Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 3
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 3
Tapi kapan ia ingat Cie Teng bertiga bisa jadi akan
menyusulnya, ia jadi kuatir pula, ia tidak berani berayal
lebih lama, ia lantas berbangkit dengan pelahan-lahan. Baru jalan dua tindak, ia sudah rasakan kakinya sakit. Rupanya itu ada akibat tadi ia loncat dari loteng, kalau tadinya ia tidak merasakan sakit, pasti itu disebabkan ia lupa akan segalanya.
"Celaka!" ia mencaci pula sambil pakai bajunya, ia ingat uangnya lima tail perak yang ketinggalan di atas meja di rumah makan. Senjatanyapun hilang.
"Dengan kantong dan tangan kosong, dapatkah aku
merantau" " kata ia dalam hatinya. Ingat ini, ia jadi berdiri menjublek. "Apa baik aku jual saja kuda ini untuk beli pakaian dan senjata?" Ia bersangsi. Ia ingat sekarang, kuda itu adalah kudanya Cie Teng yang ia sudah salah samber selagi ia kabur dari rumah makan.
"Ini ada seekor kuda jempolan, sayang kalau dijual ... "
Pikir ia, yang terus hampiri binatang itu, kepada siapa ia tepuk-tepuk dan usap-usap.
Sekarang kuda itu jadi hilang binalnya, Siau Hoo telah lepaskan tambatannya, tuntun beberapa tindak, lantas ia loncat naik ke bebokongnya, akan akhirnya diberi jalan pelahan-lahan, mengikuti jalan besar.
Siau Hoo baru jalan dua lie ketika kupingnya dengar
suara tetabuhan, yang makin lama makin dekat, hingga
kemudian ia lihat serombongan joli pengantin mendatangi.
Ia terus tahan kudanya buat menonton, sehingga ia lupakan kekuatirannya. Ia tidak dapat lihat nona pengantin, yang kehalangan tenda joli. Sebaliknya tukang-tukang musik dan tukang gotong joli awasi ia, karenanya ia jadi mendelu.
"Kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Apakah kau tak
pandang mata padaku" Apakah kau anggap aku tidak
punya tunangan" Hm! Lihat nanti! Aku pun punya
tunangan. Ah Loan! Kelak sesudah tamat belajar silat,
merantau dan mengumpul uang, sehabis menuatut balas,
aku akan pulang untuk rayakan pernikahanku! ..."
Baru ia ingat sampai disitu atau Siau Hoo mendadak jadi sangat berduka. Ia teringat, pada suatu sore, ke rumah Ie-thionya ada datang sebuah joli tanpa tukang musik dan
ibunya yang berpakaia merah mengawasi ia dengan air
mata meleleh, lantas ibu itu naik ke joli dan dibawa pergi.
Ibu itu telah dinikah oleh Tang Toa si saudagar cita. Ia berduka, hingga air matanya meleleh, jatuh ke dadanya ...
Siau Hoo seka air matanya itu, ia kertak giginya, lantas ia jalankan kudanya akan lanjutkan perjalanannya. Sampai
sore, ia sudah lewati belasan dusun. Ia tidak punya uang, hingga ia tidak bisa beli makanan dan tidak bisa singgah juga di rumah penginapan. Ia jalan terus dalam cuaca
magrib dan gelap, perutnya berbunyi keruyukan. Didalam gelap demikian, ia tidak dapat kenali bukit, kampung atau rumah orang. Kembali ia berduka dan mendongkol, ia
menghela napas dan mencaci seorang diri.
"Bagaimana
sekarang" Kalau aku terus-terusan kelaparan, apa aku tidak akan mampus sendirinya?" ia,
"Satu kali aku binasa, habislah! Aku dengar orang cerita, bahwa orang kang-ouw bisa hidup tanpa uang satu chie,
dimana dia sampai, disitu ada rumahnya, disitu dia bisa dahar ... Kenapa aku tidak bisa" Mulai mencuri, aku tidak sudi! Kenapa aku tidak mau jual silat saja" Mulai besok baik aku jual silat, dengan tangan kosong pun tidak apa!"
Ingat begini, bocah ini jadi dapat hati. Kebetulan di
depannya, di pinggir jalan, ada sebuah kuil rusak, ia
mampir disitu. Api tidak ada tetapi itu tidak jadi halangan, di langit toh ada banyak bintang. Ia anggap lebih baik ia singgah disitu. Dengan jalan terus, mungkin orang sangka dia ada satu penjahat.
Turun dari kudanya, Siau Hoo bertindak masuk dengan
tuntun binatang itu. Ia tidak lihat jalanan, yang tidak rata, ada yang keras dan ada yang lembek. Ia tambat kudanya
pada sebuah pohon, binatang itu lantas berbenger, kakinya menggaruk-garuk.
"Kau lapar?" Siau Hoo tanya binatang itu. "Apa boleh
buat ... Aku sendiripun masih belum dahar. Besok, setelah aku jual silat dan dapat uang, aku nanti berikan kau
rumput." Ia bertindak kedalam, dengan raba-raba ia cari meja ke atas mana ia naik sambil berlompat. Ia kena raba boneka, yang sudah lenyap kepalanya.
"Kasihan," kata ia dalam hati. Ia rebahkan dirinya, ia coba meramkan matanya. Sekarang ia terganggu hawa
dingin. Ia niat bangun pula, tetapi ia merasa sangat lelah dan ngantuk, sampai ia menguap beberapa kali, maka
terpaksa ia meringkuk. Ia tertidur tanpa ia merasa, tak perduli cahaya rembulan menyoroti mukanya dan sang
angin menghembus-hembus tubuhnya.
Sama sekali Siau Hoo tidak tahu ia sudah tidur berapa
lama, ia tersadar dengan terperanjat disebabkan berisiknya suara kuda. Ia segera kucek-kucek matanya. Ia dengar
tindakan kaki kuda, makin lama makin jauh.
"Bangsat! Bangsat, kau berani curi kudaku?"
Siau Hoo ingat kudanya itu, maka ia lantas loncat turun dari meja dengan niat mengejar. Ia kena injak batu, ia terpeleset jatuh, tapi ia lekas bangun pula ia lari keluar kuil, ia dengar kuda lari ke arah Selatan, tidak bersangsi pula ia lari ke arah itu. Syukur baginya, fajar sudah perlihatkan cuaca remang-remang. Ia sudah lari empat atau lima lie, tapi suara kuda sekarang lenyap sama sekali. Cuaca telah
jadi semakin terang. Buat kekagetannya, di tepi jalan ia lihat rebahnya satu orang tak berkutik sama sekali.
"Apakah orang mati" Apakah ia korbannya penjahat" "
kata ia dengan heran. Ia menghampiri dan tolak tubuhnya orang itu dengan kakinya. Ia benar-benar menghadapi satu mayat, kepala siapapun berlumuran darah. Ia jadi kaget.
Mayat itu pakai baju dan celana pendek, pakaiannya
penuh debu, yang mana ada bukti bahwa ia telah
bergulingan di jalan besar. Belasan tindak dari mayat itu ada menggeletak sela kuda. Ketika Siau Hoo lihat sela itu, ia segera mengerti duduknya hal.
"Oh, kiranya kau ada si pencuri kuda!" kata ia dengan
mendongkol. "Terang kau telah terjatuh dari atas kuda dan terdupak hingga mampus! Dengan kepandaian begini, kau
berani curi kudaku!"
Ia jemput selanya, ia lari terus ke Selatan, dengan niatan mengejar kudanya. Ia baru lari dua puluh tindak lebih, ketika ia ingat suatu apa, maka segera ia lari balik pada mayat tadi, ia berjongkok di sampingnya dan raba sakunya dari mana ia tarik keluar sebungkus uang dan sedikitnya sepuluh tail perak. Maka ia jadi girang dengan
mendadakan. "Oh, bangsat!" kata ia. "Kau telah sangat temaha! Kau
telah punyai begini banyak uang, toh kau masih
berkehendak kudaku. Pantas kau mampus!"
Siau Hoo tidak berdiam lama-lama. Dari Utara ia dengar suara roda-roda kereta, lekas ia gendol selanya dan lari pula ke arah Selatan. Ia sudah lari tiga atau empat lie, langit telah jadi terang sekali, sudah banyak orang dan kereta yang berlalu lintas. Ia masih saja jalan terus sehingga belasan lie, baru ia tampak sebuah kota dusun yang ramai, yang mirip dengan kota Tin-pa saja.
Dengan tidak sangsi lagi Siau Hoo mampir di tempat
ramai itu, paling dahulu ia cari rumah makan. Ia pesan sayur dan nasi serta arak, lantas ia duduk mengisi perut, ia keringi dua poci arak. Habis itu, ia minta air untuk cuci mukanya. Setelah melakukan pembayaran ia bertindak
keluar sambil gendol selanya. Dengan sisa uangnya, yang tak ada sepuluh tail, ia pikir buat jual saja sela itu, agar uangnya bisa dipakai beli pakaian dan senjata.
"Sela! Sela! Hayo, siapa hendak beli sela!" demikian ia berteriak-teriak di tengah jalan. Ia sudah lewati satu jalan besar, tidak ada orang tegur ia, hanya ada orang yang
mentertawakannya.
"Rupanya perlu aku sebutkan harganya," pikirnya
sambil jalan terus. Tadinya ia mengharap dapatkan
sedikitnya duapuluh tail perak, supaya ia bisa beli pakaian dan senjata. Ia berteriak pula: "Siapa mau beli sela"
Harganya murah! Cuma lima belas tail! Aku membutuhkan
uang asal cukup untuk perbekalan!"
Siau Hoo sedang berjalan ketika ada orang jambak ia
dari belakang. Ia kaget ia segera berpaling. Ternyata orang yang jambak ia adalah seorang polisi. Ia jadi mendongkol, ia geraki tangannya.
"Kenapa kau cekal aku" " ia menegur.
Polisi itu tidak menyahuti, hanya datang dua kawannya, yang satu menyamber sela, yang lain keluarkan rantai
dengan apa dia segera kalungi lehernya anak tanggung ini.
Gusar karena perlakuan itu, Siau Hoo cekal rantai itu
dan kakinya menendang.
"Aku tidak langgar aturan, kenapa kau tangkap aku?" ia menegur pula.
Tapi salah satu polisi itu, yang tubuhnya tinggi, kirim gaplokannya, hingga mukanya si bocah ini menjadi merah.
Siau Hoo gusar benar, ia hendak melawan, akan tetapi
orang polisi yang tadi lantas kalungi ia.
"Bocah, jangan kau melawan! Ikutilah baik-baik pada
kita ke kantor, disana kau tidak bakal tersiksa!" kata dia.
"Buat apa aku ikut ke kantor?" Siau Hoo membentak, ia
menendang pula, "Aku tidak bersalah! Kenapa kau tangkap orang baik-baik?"
Tiga orang polisi itu tidak mau adu bicara.
"Turut kita!" kata mereka.
Yang satu lantas tarik kalungnya, yang lain gendol sela, dan yang ketiga mendorong-dorong dari belakang. Mau
atau tidak terpaksa Siau Hoo turut, dengan bikin banyak berisik di sepanjang jalan. Mereka menuju ke Barat.
Sejumlah orang mengikuti, karena mereka merasa heran
dan ingin tahu.
"Maling kecil dibekuk!" demikian seorang kata.
"Bocah ini galak!" kata yang lain.
Dalam mendongkol dan gusar, Siau Hoo masih mencaci
kalang kabutan, ia mengutuk kalang kabutan, ia mengutuk.
Beberapa kali ia coba tendang orang-orang polisi itu.
Sekeluarnya dari tempat ramai itu, mereka sampai di tepi kali dimana ada pelabuhan serta banyak kendaraan air.
Diseberang itu ada sebuah kota ke arah mana Siau Hoo
digusur. Ia berontak-rontak, ia memaki tidak berhentinya, tapi ia tidak bisa loloskan diri.
Pelabuhan kali itu ada ramai dan jadi lebih ramai karena ditangkapnya bocah ini.
Siau Hoo dipaksa naik atas sebuah perahu kecil, yang
terus digayuh ke seberang. Ia dipaksa duduk, dua orang polisi pegangi ia, dan yang ketiga duduk di depannya.
"Saudara kecil, jangan kau gusar kepada kita," kata
orang polisi ini sambil tertawa, "Kita sedang lakukan tugas sebagai hamba negara, di seberang sana, kota Soan han, kau menghadap kepada koan-thayya dimana kau boleh
bicara. Thayya kita itu, orang she Pauw, ada jujur dan adil, dan karena kau ada satu bocah, tidak nanti dia
sembarangan hukum padamu."
"Aku tidak takut untuk menghadap tiekoan!" kata Siau
Hoo, yang masih tetap gusar. "Tapi bilang padaku,
sebenarnya aku bersalah apa?"
"Cukup, saudara kecil!" kata pula orang polisi itu. "Kita tidak berhak untuk periksa kau, maka tunggulah sebentar sampai kau sudah menghadap koan-thayya apa saja yang
ditanyakan, kau boleh jawab ..."
Masih Siau Hoo menggerutu, bahwa dia tidak bersalah.
Tidak lama ia sudah seberangi kali itu, ialah kali Houw Kang.
Tiga orang polisi itu bawa Siau Hoo mendarat,
memasuki kota, terus ke kantor tiekoan, yang letaknya tak jauh dari tepi kali. Disini ia lantas dibawa masuk kedalam sebuah kamar kecil dimana segera orang geledah ia, hingga uangnya kena dirogoh keluar dari sakunya. Ia penasaran, ia hendak rampas uangnya itu.
"Kenapa kau rampas uangku?" ia menegur.
"Kita tidak inginkan ini, kita hendak simpan dahulu!"
kata si orang polisi. "Sebentar setelah koan-thayya
merdekakan kau, kita akan kembalikan padamu ..."
Habis berkata begitu, ketiga polisi itu bertindak keluar dan pintu kamar dikuncinya.
Siau Hoo mendongkol bukan main.
"Celaka!" ia kata seorang diri. "Sudah kehilangan kuda, sekarang aku dapat perkara!"
Ia berdiri sekian lama, lantas ia mengintip di celah-celah pintu. Ia lihat orang-orang polisi mundar mandir, akan tetapi tidak ada seorangpun yang datang padanya. Ia jadi sengit, ia hajar pintu berulang-ulang disertai teriakan-teriakannya: "Buka pintu! Buka pintu! Kalau kau bendak periksa aku, lekaslah periksa! Aku mesti lekas lanjutkan perjalananku! Aku ada punya urusan, jangan kau bikin
gagal padaku!"
Hajaran pada pintu dan teriakan nyaring itu tidak ada
yang perdulikan, jangankan orang menghampiri, menolehpun tidak, maka semakin sengitlah ia memukuli
pintu, sampai ia berteriak-teriak dengan sekuat-kuatnya, sampai akhirnya ia lelah sendirinya, karena tetap ia tak digubris. Ia lantas numprah di tanah, napasnya sampai
sengal-sengal. Lama Siau Hon dikeram didalam kamar itu, selagi ia tak menduganya, pintu berbunyi dan daun pintu terbuka,
hingga sekarang ia bisa lihat sinar layung dan matahari. Ia masih numprah, ia lihat empat opas.
"Bagaimana?" ia tanya.
Empat opas itu tidak kata apa-apa, mereka balik bangun bocah itu, yang terus dibawa keluar dengan separuh diseret dan didorong-dorong, terus sampai ke kantor.
Di samping meja ada berdiri dua polisi lain, dan di muka meja ada berduduk si koan thayya atau camat, orangnya
kurus dan kate. Dua pengawalnya sudah lantas beraksi,
"Berlutut! Lekas berlutut!"
"Aku boleh berlutut tetapi aku tidak berdosa!" kata Siau Hoo dengan senyum ewa.
"Kau she apa dan apa namamu?" tanya pembesar itu
dengan lagu suara orang Selatan.
"Aku bernama Kang Siau Hoo," Siau Hoo jawab dengan
ringkas. "Kau asal dari mana" Dari mana kau datang?"
"Aku ada orang See-an! Aku datang dari Tin-pa!" jawab
kacung itu dengan mata dibuka lebar.
"Kau datang ke Sucoan Utara, apa kau hendak
kerjakan?"
"Aku hendak merantau dikalangan kang-ouw!" Siau
Hoo jawab terus-terang.
Tiba-tiba, tiekoan itu gebrak meja, "Ngaco!" ia
membentak. "Satu bocah hendak merantau di kalangan
kang-ouw" Aku lihat, walaupun kau ada satu bocah cilik, perbuatanmu yang jahat mestinya sudah tidak sedikit!
Sekarang jawab pertanyaanku. Di Timur sungai sana, kau telah bunuh satu orang, bagaimana kau bunuhnya dia" Kau telah rampas uang dan kuda! Hayo mengaku, atau nanti
aku rangket padamu!"
Siau Hoo gusar bukan main atas tuduhan itu, ia hendak
berbangkit, tapi dua opas segera tekan ia, ia dipaksa tetap berlutut, ia berontak dengan sia-sia saja.
"Aku penasaran!" ia menjerit. "Aku tidak bunuh orang!
Aku tidak mencuri atau merampas! Adalah aku sendiri
yang kecurian! Tadi malam aku mondok di kuil tua, disana orang telah curi kudaku!"
Baru Siau Hoo mengucap demikian, tiekoan sudah
gebrak meja berulang-ulang.
"Macam kau punya kuda?" tiekoan itu berseru: "Jikalau
tidak dihajar, kau tidak mau bicara! Hayo, gusur dia, hajar dua-puluh rotan!"
"Kenapa aku hendak dirangket?" Siau Hoo berseru!
"Aku tidak berdosa!"
Akan tetapi kedua algojo tidak perdulikannya, dia
dipaksa ditengkurapkan. Sesudah mana ia dirangket
duapuluh kali dengan papan tek-phe.
Hukuman rangket itu membikin Siau Hoo merasakan
sakit pada kempolannya, berbareng dengan itu, ia kuatir, kalau ia dihajar terus dan terluka, bagaimana nanti dia bisa jalan.
"Sudah, jangan siksa aku, aku nanti mengaku!" ia lalu
berseru. Dua algojo beri dia bangun, akan dihadapkan pula di
depan tiekoan, dipaksa berlutut lagi.
"Kau mesti bicara dengan sebenarnya!" tiekoan
mengancam seraya tepuk meja. "Jikalau kau bandel, kau
bakal dirangket pula!"
Siau Hoo tahan mendongkolnya.
"Aku bicara dengan sebenarnya, aku tidak bunuh
orang!" ia jawab. "Aku ada anaknya Kang Cie Seng dari
Tin-pa. Pada dua tahun yang lalu, ayahku telah ada yang binasakan, hingga karenanya, ibuku telah menikah pula.
Aku telah dapat cari tahu she dan nama musuhku itu, maka itu sekarang aku hendak pergi ke lain propinsi buat cari guru untuk belajar silat, untuk di belakang hari menuntut balas. Ketika aku angkat kaki dari Tin-pa, aku bawa lari
seekor kudanya Pauw Kun Lun, tempo akan sampai di
Ban-goan, selagi aku bersantap di sebuah rumah makan,
aku dikepung oleh orang-orang yang diutus oleh Pauw Kun Lun untuk menangkap aku. Aku dapat meloncati jendela
dan kabur. Aku kabur dengan naik seekor kuda. Diluar
dugaanku aku justeru kena samber kuda hitamnya
musuhku. Kuda itu nakal sekali, di tengah jalan hampir dia bikin aku tergelincir jatuh dan binasa. Malamnya aku
mondok di sebuah kuil tua, karena aku tidak punya uang buat sewa kamar hotel. Selagi aku tidur, ada penjahat yang curi kudaku. Aku terbangun dengan kaget karena aku
dengar suara kuda berbenger. Aku segera pergi mengejar.
Aku tidak dapat menyandak, hanya di tengah jalan, aku
lihat ada satu mayat menggeletak, di sampingnya ada
sebuah sela. Aku percaya mayat itu ada mayatnya si
pencuri, yang dilempar jatuh dan binasa oleh kudaku itu, karena disitu ada selanya. Aku periksa mayat itu, aku
dapati dalam sakunya uang kira-kira sepuluh tail, aku lantas ambil uang itu, dan dengan bawa sela itu aku lanjutkan perjajalanan kesini. Diluar sangkaanku, tadi orang-orang polisi lantas tangkap aku digusur kemari."
Setelah dengar pengakuan itu, tikoan terus perintah bawa orang tangkapan ini ke penjara.
"Kau harus berlaku baik-baik," berkata satu dari kedua oppas yang menggiring, "Jikalau kau tahu diri, kita
tanggung kau tidak akan bersengsara. Lihat rangketan tadi betapa entengnya, itu disebabkan kau satu bocah dan aku kasihan kau!"
Siau Hoo menghela napas.
"Dasar sial, sudah hilang kuda, aku mesti dapat
perkara," mendelu ia, tetapi hatinya mendongkol bukan
kepalang. Ia lantas dijebloskan kedalam sebuah kamar, kalungnya
telah diloloskan tetapi sebagai gantinya, kedua kakinya dirantai. Ia dicampur dengan kira-kira dua puluh pengisi penjara, yang semua pakaiannya butut dan kotor, mukanya dekil, rambutnya awut-awutan, hingga mereka mirip
dengan setan-setan keleleran. Didalam kamar itu pun ada tahang kotoran, yang menyiarkan bau sangat hebat.
Siau Hoo berdiri diam dekat tembok yang demak, dingin
bagaikan es. Segera ia dikerumuni oleh rekan-rekannya, yang tanya ia tersangkut perkara apa.
"Jangan tanya!" sahut Siau Hoo dengan mendongkol.
"Aku dapat perkara penasaran! Aku tak punya dosa, tapi orang telah tangkap aku, dan dirangket duapuluh rotan!
Tiekoan itu ada telur busuk! Tunggu nanti, jikalau aku telah sempurnakan ilmu silat, aku akan bikin perhitungan!"
Lantas ia tolak rekan-rekan itu, ia cari selembar tikar atas mana ia terus duduk seorang diri, hatinya bukan main
berduka dan pepatnya.
Sorenya hamba penjara datang antarkan nasi yang
buruk, yang kalah dengan nasi untuk anjing, maka Siau
Hoo tidak dahar itu, ia lebih banyak pikiran tentang dirinya.
Untuk pertama kali, ia insyaf hidup dikalangan kang-ouw benar sulit. Ia merasa, orang lebih banyak yang tak kenal aturan.
"Kenapa orang perhina aku" Ini tentu disebabkan aku
masih kecil dan ilmu silatku belum sempurna!" pikirnya, yang jadi sengit. "Tidak bisa lain, aku mesti lekas angkat kaki, aku mesti lekas cari guru untuk belajar silat!"
Ia tunduk, ia raba rantai pada kakinya. Tiba-tiba ia
terperanjat girang. Ia telah dipakaikan rantai untuk orang dewasa, maka kalau ia loloskan sepatunya dengan gampang ia bisa lepaskan diri dari rantai itu. Ia jadi sangat girang,
tetapi ia diam saja. Sekarang tak lagi ia berduka, karena ia tahu, setiap saat ia bisa buron. Lantas saja ia rebahkan diri, ia tidak dahar tetapi malam itu ia bisa tidur dengan
nyenyak. Keesokan pagi, pintu kamar dibuka oleh satu hamba
penjara untuk memerintahkan buang kotoran.
Turut biasanya, tahang kotoran mesti dibuang oleh
perantaran baru, dan itu Siau Hoo adalah yang dapat
kewajiban, untuk mana ia dibantu oleh seorang lain umur tujuh atau delapanbelas tahun. Mereka gotong tahang itu dengan diiringi oleh hamba penjara itu. Mereka keluar dari pintu samping, di tempat kotoran di sebelah selatan tembok, tahang itu mesti dituang. Rantai di kakinya Siau Ho ada longgar, ia tidak bisa jalan dengan leluasa, justeru begitu, baru sampai diluar pintu, ia sudah terserimpat jatuh, hingga tahang kotoran turut terbanting dan tumpah sehingga
mengenai kedua kakinya hamba penjara itu.
"Kacung mau mampus!" ia mencaci seraya dupak
tubuhnya Siau Hoo sampai rubuh bergulingan.
Siau Hoo gunai ketika itu, akan loloskan rantai di
kakinya. Ketika ia merayap bangun, dengan rantai itu ia hajar si hamba penjara, hingga dia ini yang tidak
menyangka jelek, menjerit keras.
Tidak tempo lagi bocah itu lari meninggalkan korbannya.
Ia tidak berani ambil jalan besar, ia masuk kedalam gang kecil, tapi baru ia lewati dua gang, ia lihat orang polisi kejar ia, ia lari semakin keras. Ia keluar ke jalan besar, kabur ke arah Lam-mui.
Di jalan besar ada banyak orang, tetapi, mereka
menyangka dia ada orang edan atau pencuri, sebab ia ada satu bocah, orang justeru pada minggir, tidak ada yang mencegatnya.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru Siau Hoo keluar dari pintu kota, di situ seorang
polisi cegat ia.
"Eh, bocah, kerapa kau lari-larian?" hamba polisi itu
tanya. Siau Hoo tidak menjawab, karena orang menghalangi di
depannya, ia maju seraya menyerang dengan mendadak
dengan kedua kepalanya, sampai opas itu rubuh. Sesudah mana, ia lari terus, tetap ke arah Selatan. Satu kali, selagi lari ia menoleh ke belakang, maka ia telah tabrak sebuah kendaraan keledai, atas mana, ia terguling sendirinya.
Syukur ia tak kena dupakan keledai, yang menjentil karena kagetnya. Ia cepat-cepat merayap bangun pula akan lari terus. Ia berlari-lari dengan tak pakai sepatu.
"Cegat! Cegat dia!" demikian teriakan berulang-ulang,
dari sebelah belakang. Itulah teriakannya beberapa orang yang mengejar.
Sebagai seekor anjing pemburu sedang mengejar kelinci, demikian Siau Hoo lari sipat-kuping, ia tak perdulikan segala apa, sambil tunduk ia buka kedua tindakannya.
Jalanan tidak rata, beberapa kali ia terpeleset dan jatuh, tapi setiap kali ia merayap bangun dan kabur terus. Kakinya telah lecet ia seperti tidak rasakan. Ia tidak tahu berapa jauh ia sudah lari, ia hanya merasa sangat lelah, napasnya seperti mau putus, tenaganya dirasakan habis, kepalanyapun
pusing. Disebelah belakang terdengar nyata tindakan kaki kuda
yang mengejar. Siau Hoo dengar tindakan kuda itu, ia kaget, hingga
sambil pentang kedua tangannya ia menjerit, tubuhnya
terus rubuh, kepalanya pusing, matanya gelap, sedang
dadanya ia rasakan seperti ada yang tindih. Ia belum
pingsan ketika ia merasa ada tangan kuat yang angkat
tubuhnya sehinga selanjutnya, ia tak berdaya lagi.
Berapa lama sudah lewat, Siau Hoo tidak tahu, ia hanya lantas dengar tindakan kaki. Ia buka matanya, ternyata ia berada di atas kuda, dalam rangkulannya satu orang, kedua tangannya turut terpeluk. Orang itu bukannya polisi hanya seorang dengan muka hitam, kedua matanya dibuka lebar, mengawasi padanya sambil bersenyum.
Kuda masih berjalan terus, dengan pelahan.
"Hei, bocah kau benar punsu!" orang itu berkata.
"Apakah kau pernah belajar silat" Dengan siapa kau telah belajar?"
Siau Hoo geraki pinggangnya.
"Aku belajar pada Ie-thio Ma Cie Hian ..."
Tiba-tiba orang tua itu gusar, ia lepaskan pelukannya
hingga Siau Hoo tergelincir jatuh terbanting ke tanah, sampai kepalanya berdarah.
Siau Hoo mendongkol, ia merayap bangun seraya
jemput batu dengan apa ia menimpuk ke arah kuda,
kemudian ia lompat berdiri dengan seruannya. "Binatang, kau hendak celakai aku" Mari balik akan piebu dengan
aku!" Dalam jengkelnya, bocah ini berani menantang piebu
(berkelahi tanding).
Orang itu belum berjalan jauh, ia dengar tantangan itu, ia lantas kembali.
"Bocah, aku kagum pada kau!" kata ia sambil tertawa.
"Ketahui olehmu, asal kau dengar nama orang muIai
dengan huruf "Cie", lantas kemurkaanku timbul dengan
mendadak!" Ia datang lebih dekat, ia loncat dari kudanya.
Ia tanya: "Apakah gurumu itu ada muridnya Pauw Kun
Lun?" "Benar,"
Siau Hoo jawab sambil mengangguk.
"Walaupun demikian, Ie-thio Ma Cie Hian paling benci
gurunya, melainkan karena takut, ia tidak berani berbuat satu apa terhadap gurunya itu."
"Ayahku Kang Cie Seng, pun pernah belajar silat pada
Pauw Kun Lun, hanya kemudian ia telah dibunuh oleh
gurunya itu. Maka sekarang ini, Pauw Kun Lun semua
adalah musuh-musuhku! Pernah dengan bekal golok aku
cari Pauw Kun Lun buat adu jiwa! Aku juga pernah serang Liong Cie Beng dan Liong Cie Khie!"
Mendengar demikian, orang itu, yang tubuhnya besar,
nampaknya heran.
"Eh, bocah, apa benar-benar kau ada demikian punsu
(pandai)?" ia menegur. Kemudian ia tarik orang punya
tangan. "Siapa namamu?"
Siau Hoo tepuk dadanya.
"Aku Kang Siau Hoo!" jawabnya. "Dan kau?"
Orang hitam itu ketawa.
"Aku bernama Ngo Kim Piu," ia jawab. "Orang juluki
aku Hek-pa-cu, si macan tutul Hitam. Aku ada asal Eng-
san-koan, baru dua hari yang lalu aku sampai di Soan-han sini, sampai sekarang aku masih belum beres dengan
urusanku. Aku telah saksikan perbuatanmu sejak tadi di Lam-mui, aku kagum dan suka padamu, maka aku lantas
menyusul. Aku lihat kau rubuh, aku lantas angkat dan bawa kau menyingkir ..."
"Syukur kau telah tolong aku!" kata ia. "Aku suka
bersahabat kepadamu. Kau ada mempunyai uang atau
tidak" Tolong kau beri aku pinjam sedikit. Paling dahulu, aku hendak dahar nasi. Kaupun boleh urus urusanmu itu.
Di belakang hari saja kita kelak bertemu pula!"
Hek-pa-cu No Kim Piu tertawa.
"Urusanku sendiri tidak penting!" ia jawab. "Saudara
cilik, lebih dahulu aku tanya kau, kau sebenarnya hendak pergi kemana?"
"Aku tidak punya tempat tujuan yang tertentu." Siau
Hoo jawab. "Aku berniat cari Long-tiong hiap. Katanya dia berkepandaian tinggi, aku niat angkat dia jadi guru!"
Ngo Kim Piu tertawa pula.
"Kau benar-benar ada mempunyai ambekan!" kata ia.
"Tapi buat cari Long-tiong hiap, kenapa kau menuju
kemari" Kalau kau tetap menuju ke Selatan, seumur
hidupmu kau tak akan dapat cari dia itu!"
"Eh, Long-tiong itu dimana letaknya?" bocah ini tanya.
"Kemana aku mesti menuju?"
Ngo Kim Piu lantas saja menunjuk ke Barat.
"Sesudah kau lintasi Pa-sui, kau lantas berada dalam
daerah distrik Long-tiong," ia terangkan. "Long tiang-hiap Cie Kie ada seorang kenamaan di tempat kediamannya itu, akan tetapi kalau kau langsung cari dia, pasti dia tak akan temui padamu. Untuk menjumpainya kau mesti cari
seorang perantara ..."
"Apakah kau kenal padanya?" Siau Hoo tanya
penolongnya. "Tentu sekali aku kenal dia." sahut Ngo Kim Piu.
"Malah aku kenal baik!"
"Kalau begitu, tolong kau antar aku kepadanya," Siau
Hoo minta dengan tidak seejie lagi. Ia tak sungkan
meskipun ia baru kenal orang hitam itu. "Aku minta kau perantarakan agar aku diterima jadi muridnya!"
Akan tetapi Ngo Kim Piu tertawa, terus dia geleng
kepala. "Aku tak dapat jadi orang perantara," ia beri tahu.
"Bicara terus-terang aku kenal baik Long-tiang hiap, tetapi, apabila aku bertemu dia, sampaikan kepalaku aku tak
berani angkat ..."
Siau Hoo heran.
"Eh, apakah kau takut kepadanya?" ia tegasi.
"Bukan melainkan aku, siapa juga jerih terhadapnya!"
jawab Ngo Kim Piu. "Buat di Sucoan Utara, dia ada orang yang nomor satu. Aku hanya ada seorang kang-ouw bicara hal uang, pengaruh dan pengetahuan, semua aku kalah
daripada dia itu!"
Siau Hoo berdiam, hatinya berpikir.
"Berapa jauhnya Long-tiong dari sini?" ia tanya
kemudian. "Dua-ratus tujuh-puluh lie lebih," sahut Hek-pa-cu.
"Dengan naik kudaku ini, kita masih butuhkan tempo tiga hari."
"Baiklah!" Siau Hoo bilang kemudian. "Tak usah kau
perdulikan lagi padaku, aku hendak cari dia!"
Dan dia lantas buka tindakannya.
Ngo Kim Piu cekal orang punya lengan dan ditariknya.
"Saudara kecil, ini bukannya main-main," kata ia. "Kau tidak pakai sepatu, sebelum sampai disana, kau sudah akan mati karena lelah. Lagipun, tanpa perantara, dia pasti tidak akan perdulikan padamu! Saudara kecil, bukankah sekarang
kita telah jadi sahabat satu pada lain" Maka aku harus bantu pada kau. Mari turut aku dahar dan minum arak didalam
dusun, setelah itu aku nanti belikan kau pakaian, aku akan cari seorang kenalanku buat pinjamkan seekor kuda
untukmu, sesudah itu, kita nanti cari beberapa kenalanku yang lain untuk ajar kau kenal dengan mereka itu. Dengan bantuannya beberapa sahabat itu, baru kau pergi cari Longtiong-hiap, itu waktu aku percaya, tentulah Long-tiong-hiap suka terima kepadamu!"
Kang Siau Hoo girang sekali mendegar kata-kata itu, ia manggut-manggut.
"Bagus! Baiklah!" ia berseru.
Lantas Ngo Kim Piu tuntun kudanya, bersama Siau Hoo
ia bertindak ke Selatan. Mereka jalan belum jauh, lantas mereka tampak satu jalan besar yang menuju ke Barat.
Disini mereka jalan lebih jauh. Pemandangan di kedua tepi, dimana ada air dan sawah, sangat indah, tapi Siau Hoo
tidak mempunyai kegembiraan akan menikmati itu, malah
ia bertindak dengan cepat. Buat ia, dahar adalah paling penting pakaian tidak seberapa, kecuali sepasang sepatu.
Sesudah jalan belasan lie, mereka sampai di sebuah
dusun yang tidak terlalu ramai tetapi warung-warung,
warung kelontong, rumah makan dan rumah penginapan
bisa didapatkan. Di Selatan jalan besar ada sebuah
pondokan dengan mereknya di tembok yang huruf-
hurufnya miring mengok.
"Mari kita mampir disana," kata Ngo Kim Piu.
Siau Hoo tidak kenal huruf, ia mengikuti
Kim Pui tuntun kudanya memasuki pekarangan dalam,
tiga jongos lantas sambut mereka, ada yang sambuti kuda,
ada yang mengundang masuk, kelihatannya mereka kenal
baik tetamu she Ngo ini.
"Tolong carikan kamar untuk saudara kecilku ini," kata Hek-pa-cu pada ketiga jongos itu.
Satu jongos terus saja ajak Siau Hoo ke sebuah kamar
Timur, sedang Kim Piu sendiri pergi langsung ke kamar
tuan rumah dimana ia lantas pasang omong kepada kuasa
hotel atau tuan rumah.
Siau Ho tantas disediakan air, ia terus bersihkan rambut dan mukanya, lengan dan kakinya juga, kemudian ia
berebahan untuk beristirahat, hingga sekarang ia bisa
layangkan pengalamannya selama dua hari paling belakang.
Ia berduka berbareng mendongkol.
"Beruntung aku bertemu dengan Ngo Kim Piu. Da benar
ada satu sababat sejati," pikirnya lebih jauh.
Bocah ini belum rebah lama atau Kim Pui bertindak
masuk kedalam kamarnya dengan membawa seperangkat
pakaian serta sepasang sepatu.
"Saudara kecil, pakailah pakaian ini!" kata ia sambiI
tertawa. "Kau coba dahulu cukup atau tidak!"
Siau Hoo tidak berlaku sungkan, ketika ia telah pakai
pakaian baru itu, cuma ke dua ujung kakinya yang sedikit panjang, tetapi itu boleh ditekuk atau digulung. Adalah sepasang sepatu yang terlalu besar, hingga tak dapat
dipakai. Tapi ia tidak kurang akal, ia robek celananya, dengan robekan itu ia libat kakinya dan ikat sepatunya.
Juga betisnya ia libat.
Menampak kecerdikan itu dan kelucuan juga, Ngo Kim
Pui yang mengawasi, jadi tertawa:
"Saudara kecil, dengan begini kau jadi mirip dengan satu enghiong!" Kata ia. "Kalau kau telah soren sebatang golok, maka didalam kalangan Lok-lim, siapa berani tidak lihat mata padamu ..."
"Apa" Lok-lim" " menegasi Siau Hoo "Lok-lim itu
tempat apa?"
Enghiong cilik ini masih belum tahu bahwa Lok-lim
adalah Rimba Hijau, kalangan orang gagah atau
penyamun, mirip dengan kalangan kang-ouw, Sungai
Telaga. "Lok-lim ialah Kang-ouw," Hek-pa-cu beri keterangan.
"Lok-lim dengan Kang-ouw tidak ada bedanya."
Siau Hoo tidak minta penjelasan lebih jauh.
"Eh, kenapa barang santapan masih belum sedia?" ia
tanya. "Nanti aku lihat, akan minta mereka lebih cepat." kata Ngo Kim Pui, yang terus saja bertindak keluar.
Tidak berselang lama, muncullah jongos dengan barang
makanan yang dipesan.
Ngo Kim Piu juga segera muncul pula sambil
menyanyikan lagu pegunungan yang umum di Sucoan
Utara. "Mengantar ke kasihku sampai dipaseban Sip-lie-teng di tepi paeban Sip-lie-teng, rumput hijau-hijau!"
Mendengar nyanyian itu, tanpa merasa Siau Hoo lantas
ingat Pauw Ah Loan yang gemar nyanyi, hingga dengan
tiba-tiba hatinya menjadi tegang sendirinya.
"Aku mesti lekas belajar silat, aku mesti kumpul uang, untuk aku pulang dan nikah Ah Loan," demikian ia pikir.
"Hanya, sebelumnya menikah, aku mesti terlebih dahulu
menuntut balas!"
Bersama-sama Kim Piu ia numprah di atas pembaringan,
akan mulai minum arak dan dahar nasi, sambil bersantap merekapun bercakap-cakap.
Siau Hoo anggap Ngo Kim Piu ada satu sahabat baik,
dengan tidak sembunyikan suatu apa, ia tuturkan hal
ikhwalnya. "Beruntung kau bertemu aku," Kim Piu lantas beri ingat,
"Kalau kau ketemu lain orang yang kenal baik Pauw Kun
Lun, ada kemungkinan kau akan dibinasakan olehnya.
Pauw Kun Lun serta murid-muridnya itu, buat di Siansay Selatan, boleh dipandang sebagai raja jago sendirian, akan tetapi apabila mereka sampai di Sucoan Utara, sekalipun satu tindak saja mereka sukar berkutik. Kita di Sucoan Utara, baik dikalangan kang-ouw maupun di kalangan Loklim, asal dengar hal muridnya Pauw Kun Lun, yang
namanya ada pakai huruf "Cie", dia itu adalah musuh kita, dalam sekejap kita akan turun tangan!"
"Memang benar aku kenal mereka itu," Siau Hoo bilang,
"Tetapi mereka telah bunuh ayahku, maka mereka itu
adalah musuh-musuhku!"
Selagi mereka keluar, tuan rumah turut mengantar. Ia
ada seorang dengan tubuh gemuk, tinggi dan besar,
berkumis dan berewokan, hingga romannya jadi bengis.
Kim Pui ajar mereka kenal satu dengan lain.
"Ini ada Ie Toa-cianki," kata Hek-pa-cu. "Ini ada
saudara kecilku yang baru."
Ie Toa-ciangkui ada ramah-tamah, akan tetapi karena
romannya, Siau Hoo tak begitu sukai dia.
Dengan menunggang kuda, keduanya lekas juga
meninggalkan dusun itu.
"Bukankah kau, sudah lihat tuan rumah she Ie itu?" kata Kim Piu pada sahabatnya sambil menoleh, karena ia jalan disebelah depan. "Diapun ada seorang Kang-ouw yang
kenamaan, kepandaiannya sempurna."
Sebenarnya keterangan itu ada menarik hati, akan tetapi Siau Hoo tidak tarlalu memperhatikannya, karena sekarang tujuannya melainkan ada pada Long-tiong hiap Cie Kie
kepada siapa ia niat belajar sedikitpun buat dua tahun, supaya kepandaiannya menjadi sempurna.
Mereka jalan ke Barat sampai kira-kira satu hari. Siau Hoo tidak tahu Kim Pui ajak dia kemana, hanya dia dapati jalan mulai menjadi sempit, rumah-rumah tidak ada, orang yang berlalu-lintas jarang, akan akhirnya tak ada sama sekali. Di depan ada tanah pegunungan yang legat-legot, tidak ada batasnya, kelihatan hanya pohon-pohon dengan daun-daunnya yang hijau segar. Adalah di arah Utara
kelihatan warna biru dimana ada sejumlah perahu layar, tanda adanya sungai.
-ooo0dw0ooo- Jilid 05 "EH, sahabat, tempat apakah ini?" tanya Siau Hoo
sambil tahan kudanya. Ia lihat tempat itu tidak
menyenangkan ia. "Kemana kita pergi?"
Ngo Kim Piu berpaling dan tertawa.
"Lihat disana!" sahutnya sambil tangannya menunjuk.
"Disana ada rumah kita! Disana ada sahabat-sahabat kita, lebih daripada duapuluh orang!"
Siau Hoo bercuriga juga, akan tetapi ia sudah sampai
disitu, maka Ia ambil putusan mengikuti terus. Maka
kembali Ia beri kudanya jalan, terus menuju ke Barat.
Sesampainya di kaki bukit, disitu Kim Piu cari jalanan untuk mendaki. Sampai diatas bukit mereka masih jalan
tikung-menikung, melintasi sebuah puncak, lantas mereka menghadapi satu rimba pohon cemara. Disini mereka lantas dengar satu suara nyaring, seperti berkowaknya seekor
garuda. "Mari turun dari kuda, sahabat kita sudah datang!" kata Kim Piu pada saudara ciliknya itu, sambil memasukkan dua jarinya ke dalam mulut dan perdengarkan suara suitan
mulut yang nyaring.
Siau Hoo heran atas apa yang ia tampak itu.
Mereka tidak usah menantikan terlalu lama akan lihat,
dan dalam rimba muncul empat orang, yang semuanya
menyekal golok, hingga sekarang barulah Siau Hoo insyaf benar yang ia telah diajak ke sarang penyamun. Karena ini, ia tidak lantas loncat turun dari kudanya.
"He, sahabat, kau ajak aku kemana?" tanya ia. "Jikalau kau suruh aku jadi penyamun, itulah tidak akan aku
berbuat!" "Eh, saudara kecil, mengapa kau mengucap demikian?"
Kim Piu mencegah. "Apakah kau sudah tak sudikan
jiwamu" Hayo turun dari kudamu, aku nanti perkenalkan
kita dengan beberapa sahabat. Segala hal lainnya kita nanti bicarakan belakangan. Kau jangan kuatir, kita telah menjadi sahabat, mustahil aku kandung maksud jahat terhadap
dirimu?" Siau Hoo berdiam, ia kerutkan sepasang alisnya.
Lekas sekali, empat orang itu sudah datang dekat,
mereka sambuti kuda.
Kim Piu bicara kepada mereka itu, teapi ucapannya tidak ada yang Siau Hoo mengerti, hingga Ia tak tahu orang
bicarakan apa. Hanya ia lihat empat orang itu lantas
tertawa. "Mari," mengajak Kim Piu, yang bawa saudara ciliknya
memasuki rimba cemara itu, terus sampai di sebuah lembah dimana ada berdiri satu kuil dengan delapan pendoponya, sedang tembok merahnya sudak salin warna, tiang
benderanya sudah patah.
Kuda mereka sudah lantas ditambat pada sebuah pohon.
Di muka pintu kelihatan ada berdiri dua orang,
pakaiannya semua ringkas, tangannya memegang golok.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, sahabat, sebenarnya tempat ini tempat apa?" Siau
Hoo tanya pula Hek-pacu. Ia masih saja curiga.
Ngo Kim Piu sebaliknya, tetap tertawa saja.
"Sesudah berdiam dua hari disini, kau akan ketahui
semua!" ia bilang. "Kita ada sahabat-sahabat, kita ada bangsa penjunjung kehormatan, maka percaya, aku tidak
nanti perlakukan tak semestinya kepadamu!"
Tapi Siau Hoo ada mendongkol.
"Sahabat baik!" berseru Ia. "Kau bawa aku ke sarang
penyamun! Aku katakan terus terang inilah aku tak dapat lakukan!"
Ngo Kim Piu berhenti bertindak, ia menoleh. Pada
mukanya yang hitam sekarang tertampak roman tidak
senang. "Saudara kecil, kau keliru," Ia bilang dengan sungguh-
sungguh, suaranya
tetap. "Siang-siang
aku sudah beritahukan bahwa kita ada orang-orang Lok-lim, bahwa
aku suka bersahabat denganmu karena aku lihat kau kecil tetapi bernyali besar dan bersemangat gagah. Aku memang ajak kau kemari untuk turut dalam rombongan kita, supaya kau bisa jadi saudara kita. Kau sudah tidak punya rumah kemana kau bisa pulang! Kau berniat cari Long Tiong hiap Cie Kie tetapi Long Tiong Hiap tidak biasanya menerirna murid, sedang juga kau ada asal lain propinsi!"
Mendengar pengutaraan yang terus terang itu, Siau Hoo
jadi berdiri menjublek. Ia memandang ke depan kepada
kedua kuda, kepada kedua pengawal pintu. Ia berpikir
dengan cepat, lantas ia manggut.
"Baik!" ia berikan jawabannya. "Tapi aku tidak sudi
yang kau pandang aku sebagai serdadu saja!"
Kim Piu kelihatan menjadi girang sekali, sampai Ia
tepuk-tepuk orang punya pundak.
"Apa kau bilang?" tanya ia. "Bukankah kita bersaudara"
Tentu saja kau menjadi siau-ceecu, ketua yang muda!"
Lantas Hek-pacu tarik orang punya tangan, akan ajak
saudara cilik itu masuk kedalam.
Di muka pintu, Kim Piu disambut dengan hormat oleh
ketua pengawal, yang panggil ia Jie-ceecu. Ia tertawa pada dua orang itu, sambil tunjuk Siauw Hoo ia kata:
"Ini ada kita punya orang baru, Kang Siau ceecu! Mulai hari ini, kau mesti dengar segala titahnya siau-cu ini! Kau jangan lihat ia ada satu bocah, ia mempunyai bugee yang lihay!"
Mereka jalan terus sampai didalam, Siau Hoo lihat
tempat tidak miripnya dengan kuil! Disitu ada banyak koper atau peti, diantaranya ada yang terbuka tutupnya. Rupanya itu ada oleh-oleh penyamunan. Diundakan tangga ada
berduduk belasan orang, pakaian mereka tidak keruan, tapi mereka sedang berjamu dengan gembira, mereka-pun
tertawa-tawa. Ngo Kim Piu ajar kenal mereka itu pada ketua muda ini, maka Siau Hoo jadi dapat tahu bahwa mereka itu adalah
rombongan liauwlo atau rakyat berandal.
Dan situ Kim Piu ajak saudaranya memasuki pendopo
dimana paling dahulu Siau Hoo lihat para-para senjata
dimana kedapatan golok dan pedang, tumbak dan gaetan,
yang semua tajam mengkilap. Patung-patung suci tidak
terganggu, tetapi ruangan ada kusut sekali, piring mangkok peti arak dan lain-lainnya diletaki berantakan. Ditembok ada tergantung golok dan pedang, meja suci digeser ke
pinggiran, disampingnya ada bangku-bangku butut di atas mana ada duluk beberapa orang, diantaranya satu toosu
atau imam hitain dan gemuk yang kumisnya panjang. Kim
Piu hampirkan tosu itu untuk perkenalkan dia dengan Siau Hoo, yang asal usulnya dijelaskan semua. Kemudian
saudara cilik itu diperkenalkan pada tosu itu, yang ternyala ada toa ceecu atau kepala penyamun, namanya Ma In Siu, gelarnya Thie Lo-couw atau Loo-couw Besi. Satu yang lain ada Sam ceecu Lauw Kie gelar Tiang pie-wan si Monyet
Lengan Panjang. Dua lagi yang lain ada sahabat-sahabat Liok Tek Sui dan Phoa Tay Teng yang baru datang.
Semua orang itu ada ramah tamah, lantas saja mereka
panggil Siau Hoo "siohia-tee" atau saudara kecil.
"Memang kita kekurangan satu saudara muda," kata Ma
In Siu kemudian. "Ada beberapa utusan yang masih belum diselesaikan, kebenaran kau datang, disini kau bisa bantui kita. Apa yang kau kehendaki, lantas dapat tersedia, hanya satu hal kau harus ingat, kita kaum Loklim paling hargai kehormatan. Kalau kita ketemu saudagar atau kereta piauw yang kita tidak kenal, kita mesti tahan, tetapi asal mereka
memberi tanda, kita anggap mereka ada kenalan kita, maka mereka harus diberi lewat tanpa gangguan. Dan kalau
ketemu orang perempuan, asal dia bukannya bunga berjiwa, sedikit juga jangan permainkan dia, biarpun didalan
keretanya ada uang atau barang-barang berharga mahal,
kita tidak boleh geledah. Jikalau kita lakukan perbuatan kurang ajar, lain-lain sababat kita pasti akan tertawai kita!"
Siau Hoo gembira juga mendengar keterangan itu,
keterangan dan pri-kepantasan. Dengan sikap itu mereka ini ada lebih menang daripada Pauw Kun Lun. Maka itu, ia
terus turut mereka bersantap dan minum.
Juga Ma In Siu semua gembira dapati saudara cilik ini, sikap siapa mirip dengan seorang kang-ouw yang ulung,
maka setiap kali mereka memanggil "lauw-hia-tee" atau
"siau-hia-tee". Merekapun tanyakan banyak hal Pauw Kun Lun dan persaudaraan Liong.
Siau Hoo berikan keterangan apa yang ia tahu.
Selagi mereka bersantap, ada datang lagi tiga orang, ialah Su ceecu Hui-piauw Kheng Cong si Piauw Terbang, dan
dua liauw-lo. Saudara yang keempat ini melaporkan hal
sedang mendatanginya serombongan saudagar dari Utara,
yang ada bawa "cat mentah dan lainnya" dalam enam buah kereta, bahwa piauwsunya ada dua, dan benderanya ada
bendera Kun Lun Piauw Tiam dari Tiang-an.
Thie Loo-couw Ma In Siu sudah lantas gebrak meja.
"Orang-orang dari Kun Lun Piauw Tiam berani lewat
disini?" dia berseru, "Mereka mesti dibegal!" Kemudian ia tanya saudaranya: "Bagaimana sikapnya kedua piauwsu
itu" Apa mereka ada murid-muridnya Pauw Kun Lun?"
"Sikap mereka ada sempurna, hanya kita belum tahu she
dan namanya," sahut Kheng Cong.
"Piauwsu dari Kun Lun Piauw Tiam tidak ada yang
lembek, kita mesti keluar dengan sedikit banyakan," kata Ngo Kim Piu dengan sarannya.
"Kita keluar semua!" berseru Ma In Siu. "Kang Siau-hiatee, kau-pun turut kita! Jikalau dua piauwsu itu bisa
dibinasakan itu-pun ada suatu pembalasan sakit hati untuk ayahmu!"
Biar bagaimana, Siau Hoo toh bersangsi. Sekalian
muridnya Pauw Kun Lun ada bangsa telur busuk tetapi
diantaranya ada Cie Hian dan Cie Hong, dua penolongnya, kalau mereka berdua berada dalam rombongan piauw itu
bagaimana ia mesti ambil sikap. Ia-pun pikirkan tujuannya.
Ia keluar untuk cari guru silat, tapi ia sekarang bantu berandal, apa itu tidak memalukan" Sepak terjangnya
sekarang ada bertentangan dengan tujuannya.
Sementara itu orang telah repot menyembat senjatanya
masing-masing. Ma In Siu, yang sudah loloskan jubahnya, kelihatan dandan dengan ringkas, ia ambil golok Pok-too, terus saja ia bertindak keluar.
Ngo Kim Piu juga turut keluar, tetapi lantas Ia masuk
pula. entah apa yang ia bicarakan diluar itu, ia hampiri Siau Hoo dan kata: "Saudara kecil, sekarang kita hendak turun gunung buat berusaha! Ini adalah pengalamanmu yang
pertama sedari mulai memasuki dunia kang-ouw. Tapi lebih dahulu daripada itu, mari kita bicara dengan liangsim kita.
Kita mesti berlaku terus-terang dan terhormat. Pihak lawan kita sekarang ada orang-orang Kun Lun Pay, dantara
mereka barangkali ada orang atau orang-orang yang kau
kenal, oleh karena itu kita ingin kau jangan bersikap ragu-ragu atau serong!"
Siau Hoo tidak puas dengan pengutaraan tanda dan
kecurigaan itu.
"Jikalau kau tidak percaya aku, tinggallah aku, biar aku jaga rumah saja!"
Kim Pu berpikir sebentaran, lantas ia manggut.
"Baiklah, kau boleh tunggu rumah!" Ia bilang.
"Pekerjaan sekali ini mestinya hebat, kau masih berusia terlalu muda, selama pertempuran, bisa jadi kita tidak mempunyai kesempatan untuk perhatikain kau!"
Lantas saja Ia bertindak keluar pula dengan tak tunggu jawaban lagi. Dari luar terdengar nyata suara berisik, dan tindakan kaki kuda juga, menandakan orang semua mulai
turun gunung, maka dilain saat, Siau Hoo terbenam dalam kesunyian. Ia tidak mau berdiam didalam, ia bertindak
keluar, dari pondopo Ia lihat lima serdadu berandal sedang main dadu. Ia jalan terus sampai di pintu pekarangan.
"Ini adalah ketikaku yang baik," Siau Hoo lantas
beipikir. "Mereka telah turun gunung dalam tempo pendek mereka tak akan kembali, sekarang baik aku angkat kaki.
Siapa kesudian bercampur-baur dengan mereka dengan jadi penyamun" Sayang semua kuda telah mereka bawa pergi "
Tidak bisa lain, aku mesti merayap turun ..."
Siau Hoo balik pula kedalam, keruang dari pendopo
dimana barang ada terletak kalang kabutan, ia ambil uang satu bungkus, ia tidak tahu berapa jumlahnya itu, ia hanya merasakan bungkusan itu berat, terus ia libat itu pada pinggannya. Ia-pun jemput sebatang golok yang bersarung.
Ia tidak menunggu lama akan terus keluar pula.
Satu, liauwlo, yang sedang lempar dadu, lihat orang
keluar, dia berbangkit.
"Siau-ceecu hendak pergi kemana?" ia menanya.
"Aku hendak turun gunung untuk bantu mereka," jawab
Siau Hoo, yang terus turun gunung.
Beberapa liauwlo itu mengawasi sambil tertawa, mereka
tidak dapat duga berapa tinggi ada kepandaiannya ketua yang muda itu.
"Mereka semua mesti ada di depan," pikir Siau Hoo
selagi berjalan turun. "Mereka tentu sedang tempur kedua piauwsu, kalau aku-pun pergi ke depan, aku bakal ketemu mereka. Lebih baik aku ambil jalan belakang ..."
Dan ia putar haluan akan menuju ke belakang. Disini
jalanan ada sempit dan tidak rata, berlegat-legot, dari itu tidak heran, sudah sekian lama ia jalan, ia belum ketemu jalanan yang benar, ia seperti tersesat atau kebelinger.
"Inilah hebat," pikir Ia. Maka ia tancap goloknya
dibebokong, ia hampiri pohon untuk berpegangan dan
merayap naik, hampir tak merasa, ia sampai di satu puncak, hingga ia tampak rentetan gunung, sedang di sebelah kanan ada sebuah sungai besar. Di sebelah kiri ada jurang, jalan turun tidak ada. Dibawah ia ada jurang dengan selokannya, yang airnya berkericikan.
"Bagaimana sekarang?" Ia tanya dirinya sendiri.
Tidak ada lain jalan, ia merayap turun pula, hingga ia tampak dibawah, dijalanan gunung, ada serombongan
orang mendatangi. Ia segera mengenali rombongannya Ma
In Siu dan Ngo Kim Piu, yang baru saja "berusaha". Ia
tidak mau ketemu mereka itu, ia umpatkan diri di belakang sebuah batu besar. Ketika kemudian ia muncul pula, ia lihat rombongan itu sudah lewat jauh. Ia lanjutkan melapay
turun. Karena banyak batu tajam dan pohon duri. Ia
merasakan banyak kesukaran tidak saja tangannya pada
lecet dan berdarah, sebelah sepatunya-pun copot dan
hilang. Beberapa kali hampir Ia terpeleset jatuh kejurang, hingga selanjutnya ia mesti kertak gigi. Ketika magrib mulai datang, barulah bocah ini sampal dibawah, di jalanan.
Lantas saja ia keluarkan elahan napas lega. Tapi Ia tidak berani diam lama disitu terus saja ia lari dengan sebelah kakinya telanjang, hingga ia mesti menderita dari batu-batu gunung, dan tempo akhirnya ia sampai di jalan yang rata, sekeluarnya dan mulut gunung, ia lari semakin keras. Ia ngiprit dengan tidak tahu berapa jauh Ia sudah lari. Ketika itu di belakangnya Ia dengar suara larinya kuda. Ia
menduga orang kejar ia, lantas ia mendekam siap dengan goloknya.
Sang magrib yang remang-remang menolong bocah ini,
dia tidak kelihatan. Ia mendekam antara rumput tebal.
Kedua penunggang kuda itu terpisah jauh juga satu pada lain. Siau Hoo antap penunggang kuda yang pertama lewati ia, ketika yang kedua datang dekat, segera ia loncat bangun, akan bacok orang punya kaki kuda pada pahanya.
Sekejab saja, kuda itu ngusruk, hingga penunggangnya
bahna kaget, keluarkan jeritan, tubuhnya rubuh terbanting.
Siau Hoo tidak kenal siapa penunggang kuda itu tapi dia lompat maju, menyerang, beruntun dengan dua bacokan,
hingga orang itu, yang tidak keburu bangun, menjerit pula.
Sesudah itu, Siau Hoo-pun membacok pula paha kuda,
hingga kuda itu tak dapat bangun berdiri.
Penunggang kuda yang di depan dengar suara jeritan
orang dan kuda juga, ia secepatnya balik akan tengok
kawannya. "Sutee, kau kenapa?" dia tanya, "Apa kau jatuh dari
kudamu?" Siau Hoo kenalkan itu bukan suaranya kawanan
penyamun, secepatnya ia jongkok di samping kuda. Dari
situ Ia dengar rintihan korbannya.
Penunggang kuda itu sudah lantas sampai, ia hunus
goloknya, ia loncat turun dari kudanya, menghampiri
kawannya atau sutee, adik seperguruan.
"Sutee, kau kenapa?" tanya Ia sambil mendekat.
Dalam cuaca seperti itu, si penunggang kuda tidak dapat bedakan musuh atau kawan, Ia-pun tidak menyangka jelek.
"Siapa suteemu?" berseru Siau Hoo seraya berbangkit
dan angkat goloknya untuk menyerang.
Orang itu kaget dan mundur, ia menangkis dengan
goloknya, hingga Ia luput dari serangan menggelap itu.
Karena ini, keduanya jadi bertempur.
Baru beberapa jurus, Siau Hoo sudah merasakan tidak
ungkulan, maka ia lompat mundur ke samping kuda yang
terluka, yang masih rebah di tanah.
"Sahabat kau siapa!" ia tanya.
Penunggang kuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia
memburu akan menyerang pula.
Siau Hoo tidak mau melayani ia dan mengitari kuda,
hingga mereka saling kejar, sampai tiga atau empat putaran.
Penunggang kuda itu jadi sengit ia lompati tubuh kuda.
"Berandal, kau hendak lari?" Ia membentak.
Siau Hoo putar tubuhnya akan lari, ia lari belum jauh, ia dengar tindakan kaki kuda. Ia menyangka orang kejar Ia dengan naik kuda, ia menoleh, tapi ia lihat kuda tanpa penunggang, maka Ia mengerti, itu adalah kuda musuhnya yang lari sendiri, mungkin disebabkan kaget. Ia lantas dapat pikiran. Sembari lari Ia mendekati kuda itu untuk dicegat, lalu dengan gesit ia enjot tubuhnya akan loncat naik ke bebokongnya kuda itu.
Disaat itu si pengejar sudah datang dekat goloknya mulai diayun.
Siau Hoo lihat ia berada dalam bahaya, ia ayun
tangannya ke belakang.
"Awas piauw!" ia berseru.
Orang itu kaget, ia lekas mendek untuk berkelit. Ketika ini digunai oleh Siau Hoo buat duduk dengan benar, akan pegang les kuda, yang Ia keprak buat dikasi kabur, hingga diain saat Ia sudah pisahkan diri jauh-jauh, membuat
pengejarnya habis daya akan susul ia terlebih jauh. Sang cuaca-pun sudah jadi semakin gelap, tidak perduli bintang ada biayak dan bulan bersisir.
Siau Hoo antap kuda bawa Ia kabur, ia tak tahu tujuan, hanya selang kira-kira duapuluh lie baru ia coba tahan kuda rampasannya itu. Ia turun dari kuda untuk melenyapkan
lelah, agar napasya tak tersengal-sengal terus. Ia lihat sebuah bungkusan tergantung di pelana, ia raba itu, luarnya lembek, dalamnya keras.
"Uang," pkirnya. "Uang ini mesti berjumlah besar!
Bagus, sekarang aku beruntung! Ada kuda, ada senjata, ada uang juga. Sekarang aku mesti cari tempat bermalam, besok baru aku pergi cari Long Tiong Hiap ?"
Lantas uangnya sendiri, goloknya juga, ia cantel disela kuda, ia naik pula atas kuda itu, akan lanjutkan
perjalanannya, mengikuti jalan besar. Ia tidak kabur lagi.
Sesudah melalui lebih daripada tigapuluh lie, ia sampai di sebuah tempat yang ramai. Itu waktu ada kira-kira jam dua, masih ada rumah yang belum tutup pintu. Demikian
seorang, yang menenteng lentera, sudah lantas samperi
padanya. "Tuan hendak cari rumah penginapan?" dia tanya.
"Mari mampir di Thio Kee Tiam, kita ada punya kamar-
kamar yang bersih!"
"Baik, aku ingin kamar untuk satu orang!" Siau Hoo
jawab. "Perkara sewanya aku tidak pikir!"
Ia terus ikut jongos itu masuk ke pekarangan hotel. Istal berada di sebelah depan, maka Siau Hoo loloskan buntelan dan goloknya, kudanya ia serahkan pada lain jongos, ia sendiri ikuti pengantarnya masuk kedalam sebuah kamar.
Sesudah gantung lampu ditembok, jongos itu sediakan alat untuk cuci muka, air teh dan rapikan pembaringan,
kemudian ia tanya tetamunya hendak dahar apa.
"Apa-pun boleh, asal ada arak hangat," jawab Siau Hoo.
"Sedikitnya aku ingin empat tail arak."
Jongos itu menyahuti dan lantas undurkan diri.
Setelah berada sendirian Siau Hoo buka bungkusan yang
Ia dapatkan disela, isinya adalah sehelai selimut dan
setengah bungkus uang perak serta tiga pucuk surat yang tertutup rapat. Ia tidak mengerti surat, ia tidak ganggu surat-surat itu, yang ia bungkus pula jadi satu dengan uangnya sendiri. Ia gunakan bungkuan itu sebuah bantal kepala.
Sesudah ia cuci muka, baru ia rasakan kakinya sakit.
Sekarang ia baru ingat sepatunya telah hilang sebelah.
Maka ia buka sepatu yang satunya, ia naik ke pembaringan akan duduk numprah.
Tidak antara lama jongos datang dengan barang
makanan dan arak, terus saja ia dahar dan minum. Habis bersantap ia tutup pintu kamar dan naik tidur. Ia dapat tidur dengan lekas. Ketika besoknya Ia bangun, cahaya matahari sudah tertampak dijendela.
"Lekas sediakan aku barang makanan," Siau Hoo minta
pada jongos, yang ia panggil.
Sehabisnya bersantap, ia tanya jongos tempat itu apa
namanya, dan jalan ke Long-tiong masih ada berapa jauh.
"Ini ada dusun Tay-peng-tin," jawab jongos itu, "kita
masuk dalam daerah distrik Tay-tiok. Buat pergi ke Longtiong orang mesti lintasi sungai Kie Kang, jalanan darat atau air sama saja, kira-kira dua ratus lie lagi."
"Aku tidak mau ambil jalan air," pikir Siau Hoo, "aku
tidak bisa berenang, kalau aku ketemu bajak, aku bisa
celaka. Aku ada punya kuda, aku harus ambil jalan darat."
Ia terus lonjorkan sebelah kakinya, kasi si jongos lihat, lalu Ia berikan uang.
"Tolong belikan aku sepasang sepatu," ia perintah.
Perintah itu dijalankan dengan cepat, malah bocah ini
dapatkan sepatu yang cocok.
Setelah dandan dan bayar uang sewa Siau Hoo keluar
dari hotel. Ia-pun beli sebatang cambuk. Dari Taypeng-tin ia menuju ke Barat-utara. Kira-kira tengah hari ia sampai di pesisir Timur dari sungai Kite Kang. Ia cari perahu
tambangan untuk seberangi sungai, hingga dilain saat ia sudah sampai di distrik Kie-koan, sebuah kota ramai dalam lingkungan jalan Keng Leng-too. Ia ada mempunyai uang, ia merdeka untuk mampir di rumah makan akan tangsel
perut dan tenggak arak. Ia cari toko pakaian, akan beli pakaian baru dari sutera, berikut sepatu dan kopiah malah di toko itu juga ia salin pakaiannya. Sehingga ketika Ia lanjutkan perjalanannya lebih jauh, ia telah beroman lain, cakap dan gagah. Ia berpakaian hijau, ikat pinggang ungu, ban betis hijau, kopiah hijau, begitu-pun sepatunya.
Kudanya berbulu merah. Ia beri kudanya jalan tak cepat dan tak lambat, tujuannya Barat utara.
Kebetulan pemandangan alam ada indah. "Benar-benar
merantau ada terlebih menggembirakan," pikir Siau Hoo,
"Sekarang aku ada mempunyai segala apa, kalau sekarang aku pulang ke Tin-pa, siapa berani tidak pandang mata
padaku" Sayang kepandaian silatku yang aku peroleh dari Ie-thio Ma Cie Hian masih belum berarti, jangankan untuk menuntut balas, untuk hidup di kalangan kang-ouw saja
belum cukup."
Karena ini, keras keinginannya akan lekas sampai di
Long-tiong, akan cari Cie Kie.
Jalanan ada ramai, dipinggiran-pun ada orang-orang tani yang bekerja di sawah, banyak antaranya yang awasi bocah ini, yang menungang kuda dan pakaiannya aksi, hingga ada yang menduga-duga dia sebenarnya orang macam apa "
Siau Hoo sendiri jalankan kudanya sambil bersiul.
Sesudah jalan kira-kira tigapuluh lie, Siau Hoo disusul oleh tiga penunggang kuda yang dandanannya ringkas,
usianya masih muda. Malah yang satu segera menteriaki:
"Eh, bocah, kau sebenarnya hendak berbuat apa?"
Anak ini menoleh, melihat orang punya sikap tidak
menghormat, ia tidak ambil mumet. Ia terus jalankan
kudanya sambil bersiul terus.
Tiga pemuda dibelakang itu larikan kudanya, sampai
mereka berada di depannya bocah ini, hingga debu
mengepul naik menyamber kemuka. Siau Hoo berlaku
sabar. Ia Lihat orang ada membekal golok disela, ia percaya mereka
itu ada orang-orang kaum kang-ouw.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rupanya mereka tidak lihat mata padaku," ia pikir. Ia
mau singkirkan persetorian, ia sengaja beri kudanya jalan pelahan, hingga Ia kena dilombai.
Sore itu Siau Hoo singgah di hotel akan keesokannya
melanjutkan perjalanannya pula. Ia jalan jauhnya beberapa puluh lie, mendekati tengah hari, ia menghadapi sebuah kota yang ramai.
"Baik aku bersantap disini." pikirnya.
Terus ia masuk kedalam kota, ia cari sebuah rumah
makan, kemudian sembari dahar dan minum arak ia tanya
pelayan, tempat itu apa namanya dan berapa jauh
terpisahnya dari Long-tiong.
"Kota ini ada kota Eng-san, dari sini ke Long-tiong
masih ada seratus lie lebih," sahut sang jongos. "Kalau kita naik kuda yang larinya keras, sebentar sore kita bisa sampai disana."
Siau Hoo girang, ia lantas dahar dengan cepat-cepat. Ia keluar dari kota Utara dan menuju terus ke arah Utara. Ia ikuti jalan besar, ia larikan kudanya, selang belasan lie Ia dapati jalanan mulai sempit dan tikungannya-pun banyak, kemudian ia lihat didepannya ada sebuah kali besar dimana tak kelihatan kendaraan air. Di jalan hanya ada beberapa orang, tidak ada kuda kereta.
"Celaka, aku salah jalan!" pikir bocah ini. Ia putar
kudanya akan hampiri seorang tapi. Ia tanya jalanan ke Long-tiong.
"Ini memang ada jalanan ke Long-tiong," sahut orang
yang ditanya. "Cuma kapan kau telah sampai di tepi kali itu, kau mesti menuju ke Timur, disana kau akan dapati tempat penyeberangan."
"Bagus!" kata Siau Hoo, yang putar pula kudanya diberi lari. Ia sudah jalan dua lie lebih, ia masih terpisah jauh dari
tepi kali, ketika ia dengar di belakangnya ada orang
memanggil: "Sahabat, tahan, tahan, tahan! Kita ingin
bicara kepadamu!"
Siau Hoo tahan kudanya, ia balik tubuhnya, maka Ia
lihat tiga penunggang sedang mendatangi. Ia kenali tiga orang itu ialah yang kemarin ia ketemui di tengah jalan. Ia jadi berkuatir, tapi ia bisa legakan hati. ia pikir untuk menggertak. Maka ia putar kudanya, ia sengaja papaki
mereka itu. Ia tidak beri kentara perasaan apa juga pada air mukanya, ia bersikap tenang dan tabah.
Setelah datang dekat, tiga orang itu tahan kuda mereka.
"Sahabat," kemudian kata yang satu, yang tubuhnya
gemuk, sambil tertawa, "kau datang dari mana dan
sekarang kau hendak cari rejeki dimana?"
Siau Hoo melengak sebentar, tapi segera ia menyahut:
"Aku datang dari Tin pa, aku hendak pergi cari rejeki di Long-tiong."
Kelihatannya tiga orang itu terperanjat.
"Aku numpang tanya namamu yang besar dan kau
muridnya siapa?" tanya pula si gemuk.
Siau Hoo perlihatkan aksi baik. "Aku Kang Siau Hoo
gelar Sam-tauw-houw!" Ia jawab. "Aku tidak pernah punya guru dan kepandaianku adalah ajarannya dewa!"
Tiga orang itu tertawa, dengan separuh berbisik mereka bicara dengan menggunakan bahasa rahasia.
Siau Hoo lihat sikap orang mencurigai, ia-pun lantas
berpikir. Ia anggap mendahului ada paling baik.
"Hei, sahabat!" Segera Ia menegur dengan air muka
keren, "kau telah tanya aku, sekarang ada giliranku untuk tanya kau bertiga!"
"Tidak usah tanya, kita nanti perkenalkan diri, sahut si gemuk tadi. "Aku ada Kauw-tauw Cek Eng si Golok
Gaetan. Untuk di Sucoan Utara, kau boleh dengar-dengar namaku, walau-pun anak kecil dia tahu she dan namaku!
Kita susul kau juga bukan dengan maksud merampas
barangmu. kita hanya ingin kau tinggalkan golok dan
kudamu! Uangmu kau boleh bawa semua, satu bun juga
kita tidak kehendaki! Kami bukannya begal! Kami hanya
tak dapat ijinkan satu bocah cilik sebagai kau, bertingkah seperti satu hohan saja, disepanjang jalan kau bawa aksimu
?" "Telur busuk!" Siau Hoo memotong, sebelum orang
tutup mulut. "Kang Siau-thayya sedang
membuat perjalanannya, apa sangkutannya dengan kau" Hak apa kau punya untuk larang aku bawa-bawa golok dan menunggang
kuda" Apakah kau pandang enteng padaku" Jikalau kau ada satu laki-laki, turunlah dari kudamu, mari kita bertempur satu lawan satu! Umpama kau hendak menyerbu bertiga
dengan berbareng, aku-pun tidak takut, namun perbuatan itu bukan caranya enghiong!"
Setelah itu, Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia terus cabut goloknya yang tercantel di sela, hingga senjata itu berkeredepan berkilau, kemudian dengan pasang kuda-kuda, ia angkat golok kerangkulannya, setelah itu, dengan menuding dengan sebelah tangan ke depan, ia tekuk kaki kirinya, ia geser kaki kanannya!.
"Hayo turun!" Ia menantang. "Tidak perduli siapa
diantara kau bertiga, siapa yang sangup lawan golok
mustikaku ini, aku lantas tak kehendaki lagi semua milikku!
Tapi hati-hatilah, jangan kau jadi seperti persaudaraan Liong dari Cie-yang yang berlutut di depanku meminta-minta ampun!"
Tiga orang itu tercengang, terutama karena sikap pasang kuda-kuda dari siau Hoo, sebab dimatanya satu ahli silat, sikap itu ada bukti dari bugee yang tinggi.
Salah seorang yang jangkung, turun dari kudanya, ia
menghampiri sambil memberi hormat.
"Sudah, sahabat baik!" berkata ia dengan hormat. "Kita ada orang-orang kang-ouw, umpama kata kita tidak dapat ikat persahabatan, kitapun jangan bentrok. Disini-pun
bukan tempatnya untuk bertempur."
"Sahabat, silahkan simpan senjatamu, mari kita cari
tempat dimana kita bisa minum arak! Akurkah?"
Siau Hoo girang yang ia bisa gertak ketiga orang itu, ia semakin beraksi. Dengan bersenyum Ia simpan goloknya,
kemudian ia menggeleng-geleng kepala.
"Aku tak punya tempo akan kawani kau, aku mesti
segera lanjutkan perjalananku ke Long-tiong!" katanya
dengan aksinya. "Nah, sampai ketemu pula lain kali!"
Ia loncat naik atas kudanya, ia rangkap kedua tangan,
terus ia jalankan kudanya, ke Utara.
Si jangkung itu naik atas kudanya, bersama dua
kawannya ia terus menyusul.
"Saudara Kang, tunggu dulu!" Cek Eng si Golok Gaetan
menanggil. "Kita masih hendak bicara!"
Siau Hoo tahan kudanya, ia berpaling.
"Apa itu?" tanya ia sambil bersenyum. "Silahkan
bicara!" "Sebenarnya saudara Kang hendak pergi ke Long-tiong
untuk urusan apa?" Cek Eng tanya seraya Ia rangkap kedua tangannya.
"Urusan sebenarnya tidak terlalu penting," Siau Hoo
jawab dengan sabar. "Aku di Tin-pa telah lama dengar
nama besar dari Long Tiong Hiap, sekarang aku hendak
temui dia!"
"Kalau begitu, kebetulan sekali," kata si gemuk itu.
"Kami juga sedang menuju ke Long tiong! Kami kenal
Long-tiong-hiap Cie Toaya. Sandara Kang, apa kau setuju kita berangkat sama?"
Siau Hoo mengawasi seraya berpikir, tapi ia bisa ambil putusan cepat. Ia anggap baiklah ia jalan sama-sama
mereka, ia memang tidak kenal jalanan, malah umpama di tengah jalan ia dapat gangguan, mereka barangkali bisa membantunya. Pun dengan jalan sama, ia bisa cari tahu
halnya Long Tiong Hiap, umpama kata jago Sucoan Utara
itu mirip dengan Pauw Kun Lun yang ganas, pasti Ia tak sudi menemuinya, ia lebih suka cari lain guru. Maka ia lantas manggut.
"Baiklah! Mari kita pergi kepenyeberangan, akan cari
perahu tambangan," katanya. Dan ia jalankan kudanya
didepan, ia beri tiga orang itu ikuti dia.
Mereka menuju ke Utara, mereka bercakap-cakap
sepanjang jalan. Maka itu Siau Hoo lantas ketahui, tiga orang itu ada piauwsu dari Hok Lip Piauw Tiam dari Longtiong, mereka ada dalam perjalanan pulang dari Hap-ciu dimana mereka telah beri selamat pada guru mereka, Say-un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit, yang rayakan hari ulang tahunnya. Diantara bertiga, Cek Eng adalah toako, saudara tua, dari dua yang lain suteenya, adik seperguruan, Toan-too Yo Sian Tay si Golok Pendek, dan Hoa-too Lu
Hiong si Golok berkembang.
Tidak lama mereka sampai ditepi kali, dari situ mereka menuju ke Timur, lewat lima atau enam lie, mereka sampai
di pelabuhan dimana ada berlabuh sejumlah perahu eretan.
Sian Tay turun dan kudanya, ia berdiri di gili-gili. Lantas dua buah perahu menghampiri, orang-orang didalam
perahu pada menegur sambil tertawa. Nyata piauwsu ini
ada dikenal. Berempat mereka pakai dua perahu untuk
nyeberang. Siau Hoo naik perahu bersama Cek Eng, siapa sekarang panggil ia "Kang hiatee," atau "Saudara Kang."
"Kalau kita sampai di Long-tiong, hia-tee, baik kau
jangan pergi cari Long-tiong-hiap Cie Kie," kata si Golok Gaetan. "Dia belum tentu ada dirumahnya. Lain daripada itu, biar dia berkepandaian tinggi, dia tidak kenal
persahabatan. Dipropinsi Sucoan ini, dia pegang nama
kosong, dia tidak punya sahabat. Maka sesampainya di
Long-tiong nanti, baik kau tinggal sama kita dipiauwtiam.
Ciang-kui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun si Malaekat
Kimkah, walau namanya tidak sebesar Cie Kie, namun
kepandaiannya tidak kalah, sedang dia ada seorang berhati murah dan gemar bersahabat, terutama Ia kagumi anak
muda yang gemar silat. Jikalau kau datang pada ciang-kui, kita hia-tee, pasti Ia akan jadi sangat girang, tentu Ia akan minta kau bantu padanya, satu kali kau jadi piauwsu,
kaulah yang nanti bertugas di Sucoan Utara, kemana saja kau pergi, disitu mesti ada sahabat-sahabat. mesti ada yang perlukan membantu kau!"
Siau Hoo manggut-manggut.
"Baiklah," katanya, "sesampainya kita di Long-tiong,
aku mohon kau tolong perkenalkan aku dengan beberapa
sahabat untuk aku peroleh nama, sesudah itu barulah aku kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie."
"Sebenarnya, hia-tee, ada urusan apa kau berniat keras cari Cie Kie?" Cek Eng tanya. "Apa kau ingin coba-coba kepandaiannya?"
"Aku ingin temui dia, kalau dia terlebih gagah daripada aku, aku hendak angkat dia menjadi guruku," Siau Hoo
jawab. Cek Eng tertawa.
"Untuk jadi muridnya, jangan kau mimpikan pula!"
berkata ia. "Seumur hidupnya, Long Tiong Hiap tidak
terima murid, kepandaiannya dia hanya wariskan kepada
anak-anaknya, akan tetapi anak-anaknya semua masih
kecil, tidak ada yang terlebih tua daripada kau, hia-tee."
Sementara itu, mereka sudah sampai di seberang, mereka mendarat akan lanjutkan perjalanan ke Barat-utara, di
distrik Gie-liong mereka singgah untuk bersantap. Selama diperjalanan, mereka tidak omong banyak. Sekarang Yo
Sian Tay yakin di depan. Semakin jauh jalanan semakin
sepi, matahari turun semakin rendah di jalanan itu kuda kereta dan orang semakin sedikit. Angin mulai menderu-deru, kawanan gowak terbang pulang ke sarangnya masing-masing. Mereka jalan terus sampai langit gelap, bintang-bintang dan rembulan muncul, hingga di sekitarnya mereka tak tampak suatu apa. Toh mereka tetap larikan kudanya sampai jauhnya tiga atau empat puluh lie.
Siau Hoo mulai merasa lelah, kedua pahanya terasa
sakit, tapi juteru itu didepan mereka lihat cahaya api berkelak-kelik, maka jalan pula sedikit jauh mereka sampai di sebuah jalan besar atau straat. Disini Yo Sian Tay lantas tahan kudanya.
"Kita sudah sampai!" kata Kauw-too Cek Eng seraya
menoleh pada Si enghiong cilik. "Mari turun dari kuda!"
Siau Hoo nampaknya dapat semangat, sambil menuntun
kuda seperti tiga kawannya, ia bertindak mengikuti mereka lalu menuju ke Barat, tidak seberapa jauh mereka sampai
disebuah rumah yang duduknya di Utara jalan besar, yang pekarangannya lebar dan berpagar, pintunya rapat sebelah.
"Ini dia Hok Lip Piauw Tiam," Cek Eng perkenalkan.
Yo Sian Cay mendahului bertindak masuk, ia panggil
dua orang untuk sambuti kuda mereka, tetapi Siau Hoo
mau berlaku hati-hati, maka Ia loloskan sendiri golok dan pauwhoknya.
Cek Eng berlaku hormat. Ia persilahkan sahabat baru itu masuk ke ruangan kantor dimana ada banyak orang asyik
berkerumun main dadu dengan berisik, ada yang tertawa, ada yang menarik napas, ada juga yang mengutuk seorang diri.
Tubuhnya Siau Hoo tidak terlalu kate tetapi dipadu
dengan kebanyakan orang di situ, ia tetap ada paling kecil, tetapi ia beraksi seperti biasa, ia lempar pauwhok ke atas pembaringan, terus ia melihat kelilingan.
Orang sedang asyik adu peruntungan, datangnya empat
orang ini tidak ada yang perhatikan kecuali seorang berusia empat puluh tahun kurang lebih, yang pakai baju hijau, yang hampiri Cek Eng bersama untuk diajak bicara, hanya apa yang mereka bicarakan, Siau Hoo tidak mengerti.
Kemudian barulah Cek Eng perkenalkan orang itu kepada
Siau Hoo, hingga Siau Hoo ketahui orang itu ada piauwsu nama Bie Cu Liang. Maka terhadap orang itu Siau Hoo
membalas hormat dan bicara sambil bersenyum, lagaknya
mirip dengan orang dewasa saja.
Bie Cu Liong heran, ia awasi bocah itu, kemudian ia
seret Cek Eng ke pinggiran, untuk diajak bicara bisik-bisik, hingga Siauw Hoo mengawasi mereka itu.
Pasti orang she Bie itu tak pandang aku." Ia menduga-
duga. "Di depan mereka aku mesti hunjukkan sedikit
kepandaianku. Aku percaya mereka semua tidak seberapa
kepandaiannya, cukup aku jalankan beberapa jurus dan
pengajarannya Ie-thio Cie Hian."
Yo Sian Tay isikan satu cangkir teh dan Ia suguhkan itu pada Siau Hoo.
"Lauwtee, minum dahulu!" katanya sambil tertawa.
"Ciauw Ciangkui sedang pulang, barangkali dia tidak akan datang pula, kecuali besok pagi. Beristirahatlah disini, kita semua bukannya orang luar. Atau kalau iseng kau boleh
turut adu peruntungan, bila kau menang, besok aku minta kau jamu kami!"
Siau Hoo tertawa, tetapi didalam hati, ia kata: "Aku
telah sampai di Long-tiong ini, aku mesti angkat nama, jikalau tidak, umpama kata aku berhasil menemui Long
Tiong Hiap dan tidak minta Ia terima aku jadi muridnya, belum tentu ia sudi terima aku ..."
Karena ini, kemudian Ia berbangkit akan hampiri orang
yang sedang main dadu. Dadunya ada tiga biji, dan di
tengah-tengah ada sebuah mangkuk besar warna hijau.
Bandarnya ada seorang berbaju biru dan berkumis hitam, di depannya ada tumpukan uang di hadapan bandar ada
uangnya mereka yang memasang.
Sekian lama Siau Hao menonton, lihat orang-orang yang
menang dan kalah, semua uang ada tangchie dan perak
hancur, tidak ada yang gunai perak potongan. Ia jadi
tertarik, ia hampiri bungkusannya akan keluarkan uang
kira-kira sepuluh tail. Uang ini ia gabruki di atas meja.
"Aku turut!" katanya.
Semua orang jadi heran dan mengawasi.
"Bagus! Ini barulah main!" kata bandar, yang tidak
perdulikan siapa yang main, ia hanya lihat uang. Ia-pun
angkat dadunya, ia angat tangannya tinggi-tinggi, lantas ia lempar dadunya, hingga biji-biji dadu bergerak terputar-putar. Lalu Siau Hoo memasangnya, apa mau ia kalah,
sepuluh tail itu ludes.
"Mari satu kali lagi!" katanya, yang lempar sisa uangnya, kira-kira empat-puluh tail.
Semua orang menjadi heran, tetapi bandar, yang
dipanggil Tan Cit-ya, jadi semakin gembira. Tapi
kesudahannya, setelah mereka adu peruntungan terus,
ternyata Siau Hoo yang menang, bandar terlentang.
"Besok kita nanti main pula!" kata bandar, yang tanya
namanya Siau Hoo.
Siau Hoo sedang hitung uang, ia tidak menjawab, maka
Cek Eng, yang turut menyaksikan permainan dadu itu
wakilkan ia akan beri keterangan. Mendengar ini, semua orang jadi heran, hingga kembali mereka awasi bocah itu.
Siau Hoo masih kacung tetapi Ia beroman cakap dan
gagah, dandanannya sempurna, ini membangkitkan orang
punya penghargaan atas dirinya, apa pula ia katanya datang ke Long-tiong untuk menemui Long tiong-hiap Cie Kie.
Dengan segera tidak ada orang yang berani memandang
rendah padanya. ketika uangnya dihitung, ternyata Siau Hoo menang tiga ratu enam puluh tail perak, hingga iapun jadi girang sekali, karena sekarang ia mempunyai harta kira-kira empat ratus tail. Semua uang gin-pio ia simpan di sakunya, dan uang perak ia hendak bungkus, tapi justru itu seorang bermuka kuning, yang tubuhnya jangkung, sudah
angkat dan lemparkan bungkusannya yang diletakan di atas pembaringan sambl mengomel juga: "Siapa punya
bungkusan rombeng ini sembarang ditaruh di atas
pembaringanku?"
Menampak demikian, Siau Hoo jadi gusar.
"Itulah bungkusanku," katanya dengan mata melotot.
"Kenapa kau lemparkan bungkusan itu. Hayo angkat!"
Orang muka kuning itu meagawasi dengan tajam,
tangannya di kepal-kepal.
"Angkat" Kau makhluk apa" Kau datang kemari untuk
berpura-pura jadi tuan uang, jadi hoohan palsu! Hm! Kau adalah bangsa campuran cilik dari si kelinci besar!"
Siau Hoo gusar bukan main, ia lempar uangnya ke atas
meja, dengan mengepal tangan ia maju menghampiri.
"Kau caci siapa?" Ia tanya, kepalannya segera
menyambar. Orang semua kaget dan mundur, tidak ada yang maju
untuk memisahkan.
Orang muka kuning itu sudah siap, ia menangkis dengan
tanan kiri, tangan kanannya dipakai membalas menyerang.
Siau Hoo berlaku sangat sebat, dengan tangan kirinya ia tangkis tangan kanan musuh, tangan kanannya sudah
ditarik pulang buat dipakai menyerang pula pada muka
musuh, hingga si muka kuning itu jadi kaget dan kesakitan.
"Kurang ajar, kau berani serang aku, anak campuran!" ia mendamprat. Ia maju menerjang.
Siau Hoo berkelit kesamping, dari sini sebelah kakinya mendupak orang punya kempolan kiri, lalu tangannya
bantu menonjok pada lengan kiri musuh, kemudian, selagi tubuhnya orang itu miring, ia dupak pula tunggirnya hingga satu kali ini lawan itu rubuh tengkurap sambil perdengarkan jeritan, "Aduh!" Tapi dia masih tidak mau menyerah. Ia segera merayap bangun untuk lompat menyambar golok di
tembok sebelah Timur.
Melihat demikian, Siau Hoo loncat kepada bungkusannya, akan keluarkan goloknya sendiri, maka
dilain saat keduanya sudah lantas bertempur. Si muka
kuning lompat maju terlebih dahulu sambil membabat, dan Siau Hoo menangkisnya.
Melihat bacokannya ditangkis, si Muka kuning tarik
pulang goloknya, justeru itu si bocah desak ia, hingga mau atau tidak Ia mesti mundur. Selagi ia mudur, seorang yang berada didekatnya, terus tarik Ia hingga Ia terpental ke samping. Orang ini goyang-goyang tangannya kepada Siau Hoo, dan sembari tertawa Ia kata, "Sudah, jangan berkelahi lebih jauh! Aku telah lihat, ilmu golokmu ada ilmu golok Kun Lun Pay!"
Siau Hoo pandang orang itu, tubuh siapa gemuk dan
mukanya hitam, kumisnya tebal, sedang pakaiannya ada
mewah. Karena datangnya orang itu, semua orang lantas
mundur, sedang Yo Sian Tay dan Bie Cu Liang terus ajak si muka kuning pergi kelain kamar dimana dia itu dibujuki.
Tapi Cek Eng terus maju, akan perkenalkan si muka hitam ini pada Siau Hoo.
"Ini dia ciangkui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun."
katanya. "Dengan memandang ciangkui kita ini, aku harap kau tak bergusar lebih jauh, lauwtee."
Siau Hoo lepaskan goloknya, ia memberi hormat pada
ciangkui atau kuasa piauwtiam itu.
"Aku telah dengar lama nama kau yang kesohor!"
katanya. Sikapnya Ciauw Tek Cun ada manis budi, ia-pun
mendekati. "Orang begini kecil tetapi bugeenya sudah liehay, benar-benar aku belum pernah lihat!" berkata Ia. "Lauwtee,
apakah bugeemu ini kau dapatkan dari Pauw Kun Lun dari Tin-pa?"
"Pauw Cin Hui ada musuhku, cara bagaimana aku sudi
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belajar silat padanya?" Siau Hoo baliki. "Bugeeku ini aku pelajarkan sendiri, dari cuma aku punya ie-thio Ma Cie Hian yang suka kadang-kadang berikan mengunjukan .."
Ciauw Tek Cun manggut-manggut.
"Tidak heran!" katanya. "Aku memang dengar, diantara
murid-muridnya Pauw Kun Lun kecuali persaudaraan
Liong dan Kee Cie Beng, pun ada Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan Ma Cie Hian serta lainnya lagi yang liehay,
Lauwtee, sekali-pun kau bukan muridnya Pauw Kun Lun
tetapi terhitung kaum Kun Lun Pay .."
"Tidak, tidak!" Siau Hoo memotong dengan geleng-
gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak sudi mendapat
pengaruh dari Kun Lun Pay! Didalam kalangan Kun Lun
Pay itu, kecuali Ma Cie Hian dan Lou Cie Tiong, semua
mereka ada musuh-musuhku."
Selagi begitu Tan Cit-ya, yang belum pergi hampiri
Ciauw Tek Cun. "Saudara ini telah menang banyak sekali," katanya.
"Aku telah bawa empat ratus tail tapi semuanya telah
dimenangkan olehnya!"
Ciauw Tek Cun tertawa.
"Kau memang harus kalah!" katanya. "Kemarin baru
kau menang beberapa puluh tail, kau sudah angkat kaki!"
Meski begitu, tuan rumah ini perkenalkan Siau Hoo pada Tan Cit-ya ini, yang Tan Bun Hu, kuasa dari perusahaan
bank Lie Thong Tiang Chong, sedang yang lainnya ada
orang dagang setempat dan orang-orangnya atau piauwsu
dari piauwtiam.
Sampai disitu, banyak orang yang telah bubaran, tapi
Ciauw Tek Cun tahan Tan Bu Hu untuk diajak bersantap.
"Orang yang tadi bentrok dengan kau, lauwtee, adalah
keponakanku nama Ciauw Eng." kemudian Ciauw Tek
Cun terangkan pada tetamu ciliknya itu. "Dia-pun jadi
piauwsu disini. Kita ada jadi piauwsu disini. Kita ada kenalan-kenalan baru tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat lama. Lauwtee, mari kita bersantap, aku-pun minta Tan Cit-ya menemani kita. Aku pikir untuk ajak Ciauw Eng berjamu bersama, aku nanti minta dia haturkan maaf
padamu agar selanjutnya urusan telah selesai dan beres!"
Menampak sikap yang ramah-tamah itu, Siau Hoo lalu
manggut-manggut.
"Undanglah
dia." Ia kata. "Tidak usah dia menghaturkan maaf. Anggap saja, tanpa kebentrok kita tak akan kenal satu sama lain."
"Lauwtee, kau sungguh mulia!" Tek Cun memuji sambil
tertawa. Tek Cun lantas perintah orang panggil Ciauw Eng dan
suruh keponakan ini haturkan maaf kepada Siau Hoo, siapa secepatnya membalas hormat: "Sudah, sudah, tidak apa-apa!"
Tidak lama, barang hidangan sudah mulai disajikan,
lantas Ciauw Tek Cun minta Siau Hoo duduk dikursi
kepala, ia dan Tan Bun Hu mengapit dikiri kanan, lalu
duduk yang lain-lainnya: Cek Eng, Yo Sian Tay, Lu Hiong dan Ciauw Sin, juga dua piauwsu lain.
Siau Hoo bawa sikap toapan, ia tidak berlaku seejie, ia dahar dan minum dengan terbuka, sambil bercakapan
dengan pihak tuan rumah dan tetamunya. Orang semua
tahu dia hendak kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie akan
tetapi tidak ada yang tetahui, sebenarnya dia niat berguru pada cabang atas dari Long-tiong itu.
"Sayang, lauwtee datang tidak kebetulan." Ciauw Tek
Cun bilang. Baru selang sepuluh hari, Long Tiong Hiap
telah berangkat dari sini. Duduknya hal pasti lauwtee belum ketahui, itu adalah begini: Dalam bulan Cap-gwee, di jalan Kiam Bun San telah terjadi pertempuran. Dua saudara
Liong, Cie Teng dan Cie Khie, sudah lukai beberapa hohan sebawahan dari San-lauw-cie Mauw Ceng si Tikus Gunung, bukan begitu saja mereka-pun sesumbar, katanya mereka
tak lihat mata pada semua orang yang mengerti ilmu silat di seluruh propinsi Su-coan. Ketika omong besar itu sampai di kupingnya Long Tiong Hiap, dia ini jadi gusar, seorang diri dia susul persaudaraan Liong itu, dia cegat kereta piauwnya kedua saudara Liong, hingga ke dua pihak jadi bertempur.
Lauwtee tentu tahu baik kepandaian dari dua saudara
Liong itu diantara murid-muridnya Pauw Kun Lun mereka
yang paling liehay, dari itu, mereka tentu tidak mau kalah dan Long Tiong Hiap, akan tetapi sesudah adu kepandaian, baru mereka insyaf bahwa mereka masih kalah hingga
mereka mesti tinggalkan kuda mereka. Cie Kie tidak niat ganggu kereta-kereta piauw, ia-pun antap kedua saudara itu kabur dengan lari merayap di gunung. Diluar dugaan Cie Kie, sebelum ia pulang dua saudara Liong itu sudah satroni rumahnya. Cie Kie ada punya satu putra, karena adanya
anaknya itu, dua saudara itu tidak dapat wujudkan
pembalasannya, mereka cuma berhasil melukai dua-tiga
pegawai, lantas mereka kabur. Waktu Cie Kie pulang ia
diberitahukan tentang serbuan pengecut itu, atas mana ia jadi sangat gusar, maka segera ia menyusul. Cie Kie tak
dapat mengudaknya, ia pulang lagi untuk tinggalkan
pesanan, setelah itu ia berangkat pula. Sejak itu, Cie Kie belum pernah kembali. Kita semua duga Long Tiong Hiap
sudah pergi cari dua saudara Liong di Cie-yang, untuk
membuat perhitungan!"
Siau Hoo mendengarkan dengan perhatian sangat
tertarik. Ia-pun pikir, pantas dua saudara Liong begitu sibuk, sampai mereka pergi pada gurunya untuk
mengumpulkan bala bantuan. Ia hanya tidak tahu kedua
pihak itu sudah bertemu dan bertempur atau belum, dan
bagaimana kesudahannya. Ia menyesal yang ia tidak
mampu saksikan pertempuran itu. Ia cegluk beberapa
cawan. "Aku adalah seorang yang gemar bergaul." Ciauw Tek
Cun menambahkan kemudian, "oleh karena kegemaranku
ini aku jadi dapat nama kosong, karena dalam hal
kepandaian, tidak saja aku tidak nempil dengan Long Tiong Hiap, malah guru-guru silat atau hiapkek dan golongan
kedua atau ketiga saja di Sucoan ini, aku tidak sanggup lawan. Lauwtee, kau telah datang disini, kau tidak usah tunggui Cie Kie, dia beradat tinggi, dia tidak suka bergaul, lebih baik kau berdiam disini, nanti aku perkenalkan kau dengan beberapa sahabat, kemudian kau baiklah bantu
perusahaanku."
Siau Hoo berdiam, hatinya kata: "Ciauw Tek Cin tidak
ketahui kepandaianku, ia minta aku jadi piauwsu, dia tak ketahui bahwa aku sebenarnya dustai mereka. Kalau
dibanding dengan Long Tiong Hiap atau Pauw Kun Lun
sebangsanya, aku masih kalah jauh sekali. Aku-pun sudah punya banyak uang, mana aku kesudian hidup sebagai
piauwsu" Aku mesti belajar silat, sampai pandai betul!"
Karena ini, kemudian Ia geleng kepala.
"Ciauw Ciangkui, terima kasih untuk kebaikanmu." Ia
kata. "Aku telah datang kemari, kau tak pandang aku
sebagai bocah, budi kau ini tidak akan aku lupakan.
Sekarang aku berputusan akan berdiam satu bulan disini, umpama selama itu Long Tiong Hiap telah kembali, aku
nanti temui dia, kalau tidak, terpaksa aku mesti pergi kelain tempat. Sekarang ini usiaku baru belasan, walau-pun aku telah mengerti silat, aku masih belum puas. Aku mesti cari guru yang pandai untuk berlatih pula satu atau dua tahun, sehingga kepandaianku melebihi Pauw Kun Lun, itu waku
baru aku pulang untuk menuntut balas, sesudah membuat
pembalasan, aku akan merantau pula, akan bertemu dengan kau sekalian!"
Ciauw Tek Cin unjukkan jempolnya apabila ia dengar
perkataan itu. "Oh, lauwtee yang baik, kau sungguh satu enghiong cilik yang bersemangat besar sekali!" kata ia dengan kagum.
"Dalam hal menuntut balas, kau jangan kesusu. Dalam
kalangan Kang-ouw di propinsi Su-coan ini, tidak ada orang yang tidak benci Pauw Kun Lun, maka di belakang hari,
siapapun suka bantu kau. Bicara hal cari gnru, ijinkan aku omong terus terang, jangan kau gusar, meski-pun
kepandaianmu tinggi, dibanding dengan Long Tiong Hiap
kau masih kalah jauh maka umpama kau dapat
penghunjukannya, pasti kau akan peroleh kemajuan pesat.
Mengenai ini, ada dua hal yang kau perlu perhatikan. Long Tiong Hiap itu tidak saja dia tidak suka bersahabat,
muridnya tidak ada satupun. Aku kenal dia sudah dua-
puluh tahun, kita tinggal disatu tempat, tetapi setiap kali Ia lihat aku, cukup dengan dia angkat kedua tangannya, dan belum pernah sekali-pun kita duduk minum arak bersama-sama."
"Kedua, sekali-pun ilmunya ada liehay untuk propinsi
Su-coan ini, tetapi kalau dia diadu dengan Pauw Kun Lun, aku duga mereka berdua sama saja pandainya.
"Buat belajar silat terlebih jauh, pendapatku cuma Siok Tiong Liong yang cakap untuk jadi guru," kata Yo Sian
Tay. "Kalau kita dapat satu bagian saja dari sepuluh
kepandaiannya Siok Tiong Liong, kita sudah boleh
menjagoi, di kolong langit ini sukar ada tandingannya."
Mendengar itu, bukan main tertariknya Siau Hoo,
sampai ia berbangkit.
"Siok Tiong Liong itu orang macam apa?" tanya Ia
dengan cepat. "Sekarang ini dia tinggal dimana?"
"Ah, dia omong sembarangan saja!" kata Ciauw Tek
Cun sembari tertawa. Siok Tiong Liong itu ada tay-hiap dari Sucoan selama duapuluh tahun yang lalu, dia bukan saja liehay ilmu silatnya, dia-pun mengerti ilmu totok ?"
"Apakah itu ilmu totok?" Siau Hoo tanya dengan cepat.
"Aku sendiri belum pernah lihat itu." jawab Tek Cun
sambil geleng kepala. "Turut apa yang aku dengar, itu ada kepandaian rahasia dari Bu Tong Pay, dan orang yang
pandai ilmu itu di kolong langit ini sudah sangat jarang.
Kabarnya, kalau kita totok tubuh orang, orang bisa rubuh binasa seketika, atau orang akan jadi gagu. Jago tua Siok Tiong Liong itu dengan Liong Bun Hiap adalah dua jago
Selatan dan Utara dari jaman duapuluh tahun yang lampau, atau ringkasnya mereka dinamai Jie Liong, Dua Naga. Jago tua itu sudah lama umpatkan diri entah dimana, atau
mungkin dia sudah menutup mata, karena sehingga kini
tidak ada orang yang ketahui tentang dia."
Mendengar demikian, Siau Hoo jadi tercengang.
"Apa Liong Bun Hiap masih hidup." kemudian Ia tanya.
"Tentang dia, pada beberapa tahun yang lalu aku pernah dengar dari satu sahabatku dari Shoasay," sahut Ciauw Tek Cun. "Katanya Liong Bun-hiap Kie Kun Ie sudah
meninggal dunia begitu juga anaknya lelaki, hingga
sekarang tinggal janda dan cucunya yang keadaannya harus dikasihani ... Kepandaiannya Liong Bun Hiap ada dari
pihak Siau Lim Pay dan belakangan di Kanglam, ia-pun
peroleh ilmu yang disebut Bagian Dalam dan Bu Tong Pay, dari itu kepandaiannya tak ada terlebih rendah daripada Siok Tiong Long. Tidak demikian, cara bagaimana mereka bisa dinamakan Dua Naga?"
Hatinya Siau Hoo tertarik tetapi kesudahannya ia masgul bukan main, karena sudah terang jago-jago tua di Su-coan sudah habis, ketinggalan Long Tiong Hiap saja, tapi dia inipun melainkan berimbang dengan Pauw Kun Lun ... Ia
menjadi lesu, hingga ia tidak punya keinginan untuk minum lebih banyak.
Melihat orang nampaknya lelah, Ciauw Tek Cun lancas
tutup perjamuan, Tan Bun Hu pun pamitan, maka ia terus perintah atur pembaringan untuk tetamu ciliknya itu yang tidur bersama-sama Yo Sian Tay dalam kamar kuasa.
Besoknya pagi, Siau Hoo dapat pelayanan dari satu
bujang, yang sediakan air dan lain-lain, maka setelah cuci muka dan dandan, ia bisa terus pergi ke pekarangan di
mana ia lihat Ciauw Eng asyik berlatih bersama Lu Hiong dan tiga piauwu lainnya. Yo Sian Tay muncul belakangan, ia berdiri disampingnya bocah ini.
"Kepandaian mereka itu semua tidak berarti," kata
Toan-too si Golok Pendek sambil tertawa, "kalau toh
mereka bisa jadi piauwsu dan belum pernah gagal, itu
disebabkan pergaulan kami yang luas."
Siau Hoo tidak kata apa-apa, ia keluar dari piauwtiam.
Sian Tay terus ikuti bocah ini.
"Apa kau setuju kita pergi pesiar ke kota?" tanya dia.
"Baik." Siau Hoo manggut.
Mereka memasuki Tang-mui, pintu kota sebelah Timur
dengan berjalan kaki. Kota ada ramai, dari itu Siau Hoo sibuk memandang ke kiri dan kekanan. Sebaliknya Yo Sian Tay sibuk dengan konde licin atau muka kelimis!
"Apa kau akur kita pergi keluar Lam-mui?" tanya Sian
Tay ketika mereka sampai di Lam Toa-kay, jalan besar
Selatan. "Ada apa diluar kota?" Siatiw Hoo tanya.
"Luar kota Lam-mui ada terlebih ramai!" sahut Sian
Tay. "Disana ada pelabuhan besar, ada hotel, ada toko dan
" eh, Kang Hia-tee, apa kau jarang lihat nona nanis" Nah, disana ada!"
Yo Sian Tay lantas hunjukkan tingkahnya yang binal, ia tertawa-tawa.
"Apa yang dinamakan nona manis?" Siau Hoo tanya.
"Nona manis disini ada bunga raya." Sian Tay
terangkan. "Di tepi sungai ada tiga puluh lebih rumah
pelesiran, disetiap rumah itu ada lima atau enam nona
manis, yang cantik seperti lukisan gambar saja. Dahulu disini ada satu nona manis melebihi bidadari, dan disebut Tay Siang Go ... Jangan kau omong lagi pada lain orang perihal bidadari itu, karena dia adalah kepunyaannya
ciangkui kita. Dan aku kenal satu nona manis yang cukup elok, hanya diwaktu begini dia barangkali belum bangun dari tidurnya. Mari kita minum dahulu, sehabis dahar baru kita pergi pada si manis itu. Kalau orang lihat kau begini
muda, cakap dan perlente, dan uangmu yang banyak, oh
tentu bagaimana manisnya nanti dia layani kau!"
"Tapi main bunga raya bukannya hal yang bagus," pikir
Siau Hoo. "tidak apa, aku toh hanya lihat-lihat, hitunghitung cari pengalaman. Namanya masuk dalam kalangan
Kangouww tetapi rumah pelesiran aku belum pernah
datangi, apa orang tak akan tertawakan aku?"
Demikian mereka berjalan sambil mengobrol, sampai
mereka keluar dari Lam-mui, segera mereka tampak airnya sungai Kee Leng Kang, yang jauh lebih besar dari-pada Pa Sui dan Kie Kang, dimuka air ada banyak perahu serta
layarnya masing-masing, jumlahnya sukar dihitung.
Dipelabuhan ada sebuah rumah besar serta satu
jalanannya yang lebar, tidak panjang tetapi disitu ada banyak toko, hingga keramaiannya melebihi kota, padat
orang yang mundar-mandir.
"Benar Long-tiong ada satu kota besar!" kata Siau Hoo, yang jadi genbira sekali.
"Long tiong ada salah satu kota besar dari Sucoan
Utara," Sian Tay kata. "Ini-pun sebabnya kenapa aku
sampai disini dan lantas tak niat pergi ke mana-mana lagi!"
"Sudah berapa fama kau datang kemari?".. tanya Siau
Hoa. Sian Tay angkat tangan, ia menghitung-hitung.
"Aku datang ke Sucoan dalam umur lima-belas."
kemudian Ia jawab, "Di Hap-ciu aku belajar silat tiga
tahun, lantas aku datang ke Long-tiong ini masuk bekerja pada Hok Lip Piauw Tiam, sekarang aku berusia dua-puluh dua tahun, maka aku tinggal disini sudah tiga tahun."
"Jadinya kan bukan asal propinsi sini?" Siau Hoo tanya pula.
"Bukan, aku asal Hoolam." Sian Tay jawab. "Ayahku
sekarang masih tingat di Hoolam. Selama merantau, ayah telah dapat musuh, karena Ia kuatir orang nanti ganggu aku, maka ia kirirn aku ke Sucoan ini. aku diperintah ikuti dan belajar silat kepada Cu-un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit Mabuk. Kepandaiannya Han Keng tidak dapat
dicela akan tetapi Ia terlalu gemar minum arak, sehingga Ia tidak bisa mengajar dengan sungguh-sungguh, tiga tahun aku belajar, aku tidak peroleh kepandaian yang berarti, kalau sekarang aku bisa jadi piauwsu dan merantau, itu disebabkan aku dapat pengaruhnya nama dari guruku itu.
Sudah sekian lama aku merasa, hidup cara begini tidak ada artinya, aku sudah pikir untuk pulang ke Hoolam kepada ayahku, disana keadaan ada terlebih baik daripada disini, hanya sayang aku masih belum kumpul cukup uang untuk
biaya diperjalanan, karena buat pulang ke Hoolam aku
membutuhkan paling sedikit seratus tail lebih."
"Tentang biaya perjalanan ada perkara kecil." Siau Hoo bilang. "Kalau nanti kau niat pulang, kapan saja, boleh beri tahu padaku, aku nanti beri pinjam seratus tail. Kau boleh kembalikan uangku itu kelak bila kau udah beruntung."
Sian Tay mengucapkan terima kasih, Ia girang buat janji sahabatnya itu. Lantas ia pergi ke pelabuban, akan
memandang ke sungai dimana ia kenal banyak tukang
perahu, ia bicara dengan mereka, ia perkenalkan
sahabatnya ini, yang ia angkat karena Ia kata: "Ini tuan ada Sam tauw-hauw Kang Siau Hoo hoohan dari Han-tiong, ia
ada sahabat yang baru dari ciangkui kita."
Semua orang itu tidak berani pandang enteng pada bocah ini, tubuh siapa ada cukup tinggi dan besar, sedang
romannya ada cakap dan gagah, pun pakaiannya merah.
Siau Hoo berdiri sekian lama di tepi sungai itu, sampai ia merasakan sesuatu apa.
"Mari kita cari tempat minum arak," Ia kata pada
sahabatnya. "Mari," sahut Sian Tay, yang setujui itu. Lantas ia
mengajak ke Utara dimana, di tepi jalan sebelah Barat ada sebuah rumah makan, yang mereknya Siau Hoo tidak
kenal. Ketika itu rumah makan itu, yang besar belum banyak
tetamunya, karena belum tibanya perahu-perahu saudagar besar serta sekalian piauwsunya. Yang ada hanya beberapa orang. Sian Tay pilih meja dekat jendela, ia pesan arak serta beberapa rupa sayurnya, terus mereka mulai minum dan
dahar. Siau Hoo masih merasa tidak puas, ia memandang
keluar jendela, mengawasi sungai dan perahu-perahu
layarnya sekalian, araknya ia tenggak terlebih banyak pula.
Aku orang she Kang, maka sungai besar itu adalab aku!"
kata pemuda ini yang seperti melamun. Memang, she
"Kang" itu berarti, sungai".
Yo Sian Tay angkat cawannya dan tertawa.
"Sungai ini tidak terhitung besar, lauwtee belum pernah lihat Tiang Kang?"
Siau Hoo menggeleng kepala.
"Belum." Ia menyahut.
"Tiang Kang ada jauh terlebih besar." Sian Tay
terangkan. "Dipadu dengan sungai Kee Leng sang anak."
Siau Hoo tertawa, cuma sebentaran, segera ia ingat
ayahnya yang binasa secara hebat dan kecewa, dan ibunya yang mesti menikah pula, ia lantas jadi sedih sendirinya. Ia-
pun ingat saudaranya, yang mesti berdiam di rumah si
saudagar she Tang. Dan berduka, ia jadi mendongkol, ia malu. Tapi sebisa-bisa ia cegah melelehnya air matanya. Ia tenggak araknya, ia lantas nyanyi, nyanyikan sebuah lagu wayang di desanya, disambung dengan lagu pegunungan.
Sian Tay yang duduk hadapi bocah ini, bersenyum
sendirinya. "Ah!" berseru Siau Hoo seraya ia tepuk meja, ketika ia berhenti nyanyi dengan tiba-tiba, kemudian ia menghela napas panjang.
"Kenapa, lauwtee?" tanya Sian Tay sambil tertawa.
"Kau berduka?"
"Aku sebal!" Siau Hoo jawab.
"Jangan kau berduka atau masgul," Sian Tay menghibur,
,itulah percuma. Satu laki-laki mesti bisa legakan hati. Ada uang, pakailah itu, ada arak, minumlah itu. Urusan
bagaimana besar juga, kalau sudah tiba saatnya, baru kita hadapi! Kita orang-orang kang-ouw, tidak mempunyai
rumah tangga, tidak mempunyai usaha tetap, tetapi kita ada mempunyai bugee, ada tenaga di kedua belah tangan,
apakah yang kita harus jerihkan" Soal apakah yang kita tak sanggup membuat beres?" Kemudian ia tambahkan, "Hayo
minum, aku nanti antar kau ke sebuah tempat, disana kita boleh legakan hati kita .."
"Tempat apakah itu, saudara?"
"Tempat si manis seperti tadi aku katakan," Sian Tay
terangkan. "Disana ada si juwita, bila kau melihatnya, lenyap kedukaanmu itu!"
Sian Tay tertawa. Ia isikan kedua cawan. Siau Hoo
manggut. "Baiklah," katanya, yang pikirannya tetap pepat.
Lantas mereka minum dan dahar, sampai sayurnya
habis, hingga keduanya agak sinting. Siau Hoo bayar uang makan itu, lantas Sian Tay mengajak berlalu. Mereka ini ada seperti pasangan: Sian Tay baru berumur dua puluh
dua dan Siau Hoo belum cukup lima-belas. Mereka jalan
separuh limbung, sampai mereka memasuki sebuah gang
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil dimana ada satu papan merek di kepala gang.
"Lihat itu," kata Sian Tay seraya menun juk. "Bie-jin-
kang!" Siau Hoo angkat kepalanya, ia cuma kenali hurut yang di tengah. Ia tahu artinya. "Bie-jin-kang" atau Gang si Cantik manis, maka ia jadi berpikir : "Selainnya bugee, aku mesti belajar surat! Bagaimana kalau orang kirim surat padaku dan aku tidak mampu baca?"
Didalam gang itu, mereka lihat beberapa pintu yang
dipentang. Rumah-rumah disitu ada rumah-rumah yang
bertembok tanah liat dan berkamar bilik rumput. Sian Tay jalan di depan ia ajak Siau Hoo masuk ke sebuah rumah.
Sekali mereka bertindak masuk, seorang perempuan
menyambut sambil tertawa.
"Oh, Yo Jie-a!" demikian orang perempuan itu, "Kenapa
sudah lama kau tak pernah datang" ... "
Belum Sian Tay menyahut, atau dari kamar timur
muncul satu nyonya muda lantas menunjuk kepadanya,
separuh tertawa dan separuh gusar, katanya: "Ha! Aku kira kau telah mampus diluaran! ?"
Sian Tay jengah tetapi ia tertawa.
"Bagus benar kata-kata sialmu!" katanya.
Perempuan itu cepat cekal orang punya lengan.
"Mari masuk!" mengajak Ia. Tapi, ia tunjuk Siau Hoo:
"Siapa dia?"
Sian Tay kedipi perempuan itu.
"Inilah Kang Toaya," kata ia "Kang Toaya ada orang
kang-ouw kenamaan!"
Perempuan itu awasi bocah kita dan tertawa dengan
manis. "Oh, mataku lamur!" katanya. "Toaya maafkan aku!"
Siau Hoo lihat tidak ada yang bisa menggembirakan
hatinya, ia jadi masygul pula.
"Ini dia si manisnya?" pikir Ia. "Sedikitnya dia sudah berusia tigapuluh tahun."
Perempuan itu pakai baju sutera merah, yancie di
pipinya lebih merah daripada kempolannya kera, matanya sedikit juling, hidungnya rada mengok, dan bibirnya yang merah mirip bibirnya Tie Pat Kay!
Perempuan itu ulur tangannya buat tarik si bocah, tetapi Siau Hoo pelototkan mata.
Sian Tay segera dorong perempuan itu.
"Hia-tee, mari masuk!" katanya pada Siau Hoo.
Siau Hoo masuk, ia lihat ruangan ada bersih juga, meja dan kursi dicat merah, di atas meja ada pot bunga, ada kaca muka, sedang pembaringan memakai ampar indah,
bantalnya bersulam. Di tembok ada satu huruf "Hie",
pasangan, seperti kamar penganten saja.
"Kalau nanti aku nikah Ah Loan, tentulah begini
macamnya kamar itu ?" tiba-tiba Siau Hoo melamun.
Sian Tay dan perempuan itu masuk belakangan, rupanya
piauwsu itu sudah pesan apa-apa, mereka bersenda-gurau
berdua saja, perempuan itu tidak berani sentuh si bocah, hingga Siau Hoo mesti duduk sendirian saja, hal mana ia jadi tambah tidak bergembira.
"Tidak ada artinya disini, mari kita pulang!" akhirnya Ia kata.
"Kenapa kesusu, hia-tee?" kata Sian Tay, yang berat
untuk segera berpisah pula dari si manisnya itu ... "Apakah tidak baik kita bersantap malam disini?"
Tapi bocah itu berbangkit.
-ooo0dw0ooo- Jilid 06 "JIKALAU kau belum mau pulang, biarlah aku pulang
lebih dahulu," kata ia. Ia bertindak ke pintu, akan tolak itu.
Sian Tay menyusul.
"Hia-tee, jangan pergi dulu," katanya dengan pelahan.
Siau Hoo berhentikan tindakannya Sian Tay datang lebih dekat. "Aku tidak bawa uang sama sekali, tolong beri
pinjam aku beberapa tail," katanya dengan berbisik.
Dengan hati mendongkol Siau Hoo keluarkan selembar
gin-pio. yang dia tidak lihat lagi berapa jumlahnya, ia serahkan itu pada kawannya dengan ia terus putar pula
tubuhnya untuk jalan terus.
Perempuan itu, dengan manis, dibuat-buat, ucapkan
beberapa perkataan, maksudnya minta Si bocah balik, tapi Siau Hoo jalan terus, tindakannya dibuka lebar2, tidak heran kalau Ia telah lantas bersomplok kepada seorang, yang bertindak masuk dengan cepat seperti ia.
Orang itu menjadi gusar, dengan tidak kata apa-apa ia
angkat sebelah kakinya menendang pada perutnya Siau
Hoo. Siau Hoo tidak menyangka, ia-pun sedang mendongkol
dan agak sinting, dupakan itu yang keras, membuat ia kaget dan rubuh terduduk. Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga Ia segera lompat bangun dan maju menyerang.
"Jahanam! Kenapa kau tendang aku?" ia mendamprat.
Atas datangnya itu kepelan, orang itu berkelit.
"Eh, cucunya kura-kura cilik!" orang itu balas mencaci.
"Kau baru keluar dari perut ibumu, mengapa kau main
terjang orang?"
Kali ini orang itu menangkis dengan tangannya terus
ditekuk, lautas ia membetot. Sehingga penyerangnya
hampir jatuh nusruk, tetapi Siau Hoo dapat tahan
tubuhnya, ia bisa putar tubuhnya, untuk segera menyerang pula.
Orang itu menangkis pula, lagi2 ia hendak betot tangan lawannya, tetapi sekarang Siau Hoo bisa loloskan
lengannya, terus ia loncat kebelakangnya orang itu, justeru orang itu memutar tubuhnya, ia segera melompat, kakinya terangkat naik kepalannya menyambar. Maka tidak tempo
lagi mukanya orang itu kena dihajar.
Kepalannya si bocah ada kecil, akan tetapi tangannya
tidak boleh dipandang enteng, kepalan itu-pun keras, maka sekejap saja orang itu merasakan sangat sakit pada
hidungnya. Selagi orang pusing, Siau Hoo maju pula akan kirim
kepalan susulan, akan tetapi disaat penting itu. Sian Tay muncul, lantas Ia lompat akan mencegah.
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi, orang sendiri!" kata piauwsu ini.
"Orang sendiri?" Siau Hoo berseru. "Kenapa dia datang-
datang tendang aku?"
Dalam gusarnya, Siau Hoo menyerang pula.
Orang itu gunai ujung bajunya akan sekai darah dari
hidungnya yang bercucuran, kemudian dari pinggangnya ia cabut sebuah pisau belati, hingga pisau itu memperlihatkan cahaya berkeredepan
Siau Hoo lihat bahaya mengancam, sedang Ia ada
bertangan kosong, maka ia putar tubuhnya lari keluar, dari mana tapinya Ia balik badannya pula, ia menantang sambil tepuk-tepuk dada. "Kau tidak mampu gunai kepalanmu,
kau hendak gunai pisau! Hm, binatang, kau tunggu disini, aku nanti ambil senjataku, untuk kita bertempur pula,
sampai kau mampus atau aku hidup!"
Setelah itu, bocah ini lari akan keluar dari gang.
Orang itu, dengan pisaunya di tangan, balas mencaci, ia hendak mengejar, tapi Sian Tay pegangi ia akan cegah
padanya. Siau Hoo lari pulang, ke Hok Lip Piauw Tiam di Tong-
kwan, kota sebelah timur, ia terus masuk ke kamarnya akan ambil goloknya, dari situ ia lari ke istal akan ambil
kudanya, tanpa diselakan lagi, kemudian Ia tuntun keluar kudanya itu.
Ketika itu Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun muncul dari
ruanganTiniur, ia lihat roman luar biasa dari si bocah, ia segera lari menghampiri.
"Eh, hia-tee, kau hendak membuat apa?" tanya ia.
"Jangan perdulikan aku, ciangkui!" sahut Siau Hoo.
"Aku hendak pergi ke Bie-jie-kang akan lawan cucunya
seekor kura-kura!"
Ia loncat naik atas kudanya, yang ia segera larikan ke arah Barat.
Ciauw Tek Cun heran bukan main.
"Hia-tee!" ia berseru. "Kang Siau Hoo! Tahan dulu!
Coba tuturkan duduknya hal padaku!"
Siau Hoo tidak ambil pusing seruan itu, ia larikan terus kudanya menuju ketepi kali.
"Numpang! Numpang!" ia berseru berulang-ulang di
sepanjang jalan, agar ia tidak sampai terjang orang.
Orang ramai segera pada menyingkir, semua mengawasi
dengan keheranan.
Karena kudanya dikaburkan, cepat sekali Siau Hoo telah sampai di gang si cantik manis, ia masuk kedalam gang dan berhenti di depan rumah pelesiran tadi. Ia loncat turun dari kudanya, akan tambat binatang itu digelang pintu,
kemudian dengan golok terhunus, ia bertindak maju.
"Hei, cucu kura-kura!" Ia berseru dengan dampratannya.
"Hei, telur busuk, lekas keluar! Mari kita bertempur dulu sampai ada yang mati!"
Orang yang tadi berkelahi berada dikamar Utara, satu
nona manis sedang sekat hidungnya yang borboran darah, ia duduk dengan hati masih panas.
"Thia Toaya, jangan kau layani bocah itu." si nona
manis membujuki ... "Tidak ada harganya untuk tempur
dia! Dipadu dengan anakmu, anakmu masih terlebih tua ..."
Sementara itu Yo Sian Tay, yang lihat onar, sudah siang-siang menyingkirkan diri.
Orang she Thia itu dengar tantangannya Siau Hoo, ia
sambar pisaunya, selagi masih didalam kamar ia sudah
balas mendamprat, lantas Ia keluar. Ia lihat si kacung sedang pasang kuda-kuda, goloknya diangkat naik.
"Eb, binatang, mari sini!" Siau Hoo menantang begitu
lekas Ia lihat musuhnya. "Lebih baik kau tukar senjatamu, itu ada terlalu pendek!"
Bukan main mendongkolnya orang she Thia itu, hingga
mukanya jadi merah padam.
"Buat layani kau, bocah, apa aku mesti pakai senjata
tajam." ia menghina, dengan tertawa mengejek. Tiba-tiba ia lompat maju, tangannya diulur buat rampas goloknya Siau Hoo.
Tapi Siau Hoo sambut aksi itu dengan satu babatan,
hingga orang she Thia itu berkelit kesamping, tangan
kirinya dipakai mencekal lengan kiri si bocah, kemudian, berbareng kakinya maju merangsek, dengan pisau belatinya ia menikam di sebelah bawah ketiak. Cepat sekali Siau Hoo egos diri kekanan, tapi goloknya dipakai membacok.
Satu suara terdengar, orang she Thia itu lepaskan
cekalannya pada lengan kiri musuh, tubuhnya terjatuh,
duduk di tanah, darah mengalir dari tubuhnya, tetapi meskipun demikian, dengan satu gerakan ia berbangkit pula,
dengan pisau belatinya ia menikam, kelihatannya ia sangat beringas.
Siau Hoo mundur dua tindak, lagi2 goloknya dipakai
menabas kepala musuh.
Orang she Thia itu tidak punya senjata panjang, rupanya saking nekat, ia menimpuk dengan pisau belatinya itu, yang ia gunai sebagai piauw. Penyerangan itu tidak mengenal sasarannya, lewat dipundaknya si bocah, pisau itu nancap
di jendela, hinga si nona manis, yang kaget, sekali menjerit,
"Oh ibu!"
Setelah itu, Siau Hoo merengsek pula.
"Apakah kau benar-benar cari mampusmu?" ia menegur.
Karena ia sudah bertangan kosong, orang she Thia itu
coba mundur, tetapi lukanya dipaha kiri ada hebat, ia tak leluasa bergerak, ia segera rubuh pula, rubuh terduduk.
Dalam sengitnya Siau Hoo hendak menyerang pula,
akan membuat mati lawan itu, tapi disaat itu dua orang lari masuk sambil berteriak: "Jangan! Jangan! Sama-sama orang sendiri!"
Siau Hoo angkat kepalanya, ia kenali Ciauw Tek Cun
dan Cek Eng yang napasnya sengal2, romannya sangat
kuatir. "Apa orang sendiri?" berseru si bocah dengan sengit.
"Aku tidak kenal dia! Suruh dia menggelinding pergi, kalau nanti dia sudah sernbuh, biar dia cari aku. Aku nanti
tunggui padanya!"
Orang she Thia itu sudah terluka, ia tetap penasaran.
selagi Cek ing pimpin Ia hangun, dengan jumawa ia kata:
"Baik! Kau beri tahu she dan namamu. Dimana kau
tinggal" Lagi tiga hari kita nanti bertemu pula!"
"Aku Kang Siau Hoo!" jawab Siau Hoo sambil tepuk-
tepuk dada. "Aku datang ke Long-tiong untuk cari sahabat, aku tidak mempunyai tempat kediaman yang tentu, tetapi buat satu atau setengah tahun ini aku tidak akan pergi kemana-mana, kau cari saja aku di jalan besar dimana
setiap hari aku pesiar!"
"Baik!" si orang she Thia manggut. "Baik, sampai kita
bertempur pula!"
Tek Cun dan Cek Eng menjadi sibuk sekali, dengan
membujuki, yang belakangan kemudian bisa ajak orang she Thia itu kembali kekamarnya si nona manis, sedang yang satunya, separuh mendorong-dorong, telah bujuki Siau Hoo keluar.
"Binatang, kau boleh pikirkan daya-upaya. Kang Thayya
tidak takut padamu!" kata bocah itu dengan keras selagi ia bertindak keluar.
"Marilah!"
mengajak Ciauw Tek Cun sambil membanting2 kaki, bahna jengkelnya. Setelah bujuki Siau Hoo naik atas kudanya, ia-pun naik atas kudanya sendiri, kemudian dengan Ia jalan di sebelah belakang, mereka
keluar dari Gang Biejin itu, menuju ke Tongkwan.
"Lauw-tee, kita jangan kembali dahulu ke pauwtiam,"
kata Tek Cun sesampainya di Tong-kwan. "Mari kita pergi kerumah aku hendak bicara banyak kepadamu."
Siau Hoo manggut.
"Baik!" jawab Ia, yang lihat orang punya sikap sungguh-sungguh.
Ciauw Tek Cun girang, lantas Ia jalan di depan akan ajak kawan itu memasuki sebuah gang kecil, terus sampai di
depan satu rumah yang pintunya dicat hitam.
"Kita sudah sampai!" kata Tek Cun kemudian. "Inilah
rumahku." Pintu pekarangan dikunci tetapi Tek Cun ketok gelangan pintu itu.
Sebentar saja muncul satu pegawai yang membukakan
pintu. Ia berumur empat-puluh lebih, bajunya pendek, mirip dengan pegawai piauwtiam. Pada dia itu Tek Cun serahkan kudanya dan kudanya Siau Hoo juga berikut goloknya.
"Kau bawa ini kepiauwtiam." ia perintah.
Selagi pegawai itu bertindak, Tek Cun menghampiri
Pedang Ular Merah 7 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Panji Wulung 4
Tapi kapan ia ingat Cie Teng bertiga bisa jadi akan
menyusulnya, ia jadi kuatir pula, ia tidak berani berayal
lebih lama, ia lantas berbangkit dengan pelahan-lahan. Baru jalan dua tindak, ia sudah rasakan kakinya sakit. Rupanya itu ada akibat tadi ia loncat dari loteng, kalau tadinya ia tidak merasakan sakit, pasti itu disebabkan ia lupa akan segalanya.
"Celaka!" ia mencaci pula sambil pakai bajunya, ia ingat uangnya lima tail perak yang ketinggalan di atas meja di rumah makan. Senjatanyapun hilang.
"Dengan kantong dan tangan kosong, dapatkah aku
merantau" " kata ia dalam hatinya. Ingat ini, ia jadi berdiri menjublek. "Apa baik aku jual saja kuda ini untuk beli pakaian dan senjata?" Ia bersangsi. Ia ingat sekarang, kuda itu adalah kudanya Cie Teng yang ia sudah salah samber selagi ia kabur dari rumah makan.
"Ini ada seekor kuda jempolan, sayang kalau dijual ... "
Pikir ia, yang terus hampiri binatang itu, kepada siapa ia tepuk-tepuk dan usap-usap.
Sekarang kuda itu jadi hilang binalnya, Siau Hoo telah lepaskan tambatannya, tuntun beberapa tindak, lantas ia loncat naik ke bebokongnya, akan akhirnya diberi jalan pelahan-lahan, mengikuti jalan besar.
Siau Hoo baru jalan dua lie ketika kupingnya dengar
suara tetabuhan, yang makin lama makin dekat, hingga
kemudian ia lihat serombongan joli pengantin mendatangi.
Ia terus tahan kudanya buat menonton, sehingga ia lupakan kekuatirannya. Ia tidak dapat lihat nona pengantin, yang kehalangan tenda joli. Sebaliknya tukang-tukang musik dan tukang gotong joli awasi ia, karenanya ia jadi mendelu.
"Kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Apakah kau tak
pandang mata padaku" Apakah kau anggap aku tidak
punya tunangan" Hm! Lihat nanti! Aku pun punya
tunangan. Ah Loan! Kelak sesudah tamat belajar silat,
merantau dan mengumpul uang, sehabis menuatut balas,
aku akan pulang untuk rayakan pernikahanku! ..."
Baru ia ingat sampai disitu atau Siau Hoo mendadak jadi sangat berduka. Ia teringat, pada suatu sore, ke rumah Ie-thionya ada datang sebuah joli tanpa tukang musik dan
ibunya yang berpakaia merah mengawasi ia dengan air
mata meleleh, lantas ibu itu naik ke joli dan dibawa pergi.
Ibu itu telah dinikah oleh Tang Toa si saudagar cita. Ia berduka, hingga air matanya meleleh, jatuh ke dadanya ...
Siau Hoo seka air matanya itu, ia kertak giginya, lantas ia jalankan kudanya akan lanjutkan perjalanannya. Sampai
sore, ia sudah lewati belasan dusun. Ia tidak punya uang, hingga ia tidak bisa beli makanan dan tidak bisa singgah juga di rumah penginapan. Ia jalan terus dalam cuaca
magrib dan gelap, perutnya berbunyi keruyukan. Didalam gelap demikian, ia tidak dapat kenali bukit, kampung atau rumah orang. Kembali ia berduka dan mendongkol, ia
menghela napas dan mencaci seorang diri.
"Bagaimana
sekarang" Kalau aku terus-terusan kelaparan, apa aku tidak akan mampus sendirinya?" ia,
"Satu kali aku binasa, habislah! Aku dengar orang cerita, bahwa orang kang-ouw bisa hidup tanpa uang satu chie,
dimana dia sampai, disitu ada rumahnya, disitu dia bisa dahar ... Kenapa aku tidak bisa" Mulai mencuri, aku tidak sudi! Kenapa aku tidak mau jual silat saja" Mulai besok baik aku jual silat, dengan tangan kosong pun tidak apa!"
Ingat begini, bocah ini jadi dapat hati. Kebetulan di
depannya, di pinggir jalan, ada sebuah kuil rusak, ia
mampir disitu. Api tidak ada tetapi itu tidak jadi halangan, di langit toh ada banyak bintang. Ia anggap lebih baik ia singgah disitu. Dengan jalan terus, mungkin orang sangka dia ada satu penjahat.
Turun dari kudanya, Siau Hoo bertindak masuk dengan
tuntun binatang itu. Ia tidak lihat jalanan, yang tidak rata, ada yang keras dan ada yang lembek. Ia tambat kudanya
pada sebuah pohon, binatang itu lantas berbenger, kakinya menggaruk-garuk.
"Kau lapar?" Siau Hoo tanya binatang itu. "Apa boleh
buat ... Aku sendiripun masih belum dahar. Besok, setelah aku jual silat dan dapat uang, aku nanti berikan kau
rumput." Ia bertindak kedalam, dengan raba-raba ia cari meja ke atas mana ia naik sambil berlompat. Ia kena raba boneka, yang sudah lenyap kepalanya.
"Kasihan," kata ia dalam hati. Ia rebahkan dirinya, ia coba meramkan matanya. Sekarang ia terganggu hawa
dingin. Ia niat bangun pula, tetapi ia merasa sangat lelah dan ngantuk, sampai ia menguap beberapa kali, maka
terpaksa ia meringkuk. Ia tertidur tanpa ia merasa, tak perduli cahaya rembulan menyoroti mukanya dan sang
angin menghembus-hembus tubuhnya.
Sama sekali Siau Hoo tidak tahu ia sudah tidur berapa
lama, ia tersadar dengan terperanjat disebabkan berisiknya suara kuda. Ia segera kucek-kucek matanya. Ia dengar
tindakan kaki kuda, makin lama makin jauh.
"Bangsat! Bangsat, kau berani curi kudaku?"
Siau Hoo ingat kudanya itu, maka ia lantas loncat turun dari meja dengan niat mengejar. Ia kena injak batu, ia terpeleset jatuh, tapi ia lekas bangun pula ia lari keluar kuil, ia dengar kuda lari ke arah Selatan, tidak bersangsi pula ia lari ke arah itu. Syukur baginya, fajar sudah perlihatkan cuaca remang-remang. Ia sudah lari empat atau lima lie, tapi suara kuda sekarang lenyap sama sekali. Cuaca telah
jadi semakin terang. Buat kekagetannya, di tepi jalan ia lihat rebahnya satu orang tak berkutik sama sekali.
"Apakah orang mati" Apakah ia korbannya penjahat" "
kata ia dengan heran. Ia menghampiri dan tolak tubuhnya orang itu dengan kakinya. Ia benar-benar menghadapi satu mayat, kepala siapapun berlumuran darah. Ia jadi kaget.
Mayat itu pakai baju dan celana pendek, pakaiannya
penuh debu, yang mana ada bukti bahwa ia telah
bergulingan di jalan besar. Belasan tindak dari mayat itu ada menggeletak sela kuda. Ketika Siau Hoo lihat sela itu, ia segera mengerti duduknya hal.
"Oh, kiranya kau ada si pencuri kuda!" kata ia dengan
mendongkol. "Terang kau telah terjatuh dari atas kuda dan terdupak hingga mampus! Dengan kepandaian begini, kau
berani curi kudaku!"
Ia jemput selanya, ia lari terus ke Selatan, dengan niatan mengejar kudanya. Ia baru lari dua puluh tindak lebih, ketika ia ingat suatu apa, maka segera ia lari balik pada mayat tadi, ia berjongkok di sampingnya dan raba sakunya dari mana ia tarik keluar sebungkus uang dan sedikitnya sepuluh tail perak. Maka ia jadi girang dengan
mendadakan. "Oh, bangsat!" kata ia. "Kau telah sangat temaha! Kau
telah punyai begini banyak uang, toh kau masih
berkehendak kudaku. Pantas kau mampus!"
Siau Hoo tidak berdiam lama-lama. Dari Utara ia dengar suara roda-roda kereta, lekas ia gendol selanya dan lari pula ke arah Selatan. Ia sudah lari tiga atau empat lie, langit telah jadi terang sekali, sudah banyak orang dan kereta yang berlalu lintas. Ia masih saja jalan terus sehingga belasan lie, baru ia tampak sebuah kota dusun yang ramai, yang mirip dengan kota Tin-pa saja.
Dengan tidak sangsi lagi Siau Hoo mampir di tempat
ramai itu, paling dahulu ia cari rumah makan. Ia pesan sayur dan nasi serta arak, lantas ia duduk mengisi perut, ia keringi dua poci arak. Habis itu, ia minta air untuk cuci mukanya. Setelah melakukan pembayaran ia bertindak
keluar sambil gendol selanya. Dengan sisa uangnya, yang tak ada sepuluh tail, ia pikir buat jual saja sela itu, agar uangnya bisa dipakai beli pakaian dan senjata.
"Sela! Sela! Hayo, siapa hendak beli sela!" demikian ia berteriak-teriak di tengah jalan. Ia sudah lewati satu jalan besar, tidak ada orang tegur ia, hanya ada orang yang
mentertawakannya.
"Rupanya perlu aku sebutkan harganya," pikirnya
sambil jalan terus. Tadinya ia mengharap dapatkan
sedikitnya duapuluh tail perak, supaya ia bisa beli pakaian dan senjata. Ia berteriak pula: "Siapa mau beli sela"
Harganya murah! Cuma lima belas tail! Aku membutuhkan
uang asal cukup untuk perbekalan!"
Siau Hoo sedang berjalan ketika ada orang jambak ia
dari belakang. Ia kaget ia segera berpaling. Ternyata orang yang jambak ia adalah seorang polisi. Ia jadi mendongkol, ia geraki tangannya.
"Kenapa kau cekal aku" " ia menegur.
Polisi itu tidak menyahuti, hanya datang dua kawannya, yang satu menyamber sela, yang lain keluarkan rantai
dengan apa dia segera kalungi lehernya anak tanggung ini.
Gusar karena perlakuan itu, Siau Hoo cekal rantai itu
dan kakinya menendang.
"Aku tidak langgar aturan, kenapa kau tangkap aku?" ia menegur pula.
Tapi salah satu polisi itu, yang tubuhnya tinggi, kirim gaplokannya, hingga mukanya si bocah ini menjadi merah.
Siau Hoo gusar benar, ia hendak melawan, akan tetapi
orang polisi yang tadi lantas kalungi ia.
"Bocah, jangan kau melawan! Ikutilah baik-baik pada
kita ke kantor, disana kau tidak bakal tersiksa!" kata dia.
"Buat apa aku ikut ke kantor?" Siau Hoo membentak, ia
menendang pula, "Aku tidak bersalah! Kenapa kau tangkap orang baik-baik?"
Tiga orang polisi itu tidak mau adu bicara.
"Turut kita!" kata mereka.
Yang satu lantas tarik kalungnya, yang lain gendol sela, dan yang ketiga mendorong-dorong dari belakang. Mau
atau tidak terpaksa Siau Hoo turut, dengan bikin banyak berisik di sepanjang jalan. Mereka menuju ke Barat.
Sejumlah orang mengikuti, karena mereka merasa heran
dan ingin tahu.
"Maling kecil dibekuk!" demikian seorang kata.
"Bocah ini galak!" kata yang lain.
Dalam mendongkol dan gusar, Siau Hoo masih mencaci
kalang kabutan, ia mengutuk kalang kabutan, ia mengutuk.
Beberapa kali ia coba tendang orang-orang polisi itu.
Sekeluarnya dari tempat ramai itu, mereka sampai di tepi kali dimana ada pelabuhan serta banyak kendaraan air.
Diseberang itu ada sebuah kota ke arah mana Siau Hoo
digusur. Ia berontak-rontak, ia memaki tidak berhentinya, tapi ia tidak bisa loloskan diri.
Pelabuhan kali itu ada ramai dan jadi lebih ramai karena ditangkapnya bocah ini.
Siau Hoo dipaksa naik atas sebuah perahu kecil, yang
terus digayuh ke seberang. Ia dipaksa duduk, dua orang polisi pegangi ia, dan yang ketiga duduk di depannya.
"Saudara kecil, jangan kau gusar kepada kita," kata
orang polisi ini sambil tertawa, "Kita sedang lakukan tugas sebagai hamba negara, di seberang sana, kota Soan han, kau menghadap kepada koan-thayya dimana kau boleh
bicara. Thayya kita itu, orang she Pauw, ada jujur dan adil, dan karena kau ada satu bocah, tidak nanti dia
sembarangan hukum padamu."
"Aku tidak takut untuk menghadap tiekoan!" kata Siau
Hoo, yang masih tetap gusar. "Tapi bilang padaku,
sebenarnya aku bersalah apa?"
"Cukup, saudara kecil!" kata pula orang polisi itu. "Kita tidak berhak untuk periksa kau, maka tunggulah sebentar sampai kau sudah menghadap koan-thayya apa saja yang
ditanyakan, kau boleh jawab ..."
Masih Siau Hoo menggerutu, bahwa dia tidak bersalah.
Tidak lama ia sudah seberangi kali itu, ialah kali Houw Kang.
Tiga orang polisi itu bawa Siau Hoo mendarat,
memasuki kota, terus ke kantor tiekoan, yang letaknya tak jauh dari tepi kali. Disini ia lantas dibawa masuk kedalam sebuah kamar kecil dimana segera orang geledah ia, hingga uangnya kena dirogoh keluar dari sakunya. Ia penasaran, ia hendak rampas uangnya itu.
"Kenapa kau rampas uangku?" ia menegur.
"Kita tidak inginkan ini, kita hendak simpan dahulu!"
kata si orang polisi. "Sebentar setelah koan-thayya
merdekakan kau, kita akan kembalikan padamu ..."
Habis berkata begitu, ketiga polisi itu bertindak keluar dan pintu kamar dikuncinya.
Siau Hoo mendongkol bukan main.
"Celaka!" ia kata seorang diri. "Sudah kehilangan kuda, sekarang aku dapat perkara!"
Ia berdiri sekian lama, lantas ia mengintip di celah-celah pintu. Ia lihat orang-orang polisi mundar mandir, akan tetapi tidak ada seorangpun yang datang padanya. Ia jadi sengit, ia hajar pintu berulang-ulang disertai teriakan-teriakannya: "Buka pintu! Buka pintu! Kalau kau bendak periksa aku, lekaslah periksa! Aku mesti lekas lanjutkan perjalananku! Aku ada punya urusan, jangan kau bikin
gagal padaku!"
Hajaran pada pintu dan teriakan nyaring itu tidak ada
yang perdulikan, jangankan orang menghampiri, menolehpun tidak, maka semakin sengitlah ia memukuli
pintu, sampai ia berteriak-teriak dengan sekuat-kuatnya, sampai akhirnya ia lelah sendirinya, karena tetap ia tak digubris. Ia lantas numprah di tanah, napasnya sampai
sengal-sengal. Lama Siau Hon dikeram didalam kamar itu, selagi ia tak menduganya, pintu berbunyi dan daun pintu terbuka,
hingga sekarang ia bisa lihat sinar layung dan matahari. Ia masih numprah, ia lihat empat opas.
"Bagaimana?" ia tanya.
Empat opas itu tidak kata apa-apa, mereka balik bangun bocah itu, yang terus dibawa keluar dengan separuh diseret dan didorong-dorong, terus sampai ke kantor.
Di samping meja ada berdiri dua polisi lain, dan di muka meja ada berduduk si koan thayya atau camat, orangnya
kurus dan kate. Dua pengawalnya sudah lantas beraksi,
"Berlutut! Lekas berlutut!"
"Aku boleh berlutut tetapi aku tidak berdosa!" kata Siau Hoo dengan senyum ewa.
"Kau she apa dan apa namamu?" tanya pembesar itu
dengan lagu suara orang Selatan.
"Aku bernama Kang Siau Hoo," Siau Hoo jawab dengan
ringkas. "Kau asal dari mana" Dari mana kau datang?"
"Aku ada orang See-an! Aku datang dari Tin-pa!" jawab
kacung itu dengan mata dibuka lebar.
"Kau datang ke Sucoan Utara, apa kau hendak
kerjakan?"
"Aku hendak merantau dikalangan kang-ouw!" Siau
Hoo jawab terus-terang.
Tiba-tiba, tiekoan itu gebrak meja, "Ngaco!" ia
membentak. "Satu bocah hendak merantau di kalangan
kang-ouw" Aku lihat, walaupun kau ada satu bocah cilik, perbuatanmu yang jahat mestinya sudah tidak sedikit!
Sekarang jawab pertanyaanku. Di Timur sungai sana, kau telah bunuh satu orang, bagaimana kau bunuhnya dia" Kau telah rampas uang dan kuda! Hayo mengaku, atau nanti
aku rangket padamu!"
Siau Hoo gusar bukan main atas tuduhan itu, ia hendak
berbangkit, tapi dua opas segera tekan ia, ia dipaksa tetap berlutut, ia berontak dengan sia-sia saja.
"Aku penasaran!" ia menjerit. "Aku tidak bunuh orang!
Aku tidak mencuri atau merampas! Adalah aku sendiri
yang kecurian! Tadi malam aku mondok di kuil tua, disana orang telah curi kudaku!"
Baru Siau Hoo mengucap demikian, tiekoan sudah
gebrak meja berulang-ulang.
"Macam kau punya kuda?" tiekoan itu berseru: "Jikalau
tidak dihajar, kau tidak mau bicara! Hayo, gusur dia, hajar dua-puluh rotan!"
"Kenapa aku hendak dirangket?" Siau Hoo berseru!
"Aku tidak berdosa!"
Akan tetapi kedua algojo tidak perdulikannya, dia
dipaksa ditengkurapkan. Sesudah mana ia dirangket
duapuluh kali dengan papan tek-phe.
Hukuman rangket itu membikin Siau Hoo merasakan
sakit pada kempolannya, berbareng dengan itu, ia kuatir, kalau ia dihajar terus dan terluka, bagaimana nanti dia bisa jalan.
"Sudah, jangan siksa aku, aku nanti mengaku!" ia lalu
berseru. Dua algojo beri dia bangun, akan dihadapkan pula di
depan tiekoan, dipaksa berlutut lagi.
"Kau mesti bicara dengan sebenarnya!" tiekoan
mengancam seraya tepuk meja. "Jikalau kau bandel, kau
bakal dirangket pula!"
Siau Hoo tahan mendongkolnya.
"Aku bicara dengan sebenarnya, aku tidak bunuh
orang!" ia jawab. "Aku ada anaknya Kang Cie Seng dari
Tin-pa. Pada dua tahun yang lalu, ayahku telah ada yang binasakan, hingga karenanya, ibuku telah menikah pula.
Aku telah dapat cari tahu she dan nama musuhku itu, maka itu sekarang aku hendak pergi ke lain propinsi buat cari guru untuk belajar silat, untuk di belakang hari menuntut balas. Ketika aku angkat kaki dari Tin-pa, aku bawa lari
seekor kudanya Pauw Kun Lun, tempo akan sampai di
Ban-goan, selagi aku bersantap di sebuah rumah makan,
aku dikepung oleh orang-orang yang diutus oleh Pauw Kun Lun untuk menangkap aku. Aku dapat meloncati jendela
dan kabur. Aku kabur dengan naik seekor kuda. Diluar
dugaanku aku justeru kena samber kuda hitamnya
musuhku. Kuda itu nakal sekali, di tengah jalan hampir dia bikin aku tergelincir jatuh dan binasa. Malamnya aku
mondok di sebuah kuil tua, karena aku tidak punya uang buat sewa kamar hotel. Selagi aku tidur, ada penjahat yang curi kudaku. Aku terbangun dengan kaget karena aku
dengar suara kuda berbenger. Aku segera pergi mengejar.
Aku tidak dapat menyandak, hanya di tengah jalan, aku
lihat ada satu mayat menggeletak, di sampingnya ada
sebuah sela. Aku percaya mayat itu ada mayatnya si
pencuri, yang dilempar jatuh dan binasa oleh kudaku itu, karena disitu ada selanya. Aku periksa mayat itu, aku
dapati dalam sakunya uang kira-kira sepuluh tail, aku lantas ambil uang itu, dan dengan bawa sela itu aku lanjutkan perjajalanan kesini. Diluar sangkaanku, tadi orang-orang polisi lantas tangkap aku digusur kemari."
Setelah dengar pengakuan itu, tikoan terus perintah bawa orang tangkapan ini ke penjara.
"Kau harus berlaku baik-baik," berkata satu dari kedua oppas yang menggiring, "Jikalau kau tahu diri, kita
tanggung kau tidak akan bersengsara. Lihat rangketan tadi betapa entengnya, itu disebabkan kau satu bocah dan aku kasihan kau!"
Siau Hoo menghela napas.
"Dasar sial, sudah hilang kuda, aku mesti dapat
perkara," mendelu ia, tetapi hatinya mendongkol bukan
kepalang. Ia lantas dijebloskan kedalam sebuah kamar, kalungnya
telah diloloskan tetapi sebagai gantinya, kedua kakinya dirantai. Ia dicampur dengan kira-kira dua puluh pengisi penjara, yang semua pakaiannya butut dan kotor, mukanya dekil, rambutnya awut-awutan, hingga mereka mirip
dengan setan-setan keleleran. Didalam kamar itu pun ada tahang kotoran, yang menyiarkan bau sangat hebat.
Siau Hoo berdiri diam dekat tembok yang demak, dingin
bagaikan es. Segera ia dikerumuni oleh rekan-rekannya, yang tanya ia tersangkut perkara apa.
"Jangan tanya!" sahut Siau Hoo dengan mendongkol.
"Aku dapat perkara penasaran! Aku tak punya dosa, tapi orang telah tangkap aku, dan dirangket duapuluh rotan!
Tiekoan itu ada telur busuk! Tunggu nanti, jikalau aku telah sempurnakan ilmu silat, aku akan bikin perhitungan!"
Lantas ia tolak rekan-rekan itu, ia cari selembar tikar atas mana ia terus duduk seorang diri, hatinya bukan main
berduka dan pepatnya.
Sorenya hamba penjara datang antarkan nasi yang
buruk, yang kalah dengan nasi untuk anjing, maka Siau
Hoo tidak dahar itu, ia lebih banyak pikiran tentang dirinya.
Untuk pertama kali, ia insyaf hidup dikalangan kang-ouw benar sulit. Ia merasa, orang lebih banyak yang tak kenal aturan.
"Kenapa orang perhina aku" Ini tentu disebabkan aku
masih kecil dan ilmu silatku belum sempurna!" pikirnya, yang jadi sengit. "Tidak bisa lain, aku mesti lekas angkat kaki, aku mesti lekas cari guru untuk belajar silat!"
Ia tunduk, ia raba rantai pada kakinya. Tiba-tiba ia
terperanjat girang. Ia telah dipakaikan rantai untuk orang dewasa, maka kalau ia loloskan sepatunya dengan gampang ia bisa lepaskan diri dari rantai itu. Ia jadi sangat girang,
tetapi ia diam saja. Sekarang tak lagi ia berduka, karena ia tahu, setiap saat ia bisa buron. Lantas saja ia rebahkan diri, ia tidak dahar tetapi malam itu ia bisa tidur dengan
nyenyak. Keesokan pagi, pintu kamar dibuka oleh satu hamba
penjara untuk memerintahkan buang kotoran.
Turut biasanya, tahang kotoran mesti dibuang oleh
perantaran baru, dan itu Siau Hoo adalah yang dapat
kewajiban, untuk mana ia dibantu oleh seorang lain umur tujuh atau delapanbelas tahun. Mereka gotong tahang itu dengan diiringi oleh hamba penjara itu. Mereka keluar dari pintu samping, di tempat kotoran di sebelah selatan tembok, tahang itu mesti dituang. Rantai di kakinya Siau Ho ada longgar, ia tidak bisa jalan dengan leluasa, justeru begitu, baru sampai diluar pintu, ia sudah terserimpat jatuh, hingga tahang kotoran turut terbanting dan tumpah sehingga
mengenai kedua kakinya hamba penjara itu.
"Kacung mau mampus!" ia mencaci seraya dupak
tubuhnya Siau Hoo sampai rubuh bergulingan.
Siau Hoo gunai ketika itu, akan loloskan rantai di
kakinya. Ketika ia merayap bangun, dengan rantai itu ia hajar si hamba penjara, hingga dia ini yang tidak
menyangka jelek, menjerit keras.
Tidak tempo lagi bocah itu lari meninggalkan korbannya.
Ia tidak berani ambil jalan besar, ia masuk kedalam gang kecil, tapi baru ia lewati dua gang, ia lihat orang polisi kejar ia, ia lari semakin keras. Ia keluar ke jalan besar, kabur ke arah Lam-mui.
Di jalan besar ada banyak orang, tetapi, mereka
menyangka dia ada orang edan atau pencuri, sebab ia ada satu bocah, orang justeru pada minggir, tidak ada yang mencegatnya.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru Siau Hoo keluar dari pintu kota, di situ seorang
polisi cegat ia.
"Eh, bocah, kerapa kau lari-larian?" hamba polisi itu
tanya. Siau Hoo tidak menjawab, karena orang menghalangi di
depannya, ia maju seraya menyerang dengan mendadak
dengan kedua kepalanya, sampai opas itu rubuh. Sesudah mana, ia lari terus, tetap ke arah Selatan. Satu kali, selagi lari ia menoleh ke belakang, maka ia telah tabrak sebuah kendaraan keledai, atas mana, ia terguling sendirinya.
Syukur ia tak kena dupakan keledai, yang menjentil karena kagetnya. Ia cepat-cepat merayap bangun pula akan lari terus. Ia berlari-lari dengan tak pakai sepatu.
"Cegat! Cegat dia!" demikian teriakan berulang-ulang,
dari sebelah belakang. Itulah teriakannya beberapa orang yang mengejar.
Sebagai seekor anjing pemburu sedang mengejar kelinci, demikian Siau Hoo lari sipat-kuping, ia tak perdulikan segala apa, sambil tunduk ia buka kedua tindakannya.
Jalanan tidak rata, beberapa kali ia terpeleset dan jatuh, tapi setiap kali ia merayap bangun dan kabur terus. Kakinya telah lecet ia seperti tidak rasakan. Ia tidak tahu berapa jauh ia sudah lari, ia hanya merasa sangat lelah, napasnya seperti mau putus, tenaganya dirasakan habis, kepalanyapun
pusing. Disebelah belakang terdengar nyata tindakan kaki kuda
yang mengejar. Siau Hoo dengar tindakan kuda itu, ia kaget, hingga
sambil pentang kedua tangannya ia menjerit, tubuhnya
terus rubuh, kepalanya pusing, matanya gelap, sedang
dadanya ia rasakan seperti ada yang tindih. Ia belum
pingsan ketika ia merasa ada tangan kuat yang angkat
tubuhnya sehinga selanjutnya, ia tak berdaya lagi.
Berapa lama sudah lewat, Siau Hoo tidak tahu, ia hanya lantas dengar tindakan kaki. Ia buka matanya, ternyata ia berada di atas kuda, dalam rangkulannya satu orang, kedua tangannya turut terpeluk. Orang itu bukannya polisi hanya seorang dengan muka hitam, kedua matanya dibuka lebar, mengawasi padanya sambil bersenyum.
Kuda masih berjalan terus, dengan pelahan.
"Hei, bocah kau benar punsu!" orang itu berkata.
"Apakah kau pernah belajar silat" Dengan siapa kau telah belajar?"
Siau Hoo geraki pinggangnya.
"Aku belajar pada Ie-thio Ma Cie Hian ..."
Tiba-tiba orang tua itu gusar, ia lepaskan pelukannya
hingga Siau Hoo tergelincir jatuh terbanting ke tanah, sampai kepalanya berdarah.
Siau Hoo mendongkol, ia merayap bangun seraya
jemput batu dengan apa ia menimpuk ke arah kuda,
kemudian ia lompat berdiri dengan seruannya. "Binatang, kau hendak celakai aku" Mari balik akan piebu dengan
aku!" Dalam jengkelnya, bocah ini berani menantang piebu
(berkelahi tanding).
Orang itu belum berjalan jauh, ia dengar tantangan itu, ia lantas kembali.
"Bocah, aku kagum pada kau!" kata ia sambil tertawa.
"Ketahui olehmu, asal kau dengar nama orang muIai
dengan huruf "Cie", lantas kemurkaanku timbul dengan
mendadak!" Ia datang lebih dekat, ia loncat dari kudanya.
Ia tanya: "Apakah gurumu itu ada muridnya Pauw Kun
Lun?" "Benar,"
Siau Hoo jawab sambil mengangguk.
"Walaupun demikian, Ie-thio Ma Cie Hian paling benci
gurunya, melainkan karena takut, ia tidak berani berbuat satu apa terhadap gurunya itu."
"Ayahku Kang Cie Seng, pun pernah belajar silat pada
Pauw Kun Lun, hanya kemudian ia telah dibunuh oleh
gurunya itu. Maka sekarang ini, Pauw Kun Lun semua
adalah musuh-musuhku! Pernah dengan bekal golok aku
cari Pauw Kun Lun buat adu jiwa! Aku juga pernah serang Liong Cie Beng dan Liong Cie Khie!"
Mendengar demikian, orang itu, yang tubuhnya besar,
nampaknya heran.
"Eh, bocah, apa benar-benar kau ada demikian punsu
(pandai)?" ia menegur. Kemudian ia tarik orang punya
tangan. "Siapa namamu?"
Siau Hoo tepuk dadanya.
"Aku Kang Siau Hoo!" jawabnya. "Dan kau?"
Orang hitam itu ketawa.
"Aku bernama Ngo Kim Piu," ia jawab. "Orang juluki
aku Hek-pa-cu, si macan tutul Hitam. Aku ada asal Eng-
san-koan, baru dua hari yang lalu aku sampai di Soan-han sini, sampai sekarang aku masih belum beres dengan
urusanku. Aku telah saksikan perbuatanmu sejak tadi di Lam-mui, aku kagum dan suka padamu, maka aku lantas
menyusul. Aku lihat kau rubuh, aku lantas angkat dan bawa kau menyingkir ..."
"Syukur kau telah tolong aku!" kata ia. "Aku suka
bersahabat kepadamu. Kau ada mempunyai uang atau
tidak" Tolong kau beri aku pinjam sedikit. Paling dahulu, aku hendak dahar nasi. Kaupun boleh urus urusanmu itu.
Di belakang hari saja kita kelak bertemu pula!"
Hek-pa-cu No Kim Piu tertawa.
"Urusanku sendiri tidak penting!" ia jawab. "Saudara
cilik, lebih dahulu aku tanya kau, kau sebenarnya hendak pergi kemana?"
"Aku tidak punya tempat tujuan yang tertentu." Siau
Hoo jawab. "Aku berniat cari Long-tiong hiap. Katanya dia berkepandaian tinggi, aku niat angkat dia jadi guru!"
Ngo Kim Piu tertawa pula.
"Kau benar-benar ada mempunyai ambekan!" kata ia.
"Tapi buat cari Long-tiong hiap, kenapa kau menuju
kemari" Kalau kau tetap menuju ke Selatan, seumur
hidupmu kau tak akan dapat cari dia itu!"
"Eh, Long-tiong itu dimana letaknya?" bocah ini tanya.
"Kemana aku mesti menuju?"
Ngo Kim Piu lantas saja menunjuk ke Barat.
"Sesudah kau lintasi Pa-sui, kau lantas berada dalam
daerah distrik Long-tiong," ia terangkan. "Long tiang-hiap Cie Kie ada seorang kenamaan di tempat kediamannya itu, akan tetapi kalau kau langsung cari dia, pasti dia tak akan temui padamu. Untuk menjumpainya kau mesti cari
seorang perantara ..."
"Apakah kau kenal padanya?" Siau Hoo tanya
penolongnya. "Tentu sekali aku kenal dia." sahut Ngo Kim Piu.
"Malah aku kenal baik!"
"Kalau begitu, tolong kau antar aku kepadanya," Siau
Hoo minta dengan tidak seejie lagi. Ia tak sungkan
meskipun ia baru kenal orang hitam itu. "Aku minta kau perantarakan agar aku diterima jadi muridnya!"
Akan tetapi Ngo Kim Piu tertawa, terus dia geleng
kepala. "Aku tak dapat jadi orang perantara," ia beri tahu.
"Bicara terus-terang aku kenal baik Long-tiang hiap, tetapi, apabila aku bertemu dia, sampaikan kepalaku aku tak
berani angkat ..."
Siau Hoo heran.
"Eh, apakah kau takut kepadanya?" ia tegasi.
"Bukan melainkan aku, siapa juga jerih terhadapnya!"
jawab Ngo Kim Piu. "Buat di Sucoan Utara, dia ada orang yang nomor satu. Aku hanya ada seorang kang-ouw bicara hal uang, pengaruh dan pengetahuan, semua aku kalah
daripada dia itu!"
Siau Hoo berdiam, hatinya berpikir.
"Berapa jauhnya Long-tiong dari sini?" ia tanya
kemudian. "Dua-ratus tujuh-puluh lie lebih," sahut Hek-pa-cu.
"Dengan naik kudaku ini, kita masih butuhkan tempo tiga hari."
"Baiklah!" Siau Hoo bilang kemudian. "Tak usah kau
perdulikan lagi padaku, aku hendak cari dia!"
Dan dia lantas buka tindakannya.
Ngo Kim Piu cekal orang punya lengan dan ditariknya.
"Saudara kecil, ini bukannya main-main," kata ia. "Kau tidak pakai sepatu, sebelum sampai disana, kau sudah akan mati karena lelah. Lagipun, tanpa perantara, dia pasti tidak akan perdulikan padamu! Saudara kecil, bukankah sekarang
kita telah jadi sahabat satu pada lain" Maka aku harus bantu pada kau. Mari turut aku dahar dan minum arak didalam
dusun, setelah itu aku nanti belikan kau pakaian, aku akan cari seorang kenalanku buat pinjamkan seekor kuda
untukmu, sesudah itu, kita nanti cari beberapa kenalanku yang lain untuk ajar kau kenal dengan mereka itu. Dengan bantuannya beberapa sahabat itu, baru kau pergi cari Longtiong-hiap, itu waktu aku percaya, tentulah Long-tiong-hiap suka terima kepadamu!"
Kang Siau Hoo girang sekali mendegar kata-kata itu, ia manggut-manggut.
"Bagus! Baiklah!" ia berseru.
Lantas Ngo Kim Piu tuntun kudanya, bersama Siau Hoo
ia bertindak ke Selatan. Mereka jalan belum jauh, lantas mereka tampak satu jalan besar yang menuju ke Barat.
Disini mereka jalan lebih jauh. Pemandangan di kedua tepi, dimana ada air dan sawah, sangat indah, tapi Siau Hoo
tidak mempunyai kegembiraan akan menikmati itu, malah
ia bertindak dengan cepat. Buat ia, dahar adalah paling penting pakaian tidak seberapa, kecuali sepasang sepatu.
Sesudah jalan belasan lie, mereka sampai di sebuah
dusun yang tidak terlalu ramai tetapi warung-warung,
warung kelontong, rumah makan dan rumah penginapan
bisa didapatkan. Di Selatan jalan besar ada sebuah
pondokan dengan mereknya di tembok yang huruf-
hurufnya miring mengok.
"Mari kita mampir disana," kata Ngo Kim Piu.
Siau Hoo tidak kenal huruf, ia mengikuti
Kim Pui tuntun kudanya memasuki pekarangan dalam,
tiga jongos lantas sambut mereka, ada yang sambuti kuda,
ada yang mengundang masuk, kelihatannya mereka kenal
baik tetamu she Ngo ini.
"Tolong carikan kamar untuk saudara kecilku ini," kata Hek-pa-cu pada ketiga jongos itu.
Satu jongos terus saja ajak Siau Hoo ke sebuah kamar
Timur, sedang Kim Piu sendiri pergi langsung ke kamar
tuan rumah dimana ia lantas pasang omong kepada kuasa
hotel atau tuan rumah.
Siau Ho tantas disediakan air, ia terus bersihkan rambut dan mukanya, lengan dan kakinya juga, kemudian ia
berebahan untuk beristirahat, hingga sekarang ia bisa
layangkan pengalamannya selama dua hari paling belakang.
Ia berduka berbareng mendongkol.
"Beruntung aku bertemu dengan Ngo Kim Piu. Da benar
ada satu sababat sejati," pikirnya lebih jauh.
Bocah ini belum rebah lama atau Kim Pui bertindak
masuk kedalam kamarnya dengan membawa seperangkat
pakaian serta sepasang sepatu.
"Saudara kecil, pakailah pakaian ini!" kata ia sambiI
tertawa. "Kau coba dahulu cukup atau tidak!"
Siau Hoo tidak berlaku sungkan, ketika ia telah pakai
pakaian baru itu, cuma ke dua ujung kakinya yang sedikit panjang, tetapi itu boleh ditekuk atau digulung. Adalah sepasang sepatu yang terlalu besar, hingga tak dapat
dipakai. Tapi ia tidak kurang akal, ia robek celananya, dengan robekan itu ia libat kakinya dan ikat sepatunya.
Juga betisnya ia libat.
Menampak kecerdikan itu dan kelucuan juga, Ngo Kim
Pui yang mengawasi, jadi tertawa:
"Saudara kecil, dengan begini kau jadi mirip dengan satu enghiong!" Kata ia. "Kalau kau telah soren sebatang golok, maka didalam kalangan Lok-lim, siapa berani tidak lihat mata padamu ..."
"Apa" Lok-lim" " menegasi Siau Hoo "Lok-lim itu
tempat apa?"
Enghiong cilik ini masih belum tahu bahwa Lok-lim
adalah Rimba Hijau, kalangan orang gagah atau
penyamun, mirip dengan kalangan kang-ouw, Sungai
Telaga. "Lok-lim ialah Kang-ouw," Hek-pa-cu beri keterangan.
"Lok-lim dengan Kang-ouw tidak ada bedanya."
Siau Hoo tidak minta penjelasan lebih jauh.
"Eh, kenapa barang santapan masih belum sedia?" ia
tanya. "Nanti aku lihat, akan minta mereka lebih cepat." kata Ngo Kim Pui, yang terus saja bertindak keluar.
Tidak berselang lama, muncullah jongos dengan barang
makanan yang dipesan.
Ngo Kim Piu juga segera muncul pula sambil
menyanyikan lagu pegunungan yang umum di Sucoan
Utara. "Mengantar ke kasihku sampai dipaseban Sip-lie-teng di tepi paeban Sip-lie-teng, rumput hijau-hijau!"
Mendengar nyanyian itu, tanpa merasa Siau Hoo lantas
ingat Pauw Ah Loan yang gemar nyanyi, hingga dengan
tiba-tiba hatinya menjadi tegang sendirinya.
"Aku mesti lekas belajar silat, aku mesti kumpul uang, untuk aku pulang dan nikah Ah Loan," demikian ia pikir.
"Hanya, sebelumnya menikah, aku mesti terlebih dahulu
menuntut balas!"
Bersama-sama Kim Piu ia numprah di atas pembaringan,
akan mulai minum arak dan dahar nasi, sambil bersantap merekapun bercakap-cakap.
Siau Hoo anggap Ngo Kim Piu ada satu sahabat baik,
dengan tidak sembunyikan suatu apa, ia tuturkan hal
ikhwalnya. "Beruntung kau bertemu aku," Kim Piu lantas beri ingat,
"Kalau kau ketemu lain orang yang kenal baik Pauw Kun
Lun, ada kemungkinan kau akan dibinasakan olehnya.
Pauw Kun Lun serta murid-muridnya itu, buat di Siansay Selatan, boleh dipandang sebagai raja jago sendirian, akan tetapi apabila mereka sampai di Sucoan Utara, sekalipun satu tindak saja mereka sukar berkutik. Kita di Sucoan Utara, baik dikalangan kang-ouw maupun di kalangan Loklim, asal dengar hal muridnya Pauw Kun Lun, yang
namanya ada pakai huruf "Cie", dia itu adalah musuh kita, dalam sekejap kita akan turun tangan!"
"Memang benar aku kenal mereka itu," Siau Hoo bilang,
"Tetapi mereka telah bunuh ayahku, maka mereka itu
adalah musuh-musuhku!"
Selagi mereka keluar, tuan rumah turut mengantar. Ia
ada seorang dengan tubuh gemuk, tinggi dan besar,
berkumis dan berewokan, hingga romannya jadi bengis.
Kim Pui ajar mereka kenal satu dengan lain.
"Ini ada Ie Toa-cianki," kata Hek-pa-cu. "Ini ada
saudara kecilku yang baru."
Ie Toa-ciangkui ada ramah-tamah, akan tetapi karena
romannya, Siau Hoo tak begitu sukai dia.
Dengan menunggang kuda, keduanya lekas juga
meninggalkan dusun itu.
"Bukankah kau, sudah lihat tuan rumah she Ie itu?" kata Kim Piu pada sahabatnya sambil menoleh, karena ia jalan disebelah depan. "Diapun ada seorang Kang-ouw yang
kenamaan, kepandaiannya sempurna."
Sebenarnya keterangan itu ada menarik hati, akan tetapi Siau Hoo tidak tarlalu memperhatikannya, karena sekarang tujuannya melainkan ada pada Long-tiong hiap Cie Kie
kepada siapa ia niat belajar sedikitpun buat dua tahun, supaya kepandaiannya menjadi sempurna.
Mereka jalan ke Barat sampai kira-kira satu hari. Siau Hoo tidak tahu Kim Pui ajak dia kemana, hanya dia dapati jalan mulai menjadi sempit, rumah-rumah tidak ada, orang yang berlalu-lintas jarang, akan akhirnya tak ada sama sekali. Di depan ada tanah pegunungan yang legat-legot, tidak ada batasnya, kelihatan hanya pohon-pohon dengan daun-daunnya yang hijau segar. Adalah di arah Utara
kelihatan warna biru dimana ada sejumlah perahu layar, tanda adanya sungai.
-ooo0dw0ooo- Jilid 05 "EH, sahabat, tempat apakah ini?" tanya Siau Hoo
sambil tahan kudanya. Ia lihat tempat itu tidak
menyenangkan ia. "Kemana kita pergi?"
Ngo Kim Piu berpaling dan tertawa.
"Lihat disana!" sahutnya sambil tangannya menunjuk.
"Disana ada rumah kita! Disana ada sahabat-sahabat kita, lebih daripada duapuluh orang!"
Siau Hoo bercuriga juga, akan tetapi ia sudah sampai
disitu, maka Ia ambil putusan mengikuti terus. Maka
kembali Ia beri kudanya jalan, terus menuju ke Barat.
Sesampainya di kaki bukit, disitu Kim Piu cari jalanan untuk mendaki. Sampai diatas bukit mereka masih jalan
tikung-menikung, melintasi sebuah puncak, lantas mereka menghadapi satu rimba pohon cemara. Disini mereka lantas dengar satu suara nyaring, seperti berkowaknya seekor
garuda. "Mari turun dari kuda, sahabat kita sudah datang!" kata Kim Piu pada saudara ciliknya itu, sambil memasukkan dua jarinya ke dalam mulut dan perdengarkan suara suitan
mulut yang nyaring.
Siau Hoo heran atas apa yang ia tampak itu.
Mereka tidak usah menantikan terlalu lama akan lihat,
dan dalam rimba muncul empat orang, yang semuanya
menyekal golok, hingga sekarang barulah Siau Hoo insyaf benar yang ia telah diajak ke sarang penyamun. Karena ini, ia tidak lantas loncat turun dari kudanya.
"He, sahabat, kau ajak aku kemana?" tanya ia. "Jikalau kau suruh aku jadi penyamun, itulah tidak akan aku
berbuat!" "Eh, saudara kecil, mengapa kau mengucap demikian?"
Kim Piu mencegah. "Apakah kau sudah tak sudikan
jiwamu" Hayo turun dari kudamu, aku nanti perkenalkan
kita dengan beberapa sahabat. Segala hal lainnya kita nanti bicarakan belakangan. Kau jangan kuatir, kita telah menjadi sahabat, mustahil aku kandung maksud jahat terhadap
dirimu?" Siau Hoo berdiam, ia kerutkan sepasang alisnya.
Lekas sekali, empat orang itu sudah datang dekat,
mereka sambuti kuda.
Kim Piu bicara kepada mereka itu, teapi ucapannya tidak ada yang Siau Hoo mengerti, hingga Ia tak tahu orang
bicarakan apa. Hanya ia lihat empat orang itu lantas
tertawa. "Mari," mengajak Kim Piu, yang bawa saudara ciliknya
memasuki rimba cemara itu, terus sampai di sebuah lembah dimana ada berdiri satu kuil dengan delapan pendoponya, sedang tembok merahnya sudak salin warna, tiang
benderanya sudah patah.
Kuda mereka sudah lantas ditambat pada sebuah pohon.
Di muka pintu kelihatan ada berdiri dua orang,
pakaiannya semua ringkas, tangannya memegang golok.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, sahabat, sebenarnya tempat ini tempat apa?" Siau
Hoo tanya pula Hek-pacu. Ia masih saja curiga.
Ngo Kim Piu sebaliknya, tetap tertawa saja.
"Sesudah berdiam dua hari disini, kau akan ketahui
semua!" ia bilang. "Kita ada sahabat-sahabat, kita ada bangsa penjunjung kehormatan, maka percaya, aku tidak
nanti perlakukan tak semestinya kepadamu!"
Tapi Siau Hoo ada mendongkol.
"Sahabat baik!" berseru Ia. "Kau bawa aku ke sarang
penyamun! Aku katakan terus terang inilah aku tak dapat lakukan!"
Ngo Kim Piu berhenti bertindak, ia menoleh. Pada
mukanya yang hitam sekarang tertampak roman tidak
senang. "Saudara kecil, kau keliru," Ia bilang dengan sungguh-
sungguh, suaranya
tetap. "Siang-siang
aku sudah beritahukan bahwa kita ada orang-orang Lok-lim, bahwa
aku suka bersahabat denganmu karena aku lihat kau kecil tetapi bernyali besar dan bersemangat gagah. Aku memang ajak kau kemari untuk turut dalam rombongan kita, supaya kau bisa jadi saudara kita. Kau sudah tidak punya rumah kemana kau bisa pulang! Kau berniat cari Long Tiong hiap Cie Kie tetapi Long Tiong Hiap tidak biasanya menerirna murid, sedang juga kau ada asal lain propinsi!"
Mendengar pengutaraan yang terus terang itu, Siau Hoo
jadi berdiri menjublek. Ia memandang ke depan kepada
kedua kuda, kepada kedua pengawal pintu. Ia berpikir
dengan cepat, lantas ia manggut.
"Baik!" ia berikan jawabannya. "Tapi aku tidak sudi
yang kau pandang aku sebagai serdadu saja!"
Kim Piu kelihatan menjadi girang sekali, sampai Ia
tepuk-tepuk orang punya pundak.
"Apa kau bilang?" tanya ia. "Bukankah kita bersaudara"
Tentu saja kau menjadi siau-ceecu, ketua yang muda!"
Lantas Hek-pacu tarik orang punya tangan, akan ajak
saudara cilik itu masuk kedalam.
Di muka pintu, Kim Piu disambut dengan hormat oleh
ketua pengawal, yang panggil ia Jie-ceecu. Ia tertawa pada dua orang itu, sambil tunjuk Siauw Hoo ia kata:
"Ini ada kita punya orang baru, Kang Siau ceecu! Mulai hari ini, kau mesti dengar segala titahnya siau-cu ini! Kau jangan lihat ia ada satu bocah, ia mempunyai bugee yang lihay!"
Mereka jalan terus sampai didalam, Siau Hoo lihat
tempat tidak miripnya dengan kuil! Disitu ada banyak koper atau peti, diantaranya ada yang terbuka tutupnya. Rupanya itu ada oleh-oleh penyamunan. Diundakan tangga ada
berduduk belasan orang, pakaian mereka tidak keruan, tapi mereka sedang berjamu dengan gembira, mereka-pun
tertawa-tawa. Ngo Kim Piu ajar kenal mereka itu pada ketua muda ini, maka Siau Hoo jadi dapat tahu bahwa mereka itu adalah
rombongan liauwlo atau rakyat berandal.
Dan situ Kim Piu ajak saudaranya memasuki pendopo
dimana paling dahulu Siau Hoo lihat para-para senjata
dimana kedapatan golok dan pedang, tumbak dan gaetan,
yang semua tajam mengkilap. Patung-patung suci tidak
terganggu, tetapi ruangan ada kusut sekali, piring mangkok peti arak dan lain-lainnya diletaki berantakan. Ditembok ada tergantung golok dan pedang, meja suci digeser ke
pinggiran, disampingnya ada bangku-bangku butut di atas mana ada duluk beberapa orang, diantaranya satu toosu
atau imam hitain dan gemuk yang kumisnya panjang. Kim
Piu hampirkan tosu itu untuk perkenalkan dia dengan Siau Hoo, yang asal usulnya dijelaskan semua. Kemudian
saudara cilik itu diperkenalkan pada tosu itu, yang ternyala ada toa ceecu atau kepala penyamun, namanya Ma In Siu, gelarnya Thie Lo-couw atau Loo-couw Besi. Satu yang lain ada Sam ceecu Lauw Kie gelar Tiang pie-wan si Monyet
Lengan Panjang. Dua lagi yang lain ada sahabat-sahabat Liok Tek Sui dan Phoa Tay Teng yang baru datang.
Semua orang itu ada ramah tamah, lantas saja mereka
panggil Siau Hoo "siohia-tee" atau saudara kecil.
"Memang kita kekurangan satu saudara muda," kata Ma
In Siu kemudian. "Ada beberapa utusan yang masih belum diselesaikan, kebenaran kau datang, disini kau bisa bantui kita. Apa yang kau kehendaki, lantas dapat tersedia, hanya satu hal kau harus ingat, kita kaum Loklim paling hargai kehormatan. Kalau kita ketemu saudagar atau kereta piauw yang kita tidak kenal, kita mesti tahan, tetapi asal mereka
memberi tanda, kita anggap mereka ada kenalan kita, maka mereka harus diberi lewat tanpa gangguan. Dan kalau
ketemu orang perempuan, asal dia bukannya bunga berjiwa, sedikit juga jangan permainkan dia, biarpun didalan
keretanya ada uang atau barang-barang berharga mahal,
kita tidak boleh geledah. Jikalau kita lakukan perbuatan kurang ajar, lain-lain sababat kita pasti akan tertawai kita!"
Siau Hoo gembira juga mendengar keterangan itu,
keterangan dan pri-kepantasan. Dengan sikap itu mereka ini ada lebih menang daripada Pauw Kun Lun. Maka itu, ia
terus turut mereka bersantap dan minum.
Juga Ma In Siu semua gembira dapati saudara cilik ini, sikap siapa mirip dengan seorang kang-ouw yang ulung,
maka setiap kali mereka memanggil "lauw-hia-tee" atau
"siau-hia-tee". Merekapun tanyakan banyak hal Pauw Kun Lun dan persaudaraan Liong.
Siau Hoo berikan keterangan apa yang ia tahu.
Selagi mereka bersantap, ada datang lagi tiga orang, ialah Su ceecu Hui-piauw Kheng Cong si Piauw Terbang, dan
dua liauw-lo. Saudara yang keempat ini melaporkan hal
sedang mendatanginya serombongan saudagar dari Utara,
yang ada bawa "cat mentah dan lainnya" dalam enam buah kereta, bahwa piauwsunya ada dua, dan benderanya ada
bendera Kun Lun Piauw Tiam dari Tiang-an.
Thie Loo-couw Ma In Siu sudah lantas gebrak meja.
"Orang-orang dari Kun Lun Piauw Tiam berani lewat
disini?" dia berseru, "Mereka mesti dibegal!" Kemudian ia tanya saudaranya: "Bagaimana sikapnya kedua piauwsu
itu" Apa mereka ada murid-muridnya Pauw Kun Lun?"
"Sikap mereka ada sempurna, hanya kita belum tahu she
dan namanya," sahut Kheng Cong.
"Piauwsu dari Kun Lun Piauw Tiam tidak ada yang
lembek, kita mesti keluar dengan sedikit banyakan," kata Ngo Kim Piu dengan sarannya.
"Kita keluar semua!" berseru Ma In Siu. "Kang Siau-hiatee, kau-pun turut kita! Jikalau dua piauwsu itu bisa
dibinasakan itu-pun ada suatu pembalasan sakit hati untuk ayahmu!"
Biar bagaimana, Siau Hoo toh bersangsi. Sekalian
muridnya Pauw Kun Lun ada bangsa telur busuk tetapi
diantaranya ada Cie Hian dan Cie Hong, dua penolongnya, kalau mereka berdua berada dalam rombongan piauw itu
bagaimana ia mesti ambil sikap. Ia-pun pikirkan tujuannya.
Ia keluar untuk cari guru silat, tapi ia sekarang bantu berandal, apa itu tidak memalukan" Sepak terjangnya
sekarang ada bertentangan dengan tujuannya.
Sementara itu orang telah repot menyembat senjatanya
masing-masing. Ma In Siu, yang sudah loloskan jubahnya, kelihatan dandan dengan ringkas, ia ambil golok Pok-too, terus saja ia bertindak keluar.
Ngo Kim Piu juga turut keluar, tetapi lantas Ia masuk
pula. entah apa yang ia bicarakan diluar itu, ia hampiri Siau Hoo dan kata: "Saudara kecil, sekarang kita hendak turun gunung buat berusaha! Ini adalah pengalamanmu yang
pertama sedari mulai memasuki dunia kang-ouw. Tapi lebih dahulu daripada itu, mari kita bicara dengan liangsim kita.
Kita mesti berlaku terus-terang dan terhormat. Pihak lawan kita sekarang ada orang-orang Kun Lun Pay, dantara
mereka barangkali ada orang atau orang-orang yang kau
kenal, oleh karena itu kita ingin kau jangan bersikap ragu-ragu atau serong!"
Siau Hoo tidak puas dengan pengutaraan tanda dan
kecurigaan itu.
"Jikalau kau tidak percaya aku, tinggallah aku, biar aku jaga rumah saja!"
Kim Pu berpikir sebentaran, lantas ia manggut.
"Baiklah, kau boleh tunggu rumah!" Ia bilang.
"Pekerjaan sekali ini mestinya hebat, kau masih berusia terlalu muda, selama pertempuran, bisa jadi kita tidak mempunyai kesempatan untuk perhatikain kau!"
Lantas saja Ia bertindak keluar pula dengan tak tunggu jawaban lagi. Dari luar terdengar nyata suara berisik, dan tindakan kaki kuda juga, menandakan orang semua mulai
turun gunung, maka dilain saat, Siau Hoo terbenam dalam kesunyian. Ia tidak mau berdiam didalam, ia bertindak
keluar, dari pondopo Ia lihat lima serdadu berandal sedang main dadu. Ia jalan terus sampai di pintu pekarangan.
"Ini adalah ketikaku yang baik," Siau Hoo lantas
beipikir. "Mereka telah turun gunung dalam tempo pendek mereka tak akan kembali, sekarang baik aku angkat kaki.
Siapa kesudian bercampur-baur dengan mereka dengan jadi penyamun" Sayang semua kuda telah mereka bawa pergi "
Tidak bisa lain, aku mesti merayap turun ..."
Siau Hoo balik pula kedalam, keruang dari pendopo
dimana barang ada terletak kalang kabutan, ia ambil uang satu bungkus, ia tidak tahu berapa jumlahnya itu, ia hanya merasakan bungkusan itu berat, terus ia libat itu pada pinggannya. Ia-pun jemput sebatang golok yang bersarung.
Ia tidak menunggu lama akan terus keluar pula.
Satu, liauwlo, yang sedang lempar dadu, lihat orang
keluar, dia berbangkit.
"Siau-ceecu hendak pergi kemana?" ia menanya.
"Aku hendak turun gunung untuk bantu mereka," jawab
Siau Hoo, yang terus turun gunung.
Beberapa liauwlo itu mengawasi sambil tertawa, mereka
tidak dapat duga berapa tinggi ada kepandaiannya ketua yang muda itu.
"Mereka semua mesti ada di depan," pikir Siau Hoo
selagi berjalan turun. "Mereka tentu sedang tempur kedua piauwsu, kalau aku-pun pergi ke depan, aku bakal ketemu mereka. Lebih baik aku ambil jalan belakang ..."
Dan ia putar haluan akan menuju ke belakang. Disini
jalanan ada sempit dan tidak rata, berlegat-legot, dari itu tidak heran, sudah sekian lama ia jalan, ia belum ketemu jalanan yang benar, ia seperti tersesat atau kebelinger.
"Inilah hebat," pikir Ia. Maka ia tancap goloknya
dibebokong, ia hampiri pohon untuk berpegangan dan
merayap naik, hampir tak merasa, ia sampai di satu puncak, hingga ia tampak rentetan gunung, sedang di sebelah kanan ada sebuah sungai besar. Di sebelah kiri ada jurang, jalan turun tidak ada. Dibawah ia ada jurang dengan selokannya, yang airnya berkericikan.
"Bagaimana sekarang?" Ia tanya dirinya sendiri.
Tidak ada lain jalan, ia merayap turun pula, hingga ia tampak dibawah, dijalanan gunung, ada serombongan
orang mendatangi. Ia segera mengenali rombongannya Ma
In Siu dan Ngo Kim Piu, yang baru saja "berusaha". Ia
tidak mau ketemu mereka itu, ia umpatkan diri di belakang sebuah batu besar. Ketika kemudian ia muncul pula, ia lihat rombongan itu sudah lewat jauh. Ia lanjutkan melapay
turun. Karena banyak batu tajam dan pohon duri. Ia
merasakan banyak kesukaran tidak saja tangannya pada
lecet dan berdarah, sebelah sepatunya-pun copot dan
hilang. Beberapa kali hampir Ia terpeleset jatuh kejurang, hingga selanjutnya ia mesti kertak gigi. Ketika magrib mulai datang, barulah bocah ini sampal dibawah, di jalanan.
Lantas saja ia keluarkan elahan napas lega. Tapi Ia tidak berani diam lama disitu terus saja ia lari dengan sebelah kakinya telanjang, hingga ia mesti menderita dari batu-batu gunung, dan tempo akhirnya ia sampai di jalan yang rata, sekeluarnya dan mulut gunung, ia lari semakin keras. Ia ngiprit dengan tidak tahu berapa jauh Ia sudah lari. Ketika itu di belakangnya Ia dengar suara larinya kuda. Ia
menduga orang kejar ia, lantas ia mendekam siap dengan goloknya.
Sang magrib yang remang-remang menolong bocah ini,
dia tidak kelihatan. Ia mendekam antara rumput tebal.
Kedua penunggang kuda itu terpisah jauh juga satu pada lain. Siau Hoo antap penunggang kuda yang pertama lewati ia, ketika yang kedua datang dekat, segera ia loncat bangun, akan bacok orang punya kaki kuda pada pahanya.
Sekejab saja, kuda itu ngusruk, hingga penunggangnya
bahna kaget, keluarkan jeritan, tubuhnya rubuh terbanting.
Siau Hoo tidak kenal siapa penunggang kuda itu tapi dia lompat maju, menyerang, beruntun dengan dua bacokan,
hingga orang itu, yang tidak keburu bangun, menjerit pula.
Sesudah itu, Siau Hoo-pun membacok pula paha kuda,
hingga kuda itu tak dapat bangun berdiri.
Penunggang kuda yang di depan dengar suara jeritan
orang dan kuda juga, ia secepatnya balik akan tengok
kawannya. "Sutee, kau kenapa?" dia tanya, "Apa kau jatuh dari
kudamu?" Siau Hoo kenalkan itu bukan suaranya kawanan
penyamun, secepatnya ia jongkok di samping kuda. Dari
situ Ia dengar rintihan korbannya.
Penunggang kuda itu sudah lantas sampai, ia hunus
goloknya, ia loncat turun dari kudanya, menghampiri
kawannya atau sutee, adik seperguruan.
"Sutee, kau kenapa?" tanya Ia sambil mendekat.
Dalam cuaca seperti itu, si penunggang kuda tidak dapat bedakan musuh atau kawan, Ia-pun tidak menyangka jelek.
"Siapa suteemu?" berseru Siau Hoo seraya berbangkit
dan angkat goloknya untuk menyerang.
Orang itu kaget dan mundur, ia menangkis dengan
goloknya, hingga Ia luput dari serangan menggelap itu.
Karena ini, keduanya jadi bertempur.
Baru beberapa jurus, Siau Hoo sudah merasakan tidak
ungkulan, maka ia lompat mundur ke samping kuda yang
terluka, yang masih rebah di tanah.
"Sahabat kau siapa!" ia tanya.
Penunggang kuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia
memburu akan menyerang pula.
Siau Hoo tidak mau melayani ia dan mengitari kuda,
hingga mereka saling kejar, sampai tiga atau empat putaran.
Penunggang kuda itu jadi sengit ia lompati tubuh kuda.
"Berandal, kau hendak lari?" Ia membentak.
Siau Hoo putar tubuhnya akan lari, ia lari belum jauh, ia dengar tindakan kaki kuda. Ia menyangka orang kejar Ia dengan naik kuda, ia menoleh, tapi ia lihat kuda tanpa penunggang, maka Ia mengerti, itu adalah kuda musuhnya yang lari sendiri, mungkin disebabkan kaget. Ia lantas dapat pikiran. Sembari lari Ia mendekati kuda itu untuk dicegat, lalu dengan gesit ia enjot tubuhnya akan loncat naik ke bebokongnya kuda itu.
Disaat itu si pengejar sudah datang dekat goloknya mulai diayun.
Siau Hoo lihat ia berada dalam bahaya, ia ayun
tangannya ke belakang.
"Awas piauw!" ia berseru.
Orang itu kaget, ia lekas mendek untuk berkelit. Ketika ini digunai oleh Siau Hoo buat duduk dengan benar, akan pegang les kuda, yang Ia keprak buat dikasi kabur, hingga diain saat Ia sudah pisahkan diri jauh-jauh, membuat
pengejarnya habis daya akan susul ia terlebih jauh. Sang cuaca-pun sudah jadi semakin gelap, tidak perduli bintang ada biayak dan bulan bersisir.
Siau Hoo antap kuda bawa Ia kabur, ia tak tahu tujuan, hanya selang kira-kira duapuluh lie baru ia coba tahan kuda rampasannya itu. Ia turun dari kuda untuk melenyapkan
lelah, agar napasya tak tersengal-sengal terus. Ia lihat sebuah bungkusan tergantung di pelana, ia raba itu, luarnya lembek, dalamnya keras.
"Uang," pkirnya. "Uang ini mesti berjumlah besar!
Bagus, sekarang aku beruntung! Ada kuda, ada senjata, ada uang juga. Sekarang aku mesti cari tempat bermalam, besok baru aku pergi cari Long Tiong Hiap ?"
Lantas uangnya sendiri, goloknya juga, ia cantel disela kuda, ia naik pula atas kuda itu, akan lanjutkan
perjalanannya, mengikuti jalan besar. Ia tidak kabur lagi.
Sesudah melalui lebih daripada tigapuluh lie, ia sampai di sebuah tempat yang ramai. Itu waktu ada kira-kira jam dua, masih ada rumah yang belum tutup pintu. Demikian
seorang, yang menenteng lentera, sudah lantas samperi
padanya. "Tuan hendak cari rumah penginapan?" dia tanya.
"Mari mampir di Thio Kee Tiam, kita ada punya kamar-
kamar yang bersih!"
"Baik, aku ingin kamar untuk satu orang!" Siau Hoo
jawab. "Perkara sewanya aku tidak pikir!"
Ia terus ikut jongos itu masuk ke pekarangan hotel. Istal berada di sebelah depan, maka Siau Hoo loloskan buntelan dan goloknya, kudanya ia serahkan pada lain jongos, ia sendiri ikuti pengantarnya masuk kedalam sebuah kamar.
Sesudah gantung lampu ditembok, jongos itu sediakan alat untuk cuci muka, air teh dan rapikan pembaringan,
kemudian ia tanya tetamunya hendak dahar apa.
"Apa-pun boleh, asal ada arak hangat," jawab Siau Hoo.
"Sedikitnya aku ingin empat tail arak."
Jongos itu menyahuti dan lantas undurkan diri.
Setelah berada sendirian Siau Hoo buka bungkusan yang
Ia dapatkan disela, isinya adalah sehelai selimut dan
setengah bungkus uang perak serta tiga pucuk surat yang tertutup rapat. Ia tidak mengerti surat, ia tidak ganggu surat-surat itu, yang ia bungkus pula jadi satu dengan uangnya sendiri. Ia gunakan bungkuan itu sebuah bantal kepala.
Sesudah ia cuci muka, baru ia rasakan kakinya sakit.
Sekarang ia baru ingat sepatunya telah hilang sebelah.
Maka ia buka sepatu yang satunya, ia naik ke pembaringan akan duduk numprah.
Tidak antara lama jongos datang dengan barang
makanan dan arak, terus saja ia dahar dan minum. Habis bersantap ia tutup pintu kamar dan naik tidur. Ia dapat tidur dengan lekas. Ketika besoknya Ia bangun, cahaya matahari sudah tertampak dijendela.
"Lekas sediakan aku barang makanan," Siau Hoo minta
pada jongos, yang ia panggil.
Sehabisnya bersantap, ia tanya jongos tempat itu apa
namanya, dan jalan ke Long-tiong masih ada berapa jauh.
"Ini ada dusun Tay-peng-tin," jawab jongos itu, "kita
masuk dalam daerah distrik Tay-tiok. Buat pergi ke Longtiong orang mesti lintasi sungai Kie Kang, jalanan darat atau air sama saja, kira-kira dua ratus lie lagi."
"Aku tidak mau ambil jalan air," pikir Siau Hoo, "aku
tidak bisa berenang, kalau aku ketemu bajak, aku bisa
celaka. Aku ada punya kuda, aku harus ambil jalan darat."
Ia terus lonjorkan sebelah kakinya, kasi si jongos lihat, lalu Ia berikan uang.
"Tolong belikan aku sepasang sepatu," ia perintah.
Perintah itu dijalankan dengan cepat, malah bocah ini
dapatkan sepatu yang cocok.
Setelah dandan dan bayar uang sewa Siau Hoo keluar
dari hotel. Ia-pun beli sebatang cambuk. Dari Taypeng-tin ia menuju ke Barat-utara. Kira-kira tengah hari ia sampai di pesisir Timur dari sungai Kite Kang. Ia cari perahu
tambangan untuk seberangi sungai, hingga dilain saat ia sudah sampai di distrik Kie-koan, sebuah kota ramai dalam lingkungan jalan Keng Leng-too. Ia ada mempunyai uang, ia merdeka untuk mampir di rumah makan akan tangsel
perut dan tenggak arak. Ia cari toko pakaian, akan beli pakaian baru dari sutera, berikut sepatu dan kopiah malah di toko itu juga ia salin pakaiannya. Sehingga ketika Ia lanjutkan perjalanannya lebih jauh, ia telah beroman lain, cakap dan gagah. Ia berpakaian hijau, ikat pinggang ungu, ban betis hijau, kopiah hijau, begitu-pun sepatunya.
Kudanya berbulu merah. Ia beri kudanya jalan tak cepat dan tak lambat, tujuannya Barat utara.
Kebetulan pemandangan alam ada indah. "Benar-benar
merantau ada terlebih menggembirakan," pikir Siau Hoo,
"Sekarang aku ada mempunyai segala apa, kalau sekarang aku pulang ke Tin-pa, siapa berani tidak pandang mata
padaku" Sayang kepandaian silatku yang aku peroleh dari Ie-thio Ma Cie Hian masih belum berarti, jangankan untuk menuntut balas, untuk hidup di kalangan kang-ouw saja
belum cukup."
Karena ini, keras keinginannya akan lekas sampai di
Long-tiong, akan cari Cie Kie.
Jalanan ada ramai, dipinggiran-pun ada orang-orang tani yang bekerja di sawah, banyak antaranya yang awasi bocah ini, yang menungang kuda dan pakaiannya aksi, hingga ada yang menduga-duga dia sebenarnya orang macam apa "
Siau Hoo sendiri jalankan kudanya sambil bersiul.
Sesudah jalan kira-kira tigapuluh lie, Siau Hoo disusul oleh tiga penunggang kuda yang dandanannya ringkas,
usianya masih muda. Malah yang satu segera menteriaki:
"Eh, bocah, kau sebenarnya hendak berbuat apa?"
Anak ini menoleh, melihat orang punya sikap tidak
menghormat, ia tidak ambil mumet. Ia terus jalankan
kudanya sambil bersiul terus.
Tiga pemuda dibelakang itu larikan kudanya, sampai
mereka berada di depannya bocah ini, hingga debu
mengepul naik menyamber kemuka. Siau Hoo berlaku
sabar. Ia Lihat orang ada membekal golok disela, ia percaya mereka
itu ada orang-orang kaum kang-ouw.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rupanya mereka tidak lihat mata padaku," ia pikir. Ia
mau singkirkan persetorian, ia sengaja beri kudanya jalan pelahan, hingga Ia kena dilombai.
Sore itu Siau Hoo singgah di hotel akan keesokannya
melanjutkan perjalanannya pula. Ia jalan jauhnya beberapa puluh lie, mendekati tengah hari, ia menghadapi sebuah kota yang ramai.
"Baik aku bersantap disini." pikirnya.
Terus ia masuk kedalam kota, ia cari sebuah rumah
makan, kemudian sembari dahar dan minum arak ia tanya
pelayan, tempat itu apa namanya dan berapa jauh
terpisahnya dari Long-tiong.
"Kota ini ada kota Eng-san, dari sini ke Long-tiong
masih ada seratus lie lebih," sahut sang jongos. "Kalau kita naik kuda yang larinya keras, sebentar sore kita bisa sampai disana."
Siau Hoo girang, ia lantas dahar dengan cepat-cepat. Ia keluar dari kota Utara dan menuju terus ke arah Utara. Ia ikuti jalan besar, ia larikan kudanya, selang belasan lie Ia dapati jalanan mulai sempit dan tikungannya-pun banyak, kemudian ia lihat didepannya ada sebuah kali besar dimana tak kelihatan kendaraan air. Di jalan hanya ada beberapa orang, tidak ada kuda kereta.
"Celaka, aku salah jalan!" pikir bocah ini. Ia putar
kudanya akan hampiri seorang tapi. Ia tanya jalanan ke Long-tiong.
"Ini memang ada jalanan ke Long-tiong," sahut orang
yang ditanya. "Cuma kapan kau telah sampai di tepi kali itu, kau mesti menuju ke Timur, disana kau akan dapati tempat penyeberangan."
"Bagus!" kata Siau Hoo, yang putar pula kudanya diberi lari. Ia sudah jalan dua lie lebih, ia masih terpisah jauh dari
tepi kali, ketika ia dengar di belakangnya ada orang
memanggil: "Sahabat, tahan, tahan, tahan! Kita ingin
bicara kepadamu!"
Siau Hoo tahan kudanya, ia balik tubuhnya, maka Ia
lihat tiga penunggang sedang mendatangi. Ia kenali tiga orang itu ialah yang kemarin ia ketemui di tengah jalan. Ia jadi berkuatir, tapi ia bisa legakan hati. ia pikir untuk menggertak. Maka ia putar kudanya, ia sengaja papaki
mereka itu. Ia tidak beri kentara perasaan apa juga pada air mukanya, ia bersikap tenang dan tabah.
Setelah datang dekat, tiga orang itu tahan kuda mereka.
"Sahabat," kemudian kata yang satu, yang tubuhnya
gemuk, sambil tertawa, "kau datang dari mana dan
sekarang kau hendak cari rejeki dimana?"
Siau Hoo melengak sebentar, tapi segera ia menyahut:
"Aku datang dari Tin pa, aku hendak pergi cari rejeki di Long-tiong."
Kelihatannya tiga orang itu terperanjat.
"Aku numpang tanya namamu yang besar dan kau
muridnya siapa?" tanya pula si gemuk.
Siau Hoo perlihatkan aksi baik. "Aku Kang Siau Hoo
gelar Sam-tauw-houw!" Ia jawab. "Aku tidak pernah punya guru dan kepandaianku adalah ajarannya dewa!"
Tiga orang itu tertawa, dengan separuh berbisik mereka bicara dengan menggunakan bahasa rahasia.
Siau Hoo lihat sikap orang mencurigai, ia-pun lantas
berpikir. Ia anggap mendahului ada paling baik.
"Hei, sahabat!" Segera Ia menegur dengan air muka
keren, "kau telah tanya aku, sekarang ada giliranku untuk tanya kau bertiga!"
"Tidak usah tanya, kita nanti perkenalkan diri, sahut si gemuk tadi. "Aku ada Kauw-tauw Cek Eng si Golok
Gaetan. Untuk di Sucoan Utara, kau boleh dengar-dengar namaku, walau-pun anak kecil dia tahu she dan namaku!
Kita susul kau juga bukan dengan maksud merampas
barangmu. kita hanya ingin kau tinggalkan golok dan
kudamu! Uangmu kau boleh bawa semua, satu bun juga
kita tidak kehendaki! Kami bukannya begal! Kami hanya
tak dapat ijinkan satu bocah cilik sebagai kau, bertingkah seperti satu hohan saja, disepanjang jalan kau bawa aksimu
?" "Telur busuk!" Siau Hoo memotong, sebelum orang
tutup mulut. "Kang Siau-thayya sedang
membuat perjalanannya, apa sangkutannya dengan kau" Hak apa kau punya untuk larang aku bawa-bawa golok dan menunggang
kuda" Apakah kau pandang enteng padaku" Jikalau kau ada satu laki-laki, turunlah dari kudamu, mari kita bertempur satu lawan satu! Umpama kau hendak menyerbu bertiga
dengan berbareng, aku-pun tidak takut, namun perbuatan itu bukan caranya enghiong!"
Setelah itu, Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia terus cabut goloknya yang tercantel di sela, hingga senjata itu berkeredepan berkilau, kemudian dengan pasang kuda-kuda, ia angkat golok kerangkulannya, setelah itu, dengan menuding dengan sebelah tangan ke depan, ia tekuk kaki kirinya, ia geser kaki kanannya!.
"Hayo turun!" Ia menantang. "Tidak perduli siapa
diantara kau bertiga, siapa yang sangup lawan golok
mustikaku ini, aku lantas tak kehendaki lagi semua milikku!
Tapi hati-hatilah, jangan kau jadi seperti persaudaraan Liong dari Cie-yang yang berlutut di depanku meminta-minta ampun!"
Tiga orang itu tercengang, terutama karena sikap pasang kuda-kuda dari siau Hoo, sebab dimatanya satu ahli silat, sikap itu ada bukti dari bugee yang tinggi.
Salah seorang yang jangkung, turun dari kudanya, ia
menghampiri sambil memberi hormat.
"Sudah, sahabat baik!" berkata ia dengan hormat. "Kita ada orang-orang kang-ouw, umpama kata kita tidak dapat ikat persahabatan, kitapun jangan bentrok. Disini-pun
bukan tempatnya untuk bertempur."
"Sahabat, silahkan simpan senjatamu, mari kita cari
tempat dimana kita bisa minum arak! Akurkah?"
Siau Hoo girang yang ia bisa gertak ketiga orang itu, ia semakin beraksi. Dengan bersenyum Ia simpan goloknya,
kemudian ia menggeleng-geleng kepala.
"Aku tak punya tempo akan kawani kau, aku mesti
segera lanjutkan perjalananku ke Long-tiong!" katanya
dengan aksinya. "Nah, sampai ketemu pula lain kali!"
Ia loncat naik atas kudanya, ia rangkap kedua tangan,
terus ia jalankan kudanya, ke Utara.
Si jangkung itu naik atas kudanya, bersama dua
kawannya ia terus menyusul.
"Saudara Kang, tunggu dulu!" Cek Eng si Golok Gaetan
menanggil. "Kita masih hendak bicara!"
Siau Hoo tahan kudanya, ia berpaling.
"Apa itu?" tanya ia sambil bersenyum. "Silahkan
bicara!" "Sebenarnya saudara Kang hendak pergi ke Long-tiong
untuk urusan apa?" Cek Eng tanya seraya Ia rangkap kedua tangannya.
"Urusan sebenarnya tidak terlalu penting," Siau Hoo
jawab dengan sabar. "Aku di Tin-pa telah lama dengar
nama besar dari Long Tiong Hiap, sekarang aku hendak
temui dia!"
"Kalau begitu, kebetulan sekali," kata si gemuk itu.
"Kami juga sedang menuju ke Long tiong! Kami kenal
Long-tiong-hiap Cie Toaya. Sandara Kang, apa kau setuju kita berangkat sama?"
Siau Hoo mengawasi seraya berpikir, tapi ia bisa ambil putusan cepat. Ia anggap baiklah ia jalan sama-sama
mereka, ia memang tidak kenal jalanan, malah umpama di tengah jalan ia dapat gangguan, mereka barangkali bisa membantunya. Pun dengan jalan sama, ia bisa cari tahu
halnya Long Tiong Hiap, umpama kata jago Sucoan Utara
itu mirip dengan Pauw Kun Lun yang ganas, pasti Ia tak sudi menemuinya, ia lebih suka cari lain guru. Maka ia lantas manggut.
"Baiklah! Mari kita pergi kepenyeberangan, akan cari
perahu tambangan," katanya. Dan ia jalankan kudanya
didepan, ia beri tiga orang itu ikuti dia.
Mereka menuju ke Utara, mereka bercakap-cakap
sepanjang jalan. Maka itu Siau Hoo lantas ketahui, tiga orang itu ada piauwsu dari Hok Lip Piauw Tiam dari Longtiong, mereka ada dalam perjalanan pulang dari Hap-ciu dimana mereka telah beri selamat pada guru mereka, Say-un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit, yang rayakan hari ulang tahunnya. Diantara bertiga, Cek Eng adalah toako, saudara tua, dari dua yang lain suteenya, adik seperguruan, Toan-too Yo Sian Tay si Golok Pendek, dan Hoa-too Lu
Hiong si Golok berkembang.
Tidak lama mereka sampai ditepi kali, dari situ mereka menuju ke Timur, lewat lima atau enam lie, mereka sampai
di pelabuhan dimana ada berlabuh sejumlah perahu eretan.
Sian Tay turun dan kudanya, ia berdiri di gili-gili. Lantas dua buah perahu menghampiri, orang-orang didalam
perahu pada menegur sambil tertawa. Nyata piauwsu ini
ada dikenal. Berempat mereka pakai dua perahu untuk
nyeberang. Siau Hoo naik perahu bersama Cek Eng, siapa sekarang panggil ia "Kang hiatee," atau "Saudara Kang."
"Kalau kita sampai di Long-tiong, hia-tee, baik kau
jangan pergi cari Long-tiong-hiap Cie Kie," kata si Golok Gaetan. "Dia belum tentu ada dirumahnya. Lain daripada itu, biar dia berkepandaian tinggi, dia tidak kenal
persahabatan. Dipropinsi Sucoan ini, dia pegang nama
kosong, dia tidak punya sahabat. Maka sesampainya di
Long-tiong nanti, baik kau tinggal sama kita dipiauwtiam.
Ciang-kui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun si Malaekat
Kimkah, walau namanya tidak sebesar Cie Kie, namun
kepandaiannya tidak kalah, sedang dia ada seorang berhati murah dan gemar bersahabat, terutama Ia kagumi anak
muda yang gemar silat. Jikalau kau datang pada ciang-kui, kita hia-tee, pasti Ia akan jadi sangat girang, tentu Ia akan minta kau bantu padanya, satu kali kau jadi piauwsu,
kaulah yang nanti bertugas di Sucoan Utara, kemana saja kau pergi, disitu mesti ada sahabat-sahabat. mesti ada yang perlukan membantu kau!"
Siau Hoo manggut-manggut.
"Baiklah," katanya, "sesampainya kita di Long-tiong,
aku mohon kau tolong perkenalkan aku dengan beberapa
sahabat untuk aku peroleh nama, sesudah itu barulah aku kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie."
"Sebenarnya, hia-tee, ada urusan apa kau berniat keras cari Cie Kie?" Cek Eng tanya. "Apa kau ingin coba-coba kepandaiannya?"
"Aku ingin temui dia, kalau dia terlebih gagah daripada aku, aku hendak angkat dia menjadi guruku," Siau Hoo
jawab. Cek Eng tertawa.
"Untuk jadi muridnya, jangan kau mimpikan pula!"
berkata ia. "Seumur hidupnya, Long Tiong Hiap tidak
terima murid, kepandaiannya dia hanya wariskan kepada
anak-anaknya, akan tetapi anak-anaknya semua masih
kecil, tidak ada yang terlebih tua daripada kau, hia-tee."
Sementara itu, mereka sudah sampai di seberang, mereka mendarat akan lanjutkan perjalanan ke Barat-utara, di
distrik Gie-liong mereka singgah untuk bersantap. Selama diperjalanan, mereka tidak omong banyak. Sekarang Yo
Sian Tay yakin di depan. Semakin jauh jalanan semakin
sepi, matahari turun semakin rendah di jalanan itu kuda kereta dan orang semakin sedikit. Angin mulai menderu-deru, kawanan gowak terbang pulang ke sarangnya masing-masing. Mereka jalan terus sampai langit gelap, bintang-bintang dan rembulan muncul, hingga di sekitarnya mereka tak tampak suatu apa. Toh mereka tetap larikan kudanya sampai jauhnya tiga atau empat puluh lie.
Siau Hoo mulai merasa lelah, kedua pahanya terasa
sakit, tapi juteru itu didepan mereka lihat cahaya api berkelak-kelik, maka jalan pula sedikit jauh mereka sampai di sebuah jalan besar atau straat. Disini Yo Sian Tay lantas tahan kudanya.
"Kita sudah sampai!" kata Kauw-too Cek Eng seraya
menoleh pada Si enghiong cilik. "Mari turun dari kuda!"
Siau Hoo nampaknya dapat semangat, sambil menuntun
kuda seperti tiga kawannya, ia bertindak mengikuti mereka lalu menuju ke Barat, tidak seberapa jauh mereka sampai
disebuah rumah yang duduknya di Utara jalan besar, yang pekarangannya lebar dan berpagar, pintunya rapat sebelah.
"Ini dia Hok Lip Piauw Tiam," Cek Eng perkenalkan.
Yo Sian Cay mendahului bertindak masuk, ia panggil
dua orang untuk sambuti kuda mereka, tetapi Siau Hoo
mau berlaku hati-hati, maka Ia loloskan sendiri golok dan pauwhoknya.
Cek Eng berlaku hormat. Ia persilahkan sahabat baru itu masuk ke ruangan kantor dimana ada banyak orang asyik
berkerumun main dadu dengan berisik, ada yang tertawa, ada yang menarik napas, ada juga yang mengutuk seorang diri.
Tubuhnya Siau Hoo tidak terlalu kate tetapi dipadu
dengan kebanyakan orang di situ, ia tetap ada paling kecil, tetapi ia beraksi seperti biasa, ia lempar pauwhok ke atas pembaringan, terus ia melihat kelilingan.
Orang sedang asyik adu peruntungan, datangnya empat
orang ini tidak ada yang perhatikan kecuali seorang berusia empat puluh tahun kurang lebih, yang pakai baju hijau, yang hampiri Cek Eng bersama untuk diajak bicara, hanya apa yang mereka bicarakan, Siau Hoo tidak mengerti.
Kemudian barulah Cek Eng perkenalkan orang itu kepada
Siau Hoo, hingga Siau Hoo ketahui orang itu ada piauwsu nama Bie Cu Liang. Maka terhadap orang itu Siau Hoo
membalas hormat dan bicara sambil bersenyum, lagaknya
mirip dengan orang dewasa saja.
Bie Cu Liong heran, ia awasi bocah itu, kemudian ia
seret Cek Eng ke pinggiran, untuk diajak bicara bisik-bisik, hingga Siauw Hoo mengawasi mereka itu.
Pasti orang she Bie itu tak pandang aku." Ia menduga-
duga. "Di depan mereka aku mesti hunjukkan sedikit
kepandaianku. Aku percaya mereka semua tidak seberapa
kepandaiannya, cukup aku jalankan beberapa jurus dan
pengajarannya Ie-thio Cie Hian."
Yo Sian Tay isikan satu cangkir teh dan Ia suguhkan itu pada Siau Hoo.
"Lauwtee, minum dahulu!" katanya sambil tertawa.
"Ciauw Ciangkui sedang pulang, barangkali dia tidak akan datang pula, kecuali besok pagi. Beristirahatlah disini, kita semua bukannya orang luar. Atau kalau iseng kau boleh
turut adu peruntungan, bila kau menang, besok aku minta kau jamu kami!"
Siau Hoo tertawa, tetapi didalam hati, ia kata: "Aku
telah sampai di Long-tiong ini, aku mesti angkat nama, jikalau tidak, umpama kata aku berhasil menemui Long
Tiong Hiap dan tidak minta Ia terima aku jadi muridnya, belum tentu ia sudi terima aku ..."
Karena ini, kemudian Ia berbangkit akan hampiri orang
yang sedang main dadu. Dadunya ada tiga biji, dan di
tengah-tengah ada sebuah mangkuk besar warna hijau.
Bandarnya ada seorang berbaju biru dan berkumis hitam, di depannya ada tumpukan uang di hadapan bandar ada
uangnya mereka yang memasang.
Sekian lama Siau Hao menonton, lihat orang-orang yang
menang dan kalah, semua uang ada tangchie dan perak
hancur, tidak ada yang gunai perak potongan. Ia jadi
tertarik, ia hampiri bungkusannya akan keluarkan uang
kira-kira sepuluh tail. Uang ini ia gabruki di atas meja.
"Aku turut!" katanya.
Semua orang jadi heran dan mengawasi.
"Bagus! Ini barulah main!" kata bandar, yang tidak
perdulikan siapa yang main, ia hanya lihat uang. Ia-pun
angkat dadunya, ia angat tangannya tinggi-tinggi, lantas ia lempar dadunya, hingga biji-biji dadu bergerak terputar-putar. Lalu Siau Hoo memasangnya, apa mau ia kalah,
sepuluh tail itu ludes.
"Mari satu kali lagi!" katanya, yang lempar sisa uangnya, kira-kira empat-puluh tail.
Semua orang menjadi heran, tetapi bandar, yang
dipanggil Tan Cit-ya, jadi semakin gembira. Tapi
kesudahannya, setelah mereka adu peruntungan terus,
ternyata Siau Hoo yang menang, bandar terlentang.
"Besok kita nanti main pula!" kata bandar, yang tanya
namanya Siau Hoo.
Siau Hoo sedang hitung uang, ia tidak menjawab, maka
Cek Eng, yang turut menyaksikan permainan dadu itu
wakilkan ia akan beri keterangan. Mendengar ini, semua orang jadi heran, hingga kembali mereka awasi bocah itu.
Siau Hoo masih kacung tetapi Ia beroman cakap dan
gagah, dandanannya sempurna, ini membangkitkan orang
punya penghargaan atas dirinya, apa pula ia katanya datang ke Long-tiong untuk menemui Long tiong-hiap Cie Kie.
Dengan segera tidak ada orang yang berani memandang
rendah padanya. ketika uangnya dihitung, ternyata Siau Hoo menang tiga ratu enam puluh tail perak, hingga iapun jadi girang sekali, karena sekarang ia mempunyai harta kira-kira empat ratus tail. Semua uang gin-pio ia simpan di sakunya, dan uang perak ia hendak bungkus, tapi justru itu seorang bermuka kuning, yang tubuhnya jangkung, sudah
angkat dan lemparkan bungkusannya yang diletakan di atas pembaringan sambl mengomel juga: "Siapa punya
bungkusan rombeng ini sembarang ditaruh di atas
pembaringanku?"
Menampak demikian, Siau Hoo jadi gusar.
"Itulah bungkusanku," katanya dengan mata melotot.
"Kenapa kau lemparkan bungkusan itu. Hayo angkat!"
Orang muka kuning itu meagawasi dengan tajam,
tangannya di kepal-kepal.
"Angkat" Kau makhluk apa" Kau datang kemari untuk
berpura-pura jadi tuan uang, jadi hoohan palsu! Hm! Kau adalah bangsa campuran cilik dari si kelinci besar!"
Siau Hoo gusar bukan main, ia lempar uangnya ke atas
meja, dengan mengepal tangan ia maju menghampiri.
"Kau caci siapa?" Ia tanya, kepalannya segera
menyambar. Orang semua kaget dan mundur, tidak ada yang maju
untuk memisahkan.
Orang muka kuning itu sudah siap, ia menangkis dengan
tanan kiri, tangan kanannya dipakai membalas menyerang.
Siau Hoo berlaku sangat sebat, dengan tangan kirinya ia tangkis tangan kanan musuh, tangan kanannya sudah
ditarik pulang buat dipakai menyerang pula pada muka
musuh, hingga si muka kuning itu jadi kaget dan kesakitan.
"Kurang ajar, kau berani serang aku, anak campuran!" ia mendamprat. Ia maju menerjang.
Siau Hoo berkelit kesamping, dari sini sebelah kakinya mendupak orang punya kempolan kiri, lalu tangannya
bantu menonjok pada lengan kiri musuh, kemudian, selagi tubuhnya orang itu miring, ia dupak pula tunggirnya hingga satu kali ini lawan itu rubuh tengkurap sambil perdengarkan jeritan, "Aduh!" Tapi dia masih tidak mau menyerah. Ia segera merayap bangun untuk lompat menyambar golok di
tembok sebelah Timur.
Melihat demikian, Siau Hoo loncat kepada bungkusannya, akan keluarkan goloknya sendiri, maka
dilain saat keduanya sudah lantas bertempur. Si muka
kuning lompat maju terlebih dahulu sambil membabat, dan Siau Hoo menangkisnya.
Melihat bacokannya ditangkis, si Muka kuning tarik
pulang goloknya, justeru itu si bocah desak ia, hingga mau atau tidak Ia mesti mundur. Selagi ia mudur, seorang yang berada didekatnya, terus tarik Ia hingga Ia terpental ke samping. Orang ini goyang-goyang tangannya kepada Siau Hoo, dan sembari tertawa Ia kata, "Sudah, jangan berkelahi lebih jauh! Aku telah lihat, ilmu golokmu ada ilmu golok Kun Lun Pay!"
Siau Hoo pandang orang itu, tubuh siapa gemuk dan
mukanya hitam, kumisnya tebal, sedang pakaiannya ada
mewah. Karena datangnya orang itu, semua orang lantas
mundur, sedang Yo Sian Tay dan Bie Cu Liang terus ajak si muka kuning pergi kelain kamar dimana dia itu dibujuki.
Tapi Cek Eng terus maju, akan perkenalkan si muka hitam ini pada Siau Hoo.
"Ini dia ciangkui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun."
katanya. "Dengan memandang ciangkui kita ini, aku harap kau tak bergusar lebih jauh, lauwtee."
Siau Hoo lepaskan goloknya, ia memberi hormat pada
ciangkui atau kuasa piauwtiam itu.
"Aku telah dengar lama nama kau yang kesohor!"
katanya. Sikapnya Ciauw Tek Cun ada manis budi, ia-pun
mendekati. "Orang begini kecil tetapi bugeenya sudah liehay, benar-benar aku belum pernah lihat!" berkata Ia. "Lauwtee,
apakah bugeemu ini kau dapatkan dari Pauw Kun Lun dari Tin-pa?"
"Pauw Cin Hui ada musuhku, cara bagaimana aku sudi
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belajar silat padanya?" Siau Hoo baliki. "Bugeeku ini aku pelajarkan sendiri, dari cuma aku punya ie-thio Ma Cie Hian yang suka kadang-kadang berikan mengunjukan .."
Ciauw Tek Cun manggut-manggut.
"Tidak heran!" katanya. "Aku memang dengar, diantara
murid-muridnya Pauw Kun Lun kecuali persaudaraan
Liong dan Kee Cie Beng, pun ada Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan Ma Cie Hian serta lainnya lagi yang liehay,
Lauwtee, sekali-pun kau bukan muridnya Pauw Kun Lun
tetapi terhitung kaum Kun Lun Pay .."
"Tidak, tidak!" Siau Hoo memotong dengan geleng-
gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak sudi mendapat
pengaruh dari Kun Lun Pay! Didalam kalangan Kun Lun
Pay itu, kecuali Ma Cie Hian dan Lou Cie Tiong, semua
mereka ada musuh-musuhku."
Selagi begitu Tan Cit-ya, yang belum pergi hampiri
Ciauw Tek Cun. "Saudara ini telah menang banyak sekali," katanya.
"Aku telah bawa empat ratus tail tapi semuanya telah
dimenangkan olehnya!"
Ciauw Tek Cun tertawa.
"Kau memang harus kalah!" katanya. "Kemarin baru
kau menang beberapa puluh tail, kau sudah angkat kaki!"
Meski begitu, tuan rumah ini perkenalkan Siau Hoo pada Tan Cit-ya ini, yang Tan Bun Hu, kuasa dari perusahaan
bank Lie Thong Tiang Chong, sedang yang lainnya ada
orang dagang setempat dan orang-orangnya atau piauwsu
dari piauwtiam.
Sampai disitu, banyak orang yang telah bubaran, tapi
Ciauw Tek Cun tahan Tan Bu Hu untuk diajak bersantap.
"Orang yang tadi bentrok dengan kau, lauwtee, adalah
keponakanku nama Ciauw Eng." kemudian Ciauw Tek
Cun terangkan pada tetamu ciliknya itu. "Dia-pun jadi
piauwsu disini. Kita ada jadi piauwsu disini. Kita ada kenalan-kenalan baru tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat lama. Lauwtee, mari kita bersantap, aku-pun minta Tan Cit-ya menemani kita. Aku pikir untuk ajak Ciauw Eng berjamu bersama, aku nanti minta dia haturkan maaf
padamu agar selanjutnya urusan telah selesai dan beres!"
Menampak sikap yang ramah-tamah itu, Siau Hoo lalu
manggut-manggut.
"Undanglah
dia." Ia kata. "Tidak usah dia menghaturkan maaf. Anggap saja, tanpa kebentrok kita tak akan kenal satu sama lain."
"Lauwtee, kau sungguh mulia!" Tek Cun memuji sambil
tertawa. Tek Cun lantas perintah orang panggil Ciauw Eng dan
suruh keponakan ini haturkan maaf kepada Siau Hoo, siapa secepatnya membalas hormat: "Sudah, sudah, tidak apa-apa!"
Tidak lama, barang hidangan sudah mulai disajikan,
lantas Ciauw Tek Cun minta Siau Hoo duduk dikursi
kepala, ia dan Tan Bun Hu mengapit dikiri kanan, lalu
duduk yang lain-lainnya: Cek Eng, Yo Sian Tay, Lu Hiong dan Ciauw Sin, juga dua piauwsu lain.
Siau Hoo bawa sikap toapan, ia tidak berlaku seejie, ia dahar dan minum dengan terbuka, sambil bercakapan
dengan pihak tuan rumah dan tetamunya. Orang semua
tahu dia hendak kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie akan
tetapi tidak ada yang tetahui, sebenarnya dia niat berguru pada cabang atas dari Long-tiong itu.
"Sayang, lauwtee datang tidak kebetulan." Ciauw Tek
Cun bilang. Baru selang sepuluh hari, Long Tiong Hiap
telah berangkat dari sini. Duduknya hal pasti lauwtee belum ketahui, itu adalah begini: Dalam bulan Cap-gwee, di jalan Kiam Bun San telah terjadi pertempuran. Dua saudara
Liong, Cie Teng dan Cie Khie, sudah lukai beberapa hohan sebawahan dari San-lauw-cie Mauw Ceng si Tikus Gunung, bukan begitu saja mereka-pun sesumbar, katanya mereka
tak lihat mata pada semua orang yang mengerti ilmu silat di seluruh propinsi Su-coan. Ketika omong besar itu sampai di kupingnya Long Tiong Hiap, dia ini jadi gusar, seorang diri dia susul persaudaraan Liong itu, dia cegat kereta piauwnya kedua saudara Liong, hingga ke dua pihak jadi bertempur.
Lauwtee tentu tahu baik kepandaian dari dua saudara
Liong itu diantara murid-muridnya Pauw Kun Lun mereka
yang paling liehay, dari itu, mereka tentu tidak mau kalah dan Long Tiong Hiap, akan tetapi sesudah adu kepandaian, baru mereka insyaf bahwa mereka masih kalah hingga
mereka mesti tinggalkan kuda mereka. Cie Kie tidak niat ganggu kereta-kereta piauw, ia-pun antap kedua saudara itu kabur dengan lari merayap di gunung. Diluar dugaan Cie Kie, sebelum ia pulang dua saudara Liong itu sudah satroni rumahnya. Cie Kie ada punya satu putra, karena adanya
anaknya itu, dua saudara itu tidak dapat wujudkan
pembalasannya, mereka cuma berhasil melukai dua-tiga
pegawai, lantas mereka kabur. Waktu Cie Kie pulang ia
diberitahukan tentang serbuan pengecut itu, atas mana ia jadi sangat gusar, maka segera ia menyusul. Cie Kie tak
dapat mengudaknya, ia pulang lagi untuk tinggalkan
pesanan, setelah itu ia berangkat pula. Sejak itu, Cie Kie belum pernah kembali. Kita semua duga Long Tiong Hiap
sudah pergi cari dua saudara Liong di Cie-yang, untuk
membuat perhitungan!"
Siau Hoo mendengarkan dengan perhatian sangat
tertarik. Ia-pun pikir, pantas dua saudara Liong begitu sibuk, sampai mereka pergi pada gurunya untuk
mengumpulkan bala bantuan. Ia hanya tidak tahu kedua
pihak itu sudah bertemu dan bertempur atau belum, dan
bagaimana kesudahannya. Ia menyesal yang ia tidak
mampu saksikan pertempuran itu. Ia cegluk beberapa
cawan. "Aku adalah seorang yang gemar bergaul." Ciauw Tek
Cun menambahkan kemudian, "oleh karena kegemaranku
ini aku jadi dapat nama kosong, karena dalam hal
kepandaian, tidak saja aku tidak nempil dengan Long Tiong Hiap, malah guru-guru silat atau hiapkek dan golongan
kedua atau ketiga saja di Sucoan ini, aku tidak sanggup lawan. Lauwtee, kau telah datang disini, kau tidak usah tunggui Cie Kie, dia beradat tinggi, dia tidak suka bergaul, lebih baik kau berdiam disini, nanti aku perkenalkan kau dengan beberapa sahabat, kemudian kau baiklah bantu
perusahaanku."
Siau Hoo berdiam, hatinya kata: "Ciauw Tek Cin tidak
ketahui kepandaianku, ia minta aku jadi piauwsu, dia tak ketahui bahwa aku sebenarnya dustai mereka. Kalau
dibanding dengan Long Tiong Hiap atau Pauw Kun Lun
sebangsanya, aku masih kalah jauh sekali. Aku-pun sudah punya banyak uang, mana aku kesudian hidup sebagai
piauwsu" Aku mesti belajar silat, sampai pandai betul!"
Karena ini, kemudian Ia geleng kepala.
"Ciauw Ciangkui, terima kasih untuk kebaikanmu." Ia
kata. "Aku telah datang kemari, kau tak pandang aku
sebagai bocah, budi kau ini tidak akan aku lupakan.
Sekarang aku berputusan akan berdiam satu bulan disini, umpama selama itu Long Tiong Hiap telah kembali, aku
nanti temui dia, kalau tidak, terpaksa aku mesti pergi kelain tempat. Sekarang ini usiaku baru belasan, walau-pun aku telah mengerti silat, aku masih belum puas. Aku mesti cari guru yang pandai untuk berlatih pula satu atau dua tahun, sehingga kepandaianku melebihi Pauw Kun Lun, itu waku
baru aku pulang untuk menuntut balas, sesudah membuat
pembalasan, aku akan merantau pula, akan bertemu dengan kau sekalian!"
Ciauw Tek Cin unjukkan jempolnya apabila ia dengar
perkataan itu. "Oh, lauwtee yang baik, kau sungguh satu enghiong cilik yang bersemangat besar sekali!" kata ia dengan kagum.
"Dalam hal menuntut balas, kau jangan kesusu. Dalam
kalangan Kang-ouw di propinsi Su-coan ini, tidak ada orang yang tidak benci Pauw Kun Lun, maka di belakang hari,
siapapun suka bantu kau. Bicara hal cari gnru, ijinkan aku omong terus terang, jangan kau gusar, meski-pun
kepandaianmu tinggi, dibanding dengan Long Tiong Hiap
kau masih kalah jauh maka umpama kau dapat
penghunjukannya, pasti kau akan peroleh kemajuan pesat.
Mengenai ini, ada dua hal yang kau perlu perhatikan. Long Tiong Hiap itu tidak saja dia tidak suka bersahabat,
muridnya tidak ada satupun. Aku kenal dia sudah dua-
puluh tahun, kita tinggal disatu tempat, tetapi setiap kali Ia lihat aku, cukup dengan dia angkat kedua tangannya, dan belum pernah sekali-pun kita duduk minum arak bersama-sama."
"Kedua, sekali-pun ilmunya ada liehay untuk propinsi
Su-coan ini, tetapi kalau dia diadu dengan Pauw Kun Lun, aku duga mereka berdua sama saja pandainya.
"Buat belajar silat terlebih jauh, pendapatku cuma Siok Tiong Liong yang cakap untuk jadi guru," kata Yo Sian
Tay. "Kalau kita dapat satu bagian saja dari sepuluh
kepandaiannya Siok Tiong Liong, kita sudah boleh
menjagoi, di kolong langit ini sukar ada tandingannya."
Mendengar itu, bukan main tertariknya Siau Hoo,
sampai ia berbangkit.
"Siok Tiong Liong itu orang macam apa?" tanya Ia
dengan cepat. "Sekarang ini dia tinggal dimana?"
"Ah, dia omong sembarangan saja!" kata Ciauw Tek
Cun sembari tertawa. Siok Tiong Liong itu ada tay-hiap dari Sucoan selama duapuluh tahun yang lalu, dia bukan saja liehay ilmu silatnya, dia-pun mengerti ilmu totok ?"
"Apakah itu ilmu totok?" Siau Hoo tanya dengan cepat.
"Aku sendiri belum pernah lihat itu." jawab Tek Cun
sambil geleng kepala. "Turut apa yang aku dengar, itu ada kepandaian rahasia dari Bu Tong Pay, dan orang yang
pandai ilmu itu di kolong langit ini sudah sangat jarang.
Kabarnya, kalau kita totok tubuh orang, orang bisa rubuh binasa seketika, atau orang akan jadi gagu. Jago tua Siok Tiong Liong itu dengan Liong Bun Hiap adalah dua jago
Selatan dan Utara dari jaman duapuluh tahun yang lampau, atau ringkasnya mereka dinamai Jie Liong, Dua Naga. Jago tua itu sudah lama umpatkan diri entah dimana, atau
mungkin dia sudah menutup mata, karena sehingga kini
tidak ada orang yang ketahui tentang dia."
Mendengar demikian, Siau Hoo jadi tercengang.
"Apa Liong Bun Hiap masih hidup." kemudian Ia tanya.
"Tentang dia, pada beberapa tahun yang lalu aku pernah dengar dari satu sahabatku dari Shoasay," sahut Ciauw Tek Cun. "Katanya Liong Bun-hiap Kie Kun Ie sudah
meninggal dunia begitu juga anaknya lelaki, hingga
sekarang tinggal janda dan cucunya yang keadaannya harus dikasihani ... Kepandaiannya Liong Bun Hiap ada dari
pihak Siau Lim Pay dan belakangan di Kanglam, ia-pun
peroleh ilmu yang disebut Bagian Dalam dan Bu Tong Pay, dari itu kepandaiannya tak ada terlebih rendah daripada Siok Tiong Long. Tidak demikian, cara bagaimana mereka bisa dinamakan Dua Naga?"
Hatinya Siau Hoo tertarik tetapi kesudahannya ia masgul bukan main, karena sudah terang jago-jago tua di Su-coan sudah habis, ketinggalan Long Tiong Hiap saja, tapi dia inipun melainkan berimbang dengan Pauw Kun Lun ... Ia
menjadi lesu, hingga ia tidak punya keinginan untuk minum lebih banyak.
Melihat orang nampaknya lelah, Ciauw Tek Cun lancas
tutup perjamuan, Tan Bun Hu pun pamitan, maka ia terus perintah atur pembaringan untuk tetamu ciliknya itu yang tidur bersama-sama Yo Sian Tay dalam kamar kuasa.
Besoknya pagi, Siau Hoo dapat pelayanan dari satu
bujang, yang sediakan air dan lain-lain, maka setelah cuci muka dan dandan, ia bisa terus pergi ke pekarangan di
mana ia lihat Ciauw Eng asyik berlatih bersama Lu Hiong dan tiga piauwu lainnya. Yo Sian Tay muncul belakangan, ia berdiri disampingnya bocah ini.
"Kepandaian mereka itu semua tidak berarti," kata
Toan-too si Golok Pendek sambil tertawa, "kalau toh
mereka bisa jadi piauwsu dan belum pernah gagal, itu
disebabkan pergaulan kami yang luas."
Siau Hoo tidak kata apa-apa, ia keluar dari piauwtiam.
Sian Tay terus ikuti bocah ini.
"Apa kau setuju kita pergi pesiar ke kota?" tanya dia.
"Baik." Siau Hoo manggut.
Mereka memasuki Tang-mui, pintu kota sebelah Timur
dengan berjalan kaki. Kota ada ramai, dari itu Siau Hoo sibuk memandang ke kiri dan kekanan. Sebaliknya Yo Sian Tay sibuk dengan konde licin atau muka kelimis!
"Apa kau akur kita pergi keluar Lam-mui?" tanya Sian
Tay ketika mereka sampai di Lam Toa-kay, jalan besar
Selatan. "Ada apa diluar kota?" Siatiw Hoo tanya.
"Luar kota Lam-mui ada terlebih ramai!" sahut Sian
Tay. "Disana ada pelabuhan besar, ada hotel, ada toko dan
" eh, Kang Hia-tee, apa kau jarang lihat nona nanis" Nah, disana ada!"
Yo Sian Tay lantas hunjukkan tingkahnya yang binal, ia tertawa-tawa.
"Apa yang dinamakan nona manis?" Siau Hoo tanya.
"Nona manis disini ada bunga raya." Sian Tay
terangkan. "Di tepi sungai ada tiga puluh lebih rumah
pelesiran, disetiap rumah itu ada lima atau enam nona
manis, yang cantik seperti lukisan gambar saja. Dahulu disini ada satu nona manis melebihi bidadari, dan disebut Tay Siang Go ... Jangan kau omong lagi pada lain orang perihal bidadari itu, karena dia adalah kepunyaannya
ciangkui kita. Dan aku kenal satu nona manis yang cukup elok, hanya diwaktu begini dia barangkali belum bangun dari tidurnya. Mari kita minum dahulu, sehabis dahar baru kita pergi pada si manis itu. Kalau orang lihat kau begini
muda, cakap dan perlente, dan uangmu yang banyak, oh
tentu bagaimana manisnya nanti dia layani kau!"
"Tapi main bunga raya bukannya hal yang bagus," pikir
Siau Hoo. "tidak apa, aku toh hanya lihat-lihat, hitunghitung cari pengalaman. Namanya masuk dalam kalangan
Kangouww tetapi rumah pelesiran aku belum pernah
datangi, apa orang tak akan tertawakan aku?"
Demikian mereka berjalan sambil mengobrol, sampai
mereka keluar dari Lam-mui, segera mereka tampak airnya sungai Kee Leng Kang, yang jauh lebih besar dari-pada Pa Sui dan Kie Kang, dimuka air ada banyak perahu serta
layarnya masing-masing, jumlahnya sukar dihitung.
Dipelabuhan ada sebuah rumah besar serta satu
jalanannya yang lebar, tidak panjang tetapi disitu ada banyak toko, hingga keramaiannya melebihi kota, padat
orang yang mundar-mandir.
"Benar Long-tiong ada satu kota besar!" kata Siau Hoo, yang jadi genbira sekali.
"Long tiong ada salah satu kota besar dari Sucoan
Utara," Sian Tay kata. "Ini-pun sebabnya kenapa aku
sampai disini dan lantas tak niat pergi ke mana-mana lagi!"
"Sudah berapa fama kau datang kemari?".. tanya Siau
Hoa. Sian Tay angkat tangan, ia menghitung-hitung.
"Aku datang ke Sucoan dalam umur lima-belas."
kemudian Ia jawab, "Di Hap-ciu aku belajar silat tiga
tahun, lantas aku datang ke Long-tiong ini masuk bekerja pada Hok Lip Piauw Tiam, sekarang aku berusia dua-puluh dua tahun, maka aku tinggal disini sudah tiga tahun."
"Jadinya kan bukan asal propinsi sini?" Siau Hoo tanya pula.
"Bukan, aku asal Hoolam." Sian Tay jawab. "Ayahku
sekarang masih tingat di Hoolam. Selama merantau, ayah telah dapat musuh, karena Ia kuatir orang nanti ganggu aku, maka ia kirirn aku ke Sucoan ini. aku diperintah ikuti dan belajar silat kepada Cu-un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit Mabuk. Kepandaiannya Han Keng tidak dapat
dicela akan tetapi Ia terlalu gemar minum arak, sehingga Ia tidak bisa mengajar dengan sungguh-sungguh, tiga tahun aku belajar, aku tidak peroleh kepandaian yang berarti, kalau sekarang aku bisa jadi piauwsu dan merantau, itu disebabkan aku dapat pengaruhnya nama dari guruku itu.
Sudah sekian lama aku merasa, hidup cara begini tidak ada artinya, aku sudah pikir untuk pulang ke Hoolam kepada ayahku, disana keadaan ada terlebih baik daripada disini, hanya sayang aku masih belum kumpul cukup uang untuk
biaya diperjalanan, karena buat pulang ke Hoolam aku
membutuhkan paling sedikit seratus tail lebih."
"Tentang biaya perjalanan ada perkara kecil." Siau Hoo bilang. "Kalau nanti kau niat pulang, kapan saja, boleh beri tahu padaku, aku nanti beri pinjam seratus tail. Kau boleh kembalikan uangku itu kelak bila kau udah beruntung."
Sian Tay mengucapkan terima kasih, Ia girang buat janji sahabatnya itu. Lantas ia pergi ke pelabuban, akan
memandang ke sungai dimana ia kenal banyak tukang
perahu, ia bicara dengan mereka, ia perkenalkan
sahabatnya ini, yang ia angkat karena Ia kata: "Ini tuan ada Sam tauw-hauw Kang Siau Hoo hoohan dari Han-tiong, ia
ada sahabat yang baru dari ciangkui kita."
Semua orang itu tidak berani pandang enteng pada bocah ini, tubuh siapa ada cukup tinggi dan besar, sedang
romannya ada cakap dan gagah, pun pakaiannya merah.
Siau Hoo berdiri sekian lama di tepi sungai itu, sampai ia merasakan sesuatu apa.
"Mari kita cari tempat minum arak," Ia kata pada
sahabatnya. "Mari," sahut Sian Tay, yang setujui itu. Lantas ia
mengajak ke Utara dimana, di tepi jalan sebelah Barat ada sebuah rumah makan, yang mereknya Siau Hoo tidak
kenal. Ketika itu rumah makan itu, yang besar belum banyak
tetamunya, karena belum tibanya perahu-perahu saudagar besar serta sekalian piauwsunya. Yang ada hanya beberapa orang. Sian Tay pilih meja dekat jendela, ia pesan arak serta beberapa rupa sayurnya, terus mereka mulai minum dan
dahar. Siau Hoo masih merasa tidak puas, ia memandang
keluar jendela, mengawasi sungai dan perahu-perahu
layarnya sekalian, araknya ia tenggak terlebih banyak pula.
Aku orang she Kang, maka sungai besar itu adalab aku!"
kata pemuda ini yang seperti melamun. Memang, she
"Kang" itu berarti, sungai".
Yo Sian Tay angkat cawannya dan tertawa.
"Sungai ini tidak terhitung besar, lauwtee belum pernah lihat Tiang Kang?"
Siau Hoo menggeleng kepala.
"Belum." Ia menyahut.
"Tiang Kang ada jauh terlebih besar." Sian Tay
terangkan. "Dipadu dengan sungai Kee Leng sang anak."
Siau Hoo tertawa, cuma sebentaran, segera ia ingat
ayahnya yang binasa secara hebat dan kecewa, dan ibunya yang mesti menikah pula, ia lantas jadi sedih sendirinya. Ia-
pun ingat saudaranya, yang mesti berdiam di rumah si
saudagar she Tang. Dan berduka, ia jadi mendongkol, ia malu. Tapi sebisa-bisa ia cegah melelehnya air matanya. Ia tenggak araknya, ia lantas nyanyi, nyanyikan sebuah lagu wayang di desanya, disambung dengan lagu pegunungan.
Sian Tay yang duduk hadapi bocah ini, bersenyum
sendirinya. "Ah!" berseru Siau Hoo seraya ia tepuk meja, ketika ia berhenti nyanyi dengan tiba-tiba, kemudian ia menghela napas panjang.
"Kenapa, lauwtee?" tanya Sian Tay sambil tertawa.
"Kau berduka?"
"Aku sebal!" Siau Hoo jawab.
"Jangan kau berduka atau masgul," Sian Tay menghibur,
,itulah percuma. Satu laki-laki mesti bisa legakan hati. Ada uang, pakailah itu, ada arak, minumlah itu. Urusan
bagaimana besar juga, kalau sudah tiba saatnya, baru kita hadapi! Kita orang-orang kang-ouw, tidak mempunyai
rumah tangga, tidak mempunyai usaha tetap, tetapi kita ada mempunyai bugee, ada tenaga di kedua belah tangan,
apakah yang kita harus jerihkan" Soal apakah yang kita tak sanggup membuat beres?" Kemudian ia tambahkan, "Hayo
minum, aku nanti antar kau ke sebuah tempat, disana kita boleh legakan hati kita .."
"Tempat apakah itu, saudara?"
"Tempat si manis seperti tadi aku katakan," Sian Tay
terangkan. "Disana ada si juwita, bila kau melihatnya, lenyap kedukaanmu itu!"
Sian Tay tertawa. Ia isikan kedua cawan. Siau Hoo
manggut. "Baiklah," katanya, yang pikirannya tetap pepat.
Lantas mereka minum dan dahar, sampai sayurnya
habis, hingga keduanya agak sinting. Siau Hoo bayar uang makan itu, lantas Sian Tay mengajak berlalu. Mereka ini ada seperti pasangan: Sian Tay baru berumur dua puluh
dua dan Siau Hoo belum cukup lima-belas. Mereka jalan
separuh limbung, sampai mereka memasuki sebuah gang
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil dimana ada satu papan merek di kepala gang.
"Lihat itu," kata Sian Tay seraya menun juk. "Bie-jin-
kang!" Siau Hoo angkat kepalanya, ia cuma kenali hurut yang di tengah. Ia tahu artinya. "Bie-jin-kang" atau Gang si Cantik manis, maka ia jadi berpikir : "Selainnya bugee, aku mesti belajar surat! Bagaimana kalau orang kirim surat padaku dan aku tidak mampu baca?"
Didalam gang itu, mereka lihat beberapa pintu yang
dipentang. Rumah-rumah disitu ada rumah-rumah yang
bertembok tanah liat dan berkamar bilik rumput. Sian Tay jalan di depan ia ajak Siau Hoo masuk ke sebuah rumah.
Sekali mereka bertindak masuk, seorang perempuan
menyambut sambil tertawa.
"Oh, Yo Jie-a!" demikian orang perempuan itu, "Kenapa
sudah lama kau tak pernah datang" ... "
Belum Sian Tay menyahut, atau dari kamar timur
muncul satu nyonya muda lantas menunjuk kepadanya,
separuh tertawa dan separuh gusar, katanya: "Ha! Aku kira kau telah mampus diluaran! ?"
Sian Tay jengah tetapi ia tertawa.
"Bagus benar kata-kata sialmu!" katanya.
Perempuan itu cepat cekal orang punya lengan.
"Mari masuk!" mengajak Ia. Tapi, ia tunjuk Siau Hoo:
"Siapa dia?"
Sian Tay kedipi perempuan itu.
"Inilah Kang Toaya," kata ia "Kang Toaya ada orang
kang-ouw kenamaan!"
Perempuan itu awasi bocah kita dan tertawa dengan
manis. "Oh, mataku lamur!" katanya. "Toaya maafkan aku!"
Siau Hoo lihat tidak ada yang bisa menggembirakan
hatinya, ia jadi masygul pula.
"Ini dia si manisnya?" pikir Ia. "Sedikitnya dia sudah berusia tigapuluh tahun."
Perempuan itu pakai baju sutera merah, yancie di
pipinya lebih merah daripada kempolannya kera, matanya sedikit juling, hidungnya rada mengok, dan bibirnya yang merah mirip bibirnya Tie Pat Kay!
Perempuan itu ulur tangannya buat tarik si bocah, tetapi Siau Hoo pelototkan mata.
Sian Tay segera dorong perempuan itu.
"Hia-tee, mari masuk!" katanya pada Siau Hoo.
Siau Hoo masuk, ia lihat ruangan ada bersih juga, meja dan kursi dicat merah, di atas meja ada pot bunga, ada kaca muka, sedang pembaringan memakai ampar indah,
bantalnya bersulam. Di tembok ada satu huruf "Hie",
pasangan, seperti kamar penganten saja.
"Kalau nanti aku nikah Ah Loan, tentulah begini
macamnya kamar itu ?" tiba-tiba Siau Hoo melamun.
Sian Tay dan perempuan itu masuk belakangan, rupanya
piauwsu itu sudah pesan apa-apa, mereka bersenda-gurau
berdua saja, perempuan itu tidak berani sentuh si bocah, hingga Siau Hoo mesti duduk sendirian saja, hal mana ia jadi tambah tidak bergembira.
"Tidak ada artinya disini, mari kita pulang!" akhirnya Ia kata.
"Kenapa kesusu, hia-tee?" kata Sian Tay, yang berat
untuk segera berpisah pula dari si manisnya itu ... "Apakah tidak baik kita bersantap malam disini?"
Tapi bocah itu berbangkit.
-ooo0dw0ooo- Jilid 06 "JIKALAU kau belum mau pulang, biarlah aku pulang
lebih dahulu," kata ia. Ia bertindak ke pintu, akan tolak itu.
Sian Tay menyusul.
"Hia-tee, jangan pergi dulu," katanya dengan pelahan.
Siau Hoo berhentikan tindakannya Sian Tay datang lebih dekat. "Aku tidak bawa uang sama sekali, tolong beri
pinjam aku beberapa tail," katanya dengan berbisik.
Dengan hati mendongkol Siau Hoo keluarkan selembar
gin-pio. yang dia tidak lihat lagi berapa jumlahnya, ia serahkan itu pada kawannya dengan ia terus putar pula
tubuhnya untuk jalan terus.
Perempuan itu, dengan manis, dibuat-buat, ucapkan
beberapa perkataan, maksudnya minta Si bocah balik, tapi Siau Hoo jalan terus, tindakannya dibuka lebar2, tidak heran kalau Ia telah lantas bersomplok kepada seorang, yang bertindak masuk dengan cepat seperti ia.
Orang itu menjadi gusar, dengan tidak kata apa-apa ia
angkat sebelah kakinya menendang pada perutnya Siau
Hoo. Siau Hoo tidak menyangka, ia-pun sedang mendongkol
dan agak sinting, dupakan itu yang keras, membuat ia kaget dan rubuh terduduk. Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga Ia segera lompat bangun dan maju menyerang.
"Jahanam! Kenapa kau tendang aku?" ia mendamprat.
Atas datangnya itu kepelan, orang itu berkelit.
"Eh, cucunya kura-kura cilik!" orang itu balas mencaci.
"Kau baru keluar dari perut ibumu, mengapa kau main
terjang orang?"
Kali ini orang itu menangkis dengan tangannya terus
ditekuk, lautas ia membetot. Sehingga penyerangnya
hampir jatuh nusruk, tetapi Siau Hoo dapat tahan
tubuhnya, ia bisa putar tubuhnya, untuk segera menyerang pula.
Orang itu menangkis pula, lagi2 ia hendak betot tangan lawannya, tetapi sekarang Siau Hoo bisa loloskan
lengannya, terus ia loncat kebelakangnya orang itu, justeru orang itu memutar tubuhnya, ia segera melompat, kakinya terangkat naik kepalannya menyambar. Maka tidak tempo
lagi mukanya orang itu kena dihajar.
Kepalannya si bocah ada kecil, akan tetapi tangannya
tidak boleh dipandang enteng, kepalan itu-pun keras, maka sekejap saja orang itu merasakan sangat sakit pada
hidungnya. Selagi orang pusing, Siau Hoo maju pula akan kirim
kepalan susulan, akan tetapi disaat penting itu. Sian Tay muncul, lantas Ia lompat akan mencegah.
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi, orang sendiri!" kata piauwsu ini.
"Orang sendiri?" Siau Hoo berseru. "Kenapa dia datang-
datang tendang aku?"
Dalam gusarnya, Siau Hoo menyerang pula.
Orang itu gunai ujung bajunya akan sekai darah dari
hidungnya yang bercucuran, kemudian dari pinggangnya ia cabut sebuah pisau belati, hingga pisau itu memperlihatkan cahaya berkeredepan
Siau Hoo lihat bahaya mengancam, sedang Ia ada
bertangan kosong, maka ia putar tubuhnya lari keluar, dari mana tapinya Ia balik badannya pula, ia menantang sambil tepuk-tepuk dada. "Kau tidak mampu gunai kepalanmu,
kau hendak gunai pisau! Hm, binatang, kau tunggu disini, aku nanti ambil senjataku, untuk kita bertempur pula,
sampai kau mampus atau aku hidup!"
Setelah itu, bocah ini lari akan keluar dari gang.
Orang itu, dengan pisaunya di tangan, balas mencaci, ia hendak mengejar, tapi Sian Tay pegangi ia akan cegah
padanya. Siau Hoo lari pulang, ke Hok Lip Piauw Tiam di Tong-
kwan, kota sebelah timur, ia terus masuk ke kamarnya akan ambil goloknya, dari situ ia lari ke istal akan ambil
kudanya, tanpa diselakan lagi, kemudian Ia tuntun keluar kudanya itu.
Ketika itu Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun muncul dari
ruanganTiniur, ia lihat roman luar biasa dari si bocah, ia segera lari menghampiri.
"Eh, hia-tee, kau hendak membuat apa?" tanya ia.
"Jangan perdulikan aku, ciangkui!" sahut Siau Hoo.
"Aku hendak pergi ke Bie-jie-kang akan lawan cucunya
seekor kura-kura!"
Ia loncat naik atas kudanya, yang ia segera larikan ke arah Barat.
Ciauw Tek Cun heran bukan main.
"Hia-tee!" ia berseru. "Kang Siau Hoo! Tahan dulu!
Coba tuturkan duduknya hal padaku!"
Siau Hoo tidak ambil pusing seruan itu, ia larikan terus kudanya menuju ketepi kali.
"Numpang! Numpang!" ia berseru berulang-ulang di
sepanjang jalan, agar ia tidak sampai terjang orang.
Orang ramai segera pada menyingkir, semua mengawasi
dengan keheranan.
Karena kudanya dikaburkan, cepat sekali Siau Hoo telah sampai di gang si cantik manis, ia masuk kedalam gang dan berhenti di depan rumah pelesiran tadi. Ia loncat turun dari kudanya, akan tambat binatang itu digelang pintu,
kemudian dengan golok terhunus, ia bertindak maju.
"Hei, cucu kura-kura!" Ia berseru dengan dampratannya.
"Hei, telur busuk, lekas keluar! Mari kita bertempur dulu sampai ada yang mati!"
Orang yang tadi berkelahi berada dikamar Utara, satu
nona manis sedang sekat hidungnya yang borboran darah, ia duduk dengan hati masih panas.
"Thia Toaya, jangan kau layani bocah itu." si nona
manis membujuki ... "Tidak ada harganya untuk tempur
dia! Dipadu dengan anakmu, anakmu masih terlebih tua ..."
Sementara itu Yo Sian Tay, yang lihat onar, sudah siang-siang menyingkirkan diri.
Orang she Thia itu dengar tantangannya Siau Hoo, ia
sambar pisaunya, selagi masih didalam kamar ia sudah
balas mendamprat, lantas Ia keluar. Ia lihat si kacung sedang pasang kuda-kuda, goloknya diangkat naik.
"Eb, binatang, mari sini!" Siau Hoo menantang begitu
lekas Ia lihat musuhnya. "Lebih baik kau tukar senjatamu, itu ada terlalu pendek!"
Bukan main mendongkolnya orang she Thia itu, hingga
mukanya jadi merah padam.
"Buat layani kau, bocah, apa aku mesti pakai senjata
tajam." ia menghina, dengan tertawa mengejek. Tiba-tiba ia lompat maju, tangannya diulur buat rampas goloknya Siau Hoo.
Tapi Siau Hoo sambut aksi itu dengan satu babatan,
hingga orang she Thia itu berkelit kesamping, tangan
kirinya dipakai mencekal lengan kiri si bocah, kemudian, berbareng kakinya maju merangsek, dengan pisau belatinya ia menikam di sebelah bawah ketiak. Cepat sekali Siau Hoo egos diri kekanan, tapi goloknya dipakai membacok.
Satu suara terdengar, orang she Thia itu lepaskan
cekalannya pada lengan kiri musuh, tubuhnya terjatuh,
duduk di tanah, darah mengalir dari tubuhnya, tetapi meskipun demikian, dengan satu gerakan ia berbangkit pula,
dengan pisau belatinya ia menikam, kelihatannya ia sangat beringas.
Siau Hoo mundur dua tindak, lagi2 goloknya dipakai
menabas kepala musuh.
Orang she Thia itu tidak punya senjata panjang, rupanya saking nekat, ia menimpuk dengan pisau belatinya itu, yang ia gunai sebagai piauw. Penyerangan itu tidak mengenal sasarannya, lewat dipundaknya si bocah, pisau itu nancap
di jendela, hinga si nona manis, yang kaget, sekali menjerit,
"Oh ibu!"
Setelah itu, Siau Hoo merengsek pula.
"Apakah kau benar-benar cari mampusmu?" ia menegur.
Karena ia sudah bertangan kosong, orang she Thia itu
coba mundur, tetapi lukanya dipaha kiri ada hebat, ia tak leluasa bergerak, ia segera rubuh pula, rubuh terduduk.
Dalam sengitnya Siau Hoo hendak menyerang pula,
akan membuat mati lawan itu, tapi disaat itu dua orang lari masuk sambil berteriak: "Jangan! Jangan! Sama-sama orang sendiri!"
Siau Hoo angkat kepalanya, ia kenali Ciauw Tek Cun
dan Cek Eng yang napasnya sengal2, romannya sangat
kuatir. "Apa orang sendiri?" berseru si bocah dengan sengit.
"Aku tidak kenal dia! Suruh dia menggelinding pergi, kalau nanti dia sudah sernbuh, biar dia cari aku. Aku nanti
tunggui padanya!"
Orang she Thia itu sudah terluka, ia tetap penasaran.
selagi Cek ing pimpin Ia hangun, dengan jumawa ia kata:
"Baik! Kau beri tahu she dan namamu. Dimana kau
tinggal" Lagi tiga hari kita nanti bertemu pula!"
"Aku Kang Siau Hoo!" jawab Siau Hoo sambil tepuk-
tepuk dada. "Aku datang ke Long-tiong untuk cari sahabat, aku tidak mempunyai tempat kediaman yang tentu, tetapi buat satu atau setengah tahun ini aku tidak akan pergi kemana-mana, kau cari saja aku di jalan besar dimana
setiap hari aku pesiar!"
"Baik!" si orang she Thia manggut. "Baik, sampai kita
bertempur pula!"
Tek Cun dan Cek Eng menjadi sibuk sekali, dengan
membujuki, yang belakangan kemudian bisa ajak orang she Thia itu kembali kekamarnya si nona manis, sedang yang satunya, separuh mendorong-dorong, telah bujuki Siau Hoo keluar.
"Binatang, kau boleh pikirkan daya-upaya. Kang Thayya
tidak takut padamu!" kata bocah itu dengan keras selagi ia bertindak keluar.
"Marilah!"
mengajak Ciauw Tek Cun sambil membanting2 kaki, bahna jengkelnya. Setelah bujuki Siau Hoo naik atas kudanya, ia-pun naik atas kudanya sendiri, kemudian dengan Ia jalan di sebelah belakang, mereka
keluar dari Gang Biejin itu, menuju ke Tongkwan.
"Lauw-tee, kita jangan kembali dahulu ke pauwtiam,"
kata Tek Cun sesampainya di Tong-kwan. "Mari kita pergi kerumah aku hendak bicara banyak kepadamu."
Siau Hoo manggut.
"Baik!" jawab Ia, yang lihat orang punya sikap sungguh-sungguh.
Ciauw Tek Cun girang, lantas Ia jalan di depan akan ajak kawan itu memasuki sebuah gang kecil, terus sampai di
depan satu rumah yang pintunya dicat hitam.
"Kita sudah sampai!" kata Tek Cun kemudian. "Inilah
rumahku." Pintu pekarangan dikunci tetapi Tek Cun ketok gelangan pintu itu.
Sebentar saja muncul satu pegawai yang membukakan
pintu. Ia berumur empat-puluh lebih, bajunya pendek, mirip dengan pegawai piauwtiam. Pada dia itu Tek Cun serahkan kudanya dan kudanya Siau Hoo juga berikut goloknya.
"Kau bawa ini kepiauwtiam." ia perintah.
Selagi pegawai itu bertindak, Tek Cun menghampiri
Pedang Ular Merah 7 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Panji Wulung 4