Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 16
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 16
Ah Loan berdiam.
Siau Hoo lihat orang punya kasut hijau, ia jadi ingat
kasut merah si nona, yang ia ketemukan diselokan, yang ia senantiasa bawa-bawa. Ia pernah duga si nona dibawa lari harimau, siapa tahu, dia telah ditolongi Tiat Tiang Ceng. Ia ingat pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, ia percaya
mereka bukannya orang-orang suci murni sejati, akan tetapi mereka pernah tolongi Ah Loan. Ia menyesal sudah desak engkong dan cucu itu hingga mereka tercerai berai, sampai si nona mencoba membunuh diri dengan kesudahan terluka parah itu. Tapi, apa ia bisa buat"
Akhirnya, setelah menghela napas, pemuda ini bicara
pula. "Baikiah, kau boleh berdiam disini," kata ia. "Aku nanti cari lain tempat untuk beristirahat."
Ah Loan beri dengar suara penyahutan yang pelahan
sekali. Siau Hoo pungut dia punya toya istimewa, lantas ia
bertindak keluar. Diluar, dibawah payon, ia berdiri diam sekian lama. Ia dengari suara berisik dan gowak dan lain-lain burung di langit, mega ada tebal, ada sisanya sinar matahari sore. Sang angin meniup-niup mendatangkan
hawa dingin sekali. Dengan kepala tunduk, bertindak
kepekarangan kuil, setiap kali ia menghela napas.
"Biar bagaimana, aku mesti obati Ah Loan hingga
sembuh," ia berpikir. "Sekarang sudah sore, tidak leluasa untuk aku meninggalkan tempat ini, tetapi besok, mesti aku cari obat yang manjur untuknya."
Itu waktu ia telah sampai di depan tembok, ia enjot
tubuhnya akan loncat melewatinya, setelah sampai diluar, ia tampak pepohonan yang lebat, yang gelap seperti malam saja. Disitu ada tiga ekor menjangan yang tadi, yang
bertindak kearah dia. Rupanya, sesudah bertemu beberapa kali dan Siau Hoo tidak mengganggu, binatang itu tidak takut lagi, malah yang tanduknya panjang menghampirkan untuk cium tubuhnya pemuda kita, siapa sebaliknya usap-usap orang punya tanduk.
-ooo0dw0ooo- Jilid 26 MENJANGAN jantan itu jalan di muka, dua yang
betina, jalan belakangan. Dari situ, mereka mendaki
tanjakan bukit, akan pergi ke arah barat.
Siau Hoo gunai toya bekas busur, akan menekan tanah
dan mengenjot tubuh, lantas ia mencelat naik ke atas
tanjakan, ketika ia injak tanah, ia tampak ketiga ekor menjangan sedang membiluk di tembok sebelah barat. Ia
heran, ia terus mengikuti mereka itu.
Diluar tembok sebelah barat itu ternyata ada dua buah
rumah tanah yang rendah dan tak berjendela, ketiga ekor binatang itu masuk kedalam rumah tanah itu, untuk
rebahkan diri. Adalah menjangan yang lelaki, yang masih saja suka awasi pemuda kita ini. Siau Hoo bersenyum,
hatinya lega. "Bagus!" demikian ia dapat pikiran. "Imam perempuan
larang aku bermalam didalam kuil, tapi sekarang aku bisa menumpang di kandang menjangan ini, dia pasti tak dapat mencegah. Didalam rumah tanah ini aku bisa menyingkir
dari hujan dan angin."
Lalu ia bertindak ke rumah tanah itu dan memasukinya
sambil berjongkok. Ia letaki toyanya di pinggiran, ia cabak segumpal rumput kering untuk dijadikan kasur, sesudah
mana segera ia jatuhkan diri dan duduk.
Ketiga menjangan itu tidak menyingkir karena orang
menumpang kepada mereka.
Tidak lama setelah ia numprah Siau Hoo merasakan
perutnya perih meminta makan, sedang bahu kirinya
mendatangkan rasa sakit yang hebat, sampai sukar untuk diangkat. Sekarang ia ingat bagaimana tadi ia sudah
dibokong oleh Too Teng Su-kou, si imam perempuan yang
liehay panah pelurunya. Ia tidak menyangka suatu apa dan datangnya peluru cepat luar biasa, ia telah kena terpanah.
"Benar-benar imam itu sangat menjemukan!" kata ia
dalam hatinya. "Dia telah tantang aku datang ke Bu Tong San, mestinya dia ada bersahabat dengan Cit Toa-kiam-san dari gunung tersebut rupanya dia memikir untuk gunai
tujuh imam akhli silat Bu Tong Pay itu untuk buat aku
tunduk! Mana aku ada punya kesempatan akan pergi layani mereka itu?"
Habis itu, Siau Hoo ingat Kie Kong Kiat. Ia seperti
bayangkan bagaimana orang she Kie itu mengacau diatas
Bu Tong San, bagaimana dia itu punya kelicinan dan
kecurangan juga, hingga ia kena dikepung dijembatan Pa Kio.
"Hampir jiwaku hilang karena perbuatannya yang
curang itu," ia berpikir. "Dia benar ada suaminya Ah Loan, tetapi Ah Loan sendiri sudah terangkan padaku bahwa ia tidak menyintai suaminya. Pernikahan mereka ada
pernikahan paksaannya si tua bangka she Pau, namanya
saja mereka suami isteri, kenyataannya tidak ada, dari itu buat apa aku pandang-pandang lagi padanya! Bukankah
aku kenal Ah Loan terlebih dahulu daripada dia dan kita ada bersahabat sejak dahulu sampai ini hari" Tadi-pun si tua-bangka bilang, dia tidak sudi kenal lagi cucu
perempuannya, maka kenapa aku mesti berpura-pura saja
dan tidak mau dekat Ah Loan!"
Kapan ia telah memikir demikian, kegembiraannya anak
muda ini terbangun, hingga untuk sementara, ia lupai
sakitnya ia punya bahu kiri. Ia terus buka bungkusannya akan keluarkan sepatu merah simpanannya dengan bawa
itu, ia lompat keluar dari kandang menjangan, ia lari
kembali ke dalam kuil. Baru ia sampai didalam, ia sudah dengar suara liangkeng yang pelahan sekali, ia tidak
perdulikan suara itu, ia menuju terus ke kamarnya Si nona.
Kamar ada gelap, sampai sukar kelihatan tubuh orang
yang rebah diatas pembaringan. Pemuda ini dengar
pertanyaan lemah dari nona itu : "Siapa?"
"Aku!" ia jawab dengan cepat. Diam-diam ia bergirang
karena ia dapati nona itu terang pikirannya. Ia-pun
mendekat lagi dua tindak. Terus ia kata : "Ah Loan, tidak sempurna untuk kau berdiam lama didalam kuil ini, baik kita berdaya agar lebih lekas kau pindah, maka aku pikir sekarang juga aku hendak turun gunung, buat pergi ke Un-sin-tin, guna mencari kereta, agar besok pagi aku datang menyambut kau. Mari kita pergi, ke Long-tiong, disana aku ada punya dua sahabat kekal, ialah Kimkah-sin Ciau Tek Cun dan Long-tionghiap Cie Kie.
Ah Loan merintih, ia tidak menyahuti.
"Selama sepuluh lahun aku merantau, aku mencari ilmu
silat, adalah dua keinginanku yang utama," Siau Hoo
lanjutkan. "Cita-cita ku itu adalah pertama menuntut balas untuk ayahku dan kedua supaya bisa nikah kau akan tetapi dua-dua itu, aku belum bisa wujudkan. Aku telah berhasil membengkuk engkongmu, aku sangat benci kepadanya,
tetapi aku lihat dia punya kumis jenggot dan rambut
ubanan, berbareng aku ingat kau bagaimana diwaktu masih kecil, kau tuntun tangan engkongmu buat ditarik, diajak berlari-lari, lantas aku jadi tidak tega hati. Jodoh kita-pun terhalang, kau sudah menikah dengan Kie Kong Kiat, diapun ada satu laki-laki, dari itu, tak dapat aku rampas kau dari tangannya dia itu!"
Sembari mengucap demikian, Siau Hoo rebah tangannya
si nona, untuk serahkan kasut merah yang ia bawa. Ia
tambahkan, "inilah kau punya kasut merah, yang kau buat ketingalan di Cin Nia, yang aku dapat menemuinya
sesudah lewat banyak waktu tetapi sia-sia saja aku cari kau.
Kasut ini aku telah bawa ke Cie-yang ke Tongkang, dan ke
Gie-long juga. Setiap aku lihat kasut ini hatiku duka, aku lantas teringat akan dikau. Sekarang aku sudah ambil
putusanku." Sampai disitu, suaranya jadi sungguh-sungguh sekali. Ia kata, "Liong Cie Khie adalah si penjahat yang telah bunuh ayahku, dia punya kepala aku sudah kutungkan sebatas batang lehernya dengan begitu selsailah sudah aku menuntut balas! Tentang engkongmu, aku berkasihan
terhadapnya yang sudah lanjut usianya, bolehlah aku kasi ampun dia punya jiwa, asal di belakang hari dia tidak
berbuat jahat pula, aku tidak nanti cari padanya. Kau bilang bahwa kau tidak cintai Kie Kong Kiat, karena itu, baik kau lekas-lekas lupakan padanya! Baiklah kita penuhi janji kita dibawah pohon yang-liu pada sepuluh tahun yang lampau, ialah kau jadi isteriku, lantas besok kita berangkat
meninggalkan kuil ini, disepanjang jalan aku nanti obati kau punya luka, bila nanti kita sudah sampai di Long-tiong, kita orang jalankan upacara nikah, buat jadi suami isteri yang sah. Untuk selanjutnya, aku berniat membuka sebuah piautiam. Mengingat aku punya bungee, aku percaya aku
bakal jadi piau-su nomor satu untuk Su-coan dan Siamsay!"
Siau Hoo begitu bersemangat hingga ia tertawa. Lalu ia tanya: "Bagaimana" Kau akur atau tidak" Lekas bilang!
Jawab saja dengan satu patah perkataan, secara terus
terang! Umpama kata kau membilang tidak mau, aku juga
tidak akan menjadi gusar, aku tidak nanti marahi kau!"
Rintihannya Ah Loan berhenti, tetapi ternyata ia sedang berpikir. Selang sekian lama, terdengarlah jawabannya yang pelahan dan lemah: "Aku setuju ... "
Siau Hoo tertawa pula, ia girang bukan main,
semangatnya terbangkit
"Ah, kenapa aku tak bicarakan ini sejak tadi?" ia
sesalkan dirinya. "Coba tadi aku bicara, sekarang tentu kita sudah berada dalam perjalanan ?"
Lantas ia hadapi pula nona itu.
"Bagus! Bagus!" kata ia berulang-ulang. "Sekarang juga aku akan berangkat ke Un-Sin-tin! Sekarang sudah malam, besok pagi-pagi tentu belum dapat kita orang berangkat, kecuali
kereta harus disewa, keretanya-pun mesti dipakaikan kasur istimewa untuk kau. Kau sedang sakit, kau tidak boleh terlalu terkocok-kocok ?"
Habis berkata begitu, Siau Hoo lantas saja bertindak
keluar. Ia pergi kependopo dimana ada belasan imam
perempuan sedang liamkeng. Ia bicara sama mereka itu,
bicara separuh mengancam, supaya mereka itu wajibkan
satu orang rawat Ah Loan dengan baik-baik, karena besok dia mau bawa kereta untuk papak dan sambut si nona.
"Jikalau malam ini ada terjadi suatu apa atas dirinya Ah Loan, atau pelayanan terhadapnya kurang sempurna, maka besok kau orang mesti tahu sendiri!" demikian ia punya ancaman. "Aku cuma mau berurusan dengan kau orang!"
Setelah itu, dengan gembira, Siau Hoo pergi akan turun gunung, tak perduli sang waktu sudah mulai malam dan
cuaca ada gelap. Ia telah pergi ke Un-sin-tin, untu cari kereta, buat disewa untuk besok pagi, untuk siapkan segala apa.
Tidak lama seberlalunya Siau Hoo, In Ciat Nia telah
terbenam dalam gelap gulita. Kawanan kampret sudah pada keluar dan berterbangan serabutan dalam pekarangan kuil.
Semua imam telah selesaikan sembahyang mereka, yang
terganggu oleh Siau Hoo, dan imam kepala telah tugaskan satu muridnya yang usianya tertua untuk layani Ah Loan.
Nona Pau berdiam dalam kamarnya yang tidak
berlampu. Dia punya pelayan tidur di luar, disamping meja pujaan Lu Cousu. Dilahir, nona ini menderita, karena, asal ia geraki tubuhnya, sedikit saja, luka di dadanya
mendatangkan rasa sakit sekali bagaikan ditusuk-tusuk. Ia menderita. Ia lelah, akan tetapi semangatnya telah
terbangun, Siau Hoo sudah nyatakan akan bawa dia, buat dijadikan isteri, dan ia jadi sangat girang. Hanya kapan ia ingat ia punya pengalaman yang paling belakang, ia punya hati menjadi ruwet pula.
Ah Loan bayangkan ia punya pengalaman di Cin Nia,
dalam sarangnya Ou Lip, setelah ia kena ditawan oleh
kepala berandalan itu. Ia sudah dimasuki kedalam penjara gua. Disitu, kemudian, ia telah dipenjarakan bersama-sama Kie Kong Kiat, yang-pun rubuh ditangannya Ou Lip yang
lihay piaunya. Ia sebenarnya jemu terhadap suaminya itu, akan tetapi belakangan rasa jemu itu pelahan-lahan
berubah. Diantara jeruji besi, pernah ia nyatakan kepada suami itu supaya mereka biarlah dibinasakan berandal, agar didunia baka, mereka jadi suami isteri, di waktu mana, ia pasti akan menyintai suami itu. Ketika itu, ia dapat
kenyataan, Kie Kong Kia telah hunjuk sifatnya laki-laki, hingga ia jadi lebih ketarik hati dan menyesal tadinya sudah berlaku tak sepantasnya kepada suami itu. Adalah diluar ia punya dugaan, itu malam ia sudah ditotongi oleh Kang
Siau Hoo, yang bertenaga kuat, yang sudah kempit ia
melalui jalan-jalan berbahaya. Ia kagum bukan main atas orang punya kekuatan dan kegesitan. Ia terharu melihat bagaimana Siau Hoo letaki ia dibatu, ketika pemuda itu suruh ia menunggu, untuk dia itu tolongi Kie Kong Kiat.
Saking terharu, Ah Loan sudah keluarkan air mata. Ia
anggap Siau Hoo ada sangat baik hatinya, bahwa pemuda
itu bukannya kejam, bahwa kebengisannya terhadap
engkongnya adalah disebabkan si engkong tadinya sudah
berlaku terlalu telengas.
"Siau Hoo ada satu laki-laki, memang tak bisa menjadi
karena menyintai aku, dia lupakan sakit hati ayahnya,"
demikian ia pikir terlebih jauh. "Terhadap aku sendiri, dia belum pernah lakukan apa juga yang tak selayaknya,
sebaliknya, akulah yang telah tidak perlakukan benar
kepadanya. Dia berbuat begini baik terhadap aku, sekarang dia hendak tolongi Kong Kiat, apabila sebentar kita orang berkumpul bertiga, apa aku mesti buat" Jikalau aku tetap ikut Kong Kiat, Siau Hoo pasti bakal merantau pula, ia tetap akan jadi musuh, sukar aku menemui ia pula. Apabila terjadi demikian, aku bisa mati menderita. Sebaliknya, apabila aku tinggalkan Kong Kiat, aku jadi sudah langgar adat-istiadat, aku sudah berlaku kejam, aku ada tak berbudi.
Bukankah Kong Kiat sudah berkorban untuk aku" Aku
lupakan budi, aku sia-sia Kong Kiat, sebaliknya, aku ikut Siau Hoo, satu musuh, dengan demikian apakah aku ada
satu manusia?"
Ah Loan jadi sangat bingung dan bersusah hati
kebetulan, diantara sinar rembulan, ia tampak solokan
dihadapannya, dengan tiba-tiba, timbul keinginan untuk habiskan saja ia punya jiwa ia ambil putusan dengan cepat.
Begitu ia menghampiri tepi jurang dan buang diri
kedalamnya. Jurang itu dalam belasan tumbak, siapa
terjatuh kedalam situ, dia mesti terbinasa. Tapi tidak demikian dengan Si nona, yang pandai silat, benar ia nekad, tetapi kaki tangannya tetap siap berjaga-jaga. Ia-pun telah nyemplung ke air hingga, ketika ia terjatuh ke air muncrat dan menerbitkan suara nyaring.
Didalam air, tanpa ia merasa, ia geraki kaki dan
tangannya, sedang mulutnya, ia tutup, dan napasnya, ia tahan. Beberapa kali ia tenggelam dan timbul, ia rasa ia punya pikiran telah sadar, cuma matanya terus meram.
Kemudian, ketika diakhirnya ia buka ia punya mata, ia lihat langit, ia lihat mega antara cahaya rembulan, ia punya tubuh rebah disamping batu, kedua kakinya masih
terbenam dalam air. Air-pun saban-saban menyampoki ia.
Ia lantas saja coba angkat kedua kakinya. Ia ada sangat berduka, hingga ia menangis seorang diri.
"Kenapa untuk cari mati ada begini sukar?" ia tanya
dirinya sendiri. Ia menangis pula.
Dalam kesunyian, kecuali suara angin, samar-samar Ah
Loan dengar panggilan berulang-ulang : "Ah Loan! Ah
Loan!" ia terperanjat, tapi pun, ia bersusah hati. Ia bisa duga siapa itu yang memanggil-manggil ia. Ia ambil
putusannya : ia diam saja. Ia membungkam, sampai sekian lama, sampai ia tak dapat dengar pula panggilan itu.
-o0dw0o- Bab 18 LAMA AH LOAN REBAH SAMBIL menangis,
pikirannya ruwet sekali akhirnya, ia coba berpikir juga.
"Tak dapat aku berdiam terus disini di mana aku, hidup tidak bisa, mati juga tidak bisa. Baiklah aku pergi kelain tempat. Umpama aku terpeleset dan jatuh mampus, aku
tidak harus menyesal. Atau, lebih baik lagi, di daerah Cin Nia ini aku bisa dapatkan kuil dimana aku bisa tumpangkan diri. Biarlah itu ada satu kelenteng, supaya aku bisa cukur rambutku, akan menjadi pendeta, hingga selanjutnya, aku tidak akan bertemu pula dengan manusia biasa "
Dengan air mata masih meleleh, Ah Loan merayap
bangun. Ia menahan sakit. Ia jalan dengan sukar, diair, diantara batu, sambil berpegangan. Ia jalan, ia berhenti, untuk beristirahat. Dengan pelahan-lahan, ia toh dapat jauhkan diri dari selokan. Ia jalan terus. Tanpa merasa, sang fajar datang. Ia sekarang berada disebuah jalanan gunung, ia punya pakaian basah anteronya, malah kasutnya-pun
lenyap sebelah. Kecuali luka piau dipundak, ia-pun baret disana sini.
Dengan pelahan, matahari naik semakin tinggi.
Kecuali burung atau binatang lainnya, disitu tidak ada barang satu manusia, akan tetapi hatinya Ah Loan tidak tenteram. Ia kuatir Siau Hoo atau Kong Kiat nanti dapat cari padanya, atau si orang jahat nanti ketemui pula
padanya dalam ia punya keadaan tidak berdaya itu. Maka, dengan paksakan diri, ia mencoba jalan terus. Ia menderita sekali. Kemudian ia berhenti di satu tempat rendah yang penuh pepohonan dan rumput. Ia rebahkan diri, untuk
beristirahat sambil sembunyikan diri. Ia punya air mata mengucur, napasnya-pun memburu. Lewat sekian waktu,
letihnya lenyap, tapi pikirannya, bertambah kalut.
"Paling benar aku bunuh diri!" ia ngelamun. "Bagaimana aku dapat hidup dalam dunia yang penuh
penderitaan ini?"
Ah Loan ada pakai ikat pinggang hijau, ia loloskan itu.
Ikat pinggang itu demak, kotor dan ketempelan rumput
halus. Ia angkat kepalanya, mengawasi keatas pohon angco, kemudian ia berbangkit, ia bertindak menghanipirkannya pohon itu. Baru ia ulur tangannya, atau daun pohon telah mengenai tangannya, ia merasa sakit. Tapi ia kertek gigi, ia mencoba membuat kalakan yang tergantung. Kemudian ia
awasi angkinnya itu sambil air matanya turun bercucuran.
"Aku masih begini muda, apa aku mesti binasa secara
begini?" ia tanya dirinya sendiri. "Apa tak kececva, setelah belajar silat, aku mesti habiskan jiwaku secara begini menyedihkan?"
Ingat demikian, lemah hatinya si nona hingga ia lantas duduk numprah pula. Kembali ia menangis, sampai sekian lama. Tetapi ia tidak dapat pikiran yang baik.
"Tidak bisa lain!" pikir ia akhirnya, dan ia ambil
putusannya. Ia berbangkit dengan segera, ia masuki
lehernya kedalam kalakan.
Berbareng dengan itu, dari tempat yang tinggi, terdengar teriakan: "He, jangan bunuh diri!"
Kaget Ah Loan, terus ia memandang ke atas. Maka ia
dapat lihat seorang yang umurnya kurang-lebih empat
puluh tahun, dibebokongnya ada tergemblok buntalan kayu dan rumput, ditangannya ada sebuah kampak.
Melihat orang itu, Ah Loan lantas loloskan kepalanya, ia turun dari cabang pohon. Ia-pun loloskan angkinnya, untuk dibawa pergi.
Orang diatas tadi, satu tukang ambil kayu bakar,
bertindak turun.
"Nona." ia memangil. "Kau tinggal di mana" Kau masih
begini muda, kenapa kau nekat?"
"Jangan usil aku!" sahut Ah Loan, yang cepatkan
tindakannya. Tukang kayu itu lekaskan tindakannya, ia dapat
menyusul ia ulur tangannya, akan cekal orang punya bahu.
Ah Loan coba lepaskan diri, ia menoleh.
"Kau jangan perdulikan aku!" ia kata pula. "Kau urus
saja kayumu! Aku mau berlaku nekat karena ada kesulitan, walau-pun kau mau, kau tak dapat tolong aku!"
"Jangan bilang demikian, nona," kata Si tukang kayu.
"Aku telah bertemu dengan kau, mana bisa aku diam saja mengawasi kau bunuh diri" Siapa tolong satu jiwa, dia
berbuat kebaikan untuk tiga penitisan ... Malaekat gunung ada matanya, apabila aku tampak kematian tetapi aku tidak menolong, di belakang hari, siang atau malam, aku bakal
mati jatuh dari atas gunung! " Jikalau kau ada punya
kesukaran, tuturkan itu padaku, aku nanti berdaya untuk tolong kau. Sebenarnya kau kenapa" Apakah ayah dan
ibumu pukul dan comeli kau" Atau " kau bercedera
dengan suamimu?"
Ah Loan anggap tukang kayu ini berhati mulia, ia
berhentikan tindakannya.
"Tak perlu untuk kau cari tahu urusanku." kata ia seraya susuti air matanya. "Umpama aku kasihkan keterangan
pada kau, kau juga pasti tak akan mampu berbuat suatu apa
... Ah, aku bukannya terdesak kemelaratan, atau karena dihajar atau dicomeli siapa juga, aku " aku memang tidak ingin hidup lebih lama ?"
Saking sedih, Ah Loan tunduk, ia menangis.
Tukang kayu itu heran, ia tercengang.
"Kau tinggal dimana?" tanya ia pula. "Mari aku antar
kau pulang. Umpama kau gantung diri di rumahmu, aku
boleh tak usah campur tahu lagi, tetapi disini, aku mesti wakilkan Malaekat gunung melindungi dia punya gunung
?" Ah Loan susut air matanya. Pelahan-lahan, pikirannya
berubah. "Rumahku terpisah jauh dari sini, kau tidak dapat
antarkan aku," berkata ia. "Dan di rumahku juga sudah
tidak ada orang lainnya. Apa kau tahu dimana didalam
gunung ini ada kelenteng pendeta atau imam perempuan"
Tolong kau antar aku ke rumah suci itu. Di belakang hari, tidak nanti aku lupai kau punya budi kebaikan."
Tukang kayu itu mengawasi. Ia duga orang perempuan
ini ada satu nona yang oleh orang tuanya sudah
ditunangkan kepada seorang yang bila bukannya terlalu
miskin, tentu romannya tidak mencocoki, atau dia telah dipaksa ayah-ibunya buat menjadi orang punya gundik,
hingga dia buron dari rumahnya buat bunuh diri atau
menjadi orang suci.
"Disini memang ada rumah suci ialah Tay Su Am." ia
menjawab kemudian. "Kuil itu berada belasan lie jauhnya dari sini, untuk pergi kesana kita mesti lewati empat
puncak, tetapi kau sendiri belum pernah pergi kesana, untuk pasang hio dan memohon anak " Pendek, begini saja lebih dahulu aku ajak kau kerumahku, nanti aku minta isteriku yang antar kau ke kuil itu. Kau setuju" Isteriku itu kenal baik semua orang suci disana."
Ah Loan manggut, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas tanya orang punya she dan nama.
"Aku Thio Loo Sit," sahut tukang kayu itu. "Disini aku sudah tinggal empat atau lima tahun, sejak kecil aku
menjadi tukang cari kayu bakar, malah beberapa kali aku pernah tolong orang-orang yang gantung diri atau yang
dilukai penjahat. Oleh karena aku baik hati, Malaekat
Gunung sudah hadiahkan aku nasi untuk didahar. Kalau
lain orang, apabila dia bukan terpeleset jatuh, dia tentu diganggu binatang buas. Sama sekali belum pernah aku
nampak halangan. Kau datang ke rumahku, nona. Boleh
jadi isteriku sudah matangi nasi, sehabisnya aku dahar, aku nanti suruh dia pergi antar kau ke Tay Su Am."
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Loan terima baik undangan itu, ia ada sangat
bersukur, kemudian ia ikuti si tukang kayu, yang ajak ia pergi kearah utara. Tidak jauh dari situ, mereka membiluk, melalui dua tikungan. habis itu, sampailah mereka di
rumahnya Thio Loo Sit. Itu ada sebuah rumah gua dikaki bukit, diatasan itu ada sebuah kuil kecil.
"Itulah San Sin Bio," kata Loo Sit seraya tunjuk kuil itu, kuilnya malaikat gunung. "San Sin-ya ada lengkam sekali, disiang hari, dia tidak muncul, tapi setelah datang sang malam, dia keluar dengan menunggang harimau suci, dia
ajak pembesar Leng koan pergi merondai gunung ... "
Ah Loan tidak bilang apa-apa hanya ia ikuti orang
masuk kedalam rumahnya.
Seorang perempuan umur kira-kira tiga-puluh tahun
kelihatan sedang duduk membuat sepatu. Ia heran kapan ia lihat suaminya pulang dengan ajak seorang perempuan
yang pakaiannya demak dan kotor, yang kasutnya tinggal sebelah.
Thio Loo Sit, yang telah letaki kayunya diluar dan
kampaknya di kaki tembok, lantas kata pada isterinya itu:
"Aku ketemu nona yang sedang hendak gantung diri setelah bicara padanya sekian lama, baru putusannya bisa diubah, tetapi dia tetap tidak hendak pulang ke rumahnya,
sebaliknya, ia ingin sucikan diri. Aku anggap, niatnya itu ada baik juga. Sekarang lekas kau masak nasi, habis dahar, kau ajak dia ke Tay Su Am."
Nyonya itu letaki perabot jahitannya, tapi ia duduk tetap ditempatnya, di kepala pembaringan tanah.
"Mana bisa aku antarkan dia?" katanya. "Kakiku yang
sakit masih belum sembuh, jalanan pegunungan ada
demikian sukar, mana bisa aku jalan kesana" Apakah kau ada punya uang untuk sewakan aku joli?"
Loo Sit melengak. Benar-benar ia lupa yang isterinya
sedang sakit kaki dan tentunya tidak bisa jalan jauh.
"Kalau begitu, tidak apa," kata ia kemudian. "Ini hari kau tidak bisa pergi, lagi dua hari tentulah bisa." Lantas ia menoleh pada Ah Loan seraya bilang: "Nona, kau duduk.
Isteriku sedang sakit kaki, tunggu sampai dia sudah
sembuh, nanti dia antar kau. Atau aku pergi ke kuil diatas gunung disana ada tinggal Yo Jie Piu-cu. Dia tingal seorang diri, tetapi dia ada berhati baik, dia bisa antarkan kau."
"Tadi malam Yo Jie Piu-cu tidak pulang!" berkata si
nyonya. "Sun Hek Cu, yang pulang dan Ma Put Na, bilang bahwa Yo Jie Piu-cu sudah pergi kegunung utara buat satu urusan, barangkali selang dua-tiga hari, baru dia kembali.
Untuk berbuat baik, kenapa kau mesti minta pertolongan lain orang" Apakah kau tidak bisa antarkan sendiri
padanya?" "Mana aku kenal jalanan?" Thio Loo Sit baliki. "Ketika dahulu kau pergi ke Tay Su Am dan sampai dua hari tidak pulang, aku kuatir, aku lantas susul kau, tetap aku pergi dari siang sampai sudah gelap, aku masih tak sanggup cari kuil itu ?"
"Dasar kau yang buta!" isteri itu menjebi. "Kuil aku
demikian besar, tihang benderanya ada begitu tinggi,
kenapa kau tidak bisa lihat itu?"
Lantas nyonya itu pandang Ah Loan.
"Kau tinggal dimana?" tanya ia. "Kenapa kau nekat dan
hendak bunuh diri" Kau begini muda, romanmu elok
kenapa kau bosen hidup" Orang semacam aku barulah tepat untuk gantung diri!"
Ah Loan menyahuti, terpaksa dengan mendusta.
"Rumahku adanya di Cie-yang," begitu penyahutannya.
"Cie yang itu terpisah beberapa ratus lie dari sini. Kemarin aku sampai disini, lantas kita ketemu " berandal. Semua anggota keluarga-pun mati dibunuh, ketinggalan aku sendiri yang bisa lolos. Karena itu, cara bagaimana aku bisa hidup sendirian saja?"
Nyonya Thio nampaknya terkejut, sedang Loo Sit sendiri lantas goyang-goyang kepala.
"Rombongan diatas gunung itu jadi semakin edan!"
berkata si tukang kayu.
Selana ini, kejadian-kejadian jadi makin banyak! Tadinya cuma membegal uang, sekarang setiap hari meminta jiwa
manusia! Lambat-laun mesti ada pebalasannya, Malaikat
gunung ada matanya!"
Sang isteri tidak gubris suaminya.
"Kau she apa?" ia tanya Ah Loan. "Kau sudah pernah
menikah atau belum" Ada siapa saja didalam rumahmu?"
"Aku she Kang ?" si nona jawab. "Aku tidak menikah.
Ayahku ada seorang dagang."
"Ah, kau harus dikasihani ... " kata nyonya Thio. "Nah, kau tinggallah disini untuk beberapa hari. Perkara makan, kau tidak usah kuatirkan. Lagi dua-tiga hari, apabila kakiku sudah sembuh, aku nanti antar kau ke Tay Su Am. Loosuhu disana ada sangat murah hati, dia punya kuil ada
besar dan ramai, jikalau kau pergi kesana, dia tentu suka terima. Memang, menjadi niekou ada terlebih senang
daripada menjadi iseri orang!"
Ah Loan manggut. Ia anggap tidak apa menumpang
sama orang she Thio ini, lagi dua hari, dia toh bakal pergi ke kuil dan akan cukuri rambutnya untuk menjadi pendeta.
Ia percaya, setelah masuk agama. akan lenyaplah semua
kesengsaraan atau penderitaannya. Akan tetapi ia ada
sangat berduka, tanpa merasa, air matanya mengucur turun.
"Sudah jangan nangis, jangan nangis," si nyonya
menghibur, agaknya ia sangat menaruh perhatian. "Boleh jadi dasar kau berbakat suci dari Pou-sat sengaja membuat
kau sedikit menderita, supaya gampang untuk kau diajak memasuki pintu Buddha ... "
Thio Lao Sit telah pergi keluar, untuk ikat rapi ia punya kayu.
"Kau lekasan masak nasi!" demikian suaranya, terhadap
ia punya isteri. "Si nona tentu sudah lapar."
Nyonya itu menurut, ia pergi keluar, akan ambil seikat kayu, maka dilain saat, ia sudah bisa nyalakan api didapur.
Ah Loan menghampiri dapur, ia niat garang pakaiannya
supaya lekas kering.
Nyonya Loo Sit tuang air kedalam kwali, ia masukkan
berasnya, kemudian sehabis tambahkan kayu, ia ambil
kipas, untuk kipasi api. Sembari bekerja, ia dapat lihat kakinya Nona Pau. Lantas saja ia tertawa.
"Nona, kakimu ada lebih besar sedikit, jikalau tidak, kau bisa pakai kasutku," kata ia. "Bagaimana, apakah sepatumu hilang?"
"Orang jahat kejar aku, aku sembunyi di solokan," sahut Ah Loan. "Sudah pakaianku basah semua, juga sebelah
sepatuku lenyap. Aku-pun dapat dua luka, bekas ditumbak penjahat, sukur luka itu tidak terlalu hebat, aku masih dapat menahannya."
"Oh kawanan berandal itu!" berseru Si nyonya.
"Lambat-laun, mereka bakal mampus!"
Selang tidak lama, nyonya rumah sudah masak matang
nasinya. Thio Loo Sit juga sudah selesai mengikat kayunya, ia masuk untuk dahar sambil jongkok ditanah. Nasi itu ada nasi perah dan tanpa sayuran lainnya kecuali lobak, tetapi Ah Loan, yang turut dahar, rasai itu wangi dan lezat sekali.
Habis dahar, Loo Sit pergi pikul kayunya untuk dijual, akan uang penjualannya dibelikan beras, isterinya pegang pula penjahitannya, sambil bekerja. Ia pasang omong
dengan Ah Loan, hingga si nona dapat perasaan. nyonya
itu ada baik hati, melainkan cara bicaranya ada kasar, sebagaimana biasanya orang gunung. Memang, nyonya
Thio belum pernah keluar dari gunungnya itu.
Segera Ah Loan merasa tenteram tinggal menumpang di
rumahnya si tukang kayu itu. Sekarang ia telah berubah banyak, sebagai akibat pengalaman dan penderitaannya itu.
Tadinya ia pandang dirinya kosen dan tak lihat mata dunia kang-ou. Sekarang ia berharap si nyonya lekas sembuh, agar ia lantas diantar ke kuil, untuk sucikan diri.
Nyonya Thio bicara, ia menjahit, tetapi agaknya ia
kurang tenterarn, walau-pun kakinya sakit, dan ikatan
kakinya kendor, beberapa kali ia turun dari pembaringan, sambil seret sepasang kasutnya yang butut, ia pergi keluar, diluar dengan bergantian, ia memandang ke selatan, ia
mengawasi ke utara, seperti ia berharap sangat datangnya suatu orang. -pun pernah sambil dongak memandang
berhala San Sin Bio diatas gunung, ia berseru memanggil-manggil : "Siau Gou-cu, kau dimana?" Tapi panggilan itu tidak memperoleh jawaban dan juga tidak ada orang yang turun dari gunung, untuk jalan dijalan pegunungan yang sangat sempit disitu. Kapan ia kembali ke dalam, dengan roman masgul, dengan uring-uringan ia mengutuk seorang diri : "Orang-orang tak mau mampus! Diwaktu gembira kau orang muncul, lantas di lain waktu, kau orang lupai
nyonyamu! Sampai belasan hari kau orang tidak pernah
muncul!" Diam-diam Ah Loan bisa menduga, nyonya ini mesti
ada punya kendak, bahwa mesti ada orang atau orang-
orang buruk, yang suka datangi rumahnya Loo Sit ini.
"Toa-nio, apa di dekat-dekat sini ada rumah-rumah
lainnya lagi?" ia tanya.
"Mana ada rumah orang lainnya?" sahut si nyonya,
dengan suara masih mendongkol. "Hanya diatas gunung, di berhala San Sin Bio ada beberapa bang ... " ia berhenti dengan tiba-tiba dan merubahnya jurusan : "Aku punya
saudara, yang juga menjual kayu bakar, bersama-sama Yo Jie Piu-cu, masing-masing sebatangkara, berdiam dalam
berhala itu, meskipun mereka tidak membegal, mereka toh bertulang bangsat, asal ada uang, mereka pergi berjudi di Kwan Ong Bio atau tenggak air kata-kata, sebelumnya
uangnya ludas, mereka tak sudi pulang!"
"Apa Kwan Ong Bio jauh letaknya dari sini" Apa itu ada kuil pendeta perempuan?"
Nyonya Thio menggeleng kepala, ia tetap masih
mendongkol, ia berdiam saja.
"Kwan Ong Bio bukan kuil perempuan tetapi biara
imam," terangkan ia kemudian, "dan letaknya jauh sekali dari sini, hampir-hampir dimulut gunung sebelah sana. Ini hari ada tanggal empat, Si tolol pergi bawa kayunya untuk dijual di sana!"
Habis mengucap demikian, kembali nyonya itu bertindak
keluar. Ah Loan jumput orang punya sepatu, untuk dilihat
bulak-balik. Sampai magrib, sia-sia saja nyonya Thio tunggui
datangnya orang atau orang yang ia berharap, ia masuk
kedalam sambil mencaci dengan kutukannya, terhadap
tamunya sampai ia tak perlihatkan tampang yang
menyenangkan. Tidak antara lama, Loo Sit pulang dengan pikulaunya
yang kosong, mukanya merah seperti bekas habis tenggak susu macan, tangannya menyekal sebungkus beras serta
serenteng uang tembaga. Begitu ia bertindak masuk, terus saja ia kata : "Sejak pagi aku menyangka kayu kita tak bakal ada yang beli, siapa tahu setelah memasuki kuil, aku dapati setengah batok beras serta dua ratus chie, habis dahar, aku ketemu si Siau Uy Sam, dia habis menang main, dia
pulangkan uangku yang dulu dia rampas. Nah, kau
terimalah uang ini!"
Ia benar-benar serahkan uang pada isterinya, sedang dari sakunya, ia keluarkan dua potong kue phia, yang ia
kasihkan masing-masing satu pada isterinya itu dan Ah
Loan, kemudian ia numprah ditanah untuk betistirahat.
"Apakah kau tidak lihat Siau Gou-cu didalam kuil?"
tanya nyonyaThio pada suaminya sambil dahar phia.
"Jangan sebut, jangan sebut-sebut dia!" sahut Loo Sit
seraya awasi isterinya, dengan tangannya digoyang-goyang.
"Besok aku tak pergi cari kayu. Biar si nona tinggal dahulu bersama kita. Lain hari saja kita bicara pula."
Nyonya Thio awasi suaminya dengan mata dibuka lebar.
"Eb, ada apakah, kau kelihatannya ketakutan?" tanya ia.
"Ini hari orang-orang yang datang ke Kwan Ong Bio
tahu semua!" sahut sang suami dengan pelahan. "Di Cui
Yau Hong sudah terjadi onar. Kang Siau Hoo dari Kun Lun Pay sudah binasakan Ou Toaciangkui."
Nyonya itu terperanjat sampai matanya mencilak.
"Eh, orang kun Lun Pay begitu liehay?" berseru ia
"Bukannya Ie Tay Piu juga telah terbinasa ditangannya"
Bukankah Ou Toa-ciangkui pandai mengunai gin-piau"
Kenapa ... ?"
Ah Loan sangat ketarik, hingga ia pasang kupingnya.
"Dasar harus mampus!" sahut Thio Loo Sit, "Sekalipun
Siau Gou-cu, Yo Jie Piu-cu, Ang Lian Khau-cu dan Pek
Mo Hou, semua mereka bakal peroleh pembalasan mereka!
San Sin-ya ada punya mata!" Ia goyangi tangan, ia
menambah: "Duduknya hal yang jelas aku tidak tahu,
begitu dengar orang bercerita, aku lantas singkirkan diri.
Aku takut ketemu orang dari atas gunung. Tunggu sampai sebentar Yo Jie Piu-cu pulang, dia tentu tahu segala apa, kau boleh tanyakan keterangannya ... Apa yang aku dengar, katanya Kang Siau Hoo itu ada Kun Lun Pay punya orang
paling liehay, puncak Cui Yau Hong yang demikian tinggi, sekali dia enjot tubuhnya, dia sudah bisa naik keatasnya.
Katanya dia ada punya ilmu dan wasiat! Piau dari Ou Lip tak berdaya, belum sampai piaunya mengenai, dia sudah
mendahului mampus sendiri!"
Ah Loan lihat Nyonya Thio diam dengan mulut
bungkam, diam-diam ia girang sendirinya. Dengan diam-
diam juga ia kagumi Siau Hoo. Tapi dilain pihak ia ingat suatu apa.
"Tempat ini dekat dengan Cui Yau Hong, Yo Jie Piu-cu
dan Siau Goucu yang dikenal perempuan itu tentu ada
begal-begal dari gunungnya Ou Lip, apabila mereka ketahui aku berada disini, aku terancam bahaya. Aku sedang
terluka, aku juga tidak punya senjata, cara bagaimana aku bisa lawan mereka itu" Aku gagal berlaku nekat apabila aku binasa ditangan mereka, sungguh kecewa ... "
Ingat demikian, Ah Loan segera memikir untuk angkat
kaki. "Rombongan itu kehilangan pemimpin, entah mereka
akan jadi sewenang-wenang bagaimana!" berkata pula Thia Loo Sit. "Aku kuatir, aku-pun sukar,untuk cari kayu lagi
disebelah itu aku dengar disini ada muncul seorang yang terlebih liehay dari pada Kang Siau Hoo," ia tambahkan.
"Dia ini ada satu pendeta, kemarin ada orang lihat dia Cong-hok-tin dimulut gunung sebelah Utara, katanya dia bertubuh jangkung dan besar, senjatanya ada sebatang toya, beratnya tiga sampai lima ratus kati. Tutur katanya Oy gu Hwie Loo Toa si penjual silat yang pandai menggunai
golok besar, yang biasa buka pertunjukan di Kwan Ong Bio sepuluh orang biasa tak nanti sanggup angkat toya itu.
Pendeta itu sedang minta derma, tidak lama lagi dia tentu bakal naik, ke gunung, maka keadaan diatas gunung
mestinya bakal jadi terlebih ramai pula. Pendek, semuanya delapan belas raja muda pemberontak bakal berkumpul
diatas gunung!"
Heran Ah Loan dengar keterangan yang belakangan ini.
"Engkong pernah omong padanya bahwa didunia
kangou ada satu Tiat Tang Ceng yang dianggap sebagai
pendekar luar biasa," pikir ia. "Dia itu ada punya tenaga yang sangat besar. Engkong belum pernah ketemu sama
pendeta itu, hingga ia orang belum pernah bentrok, tetapi engkong pesan semua muridnya untuk berlaku hati-hati bila bertemu sama dianya Pendeta yang Loo Sit sebut-sebut ini mesti dia adanya. Apa dia punya maksud datang kemari"
Pasti dia bukan untuk minta derma saja, rupanya dia
bertujuan mencari engkong atau Kang Siau Hoo "
Menduga demikian, Ah Loan jadi berbalik berduka.
Thio Loo Sit itu, habis bercerita, lantas menguap, ia
ambil selembar tikar rombeng dan ia gelar ditanah, terus ia rebahkan diri. Tidak terlalu lama, ia sudah lantas
menggeros. Nyonya Thio nyalakan pelita, ia tutup pintu yang ia
ganjel dengan sepotong batu besar. Nampaknya ia berduka
hingga sisa phia ia tak dahar habis. Ia duduk bengong saja, hingga ia tak gembira dan doyan bicara seperti siangnya.
Ah Loan hunjuk sikap yang tenang, ia mendekati pelita
dan lanjutkan penjahitannya nyonya rumah. Ruangan ada
sunyi kecuali gerosannya Lou Sit dan jalannya jarum. Oleh karena tangannya sakit, baru beberapa tusukan, si nona sudah menunda. Demikian seterusnya ia lewati sang waktu.
Nyonya Thio dari menjublak saja lalu rebahkan tubuh, ia tidur, maka itu Ah Loan pikir, untuk padamkan pelita, iapun niat tidur. Tapi hampir berbareng dengan itu, diluar rumah terdengar tindakan kaki yang pelahan sekali, disusul sama suara bunyinya kertas jendela. Cepat tetapi tidak bersuara, Ah Loan rebahkan diri.
Segera juga terdengar suitan, beberapa kali, atas mana nyonya Thio geraki tubuh.
Ah Loan berpura-pura tidur pulas.
Nyonya Thio berbangkit. Pada daun jendela kembali
terdengar suara.
"Fui!" terdengar suaranya si nyonya, suara mana
disambut dengan suara tertawa ditenggorokan dan orang
diluar rumah. Nyonya Thio turun dari pembaringan tanah, paling dulu
ia padamkan pelita, lalu ia geser batu ganjelan pintu untuk buka pintu dan bertindak keluar.
Ah Loan loncat dari pembaringan, ia menghampiri
jendela untuk pasang kuping, hingga ia dengar suara
nyaring. Rupanya si nyonya gaplok orang punya kuping,
atas mana orang itu seorang lelaki tertawa. Lalu terdengar mereka itu bicara dengan pelahan, akan kemudian
terdengar lebih jauh suaranya si orang lelaki: "Bukankah romannya sangat elok."
"Kalau dia elok, habis kau mau apa?" terdengar nyonya
Thio. "Apakah kau ketarik padanya?"
Masih nyonya Thio bicara, cuma suaranya tidak
terdengar nyata, kemudian apa yang Ah Loan bisa dengar adalah: "Dia terluka, pakaiannya berlepotan darah.
Tentulah itu semua ada buah pekerjaan kau orang diatas gunung."
Rupanya si orang lelaki kaget, ia berdiam tapi tak ama, ia kata: "Ah, jangan-jangan nona di dalam rumahmu ini ada nona Ah Loan, cucunya Pau Kun Lun ?"
Ah Loan kaget. "Bangsat itu kenali aku, jangan-jangan dia bakal
menerjang masuk ... " ia berpikir, "Kalau dia nerobos
masuk, inilah lebih baik, aku nanti sambut dia dengan
hajaran hingga rubuh! Ada terlebih baik lagi jikalau dia bekal senjata, aku boleh sekalian bunuh padanya seraya rampas dia punya senjata itu ... "
Segera si nona bertindak kebelakang pintu, untuk bersiap sedia.
Sampai sekian lama, dua-dua si lelaki dan si nyonya
tidak ada yang masuk, sedang suara makin pelahan, hanya paling belakang terdengarlah suaranya nyonya Thio: "Nah, pergi lekas! Lekasan suruh mereka datang kemari!"
Segeralah terdengar tindakan kaki c?pat dan berisik,
rupanya si orang lelaki pergi sambil berlari-lari.
Ah Loau merasa pasti bahwa kenalannya nyonya Thio
ada orang-orang jahat, bahwa orang-orang jahat itu mesti ada orang-orangnya Ou Lip, dan bahwa orang lelaki tadi pergi untuk memanggil kawan. Ia jadi sangat gusar, ia
lantas ambil putusan.
Nyonya Thio masih berdiam sekian lama diluar rumah,
baru ia buka pintu dan masuk. Dengan pelahan-lahan Ah
Loan hampirkan orang punya belakang, dengan, tiba-tiba ia hajar orang punya bebokong.
Sambil keluarkan jeritan dari kesakitan, nyonya rumah
rubuh hingga tubuhnya menimpa tubuhnya loo Sit, yang
sedang tidur nyenyak, hingga suami ini kaget dan mendusin sambil berseru.
Nona Pau tekan tubuhnya si nyonya, leher siapa ia
cekek. "Jangan berteriak!" ia pun ancam Lou Sit, "jikalau kau orang berteriak, aku nanti bunuh kau orang!" Kemudian, seraya kendorkan cekelannya, ia tanya nyonya rumah:
"Siapa yang barusan bicara sama kau diluar rumah?"
"Dia ada Lay Siau-cu, orangnya Ou Lip!" sahut nyonya
Thio dengan suara sukar, tubuhnya-pun gemetaran.
"Apa yang kau orang bicarakan" Bilang terus terang!"
"Dia omong tentang Pau entah apa Loan ... " sahut
nyonya itu sambil menangis. "Dia sekarang pergi untuk
panggil Ang Lian Khau-cu ... "
Ah Loan gusar hingga ia hajar orang dengan kepalan,
hingga nyonya itu menjerit sekali, lalu tak ingat akan dirinya, setelah itu, ia berbangkit.
"Kau orang ada punya tumbak atau golok atau tidak?" ia tanya Loo Sit, suaranya menyatakan ia masih sedang gusar.
"Tidak ada, ada juga kampak," sahut Loo Sit, dengan
suara gemetar, saking takut. "Nona, urusan mereka tidak mengenai diriku segala, perbuatan mereka aku tidak tahu, isteriku memang harus mampus, aku sendiri ada orang baik
... " "Aku tahu kau," sahut Ah Loan. Ia hendak pinjam orang
punya kampak, tapi segera ia urungkan itu. Ia ingat, dengan sebuah kampak tukang kayu, ia bisa buat apa, sedang juga, selagi ia sendiri terluka. sepatunya pula tinggal sebelah. Ia menduga, Ang Lian Khaucu tidak bakal datang sendirian
saja. "Maka paling benar aku segera singkirkan diri dari sini."
pikir ia kemudian.
Lalu, dengan tidak perdulikan Loo Sit dan isterinya. Ia lari keluar. Ia lihat sinar rembulan ada guram, awan tebal disana-sini, tapi ia jalan terus, ia lari tanpa perhatikan jurusan. Ia mendaki dimana ada jalanan terbuka, ia
melapay antara pepohonan oyot, dengan susah-payah, ia
sampaikan sebuah puncak. Ia menahan sakit, ia lawan
kelelahan. Dari atas puncak, ia memandang kebawah,
lantas ia jadi terperanjat. Kebetulan sekali, di kaki puncak ada terlihat beberapa obor, yang terbawa oleh dua-atau tigapuluh orang.
"Mereka tentu ada Ang Lian Khau-cu dan orang-
orangnya," ia menduga-duga mereka itu. Ia-pun segera
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara riuh dari mereka, cuma tidak terdengar nyata apa yang mereka bilang.
Anggap bahwa ia masih berada di tempat yang
terancam, Ah Loan kertek gigi, untuk manjat lebih jauh. Ia telah lewatkan banyak waktu ketika kemudian ia dapati
sang fajar lagi mendatangi. Ia ada sangat lelah, hingga ia berhenti akan duduk melenyapkan lelah atas sebuah batu.
Ia ambil cukup banyak tempo, baru ia merasa sedikit lega, napasnya-pun tidak lagi tersengal-sengal. Sang embun
membuat pakaiannya demak, ia punya luka juga
menyebabkan ia merasa sangat sakit, tapi yang hebat adalah sisa sepatunya sudah pecah, pada kakinya yang sebelah, kaos kaki juga pecah hingga kakinya mengeluarkan darah,
kakinya bengkak, sampai ia sukar berjalan. Tanpa merasa, nona yang tadinya kosen ini lantas kucurkan air mata dan menangis. Kembali ia bayangi penghidupannya dahulu dan sekarang, penderitaannya paling belakang, hingga timbul pula pikirannya untuk berlaku nekat ... Hanya sekarang, ia tidak punyakan ia punya ikat pinggang hijau, dan ia
mengerti juga, kalau mati disitu, penjahat bakal dapat cari ia punya mayat.
"Sungguh hina bila mereka dapati aku telah jadi mayat,"
pikir ia. "Dengan perbuatanku itu, ludaslah kehormatannya keluarga Pau ... "
Ah Loan menjublak sekian lama, kemudian ia rebahkan
diri diatas batu. Ketika kemudian matahari muncul dan
sinarnya mensoroti si nona, dia merasa tubuhnya menjadi hangat. Ia rebah terus, akan tetapi ia tidak berani tidur pulas.
Dalam sedikit tempo, Ah Loan punya pakaian demak
telah jadi kering seperti biasa, ia punya kesegaran-pun kembali. Ia paksa berbangkit, ia rapikan pakaiannya, juga kaos kakinya.
"Thio Loo Sit bilang di barat ada kuil pendeta
perempuan, baik aku pergi kesana," ia ambil putusan.
Sekarang nona ini mencari jalan turun, tindakannya
pelahan sekali. Ia memerlukan tempo lama akan sampai
ditempat yang rata dimana tapinya tetap ada batu gunung.
Ia awasi ia punya bayangan, sesudah itu baru ia menuju kearah barat. Ia berhasil melalui dua tikungan ketika
dengan tiba-tiba ia dengar suara suitan beruntun hingga ia kaget bukan main. Pada mulanya. Ia menyangka suara
burung tapi segera ia tampak di depan ia, diatas bukit, ada belasan orang yang semuanya bersenjata golok dan toya, segera berlari-lari turun kearah ia.
Itulah rombongannya Ang Lian Khaucu Khu Jie.
Dalam kagetnya, Ah Loan segera memutar tubuh, untuk
lari. Apa lacur, ia tidak dapat berlari keras, ketika baru menikung satu kali, ia sudah kena dicandak.
"Ah Loan, isteriku, kau masih hendak lari?" demikian ia dengar ejekan, yang disusul dengan ejekan kasar lainnya, hingga, dalam gusarnya, ia berhenti lari, ia putar tubuh.
"Aku benar tidak punya senjata, mustahil aku tak
sanggup lawan mereka?" pikirnya. Dan ia segera jumput
beberapa potong batu, satu antaranya dipakai menimpuk, bagaikan piau saja.
Berandal yang paling depan menjerit, kepalanya
borboran darah, darahnya mengalir kemukanya. Dia adalab Ang Lian Khaucu sendiri, si monyet muka merah, hingga ia jadi surup benar dengan julukannya itu.
"Serang, serang padanya!" ia berseru-seru, saking gusar.
"Bunuh padanya! Jangan tangkap dia hidup-hidup!"
Belasan berandal itu merangsek, tapi Ah Loan sambut
mereka dengan berbagai timpukan, hingga mereka jadi
repot, kemudian setelah batunya habis dan ia tak keburu memungut pula, ia rampas sepotong golok dari satu
berandal, siapa ia terus bacok hingga rubuh. Kemudian, iapun dapat rebut sebatang toya, hingga dengan toya dan
golok itu ditangan kiri dan kanan ia terus layani semua musuh.
Kawanan berandal terpaksa mundur. Atas anjurannya
Ang Lian Khau-cu, mereka punguti batu, akan turut buat si nona, hingga sekarang adalah Ah Loan, yang jadi ripuh.
Beberapa buah batu mengenai juga tubuhnya. Saking
kewalahan, ia lempar toyanya, ia lari seraya tengteng
goloknya. "Kejar. Kejar!" kawanan berandal berseru-seru, sambil
mereka mengudak.
Ah Loan lari terus, sampai ditikungan yang lain. Apa
celaka, ia terpeleset, tidak tempo lagi, ia rubuh terguling. Ia rasakan sakit pada kaki kirinya, seperti kaki itu patah sampai ia tak dapat digerakan lagi. Karena ini, ia tidak mampu lari lebih jauh. Ia jadi sangat kuatir, bingung dan penasaran, hingga tanpa merasa, air matanya mengalir
keluar. Ia putar tubuh seraya cekal keras goloknya.
"Aku mau lihat, siapa diantara kau orang yang berani
maju?" ia berseru kapan ia lihat orang sudah mendekati ia lagi kira-kira dua puluh tindak.
Ang Lian Khau-cu Khu Jie titahkan orang-orangnya
berhenti berlari, ia sendiri berdiri di depan mereka. Ia belum seka darah yang berlumuran, hingga mukanya nampak tak
keruan macam. Ia menuding dengan goloknya, ia
perdengarkan tertawa menghina.
"Nona manis, letaki golokmu!" kata ia. "Baiklah, dengan baik kau turut aku naik ke gunung, disana kau mesti
haturkan maaf kepada Looya, nanti aku perlakukan baik
padamu ... Jikalau tidak, segera kita buat habis jiwamu, untuk balaskan sakit hatinya kita orang punya ketua dan ketua muda!"
"Ya, kalau kau dengarlah perkataannya Khu Jie-ya kita!"
rombongan berandal itu turut perdengarkan suara mereka.
"Kau masih begini muda, apa benar-benar kau tidak berniat menikah seorang lelaki dengan siapa kau bisa hidup
beruntung?"
Ah Loan gusar, ia tak perdulikan ocehan itu.
"Siapa maju, dia mampus!" ia berseru pula. "Siapa
berani maju?"
Rombongan itu mengawasi Khu Jie, dia ini agaknya
berat akan serang si nona. Ia lihat orang punya pakaian rubat rabit, muka yang penuh air mata, ia merasa kasihan sambil berbareng tergiur hatinya.
"Lebih baik tangkap ia hidup-hidup!" akhirnya ia kata
pada orang-orangnya.
Belasan berandal itu mulai maju, yang bersenjatakan
toya disebelah depan, yang bergenggaman golok disebelah belakang. Mereka mulai menyerang.
Ah Loan tak dapat bergerak, tapi dengan oloknya, ia
coba tangkis sesuatu serangan. Tentu saja, dengan tak dapat berlompat atau berkelit, ia tidak bisa berbuat banyak. Segera juga beberapa toyoran atau kemplangan mengenai ia. Benar sedangnya ia sudah putus asa, saking tidak berdaya, dengan sekonyong-konyong dari atas puncak ada jatuh suatu
barang berat, rupanya seperti ular hitam. Jatuhnya
menerbirkan suara nyaring dan berisk, dan batu gunung
pada hancur dan meletik berhamburan.
Kawanan berandal kaget, mereka semua lari mundur. Ah
Loan juga rubuh sendirinya, ia jatuh numprah.
Menyusul jatuhnya benda itu, dari atas gunung kelihatan berlari-lari turunnya satu hweeshio atau pendeta yang
berewokan, tubuhnya tinggi dan besar.
"Rapat!" serukan Khu Jie pada orang-orangnya, untuk ia terlindung, kemudian ia pandang dengan bengis pada
pendeta itu, yang telah sampai di depannya, diantara
mereka. "Eh, hweeshio, kau buat apa?" ia menegor dengan kasar.
Pendeta itu tidak sahuti orang punya tegoran, ia hanya jumput benda yang tadi ia lemparkan dari atas puncak,
ialah ia punya toya besi yang besar dan berat, lalu dengan
tak mengucap sepatah kata juga, ia maju menyerang
kawanan berandal itu. Ia berlaku telengas, toyanya
mengemplang, menyamber dari kiri dan kanan. Diantara
suara beradunya senjata, juga terdengar jeritannya si orang-orang jahat, yang pada rubuh, tidak ada satu diantaranya yang sempat lari, karena hweeshio itu ngamuk dengan
hebat, bagaikan seekor singa saja.
Cepat sekali, belasan tubuh malang melintang, jiwanya
pada terbang melayang.
Ah Loan heran berbareng berkuatir.
"Jangan-jangan dialah Tiat Tiang Ceng si hweeshio
budiman yang luar biasa," pikir ia. Ia hanya tidak tahu kenapa orang ada demikian kejam. Dan ia tak tahu juga, orang ada bermaksud bagaimana terhadap dirinya.
Selagi nona ini bingung, satu pendeta lari kelihatan
berlari-lari turun. Dia ini ada kurus-kering dan kecil, umurnya baru kira-kira duapuluh tahun. Ketika dia sudah datang dekat, pendeta ini menghampiri si nona, untuk
rampas goloknya.
Ah Loan curiga. Ia coba berbangkit, untuk buat
perlawanan. Tapi tahu-tahu, orang berkelit kesampingnya, ia punya bebokong lantas ditotok, hingga sekejap saja
kakulah seluruh tubuh atau anggautanya. Ia cuma bisa
meleki mata, akan mengawasi. Ia insyaf, ia sudah jadi
korbanaya Tiam hiat-hoat.
Pendeta tinggi-besar itu bertindak kepada muridnya
kepada siapa ia ucapkan beberapa kata-kata, yang Ah Loan tidak mengarti, sudah bahasanya ada bahasa daernah lain, suaranya pun keras dan tak tedas. Atas itu si pendeta muda pegang tubuhnya si nona, untuk diangkat terus dipanggul dan dibawa pergi, dengan melewati belasan mayat ia
menuju ke barat.
Si pendea tinggi besar mengikuti sepintas-lalu, lantas dengan bawa toyanya sendiri, dia jalan terus mendaki bukit.
Pendeta muda itu jalan terus, sampai beberapa tikungan bukit, rupanya setelah duga si pendeia tinggi besar, atau gurunya sudah pergi jauh, ia berhentikan tindakannya, ia turunkan Ah Loan, tubuh siapa ia totok pula, tapi ini kali untuk buat orang bisa geraki kaki-tangannya dan tubuhnya juga.
Ah Loan sangka si pendeta ada orang buruk, ia lompat
bangun sambil terus mengawasi dengan bengis.
"Kaii orang apa" Kemana kau hendak bawa aku?" tanya
dia. "Jangan curigai aku," sahut si pendeta muda seraya ia
ulapkan tangan. "Kita tahu kau ada cucu perempuan dari Pau Kun Lun, kita sengaja datang untuk tolong kau.
Guruku adalah Tiat Tiang Ceng yang kesohor didalam
dunia kang-ou, aku sendiri ada Wan Keng Goan dari Wan-
kee-chung di Kanglam, tetapi sekarang sebagai pendea, aku bernama Ceng Hian. Aku ada bersahabat dengan Kang
Siau Hoo, belum lama ini, aku ketemui dia didistrik Tenghong. Aku tahu betul, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada sangat liehay, kau orang-oang Kun Lun Pay, semua
bukannya tandingan dia. Dalam hal kau orang ini,
kesalahan ada pada kau. Coba dulu kau tidak menikah
dengan Kie Kong Kiat hanya dengan Siau Hoo, tidak nanti dia satrukan kau orang Kun Lun Pay seperti semacam
sekarang."
Ah Loan berduka mendengar orang punya tegoran itu,
mukanya menjadi merah.
"Apakah kau tahu, sekarang ini Kang Siau Hoo ada
dimana?" ia paksa tanya.
Ceng Hian mengeleng kepala.
"Sekarang ini, aku tidak tahu," ia menjawab. "Ketika
aku bertemu Kang Siau Hoo, itu waktu kita orang berada di Tenghong di rumahnya Lie Hong Kiat dimana dia orangpun berpisahan. Sejak itu, aku belum pernah bertemu pula dengannya."
Ah Loan terperanjat akan dengar disebuinya Lie Hong
Kiat, salah satu musuhnya.
"Selama dua bulan ini, aku senantiasa ikuti guruku,"
Ceng Hian berkata lebih jauh. "Untuk sekian lama, kita orang berdiam digunung Hoa San. Sebenarnya guruku
sudah jenuh dengan penghidupan didalam dunia kangou, ia sudah pikir buat cari satu tempat dimana ia bisa sucikan diri, untuk ia didik terus padaku dalam ilmu silat, apa mau ia telah dengar kabar Kang Siau Hoo membuat onar di
Tiang an, seorang diri Siau Hoo rubuhkan Kun Lun Pay, iapun berhasil mengalahkan Kie Kong Kiat, hingga semua
orang bilang, Kang Siau Hoo ada enghiong nomor satu
untuk Kanglam. Mengetahui itu, guruku jadi tidak puas, ia ajak aku, dan dengan bawa-bawa toya besinya, ia turun dari Hoa San, untuk cari Kang Siau Hoo, guna lakukan satu
pertandingan yang memutuskan. Tatkala kita orang sampai di Tiang-an, kita dapat keterangan Kang Siau Hoo sudah pergi lagi, sedang Kat Cie Kiang bersama-sama Kie Kong Kiat dan kau telah pergi ke Hantiong. Kita juga lantas menuju ke Selatan. Baru dua hari yang lalu kita orang
sampai di Cong-hok-tin, itu dusun diluar mulut gunung
sebelah Utara. Dengan berpura-pura memungut derma,
guruku cari tahu halnya Kang Siau Hoo, aku sendiri dikirim ke berbagai tempat, guna buat penyelidikan. Aku tidak
kenal tempat disini, untuk satu harian, aku berputar-putar di ini daerah juga, tidak pernah aku dengar halnya orang she Kang itu. Belakangan aku dengar cerita hal puteranya Ou
Lip terbinasa ditangan kau, lantaran mana, kau kena
diawan oleh Ou Lip dan dibawa naik ke atas gunung. Juga ada orang lihat Kat Cie Kiang, dengan luka-lukanya, telah digotong dari mulut gunung Utara. Guruku gusar
mendengar hal kau ditawan, ia benci Ou Lip yang
dikatakan sudah culik orang perempuan, maka dengan
bawa toyanya, guruku pergi dengan niatan menolongi kau.
Karena malam dan gelap, untuk setengah malaman, sia-sia saja ia cari kau, ia tak dapatkan sarangnya Ou Lip.
Besokannya, ketika ia keluar dari gunung, ia dapat kabar hal Ou Lip pada itu malam binasa di tangannya Kang Siau Hoo, bahwa kau telah ditolongi dan dibawa lari oleh orang she Kang itu. Guruku jadi semakin gusar, ia anggap Kang Siau Hoo ada satu pemogor. Dia percaya, dengan rampas
kau dari tangan penjahat, Kang Siau Hoo ada kandung
masud busuk ?"
Ah Loan susut air matanya ia goyang-goyang kepala.
"Kang Siau Hoo bermusuh dengan keluarga Pau, tetapi
malam itu ia naik gunung dan tolongi aku, maksudnya ada baik," ia terangkan. "Melainkan aku ?"
"Itulah aku tahu," Ceng Hian potong. "Memang Kang
Siau Hoo ada satu hoohan sejati. Tapi guruku ingin sekali lakukan pertandingan yang memutuskan dengan Kang Siau
Hoo. Kemarin, satu hari lamanya kita cari Siau Hoo diatas gunung kita tidak berhasil. Tadi guruku ajak aku, untuk mencari pula, siapa tahu, ia pergoki kau sedang dikepung orang jahat."
"Aku berterima kasih yang kau orang, guru dan murid
sudah tolong aku." nyatakan Ah Loan. "Aku menang tahu
kau orang ada orang-orang gagah yang budiman, sekarang semua penjahat telah terbinasa tidak akan ada lain orang lagi yang bakal buat susah padaku, maka baiklah aku pergi susul
gurumu. Selanjutnya, bagaimana adanya persengketaan kau orang dengan Kang Siau Hoo, aku tak
ambil perduli pula. Dan aku hendak minta, tidak perduli kau orang bertemu siapa, jangan sekali-sekali kau orang beritahukan kemana aku sudah pergi!"
Habis kata begitu, Ah Loan putar tubuhnya, untuk
berjalan pergi, untuk mana, ia tidak pernah pikirkan tujuan.
"Kau hendak pergi kemana?" tanya Ceng Hian, yang
menyusul beberapa tindak.
"Tak perlu kau perdulikan kemana aku pergi!" kata Ah
Loan sambil menangis. "Aku tahu kemana aku mesti pergi
?" Ceng Hian menghalang.
"Itulah tak dapat kau lakukan," berkata ia. "Guruku
pesan aku, untuk antarkan ke suatu tempat. Jangan kau
anggap guruku ada seorang kasar. Benar dengan toya
besinya itu ia telah bunuh berapa banyak orang, akan tetapi dia punya hati ada pemurah, ia biasa berbuat kebaikan, untuk menolong pada sesamanya, menolong sampai di
akhirnya."
Ah Loan tercengang.
"Habis kau orang hendak bawa aku ke mana?" taya ia.
"Ke suatu tempat yang baik," Ceng Hian jawab, "Ke Kiu
Sian Koan di Ciat Nia digunung Bie Cong San. Itu ada satu kuil dari imam perempuan, imam tua disitu ada Too Teng Su-kou, Su-cie dari guruku, dia ini punya ilmu pedang ada liehay, tak ada disebelah bawahnya Kang Siau Hoo.
Barusan guruku kasi tahu padaku, sekalian antarkan kau ke sana, Too Teng Su-kou akan diminta suka datang ke Cin
Nia akan membantu ia mencari Kang Siau Hoo. Jikalau
Kang Siau Hoo dapat ditaklukkan, kaum keluarga Pau jadi
sudah lolos dari musuhnya, habis itu, kau akan diantar pulang kerumahmu."
Ah Loan menggeleng kepala.
"Aku tidak mau pulang!" ia nyatakan. Lantas ia tanya:
"Kenapa kau orang begitu musuhkan Kang Siau Hoo" Aku
tidak percaya yang kau orang dengan benar-benar hendak membantu Kun Lun Pay" Aku punya engkong tidak kenal
Tiat Tiang Ceng."
"Tabiatnya guruku ada luar biasa sekali," Ceng Hian
terangkan, "Dia tidak senang jikalau dalam dunia kang-ou ada orang yang terlebih liehay daripadanya. Long Tiong Hiap, Lie Hong Kiat dan Kie Kong Kiat, semua mereka itu ia tak lihat mata, tidak demikian terhadap Kang Siau Hoo.
Turut apa yang guruku dengar, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada warisannya Satu siucay tua, siapa tadinya cuma punyakan satu murid yang gagu. Si gagu itu ada gurunya adalah musuh besar guruku selama tigapuluh tahun, entah sudah berapa banyak kali guruku kena dibuat malu oleh
mereka itu. Karena adanya itu guru dan murid, walau-pun guruku ada liehay sekali, ia toh melainkan bisa malang-melintang di Su-coan Utara dan Siamsay Selatan, untuk ke Su-coan Selatan dan bagian luar dan Tong kwan, ia sampai tidak berani pergi. Sekarang siucay tua itu telah punyakan lagi Kang Siau Hoo, karena itu guruku jadi tidak dapat bersabar pula, ia telah memikir untuk binasakan Kang Siau Hioo, kemudian dia mau cari Siucay tua dan si gagu, untuk menuntut balas!"
Mendengar demikian, Ah Loan jadi berkuatir untuk
Kang Siau Hoo. Disebelah itu, ia insaf bagaimana
berbahayanya orang kang-ou, yang gampang sekali
memperoleh musuh dan permusuhan seperti tidak ada
habisnya. Karena ini, ia punya hati jadi semakin tawar. Ia benar-benar jerih.
"Kelenteng Kiu Sian Koan di In Ciat Nia pasti ada suatu tempat yang sunyi," kemudian dia berpikir, "dan disana aku terlindung oleh satu imam perempuan yang liehay,
pastilah aku tidak bakal terganggu orang jahat. Iniah
kebetulan bagiku, aku jadi bisa sekalian sucikan diri ?"
Oleh karena ia berpikir demikian, ia lantas nyatakan
pada Ceng Hian : "Aku suka pergi ke kuil imam untuk
sucikan diri, sekarang baik kau tunjuki jalanannya, supaya aku bisa pergi sendiri."
"Kuil itu berada di tempat sangat sunyi, tidak nanti kau dapat cari," Ceng Hian bilang. "Too Teng Su-kou juga ada seorang dengan tabiat aneh sekali, apabila kau pergi sendiri dia tidak bakalan terima padamu. Sekarang kau ikuti aku keluar dari mulut barat dari gunung ini, disana aku nanti sewa sebuah kereta, untuk kau naiki, aku sendiri akan ikuti kau secara diam-diam. Aku tanggung yang aku akan antar kau sampai ke Kiu Sian Koan dengan tidak kurang suatu
apa!" Ah Loan berdiam. Melihat orang bisa bekerja demikian
sempurna, ia jadi sangsikan pendeta muda ini.
Ceng Hian rupanya dapat bade orang punya kecurigaan.
"Kau jangan curigai aku," kata ia dengan hunjuk roman
sungguh-sungguh. "Kita orang-orang suci tidak punya
pikiran yang tak keruan. Mengenai kau, kita melainkan
hendak tolong padamu. Kau ada seorang perempuan, kau
juga sedang terluka, berdiam didalam gunung ini, kau
terancam bahaya. Disebelah itu, aku tahu benar kau telah dipersukar oleh urusannya kau punya engkong. Tidak
seharusnya engkongmu titah kau, seorang perempuan, pergi layani Kang Siau Hoo."
Ah Loan usut air matanya, sekarang lenyap ia punya
kesangsian, maka ia lantas menurut.
"Baikiah," bilang ia.
Ceng Hian lantas bertindak, menuju kemulut barat dari
gunung itu. Ah Loan ikuti ini pendeta, terus sampai diluar gunung, disebuah dusun. Disini Ceng Hian lantas cari kereta, yang ia sewa. Kepada Ah Loan ia serahkan dua puluh tail perak, untuk ongkosnya nona ini. Sesudah pesan pada tukang
kereta, hweeshio ini lantas ngeloyor pergi.
Ah Loan ada sangat berterima kasih pada Tiat Tiang
Ceng dan muridnya itu, orang-pun sudah tolong ia dengan sesungguh-sungguhnya hati. Hanya disebelahnya itu, ia
berkuatir untuk Kang Siau Hoo. Tiat Tiang Ceng
menggunai sebatang toya besi yang sangat berat dan Ceng Hian, Si murid, pandai Tiam-hiat-hoat, walau-pun Siau
Hoo lehay, mana dia sanggup layani itu guru dan murid
berdua" Maka ia jadi berduka.
Dihari pertama itu, kereta keledai jalan seantero hari, kapan sang sore datang, Ah Loan singgah disebuah
pondokan. Disini ia bicara sama isterinya tuan rumah, ia keluarkan sejumlah uang, untuk minla tolong dibelikan
pakaian dan sepatu bekas, untuk ia salin dan dandan, benar kemudian ia dapati pakaian yang kurang sepan, tetapi ini ada lumayan. Ia-pun anggap, sesampainya di Kiu Sian
Koan, ia bakal tukar pakaian lagi, ia akan pakai jubah suci.
Dihari ke dua, perjalanan dilanjutkan. Ah Loan tidak
kenal jalanan, ia antap si tukang kereta jalan sendiri.
Sesudah jalan dua hari setengah, pada itu tengah hari, Ah Loan lihat Tiat Tiang Ceng dan Ceng Hian mendatangi dari sebelah depan, untuk memapak padanya. Sesudah
mana, mereka hunjuki kemana tukang kereta mesti menuju lebih jauh, ialah dengan melintasi gunung, akan berbenti di
kaki bukit di tempat yang penuh dengan pepohon lebat,
hingga kereta tak dapat berjalan lebih jauh.
Oleh karena lukanya tidak terawat dan ia mesti lakukan perjalanan berhari-hari, Nona Pau menjadi lelah, ketika ia turun dari kereta, hampir-hampir ia sukar menindak, oleh karena itu, Tiat Tiang Ceng suruh Ceng Hian gendong
kembali nona itu, buat dibawa nanjak keatas bukit, hingga sampailah mereka di Kiu Sian Koan yang mencil sendirian dan sunyi.
Itu hari, Too Teng Su-kou tidak ada di kuil, dari itu Tiat Tiang Ceng titipkan Ah Loan kepada imam perempuan
yang urus kuil itu, untuk mana ia minta Ah Laon diberikan satu kamar sendirian serta si nona mesti dirawati, kemudian pendeta ini bersama muridnya turun gunung, akan pergi ke dusun dimana ada sebuah bio dimana mereka menumpang
tinggal. Berselang dua hari, Too Teng Su-kou pulang, bersama-
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama Tiat Tiang Ceng. Ah Loan dapatkan imam
perempuan ini ada beroman sangat bengis, mulutnya
lancip, matanya bundar seperti mata burung garuda, meskipun romannya tidak mengasih, dia bersikap ramah tamah
sekali. "Kau baik-baik rawat lukamu disini," demikian imam
itu. "Jikalau nanti kau sudah sembuh, aku akan ambil kau sebagai muridku. Tentang musuh kau ialah Kang Siau Hoo di Cie.yang dia telah bunuh Liong Cie Khie, dari sana dia buron, mungkin ke Su-coan Utara, tapi kau jangan kuatir, lambat atau laun, kita bakal balaskan sakit hatinya kau orang kaum Kun Lun Pay."
Ah Loan manggut, ia menyahuti, akan tetapi didalam
hatinya, ia berkuatir untuk Kang Siau Hoo.
Setelah itu hari, beberapa hari Tiat Tiang Ceng masih
suka datang. Adalah Cen Hian, yang belum pernah muncul pula. Setiap kali Tiat Tiang Ceng datang, dia tentu pasang omong dengan Too Teng Su-kou mengenai halnya Kang
Siau Hoo. Karena tempat mereka bicara ada disamping
ruangan Lu Cou-su, diruangan luar, dekat dengan
kamarnya Ah Loan, si nona saban-saban bisa dengar
pembicaraan mereka. Lama-lama Ah Loan-pun jadi
mengarti juga bahasanya Tiat Tiang Ceng, hingga ia jadi ketahui bahwa Ceng Hian sudah dikirim gurunya pergi buat penyelidikan ke Su-coan Utara, bahwa satu atau dua kali Ceng Hian pulang, terus dia pergi pula. Kabar yang didapat berbunnyi bahwa Kang Siau Hoo sudah membegal keluarga
pembesar negeni di Lo Su Nia serta telah membinasakan
bahwa hamba negeri pengiring keluarga pembesar itu.
Dua-dua Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou percaya
habis kabar yang didapat itu, karenanya mereka jadi sangat gusar dan sengit, ingin mereka bisa segera cekuk Kang Siau Hoo untuk lantas dibunuh mampus. Dengan adanya
peristiwa itu sebagai alasan, mereka jadi tak boleh ijinkan orang yang terlebih gagah itu hidup lebih lama pula dalam dunia kang-ou.
Sebaliknya daripada itu imam dan hweeshio, Ah Loan
tidak percaya kabar itu. Ia sudah ketahui baik sifatnnya Kang Siau Hoo, dia tahu pemuda itu bukannya seorang
kejam, jahat dan pemogor. Sebaliknya, mendengar hal
lukisan roman dan potongannya Kang Siau Hoo yang
katanya bemuka hitam dan gemuk, kepalanya besar dan
senjatanya golok, ia teringat kepala Liong Cie Khie, ia punya susiok, paman.
Oleh karena pikiran keselamatannya Kang Siau Hoo,
kendati-pun kuil ada tenteram, hatinya Ah Loan ada tidak tenang, apa pula kemudian ketka ia tak tampak pula Tiat
Tiang Ceng dan Too Teng, buat beberapa hari saja, ia jadi semakin kuatir.
Oleh karena ia dapat beristirahat hari lewat hari, luka-lukanya Ah Loan mulal menjadi sembuh, kemudian selang
hampir satu bulan, pada suatu sore, Tiat Tiang Ceng datang bersama-sama muridnya, dengan mereka-pun ajak seorang
tua yang sudah ubanan, ialah bukan lain dari pada Pau Kun Lun.
Ah Loan menangis sedih sekali kapan ia telah bertemu
dengan engkongnya itu, kemudian sesudah tuturkan ia
punya semua pengalaman, yang membuat hatinya tawar. Ia benitahukan sang engkong bahwa ia tidak ingin pulang lagi, bahwa ia hendak sucikan diri didalam Kiu Sian Koan,
untuk mana, tentu saja ia tidak sudi bertemu pula dengan Kie Kong Kiat.
"Ya-ya," ia-pun tambahkan, setelah ia utarakan cita-
citanya, "kau juga baik menyingkir ke gunung ini saja, jangan kau pergi kelain tempat agi, disini kau boleh
bersembahyang dan bersujut kepada Buddha yang maha
suci. Tentang aku, yaya jangan buat kuatir. Lagi beberapa hari, kapan Too Teng Su-kou pulang, aku akan salin
pakaian, selanjutnya, yaya tak usah cari-cari pula padaku, harap yaya tidak omong kepada siapa juga perihal aku
berada disini!"
Ah Loan menangis.
Cin Hui menjublek, ia bungkam.
Engkong ini punya pakaian juga robat-rabit tak keruan, kumis-jenggotnya
kusut seperti bulu domba putih,
ditubuhnya ada kedapatan tanda darah, sedang kulit
mukanya, yang biasanya merah tua, sekarang menjadi putih pucat. Pada muka itu-pun ada baret-baret.
Dengan sangat berduka, Ah Loan tarik tangannya sang
engkong. "Yaya, kau kenapa?" tanya cucu ini sembari menangis.
"Yaya hadapi perkara apa" Sekarang dari mana yaya
datang?" Pau Kun Lun menghela napas, ia ada sangat lesu, ia
goyang-goyang kepala, ia tidak lantas menyahuti.
Tiat Tiang Ceng sudah lantas keluar pula dari dalam
kamar, sesudah mana, kemudian Ceng Hian pegang
tangannya jago tua itu, untuk juga diajak keluar.
Mereka itu pergi kepekarangan, Ah Loan tidak
mengikuti, akan tetapi ia pasang kuping.
"Kang Siau Hoo telah dapat tangkap kau tetapi ia tidak bunuh padamu, kenapa?" demikian pertanyaan dengan
suara yang keras dari si pendeta bertoya besi.
"Melihat dia punya sikap," sahut Pau Kun Lun, selelah
ia menghela napas, "dia rupanya hendak bawa aku ke Tin-pa ke gunung dimana dulu aku bunuh ayahnya, disitu
barulah dia hendak bereskan aku. Mungkin secara demikian barulah hatinya bisa puas ?"
"Dan siapa yang lakukan kejahatan di Loo Su Nia itu?"
Tiat Tiang Ceng tanya pula.
"Itulah aku tidak tahu," sahut Cin Hui. "Hanya aku
berani tanggung dengan jiwaku yang tua ini, itu pasti bukan perbuatannya Liong Cie Khie!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 27 MENYAMBUNG itu, terdengar pertanyaannya Ceng
Hian : "Bagaimana dengan anaknya Cin Siau San itu
bocah, apa benar dia binasa di tanganmu?"
Cin Hui melainkan menghela napas ia tidak menjawab.
"Menurut katanya muridku," terdengar pula Tiat Tiang
Ceng, dengan suaranya yang mendesak, "di Su-coan Utara kau telah bunuh belasan bocah cilik, maka aku pikir, kau bukannya satu enghiong atau hoohan. Coba tadi aku tidak saksikan kau terlalu dikekang oleh Kang Siau Hoo, hingga aku merasa berkasihan terhadapmu, tidak nanti aku tolongi kau. Sekarang lekas bilang, bagaimana kepandaiannya
Kang Siau Hoo bila dia dibandingkan dengan aku Tiat
Tiang Ceng?"
Kembali jago tua itu menghela napas.
"Kepandaiannya Kang Siau Hoo benar-benar ada sangat
liehay," ia menyahut. "Aku Pau Cin Hui adalah seorang
yang tangguh, akan tetapi menghadapi dia, tak dapat tidak, aku mesti mengaku kalah " Suhu, tentang nama kau, sejak tiga piluh tahun yang lampau, aku telah mengaguminya,
akan tetapi, apabila kau bertemu dengan Kang Siau Hoo, pasti aku akan ... "
Tiat Tiang Ceng ada demikian mendongkol, hingga
sebelum orang bicara habis, ia sudah banting kakinya,
hingga menerbitkan suara keras, sampai pintu dan jendela pada tergetar.
"Ceng Hian, pergilah kau ke Tin-pa." berteriak ini guru.
"Kau cari dia punya murid supaya muridnya itu datang
menyambut dia!" Tapi selelah itu, ia kata pada jago tua itu:
"Aku telah tolongi kau dan cucumu perempuan, aku
hendak lihat bagaimana di belakang hari kau orang balas budiku! Sekarang aku hendak pergi cari Kang Siau Hoo,
nanti besok aku akan ajak kau turun gunung, untuk kau
saksikan mayatnya dia itu yang aku telah buat mampus!"
Sampai disitu, Ah Loan dengar suara tindakan kaki yang riuh, yang terus sirap, seperti juga semua orang sudah berlalu, ia lantas tutupi mukanya, ia menangis dengan sedih sekali. Ia sekarang mengarti tentang kesukarannya ia punya engkong, siapa ternyata baru ditolong dari tangannya Kang Siau Hoo.
Sesaat kemudian, Nona Pau dengar elahan napas
panjang diluar jendela. Ia kenali itu ada suaranya ia punya engkong, ia jadi semakin berduka, hingga ia menangis
tersedu-sedu. "Yaya, kau sangat telengas!" berkata ia. "Apakah yang
kau telah lakukan di Su-coan Utara" Kejahatan di Lao Sit Nia pasti ada perbuatannya Liong Cie Khie, apa perlunya kau masih lindung dia" Kang Siau Hoo tidak binasakan
yaya karena ia tak tega hati, kenapa sekarang kau pancing kemurkaannya Tiat Tiang Ceng untuk dia pergi bunuh
Kang Siau Hoo" Kau kejam, yaya " aku ?"
Sebenarnya Ah Loan hendak teruskan bilang: "Aku
punya penghidupan-pun bukankah telah dirusak oleh kau"
Kenapa dulu yaya paksa aku menikah dengan Kie kong
Kiat?" Akan letapi, sebelum ia dapat ucapkan itu, ia dengar engkongnya gedruki kaki dan terus bentindak pergi. Ia
berhenti menangis, karena ia merasa heran.
"Kenapa tabeatnya engkong berubah jadi begini rupa?"
tanya ia pada dirinya sendiri. "Tentang perbuatannya
diwaktu muda, aku tidak tahu, akan tetapi ada sialnya yang aku tahu benar, engkong ada berhati murah. Kenapa baru saja keluar merantau pula, lantas ia jadi kejam begini"
Apakah mungkin, karena usianya yang tinggi, ia jadi
linglung?"
Berbareng dengan itu, Ah Loan-pun berkuatir engkong
itu menjadi nekat, timbul pikirannya yang pendek, atau dia akan turun gunung, akan bantu Tiat Tiang Ceng pergi
kepung Kang Siau Hoo.
Tidak ayal lagi, nona ini keluar dari kamarnya. Ia pergi kepekarangan dimana ia tidak lihat engkong itu, maka ia terus pergi ke depan, dan mana ia-pun pergi kebelakang, karena di depan, Cin Hui-pun tidak ada. Ia mulai sibuk. Itu waktu, sang malam telah datang bersama cuacanya yang
gelap, sedang disitu ada banyak pepohonan yang lebat,
sampai-pun sinar bintang-bintang tak dapat menembusnya.
Sebaliknya, sang angin menyebabkan pohon-pohon cemara
menerbitkan suara berisik.
Dengan air matanya meleleh turun, Ah Loan kembali
kekamarnya. Itu antero malamn, ia tidak dapat tidur, ia punya pikiran tidak tenteram, ia berkuatir dan berduka.
Selama satu malam itu juga Pau Cin Hui luntang lantung saja digunung itu. Ia tahu Tiat Tiang Ceng pergi cari Kang Siau Hoo tetapi ia tak tahu, apa hweeshio itu sanggup
lawan si anak muda yang gagah. Ia ada sangat menyesal
yang ia sudah kesalahan membinasakan Cin Siau Hiong. Ia merasakan tegoran cucunya barusan, ia berduka.
"Jikalau muridnya lihat Tiang Ceng berhasil mengajak
Thio Cie Cay atau Ma Cie Hian datang kemari, apa aku
ada muka akan menemui mereka?" demikian ia berpikir.
"Umpama kata mereka ajak aku pulang, tetapi selama
Kang Siau Hoo masih belum mati, dia tentu masih belum
mau sudahi urusannya dengan aku ?"
Dengan pikiran yang kusut Cin Hui terus jalan sana dan jalan sini tanpa tujuan, sesudah ia lelah, ia berhenti dibawah sebuah pohon cemara, ketika ia rebahkan diri, ia kepulesan. Ketika ia mendusin, hari sudah bukan pagi lagi.
Untuk tangsel perutnya yang lapar, ia munguti buah
cemara, ia kepe kulitnya dan dahar itu.
Tidak antara lana datanglah tiga ekor menjangan, yang
mendekati ia, akan cium ia berulang-ulang, nampaknya
binatang itu jinak sekali, maka itu, ia cabuti rumput, ia kasih binatang itu makan sambil usap-usap tanduknya.
Dengan cara demikian sambil main sama menjangan itu, ia lewatkan temponya. Selama itu, ia tidak lihat Tiat Tiang Ceng, dan Ceng Hian-pun tidak kembali bersama ia punya murid atau murid-murid. Ia menjadi heran, ia bersangsi.
"Apa bisa jadi pertempurannya Tiat Tiang Ceng dengan
Kang Siau Hoo masih belum ada keputusannya?" ia
menduga-duga. "Atau bisa jadi Tiat Tian Ceng telah rubuh ditangannya Siau Hoo dan ia tak ada mudah untuk balik
kemari" Apa mungkin beberapa muridku, yang berada tidak terlalu jauh dari sini, seperti Lou Cie Tiong, Ma Cie Hian dan Thio Cie Cay, pada tidak sudi mengaku lagi aku
sebagai guru, hingga mereka tidak suka datang menyambut aku?"
Cin Hui terus berada dalam kesangsian, kebingungan,
kekuatiran dan kelaparan juga. Ia-pun tidak berani kembali ke kuil, untuk menemui cucunya, buat minta makan.
Adalah selagi Pau Kun Lun berada dalam kedudukannya
yang sulit itu, Kang Siau Hoo dapat mencari ia, dan kapan jago tua ini tengok itu musuh, ia kaget bukan kepalang, semangatnya seperti terbang, tidak ayal sedikit juga, ia lari ke arah kuil, ia masuk terus keruangan Lu Cou-su, akan ketemui cucunya.
"Siau Hoo datang! Dia kejar aku. Tolong aku ?"
demikian ia mohon pada cucunya itu. Sembari berkata
begini, dengan tangan gemetaran, engkong ini cekal
tangannya sang cucu.
Ah Loan kaget, ia berduka berbareng mendongkol.
"Kang Siau Hoo, pikiranmu terlalu cupat!" kata ia
seorang diri, dalam hatinya. "Engkong sudah lari ke ini gunung, sudah tinggalkan pergaulan, kenapa kau masih
susul ia dan hendak membinasakan juga?"
Selagi Ah Loan berpikir demikian, Siau Hoo menggedor
pintu, maka Si nona lantas pergi keluar, dengan kesudahan seperti apa yang kita sudah ketahui, nona itu merampas orang punya pedang, untuk dipakai menikam diri, walaupun Siau Hoo mencegah , ujung pedang dari tenggorokan
lalu mengenai cada. Tadinya Ah Loan pikir, dengan beri keterangan pada engkongnya, sang enkong nanti mengerti duduknya hal dan suka maklum, diluar dugaan engkong itu gusar dan pergi meninggalkan dia, hingga dia jadi
bertambah berduka, sedang itu waktu lukanya ada hebat, terpaksa ia antap Siau Hoo bawa ia kedalam kamar untuk rawat ia. Disini ia jadi dapat ketika akan buka rahasia hatinya kepada si anak muda, siapa juga utarakan isi
hatinya kepadanya.
Kesuiltan tidak berhenti sampai disitu. Apa mau Too
Teng Su-kou datang dengan terus satrukan Siau Hoo, yang ia bokong hingga pemuda itu terluka peluru besi, hingga keduanya jadi bertarung dengan kesudahan imam itu kalah dan mesti angkat kaki sambil menantang musuhnya
bertanding pula nanti di Bu Tong San.
Demikan dengan Ah Loan, sesudah Siau Hoo berangkat
ke Un-sin-tin, akan cari kereta, ia terbenam sendirian dalam kusutnya pikiran, hingga ia ngelamun dan bayangkan
pengalaman atau penderitaannya yang maha hebat, tetapi diakhirnya pikirannya toh terbuka juga hingga ia jadi hanya berduka dan bergirang berbareng. Ia-pun punyakan harapan besar, bagaikan pohon yang sudah kering mendapat air dan jadi segar pula.
"Semua tidak ada yang salah kecuali aku ... " demikian ia putuskan. "Aku cintai Siau Hoo, mengapa aku tidak
utarakan itu, kenapa aku manda yaya nikahkan aku dengan Kong Kiat" Coba aku pisahkan diri dari kaum Kun Lun
Pay, aku cari Siau Hoo dan nikah padanya, bisa jadi ia tidak sampai desak yaya ... Ah, kenapa dulu aku tidak
berpikir begini?"
Malam itu, sehabisnya semua imam bersembahyang dan
masuk tidur, Kiu Sian koan jadi sangat sunyi, apa yang masih terdengar adalah sampokan angin antara pohon-pohon cemara dan kucing hutan. Sekali pun si imam yang rawati si nona sudah tidur menggeros. Cuma Ah Loan
sendiri yang masih belum tidur, karena rasa sakinya
mengganggu padanya. Justeru itu, diluar Too Teng Su-kou muncul pula di kuil itu.
Too Teng ini, seperti diketahui ada sucie saudara
seperguruan dan Tiat Tiang Ceng si Pendeta Aneh. Dia
gagah seperti sang sutee, ia biasa merantau tak ketentuan, benar dia bukan satu imam cabul, akan tetapi ia tak pantang mencuri atau membunuh orang. Dua-dua su-cie dun sutee
ini pernah lakukan kejahatan, tetapi juga benar, sering merela lakukan perbuatan-perbuatan mulia. Melainkan ada satu cacat luarbiasa dari mereka, yalah mereka tidak
senang, mereka tidak mau ijinkan ada lain orang kangou yang terlebih gagah daripada mereka, atau mereka mesti mensatrukannya.
Siok Tiong Liong ada satu jago yang ke sohor, ia
menjagoi sejak umur muda, pada sebelumnya Tiat Tiang
Ceng dan Too Teng muncul, tapi setelah ia berusia lanjut kedua imam itu desak padanya hingga terpaksa ia pindah kelain tempat, untuk jauhkan diri.
Cuma ada satu orang, yang kedua imam tidak sanggup
ganggu, sebaliknya merekalah yang dibuat malu. Dia ini
ada satu siucay tua, yang bugeenya liehay sekali, yang tak ketentuan tempat kediamannya. Orang tua ini tidak berniat membinasakan mereka sebagaimana pernah dia menasehati
mereka itu, katanya : "Kendati kau orang sudah malang
melintang di dunia kangou dan pernah juga membunuh
sejumlah jiwa. Tapi karena kau orang juga pernah lakukan berbagai kebaikan, kebaikan itu sukalah aku pakai tebus kejahatan kau orang, aku suka mengasi ampun, hanya
mulai saat ini selanjutnya kau orang mesti masuk kedalam gunung untuk sucikan diri, jangan lagi kau orang hidup dalam dunia kang-ou."
Itu adalah kejadian selang dua atau tiga belas tahun yang sudah. Ketika itu dimulai Tiat Tiang Ceng berikan janjinya, akan tetapi didalam hati ia dan sucienya tidak puas, malah mereka memikir untuk menuntut balas.
Siucay tua itu sering muncul diantara Cin Nia dan Ngo
Bie San, karena itu terpaksa Tiat Ciang Ceng berdua
perbataskan diri. Berbareng dengan itu mereka berdaya
akan menerima murid, supaya kemudian murid-murid itu
bisa digunai sebagai kaki tangan mereka untuk mereka
lawan musuh besar itu.
Begitulah sejak sepuluh tahun yang lalu Tiat Cian Ceng dapati Ceng Hian sebagai muridnya, dan belakangan ia
dapatkan juga Tio Hek Hou, Too Teng Su-kou sebaliknya
belum mempunyai murid, ini disebabkan ia ingin dapati
murid perempuan serta juga yang sudah mengarti silat.
Untuk lebih gampang dididik. Dia dapatkan cuma dua
orang perempuan, yang berderajat utuk jadi muridnya, ialah Pau Ah Loan dan Cin Siau San, tetapi mereka ini masing-masing ada cucunya Pau Kun Lun dan nona mantunya
Long Tiong Hiap, ia tahu mekipun ada jalan muridnya,
mereka tidak bakal ikuti ia terus menerus. Tak dapat ia gunai tenaga mereka, ia batalkan niatnya itu. Adalah
sekarang setelah Kun Lun Pay runtuh, Ah Loan terlunta-
lunta malah nona itu ditolongi Tiat Tiang Ceng dan dibawa ke kuilnya, lalu timbul pula keinginannya akan ambil nona itu menjadi muridnya. Ia pulang ke kuilnya justeru Kang Siau Hoo-pun datang untuk tolongi si nona.
Kang Siau Hoo adalah musuh besar Too Teng, melulu
disebabkan Siau Hoo ada muridnya loo-sinshee, si siucay tua, ia benci orang punya murid ini, justeru ini pemuda disangka olehnya sudah membinasakan Tiat Tang Ceng, ia punya sutee, hingga mau membalas sakit hati. Ia sudah
berhasil bokong musuh itu, siapa tahu ia sendiri kena
ditotok sampai ia rubuh tidak berdaya, busurnya
dibengkoki, goloknya dipatahkan. Ia anggap semua itu ada hal yang memalukan ia, hingga sakit hatinya jadi bersusun tindih. Ketika ia angkat kaki, ia tidak pergi jauh, ia sembunyi diatas sebuah pohon cemara. begitu lekas ia lihat Siau Hoo turun gunung, ia segera kembali ke kuilnya, terus saja ia datangi Ah Loan.
Nona Pau sedang rebah sambil merintih ketika ia dengar tindakan kaki.
"Eh, kenapa kau kembali?" tanya si nona sebelum orang
memasuki kamarnya. "Baik kau jangan sewa kereta, aku
rasai lukaku ada hebat sekali, barangkali itu tak dapat disembuhkan, hingga aku tak dapat ikut pergi. Kau
tetapkan hati, aku sekarang sudah berkeputusan tetap, aku tak menyesal lagi aku akau jadi isterimu!"
Ah Loan menyangka pada Siau Hoo, ia mengucap
demikian tanpa tunggu orang muncul, siapa tahu sebagai jawaban, ia dengar suara tertawa aneh yang disusul dengan jengekan : "Kemarin ini kau nyatakan ingin menjadi imam, sekarang kau hendak menikah! Malah kau hendak sia-siakan suamimu! Oh, perempuan cabul!"
Tidak terhingga adalah kagetnya sinona, apa-pun setelah ia kenali orang punya suara dan lihat orang punya roman.
Too Teng ada punya bahan api siong-hio, kapan itu ditiup menyala, maka tertampaklah imam ini punya roman bengis dan mata yang mengancam sinarnya. Ia lantas saja
menangis. "Su-kou, kau tidak tahu hal-ikhwal kita ?" ia berkata.
"Denan Kang Siau Hoo, aku ada punya perkenalan sejak
sepuluh tahun yang lalu ... "
Too Teng tidak menjawab, hanya tertawa mengejek,
terus ia cari dua lembar tambang, sesudah padamkan
apinya ia menghampiri si nona, untuk ringkus padanya.
Ah Loan rasai orang punya tangan yang berat dan kuat,
sudah begitu, ia sedang terluka, tak berdaya ia ketika imam itu ringkus ia dengan keras, malah saking sakit, ia menjerit, kemudian ia lupa akan dirinya!
"Aku nanti bawa kau pergi!" kata si imam dengan sengit, walaupun orang sudah pingsan. "Aku nanti nikahkan kau!
Setiap kali kau nikah, aku nanti bunuh suamimu, supaya kau bisa menikah terus dengan suami yang baru!"
Imam ini tidak dapat kendalikan diri, ia hinai si nona itu yang tidak berdaya. Kemudian ia angkat orang punya
tabuh, yang ia beri naik atas panggulannya, terus ia bawa pergi dari kuilnya itu turun gunung.
Ah Loan pingsan, ia tidak tahu segala kejadian atas
dirinya, ketika belakangan ia sadar dengan pelahan-lahan, ia dapatkan dirinya masih diringkus dengan keras, ia tetap tergendol imam perempuan yang bengis itu. Hebatnya
setiap kali Too Teng menindak yang mana berarti tubuhnya turut bergerak, ia berjengit, karena ia merasakan sakit skali.
Too Teng sendiri tidak pernah lalai, jalannya makin lama makin cepat, dia berlari-lari, agaknya dia berkuatir.
Beberapa jauh ia sudah dibawa pergi, Ah Loan tidak
tahu, hanya tiba-tiba, ia dengar tindakan kaki berlari-lari dan seekor kuda disebelah belakang ia, habis itu, Too Teng berlompat ke pinggir jalanan.
"Bur!" demikian satu suara.
Ternyata imam itu sudah loncat ke air yang tidak dalam, tapi kedua kakinya toh terendam di air. Ia dibawa pergi ke kolong jembatan dimana imam ini umpatkan diri.
"Jangan bersuara!" imam itu-pun mengancam, dengan
bengis. Hal 26 dan 27 Hilang/robek!
" minta banyak tempo. Nyata orang lelaki itu ada liehay sekali, baru tiga gebrak, ia sudah hajar si imam perempuan hingga rubuh, tatkala dia merayap hendak berbangkit,
orang itu sudah mendahului mendupak padanya, hingga
tidak tempo lagi ia rubuh pula, tubuhnya bergulingan
beberapa kali. Selagi orang bergulingan, si orang lelaki samber Ah
Loan, untuk dikempit, kemudian dengin gesit dia lompat naik keatas kuda, yang segera ia kasih kabur meninggalkan si imam perempuan.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Loan kaget dan tidak mengerti, ia merintih bahna
kesakitan. Ia punya napas-pun mengorong.
"Siapa kau?" ia tanya. "Apakah kau ada orang yang
Kang Siau Hoo suruh tolongi aku?"
Pertanyaan itu tidak dapat jawaban, itu orang lelaki diam saja, kudanya terus dikasih larat. Terang sekali dia ada bertenaga sangat kuat dan sebat, akan tetapi kempitannya ada enteng. hingga si nona tak usah merasakan sakit.
Sekejap saja, kuda itu sudah kabur melalui tiga atau
empat puluh lie. Selama itu, tidak pernah orang itu tukar ia punya tangan, rupanya sama sekali ia tidak merasa pegal.
Tempo cuaca sudah menjadi terang betul, barulah itu
orang letaki berhentikan lari kudanya, ia loncat turun, akan letaki tubuhnya Ah Loan diatas rumput, diberi turunnya secara sangat hati-hati. Kemudian, ia keluarkan sebuah pisau kecil, yang ia pakai memotong putus tambang yang meringkus nona itu, hingga dilain saat, Ah Loan sudah
merdeka. Sembari bekerja, orang itu menggoyang-goyang tangan,
mengasi tanda supaya Nona Pau tidak buka mulutnya.
Ah Loan ada sadar betul. Ia lihat orang berusia empat-
puluh lebih, tubuhnya tidak tinggi. air mukanya tidak
terlalu terang, kuncirnya digulung diatas kepalanya. Orang itu punya baju ada pendek, sudah pecah disana-sini, juga kotor, sebagaimana celananya, yang juga pendek, yang
asalnya ada hitam, tapi karena tua dan terkena lumpur, warnanya jadi tak keruan macam mirip dengan warna
bajunya. Dia punya kedua kaki, yang berlepotan lumpur, ditutup dengan sepatu rumput. Dengan dandanannya itu,
dia adalah seorang desa yang melarat atau satu bujang
tukang nyalakan api diwarung tegalan.
Masih orang itu tdak bicara, ia hanya antap Ah Loan
beristirahat, hanya kemudian, ketika dari kejauhan
tertampik ada kereta mendatangi, ia angkat tubuhnya si nona, untuk diberi naik atas kudanya.
Ah Loan diam saja, bagaikan mayat, ia antap dirinya
dinaikkan atas bebokong kuda, ia juga tidak bicara. Ia melainkan tahu, kuda dikasi jalan dengan pelahan.
Lama juga mereka sudah ambil tempo, akhirnya mereka
sampai disatu tempat di mana segera terdengar suara anjing
menggonggong. Ah Loan tidak tahu, berapa lie sudah
dilewati. Mereka sekarang memasuki sebuah kampung,
kedalam suatu tempat dengan pekarangan yang lebar.
Disitu ada sejumlah orang yang menghampiri mereka.
"Eh, apakah artinya ini" Entah dari mana toaya ini
bawa-bawa orang perempuan?" demikian Ah Loan dengar
orang saling tanya, agaknya mereka itu merasa heran.
Orang itu mengarti bahwa orang herankan dia, dia cuma
tertawa, dengan tidak buat suatu apa, ia jalan lerus, sampai di depan sebuah rumah tanah, ia berhenti, ia angkat
tubuhnya nona itu, untuk dibawa masuk kedalam rumah
itu, yang mirip dengan gubuknya si orang ronda.
Didalam gubuk ada sebuah pembaringan tanah, diatas
itu ada tergelar selembar kasur, keatas itu, Ah Lan diletaki.
Sampai disitu, orang ini awasi Si nona,
Orang-orang tadi telah datang berkumpul, mereka
bergerumuan dimuka rumah tanah itu terus sampai
didalam, dimuka pintu, yang menjadi penuh.
Ah Loan merintih, tapi sekarang ia menanya.
"Aku tahu kau ada orang baik, tapi tempatmu ini tempat apa?"
Orang itu tidak menjawab, hanya dengan jari tangannya, ia tunjuk ia punya hidung, ia perlihatkan ia punya jempol, disusul sama dipentangnya, digerakinya kedua lengannya, akan akhirnya, ia tunjuki ia punya kelingking.
Ah Loan tidak mengarti, ia menjadi heran sekali.
Orang banyak, yang menyaksikan itu, pada tertawa
berkakakan. "Dia ada seorang gagu, dia tak dapat bicara," kemudian seorang tua beritahukan Nona Pau. "Dia juga ada tuli.
Melainkan wan gwee kita yang mengarti ia punya
pembicaraan dengan gerak-gerakan tangannya itu."
Ah Loan jadi tambah-tambah heran.
"Bagimana Si gagu tolong aku" Kenapa?" demikian ia
tanya dirinya sendiri.
Si gagu mengarti yang orang tak mengarti dia, agaknya
dia sibuk, maka kembali ia geraki ia punya jari-jari tangan dan kedua lenganya itu, sekali ini, ia bersikap seperti menelad burung terbang, hingga kelakualnya itu membuat semua orang yang ada pegawai-pegawai disitu ada tertawa terpingkal-pingkal, hingga mereka tak dapat tutup mulut mereka "
Sementara itu ada orang yang telah pergi memberi kabar pada wan gwee, hartawan yang menjadi tuan rumah atau
pemiik dan kampung itu, yang rumahnya besar dia ini
sudah lantas muncul. Ia sudah tua sudah kumisan,
tangannya menyekal sebatang tongkat, pakaiannya dari
sutera, romannya ada manis budi.
Kapan Si gagu lihat wan-gwee itu, segera ia bicara pula dengan kedua tangannya. Ia pentang kedua tangannya,
yang ia geraki kembali seperti burung terbang. lalu ia tunjuk Ah Loan seraya terus bersikap sebagai orang memukul
tambur dan meniup terompet.
Hartawan tua itu mengawaai, ia berpikir, akhirnya ia
manggut-manggut dan tertawa.
Lalu, sambil tunjuk si gagu itu, ia bertanya pada si nona :
"Dia ini gagu tetapi ia ada satu hiap-kek, orang gagah yang hatinya mulia. Dia-pun ada punya kepandaian yang liehay.
Aku sendiri ada Gan Pek, pada dua puluh tahun yang lalu, aku ada memangku pangkat. Pernah aku menjadi Too-tay
di Bu-hu-too di propinsi An hui. Dua kali sudah Si gagu ini
tolongi aku punya jiwa. Dia benar gagah dan mulia. Baru belakangan ini dia datang mencari aku disini. Menurut dia punya gerak-gerakan tangan itu, aku duga dia ada punya satu saudara seperguruan, entah suheng atau sutee, dan namanya barangkali Hoo atau Au, dua-duanya berarti
burung. Dia datang ke Siamsay Selatan ini, untuk cari
saudaranya itu. Aku beri dia tinggal disini. Sering-sering dia pergi dan kembali. Barusan dia hunjuki gerakan memukul tambur dan meniup terompet, rupaya dia beritahukan aku bahwa kau ada isterinya dia punya saudara itu karena
mana, dia jadi sudah bawa kau kemari. Aku cuma
menduga-duga, nona, dugaanku itu benar atau salah, harap kau tidak buat kecil hati."
Hartawan ini berdiam sesaat, lantas ia melanjutkan.
"Aku lihat kau terluka, nona, siapa sudah aniaya
padamu?" tanya ia. "Nona asal dari mana?"
Sekarang Ah Loan mulai mengarti. Rupanya Si gagu ini
adalah suheng, saudara tua dalam perguruan, dari Siau
Hoo. Dan ia menjadi sangat berduka, hingga ia lantas saja menangis. Ia-pun merintih. Tapi hartawan itu tanya ia, ia mesti menjawab. Karena ada hal-hal yang ia tak dapat
dijelaskan, ia bicara dengan ringkas.
"Aku benar ada isterinya Kang Siau Hoo," ia aku
dengan terpaksa. "Satu penjahat perempuan sudah begal
aku, baiknya ada si gagu ini yang tolongi aku ditengah jalan. Aku tidak punya rumah sekarang, aku ingin sekali bisa bertemu dengan Kang Siau Hoo ... "
Gan Wan-gwee menghela napas, kelihatannya ia sangat
menaruh perhatian, ia merasa berkasihan terbadap nona ini.
"Apakah kau tahu dimana adanya Kang Siau Hoo
sekarang?" ia tanya.
"Boleh jadi dia berada di kuil Kiu Sian Koan di In Ciat Nia," sahut Ah Loan sesudah dia merintih.
Gan Wan-gwee berdiam. Ia tidak kenal kuil itu dan
gunungnya, ia jadi tidak bisa memberkan lukian apa-apa pada Si gagu. Tidak ada jalan lain, ia lantas geraki kedua tangannya, seperti sayap burung terbang, lalu
ia menjambret-jambret ke arah udara.
Si gagu mengerti tanda-tanda itu, yalah ia ia disuruh
pergi cari kang Siau Hoo, maka ia lantas manggut-manggut dan segera keluar pula dari rumahnya, nampaknya ia sangat gembira.
Wan-gwee sendiri terus perintah satu orangnya masuk
kedalam, untuk panggil beberapa bujang perempuan guna
mereka layani dan rawat nona Pau.
Tidak lama nona Wan-gwee bersama nona mantu dan
cucunya perempuan-pun muncul, akan tengok itu tamu
perempuan. Nyonya rumah dengan manis-budi anjurkan
Ah Loan rawat diri baik-baik.
"Ah Loan ada sangat berterima kasih untuk orang punya
kebaikan itu. Akan tetapi disebelah itu, ia merasakan
lukanya menjadi terlebih hebat akibat penganiayaannya
Too Teng dan ia mesti tergendol dan rebah melintang diatas kuda, yang bawa ia larat, maka itu, sambil merintih, ia kucurkan air mata.
Itu waktu, Si gagu telah pergi untuk bersantap pagi.
Beberapa chungteng, pegawai wan-gwee, puji ia sambil
unjukkan jempolnya. Ia kelihatannya girang ia sampai
tepok-tepok dada. Habis dahar, ia pergi tuntun kudanya, akan keluar dari kampung itu, Gan-kee-chung, dengan ikuti jalan besar ia kabur ke barat.
Si gagu ini tidak bisa bicara, ia juga tidak kenal mata surat, akan tetapi, pada dua puluh tahun yang lampau, ia telah ikuti gurunya merantau, karena itu, ia kenal baik berbagai propinsi dan jalanannya, malah ia tahu juga,
gunung mana ada beberapa pay atau tugu. Disebelah itu, ia pernah jadi sebagai bayangannya Kang Siau Hoo.
Di hari ke dua setelah Siau Hoo turun gunung, Si gagu
telah dapat tugas dari gurunya. Loo-sinshe itu, Si siucay tua, ketahui sampai dimana kepandaiannya Siau Hoo,
muridnya yang baru itu, dan ia-pun kuatirkan muridnya ini nanti gunai kepandaiannya untuk main gila. dari itu ia ingin menilik. Untuk ini, ia kirim si gagu. Ketika ia berikan titahnya, ia ambil secabang pohon, dengan itu ia corat coret ditanah, membuat peta jalanan. Si gagu lantas mengarti bahwa ia dimestikan kuntit suteenya.
Buat belasan tahun si gagu kenal sang sutee, akan tetapi sampai segitu jauh ia tidak tahu she dan namanya Siau
Hoo, hanya pernah satu kali, diwaktu mereka lihat burung hoo terbang melayang-layang, Siau Hoo hunjukkan huruf
itu pada suhengnya, ia tunjuk burung itu, terus ia tunjuk dirinya sendiri, maka barulah Si gagu tahu, sutee ini
bernama Hoo. Si gagu tidak tahu setelah seberangi sungai, Siau Hoo
telah beli kuda, ia jalan dengan ikuti penghunjukan
gurunya, tapi karena ia berjalan kaki, walau-pun ia jalan cepat, ia tak dapat candak suteenya itu. Inilah sebabnya, baru setengah bulan yang lalu, ia sampai di Gan-kee-chung, dirumahnya si wan-gwee she Gan bekas too tay yang
tinggal di distrik Seng-kau. Ia hargai toa-tay itu, yang ada satu pembesar jujur, sedang juga, adalah si too-tay yang paling mengarti ia punya gerak-gerakan tangan. Baru dua hari ia tinggal bersama Gan Wan-gwee, lantas ia lanjutkan perjalanan, menuju ke Tin-pa. itu adalah tempat yang
gurunya utamakan dalam corat-coretnya. Sampai didaerah ini, ia lantas singgah, ia segera mulai cari Siau Hoo. Ia sudah pergi ke Pau-kee-cun, ke Bie Chomg San, In Ciat Nia juga, tidak lantas ia berhasil mencari ia punya adik
seperguruan. Sebaliknya, ia dapat lihat Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou. Ia kenal itu dua su-cie dan sutee, yang dimatanya adalah orang-orang galak dalam kaum kangou,
ia lantas perhatikan mereka, hingga ia curigai mereka. Ia percaya, mereka hendak lakukan sesuatu, ia segera pasang mata, ia ingin dapati Tiat Tiang Ceng punya perbuatan
buruk, supaya ia bisa mendahului turun tangan.
Demikian datanglah itu hari, yang Kang Siau Hoo
sampai bersama-sama Ngo Kim Piu dengan mengiringi Pau
Kun Lun sebagai orang tawanan, dan justeru Siau Hoo
pergi meninggalkan kawan dan musuhnya itu dirumahnya
si pemburu suami-isteri, Tiat Tiang Ceng yang senantiasa intip Siau Hoo sudah lantas datang, untuk turun tangan.
Hweeshio ini tolongi Pau Cin Hui sambil dilain pihak
bunuh Ngo Kim Piu dan suami-isteri pemburu itu. Kejadian ini, si gagu ketahui dengan baik.
Si gagu-pun menonton dari tempatnya sembunyi ketika
Siau Hoo layani berkelahi pada si pendeta yang tenaganya besar. Ia kagumi ia punya sutee itu, yang kepandaiannya ada sempurna. Dan tempo Tiap Tiang Ceng kena dihajar
rubuh, jatuh menggelinding kebawah gunung, adalah ia
yang susul pendeta itu, yang ia bunuh, sesudah mana, ia ambil seekor kuda, untuk dibawa pergi. Ia tidak pergi jauh, ia buang kepalanya Cie Khie disatu selokan, kuda itu
ditambat, di tempat yang tersembunyi, lalu ia kembali, akan awasi terlebih jauh sepak terjangnya ia punya sutee.
Siau Hoo berhasil menemui sepatu merahnya Ah Loan,
pemuda ini telah kawal si nona didalam kamarnya, selagi si nona terluka, semua itu si gagu dapat lihat dengan matanya
sendiri. Karena ini juga, ini suheng sangka nona itu adalah isteri atau tunangannya sang sutee. Diam-diam ia tertawai laga-lagunya sutee itu.
Satu hal membuat si gagu ini gusar terhadap sang sutee.
Yalah ketika Siau Hoo totok rubuh pada Too Teng Su-kou.
Ia anggap perbuatan itu ada semberono, ada menyalai
pesan dari guru mereka untuk tidak sembarang gunai Tiamhiat-hoat. Di saat ia pikir untuk berikan hajaran pada sutee itu, ia justeru saksikan Siau Hoo telah tolongi si imam perempuan, kejadian ini membuat amarahnya reda, apa
pula ia lantas lihat sesudah keluar dari kuil, Too Teng umpatkan diri diatas pohon cemara, hingga ia menduga,
perkara bakal ada ekornya. Maka itu, ia terus umpatkan diri, ia hendak lihat kejadian selanjutnya, ia juga ingin ketahui Siau Hoo sanggup atau tidak layani terus imam
perempuan yang licik itu.
Apa yang terjadi terlebih jauh adalah Kang Siau Hoo
sudah berlaku alpa, malam-malam dia pergi turun gunung, untuk mencari kereta, hingga ketika yang baik itu sudah tidak disia-siakan oleh Too Ceng, siapa muncul pula di kuilnya, untuk culik Ah Loan, yang dia bawa lari.
Dan hal ilmu lari keras, Too Ceng ada terlebih lihay
daripada si gagu, ia-pun kenal baik jalanan digunungnya itu, maka itu, ia buat si gagu ketinggalan, hingga Si gagu itu terpaksa kembali ketempat sembunyian kudanya, buat
dengan menunggang kuda, datang mengejar pula imam
yang licin itu.
Si gagu ada cerdik, ia percaya ia sudah lewati si imam, ia lantas saja pakai akal, yalah ia antap kudanya ditepi jalan, ia sendiri umpatkan diri. Ia berhasil, ia kena akali Too Ceng, siapa mengira kuda itu dia bisa culik. Tadinya si gagu pikir untuk binasakan imam perempuan itu, disaat terakhir, ia memberi ampun. Ia ingat Si imam ada orang perempuan
dan ia malu untuk berlaku telengas. Demikian, sesudah
bebaskan Too Ceng, ia bawa Ah Loan ke Gan-kee-chung,
ke rumahnya bekas tootay she Gan itu. Adalah setelah
dapat usul dari Gan Wan-gwee, ia berangkat pula akan cari ia punya sutee.
Ditengah jalan, Si gagu ini sudah pikir:
"Kapan aku bertemu sama Siau Hoo, paling dulu aku
mesti sentil kupingnya sampai beberapa kali, habis itu aku mesti gusur dia ke hadapan suhu, buat minta suhu tanya padanya, kenapa dia lancang gunai Tiam-hiat-hoat, sesudah dia ditegor, baru aku nanti suruh dia pergi pada isterinya ...
" Si gagu yalah Ah Hiap, atau Jago Gagu yang kita kenal
belakang pandai menunggang kuda, ia larat dengan
kudanya hingga dalam tempo pendek sekali, ia sudah
sampai di kaki bukt In Ciat Nia.
Tapi ini kali ia sampai justeru ia dapat keadaan ada
ramai, yalah ada kereta, ada sejumlah orang. Ia menjadi heran, segera ia turun dari kudanya. Ia menghampiri satu orang kepada siapa ia serahkan ia punya kuda.
"Kau hendak apa?" tanya orang itu.
Si gagu tidak dengar orang punya pertanyaan, ia tidak
mengarti, percuma itu orang ulangi pertanyaannya, ia
hanya tepok-tepok kudanya, lalu ia usapi orang punya
kepala, habis itu ia tinggalkan kudanya. Ia lari naik keatas bukit, terus sampai di Kiu Sian Koan dimana ia masuk
kedalam. Didalam kuil, beberapa orang sedang bicara dengan
berbisik bersama rombongan imam perempuan, seperti juga mereka itu sedang berselisih. Melihat demikian, si gagu nyelak ditengah, terus ia geraki kedua tangannya, ia-pun
berlompat-lompat. Terang ia tanya : "Dimana adanya si
burung hoo?"
Beberapa orang itu ada Ma Cie Hian bersama Lou Cie
Tiong dan Kie Kong Kiat. Kong Kiat punya luka sudah
sembuh, pada beberapa hari yang lalu ia ikut Lou Cie Tiong ke Tin-pa.
Sementara itu, Ceng Hian sudah sampai di Tin-pa, untuk jalankan titah gurunya guna cani orang Kun Lun Pay. Di Pau-kee-cun, pendeta ini tidak berhasil mencari keuarga Pau. Sebabnya adalah sejak Thio Cie Cay terluka dan Pau Cie Lim pindah dengan ajak anak isterinya, rumahnya Pau Kun Lun ditinggal kosong, semua dikunci. Ceng Hian mesti tanya penduduk kampung tentang keluarga Pau itu akan
tetapi ia ketemu orang-orang yang menggeleng-geleng
kepala. karena tidak ada yang ketahui ke mana perginya keluarga yang tadinya tersohor itu.
Itu hari Teng Hian mencari dengan sia-sia , hingga ia
mesti putar kayun didalam kota Tin-pa. Adalah malamnya, disebuah rumah makan, selagi ia dahar, ia ketemu seorang muda yang menyoren pedang, ketika ia ajak orang itu
bicara, ternyata dia itu ada Kie Kong Kiat, maka lantas saja ia tuturkan ia punya maksud kedatangan.
Mengetahui Pau Cin Hui berada di In Ciat Nia, Kong
Kiat tidak terlalu taruh perhatian, tetapi mendear Ah Loan berada di Kiu Sian Koan, ia girang bukan kepalang, segera ia ajak Ceng Hian menemui Ma Cie Hian dan Lou Cie
Tiong, buat ajak mereka ini segera menyusul.
Itu waktu sudah malam, mereka tidak bisa lantas
berangkat, dengan terpaksa Kong Kiat mesti bersabar satu malaman. Besoknya, pagi-pagi sekali, mereka sudah
berangkat. Tapi, ketika akhirnya mereka sampai di Kiu Sian Koan, dua Pau Kun Lun dan Pau Ah Loan sudah tidak
ada, dalam sibuknya, Kong Kiat minta keterangan dari
imam-imam perempuan dari kuil itu.
Sekalian imam itu memang tidak ketahui kemana
perginya Pau Cin Hui dan lenyapnya si nona yang terluka, mereka tidak dapat menerangkan. Mereka sendiri turut
merasa heran. Kie Kong Kiat tidak sabaran, ketika Ceng Hian ajak dia pergi mencari, mereka akhirnya ketemu rumahnya si
pemburu suami-isteri dimana mereka dapati mayat suami-
isteri itu berikut mayatnya Ngo Kim Piu, yang sudah rusak, dan kemudian lagi, Ceng Hian ketemui toya gurunya serta mayatnya guru itu, yang juga sudah rusak, tinggal dua
pahanya serta segundukan daging. Bukan main sedihnya
pendeta muda ini, ia tangisi mayat gurunya itu.
Selagi begitu, Kong Kiat lari kembli ke Kiu Sian Koan, ia kumpulkan semua imam perempan, ia tanya mereka, tetapi mereka itu tetap tak dapat memberikan keterangan. Itu
waktu, si gagu kebetulan datang
Keterangan yang bisa diberikan oleh rombongan imam
itu adalah halnya Siau Hoo datang, bertengkar dengan Pau Kun Lun, bentrok dengan Too Teng Su-kou, yang kena
dikalahkan, sesudah Too Teng pergi, malamnya Ah Loan
lenyap, lalu paginya, Siau Hoo datang pula. Penuda ini menjadi gusar dan sibuk sebab Si nona lenyap tak karuan paran. Ketika rombongannya Kong Kiat sampai, Siau Hoo
baru saja pergi.
Kong Kiat menjadi pusing kepala. Ia sangsikan itu
rombongan imam, ia percaya mereka ketahui duduknya hal tetapi tidak mau bicara, ia hendak gunai cambuk untuk
hajar dan kompes mereka, tetapi Cie Hian dan Cie Tiong mencegah. Adalah disaat cucunya Liong Bun Hiap hampir
kalap, datang si gagu, yang nyelak diantara mereka.
Darahnya Kong Kiat naik dengan tiba-tiba. Ia memang
lagi mendongkol dan
uring-uringan, dengan tidak
mengucap sepatah kata juga, ia angkat kakinya, ia tendang orang yang tidak dikenal ini.
Ah Hiap lolos dari tendangan, ia egos tubuhnya.
"Binatang kurang ajar!" Kong Kiat mendamprat. "Dari
mana datangnya binatang ini, yang mengacau disini?"
Terus ia membabat dengan pedangnya yang dihunus
dengan segera. "Sabar Kie Kou-ya!" Cie Tiong dan Cie Hian berseru,
untuk mencegah.
Hampir berbareng dengan cegahannya dua saudara ini
ada terdengar suara "Trang!" dan "Buk!" saling susul. Ah Hiap tidak terluka karena serangan hebat itu, sebaliknya, pedangnya Kong Kiat kena dirampas, dilemparkan
ketempat jauh, hingga jatuhnya menerbikan suara nyaring, menyusul mana, kakinya si gagu melayang, kepada orang
punya tubuh hingga lantas saja pemuda itu rubuh celentang.
Cie Tiong dan Cie Hian terkejut, sampai muka mereka
berubah pucat. Kie Kong Kiat merayap bangun selagi dua saudara itu
tercengang. Ia jerih sekarang, ia berdiri sambil mundur dua tindak, cuma karena ia penasaran dan gusar, ia mengawasi dengan mata melotot.
"Binatang, kau buat apa?" ia menegor pula. "Apa kau
punya she dan nama" Kau berani serang Kie Kou-ya?"
Ah Hiap tidak ketahui apa yang orang bilang, ia tidak
dengar, hanya, tunjuki ia punya jempol, ia tunjuk dirnya sendiri lalu ia perlihatkan kelingking, kemudian ia beraksi pula seperti burung terbang.
Melihat demikian, Kong Kiat jadi tambah murka
"Binatang, kau permainkan aku!" ia berseru. Ia maju
berbareng dengan kepalannya, akan menyerang pula.
Ah Hiap berkelit kesamping, ia tidak menangkis, hanya
ia goyang-goyang tangan sebagai tanda mencegah: "Jangan menyerang!" Kembali ia hunjuki jempolnya, ia tunjuk
dirinya, ia geraki kedua tangannya seperti burung terbang.
Ini kali, ia teruskan itu seraya perlihatkan gerakan tangan dan tubuh seperti gerak geriknya seorang perempuan.
Mau atau tidak, Kong Kiat tertawa.
"Apakah kau gila?" ia tegasi.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampai disitu, Cie Tiong majukan diri ia tarik itu baba mantu keluarga Pau.
"Sabar, " ia bilang. "Aku lihat orang ini gagu. Dia tentu ada punya urusan. Nanti aku yang ajak ia bicara."
Ma Cie Hian juga lantas maju, ia dekati si gagu, untuk perhatikan orang punya gerak-gerak tangan. Si gagu tunjuk satu imam perempuan, lagi-lagi ia telad gerak geriknya seorang perempun, kemudian ia miringkan tubuhnya,
seperti orang lagi rebah.
Pelahan-lahan, Cie Tiong bisa bade orang punya makud.
"Kelihatannya si gagu ini bermaksud baik," kata ia. "Dia datang untuk beritahukan bahwa Ah Loan sudah dibawa
pergi oleh satu imam perempuan. Aku percaya, imam itu
ada Too Teng Su-kou dari kuil ini ... "
Dugaan ini mauk diakal karena itu Kong Kiat jadi sabar pula.
"Cobalah kau bicara, dengan dianya," ia bilang pada Cie Tiong. Ia kerutkan alis. "Coba tanya Too Teng bawa Ah
Loan ke mana. Minta supaya dia suka antarkan kita pergi menyusul!"
Cie Tiong menurut, ia mainkan ia punya tangan, ia
tepuk orang punya pundak terus ia menunjuk pintu, akan akhirnya ia jalan beberapa tindak.
Melihat itu, Ah Hiap goyang-goyang tangan dan
kepalanya. Kembali Kong Kiat jadi gusar, "Terang dia hendak
ganggu kita," kata dia. "Pasti dia gagu berpura-pura! Kalau tidak, kenapa dia tidak pernah buka mulutnya" Kenapa dia tidak bersuara sedikit juga?"
"Sabar," Cie Hian bisiki kawan itu. "Aku lihat dia benar-benar gagu, dia punya bugee-pun liehay. Kita orang tidak kenal satu dengan lain, pastilah dia bukannya sengaja
datang untuk ganggu kita!"
Disaat itu, muncul Ceng Hian. Dia baru saja selesai
bakar mayatnya dia punya guru, dia punya air mata masih belum kering.
Ah Hiap sudah lantas lihat hweeshio muda ini, dengan
tiba-tiba ia maju mendekati, akan menjambak.
Ceng Hian kaget bukan main, mukanya menjadi pucat
dengan tiba-tiba.
Cie Hian dan Cie Tiong segera maju, untuk pisahkan
mereka. An Hiap tidak lebih daripada menjambak, lantas ia
tertawa pada hweeshio itu, kepada siapa ia-pun bicara
Jodoh Si Mata Keranjang 7 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau 2
Ah Loan berdiam.
Siau Hoo lihat orang punya kasut hijau, ia jadi ingat
kasut merah si nona, yang ia ketemukan diselokan, yang ia senantiasa bawa-bawa. Ia pernah duga si nona dibawa lari harimau, siapa tahu, dia telah ditolongi Tiat Tiang Ceng. Ia ingat pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, ia percaya
mereka bukannya orang-orang suci murni sejati, akan tetapi mereka pernah tolongi Ah Loan. Ia menyesal sudah desak engkong dan cucu itu hingga mereka tercerai berai, sampai si nona mencoba membunuh diri dengan kesudahan terluka parah itu. Tapi, apa ia bisa buat"
Akhirnya, setelah menghela napas, pemuda ini bicara
pula. "Baikiah, kau boleh berdiam disini," kata ia. "Aku nanti cari lain tempat untuk beristirahat."
Ah Loan beri dengar suara penyahutan yang pelahan
sekali. Siau Hoo pungut dia punya toya istimewa, lantas ia
bertindak keluar. Diluar, dibawah payon, ia berdiri diam sekian lama. Ia dengari suara berisik dan gowak dan lain-lain burung di langit, mega ada tebal, ada sisanya sinar matahari sore. Sang angin meniup-niup mendatangkan
hawa dingin sekali. Dengan kepala tunduk, bertindak
kepekarangan kuil, setiap kali ia menghela napas.
"Biar bagaimana, aku mesti obati Ah Loan hingga
sembuh," ia berpikir. "Sekarang sudah sore, tidak leluasa untuk aku meninggalkan tempat ini, tetapi besok, mesti aku cari obat yang manjur untuknya."
Itu waktu ia telah sampai di depan tembok, ia enjot
tubuhnya akan loncat melewatinya, setelah sampai diluar, ia tampak pepohonan yang lebat, yang gelap seperti malam saja. Disitu ada tiga ekor menjangan yang tadi, yang
bertindak kearah dia. Rupanya, sesudah bertemu beberapa kali dan Siau Hoo tidak mengganggu, binatang itu tidak takut lagi, malah yang tanduknya panjang menghampirkan untuk cium tubuhnya pemuda kita, siapa sebaliknya usap-usap orang punya tanduk.
-ooo0dw0ooo- Jilid 26 MENJANGAN jantan itu jalan di muka, dua yang
betina, jalan belakangan. Dari situ, mereka mendaki
tanjakan bukit, akan pergi ke arah barat.
Siau Hoo gunai toya bekas busur, akan menekan tanah
dan mengenjot tubuh, lantas ia mencelat naik ke atas
tanjakan, ketika ia injak tanah, ia tampak ketiga ekor menjangan sedang membiluk di tembok sebelah barat. Ia
heran, ia terus mengikuti mereka itu.
Diluar tembok sebelah barat itu ternyata ada dua buah
rumah tanah yang rendah dan tak berjendela, ketiga ekor binatang itu masuk kedalam rumah tanah itu, untuk
rebahkan diri. Adalah menjangan yang lelaki, yang masih saja suka awasi pemuda kita ini. Siau Hoo bersenyum,
hatinya lega. "Bagus!" demikian ia dapat pikiran. "Imam perempuan
larang aku bermalam didalam kuil, tapi sekarang aku bisa menumpang di kandang menjangan ini, dia pasti tak dapat mencegah. Didalam rumah tanah ini aku bisa menyingkir
dari hujan dan angin."
Lalu ia bertindak ke rumah tanah itu dan memasukinya
sambil berjongkok. Ia letaki toyanya di pinggiran, ia cabak segumpal rumput kering untuk dijadikan kasur, sesudah
mana segera ia jatuhkan diri dan duduk.
Ketiga menjangan itu tidak menyingkir karena orang
menumpang kepada mereka.
Tidak lama setelah ia numprah Siau Hoo merasakan
perutnya perih meminta makan, sedang bahu kirinya
mendatangkan rasa sakit yang hebat, sampai sukar untuk diangkat. Sekarang ia ingat bagaimana tadi ia sudah
dibokong oleh Too Teng Su-kou, si imam perempuan yang
liehay panah pelurunya. Ia tidak menyangka suatu apa dan datangnya peluru cepat luar biasa, ia telah kena terpanah.
"Benar-benar imam itu sangat menjemukan!" kata ia
dalam hatinya. "Dia telah tantang aku datang ke Bu Tong San, mestinya dia ada bersahabat dengan Cit Toa-kiam-san dari gunung tersebut rupanya dia memikir untuk gunai
tujuh imam akhli silat Bu Tong Pay itu untuk buat aku
tunduk! Mana aku ada punya kesempatan akan pergi layani mereka itu?"
Habis itu, Siau Hoo ingat Kie Kong Kiat. Ia seperti
bayangkan bagaimana orang she Kie itu mengacau diatas
Bu Tong San, bagaimana dia itu punya kelicinan dan
kecurangan juga, hingga ia kena dikepung dijembatan Pa Kio.
"Hampir jiwaku hilang karena perbuatannya yang
curang itu," ia berpikir. "Dia benar ada suaminya Ah Loan, tetapi Ah Loan sendiri sudah terangkan padaku bahwa ia tidak menyintai suaminya. Pernikahan mereka ada
pernikahan paksaannya si tua bangka she Pau, namanya
saja mereka suami isteri, kenyataannya tidak ada, dari itu buat apa aku pandang-pandang lagi padanya! Bukankah
aku kenal Ah Loan terlebih dahulu daripada dia dan kita ada bersahabat sejak dahulu sampai ini hari" Tadi-pun si tua-bangka bilang, dia tidak sudi kenal lagi cucu
perempuannya, maka kenapa aku mesti berpura-pura saja
dan tidak mau dekat Ah Loan!"
Kapan ia telah memikir demikian, kegembiraannya anak
muda ini terbangun, hingga untuk sementara, ia lupai
sakitnya ia punya bahu kiri. Ia terus buka bungkusannya akan keluarkan sepatu merah simpanannya dengan bawa
itu, ia lompat keluar dari kandang menjangan, ia lari
kembali ke dalam kuil. Baru ia sampai didalam, ia sudah dengar suara liangkeng yang pelahan sekali, ia tidak
perdulikan suara itu, ia menuju terus ke kamarnya Si nona.
Kamar ada gelap, sampai sukar kelihatan tubuh orang
yang rebah diatas pembaringan. Pemuda ini dengar
pertanyaan lemah dari nona itu : "Siapa?"
"Aku!" ia jawab dengan cepat. Diam-diam ia bergirang
karena ia dapati nona itu terang pikirannya. Ia-pun
mendekat lagi dua tindak. Terus ia kata : "Ah Loan, tidak sempurna untuk kau berdiam lama didalam kuil ini, baik kita berdaya agar lebih lekas kau pindah, maka aku pikir sekarang juga aku hendak turun gunung, buat pergi ke Un-sin-tin, guna mencari kereta, agar besok pagi aku datang menyambut kau. Mari kita pergi, ke Long-tiong, disana aku ada punya dua sahabat kekal, ialah Kimkah-sin Ciau Tek Cun dan Long-tionghiap Cie Kie.
Ah Loan merintih, ia tidak menyahuti.
"Selama sepuluh lahun aku merantau, aku mencari ilmu
silat, adalah dua keinginanku yang utama," Siau Hoo
lanjutkan. "Cita-cita ku itu adalah pertama menuntut balas untuk ayahku dan kedua supaya bisa nikah kau akan tetapi dua-dua itu, aku belum bisa wujudkan. Aku telah berhasil membengkuk engkongmu, aku sangat benci kepadanya,
tetapi aku lihat dia punya kumis jenggot dan rambut
ubanan, berbareng aku ingat kau bagaimana diwaktu masih kecil, kau tuntun tangan engkongmu buat ditarik, diajak berlari-lari, lantas aku jadi tidak tega hati. Jodoh kita-pun terhalang, kau sudah menikah dengan Kie Kong Kiat, diapun ada satu laki-laki, dari itu, tak dapat aku rampas kau dari tangannya dia itu!"
Sembari mengucap demikian, Siau Hoo rebah tangannya
si nona, untuk serahkan kasut merah yang ia bawa. Ia
tambahkan, "inilah kau punya kasut merah, yang kau buat ketingalan di Cin Nia, yang aku dapat menemuinya
sesudah lewat banyak waktu tetapi sia-sia saja aku cari kau.
Kasut ini aku telah bawa ke Cie-yang ke Tongkang, dan ke
Gie-long juga. Setiap aku lihat kasut ini hatiku duka, aku lantas teringat akan dikau. Sekarang aku sudah ambil
putusanku." Sampai disitu, suaranya jadi sungguh-sungguh sekali. Ia kata, "Liong Cie Khie adalah si penjahat yang telah bunuh ayahku, dia punya kepala aku sudah kutungkan sebatas batang lehernya dengan begitu selsailah sudah aku menuntut balas! Tentang engkongmu, aku berkasihan
terhadapnya yang sudah lanjut usianya, bolehlah aku kasi ampun dia punya jiwa, asal di belakang hari dia tidak
berbuat jahat pula, aku tidak nanti cari padanya. Kau bilang bahwa kau tidak cintai Kie Kong Kiat, karena itu, baik kau lekas-lekas lupakan padanya! Baiklah kita penuhi janji kita dibawah pohon yang-liu pada sepuluh tahun yang lampau, ialah kau jadi isteriku, lantas besok kita berangkat
meninggalkan kuil ini, disepanjang jalan aku nanti obati kau punya luka, bila nanti kita sudah sampai di Long-tiong, kita orang jalankan upacara nikah, buat jadi suami isteri yang sah. Untuk selanjutnya, aku berniat membuka sebuah piautiam. Mengingat aku punya bungee, aku percaya aku
bakal jadi piau-su nomor satu untuk Su-coan dan Siamsay!"
Siau Hoo begitu bersemangat hingga ia tertawa. Lalu ia tanya: "Bagaimana" Kau akur atau tidak" Lekas bilang!
Jawab saja dengan satu patah perkataan, secara terus
terang! Umpama kata kau membilang tidak mau, aku juga
tidak akan menjadi gusar, aku tidak nanti marahi kau!"
Rintihannya Ah Loan berhenti, tetapi ternyata ia sedang berpikir. Selang sekian lama, terdengarlah jawabannya yang pelahan dan lemah: "Aku setuju ... "
Siau Hoo tertawa pula, ia girang bukan main,
semangatnya terbangkit
"Ah, kenapa aku tak bicarakan ini sejak tadi?" ia
sesalkan dirinya. "Coba tadi aku bicara, sekarang tentu kita sudah berada dalam perjalanan ?"
Lantas ia hadapi pula nona itu.
"Bagus! Bagus!" kata ia berulang-ulang. "Sekarang juga aku akan berangkat ke Un-Sin-tin! Sekarang sudah malam, besok pagi-pagi tentu belum dapat kita orang berangkat, kecuali
kereta harus disewa, keretanya-pun mesti dipakaikan kasur istimewa untuk kau. Kau sedang sakit, kau tidak boleh terlalu terkocok-kocok ?"
Habis berkata begitu, Siau Hoo lantas saja bertindak
keluar. Ia pergi kependopo dimana ada belasan imam
perempuan sedang liamkeng. Ia bicara sama mereka itu,
bicara separuh mengancam, supaya mereka itu wajibkan
satu orang rawat Ah Loan dengan baik-baik, karena besok dia mau bawa kereta untuk papak dan sambut si nona.
"Jikalau malam ini ada terjadi suatu apa atas dirinya Ah Loan, atau pelayanan terhadapnya kurang sempurna, maka besok kau orang mesti tahu sendiri!" demikian ia punya ancaman. "Aku cuma mau berurusan dengan kau orang!"
Setelah itu, dengan gembira, Siau Hoo pergi akan turun gunung, tak perduli sang waktu sudah mulai malam dan
cuaca ada gelap. Ia telah pergi ke Un-sin-tin, untu cari kereta, buat disewa untuk besok pagi, untuk siapkan segala apa.
Tidak lama seberlalunya Siau Hoo, In Ciat Nia telah
terbenam dalam gelap gulita. Kawanan kampret sudah pada keluar dan berterbangan serabutan dalam pekarangan kuil.
Semua imam telah selesaikan sembahyang mereka, yang
terganggu oleh Siau Hoo, dan imam kepala telah tugaskan satu muridnya yang usianya tertua untuk layani Ah Loan.
Nona Pau berdiam dalam kamarnya yang tidak
berlampu. Dia punya pelayan tidur di luar, disamping meja pujaan Lu Cousu. Dilahir, nona ini menderita, karena, asal ia geraki tubuhnya, sedikit saja, luka di dadanya
mendatangkan rasa sakit sekali bagaikan ditusuk-tusuk. Ia menderita. Ia lelah, akan tetapi semangatnya telah
terbangun, Siau Hoo sudah nyatakan akan bawa dia, buat dijadikan isteri, dan ia jadi sangat girang. Hanya kapan ia ingat ia punya pengalaman yang paling belakang, ia punya hati menjadi ruwet pula.
Ah Loan bayangkan ia punya pengalaman di Cin Nia,
dalam sarangnya Ou Lip, setelah ia kena ditawan oleh
kepala berandalan itu. Ia sudah dimasuki kedalam penjara gua. Disitu, kemudian, ia telah dipenjarakan bersama-sama Kie Kong Kiat, yang-pun rubuh ditangannya Ou Lip yang
lihay piaunya. Ia sebenarnya jemu terhadap suaminya itu, akan tetapi belakangan rasa jemu itu pelahan-lahan
berubah. Diantara jeruji besi, pernah ia nyatakan kepada suami itu supaya mereka biarlah dibinasakan berandal, agar didunia baka, mereka jadi suami isteri, di waktu mana, ia pasti akan menyintai suami itu. Ketika itu, ia dapat
kenyataan, Kie Kong Kia telah hunjuk sifatnya laki-laki, hingga ia jadi lebih ketarik hati dan menyesal tadinya sudah berlaku tak sepantasnya kepada suami itu. Adalah diluar ia punya dugaan, itu malam ia sudah ditotongi oleh Kang
Siau Hoo, yang bertenaga kuat, yang sudah kempit ia
melalui jalan-jalan berbahaya. Ia kagum bukan main atas orang punya kekuatan dan kegesitan. Ia terharu melihat bagaimana Siau Hoo letaki ia dibatu, ketika pemuda itu suruh ia menunggu, untuk dia itu tolongi Kie Kong Kiat.
Saking terharu, Ah Loan sudah keluarkan air mata. Ia
anggap Siau Hoo ada sangat baik hatinya, bahwa pemuda
itu bukannya kejam, bahwa kebengisannya terhadap
engkongnya adalah disebabkan si engkong tadinya sudah
berlaku terlalu telengas.
"Siau Hoo ada satu laki-laki, memang tak bisa menjadi
karena menyintai aku, dia lupakan sakit hati ayahnya,"
demikian ia pikir terlebih jauh. "Terhadap aku sendiri, dia belum pernah lakukan apa juga yang tak selayaknya,
sebaliknya, akulah yang telah tidak perlakukan benar
kepadanya. Dia berbuat begini baik terhadap aku, sekarang dia hendak tolongi Kong Kiat, apabila sebentar kita orang berkumpul bertiga, apa aku mesti buat" Jikalau aku tetap ikut Kong Kiat, Siau Hoo pasti bakal merantau pula, ia tetap akan jadi musuh, sukar aku menemui ia pula. Apabila terjadi demikian, aku bisa mati menderita. Sebaliknya, apabila aku tinggalkan Kong Kiat, aku jadi sudah langgar adat-istiadat, aku sudah berlaku kejam, aku ada tak berbudi.
Bukankah Kong Kiat sudah berkorban untuk aku" Aku
lupakan budi, aku sia-sia Kong Kiat, sebaliknya, aku ikut Siau Hoo, satu musuh, dengan demikian apakah aku ada
satu manusia?"
Ah Loan jadi sangat bingung dan bersusah hati
kebetulan, diantara sinar rembulan, ia tampak solokan
dihadapannya, dengan tiba-tiba, timbul keinginan untuk habiskan saja ia punya jiwa ia ambil putusan dengan cepat.
Begitu ia menghampiri tepi jurang dan buang diri
kedalamnya. Jurang itu dalam belasan tumbak, siapa
terjatuh kedalam situ, dia mesti terbinasa. Tapi tidak demikian dengan Si nona, yang pandai silat, benar ia nekad, tetapi kaki tangannya tetap siap berjaga-jaga. Ia-pun telah nyemplung ke air hingga, ketika ia terjatuh ke air muncrat dan menerbitkan suara nyaring.
Didalam air, tanpa ia merasa, ia geraki kaki dan
tangannya, sedang mulutnya, ia tutup, dan napasnya, ia tahan. Beberapa kali ia tenggelam dan timbul, ia rasa ia punya pikiran telah sadar, cuma matanya terus meram.
Kemudian, ketika diakhirnya ia buka ia punya mata, ia lihat langit, ia lihat mega antara cahaya rembulan, ia punya tubuh rebah disamping batu, kedua kakinya masih
terbenam dalam air. Air-pun saban-saban menyampoki ia.
Ia lantas saja coba angkat kedua kakinya. Ia ada sangat berduka, hingga ia menangis seorang diri.
"Kenapa untuk cari mati ada begini sukar?" ia tanya
dirinya sendiri. Ia menangis pula.
Dalam kesunyian, kecuali suara angin, samar-samar Ah
Loan dengar panggilan berulang-ulang : "Ah Loan! Ah
Loan!" ia terperanjat, tapi pun, ia bersusah hati. Ia bisa duga siapa itu yang memanggil-manggil ia. Ia ambil
putusannya : ia diam saja. Ia membungkam, sampai sekian lama, sampai ia tak dapat dengar pula panggilan itu.
-o0dw0o- Bab 18 LAMA AH LOAN REBAH SAMBIL menangis,
pikirannya ruwet sekali akhirnya, ia coba berpikir juga.
"Tak dapat aku berdiam terus disini di mana aku, hidup tidak bisa, mati juga tidak bisa. Baiklah aku pergi kelain tempat. Umpama aku terpeleset dan jatuh mampus, aku
tidak harus menyesal. Atau, lebih baik lagi, di daerah Cin Nia ini aku bisa dapatkan kuil dimana aku bisa tumpangkan diri. Biarlah itu ada satu kelenteng, supaya aku bisa cukur rambutku, akan menjadi pendeta, hingga selanjutnya, aku tidak akan bertemu pula dengan manusia biasa "
Dengan air mata masih meleleh, Ah Loan merayap
bangun. Ia menahan sakit. Ia jalan dengan sukar, diair, diantara batu, sambil berpegangan. Ia jalan, ia berhenti, untuk beristirahat. Dengan pelahan-lahan, ia toh dapat jauhkan diri dari selokan. Ia jalan terus. Tanpa merasa, sang fajar datang. Ia sekarang berada disebuah jalanan gunung, ia punya pakaian basah anteronya, malah kasutnya-pun
lenyap sebelah. Kecuali luka piau dipundak, ia-pun baret disana sini.
Dengan pelahan, matahari naik semakin tinggi.
Kecuali burung atau binatang lainnya, disitu tidak ada barang satu manusia, akan tetapi hatinya Ah Loan tidak tenteram. Ia kuatir Siau Hoo atau Kong Kiat nanti dapat cari padanya, atau si orang jahat nanti ketemui pula
padanya dalam ia punya keadaan tidak berdaya itu. Maka, dengan paksakan diri, ia mencoba jalan terus. Ia menderita sekali. Kemudian ia berhenti di satu tempat rendah yang penuh pepohonan dan rumput. Ia rebahkan diri, untuk
beristirahat sambil sembunyikan diri. Ia punya air mata mengucur, napasnya-pun memburu. Lewat sekian waktu,
letihnya lenyap, tapi pikirannya, bertambah kalut.
"Paling benar aku bunuh diri!" ia ngelamun. "Bagaimana aku dapat hidup dalam dunia yang penuh
penderitaan ini?"
Ah Loan ada pakai ikat pinggang hijau, ia loloskan itu.
Ikat pinggang itu demak, kotor dan ketempelan rumput
halus. Ia angkat kepalanya, mengawasi keatas pohon angco, kemudian ia berbangkit, ia bertindak menghanipirkannya pohon itu. Baru ia ulur tangannya, atau daun pohon telah mengenai tangannya, ia merasa sakit. Tapi ia kertek gigi, ia mencoba membuat kalakan yang tergantung. Kemudian ia
awasi angkinnya itu sambil air matanya turun bercucuran.
"Aku masih begini muda, apa aku mesti binasa secara
begini?" ia tanya dirinya sendiri. "Apa tak kececva, setelah belajar silat, aku mesti habiskan jiwaku secara begini menyedihkan?"
Ingat demikian, lemah hatinya si nona hingga ia lantas duduk numprah pula. Kembali ia menangis, sampai sekian lama. Tetapi ia tidak dapat pikiran yang baik.
"Tidak bisa lain!" pikir ia akhirnya, dan ia ambil
putusannya. Ia berbangkit dengan segera, ia masuki
lehernya kedalam kalakan.
Berbareng dengan itu, dari tempat yang tinggi, terdengar teriakan: "He, jangan bunuh diri!"
Kaget Ah Loan, terus ia memandang ke atas. Maka ia
dapat lihat seorang yang umurnya kurang-lebih empat
puluh tahun, dibebokongnya ada tergemblok buntalan kayu dan rumput, ditangannya ada sebuah kampak.
Melihat orang itu, Ah Loan lantas loloskan kepalanya, ia turun dari cabang pohon. Ia-pun loloskan angkinnya, untuk dibawa pergi.
Orang diatas tadi, satu tukang ambil kayu bakar,
bertindak turun.
"Nona." ia memangil. "Kau tinggal di mana" Kau masih
begini muda, kenapa kau nekat?"
"Jangan usil aku!" sahut Ah Loan, yang cepatkan
tindakannya. Tukang kayu itu lekaskan tindakannya, ia dapat
menyusul ia ulur tangannya, akan cekal orang punya bahu.
Ah Loan coba lepaskan diri, ia menoleh.
"Kau jangan perdulikan aku!" ia kata pula. "Kau urus
saja kayumu! Aku mau berlaku nekat karena ada kesulitan, walau-pun kau mau, kau tak dapat tolong aku!"
"Jangan bilang demikian, nona," kata Si tukang kayu.
"Aku telah bertemu dengan kau, mana bisa aku diam saja mengawasi kau bunuh diri" Siapa tolong satu jiwa, dia
berbuat kebaikan untuk tiga penitisan ... Malaekat gunung ada matanya, apabila aku tampak kematian tetapi aku tidak menolong, di belakang hari, siang atau malam, aku bakal
mati jatuh dari atas gunung! " Jikalau kau ada punya
kesukaran, tuturkan itu padaku, aku nanti berdaya untuk tolong kau. Sebenarnya kau kenapa" Apakah ayah dan
ibumu pukul dan comeli kau" Atau " kau bercedera
dengan suamimu?"
Ah Loan anggap tukang kayu ini berhati mulia, ia
berhentikan tindakannya.
"Tak perlu untuk kau cari tahu urusanku." kata ia seraya susuti air matanya. "Umpama aku kasihkan keterangan
pada kau, kau juga pasti tak akan mampu berbuat suatu apa
... Ah, aku bukannya terdesak kemelaratan, atau karena dihajar atau dicomeli siapa juga, aku " aku memang tidak ingin hidup lebih lama ?"
Saking sedih, Ah Loan tunduk, ia menangis.
Tukang kayu itu heran, ia tercengang.
"Kau tinggal dimana?" tanya ia pula. "Mari aku antar
kau pulang. Umpama kau gantung diri di rumahmu, aku
boleh tak usah campur tahu lagi, tetapi disini, aku mesti wakilkan Malaekat gunung melindungi dia punya gunung
?" Ah Loan susut air matanya. Pelahan-lahan, pikirannya
berubah. "Rumahku terpisah jauh dari sini, kau tidak dapat
antarkan aku," berkata ia. "Dan di rumahku juga sudah
tidak ada orang lainnya. Apa kau tahu dimana didalam
gunung ini ada kelenteng pendeta atau imam perempuan"
Tolong kau antar aku ke rumah suci itu. Di belakang hari, tidak nanti aku lupai kau punya budi kebaikan."
Tukang kayu itu mengawasi. Ia duga orang perempuan
ini ada satu nona yang oleh orang tuanya sudah
ditunangkan kepada seorang yang bila bukannya terlalu
miskin, tentu romannya tidak mencocoki, atau dia telah dipaksa ayah-ibunya buat menjadi orang punya gundik,
hingga dia buron dari rumahnya buat bunuh diri atau
menjadi orang suci.
"Disini memang ada rumah suci ialah Tay Su Am." ia
menjawab kemudian. "Kuil itu berada belasan lie jauhnya dari sini, untuk pergi kesana kita mesti lewati empat
puncak, tetapi kau sendiri belum pernah pergi kesana, untuk pasang hio dan memohon anak " Pendek, begini saja lebih dahulu aku ajak kau kerumahku, nanti aku minta isteriku yang antar kau ke kuil itu. Kau setuju" Isteriku itu kenal baik semua orang suci disana."
Ah Loan manggut, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas tanya orang punya she dan nama.
"Aku Thio Loo Sit," sahut tukang kayu itu. "Disini aku sudah tinggal empat atau lima tahun, sejak kecil aku
menjadi tukang cari kayu bakar, malah beberapa kali aku pernah tolong orang-orang yang gantung diri atau yang
dilukai penjahat. Oleh karena aku baik hati, Malaekat
Gunung sudah hadiahkan aku nasi untuk didahar. Kalau
lain orang, apabila dia bukan terpeleset jatuh, dia tentu diganggu binatang buas. Sama sekali belum pernah aku
nampak halangan. Kau datang ke rumahku, nona. Boleh
jadi isteriku sudah matangi nasi, sehabisnya aku dahar, aku nanti suruh dia pergi antar kau ke Tay Su Am."
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Loan terima baik undangan itu, ia ada sangat
bersukur, kemudian ia ikuti si tukang kayu, yang ajak ia pergi kearah utara. Tidak jauh dari situ, mereka membiluk, melalui dua tikungan. habis itu, sampailah mereka di
rumahnya Thio Loo Sit. Itu ada sebuah rumah gua dikaki bukit, diatasan itu ada sebuah kuil kecil.
"Itulah San Sin Bio," kata Loo Sit seraya tunjuk kuil itu, kuilnya malaikat gunung. "San Sin-ya ada lengkam sekali, disiang hari, dia tidak muncul, tapi setelah datang sang malam, dia keluar dengan menunggang harimau suci, dia
ajak pembesar Leng koan pergi merondai gunung ... "
Ah Loan tidak bilang apa-apa hanya ia ikuti orang
masuk kedalam rumahnya.
Seorang perempuan umur kira-kira tiga-puluh tahun
kelihatan sedang duduk membuat sepatu. Ia heran kapan ia lihat suaminya pulang dengan ajak seorang perempuan
yang pakaiannya demak dan kotor, yang kasutnya tinggal sebelah.
Thio Loo Sit, yang telah letaki kayunya diluar dan
kampaknya di kaki tembok, lantas kata pada isterinya itu:
"Aku ketemu nona yang sedang hendak gantung diri setelah bicara padanya sekian lama, baru putusannya bisa diubah, tetapi dia tetap tidak hendak pulang ke rumahnya,
sebaliknya, ia ingin sucikan diri. Aku anggap, niatnya itu ada baik juga. Sekarang lekas kau masak nasi, habis dahar, kau ajak dia ke Tay Su Am."
Nyonya itu letaki perabot jahitannya, tapi ia duduk tetap ditempatnya, di kepala pembaringan tanah.
"Mana bisa aku antarkan dia?" katanya. "Kakiku yang
sakit masih belum sembuh, jalanan pegunungan ada
demikian sukar, mana bisa aku jalan kesana" Apakah kau ada punya uang untuk sewakan aku joli?"
Loo Sit melengak. Benar-benar ia lupa yang isterinya
sedang sakit kaki dan tentunya tidak bisa jalan jauh.
"Kalau begitu, tidak apa," kata ia kemudian. "Ini hari kau tidak bisa pergi, lagi dua hari tentulah bisa." Lantas ia menoleh pada Ah Loan seraya bilang: "Nona, kau duduk.
Isteriku sedang sakit kaki, tunggu sampai dia sudah
sembuh, nanti dia antar kau. Atau aku pergi ke kuil diatas gunung disana ada tinggal Yo Jie Piu-cu. Dia tingal seorang diri, tetapi dia ada berhati baik, dia bisa antarkan kau."
"Tadi malam Yo Jie Piu-cu tidak pulang!" berkata si
nyonya. "Sun Hek Cu, yang pulang dan Ma Put Na, bilang bahwa Yo Jie Piu-cu sudah pergi kegunung utara buat satu urusan, barangkali selang dua-tiga hari, baru dia kembali.
Untuk berbuat baik, kenapa kau mesti minta pertolongan lain orang" Apakah kau tidak bisa antarkan sendiri
padanya?" "Mana aku kenal jalanan?" Thio Loo Sit baliki. "Ketika dahulu kau pergi ke Tay Su Am dan sampai dua hari tidak pulang, aku kuatir, aku lantas susul kau, tetap aku pergi dari siang sampai sudah gelap, aku masih tak sanggup cari kuil itu ?"
"Dasar kau yang buta!" isteri itu menjebi. "Kuil aku
demikian besar, tihang benderanya ada begitu tinggi,
kenapa kau tidak bisa lihat itu?"
Lantas nyonya itu pandang Ah Loan.
"Kau tinggal dimana?" tanya ia. "Kenapa kau nekat dan
hendak bunuh diri" Kau begini muda, romanmu elok
kenapa kau bosen hidup" Orang semacam aku barulah tepat untuk gantung diri!"
Ah Loan menyahuti, terpaksa dengan mendusta.
"Rumahku adanya di Cie-yang," begitu penyahutannya.
"Cie yang itu terpisah beberapa ratus lie dari sini. Kemarin aku sampai disini, lantas kita ketemu " berandal. Semua anggota keluarga-pun mati dibunuh, ketinggalan aku sendiri yang bisa lolos. Karena itu, cara bagaimana aku bisa hidup sendirian saja?"
Nyonya Thio nampaknya terkejut, sedang Loo Sit sendiri lantas goyang-goyang kepala.
"Rombongan diatas gunung itu jadi semakin edan!"
berkata si tukang kayu.
Selana ini, kejadian-kejadian jadi makin banyak! Tadinya cuma membegal uang, sekarang setiap hari meminta jiwa
manusia! Lambat-laun mesti ada pebalasannya, Malaikat
gunung ada matanya!"
Sang isteri tidak gubris suaminya.
"Kau she apa?" ia tanya Ah Loan. "Kau sudah pernah
menikah atau belum" Ada siapa saja didalam rumahmu?"
"Aku she Kang ?" si nona jawab. "Aku tidak menikah.
Ayahku ada seorang dagang."
"Ah, kau harus dikasihani ... " kata nyonya Thio. "Nah, kau tinggallah disini untuk beberapa hari. Perkara makan, kau tidak usah kuatirkan. Lagi dua-tiga hari, apabila kakiku sudah sembuh, aku nanti antar kau ke Tay Su Am. Loosuhu disana ada sangat murah hati, dia punya kuil ada
besar dan ramai, jikalau kau pergi kesana, dia tentu suka terima. Memang, menjadi niekou ada terlebih senang
daripada menjadi iseri orang!"
Ah Loan manggut. Ia anggap tidak apa menumpang
sama orang she Thio ini, lagi dua hari, dia toh bakal pergi ke kuil dan akan cukuri rambutnya untuk menjadi pendeta.
Ia percaya, setelah masuk agama. akan lenyaplah semua
kesengsaraan atau penderitaannya. Akan tetapi ia ada
sangat berduka, tanpa merasa, air matanya mengucur turun.
"Sudah jangan nangis, jangan nangis," si nyonya
menghibur, agaknya ia sangat menaruh perhatian. "Boleh jadi dasar kau berbakat suci dari Pou-sat sengaja membuat
kau sedikit menderita, supaya gampang untuk kau diajak memasuki pintu Buddha ... "
Thio Lao Sit telah pergi keluar, untuk ikat rapi ia punya kayu.
"Kau lekasan masak nasi!" demikian suaranya, terhadap
ia punya isteri. "Si nona tentu sudah lapar."
Nyonya itu menurut, ia pergi keluar, akan ambil seikat kayu, maka dilain saat, ia sudah bisa nyalakan api didapur.
Ah Loan menghampiri dapur, ia niat garang pakaiannya
supaya lekas kering.
Nyonya Loo Sit tuang air kedalam kwali, ia masukkan
berasnya, kemudian sehabis tambahkan kayu, ia ambil
kipas, untuk kipasi api. Sembari bekerja, ia dapat lihat kakinya Nona Pau. Lantas saja ia tertawa.
"Nona, kakimu ada lebih besar sedikit, jikalau tidak, kau bisa pakai kasutku," kata ia. "Bagaimana, apakah sepatumu hilang?"
"Orang jahat kejar aku, aku sembunyi di solokan," sahut Ah Loan. "Sudah pakaianku basah semua, juga sebelah
sepatuku lenyap. Aku-pun dapat dua luka, bekas ditumbak penjahat, sukur luka itu tidak terlalu hebat, aku masih dapat menahannya."
"Oh kawanan berandal itu!" berseru Si nyonya.
"Lambat-laun, mereka bakal mampus!"
Selang tidak lama, nyonya rumah sudah masak matang
nasinya. Thio Loo Sit juga sudah selesai mengikat kayunya, ia masuk untuk dahar sambil jongkok ditanah. Nasi itu ada nasi perah dan tanpa sayuran lainnya kecuali lobak, tetapi Ah Loan, yang turut dahar, rasai itu wangi dan lezat sekali.
Habis dahar, Loo Sit pergi pikul kayunya untuk dijual, akan uang penjualannya dibelikan beras, isterinya pegang pula penjahitannya, sambil bekerja. Ia pasang omong
dengan Ah Loan, hingga si nona dapat perasaan. nyonya
itu ada baik hati, melainkan cara bicaranya ada kasar, sebagaimana biasanya orang gunung. Memang, nyonya
Thio belum pernah keluar dari gunungnya itu.
Segera Ah Loan merasa tenteram tinggal menumpang di
rumahnya si tukang kayu itu. Sekarang ia telah berubah banyak, sebagai akibat pengalaman dan penderitaannya itu.
Tadinya ia pandang dirinya kosen dan tak lihat mata dunia kang-ou. Sekarang ia berharap si nyonya lekas sembuh, agar ia lantas diantar ke kuil, untuk sucikan diri.
Nyonya Thio bicara, ia menjahit, tetapi agaknya ia
kurang tenterarn, walau-pun kakinya sakit, dan ikatan
kakinya kendor, beberapa kali ia turun dari pembaringan, sambil seret sepasang kasutnya yang butut, ia pergi keluar, diluar dengan bergantian, ia memandang ke selatan, ia
mengawasi ke utara, seperti ia berharap sangat datangnya suatu orang. -pun pernah sambil dongak memandang
berhala San Sin Bio diatas gunung, ia berseru memanggil-manggil : "Siau Gou-cu, kau dimana?" Tapi panggilan itu tidak memperoleh jawaban dan juga tidak ada orang yang turun dari gunung, untuk jalan dijalan pegunungan yang sangat sempit disitu. Kapan ia kembali ke dalam, dengan roman masgul, dengan uring-uringan ia mengutuk seorang diri : "Orang-orang tak mau mampus! Diwaktu gembira kau orang muncul, lantas di lain waktu, kau orang lupai
nyonyamu! Sampai belasan hari kau orang tidak pernah
muncul!" Diam-diam Ah Loan bisa menduga, nyonya ini mesti
ada punya kendak, bahwa mesti ada orang atau orang-
orang buruk, yang suka datangi rumahnya Loo Sit ini.
"Toa-nio, apa di dekat-dekat sini ada rumah-rumah
lainnya lagi?" ia tanya.
"Mana ada rumah orang lainnya?" sahut si nyonya,
dengan suara masih mendongkol. "Hanya diatas gunung, di berhala San Sin Bio ada beberapa bang ... " ia berhenti dengan tiba-tiba dan merubahnya jurusan : "Aku punya
saudara, yang juga menjual kayu bakar, bersama-sama Yo Jie Piu-cu, masing-masing sebatangkara, berdiam dalam
berhala itu, meskipun mereka tidak membegal, mereka toh bertulang bangsat, asal ada uang, mereka pergi berjudi di Kwan Ong Bio atau tenggak air kata-kata, sebelumnya
uangnya ludas, mereka tak sudi pulang!"
"Apa Kwan Ong Bio jauh letaknya dari sini" Apa itu ada kuil pendeta perempuan?"
Nyonya Thio menggeleng kepala, ia tetap masih
mendongkol, ia berdiam saja.
"Kwan Ong Bio bukan kuil perempuan tetapi biara
imam," terangkan ia kemudian, "dan letaknya jauh sekali dari sini, hampir-hampir dimulut gunung sebelah sana. Ini hari ada tanggal empat, Si tolol pergi bawa kayunya untuk dijual di sana!"
Habis mengucap demikian, kembali nyonya itu bertindak
keluar. Ah Loan jumput orang punya sepatu, untuk dilihat
bulak-balik. Sampai magrib, sia-sia saja nyonya Thio tunggui
datangnya orang atau orang yang ia berharap, ia masuk
kedalam sambil mencaci dengan kutukannya, terhadap
tamunya sampai ia tak perlihatkan tampang yang
menyenangkan. Tidak antara lama, Loo Sit pulang dengan pikulaunya
yang kosong, mukanya merah seperti bekas habis tenggak susu macan, tangannya menyekal sebungkus beras serta
serenteng uang tembaga. Begitu ia bertindak masuk, terus saja ia kata : "Sejak pagi aku menyangka kayu kita tak bakal ada yang beli, siapa tahu setelah memasuki kuil, aku dapati setengah batok beras serta dua ratus chie, habis dahar, aku ketemu si Siau Uy Sam, dia habis menang main, dia
pulangkan uangku yang dulu dia rampas. Nah, kau
terimalah uang ini!"
Ia benar-benar serahkan uang pada isterinya, sedang dari sakunya, ia keluarkan dua potong kue phia, yang ia
kasihkan masing-masing satu pada isterinya itu dan Ah
Loan, kemudian ia numprah ditanah untuk betistirahat.
"Apakah kau tidak lihat Siau Gou-cu didalam kuil?"
tanya nyonyaThio pada suaminya sambil dahar phia.
"Jangan sebut, jangan sebut-sebut dia!" sahut Loo Sit
seraya awasi isterinya, dengan tangannya digoyang-goyang.
"Besok aku tak pergi cari kayu. Biar si nona tinggal dahulu bersama kita. Lain hari saja kita bicara pula."
Nyonya Thio awasi suaminya dengan mata dibuka lebar.
"Eb, ada apakah, kau kelihatannya ketakutan?" tanya ia.
"Ini hari orang-orang yang datang ke Kwan Ong Bio
tahu semua!" sahut sang suami dengan pelahan. "Di Cui
Yau Hong sudah terjadi onar. Kang Siau Hoo dari Kun Lun Pay sudah binasakan Ou Toaciangkui."
Nyonya itu terperanjat sampai matanya mencilak.
"Eh, orang kun Lun Pay begitu liehay?" berseru ia
"Bukannya Ie Tay Piu juga telah terbinasa ditangannya"
Bukankah Ou Toa-ciangkui pandai mengunai gin-piau"
Kenapa ... ?"
Ah Loan sangat ketarik, hingga ia pasang kupingnya.
"Dasar harus mampus!" sahut Thio Loo Sit, "Sekalipun
Siau Gou-cu, Yo Jie Piu-cu, Ang Lian Khau-cu dan Pek
Mo Hou, semua mereka bakal peroleh pembalasan mereka!
San Sin-ya ada punya mata!" Ia goyangi tangan, ia
menambah: "Duduknya hal yang jelas aku tidak tahu,
begitu dengar orang bercerita, aku lantas singkirkan diri.
Aku takut ketemu orang dari atas gunung. Tunggu sampai sebentar Yo Jie Piu-cu pulang, dia tentu tahu segala apa, kau boleh tanyakan keterangannya ... Apa yang aku dengar, katanya Kang Siau Hoo itu ada Kun Lun Pay punya orang
paling liehay, puncak Cui Yau Hong yang demikian tinggi, sekali dia enjot tubuhnya, dia sudah bisa naik keatasnya.
Katanya dia ada punya ilmu dan wasiat! Piau dari Ou Lip tak berdaya, belum sampai piaunya mengenai, dia sudah
mendahului mampus sendiri!"
Ah Loan lihat Nyonya Thio diam dengan mulut
bungkam, diam-diam ia girang sendirinya. Dengan diam-
diam juga ia kagumi Siau Hoo. Tapi dilain pihak ia ingat suatu apa.
"Tempat ini dekat dengan Cui Yau Hong, Yo Jie Piu-cu
dan Siau Goucu yang dikenal perempuan itu tentu ada
begal-begal dari gunungnya Ou Lip, apabila mereka ketahui aku berada disini, aku terancam bahaya. Aku sedang
terluka, aku juga tidak punya senjata, cara bagaimana aku bisa lawan mereka itu" Aku gagal berlaku nekat apabila aku binasa ditangan mereka, sungguh kecewa ... "
Ingat demikian, Ah Loan segera memikir untuk angkat
kaki. "Rombongan itu kehilangan pemimpin, entah mereka
akan jadi sewenang-wenang bagaimana!" berkata pula Thia Loo Sit. "Aku kuatir, aku-pun sukar,untuk cari kayu lagi
disebelah itu aku dengar disini ada muncul seorang yang terlebih liehay dari pada Kang Siau Hoo," ia tambahkan.
"Dia ini ada satu pendeta, kemarin ada orang lihat dia Cong-hok-tin dimulut gunung sebelah Utara, katanya dia bertubuh jangkung dan besar, senjatanya ada sebatang toya, beratnya tiga sampai lima ratus kati. Tutur katanya Oy gu Hwie Loo Toa si penjual silat yang pandai menggunai
golok besar, yang biasa buka pertunjukan di Kwan Ong Bio sepuluh orang biasa tak nanti sanggup angkat toya itu.
Pendeta itu sedang minta derma, tidak lama lagi dia tentu bakal naik, ke gunung, maka keadaan diatas gunung
mestinya bakal jadi terlebih ramai pula. Pendek, semuanya delapan belas raja muda pemberontak bakal berkumpul
diatas gunung!"
Heran Ah Loan dengar keterangan yang belakangan ini.
"Engkong pernah omong padanya bahwa didunia
kangou ada satu Tiat Tang Ceng yang dianggap sebagai
pendekar luar biasa," pikir ia. "Dia itu ada punya tenaga yang sangat besar. Engkong belum pernah ketemu sama
pendeta itu, hingga ia orang belum pernah bentrok, tetapi engkong pesan semua muridnya untuk berlaku hati-hati bila bertemu sama dianya Pendeta yang Loo Sit sebut-sebut ini mesti dia adanya. Apa dia punya maksud datang kemari"
Pasti dia bukan untuk minta derma saja, rupanya dia
bertujuan mencari engkong atau Kang Siau Hoo "
Menduga demikian, Ah Loan jadi berbalik berduka.
Thio Loo Sit itu, habis bercerita, lantas menguap, ia
ambil selembar tikar rombeng dan ia gelar ditanah, terus ia rebahkan diri. Tidak terlalu lama, ia sudah lantas
menggeros. Nyonya Thio nyalakan pelita, ia tutup pintu yang ia
ganjel dengan sepotong batu besar. Nampaknya ia berduka
hingga sisa phia ia tak dahar habis. Ia duduk bengong saja, hingga ia tak gembira dan doyan bicara seperti siangnya.
Ah Loan hunjuk sikap yang tenang, ia mendekati pelita
dan lanjutkan penjahitannya nyonya rumah. Ruangan ada
sunyi kecuali gerosannya Lou Sit dan jalannya jarum. Oleh karena tangannya sakit, baru beberapa tusukan, si nona sudah menunda. Demikian seterusnya ia lewati sang waktu.
Nyonya Thio dari menjublak saja lalu rebahkan tubuh, ia tidur, maka itu Ah Loan pikir, untuk padamkan pelita, iapun niat tidur. Tapi hampir berbareng dengan itu, diluar rumah terdengar tindakan kaki yang pelahan sekali, disusul sama suara bunyinya kertas jendela. Cepat tetapi tidak bersuara, Ah Loan rebahkan diri.
Segera juga terdengar suitan, beberapa kali, atas mana nyonya Thio geraki tubuh.
Ah Loan berpura-pura tidur pulas.
Nyonya Thio berbangkit. Pada daun jendela kembali
terdengar suara.
"Fui!" terdengar suaranya si nyonya, suara mana
disambut dengan suara tertawa ditenggorokan dan orang
diluar rumah. Nyonya Thio turun dari pembaringan tanah, paling dulu
ia padamkan pelita, lalu ia geser batu ganjelan pintu untuk buka pintu dan bertindak keluar.
Ah Loan loncat dari pembaringan, ia menghampiri
jendela untuk pasang kuping, hingga ia dengar suara
nyaring. Rupanya si nyonya gaplok orang punya kuping,
atas mana orang itu seorang lelaki tertawa. Lalu terdengar mereka itu bicara dengan pelahan, akan kemudian
terdengar lebih jauh suaranya si orang lelaki: "Bukankah romannya sangat elok."
"Kalau dia elok, habis kau mau apa?" terdengar nyonya
Thio. "Apakah kau ketarik padanya?"
Masih nyonya Thio bicara, cuma suaranya tidak
terdengar nyata, kemudian apa yang Ah Loan bisa dengar adalah: "Dia terluka, pakaiannya berlepotan darah.
Tentulah itu semua ada buah pekerjaan kau orang diatas gunung."
Rupanya si orang lelaki kaget, ia berdiam tapi tak ama, ia kata: "Ah, jangan-jangan nona di dalam rumahmu ini ada nona Ah Loan, cucunya Pau Kun Lun ?"
Ah Loan kaget. "Bangsat itu kenali aku, jangan-jangan dia bakal
menerjang masuk ... " ia berpikir, "Kalau dia nerobos
masuk, inilah lebih baik, aku nanti sambut dia dengan
hajaran hingga rubuh! Ada terlebih baik lagi jikalau dia bekal senjata, aku boleh sekalian bunuh padanya seraya rampas dia punya senjata itu ... "
Segera si nona bertindak kebelakang pintu, untuk bersiap sedia.
Sampai sekian lama, dua-dua si lelaki dan si nyonya
tidak ada yang masuk, sedang suara makin pelahan, hanya paling belakang terdengarlah suaranya nyonya Thio: "Nah, pergi lekas! Lekasan suruh mereka datang kemari!"
Segeralah terdengar tindakan kaki c?pat dan berisik,
rupanya si orang lelaki pergi sambil berlari-lari.
Ah Loau merasa pasti bahwa kenalannya nyonya Thio
ada orang-orang jahat, bahwa orang-orang jahat itu mesti ada orang-orangnya Ou Lip, dan bahwa orang lelaki tadi pergi untuk memanggil kawan. Ia jadi sangat gusar, ia
lantas ambil putusan.
Nyonya Thio masih berdiam sekian lama diluar rumah,
baru ia buka pintu dan masuk. Dengan pelahan-lahan Ah
Loan hampirkan orang punya belakang, dengan, tiba-tiba ia hajar orang punya bebokong.
Sambil keluarkan jeritan dari kesakitan, nyonya rumah
rubuh hingga tubuhnya menimpa tubuhnya loo Sit, yang
sedang tidur nyenyak, hingga suami ini kaget dan mendusin sambil berseru.
Nona Pau tekan tubuhnya si nyonya, leher siapa ia
cekek. "Jangan berteriak!" ia pun ancam Lou Sit, "jikalau kau orang berteriak, aku nanti bunuh kau orang!" Kemudian, seraya kendorkan cekelannya, ia tanya nyonya rumah:
"Siapa yang barusan bicara sama kau diluar rumah?"
"Dia ada Lay Siau-cu, orangnya Ou Lip!" sahut nyonya
Thio dengan suara sukar, tubuhnya-pun gemetaran.
"Apa yang kau orang bicarakan" Bilang terus terang!"
"Dia omong tentang Pau entah apa Loan ... " sahut
nyonya itu sambil menangis. "Dia sekarang pergi untuk
panggil Ang Lian Khau-cu ... "
Ah Loan gusar hingga ia hajar orang dengan kepalan,
hingga nyonya itu menjerit sekali, lalu tak ingat akan dirinya, setelah itu, ia berbangkit.
"Kau orang ada punya tumbak atau golok atau tidak?" ia tanya Loo Sit, suaranya menyatakan ia masih sedang gusar.
"Tidak ada, ada juga kampak," sahut Loo Sit, dengan
suara gemetar, saking takut. "Nona, urusan mereka tidak mengenai diriku segala, perbuatan mereka aku tidak tahu, isteriku memang harus mampus, aku sendiri ada orang baik
... " "Aku tahu kau," sahut Ah Loan. Ia hendak pinjam orang
punya kampak, tapi segera ia urungkan itu. Ia ingat, dengan sebuah kampak tukang kayu, ia bisa buat apa, sedang juga, selagi ia sendiri terluka. sepatunya pula tinggal sebelah. Ia menduga, Ang Lian Khaucu tidak bakal datang sendirian
saja. "Maka paling benar aku segera singkirkan diri dari sini."
pikir ia kemudian.
Lalu, dengan tidak perdulikan Loo Sit dan isterinya. Ia lari keluar. Ia lihat sinar rembulan ada guram, awan tebal disana-sini, tapi ia jalan terus, ia lari tanpa perhatikan jurusan. Ia mendaki dimana ada jalanan terbuka, ia
melapay antara pepohonan oyot, dengan susah-payah, ia
sampaikan sebuah puncak. Ia menahan sakit, ia lawan
kelelahan. Dari atas puncak, ia memandang kebawah,
lantas ia jadi terperanjat. Kebetulan sekali, di kaki puncak ada terlihat beberapa obor, yang terbawa oleh dua-atau tigapuluh orang.
"Mereka tentu ada Ang Lian Khau-cu dan orang-
orangnya," ia menduga-duga mereka itu. Ia-pun segera
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara riuh dari mereka, cuma tidak terdengar nyata apa yang mereka bilang.
Anggap bahwa ia masih berada di tempat yang
terancam, Ah Loan kertek gigi, untuk manjat lebih jauh. Ia telah lewatkan banyak waktu ketika kemudian ia dapati
sang fajar lagi mendatangi. Ia ada sangat lelah, hingga ia berhenti akan duduk melenyapkan lelah atas sebuah batu.
Ia ambil cukup banyak tempo, baru ia merasa sedikit lega, napasnya-pun tidak lagi tersengal-sengal. Sang embun
membuat pakaiannya demak, ia punya luka juga
menyebabkan ia merasa sangat sakit, tapi yang hebat adalah sisa sepatunya sudah pecah, pada kakinya yang sebelah, kaos kaki juga pecah hingga kakinya mengeluarkan darah,
kakinya bengkak, sampai ia sukar berjalan. Tanpa merasa, nona yang tadinya kosen ini lantas kucurkan air mata dan menangis. Kembali ia bayangi penghidupannya dahulu dan sekarang, penderitaannya paling belakang, hingga timbul pula pikirannya untuk berlaku nekat ... Hanya sekarang, ia tidak punyakan ia punya ikat pinggang hijau, dan ia
mengerti juga, kalau mati disitu, penjahat bakal dapat cari ia punya mayat.
"Sungguh hina bila mereka dapati aku telah jadi mayat,"
pikir ia. "Dengan perbuatanku itu, ludaslah kehormatannya keluarga Pau ... "
Ah Loan menjublak sekian lama, kemudian ia rebahkan
diri diatas batu. Ketika kemudian matahari muncul dan
sinarnya mensoroti si nona, dia merasa tubuhnya menjadi hangat. Ia rebah terus, akan tetapi ia tidak berani tidur pulas.
Dalam sedikit tempo, Ah Loan punya pakaian demak
telah jadi kering seperti biasa, ia punya kesegaran-pun kembali. Ia paksa berbangkit, ia rapikan pakaiannya, juga kaos kakinya.
"Thio Loo Sit bilang di barat ada kuil pendeta
perempuan, baik aku pergi kesana," ia ambil putusan.
Sekarang nona ini mencari jalan turun, tindakannya
pelahan sekali. Ia memerlukan tempo lama akan sampai
ditempat yang rata dimana tapinya tetap ada batu gunung.
Ia awasi ia punya bayangan, sesudah itu baru ia menuju kearah barat. Ia berhasil melalui dua tikungan ketika
dengan tiba-tiba ia dengar suara suitan beruntun hingga ia kaget bukan main. Pada mulanya. Ia menyangka suara
burung tapi segera ia tampak di depan ia, diatas bukit, ada belasan orang yang semuanya bersenjata golok dan toya, segera berlari-lari turun kearah ia.
Itulah rombongannya Ang Lian Khaucu Khu Jie.
Dalam kagetnya, Ah Loan segera memutar tubuh, untuk
lari. Apa lacur, ia tidak dapat berlari keras, ketika baru menikung satu kali, ia sudah kena dicandak.
"Ah Loan, isteriku, kau masih hendak lari?" demikian ia dengar ejekan, yang disusul dengan ejekan kasar lainnya, hingga, dalam gusarnya, ia berhenti lari, ia putar tubuh.
"Aku benar tidak punya senjata, mustahil aku tak
sanggup lawan mereka?" pikirnya. Dan ia segera jumput
beberapa potong batu, satu antaranya dipakai menimpuk, bagaikan piau saja.
Berandal yang paling depan menjerit, kepalanya
borboran darah, darahnya mengalir kemukanya. Dia adalab Ang Lian Khaucu sendiri, si monyet muka merah, hingga ia jadi surup benar dengan julukannya itu.
"Serang, serang padanya!" ia berseru-seru, saking gusar.
"Bunuh padanya! Jangan tangkap dia hidup-hidup!"
Belasan berandal itu merangsek, tapi Ah Loan sambut
mereka dengan berbagai timpukan, hingga mereka jadi
repot, kemudian setelah batunya habis dan ia tak keburu memungut pula, ia rampas sepotong golok dari satu
berandal, siapa ia terus bacok hingga rubuh. Kemudian, iapun dapat rebut sebatang toya, hingga dengan toya dan
golok itu ditangan kiri dan kanan ia terus layani semua musuh.
Kawanan berandal terpaksa mundur. Atas anjurannya
Ang Lian Khau-cu, mereka punguti batu, akan turut buat si nona, hingga sekarang adalah Ah Loan, yang jadi ripuh.
Beberapa buah batu mengenai juga tubuhnya. Saking
kewalahan, ia lempar toyanya, ia lari seraya tengteng
goloknya. "Kejar. Kejar!" kawanan berandal berseru-seru, sambil
mereka mengudak.
Ah Loan lari terus, sampai ditikungan yang lain. Apa
celaka, ia terpeleset, tidak tempo lagi, ia rubuh terguling. Ia rasakan sakit pada kaki kirinya, seperti kaki itu patah sampai ia tak dapat digerakan lagi. Karena ini, ia tidak mampu lari lebih jauh. Ia jadi sangat kuatir, bingung dan penasaran, hingga tanpa merasa, air matanya mengalir
keluar. Ia putar tubuh seraya cekal keras goloknya.
"Aku mau lihat, siapa diantara kau orang yang berani
maju?" ia berseru kapan ia lihat orang sudah mendekati ia lagi kira-kira dua puluh tindak.
Ang Lian Khau-cu Khu Jie titahkan orang-orangnya
berhenti berlari, ia sendiri berdiri di depan mereka. Ia belum seka darah yang berlumuran, hingga mukanya nampak tak
keruan macam. Ia menuding dengan goloknya, ia
perdengarkan tertawa menghina.
"Nona manis, letaki golokmu!" kata ia. "Baiklah, dengan baik kau turut aku naik ke gunung, disana kau mesti
haturkan maaf kepada Looya, nanti aku perlakukan baik
padamu ... Jikalau tidak, segera kita buat habis jiwamu, untuk balaskan sakit hatinya kita orang punya ketua dan ketua muda!"
"Ya, kalau kau dengarlah perkataannya Khu Jie-ya kita!"
rombongan berandal itu turut perdengarkan suara mereka.
"Kau masih begini muda, apa benar-benar kau tidak berniat menikah seorang lelaki dengan siapa kau bisa hidup
beruntung?"
Ah Loan gusar, ia tak perdulikan ocehan itu.
"Siapa maju, dia mampus!" ia berseru pula. "Siapa
berani maju?"
Rombongan itu mengawasi Khu Jie, dia ini agaknya
berat akan serang si nona. Ia lihat orang punya pakaian rubat rabit, muka yang penuh air mata, ia merasa kasihan sambil berbareng tergiur hatinya.
"Lebih baik tangkap ia hidup-hidup!" akhirnya ia kata
pada orang-orangnya.
Belasan berandal itu mulai maju, yang bersenjatakan
toya disebelah depan, yang bergenggaman golok disebelah belakang. Mereka mulai menyerang.
Ah Loan tak dapat bergerak, tapi dengan oloknya, ia
coba tangkis sesuatu serangan. Tentu saja, dengan tak dapat berlompat atau berkelit, ia tidak bisa berbuat banyak. Segera juga beberapa toyoran atau kemplangan mengenai ia. Benar sedangnya ia sudah putus asa, saking tidak berdaya, dengan sekonyong-konyong dari atas puncak ada jatuh suatu
barang berat, rupanya seperti ular hitam. Jatuhnya
menerbirkan suara nyaring dan berisk, dan batu gunung
pada hancur dan meletik berhamburan.
Kawanan berandal kaget, mereka semua lari mundur. Ah
Loan juga rubuh sendirinya, ia jatuh numprah.
Menyusul jatuhnya benda itu, dari atas gunung kelihatan berlari-lari turunnya satu hweeshio atau pendeta yang
berewokan, tubuhnya tinggi dan besar.
"Rapat!" serukan Khu Jie pada orang-orangnya, untuk ia terlindung, kemudian ia pandang dengan bengis pada
pendeta itu, yang telah sampai di depannya, diantara
mereka. "Eh, hweeshio, kau buat apa?" ia menegor dengan kasar.
Pendeta itu tidak sahuti orang punya tegoran, ia hanya jumput benda yang tadi ia lemparkan dari atas puncak,
ialah ia punya toya besi yang besar dan berat, lalu dengan
tak mengucap sepatah kata juga, ia maju menyerang
kawanan berandal itu. Ia berlaku telengas, toyanya
mengemplang, menyamber dari kiri dan kanan. Diantara
suara beradunya senjata, juga terdengar jeritannya si orang-orang jahat, yang pada rubuh, tidak ada satu diantaranya yang sempat lari, karena hweeshio itu ngamuk dengan
hebat, bagaikan seekor singa saja.
Cepat sekali, belasan tubuh malang melintang, jiwanya
pada terbang melayang.
Ah Loan heran berbareng berkuatir.
"Jangan-jangan dialah Tiat Tiang Ceng si hweeshio
budiman yang luar biasa," pikir ia. Ia hanya tidak tahu kenapa orang ada demikian kejam. Dan ia tak tahu juga, orang ada bermaksud bagaimana terhadap dirinya.
Selagi nona ini bingung, satu pendeta lari kelihatan
berlari-lari turun. Dia ini ada kurus-kering dan kecil, umurnya baru kira-kira duapuluh tahun. Ketika dia sudah datang dekat, pendeta ini menghampiri si nona, untuk
rampas goloknya.
Ah Loan curiga. Ia coba berbangkit, untuk buat
perlawanan. Tapi tahu-tahu, orang berkelit kesampingnya, ia punya bebokong lantas ditotok, hingga sekejap saja
kakulah seluruh tubuh atau anggautanya. Ia cuma bisa
meleki mata, akan mengawasi. Ia insyaf, ia sudah jadi
korbanaya Tiam hiat-hoat.
Pendeta tinggi-besar itu bertindak kepada muridnya
kepada siapa ia ucapkan beberapa kata-kata, yang Ah Loan tidak mengarti, sudah bahasanya ada bahasa daernah lain, suaranya pun keras dan tak tedas. Atas itu si pendeta muda pegang tubuhnya si nona, untuk diangkat terus dipanggul dan dibawa pergi, dengan melewati belasan mayat ia
menuju ke barat.
Si pendea tinggi besar mengikuti sepintas-lalu, lantas dengan bawa toyanya sendiri, dia jalan terus mendaki bukit.
Pendeta muda itu jalan terus, sampai beberapa tikungan bukit, rupanya setelah duga si pendeia tinggi besar, atau gurunya sudah pergi jauh, ia berhentikan tindakannya, ia turunkan Ah Loan, tubuh siapa ia totok pula, tapi ini kali untuk buat orang bisa geraki kaki-tangannya dan tubuhnya juga.
Ah Loan sangka si pendeta ada orang buruk, ia lompat
bangun sambil terus mengawasi dengan bengis.
"Kaii orang apa" Kemana kau hendak bawa aku?" tanya
dia. "Jangan curigai aku," sahut si pendeta muda seraya ia
ulapkan tangan. "Kita tahu kau ada cucu perempuan dari Pau Kun Lun, kita sengaja datang untuk tolong kau.
Guruku adalah Tiat Tiang Ceng yang kesohor didalam
dunia kang-ou, aku sendiri ada Wan Keng Goan dari Wan-
kee-chung di Kanglam, tetapi sekarang sebagai pendea, aku bernama Ceng Hian. Aku ada bersahabat dengan Kang
Siau Hoo, belum lama ini, aku ketemui dia didistrik Tenghong. Aku tahu betul, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada sangat liehay, kau orang-oang Kun Lun Pay, semua
bukannya tandingan dia. Dalam hal kau orang ini,
kesalahan ada pada kau. Coba dulu kau tidak menikah
dengan Kie Kong Kiat hanya dengan Siau Hoo, tidak nanti dia satrukan kau orang Kun Lun Pay seperti semacam
sekarang."
Ah Loan berduka mendengar orang punya tegoran itu,
mukanya menjadi merah.
"Apakah kau tahu, sekarang ini Kang Siau Hoo ada
dimana?" ia paksa tanya.
Ceng Hian mengeleng kepala.
"Sekarang ini, aku tidak tahu," ia menjawab. "Ketika
aku bertemu Kang Siau Hoo, itu waktu kita orang berada di Tenghong di rumahnya Lie Hong Kiat dimana dia orangpun berpisahan. Sejak itu, aku belum pernah bertemu pula dengannya."
Ah Loan terperanjat akan dengar disebuinya Lie Hong
Kiat, salah satu musuhnya.
"Selama dua bulan ini, aku senantiasa ikuti guruku,"
Ceng Hian berkata lebih jauh. "Untuk sekian lama, kita orang berdiam digunung Hoa San. Sebenarnya guruku
sudah jenuh dengan penghidupan didalam dunia kangou, ia sudah pikir buat cari satu tempat dimana ia bisa sucikan diri, untuk ia didik terus padaku dalam ilmu silat, apa mau ia telah dengar kabar Kang Siau Hoo membuat onar di
Tiang an, seorang diri Siau Hoo rubuhkan Kun Lun Pay, iapun berhasil mengalahkan Kie Kong Kiat, hingga semua
orang bilang, Kang Siau Hoo ada enghiong nomor satu
untuk Kanglam. Mengetahui itu, guruku jadi tidak puas, ia ajak aku, dan dengan bawa-bawa toya besinya, ia turun dari Hoa San, untuk cari Kang Siau Hoo, guna lakukan satu
pertandingan yang memutuskan. Tatkala kita orang sampai di Tiang-an, kita dapat keterangan Kang Siau Hoo sudah pergi lagi, sedang Kat Cie Kiang bersama-sama Kie Kong Kiat dan kau telah pergi ke Hantiong. Kita juga lantas menuju ke Selatan. Baru dua hari yang lalu kita orang
sampai di Cong-hok-tin, itu dusun diluar mulut gunung
sebelah Utara. Dengan berpura-pura memungut derma,
guruku cari tahu halnya Kang Siau Hoo, aku sendiri dikirim ke berbagai tempat, guna buat penyelidikan. Aku tidak
kenal tempat disini, untuk satu harian, aku berputar-putar di ini daerah juga, tidak pernah aku dengar halnya orang she Kang itu. Belakangan aku dengar cerita hal puteranya Ou
Lip terbinasa ditangan kau, lantaran mana, kau kena
diawan oleh Ou Lip dan dibawa naik ke atas gunung. Juga ada orang lihat Kat Cie Kiang, dengan luka-lukanya, telah digotong dari mulut gunung Utara. Guruku gusar
mendengar hal kau ditawan, ia benci Ou Lip yang
dikatakan sudah culik orang perempuan, maka dengan
bawa toyanya, guruku pergi dengan niatan menolongi kau.
Karena malam dan gelap, untuk setengah malaman, sia-sia saja ia cari kau, ia tak dapatkan sarangnya Ou Lip.
Besokannya, ketika ia keluar dari gunung, ia dapat kabar hal Ou Lip pada itu malam binasa di tangannya Kang Siau Hoo, bahwa kau telah ditolongi dan dibawa lari oleh orang she Kang itu. Guruku jadi semakin gusar, ia anggap Kang Siau Hoo ada satu pemogor. Dia percaya, dengan rampas
kau dari tangan penjahat, Kang Siau Hoo ada kandung
masud busuk ?"
Ah Loan susut air matanya ia goyang-goyang kepala.
"Kang Siau Hoo bermusuh dengan keluarga Pau, tetapi
malam itu ia naik gunung dan tolongi aku, maksudnya ada baik," ia terangkan. "Melainkan aku ?"
"Itulah aku tahu," Ceng Hian potong. "Memang Kang
Siau Hoo ada satu hoohan sejati. Tapi guruku ingin sekali lakukan pertandingan yang memutuskan dengan Kang Siau
Hoo. Kemarin, satu hari lamanya kita cari Siau Hoo diatas gunung kita tidak berhasil. Tadi guruku ajak aku, untuk mencari pula, siapa tahu, ia pergoki kau sedang dikepung orang jahat."
"Aku berterima kasih yang kau orang, guru dan murid
sudah tolong aku." nyatakan Ah Loan. "Aku menang tahu
kau orang ada orang-orang gagah yang budiman, sekarang semua penjahat telah terbinasa tidak akan ada lain orang lagi yang bakal buat susah padaku, maka baiklah aku pergi susul
gurumu. Selanjutnya, bagaimana adanya persengketaan kau orang dengan Kang Siau Hoo, aku tak
ambil perduli pula. Dan aku hendak minta, tidak perduli kau orang bertemu siapa, jangan sekali-sekali kau orang beritahukan kemana aku sudah pergi!"
Habis kata begitu, Ah Loan putar tubuhnya, untuk
berjalan pergi, untuk mana, ia tidak pernah pikirkan tujuan.
"Kau hendak pergi kemana?" tanya Ceng Hian, yang
menyusul beberapa tindak.
"Tak perlu kau perdulikan kemana aku pergi!" kata Ah
Loan sambil menangis. "Aku tahu kemana aku mesti pergi
?" Ceng Hian menghalang.
"Itulah tak dapat kau lakukan," berkata ia. "Guruku
pesan aku, untuk antarkan ke suatu tempat. Jangan kau
anggap guruku ada seorang kasar. Benar dengan toya
besinya itu ia telah bunuh berapa banyak orang, akan tetapi dia punya hati ada pemurah, ia biasa berbuat kebaikan, untuk menolong pada sesamanya, menolong sampai di
akhirnya."
Ah Loan tercengang.
"Habis kau orang hendak bawa aku ke mana?" taya ia.
"Ke suatu tempat yang baik," Ceng Hian jawab, "Ke Kiu
Sian Koan di Ciat Nia digunung Bie Cong San. Itu ada satu kuil dari imam perempuan, imam tua disitu ada Too Teng Su-kou, Su-cie dari guruku, dia ini punya ilmu pedang ada liehay, tak ada disebelah bawahnya Kang Siau Hoo.
Barusan guruku kasi tahu padaku, sekalian antarkan kau ke sana, Too Teng Su-kou akan diminta suka datang ke Cin
Nia akan membantu ia mencari Kang Siau Hoo. Jikalau
Kang Siau Hoo dapat ditaklukkan, kaum keluarga Pau jadi
sudah lolos dari musuhnya, habis itu, kau akan diantar pulang kerumahmu."
Ah Loan menggeleng kepala.
"Aku tidak mau pulang!" ia nyatakan. Lantas ia tanya:
"Kenapa kau orang begitu musuhkan Kang Siau Hoo" Aku
tidak percaya yang kau orang dengan benar-benar hendak membantu Kun Lun Pay" Aku punya engkong tidak kenal
Tiat Tiang Ceng."
"Tabiatnya guruku ada luar biasa sekali," Ceng Hian
terangkan, "Dia tidak senang jikalau dalam dunia kang-ou ada orang yang terlebih liehay daripadanya. Long Tiong Hiap, Lie Hong Kiat dan Kie Kong Kiat, semua mereka itu ia tak lihat mata, tidak demikian terhadap Kang Siau Hoo.
Turut apa yang guruku dengar, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada warisannya Satu siucay tua, siapa tadinya cuma punyakan satu murid yang gagu. Si gagu itu ada gurunya adalah musuh besar guruku selama tigapuluh tahun, entah sudah berapa banyak kali guruku kena dibuat malu oleh
mereka itu. Karena adanya itu guru dan murid, walau-pun guruku ada liehay sekali, ia toh melainkan bisa malang-melintang di Su-coan Utara dan Siamsay Selatan, untuk ke Su-coan Selatan dan bagian luar dan Tong kwan, ia sampai tidak berani pergi. Sekarang siucay tua itu telah punyakan lagi Kang Siau Hoo, karena itu guruku jadi tidak dapat bersabar pula, ia telah memikir untuk binasakan Kang Siau Hioo, kemudian dia mau cari Siucay tua dan si gagu, untuk menuntut balas!"
Mendengar demikian, Ah Loan jadi berkuatir untuk
Kang Siau Hoo. Disebelah itu, ia insaf bagaimana
berbahayanya orang kang-ou, yang gampang sekali
memperoleh musuh dan permusuhan seperti tidak ada
habisnya. Karena ini, ia punya hati jadi semakin tawar. Ia benar-benar jerih.
"Kelenteng Kiu Sian Koan di In Ciat Nia pasti ada suatu tempat yang sunyi," kemudian dia berpikir, "dan disana aku terlindung oleh satu imam perempuan yang liehay,
pastilah aku tidak bakal terganggu orang jahat. Iniah
kebetulan bagiku, aku jadi bisa sekalian sucikan diri ?"
Oleh karena ia berpikir demikian, ia lantas nyatakan
pada Ceng Hian : "Aku suka pergi ke kuil imam untuk
sucikan diri, sekarang baik kau tunjuki jalanannya, supaya aku bisa pergi sendiri."
"Kuil itu berada di tempat sangat sunyi, tidak nanti kau dapat cari," Ceng Hian bilang. "Too Teng Su-kou juga ada seorang dengan tabiat aneh sekali, apabila kau pergi sendiri dia tidak bakalan terima padamu. Sekarang kau ikuti aku keluar dari mulut barat dari gunung ini, disana aku nanti sewa sebuah kereta, untuk kau naiki, aku sendiri akan ikuti kau secara diam-diam. Aku tanggung yang aku akan antar kau sampai ke Kiu Sian Koan dengan tidak kurang suatu
apa!" Ah Loan berdiam. Melihat orang bisa bekerja demikian
sempurna, ia jadi sangsikan pendeta muda ini.
Ceng Hian rupanya dapat bade orang punya kecurigaan.
"Kau jangan curigai aku," kata ia dengan hunjuk roman
sungguh-sungguh. "Kita orang-orang suci tidak punya
pikiran yang tak keruan. Mengenai kau, kita melainkan
hendak tolong padamu. Kau ada seorang perempuan, kau
juga sedang terluka, berdiam didalam gunung ini, kau
terancam bahaya. Disebelah itu, aku tahu benar kau telah dipersukar oleh urusannya kau punya engkong. Tidak
seharusnya engkongmu titah kau, seorang perempuan, pergi layani Kang Siau Hoo."
Ah Loan usut air matanya, sekarang lenyap ia punya
kesangsian, maka ia lantas menurut.
"Baikiah," bilang ia.
Ceng Hian lantas bertindak, menuju kemulut barat dari
gunung itu. Ah Loan ikuti ini pendeta, terus sampai diluar gunung, disebuah dusun. Disini Ceng Hian lantas cari kereta, yang ia sewa. Kepada Ah Loan ia serahkan dua puluh tail perak, untuk ongkosnya nona ini. Sesudah pesan pada tukang
kereta, hweeshio ini lantas ngeloyor pergi.
Ah Loan ada sangat berterima kasih pada Tiat Tiang
Ceng dan muridnya itu, orang-pun sudah tolong ia dengan sesungguh-sungguhnya hati. Hanya disebelahnya itu, ia
berkuatir untuk Kang Siau Hoo. Tiat Tiang Ceng
menggunai sebatang toya besi yang sangat berat dan Ceng Hian, Si murid, pandai Tiam-hiat-hoat, walau-pun Siau
Hoo lehay, mana dia sanggup layani itu guru dan murid
berdua" Maka ia jadi berduka.
Dihari pertama itu, kereta keledai jalan seantero hari, kapan sang sore datang, Ah Loan singgah disebuah
pondokan. Disini ia bicara sama isterinya tuan rumah, ia keluarkan sejumlah uang, untuk minla tolong dibelikan
pakaian dan sepatu bekas, untuk ia salin dan dandan, benar kemudian ia dapati pakaian yang kurang sepan, tetapi ini ada lumayan. Ia-pun anggap, sesampainya di Kiu Sian
Koan, ia bakal tukar pakaian lagi, ia akan pakai jubah suci.
Dihari ke dua, perjalanan dilanjutkan. Ah Loan tidak
kenal jalanan, ia antap si tukang kereta jalan sendiri.
Sesudah jalan dua hari setengah, pada itu tengah hari, Ah Loan lihat Tiat Tiang Ceng dan Ceng Hian mendatangi dari sebelah depan, untuk memapak padanya. Sesudah
mana, mereka hunjuki kemana tukang kereta mesti menuju lebih jauh, ialah dengan melintasi gunung, akan berbenti di
kaki bukit di tempat yang penuh dengan pepohon lebat,
hingga kereta tak dapat berjalan lebih jauh.
Oleh karena lukanya tidak terawat dan ia mesti lakukan perjalanan berhari-hari, Nona Pau menjadi lelah, ketika ia turun dari kereta, hampir-hampir ia sukar menindak, oleh karena itu, Tiat Tiang Ceng suruh Ceng Hian gendong
kembali nona itu, buat dibawa nanjak keatas bukit, hingga sampailah mereka di Kiu Sian Koan yang mencil sendirian dan sunyi.
Itu hari, Too Teng Su-kou tidak ada di kuil, dari itu Tiat Tiang Ceng titipkan Ah Loan kepada imam perempuan
yang urus kuil itu, untuk mana ia minta Ah Laon diberikan satu kamar sendirian serta si nona mesti dirawati, kemudian pendeta ini bersama muridnya turun gunung, akan pergi ke dusun dimana ada sebuah bio dimana mereka menumpang
tinggal. Berselang dua hari, Too Teng Su-kou pulang, bersama-
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama Tiat Tiang Ceng. Ah Loan dapatkan imam
perempuan ini ada beroman sangat bengis, mulutnya
lancip, matanya bundar seperti mata burung garuda, meskipun romannya tidak mengasih, dia bersikap ramah tamah
sekali. "Kau baik-baik rawat lukamu disini," demikian imam
itu. "Jikalau nanti kau sudah sembuh, aku akan ambil kau sebagai muridku. Tentang musuh kau ialah Kang Siau Hoo di Cie.yang dia telah bunuh Liong Cie Khie, dari sana dia buron, mungkin ke Su-coan Utara, tapi kau jangan kuatir, lambat atau laun, kita bakal balaskan sakit hatinya kau orang kaum Kun Lun Pay."
Ah Loan manggut, ia menyahuti, akan tetapi didalam
hatinya, ia berkuatir untuk Kang Siau Hoo.
Setelah itu hari, beberapa hari Tiat Tiang Ceng masih
suka datang. Adalah Cen Hian, yang belum pernah muncul pula. Setiap kali Tiat Tiang Ceng datang, dia tentu pasang omong dengan Too Teng Su-kou mengenai halnya Kang
Siau Hoo. Karena tempat mereka bicara ada disamping
ruangan Lu Cou-su, diruangan luar, dekat dengan
kamarnya Ah Loan, si nona saban-saban bisa dengar
pembicaraan mereka. Lama-lama Ah Loan-pun jadi
mengarti juga bahasanya Tiat Tiang Ceng, hingga ia jadi ketahui bahwa Ceng Hian sudah dikirim gurunya pergi buat penyelidikan ke Su-coan Utara, bahwa satu atau dua kali Ceng Hian pulang, terus dia pergi pula. Kabar yang didapat berbunnyi bahwa Kang Siau Hoo sudah membegal keluarga
pembesar negeni di Lo Su Nia serta telah membinasakan
bahwa hamba negeri pengiring keluarga pembesar itu.
Dua-dua Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou percaya
habis kabar yang didapat itu, karenanya mereka jadi sangat gusar dan sengit, ingin mereka bisa segera cekuk Kang Siau Hoo untuk lantas dibunuh mampus. Dengan adanya
peristiwa itu sebagai alasan, mereka jadi tak boleh ijinkan orang yang terlebih gagah itu hidup lebih lama pula dalam dunia kang-ou.
Sebaliknya daripada itu imam dan hweeshio, Ah Loan
tidak percaya kabar itu. Ia sudah ketahui baik sifatnnya Kang Siau Hoo, dia tahu pemuda itu bukannya seorang
kejam, jahat dan pemogor. Sebaliknya, mendengar hal
lukisan roman dan potongannya Kang Siau Hoo yang
katanya bemuka hitam dan gemuk, kepalanya besar dan
senjatanya golok, ia teringat kepala Liong Cie Khie, ia punya susiok, paman.
Oleh karena pikiran keselamatannya Kang Siau Hoo,
kendati-pun kuil ada tenteram, hatinya Ah Loan ada tidak tenang, apa pula kemudian ketka ia tak tampak pula Tiat
Tiang Ceng dan Too Teng, buat beberapa hari saja, ia jadi semakin kuatir.
Oleh karena ia dapat beristirahat hari lewat hari, luka-lukanya Ah Loan mulal menjadi sembuh, kemudian selang
hampir satu bulan, pada suatu sore, Tiat Tiang Ceng datang bersama-sama muridnya, dengan mereka-pun ajak seorang
tua yang sudah ubanan, ialah bukan lain dari pada Pau Kun Lun.
Ah Loan menangis sedih sekali kapan ia telah bertemu
dengan engkongnya itu, kemudian sesudah tuturkan ia
punya semua pengalaman, yang membuat hatinya tawar. Ia benitahukan sang engkong bahwa ia tidak ingin pulang lagi, bahwa ia hendak sucikan diri didalam Kiu Sian Koan,
untuk mana, tentu saja ia tidak sudi bertemu pula dengan Kie Kong Kiat.
"Ya-ya," ia-pun tambahkan, setelah ia utarakan cita-
citanya, "kau juga baik menyingkir ke gunung ini saja, jangan kau pergi kelain tempat agi, disini kau boleh
bersembahyang dan bersujut kepada Buddha yang maha
suci. Tentang aku, yaya jangan buat kuatir. Lagi beberapa hari, kapan Too Teng Su-kou pulang, aku akan salin
pakaian, selanjutnya, yaya tak usah cari-cari pula padaku, harap yaya tidak omong kepada siapa juga perihal aku
berada disini!"
Ah Loan menangis.
Cin Hui menjublek, ia bungkam.
Engkong ini punya pakaian juga robat-rabit tak keruan, kumis-jenggotnya
kusut seperti bulu domba putih,
ditubuhnya ada kedapatan tanda darah, sedang kulit
mukanya, yang biasanya merah tua, sekarang menjadi putih pucat. Pada muka itu-pun ada baret-baret.
Dengan sangat berduka, Ah Loan tarik tangannya sang
engkong. "Yaya, kau kenapa?" tanya cucu ini sembari menangis.
"Yaya hadapi perkara apa" Sekarang dari mana yaya
datang?" Pau Kun Lun menghela napas, ia ada sangat lesu, ia
goyang-goyang kepala, ia tidak lantas menyahuti.
Tiat Tiang Ceng sudah lantas keluar pula dari dalam
kamar, sesudah mana, kemudian Ceng Hian pegang
tangannya jago tua itu, untuk juga diajak keluar.
Mereka itu pergi kepekarangan, Ah Loan tidak
mengikuti, akan tetapi ia pasang kuping.
"Kang Siau Hoo telah dapat tangkap kau tetapi ia tidak bunuh padamu, kenapa?" demikian pertanyaan dengan
suara yang keras dari si pendeta bertoya besi.
"Melihat dia punya sikap," sahut Pau Kun Lun, selelah
ia menghela napas, "dia rupanya hendak bawa aku ke Tin-pa ke gunung dimana dulu aku bunuh ayahnya, disitu
barulah dia hendak bereskan aku. Mungkin secara demikian barulah hatinya bisa puas ?"
"Dan siapa yang lakukan kejahatan di Loo Su Nia itu?"
Tiat Tiang Ceng tanya pula.
"Itulah aku tidak tahu," sahut Cin Hui. "Hanya aku
berani tanggung dengan jiwaku yang tua ini, itu pasti bukan perbuatannya Liong Cie Khie!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 27 MENYAMBUNG itu, terdengar pertanyaannya Ceng
Hian : "Bagaimana dengan anaknya Cin Siau San itu
bocah, apa benar dia binasa di tanganmu?"
Cin Hui melainkan menghela napas ia tidak menjawab.
"Menurut katanya muridku," terdengar pula Tiat Tiang
Ceng, dengan suaranya yang mendesak, "di Su-coan Utara kau telah bunuh belasan bocah cilik, maka aku pikir, kau bukannya satu enghiong atau hoohan. Coba tadi aku tidak saksikan kau terlalu dikekang oleh Kang Siau Hoo, hingga aku merasa berkasihan terhadapmu, tidak nanti aku tolongi kau. Sekarang lekas bilang, bagaimana kepandaiannya
Kang Siau Hoo bila dia dibandingkan dengan aku Tiat
Tiang Ceng?"
Kembali jago tua itu menghela napas.
"Kepandaiannya Kang Siau Hoo benar-benar ada sangat
liehay," ia menyahut. "Aku Pau Cin Hui adalah seorang
yang tangguh, akan tetapi menghadapi dia, tak dapat tidak, aku mesti mengaku kalah " Suhu, tentang nama kau, sejak tiga piluh tahun yang lampau, aku telah mengaguminya,
akan tetapi, apabila kau bertemu dengan Kang Siau Hoo, pasti aku akan ... "
Tiat Tiang Ceng ada demikian mendongkol, hingga
sebelum orang bicara habis, ia sudah banting kakinya,
hingga menerbitkan suara keras, sampai pintu dan jendela pada tergetar.
"Ceng Hian, pergilah kau ke Tin-pa." berteriak ini guru.
"Kau cari dia punya murid supaya muridnya itu datang
menyambut dia!" Tapi selelah itu, ia kata pada jago tua itu:
"Aku telah tolongi kau dan cucumu perempuan, aku
hendak lihat bagaimana di belakang hari kau orang balas budiku! Sekarang aku hendak pergi cari Kang Siau Hoo,
nanti besok aku akan ajak kau turun gunung, untuk kau
saksikan mayatnya dia itu yang aku telah buat mampus!"
Sampai disitu, Ah Loan dengar suara tindakan kaki yang riuh, yang terus sirap, seperti juga semua orang sudah berlalu, ia lantas tutupi mukanya, ia menangis dengan sedih sekali. Ia sekarang mengarti tentang kesukarannya ia punya engkong, siapa ternyata baru ditolong dari tangannya Kang Siau Hoo.
Sesaat kemudian, Nona Pau dengar elahan napas
panjang diluar jendela. Ia kenali itu ada suaranya ia punya engkong, ia jadi semakin berduka, hingga ia menangis
tersedu-sedu. "Yaya, kau sangat telengas!" berkata ia. "Apakah yang
kau telah lakukan di Su-coan Utara" Kejahatan di Lao Sit Nia pasti ada perbuatannya Liong Cie Khie, apa perlunya kau masih lindung dia" Kang Siau Hoo tidak binasakan
yaya karena ia tak tega hati, kenapa sekarang kau pancing kemurkaannya Tiat Tiang Ceng untuk dia pergi bunuh
Kang Siau Hoo" Kau kejam, yaya " aku ?"
Sebenarnya Ah Loan hendak teruskan bilang: "Aku
punya penghidupan-pun bukankah telah dirusak oleh kau"
Kenapa dulu yaya paksa aku menikah dengan Kie kong
Kiat?" Akan letapi, sebelum ia dapat ucapkan itu, ia dengar engkongnya gedruki kaki dan terus bentindak pergi. Ia
berhenti menangis, karena ia merasa heran.
"Kenapa tabeatnya engkong berubah jadi begini rupa?"
tanya ia pada dirinya sendiri. "Tentang perbuatannya
diwaktu muda, aku tidak tahu, akan tetapi ada sialnya yang aku tahu benar, engkong ada berhati murah. Kenapa baru saja keluar merantau pula, lantas ia jadi kejam begini"
Apakah mungkin, karena usianya yang tinggi, ia jadi
linglung?"
Berbareng dengan itu, Ah Loan-pun berkuatir engkong
itu menjadi nekat, timbul pikirannya yang pendek, atau dia akan turun gunung, akan bantu Tiat Tiang Ceng pergi
kepung Kang Siau Hoo.
Tidak ayal lagi, nona ini keluar dari kamarnya. Ia pergi kepekarangan dimana ia tidak lihat engkong itu, maka ia terus pergi ke depan, dan mana ia-pun pergi kebelakang, karena di depan, Cin Hui-pun tidak ada. Ia mulai sibuk. Itu waktu, sang malam telah datang bersama cuacanya yang
gelap, sedang disitu ada banyak pepohonan yang lebat,
sampai-pun sinar bintang-bintang tak dapat menembusnya.
Sebaliknya, sang angin menyebabkan pohon-pohon cemara
menerbitkan suara berisik.
Dengan air matanya meleleh turun, Ah Loan kembali
kekamarnya. Itu antero malamn, ia tidak dapat tidur, ia punya pikiran tidak tenteram, ia berkuatir dan berduka.
Selama satu malam itu juga Pau Cin Hui luntang lantung saja digunung itu. Ia tahu Tiat Tiang Ceng pergi cari Kang Siau Hoo tetapi ia tak tahu, apa hweeshio itu sanggup
lawan si anak muda yang gagah. Ia ada sangat menyesal
yang ia sudah kesalahan membinasakan Cin Siau Hiong. Ia merasakan tegoran cucunya barusan, ia berduka.
"Jikalau muridnya lihat Tiang Ceng berhasil mengajak
Thio Cie Cay atau Ma Cie Hian datang kemari, apa aku
ada muka akan menemui mereka?" demikian ia berpikir.
"Umpama kata mereka ajak aku pulang, tetapi selama
Kang Siau Hoo masih belum mati, dia tentu masih belum
mau sudahi urusannya dengan aku ?"
Dengan pikiran yang kusut Cin Hui terus jalan sana dan jalan sini tanpa tujuan, sesudah ia lelah, ia berhenti dibawah sebuah pohon cemara, ketika ia rebahkan diri, ia kepulesan. Ketika ia mendusin, hari sudah bukan pagi lagi.
Untuk tangsel perutnya yang lapar, ia munguti buah
cemara, ia kepe kulitnya dan dahar itu.
Tidak antara lana datanglah tiga ekor menjangan, yang
mendekati ia, akan cium ia berulang-ulang, nampaknya
binatang itu jinak sekali, maka itu, ia cabuti rumput, ia kasih binatang itu makan sambil usap-usap tanduknya.
Dengan cara demikian sambil main sama menjangan itu, ia lewatkan temponya. Selama itu, ia tidak lihat Tiat Tiang Ceng, dan Ceng Hian-pun tidak kembali bersama ia punya murid atau murid-murid. Ia menjadi heran, ia bersangsi.
"Apa bisa jadi pertempurannya Tiat Tiang Ceng dengan
Kang Siau Hoo masih belum ada keputusannya?" ia
menduga-duga. "Atau bisa jadi Tiat Tian Ceng telah rubuh ditangannya Siau Hoo dan ia tak ada mudah untuk balik
kemari" Apa mungkin beberapa muridku, yang berada tidak terlalu jauh dari sini, seperti Lou Cie Tiong, Ma Cie Hian dan Thio Cie Cay, pada tidak sudi mengaku lagi aku
sebagai guru, hingga mereka tidak suka datang menyambut aku?"
Cin Hui terus berada dalam kesangsian, kebingungan,
kekuatiran dan kelaparan juga. Ia-pun tidak berani kembali ke kuil, untuk menemui cucunya, buat minta makan.
Adalah selagi Pau Kun Lun berada dalam kedudukannya
yang sulit itu, Kang Siau Hoo dapat mencari ia, dan kapan jago tua ini tengok itu musuh, ia kaget bukan kepalang, semangatnya seperti terbang, tidak ayal sedikit juga, ia lari ke arah kuil, ia masuk terus keruangan Lu Cou-su, akan ketemui cucunya.
"Siau Hoo datang! Dia kejar aku. Tolong aku ?"
demikian ia mohon pada cucunya itu. Sembari berkata
begini, dengan tangan gemetaran, engkong ini cekal
tangannya sang cucu.
Ah Loan kaget, ia berduka berbareng mendongkol.
"Kang Siau Hoo, pikiranmu terlalu cupat!" kata ia
seorang diri, dalam hatinya. "Engkong sudah lari ke ini gunung, sudah tinggalkan pergaulan, kenapa kau masih
susul ia dan hendak membinasakan juga?"
Selagi Ah Loan berpikir demikian, Siau Hoo menggedor
pintu, maka Si nona lantas pergi keluar, dengan kesudahan seperti apa yang kita sudah ketahui, nona itu merampas orang punya pedang, untuk dipakai menikam diri, walaupun Siau Hoo mencegah , ujung pedang dari tenggorokan
lalu mengenai cada. Tadinya Ah Loan pikir, dengan beri keterangan pada engkongnya, sang enkong nanti mengerti duduknya hal dan suka maklum, diluar dugaan engkong itu gusar dan pergi meninggalkan dia, hingga dia jadi
bertambah berduka, sedang itu waktu lukanya ada hebat, terpaksa ia antap Siau Hoo bawa ia kedalam kamar untuk rawat ia. Disini ia jadi dapat ketika akan buka rahasia hatinya kepada si anak muda, siapa juga utarakan isi
hatinya kepadanya.
Kesuiltan tidak berhenti sampai disitu. Apa mau Too
Teng Su-kou datang dengan terus satrukan Siau Hoo, yang ia bokong hingga pemuda itu terluka peluru besi, hingga keduanya jadi bertarung dengan kesudahan imam itu kalah dan mesti angkat kaki sambil menantang musuhnya
bertanding pula nanti di Bu Tong San.
Demikan dengan Ah Loan, sesudah Siau Hoo berangkat
ke Un-sin-tin, akan cari kereta, ia terbenam sendirian dalam kusutnya pikiran, hingga ia ngelamun dan bayangkan
pengalaman atau penderitaannya yang maha hebat, tetapi diakhirnya pikirannya toh terbuka juga hingga ia jadi hanya berduka dan bergirang berbareng. Ia-pun punyakan harapan besar, bagaikan pohon yang sudah kering mendapat air dan jadi segar pula.
"Semua tidak ada yang salah kecuali aku ... " demikian ia putuskan. "Aku cintai Siau Hoo, mengapa aku tidak
utarakan itu, kenapa aku manda yaya nikahkan aku dengan Kong Kiat" Coba aku pisahkan diri dari kaum Kun Lun
Pay, aku cari Siau Hoo dan nikah padanya, bisa jadi ia tidak sampai desak yaya ... Ah, kenapa dulu aku tidak
berpikir begini?"
Malam itu, sehabisnya semua imam bersembahyang dan
masuk tidur, Kiu Sian koan jadi sangat sunyi, apa yang masih terdengar adalah sampokan angin antara pohon-pohon cemara dan kucing hutan. Sekali pun si imam yang rawati si nona sudah tidur menggeros. Cuma Ah Loan
sendiri yang masih belum tidur, karena rasa sakinya
mengganggu padanya. Justeru itu, diluar Too Teng Su-kou muncul pula di kuil itu.
Too Teng ini, seperti diketahui ada sucie saudara
seperguruan dan Tiat Tiang Ceng si Pendeta Aneh. Dia
gagah seperti sang sutee, ia biasa merantau tak ketentuan, benar dia bukan satu imam cabul, akan tetapi ia tak pantang mencuri atau membunuh orang. Dua-dua su-cie dun sutee
ini pernah lakukan kejahatan, tetapi juga benar, sering merela lakukan perbuatan-perbuatan mulia. Melainkan ada satu cacat luarbiasa dari mereka, yalah mereka tidak
senang, mereka tidak mau ijinkan ada lain orang kangou yang terlebih gagah daripada mereka, atau mereka mesti mensatrukannya.
Siok Tiong Liong ada satu jago yang ke sohor, ia
menjagoi sejak umur muda, pada sebelumnya Tiat Tiang
Ceng dan Too Teng muncul, tapi setelah ia berusia lanjut kedua imam itu desak padanya hingga terpaksa ia pindah kelain tempat, untuk jauhkan diri.
Cuma ada satu orang, yang kedua imam tidak sanggup
ganggu, sebaliknya merekalah yang dibuat malu. Dia ini
ada satu siucay tua, yang bugeenya liehay sekali, yang tak ketentuan tempat kediamannya. Orang tua ini tidak berniat membinasakan mereka sebagaimana pernah dia menasehati
mereka itu, katanya : "Kendati kau orang sudah malang
melintang di dunia kangou dan pernah juga membunuh
sejumlah jiwa. Tapi karena kau orang juga pernah lakukan berbagai kebaikan, kebaikan itu sukalah aku pakai tebus kejahatan kau orang, aku suka mengasi ampun, hanya
mulai saat ini selanjutnya kau orang mesti masuk kedalam gunung untuk sucikan diri, jangan lagi kau orang hidup dalam dunia kang-ou."
Itu adalah kejadian selang dua atau tiga belas tahun yang sudah. Ketika itu dimulai Tiat Tiang Ceng berikan janjinya, akan tetapi didalam hati ia dan sucienya tidak puas, malah mereka memikir untuk menuntut balas.
Siucay tua itu sering muncul diantara Cin Nia dan Ngo
Bie San, karena itu terpaksa Tiat Ciang Ceng berdua
perbataskan diri. Berbareng dengan itu mereka berdaya
akan menerima murid, supaya kemudian murid-murid itu
bisa digunai sebagai kaki tangan mereka untuk mereka
lawan musuh besar itu.
Begitulah sejak sepuluh tahun yang lalu Tiat Cian Ceng dapati Ceng Hian sebagai muridnya, dan belakangan ia
dapatkan juga Tio Hek Hou, Too Teng Su-kou sebaliknya
belum mempunyai murid, ini disebabkan ia ingin dapati
murid perempuan serta juga yang sudah mengarti silat.
Untuk lebih gampang dididik. Dia dapatkan cuma dua
orang perempuan, yang berderajat utuk jadi muridnya, ialah Pau Ah Loan dan Cin Siau San, tetapi mereka ini masing-masing ada cucunya Pau Kun Lun dan nona mantunya
Long Tiong Hiap, ia tahu mekipun ada jalan muridnya,
mereka tidak bakal ikuti ia terus menerus. Tak dapat ia gunai tenaga mereka, ia batalkan niatnya itu. Adalah
sekarang setelah Kun Lun Pay runtuh, Ah Loan terlunta-
lunta malah nona itu ditolongi Tiat Tiang Ceng dan dibawa ke kuilnya, lalu timbul pula keinginannya akan ambil nona itu menjadi muridnya. Ia pulang ke kuilnya justeru Kang Siau Hoo-pun datang untuk tolongi si nona.
Kang Siau Hoo adalah musuh besar Too Teng, melulu
disebabkan Siau Hoo ada muridnya loo-sinshee, si siucay tua, ia benci orang punya murid ini, justeru ini pemuda disangka olehnya sudah membinasakan Tiat Tang Ceng, ia punya sutee, hingga mau membalas sakit hati. Ia sudah
berhasil bokong musuh itu, siapa tahu ia sendiri kena
ditotok sampai ia rubuh tidak berdaya, busurnya
dibengkoki, goloknya dipatahkan. Ia anggap semua itu ada hal yang memalukan ia, hingga sakit hatinya jadi bersusun tindih. Ketika ia angkat kaki, ia tidak pergi jauh, ia sembunyi diatas sebuah pohon cemara. begitu lekas ia lihat Siau Hoo turun gunung, ia segera kembali ke kuilnya, terus saja ia datangi Ah Loan.
Nona Pau sedang rebah sambil merintih ketika ia dengar tindakan kaki.
"Eh, kenapa kau kembali?" tanya si nona sebelum orang
memasuki kamarnya. "Baik kau jangan sewa kereta, aku
rasai lukaku ada hebat sekali, barangkali itu tak dapat disembuhkan, hingga aku tak dapat ikut pergi. Kau
tetapkan hati, aku sekarang sudah berkeputusan tetap, aku tak menyesal lagi aku akau jadi isterimu!"
Ah Loan menyangka pada Siau Hoo, ia mengucap
demikian tanpa tunggu orang muncul, siapa tahu sebagai jawaban, ia dengar suara tertawa aneh yang disusul dengan jengekan : "Kemarin ini kau nyatakan ingin menjadi imam, sekarang kau hendak menikah! Malah kau hendak sia-siakan suamimu! Oh, perempuan cabul!"
Tidak terhingga adalah kagetnya sinona, apa-pun setelah ia kenali orang punya suara dan lihat orang punya roman.
Too Teng ada punya bahan api siong-hio, kapan itu ditiup menyala, maka tertampaklah imam ini punya roman bengis dan mata yang mengancam sinarnya. Ia lantas saja
menangis. "Su-kou, kau tidak tahu hal-ikhwal kita ?" ia berkata.
"Denan Kang Siau Hoo, aku ada punya perkenalan sejak
sepuluh tahun yang lalu ... "
Too Teng tidak menjawab, hanya tertawa mengejek,
terus ia cari dua lembar tambang, sesudah padamkan
apinya ia menghampiri si nona, untuk ringkus padanya.
Ah Loan rasai orang punya tangan yang berat dan kuat,
sudah begitu, ia sedang terluka, tak berdaya ia ketika imam itu ringkus ia dengan keras, malah saking sakit, ia menjerit, kemudian ia lupa akan dirinya!
"Aku nanti bawa kau pergi!" kata si imam dengan sengit, walaupun orang sudah pingsan. "Aku nanti nikahkan kau!
Setiap kali kau nikah, aku nanti bunuh suamimu, supaya kau bisa menikah terus dengan suami yang baru!"
Imam ini tidak dapat kendalikan diri, ia hinai si nona itu yang tidak berdaya. Kemudian ia angkat orang punya
tabuh, yang ia beri naik atas panggulannya, terus ia bawa pergi dari kuilnya itu turun gunung.
Ah Loan pingsan, ia tidak tahu segala kejadian atas
dirinya, ketika belakangan ia sadar dengan pelahan-lahan, ia dapatkan dirinya masih diringkus dengan keras, ia tetap tergendol imam perempuan yang bengis itu. Hebatnya
setiap kali Too Teng menindak yang mana berarti tubuhnya turut bergerak, ia berjengit, karena ia merasakan sakit skali.
Too Teng sendiri tidak pernah lalai, jalannya makin lama makin cepat, dia berlari-lari, agaknya dia berkuatir.
Beberapa jauh ia sudah dibawa pergi, Ah Loan tidak
tahu, hanya tiba-tiba, ia dengar tindakan kaki berlari-lari dan seekor kuda disebelah belakang ia, habis itu, Too Teng berlompat ke pinggir jalanan.
"Bur!" demikian satu suara.
Ternyata imam itu sudah loncat ke air yang tidak dalam, tapi kedua kakinya toh terendam di air. Ia dibawa pergi ke kolong jembatan dimana imam ini umpatkan diri.
"Jangan bersuara!" imam itu-pun mengancam, dengan
bengis. Hal 26 dan 27 Hilang/robek!
" minta banyak tempo. Nyata orang lelaki itu ada liehay sekali, baru tiga gebrak, ia sudah hajar si imam perempuan hingga rubuh, tatkala dia merayap hendak berbangkit,
orang itu sudah mendahului mendupak padanya, hingga
tidak tempo lagi ia rubuh pula, tubuhnya bergulingan
beberapa kali. Selagi orang bergulingan, si orang lelaki samber Ah
Loan, untuk dikempit, kemudian dengin gesit dia lompat naik keatas kuda, yang segera ia kasih kabur meninggalkan si imam perempuan.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Loan kaget dan tidak mengerti, ia merintih bahna
kesakitan. Ia punya napas-pun mengorong.
"Siapa kau?" ia tanya. "Apakah kau ada orang yang
Kang Siau Hoo suruh tolongi aku?"
Pertanyaan itu tidak dapat jawaban, itu orang lelaki diam saja, kudanya terus dikasih larat. Terang sekali dia ada bertenaga sangat kuat dan sebat, akan tetapi kempitannya ada enteng. hingga si nona tak usah merasakan sakit.
Sekejap saja, kuda itu sudah kabur melalui tiga atau
empat puluh lie. Selama itu, tidak pernah orang itu tukar ia punya tangan, rupanya sama sekali ia tidak merasa pegal.
Tempo cuaca sudah menjadi terang betul, barulah itu
orang letaki berhentikan lari kudanya, ia loncat turun, akan letaki tubuhnya Ah Loan diatas rumput, diberi turunnya secara sangat hati-hati. Kemudian, ia keluarkan sebuah pisau kecil, yang ia pakai memotong putus tambang yang meringkus nona itu, hingga dilain saat, Ah Loan sudah
merdeka. Sembari bekerja, orang itu menggoyang-goyang tangan,
mengasi tanda supaya Nona Pau tidak buka mulutnya.
Ah Loan ada sadar betul. Ia lihat orang berusia empat-
puluh lebih, tubuhnya tidak tinggi. air mukanya tidak
terlalu terang, kuncirnya digulung diatas kepalanya. Orang itu punya baju ada pendek, sudah pecah disana-sini, juga kotor, sebagaimana celananya, yang juga pendek, yang
asalnya ada hitam, tapi karena tua dan terkena lumpur, warnanya jadi tak keruan macam mirip dengan warna
bajunya. Dia punya kedua kaki, yang berlepotan lumpur, ditutup dengan sepatu rumput. Dengan dandanannya itu,
dia adalah seorang desa yang melarat atau satu bujang
tukang nyalakan api diwarung tegalan.
Masih orang itu tdak bicara, ia hanya antap Ah Loan
beristirahat, hanya kemudian, ketika dari kejauhan
tertampik ada kereta mendatangi, ia angkat tubuhnya si nona, untuk diberi naik atas kudanya.
Ah Loan diam saja, bagaikan mayat, ia antap dirinya
dinaikkan atas bebokong kuda, ia juga tidak bicara. Ia melainkan tahu, kuda dikasi jalan dengan pelahan.
Lama juga mereka sudah ambil tempo, akhirnya mereka
sampai disatu tempat di mana segera terdengar suara anjing
menggonggong. Ah Loan tidak tahu, berapa lie sudah
dilewati. Mereka sekarang memasuki sebuah kampung,
kedalam suatu tempat dengan pekarangan yang lebar.
Disitu ada sejumlah orang yang menghampiri mereka.
"Eh, apakah artinya ini" Entah dari mana toaya ini
bawa-bawa orang perempuan?" demikian Ah Loan dengar
orang saling tanya, agaknya mereka itu merasa heran.
Orang itu mengarti bahwa orang herankan dia, dia cuma
tertawa, dengan tidak buat suatu apa, ia jalan lerus, sampai di depan sebuah rumah tanah, ia berhenti, ia angkat
tubuhnya nona itu, untuk dibawa masuk kedalam rumah
itu, yang mirip dengan gubuknya si orang ronda.
Didalam gubuk ada sebuah pembaringan tanah, diatas
itu ada tergelar selembar kasur, keatas itu, Ah Lan diletaki.
Sampai disitu, orang ini awasi Si nona,
Orang-orang tadi telah datang berkumpul, mereka
bergerumuan dimuka rumah tanah itu terus sampai
didalam, dimuka pintu, yang menjadi penuh.
Ah Loan merintih, tapi sekarang ia menanya.
"Aku tahu kau ada orang baik, tapi tempatmu ini tempat apa?"
Orang itu tidak menjawab, hanya dengan jari tangannya, ia tunjuk ia punya hidung, ia perlihatkan ia punya jempol, disusul sama dipentangnya, digerakinya kedua lengannya, akan akhirnya, ia tunjuki ia punya kelingking.
Ah Loan tidak mengarti, ia menjadi heran sekali.
Orang banyak, yang menyaksikan itu, pada tertawa
berkakakan. "Dia ada seorang gagu, dia tak dapat bicara," kemudian seorang tua beritahukan Nona Pau. "Dia juga ada tuli.
Melainkan wan gwee kita yang mengarti ia punya
pembicaraan dengan gerak-gerakan tangannya itu."
Ah Loan jadi tambah-tambah heran.
"Bagimana Si gagu tolong aku" Kenapa?" demikian ia
tanya dirinya sendiri.
Si gagu mengarti yang orang tak mengarti dia, agaknya
dia sibuk, maka kembali ia geraki ia punya jari-jari tangan dan kedua lenganya itu, sekali ini, ia bersikap seperti menelad burung terbang, hingga kelakualnya itu membuat semua orang yang ada pegawai-pegawai disitu ada tertawa terpingkal-pingkal, hingga mereka tak dapat tutup mulut mereka "
Sementara itu ada orang yang telah pergi memberi kabar pada wan gwee, hartawan yang menjadi tuan rumah atau
pemiik dan kampung itu, yang rumahnya besar dia ini
sudah lantas muncul. Ia sudah tua sudah kumisan,
tangannya menyekal sebatang tongkat, pakaiannya dari
sutera, romannya ada manis budi.
Kapan Si gagu lihat wan-gwee itu, segera ia bicara pula dengan kedua tangannya. Ia pentang kedua tangannya,
yang ia geraki kembali seperti burung terbang. lalu ia tunjuk Ah Loan seraya terus bersikap sebagai orang memukul
tambur dan meniup terompet.
Hartawan tua itu mengawaai, ia berpikir, akhirnya ia
manggut-manggut dan tertawa.
Lalu, sambil tunjuk si gagu itu, ia bertanya pada si nona :
"Dia ini gagu tetapi ia ada satu hiap-kek, orang gagah yang hatinya mulia. Dia-pun ada punya kepandaian yang liehay.
Aku sendiri ada Gan Pek, pada dua puluh tahun yang lalu, aku ada memangku pangkat. Pernah aku menjadi Too-tay
di Bu-hu-too di propinsi An hui. Dua kali sudah Si gagu ini
tolongi aku punya jiwa. Dia benar gagah dan mulia. Baru belakangan ini dia datang mencari aku disini. Menurut dia punya gerak-gerakan tangan itu, aku duga dia ada punya satu saudara seperguruan, entah suheng atau sutee, dan namanya barangkali Hoo atau Au, dua-duanya berarti
burung. Dia datang ke Siamsay Selatan ini, untuk cari
saudaranya itu. Aku beri dia tinggal disini. Sering-sering dia pergi dan kembali. Barusan dia hunjuki gerakan memukul tambur dan meniup terompet, rupaya dia beritahukan aku bahwa kau ada isterinya dia punya saudara itu karena
mana, dia jadi sudah bawa kau kemari. Aku cuma
menduga-duga, nona, dugaanku itu benar atau salah, harap kau tidak buat kecil hati."
Hartawan ini berdiam sesaat, lantas ia melanjutkan.
"Aku lihat kau terluka, nona, siapa sudah aniaya
padamu?" tanya ia. "Nona asal dari mana?"
Sekarang Ah Loan mulai mengarti. Rupanya Si gagu ini
adalah suheng, saudara tua dalam perguruan, dari Siau
Hoo. Dan ia menjadi sangat berduka, hingga ia lantas saja menangis. Ia-pun merintih. Tapi hartawan itu tanya ia, ia mesti menjawab. Karena ada hal-hal yang ia tak dapat
dijelaskan, ia bicara dengan ringkas.
"Aku benar ada isterinya Kang Siau Hoo," ia aku
dengan terpaksa. "Satu penjahat perempuan sudah begal
aku, baiknya ada si gagu ini yang tolongi aku ditengah jalan. Aku tidak punya rumah sekarang, aku ingin sekali bisa bertemu dengan Kang Siau Hoo ... "
Gan Wan-gwee menghela napas, kelihatannya ia sangat
menaruh perhatian, ia merasa berkasihan terbadap nona ini.
"Apakah kau tahu dimana adanya Kang Siau Hoo
sekarang?" ia tanya.
"Boleh jadi dia berada di kuil Kiu Sian Koan di In Ciat Nia," sahut Ah Loan sesudah dia merintih.
Gan Wan-gwee berdiam. Ia tidak kenal kuil itu dan
gunungnya, ia jadi tidak bisa memberkan lukian apa-apa pada Si gagu. Tidak ada jalan lain, ia lantas geraki kedua tangannya, seperti sayap burung terbang, lalu
ia menjambret-jambret ke arah udara.
Si gagu mengerti tanda-tanda itu, yalah ia ia disuruh
pergi cari kang Siau Hoo, maka ia lantas manggut-manggut dan segera keluar pula dari rumahnya, nampaknya ia sangat gembira.
Wan-gwee sendiri terus perintah satu orangnya masuk
kedalam, untuk panggil beberapa bujang perempuan guna
mereka layani dan rawat nona Pau.
Tidak lama nona Wan-gwee bersama nona mantu dan
cucunya perempuan-pun muncul, akan tengok itu tamu
perempuan. Nyonya rumah dengan manis-budi anjurkan
Ah Loan rawat diri baik-baik.
"Ah Loan ada sangat berterima kasih untuk orang punya
kebaikan itu. Akan tetapi disebelah itu, ia merasakan
lukanya menjadi terlebih hebat akibat penganiayaannya
Too Teng dan ia mesti tergendol dan rebah melintang diatas kuda, yang bawa ia larat, maka itu, sambil merintih, ia kucurkan air mata.
Itu waktu, Si gagu telah pergi untuk bersantap pagi.
Beberapa chungteng, pegawai wan-gwee, puji ia sambil
unjukkan jempolnya. Ia kelihatannya girang ia sampai
tepok-tepok dada. Habis dahar, ia pergi tuntun kudanya, akan keluar dari kampung itu, Gan-kee-chung, dengan ikuti jalan besar ia kabur ke barat.
Si gagu ini tidak bisa bicara, ia juga tidak kenal mata surat, akan tetapi, pada dua puluh tahun yang lampau, ia telah ikuti gurunya merantau, karena itu, ia kenal baik berbagai propinsi dan jalanannya, malah ia tahu juga,
gunung mana ada beberapa pay atau tugu. Disebelah itu, ia pernah jadi sebagai bayangannya Kang Siau Hoo.
Di hari ke dua setelah Siau Hoo turun gunung, Si gagu
telah dapat tugas dari gurunya. Loo-sinshe itu, Si siucay tua, ketahui sampai dimana kepandaiannya Siau Hoo,
muridnya yang baru itu, dan ia-pun kuatirkan muridnya ini nanti gunai kepandaiannya untuk main gila. dari itu ia ingin menilik. Untuk ini, ia kirim si gagu. Ketika ia berikan titahnya, ia ambil secabang pohon, dengan itu ia corat coret ditanah, membuat peta jalanan. Si gagu lantas mengarti bahwa ia dimestikan kuntit suteenya.
Buat belasan tahun si gagu kenal sang sutee, akan tetapi sampai segitu jauh ia tidak tahu she dan namanya Siau
Hoo, hanya pernah satu kali, diwaktu mereka lihat burung hoo terbang melayang-layang, Siau Hoo hunjukkan huruf
itu pada suhengnya, ia tunjuk burung itu, terus ia tunjuk dirinya sendiri, maka barulah Si gagu tahu, sutee ini
bernama Hoo. Si gagu tidak tahu setelah seberangi sungai, Siau Hoo
telah beli kuda, ia jalan dengan ikuti penghunjukan
gurunya, tapi karena ia berjalan kaki, walau-pun ia jalan cepat, ia tak dapat candak suteenya itu. Inilah sebabnya, baru setengah bulan yang lalu, ia sampai di Gan-kee-chung, dirumahnya si wan-gwee she Gan bekas too tay yang
tinggal di distrik Seng-kau. Ia hargai toa-tay itu, yang ada satu pembesar jujur, sedang juga, adalah si too-tay yang paling mengarti ia punya gerak-gerakan tangan. Baru dua hari ia tinggal bersama Gan Wan-gwee, lantas ia lanjutkan perjalanan, menuju ke Tin-pa. itu adalah tempat yang
gurunya utamakan dalam corat-coretnya. Sampai didaerah ini, ia lantas singgah, ia segera mulai cari Siau Hoo. Ia sudah pergi ke Pau-kee-cun, ke Bie Chomg San, In Ciat Nia juga, tidak lantas ia berhasil mencari ia punya adik
seperguruan. Sebaliknya, ia dapat lihat Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou. Ia kenal itu dua su-cie dan sutee, yang dimatanya adalah orang-orang galak dalam kaum kangou,
ia lantas perhatikan mereka, hingga ia curigai mereka. Ia percaya, mereka hendak lakukan sesuatu, ia segera pasang mata, ia ingin dapati Tiat Tiang Ceng punya perbuatan
buruk, supaya ia bisa mendahului turun tangan.
Demikian datanglah itu hari, yang Kang Siau Hoo
sampai bersama-sama Ngo Kim Piu dengan mengiringi Pau
Kun Lun sebagai orang tawanan, dan justeru Siau Hoo
pergi meninggalkan kawan dan musuhnya itu dirumahnya
si pemburu suami-isteri, Tiat Tiang Ceng yang senantiasa intip Siau Hoo sudah lantas datang, untuk turun tangan.
Hweeshio ini tolongi Pau Cin Hui sambil dilain pihak
bunuh Ngo Kim Piu dan suami-isteri pemburu itu. Kejadian ini, si gagu ketahui dengan baik.
Si gagu-pun menonton dari tempatnya sembunyi ketika
Siau Hoo layani berkelahi pada si pendeta yang tenaganya besar. Ia kagumi ia punya sutee itu, yang kepandaiannya ada sempurna. Dan tempo Tiap Tiang Ceng kena dihajar
rubuh, jatuh menggelinding kebawah gunung, adalah ia
yang susul pendeta itu, yang ia bunuh, sesudah mana, ia ambil seekor kuda, untuk dibawa pergi. Ia tidak pergi jauh, ia buang kepalanya Cie Khie disatu selokan, kuda itu
ditambat, di tempat yang tersembunyi, lalu ia kembali, akan awasi terlebih jauh sepak terjangnya ia punya sutee.
Siau Hoo berhasil menemui sepatu merahnya Ah Loan,
pemuda ini telah kawal si nona didalam kamarnya, selagi si nona terluka, semua itu si gagu dapat lihat dengan matanya
sendiri. Karena ini juga, ini suheng sangka nona itu adalah isteri atau tunangannya sang sutee. Diam-diam ia tertawai laga-lagunya sutee itu.
Satu hal membuat si gagu ini gusar terhadap sang sutee.
Yalah ketika Siau Hoo totok rubuh pada Too Teng Su-kou.
Ia anggap perbuatan itu ada semberono, ada menyalai
pesan dari guru mereka untuk tidak sembarang gunai Tiamhiat-hoat. Di saat ia pikir untuk berikan hajaran pada sutee itu, ia justeru saksikan Siau Hoo telah tolongi si imam perempuan, kejadian ini membuat amarahnya reda, apa
pula ia lantas lihat sesudah keluar dari kuil, Too Teng umpatkan diri diatas pohon cemara, hingga ia menduga,
perkara bakal ada ekornya. Maka itu, ia terus umpatkan diri, ia hendak lihat kejadian selanjutnya, ia juga ingin ketahui Siau Hoo sanggup atau tidak layani terus imam
perempuan yang licik itu.
Apa yang terjadi terlebih jauh adalah Kang Siau Hoo
sudah berlaku alpa, malam-malam dia pergi turun gunung, untuk mencari kereta, hingga ketika yang baik itu sudah tidak disia-siakan oleh Too Ceng, siapa muncul pula di kuilnya, untuk culik Ah Loan, yang dia bawa lari.
Dan hal ilmu lari keras, Too Ceng ada terlebih lihay
daripada si gagu, ia-pun kenal baik jalanan digunungnya itu, maka itu, ia buat si gagu ketinggalan, hingga Si gagu itu terpaksa kembali ketempat sembunyian kudanya, buat
dengan menunggang kuda, datang mengejar pula imam
yang licin itu.
Si gagu ada cerdik, ia percaya ia sudah lewati si imam, ia lantas saja pakai akal, yalah ia antap kudanya ditepi jalan, ia sendiri umpatkan diri. Ia berhasil, ia kena akali Too Ceng, siapa mengira kuda itu dia bisa culik. Tadinya si gagu pikir untuk binasakan imam perempuan itu, disaat terakhir, ia memberi ampun. Ia ingat Si imam ada orang perempuan
dan ia malu untuk berlaku telengas. Demikian, sesudah
bebaskan Too Ceng, ia bawa Ah Loan ke Gan-kee-chung,
ke rumahnya bekas tootay she Gan itu. Adalah setelah
dapat usul dari Gan Wan-gwee, ia berangkat pula akan cari ia punya sutee.
Ditengah jalan, Si gagu ini sudah pikir:
"Kapan aku bertemu sama Siau Hoo, paling dulu aku
mesti sentil kupingnya sampai beberapa kali, habis itu aku mesti gusur dia ke hadapan suhu, buat minta suhu tanya padanya, kenapa dia lancang gunai Tiam-hiat-hoat, sesudah dia ditegor, baru aku nanti suruh dia pergi pada isterinya ...
" Si gagu yalah Ah Hiap, atau Jago Gagu yang kita kenal
belakang pandai menunggang kuda, ia larat dengan
kudanya hingga dalam tempo pendek sekali, ia sudah
sampai di kaki bukt In Ciat Nia.
Tapi ini kali ia sampai justeru ia dapat keadaan ada
ramai, yalah ada kereta, ada sejumlah orang. Ia menjadi heran, segera ia turun dari kudanya. Ia menghampiri satu orang kepada siapa ia serahkan ia punya kuda.
"Kau hendak apa?" tanya orang itu.
Si gagu tidak dengar orang punya pertanyaan, ia tidak
mengarti, percuma itu orang ulangi pertanyaannya, ia
hanya tepok-tepok kudanya, lalu ia usapi orang punya
kepala, habis itu ia tinggalkan kudanya. Ia lari naik keatas bukit, terus sampai di Kiu Sian Koan dimana ia masuk
kedalam. Didalam kuil, beberapa orang sedang bicara dengan
berbisik bersama rombongan imam perempuan, seperti juga mereka itu sedang berselisih. Melihat demikian, si gagu nyelak ditengah, terus ia geraki kedua tangannya, ia-pun
berlompat-lompat. Terang ia tanya : "Dimana adanya si
burung hoo?"
Beberapa orang itu ada Ma Cie Hian bersama Lou Cie
Tiong dan Kie Kong Kiat. Kong Kiat punya luka sudah
sembuh, pada beberapa hari yang lalu ia ikut Lou Cie Tiong ke Tin-pa.
Sementara itu, Ceng Hian sudah sampai di Tin-pa, untuk jalankan titah gurunya guna cani orang Kun Lun Pay. Di Pau-kee-cun, pendeta ini tidak berhasil mencari keuarga Pau. Sebabnya adalah sejak Thio Cie Cay terluka dan Pau Cie Lim pindah dengan ajak anak isterinya, rumahnya Pau Kun Lun ditinggal kosong, semua dikunci. Ceng Hian mesti tanya penduduk kampung tentang keluarga Pau itu akan
tetapi ia ketemu orang-orang yang menggeleng-geleng
kepala. karena tidak ada yang ketahui ke mana perginya keluarga yang tadinya tersohor itu.
Itu hari Teng Hian mencari dengan sia-sia , hingga ia
mesti putar kayun didalam kota Tin-pa. Adalah malamnya, disebuah rumah makan, selagi ia dahar, ia ketemu seorang muda yang menyoren pedang, ketika ia ajak orang itu
bicara, ternyata dia itu ada Kie Kong Kiat, maka lantas saja ia tuturkan ia punya maksud kedatangan.
Mengetahui Pau Cin Hui berada di In Ciat Nia, Kong
Kiat tidak terlalu taruh perhatian, tetapi mendear Ah Loan berada di Kiu Sian Koan, ia girang bukan kepalang, segera ia ajak Ceng Hian menemui Ma Cie Hian dan Lou Cie
Tiong, buat ajak mereka ini segera menyusul.
Itu waktu sudah malam, mereka tidak bisa lantas
berangkat, dengan terpaksa Kong Kiat mesti bersabar satu malaman. Besoknya, pagi-pagi sekali, mereka sudah
berangkat. Tapi, ketika akhirnya mereka sampai di Kiu Sian Koan, dua Pau Kun Lun dan Pau Ah Loan sudah tidak
ada, dalam sibuknya, Kong Kiat minta keterangan dari
imam-imam perempuan dari kuil itu.
Sekalian imam itu memang tidak ketahui kemana
perginya Pau Cin Hui dan lenyapnya si nona yang terluka, mereka tidak dapat menerangkan. Mereka sendiri turut
merasa heran. Kie Kong Kiat tidak sabaran, ketika Ceng Hian ajak dia pergi mencari, mereka akhirnya ketemu rumahnya si
pemburu suami-isteri dimana mereka dapati mayat suami-
isteri itu berikut mayatnya Ngo Kim Piu, yang sudah rusak, dan kemudian lagi, Ceng Hian ketemui toya gurunya serta mayatnya guru itu, yang juga sudah rusak, tinggal dua
pahanya serta segundukan daging. Bukan main sedihnya
pendeta muda ini, ia tangisi mayat gurunya itu.
Selagi begitu, Kong Kiat lari kembli ke Kiu Sian Koan, ia kumpulkan semua imam perempan, ia tanya mereka, tetapi mereka itu tetap tak dapat memberikan keterangan. Itu
waktu, si gagu kebetulan datang
Keterangan yang bisa diberikan oleh rombongan imam
itu adalah halnya Siau Hoo datang, bertengkar dengan Pau Kun Lun, bentrok dengan Too Teng Su-kou, yang kena
dikalahkan, sesudah Too Teng pergi, malamnya Ah Loan
lenyap, lalu paginya, Siau Hoo datang pula. Penuda ini menjadi gusar dan sibuk sebab Si nona lenyap tak karuan paran. Ketika rombongannya Kong Kiat sampai, Siau Hoo
baru saja pergi.
Kong Kiat menjadi pusing kepala. Ia sangsikan itu
rombongan imam, ia percaya mereka ketahui duduknya hal tetapi tidak mau bicara, ia hendak gunai cambuk untuk
hajar dan kompes mereka, tetapi Cie Hian dan Cie Tiong mencegah. Adalah disaat cucunya Liong Bun Hiap hampir
kalap, datang si gagu, yang nyelak diantara mereka.
Darahnya Kong Kiat naik dengan tiba-tiba. Ia memang
lagi mendongkol dan
uring-uringan, dengan tidak
mengucap sepatah kata juga, ia angkat kakinya, ia tendang orang yang tidak dikenal ini.
Ah Hiap lolos dari tendangan, ia egos tubuhnya.
"Binatang kurang ajar!" Kong Kiat mendamprat. "Dari
mana datangnya binatang ini, yang mengacau disini?"
Terus ia membabat dengan pedangnya yang dihunus
dengan segera. "Sabar Kie Kou-ya!" Cie Tiong dan Cie Hian berseru,
untuk mencegah.
Hampir berbareng dengan cegahannya dua saudara ini
ada terdengar suara "Trang!" dan "Buk!" saling susul. Ah Hiap tidak terluka karena serangan hebat itu, sebaliknya, pedangnya Kong Kiat kena dirampas, dilemparkan
ketempat jauh, hingga jatuhnya menerbikan suara nyaring, menyusul mana, kakinya si gagu melayang, kepada orang
punya tubuh hingga lantas saja pemuda itu rubuh celentang.
Cie Tiong dan Cie Hian terkejut, sampai muka mereka
berubah pucat. Kie Kong Kiat merayap bangun selagi dua saudara itu
tercengang. Ia jerih sekarang, ia berdiri sambil mundur dua tindak, cuma karena ia penasaran dan gusar, ia mengawasi dengan mata melotot.
"Binatang, kau buat apa?" ia menegor pula. "Apa kau
punya she dan nama" Kau berani serang Kie Kou-ya?"
Ah Hiap tidak ketahui apa yang orang bilang, ia tidak
dengar, hanya, tunjuki ia punya jempol, ia tunjuk dirnya sendiri lalu ia perlihatkan kelingking, kemudian ia beraksi pula seperti burung terbang.
Melihat demikian, Kong Kiat jadi tambah murka
"Binatang, kau permainkan aku!" ia berseru. Ia maju
berbareng dengan kepalannya, akan menyerang pula.
Ah Hiap berkelit kesamping, ia tidak menangkis, hanya
ia goyang-goyang tangan sebagai tanda mencegah: "Jangan menyerang!" Kembali ia hunjuki jempolnya, ia tunjuk
dirinya, ia geraki kedua tangannya seperti burung terbang.
Ini kali, ia teruskan itu seraya perlihatkan gerakan tangan dan tubuh seperti gerak geriknya seorang perempuan.
Mau atau tidak, Kong Kiat tertawa.
"Apakah kau gila?" ia tegasi.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampai disitu, Cie Tiong majukan diri ia tarik itu baba mantu keluarga Pau.
"Sabar, " ia bilang. "Aku lihat orang ini gagu. Dia tentu ada punya urusan. Nanti aku yang ajak ia bicara."
Ma Cie Hian juga lantas maju, ia dekati si gagu, untuk perhatikan orang punya gerak-gerak tangan. Si gagu tunjuk satu imam perempuan, lagi-lagi ia telad gerak geriknya seorang perempun, kemudian ia miringkan tubuhnya,
seperti orang lagi rebah.
Pelahan-lahan, Cie Tiong bisa bade orang punya makud.
"Kelihatannya si gagu ini bermaksud baik," kata ia. "Dia datang untuk beritahukan bahwa Ah Loan sudah dibawa
pergi oleh satu imam perempuan. Aku percaya, imam itu
ada Too Teng Su-kou dari kuil ini ... "
Dugaan ini mauk diakal karena itu Kong Kiat jadi sabar pula.
"Cobalah kau bicara, dengan dianya," ia bilang pada Cie Tiong. Ia kerutkan alis. "Coba tanya Too Teng bawa Ah
Loan ke mana. Minta supaya dia suka antarkan kita pergi menyusul!"
Cie Tiong menurut, ia mainkan ia punya tangan, ia
tepuk orang punya pundak terus ia menunjuk pintu, akan akhirnya ia jalan beberapa tindak.
Melihat itu, Ah Hiap goyang-goyang tangan dan
kepalanya. Kembali Kong Kiat jadi gusar, "Terang dia hendak
ganggu kita," kata dia. "Pasti dia gagu berpura-pura! Kalau tidak, kenapa dia tidak pernah buka mulutnya" Kenapa dia tidak bersuara sedikit juga?"
"Sabar," Cie Hian bisiki kawan itu. "Aku lihat dia benar-benar gagu, dia punya bugee-pun liehay. Kita orang tidak kenal satu dengan lain, pastilah dia bukannya sengaja
datang untuk ganggu kita!"
Disaat itu, muncul Ceng Hian. Dia baru saja selesai
bakar mayatnya dia punya guru, dia punya air mata masih belum kering.
Ah Hiap sudah lantas lihat hweeshio muda ini, dengan
tiba-tiba ia maju mendekati, akan menjambak.
Ceng Hian kaget bukan main, mukanya menjadi pucat
dengan tiba-tiba.
Cie Hian dan Cie Tiong segera maju, untuk pisahkan
mereka. An Hiap tidak lebih daripada menjambak, lantas ia
tertawa pada hweeshio itu, kepada siapa ia-pun bicara
Jodoh Si Mata Keranjang 7 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau 2