Pencarian

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 8

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 8


Jie Ceng telah berbangkit akan pelihara kuda, sedang si bujang sudah matangi ikan dan sayurnya, hangati arak juga.
Nasi-pun sadah matang. Maka sebentar saja semua itu telah disajikan diatas meja. Dua buah pelita ada menerangi
ruangan. Hong Kiat temani Siau Hoo. Ia panggil Jie Ceng, yang ia silahkan minum. Ia ada sangat gembira, karena besok Siau Hoo hendak berangkat. Ia kata pada sahabatnya ini
"Saudara Kang, aku paling hargai orang jujur sebagai kau.
Aku auggap, orang liehay bugeenya, kalau dia tidak jujur, dia bukannya orang gagah sejati. Lihatlah orang-orang
gagah dalam Yu Hiap Liat Toan dan Cay Su Kong dan
orang gagah sebangsa Hiong Jiam Kek dari jaman Tong,
mereka barulah orang-orang gagah sejati. Maka itu, aku paling benci orang-orang Kun Lun Pay, yang tidak punya kejujuran sedikit juga. Pertama-tama di Say-kwan di Seean, ke dua di Pa Kio, dua kali mereka tempur aku seorang,
setiap kali mereka meluruk dalam jumlah dua atau tiga
puluh orang, diantaranya ada orang perempuan."
Siau Hoo mendongkol mendengar kata-kata sahabat itu,
kata-kata siapa membangkitkan kemarahannya, maka ia
lantas tenggak araknya, setelah mana, ia menghela napas.
Tapi ia ingat si nona yang tempur Hong Kiat, ia minta
penegasan dari sahabat ini, bagaimana romannya nona itu, akan tetapi Hong Kiat jawab bahwa dia tidak lihat tegas nona itu.
"Tidak salah lagi, dia mestinya Ah Loan." ia pikir.
"Apakah ia sudah menikah sekarang" Kalau dia sudah
menikah, itulah baik, pelahan-lahan aku bisa lupai padanya, sedang kalau aku nikah dia, aku-pun mesti tunduk terhadap
orang-orang Kun Lun Pay. Apa bisa aku matur maaf untuk melamar padanya?"
Lagi-lagi Siau Hoo tenggak araknya, kemudian ia letaki sumpitnya, ia tolak mangkok araknya.
"Aku sudah pusing," kata ia pada Hong Kiat. "Besok,
sekali-pun hujan tak
berhenti, aku akan lakukan perjalananku ke See-an, ke Cieyang, ke Tinpa, buat tempur orang-orang Kun Lun Pay, sehabis menuntut balas,
mungkin aku-pun akan terbinasa disana ... "
Hong Kiat heran dan terperanjat.
"Saudara Kang, mengapa kau mengucap demikian?"
kata ia. "Umpama kau merasa sukar untuk lawan Kun Lun
Pay dan Kie Kong Kiat, aku dapat membantunya! Urusan
nikahku ada urusan kecil."
Siau Hoo bersenyum ewah.
"Delapan Kun Lun Pay, enam belas Kie Kong Kiat,
semua aku tidak lihat mata!" kata ia. "Kesukaranku adalah bukan urusan menuntut balas, hanya suatu urusan lain yang selama sepuluh tahun tak dapat aku lupakan. Aku
bersengsara dalam perantauan, aku siksa diri belajar silat diatas gunung, itu bukan untuk menuntut balas saja, juga buat satu urusan lainnya yang ada terlebih sulit daripada urusan pembalasan..."
"Ah, saudara Kang, kali ini kau tidak berlaku jujur,"
Hong Kiat bilang. "Ada apa yang kau tidak dapat
omongkan kepadaku" Kita belum bersahabat lama tetapi
hati kita ada satu. Kalau bukan bsok kau sudah tetap
hendak berangkat, aku masih hendak minta kau berdiam
beberapa hari pula disini, dan umpama kau tidak
mencelanya, aku ingin kita angkat saudara, untuk mati dan hidup bersama-sama!"
"Bagus!" berseru Siau Hoo. "Karena kau mengucap
demikian, saudara Lie, baiklah sekarang juga kita jadi saudara-saudara angkat! Hanya kesulitanku itu tak dapat dituturkan dengan satu atau dua patah kata saja, sedang kalau aku beritahukan juga pasti kau-pun tak akan dapat berbuat suatu apa, atau kau buat aku bertambah sukar.
Baiklah kau tunggu sampai aku sudah selesai, nanti aku beri penuturan padamu."
Setelah kata begitu Siau Hoo lantas rebah di
pembaringan. Hong Kiat mengawai dengan bengong. Ia sekarang
mulai bisa menduga, karena pemuda ini melit tanyakan hal si nona. Disini mesti ada soal cinta. Ya, cinta sejak sepuluh tahun yang lalu. Tapi mereka waktu itu baru berumur
sepuluh tahun lebih. Apa bisa jadi dalam usia muda
demikian mereka sudah merasai cinta" Inilah aneh.
Selagi diluar rumah masih terdengar suara menetes air
hujan, kedua pelita sudah hampir padam. Dimeja ada sisa makanan, tulang-ulang ikan dan lainnya. Maka Hong Kiat singkirkan itu untuk besok bujangnya benahkan. Sisa
minyak dikedua pelita ia jadikan satu dalam satu pelita, pelita yang lainnya ia tiup padam. Kemudian ia tutup pintu, karena ia-pun hendak rebahkan diri.
Justeru itu, Siau Hoo berbalik matanya dibuka lebar.
"Padamkan saja api itu," kata ia tetapi dengau suara
berbisik. Hong Kiat terperanjat, ia tidak sangka sahabatnya masih belum tidur. Tapi ia terus tertawa.
"Apakah tidak baik akan antap satu pelita ini?" tanya ia.
"Apa bisa jadi akan ada orang datang mencuri?"
"Lekas padamkan api, aku dengar suara apa-apa
diluaran!" Siau Hoo berbisik pula.
Hong Kiat kaget, ia segera padamkan api, lalu ia samber pedangnya dari tembok, setelah hunus itu, ia berindap-indap ke pintu, dari celah pintu ia mengintip keluar.
Di luar, langit tidak terlalu gelap, tetapi tak kelihatan nyata hujan sudah berhenti atau belum. Angin meniup
keras, menjatuhkan sisa air dari daun-daun pepohonan.
Selagi Hong Kiat hendak membuka pintu, Siau Hoo
cegah padanya. Sahabat ini telah turun dari pembaringan dan menghampiri padanya.
"Jangan keluar!" sahabat ini kata. "Kau jangan
pusingkan diri. Dia barangkali ada itu orang yang tadi siang bertempur dengan aku, yang datang untuk mengobrol ... "
"Aku tidak dengar suara apa-apa, mungkin kau yang
keliru mendengarnya," kata Hong Kiat sambil tertawa.
"Aku dengar suara orang tolak pintu pagar kita," kata
Siau Hoo sambil tertawa juga. "Aku tidak bisa keliru
dengar. Sepuluh tahun lamanya aku belajar silat di Kiu Hoa San, maka kalau sekarang kau lemparkan jarum di tempat jauhnya sepuluh tindak dari aku, aku bisa dengar itu."
Hong Kiat tertawa, ia tetap kurang percaya. Ia anggap, taruh kata pintu pagar tertolak, itu barangkali ada pekerjaan anjing, bukan oleh orang jahat.
Walau adanya itu semua, Siau Hoo tidak nampak kaget
atau kuatir, malah ia ada gembira.
"Pergilah kau tidur!" kata ia pada sahabatnya, pedang
siapa ia minta. "Tidak ada perkara besar! Sebentar aku akan perlihatkan permainan yang menarik hati ..."
Mau atau tidak, Hong Kiat turut tertawa.
"Baiklah," ia bilang ... "Aku nanti lihat ... "
Meski demikian, tuan rumah ini sangsikan sahabat itu
omong benar-benar atau main-main. Namun ia anggap
sekarang ketika baik akan ia lihat kepandaiannya sahabat itu.
Siau Hoo mengintip keluar, lalu ia kembali ke
pembaringan rebahkan diri, ia letaki pedangnya. Hong Kiat rebah diam saja di sebelah luar. Keduanya bungkam.
Selang setengah jam, Siau Hoo rupanya sudah tidur,
Hong Kiat dengar tindakan kaki didalam pekarangan. Ia
hendak berbangkit untuk berduduk, atau Siau Hoo tekan
tubuhnya. "Itulah suaranya Ou Jie Ceng," kata sahabat ini dengan berbisik.
Hong Kiat pasang kuping, sekarang ia dengar tindakan
kaki yang berat, yang lalu disusul oleh suara menguap yang keras. Tidak salah, dia itu adalah Jie Ceng. Rupanya dia masih mendongkol dan tak senang tidur karena luka-lukanya, dia keluar untuk berangin. Karena ini, Hong Kiat jadi kagumi sahabatnya itu.
Jie Ceng terus mondar mandir tindakannya dibuka lebar, sering-sering terdengar elahan napasnya.
Hong Kiat tertawa sendirinya.
"Itulah benar Jie Ceng, biar dia rondai kita!" kata ia.
Siau Hoo tidak jawab sahabatnya ini, ia tetap berdiam.
Lewat lagi sekian lama, selagi Hong Kiat mulai layap-
layap, tiba-tiba terdengar teriakannya Ou Jie Ceng di dalam pekarangan : "Ada maling!"
Gesit laksana kucing, Siau Hoo dengan pedangnya
lompati tubuhnya Hong Kiat, ia mencelat kepintu, buka itu dan lompat keluar.
Hong Kiat lantas saja ambil pedang, diwaktu mana, ia
dengar beberapa kali suara beradunya senjata didalam
pekarangan, dan terdengar suaranya Siau Hoo : "Sahabat, jangan kau lari!"
Ketika Hong Kiat memburu keluar, Siau Hoo sudah
kejar lawannya sampai diluar pekarangan ada rebah
seorang yang tubuhnya besar, karena ternyata Ou Jie Ceng telah rubuh bekas tertotok jalan darahnya, maka ia lekas tolongi tukang kayu itu, kemudan ia menyusul keluar.
Diluar pekarangan. Siau Hoo tidak kelihatan, maka
Hong Kiat memburu terus sampai diluar kampung dimana
sekarang ia tampak sahabatnya sedang layani seorang yang bersenjatakan tougkat
besi, tongkat mana, kecuali
digunakan seperti toya biasa,-pun sering-sering dipakai menotok dadanya sahabatnya itu. Siau Hoo sebaliknya
kelihatan sangat gesit, ia loncat sana dan loncat sini, pedangnya seperti terputar-putar, menyambar-nyambar
bagaikan kilat. Dengan cara ini lawan itu terpaksa dibuat berkelahi sambil mundur.
Hong Kiat menonton terus sampai belasan jurus telah
lewat, sesudah mana, sang lawan rupanya tidak sanggup
melawan lebih jauh, dia putar tubuhnya hendak lari. Akan tetapi Siau Hoo seperli terbang lompat melesat, akan
candak lawan itu, bebokong siapa ia jambak, tongkat siapapun segera dirampas.
Orang itu putar tubuhnya secara gesit sekali, dengan jari tangannya ia menotok, tetapi Siau Hoo sudah lantas tolak tangannya itu, hingga ia tak dapat capai maksudnya.
Justeru itu Hong Kiat memburu, pedangnya telah
digeraki. "Jangan serang dia!" Siau Hoo serukan kawannya.
Kemudian sambil bersenyum, ia kata pada lawannya itu :
"Sahabat baik, jangan kau gunakan Tiam-hiat-hoat
terhadap aku! Ilmu menotokmu ini, kau boleh pakai
permainkan segala orang kangouw biasa, terhadap aku,
jangan kau memikir untuk menggunainya!"
Orang itu rupanya insyaf bahwa ia tidak dapat melawan
terlebih jauh, maka sambil bernapas sengal-sengal, dia kata dengan rela:
"Nah, terserahlah padamu! Tapi aku boleh terangkan
padamu, datangku malam ini bukan untuk buat kau celaka, aku hanya datang untuk piebu belaka! Pada sepuluh tahun yang lalu, waktu kita bertemu di Lam-kang, kepandaian
kita ada berimbang, maka setelah berselang banyak tahun itu, sesudah kita sama-sama berlatih terlebih jauh, aku hendak uji kepandaian kita berdua ... "
Mendengar ini, Siau Hoo segera ingat pula suatu
kejadian pada sapuluh tahun yang lalu ketika ia ikuti Long Tiong hiap pergi ke Siamsay Selatan, akan tempur Pau Kun Lun, sesampainya didistrik Lam kang, mereka telah singah di Wan kee-chung dimana mereka liwatkan sang malam.
Disitulah Siau Hoo pertama kali bertemu muka dengan
Keng Goan. Siapa nyana Keng Goan sekarang satroni
padanya. "Apakah kau bukannya Wan Keng Goan, puteranya
Wan Toa-chuncu?" ia lantas tegaskan. "Kenapa kau berada disini?"
Ditanya begitu, Keng Goan menghela napas.
"Keadaan keluargaku malang sekali," menyahut ia,
untuk menjelaskan. Sejak Long Tiong Hiap dipecnndangi
Pau Kun Lun, dia pulang untuk terus tidak keluar merantau pula. Ayahku kandaku, Cu Ciau, mempunyai banyak
musuh, karena kami selanjutnya tak dapat bantuan lagi dari Long Tiong Hiap, musuh-musuh itu datang menyatroninya.
Dengan saling susul ayah dan kandaku telah terbinasa
ditangan musuh-musuhnya, malah harta benda-pun
dirampasnya. Beruntung aku dapat ditolong oleh satu
pendeta yang dipanggil Tok Tiang Ceng. si Tongkat
Tunggal. Pendeta itu dulunya pernah dapat amal dari ayah, ia ingat budi kebaikan itu, ia balas dengan tolongi aku sambil dia-pun tolong balaskan sakit hati. Tok Tiang Ceng bawa aku kekuilnya, ia ajarkan aku ilmu silat, diantara-pun Tiam-hiat-hoat. Karena aku dianggap sebagai muridnya,
kemudian dia ubah namaku jadi Ceng Hian, ia anjurkan
untuk kemudian aku sucikan diri."
"Baik," kata Siau Hoo, aku akan pangggil kau Wan
Ceng Hian. Tapi selagi kau kenali aku, kenapa tadi didalam kota bukannya kau lantas tegur aku, kau justeru hendak lantas totok padaku?"
"Sekali-pun aku berbuat demikian, aku tidak bermaksud
jahat," Cen Hian jawab. "Aku telah dengar kau baru keluar dari perguruan, katanya Kie Kong Kiat sudah datang ke
Hoolam untuk bekuk padamu, dari itu aku hendak coba-
coba kepandaianmu. Maksudku datang kemari adalah
untuk kunjungi Siau Lim Sie buat sekalian menemui Thay Bu Siansu."
Siau Hoo gusar mengetahui Kie Kong kiat sudah datang
ke Hoolam untuk bekuk ia.
"Dani siapa kau dengar Kie Kong Kiat bendak bekuk
aku?" ia tanya.
"Oh, kau jadinya belum tahu" Sekarang ini Kie Kong
Kiat sudah sampai di Lokyang, yang diikuti Tok-gan
Sianhong Chio Cie Yau dan Thay-swee-too Lau Cie Wan.
Disepanjang jalan Kie Kong Kiat ada tempel pemberitahuan bahwa dia hendak tangkap kau."
Mendengar begitu, Lie Hong Kiat tertawa.
"Itulah dia punya akal lama!" kata orang she Lie ini. "Di See-an diapun pernah tempel semacam pemberitahuan
untuk bekuk aku!"
"Ya, dengan itu cara dia hendak buat kau gusar supaya
kau keluar," Ceng Hian-pun terangkan.
Tetapi Siau Hoo tetap gusar.
"Tidak usah dia main tempel pemberitahuan! Sekarang
juga aku pergi cari padanya! Saudara Ceng Hian, sampai kita bertemu pula! Hari ini aku berbuat salah terhadapmu, tetapi ingat persahabatan kita pada sepuluh tahun yang lalu, aku percaya kau tidak akan persalahkan aku!"
Siau Hoo memberi hormat pada bekas lawannya itu, lalu
ia lari ke arah Kim Beng Kian.
"Nah, marilah kau mampir padaku, saudara Wan!"
Hong Kiat undang orang baru itu.
"Terima kasih, tidak usah," Ceng Hian jawab. "Lagi
beberapa hari aku nanti kunjungi kau. Hanya, tolong kau beritahukan Kang Siau Hoo, kepandaian Kie Kong Kiat
tidak boleh dipandang ringan!"
Setelah kata begitu, Ceng Hian jemput tongkat besinya
dan ngeloyor pergi.
Hong Kiat tidak kata apa-apa lagi, ia lari pulang, ketika ia sampai di rumahnya, ia dapatkan Kang Siau Hoo lagi
tuntun kudanya keluar dari pagar pekarangan. Ia lantas mencegah.
"Saudara Kang, kenapa mesti begini terburu napsu?"
kata ia. "Besok masih ada tempo untuk kau berangkat!"
Siau Hoo geleng kepalanya.
"Aku tak dapat menahan pula amarahku," jawab ia.
"Belum lagi aku cari Kun Lun Pay, Kuti Lun Pay sudah
mendahului kirim Kie Kong Kiat mencari aku! Malah dia
katanya hendak bekuk aku! Jikalau aku tidak segera papaki mereka itu, nyatalah aku ada bernyali kecil seperti tikus, sehingga percuma saja aku belajar silat sepuluh tahun di Kiu-Hoa San!"
Hong Kiat habis daya, ia menyesal. Ia tidak sangka
sahabat ini, satu waktu ada sabar luar biasa, lain waktu ada berangasan sekali.
"Kalau kau tetap hendak berangkat, saudara Kang. aku
tidak bisa mencegahnya pula," ia bilang. "Hanya mengenai Kie Kong Kiat aku hendak peringatkan pada kau, bahwa
bugeenya benar liehay, sebab dia dapat warisan ilmu
pedang dari Long Bun Hiap, maka kalau kau hadapi dia,
jangan kau memandang enteng kepadanya. Dengan ini aku
bukan hendak pengaruhi kau, tidak, harap kau menganti."
Kang Siau Hoo tertawa dingin.
"Aku justeru inginkan bugeenya yang liehay itu," dia
kata. "Aku akan gunai saja dua atau tiga bagian dari
kepandaianku, yang lainnya aku tidak pikir untuk
diperlihatkan. Untuk pertama ini aku nanti takluki Kie Kong Kiat, setelah itu baru aku cari Kun Lun Pay untuk menuntut balas. Aku percaya setelah satu bulan, aku bisa datang pula kemari."
Hong Kiat manggut-manggut.
"Baik, baik, aku menungguinya!" ia bilang.
Keduanya lantas tukar kembali pedang mereka, Siau
Hoo loncat naik atas kudanya, kemudian ia angkat kedua tangannya memberi hormat pada sahabatnya siapa lekas
balaskan itu. Kemudian ia larikan kudanya keluar
kampung. Malam ada gelap tetapi Siau Hoo larikan terus kudanya, ia pakai tudungnya yang lebar, ia mengenakan juga baju hujannya. Dengan terbitkan suara di air lumpur, kudanya menuju ke Utara.
*** Bab 10 SATU MALAM PENUH SIAU HOO jalankan
kudanya, ketika besoknya pagi ia sampai disebuah dusun, hujan masih belum berhenti betul. Ia cari sebuah rumah makan untuk berdahar sambil beristirahat juga. Disini ia tidak singgah bermalam, kembali ia sudah larikan kudanya menuju ke Utara. Ia lintasi pegunungan Siong San sebelah Utara, ia memutar ke Barat. Diwaktu magrib ia sampai di Lokyang, disebuah dusun jauhnya tigapuluh lie dari pintu kota Timur. Disini ia cari hotel untuk bermalam. Ia tidur dengan tidak pernah berpisah dari pedangnya, ia kuatir kalau diam-diam Kie Kong Kiat bokong ia. Keesokan pagi, ia sudah lantas berangkat pula. Hujan telah berhenti
sekarang, hawa telah berobah jadi panas, membuat orang gerah dan pepat pikiran, sampai Siau Ho buka bajunya. Ia keprak kudanya akan memasuki Tang-mui, pintu timur.
"Kie Kong Kiat bukannya orang besar, dimana aku
mesti mencarinya?" ia pikir. Ia tahan kudanya sebentar akan berpikir lebih jauh. "Ah, baiklah aku cari sebuah piautiam saja untuk minta keterangan ..."
Ia merandek di depan pintu kota sekali, lalu ia menoleh kekiri dan kanan. Kebetulan ia baca sebuah merek dengan huruf-huruf lainnya. Ia baca: Thay Peng Piau Tiam.
Kesohor jauh dan dekat". Kemudian, di tembok yang putih, ia dapatkan tulisan-tulisan yang huruf-hurufnya sudah tidak nyata, tapi toh ia masih dapat baca kata-kata : "Untuk tawan Kang Siau Hoo".
Membaca itu, Siau Hoo berseru sendirinya.
"Oh, kiranya Kie Kong Kiat yang rendah ada disini!"
demikian katanya. Terus ia loncat turun, ia tuntun kudanya akan menghampiri piau-tiam itu ia masuk dengan tidak
pakai aturan lagi.
"Piau-tiam itu ada punya kantoran yang duduknya
menghadapi pintu, maka begitu melangkah pintu orang
segera sampai dipintu kantor. Ketika itu pinu kantor
tertutup, Siau Hoo lantas mendupak, hingga daun pintu
menjadi menjeblak, beberapa orang yang masih tidur jadi tersedar dengan kaget. Tiga orang segera merayap bangun.
"Hei, ada apa?" menegur mereka, dengan gusar.
"Kenapa kau tendang pintu?"
Kang Siau Hoo hunus pedangnya.
"Bukankah ditembok kau menulis hendak bekuk Kang
Siau Hoo?" ia-pun menegur. "Nah, aku adalah Kang Siau
Hoo! Binatang mana yang hendak tangkap aku" Lekas
menggelinding keluar mari adu kepandaian!"
Semua orang itu menjadi kaget, hingga muka mereka
jadi pucat.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, kiranya urusan pemberitahuan itu," kata satu
diantaranya, yang berumur empat puluh tahun, "Tuan
Kang, tolong simpan dahulu pedangmu, mari dengar
keteranganku. Pemberitahuan itu bukannya kita yang tulis,
hanya Kie Kong Kiat yang menulisnya ketika beberapa hari yang lalu ia datang ke mari. Dia itu ada cucunya Liong Bun Hiap dia datang bersama dua orang Kun Lun Pay ... "
"Dimana adanya dia sekarang?" Siau Hoo memotong.
"Lekas beri tahu aku!"
"Dia itu sudah pergi sejak kemarin dahulu, tuan Kang,"
sahut orang tadi seraya dia pakai bajunya. "Dia pergi
sesudah singgah dua hari disini. Selama berada disini
didalam dan diluar kota dia main tulis pemberitahuannya itu ditembok orang, tidak ada orang yang berani
mencegahnya, karena kepandaiannya yang liehay itu,
sedikit saja dia main hajar orang. Kemarin dahulu, begitu lekas dia angkat kaki, kita telah ambil air dan busak
pemberitahuannya itu, rupanya masih belum bersih betul hingga tuan dapat lihat itu ...
-ooo0dw0ooo- Jilid 14 "KEMANA perginya Kie Kong Kiat?" Siau Hoo tanya.
"Katanya dia menuju ke Selatan. Kita tidak punya
pergaulan kepadanya, kita-pun melainkan kenal namanya.
Tuan tahu sendiri, orang bangsa kita hidup dari
persahabatan kaum Kangouw, kita tidak
inginkan permusuhan, dan itu terpaksa kami antap dia menulis
ditembok kita yang putih bersih. Untuk dapat keterangan jelas, cobalah tuan tanya Cin Eng Piau Tiam didalam kota, karena diwaktu datang kemari, Kie Kong Kiat berdiam
disana. Ke Kong Kiat ada bersahabat dengan Lau Cin Eng dari piau-tiam itu."
Siau Hoo manggut, dengan masih mendongkol ia
undurkan diri, tapi selagi melewati tembok, ia membacok
beberapa kali pada pemberitahuan tadi, sesudah mana, ia loncat naik atas kudanya, buat lantas menuju kekota.
Ia masuk dari pintu kota belum jauh, Ia sudah lihat
merek "Cin Eng Piau Tiam" pada sebuah rumah dimana
ditembok, ada huruf-huruf hitam dan besar, tetapi sudah tidak nyata, rupanya itu-pun ada kata-kata untuk
menangkap dia. Disini ia
lantas masuk kedalam pekarangan. "Mana Lou Cin Eng?" ia tanya dengan bengis dan tiba-
tiba. Disitu ada seorang yang dengan tak memakai baju
sedang berlatih tumbak, ia lihat orang masuk dengan
lancang dan lantas dengar teguran kasar, ia lalu mengawasi.
"Lou Cin Eng sedang antar piau," ia menjawab. "Ada
urusan apa sahabat?"
"Aku cari Kie Kong Kiat!" Siau Hoo jawab. "Aku
dengar Kie Kong Kiat tinggal disini!"
Orang itu manggut.
"Benar," ia menyahut. "Kie Kong Kiat itu kenal
ciangkui kita, dia datang pada beberapa hari yang lalu, setetah tinggal di sini dua hari, ia telah lantas pergi pula."
"Kemana dia pergi?" Siau Hoo tanya, dengan mata
dibuka lebar. "Katanya dia pergi ke distrik Siang-sui akan cari Lau
Ceng Hou."
Siau Hoo terperaujat mendengar keterangan itu.
"Tidak apa kalau dia cari Lau Ceng Hou," pikirnya.
"Tapi kalau dia tahu Yo Sian Tay ada sahabatku dan dia cari kepadanya akan tumpahkan amarahnya, itulah hebat.
Aku jadi seperti celakai sahabatku ..." Ia lantas tuntun
kudanya pergi, atau tiba-tiba dia ingat : "Ciangkui disini ada kawannya Kie Kong Kiat, baik aku perkenalkan diriku supaya mereka dapat tahu ..." Maka terus ia berkata : "Aku Kang Siau Hoo dengar Kie Kong Kiat bertingkah dengan
pemberitahuannya di tembok-tembok rumah, dia tak usah
cari aku, nanti aku yang mendahului bekuk padanya.
Sekarang juga aku hendak susul dia di Siang-sui!"
Siau Hoo menghampiri pelatok tambatan kuda di
pinggiran, tiang itu terbuat dari batu dan besar, ia babat itu dengan tangannya hingga gempur dan rubuh, batunya
berhamburan. Orang yang berlatih tumbak serta beberapa kawannya,
yang dandan seperti piausu, kaget hingga air mukanya
berubah, semua mengawasi dengan ternganga.
"Bila ciangkuimu kembali, beritahukanlah halku!" kata
Siau Hoo, yang terus loncat naik atas kudanya buat kabur keluar kota Lokyang, menuju ke Timur. Ia ada sangat
mendongkol, ia panas untuk segala pemberitahuan
ditembok itu, ia anggap itu bukan caranya seorang gagah.
Setelah melalui empat-puluh lie, Siau Hoo mesti lewati suatu selat sempit, yang tanah dikiri kanannya tinggi, dimana kembali ia lihat semacam pemberitahuan untuk
menawan padanya, setiap hurufnya ada besar sekali dan
diukirnya-pun dalam, rupanya dicokel dengan ujung
pedang. Karena gusarnya ia bacok berulang-ulang huruf-
huruf itu, hingga semuanya jadi rusak, tanahnya meluruk berantakan. Setelah itu, ia jalan terus, matanya berjelilatan kesegala penjuru, akan lihat ada lagi atau tidak
pemberitahuan semacam itu.
Sorenya Siau Hoo sampai di distrik Sinceng dimana ia
menginap datam sebuah hotel, disini ia tanya orang hotel akan halnya Kie Kong Kiat bersama dua orang kawannya
yang menulis pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau
Hoo. "Tidak salah, tuan tidak salah," kata pemilik hotel.
"Orang itu kemarin dulu lewat disini, dia tulis
pemberitahuan yang kau sebutkan itu ditembokku. Aku
kiraja ada hamba negeri, aku tidak berani mencegahnya, tapi begitu lekas mereka sudah berangkat pergi, aku lantas busak huruf-huruf itu."
Siau Hoo berdiam, hatinya makin panas, kalau ia tidak
letih, dan waktu itu belum malam, pasti ia akan lanjutkan perjalanannya. Keesoknya pagi ia berangkat dengan cepat.
Disepanjang jalan ia tanya-tanya orang, terutama jalanan ke Siang-sui.
Kira-kira jam sembilan Siau Hoo sampai disebuah
dusun. Ditepi jalan ada sebuah pohon kayu yang besar,
disitu ada beberapa lembar kertas dengan huruf-huruf yang menyatakan hendak membekuk diri. Mukanya Siau Hoo
jadi pucat saking gusarnya. Ia turun dari kudanya, ia sobek-sobek pemberitahuan itu, sehingga hancur. Beberapa orang yang
berada didekatnya pada mengawasi dengan keheranan. "Siapa yang tempel ini?" Siau Hoo tanya mereka. "Aku
lihat kertasnya masih baru."
"Yang tempel ini ada si Gemuk dari rumah makan
disana," sahut satu orang, tangannya menunjuk kesebuah restoran.
Dalam murkanya Siau Hoo lantas menghampiri rumah
makan itu. Ia tinggal kudanya diluar, dengan bawa
pedangnya ia bertindak masuk. Disitu belum ada tamu,
hanya ada Ciangkui yang terokmok, dengan sebatang pit
besar dari gerumpung dia asyik menulis pemberitahuan
yang serupa, dengan jongosnya yang gosokkan bak. Di
sampingnya sudah ada kira-kira tiga-puluh lembar yang
sudah rampung ditulis.
Siau Hoo lantas menghampiri Ciangkui itu, paling dulu
ia samber bak-hie, dengan itu ia timpuk mukanya ciangkui itu.
"Aduh!" menjerit si ciangkui, muka siapa lantas jadi
hitam dengan air bak dan luka berdarah juga karena bakhie itu membuat mukanya terluka. Dia-pun rubuh dengan
gelagapan. Siau Hoo raup semua kertas dan dirobek-robek, lalu ia
dupak meja terpental dan terbalik.
Jogos itu ketakutan, ia lantas saja lari kabur.
Karena tubuhnya yang besar, si terokmok tak dapat
lantas merayap bangun, tapi sekarang dia sudah ingat apa yang terjadi.
"Kenapa kau pukul aku?" tanya ia, agaknya ia gusar.
Siau Hoo ketok kepalanya si terokmok dengan samping
pedangnya. "Aku Kang Siau Hoo," ia kata dengan bengis. "Kenapa
kau tulis semua pemberitahuan itu untuk tangkap aku" Kau toh bukannya pembesar negeri dan aku tidak langgar
undang-undang negara?"
Mendengar itu, kuasa restoran itu jadi ketakutan.
"Itulah bukan keinginanku sendiri," ia beri keterangan.
"Kemarin dulu ada satu tamu lewat disini, dia beri aku uang lima tail, dia suruh aku tulis pemberitahuan itu
sebanyak aku bisa. Da janji, lagi dua hari dia akan kembali, dia hendak beri uang pula padaku. Sebenarnya, aku tidak tahu apa maksudnya itu."
"Telur busuk!" Siau Hoo membentak, "Apakah kau kira
kau sembarang perhinakan aku?"
Selagi berkata demikian, Siau Hoo-pun dapat lihat
belasan guci arak, lima diantaranya ada tulisan untuk
menangkap dia, karena mana darahnya jadi naik
bertambah-tambah.
Si Gemuk sudah merayap bangun, dia lihat orang awasi
gucinya, lekas ia kata: "Kang Toaya, semuanya bukanlah aku yang tulis, itu ada tulisannya tamu she Kie itu sendiri.
Dia ada disertai dua kawannya. mereka semua bawa-bawa
pedang. Sekali-pun aku punya Thio Su Thayya ada hormati mereka itu. Jangankan aku diberikan uang, sekali-pun
diperintah saja, aku takut akan membantahnya."
Siau Hoo diam dalam murkanya itu, matanya mencari
martil, apabila
ia telah dapatkan itu, ia segera mengambilnya dengan apa ia hajar lima guci tersebut,
sehingga pecah hancur! Tiga guci yang kosong menerbitkan yang berisik, dua yang lain terisi, araknya lantas mengalir melulahan!
Si Gemuk lantas saja banting-banting kaki dan menangis.
"Oh, celaka aku!" demikian ia meratap. "Satu guci saja berharga enam-tujub tail perak!"
"Toh kau bisa cari si orang she Kie akan minta
penggantian?" membentak Siau Hoo. "Kalau kau berani
menulis pula, apabila aku dapat tuhu, aku nanti ambil
jiwamu!" Dengan mendongkol Siau Hoo bertindak keluar, baru
saja ia hendak loncat naik atas kudanya ia lihat dari jurusan Utara ada mendatangi lima-enam orang.
Semua membawa golok dan toya. Maka ia batal naik, ia
menantikan siapa dengan pedangnya.
Orang-orang itu ada yang pakai celana pendek, ada yang telanjangi dada, diantaranya ada si pelayan tadi, yang terus saja tunjuk pemuda kita dengan seruannya, "Nah, ini dia!
ini dia!" Beberapa orang itu lantas saja kurung Siau Hoo.
"Kau jangan lari!" beberapa orang kata, "Kiranya kau
Kang Siau Hoo! Orang memang hendak bekuk kau!"
Ketika itu si Gemuk lari keluar, mukanya masih
berlepotan bak dan arak.
"Tangkap dia! Tangkap dia!" ia menjerit-jerit. "Dia telah pukul aku dan buat hancur guciku juga, dua guci arak
sampai habis! Suruh dia ganti kerugian!"
Siau Hoo gusar melihat sikapnya orang-orang itu.
"Kau sekalian hendak berbuat apa?" ia tanya. "Apakah
Kie Kong Kiat yang titahkan kau datang kemari" Kalau dia ada di sini, suruh dia lekas datang kemari, aku memang hendak cari dia! Kau semua tidak punya urusan dengan
aku, jangan kau tidak tahu gelagat dan membangkitkan
kemurkaanku! Pedangku tidak kenal kasihan!"
"Eh, bocah, jangan ngebul!" beberapa orang itu
mengejek. "Lekas lemparkan pedangmu, mari turut kami
menghadap Su Thayya. Thayya kami dengan Kie Toaya
adalah paman dan keponakan, ketika kemarin dahulu Kie
Toaya datang kemari, dia minta Su Thayya tolong tangkap kau! Kau ada berandal, kejahatanmu saling-susun. Orang-orang Kun Lun Pay dan Liong Bun-hiap justeru hendak
tawan kau!"
Bukan main mendongkolnya Siau Hoo akan dengar
semua ocehan itu.
"Ngaco-belo!" ia membentak. Ia terus geraki pedangnya
menyabet enam orang itu.
Mereka semua belum tahu liehaynya pemuda kita,
mereka menangkis dan menyerang, sikapnya sangat garang.
Baru saja tiga jurus, Siau Hoo sudah buat empat orang
terluka dan rubuh, hingga orang jadi gempar. Disitu
memang telah berkumpul banyak orang lain.
"Perkara jiwa! Perkara jiwa!" mereka berteriak-teriak.
Si Gemuk lalu sambil pentang kedua tangannya, ia lari
berteriak-teriak: "Orang Polisi Orang Polisi! Perkara jiwa!"
Siau Hoo tidak perdulikan kekalutan. Ia loncat naik atas kudanya, kemudian ia lukai sisa dua lawannya, sesudah
mana, bersama kudanya jalan ke arah Timur-selatan. Ia
rasakan hatinya seperti dibakar. Ia gusar benar terhadap Kie Kong Kiat. Saat itu kalau ia ketemu orang she Kie itu, ia akan membunuhnya sekali-pun ia mesti akan langgar pesan gurunya.
Pemuda itu baru melalui belasan lie ketika di
belakangnya ia dapat kenyataan ada mendatangi serombongan penunggang kuda. Ia sangka orang kejar ia, ia tahan kudanya dan lantas hunus pedanguya.
Rombongan itu terdiri dari duabelas orang, semuanya
muda, yang terdepan kudanya berbulu kuning, bertubuh
tinggi dan besar, pakaiannya mewah.
"Eh, apakah kau susul aku?" Siau Hoo tanya mereka.
"Kita ada orang yang sedang melakukan perjalanan!"
kata orang yang terdepan itu, mukanya diangkat.
Siau Hoo mengawasi, orang semua bawa golok tapi
tanpa buntalan, maka ia lantas bersenyum ewah, ia
manggut-manggut.
"Baik!" kata ia. "Kau ambil jalanmu, aku jalanku
sendiri, kita tidak punya sangkutan!"
Ia balikkan pula kudanya, ke Timur selatan.
Rombongan itu juga larikan kudanya agaknya mereka
mengejar. Siau Hoo yang lihat sikap mereka itu jadi mendongkol,
maka ia cabut pula pedangnya yang tadi ia telah masukan ke sarungnya. Selagi ia hendak balikkan kudanya, tiba-tiba rombongan tadi, dengan berbaris teratur, maju menerabas, Siau Hoo hendak singkirkan diri tetap sudah kasep, ia
kena keterjang juga, hingga ia terpelanting dari atas pelana, tapi ia ada punya kegesitan, selagi terpelanting ia loncat terus kepinggir, kakinya menginjak tanah tanpa terguling.
sedang dengan ujung
pedangnya, ia samber dua penunggang kuda yang paling belakang. Mereka ini tahan kuda mereka, sehingga kuda itu berjingkrak, atas mana
mereka lantas tergelincir jatuh.
Siau Hoo terus lari mengejar lawannya yang lainnya,
terutama orang yang jadi pemimpin. Mereka ini sudah lari cukup jauh, tetapi larinya pemuda kita bukan main
kerasnya. "Ayo!" berseru si orang tinggi besar, yang tunggang kuda kuning. Ia menoleh ke belakang, ia lihat musuh tinggal kira-kira dua puluh tindak dari ia.
"Sungguh cepat larinya," berteriak kawan-kawannya,
"Su-ya, hati-hati!"
Orang yang dipanggil Su-ya adalah orang tinggi besar
diatas kuda kuning itu. Ia ini kaget, ia coba keprak kudanya supaya kabur, dilain pihak ia raba goloknya. Akan tetapi belum sempat ia hunus senjatanya itu, Siau Ho sudah
loncat kepadanya, cepat laksana menyambernya seekor
elang, sebelum ia bisa berbuat sesuatu apa, ia telah menjerit.
"Aduh!" dan tubuhnya rubuh terguling dari atas kudanya.
Penunggang-penunggang kuda lainnnya jadi kaget sekali.
Siau Hoo belum puas, ia loncat pada orang tinggi besar itu, sambil kakinya menginjak, pedangnya ditusukkan,
maka pundaknya "Suya" itu lantas menyemburkan darah
dan ia lantas pingsan.
Dan sisa sebelas orang, satu yang lain kabur bersama dua kawannya yang tadi rubuh, tinggal delapan yang tidak kenal takut, mereka turun dari kuda dengan mengeluarkan golok, segera mereka menyerang pemuda kita.
Siau Hoo tidak kenal takut, ia memang sedang panas.
Baru beberapa gebrak, dengan ia loncat saja dan loncat sini, ia telab rubuhkan enam musuh, atas mana yang dua lainya terus saja lari berkuda mereka. dan kabur lebih juh.
Siau Hoo masih ingat akan pesan gurunya, ia lukai
enteng pada semua musuh itu, diantara siapa sudah ada
yang merayap bangun. Orang yang tinggi besar sudah sadar dari pingsannya, ia terluka pada bahunya, ia merintih
kesakitan. Siau Hoo, melihat kelilingan, ia cari kudanya kemudian dengan duduk atasnya, ia menghampiri tujuh kurbannya,
semua sudah tidak berdaya.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangankan baru berjumlah dua-belas," kata ia dengan
tertawa menghina, "kalau orang-orang berkepandaian
semacam kau ini, seratus lima puluh orang-pun aku tidak takut! Aku tidak ingin celakai orang tetapi sekarang adalah kau yang berbuat jahat. Satu laki-laki mesti berkelahi satu dengan satu, siapa main kerubut, menang juga bukannya
laki-laki sejati, hanya manusia hina dina! Tadi kau dan kawan-kawanmu sengaja hendak terjang itu orang lain,
pasti ia akan binasa dibawah injakan kaki kudamu sekalian.
Berandal sekali-pun tidak sekejam kau ini."
Bukan main mendongkolnya Siau Hoo sesaat itu, sampai
ia mendekati dengan roman bengis, pedangnya diangkat.
"Ampun, tuan Kang, ampun!" beberapa orang itu lantas
memohon mereka berlutut. "Sayang kita melek tetapi
seperti btua hingga tak kenali kau. Harap tuan tidak
persalahkan kita, juga jangan Su-ya ini, semua ada salahnya Kie Kong Kiat, dia tidak saja tempelkan banyak
pemberitahuan, dia-pun anjurkan kita akan tawan padamu.
Memang Suya ajak kita buat tabrakkan supaya kau dapat
ditangkap untuk nanti diperlihatkan kepada Kie Kong Kiat.
Su-ya kita ini adalah keponakan luar dari Long Bun Hiap Kie Looya, dengan begitu Kie Kong Kiat ada jadi
keponakannya ..."
"Sekarang Kie Kong Kiat ada dimana?" Siau Hoo tanya.
"Kie Kong Kiat baru berangkat kemarin dulu ke
rumahnya Lau Ceng Hou di Siang-sui akan cari kau, tuan,"
seorang menerangkannya.
Siau Hoo manggut.
"Baik, aku segera susul padanya!" ia kata. Ia baru
hendak jalankan kudanya, ia lihat mendatanginya serombongan kuda kereta. Ia mengira pada orang-orangnya si Suya, ia lantas siap, tetapi mereka ada orang-orang yang berlalu-lintas, yang tadi perjalanannya tertunda karena pertempuran. Ia masukkan pedangnya kedalam serangka, ia datang dekat pada rombongan itu, ia memberi hormat.
"Tuan-tuan ada orang-orang perjalanan, adakah tuan-
tuan lihat disepanjang jalan pemberitahuan untuk
menangkap Kang Siau Hoo?" ia tanya mereka itu.
"Selama diperjalanan kita tidak perhatikan itu," sahut beberapa orang.
Siau Hoo manggut.
"Penulis dari pemberitahuan itu adalah Kie Kong Kiat,"
ia beri tahu, "dan orang yang dia hendak tangkap bernama Kang Siau Hoo. Kang Siau Hoo itu adalah aku sendiri! Aku ada satu laki-laki, belum pernah aku jadi penjahat, belum pernah aku langgar peraturan negeri, malah Kie Kong Kiat tidak kenal aku, seperti aku tidak kenal dia, karena kita tidak bermusuhan satu pada lain, hanya dia telah kena
digosok-gosok oleh orang-orang Kun Lun Pay, jadi dia
sengaja menghina dan membusuki aku. Maka itu tuan-tuan bisa mengerti yang aku tak dapat menahan sabar! Mereka itu ada kawan-kawannya Kie Kong Kiat, mereka celakai
aku, aku terpaksa lukai mereka. Bukankah tuan-tuan telah saksikan sendiri duduknya kejadian" Bukan maksudku akan buat mereka celaka. Maka sekarang aku minta tuan-tuan
suka menjadi saksi, dimana saja tuan-tuan sampai, tolong tuan-tuan uwarkan kejadian ini, dan dimana saja tuan-tuan lihat pemberitahuan yang aku sebutkan, tolonglah
singkirkan semua, robek kertasnya atau busak surat-
suratnya."
Semua orang itu, kebanyakan saudagar, suka terima
permintaan itu.
"Terima kasih untuk kebaikanmu sekalain, tuan!" kata
pula Siau Hoo, yang terus memberi hormat, sesudah mana, ia larikan kudanya meningalkan semua kurbannya itu.
Tujuannya tetap arah Timur selatan.
Disepanjang jalan, Siau Hoo terus berpikir.
"Suhu pesan aku untuk aku jangan sembarangan lukai
orang, akan tetapi Kie Kong Kiat ini tak dapat aku
mengampuninya. Bila aku bertemu padanya, pedangku tak
harus kenal kasihan lagi!"
Sore itu juga Siau Hoo sampai di Siangsui. Lau Ceng
Hou bukannya satu hartawan besar, tetapi ia ada cukup
ternama, Siau Hoo-pun sudah pernah datang kerumahnya,
maka itu ia langsung menuju kerumah sahabat itu. Baru ia memasuki kampung, beberapa muridnya tuan rumah sudah
sambut ia sambil memberi hormat.
"Oh, Kang Su-siok sudah kembali!" mereka itu
menyambut. Siau Hoo ada dikenal disini, sebab sehabis pibu dengan Lau Ceng Hou, keduanya jadi bersahabat itu dan untuk
beberapa hari tuan rumah minta ia tinggal bersama, hingga semua muridnya Ceng Hou kenal padanya.
"Adakah tamu yang datang kemari mencari aku?"
kemudian Siau Hoo tanya. Inilah tujuannya yang utama.
"Ada, susiok," sahut satu murid. "Kemarin Kie Kong
Kiat datang kemari mencari susiok. Dia datang bertiga."
Siau Hoo buka matanya lebar-lebar.
"Dimana mereka sekarang?" tanya ia, hatinya tegang
benar. "Kemarin juga mereka lanjutkan perjalanan mereka,"
sahut pula murid itu. "Kami beri keterangan pada mereka bahwa suhu sudah pergi ke Sinyang. Kie Kong Kiat
rupanya menyangka susiok pergi bersama-sama suhu.
Diwaktu mau berlalu, mereka tempel beberapa lembar
kertas di pintu, bunyinya adalah untuk tangkap susiok.
Sebenarnya kami panas, tapi sebab suhu tidak ada dirumah dan dia memangnya lihay, terpaksa kami antap saja, hanya setelah mereka tidak ada, segera kami singkirkan semua surat tempelan itu."
"Kurang ajar!" Siau Hoo berseru. "Biar aku susul
mereka!" Lantas ia putar kudanya dan beri lari, hingga semua
muridnya Lau Ceng Hou melengak mengawasi padanya.
Itu hari terus satu malam Siau Hoo kabur bersama
kudanya, besoknya pagi ia sampai didistrik Ceng yang,
Kanglam-hu. Ia masih bersemangat tapi toh ia berdahaga dan lapar. Ia sampai di Pak-kwan, kota Utara. Disini ia cari rumah makan, tetapi bukannya ia lantas dapati itu, ia justru hadapi pemandangan mata yang mengharukan hati. Dari
depannya ada mendatangi serombongan besar rakyat jelata, yang pakaiaannya tak keruan, mirip dengan dandanan
pengemis saja, dan mereka itu, lelaki dan perempuan, ada yang pimpin orang-orang tua, ada yang tuntun anak-anak kecil, kebanyakan menggendol pauhok butut, ada juga yang bawa botol pecah, dengan berlerot mereka menuju ke
Selatan. Siau Hoo kuatir kena terjang rombongan itu, lekas-lekas ia turun dari kudanya.
"Kau kenapa dan hendak pergi kemana?" ia tanya satu
orang. Orang itu menyahut, lantas ia jalan terus. Ia bicara
dengan bahasa daerah lain tempat Siau Hoo tidak dengar nyata, ia tidak mengart. Baiknya disitu ada seorang, yang dandan seperti pedagang, yang tolong beri keterangan
padanya, katanya : "Mereka ini ada penduduk bersengsara dari Hoay Pak, karena sungai Hoay Hoo pecah gili-gilinya, airnya merusak sawah kebun mereka, mereka hendak
mengungsi ke Hoolam. Hari ini disana ada orang
mengamal uang, mereka hendak pergi akan terima uang
itu." Siau Hoo manggut-manggut untuk keterangan ini.
"Entah siapa yang mengamal uang," ia pikir. "Dia mesti ada hartawan yang murah hatinya ..."
Orang banyak itu ada terdiri dan beberapa ratus jiwa,
mereka buat padat jalan besar, hingga ada sejumlah kuda kereta yang terhalang jalannya dan mesti ditunda ditepi jalan. Siau Hoo-pun turut terhalang jalannya. Syukur di pinggir jalan ada sebuah hotel, dengan paksa menumpang jalan, ia bisa tuntun kudanya. akan memasuki rumah
penginapan itu, setelah serahkan kudanya pada jongos, ia berdiri didepan pintu, ia lupa akan lapar dan dahaganya, ia mengawasi orang banyak yang berduyun-duyun.
"Kasihan mereka ... " pikirnya. "Aku ada punya empat
ratus tail, kenapa aku mengamal sedikit kepada mereka?"
Disitu-pun ada menonton jongos lainnya dan tamu hotel
itu. "Ini dia yang dinamakan pintu amal sukar dibuka pintu
awal sukar ditutup," kata satu tamu sambil menghela napas.
"Di toko beras disana ada menumpang satu tamu muda,
kelilatannya dia bukan orang hartawan, tetapi dia berhati baik, tadi dia keluarkan lima tail perak, dia tukar dengan perak hancur, ia mengamal pada beberapa pengungsi. Habis itu, celaka betul. Kabar itu tersiar, dari satu sampai sepuluh, dari sepuluh sampai seratus, lantas datang semakin banyak pengungsi lainnya, mereka berdesak-desak sampai pintunya toko beras hampir rubuh. Biar-pun andaikata tamu itu ada punya limaratus tail perak, dia masih belum sanggup
mengamal pada semua pengungsi..."
Perkataan-perkataan itu menjadikan Siau Hoo ingin lihat pemuda berhati murah itu, dia ada satu anaknya pembesar atau bukan. Ia lantas nyelak diantara orang banyak. Ia ada kuat dan gesit, ia berlasil membuka jalan, hingga lekas juga
ia sudah sampai dimuka toko beras yang dimaksudkan.
Disini suara orang ada sangat berisik.
"Pousat Looya, aku belun dibagi," terdengar seorang
memohon. "Kami kelaparan hampir mati, aku ada punya
ibu yang sudah berumur delapan puluh tahun ... "
"Tolong, tolong... " demikian satu nyonya, yang
mengempo satu bocah seperti tinggal kulit membungkus
tulang, dia angkat tangannya.
Suara mengeluh lainnya-pun terdengar saling susul.
Pintu toko telah dikunci, diatas tembok muncul satu
pemuda. "Sekarang aku tidak punya uang sekali-pun satu chie "
katanya. "Seratus tail perak lebih aku telah dermakan, malah uang sahabatku-pun aku kena pakai! Aku sudah
tidak punya uang lagi ... "
Orang ramai itu masih tidak mau bubaran.
"Tolong, tolong ... " demikian beberapa suara. "Tolong, Pau-sat ..."
Siau Hoo tidak perdulikan orang banak, ia hanya awasi
pemuda itu usia siapa bersamaan dengan usianya sendiri, orangnya kecil dan gesit, kulit mukanya sedikit hitam, pakaiannya
hijau dipingangnya terikat angkin. Kelihatannya dia itu mengerti ilmu silat. Ia bersimpati kepada pemuda itu. Cepat ia lantas ambil putusan.
"Dia sudah tidak punya uang, aku ada!" ia lantas
serukan orang ramai. "Mari turut aku! Aku ada punya tiga atau empat ratus tail peak, nanti aku bagi-bagikan kepada kamu sekalian! Mari ikut aku!"
Suara ini terang tetapi suara berisik melenyapkan itu, Siau Hoo mengulangi sampai dua tiga kali, tetapi orang
ramai tidak. mendengarnya, masih orang kerumuni pemuda diatas tembok itu.
"Pousat Looya, tolong .." demikian snaia riuh itu.
Siau Hoo kewalahan juga, sedang ia-pun di desak dari
sana-sini. "Sayang aku tidak bawa uangku, kalau tidak, aku bisa
lantas membaginya sekarang," pikir ia yang sesaat
kemudian ingat, uangnya ada separuh perak potongan dan yang lainnya ada uang kertas dari cianchong di Long-tiong.
Bagaimana semua itu bisa dijadikan uang hancur"
Pemuda diatas tembok berseru pula:
"Benar-benar aku sudah tidak punya uang! Besok aku
akan bagikan seorang dua chie! Aku nanti sediakan
beberapa ratus tail, sesudah itu dibagi habis, baru selesai ..."
"Ah, pemuda ini omong besar, dia mestinya hartawan,"
Siau Hoo pikir.
Ketika itu ditembok muncul dua orang baru, mereka ini
lantas berseru: "Kenapa kau masih tidak mau bubarkan"
Datanglah besok pagi, pasti kau akan dibagikan pula uang!"
Dari dua orang itu, yang satu kurus sekali, matanya
sebelah, dan yang satunya pula ada sedikit gemuk dan
mukanya hitam, kumisnya sedikit. Mengawasi orang itu,
Siau Hoo rasa-rasanya kenal, ketika ia mengingat-ingat, ia segera ingat Lau Cie Wan.
"Ah tidak salah, inilah dia!" ia merasa pasti. "Kalau
begitu, pemuda dermawan ini mestinya Kie Kong Kiat ..."
Tiba-tiba pemuda kita jadi tawar hatinya. Tidak buang
tempo lagi ia nyelak antara orang bayak akan berjalan
pulang, sesampainya dihotel, terus ia dahar, kemudian ia beristirahat.
Dipekarangan, jongos-jongos dari sejumlah tamu lagi
bicarakan urusan amal tadi. Kemudian seorang terdengar berkata: "Pemuda itu rupanya ada orang polisi yang datang kemari untuk dinasnya. Lihat sekarang dia menghindar
dijalan besar, bersama kawannya dia lagi menempelkan
surat pemberitahuan untuk menangkap seorang yang
bernama Kang Siau Hoo ... "
Siau Hoo dengar itu tetap hatinya tak panas lagi.
"Biar dia tempelkan,"
kata ia dalam hatinya, "Pedangnya Kang Siau Hoo tida nanti buat celaka orang
dermawan!"
Benar-benar, hari itu Siau Hio tidak keluar dari hotelnya.
Sorenya ia suruh satu jongos coba cari keterangan, hasilnya adalah bahwa si pemuda dermawan benar Kie Kong Kiat,
dia masih menumpang ditoko beras tadi, bahwa ditoko itu ada pengungsi yang menantikan, akan lewati sang malam di depan toko, untuk besoknya bisa terima amal pula.
"Inilah aneh juga," pikir Siau Hoo. "Pasti sekali Kie
Kong Kiat bukannya seorang hartawan, kalau sekarang
uangnya tetah diamalkan habis. besok pagi dari mana ia bisa peroleh lagi beberapa ratus tail perak?"
Maka itu, selagi jongos nyalakan pelila, ia tanya:
"Tempatmu ini ada suatu tempat kecil, disini mestinya
tidak ada hartawan besar, bukan?"
"Kenapa tidak, tuan?" sahut sang jongos. "Disebelah
utara sana-ada Ku Pek Ban dari Ku-kee-chung, dia ada
terlebih kaya daripada siapa juga!"
Siau Hoo tertawa.
"Jadi disini cuma ada Ku Pek Ban, tidak ada hartawan
besar yang keduanya!" kata ia.
"Ya, benar, tidak ada lagi yang lainnya," jongos itu kata pula. "Tapi apa ini satu tidak cukup" Dia ada turunan dari menteri Hu-pou Long-tiong, orang katakan dia berharta pek ban, seratus laksa, sebenarnya uangnya cian-ban, seribu laksa,-pun ada! Sekali-pun di Kanglam-hu, di Sinyang ciu, tidak ada orang yang melebihi kekayaannya?"
Siau Hoo bersenyum, tetapi ia tanya pula. "Disini ada
berkumpul banyak pengungsi melarat, kenapa hartawan itu tidak mau mengamal?"
"Ku Tao-wan-gwee itu, kalau dia hamburkari uangnya
satu chie saja, dia rasakan sakitnya sampai dihatinya! Kalau tidak, mustahil orang juluki dia Ku si Kikir?" sahut si jongos.
Siau Hoo tersenyum tawar.
Jongos itu letaki pelitanya, lantas ia undurkan diri, tapi begitu lekas orang ke luar, Siau Hoo padamkan penerangan itu, kemudian ia berjalan keluar.
Pada jam satu seperti itu, dijalan besar masih hanyak
orang mundar mandir terutama kaum pengungsi yang
mengemis disepanjang jalan, yang datangi sesuatu rumah buat minta-minta. Banyak rumah masih belum kunci pintu, juga toko atau warung.
Siau Hoo menghampiri sebuah restoran didepan mana
ada dipasang tetarap, penerangannya ada tiga buah pelita.
Disitu ada sejumlah orang duduk minum arak sambil
mengobrol. atau main tiokie (catur Tionghoa). Ia
menghampiri sebuah meja yang terujung, ia minta arak,
akan minum pelahan-lahan, supaya ia bisa dengar
pembicaraan orang disitu.
Kira-kira jam dua, kebanyakan dari tukang ngobrol itu
sudah pada pergi tapi Siau Hoo masih duduk terus,
matanya mengawasi kejalan besar, sampai tiba-tiba ia lihat seorang lewat dengan tindakan cepat. Orang itu datang dari selatan, pakaiannya berwarna hijau yang ringkas, sebelah tangannya mengempit satu bungkus kecil. tetapi panjang. Ia bermata awas, Ia segera kenali, orang itu Kie Kong Kiat adanya. Maka segera ia bayar uang araknya, ia keluar akan menyusul, ke Utara.
Malam itu ada gelap, dengan hati-hati Siau Hoo susul
orang she Kie itu, sesudah mereka terpisah kira-kira dua puluh tindak, ia mulai menguitit tertebih hati-hati. Kalau orang yang dikuntit jalan dijalan besar, Siau Hoo jalan di pinggir, antara pohon kaoliang. Kong Kiat tidak tahu ada orang menguntit, dia jalan terus dengan cepat, sampai
kemudian dia biluk ke Timur, memasuki tempat lebat
dengan pohon cemara.
Siau Hoo berlaku semakin hati-hati menguntitnya. Ia-
pun tidak bawa pedang, kalau ia kepergok, ia bisa hadapi ancaman bencana. Maka itu, ia antap orang jalan sekian lama, barulah ia memasuki rimba.
Ia jalan dengan tubuh membungkuk. Sekarang ia injak
rumput yang lembek. Selagi ia jalan, tiba-tiba ada suatu benda yang melesat dibawah selangkangannya, entah
kelinci, entah rusa, maka ia merandek, ia pasang
kupingnya. Diantara suara jangkrik ia-pun dengar tindakan kaki pelahan sekali. Ia lekas sembunyikan diri.
Segera juga kelihatan Kie Kong Kiat kembali, pedangnya telah dihunus, rupanya dia dengar suara itu, dia balik untuk mencari tahu. Siau Hoo bercokol dicabang pohon, dari situ dengan leluasa ia mengawasi.
Selang sekian lama, Kie Kong Kiat keluar pula dari
rimba itu, maka Siau Hoo lantas turun dari pohon akan
menguntit terus.
Disebelah depan ada satu kali kecil yang airnya jernih, diatas mana bintang-bintang seperti berkaca.
Kie Kong Kiat jalan ke Barat, ia injak jembatan papan
akan seberangi kali itu.
Siau Hoo terus menguntit, ia selalu sembunyi diantara
pohon kaoliang atau gandum. Ia jalan sampai ia lihat
cahaya terang disebelah depan, rupanya itu ada sebuah
kampung. Selama itu, mereka sudah melalui tiga lie lebih.
Benar saja didepan ada sebuah kampung. Sampai disini
Kong Kiat masuk keladang kaoliang. Dengan terpaksa
sekarang Siau Hoo mengikuti langsung. Lama juga ia jalan, ketika kemudian ia muncul dilain tepi dari ladang itu, ia kehilangn Kie Kong Kiat. Di depannya ia lihat nyata
cahaya api suram didalam kampung, dimana ada banyak
pepohonannya. Pelita ada dua buah ia tidak mencari si
anak muda, ia lantas jalan mutar dan pergi ke belakang, ialah belakang rumah besar yang terkurung tembok tinggi dan luas, diatas tembok ada dipancar paku berupa pelatok kayu soanco, hingga mirip dengan tembok penjaga saja.
Tapi toh dengan gampang Siau Hoo bisa loncat naik, akan berdiri diatas tembok itu. Ia memasang mata dan kuping.
Tidak lama, lalu terdengar tiga kali suara kentongan.
Siau Hoo ikat keras sepatunya, lalu ia loncat keatas
genteng dari sebuah rumah besar yang hampir nempel
dengan tembok itu. Dari sini ia merayap ke depan. ia dapat kenyataan
Ku-kee-chung ada besar sekali.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia-pun menandakan kekayaannya Ku Pek Ban. Sebab ini adalah
rumahnya si hartawan yang merkis atau kikir itu.
"Kenapa orang begini hartawan tetapt kikir?" Siau Hoo
pikir. "Guru pesan aku mesti tolong orang bersengsara,
maka baik aku ambil uangnya hartawan ini, akan bantui
Kie Kong Kiat menolong sekalian pengungsi itu. Ini toh bukannya pencurian" ..."
Lantas Siau Hoo melongok kebawah. Dikamar Timur
dan Utara, semua ada apinya. Api dikamar Utara ada
terlebah terang.
"Sekarang masih siang, baik aku tunggu dulu sebentar,"
pikir Siau Hoo.
Tidak terlalu lama, dari kamar Utara ke luar seorang
perempuan, yang pergi ke kamar Barat.
Siau Hoo lantas ikuti perempuan itu, yang tidak masuk
kekamar hanya berhenti didepan pintu, akan perdengarkan suaranya! "Looya, Jie-thaythay minta kau beristirahat, sekarang sudah tidak siang lagi."
Dari kamar Barat itu terdengar nyata suara shui-phoa,
lalu terdenar suara jawaban tidak sabaran, katanya:
"Penghitungan belum habis, suruh ia tidur lebih dulu!"
Atas itu, orang perempuan itu lantas kembali ke kamar
Utara. Tidak lama, pintu kamar Utara itu ditutup, api
penerangan nyapun dipadamkan.
Dikamar Barat, suara shui-phoa masih berisik, tercampur suara bicara.
Sekarang Siau Hoo merayap kepayon, untuk bisa
melongok kebawah, kedalam kamar. Ia mengawasi dari
antara jendela. Ia tampak sebuah kamar seperti kamar tulis.
Ada sebuah meja diatas mana, kecuali lampu, ada banyak buku. Tiga orang mengitari meja yang besar itu. Lembaran buku dibalik-balik, shui-phoa diketik berulang-ulang.
Tukang ketik pesawat hitung itu ada seorang dengan
rambut ubanan pakaiannya mewah. Seorang lain, yang
berkumis, mukanya sedikit hitam, ada sepotong dagingnya yang nonjol. Di belakang dia ini ada satu kacung
perempuan mengipasi padanya. Dia rupanya adalah Si loo-ya atau majikan, dia pegangi buku, mulutnya setiap kali menyebut:
"Dua ratus lima-puluh, tiga ribu tujuh ratus enam-puluh, empat-ratus delapan-puluh, lima-ratus tepat." Mengikuti sebutan itu, Si empek mainkan jari tangannya.
Mengertilah Siau Hoo sekarang. Orang bukan lagi baca
buku hanya sedang menjumlah uang.
Bujang perempuan itu rupanya sudah mengipas terlalu
lama, tangannya pegal, kakinya pegal juga, matanya kesap-kesip, satu kali dia salah mengipas, ia kena kebut lampu, serentak api padam, kamar jadi gelap.
Siau Hoo terkejut, segera ia naik ke genteng.
"Tolol!" terdengar caciannya si looya, tangan siapa
rupanya melayang kemuka bujangnya, kedengaran suara
"Plok!" Tapi tidak terdengar tangisan, rupanya bujang itu takut.
Cepat sekali Siau Hoo loncat turun, ia menghampiri
pintu, akan buka itu dan masuk kedalam. Ia tidak terbitkan suara apa juga.
Si looya, dalam gelap-gulita, sedang sibuk.
"Mana api" Mana api?" ia menjerit berulang-ulang.
"Ada, disini, disini," kata si empe. Ia nyalakan api, ia terus pasang lampu.
"Tolol! tolol!" Si looya mencaci berulang-ulang. "Hayo, mulai lagi ... Tujuh-ratus enam-puluh, dua-ribu duaratus, empat ratus lima-puluh.
Si empe mainkan pula jari tangannya, dan si bujang
perempuan mengipas lagi, air matanya masih meleleh.
Siau Hoo sementara itu telah mendekam dikolong
pembaringan bambu, cahaya api yang suram ada menolong
kepadanya, sedang tuan rumah dan kuasanya sedikit-pun
tidak bercuriga. Si nona, seluinnya ngantuk,-pun ada
berduka, matanya kembali sering kesap kesip.
Siau Hoo mendekam dengan hati panas. Ia ingin
terbaliki pembaringan, akan nyerbu buat robek semua buku, untuk hancurkan shui-phoa, akan akhirnya paksa si kikir ini keluarkan uangnya buat dipakai menolong sekalian
pengungsi. Tapi perbuatan berterang semacam ini ia tidak niat lakukan. Maka terpaksa ia sabarkan hati.
Tidak tama, jam empat telah sampai, perhitungan telah
dilakukan selesai. Si hartawan dan kuasanya sudah ngantuk sekali. Hartawan itu buka lemarinya buat simpan semua
buku, lalu lemari itu ia kuci pula. Setelah si bujang
padamkan api, bertiga mereka keluar dari kamar itu, yang terus dikunci dari luar.
Siau Hoo merayap keluar begitu ia dengar suara anak
kunci, ia menghampiri jendela akan melihat keluar. Kalau si empe pergi keluar, si hartawan dan bujangnya pergi ke kamar Utara, dimana sinar api segera menyala lagi sekian lama, baru padam pula.
Lantas Siau Hoo menghampiri lemari, ia raba kuncinya,
yang besar dan kuat, tetapi ditangannya, kunci itu tidak ada dayanya, dengan mudah pintu lemari dibuka. Belasan buku kena diraba, juga dua bungkusan uang yang besar serta
empat atau lima bakul uang rece, tang-chie. Ia menghampiri
lagi jendela untuk pentang itu, baru ia ikat dua bungkus uang itu digendol dipundaknya. Ia merasa uang itu berat kira-kira lima puluh kati. Ia anggap uang ini cukup untuk nengamal pada semua pengungsi. Ketika ia hendak angkat kaki, ia-pun bawa orang punya buku. Ia lantas loncat keluar dari jendela. Disaat ia hendak loncat naik keatas genteng, ia dengar suara gembreng diluar kampung, ia terkejut, tapi toh ia teruskan loncat naik keatas, menuju ke kamar Utara.
Dikamar Utara ini, Si looya sedang hendak tidur sama
jie-thaythay, isterinya yang ke dua, ketika ia terperanjat karena suara gembreng itu. Ia lantas berteriak : "Ada
penjahat!"
Semua itu Siau Hoo tidak perdulikan, ia loncat akan
lewati tembok, terus turun ketanah, buat ambil jalan semula tadi ia masuk dalam ladang kao-liang, terus kejalan kecil. Ia lihat cahaya terang ditempat banyak pepohonan, ia dengar suara berisik dari pertempuran. Ia percaya Ke Kong Kiat telah kepergok. Dalam hatinya ia anggap orang she Kie itu kurang sempurna perbuatannya, belum apa-apa sudah
orang dapat ketahui. Tadinya ia hendak pergi menolongi atau membantui, tapi kapan ia ingat pemuda itu sudah
tempel pemberitahuan untuk tangkap padanya, dia jadi
mendongkol. Maka ia batal menolongnya.
Demikian pemuda she Kang ini lari terus ke Barat-
selatan. terus sampai dikali kecil. Disini ia lemparkan semua buku kedalam kali. Dengan meloncat ia seberangi
kali itu. Sampai dseberang, ia mengawasi ketempat suara pertempuran Lath dmana ada cahaya api.
Tidak antara lama, Siau Hoo lihat tiga orang berlari-lari kejalanan kecil.
"Dia tentu Kie Kong Kiat," Siau Hoo, menduga-duga.
Sebelum Kie Kong Kiat sampai ditepi kali dimana ia bisa cari jembatan, dibelakannya sudah mengejar dua orang,
rupanya cinceng dari Ku Pek Ban, mereka ini bawa golok, berlari-lari sambil berterak: "Bangsat, jangan lari!"
Melihat demikian, Kie Kong Kiat putar tubuh akan
layani musuh. "Ha, mereka bertempur," kata Siau Hoo dalam hatinya.
Dari tempat jauh, Siau Hoo tidak
bisa lihat kepandaiannya orang itu, ia hanya tampak senjata tajam berkelebatan dan beradu bersuara nyaring. Pertempuran itu berjalan sampai dua-puluh jurus, keputusan belum juga
datang. Dari sebelah Utara ada datang orang-orang Ku-keechung beserta lentera dan obornya terang-terang, lari
dijalanan kecil, mereka mendatangi semakin dekat. Itu
waktu Kie Kong Kiat justeru loncat mundur, akan loncati kali kecil.
Ketika itu, Siau Hoo sudah umpatkan diri kedalam
tempat lebat, sedang Kie Kong Kiat menyingkir kelain
sebelah. Sampai ditepi kali, kawanan pengejar berhenti dengan
pengejarannya, rupanya mereka jerih lancang memasuki
rimba. Sampai disitu, Siau Hoo tidak perdulikan pula pada Kie Kong Kiat. Ia lari, kepintu kota Utara dari Cengyang,
dijalan besar ia tidak lihat siapa juga kecuali pengungsi-pengungsi, yang tidur menggeletak disana sini.
Siau Hoo lari sampai di depan toko beras, dia loncat naik keatas genteng. Disini ia bingung, ia tidak tahu Kie Kong Kiat tidur dikamar yang mana. Ia lantas letaki bungkusan uang diatas genteng, ia sendiri terus numprah akan
menunggui sambil beristirahat. Ia menunggu belum sepuluh
menit, lantas ia lihat orang loncat dari luar masuk kedalam pekarangan. Ia belum melihat nyata tapi dia duga orang itu tentunya Kie Kong Kiat, tidak ayal lagi ia angkat
bungkusan uang, ia lempar itu ke arah pemuda she Kie itu, hingga
uang jatuh disamping Kong Kiat sambil menerbilkan suara nyaring.
Selagi begitu berdiri diatas genteng, Siau Hoo tertawa gelak-gelak.
Kong Kiat sedang terkejut dan heran, mendengar suara
tertawa ia angkat kepalanya, ia lihat bayangan berkelebat, ia lantas loncat naik, tetapi sesampainya diatas ia dapatkan bayangan tadi sudah lenyap. Ia memandang kesekitarnya, ia tidak lihat apa juga. Terpaksa dengan masgul ia loncat turun.
Siau Hoo sementara itu telah pulang ke hotelnya, ia
masuk kekamarnya dan terus tidur. Ia merasa puas akan hal yang ia lakukan itu. Keesoknya pagi, ia tersadar karena suara berisik diluar hotel. Dijendela telah muncul cahaya terang dari sang fajar. Ia berbangkit dan keluar. Pintu hotel masih belum dibuka, maka ia buka itu sendiri, hingga ia segera lihat lerotan pengungsi, ada yang pergi, ada yang pulang, hingga mereka jadi berdesak-desak. Mereka yang pulang, pulang dengan kegirangan, sebab mereka sudah
dapat uang derma.
Diam-diam Siau Hoo tertawa sendirinya. Ia tahu Kie
Kong Kiat gunai uangnya untuk tolong pengungsi itu. Iapun puas melihat kaum pengungsi itu kegirangan, karena dermanya sekarang ada lebih banyak daripada kemarinnya.
Kapan sebentar kemudian langit telah jadi terang, dari arah selatan mendatangi tiga penunggang kuda, ialah Kie Kong Kiat bersama Lau Cie Wan dan si picak sebelah Chio Cie Yau. Mereka ini sudah selesai dengan "amalannya"
membagi uang. Disepanjang jalan ada banyak pengungsi
yang berlutut menghaturkan terima kasih, meski demikian, tampang mukanya Kie Kong Kiat tidak gembira.
Siau Hoo lekas kembali ke kamarnya, ia perintah jongos siapkan kudanya, ia sendiri lekas-lekas cuci muka, akan dandan juga, setelah membayar uang, ia tuntun kudanya
keluar dari hotel itu. Itu waktu kawanan pengungsi sudah jadi kurangan, toko atau warung-warung telah membuka
tiamlang. Ketika Siau Hoo keluar dari Patkwan, ditepi jalan kelihatan pengungsi-pengungsi lagi repot dengan mereka punya phia yang besar. Mereka ini bisa beli phia dan dahar dengan bernapsu.
"Kemana perginya orang yang menderma uang?" Siau
Hoo tanya beberapa orang.
"Tiga dermawan itu pergi ke Selatan sana," sahut
beberapa orang sambil menunjuk.
Siau Hoo larikan kudanya, ia sudah menyusul dua-puluh
lie lebih, ia tidak ketemukan Kie Kong Kiac bertiga. Lantas saja hatinya menjadi tawar, hingga ia tahan kudanya.
"Buat apa aku susul mereka?" pikir ia. "Tadinya aku
hendak tempur dia, sebab dia tempel surat pemberitahuan akan bekuk aku. Sekarang ternyata dia ada satu hiapkek, buat apa aku ladeni padanya" Biar dia coba tangkap aku, aku sendiri balik kembali ke See-an akan ketemui Ah Loan.
kemudian baru aku pergi ke Tin-pa dan Cie-yang untuk
menuntut balas ...
Siau Hoo merasa lapar, maka ia larikan kudanya ke
depan dimana ia lihat ada sebuah dusun. Ia berhenti di depan sebuah rumah makan, ia tambat kuda diluar pintu, ia masuk kedalam akan minta arak dan mie. Disaat ia hendak mulai dahar, ia dengar pertanyaan keras di depan pintu:
"Kuda ini siapa yang punya?" ia lekas keluar, ia lihat empat orang, dua diluarnya dandan sebagai polisi.
"Kuda ini siapa punya?" tanya pula seorang polisi, ia
tunjuk kudanya pemuda kita.
"Itulah kudaku. Ada apa?" Siau Hoo menjawab seraya
balik menanya. "Tidak apa-apa," sahut opas itu, yang lantas putar tubuh untuk pergi. Tapi salah satu kawannya, yang bukan orang polisi, yang tubuhnya tidak jangkung, mengasi hormat pada Siau Hoo seraya terus menanya: "Apakah kau tahu kemana perginya orang she Kie yang mendema uang di Cengyang?"
"Aku tidak tahu," jawab Siau Hoo sambil geleng
kepalanya, "Aku tidak kenal orang itu."
Mendapat jawababan orang itu manggut, terus ia mau
bertindak. "Eh, tunggu dulu," Siau Hoo memanggil "Aku sedang
minum, kau panggil aku untuk ditanya, apa habis dengan begini saja?"
Dua opas itu nenoleh, mata mereka melotot.
"Apa kau bilang" Apa aku mesti beri upah padamu?"
tanya mereka. Tapi seorang yang ke tiga, yang tubuhnya kate, lantas
kata sambil tertawa : "Maa ... Aku lihat dikudamu ada
pedangnya, kita sangka orang she Kie itu sedang minum
arak disini. Orang she Kie itu ada satu penjahat, tadi malam dia telah datangi rumahny Ku Pek Ban dimana ia curi uang tujuh-ratus tail lebih, uang mana ia pakai untuk mengamal pada kaum pengungsi, setelah itu ia terus kabur. Aku Yo Kong Kiu, cinteng dan keluarga Ku, gelaranku yang tidak
berarti adalah Lu-ciu-hiap. Dan ini adalah saudara
angkatku, Hoa-lian-pa Lau Eng," ia tunjuk orang yang rada jangkung itu. "Dan ini adalah dia orang polisi dari Cenyang ialah Beng Toaya dan Kiang Suya. Kita sekarang
hendak pergi cari orang she Kie itu, maafkan kita yang telah ganggu kau."
Setelah berkata begitu, Yo Kong Kiu dengn tiga
kawannya lantas nyemplak kudanya kabur ke Selatan.
Sekarang Siau Hoo, ketahui, adalah Yo Kong Kiu dan
Lau Eng ini yang tadi malam tempur Kie Kong Kiat. Diam-diam ia tertawa sendirinya, karena ia anggap lucu kejadian yang semalam itu
Tapi kemudian ia pikir lain; "Dua orang ini ada punya
bugee cukup baik, mereka ada dibantu oleh dua orang
polisi, apabila mereka berhasil menawan Kie Kong Kiat
hingga orang she kie ini dibawa kekantor, apa dia tidak penasaran" Uangnya Ku Pek Ban akulah yang ambil,
apabila terjadi perkara, aku yang mesti tanggung-jawab, kalau lain orang yang gantikan aku, aku bukannya satu
hoohan ... Ingat ini, Siau Hoo, lekas-lekas masuk kedalam, ia
keringi araknya, ia bayar uangnya, lantas ia keluar pula, ia kaburkan kudanya menyusul Yo Kong Kiu berempat. Ia lari ke Selatan, sampai kira-kira melalui enam puluh lie,
sampailah ia di daerah Sinyang, lalu seterusnya ia kuatit Yo Kong Kiu.
Disepanjang jalan, Yo Kong Kiu berempat sering ketemu
orang-orang yang ia kenal. Ketika mereka sampai di
Sinyang, mereka lantas pergi ke piau-tiamnya Say-Ui-Tiong Lau Khong.
Siau Hoo bersangi akan masuk kedalam kota. Ia pernah
datang kekota ini dan piebu dengan Lau Khong untuk
beberapa hari ia singah dirumahnya sahabat baru ini,
hingga disitu-pun ia kenal beberapa orang lain. Sekarang ada urusan ini, yang ia kenal.
"Baik aku berhenti disni akan minum teh," pikir ia
akhirnya. Dipintu Timur dari kota Sin-yang ini, selagi Siau Hoo
cari rumah makan atau warung teh, ia lihat ditenbok dan rumah-rumah penginapan, atau di cio-pay di mulut jalanan, ada pemberitahuan untuk menawam dia, melihat mana
kembali hatinya jadi panas. ia lantas menghampiri satu hotel. Ia tanya pemiliknya. "Siapa yang tulis ini?" Sambil menanya, ia tunjuk pemberitahuan itu.
"Satu tuan she Kie adalah yang tulis itu," jawab tuan
ramah. "Dia tidak cuma menulis saja, setiap kali tulis, ia kurbankan dua renceng uang ..."
"Kurang ajar!" kata Siau Hoo dalam hatinya. "Aku
berikan dia uangnya Ku Pek Ban untuk mengamal, dia
rupanya masih punya kelebihan banyak, maka sekarang ia gunakan uangnya itu akan mengasi persen pada orang-orang ditembok siapa ia main corat-coret! Inilah hebat!"
Lalu dengan mata melotot ia kata pada pemilik hotel itu:
"Lekas kau hapuskan huruf-huruf itu! Apakah kau tidak
tahu, Kang Siau Hoo itu adalah satabatnya Say-Ui Tiong Lau Khong dan Lau Kee Piau Tiam" Pada bulan yang lalu, Kang Siau Hoo pernah datang kemari, dia telah rubuhkan Lau Khong!"
"Sekali-pun ditemboknya Lau Kee Piau Tiam, dia-pun
tulis pemberitahuan semacam ini," kata si pemilik hotel.
"Pertama kali datang kemari, orang she Kie itu telah
kunjungi Lau Toa-ciangkui, ketika si orang she Kie
menulis, Lau Toa-ciangkui berdiri mengawasi saja di
pinggiran. Rupanya dia bersahabat dengan orang she Kie itu."
Mendengar keterangan itu, Siau Hoo mendongkol.
"Oh, kalan begitu, demikian saja sifatnya Lau Khong!"
kata ia dalam hatinya. "Aku mesti cari pula padanya, akan berikan hajaran lebih jauh!"
Baru Siau Hoo pikir untuk pergi ke Lau Kee Piau tiam,
ia lihat empat penunggang kuda lewat dengan cepat di
depannya menuju ke Selatan, ia lantas kenali mereka adalah Yo Kong Kiu dan kawan-kawannya, maka ia-pun lantas
loncat naik atas kudanya untuk menyusul.
Yo Kong Kiu tinggalkan kota Sin-yang mereka menuju
ke Barat-selatan.
Siau Hoo menguntit belum ada tiga-puluh lie,
sekonyong-konyong Yo Kong Kiu berempat tahan kuda
mereka, untuk diputar balik buat papaki pemuda ini,
demikian Siau Hoo tak dapat ketika buat meyingkir lagi.
Lu-ciu-hiap, jago dari Lu-ciu, tentawa, ia terus berkata :
"Sahabat, kau telah kuntit kita buat tujuh atau delapan puluh lie, apakah kau sangka kita tidak tahu" Coba
terangkan, sahabat, kau sebenarnya kandung pikiran apa?"
"Siau Hoo tahan kudanya, ia-pun tertawa.
"Aku hendak menonton keramaian!" sahut ia, yang tidak
kekurangan akal. "Aku, hendak saksikan bagaimana
caranya kau bekuk Kie Kong Kiat!"
Mendengar itu, kedua orang polisi maju mendekati.
"Apakah kan kenal Kie Kong Kiat?" mereka ini tanya,
mata mereka mendelik.
"Aku datang dari Cengyang," sahut Siau Hoo dengan
sabar, "disana aku tinggal dua hari, disana Kie Kong Kiat
menderma uang, cara bagaimana aku tidak dapat tahu" Aku hanya tidak menyangka dia ada si pencuri uang! Sekarang aku hendak ikuti kau untuk menonton saja!"
"Dia mendusta!" tiba-tiba Hoa-lian-pa Lau Eng si Macan Tutul membentak.
"Mestinya dia ada konconya Kie Kong Kiat! Mari kita
bekuk dia dulu!"
Yo Kong Kiu cegah kawannya.
"Sahabat, kau she apa?" ia tanya dengan sabar. "Apakah adanya penghidupan kau?"
Kang Siau Hoo bersenyum.
"Aku she Kang," ia menyahut, "di Kanglam aku ada
punya satu piau-tiam, tetapi sekarang aku sedang pesiar di Utara, aku tidak punya urusan yang penting."
"Karena kau ada orang Kangouw, gampang untuk kita
bicara," Yo Kong Kiu kata pula. "Aku berempat hendak
tangkap Kie Kong Kiat, dia rupanya pergi ke Barat,
barangkali dia akan lewati Siangyang akan terus menuju ke Han-tiong, tetapi tak perduli dia menyingkir kemana, kita tetap akan menyusulnya dan tangkap padanya. Kau
sekarang ikuti kita, sebenarnya tidak ada apa-apa yang menarik hati untuk ditonton, apabila kau ada punya urusan yang penting, baiklah kau ambil jalanmu sendiri!"
Sehabs berkata begitu, Yo Kong Kiu bersenyum dingin,
lantas ia larikan kudanya akan lanjutkan perjalanan
tugasnya. Hoa-lian-pa Lau Eng dan dua opas mencaci, hanya
dengan suara pelahan.
Berempat mereka jalan sampai kira-kira dua lie, tatkala mereka menoleh, mereka lihat Siau Hoo kembali kuntit
mereka, sedang tadi pemuda itu tidak hunjuk sikap apa jua.
Lau Fng jadi gusar hingga ia sudah lantas hunus
goloknya. "Pemuda itu menyebalkan, pasti kandung maksud tidak
baik!" ia bilang dengan sengit.
Dua opas-pun gusar, mereka hunus golok berbareng
keluarkan borgolan.
"Tangkap saja padanya," kata mereka dengan keras.
Yo Kong Kiu cegah kawan-kawannya itu.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan semberono," ia memberi nasihat. "Dia rupanya
mengerti ilmu silat, atau mungkin dia adalah Kang Siau Hoo. Bukankah tadi Say-Ui-Tiong Lau Khong beritahu kita bahwa Kang Siau Hoo pakai tudung rumput pakai cau-ee,
bawa pedang dan menunggang kuda hitam?"
"Sekali-pun Kie Kong Kiu yang gagah kita hendak
tawan, kenapa kita takuti Kang Siau Hoo?" kata Luw Eng, yang masih gusar.
Sementara itu, Kang Siau Hoo sudah datang dekat pada
mereka. "Jangan kau sekalian curigai aku," ia kata sembari
tertawa. "Aku hendak pergi ke Barat akan urus urusanku, aku tidak akan jalan sama-sama kau pula. Ada baik aku
jelaskan padamu sekalian, Kie Kong Kiat itu ada cucunya Liong Bun Hiap, bugeenya tidak boleh disamakan dengan
bugeenya lain orang. aku kuatir bukan saja kau tidak akan manpu bekuk dia. Sebaliknya kau bisa dapat kerugian!"
"Hal itu kau tidak usah perdulikan!" membentak Lau
Eng seraya ia ayun gloknya. "Kau pasti ada konconya Kie Kong Kat, kau juga ada satu penjahat!"
Sambil mengucap demikian si Macan Tutul majukan
kudanya, terus ia menyerang.
Siau Hoo berkelit sambil putarkan kepala kudanya,
sambil berbuat demikian, dengan cambuknya ia sabet
lengan lawannya. Lau Eng kesakitan hingga dia mesti
lepaskan goloknya jatuh ketanah!
Menampak demikian, Yo Kong Kiu loncat turun dari
kudanya, ia maju membacok pemuda kita.
Siau Hoo tidak turut loncat dari kuda, ia hanya tunggui cintengnya Ku! ek Ban itu, ketika golok menyamber, ia
bungkukkan sedikit tubuhnya dan ulur sebelah tangannya.
Cepat luar biasa ia jepit belakang golok dengan jari
tangannya, ketika ia melirik tangannya itu, golok lawan telah kena dirampasnya. Sesudah itu dengan bersenyum ia larikan kudanya.
Dua orang polisi itu jadi panas, mereka mengejar.
"Binatang!" mereka berteriak-teriak, "Kau juga bangsat!
Kau hendak lari?"
Siau Hoo lari terus sambil tertawa, dengan dua
tangannya ia adui golok pada lututnya, sehingga patah jadi dua potong. Ia lempar potongan golok itu ketanah, ia lalu tertawa gelak-gelak.
Menampak demikian kedua hamba negara itu tidak
berani mengejar lebih jauh, mereka hanya berdiri ternganga, sebagai mana juga Yo Kong Kiu dan Lau Eng jadi
tercengang. Siau Hoo larikan terus kudanya, ia ada sangat gembira, menuju ke Barat sampai diperbatasan propinsi Ou-pak. Ia tiba di sebuah dusun dengan sang waktu bukannya siang
lagi. Ia lantas saja cari rumah penginapan. Disini ia
beristirahat satu malam. Keesokan paginya ia berangkat terus, lewat tengah harinya ia memasuki kota Siangyang.
Segera juga ia lihat dua orang, yang mirip dengan jongos hotel, ada bawa satu tahang air kapur abu-abu, setiap kali ketemu tembok, mereka sapu tembok itu. Ia heran, ia lantas mendekati mereka.
Dua orang itu berhenti di depannya satu warung rumput, ditemboknya yang kuning ada coretan huruf pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau Hoo, lantas semua huruf itu
dibusak. Melihat demikian Siau Hoo merasa mendongkol
berbareng lucu. Ia turun dari kudanya.
"Eh, apa yang kau kerjakan?" ia tanya sambil tersenyum.
"Kita berdua ada kulinya Hoa-chio Pang Jie-ya
disini,"sahut satu diantaranya. "Tadi siang ada datang Kie Kong Kiat, cucunya Liong Ban Hiap. Dia datang bersama
dua orang, yang romannya seperti opas, bengis. Mereka
kunjungi Pang Jie-ya, dimana mereka sampai, Kie Kong
Kiat itu telah tulis pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau Hoo. Kang Siau Hoo itu ada orang gagah jaman ini, baru pada bulan yang lalu dia datang ke Siangyang ini. Sampai-pun Hoa-chio Pang Jie-ya bukantah tandingannya, Jie-ya tidak puas mengetahui Kie Kong Kiat hendak tangkap
Kang Siau Hoo, ia tanya Kie Kong Kiat sebabnya
penangkapnya. Kie Kong Kiat ada jumawa dan galak, ia
serang Pang Jie-ya, dengan sekali pukul saja Jie-ya kena dirubuhkan, hingga Jie-ya jadi sangat mendongkol.
Seperginya Kie Kong Kiat itu, Jie ya lantas suruh kita hapuskan semua pemberitahuan itu."
Siau Hoo panas hati mendengar keterangan ini, iapun
menyesal untuk belai dia, Pang Jie mesti jadi korban.
"Apa sekarang Kie Kong Kiat itu sudah pergi?" ia tanya pula.
"Dia sudah pergi sejak setengah harian tadi," sahut kuli itu. "Sesudah serang Jie ya, dia masih tanya Jie-ya dimana adanya Kang Siau Hao. Jie-ya jawab tidak tahu. Kie Kong Kiat pesan agar disampaikan pada Kang Siau Hoo yaitu
kalau Kang Siau Hoo datang kemari, andai kata Kang Siau Hoo ada punya nyali, Kang Siau Hoo boleh susul dia di
See-an." Kembali hatinya Siau Hoo jadi panas, hingga air
mukanya-pun berubah, tapi sebisa bisa ia bersikap tenang.
"Apakah kau libat kemana mereka menuju?" ia tanya
lagi. "Mereka datang dari See-an, pasti mereka kembali
kesana. Hanya, selagi mau berangkat, mereka ada tanyakan hal Bu Tong San.
Mendengar ini. Siau Hoo sedikit berkejut. Ia ingat pesan gurunya dulu, bahwa kalau ia lewat di Bu Tong San, ia
mesti waspada. Bu Tong San berada didalam distrik
Kunkoan di Siang-Pang-hu, dimana ilmu Lwee-kee ada
keluaran itu Bu Tong Pay, kebanyakan imam di BuTong
Pay ada pandai silat.
"Apa Bu Tong San terpisah jauh dari sini?" ia tanya.
"Tidak jauh," jawab satu kuli. "Sekeluarnya dari kota
Utara tuan jalan beberapa puluh lie, gunung itu sudah
lantas kelihatan."
"Baiklah!" kata Siau Hoo, yang terus larikan kudanya
akan keluar dari kota Siang yang, menuju ke Barat utara.
Benar saja belum lama ia sudah lihat sebuah gunung yang tinggi, yang jauhnya kira-kira seratus lie lebih. Ia larikan kudanya lebih jauh. Sesudah melewati kira-kira lima-puluh lie, Siau Hoo lihat di depannya ada tiga penunggang kuda, yang hendak menuju ke gunung itu. Ia tidak usah
mengawasi lama-lama akan kenali Kie Kong Kiat bertiga.
"Ha, bagaimana sekarang?" pikir ia, yang tiba-tiba jadi sangsi. "Kalau aku susul mereka, tentu aku akan bentrok, mesti ada yang terluka. Kie Kong Kiat tidak usab penasaran kalau dia terluka, die toh mau cari aku, dia sampai buat banyak pemberitahuan, dia terlalu menghina aku, hanya
sayang, sebab dia ada satu orang gagah yang mulia hatinya.
Amalnya di Cengyang menyebabkan aku hargai padanya.
Dia juga ada cucunya Liong Bun Hiap ... Di depan ada
gunung Bu Tong San, disana tempatnya Cousu Thio Sam
Hong mendapatkan kesempurnaannya, maka apa pantas
kita kaum lwee-kee justeru saling bunuh dihadapannya" Ini ada perbuatan memalukan diri sendiri ... "
Karena ini Siau Hoo lantas beri kudanya jalan pelahan, sebisa-bisa ia atasi dirinya sendiri. Dengan begitu, ia-pun bisa antap ketiga orang itu jalan menjauhi dirinya.
Tiga orang di depan itu tidak ketahui bahwa mereka ada yang kuntit.
"Biarlah aku ikuti mereka secara begini sampai di See-
an," Siau Hoo pikir lebih jauh. "Sesampainya di See-an, kalau dia tetap belai Kun Lun Pay, aku terpaksa tidak bisa berlaku sungkan-sungkan terlebih jauh."
Kedua pihak jalan terus, sampai didepan mereka ada
melintaang sebuah sungai besar. Kie Kong Kiat bertiga ikuti gili-gili akan jalan mutar, akan cari pelabuban. Siau Hoo pun menuruti.
Tidak lama sampai mereka disebuah tempat dimana ada
sebuah penyeberangan. Kong Kiat bertiga sudah lantas naik perahu, yang membawa mereka kelain tepi. Siau Hoo-pun
terus panggil lain perahu keatas mana dia-pun terus naik.
Disini Siau Hoo jadi dapat tahu, sungai itu adalah Lam Kang, yang menyambung ke sungai Han Sui, bahwa
diseberang ada distrik Kok-seng, yang terpisahnya dengan Bu Tong San sudah tidak jauh lagi. Ia-pun dengar, siapa hendak bersujut kepada Bu Tong San, dipenyebrangan ini orang sudah mesti turun dari kuda atau singgah. Di Bu
Tong San tidak ada rumah penginapan,-pun katanya imam-
imam diatas gunung tidak puas kalau mereka tahu ada
orang bersujut dengan terus menunggang kuda sampai
diatas gunung. "Apakah imam diatas gunung besar jumlahnya?" Siau
Hoo tanya tukang perahu.
"Ya, imam disana tak sedikit jumlahnya," terangkan
tukang perahu itu. "Umpama di biara Gie Cin Koan saja
ada empat peluh imamnya. Di Hian Bu Bio jumlahnya too-
ya ada terlebih banyak lagi. Sekalian too-ya itu pandai bugee. Umpama satu piausu lewat disana, sepuluh lie
dikaki bukit dia sudah mesti turun dari kudanya.
Keterangan itu membuat Siau Hoo jadi heran. Sepuluh
tahun ia belajar di Kiu Hoa San, ia tidak dengar hal
demikian perihal imam-imam atau toosu dari Bu Tong San maka ia pikir, apa bisa jadi, bugee mereka beda dari
Pelajarannya sendiri.
"Baiklah aku naik ke gunung, untuk menyaksika
sendiri," ia kata dalam hatinya. "Disana aku boleh sekalian lihat, bagaimana sikapnya Kie Kong Kiat terhadap sekalian imam itu."
Setelah seberangi sungai Lam Kang itu, Siau Hoo
sampai di distrik Kok-seng. Ia pergi ke Say-kwan (kota Barat), dimana ia cari rumah penginapan. Karena hari
sudah bukan siang lagi, ia lantas minta makanan.
"Tuan hendak pergi kemana?" tanya jongos, yang lihat
orang punya pauhok ada pedangnya.
"Aku niat berkunjung keatas gunung Bu Tong San," Siau
Hoo jawab. "Apakah tuan ada dan golongan piau-tiam?" jongos itu
tanya pula. Sang tamu mengangguk.
"Aku tadinya jadi piausu di Kanglam, sekarang sudah
tidak lagi," ia ini beri keterangan, "aku hendak pulang ke rumahku di Han-tiong, selagi lewat disini, aku hendak
mendaki gunung, akan bersujut didepan Thio Sam Hong
Cinjin." Jongos itu manggut-manggut.
"Diatas gunung, kuil Gie Cin Koan dapat dibilang
kecil," kata ia. "Biara satu-satunya yang besar adalah Cin Bu Nio. Kenapa gunung ini disebut Bu Tong San" Itulah
disebabkan Cin Bu Yaya dapatkan kesempurnaannya diatas gunung. Cin Bu Yaya ada punya dua panglima, Ku dan
Coa, yang lengkam sekali. yang sering munculkan diri!"
Kemudian ia tunjuk pedangnya Siau Hoo. "Tuan,
pedangmu ini tak dapat dibawa naik kegunung. Lima lie
diatas gunung, ada satu tempat bernama Kay Kiam Coan,
artinya sumber meloloskan pedang. Tak perduli orang
punya kedudukan berapa tinggi kepandaiannya berapa
liehay, satu kali sampai disana, oang mesti loloskan
pedangnya dan lemparkan itu kedalam air. Kalau tidak, Cin
Bu Ya-ya akan jadi gusar dan murid-muridnya Sam Hong
Cousu tentulah tidak akan mau mengerti."
"Diantara muridnya Sam Hong itu, sekarang masih ada
siapa-apa lagi?" Siau Hoo tanya.
Jongos itu tidak menjawab, hanya ia bicara tentang
"Sam Hong Cousu."
"Dahulu pernah ada satu tayciangkun, jenderal besar,"
demikian katanya. "Pada suatu hari tyciangkun ini naik kegunung untuk bersujut, sesampainya di Kay Kiam Coan, sekalian ponggawa pengiringnya peringatkan untuk ia
loloskan pedangnya namun ia tidak perdulikan itu. Ia jalan belum dua lie, segera terbit angin hebat, lalu muncul seekor ular besar yang tubruk padanya. Dia kaget dan rubuh dan lantas binasa karenanya. Ular itu adalah panglimanya Cin Bu Ya-ya ialah Coa Ciangkun. Atau lebih benar ular itu wujud lainnya daripada pedangnya Cin Bu Ya ya. Patung
Suci dari Cin Bu Ya-ya ada pegang pedang Cit-seng-kiam, di belakangnya ada bendera Heng-ui-kie, dikiri dan
kanannya berdiri Ku Ciangkun dan Coa Ciangkun. Orang
biasa saja tak dibolehkan datang menghadap Cin Bu Ya ya dengan bawa-bawa pedang. Sekali-pun patung suci dari
Sam Hong Cousu sendiri melainkan pegang kebutan lalat, ia tidak boleh cekal pedang. Dari empat-puluh tooya dari Gie Cin Koan, yang paling kesohor kepandaiannya ada
tujuh orang yaitu Cit Toa kiam sian, tapi juga mereka ini tidak ada yang berani bawa-bawa pedang jikalau mereka
keluar dari bio." Jongos itu bicara dengan lancar sekali, suatu tanda ia sudah sering berceritera yang demikian ini.
Kemudian ia pesan pemuda kita. "Kalau besok tuan pergi mendaki gunung, harap tuan jangan bawa pedang jikalau
tidak, sedikitnya tuan akan dapat sakit yang berat."
Siau Hoo angguk-anggukkan kepala.
"Tentu saja," ia jawab. "Aku datang untuk bersujut, cara bagaimana aku berani tidak menghormati malaikat."
Tapi, dengan menyahut demikian, iapun men-duga-
duga, Kie Kong Kiat tahu aturan itu atau tidak. Kalau dia tidak tahu, bukan saja kedua Ciangkun, Coa dan Ku (Ku
adalah kura-kura) akan gusar, malah Cit Toa-kiam-ian,
tujuh tosu ahli pedang, pasti akan murka juga. Kalau Kong Kiat tidak tahu aturan itu, tentu akan lanjutkan corat-coret pemberitahuannya untuk tawan Kang Siau Hoo
Siau Hoo bersenyum-senyum terhadap jongos, lalu habis
bersantap ia keluar, akan jalan-jalan. Ia kitari kota dan Kwan-siang juga, toko dan warung ada sedikit tetapi orang yang berhilir-mudik ada banyak. Ketika ia sampai di Lam-kwan (kota Selatan), ia justeru lihat di depannya ada
mendatangi satu anak muda dengan pakaian putih, pedang tergantung dipinggangnya, tubuhnya kate dan gesit. Dia itu adalah Kie Kong Kiat, yang terus memasuki sebuah rumah makan di Baratnya jalanan. Ia jadi ketarik hati, ia-pun masuk kedalam rumah makan itu.
Didalam rumah makan orang sudah pasang api, dan
tamu ada banyak.
Sia-uw Hoo ambil kursi dimeja yang membelakangi
lampu, Kie Kong Kiat duduk bertetanga dengan ia. Pemuda itu telah loloskan pedangnya yang diletaki diatas meja. Dia sudah minta arak dan minum sendirian, sikapnya anteng.
Untuk sementara, Siau Hoo kuatir juga. Ia kuatir Cie
Wan dan kawannya datang. Kalau Cie Wan datang, ia
bakal dikenali, hingga ia tidak tahu entah apa bakal terjadi, sedikitnya mereka akan bentrok satu dengan lain. Hanya sampai sekian lama, dua orang itu tidak juga muncul.
Tenang seperti pemuda itu, Siau Hoo hirup araknya
pelahan-lahan, setiap kali ia pandang pemuda itu.
Selang sekian lama, tiba-tiba Kie Kong Kiat berbangkit sambil berjingkrak.
"Jongos!" Ia berseru. "Ambil pit dan bakhie, aku hendak tulis apa-apa diatas tembok!"
Jongos sedang berdiri disisi meja kantor, ia lantas saja menyahuti.
"Toaya, tembok kita baru saja dikapur, kalau dituliskan apa-apa, tentu akan jadi kurang necis untuk dipandang.
Jikalau Toaya hendak menulis, disini kita ada punya keras, tuliskan itu diatas kertas nanti kita tempel ditembok. Dikota ini ada beberapa siucay, sering mereka menulis ayair. Yang suruh kita tempel ditembok. Ada kalanya ada tamu yang
tertarik dengan syair itu, ia berikan kita uang, lantas syair itu ia ambil.
Kie Kong Kiat tertawa tawar.
"Apakah kau takut, setelah aku menulis ditembokmu,
kau tidak akan dapat uang?" Ia kata. "Ini dua chie untuk ongkosnya pit dan bakmu!"
Mendengar dia bakal dapat dua chie, jongos itu jadi
girang, tidak tempo lagi ia bawa pit dan bakhie, lantas ia gosok baknya.
Siau Hoo mendongkol, ia berbangkit.
Itu waktu Kie Kong Kiat sudah menulis ditembok,
seperti biasanya, "Untuk tangkap Kang Siau Hoo."
Panas hatinya Siau Hoo hampir ia ulur kepalannya akan
hajar orang hingga rubuh. Tapi ia coba kendalikan diri, ia terus mengawasi.
Habis menulis itu, Kie Kong Kiat menulis tiga baris syair ialah :
Di Liong-bun ada seorang gagah, ujung pedangnya
belum pernah dicoba!
Ia bawa pedangnya merantau menjagoi diempat penjuru
dunia : Segala Kang Siau Hoo, apa bisanya - mana itu sebanding dengan Toaya"
"Bagus!" berseru Kang Siau Hoo begitu lekas orang telah selesai tulis syair itu. Ia mengucap demikian sambil
bersenyum. -ooo0dw0ooo- Jilid 15 AGAKNYA Kie Kong Kiat hendak menulis lebih jauh,
tetapi seruannya pemuda kita menyebabkan ia merandek,
terus ia menoleh. Ia tampak orang tidak membawa pedang, dan pakaiannya-pun terdiri dan cita kasar, ia tidak curiga, ia tidak ambil perhatian. Tapi karena ini, ia batal menulis lebih jauh, ia lantas bayar uang araknya, terus saja ia bawa pedangnya dan berjalan keluar.
Siau Hoo-pun segera bayar uang araknya, ia keluar
menyusulnya. Maka itu, sesampainya dijalan besar, mereka jalan seperti saling susul.
Tidak lama Kie Kong Kiat sampai disebuah hotel
kedalam mana dia masuk, malah masuk terus ke kamarnya.
Siau Hoo ikut masuk kedalam hotel itu, setelah
perhatikan orang punya kamar, barulah ia pulang kerumah penginapannya sendiri.
Malam itu didalam kamarnya, Kie Kong Kiat duduk
menghadapi lampu. Ia berniat mengarang syair, untuk
menyambungkan tiga baris yang tadi, supaya nanti
dimalam hari pengantin, ia bisa bacakan itu di depannya Ah Loan. Dengan begitu, di depan isterinya ia bisa
banggakan bahwa ia bun-bu coan cay. Apa mau, walau-pun ia sudah berpikir keras, ia tidak dapat kata-kata untuk syairnya itu. Sebalikhya ia segera bayangkan roman cantik dari si nona, hingga ia jadi tersengsam. Ia girang, ia puas. Ia anggap tidaklah sia-sia hidupnya ini. Siapa nyana, datang ke Kwan-tiong, ia peroleh pasangan nona gagah dan pintar serta cantik.
"Aku menuju ke Selatan ini untuk cari Kang Siau Hoo
buat unjukkan Ah Loan tentang kegagahanku," kemudian
ia ngelamun, "siapa tahu aku sudah lalui ratusan lie", aku telah tempel pemberitaanku diseratus tempat lebih, tidak juga aku berhasil membuat Siau Hoo panas dan muncul.
Semua Lau ryeng Hotiw, Lau Kong dan Pang Jie, bilang
bahwa Kang Siau Hoo berada didaerah Hoolam-Oupak ini,
tetapi aku tidak juga dapat cari padanya. Terang dia jerih, dia tidak berani datang cari aku. Kasihan Lau Cie Wan dan Chio Cie Yau, sejak itu hari ditoko beras di Cengyang ada orang antarkan uang padaku diwaktu malam, untuk
didermakan pada orang banyak, mereka lantas tidak berani berdiam lagi bersama aku dalam sebuah kamar malah tegah jalan
Cie Wan-pun senantiasa berkuatir saja. ini
menyatakan yang kaum Kun Lun Pay sudah dibuat pecah
nyalinya oleh Kang Siau Hoo! Apa artinya Cie Wan
bagiku" Umpama kita ketemu Siau Hoo ditengah jalan,
pasti dia tidak akan berani menunjukinya. Secara begitu, seumur hidup tak akan dapat aku ketemu Siau Hoo! Ini
tidak saja akan menghabiskan tempo dan tenagaku, Ah
Loan di Kwan-tiong juga tentu siang dan malam
mengharap aku saja ... Baiklah besok aku berdiam setengah harian disini, akan mendaki Bu Tong San, lalu tengah
harinya aku pulang ke Kwan-tiong akan lebih dahulu nikah Ah Loan, setelah itu, aku masih ada punya ketika akan cari
terus pada Kang Siau Hoo. Aku juga sekalian perlu cari tahu, orang gagah siapa yang bantu uang padaku diwaktu malam
guna tolong kaum pengungsi."
Lama Kong Kiat berpikir, hingga ia merasa otaknya lelah, tubuhnya letih, maka dengan tidak benahkan lagi perabot tulis, ia lalu tutup pintu dan padamkan api, lantas ia naik tidur. Ia masih pakai bajunya yang putih tadi. Dan sebentar kemudian ia sudah pules.
Malam itu lewat dengan aman, Kong Kiat tidak dengar
suatu apa, ia tak merasai gangguan, seantero malam ia tidak pernah mendusi, ketika besoknya pagi ia sadar dari tidunya, ia lihat pintu tetap tenkunci. Hanya, waktu ia berbangkit, ia menjadi heran, melihat pada selimutnya ada air bak yang hitam. Untuk pertama kalinya ia menyangka tadi malam ia sudah berlaku kurang hati-hati hingga air bak mengenai selimutnya itu. Dengan tidak curiga apa, ia buka pintu, ia teriaki jongos untuk bawakan ia air cuci muka.
Dengan lekas jongos datang dengan membawa apa yang
dimintanya tapi lantas ia berdiri diam, kedua matanya
mengawasi saja pada belakangnya Kong Kiat.
"Lekas ambir air!" Kong Kiat membentak, ia
mendongkol. "Kenapa kau diam saja?"
Jongos itu terperanjat, ia lantas berlalu, tetapi, sekali ia masih menunggu lagi.
Kie Kong Kiat bersenyum, ia angap jongos itu lucu ...
Ketika itu muncul Lau Cie Wan, yang sudah bangun
tidur. Dia ini ambil lain lkamar.
"Kong Kiat, apa jadi kita pergi ke Bu Tong San?" ia
tanya. "Pikirku tidak perlu kita pergi," Ia berhenti kata-katanya itu dengan ia terus mengawasi dengan mendelong.
"Eh, kenapa kau menulis dipakaianmu?"
Kong Kiat heran, segera ia buka bajunya, akan lihat
bagian belakangnya. Untuk kekagetannya, ia baca huruf-


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

huruf untuk membekuk Kang Siau Hoo, bunyinya tulisan
tepat seperti bunyinya tulisannya sendiri. Lantas saja ia keluarkan keringat dingin, hatinya mencelos. Ia kesima.
"Siapa tulis ini?" kemudian ia kata dalam hatinya.
"Tentu, selagi aku tidur nyenyak, ada orang masuk ke
kamarku permainkan aku!"
Dan heran dan bingung Kong Kiat lantas jadi
mendongkol dan gusar, dengan tidak merasa mukanya jadi pucat, saking panas hatinya.
"Ah," kata Cie Wan kemudian, "Bajumu ini ada baju
mahal kenapa kau corat-coret dengan bak" ... "
Kong Kiat lantas tertawa dengan dibuat-buat.
"Aku terlalu sening menulis huruf-huruf ini, aku telah menulis terlalu banyak," kata ia, "maka tadi malam, setelah minum sedikit arak, ingat Kang Siau Hoo, hatiku jadi panas sekali, hingga aku lantas tulis huruf-huruf ini dibajuku!"
Dalam murkanya, Kie Kong Kiat lantas lemparkan
bajunya itu, ia kepal-kepal tangannya.
Air mukanya Cie Wan juga lantas berubah, ia mulai
bercuriga. Tapi, ia lekas dapat kendalikan diri. Lalu, dengan sembarangan ia kata : "Boleh jadi Kang Siau Hoo sudah
dengar kabar dan ia telah lari jauh, maka itu, buat apa kita cari ia secara begini membabi buta" Lebih baik kita pulang saja ke See-an! Aku kuatir disana nanti terjadi suatu apa ..."
Kie Kong Kiat seperti tidak dengar kata-katanya kawan
itu. "Nanti kita pikir pula!" kata ia dengan uring-uringan.
Lau Cie Wan heran, terus saja ia kembali ke kamarnya
sendiri. Sampai sekian lama, Kong Kiat masih berdiri bengong.
Ia ada sangat mendongkol. Selang sekian lama, ia jemput pula bajunya itu. Ia periksa sesuatu huruf itu, yang
tulisannya jelek.
"Entah siapa yang tulis ini?" pikir ia dengan uring-
uringan. Ia gantung bajunya yang sudah lecak itu, ia tukar dengan yang lain, kemudian dengan bawa pedangnya ia
keluar dari hotel. Ia jalan dijalan besar dengan sikap gagah.
Sanpai sebegitu jaub, ia tidak lihat siapa juga yang
mencurigai. "Aku yang kosen kenapa orang bisa permainkan begini
macam?" pikir ia pula.
Kong Kiat jalan dengan tak punya tujuan, sampai ia
ingat rumah makan kemarin dimana ia menulis syair. Ia
lantas pergi kesana.
"Beri aku arak!" kata ia dengan suara keras selagi ia
memanggil jngos. Kemudian ia angkat kepalanya akan
memandang ketembok, kebagian dimana kemarin ia
menulis syair. Sekarang, dibawahan dari tiga baris syairnya itu, ia lihat ada tambahan dengan buru-buru, yang terlebih besar dari tulisannya sendiri, yang berbunyi sebagai berikut: Percuma kau mengaku gagah perkasa, sebenarnya
bugeemu biasa saja! Tadi malam kalau aku tak berkasihan, sekarang pasti kau telah hilang jiwa!
Kembali Kong Kiat keluarkan keringat dingin, tetapi
sesaat kemudian, ia lantas jadi gusar pula. Ia jambak
jongos, yang justeru datang hawa arak.
"Kenapa kau antap orang menulis dibawahan syairku
ini." ia berseru.
Jongos itu kaget tetapi ia tidak ketakutan.
"Dia juga berikan aku dua chie!" ia beri tahu. "Akupun tidak tahu apa yang dia tulis ..."
"Bagainiana romannya orang itu?"" tanya Kong Kiat,
kepalannya mengancam.
"Dia ada seorang muda. Dia-pun baru selesai menulis ...
" Jongos itu belum tutup mulutnya, atau diluar pintu
terdengar suara tertawa gelak-gelak yang disambung dengan kata-kata nyaring:
"Kie Kong Kiat! Jikalau kau ada punya kepandalan,
mari kita buat pertemuan di Bu Tong San!"
Kong Kiat dengar itu, dalam murkanya ia lantas saja lari, akan berloncat keluar pintu.
"Manusia rendab, jangan lari!" ia berseu.
Kapan ia sampai di depan, ia lihat satu kuda hitam diatas mana ada bercokol seorang dengan pakatan hijau, yang
sama sekali tidak menoleh ke belakang, kudanya kabur ke arah Selatan.
Kie Kong Kiat coba memburu, tapi sia-sia saja, dalam
beberapa puluh tindak saja ia sudah ketinggalan jauh, maka terpaksa ia lari balik kerumah penginapannya, akan ambil kudanya, yang ia tidak sempat pasanglan dahulu pelananya, dengan tuntun binatangnya ini, ia bertindak cepat menuju keluar pekarangan.
Ketka itu, Cie Wan dan Cie Yau kebetulan ada didalam
pekarangan itu.
"Eh, Kong Kiat, kau hendak pergi kemana?" mereka ini
tanya. "Jangan kau perdulikan aku!" Kong Kiat jawab sambil
banting kaki. Sesampainya diluar, pemuda ini loncat naik atas
kudanya, yang ia terus kaburkan ke Selatan dan kemadian biluk ke Barat menuju ke Bu Tong San, akan kejar orang tadi yang naik kuda hitam, yang menantang ia secara
menghina. Sementara itu Kang Siau Hoo ialah penunggang kuda
hitam telah sembunyikan diri ditengah jalan, di tempat pepohonan yang lebat. Ia awasi orang merat ke arah Bu
Tong San, setelah orang she Kie itu sudah pergi jauh, ia lantas keluar dari tempat sembunyinya, ia larikan kudanya balik. Ia menuju langsung ke hotelnya cucunya Liong Bun Hiap, begitu ia sampai di depan pintu, ia perdengarkan suaranya yang nyaring:
"Lau Cie Wan!"
*** XI DI DALAM HOTEL, didalam kamar Cie Wan sedang
duduk terpekur dengan masygul bersama-sama Chio Cie
Yau. Keduanya sedang pikirkan suatu orang gagah yang
tidak dikenal, yang rupanya secara menggelap satrukan Kie Kong Kiat, sekali-pun bukan dengan maksud jahat, tetapi juga bukan dengan niatan baik. Justeru itu, Cie Wan dengar suara memanggil ia dan luar itu. Ia menjadi heran ketika dari kejauhan ia tampak, orang itu ada satu pemuda,
pakaiannya biru, tangannya menuntun kuda, sedang berdiri dimuka pintu. Segera ia menghampiri.
"Sahabat, kau cari Lau Cie Wan?" ia tanya, untuk
menegaskan. "Kau she apa" Ada urusan apa kau cari Lau
Cie Wan" . . ."
Sementara itu ia sudah datang semakin dekat, kapan ia
telah lihat tegas mukanya orang itu, ia kaget bukan
kepalang hingga ia menjerit: "Oh ..."
Siau Hoo bersenyum.
"Mari turut aku!" kata tangannya menggape, "Aku
hendak bicara sedikit kepadamu."
Mau atau tidak kakinya Cie Wan menjadi lemas. Ia
bertindak menghampiri sampai keduanya berdiri berhadapan. "Kau jangan takut, kita berdua tidak bermusuhan," Siau Hoo bilang.
Mendengar ini, hatinya orang she Lau itu jadi sedikit
lega. "Saudara," katanya, untuk bermuka-muka. "Sudah
sepuluh tahun kita tidak bertemu, siapa sangka kau telah jadi begini besar dan jangkung! Kabarnya kau telah
sempurnakan bugeemu, benarkah itu?"
"Tidak leluasa untuk bicara disini," Siau Hoo bilang
dengan tak perdulikan pertanyaan orang. "Mari kita pergi ke Selatan sana untuk bicara sedikit, jikalau tidak, tadi malam pastilah aku sudah penggal lehermu bertiga!"
Cie Wan tidak bilang suatu apa, ia mengikuti.
Mereka keluar dari Lam-kwan (kota Selatan), sampai
disebuah tegalan dimana ada sebuah platok batu yang
kasar, disitu ada terukir beberapa huruf yang menyatakan itu adalah tapal batas tanahnya satu keluarga Thio. Dimuka pelatok itu, Siau Hoo tahan kudanya.
"Mari kita bicara disini," terus ia berka ta pada Lau Cie Wan. "Ayahku telah dibunuh Pau Cin Hui, dan ketika aku masih kecil tinggal di rumahnya orang she Pau itu, kau ketahui juga bagaimana aku diperhina. Kau sendiri pun
tidak bermaksud baik terhadap diriku, tapi juga tidak
kandung niatan jahat. Sekarang aku telah sempurnakan
ilmu silatku, kau lihat!"
Siau Hoo ayun tangan kanannya ke arah pelatok batu
gerakkannya sangat sebat, di antara suara sabat yang keras, pelatok itu telah terpapas kutung! Tangannya Siau Hoo
tidak terluka, air mukanya-pun tidak berobah. Ia hanya tertawa dengan tawar.
"Ini baru apa yang dinamai Nge-kang, ilmu pelajaran
keras," kata ia. "Tentang Nui-kun, ilmu pelajaran halus, walau-pun aku mempertunjukkannya-pun kau tak kan
dapat mengerti.
Cie Wan kaget, mukanya pucat dengan tiba-tiba. Ia jerih sampai tubuhnya sedikit bergemetar. Adalah dengan sebisa-bisa ia coba berlaku tenang.
"Memang aku sudah tahu, saudara, kau telah belajar
sempurna," katanya. "Baik aku jelaskan kepadamu, adalah terpaksa yang sekarang aku telah turut-serta Kie Kong Kiat.
Cie Yau-pun turut dengan terpaksa seperti aku juga.
Saudara ketahui sendiri, aturan kaum Kun Lun Pay ada
sangat bengis apa yang suhu perintah, kita mesti taati!"
"Jangan sebut-sebut lagi Kun Lun Pay!" Siau Hoo
membentak sambil ia raba gagangnya pedang, "Pau Cie
Lim, Kat Cie Kiang, Liong Cie Teng dan Liong Cie Khie
semua ada musuh-musuhku, mereka semua mesti aku
bunuh! Tapi yang lain-lain bukan musuhku, asal mereka
tidak ganggu aku, aku-pun tidak nanti ganggu mereka!"
Lau Cie Wan bergidik, tapi ia bisa menghela napas.
"Memang, permusuhan diantara kau kedua pihak tak
dapat diredakan pula," katanya. "Apa daya" Buat aku, asal aku bisa tidak akan campur tahu. Suhu perintah aku ikuti Kie Kong Kiat, aku mesti turut perintah itu, tetapi aku berjanji, andaikata di depannya aku ketemu kau,
berhadapan muka, tidak nanti aku tunjuk bahwa kau adalah Kang Siau Hoo ... "
"Baik!" kata Siau Hoo dengan angguk-anggukkan
kepala. "Kapan saja dan dimana-pun kau ketemu aku, aku larang kau beri tahu orang siapa adanya aku ini! Tapi kau mesti mengarti, ini bukanlah disebabkan aku takut!"
Cie Wan manggut.
"Aku mengarti," ia jawab, "Sekarang aku tahu, saudara, siapa yang di Cengyang diwaktu tengah malam sudah
mengantarkan uang dermaan tujuh ratus tail perak dan tadi malam di hotel sudah menulis dibajunya Kie Kong Kiat!
Saudara, itu adalah buahnya cape-lelah dan keyakinanmu selama sepuluh tahun! Lain orang tidak nanti mempunyai kepandaian tinggi seperti itu. Adalah Kie Kong Kiat, itu bocah yang tolol dan hijau, yang anggap bugeenya ada
liehay luar biasa, sedang sebenarnya adalah kau, saudara, yang tidak niat menurunkan tangan jahat terhadapnya! Aku percaya, walau-pun delapan Kie Kong Kiat masih tak ada gunanya terhadapmu!"
"Baik," kata Siau Hoo, "sekarang aku pergi cari Kie
Kong Kiat!"
Pemuda ini loncat nai keatas kudanya, ia kerjakan
cambuknya, kudanya lantas lari kabur membawa ia ke arah Bu Tong San.
Gunung Bu Tong San adalah gunung paling kesohor di
Ou-lam dan Oupak Utara, termasuk cabangnya gunung Pa
San, luas sekitarnya ada delapan-ratus lie, jurangnya ada
tigapuluhenam buah, dan puncaknya ada duapuluh-tujuh.
Puncak yang paling tinggi adalah Thian Cu Hong, ialah
tempat pertapaannya Cin Bi. Yang lainnya, antaranya ada puncak-puncak Ngo Liong Hong, Cie Siau Hong dan Thian
Kie Hong disebelah Selatan dimana semua ada masing-
masing kuil buatannya Thio Sam Hong Cou-su.
Thio Sam Hong ada orang asal jaman Kaisar Hui Cong
dari ahala Song, dia makan umur tigaratus tahun lebih, karena sampai dijaman Kaisar Seng Cou dari ahala Beng
baiuah ia pulang kelain dunia. Dia adalah leluhurnya ilmu silat itu Lee kee - ilmu silat Dalam atau Halus Lemas) sang dikenal sebagai Bu Tong Pay. Oleh karena itu, toosu atau imam-imam diatas gunung semuanya mengarti ilmu silat
keturunan asli, adalah disebabkan mereka tidak sembarang pertunjukkan kepandaian mereka, jadi ada sukar untuk
mengetahui jelas ilmu silat Bu Tong Pay.
Pada hari itu, selagi kabut belum buyar semuanya dan
hawa nyaman, Kie Kong Kiat dan Kang Siau Hoo telah
saling susul mendaki gunung Bu Tong San.
Kie Kong Kiat adalah yang sampai paling dulu, ia
sedang mendongkol hatinya sangat panas. Dalam hatinya ia kata : "Siapa berani, permainkan aku - perhina aku cucunya Liong Bun Hiap" Tidak bisa tidak, aku mesti adu
kepandaian kepadanya!"
Empat kaki kuda bertindak dengan menerbitkan suara
berisik antara batu-batu gunung sampai burung-burung
kaget dan berterbangan, kelinci berlompatan kabur.
Sesudah melewati sebuah puncak, Kie Kong Kiat dengar
suara air. Disitu lantas kelihatan empat ekor garuda terbang
melayang-layang berputar-putar atau mereka terbang turun
kedekat kaki kuda, akan kemudian terangkat naik pula
keatas. "Sayang aku tidak bawa gendewa dan peluru," pikir
Kong Kiat, "dengan lima atau enam peluru, pasti aku akan bisa rubuhkan semua empat ekor garuda ini ..."
Ia majukan terus kudanya naik keatas, matanya melihat
kekiri-kanan. Disitu tidak ada orang. Adalah sedikit
disebelah depan, ada air mancur yang turun deras,
nampaknya mirip dengan rantai perak. Itulah air yang tadi ia dengar suaranya yang nyaring. Air muncrat tinggi dan jauh, hingga Kong Kiat kecipratan. Semua air jatuh
kejurang yang dalam, dimana air seperti bergolak
merupakan seperti sebuah kali besar.
Selagi dongak ke depan, dibatu gunung Kie Kong Kiat
lihat tiga ukiran huruf besar, ialah "Kay Kiam Coan,"
artinya "Sumber air tempat meloloskan pedang."
"Entah ini ada tetinggalan tua untuk apa," pikir Kong
Kiat, yang tidak artikan tiga huruf itu. "Sayang aku tidak bekal perabot tulis, kalau tidak, aku boleh naik kepuncak itu, akan dibatu besar itu menulis kata-kata untuk bekuk Kang Siau Hoo, akan dibawahnya menuliskan namaku,
supaya dilain waktu apabila Kang Siau Hoo datang kemari dan lihat tulisanku itu, dia boleh kaget hingga semangatnya terbang dan nyalinya hancur."
Ia majukan kudanya. Jalanan ada sukar, tapi ia maju
terus, sampai di depannya ada melintang sepotong batu
besar, hingga menampak itu kudanya menjadi kaget dan
mundur, maka ia mesti gunakan cambuknya untuk buat
kuda itu melompat maju melewati batu besar itu. Sampai disitu ia loncat turun dari kudanya, ia loncat naik keatas batu besar itu, akan berdiri sambilhbunus pedangnya dan terus berseru: "Hei, manusia rendah, aku Kong Kiat sudah
sanpai disini! Diatas gunung Bu Tong San aku nanti
perlihatkan kau ilmu silat sejati dari kaum Bu Tong Pay, ilmu pedangnya Liong Bun Pay yang lihay! ..."
Dan lembah-lembah segera terdengar kumandang :
"Ilmu pedang yang liehay!" seperti juga Cousu Thio Sam Hong sambuti seruan itu.
Ketika itu dua ekor garuda terbang datang, Kie Kong
Kiat loncat turun akan jemput sepotong batu, sambil angkat kepalanya ia terus menimpuk, mengenai sebelah sayapnya.
seekor diantaranya, yang jadi semper, burungnya terus jatuh melayang ketanah.
Tetapi sesampainya ditanah, burung itu berontak, lalu
terbang pula keatas dengan perdengarkan suaranya yang
nyaring berulang-ulang, sesudah mutar dua kali, dia lalu terbang jauh.
Kong Kiat puas sekali, hinga ia tertawa terbahak-bahak.
Ketika ia sudah berbenti tertawa, ia menoleh ke belakang, diatas puncak, ia tampak satu imam sedang berdiri diam.
Imam itu, yang berkumis-jenggot hitam dan panjang,
sambil pegangi pohon cemara melongok ke bawah.
"Toosu," segera ia menanya, "pakah tadi kau ada lihat
seorang dengap menunggang kuda hitam naik kemari?"
Imam itu buka mulutnya, dia berkemik-kemik, akan
tetapi karena berisiknya air tumpah, suaranya itu tak dapat terdengar oleh pemuda ini, suara siapa juga tidak terdengar oleh imam itu.
Kong Kiat tuntun kudanya kepinggiran untuk ditambat
pada buah pohon angco, kemudian ia mendaki lebih tinggi.
Ia bawa pedangnya.
"Jangan bawa pedang!" imam itu berseru. "Apakah kau
tidak lihat itu ukiran huruf-huruf Kay Kiam Coan" Itu ada
tulisan asal dari Tong Bie Hian Hoa Cinjin Sam Hong
Cousu, yang melarang orang mendaki gunung ini dengan
bawa-bawa pedang! Lekas kau lemparkan pedangmu itu,
nanti Cin Bu Ya gusar!"
Kie Kong Kiat tidak senang dengan larangan itu, ia
melotot. "Kau bukannya Cin Bu Ya, kau bukannya Thio Sam
Hong, cara bagaimana kau bisa larang aku?" ia menegor,
"Aku datang kemari karena tantangan orang untuk pie-bu.
Aku mengarti silat, aku ada dari Bu Tong Pay. Bu Tong
San ini adalah rumah tuaku, apa aku suka aku boleh buat!
Siapa-pun tak dapat larang aku!"
Sikapnya imam itu berurbah apabila sudah dengar
perkataan itu. "Kau ada cabang mana dari Bu Tong Pay?" tanya dia,
"Aku tahu Bu Tong Pay, cuma punya tiga cabang. Satu
cabang adanya di Kwan-tiong. Dahulu ada Tay-hiap Ong
Cong, dia ada punya beberapa murid, hanya setelah
berselang hampir seratus tahun lebih, cabang itu terputus sendirian. Satu cabang lagi ada di Un-ciu, ialah Suhu Tan Ciu Tong. turunan siapa adalah Siok Tiong Liong. Cabang yang ketiga adalah Suhu Ong Lay Ham di Oulam Oupak
Selatan, tentang siapa tidak terdengar akhli warisnya. Ada juga Tiat Tiang Ceng dan Tiang Kang Gan, tetapi bugeenya mereka itu ada bugee curian dari Bu Tong Pay, bukannya ilmu yang aseli."
Kong Kiat terkejut, inam ini jadi kenal baik tentang ilmu Bu Tong Pay. Ia percaya orang mestinya pandai silat.
"Kau benar," kata ia akhirnya sambil tertawa. "Hanya
kau tidak insyaf, warisan bugee dari Bu Tong San sudah meninggalkan gunung dua atau tiga ratus talun lamanya
hingga apa yang ada diluaran sekarang, sudah beda jauh
dari pada apa yang masih terpelihara digunung. Ada
beberapa orang tentang siapa kau mestinya belum pernah dengar, serta kepandaiannya orang-orang itu ada melebihi kau sekalian diatas gunung. Aku ada orang she Kie asal Hoo-tong, engkongku ialah Liong Bun Hiap. Kenalkah kau pada Liong Bun Hiap itu?"
Imam itu terperanjat mendengar keterangan terakhir ini, agaknya ia heran.
"Kau jadinya ada turunan Liong Bun Hiap" Inilah
terlebih baik pula!" katanya. "Engkongmu itu ada asal
murid Siau Lim Sie, belakangan ia yakinkan juga dari Bu Tong Pay, dari itu, kepandaiannya ada genggam keahlian dari kedua golongan, hingga tidaklah kecewa dia menjadi satu jago tua. Pada dua-puluh tahun yang lalu, beberapa kali engkongmu itu pernah datang ke Bu Tong San ini,
setiap kali datang tidak pernah ia bawa naik pedangnya, maka aku tidak mengerti, kau yang jadi cucu kenapa begini jumawa" Kau harus mengerti, keteranganku ini ada dengan maksud baik, karena aku-pun ada orang yang melancong
kemari, aku bukan imam asli dari gunung ini. Kalau kau ketemu imam-imam dari Gie Cin Goan, pasti sekali mereka tidak ada demikian baik hati seperti aku!"


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kie Kong Kiat tidak senang dengan nasehat ini.
"Karena kau bukannya orang gunung ini, kau jangan usil aku!" kata ia dengan gusar. "Jikalau Cin Bu Ya muncul, paling juga dia tegor aku dengan kau tidak ada sangkut-pautnya!"
Lantas saja Kong Kiat loncat naik ke tempat terlebih
tinggi, ia memandang kesekitarnya, ia tampak melulu
pemandangan gunung, dan lembah serta beberapa ekor
garuda yang berterbangan, sama sekali ia tidak lihat itu
orang yang dirumah makan di Lam-kwan menantang ia
piebu digunung ini. Ia jadi mendongkol berbareng geli.
"Benar-benar pit-hu!" kata ia dalam hatinya. "Dia
tantang aku tetapi dia sendiri tidak muncul dia kabur!
Mestinya dia ada satu penjahat kangouw, dia cuma menang sedikit dari aku dalam ilmu lari malam, tapi untuk adu pedang, dia tidak berani!"
Kembali Kong Kia berseru beberapa kali, suaranya
lenyap dilembah-lembah. Ketika ia menoleh pada Si mam
tadi, itu sudah ngeloyor pergi.
Hikmah Pedang Hijau 4 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pendekar Pengejar Nyawa 16
^