Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 14

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 14


hembusan napasnya sendiri.
"Hei, orang celaka!" demikian ia menegor, matanya
mendelik. "Apakah kau yang bergelar Pau Kun Lun"
Semua ini sudah terjadi karena gara-garamu! Muridmu
yang bernama Kang Siau Hoo adalah penjahat yang dicari oleh pembesar dari empat distrik, sedangkan kau tadi
malam ditengah jalan sudah bunuh satu anak kecil! Kau
tentunya dilain tempat ada mempunyai lain-lain perkara lagi. Hayo opas, rantai dahulu dia inil!"
Beberapa polisi menghampiri, mereka hendak jalankan
titah itu. Pau Kun Lun mengawasi dengan tajam, ia angkat
goloknya. Tiekoan segera menyingkir kesamping, tetapi ia berseru.
"Eh, kau berani lawan pembesar negeri" Lekas lempar
golomu! Jangan kau tidak kenal wet negeri!"
Karena ini, orang-orang polisi-pun merandek. Lau Kiat
bersama Thia Pat mendekati tiekoan itu, mereka bicara
bisik-bisik, atas mana tiekoan itu angguk-anggukkan kepala.
"Lebih dahulu bawa dia ke Lau-keechung!" ia menitah
pula. Ia bersikap tetap garang. "Bersama muridnya kita nanti bawa dia kekantor!"
Pau Kun Lun berdiam, ia bercuriga, maka itu ia tidak
mau lepaskan goloknya.
Lau Kiat dan Thia Pat lantas menghampirkan.
"Mari kita pulang!" mereka mengajak.
Long-tiong-hiap Cie Kie, yang sudah simpan pedangnya,
mengawasi kejadian didepannya itu, ia bersenyum dingin.
Tiekoan pandang jago Long-tiong itu serta putera dan
nyonya mantunya, tetapi tidak bilang suatu apa.
Thia Pat mendekati jago Long-tiong itu.
"Tiekoan kita, Lou Loo-ya, merasa sangat sulit atas
kejadian ini," ia berkata "Kau adalah satu penduduk
kenamaan dari Long-tiong, sedang Lau Kiat ada hartawan terkenal disini, umpama karena perkelahan ini, yang
menumpahkan darah dan meminta jiwa, kau mesti dibawa
kekantor, pasti urusan akan menjadi besar sekali, mungkin tak dapat diadili dalam tempo delapan atau sepuluh tahun!
Launio dan Lau Chung-cu ada sahsbatku lama, sedang
Thio Hek Hou yang terbinasa ada saudara angkat kita,
maka kejadian itu sungguh bisa membangkitkan tertawaan orang-orang kangouw. Maka itu tadi aku telah berdamai
dengan Lou Loo-ya, perkara ini paling baik dibereskan cara peseorangan. Sekarang, dengan ajak siau-ya dan Siau-naynay, baiklah lau-ko pergi dahulu ke hotel Kong Seng didalam kota, paling lama tiga atau empat hari akan datang orang-orang dari Pa-tiong, ialah keluarga Thio, itu waktu aku nanti coba mendamaikan kedua belah pihak. Mengenai Pau Cin Hui, itulah urusan lain. Dia adalah pembunuhnya Cin Siau-ya, dia sendiri-pun sudah mengakui, inilah terlebih gampang pula. Dalam hatinya muridnya, ialah Kang Siau
Hoo tetiron yang hendak ditangkap, bila saksi sudah
datang, dalam tempo pendek akan menjadi terang.
Ringkasnya, mereka guru murid sudah seperti ditahan di Lau-kee-chung, dari itu mereka tidak akan manpu angkat kaki dari sini."
"Pasti aku juga tidak akan angkat kaki!" kata Long
Tiong Hiap dengan tertawa dingin.
"Perkaramu sendiri gampang diurusnya, lauko," kata
pula Thia Pat. "Thio Hek Hou terbinasa dalam
pertempuran, siapa-pun tidak dapat ditunjuk sebagal
pembunuhnya, hanialah bila perkara jadi panjang, itulah berabe dan memusingkan kepala. Maka pikirku baiklah
diatur seperti apa yang aku katakan tadi. Nah, lauko,
silahkan kau pergi dulu kerumah penginapan untuk
beristirahat, sebentar aku nanti ketemui kau!"
Setelah berkata begitu, Thia Pat tepuk pundaknya Long
hong Hiap dan tertawa. Long Tiong hiap bersenyum dingin.
"Benar-benar aku tidak sangka?" kata ia. "Aku tidak
sangka di Gie-liong ini Tiang-pat-chio Lau Kiat ada punya pengaruh demikian besar! Syukur hari ini dia muncul
apabila melainkan aku dan Pau Kim Lun berdua yang
bertempur, sekali-pun tidak terjadi perkara jiwa, tentu aku mesti turut Pau Kun Lun ditangkap. Sekarang begini saja.
Perkaranya Thio Hek Hou ada satu soal lain. Jikalau terjadi kau menawan Pau Kun Lun, kau mesti panggil aku untuk
turut diperiksa. Aku tidak mau, sebagai satu penduduk baik-baik dari Long tiong-hu, nanti dikatakan sudah menghina seorang tua yang sedang merantau! Baiklah, aku pergi
kehotel Kong Seng untuk menantikan panggilan! Umpama
Pau Cin Hui dan Lau Kiat tidak puas, terserah kepada
mereka, mereka boleh cari pula aku guna bertempur lebih jauh!"
Long Tiong Hiap memberi hormat pada Thia Pat, lalu ia
loncat naik atas kudanya.
Cie Gan In dan Cin Siau San turut teladan ayah atau
mertua itu. Dua orang yang terluka sudah ada kawan-kawannya
yang beri naik atas kuda mereka, dan itu mereka bisa lantas berlalu dari situ. Rombongan ini berjalan dengan pelahan-lahan.
Thia Pat lantas ajak tiekoan mampir ke Lau-kee-chung,
disana pembesar itu bicara banyak dengan Lau Kiat, bicara berdua saja, kemudian Thia Pat berangkat pulang.
Semua orang yang terluka sudah diangkut ke rumahnya
Lau Kiat, mereka lantas dirawat sedang mayatnya Thio
Hek Hou ditempatkan disebuah ruangan dimana kedua
gundiknya tangisi padanya. Diantara orang-orangnya, ada yang segera kabur ke Pationg untuk menyampaikan kabar
jelek itu pada adiknya Thio Hek Hou.
Lau Kiat bersama Thia Pat telah bujuki Pau Kun Lun
untuk jangan keluar dari gedung, dan Thia Pat-pun kata:
"Perkara ini gampang diurus. Asal perkaranya Long Tiong Hiap dan Lau chung-cu tidak ditarik panjang, pasti kau tidak akan dibiarkan mendekam dalam penjara."
Pau Kun Lun tidak bilang suatu apa, ia hanya menghela
napas, kemudian ia pergi kekamarnya sendiri. Ia ada
masgul dan mendongkol, pikirannya kusut. Ia hendak
angkat kaki tetapi ia tidak sangka sekarang terjadi perkara hebat ini.
Jago tua ini telah berkeputusan hendak pergi ke Thong-
kang buat cari Kang Siau Hoo, umpama ia tak dapat
ketemui pemuda itu, ia akan berangkat terus ke Tiang-an akan tengok Ah Loan, tapi sekarang Cie Khie terluka
parah, malah murid ini-pun tersangka berat, pasti ia tidak dapat meninggalkannya. Ia tetap tidak percaya bahwa
muridnya sudah lakukan kejahatan seperti dituduhkan. Ia anggap perkara ini soal kecil, yang penting ia anggap nama Kun Lun Pay dirusak, inilah ia tak dapat antapkan saja.
"Ya, aku mesti berdiam disini sehingga perkara menjadi terang!" demikian ia ambil putusan. "Aku mesti tunggu
datangnya saksi-saksi dan kejadian di Loo Su Nia itu untuk dipadu!"
Jago tua ini duduk dalam kamarnya, hatinya tetap panas.
Ia telah terluka pada dadanya, darah telah menembusi
bajunya, luka itu tidak menyebabkan ia merasa sakit, malah
luka itu-pun ia tidak obati. Ia letaki goloknya diatas pembaringan. Malamnya ia buat penjagan karena ia kuatir Cin Siau San datang pula untuk membokong. Tapi sampai
keesokannya pagi, tidak ada terjadi suatu apa.
Dihari ke dua, jago tua ini tidak keluar dari rumah,
seantero hari ia keram diri didalam kamar dengan hati
berdongkol dan pikiran pepat.
Lukanya Cie Khie telah banyak mendingan, ia tidak lagi merintih, ia bisa bicara.
Melihat keadaan muridnya itu, Cin Hui desak muridnya.
"Pembegalan di Leo Su Nia itu sebenarnya perbuatanmu
atau bukan?" demikian pertanyaannya dengan suara dan
sikap bengis. "Bicara sebenarnya!"
"Aku tidak lakukan itu," sahut Cie Khie. Ia merintih
pula. "Ketika hari itu aku jalan di Leo Su Nia, tidak
ketemukan satu juga keluarga pembesar negeri. Aku hanya dapatkan Kang Siau Hoo menjadi raja digunung itu, dia
telah lukai aku, dia rampas uangku dan mengumpat-caci
kau, suhu ?"
"Apakah kau juga tidak ganggu nyonya mantunya Long
Tiong Hiap?" sang guru mendesak lebih jauh.
"Mana aku berani lakukan itu?" sahut Cie Khie. Terus ia menangis. "Sudah dua puluh tahun lebih aku turut suhu, selama itu aku belum pernah langgar aturan dari Kun Lun Pay kita! Lagi-pun aku datang ke Su-coan Utara ini karena desakannya Kang Siau Hoo, maka itu cara bagaimana aku
berani main gila?"
"Kang Siau Hoo!" berseru guru silat itu. "Aku
bersumpah tidak mau hidup bersama kau!"
Pembicaraannya diantara guru dan murid berhenti
sampai disitu, sang guru berdongkol, sang murid kebat-kebit hatinya. Hari itu lewat dengan tidak terjadi suatu apa.
Dihari ke tiga, adik kandungnya Thio Hek Hou telah
datang dari Pa-tiong. Adik ini juga mengerti ilmu silat.
Kapan dia lihat mayat engkonya, dia banting-banting kaki, dia menangis menggerung-gerung.
"Koko, rapatkanlah matamu!" berkata ia. "Aku sudah
perintah orang pergi cari gurumu, Tiat Tiang Ceng! Pasti aku akan minta gurumu itu balaskan sakit hatimu ini!"
Walau-pun adik ini berkeras ingin balaskan dendam
engkonya, tetapi mengenai perkara dimuka pembesar negeri ia suka buat habis. Dia kata : "Didalam dunia kangouww, orang terbinasa atau terluka ada karena nasib. Dalam dunia kangouw, siapa kuat dia hidup, siapa lemah dia binasa, tidak perlu mesti berperkara!"
Mendengar sikapnya orang she Thio itu, hatinya Lau
Kiat menjadi lega, namun ia tetap berduka, karena
teranglah sudah, sekarang ini ia jadi makin lemah karena kekurangan
tenaga. Ia jadi tidak ingin lanjutkan
permusuhannya dengan Long Tiong Hiap. Bahkan ia segera utus Thia Pat ke Long-tiong-hiap untuk selesaikan
perdamaian dengan jago dari Long-tiong itu.
Thia Pat suka menjadi orang perantara ia pergi kekota
akan cari Long Tiong Hiap, ia baru pulang kembali dia kata
: "Long Tiong Hiap ayah dan anak suka membuat habis
persengketaan. Terhada Pau Cin Hui, mereka merasa
berkasihan, tak ingin orang tua itu berurusan pembesar negeri. Tidak demikian Ciu Siau Sian, dia kata dia
menuntut balas untuk adiknya!"
Pau Kun Lun ada duduk bersama mendengar laporan itu
ia mengehela napas.
"Memang, membinasakan Cin Siau Hiong adalah
kesalahanku," ia akui. "Aku bersedia akan menghaturkan maaf pada nyonya mantunya Long Tiong Hiap itu.
Andaikata ia masih tidak sudi beri keampunan padaku, aku nanti sodorkan batang leherku buat ia bunuh saja padaku!
Aku sudah berusia lanjut, aku tidak menyesal terbinasa ditangannya!"
"Tidak boleh berbuat demikian!" Thia Pat membantah.
"Kebinasaannya Cin Siau Hiong adalah karena kekeliuran loo-piausu. Lain dari itu, encienya-pun sudah lukai
muridmu, hingga diantara kedua pihak tidak dapat dibilang siapa yang mesti menghaturkan maaf! Dia ada seorang
perempuan, umpama dia terus penasaran, dia toh tidak
akan mampu berbuat suatu apa! Tunggulah, aku hendak
mengadakan perjamuan dirumah makan Ngo Cip Lau
dikota Timur untuk mendamaikan kau kedua pihak. Aku
harap supaya semua pibak suka memandang padaku."
Cin Hui menghela napas, ia nyatakan setujunya.
Kemudian, dengan sangat lesu ia kembali ke kamarnya.
Benar pada sorenya Thia Pat undang Lau Kiat serta jago tua itu pergi ke restoran Ngo Cip Lau untuk berjamu.
Untuk ini Cin Hui dandan dengan rapi, akan tetapi karena kuatir Cin Siau San nanti ganggu ia, ia bekal goloknya yang ia gantung dipinggangnya.
Ketika bujang datang mewartakan bahwa semua kuda
sudah disiapkan, ia terus ikut Lau Kiat, Thia Pat dan
adiknya Thio Hek Hou pergi kekota Timur Tong-kwan.
Restoran No Cip Lau adalah restoran paling besar untuk kota Timur. Thia Pat minta ruangan atas. Long Tiong Hiap masih belum datang, cuma Hoa-Thay-swee Chio Seng yang
sudah menantikan.
"Thia Loo-ya, siapakah orang-orang yang kau undang?"
Cin Hui tanya. "Tidak ada lain orang, melainkan kita berlima serta Long Tiong Hiap ayah dan anak," jawab Thia Pat. "Yang lainnya hanialah bun-an sinshe, jurutulis she Gu dan kantor
tiekoan, yang akan jadi saksi. Dia adalah penghubung kita dengan pembesar negeri. Secara perseorangan ia adalah
adik misan dari tiekoan."
Cin Hui tidak bilang suatu apa mengenai jurutulis itu, tetapi ketika ia turut duduk, hatinya goncang, pikirannya tidak tenteram.
"Ketika tadi aku datang kemari." berkata Chio Seng,
yang sedot huncweenya, "di depan rumah makan aku lihat Hek-pa-cu Ngo Kim Piu, ia jebikan bibirnya, ia memandang aku sambil bersenyum mengejek."
"Buat sementara kita jangan perdulikan dia," Lau Kiat
bilang serta menggoyangkan tangan. "Lagi beberapa hari pasti aku akan ajar adat padanya."
"Tidak ada harganya melayani orang semacam dia,"
Thia Pat bilang, "Baiklah kita tunggu sampai urusan kita ini sudah selesai, baru kita pikir pula. Apabila perkara kita sampai dikupingnya Sun-hu Thy jin di Seng-tou, jikalau dia kirim wakil menyelidiki, perkara bisa berubah menjadi
hebat. Binatang Ngo Kim Piu itu pasti tak punya
kepandaian berarti, dia mungkin hanya mengebul saja.
Nanti di waktu berlalu aku akan kisikan pada Lou Tiekoan ada punya daya untuk cekuk padanya. Tak usah kita turun tangan sendiri."
Cin Hui masgul sekali, kembali ia menghela napas.
"Aku merantau untuk cari Kang Siau Hoo," berkata ia,
"baru sampai disini, aku telah bertemu dengan tuan-tuan
yang ikat padaku tali persahabatan, malah dengan tidak mencelanya, tuan-pun sudi membantu kepadaku, budi besar ini untuk seumur hidupku tidak akan aku lupakan. Sayang, selagi tuan-tuan telah membantu keras kepadaku, aku
sendiri belum pernah berbuat kebaikan apapun juga
terhadap kau sekalian, bahkan sebaliknya aku menyebabkan tuan-tuan peroleh kepusingan, sampai-pun saudara Hek
Hou terbinasa karenanya ... "
Lau kiat menggoyangkan tangan.
"Jangan sebut-sebut itu, lauko," ia mencegah, "Dengan
menyebut demikian, lauko seperti orang luar. Memang aku telah tersangkut oleh urusan lauko akan tetapi karena kita telah menjadi sahabat-sahabat, inilah ada baiknya untuk kita. Kalau nanti lauko pulang, tolong kau sebutkan pada sekalian muridmu tentang persahabatan kita ini, supaya apabilia kelak mereka pergi ke Sucoan Utara, bilamana
mereka tampak sesuatu kesulitan, aku bisa berikan bantuan.
Di Long-tiong ada saudara Thia Pat, disini ada aku."
Pau Cin Hui bersyukur, ia menghela napas.
"Baiklah," sahutnya. "Di belakang hari murid, dan cucu muridku serta cucuku Ah Loan dan cucu-mantu Kie Kong
Kiat mesti satu kali mereka datang ke Sucoan Utara ini, maka apabila kejadian mereka datang harap saudara-saudara sudi perhatikan mereka. Umpama kali ini aku bisa pulang kekampung halamanku dengan aku masih hidup,
pasti aku akan beritahukan semua muridku bahwa Lau
Cungcu di Gie-liong ini dan Thia Loo-ya di Long-tiong
adalak tuan-tuan penolong dari guru mereka!"
"Ah, loo-piausu, kau terlalu seejie!" kata Lau Kiat dan Thia Pat.
Selagi mereka bicara, ditangga terdengar tindakan
naiknya kaki orang, lalu muncullah Gu Bun-an, si juru tulis
tiekoan, kemudian menyusul Long Tiong Hiap, yang diikuti oleh Cie Gan In, puteranya, Long Tiong Hiap dandan
dengan rapi, antero pakaiannya terbuat dari sutera, sama sekali tak ada tanda-tandanya bahwa bahunya terluka,
malah dia tidak membawa senjata, cuma anaknya yang
membekal sebilah pedang.
Pau Kun Lun segera berbangkit, akan tetapi sebelum
sempat ia mengucapkan apa, Long Tiong Hiap sudah
hampirkan ia seraya mendahului berkata : "Pau Loo-suhu, tentang urusan kita kemarin ini, setelah ada sahabat-sahabat yang mendamaikan baik kita jangan sebut pula. Cin Siau Hiong benar telah terbinasa tetapi kau bunuh dia karena kesalahan, mengenai itu, kita ayah dan anak tidak ingin menarik panjang. Akan tetapi isterinya Gan In, sangat
berduka karena kebinasaannya adiknya itu, maka mengenai dia, selain kita mesti berdaya untuk menghiburinya, kitapun mesti berjaga-jaga. Dia ada liehay, mungkin penjagaan kita kurang sempurna, dari itu baiklah kau berlaku
waspada. Disebelah itu ada lagi satu hal. Tadi aku dengar dari Gu sinshe katanya Cui Pou-tau dari kantor tiekoan ... "
Cie Kie berhenti dengan tiba-tiba karena juru tulis she Gu memotong pembicaraannya.
"Cie Toa-ya, biarlah aku bicara sendiri dengan pelahan-lahan kepada Pau Loosian-seng," demikian bun-an sinshe itu. Ia-pun lantas ajak jago tua itu pergi ke pinggiran.
Semua mata, diantara terangnya api, mengawasi kedua
orang itu. Gu Sinshe memulai katanya dengan unjuk dulu
kekagumannya pada jago Tin-pa itu, yang dikatakan nama besarnya sudah lama ia dengar, kemudian barulah ia bicara dengan pelahan sekali.
Dengan sekonyong-konyong Pau Kun Lun menjadi
gusar, matanya melotot.
"Aku tidak percaya!" ia berseru, "Aku berani pastikan
bahwa muridku tidak begal keluarga tiekoan dan tidak
membunuh orang polisi!"
Mendengar demikian, Lau Kiat segera menghampirkan
akan tarik tanganya Pau Kun Lun.
"Jangan bicara keras-keras," ia mencegah. "Baiklah kita bicara dengan sabar."
"Adatnya Loosianseng ini ada terlalu aseran," berkata
Gu Sinshe sambil tertawa. "Aku sebenarnya ada bermaksud baik ... " ia berhenti sebentar, akan segera menambahkan,
"Bukankah hari ini telah datang saksi dalam perkara
pembegalan di Loo Su Nia" Ketika pembegalan terjadi,
orang itulah yang kendarai kereta. Tadi ketika kau ajak loosianseng ini datang kemari, Cui Poutau telah ajak saksi itu kegedungmu, Lau Toa-ya, disana mereka pergi lihat Si orang she Liong. Menurut pengakuannya saksi itu, orang she Liong itu benar Kang Siau Hoo yang membegal mereka di Loo Su Nia. Oleh karena orang she Long itu terluka
parah dia tidak lantas dibawa pergi. Maka itu, urusan ini jadi gampang untuk diselesaikannya."
Kembali Cin Hui gusar, ia gebrak meja.
"Aku pasti tidak percaya!" dia berseru, "Diantara
muridku pasti tidak ada yang berani lakukan perbuatan
jahat dan busuk demikian!"
Long Tiong Hiap diam saja, ia melainkan tertawa dingin.
Lau Kiat tidak unjuk rupa heran, ia bujuki si jago tua untuk tidak umbar adatnya yang keras.
Gu Bun-an tetap berlaku sabar.
"Tapi saksi itu menetapkan keterangannya," kata ia pula dengan pelahan. "Pada beberapa hari yang lain di Thongkang, saksi itu telah dipadu dengan Kang Siau Hoo, dan ia bilang Kang Siau Hoo bukanlah si pembegal itu. Dia tidak bermusuh dengan muridmu itu, loosianseng, tidak ada
alasan untuk dia memfitnahnya. Saksi itu-pun nyatakan, si orang she Liong telah terluka demikian hebat, umpama dia dibawa kekantor tiehu, barangkali belum sampai dia
diperiksa, dia akan sudah menutup mata. Oleh karena ini, perkara ini jadi dapat diselesaikan secara perseorangan hanya untuk itu, tak dapat tidak Pau Loosianseng haruslah keluarkan sedikit ?"
Belum lagi juru tulis itu sebutkan apa yang si jago tua mesti keluarkan, atau Pau Kun Lun telah hunus goloknya dengan apa ia gebrak meja, sedang sebelah tangannya
menolak tubuhnya juru tulis itu sehingga terpelanting
jatuh!" Jago tua ini segera perlihatkan romannya yang bengis,
matanya mendelik.
"Tuan-tuan, kau adalah sahabat-sahabat baikku, silahkan tuan-tuan dengar perkataanku! " ia berseru. "Aku berani tanggung dengan jiwaku bahwa kaum Kun Lun Pay pasti
tidak punyakan murid durjana, maka itu aku larang lain orang mengatakan muridku menjadi begal, apabila ada
erang berani menuduh demikian, tidak perduli dia ada
pembesar negeri atau orang preman, aku nanti ?"
Selagi jago Kun Lun itu hunjuk kekerengannya, adalah
semua orang lompat bangun dengan tiba-tiba dan mata
dipentang lebar-lebar mengawasi kemuka tangga.
Dimuka tangga loteng ada muncnl satu orang. Dia
berumur dua-puluh lebih, tubuhnya jangkung luar biasa, dia tidak gemuk hanya kulitnya hitam. Sepasang matanya yang
tajam sangat bercahaya, pakaiannya biru, sebelah tangan menyekal sebilah pedang yang begemerlapan. Dengan
romannya yang bengis matanya ditujukan kepada Pau Cin
Hui.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thia Pat lihat orang muda itu segera ia mengenalinya.
"Kang Siau Hoo!" ia berseru. Ia ada begitu kaget dan
takut, hingga hampir ia rubuh menggelinding kekolong
meja! Sebaliknya Long Tiong Hiap segera meninggalkan
kursinya, menghampirkan.
-oo0dw0oo- Jilid 24 "SIAU HOO Lautee!" ia menegor sambil tertawa.
"Bagus kau datang sekarang ini! Silahkan kau duduk dulu dan minum secawan arak, kemudian kita bicara dengan
baik!" Kang Siau Hoo demikian pemuda itu yang tidak
diundang tidak perdulikan Cie Kie, dia tetap awasi Paw Kun Lun dengan sepasang mata bagaikan berapi.
"Pau Cin Hui!" tiba-tiba terdengar suaranya yang keren.
"Hari ini kita berdua mesti buat perhitungan! Mari! Kita jangan ganggu lain orang! Mari kau turut aku turun ke
bawah loteng!"
Dengan sekejap lenyaplah keangkerannya jago Kun Lun
Pay itu, mukanya berubah pucat serta tubuhnya menggigil bagaikan kedinginan, kumis dan jenggotnya bergerak-gerak.
Dengan sekonyong-konyong dia menjerit: "Musuhku yang
baik!" Lalu sekonyong-konyong juga dia berlompat, dengan goloknya dia membacok!
Kang Siau Hoo angkat pedangnya menangkis, atas
mana, segera terdengar suara yang keras dan nyaring sekali, semua hadirin menjadi terperanjat, semuanya segera
undurkan diri. Pau Kun Lun sendiri-pun mau tak mau, dia mesti
mundur beberapa tindak. Bacokannya itu sangat dahsyat, namun tangkisan pedang-pun tidak kurang serunya. Ia
mundur sendirinya
karena tangannya tergetar dan
kesemutan, hal mana membuat ia sangat kaget. Sekarang ia dapat buktikan tenaga besar luar biasa dari Kang Siau Hoo.
Sudah empat atau lima-puluh tahun ia merantau, belum
pernah ia ketemu tandingan dengan tenaga luar biasa itu.
Tapi ia tidak keder, begitu lekas kumpul pula tenaganya, kembali ia maju, ia berlompat sambil membacok pula. Ia keluarkan segenap kepandaiannya.
Kang Siau Hoo menangkis pula, menyusul mana
kakinya mendupak meja dan kursi, yang jadi terbalik dan terpental ke pinggir, hingga terbuka satu kalangan luas juga untuk keduanya adu kepandaian.
Cepat sekali pertempuran menjadi dahsyat, jurus
menyusul jurus. Di jurus keempat mendadak terdengar
suara, "Trang!" keras sekali disusul oleh jeritan. "Aduh!"
yang hebat dan menggiriskan, hingga orang kaget dan
kesima! Satu bacokan dari Pau Kun Lun ditangkis oleh
lawannya, lalu golok kena dibuat terpental dan terlepas dari cekalannya jago tua itu! Apa celaka, ketika jatuh turun, golok yang besar dan berat itu menimpa kepalanya Hoa
Thayswee Chio Seng yang terus rubuh seraya perdengarkan jeritan itu!
Dalam saat yang hebat itu, Long Tiong Hiap samber
pedang dari tangan anaknya, ia maju untuk mencegah
pemuda kita menyerang lebih jauh.
Cin Hui gunai ketika itu berlompat ke muka tangga
untuk lari turun. Ia sangat ketakutan ketika itu.
Kang Siau Hoo lihat orang hendak kabur, dengan satu
lompatan ia menguber, setelah itu sebelah kakinya diangkat naik, menjejak pinggangnya Pau Cin Hui.
Tubuh yang besar dan berat dari Pau Kun Lun sebagai
juga sebuah batu besar dan seratus kali lebih, tersungkur menggelinding turun kebawah tangga itu, hingga tubuhnya itu menerbitkan suara bagaikan gedung ambruk.
Selagi tubuh lawannya bergelindingan, Siau Hoo enjot
tubuhnya akan loncat menyusul.
"Siau Hoo, jangan bunuh orang!" berteriak Cie Kie,
yang tak mampu menghalangi pemuda itu. Percuma tadi ia gunai pedangnya untuk mencegah, dengan mudah pemuda
she Kang itu lolos dari penghalauannya.
Siau Hoo sampai dibawah sebelum Pau Kun Lun sempat
merayap bangun, bagaikan burung elang menyamber anak
ayam ia samber dan kempit tubuh yang besar itu, dan selagi orang-orang ribut kalang kabut, lari keluar. Ia angkat tubuh musuh keatas kudanya yang berada dimuka pintu, lalu
dengan andalkan pedangnya dimuka musuhnya itu, ia
loncat naik keatas kudanya, yang terus dikaburkannya
disepanjang jalan besar menuju ke Timur. Ia tidak hiraukan bahwa cuaca sudah gelap.
Sesudah mulai sepuluh lie jauhnya, di tepi jalan ada
seorang yang tunggui pemuda itu dengan beri tanda suitan.
Atas ini Siau Hoo lemparkan tawanannya dibantingkan
ketanah! Pau Loo-kausu geraki tubuhnya, ia berniat merayap
bangun, apa-pun orang yang menunggui itu telah samber
kepalanya dengan sebuah batu besar hingga ia rubuh rebah pula dengan pingsan, lalu dengan sebat orang itu telah ringkus kaki tangannya!
"Jangan binasakan padanya!" berkata Kang Siau Hoo,
yang telah tahan kudanya. "Bawa dia kesana! Aku hendak bekerja lebih jauh!"
Lalu dengan ujung pedangnya pemuda ini sontek
kudanya, maka binatang itu dengan lantas lari pula, kearah Barat.
Orang yang menantikan itu sudah lantas angkat
tubuhnya Pau Kun Lun dipanggul diatas pundaknya
dibawa pergi. Dalam hal ini ia tidak nampak kesukaran dari jago tua itu, yang telah tak sadar akan dirinya. Ia telah jalan sekian lama, ia sampai pada sebuah rumah berhala tua dan rusak di mana tidak ada pendeta atau penghuninya. Disitu cuma ada beberapa pengemis yang sedang nabun, untuk
buat panas bubur mereka yang dapat dari hasil minta-minta.
Tatkala beberapa pengemis itu lihat orang datang,
mereka semua menegasi.
"Ngo Toaya!" memanggil mereka. "Oh kau telah dapat
bekuk tua bangka itu?"
Orang tua memang benar Hek-pa-cu Ngo Kim Piu
adanya. Ia lepaskan tubuhnya Pau Kun Lun digabruki
ketanah, kemudian, dengan napas menggorong ia kata:
"Tua bangka ini berat sekali tubuhnya ?"
Satu pengemis jemput sebatang kayu yang apinya
menyala, dengan itu ia mendekati dan suluh mukanya Pau Kun Lun, siapa sekarang telah sadar dari pingsannya,
hingga ia bisa pentang kedua matanya yang gede dan bengis sinarnya.
"Kau suluhi apa?" ia perdengarkan suaranya bagaikan
guntur kerasnya. "Baik segera bunuh mati padaku! Suruh Kang Siau Hoo datang kemari! Sebelumnya mati, aku
hendak bicara dahulu kepadanya!"
Pengemis dan kawan-kawannya itu terkejut, mereka
pada mundur. Tapi Ngo Kim Piu jadi sengit, ia dupak tubuh yang
terokmok itu. "Pau Kun Lun!" ia membentak, "disini bukannya tempat
dimana kau boleh banyak tingkah lagi! Selama belasan
tahun kau telah umbar murid-muridmu berbuat sewenang-
wenang dan mengganas, maka sekarang, tua bangka,
sekarang kau harus wakili murid-muridmu itu mendapat
kutukan!" Pau Kun Lun berontak-berontak dengan sia-sia, ia mirip dengan seekor binatang ringkusan, ia mendongkol dan
gusar bukan alang kepalang.
"Bangsat! Kau boleh caci aku tapi jangan kau caci murid-muridku!" ia berseru. "Diantara murid-muridku, kecuali Kang Cie Seng seorang, tidak ada yang mirip, dengan kau semua, bangsat!"
Belum sempat Kim Piu layani orang bicara, dari altar
terdengar suara kuda kabur mendatangi, ia segera lari
keluar, di belakangnya mengikuti beberapa pengemis itu.
Mereka gunai obor dan cabang kayu untuk menerangi
muka kuil. Itulah Kang Siau Hoo yang telah kembali, sebelah
tangannya ada menuntun seekor kuda lain tanpa
penunggangnya. Ia terus saja serahkan kedua ekor kuda itu
pada si pengemis, sesudah mana ia cabut pedangnya,
tangan yang lainnya menenteng sebuah bungkusan kain
yang berat juga. Ia serahkan bungkusun itu pada Ngo Kim Piu.
"Inilah kepalanya Liong Cie Khie!" kata ia dengan
tenang tetapi keren. "Kau sembunyikan bungkusan ini
dalam pauhok ku, aku hendak bawa pulang ke Tin-pa untuk sembahyangi roh ayahku di Pak San!"
Tanpa kata apa-apa Ngo Kim Piu sambuti bungkusan
itu, ia perlibatkan roman puas.
***dw*** Bab 17 KANG SIAU HOO MASUK kedalam bio, ia suruh
pengemis-pengemis nyalakan api, dengan begitu ia jadi bisa pandang pada Pau Loo-kau-su, siapa membuka mata
dengan tenang mengawasi pemuda kita, tubuh siapa yang
tampak jangkung sekali, akan tetapi tampannya tetap
seperti diwaktu muda : cakap dan gagah. Hingga kembali berbayang di depan matanya kejadian-kejadian pada
sepuluh tahun yang lampau. Dengan tidak merasa, hatinya menjdi lemah pula.
"Pau Cin Hui, bagaimana sekarang?" tanya Siau Hoo
pada musuh besarnya itu. "Apa yang kau pikir dan ingin ucapkan?"
Cin Hui rebah celentang, ia tak dapat geraki tangan dan kakinya, ia insaf bahwa saat kematiannya telah tiba, tanpa merasa ia jadi bergidik. Dengan napas rada memburu, ia geleng-geleng kepala.
"Aku tidak hendak bilang apa-apa," ia menjawab. "Aku
melainkan ingin bertemu dengan kedua anak dan cucu
perempuanku ... Ah, tak dapat aku lihat mereka.
Beritahukanlah kalau-kalau mereka semua itu telah binasa ditanganmu. Benarkah begitu?"
Siau Hoo sudah angkat pedangnya, akan tetapi ketika
disebutnya nama Ah Loan, segera hatinya jadi lemah. Ia membungkuk, ia lantas buat putus tambang yang mengikat jago tua itu, kemudian ia memimpin bangun.
Mau atau tidak Pau Kun Lun menjadi heran.
"Apa maksudmu sebenarnya, Siau Hoo?" tanya ia, "kau
batal bunuh aku?"
"Permusuhan kita dari sepuluh tahun yang lalu ada
sangat besar, cara bagaimana bisa aku tidak bunuh
padamu?" sahut Siau Hoo dengan sengit. "Ingat halnya
dulu kau hendak binasakan aku ditengah sawah dan
kemarin ini kau telah bunuh Cin Siau Hiong, tak dapat aku beri ampun pula padamu, tua-bangka yang kejam!" ia
menghela napas, lalu melanjutkan. "Tapi aku Kang Siau
Hoo ada satu laki-laki, sedang kau sudah berumur tujuh puluh lebih, pun kau sedang terlunta-lunta, kau tidak punya sanak yang dekat. Jikalau aku binasakan kau disini walaupun itu untuk singkirkan bencana bagi orang banyak, orang pasti anggap aku teralu kejam, sedang mereka yang tidak tahu duduknya hal akan anggap aku menghina pada satu
tua-bangka yang lemah tidak berdaya. Maka sekarang aku hendak bawa kau pulang ke Han-tiong untuk diserahkan
pada anak-anak dan murid-muridmu, setelah itu barulah
kita lakukan pertempuran yang memutuskan. Waktu itulah aku bunuh padamu, barulah aku puas!"
"Baiklah," kata Pau Kun Lun kemudian, setelah
termangu sekian lama. "Memang dulu aku berlaku jelek
padamu, tetapi " ah, Thian tahu ... Sudah, tak usah aku ucapkan itu. Ringkasnya, untuk beberapa hari, kau pernah makan nasiku, maka apabila kau bisa beri ketika untuk aku pulang untuk melihat rumahku, aku puas sudah."
Siau Hoo manggut.
"Baik!" ia bilang. "Sekarang kau bangunlah!"
Pau Cin Hui tidak lantas berbangkit, ia masih duduk
ditanah. Ia agaknya seperti orang sudah tidak punya tenaga sama sekali. Ia tunduk, berulang-ulang ia menarik napas.
"Cuma ada satu hal ... " kata ia kemudian. "Disini ada satu muridku, Liong Cie Khie ?"
Mendengar disebutnya nama Liong Cie Khie, matanya
Siau Hoo mendelik dengan tiba-tiba.
"Muridku itu telah menjadi kurbanku "." kata terus Pau Kun Lun, yang tidak lihat perubahan sikap orang, "karena ia ikuti aku, ia jadi sangat menderita. Sekarang aku mesti pergi tengok dahulu padanya, kemudian baru aku akan ikut kau ?"
"Jangan lagi kau sebut-sebut Tiong Cie Khie!" kata Siau Hoo dengan sengit, seraya ia angkat pedangnya. "Liong Cie Khie telah jadi kolokan karena kau yang mengeloni terus padanya, dia sudah lakukan berbagai macam kejahatan!
Siapa saja penduduk Tin-pa, kalau dia dengar namamu
guru dan murid, tidak ada yang tidak membencinya! Sekali ini Liong Cie Khie datang ke Sucoan Utara ini, lantas di Loo Su Nia dia bunuh hamba negeri, dia begal keluarga
tiekoan, sedang di Kang-kau-tin dia paksa, sehingga seorang perempuan menggantung diri! Dimana dia sampai, dia
mengganas, bunuh orang, merampas, dan memperkosa
orang-orang perempuan! Paling celaka dia juga fitnah aku dengan gunakan namaku! Kalau tidak pihak pembesar
negeri punyai saksi, pasti siang-siang aku sudah mesti gantikan dia dihukum! Aku terhalang sedikit di Thongkang karena urusan sahabatku, tidak demikian, sedari siang-siang aku akan sudah sampai disini! Aku tahu Liong Cie Kie
berdiam dirumahnya Lau Kiat, dengan pinjam pengaruhnya Lau Kiat itu, sehingga pembesar negeri tidak berani bekuk padanya, akan tetapi baru saja aku telah pergi kesana, aku sudah kutungi kepalanya!"
Bukan kepalang kagetnya Pau Kun Lun mendengar
tentang terbinasanya muridnya yang ia paling sayang itu, tiba-tiba ia naik darah, bagaikan seekor harirnau buas ia berlompat bangun menubruk, untuk serang pemuda
didepannya. Siau Hoo yang lihat serangan itu segera mengulur
sebelah tangannya menahan kepalan musuh dengan itu, ia majukan sebelah kakinya akan mendupak!
Serangan si jago tua yang sehebat itu, dengan tubuh
besar dan berat pula, namun sekejap saja ia telah kena dibuat rubuh tengkurap.
"Sambung-sambungkan tambang
itu dan ringkus padanya!" menyuruh Siau Hoo pada Kim Piu.
Ngo Kim Piu lantas bekerja menurut apa yang
diperintahkannya.
Pau Kun Lun tidak buat perlawanan ia hanya saban-
saban menghela napas, ia sangat berduka.
"Seumurku merantau, belum pernah aku ketemu
tandingan," demikian ia ngelamun dalam hatinya,
"sekarang Kang Siau Hoo benar-benar telah wariskan
kepandaian gurunya. " Sudahlah, biar dia buat apa dia
suka, tak usah aku membabi-buta melawan padanya ?"
Karena itu ia tutup mulut, ia bungkam.
Dengan tangannya yang kuat, Kang Siau Hoo angkat
tubuh terokmok dari musuhnya untuk dinaikkan diatas
kuda, yang disiapkan diluar, kemudian ia sendiri loncat naik atas kudanya itu.
"Mari kita berangkat! Kau jalan dimuka!" begitu ia
bilang pada Ngo Kim Piu seraya ia menoleh pada
kawannya itu. Ngo Kim Piu menurut, ia naik atas kudanya buat lantas
jalan di depan, mereka meninggalkan kuil bobrok itu
dimana kawanan pengernis awasi mereka berlalu. Tujuan
ada arah Timur. Muatannya Kang Siau Hoo ada terlalu
berat, kudanya tidak bisa jalan cepat-cepat. Mereka-pun lakukan perjalanan di malam yang gelap gulita.
Mendekati fajar, perjalanan telah dilewati enam atau
tujuh-puluh lie. Sekarang Kim Piu ambil jalanan kecil. Dan tempo sudah terang tanah, Siau Hoo loloskan ringkusannya si jago tua, ia turun dari kudanya, ia beri Cin Hui
menunggang kuda seorang diri. Karena ini mereka jalan
makin pelahan, hingga Hek Pa Cu jadi tidak sabaran, diam-diam ia gerak-geraki tangannya pada Siau Hoo, ia kata
dengan pelahan. "Di depan ada sebuah lembah, kita bunuh saja tua-bangka ini, habis perkara! Kenapa mesti pusingkan diri secara begini?"
Kang Siau Hoo tidak menyahuti, ia hanya geleng-geleng
kepala. Pau Kun Lun ketahui orang bicara kasak-kusuk, ia lihat di depan ia ada sebuah bukit, hatinya giris, tetapi dalam keadaan seperti itu ia paksa bersabar, ia besarkan hati.
Kim Piu telah ambil jalan pegunungan yang sepi dan
sukar, atau dijalan kecil yang sunyi. Untuk dahar, barang makanan dibeli didalam kampung. Diwaktu malam mereka
mondok di kuil-kuil bobrok. Begitu lekas sang sore tiba.
Kim Piu berlaku sebat untuk ringkus Cin Hui, sampai
esoknya pagi baru ia memerdekakan pula tawanannya itu.
Pau Kun Lun tidak lagi menjadi seperti harimau galak,
bahkan ia jadi jinak seperti seekor kambing. Ia insaf benar-benar bahwa perlawanan sudah tidak ada artinya, bugeenya Kang Siau Hoo ada terlalu liehay untuk ia melawannya.
Ngo Kim Piu benar pandai mencari jalanan, selama
empat atau lima hari, tidak pernah mereka ketemu dengan orang polisi, atau berhimpasan dengan rombongan kereta piau, hingga tidaklah ada gunanya umpama jago tua itu
menjerit akan minta pertolongan. Ia jadi mirip dengan
perantaian dengan hukuman mati " Ia ada sangat berduka, bukan dukai nasib diri sendiri, dia hanya bersedih untuk kebinasaan hebat dan mengenaskan diri Liong Cie Khie,
dan halnya Ah Loan "
Lagi satu hari dilewatkan. Mereka sekarang menghadapi
sebuah gunung yang tinggi. Mereka segera akan memasuki sebuah jalanan lembah yang sempit. Tiba-tiba Pau Cin Hui jadi girang sendirinya, seperti juga disini dia bakal dapat pertolongan yang tidak disangka-sangka. Inilah disebabkan di depannya ada Pa-kok-kwan, sekeluarnya dari gunung Bie Chong San, dia akan sudah lantas berada dijalanan ke Hantiong. Lagi sedikit ke Timur dia akan sudah sampai
dikampung halamannya sendiri.
Ada lain sebab pula kenapa Pau Cin Hui berlega hati.
Selama beberapa hari di jalanan sunyi, jantungnya terus memukul. Itulah sebab Ngo Kim Piu selalu awasi ia dengan mata tajam dan roman bengis, pun beberapa kali Kim Piu telah berselisih dengan Siau Hoo tapi saban-saban Siau Hoo tidak perdulikan anjuran untuk binasakan padanya. Maka sekarang, di depan rumahnya sendiri, ia percaya tidak nanti dia bakal dibunuh mati.
"Bagaimana?" kata ia. "Kita akan segera tiba dikampung kita! Apa kita langsung pulang dahulu ke rumah?"
Belum lagi Siau Hoo menjawabnya, Kim Piu yang jalan
di depan telah menoleh seraya ayun cambuknya.
"Selama beberapa hari kau tidak pernah bersuara!" dia
menegor dengan gusar. "Sekarang, sesampainya di Pa-kok-kwan, dimana ada banyak orang, kau buka mulutmu!
Apakah kau memikir untuk merat?"
Suara cambuk mengenai tubuh terdengar nyata. Tapi
Kim Piu mengancam terus : "Kalau kau lari, aku lantas
bunuh padamu! Kau mesti tahu diri sedikit! Kau jangan
tanya kemana kau akhir-akhirnya kau bakal diantar
kedalam liang kubur!"
Siau Hoo di belakang larang Kim Pu mencambuki orang
tua itu, tetapi terhadap orang tua itu dengan sengit ia berkata, "Aku sudah bilang bahwa jiwamu tidak dapat aku beri ampun, maka jikalau sekarang kau mencoba lari, segera aku akan bunuh padamu! Tahukah kau kenapa aku tidak
lantas bunuh padamu" Itulah disebabkan kau sudah terlalu tua, kau-pun sendirian, sedang segala kejahatanmu
diluaran, penduduk Han-tiong tidak tahu, maka perlu aku umumkan itu kepada mereka, waktu itulah baru aku turun tangan! Aku bunuh kau bukan untuk permusuhan
perseorangan saja, juga untuk singkirkan malapetaka bagi khalayak ramai. Aku hendak bawa kau ke Tin-pa, disana
aku hendak tanya bocah-bocah dari Pau Kee Cun, aku akan suruh mereka yang putuskan, kau pantas dihukum mati
atau tidak! Sesudah itu, aku nanti bawa kau ke Pak San, dimana dahulu kau telah binasakan ayahku! Disitulah aku akan bunuh padamu!"
Mendengar ini, mukanya Pau Kun Lun jadi sangat


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pucat, giris hatinya. Ia menghela napas.
"Kang Siau Hoo, kenapa kau berlaku begini kejam?"
tanya ia. "Kau hendak membalas sakit hatinya ayahmu,
bunuhlah aku sekarang! Kenapa kau hendak bongkar
dahulu segala kedosaanku" Bunuhlah aku seperti kau
membunuh Cie Khie. Dia tidak punya kepandaian untuk
lawan kau, sudah seharusnya dia binasa ditanganmu, tetapi kenapa kau mesti tuduh dia menjadi begal di Loo Su Nia?"
Ngo Kim Piu jadi sangat gusar, ia putar pula tubuhnya, kembali ia menyambuk.
"Oh, tua-bangka busuk, kau masih saja mengeloni
muridmu yang jahat itu?" ia membentak. "Siapakah yang
tahu muridmu itu ada begal dari Loo Su Nia" Dia telah
gunakan namanya saudaraku Kang Siau Hoo yang hendak
difitnahnya!"
Pau Loo-kausu kertek gigi, dia mendelik.
"Aku tidak percaya!" ia berseru. "Itulah tentu
tuduhannya orang-orang yang benci padanya! Kun Lun Pay sedang lacur, maka segala macam kejahatan semua orang
timpahkan kepada murid-muridku! Ah, sudahlah, biar kau semua menuduhnya! Paling juga aku turut murid-muridku
itu dibunuh mati olehmu. Tapi kau tak akan mampu buat
musnah Kun Lun Pay, kalau ada satu saja yang bisa lolos, dia tentu akan mecari balas kelak!"
Setelah mengucap demikian, bercokol atas kudanya Pau
Kun Lun rapatkan ke dua matanya, ia bersedia akan orang tabas batang lehernya.
Ngo Kim Piu menoleh pada Siau Hoo matanya
dipentang lebar.
"Saudara Kang, kenapa kau jadi demikian lemah?" ia
sesalkan. "Jangan perduli dia masih muda atau sudah
terlalu tua sudah terang dia bukannya makhluk baik-baik,
kenapa kau tidak mau segera buat habis padanya"
Bukankah itu ada paling sederhana" Dengan perbuatanmu
sekarang ini, bukan saja dia sangat berabekan kita, juga dia akan jadi ancaman bahaya untuk kita di kemudian hari!"
Siau Hoo berdiam, ia berpikir, "Pau Kun Lun sangat
jahat, tidaklah berdosa jikalau aku bunuh jago tua ini. Lagipun untuk apa aku menderita bertahun-tahun melatih diri"
Bukankah itu untuk menuntut balas?" ia insaf akan hal ini, tapi kapan ia pandang jago tua itu yang kumisnya bergerak-gerak, selembar dengan selembar, seperti sedang memohon belas kasihan, segera usia mudanya jadi tidak tega
membinasakan satu kaki-kaki yang sudah lemah tidak
berdaya " "Saudara Kang!" kata pula Ngo Kim Piu, selagi pemuda
itu terbenam dalam kesangsian. "Saudara, di depan kita adalah Pak-kok-kwan! Kita mesti lewati kota itu.
Bagaimana jikalau sedangnya kita lewat disitu, tua bangka ini buka bacotnya dan menjerit" ?"
Siau Hoo tidak tunggu orang berhenti bicara, ia sudah
goyang-goyangkan tangannya.
"Kita tak usah takut!" katanya. "Kalau benar dia
menjerit selagi kita lewati kota, disitu kita bunuh padanya, lalu kita angkat kaki!"
Cin Hui, dari atas kudanya, perdengarkan tertawanya.
"Tetapkanlah hatimu, jangan kuatir!" berkata dia. "Aku telah ikut sampai disini, itu artinya aku tidak memikir untuk kabur! Umpama kita ketemu polisi dan polisi itu
menanyakan aku, aku nanti jawab bahwa kita adalah
kawan-kawan yang berjalan sama-sama. Aku insaf apa
artinya permusuhan perseorangan, dalam hal itu belum
pernah aku pusingi pembesar negeri. Sekarang aku bakal mati, kalau aku minta bantuannya pembesar, namaku akan
jadi tercemar. Tidak, itulah aku tak akan lakukan! Aku telah terjatuh kedalam tanganmu, kau boleh buat apa kau suka, sudah tidak ada bicara lainnya lagi! ?"
Mendengar itu, bukan main gusarnya Ngo Kim Piu, ia
ayun cambuknya hendak menghajar pula, akan tetapi Kang Siau Hoo lagi-lagi maju mencegahnya.
"Sabar," pemuda kita berkata. "Kita segera akan sampai di Samsay Selatan, Disini banyak orang-orang Kun Lun
Pay, maka kita mesti buat supaya sesuatu dari mereka
mengetahui duduknya perkara dan menjadi takluk
karenanya, takluk dimulut dan di hati. Biarlah mereka
semua ketahui bahwa guru mereka memang cari matinya
sendiri karena kekejamannya yang telah dilakukannya.
Setelah itu baru kita turun tangan. Bisa jadi karena sikap kita ini, akan terbit bentrokan. Aku kuatirkan kau Ngo Toako, aku tidak ingin, karena suatu kekeliruan, kau akan terbawa-bawa. Maka pikirku baiklah disini saja kita
berpisahan. Sesudah aku bawa bangsat tua ini ke Tin-pa dan urusan beres, aku hendak kembali ke Long-tiong, aku hendak pasang omong dengan Long Tiong Hiap, kemudian
baru bertemu pula untuk berkumpul lagi. Bagaimana kau
pikir?" Ngo Kim Piu geleng kepala berulang-ulang.
"Tidak, tidak bisa!" katanya. "Saudara Kang, walau-pun sebenarnya, aku tidak bermusuhan dengan Pau Cin Hui,
tapi setiap kali aku dengar orang sebut Kun Lun Pay atau sebut-sebut nama dengan huruf "Cie", hatiku lantas saja menjadi panas. Maka sekarang, apabila kau segera bunuh tua bangka ini, aku akan ikut terus padamu, ke Tin-pa ke Han tiong! Aku hendak bantu kau binasakan lagi beberapa orang Kun Lun Pay!"
Mengenai sikap kawannya itu Siau Hoo tidak kata apa-
apa lagi. "Nah, silahkan kau jalan di depan!" kata ia.
Demikian mereka lanjutkan perjalanan, Kim Piu di
depan, Pau Kun Lun ditengah dan Siau Hoo paling
belakang. Mereka berjalan dengan perlahan di jalan yang tidak rata dan sukar.
Akan tetapi jalanan ini ramai dengan kuda-kereta dan
orang-orang yang berjalan kaki, ada juga rombongan
pengantar piau dan berbagai piautiam dari Sucoan Utara.
Semua piausu tidak kenal Kang Siau Hoo dan Pau Cin Hui, tapi mereka kenal Ngo Kim Phi, antaranya ada yang bicara dengan dia ini, bicara dalam bahasa rahasia kangou.
Siau Hoo tidak mengerti bahasa rahasia itu.
Pau Kun Lun yang sudah ulung dalam kalangan kang-
ou, mengerti bahasa rahasia itu, mulanya ia sangat gusar, hampir dia lompat turun dari kudanya guna serang orang she Ngo itu, tetapi ia menghela napas terus ia tundukkan kepalanya.
Pa-kok-kwan sudah tuntas dilewati, begitu lekas mereka sudah berada di luar perbatasan, dengan bahasa rahasia Ngo Kim Piu puji Pau Kun Lun. Dia kata: "Tidak kecewa
kau telah merantau seumur hidupmu! Kau benar gagah, kau ada lebih menang daripada murid-muridmu!"
Dengan tampangnya yang bengis, Pau Cin Hui awasi
orang yang ia ajak bicara tetapi ia tidak bilang apa-apa.
Siau Hoo bercuriga begitu lekas ia dapat kenyataan
orang punya sikap tenang itu.
Mereka menuju ke Utara sekarang. Jalanan makin lama
jadi makin menanjak, makin sempit, seperti juga Ngo Kim
Piu sengaja ambil jalan ini. Sesudah lewat lagi dua-tiga lie, mereka seperti terkurung puncak-puncak bukit, jalanan
penuh batu beraneka warna, rumput tebal menutupi
jalanan. Mereka sudah masuk dalam gunung Bie Chong San.
"Kenapa kau ambil jalan ini?" Siau Hoo tegor Ngo Kim
Piu, ia rada-rada mendongkol.
Kim Piu turun dari kudanya, ia hampirkan kawannya
untuk ditarik kesamping.
"Apa kau tidak dengar pembicaraanku tadi di Pa-kok-
kwan dengan beberapa piausu itu?" ia kata. "Mereka bilang di depan kita ada serombongan piau kaum Kun Lun Pay,
keretanya belasan, pengantarnya ada tujuh atau delapan orang, diantaranya mereka cuma kenali satu ialah Lou Cie Tiong. Kau niscaya ketahui Cie Tiong itu, ialah murid
tersayang dari tua-bangka ini. Tentu saja kita tak usah takut kepadanya, tetapi kalau jumlah mereka besar dan mereka bisa rampas tua-bangka ini, tidaklah cape lelah kita akan sia-sia belaka" Dengan begitu kita seperti lepas harimau ke gunung!"
Mendengar disebutnya nama Cie Tiong, Siau Hoo jadi
ingat kejadian dahulu. Cie Tiong ada paman seperguruan, yang telah melepas budi padanya ketika ia sedang didesak oleh Cin Hui. Ingat Cie Tiong ini jadi ingat keganasannya Cin Hui. Ia jadi gusar dengan tiba-tiba. Justeru disitu ada tempat sunyi apa itu bukannya tempat yang cocok untuk ia menghabisi jiwanya musuh ini"
Ngo Kim Piu kembali anjurkan kawan ini, ia geraki
tangannya selaku tanda, di andaikan golok.
"Habiskan sudah!" demikian kawan tidak sabaran itu.
"Buat apa sayangi mustika karatan ini, apakah dia bisa dijual untuk dijadikan uang?"
Siau Hoo tidak menjawab, sambil berkerot gigi awasi
Pau Kun Lun. Pau Cin Hui yang lihat gerak-gerik atau sikapnya kedua orang itu bisa menduga, maka juga mukanya menjadi
pucat, ia jadi sangat layu.
"Habislah aku sekali ini " " ia mengeluh.
Tetapi Siau Hoo tidak turun tangan.
"Jalan terus!" ia menitah pada Ngo Kim Piu.
Kawan itu jadi sangat tidak sabaran.
"Saudara Kang!" bekata ia. "Kau punya bugee tinggi,
tubuhmu-pun tambab besar, akan tetapi hatimu tidak seperti waktu kau masih kecil! Kita habisi saja jiwanya, lantas kita kaburkan kuda kita pergi ke Kan-lam. Kau niat mencari
balas, sekarang setelah kau dapat lawan tua bangka ini, kenapa kau tidak berani turun tangan" Aku yang hendak
wakili kau, juga kau melarangnya. Apa dengan begini kau bisa dianggap sebagai satu laki-laki" Kau justeru mirip dengan seorang perempuan! Aku percaya benar, tua-bangka ini lebih pandai dari kau dalam hal membunuh orang!"
Panas hatinya Siau Hoo mendengar ejekan itu, ia jadi
gusar, tapi berbareng ia-pun berduka.
Justeru itu Cin Hui tiba-tiba mengucurkan air mata, yang menetes kekumis dan jenggotnya seperti butir mutiara.
Kemudian ia menoleh pada pemuda kita, akan berkata
dengan suara sedih.
"Siau Hoo, Kang Enghiong!" demikian katanya. "Aku
Pau Kun Lun tidak biasanya bersikap lemah, akan tetapi bolehkah aku minta suatu permohonan darimu?"
Siau Hoo menoleh dengan mata dibuka lebar.
"Bilanglah!" ia jawab.
Orang tua itu masih mengalirkan airmata.
"Kau toh tahu cucu perempuanku, si Ah Loan?"
katanya. "Dahulu di malaman hujan salju, ketika untuk
membalas sakit hati terhadapku, kepandaianmu waktu itu masih belum berarti usiamu-pun masih terlalu muda.
Sebenarnya dengan mudah aku bisa bunuh kau, akan tetapi aku tidak tega membunuhnya. Ah Loan yang melihat aku
lepaskan kau, dia telah susul kau, hingga terjadilah diluar pekarangan ditanah yang bersalju kau berdua telah
berkelahi. Melihat pertempuran itu aku girang bukan main, sehingga aku memuji kau berdua sebagai enghiong-enghiong cilik."
Siau Hoo ingat itu, hatinya menggetar, tapi ia delikkan mata.
"Jangan kau mengungkat kejadian yang lampau untuk
meminta ampun kepadaku," ia membentak.
Pau Loo-kausu manggut.
"Aku tidak hendak minta ampun, aku melainkan ingin
kau pikirkan cucu perempuanku itu," ia bilang. "Walaupun benar aku perlakukan kau jelek, tetapi cucuku itu tidak punya dendam kepadamu. Dia adalah orang yang aku
paling sayang, hingga semua kepandaianku aku wariskan
padanya. Aku telah nikahkan dia kepada Kie Kong Kiat.
Kau tentu ketahui Kie Kong Kiat itu. Menurut Kong Kiat di Bu Tong San dia pernah tempur kau. Dihari kedua dari pernikahannya suami isteri muda itu, aku telah perintah
mereka pergi ke Tiang-an untuk sambut dan tempur kau.
Tentang mereka itu, pernahkah kau ketemu suami-isteri itu atau tidak?"
Siau Hoo manggut.
"Ya, aku pernah ketemu mereka," jawabnya.
"Kalau kau telah ketemu mereka, aku pencaya
kepandaian mereka itu jauh lebih bawah daripada
kepandaianmu," kata pula Pauw Kun Lun. "Apakah
mereka semua telah terbinasa ditanganmu?"
Mukanya Siau Hoo pucat, ia tertawa dingin.
"Bukankah dahulu ayahku telah dibunuh olehmu dan
kedua persaudaraan Liong?" ia balik menanya. "Maka apa sangkutnya aku dengan orang lain" Mereka-pun belum
pernah berbuat jahat, dan itu, umpama mereka cari aku dan musuhkan aku, tidak nanti aku sembarang binasakan
mereka!" Mendengar jawaban itu, hatinya Pau Kun Lun menjadi
lega. Terang sudah yang cucu perempuan itu masih hidup.
Tapi ia toh berduka, ia masih menangis.
"Kalau begitu, Kang Eng-hong," kata ia pula, "sekarang aku minta kau ijinkan aku bertemu dengan cucuku itu, satu kali saja, sesudah itu kau boleh bunuh aku ?"
Siau Hoo berdiam sekian lama, kemudian ia angguk-
anggukkan kepala.
Menyaksikan demikian, Ngo Kim Piu jadi sangat heran.
"Eh, saudara Kang, apakah artinya ini?" ia segera
menegor. "Apakah kau berniat nikah cucunya tua bangka
ini untuk dijadikan isterimu" Saudaraku hati-hatilah, jangan kau beri dirimu kena dipedayai oleh tua-bangka ini! Terang tua-bangka ini hendak serahkan cucunya buat beli jiwa
tuanya! Saudara kalau kau niat nikah perempuan kangou, kau boleh lakukan itu! Berapa banyak kau inginkan" Lebih cantik dan gagah seperti Cin Siau San pun, gampang untuk kau dapatinya, tetapi jangan kau terjebak oleh tipu Bie Jin Kee (tipu-daya menggunakan perempuan cantik)! Lagi-pun Ah Loan itu sudah menikah, jikalau terjadi kau nikah dia, itu artinya sial-dangkalan!"
Siau Hoo menggoyangkan tangan, ia kerutkan dahi.
"Kau jangan ngaco-belo. Jalanlah!" katanya.
Hek Pa Cu, si Harimau Hitam, tertawa.
"Apa yang aku bilang, kau mesti ingat baik!" ia bilang.
"Orang gagah paling sukar melintasi kotanya perempuan
cantik! ?"
Tapi Kim Piu naik atas kudanya, untuk mulai jalan pula.
Sementara itu Pau Kun Lun, sesudah menangis sekian
lama, hatinya jadi tetap pula, pikirannya tenteram
semangatnya lantas terbangun. Ia seperti tak ingat lagi bahwa ia telah terluka, terhina, dan diperlakukan sebagai orang tawanan saja.
Selama perjalanan beberapa ratus lie itu, romannya Pau Cin Hui sudah tak keruan macam, pakaiannya kotor dan
robek sana-sini, rambutnya kusut, kumis dan jenggotnya penuh abu. Ia terus ikuti kudanya Ngo Kim Piu. Ia
berharap lekas sampai di Tin-pa, supaya ia bisa bertemu dengan cucunya, untuk jelaskan selama kepergiannya ke
Su-coan Utara bahwa kecuali ia keliru bunuh Cin Siau
Hiong, tidak pernah ia lakukan kejahatan lain. Ia mau
terangkan bahwa segala cerita busuk perihal Liong Cie
Khie, semua adalah dusta belaka, bahwa itulah ada
tuduhan semata-mata dan orang-orang yang benci Kun Lun Pay "
Oleh karena hatinya berpikir demikian, jago tua ini tidak perdulikan sikapnya Ngo Kim Piu, yang sangat benci
padanya. Mereka jalan terus, Siau Hoo jalan kaki tetapi ia tidak pernah ketinggalan. Ia jalan dengan tidak banyak bicara, ia jadi pendiam, dahinya saban-saban dikerutkan.
Lagi dua-puluh lie telah dilewatkan, tidak pernah mereka ketemu orang. Mereka jalan di tempat banyak pengkolan, mereka belum keluar dimulut gunung. Sementara itu hari sudah bukan siang lagi. Didalam gunung, matahari sudah tidak tertampak pula.
Akhirnya Ngo Kim Piu tahan kudanya, ia berpaling.
"Saudara Kang, segera kita akan keluar dimulut
gunung," katanya. "Sekeluarnya dari sini, jalanan ada rata, terpisahnya kita dari Han-tiong-hu tinggal lagi enam puluh lie!"
Siau Hoo menjadi gusar dengan tiba-tiba.
"Siapa suruh kau menuju ke Han-tiong?" tanya ia.
"Sudah berulang-ulang aku beri tahu padamu, kita hendak pergi ke Tin-pa!"
Kim Piu tidak perdulikan orang gusar, ia justeru tertawa.
"Engko yang baik, kau tetap tidak bisa lupai niatmu
pulang kerumah untuk menikah!" ia menyahut. "Jikalau
demikian adanya, kita jadi sudah sia-sia jalan jauh dua ratus lie! Kita mesti memutar pula untuk balik kembali! Di
belakang kita ada jalanan cagak tiga! Apakah kau tidak lihat ketika tadi kita lewat disana" Diantara cagak tiga itu, yang ke Barat adalah jalanan buntu. Jalanan yang ke Timur,
jangan kau pandang enteng, kelihatannya ada kecil sekali, tapi makin kita lewati makin lebar, sekeluarnya dari situ kita sampai didusun Bun-seng-tin, yang dengan lain nama
dipanggil Un-sin-tin, dusun Malaikat Penyakit. Kalau kita menuju ke Utara, setelah delapan-puluh lie kita akan
sampai di Tin-pa ... "
"Nah, lekas balik!" Siau Hoo bilang. "Lebih dahulu kita pergi ke Un-sin-tin!"
Hek Pa Cu mutar balik kudanya.
"Buat ke Un-sin-tin, aku tidak mau pergi," kata Hok Pa Cu sambil tertawa. "Pada lima-belas tahun yang lalu,
disana aku pernah diserang penyakit. Ketika itu aku ikuti Sun Lay-cu si Korengan melakukan pekerjaan di Rimba
Hijau, di dusun itu aku telah ketemu satu imam perempuan.
Sayang sekarang ini imam itu tentunya sudah berusia
empat-puluh sedikitnya, kalau tidak, pada lima-belas tahun yang lalu dia tentu baru sepantar usianya dengan kau,
hingga kau boleh nikah padanya ?"
Siau Hoo tidak perdulikan orang menggodainya, ia jalan sambil berpikir. Ia pikirkan sikap apa ia mesti ambil bila sebentar dia telah sampai di Tin-pa.
Sebentar kemudian mereka sudah lintasi kira-kira dua lie.
Disini Siau Hoo lantas dapat lihat satu jalanan yang tadi ia tak perhatikan sama sekali. Jalanan ini sangat sempit, hanya seeker kuda yang bisa lewat jalan disitu. Jalannya juga penuh batu dan tidak rata, malah batunya lumutan dan licin. Disitu juga ada ratusan ekor burung, yang kaget dan terbang serabutan karena ada orang liwat.
"Apakah kau kenal betul jalanan ini?" pemuda ini tegasi Kim Piu.
"Aku ingat betul," sahut kawan itu dengan anggukan
kepala. "Dulu aku biasa mundar-mandir disini, sering aku menggeletak ditanah untuk lewati sang malam. Tidak bisa
salab, kecuali setelah selang beberapa tahun tempat ini sudah salin rupa."
Ngo Kim Phi segera jalankan kudanya, tetap didepan.
Siau Hoo dengan Pau Kun Lun di depannya, mengikuti
terus. Dijalan sempit dan sukar seperti itu, kedua ekor kuda
tidak bisa jalan dengan cepat, apalagi memang kedua kuda itu sudah lelah, tidak demikian dengan Siau Hoo, meskipun ia jalan kaki, ia tetap segar dan bersemangat.
Jalan lagi baru beberapa tindak, kaki depan dari kudanya Pau Cin Hui terpeleset, kuda itu ngusruk, benar
penunggangnya tidak sampai rubuh, namun buntalannya
Siau Hoo yang dicantel di kuda itu, terlepas dan jatuh, terbuka ikatannya.
Melibat demikian, Ngo Kim Piu gusar, ia putar tubuh, ia ayun cambuknya menghajar jago tua itu. Ia-pun mau turun dari kudanya akan ambil pedang buat bunuh jago itu, tetapi Siau Hoo cepat mencegah.
Pemuda kita pungut buntalannya, ia membungkus pula
dengan baik, ia jemput pedangnya, kemudian ia bantui
kudanya bangun.
"Lekas jalan!" katanya. Ia mendongkol.
Hek Pa Cu masih gusar, ia cambuk pula Pau Cin Hui,
sesudah mana, baru ia jalankan kudanya.
Disepanjang jalan beberapa kali Pau Kun Lun menarik
napas panjang ia sangat berduka. Pertama kelakuannya
Ngo Kim Piu, yang dia anggap ada satu berandal saja.
Disepanjang jalan tidak kurang dari tujuh-puluh atau
delapan-puluh kali ia kena cambukan hingga mukanya,
lengannya, pada matang-biru dan bengkak. Karena Siau
Hoo berada di belakangnya, ia tidak berani membuat
pembalasan. Ke dua ia dukai nasibnya sendiri. Seumurnya dia anggap dirinya ada enghiong dari jamannya itu,
goloknya Kun-lun-too tidak ada tandingannya, meski-pun dia sudah tua, tetapi tenaganya masih belum berkurang.
Tetapi sekarang, menghadapi Kang Siau Hoo, ia ada
seumpama tikus melihat kucing, sebagai kambing di depan harimau sama sekali ilmu silatnya tak dapat digunai lagi.
Inilah ada penasaran yang sangat hebat. Ke tiga, ia ingat sekarang ia sudah mendekati Tin-pa, dalam keadaan rudin ia pulang ke rumah, ia tidak ada muka akan menemui
orang-orang sekampung.
Ingat semua itu, Cin Hui jadi tidak hidup lebih lama
pula, tetapi ia memikir dalam keraguan, apa baik ia bunuh dulu Ngo Kim Piu, setelah itu ia serahkan diri pada Siau Hoo untuk dibunuhnya.
Orang tua ini masih ragu-ragu ketika tiba-tiba ia lihat Ngo Kim Piu angkat kepalanya seraya terus berkata dengan nyaring : "Ah, siapa sangka disini ada rumah orang?"
Siau Hoo-pun angkat kepalanya seraya, dari itu ia lantas tampak asap mengepul ke udara, melayang-layang diantata cuaca bersinar layung.
"Sang sore sudah datang, apakah kita mau jalan terus ke Un-sin-tin untuk singah disana saja?" kata Kim Pu.
Siau Hoo belum lelah, tetapi hatinya tidak tenteram, ia sudah mulai merasa lapar.
"Coba kau cari kalau-kalau ada rumah penduduk
dimana kita bisa mondok," sahut ia kemudian. "Besok pagi kita berangkat ke Tin-pa, disana urusan akan segera dapat diselesaikan."


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Piu lantas jalan, matanya menoleh menoleh kekiri
dan kanan. Ia jalan belum seberapa jauh, lalu disebelah kiri ia lihat undakan-undakan tangga batu buatan orang.
Dengan cepat ia loncat turun dari kudanya, ia hampirkan Cin Hui yang dijorok hingga rubuh, setelah mana, dengan sebat juga ia mulai meringkus kaki-tangannya Pau Kun
Lun. Rebah ditanah Cin Hui diam saja, hanya napasnya turun
naik dengan keras.
Siau Hoo turunkan pedang dan bungkusannya, ia letaki
itu ditanah, lalu ia tambat kedua ekor kuda pada sebuah pohon. Kemudian, selagi Ngo Kim Piu bertindak naik
ditangga, ia jongkok akan rapikan bungkusannya. Untuk
kagetnya, ia dapati suatu barang yang kurang, ialah kasut mungil dan indah dari Ah Loan! Ia terkejut, hatinya
memukul. Sia-sia ia cari kasut sulam itu di sekitarnya. Dari jauh-jauh dari Cin Nia ia bawa-bawa itu, disini lenyap tak keruan, bagaimana ia tidak bingung. Kim Piu sudah dapat cari satu penduduk gunung, berdiri disebelah atas, sahabat itu perdengarkan suaranya.
"Saudara Kang! Lekas kau panggul tua bangka itu naik
kemari! Toako ini ada satu penduduk pemburu digunung
ini, dia suka terima kita menumpang bermalam!"
"Mari turun!" Siau Hoo balik memanggil. "Kau bawa
bungkusan dan tua bangka ini, aku kehilangan serupa
barang, aku hendak mencarinya dulu!"
"Apa yang hilang" Uang?" tanya Kim Piu.
"Jangan kuatir kalau kehilangan barang disini!" berkata si pemburu, yang berdiri disampingnya Kim Piu, "Sekarang sudah malam, disini tidak ada orang lain! Besok siang kita boleh cari!"
"Jikalau hilang cuma delapan atau sepuluh tail, tidak
apa," Kim Piu-pun bilang. "Angap saja dengan itu kita
persembahkan kepada Malaikat Gunung!"
Tetapi Siau Hoo tidak mau mengerti.
"Kau boleh beristirahat lebih dulu!" ia bilang. "Aku
hendak balik untuk mencarinya, aku akan kembali dengan lekas."
Lalu dengan bawa pedangnya, Siau Hoo lantas berjalan
kembali. Dari atas gunung, Kim Piu terawa terbahak-bahak.
"Saudaraku ini ada punya tabeat yang kukoay sekali!"
kata ia. "Entah ia kehilangan mustika apa?" Ia menoleh pada pemburu dan berkata: "Nah, toako, tolong kau bantui aku gotong makhluk yang rebah ditanah itu! Itu ada seekor harimau pitak putih yang saudaraku tadi memburunya!"
Siau Hoo mencari disepanjang jalan. Ia menuju ke Barat, tubuhnya membungkuk, kepalanya tunduk. Ia mesti
pentang mata lebar-lebar. Cuaca sudah gelap, sedang
jalanan penuh rumput tebal. Ia sudah jalan jauh,
pinggangnya pegal, ia masih belum peroleh hasil. Maka itu dengan pikiran ruwet ia berhenti, ia berdiri untuk
lempangkan pinggang. Ia sangat mendongkol, hingga ia jadi uring-uringan.
Sekian lama Siau Hoo berdiri mungsang mangsing,
akhirnya ia insaf sendirinya bahwa ia ada terlalu totol.
"Ah! Bukankah ayah telah terbinasa di tangannya"
Bukankah ketika aku masih kecil, aku sendiri beberapa kali hampir binasa ditangannya juga" Dia ada sangat jahat, dia telah buat susah penduduk sesama kampungnya, dia umbar murid-muridnya mengganas, malah di Sucoan dia telah
binasakan Cu Siau Hiong, satu anak umur limabelas tahun!
Tua bangka jahat seperti itu. Sesuatu orang harus
membunuhnya, kenapa aku saban-saban tak tega turun
tangan terhadapnya" Apa dengan begini aku terhitung satu laki-laki" Kenapa aku berati Ah Loan" Budi apa dia ada punya terhadap aku" Malah pohon yangliu kenang-kenanganku dia-pun membencinya, dia bacoki berulang-
ulang! Kenapa aku mesti pikirkan kasut dia itu" Gila betul.
Pikiranku benar-benar cupat seperti pikirannya seorang perempuan!"
Siau Hoo ambil putusan akan tidak cari lebih jauh kasut sulam itu. Dengan tengteng pedangnya ia balik kembali
ketempat tadi. Ia mesti buang banyak tempo akan sampai diundakan tangga ditepi jalan itu, karena selama cari kasut, ia sudah pergi jauh juga, ia telah sia-siakan waktu. Kedua ekor kuda masih tertambat di tempat, tapi yang buat ia heran, ialah bungkusannya masih menggeletak ditanah,
Kim Piu tidak bawa itu naik.
"Ah, Kim Piu terlalu alpa," kata ia dalam hatinya.
"Terang ia sudah terlalu ingin makan nasi wangi dari si pemburu hingga ia tak perdulikan lainnya lagi! Sifat
keberandalannya masih terlalu mendalam, jikalau terus-
terusan aku berada bersama-sama ia, ada kemungkinan
akan terbit onar " Baik aku lekas-lekas habiskan jiwanya si tua bangka she Pau, lantas aku berikan ia sejumlah uang untuk berpisahan daripadanya! ?"
Siau Hoo rapikan bungkusannya yang kemudian ia
tenteng, sedang tangannya yang lain, mencekalkan terus pedangnya. Ia tidak mau bertindak diundakan tangga hanya ia enjot tubuhnya hingga sekejab saja ia sudah sampai
diatas, ialah rumahnya si pemburu, yang terbuat dari
sebuah gua dilamping gunung, dibagian depannya ada
jendela, dari mana ada sorot sinar api yang tidak terang.
"Ngo Toako!" ia memanggil seraya ia hampirkan jendela
itu. Tidak ada suara jawaban dari dalam.
Pemuda itu bertindak kepintu, yang ia terus tarik. Yang pertama ia dapat lihat adalah sebuah mangkok hitam yang digantung diatas tembok, dalam mangkok mana ada
puntung kertas terendam minyak, yang merupakan sumbu
pelita, apinya memain bergoyang-goyang. Setelah itu,
segera ia menjadi terperanjat oleh satu pemandangan yang mengherankan, yang sangat mengerikan.
Tiga buah mayat menggeletak malang melintang,
darahnya melulahan. Yang pertama ada mayatnya Ngo
Kim Piu, yang kedua adalah si pemburu, ialah tuan rumah.
Dan yang ke tiga yang nyender ditembok, rambutnya
panjang. Ketika Siau Hoo lompat mendekati dan tolak
tubuh itu, ternyata adalah mayatnya seorang perempuan, ia menduga pada nyonya rumah, isterinya si pemburu, kepala siapa pecah, tanda bekas dihajar dengan besi.
Disebelah itu, disitu tidak terlihat Pau Cin Hui, tidak mayatnya, tidak tubuhnya yang bernyawa. Melainkan
diatas dapur, terdengar kwali nasi yang bergelotokan,
menyiarkan baunya yang wangi.
Dengan sekonyong-konyong Kang Siau Hoo banting
kakinya. "Oh, jahanam tua yang kejam!" ia berseru
Siau Hoo lepaskan bungkusannya ia lari keluar seraya
bawa pedangnya, untuk mencari. Akan tetapi cuaca ada
gelap, pepohonan lebat, angin-pun keras. Kemana ia mesti mencarinya" ia loncat turun kebawah dimana ia dapatkan kudanya masih belum terganggu.
"Pasti ia belum lari jauh ... " pikir Siau Hoo, yang segera jalan terus akan melanjutkan mencari Pau Cin Hui. Ia duga jago tua ini yang bisa loloskan diri Kim Piu dan si pemburu suami-isteri dan kemudian kabur atau sembunyi. Maka ia hendak cari. Dengan lekas ia sampai dimana tadi ia
berhenti selagi ia cari kasut sulam. Dari sini, karena ia tidak dapatkan jago Kun Lun Pay, ia mencari lebih jauh. Ia
berlaku sangat teliti. Sayang sekali langit ada sangat gelap dan pepohonan banyak, hinga dimana saja, gampang untuk orang umpatkan diri.
Siau Hoo menjadi uring-uringan, karena ia mencari
dengan sia-sia, hingga ia bacok batu besar didepannya, sampai lelatu apinya terbang berhamburan.
"Pau Cin Hui, anjing tua!" ia berseru dengan caciannya.
"Anjing tua, kau kejam sekali! Selagi aku tindak ada, kau bunuh sahabatku, juga kau binasakan pemburu suami dan
isteri yang tiada bersalah-dosa" Anjing-tua, apakah kau kira kau bisa lolos dari tanganku" Jikalau Kang Toaya bisa beri kau hidup sampai tiga hari, Kang Toaya bukannya satu
hoohan! Tua-bangka kau keluar, jangan kau tetap
sembunyikan diri."
Percuma saja pemuda ini umbar amarahnya, ia tidak
dapat jawaban. Maka ia mencari lagi, ia mencari lagi, ubak-ubakan. Akan tetapi hasilnya nihil.
"Dasar aku!" akhirnya Siau Hoo persalahkan dirinya
sendiri, "Jikalau aku tidak pergi cari kasut walau-pun dia hendak kabur, tak nanti dia berani dan mampu lakukan!
Aku sudah berlaku alpa! Pastilah ia berhasil berontak
melepaskan diri dari ringkusan, entah ia pakai gegaman apa menghajar mampus pula Kim Piu dan si pemburu, juga
isterinya pemburu ini! Ngo Kim Piu adalah berandal,
kebinasaannya aku tidak terlalu sayangi, meski benar ia baik dan setia padaku, tidak demikian dengan si pemburu
dan isterinya, mereka tidak punyi salah-dosa, mereka telah jadi kurban keganasan! Memang kenyataan ia si tua bangka yang bunuh mereka, tetapi sebenarnya akulah yang
menyebabkan itu. Jikalau hatiku tidak lemah dari siang-siang bunuh anjing tua itu, tak mungkin terjadi perkara sehebat ini."
Angin malam menderu-deru makin keras.
Siau Hoo gusar dan sengit, berbareng ia-pun berduka.
Sambil mencaci, mengutuk, ia mencari pula sampai sekian lama. Satu kali ia berada diatas, ia lihat cahaya api
disebelah bawah. Ia menyangka pada rumah orang, ia
lantas loncat turun. Nyata itu adalah rumahnya si pemburu yang malang nasibnya, daun pintunya terpentang. Karena ketika tadi ia lari keluar, ia tak ingat akan rapatkan itu.
Bau wangi dari nasi yang baru matang sudah hilang dan
cahaya api-pun makin remang-remang.
Sambil kertek gigi Siau Hoo bertindak masuk kedalam
rumah gua itu. Ia tunduk. Sekarang ia bisa melihat dengan terlebih nyata. Diantara darah yang mengumplang
mayatnya Kim Piu dan si pemburu rebah dengan kepala
masing-masing pecah remuk. Sungguh menggiriskan
keadaannya semua mayat itu "
Siau Hoo berdiri diam, akhirnya ia menghela napas. Ia
ambil bungkusannya yang ia terus gondol. Ia telah memikir untuk meninggalkan rumah gua itu untuk mencari terlebih jauh pada Pau Cin Hui. Belum sempat ia memutar tubuh,
mendadak ada angin yang menyambar keras. Ia kaget
segera lompat berkelit kesamping.
Menyusul itu, satu suara bagaikan guntur terdengar, batu tembok gempur berhamburan!
Kapan Siau Hoo menoleh, ia tampak satu hweeshio yang
tubuhnya tinggi dan besar, mukanya hitam legam, matanya gede, sedangkan kumis-jenggot dan berewoknya kaku mirip dengan duri landak kedua tangannya memegang sebatang
toya besi bagaikan tiang rumah besarnya maka beratnya
bisa dimengerti. Toya itu licin dan mengkilap. Dialah yang membokong dengan serangannya yang hebat luar biasa itu.
Siau Hoo tidak jadi kaget atau keder, segera ia membabat mukanya penyerang itu.
Hweeshio itu angkat toya besinya menangkis, ketika
kedua senjata beradu sambil perdengarkan suara keras, ia terus menekan pedangnya Siau Hoo, berbareng dengan
mana terdengarlah suaranya yang bagaikan guntur dan
bengis "Kang Siau Hoo! Apakah kau anggap kau sendiri saja
enghiong nomor satu dalam dunia ini" Bagaimana hebat
kau hinakan Pau Loo-piausu! Di Loo Su Nia-pun kau
sudah begal satu keluarga tiekoan. Berandal, sekarang aku hendak bekuk padamu!"
Oleh karena pedangnya ditekan, dengan cepat Siau Hoo
lepaskan pedangnya dan sebaliknya pakai kedua tangannya menyekal ujung toya. Atas ini, si pendeta tidak sempat tarik pulang toya besinya itu.
"Hweeshio, aku larang kau mencaci aku!" pemuda itu
balas menegor. "Aku Kang Siau Hoo ada satu enghiong,
satu hoohan! Ketahuilah bahwa Pau Cin Hui itu ada musuh besarku! Aku bekuk dia di Sucuan Utara, aku bawa dia
sampai disini. Pembegalan di Loo Su Nia adalah
perbuatannya Liong Cie Khie, yang sudah pakai namaku
?" "Hm, hm!" si pendeta perdengarkan hinaannya, seraya
dengan kedua lengannya yang besar dan kasar, yang
berbulu hitam, ia coba tarik toyanya, untuk melepaskannya dari tangan musuh. Tapi Siau Hoo memegangnya dengan
keras, ia tak ijinkan orang rebut terlepas gegamannya itu.
"Apakah namamu Tiat Tiang Ceng?" pemuda ini segera
menanya. Ia sudah lantas bisa menduga, "Jikalau kau benar Tiat Tiang Ceng adanya, aku tahu kau juga ada satu
hoohan dalam kalangan Sungai Telaga. Pada sepuluh tahun dulu, aku pernah lihat tiga toya besimu yang kau tinggalkan dirumahnya Long-tiong-hiap Cie Khie di Long-tiong. Akupun kenal muridmu yang bernama Wan Keng Goan, ia-pun
sahabat kekalku. Baiklah kita jangan bercidera, jangan kita bertempur, apa pula sampai ada yang mati! ?"
Tiat Tiang Ceng demikian pendeta itu masih mencoba
menarik pulang Toyanya, untuk itu ia sampai berkerot gigi dan berdegingan.
"Apakah kau takut mampus?" dia menanya, dengan
sangat sengit. "Jikalau kau takut mampus, jangan kau
masuk dalam kalangan Sungai Telaga untuk berpura-pura
menjadi jago!"
"Hm!" Siau Hoo menghina. "Jikalau kita mesti adu jiwa, masih belum tentu siapa yang mampus dan siapa yang
hidup! Tapi sudah lama aku hargai nama besarmu, dari itu, aku ingin jelaskan kepadamu hal-ikhwalnya permusuhanku dengan pihak Pau, sesudah itu barulah kita bertempur!"
Tiat Tiang Ceng menjerit, suaranya nyaring seperti
tambur atau guntur hingga kupingnya Siau Hoo ketulian.
Tambah pula ia menjejak tanah berulang-ulang, hingga
batu-batu pada pecah dan hancur.
"Sedari siang-siang aku sudah ketahui kejahatanmu!"
demikian ia berteriak-teriak. "Sudah lama aku dengar itu!
Aku hendak wakili kaum Kangou menyingkirkan biang
malapetaka! Aku hendak buat remuk tubuhmu, manusia
busuk!" Sembari mencaci demikian, pendeta itu pasang kuda-
kudanya, lalu ia keluarkan ia punya "tenaga untuk
pindahkan bukit" dengan tubuh doyong kebelakang, ia tarik toyanya. Tapi, selagi ia
keluarkan semua tenaga
kekuatannya, dengan
tiba-tiba Siau Hoo lepaskan cekalannya, hingga tidak tempo lagi, Tiat Tiang Ceng rubuh terguling bagaikan gunung rubuh!
Begitu lekas melepaskan cekalannya, Siau Hoo samber
pula pedangnya, untuk menyerang.
Pendeta si "Toya Besi" itu ada gesit luar biasa. Berbareng jatuh, ia tahu, musuh tentu bakal susul ia maka itu setelah gulingkan diri, sambil bawa toyanya, ia loncat keluar gua, sesampainya diluar, ia menjerit, "Hayo kau keluar!" ia pun, dengan toyanya yang kuat, hajar jendela hingga hancur, kemudian, berulang-ulang ia pukul tembok rumah, seraya mulutnya menantang lagi : "Hayo, kau keluar! Kau keluar!"
Siau Hoo berlaku cerdik, selagi bertindak kemuka pintu, ia samber mangkok pelita minyak, dengan itu, ia menimpuk keluar, lalu membarengi, ia mencelat, pedangnya disiapkan.
Oleh karena timpukan mangkok pelita, Tiat Tiang Ceng
tidak bisa papaki lawan, ketika nampak tubuh Siau Hoo
barulah ia menyambut dengan toyanya.
Sekali ini, Siau Hoo sudah siap, ia tidak mau tangkis
toya berat itu, ia hanya berkelit, sesudah berkelit, ia balas menyerang. Ia tikam perut lawannya
"Trang!" suara terdengar.
Gesit luar biasa, pendeta tangguh itu bisa tangkis
tikaman, sesudah mana, ia putar gegamannya, ia
menyerang pula. Toya itu perdengarkan samberan angin.
Ia-pun balas sodok perut satrunya.
Siau Hoo berkelit pula, dengan loncat keatas sebuah batu besar.
Tiat Tiang Ceng lompat menyusul, toyanya menyamber,
dari atas ke bawah. Kemplangan ini ada hebat luar biasa, ketika toya turun, toya itu menerbitkan suara sangat keras.
Yang kena dihajar adalah batu dimana barusan si anak
muda berdiri, si anak muda sendiri sudah lompat pergi.
Batu besar itu hancur dan muncrat berhamburan!
Napasnya Tiat Tiang Ceng memburu ia, ada sangat
gusar, ia-pun sudah keluarkan tenaga terlalu besar.
"Kang Siau Hoo! Kau lari?" ia membentak, dengan
ejekannya. "Apakah kau takut padaku" Dengan lari,
apakabhkau bisa jadi satu enghiong" Mari!"
Selagi ia mengucap demikian, pendeta ini terperanjat.
Tahu-tahu angin menyambar ke arah kupingnya. Ia segera membungkuk, kepalanya diberi tunduk, atas mana,
samberan pedang lewat diatas kepalanya. Tapi sekarang si anak muda berada disebelah belakang, selagi orang
membungkuk, ia ayun kakinya!
Tidak ampun lagi, Tiat Tiang Ceng rubuh ngusruk! Tapi
ia tidak terluka, ia-pun tetap gesit. Sambil berlompat, ia bangun, lalu ia putar tubuh, untuk menyerang pula dengan toyanya. Toyanya itu kembali tidak mengenai sasarannya, yang ia kena hajar adalah batu dimata barusan Kang Siau Ko berdiri. Siau Hoo sendiri sudah berkelit hingga lenyap bersama bayangannya. Bukan main mendongkolnya
pendeta jagoan ini, ia tahan toyanya, napasnya mengorong.
"Bangsat!" ia mendamprat. "Tikus! Kau cemarkan
namanya gurumu!"
Cacian ini dikeluarkan, diulangi, sampai beberapa kali, ia tidak dengar jawaban suatu apa. Percuma ia melihat
kelilingan, sang lawan lenyap entah kemana. Maka
terpaksa, dengan bawa toyanya, ia buka tindakan lebar. Ia berjalan turun. Ia jalan baru beberapa tindak, tiba-tiba ia rasa ada orang cekal dan tahan toyanya dari belakangnya.
Ia terperanjat, ia berpaling.
Juseru itu pedang menyamber kearah mukanya. Gesit
luar biasa, ia membungkuk, ia berkelit.
Kang Siau Hoo tidak mau memberi ketika. Setelah
sabetannya gagal, tangannya diputar terus, naik keaas, untuk diturunkan pula, dengan satu bacokan. Akan tetapi sekarang Tiat Tiang Ceng sudah sedia, belum lagi ujung pedang turun, sebelah kakinya sudah terangkat, mendupak ke atas, mengenai orang punya ugal-ugalan, atas mana,
pedangnya si anak muda terlepas, terpertal terbang!
Bukan main girangnya pendeta itu, dengan sebat, ia
gerak toyanya. Tapi sekarang Siau Hoo balas mendahului ia, ia kena ditendang dengan tak ampun lagi begitu keras, hingga ia rubuh terbalik, bersama toyanya, tubuhnya yang besar menggelinding, jatuh kebawah! Sesampainya ia di
bawah, dengan toyanya terlepas, ia lantas merayap untuk bangun pula. Diluar sangkaannya, laksana burung, Siau
Hoo loncat turun, pada orang punya tubuh sekali, dan
orang punya tubuh besar bagaikan kerbau, segera ditekan!
Siau Hoo juga punyakan tenaga besar sekali, sudah
begitu, ia berlaku sangat sebat belum sempat si pendeta berbudi, kepalanya sudah dikasi bekerja, pada orang punya kepala. Cuma dengan satu bogem mentah. Tiat Tiang Cen
rasai kepalanya pusing, hampir ia pingsan. Tapi ia masih sadar akan dirinya, dari itu, ia lantas ulur sebelah tangannya akan menotok orang punya dada. Dia memang ada punya
Tiam-hiat-hoat ilmu menotok jalannya darah, yang lihay.
Kang Siau Hoo tahu pendeta ini ada punya ilmu totok
yang lihay itu, melihat orang punya tangan bergerak, ia segera lompat mundur, akan jauhkan diri dari tubuh
musuh, sesudah mana, ia jumput orang punya toya yang
berat, yang ia bawa lari ke arah barat.
Tiat Tiang Ceng lompat bangun, ia lantas mengejar. Ia
mengepal keras kedua kepalannya, untuk menuntut balas.
Lari baru beberapa tindak, Siau Hoo loncat naik keatas batu besar di pinggiran. Disini ia bersiap dengan toya hweesio itu. Begitu lekas ia dapati si pendeta sudah datang cukup dekat, dengan tiba-tiba, ia ayun toya musuh, untuk pakai itu menghajarnya.
Tiat Tiang Ceng sedang mendongkol sekali, kepalanya-
pun masih rada pusing, ia tidak lihat sang lawan lagi
tunggui padanya, hingga ia kena dibokong, akan tetapi ia liehay, ia dengar samberan angin, segera ia hunjuk ia punya ketangkasan. Ialah ia ulur kedua tangannya, sebelum toya turun, ia menyambuti, untuk cekal ujungnya.
Anak muda itu terganggu oleh orang punya toya yang
berat luar biasa, walau-pun ia bisa angkat itu dan gunai, tidak urung, serangannya turun sedikit lambat, maka itu si pendeta sempat samber toyanya. Hingga sekarang, kembali berdua mereka menyekali masing-masing satu ujung,
hingga keduanya main saling tarik pula.
Dua lawan ini, yang sama-sama tangguh, telah adu
mereka punya kekuatan. Tiat Tiang Ceng ada punya tenaga raksasa, tapi ia tidak mampu betot lawannya, siapa
sebaliknya ada punya beh-sie, kuda-kuda, yang kuat sekali, dengan begitu, kekuatan mereka jadi berimbang.
Sesudah berkutet sekian lama, Siau Hoo bertindak naik
kesebelah atas. Ia hendak cari jalan. Tidak mau ia lepaskan orang punya toya.
Tiat Tiang Ceng tidak bisa rampas toyanya itu, ia-pun
memikir akal, dari itu, ia ikuti orang naik. Ia pegang keras ujung toyanya, agar musuh tidak bisa gentak terlepas ia punya cekalan.
Mereka sudah naik tinggi juga keatas gunung ketika
Kang Siau Hoo, lagi-lagi, lepaskan cekalannya dengan tiba-tiba, sembari melepas, ia mendorong. Adalah ia punya
maksud, akan buat orang rubuh dan jatuh seperti tadi
didalam gua batu.
Entah ia sudah bersedia, Tiat Tiang Ceng tidak kena


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat rubuh terguling karenanya, hanya ketika dia toh jatuh juga, dia jatuh terduduk, menyusul mana, tubuhnya mencelat bangun, toyanya dipakai menyerang dengan
hebat. Siau Hoo lompat menyingkir dari serangan itu, yang
mengenai batu dimana ia taruh kaki, hingga terdengar suara nyaring. Tapi ia tidak lompat jauh kebelakang atau
kesamping, hanya ia loncat turun, melewati kepala si
pendeta, hingga ketika kakinya injak tanah, ia berada
justeru di belakang pendeta itu, hingga kakinya yang
sebelah bisa lantas mendupak!
Sekali ini biar ia ada sangat gesit, Tiat Tiang Ceng tidak sempat berkelit atau memutar tubuh seraya menyabet
dengan toyanya, ia punya pinggang kena ditendang dengan telak, hingga ia rubuh ngusruk. Tubuhnya tengkurep. Ia telah mencoba akan segera merayap bangun, sia-sia saja percobaannya itu. Memangnya ia punya kepala masih
pusing, ia punya tenaga berkurang, tapi yang paling celaka, pinggangnya patah. Meski begitu, dengan napas memburu
keras, ia masih pegangi keras-keras ia punya toya.
Selagi lawan itu rubuh, Siau Hoo lompat ke orang punya samping. Ia tidak mau tunggu sampai pendeta itu keburu
berbangkit, dengan cepat ia mendupak pula, atas mana
tubuh besar dari Tiat Tiang Ceng terpental, jatuh
menggelinding, terus turun kebawah gunung. Berbareng
dengan itu, ada potongan batu yang kena tersampok tubuh dan jatuh bersama.
Masih Siau Hoo kuatir musuh itu tidak terbinasa, ia
berniat loncat turun, akan menyusul, untuk binasakan
padanya, akan tetapi selagi ia memikir demikian, tiba-tiba ia dengar jeritan hebat, yang datangnya dari bawah. Jeritan itu ada menggiriskan, berkumandang di lembah-lembah. Itulah jeritannya si pendeta, hingga anak muda ini berdiri
melengak. Adalah setelah lewat sedikit saat dan dari bawah ia tidak dengar suara apa-apa lagi, Siau Hoo barulah turun dengan hati-hati. Sampai dibawah, ia masih tidak dengar suaranya si pendeta, ada juga hanya suara angin berkesiur. Ia tidak dapat lihat tubuhnya Tiat Tiang Ceng serta toyanya dia ini, entah pendeta itu menggelinding jatuh kemana. Cuma
diatas langit kelihatan berkelak-keliknya sejumlah bintang.
Mengawasi dari lembah, langit tampaknya ciut. Lama Siau Hoo berdiri, memasang mata dan kuping, maka
ia percaya, pastilah pendeta itu telah terima ajalnya.
Dengan berdiri diam, Siau Hoo jadi seperti ngelamun.
Sejak ia keluar dari rumah perguruan, baru ini kali ia hadapi satu lawan yang demikian liehay dan tangguh.
Benar ia telah keluar sebagai pemenang, akan tetapi ia toh rasai kedua bahunya kesemutan. Umpama itu waktu ada
datang pula satu musuh seperti si pendeta, mungkin ia bakal nampak bencana. Maka itu, sembari beristirahat, ia merasa sukur sekali.
Akhirnya Siau Hoo bertindak, untuk meninggalkan
Lembah itu. Baru jalan beberapa tindak, ia merandek. Ia merasa bahwa ia telah tersesat. Tadinya ia kenali jalanan,
pertempuran dengan Tiat Tiang Ceng, yang buat ia pergi sana pergi sini, buat ia berkisar dari tempat yang ia kenali itu.
Cahaya bintang-bintang tidai bisa dipakai untuk
mengenali jurusan, sukar untuk bedakan mana selatan dan mana utara. Cuaca juga tetap gelap.
"Tidak ada lain jalan, terpaksa aku mesti berdiam disini, menantikan datangnya sang fajar," akhirnya pemuda ini
pikir. Karena ia anggap, percuma ia jalan sejalan-jalannya saja dirimba atau gunung itu. Maka dengan perantaraan
kakinya ia mencari sebuah batu besar, untuk ia duduk
bercokol. Sekarang, dalam kesunyian, Siau Hu berpikir pula.
"Pastilah Tiat Tiang Ceng sudah terima kabar dan ia
telah susul aku, rupanya selagi aku giring Pau Kun Lun, dia menguntit, kemudian dia sengaja ambil jalan motong,
untuk menantikan aku disini. Disini ia telah dapatkan
ketikanya yang baik selagi aku tinggalkan Kim Piu dan Pau Kun Lun, dia datang tolongi jago tua itu dengan berbareng binasakan Kim Piu serta suami isteri pemburu itu dengan dia punya toya besi. Coba bukannya aku, pasti Tiat Tiang Ceng akan dapat binasakan dia punya tandingan ?"
Ingat sampai disitu, tiba-tiba hatinya pemuda itu menjadi panas, hingga ia berbangkit dengan berlompat.
"Apakah Pau Cin Hui boleh lolos secara begini saja?" ia kata seorang diri ia tanya dirinya sendiri, "Apakah aku mesti sia-siakan saja aku punya cape-lelah selama sepuluh tahun aku mendendam sakit hati" Tidak! Asal aku dapat
bekuk pula padanya, dia tak boleh dapat ampun lagi!"
Selagi ia ngoceh seorang diri tiba-tiba Siau Hoo dengar berbengernya kuda. Ia jadi girang. Lantas ia pasang kuping.
Suara itu datang dari tempat jauh. Selang sesaat, kembali terdengar suara binatang itu, sampai dua kali. Tidak tempo lagi Siau Hoo bertindak kearah dari mana suara datang. Ia mesti jalan dengan perlahan, dari itu, ia perlu ambil tempo.
Diakhirnya, ia toh sampai juga di tempat dimana sang kuda perdengarkan suaranya. Nyata itu adalah ia punya kuda
sendiri, di tempat dimana binatang itu ditambat sejak tadi sore. Disini, ia menjadi terkejut, saking herannya.
Ngo Kim Piu dan si pemburu suami dan isteri telah
terbinasa, Pau Kun Lun sudah hilang, Tiat Tiang Ceng
rupanya terbinasa juga, tapi aneh, kuda tinggal satu.
Kemana perginya yang seekor lagi" Apa bisa jadi, Tiat
Tiang Ceng telah tidak terbinasa, dia bisa datang pula ketempat itu, untuk kabur dengan seekor kuda itu" Tak bisa jadi. Tak bisa jadi juga yang kuda itu ngamuk dan telah putuskan tambang tambatannya dan kabur sendirinya.
Untuk sesaat, Siau Hoo berdiri diam. Ia sampai memikir untuk naik keatas, akan pegi kerumah gua, guna ambil nasi, tetapi dilain saat, ia batalkan niat itu. Ia ingat, pelita telah padam, didalam gua ada banyak darah. Bagaimana besok ia bisa buat perjalanan" Pasti orang akan curigai ia dan
menyangka jelek terhadapnya! Itulah berbahaya!
Maka ia lantas duduk numprah, ia menahan lapar, ia
lawan serangannya angin yang dingin. Sukur, setelah lewat sekian lama, cahaya fajar sudah mulai berbayang, hanya sang angin menghembus-hembus makin dingin. Ia punya
kuda, yang berada disampingnya, menderita sangat dari
hawa dingin, haus dan lapar, hinga dia berbenger pula
berulang-ulang.
Lagi sekian lama, lantas burung-burung pada bangun
dari tidurnya dan mulai perdengarkan cecowetannya yang berisik. Sinar terang-pun mulai muncul disebelah timur.
Sekarang, tak membuang tempo tagi, Siau Hoo naik keatas.
Ia lihat jendea telah rusak, tembok ada bagiannya yang gempur. Didalam situ mayatnya Ngo Kim Piu ada, suami
isteri pemburu itu ada sangat mengenaskan terlihatnya, darah yang melulahan sudah menjadi beku.
-ooo0dw0ooo- Jilid 25 SIAU HOO bisa lihat tegas sekarang, luka-luka mereka
benar bekas hajarannya toya besi, bekas-bekas toya mana tertampak pada batu dan tanah bekas hajarannya.
Menampak itu semua, pemuda ini jadi mendongkol sekali.
Nyatalah Tiat Tiang Ceng ada ganas sekali.
Keluar dari gua, Siau Hoo cari tempat dimana ia bisa
menggali lobang, untuk pendam ketiga mayat, apa mau,
disitu tidak ada tanah yang bisa digali. Sebaliknya, di belakangnya satu batu besar, ia dapatkan ia punya pedang, yang ia telah tinggalkan bekas disampok terpental oleh toyanya si pendeta. Ia jumput itu, ia jalan terus, ia mencari terus. Ia ingin bisa ketemukan pula Pau Kun Lun.
Siau Hoo sampai di satu tempat tinggi dari mana ia bisa memandang ke bawah, ke lembah. Kapan ia sudah melihat
nyata, ia terkejut. Di situ, rebah atas sebuah batu, ada tubuhnya Tiat Tiang Ceng. Pada batu itu ada tumbuh
rumput. Di samping tubuh kelihatan darah hitam.
Mayatnya pendeta itu mirip dengan bangkainya seekor
beruang. Dengan cepat Siau Hoo turun ke bawah, akan mendekati
mayatnya itu pendeta liehay, yang selama tiga-puluh tahun kesohor sebagai "Koay-hiap" atau "Pendekar luar biasa."
Biar bagaimana, ia tidak merasa kasihan terhadap bekas lawan yang kosen ini. Hanya, apa yang buat si pemuda
terkejut, saking heran, adalah kebinasaannya si pendeta bukan karena jatuh terbanting hanya pada lehernya bagian atas, dimana ada darah berkumpul, ada bekas bacokan
senjata tajam, pedang atau golok.
"Sungguh heran!" anak muda ini berseru sendirinya.
"Ketika tadi malam aku tempur dia, aku tidak
bersenjatakan pedang, dia-pun rubuh karena tendanganku.
Tempo tubuhnya jatuh ke bawah, aku dengar jeritan hebat.
Apakah bisa jadi, pada itu waktu, di bawah ada seseorang yang kebetulan lagi pegang senjata tajam, tatkala dia dapati ada orang jatuh, dia terus saja menyerang dan bunuh dia ini?"
Saking heran, Siau Hoo mencari ubak-ubakan di sekitar
situ. Ia telah dapatkan orang punya toya besi yang berat, kasar dan berat, ia dupak itu kesamping. Ia mencari terus.
Ia telah pergi jauh dari situ. Tiba-tiba di atas rumput, ia dapati suatu benda yang buat ia heran dan hatinya
memukul. Itulah kasut sulam, yang tadi malam lenyap,
yang ia cari dengan sia-sia. Karena yang kasut itu, kejadian hebat sampai ambil tempat di rumah gua.
Siau Hoo berdiri bengong, pikirannya ruwet. Ia
mendongkol, ia gusar berbareng masgul, ia penasaan. Ia tadinya tidak niat pungut kasut itu, tetapi selang beberapa saat, ia toh turunkan buntelannya, ia pungut kasut itu dan masukkan kedalamnya "
Akhirnya, dengan tinggalkan mayatnya Tiat Tiang Ceng,
yang membuat ia menduga dengan tak dapatkan
pemecahannya, ia jalan, akan kembali ke tempat kuda
ditambat. Ia cantel bungkusannya diatas kuda, pedangnya juga dimasukkan kedalam bungkusan. kemudian ia loloskan tambatan kuda. Benar selagi berbuat demikian, kembali ia tampak hal yang mengejutkan hatinya. Kuda yang satunya, yang lenyap, masih ada ujung tambangnya, yang terikat
pada batang pohon. Teranglah tambang itu bekas dibabat kutung dengan pedang atau golok. Jadinya kuda itu telah dibawa lari.
"Benar-benar, tadi malam disini ada terdapat satu orang lain!" akhirnya Siau Hoo pikir. Ia mengarti dan merasa pasti. "Orang itu sembunyi disini, dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia datang kemari, dia ambil kuda dengan apa dia angkat kaki. Dia pergi secara diam-diam, apakah itu tidak aneh" Mestinya dia ada seorang yang liehay ilmu silatnya.
Melihat dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia mesti ada seorang gagah mulia " Kenapa dia tonton aku tempur Tiat Tiang
Ceng" Kenapa dia tidak bantu aku" Ini ada bukti yang dia tidak punya perkenalan dengan aku. Siapa dia" Dia tentu ada seorang aneh! Mungkin dia kasihan melihat Pau Kun
Lun yang sudah tua, dia menolonginya ... Biar bagaimana, teranglah dia telah memandang tak mata padaku! ... "
Akhirnya, Siau Hoo jadi tidak puas.
Dengan naik kudanya, dengan mendongkol, Siau Hoo
menuju ke Timur. Ia punya kuda adalah kuda bulu hitam, yang ia dapatkan dari Lau-kee-chung di Giehong. Ia punya kuda putih, bersama kepalanya Liong Cie Khie, entah
kemana. Kuda itu bukan kuda jempolan, jalanan-pun
sangat jelek, dari itu, binatang itu tidak mampu lari keras.
Dua kali kuda itu terpeleset dan ngusruk, dengan banyak susah, barulah jalanan gunung itu dapat dilalui.
Matahari sudah naik tinggi sekarang. Disebelah depan
ada tanah tegalan yang luas, ada sawah gandum. Sebuah
jalanan kecil, melingkar-lingkar, kelihatannya seperti ular berlugat-legot. Cuma ada beberapa orang kelihatan berjalan disitu. Karena kecilnya jalanan, kuda sukar diberi kabur.
Selagi ia jalankan kudanya, Siau Hoo dengar bunyinya
genta, tidak terlalu nyaring. Ia menduga, tidak terpisah jauh
dari situ, mesti ada rumah suci. Rupanya, pada itu waktu, penghuni-penghuni kuil sedang sarapan pagi.
Tiba-tiba, pemuda ini ingat suatu apa!
Bukannya mustahil kalau Tiat Tiang Ceng ada punya
tempat mondok. Apa itu bukannya kuil dari mana suara
genta itu datang" Apakah tak bisa menjadi, setelah tolong Pau Cin Hui, jago Kun Lun itu lantas dititipkan didalam kuil itu"
Maka ia terus pasang kupingnya. Sayang, karena suara
ada sangat samar, sukar dicari tahu dari jurusan mana suara itu datang. Maka, dengan terpaksa, ia jalankan terus
kudanya, jalan berputar-putar sampai lebih dari sepuluh lie.
Barulah itu waktu, di depan ia, ia tampak segundukan
rumah, seperti pasar atau dusun.
"Baiklah aku cari tempat singgah dulu, untuk dahar dan piara kuda," Siau Hoo pikir kemudian. Maka ia larikan
kudanya menuju kekampung atau dusun itu. Ia dapatkan
suatu tempat yang ramai, ada banyak orang mundar-mandir dengan memikul keranjang. Ia menghampiri satu rumah
makan. Setelah loncat turun dari kudanya, ia tambat kuda itu diuar pintu. Kapan ia lihat tuan rumah lagi bekerja didapur. Ada beberapa orang lagi menantikan.
"Kasikan aku satu mangkok mie!" Siau Hoo kata pada
tukang warung. Ia terus ambil tempat duduk secara
sembarangan saja. Lantas ada orang tanya ia, ia datang dari mana.
"Dari kota Tin-pa," ia jawab.
Tukang warung telah siapkan mie untuk beberapa tamu
yang datang lebih dulu, menurut runtunannya, lalu pada Siau Hoo ia minta supaya tamu ini menunggu sebentaran.
"Tidak apa, aku boleh menunggu," sahut Siau Hoo.
"Aku hanya ingin tanya disini dimana ada warung
rumput?" "Warung rumput tidak ada," jawab tuan rumah, "hanya
disebelah utara sana, duduknya madap ke timur ada sebuah bengkel kereta dimana orang biasa mampir untuk piara
kuda." "Baik," kata Siau Hoo sambil manggut. "Aku nanti pergi kesana, untuk piara kudaku, sebentar aku nanti datang pula kemari!"
Ia bertindak keluar, ia lepaskan tambatan kudanya yang ia terus tutun keutara dimana ia dapati bengke kereta yang disebutkan. Dimana sudah ada beberapa buah kereta,
dibawah gubuk ada belasan ekor kuda dan keledai.
"Tolong piara kudaku, sebentar aku datang pula untuk
ambil," kata ia seraya ia serahkan kudanya pada satu
pegawai, kemudian ia pergi pula seraya bawa ia punya
buntalan dan pedang. Sembari jalan, ia lihat beberapa
warung dengan masing-masing mereknya, serta alamatnya.
Itulah Un-sin-tin seperti katanya Ngo Kim Piu.
Ingat nama tempat itu dan Ngo Kim Piu, Siau Hoo jadi
ingat sababat itu, ia lantas saja jadi masgul.
"Kim Piu ada asal berandal, ia belum bisa buang sifatnya itu," pikir ia, "tetapi kebinasaannya tadi malam ada sangat hebat ... Sepuluh tahun kita bersahabatan, ia ada baik dan bersetia kepadaku, dan sekarang ia binasa-pun sebagian karena urusanku ... "
Bukan main ia punya berduka.
Siau Hoo bertindak keselatan, dengan niatan balik ke
warung mie tadi, untuk dahar mie, tapi ketika ia jalan baru belasan tindak, ia lihat satu toosu atau imam sedang minta
derma disatu toko, tangannya sambil membunyikan
kelenengan, mulutnya sembari liamkeng dengan pelahan.
Ketika ia mengawasi, ia menjadi heran. Imam itu pakai
jubah gerombongan dan kondenya konde toosu, akan tetapi mukanya adalah muka perempuan, dan usianya kurang
lebih empat-puluh tahun. Ia heran karena segera ia ingat keterangannya Ngo Kim Piu siapa, katanya, pada limabelas tahun yanh lalu, tepat didusun Un-sin-tin ini, ia sudah dibuat rubuh oleh satu lie-toosu, imam perempuan.
Tanpa merasa, Siau Hoo perhatikan imam perempuan
itu siapa, setelah diberikan uang oleh tuan rumah, lantas pergi meminta derma kelain rumah, demikian seterusnya.
Sebenar kemudian, pemuda ini sudah kewarung mie,
tuan rumah lantas sediakan dia satu mangkok mie kuwah
serta sumpitnya. Ia lantas aduk itu.
"Aku terlahir di Tin-pa, yang letaknya tidak jauh dari sini, tetapi datang kedusun Un-sin-tin ini, inilah ada untuk pertama kali," katanya. "Aku Lihat dusun kau ini ada luar biasa, sampai-pun orang suci yang minta derma ada imam perempuan."
"Eh, kau jangan omong sembarangan!" kata seorang
tamu, yang dahar mie bersama-sama. "Dia itu ada too-
kounio dari kelenteng Kiu Sian Koan dari bukit In Ciat Nia.
Dia itu tidak biasa meminta derma secara sembarangan, dia tidak datangi apabila bukan toko besar atau rumah orang hartawan!"
"Kiu Sian Koan itu dimana letaknya?" Siau Hoo tanya.
"Adanya diatas bukit barat-selatan sana," sahut orang
tadi. "Itulah sebuah kelenteng besar dan imam perempuan itu ada dua puluh lebih."
"Apakah dikelenteng itu semua imam perempuan, tidak
ada pendetanya?" Siau Hoo tanya, setelah berdiam
sebentar. "Ah, kau ngaco!" orang itu kata pula. "Dalam kelenteng perempuan mana bisa diterima pendeta" Jangan kata
pendeta, walau-pun orang semacam kau, apabila kau pergi bersujut disana orang pasti tolak kau, kau tidak bakal dibukai pintu! Cuma keluarga pembesar, atau orang yang sujut
benar-benar, bisa diterima masuk kedalam kelentengnya mereka itu!"
Pembicaraan itu menyebabkan seorang lain tanya si
tukang mie, katanya: "Kau tahu tidak, selama ini dua hari, si pendeta yang bertubuh besar ada datang atau tidak?"
Siau Hoo bercekat, ia segera menoleh, ia pasang kuping.
Tuan rumah, yang ditanya, sudah lantas kerutkan alis.
"Bagaimana
dia tak datang?"
kata ia dengan jawabannya. "Kemarin dahulu dia makan pada keluarga
Tan, dan kemarin rupanya direstoran Hok Goan. Ini hari barang kali dia bakal datang padaku. Sungguh aku takut buat kedatangannya itu. Kesatu aku jerih buat dia punya toya, yang beratnya barang kali dua atau tiga ratus kati, dan kedua, aku ngeri buat dia punya kuat makan. Buat aku
punya mie, dia pasti bisa habisi sepuluh mangkok!"
"Apakah dia tidak membayar sehabisnya dia makan?"
tanya Siau Hoo.
"Dia membayar" Hm! pendeta itu datang kemari
barangkali sudah hampir satu bulan. Dia berdiam diatas In Ciat Nia, hanya entah di kuil yang mana. Kabarnya, karena dia punya kuat makan, didalam kuil, dia diberikan satu hari hanya satu kali makan. Untuk sarapan pagi, dia mesti minta amal dari mana saja dia bisa dapat. Dia-pun meminta
secara paksa, kalau dia memasuki rumah, dia tidak banyak orang lagi, tahu-tahu dia letaki toyanya didepan pintu, menghalangi orang keluar masuk. Siapa berani main gila terhadapnya?"
Tuan rumah itu bicara terhadap sekalian tamunya, tetapi Siau Hoo seorang adalah yang paling ketarik hatinya.
"Pastilah tadi malam Pau Cin Hui dapat ditolong Tiat
Tiang Ceng!" ia menduga secara pasti. "Hanya entah dia sembunyikan dimana jago Kun Lun itu ... Dan orang yang bunuh Tiat Tiang Ceng mestinya ada musuhnya pendeta
ini, rupanya musuh itu tadi malam sembunyi di dalam
hutan didalam gunung, dia gunai tempo selagi Tiat Tiang Ceng
jatuh setengah mampus, dia turun tangan membinasakan musuhnya, kemudian dia curi kudaku dan
kabur. Bisa jadi pembunuh ini tidak punya sangkutan
dengan Pau Cin Hui. Daerah ini ada bergunung diempat
penjuru, ini-pun ada perbatasan antara Sucoan dan Samsay, bisa jadi yang disini ada sembuyi banyak orang-orang
pandai. Baiklah hari ini aku geledah gunung ini, aku mesti periksa dengan terang ... "
Oleh karena memikir begini, Siau Hoo dahar dengan
cepat, belum sampai ia dahar cukup, ia sudah lepaskan
sumpit dan mangkoknya. Ia membayar uang, lekas ia
bertindak pergi, ketempat kudanya dipelihara, untuk ambil kudanya itu, yang sekarang telah jadi sangat segar.
Sehabisnya membayar, ia naiki kudanya dan berangkat.
Dari selatan ia keluar dari Un-sin-tin, ia ambil jalanan dari mana tadi ia datang. Dalam tempo pendek, ia sampai
kembali di kaki gunung. Disini ia jalan berputaran, sampai sekian lama, ia tidak dapati jalanan untuk naik keatas.
Sukur ia dapat lihat beberapa rumah, maka ia larikan
kudanya ke arah rumah itu.
Itulah ada sebuah dusun kecil. Di depan sebuah rumah,
seorang lelaki sedang menggebuk gandum. Didekat tempat itu, ditepi kali, beberapa bocah asyik angon babi. Dan Siau Hoo menghampiri beberapa bocah itu, untuk tanya apa
mereka tahu jalanan untuk mendaki bukit, buat
bersembahyang di Kiu Sian Koan.
Sambil menggoyang kepala, beberapa bocah itu
menyahuti bahwa mereka tak tahu.
Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat pada suata pohon.
"Anak-anak, tolong lihat kudaku," kata ia, yang terus
bertindak mengmenghampiri beberapa orang tani itu.
"Numpang tanya," kata ia pada mereka itu. "Untuk
bersembahyang di kuil Kiu Sian Koan diatas gunung In
Ciat Nia ini, dari mana jalanan naiknya?"
Beberapa orang tani itu tidak lantas menyahuti,


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya mereka awasi ini pemuda asing, selang beberapa saat, barulah mereka menjawab.
"Tidak tahu," demikian mereka seraya mereka goyangi
kepala. Siau Hoo heran.
"Aku numpang tanya," kata ia pula, seraya ia memberi
hormat. "Tuan-tuan tinggal didekat gunung, apakah pernah lihat seorang tua dengan kumis-jenggot ubanan yang
tubuhnya tinggi sekali serta satu pendeta bertubuh besar yang bawa-bawa toya besi."
Beberapa orang itu mengawasi pula.
"Tidak," ada jawaban mereka.
Kemudian, seorang diantaranya, sembari tertawa,
menambahkan: "Dari mana sih datangnya seorang tua dan
pendeta yang bertubuh besar" Tempat kita ini ada sangat sepi, setahun gelap tidak pernah ada orang asal lain tempat yang datang kemari!"
Siau Hoo melengak, tetapi ia merasa bahwa beberapa
petani itu harus disangsikan. Dengan terpaksa, ia kembali pada beberapa bocah itu, ia tanya pula mereka. Seperti juga yang pernah dipesan, walau-pun orang tanya bagaimana,
beberapa bocah ini terus main "tidak tahu."
Akhirnya, Siau Hoo bersenyum sindir, ia lolos tambatan kudanya, ia naiki dan pergi. Didalam hatinya, ia kata:
"Taruh kata Pau Cin Hui tidak sembunyi didalam dusun
ini, dia mesti berada di kuil Kiu Sian Koan. Biar
bagaimana, mereka ini mestinya ada ketahui apa! Jikalau hari ini aku beri lolos tua-bangka itu, aku bukan lagi satu laki-laki!"
Siau Hoo tujukan kudanya kekaki gunung, dibagian yang
banyak pepohonan dan keadaannya sunyi luar biasa. Disini ia turun dari kudanya, yang ia ikat pada sebuah pohon, buntalannya ia turunkan, untuk digendol dibokongnya.
Dengan cekal pedangnya, ia mencari jalan naik. Tentu
sekali, sekali ini ia gunai ia punya kepandaian loncat-loncatan, karena disitu tidak ada jalanan sama sekali.
Dengan lekas, ia bisa sampai diatas, dipuncak yang datar.
Ia dapatkan sedikit pepohonan dan tidak ada kuil juga.
Ketika ia memandang kebawah, kelembah, ia dapatkan
suatu tempat yang penuh pepohonan jie, pek, siong dan
hoay, kelihatannya pepohonan itu tidak pernah dapat
gangguan tukang kayu, dari itu ia mau percaya, mesti ada orang yang mempunyainya. Ia-pun percaya, pemilik hutan itu tidak akan berumah jauh dari hutan itu.
Sekarang Siau Hoo mencari jalan turun. Disitu ada
banyak macam burung, semuanya kaget dan terbang
serabutan, suaranya berisik.
Sesudah bertindak kira-kira limapuluh tindak, Siau Hoo dapati suatu jalanan yang tidak rata. berundakan seperti tangga. Diam-diam, ia menjadi girang. Dengan adanya
jalanan itu, ia percaya ia bakal dapat cari kuil Kiu Sian Koan itu. Maka ia lantas berjalan dengan cepat. Ia turun lerus. Ia merandak dengan tiba-tiba tempo ia jalan belum seberapa jauh, ia lihat menggeletaknya selembar tambang ditengah jalan, tambang itu panjang dan kasar berupa
seperti ular melingkar. Untuk kegirangannya ia kenali itu adalah tambang yang Kim Piu pakai ringkus Pau Cin Hui.
Tambang itu diloloskan dengan dibuka bukan dibuat putus.
Selagi hatinya lega Siau Hoo sekarang maju dengan
tindakan hati-hati, hingga tindakannya itu tidak perdengarkan suara apa-apa. Ia cekal terus ia punya
pedang. Sebisa-bisa, ia ambil jalan dengan separuh
umpatkan diri, agar burung-burung tidak lari kaget, terbang dan cecerewotan. Ia mirip dengan satu pemburu lagi cari gua binatang alas. Kadang-kadang ia-pun mendekam.
Sesudah turun lagi empat-puluh tindak kira-kira, Siau
Hoo tampak lebih banyak pohon dan rumput disebelah
depan ia. Di situ-pun ada banyak macam bunga harum
musim rontok dengan wananya merah dan kuning.
Sedangkan ia jalan terus, tiba-tiba ia dengar suara, yang disebabkan dengan bergeraknya dengan tiba-tiba dari pohon dan semak-semak, burung-burung pun berterbangan dengan kaget, setelah itu tertampak larinya seekor menjangan bwee-hoa-lok yang bertanduk besar. Binatang itu lari kearah ia, dari itu, Siau Hoo lantas loncat minggir, untuk mengasi lewat, membiarkan dia lari naik.
Segera Siau Hoo memandang kebawah. Di tempat
jauhnya sepanahan, ia lihat dua ekor menjangan lainnya, berada diatas rumput dibawahnya sebuah pohon kayu
besar. Binatang itu berada bersama satu orang. Kedua
menjangan itu tangal-tongol, seperti mereka sedang cari kawannya yang kabur barusan. Yang tarik perhatiannya
pemuda kita adalah itu orang yang berada dengan kedua
menjangan itu. Dia adalah seorang dengan rambut ubanan dan berkumis jenggot, matanya jelilatan keempat penjuru, romannya ketakutan, melebihkan kaget dan ketakutannya
menjangan tadi.
Dengan tiba-tiba, Siau Hoo tertawa mengejek.
"Hm, Pau Cin Hui, kau hendak sembunyi kemana?"
begitu ia kata dengan lagu suara sangat puas. "Disini kau berkumpul dengan segala menjangan! Apakah kau kira aku tidak sanggup cari padamu?"
Habis berkata begitu, tak bersangsi lagi, Siau Hoo enjot tubuhnya, untuk loncat turun, gerakannya bagaikan seekor garuda terbang menyamber. Dilain pihak, dalam takut yang hebat, Pau Cin Hui, si orang tua itu putar tubuhnya, untuk lari.
Kedua menjangan yang kaget, turut kabur juga.
Siau Hoo mengejar terus, akan tetapi karena terpisahnya mereka berdua ada cukup jauh, ia tidak bisa segera
menyandak. Tidak jauh dari situ, ada sebuah tikungan. Cin Hui lari ketikungan itu. Ketika sebentar kemudian si anak muda sampai di tikungan itu, si orang tua telah lenyap tanpa bekas-bekasnya.
"Kurang ajar!" Siau Hoo berseru, saking murka.
"Binatang, kau hendak lari kemana?"
Mengikuti jalanan, pemuda ini menguber terlebih jauh.
Ia berlompatan, untuk bisa menyusul. Ia hentikan
tindakannya, ketika di depan ia, ia tampak sebuah tembok.
Ia berada disebelah atas, tembok itu disebelah bawah, maka itu ia memandang ke bawah. Tembok ada seumpama
dibawahan kakinya. Itulah sebuah rumah suci. Ia lantas saja mengawasi.
Berhala itu tidak kecil, semuanya terdiri dari tiga
undakan, didirikannya dilamping gunung, turun tangga
menurut tinggi-rendahnya tanah pegunungan. Didalam
pekarangan, pepohonan siong dan pek hidup subur. Asap
kelihatan mengepul keluar dari kuil itu, yang temboknya ada merah bersih.
Disamping tembok sekarang tetah berkumpul ketiga
menjangan tadi, yang dua sambil mendekam ditanah, yang besar, mengawasi ke arah pemuda itu, yang dimatanya
rupanya ada seorang asing.
Siau Hoo ketarik dengan tempat suci itu, yang suci tetapi agung romannya, maka itu, ia anggap tidak boleh berlaku semberono. Dilain pihak, ia percaya Cin Hui tidak bakal lolos dari tangannya. Maka lantas ia bertindak turun terus, akan hampirkan tembok kuil, yang tertutup rapat. Di depan pintu ia lihat merek "Kiu Sian Koan" dengan tambahan
dua huruf yang menyatakan kuil itu didirikan menurut
titahnya pemerintah.
"Pastilah ini kulinya si imam perempuan", Siau Hoo
menduga-duga, "Hanya aneh, kenapa Pau Cin Hui
diijinkan berdiam disini?"
Lantas pemuda itu mengetok gelangan pintu, dengan
pelahan, sampai beberapa kali. Ia menantikan sampai
sekian lama. Ia tidak peroleh jawaban, tidak ada yang
menyahuti, tidak ada yang membukakan pintu. Hal ini
membuat ia jadi mendongkol. Maka ia gedor pintu itu,
hingga pintu menerbitkan suara nyaring, suaranya sangat berisik. Dengan sebelah tangan menggedor, tangannya yang lain, siap dengan pedangnya. Ia juga memanggil-manggil dengan kaokannya berulang-ulang.
Lewat pula sekian lama, tetap tidak ada yang buka pintu.
Akhirnya Siau Hoo jadi gusar.
"Pastilah imam-imam perempuan disini bukannya imam
baik-baik!" kata ia dengan sengit. Lenyap ia punya rasa menghormat. "Buat apa aku berlaku sungkan lagi terhadap mereka?"
Lantas ia enjot tubuhnya, akan loncat keatas tembok
dimana ia berdiri seraya mengawasi kedalam.
Bagian dalam dari kuil ada sunyi sekali, seorang-pun
tidak nampak. Hanya di pekarangan dalam, dimana ada
sebuah pintu, lantas kelihatan berkelebatnya satu bayangan manusia, yang menuju keluar, kepintu. Dia adalah seorang perempuan
biasa, bukannya too-kou atau imam perempuan, dan dia pakai baju hijau celana merah,
rambutnya dikepang panjang. Dia jalan sambil tunduk,
sebelah tangannya memegang sapu tangan, yang dipakai
menutupi mukanya sebab dia sedang menangis.
Siau Hoo terperanjat, tanpa berani mengawasi, ia loncat turun kembali, terus ia berdiri disamping pintu. Ia heran, ia berpikir keras. Kenapa didalam kuil itu-pun ada orang
perempuan biasa"
Pada pintu segera terdengar suara beberapa kali, itu
disusul dengan dipentangnya sebelah daun pintu, atas mana si orang perempuan lari keluar. Sekarang dia tidak lagi tutupi mukanya, hingga kelihatan air matanya meleleh pada mukanya yang elok, hanya muka itu nampaknya kurus.
Lagi sekali Siau Hoo terperanjat, hingga ia seperti lagi mimpi. Inilah diluar ia punya dugaan. Sebab orang
perempuan itu adalah Ah Loan yang lenyap dibukit Cin
Nia, yang ia pernah cari dengan sia-sia saja. Ia mengawasi.
"Ah Loan! ... " akhirnya ia menegor. "Kenapa kau
berada disini?"
Nona itu agaknya sangat bersedih, tetapi atas itu
pertanyaan, ia angkat kepalanya, ia mengawasi dengan
matanya yang dibuka lebar.
"Toh kau yang ajak aku kemari?" ia kata "Kau telah
punyakan kepandaian, kau pasti ingin mencari balas! Tapi, mengapa kau mesti ingin bunuh yaya-ku" Dia adalah
seorang yang usianya sudah terlalu lanjut! ... Baik kau bunuh aku saja!"
Habis berkata begitu, dengan tiba-tiba nona ini lari pada si anak muda, tangannya menyamber orang punya lengan
yang memegang pedang, yang ia cekal dengan keras. Nyata ia ada bergemetaran. Air matanya juga lantas mengucur
pula dengan deras.
Siau Hoo menjadi berduka dengan tiba-tiba sampai
lengannya hampir tidak bertenaga. Ia menghela napas, ia goyang-goyang tangannya.
"Ah Loan, sabar," berkata ia. "Kita telah dapat bertemu ini hari, baik kau tenangkan diri, kau dengarkan
Neraka Hitam 12 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Si Bangau Putih 1
^