Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 4

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 4


padanya mengucapkan beberapa perkataan yang tidak
terdengar nyata, kemudian ia kembali pada Siau Hoo.
"Silahkan masuk!" "kata ia sambil tertawa. "Dirumahku
tidak ada orang."
Siau Hoo bertindak mengikuti.
Setelah keduanya masuk, Ciauw Tek Cun terus tutup
pintu, ia pimpin tetamunya ke ruangan tetamu dari mana kelihatan, rumah ada mempunyai tiga kamar, sedang
perabotan ada barang berat, ditembok tergantung beberapa buah golok dan pedang, sama sekali tidak ada pigura
lukisan gambar atau huriuf2. Buku-pun tidak kedapatan.
"Silakan duduk!" Tek Cun mempersihlahkan, selagi Ia
terus pergi kesekosol, akan beri dengar satu suara, setelah mana ia kembali.
"Dirumahku melainkan ada aku bersama ensomu." ia
beri tahu. "Ensomu itu baru pada tahun yang lalu aku
jemput dan rurnah pelesiran. Satu bujang perempuan layani kita masak nasi dan lakukan pekerjaan kasar. Yang lainnya adalah pegawal tadi, Lauw Lou, si Lou Tua, yang aku geser dari piauwtiam kemari."
Selagi tuan rumah itu berkata-kata, bujangnya muncul
dengan thee-koan teh dan cawannya.
"Biar, biar saja." ia mencegah Tek Cun selagi bujangnya hendak menuangi teh. "Kita tidak minum teh tetapi lekas sajikan arak yang panas dan beberapa telur ayam asin."
Bujang perernpuan itu menurut, ia mundurkan diri.
Setelah mereka berada berduaan pula, Tek Cun lantas
kasi lihat roman duka pada mukanya yang berkulit hitam itu.
"Saudara, kau sudah terbitkan onar," bekata ia.
"Onar apakah itu, toako?" Sauw Hoo memotong.
"Apakah karena tadi aku hajar orang itu" Siapakah dia"
Aku tidak takut!"
Tek Cun ulap-ulapkan tangannya.
"Bukan begitu, saudara." Ia kata. "Kau benar masih
muda sekali tetapi kau datang dari Siamsay selatan, dan itu, urusan di kalangan Kang ouw kau pasti ketahui baik. Orang she Thia yang kau hajar itu, selainnya jadi hamba negeri dia-pun ada satu orang buruk ?"
"Apakah pekerjaan orang itu?" Siau Hoo tanya dengan
sengit. "Dia ada pegawal dari kantor tiehu, tugasnya ada
mengeluarkan uang dan rangsun."
Tek Cun beri keteringan. ?"Dia hidup mewah, dia paling disayang oleh tiehu. Di distrik Long-tiong ini siapa juga ketahui Thia Pat-ya."
"Apakali dia pandai limu silat?" Siau Hoo tanya.
"Bagaimana tidak?" baliki Tek Cun. "Dia ada muriduya
Hon kun Lie Lian seng dan Pa-ciu, dikalangan kang-ouw
banyak sekali sahabat dan kenalannya. Coba kau dengar2
keterangan sendiri, asal orang kenal Thia Put-ya, tidak ada satu yang tidak ketahui, Thia Patya ada bun bu coan cay lengkap dan sempurna ilmu surat dan ilmu silatnya!?"
"Hm!" Siau Hoo perdengarkan terztawa dinin. "Siapa
perdulikan dia bun bu coan cay atau tidak. Dalam halnya ilmu surat aku tidak sanggup lawan dia, letapi dalam hal
ilmu silat, aku hendak coba-coba! Tunggu sampai nanti dia sudah sembuh lukanya, jikalau dia tidak cari aku, aku yang nanti cari padanya!"
"Jangan begitu, saudaraku." Tek Cun mencegah pula
dengan menggoyang2kan tangan. "Lebih baik kita minum!"
Bujang perempuan tadi sudah kembali dengan arak dan
dua piring sayur, yang Ia sajikan datas meja, dan Tek Cun sudah lantas isikan cangkir arak.
"Minum dahulu, saudara!" ia mengundang.
Siau Hoo tenggak arak itu, kemudian ia tuang pula
secangkir. "Sungguh saudara kuat minum!" Tek Cun memuji.
"Saudara, kita seperti sahabat-sahabat kekal saja, aku bicara secara jujur, harap kau tidak buat kecil hati. Bicara hal ilmu silat, hal nyali, orang semuda kau jarang ada tandingannya, hanya tentang pengalaman, pemandangan, kau masih
kurang. Tentu saja ini disebahkan kau nasih terlalu muda.
Umpama Thia Pat tadi, sunguh dia tidak boleh dibuat
permainan. Setiap hari dia pelesiran di Gang Bie-jin, tetapi dia tidak ngodol saku. Di Long-tiong ini, tidak ada seorang yang tidak jerih padanya! Tadi saudara lukakan dia, pasti sekali dia tak akan merasa puas, maka entah kapan, mesti dia akan keluarkan kepandaiannya untuk gusur kau ke
kantor negara ... Kalau sampai terjadi demikian, saudara, tak dapat tidak, kau bakal nampak kerugian!"
Mendengar ini, hatinya Siau Hoo ciut juga. Ia ingat, di Soan-han ia pernah icipi rangketan. Ia mengerti, dikantor polisi orang tidak mengenal cenglie, prikeadilan. Maka itu, ia cekali cawannya dengan separoh bengong.
"Pikir, saudara, bagaimana kita bisa lawan dia itu?" Tek Cun tambahkan. "Dia ada satu telur busuk, dia tak dapat
disamakan dengan kita orang-orang Kang-ouw, bangsa
enghiong, buat kita, keras lawan keras, kepalan lawan
kepalan, golok menghadapi golok, semua tidak ada
artinya!" Sekonyong-konyong Siau Hoo lempar cawan ke atas
meja. "Aku hendak pergi sekarang!" katanya.
"Pergi-pun tidak ada gunanya!" Tek Cun kata pula.
"Kalau kau pergi, kau mesti pergi dari Sucoan Utara ini!
Dia ada mempunyai bukan sedikit sahahat diluaran,
kupingnya cepat mendapat kabar, dimana-pun kau sampai, orang bisa ganggu padamu. Lagi pula tadi kau berkelahi di Gang Bie-jin. Kabar2 dari rumah pelesiran tersiarnya paling cepat, tak usah sampai dua hari. dihulu dan hilir orang akan ketahui hal perkelahian itu, maka umpama kata orang
bukan bilang kau berangkat hanya kau buron, aku sendiri bakal turut dapat muka kurang terang!"
"Kalau sampai terjadi demikian, toako tak usah campur
tahu!" Siau Huo bilang dengan sengit. "Aku nanti tunggu dia, tak usah sampai orang polisi datang cari aku, aku nanti adu jiwa kepadanya."
"Tidak setimpal untuk kau adu jiwa dengan makhluk
busuk itu!" kata Ciauw Tek Cun sambil geleng-geleng
kepala. "Aku ada punya satu daya. Sekarang kau tinggallah dahulu disini, jangau kau keluar" jangan juga pergi
kepiauwtiam. Disini aku berikan satu kamar untuk kau
sendiri. Sesudah merantau banyak tahun aku bisa juga
mengumpul sejumlah uang, sedang anggota keluargaku
tidak banyak. Kau lihat seridiri, aku juga ada mempunyai perusahaan yang aku mesti urus setiap hari, aku ada punya sahabat-sahabat yang aku mesti layani, hingga karenanya, aku tak sempat urus rumah tangga. Kebetulan sekali,
selama beberapa hari ini, setiap malam disini didatangi pencuri, benar aku tidak kehilangan barang tetapi ensomu ada takut bukan main. Aku berniat cari tahu sahabat untuk minta pertolongannya, tetapi itu ada tidak leluasa, dan itu, justeru kau berada disini, aku hendak minta kau saja yang bantu aku. Kau tinggal disini, saudara, disatu pihak kau boleh sekalian menyingkir dari Thia Pat, kedua kau jadi tolong lihat-lihat rumahku ini.
Siau Hoo tidak puas akan dengar ucapan itu, sekali-pun orang telah bicara secara terus terang.
"Jadinya kau bersahabat kepadaku karena kau ada
mempunyai maksud ini"," pikir ia.
Tek Cun sendiri sudah isikan pula kedua cawan.
"Besok atau lusa, aku nanti cari Thia Pat," kata pula
sahabat ini, setelah Ia menyuguhkan, "bukan maksudku
akan mohon maaf tetapi aku hendak jelaskan padanya
tentang siapa adanya kau. Aku percaya asal Thia Pat
ketahui asal usulmu, ia tentu,suka bersahabat denganmu, kemudian, sesudah dia sembuh, aku hendak adakan satu
perjamuan untuk pertemukan kau berdua, untuk habiskan
perselisihan ini. Setelah itu, terserah padamu, kau sudi bersahabat terus dengan dia atau tidak. Kau toh datang kemari untuk cari Long Tiong Hiap dan sebelum bertemu
kepada jago itu, kau tidak niat segera berlalu dari sini"
Saudara disini, kau ada merdeka, asalkan kau tidak
kebentrok kepada orang lain lagi! Pikirlah saudara, kata-kataku ini benar atau tidak?"
Siau Hoo hirup araknya, ia manggut-manggut.
"Baik, aku turut kata-katamu," katanya. "Tapi aku akan berdiam untuk empat atau lima hari! Selanjutnya, apabila setiap hari kau cegah aku keluar, aku tak akan tahan ?"
"Tak usah sampai empat atau lima hari, saudaraku!" Cek Cun kata dengan cepat. "Sebentar aku nanti pergi pada
Thia Pat, aku percaya besok atau lusa, kau akan sudah jadi akur satu pada lain."
"Baik, kau boleh atur itu." Siau Hoo manggut pula.
"Mari kita minum!"
Ciauw Tek Cun layani sahabatnya minum pula, malah ia
bicara banyak tentang pengalamannya dikalangan kang-
ouw, ia tuturkan beberapa hal yang ia anggap ada menarik hati. Kemudian pembicaraan beralih kepada Long-tionghiap Cie Kie.
Siau Hoo dapat kenyataan Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun
ada hargai dan kagumi Cie Kie, bahwa sahabat ini aku tak dapat tandingi Long Tiong Hiap, hanya sikap dan tabiatnya Long Tiong Hiap dia itu tidak setuju sekali. Diantara kedua orang itu, tidak saja tidak ada persahabatan atau pergaulan, malah rupanya ada terdapat perbedaan paham jauh.
Ciauw Tek Cun itu tidak kuat minum, benar ia teaggak
susu macan sambil bicara dengan asyik, akan tetapi pelahan dengan pelahan mukanya yang hitam mulai bersemu
merah, hingga tampangnya menjadi mirip dengan satu bola merah darah "
Siauw Hoo sudah minum arak bersama Yo Sian Tay,
sampai habis bertempur, pengaruh air kata-kata belum
lenyap pula dari kepalanya, sekarang Ia minum pula
dengan leluasa, segera ia merasakan kepalanya sedikit
pusing. Maka itu, ketika si bujang tua menyuguhkau nasi dan sayurnya bersama Tek Cun ia tidak dahar banyak.
Segera juga Ciauw Tek Cun berbangkit.
"Lauw-tee, kau sudah dahar cukup atau belum?" tanya
dia. "Mari kita masuk kedalam untuk ketemui ensomu!" Ia
usap-usap kumisnya, ia pelendungkan perutnya yang besar, terus ia tertawa. "Sesudah bertemu, kau akan lihat, ensomu itu sungguh sangat cantik. Selama masih berdiam di rumah pelesiran, dia dapatkan julukan Say Siang Go si Bidadari.
Bukan sedikit orang yang telah bersaing dengan aku, akan tetapi akhirnya dia terjatuh kedalam tanganku! Tentu saja,"
ia tambakan, "untuk itu aku telah keluarkan banyak uang, hingga kalau uang itu hendak dipakai untuk pernikahan
yang biasa, bisa jadi cukup dipakai untuk menikah sepuluh isteri. Ha-ha-ha!"
Siau Hoa melainkan bersenyum.
Keduanya dengan tubuh agak limbung, lantas bertindak
kedalam. Di sebelah Barat ada kamar dapur, dari mana
kelihatan asap mengepul. Tek Cun menuju kekamar Utara, ia tarik tangan sahabatnya untuk diajak kearah kamar itu.
Dengan matanya yang kesap-kesip karena sintingnya,
Siau Hoo lihat sebuah kamar yang diperlengkapi indah,
mirip dengan sebuah kamar dirumah hina, kelambu dan
kain jendela ada berwarna hijau dan merah, muilie atau kain alingan pintu-pun merah.
"Eh, isteriku, mari keluar, ketemui aku punya lauwtee!"
Tek Cun segera berkata.
Satu suara merdu terdengar, muilie lantas tersingkap,
lalu muncul seorang perernpuan muda yang cantik,
umurnya kurang lebih dua puluh tahun, bajunya merah,
celananya hijau, semua ujung pakaiannya dipakaikan gigi balang sutera. Ia memakai pupur dan yancie pada
mukanya, rambutnya hitam mengkilap. Pada kedua
kupingnya ada bergelantungan masing2 sebuah anting2
emas, hingga melihat itu, matanya Siau Hoo berkunang2.
Dibawah pengaruh arak, Tek Cun tidak seperti
sewajarnya, sedang dari mulutnya tersiar bau arak.
"Mari ketemui aku punya saudara muda. Kang Siau
Hoo!" katanya pada Say Siang Go, si iseri. "Saudaraku ini baru datang dari Siamsay Selatan, aku telah minta dia
tinggal dirumah kita ini, maka kalau nanti penjahat ketahui perihal adanya dia, penjahat itu pasti tak akan berani datang menyatroni! Jangan kau anggap saudaraku ini masih terlalu muda, bugeenya sebaliknya ada melebihi kita semua!"
Say Siang Go bersenyum.
"Bagus, itulah bagus!" ia berseru. Tapi segera Ia
perlihatkan roman berkuatir. "Toakomu suka berdiam di
piauwtiam, hingga kalau malam aku mesti tidur bersama
bujang tua, karena sejak bulan yang baru lewat, asal mulai jam tiga, di atas genteng suka terdengar suara apa2.
Mulanya aku tidak pikirkan ini, aku menyangka pada
kucing, karena barang toh tidak ada yang hilang, aku diam saja. Akan tetapi pada suatu malam, ketika toakomu
pulang, kebetulan ia dapat lihat ada orang lagi tetapi cepat sekali orang itu menyingkir pergi ?"
Siau Hoo heran dengar keterangan itu.
"Ada penjahat tetapi dia tidak curi barang untuk apa dia mendekam di atas genteng?" pikirrya.
Ciauw Tek Cun gusar sekali apabila dia dengar isterinya itu sampai mukanya menjadi merah padam, kumisnya
sepert pada bangun berdiri.
"Penjahat itu berani datang kemari, terang dia tidak
pandang padaku!" katanya dengan sangat sengit. "Perkara ini aku mesti simpan rahasia, karena kalau sampai orang luar mendapat tahu, itu ada merugikan untuk Piauwtiamku
..." Mukanya Say Siang Go bersemu merah.
"Bukankah kau ada satu piauwsu yang lindungi
barangnya lain orang?" katanya. "Kenapa justeru barang sendiri kau tidak bisa lindungi keselamatannya?"
Tek Cun tidak jawab isterinya, ia hanya tepuk
pundaknya Siau Hoo.
"I.auw-tee, kau bantulah aku," ia minta. "Tinggalah
disini sedikitnya untuk beberapa hari ?"
"Baiklah," sahut Siau Hoo sambil manggut. "Aku
percaya tidak akan ada penjahat yang berani datang kemari.
Coba kau carikan aku sepotong senjata."
"Aku nanti sediakan itu," kata Tek Cun. "Malam ini
tidak ada pekerjaan di kantor, aku boleh temani kau minum arak. Marilah!"
Tek Cun ajak pula sahabat itu keluar akan pergi kekamar Timur dimana Siau Hoo lihat sudah ada pauwhoknya
berikut goloknya. Ia merasakan kepalanya berat sekali, begitu lihat pembaringan, terus ia jatuhkan diri.
"Baik, kauwtee, kau boleh tidur dahulu," Tek Cun
bilang. "Sebentar malam semangatmu tentu akan kembali."
Lantas majikan ini suruh bujangnya selimuti Siau Hoo,
kemudian Ia undurkan diri, ia pergi kekamarnya sendiri untuk tidur tengahari.
Siau Hoo tidur dengan nyenyak, ketika kemudian Ia
sadar, ia dapatkan sang waktu sudah bukan siang lagi, sisa sinar matahari disudut jendela tinggal sedikit sekali.
Sekarang telah lenyap pengaruhnya arak tetapi ia masih ingat yang apa tadi telah terjadi.
"Entah berapa besar pengaruhnya Thia Pat?" pikirnya.
"Kalau benar dia seret aku kemuka pengadilan, itulah cade!
Mereka bangsa pengawal negeri suka tolong satu pada lain,
apabila disini orang ketahui perbuatanku di Soan-han,
inilah hebat. Laginya Tek Cun bukan sahabat benar, dia baiki aku karena Ia hendak minta aku tolong jagai
rumahnya ini. Tapi-pun benar, disini aku
mesti pertunjukkan kepandaianku, supaya orang Long-tiong bisa saksikan dan ketahui ?"
Di waktu bersantap sore Tek Cun kembali dari piauw-
tiam, ia terus kawani tetamunya ini bersantap.
"Kabarnya Long Tiong Hiap akan segera pulang!" kata
pengurus piauwtiam ini. "Kalau dia sudah pulang, aku
nanti ajak kau pergi temui padanya. Tadi pagi lukanya Thia Pat-ya bukannya enteng ia telah digotong pulang ke
rumahnya. Tadi-pun dari kantor tiehu ada datang dua
orang polisi, kepiauwtiam, mereka tanyakan halmu dan
alamatmu, agaknya mereka hendak cari dan tawan kau,
tapi aku segera cegah mereka aku katakan bahwa kita ke bentrok diantara orang sendiri, bahwa kalau nanti Thia Patya sudah sembuh, aku hendak bereskan perselisihan ini.
Aku juga berikan mereka masing2 lima chie, barulah
mereka berlalu. Aku percaya buat selama ini, perkara itu tidak akan berekor buruk. Kita mesti bersiap sedia kalau2
Thia Pat-ya ambil tindakan ..."
"Kecuali dia tidak pakai pengaruh pembesar negeri,
lainnya tindakan apa juga aku tidak jeri!" Siau Hoo bilang, ia tersenyum tawar.
Tek Cun manggut-manggut.
"Mari minum, lauwtee!" ia angkat cawannya.
"Aku tidak mau minum lagi, malam ini aku mesti
menjaga!" Tek Cun tertawa,
"Dengan adanya kau disini, lauwtee, hatiku lega," kata ia, "aku jadi bisa bekerja dengan tenteram di kantorku.
Piauwtiamku ada besar, mestinya siang dan malam, aku
berdiam disana."
Tek Cun tertawa pula, ia keringi cawannya, lantas Ia
berbangkit. "Aku pergi, Iauwtee," katanya.
Siau Hoo antap orang pergi, iapun antap bujang
benahkan piring mangkok.
Sang gelap gulita datang dengan cepat, sekarang Siau
Hoo jadi bersemangat. Ia rapikan pakaiannya, ia
kencangkan ikat pinggangnya, setelah gulung tangan baju dan hunus goloknya, ia bertindak keluar.
Malam itu bintang ada banyak, rembulan bercahaya
lemah. Disemua tiga kamar sinar api masih belum padam.
Siau Hoo pergi ke pekarangan, dalam kegembiraannya,
ia berlatih dengan goloknya, akan mainkan ilmu Kun-luntoo.
"Kalau penjabat datang, aku mesti bacok dia sedikitnya beberapa kali," katanya dalam hatinya. Ia pergi ke depan kamar Utara, disitu ia enjot tubuhnya akan loncat ke atas genteng, apa mau loncatannya tak sampai, ia jatuh pula.
Sehingga menerbitkan suara berisik, ia sendiri merasai sakit, ia hanya goloknya tidak sampai terlepas.
"Ayo! Siapa?" demikian suara kaget dari seorang
perempuan, dari dalam kamar.
"Aku enso, jangan takut "," Siau Hoo menjawab
dengan terpaksa. Sendirinya Ia merasa malu, ini ada bukti yang kepandaiannya tak berarti, hingga ia-pun merasa,
jangan2 ia tak akan dapat bekuk penjahat. Tapi ia
penasaran. Maka setelah merayap bangun, ia menghampiri payon, dengan pegang itu dan ayun tubuh, ia paksa naik. Ia tidak perdulikan kalau karena itu, ia terbitkan suara.
Sesampainya diatas, ia kena injak genteng sumpai pecah dan pecahannya meluruk jatuh.
"Ayo!" demikian jeritan pula dari orang perempuan
didalam. Siau Hoo uring-uringan, ia duduk diatas genteng.
"Biar aku tunggu disini! Aku mau lihat, si bangsat datang atau tidak!" kata ia dengan mendongkol.
Bocah ini nonkrong terus diatas genteng, terus sampai
terang tanah hingga ia pernah ngelenggut ingin tidur. Sang penjahat tidak datang sama sekali. Ia mendelu tetapi
hatinya lega juga. Ia loncat turun, terus masuk kekamarnya untuk tidur. Dan ia tidur sampai waktunya bersantap
tengah hari diwaktu mana Ciauw Tek Cun datang, untuk
ajak Ia dahar bersama2.
Hari ini-pun Siau Hoo tidak berani minum banyak.
Tek Cun dengar dari sahabatnya ini bagaimana si
sahabat bergadang antero malam, tetapi peajahat tidak
muncul. "Tentu itu disebabkan dia dengar lauwtee tinggal disini, nama lauwtee bikin ia gemetar hingga dia tidak berani
datang," katanya.
Siau Hoo jengah sendirinya, mukanya sampai bersemu
merah, tetapi ia diam saja atas pujian itu.
Habis dahar tidak lama. Ciauw Tek Cun pergi kembali
kepiauwtiam. Siau Hoo tidak lewatkan banyak tempo atau ia terus
tutup pintu pekarangan, lalu ia berbalik seorang diri, untuk


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loncat naik kegenteng tanpa bergelantungan lagi di payon rumah. Beberapa kali ia rubuh sendiri, ia bangun dan
bangun pula, ia mencoba terus. Ia ada berani dan ulet, ia tidak kenal kapok atau bosen. Karena beberapa lembar
genteng pecah dan menimbulkan suara berisik, si bujang perempuan sampai takut datang ke kamar Utara.
Say Siang Go buka jendela, ia singkap kain penutup
jendela itu, ia mengawasi dan tertawa, tapi lekas juga ia lepaskan pula kain jendela, lalu seorang diri Ia bernyanyi, nyanyikan lagu yang ia suka perdengarkan dirumah hina.
Siau Hoo tidak perdulikan apa jua, Ia berlatih terus,
hingga akhirnya Ia peroleh kemajuan, barulah ia masuk ke kamarnya untuk tidur.
Sore itu, Ciauw Tek Cun tidak pulang Siau Hoo dahar
sendirian, setelah itu Ia bersiap, ia keluar dari kamarnya, goloknya ditancap dibebokong. Selagi sang waktu masih
siang, ia lanjutkan pelajarannya loncat tinggi.
Karena suara berbisik itu, Say Siang Go tidak tertawa
atau menyanyi pula, ia hanya menggerutu, memaki seorang diri, dalam bahasa rumah hina, hingga Siau Hoo yang
dengar itu, tidak mengerti maksudnya, dari itu bocah ini tak menperduIikannya, terus Ia loncat, dari bawah ke atas, lari atas kebawah sampai ia merasa lelah, lalu Ia numprah
diatas genteng, sekalian tunggui sang malam.
Sebentar kemudian, hari sudah menjadi gelap.
Malam itu, rembulan lebih terang daripada kemarinnya.
Dikamar Timur-tidak ada cahaya api, dan api di kamar
Barat ada lemah sinarnya, lalu pada jam dua, dipadamkan, rupanya bujang perempuan sudah masuk tidur. Di Timur
Utara, api ada I ianat. terang, ay Slang Go se-rang dir mainkan pie.pee, lagunya makin menyeap kan kuping,
sanpai Siau Hoo iintuc serner tara lupa akaii tugasnya, hingga dia lupa baha dirinya berada di atas genteng ...
"Benar, nona2 keluaran rumah pelesiran pandai mainkan
tetabuhan," ia melamun, "sayang dia tidak bisa nyanyi
seandainya Ah Loan ada disini dan ia nyanyikan lagu
pegunungannya. bagaimana merdu!"
Ingat Ah Loan, ia jadi ingat keadaannya sendiri.
"Sekarang aku telah punyakan uang, kuda dan pakaian-
pun lengkap, kalau aku pulang, siapa nanti tak pandang mata padaku?" demikan ia berpikir lebih jauh. "Hanya
sayang bugeeku belum sempurna. Bagaimana aku bisa
pulang untuk menuntut balas, untuk menikah juga?"
Karena ini, ia harap-harap lekas pulangnya Long-tiong-
hiap Cie Kie, untuk dapat kepastian dia itu cakap atau tidak untuk jadi gurunya, kalau tidak, ia hendak merantau pula cari Siok Tong Lieng, Naga Sucoan.
Lama Siau Hoo menumprah, sampai ia merasa pegal,
maka lalu ia rebahkan diri di atas genteng, matanya
memandang kebawah. Ia masih dengar suara pie-pee, yang sekarang dimainkan dengan diseling dengan istirahat. Ia pikir, Say Siang Go mengerti banyak lagu. Lama-lama Ia merasa ngantuk juga, hanya pada saat Ia layap2, tiba-tiba ia tampak bayangan berkelebat ditembok depan, ia terkejut, lalu dengan mata dibuka lebar dan tangan mencekal keras goloknya, ia mengawasi dengan tajam.
Cahaya rembulan membuat bocah ini bisa lihat tegas,
bayangan itu, ialah seorang pemuda umur dua-puluh lebih, tubuhnya tinggi akan tetapi kurus sekali, tampangnya
cakap, pakaiannya serba hijau. Dia itu, tidak bekal senjata, agaknya dia tidak kuatir apa, dengan tindakan tetap dia menghampiri kamar Utara dari mana masih terdenar suara
piepee, sama sekali dia tidak pernah melihat kesekitarnya atau ke atas genteng.
"Penjahat ini bernyali besar," pikir Siau Hoo, yang
sudah lantas merayap bangun.
Pemuda itu sampai di depan pintu dimana segera Ia
perdengarkan suara dan nyanyian, "Sekali melihat si elok, semangatku kabur ?"
Berbareng dengan itu, Siau Hoo loncat turun seraya Ia
berseru: "Ya, semangatmu kabur." dan goloknya lantas
melayang. Pemuda itu nampaknya terkejut tapi segera Ia lompat
minggir, tangannya meraba pinggang dari mana lantas ia ulur keluar Tiat-lian Poan liong-pang, rantai besi yang bersambung tiga-belas, yang ia terus pakai membalas
menyerang. Siau Hoo tangkis serangan itu. Hampir goloknya kena
terlibat rantai besi itu, sukur ia lekas menarik pulang untuk terus membacok pula dan mendesak, sehingga orang
mundur beberapa tindak. Orang itu perdengarkan tertawa menghina, sembari mundur dia menyabet pula dengan
rantainya yang merupakan toya istimewa, agaknya dia
hendak lihat pula senjata musuh. Tapi Siau Hoo tidak
mundur, ia malah merangsek terus, dalam enam jurus ia
kena babat rantai sampai kutung, atas mana pemuda itu
lompat mundur, akan terus loncat naik ke genteng kamar Barat.
"Eh, bocah, kau she dan nama apa?" tanya Ia dengan
suara mengejek.
Siau Hoo tidak menjawab, hanya ia loncat naik untuk
mengejar. Pemuda itu tidak melawan, ia lari kerumah tetangga
sambil mengejek, "Sampai ketemu pula!" Siau Hoo tidak
mau mengejar lebih jauh, hanya dengan mendongkol ia
awasi orang berlalu, hatinya berpikir. Kemudian, tiba ia bacok genteng dan berkata seorang diri. "Dia bukannya
pencuri, dia pasti ada kendaknya Say Siang Go!" Lantas ia loncat turun. Ketika Ia mengawasi kekamar Utara, tidak saja suara piepee sudah berhenti, api-pun telah padam. Ia jadi mendongkol, ia lari menghampirkan pintu yang Ia
tolak, tetapi pintu itu keras karena dikunci.
"Oh, kau nyata bukan seorang perempuan baik-baik! Tak
dapat tidak hal ini aku mesti beritahukan Ciauw Toako!"
katanya dengan hati panas. Ia tolak lagi pintu, dengan sia-sia, lalu ia mencaci.
Dari kamar Barat juga tidak ada suara apa2, Siau Hoo
masih mendongkol, maka Ia membacok dua kali, setelah
mana, ia pergi cari bujang lelaki. Pintu kamarnya si bujang dikunci, dari dalam mana terdengar suara menggerosnya
yang keras, Siau Hoo tendang pintu beberapa kali, baru orang sadar dengan kaget. "Siapa!" demikian suaranya.
"Lekas bangun!" Siau Hoo teriaki. "Pergi kau cari
majikanmu, aku hendak bicara kepadanya!"
"Oh. Kang Siauya ..." kata bujang itu. "Ada urusan apa siauya mau cari majikan?"
"Lekas pergi panggil majikanmu!" Siau Ho kata dengan
bengis. "Kalau kau tidak mau pergi, aku nanti dobrak pintu ini dan bunuh padamu! Lihat ini, aku ada mencekal golok!"
Ia mengancam dengan beberapa kali membacok tanah.
Bujang itu jadi ketakutan.
"Nanti aku pergi, aku pergi!" katanya berulang-ulang.
"Jangan gusar, siauya ?"
Bujang itu berbangkit, ia pakai bajunya, ia buka pintu dan bertindak keluar.
"Lekas pergi kepiauwtiam!" kata pula Siau Hoo seraya
angkat goloknya. "Lekas beri tahu majikanmu supaya dia segera pulang! Kalau tidak, aku nanti pergi dan putuskan persahabatan dengan dia!"
Bujang itu ketakutan, ia buka pintu pekarangan,
dibawahnya sinar bulan ia jalan seperti berlari-lari akan pergi kepiauwtiam majikannya.
Siau Hoo kunci pula pintu pekarangan, ia lantas jalan
mundar-mandir. Selama itu, dari kamar Barat dan Utara tidak terdengar suara apa juga.
Sekian lama Siau Hoo menantikan, baru Ia dengar
ketokan pada pintu pekarangan, ketika Ia membukakan
pintu, ia lihat si bujang telah balik bersama majikannya, tidak tempo lagi ia kata pada Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun:
"Toako, kau tahu apa sudah terjadi disini tadi"! Isterimu
?" "Sabar, hiat-tee?" Tek Cun segera memotong, tangannya
Ia goyang-goyang. "Mari kita bicara didalam ?"
Dengan masih mendongkol, Siau Hoo mengikuti,
mereka masuk ke kamar Timur dimana Si bujang sudah
lantas nyalakan api, sehabis mana bujang itu disuruh pergi.
"Kau tahu, hia-tee," kata Tek Cun dengan pelahan,
"sampai ini jam aku masih belum tidur, padaku ada datang lima saudagar dari kota, mereka hendak angkut barang ke Lou-ciu, lagi dua hari kita akan berangkat, malah
barangkali aku yang mesti iringi sendiri, sebab jumlahnya berharga besar sekali ?"
"Kau jangan sibuki pekerjaanmu saja, kau mesti urus
isterimu!" kata Siau Hoo, suaranya masih sengit. "Kau
bicara tentang pencuri, sebenarnya bukan, ia adalah
gendaknya isterimu! Asal kau tidak pulang, dia tentu
datang, istrimu mainkan piepeenya sebagai tanda untuk
memanggil dia. Orang itu bersenjatakan rantai tapi tadi aku telah bikin dia kabur!"
Ciauw Tek Cun melengak mendengar keterangan itu.
"Jangan berisik, hia-hee," kata Ia kemudian, atau nanti kehormatanku tercemar. Hal ini memang aku telah duga.
Ensomu memang asal dari rumah pelesiran, yang tentunya bukan orang baik-baik! Apa daya sekarang" Mustahil aku mesti bunuh dia dan karenanya mesti berurusan denan
pembesar negeri untuk mengganti jiwa. Inilah tidak
berharga! Itu sebabnya kenapa aku undang kau agar orang itu ketahui disini ada kau, agar dia tidak berani datang ?"
"Aku rasa dia tidak kenal kapok!" Siau Hoo bilang, tetap masih sengit. "Ada kemungkinan, walau kau ada di rumah, dia berani datang!"
Mukanya Tek Cun menjadi merah, nyata dia tidak
senang. "Jangan gusar, hia-tee, aku punya daya," kata ia, yang terus bertindak keluar, tangan bajunya digulung.
Segera terdengar pintu kamar Utara ditendang berulang-
ulang, daun pintu terbuka, disusul oleh suara gelepak
gelepok, yang disusul lebih jauh oleh jeritan dan tangisan, hanya sebentar saja, suara berisik itu menjadi sirap, pintu kamar dikunci. Seperti tidak ada sesuatu.
Siau Hoo sangat tidak puas.
"Kiranya Kim-kah sin takut isteri." ia berpikir. "Buat apa aku bersahabat kepadanya" Buat apa aku tinggal lama
disini" Besok pagi aku mesti pergi ke Hok Lip Piauw Tiam akan ambil kudaku, buat pergi kehotel, aku tunggui Long Tiong Hiap lagi tiga hari, apabla Ia tetap belum kembali, aku mesti pergi cari orang berilmu lainya!"
Lantas Ia masuk kekamarnya, ia kunci pintu dan tidur.
Keesoknya pagi, Siau Hoo bangun dengan dapat
kenyataan pintu kamarnya Tek Cun masih terkunci,
rupanya piauwsu itu mash tidur, maka Ia buntal pauwhok, ia gendol itu, lalu dengan bawa goloknya Ia bertindak
keluar, sekeluarnya dari gang Ia lihat jalan besar di Teng-kwan yang ramai dengan pedagang dan pembeli, karena
hari itu ada hari pasar. Ketika ia masuk ke Hok Lip Piauw Tiam. ia lihat Yo Sian Tay.
"Eh, kenapa kau tidak berdiam dirumah Ciauw
Ciangkui?" tanya Sian Tay, yang agaknya heran.
"Sekalipun disini aku tidak akan tinggal lama! Aku mau pergi!" sahut bocah itu seraya menggeleng kepala. Ia
lemparkan golok dan buntalannya, ia mau pergi ke istal untuk siapkan kudanya.
Sian Tay menghampiri.
"Bukankah kau hendak menemui Long Tiong Hiap?"
sahabat ini tanya dengan pelahan.. "Kabarnya kemarin dia sudah pulang ?"
"Apakah benar?" tanya Siau Hoo, yang merandek dan
terus putar tubuhnya ... "Dia tinggal dimana" Beri
keterangan padaku, sekarang juga aku hendak pergi
padanya!" Sementara itu, Sian Tay nampaknya menyesal.
"Kemarin Ciangkui kita pesan agar kita tidak
beritahukan tentang pulangnya Long Tiong hiap kepadamu," kemudian ia menjawab.
"Ha" Kenapa begitu?" tanya Siau Hoo.
"Dalam hal ini tidak ada maksud jelek saudaraku," sahut Sian Tay. "Ciangkui kita ketarik padamu yang masih muda sekali tetapi sudah mempunyai kepandaian tinggi, ia ingin bersahabat kepadamu. Lagi dua hari dia bakal pergi antar piauw, dan itu dia hendak minta kau lihat-lihat rumahnya, paling lama dalam tempo satu bulan dia akan sudah
kembali itu waktu dia nanti minta kau suka jadi piauwsu disini, hingga kita jadi dapat tenaga. Tapi kalau kau pergi cari Long Tiong Hiap, pasti Ciauw ciangkui sukar
menghadap lagi. Long Tiong hisp psling sukai anak-anak muda yang berilmu, kalau nanti dia lihat kau, tentu dia jadi sangat girang ?"
"Sudah jangan ngoce tak keruan!" Siauw Hoo potong.
"Lekas kasi tahu aku, dimana letaknya rumahnya Liong
Tiong hiap!"
"Dia tiiggal tak jauh dari sini, di sebelah Timur." Sian Thy mengasi tahu, "Kau ikuti jalan besar, lalu biluk ke Selatan, kira2 lima lie kau akan sampai dikampungnya
kampung Teng-jie-pouw, yang mirip dengan sebuah pasar."
Siau Hoo manggut.
"Baik, sekarang juga aku cari dia." Dia terus jemput
goloknya. "Apa" Kau heniak piebu dengan dia itu?" tanya Sian Tay dengan heran.
"Jangan kau perdulikan aku! Tolong simpan buntalanku
ini." jawab Siau Hoo yang terus bertindak keluar, ke istal, akan siapkan kudanya, kemudian ia tuntun kuda itu ke
jalan besar. Jalanan ada terlalu ramai, tidak leluasa untuk menunggang kuda terpaksa ia tuntun terus kudanya dengan sebelah tangannya memegang cambuk, setiap kali ia
perdengarkan suaranya: "Numpang jalan! Numpang jalan,"
ia menuju ke Timur.
Jalan belum jauh, di sebelah depan Siau Hoo lihat ada
berdiri seorang muda bertubuh besar, umurnya kira-kira dua-puluh tahun, siapa sedang awasi ia sambil bersenyum2.
Orang itu ada kurus, matanya kecil, pakaiannya serba hijau.
Dia adalah orang yang semalam datangi rumahnya Ciauw
Tek Cun. Hanya sekarang orang itu tidak bekal senjata.
Tapi toh melihat siapa Siau Hoo jadi mendongkol, apa pula orang-pun kelihatan bersenyum tawar.
Siau Hoo hampiri orang itu, yang ia tubruk dengan tiba-tiba untuk jambak bajunya.
"Bagus!" ia berseru. "Kau berani muncul dimuka umum,
kau berani mentertawai aku! Oh, bangsat!"
Orang itu menyengir, ia balas cekal lengannya Siau Hoo.
"Apa benar-benar kau hendak tempur pula aku?" tanya
dia. "Jangankan kau, sekali-pun Ciauw Tek Cun, apa ia
bisa membuat terhadap aku?"
Siau Hoo telah tancap cambuknya di pinggangnya, les
kuda-pun Ia sudah lepaskan maka itu ia bisa tampar
mukanya orang itu hingga menerbitkan suara nyaring.
"Binatang, kau berani serang aku?" berteriak orang itu, yang-pun berjingkrak. Ia sampok lengan kirinya Siau Hoo dan balas menyerang.
Siau Hoo berkelit lalu ia menyerang pula, tetapi
serangannya tidak mengenai sasaran, maka itu sambil
lompat maju, ia menyerang pula dengan kedua tangannya.
Orang itu menangkis sambil berkelit, Sebelah tangannya dipakai menolak.
Siau Hoo kelit kekanan, tangan kirinya dipakai menjaga.
tangan kanannya menyerang pula, dengan jitu mengenai iga kiri musuh, sampai tubuhnya orang itu miring, terang Ia merasa kesakitan. Tapi kirena itu dia merangsek, dua
tangannya digeraki, tangan kanan untuk menangkis, tangan kiri buat menerkam, sedang sebelah kakinya lantas diberi melayang.
Dengan lompat mundur kesebelah kanan. Siau Hoo
jauhkan diri dari babaya, ia mundur jauhnya dua tindak.
Lawan itu agaknya penasaran, ia lompat merangsek.
Siau Hoo mengancam dengan sebelah kepalannya,
tubuhnya mendek, atas mana, lawan itu dupak ia, tapi
justeru begitu, ia menyapu dengan sebelah kakinya yang mana membuat orang itu lantas saja rubuh.
Ditengah jalan itu orang-orang pada menyingkir.
Orang itu gulingkan tubuh untuk berlompat bangun,
tangannya merogoh sakunya dari mana ia keluarkan sebuah kantong kulit, dari dalam mana ia tarik dua belah pisau belati yang Ia cekal di tangan kanan dan kiri, sedang
tampangnya nampaknya ada bengis sekali.
"Mari maju!" ia menantang.
Siau Hoo lari pada kudanya buat ambil goloknya.
Hampir di waktu itu, orang lari minggir dengan
keluarkan suara berisik, sebab dari arah Timur ada tiga penunggang kuda.
Siau Hoo menoleh, hingga Ia bisa lihat kuda yang lari di muka, yang ia kenali adalah kuda hitamnya. Ketika ia lolos dari loteng rumah makan di Ban-goan, ia sudah kesalahan
kabur dengan kuda hitam itu, lalu di Soan-han kuda itu ada yang curi dari kuil tua. Maka sekarang melihat kuda itu, ia lupa akan musuhnya, ia lantas papaki si penunggang kuda.
"Turun.! Turun! Inilah kudaku!" ia berseru..
Melihat tingkahnya itu, orang-orang ditepi jalan jadi
tertawa. "Mungkinkah anak kecil ini gila?" kata mereka
Si lawan lihat datanguya tiga penunggang kuda itu, ia
saksikan sikapnya Siau Hoo, meski ia diam saja namun air mukanya jadi lebih sabar, tapi Ia masih bersiap untuk
berkelahi lebih jauh.
Siau Hoo sudah cekal les kuda, hingga kuda itu dapat
dibuat berhenti, dengan bengis ia awasi penunggang
kudanya. "Kembalikan kuda ini kepadaku habis perkara!" ia kata
pula dengan nyaring. "Ini ada kudaku yang lenyap di Soan-han! Pencurinya telah mampus karena terjatuh dari atas kuda ini! Kuda ini berada dalam tanganmu, jangan kau
sendiri ada satu bangsat! ... "
Penungang kuda itu berurnur tigapuluh tahun lebih, kulit mukanya sedikit merah, romannya cakap, pakaiannya-pun
mewah. Dua orang dibelakangnya mirip dengan bujang.
Dia bersenyum sekali-pun Siau Hoo bersikap kasar dan
bengis. "Tidaklah keliru apa yang kau bilang," sahut ia dengan sabar, sedikitpun
tidak kelihatan dia
mendongkol. "Memang kuda ini didapatkannya dari Soan-han, hanya
untuk ini aku mesti keluarkan beberapa ratus tail perak.
Umpama kau inginkan kuda ini, aku serahkannya dengan
cuma-cuma, tetapi caranya kau bicara tidak tepat!"
Tapi Siau Hoo masih gusar, hingga Ia berjingkrak.
"Kudaku ada padamu, aku tidak tuduh kau bangsat,
sudah bagus!" kata Ia "Bagaimana kau kehendaki aku
bicara manis kepadamu?"
Siau Hoo berjingkrak pula, sekali ini ia ulur sebelah
tangannya untuk tarik turun orang itu dari kudanya. Akan tetapi apa mau, orang itu mendahului Ia, tangannya
menyamber kebatok kepala!
Sedetik saja, Siau Hoo rasakan kepalanya pusing, hingga tubuhnya limbung, baiknya ia bisa pertahankan kedua
kakinya. Ia jadi gusar, ia lantas maju membabat dengau goloknya.
Orang itu berani, gerakannya-pun gesit, selagi golok
lewat, ia loncat turun, cepat sekali ia cekal orang punya tangan, sedang dengan tangan kanannya ia rampas golok
itu, kemudian hampir berbareng, sebelah kakinya terangkat naik, maka tidak tempo lagi bocah itu rubuh terguling.
"Kurang ajar!" mendamprat Siau Hoo yang berlompat
bangun. Orang itu berdiam, melainkan kakinya yang bergerak,
atas mana bocah itu rubub pula, tapi Siau Hoo bandel luar biasa, sekarang Ia gulingkan badan diri, sesudah mana ia lompat bangun pula.
"Kurang ajar!" Ia mendamprat pula. "Lepaskan golok
itu! Mari kita bertempur dengan tangan kosong!"


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu bersenyum, ia lempar goloknya ketanah.
"Mari maju!" Ia menantang.
Siau Hoo gulung tangan bajunya benar-benar ia maju,
dengan "Tiang-kun-kun-kam", atau "Memacok dengan
kepalan panjang" terus ia menyerang.
Orang itu berlaku tenang, ia tunggu kepalan sampai, ia maju sambil menangkis, lalu tahu2 sebelah kakinya
melayang, atas mana Siau Hoo rubuh dengan tengkurap.
Tapi anak ini bergerak dengan cepat, lagi2 ia gulingkan tubuh hingga ia berada dekat goloknya, yang lalu ia samber, sesudah mana, ia babat kakinya orang itu.
Orang itu lompat mundur, akan terus loncat naik atas
kudanya. "Jangan kau mencari gebukan lagi!" kata dia sambil
bersenyum. "Jikalau ka tidak puas, kau boleh datang
kerumahku, disana kita nanti piebu pula, dengan golok atau pedang! Disini ada terlalu banyak orang, aku kuatir nanti keliru melukai mereka!..."
"Siapa takut padamu!" Siau Hoo tepuk dadanya.
"Dimana kau tinggal" Aku nanti ikut padamu!"
Terus Ia lari pada kudanya.
Orang dengan pakaian mewah itu sudah putar kudanya,
dilarikan kearah Tirnnr, dua pengiringnya, yang sedari tadi diam saja lantas ikut dia, hanya sambil menoleh dan
menggape, mereka ini kata, "Anak kecil, hayo ikut! ?"
Siau Hoo segera berada di atas kudanya, baru ia hendak gerakkan cambuknya, tiba-tiba seorang tahan Ia. Ketika ia menoleh, ia lihat Yo Sian Tay.
"Mau apa kau cegah aku?" tanya dia dengan tidak
sabaran. "Aku tidak bisa diperhina! Dia membuat aku malu di muka umum, aku mesti pergi ke rumahnya untuk adu
jiwa!" "Sabar dahulu," kata Sian Tay seraya goyang tangan.
"Mari turun dahulu! Mari kita pulang untuk bicara?"
"Kalau kau hendak bicara, disini saja!" Siau Hoo bilang.
Sian Tay kedipkan mata.
"Mari pulang dahulu, ada urusan penting," ia kata.
"Tidak!" Siau Hoo menggeleng kepala. "Kau minggir,
aku hendak susul orang itu!"
Ia geraki cambuknya, ia sabet kudanya. Sian Tay
membandel, ia tahan kudanya Siau Hoo.
"Kau masih hendak susul dia itu?" kata dia. "Kau tahu
siapa orang itu yang sudah hajar kau" Dia adaah Long-
tiong-hiap Cie Toaya!"
Siau Hoo terperanjat, hingga Ia ternganga. Ia mengawasi ke arah Timur, ia lihat ketiga penunggang kuda sudah pergi jauh, ia jadi seperti kehilangan semangat kegagahannya, sampal ia sukar angkat cambuknya.
"Mari turun," Sian Tay berkata pula. "Apa juga, kita
boleh bicarakan di rumah. Kalau kau tetap susul Cie Toaya, belum sampai di Teng-jie-pou, ditengah jalan Cie Toaya bakal membuat kau rubuh tak berdaya!"
Siau Hoo masih berdiam, dengan ayal-ayalan, ia turun
dari kudanya. Ketika itu, ramai orang tertawa, malah antaranya ada
yang kata: "Lihat bocah itu, dia kena dibuat kuncup oleh Cie Toaya!" Dan yang lain lagi sebaliknya bilang: "Biar dia susul Cie Toaya, biar dia ketemu pakunya!"
Sementara itu, si lawan yang berpakaian hijau awasi Siau Hoo dengan tertawanya menyindir, di tangannya ia masih cekal sepasang belatinya.
"Eh, bocah, apa kau masih berani tempur aku?" dia
menantang. "Apa benar kau ada punya kepandaian?"
Siau Hoo kepal kepalannya dengan keras, ia mendongkol
sekali. "Siapa sudi layani kau, cucu kura-kura?" ia membentak.
Orang itu gusar, ia maju hendak menyerang, akan teapi
Yo Sian Tay malang di tengah.
Orang itu lalu bersenyum mengejek, lalu ia kata: "Eh,
bocah, kalau kau ada mempunyai kepandaian, datang
sebentar ke Teng-jie-pou! Aku ini tinggal di rumahnya Cie Toaya! Kita nanti bertempur pula di sana! Kita tak usah ganggu Cie Toaya! Buat aku, asal aku ada mempunyai
senjata yang panjang, aku nanti membuat kau tidak berdaya disana!"
Sian Tay seperti kenal orang itu, ia mendorong, ia
memisahkan, sampai orang itu suka ngeloyor pergi,
kemudian sambil bujuki si bocah, ia bikin Siau Hoo tuntun kudanya akan kembali ke Hok Lip Piauw Tiam.
Ciauw Eng, keponakannya Tek Cun, tadi-pun saksikan
pertempuran di tengah jalan itu, maka itu, melihat
pulangnya Siau Hoo, ia mengawasi dengan senyum
ejekannya, ia melirik terus. Nyata ia ada sangat puas.
Siau Hoo tidak perdulikan sikap orang, ia masuk terus
kekamar ciangkui, setelah lempar goloknya, ia jatuhkan diri di kursi tanpa perdulikan kempolannya yang cakit bekas jatuh berulang-ulang. Ia kerutkan dahi, ia diam saja.
"Saudara, kau terlalu sembrono," Sian Tay berkata.
"Seharusnya kau tidak dapatkan penghinaan ini. Orang
yang kau pertama hajar adalah Hoa Thayswee Chio Seng,
sebawahannya Long-tiong-hiap Cie Kie, kepandaiannya
memang masih sangat terbatas. Ketika Long Tiong Hiap
datang bersama dua orangnya, sayang kau tidak bisa lihat sikapnya. Pun kau seharusnya tanya dulu she dan namanya.
Sekarang sulit untuk kau jadi piauwsu, bahkan untuk
tinggal disini kau pasti tidak bisa lagi ?"
Sian Tay bicara separuh berbisik, tapi mendengar itu,
Siau Hoo lompat bangun.
"Sudah, diam!" Ia membentak. "Kalau kau bicara terus,
aku nanti bacok padamu!"
Tapi Ciauw Eng, yang berada di samping, tertawa
dengan tawar. "Kang Siauya, percuma kau bertingkah disini!" katanya
dengan ejekannya, "Kalau kau gagah, pergilah cari Cie
Toaya! Dia tinggal di Selatan sana, di Teng-jie-pou!"
Siau Hoo berjingkrak.
"Baik, kau lihat saja!" berseru ia. Ia jemput goloknya, ia lari keluar.
Yo Sian Tay memburu tetapi ketinggalan, Siau Hoo
sudah tuntun kudanya, ketika
Ia sampai dipintu pekarangan, bocah itu sudah kabur dengan kudanya.
"Celaka!" piauwsu ini membanting kaki. Dia tentu pergi untuk dapat luka parah, pasti Cie Toaya bakal kirim ia pulang dengan digotong! Itulah akan mendatangkan malu
untuk kita ..."
Siau Hoo terus larikan ludanya, orang banyak ada
menyingkir, tapi beberapa orang yang nganggur telah
berlari mengikuti. "Mari kita lihat! Dia hendak tempur Long Tiong Hiap!" demikian mereka kata.
Siau Hoo keluar dari Tongkwan, ia kabur di jalanan ke
Selatan, sering-sering ia cambuki kudanya, karena ini, baru tiga lie Ia sudah membuat ketinggalan jauh itu beberapa orang ikuti padanya. Baru sekarang Ia tahan kudanya.
"Long Tiong hiap benar gagah," demiklan pikirnya.
"Dengan gampang saja tadi ia membuat aku rubuh
berulang-ulang. Mungkin dia ada lebih pandai daripada
Pauw Kun Lun, pantaslah ia jadi guruku."
Memikir begini, ia lantas larikan kudanya. Melalui tiga lie ia sampai disebuah dusun kecil dimana ada seratus lebih rumah, sebuah jalan besarnya ada mempunyai toko.
Rumah makan dan warung2 kecil. Ketika Ia sampai di
depan rumah makan ia lihat beberapa orang berdiri di situ, diantaranya ada Hoa-thaywee Chio Seng. Tatkala mereka
lihat bocah kita, mereka maju menghampiri. Mereka semua memegang golok dan toya.
"Oh, bocah, kau berani?" kata mereka yang jumlahnya
berenam. "Mari turun dari kudamu, kita bertempur
dahulu!" Siau Hoo tidak ambil perduli, ia keprak kudanya untuk
lewati mereka itu, lantas ia kabur bersama kudanya ke arah Selatan.
Enam orang itu minggir, dan mencaci.
Siau Hoo lari terus, menoleh-pun tidak. Setelah lewati beberapa kampung, ia lihat sungai Kee Leng. Ya tahan
kudanya di tepi kali. Itu bukannya pelabuhan, karena disitu tidak ada seorang juga, cuma ada sebaris pohon yang-liu yang daunnya hijau, yang memberi pemandangan menarik
hati. Siau Hoo tambat kudanya disebuah pohon, ia duduk di
atas rumput di tepi kali, matanya mengawai ketengah
sungai dimana, jauh sekali, ia lihat beberapa buah perahu, Ia memikir haaimana harus bertindak, untuk angkat Cie
Kie jadi gurunya. Tadi ia tidak layani Chio Seng semua, karena ia kuatir kalau ia hajar mereka, ia akan jadi
bermusuhan dengan Long Tiong Hiap. Ia antap cahaya
matahari menyerang Ia. Malah Ia pikir untuk tidur dahulu
sebentar sehabis bersantap tengah hari, baru ia berpikir pula. Justru itu tiba2 ia rasakansamberan batu pada
pinggangnya bagian belakang hingga ia kaget dan
merasakan sakit.
"Kurang ajar!" ia mendamprat seraya menoleh ke
belakang, juga kekiri dan kekanan, karena ia tidak lihat ada orang. Tengah keheranan tiba2 ia lihat satu kuda hitam lari ke arah Ia, kuda itu berada di sebelah Utara. Untuk
keheranannya, juga kegirangannya, ia kenali si penunggang kuda adalala Cie Kie. Segera ia berbangkit, ia lari kepada kudanya, setelah lepaskan tambatannya, ia loncat naik ke atas kudanya buat terus diberi lari, akan papaki jago Longtiong itu.
Long Tiong Hiap sebaliknya sudah lantas tahan
kudanya. Selagi orang mendekati, mendadak ia hunus
pedangnya. Tapi Ia tersenyum ketika Ia awasi si bocah yang ia tegur.
"Eh, anak kecil, apa benar kau hendak cari aku untuk
piebu" Kau hendak bertempur di atas kuda atau dengan
jalan kaki" Hayo lekas hunus golokmu!"
Siau Hoo geleng2 kepalanya.
"Aku tidak mau piebu denganmu," jawab Ia. "Tadi aku
tidak tahu kau sebenarnya ada jauh terlebih pandai dari pada aku ?"
Long Tiong Hiap tertawa.
"Dan apa perlunya sekarang kau bawa-bawa golok?"
"Aku hendak angkat kau jadi gnruku, untuk minta kau
berikan pelajaran padaku," jawab Siau Hoo, dengan
langsung. Mendengar begitu jago Long-tiong itu tertawa gelak2.
"Benar lucu!" berkata Ia. "Dari siapa kau dengar aku
pernah terima murid" Apa pula anak bengal semacam kau
ini" Sekali-pun kau carikan aku sejumlah uang yang terlebih banyak, tidak dapat aku terima kau!"
Siau Hoo hendak bicara pula tapi Cie Kie mendahului
ulapkan tangannya.
"Sudah, kau jangan omong lebih jauh!" jago itu
memotong. "Walau bagaimana, aku tidak suka jadi
gurumu! Aku datang kemari-pun karena aku dengar kau
berniat piebu dengan aku serta minta pulang kuda! Jikalau kau tidak berani piebu, nak, pergilah kau dengan urusanmu sendiri! Aku hendak pergi!"
Cie Kie balikkan kudanya ke Utara dan pergi.
Siau Hoo tidak mau mengerti, ia menyusul.
Long Tiong Hiap juga larikan keras kudanya. Ketika
kemudian Ia menoleh ke belakang, ia tertawa, ia goyanggoyang tangannya.
"Kau jangan ikuti aku!" dia bilang. "Pergi kau cari Kimkah-sin Ciauw Tek Cun dan angkat dia sebagai gurumu."
Siau Hoo terus mengikuti.
"Walau bagaimana, kau mesti terima aku jadi murid!"
katanya secara memaksa dengan permohonannya. "Aku
ada mempunyai uang, dan itu tidak usah kau pelihara aku.
Atau berapa banyak juga kau hendak minta, kau boleh
sebutkan itu. Aku datang ke Sucoan Utara ini memang
untuk cari kau, sebab aku dengar dari pembicaraannya
Liong Cie Teng bahwa kau ada hoohan satu-satunya untuk Sucoan Utara!"
Mendengar itu, Cie Kie segera tahan kudanya, air
mukanya-pun lantas berubah. Ia angkat pedangnya.
"Apa" Apakah persaudaraan Liong yang titahkan kau
datang kemari?" dia tanya dengan bengis, tanda dari
kemurkaannya. Siau Hoo-pun tahan kudanya, ia geleng-geleng kepala.
"Bukan, aku justeru ada musuh mereka!" ia jawab
dengan cepat. "Aku telah lukai persaudaraan itu, setelah itu aku kabur! Tempo di Ban-goan mereka kepung aku di
rumah makan, aku loncat dari loteng, aku rampas kuda dan menyingkir. Kuda hitam ini, yang sekarang kau punyakan, ada kudanya Liong Cie Kie!"
Long Tiong Hiap tertawa mengejek.
"Walau-pun kepandaian dan persaudaraan Liong tidak
tinggi, tidak nanti mereka beri dirinya dilukai oleh bocah semacam kau, dan kudanya kena dirampas olehmu!" kata
Ia. "Jangan kau dustakan aku dengan segala obrolanmu ini!
Kau kenal mereka itu, ini ada alasan untuknya akan
semakin tidak bisa terima kau sebagai murid! Nah, pergilah kau!"
Cie Kie masukkan pedangnya kedalam serangka dan beri
kudanya jalan. Sekali-pun orang telah suruh dia pergi, Siau Hoo tidak meladeni, bahkan ia tarik kudanya diberi jalan buat
mengikuti, terus sampai mendekati kampung.
"Benar aku kenal mereka tetapi mereka adalah musuh-
musuhku!" ia kata pula sembari jalan terus. "Ayahku telah dibunuh mereka, maka itu mereka adalah musuhku. Aku
cari kau karena kepandaianmu lebih tinggi daripada
kepandaian mereka, aku ingin dapat wariskan kepandaianmu supaya aku bisa satroni mereka di Cie-yang, untuk binasakan mereka, guna balas sakit hati ayahku!"
Setelah kata begitu, Siau Hoo menangis dengan tak
dapat dicegah lagi.
Cie Kie tahan kudanya dan berpaling, ia melengak.
"Apa benar kau niat belajar silat kepadaku?" ia tegaskan kemudian.
Siau Hoo cegah turunnya air matanya.
"Dengan sungguh," ia kata sambil manggut. "Aku berani
sumpah, apabila aku tidak sungguh-sungguh biarlah aku
ditimpa geledek!"
Long Tiong Hiap tertawa, tetapi sekejap saja.
"Untuk jadi muridku, kau mesti lebih dahulu lakukan
tiga hal!" ia kata.
"Seratus rupa sekali-pun aku sanggup kerjakan!" Siau
Hoo jawab: Long Tiong Hiap bersenyum.
"Pertama aku tidak bisa terima murid dengan tangan
kosong, sedikitnya dia mesti sudah mengerti sedikit ilmu silat," katanya.
"Ilmu silat aku sudah mengerti juga," Siau Hoo
menyahut dengan cepat. "Aku telah belajar silat satu tahun lebih, aku bisa gunai golok mau-pun bertangan kosong.
Malah aku bisa juga loncat naik ke atas rumah!"
"Yang kedua," kata pula Cie Kie, "siapa jadi muridku,
dia adalah orang suruh2anku, tidak perduli pekerjaan
bagaimana sukar, dia mesti bisa lakukan. Tapi aku lihat kau berpakaian mewah, kau ada mempunyai uang dan kuda,
kau mirip dengan satu siauya ?"
Siau Hoo segera menggeleng kepala.
"Sebaliknya aku " aku ada anak melarat yang tidak
mempunyai ayah dan ibu," Ia beri tahu. "Aku pernah
mengangon babi dan kuda! Asal kau suka ajarkan aku silat, pekerjaan berat bagaimana juga aku suka terima. Apa itu perjanjian yang ketiga?"
"Syarat yang ketiga?" kata Long Tiong-hiap sambil
tersenyum dingin. "Hm! Aku kuatir kau tak mampu
lakukan! Aku ingin terima murid yang bertenaga besar,
yang kuat angkat barang berat!"
Kang Siau Hoo lantas hunjukkan lengannya.
"Aku ada mempunyai tenaga," Ia bilang, "barang
beratnya tujuh atau delapan puluh kati, pasti aku kuat angkat!"
"Bicara saja tak ada gunanya, aku ingin bukti!" Cie Kie kata.
"Silahkan coba!" Siau Hoo menantang. "Kecuali mesti
angkat gunung, aku tidak sanggup!"
"Baik, mari turut aku!" kata Long Tiong Hiap.
Siau Hoo jadi sangat girang, ia lantas ikuti jago itu akan terus memasuki Cie ke chung yang lebar dan besar.
Ada belasan orang di muka rumah besar, antaranya
terdapat Hoa Thayswee mereka heran melihat toaya
mereka datang bersama2 si bocah garang, semua
mengawasi dengan ternganga. Mereka percaya dua orang
itu hendak adu kepandaian.
Cie Kie jalan terus kesebelah Utara dimana ada sebuah
tanah lapang besar, di situ-pun ada para2 dengan berbagai senjata. Disudut Timur-selatan ada sebuab pintu kecil, yang rupanya bisa tembus keperdalaman. Disini keduanya turun dari kuda mereka yang lantas disambut oleh bujang.
Hoa-Thayswee semua pada berdiri jauh dipingiran,
untuk menyaksikan.
"Mari!" kata Long Tiong Hiap sambil bersenyum seraya
tangannya menggape.
Siau Hoo mengikuti, keluar tembok sebelah Selatan.
Disitu ada terletak tiga batang besi, panjangnya semua tujuh kaki lebih, besarnya bertingkat, yang paling besar ada sebesar mangkok hingga sukar untuk dicekal, besinya sudah karatan dan separuhnya terpendam dalam tanah. Besi yang paling kecil, beratnya barangkali ada seratus kati. Maka, melihat itu Siau Hoo terkejut.
"Apakah, kau hendak uji tenagaku dengan besi ini?"
tanya ia. "Yang paling besar itu, pasti aku tidak sanggup angkat."
"Sabar." Long Tiong Hiap bilang, "Kau dengar dahulu
ceritaku perihal riwayatnya tiga potong besi ini."
Siau Hoo diam untuk mendengarkan.
"Pada beberapa tahun yang lalu, padaku ada datang satu pendeta asal Kanglam, namanya Tiat Tiang Ceng," Cie Kie mulai. "Dia ada bawa besi yang paling kecil. Ia datang untuk minta derma seribu tail perak tapi besinya itu Ia letaki melintang di depan pintu. Ia kata, kalau ia tak diberi uang, besinya ini ia tidak mau angkat. Aku tidak hiraukan kata-kata itu, aku ulur tanganku dan angkat besi itu "."
Cie Kie gulung tangan bajunya, ia singsatkan
pakaiannya, lalu ia bengkoki tubuh akan angkat besi yang paling kecil itu, yang ia terus putar seperti toya saja, sesudah mana Ia gabruki pula besi itu. Demikian ia
mencontohkan.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Hoo kagum.
"Tubuhnya tidak kekar tetapi tenaganya sungguh besar,"
pikir ia. Cie Kie membongkok pula akan angkat besi yang kedua,
yang ia angkat tinggi-tinggi, setelah itu, ia letakkan kembali.
-ooo0dw0ooo- Jilid 07 "MELIHAT aku kuat angkat besi itu, Tiat Thing Ceng
batal minta derma dan lantas berlalu, dengan tinggalkan juga besinya," Cie Kie sambungkan ceritanya. "Di tahun yang kedua, dia datang pula dengan bawa besi ini yang
terlebih besar. Sekarang dia minta dua-ribu tail. Kapan dia saksikan aku juga kuat angkat besinya ini, ia ngeloyor pergi pula. Ditahun ketiga dia tidak datang, hanya dia datang di tahun ke empat, sambil bawa besi yang paling besar yang Ia panggul, dan karena memanggul itu, ia nampak megrek tak keruan."
"Dia kata, asal aku bisa panggul itu, baru ia suka takluk dan ia tak akan minta uang sekalipun satu chie, malah dia janjikan pergi untuk tidak kembali. Tapi aku memikir lain.
Diakhirnya aku berikan empat ribu tail." Selagi kata begitu.
Cie Kie lirik Siau Hoo kemudian ia tambahkan. "Tiga
potong besi ini terletak disini sudah banyak tahun, kecuali aku, yang bisa angkat dan potong, belum pernah ada lain orang yang mampu angkat walaupun yang kecil saja. Aku
pernah lepas kata, kalau ada orang yang kuat angkat besi ini, aku hendak angkat dia jadi guru, dan siapa bisa angkat besi yang kecil aku akan janjikan dia sebagai sahabatku, dan siapa bisa angkat besi yang pertama, yang paling enteng, aku akan terima dia sebagai murid. Selama beberapa tahun, sekali-pun ada datang sejumlah orang yang mencoba
tenaganya, sampai sebegitu jauh, yang diterima sebagai
murid saja, tidak ada. Dalan kalangan kang-ouw, di
sebelahnya ilmu silat, orang perlu dengan tenaga yang besar untuk membuat orang kagumi kita. Maka sekarang, apabila kau ingin jadi muridku, kau mesti coba angkat itu besi yang paling kecil!"
Siau Hoo tidak berpikir lagi untuk berikan jawabannya.
"Akur!" Ia berseru. Ia memang sudah pikir, biar
bagaimana ia mesti coba. Ia terus mendekati besi itu, ia membungkuk, ia lonjorkan kedua tangannya, sambil
mencekal besi itu ia kerahkan tenaganya.
"Angkat," Cie Kie memberi tanda.
Siau Hoo lantas mengangkat, baru saja kira-kira setengah kaki, ia rasakan kedua tangannya gemetaran dan lemas, besi itu terlepas tanpa ia merasa, menggabruk di tanah.
Napasnya lantas saja sengal-sengal. Tapi ia penasaran, ia mengangkat pula. Kali ini setengah kaki-pun Ia tak kuat angkat, hingga ia lepaskan pula cekalannya.
"Gagal!"
kata Cie Kie dari samping dengan senyumannya. "Tapi kau boleh coba terus, setiap hari kau datang kemari untuk berlatih, kapan saja kau kuat angkat, itu waktu juga kau boleh paykui padaku, nanti aku berikan pelajarati silat padamu."
Seteah kata begitu, Cie Kie turunkan tangan bajunya,
lalu sambil bersenyum, ia bertindak masuk ke pintu yang kccil.
Berbareng dengan itu. Hoa-thyayswee dan teman-
temannya lantas tertawa mengejek.
Siau Hoo ada mendongkol bukan main, akan tetapi ia
tidak perdulikan orang-orang jail itu. Ia hanya awasi tiga potong besi itu. Sudah yang dua ia tidak sanggup angkat, apa mau yang paling kecil-pun "satrukan" padanya. Karena
penasaran, ia kumpul pula tenaganya, kemudian ia cekal pula besi itu dan diangkatnya. Ia telah kerahkan semua tenaganya. Ia kerot gigi, ia mendelik. Ia kuat angkat
setengah kaki seperti pertama kali, ia coba angkat terus.
Apamau, kembali tenaganya habis, lengannya gemetaran,
tangannya lemas. Tanpa bisa dicegah, besi itu mengabruk sendirinya. Malah Siau Hoo-pun turut numprah di
sampingnya. Rombongannya Chio Seng kembali tertawa gelak-gelak,
sekali ini sambil tepuk-tepuk tangan.
Mukanya Siau Hoo menjadi merah, tapi ia mengawasi
orang-orang jail itu. Ia tidak mau layani mereka itu.
Kembali Ia awasi besi itu, matanya mendelong.
Akhirnya Chio Seng datang sambil menenteng goloknya.
"Eh, bocah, pergi kau pulang dan cari ibumu untuk netek pula!" kata orang jail ini. "Kau mesti pelihara tenagamu, kemudian baru kau datang pula kemari. Kalau tidak, biar kau ajak ayahmu, besi ini tak nanti dapat diangkat!"
Mendengar itu, rombongannya Hoa-thay-swee tertawa
pula. Sementara itu Siau Hoo ingat ia belum dahar tengah
hari, ia berasa lapar, pantas ia tidak mempunyai tenaga.
Maka itu, sambil memutar tubuh, ia kerutkan dahi.
Masih saja rombongan orang nakal itu menjengeki,
menjebikan bibir.
"Hayo, kau pulanglah!" kata mereka. "Buat apa umbar
napsu hati disini ?"
Siau Hoo awasi rombongan itu dengan mata merah dan
menyala, hampir ia tidak dapat kendalikami diri. Syukur ia masih ingat, percuma Ia layani mereka, itu justeru akan
menyebabkan Cie Kie tak sudi terima ia sebagal murid.
Akhirnya dengan sabarkan diri, ia menghampiri kacung
yang pegangi kudanya.
"Jangan serakan itu kuda padanya!" tiba-tiba Chio Seng berseru ia cegah kacung yang pegangi kuda itu.
Sekali ini Siau Hoo gusar hingga ia raba goloknya.
"Apa?" berseru Chio Seng seraya menghampiri. "Kau
hendak tempur aku pula?"
Tapi berapa orang lantas datang sama tengah.
"Kau kenal toaya kita, lain kali kau boleh datang pula, sembarang waktu," kata seorang. "Hari ini kau tidak
berhasil mengangkatnya, besok kau boleh mencoba pula,
tetapi jangan kau membuat ribut disini. Ini tuau Chio ada sahabat toaya kita, kau harus memandang pada toaya."
Siau Hoo berdiam, tapi ia bersenyum ewa, kemudian
dengan tidak kata apa-apa ia tuntun kudanya ngeloyor
pergi. Ia keluar dari Cie-kee-chung, ia menuju ke Utara, pikirannya kusut. Ia tak perdulikan lagi Chio Seng. Ia hanya dukai itu besi berat. Ia sudah jalan setengah lie, baru Ia loncat naik atas kudanya, akan kabur ke Tongkwan. Ia berhenti di muka Hok Lip Piauw Tiam, ia tidak tuntun
kudanya masuk, hanya Ia tambat binatang itu dipelatok.
Ketika ia bertindak ke kantor, ia lihat Yo Sian Tay berada bersama Lu Hiong, Cek Eng dan Ciauw Eng sekalian.
"Lauwtee!" Sian Tay segera menegur. "Kau telah pergi
ke rumahnya Cie Kie, apa kabar?"
"Tidak ada kabar apa-apa," sahut Siau Hoo sambil
geleng kepala. "Aku bicara dengan Cie Kie, lantas dia suruh aku setiap hari datang kerumahnya."
"Kepergianmu tadi membuat ciangkui kita sibuk," Ciek
Eng bilang. "Selama dua hari ini kita repot dan lusa kita mau berangkat ke Lou-ciu ?"
"Ciangkuimu ada satu sahabat baik," kata Siau Hoo.
"Bilangkan padanya agar ia tidak usah kuatirkan aku.
Akupun tidak ingin tinggal pula disini ?"
Sian Tay teperanjat bahna herannya.
"Kau hendak pindah kemana?" tanya dia.
Alisnya Siau Hoo mengkerut, air mukanya pucat sekali.
Ia masuk kedalam untuk ambil buntalannya.
"Pertama-tama aku hendak ambil tempat di hotel,"
menyahut Ia. "Kemudian selama dua hari aku akan pindah tinggal pada Long Tiong Hiap."
Sian Tay semua menjadi heran sekali, tetapi melihat
orang punya air muka luar biasa, mereka tidak berani
mencegah, mereka antap anak tanggung ini ngeloyor pergi.
Siau Hoo hampirkan kudanya, ia lepaskan tambatannya
dan tuntun binatang itu dengan sebelah tangan masih
menenteng pauwhoknya, ia jalan tidak seberapa jauh, ia lihat sebuah rumah penginapan di Selatan jalan besar. Ia mampir di hotel ini, ia minta kamar. Lantas ia minta barang makanan dan arak, setelah bersantai, ia rebahkan diri untuk beristirhat. Ia hendak siap untuk besok coba angkat pula besinya Long Tiong Hiap.
Siau Hoo dapat tidur, akan tetapi waktu Ia bangun,
jongos datang bersama Kimkah-in Ciauw Tek Cun, siapa
nampaknya ada malu sendirinya.
"Lauwtee, tidak sempurna untuk kau tinggal disini!" kata ciangkui ini, romannya sibuk. "Baik kau pindah pula ke rumahku atau kepiauwtiam! Thia Pat ada sangat benci kau,
percuma aku bujuki dia, dia bersakit hati kerena kau lukai kakinya! Sekarang dia belum sembuh, tapi begitu lekas dia sudah bisa jalan, sudah pasti dia akan cari kau. Kalau kau tinggal sama aku, lauwtee, biar bagaimana dia maih
memandang aku, dia tak akan bisa gusur kau. Lusa aku
hendak berangkat ke Lou-ciu, dan, tidak ada aku, tidak ada lain orang yang bisa perhatikan padamu. Atau lebih baik kau ikut aku pergi bersama!"
Siau Hoo tidak takut, ia goyang-goyang tangan.
"Tak usah kau perdulikan aku, toako!" kata ia. "Kau ada satu sahabat baik. inilah Kang Siau Hoo ketahui dingan baik. Aku pindah kemari untuk dapat beristirahat, karena hari ini aku ada sangat lelah. Besok barang kali aku akan pindah kerumahnya Long Tiong Hiap "."
Ciauw Tek Cun beran bukan main mendengar
keterangan ini.
"Apa" Long Tiong Hiap-pun hargai kau?" tanya Ia. "Toh
aku dengar, tadi pagi kau telah tempur Ia di tengah jalan
?" Siau Hoo kelihatannya jadi sabar sekali.
"Toako, bukankah aku sudah terangkan padamu,"
katanya. "Aku datang kemari sengaja untuk menemui Long Tiong Hiap Cie Kie, buat cari tahu tentang bugeenya.
Umpama bugeenya ada biasa saja, aku hendak bersahabat
padanya, dan andaikata dia liehay luar biasa, aku niat angkat dia jadi guruku. Inilah maksudku yang utama. Tadi pagi aku ketemu dia, kita sudah piebu, aku dapat kenyatan bugeeku ada beda jauh, dan itu dia cocok untuk jadi guru.
Sebab itu, tadi aku telah datangi rumahnya ?"
"Apa dia tidak suruh kau angkat tiga potong besinya?"
Tek Cun memotong.
"Benar," Siau Hoo manggut. "Dia kata asal aku bisa
angkat besi yang paling kecil, dia suka terima aku jadi muridnya. Sayang besi yang ketiga itu tidak enteng, aku tidak sanggup angkat tinggi-tinggi. Hari ini aku telah berkelahi beberapa kali, tenagaku habis, aku pikir akan beristirahat untuk besok mencoba pula. Aku percaya besok akan kuat angkat besi itu!"
Tek Cun heran, sampai ia melengak. "Kalau begitu,
baiklah," katanya kemudian. "Dengan kau tinggaL sama
Long Tiong Hiap, Thia Pat pasti tidak berani ganggu kau.
Benar Thia Pat ada satu okpa disini akan tetapi Ia jerih terhadap Long Tiong Hiap!"
Siau Hoo manggut-manggut akan tetapi dia bersenyum
ewa. "Jangan kuatir, aku tidak takut Thia Pat," ia kata.
"Bukankah toako akan kerangkat besok" Nah, urusan apa
juga, besok kita bicarakan pula, hari ini harap toako ijinkan aku mengasokan diri agar besok aku sanggup angkat besi."
Tek Cun manggut, ia lantas berlalu.
Siau Hoo lantas beristirahat, maka keesoknya pagi ia ada segar sekali, dengan cepat ia siapkan kudanya dan
berangkat ke Cie-kee-chung. Hari masih pagi, tapi di
pekarangan, dilatarnya Cie Kie, Chio Seng dan beberapa kawannya sedang asyik berlatih. Mereka tertawa kapan
mereka lihat anak tanggung ini.
"Dia benar tidak kenal kapok! Coba pikir, dalam tempo
satu hari berapa banyak tenaganya bisa bertambah" Kecuali dia makan obat kuat ?"
Siau Hoo bungkam atas ocehan itu, hanya tambat
kudanya dipelatok dekat tembok, terus ia menghampiri tiga potong besi, akan jongkok di depan besi yang ke tiga. Ia
mulai kerahkan tenaganya ketika ia cekal besi itu, terus Ia angkat sambil coba bangun berdiri. Ia keluarkan antero tenaganya, ia-pun keluarkan seruan. Ia baru angkat
tingginya satu kaki ketika tiba-tiba ada orang dupak
pantatnya. Ia tidak bersedia, sekejap saja Ia rubuh, besinya terlepas. Segera ia merayap bangun, amarahnya bukan
kepalang sambil putar tubuh Ia kepal keras tangannya.
Didepan ia berdiri Hoa-thay-swee Chio Seng, tangannya
mencekal golok, mukanya tertawa menyengir, mengejek!
Hampir Siau Hoo loncat menerjang, syukur disaat
terakhir ia ingat, besi ada lebih penting baginya, karena itu Ia bisa kendalikan diri, dengan sabar ia balik pula badannya untuk angkat pula besi itu, tapi, sementara itu ia pikir: "Biar aku tahan sabar tapi kalau sekali lagi dia ganggu aku, aku nanti hajar padanya!"
Selagi Chio Seng ganggui Siau Hoo, Cie Kie sudah
muncul di pintu, dari itu ia saksikan kejadian itu. Jago ini merasa tidak puas, ia pergi ke istal akan ambil cambuk, dengan bawa itu Ia dekati Hoa thayswee. Ia dupak
terlempar goloknya Chio Seng, menyusul mana ia
menghujani cambukan pada orang puya kepala dan muka.
Siau Hoo heran, ia menoleh, berbareng dengan itu
kupingnya-pun dengar suara cambuk berulang-ulang.
Mula-mula Chio Sang gelagapan, ia angkat kedua
tangannya untuk menangkis, terus ia lari, tapi Cie Kie kejar Ia dan membuat ia terjungkal rubuh dengan satu
tendangan, hingga kembali ia mesti rasai hujan cambuk.
Lain-lainnya orang mengawasi, tidak ada yang berani
untuk mencegahnya.
"Kau berani membuat tercemar namaku?" kemudian
kata Cie Kie dalam murkanya. "Kenapa kau bokong orang
dengan tendanganmu" Apa ini perbuatannya seorang kang-
ouw?" Siau Hoo insyaf dengan cepat, maka segera Ia lari
menghampiri Cie Kie.
"JananIah katu hajar dia karena aku." kata Ia, "Aku
datang kemari untuk angkat besi, buat minta kau suka jadi guruku, tapi bukannya buat layani dia ini! Biar dia ganggu aku, aku tidak hendak meladeninya! Perkara dia ada
perkara belakangan!"
Cie Kie masib menyabet beberapa kali mendupak juga,
kemudian dia mengusir:
"Pergi! Pergi hari ini juga dari Long tiong! Mulai hari ini kau jangan kenal aku pula! Pergi! Atau aku nanti maui
jiwamu!" "Sudah, sudah," Siau Hoa memohon pula. "Sudahlah,
Toaya ?" Chio Seng merayap bangun, mukanya, babak belur dan
penuh darah, kedua lengannya juga matang-biru, sedang
pakaiannya kotor dan rubat-rabit. Sekarang barulah ia mirip dengan julukannya: Hoa Thayswee, atau si Dato Belang,
hilanglah ketengikannya. Dengan bungkam dan tunduk ia
ngeloyor ke istal.
Cie Kie dengan cambuk di tangan, masih mengawasi
sekian lama dengan air mukanya tetap merah padam,
selang sekian lama baruah dia dapat sabarkan diri.
"Bagaimana" Apa hari ini kau kuat angkat besi itu?" ia tanya SiauHoo, suaranya sabar.
"Lihat saja," sahut Siau Hoo, dengan sabar sekali. Ia
lantas coba angkat besi itu, ia mencoba sampai enam atau tujuh kali, ia masih tidak mampu angkat tinggi-tinggi.
"Gagal, gagal!" kata Cie Kie sambil tertawa. "Tenagamu masih jauh daripada cukup, kau masih mesti berlatih setiap hari. Sebenarnya ini tidak sukar, asal kau sabar dan hati mantap, asal setiap hari kau belajar rajin, lambat laun kau akan berhasil. Setelah kau kuat angkat besi ini, aku akan terima kau sebagai muridku."
Siau Hoo mengucap terima kasih untuk nasihat itu.
"Begini caranya kau mesti angit besi ini," Cie Kie kata seraya berikan penghunjukannya, sesudah mana, ia terus jalankan dua rupa ilmu silat dengan tangan kosong dan satu rupa dengan mainkan pedang.
Siau Hoo terpesona saksikan kegesitan dan keuletannya
jago Long-tiong, ia terutama kagum buat persilatan pedang.
"Dengan mendapati guru semacam ini apabila aku sudah
lulus belajar, mustahil aku tak dapat malang melintang di kolong langit?" ia ngelamun. "Hanya ini sepotong besi yang jadi penghalang!"
Sehabisnya berlatih, Cie Kie lantas berlalu dengan ambil jalan pintu kecil.
Itu waktu Chio Seng sudah siap, ia bawa buntalannya, ia naik kudanya dan pergi, ketika Ia lewati Siau Hoo, ia deliki bocah kita.
Siau Hoo tidak perdulikan orang jail itu, ia hanya
pikirkan toya besi. Setelah beristirahat, ia coba angkat pula, habis mengangkat, ia beristirahat. Demikian seterusnya sampai dua atau tiga-puluh kali, sesudah tenaganya habis, lengan dan pundaknya pada sakit, waktu-pun sudah lewat tengahari.
"Mari dahar dahulu!" datang satu bujang, yang
mengundang. "Toaya minta masuk kedalam untuk dahar,
setelah itu, kau boleh berlatih pula."
"Terima kasih," sahut Siau Hoo seraya ia ulapkan
tangannya. Dengan lesu ia hampirkan kudanya buat
dituntun keluar, kemudian ia pulang ke Tong-kwan, ke
hotel paling dahulu ia bersantap, lantas Ia rebahkan diri.
"Cie Kie harus dihormati," pikir Ia, yang telah saksikan kegagahannya, kebencian pada perbuatan jahat dan manis budi juga, "Bagaimana kalau aku tetap tidak kuat angkat besi itu" Dengan gagalnya mendapatkan bugee sempurna,
mana aku bisa menuntut balas?"
Oleh karena ini, ia jadi masgul.
Sorenya, Kim-kah-sin datang pula.
"Besok tetap aku akan berangkat mengantar piauw ke
Lou-ciu," kata piauwsu ini. "Aku dengar Thia Pat kirim surat undangan kesana sini, boleh jadi untuk satrukan kau, dan itu perlu kau waspada, atau paling baik kau lekas
pindah ke rumahnya Chie Kie ?"
Siau Hoo geleng-geleng kepala.
"Itulah perkara kecil, aku tidak takut," katanya. "Baiklah toako jangan kuatir, pergilah dengan hati tetap."
Kim-kah-sin sibuk sendirinya, ia tidak berdiam lama,
lantas ia pamitan pulang.
Keesokannya, Siau Hoo bangun pagi-pagi sekali, ia naik kudanya dan pergi ke Teng-jie-pau, kerumahnya Cie Kie, dimana Long Tiong Hiap sedang berlatih seorang diri.
Siau Hoo tambat kudanya, ia hampiri besi untuk
diangkat sampai tiga kali, ketiga kalinya gagal, maka ia mencoba untuk keempat kalinya. Sekali ini Ia kerahkan
semua tenaganya. Ia berhasil mengangkat sampai dua kali, ia mencoba terus. Selagi Ia menggangkat dengan
berdengingan, hampir ia berhasil, sekonyong-konyong ia
rasakan dadanya sakit, matanya gelap, ia mantahkan darah hidup, suara muntahnya terdengar keras juga.
Cie Kie masih berlatih, ia tidak lihat keadaannya Siau Hoo itu.
Siau Hoo rasakan tenaganya habis, berbareng dengan itu, hatinya jadi tawar dan dingin. Besinya sudah lantas
terlepas. Ketika Ia duduk, ia lihat darah mengotori besi.
Tanpa terasa ia kucurkan air mata. Dengan tindakan
pelahan Ia hampirki kudanya, ia loloskan tambatannya dan tuntun kuda itu keluar. Sesampainya diluar, dengan susah payah ia naik atas kudanya itu, yang Ia terus berjalan pelahan-lahan, air matanya terus meleleh keluar. Ia menuju ke Tong-kwan.
"Aku tak dapat tinggal lebih lama pula disini," pikirnya.
"Dengan aku tidak mampu angkat besi itu, aku main untuk angkat Long Tiong Hiap sebagai guruku. Hari ini perlu aku beristirahat, besok aku hendak berangkat kemana saja ?"
Ia menuju ke Hok Lip Piauw Tiam, ketika Ia sampai di
depan pintu piauwtiam itu, sampaikan malas untuk turun dari kudanya maka itu, dua kali ia memanggil dua kali ia memanggil dari atas kudanya.
Yo Sian Tay adalah yang muncul paling dahulu.
"Apa Ciauw Ciangkui sudah berangkat?" Siau Hoo
tanya sahabat ini.
"Sudah berangkat, barangkali baru melalui dua atau tiga puluh lie," sahut Sian Tay. "Ada urusan apa, lauwtee?"
"Tidak," sahut Siau Hoo sambil geleng kepala dengan
ogah-ogahan. "Lauwtee, mari turun," Sian Tay mengundang. "Mari
masuk! Sebentar aku ajak kau ke Gang Bie-jin, disana ada
satu nona muda yang elok sekali, umurnya sepantaran kau!
Dan sebentar sore Tan Cit-ya hendak ajak kau adu
peruntungan pula ?"
"Tidak, sekarang tidak bisa," Siau Hoo geleng kepala
pula, "Sekarang aku sangat letih, aku ingin berstirahat.
Sebentar malam aku nanti cari kau ..."
Sehabis berkata begitu, Siau Hoo jalankan kudanya
pulang ke hotelnya, baru saja sampai dimuka pintu, dari sebelah depan ia lihat beberapa orang lari mendatangi, semua membawa toya. Selagi Ia mengawasi mereka itu,
diluar tahunya dari belakangnya ada orang betot dia turun, hingga ia terjatuh rubuh. Ia lantas mengerti tentulah Thia Pat yang cari gara-gara, maka itu, sambil merayap bangun Ia merasa sangat gusar. Ia pikir mau ambil goloknya akan layani mereka itu. Tapi ia cuma bisa berpikir, sebelum ia berbangkit, orang telah tubruk ia, hingga ia rubuh pula, sesudah mana berulang-ulang toya turun menimpa ia. Ia
coba berontak, ia mencaci kalang kabutan, tapi apa mau serangan ada terlalu gencar, antaranya ada yang mengenai kepalanya sampai Ia pusing, maka dilain saat, ia jatuh pingsan.
Perhubungan lalu lintas di jalan jadi terputus. Banyak orang terpksa berhenti, semua lantas tonton pengeroyokan itu. Namun tidak ada orang yang berani maju untuk
memisahkan, sebab orang tahu, pihak penyerang adalah


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thia Pat, dan si korban ada satu kacung tidak dikenal, asal lain kampung.
Sekali-pun Siau Hoo sudah rebah sebagai mayat, madh
ada saja orang-orang yang meughujani toyanya.
Justeru itu dan arah Timur ada satu penunggang kuda
larat mendaaagi dengan kudanya.
"Tahan! Tahan!" demikian orang itu berterak berulang-
ulang, tangannya mengulap-ulapkan cambuknya.
Banyak orang segera menoleh dan mereka kenali Long
Tiong Hiap Cie Kie.
Dan sekalian tukang keroyok itu masih ada beberapa
orang yang terus gebuki Siau Hoo.
Cie Kie jadi gusar, ia hunus pedangnya yang
berkeredepan, maka barulah sekarang orang berhenti
menganiaya dan mundur.
Long Tiong Hiap loncat turun drin kudanya, ia lihat
orang yang rebah sebagai mayat itu, yang ia kenali adalah si anak bengal dan ulet, yang bertekad untuk angkat dia
menjadi guru. Bocah itu telah babak-belur dan mandi
darah. Tanpa menasa Ia jadi berkasihan.
"Coba tolong bawa dia ke rumahku," ia lantas berkata.
Beberapa orang lantas maju, akan berikan bantuannya,
maka selang tidak lama Siau Hoo sudah dibawa ke Chie-
kee-chung direbahkan di dalam rumah. Beberapa bujang
lantas tolong bersihkan tubuhnya, akan pakaikan obat
padanya. Lama juga telah berselang, baru kacung ini sadar akan
dirinya, akan terus merintih. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya.
"Bersabarlah dan rawat dirimu," Cie Kie menghibur,
"luka-luka bekas toya gampang disembuhkannya. Kalau
nanti kau sudah sembuh, aku akan coba bikin kau puas."
Siau Hoo bersenyum dingin, kelihatannya Ia hendak
bicara tetapi tidak bisa, ia cuma bisa meringis, dengan pejamkan mata ia merintih pula.
Demikian selanjutnya anak muda ini berdiam di
rumahnya Cie Kie. ia dapat kenyataan, tuan rumah sering datang tengoki Ia dan semua bujang, yang rawati ia,
sikapnya telaten. Ia dapat kemajuan baik, dan bisa geraki tubuh, ia sampai bisa turun dari pembaringan, hanya untuk berjalan ia masih berasa sakit pada kedua kakinya. Untuk bisa berjalan, ia mesti minta bantuannya tongkat. Adalah sejak itu, Cie Kie tidak sering datang pula, tetapi rawatan bujang-bujangnya tetap telaten.
Banyak hal sudah lewat, Siau Hoo bisa lepaskan tongkat, ia bisa jalan dengan pelahan-lahan. Ia masih merasa sedikit sakit pada kedua kakinya, ngentak atau ngilu.
Kamarnya Siau Hoo ada di ruangan Timur, lantaran dari
itu adalah tempat latihan silat, maka itu tempo Siau Hoo jalan-jalan di latar, matanya lantas kebentrok tiga potong besi yang besar dan berat! Ia pandang "satrunya," hatinya berkobar pula ingin sangat untuk coba angkat pula besi itu.
Ia bertindak mendekati, ia mengawasi, hatinya memukul.
"Hayo lekas sembuh!" katanya dalam hatinya. "Aku
tidak nanti pergi dari sini, kecuali sesudah aku sanggup angkat besi ini! Tanpa aku mampu mengangkatnya, Long
Tiong Hiap tidak man terima aku sebagai muridnya!"
Ketika itu ada terdengar tindakan kaki kuda, kapan Siau Hoo menoleh, ia lihat Cie Kie mendatangi di atas kuda
hitamnya, di belakangnya ada mengiringi tiga bujang yangpun menunggang kuda. Mereka turun di latar.
"Apa lukamu sudah sembuh?" tanya Cie Kie selagi Ia
datang menghampiri.
"Sudah sembuh banyak," sahut Siau Hoo dengan
sikapnya sangat menghormat.
"Coba buka bajumu," kata Cie Kie, yang periksa orang
punya luka ditubuh, dan juga di kaki, dimana masih ada bekas-bekas atau tanda hitam. "Lagi sepuluh hari kau akan sudah sembuh betul."
Selagi mereka bicara, kesitu-pun ada datang satu
penunggang kuda dengan kudanya bulu putih, kuda itu
kecil, penunggangnya berumur tujuh atau delapan belas, romanya
cakap dan gagah, pakaiannya mewah, dipinggangnya ada tergantung pedang.
Cie Kie memanggil sambil manggut ketika anak muda
itu sudah turun dari kudanya.
"Ini ada anakku, Ga In," Ia kata pada Siau Hoo setelah anak tanggung itu datang dekat padanya. "Ia telah belajar silat sepuluh tahun, pelajarannya hampir sempurna. Kalau nanti kau ketemu Pauw Kun Lun dan Liong Cie Teng
semua, bilang pada mereka bahwa Long Tiong Hiap
bukannya orang yang gampang untuk diperhina, dengan
hanya ajak anakku ini, aku sanggup layani mereka semua.
Malah, lambat laun, kita nanti cari sendiri pada mereka itu untuk coba-coba kepandaian kedua pihak!"
Tampangnya Cie Kie tidak perlihatkan air muka manis
budi seperti biasanya, hingga Siau Hoo menjadi heran. Ia tadinya hendak minta keterangan tetapi jago itu sudah
lantas ajak anaknya ngeloyor pergi, masuk kedalam rumah.
Masih Siau Hoo ternganga sekian lama.
"Liong Tiong Hiap perlakukan aku baik sekali, kenapa
sekarang Ia berubah begini?" ia kata dalam hatinya, ia menduga-duga. "Kenapa dia agaknya bersikap tawar
kepadaku" Tentang ini aku mesti minta keterangan dari
padanya." Sejak itu, Siau Hoo tidak lihat Cie Kie datang pula
padanya, dan ketika Ia coba minta pertolongan satu bujang akan minta Cie Kie datang, jago itu tetap tidak muncul.
Sementara itu, lewat pula beberapa hari, luka-lukanya
Siau Hoo sudah sembuh semua, hingga ia bisa jalan seperti biasa pula. Ia tetap masih tak dapat bertemu kepada tuan rumah, hingga ia tetap merasa heran.
"Apakah aku pernah berbuat salah?" tanya dirinya
berulang-ulang, dengan ia merasa sangat masgul. Karena ini, ia jadi sibuk sendirinya, hatinya tidak tenteram.
Hari itu, karena sudah tidak sabaran, Siau Hoo kata pada pelayannya: "Tolong kau beritahukan Cie Toaya, bahwa
aku sudah sembuh betul, aku sudah bisa jalan, bergerak dan lari-larian seperti biasa. Minta Toayamu suka ketemui aku, satu kali saja, ada urusan penting yang aku hendak
bicarakan."
Pelayan itu agaknya bersangsi, akan tetapi Siau Hoo
mendesaknya. "Baik, aku nanti pergi kedalam akan lihat Toaya," Ia
kata. "Aku hanya kuatir Toaya tidak ada dirumah ..."
"Jikalau dia ada dirumah, biar bagaimana aku ingin
sekali saja bertemu kepadanya," Siau Hoo tegaskan. "Aku ingin bisa bicara untuk beberapa kata saja."
Pelayan itu manggut, ia lantas berlalu.
Siau Hoo menantikan, ia sabarkan diri, akan tetapi
selang sekian lama bujang itu belum juga kembali, mau atau tidak Ia kembali ia sibuk pula. Ia lantas saja jalan mundar-mandir.
"Heran, Cie Kie ini sebenarnya orang macam apa?"
katanya dalam hatinya. "Aku toh tidak lakukan kesalahan
apa juga terhadapnya" Bukankah itu hari dia telah tolongi aku dan surub aku berdiam disini di mana Ia rawat aku
dengan baik" Kenapa sekarang ia nampaknya tawar
terhadap aku" Apa bisa jadi Thia Pat telah gosok-gosok dia"
Aku ada satu laki-laki, jikalau dia tidak puas terhadap aku, dia boleh omong terus-terang didepanku!"
Selagi anak tanggung ini berpikir keras, pintu ada yang tolak, lantas kelihatan si pelayan tadi dengan membawa buntalan kecil dan goloknya, bersama dia ini ada Cie Gan In dengan thungsha sutera biru, tampangnya tenang.
"Saudara Kang, lukamu sudah sembub, aku girang, aku
beri selamat padamu!" kata tuan rumah yang muda ini,
sikapnya menghormat, "Ini ada pauwhok saudara, ayah
yang sengaja ambil ini dari rumah penginapan. Sekarang terserah kepadamu, saudara Kang, kalau kau suka, kau
boleh berdiam pula disini dua hari, jikalau tidak, kau ada merdeka untuk berangkat sekarang juga. Aku harap lain
hari kita nanti bisa bertemu pula ..."
Siau Hoo melengak. Itu adalah kata-kata yang Ia tidak
sangka, yang ia tidak harap. Tapi Ia segera insyaf.
"Apakah Toaya ada dirumah?" tanya Ia.
"Ya, ada," Gan In manggut. Sekarang dia-pun bersikap
dingin. "Kalau Toaya ada di rumah, aku mohon dia suka
menemui aku, sebentaran saja," Siau Hoo bilang. "Aku
datang dari tempat ribuan lie, maksudku adalah untuk
angkat dia meujadi guru. Bahwa aku tidak mampu angkat
besi, itulah peruntunganku, aku tidak berdaya, apaboleh buat terpaksa aku mesti pergi kelain tempat untuk berlatih pula. Kapan saja setelah aku sudah kuat angkat besi itu, waktu itu aku akan datang pula kemari. Tapi Toaya sudah tolong jiwaku, disini aku tetah menggerecok dan merugikan
buat banyak hari maka justeru sekarang aku sudah sembuh, sudah seharusnya aku ketemui Toaya, aku ingin berlutut didepannya untuk menghaturkan terima kasihku, kemudian sesudah bicara sedikit, aku akan lantas pergi dari sini."
"Oh, itulah tidak usah!" kata Gan In sambil tangannya
digoyang-goyang. "Orang kang-ouw memang biasanya
saling membantu, bantuan itu tidak berarti, maka saudara Kang, jangan kau pikirkan itu. Baiklah kau lekas pulang ke Tin-pa! Umpama kata kau anggap kita ayah dan anak ada
sahabat-sahabat baik darimu, jikalau nanti telah datang saatnya kita kebentrok dengan pihak Kun Lun Pay, sudah bagus apabila kau tidak campur-mencampur tahu! Dan
kalau nanti kau sudah pulang ke Tin-pa," Gan In
tambahkan, dengan tertawanya diugin, "kau boleh
sampaikan pada Pauw Cia Hui, Liong Cie Teng, Liong Cie Khie, Kee Cie Beng, Kat Cie Kiang semua, bahwa kita ayah dan anak, akan pergi cari mereka kelak dimusim ketiga, untuk mana mereka harus bersiap-sedia!"
Sehabis berkata begitu, Gan In tubuhnya hendak pergi.
Siau Hoo segera mencegah, ia banting-banting kaki.
"Cie Toako, aku tak mengerti kata-katamu ini!" katanya.
"Benar aku ada anak dari muridnya Pauw Kun Lun akan
tetapi aku sendiri adalah musuh mereka!"
"Siapa percaya kau!" kata Gan In dengan nyaring,
seraya ia dorong Siau Hoo.
Hampir saja Siau Hoo rubuh, lekas ia memburu akan
tarik orang punya tangan.
"Jikalau aku Kang Siau Hoo omong dusta sepatah kata
saja, biar Thian binasakan aku dan Bumi musnahkan
tubuhku!" ia bersumpah seraya tepuk-tepuk dadanya.
"Ayahku telah dibunuh oleh persaudaraan Liong, sudah
begitu, aku tersiksa dirumahnya Pauw Kun Lun dimana
aku mesti angon babi! Juga Pauw Cie Liem ada sangat
menghina aku! Aku bisa kabur karena aku telah lukai
persaudaraaa Liong itu! Aku hendak belajar kepada
ayahmu justeru karena aku berniat cari kepandaian untuk nenuntut balas!"
Siapnya Gan In berubah pula, ia jadi lebih sabar, selagi ia hendak buka mulutnya, tiba-tiba kelihatan Cie Kie
muncul, air mukanya merah, penuh dengan kegusaran
tangannya mencekal dua pucuk surat.
"Jangan percaya sangkalannya yang licin ini!" berseru
jago ini. "Dia ada orangnya Pauw Kun Lun, dia diutus ke mari untuk cari tahu hal ikhwal kita, supaya mereka dapat tahu tindakan kita, agar mereka bisa beriap menangkisnya!"
Ketika dia sudah datang dekat, dia tonjolkan dua pucuk surat itu pada si bocah she Kang itu terus dia tambahkan:
"Jikalau aku tidak buka dua pucuk surat ini, hampir aku kena diperdayai olehmu! Sekarang kau lekas pulang, kau beri tahu Pauw Kun Lun, bahwa di musim ketiga aku mau
pergi ke Cie-yang, ke Tin-pa, untuk tempur mereka, untuk cari keputusan siapa menang siapa kalah! Umpama kau ada mempunyai liangsim, itu waktu jangan kau bantui mereka, kalau tidak, pedangku tidak mengenal kasihan!"
Siau Hoo bingung, ia pun sangat sibuk.
"Apakah artinya ini," ia berseru, ia banting-banting kaki.
"Aku tidak kenal mata surat! Dari mana datangnya surat-surat itu?"
"Tok kau yang bawa, bukan?" Long Tiong Hiap tertawa.
"Aku dapatkan dua pucuk ini dari dalam buntalanmu! Ini ada suratnya Pauw Cie In dari Kun Lun Pauw Tiam di
Han-tiong, siapa telah utus kedua saudaranya seperguruan, Thio Cie Kie dan Biauw Cie Eng ke Seng-touw untuk
disampaikan pada Ngo-bie-houw Lie Tay Seng, bantuan
siapa hendak diminta guna satrukan aku supaya aku bisa dicegah pergi satroni mereka, karena Lie Tay Seng akan merintangi aku!"
Siau Ho berpikir, tapi sukar tidak lama, segera ia ingat.
Maka segera Ia menghela napas lega.
"Oh, Cie Toaya, kalau begini, kau fitnah aku ... " berkata ia akhirnya, "Sikapmu ini membuat aku penasaran. Baik
aku tuturkan kisahnya dua pucuk surat ini. Ketika aku
buron dari Tin-pa, aku naik kuda putih, lantas waktu aku menyingkir dari rumah makan di Ban-goan, aku lolos
dengan kuda hitam itu, malam aku mondok dalam kuil
bobrok di Soan-hoan, disitu kudaku ada yang curi, tetapi kuda itu binal, ditengah jalan dia membuat pencurinya
tergelincir jatuh hingga terluka dan mati di tepi jalan. Sia-sia saja aku cari kuda itu, malah sebaliknya aku kena
ditangkap, dituduh sudah curi uangnya si penjahat dan
binasakan juga padanya. Syukur bagiku, aku bisa minggat dari tahanan. Ditengah perjalanan buron, aku ketemu Pa-cu Ngo Kim Piu. Dia ajak aku naik bukit Siang Cu San. Aku tidak sudi jadi berandal, suatu hari ketika mereka turun gunung akan cegat serombongan kereta piauw yang katanya dilindungi oleh murid-murid Kun Lun Pay, aku ditinggal diatas bukit buat tunggu rumah. Ketika itulah aku gunakan untuk merat. Ketika aku turun gunung, aku ambil sejumlah uangnya kawanan berandal itu. Di tengah jalan aku
kemalaman. Waktu itu, dua penungang kuda kejar aku.
Aku rubuhkan mereka satu antaranya aku lukai, lantas aku kabur lebih jauh dengan rampas seekor kudanya.
Buntalanku ini adalah yang aku rampas dari orang itu, yang tadinya tergantung di atas kuda. Buntalan ini terisi uang dan dua pucuk surat ini. Aku buta huruf, surat-surat itu aku tidak buang, aku terus bawa-bawa sampai sekarang ini.
Mendengar perkataanmu Cie Toaya, sekarang aku
mengerti, dua penunggang kuda korbanku itu adalah dua
muridnya Pauw Kun Lun, pelindung dan iring-iringan
kereta piauw itu."
Cie Kie berpikir apabila Ia dengar keterangan itu.
"Apakah kau bicara yang sebenarnya?" tanya ia.
"Jikalau aku mendusta, aku sumpah akan binasa tak
keruan!" Siau Hoo sumpah pula. "Pauw Kun Lun dan
persaudaraan Liong sudah bunuh ayahku, karena itu ibuku, dengan ajak adikku, sudah menikah pula hingga aku
ditinggal sebatang kara. Inilah sebabnya kenapa aku hendak cari guru, supaya di belakang hari aku bisa pulang untuk mencari balas! Cie Toaya asal kau sudi terima aku jadi murid dan ajarkan aku silat dua tahun lamanya, lantas aku akan berangkat pergi. Dalam kalangan Kun Lun Pay itu,
kecuali Ma Cie Hian dan Lou Cie Tiong berdua, semuanya hendak aku banasakan!"
Cie Kie bersenyum tawar, lantas ia dekati kacung itu dua tindak.
"Apa benar kau ada sedemikian kesusu untuk balas sakit hati ayahmu terhadap Pauw Kun Lun dan persaudaraan
Liong itu?" ia tegasi.
"Benar, Toaya," sahut Siau Hoo, yang terus saja
mengucurkan air mata. "Hari ini aku belajar serupurna, besok aku nanti pergi! Sebelum aku binasakan persaudaraan Liong, apa juga aku tak akan kerjakan, apa yang aku tak dapat pertahankan adalah itu permusuhan dari ayahku!"
"Baik!" Cie Kie kata. "Hari ini juga kita berangkat,
paling dulu ke Cie-yang kemudian ke Tin-pa, untuk
balaskan sakit hati ayahmu itu! Aku nanti adu kepandaian dengan mereka itu, untuk pastikan siapa jantan dan siapa
betina, habis itu kita kembali ke Long-tiong, mulai saat itu nanti aku ajarkan bugee padamu."
Siau Hoo girang bukan main mendengar kata-kata itu,
hingga ia berhenti menangis dan terus tertawa, ia lompat dan berjingkrak.
"Bagus, bagus, Cie Toaya!" Ia berseru. "Mari kita
berangkat! Toaya entah hendak ajak berapa banyak orang?"
"Satu orang juga aku tidak mau bawa!" jawab Cie Kie
sambil geleng kepala. Kita pergi berdua saja! Sekalipun kau turut, pada waktunya bertempur kau tidak boleh ambil
bagian. Dengan andalkan saja sebatang pedangku, aku
tangung Pauw Kun Lun nanti tekuk lutut di depanku.
Diantara tigapuluh muridnya, mesti ada yang terbinasa atau terluka!"
Siau Hoo melengak, demikian-pun Gan In, saling
terperanjat. "Ayah, apakah tidak baik jikalau kau berdamai dahulu
dengan saudara Kang?" kemudian kata sang anak pada
ayahnya yang Ia menghampiri. "Atau apakah tidak baik
aku-pun turut bersama?"
"Kau tidak boleh turut, kau perlu berdiam di rumah,"
Cie Kie bilang, tangannya diulapkan.
"Hanya, ayah," kata sang anak yang bersangsi, "aku
dengar, Pauw Kun Lun ada mempunyai banyak murid dan
sudah banyak diantaranya yang berkepandaian tinggi.
Kalau ayah bersendirian saja, bagaimana ayah sanggup
layani mereka?"
Tapi Long Tiong hiap jadi gusar.
"Kau jangan perdulikan aku!" ia bentak putranya. "Aku
sudah mengucapkan demikian, cara bagaimana aku mesti
tarik pulang itu?"
Lantas jago ini perintah orang siapkan kudanya, ia
sendiri terus masuk kedalam untuk dandan dan siapkan
pauwhoknya. Siau Hoo juga sudah lantas bawa keluar buntalannya, ia girang berbareng kuatir juga.
"Walaupun Cie Kie gagah, cara bagaimana seorang diri
Ia bisa layani Pauw Kun Lun semua?" Ia ragu-ragu dalam hatinya. "Tapi dia berani pergi, kenapa aku mesti jerih."
Memikir begini, ia jadi dapat semangat, maka ia terus
pergi ke istal.
Orang-orangnya Cie Kie kelihatannya masgul, tetapi
mereka semua tutup mulut.
Dua ekor kuda telah lantas disiapkan, seekor kuda hitam dan seekor berbulu putih mirip dengan salju, kelihatannya kuda ini lebih keren dari kuda hitam.
Tidak lama, dari dalam rumah muncul satu pegawai,
yaag membawa Cie Kie yang sangat sederbana, bersama
sebuah pedang panjangnya tiga kaki. yang terus dicantel dipealana kuda putih. Karena itu Siau Hoo taruh pauwhok dan goloknya di kuda hitam.
Segera juga Cie Kie muncul dengan roman yang
bersemangat. Ia pakai thungsha, dipunggungnya ada
tergantung tudung rumputnya yang lebar.
"Mari kita berangkat!" kata ia yang nampaknya girang
melihat kudanya sudah siap.
Cie Gan In kumpul bersama semua bujang, akan
mengantar sampai di pintu pekarangan.
Keduanya sambuti kuda dan loncat naik atas masing-
masing kudanya.
"Toaya, selamat jalan! Banyak selamat!" demikian doa
atau pujian dari semua pegawai.
Cie Kie menoleh pada semua orangnya, ia tertawa.
"Kau boleh masuk!" berkata ia, yang terus larikan
kudanya. Siau Hoo angkat kedua tangannya, akan hunjuk hormat
pada Gan In semua, kemudian ia susul jago itu.
Cie Kie larikan kudanya dengan tidak pernah menoleh
lagi, sekeluarnya dari mulai kampung, ia ambil jalanan ke Timur, cambuknya saban2 diayun. sikapnya gembira. Ia
terus jalan di sebelah depan. Adalah setelah belasan lie jauhnya, baru Ia berpaling kebelakang, tapi sekarang kota Long tiong sudah tidak tertampak pula. Ia pakai tudungnya ia terus larikan kudanya.
Kuda hitam dari Siau Hoo terus mengintil, si
penunggangnya senantiasa awasi jago dari Long-tiong itu.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau di rumahnya, Cie Kie kelihatan sebagai hartawan
satu wan-gwee, sekarang ia nampaknya sebagal seorang
kang-ouw yang ulung. Ia bermuka merah, matanya
bercahaya, pedangnya-pun berbunyi berulang-ulang.
"Dasar orang pandai bugee!" pikir Siau Hoo dengan
kagum. "Kalau nanti kami sampai di Cie-yang atau Tin-pa, Pauw Kun Lun semua niscaya tidak berani pandang enteng pada jago ini."
Selagi hari mendekati tengah hari, dua orang yang sudah lintasi empat-puluh lie lebih, lantas mereka cari dusun untuk singgah, untuk bersantap tengahari. Mereka dapat satu warung nasi yang kecil sekali, nasinya kasar, sayurnya tak sedap, akan tetapi Siau Hoo lihat Long Tiong Hiap
dahar dengan bernapsu. Hanya jago ini tidak minum arak sedikit jua, hingga ia yang ingin tenggak air kata-kata, mesti batalkan keinginannya. Ia malu sendirinya melihat jago ini tidak kemaruk arak seperti ia.
"Mari kita berangkat pula!" mengajak Long Tiong Hiap
setelah mereka dahar cukup. Jago ini bicara sambil
berseyum. Pun dialah yang membayar uang makan.
Mereka menuju ke Timur, belok ke Utara. Selama ini,
dua kali mereka ketemu rombongan kereta piauw. Melihat jago dari Long-tiong, lerotan kereta diberi berhenti, semua piauwsunya mengasi hormat seraya tanya, "Cie Toaya
hendak pergi kemana?"
Atas itu, sambil bersenyum Long Tiong Hiap membalas
hormat dan menyahuti: "Ada sedikit urusan, aku hendak
pergi ke Timur."
Setelah jago ini lewat, barulah kereta-kereta piauw diberi jalan pula. Siau Hoo heran dan kagum akan penghargaan
orang terhadap jago ini.
Hawa udara ada panas sekali, Siau Hoo tidak hanya
penuh keringat pada kepalanya, juga bebokongnya telah
basah, pun kuda hitam ada sangat binal, sukar untuk
dikendalikan, hingga dia mesti keluarkan tenaga berlebih-lebihan. Walau-pun demikian, kuda ini tidak sanggup
candak kuda putih yang jempolan. Kalau bocah ini telah mandi keringat dan napasnya memburu, tidak demikian
dengan Cie Kie yang tenang, sering-sering dia menoleh ke belakang sambil bersenyum, akan serukan: "Hayo lebih
cepat!" Buat lima atau enam puluh lie, Siau Hoo larikan
kudanya, lantas di sebelah depan kelihatan bukit dengan warnanya yang hijau. Cie Kie larikan kudanya ke arah
bukit itu, dimana orang yang berlalu-lintas saja jadi jarang
sekali. Makin lama bukit tertampak makin nyata. Dan
akhirnya mereka sampai di kaki bukit. Melihat mulut
gunung, tiba-tiba Cie Kie tahan kudanya. Karena mana
Siau Hoo-pun tahan kudanya dengan tiba-tiba, karena ini kudanya jadi ngadat, hampir saja Ia dibuat jatuh tergelincir, ia mesti gunakan tenaganya, sebab binatang itu masih saja berjingkrakan.
Dari sakunya Cie Kie keluarkan sebuah bungkusan kecil
dari sapu tangan, ketika Ia sudah buka itu, dari dalam mana ia jemput satu diantara dua rupa barang yang kecil.
"Sambuti ini!" berkata ia, yang lemparkan barang itu
pada kawannya. Siau Hoo menyanggapi, barang itu ternyata adalah
sebuah kelenengan kecil terbuat dari emas, yang digulung dengan benang, waktu benangnya dilepaskn, diantara
matahari kelenengan itu lantas kelihatan berkeredepan.
"Gantung itu pada kudamu!" kata Ce Kie sambil
bersenyum. Siau Hoo tidak mengerti untuk maksud apa, ia heran,
tetapi ia turut perintah itu.
Cie Kie sendiri telah ikat kelenengan yang satunya
dileher kudanya. Maka begitu lekas kedua kuda telah
dikasih jalan pula, kelenengan itu lantas berbunyi tidak berhentinya.
Selagi kaki kuda menerbitkan suara keras di batu
gunung, serangka pedang-pun turut perdengarkan suaranya, hingga semua suara berisik itu jadi berkumandang di
lembah-lembah yang sunyi.
Mau atau tidak, Siau Hoo jadi bergembira.
"Long Tiong Hiap benar ada satu tayhapkek, jago
terbesar," pikir dia. "Kecewa aku apabila aku tidak berhasil angkat dia jadi guruku ?"
Kacung ini mengikuti terus. Buat dua tiga lie tidak
pernah mereka ketemu orang. Hanya disaat hendak lewati habis mulut gunung, tujuh atau delapan orang kelihatan sedang menantikan mereka.
"Celaka, ada berandal!" kata Siau Hoo dalam hatinya.
Tetapi ia tidak takut. Kapan kedua pihak sudah datang
dekat satu pada lain nyata rombongan itu tidak bekal
senjata, sebaliknya mereka ada bawa arak, poci dan
cawannya. Dan yang jadi kepala lantas maju menyambut
dengan hormat: "Cie Toaya, kau hendak pergi kemana"
Hawa udara hari ini ada sangat panas, silahkan minum
dahulu! Atau silahkan Toaya mampir di atas gunung!"
Orang itu pakai baju besar, yang tidak cocok dengan
tubuhnya. Cie Kie membalas berkata sambil bersenyum.
"Terima kasih, aku tidak bisa minum, ada urusan
penting yang aku perlu bereskan." Ia menampik dan segera jalankan kudanya.
Sesudah jalan kira-kira setengah lie, Siau Hoo menoleh kebelakang, maka ia dapat kenyataan orang-orang tadi
masih berdiri di mulut jalan mengawasi mereka berdua.
"Sekarang loloskan kelenengan itu kalau ketemu gunung, baru gantung pula," kata Cie Kie. Dia-pun loloskan
kelenengannya sendiri.
Baru sekarang Siau Hoo mengerti, kelenengan emas itu
adalah tanda rahasia untuk berandal disepanjang bukit yang dilewati, dengan mendengar tanda itu, berandal tahu jago Long-tiong lagi lewat tidak saja mereka tidak diganggu,
bahkan mereka disuguhi arak dan diundang naik ke atas
bukit. Kembali tambah penghargannya Siau Hoo pada jago ini.
"Buat merantau, untuk dapatkan kedudukan sebagai ini,
entah orang perlu punya kepandaian bagaimana tinggi?"
pikir ia. "Kalau dia sampai di Cie-yang atau Tin-pa,
mustahil dia tidak dapat kalahkan persaudaraan Liong dan si tua bangka she Pauw. Hanya aku tidak mampu balasku
sendiri sakit hati ayahku, aku mesti mengandal pada lain orang, apa artnya itu bugiku" Apa gunanya kalau nanti aku peroleh kepandaian tinggi?"
Ingat demikian, Siau Hoo jadi berpikir.
"Tidak!" pikir Ia kemudian. "Sesampainya di Cie-yang,
walau Cie Toaya melarang, aku mesti serang sendiri
persaudaraan Liong, aku mesti dapat binasakan mereka itu dengan tanganku sendiri!"
Maka ini, ia larikan kudanya, untuk lombai jago Long-
tiong. Seperti yang disengaja, Ce Kie larikan kudanya dengan
tidak pernah ia ijinkan kuda hitam bisa lewati kuda putih, dan itu sia-sia saja Siau Hoo kabur dengan kudanya, tidak pernah ia dapat menyandak.
Sesudah mahgrib, kedua orang ini telah melalui dua-
ratus lie lebih, sekarang mereka sudah mulai memasuki
daerah distrik Lamkiang. Disini Cie Kie tidak ajak
kawaunya mencari rumah penginapan hanya dia mengajaknya kesebuah kampung dimana lantas saja
muncul belasan ekor anjing, yang sambut mereka dengan
suaranya yang sangat berisik, hingga beberapa chungteng sudah lantas keluar.
"Siapa?" mereka itu berseru dengan tegurannya,
kelihatannya mereka tidak senang. "Kenapa masuk ke
kampung tidak dengan turun dari kuda?"
"IniIah aku, si orang she Cie!" Long Tiong Hiap berikan jawabannya.
Baru mendengar jawaban itu, suara amarah lantas
berubah jadi suara dan sikap menghormat.
"Oh, Cie Toaya! Sungguh kita tidak menyangka ..."
Beberapa chungteng itu maju akan memberi hormat, dua
diantaranya lantas menyambuti kuda ketika Cie Kie dan
Siau Hoo sudah loncat turun dari kuda mereka. Selagi satu chungteng usir anjing, satu yang lain lantas mengundang dan memimpin masuk.
Di muka rumah, yang besar, dua tuan rumah sudah
lantas keluar menyambut. Sikapnya ada sangat menghormat. Cie Kie-pun berlaku hormat pada ke dua orang itu.
"Inilah muridku," kata dia, ia tunjuk Siau Hoo.
Bukan main girangnya Siau Hoo akan dengar kata itu,
lantas ia maju dengan toapan, akan beri hormat kepada
kedua chungcu itu, siapa sebaliknya lantas pimpin mereka masuk ke kamar tetamu.
Keda tuan rumah sudah berumur empat-puluh lebih.
Yang satu mukanya bundar dan montok, mukanya
berewokan hitam, yang satunya bermuka kuning, tubuhnya kate dan lemah sebagai anak sekolah.
"Kedua cungcu ini ada paman dan keponakan." Cie Kie
perkenalkan calon muridnya. "Ini Cie-bian-say Wan Yong dan ini Siu Pa Ong Wan Cu Ciauw, kedua-duanya tersohor buat di Sucoan Utara."
Siau Hoo berlaku hornat pada tuan rumah, siapa
sebaliknya ada perhatikan padanya. Mereka tanya Cie Kie, kapan Cie Kie terima muridnya itu, kenapa mereka belum pernah
lihat murid ini dan juga belum pernah mendengarnya. "Sebenarnya dia belum jalankan upacara untuk angkat
aku jadi guru dan aku-pun belum berikan pelajaran silat kepadanya," Cie Kie jawab sambil tertawa. "Sekarang
tolong perintahkan dahulu siapkan barang hidangan,
sebentar kita akan bicarakan pelahan-lahan pula."
Wan Cu Ciauw lantas perintahkan bujangnya untuk
lekas sajikan barang makanan.
Paman dan keponakan itu menyuguhi arak, tapi Cie Kie
tidak minum itu, karena mana, sekali-pun mengilar Siau Hoo turut tidak minum juga.
"Ah, sute, kau minumlah!" Wan Cu Ciauw mendesak.
"Diantara kita, gurumu tidak akan bilang apa-apa."
"Terima kasih," sahut Siau Hoo sambil berbangkit, ia
menolak dengan sikap sangat menghormat. "Dengan
sebenarnya, aku tidak bisa minum ?"
Cu Ciauw sudah angkat cawannya, karenanya ia jadi
kebogehan. Sementara itu, Cie Kie sudah tuturkan riwayatuya Siau
Hoo, bahwa sekarang Ia mau pergi ke Cie-yang dan
kemudian Tin-pa, akan cari persaudaraan Liong dan Pauw Kun Lun.
"Kita berangkat tadi pagi, belum satu hari kita sudah
melalui dua-ratus lie lebih," Cie Kie terangkan lebih jauh.
"Kita ingin singgah satu malam disini, besok kita berangkat ke Pa-cu-kwan melewati Bie Cong San, untuk sanpai di Cieyang. Aku insaf, pergi ke Utara ini akan layani tiga-puluh
lebih orang pihak Kun Lun Pay, bukan pekerjaan enteng.
Aku bukannya pandang tak mata pada mereka itu tetapi
sebenarnya mereka ada keterlaluan! Sudah selama sepuluh tahun aku berselisih dengan pihak Kun Lun Pay, sebegitu jauh
kita belum pernah kebentrok dalam artian sesungguhnya, maka sekali ini aku hendak cari keputusan.
Umpana mereka itu tidak sanggup lawan aku, selanjutnya aku hendak larang mereka datang ke Sucoan Utara.
Sebaliknya, apabila aku yang kalah, aku juga tidak akan datang pula ke Pa San!"
Cie Kie bicara dengan bersemangat, tuan rumah berdua
sebaliknya kaget.
"Cie Toasiok," kata Cu Ciauw, "kau pergi hanya berdua
sute aku anggap ada terlalu bersendirian ?"
Wan Yong kedipkan mata pada keponakannya. Tapi Cie
Kie bersenyum. "Kalau aku minta bantuan orang lebih baik aku jangan
pergi saja!" kata jago ini, suaranya sabar tetapi sifatnya tetap.
"Aku percaya Cie Toaya bakal menang." Wan Yong
bilang. "Pauw Kun Lun sudah tua, dan murid-muridnya-
pun belum ada yang sempurna pelajarannya."
"Tapi aku tidak pandang rendah usia tua dari Pauw Kun
Lun," Cie Kie bilang. "Aku-pun dengar, antara murid-
muridnya, ada Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong yang
pelajarannya sudah sempurna."
Sampat disitu Wan Yong geser pokok pembicaraan. Ia
hirup araknya. "Sesudah beberapa puluh tahun, baru sekarang aku
dapat tahu Long Toing Hiap ada punya murid!" katanya ia sambil tertawa. "Saudara kecil she Kang ini ada
pengalaman luar biasa, aku percaya dikemudian hari dia bakal angkat namamu, Toaya. Anakku-pun sekarang baru
berumur sepuluh tahun jangkap, ketika dahulu Toaya
datang, Toaya belum lihat dia " Ajaklah adikmu keluar,"
Ia tambahkan pada Cu Ciauw.
Sang keponakan itu sudah lantas undurkan diri.
Siau Hoo juga ingin tengok romannya cungcu muda itu
untuk dibandingkan dengan dirinya sendiri.
Lekas sekali Cu Ciauw sudah kembali bersana satu
bocah kurus dan kate, hanya pakiannya mewah.
"Mari, beri hormat pada Cie Siokhumu," kata Wan
Yong pada anaknya itu. "Bukankah kau ingin dapatkan
pelajaran yang istimewa" Untuk itu, tak dapat tidak, kau mesti angkat siokhumu ini sebagai guru!"
Bocah itu memberi hormat pada Cie Kie, kemudian
ayahnya perintahkan hormat juga pada Siau Hoo, tetapi ia diam saja, ia melainkan awasi tetamunya itu.
Wan Yong kuatir murid tetamunya gusar, ia lekas kata:
"Adikmu ini beradat dusun, itulah sebab dia belum pernah melancong, harap kau tidak buat kecil hati."
Siau Hoo tertawa, ia tidak kata apa-apa.
"Siapa namanya anakmu ini?" Cie Kie tanya. "Apa kau
sudah ajarkan dia silat?"
"Ia bernama Keng Goan, aku telah mulai didik padanya
sejak dia umur tujuh tahun," jawab Wan Yong. "Tubuhnya terlalu lemah, aku kuatir dia tidak kuat untuk pelajaran yang berat, maka aku pikir untuk dia pelajari saja bagian yang enteng."
"Pelajaran yang enteng ada sulit," Cie Kie kata, sambil bersenyum pula. "Untuk itu adalah Tiam-hiat-hoat, ilmu
totok jalan darah. Tapi Tiam-hiat-hoat tidak sembarang orang yang punyai ?"
Wan Yong berdiam untuk berpikir.
"Biar bagaimana aku mesti kirim dia ke luar buat belajar lebih jauh." Ia kata. "Kalau Ia tetap ikuti aku, dia tak akan dapatkan kemajuan!"
"Kau pandai merendahkan diri!" Cie Kie tertawa.
Wan Yong tertawa juga. Ia suruh anaknya duduk
bersama. Setelah bersantap, tuan rumah perintah sediakan kamar
untuk dua tetamunya bermalam. Keesoknya pagi ke dua
tuan rumah dan anak, beri selamat jalan kepada kedua
tetamu itu. Sesudah melalui kira-kira empat puluh lie, Cie Kie
berdua lintasi Pa-ju-kwan, lalu sampailah mereka dibukit Bie Chong San, perbatasan antara Sucoan Utara dan
Siamsay Selatan. Mereka sudah lantas gantung pula
kelenengan emas pada kudanya.
Cie Kie duduk atas kudanya dengan merdeka, matanya
melihat kesekitarnya. Sedari memasuki jalanan gunung
sampai sudah lewati itu. mereka tidak ketemu seorang
berandalpun. Selewatnya itu, mereka mulai masuk dacrah Han-tiong-hu. Cie-yang terletak disebelah Timur benar, dan Tin-pa berada di sebelah Timur-selatan.
"Segera aku akan sampai di kampung halamanku," pikir
Siau Hoo. "Lekas juga aku akan bertemu Ah Loan. Kapan
nanti Long Tiong Hiap tempur Pauw Kun Lun, pasti aku
akan bantu Long Tiong Hiap, hanya dengan begitu, apa Ah Loan tidak gusar padaku?"
Ingat ini, Siau Hoo jadi bersangsi.
"Tua-bangka she Pauw itu sudah berumur kira-kira
tujuh-puluh tahun, dia sebenarnya harus dikasihani," bocah ini jadi ngelamun. "Sebetulnya dia perlakukan aku baik juga, ayahku-pun bukan terbinasa di tangannya, aku
seharusnya peringatkan Long Tiong Hiap agar dia berlaku murah-hati dan jangan minta jiwanya tua-bangka itu ...
Lagipun, untuk pie-bu mesti dicari lain tempat, jangan itu dilakukan di rumahnya, supaya A Loan tidak kaget dan
ketakutan ?"
Siau Hoo berpikir demikian, akan tetapi pikirannya itu Ia tidak bisa utarakan pada Cie Kie, siapa maju terus dengan kudanya,
sikapnya keren, tidak pernah berpaling kebelakang, malah sekarang

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelenengannya tidak disingkirkan, seperti disengaja agar kelenengan itu berbunyi terus-terusan, sebagai tanda: "Awas, Long Tiong Hiap telah datang!" Jerih sendirinya Siau Hoo terpaksa bungkam terus.
Maju terus ke Timur, mereka telah melalui pula sepuluh lie, tiba-tiba di jalanan, motong dari Utara ke Selatan, ada lewat serombongan kereta piauw.
"Suhu, lihat!" berseru Siau Hoo tanpa merasa.
"Barangkali itu ada kereta piauw Kun Lun Pay ..."
"Jangan takut!" Cie Kie jawab sambil tertawa, seraya
terus Ia cambuk kudanya diberi kabur ke depan, untuk
hampiri rombongan kereta piauw itu.
Siau Hoo tidak mau ketinggalan, ia-pun kaburkan
kudanya mengejar. Hanya hatinya tegang. Ia percaya, satu bentrokan tak akan dapat dihindarkan!
Lekas sekali kuda putih sudah sampai pada rombongan
piauw, yang lantas dipotong, hingga rombongan jadi
terkutung dua. Siau Hoo turut memotong.
Selagi begitu, kelenengan dan kedua kuda berbunyi terus.
Kereta piauw jadi merandek karenanya, tukang-tukang
kereta dan piauwsunya ternganga. Kelihatan rombongan
piauwsu terdiri dari sepuluh orang kira-kira. Mereka
mengawasi, agaknya mereka heran.
Cie Kie pun awasi mereka, ia bersenyum-senyum, secara
puas. Kawanan piauwsu itu bicara satu sama lain, lantas
mereka jalani pula kereta-keretanya, terus ke Selatan.
Hanya beberapa kali saja mereka berpaling ke belakang.
"Semua mereka kenal aku," kata Cie Kie pada
muridnya, nampaknya ia sangat puas. "Tapi mereka tidak berani tempur aku! Ketahuilah olehmu bahwa menunggang
kuda dan menerabas kutung rombongan kereta piauw, buat di kalangan kang-ouw ada perbuatan paling tidak pantas, kalau ini dilakukan oleh lain orang, mereka tentu tidak akan mengasi ampun."
Siau Hoo yang dengar keterangan itu menjadi heran.
Ketika itu, tiba-tiba Long Tiong hiap menunjuk ke Barat.
"Lihat, di Barat sana-pun ada orang datang!" katanya.
Siau Hoo berpaling dengan cepat. Benar dari arah Barat ada kira-kira sepuluh penunggang kuda mendatangi,
kudanya dikasi lari keras, hingga debu mengepul naik.
"Entah siapa mereka" Apakah mungkin orang Kun Lun
Pay?" katanya.
"Mari kita lihat," kata Cie Kie, tangannya diulapkan.
Selagi rombongan itu mendatangi dekat, debu mengepul
semakin tinggi, kemudian segera terlihat tegas semua
orangnya, dua yang menjadi kepala, angkat tangan mereka
tinggi. Mengenali mereka, Cie Kie lantas hunjuk muka
tidak senang. Siau Hoo kenali Wan Yong dan keponakannya serta
Cung-teng pengiring mereka, jumlahnya sembilan orang,
Persekutuan Pedang Sakti 2 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1
^