Pencarian

Dewi Sungai Kuning 1

Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Seri Huang Ho Sianli 1
Dewi Sungai Kuning
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber djvu : Abu Keisel http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Jilid 1 SUNGAI Huang-ho atau Sungai Kuning merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di seluruh daratan Tiongkok. Sungai ini panjangnya tidak kurang dari lima ribu li dan semenjak muncul dari mata airnya yang berada di pedalaman Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun, sungai ini menjelajahi daerah Tiongkok, memanjang dari barat ke timur, dan melalui tidak kurang dari delapan propinsi di Tiongkok yang luas!
Huang-ho mulai mengalir dari puncak sebuah bukit di Kun-lun-san, dan dari Propinsi Cinghai ini ia melalui tembok besar di daerah Sining, terus menjelajahi Propinsi-propinsi Kansu, Ningsia, dan Suijan melalui Pegunungan Ala-san yang indah permai, lalu membelok ke selatan dan menjadi tapal batas Propinsi Siansi dan Shensi, melalui Propinsi Honan, kemudian masuk di Propinsi Shantung, terus terjun ke laut di Teluk Lancou.
Banyak kota-kota besar dilaluinya, di antaranya yang terpenting ialah kota Lancou, Ningsia, Paotow, dan Kaifeng. Tak terhitung banyaknya kota-kota kecil dilaluinya, dan ribuan kampung dan desa-desa.
Hampir semua orang Tiongkok kenal dan pernah mendengar Sungai Huang-ho, atau Sungai Kuning ini. Ia disebut Sungai Kuning karena airnya berwarna kuning, membawa air tanah lumpur berwarna kuning yang merupakan pupuk baik sekali bagi para petani. Sungai Huang-ho terkenal ganas dan sakti, merupakan berkah di waktu tenang, tetapi merupakan bencana besar di waktu banjir.
Selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, semenjak sungai sakti ini lahir, entah sudah berapa laksa jiwa ditewas-kannya dan entah sudah berapa banyak hasil sawah dan ladang dihancurkan! Tapi di samping ini pula, Sungai Huang-ho telah banyak dan besar jasanya terhadap kaum tani dengan para nelayan yang mengeduk hasil dari airnya berupa ikan dan lain-lain.
Pada waktu cerita ini terjadi, Tiongkok masih merupakan negara besar yang miskin, yakni dalam arti kata keseluruhannya, baik negaranya maupun rakyatnya yang terbanyak. Memang ada pula yang hidup makmur dan kaya raya, bahkan berlebih-lebihan, yakni para tuan tanah di kampung dan desa, para pedagang besar di kota-kota, dan para pembesar dan orang berpangkat, terutama mereka yang berada di dekat kaisar yang merupakan pusat kemewahan. Tapi apa artinya beberapa gelintir manusia yang hidup mewah dan makmur ini jika sebagian besar rakyatnya miskin dan papa, banyak sekali yang demikian sengsara sehingga boleh dikata pagi makan malam tidak dan belum tentu setahun sekali bertukar baju"
Sungai Huang-ho menjadi saksi akan segala kejanggalan hidup di negerinya. Ia telah melihat betapa orang-orang lemah teraniaya, betapa si kuat menindas si lemah berdasarkan hukum rimba, betapa si kaya memeras tenaga si miskin berdasarkan hukum perbudakan, dan betapa apa yang dinamakan keadilan itu hanyalah akibat dari pengaruh berkilatnya emas dan perak.
Sungai Huang-ho pernah menyaksikan betapa ribuan jiwa orang-orang gagah yang berjiwa patriot gugur dan tewas dalam tugas suci membela rakyat jelata yang berarti pula membela kebenaran, membela keadilan, dan membela prike-manusiaan. Orang-orang gagah yang berjuang tanpa mengharapkan hadiah, tanpa mengharapkan pembalasan jasa, yang berjuang dengan mulut diam tapi semangat bernyala-nyala, para pembela bangsa yang gagah perkasa, yang meneteskan darahnya untuk kepentingan rakyat, hingga darah mereka terbawa hanyut oleh arus Sungai Kuning dan darah patriot itu melanjutkan usaha perjuangan yang telah tewas dengan jalan menjadi pupuk bagi sawah ladang pak tani!
Karena keadaan yang sukar hingga untuk mencari pengisi perut agar jangan mati kelaparan saja sedemikian sulitnya, maka di sana-sini muncullah orang-orang yang beriman lemah tapi bertubuh kuat, melebur diri menjadi penjahat-penjahat, perampok, maling, dan tukang pukul bayaran. 3uga banyak muncul bajak-bajak sungai yang siap membajak perahu-perahu yang lewat di daerah mereka.
Di antara para bajak sungai, yang paling terkenal dan ditakuti lawan disegani kawan, ialah seorang bajak tunggal yang disebut orang Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho! Sedari muda, sumber hidupnya dari sepanjang Sungai Huang-ho dengan sebilah pedangnya dan ia belum pernah terkalahkan. Semenjak bajak air yang gagah perkasa ini muncul, maka terjadi perubahan besar dalam lalulintas Sungai Huang-ho, karena Huang-ho Sui-mo mengadakan larangan kepada semua bajak di sepanjang sungai itu agar jangan sekali-kali mengganggu para nelayan dan petani! Tentu saja, mula-mula tidak ada bajak yang sudi menurut aturan yang diadakan ini, tapi mereka yang tidak menurut ini satu persatu dilenyapkan dari permukaan sungai oleh Huang-ho 5ui-mo! Semenjak itu, tiada seorang pun kepala bajak yang berani membantah lagi dan para nelayan dan rakyat kecil menghela napas lega dan dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan aman.
Tapi, Sungai Huang-ho merupakan pantangan bagi pembesar atau orang-orang hartawan yang hendak lewat. Mereka ini baru berani lewat kalau membawa pengawal yang banyak dan kuat.
Pada masa cerita ini terjadi, Huang-ho Sui-mo telah sepuluh tahun lebih mengundurkan diri dari pekerjaan membajak. Tapi biarpun demikian, ia dengan perahunya yang kecil dan setengah tua itu masih nampak hilir mudik dan celakalah mereka yang berani melanggar aturan yang telah ia tetapkan!
Karena bajak air ini telah mengundurkan diri karena telah tua, maka lambat laun sebutan Huang-ho Sui-mo atau Setan Air dari Huang-ho telah menghilang. Bajak tunggal ini pun lalu mengubah julukannya karena ia kini mulai meyakinkan ilmu batin dan menjadi pemeluk Agama To yang banyak dianut oleh orang-orang di sepanjang Sungai Huang-ho. Kini bajak sungai yang gagah perkasa ini disebut orang Thian Bong Sianjin, karena biarpun sudah tua, orang pandai ini masih sering kali mengulurkan tangan menolong sesama hidup sehingga ia sangat dihormati dan dikagumi. Namanya sendiri memang Thian Bong, dan orang-orang yang berhutang budi kepadanya, untuk menyatakan penghargaan mereka, lalu menambahkan julukan Sianjin atau manusia dewa kepadanya.
Pada suatu hari, di dalam hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah, di mana air Sungai Huang-ho mengalir berlenggak-lenggok dan menimbulkan tikungan-tikungan yang benar-benar indah. Di atas permukaan air yang luas itu tampak sebuah biduk kecil yang kedua ujungnya runcing meluncur dengan cepatnya. Keadaan pagi hari itu amatlah indahnya hingga siapa saja yang berada di tempat itu pasti akan merasa bahagia dan riang. Sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah daun pohon, memancar ke atas air sungai yang mengeluarkan embun mengepul ke atas. Warna campuran antara kelabu, hijau daun, dan kuning emas itu merupakan paduan warna yang indah dan menciptakan tamasya alam yang menakjubkan.
Biduk yang meluncur cepat itu dinaiki oleh dua orang. Seorang kakek berpakaian putih dengan jubah pertapaan dan seorang anak perempuan berpakaian putih pula. Kakek itu usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, rambutnya penuh uban dan panjang pula, diikat di atas kepalanya dengan ikat rambut sutera kuning. Di punggungnya tampak gagang pedang menambah kegagahannya. Muka kakek itu licin tidak ditumbuhi kumis maupun jenggot sehingga ia tampak segar dan sehat. Anak perempuan itu berusia kurang lebih dua belas tahun, wajahnya segar dan mungil, sepasang matanya tajam gembira dan ia bernyanyi-nyanyi kecil sambil mendayung. Kalau diperhatikan, maka orang akan merasa terkejut dan heran sekali mengapa biduk kecil itu dapat melaju demikian cepatnya, padahal yang mendayung hanya seorang anak perempuan yang masih kecil!
Siapakah kakek yang gagah dan anak perempuan mungil itu" Dia bukan lain Thian Bong Sianjin sendiri! Dan anak perempuan" itu ialah cucu pungutnya yang juga menjadi muridnya sejak dua belas tahun yang lalu, ketika air Sungai Huang-ho membanjir dan mengamuk ganas sehingga menenggelamkan banyak kampung dan mengorbankan banyak jiwa manusia. Thian Bong Sianjin seperti biasa menggunakan kepandaiannya menolong mereka yang terkena bencana. Di antara sekian banyak orang yang ditolongnya, terdapat seorang anak perempuan yang masih bayi dan berusia paling banyak tiga hari!
Thian Bong Sianjin tidak dapat menemukan orang tua anak ini, dan ia menjadi bingung sekali melihat bayi yang masih merah ini berada dalam pelukannya. Wajah bayi itu sungguh membuat ia terharu dan menarik perhatian serta membangkitkan belas kasihan dalam dadanya sehingga ia mengambil keputusan untuk memungut anak itu menjadi cucunya! Dengan pertolongan orang-orang kampung, ia dapat juga memelihara anak perempuan itu. Dan ia memberi nama anak itu Thian Hwa. Semenjak kecil, Thian Hwa hidup berdua dengan kakeknya dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakeknya yang gagah perkasa ini. Thian Bong Sianjin bukan saja ahli ilmu silat, tapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja ia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tapi juga kuat sekali bertahan dalam air seperti seekor ikan! Thian Hwa si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama kakeknya.
"Thian Hwa, kali ini kau harus menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu. Sanggupkah?" kata Thian Bong Sianjin kepada cucunya.
Thian Hwa tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih. "Mengapa tidak sanggup, Kong-kong" Ketika kita lewat dahulu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Pula, seandainya aku masih belum dapat, aku tidak percaya kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaianmu akan basah kuyup!"
Thian Bong Sianjin tertawa geli mendengar kata-kata cucunya yang cerdik itu.
"Kalau sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, aku tidak mau membantumu, tentu kau tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!" Kakek dan cucunya itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu ber-gemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau.
Tikungan yang disebutkan oleh Thian Bong Sianjin itu memang sangat berbahaya. Ketika sampai di tempat itu, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berben-tuk aneh sebagai binatang-binatang buas. Dan semua ini masih ditambah lagi pu-saran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang tiba-tiba menikung sehingga terjadi aliran bertentangan. Tempat ini telah sangat terkenal bagi para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu, sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. Kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu. Memang bagi yang tidak tahu, tadinya air bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tidak kentara. Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan jika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri. Apalagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu,, tak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi. Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu. Oleh karena ini, maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bilamana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka dan menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.
Maka bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang itu dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim.
Ketika biduk yang didayung Thian Hwa telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Thian Hwa perdengarkan seruan girang. Bibirnya yang kecil merah tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan ditujukan ke air di depan biduknya, sedangkan sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu. Thian Bong Sianjin benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang cucunya dengan tersenyum senang.
Karena aliran air sangat cepat, Thian Hwa tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk dan mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah. Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya
Kini biduk mulai memasuki daerah batu, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air. Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air sehingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila. Tapi makin berbahaya keadaannya, makin Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat, gembiralah Thian Hwa. Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri. Kini tidak mungkin lagi untuk "menumpang" pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran sehingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu. Maka Thian Hwa harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu dan ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang luar biasa.
Tapi sungguh mengherankan betapa anak gadis yang berusia paling banyak dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya! Di suatu tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Thian Hwa kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu, dan tidak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati biduknya! Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu ia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh kakeknya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini. Ia lalu mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan ia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi.
Thian Hwa lalu bangun berdiri lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu, sehingga ia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda! Setelah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, ia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga lwee-kang yang telah mulai dilatihnya.
"Naik!" pekiknya dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu!
"Bagus!" kakeknya memuji tapi ia masih tetap berpeluk tangan! Ia tidak menyangka bahwa cucunya demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu!
Thian Hwa belum puas dengan hasil pertama dan pujian kakeknya ini, karena ia maklum bahwa di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi.
Bahaya ke dua adalah tikungan itu sendiri. Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang sangat kuat dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat kuat untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan! Biduk Thian Hwa bagaikan disam-bitkan ke arah batu karang itu. Tapi dengan berseru keras gadis ini menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak bisa melaju lagi, dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat. Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kiri menolak batu karang itu dan dayung kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu. Maka lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu!
Kini mata Thian Bong Sianjin memancarkan cahaya gembira karena gerakan cucunya tadi memang sempurna yang ia sendiri juga akan melakukannya. Tapi pada saat itu ia berseru, "Awas!" dan tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sebentar saja biduk itu terputar-putar kencang tanpa dapat dikuasai oleh sepasang dayung Thian Hwa lagi! Tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya. Ketika ia melirik ke arah kakeknya, ternyata orang tua itu masih tetap memeluk tangan dengan tenangnya sambil tubuhnya ikut berputar-putar dengan biduk.
Thian Hwa menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia tetap tidak hendak minta tolong kepada kakeknya! Ia lalu melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja! Tubuhnya segera terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, tapi dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kaki perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak menggunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup!
Thian Hwa berdiri di dalam perahunya yang kini terbawa oleh aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga. Ia menghadapi kakeknya lalu berkata.
"Kong-kong, aku dapat melewati Tikungan Maut!"
"Memang kau tadi telah melakukan pekerjaan baik sekali, Thian Hwa, aku ikut girang melihat hasilmu. Tapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!"
Thian Hwa menghela napas. "Memang aku tadi kurang cepat, Kong-kong!" Ia melihat pakaiannya yang basah kuyup itu.
Thian Bong Sianjin lalu mengambil bungkusan pakaian dan melemparkan kepada cucunya. "Nih, lekas tukar pakaian kering."
Kakek itu lalu menggantikan cucunya mendayung dan Thian Hwa tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang kakek itu. Setelah kedua dayung itu berada dalam tangan Thian Bong Sianjin, maka tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka telah maju beberapa belas li jauhnya! Di suatu tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Thian Bong Sianjin tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.
"Kita berlatih di sini, Thian Hwa." katanya lalu dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu. Papanpapan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu. Thian Bong Sianjin lalu melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air dan ia lalu meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi. Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika yang memakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Thian Bong Sianjin menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang!
Thian Hwa juga meniru perbuatan kakeknya dan ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya. Kemudian Thian Bong Sianjin dan cucunya menggerak-gerakkan tubuh ke bawah bagaikan orang hendak berloncat lalu berdiri, dan gerakan ini ternyata mendatangkan tenaga dorong yang keras sehingga papan di bawah kakinya meluncur cepat ke depan. Demikianlah, keduanya bermain di atas. air sehingga tubuh mereka tampaknya seakan-akan sedang berlari-lari cepat di atas daratan saja!
Thian Bong Sianjin melatih cucunya untuk meluncur di atas satu kaki saja, lalu bergerak maju mundur sedemikian lincah dan mudahnya seolah-olah sedang berlagak di atas tanah keras saja. Inilah ilmu meringankan tubuh yang betul-betul luar biasa. Dengan latihan macam ini, maka ginkang gadis cilik itu cepat sekali majunya, dan dengan memiliki kepandaian semacam itu, biarpun harus menyeberangi sungai yang bagaimanapun lebarnya, asal ada dua buah papan, mudah baginya!
Kemudian kakek dan cucunya itu berlatih silat di atas air. Latihan itu membutuhkan tenaga kaki yang luar biasa sehingga dapat melatih kuda-kuda dan gerak kaki yang tetap. Setelah puas berlatih, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya mengunjungi sebuah perkampungan bajak sungai yang dipimpin oleh Ui Hauw yang dijuluki Ular Air. Ui Hauw adalah seorang pemimpin bajak yang tunduk dan taat sekali akan peraturan yang diadakan oleh Thian Bong Sianjin, bahkan setelah Thian Bong Sianjin mengundurkan diri, Ui Hauw boleh dikatakan menjadi penggantinya. Tidak heran bahwa di antara kedua orang ini terdapat hubungan erat dan U i Hauw menganggap Thian Bong Sianjin sebagai orang tua yang sangat dihormati. Pernah dia mohon diterima menjadi murid, tapi ditolak oleh Thian Bong Sianjin, hanya diberi pelajaran beberapa pukulan ilmu silat tinggi! Biarpun hanya menerima sedikit pelajaran, namun Ui Hauw telah menganggap orang tua itu sebagai guru dan menyebutnya "suhu". Boleh dikata sejak mengundurkan diri, segala keperluan Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa dicukupi oleh Ui Hauw ini, maka sering kali Thian Bong Sianjin mengajak cucunya berkunjung ke tempat Ui Hauw.
Ketika mereka tiba di perkampungan di pantai sungai itu, kebetulan sekali di situ sedang diadakan sedikit pesta untuk menggembirakan dan merayakan ulang tahun putera Ui Hauw genap berusia empat belas tahun. Ui Hauw hanya mempunyai seorang putera .yang diberi nama Ui Yan Bun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan dan cerdik sekali. Ketika Thian Bong Sianjin dan cucunya tiba, semua anak-anak tengah berkumpul di situ dan mereka itu sedang mengadakan pemilihan jago dengan mengadakan pertandingan! Melihat hal ini, Thian Hwa segera berlari ke tempat itu dan ikut menonton. Sedangkan Thian Bong Sianjin disambut oleh Ui Hauw yang mempersilakan duduk ke dalam rumah.
Di antara anak-anak yang ikut memasuki pertandingan pemilihan jago, ternyata hanya tinggal dua orang lagi sebagai pemenang, yakni Ui Yan Bun dan seorang anak yang usianya kira-kira lebih tua dua tahun daripadanya. Kini kedua pemenang itu saling berhadapan untuk mengukur tenaga dan kepandaian. Ternyata bahwa keduanya memiliki ilmu silat cukup baik karena kedua-duanya adalah murid dari Ui Hauw sendiri. Namun segera kelihatan bahwa betapapun juga, Ui Yan Bun masih menang tangkas dan cepat sehingga biarpun telah kalah tenaga, dia dapat mendesak lawannya. Kemudian, dengan gerak tipu "Mendorong Pohon Siong Tua", dia berhasil merobohkan lawannya itu dan menerima tepuk sorak dan pujian dari kawan-kawannya.
Thian Hwa belum pernah bertemu muka dengan Yan Bun, karena sesungguhnya Yan Bun baru beberapa hari saja datang di kampung ayahnya. Anak ini oleh ayahnya dikirim kepada peh-pehnya untuk belajar silat, karena memang kakak Ui Hauw yang bernama Ui Tiong memiliki kepandaian silat yang lebih lihai daripada Ui Hauw sendiri. Beberapa bulan sekali Yan Bun pulang ke kampung orang tuanya.
Memang Ui Hauw mempunyai pendapat yang aneh. Dia sendiri adalah seorang kepala bajak sungai yang mempunyai cara hidup kasar, tapi terhadap puteranya ia mempunyai cita-cita yang tinggi. Dia ingin melihat puteranya menjadi seorang gagah yang terhormat dan jangan sampai menjadi seorang bajak seperti dia. Oleh karena inilah maka dia mengirim Yan Bun kepada kakaknya yang tinggal di kota yang membuka warung obat, agar anak ini selain belajar silat, juga dapat mempelajari ilmu surat dan kebudayaan! Mungkin karena berpendirian demikian, maka biarpun menjadi bajak, Ui Hauw adalah seorang bajak yang tidak kejam dan melakukan pekerjaan dengan pilih-pilih dan taat akan peraturan Thian Bong Sianjin.
Demikianlah, maka ketika datang ke situ Thian Hwa ikut menonton pertandingan itu, dan ia belum mengenai Yan Bun. Ia melihat betapa Yan Bun dipuji-puji sebagai jago paling pandai, tiba-tiba menjadi iri dan penasaran. Tanpa terasa lagi ia meloncat ke tengah kalangan dan berkata.
"Siapa bilang anak ini yang terpandai" Masih ada aku di sini!" dan gadis cilik itu berdiri menantang sambil bertolak pinggang! Hampir semua anak yang berada di situ kenal kepada Thian Hwa dan tahu akan kelihaian cucu dari Thian Bong Sianjin ini, maka banyak mulut lalu berseru, "Thian Hwa memang lihai, ia tak terlawan oleh siapa juga!"
Bahkan ada yang berani berkata, "Yan Bun tak mungkin bisa menangkan Thian Hwa!"
Mendengar kata-kata ini Yan Bun mengarahkan sepasang matanya yang tajam kepada gadis cilik itu. Dia marah sekali karena merasa dirinya yang telah menjadi pemenang dan baru saja dipuji-puji, sekarang tiba-tiba dipandang rendah oleh seorang gadis. Tapi, biarpun masih kanak-kanak, Yan Bun telah memiliki jiwa jantan yang tidak mau merendahkan kaum wanita. Biarpun hatinya sedang marah, tapi ia tidak memperlihatkannya kepada Thian Hwa. Dia hanya maju dan berkata.
"Jika kau hendak memberi pelajaran padaku yang bodoh, silakan kau maju." Kemudian ia memasang kuda-kuda yang kokoh kuat sambil menanti serangan lawan, tidak mau sekali-kali mendahului menyerang.
Thian Hwa melengak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa anak laki-laki itu demikian sopan dan pandai membawa diri, jauh berbeda dengan anak-anak lain yang biasanya suka berlaku sombong dan memandang rendah anak perempuan. Juga kuda-kuda yang dipasangnya cukup sempurna dan kuat sehingga diam-diam Thian Hwa merasa kagum dan hatinya menjadi suka kepada Yan Bun.
Thian Hwa tersenyum dan berkata, "Marilah kita coba sebentar."
Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin. Semua anak yang menonton pertandingan ini bersorak gembira sehingga menarik perhatian Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin. Kedua orang tua ini keluar untuk melihat. Mereka keduanya tersenyum melihat betapa Yan Bun dan Thian Hwa bersilat mengadu kepandaian.
"Ah, anak itu baik sekali!" Thian Bong Sianjin memuji ketika melihat gerakan silat Yan Bun. "Bukankah itu anakmu Yan Bun?" Karena hubungan mereka yang erat, Thian Bong Sianjin segera mengenal anak laki-laki kawannya.
Ui Hauw senang sekali mendengar pujian Thian Bong Sianjin.
Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin.
"Ah, dia masih bodoh dan banyak mengharap pimpinan Suhu."
Thian Bong Sianjin mengangguk-angguk. "Anak baik, dia mempunyai bakat yang bersih."
Pada saat itu Thian Hwa mengeluarkan ilmu silat Kauw-jiu Kwan Im atau Dewi Kwan Im Tangan "Sembilan yang belum lama dipelajari. Tipu silat ini adalah gubahan Thian Bong Sianjin sendiri yang sengaja mengubah ilmu silat ini untuk disesuaikan dengan cucunya, karena dia menganggap lebih tepat daripada ilmu silat lain yang kasar. Kauw-jiu Kwan Im memang mempunyai gerakan-gerakan lemas dan membutuhkan kelincahan dan kecepatan. Maka ketika memainkan ilmu silat yang sukar ini, Thian Hwa harus mengerahkan ginkangnya sehingga tubuhnya melesat cepat dan berputar-putar di sekeliling lawannya, membuat Yan Bun merasa bingung karena tiba-tiba dia melihat betapa gadis itu seakan-akan berubah menjadi tiga orang! Namun, dia telah memiliki ilmu silat yang lumayan juga sehingga dia masih dapat mempertahankan diri dari desakan Thian Hwa.
"Yan Bun, berhenti!" teriak Ui Hauw. Kedua anak itu mendengar teriakan ini dan segera meloncat mundur. "Yan Bun, jangan kurang ajar, lihat siapa yang datang ini?"
Yan Bun memandang dan ia masih ingat kepada kakek yang dulu sering mengajar ayahnya bersilat, maka dia lalu maju berlutut sambil memanggil, "Su-kong!"
Thian Bong Sianjin mengangkat bangun anak ini sambil tertawa. "Yan Bun, kau telah banyak maju!"
Ui Hauw berkata kepada anaknya. "Tahukah kau siapa yang kauajak bertanding tadi" Ia adalah cucu dari Su-kongmu! Maka kau bisa melawannya?"
Thian Hwa telah sering berkunjung ke tempat itu dan kenal baik kepada Ui Hauw tadi, ia segera berkata, "Aah, Ui Peh-peh selalu memuji-muji saja!"
Thian Bong Sianjin gembira sekali melihat kemajuan ilmu silat Yan Bun, maka dia segera bertanya kepada Ui Hauw. "Tidak tahu apakah dia juga mempelajari ilmu dalam air?"
Ui Hauw menjawab."Sedikit-sedikit dia pernah teecu latih sendiri. Apalagi rumah Peh-pehnya dekat dengan sebuah telaga yang cukup dalam sehingga dia sering berlatih renang di sana."
Kakek tua itu makin gembira, lalu dia berkata kepada cucunya.
"Thian Hwa, coba kauajak Yan Bun berlomba berenang menyeberang sungai itu."
Thian Hwa merasa gembira sekali karena ia menduga bahwa biarpun dalam ilmu silat ia hanya menang sedikit, namun dalam hal ilmu dalam air ia tidak usah takut kalah! Maka ia segera menghampiri Yan Bun dan berkata. "Mari, Ui-twako, kita mencoba kepandaian renang kita."
Yan Bun memandang gadis cilik itu dengan heran. Dia tadi sangat kagum karena ternyata ilmu. silat anak gadis itu tidak lebih rendah daripadanya, bahkan kalau dia boleh berkata terus terang, dia harus mengakui keunggulan Thian Hwa! Kini ternyata gadis cilik lnl pandai pula berenang, karena kalau tidak pandai, tidak nanti dia berani menantangnya demikian gembira. Dia makin merasa takluk kepada Thian Bong Sianjin dan diam-diam mengiri terhadap keberuntungan Thian Hwa yang sudah terpilih menjadi murid kakek berilmu tinggi itu.
Setelah keduanya tiba di tepi sungai dengan diikuti oleh semua anak-anak dan orang-orang kampung, para anggauta bajak yang kini merasa tertarik dan ikut menonton, tidak ketinggalan pula Thian Bong Sianjin dan Ui Hauw sendiri, Thian Hwa lalu berlari bersembunyi untuk berganti pakaian. Ketika ia datang lagi, ia telah memakai pakaian yang serba ringkas dengan mulut celana yang dapat diikatkan pada pergelangan kakinya dan lengan baju yang pendek sampai ke siku. Dengan pakaian ini ia dapat bergerak lebih leluasa di dalam air. Semua orang memandang dengan kagum.
Kemudian, setelah Yan Bun juga siap sedia, keduanya lalu terjun ke air berbareng dan berenang dengan cepat menyeberang! Air di bagian itu tenang saja, tapi sangat dalam dan sangat lebar sehingga untuk menyeberang sekali saja, bagi orang-orang yang tidak terlatih baik akan terasa lelah sekali, jangan kata bagi mereka yang tidak pandai berenang! Tapi kedua anak itu ternyata benar-benar pandai karena mereka berenang dengan cepat dan sepasang kaki dan tangan mereka berpusing-pusing bagaikan kitiran dan membuat air sungai berbuih keputih-putihan di dekat tangan dan kaki!
Perlombaan renang ini mendatangkan kegembiraan besar dan semua anak bersorak-sorak menjagoi pilihan masing-masing, tapi sebagian besar anak lelaki menjagoi Yan Bun sedangkan anak-anak perempuan tentu saja memilih Thian Hwa. Dan ternyata mereka berdua tiba di pantai sebelah sana dengan waktu yang hampir bersamaan dan segera mereka berbalik dan kini mereka berenang sambil menyelam. Semua anak yang menonton pertunjukan ini menahan napas karena kini kedua jagoan mereka lenyap dari permukaan air! Sampai lama sekali tidak nampak keduanya muncul dari bawah air, seakan-akan mereka sengaja bertahan dan tidak mau muncul lebih dahulu!
Setelah lewat lama sekali, barulah tampak Yan Bun muncul ke permukaan air sambil terengah-engah karena terlalu lama dia menahan napas! Anak-anak perempuan yang menjagoi Thian Hwa bersorak riuh karena munculnya Yan Bu ini mereka anggap sebagai kemenangan bagi Thian Hwa yang. ternyata lebih kuat bertahan di bawah permukaan air! Tapi sampai lama ditunggu, belum juga Thian Hwa tampak muncul! Yan Bun merasa heran sekali, karena mungkinkah gadis itu dapat bertahan selama itu di dalam air" Ah, tidak mungkin! Andaikata lwee-kang gadis itu sudah sangat tinggi dan kuat, rasanya tidak mungkin ia dapat menahan napas selama itu. Tapi, karena dalam hal bertahan diri di dalam air dia merasa dikalahkan, Yan Bun lalu keluarkan kepandaian berenangnya yang paling cepat untuk mendahului tiba di tepi. Benar saja, ia dapat mencapai tepi lebih dahulu dengan disambut sorakan ramai.
Tapi kini orang-orang gelisah karena Thian Hwa belum juga tampak muncul! Bahkan Ui Hauw sendiri menjadi gelisah dan tidak tahan lagi untuk tidak bertanya kepada Thian Bong Sianjin. "Suhu, apakah benar-benar Thian Hwa dapat bertahan sedemikian lamanya?" Karena Ui Hauw Si Ular Air sendiri tak sanggup untuk berdiam di dalam air sedemikian lamanya!
Thian Bong Sianjin yang semenjak tadi hanya tersenyum saja, ketika mendengar kata-kata Si Ular Air ini tertawa terkekeh-kekeh, lalu menuding ke arah air sambil berkata. "Ha, kau juga kena dikelabuhi" Lihatlah batang jerami itu! Pernahkan melihat batang jerami bisa berenang?"
Ui Hauw memandang dan dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, batang jerami yang menonjol di permukaan air dan semenjak tadi bergerak ke arah tepi, telah tiba di tepi dan tampaklah kini kepala Thian Hwa yang segera muncul. Wajah gadis itu berseri-seri dan pada mulutnya tergigit sebatang jerami panjang. Jadi ternyata gadis yang sangat cerdik ini telah mengalahkan Yan Bun dalam bertahan di bawah air dengan menggunakan akal, yakni ia menggigit batang jerami yang berlubang dan dengan telentang ia dapat berenang di bawah air seenaknya karena dapat bernapas melalui batang jerami yang berlubang itu!
Semua orang tertawa dan memuji gadis itu, terutama Ui Hauw merasa kagum dan gembira sekali.
"Suhu, bukankah cucumu itu cocok sekali kalau kelak menjadi jodoh putera teecu?" katanya perlahan. Thian Bong Sianjin hanya tertawa saja, tapi tidak menjawab sesuatu, karena pada saat itu dia belum memikirkan tentang hal itu.
Karena sayang dan suka kepada Yan Bun, sejak saat itu Thian Bong Sianjin sering sekali datang ke kampung Ui Hauw untuk memberi pelajaran silat kepada Yan Bun, sehingga boleh dibilang semenjak saat itu murid Thian Bong Sianjin menjadi dua orang, yakni Thian Hwa sendiri dan Yan Bun. Kakek tua itu tidak pilih kasih dan ia memberi pelajaran kepada Yan Bun dengan sungguh-sungguh, bahkan pelajaran yang diterima oleh Yan Bun jauh lebih banyak daripada yang pernah dia berikan kepada Ui Hauw. Yan Bun memang berotak terang, maka dia dapat menguasai semua pelajaran yang diberikan itu dengan baik sehingga mendapat kemajuan pesat sekali. Malah kini dia dapat ikut bersilat di atas air dengan menggunakan papan terompah air bermain-main dengan Thian Hwa.
Hubungan kedua anak itu menjadi erat, karena Thian Hwa suka kepada Yan Bun yang bersikap lemah-Iembut, sopan-santun dan pandai pula berkelakar. Sebaliknya, sudah semenjak pertemuan pertama, Yan Bun kagum sekali kepada Thian Hwa yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak ada nomor duanya di dunia ini!
Berkali-kali, apabila melihat hubungan kedua anak itu demikian baiknya, Ui Hauw mengutarakan pikirannya untuk menjodohkan keduanya, tapi selalu Thian Bong Sianjin tidak mau menyatakan persetujuannya, walaupun dia juga tidak menyatakan ketidaksukaannya akan usul ini. Hanya satu kali pernah dia berkata kepada Ui Hauw, "Tentang hal itu, aku tidak berpendirian kukuh. Biarlah hal itu diputuskan sendiri oleh Thian Hwa. Anak itu berdiri sendiri di dunia ini, maka segala hal yang menyangkut dirinya, biarlah dia sendiri mengambil keputusan, aku orang tua yang hanya sebentar lagi berada di dunia ini cukup mengamat-amati saja."
Mendengar keterangan yang bersifat pernyataan isi hati kakek ini, Ui Hauw maklum. Dia tahu bahwa Thian Hwa bukanlah cucu gurunya sendiri, sedangkan dia tahu pula bahwa kakek tua itu berhati mulia dan penuh belas kasih hingga untuk kebahagiaan orang lain, dia sendiri rela berkorban. Apalagi untuk menjaga kebahagiaan Thian Hwa yang dikasihi, dia tentu tidak perdulikan perasaan hatinya sendiri dan menyerahkan saja kepada anak itu agar tidak sampai salah pilih.
Telah beberapa kali Thian Hwa bertanya kepada kakeknya tentang ayah ibunya, karena gadis ini setelah besar mengerti bahwa selain kakeknya, ia tentu mempunyai seorang ibu dan ayah. Jika ditanya kakeknya selalu memberi jawaban menyimpang sehingga Thian Hwa menjadi penasaran. Pernah gadis itu berkata, "Kong-kong, kalau memang ayah ibuku telah meninggal dunia, katakanlah saja. Tapi kalau mereka masih hidup, bawalah aku bertemu dengan mereka." Gadis yang semenjak kecilnya tidak pernah menangis ini ketika mengajukan pertanyaan, dari kedua matanya mengalir air mata membasahi pipinya. Tapi ia dapat menetapkan hatinya yang keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.
Thian Bong Sianjin ketika ditanya dan mendengar sesalan cucunya ini, menghela napas panjang. Memang dari dulu dia telah maklum bahwa pada suatu saat pasti datang pertanyaan ini dan kalau sudah tiba waktunya, tak mungkin lagi dia dapat membohongi anak itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Thian Hwa, tapi pada malam dia menolong dan merawat Thian Hwa, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang menangis sedih dan berlutut kepadanya sambil berkata, "Inkong, peliharalah anakku baik-baik...." Thian Bong Sianjin masih ingat betul bahwa wanita muda itu wajahnya cantik dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat hitam. Tapi hal itu disimpannya sebagai rahasia sendiri dan tidak pernah menuturkannya kepada orang lain.
Setelah usia Thian Hwa meningkat sehingga sukar untuk dibohongi lagi, terpaksa dia menjawab. "Thian Hwa, memang kau masih mempunyai ayah dan ibu!"
"Mendengar kata-kata itu, gadis itu berdiri dan merangkul kakeknya untuk menyembunyikan matanya yang telah basah di pundak kakeknya itu. Dan terbayanglah lagi wajah wanita muda di depan mata Thian Bong Sianjin. Dia masih teringat bahwa wanita itu memakai pakaian yang mewah seperti orang berpangkat.
"Di mana mereka, Kong-kong" Di mana7" Thian Hwa bertanya sambil tersenyum dan wajah yang berseri-seri.
"Sabarlah, Thian Hwa. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka itu' Ketahuilah, aku... aku bukanlah kakekmu sejati. Kau kutemukan di... dan... dan aku pun tidak tahu siapa orang tuamu."
Wajah yang berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram bagaikan api bernyala disumbu lilin tiba-tiba tertiup padam. "Kalau begitu... Kong-kong... mari kita cari mereka...."
Thian Bong Sianjin lalu memeluk muridnya yang baru berusia tiga belas tahun itu. "Thian Hwa, kau sabarlah. Apa kau-kira aku tidak suka melihat kau berjumpa dengan kedua orang tuamu" Aku mendidik kau menjadi orang pandai juga dengan maksud agar kelak kau dapat mencari mereka! Tapi nanti, kalau kau sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian tinggi. Sekarang kau belajarlah dengan tekun dan rajin, kelak tentu akan tiba masanya aku melepaskan kau pergi mencari orang tuamu."
Tubuh Thian Hwa menggigil dalam pelukan kakeknya, tanda bahwa anak itu menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan isak tangisnya. Thian Bong Sianjin menghela napas. Sungguh hebat luar biasa sekali anak ini, pikirnya dengan kagum.
Semenjak itu, Thian Hwa tekun mempelajari ilmu silat tinggi, bersama-sama Yan Bun sehingga tingkat kepandaian mereka saling susul dan tidak berbeda jauh. Yan Bun tumbuh menjadi seorang pemuda yang sabar, hati-hati dan sebelum bertindak selalu mengadakan perhitungan tepat dan cermat, tapi Thian Hwa menjadi seorang gadis yang sangat pemberani dan bebas. Mungkin hal ini terjadi karena memang semenjak kecil ia hidup berdua dengan kakeknya, lepas bebas sebagai seekor burung di udara, dan dalam pada itu, selalu segala macam bahaya dan kesukaran ia pecahkan sendiri karena memang disengaja oleh Thian Bong Sianjin untuk membiarkan gadis itu menghadapi segala kesukaran dengan tenaga sendiri, dan baru ditolongnya kalau memang perlu ditolong! Karena inilah, maka watak Thian Hwa selain keras dan jujur, juga sangat pemberani dan percaya penuh akan kemampuannya sendiri.
Pada suatu hari, ketika seperti biasanya Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa mengunjungi perkampungan Ui Hauw, mereka mendapatkan kampung itu dalam persiapan dan Ui Hauw ta.mpak berwajah muram. Thian Bong Sianjin merasa heran sekali dan baru saja dia dan cucunya mendarat, Ui Hauw menyambutnya dengan penuturan sebuah peristiwa yang membuat Thian Hwa menjadi marah sekali.
Semenjak Thian Bong Sianjin mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pekerjaannya sebagai bajak tunggal, maka peraturan yang dia tetapkan bagi semua bajak di Sungai Huang-ho tetap diindahkan dan ditaati semua bajak besar kecil. Terutama karena mereka semua itu mendengar bahwa Si Ular Air Ui Hauw yang dianggap sebagai pengganti Thian Bong Sianjin yang dulu disebut Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho, terkenal sebagai seorang gagah yang mengutamakan keadilan dan kegagahan dan tetap mentaati peraturan yang ada.
Akan tetapi, karena Ui Hauw kini jarang sekali meninggalkan perkampungannya yang kini menjadi kampung tetap, dan boleh dikata tak pernah kepala bajak itu mendayung perahunya lagi menjelajah sepanjang sungai, lambat laun kekuatan para bajak makin lemah dan di sana-sini terjadi pelanggaran-pelanggaran. Ada kumpulan bajak yang sengaja mengganggu perahu-perahu nelayan dan merampas hasil-hasil yang didapatnya, bahkan ada yang merampok ikan-ikan yang didapat dengan bekerja keras sehari semalam oleh tukang-tukang ikan itu!
Baru beberapa bulan akhir-akhir ini, di permukaan Sungai Huang-ho timbullah nama baru yang cukup menggemparkan dan yang seakan-akan mendesak ke samping nama Ui Hauw yang telah lama seakan-akan tidak aktif lagi itu. Memang, sudah lama sekali Ui Hauw mengajar anak buahnya untuk mendapatkan hasil dengan cara menangkap ikan dan bertani di pinggir sungai yang tanahnya subur itu, sehingga mereka kini boleh dibilang menjadi nelayan-nelayan dan petani-petani yang pandai dan hidup damai! Nama baru ini ialah Ma Tek San yang digelari orang Tiat-thou-kim-go atau Buaya Emas Kepala Besi! Orang she Ma ini tadinya adalah seorang perampok, tetapi karena kekurangan hasil, lalu menceburkan diri dalam kalangan pembajakan dan menjadi seorang bajak yang ganas. Karena kepandaian silatnya yang tinggi, ditambah pula memang dia pernah mempelajari ilmu dalam air, maka sebentar saja dia dapat mengangkat dirinya menjadi kepala dan pengikut-pengikutnya adalah orang-orang yang sifatnya sesuai dengan dia, yakni kejam dan berani mati.
Karena baru saja muncul dari bidang pekerjaan lain, yakni merampok, maka Ma Tek San tidak pernah bertemu muka dengan Ui Hauw dan karenanya tidak menaruh hormat sedikitpun juga. Dia membajak sesuka hatinya, bahkan berani melanggar wilayah atau daerah dari bajak-bajak lain hingga terjadi pertempurran-pertempuran. Tetapi selama ini belum pernah ada bajak lain yang sanggup mengalahkannya, maka sebentar saja namanya menjadi terkenal dan sangat ditakuti. Walaupun demikian, Ma Tek San juga mendengar tentang nama besar Ui Hauw sehingga dia belum berani main-main atau coba-coba mengganggu wilayah orang she Ui itu.
Tapi pada dua hari yang lalu, mulailah Si Buaya Emas itu beraksi! Dan sekali ia beraksi, dia tidak mau kepalang-tanggung lagi! Dia telah mengganggu dan merampas semua ikan dari empat orang nelayan yang bukan lain adalah anak buah Ui Hauw sendiri! Ini masih belum hebat, yang lebih menyakitkan hati ialah bahwa dua orang di antara yang empat itu telah mati terbunuh, sedangkan yang dua lagi kalau tidak memiliki kepandaian berenang yang cukup tinggi, tentu akan terbunuh pula. Mereka inilah yang datang memberi laporan kepada Ui Hauw dan menceritakan betapa Ma Tek San dengan sombongnya menantang.
"Kalau kalian memang betul anak buah bajak kecil Ui Hauw itu, katakan padanya bahwa kalau dia ingin tahu keberanian Tiat-thou-kim-go, biarlah kutunggu dia di Tikungan Maut!"
Ternyata bahwa rombongan bajak baru yang dipimpin oleh Ma Tek San ini telah menjelajah sampai di Tikungan Maut dan agaknya hendak menguasai dan merampas daerah yang subur di mana Ui Hauw dan anak buahnya tinggal. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar sekali, karena tidak saja Ma Tek San telah melanggar pantangan merampok dan membunuh nelayan, juga telah berani membunuh anak buah Ui Hauw dan mengeluarkan tantangan! Juga semua anak buah Ui Hauw marah sekali dan mereka bersiap untuk menyerbu ke Tikungan Maut.
Mendengar berita ini, Thian Bong Sianjin yang sudah tua itu menggunakan tangan kanan mengusap-usap jenggotnya dan tersenyum getir.
"Aku orang tua sudah tiada guna, maka ada orang yang berani berlaku sewenang-wenang dan menjalankan kejahatan di depan mataku. Kalau hal ini kudiamkan saja, maka akan kotorlah Sungai Huang-ho dan percuma saja aku hidup puluhan tahun di permukaan air ini! Biarlah aku mewakili kalian menghajar buaya kecil itu."
"Suhu, yang dihina oleh buaya itu adalah teecu, maka biarkanlah teecu sendiri yang mencoba sampai di mana keperkasaan buaya yang sombong itu. Suhu tidak usah mencapaikan diri turun tangan sendiri." kata Ui Hauw yang merasa sangat sakit hati terhadap orang she Ma itu.
"Ayah, ada aku anakmu di sini, mengapa kau orang tua hendak turun tangan sendiri" Kurasa, kalau hanya orang macam dia itu saja, aku yang telah menerima pelajaran dari Ayah dan Sukong masih sanggup melawannya." kata Yan Bun dengan gagah. "Berilah aku beberapa orang saudara yang pandai dan gagah berani, dan aku akan tangkap buaya itu dan menyeretnya ke sini."
"Kong-kong dan Ui Peh-peh. Memang betul kata Ui-twako tadi. Hal seremeh ini tak perlu harus membuat Kong-kong atau Peh-peh kesal hati. Untuk memukul anjing kecil tak perlu memakai tongkat besar. Dan juga, kurasa tak perlu Ui-twako harus repot-repot membawa banyak kawan. Hal ini hanya akan merendahkan nama kita saja. Cukup Ui-twako dan saya pergi dan tanggung bereslah beberapa ekor buaya kecil itu!" demikianlah kata Thian Hwa yang sangat jumawa dan berani itu.
Ui Hauw maklum bahwa kepandaian Yan Bun dan Thian Hwa telah melampaui kepandaiannya sendiri dan jauh lebih tinggi, maka kalau kedua anak muda itu yang pergi, akan lebih kuat daripada kalau dia sendiri yang pergi, tetapi dia merasa tidak enak hati untuk melepas kedua anak muda yang belum berpengalaman itu menghadapi seorang penjahat licin seperti Ma Tek San. Karena inilah, maka dia merasa ragu-ragu.
Tiba-tiba Thian Bong Sianjin tertawa besar. "Ha-ha-ha! Sikap kalian ini membuat aku teringat akan masa mudaku ketika kami beberapa hohan menjadi barisan gerilya mengacau pertahanan kubu-kubu tentara Manchu. Tiap kali ada pekerjaan mengadu nyawa, kami selalu berebut untuk melakukannya! Sekarang kalian berebut untuk mencari pahala, ha-ha! Memang beginilah seharusnya laku orang-orang gagah! Ui Hauw, biarlah. Kaulepaskan kedua anak muda ini, biar mereka mendapat pengalaman baru."
"Tapi, Suhu. Mereka ini masih belum berpengalaman, teecu merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak oleh tipu muslihat buaya itu."
"Jangan cemas, aku sendiri akan mengamat-amati mereka, sekalian melihat siapakah sebenarnya orang kurang ajar itu." Mendengar bahwa orang tua itu sendiri hendak ikut pergi dengan kedua anak muda itu, tenanglah pikiran Ui Hauw. Tetapi, biarpun dia dan anak buahnya tak berani membantah, namun di dalam hati mereka itu kurang puas karena tidak dapat menghantam musuh yang dibenci itu dengan tangan sendiri.
Sementara itu, Yan Bun dan Thian Hwa segera pergi ke sungai bersama Thian Bong Sianjin. Mereka bertiga naik perahu kecil yang biasa dinaiki Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa. Kakek tua itu duduk di tengah-tengah sambil berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan Yan Bun di belakang dan Thian Hwa di depan mengayuh biduk kecil itu dengan cepat sekali menuju ke Tikungan Maut.
Kedatangan biduk kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek dan dua orang anak muda itu cepat sekali diketahui oleh Ma Tek San yang telah menyebar mata-matanya di sepanjang sungai. Dia lalu bersiap karena mendengar bahwa yang datang itu adalah utusan-utusan dari Ui Hauw hingga dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian. Tetapi sedikit pun dia tidak takut, karena sesungguhnya yang membuat dia berani mengganggu anak buah Ui Hauw adalah karena kedatangan suhengnya yang ikut menggabungkan diri padanya. Suhengnya ini adalah seorang hwesio gundul bernama Lauw Keng Hwesio. Karena melakukan pekerjaan terkutuk, di antaranya mengganggu anak bini orang dan merampok, dia dimusuhi oleh orang-orang gagah dari kotanya sehingga terpaksa dia melarikan diri. Kemudian pendeta palsu ini mendengar tentang adik seperguruannya yang kini menjadi kepala bajak yang makmur, maka segera dia menyusul dan ikut membonceng adik seperguruannya itu. Tentu saja Ma Tek San merasa girang sekali karena dengan adanya suhengnya ini, kedudukannya semakin kuat sehingga dia tak perlu lagi takut kepada Ui Hauw.
Thian Bong Sianjin dan kedua anak muda yang naik biduk kecil itu tahu bahwa biarpun tikungan itu nampak sunyi-sunyi saja, namun di kedua tebing sungai yang curam itu, di atas batu-batu karang yang tinggi di kanan kiri, tampak bergerak orang-orang bersembunyi di balik batu. Tetapi baik kakek tua itu dan kedua anak muda itu, mereka tenang-tenang saja seakan-akan tidak ada sesuatu yang mengancam keselamatan mereka. Kalau dulu Thian Hwa masih harus menggunakan seluruh kepandaian untuk membawa biduknya melalui Tikungan Maut itu dengan selamat, kini gadis itu sudah biasa lewat di situ dan dapat melalui segala bahaya tikungan itu dengan mudah. Apalagi sekarang ada Yan Bun yang membantunya, maka ketika biduk kecil melewati tikungan itu, biarpun air datang menghantam dari depan sangat cepat dan kuatnya, namun keduanya dapat membawa biduk menerjang aliran air dan menikung dengan selamat. Bahkan putaran-putaran air itu tak berdaya mengganggu biduk yang didayung oleh dua orang muda yang memiliki kepandaian dan tenaga yang terlatih hebat. Melewati sungai yang penuh batu-batu karang, biduk itu sedikit pun tidak bergoncang hingga Thian Bong Sianjin yang tampak tidur sambil duduk di tengah-tengah perahu sama sekali tidak merasa apa-apa!
Puluhan pasang mata mengintai biduk kecil itu dari kedua tebing sungai, di atas batu-batu karang yang tinggi. Mereka kagum dan heran sekali mengapa ada biduk kecil yang dapat menerjang arus sungai dan mudik melalui tikungan yang demikian berbahaya, sedangkan untuk membawa perahu dengan selamat ke hilir saja adalah pekerjaan yang dapat mendatangkan maut!
Tiba-tiba dari kedua tebing tinggi jatuh batu-batu berhamburan menimpa biduk kecil itu. Ini adalah akal keji dari Ma Tek San yang hendak menghancurkan utusan musuhnya dengan sekali serang. Memang keadaan mereka bertiga dalam biduk itu sangat berbahaya. Datangnya batu-batu yang dilemparkan ke bawah bagaikan hujan! Jangan kata mereka dapat bahaya, terkena batu saja pun tidak. Andaikata biduknya sampai terbalik, sukarlah menolong jiwa penumpangnya di tempat bahaya itu.
Tetapi biarpun keadaan demikian berbahaya, Thian Bong Sianjin masih saja berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan kedua anak muda itu dengan tenang lalu memperlihatkan kepandaiannya. Thian Hwa melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan lebar, lalu menggunakan sutera ini untuk diputar sedemikian rupa di atas kepala mereka bertiga sehingga dari atas putaran sabuk itu merupakan perisai putih ber-bentuk bundar yang kuat sekali, karena setiap batu yang jatuh menimpa putaran itu lalu terpental jauh! Inilah tenaga lweekang yang tinggi, hingga sabuk sutera itu merupakan senjata penangkis yang sangat kuat dapat menangkis setiap batu yang datang menimpa mereka. Dengan adanya payung sabuk ini, maka Yan Bun dapat bekerja dengan tenang. Dia dayung terus biduk kecil itu lewat di antara batu-batu karang yang menonjol.
Akhirnya anak buah Ma Tek San yang menghujani batu itu menghentikan serangan mereka dan kini tiba-tiba di depan biduk kecil itu muncullah puluhan perahu cat hitam dipasang malang-melintang memenuhi permukaan sungai. Mereka muncul dari belakang rumput sungai yang tumbuh di kanan kiri sungai. Di tiap perahu duduk empat orang yang semuanya berikat kepala hitam dan berbekal senjata tajam. Sikap mereka ganas dan menakutkan.
Thian Bong Sianjin membuka kedua matanya dan memandang sambil tersenyum. Dia lalu berkata kepada Yan Bun dan Thian Hwa.
"Lebih baik tinggalkan aku sendiri di dalam perahu dan kalian boleh menyambut mereka." Habis berkata demikian, Thian Bong Sianjin mengambil tombak pendek dan diikatnya dengan tali yang kuat yang sudah tersedia di dalam biduk,
Kemudian dengan menjepit tombak itu di antara dua jarinya, dia luncurkan tombak ke bawah. Tombak itu meluncur cepat ke dalam air dan menancap di dasar sungai. Inilah cara Thian Bong Sianjin melepas jangkar perahu untuk menahan perahu itu hanyut terbawa air. Kemudian kakek itu duduk saja di situ dengan seenaknya, sambil memandang sepak terjang kedua muridnya.
Yan Bun dan Thian Hwa lalu mengeluarkan papan terompah air mereka dan sebentar kemudian semua anggauta bajak itu berseru kaget dan terheran-heran ketika melihat betapa pemuda dan gadis yang di dalam perahu itu kini berlari-lari cepat di atas air menuju ke tempat mereka! Memang dari jauh papan di bawah kaki kedua anak muda itu tidak tampak dan mereka seolah-olah berlari atau melayang di permukaan air.
Ketika sudah datang dekat, tahulah mereka bahwa kedua anak muda itu menggunakan papan sehingga mereka menjadi takjub sekali. Dari dalam perahu bajak yang terbesar, berdirilah dua orang yang bertubuh tinggi besar. Seorang di antaranya adalah Ma Tek San yang berpakaian serba hitam dengan golok besar di tangannya, sedang di sebelahnya berdiri seorang hwesio gundul yang matanya jelilatan ke sana kemari, sedangkan mulutnya tersenyum menyeringai. Kedua orang ini biarpun kagum juga melihat pertunjukan ginkang luar biasa ini, namun mereka tidak mau memperlihatkan kekagumannya seperti anak buah mereka.
"Hai, kalian anak-anak muda yang berada di depan apakah utusan dari Ui Hauw Si Ular Air?" terdengar Ma Tek San membentak dengan sombong.
"Kami memang utusannya." jawab Yan Bun, tetapi Thian Hwa lalu menambahkan cepat-cepat.
"Kami datang mewakili Ui Peh-peh untuk, menyeret buaya kecil yang mengotorkan perairan Huang-ho!"
Kata-kata ini disambut oleh luncuran enam batang tombak ke arah kedua anak muda itu dari kanan kiri!
"Bagus!" seru Thian Hwa dan Yan Bun berbareng, dan Yan Bun segera miringkan tubuh berkelit dari serangan sebatang tombak, kemudian menangkap sebatang tombak ke dua dan yang ke tiga ia sam-pok dengan tangan kanan jatuh ke dalam air! Tetapi Thian Hwa tidak mau berlaku sungkan. Gadis ini menggunakan kedua tangan menangkap dua batang tombak dan tombak ke tiga yang menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas dan ketika tombak itu meluncur turun, ia sabet dengan tombak yang terpegang olehnya hingga meluncur cepat kembali ke tempat ia dilepas dan menancap ke sebuah perahu dengan kencangnya!
Tentu saja ketangkasan kedua anak muda itu tak tersangka-sangka oleh mereka semua, maka kembali dari mulut para anak buah bajak itu terdengar seruan kagum.
"Dan kau yang berbaju hitam apakah buaya kecil she Ma?" Thian Hwa balas bertanya.
Ma Tek San mengangkat dada dan berkata. "Aku adalah Tiat-thou-kim-go Ma Tek San dan ini adalah suhengku Lauw Kang Hwesio!" Dan. kata-kata ini disambut oleh Yan Bun dan Thian Hwa dengan lontaran tombak di tangan mereka. Yan Bun melontarkan tombaknya ke arah perahu yang memuat pelontar tombak yang menyerangnya tadi, sedangkan Thian Hwa pun menggunakan sebatang tombak untuk mengirim kembali kepada penyerangnya tadi. Lemparan mereka jauh lebih cepat dan hebat daripada tadi, juga gerakan mereka sangat cepat hingga tidak terduga, maka segera terdengar teriakan-teriakan ngeri dari kedua perahu itu yang menyatakan bahwa serangan itu mendatangkan korban!
Bukan main marahnya Ma Tek San melihat hal ini. Dia perintahkan orangnya mendayung maju perahunya dan sambil menggunakan golok untuk menuding ia berseru, "Bangsat kecil tak tahu diri! Kalau belum mampus kalian kena golok ini aku belum akan puas!"
"Kau bangsat besar yang bermulut besar pula! Terimalah tombak ini!" Thian Hwa melempar tombaknya ke arah orang she Ma itu dengan keras. Tetapi ternyata bahwa Buaya Emas Kepala Besi itu tangkas dan kuat juga, Dengan goloknya yang berat dan besar dia tangkis tombak itu hingga meleset ke pinggir dan masuk ke dalam air. Melihat kepala mereka mulai beraksi, semua perahu bajak bergerak cepat dan mengurung kedua anak muda itu.
"Bangsat-bangsat kecil, sebelum darahmu mengalir dengan air Sungai Huang-ho, beritahukan dulu nama kalian." teriak Ma Tek San.
Seri Huang Ho Sianli 1
Dewi Sungai Kuning
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber djvu : Abu Keisel http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Jilid II YAN BUN menjawab dengan tenang. "Aku adalah Ui Yan Bun, putera dari Ui Hauw, dan aku datang mewakili Ayahku. Dan ini...."
Tetapi Thian Hwa mendahuluinya. "Dan aku adalah Huang-ho Sian-li, Dewi Sungai Huang-ho yang datang hendak menangkap buaya kecil berkepala busuk!"
"Perempuan rendah, kau akan kubunuh lebih dulu!" teriak Ma Tek San dengan marah sekali.
Yan Bun yang lebih berhati-hati dan tahu bahwa dengan sampokan ketika menangkis lontaran tombak Thian Hwa tadi maka ternyata bahwa kepala bajak itu memiliki tenaga besar dan kepandaian yang luar biasa juga, maka dia merasa bahwa kalau harus melayani pengeroyokan itu di atas papan terompah air, mereka tidak akan leluasa sekali. Maka dia lalu berkata kepada Thian Hwa, "Thian-moi, marilah kita mendarat saja."
Sebenarnya, gadis itu tidak jerih sama sekali walaupun harus melayani mereka semua di atas papan terompah air, tetapi karena ia maklum bahwa Yan Bun memang belum mahir seperti dia menggunakan kepandaian itu, dan untuk membantahnya ia takut kalau-kalau membikin malu Yan Bun, maka ia lalu berkata keras, "Hei, bajak-bajak kecil, kalau mau tahu kegagahan kami, kalian naiklah ke darat!"
"Kalian telah terkurung, bagaimana hendak mendarat?" Ma Tek San tertawa mengejek dan memberi isyarat untuk menyerbu. Maka perahu-perahu itu meluncur datang dan ujung-ujung senjata mereka digerakkan untuk menyerang Thian Hwa dan Yan Bun. Kedua anak muda itu telah bersiap dan keduanya telah mencabut pedang mereka. Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air, maka kedua anak muda itu lalu menggerakkan tubuh dan melompati perahu yang telah kosong itu untuk melepaskan diri dari kepungan, lalu dengan enak sekali mereka menuju ke tepi!
Ma Tek San dengan marah mengejar ke tepian bersama suhengnya. Ketika kepala bajak itu dan suhengnya serta orang-orangnya telah berada di tepi sungai, tiba-tiba seorang anak buah bajak menunjuk ke arah perahu Thian Bong Sianjin.
Ma Tek San yang memang berwatak curang dan licin segera memberi perintah kepada orang-orangnya, "Tangkap orang tua itu dan bawa dia ke sini, tapi jangan lukai dia!" Kepala bajak she Ma ini telah dapat menduga bahwa kedua anak muda utusan dari Ui Hauw itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat, maka ia telah mengambil keputusan jika dia dan suhengnya kalah, akan mengeroyoknya. Tetapi orang tua dalam perahu itu mungkin akan kabur dan memberi laporan kepada Ui Hauw hingga datang bala-bantuan, karena itu lebih baik orang tua itu ditawan lebih dulu!
Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air.
Mendengar perintah Ma Tek San ini, beberapa orang bajak dalam tiga buah perahu segera mendayung perahu ke arah perahu kecil di mana Thian Bong Sianjin masih duduk berpeluk tangan tak bergerak. Ui Yan Bun dan Thian Hwa melihat hal ini hanya tersenyum saja dan saling pandang.
Para bajak segera mengurung kedua anak muda itu dan merupakan lingkaran besar, sedangkan kedua anak muda itu berdiri di tengah-tengah dengan sikap tenang sekali. Ma Tek San lalu maju dan membentak.
"Apakah kalian masih berkeras kepala dan ingin mampus di sini7"
Ui Yan Bun pun maju dan berkata sabar, "Orang muda she Ma! Kau ini benar-benar tidak memakai peraturan dan kesopanan sesama kaum sungai telaga! Tanpa alasan dan sebab kau telah memusuhi Ayahku, bahkan kaubunuh dua orang kami yang sedang mencari ikan. Bukankah hal ini sangat merendahkan namamu?"
"Memang aku sengaja membunuh orangmu, habis kau mau apa?" kata Ma Tek San ketus, sedangkan suhengnya dan para anak buahnya terkekeh mentertawakan.
"Perbuatanmu itu berarti kau menantang fihak kami, maka sekarang aku mewakili ayah datang ke sini hendak mencoba sampai di mana kekuatanmu maka kau berani berlaku sewenang-wenang. Apakah kau hendak melakukan pengeroyokan atau kau berani melayani aku secara laki-laki?"
Marahlah Ma Tek San mendengar tantangan ini. "Eh, anak kecil sombong, jangan kaukira kepandaianmu sudah tiada lawannya dengan hanya memiliki ginkang dan permainan kanak-kanak di atas air itu saja! Majulah kau kalau hendak berkenalan dengan Tiat-thou-kim-go!" Setelah berkata demikian orang she Ma itu mencabut golok besarnya yang berkilauan karena tajamnya.
Tetapi sebelum kedua musuh itu bertempur, tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai dari arah sungai. Mereka semua memandang dan terkejut melihat bahwa yang ramai-ramai itu adalah beberapa orang anak buah bajak datang sambil memikul biduk kecil di atas mana Thian Bong Sianjing masih saja duduk berseda-kap tak bergerak sambil memejamkan mata!
"Eh, mengapa kalian berbuat segila ini?" Ma Tek San membentak kepada seorang bajak yang berjalan paling depan.
Bajak itu segera minta maaf kepada pemimpinnya dan menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak sanggup mengeluarkan kakek itu dari perahunya! Telah dicoba oleh banyak orang tetapi tak seorang pun sanggup menggerakkan tubuh yang bagaikan membatu itu keluar dari perahu. Maka, untuk mentaati perintah Ma Tek San, dia dan kawan-kawannya lalu menggusur saja biduk itu ke tepi lalu mengangkat kakek itu dengan perahunya!
Yan Bun dan Thian Hwa tertawa geli. Ma Tek San marah sekali dan mendekati Thian Bong Sianjin di dalam perahunya yang kini telah diletakkan di atas tanah. "He, orang tua, siapakah engkau sebenarnya?"
Thian Bong Sianjin membuka matanya perlahan dan menjawab dengan tak acuh, "Namaku Thian Bong, kalian hendak membawaku ke manakah?"
Thian Hwa dengan keras berkata, "Orang she Ma, ketahuilah, dulu Kakekku ini disebut orang Huang-ho Sui-mo!"
Terkejutlah Ma Tek San mendengar ini, juga semua anak buah bajak. Lebih-lebih para bajak yang tadi memaksa Thian Bong Sianjin mendarat, mereka ini menggigil dan wajah mereka pucat sekali, bahkan tiga orang anak buah bajak yang telah lama menjalankan pekerjaan itu dan cukup kenal dengan nama Huang-ho Sui-mo, segera maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Bong Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala minta ampun!
Lauw Keng Hwesio melihat lagak tiga orang bajak itu menjadi sangat sebal dan dia yang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sui-mo lalu memajukan kaki dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke arah kepala Thian Bong Sianjin dari kanan kiri! Lauw Keng Hwesio hendak memperlihatkan kepandaiannya dan ingin sekali memukul mati kakek yang agaknya terkenal dan ditaati itu, maka datang-datang dia mengirimkan serangan maut dalam gerak tipu Dewa Mabuk Menuangkan Arak!
Tetapi, kakek tua yang tampak tenang-tenang saja itu tiba-tiba mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah tangan Lauw Keng Hwesio yang meluncur maju dan tepat sekali ujung lengan bajunya menyambar ke arah jalan darah di pergelangan lengan hwesio itu! Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali.
Thian Bong Sianjin tersenyum sabar sambil berkata perlahan.
"Eh, hwesio, kau mau apakah?"
Lauw Keng Hwesio meloncat mundur dengan malu, dan pada saat itu Thian Hwa maju dan memakinya. "Bangsat gundul jangan kau berani mengganggu Kakekku!"
Kepala gundul itu menjadi marah dan dia melepaskan sabuknya yang ternyata terbuat daripada baja lemas dan merupakan joan-pian yang kuat. Tanpa banyak kata lagi dia lalu menyerang Thian Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. Dan pada saat itu juga, Ma Tek San juga sudah mulai bertempur dengan Ui Yan Bun.
Ma Tek San dan Lauw Keng Hwesio memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ganas, ditambah lagi tenaga mereka besar. Tetapi kini mereka menghadapi dua orang muda gemblengan Thian Bong Sianjin yang telah menurunkan ilmu silat tinggi kepada kedua muridnya itu, maka baru bertempur beberapa puluh jurus saja keduanya telah terdesak hebat oleh pedang Thian Hwa dan Yan Bun!
Ma Tek San yang selalu berpikir jahat, ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya itu benar-benar lihai, segera berseru kepada anak buahnya yang masih berdiri mengelilingi lapangan pertempuran itu.
"Hayo kamu semua lekas bantu menangkap dua setan ini!" Suara Ma Tek San yang keras terdengar berpengaruh dan tidak seorang pun di antara anak buahnya yang berani menentang atau mengabaikan perintah ini, karena mereka sudah mengenal kekejaman Ma Tek San. Dengan senjata-senjata tajam di tangan, mereka bergerak maju untuk mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras sekali.
"Kalian semua mundur!" Inilah bentakan Thian Bong Sianjin yang masih duduk di dalam perahunya. Suaranya lebih keras dan nyaring dibanding suara Ma Tek San sehingga para bajak terkejut dan sebagian besar mundur. Tapi sebagian lagi tetap maju karena mereka lebih takut kepada pimpinan mereka yang kejam.
"Mundur kalian! Kalau tidak, tangan Huang-ho Sui-mo ikut berbicara!'
Ancaman ini berhasil juga, karena lebih dua puluh orang yang pernah mendengar nama ini segera mundur dan melihat ke arah orang tua itu dengan hormat, tapi masih ada juga yang berani maju dengan maksud mengeroyok Thian Hwa dan Yan Bun. Tapi Thian Bong Sianjin mengangkat tangan dan mengayunkan tangannya ke arah mereka dan pada saat itu juga beberapa orang bajak berteriak-teriak sambil melepaskan senjata mereka, karena ternyata sambil duduk di perahunya kakek itu telah meraup segenggam pasir kasar dan mempergunakan pasir itu sebagai senjata rahasia! Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi.
Sementara itu, Thian Hwa yang memainkan pedangnya secara cepat sekali telah berhasil mengurung Lauw Keng Hwesio sehingga hwesio itu hanya dapat menangkis saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.
"Thian Hwa, jangan membunuhnya!" Thian Bong Sianjin berteriak dan Thian Hwa lalu mengubah gerakan pedangnya dengan secepat kilat! Dia menggunakan ujung pedang menusuk ke arah jalan darah di tenggorokan lawan dengan gerak tipu Burung Kepinis Mematuk Ikan. Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut. Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya telempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati!
Masih untung bagi Lauw Keng Hwesio bahwa Thian Bong Sianjin dalam saat yang tepat telah mencegah cucunya untuk menghabiskan jiwa hwesio itu sehingga gadis itu tidak menggunakan ujung sepatu untuk menendang tempat kematian, maka hwesio itu hanya menderita luka dalam dan patah tulang pundak saja. Tapi rasa sakit cukup membuat dia roboh pingsan!
Sementara itu, Ui Yan Bun juga berhasil merobohkan lawannya. Pemuda ini merasa sakit hati dan marah sekali kepada Ma Tek San yang telah berlaku kejam membunuh dua orang anak buah ayahnya, maka dia tidak mau memberi hati sedikit pun. Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat. Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-gq Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini!
Para anak buah bajak laut melihat betapa kedua kepala mereka dengan mudah terbunuh oleh Thian Hwa dan Yan Bun segera mengangkat senjata hendak mengeroyok, tapi lagi-lagi Thian Bong Sianjin membentak keras.
"Kalian masih belum takluk" Siapa melawan berarti mati!" setelah berkata demikian, kakek itu berdiri dan tubuhnya yang tinggi tampak angker menakutkan. Memang nama Huang-ho Sui-mo sudah merupakan sesuatu yang menakutkan mereka, apalagi melihat betapa kepandaian tiga orang itu hebat sekaU, maka para bajak itu segera menjatuhkan diri berlutut meminta ampun!
"Kalian dengarkan baik-baik! Berpuluh tahun yang lalu aku telah adakan aturan-aturan dan larangan-larangan bagi para bajak di Huang-ho untuk bekerja dengan mengenal aturan dan memilih orang yang patut dijadikan korban! Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini! Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu! Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!"
Setelah memberi nasehat-nasehat kepada para bajak, Thian Bong Sianjin mengajak Thian Hwa dan Yan Bun untuk kembali ke kampung. Mereka disambut Ui Hauw yang mendengarkan cerita puteranya dengan girang dan bangga sekali.
Setelah bermalam di situ beberapa hari lagi, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya meninggalkan kampung itu.
Mereka berdua memang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berpindah-pindah dan sebagian besar dari waktu mereka digunakan untuk mendayung perahu, menangkap ikan dan mengunjungi kawan-kawan dan orang-orang kampung yang tinggal di sepanjang Sungai Huang-ho yang panjang itu.
Beberapa bulan kemudian, ketika Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa sedang menjalankan biduk mereka perlahan di sepanjang tepi sungai yang airnya tenang dan hawa udara pada pagi hari itu sangat baiknya, Thian Hwa kembali mengulangi pertanyaannya yang telah berkali-kali diajukan kepada kakeknya itu.
"Kong-kong, kuharap kali ini Rongkong menaruh kasihan kepadaku. Dulu Kong-kong berjanji akan membuka rahasia ini kepadaku setelah aku dewasa dan memiliki kepandaian. Nah, sekarang aku telah berusia tujuh belas tahun, dan tentang kepandaian, kiranya tidak sia-sia Kong-kong mengajar padaku. Kong-kong, beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku...." Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu" Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.
"Thian Hwa, cucuku! Sebetulnya kalau menurut kehendakku, tak usah kau pergi mencari orang tuamu karena aku sangat merasa ragu apakah kau akan berhasil. Tapi, kalau aku larang kau melakukan hal ini, berarti bahwa aku adalah seorang yang tidak berbudi dan hanya mementingkan diri sendiri saja." Kakek itu menghela napas lagi dan melanjutkan kata-katanya sambil menatap wajah cucunya yang sangat dikasihinya itu.
"Thian Hwa, terus terang saja aku ulangi, bahwa aku selama hidup belum pernah bertemu muka dengan kedua orang tuamu. Tapi aku pernah bermimpi dan melihat Ibumu...."
Sepasang mata gadis itu berkilat dan wajahnya berseri. "Ibuku....!" kata-kata "ibu" ini sangat asing baginya dan sangat mesra. "Bagaimana rupanya dan di mana dia, Kong-kong?" tanyanya cepat.
"Ibumu adalah seorang wanita yang cantik sekali dan di atas bibirnya sebelah kiri terdapat sebuah tanda tahi lalat hitam yang kecil. Wajah Ibumu itu seperti... seperti... kau sendiri, Thian Hwa, dan melihat dari pakaian yang dipakainya, ia adalah seorang bangsawan."
"Kong-kong, kenapakah aku harus mencarinya?" tanya Thian Hwa.
"Thian Hwa, inilah yang sangat menyusahkan hatiku. Kalau aku sendiri mengetahui dimana adanya orang tuamu, agaknya sudah dulu-dulu kucari mereka. Tapi aku hanya bertemu dengan Ibumu dalam mimpi, dan aku tidak tahu di mana tempat tinggal mereka." kakek tua ini lalu menundukkan muka dan tidak berani menentang wajah cucunya, karena dia maklum betapa kata-katanya ini sangat menusuk hati dan menghancurkan pengharapan gadis itu. Dia hanya mendengar isak tangis Thian Hwa yang berusaha sekuat tenaga menekan perasaan dan menahan tangisnya.
"Kong-kong... bukankah para bangsawan... bertempat tinggal di kota raja saja?" akhirnya gadis itu bertanya setelah mereka diam untuk beberapa lama.
Kini barulah kakek itu berani mengangkat muka memandang wajah cucunya dan hatinya seperti dikerat pisau ketika melihat betapa wajah cucunya tampak pucat dan di kedua pipinya mengalir air mata yang bening.
"Thian Hwa, memang di kota raja banyak sekali terdapat bangsawan tinggi, tapi di antara ribuan para bangsawan itu, yang manakah keluarga yang kita maksudkan" Ahh, seakan-akan mencari setitik air dalam Sungai Huang-ho!"
Semenjak terjadinya percakapan ini, wajah Thian Hwa nampak suram-muram dan tidak bergembira sedikit pun seperti biasanya sehingga diam-diam Thian Bong Sianjin merasa khawatir sekali. Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi.
Karena hatinya sedih dan terharu melihat cucunya, maka Thian Bong Sianjin tekun bersamadhi untuk menenteramkan hati dan pikiran sehingga seakan-akan mati duduk dan tak bergerak bagaikan sebuah patung batu. Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.
Kong-kong, Mohon beribu ampun bahwa aku terpaksa pergi karena tak tahan melawan desakan hati untuk mencari Ibu dan Ayahku. Aku pergi ke kota raja dan takkan kembali sebelum bertemu dengan mereka!
Cucumu Thian Hwa
Thian Bong Sianjin menghela napas dalam-dalam. Hasrat hatinya hendak segera menyusul, tapi dia menggeleng-geleng kepala tanda tidak menyetujui kehendak hati sendiri ini. Kalau dia menyusul, maka gadis itu tentu akan kecewa dan menganggap dia menghalang-halangi maksudnya. Pula, Thian Hwa sudah memiliki kepandaian tinggi dan dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa! Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan. Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi, sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas.
Kira-kira setengah bulan kemudian, Thian Bong Sianjin mengunjungi Ui Hauw dan kepala bajak ini kaget sekali mendengar tentang perginya Thian Hwa.
"Ah, mengapa Suhu tidak menahannya" Ke manakah anak itu pergi" Ahh, bagaimana kalau terjadi sesuatu?""
Thian Bong Sianjin hanya tersenyum. Setelah beberapa hari lewat, orang tua ini dapat juga menetapkan hatinya dan melenyapkan rasa sedih yang menyerangnya. "Ia akan selamat. Kepandaiannya cukup untuk menjaga diri."
Sementara itu, ketika mendengar tentang perginya Thian Hwa ke kota raja, Yan Bun merasa terkejut sekali. Ia merasa seakan-akan hatinya terbawa pergi oleh gadis itu. Dengan lemas ia meninggalkan Thian Bong Sianjin dan ayahnya, tanpa berkata sesuatu, dan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba saja dia merasa bahwa gadis itu sungguh merupakan arti yang besar sekali baginya.
Dan pada keesokan harinya, semua orang kaget dan bingung karena Yan Bun tahu-tahu telah pergi dengan sebuah biduk tanpa memberitahukan sesuatu kepada semua orang. Tapi Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin saling pandang dengan penuh pengertian. Mereka ini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, telah dapat menduga bahwa Yan Bun tentu pergi menyusul Thian Hwa dan mereka tahu pula apa artinya perbuatan pemuda itu. Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.
"Alangkah baiknya kalau dulu-dulu kita jodohkan kedua anak itu!"
Thian Bong Sianjin hanya tersenyum dan berkata perlahan. "Ui Hauw, jodoh tak dapat dipaksakan. Kita orang-orang tua menunggu saja dan melihat perkembangan terlebih jauh. Sementara itu, biarlah kita doakan agar mereka dapat bertemu dan dijauhkan dari segala bencana."
Thian Hwa pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan sebatang pedang. Ia pernah diberitahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di sebelah utara, maka ia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari cepat. Karena ia biasanya melakukan perjalanan dengan berperahu dan di sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai, hatinya tertarik dan gembira "sekali, seperti seorang kanak-kanak yang mendapat barang permainan baru.
Setelah berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu subur dan menghasilkan banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu. Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka. Di kampung Luncwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan mereka. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri. Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung.
Kepala kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung. Akan tetapi, setelah beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu. Sebetulnya yang sangat berubah dan membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran adalah kepala kampung itu sendiri. Tanpa mengetahui sebab-sebabnya orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas. Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. 3uga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali. Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan. Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!
Ketika hendak memasuki kampung itu Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ ia melihat mayat seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang hutan. Karena pemandangan ini maka ia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa kampung yang dimasukinya ini tentu bukan kampung yang aman dan baik. Ia mencoba mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan kecil yang biasa dibuka, kini tertutup dan tidak menerima tamu.
"Maaf, Nona, rumah penginapan tidak dibuka lagi," kata seorang bekas pelayan rumah penginapan itu.
"Mengapa tidak?"
"Kami tidak kuat membayar pajak!"
Demikian pun, ketika Thian Hwa hendak pesan makanan di sebuah rumah makan yang telah ditutup, ia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat ia merasa curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak muram dan duduk di depan rumahnya.
"Maaf, Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut berusaha-karena dikenakan pajak. Sebetulnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu, Lopeh?"
Orang tua itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian setelah ia menengok ke kanan kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!
"Siocia, kau agaknya seorang luar kampung dan agaknya kau seorang yang biasa merantau karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kaubicarakan sembarangan saja."
"Ada apakah, Lopeh?" tanya Thian Hwa heran.
Orang tua itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan bahwa ia telah melihat mayat di dalam hutan. Ketika empek itu mendengar tentang hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaian dan lain-lain. Setelah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju biru dan celana abu-abu, orang tua itu menjadi pucat dan berseru. "Kalau begitu, dia adalah Cun Sam!"
"Cun Sam" Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?"
Tiba-tiba kakek itu menangis dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis. "Cun Sam adalah adikku...." Kemudian kakek itu menceritakan betapa Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke kota raja diadukan karena dianggap pemberontak.
"Kalau begitu semua itu bohong belaka...." kakek itu mengeluh. "Cun Sam bukan dibawa ke kota raja, tapi dibawa ke hutan dan dibunuhnya." Kemudian kakek itu lalu berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur mayat adiknya itu.
Sementara itu, Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Ia menganggap perbuatan kepala kampung itu sewenang-wenang dan mau tidak mau ia harus turun tangan dan mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas ia lalu mencari rumah kepala kampung itu. Tapi ternyata bahwa gedung kepala kampung yang bercat kuning itu pun tertutup pintunya. Ia mengetuk dengan keras dan pintu dibuka oleh seorang pengawal bersenjata golok yang bertubuh tinggi besar dan membentaknya.
"Bangsat kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?"
Tapi ketika ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang tinggi besar itu terse-nyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.
"Eh, Nona... kau hendak mencari siapakah?"
Thian Hwa merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa ia bukan orang baik-baik, mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini" Pula, orang ini tadi menyebut "rumah kami" yang sudah tidak selayaknya bagi seorang pengawal menyebut rumah seorang kepala kampung. Ia hendak menerjang, tapi dapat mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.
"Kau siapakah?"
Orang tinggi besar itu memperlebar senyumnya. "Aku adalah seorang penjaga keamanan di sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?"
Thian Hwa mengangguk. "Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, aku hendak bertemu dengan dia."
Orang tinggi besar itu tersenyum lagi. "Tunggu sebentar, Nona, hendak kulapor-kan ke dalam."


Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, dia masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar dan berkata. "Kau dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona."
Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena ia tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua. Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya. Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
"Siocia, kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?" tanya Tan-chungcu dengan suara angkuh.
"Chungcu, maafkan kalau aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku merasa tidak enak dan aku harus menegurmu."
Wajah kepala kampung itu berubah pucat, agaknya merasa cemas dan marah. "Siocia, kau seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari kampungku dengan aman."
"Tan-chungcu! Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang kampung yang mengangkatmu menjadi kepala! Tidak tahukah kau bahwa dengan peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu membuat banyak orang-orangmu menderita kelaparan" Tidak dengarkah kau betapa mereka mengeluh dan menangis karena peluh dan darah yang mereka peras di ladang ternyata kaurampas hasilnya" Apakah ini adil" Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"
"Diamlah.... diamlah! Kau... kau keluar dari sini!" Tan-chungcu berteriak keras sedangkan wajahnya makin pucat.
"Tidak! Aku takkan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang tiada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap seorang kampung yang memperingatkanmu dan membunuhnya!"
"Apa" Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku."
Bibir gadis itu tersenyum sindir. "O, begitukah" Di manakah Cun Sam sekarang" Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa.
Tan-chungcu berkata sungguh-sungguh. "Cun Sam" Ah, dia... dia telah memberontak, maka dikirim ke kota raja agar diadili."
"Ah, jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tapi kau mengirim dia ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!"
"Apa?" Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan mata terbelalak. "Dia... di... dibunuh....?"" Dan pada saat itu, dari balik pintu sebelah dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka.
Seorang pendek gemuk yang matanya juling berkata. "Chungcu, budak perempuan ini kurang ajar dan memberontak apakah harus ditawan?"
Tapi Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada... Si Gemuk Pendek itu.
"Kau... kau apakan Si Cun Sam?""
Si Gemuk Pendek tersenyum dingin. "Nanti saja kita bicarakan soal itu, sekarang kita bereskan dulu budak hina ini!" katanya.
"Tidak, tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat....!"
Si Gemuk Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu bergerak dan pedangnya berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu ! Tapi Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu dan menariknya sehingga terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.
"Li-hiap, kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah lama menguasai dan mengancamku!" kata Kepala Kampung itu.
Thian Hwa mengangguk-angguk dan bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang berwajah ganas itu. "Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu perampok-perampok hina ini dengan secara pengecut sekali telah memaksa Chungcu melakukan semua pemerasan ini" Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!"
"Budak hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" teriak orang tinggi besar yang menjadi pengawal tadi.
"Tentu saja aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!"
"Perempuan sombong! Kau masih begini muda tapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah Bweesan Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bweesan, maka jangan harap kau akan dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!" kata Si Gemuk Pendek yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Thian Hwa tersenyum menyindir. "Siapa takut pada siluman dari Bweesan" Hari ini kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang akan mengirim kalian pulang ke asalmu!"
"Bangsat perempuan sombong!" Si Tinggi Besar meloncat maju kedua tangan terulur dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu. Tapi dengan cepat Thian Hwa meloncat berputar ke kiri dan kaki kanannya cepat menendang ke arah lambung kanan lawan. Si Tinggi Besar terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu dapat bergerak secepat itu sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu. Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!
Melihat betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, Kelima Raja Gunung Bweesan itu mencabut senjata mereka dan maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya ingin membunuhnya secepat mungkin karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka!
Tapi Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan ia merasa gembira sekali melihat berkeredepannya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut pedangnya sendiri dan sebentar saja sinar pedangnya menari-nari dan bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu! Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat. Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luai biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan.
Dengan gerak tipu baru ini sebentar saja Thian Hwa dapat merobohkan tiga orang pengeroyok. Sementara itu, melihat bahwa lima orang yang selalu mengancamnya dan membuatnya tidak berdaya itu kini bertempur melawan Thian H'va, diam-diam Tan-chungcu berlari keluar dan berteriak-teriak minta tolong kepada orang-orang kampung. Semua orang kampung ketika mengetahui bahwa di gedung kepala kampung ada perampok, lalu datang membawa senjata masing-masing dan menyerbu. Mereka melihat betapa tiga orang perampok telah roboh mandi darah dan yang dua sudah terdesak hebat. Tanpa ampun lagi tiga orang perampok yang belum mampus tapi sudah terluka oleh pedang Thian Hwa itu, lalu dikeroyok dan tubuh mereka hancur di bawah hantaman dan bacokan orang-orang kampung!
Dua orang perampok yang belum roboh, yakni Si Tinggi Besar dan Si Gemuk Pendek, yang ternyata memiliki kepandaian lumayan juga, melihat nasib ketiga kawannya, lalu menjadi ngeri dan takut. Mereka hendak melarikan diri, tapi pedang gadis yang gesit itu mengurung dan menahan mereka. Kemudian Si Gemuk Pendek menggunakan akal busuk dan memperlihatkan kekejaman dan kejahatannya. Dia meloncat ke belakang kawannya Si Tinggi Besar, lalu mendorong kawannya itu dengan keras ke arah Thian Hwa! Sehabis melakukan ini, dia meloncat ke atas melalui jendela dan kabur!
Thian Hwa cepat berkelit menghindar diri dari tubrukan dan langsung menusuk ke arah dada Si Tinggi Besar yang dikorbankan oleh kawannya sendiri sehingga Si Tinggi Besar roboh dan menjadi korban orang-orang kampung pula. Sementara itu Thian Hwa yang merasa gemas dan benci kepada kepala perampok yang curang dan pengecut itu, segera menggerakkan tubuh mengejar keluar jendela.
Golok Yanci Pedang Pelangi 3 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Peristiwa Merah Salju 12
^