Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 7

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 7


Disebelah depan, Lie Hong Kiat sudah siap sedia, ia
loncat turun dari kudanya, ia maju untuk memapaki. Terus saja ia tertawa.
"Kie Kong Kiat!" ia menegur ... "Apakah kau tidak bisa jalan kalau sendirian saja" Apakah sendirian saja kau tidak berani piebu?"
Mukanya orang she Kie itu berubah jadi merah.
"Tapi nona ini tidak akan bantui aku!" ia jawab dengan cepat. "Dia datang untuk menonton saja!"
Sambil menjawab
demikian, Kong Kiat hunus pedangnya, ia tantas maju dengan serangannya yang
pertama. Memutar dari bawah keatas ujung pedang
mengarah jantung.
Lie Hong kiat cepat geraki pedangnya menyampok,
kedua pedang beradu, setelah itu ia maju sambil balas
menyerang dengan satu bacokan. Pedangnya dari atas turun kebawah pula, hingga lagi-lagi kedua pedang bentrok,
karena Kong Kiat-pun menangkis tidak kurang sebatnya.
Ah Loan tidak dapat kendalikan dirinya kapan ia
saksikan pertempuran itu, ia loncat turun dari kudanya dan cabut gokoknya, terus ia maju kepada kedua pemuda yang sedang bertempur itu.
Lie Hong Kiat lihat orang maju, ia lekas mundur. Ketika ini digunai oleh Kong Kiat untuk merangsek. Disebelah dia, Ah Loan sudah mulai kirim bacokannya.
Hong Kiat tangkis goloknya Ah Loan, tapi Kong kiat
tikam padanya, maka dengan sebat iapun tangkis pedang, bergantian ia mesti elakkan diri dari kepungan musuh. Ia mesti melayani dua musuh yang tangguh. Sesudah
berselang dua puluh jurus, mendadak ia rasakan lengan
kanannya sakit, hingga ia menjerit. Terpaksa Ia berlompat memutar berbareng mana, kudanyapun turut lari juga.
"Bangsat!" Ah Loan berteriak. "Jangan lari!"
Nona ini hendak mengejar, tapi Kong Kiat samber
bahunya. "Aku telah lukai padanya, lukanya hebat!" kata pemuda
ini. "Biarlah dia pergi. Kita berdua umpama dapat tangkap dia yang bersendirian, itu bukan perbuatannya satu
enghiong!"
"Jangan pegangi aku!" Ah Loan berseru seraya ia
banting kakinya. Ia kibaskan tangannya hingga terlepas, ia lantas memburu.
Itu waktu Lie Hong Kiat sudah samber les kuda, ia telah loncat naik atas kudanya buat terus kabur ke Timur.
Ah Loan lari pada kudanya, setelah loncat naik, ia-pun mengejar.
Kie Kong Kiat terpaksa turut mengejar juga.
Dun orang ini menyusul dengan sia-sia saja, setelah
melalui tiga-puluh lie, bukan saja mereka tidak berhasil, malah Lie Hong Kiat sudah lenyap berikut bayangannya.
Ah Loan tahan kudanya dengan napas tersengal-sengal.
"Apakah ini masih belum cukup akan cuci bersih
malunya Kun Lun Pay?" tanya Kong Kiat pada si nona.
"Aku berani tanggung, sebelumnya Hong Kiat dapat lewati kota Tong-kwan, dia pasti sudah rubuh dari kudanya dan binasa! Nona, mari kita pulang!"
Ah Loan mendongkol bukan main, simpan goloknya, ia
awasi pemuda dihadapannya dengan mata bersinar.
"Pergilah kau jalan lebih dahulu, aku tidak sudi jalan sama-sama kau." kata ia.
Kie Kong Kiat tertawa.
"Kenapa, nona?" tanya ia yang tidak jadi gusar. "Nona, kita kaum kangouw tidak dapat bicara tentang lam lie siu siu put cin! (lelaki dan perempuan tidak boleh pegang
tangan satu sama lain bila tidak ada perlunya)."
Ah Loan rabah gagang goloknya, ia deliki pemuda itu.
"Kau bukannya orang baik-baik!" ia membentak dengan
murka. "Atas alasan apa kau bilang aku bukan orang baik-baik, nona?" tanya Kong Kiat sambil tertawa. "Aku justeru
kagumi kau!"
Ah Loan tidak ambil perduli, ia larikan kudanya.
Kong Kiat turut larikan kudanya.
Sekarang sepasang kuda lari seperti terbang, balik ke
Barat. Ah Loan disebelah depan, tidak pernah dia menoleh kebelakang.
"Jangan gusar, nona," Kong Kiat berkata pula
kemudian. "Sekarang aku berumur dua-puluh lima tahun
beristeri, aku ada sangat kagumi bugee dan kecantikanmu.
Nona ..." Ah Loan dengar itu, ia tetap tidak memperdulikannya, ia terus larikan kudanya.
Belum lewat jam tiga lohor, nona ini sudah kernbali di Lie Sun Piau Tiam, tapi sekarang di depan rumah ada
beberapa kereta dan beberapa ekor kuda yang tertambat.
"Oh, nona sudah pulang!" berseru satu orang, yang
berdiri dimuka pintu. "Lekas turun, nona, yaya-mu sudah datang!"
Orang itu ialah Chio Cie Yau, paman guru yang
matanya tinggal sebelah. Ia kelihatannya girang sekali.
Ah Loan-pun kaget berbareng girang mendengar
kedatangannya engkongnya, dia loncat turun dari kudanya dan lari kedalam.
"Engkong dimana?" ia tanya. Tapi kapan ia lihat tirai
dikamar Barat diangkat naik, ia lantas lihat engkongnya sedang bicara dengan beberapa muridnya, ialah Cie Kiang, Cie Tiong, Cie Liong dan Cie Hiap, yang semua berdiri
disamping dengan sikapnya yang menghormat.
"Yaya," nona ini berseru, ia terus lari menghampiri.
"Hawa udara begini panas, kenapa yaya datang juga?"
Pau Lookausu buka bajunya, ia sudah berumur tujuh
puluh lebih tetapi tubuhnya masih kekar bagaikan besi. Cie Liong, dengan kipas bulu yang besar mengipasi padanya,
hingga kumis-jenggotnya, yang seperti perak, bergoyang melambai tak berhentinya. Ia sebenarnya sedang bicara
dalam kemurkaan, tapi kapan ia lihat cucunya, terus ia tertawa.
"Ah Loan, kau lihat!" berkata engkongnya ini.
"Bagaimana rupa orang telah hinakan Kun Lun Pay! Aku
telah punyakan tigapuluh murid lebih, aku telah usahakan piau-tiam lebih daripada empat-puluh tahun, selama itu belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini! See-an ada kota besar, disini-pun ada Kat dan Lou Susiokmu,
tetapi toh satu bocah cilik Lie Hong Kiat masih bisa
malang-melintang!"
"Sudah, yaya, sudah, kau jangan gusar lebih jauh," Ah
Loan lantas menghibur. "Baru saja aku berdua lukai dia! ...
" Kat Cie Kiang jadi sangat ketarik hati ... "Dimana kau dapat lukai padanya?" ia tanya dengan cepat.
"Ditengah jalan dekat Wie-lam," sahut Ah Loan, yang
terus tuturkan hal pertempuran tadi.
Cie Kiang semua merasa puas, mereka kegirangan. Tapi
Pau Lookausu bersenyum ewah.
"Hm, sungguh kita harus mati karena malu!" kata ia
dengan suara seram."Orang telah hinakan Kun Lun Pay
tetapi lain orang, cucunya Liong Bun Hiap, yang mesti
balaskan penasaran kita itu!"
"Tidak demikian, yaya!" membantah Ah Loan. "Aku
yang tempur Lie Hong Kiat, golok lawan pedang, lantas
Kie Kong Kiat gunai ketika baik menikam Lie Hong Kiat!
Kie Kong Kiat sendiri tidak punya kepandaian yang berarti!
Luka didadanya Lie Hong Kiat parah sekali, ia kabur
dengan kudanya, mungkin sebelum keluar dan Tong-kwan,
dia bakal rubuh mampus dari kudanya itu!"
Pau Kun Lun lantas menghela napas.
"Dengan begitu, kita tambah satu musuh pula," ia
mengeluh. "Mana dia Kie Kong Kiat?" Cie Tiong tanya.
"Barangkali dia akan sampai belakangan," sahut Si
nona. Pau Cin Hui pakai pula bajunya.
"Sudah dua-puluh tahun lebih aku tidak pernah keluar
pintu lagi," kata jago tua ini pada cucunya, "tetapi sejak itu hari kau berangkat, entah kenapa hatiku terus tidak
tenteram, maka begitu lekas Chio Susiokmu pulang, aku
terus ikut dia. Di Han tiong, aku tidak mampir lagi, aku langsung saja kemari. Di Cin Nia aku berpapasan kepada Wan Cie Hiap, dari dia aku dapat tahu kejadian disini, maka aku cepatkan perjalananku."
"Apakah yaya sudah bersantap tengah hari?" tanya sang
cucu. "Aku sendiri, dahar pagi-pun belum."
Justru itu, Kie Kong Kiat sampai, ia terus bertindak
masuk. Pau Kun Lun berbangkit akan sambut pemuda itu.
"Kie Hian-tit, syukur ada kau yang membantu, kalau
tidak, murid-murid dan cucu muridku bakal habis semua!"
ia lantas berkata. "Kie Hiantit, terima kasih untuk
bantuanmu itu!"
Dengan sangat menghormat, sambil menjura, Kie Kong
Kiat membalas hormat.
"Loo-ciaupwee terlalu merendah," berkata ia. "Katamu
ini aku tidak sanggup terima!"
Kong Kiat ada sangat haus, maka ia lantas cari air
minum. Cie Kiang tahu bahwa Kong Kiat dan Ah Loan belum
dahar, dari itu ia lantas perintah koki lekas masak, buat sajikan barang makanan, malah gurunya ia undang dahar
bersama akan temani cucunya itu.
Tengah berdahar, Kie Kang Kiat tuturkan bagaimana
tadi malam ia sudah janji dengan Lie Hong Kiat untuk
piebu, bagaimana piebu itu sudah ambil tempat di Wie-lam dan ia telah berhasil melukakan orang she Lie itu. Tentang turutnya Ah Loan, ia tidak buka rahasia, ia hanya bilang, kebetulan dia ketemu si nona dipintu kota sebelah Timur, dan itu berdua mereka jadi berangkat sama-sama.
Cin Hui gembira bercakap-cakap kepada pemuda yang
cakap dan gagah ini, yang bicaranya rapi, sikapnya sopan santun, dengan tidak merasa ia jadi minum banyak, bicara dengan suara keras, dengan merdeka.
Setelah dahar cukup, Pau Kun Lun suruh cucunya
masuk untuk beristirahat, ia sendiri meneruskan mengobrol.
Selama itu, Lie Sun Piau Tiam ada ramai, karena ada
beberapa piausu dan guru silat yang datang untuk menemui jago tua itu, hingga Pau Kun Lun jadi repot melayani
mereka. Pau Kun Lun tidur bersama-sama Ke Kong Kiat dalam
satu kamar, maka itu sebelumnya tidur, mereka bisa
melanjutkan pasang omong. Kecuali tentang Liong Bun
Hap dan Siok Tiong Liong, jago tua itu tuturkan juga
tentang pengalaman-pengalamannya sendiri. Kemudian
jago tua ini tanyakan hal keluarga Kie. Setelah itu, Kong
Kiat menuturkan dalam perantauannya ini ia berhasil
menjatuhkan Kho Keng Kui dan Tiat pie-wan, bahwa
tigakali ia mendaki Tiong gak Siong San dimana Kim Lian Pau-sat Thay Bu Siansu sampai jauhkan diri, tidak berani lawan dia piebu. Sampai jam tiga lewat, baru mereka tidur.
Keesoknya pagi, Pau Cin Hui ajak cucunya perempuan
berlatih silat dipekarangan dalam, disitu Kie Kong Kiat turut memperlihatkan beberapa jurus permainan pedangnya yang berupa tipu-tipu simpanan dan Liong Bun Pay.
"Dasar ilmu silat turunan sejati," demikian pujiannya
Pau Cin hui. "Ini adalah ilmu yang jauh melebihi kita kaum Kun Lun Pay!"
Di itu siang, diam-diam Pau Loo-kausu himpunkan
semua muridnya, mereka membicarakan soal akan rekoki
jodohnya Ah Loan dengan Kie Kong Kiat, kemudian
diambil putusan, Lou Cie Tiong yang bicara kepada
pemuda itu. Tengahari diwaktunya bersantap, Cie Tiong ajak Kong
Kiat pergi kesebuah rumah makan, tengah dahar, orang she Loa itu timbulkan soal perjodoan itu.
Kong Kiat girang bukan main ini adalah apa yang ia
harap-harap, ia menyatakan akur, malah ia hendak segera serahkan barang tanda mata.
"Asalkan kau setuju, itu-pun sudah cukup," Cie Tiong
bilang. "Aku akan lantas sampaikan kesetujuanmu ini
kepada suhu. Suhu tidak akan berdiam lama disini,
mungkin dia akan lantas langsungkan pernikahan. Kau
berdua, supaya ia bisa pulang dengan pikiran tenang."
Cie Tiong benar-benar lantas pulang akan sampaikan
kabar pada gurunya.
Pau Cin Hui terima kabar dengan hanya manggut-
manggut saja, sesudah Cie Tiong ke luar, ia terus pergi ke kamar cucunya.
Ah Loan baru bangun dari tidur tengahari ia sedang
berhias menghadapi kaca, melihat engkongnya datang, ia menoleh sambil tertawa.
"Hawa begini panas, kenapa yaya tidak mengaso?"
Engkong itu geleng kepala, ia tertawa.
"Aku tidak kegerahan, aku-pun tidak ngantuk," ia
bilang. "Sudah dua puluh tahun aku diam di rumah, satu kali aku ke luar lagi aku merasakan diriku seperti jadi muda kembali!"
Terus ia duduk pada sebuah bangku, ia urut-urut
kumisnya yang seperti salju.
"Ah Loan, aku datang untuk sampaikan suatu kabar
girang!" kata ia kemudian sambil tertawa.
Cucu itu terkejut, dari muka kaca, ia lihat tampang
gembira dari engkongnya, yang tersungging senyuman.
Sejak ingatnya, belum pernah ia tampak sang engkong
gembira seperti ini.
"Ketika kau baru berangkat, bukankah aku telah omong
padamu?" kata pula sang engkong. "Kau merantau
pertama-tama untuk mencari pengalaman kedua buat cari
pasangan untuk kau sendiri. Kau sudah berumur dua puluh tahun lebih, tidak selayaknya kau beri lewat usiamu yang muda. Aku lihat Kie Kong Kiat, aku penuju dia, aku pikir hendak nikahkan kau kepadanya ... "
Ah Loan kaget sekali, hingga ia menjadi berduka
seketika, ia tidak bisa kata apa-apa. kecuali airmatanya
lantas turun meleleh dan menetes kelantai. Disaat ia hendak menggelengkan kepala, atau engkongnya telah berkata pula.
"Ada banyak yang aku hendak bicarakan padamu tetapi
biarlah aku jelaskan begini saja," demikian jago tua itu.
"Aku sudah berusia tinggi, ayah dan susiokmu semua
kepandaiannya belum sempurna. Musuh kita dikalangan
kangouw nyata bukannya sedikit, sementara dari kalangan Bu Tong Pay telah muncul angkatan muda yang lihay. Kau lihat sendiri, bagaimana liehaynya ilmu pedangnya Lie
Hong Kiat, kalau tidak ada Kie Kong Kiat, kita kaum Kun Lun Pay pasti sudah mesti habis. Sekarang aku juga dengar, Long Tiong Hiap dan belasan tahun yang lalu kabarnya
hendak datang kembali ke Han-tiong, buat tempur pula
orang-orang Kun Lun Pay. Maka dari itu, apabila kita tidak cari seorang yang berkepandaian tinggi untuk bantu kita, kapan satu hari kejadian aku meninggal dunia, lantas
ayahmu, encekmu, juga susiokmu sekalian, akan dihina
orang! Kie Kong Kiat ada cucunya Liong Bun Hiap, dia
pandai ilmu surat dan ilmu silat, dalam hal usia, roman dan kelakuan, dia sembabat dipasangi denganmu. Selanjutnya, dengan Kun Lun Pay atau keluarga Pau ada punya baba
mantu demikian gagah, kita boleh tidak usah jerih kepada siapa juga!"
Jago tua ini bicara dengan tegas tetapi suaranya sungguh-sungguh, dengan tercampur sedih, sedang dengan mata
tuanya, yang harus dikasihani, ia awasi cucunya itu.
Ah Loan menangis, ia ada sangat berduka, beberapa kali dia hendak buka mulut, tapi setiap kali batal, akhirnya ia seka air matanya, ia mengangguk.
"Anak yang baik, sungguh kau bikin hatiku lega",
katanya. "aku sekarang sudah berumur tujuhpuluh lebih, setelah beres mengurus halmu ini, habis sudah tugasku
seumur hidup! Umpama sekarang juga aku mesti menutup
mata, aku tentu merasa puas, hatiku tenteram ..."
Sesudah mengucap demikian, engkong ini berbangkit
akan bertindak keluar.
Malam itu didalam piautiam ada dibikin pesta
perjamuan. Disitu Kie Kong Kiat haturkan tanda matanya, pertunangannya dengan Ah Loan telah diresmikan. Telah
ditetapkan juga, pernikahan akan dirayakan sehabisnya
musim rontok. Bukan main girangaya Kie Kong Kiat karena
perjodohannya itu. Maka selanjutnya, setiap hari ia pesiar dengan menunggang kudanya, atau ia hadiri perjamuan-perjamuan. Hingga kemudian, dekat atau jauh, orang
banyak tahu, bahwa cucunya Liong Bun Hiap ini, adalah
bakal babah mantunya Pau Kun Lun, hingga ada banyak
piausu dan guru silat yang datang untuk berkenalan dan bersahabat.
Sebaliknya adalah Pau Ah Loan yang jadi sangat
berubah. Kalau tadinya dia ada gesit dan bersemangat,
sering pesiar dengan menunggang kuda, sekarang dia jarang keluar. Pau Kun Lun dan Cie Kiang semua, tidak
perhatikan perobahan ini, mereka sangka Ah Loan malu
dan hendak pegang teguh adat istiadat. Tidak demikian
dengan Thia Giok Go dan bujang-bujang perempuan
keluarga Kat itu. Mereka ini sering pergoki si nona duduk termenung atau menepas air mata. Mereka tidak berani
beritahukan hal itu pada siapa jua, mereka-pun heran dan tidak bisa duga kenapa si nona jadi bersusah hati.
Selama itu, sepuluh hari telah lewat. Hawa udara tetap panas. Kini jenazahnya Biau Cie Eng sudah selesai upacara penguburannya. Lukanya Kat Siau Kong dan Kim Cie
Yong serta yang lain-lain belum sembuh, tetapi ancaman
bagi jiwanya telah lewat. Selama itu telah datang juga Siang Cie Kho, Tan Cie Cun, The Cie Piu, Yo Cie Kin, hingga
bersama Cie Tiong Cie Kiang dan Lau Cie Wan, kaum Kun
Lun Pay ada berjumlah belasan. Kemudian Cie In dan Hantiong-pun datang menyusul.
Cie In menangis untuk kematiannya Cie Eng, pembantu
yang ia paling percaya dan sayang. Cie Eng pernah ikut Thio Cie Kie pergi ke Sucoan mengantar piau, di mana
Thio Cie Kie terbinasa di Siang Cu San ditangan penjahat, Cie Eng bisa loloskan diri tapi diluar sangkaan dia justeru binasa disini ditangannya Lie Hong Kiat. Maka itu Cie In jadi sangat berduka, lama ia menangis, baru ia dapat
dihiburkan. Ia girang ketika ia diperkenalkan dengan Kie Kong Kiat, siapa ia diberitahukan sudah ditunangkan
kepada Ah Loan.
Pau Lookausu girang dengan berkumpulnya sekalian
muridnya itu, ia hanya masgul kapan ia ingat kesulitannya pihak Kun Lun Pay.
Malam itu Cin Hui suruh Cie Kiang siapkan tiga meja
perjamuan. Ia duduk dimeja kepala ditemani oleh Cie In, Ah Loan dan Kong Kiat, serta muridnya. Ini ada
perjamuan yang menggirangkan orang bisa minum sambil
tertawa-tawa. Cie Tiong niat timbulkan soal melayani musuh-musuh
nanti. Kie Kong Kiat yang ketahui maksudnya segera
mencegahnya dengan kata: "Su-siok, baik tak usah kita


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebut-sebut lagi Lie Hong Kiat atau Liong Tiong Hiap.
umpama mereka itu benar datang, susiok semua tak usah
turun tangan, dengan pedangku aku nanti mundurkan
mereka semua. Sekarang ini hawa udara ada sangat panas, aku pikir nanti sehabis musim rontok, aku dirikan luitay dikota ini untuk adu kepandaian. Aku nanti lelang dan jual semua milikku untuk dipakai sebagai hadiah. Dengan jalan
itu aku berniat pukul rubuh semua orang-orang kangouw
yang tidak tahu diri, buat sekalian angkat nama baiknya Kun Lun Pay! Sekarang, di depan kongco, kita tidak boleh ucapkan kata-kata yang kurang baik sifatnya. Mari kita minum untuk bersenang-senang!"
Cie Cun semua setuju.
"Bagus!" kata mereka separuh bersorak.
Cie hiap bawa poci arak, ia hampirkan gurunya.
"Hari ini aku mesti suguhi suhu dengan tiga cawan
besar!" kata ia. "Toa-suheng juga mesti minum tiga cawan!
Dan Kie Kou-ya dan Ah Loan Kou-nio mesti minum
sedikitnya masing-masing satu cawan. Semna ini kesatu ada tanda dan penghormatan dan kedua sebagai pemberian
selamat dimuka kedua pasangan!"
Cie Hiap benar-benar isikan cawan gurunya.
Pau Cin Hui tidak menampik, ia keringi cawan itu, maka Cie Hiap mengisi pula buat kedua kalinya.. Selagi guru ini hendak meminum pula, mendadak ada satu pegawai datang
masuk dengan wartanya :
"Liong Sam-ya dari Cieyang datang!"
Cie Kiang dan Cie Tiong segera berbangkit, mereka
hendak pergi keluar untuk menyambut tetapi Twie-san-hou Liong Cie Khie mendahului bertindak masuk, romannya
tergopoh-gopoh, pakaiannya penuh debu. Lebih dahulu ia hampirkan gurunya mengasi hormat, kemudian ia memberi
hormat pada sekalian saudaranya siapa telah balas itu.
"Liong Sam-suheng, kenapa baru hari ini datang?"
kemudian Cie Kiang tanya. "Apakah kau telah ketahui
tentang kesukaran dan juga kegirangan kita disini?"
Napasnya Lions Cie Khie masih sengal-sengal, tapi ia
bisa goyang-goyang tangannya.
"Tentang kejadian disini, baik ditunda dulu," kata ia.
"Aku datang untuk sampaikan kabaran yang sangat penting yang paling penting!"
Mau atan tidak Pau Cin Hui jadi ketarik hatinya.
"Apakah itu?" ia tanya muridnya.
Cin Tiong ada begitu ketanik hingga ia awasi saudaranya dengan tajam.
Liong Cie Khie tidak lantas menyahuti, hanya dari
sakunya ia keluarkan sepucuk surat.
"Selagi di Cie-yang, kita telah terima sepucuk surat ini,"
katanya, suaranya ada sedikit kurang lancar. "Ini adalah surat dari orang yang kita telah berjaga-jaga sepuluh tahun lamanya, ialah dari Kang Siau Hoo. Sekarang dia sudah
rampungkan pelajaran silatnya, dia bakal lekas datang
mencari kita! ... "
Kabar itu ada mengejutkan, akan tetapi Pau Lookausu
segera gebrak meja. Ia bukan main gusarnya.
"Lekas kasikan surat itu padaku!" ia berseru.
Tapi surat diserahkan pada Lou Cie Tiong siapa terus
buka itu, dan dibaca dibawah cahayanya lampu. Ia
membaca dengan suara nyaring :
-ooo0dw0ooo- Jilid 12 "SURAT ini disampaikan kepada Liong Cie Teng dan Liong Cie Khie untuk di sampaikan terlebih jauh kepada ayah dan anak she Pau di Tin-pa!
Sepuluh tahun telah berselang, tetapi selama itu belum pernah aku lupa akan sakit hati dari ayahku yang binasa terbunuh.
Dahulu ketika aku masih berusia sangat muda, tenagaku lemah, aku telah mesti terima berbagai penghinaan-pun hampir-hampir jiwaku melayang. Ketika itu aku bersakit hati sangat, namun aku tidak bisa berbuat suatu apa.
Kini aku telah masuk usia dewasa, aku telah berhasil mewariskan ilmu silat Sejati dari guruku, aku percaya sekarang aku akan sanggup musnahkan kau sekalian manusia jahat dari kalangan kangouw, buat singkirkan ancaman bencana besar bagi rakyat ramai, sekalian membalaskan sakit hatiku selama duabelas tahun.
Aku telah mesti sangat menderita, karena ayahku binasa, ibuku mesti menikah pula, hingga aku mesti berpisah dari ibu dan adikku. Aku-pun mesti bersengsara kelaparan dan kedinginan, aku telah mengalami ancaman golok dan cambuk. Ini adalah suatu permusuhan sangat besar.
Maka itu didalam kalangan Kun Lun Pay, kecuali dua-tiga orang, semuanya adalah musuh-musuhku.
Hari ini juga aku akan berangkat ke Barat, paling dulu ke Cieyang, kemudian ke Tin-pa. Dengan ini sengaja aku peringatkan kepada kau sekalian supaya siap-sedia, berjaga-jaga.
Hormatnya, Kang Siau Hoo. Tampangnya si jago tua jadi berubah-ubah pucat dan
merah padam, terang ia sangat gusar bercampur kuatir.
Selama itu ia berdiam saja.
Juga semua murid Kun Lun Pay berdiam, tetapi nyata
mereka sangat murka.
Kie Kong Kiat ada soren pedang dipinggangnya, ia
hunus senjatanya itu dan menggebrak meja, hingga
terdengarlah satu suara nyaring yang mengejutkan orang banyak.
"Cu-wie jangan takut!" berkata ia dengan jumawa.
"Kang Siau Hoo itu orang macam apa" Biar, tidak usah dia sampai di Cie-yang, aku nanti papaki dia ditengah jalan di Selatan! Aku tanggung dengan tiga bacokan aku nanti
binasakan padanya!"
Pau Cie In hampirkan Liong Cie Khie.
"Siapakah yang sampaikan surat ini?" ia tanya saudara
itu. "Pembawa surat itu ada saudagar obat-obatan yang
hendak pergi ke Hoolam," Cie Khie jawab. "Menurut
katanya dia ketemu Kang Siau Hoo sendiri di Sin-yang. Dia bilang, namanya Kang Siau Hoo ada menggetarkan
Kanglam dan Kangpak, bahwa pedangnya dan ilmunya
menotok jalan darah sudah tidak ada yang sanggup
tandingi. Hoa-Chio Bang Jie dan Siangyang, Say Ui Tiong Lau Khong dan Sinyang, Sin pian Lou Pek Hiong dari
Siangcay, semua telah rubuh ditangannya. Katanya Kang
Siau Hoo hendak paling dulu menuju ke Utara akan tempur Thay Bu Siansu dari Siong San, akan lawan Kho Keng Kui dari Kayhong, akan tandingi juga Kie Kong Kiat, kemudian barulah ia akan terus pergi ke Tong-kwan, untuk nanti
mutar ke Cieyang dan Tin-pa."
Mendengar itu, Kie Kong Kiat jadi bertambah-tambah
gusar. "Hm, hm!" ia perdengarkan suaranya. "Oh, Kang Siau
Hoo telah ketahui juga namaku" Bagus, inilah bagus! Kalau dia benar niat datang ke Kwantiong, itu ada terlebih baik
lagi, aku jadi tidak usah pengi jauh-jauh akan cari padanya, disini aku nanti ajar dia kenal dengan pedangku!"
Sehabisnya kata begitu, Kie Kong Kiat menoleh pada
tunangannya, yang ia awasi dengan roman jumawa.
Tampang mukanya Ah Loan, si bakal isteri, ada biru dan merah-padam, hingga tidak bisa dipastikan dia ada dalam kemurkaan atau berduka, sekian lama dia diam saja, hanya kemudian, dia tolak cawan araknya dan berbangkit, akan terus tinggalkan meja perjamuan, masuk kedalam.
Selagi awasi cucunya itu bertindak masuk, dimatanya
Pau Loo-kausu berbayang kejadian dahulu, pada sepuluh
tahun yang lalu, pada suatu malam yang bersalju, tempo Siau Hoo bawa-bawa golok untuk membalas sakit hati,
bagaimana setelah ia beri keterangan, bagaimana sesudah timpahkan ke salahan pada persaudaraan Liong sebagai
pembunuhnya Cie Seng, barulah Siau Hoo mau pergi.
Tetapi Ah Loan segera menyusul keluar, hingga kedua
bocah itu bertempur diatas salju. Pertempuran itu ada
menggembirakan jago tua ini. Sejak itu, Siau Hoo telah diberi tinggal dirumahnya. Selama itu pun, pernah satu kali ia memikir untuk nikahkan Siau Hoo kepada Ah Loan.
Ketika itu-pun ia sudah menyesal akan perbuatannya. Siapa nyana, permusuhan tidak menjadi habis, sekarang musuh
itu muncul pula. Maka pastilah, lagi sedikit waktu, satu pertempuran besar dan hebat akan terjadi.
"Apakah Kie Kong Kiat sanggup lawan Kang Siau
Hoo?" demikian jago tua ini bersangsi. Karena
kesangsiannya itu, ia jadi sangat berduka. Tubuhnya seperti bergemetar.
Cie Tiong lihat roman gurunya menguatirkan, ia segera
pimpin gurunya itu.
Sekejab saja perjamuan itu jadi kalut.
Digotong oleh murid-muridnya, jago tua itu diletaki
diatas pembaringan dimana ia rebah bagaikan mayat,
hingga orang bingung, repot coba menyadarkannya. Selang sekian lama baru ia ingat akan dirinya, ia coba kuatkan hati akan perlihatkan sikap gagah.
Sebenarnya Kang Siau Hoo itu tak usab dibuat takut,"
kata ia kemudian. "Kalau dia datang, aku ?ang nanti
sambut padanya. Paling banyak aku akan binasa, setelah aku mati, habislah permusuhan. Satu hal aku hendak pesan padamu sekalian, dalam hidupnya orang tidak boleh tanam bibit permusuhan, dalam segala perbuatan jangan suka
melewati batas. Siapa keterlaluan, dia akan menyesal
sesudah kasep. Aku sudah tua, kau semua sebaliknya masih muda, maka ingatlah wanti-wanti pesanku ini. Ingatlah
dalam segala apa, berlakulah sabar!"
Kemudian orang tua ini menoleh pada Kie Kong Kiat.
"Aku sudah serahkan cucuku kepadamu, dengan begitu
kau terhitung keluarga Pau juga," Lata ia. "Kau juga mesti ingat. Umpama Kang Siau Hoo datang sebelumnya aku
menutup mata, akulah yang mesti ketemui dia, aku larang kau campur tahu! Bila dia datang sesudah aku mati, barulah kau boleh menemui dia. Tetapi walau-pun demikian, lebih dahulu kau mesti bicara kepadanya dengan hormat, untuk cari daya pemecahan untuk habiskan permusuhan, bila
tidak ada jalan lain, barulah kau terpaksa angkat senjata.
Sekali-pun demikian, selagi bertempur kau juga mesti
mengenal batas! ..."
Tapi Kie Kong Kiat ada panas.
"Loo-ya-cu, mengapa kau jadi begini berkuatir?" kata ia.
"Berapakah kepandaiannya Kang Siau Hoo itu" Apakah
gurunya sanggup tandingi Siok Tiong Liong dan engkongku Liong Bun Hiap?"
Mendengar itu, Pau Cin Hai mengehela napas, lalu ia
bersenyum meringis.
"Hian-sunsay, kan merantau belum cukup lama, kau
belum tahu ... " kata kongco ini. "Pada empat-puluh tahun yung lampau, sekalipun Liong Bun hiap dun Siok Tiong
Liong dapat julukan Lau Pak Jie Ciat, tetapi seumur
hidupnya Liong Bun Hiap tidak berani seberangi Suagai
Tiang Kang dan Siok Tiong Liong tidak berani melintasi selat Sam Kiap. Kenapa begitu" Orang yang ketahui
sebabnya ini ada sangat sedikit. Sebenarnya, diluar Jie Ciat, masih ada It Kie, satu yang gagah luar biasa. Bugeenya kiehiap ini, tinggi sukar dibade, hingga dia dapat
permainkan Liong Bun Hiap dan Siok Tiong Liong. Tatkala itu aku sedang mudanya, bugeeku ada terlebih liehay
daripada sekarang ini, akan tetapi tempo aku ketemu It Kie digunung Tong Pek San ... Ah, sudahlah, baik aku tidak usah tuturkan lebih jauh, aku menceriterakannya-pun kau niscaya tidak akan mau percaya. Aku Pau Kun Lun telah
malang-melintang disuatu jaman, akan tetapi ditangan dia itu, aku masih tak mirip-miripnya dengan seekor
semutpun..."
Kong Kiat heran hingga ia awasi kongco itu dengan
mata terbuka lebar.
"Apakah dia itu gurunya Kang Siau Hoo?" ia menegasi.
Guru silat yang tua itu kerutkan dahi.
"Umpana Kang Siau Hoo berguru pada lain orang
mustahil selama belasan tahun aku jadi begini," ia jawab.
Kat Cie Kiang juga lantas ceriterakan hanya pada
sepuluh tahun yang lalu ketika ia ketemui gurunya Kang Siau Hoo itu dipegunungan Cin Nia.
Kie Kong Kiat masih bersangsi, ia tetap mendongkol. Ia coba berpikir, akhirnya ia bersenyum ewah.
"Baiklah Lo-ya-cu jangan terlalu pikirkan ini," kemudian ia menghibur. "Aku masih ada punya daya-upaya. Besok
Looya cu ajak Ah Loan pindah kelain tempat untuk sedikit hari saja. ini bukan berarti Loo-ya-cu mesti singkirkan diri.
Kau sudah berusia lanjut, tidak ada harganya untuk kau layani segala bocah, dengan bawa pedang aku nanti pergi ke Timur akan papaki Kang Siau Hoo itu. Biarlah kita berdua yang adu kepandaian!"
Cie Kiang sekalian anggap daya ini ada sempurna, mana
mereka lantas membujuki gurunyu supaya suka menurut.
Pau Cin Hui dapat dibujuk, dan itu besoknya, dengan
ajak cucunya ia berangkat ke Taysan-kwan, ketempatnya
Lou Cie Tiong, sedang Kie Kong Kiat, yang sikapnya
agung-agungan, lantas ajak Chio Cie Yau dan Lau Cie Wan pergi ke Timur, untuk papaki Kang Siau Hoo.
-odwo- Bab 09 WAKTU ITU ada dipermulaan musim panas. Diluar
Han-kok-kwan, ditanah datar. diantara sawah ladang
gandum yang luas beribu lie sebagai tak ada batasnya, ada melintang sebuah sungai mirip dengan seekor naga yang
sedang menghembuskan awan-kabut. Sementara itu, dibukit Tiong-gak Siong San, segala apa ada tenang dan permai, disitu ada rimba-rimba dengan selokan-selokannya. Disini orang seperti pisahkan diri dan dunia yang panas-terik. Di
kaki gunung ini ada tinggal satu keluarga pegunungan di dalan mana kebetulan ada menumpang satu tamu.
Tamu itu bukan lain dripada itu orang yang mengacau di See-an, yang dengan sendiran saja mengacau kaum Kun
Lun Pay, hanya apa mau dia telah ketemu Kie Kong Kiat, hingga selagi layani orang she Kie itu dan Ah Loan, ia alpa dan kena dilukai. Karena ini, ia meningkir ke Han-kok-kwan.
Lie Hong Kiat ada dari satu keluarga tani di Lam-kiong.
Ia ada seorang dengan pikiran merdeka, selain yakinkan ilmu surat, ia-pun pelajari ilmu silat. Dalam ilmu surat ia tidak
mengutamakan karang-mengarang,
ia hanya perhatikan pada syair-syair dan nyanyian, maka itu ia tidak bisa turut dalam ujian untuk menempuh pangkat. Dalam
ilmu silit ia gemar akan pedang, dan tangan kosong, juga ilmu loncat tinggi dan lari keras, juga lari diatas genteng, karena ini, kembali ia tidak bisa turut dalam ujian
ketentaraan dimana yang diutamakan adalah kekuatan
tenaga, menggunakan golok besar. Demikianlah, meski-pun ia ada bun bu coan cay, namun dua-dua pintu kepangkatan tertutup baginya, hingga dalam umur duapuluh, ia
melainkan bisa merantau.
Tidak demikian dengan adiknya yang bernama Lie Hong
Keng, ia rajin usahakan sawah dan ladangnya, yang ada
beberapa bahu, ia bisa dirikan rumah tangga dengan
kecukupan dan tenteram. Adik ini lebih muda satu tahun usianya.
Guru dan siapa Hong Kiat dapat didikan silat dan syair ada satu too-su atau imam yang usianya sudah kira-kira delapanpuluh tahun, yang sebut dirinya Liong San Toojin.
Imam ini hidup dalam pengembaraan, tapi dikuil Lu Sian Kok di Ham-tan ia perah tinggal. Sampai dua tahun, adalah diwaktu itu ia angkat Hong Kiat jadi muridnya. Ketika
kemudian guru ini berangkat ke Pakkhia, ia panggil
muridnya, hingga berdua mereka tinggal lagi bersama
setengah tahun lamanya. Dan gurunya ini Lie Hong Kiat
dapat tahu hal-hal kefaedahannya Tiam-hiat-hoat, ilmu
menotok jalan darah. Kemudan guru ini suruh munidnya
coba pergi merantau untuk cari pengalaman. Disaat
perpisahan barulah Liong San Toojin tuturkan siapa dirinya sebenarnya.
Kiranya guru ini adalah satu dari Lam Pak Jie Liong
atau Lam Pak Jie Ciat yang namanya termasyhur
dikalangan kangouw, ialah Siok Tiong Liong, si Naga
Sucoan. Dia-pun telah perkenalkan dua orang kepada
muridnya ini, yang satu adalah Tiat-nou Thio Hiong, si Panah Besi, piausu kesohor di Siang-ciu, Kanglam, dan
kim-lian Pou-sat Thay Bu Siansu dan Siong San di Hoolam.
Dua orang ini ialah bekas sebawahan dari Siok Tiong
Liong, mereka jadi kaki-tangan yang berharga selama Naga Sucoan merantau dan menjagoi dikalangan kangouw, buat
lakukan banyak kebaikan, akan tindas orang-orang jahat.
Setelah perpisahan dari gurunya di Pakkhia, Lie Hong
Kiat lantas menuju ke Siang San dimana ia ketemui Thay Bu Sian-su, kemudian baru ia pergi ke Kang-lam dan
tinggal untuk sekian hari pada Tiat-nou Thio hong, yang masih tetap buka pautiam. Dan ini barulah ia pesiar
kebanyak tempat akan lakukan rupa-rupa kebaikan seperti pesan gurunya, akan tinggalkan syairnya ditempat-tempat yang terkenal yang ia pergikan, hingga namanya lantas jadi kesohor. Dari Kanglam ia telah pergi ke Wie-sui, See-an, akan sambangi tempat-tempat ternama dari jaman Han dan Tong, akan tetapi sesampainya di Thay Gan Tah, dia
ketemu Ah Loan dan Kat Siau Kong yang sembrono dan
jail, maka terjadilah berbagai kesulitan, sehingga akhirnya dia dikepung berdua oleh Kie Kong Kiat dan Ah Loan.
Kalau pertempuran itu satu sama satu, kesudahannya pasti ada lain. Ia terluka pada lengan kanan, luka itu tidak hebat, tetapi ia kena dikalahkan, ia mendongkol, ia jadi malu berdiam lebih lama di Kwan-tiong, dengan tahan lukanya yang terus mengucurkan darah, dengan naik kuda putihnya ia terus meninggalkan Wie-sui, ia keluar dan Tongkwan, beruntun beberapa hari ia tidak mau singgah atau
berisirahat, maka ketika akhiraya ia sampai di kaki gunung Siong San, baru saja ia turun dari kudanya, terus ia rubuh, tak dapat ia bangkit pula. Syukur ia dapat diketemukan oleh Thay Bu Siansu, yang tiaggal dikuil Pek Siong Sie.
Thay Bu Siansu ada punya obat luka yang mustajab,
yang dinamai "Kim Kong Keng Seng San", Hong Kiat
lantas diobati obat itu, belum setengah bulan ia sudah sembuh. Ia nyatakan hendak turun gunung, untuk cari Kie Kong Kiat menuntut balas.
"Baik kau jangan pergi pula," Thay Bu Siansu
menasehatkan, malah dia-pun umpatkan pedang dan
pauhoknya Hong Kiat, "Kie Kong Kiat ada cucunya Liong
Bu Hiap, pasti sekali ia telah dapatkan segala tipu silat yang liehay dari engkongnya itu.
Kau sendiri cuma belajar dua tahun lebih dari Siok Tiong Liong, tidak heran jikalau ilmu pedangmu ada terlebih
rendah. Lagi-pun disana Kie Kong Kiat banyak kawan,
kalau kau pergi pula, pasti kau sukar rebut kemenangan.
Paling benar kau tinggal terus disini, kau boleh pahamkan terlebih jauh ilmu pedangmu, kau bersababat kepada
beberapa orang jujur, kemudian baru kau cari pula Kong Kiat untuk piebu. Buat ini tempomu masih banyak, kau
tidak akan terlambat."
Lie Hong Kiat suka dengar nasehat itu, selanjutnya ia
tinggal di Pek Siong Sie.
Di Siong San ada banyak rumah suci, Siau Lim Sie
adalah berhala yang paling besar, pendetanya juga paling banyak. Kuil yang paling ramai dikunjungi penganut-penganut adalah Thian Cee Bio, di tengah-tengah.
Sebaliknya Pek Siong Sie ada kuil paling kecil dan paling jarang dapat kunjungan. Sebab dari ini adalah Pek Siong Sie berdiri disatu puncak tertinggi, hingga tidak sembarang orang yang berani naik demikian tinggi untuk bersujut.
Dengan tandu kecil juga orang masih sukar mendaki
puncak itu. Thay Bu Siansu sendiri-pun
jikalau tidak ada keperluannya, tidak sembarangan turun dari puncaknya itu.
Ia atau murid-muridnya, tidak pernah turun guntung buat minta amal, meski-pun demikian, Pek Siong Sie ada cukup segalanya, untuk penghidupannya semua pendeta disitu.
Lie Hong Kiat merasa aneh atas penghasilannya kuil itu. Ia tidak percaya pembilangannya Thay Bu Siansu, bahwa
penghasilannya melulu dari penjualan obat-obatan saja.
karena obat bubuk Kim Kong Keng Seng San ada sangat
"disayang" oleh imam itu. bukan saja dia lihat Thay Bu tidak mau menjualnya,-pun kalau bukan kepada sahabat
kekal, obat itu tidak sembarang diberikan. Maka ia sangka imam ini ada imam yang sucikan diri setengah jalan,
sesudah dapat kumpul harta besar, boleh jadi dia
disebabkan dia ketemu musuh yang liehay dan ketika
dikalahkan lantas dia telah tanam satu permusuhan hebat, atau dia telah lakukan suatu pelanggaran undang-undang negara, hingga dia lari ke "pintu suci" untuk umpatkan diri.
Disinipun, dipuncak gunung yang tinggi, kecuali sahabat-sahabat paling rapat yang kunjungi dia kadang-kadang dia tampik menemui sembarang tamu. Cuma, mengenai ini Lie
Hong Kiat tidak ingin tanya apa-apa pada imam itu. Ia
sendiri-pun diperlakukan baik sekali.
Setiap hari Hong Kiat tinggal nganggur diatas puncak, ia sedot harumnya bunga atau mendengari ocehannya burung, ia duduk bercokol membaca kitab atau melatih diri dengan pedangnya. Ia merasakan hidup tenang dan tentram. Atau kalau ia suka, ia turun gunung.
Pada suatu hari ia merasa iseng, ia turun dari puncak, ia datangi sebuah kampung. Disini ada sebuah kali Beng Kim Kian, dan kampung itu letaknya di Timur kali itu, yang terdapat banyak batu, airnya mengalir tak putusnya
memukuli semua batu yang menerbitkan suara berisik,
seperti suaranya kim. Disitu Hong Kiat ada titipkan kuda putihnya pada satu penduduk yang hidup dari penjualan
kayu bakar. Namanya Tiat-keng-pong Ou Jie Ceng si
Pundak Besi. Ia pergi pada tukang kayu ini, ia ambil
kudanya, ia balap sendirinya di kaki gunung. Ia lari mundar mandir sampai ia lelah sendirinya, sedang matahani mulal naik. Waktu itu barangkali sudah jam tujuh atau delapan, jalanan mulai ramai dengan kuda, kereta dan orang.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari ini ada Gou-gwee Cee-it, maka sedari pagi-pagi
penduduk dari tempat-tempat berdekatan pada datang
untuk bersujut di Thian Cee Bio. Yang teramai adalah
dihari ke lima, Cee-gou, ramainya luar biasa, melebihi hari pasar.
Hong Kiat kuatir kena tabrak orang, ia pinggirkan
kudanya. Dari situ ia awasi orang banyak, lelaki dan
perempuan, tua dan muda dan anak-anak dengan aneka
warna pakaiannya, terutama nona-nona dan nyonya-
nyonya muda yang berpakalan mewah. Ia bukannya satu
gong-kongcu tapi melihat pemandangan itu, ia jadi ingat syair indah yang ia sering baca, maka dengan sendirinya, duduk diatas kudanya, ia membuat sebaris syair, beginilah bunyinya :
"Disana tusuk konde indah dengan pakaian merah hijau belang.
Diatas gunung memandang awan permai terbang melayang-layang.
Diatas kuda terbanglah semangatnya seorang
gagah perantauan. Sedang pedang tajam tak dapat selesaikan ruwetnya
perselisihan."
Garis pertarna dari syairnya itu, Hong Kiat artikan
orang-orang perempuan dengan dandanan indah. Ia merasa puas dengan syair-nya itu. Ia sedang kesengsam sendiri ketika ia dengar datangnya suara kelenengan dari jurusan Timur, lalu tertampak seekor kuda lari mendatangi, suara kelenengan itu adalah dari kuda itu, suaranya seperti
berlagu Penunggangnya kuda itu adalah satu pemuda umur dua puluh lebih, alisnya panjang, matanya besar, romannya cakap dan gagah, karena dia-pun ada punya tubuh tiuggi dan kekar. Di kepalanya ada satu tudung lebar, yang
diikatkan dua potong pita hitam dan panjang sebagal tali pengikat, bajunya dan celananya biru, sepatunya caueh
(sepatu rumput). Dilihat macannya, dia ada seperti datang dari Kanglam. Yang terutama tarik perhatiannya Hong Kiat adalah pauhok ringan dan pedang dipelana, pedang mana
memain tak berhentinya, menerbitkan suara saling sahutan dengan kelenengan.
"Pasti dia bukan orang yang hendak bersujut keatas
gunung, dia mesti ada orang yang sedang lakukan
perjalanan," Hong Kiat berpikir. "Tapi ia datangi gunung, ia hendak cari siapa?"
Sekali-pun ia memikir demikian, Hong Kiat toh tidak
ikuti orang itu, yang telah lewati padanya akan ikuti orang ramai. Sesudah mendekati tengahari, baru ia kembali ke
Beng Kim Kian, ke rumahnya Ou Jie Ceng. Waktu ia
tuntun kudanya masuk kepekarangan yang terpagar, ia lihat tukang kayu itu sedang makan phia.
Orang she Ou ini berumur dua puluh tujuh atau dua
puluh delapan tahun, tubuh dan mukanya semua hitam
seperti arang saja, hingga kepalanya mirip dengan sebuah bola besi, karena ia tidak pakai baju, kelihatanlah tubuhnya yang kekar dan kuat daging dan urat-urat pada berjendol besar dan tidak rata. Kulitnya yang hitam itu seperti
berminyak, mengkilap seperti cat saja keringatnya.
"Saudara Lie, mari dahar sama-sama!" mengundang
tukang kayu yang sedang caplok phia yang hitam itu.
"Lihat phia buatan ibu lezat sekali!"
"Terima kasih, aku dahar dikuil saja," Hong Kiat
menampik. "Barang makanan dikuil tak selezat seperti kepunyaanku," Ou Jie Ceng mendesak. "Mari dahar,
saudara Lie, didalam masih ada lagi!" ia lantas tunjuk pikulan kayunya didalam pekarangan itu. Itu ada kayu yang baru dikampak dari atas gunung, beratnya ada seratus lima puluh atau enam puluh katie cuma pundak besinya yang
kuat pikul itu. Ia tambahkan: "Kalau aku jual itu, aku akan dapat dua renceng uang, untuk aku dapat beli beberapa kati daging, dan daging itu ada untuk suguhi ibu, untuk undang kau dahar juga!"
Lie Hong Kiat tertawa untuk kemanisan budinya orang
itu. "Jangan kau belikan daging untuk aku!" katanya,
"Baiklah, aku dahar phiamu saja."
Ia lantas tambat kudanya, ia mauk kedalam rumah dari
mana ada mengepul asap.
Ibunya Jie Ceng ada seorang lumpuh, nyonya tua itu
numprah saja diatas pembaringannya kong, atau pembaringan tanah. Di depan pembaringan ada ditaruh
perapian kecil untuk ia mematangi phia dan lainnya untuk anaknya. Kamar itu kotor, phia-pun kasar buatannya, akan tetapi karena Hong Kiat lapar dan malas pergi belanja dilain tempat, ia jemput sepotong phia dan dimakannya bersama Jie Ceng sambil mereka bercakap-cakap.
Menurut si tukang kayu, sekarang pekerjaan memotong
kayu sudah tidak ada artinya. Pepohonan didalam rimba
diatas gunung kebanyakan sudah ada pemiliknya, kalau
bukannya pendeta dari bio, tentu hartawan dari kaki
gunung. Siapa ambil kayu dengan sembarangan, dia bisa
didamprat dan dipukuli.
"Aku sebenarnya niat pergi kekota buat cari lain
pekerjaan, hanya sayang aku tidak dapat tinggalkan ibuku,"
Jie Ceng nyatakan akhirnya.
"Ibumu tidak bisa jalan, senantiasa dia memerlukan
rawatanmu, memang kau tidak boleh kerja dikota," Hong
Kiat bilang. "Baik kau tetap potong kayu saja. Umpama
kau kekurangan uang, kau boleh datang padaku, nanti aku beri pinjam padamu ... "
"Oh. saudara Lie, jangan kau pinjamkan uang padaku!"
Jie Ceng kata seraya goyang-goyang tangannya. "Kalau kau beri pinjam, selainnya aku tidak mampu bayar, juga
diwaktu malam, aku tidak bisa jadi tidur, aku pasti akan ingat itu selalu!"
Lie Hong Kiat tertawa. Ia suka akan tukang kayu yang
jujur dan polos ini.
Cuma dahar sebelah phia, pemuda ini sudah tidak lapar
lagi, dan selama mengaso itu, keringatnya-pun sudah kering pula.
Jie Ceng sehabisnya dahar, sudah lantas pergi pelihara kuda tamunya ini.
Waktu sudah lewat tengah hari.
"Jie Ceng, aku bendak pergi sekarang," kata Hong Kiat
pada si tukang kayu. "Sampai besok ya!"
"Baiklah, saudara Lie!"
Hong Kiat lantas keluar dari pekarangan, ia keluar dari kampung itu, dengan mengikuti kali, ditepi mana ia
berjalan, kupingnya senantiasa dengar suara ngericiknya air yang seperti suara tetabuhan kim. Di depan kali-pun ada banyak batu, yang saling susun, yang bertumpuk
merupakan bukit, sedang dari pepohonan suaranya angin
jadi saling sahutan dengan suaranya air.
Ketarik hatinya pemuda tukang syair ini berhentikan
tindakannya, berdiri ditepi kali, matanya memandang awan diatas bukit. Timbullah niatnya untuk membuat syair pula.
Tapi, selagi memandang kebawah, ia tampak disebelah
kanannya ada sebuah batu melintang menyeberangi kali,
terus kesatu jalanan gunung, yang banyak tikunganuya. Ia duga disana mesti ada pemandangan alam yang indah,
maka batallah ia membuat syair.
"Sudah sekian lama aku tinggal disini, kenapa aku tidak tahu adanya jalanan ini?" kata ia dalam batinya. Ia terus jalan diatas jembatan batu itu, akan pergi ke jalanan gunung itu. Belum lama, ia lihat reruntuknya sepasang sepatu
rumput. Lagi sedikit jauh ia-pun tampak kotoran manusia.
Maka ia percaya, ini ada jalanan biasa dilalui manusia. Ia mendaki terus.
Disebelah atas, pohon-pohon cemara halangi sinar panas dari
matahari. burung berterbangan pergi datang perdengarkan suaranya.
"Kenapa aku mesti pergi kedunia ramai akan perebutkan
nama dan harta" Kenapa aku mesti turun gunung pula akan membalas kepada Kie Kong Kiat?" tiba-tiba pemuda ini
ngelamun. "Guna apa melayani orang orang Kun Lun Pay
itu" Bukankah terlebih baik aku berdiam disini dengan
mendirikan sebuah gubuk, akan icipi keberuntungan bukit dan rimba?"
Hong Kiat jalan terus, pikirnya masih ngelamun.
Kemudian ia sampai dijalan yang terlebih sempit, tetapi disitu burung-burung terdapat terlebih banyak. Ia sedang jalan terus dengan mendengari suara burung, tatkala tiba-tiba ia dengar tangisannya dari seorang perempuan. Ia
heran, lantas merandek.
Tangisan itu seniakin dekat dan semakin nyata. Sekarang suara tadi semakin berisik tangisan itu terdengar lebih keras, tercampur dengan cacian juga.
Segera Lie Hong Kiat memburu, maka sekarang ia lihat
dan atas bukit ada berlari-lari seorang perempuan,
pakaiannya rombeng, rambutnya awut-awutan.
"Tolong! Tolong, ada orang jahat!" -pun segera
terdengar jeritannya itu.
Disebelah belakangnya perempuan ini ada berlari-lari
seorang lelaki umur kira-kira empatpuluh, mukanya kuning, pakaiannya mewah. Dia agaknya tidak lihat pemuda kita, ia menguber terus, sekarang terdengar suaranya: "Eh,
perempuan tidak tahu diri! Toaya sayang padamu, tapi kau justeru bertingkah! Toaya hendak angkat kau supaya kau beruntung."
Orang ini hampir menyandak, ia sudah ulur kedua
tangannya akan merangkul tetapi perempuan itu lari lebih keras, hanya apa celaka, karena berlompat, ia terus rubuh dengan perdengarkan jeritannya yang mengerikan.
Menampak demikian, Hong Kiat jadi gusar, ia lompat
maju akan jambak lelaki itu, yang ia tegur: "He, kau hendak buat apa" Kenapa kau ganggu perempuan yang lemah ini?"
Lelaki itu jadi gusar.
"Dia adalah isteriku, kau tidak berhak mencampurinya."
Tapi ucapan itu belum habis dikeluarkan, kepalannya
Hong Kiat sudah melayang, hingga diantara satu suara
keras, orang itu rubuh terguling, terus pingsan.
Hong Kiat tidak perdulkan orang itu, ia lari kepada
perempuan itu yang ia terus beri bangun.
Perempuan itu berumur tujuh atau delapan-belas tahun,
sekarang kelihatan nyata romannya yang elok, meski-pun pakaiannya jelek dan rambutnya kusut, mukanya penuh air mata.
Lekas-lekas Hong Kiat lepaskan kedua tangannya,
karena ia merasa yang ia sudah berlaku lancang.
"Kau jangan takut," ia lantas kata. "Pergi kau lanjutkan perjalananmu."
Nona itu berdarah didahinya, darahnya nyampur jadi
satu dengan air matanya. Ia masih seguk-seguk dengan
tidak kata apa-apa ia lantas bertindak kembali keatas bukit.
"Eh, buat apa kau naik," tanya Hong Kiat, yang
mencegat. "Apa kau memang tinggal diatas gunung pula?"
Nona itu geleng kepala, ia masih menangis.
"Disana ada nayaku yang ketinggalan ... " sahutnya.
"Mari aku antar kau," kata Lie Hong Kiat.
Justeru itu lelaki tadi telah sadar akan dirinya, ia
gulingkan tubuh untuk berbangkit, tapi berbareng dengan itu, sebelah tangannya meraba tubuhnya dari mana ia
keluarkan satu golok pendek, dengan apa ia timpuk pemuda kita.
Si nona menjerit melibat samberan golok seperti piau
saja. Tapi Lie Hong Kiat yang lihat serangan itu segera
menyambutinya. "Apakah kau masih punyakan lain golok terbang?" tanya
ia dengan mengejek.
Orang itu mengawasi dengan bengis, ia keluarkan pula
goloknya, sekali ini ia menenimpuk dengan dua hui-too, golok terbang, saling susul.
Hong Kiat ulur kedua tangannya, akan samber dua-dua
huitoo itu. Menampak ini barulah lelaki itu kaget dan ketakutan.
"Kurang ajar!" Hong Kiat berseru, karena ia-pun gusar.
Berbareng dengan itu, sedangkan huitoo diberi melayang, yang dengan jitu mengenai pipi kirinya orang itu yang tak sempat berkelit, hingga dia ke luarkan jenitan tertahan.
Darah lantas muncrat dan lukanya, ia jadi takut bukan
main, ia cabut goloknya itu, terus ia lari. Ia lari baru beberapa tindak, tiba-tiba ada sepotong batu yang melayang turun dari atas, menimpa mukanya, hingga lagi sekali dia menjerit, tubuhnya rubuh terguling, kembali ia pingsan.
Lie Hong Kiat jadi heran, ia angkat kepalanya untuk
melihat. Dari atas ada terdengar suara orang terawa gelak-gelak, lantas orang itu muncul bersama kudanya, yang dituntun turun. Dia adalah pemuda yang tadi Hong Kiat lihat dijalan besar.
Orang itu menghampiri sambil angkat tangannya
memberi hormat pada pemuda kita.
"Sahabat, apakah jalan ini terus kebawah bukit?" ia
tanya sembari tertawa. "Apa dengan tuntun kuda aku bisa turun terus kebawah?"
Hong Kiat membalas hormat.
"Jalanan disini ada terlalu sempit, menuntun kuda-pun
sukar," jawab ia. "Sahabat, aku lihat kau datang dari arah Timur, kenapa kau tidak ambil kembali jalananmu yang
tadi?" "Tapi orang hunjukan aku jalanan ini," sahut orang itu.
"Katanya dari sini bisa sampai disebuah kampung di depan gunung dimana ada kuil Pek Siong Sie. Aku hendak pergi kesana untuk cari satu orang yang tinggal dibawahan Pek Siong Sie ... "
Hong Kiat heran. Ia tahu Pek Siong Sie tidak punya
bangunan lainnya, sedang depan gunung adalah arah Utara, letaknya jauh sekali dari tempat dinana mereka berada.
Maka ia pecaya, orang ini sudah ditunjukan jalanan yang keliru.
"Kau hendak cari siapa, sahabat?" ia lantas tanya.
"Aku hendak cari Kim Lian Pou-sat Thay Bu Siansu dari
Pek Siong Sie," sahut orang itu.
"Kalau begitu kebetulan," Hong Kiat bilang. "Thay Bu
Siansu adalah sahabatku, kau boleh turut aku menernui dia.
Tapi tunggu sebentar, aku hendak selesaikan dahulu urusan ini ... "
Pemuda itu tertawa.
"Baiklah?" jawab ia.
Lie Hong Kiat lantas antar si nona keatas dimana nona
itu dapat cari nayanya yang termuat rupa-rupa sayur yang baru dapat dipetiknya.
Melihat pakaian dan isi naya itu, Hong Kiat percaya
nona ini ada seorang miskin, ia jadi merasa kasihan.
"Lain kali jangan kau mendaki pula bukit ini," ia beri nasihat. "Atau kalau kau pergi juga, ambillah jalan besar.
Di sini ada sangat sepi, kalau kau ketemu orang jahat, kau bisa celaka!"
Sambil meleleh air mata, nona itu terima baik nasihat
itu. "Coba tanya dimana dia tinggal, lebih baik dia diantar pulang," kata sianak muda yang menuntun kuda.
Hong Kiat menurut, ia tanya nona itu.
"Aku tinggal disana," si nona menunjuk dengan
tangannya kebawah gunung. Nyata ia menuajuk kali Kim
Beng Kian. "Akupun datang dari sana," Hong Kiat bilang. "Mari
aku antar kau." Kemudian ia menoleh pada si anak muda, seraya tambahkan: "Sahabat, tolong kau tunggu di sini
sebentar saja, aku akan segera kembali!"
Pemuda itu manggut-manggut.
"Baiklah!" katanya.
Hong Kiat ambil nayanya si nona, siapa ia antar turun.
Tapi si nona sukar jalannya karena kakinya yang kecil, tadi-pun ia telah jatuh terguling. Jalanan pun mudun dan tidak rata, Hong Kiat jadi tidak sabaran, tidak perdulikan lagi lam lie siu sin put cin, ia cekal lengannya nona itu. Dengan begitu mereka jadi bisa jalan cepat, hingga sebentar
kemudian mereka sudah seberangi jembatan batu, sampai
dimuka kampung. Disini Hong Kiat serahkan nayanya si
nona. "Ingat, lain kali jangan kau sembarang mendaki gunung
pula!" ia menasihati pula.
Nona itu berjanji, ia mengucap terima kasih.
Sampai disitu, Hong Kiat lari balik, ia sampai kepada
pemuda tadi justeru si muka kuning sudah sadar, dia sedang dipegang dan ditanyai oleh pemuda itu. Ia menghampiri, ia berikan dua gablokan.
"Kau bukannya muda lagi, kenapa kau ganggu satu
nona?" ia menegur. "Kau seperti binatang saja! Lekas pergi!
Kau mesti ambil jalanan lain, jangan turun disini!"
Orang itu tidak berani buka suara, sembari tunduk ia
ngeloyor pergi, keadaannya mirip anjing terluka.
Hong Kiat awasi orang pergi, baru ia menoleh pada jago muda kita.
"Sahabat, apakah she dan namamu yang mulia?" ia
tanya seraya ia mengasi hormat.
Pemuda itu balas horrnat itu.
"Aku Kang Siau Hoo."
Hong Kiat melengak mendengar nama ini. Ia ingat ia
seperti pernah dengar orang sebut-sebut nama itu. Tapi segera ia mengucap: "Sudah lama aku dengar namamu itu!
Saudara datang dari mana?"
"Aku datang dari Hie-ciu, aku sengaja hendak menemui
Thay Bu Siansu," sahut pemuda itu, ialah Kang Siau Hoo kita. "Tadi aku telah sampai di Pek Siong Sie, tapi satu hwee-shio disana bilang, Thay Bu Siansu baru pergi kuil lainnya dikampung di depan gunung dan aku ditunjukkan
jalanan kesini, kebetulan sekali aku lihat lauhia sedang ajar
adat pada manusia binatang itu. Kau pandai, lauhia, aku kagum padamu. Apa aku boleh ketahui she dan nama
lauhia?" Lie Hong Kiat perkenalkan dirinya yang sebenarnya.
Pemuda kita nampaknya terperanjat, lantas ia hunjuk
roman girang. "Oh, kiranya kau Lie Hong Kiat, murid terpandai dari
Siok Tiong Liong!" kata ia sambil berseru. "Selama di
Kanglam aku telah dengar halmu, lauhia, yang telah
lakukan banyak perbuatan mulia!"
"Kau terlalu memuji, sudara Kang!" sahut Hong Kiat
sambil tertawa.
"Saudara Lie," kata Siau Hoo kemudian, "kau kenal
baik Thay Bu Siansu, tolong antar aku padanya. Ada satu sahabatku di Hie-ciu yang telah terluka, lukanya tidak parah tetapi luka itu bengkak dan bernanah, aku dengar Thay Bu Siansu apa punya obat bubuk Kim Kong Keng Seng San
yang sangat mujarab, aku pikir untuk minta sedikit guna tolongi sahabatku itu."
"Memang, Kim Kong Keng Seng San ada manjur


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali," Hong Kiat bilang. "Baru pada bulan yang lain akupun terluka, dengan pakai obat bubuk itu sekarang aku
sudah sembuh betul. Hanya Thay Bu Siansu ada sangat
sayangi obatnya itu, tidak sembarang orang ia berikan, hendak dibeli-pun dia tidak mau jualkan. Aku nanti coba membicarakannya, aku harap dia suka membaginya
padamu." Kang Siau Hoo manggut.
"Sahabatku itu juga orang kangouw," ia beri tahu.
"Dahulu Thay Bu Siansu ada seorang kangouw juga, baru
belakangan ia sucikan diri, maka sebagai orang suci,
seharusnya dia berhati lebih mulia pula. Apakah artinya sedikit obat untuk tolong sesamanya?"
Keduanya lantas berjalan naik, Siau Hoo tuntun
kudanya. Mereka jalan sambil terus pasang omong Hong
Kiat tanya orang punya asal usul, tetapi Siau Hoo tidak mau berikan keterangan apa juga, melainkan sambil tertawa manis ia kata :
"Aku ada sebatang kara, aku merantau seorang diri.
Bugee-pun aku mengerti tidak seberapa, melainkan cukup untuk jaga diri tidak sampai terhina orang. Sekarang ini aku datang dari Kanglam, di Hie-ciu aku ketemu sahabatku
yang terluka itu, karena itu aku datang kemari cari Thay Bu Siansu. Kalau nanti aku sudah antarkan obat pada sahabat itu di Hie-ciu, aku hendak pergi ke Kwan-tiong akan
ketemui beberapa kenalan."
"Ke Kwan-tiong?" Hong Kiat mengulangi, dengan ia
merasa heran. "Saudara Kang, sahabat-sahabatmu di
Kwaa-tiong itu berusaha apa?"
"Mereka itu bekerja dalam kalangan pautiam," Siau Hoo
menjawab. "Piautiam di Kwan-tiong kebanyakan ada kepunyaan
orang-orang Kun Lun Pay," Hong Kiat bilang. "Apakah
mereka itu ada sahabat-sahabat kekalmu, saudara Kang?"
"Aku kenal mereka tetapi tidak bergaul rapat." Siau Hoo beritahu.
Mendengar itu, sikapnya Hong Kiat jadi berubah. Ia mau percaya pemuda she Kang ini termasuk golongannya Kun
Lun Pay. Ia menjadi tidak gembira.
"Kun Lun Pay terdiri dan manuSia-sia licik!" ia lantas kata, seraya tertawa dingin. "Mereka cuma kosen karena mengandalkan jumlah yang banyak. Paling belakang ini
disana ada Kie Kong Kiat, cucunya Liong Bun Hiap, yang silat pedangnya bisa dibilang tinggi juga. Dia sekarang bantui Kun Lun Pay. Oleh Kat Cie Kiang dan Lou Cie
Tiong semua, dia diperlakukan sebagai malaikat saja!"
Kang Siau Hoo kelihatannya terperanjat mendengar
namanya Kie Kong Kiat.
"Cucunya Liong Bun Hap?" ia menegas.
"Ya, orang bilang dia ada cucunya Liong Bun Hiap,"
Hong Kiat ulangkan. "Aku percaya orang tidak mendusta.
Dalam ilmu pedangnya, ada beberapa tipunya yang liehay.
Usianya Kong Kiat berimbang dengan usia kita. Hanya ada sangat memalukan, sebagai satu hiap-kek muda-belia, dia telah bantu kaum Kun Lun Pay!"
"Saudara Lie pernahkah kau bertempur dengan dia itu?"
Siau Hoo tanya.
"Ya, untuk beberapa jurus," sahut Hong kiat sesudah
bersangsi sebentar. "Aku malu buat berurusan terlebih jauh kepadanya itu."
Mereka bicara terus sampai dipuncak paling tinggi
dimana kuda tak dapat dituntun terlebih jauh.
"Tambat saja kudamu disini, tidak nanti ada yang curi,"
Hong Kiat kata.
Siau Hoo tambat kudanya pada sebuah pohon cemara, ia
turunkan pauhoknya yang ringan dan pedangnya, ia gendol itu dibebokongnya. Ia lantas ikuti Hong Kiat, mereka naik melapay antara akar-akar pohon, hingga keduanya mirip
dengan dua ekor kunyuk. Untuk kedua kalinya, Kang Siau Hoo sampai pula di Pek Siong Sie yang senantiasa seperti tertutup awan atau kabut.
Hong Kiat ajak Siau Hoo ke kamarnya sendiri.
"Kau tunggu sbeiar," kata ia pada sababat baru ini,
setelah mana, ia pergi cari Thay Bu Siansu dikamarnya.
Pendeta dari Pek Siong Sie sedang balik-balik lembaran kitabnya.
"Tadi ada seorang bernama Kang Siau Hoo datang cari
kau buat minta oba .t.. kau tahu tidak?" Hong Kiat tanya pendeta itu. "Sekarang dia datang pula."
Dengan segera Thay Bu perlihatkan roman tidak senang
pada mukanya yang bersemu sedikit kuning.
"Eh, kenapa dia datang pula?" dia kata. "Memang tadi
dia datang unuk minta Obat. Obat bubukki Kim Kong
Keng Seng San disediakan melulu untuk orang-orang dalam kuilku umpama ada yang jatuh selagi mereka turun-naik
gunung. Mana itu bisa diberikan pada orang-orang
kangouw" Mereka itu, sesudah sembuh, nanti saling
bertempur pula atau lakukan kejahatan!"
"Baiklah beri dia sedikit, supaya dia lantas pergi," Hong Kiat beri pikiran, "Kelihatannya dia ada dari golongan Kun Lun Pay tetapi dia datang dari tempat yang jauh, itulah perjalanan tidak gampang ... "
Mendengar disebutnya Kun Lun Pay, Thay Bu geleng-
geleng kepalanya.
"Semakin orang Kun Lun Pay semakin aku tak sudi
mengasikannya!" kata pendeta ini. "Ringkasnya, obatku itu aku tak sudi berikan pada orang kangouw! Kau-pun kalau aku tidak kenal baik, lukamu bekas pedang aku tidak akan obati!"
"Kalau begitu, aku suruh dia pergi saja?" Hong Kiat
bilang. "Bilang saja aku sedang pesiar, entah kapan kembalinya?" Thay Bu kata. "Bilang bahwa kau tidak tahu obat dimana disimpannya."
"Tak usah kita bilang demikan, kata saja obat sudah
habis," Hong Kiat usulkan.
Thay Bu Siansu manggut.
"Begitu-pun baik," katanya. "Obatku memang tinggal
sedikit." Hong Kiat lantas balik pada sahabatnya.
Kang Siau Hoo telah menantikan sekian lama, ia sudah
mulai jadi tidak sabaran ia mulai bercuriga. Ia lihat
pedangnya Hong Kiat digantung ditembok dan di atas meja ada beberapa jilid buku, ia duga orang she Lie itu ada bun bu coan cay.
"Saudara Kang," kata Hong Kiat, "datangmu tidak
kebetulan. Obatnya Thay Bu Siansu sudah habis."
Siau Hoo bersangsi.
"Obat sudah habis?" kata ia. "Tapi, bolehkah aku pinjam surat obatnya" Aku nanti turun gunung akan belikan dua bungkus saja, lantas surat obat itu aku kembalikan. Aku Kang Siau Hoo berani sumpah, aku tidak nanti salin surat obat itu untuk disiarkan pada orang banyak! Aku melainkan hendak tolongi sahabatku itu!"
"Saudara Kang, baiklah kau pergi saja," Hong Kiat
berpikiran. "Diempat penjuru dunia toh ada terdapat tabib-tabib ternama! Carilah tabib, agar luka sahabatmu itu tidak terlambat diobatinya. Thay Bu Siansu juga dapat obatnya dari lain orang."
Air mukanya Kang Siau Hoo berubah dengan segera.
"Aku tidak percaya!" kata ia, yang lantas goyang-goyang tangannya. "Saudara Lie, aku bukan minta obat darimu.
obat juga tidak ada ditanganmu, kau sendiri bukan
orangnya kuil ini, kau tidak bersangkut paut! Biar aku cari sendiri si hweeshio."
Sambil kata begitu Siau Hoo tolak tubuhnya Hong Kiat,
ia bertindak keluar kamar.
Hong Kiat terkejut atas tolakan itu, karena ia merasakan tenaga yang besar luar biasa.
Siau Hoo sudah lari kedalam bio mana ia lantas
berteriak-teriak: "Thay Bu, jangan kau sembunyikan diri!
Mari keluar bicara kepadaku! Kau toh dulunya ada orang kangouw juga! Sahabatku itu terluka, memandang sesama
orang kangouw, kau harus keluarkan obatmu itu, kau toh sudah jadi pendeta, sebagai seorang suci, kau mesti welas-asih, kau mesti murah-hati! Dengan simpan saja obatmu
itu, kau tidak bakal jadi Buddha, tetapi dengan berikan aku sedikit obatmu, kau bisa tolong jiwanya sahabatku,
terutama dia tidak usah terlalu menderita!"
Hong Kiat lari keluar akan memburu. ia mencoba cegah
sahabat baru ini.
"Saudara Kang ... " katanya, "aku yang ajak kau kemari, dengan kau buat banyak berisik, aku malu ... "
"Orang she Lie, kau jangan perdulikan aku! ini bukannya urusanmu! Sebelum aku ketemu kau, aku sudah datang
kekuil ini, disini orang telah dustakan aku! Aku cari Thay Bu bukan untuk berkelahi, aku hendak bicara dengan
cenglie. Eh, Thay Bu Hweeshio, kau keluar!"
Siau Hoo-pun banting-bantingkan kakinya.
Dari dalam segera keluar satu pendeta muka kuning yang tubuhnya tinggi-besar.
"Apakah kau Thay Bu sendiri?" Siau Hoo segera
menegur. Pendeta itu nampaknya murka.
"Kenapa kau buat berisik disini?" menegur ia. "Aku ada punya obat tetapi aku tak bisa berikan itu pada orang
kangouw!" Mendengar itu Siau Hoo menoleh pada Hong Kiat.
"Dengar, dia punya obat! Kau bantu dia mendusta!" ia
kata. Tap ia maju dua tindak pada Thay Bu Hweeshio.
"Kau jangan gusar dulu!" ia kata pada pendeta itu, "Aku Kang Siau Hoo tidak suka berkelahi. Aku hanya mau
bilang, ada tidak tepat buat kau cela orang kangouw!
Mustahil kau sendiri dulunya bukan orang kangouw?"
"Benar aku ada orang kangouw, tetapi aku bekerja untuk kebaikan orang banyak!" Thay Bu jawab "Sekarang ini di antara orang-orang kangouw kebanyakan ada manusia-sia
jahat dan cabul, jikalau aku berikan obatku dan dia sembuh, dia akan lakukan pula berbagai kejahatan!"
Kang Siau Hoo mendongkol hingga ia banting-banting
kaki. "Bagaimana kau bisa mempersamakan semua orang!" ia
berseru. Ia maju, tangannya digeraki. "Jikalau kau tidak berikan obat padaku, aku tidak mau berlalu dari sini! Ya, aku nanti ganggu kesucianmu!"
Thay Bu Siansu bersenyum menghina, dengan tiba-tiba
tangannya menyamber kepada pemuda kita.
Kang Siau Hoo tidak menangkis atau berkelit, sebaliknya ia tunggu kepalan orang hampir sampai, segera ia samber lengannya orang itu.
"Oho, kau Kim Lian Pou-sat, dewi bermuka emas,
hendak tempur aku?" ia kata setelah mana, ia membetot
kesamping. Thay Bu ada punya tubuh kekar sebagai besi, akan tetapi kuda-kudanya (bhesinya) telah tergempur, tubuhnya ikut terpelanting kesamping sampai beberapa tindak.
Hong Kiat lihat itu segera maju akan menghalangi
pendeta itu. "Suhu, kau jangan layani dia," ia beri nasihat. "Kalau kau sampai rubuh, itulah tidak ada harganya!"
Tetapi pendeta itu ada sangat gusar.
"Biar aku rubuh ditangannya, obatku tak dapat aku
berikan padanya!" kata ia dalam sengitnya. Ia lantas buka jubahnya, ia loncat pada pemuda kita seraya kirim
pukulannya dengan dua-dua kepalannya.
Sekarang Kang Siau Hoo-pun maju berikan perlawanan,
maka disitu keduanya jadi bertempur. Pemuda itu tidak
keder sedikit-pun akan kepalan lawan yang keras laksana besi.
Kim Lian Pou-sat Thay Ba Siansu adalah tangan kanan
dari Siok Tiong Liong, sekarang ini dia ada salah satu orang gagah yang kesohor untuk propinsi Hoolam. Ia bertubuh
besar, kedua tangannya panjang tenaganya besar luar biasa.
siapa terkena atau terlanggar itu. dia mesti rubuh.
Disebelah ini, Kang Siau Hoo ada punya kegesitan luar
biasa, sama sekali tidak jerih untuk orang punya tubuh atau tenaga besar itu.
Hong Kiat saksikan pertempuran sampai sepuluh jurus
lebih, lantas sambil goyang-goyang tangannya ia berseru :
"Sudah, sudah, jangan berkelahi lebih jauh!"
Kang Siau Hoo cuma kehendaki obat, maka ketika ia
dengar teriakan itu, ia lantas saja mundur, untuk tidak menyerang lagi.
Tapi Thay bu sudah sangat gusar, ia tak perdulikan
cegahan, selagi orang mundur, ia lompat maju menyerang.
Melihat demikian, Siau Hoo jadi sangat mendongkol. Ia
angkat tangan kanannya menangkis, berbaeng tangan
kirinya turut maju, setelah mana, satu suara "Duk!" yang keras terdengar, tubuhnya si pendeta yang besar dan kuat terpental mundur.
Syukur Hong Kiat lantas maju menjaganya, kalau tidak
tak ampun lagi pendeta ini mesti rubuh terguling.
Siau Hoo lompat kesamping, napasnya tidak sengal-
sengal. "Apakah kau masih inginkan hajaran" Lekas serahkan
obat padaku!" ia kata.
Thay Bu Siansu berdiri dengan muka pucat, hingga
warna mukanya jadi terlebih kuning. Ia mengawasi dengan tajam, dari kepala sampai di kaki.
"Siapa yang ajarkan kau bugee?" ia tanya.
"Kau tidak perlu tanyakan itu!" Siau Hoo jawab, "Sudah sepuluh tahun aku belajar silat tetapi aku toh masih tidak ke tahui she dan namanya guruku!"
Sebelum Thay Bu kata apa-apa, Hong Kiat nyelak pula.
Ia telah saksikan ilmu silat yang luar biasa dari pemuda kita, yang buat ia kagum dan heran.
"Sudah jangan bertempur pula, ia kata, "Kelihatannya
bugee saudara Kang bukan dari Kun Lun Pay, mestinya itu ada dan golongan Lwee-kee ..."
"Kun Lun Pay?" Siau Hoo memotong. "Orang-orang
Kun Lun Pay adalah musuhku semua! Sepuluh tahun aku
belajar silat, perlunya itu ada untuk binasakan mereka itu!"
Kemudian ia hadapi Thay Bu : "Hweeshio, kita tidak
bermusuhan satu pada lain, kalau tadi kau bicara dengan pantas padaku dan berikan sedikit obatmu, pasti aku sekali tidak sudi layani kau berkelahi. Aku bukannya seorang
yang tidak kenal aturan! Sekarang mari lekas berikan
obatmu!" Mukanya Thay Bu berubah-ubah pula, dadanya turun
naik, ia berdiam sebentar, lantas ia manggut.
"Baik, aku nanti berikan obatku!" kata ia dengan sengit bahna penasarannya. Ia bertindak masuk dengan tindakan lebar, cepat sekali ia keluar pula dengan empat lima
bungkus obat yang ia lemparkan ketanah, ia mengawasi
Siau Hoo dengan sepasang matanya bersinar tajam. Ia kata,
"Inilah semua obatku, aku serahkan semuanya padamu!
Terserah padamu, kau boleh kasihkan pada siapa kau suka!
Sekarang kau lihat ini ... " dan tangan kirinya pendetaitu perlihatkan selembar kertas: "Ini adalah surat obatnya!
Tanpa surat obat ini aku sendiri juga tidak mampu buat obat ini! Sekarang aku habiskan semua dari akar-akarnya!
Aku adalah orang suci sejati, aku bukannya tukang buatkan obat pada segala orang kangouw!" Setelah kata begitu
dengan sengit ia robek hancur yoh-thoa itu. Lalu ia
tambahkan pula: "Nah, kau ambil obat itu, lekas kau pergi!
Anggap saja bugeemu ada liehay!"
Air mukanya Siau Hoo-pun merah padam, tetapi
kelihatan ia bisa kendalikan diri.
"Aku tidak inginkan demikian banyak, sebungkus-pun
sudah cukup!" ia bilang. "Selebihnya kau boleh sebar itu diantara sampokannya angin!"
Setelah berkata begitu, ia jemput satu bungkus, terus ia pergi kekamarnya Lie Hong Kiat buat ambil pauhok dan
pedangnya, lalu terus ia keluar dan pekarangan kuil.
Thay Bu Siansu ngeloyor kedalam kamarnya, ia menarik
napas panjang pendek
Lie Hong Kiat benahkan sisa obat itu, segera ia pergi
kekamarnya akan ambil pedangnya, kemudian ia lari
keluar, akan susul Kang Siau Hoo, siapa ia lihat sudah tungang kuda hitamnya sedang lari turun. Ia berteriak-teriak memanggil dan mengejar, tapi ia tidak berhasil. Maka ia segera lari kearah kali, ia memotong jalan akan pergi ke rumahnya Ou Jie Ceng buat ambil kudanya. Jie Ceng
sedang pergi kekota menjual kayunya, ia belum balik. Hong Kiat samber kudanya buat kabur kearah Timur. Ia niat coba susul Siau Hoo. Ia belum keluar dari kampungnya, tiba-tiba dari belakang sebuah pohon murbei yang besar dimana ada temboknya gempur, muncul satu nona. Ia lantas kenali
nona itu adalah nona yang tadi ia tolongi, tapi sekarang si nona sudah cuci bersih mukanya, sekali-pun dia masih
pakai pakaiannya yang rombeng, toh kelihatan nyata
keelokannya. Nona itu nyender ditembok, ia mengawasi
pemuda ini, kelihatannya ia sangat bersyukur. Tapi Hong Kiat ada punya urusan, ia tidak sempat memandang nona
itu, ia kabur terus dengan kudanya. Dengan cepat ia lewati distrik Teng-hong, ia kabur terus kearah Timur, sampai duapuluh lie lebih. Disini barulah ia dapat susul kuda hitam itu.
"Saudara Kang Siau Hoo! Tunggu!" ia berteriak dengan
tangannya menggape-gape.
Kang Siau Hoo dengar teriakan itu, ia tahan kudanya, ia lantas berpaling kebelakang.
Kudanya Hong Kiat segera menyandak, selagi mereka
terpisah baru tiga tumbak, Lie Hong Kiat sudah rangkap kedua tangannya.
"Saudara Kang, aku susul kau untuk haturkan maaf,"
berkata ia. "Tadi dikuil aku bukannya bantu Thay Bu untuk dustakan kau, dia kata obat tidak hendak diberikan, aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa. Lain dari itu, aku tadinya sangka kau ada orang Kun Lun Pay, aku jadi tidak
perdulikan padamu, tetapi sekarang aku dapat kenyataan bugeemu bukan ada pelajaran Kun Lun Pay, kau justru
mesti ada muridnya orang pandai!"
Selagi begitu kuda putih sudah lantas datang dekat
sekali. Siau Hoo juga membalas hormat.
"Saudara Lie, kau terlalu seejie," kata ia. "Namamu
baik, -pun di Kanglam aku telah mendengarnya, maka itu siang-siang aku telah ketahui siapa adanya kau, sedang tadi aku beruntung bisa saksikan kepandaianmu. Sebenarnya
aku berniat bicara banyak kepadamu, sayang sahabatku di Hia-ciu itu mesti lekas ditolong, maka aku perlu lekas kembali padanya. Juga setelah itu aku perlu segera pergi ke Kwan-tiong. Aku kira tidak sampai sepuluh hari, aku akan datang pula kemari, itu waktu barulah kita ikat
persahabatan yang mendalam. Dikemudian hari kau akan
ketahui, saudara Lie, aku Kang Siau Hoo paling gemar
bergaul." Hong Kiat girang dengan pengutaraan itu.
"Kalau nanti kau datang pula saudara Kang, jangan kau
cari diatas gunung!" ia pesan, "dengan begitu kau bisa singkirkan bentrokan pula dengan Thay Bu Siansu. Ditepi kali Kim Beng Kian, didalam kampung ada rumahnya
tukang kayu bernama Ou Jie Ceng, kau suruhlah dia cari aku, nanti kita bisa bertemu pula."
"Baik, baik," Siau Hoo kata sambil memberi hormat.
"Nah, saudara Lie, sampai ketemu pula!"
Lantas pemuda ini larikan kuda menuju ke Hie-ciu. Ia
kagumi Hong Kiat, tapi kapan ia ingat Thay Bu Siansu,
yang namanya kesohrn tapi bugeenya "tak berarti", ia
tertawa sendirinya. Toh Thay Bu Siansu kesohor sekali di Selatan dan Utara!
Kita sudah tahu bagaimana Siau Hoo telah bermula
ketemu bakal gurunya di Cu-ngo-tin, dalam rumah makan, dan di Cin Nia selagi ia rubuh ditangannya Kat Cie Kiang beramai, gurunya telah tolong ia. Disini ia diterima jadi murid.
Dari Cin Nia orang tua itu ajak Siau Hoo lewati Tiang-
an (See-an) dan Han-kok kwan, masuk ke Hoolam dan An-
hui, lalu paling belakag ia diajak seberangi sungai Tiang Kang akan pergi kegunung Kiu Hoa San di Te-ciu.
Ternyata empe itu tinggal dipuncak gunung itu, ditempat yang paling sunyi. Disitu dia dirikan sebuah gubuk dengan beberapa bahu sawah-ladang dimana-pun dia bercocok
tanam. Untuk itu, dia pakai satu bujang gagu. Karena
bujang itu gagu dan sang guru tetap tidak mau beritahukan namanya, Siau Hoo terus tidak tahu she dan nama gurunya itu, sedang untuk menanya melit-melit, ia tidak berani. Ia hanya tahu gurunya ada berkepandaian tinggi.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empe itu perlakuan muridnya dengan baik, tetapi
tentang ilmu silat, ia tidak berikan perlatihannya, maka itu, ditahun pertama Siau Hoo, yang tenaganya besar, lebih
banyak bekerja di sawah atau kebun. Ia diperintah cari kayu atau tanam teh, ia diperintah angkut batu, hingga dalam
satu tahun ia sudah kumpulkan batu umpama tumpukan
bukit batunya kecil dan besar.
"Ah, tumpukan batu ini terlalu makan tempat," kata
sang guru kemudian. "Baik kau singkirkan ini, kau harus dapat singkirkan selama sepuluh hari."
Itulah hebat, karena batu telah dikumpul satu tahun,
sekarang mesti disingkirkan dalam tempo cuma sepuluh
hari! Tapi Siau Hoo tidak menampik, sekarang tenaganya telah jadi besar sekali dan terlatih, sekali-pun batu beratnya seratus kati lebih, dengan gampang ia bisa pondong itu.
Malah karena bekerja terus siang dan malam, tumpukan itu bisa disingkirkan dalam tempo tujuh hari, semua dibuang keselokan gunung!
Melihat kesudahan itu, empe itu jadi sangat girang, maka mulialah ia didik muridnya dalam ilmu lompat tinggi dan lompat jauh, ia juga ajarkan ilmu surat. Adalah di tahun kedua munid ini baru mulai diberikan pelajaran ilmu silat, beberapa jurus saja, supaya bisa dipahamkan dengan
sungguh-sungguh.
Ditahun ketiga, guru itu turun gunung. Selama ini Siau Hoo jadi belajar seorang diri saja. Pelajarannya baru
beberapa rupa tapi sangat sulit, hingga ia mesti belajar luar biasa rajin. Selang dua bulan baru ia insyaf pentingnya pelajaran itu, yang ada beda dari pada pelajaran Kun Lun Pay yang ia dapatkan dari Ma Cie Hian. Seorang diri ia yakinkan terus, hingga ia peroleh kesempurnaan dari
beberapa jurus itu.
Selang satu tahun, si guru pulang dengan membawa
sebilah pedang yang berat, pedang yang diberikan pada
muridnya serta beberapa jilid kitab, yang menuturkan
tentang llmu pedang atau kiam-hoat. Murid itu dipesan,
siang mesti baca kitab, supaya lekas paham, malamnya
mesti pelajaran pedangnya.
Siau Hoo tidak sia-siakan pesan gurunya. Belum satu
bulan ia sudah bisa baca diluar kepala beberapa buku itu, yang terus diambil pulang oleh gurunya. Maka selanjutnya, ia belajar menurut ingatan otaknya yang tajam dan kuat.
Siang malam ia belajar dengan giat.
Selama itu, sang guru sering berpergian, pergi dan
pulangnya tak ketentuan, tetapi kapan ia pulang, ia didik muridnya dan tunjukkan bagian-bagian yang keliru untuk diperbaikinya.
Selain itu Siau Hoo masih gunai ketikanya akan belajar berenang dan selulup dikali kecil hingga pandai.
Baru ditahun ke tujuh, Siau Hoo sudah merasa bahwa
ilmu pedangnya sudah melebihi kepandaiannya Long Tiong Hiap dan Pau Kun Lun.
Selama tahun ke delapan dan ke sembilan, sang guru
tidak pergi ke mana-mana, maka ia bisa gunakan temponya akan didik muridnya ini, antaranya Khie-kang dan Tiamhiat-hoat, juga lain-lainnya. Pelajaran surat-pun Siau Hoo tidak diberi alpakan, hingga ia-pun jadi pandai surat.
-ooo0dw0ooo- Jilid 13. DITAHUN kesepuluh, pada suatu hari sang guru tanya
muridnya: "Bagaimana kau rasa tentang pelajaranmu?"
"Semua apa yang suhu ajarkan, aku telah belajar dengan baik," sahut murid itu. Ia ingin sangat turun gunung untuk menuntut balas, maka ia menjawab secara demikian.
"Tapi kau telah dapat baru separuh dari semua
kepandaianku," menerangkan gurunya. "Kau masih kalah
dengan Ah Pa, dia telah dapatkan enam bagian!"
Dengan Ah Pa dimaksudkan si gagu, si bujang tukang
kebun. Siau Hoo kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin.
Dalam hatinya ia kata, "Heran! Selama sepuluh tahun aku lihat Ah Pa hanya masak nasi dan tanam teh, dilihat dari romannya, batu-pun dia tidak kuat angkat, siapa tahu dia ada terlebih pandai daripada aku"
Selagi murid ini berpikir, sang guru telah kata pula
padanya : "Dia adalah suhengmu, maka kau barus belajar dari
dia. Lihat, bagaimana bisa dia umpatkan kepandaiannya! Memang ilmu silat dari Bu Tong Pay tidak boleh sembarang diperlihatkan. Hanya kau sendiri ada lain.
Sejak masih kecil sekali kau sudah menderita, kau-pun
hendak menuntut balas untuk ayahmu, aku tidak bisa
menghalang-halangi, tetapi kau mesti ingat baik-baik
pesanku. Pertama, kecuali musuhmu, aku larang kau buat celaka siapa juga. Kedua, kau boleh bertempur dengan
siapa juga tetapi kau tidak boleh adu jiwa. Ketiga, kau mesti tolong si lemah, mengasihani si yatim-piatu dan janda-janda. Kepandaianmu ada untuk menolong, bukan untuk
buat kaya diri sendiri dengan berbuat jahat. Yang lain-lainnya aku tak usah pesan lagi. Sekarang, pergilah kau turun gunung!"
Siau Hoo lantas benlutut di depan gurunya.
"Sekarang aku belum niat turun gunung," kata ia, "aku
ingin ikuti suhu akan dapatkan pula beberapa macam
pelajaran lainnya ... "
Orang tua itu tertawa.
"Jikalau kau belajar lebih jauh, lantas akan tak ada orang yang mampu kendalikan kau!" katanya. "Dengan apa yang
kau punyai sekarang, itu-pun sudah lebih untuk kau
menindih Siok Tiong Liong dan Liong Bun Hiap.
Ditanganmu Pau Cin Hui akan jadi seperti anak kecil, maka yang lain-lainnya akan ada seumpama semutpun tidak.
Kenapa kau masih tak tahu cukup" Lekas kau turun
gunung!" Kang Siau Hoo tidak berani membantah pula ia beri
hormat pada gurunya untuk berpisahan, lantas ia ambil
pauhok dan pedangnya terus ia turun gunung. Ia jalan
dengan cepat. Ia jalan belum sampai ditengah gunung, di belakangnya ia dengar berisik suara "ah ah-uh-uh", ketika ia menoleh, ia lantas lihat suhengnya (kakak seperguruan), Ah Pa Si Gagu. Ia lekas berhentikan tindakannya, ia beri hormat pada suheng itu.
Ah Pa gosok-gosok mulutnya, dengan dua jarinya ia
menunjuk keudara.
Siau Hoo mengerti, itu ada pesan dari gurunya yang
larang ia lancang gunakan Tiam-hiat-hoat, maka ia terus manggut-manggut.
Ah Pa tarik keluar pedang dan pauhoknya Siau Hoo ia
hunus itu, terus ia bersilat.
Siau Hoo kagum melihat permainan itu, yang ada
seumpama "naga terbang, harimau menerkam". Bagian
inilah yang ia belum diajarkan oleh gurunya. Maka itu, sehabisnya sang suheng bersilat, ia sambuti pedangnya, dan terus ia coba telad suheng itu. Dasar ia berotak terang, sebentar saja ia telah bisa mainkan ilmu itu, hingga ia tertawa karena sangat girangnya.
Sampai disitu suheng dan sutee lantas berpisah.
Siau Hoo lantas ambil jalan besar. Ketika dahulu ia
datang, ia ada punya kuda hitam, pada empat tahun
berselang binatang itu telah mati. Namun uangnya yang ia dapat menang berjudi pada sepuluh tahun yang lalu, masih utuh, maka ia anggap untuk merantau perlu ia mempunyai kuda.
Ketika itu ada dimusim pertama, Kang Lam menjadi
indah sekali. Dimana-mana disawah, ada nona-nona asyik nandur, melihat siapa Siau Hoo lantas teringat pula Ah Loan yang terlahir di rumah musuhnya. Ia duga Ah Loan
mestinya sudah berusia dua puluh lebih dan tentunya telah menikah. Kemudian ia ingat ibunya, entah bagaimana
dengan orang tua itu yang usianya pasti sudah meningkat, sedang adiknya mesti sudah dewasa dan besar. Ingat itu semua, ia menghela napas. Tapi kapan sebaliknya ia ingat, ia telah mengerti bugee dan pandai surat juga, ia merasa terhibur. Sekarang ia bukan lagi Kang Siau Hoo "harimau kepala tiga" ...
Maka dengan bersemangat, ia lanjutkan perjalanannya.
Siau Hoo telah dapat beli seekor kuda, pada lehernya
binatang itu ia gantungkan kelenengannya dari sepuluh
tahun yang lalu. Ia lebih dulu ambil tujuan Kengcou, yaitu propinsi Oulam dan Oupak sekalian. Di Siangyang ia telah rubuhkan Hoa-cio Bang Jie, di Sin-yang ia kalahkan Say Ui.Tiong Lau Khong. Dikota Sin-yang ini ia telah tulis suratnya untuk Pau Cin Hui, surat mana ia kirim pada saat saudagar obat-obat dari Cie-yang untuk disampaikan pada persaudaraan Liong. Dari sini, Ia pergi ke Siang-cay dimana ia tempur Lou Pek Hiong, di Siang-sui ia lawan Lou Ceng Hou. Semua pertempuran itu dilakukan dengan sifat piebu tulen, maka itu, sehabisnya adu kepandaian, mereka lantas ikat persahabatan, tidak bermusuhan. Disini ia dengar
namanya Lie Hong Kiat. Disaat ia hendak menuju ke Barat,
akan cari Pau Cin Hui, ada seorang dari kalangan piau-tiam datang kepada Lau Ceng Hou di Siang-sui cari dia. Orang itu adalah orang suruhannya sahabatnya dan sepuluh tahun yang lampau, yaitu Toantoo Yo Sian Tay, yang ia kenal di Long-tiong, siapa telah terluka dalam saat pertempuran. Yo Sian Tay ada orang Hoolam, pada lima tahun yang lalu, ia pulang kekampungnya dimana ia buka piau tiam sendiri. Ia kebentrok kepada satu piausu dan terluka, justeru ia dengar namanya Kang Siau Hoo, lantas ia kirim orangnya akan
cari sahabat itu. Siau Hoo ingat sahabat ini dengan siapa ia telah pergi ke Gang Biejin, maka itu, segera ia pergi ke Hie-ciu akan tengok sahabat itu.
Yo Sian Tay sedang rebah karena lukanya ketika Siau
Hoo datang, ia jadi girang bukan main. Banyak yang
mereka bicarakan sejak perpisahan mereka. Kemudian
Siang Tay bicara tentang lukanya itu, ia dapat dengar Kim-Lian Pou-sat Thay Bu Siansu di Pek Siang Siu ada punya obat Kim Kong Keng Seng San yang mustajab tapi tak ada orang yang bisa pergi kesana. Siau Hoo tidak tega dengari sahabat itu merintih saja, ia nyatakan ia suka pergi ke Siang San. Demikian sudah terjadi ia datangi Thay Bu Siansu, hingga disebelah kenal dengan Lie Hong Kiat, ia-pun
kebentrok kepada pendeta yang adatnya kukuh itu. Dengan lawan teriknya matahari, dengan kudanya senantiasa
perdengarkan kelenengan emasnya. ia kabur pulang ke Hie-ciu. Ketika ia sampai, ia terus obati lukanya Sian Tay, iapun tuturkan pengalamannya itu.
"Ah, hia-tee, kau terbitkan onar untuk aku," kata Sian Tay dengan menyesal. "Tentang Lie Hong Kiat, aku belum tahu suatu apa, hanya Thay Bu Siansu, kenapa kau hajar padanya" Dia ada enghiong nomor satu untuk Hoolam...."
"Jangan kau kua tin," Siau Hoo hiburkan sababat itu.
"Ketika aku minta obat, aku tidak sebut-sebut namamu
maka pastilah dia tidak akan cari kau. Hanya aku tidak bisa tunggui kau berobat, sehingga sembuh, aku mesti segera pergi ke Kwan-tiong, ke Tin-pa, ke Cie-yang, untuk
bereskan urusanku sendiri. Nah, di belakang hari saja kita bertemu pula!"
Yo Sian Tay memaksa menahan keberangkatannya Siau
Hoo, maka kejadian, dua hari Siau Hoo berdiam kepada
sahabatnya itu, lalu dihari ketiga barulah ia pergi. Dihari ke tiga itu bengkaknya San Tay sudah kempes, ini
membuktikan kemustajabannya obatnya Thay Bu Siansu.
Kepergianaya-pun Siau Hoo tidak pamitan lagi. Tapi
paling dahulu ia kembali ke Siong Sian.
Ketika Siau Hoo sampai dikaki gunung, kebetulan hujan
turun rintik-rintik. Duduk diatas kudanya, ia pakai tudung lebar, ia tutupi tubuh dengan kain minyak, maka itu, air langit cuma membasahkan pakaian luarnya. Dikiri-kanan
kabut menutupi segala apa, hingga disitu tak ada satu
manusia-pun yang tampak.
"He, kemana aku mesti cari tahu Kim Beng Kian?" kata
ia seorang diri. Tapi ia tidak kurang akal, ia gantung kelenengan emas dileher kudanya, ia kaburkan kudanya ke arah Barat. Kudanya sedang berlari ketika tiba-tiba diantara patihnya uap hujan, ia lihat berkelebatnya satu bayangan orang, suara siapa segera terdengar: "Saudara Kang! Kang Siau Hoo!"
Siau Hoo segera menghampiri orang itu yang pakai
tudung lebar seperti ia sendiri, ia segera kenali Lie Hong Kiat.
"Dua hari sejak perpisahan kita, setiap hari aku tunggui kau, saudara Kang," Hong Kiat beri tahu. "Aku duga kau akan kembali lagi beberapa hari, tak aku sangka bahwa kau datang hari ini, dengan lawan hujan juga!"
"Aku sudah janji akan datang pula, sudah pasti aku
mesti datang," kata Siau Hoo.
"Dan bagaimana dengan lukanya sahabatmu?" Hong
Kiat tanya. "Tidak sampai sepuluh hari, dia akan sudah sembuh,"
sahut Siau Hoo. "Obatnya Thay Bu Siansu benar mujarab, aku pikir hendak haturkan terima kasih padanya, aku tidak nanti sebut-sebut hal pertempuran kita, aku hendak
bersahabat dengan dia."
"Kau benar seorang jujur, sahabatku," kata orang she Lie itu. "Baiklah, aku nanti ajak kau ke Pek Siong Siu. Aku percaya perselisihan dapat dihabisi, Saudara Kang, aku ada satu kabaran untukmu. Aku toh sudah beritahukan kau
tentang sahabatku, Ou Jie Ceng, si tukang potong kayu"
Nah, seberangkatnya kau hari itu, aku telah pindah
kerumahnya. Dikampungnya Jie Ceng ada satu keluara she Tan, anggauta keluarganya tingal ibu dan satu anak
perempuan. Mereka ada sangat melarat. Kau bisa duga,
siapa mereka itu?"
"Aku ada orang asing disini aku tak dapat menebak,"
sahut Siau Hoo.
"Si nona adalah nona yang kita telah tolongi" Hong Kiat terangkan. "Ibunya ketahui kejadian itu, ia mendesak akan aku ambil anaknya itu sebagai isteri. Aku pikir aku telah merantau lama, aku-pun sudah berusia dua-puluh lebih, aku anggap dirikan rumah tangga-pun ada satu keharusan..."
Siau Hoo lantas tertawa.
"Nah, aku beri kionghie padamu, saudara Lie!" ia kata.
"Sekarang aku hendak pergi kekota buat cari pondokan,
kalau sebentar hujan berhenti, aku akan datang kemari,
akan sekalian tengok enso. Sekarang anggap saja bahwa
kita sudah beremu dengan menepati janji."
Ia rangkap kedua tangannya, ia lantas tarik les kudanya.
"Tunggu dulu, saudara Kang!" Hong Kiat lekas
mencegah. "Kau masih belum dengar semua. Kita benar
sudah bertunangan tetapi pernikahan akan dirayakan nanti, tanggal delapan yang akan datang, jadi tinggal lagi empat hari. Kau mesti minum arak kegirangan, maka sebelum itu, jangan kau berangkat dahulu. Di rumahnya Jie Ceng aku
tambab dua kamar, aku-pun pakai satu pembantu yang
pandai masak. Aku sudah sediakan arak yang jempol
untukmu. Kau tiba hari ini, selagi hujan, inilah kebetulan, mari kita minum akan hangati tubuh! Kau-pun ada satu
enghyong, jangan kau seejiie. Mari ke rumahku, di sana kita minum! Malam ini kau-pun harus nginap kepadaku!"
"Sebenarnya aku cari kau untuk bicara sebentaran saja,"
Siau Hoo bilang, "besok aku niat lanjukan perjalanan,
karena aku ada punya urusan sangat penting!"
"Tidak perduli kapan kau berangkat. Sekarang kau
mampir dahulu padaku!" Hong Kiat mendesak.
Siau Hoo lihat pakaiao arang telah kuyup semua, ia
tertawa. "Baiklah," katanya, yang terus ikuti sahabat itu,
siapapun ada menunggang kuda.
Diantara hujan mereka sampai di rumahnya Ou Jie
Ceng. Hong Kiat masuk lebih dahulu, didalam ada
pembantunya Hong Kiat yang sambuti kuda mereka, maka
keduanya terus masuk kedalam dimana paling dulu mereka turunkan tudung mereka dan buka baju. Didalam rumah
ada dua meja bobrok dan satu bangku, dari itu, Hong Kiat ajak sahabatnya duduk di pembaringan.
Bujangnya Hong Kiat datang tidak lama kemudian
dengan arak serta satu mangkok besar, karena disitu tidak ada cawan, hingga mereka mesti minum arak itu dengan
bergantian! Temannya arak-pun ada beberapa potong
ketimun. "Aku tidak sangka kau bakal datang hari ini, itulah
sebabnya kenapa aku tidak punya sayur lainnya," Hong
Kiat bilang. "Sebentar aku nanti suruh orang kepasar akan beli barang makanan dan arak, untuk sebentar malam kita dahar-minum."
"Begitu-pun baik!" Siau Hoo nyatakan akur, sama sekali ia tidak berlaku seejie.
"Sudah sepuluh tahun lebih aku hidup dalam
perantauan, kadang-kadang saja aku minum kering
beberapa cawan arak tetapi tidak ada segembira ini!"
Hong Kiat bersenyum, ia-pun merasa puas.
"Saudara Kang, dimana sebenarnya
rumahmu?" kemudian ia tanya.
"Di Tin-pa, di propinsi Siam-say," Siau Hoo jawab
dengan ringkas.
Hong Kiat kaget, air mukanya sampai berubah. Tapi ia
coba bersenyum akan bersandiwara.
"Oh, kiranya kau ada sekampung dengan Pau Kim
Lun!" kata ia pula sambil tertawa.
Tiba-tiba Siau Hoo gebrak meja, hampir meja itu rubuh, sedang arak dimangkok telah ngeplok.
"Jangan sebut dia!" dia kata dengan sengit.
Hong Kiat mengawasi, ia heran. Ia lihat sahabat itu
tenggak satu mangkok arak akan kemudian menarik napas
panjang. "Kau tidak tahu, saudara Lie," kata ia yang jadi sabar pula. "Sepuluh tahun aku belajar silat di Kanglam, aku turun gunung belum sampai dua bulan. Memang benar aku
telah kalahkan Bang Jie, Lau Khong, Lou Pek Hiong dan
Lau Ceng Hou, buat di Hoolam aku sudah dapat sedikit
nama, namun masih banyak orang yang belum tahu aku.
Tapi kalau kau pergi ke Tin-pa, Cie-yang dan Long-tiong, dimana kau akan dapat dengar, pada sepuluh tahun yang
lalu disitu aku sudah angkat nama! Itu waktu aku baru
berumur empat-belas tahun tetapi dengan ujung pisauku, aku telah lukai persaudaraan Liong!"
"Oh, jadi dengan Kun Lun Pay kau tidak punya
persahabatan?" Hong Kiat tegaskan.
Siau Hoo menghela napas, ia sebenarnya mendongkol
dan gusar, tapi dalam suasana seperti itu, ia masih punyai kesabaran akan tuturkan pengalamannya dulu.
"Kenapa aku tidak bisa lambat-lambatan disini?" kata ia kemudian. "Itulah sebab aku menyesal tidak bia segera
pergi ke Tin-pa untuk menuntut blas!"
"Sebenarnya aku harus menuju langsung dari Sinyang ke
Siamsay Selatan, tapi aku sengaja tidak ambil jalan itu, aku sengaja jalan mutar, untuk coba angkat sedikit namaku
supaya Pau Cin Hui ketahui aku hendak cari padanya, agar dia kumpulkan semua murid-muridnya, siap berjaga-jaga, setelah itu barulah aku datangi mereka, supaya umum-pun tidak katai aku menghina Pau Cin Hui yang sudah tua."
Hong Kiat manggut-manggut,
hatinya-pun lega berbareng kagum, karena sekarang ia ketahui jelas siapa adanya pemuda ini. Maka kemudian, ia buka kancing
bajunya akan hunjukkan iga kanannya dimana ada satu
tanda luka. "Lihat lukaku yang baru sembuh ini," ia beri tahu. "Pada bulan yang lalu, aku tempur orang-orang Kun Lun Pay di Seean. Aku sendirian tapi aku telah lukai enam atau tujuh musuh. Aku belum pernah ketemu Pau Kun Lun sendiri
tetapi dengan Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong, aku
pernah bertempur. Bugee mereka biasa saja, golok Kun-luntoo-pun bebal. Cuma satu orang yang kita mesti perhatikan di sana, ialah Kie Kong Kiat cucunya Liong Bun Hiap. Di Wielam, bersama-sama satu nona dari Kun Lun Pay, dia
telah kepung aku, aku kalah, inilah tanda lukanya, bekas ujung pedangnia Kie Kong Kiat!"
Siau Hoo kelihata heran juga. Tapi ia tidak tanya Kie
Kong Kiat. "Nona, dari Kun Lun Pay?" tanya dia. "Apa she dan
namanya?" "Aku tidak tahu," Hong Kiat jawab sambil geleng
kepala. "Aku duga dia ada orang Kun Lun Pay karena ia
gunakan sebatang golok dan ilmu goloknya ada diatasan
Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan yang lain-lainnya."
"Bagaimana romannya dan berapa usianya nona itu?"
tanya Siau Hoo, yang nampaknya jadi semakin ketarik.
"Umurnya kira-kira dua-puluh, romannya elok sekali,"
Hong Kiat kata. "Karena aku pantang bertempur kepada
orang perempuan, aku terpaksa senantiasa menyingkir dari nona itu, hingga aku tidak perhatikan romannya sungguh-sungguh ...
"Dia pasti adalah Ah Loan ... " kata Siau Hoo, yang
lantas jadi masgul, hingga kembali ia menghela napas, lagi-lagi ia tenggak araknya.
Ketika itu hujan turun makin besar, tapi Hong kiat suruh orangnya pakai tudung buat beli daging dan lainnya
dipasar, ia sendiri tambahkan araknya, karena keduanya minum terus.
"Besok, walau hujan tidak berhenti, aku mesti berangkat juga!" kata Siau Hoo kemudian.
"Kau ingin menuntut balas untuk ayahmu, saudara
Kang, aku tidak berani cegah kau," kata Hong Kiat. "Aku juga hendak cari Kong Kiat buat balas tikamannya ini,
besok aku hendak turut kau!"
"Tidak, sahabatku," Siau Hoo balik mencegah. "Kau
hendak buat pesta, bagaimana kau bisa pergi ikut aku" Lagipun aku ada orang beradat keras, aku tidak suka orang
bantui aku. Umpama kau hendak cari Kie Kong Kiat,
carilah dia nanti, sesudah aku beres dengan urusanku.
Umpama kita pergi berdua dan dapat kemenangan, tak
luput kita akan ditertawakan oleh orang kangouw."


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong Kiat suka berpikir, ia manggut.
"Bcgini saja," kata ia, "Kalau besok hujan berhenti, kau boleh berangkat, saudara Kang, kalau tidak, kau diam lagi satu hari disini untuk kita mengobrol terlebih jauh."
Siau Hoo ternyata setuju, ia angguk-anggukkan kepala.
Hujan masih terus turun, sedang waktu itu baru jam tiga atau empat. Dua orang ini masih bercakap-cakap tentang kaum kangouw, perihal ilmu silat golongan Lweekee.
Dengan tidak merasa lagi satu mangkok arak telah
kering, Hong Kiat hendak menambahi, Siau Hoo
mencegah. "Cukup!" katanya. "Kita tunda sampai sebentar sore
diwaktu bersantap."
Hong Kiat tidak memaksa. Ia lantas ke luar, ke
rumahnya Jie Ceng, ibu siapa sedang rebah tidur
dipembaringan, Jie Ceng sendiri masih belum pulang.
"Apa yang Jie Ceng kerjakan, sehingga hujan demikian
dia belum pulang juga?" kata Hong Kiat seorang diri. Ia balik ke rumahnya, ia lihat Siau Hoo sedang rebah sambil ia baca ia punya sejilid syair.
"Tentunya saudara Kang-pun mengarti syair?" tanya ia.
"Oh, tidak, tidak," Siau Hoo jawab sambil geleng kepala,
"Tadinya aku tidak kenal satu hurufpun, kebetulan guruku mengerti llmu surat juga, ia lantas sekalian ajarkan aku ilmu surat, hingga aku bisa membaca. Dibanding dengan kau,
saudara Lie, aku kalah jauh. Aku anggap, asal aku kenal beberapa huruf, itu-pun sudah cukup untuk merantau."
Berkata demikian, Siau Hoo lantas ingat pengalamannya
di Long-tiong, maka ia menghela napas, ia kata pula :
"Siapa tidak kenal mata surat, dia rugi, dia bisa celaka.
Dulu selama di Longcong, karena dua pucuk surat, Long
Tiong Hiap sampai cunigai aku sebagai mata-matanya Kun Lun Pay ... " Siau Hoo-pun lalu tuturkan Long Tiong Hiap.
Mendengar Long tiong hiap rubuh di tangannya Pau Cin
Hui, Lie Hong Kiat anggap guru silat itu jauh terlebih gagah daripada murid-muridnya, karena namanya Long Tiong
Hiap ada sangat kesohor, benar Pau Cin Hui sudah tua
tetapi tidak boleh dipandang enteng. Karena ini, ia-pun sangsi apa Siuw Hoo bisa tandingi jago tua itu.
Hong Kiat naik di pembaringan. Mereka rebah berhadap-
hadapan, dengan begitu mereka bisa kongkou dengan asyik, sampai daun pintu mendadak terbuka, angin dingin
menghembus masuk, Hong Kiat berbangkit ia lihat
bujangnya. Bujang ini kuyup meski-pun dia bawa payung.
Ia beli daging sayuran dan juga seekor ikan hidup, yang semuanya diletaki diatas meja. Ia bukan melainkan kuyup, napasnyapun
sengal-sengal, romannya kaget atau ketakutan. "Ou Jie Ceng telah terbitkan onar," kata ia sesaat
kemudian. "Dia telah pukul orang dipasar hingga mati! "
Hong Kiat terkejut.
"Bagaimana itu terjadi?" ia tanya.
Siau Hoo-pun berbangkit, ia mengawasi sambil duduk.
Bujang itu coba perbaiki napasnya.
"Hari ini turun hujan, Jie Ceng tidak bisa pergi ke
gunung, maka itu, ia pergi kepasar untuk menagih," ia
menuturkan. "Di pasar dia ketemu Kau-pie Yu Tou jie si Botak dari Hek-kee-chung, siapa ajak ia kewarungnya si orang she Cie untuk berjudi. Katanya Jie Ceng kalah habis-habisan, karena mana, ia minta Tou-jie pulangkan uangnya.
Karena ini, mereka jadi berselisih dan berkelahi. Yu Tou- jie kena ditoyor satu kali, dia rubuh terus mati. Yang berjudi disitu kebanyakan ada orang Hek-kee chung, mereka
keroyok Jie Cen. Dia buat perlawanan, dia telah rubuhkan lagi tujuh atau delapan orang. Akhirnya datang semua
orang Hek-kee-chung berikut Hek Jie-looya yang bawa
gaetannya, Hou-tau-kau. Sekali ini dengan gampang Jie
Ceng kena dirubuhkan, dia diringkus terus digusur ke Hek-kee-chung. Orang menduga, Jie Ceng sedikitnya bakal
dihajar setengah mati di Hek-kee-chung."
Hong Kiat menjadi gusar.
"Aku mesti pergi lihat! Tak dapat dibiarkan pihak Hek-
kee-chung perhinakan Jie Ceng secara demikian!"
Ia lantas melangkah, ia samber tudung, iapun ambil
payung. Kang Siau Hoo turun dari pembaringan, ia pakai
sepatunya. "Apa penghidupan Hek-kee-chung itu?" ia tanya. "Apa
mereka ada bangsa okpa?"
"Mereka tidak dapat dibilang golongan okpa," Hong
Kiat jawab seraya geleng kepala. "Hanya di Teng-hong ini, disekitarnya sepuluh lie, tidak ada orang yang berani
ganggu mereka. Keluarga Hek terdiri dari dua orang, engko dan adik. Hek Toa ada jadi jenderal, dan adiknya, Hek Jie, diam di rumah sebagai tuan tanah. Dalam beberapa distrik dan gunung Siong San ini, keluarga Hek adalah yang paling berharta. Pek Jie juga mengarti ilmu silat dan sujut pada Buddha, pernah aku ketenu dia di Pek Siong Sie."
"Kalau kau kenal dia, itulah baik," Siau Hoo bilang,
"aku percaya, kau tidak akan kebentrok satu pada lain, aku jadi tak usah turut pergi!"
"Memang, saudara Kang, tak usah ikut temani aku,"
Hong Kiat kata. "Tidak lama, aku akan segera kembali."
"Nah, kau pakailah baju hujanku," Siau Hoo bilang.
"Tidak usah," sahut Hong Kiat dengan menggoyangkan
tangan, terus ia keluar. Ia pergi dengan pakai payung.
Siau Hoo berebahan pula, tetapi ia merasa tidak gembira, sedang pengaruh arak-pun mulai bekerja, hingga ia
merasakan kepalanya panas. Ia lantas berbangkit, ia pakai baju hujannya, lalu ia pergi keluar. Ia berdiri di depan pintu pagar. Diwaktu hujan demikian, jangankan orang, walaupun seekor anjingpun tidak tertampak. Orang pada berdiam didalam
rumah. Kesunyian atau ketenangan ini, menyebabkan pikirannya melayang-layang, hingga ia lalu
teringat pada masa ia selagi berurnur sepuluh tahun kurang lebih, waktu sedang ia turun hujan, didalam rumahnya ia mendengari ibunya dongeng, sebelum ibu itu habis
bercerita, tiba-tiba ayahnya pulang dengan memakai tudung lebar. Ayah ini pulang sehabis berlajar silat dirumahnya Pau Cin Hui. Ia samber tudung ayahnya itu lantas ia keluar.
Kejadian itu sekarang terbayang di depan matanya selagi sekarang turun hujan. Kemudian, karena itu berbayang pula hal ayahnya dibunuh Pau Cin Hui, sehingga ia terpisah dari ibu dan adiknya, hidup tersiksa di rumahnya orang she Pau itu. semua itu ada seperti kejadian kemarin, hingga hatinya, dan berduka jadi panas. Air hujan telah menimpa
kepalanya, tapi ia tidak merasakan dingin karena panasnya hati.
Itu waktu sang bujang datang membawakan tudung.
"Lihat disana, tuan Kang," kata bujang ini seraya
tangannya menunjuk ke arah sebuah pohon murbei.
"Rumah bobrok dibawah pohon itu adalah rumahnya nona
Tan. Ayahnya nona Tan ada satu pemburu, selagi ia kejar serigala diatas gunung, dia tergelincir dan jatuh mati dijurang. Kasihan nona itu yang sekarang hanya berdua ibu saja. Lagi beberapa hari, kalau nona Tan sudah menikah barulah keadaannya bisa mendingan ..."
Mendengar bujang in, Siau Ho ingat Hong Kiat yang
akan menikah, tapi ia tidak punya barang apa juga untuk tanda
mata. Ta merasa tak enak sendirinya. "Besok aku hendak berangkat, barang apa aku mesti
berikan?" kata ia dalam hatinya, "Baiklah sekarang, selagi dia belum pulang, aku pergi kekota akan beli apa saja."
Ia masuk kedalam pekarangan akan siapkan kudanya.
"Eh, tuan Kang, kau hendak pergi kemana?" tanya si
bujang. "Aku hendak pergi kekota beli sesuatu, aku akan segera kembali," sahut pemuda ini, yang masuk kedalam untuk
ambil uangnya. Sebentar kemudian ia sudah berada di atas kudanya yang ia larikan keluar kampung menuju kekota.
Jalan besar ada berlumpur.
Empat kali Siau Hoo mundar-mandir di kota Teng-hong,
belum pernah ia mampir didalam kota. Ia lihat kota ada besar, toko ada banyak, sekali-pun hujan namun tidak
sedikit orang berpayung yang mondar mandir. Ia turun dan kudanya, ia lihat toko. Ia sekarang bingung, apa ia mesti beli.
"Tak tepat aku beli pupur, yancie dan cita," pikir dia,
"Ini tidak saja kelihatan bersifat perempuan, aku-pun belum kenal bakal isterinya. Keperluannya Hong Kiat ada buku dan pedang .. Kalau aku beli buku, buku itu bisa basah ketimpa hujan kalau aku beli pedang, pedang-pun dia sudah punya. Barang apa yang aku harus persembahkan
kepadanya?"
Ia jadi berdiri sekian lama, pikirnya lebih baik ia beli ayam saja untuk pesta, atau kalau ayam tidak dipakai, bisa dipelihara. Maka ia terus tanya orang, dimana letaknya pasar ayam.
"Disana, lagi dua jalan besar dari sini," orang tunjukkan,
"namanya yaitu pasar ayam dan bebek."
Siau Hoo tuntun kudanya, ia lantas dapat cari pasar itu, penjualnya ada empat atau lima rumah. Disitu terdengar berisik suaranya bebek dan ayam.
Siau Ho lantas menghampiri sebuah warung, dimana ia
beli seekor angsa, dua ekor ayam biang yang besar, seekor ayam jago. Tiga ekor ayam diikat, digantung di pelana.
Tapi angsa ngamuk saja dengan sayapnya, kakinya yang
pendek sukar diikat.
Tidak ada lain jalan, angsa itu ia peluki dengan sebelah tangan, tangan mana-pun berbareng mencekal les kuda,
tangan yang lain memegang cambuk. Ia jalankan kudanya
sambil setiap kali berseru, "Numpang! Numpang!" ia pikir, sekeluarnya dari pintu kota Barat, ia hendak kaburkan
kudanya itu supaya lekas sampai di rumahnya Hong Kiat.
Apa mau mendadak kudanya jadi binal, dia berjingkrakan, hingga orang jadi kaget dan minggir, waktu itu-pun tiba-tiba dari satu gang muncul satu orang yang berkerodong baju rumput, hingga macamnya mirip dengan landak yang besar.
Kudanya Siau Hoo kaget, kedua kaki depannya diangkat
tinggi hingga penuaggangnya terus rubuh, karena ia tak menyangka akan hal ini, ia tak sempat berpegang keras.
Sekejap saja tiga ayam dibawa kabur dan angsa terlepas dan lari!
Siau Hoo tidak rubuh terguling karena nya, ia bisa
melompat dan berdiri ditanah. tapi karena itu. orang
tertawakan ia terbahak-bahak, ia segera menoleh akan lihat, Siapa yang menertawainya.
Orang itu adalah orang yang pakai baju rumput. Siau
Hoo jadi mendongkol.
"Jangan mentertawal aku!" kata dia dengan sengit. "Toh baju rombengmu ini yang buat kudaku kaget."
Saking gusar Siau Hoo memukul.
Orang itu berkelit. Dia bertubuh gesit. Sambil berkelit,-
pun dengan tangan kanan ia sampok kepalannya Siau Hoo, dengan tangan kiri, dengan dua jarinya ia balas menyerang dengan totokan kepada iga.
Siau Hoo kaget, ia segera mundur.
"Aha, kau hendak totok aku?" ia menegur. Tapi ia segera maju.
Orang itu lekas buka baju rumputnya. ia buat
perlawanan, setiap kali ia hendak totok lawannya itu.
Siau Hoo pandai Tiam-hiat-hoat, ia maka setelah
melayani empat gebrakan, ia angkat kakinya, buat orang rubuh terguling dilumpur.
"Ha-ha-ha!" tertawa ia, yang-pun mendupak pula.
"Hayo bangun!"
Sembari kata begitu, Siau Hoo awasi orang ini, hingga
akhirnya ia jadi heran. ia seperti pernah lihat orang ini, entah dimana.
"Eh, aku seperti kenal kau?" ia kata. "Kau she apa?"
Orang kurus itu ada kate dan tubuhnya kurus sekali, ia merayap bangun, pakaiannya penuh lumpur, ia jemput baju rumputnya, romannya ada sangat mendongkol.
"Kau kenal aku" Aku-pun kenal kau." ia jawab dengan
ketus. "Dulu Long Tiong Hiap tidak sudi terima kau bangsa kura-kura, sekarang kau datang kemari, rupanya hendak
menjagoi!"
Setelah berkata demikian, dia lantas ngeloyor pergi.
Siau Hoo tidak jadi gusar karena cacian itu, ia awasi
orang pergi, ia terus memikirkan, siapa dia itu.
"Siapa dia" Kenapa dia kenal aku" Aku seperti kenal dia juga."
Sementara itu ada datang beberapa bocah, ada yang
bawa angsa. Mereka ini baik budi dan membantui.
"Terima kasih," kata Siau Hoo pada mereka itu, yang
masing-masing ia persen beberapa ratus chie, sedang satu bocah diminta tolong belikan tambang, buat ringkus
angsanya dan ikat dipelana, kemudian ia loncat naik atas kudanya, buat dilarikan keluar dari pintu kota Barat.
Selama itu ia memikirkan orang tadi, ia masih tidak ingat siapa dia itu, hingga ia jadi masygul.
Di depan ia, Siau Hoo samar-samar lihat gunung Siong
San. "Apa orang tadi ada orangnya Thay Bu Siansu?" ia
menduga-duga pula. "Tapi kenapa dia ketahui halku
dengan Long Tiong Hiap dahulu" Itu ada kejadian dari
sepuluh tahun yang lalu, waktu Long Tiong Hiap tidak mau menerima aku jadi muridnya.
Sampai di Kim Beng Kian, Siau Hoo masih tak ingat
akan orang itu.
Ketika itu Lie Hong Kiat sudah pulang, ia berhasil
menolongi Ou Jie Ceng. Dia ini diikat didalam Hek-kee-
chung dan dianiaya, sampai Hong Kiat datang. Ia telah
babak-belur dan matang-biru seluruh tubuhnya, kepalanyapun lecet, ia jongkok dibawah pohon, nampaknya ia masih penasaran, maka ia tak sambuti kudanya Siau Hoo.
"Buat apa kau pergi kekota, saudara Kang?" Hong Kiat
tanya seraya menghampiri.
"Besok aku hendak berangkat, aku pergi beli ayam dan
angsa untuk bingkisan kepadamu," Siau Hoo bilang. Ia
terus turunkan ayam dan angsanya, ayamnya menggeletak
seperti bangkai saja, kepalanya teklok.
Hong Kiat tertawa melihat ayam itu.
"Ayam ini mesti lekas disembelih dan di masak, tak
dapat untuk dipelihara," kata Siau Hoo. "Karena ini aku dapat banyak pusing, aku sampai berkelahi!"
"Apa, kau berkeahi pula?" kata Hong Kiat, yang
agaknya terperanjat. "Didaerah Siong San ini, jangan kau sembarangan berselisih. Disini, kecuali Thay Bu Siansu dan
Pek Siong Sie, pun Siau Lim Sie ada mempunyai anggota
lima-ratus lebih. Aku tahu, aturan kuil ada keras, tidak ada anggotanya yang boleh lancang turun gunung dan berlelahi
..." Siau Hoo geleng-geleng kepala.
"Aku bukan kebentrok dengan mereka." ia bilang.
"Orang tadi ada orang asing di sini, aku rasanya seperti kenal padanya tetapi tidak ingat dia siapa, sebaliknya dia kenal aku."
Siau Hoo tuntun kudanya untuk ditambat, lantas ia buka tudung dan baju hujan nya, ia masuk kedalam.
Hong Kiat mengikuti.
"Kenapa kau berkelahi saudara Kang?" ia tanya.
Siau Hoo tuturkan sebabnya, lalu ia tambahkan: "Dia
bertubuh kecil dan kurus, rasanya aku pernah ketemu dia pada sepuluh tahun yang lalu. Bugeenya-pun ada
sempurna, kecuati aku, barangkali lain orang sukar
rubuhkan dia. Aku lihat, dia-pun mengerti Tiam-hiat-hoat
... " Hong Kiat heran.
"Dia mengerti Tiam-hiat-hoat?" ia ulangi, terus ia
berpikir. Kemudian ia tambahkan: "Turut apa yang aku
tahu, yang mengerti Tiam-hiat-boat dikolong langit ini melainkan tiga keluarga, ialah yang satu guruku Siok Tiong Liong, yang kedua Liong Bun hiap, engkongnya Kie Kong
Kiat, Letapi mereka ini tidak sembarangan turunkan
kepandaiannya itu, sekali-pun aku melainkan tahu
maksudnya saja. Beberapa kali aku bertempur dengan Kie Kong Kiat, belum pernah aku lihat dia gunakan ilmu itu.
Yang ketiga adalah Kho Keng Kui di Kayhong, tapi
kepandaiannya ia ini hanya untuk keluarganya saja.
Siau Hoo bersenyum sendirinya mendengar sahabat itu,
siapa ternyata tak tahu bahwa masih ada guru serta
suhengnya, Ah Pa, yang pandai ilmu itu. Ia geleng-geleng kepala, sampai ia seperti tidak dengar Hong Kiat bicara lebih janh, karena ia-pun lantas pikiri pula lawannya tadi.
Tidak lama datanglah si bujang, yang tanya ikan hendak dimasak apa.
"Kecap dan minyak masih belum dibeli, rebus saja," kata Hong Kiat.
Jie Teng masih bercokol saja, Hong Kiat memanggilnya.
Tukang kayu itu menyahuti tetapi dia tidak berbangkit.
"Jie Ceng, mari!" pemuda she Lie itu memanggil pula.
"Mari aku perkenalkan kau dengan satu sababat."
Atas itu barulah Jie Ceng berbangkit pelahan-lahan, ia menghampiri kepintu. Dia tidak pakai sepatu.
Hong Kiat lantas tunjuk Siau Hoo, ia kata : "Ini
sahabatku Kang Siau Hoo. Bugeenya ada lebih tinggi dari bugeeku."
Ji Teng tidak masuk, ia hanya mengawasi kedalam, ia
tidak berani pandang lama pada tamu itu yang tubuhnya
jangkung dan romannya cakap dan gagah, dari pintu ia
berikan hormatnya, kemudian iu kembali ke bawah pohon
tadi, sama sekali ia tidak perdulikan air hujan.
Siau Hoo panas hatinya kapan ia lihat tanda-tanda
lukanya Jie Ceng.
"Keluarkan Hek itu pasti ada satu okpa!" kata ia dengan gusar.
"Orangnya keluarga Hek itu-pun terpukul hebat." Hong
Kiat bilang. "Jie Ceng memang sering berkelahi."
Siau Hoo berdiam.
Hujan masih belum berhenti betul, langit telah mulai jadi gelap.
Istana Tanpa Bayangan 3 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bara Naga 2
^