Selagi berkata sampai disitu, Pau Cin Hui juseru dapat lihat Cie Khie sedang berdiri disamping, pakaiannya robek dan hidungnya berdarah-darah, romannya sangat kucel,
hinga ia jadi tercengang, karena mana semua orang-pun
berpaling kearah tujuan matanya jago tua itu. Cie Khie lantas jadi sasaran banyak mata.
"Kau kenapa?" hanya sang guru, yang paksa hampirkan
muridnya. "Kenapa kau jadi begini?"
Cie Khie tarik gurunya kesamping.
"Mari, suhu ... " kata ia dengan muka meringis. "Ada
kabar penting aku hendak sampaikan padamu ... "
Ia hendak ajak guru itu pergi sedikit jauh dari orang
banyak, diluar dugaan gurunya menjadi gusar.
"Kau hendak bicara apa?" guru itu membentak, matanya
mendelik. "Perlu apa takut orang dengar?"
Cie Khie kerutkan dahinya.
"Tadi beberapa orangnya Chio Seng ajak aku pergi
minum arak," Kata ia dengan pelahan, dirumah makan aku ketemu Hek-pak-cu Ngo Kim Pin Si Macan Kumbang. Dia
sangat galak, ketika dia dapat tahu aku ada orang Kun Lun Pay, datang-datang dia serang aku. Aku sedang terluka aku tidak sanggup lawan padanya, maka itu aku kena diajar
sampai hidungku keluar darah. Ketika angkat kaki, ia masih sangat gusar, ia pergi sambil menggerutu, katanya ia hendak cari Kang Siau hoo. Menurut katanya Kang Siau Hoo itu
ada sahabatnya dari sepuluh tahun yang lalu, bahwa
mereka pernah jadi berandal di Siang Cu San. Dia juga
sebut-sebut nama suhu, dan dia suruh kita menunggu disini sampai dia dapat cari Kang Siau Hoo untuk Kang Siau Hoo bunuh kita!"
Mukanya Cin Hui berubah dengan tiba-tiba menjadi
pucat dan kemudian merah padam.
"Suhu, marilah kita berangkat!" kala Cie Khie dengan
meringis. "Jikalau Kang Siau Hoo datang kemari, dia tentu tidak mau sudah dengan gampang-gampang saja!"
Dengan sekonyong-konyong tangannya Pau Kun Lun
melayang mampir dimuka muridnya, di antara suara
menggelepok keras, Cie Khie keluarkan jeritan, "Aduh!"
yang keras, tapi justeru begitu, kakinya sang guru telah melayang pula kepada badannya.
"Kang Siau Hoo tidak mau sudah dengan gampang-
gampang saja?" guru itu berseru. "Justeru akulah yang tidak mau sudah dengan begitu saja! Jikalau dia datang, aku nanti layani pedangnya dengan golokku! Jikalau kau takut, kau pergilah sendiri! Selanjutnya kau jangan panggil pula guru kepadaku!"
Cie Khie rebah ditanah, tendangan gurunya membuat ia
measakan sakit bukan main. Ia diam saja menahan sakitnya itu.
Chio Seng dan beberapa orang maju akan membanguni
muridnya sang apes itu, sedang Pau Kun Lun juga dibujuk agar amarahnya reda.
Napasnya Pau Cin Hui memburu matanya mendelik,
akan tetapi sesaat kemudian ia jadi tenang pula, hingga ia bisa tertawa. Ia-pun urut-urut kumis dan jengotnya.
"Katanya ada Hek-pa-cu Ngo Kim Piu hendak undang
Kang Siau Hoo untuk tempur aku! Dia tidak tahu bahwa
aku, justeru aku sedang menantikan kedatangannya dia
itu!" kata ia dengan sabar tapi romannya keren. Kemudian ia tambahkan pada Chio Seng, "Tadi Chio Lautee minta
aku besok pergi cari Long Tiong Hiap ayah dan anak untuk balaskan dendammu pada sepuuh tahun yang lalu, tetapi
sekarang karena adanya urusan ini, baik kepergianku
ditunda dulu. Aku sekarang akan berdiam disini buat
tunggui Ngo Kim Piu dan Kang Siau Hoo. Nanti sesudah
ada keputusan dari pertempuranku dengan Kang Siau Hoo, baru aku urus sakit hatimu itu."
"Untuk urusan itu kita tak uah terlalu tergesa-gesa,"
Chio Seng bilang. "Pada sepuluh tahun yang lalu itu, aku tinggal dirumahnya Long Tiong Hiap, kalau tidak ada Kang Siau Hoo, tak akan kejadian aku sampai diperhina tuan
rumah, maka itu Kang Siau Hoo-pun ada musuh besarku!
Jikalan Kang Siau Hoo benar datang, aku nanti bantu kau, lauko, pasti aku tidak akan buat ia bisa berlalu di Gie-liong ini dengan dengan masih hidup!"
"Aku-pun harap bantuan tuan-tuan semua!" berkata Pau
Kun Lun seraya rangkap kedua tangannya, yang masih
pegangi goloknya.
Ketika itu Cie Khie sudah ada yang pepayang masuk
kedalam kamarnya, sedang Chio Seng bersama Lau Kiat
dan Thio Hek Hou undang jago tua itu kembali kedalam
untuk duduk bercakapan terlebih jauh.
Cin Hui ulangkan permintaannya supaya tiga sahabat
baru itu bantu ia.
"Tentu," jawab Chio Seng bertiga.
Kecuali Chio Seng, dua yang lain tidak punya sangkutan dengan Kang Siau Hoo, tapi kalau toh mereka suka
membantu, itulah disebabkan mereka harap, setelah Pau
Kun Lun berhasil menyingkirkan Siau Hoo, goloknya jago tua ini akan dipinjam untuk satrukan Long Tiong Hiap
ayah dan anak. Selama Cie Kie dan Cie Gan In masih
hidup, berdua mereka tidak mampu menjagoi benar-benar
di Su-coan Utara.
Demikian, berempat mereka kelihatannya asyik benar
satu dengan yang lain.
Tiang-pat-chio Lau Kiat telah saksikan orang punya
permainan golok, kejumawaannya lenyap sendirinya,
malah sekarang ia bersikap luar biasa manis budi pada
tamunya tadi. "Kamar disini ada terlalu sempit, sedang bagian depan
dipakai untuk toko beras," berkata ia kemudian, "umpama benar Kang Siau Hoo datang, tidak leluasa untuk lauko
keluarkan kepandaianmu, aku kuatir kau nanti mendapat
kerugian. Dari itu lauko, baiklah kau pindah tinggal
kerumahku saja. Aku ada punya pekarangan yang lebar."
Pau Cin Hui juga lihat rumahna Chio Seng ini kurang
cocok baginya, bukan sebab ruangannya yang sempit,
hanya karena orangnya Chio Seng ada terlalu sedikit,
andaikata Kang Siau Hoo datang di waktu malam, ada sulit untuk menjaganya. Maka itu dengan girang ia sambut
tawarannya orang she Thio itu.
Chio Seng tidak keberatan dengan usul itu, maka di itu hari juga Lau Kiat ajak jago tua itu, berikut muridnya, pindah kerumahnya, yang letaknya di Timur utara kota,
terpisah dari rumahnya Chio Seng melainkan tiga atau
empat lie. Rumahnya Liau Kiat benar besar, pekarangannya luas dan orang-orangnya berbagai pengawal berikut gundal-gundal, tak kurang lima puluh orang
jumlahnya. Pau Cin Hui puas dan tenang hatinya apabila ia sudah
lihat keadaannya Lau-kee chung ini.
Juga Cie Khie gembira tingal di rumahnya Lau Kiat ini, tetapi kegiranganya disebabkan ia tampak Lau Kiat ada
punya banyak bujang perempuan yang muda belia, yang
sering mundar-mandir keluar masuk, dari itu ia menyesal sangat yang ia berdiam dalam satu kamar dengan guru itu.
Pau Cin Hui yang duga Siau Hoo bakal datang, sudah
berlaku hati-hati, jarang ia pergi keluar, sedang malamnya, selagi tidur goloknya terus dihunus, golok mana selalu nempel ditangannya. Untuk Cie Khie, ia-pun telah carikan sebuah golok. Murid itu disuruh tidur disebelah luar, tetapi walaupun demikian, mereka tidur bergiliran. Asal ada suara apa-apa dijendela, Cin Hui pasti turun dari pembaringan akan memasang kuping dijendela. Dimalam pertama,
mereka kaget tiga sampai lima kali, hingga Cie Khie jadi tidak keruan rasa.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pau Kun Lun sendiri meski-pun hatinya tetap tegang,
namun tidak jadi letih, diwaktu siang ia sering berlatiha seorang diri.
Di hari kedua, Thio Hek Hou datang bersama-sama
keluarga dan orang-orangnya juga, akan tinggal sama-sama dirumahnya Lau kiat, sedang Chio Seng, diwaktu siang
datang untuk bercakap-cakap hingga meteka jadi gembira sekali.
Tanpa merasa empat hari telah lewat, dengan tak kurang suatu apa.
Selama itu, setiap hari Lau Kiat kirim orangnya
menyelidiki tentang Kang Siau Hoo. Diperoleh kabar
bahwa dari kantor tiehu ada datang dua orang polisi untuk diam dikantor tiekban, karena mereka sedang jalankan
tugas untuk menangkap Kang Siau Hoo sebagai begal di Lo Su Nio.
Cie Khie pada dua hari pertama tidak penah berani
melangkah keluar dari kamar. Ia ada sangat gembira dapat lihat bujang-bujang perempuan, namun hatinya tetap tidak tenteram. Selewatnya dua hari itu, sebab tidak ada kejadian apa-apa, baru hatinya mulai sedikit lega. Disebelah gurunya telah belikan ia dua perangkat pakaian, lukanya-pun sudah mulai sembuh. Selanjutnya ia bergaul dengan orang-orangnya Lau Kiat dan Thio Hek Hou, ia berjudi dan
minum arak, malah juga ia berani kelayapan untuk main
bunga raya. Semua itu dilakukan diluar tahu gurunya.
Pau Cin Hui tinggal senang di rumahnya Lau Kiat ini,
tetapi ia jadi menganggur, dari itu lama-lama dari
bersemangat ia menjadi lesu. Sekarang ia pikirkan cucunya, Ah Loan dan Kie Kong Kiat, muridnya juga, ia tidak
ketahui bagaimana nasibnya mereka itu. Maka diakhirnya, ia menulis beberapa pucuk surat, ia minta tolong Lau Kiat carikan seorang untuk bawa itu ke Tin-pa, Cie-yang, Han tiong dan Tiang-an. Cie Khie-pun telah menulis surat pada Cie Liong, ia tidak punya maksud apa-apa kecuali minta kandanya itu kirimkan ia uang beberapa ratus tail perak. Ia sudah pikir : "Bila aku sudah punya uang, aku akan
berangkat seorang diri, tak dapat suhu cegah aku! Hidup cara begini tidak menyenangkan!"
Belum lewat lima hari sejak keberangkatannya si
pembawa surat, dari tengah jalan dia telah minta tolong orang sampaikan suratnya sendiri, antaranya dia menulis,
"Ketika aku sampai di Thong-kang, aku bertemu dengan
orangnya Hok Lip Piau Tiam dari Long siong, dari siapa aku dapat tahu Kang Siau Hoo berada di Thong-kang
dimasa ia menumpang dalam sebuah rumah penginapan
bersama Kim-kah-sin Ciau Tek Cun, pernah ada orang lihat Kang Siau Hoo, katanya kepandaiannya tidak seberapa
tinggi, sedang waktu itu Siau Hoo sedang rebah sakit di rumah penginapan itu. Kalau dia tidak ketemu Ciau Tek
Cin, bisa jadi dia sudah menutup mata karenanya."
Mengetahui halnya Kang Siau Hoo itu, dengan tiba-tiba
semangatnya Pau Kun Lun bangkit, hatinya jadi tegang. Ia memikir suatu hal kejam: "Kenapa aku tidak pergi sekarang juga, selagi ia sakit buat aku bunuh padanya" Dia sedang sakit, kepandaiannya tentu berkurang lebih separuhnya
Ciau Tek Cun pasti tidak punya kepandaian berarti untuk lindungi padanya."
Pau Kun Lun berkerot gigi, ia mengepal-ngepal
tangannya, matanya mendelik mengawasi kearah jendeia.
Ia tampak hari sudah tidak siang lagi, cahaya dijendela sudah mulai suram. Burung-burungpun sudah mulai
perdengarkan suaranya.
"Sekarang ada ketikanya yang paling baik!" jago tua ini berpikir pula. "Lau Kiat dan Thio Hek Hou barangkali
tidak ada dirumah. Dengan larikan kudaku, dalam satu
malam tentulah aku akan sampai di Thong-kang, dimana
aku akan segea singkirkan musuh yang buat Kun Lun Pay
kucar-kacir!"
Pau Loo-kausu ambil putusan dengan getas, ia berindak
dengan cepat, sambil tenteng bungkusan dan golok ia pergi ke istal akan ambil kudanya, akan tetapi selagi ia hendak berikan titah kepada penjaga istal, ia lihat dari pintu pekarangan ada masuk empat penunggang kuda, ialah Lau
Kiat bersama dua pegawainya, serta seorang lagi dengan baju sutera, yang umurnya ampatpuluh lebih.
Lau Kiat yang lihat Pau Kun Lun bawa-bawa buntalan,
segera menghampirkannya.
"Eh, lauko, kau hendak pegi kemana?" tanya ia.
Melihat disitu ada orang luar, Pau kun Lun tidak segera menjawabnya.
Lau Kiat lantas turun dari kudanya
"Jangan pergi dulu, jangan pergi dulu, lauko!" kata ia seraya goyang-goyang tangan dan ia suruh salah satu
pegawainya sambuti orang punya buntalan dan golok.
Kemudian, mengunjuk tamunya ia kata adalah Thia Pat-ya dari kantor hu-tay dari Long-tiong, keuangan sebuah kota semua berada dalam pengurusannya, ia sudah bekerja dua puluh tahun lebih, maka disekitar daerah kota ini tidak ada orang yang tidak kenal padanya. Ia-pun ada murid yang
pandai dari Lie Lian Seng dari cabang silat Hoa Ciu Kun dari Pa-ciu. Didalam kalangan kangouw, siapa dengar
namanya Thia Pat-ya, tidak ada yang tidak menjadi
kagum!" Pau Cin Hui segera memberi hormat ucapkan kata-kata
pujian kepada bendahara tiehu itu.
Thia Pat membalas hormat sambil tertawa, ia kata:
"Janganlah Lau Toako memuji aku. Sudah lama aku tidak
pernah mengembara lagi, aku datang kesinipun sengaja
untuk menunjungi lauko, bukan melainkan untuk melihat
satu enghiong tertua yang namanya telah menggetarkan
Selatan dan Utara, juga sekalian niat mendamaikan suatu urusan dengan lauko sendiri."
Cin Hui melengak karena ia tidak kenal orang ini, hingga ia tidak tahu orang ada punya urusan apa yang hendak
didamaikan. Lau Kiat sudah lantas ajak tamunya, berikut jago tua itu, masuk kedalam.
Ketika itu Cie Khie sedang berangin di pekarangan
dalam. Ia baru saja pulang habis minum arak hingga ia
rasakan tubuhnya panas. Ia terperanjat apabila ia tampak Lau Kiat dan gurunya berada bersama seorang dengan
pakaian sebagai hamba negeri, lekas-lekas ia menyingkir kedalam kamarnya.
Lau Kiat ajak tamunya duduk di ruangan tamu, ia
perintah orangnya pasang lilin dan siapkan hidangan.
Pau Cin Hui perhatikan tamu ini, yang katanya ada
punya urusan dengan ia nya. Ia tidak bisa duga urusan apa adanya itu.
Sebentar kemudian, sesudah orang nyalakan lilin,
ruangan jadi terang.
Thia Pat ada bekal huncwee dipinggangnya, ia isikan
huncwee itu dan menyulutnya, ia sudah lantas mulai
menyedotnya. "Pau Loo-piausu," berkata ia kemudian, "apakah kau
tidak lahu, Long Tiong Hiap akan datang kemari?"
"Aku tidak tahu," sahut Cin Hui sambil menggeleng
kepala. "Pada sepuluh tahun yang lalu, ketika Kang Siau Hoo undang dia datang ke Tin-pa akan satrukan aku,
namanya Long Tiong Hiap sedang kesohornya, beberapa
muridku kena ia lukakan dan rubuhkan, maka juga di
depan rumahku dia berani banyak laga. Sebenarnya waktu itu aku ada sangat mendongkol, walau demikian, aku tidak ingin tanam bibit permusuhan dengannya, begitulah tatkala aku berdua bertempur, dengan golokku Kun-lun-too aku
berlaku sedikit murah hati ... "
Sebelum orang bicara habis, Thia Pat sudah goyang-
goyangkan tangannya.
"Tapi inilah lain," berkata ia. "Kali ini Long Tiong Hiap datang bukan dengan maksud seperti dulu itu. Maksud
kedatangannya ini adalah karena kegusarannya kepada
Kang Siau Hoo yang ia dengar datang ke Su-coan Utara ini sudah berbuat sewenang-wenang dan jahat, di Loo Su Nia dia sudah lukai hamba negeri, dia sudah rampas isterinya tiekoan dari Hong-an. Kemarin ini Long Tiong Hiap bilang, ia hendak menemui lauko untuk bekerja sama, guna
singkirkan Kang Siau Hoo. Sebenarnya sudah lama ia tidak merantau lagi."
Mendengar itu Pau Cin Hui jadi girang.
"Bagus, bagus!" berkata ia. "Jikalau Long Tiong Hiap
benar datang, aku jadi dapat pula satu pembantu!"
"Long Tiong Hiap datang-pun tidak bersendirian saja,"
Thia Pat terangkan pula. "Dia datang bersama puteranya Gan In yang kepandaiannya sudah melebihi ayahnya.
Sedang Cin Siau San, isterinya Gan In, cucu keponakan
luar dari Liong Bun Hiap, -pun ada terlebih liehay lagi dari pada mertua dan suaminya."
Pau Loo-kausu tertawa.
"Jikalau dia datang bersama-sama nyonya mantunya
untuk bantu aku, terpaksa aku mesti tolak bantuannya itu!"
kata jago tua ini. "Sudah beberapa puluh tahun aku biasa merantau, jikalau sekarang aku tak mampu sendirian saja, dan dengan sebatang golokku, menyingkirkan Kang Siau
Hoo, tetapi aku mesti minta bantuan orang perempuan,
sungguh aku malu hingga aku tidak punya tempat akan
umpatkan mukaku! Jikalau aku dapat menangkan Kang
Siau Hoo karena adanya bantuan orang perernpuan,
habislah nama baikku yang sudah beberapa puluh tahun
lamanya!" Sehabis mengucap demikan, Pau Kun Lun lantas ingat
Ah Loan, maka memikir cucunya itu, lantas saja ia
menghela napas.
"Tidak, nyonya mantunya itu tidak turut datang," kata
Thia Pat seraya geleng kepala. "Nyonya mantunya itu
sudah pulang kerumah orang tuanya. Mereka sudah
menikah tiga tahun, biasanya kalau pulang nyonya mantu itu gunakan tempo sedikitnya dua-tiga bulan. Toh
sebenarnya rumah mereka terpisah tidak jauh. Itulah
melulu disebabkan Cin Siau San gemar merantau
sepulangnya kerumah orang tuanya, entah dia ngelayap
kemana. Long Tiong Hiap dan anaknya tidak ambil tahu
sepak-terjangnya nyonya mantu atau isterinya itu."
"Jikalau aku sebagai Long Tiong Hiap, aku tidak bisa
antapkan itu?" kata Pau Kun Lun. "Aturan rumah-
tanggaku ada paling keras. Aku ada punya dua anak lelaki keduanya telah menikah kepada anak-anaknya orang tani.
Nona-nona Kangouw, seperti tukang jual silat atau jalan ditambang,
tak dapat memasuki rumahku. Cucu perempuanku walau-pun dia belajar silat namun dia
mengerti adat-istiadat. Sekarang cucuku itu sudah menikah dengan Kie Kong Kiat, cucunya Liong Bun Hiap. Pasti
saudara Thia kenal Kie Kong Kiat itu."
Thia Pat isap huncweenya, ia angguk-anggukkan kepala.
"Bukan melainkan aturan rumah-tanggaku keras, juga
aturan diantara murid-muridku," Pau Cin Hui melanjutkan, setelah ia menghela napas. "Larangan utama bagi murid-muridku adalah berbuat cabul atau melakukan pemogoran.
Kalau tidak karena aturan keras itu, tidak akan terjadi permusuhan besar dengan Kang Siau Hoo."
Ketika itu datang bujang dengan barang makanan, yang
terus disajikan, maka Lau Kiat segera undang Thia Pat
duduk dikursi kepala, Pau Kun Lun dikursi ke dua. Kursi ke tiga dibiarkan kosong, untuk Thio Hek Hou. Ia sendiri duduk dipaling bawah, mereka lantas saja saling
mengundang minum.
Walau-pun menghadapi arak, namun hatinya Pau Kun
Lun tetap tidak tenteram. Ia pikir hal kenyatannya pergi ke Thong-kang, untuk gunai ketika selagi Kang Siau Hoo
sedang sakit, untuk bunuh mati padanya. Ia simpan
suratnya dalam sakunya, ia tidak mau perlihatkun itu
kepada siap juga.
"Lauko," tanya Lau Kiat, "tadi kau bawa pauhok,
kemana kau hendak pergi?"
Pau Kun Lun bersenyum, ia tidak mau banyak bicara.
Dimeja perjamuan, Thia Pat adalah yang paling doyan
minum dan gemar bicara.
"Sebenarnya aku dan Kang Siau Hoo adalah musuh-
musuh lama," ia berkata. "Pada sepuluh tahun yang lalu, Kang Siau Hoo ada melainkan satu bocah. Entah dari mana dia curi uang, dia bisa berpakaian perlente. Begitu lekas dia sampai di Long-tiong, terus saja dia pergi pada Kim-kah-sin Ciau Toa-poan-cu si Gemuk. Perhubungan mereka berdua
sangat kekal luar biasa. Pada suatu hari di Bie-jin-kang, gang si Cantik ... Ha-ha-ha! Ketika itu, Kang Siau Hoo sudah gemar akan paras elok, sebauai satu bocah dia sudah suka main perempuan hina. Pada suatu hari aku bentrok
dan berkelahi dengan dia, kemudian ... kemudian "
dengan serupa tipu aku perintah orang hajar dia ditengah jalan besar. Kalau waktu itu tidak ada Long Tiong Hiap, yang datang menolongi dan ajak dia pergi, sudah tentu dia
sudah jadi setan keleleran dikampung orang, mustahil dia masih bisa ?"
Baru Thia Pat berkata sampai disitu, atau tiba-tiba dia berhenti dengan kaget, karena dari luar ruangan sudah
terdengar suara jeritan dan kesakitan, hingga semua orang menjadi kaget dan heran.
-ooo0dw0ooo- Jilid 23 PAU KUN LUN adalah yang berbangkit paling dahulu,
dan segera ia lari keluar.
Diluar langit ada gelap, dan didalam pekarangan tidak
ada dipasang penerangan.
Ketika Pau Cin Hui sampai diluar justeru ia tampak dari jurusan kamarnya ada berlari keluar satu orang dengan
tubuh limbung, dan baru dia itu jalan dua tiga tindak, dia sudah rubuh sambil menjerit-jerit kesakitan.
Nyata orang itu adalah Liong Cie Khie.
Bukan main gusarnya Pau Kun Lun, lantas ia menduga
pada satu orang, maka itu, sambil kepal keras tangannya ia berseru : "Kang Siau Hoo, mari maju! Jikalau kau ingin adu jiwa, mari adu jiwa dengan aku! Kenapa kau ganggu
muridku?" Hampir berbareng dengan itu, dari dalam kamar ada
mencelat keluar satu bayanan hitam, yang terus loncat naik ke atas genteng.
Dalam murkanya, Pau Kun Lun memburu, ia loncat
naik juga ke atas genteng, tubuhnya yang sangat berat
membuat ia sedikit limbung, maka segera ia perbaiki diri.
Bayangan tadi sekejap saja, sudah lenyap.
Pau Kun Lun berdiri dengan tercengang. Ia lihat nyata
bayangan itu bertubuh kecil dan kurus, tidak seperti yang dilukiskan Kie Kong Kiat bahwa Siau Hoo ada berbadan
tinggi, sedang di Su-coan Utara ini orang mengatakan Kang Siau Hoo bertubuh gemuk hitam dan kepalanya besar.
Ketika itu dibawah, suara orang ada berisik sekali dan api-pun dipasang terang-terang. Lau Kiat sudah atur orang-orangnya, untuk cari "penjahat" didalam dan diluar
kalangan rumahnya itu.
Tidak ayal lagi Pau Kun Lun loncat turun dari genteng
akan menghampiri Liong Cie Khie, yang rebah pingsan
dengan tangan kirinya sudah putus, tubuhnya bermandikan darah,
keadaannya ada sangat mengerikan dan menyedihkan, maka juga sang guru lantas menggedruk-
gedruk kaki seraya menghela napas.
"Muridku ini telah ikuti aku untuk menderita ... " kata ia. Kemudian ia tambahkan : "Dia masih pingsan, biar dia rebah, sehingga tersadar sendirinya!"
Jago tua ini lari ke kamarnya buat ambil goloknya,
dengan bawa senjatanya itu ia bersama-sama pula keluar pekarangan dimana keadaan-pun sangat kalut dan berisik, karena beberapa puluh chungteng, orang-orangnya Lau
Kiat, dengan golok dan toya di tangan, dengan bawa-bawa obor, sedang mencari sana-sini. Lau Kiat dengan
bersenjatakan tumbak panjang masih asyik kepalai orang-orangnya.
"Periksa semua! Periksa sekali-pun tumpukan rumput!
Jangan beri penjahat lolos!" Demikian suaranya Tiang-pat-chio, Si Tumbak Panjang.
Orang buat banyak berisik sampai sekian lama, namun
hasilnya tidak ada.
Tidak antara lama dari kejauhan kelihatan dua buah
lentera dibawa datang sambil berlari. Cin Hui dan Lau Kiat mersa heran, hati mereka menduga-duga. Kemudian
ternyata yang datang adalah enam polisi dengan gaetan dan thie-cio ditangan masing-masing, napas mereka memburu.
"Apakah Kang Siau Hoo telah dilukai dan kena
ditangkap?" tanya orang polisi yang kepalai rombongan itu, ialah seorang she Cui. Dia kenal Lau Kiat dan sudah lantas tanya tuan rumah itu. Kemudian dia tunjuk dua orang
polisi di belakangnya seraya berkata pula: "Ini ada dua tuan yang diutus dari kantor tiehu tayjin, mereka datang kemari sejak beberapa hari yang lalu mereka diutus teristimewa untuk menangkap Kang Siau Hoo, penjahat yang sudah
membegal di Loo Su Nia terhadap keluarga tiekoan. Baru saja satu bocah berlari-lari kekantorku mengatakan bahwa disini orang telah tawan Kang Siau Hoo, bahwa Kang Siau Hoo telah dilukai, maka itu kita sudah ?"
Lau Kiat heran dan bingung, ia anggap Cui Pou-tau
sedang ngaco disebabkan sudah tenggak terlalu banyak
arak. Sebaiknya Pau Kun Lun sudah jadi marah besar.
"Yang terluka adalah muridku," berkata ia dengan keras.
"Dia sudah hampir mati! Mana ada Kang Siau Hoo"
Marilah masuk kedalam dan lihat!"
Selagi orang masih terus mencari dan Lau Kiat masih
berdiri ternganga, Cin Hui dengan mendongkol ajak enam orang polisi masuk ke pekarangan dalam, terus ke samping tubuhnya Cie Khie, akan lihat muridnya itu.
Cie Khie sudah sadar, ia sekarang rebah dengan
celentang, diantara darah yang mengumpyang mulutnya tak berhentinya perdengarkan nintihan, suaranya sangat lemah.
Orang-orang polisi itu lantas menyuluhi dengan
lenteranya. Kedua orang polisi dari kantor tiehu lihat orang yang
rebah itu benar-benar berkepala gede, mukanya hitam dan berewokan, tubuhnya-pun tinggi besar dan gemuk, jadi
mirip benar dengan lukisan roman dan potongan tubuh dari penjahat yang sedang dicarinya.
"Dia she apa?" tanya seorang polisi.
"Dia she Liong," Cin Hui jawab.
"Benarlah dia," kata orang polisi itu. "Penjahat yang
membegal di Loo Su Nio itu, mula-mula sebut dirinya Kang Siau Hoo, kemudian kepada tukang kereta dia sebutkan
dirinya Liong Jie-thayya " "
Pau Kun Lun ada demikian gusar hingga tahu-tahu
kakinya sudah melayang pada tubuhnya opas itu hingga
rubuh bergulingan, lenteranya terlepas dan jatuh ketanah dan menyala-nyala!
Masih saja jago tua ini gusar, ia angkat goloknya hendak bunuh polisi itu.
Syukur Lau Kiat dan beberapa polisi lainnya keburu
mencegah antaranya ada yang pegangi lengannya.
"Kalau berani tuduh muridku sebagai pembegal di Lou
Su Nia?" ia berseru. "Pergi kau cari keterangan, apa ada murid-muridku yang pernah berbuat jahat dan busuk" Kau tidak mampu bekuk Kang Siau Hoo, kau hendak cekuk
muridku untuk dijadikan gantinya" Kau menghina sangat
kepadaku!"
Lau Kiat beramai tarik jago tua itu kedalam, goloknya
telah dirampas, mereka terus membujuki tanpa mereka
perdulikan didalam pekarangan orang masih serabutan
membuat banyak berisik, begitu-pun diatas genteng orang masih mencari si orang jahat. Orang suguhkan arak pada jago tua ini, yang mukanya masih merah padam, kumis
jenggotnya bergerak-gerak, napasnya turun-naik.
"Jangan gusar, lauko," Lau Kiat berkata. "Aku lihat
walau-pun lukanya muridmu hebat tetapi tidak membahayakan jiwanya."


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mati-pun tidak berarti apa-apa," kata Cin Hui, "tetapi penasaranku sukar dibuat habis! Jikalau benar ada muridku yang permainkan orang perempuan, pasti aku buat dia
mati! Cara bagamana ada muridku yang berani bunuh
hamba negeri dan membegal keluarga pembesar" Liong Cie Khie adalah muridku yang paling alim dan jujur, sudah dua puluh tahun lebih dia ikuti aku, satu kali-pun dia belum pernah lakukan pelanggaran. Dulu dia suka juga datang ke Su-coan Utara ini mengantar piau. Cobalah kau cari
keterangan, kecuali perselisihannya dengan Long Tiong
hiap, apakah dia lakukan apa-apa yang bisa mendatangkan malu bagi Kun Lun Pay?"
"Jikalau begitu, pasti orang sudah keliru mengenalinya!"
kata Cui Pou-tau. "Inilah tentu disebabkan karena potongan tubuhnya dan romannya mirip dengan lukisan disurat
perintah. Harap loo-piausu jangan gusar."
Sebelum Pau Kun Lun mengatakan apa-apa, Thia Pat,
yang sudah isap pula huncweenya, tanya Cui Pou-tau:
"Tadi, orang macam bagaimana yang sudah membawa
warta kekantor?"
"Satu anak umur sepuluh tahun lebih," sahut si orang
she Cui, "Dia telah berkaok-kaok dimuka kantor, begitu kita muncul, dia sudah lantas pergi pula. Kita sangka dia ada orang suruhan dari sini."
Lau Kiat semakin bingung akan hal ini.
"Kejadian disini baru saja terjadi." kata ia, "Kita juga tidak kirim orang untuk melaporkan kekantor negeri. Dari mana datangnya anak itu?"
Pau Cin Hui dengar itu, ia heran berbareng gusar, dalam hatinya ia kata : "Sekali-pun satu bocah, dia masih berani permainkan aku guru dan murid! Oh, kita kaum Kun Lun
Pay telah terima terlalu banyak penghinaan! Apakah ini disebabkan aku telah robah peri lakuku" Apakah memang
orang kang-ouw tak boleh jadi baik" Kalau aku tetap galak seperti dulu semasa masih muda, pasti kita tidak ada orang yang berani main gila!"
Selama itu keadaan sudah mulai reda, tapi justeru itu ada nerobos masuk satu orang yang tindakannya cepat sekali.
Dia adanya Thio Hek Hou, yang tadi ada yang undang ke
kota untuk berjamu dan baru sekarang dia pulang.
"Siapa yang lukai Liong Cie Khie!" dia tanya begitu
lekas dia sudah masuk kedalam ruangan. "Apakah
penyerangnya Kang Siau Hoo" Apakah dia tak dapat
ditangkap?"
"Siapa juga tak dapat lihat padanya!" Lau Kat jawab.
"Ilmu jalan malamnya benar-benar lihay, dia telah bisa lukai orang tetapi dia sendiri, sampai-pun bayangannya tak kelihatan!"
"Karena aku yang keluar paling dulu, aku masih bisa
dapat lihat dia," berkata Pau Cin Hui, "benar aku tidak lihat tegas roman atau mukanya tapi terang dia bertubuh kurus sekali dan kecil. Mungkin dia adalah anak yang lari kekantor untuk mengasi laporan! Apakah tuan-tuan dapat tahu kalau-kalau di Su-coan Utara ini ada penjahat muda?"
Mendengar demikian, Thio Hek Hou membanting kaki.
"Pastilah itu mereka adanya!" ia berseru "Baru saja tadi aku lihat mereka di jalan besar di Tong-kwan, kota Timur.
Mereka encie dan adik ada menunggang keledai kecil,
sekeluarnya dari rumah penginapan, mereka menuju ke
Utara ?" Thia Pat lantas saja cabut huncwee dari mulutnya.
"Apakah mereka ada Cin Siau San enci dan adik?" tanya
ia sambil buka matanya lebar-lebar.
Thio Hek Hou manggut.
"Benar!" ia jawab, "Mereka ada nyonya mantunya Long
Tiong Hiap. ialah Cin Siau San dan adiknya, Cin Siau
Hiong. Entah Liong Cie Khie sudah berbuat saah
bagaimana terhadapnya maka nyonya itu sudah datang dan maui jiwanya."
"Apakah Cie Gan In tidak turut mereka itu?" Thia Pat
tegasi pula. "Tidak, cuma mereka dua saudara," Hek Hou terangkan.
"Rupanya sang encie telah datang kemari menyerang Cie
Khie dan adiknya pergi ke kantor untuk mengabarkan pada pembesar negeri, kemudian berdua mereka berlalu bersama-sama. Pastilah mereka pulang malam-malam juga ke Long-
tiong. Jangan-jangan Long Tiong Hiap dan anaknya nanti datang kemari akan satrukan kita ?"
"Tidak, itulah tak bisa menjadi," kata Thia Pat sambil goyang-goyang tangan, "Baru kernarin ini Long Tiong Hiap nyatakan bahwa ia hormati Pau Lauko, dan sebaliknya ia benci sangat pada Kang Siau Hoo sebab perbuatannya
Kang Siau Hoo, di Loo Su Nia ada terlalu busuk!"
"Hanya ... " berkata Thio Hek Hou, yang terus menoleh
pada Cin Hui, kemudian ia lanjutkan: "Tadi aku hadiri
suatu pesta didalam kota, diantara hadirin ada dua piausu,
yang datang dari Timur, katanya ketika mereka lewat di Thong-kang, disana mereka telah bertemu dengan Ciau Tek Cun, Ciauw Eng dan Kang Siau Hoo-pun ada disana.
Ciau Eng itu keponakannya Tek Cun sudah terbitkan
onar di Thong-kang, dan Ciau Tek Cun kena dilukai oleh satu okpa disana, karena mana, dia mesti rebah di rumah penginapan. Lantaran ini, Kang Siau Hoo jadi tertahan
disana, tidak bisa dia lantas berangkat ke Barat. Mereka bilang ada orang yang lihat Kang Siau Hoo walau-pun kulit mukanya ada hitam tetapi dia tidak gemuk. Tiekoan dari Tong kang pernah panggil Kang Siau Hoo datang
menghadap, disana dia dipadu dengan kusir kereta yang
keretanya dibegal di Loo Su Nia. Mereka si kusir kereta, dia bukahlah Kang Siau Hoo yang membegal di Loo su Nia,
bahwa begal itu, sekali-pun dia sebut dirinya Kang Siau Hoo, dia toh umpat caci Siau Hoo serta kemudian, dia aku dirinya orang she Liong. Maka itu ?"
Selagi Hek Hou berkata-kata sampai di situ, semua orang menoleh pada Pau Cin Hui.
"Maka itu sekarang orang telah curigai Liong Cie Khie
... " Hek Hou melanjutkan, "Orang sangka, Cie Khie telah pakai namanya Kang Siau ?"
Belum lagi si Harinau Hitam tutup mulutnya, atau tiba-
tiba meja terbalik, hingga segala apa diatasnya, hingga menerbitkan suara nyaring dan berisik, karena Pau Kun
Lun sudah dupak meja hinga jumpalitan.
"Mana bisa jadi?" berseru jago tua ini, yang nampaknya seperti kalap dengan tiba-tiba. "Mana bisa jadi muridku begal keluarga pembesar negeri dan membunuh polisi"
Mana bisa dia jadi begal dan pakai juga namanya Kang
Siau Hoo?"
Thio Hek Hou, Lau Kiat dan Thia Pat pada undurkan
diri kesamping. Cuma Cui Pou-tau, yang kelihatannya
tenang. "Sabar, loo-piausu," kata ia, sikapnya sungguh-sungguh.
"Urusan-pun masih perlu dibuktikan. Isteri tiekoan dari Hong-an ialah nyonya yang dibegal dan diculik, yang
dirumah penginapan di Kang-kau-tin sudah gantung diri, telah dapat ditolong oleh tuan rumah, hinggga dia tidak sampai mati. Nyonya itu bisa dijadikan saksi bersama-sama si kusir, yang sekarang masih ada di Thongkang. Mereka dapat membuktikan bahwa muridmu adalah pembegal yang
dimaksud atau bukan, lantas duduknya hal bakal menjadi jelas. Hanya menurut aku, adalah terlebih baik jikalau muridmu itu tak usah pergi menghadap dikantor negeri
dengan memandang kepada Lau Toaya, kita boleh urus ini secara persahabatan. Baiklah dipikir suatu daya untuk
muridmu sembunyikan diri ... "
Pau Kun Lun kepal keras tangannya.
"Muridku tidak langgar undang-undang negara!" kata
dia dengan nyaring, "Kenapa dia mesti sembunyikan diri!
Baiklah kau orang yang memangku pangkat, panggil isteri tiekoan itu datang kemari untuk mengenali, asal dapat
dibuktikan muridku ada si begal kau boleh tangkap
padanya, kau hendak hukum penjara atau hukun mati, kau ada merdeka! Jikalau tidak demikian, tidak perduli siapa, asal ada orang tuduh muridku, aku punya golok Kun-luntoo pasti tidak mau kebal siapa juga!"
Cui Pau-tau mundur satu tindak, ia bersenyum tawar.
"Buat apa mesti undang nyonya tiekon dari Hong-an?"
berkata dia, "Mantunya Long Tiong Hiap juga pasti ketahui perkara ini terang, jikalau tidak, selagi dia tidak
bermusuhan dengan muridmu itu kenapa tadi dia datang
menyerang dan melukainya" Kenapa dia-pun begitu
perlukan mengirim adiknya pergi ke kantor akan
memanggil kita seraya terang-terang menjelaskannya bahwa begal Kang Siau Hoo berada disini sedang terluka" Maka teranglah sudah, muridmu ini adalah begal yang palsukan namanya Kang Siau Hoo! Itu encie dan adik jadinya sudah lakukan suatu perbuatan gagah dan mulia!"
Jago tua itu gusar hingga tubuhnya bergemetar, kumis
dan jenggotnya memain seperti disampok angin, sedang
kedua matanya terpentang lebar, dengan muka merah-
padam, dia kelihatannya jadi bengis sekali.
"Baik!" ia berseru seraya banting kaki. "Nyonya
mantunya Long Tiong Hiap itu belum pergi jauh, nanti aku suruh padanya, untuk ajak dia kembali kemari, untuk tanya dia kenapa dia kata muridku ada Kang Siau Hoo si
penjahat besar!"
Kapan Thio Hek Hou dan Lau Kiat dengar jago tua ini
hendak susul Cin Siau San, bukan saja mereka tidak
mencegah, mereka malah jadi girang. Lau Kiat-pun segera perintah orangnya siapkan kudanya jago tua itu.
Thia Pat lantas unjuki jalanan yang diambil oleh Cin
Siau San dan adiknya.
Dengan hati sangat mendongkol, Pau Kun Lun pergi ke
kamarnya, untuk ambil goloknya.
Waktu itu Cie Kie sudah digotong ke dalam kamarnya,
ada dua orang sedang obati lukanya dibagian lengannya
yang buntung. Pau Kun Lun mendekati muridnya itu goloknya
ditandalkan pada batang lehernya muridnya.
"Kau tunggu sampai aku telah bekuk nyonya mantunya
LongTiong Hiap, itu waktu nanti terbukti, kau penasaran
atau tidak!" kata guru ini dengan bengis. "Jikalau tuduhan benar dan kau betul-betul sudah langgar laranganku, hm!
aku nanti cingcang tubuhmu hingga hancur-lebur!"
Liong Cie Khie merintih, ia teraduh-aduh, tidak keruan, dia dengar tegas atau tidak ancaman gurunya itu. Mengenai sikapnya guru itu, dia diam saja.
Pau Cin Hui bertindak seraya dupak pintu hingga
terpentang, ia bawa goloknya menuju keluar dengan
tindakan lebar, di muka pintu pekarangan, bujangnya Lau Kiat serahkan dia kuda yang sudah siap. Tanpa cambuk,
dia lompat naik atas kudanya, dengan sebelah tangan
menyekal les, sebelah tangannya yang lain, dengan
goloknya, ia ketok punggungnya kuda itu, untuk dikasi
kabur dengan segera. Maka binatang itu lantas saja lompat lari menuju ke luar kampung, dijalanan yang Thia Pat
Unjukkan: dari utara mutar ke barat. Itu ada jalanan ke Long-tiong.
Malam itu ada gelap, angin Barat meniup keras, jalanan besar ada sunyi-senyap bagaikan mati. Ditengah jalan, tidak ada sorang-pun jua. Cahaya dari beberapa rumah ditepi
jalanan ada terlihat molosnya cahaya api kelak-kelik seperi bintang.
Pau Kun Lun kaburkan kudanya dengan hati panas
sekali, darah seperti mengalir diseluruh tubuhnya. Empat kaki kuda perdengarkan suara berisik diatas jalanan yang keras. Pau Cin Hui sering memandang kekiri dan kanan
dengan kedua matanya yang bersinar tajam. Beberapa kali, saking mendongkolnya, ia berseru seorng diri: "Eh, nyonya mantunya Long Tiong Hiap, perempua hina-dina, berhenti!
Pau Loo yan-cu hendak tanya kau!"
Entah berapa lama ia sudah kaburkan kudanya, Cin Hui
tidak tahu, sampai dengan sekonyong-konyong, di depan
dia, ada dua bayangan yang menghalau, disusul dengan
tegorannya dua suara halus tetapi tajam : "Siapakah kau?"
Pau Cin Hui mengerti, ia sudah menyandak, dari itu, ia lantas tahan kudanya dan siapkan juga goloknya.
"Aku Pau Kun Lun!" ia menyahuti. "Aku hendak
ketemui Cin Siau San, nyonya mantunya Long Tiong Hiap!
Siapakah kau orang?"
Baru Pau Lookausu tutup mulutnya atau ia sudah dapat
jawaban. "Itulah aku!" demikian suara itu, yang keluar dari salah satu orang diatas seekor keledai kecil, suaranya orang perempuan. "Orang she Pau, ada urusan apa kau susul kita"
Tadi aku tidak bunuh kau disebabkan aku lihat kau sudah berusia tua terlalu lanjut, pedangku tidak tega! ?"
"Oh, perempuan hina-dina!" jago tua mencaci, saking
mendongkolnya. Baru jago tua itu mengucap demikian, sinarnya sebatang pedang berkelebat mendesak ia.
Untuk berkelit, Chi Hui loncat turun dari kudanya,
binatang mana terus lari kepinggiran.
Cin Siau San juga lompat turun dari keledainya, terus
saja ia menyerang pula.
Cin Hui angkat goloknya menangkis, hingga kedua
senjata jadi benterok, sebagaimana suaranya terdengar
nyaring sekali. Rupanya pedang Si nyonya dibuat terpental dan tangannya sesemutan, karena itu terus ia putar
tubuhnya, untuk menyingkir.
Selagi begitu, satu bayangan lain, yang lebih kecil,
lompat kebelakangnya Si jago tua, yang dia terus hajar dengan sebatang toya kayu. Serangan ini mengenai orang
punya kepala, sampai jago tua itu kesakitan dan pusing, maka berbareng dengan merasa sangat murka, ia putar
tubuh seraya membabat dengan goloknya yang besar dan
berat! "Aduh!" demikian satu jeritan, atas mana, bayangan
kecil itu rubuh ketanah toyanya terlepas dari tangannya.
Cin Siau San lari balik, ia sudah lantas nangis.
"Anjing tua, kau bunuh adikku?" ia berseru. Ia punya
pedang menyamber bagaikan kilat terhadap tubuhnya jago tua itu.
Pau Kun Lun menangkis dengan goloknya. Ia berlaku
telengas, ia tak perdulikan lagi dengan siapa ia sedang berhadapan.
Pertempuran ada sengit sekali, malah berjalan sampai
belasan jurus tatkala pedangnya Cin Siau San kena dibuat terpental, atas mana nyonya itu memutar tubuh untuk
loncat keluar lalangan, terus lari.
Dalam murkanya, Pau Cin Hui mengejar, ia cuma
mengawasi musuh, tidak tahunya, didepan ia ada
mengandang tubuhnya seekor keledai hitam, yang sedang
rebah, tidak ampun lagi, ia kesandung dan rubuh, kedua kakinya diatas keledai itu.
Binatang tersebut kaget dan kesakitan, ia lompat bangun dengan berjingkrak, hingga karena itu, tubuhnya si jago tua kena terangkat terbalik. Sukur bagi dia, goloknya tidak terlepas. Dengan merayap, dia lekas bangun. Ia-pun
napasnya memburu. Ketika ia mengawasi keadaan
sekitarnya, Cin Siau San entah sudah menyingkir kemana kedua keledai-pun lenyap bersama.
Dengan pentang mata lebar" jago tua ini kemudian cari
korban goloknya. Ia berhasil menemui orang itu, ketika ia
mengower-ower dengan kakinya, tubuh itu tidak berkutik dan ia-pun tidak dengar suara rintihan. Maka ia terus
membungkuk, ia ulur tangannya untuk meraba. Ia kena
pegang barang cair. Ia tahu, itulah tentu darah adanya.
Maka teranglah sudah, musuh itu satu bocah terbinasa
diujung goloknya!
Tiba-tiba, hatinya menjadi lemah, ia merasa kasihan
terhadap bocah itu.
"Coba dahulu aku bunuh Kang Siau Hoo bagaimana
sekarang bisa terjadi hal seperti ini" Tentulah aku tidak meninggalkan bibit bencana, hingga aku mesti pergi
merantau" Tidaklah, dengan merantau, orang mesti berlaku kejam?"
Dengan tiba-tiba juga, hatinya jadi kuat lagi, malah
dengan bengis, ia dupak tubuh yang tidak bernyawa itu, sesudah mana, ia perdengarkan suara suitannya, akan
panggil kudanya. Setelah
binatang tunggangan
itu menghampiri, ia menaikinya, ia berjalan pergi. Ia sobek sepotong baju dalamnya, untuk susuti goloknya, buat
bersihkan darah ditangannya. Masih saja ia mendongkol, ia larikan kudanya untuk kembali ke rumahnya Lau Kiat.
Ketika ia sampai, orang-orang polisi masih belum berlalu.
Lau kiat semua, dengan mata terpentang, pada mengawasi.
Cin Hui masih tak lepaskan goloknya ketika ia masuk
kedalam dan duduk diatas kursi, nafasnya masih memburu.
"Loo-piausu, apakah kau dapat candak nyonya
mantunya Long Tiong Hiap?" Thia Pat tanya.
Cin Hui menggeleng kepala, sambil benarkan jalan
napasnya. "Aku tak dapat menyandak, aku tidak kenal jalanan," ia menjawab kemudian.
Thia Pat saling menandang dengan Thio Hek Hou dan
Lau Kiat. Cin Hui masih duduk sekian lama, lalu ia berbangkit,
dengan bawa goloknya, ia masuk kekamarnya. Kamarnya
dipasangi api terang, disitu tidak ada lain orang kecuali Cie Khie yang rebah dengan tangannya tinggal sebelah,
tubuhnya masih berlepotan darah, tubuh itu tidak bergerak, bagaikan mayat saja, cuma dari mulutnya keluar rintihan perlahan.
Pau Kun Lun letaki goloknya, ia jadi berduka.
"Kita, guru dan murid, sungguh harus dikasihani." pikir ia. "Bukan saja kita telah didesak, dilukai dan diperhina, kita juga telah dibuat sangat penasaran ?"
Tidak merasa lagi, orang tua ini mengalirkan air mata.
Jago tua ini tutup pintu kamar, ia padamkan api, lantas ia naik keatas pembaringan. Sia-sia saja ia mencoba tidur, saban-saban ia terbangun sendirinya sampai empat atau
lima kali. Pertama ia terbangun karena ia seperti merasakan ada
gerakan apa-apa diluar jendela, sebagai juga Kang Siau Hoo atau Cin Siau San hendak datang membunuh padanya.
Kedua kalinya ia berbangkit, ia kuatir kalau-kalau Liong Cie Khie menutup matanya dengan tiba-tiba. Yang lainnya tetap ada gangguan pada asalatnya itu.
Begitu ia lekas bangun di hari esoknya, Cin Hui segera lilat luka muridnya. Ia dapatkan murid itu melainka bisa buka kedua matanya.
"Suhu," kata murid itu sambil menangis.
Datam dukanya, jago tua itu jadi gusar.
"Cie Khie, kau sabar, kau rawat lukamu," ia berkata
dengan nyaring. "Aku nanti balaskan sakit hatimu ini,
untuk lampiaskan penasaranmu!"
Cie Khie tidak bilang suatu apa, ia merintih, teraduh-
aduh. Justeru itu, ada ketokan pada daun pintu.
Itulah bujangnya Lau Kiat.
"Majikanku mengundang," kata bujang itu.
Diam-diam Pau Kun Lun terperanjat.
"Begini pagi Lau Kiat cari aku ada apa?" ia tanya dirinya sendiri. Tapi ia segera ikuti bujang itu pergi keruangan tamu dimana Lau Kiat berada bersama-sama Thio Hek Hou dan
Hoa-Thayswee Chio Seng. Tampangnya tuan rumah
nampaknya suram.
"Tolong wakilkan aku bicara kepada Pau Lauko," kata
Lau Kiat pada Chio Seng.
Hoa-Thayswee bersikap sangat sewajarnya, malah ia
tertawa. "Pau Lauko, kau dengari apa aku hendak bilang,"
berkata ia. "Kita bicara tentang kejadian semalam. Kau telah berhasil menyandak Cin Siau Hong, iparnya Cie Gan In, dan kau telah binasakan dia ditepi jalanan. Perkara itu sudah jatuh dalam tangannya pembesar negeri, orang polisi bakal datang untuk menawan kau ... "
Biar bagamana, Cin Hui kaget, hingga segera ia niat lari ke kamarnya, buat ambil goloknya, akan kempit Liong Cie Khie, untuk dibawa lari, sebelum ia sempat berbuat
demikian, Chio Seng sudah ulapkan tangan.
"Jangan sibuk, lauko, jangan kuatir," berkata si Dato
Kembang ini. "Kau tinggal sama Lau Toako disini, orang
polisi tidak nanti berani datang kemari untuk tangkap kau.
Urusan dengan pembesar negeri
masih gampang dibereskan, tidak demikian dengan urusan perseorangan, yang ada hebat. Hari ini atau besok, pastilah Long Tiong Hiap ayah dan anak, bersama-sama Cin Siau Sian, bakal
datang kemari. Orang yang terbinasa-pun ada cucu luar dari Siok Tiong Liong. Benar Siok Tiong Liong itu sudah lama sucikan diri, tetapi kabarnya ia masih hidup sampai


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang ini, umpama ia dapat dengar tentang perkara atau kematian cucunya, niscaya sekali dia akan datang kemari untuk menuntut balas. Disebelah itu, baik kita tak usah sebut-sebut halnya Kang Siau Hoo. Pau Lauko, kita undang kau karena kita orang hendak kagumi padamu, kita ingin bersahabat dengan kau. Memang kita hendak satrukan
Long Tiong Hiap, tetapi maksud kita melainkan untuk
tandingi dia, buat menangkan padanya. Sama sekali bukan niat kita akan musuhkan dia secara musuh besar. Sekarang duduknya hal menjadi lain sekali. Tentang urusan dengan pembesar negeri, lauko, kau jangan sibuki, mengenai itu kita bertiga yang akan membereskan, kita hanya ingin
tanya, bagaimana urusan dengan Long Tiong Hiap sendiri"
Lauko, kita ingin sekali dengar dari mulutmu yang
setulusnya!"
Cin Hui sekarang mengerti maksudnya tiga orang itu
baiki ia, untuk hadapi Long Tiong hiap. Diam-diam ia
mendongkol, ia sampai berdiam saja sekian lama.
Akhirnya, ia tertawa dengan tawar. Ia lantas tepuk-tepuk dada.
"Inilah ada urusan tidak ada artinya!" berkata ia. "Baik urusan dengan pembesar negeri, baik urusan dengan Long Tiong Hiap, sendirian saja aku Pau Kun Lun yang nanti
tanggung! Tidak nanti aku buat sulit pada kau orang,
samwie lautee. Umpama seorang polisi hendak datang
menawan aku, aku nanti serahkan diriku, aku bersedia akan diperiksa dan diadili. Memang siapa membunuh jiwa
manusia, dia mesti mengganti jiwa, siapa berhutang uang, ia mesti bayar dengan uang! Ada harganya untuk aku, satu tua bangka umur tujuh atau delapan-puluh tahun,
mengganti jiwanya satu bocah dari umur belasan tahun.
Andaikata pembesar negeri tidak tangkap aku, aku akan
berdiam terus disini, tidak nanti aku umpatkan diri! Tidak perduli Long Tiong Hiap, Cie Gan In, Cin Siau San, Siok Tiong, Karig Siau Hoo, atau gurunya Kang Siau Hoo,
sekalipun, aku tidak takut! Aku ada punya Kun-lun-too, aku punyakan sebatang golok dan satu jiwa, maka siapa terlebih lemah dari padaku, biarlah dia rasai golokku!"
Pau Kun Lun bicara dengan bersemangat, romannya jadi
keren sekali, suaranya-pun keras, maka itu, melihat
demikian, Lau Kiat bertiga menjadi puas. Malah air
mukanya Lau Kiat lantas berubah menjadi sabar seperti
biasa. "Bagus!" berseru tuan rumah ini. "Dengan kata-katamu
ini, lauko, tidaklah kecewa kau menjadi seorang kangouww sejati, satu enghiong. Tentang urusan dengan pembesar
negeri, jangau lauko buat pikiran, anggap saja seperti sudah tak terjadi suatu apa, andaikan Cui Pou-tau datang, asal aku lirik dia, dia bakal berlalu pergi. Umpama kata Long Tiong Hiap datang, belum tentu kita semua bakal dapat
dikalahkan, kita nanti bantu kau dengan sungguh-sungguh hati!"
Cin Hui manggut, namun dengan napas masih
memburu. "Bak, baiklah," kata ia. "Sebeatar aku nanti gosok
golokku, buat dipakai menantikan Long Tong Hiap semua.
Muridku terluka parah, siapa diantara saudara-saudara
yang ketahui siapa ada punya obat luka yang mustajab,
guna diminta pertolongannya mengobati muridku itu"
Jikalau muridku itu bisa ditolong sampai sembuh, tidak kita lupakan budi ini yang sangat besar."
"Lauko, jangan kau bicara secaca demikian sungkan,"
kata Lau Kiat. "Sekarang juga aku nanti perintah orangku pergi kekota undang tabib Lie It Tiap, yang pandai
mengobati."
Pau Kun Lun manggut.
"Asal jiwanya dapat ditolong, biar dia hilang sebelah
tangannya atau bercacat," kerkata guru ini. "begitu lekas urusan disini sudah beres, aku nanti cuci perkara
penasarannya, aku ingin bawa dia menemui keluarganya
tiekoan dari Hong san untuk mereka kenali muridku itu, benar dia atau bukan yang jadi begal di Loo Su Nia!"
Lau Kiat dan Thio Hek Hou tertawa.
"Itulah urusan di belakang hari, yang gampang
diselesaikannya," kata Lau Kiat. "Yang penting adalah
urusannya Long Tiong Hiap, puteranya dan nyonya
mantunya. Aku sudah pesan semua orangku begitu-pun
orangnya saudara Thio, siapa juga diantaranya, tidak boleh sembarangan berlalu dari sini, dan semua mesti selamanya siapkan senjatanya masing-masing. Aku juga telah kirim beberapa orang, guna serep-serepi kabar, apabila mereka lihat Long Tiong Hiap mendatangi, selagi jaraknya masih sepuluh lie, mereka mesti memberi tahu terlebih dahulu."
Pau Cin Hui manggut-manggut. Karena pembicaraan
telah selesai, ia balik ke kamarnya, untuk cuci muka dan minum teh, kemudian ia melihat lukanya Cie Khie siapa
kelihatannya seperti sudah tidur tetapi dalam mimpinya dia masih merintih-rintih ...
Jago tua ini menghelah napas saking berdukanya. Ia
lantas ambil goloknya, ia ambil sepotong kain, untuk
dipakai menggosoki gegamannya itu, tetapi waktu ia lihat tanda tanda bekas darah, ia ingat si bocah yang tadi malam ia binasakan. Ia percaya, pada waktu itu, mayatnya bocah itu pasti sudah diperiksa selesai oleh pembesar negeri. Ia lalu pikirkan, ada permusuhan apa antara ia dengan bocah cilik itu yang bersenjatakan toya hingga ia membunuhnya"
Lantas saja ia jadi tambah duka, tetapi sekejap kemudian, ia bisa keraskan hati, ia tidak mau ingatkan bocah itu, ia lantas gosok goloknya, setelah nyusuti sekian lama, golok itu mengkilap berkilau-kilau.
Sehabis membersihkan golok, jago tua ini robek-robek
sepotong baju, buat membuatnya menjadi suatu lembaran
yang panjang, dengan itu, libat pinggangnya dan pahanya dengan keras sekali, untuk buat tubuhnya jadi ringkas, supaya ia bisa bergerak dengan leluasa. Paling akhir-akhir, ia salin pakaian, sesudah beres dandan, dengan bawa
goloknya, ia pergi pula keluar, keruangan tamu.
Lau Kiat ada berdua dengan Thio Hek Hou, mereka
sedang bicara secara asik, rupanya mereka bicarakan urusan rahasia. Chio Seng tidak ada bersama, dia ini tentulah sudah pulang. Sedang Thia Pat, Sejak tadi malam ia sudah tidak berada dirumahnya si orang she Lau itu.
Melihat munculnya Pau Kun Lun. Lau Kiat dan Thio
Hek Hou berhentikan bicara pembicaraan mereka, mereka
sambut jago tua ini seraya tuan munah pesan orangnya
lekas sediakan barang hidangan.
Cin Hui letakkan goloknya dimeja lain, ia duduk
bersama dua sahabat itu. Oleh karena pikirannya sedang kalut, ia tidak menahan-nahan hati lagi akan tenggak
banyak air kata-kata, sesudah mana, barulah orang, sajikan barang makanan.
Selagi mereka itu dahar, satu orang datang masuk sambil berlari-lari. Dia adalah orangnya Thio Hek Hou. Dari air mukanya, terang ia berkuatir.
Ciu Hui segera berbangkit, ia hendak ambil goloknya.
Thio Hek Hou sebaliknya bersikap tenang.
"Ada apa?" ia tanya orangnya itu.
"Hek-pa cu Ngo Kim Piu sudah kembali," orang itu
menjawab. "Sekarang ia sedang duduk minum arak di
rumah makannya si orang she Kwee. Kita telah tanya dia, dia dapat cari Kang Siau Hoo atau tidak, dan selama
beberapa hari ini dia pergi kemana saja, dia tidak mau menjawab,
dia menggoyang-goyang
kepala sambil berenyum berseri-seri."
Baru setelah mendengar begitu, air mukanya Hek Hou
menjadi padam. "Pergi kau ajak kawan-kawan kau seret binatang itu
kejalan besar dan hajar padanya!" ia titahkan. "Tak usah kau orang ambil jiwanya cukup jikalau kamu orang hajar dia sampai setengah mampus ... !"
Orang itu menurut, tetapi ketika ia mau undurkan diri, Lau Kiat menggoyang-goyang tangan.
"Buat apa, buat apa layani dia!" berkata tuan rumah ini.
"Lihat saja, apabila sampai dua hari dia masih belum
angkat kaki dari sini, baru kita bicara pula. Sekarang ini kita jangan recoki segala urusan kecil, urusan besar terlebih dahulu, setelah urusan besar selesai, urusan kecil gampang diurus!"
Pau Kun Lun bisa duga, yang dibilang urusan besar itu
adalah urusannya Long Tiong Hiap, maka ia-pun turut
menggoyangkan tangan.
"Ya, jangan perdulikan dahulu si orang she Ngo itu," ia bilang. "Dia balik seorang diri, teranglah sudah bahwa ia tidak dapat cari Kang Siau Hoo. Untuk sementara ini, Kang Siau Hoo tentu tak akan datang kesini. Aku tahu dimana adanya dia sekarang. Aku harap betul hari ini Long Tiong Hiap datang bersama anaknya, setelah tempur mereka, hari ini juga aku nanti pergi cari Kang Siau Hoo!"
Orangnya Thio Hek Hou segera mengundurkan diri.
Tiga orang itu melanjuti dahar sambil minum dan bicara, akan tetapi hati mereka masing-masing tegang. Terutama Pau Kun Lun, hari itu ia duduk dan berdiri serba salah.
Selagi mendekati magrib, satu orangnya Lau Kiat pulang dengan mandi keringat dan penuh debu, tangannya masih
pegangi cambuknya, begitu lekas bertindak kedalam
ruangan, dengan roman kuatir, dengan tergesa-gesa dia kata
: "Long Tiong Hiap sudah datang!"
Bertiga Lau Kiat, Thio Hek Hou dan Pau Kun Lun
segera lompat bangun, malah jago tua itu sudah lantas
samber goloknya.
"Loo-piausu, sabar!" berkata si orang suruhan. "Long
Tiong Hiap beramai baru sampai di Cio-to-tin, tidak bisa dia segera sampai disini!"
"Berapa jumlahnya orang Long Tiong Hiap itu?" tanya
Hek Hou. "Jumlahnya ada belasan, semuanya dengan menunggang
kuda, dengan membekal senjata," juru warta itu terangkan.
"Mereka ada Long Tiong Hiap sendiri bersama Cie Gan In dan Cin Siau San, yang lain ada orang-orang mereka.
Mereka tidak ajak orang lain." Lau Kiat kaget mendengar musuh datang dalam rombongannya itu, tampangnya
berubah. "Peng lekas kau undang Chio Jie-ya!" ia perintah
pembawa berita itu. "Kau minta dia ajak banyak orang!
Habis itu, kau terus pergi ke kantor akan cari Thia Pat-ya, umpama kata dia tidak ada di kantornya, kau susul dia di gang Yang-ciekang di rumah Nyonya Ciu. Biar bagaimana, kau mesti cari dia sampai dapat, kau mesti minta dia datang dengan ajak banyak orang polisi, lebih banyak lebih baik.
Nah, lekas, lekas!"
Sebelum orang itu berangkat, Cin Hui menghalau di
pintu, goloknya dimajukan kemuka. Ia perlihatkan roman yang bengis sekali.
"Tidak usah!" kata ia dengan nyaring. "Mereka datang
untuk membalas sakit hatinya bocah semalam, aku adalah pembunuhnya anak itu, maka asal aku kemukakan diriku,
mereka tidak akan perdulikan lain orang lagi! Jiewie, jangan kau orang campur tahu urusanku ini, aku nanti pergi keluar kampung,
untuk nantikan mereka. Inilah urusan perseorangan, karena itu, tidak usah kita buat pusing
pembesar negeri!" Setelah mengucap demikian, dengan
gagah jago tua ini bertindak keluar, jalannya cepat sekali.
Ketika itu orang-orangnya Lau Kiat serta orang-
orangnya Thio Hek Hou yang didatangkan dari Pa-tiong,
mendengar bakal datangnya Long Tiong Hiap, semua jadi
berkuatir sekali, malah ada yang ingin pergi sembunyikan diri saja. Cuma ada beberapa orang yang siapkan golok dan panah untuk menyambut musuh.
"Tuan jangan sibuk!" kata Cin Hui sembari ia berjalan
keluar. "Urusan disebabkan oleh aku sendiri, sudah
seharusnya jikalau aku sendiri juga yang berurusan dengan mereka itu! Umpama pertempuran mesti dilakukan, biarlah dilakukan diluar kampung ini! Jikalau sampai ada selembar rumput saja yang terganggu disini, sungguh aku malu
terhadap Lau Toaya!"
Demikian ia keluar dari pekarangan akan pergi ke mulut kampung. Ketika itu ada dipermulaan musim ketiga, pohon padi sudah tumbuh tinggi. Ada sejumlah orang tani, lelaki dan perempuan, yang sedang bekerja dengan rajin.
Dijalan besar dimuka kampung itu, tidak banyak orang
yang berlalu lintas.
Cin Hui hampirkan sebuah batu besar ditepi jalan, ia
duduk disitu seraya tangannya pegang terus goloknya,
matanya memandang jauh ke depan, tetapi di detik itu ia teringat kejadian pada sepuluh tahun yang lampau, ketika seorang diri di depan rumahnya ia hadapi Long Tiong-hiap, dan waktu itu, cucunya yang baru berumur kurang lebih
sepuluh tahun, yang kuatirkan ia tak sanggup lawan jago dari Long-tiong itu, sudah teriaki ia : "Awas, ya-ya, dia nanti lukai kau!" Tapi sekarang Ah Loan sudah ikut Kie Kong Kiat, entah bagaimana keadaannya.
Jago tua ini lalu ingat Kang Siau Hoo, yang katanya
sudah datang ke Su-coan Utara tetapi masih belum ada
kabar-ceritanya.
"Apakah bisa jadi Kong Kat dan Ah Loan telah
terbinasa ditangan Siau Hoo?" ia mengelamun lebih jauh.
Karena menduga demikian, batinnya jago Kun Lun Pay
itu jadi lemah, hingga ia berduka sekali. Justeru itu dan depan ada mendatangi dua penunggang kuda, yang larikan kudanya sangat pesat.
Segera Cin Hui berbangkit akan memapaki.
Kapan kedua orang itu sudah datang dengan cepat, Cin
Hui lihat mereka bukannya Long Tiong Hiap dan kawan
mereka adalah orang-orangnya Lau Kiat, ialah juru warta.
Ia lantas saja bertindak ke pinggiran.
"Bagaimana?" ia tanya. "Long Tiong Hiap sudah sampai
atau belum?"
"Mereka sedang mendatangi!" sahut dua orang itu yang
larikan terus kudanya melewati disampingnya jago tua itu, untuk kabur terus kedalam kampung.
Cin Hui lantas saja maju ke depan, dadanya dirasakan
panas sekali. Ia maju baru belasan tindak, lantas tertampak disebelah depan mendatangi belasan penunggang kuda,
debu mengepul naik. Mereka itu tidak kaburkan kuda
mereka. Dengan cekal keras goloknya Cin Hui berdiri tegak
ditengah jalan.
Kapan rombongan telah datang semakin dekat, kelihatan
nyata yang jalan dimuka adalah Long Tiong Hiap, ia
memakai tudung besar, bajunya biru, kudanya berbulu
putih, kelenengan berbunyi tak berhentinya dilehernya kuda itu.
Pau Kun Lun dapatkan jago dari Long-tiong itu tidak
berubah romannya, kecuali sekarang dia ada punya
berewok hitam yang pendek.
"Saudara Cie, sudah lama kita tidak bertemu!" Cin Hui
segera mendahului menegor seraya unjuk hormatnya.
"Tahanlah kudamu!"
Cie Kie tahan kudanya setelah ia berpisah lima tindak
dari jago tua itu, lebih dahulu ia cabut pedangnya,
kemudian baru ia mengawasi dengan hunjuk roman
sungguh-sungguh.
"Penjahat tua, kau masih ada punya muka akan tunggui
aku disini?" ia menegor. "Selama sepuluh tahun aku
hormati aku anggap kau ada seorang tua dari kalangan
kangouw yang kenal adat sopan santun. Itulah sebabnya
kenapa aku tidak pernah cari kau dan tidak sudi campur pula urusan kaum kangouw, aku rela serahkan Siamsay
Selatan dan Su-coan Utara kedalam tangannya kaum Kun
Lun Pay! Baru selang dua hari aku dengar kau telah datang kemari karena didesak Kang Siau Hoo, aku merasa
berkasihan luar biasa terhadap nasibmu itu, sehingga aku memikir untuk muncul pula guna damaikan kedua pihak.
Akan tetapi tadi malam nyonya mantuku pulang
menyampaikan warta, barulah aku ketahui kau sebenarnya ada jahat sekali, kau sangat menjemukan! Muridmu Liong Cie Khie, sudah mengganas di Su-coan Utara ini. Di Loo Su Nia dia binasakan hamba negeri, dia membegal, dia
culik isterinya tiekoan! Di Thay Kek San dia menjadi
perampas milik orang! Bukan itu saja, pun didusun Giok-sekcun dia berani permainkan nyonya mantuku. Selain dia lakukan macam-macam perbuatan jahat dan busuk itu, pula dia berani pakai namanya Kang Siau Hoo, dia memfitnah!
Dan kau, bukan saja kau tidak serahkan muridmu itu
kepada pembesar negeri, kau tidak tegor dan hukum
padanya, bahkan sebaliknya kau sudah mengeloni dan
lindungi murid binatang itu! Kau telah bunuh satu bocah umur belum lima belas tahun. Kau manusia macam apa,
tua bangka" Kau, satu bandit bangkotan!"
Selagi mengucap demikian mata Long Tiong Hiap
bersinar tajam sekali, lalu dengan tiba-tiba ia menyerang.
Pau Cin Hui sudah siap, ia segera menangkis, hanya
karena serangan itu, ia tidak sempat mengucapkan kata-
kata. Ketika itu rombongannya Long Tiong Hiap telah
sampai, dengan lantas mereka maju mengurung, malah Cie Gan In yang muda gagah dan Cin Siau San yang gesit
segera turun tangan. Perbuatan mereka lalu ditelad oleh
kawan-kawannya. Maka itu Cin Hui mesti layani banyak
musuh, ia bertempur secara hebat sekali.
"Semua mundur!" Long Tiong Hiap berseru. "Buat
bunuh penjahat tua semacam dia ini, kenapa mesti banyak orang mesti turun tangan?"
Dilain pihak, Lau Kiat dan Thio Hek Hou telah datang
bersama tiga atau empat puluh orangnya, untuk membantu si jago tua.
"Siapa juga jangan bantui aku!" Pau Kun Lun berseru.
Cie Gan In turut seruan ayahnya, ia tarik isrerinya
mundur, orang-orangnya turut mundur juga.
Lau Kiat semua juga tidak maju menyerang musuh.
Satu kalangan dan beberapa tumbak lebar dan panjang
lantas jadi medan pertempuran dari kedua orang itu. Long Tiong Hiap sudah loncat turun dari kudanya, dengan
pedangnya ia menyerang pula.
Permainan pedangnya jago Long-tiong ada lebih liehay
daripada sepuluh tahun yang lalu karena ia rajin berlatih, tetapi Pau Kun Lun-pun berkelahi dengan terlebih sungguh-sungguh daripada waktu ia layani musuh ini pada sepuluh tahun yang lalu itu, goloknya berkilau-kilau seperti juga pedangnya Cie Kie yang berkeredepan.
Pertempuran seru sekali, tidak ada yang mau mengalah,
dengan cepat dua puluh jurus telah lewat.
Thio Hek Hou yang menonton dengan perhatian, segera
tolak tubuhnya Lau Kiat.
"Aku kuatir si orang tua she Pau kalah," berkata dia,
"Setelah dapat mengalahkan Pau Kun Lun, Long Tiong
Hiap tentu akan gunai ketika ini akan tempur kita. Maka, mari maju!"
Mendengar demikian, Lau Kiat lantas geraki tumbaknya
mengajak orang-orangnya maju turun tangan.
Cie Gan In dan Cin Siau San yang melihat musuh
membantui kawannya, merekapun segera beri tanda akan
orang-orangnya tangkis serangan itu. Mereka tidak keder walau-pun musuh berjumlah jauh lebih besar.
Maka itu pertempuran jadi sangat dahsyat, suara mereka sangat berisik.
Dantara suara beradunya berbagai senjata, -pun ada
terdengar jeritan-jeritan dan kesakitan, dari mereka yang terluka.
Selagi pertempuran berjalan kalut itu, dari kejauhan ada mendatangi beberapa penunggang kuda, mereka itu
berteriak-teriak seraya kerjakan cambuk mereka.
Cie Kie dan Cin Hui bertempur seru sekali. Pedangnya
Long Tiong Hiap telah dapat menikam satu kali, tetapi
goloknya Pau Kun Lun pun telah berkenalan pula dengan
bahu kirinya Cie Kie. Sedangnya sengit mereka bertempur, lalu terdengar pekikan-pekikan riuh. "Ada polisi! Ada
polisi!" Dengan lekas kedua pihak yang bertempur lantas
berhenti sendirinya, berkumpul dalam rombongan masing-
masing yang terluka bergeletakan ditengah medan
pertempuran, ialah dua orangnya Long Tiong Hiap, tiga
bujangnya Lau Kiat, dan satu orangna Thio Hek Hou. Si
Harimau Hitam-pun dengan satu luka pedang di kepalanya, rebah diantara pengempang darah, napasnya sudah berhenti jalan.
Cie Gan In minta sepotong sapu tangan dari isterinya


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membesihkan pedangnya yang berlumuran darah.
Cin Siau San masih berniat menikam Pau Kun Lun, yang
napasnya memburu, tetapi orang polisi keburu sampai,
antaranya ada yang serukan, "Tiekoan looya datang!"
Semua orang menoleh, lantas mereka lihat dua buah
kereta besar sedang mendatangi, di belakang kereta ada dua hamba negeri diatas kuda masing-masing.
Tidak antara lama sampailah kedua kereta itu. Yang
paling dahulu muncul dari dalam kereta adalah Thia Pat, dia berpakaian biasa tetapi sepatunya sepatu kepangkatan begitupun kopiahnya. Begitu injak tanah, ia banting-banting kaki.
"Hei, apakah artinya ini" Benar-benar buat aku sukar!"
demikian ia perdengarkan sesalannya.
Long Tiong Hiap mengawasi sambil bersenyum.
"Lau Pat, jangan banyak susah hati!" ia berkata. "Kau
boleh minta koan-thayya bawa kita kekantor!"
Tiekoanpun telah turun dari keretanya. Ia pakai pakaian kebesarannya. Ia jalan sambil tunduk, melihat tempat adu jiwa itu berikut sekalian kurbannya, yang binasa dan luka-luka.
"Siapa yag bunuh dia ini?" dia tanya.
"Kedua pihak bertempur secara kalut, golok dan tumbak
pun tidak ada matanya," sahut Cin Siau San, "mungkin dia terjatuh sendirinya dan binasa diujung gegamannya sendiri!
?" Dibalik kaca matanya, tiekoan memandang nyonya
muda yang bicara itu, kemudian ia berpaling akan awasi si jago tua dengan kumis-jenggotnya memain diantara
Memanah Burung Rajawali 9 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 23
^