Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 17

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 17


dengan tanda gerakan tangannya.
"Jangan gusar, Ceng Suhu," kata Cie Hian pada
muridnya Tiat Tiang Ceng itu. "Dia ini ada seorang gagu, baru saja dia sampai. Dia telah perlihatkan dia punya
bugee, kita dapat kenyataan dia ada liehay. Baru saja da bicara dengan kita dengan ia punya berbagai gerakan
tangan, kita tak mengerti itu tetapi kita bisa membade-bade.
Rupanya dia beritahukan kita bahwa Ah Loan sudah
dibawa lari oleh Too Teng Su-kou. Boleh jadi sekali, tadi pagi Kang Siau Hoo sudah datang kemari, dia tidak dapat ketemukan Ah Loan, dia lantas pergi menyusul. Ceng
Suhu, apakah kau tahu kemana perginya Too Teng
Sukou?" Mukanya Ceng Hian masih tetap pucat, ia masih
menjublak saja.
"Aku tahu orang ini," kemudian ia menjawab seraya ia
tunjuk Ah Hiap, yang sudah lepaskan jambakannya. "Dia
ada suhengnya Kang Siau Hoo. Sebenarnya suhu wafat, dia pernah beritahu aku yang Kang Siau Hoo ada punya satu
suheng yang gagu, yang bugeenya sudah hampir sama
liehaynya seperti mereka punya guru ... "
Baru si pendeta berkata sampai disitu, Ce Hian, Cie
Tiong dan Kong Kat jadi tercengang, hingga mereka
mengawasi dengan bengong saja pada si gagu itu.
Ah Hiap sendiri tidak perdulikan apa yang orang
bicarakan, ia hampirkan tembok, Ia jumput sepotong kapur, dengan itu ia menulis ditembok melukiskan seekor burung hoo tetapi yang tak ada miripnya, kemudian ia mencoret lempang dan berlugat legot seperti roman cacing, rupanya untuk hunjuki jalanan.
Ceng Hian bisa bade orang punya maksud.
"Si gagu ini tanya kita apa kita tahu sekarang Kang Siau Hoo ada dimana," ia kata pada Cie Tiong. "Aku tahu Too Teng Su-kou pergi ke Bu Tong San. Cit Toa-kiam-sian dari itu gunung, semua ada dia punya sahabat-sahabat baik.
Pasti dia bawa nona Ah Loan ke Bu Tong San dan pastilah Kang Siau Hoo sudah menyusul kesana."
Mendengar disebutnya Bu Tong San, semangatnya Kie
Kong Kiat jadi terbangun pula.
"Bu Tong San adalah tempat yang aku kenal baik
sekali!" ia bilang. "Bagus! Dia cari dia punya sutee, aku cari aku punya isteri! Biar kita orang berdua pergi ke Bu Tong San!"
Lantas ia hadapi Ah Hiap, ia tepok-tepok dadanya
sendiri, ia tunjuk-tunjuk dadanya si gagu itu, kemudian ia perlihatkan ia punya jempol, buat unjuk bahwa ia kagumi suheng dari Kang Siau Hoo itu, bahwa selanjutnya mereka harus menjadi sahabat satu sama lain. Ia juga lantas
menunjuk ke tanah, akan melukisan burung hoo, lalu ia
manggut seraya ia bilang : "Aku tahu tempat kepergiannya Kang Siau Hoo, mari aku antar kau!"
Dalam gembiranya itu, Kong Kiat lari ke tempat dimana
pedangnya terletak, untuk pungut itu. Kemudian, ia
menoleh pada Cie Tiong dan Cie Hian.
"Pergi kau orang lekas turun gunung, untuk cari loo-ya-cu!" kata ia pada itu dua saudara seperguran. "Loo-ya-cu berlalu dari sini dengan tidak pernah pulang ke rumah, tentulah dia malu, tetapi tentulah dia belum pergi jauh."
Habis berkata demikian, ia berpaling pada Ceng Hian.
"Ceng Suhu," katanya, "sampai kita bertemu pula!"
Ceng Hian manggut, tetapi ia pesan:
"Jikalau kau orang bertemu dengan Too Teng Su-kou,
aku harap kau orang suka bicara secara baik-baik dengan dianya, jagalah supaya tidak sampai terbit bentrokan,"
demikian katanya. "Too Teng benar bertabiat keras, akan
tetapi jikalau dia tidak didesak, dia pasti tidak akan celakai Ah Loan. Umpama dia diperlukan keras, hingga ia gusar, tidak bisa disangsikan lagi, nona itu bakal tak ketolongan jiwanya. Lagi aku mau minta tolong umpama kau bertemu
dengan Kang Siau Hoo, kau boleh terangkan padanya,
walau-pun guruku, Tiat Tiang Ceng, binasa ditangannya, pasti sekali aku tidak akan cari dia untuk menuntut balas.
Sebabnya dari sikapku ini adalah, ke satu kita berdua
dahulu ada bersahabat, ke dua aku sudah ambil putusan
akan pergi kepedalaman gunung untuk sucikan diri, aku tak sudi lagi campur tahu segala urusan kangou."
"Baik," sahut Kie Kong Kiat, yang tidak sempat lagi
untuk bicara banyak, terus saja ia tarik tangaunya Ah Hiap, untuk diajak berlalu dari kuil itu, akan bersama-sama turun gunung. Karena mereka sama-sama bawa kuda, mereka
naiki masing-masing punya binatang tunggangan. Kong
Kiat jalan disebelah depan, ia lantas bedal kudanya itu.
Ah Hiap, disebelah belakang, ikuti itu pengantar.
Perjalanan dilakukan ke arah timur, dengan cepat telah dilalui tujuh atau delapan puluh lie, hingga matahari sudah doyong kebarat. Ah Hiap belum bersantap tengah hari, ia merasa lapar, ia perdengarkan suara untuk memanggil-manggil kawan itu.
Kie Kong Kiat tidak mengerti, ia masih larikan kudanya, ketika ia menoleh ia geraki tangannya berulang-ulang, ia serukan: "Lekas!"
Au Hiap, mendongkol melihat orang punya sikap itu, ia
kaburkan kudanya untuk menyusul, setelah menyandak ia
jambret orang she Kie itu sampai Kong Kiat terguling jatuh dari atas kuda. Tentu saja ia jadi mendongkol.
"Oh, orang gagu, orang edan!" ia mendamprat. "Coba
aku tak tahu kau liehay, siapa sudi antar kau ke Bu Tong San?"
Ah Hiap tidak tahu apa yang orang bilang, ia tahan
kudanya terus ia lantas tunjuk-tunjuk ia punya mulut, ia punya perut.
Menampak demikian, barulah Kong Kiat mengarti
bahwa orang lapar dan ingin dahar. Ia sendiri juga segera merasakan perutnya menagih makanan, maka ia lantas
manggut berulang-ulang dengan napas tersengal-sengal, ia loncat naik atas kudanya.
"Marilah!" katanya, yang sekarang beri kudanya jalan
pelahan-lahan. Mereka jalan tidak seberapa jauh, sampailah mereka
disebuah dusun.
Kong kiat menghampiri satu rumah makan di depan
mana ia loncat turun dari kudanya.
Ah Hiap girang sekali apabila ia lihat rumah makan, ia tertawa.
Setelah tambat kudanya di petatok di depan pintu Kong
Kiat mendahului masuk kedalam rumah makan, si gagu
ikuti ia. Kong Kiat masih sedikit uring-uringan. Ia lantas pesan arak, sakalian bersama makanan.
Jongos berlaku sebat dengan sajiannya.
Ah Hiap lapar luar biasa, ia dahar secara gembul, tapi tidak demikian dengan si orang she Kie yang masgul. Dia ini hirup araknya ia merasa sukar akan telan nasinya.
Ternyata ia dapat pikiran baru.
"Jikalau dari siang aku ketahui Ah Loan ada punya
persahabatan dengan Kang Siau Hoo, sejak pertama Kun
Lun Pay juga tak sudi aku bantui," demikian ia ngelamun.
"Sekarang menjadi sulit, hingga aku manusia bukan bukan hantu-pun bukan ... Lebih celaka aku sampai peroleh luka-luka, baru sekarang aku sembuh ... Sekarang aku pergi ke Bu Tong, masih belum tentu aku dapat cari Ah Loan, atau umpama kita bertemu juga, barangkali satu pertempuran
bebar mesti dilakukan " Apa arti pertempuran itu"
Andaikata pihakku peroleh kemenangan, mungkin sekali,
Ah Loan akan tetap menjadi kepunyaan Kang Siau Hoo ...
Apakah harganya itu" Tapi sudah terlanjur, aku tak bisa tak campur tahu lebih jauh "!"
Pemuda ini menghela napas, ia punya pikiran ruwet, ia
bersangsi, tanpa merasa ia gebrak meja.
Ah Hiap lihat orang punya kelakuan itu ia bersenyum, ia tunjuk sayuran maksudnya adalah menganjurkan orang
dahar. Tapi Kong Kiat goyang kepala, ia tidak bernapsu, menampak mana Si gagu turut jadi masgul. Nyata agaknya ia tidak mengerti orang punya kemasgulan itu.
Sebentar kemudian Ah Hiap telah dahar habis nasi dan
sayuran, ia-pun tenggak beberapa cawan arak.
Kong Kiat hendak bayar uang makan mereka, selagi ia
hendak merogo saku Ah Hiap dului ia. Si gagu ini
keluarkan sebungkusan kecil yang dekil, ketika ia buka itu disitu ada sejumlah perak hancur serta, tembaga ia pisahkan sejumlah uang yang cukup buat bayar perhitungan,
kemudian sembari tertawa ia menunjuk keluar. Seperti ia hendak bilang pada kawannya: "Mari kita berangkat!"
Diam-diam Kong Kiat merasa si gagu ini ada harganya
untuk dijadikan sahabat. Ia lantas turut keluar untuk loncat naik atas kuda masing-masing guna lanjutkan perjalanan mereka ke arah Timur.
Mereka jalan pula lagi tiga-puluh lie, lantas mereka
singgah dirumah penginapan, besoknya pagi-pagi mereka
sudah melanjutkan pula. Mereka jalan sampai tengah hari, baru mereka singgah untuk bersantap.
Ah Hiap tidak bisa bicara, akan tetapi didalam
perjalanan itu Kong Kiat mesti turut ia punya kehendak.
Hal yang membuat si anak muda masgul adalah si gagu
tidak mau jalani segera tetapi juga tidak ayal-ayalan.
Sebaliknya Kong Kiat ingin segera sampai di Bu Tong San, dia tidak sabaran hatinya seperti dibakar. Dengan terpaksa Kong Kiat sabarkan diri. ia harap betul. yang bugeenya kawan ini nanti sanggup tandingi tujuh akhli pedang dari Bu Tong San.
Tiga hari lamanya mereka sudah berjalan, baru mereka
sampai di Tiok-kie, tempat ini masih terpisah seratus lie lebih dari Bu Tong San. Disini Kong Kiat jalan disebelah depan si gagu. Benar selagi mereka mendekati tembok kota distrik, tiba-tiba dari arah belakang mereka ada terdengar panggilan, "Kie Kong Kiat!"
Heran dan kaget adalah orang she Kie itu, siapa sudah
menoleh dengan segera. Ia lihat lari mendatangnya dua
ekor kuda yang masing-masing ada penunggangnya, kedua
kuda berbulu putih dan hitam. Penunggang kuda hitam ada seorang bertubuh besar berumur kurang lebih dua puluh
lahun, dan penunggang kuda putih ada satu pemuda dan
sebagai anak sekolah, muka siapa ada putih. Kapan Kong Kiat telah lihat nyata anak sekolah itu, tanpa merasa ia tertawa dingin,
"Aha, Lie Hoag Kiat!" ia berseru. "Ketika bertempur di Wie Sui, kau telah terluka dan kabur, kiranya sampai
sekarang kau belum mampus" Sekarang kau mau apa"
Apakah kau berniat melakukan pertempuran pula?"
Hong Kiat-pun tertawa ketika ia punya kuda sudah
datang dekat, ia tak merasa malu atau gusar karena itu ejekan, ia hanya kata: "Untuk orang Kangou, tubuh terluka belum pasti berarti kematian! Apa pula aku hanya
mendapat luka tusukan pedang yang ringan sekali!
Umpama kata sekarang aku telah mati, bagaimana dengan
kau yang terkena piau dan juga pedang" Pastilah siang-siang kau sudah tidak bernyawa pula!"
Bukan kepalang gusarnya Kong Kiat, yang balik
dijengeki, hingga segera ia raba pedangnya dan hunus itu, matanya mengawasi dengan mendelik pada orang she Lie
itu. Hong Kiat bersikap sangat tenang, sama sekali ia tidak undurkan diri.
"Buat apa, eh?" tanya ia sembari tertawa. "Umpama
kata kau berhasil menusuk aku lagi sekali, nama kau
pastilah tidak akan lewati namanya kang Siau Hoo!"
Kong Kiat tertawa dingin, pedangnya ia terus pegangi,
tapi belum ia berhenti tertawa, tiba-tiba si gagu menjerit
"ah-ah-uh-uh" hingga ia kaget dan segera loncat turun dari kudanya. Berbareng dengan itu, ia punya kuda berbenger dua kali, terus lompat, baru dua tindak, binatang itu sudah rubuh sendirinya!
Apakah sudah terjadi"
Selagi Kie Kong Kiat ejek Hong Kiat dia ini punya
kawan, yang naik kuda bulu hitam, yang kulitnya hitam
juga, sudah menghampiri Kong Kiat dari samping, lalu
dengan tiba-tiba ia menyerang dengan gembolannya, yang tadinya digantung disamping kuda. Gembolan itu bulat
sebagai semangka dan gagangnya panjang dua kaki lebih.
Serangan itu diarahkan pada pinggang.
Sukur orang she Kie itu keburu kelit, karena ia dengar suaranya si gagu, maka ia luput dari penyerangan gelap.
Akan tetapi dia punya kuda, yang kena terhajar
belakangnya, tak dapat ampun lagi.
Menampak demikian, si gagu pentang kedua tangannya,
ia tertawa berkakakan.
Kie Kong Kiat mendongkol bukan main, ia loncat maju
dan tikam Lie Hong Kiat yang berada diatas kudanya.
Orang she Lie itu keprak lompat ia punya kuda,
berbareng dengan itu, ia-pun cabut ia punya pedang.
Si muka hitam loncat turun dari kudanya, ia merangsek
kearah Kong Kiat, gembolannya telah diputar.
"Tahan!" membentak Hong Kiat terbadap kawannya itu,
ia bersikap bengis.
Orang tua itu menurut, ia berhentikan gerakannya.
Tetapi Kong Kiat masih gusar, tanpa bilang apa-apa ia
maju pula akan serang Si orang she Lie.
Sekali ini, Hong Kiat tangkis orang punya pedang, yang ia terus tahan, lalu dengan lain tanganaya, sambil diulap-ulapkan, ia mencegah.
"Kie Kong Kiat, dengar aku!" demikian suaranya.
"Bukannya aku niat curangi kau tetapi adalah orang yang ikut aku ini sudah berlaku terlalu sembrono! Aku bukannya jerih terhadap kau, aku hanya tidak ingin bentrok pula denganmu! Jikalau kau henar ada punya kepandaian, mari kita orang pergi ke Bu Tong San, disana Kang Siau Hoo
sendirian saja sedang layani Cit Toa-kiam-sian! Sudah
selayaknya kalau kita bantui dia!"
Mendengar itu, Kie Kong Kiat tarik pulang pedangnya,
ia mundur dua tindak.
Itu waktu ada banyak orang yang berlalu lintas pada
merandek, untuk saksikan itu dua orang bertempur, sedang si gagu, diatas kudanya, tetap tertawa ia gerak-geraki kedua tangannya seperti juga menganjurkan: "Hayo, kau orang
bertempurlah, untuk aku saksikan kau orang punya
kegagahan!"
Lie Hong Kiat sudah lantas masukkan pedangnya
kedalam sarung, ia-pun tolak tubuhnya si muka hitam,
untuk dikasi mundur, kemudian ia mendekati Kong Kiat, ia tepok-tepok orang punya pundak.
"Kaulah yang harus disesalkan," kata ia sembari tertawa.
"Coba kau tidak mulai hunus pedangmu, sahabatku ini
tidak nanti serang kau dengan gembolannya! Dia adalah Ou Jie Ceng, tukang lindungi aku!"
Kie Kong Kiat tertawa menyindir.
"Akun tidak sangka bahwa kau piara tukang melindungi!" mengejek ia.
Hong Kat tak gubris jengekan itu, ia tidak membalas
dengan kata-kata, ia hanya tunjuk si gagu.
"Siapa dia itu?" ia tanya.
"Dia ada seorang gagu, tetapi dia ada suhengnya Kang
Siau Hoo," Kong Kiat jawab. "Aku justeru lagi antar dia ke Bu Tong San untuk cari orang she Kang itu."
Hong Kiat tertawa pula, kembali ia tepuk orang punya
pundak. "Kau juga pakai tukang pukul!" ia menggoda.
Mukanya Kong Kiat merah tanpa merasa Hong Kiat
segera maju menghampiri Ah Hiap kepada siapa ia
memberi hormat.
Si gagu balas hormat itu, kemudian ia loncat turun dari kudanya, untuk ia terus beraksi seperti burung terbang.
Orang she Lie itu heran, ia mengawasi dengan bengong.
"Dia tanya kau, kau kenal Kang Siau Hoo atau tidak,"
Kong Kiat beri mengerti.
Mendengar demikian, Hong Kiat terawa, ia terus
manggut pada Si gagu itu.
Si gagu lantas saja tertawa.
Hong Kiat lalu berpaling pada Kong Kiat.
"Apakah tidak baik kita cari tempat singgah didalam
kota, untuk sekalian bersantap?" ia mengundang.
Kong Kiat menggeleng kepala.
"Bersama-sama Si gagu perlu aku segera pergi ke Bu
Tong San, menyesal aku tidak punya ketika untuk layani kau pasang omong," ia sahuti. "Jikalau kau benar ingin bersahabat denan aku, silahkan kau ganti dahulu kudaku!"
Hong Kiat tersenyum ia manggut.
"Inilah gampang!" kata ia. Terus ia tegor Ou Jie Ceng, kuda siapa ia minta, malah sarung pedangnya Hong Kiat, yang tercantel dikudanya yang terluka, ia yang tolong
diambilkan, untuk ia pulangkan kepada pemiliknya.
Diperlakukan demikian Kong Kiat jadi jengah sendirinya. "Kita hendak lantas berangkat, bagaimama dengan kuda
terluka ini?" ia tanya Hong Kiat. "Apakah tidak baik kita jual saja?"
"Jangan jual," Hong Kiat cegah. "Aku lihat kuda ini
masih dapat disembuhkan. Aku nanti suruh Ou Jie Ceng
menantikan disini, kita nati pergi bersama, sesudah urusan selesai, baru kita kembali kemari!"
Kong Kiat setuju, ia manggut.
"Sekarang kau singgah disini," Hong Kiat lantas kata
pada kawannya yang sembrono itu. "Kau obati kuda ini,
sesudah dia sembuh, kau tunggui aku didalam kota Tiok-
kie. Jangan sekali-sekali kau tinggal aku! Sekarang aku hendak pergi ke Bu Tong San, sepulangnya dari sana, aku akan samper kau. Ingat, jangan kau terbitkan onar!"
Jie Ceng menyahuti berulang-ulang.
Lie Hong Kiat tinggalkan sejumlah uang, lantas ia
menoleh pada Kie Kong Kiat.
"Mari kita berangkat!" ia mengajak.
Kong Kiat manggut, terus ia menggapai pada Ah Hiap,
habis itu ia loncat naik atas kudanya, yalah kudanya Jie Ceng.
Sebentar saja, tiga orang itu sudah laratkan kuda mereka kearah timur.
Semua orang mengawasi, kemudian mereka tonton Ou
Jie Ceng. Dengan susah-payah, si sembrono ini angkat
bangun kuda kurbannya ia punya gembolan untuk dituntun pergi ke rumah pondokan.
*** Bab 19 KANG SIAU HOO YANG SUSUL Too Teng Su-kou,
sudah sampai di Bu Tong San. Ia tidak segera mendaki
gunung itu, ia hanya terlebih dahulu mencari keterangan di dekat-dekat situ.
Di gunung Bu Tong San itu imam-imam yang dipanggil
"Cit Toa-kiam-san" atau "tujuh dewa pedang yang
terbesar" adalah Yok Hian Ceng, Thio Hian Ceng dan Ka
Hian To serta mereka ini punya tiga murid dan satu tamu, yalah Cou Kiam Hong dan Nie Kiam Tiau yang ada murid-muridnya Thio Hian Ceng, dan Tan Kiam Hui, muridnya
Ma Hian To. Sang tamu ada Leng In Kiam-kek Lu Cong
Giam, satu toosu.
Dantara mereka itu cuma Lu Cong Giam yang suka
pergi pesiar, yang gemar ikat persahabatan. Yang gemar berkelahi adalah Cou Kiam Hong berdua Tan Kiam Hui.
Empat yang lainnya, semua ada imam-imam yang alim,
yang taat kepada agama mereka, tak sembarangan mereka


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun dari gunung mereka. Mereka semua tinggal
berpencaran. masing-masing di Cin Bu Bio di Thay Kek
Hong, di Gie Cin Kiong di Thian Kie Hong, dan di Ngo
Liong Hong, Cie Siau Hong dan lain. Dan mereka semua
telah mewariskan ilmu silat aseli dan mereka punya Cou-Su Thio Sam Hong.
Sama sekali ada lebih daripada enam ratus toosu yang
berada dibawah perintah dari tujuh Kiam-sian itu. Mereka ada punya penghasilan yang lebih daripada cukup, mereka ada tangguh, akan tetapi mereka tidak pernah memandang enteng atau menghinai lain orang. Cuma ada satu
pantangan, yang mereka ingin orang indahkan, atau mereka akan hunjuki tangan besi.
Di Bu Tong San itu ada sebuah sumber yang dinamai
"Kay Kiam Coan" atau Sumber ini mereka pandang suci,
bagaikan keramat. Siapa datang ke sumber itu, tidak perduli pembesar negeri, sipil atau niiliter, atau orang kangou, atau piausu, apabila dia membawa pedang, pedangnya mesti
diloloskan. Orang boleh bawa tumbak dan golok, mereka
tidak menghalanginya, tapi dilarang orang membawa
pedang. Apabila ada kedapatan orang bawa pedang, mereka tak dapat mengasi ampun. Inilah pantangan atau larangan, yang membuat Kie Kong Kiat dan Kang Siau Hoo pernah
mengalami peristiwa hebat.
Sekali ini, Kang Siau Hoo telah datangi pula gunung
kesohor itu. Ia menduga Too Teng Su-kou pergi ke Bu Tong San ini, sebagaimana si imam perempuanpun pernah
menantangnya, akan tetapi sebagai hasil ia punya
penyelidikan, katanya diatas gunung tidak ada imam
perempuan, sedang juga tujuh kiam-sian pasti tidak ijinkan orang jahat berdiam digunungnya itu. Ia jadi bersangsi.
Akhirnya, setelah berpikir, ia ambil putusannya. Ia
memang tidak bekal senjata, ia anggap tidak ada
halangannya kalau ia naik terus ke atas gunung, disana ia boleh buat kunjungan kehormtan pada Cit Toa-kiam-sian, untuk sekalian minta keterangan halnya Too Teng Su-kou dan Ah Loan, umpama kata mereka itu berani menanggung
benar-benar Too Teng tidak datang bersama nona kurban
penculikannya, ia tidak akan terbitkan onar, ia akan pergi mencari kelain gunung.
Ketika Siau Hoo mendaki gunung, itu adalah diwaktu
pagi yang mendung, maka juga seluruh gunung telah
tertutup dengan kabut, sedang dibawah, es melulahan
dengan tak kurang tebalnya, hingga batu-batu gunung salin rupa menjadi serba putih. Angin musim rontok telah
mendatangkan hawa dingin sekali kepada tubuh.
Pada waktu itu, Kang Siau Hoo mengenakan baju dan
celana warna biru, pakaiannya sepan dan pendek, bahan
citanya tipis, ia-pun tidak memakai kaos kaki hanya
melainkan ciau-ee, sepatu rumput! Ia naik setindak dengan setindak keatas gunung. Ia sukar melihat segala apa di depannya karena tebalnya kabut, karena sulit akan melihat
jalanan, ia bertindak dengan hati-hati. Disitu, jangan kata satu manusia, suaranya seekor burung-pun tak terdengar.
Sekian lama Siau Hoo mendaki, ia punya sepatu telah
pecah rusak, hingga terpaksa ia buka itu dan melanjutkan perjalanan nanjak dengan kaki telanjang. Beruntung bagi ia, ia ada punya kaki yang kuat. Malah sekarang ia dapat
bertindak dengan terlebih leluasa.
Terus Siau Hoo berjalan naik, sampai kupingnya dengar
mengaungnya genta. Dengan sungguh-sungguh ia pasang
kupingnya, akan dengari suara itu, akan cari tahu dari mana arah datangnya. Dengan perhatian, ia dapat dengar suara yang tegas sekali, hingga ia merasa, genta atau lebih benar kuil, berada dekat dengan ia. Kemudian, dengan
perdatakan tujuan, ia berjalan pula, ia maju terus.
Bertindak belum seberapa jauh, tiba-tiba pemuda ini
dapati ia lagi menghadapi sebuah lamping gunung atan
jurang, didalam itu kabut ada memain-main bagaikan laut.
Ia tak dapat melihat apa juga lainnya. Dari situ terdengar, agaknya suara genta datangnya dari lembah dibawah jurang itu.
Siau Hoo berdiri diam ditepi jurang. Melihat keletakan, nampaknya agak sukar sekali untuk ia turun kedalam
lembah itu. Suara genta sudah berhenti, yang masih ada adalah sisa kumandangnya ditengah udara. Ia ingin turun, untuk cari kuil dari mana suara genta datang. Jalan tidak ada, bagaimana"
Tiba-tiba Siau Hoo ambil putusannya yang getas, tanpa
bersangsi pula, ia enjot tubuhnya, akan loncat turun ke dalam jurang!
Diantara suara berkeresekan, segera Siau Hoo dapat
kenyataan tubuhnya sampai pada sebuah pohon cemara
yang besar, ia punya kaki dan tangan kena bentur cabang-
cabang hingga ia merasakan sakit, akan tetapi ia tidak perdulikan itu. Terus ia gunai kaki dan tangannya, hingga di lain saat, ia sudah loncat turun ke tanah datar. Dan apa mau ia justeru jatuh ke dalam pekarangan kuil.
Baru saja pemuda ini lempangkan pinggang untuk
berdiri, ia lihat jendela pendopo terbuka sedikit, dari situ lompat keluar seekor macan tutul, yang lehernya dikalungi rantai tembaga, lalu dengan pentang kedua kaki depannya yang berkuku tajam, binatang itu loncat menerkam.
Siau Hoo terperanjat, tetapi ia masih punya kesempatan akan loncat naik ke atas pohon cemara.
Macan tutul bisa panjat pohon, demikian dengan
binatang ini, mencoba menyusul dengan terus naik juga
kepohon cemara itu.
Tidak tunggu sampai ia kena dicandak, Siau Hoo
mendahului akan naik terus, akan terus loncat keatas
pendopo, yang gentengnya terbuat dari besi hitam.
Macan tutul itu liehay, ia juga naik tinggi, ia-pun loncat keatas genteng akan menyusul, lantas ia angkat tubuhnya, berdiri bagaikan manusia, untuk lompat menerkam.
-ooo0dw0ooo- Jilid 28 Sekarang Siau Hoo tidak menyingkir terlebih jauh,
malah ia-pun tidak lompat kesamping atau ke belakang,
hanya menantikan serangan, ia mendek, lalu disaat tubuh harimau itu sampai, ia barengi bangun untuk samber leher binatang itu, untuk ditahan. Tidak perduli binatang itu sudah pentang mulutnya yang besar dan gunai kedua
cengkeraman depannya, akan mencakar. Tidak sia-siakan
tempo lagi, Siau Hoo gunai tangan kanannya, akan hajar dada binatang tersebut.
Selagi mengaung-ngaung, harimau itu keluarkan jeritan
keras, rupanya ia merasakan sakitnya serangan, tubuhnya terus saja rubub jatuh mengelinding dari atas genteng.
Siau Hoo unjuk kesebatannya terlebih jauh, ia jumput
dua potong genteng, ia loncat turun ke tanah, lalu dengan sebuah genteng ia menimpuk pada itu binatang liar, hingga kepalanya pecah sampai pada matanya, sekejap saja
binatang itu putus jiwanya.
Habis itu, dengan sebuah genteng lagi. Siau Hoo timpuk jendela itu jadi rusak.
"Imam tua yang piara macan tutul, lekas keluar!" ia
membentak. Sebaliknya dari pada dipentang, daun jendela itu telah ditutup dengan segera!
Kuatir dari dalam kuil nanti keluar binatang lain, Siau Hoo tidak mau berlaku sembrono. Ia cepat-cepat jumput
kedua genteng tadi, dengan bawa itu ia bertindak ke pintu pendopo, sembani jalan ia mendamprat.
Dari dalam pendopo lantas terdengar tegoran : "Kau ada penjahat dari mana" Cara bagaimana kau berani mengacau di tempat Sam Ceng yang suci murni?"
Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya gunai sebelah
tangannya, akan menolak daun pintu.
Berbareng dengan terbukanya pintu, dari dalam kuil
muncul satu imam muda dengan serangannya sebatang
pedang. Siau Hoo berkelit dengan loncat mundur dua tindak, atas mana imam muda itu loncat keluar, akan menyusul, lalu
kembali ia menikam, pada orang punya dada.
Dengan loncat ke kiri, Siau Hoo luputkan diri dari
tikaman yang berbahaya itu, sambil egos tubuh, ia
menimpuk dengan sepotong genteng, yang tepat mengenai
dadanya. Si imam,yang tak sempat menangkis atau berkelit, hingga tubuh dia ini limbung. Selagi begitu, pemuda kita maju, akan samber orang punya pedang, untuk dirampas.
Imam itu kaget, ia maju akan mencoba rampas pulang
pedangnya. Sekarang ini, Siau Hoo papaki imam itu dengan ia punya tendangan, hingga orang rubuh dengan duduk numprah.
Tapi si imam penasaran, ia lompat bangun, untuk
menubruk pula, guna mencoba rampas pulang pedangnya.
Sebat sekali, Siau Hoo membabat kearah lawan empunya
kepala, sinar pedangnya itu berkelebat putih. Atas ini, si imam berkelit dengan mundur berbareng pinggangnya-pun
dilengkungi. Menyusul itu, dari dalam kuil loncat keluar satu imam
lain. "Tahan!" dia berseru. "Kau berani buat kacau disini?"
Siau Hoo tarik pulang pedangnya sambil mundur satu
tindak, lalu ia awasi imam yang baru keluar ini, siapa ada punya roman tak sembarangan. Umurnya dikira empatpuluh lebih.
"He, toosu, jangan kau orang tidak pakai aturan!" ia
balas menegor. "Aku datang kemari untuk cari orang, aku sampai-pun tidak membawa pedang, karena aku tahu kau
orang punya pantangan disini, tetapi selagi aku hormati aturan kau orang, kenapa kau orang sendiri berlaku sangat
galak" Baru saja aku sampai atau kau orang telah lepaskan macan tutul untuk menerkam aku! Coba bukannya aku
Kang Siau Hoo, asal lain orang, dia tentu sudah kena digigit mampus oleh macanmu, mayatnya-pun bakal lenyap
habis!" Imam itu, yang kurus tubuhnya, terperanjat dengar nama Kang Siau Hoo.
"Oh, kau kiranya Kang Siau Hoo?" ia tegaskan. "Aku
dengar kau-pun ada satu akhli waris dari Bu Tong Pay,
maka dengan datang kemari, kau harus sedikit kenal aturan, tidak boleh kau kurang ajar terhadap Cou-su!"
"Tetapi Conw-su tak nanti piara macan tutul!" Siau Hoo membaliki. "Kau orang, didalam kuil, sudah piara harimau yang dijadikan sebagai anjing, maka kau orang tentunya bukan orang-orang baik-baik!"
"Macan tutul itu adalah aku yang piara," si imam aku.
"Biasanya dia tidak pernah ganggu orang, dia ada seekor binatang yang mengerti manusia ... "
Sembari berkara demikian, imam ini memandang kepada
binatang piaraannya, yang sudah jadi bangkai, yang
kepalanya pecah dan berlumuran darah, agaknyn ia ada
terharu berbareng mendongkol.
Si imam muda, yang tadi kena didupak, lantas turut
bicara. "Orang ini datang kemari dengan loncat turun dari atas jurang," berkata ia. "Aku anggap dia bukannya orang baik-baik, aku lantas lepaskan macan tutul kita ... "
Siau Hoo tertawa menyindir.
"Kau orang sebenarnya siapa?" ia tanya.
"Aku ada Tan Kiam Hui," sahut si imam kurus "Dia ini
ada muridku."
"Aku tahu kau, kau ada salah satu dan Cit Toa-kiam-
sian," berkata Siau Hoo. "Diantara kau orang bertujuh, kecuali Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam semua ada orang-orang baik-baik, tentang ini selama ditengah perjalanan, aku telah cari tahu sampai jelas. Baik kau orang ketahui,
sekarang ini aku datang kemari dengan maksud mencari
satu orang."
"Kau cari siapa?" Kiam Hui tanya.
"Aku cari imam perempuan dari Kiu Sian Koan, Too
Teng namanya," sahut Siau Hoo. "Dia telah culik isteriku, Pau Ah Loan, yang dia bawa kabur kemari!"
"Ngaco!" bentak Kiam Hui dengan ia menjadi gusar
dengan tiba-tiba. "Bu Tong San ada satu gunung suci,
dimana ada imam dan orang perempuan yang datang
kemari!" "Kau rupanya tidak tahu," bilang Siau Hoo. "Diatas
gunung kau orang ini ada terdapat banyak kuil, jikalau Too Teng datang kemari dan dia sembunyikan isteriku dilain tempat, mana kau ketahui. Kau cuma seorang kecil didalam Cit Toa-kiam-sian! Sekarang aku hendak ketemui Yok Hian Ceng, Thio Hian Hay dan Ma Hian To, kau ajak aku pergi pada mereka, aku hendak minta orang dari mereka itu,
dengan kau tidak ada sangkutannya!"
Tan Kim Hui pandang itu anak muda, ia juga awasi
bangkainya ia punya macan tutul lantas ia manggut.
"Baik!" berkata ia. "Sekarang aku sedang bersantap, kau tunggu sebentar, nanti ajak kau ke Gie Cin Kiong!"
Habis berkata begitu, ia terus putar tubuhnya untuk
masuk kedalam. Imam muda itu, yang telah terima hajaran awasi Siau
Hoo dengan mata mendelik dan muka perongosan, setelah
itu, ia-pun bertindak kedalam untuk lanjutkan santapannya.
Dipekarangan itu, kecuati Siau Hoo, tidak ada lain
orang. Ia lantas saja sembunyikan sebuah genteng, sesudah itu, ia pergi periksa ruangan itu, terus kedalam pendopo, akan tetapi ia tak lihat suatu apa yang mencurigai. Ia mendongkol kalau ia ingat imam disitu piara macan tutul yang galak.
Selang tidak lama sehabis dia mundar mandir, Siau Hoo
dapati pintu kuil dibuka, lalu masuk lima imam, yang
usianya tidak tinggi, mereka rupanya dengar genta dan
datang untuk bersantap. Mereka ini terperanjat apabila mereka tampak bangkainya macan tutul disamping siapa
ada berdiri seorang tidak dikenal yang tangannya menyekal pedang.
"Kau lagi buat apa?" satu imam tanya.
"Pergi kau desak Tan Kiam Hui agar dia dahar lekas-
lekas!" demikian ada jawaban menyimpang dari Siau Hoo.
"Bilang supaya dia segera antar aku ke Gie Cin Kiong!"
Menampak orang punya sikap garang itu, itu imam tidak
berani banyak omong lagi, bersama-sama empat kawannya, ia masuk kedalam.
Siau Hoo ada mendongkol, ia jalan pula bulak-balik
beberapa kali. Tidak antara lama, Tan Kiam Hui muncul bersama dua
imam kecil, sekali ini, ia berlaku sungkan. Begitu
menghadapi tamunya, ia membeni hormat sambil menjura.
"Sekarang kita antar kau ke Thian Kie Hong," berkata
ia. "Sesampainya disana, biar bagaimana, menemui guru
kita, kau mesti berlaku tahu aturan , jikalau tidak, aku
sendiri akan turut-urutan berdosa. Kau juga harus letaki kau punya pedang! Jangan kata orang luar, walau-pun kita,
orang dalam tidak diijinkan membawa pedang."
Siau Hoo manggut.
"Baik!" jawab ia. Lantas ia lemparkan pedang
ditangannya hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring.
Segera juga kedua kacung imam jalan dimuka dan Tan
Kiam Hui lalu temani tamunya itu.
Sekarang ini kabut tidak setebal tadi, maka itu samar-
samar mulai tertampak pepohonan dan jalanan disebelah
depan, malah suara burung-pun ada terdengar. Tujuan
mereka ada arah Utara. Sambil berjalan, Kiam Hui ajak
temannya bicara.
"Sampai pada tahun yang sudah, kami masih belum
dengar nama kau," demikian ia kata. "Adalah mulai tahun ini, ketika ada orang kita pergi keluar untuk pungut derma, ia pulang dengan membawa berita bahwa ia telah dengar
orang omong bahwa kau adalah muridnya pendekar tua
dari Hoa San. Entah kabar itu benar atau palsu. Apakah gurumu masih sehat wal"afiat?"
"Baiklah kita kurangi omong hal yang tak ada
kepentingannya!" Siau Hoo sanggapi. "Aku datang kemari untuk cari Too Teng, asal aku dapat cari padanya, dengan kau orang aku tak punya sangkutan suatu apa, pasti sekali aku tidak akan terbitkan onar disini!"
"Dengan sebenarnya kegunung kita ini tidak ada datang
imam perempuan," Kiam Hui berikan kepastiannya.
"Apa yang kau bilang, aku tak dapat segera
mempercayainya," Siau Hoo bilang terus terang. "Tidak
dapat tidak, aku mesti ketemu dahulu dengan gurumu, baru beres!"
Kiam Hui lantas saja tutup mulut.
Jalanan dilembah itu ada sukar sekali, malah makin lama makin sukar. Sebaliknya dari situ, orang akan sampai
disebuah puncak, entah tingginya berapa banyak tumbak, karena separuhnya telah terbenam dengan kabut. Disitu ada kedapatan tunggak-tunggak batu, yang dilipati dengan
rantai-rantai besi, untuk mendaki, orang mesti pepegangan, melapay dengan bantuannya rantai-rantai itu.
Kedua imam kacung naik lebih dahulu, kelihatannya
mereka sudah biasa, mereka bisa manjat secara sewajarnya.
Tangga ada tangga batu.
"Inilah Thian Kie Hong," Kiam Hui beri tahu tamunya.
"Dengan mendaki bukit ini, kita akan sampai di Gie Cin Kiong. Bagaimana, kau naik terlebih dahulu atau aku?"
"Kau lebih dahulu!" sahut Siau Hoo sambil bersenyum.
Kiam Hul lantas saja pegang rantai, ia mulai naik. Ia
berlaku ayal-ayalan, sembari bertindak atau melapay naik, saban-saban ia berpaling kebelakang, kepada tamunya.
"Hati-hati," ia pesan, "kalau jatuh tentu mampus! ?"
Siau Hoo tidak bilang suatu apa, ia diam saja.
Habis ini, barulah muridnya si siucay tua mulai naik. Ia juga gunai dua tangannya, akan menyekal rantai.
Mereka sudah naik dua tiga tumbak, lalu setelah itu, Siau Hoo tidak pegang rantai, ia bertindak naik dengan tubuh hampir nempel dengan tembok gunung, ia mirip dengan
cecak. Satu kali Kiam Hui berpaling pula kebawah, ia tampak
perbuatannya tamu ini, ia terkejut hingga air mukanya
berubah. Terang sekali, ia kagumi dan herani kepandaiannya pemuda itu.
"Tak dapat kau mendaki sebagai ini!" ia memberi
peringatan. "Berbahaya!"
"Jangan kau perdulikan aku, kau naik terus!" Siau Hoo
sahuti. "Umpama kata aku jatuh hitung-hitung saja aku
ganti jiwanya kau punya macan tutul, tak nanti aku punya roh cari padamu ... "
Selagi Siau Hoo mengucap demikian, sekonyong-
konyong tubuhnya Kiam Hui morosot turun, cepat sekali, menyusul mana, sebelah kakinya dipakai menjejak
kepalanya si anak muda.
Tak dapat lagi Siau Hoo perbaiki dirinya, untuk
menjambret rantai saja sudah tidak ada ketikanya. Tidak tempo lagi, tubuhnya jatuh kebawah. Akan tetapi, ia punya tubuh tetap berdiri, maka juga, ketika ia sampai ditanah, ia jatuh dengan berdiri, hingga ia tidak kurang suatu apa.
Hanya ia ada sangat gusar.
"Bagus, kau hendak celakai aku!" ia berseru, sedang
tangannya segera meraba sakunya, akan keluarkan
gentengnya dengan apa ia sambit imam itu. Ia telah gunai kepandaiannya, dan tenaganya juga.
Disebelah atas, berbareng dengan satu jeritan ngeri,
kelihatan tubuhnya Tan Kiam Hui jatuh turun, lalu
jatuhnya itu disusul dengan jeritannya kedua imam cilik, tetapi mereka ini, dalam kagetnya, sudah lantas lari naik keatas, laganya mirip dengan dua anak kunyuk.
Siau Hoo melihat kepada Tan Kiam Hui, dia ini rebah
dengan separuh mati, kepalanya borboran darah. Genteng yang dipakai menimpuk terletak tidak jauh dari orang
punya tubuh. Segera juga diatas puncak terdengar suara genta, yang
berbunyi dengan tiba-tiba suaranya gencar dan mengaung terus. Siau Hoo insaf artinya bunyi genta itu.
"Sekarang tak lagi dapat digunai aturan!" pikir ia. "Aku telah lukai salah satu dari Cit Toa-kiam-sian, tak mungkin yang lain-lainnya mau mengerti dan sudah saja!"
Oleh karena ini, Siau Hoo segera jumput pula
gentengnya akan disimpan lagi dalam sakunya, setelah itu ia jambret rantai besi untuk mendaki puncak. Ia naik
dengan cepat luar biasa, sebentar saja sudah hampir sampai di puncak.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara genta gencar terus, sekarang terdengarnya nyata
sekali, nyaring dan berisik. Disaat pemuda ini lompat naik ke tanab datar, ia lihat tiga atau empat-puluh toosu sedang mendatangi, semua mereka mengenakan pakaian yang
pendek dan ringkas, serta tangan mereka mencekal pedang, yang sinarnya gemerlapan. Diantaranya, tiga imam maju
paling muka, diantara mereka ini, yang satu ada
berewokan. Ia kenali Cou Kiam Hiang, yalah imam yang
dahulu sudah desak Kong Kiat hingga si orang she Kie itu terjatuh kedalam jurang ia dengar, walaupun orang she Cou ini dalam rombongannya ada bertingkat lebih rendah tetapi ilmu kepandaiannya termasuk yang nomor dua. Itu-pun
sebabnya kenapa ia dipanggil Jie Cin-jin. Dan sebentar saja, Kiam Hong sudah datang dekat. Kelihatan dia ada sangat gusar, selain kumis-jenggotnya bergerak-gerak, mukanya-pun merongos dan kedua matanya melotot.
"Kau Kang Siau Hoo?" ia tanya dengan bengis, "Kau
berani datang ketempatnya Bu Tong Cou-su, untuk
mengacau" Cara bagaimana kau berani bunuh aku punya
sutee?" "Jangan kau orang tidak pakai aturan," sahut Siau Hoo
seraya ia menggoyang tangan. Akan tetapi, belum sempat ia tutup mulutnya, atau pedang si imam sudah menyamber.
Terpaksa ia berkelit ke kanan. Di kanan ini, pedang sampai pula, hingga ia mesti lekas mengegos kekiri. Tapi juga disebelah kiri lagi-lagi ada pedang menikam, sedang di belakang, jalanan sudah tertutup. Tiga batang pedang,
dengan seru merangsek dengan berbareng.
Mendongkolnya Siau Hoo ada bukan alang-kepalang,
terpaksa ia enjot tubuhnya, akan loncat tinggi, lewat
diatasan pundaknya Cou Kiam Hiong.
Kiam Hiong segera putar tubuh, untuk menyusul dengan
tusukannya lebih jauh. Tapi Siau Hoo loncat terus, ke arah rombongan imam.
Dengan serentak, puluhan imam itu geraki pedang
mereka masing-masing, mereka menyerang sambil terus
mengurung. Siau Hoo berlaku gesit, ia tubruk satu imam, pedang
siapa ia rampas, lalu dengan senjata musuh itu, ia lakukan penyerangan membalas. Disebelah itu, ia-pun bela diri. Ia sekarang berada di tengah-tengah kurungan laganya satu penjual silat antara berkerumunnya banyak penonton.
"Siapa berani maju dia mampus!" dia berseru.
"Dengarlah dahulu perkataanku! Aku hendak menghadap
pada Cin Bu Yaya Sam Hong Cousu, untuk mohon maaf
yang disini aku mempergunakan pedang, habis itu aku nanti basmi pada kau orang semua, kawanan hantu! Untuk
mewakilkan Cousu membersihkan tempat suci ini!"
Baru Siau Hoo mengucap demikian, atau Cou kiam
Hiong sudah merangsak dan menyerang ia, terpaksa ia
angkat pedangnya, akan menangkis.
Kiam Hiong berlompat, pedangnya maju pula, beruntun
dengan tiga babatan.
Siau Hoo ada sangat gesit, mengikuti pedang lawan, ia
berkelit berulang-ulang. Dan setiap tindak yang Kiam
Hiong mendesak, setiap tindak ia mundur. Dengan ini
jalan, ia cari tahu gerak dari musuh. Lalu, dengan
sekonyong-konyong, ia balas menyerang, rangsekannya
mirip dengan keluarnya si raja hutan bengis dari dalam rimba.
Mau atau tidak, Cou Kiam Hiong mesti mundur, tetapi
ia gunai pedangnya, untuk menangkis, akan tahan orang
punya pedang, atas mana Siau Hoo gunai ketikanya
menekan senjata lawan, sampai imam itu tidak sanggup
membuat terpental genggamannya Si anak muda.
Siau Hoo maju, pedangnya dipakai menyamber
kebawah. Kiam Hiong tarik pulang pedangnya, ia berkelit kekiri.
Tapi Siau Hoo desak ia, pedangnya kembali menyamber,
maka lagi-lagi, ia mesti menangkis. Sekali ini kedua senjata bentrok satu dengan lain, menerbitkan suara nyaring yang melebihkan suara genta hingga mengejutkan siapa yang
mendengarnya ...
Masih Siau Hoo tidak mau berhenti, ia mendesak, dua
kali pedangnya bekerja, ke atas dan kebawah. Ia telah maju lagi dua tindak, untuk mendesak.
Cou Kiam Hiong, yang dikenal sebagai Jie-cinjin, bisa
hndarkan diri dari serangan, akan tetapi, karena hebatnya desakan, nyata ia sudah keteter. Didekat ia ada empat
imam, mereka ini lompat maju, akan perbaiki kedudukan
sendiri, untuk lagi-lagi maju pula.
Kang Siau Hoo layani lima buah pedang yang
mengepung padanya. Ia maju dan mundur, ia bergerak
kekiri dan kanan cepat luar biasa. Tapi ia mesti lewatkan dulu sepuluh jurus lebih ketika ia menyebabkan satu imam menjerit kesakitan, tubuhnya terus rubuh.
"Maju!" berteriak Cou Kiam Hong, yang ada gusar
sekali, ia sendiri memberi contoh.
Siau Hoo dikurung rapat sekali, ia melawan seraya main mundur, ketika kemudian ia sudah mundur sampai
disamping kuil dengan tiba-tiba ia enjot tubuhnya, akan loncat naik keatas tembok yang diberi warna merah.
Didalam pekarangan juga ada beberapa imam, yang
berdiri menjaga dengan pedang mereka siap sedia, tetapi Siau Hoo terus loncat turun, hingga ia mesti layani mereka itu.
Cepat sekali, Cou Kiam Hiong dan rombongannya telah
menyusul masuk, akan hubungi diri dengan kawan-
kawannya yang di dalam itu.
Kembali Siau Hoo berkelahi sambil mundur, ini kali, ia mundur sampai di samping cionglau, yalah rangon tempat genta, dimana, dengan gesit ia loncat naik seraya lewati kepalanya sejumlah imam.
Diatas cionglau itu ada satu imam, yang sedang
membunyikan genta, ia cekuk imam itu, sebelum orang
dapat ketika untuk berdaya, tidak ampun lagi. ia tolak orang punya tubuh sampai si imam rubuh dari atas rangon itu.
Setelah berbuat demikian, Siau Hoo tancap pedangnya
dikayu jendela, lalu dengan kedua tangannya, ia angkat lolos dan turunkan genta besar, yang beratnya dua-ratus kati, ia bawa itu ke jendela, untuk dilemparkan keluar.
Satu suara hebat adalah kesudahannya itu, akibat
jatuhnya genta ke tanah, sampai bumi tergetar, hingga
cionglau bergerak, gentengnya berbunyi. Di lain pihak, di bawah, ada terdengar beberapa jeritan menggiriskan.
Genta terbuat dari besi, tetapi waktu jatuh ketanah,
saking kerasnya bantingan, dia pecah dengan segera,
menjadi beberapa potong!
Habis itu, Siau Hoo ambil pula pedangnya.
"Siapa berani naik?" ia menantang seraya buat main
pedangnya itu. Dibawah, sekalian imam telah undurkan diri, diantaranya ada yang terluka, yang sudah lantas ditolong oleh kawan-kawannya.
Bahna gusarnya, kumis jenggotnya Cou Kiam Hiong
bergerak-gerak. Ia berdiri paling muka.
"Kang Siau Hoo." ia berseru sambil ia menuding dengan
pedangnya. "Jikalau kau tidak turun, aku nanti korbankan kuilku ini, aku nanti bakar ciong-lau ini! Aku hendak lihat, kau mampu terbang atau tidak ?"
Selagi imam ini perdengarkan ancamannya, Siau Hoo
telah keluarkan dia punya genteng besi, dengan itu ia
menimpuk dengan segera. Inilah Kiam Hiong tidak sangka.
Ia-pun tidak sempat berkelit, jitu sekali, genteng mengenai kepalanya, maka berbareng dengan terputusnya ia punya
ucapan, ia merasakan sakit dan pusing, hingga ia
sempoyongan. Sukur itu waktu, beberara imam sudah pegangi orang
punya tubuh, hinga tubuh itu tidak sampai rubuh.
Selagi kawanan imam itu kaget, sibuk dan repot, Siau
Hoo lihat mereka dengan tiba-tiba letaki pedang mereka
masing-masing, sebagai gantinya penyerangan lebih jauh, mereka pada membungkuk tubuh, pada menjura, kearah
pintu. Lantas, lebih jauh, Siau Hoo lihat dari luar ada
mendatangi empat imam, dari yang mana, dua telah putih kumis jenggotnya, yang satu berkumis jenggot hitam, dan yang satu pula, tidak ada kumisnya, umurnya kurang lebih tiga puluh tahun.
"Bagus!" berseru ini anak muda yang tidak jerih sedikit juga. "Kau orang tentu ada dari rombongan Cit Toa-kiamsian! Tapi kau orang masih kurang satu lagi. Nah,
hayolah kau orang maju semua!"
Atas tantangan itu, salah satu imam yang berkumis
jenggot ubinan angkat pedangnya, menuding keatas. Ia ini punya potongan tubuh, tinggi besarnya, hampir mirip
dengan Pau Kun Lun. Ia kata: "Kang Siau Hoo, kau turun.
Mari kita orang bicara!"
Siau Hoo bersenyum.
"Sekarang ini, apa lagi yang mesti dibicarakan?" kata ia secara tenang sekali. "Jumlah kau orang ada terlalu banyak!
Tapi, umpama kau orang maju bergerumutan, aku tidak
jerih, aku melainkan tidak tega apabila aku mesti lukai mereka, yang semuanya tidak bersalah dosa. Aku datang
untuk hadapi semua Cit Toa kiam sian!"
Imam tua itu bersikap tenang.
"Aku adalah Thio Hian Hay," ia perkenalkan diri.
"Inilah ada aku punya sutee Ma Hian To." ia tunjuk imam disampingnya, yang bersamaan usia dengan ia. Kemudian
ia tunjuk kedua imam lainnya, dengan bergantian, seraya bilang: "Dia ini Nie Kim Tiau, ini Lu Cong Giam. Kami
semua tinggal disini untuk sucikan diri, belum pernah kami
hinakan lain orang. Sebutan Cit Toa kiamsian bagi kami adalah sebutan belaka dari orang-orang luar, orang berikan itu kepada kami diluar tahu kami, diluar persetujuan kami juga. Dan di gunung kami ini, selama lima-ratus tahun, belum pernah ada orang yang berani datang untuk
mengacau, tetapi sekarang kau, Kang Siau Hoo, kau sudah berlaku
malang-melintang,
kau sudah langgar keangkerannya Cin Bu Yaya! Kenapa kau berani lukai
muridnya Sam Ceng?"
Dari atas loteng, Kang Siau Hoo perdengakan sura
tertawanya menghina.
"Dan kau orang, muridnya Sam Ceng, boleh piara
macan tutul untuk dipakai menggigit orang! Dan kau orang ijinkan satu imam perempuan liar menggendong-gendong
orang perempuan rakyat jelata mendaki gunungmu!"
Thio Hian Hay melengak.
"Eh, urusan apa itu yang kaui sebut-sebut?" tanya ia
saking heran. "Kang Siau Hoo, hayo turun! Mari kita
bicara! Kita tidak nanti curangi padamu!"
Tanpa bersangsi sedikt juga, seraya putar pedangnya,
Siau Hoo loncat turun. Ia tertawa mengejek.
"Siapa jerih terhadap kau orang?" katanya, tetap secaya menantang. "Adalah aku yang mengharapi agar aku orang
tidak mencari mampusmu sendiri!"
Chio Hian Hay ada cukup sabar untuk tidak menjadi
gusar. "Kau bilang kami piara macan tutul, mana dia macan
itu?" ia tanya.
"Pergilah kau turun, akan lihat seudiri," Siau Hoo jawab,
"Didalam kuil dari Tan Kiam Hui ada bangkainya seekor
macan tutul. Coba aku tidak mengerti silat, pasti siang-siang aku sudah jadi barang makanannya harimau itu, tidak
sisanya lagi dan tulang-ulangku juga!"
Thio Hian Hay kaget, mukanya menjadi berubah.
Terang ia ada gusar, ia menoleh kepada rombongannya.
Dua imam segera majukan diri, mereka menjura pada
imam tua ini. "Di kuil bawah ada seekor macan tutul," berkata satu
diantaranya. "Itu binatang dipiara sejak masih kecil oleh Tan Su siok, belum pernah melukai orang ... "
Mendengar ini, tampangnya Thio Hian Hay tidak
semerah padam seperti tadi.
"Kuil dibawah itu ada sangat sepi," kata ia pada Siau
Hoo. "kami kuatir nanti ada orang-orang jahat, yang datang untuk ganggu kami dari itu, kami sudah piara macan tutul.
Jikalau kau tidak datang mengacau, tidak nanti binatang itu ganggu padamu. Barusan kau sebut-sebut penculikan
perempuan rakyat jelata. Bagaimana duduknya itu"
Perempuan siapakah dia itu?"
"Itulah ada urusan kau orang!" jawab Siau Hoo, dengan
mendongkol. "Diantara orang kau disini, ada yang telah buat perhubungan dengan imam perempuan bernama Too
Teng dari Kiu Sian Koan dan In Ciat Nia. Imam itu sudah culik isteriku, yang dia bawa lari kemari!"
Begitu dengar keterangan itu, Thio Hian Hay segera
berpaling pada Lu Cong Giam, itu imam muda umur
kurang lebih tiga puluh tahun yang mukanya putih dan
cakap. Dia ini tidak kata suatu apa kepada imam tua itu, ia hanya menghampiri Siau Hoo, untuk terus menjura. Ia ada bawa pedang ditangannya, tetapi ia tidak menyerang,
malah ia bersikap tenang sekali.
"Pasti sekali kau telah kena orang pedayakan," berkata ia. "Memang, pada satu tahun yang lalu, pernah satu kali Too Teng datang kemari, tetapi dia datang ke Cia Bu Bio, untuk bersujut, habis itu, dia sudah lantas pergi pula. Kami tidak punya perkenalan dengan dia itu. Disekitar gunung kami ini, yang luasnya seratus lie, ada banyak rumah-rumah suci lainnya, malah di belakang gunung, ada
beberapa kampung, maka pergilah kau cari dia disana,
tetapi jangan kau ganggu kesucian dan ketenteramannya
tempat kami ini."
Siau Hoo berpikir sebentar, lantas ia menjawab : "Baik, aku nanti pergi mencari kelain tempat, tetapi ingat, apabila aku tak berhasil mendapatinya, aku nanti datang pula
kemari untuk minta keterangan lebih jauh! Nah, sampai
ketemu pula! Sampai ketemu pula!"
Setelah mengucap demikian pemuda ini putar tubuhnya.
Ia baru bertindak, atau dengan sekonyong-konyong Thio
Hian Hay loncat kebelakangnya, gerakannya sangat gesit, jari tangannya yang kiri dipakai menotok orang punya
bebokong! Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya gesit.
Melihat orang bokong ia! Ia lekas putar tubuh lagi,
berbareng dengan itu, ia membabat dengan pedangnya.
Thio Hian Hay tarik pulang tangannya ia batal
menyerang. Siau Hoo sementara itu tertawa mengejek dan berkata :
"Apakah kau masih memikir untuk gunai ini macam cara
seranganmu terhadap aku" Hm!"
Thio Hian Hay tidak meajawab, ia tak gubris jengekan
itu, hanya dengan pedangnya, ia menyerang.
Dengan pedangnya, Siau Hoo tangkis serangan itu.
Baru sekarang si imam buka mulutnya, dengan mata
mendelik. "Kang Siau Hoo, kau sudah lukai orangku, kau telah
mengacau di puncak Thian Kie Hong ini. Apakah kau kira kau bisa dengan begini saja berlalu dari sini?" kata ia.
"Sedikitnya kau mesti berlutut di depan Cou-su untuk
kau pasang hio dan hunjuk kehormatan," jawab Thio Hian Hay. "Habis itu kami nanti ringkus kau, untuk gotong kau turun gunung, buat diserahkan pada pembesar negara."
"Cis!" berseru Siau Hoo, yang segera maju menyerang
imam itu. Thio Hian Hay tangkis itu serangan.
Ma Hian To bersama Nie Kiam juga Cou Kiam Hiong
segera akan bantu mengepung.
Selagi orang bertempur, satu dikepung berempat, Lu
Cong Giam berdiri saja, sambil menonton.
Siau Hoo tidak jerih barang sedikit walau-pun ia
dikurung empat musuh yang liehay, lebih-lebih Thio Hian Hay dan Ma Hian To.
Selama itu, dari arah luar, ada datang lain-lain imam, hingga jumlah mereka jadi lima atau enam-puluh orang
banyaknya. mereka ini bersikap mengurung.
Pertempuran berjalan terus, dengan seru sekali. Entah
bagaimana pikirannya Ma Hian To, ia berseru satu kali
terhadap sekalian imam, atas mana, mereka ini, semuanya, segera meluruk maju, akan menyerang pemuda kita.
Sedetik saja, Siau Hoo sudah kena dikurung. Ia tidak
mau terjang bahaya, maka itu, segera ia membuka jalan, kemudian dengan sebat, ia loncat pula naik keatas cionglau,
disini ia tidak berdiam lama, ia hanya loncat turun, keluar tembok pekarangan.
"Maju!" berseru Cou Kiam Hiong dan Nie Kiam Tiau,
yang terus kepalai rombongannya memburu keluar. Kiam
Hiong mendongkol, karena ia ditimpuk genteng. Coba ia
tidak kelit, niscaya ia akan terluka parah.
Siau Hoo layani musuh sambil terus mundur dengan
perlahan-lahan, ia tidak mau kasi dirinya kena dikurung.
Karena ia mundur terus, tidak lama ia sudah mendekati tepi jurang yang kita kenal. Begitu ia sudah sampai ditepi jurang itu, ia tunda tindakannya.
"Mari, maju, maju!" ia segera menantang sambil
menggapai-gapai.
Sekalian imam itu maju terus, bagaikan arus saja. Malah diantaranya ada yang melepaskan panah-tangan.
Siau Hoo gunai pedangnya akan sampok jatuh beberapa
batang panah, kemudian ia terjang Cou Kiam Hiong dan
Nie Kiam Tau, yang maju paling depan. Ia berlaku gesit sekali, ia mendesak, maka, baru beberapa jurus, ia telah buat rubuh pada imam yang belakangan. Sesudah ini. Ia
lompat mundur dengan tiba-tiba, ia tertawa bergelak-gelak sesudah mana, tahu-tahu ia enjot tubuhnya, akan loncat turun kejurang, nampaknya tubuh itu seperti terbang
melayang ... Dengan tidak kurang suatu apa, anak muda ini taruh
kakinya didalam lembah, tapi menyusul itu, ada beberapa batang panah dan juga batu, yang menyamber padanya,
karena mana, ia terus lari terlebih jauh, kemudian barulah ia berhenti, akan berdiri diam.
Disini kabut sudah lenyap. Kapan ia menoleh
kesekitarnya. Ia tampak beberapa tukang kayu sedang
bekerja. Ia perbaiki dahulu napasnya yang memburu,
kemudian ia bertindak menghampirkan tukang-tukang
potong kayu itu. Selagi mendekati ia lihat orang punya rambut digelung sebagal kondenya imam, maka itu ia lantas letaki pedarngnya untuk angkat kedua tangannya akan beri hormat kepada mereka.
"Rupanya kau orang lagi repot sekali!" kata ia dengan
manis. Beberapa tukang kayu imam itu berhentikan kampak
nereka, semuanya awasi anak muda ini.
"Ada urusan apa?" tanya salah satu imam yang balas
orang punya hormat.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Hoo menghela napas. Ia membawa aksinya.
"Aku adalah satu penduduk Han-tiong," ia menjawab,
"apa lacur, selagi aku hidup tenteram di rumahku tiba-tiba ada datang malapetaka. Diluar dugaanku, aku kedatangan satu imam perempuan yang memungut derma dari Kiu Sin
Hoan dan In Ciat Nia, namanya Too Teng. Entah kenapa
ia tertarik oleh isteriku, terus saja ia serang isteriku dan panggul pergi untuk diculik. Aku pergi mengadu pada
pembesar negeri, hamba polisi sudah lantas dikirim ke Kiu Sian Koan untuk mencari dan menangkap, akan tetapi sia-sia kita menggeledahnya. Menurut keterangannya orang
dalam kuil itu katanya isteriku digondol pergi kemari ... "
Beberapa imam itu nampak kaget.
"Too Teng?" tanya satu diantara mereka. "Kami tahu
dia ada su-cie dari Tiat Tiang Ceng. Dia memang bukannya imam baik-baik."
Habis itu beberapa imam tersebut mulai bekerja pula,
kecuali yang barusan bicara, ia bicara terlebih jauh dengan pemuda kita.
"Too Teng itu, duluan memang suka ke sini," demikian
katanya. "Tapi dia tidak berani mendaki Thian Kie Hong, Ngo Liong Hong. Sebabnya yalah beberapa kiamsian yaya
larang dia datang naik. Maka itu apabila dia datang kemari, dia cuma berdiam di dekat-dekat Kay Kiam Coan dan
gunung belakang. Kemarin ketika aku pergi jual kayu
didalam kota, aku dapat lihat dia berada di satu jalan besar
?" "Apakah dia berada didalam kota?" Siau Hoo tanya.
"Boleh jadi dia masih berada didalam kota," sahut sang imam, "hanya aku tidak tahu dia mondok dimana."
Siau Hoo rangkap kedua tangannya.
"Terima kasih!" ia mengucap. Ia hampirkan pedangnya
untuk dijumput, dengan bawa itu ia turun terlebih jauh dari gunung itu.
Pada waktu itu walau-pun kabut telah buyar akan tetapi matahari masih belum muncul. Puncak kelihatan diempat
penjuru berlapis-lapis, hingga sukar untuk mencari arah tujuan. Siau Hoo tapinya jalan terus, turun.
Tidak lama pemuda ini dengar suara air jatuh, ia lantas tahu, ia sudah mendekati sumber air Kay Kiam Coan. Ia
jalan pula sampai sedikit jauh di depan ia, ditengah gunung ia lihat ada berdiri satu imam, siapa terus menggape
terhadapnya, seraya dia itu terus memanggil: "Kang Sie-cu,disini ada jalanan! Mari naik kemari. Aku-pun ingin omong sedikit denganmu!"
Siau Hoo dongak, ia lantas kenali imam itu, salah satu dari Cit Toa-kiamsian, yalah Leng In Kiamkek Lu Cong
Giam. Dengan tidak pikir panjang lagi ia bertindak ke arah imam itu, sambil berlompat kemudian dia datang padanya.
"Sungguh liehay!" memuji imam itu, yang lihat orang
punya loncat tinggi.
Siau Hoo bersenyum. Ia bertindak lagi untuk lebih dekat dua tindak.
"Lu Too-ya," berkata ia. "ketika tadi aku tempur
sekalian imam itu, melainkan kau yang tidak turun tangan untuk bantui mereka, kau ada baik sekali!"
"Sebenarnya aku bukanlah kawan mereka itu," Cong
Giam menjawab. "Adalah orang luar yang tarik aku masuk dalam rombongan mereka. Dengan sesungguhnya aku tidak
gembira disebut sebagai satu diantara mereka."
"Mendengar suaramu, kau bukannya asal sini." Siau
Hoo kata. "kenapa kau jadi berada bersama-sama dengan
mereka itu?"
"Bukan saja aku bukannya rombongan mereka, malah
imam-pun aku bukannya," Cong Giam berkata pula dengan
penjelasannya. "Pada tiga tahun yang lampau, di
kampungku aku telah kena bunuh orang, pembesar negeri
cari aku, aku kini menyingkir kemari. Tadinya aku tidak bisa liamkeng dan tidak pernah duduk bersamedhi juga."
"Kau sebenarnya asal dari mana?"
"Aku ada asal distrik Wie-leng dipropinsi Kui-ciu.
Dengan Too Teng aku ada berasal satu kampung halaman.
Maka itu untuk cari Too Teng kau seharusnya datang
padaku, dengan begitu kau jadi bisa hemati tempo dan
kesulitan. Sia-sialah tadi kau mendaki Thian Kie Hong, malah kau jadi tanam bibit permusuhan dengan kawanan
imam itu. Kau benar liehay akan tetapi kau belum pernah ketemu dengan Yok Hian Ceng, umpama kata imam tua itu
muncul pastilah sudah jiwamu tak bakal dapat dipertanggungkan lagi!"
Siau Hoo bersenyum ewa.
"Kau jangan angkat-angkat namanya imam itu untuk
gertak aku!" ia bilang. "Aku datang kemari bukan untuk berkelahi. Aku tahu meski-pun kau orang semua ada pada beradat tinggi, kau orang tapinya bukan manusia-sia terlalu busuk. Kau bilang kau kenal Too Teng, nah, apa kau boleh beri tahu dimana adanya dia sekarang" Asal kau bisa
ketemui kepadanya, asal dia suka kembalikan isteriku, aku akan buat habis urusan kita, aku janji tidak bakal buat dia celaka."
"Umpama kau bunuh dia, itulah tidak ada sangkut-
pautnya dengan aku," Cong Giam bilang. "Kendati-pun dia ada seorang asal satu kampung dengan aku, sebenarnya
melainkan aku yang tahu dia siapa, dia sendiri, tidak kenal aku. Aku nanti tunjukkan tiga tempat kemana kau bisa cari dia. Yang pertama adalah Cau-hay-pong didistrik Wie-leng di Kuiciu. Yang ke dua ada kelenteng Thay Kek Koan
digunung Heng San, dan yang ketiga di Leng-lam ?"
"Kau benar cerdik!" pikir Siau Hoo, yang tertawa dalam hatinya. "Rupanya kau hendak buat aku pergi demikian
punya jauh ... " Tapi ia terus mendengari.
"Too Teng jarang datang ke Bu Tong San ini!" demikian
Leng In Kiam-kek tambahkan, "Kalau toh dia datang
kemari, dia tak berani naik ke gunung ini. Disini kau pasti tidak bakal dapat cari dia!"
Siau Hoo manggut.
"Terima kasih!" kata ia. "Baiklah, nanti pergi lebih
dahulu ke Heng San untuk cari padanya! Sampai ketemu
pula! Sampai ketemu pula!"
Lantas saja pemuda ini loncat turun lagi, ia jalan, sampai ia ketemu sebuah puncak. Disini ia mendaki, ia naik
ketempat yang tinggi, maka kapan ia putar tubuhnya, ia dapat lihat Lu Cong Giam, yang sekarang berada
dibawahan. Dengan ikuti jalanan ditepi gunung, imam itu menuju naik juga, makin lama, dia jalan makin jauh,
sampai akhirnya tidak tertam pak pula.
Siau Hoo perhatikan orang punya tujuan, terutama
keletakan bukit itu. Segera juga ia ingat, ia kenali bagian gunung itu. Ketika Kie Kong kiat datang dan bertempur
sama sekalian imam, itu adalah tempat dimana orang she Kie itu terjatuh dari atas gunung. Itulah tempat kemana barusan Lu Cong Giam pergi. Tempat itu ada lebih lebat pepohonannya, daun merah seperti memenuhi daerah itu.
Oleh karena ini, Siau Hoo lantas dengari suara air, untuk ketahui arahnya, kemudian ia bertindak, akan menuju
kearah air tumpah itu. Ia tidak usah jalau jauh akan dapat lihat jurang kemana air tumpah.
Ketika itu ada dimasa musim rontok, air tumpah tidak
sehebat seperti dimusim panas.
Dengan cepat Siau Hoo menuju ke tempat dimana tadi
Lu Cong Giam menghilang, Ia dicegat oleh sekelompokan
pohon angco yang lebat, maka, untuk membuka jalan, ia
guai ia punya pedang, akan babat sesuatu rintangan. Disitupun ada banyak pohon oyot. Ia mendaki terus, sampai dua puncak, sehabisnya itu, ia lihat sebuah kuil di depannya. Ia ingat betul, itu ada tempat kemana Kie Kong Kiat telah pergi mengacau. Ia lantas berdiam, untuk memikir.
"Diluar keinginanku, disini aku telah binasakan beberapa orang. Dimata orang-orang yang tidak tahu duduknya, aku pasti dikatakan menghina kawanan imam itu, aku sudah
mengacau dan permainkan jiwa orang. Apabila anggapan
itu sampai tersiar, aku bakal dapat nama jelek, orang akan tertawai dan jengeki aku. Inilah aku mesti jaga. Aku
percaya, Too Teng mesti berada disini. Kelihatannya,
kecuali Lu Cong Giam, lain orang tak ketahui halnya imam perempan itu. Lain-lain imam tentunya tidak sudi bantu aku. Sekarang baik aku kuntit orang she Lu itu, aku percaya aku bakal dapat cari Too Teng ?"
Setelah ambil ketetapan, Siau Hoo mundur, ia mencoba
mencari jalanan, untuk mendaki. Dengan cepat ia sampai disitu terpat dimana, sambil duduk beristirahat diatas sebuah batu besar, ia lihat nyata kuil tadi, yang sekarang berada disebelah bawah dia. Ia memperhatikan kuil itu.
Kuil itu terbagi dalam dua pendopo, tapi dari situ, tidak tertampak barang satu imam juga.
Siau Hoo tidak putus asa, ia duduk terus, sambil
memasang mata. Akhir-akhirnya, selang sekian lama, dari pendopo
sebelah Barat, kelihatan juga munculnya satu orang. Dia ada memakai jubah gerombongan, tangannya panjang. Itu
orang ada satu imam, tindakannya cepat, gesit, jalannya dengan dada diangkat.
Apabila ia telah mengawasi sekian lama, Siau Hoo
kenali Lu Cong Giam.
"Benar-benar dia ada disini," pikir anak muda kita.
"Sekarang aku mau lihat, ke mana perginya ini imam
tetiron. Dia ada muda, dia beroman cakap, omongnya
manis-budi tetapi aku percaya, dia ada terlebih buruk
daripada imam-imam lainnya ... "
Lu Cong Giam berjalan lerus, disebelah bawah, diluar ia punya tahu, Siau Hoo bayangi ia dan sebelah atas.
Rupanya, dia tidak curiga sama sekali karena tadi dia lihat pemuda kita sudah pergi. Dia tidak jalan terlalu cepat. Dia
mendaki sampai kemudian dia berada sama tingginya
seperti penguntitnya. Dia masih tidak curiga atau lengah.
Siau Hoo terpaksa bertindak dengan pelahan, ia
pernahkan diri belakangan, ia berlaku sangat hati-hati, agar imam itu tidak dapat lihat padanya.
Cong Giam jalan terus, tidak pernah dia menoleh ke
belakang. Dia jalan naik. Jalanan ada bertambah sukar.
Sesudah naik pula sekian lama, mereka berada diatas,
ditempat dimana tidak ada pepohonan. disitu awan seperti bergumpal jadi satu dengan kabut.
Entah berapa jauh mereka itu sudah berjalan ...
"Apa bisa jadi Too Teng tidak berada disini?" akhirnya Siau Hoo sangsi sendirinya. "Atau umpama kata ia benar ada disini, tetapi Ah Loan, dengan lukanya itu, mana bisa naik begini tinggi" Apa tak mungkin, Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam lagi pancing aku, karena disini ia sedang
pasang suatu jebakan?"
Baru Siau Hoo memikir demikian, atau ia sudah bisa
lantas legakan diri.
"Ditanganku ada sebatang pedang, apa yang aku mesti
buat jerih?" demikian ia kata pula dalam hatinya.
Oleh karena ini, ia lantas bertindak lebih jauh. Semakin ia mendekati kuil, semakin nyata ia lihat kuil itu ada besar, semuanya terdiri dan tiga pendopo. Ketika ia sudah sampai didekat pintu pekarangan, ia dapati pintu itu tertutup rapat, diatas ada galakgasi dimana-pun ada bangkai cecapung dan lainnya kutu, yang menjadi kurbannya kawa-kawa. Seekor kawa-kawa besar sedang mendekam disarangnya.
Melihat keadaan, rupanya kuil itu sudah lama tidak
pernah dibuka, didalamnya seperti tidak ada penghuninya.
Maka Siau Hoo-pun sangsi, didalam situ ada orang atau
tidak. Ketika ia mencoba dengan ujung pedangnya, akan
ketok pintu, sampai beberapa kali, ia tidak dengar jawaban suatu apa dari sebelah dalam.
"Sungguh satu tempat yang bagus!" Siau Hoo berpikir
pula. " Jikalau Too Teng berkongkol dengan Lu Cong
Giam dan ia gondol Ah Loan kemari, untuk disembunyikan, pasti sekali tidak ada orang yang sanggup mencarinya!"
Anak muda kita penasaran, dari itu, berbareng
mendongkol, ia loncat naik ketembok akan loncat lebih
jauh, turun kesebelah dalam. Ia pasang kuping. Ia tidak dengar suara apa-apa dari dalam pendopo.
Jendela dari ketiga pendopo tengah, timur dan barat
sudah rusak bobrok, walau pun demikian dari dalam situ ada mengebul keluar asap hio atau dupa. Maka itu Siau
Hoo bertindak masuk kependopo tengah. Dari ruangan
pertama ia memasuki ruangan kedua. Disini tetap tidak ada orang, dari itu ia maju lebih jauh keruangan ketiga.
Adalah disini, barulah Siau Hoo berhadapan dengan satu imam yang lagi berjalan keluar, rupanya dia hendak pergi mencari kayu. Dia heran melihat ada tamu tidak diundang, segera ia berhentikan tindakannya.
"Kau siapa?" imam itu mendahului menanya.
Siau Hoo angkat kedua tangannya, untuk dirangkapi.
"Aku ada seorang she Kang." ia menyahut dengan sabar.
"Aku datang kemari untuk cari Lu Cong Giam dengan
siapa aku hendak bicarakan suatu urusan. Barusan aku lihat dia mendaki gunung ini dan datang kemari, dari itu aku susul dia kesini."
Imam itu mengawasi dengan romannya tetap dalam
keheranan. "Kuilku ini adalah kuil Thay Hian Koan di puncak Cie
Siau Hong," ia lantas kasi keterangan. "Disini melainkan ada aku sendiri yang melayani Hian Ceng Loo hong tiang yang sedang sucikan diri. Tidak ada orang yang ketiga yang bisa naik kemari. Lu Cong Giam tinggal dipuncak Ngo
Liong Hong, kau boleh cari dia disana. Laginya, kenapa kau naik kemari dengan bawa-bawa pedang."
Siau Hoo menjadi mendongkol dengan tiba-tiba, karena
ia anggap orang sudah dustakan padanya.
"Toh terang sekali aku lihat dia datang kemari!" kata ia dengan sengit. "Cara bagaimana kau berani menyangkal"
Sekarang aku hendak bertemu sama Yok Hian Ceng! Biar
dia ada yang nomor satu diantara Cit Toa-kiamsian, aku tidak takut padanya! Jangan dia berkongkol sama imam
perempuan busuk menyembunyikan isteriku disini!"
Lalu, dengan sebelah tangannya, ia tolak kesamping
pada imam itu, untuk ia maju melewatkan dia.
Baru Siau Hoo jalan beberapa tindak, lalu dari dalam
muilie dari pendopo barat, yang kain penutup pintunya
berwarna kuning jeruk, terdengar suara pertanyaan: "Ada apa?" Itu ada suara orang tua tetapi keren.
Dengan cepat Siau Hoo menghampiri muilie itu, yang ia
terus singkap dengan ujung pedangnya, maka itu dengan
segera ia berhadapan sama satu imam tua, tubuh siapa
terlalu besar dan jangkung, tetapi kumis jenggotnya panjang dua kaki lebih, rambutnya sudah-putih semua, dengan dia punya jubah biru dia nampaknya luar biasa sekali aneh.
Dengan tetap cekal pedangnya, Siau Hoo rangkapkan
kedua tanganya.
"Yok Too-ya," berkata ia, yang segera menduga, siapa
adanya imam tua itu, "sudah lama aku dengar namamu
yang besar, karena kau adalah yang pertama diantara tujuh Toa-kiamsian, kau terkenal untuk kesucianmu. Aku sendiri adalah Kang Siau Hoo, muridnya Loo sianshe dari Kiu
Hoa San. Aku datang kemari untuk mencari orang. Isteriku, yang bernama Ah Loan, sudah diculik oleh Too Teng Sukou, dan aku telah dapat keterangan, imam perempuan itu berkongkol dengan Lu Cong Giam, yang juga berdiam di
puncak ini. Isterku itu telah disembunyikan disini ... "
"Kang Siau Hoo!" berseru Yok Hian Ceng tanpa tunggu
orang tutup mulutnya. Dia-pun segera hunjukan roman
gusar sekali. "Kang Siau Hoo, segala perbuatan kau ini hari di Thian Kie Kong, aku telah ketahui semuanya. Bu Tong San ini ada gunung dimana Cin Bu Ya telah peroleh
kesempurnaannya, dan sampai sekarang ini, Thong Bie
Hian Hoa Cinjin Sam Hong Cousu masih terus hidup ... "
Siau Hoo pun segera memotong.
"Aku datang kemari bukan untuk mengacau dengan
sengaja!" ia bilang, "Sikapku disebabkan di gunung kau orang ini benar-ada sembunyi orang jahat! Aku juga
mengerti aturan, dari itu waktu tadi aku mendaki gunung ini, aku tidak bawa pedang, sedang pedangku ini adalah senjata yang tadi aku dapat rampas dari tangannya kau
orang punya murid. Kau lihatlah ini!"
Siau Hoo sodorkan pedangnya pada imam tua itu.
Yok Hian Ceng lihat pada gagang pedang pita warna
kuning, ia manggut.
"Baik!" ia jawab. Dan lantas ia membungkuk sedikit,
untuk letaki pedangnya itu dipinggiran, hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring.
Adalah selagi si anak muda sedikit membungkuk itu,
dengan kesebatan luar biasa, Yok Hian Ceng maju sambil ulur sebelah tangannya, hingga jerijinya sudah lantas
mengenai orang punya tulang iga!
Ini adalah penyerangan yang Siau Hoo tidak pernah
sangka, karena datangnya dari satu imam tua yang tersohor namanya. Segera ia merasakan tubuhnya jadi kaku semua, hingga ia rubuh tanpa berdaya lagi, karena kepalanya
membentur jendela, jendela ruji jendela yang bobrok
menjadi patah. Ia kaget tetapi sudah kasep. Mesti juga ia sudah tidak berdaya, akan tetapi ia masih bisa tertawa terbahak
"Bagus!" dia berseru. "Baru sekarang aku kenal baik kau orang semua Cit Toa-kiam-sian! Nyatanya kau orang semua ada bangsa tikus yang hina dina!"
Biar bagaimana, pemuda ini toh sibuk juga. Ia segera
empos ia punya semangat, ia berniat gunai ilmu
kepandaiannya sendiri, akan buat punah orang punya
totokan jalan darah itu. Ia ada sangat menyesal, karena kealpaannya, ia telah kena dibokong.
Yok Hian Ceng tidak perdulikan orang punya jengekan,
ia segera ambil dua potong tambang terbuat dari rumput, dengan itu dengan sebat ia ringkus Siau Hoo punya kedua tangan dan kaki, dililit pada tubuhnya.
Justeru itu dari luar ada imam, yalah imam yang tadi
Siau Hoo tolak mundur.
"Cousu-ya, orang ini bertenaga sangat besar," ia
beritahu, "jangan tambang rumput itu tidak cukup tangguh untuk mengikat dia ... "
"Pergilah kau cari lain tambang." Hian Ceng jawab
imam tukang cari kayu itu, "Sekalian kau juga suruh kau
orang datang kemari. Dengan aku yang menjagai, dia ini tidak bakalan bisa loloskan diri.
Imam itu menyahuti lalu dengan tergesa-gesa, ia
undurkan diri. "Yok Hian Ceng, pikirlah baik-baik!" kata Siau Hoo
sambil kertek gigi, karena ia mencoba menahan hawa
amarahnya. "Aku ada muridnya Loo Sinshe dari Kiu Hoa
San, maka jikalau kau berani main gila terhadapnya,
silahkan kau bunuh aku!"
Air mukanya Yok Wan Ceng berubah dari pucat
menjadi merah, menjadi merah padam, kulit mukanya juga bergerak-gerak sampai satu kali, lenyaplah kisutannya. Di akhirnya, ia hunjuk roman murka.
"Janganlah kau gertak aku dengan sebut-sebut nama
gurumu!" ia bilang dalam sengitnya. "Jikalau dia datang kemari, aku juga akan ringkus padanya! Tapi di sni aku telah sucikan diri buat lebih dari pada enam puluh tahun, aku tidak hendak ganggu orang punya jiwa. Kau tunggu
saja datangnya muridku, nanti aku perintah mereka gotong kau turun gunung, untuk diserahkan pada pembesar negeri, supaya kau dihukum untuk kedosaanmu sudah mengacau
kesucian gunungku ini, buat kau punya pembunuhan
terhadap beberapa jiwanya orang-orang suci!"
"Baik, boleh kau buat apa kau suka!" bersecu Siau Hoo
dalam murkanya. "Ku jaga supaya aku tidak sampai dapat lolos, umpama aku bisa loloskan diri, sebelumnya aku injak rata kau punya gunung ini, aku belum puas!"
Habis mengucap demikian, Siau Hoo kembali empos
semangatnya, ia hendak buat darahnya mengalir pula
seperti biasa, dengan begitu, ia akan bebas dari bahaya totokan, dengan gampang ia akan berontak buat buat putus semua tambang yang melibat tubuhnya. Akan tetapi, belum
sempat ia gunai tenaganya. Ia lihat datangnya imam yang tadi bersama dua kawannya, yang ada bawa tambang, yang jauh terlebih kasar daripada yang mengikat dirinya, hingga di lain saat, ia sudah dibelenggu terlebih jauh, dilapis dengan belengguannya yang pertama.
Kedua toosu yang baru datang itu adalah Thio Hian Hay
dan Lu Cong Giam, maka itu, menampak imam itu, yang
disebut imam tetiron, gusarnya Siau Hoo bukan kepalang.
"Lu Tiong Giam, manusia busuk!" Ia

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera mendamprat. Leng In Kiam-kek berpura-pura tidak mendengar
dampratan itu. "Loo cousu," ia minta kepada Yok Hian Ceng, "tolong
kau serahkan orang ini kepadaku untuk aku yang hukum
padanya. Supaya dia tidak mengacau pula di Cousu punya tempat suci ini!"
Yok Hian Ceng menoleh pada imam tamu ini.
"Aku tidak bisa antap dia membunuh orang diatas
gunungku ini, tetapi kita orang-orang suci tak dapat langgar pantangan membunuh!" berkata ia dengan suara sungguh-sungguh. "Dia ini berlaku kurang ajar, cukup jikalau kita buat dia tidak berdaya! Kau hendak bawa dia, apa kau niat lakukan terbadapnya" Apakah kau ingin bunuh dia diluar tahuku?"
Lu Cong Giam menjura.
"Tidak, Loo-cousu" jawab ia.
"Yok Hian Ceng, aku lihat kau masih pakai aturan, kau
nyata ada satu imam baik-baik," Siau Hoo bilang.
"Sekarang kau merdekakkan aku, aku tidak nanti satrukan pula kau orang. Aku memangnya cuma hendak cari Lu
Cong Giam, aku hendak ajak dia cari Too Teng, untuk aku minta pulang isteriku!"
Mukanya Cong Giam menjadi pucat dengan tiba-tiba.
"Jangan merdekakan dia!" lekas-lekas dia kata pada Yok Hian Ceng. "Aku kenal orang ini! Didalam kalangan
kangou, tidak ada kejahatan yang dia tidak lakukan!"
"Fui!" Siau Hoo berludah. "Tidak ada kejahatan yang
tidak dilakukan" Aku bukannya sebangsa kau! Kau sudah
berkongkol sama Too Teng, kau bantu imam perempuan itu culik satu perempuan rakyat jelata dibawa lari kegunung ini!"
"Kau punyakan buktinya?" tegaskan Yok Hian Ceng.
"Pasti!" sahut Siau Hoo. "Di In Ciat Nia aku telah
bentrok dengan Too Teng hingga kami berdua jadi
bermusuhan, lantas dia tantang aku datang ke Bu Tong San ini untuk adu kepandaian terlebih jauh! Isteriku telah terlenyap di kuil di In Ciat Nia, imam tua disitu telah kasikan keterangan padaku bahwa isteriku sudah dibawa
lari oleh Too Teng, dibawa kesini! Barusan aku telah
tanyakan beberapa imam di gunung kau ini, yang sedang
potong kayu, antaranya ada yang bilangi aku bahwa
kemarin dia pernah lihat Too Teng didalam kota, akan
tetapi Lu Cong Giam sebaliknya, dengan mendusta, hendak pancing aku ke Kui ciu! Cong Giam terang sudah
berkongkol sama Too Teng, maka itu dia mestinya tahu
betul dimana isteriku disembunyikan!"
Yok Hian Ceng melotot terhadap orang she Lu itu.
"Mulai saat ini, aku larang kau turun gunung," ia ancam.
"Kau mesti berdiam disini, sampai aku sudah selesai
dengan penyelidikanku! Andaikata keterangannya Kang
Siau Hoo benar adanya, kau harus ketahui aturan
digunungku ini!"
Lu Cong Giam menjura pula.
"Semua ini adalah kedustaannya Kang Siau Hoo," ia
masih bela diri. "Aku tidak kenal imam perempuan yang
bernama Too Teng itu! Tadi-pun baru saja aku bicara
kepada Kang Siau Hoo ini. Silahkan cousu-ya lakukan
penyelidikan, jikalau teecu benar ada lakukan suatu
pelanggaran, terserah kepada Cousu-ya untuk ambil
keputusan!"
Yok Hian Ceng manggut.
"Oleh karena kau kurang ajar, aku terpaksa ringkus
padamu," kata ia pada Siau Hoo kepada siapa ia berpaling.
"Percaya, tidak nanti aku buat kau celaka. Kau tunggu
disini selama tiga hari, aku percaya aku akan segera
dapatkan segala keterangan yang perlu, apabila kau benar, aku akan merdekakan kau, nanti di depan kau sendiri, aku akan hukum Lu Cong Giam. Bagaimana jikalau kau cuma
ngaco-belo, untuk membuat kotor dan mengaco disini?"
Siau Hoo tertawa dingin.
"Karena kealpaanku, aku kena dibokong ditotok oleh
kau!" sahut ia. "Terserah pada kau, kau hendak bunuh aku atau tidak!"
Kembali ketua Cit Tua-kiam-sian itu manggut.
"Baik," kata ia. "Dalam tempo tiga hari, pasti aku akan dapat buat terang urusan kau ini."
Lantas imam ini perintah imam pelayannya, bersama-
sama Lu Cong Giam, gotong Siau Hoo kesebuah kamar
dalam pekarangan yang ke dua dari pendopo timur, karena ketiga pendopo memang berhubungan satu dengan lain.
Disitu ada patung suci, ada hiolo dan lain-lain. Dan disitu Siau Hoo diletaki ke jubin, bukan dengan diturunkan
dengan pelahan-lahan, hanya dilemparkan tubuhnya,
digabruki! Tapi justru ini bantingan telah membuat
darahnya si anak muda, semua bisa mengalir pula seperti biasa, lenyap kebekukannya bekas totokannya Yok Hian
Ceng! Hanya karena ia dibelenggu keras, ia tak dapat
loloskan diri. Lu Cong Giam, dengan tidak berpaling lagi, ajak si
imam kawannya keluar pula dari kamar itu, pintunya ia
segera kunci. Ia didamprat tapi ia diam saja.
Siau Hoo coba geraki tubuhnya akan mencelat bangun.
Ia berhasil berdiri, tapi karena kedua kakinya diikat rapat satu dengan lain, ia tak dapat bertindak. Ia punya kedua tangan juga sukar diulur, untuk dipakai membuka ikatan pada kakinya itu. Maka akhirnya, kembali ia jatuhkan
dirinya, akan duduk dengan kaki melonjor.
Di belakang ini anak muda ada tembok, ia gusur
lengannya ketembok itu, untuk buat tambang terputus,
sampai lama, ia tidak peroleh hasil. Dan terus sampai
kamar jadi gelap, ia tetap belum mampu loloskan diri. Ia duduk diam sambil beristirahat, tetapi ia punya hati terus bergolak saking panas.
"Asal aku mampu lepaskan diri, aku nanti bunuh habis
mereka semna!" ia berpikir dalam mendongkolnya.
Tiba-tiba ada terdengr suara dipintu, suara dari
dibukanya daun pintu , kemudian muncul bayangannya
satu orang. Siau Hoo kaget, ia mengawasi. Ia diam saja.
Orang itu masuk dengan tidak ambil mumat pada si anak
muda, ia menuju langsung kemeja, ia nyalakan api, ia
pasang pelita diatas meja, kemudian ia pasang sembilan batang hio dengan apa ia tekuk lutut, akan bersembahyang sambil manggut berulang-ulang, guna hunjuk kesujutannya.
Diantara cahaya pelita, Siau Hoo kenali si imam sebagai imam yang tadi belenggu ia.
"Eh, sahabat!"
ia menegor, "Mari kau
bukai belengguanku, aku hendak pergi cari Too Teng dan Lu
Cong Giam! Dengan kau orang, aku tidak punya urusan
apa-apa lagi, jikalau tidak, awas!"
Imam itu tidak menjawab, ia tetap lakuannya ibadatnya, sesudah bersujut, dengan manggut sembilan kali, ia
padamkan pelita, terus ia pergi keluar. Pintu segera dikunci pula.
Siau Hoo mendongkol, hingga ia mengumpat-caci. Ia
mengawasi ke pintu ia noleh kesekitarnya, tatkala ia lihat sembilan batang hio, yang apinya seperti kelak-kelik. Dalam gelap-gulita, api hio itu tertampak nyata. Tiba-tiba, ia ingat sutatu apa. Tidak tempo lagi, ia geraki tubuhnya, akan loncat bangun pula. Walau kedua kakinya terikat, ia toh bisa berlompotan. Maka itu, sambil berjingkrakan, dalam beberapa kali saja, ia sudah bisa menghampiri meja abu.
Dengan ulur kepalanya, pemuda ini bisa mendekati hio,
lalu ia geraki mulutnya, giginya, akan gigit sebatang hio.
Kemudian, ia tunduk, ujung hio, yang nyala, ia tujukan pada tambang yang melibat tubuhnya. Api lantas
membakar tambang itu. Hanya belum sampai tambang
hangus, apinya hio patah dan jatuh. Tetapi Siau Hoo tidak putus asa, kembali ia gigit sebatang yang lain, akan sulut pula tambangnya. Sekali ini, ia berlaku hati-hati, supaya ujung api tidak tertekan dan patah seperti yang pertama.
Banyak waktu dilewatkan untuk buat putus selembar
tambang, maka itu, sebatang hio keburu habis, hingga ia
mesti ambil sebatang yang lain. Tambang libatan luar ada kasar sekali, tidak gampang akan bakar putus itu, dari itu, beruntun, sampai enam kali hio telah ditukar. Karena
tambang menyala, bajunya Siau Hoo turut terbakar, dari itu, kulitnya turut terkena api juga, hingga ia merasakan sakit. Tapi ia ada kosen, ia menahan sakit sebisa-bisa. Api mengenai dadanya. Pundaknya pun pegal bekas tunduk
saja. Masih tambang tidak mau putus, masih Siau Hoo ulangi
percobaannya. Selama itu, kembali banyak waktu telah
diberi lewat. Tiba-tiba kunci pintu berkelotak, segera daun pintu
menyusul terbuka. Di pintu kelihatan satu tubuh manusia, siapa sudah lantas nyalakan api, hingga sekarang kelihatan dia punya tubuh dan roman dengan jelas.
Siau Hoo kaget. Ia kenali orang itu ada Too Teng Su-
kou, roman siapa, yang memangnya bengis, menghunjuki
rupa yang menakutkan. Dia ada cekal sebatang golok,
berulang-ulang dia beri dengar tertawa dingin, tertawa menghina. Dia diam saja, tapi cepat sekali, ia lompat pada anak muda kita, untuk bacok padanya.
Bukan main ancaman bencana itu, akan tetapi sementara
itu, tambang telah terbakar banyak oleh api hio, yang sudah menyala melepas, maka, dalam saat sangat berhahaya itu, Siau Hoo geraki seantero tenaganya, akan beronrak. Ia
berhasil, tambang putus dari libatan, tubuh dan tangan.
Maka itu, ketika golok sampai, sambil mendek ia bisa ulur sebelah tangannya, akan tahan orang punya tangan sebatas siku.
Too Teng menyerang dengan tanan kanan, sekarang
tangan itu kena tertahan, hingga bacokannya gagal, dari itu, untuk menyerang lebih jauh, dengan tangan kirinya, yang
masih memegangi apinya yang menyala, ia sampok muka
musuhnya. Untuk loloskan diri dari bahaya terbakar, Siau Hoo tolak orang punya tubuh, tubuhnya sendiri mengikuti, maka
tempo Too Teng rubuh, ia pun, rubuh, menimpa orang
punya badan, hingga si imam kena ketindihan. Sementara itu, sedang sebelah tangannya terus menahan orang punya golok, tangannya yang lain dipakai akan loloskan sisa
libatan tambang, terutama libatan pada kakinya.
Oleh karena ia tidak lagi pegangi api, Too Teng gunai
tangan kirinya, akan cari sang lawan punya iga, untuk
dicengkeram, untuk ini, ia pakai lima jarinya yang
dipusatkan tenaga.
Bahan api dari Too Teng, yang terbuat dari kertas yang tergulung. Apinya tidak lantas padam ketika terlepas dari cekalan dan jatuh, malah api itu sudah samber si imam
punya jubah yang gerombongan, terus menyala. Bukan
main kagetnya dia ini, hingga dia keluarkan jeritan. Akan tetapi ia sangat benci Siau Hou, ia ada sedang sengitnya, melupai bahaya, ia cari musuh punya jalan darah.
Siau Hoo telah lindungi dirinya seraya ia berkutat akan rampas orang punya golok. Ia bertubuh licin, iganya tidak kena dicengkeram atau ditotok, dilain pihak, ia berhasil merampas orang punya senjata. Maka itu, sambil berlompat bangun, terus saja ia kirim bacokannya.
Too Teng lihat ancaman bahaya, dengan bajunya
menyala, ia gulingkan diri, akan kelit serangan yang
berbahaya itu. Siau Hoo lihat bacokannya lolos, ia lompat maju, akan
mengejar. Dengan baju sucinya terbakar, apinya menyala,
tubuhnya Too Teng tertampak mirip dengan seekor rase
yang lagi dibakar hidup-hidup, ia terus bergulingan, ke satu untuk lolos diri serangan, ke dua akan coba buat padam api itu. Tak usah dibilang bagaimana ia mesti menderita sakit karena panasnya api.
Oleh karena tubuhnya si imam perempuan seperti
terbungkus api, gampang sekali untuk Siau Hoo lihat dan susul padanya.
Too Teng bergulingan sampai diluar kamar, kemudian
dengan paksakan diri, ia enjot tubuhnya akan lompat naik keatas genteng. Dengan bergulingan ia berhasil membuat api ditubuhnya padam, tinggal api yang melepes dan masih menerbitkan sinar merah.
Siau Hoo mengejar terus, ia berlompat naik dengan tidak kurang sebatnya, begitu ia sudah sampai diatas dan datang dekat musuhnya, ia membacok.
"Aduh!"
Itulah jeritan yang mengerikan dari Too Teng, tubuh
siapa segera bergulingan pula, untuk jatuh kebawah,
terbanting ditanah!
Sekali ini, Siau Hoo tidak mengejar, dia hanya berdiri diam diatas genteng, untuk keluarkan elahan napas, dan leganya hati untuk sekalian menghilangkan lelah.
Dalam saat-saat itu, ia sudah berkelahi dengan ancaman malaekat maut.
Baru saja pemuda ini menghela napas, atau ia menjadi
sangat kaget. Di belakang ia ada datang serangan dengan tiba-tiba. Tidak tempo lagi terutama karena tidak ada jalan lain, ia jatuhkan diri, ia gulingkan tubuh, diatas genteng,
hingga ia terus menggelinding jatuh ke tanah, mirip dengan jatuhnya Too Teng tadi.
Itulah Yok Hian Ceng, yang menyerang secara
mendadak. Ditangannya imam yang liehay ini ada sebatang bambu mirip dengan tongkat kecil. Ia-pun loncat turun
kapan ia dapati orang berkelit seraya jatuhkan diri. Begitu menginjak tanah, kembali ia menyerang. Ia mencari orang punya jalan darah!
Siau Hoo punya golok belum terlepas dari tangannya, ia berlompat bangun sambil tangkis serangan itu. Karena ia ada sangat mendongkol, ia menyerang secara hebat sekali.
Yok Hian Ceng tarik pulang bambunya, atas mana, ia di
desak. Ia berkelit mundur, lantas ia maju pula, kembali ia menotok. Ia selalu cari orang punya hiat-too, atau jalan darah.
Siau Hoo lihat orang punya berbagai serangan, ia insaf.
Ia tidak mau kalah, ia menangkis, ia menyerang, dengan hebat sekali. Ia tidak sudi kasi ketika akan imam itu kena totok padanya, hingga mau atau tidak, Yok Hian Ceng
kewalahan juga, dia sudah menyerang tiga-puluh jurus
lebih, hasilnya belum ada.
Selagi layani imam tua yang sangat liehay itu, Siau Hoo lihat cahaya api mendatangi kearah mereka, berbareng
dengan mana, suara orang ada riuh. Ia mengerti itulah
orang-orangnya si imam, yang sedang cari atau susul ianya.
Maka ia pikir untuk tidak berdiam lama-lama disitu.
Dengan satu loncatan ia naik keatas genteng.
Ketua Toakiam-sian dari Bu Tong San tidak mau
mengerti, ia juga enjot tubuhnya, akan menyusul naik,
sembari berlompat, ia membarengi menotok orang punya
bebokong. Tapi Siau Hoo tak kurang liehaynya, sambil
memutar tubuh, ia membabat, akan tangkis atau halau
serangan itu. "Srat!" demikian satu suara, dan ujung tongkat
bambunya Yok Hian Ceng tersapat kutung!"
Menyusul itu, Siau Hoo maju untuk membarengi
menyerang lawan itu.
Yok Than Ceng menyingkir dari golok ia segera loncat
turun. Melihat orang mundur, Siau Hoo tidak mengejar, ia
hanya gunai ketika itu akan berlari-lari keatas genteng, untuk menyingkir dari musuh-musuhnya, yang ia tidak sudi layani. Dari lain bagian dari genteng, ia tampak cahaya api dibeberapa tempat, semua menuju kearah dia. Ia mengerti, orang telah cari ia dibeberapa penjuru, rupanya lekas sekali orang dapat tahu tentang lenyapnya.
Untuk menyingkir dari berbagai rombongan itu, Siau
Hoo cari tempat yang gelap. Ia turun dari genteng, ia jalan terus, sama sekali ia tidak perdulikan berdesirnya angin musim rontok. Sesudah melalui jurang, yang berselokan, ia cari sebuah batu besar, yang bebas dari serangan angin.
Disini ia letaki tubuhnya sesudah ia lepas goloknya
dipinggiran, ia menghela napas lega, ia berpikir.
"Hebat sekali pengalamanku hari ini. Satu hari penuh,
aku belum dahar, sama sekali, aku belum minum. Kawanan toosu berjumlah besar, Yok Hian Ceng punya ilmu totok
ada liehay sekali, cara bagaimana aku bisa layani mereka"
Bagaimana aku bisa cari Ah Loan?"
Bukan saja lelah, pemuda ini menjadi pusing kepalanya
memikirkan kesulitannya itu. Ia rebah terus. Saking letih, rokhani dan jasmani, akhir-akhirny ia tertidur sendirinya.
Berapa lama ia sudah tidur, ia tidak tahu ia hanya tersadar
ketika ia rasakan tubuhnya dingin, apabila ia buka kedua matanya, ia lihat cahayanya sang fajar. Sinar matahari sudah telan kabut di puncak gunung. Ia lantas berbangkit, ia jumput goloknya tetapi, selagi berdiri diam ia berpikir.
"Kemana aku mesti pergi?" demikian ia tanya dirinya
sendiri. "Tidak ada gunanya aku layani sekalian imam itu.
Paling benar aku cari Lu Cong Giam seorang. Coba Too
Teng tidak mampus diujung golokku, aku perlu cari dia, dia pasti tahu di mana adanya Ah Loan ... "
Lalu, dengan tenteng goloknya, pemuda ini buka
tindakannya. Ia berjalan diantara kabut. Ia jalan terus, entah berapa jauh, berapa lama, ia telah lewati beberapa tikungan dan puncak. Selagi kabut jadi semakin tebal, tiba-tiba ia dengar suara orang liamkeng, agaknya dekat sekali.
Maka ia merandek.
"Tidak perduli tempat apa, aku mesti cari nasi!"
demikian ia pikir.
Maka ia bertindak pula, sekarang dengan arah tujuan
dari mana suara datang.
Tidak jauh dari situ, ada sebuah kuil, yang terkurung
tembok. Untuk bia masuk kedalam, ia loncat naik keatas tembok itu, sambil berdiri ia memandang kesebelah dalam.
Suara pembacaan doa keluar dari pendopo kuil itu.
"Tidak perlu aku ketemui mereka itu," pikir pula Siau
Hoo, sesudah mana, ia loncat turun kepekarangan dalam.
Selagi ia bertindak maju, ia dengar suaranya pesawat
penyedot angin, maka ia menuju ketempat suara angin itu, hingga sebentar kemudian ia sampai disebuah kamar dapur.
Disitu ada satu imam sedang masak, berasnya lagi bergolak-golak didalam kwali. Imam itu sedang masak bubur.
-ooo0dw0ooo- Jilid 29 Tamat SIAU HOO letaki goloknya di kaki tembok, ia tidak
terbitkan suara apa juga, hanya kemudian, selagi bertindak masuk ke kamar dapur itu, ia perdengarkan elahan napas.
Ia hadapi imam itu sambil angkat kedua tangannya.
"Too-ya, agaknya kau sedang repot!" berkata ia. "Hari
ini kabut tebal sekali ?"
Imam tukang masak itu terkejut, ia awasi tamu tidak
dikenal itu. "Kau dari mana?" ia tanya.
"Aku datang dari Kang-lam, sengaja untuk berziarah ke
gunung Bu Tong San ini," Siau Hoo jawab. "Aku ingin
bersujud kepada Cin Bu Ya-ya. Sebenarnya aku datang
sejak kemarin tengah hari. Sesampainya disini, aku lihat sejumlah too-ya sedang tempur seorang yang bukannya
orang pertapaan. Karena takut, aku umpatkan diri. Satu hari satu malam lamanya, aku mengeram didalam sebuah
gua. Apa mau, hari ini kabut ada sangat tebal. Dengan
memohon kepada Pou-sat, aku berjalan sampai disini.
Sekarang aku ada sangat lapar ... "
"Oh, begitu," kata si imam, yang kelihatannya percaya
orang punya perkataan itu. Malah ia lantas ambil satu
mangkok, ia isikan itu dengan buburnya yang baru matang.
Ia-pun ambilkan sepasang sumpit.
"Kau duduk disitu, daharlah," katanya. Ia menunjuk
pada sebuah bangku. Kemudian ia terus tarik pula pompa anginnya.
Siau Hoo dahar dengan tidak kata apa-apa. Bubur itu
sudah matang tetapi belum cukup lembek, masih seperti
nasi, dimakannya keras, sudah begitu, pasirnya tidak tercuci berih, hingga giginya Siau Hoo perdengarkau suara nyaring, tapi baunya harum sekali, hingga anak muda ini minta
tambah pula satu mangkok, lagi satu mangkok, sampai
akhirnya jadi empat mangkok!
Benar selagi ia dahar, Siau Hoo dengar suara di luar


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapur : "Eh, golok siapa ini?"
Ia jadi kaget. Segera letaki mangkok dan sumpitnya, ia bertindak keluar dengan cepat. Diluar, ia lihat satu imam umur kurang lebih empat puluh tahun. Ia rasa seperti kenali si imam sebagai salah satu dengan siapa kemarin ia
bertempur. Imam itu sudah jumput ia punya golok, kapan dia lihat pemuda ini, dia terperanjat hingga dia mundur beberapa tindak.
"Jangan takut!" Siau Hoo lekas bilang, seraya tangannya diulap-ulapkan. "Satu harian kemarin aku tidak dahar,
maka itu aku datang kemari untuk mina makanan, baru saja aku dahar bubur, sekarang aku sudah dahar cukup, aku
menghaturkan terima kasih kepada kau orang semua.
Jangan lakut, asal kau orang tidak desak aku, aku-pun tidak hendak ganggu kau orang, aku tidak akan mengacau disini.
Sebenarnya aku hendak cari Li Cong Giam dan Too Teng."
Mendengar demikian, hatinya imam itu menjadi lega,
malah ia lantas saja menjura.
"Jikalau, demikian sikapmu, Kang Siecu, bolehlah aku
beri keterangan pada kau," berkata ia. "Kami sudah tempur kau karena saking terpaksa. Digunung kami ini sudah ada aturan, jikalau kami dengar genta, kami mesti datang
berkumpul, untuk memberikan pertolongan. Kami ada
orang-orang suci, apabila tidak terpaksa, kami tidak suka bentrok terutama dengan rakyat biasa. Dalam perkara kau kemarin, disatu pihak aku mesti sesalkan sikapmu yang
sembrono, dilain pilak Cau Kiam Hiong terlalu turuti
ambekannya, hingga terjadilah onar. Bukankah kau telah kena ditawan Hian Ceng Loo-cowsu?"
Siau Hoo menyindir.
"Selagi aku tidak bersedia, dia bokong aku dengan
totokannya!" dia kata. "Dia cuma bisa ringkus aku untuk sedikit waktu saja, setelah itu, aku bisa lolos sendiri!"
Imam itu manggut-manggut.
"Aku dengar, Loo-cousu juga kagumi bugeemu yang
liehay, sie-cu," katanya. "Kau telah mengacau diatas
gunung, kau sudah langgar undang-undang kami yang
dimuliakan selama lima ratus tahun, dari itu, Loo-cousu tidak dapat ampunkan kau. Baiklah sie-cu lekas menyingkir dari sini."
"Untuk suruh aku berlalu dari sini ada gampang sekali,"
Siau Hoo jawab. "Untuk itu, kau orang mesti serahkan Lu Cong Giam dan Too Teng kepadaku, supaya aku bisa
kompes mereka, agar mereka beritahukan aku dimana
adanya isteriku sekarang!"
"Tadi malam Loo-cousu lihat seorang yang terbakar
pakaiannya, yang bergulingan ditanah, setelah apinya
padam, orang itu lantas menyingkirkan diri," kata pula si imam. "Samar-samar Loo-cousu lihat, orang itu ada satu imam perempuan. Karena ini, Loo-cousu mulai percaya
kau punya keterangan. Kabarkan sekarang ini Lu Cong
Giam sudah ditahan oleh Loo-cousu. Loo-cousu ada
seorang jujur, kau jangan kuatir. Baiklah sekarang kau turun gunung, kau tunggui disana disuatu tempat, kalau nanti Loo-cousu sudah dapat keterangan perihal isterimu, pasti dia akan kirim orang beritahukan itu pada kau."
Siau Hoo kerutkan alis, ia menghela napas.
"Tapi kau orang bekerja terlalu lambat," ia nyatakan.
"Mana kau orang tahu rasa hatiku! Dimana ditahannya Lu Cong Giam" Aku hendak pergi padanya, untuk tanyakan
sendiri kita punya keterangan. Golokku itu aku tinggal disini, aku nanti pergi dengan tangan kosong! Kau jangan kuatir, tidak nanti aku membuat ribut pula."
Nampaknya imam itu setuju, ia berpaling, tangannya
menunjuk. "Bila kau jalan ke selatan sana dan lewati dua puncak, kau akan sampai di Thian Kie Hong," ia beri petunjuk. "Di sana kau minta keterangan lebih jauh, aku percaya kau
nanti dapat tahu dimana adanya Lu Cang Giam."
Siau Hoo manggut, ia memberi hormat.
"Sampai ketemu pula!" katanya. Dan lantas ia bertindak keluar. Ia lompati tembok seperti masuknya tadi, untuk pergi keluar pekarangan, dari situ ia menuju ke selatan.
Kabut masih saja tebal. Pemuda ini seperti terbenam
didalamnya. Angin musim rontok ada dingin, tetapi Siau Hoo rasakan tubuhnya panas, itulah disebabkan ia ada
sangat tidak sabaran. Ia-pun rasakan sakit dikulit, bekas terkena api, dan lecet disana sini.
Perjalanan dilanjutkan ditempat yang sukar, karena ia
mesti berloncatan dan merayap atau melapay, untuk panjat dan lewat puncak. Ia-pun sudah seberangkan beberapa
jurang. Sampai sebegitu jauh, tidak berani ia lihat orang.
Celakanya, hujan gerimis mulai turun, hingga dilain saat, pakaiannya demak, basah.
Kabut terus bergumpal makin tebal, sampai sukar orang
melihat kesekitarnya.
Dalam keadaan sepenti itu. Siau Hoo tidak bisa
lanjutkan perjalanannya, maka terpakasa ia cari tebing,
untuk lindungi diri dari serangannya angin dan hujan. Ia duduk atas sebuah batu, untuk melenyapkan lelah, guna
tunggui langit terang dan hujan reda. Tapi angin dan hujan tidak mau berhenti, terus sampai malam, hingga jagat jadi gelap. Terpaksa, pemuda ini bercokol terus, akan lewatkan sang malam. Kembali ia tidak dapat makan dan minum,
malah juga tidak dapat tidur.
Kapan sang fajar akhirnya datang, tidak tunggu sampai
langit terang, selagi hujan gerimis, Siau Hoo sudah
berangkat, untuk meneruskan perjalanannya yang tertunda semalaman. Jalanan ada becek, batu-pun licin.
Siau Hoo jalan terus dengan ogah-ogahan, karena ia letih dan kedua kakinya seperti beku, tetapi hatinya tidak
sabaran, dari itu ia paksakan jalan terus. Ia jalan makin lama makin turun, mudun! Ia tidak tihu, berapa lama ia sudah jalan, atau tiba-tiba, hudan berhenti, kabut-pun mulai buyar. Sekarang ia berada di jalaan buntu, didepan ia ada sebuah lembah didalam mana tertampak pohon-pohon
merah, ketika ia awasi, ia lihat beberapa rumah atap.
Memandang kebawah, ia dapat melihat dengan nyata.
"Heh, disini ada rumah orang!" kata ia seorang diri.
Dengan tidak sangsi lagi Siau Hoo loncat turun,
sesampainya dibawah, ia bertindak kearah sebuah rumah.
Tapi segera ia dipapak oleh dua ekor anjing, yang sambut ia dengan tubrukan dan gonggongan.
"Hus! Hus!" ia mengusir seraya goyang-goyang juga
tangannya. Disitu ada terdapat empat rumah, sesudah Siau Hoo
menanya berulang-ulang, pintunya dua rumah telah dibuka, dari dalam mana muncul beberapa orang, diantaranya satu nyonya tua yang sudah bongkok, dan yang lainnya masih
muda. "Jangan kuatir!" Siau Hoo mendahului membuka mulut
sambil rangkap kedua tangannya. "Aku datang kemari
untuk cari orang. Kawanan imam diatas gunung sudah
rintangi aku, karena itu, kami jadi bertempur buat dua hari lamanya. Malah sudah dua malam aku bermalam didalam
gunung ini. Aku datang untuk minta keterangan, apa kau orang disini ada lihat satu imam perempuan?"
Satu pemuda hendak maju tetapi si nenek tarik dia.
Nenek ini nampaknya berkuatir. Rupanya anak muda itu
ada ia punya anak sulung.
"Kami tidak tahu!" demikian ia jawab pemuda kita.
Siau Hoo tidak perdulikan nenek itu, ia menghampiri si anak muda kepada siapa ia memberi hormat.
"Lauko, jangan curigai aku," ia kata. "Aku bukannya
orang jahat. Aku cari si imam perempuan karena dia sudah culik isteriku. Kau orang ada penduduk sini, barangkali kau orang ada lihat imam itu. Kau orang niscaya insaf berapa hebatnya kalau suami-isteri dipaksa berpisahan ... "
Kelihatannya anak muda itu jadi gusar dengan tiba-tiba.
"Imam perempuan yang jahat itu tinggal disana, di
rumahnya orang she Hau!" kata ia seraya ia menunjuk ke arah selatan. "Pergi kau cari dia disana!"
Begitu lekas si anak muda ucapkan keterangannya, ia-
punya tetangga menjadi kaget, muka mereka pucat, sedang si nenek, sang ibu, lantas saja menangis.
"Kau telah bocor, kau undang bencana," kata nenek ini.
"Jikalau si imam perempuan ketahui ini, mana dia bisa kasi ampun padamu?"
"Jangan takut!" Siau Hoo gantikan si anak muda
menyahut. Ia goyang-goyang tangan.
Ia tetap ia kosen, gerakannya-pun gesit.
Terang sudah bahwa ia ada singat bergusar,
Habis berkata demikian, pemuda kita segera menuju ke
selatan, ke rumah yang pertama, tindakannya pesat sekali, begitu lekas ia sudah sampai diluar pekarangan, ia loncat naik keatas tembok, akan lompat turun kesebelah dalam.
Dari dalam rumah segera muncul seorang kira-kira tiga
puluh tahun. "Kau cari siapa?" orang itu menegor.
"Aku cari Too Teng, si imam perempuan!" Siau Hoo,
jawab dengan murka. "Imam itu sembunyi di rumah kau!
Lekas suruh dia keluar!"
Siau Hoo belum tutup rapat mulutnya, atau Too Teng
telah berloncat keluar, dia punya rambut riap-riapan hingga mirip seperti satu siluman. Dia cekal dia punya pedang, dengan tidak kata apa-apa lagi, dengan bengis dia serang musuhnya, ia punya muka beroman sangat bengis.
Siau Hoo berkelit, terus ia buat perlawanan. Ia mencoba akan rampas orang punya senjata.
Too Teng berlaku sangat gesit dan telengas, pada
tubuhnya masih ada tanda-tanda bekas terbakar dan
bacokau, akan tetapi ia tetap ada kosen, gerakannya pun gesit. Terang sudah bahwa ia ada sangat bergusar, sehinga ia jadi nekad. Ia telah gunai semua tipu pukulan yang
berbahya, rupanya ia bermaksud segera rubuhkan musuh,
yang kebetulan tidak bersenjata itu.
Siau Hoo mesti perlihatkan antero kegesitannya untuk
layani musuh yang nekad itu. Karena ia lebih banyak
berkelit, dengan egos tubuh atau lompat, mundur atau ke samping.
Dimana pertempuran ada hebat, dengan cepat keduanya
sudah bergebak belasan jurus. Too Teng keluarkan semua kepandaiannya tenaganya juga, masih sia-sia saja ia dengan niatannya merubuhkan lawan itu. Diain pihak, biar-pun ia rada terdesak. Siau Hoo senantiasa cari lowongan. Setiap kali ia berkelit, selalu ia susul itu dengan rangsekan. Ia memang perlu dengan pertempuran rapat.
Dengani tiba-tiba, Too Teng kena dibuat terkejut, hingga ia melengak. Baru saja ia menikam, atau tahu-tahu Siau Hoo sudah berada disampingnya, lengannya kena dicekal, sebelum ia tahu apa-apa, pedangnya telah pindah tangan.
Menyusul itu si anak muda balik menyabet sambil berseru dengan pertanyaannya : "Dimana kau sembunyikan Ah
Loan?" Dalam keadaannya itu, selagi penyerangnya seorang
yang liehay sekali, Too Teng tidak berdaya sama sekali, hingga ia tak sempat pikir buat berkelit, ia terluka dam tubuhnya rubuh dengan segera. Tapi, dengan mata
mendelik, ia masih sempat memberi jawaban : "Ah Loan
kena dirampas oleh suhengmu si Ah Hiap!"
Inilah diluar dugaan, saking heran Siau Hoo berdiri
dengan bengong.
"Heran, kenapa suheng boleh muncul?" pikir ia.
Kemudian, kapan ia telah sadar, Siau Hoo tunduk, akan
lihat Too Teng. Nyata imam perempuan itu sudah jadi
mayat, napasnya telah berhenti berjalan.
Si orang muda, yang ada satu tukang kayu, kaget dan
ketakutan, ia berdiri dengan muka pucat dan tubuh
gemetaran. "Kapan imam ini datang kemari?" Siau Hoo tanya si
tukang kayu, yang ada tuan rumah.
"Dulu-dulu dia sering datang kemari," orang itu
menyahuti, "sekarang, yang paling belakang, baru beberapa hari. Dia ada bersanak dengan Lu Tooya dari atas gunung Bu Tong San. Kita semua takut terhadap Lu Tooya itu ?"
Orang ini belum tutup mulutnya ketika ia nampaknya
jadi kaget pula dan mukanya pucat, matanya terbuka lebar, mendelong.
Siau Hoo lihat orang punya perobahan sikap itu, ia
bersenyum lalu dengan sebat ia putar tubuhnya, pedangnya menyamber kebelakang.
"Trang!"
Dua buah pedang bentrok keras satu dengan lain, habis
itu kedua pedang itu lantas saling serang pula.
Ternyatalah Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam sudah
datang dengan tiba-tiba, ia lompati tembok, ia menghainpirkan dengan diam-diam, apabila ia sudah
datang cukup dekat, dengan sekonyong-konyong ia kirim
tikamannya membokong. Adalah ia punya kedatangan, ia
punya ancaman, yang membuat si tukang kayu jadi kaget, ketakuan dan bengong hingga Siau Hoo menduga jelek,
hingga anak muda itu yang waspada lantas menangkis
begitu lekas ia dengar suara berkelisik di belakangnya.
Siau Hoo kenali baik penyerangnya itu, siapa ada sangat gusar.
"Jikalau ini hari aku tidak dapat balaskan sakit hatinya Too Teng, aku bukannya si orang she Lu," ia sesumbar. Ia ternyata tidak takut, ia sudah lantas menyerang pula.
Siau Hoo tangkis sembarangan.
"Aku justru hendak cari kau, imam tetiron!" ia balas
berseru. Pertempuran seru segera berlangsung, ke dua pedang
berkeredepan berkilau-kilau. Berdua mereka ini ada laksana orang hutan berloncat dan harimau menerkam, dua-duanya gesit sekali.
Ilmu silat pedang dari Lu Cong Giam benar liehay,
gerakan tubuhnyapun gesit sekali, akan tetapi sesudah
lawan Siau Hoo lebih daripada duapuluh jurus ia merasa keteter, maka itu begitu lekas ia bisa tangkis satu serangan ia lompat mundur, ia lari kearah tembok dimana ia loncat melewati untuk kabur.
Siau Hoo lihat gerakan lawan, ia loncat menguber.
"Imam tetiron, kau masih memikir untuk meloloskan
diri?" ia berseru.
Lu Cong Giam lari terus, pedangnya ia tancap dalam
sarung dibebokongya, berlari-lari naik keatas gunung, untuk itu ia bisa merayap dan melapay seperti kera saja. Beberapa kali ia menoleh, melihat ke sebelah bawah akan
perdengarkan tertawa mengejek terhadap Siau Hoo.
Muridnya Kiu Hoa Loojin atau Loo Sin She dari Kin
Hoa San, tidak biarkan imam tetiron itu kabur, ia terus mengejar. Ia juga ada punya kesebatan yang sama bahkan melebihinya, karena belum terlalu lama ia sudah dapat
menyusul, demikian dengan satu gerakan pedang ia
menikam. Lu Cong Giam dapat tahu serangan musuh, ia hunus
pedangnya, ia menangkis. Justeru itu ia sudah sampai
diatas, maka itu terus saja ia memutar diri akan serang Siau Hoo, siapa sudah candak ia, tinggal naik saja.
Dengan ia berada didepan musuh, Siau Hoo bisa
menangkis dengan leluasa sambil berbuat begitu, ia
majukan tangan kirinya untuk menotok. Pedangnyapun
terus menyerang.
Cong Giam tangkis serangan itu seraya, ia egos tubuh
pula, buat lari.
Siau Hoo tidak mau sudah, ia mengejar. Jarak mereka
berdua melainkan sepuluh tindak lebih.
Cong Giam bisa lari keras sekali, sebaliknya Siau Hoo
terganggu oleh ia punya keletihan selama dua hari, sedang juga ia tidak memakai sepatu, maka itu setelah dua
undakan bukit mereka tetap terpisah satu dengan lain.
Ketika itu kabut sudah mulai buyar dan di sebelah depan sinar matahari mulai muncul.
Cong Giam lari naik terus, makin tinggi. Kelihatannya
dia menuju kepuncak Thian Kie Hong.
Siau Hoo mendongkol juga karena ia tak dapat
menyandak maka akhirnya ia perdengarkan suaranya:
"Imam tetiron, jikalau aku berikan lewati lagi sebuah
puncak, aku bukannya si orang she Kang!"
"Ah, bocah, kau naiklah!" Cong Giam membalas dengan
mengejek. Sambil menghina demikian Leng In Kiam-kek
berlari-lari sambil menoleh. Ia-pun keraskan larinya.
Siau Hoopun mengejar semakin keras.
Sebentar kemudiaan mereka sampai disebuah tempat
yang banyak semak, disitu Cong Giam lenyap dengan tiba-tiba, entah ia sembunyi kemana.
Siau Hoo berhenti berlari, ia mencari sambil bertindak dengan perlahan, matanya dipasang dengan celi, ia
waspada. Sekonyong-konyong, dari empat penjuru ada terdengar
suara genta yang saling susul. Segera Siau Hoo berhentikan tindakannya.
"Pastilah dari tempat tinggi ada orang lihat aku kejar Lu cong Giam." ia menduga. "Rupanya orang bunyikan genta
untuk mengumpulkan kawan buat bantu! Lu Cong Giam .."
Menduga begitu, pemuda itu menjadi mendongkol,
melupai ancaman bahaya dari musuh yang tersembunyi, ia lantas maju pula. Ia belum jalan jauh, tiba-tiba Cong Giam muncul dari tempat persembunyiannya sambil terus
menikam. Siau Hoo melihat bokongan musuh, ia menangkis, habis
itu ia terus balas menyerang.
Leng ln Kiam-kek tidak buat perlawanan kembali ia
angkat langkah seribu. Karena ini, kembali ia di kejar oleh lawannya itu.
Lagi satu puncak didepan mereka beradalah Thian Khie
Hong. Disana suara genta ada terlebih gencar, sejumlah imam tertampak berlari-lari naik keatas puncak. Cong Giam juga tujukan tindakannya ke puncak itu.
"Biar kau lari pulang kesarangmu, aku tetap akan bekuk padamu!" Siau Hoo teriaki. "Aku tidak takut jumlahmu
yang banyak!"
Demikian mereka berkejar-kejaran, mendaki Thian Kie
Hong. Sementara itu, dari atas puncak juga ada berlari turun sejumlah imam, mereka semua bersenjatakan pedang, yang cahayanya berkeredepan. Karena turunnya mereka, larinya Lu Cong Giam jadi terhalang, sedang di belakangnya, Siau Hoo terus saja kejar ia.
Kapan kedua pihak Cong Giam dan rombongan imam
itu sudah datang dekat satu dengan lain, tahu-tahu Leng In Kiam-kek dirubung, malah ada orang yang segera rampas ia punya pedang. Untuk ini, imam she Lu itu tidak buat
perlawanan. Siau Hoo lihat apa yang terjadi itu, ia terus saja
memburu naik. Dari rombongn imam itu, yang sudah tidak berlari-lari
lebih jauh, beberapa diantaranya maju, akan papaki
pemuda kita kepada siapa mereka menjura.
"Sabar, sie-cu!" kata mereka ini, yang menghunjuk
hormat. "Sekarang ini Loocousu sedang piebu pedang
diatas puncak, sehabisnya piebu, dia pasti ada punya daya untuk selesaikan sie-cu punya urusan!"
Siau Hoo menjadi heran, sedang tadinya ia sangka, ia
bakal dikepung. Ia berhenti berlari, akan perbaiki ia punya napas. Ketika ia lihat Cong Giam, hawa amarahnya naik
pula, dari itu, sebelum layani beberapa imam itu, ia sudah tikam orang she Lu itu.
Beberapa pedang tangkis tikaman ini. Itulah gerakannya beberapa imam, yang lindungi Leng In Kiam-kek.
"Sabar, sie-cu, jangan terburu!" demikian kata pula
beberapa imam tadi. "Percaya, Loo cousu kita pasti bakal urus perkaramu ini, untuk berikan putusannya yang adil!"
Lu Cong Giam sendiri ada bermuka pucat. Ia bukan
cuma dikurung, hanya beberapa imam cekal ia, hingga ia mirip dengan seorang tawanan. Ia punya napas ada
mengorong, karena ia telah berlari-lari jauh dan terlalu keras. Ia sampai tak dapat buka mulunya, untuk bicara.
Siau Hoo menahan kemurkaannya, ia awasi orang
dengan mata tajam, pedangnya siap sedia. Ia juga perlu ketika akan buat napasnya tidak memburu lagi.
Selagi kedua pihak pada berdiam, dari atas puncak tiba-tiba terdengar suara:
"Saudara Kang! Lekas, lekas naik!"


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali Siau Hoo dongak, akan melihat keatas. Li
tampak satu anak muda, yang mukanya putih, yang
tagannya mencekal pedang. Kapan ia sudah melihat nyata, ia menjadi girang berbareng heran.
Laron Pengisap Darah 10 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Han Bu Kong 8
^