Giring Giring Perak 1
Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Bagian 1
Giring Giring Perak adalah salah satu masterpiece dari pengarang kenamaan pada jamannya, Abang kita Makmur Hendrik (silakan baca disini untuk profil lengkapnya).
Karya-karya beliau dulu banyak di sukai banyak kalangan dan beberapa diantaranya dulu dimuat secara bersambung di Harian Singgalang dan selalu dinantikan oleh para penggemarnya.
Alhamdulillah atas izin dari Bang Makmur Hendrik cimbuak mendapat kehormatan untuk dapat menghadirkan kembali salah satu karya Bang Makmur Hendrik ini kehadapan Sanak semuanya.
Selamat Menikmati
Episode1- Bukit Tambun Tulang
PEDATI yang berjalan paling depan tiba-tiba dihentikan. Dua-puluh pedati lainnya yang berjalan di belakang berhenti pula
"Kenapa berhenti?" Seorang lelaki yang ber jalan di sisi pedati yang kesepuluh bertanya pada teman di depannya.
"Entahlah. " jawab yang ditanya.
Kemudian dia menoleh ke depan, lalu berseru.
"Ahooi, kenapa berhenti di sini?"
Tak ada jawaban. Perempuan-perempuan menyembulkan kepalanya dari dalam pedati tersebut
Seorang lelaki kelihatan berjalan dari depan.
Dan yang di depan ke belakang. Nampaknya ada pesan beranting yang disampaikan.
Dalam waktu singkat, lelaki-lelaki pengiring pedati itu sudah berkumpul di depan sekali. Di dekat pedati Datuk Sipasan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan.
Datuk itu yang bertubuh besar dan kelihalan "berisi", duduk di sebuah batu besar. Dia melemparkan pandangannya pada seluruh lelaki yang kini tegak mengelilinginya. Menatap wajah mereka. Melirik tombak di tangan atau pedang dan keris di pinggang mereka.
Mulutnya mengunyah sugi tembakau. Kemudian meludahkannya ke tanah.
"Kalian lihat bukit itu?" katanya tanpa menoleh tapi ibu jarinya dia acungkan ke belakang.
Semua lelaki yang jumlahnya 23 orang itu meng-ibu jari Datuk, ini. Mereka memang melihat sebuah bukit. Dipenuhi hutan belantara. Dan nampaknya kini mereka tengah menuju ke arah bukit tersebut. Beberapa orang mengangguk. Tapi lebih banyak yangdiam.
"Itulah Bukit Tambun Tulang." Datuk itu bicara lagi, seperti tak acuh..
Kali ini semua lelaki di depannya pada menoleh kembali ke bukit tersebut. Kalau tadi dengan sikap tak mengerti, atau tak acuh, kini dengan sedikit berdebar. Bahkan ada yang melihat bukit itu dengan sedikit rasa takut.
"Bukit Tambun Tulang?" tanya seseorang dengan nada_lemah. Datuk Sipasan tak menyahut.
Mengeruk kantong bajunya, mengambil segumpal tembakau. Meremasnya kuat-kuat.
Membuat tem-bakau itu mirip kelereng, atau godok kecil. Kemudian menyelipkannya ke mulut, jadi sugi. Lalu dengan sikap hampir-hampir tak acuh dia bicara.
"Tak ada jalan lain. Ini satu-satunya jalan yang terdekat, dan mudah untuk mencapai Luhak Tanah Datar..."
"Terdekat, mudah, tapi belum tentu aman..." seseorang lelaki gemuk memakai Golok di pinggang menyambung ucapan Datuk itu. Semua yang nadir pada menoleh padanya.
"Kenapa pakai kalimat belum tentu aman?" Jalari ini memang paling tidak aman!" Datuk Sipasan menegaskan. Mulutnya berpiuh-piuh memainkan suginya.
"Lalu bagaimana?"
"Kita akan terus!" jawab Datuk Sipasan.
"Apakah di bukit itu masih ada penyamun?" tanya yang bertanya barusan. :
"Ada...!" Datuk itu menjawab pasti. Meski wajahnya tetap saja tak acuh.
"Dari mana Datuk tahu?"
Datuk itu tak menjawab. Tapi menatap orang yang bertanya itu. Kemudian menalap yang lain-lain.Lalu kembali menatap yang bertanya tadi. Kemudian dia tegak dari batu besar di mana dia duduk. Lalu meloncat ke bawah.
"Naiklah ke batu itu..." katanya pada lelaki yang bertanya tadi. Lelaki tadi tak mengerti. Tapi dia naik juga kebatu besar di mana Datuk itu tadi duduk.
"Lihatlah ke belakangmu, di bawah..."
Datuk Sipasan bicara ketika lelaki itu sampai di atas., Lelaki itu menurut. Tiba-tiba terdengar seruannya. Dan saat berikutnya dia terlompat turun dengan wajah pucat.
Yang lain pada berpandangan. Dua orang naik ke atas. Melihat ke bawah. Dan mereka juga pada berseru kaget, kemudian cepat-cepat turun dengan muka pucat.
Beberapa orang naik, melihat ke bawah. Dan hampir semuanya terkejut dan turun dengan muka tak sedap, Di belakang batu besar itu, sesosok jadi mayat terhantar dengan baru saja mati dengan leher hampir putus. Nampaknya baru saja mati sehari dua ini.
Mayat itu tertelentang. Menghadap ke atas, kearah arah orang yang melihat ke bawah dari batu itu. Menatap dengan mata yang mendelik dan mulut menganga mengerikan.
Kini semua pada tertegak kaku di tempat mereka masing-masing.
"Siapa yang ingin kembali, silahkan. Yang ingin terus tapi ingin mencari jalan lain, juga disilahkan. Saya akan terus mengambil jalan yang melintasi Bukit Tambun Tulang ini. Siapa yang ingin ikut, juga disilahkan".
Datuk Sipasan berkata setelah meludahkan tembakau suginya. Ketika dia berhenti bicara, tak seorangpun yang menyahut. Dan dia yakin, semua akan mengikutinya.
"Peringatkan pada semua perempuan, bini atau anak kemenakan kalian, agar tak memperlihatkan diri sejak saat ini. Dan kalaupun terjadi pertempur-an, mereka harus tetap saja dalam pedati. Begitu lebih selamat untuk.mereka".
"Bagaimana kalau kita kalah Datuk?"
"Kekalahan berarti kematian"
"Ya, bagaimana kalau kita kalah kemudian mati?"
"Mereka bisa memilih melawan sampai tetes darah terakhir, atau merelakan diri diperkosa, atau jadi isteri penyamun-penyamun itu".
"Tak ada jalan lain?"
"Ada, yaitu memenangkan perkelahian!" Setelah itu tak ada yang bicara. Sampai saat mereka kembali ke pedati masing-masing mereka tetap diam. Lalu bicara perlahan pada perempuan-perempuan yang ada di pedati.
Kemudian diam-diam mereka mulai medecahkan mulut, menghalau kerbau yang menarik pedati tersebut. Dan kafilah pedati itu mulai mendaki kaki Bukit Tambun Tulang yang terkenal angker dan angkuh. Bau bangkai tercium di mana-mana. Tak ada suara. Bahkan binatang rimbapun seakan ngeri berada di rimba lebat yang menyelimuti Bukit Angker tersebut.
Tiba-tiba ketika mereka mendekati hampir di pinggang bukit kecil itu ada suara murai.
Sekali. Dua kali. Kemudian ada suara gagak.
Datuk Sipasan yang berjalan paling depan segera arif. Bunyi itu bukan bunyi burung. Tapi suara manusia yang meniru suara burung dengan sempurna. Dan dia juga arif, bunyi itu adalah semacam isyarat dalam rimba tersebut. Datuk ini tetap menggusurkan sugi di mulutnya dengan tenang. Lelaki-lelaki lainnya, yang mengiringkan pedati mereka menuruti jalan menanjak itu semua pada diam. Mereka memegang hulu golok atau tombak dengan waspada. Perempuan-perempuan pada merapatkan diri di sudut yang paling jauh dalam pedati mereka.
Kini rombongan itu sudah sampai di pinggang Tambun Tulang tersebut. Pedati yang paling depan, yaitu Pedati milik Datuk Sipasan sudah .berbelok di sebuah tikungan.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergumam. Barisan yang ada dibelakang menyangka itu tawa Sipasan. Tapi yang ada di depan segera tahu, itu berasal dari dalam pepohonan di Bukit mereka lalui tersebut. Tawa itu mula-mula lunak saja, Tapi makin lama makin keras. Yang tertawa hanya seorang.
Datuk Sipasan tetap mendecahkan kerbaunya untuk maju terus tapak demi tapak. Lelaki. ini punya firasat, sebentar lagi, orang yang tertawa itu pasti akan menampakkan dirinya. Dan dugaan-nya tak jauh meleset.
Begitu tikungan itu hampir habis dia jalani, di depannya, di atas sebuah batu besar, tegak seorang lelaki berbaju hijau-hijau. Begitu lelaki itu kelihatan, tawa tadi lenyap. Dan hutan itu kembali dicekik suasana sepi.
Datuk Sipasan mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan rombongan di belakangnya berhenti. Dia menatap lelaki besar di atas batu itu. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sebilah keris tersisip di pinggangnya. Di tangan kirinya dia memakai gelang akar bahar besar.
Janggut dan kumisnya bersumburan lebat. Matanya berwarna merah.
Dia menyapu kafilah pedati itu dengan tatapan matanya yang tajam seperti elang kelaparan.
Tiba-tiba suaranya terdengar berbegu dalam rimba di pinggang Bukit Tambun Tulang itu:
"Selamat datang di Kerajaan Bukit Tambun Tulang sanak. Silahkan melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan semua harta dan ....wanita".
Datuk Sipasan tak menyahut. Matanya menyi-pit. Lelaki itu berdiri sendiri. Tapi dia tahu, pasti ada puluhan orang lainnya di sekitar mereka. Tapi di mana" Di pohon" Di dalam rimbunnya belukar" Tak satupun yang nampak. Dia meludahkan sugi tembakaunya.
"Kami numpang lalu sanak. Kami tahu, daerah ini di bawah kuasa sanak. Kami bersedia membayar upeti sekedarnya. Mohon kami jangan diganggu". Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan tawa bergumam oleh lelaki besar di atas batu itu.
"Pandai waang membaca puisi sanak" Waang hanya ingin membayar upeti "Sekedarnya?"
Aha, di mana puisi itu waang pelajari hingga punya nyali (keberanian) untuk mengucapkannya di Bukit ini" Tidakkah waang tahu siapa. yang tegak di depan waang ini?"
Datuk Sipasan merah padam mukanya disebut "Waang" oleh lelaki itu. Dan semua anggota rombongannya yang tegak dengan waspada di belakangnya mendengar jelas semua pembicaraan ini, Datuk itu masih menahan marahnya. Dia harus berusaha agar tak terjadi perkelahian. Betapapun kalau bisa membayar upeti sekedarnya jauh lebih baik daripada harus bertempur. Karenanya dengan menahan rasa marah karena dipanggil Waang yang je las-jelas menghina itu, dia bicara :
"Maafkah kami, kami tak mengetahui siapa tuan. Kami hanya mengetahui bahwa Bukit 'ini dihuni oleh penyamun-penyamun..."
Kembali suara tawa menyambut ucapan Datuk
"Nah kalau sudah tahu, bahwa di sini bersarang penyamun, kenapa tak segera berlutut dan menye-rahkan yang saya minta?"
"Tak ada yang harus kami berikan. Kami hanyalah rombongan penduduk yang berniat pindah ke Luhak Tanah Datar. Kami datang dari Daerah Pariaman, daerah itu kini sedang diancam
oleh Belanda. Apa yang bisa tuan dapati dari penduduk yang pindah karena takut?"
"Hmm, kalian orang yang pindah?" , "Ya..."
"Bagus. Pasti banyak harta dan banyak wanita..." Sehabis berkata begitu lelaki ini berseru sambil bertepuk keras:
"Periksa isi pedati itu"!"
Perintahnya yang mengguntur ini tiba-tiba disahuti pekik yang menyeramkan dari dalam belukar di sepanjang jalan di mana pedati-pedati yang 21 buah itu kini berhenti.
Penyamun-penyamun itu muncul amat tiba-tiba. Ini benar-benar mengagetkan semua lelaki yang menjaga pedati tersebut. Rupanya sejak mereka berhenti dan berunding di bawah tadi, mereka sudah diamat-amati oleh penyamun tersebut. Dan kini mereka berada dalam sebuah jebakan.
Namun Datuk Sipasan berseru:
"Tunggu Saya harap jangan menumpahkan darah. Tuan boleh ambil semua harta kami! Tapi jangan ganggu perempuan-perempuan!!"
Namun lelaki bertubuh besar di atas batu itu berseru:
"Hei beruk! Sekali lagi waang bicara, saya kuyakkan mulut waang yang berbau jering itu!!!"
Dan seusai ucapannya ini, panyamun-penya-mun Bukit Tambun Tulang yang kesohor pemakan masak mentah itu mulai mendekati pedati-pedati tersebut Tetapi, rombongan ini bukan sembarang rombongan! Mereka adalah kaum pesilat yang menyingkir dari Pariaman seperti yang dikatakan Datuk Sipasan tadi.
Mereka menyingkir menyusun kekuatan ingin bergabung dengan pesilat-pesilat di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam untuk balik menyerang Belanda di Pariaman.
Kini begitu penyamun-penyamun itu mendekat, mereka kontan memberikan perlawanan.
Datuk Sipasan sebenarnya ingin menyerang lelaki yang tegak di batu itu. Dia yakin lelaki itiilah pimpinan penyamun ini. Namun maksud itu terpaksa dia urungkan, karena dia di datangi oleh dua orang penyamun lainnya.
Suara senjata beradu terdengar gemerincing. Pekik-pekik kesakitan atau suara orang meregang nyawa terdengar berbaur dengan bentakan-bentak-an.
Bersambung Episode2 - Datuk Sipasan
Dewasa itu, hanya orang-orang. yang cari penyakit saja yang mau melewati bukit Tambun Tulang yang terletak di kaki gunung Tandikat itu.
Selama puluhan tahun. Bukit kecil itu menjadi "kerajaan" tak resmi dari suatu kelompok penyamun. Jumlah mereka tak ada yang mengetahui dengan pasti. Ada yang mengatakan hanya enam atau tujuh orang. Tapi kali ini, di saat penghadang-an rombongan, ternyata jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Suatu kekuatan penyamun yang luar biasa.
Apalagi semua mereka ahli dalam persilatan.
Dua lelaki yang datang menghadang Datuk Sipasan menerjang sekaligus. Datuk ini nampaknya tak mau buang-buang waktu. Serangan yang datang dari kiri dia elakkan, kakinya bergerak, dan orang itu terjengkang ke belakang. Yang menikam dengan keris dari kanan tiba-tiba dia sambut tangannya. Orang itu kaget, sebab serangannya yang cepat itu bisa disambut oleh Datuk ini. Dia berniat menyentakkan tangannya yang terpegang itu, namun tiba-tiba terdengar pekiknya meraung. Saat berikutnya tubuh penyamun ini melosoh.
Mukanya hitam. Dan warna merah ini menjalar ke lengannya. Dia mati sebelum tubuhnya mencecah tanah.
Inilah ilmu "Biso Sipasan " yang menyebabkan Datuk ini dikenal dengan gelar Datuk Sipasan. Ilmu silatnya tinggi dan senjata ampuhnya terletak pada dua kuku tunjuk dan empu jarinya. Dua kukunya ini tidak berwarna hitam seperti jamaknya kuku pesilat-pesilat yang mengandung racun.
Tapi kukunya tetap berwarna biasa. Kalau pesilat-pesilat biasa menggelek atau menangkis serangan dengan menepiskan tangan lawan, maka keistimewaan Datuk ini adalah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya. Tangkapannya tak pernah bisa dilepaskan.
Dan begitu tangan lawan tertangkap dia mencekal pergelangan orang tersebut. Kuku ibu jari dan tunjuknya mene-kan. Dan bisa yang amat ampuh, yang memang di isi dengan bisa seribu sipasan (lipan) segera menyudahi nyawa lawannya.
Dan ilmu ilulah sebentar tadi yang telah menyudahi nyawa seorang penyamun yang menyerangnya. Penyamun yang seorang lagi, yang terjengkang kena tendangan, segera bangkit. Dia mengambil kelewang di pinggang. Kemudian menebaskan ke leher Datuk itu.
Datuk ini tidak membuang langkah, dia hanti kelewang itu Jiingga dekat sekali. Kemudian tiba-tiba dia menunduk. Kelewang lewat serambut di atas kepalanya. Saat berikutnya telunjuk kanannya yang ditegangkan meluncur ke dada penyamun tersebut.
Penyamun itu tertegak kaku. Matanya mendelik. Mulutnya ternganga. Dari mulut yang ternganga itu, keluar suara seperti kerbau disembelih. Dan tiba-tiba dari dadanya, persis di arah jantung merembes darah keluar. Dadanya berlobang sebesar jari Datuk Sipasan. Dan sebelum tubuhnya tumbang, penyamun itu sudah mati!
Sementara itu pertarungan di barisan belakang berlangsung dengan cepat. Dari pihak Datuk Sipasan sudah jatuh korban empat orang meninggal. Para penyamun lalu mendobrak pintu Pedati dengan kaki. Dan suara pekik perempauan segera terdengar.
Pekik perempuan itu menyadarkan Datuk Sipasan, bahwa bahaya tengah mengancam rombongannya. Dia bergerak ke belakang. Tapi gerakannya terhenti ketika tiba-tiba lelaki yang tadi tegak di batu dan menghadang jalannya melompat. Kini kedua lelaki itu berhadapan.
"Hmmm, jari berbisamu lumayan juga sanak. Dua kawanku kau kirim ke akhirat. Tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku."
Datuk Sipasan menatap lelaki ini. Dia tegak dengan tenang. Betapapun kini pertarungan harus dia lanjutkan. Menang atau mati.
Datuk Sipasan, siapa yang tak mengenalnya di Pariaman". Guru Silat yang disegani oleh lawan dan kawan. Orangnya pendiam, berwibawa dan baik hati tapi punya ilmu yang tinggi.
Puluhan tahun dia hidup di kawasan Pariaman, belum ada bertemu lawan yang tangguh.
Itulah sebabnya kenapa lebih dari dua puluh keluarga mau ikut bersamanya melintasi Bukit Tambun Tulang untuk pindah ke Luhak Tanah Datar.
Bukit Tambun Tulang! Siapa yang tak kenal akan nama itu".
Mendengar namanya saja, sudah membikin tegak bulu tengkuk, Dan membikin orang awam terpancar kejambannya. Nama Bukit Tambun Tulang bukan hanya sekedar diseram-seramkan. Tapi memang suatu tempat pembantaian yang tak ada duanya di tanah Minangkabau.
Demikian banyaknya manusia terbunuh di Hutan yang menumbuhi Bukit itu. Hingga kalau orang menggali lobang, di setiap tempat di seluruh Bukit itu, pasti akan bertemu tulang belulang manusia. Begitu dari dulu, bahkan sampai kini. Maka bernamalah dia Bukit Tambun Tulang.
Yaitu suatu nama berasal dari Bukit yang ditimbun tulang belulang!.
Dan kini. Datuk Sipasan yang belum pernah bertemu dengan lawan tangguh itu berhadapan muka dengan pimpinan penyamun yang membuat bukit itu ditimbuni tulang belulang manusia Bukan hanya manusia biasa, tapi juga tulang belu-lang kaum pesilat!
Dua hal akan diuji dalam peraturangan ini. Pertama, apakah Datuk itu memang seorang pesilat tangguh yang jarang tandingannya, atau kedua: Apakah Penyamun di Bukit itu memang penyamun yang tak terkalangkah! Jika hal pertama benar, maka itu berarti hari ini tamatlah riwayat penyamun di Bukit tersebut. Tapi jika hal kedua yang benar, maka itu berarti nyawa Datuk Sipasan dan rombongannyalah yang berakhir!.
Datuk Sipasan yang selama ini belum pernah membuka serangan, kini tak mau anggap enteng. Dia tahu, lawannya sudah tersohor. Siapa tak pernah mendengar nama Harimau Tambun'Tulang" Nama itu adalah nama pimpinan Penyamun di Bukit ini. Dan dia yakin orang yang bernama Harimau Tambun tulang itu pastilah orang yang dihadapinya.
Karenanya, dia segera memulai serangan.
Tangannya bergerak mencakar muka penyamun tersebut. Selling dengan itu kakinya bergerak menghantam dada.
Lelaki yang diserangnya tak bergerak sedikitpun. Cakaran tangannya dielakkan lelaki itu dengan memiringkan kepala. Tendangannya tidak dielakkan. Melainkan disambut oleh lelaki itu
dengan tahgan kanan.
Datuk Sipasan membiarkan kakinya tertangkap. Namun begitu -kakinya terpegang dengan kecepatan kilat dia menyusulkan kaki kirinya naik! Bukan main berbahayanya serangan ini.
Beberapa orang musuhnya pernah terjebak oleh serangan serupa ini. Dan akibatnya lawannya senantiasa muntah darah.
Tapi Datuk itu memang tengah menghadapi lawan yang tak main-main. Begitu kakinya terangkat, lelaki itu justru menyentakkannya kuat-kuat. Serangan begini benar-benar di luar dugaan Datuk Sipasan. Kaki kirinya yang sudah terangkat membuat tubuhnya tak menjejak tanah sedikitpun. Dan begitu kakinya disentakkan, kontan tubuhnya melayang kebelakang.
Namun begitu tubuhnya melewati tubuh lelaki itu, dalam rasa terkejutnya Datuk tersebut masih mengirimkan sebuah serangan berupa tusukan dengan telunjuknya yang berbisa ke arah lambung lawan!
Namun kembali dia dibuat tak berkutik, ketika lelaki itu mengangkat lututnya. Dan tubuhnya yang sedang melayang itu didongkrak ke atas dengan kuat oleh lutut lelaki itu. Tak ampun lagi, terdengan keluhan kesakitan. Dan tubuh Datuk Sipasan tercampak ke samping empat depa!
Datuk itu mencoba bangkit segera. Namun dia merasa rusuknya ngilu. Dia yakin, ada rusuknya yang patah. Nafasnya jadi sesak. Dan dia muntah darah! Namun Datuk ini tak mau menyerah. Dia tahu, keselamatan rombongannya berada di tangannya. Dia lebih rela mati duluan, daripada harus melihat rombongannya dihancurkan satu demi satu.
Dia bangkit dengan susah payah. Menghunus keris, kemudian dengan simpanan terakhir, yaitu sebuah jurus silat Siterlak dia lancarkan. Namun lelaki lawannya memang bukan orang sembarangan. Nama penyamun Bukit Tambun Tulang memang bukan nama kosong.
Begitu dia menyerang dengan langkan tiga, menyamping ke kiri, lalu tiba-tiba rnenghantam dengan kaki kanan. Dan tiba-tiba pula menusukkan keris, lawannya hanya menatap dengan diam. Begitu tendangan dan keris tiba, dia mengkat kaki. Sekali kakinya bergerak, tendangan dan Keris Datuk itu bisa dia elakkan malah kerisnya jadi terpental jauh. Dan tangan Datuk itu berderak patah! Saat itu empat orang lagi rombongannya mati disembelih penyamun tersebut!
Seorang penyamun tinggi kurus, setelah menyudahkan nyawa seorang lelaki, berjalan ke pedati yang tak berpenjaga itu. Tangannya rnenghantam pintu pedati. Di dalam ruangan yang sempit itu gelap. Dia mengintip ke dalam, Tiba-tiba dia terpekik dan menghambur ke luar.
Tangan kanannya mendekap pipi. Dan dari pipinya meng-alir darah segar.
Kiranya ketika dia menjulurkan kepala ke dalam pedati itu, seorang perempuan yang dibekali sebuah keris menyerangnya.
"Perempuan jahannam!. Kuberi kau ganjaran yang setimpal atas perbuatanmu ini...." lelaki itu mendesis.
Dia lalu mengambil sepotong kayu sebesar lengan dan panjangnya sedepa. Kayu itu dia kibaskan ke dalam. Dia hayun ke kiri dan ke kanan dalam ruangan peHati yang kecil dan gelap itu. Terdengar pekik perempuan. Dan saat berikutnya lelaki itu melompat masuk.
Begitu dia masuk, seorang gadis yang baru berusia sekitar enam belas tahun melompat keluar.
Bagitu keluar, gadis tanggung ini melihat bangkai ayahnya terkapar berlumur darah dekat roda pedati. Dengan pekik dan lolong panjang dia memeluk ayahnya. Lelaki yang telah melompat masuk itu menghambur lagi keluar.
Dan dia melihat seorang gadis tengah me-nangisi ayahnya yang baru saja dia bunuh. Gadis itu jolong mekar. Rambutnya ik'al, tubuhnya kuning dan berisi. Pinggulnya besar. Itu kelihatan jelas karena gadis itu bersimpuh dekat mayat ayahnya.
Dan ketika gadis itu menoleh padanya penya-mun itu segera melihat wajah si gadis yang cantik. Dadanya baru mekar.
Namun kini dada gadis itu mengombak deras menahan tangis dan berang.
Penyamun jahannam! Busuk! Kubunuh kau" katanya sambil menghambur tegak dengan tangan memegang keris ayahnya yang telah mati.
Dibahagian lain, seorang penyamun yang telah membunuh dua lelaki di dekat pedatinya merang-kak pula masuk pedati. Di dalam terdengar pekik perempuan. Seorang perempuan berusaha .lari keluar. Namun kainnya dipegang lelaki Tersebut. Kainnya lepas. Perempuan itu kini hanya dibalut baju kurung saja. Tubuhnya yang sintal dan hitam manis kelihatan jelas. Lelaki itu tak mau berhenti hingga di sana. Dia menyambar rambut si perempuan. Dan sekali renggut, perempuan itu terlempar lagi ke belakang. Jatuh tertelentang di dalam pedati.
Begitu dia jatuh, begitu tangan penyamun itu tiba di bajunya. Sekali renggut baju kurung itu robek. Perempuan muda itu coba melawan. Namun apalah artinya tenaga perempuannya dibanding penyamun Bukit Tambun Tulang itu. Tubuh lelaki itu segera berada di atas tubuhnya yang tak bertutup. Tangan lelaki itu menjalar. Meremas dan menjalar. Menjalar dan meremas. Ke atas dan ke bawah. Ke bawah meremas. Ke atas meremas.
Perempuan itu meronta. Menggeliat. Meronta menggeliat. Menggeliat dan meronta. Namun lelaki itu tak mengacuhkannya. Mulutnya menjalar ke mana-mana. Kemana-mana. Dan peremuan itu makin menggeliat
Bersambung Episode3 - Gampo bumi
Datuk Sipasan arif, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Begitu kerisnya tercampak dan lengan nya patah kena tendang lelakitangguh itu dia berkata :
"Sungguh luar biasa. Patutlah tak seorangpun yang selamat melalui Bukit ini. Apakah saya sedang berhadapan dengan Harimau Tambun Tulang yang tersohor itu?"
Lelaki tangguh di depannya itu tak menyahut. Hanya tawanya terdengar bergema. Suara tawanya keluar dari hidung. Tawa yang mencemeeh.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Untuk menghadapi beruk seperti kalian, guru tak perlu turun tangan. Cukup dengan kami saja!"
Alangkah terkejutnya Datuk Sipasan. Dia yang demikian ilmu silatnya, sudah jarang tandingannya di Pariaman. Sudah masuk hitungan Guru Silat yang disegani lawan dan kawan. Kini, berhadapan dengan lelaki ini saja dia tak dapat berkutik sedikitpun. Dia seperti kanak-kanak saja. Dan ternyata lelaki tangguh itu bukan orang yang bernama Harimau Tambun Tulang. Bukan lelaki yang dita-kuti dan tersohor kepandaiannya sebagai pemimpin Penyamun di Bukit ini. Yang dia hadapi hanyalah murid lelaki itu. Murid Harimau Tambun Tulang.
Kalau muridnya saja sudah demikian tangguhnya bayangkan betapa tingginya kepandaian, Harimau Tambun Tulang itu! Dan hari ini, ternyata dugaan pertamalah yang benar. Yaitu: Datuk Sipasan menemui masa akhirnya.
"Sudahi nyawanya!" Lelaki itu berkata pada seorang lelaki besar di sisinya. Lelaki itu mengambil tombak. Si pimpinan penyamun itu berseru.
"Hentikan perkelahian!. Kalian beruk-beruk yang datang dari Pariaman, menyerahlah.Lihat pimpinan kalian ini saya sudahi nyawanya!"
Suaranya yang menggelegar itu memang me-nyebabkan perkelahian yang sedang berlangsung jadi terhenti. Rombongan Datuk Sipasan yang masih berkelahi sebanyak delapan orang menghentikan perkelahiannya. Mereka melihat kedepan.
Dan di depan sana, Datuk Sipasan dengan tangan terkulai nampak tegak dengan kaki terbuka.
Di depannya, dalam jarak lima depa, berdiri lelaki yang tadi mengalahkannya. Dan di samping lelaki itu berdiri lelaki lain yang memegang tombak.
Datuk Sipasan tahu, nyawanya tak tertolong. Namun dia tak mau mati sebagai pengecut. Dia tegak dengan dada busung dan pandangan menatap lurus pada pimpinan penyamun itu.
Kalaupun tombak itu datang menghunjam dadanya, dia ingjn menerimanya tanpa mengeluh.
Tanpa berkedip!
Pimpinan penyamun Bukit Tambun Tulang itu memberi tanda. Lelaki di sampingnya mengangkat tombak.
Namun gerakannya terhenti tatkala terdengar suara perlahan.
"Hmm.... alangkah aniayanya. Merampok harta, menyamun nyawa, menistai wanita....".
Suara ini perlahan saja. Tapi bergema di kaki bukit itu. Semua orang menoleh. Dan semua orang yang tertegak tegang itu melihat bahwa di depan sana, di mana pimpinan penyamun itu mula-mula tegak tadi: di atas sebuah batu yang ketinggian, duduk seorang lelaki.
Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu menunduk dan menyamping pada pereka.
"Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini?" Pimpinan penyamun itu membentak.
Kembali terdengar suara tawa perlahan, Lelaki itu menoleh. Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Barangkali baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih. Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi.
Dan kembali terdengar suaranya perlahan:
"Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar, di bukit ini memang banyak beruk tinggal.
Hanya yang saya tak tahu selama ini adalah beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara...."
Bukan main berangnya pimpinan penyamun itu. Dan dia tahu, dialah yang dikatakan anak muda itu beruk!.
Mulut lelaki besar ini bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satupun ucapan-nya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu.
Dan saat itu, di antara tawanya yang bergumam lemah, terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu.
"Hehh, lihatlah lawaknya monyet itu. Mulut nya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara... heh...he..."
, Mata lelaki besar itu jadi mendelik.
"Cincang dia!" desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombak-nya. Lelaki itu mengerti, dan dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombaknya. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anakmu da tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian.
Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum lemah, dia menunduk. Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur itu. Lambat-lambat tangannya meraba pinggang.
Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.
Anak muda itu tak menoleh sedikitpun. Di tangannya yang tadi bergerak kepinggang kini terpegang sebuah Bansi. Yaitu semacam suling , dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Letika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak samai sejari di bela-kangnya.
Meleset! Penyamun yang melemparkan tombak itu terheran-heran. Lemparannya tak pernah luput.
Tapi kali ini kenapa anak muda itu tak kena" Suara bansi yang ditiup anak muda itu terdengar bergema perlahan. Bukan main! Dia seperti tak acuh akan nyawanya!
Penyamun tadi merampas tombak sebuah lagi dari temannya. Kemudian kembali melemparkan-nya dengan bidikan yang cermat. Namun semua penyamun yang belasan orang jumlahnya itu kembali ternganga. Tombak itu lewat dalam kecepatan kilat dua jari dari tengkuk anak muda itu. Dia sendiri tak bergerak sedikitpun. Kepalanya masih tunduk dan suara bansinya mendayu lembut dan lemah.
"Sikat dia!" Suara pimpinan penyamun itu mengguntur. Enam orang pemegang tombak segera berlarian ke depan. Dan dalam jarak lima depa dari anak muda itu mereka tegak berbaris. Datuk Sipasan yang sejak tadi tertegak heran menyaksikan kejadian itu, kali ini tak sampai hati melihat anak muda itu jadi tusukan tombak.
"Larilah anak muda!!" Serunya. Namun anak muda itu tak bergerak. Dia tetap meniup bansinya perlahan. Tak menoleh sedikitpun ke samping, di mana penyamun-penyamun itu siap melempar kan tombaknya. Dan suara tombak itu bersuitan.
Namun kali ini semua mereka yang ada di bukit Tambun Tulang itu pada ternganga.
Tombak-tombak itu tak satupun yang menyentuh kulit anak muda tersebut. Tak satupun!
Keenam tombak itu melenceng ke kiri, ke kanan atau ke atas kepalanya. Kemudian perlahan menoleh pada mereka.
Tatapan matanya lembut. - Dia lebih mirip seorang seniman. Tubuhnya semampai dengan kulit halus. Rambutnya yang berombak tergerai sedikit di atas bahu meskipun kepalanya diikat selembar kain putih seperti selendang.
Saat itu pimpinan penyamun yang tadi tegak di atas batu di mana dia kini tegak, maju meraih dua batang tombak dari anak buahnya. Dia melangkah empat depa ke depan. Kemudian dengan suara parau bicara :
"Kau boleh berlagak di rumahmu buyung. Tapi di depanku, di depan Gampo Bumi, kau jangan banyak lagak...."
Begitu ucapannya habis, begitu orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Gampo Bumi ini melemparkan kedua tombak di tangannya sekaligus pada anak muda itu.
Lemparannya menimbulkan suara mendengung saking kuat dan cepatnya. Siapapun yang hadir di sana maklum, bahwa dengung suara tombak yang melaju itu disebabkan tenaga dalam Gampo Bumi yang luar biasa. Tombak itu tak kelihatan saking cepatnya.
Namun kembali terjadi keajaiban. Anak muda itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bansi yang panjangnya lebih sejengkal itu.
Pletak...!! Trak...! Kedua tombak yang melesat laju itu dia hantam dengan bansinya. Dan dua tombak itu patah empat! Kemudian hal yang luar biasa ialah keempat potong patahan tombak itu melesat lagi ke arah tuannya dengan kecepatan dua kali lipat!
Terdengar seruan kaget penyamun-penyamun itu, termasuk Gampo Bumi meloncat empat depa ke belakang. Hampir saja dia kalah cepat. Peluh dingin membersit di keningnya.
Dengan ragu dia menatap pada anak muda yang masih duduk dengan tenang di batu sana.
Anak muda tersebut tegak perlahan. Tubuhnya yang semampai kelihatan kurang meyakinkan atas hal yang baru saja terjadi. Apakah itu memang karena ilmunya yang tinggi atau hanya suatu kebetulan" Anak muda itersebut melangkah di atas batu besar itu. Dia melangkah empat langkah ke depan. Dan semua orang jadi tambah heran, pada saat dia melangkah, terdengar suara giring-giring berbunyi. Semua mata kini menoleh ke kakinya. Namun tak seorangpun yang bicara, anak muda itu angkat suara:
"Adakah di antara kalian yang pernah mengenal atau merasa memiliki giring-giring yang saya pakai ini?" Suaranya bergema perlahan dihutan dalam bukit itu. Tak ada yang menyahut.
Dia menanti beberapa saat. Wajahnya kelihatan kecewa ketika tak seorangpun yang menyahut.
"Adakah di antara kalian yang pernah mendengar bahwa ada anak lelaki yang lenyap dengan giring-giring di kaki kanannya?" Datuk Sipasan dapat menangkap nada haru dalam ucapan anak muda ini. Tapi kembali tak seorang pun yang menjawab.
"Tak seorangpun yarg tahu...." desah anak muda itu. Kepalanya tunduk. Tangannya bergerak kembali ke pinggang, menyimpan bansinya. Dan dia melangkah turun ke sebalik sana. Ketika dia hampir lenyap dari pandangan, Datuk Sipasan berseru.
"Anak muda tunggu dulu....!" Anak muda itu berhenti.
"Apakah bapak mengenal giring-giring ini?" tanyanya penuh harap.
Datuk Sipasan menggeleng, dia memanggil anak muda itu hanya dengan harapan agar bisa menolong melepaskan rombongannya dari kekejaman penyamun bukit Tambun Tulang ini.
"Tidak...." katanya perlahan.
Anak muda itu melanjutkan langkahnya lagi. Kepalanya lenyap di balik batu sana.
Datuk Sipasan tahu, bantuan dari orang lain tak mungkin dia harapkan. Kini dia punya kesempatan lagi untuk melawan. Meskipun tangan kanannya patah, tapi dengan cepat dia merampas sebuah kelewang dari tangan penyamun di dekatnya. Kemudian dengan kelewang itu juga dia menyabet leher penyamun itu. Terdengar pekik kesakitan, dan penyamun yang tak menyangka diserang itu melosoh turun tanpa nyawa.
Bukan main berangnya Gampo Bumi melihat hal itu.
"Beruk haram jadah! Kucincang tubuh waang!" bentaknya. Dan dengan sengit ia menerjang maju Rombongan Datuk Sipasan melihat perlawanannya itu kembali timbul semangat.
Meskipun sudah hampir separoh dari rombongan mereka yang mati, tapi kini mereka membalas lagi menyerang. Perkelahian kembali berkobar.
Gampo Bumi menerjang Datuk Sipasan, dengan tangan kosong. Terjangan pertama dikibas dengan kelewang oleh Datuk itu. Tapi Gampo Bumi memang bukan lawannya. Begitu pedangnya bergerak untuk menghantam kaki Gampo Bumi, kaki itu ditarik amat cepat. Saat berikutnya kaki kirinya melayang amat tepat. Dan tak ampun, perut Datuk Sipasan kena hantam. Datuk itu tercampak empat depa. Dia muntah darah. Dari barisan belakang terdengar pekik orang meregang nyawa. Salah seorang anggota rombongan Datuk itu mati dihunjam tombak didadanya.
Gampo Bumi mengambil tombak dari anak buahnya.
"Waang harus berkubur di sini beruk!" serunya sambil melemparkan tombak itu pada Datuk Sipasan yang jatuh berlutut sambil muntah darah. Namun saat itu dari batu tadi kembali tedengar bentakkan:
"Berhenti!" Suara itu demikian berwibawanya. Menyebabkan semua orang yang tengah berkelahi itu pada terhenti dan tertegak di tempatnya. Tidak hanya itu, orang itu mengibaskan tangannya. Dan sebuah ranting melayang cepat menyusul tombak yang tengah meluncur ke arah dada Datuk Sipasan. Sejengkal lagi tombak itu menembus dadanya, tiba-tiba ranting tersebut memapahnya di perjalanan.
Tombak itu patah dua, dan mental ke dalam semak!
Bersambung Episode 4 - Pemuda Misterius bergiring giring
Semula orang menoleh lagi ke batu itu. Dan semua mereka jadi terkesima. Di batu itu, berdiri kembali anak muda berpa-kaian putih dan bergiring giring perak tadi!
"Mengapa kalian menyebar bencana di sini?" tanyanya dengan suara berbegu pelan.
Gampo Bumi tak dapat menahan berangnya. Meskipun tadi dia melihat kehebatan anak muda ini, tapi sudah puluhan tahuri mereka berkuasa di bukit ini tanpa ada yang berani mengganggu kedaulatan mereka. Kini ada saja anak bau bawang yang berani menyuruh berhenti dan memerintah yang tidak-tidak. Bukankah ini suatu yang memalukan dan tak bisa dipediarkan terus"
"Hei beruk! Jangan waang terlalu banyak bicara. Waang sangka waang jagoan dengan menge-lakkan tombak-tombak tadi?" Sehabis berkata begini dia menoleh pada anak buahnya.
"Tangkap monyet itu. Bawa dia ke mari. Saya akan menyunatnya habis-habisan!"
Belum perintahnya habis, empat orang anak buahnya yang bertubuh besar bersenjatakan keris dan golok dengan sorak sorai berlompatan memburu ke atas batu tersebut.
Tapi begitu mereka sampai di atas, terdengar anak muda itu membentak:
"Mundur!" Aneh, keempat penyamun itu seperti didorong tenaga raksasa. Mereka terpental ke belakang bergulingan.
"Kenapa kalian harus saling bunuh di sini?" kembali pertanyaan itu dia ucapkan. Dan kali ini Gampo Bumi menjawab dengan sengit;
"Ini kerajaan kami buyung. Bukit ini dinamai orang Tambun Tulang. Karena kami menyembelih mereka di sini. Nah, kalau waang masih ingin selamat, cepatlah tinggalkan tempat ini!"
Gampo Bumi sebenarnya tidak menggertak. Dia ingin anak muda itu pergi cepat. Sebab melihat makan tangan anak muda ini barusan, hatinya jadi ciut juga. Kalau anak muda ini turun tangan membantu Datuk Sipasan, maka ada harapan mangsa mereka ini bisa lolos.
Tapi anak muda itu tetap tegak di sana. Muka-nya yang tenang menatap semua orang. Dan dia melihat beberapa lelaki terkapar mandi darah tak bergerak.Mati!
'Teman bapak kah orang-orang yang mati itu?" tanyanya pada Datuk Sipasan yang masih terduduk dengan mulut berdarah.
Datuk Sipasan cepat mengangguk "Kenapa kalian berbunuhan di sini?"
"Mereka merampok kami..."
Sinar tajam membersit dari tatapan anak muda berbaju putih yang terbuat dari satin itu.
Kembali matanya menatapi seluruh rombongan. Melihat beberapa perempuan. Semua mereka juga menatap padanya.
"Perempuan-perempuan itu, apakah juga rombongan bapak?"
Kembali Datuk Sipasan mengangguk.
Dan kini, tatapan mata anak muda itu menyapu Gampo Bumi. Kemudian kembali menatap Datuk Sipasan.
"Akan ke mana bapak bersama seluruh rombongan ini pergi?"
"Kami akan ke luhak Tanah Datar. Mungkin juga ke Luhak Agam..."
"Nah, sekarang berangkatlah selagi hari masih siang..."
Datuk Sipasan menatapnya. Dia ingin tegak, tapi tulang rusuk dan tangannya patah. Kini dia muntah darah, bagaimana dia akan berangkat" Datuk ini menguatkan hati, dia bangkit, lalu meng-hadap pada teman-temannya.
"Kuburkan mayat teman-teman. Dan bersiaplah untuk berangkat..."
"Tunggu!"
Yang berseru ini adalah Gampo Bumi. Semua menatapnya. Termasuk juga anak muda itu.
"Hei buyung berbaju putih dan bergiring-giring perak, dengarlah! Ini daerah kekuasaan kami, siapapun yang lewat di sini, harus membayar upeti pada kami. Jika upeti tidak dibayar, nyawa dan hartanya kami ambil. Begitu dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, turun temurun sampai kini"
"Dan itu hanya boleh sampai hari ini". Anak muda itu memotong cepat.
"Siapa yang membuat aturan itu?"
"Saya!"
Gampo Bumi meludah. Kemudian tertawa terbahak. Belasan anak buahnya juga ikut tertawa.
"Kalau saya tak sayang pada tubuh waang yang kerempeng itu buyung, maka waang sudah saya buat jadi sup. Bagaimana waang berhayal bisa memerintah orang-orang di Bukit Tambun Tulang" He, bagaimana" Apakah waang tersapa atau mimpi?"
Anak muda itu tak mengacuhkannya. Dia menghadap dan bicara pada rombongan Datuk Sipasan.
"Kuburkanlah teman-teman bapak. Kemudian berangkatlah!"
"Hei monyet, waang dengar ucapanku atau tidak" Waang harus enyah segera dari sini!"
Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentakan Gampo Bumi yang mengguntur itu membuat rombongan Datuk Sipasan jadi kecut.
Namun anak muda itu kini melangkah menuruni batu besar itu. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi pada giring-giring perak di kaki kanannya.
"Sekali lagi kau bicara seperti itu kutanggalkan gigimu..." Anak muda itu bicara perlahan Namun suaranya yang berbegu itu didengar dengan jelas oleh semua orang.
Bukan main berangnya Gampo Bumi. Seumur hidup, belum pernah ada orang atau setan sekalipun yang berani menghinanya seperti ini. Di depan anak buahnya pula. O, muka pimpinan penyamun ini jadi merah padam dan membengkak seperti orang mau berak.
Giginya berbunyi. Jahannam ini tak boleh dibiarkan hidup. Jelas dia telah mencorengkan taik dikeningku, bisik hatinya.
Dia membaca ajian yang pernah dia pelajari, kemudian didahului oleh sumpah serapahnya, dia maju membuka serangan sambil menyumpah.
"Beruk besar...ku..."
Ucapannya belum habis ketika sebuah bayangan putih berkelebat. Dan saat berikutnya, Gampo Bumi terpekik. Anak muda itu sudah pindah tempat. Tak seorangpun yang melihat bagaimana dia bergerak. Gampo Bumi menunduk sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ketika tangannya dia renggangkan, di telapak tangannya berkumpul empat buah gigi depannya !
"Kepung dan mampuskan beruk itu!" suara dan perintah Gampo Bumi mengguntur. Anak buah nya mengepung anak muda berbaju putih dan I bergiring-giring perak itu.
Dengan tombak teracung dan pedang siap di tangan, mereka mengurung anak muda itu di tengah. Lingkaran yang mereka buat makin dikecil-kan setiap kali mereka melangkah maju.
Anak muda itu masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun!
"Hei beruk, beri tahu siapa nama waang, siapa guru waang, agar kami bisa mengirim telinga waang pulang atau mengirimkannya ke guru waang yang celaka...."
Ucapan ini terhenti lagi ketika tiba-tiba bayangan putih melesat ke arahnya dengan kecepatan kilat. Saat berikutnya tubuhnya melayang, dan kini dia berada di tengah lingkaran yang dibuat anak buahnya bersama anak muda itu.
Benar-benar merinding bulu tengkuk Gampo Bumi. Dia sedang bicara tadi, jaraknya dengan anak muda itu ada enam depa. Anak muda itu berada di tengah kepungan anak buahnya.
Tahu-tahu dia merasakan tubuhnya diteteng tanpa dapat melawan sedikitpun.
Ketika sama-sama tertegak dalam lingkaran itu. Gampo Bumi mencabut keris di pinggangnya. Selama ini amat jarang dia mencabut keris. Hanya melawan orang-orang tangguh saja dia mempergu-nakannya. Tapi kali ini, dengan bulu tengkuk berjingkrat karena ngeri, dia mencabut senjatanya itu. Keris itu berlekuk lima berwarna merah. Dan tanpa banyak pikir dia menikamkan keris tersebut pada anak muda yang tegak di kirinya.
Anak muda itu mengelak sedikit, saat berikutnya tangannya bergerak, dan terdengar suara ber-derak dan lolongan Gampo Bumi ketika tangannya di sentuh oleh jari tangan anak muda itu. Lengan-nyalah yang berderak itu. Patah! Melihat ini, anak buahnya bukannya jadi takut.
Malah dengan sebuah bentakan mereka mulai berlari mengitari anak muda itu.
Mereka berlari membuat lingkaran. Pada saat-saat tertentu, dua orang dan arah yang berlawanan menyerang ke tengah. Yang satu menusuk dengan tombak, yang satu membabat dengan golok. Inilah apik rotan. Suatu kepungan yang ditakuti kaum pesilat di Minang saat itu. Lawan akan terkurung dan jadi pening dikitari sambil berlari itu.
Jika lawan berniat menangkis serangan orang yang berdua itu, maka dua orang lainnya segera muncul menyerang pula, dan yang menyerang pertama tadi masuk lagi kelingkaran sambil berlari mengikuti lingkaran tersebut. Biasanya pesilat-pesilat yang berkurung di tengah tak sampai ber-tahan empat jurus. Tapi kali ini anak muda itu tak perduli. Dia memegang lengan Gampo Bumi, kemudian tanpa bicara melemparkannya ke arah lingkaran yang mengepungnya! Gampo Bumi ter-pekik. Barisan yang melingkar itu sendiri jadi kacau balau.
Mereka tak mau menlanjutkan serangan, Sebab bisa mencelakakan pimpinan mereka. Gampo Bumi tercampak di tanah yang berkerikil.
Semua jadi terhenti. Dan memandang anak muda itu dengan wajah pucat. Melihat kejadian ini, rombongan Datuk Sipasan yang tadi kecut karena kekurangan jumlah orang dan kekurangan kepandaian, kini terbit lagi semangatnya.
Kini mereka mengambil lagi pedang dan keris, dengan bersorak mereka mengejar penyamun-pe-nyamun itu. Mereka berteriak membalaskan dendam teman-teman mereka yang telah mati barusan.
Beberapa orang di antara penyamun itu kembali mengadakan perlawanan. Tapi perhatian mereka terpecah pada anak muda bergiring-giring perak itu. Mereka merasa anak muda itu akan ikut nyerang. Ini membuat perhatian mereka tidak tertuju pada serangan. Dalam waktu singkat, beberapa orang terpekik mandi darah.
Rombongan Datuk Sipasan makin bersemangat. Akhirnya dua orang penyamun menghambur ke dalam semak belukar. Dan lenyap melarikan diri. Tindakan ini diikuti oleh beberapa orang lainnya. Akhirnya Gampo Bumi sendiri ikut ambil langkah seribu. Meninggalkan sebelas anak buahnya yang telah jadi mayat.
"Awas waang buyung. Kali ini kami kalah, tapi akan datang saatnya nanti, guru kami Harimau Tambun Tulang akan mengupakkan seluruh tulang belulang waang. Dan itu pasti takkan lama. Waang akan kami buru, meski ke ujung dunia se-kalipun!"
Ucapan ini dilontarkan oleh Gampo Bumi begitu dia akan meloncat melarikan diri ke dalam palunan belukar di kaki Bukit Tambun Tulang itu
Episode5 - Kisah Duka Giring Giring Perak
Rombongan Datuk Sipasan ber-sorak gembira. Mereka ramai-ramai mendekati anak muda itu. Dan ketika mereka tegak mengelilinginya, baru jelas bagi mereka, betapa masih mudanya dia.
Paling-paling baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Semampai dan tampan serta berkulit kuning bersih. Tak ada tanda-tanda bahwa dia se orang pesilat, apalagi memiliki ilmu tinggi yang sanggup mengalahkan murid Harimau Tambun Tulang.
Datuk Sipasan maju ke depan.
"Terima kasih anak muda. Engkau telah menyelematkan nyawa kami semua. Tak tahu bagaimana cara membalas budi yang telah kami terimaini. Hanya Tuhan yang akan membalasnya...."
"Tak usah dipikirkan hal itu. Apakah tak lebih baik menguburkan teman-teman yang meninggal?"
Semuanya jadi sadar. Dan mereka lalu ramai-ramai menggali lubang besar. Ada sembilan orang yang meninggal. Dan semua mereka dikuburkan dalam sebuah lobang bersamaan.
Ketika mereka selesai menguburkan mayat-mayat itu, hari telah senja.
"Tak jauh dari sini, ada air terjun di batang Anai. Barangkali lebih baik kita bermalam dekat air terjun itu sambil bertanak. Anak muda, kami mengundang anda untuk makan bersama malam ini. Jangan menolak, kami punya bekal cukup banyak. Dendeng daging rusa, dan palai rinuak. Marilah kita kesana..."
Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan gembira oleh semua anggota rombongan. Mereka mengagumi anak muda itu. Mereka ingin mengenal-nya. Dan mereka juga berfikir, alangkah baiknya kalau anak muda ini bisa melanjutkan perjalanan bersama mereka ke Luhak Tanah Datar. Lagi pula mereka belum mengenal siapa namanya, dari mana dia dan di mana perguruannya.
Anak muda itu tak menolak. Rombongan itu dengan bernyanyi gembira lalu melanjutkan perjalanan. Tak sampai satu jam, rombongan itu tiba di bawah air terjun di danau kecil yang amat indah di mana air terjun itu menghamburkan diri.
Tempat itu tak berapa jauh dari Bukit Tambun Tulang. Bahaya serangan mendadak dari penyamun penyamun tadi bukannya tak mungkin. Tapi dengan adanya anak muda tangguh ini, mereka yakin penyamun itu takkan berani menampakkan batang hidung.
Anak muda itu ternyata juga mahir dalam obat obatan. Tangan dan rusuk Datuk Sipasan yang patah dia obat dengan ramuan daun-daunan yang dia ambil di sekitar air terjun tersebut.
Obat itu mendatangkan rasa nyaman dan me-legakan pernafasan Datuk tersebut. Ngilu dan nyerinya lenyap sama sekali.
Pengobatan itu dia lakukan setela-h selesai makan. Mereka semua berkumpul mengitari api unggun besar yang dibuat tak jauh dari air terjun. Lelaki perempuan, tua muda berkumpul ingin melihat dan mendengar cerita anak muda yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu.
Beberapa orang yang luka juga diobati. Dan sama keadaannya dengan Datuk Sipasan, luka mereka terasa banyak sekali angsurannya.
"Obat apa namanya ini?" tanya Datuk Sipasan.
"Inilah pengobatan asli sejak nenek moyang kita. Segala obat yang dibuat berasal dari daun-daun dan akar-akar serta getah tumbuh-tumbuhan"
Dan malam itu rombongan penduduk yang pindah dari Pariaman ke Luhak Tanah Datar itu mendapat pelajaran yang amat bermanfaat. Yaitu belajar meramu obat-obatan.
Mereka sibuk mencari akar kayu daun tumbuh-tumbuhan yang ditunjukkan contohnya oleh anak muda itu. Dan diterangi api unggun mereka mem-buat obat-obatan.
Menjelang tengah malam, tak seorangpun yang berniat untuk tidur. Dan Datuk Sipasan mengerti apa yang diingjni oleh rombongannya.
Ketika mereka duduk sambil menghirup kopi yang dijerangkan oleh Siti Nilam, gadis berusia 17 tahun yang ayahnya mati di Bukit Tambun Tulang tadi, yang dirinya hampir pula dinistai penyamun itu. Datuk itu membuka pembicaraan dengan hati-hati.
"Maaf, sampai saat ini kami belum tahu harus memanggil apa pada engkau anak muda.
Maksud saya, kami belum tahu siapa namamu, di mana kampungmu dan akan ke mana engkau sebenar-nya. Sementara tentang diri kami semua, rasa-nya sudah tak ada lagi yang harus diceritakan..."
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia memandang ke arah air terjun di lembah anai itu.
Lambat-lambat menanggalkan giring-giring perak di kaki kanannya.
"Masih ingat pertanyaan saya tadi... ketika masih di bukit Tambun Tulang?" dia bertanya perlahan.
"Ya, saya masih ingat. Engkau menanyakan kalau-kalau ada diantara kami yang mengenal giring-giring ini..." jawab Datuk Sipasan. Anggota rombongan yang lain pada menggeser duduknya mendekat.
Anak muda itu menarik nafas panjang. Matanya menghadap lurus ke depan. Dan di depannya, justru duduk Siti Nilam di samping seorang perem-puan lain. Tanpa disadari, mereka bertatapan cukup lama. Akhirnya Nilam menundukkan muka-nya yang bersemu merah dalam cahaya api unggun.
"Siapa nama saya, darimana saya da tang, itu yang selalu ditanyakan orang...." anak muda itu berkata perlahan sambil menatap api unggun. Seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Namun, itu pula yang tak saya ketahui..." katanya lagi. Semua yang hadir jadi tertegun tak mengerti.
"Ya." dia melanjutkan lagi, "saya tak mengetahui siapa nama saya. Dan tak tahu di mana kampung halaman saya. Saya juga tak tahu siapa ayah dan ibu saya. Ketika saya mulai bisa berfikir, saya mendapati diri saya di puncak Gunung Talang bersama seorang lelaki tua yang saya sangka ayah saya. Namun setahun yang lalu, dia menceri-takan semuanya. Bahwa saya bukan anaknya. Bahwa dia menemukan saya di sebuah ladang yang dia sudah tak ingat di mana tempatnya. Saya dia temukan ketika masih berumur 5 bulan. Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada negeri hangus terbakar, penduduknya melarikan diri. Kabarnya baru kena rampok. Saya dia bawa ke Gunung Talang di mana dia tinggal. Satu-satunya tanda yang ada pada saya adalah giring-giring perak ini.
Orang tua yang merawat saya itulah guru saya bersilat dan belajar ilmu bathin serta ilmu obat-obatan. Tiga bulan yang lalu saya disuruhnya turun gunung mencari orang tua saya.
Mencari kampung saya. Dia tak mengetahui sia nama saya. Dan kalau dia memanggil, dia memanggil saya dengan sebutan si Giring-Giring Perak.
Sejak sebulan yang lalu, saya sudah mendatangi Padang dan Pesisir Selatan, mendatangi kampung demi kampung, memasuki belukar dan ladang, mencari kalau kalau ada orang yang kehilangan anak 20 tahun yang lalu. Dengan giring-giring perak di kaki kanannya.
Itulah sebabnya, giring-giring ini tak pernah saya lepaskan, meskipun sudah begim besar.
Saya yakin suatu hari, entah kapan, barangkali ibu atau ayah, atau barangkali kakak saya, kalau mereka masih hidup, mereka akan mendengar giring-giring ini, dan teringat pada saya... Saya akan mencari mereka, kemanapun jua...."
Ketika dia menghentikan ceritanya, perempuan perempuan pada mengusap air mata. Lelaki pada menunduk.
"Maafkan saya telah membangkitkan cerita yang membuat anda sedih..." kata Datuk Sipasan.
Anak muda itu menggeleng. Dia tersenyum lemah. Dan tiba-tiba matanya bertatapan lagi dengan Siti Nilam yang kebetulan lagi mencuri pandang padanya. Gadis itu basah pipinya karena air mata. Dia teringat ayahnya yang mati di bukit Tambun Tulang tadi. Kini dia juga sebatang kara, ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit perut di Pariaman.
Mereka bertatapan lama sekali.
Episode6 - Malam Mencekam di Batang Anai
Lewat tengah malam, ketika semua rombongan bergelung di keliling api untuk tidur, sementara yang perempuan masuk ke pedati, anak muda itu berjalan lambat-lambat menjauhi lingkaran api unggun itu.
Beberapa orang terbangun mendengar suara giring-giring perak di kakinya ketika dia melangkah. Suara giring-giring itu melantun lemah. Seperti se-buah dendang rindu dan putus asa seorang anak yang mencari kedua orang tuanya.
"Si giring-giring perak itu pergi" bisik seorang lelaki pada Datuk Sipasan. Datuk itu membuka matanya.
"Saya juga mendengar suara giring-giringnya. Tapi saya rasa dia takkan pergi..." jawab si Datuk perlahan.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, pokoknya saya rasa dia akan tetap bersama kita sampai besok. Dia takkan mau meninggalkan rombongan yang telah ditolongnya di kaki bukit ini. Tempat ini masih sangat berba-haya. Barangkali penyamun-penyamun itu tengah mengintai kita. . ."
"Aneh, siang tadi sama sekali saya tak melihat dia bersilat..."
"Maksudmu...?" seorang lain di dekat api unggun yang mendengar pembicaraan perlahan itu bertanya sambil mengangkat kepala dari batu yang dia jadikan sebagai bantal. Nada tanyanya agak berang.
"Maaf, bukan saya menyangsikan kepandaian-nya. Tapi...saya tak punya kesempatan melihat dia bergerak. Terlalu cepat..."
"Ya. saya sendiri tak tahu bagaimana cara dia bergerak. Hanya melesatnya bayangan putih yang nampak ketika dia menyerang Gampo Bumi dua kali. Dan tombak yang hampir menyudahi nyawa saya, dia hantam dengan ranting kayu.. Gerakannya benar-benar cepat.
Hei, dia memang belum mengatakan siapa gurunya tadi bukan"..." Ucapan Datuk Sipasan ini membuat beberapa lelaki bangkit dari pembaringan mereka. Pembicaraan itu memang menarik perhatian .mereka semua.
"Ya. Dia tak pernah bicara tentang siapa nama gurunya. Yang dia katakan hanyalah bahwa gurunya berdiam di Gunung Talang...."
"Gunung Talang... Seingat saya tak pernah ada seorangpun guru silat tinggal di sana. Ataukah pengetahuan saya demikian sempitnya hingga yang saya ketahui hanyalah perguruan-perguruan kecil saja?" Datuk Sipasan seperti bicara pada dirinya sendiri.
Suara giring-giring itu sudah senyap. Yang terdengar kini hanyalah suara desah air terjun Anai dan bisikan malam bersahutan dengan suara peng-huni hutan.
"Hei Datuk, bagaimana kalau dia kita jodohkan dengan Siti Nilam?" Seorang lelaki separoh baya bicara. Ucapannya tak begitu keras. Tapi hampir semua lelaki yang tidur di keliling api unggun itu pada menyumburkan kepala mereka dari bawah selimut. Beberapa orang di antaranya malah du-duk. Datuk Sipasan masih diam.
"Apa maksudmu?" tanyanya perlahan.
"Ehm...maksud saya... maksud saya mereka nampaknya saling jatuh hati."
"Darimana kau tahu?" Seorang lelaki dekat pohon tumbang yang telah duduk dari berbaring-nya bertanya.
"Saya melihat mereka saling menatap lama sekali tadi...."
"Ya, saya juga melihat..." kata lelaki lain.
"Ya, saya juga!"
"Saya juga..."
"Ketika berkelahi di Bukit Tambun Tulang tadi, dia bertatapan cukup lama dengan Kepala Penyamun itu. Juga dengan saya. Apakah itu pertanda cinta pula?" Suara Datuk Sipasan masih terdengar perlahan tanpa merobah posisinya ber-baring.
Ucapannya ini disambut oleh tawa bergumam beberapa orang. Tapi lelaki yang bicara pertama tadi menyela lagi:
"Pandangannya pada Datuk dan kepada Kepala Penyamun itu sudah tentu berlainan dengan pan-dangannya pada Nilam. Jangan disamakan. Dia pastilah anak muda normal Datuk...."
Kembali beberapa orang tertawa mendengar kilah ini. Datuk Sipasan sendiri ikut tersenyum.
"Ya. saya juga melihat dia menatap lama sekali pada Nilam"
"Tidak hanya dia Datuk. Nilam juga membalas tatapannya lama sekali. Dan itu bukan hanya seke-dar tatap-tatapan. Tatapannya punya arti"
"Arti yang dalam...." sambung yang lain.
"Dalam dan bermakna..." sahut yang lain pula.
"Bermakna dan indah...." yang lain lagi bicara.
Dan mereka jadinya bicara bergalau. Kemudian galau itu terhenti tatkala sayup-sayup terdengar suara bansi. Suara bansi di tengah malam!
Bunyi bansi itu lembut mendayu. Mereka saling pandang. Kemudian beberapa orang merebahkan badannya kembali. Beberapa orang lagi mengikuti berbaring perlahan. Menarik selimut, berkelumun. Namun suara bansi itu tetap mereka dengar. Ada relung hati mereka yang serasa teriris pilu bersama suara bansi yang alangkah menghibanya itu.
"Dia merindukan orang tuanya. Saudaranya. Kakaknya, atau siapa saja yang bisa mengenal nya.." seorang berkata dari balik kain sarung yang menutupi wajahnya.
"Suara bansi itu adalah suara hatinya..."
"Alangkah sepinya malam ini. Malam yang gelap di tengah rimba. Namun dirinya ratusan kali lebih sepi dari kesepian rimba ini. Hidup tanpa mengenal apa-apa. Bahkan nama dan "
dirinya sendiri tak dia kenal..." Datuk Sipasan berkata perlahan. Yang lain mendengarkan sementara hati mereka jatuh hiba mendengar suara bansi itu.
"Kalau dia memang punya hati pada Nilam, saya amat bersyukur. Nilam baru kehilangan ayah. Kehilangan ibu. Kini dia sebatang kara. Kalau mereka dijodohkan Tuhan, saya yakin mereka akan bahagia. Nilam akan mendapat pelindungan dari lelaki yang gagah perkasa.
Sementara anak muda itu akan menemukan ibu, adik dan saudaranya dalam diri Nilam..."
Datuk itu berkata perlahan.
Malampun berangkat larut. Tak ada lagi di antara mereka yang bicara. Barangkali semua ter-tidur karena lelah. Tapi barangkali juga tak seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Salah seorang di antara yang tak bisa memejamkan mata itu adalah Siti Nilam. Dia terbaring dengan gelisah dalam ruang pedatinya. Suara bansi itu amat menggelisahkan hatinya. Dia tak tahu kenapa dia menangis. Dia tak ingin menangis. Tapi air mata menggabak terus di pipinya.
Dia teringat pada almarhum ibunya. Pada ayah-nya yang baru saja meninggal siang tadi. Dia kini sebatang kara. Tak ada famili. Kemana dia harus pergi" Ikut terus dengan rombongan ini" Kemudian mengapa" Sebagai gadis yang baru saja mekar, dia tahu cukup banyak lelaki yangjatuh hati padanya. Namun dia tak pernah memikirkan lelaki sekali-pun. Tak pernah!
Tapi tatapan anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu membuat hatinya berdebar.
Dia berbalik ke kiri. Ke kanan. Menghapus air mata. Suara bansi tadi sudah lama lenyap.
Yang terdengar hanya suara burung hantu dan desahan air terjun. Desah air itu seperti desah hatinya yang sepi. Desah hatinya yang sendiri tanpa ayah dan ibu. Dia menghapus air mata.
Dia duduk Dia berdi-ri. Dia turun ketanah. Menghirup udara malam yang alangkah sejuk dan segarnya.
Dia melangkah. Di kanannya kelihatan api unggun. di mana para lelaki pada berbaring, di sekelilingnya. Dia melangkah ke kiri. Dia ingin ' menceritakan penderitaan hatinya pada orang lain. Pada perempuan lain. Dia menol'eh ke pedati Rahimah yang ada di belakang pedatinya. Sunyi. Sudah tidurkah dia" Pasti sudah. Ke sanakah aku" Ah, dia sudah tidur.
Kenapa harus kuikut serta . dia ke dalam rusuh hatikku"
Dengan fikiran demikian dia melangkah terus. Dia ingin ke dekat air mancur. Ingin mendengar resahnya air terjun itu. Barangkali keresahan air terjun itu bisa mengalahkan resah hatinya. Bukankah dengan mendengar keresahan lain keresahan kita terasa lebih ringan"
Tapi kenapa bansi itu tak lagi berbunyi" Ah, lebih baik memang dia tak berbunyi. Tapi aku ingin mendengar bunyinya lagi. pikirnya sambil tetap melangkah ke air terjun.
Namun gadis ini tak mengetahui bahwa ke-inginannya untuk lepas dari kegundahan hatinya itu justru menyeretnya ke dalam bahaya yang mengerikan.
Dugaan Datuk Sipasan memang benar. pimpinan Penyamun Bukit Tambun Tulang itu memang tak mau menyerah begitu saja.
Belum pernah dalam sejarah liidup mereka melepaskan mangsa pergi tanpa upeti. Apalagi rombongan Datuk ini telah mendatangkan celaka pada mereka.
Untuk itu Gampo Bumi mengirimkan empat orang anak buahnya yang tangguh-tangguh untuk mengikuti rombongan itu. Dan mereka jadi gcmbira bahwa rombongan itu justru bermalam dekat air terjun. Hariya mereka jadi kecut melihat anak muda itu tak pernah lepas dari rombongan ter-sebut.
Mereka menanti di seberang air terjun sana. Menanti saat yang baik untuk membalaskan sakit hati dan dendam. Nyamuk dan kegelapan malam bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Bahkan harimau dan ular tak bisa menggetarkan mereka. Mereka sudah terlalu biasa dengan hutan ini. Ini adalah rumah mereka. Mereka mengenal setiap jengkal hutan ini.
Karenanya ketika rombongan Datuk itu terlena tidur di serang kantuk nyamuk dan rasa dingin yang menusuk, mereka enak-enak saja di dahan kayu mengintai.
Suatu saat salah seorang di antara mereka berbisik: '
"Sst, lihat itu...."
Tiga orang lainnya menoleh. Dan mereka melihat sesosok tubuh berjalan ke air terjun.
"Hei, itu perempuan..."
"Sst, jangan ribut. Biarkan dia. Ini umpan yang empuk...."
"Hei, bukankah gadis itu yang gagal dilahap Lelo Cindai siang tadi?"
Lelaki yang bernama Lelo Cindai, yang memimpin rombongan kecil itu mempertajam pandangan. Dan jakunnya turun naik.
"Ya..Ya! Dialah gadis itu. Amboi, gadis yang jolong mekar. Susunya sekepalan tangan.
Mengkal dan harum. Aku sempat meremasnya tadi siang. Pinggulnya.... amboiii. Ini bahagianku. Daripada batang pisang, lebih baik merapalam dan kuini. Tak dapat tadi siang lebih nikmat malam ini...ke-marilah upik.. kemarilah sayang. Ini udamu.. ku-beri kau yang nikmat di dunia ini..." Lelo Cindai berbisik dan perpantun.
"Jangan terlalu panjang pantunnya Lelo. Yang perlu Lelo ingat adateh pantun ini: Di mana tumbuhnya padi, kalau tidak di sungai Batang Had. Kalau Lelo mendapat empat kali, jangan lupa kami seorang sekali".
Pantun ini disambut dengan tawa yang ditahan oleh tiga orang lainnya.
"Berees! Bukankah selama ini saya selalu mem-beri kalian giliran" Kalau saya selesai empat kali, kalian kuberi dua kali seorang Okey?"
"Oke sih Oke Lelo. Tapi apakah gadis itu akan tahan?"
"Jangan khawatir dia tidak hanya "tahan" tapi akan melayani kita semua dengan keahliannya".
"Dengan keahliannya?"
"Ya!"
"Saya rasa dia belum pernah disentuh lelaki Lelo..."
"Jahannam. Siang tadi saya meremasnya. Apakah saya kau anggap bukan lelaki?"
"Bukan! Bukan itu maksud saya Lelo. Selain Lelo saya rasa dia masih perawan. Barangkali umurnya paling tinggi delapan belas...."
"Enam belas! Dia pasti enam belas" kata Lelo Cindai membetulkan.
"Ya, saya percaya itu. Tapi ini dia datang. Lihat dia membasuh mukanya dengan air sedingin ini. Gila. Apakah dia seorang yang berdarah panas makanya malam sedingin ini mencuci muka"
"Ya, dia gadis berdarah panas. Itu bagus bukan" Nah siap-siaplah"
Episode7 - Penculikan Siti Nilam
Anak muda bergiring-giring perak itu bersandar ke batang kayu.Tiga bulan mengitari gunungTandikat. Datang dari kampung kekampung. Bertanya dari rumah ke rumah. Tapi tak seorangpun yang pernah kehilangan anak.
Tak seorangpun yang mengetahui, bahwa ada suatu keluarga yang kehilangan anak dua puluh tahun yang lain. Kalaupun ada, siapa yang masih ingat"
Dan mereka semua mengenal dan memanggil-nya dengan sebutan SI GIRING-GIRING
PERAK. Dia tak bernama, bukankah tanda pengenalnya lianya giring-giring perak itu"
Saya pasti punya nama. Saya pasti punya ayah dan ibu. Suatu saat kelak, kalau mereka masih liidup saya pasti bertemu dengan mereka. Pasti Tapi apakah mereka masih hidup" Dan acapkali, jika diu sampai pada fikiran seperti ini dia menun-duk. Menyeinbunyikan kepalanya diantara kedua lututnya.
Tangannya bergerak ke bawah perlahan. Meme-gang pergeiangan kaki kanannya. Menyentuh giring-giring perak itu. Talinya sudah dia perpan-jang. Karena sudah tak muat lagi. Jari-jarinya mempermainkan buah giring-giring itu.
Tapi tiba-tiba kepalanya tertegak. Dia seperti mendengar jerit tertahan. Salah dengarkah dia"
Suara burung malamkah itu" Atau suara anak harimau"
Tidak, itu pasti suara perempuan. Dia melang-kah sepat arah ke api unggun. Di sana Datuk Sipasan sudah tegak. Ketika dia melihat Anak muda itu datang, dia segera bicara:
"Saya mendengar suara pekik tertahan..."
"Entahlah. Hei bangun semua!!" Suara Datuk ini membangunkan semua lelaki.
"Ada suara pekik tertahan. Coba periksa semua pedati. Kumpulkan perempuan-perempuan."
Semua lelaki memasang suluh yang telah ter-sedia sejak dari Pariaman. Dan dengan suara keras memanggil perempuan-perempuan untuk berkumpul.
"Siti Nilam..." Datuk itu berkata cepat begitu perempuan-perempuan yang berjumlah enam belas orang itu berkumpul.
, "Ya dia yang tak ada. Saya lihat pedatinya kosong!"
"Harimau atau penculikan?" Datuk itu berkata perlahan.
"Saya rasa diculik" kata si Giring-giring Perak. Suaranya datar tanpa emosi.
"Bersebar tiga-tiga. Cari dia sampai da pat!" Datuk itu memerintahkan semua lelaki. Namun si Giring-Giring Perak mencegahnya.
"Tak ada gunanya Datuk. Malam terlalu gelap. Hutan ini terlalu lebat. Datuk pasti tak mengenal rimba ini. Sementara penyamun itu sudah kenal setiap jengkal hutan ini dengan baik" "Tapi kami bertanggung jawab padanya. Dia sebatang kara. Ayahnya meninggal siang tadi. Sementara ibunya sudah beberapa tahun yang lalu mati karena sakit perut..."
Si Giring-Giring Perak menatap Datuk Sipasan. Kemudian dia berkata perlahan:
"Saya akan mencarinya...."
"Kami akan ikut dengan anda..."
"Terimakasih. Tapi saya juga mengenal hutan ini dengan baik. Saya rasa sendiri akan lebih mudah Tunggulah di sini, Insya Allah, sebelum fajar datang, saya akan membawa gadis itu, siapa nama-nya tadi" Nilam?"
"Ya, Nilam. Siti Nilam..."
Dan sebelum mereka sadar apa yang terjadi, anak muda itu tiba-tiba lenyap dari hadapan mereka.
"Ya Tuhan, sebentar ini dia di sini. Di hadapan kita. Kenapa tiba-tiba lenyap?" Seorang lelaki tua bicara dengan mulut ternganga.
Datuk Sipasan menggeleng.
"Alangkah sempitnya dunia kita. Seumur hidup, saya tak pernah melihat orang mampu bergerak demikian cepat..."
"Apakah.. apakah dia memang manusia?" seorang perempuan bicara perlahan. Semua mata memandang padanya. Kemudian mereka saling tukar pandangan.
"Ya, apakah dia bukan jin" Kenapa dia mema-kai kain serba putih" Bukankah yang memakai pakaian serba putih itu hanyalah mayat" Apakah dia bukannya sebuah tamsil pada kita yang hidup, bahwa dia melintas membawa pesan kematian?" Datuk Sipasan tersenyum mendengar ucapan
anak muda ini. "Sebaiknya engkau menjadi seorang seniman buyung. Ucapanmu terlalu puitis. Tapi ada benar- nya. Dia memang membawa pesan kematian. Pesan kematian bagi Penyamun-penyamun itu".
Episode 8 - Nafsu Birahi Lelo Cindai
Si Giring-giring Perak segera menyeruak belukar ke arah di mana dia tadi mendengar suara itu. Rasanya tak jauh dari air terjun. Ketika ka kinya menginjak sebuah batu layah, dia merasa kan batu itu basah. Dan inderanya yang tajamse gera dapat menangkap, bahwa gadis itu di sekap dari atas batu itu.
Dan dari situ dia memandang keliling. Di sebe-lah kiri ada dinding batu setinggi puluhan meter dari mana air terjun itu berasal. Di sebelah bela-kangnya adalah rombongan itu bermalam. Dia memandang ke depan.
Delapan depa di depannya, setelah air terjun itu melintasi sebuah sungai kecil ada belukar. Di belukar itu ada pohon besar dan rimbun, Dia me-lompat. Dalam sekali lompatan yang ringan dia berada di salah satu cabang pohon tersebut.
Ada ranting kecil yang patah. Dan dia segera tahu, dari pohon inilah penyamun-penyamun itu mengintai. Dari tempat ini amat jelas rnelihat ke arah api unggun. Dan amat mudah untuk men-capai setiap orang yang datang ke air terjun.
"Hmm, ada empat atau tiga orang yang mengintai dari pohon ini...." bisiknya setelah memperhatikan dahan besar di kayu itu. Dengan memperhitungkan situasi tempat itu, dia segera tahu ke arah mana Siti Nilam dibawa lari.
Siti Nilam yang mencecahkan tangannya ke air yang sejuk, tiba-tiba merasa ada orang di belakangnya. Sebagai gadis Minang yang belajar silat meskitak begitu sempurna, dia berbalik dan langsung menendang. Tapi orang yang tegak di belakangnya melompat ke samping.
Tangannya langsung menangkap mulut gadis itu. Kemudian tangan yang lain memukul tengkuknya. Terdengar pekik tertahan Siti Nilam. Tapi mulutnya telah ditutup. Ketika dirinya jatuh pingsan karena pukulan ditengkuk itu, Lelo Cindai memangku tubuhnya. Kemudian membawa lari.
"Lekas lari..." katanya pada tiga temannya yang menanti di bawah pohon. Mereka berlari dalam gelap seperti berlari di siang hari. Demikian , hapalnya mereka akan tempat itu.
Sehingga belukar yang demikian lebatnya tak menghalangi mereka. Mereka menyelusup mendaki tebing yang curam. Naik ke atas. Jika orang biasa takkan menduga bahwa di tebing yang curam tak berapa jauh fcdi kiri air terjun Lembah Anai itu ada jalan setapak berupa tangga dari batu-batu alam ke atas sana.
"Ke gua di tepi sungai...!" Lelo Cindai berseru sementara tangannya yang memangku tubuh Siti Nilam meremas-remas. Mereka kini berada di Batang Anai bahagian atas air terjun tersebut.
Batang Anai di hulu Air Terjun itu tak begitu besar. Batu-batu besar bersumburan. Dengan melompati beberapa batu besar, mereka tiba diSeberang. Dan empat lompatan mereka tiba di mulut sebuah goa di tepi sungai itu.
"Kalian tunggu giliran di luar...." perintah Lelo Cindai. Dia sendiri melangkah masuk ke goa tersebut. Goa itu cukup lapang, diatasnya tum-buh pohon-pohon besar.
Lantainya terbuat dari batu yang rata dan licin. Berbeda dari udara di luar, dalam goa ini udaranya hanga't dan bersih.
Lelo menaruh tubuh .Nilam perlahan di lantai. Gadis itu masih belum sadar. Malam yang gelap membuat dia tak melihat apa-apa. Tapi begitu tubuh Nilam terletak. tubuh Lelo ikut bergolek di sisi tubuh gadis it?.
Tangannya mulai mejiggerayang. Menyentak-kan kain gadis tersebut. Meremas pinggulnya.
Mulutnya menjalari wajah Nilam, bibirnya leher-nya. Dadanya. Dan tangannya bergerak lagi.
Me-renggutkan baju kurung Nilam. Suara kain robek terdengar sampai ke luar goa.
Tiba-tiba tangannya terhenti Tiba-tiba gerak-annya terhenti. Tiba-tiba nafasnya juga rasa terhenti. Dia mendengar sesuatu. Dekat sekali. Seperti suara giring-giring.
Dia menanti. Senyap. Dia mendengarkan. Senyap. Tangannya bergerak lagi. Tapi suara giring-giring itu berbunyi lagi. Kali ini dia tak sempat mendengar banyak. Karena begitu dia coba bergerak, rambutnya rasa ada yang menarik. Dia ingin bercarut. Ingin menyumpah. Tapi tubuhnya dia rasa melambung. Sebelum carutnya keluar, tubuhnya menerpa dinding goa!
Dia merasakan tubuhnya remuk. Tubuhnya melosoh di dinding. Menggeletak di lantai goa yang keras. Tapi dia belum mati. Dia ingin membalas. Dia tahu, yang mencelakainya ini pastilah anakmuda bergiring-giring perak yang mengobrak-abrik mereka di Bukit Tambun Tulang siang tadi.
Dia meraba pinggang untuk mencabut keris dan melemparkannya diam-diam ke tubuh anak muda Namun usahkan keris, celana sajapun dia tak punya kini. Sudah dia tanggalkan tadi sebelum dia
menyentakkan pakaian gadis itu. Celakanya dia juga belum sempat menikmati tubuh gadis itu tatkala .anak muda itu tiba. Dan malangnya lagi, anak muda itu mendengar gerakkan tangannya yang perlahan mencari keris itu. Anak muda itu menggerakkan tangan. Sebuah kerikil sebesar jam tangan melesat dalam gelap itu. Menghantam jidatnya. Dan tanpa sempat melolong atau memekik, jidatnya berlobang, nyawanyapun berangkat ke neraka. Dia mati dengan menyumpahi temannya yang berdua yang dia tugaskan menanti di luar. Kenapa mereka tak memberitahu atau memberi kode ke dalam bahwa ada orang datang" Dan kalaupun ada orang datang, kenapa tak mereka halangi"
Dia tak tahu, bahwa kedua temannya juga sudah mati. Kedua lelaki itu tengah duduk di luar pintu goa ketika tiba-tiba saja anak muda itu telah tegak sedepa di depan mereka. Mereka seperti melihat hantu. Sebab pakaian anak muda itu serba putih. Dan dalam kegelapan yang remang-mang di pinggir batang Anai itu dia memang telihatan menakutkan.
Mereka meloncat tegak. Namun itu adalah gerakkan mereka yang terakhir. Sebab begitu mereka tegak, begitu kaki anak muda itu melayang menghantam mereka. Yang satu kena sepak kerampangnya. Anunya pecah ketika itu juga. Tubuhnya terangkat dan tercampak serta tersangkut di dahan kayu. Mati tergantung penyamun ini. Yang satu lagi kena terjang hulu jantungnya. Tubuhnya yang kena terjang itu terjerangkang dan tercebur ke dalam sungai.
Kemudian dihanyutkan oleh air deras. Dan jatuh bersama air terjun itu kebawah sana. Tak jauh dari. tempat Datuk Sipasan berke-rnah, di mana tadi Siti Nilam membasuh muka sebelum dia diculik.
Siti Nilam masih belum sadar dari pengaruh totokan. Dia terbaring diam. Si Giring-Giring Perak menyentuh belakang telinga gadis itu. Kemudian sebelum si gadis sadar, dia mengumpulkan pakaian-nya dan meletakkan di atas tubuhnya. Lalu dia melangkah keluar dari goa itu.
Siti Nilam segera sadar sesaat dia berada di luar. Gadis itu memekik-mekik. Tapi dia segera terdiam ketika suara si Giring-Giring Perak terdengar dari luar goa :
"Tenanglah - Nilam. Engkau telah selamat. Berpakaianlah...." Siti Nilam masih menggigil.
Tapi dia kenal betul suara anak muda yang telah menolong mereka siang tadi. Dia benar-benar merasa aman. Dia yakin dia belum ternoda. De-ngan masih menahan isak tangis, dia melekatkan pakaiannya sebisanya. Kemudian meraba-raba menuju titik yang agak terang.
Dan di luar di atas sebuah batu layah, Si Giring-Giring Perak itu tegak menantinya.
Siti Nilam yang merasa diselamatkan dari cemar seumur hidup, tak dapat menahan tangisnya.
Dia menangis dan tanpa disadari menjatuhkan diri kepelukan anak muda yang telah menyelamatkan dirinya itu.
"Terimakasih uda. Terimakasih. Engkau telah menyelamatkan diriku dari noda..." ujarnya di antara isak tangis.
Anak muda itu kaget ketika Nilam memeluk-nya. Dia membiarkan saja gadis itu memeluk dan menangis di bahunya tanpa berbuat suatu apapun. Dan ketika Nilam puas menangis, dia tegak sambil menunduk di depan anak muda itu.
"Mari kita ke bawah. Menemui rombongan Datuk Sipasan..." ujar si Giring-Giring Perak perla-han. Siti Nilam mengangguk. Tapi dia menjadi ngeri melihat batu bersumburan di sungai di dalam hutan Singgalang yang angker itu. Dia tak bergerak ketika Si Giring-Giring Perak mulai melangkah. Dan pemuda itupun segera sadar, bahwa gadis itu takkan mungkin melangkahi batu-batuan besar itu. Dia berbalik lagi ke tempat Nilam.
"Mari kubantu..." katanya. Dan sebelum Siti Nilam sadar bantuan bagaimana yang akan diberi-kan anak muda itu, dia merasakan tubuhnya di pangku. Kemudian si Giring-Giring Perak mengerahkan tenaga dan ilmu meringankan tubuh. Siti Nilam merasakan tubuhnya di bawa melompat dari batu ke batu, dalam kecepatan yang laju. Dia melingkarkan tangannya ke leher anak muda itu. Kemudian memejamkan mata sambil menyurukkan wajahnya ke dada si Giring-Giring Perak.
Anak muda itu mencium bau harum yang me-mancar dari tubuh Siti Nilam. Dadanya berdegup kencang. Dan dia memperkencang larinya untuk segera sampai ke tempat berkumpulnya rombongan
Datuk Sipasan. Dia harus hati-hati tatkala menuruni tebing curam menuju ke bawah. Kalau waktu naik tadi dia bisa berlari kencang, itu disebabkan karena ilmu-nya yang tinggi dan dia tak membawa beban. Tapi kini dia memondong tubuh seorang gadis. Dia harus hati-hati.
Sesuai dengan janjinya pada Datuk Sipasan, sebelum Subuh tiba, dia telah sampai kembali ke tempat mereka bermalam. Siti Nilam dia turun-kan tak jauh dari tempat orang-orang yang mengungsi dari Pariaman itu berkumpul. Dia tak ingin orang-orang itu melihat dia memangku tubuh gadis tersebut.
Episode9 - Nista Rukayah
Kedatangan mereka disambut dengan tempik sorak oleh rombongan yang menantinya dengan cemas. Siti Nilam segera dikerumuni oleh perempuan pempuan yang ikut dalam rombongan itu. Sementara Datuk Sipasan memberikan secangkir kopi panas kepada si Giring- Giring Perak. Kemudian seorang wanita menyendukkan rebus ubi yang dijerangkan di atas unggun api.
Anak muda itu memang sedang lapar. Dia memakan ubi rebus dan meminum kopinya dengan lahap. Tapi tiba-tiba mereka semua tersentak lagi ketika dari arah air terjun terdengar dua perempuan saling berpekikkan.
Semua lelaki menghunus keris dan golok. lalu menghambur ke arah pekik para perempuan tersebut. Air mancur itu terletak sekitar empat puluh depa dari tempat mereka membuat api unggun. Pada subuh yang mulai muncul itu, para perempuan pergi mengambil udhuk ke air terjun. Sesuatu yang menakutkan pasti telah terjadi pula atas diri perempuan-perempuan itu.
Ketika para lelaki itu sampai di sana mereka melihat Si Giring-Giring Perak yang tadi tengah minum kopi, telah berdiri di batu di tepi kolam kecil di bawah air terjun itu. Di tangannya dia masih memegang cangkir kopi. Sementara mulut-nya dia masih mengunyah potongan rebus ubi.
Perempuan yang tadi memekik, tegak dengan kaku di atas sebuah batu. Kaum lelaki yang ber-lompatan ke sana, pada mendekat. Si Giring-giring Perak ternyata telah mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dia sampai di sana lebih duluan dari yang lain.
"Ada apa...!?" Datuk Sipasan bertanya.
Kedua perempuan yang kini sedang berangkulan saking takutnya itu masih tak bisa bersuara.
Tapi salah seorang menunjuk pada sebuah batu yang berada dalam air.
Beberapa orang melompat untuk melihat. Mereka turun ke air. Lalu mengangkat sebuah benda yang menyebabkan kedua perempuan itu ketakutan.
Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut yang lain ketika benda diangkat itu ternyata seso-sok mayat lelaki. Tak ada bekas luka. Dan nampak-nya lelaki itu baru mati. Mayat itu mereka letakkan di atas batu dekat Datuk Sipasan. Sebelum mereka mengenali mayat itu, seorang perempuan yang datang kemudian berseru:
"Hei, dia salah seorang dari penyamun di Bukit Tambun Tulang itu. Dia yang merangkak ke pedati Rukayah....." Perempuan yang bernama Rukayah yang dia sebut itu ternyata salah seorang di antara yang terkejut tadi. Dia bergegas datang. Dan melihat mayat itu. Dan berangnya timbul tiba-tiba. Dia mengambil sebuah batu sebesar kelapa kecil. Kemudian dengan menyumpah-nyumpah, dia memukul kepala mayat itu.
"Kurejam kau... jahanam... jahannam! Ini atas nista yang kau perbuat pada diriku...
jahannam!!'' Perempuan itu menyumpah-nyumpah sambil memukuli mayat tersebut. Datuk Sipasanlah yang akhirnya menenangkannya.
"Tak baik menganiaya mayat. Betapapun juga, dia kini adalah jenazah yang tak berdosa.
" Ruhnya yang berbuat jahat itu telah pergi..."
"Tapi dia telah menistai diriku..." pekik perernpuan itu sambil menangis. Dia teringat lagi betapa lelaki itu sore kemaren menggerayangi tubuhnya yang padat itu. Meremasi dadanya.
Meremasi pinggulnya setelah merenggutkan kainnya. Dia menghimpitnya. Mengingat ini, perempuan itu tiba-tiba melemparkan batu besar itu ke kepala mayat tersebut. Kemudian dia berlari ke pedatinya.
Di sana dia memeluk suaminya yang dalam pertarungan tadi terluka parah. Dia menangis di dada suaminya. Sisuami mengerti nista yang telah menimpa diri isterinya. Dia pegang kepala isterinya itu dan mengelusnya dengan lembut:
"Tenanglah Rukayah... tenanglah. Jangan me-nangis juga. Tak ada yang perlu kau sesali..."
"Tak perlu kau pikirkan. Engkau tetap isteri yang kucintai. Dalam pertempuran banyak hal yang bisa terjadi Rukayah...."
"Tapi uda akan membenciku... Uda akan meninggalkan aku..." .
"Siapa yang mengatakan itu" Aku bangga, engkau melakukan perlawanan. Engkau telah berjuang melawan mereka. Dan aku bersyukur, engkau masih hidup. Engkau tetap ibu dari anak-anakku. Aku takkan meninggalkan dirimu. Percayalah Rukayah..."
Perempuan itu menangis lagi di dada suaminya.
Sementara itu, di tepi telaga kecil di bawah air terjun Batang Anai tadi kaum lelaki masih mempertanyakan tentang sebab kematian penya-mun tersebut.
"Dia mati di atas sana. Dan jatuh ke mari bersama air terjun..." Si Giring-Giring Perak berkata perlahan. Semua orang menoleh padanya.
"Di atas sana masih ada dua bangkai lagi. Yang satu di dalam goa. Yang satu tersangkut di dahan kayu..."
Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Merekakah yang menculik Siti Nilam?" Datuk Sipasan bertanya. Si Giring-Giring Perak meng-angguk. Kemudian berjalan perlahan ke dekat api unggun. Yang lain bubar satu-satu.
Episode 10 - Menguak tirai masa lalu
Pagi itu setelah mereka sholat su-buh berjamaah, anak muda ber-baju serba putih itu kembalime-ngobati yang luka-luka.Mengganti obat-obat dari daun dan akar kayu yang dia pasang malam tadi.Perempuan-perempuan bertanak mengeluarkan dendeng dan palai yang mereka bawa dari Pariaman.
'Kenapa Datuk meninggalkan Pariaman?" Anak muda itu bertanya pada Datuk Sipasan tatkala dia mengganti balut luka di rusuk Datuk itu
"Belanda menyerang negeri itu sejak enam bulan yang lalu. Mereka berhasil menduduki utara pantai. Setiap hari mereka menyerang perkampungan..."
'Lalu Datuk meninggalkan kampung itu"
"Ya Saya harus menyelamatkan sebahagian penduduk untuk tak jatuh menjadi tawanan dan budak. Banyak lelaki yang telah tertangkap, lalu dibawa dengan kapal dalam keadaan dirantai. Kabarnya mereka dijadikan budak belian di darat-an Eropah. Yang perempuan dijadikan penghuni harem..."
"Kenapa tak menyusun kekuatan untuk melawan?"
"Sudah kami coba. Tapi kekuatan kami amat terbatas. Apalagi diantara penghulu suku ada yang berkhianat. Lebih memerlukan uang dan pangkat daripada harga din."
"Kini apa rencana Datuk?" "Mengungsikan kaum wanita ke tempat arnan. Lalu coba menghubungi kaum Paderi di Luhak Agam. Kami akan coba minta bantuan mereka melawan Belanda,"
"Ya, saya pernah mendengar nama Kaum Paderi disebut-sebut..."
"Mereka adalah golongan Islam yang baru muncul. Dewasa ini pimpinannya adalah Tuanku Nan Renceh. Bermarkas di Kamang. Kami ingin menggabung dengan mereka..." Anak muda itu terdiam.
"Hei Giring-Giring Perak, maafkan, saya ingin bertanya lagi tentang dirimu. Boleh?" Anak muda itu mengangguk. "Saya sudah cukup lama mengenal daerah ini. Tapi seingat saya, tak seorangpun guru silat yang berdiam di Gunung Talang. Gunung itu terlalu angker dan angkuh. Malam tadi engkau bercerita bahwa engkau dan gurumu berdiam di sana. Begitu?"
Anak muda itu mengangguk lagi.
"Kalau saya boleh tahu, siapakah nama gurumu yg mulia itu?"
Anak muda itu tak menjawab
Matanya menatap ke air terjun. Lalu menghela nafas panjang.
Lalu berkata perlahan:
"Sulit untuk dipercaya, selama saya berguru padanya, hampir 20 tahun, saya tak pernah mengetahui nama ataupun gelarnya. Dia hanya datang ondok di mana saya belajar sekali seminggu.
Stiap hari Jum'at. Selain hari itu, saya tak pernah mengetahui ke mana dia..."
Datuk Sipasan ternganga heran. Ini benar-benar yang luar biasa. Seorang murid tak mengenal frma gurunya. Dan seorang guru mendidik muridnya sekali sepekan. Tapi betapapun juga, si guru tentulah pendekar yang amat sakti. Sebab muridnya saja sudah begini tangguh. Apalagi gurunya..
"Apakah engkau tak pernah menanyakan amanya?"
"Hal itu saya lakukan ketika saya dia suruh pencari ayah dan ibu. Namun orang tua itu hanya menarik nafas panjang. Dan berkata: Tak ada artinya nama nak. Seperti engkau juga tak punya nama. Carilah ayah dan ibumu. Kalau kelak engkau akan menemuiku, aku selalu berada di sini... Itu-ucapannya." Datuk Sipasan dan beberapa orang pengungsi dari Pariaman yang mendengar cerita itu pada terdiam.
"Giring-Giring Perak itu berada di kakimu sejak engkau kecil?"
"Ya. Begitu menurut penuturan guru..."
"Boleh saya melihat?"
Anak muda itu membuka giring-giring perak di kakinya. Tali giring-giring itu jelas sudah ditambah agar tetap sesuai dengan kakinya. Yaitu kaki seorang lelaki yang makin hari makin beranjak dewasa.
Dia memberikannya pada Datuk Sipasan. Datuk ini membalik-balik giring-giring perak itu.
Coba mencari kalau-kalau ada tanda-tanda yang bisa dijadikan pegangan. Namun giring-giring itu ' tak memberi petunjuk apa-apa. Tapi Datuk itu in gat sesuatu.
"Giring-Giring perak..." Dia terhenti. Lalu menatap anak muda itu.
"Anak muda, tak semua kanak-kanak di negeri ini bisa memakai giring-giring perak. Giring-giring ini memang banyak orang menganggapnya sebagai obat buat anak-anak. Tapi fungsinya yang lebih utama adalah sebagai mainan. Dan biasanya ada dua golongan orang yang sering memberi kaki anak-nya bergiring-giring."
Datuk itu berhenti. Anak muda itu kini jadi tegang. Dia terduduk kaku. Dia ingin mendengar penjelasan Datuk itu. Dia ingin mengungkapkan rahasia tentang dirinya yang sampai saat ini tetap merupakan tabir gelap.
"Kedua golongan itu adalah: Kaum Bangsawan, itau orang-orang kaya" Datuk itu berhenti lagi. lenanti reaksi anak muda yang duduk di depan-lya. Tapi anak muda itu masih menatap dan me-santi ucapannya selanjutnya. icapannya selanjutnya.
"Apakah engkau telah mendatangi Luhak tanah Datar dan Luhak Agam?"
Anak muda itu menggeleng. "Barangkali dapat kau coba di sana. Di kedua Luhak ini berdiam dan berasal kaum Bangsawan Minangkabau. Dan di kedua Luhak ini pula kaum hartawan dan orang-orang kaya bertempat tinggal. Mana tahu, di kedua luhak ini engkau dapat mengetahui siapa orang tuamu..."
Datuk itu berhenti. Si Giring-Giring Perak tetap diam. Lelaki-lelaki yang mengungsi dari Pariaman menatap padanya dengan perasaan iba.
Dia menatap ke air terjun. Air terjun itu keliha-indah dalam udara subuh. Berkubut tipis.
Suara indah dalam udara subuh. Berkabut tipis. Suara murai dan kicau burung pagi bersahutan dengan au air yang terjun melewati batu-batu gunung. lelingkar dan berbuih di kolan alam yang terjadi tbawahnya.
Lalu dia berkata perlahan: "Terimasih Datuk. Yang datuk katakan tadi terlintas dalam fikiran saya selama ini. Kini bisa memusatkan pencarian saya di kalangan Bangsawan atau orang-orang kaya. Meski tak begitu penting bagi saya. Yang ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya. Atau barangkali kakak dan adik-adik. Saya tak porduli bagaimana-pun keadaan mereka.Saya tak perduli apakah mereka kaya, miskin, buta, pincng atau tak bertangan. Yang saya inginkan adalah adanya mereka".
"Saya dan teman-teman yang datang dari Pariaman ini barangkali juga ti\iak akan menetap di suatu tempat. Mungkin kami akan berpencar guna mencari kekuatan untuk kembali menyerang Belanda di Pariaman. Kami akan mendatangi banyak tempat dan kampung. Kami berjanji akan menolong menayakan dan menyiasati tentang keluargamu. Kami janjikan itu demi persahabatan dan persaudaran kita. Demi budimu yang telah menolong kami dari maut..."
Si Giring-Giring Perak menatap pada Datuk ini tenang-tenang.
"Terimakasih Datuk. Terimakasih..."
Episode11 - Menetap di Silaiang
Rombongan itu bergerak mendaki pendakian Singgalang Kering. Merayap perlahan.
Kemudian berhenti di sebuah kampung kecil bernama Silaing.Di sini rombongan berdiam sepekan. Sipasan membagi-bagi rombongannya menjadi tiga bahagian besar.
Sepertiga yang dia pimpin sendiri tetap tinggal di Silaing sebagai Pos Komando. Sepertiga lagi dipimpin oleh seorang Penghulu, dia tugaskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung.
Sepertiga lagi yang dipimpin oleh adik Datuk ini,situgaskan ke Luhak Again untuk menemui Tuanku Nan Renceh.
Ketiga bahagian rombongan ini, akan menetap di kampung-kampung yang telah ditetapkan itu sebagai penduduk setempat. Mereka harus mengerjakan pekerjaan apa saja. Bertani, berdagang atau bertukang.
Di samping itu tugas utama mereka tetap mencari bantuan untuk membebaskan Pariaman dari Belanda. Dan tugas lain, yang juga amat penting adalah menanyakan pada setiap keluarga, kalau-kalau ada yang kehilangan seorang anak lelaki yang memakai giring-giring perak di kakinya sekitar 20 tahun yang lalu.
Mereka menetapkan, enam purnama setelah saat itu, semua sudah berkumpul di Silaing.
Mem-bawa segenap bala bantuan yang bisa dikumpulkan untuk menyerang Belanda. Tapi buat setiap berita tentang ditemukannya keluarga atau orang yang mengetahui tentang diri Si Giring-Giring Perak, harus melaporkan setiap saat ke tempat Datuk Sipasan di Silaing. Siti Nilam tinggal bersama keluarga Datuk Sipasan.
Si Giring-Giring Perak amat terharu atas bantuan rombongan Datuk itu untuk menolong mencarikan keluarganya. Dia sendiri berjanji untuk selalu datang kerumah Datuk itu untuk menanyakan kalau-kalau ada berita
*** Suatu hari Datuk Sipasan sedang kepasar. Menjual kayu api yang dia tebang dari belakang rumahnya. Empat orang lelaki mendatangi rumahnya yang baru saja dibangun secara darurat di pinggir kampung Silaing itu.
Keernpat lelaki itu berpakaian silat. Tampang mereka kelihatan kurang bersahabat.
Yang di rumah waktu itu hanyalah isteri Datuk Sipasan bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Siti Nilam saat itu tengah mengambil air pincuran.
Keempat lelaki itu nampaknya mengetahui kalau di rumah itu tak ada seorangpun lelaki.
Tanpa mengucapkan ba atau bu, mereka masuk rumah itu. Isteri Datuk Sipasan, yang bertubuh semampai dan cukup cantik, yang tengah menyuusukan anak di bilik jadi terperanjat tatkala dua orang lelaki tak dia kenal masuk ke biliknya. Dengan menjerit kecil dia menutup buah dadanya dengan tangan. Sementara anaknya tetap tak mau melepaskan ujung teteknya karena haus.
Kedua lelaki itu menjilati dada isteri Datuk Sipasan dengan tatapan mata yang nyalang.
Menatapi pinggulnya yang besar yang terbungkus dengan kain yang tak menentu letaknya.
Kemudian kedua lelaki itu mulai memeriksa rumah tersefeat.
Memeriksa di bawah kolong tempat tidur. Membalik bantal. Memeriksa dapur. Kemudian mereka saling berbisik.
Kedua lelaki tadi muncul lagi ke dalam bilik itu. Kembali matanya menjilat dada isteri Datuk itu yang tersimbah.
Dan isteri Datuk ini, yang sudah terbiasa meng-hadang mara bahaya, dan mengerti pula serba sedikit ilmu silat, tak bisa menahan berang hatinya. Dia meletakkan anaknya. .Kemudian membetulkan kain di pinggangnya. Semua tindakannya ini diperhatikan dengan tatapan bernafsu oleh kedua -lelaki yang masih saja tegak di pintu biliknya.
"Maaf sanak, siapa sanak sebenarnya. Datang mencari apa. Dan mengapa keluar masuk bilik orang tanpa minta izin..." Istri Datuk ini berkata tegas. Tapi dia masih berusaha untuk tetap pada batas-batasnya. Karena betapapun juga dia mengerti, bahwa mereka orang baru di kampung ini. Sebagai orang rantau, dia harus banyak bersabar.
Kedua lelaki itu tak menjawab. Hanya tertawa berguman "Keluarlah sanak. Ini bilik orang.
Saya lihat sanak seorang pesilat. Sebagai seorang pesilat saya rasa sanak tentu mengetahui sopan santun" !"
Bicara isteri datuk ini terhenti tatkala yang seorang justru duduk di pembaringan. Isteri Datuk
" ini tahu gelagat. Bahaya tengah mengaacamnya. sb Dia ingin suaminya segera pulang dari menjual kayu .api. Kenapa suaminya lambat benar pulang" Atau dia ingin agar Siti Nilam juga hadir di sini.
Kalau dengan Siti Nilam, dia rasa dia sanggup melawan kedua lelaki ini. Atau dia juga berdoa ,dalam keadaan seperti itu agar Si Giring-Giring Perak muncul. Ya, ke mana anak muda itu dalam litiga hari ini" Kenapa ia tak muncul-muncul" Sebelum isteri Datuk Sipasan sempat berbuat apa-apa, tamunya yang kurang ajar yang tegak tersandar di pintu terdengar bersuara.
"Kalian dari mana, akan ke mana dan apa maksud serta tujuan.." Suaranya terdengar serak.
Dan osteri Datuk itu segera menangkap bau tuak keluar dari mulut lelaki itu ketika bicara.
Dia jadi tambah jeri. kedua lelaki ini nampaknya baru saja minum. Akan tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Kami datang dari Pariaman..."
"Oo... kiranya kalian datang dari tanah jajahan nangkabau..." Isteri Datuk itu mengerenyitkan lening.
Kata-kata "Pariaman jajahan Minangkabau" sudah cukup lama dia dengar. Di Pariaman hal itu pernah dia dengar dari mulut kemulut. Ucapan itu menggambarkan, bahwa Pariaman dan Padang serta Pesisir Selatan, sebenarnya bukanlah tanah Minangkabau, tapi dianggap sebagai semacam tanah "jajahan".
Ucapan ini amat menyinggung perasaan orang Pariaman. Padahal mereka nyata-nyata berasal dari Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Yang datang ke Pariaman lewat masa peralihan ratusan tahun. Berpindah dari Banuhampu ke Koto Gedang, terus ke Balingka ke Malalak, kemudian turun ke sebelah gunung Singgalang. Ke Tiku, ke Sungai Limau dan Pariaman.
Atau yang datang dari Luhak Tanah Datar, menyeberang Danau Singkarak, ke Kayu Tanam, terus ke Pasar Usang, Duku dan Padang.
Sedikit sekali yang mengetahui, bahwa kata-kata ini sebenarnya "diciptakan" buat pertama kalinya oleh Kolonel de Craft Seorang Belanda yang bermarkas di Padang. Yang ingin mengadu domba anak suku Minangkabau. Sebab tanpa mengadu domba begitu, mereka susah, memecah persatuan Minang yang amat kuat. Dan siasat adu dombanya ini ternyata amat berhasil ketika itu.
Memang terjadi pertentangan yang tajam antara orang "Darat" dengan orang "Pesisir". Orang darat merasa. dirinya adalah orang Minang Asli. Dan menganggap orang Pesisir sebagai orang "lain".
Untunglah isteri Datuk Sipasan sudah arif tentang hal ini. Dia mendengar penjelasan bahwa ucapan itu adalah adu domba penjajah. Kini, ketika lelaki di biliknya itu mengucapkan kata-kata itu. ia hanya memandang dengan diam. Kemudian dia berkata dengan nada ketus :
"Keluarlah dari bilik ini...."
"Kami tak bisa diperintah orang upik. Ini negeri kami. Engkau dan lakimulah yang datang kemari. Mendirikan rumah di sini tanpa meminta izin kepada kami..."
Kembali isteri Datuk ini mengerutkan kening.
Lelaki-lelaki ini nampaknya memang ingin mencari seteru. Dia memangku anaknya yang tidur. Kemudian berjalan ke pintu. Tapi di pintu lelaki yang tegak bersandar tetap menghadang. Tak beranjak setapakpun. Isteri datuk ini hilang sabarnya. Dia menerjang lelaki itu.
Silelaki dengan tersenyum menangkap kakinya yang menendang itu dan berniat mengelus betisnya. Namun dia salah duga. Isteri Datuk ini sudah punya "bekal" yang lumayan. Begitu tangan silela-berusaha mencakau kakinya, begitu kakinya dia tarik segera, dan kini kakinya itu justru menyapu kaki lelaki tersebut.
Perobahan gerak yang begitu cepat, memang luar perhitungan silelaki di pintu. Kaki kirinya kena disapu. Dan meski tubuhnya tak langsung jatuh, tapi keseimbangan tubuhnya jadi lenyap. Saat itu tendangan berikutnya menyusul. Dan tubuh lelaki itu terguling ke ruang tengah!!
Sebelum yang duduk di pembaringan sadar apa ang terjadi, isteri Datuk itu melompat sambil Map memangku anaknya ke ruang tengah. Kemudian dalam sekali loncatan panjang dia sudah ber ada di halaman.
Saat itu pula Siti Nilam datang menyandang perian di bahunya. Dia terkejut melihat isteri Datuk Sipasan itu melompat sambil memangku anak. Rasa kejutnya bertambah ketika dari dalam rumah muncul empat lelaki.
Rumah mereka terletak di pinggir kampung Silaing. Di belakang rumah hanya ada hutan.
Rumah penduduk yang terdekat terletak jauh dari situ.
Jadi kalaupun mereka berteriak,
maka hal itu takkan banyak menolong. Teriakan
mereka takkan ada yang mendengar.
Keempat lelaki yang baru turun itu tertegun melihat kehadiran Siti Nilam. Mereka berbisik sesamanya. Siti Nilam masih menyandang perian berisi air di bahunya.
"Hemm. Tak kusangka perempuan Pariaman cantik-cantik seperti kalian..."
Lelaki yang tadi duduk di pembaringan ber-gumam. Matanya menyambar ke tubuh kedua perempuan itu.
"Sanak, kami datang kemari untuk mencari dunsanak. Kami tinggal dan mendirikan rumah di sini telah seizin wali dan kepala suku di Silaing ini. Kami tak mengerti apa yang sanak cari di rumah kami..."
Isteri Datuk Sipasan berkata tegas. Sementara dia masih memangku anaknya yang berusia 6
bulan.Anaknya yang seorang lagi yang berumur 2 tahun tegak dekat Siti Nilam diam-diam.
Keempat lelaki itu saling bisik lagi. Kini lelaki yang tadi kena tendang isteri Datuk yang maju selangkah.
"Kalian orang baru di sini, dan sebagai orang baru, kalian harus tahu peraturan. Yang berkuasa di nagari ini bukan Walinegari. Yang berkuasa sini adalah Pendeka Sangek. Dia yang berkuasa dinagari Silaing, Gunung Malintang, Kabun Sikolos, Tanah Hitam, Bukik Tui sampai ke Bukik Surungan. Adapun Walinagari Silaing, adalah kcepala kampung yang diangkat Pandeka Sangek. Kami bersedia untuk tidak menyampaikan kedatangan kalian ini pada Pandeka, asal kalian bersedia mememenuhi satu sarat..."
Isteri Datuk Sipasan sebenarnya tak mengerti kemana ujung cakap orang ini. Dia tak tahu siapa Pandeka Sangek dan di mana tumpaknya. Tapi yang jelas, kalau benar dia berkuasa dari kampung ampung yang baru disebutkan tadi, maka itu berarti Pandeka itu adalah penguasa dari sebuah nagari yang luas yang kelak disebut orang sebagai Padangpanjang.
Meski tak tahu dan tak mengerti, isteri Datuk itu ingin juga mengetahui apa "syarat" yangd ikehendaki keempat lelaki itu agar mereka bisa ian tinggal di sana.
Apa syaratnya....?""
Ah, masak uniang tak tahu..." Kami orang baru di sini. Kami tak tahu a syarat yang kalian maksudkan..."
"Ah, masak tak tahu. Biasanya kami meminta tiga malam berturut-turut. Tapi bagi uniang ber-dua cukup sekali ini saja..."
Isteri Datuk itu mengerutkan kening. Sementara Siti Nilam diam saja sejak tadi. Tapi dia menangkap bahaya kurang ajar pada cara lelaki itu menatap diri mereka.
"Berterus teranglah. Kalau duit, kami akan berikan sekedarnya. -Kalau ternak, kami hanya ada empat ekor kerbau pedati..."
, '"Kami tak perlu duit. Kami juga tak perlu kerbau. Kalau uniang setuju sekarang saja. Ayo ke bilik. Kami ada berempat, uning tak usah melayani kami keempatnya. Cukup satu orang melayani dua di antara kami... . Saya lebih senang dengan uniang, uniang sudah berpengalaman... he... he..."
Tubuh isteri Datuk itu menggigil saking berang nya. Sementara Siti Nilam ingin muntah mendengar ucapan kotor itu. Hampir serempak mereka meludah. Dan keempat lelaki itu tertawa bergumam. Selera mereka benar-benar menjejeh melihat kedua perempuan cantik dari Pariaman itu.
Mereka mulai beraksi. Pertama mereka mengepung kedua perempuan itu dengan tegak di empat
sudut, di mana kedua perempuan tersebut berada di titik tengah.
Isteri Datuk Sipasan tetap saja tegak dengan tenang. Sementara Nilam tegak membelakanginya engan demikian, masing-masing mereka kini lehghadapi dua lelaki. Isteri Datuk Sipasan masih tetap menggendong anaknya yang berusia enam lulan itu. Sementara Siti Nilam masih menyandang perian penuh berisi air. Di belakang mereka, tegak anak perempuan Datuk Sipasan yang berumur 2 tahun. Mereka semua, termasuk anak perempuan yang berusia dua tahun itu, tegak dengan perasaan be rang menatap keempat lelaki tersebut.
Tak terbayang sedikitpun rasa kecut di wajah mereka. Bagi kedua perempuan itu menghadapi bahaya bukan hal yang aneh lagi. Selama di Pariaman mereka sudah terbiasa melawan kekerasan.
Semula kekerasan datang dari Inggris Kemudian dari sesama orang Minang yang tidak menganut agama Islam. Lalu terakhir mereka terpaksa berperang melawan bangsa Belanda yang datang ke Pariaman atas permintaan orang Minang yang benci melihat Islam masuk ke Pariaman tewat pedagang pedagang Aceh. Pertempuran bagi lereka hal yang lumrah. Itulah sebabnya kini lereka tak merasa gentar menghadapi keempat lelaki ini.
Sebaliknya sikap menantang tak kenal takut begitu, menambah selera keempat lelaki tersebut.
'Hm... memang benar kata orang. Perempuan-srempuan Pariaman bukan hanya cantik, tapi iga berdarah panas dan ganas. Ganasnya akan lebih nyata bila di tempat tidur...he...he..."
Salah seorang berkata sambil memilin sungut.
"Kami mengira semua penduduk negeri ini lelaki terhormat. Karena Luhak Tanah Datar ini adalah Luhak di mana Raja-raja Monang dila-hirkan. Tapi hari ini ternyata dugaan kami meleset. Hari ini kami menemui empat orang jahannam.." Isteri Datuk Sipasan mendesis.
Keempat lelaki itu tak tersinggung sedikitpun. Mereka mulai berjalan berputar. Putarannya makin lama makin merapat. Dan suatu saat yang seorang maju menyergap isteri Datuk itu.
Kedua tangan isteri Datuk itu masih tetap memegangi anaknya. Tapi kakinya dia tendangkan menyambut terkaman silelaki.
Episode 12 - Ketidakberdayaan Dua Perempuan
Lelaki bersungut lebat itu sudah melihat makan kaki perempuan ini. Karena itu dia tak berani main-main, apalagi untuk menyambut terkaman kaki perempuan itu. Dia berjalan memutar.
Lelaki bersungut lebat itu sudah melihat makan kaki perempuan ini, Karena itu dia tak berani main-main, apalagi untuk menyambut terkaman kaki perempuan itu. Dia berjalan lagi memutar.
Yang berada di depan Siti Nilam tiba-tiba menyerahg sambil bergulingan ke bawah, Siti Nilam masih tetap tegak, Tiba-tiba lelaki itu mencengkam kain Nilam dan tanpa diduga dia merenggutkannya. Serangan jahat dan kotor begini tak pernah diperhitungkan Siti Nilam. Dia semula menyangka lelaki itu setelah bergulingan akan menyerang dengan tendangan dari bawah ke atas seperti jamaknya serangan berguling begitu. Dan dia sengaja menanti serangan itu hingga dekat, dan di saat lelaki itu menendang nantinya, dia akan menghantamnya dengan perian yang masih dia pangku.
Tapi ternyata lelaki itu merenggutkan kainnya. Dia berusaha menghantam lelaki itu dengan perian. Tapi silelaki telah bergerak bergulingan menjauh. Dan tak ampun, kainnya terenggut hingga lepas!!
Siti Nilam terpekik. Periannya dia campakkan dalam keadaan panik begitu. Tangannya memegang ujung baju kurungnya. Dan untung saja dia memakai baju kurung. Hingga tubuhnya hingga pertengahan paha tertutup oleh baju kurungnya. Namun kaki di atas lutut Siti yang putih itu, sudah cukup untuk menambah panasnya darah keempat lelaki itu. Mereka tertawa bergumam sambil menjilat bibir.
Lelaki tadi kini menerpa lagi ke arah Siti Nilam. Kawannya ikut membantu. Siti Nilam yang mengelakkan serangan dari depan, tahu-tahu kena dibekuk lehernya dari belakang. Siti Nilam terkunci dan tubuhnya terteteng ke belakang. Karena tubuhnya terteteng itu, baju kurung yang dia pakai bahagian depannya ikut terteteng naik. Dan lelaki yang di depannya terbelalak melihat pangkal paha gadis itu. Dia menerpa dan memagut paha gadis tersebut dan berusaha menciumnya. Namun dia salah duga karena terlalu menurutkan nafsu badaknya. Begitu dia menerpa, begitu tumit Nilam terangkat. Jidat lelaki itu diterpa oleh tumitnya yang dia hantamkan sekuat tenaga. Lelaki itu terhenti sejenak, kemudian terjengkang ke belakang.
Dia tak bergerak.
"Hei, Suman, tegak cepat. Gadis ini seperti belut. Ayo jangan lelap saja waang setelah mencium pahanya...!!"
Temannya yang masih mengatuk leher Nilam dari belakang berseru, Namun suaranya tertahan ketika isteri Datuk Sipasan yang berada di belakangnya tiba-tiba mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan ke tengkuk lelaki ini. .Lelaki itu kontan melosoh turun setelah terdengar suara berderak di lehernya!
Kedua mereka, yang kena tendang jidatnya oleh tumit Nilam, dan yang kena tetak lehernya oleh isteri Datuk Sipasan mati saat itu juga. Namun karena serangan ini, kedua perempuan itu menjadi lengah. Masih ada dua lelaki lain masih bergerak berputar di sekeliling mereka. Dan begitu kedua perempuan ini lengah, keduanya serentak menerpa dengan gerakan cepat.
Nampaknya kelengahan kedua perempuan ini sudah diperhitungkan benar oleh kedua lelaki yang kepandaiannya tak bisa dianggap rendah itu. Mereka bergerak tidak dengan melancarkan serangan. Tetapi mengirimkan totokan. Yaitu sejenis pukulan dengan jari ke arah urat saraf yang membuat lawan melosoh, melorot Siti Nilam kena totok di bahagian punggung-nya. Dan gadis ini jadi tertegak kaku. Sementara isteri Datuk Sipasan kena totok di belakang telinganya. Ini membuat perempuan itu lemah. Anak dalam pangkuannya jatuh ke tanah dan menangis.
Kedua lelaki itu tak membuang kesempatan. Kepergian Datuk Sipasan nampaknya telah mereka perhitungkan. Mereka intai benar, ketika Datuk itu pergi, mereka datang. Kini dengan gerakan cepat, kedua mereka memangku tubuh kedua
perempuan itu naik ke rumah Datuk Sipasan. Meninggalkan anak kecil berumur enam bulan itu menangis kuat dan ditunggui oleh kakaknya yang berusia dua tahun.
Kedua lelaki itu tidak membawa isteri Datuk Sipasan dan Siti Nilam ke bilik. Tidak. Itu tak sempat mereka lakukan. Terlalu banyak buang waktu. Mengapa harus kebilik, kalau di ruang tengah saja hal itu bisa dilakukan. Malah bukankah akan lebih nikmat lagi dilakukan bersama"
Dengan pikiran begini, kedua perempuan yang sudah tertotok uratnya itu yang tak sempat dan tak dapat melawan sedikitpun karena lumpuh, mereka baringkan di lantai yang terbuat dari tadir.
Dan mereka juga tak mau menunggu lama-lama. Segera saja kain dan baju kedua perempuan itu mereka renggutkan dengan kasar. Lalu tangan mereka mulai bertugas.
Episode 13 - Firasat Datuk Sipasan
Datuk Sipasan memasukkan pisang yang dia beli untuk anaknya ke dalam kambut. Kemudian menawar paniaram. Dia ingat isterinya. Isterinya sangat menyukai paniaram. Dan di pasar Tanah Sikolos ini, paniaram banyak sekali dijual orang. Namun tiba-tiba jantungnya rasa berdebar kencang. Telinganya jadi panas.
"Jadi membeli paniaram ini engku?"
Datuk itu terkejut mendengar pertanyaan perempuan yang menjual paniaram itu.
"Ya... eh maaf. Tidak jadi..."
Berkata begini, dia lalu bergegas. Aneh, hatinya jadi tak sedap. Dia teringat pada isterinya yang tinggal sendiri di rumah. Ada apa" Sebagai seorang guru silat, dan sebagai seorang pemeluk agama Islam yang mempercayai Tarikat, dia percaya pada isyarat-isyarat batin, Dia yakin, firasatnya tentang isterinya me-nunjukkan ada hal-hal yang menyeramkan yang tengah menimpa isterinya.
Dengan fikiran begini. Datuk itu berjalan cepat-cepat menuju ke Silaing di mana rumahnya berada. Makin lama hatinya makin tak sedap. Dan makin lama jalannya makin cepat. Makin cepat.Dan akhirnya dia berlari melompati petak petak sawah, Menempuh jalan memintas agar lebih cepat sampai kerumahnya.
Orang-orang yang tengah bekerja di sawah jadi terheran-heran melihat lelaki itu berlarian seperti dikejar setan. Tak ada yang menduga, bahwa lelaki itu sebenarnya bukan sedang dikejar setan. Melainkan tengah mengejar setan yang sedang melaknati tubuh isterinya!!
Dia seperti mendengar jerit anaknya. Jerit isterinya. Kambut yang dia bawa, yang berisi pisang, cabe dan minyak yang dia beli di pasar Sikolos tadi, tercampak entah di mana dalam lari-nya menuju rumah. Ketika atap rumah sudah kelihatan, dia terhenti.
Sayup-sayup, dia mendengar suara tangis anak-nya! Lelaki ini menyerahkan semua kepandaian yang pernah dia pelajari. Yaitu kepandaian meringankan tubuh ketika berlari.
Makin dekat, makin kuat debar hatinya. Makin kencang aliran darah-nya.
Dalam loncatan yang terakhir dia melihat anaknya tergolek di halaman, melihat gadis kecilnya yang berusia dua tahun duduk bersila di tanah. Berusaha mendiamkan adiknya yang tertelungkup dan menangis pilu. Gadis kecilnya itu juga me-nangis.
Dalam tangisnya, terdengar suara kanak-kanak-nya yang belum sempurna menyebut huruf, berusaha mendiamkan adiknya:
"Diamlah dik. Diamlah... sebentar lagi ayah pulang. Ayah akan memukul orang yang menyakiti ibu... diamlah diiik...!"
Dan saat itu Datuk Sipasan mengakhiri loncatannya di halaman tersebut. Selain anaknya, dia juga melihat ada kain panjang dihalaman itu.
Kain panjang! Seingatnya, kain itu milik Siti Nilam. Dan selain kain panjang, juga ada perian yang di sekitarnya terserak air. Pastilah gadis itu baru dari tepian mengambil air seperti biasa. Dan air yang masih mengalir dari dalam perian itu, Datuk ini mengetahui, peristiwa itu baru saja terjadi. Pasti baru saja!
Perian itu mungkirr belum sampai dua puluh bi-langan jari tergeletak di sana. Kalau isterinya dan Siti Nilam dibawa lari orang, maka jarak-nya pasti belum sampai lima puluh langkah dari rumahnya, Dia memandang keliling, tak ada yang mencurigakan, Hanya ada dua tubuh lelaki yang telah jadi mayat.
Dan tiba-tiba telinganya yang tajam menang-kap bunyi nafas memburu. Menangkap bunyi desah dan dengus nafas dari atas rumahnya!! Sekali loncat dia menerjang pintu rumah yang terletak di anak tangga keempat. Dengan menimbulkan suara bergedubrak keras, pintu terpelanting ke dalam. Menghantam kepala lelaki yang tengah menciumi dada Siti Nilam!
Kedua lelaki itu, yang tengah meremasi dan menciumi seganap tubuh kedua perempuan itu jadi terkejut separoh mati. Sepintas, Datuk Sipasan melihat betapa tubuh isterinya dan tubuh Siti Nilam sudah tak berkain secabikpun. Sementara kedua lelaki itu hanya tinggal celana kotoknya saja!
"Setan!" Datuk Sipasan berteriak di tengah gigilan tubuhnya karena berang. Lelaki yang tadi kepalanya kena hantam daun pintu yang berada di tubuh Nilam, tengah berusaha untuk tegak ketika tangan Datuk itu bergerak menghantam kepalanya.
Dia menangkis. Tapi tangannya ditangkap Datuk itu. Begitu tertangkap, begitu kukunya yang beracun dia tekankan sekuat tenaga. Kemu-dian dalam suatu sentakan tubuh lelaki itu dia putar dan dia hempaskan ke lantai. Tubuh lelaki itu berkelojotan sebentar, lalu dari mulutnya keluar buih hitam. Tubuhnya berobah pula jadi hitam. Dan dia mati diserang bisa sipasan yang amat tangguh yang merupakan senjata simpanan Datuk itu.
Tetapi saat itu lelaki yang satu lagi, menghan-tam Datuk Sipasan. Tubuh Datuk ini tersinjaja ke dinding kena hantaman itu. Punggungnya terasa linu. Dia berbalik segera, dan kini dia berhadapan dengan lelaki yang tadi menggeluti tubuh isterinya!
Lelaki itu kini memegang keris. Datuk Sipasan memajukan kaki kanan selangkah. Kemudian dia tegak dengan kuda-kuda yang kukuh menghadapi lelaki itu.
"Kau yang bernama Datuk Sipasan yang dari Piaman?" Lelaki berkeris itu bertanya. Datuk Sipasan tak menjawab. Amarahnya membuat dia menjadi muak dan benci separoh mati kepada lelaki yang hampir saja menodai isterinya itu.
Hampir saja. Kalau dia terlambat datang barang semenit lagi, mungkin isterinya dan Siti Nilam telah dinodai kedua lelaki ini. O, alangkah ter-kutuknya. Dan mengingat ini Datuk tersebut membuka serangan.
Dia mengirimkan tendangan dengan kaki kanan yang di depan. Tendangan ini tendangan pancingan dalam jurus Rantai Nan Empat. Yaitu jurus yahg mengandalkan kombinasi empat tendangan. Satu tendangan sapuan sambil menunduk rendah dengan kaki kiri berputar ke bawah menyapu kaki lawan, kemudian serangan kedua menghantam pangkal telinga lawan dengan punggung kaki sambil melompat, begitu kaki mencecah tanah, lalu berputar dan menghantamkan tumit ke pusat lawan. Dan serangan terakhir adalah serangan meloncat menghunjamkan kedua tumit ke tubuh lawan. Serangan terakhir ini tak memilih posisi lawan.
Jika lawan tengah terbaring karena serangan terdahulu, maka hentakkan kedua kaki ini bisa ber-bentuk hantaman sambil melompat tinggi, dan menghunjam ke bawah. Kalau lawan masih tegak, maka hantaman kaki itu menuju dadanya sambil melayang cepat.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7 Legenda Kematian Karya Gu Long Istana Pulau Es 2
Giring Giring Perak adalah salah satu masterpiece dari pengarang kenamaan pada jamannya, Abang kita Makmur Hendrik (silakan baca disini untuk profil lengkapnya).
Karya-karya beliau dulu banyak di sukai banyak kalangan dan beberapa diantaranya dulu dimuat secara bersambung di Harian Singgalang dan selalu dinantikan oleh para penggemarnya.
Alhamdulillah atas izin dari Bang Makmur Hendrik cimbuak mendapat kehormatan untuk dapat menghadirkan kembali salah satu karya Bang Makmur Hendrik ini kehadapan Sanak semuanya.
Selamat Menikmati
Episode1- Bukit Tambun Tulang
PEDATI yang berjalan paling depan tiba-tiba dihentikan. Dua-puluh pedati lainnya yang berjalan di belakang berhenti pula
"Kenapa berhenti?" Seorang lelaki yang ber jalan di sisi pedati yang kesepuluh bertanya pada teman di depannya.
"Entahlah. " jawab yang ditanya.
Kemudian dia menoleh ke depan, lalu berseru.
"Ahooi, kenapa berhenti di sini?"
Tak ada jawaban. Perempuan-perempuan menyembulkan kepalanya dari dalam pedati tersebut
Seorang lelaki kelihatan berjalan dari depan.
Dan yang di depan ke belakang. Nampaknya ada pesan beranting yang disampaikan.
Dalam waktu singkat, lelaki-lelaki pengiring pedati itu sudah berkumpul di depan sekali. Di dekat pedati Datuk Sipasan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan.
Datuk itu yang bertubuh besar dan kelihalan "berisi", duduk di sebuah batu besar. Dia melemparkan pandangannya pada seluruh lelaki yang kini tegak mengelilinginya. Menatap wajah mereka. Melirik tombak di tangan atau pedang dan keris di pinggang mereka.
Mulutnya mengunyah sugi tembakau. Kemudian meludahkannya ke tanah.
"Kalian lihat bukit itu?" katanya tanpa menoleh tapi ibu jarinya dia acungkan ke belakang.
Semua lelaki yang jumlahnya 23 orang itu meng-ibu jari Datuk, ini. Mereka memang melihat sebuah bukit. Dipenuhi hutan belantara. Dan nampaknya kini mereka tengah menuju ke arah bukit tersebut. Beberapa orang mengangguk. Tapi lebih banyak yangdiam.
"Itulah Bukit Tambun Tulang." Datuk itu bicara lagi, seperti tak acuh..
Kali ini semua lelaki di depannya pada menoleh kembali ke bukit tersebut. Kalau tadi dengan sikap tak mengerti, atau tak acuh, kini dengan sedikit berdebar. Bahkan ada yang melihat bukit itu dengan sedikit rasa takut.
"Bukit Tambun Tulang?" tanya seseorang dengan nada_lemah. Datuk Sipasan tak menyahut.
Mengeruk kantong bajunya, mengambil segumpal tembakau. Meremasnya kuat-kuat.
Membuat tem-bakau itu mirip kelereng, atau godok kecil. Kemudian menyelipkannya ke mulut, jadi sugi. Lalu dengan sikap hampir-hampir tak acuh dia bicara.
"Tak ada jalan lain. Ini satu-satunya jalan yang terdekat, dan mudah untuk mencapai Luhak Tanah Datar..."
"Terdekat, mudah, tapi belum tentu aman..." seseorang lelaki gemuk memakai Golok di pinggang menyambung ucapan Datuk itu. Semua yang nadir pada menoleh padanya.
"Kenapa pakai kalimat belum tentu aman?" Jalari ini memang paling tidak aman!" Datuk Sipasan menegaskan. Mulutnya berpiuh-piuh memainkan suginya.
"Lalu bagaimana?"
"Kita akan terus!" jawab Datuk Sipasan.
"Apakah di bukit itu masih ada penyamun?" tanya yang bertanya barusan. :
"Ada...!" Datuk itu menjawab pasti. Meski wajahnya tetap saja tak acuh.
"Dari mana Datuk tahu?"
Datuk itu tak menjawab. Tapi menatap orang yang bertanya itu. Kemudian menalap yang lain-lain.Lalu kembali menatap yang bertanya tadi. Kemudian dia tegak dari batu besar di mana dia duduk. Lalu meloncat ke bawah.
"Naiklah ke batu itu..." katanya pada lelaki yang bertanya tadi. Lelaki tadi tak mengerti. Tapi dia naik juga kebatu besar di mana Datuk itu tadi duduk.
"Lihatlah ke belakangmu, di bawah..."
Datuk Sipasan bicara ketika lelaki itu sampai di atas., Lelaki itu menurut. Tiba-tiba terdengar seruannya. Dan saat berikutnya dia terlompat turun dengan wajah pucat.
Yang lain pada berpandangan. Dua orang naik ke atas. Melihat ke bawah. Dan mereka juga pada berseru kaget, kemudian cepat-cepat turun dengan muka pucat.
Beberapa orang naik, melihat ke bawah. Dan hampir semuanya terkejut dan turun dengan muka tak sedap, Di belakang batu besar itu, sesosok jadi mayat terhantar dengan baru saja mati dengan leher hampir putus. Nampaknya baru saja mati sehari dua ini.
Mayat itu tertelentang. Menghadap ke atas, kearah arah orang yang melihat ke bawah dari batu itu. Menatap dengan mata yang mendelik dan mulut menganga mengerikan.
Kini semua pada tertegak kaku di tempat mereka masing-masing.
"Siapa yang ingin kembali, silahkan. Yang ingin terus tapi ingin mencari jalan lain, juga disilahkan. Saya akan terus mengambil jalan yang melintasi Bukit Tambun Tulang ini. Siapa yang ingin ikut, juga disilahkan".
Datuk Sipasan berkata setelah meludahkan tembakau suginya. Ketika dia berhenti bicara, tak seorangpun yang menyahut. Dan dia yakin, semua akan mengikutinya.
"Peringatkan pada semua perempuan, bini atau anak kemenakan kalian, agar tak memperlihatkan diri sejak saat ini. Dan kalaupun terjadi pertempur-an, mereka harus tetap saja dalam pedati. Begitu lebih selamat untuk.mereka".
"Bagaimana kalau kita kalah Datuk?"
"Kekalahan berarti kematian"
"Ya, bagaimana kalau kita kalah kemudian mati?"
"Mereka bisa memilih melawan sampai tetes darah terakhir, atau merelakan diri diperkosa, atau jadi isteri penyamun-penyamun itu".
"Tak ada jalan lain?"
"Ada, yaitu memenangkan perkelahian!" Setelah itu tak ada yang bicara. Sampai saat mereka kembali ke pedati masing-masing mereka tetap diam. Lalu bicara perlahan pada perempuan-perempuan yang ada di pedati.
Kemudian diam-diam mereka mulai medecahkan mulut, menghalau kerbau yang menarik pedati tersebut. Dan kafilah pedati itu mulai mendaki kaki Bukit Tambun Tulang yang terkenal angker dan angkuh. Bau bangkai tercium di mana-mana. Tak ada suara. Bahkan binatang rimbapun seakan ngeri berada di rimba lebat yang menyelimuti Bukit Angker tersebut.
Tiba-tiba ketika mereka mendekati hampir di pinggang bukit kecil itu ada suara murai.
Sekali. Dua kali. Kemudian ada suara gagak.
Datuk Sipasan yang berjalan paling depan segera arif. Bunyi itu bukan bunyi burung. Tapi suara manusia yang meniru suara burung dengan sempurna. Dan dia juga arif, bunyi itu adalah semacam isyarat dalam rimba tersebut. Datuk ini tetap menggusurkan sugi di mulutnya dengan tenang. Lelaki-lelaki lainnya, yang mengiringkan pedati mereka menuruti jalan menanjak itu semua pada diam. Mereka memegang hulu golok atau tombak dengan waspada. Perempuan-perempuan pada merapatkan diri di sudut yang paling jauh dalam pedati mereka.
Kini rombongan itu sudah sampai di pinggang Tambun Tulang tersebut. Pedati yang paling depan, yaitu Pedati milik Datuk Sipasan sudah .berbelok di sebuah tikungan.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergumam. Barisan yang ada dibelakang menyangka itu tawa Sipasan. Tapi yang ada di depan segera tahu, itu berasal dari dalam pepohonan di Bukit mereka lalui tersebut. Tawa itu mula-mula lunak saja, Tapi makin lama makin keras. Yang tertawa hanya seorang.
Datuk Sipasan tetap mendecahkan kerbaunya untuk maju terus tapak demi tapak. Lelaki. ini punya firasat, sebentar lagi, orang yang tertawa itu pasti akan menampakkan dirinya. Dan dugaan-nya tak jauh meleset.
Begitu tikungan itu hampir habis dia jalani, di depannya, di atas sebuah batu besar, tegak seorang lelaki berbaju hijau-hijau. Begitu lelaki itu kelihatan, tawa tadi lenyap. Dan hutan itu kembali dicekik suasana sepi.
Datuk Sipasan mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan rombongan di belakangnya berhenti. Dia menatap lelaki besar di atas batu itu. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sebilah keris tersisip di pinggangnya. Di tangan kirinya dia memakai gelang akar bahar besar.
Janggut dan kumisnya bersumburan lebat. Matanya berwarna merah.
Dia menyapu kafilah pedati itu dengan tatapan matanya yang tajam seperti elang kelaparan.
Tiba-tiba suaranya terdengar berbegu dalam rimba di pinggang Bukit Tambun Tulang itu:
"Selamat datang di Kerajaan Bukit Tambun Tulang sanak. Silahkan melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan semua harta dan ....wanita".
Datuk Sipasan tak menyahut. Matanya menyi-pit. Lelaki itu berdiri sendiri. Tapi dia tahu, pasti ada puluhan orang lainnya di sekitar mereka. Tapi di mana" Di pohon" Di dalam rimbunnya belukar" Tak satupun yang nampak. Dia meludahkan sugi tembakaunya.
"Kami numpang lalu sanak. Kami tahu, daerah ini di bawah kuasa sanak. Kami bersedia membayar upeti sekedarnya. Mohon kami jangan diganggu". Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan tawa bergumam oleh lelaki besar di atas batu itu.
"Pandai waang membaca puisi sanak" Waang hanya ingin membayar upeti "Sekedarnya?"
Aha, di mana puisi itu waang pelajari hingga punya nyali (keberanian) untuk mengucapkannya di Bukit ini" Tidakkah waang tahu siapa. yang tegak di depan waang ini?"
Datuk Sipasan merah padam mukanya disebut "Waang" oleh lelaki itu. Dan semua anggota rombongannya yang tegak dengan waspada di belakangnya mendengar jelas semua pembicaraan ini, Datuk itu masih menahan marahnya. Dia harus berusaha agar tak terjadi perkelahian. Betapapun kalau bisa membayar upeti sekedarnya jauh lebih baik daripada harus bertempur. Karenanya dengan menahan rasa marah karena dipanggil Waang yang je las-jelas menghina itu, dia bicara :
"Maafkah kami, kami tak mengetahui siapa tuan. Kami hanya mengetahui bahwa Bukit 'ini dihuni oleh penyamun-penyamun..."
Kembali suara tawa menyambut ucapan Datuk
"Nah kalau sudah tahu, bahwa di sini bersarang penyamun, kenapa tak segera berlutut dan menye-rahkan yang saya minta?"
"Tak ada yang harus kami berikan. Kami hanyalah rombongan penduduk yang berniat pindah ke Luhak Tanah Datar. Kami datang dari Daerah Pariaman, daerah itu kini sedang diancam
oleh Belanda. Apa yang bisa tuan dapati dari penduduk yang pindah karena takut?"
"Hmm, kalian orang yang pindah?" , "Ya..."
"Bagus. Pasti banyak harta dan banyak wanita..." Sehabis berkata begitu lelaki ini berseru sambil bertepuk keras:
"Periksa isi pedati itu"!"
Perintahnya yang mengguntur ini tiba-tiba disahuti pekik yang menyeramkan dari dalam belukar di sepanjang jalan di mana pedati-pedati yang 21 buah itu kini berhenti.
Penyamun-penyamun itu muncul amat tiba-tiba. Ini benar-benar mengagetkan semua lelaki yang menjaga pedati tersebut. Rupanya sejak mereka berhenti dan berunding di bawah tadi, mereka sudah diamat-amati oleh penyamun tersebut. Dan kini mereka berada dalam sebuah jebakan.
Namun Datuk Sipasan berseru:
"Tunggu Saya harap jangan menumpahkan darah. Tuan boleh ambil semua harta kami! Tapi jangan ganggu perempuan-perempuan!!"
Namun lelaki bertubuh besar di atas batu itu berseru:
"Hei beruk! Sekali lagi waang bicara, saya kuyakkan mulut waang yang berbau jering itu!!!"
Dan seusai ucapannya ini, panyamun-penya-mun Bukit Tambun Tulang yang kesohor pemakan masak mentah itu mulai mendekati pedati-pedati tersebut Tetapi, rombongan ini bukan sembarang rombongan! Mereka adalah kaum pesilat yang menyingkir dari Pariaman seperti yang dikatakan Datuk Sipasan tadi.
Mereka menyingkir menyusun kekuatan ingin bergabung dengan pesilat-pesilat di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam untuk balik menyerang Belanda di Pariaman.
Kini begitu penyamun-penyamun itu mendekat, mereka kontan memberikan perlawanan.
Datuk Sipasan sebenarnya ingin menyerang lelaki yang tegak di batu itu. Dia yakin lelaki itiilah pimpinan penyamun ini. Namun maksud itu terpaksa dia urungkan, karena dia di datangi oleh dua orang penyamun lainnya.
Suara senjata beradu terdengar gemerincing. Pekik-pekik kesakitan atau suara orang meregang nyawa terdengar berbaur dengan bentakan-bentak-an.
Bersambung Episode2 - Datuk Sipasan
Dewasa itu, hanya orang-orang. yang cari penyakit saja yang mau melewati bukit Tambun Tulang yang terletak di kaki gunung Tandikat itu.
Selama puluhan tahun. Bukit kecil itu menjadi "kerajaan" tak resmi dari suatu kelompok penyamun. Jumlah mereka tak ada yang mengetahui dengan pasti. Ada yang mengatakan hanya enam atau tujuh orang. Tapi kali ini, di saat penghadang-an rombongan, ternyata jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Suatu kekuatan penyamun yang luar biasa.
Apalagi semua mereka ahli dalam persilatan.
Dua lelaki yang datang menghadang Datuk Sipasan menerjang sekaligus. Datuk ini nampaknya tak mau buang-buang waktu. Serangan yang datang dari kiri dia elakkan, kakinya bergerak, dan orang itu terjengkang ke belakang. Yang menikam dengan keris dari kanan tiba-tiba dia sambut tangannya. Orang itu kaget, sebab serangannya yang cepat itu bisa disambut oleh Datuk ini. Dia berniat menyentakkan tangannya yang terpegang itu, namun tiba-tiba terdengar pekiknya meraung. Saat berikutnya tubuh penyamun ini melosoh.
Mukanya hitam. Dan warna merah ini menjalar ke lengannya. Dia mati sebelum tubuhnya mencecah tanah.
Inilah ilmu "Biso Sipasan " yang menyebabkan Datuk ini dikenal dengan gelar Datuk Sipasan. Ilmu silatnya tinggi dan senjata ampuhnya terletak pada dua kuku tunjuk dan empu jarinya. Dua kukunya ini tidak berwarna hitam seperti jamaknya kuku pesilat-pesilat yang mengandung racun.
Tapi kukunya tetap berwarna biasa. Kalau pesilat-pesilat biasa menggelek atau menangkis serangan dengan menepiskan tangan lawan, maka keistimewaan Datuk ini adalah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya. Tangkapannya tak pernah bisa dilepaskan.
Dan begitu tangan lawan tertangkap dia mencekal pergelangan orang tersebut. Kuku ibu jari dan tunjuknya mene-kan. Dan bisa yang amat ampuh, yang memang di isi dengan bisa seribu sipasan (lipan) segera menyudahi nyawa lawannya.
Dan ilmu ilulah sebentar tadi yang telah menyudahi nyawa seorang penyamun yang menyerangnya. Penyamun yang seorang lagi, yang terjengkang kena tendangan, segera bangkit. Dia mengambil kelewang di pinggang. Kemudian menebaskan ke leher Datuk itu.
Datuk ini tidak membuang langkah, dia hanti kelewang itu Jiingga dekat sekali. Kemudian tiba-tiba dia menunduk. Kelewang lewat serambut di atas kepalanya. Saat berikutnya telunjuk kanannya yang ditegangkan meluncur ke dada penyamun tersebut.
Penyamun itu tertegak kaku. Matanya mendelik. Mulutnya ternganga. Dari mulut yang ternganga itu, keluar suara seperti kerbau disembelih. Dan tiba-tiba dari dadanya, persis di arah jantung merembes darah keluar. Dadanya berlobang sebesar jari Datuk Sipasan. Dan sebelum tubuhnya tumbang, penyamun itu sudah mati!
Sementara itu pertarungan di barisan belakang berlangsung dengan cepat. Dari pihak Datuk Sipasan sudah jatuh korban empat orang meninggal. Para penyamun lalu mendobrak pintu Pedati dengan kaki. Dan suara pekik perempauan segera terdengar.
Pekik perempuan itu menyadarkan Datuk Sipasan, bahwa bahaya tengah mengancam rombongannya. Dia bergerak ke belakang. Tapi gerakannya terhenti ketika tiba-tiba lelaki yang tadi tegak di batu dan menghadang jalannya melompat. Kini kedua lelaki itu berhadapan.
"Hmmm, jari berbisamu lumayan juga sanak. Dua kawanku kau kirim ke akhirat. Tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku."
Datuk Sipasan menatap lelaki ini. Dia tegak dengan tenang. Betapapun kini pertarungan harus dia lanjutkan. Menang atau mati.
Datuk Sipasan, siapa yang tak mengenalnya di Pariaman". Guru Silat yang disegani oleh lawan dan kawan. Orangnya pendiam, berwibawa dan baik hati tapi punya ilmu yang tinggi.
Puluhan tahun dia hidup di kawasan Pariaman, belum ada bertemu lawan yang tangguh.
Itulah sebabnya kenapa lebih dari dua puluh keluarga mau ikut bersamanya melintasi Bukit Tambun Tulang untuk pindah ke Luhak Tanah Datar.
Bukit Tambun Tulang! Siapa yang tak kenal akan nama itu".
Mendengar namanya saja, sudah membikin tegak bulu tengkuk, Dan membikin orang awam terpancar kejambannya. Nama Bukit Tambun Tulang bukan hanya sekedar diseram-seramkan. Tapi memang suatu tempat pembantaian yang tak ada duanya di tanah Minangkabau.
Demikian banyaknya manusia terbunuh di Hutan yang menumbuhi Bukit itu. Hingga kalau orang menggali lobang, di setiap tempat di seluruh Bukit itu, pasti akan bertemu tulang belulang manusia. Begitu dari dulu, bahkan sampai kini. Maka bernamalah dia Bukit Tambun Tulang.
Yaitu suatu nama berasal dari Bukit yang ditimbun tulang belulang!.
Dan kini. Datuk Sipasan yang belum pernah bertemu dengan lawan tangguh itu berhadapan muka dengan pimpinan penyamun yang membuat bukit itu ditimbuni tulang belulang manusia Bukan hanya manusia biasa, tapi juga tulang belu-lang kaum pesilat!
Dua hal akan diuji dalam peraturangan ini. Pertama, apakah Datuk itu memang seorang pesilat tangguh yang jarang tandingannya, atau kedua: Apakah Penyamun di Bukit itu memang penyamun yang tak terkalangkah! Jika hal pertama benar, maka itu berarti hari ini tamatlah riwayat penyamun di Bukit tersebut. Tapi jika hal kedua yang benar, maka itu berarti nyawa Datuk Sipasan dan rombongannyalah yang berakhir!.
Datuk Sipasan yang selama ini belum pernah membuka serangan, kini tak mau anggap enteng. Dia tahu, lawannya sudah tersohor. Siapa tak pernah mendengar nama Harimau Tambun'Tulang" Nama itu adalah nama pimpinan Penyamun di Bukit ini. Dan dia yakin orang yang bernama Harimau Tambun tulang itu pastilah orang yang dihadapinya.
Karenanya, dia segera memulai serangan.
Tangannya bergerak mencakar muka penyamun tersebut. Selling dengan itu kakinya bergerak menghantam dada.
Lelaki yang diserangnya tak bergerak sedikitpun. Cakaran tangannya dielakkan lelaki itu dengan memiringkan kepala. Tendangannya tidak dielakkan. Melainkan disambut oleh lelaki itu
dengan tahgan kanan.
Datuk Sipasan membiarkan kakinya tertangkap. Namun begitu -kakinya terpegang dengan kecepatan kilat dia menyusulkan kaki kirinya naik! Bukan main berbahayanya serangan ini.
Beberapa orang musuhnya pernah terjebak oleh serangan serupa ini. Dan akibatnya lawannya senantiasa muntah darah.
Tapi Datuk itu memang tengah menghadapi lawan yang tak main-main. Begitu kakinya terangkat, lelaki itu justru menyentakkannya kuat-kuat. Serangan begini benar-benar di luar dugaan Datuk Sipasan. Kaki kirinya yang sudah terangkat membuat tubuhnya tak menjejak tanah sedikitpun. Dan begitu kakinya disentakkan, kontan tubuhnya melayang kebelakang.
Namun begitu tubuhnya melewati tubuh lelaki itu, dalam rasa terkejutnya Datuk tersebut masih mengirimkan sebuah serangan berupa tusukan dengan telunjuknya yang berbisa ke arah lambung lawan!
Namun kembali dia dibuat tak berkutik, ketika lelaki itu mengangkat lututnya. Dan tubuhnya yang sedang melayang itu didongkrak ke atas dengan kuat oleh lutut lelaki itu. Tak ampun lagi, terdengan keluhan kesakitan. Dan tubuh Datuk Sipasan tercampak ke samping empat depa!
Datuk itu mencoba bangkit segera. Namun dia merasa rusuknya ngilu. Dia yakin, ada rusuknya yang patah. Nafasnya jadi sesak. Dan dia muntah darah! Namun Datuk ini tak mau menyerah. Dia tahu, keselamatan rombongannya berada di tangannya. Dia lebih rela mati duluan, daripada harus melihat rombongannya dihancurkan satu demi satu.
Dia bangkit dengan susah payah. Menghunus keris, kemudian dengan simpanan terakhir, yaitu sebuah jurus silat Siterlak dia lancarkan. Namun lelaki lawannya memang bukan orang sembarangan. Nama penyamun Bukit Tambun Tulang memang bukan nama kosong.
Begitu dia menyerang dengan langkan tiga, menyamping ke kiri, lalu tiba-tiba rnenghantam dengan kaki kanan. Dan tiba-tiba pula menusukkan keris, lawannya hanya menatap dengan diam. Begitu tendangan dan keris tiba, dia mengkat kaki. Sekali kakinya bergerak, tendangan dan Keris Datuk itu bisa dia elakkan malah kerisnya jadi terpental jauh. Dan tangan Datuk itu berderak patah! Saat itu empat orang lagi rombongannya mati disembelih penyamun tersebut!
Seorang penyamun tinggi kurus, setelah menyudahkan nyawa seorang lelaki, berjalan ke pedati yang tak berpenjaga itu. Tangannya rnenghantam pintu pedati. Di dalam ruangan yang sempit itu gelap. Dia mengintip ke dalam, Tiba-tiba dia terpekik dan menghambur ke luar.
Tangan kanannya mendekap pipi. Dan dari pipinya meng-alir darah segar.
Kiranya ketika dia menjulurkan kepala ke dalam pedati itu, seorang perempuan yang dibekali sebuah keris menyerangnya.
"Perempuan jahannam!. Kuberi kau ganjaran yang setimpal atas perbuatanmu ini...." lelaki itu mendesis.
Dia lalu mengambil sepotong kayu sebesar lengan dan panjangnya sedepa. Kayu itu dia kibaskan ke dalam. Dia hayun ke kiri dan ke kanan dalam ruangan peHati yang kecil dan gelap itu. Terdengar pekik perempuan. Dan saat berikutnya lelaki itu melompat masuk.
Begitu dia masuk, seorang gadis yang baru berusia sekitar enam belas tahun melompat keluar.
Bagitu keluar, gadis tanggung ini melihat bangkai ayahnya terkapar berlumur darah dekat roda pedati. Dengan pekik dan lolong panjang dia memeluk ayahnya. Lelaki yang telah melompat masuk itu menghambur lagi keluar.
Dan dia melihat seorang gadis tengah me-nangisi ayahnya yang baru saja dia bunuh. Gadis itu jolong mekar. Rambutnya ik'al, tubuhnya kuning dan berisi. Pinggulnya besar. Itu kelihatan jelas karena gadis itu bersimpuh dekat mayat ayahnya.
Dan ketika gadis itu menoleh padanya penya-mun itu segera melihat wajah si gadis yang cantik. Dadanya baru mekar.
Namun kini dada gadis itu mengombak deras menahan tangis dan berang.
Penyamun jahannam! Busuk! Kubunuh kau" katanya sambil menghambur tegak dengan tangan memegang keris ayahnya yang telah mati.
Dibahagian lain, seorang penyamun yang telah membunuh dua lelaki di dekat pedatinya merang-kak pula masuk pedati. Di dalam terdengar pekik perempuan. Seorang perempuan berusaha .lari keluar. Namun kainnya dipegang lelaki Tersebut. Kainnya lepas. Perempuan itu kini hanya dibalut baju kurung saja. Tubuhnya yang sintal dan hitam manis kelihatan jelas. Lelaki itu tak mau berhenti hingga di sana. Dia menyambar rambut si perempuan. Dan sekali renggut, perempuan itu terlempar lagi ke belakang. Jatuh tertelentang di dalam pedati.
Begitu dia jatuh, begitu tangan penyamun itu tiba di bajunya. Sekali renggut baju kurung itu robek. Perempuan muda itu coba melawan. Namun apalah artinya tenaga perempuannya dibanding penyamun Bukit Tambun Tulang itu. Tubuh lelaki itu segera berada di atas tubuhnya yang tak bertutup. Tangan lelaki itu menjalar. Meremas dan menjalar. Menjalar dan meremas. Ke atas dan ke bawah. Ke bawah meremas. Ke atas meremas.
Perempuan itu meronta. Menggeliat. Meronta menggeliat. Menggeliat dan meronta. Namun lelaki itu tak mengacuhkannya. Mulutnya menjalar ke mana-mana. Kemana-mana. Dan peremuan itu makin menggeliat
Bersambung Episode3 - Gampo bumi
Datuk Sipasan arif, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Begitu kerisnya tercampak dan lengan nya patah kena tendang lelakitangguh itu dia berkata :
"Sungguh luar biasa. Patutlah tak seorangpun yang selamat melalui Bukit ini. Apakah saya sedang berhadapan dengan Harimau Tambun Tulang yang tersohor itu?"
Lelaki tangguh di depannya itu tak menyahut. Hanya tawanya terdengar bergema. Suara tawanya keluar dari hidung. Tawa yang mencemeeh.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Untuk menghadapi beruk seperti kalian, guru tak perlu turun tangan. Cukup dengan kami saja!"
Alangkah terkejutnya Datuk Sipasan. Dia yang demikian ilmu silatnya, sudah jarang tandingannya di Pariaman. Sudah masuk hitungan Guru Silat yang disegani lawan dan kawan. Kini, berhadapan dengan lelaki ini saja dia tak dapat berkutik sedikitpun. Dia seperti kanak-kanak saja. Dan ternyata lelaki tangguh itu bukan orang yang bernama Harimau Tambun Tulang. Bukan lelaki yang dita-kuti dan tersohor kepandaiannya sebagai pemimpin Penyamun di Bukit ini. Yang dia hadapi hanyalah murid lelaki itu. Murid Harimau Tambun Tulang.
Kalau muridnya saja sudah demikian tangguhnya bayangkan betapa tingginya kepandaian, Harimau Tambun Tulang itu! Dan hari ini, ternyata dugaan pertamalah yang benar. Yaitu: Datuk Sipasan menemui masa akhirnya.
"Sudahi nyawanya!" Lelaki itu berkata pada seorang lelaki besar di sisinya. Lelaki itu mengambil tombak. Si pimpinan penyamun itu berseru.
"Hentikan perkelahian!. Kalian beruk-beruk yang datang dari Pariaman, menyerahlah.Lihat pimpinan kalian ini saya sudahi nyawanya!"
Suaranya yang menggelegar itu memang me-nyebabkan perkelahian yang sedang berlangsung jadi terhenti. Rombongan Datuk Sipasan yang masih berkelahi sebanyak delapan orang menghentikan perkelahiannya. Mereka melihat kedepan.
Dan di depan sana, Datuk Sipasan dengan tangan terkulai nampak tegak dengan kaki terbuka.
Di depannya, dalam jarak lima depa, berdiri lelaki yang tadi mengalahkannya. Dan di samping lelaki itu berdiri lelaki lain yang memegang tombak.
Datuk Sipasan tahu, nyawanya tak tertolong. Namun dia tak mau mati sebagai pengecut. Dia tegak dengan dada busung dan pandangan menatap lurus pada pimpinan penyamun itu.
Kalaupun tombak itu datang menghunjam dadanya, dia ingjn menerimanya tanpa mengeluh.
Tanpa berkedip!
Pimpinan penyamun Bukit Tambun Tulang itu memberi tanda. Lelaki di sampingnya mengangkat tombak.
Namun gerakannya terhenti tatkala terdengar suara perlahan.
"Hmm.... alangkah aniayanya. Merampok harta, menyamun nyawa, menistai wanita....".
Suara ini perlahan saja. Tapi bergema di kaki bukit itu. Semua orang menoleh. Dan semua orang yang tertegak tegang itu melihat bahwa di depan sana, di mana pimpinan penyamun itu mula-mula tegak tadi: di atas sebuah batu yang ketinggian, duduk seorang lelaki.
Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu menunduk dan menyamping pada pereka.
"Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini?" Pimpinan penyamun itu membentak.
Kembali terdengar suara tawa perlahan, Lelaki itu menoleh. Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Barangkali baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih. Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi.
Dan kembali terdengar suaranya perlahan:
"Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar, di bukit ini memang banyak beruk tinggal.
Hanya yang saya tak tahu selama ini adalah beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara...."
Bukan main berangnya pimpinan penyamun itu. Dan dia tahu, dialah yang dikatakan anak muda itu beruk!.
Mulut lelaki besar ini bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satupun ucapan-nya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu.
Dan saat itu, di antara tawanya yang bergumam lemah, terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu.
"Hehh, lihatlah lawaknya monyet itu. Mulut nya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara... heh...he..."
, Mata lelaki besar itu jadi mendelik.
"Cincang dia!" desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombak-nya. Lelaki itu mengerti, dan dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombaknya. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anakmu da tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian.
Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum lemah, dia menunduk. Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur itu. Lambat-lambat tangannya meraba pinggang.
Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.
Anak muda itu tak menoleh sedikitpun. Di tangannya yang tadi bergerak kepinggang kini terpegang sebuah Bansi. Yaitu semacam suling , dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Letika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak samai sejari di bela-kangnya.
Meleset! Penyamun yang melemparkan tombak itu terheran-heran. Lemparannya tak pernah luput.
Tapi kali ini kenapa anak muda itu tak kena" Suara bansi yang ditiup anak muda itu terdengar bergema perlahan. Bukan main! Dia seperti tak acuh akan nyawanya!
Penyamun tadi merampas tombak sebuah lagi dari temannya. Kemudian kembali melemparkan-nya dengan bidikan yang cermat. Namun semua penyamun yang belasan orang jumlahnya itu kembali ternganga. Tombak itu lewat dalam kecepatan kilat dua jari dari tengkuk anak muda itu. Dia sendiri tak bergerak sedikitpun. Kepalanya masih tunduk dan suara bansinya mendayu lembut dan lemah.
"Sikat dia!" Suara pimpinan penyamun itu mengguntur. Enam orang pemegang tombak segera berlarian ke depan. Dan dalam jarak lima depa dari anak muda itu mereka tegak berbaris. Datuk Sipasan yang sejak tadi tertegak heran menyaksikan kejadian itu, kali ini tak sampai hati melihat anak muda itu jadi tusukan tombak.
"Larilah anak muda!!" Serunya. Namun anak muda itu tak bergerak. Dia tetap meniup bansinya perlahan. Tak menoleh sedikitpun ke samping, di mana penyamun-penyamun itu siap melempar kan tombaknya. Dan suara tombak itu bersuitan.
Namun kali ini semua mereka yang ada di bukit Tambun Tulang itu pada ternganga.
Tombak-tombak itu tak satupun yang menyentuh kulit anak muda tersebut. Tak satupun!
Keenam tombak itu melenceng ke kiri, ke kanan atau ke atas kepalanya. Kemudian perlahan menoleh pada mereka.
Tatapan matanya lembut. - Dia lebih mirip seorang seniman. Tubuhnya semampai dengan kulit halus. Rambutnya yang berombak tergerai sedikit di atas bahu meskipun kepalanya diikat selembar kain putih seperti selendang.
Saat itu pimpinan penyamun yang tadi tegak di atas batu di mana dia kini tegak, maju meraih dua batang tombak dari anak buahnya. Dia melangkah empat depa ke depan. Kemudian dengan suara parau bicara :
"Kau boleh berlagak di rumahmu buyung. Tapi di depanku, di depan Gampo Bumi, kau jangan banyak lagak...."
Begitu ucapannya habis, begitu orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Gampo Bumi ini melemparkan kedua tombak di tangannya sekaligus pada anak muda itu.
Lemparannya menimbulkan suara mendengung saking kuat dan cepatnya. Siapapun yang hadir di sana maklum, bahwa dengung suara tombak yang melaju itu disebabkan tenaga dalam Gampo Bumi yang luar biasa. Tombak itu tak kelihatan saking cepatnya.
Namun kembali terjadi keajaiban. Anak muda itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bansi yang panjangnya lebih sejengkal itu.
Pletak...!! Trak...! Kedua tombak yang melesat laju itu dia hantam dengan bansinya. Dan dua tombak itu patah empat! Kemudian hal yang luar biasa ialah keempat potong patahan tombak itu melesat lagi ke arah tuannya dengan kecepatan dua kali lipat!
Terdengar seruan kaget penyamun-penyamun itu, termasuk Gampo Bumi meloncat empat depa ke belakang. Hampir saja dia kalah cepat. Peluh dingin membersit di keningnya.
Dengan ragu dia menatap pada anak muda yang masih duduk dengan tenang di batu sana.
Anak muda tersebut tegak perlahan. Tubuhnya yang semampai kelihatan kurang meyakinkan atas hal yang baru saja terjadi. Apakah itu memang karena ilmunya yang tinggi atau hanya suatu kebetulan" Anak muda itersebut melangkah di atas batu besar itu. Dia melangkah empat langkah ke depan. Dan semua orang jadi tambah heran, pada saat dia melangkah, terdengar suara giring-giring berbunyi. Semua mata kini menoleh ke kakinya. Namun tak seorangpun yang bicara, anak muda itu angkat suara:
"Adakah di antara kalian yang pernah mengenal atau merasa memiliki giring-giring yang saya pakai ini?" Suaranya bergema perlahan dihutan dalam bukit itu. Tak ada yang menyahut.
Dia menanti beberapa saat. Wajahnya kelihatan kecewa ketika tak seorangpun yang menyahut.
"Adakah di antara kalian yang pernah mendengar bahwa ada anak lelaki yang lenyap dengan giring-giring di kaki kanannya?" Datuk Sipasan dapat menangkap nada haru dalam ucapan anak muda ini. Tapi kembali tak seorang pun yang menjawab.
"Tak seorangpun yarg tahu...." desah anak muda itu. Kepalanya tunduk. Tangannya bergerak kembali ke pinggang, menyimpan bansinya. Dan dia melangkah turun ke sebalik sana. Ketika dia hampir lenyap dari pandangan, Datuk Sipasan berseru.
"Anak muda tunggu dulu....!" Anak muda itu berhenti.
"Apakah bapak mengenal giring-giring ini?" tanyanya penuh harap.
Datuk Sipasan menggeleng, dia memanggil anak muda itu hanya dengan harapan agar bisa menolong melepaskan rombongannya dari kekejaman penyamun bukit Tambun Tulang ini.
"Tidak...." katanya perlahan.
Anak muda itu melanjutkan langkahnya lagi. Kepalanya lenyap di balik batu sana.
Datuk Sipasan tahu, bantuan dari orang lain tak mungkin dia harapkan. Kini dia punya kesempatan lagi untuk melawan. Meskipun tangan kanannya patah, tapi dengan cepat dia merampas sebuah kelewang dari tangan penyamun di dekatnya. Kemudian dengan kelewang itu juga dia menyabet leher penyamun itu. Terdengar pekik kesakitan, dan penyamun yang tak menyangka diserang itu melosoh turun tanpa nyawa.
Bukan main berangnya Gampo Bumi melihat hal itu.
"Beruk haram jadah! Kucincang tubuh waang!" bentaknya. Dan dengan sengit ia menerjang maju Rombongan Datuk Sipasan melihat perlawanannya itu kembali timbul semangat.
Meskipun sudah hampir separoh dari rombongan mereka yang mati, tapi kini mereka membalas lagi menyerang. Perkelahian kembali berkobar.
Gampo Bumi menerjang Datuk Sipasan, dengan tangan kosong. Terjangan pertama dikibas dengan kelewang oleh Datuk itu. Tapi Gampo Bumi memang bukan lawannya. Begitu pedangnya bergerak untuk menghantam kaki Gampo Bumi, kaki itu ditarik amat cepat. Saat berikutnya kaki kirinya melayang amat tepat. Dan tak ampun, perut Datuk Sipasan kena hantam. Datuk itu tercampak empat depa. Dia muntah darah. Dari barisan belakang terdengar pekik orang meregang nyawa. Salah seorang anggota rombongan Datuk itu mati dihunjam tombak didadanya.
Gampo Bumi mengambil tombak dari anak buahnya.
"Waang harus berkubur di sini beruk!" serunya sambil melemparkan tombak itu pada Datuk Sipasan yang jatuh berlutut sambil muntah darah. Namun saat itu dari batu tadi kembali tedengar bentakkan:
"Berhenti!" Suara itu demikian berwibawanya. Menyebabkan semua orang yang tengah berkelahi itu pada terhenti dan tertegak di tempatnya. Tidak hanya itu, orang itu mengibaskan tangannya. Dan sebuah ranting melayang cepat menyusul tombak yang tengah meluncur ke arah dada Datuk Sipasan. Sejengkal lagi tombak itu menembus dadanya, tiba-tiba ranting tersebut memapahnya di perjalanan.
Tombak itu patah dua, dan mental ke dalam semak!
Bersambung Episode 4 - Pemuda Misterius bergiring giring
Semula orang menoleh lagi ke batu itu. Dan semua mereka jadi terkesima. Di batu itu, berdiri kembali anak muda berpa-kaian putih dan bergiring giring perak tadi!
"Mengapa kalian menyebar bencana di sini?" tanyanya dengan suara berbegu pelan.
Gampo Bumi tak dapat menahan berangnya. Meskipun tadi dia melihat kehebatan anak muda ini, tapi sudah puluhan tahuri mereka berkuasa di bukit ini tanpa ada yang berani mengganggu kedaulatan mereka. Kini ada saja anak bau bawang yang berani menyuruh berhenti dan memerintah yang tidak-tidak. Bukankah ini suatu yang memalukan dan tak bisa dipediarkan terus"
"Hei beruk! Jangan waang terlalu banyak bicara. Waang sangka waang jagoan dengan menge-lakkan tombak-tombak tadi?" Sehabis berkata begini dia menoleh pada anak buahnya.
"Tangkap monyet itu. Bawa dia ke mari. Saya akan menyunatnya habis-habisan!"
Belum perintahnya habis, empat orang anak buahnya yang bertubuh besar bersenjatakan keris dan golok dengan sorak sorai berlompatan memburu ke atas batu tersebut.
Tapi begitu mereka sampai di atas, terdengar anak muda itu membentak:
"Mundur!" Aneh, keempat penyamun itu seperti didorong tenaga raksasa. Mereka terpental ke belakang bergulingan.
"Kenapa kalian harus saling bunuh di sini?" kembali pertanyaan itu dia ucapkan. Dan kali ini Gampo Bumi menjawab dengan sengit;
"Ini kerajaan kami buyung. Bukit ini dinamai orang Tambun Tulang. Karena kami menyembelih mereka di sini. Nah, kalau waang masih ingin selamat, cepatlah tinggalkan tempat ini!"
Gampo Bumi sebenarnya tidak menggertak. Dia ingin anak muda itu pergi cepat. Sebab melihat makan tangan anak muda ini barusan, hatinya jadi ciut juga. Kalau anak muda ini turun tangan membantu Datuk Sipasan, maka ada harapan mangsa mereka ini bisa lolos.
Tapi anak muda itu tetap tegak di sana. Muka-nya yang tenang menatap semua orang. Dan dia melihat beberapa lelaki terkapar mandi darah tak bergerak.Mati!
'Teman bapak kah orang-orang yang mati itu?" tanyanya pada Datuk Sipasan yang masih terduduk dengan mulut berdarah.
Datuk Sipasan cepat mengangguk "Kenapa kalian berbunuhan di sini?"
"Mereka merampok kami..."
Sinar tajam membersit dari tatapan anak muda berbaju putih yang terbuat dari satin itu.
Kembali matanya menatapi seluruh rombongan. Melihat beberapa perempuan. Semua mereka juga menatap padanya.
"Perempuan-perempuan itu, apakah juga rombongan bapak?"
Kembali Datuk Sipasan mengangguk.
Dan kini, tatapan mata anak muda itu menyapu Gampo Bumi. Kemudian kembali menatap Datuk Sipasan.
"Akan ke mana bapak bersama seluruh rombongan ini pergi?"
"Kami akan ke luhak Tanah Datar. Mungkin juga ke Luhak Agam..."
"Nah, sekarang berangkatlah selagi hari masih siang..."
Datuk Sipasan menatapnya. Dia ingin tegak, tapi tulang rusuk dan tangannya patah. Kini dia muntah darah, bagaimana dia akan berangkat" Datuk ini menguatkan hati, dia bangkit, lalu meng-hadap pada teman-temannya.
"Kuburkan mayat teman-teman. Dan bersiaplah untuk berangkat..."
"Tunggu!"
Yang berseru ini adalah Gampo Bumi. Semua menatapnya. Termasuk juga anak muda itu.
"Hei buyung berbaju putih dan bergiring-giring perak, dengarlah! Ini daerah kekuasaan kami, siapapun yang lewat di sini, harus membayar upeti pada kami. Jika upeti tidak dibayar, nyawa dan hartanya kami ambil. Begitu dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, turun temurun sampai kini"
"Dan itu hanya boleh sampai hari ini". Anak muda itu memotong cepat.
"Siapa yang membuat aturan itu?"
"Saya!"
Gampo Bumi meludah. Kemudian tertawa terbahak. Belasan anak buahnya juga ikut tertawa.
"Kalau saya tak sayang pada tubuh waang yang kerempeng itu buyung, maka waang sudah saya buat jadi sup. Bagaimana waang berhayal bisa memerintah orang-orang di Bukit Tambun Tulang" He, bagaimana" Apakah waang tersapa atau mimpi?"
Anak muda itu tak mengacuhkannya. Dia menghadap dan bicara pada rombongan Datuk Sipasan.
"Kuburkanlah teman-teman bapak. Kemudian berangkatlah!"
"Hei monyet, waang dengar ucapanku atau tidak" Waang harus enyah segera dari sini!"
Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentakan Gampo Bumi yang mengguntur itu membuat rombongan Datuk Sipasan jadi kecut.
Namun anak muda itu kini melangkah menuruni batu besar itu. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi pada giring-giring perak di kaki kanannya.
"Sekali lagi kau bicara seperti itu kutanggalkan gigimu..." Anak muda itu bicara perlahan Namun suaranya yang berbegu itu didengar dengan jelas oleh semua orang.
Bukan main berangnya Gampo Bumi. Seumur hidup, belum pernah ada orang atau setan sekalipun yang berani menghinanya seperti ini. Di depan anak buahnya pula. O, muka pimpinan penyamun ini jadi merah padam dan membengkak seperti orang mau berak.
Giginya berbunyi. Jahannam ini tak boleh dibiarkan hidup. Jelas dia telah mencorengkan taik dikeningku, bisik hatinya.
Dia membaca ajian yang pernah dia pelajari, kemudian didahului oleh sumpah serapahnya, dia maju membuka serangan sambil menyumpah.
"Beruk besar...ku..."
Ucapannya belum habis ketika sebuah bayangan putih berkelebat. Dan saat berikutnya, Gampo Bumi terpekik. Anak muda itu sudah pindah tempat. Tak seorangpun yang melihat bagaimana dia bergerak. Gampo Bumi menunduk sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ketika tangannya dia renggangkan, di telapak tangannya berkumpul empat buah gigi depannya !
"Kepung dan mampuskan beruk itu!" suara dan perintah Gampo Bumi mengguntur. Anak buah nya mengepung anak muda berbaju putih dan I bergiring-giring perak itu.
Dengan tombak teracung dan pedang siap di tangan, mereka mengurung anak muda itu di tengah. Lingkaran yang mereka buat makin dikecil-kan setiap kali mereka melangkah maju.
Anak muda itu masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun!
"Hei beruk, beri tahu siapa nama waang, siapa guru waang, agar kami bisa mengirim telinga waang pulang atau mengirimkannya ke guru waang yang celaka...."
Ucapan ini terhenti lagi ketika tiba-tiba bayangan putih melesat ke arahnya dengan kecepatan kilat. Saat berikutnya tubuhnya melayang, dan kini dia berada di tengah lingkaran yang dibuat anak buahnya bersama anak muda itu.
Benar-benar merinding bulu tengkuk Gampo Bumi. Dia sedang bicara tadi, jaraknya dengan anak muda itu ada enam depa. Anak muda itu berada di tengah kepungan anak buahnya.
Tahu-tahu dia merasakan tubuhnya diteteng tanpa dapat melawan sedikitpun.
Ketika sama-sama tertegak dalam lingkaran itu. Gampo Bumi mencabut keris di pinggangnya. Selama ini amat jarang dia mencabut keris. Hanya melawan orang-orang tangguh saja dia mempergu-nakannya. Tapi kali ini, dengan bulu tengkuk berjingkrat karena ngeri, dia mencabut senjatanya itu. Keris itu berlekuk lima berwarna merah. Dan tanpa banyak pikir dia menikamkan keris tersebut pada anak muda yang tegak di kirinya.
Anak muda itu mengelak sedikit, saat berikutnya tangannya bergerak, dan terdengar suara ber-derak dan lolongan Gampo Bumi ketika tangannya di sentuh oleh jari tangan anak muda itu. Lengan-nyalah yang berderak itu. Patah! Melihat ini, anak buahnya bukannya jadi takut.
Malah dengan sebuah bentakan mereka mulai berlari mengitari anak muda itu.
Mereka berlari membuat lingkaran. Pada saat-saat tertentu, dua orang dan arah yang berlawanan menyerang ke tengah. Yang satu menusuk dengan tombak, yang satu membabat dengan golok. Inilah apik rotan. Suatu kepungan yang ditakuti kaum pesilat di Minang saat itu. Lawan akan terkurung dan jadi pening dikitari sambil berlari itu.
Jika lawan berniat menangkis serangan orang yang berdua itu, maka dua orang lainnya segera muncul menyerang pula, dan yang menyerang pertama tadi masuk lagi kelingkaran sambil berlari mengikuti lingkaran tersebut. Biasanya pesilat-pesilat yang berkurung di tengah tak sampai ber-tahan empat jurus. Tapi kali ini anak muda itu tak perduli. Dia memegang lengan Gampo Bumi, kemudian tanpa bicara melemparkannya ke arah lingkaran yang mengepungnya! Gampo Bumi ter-pekik. Barisan yang melingkar itu sendiri jadi kacau balau.
Mereka tak mau menlanjutkan serangan, Sebab bisa mencelakakan pimpinan mereka. Gampo Bumi tercampak di tanah yang berkerikil.
Semua jadi terhenti. Dan memandang anak muda itu dengan wajah pucat. Melihat kejadian ini, rombongan Datuk Sipasan yang tadi kecut karena kekurangan jumlah orang dan kekurangan kepandaian, kini terbit lagi semangatnya.
Kini mereka mengambil lagi pedang dan keris, dengan bersorak mereka mengejar penyamun-pe-nyamun itu. Mereka berteriak membalaskan dendam teman-teman mereka yang telah mati barusan.
Beberapa orang di antara penyamun itu kembali mengadakan perlawanan. Tapi perhatian mereka terpecah pada anak muda bergiring-giring perak itu. Mereka merasa anak muda itu akan ikut nyerang. Ini membuat perhatian mereka tidak tertuju pada serangan. Dalam waktu singkat, beberapa orang terpekik mandi darah.
Rombongan Datuk Sipasan makin bersemangat. Akhirnya dua orang penyamun menghambur ke dalam semak belukar. Dan lenyap melarikan diri. Tindakan ini diikuti oleh beberapa orang lainnya. Akhirnya Gampo Bumi sendiri ikut ambil langkah seribu. Meninggalkan sebelas anak buahnya yang telah jadi mayat.
"Awas waang buyung. Kali ini kami kalah, tapi akan datang saatnya nanti, guru kami Harimau Tambun Tulang akan mengupakkan seluruh tulang belulang waang. Dan itu pasti takkan lama. Waang akan kami buru, meski ke ujung dunia se-kalipun!"
Ucapan ini dilontarkan oleh Gampo Bumi begitu dia akan meloncat melarikan diri ke dalam palunan belukar di kaki Bukit Tambun Tulang itu
Episode5 - Kisah Duka Giring Giring Perak
Rombongan Datuk Sipasan ber-sorak gembira. Mereka ramai-ramai mendekati anak muda itu. Dan ketika mereka tegak mengelilinginya, baru jelas bagi mereka, betapa masih mudanya dia.
Paling-paling baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Semampai dan tampan serta berkulit kuning bersih. Tak ada tanda-tanda bahwa dia se orang pesilat, apalagi memiliki ilmu tinggi yang sanggup mengalahkan murid Harimau Tambun Tulang.
Datuk Sipasan maju ke depan.
"Terima kasih anak muda. Engkau telah menyelematkan nyawa kami semua. Tak tahu bagaimana cara membalas budi yang telah kami terimaini. Hanya Tuhan yang akan membalasnya...."
"Tak usah dipikirkan hal itu. Apakah tak lebih baik menguburkan teman-teman yang meninggal?"
Semuanya jadi sadar. Dan mereka lalu ramai-ramai menggali lubang besar. Ada sembilan orang yang meninggal. Dan semua mereka dikuburkan dalam sebuah lobang bersamaan.
Ketika mereka selesai menguburkan mayat-mayat itu, hari telah senja.
"Tak jauh dari sini, ada air terjun di batang Anai. Barangkali lebih baik kita bermalam dekat air terjun itu sambil bertanak. Anak muda, kami mengundang anda untuk makan bersama malam ini. Jangan menolak, kami punya bekal cukup banyak. Dendeng daging rusa, dan palai rinuak. Marilah kita kesana..."
Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan gembira oleh semua anggota rombongan. Mereka mengagumi anak muda itu. Mereka ingin mengenal-nya. Dan mereka juga berfikir, alangkah baiknya kalau anak muda ini bisa melanjutkan perjalanan bersama mereka ke Luhak Tanah Datar. Lagi pula mereka belum mengenal siapa namanya, dari mana dia dan di mana perguruannya.
Anak muda itu tak menolak. Rombongan itu dengan bernyanyi gembira lalu melanjutkan perjalanan. Tak sampai satu jam, rombongan itu tiba di bawah air terjun di danau kecil yang amat indah di mana air terjun itu menghamburkan diri.
Tempat itu tak berapa jauh dari Bukit Tambun Tulang. Bahaya serangan mendadak dari penyamun penyamun tadi bukannya tak mungkin. Tapi dengan adanya anak muda tangguh ini, mereka yakin penyamun itu takkan berani menampakkan batang hidung.
Anak muda itu ternyata juga mahir dalam obat obatan. Tangan dan rusuk Datuk Sipasan yang patah dia obat dengan ramuan daun-daunan yang dia ambil di sekitar air terjun tersebut.
Obat itu mendatangkan rasa nyaman dan me-legakan pernafasan Datuk tersebut. Ngilu dan nyerinya lenyap sama sekali.
Pengobatan itu dia lakukan setela-h selesai makan. Mereka semua berkumpul mengitari api unggun besar yang dibuat tak jauh dari air terjun. Lelaki perempuan, tua muda berkumpul ingin melihat dan mendengar cerita anak muda yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu.
Beberapa orang yang luka juga diobati. Dan sama keadaannya dengan Datuk Sipasan, luka mereka terasa banyak sekali angsurannya.
"Obat apa namanya ini?" tanya Datuk Sipasan.
"Inilah pengobatan asli sejak nenek moyang kita. Segala obat yang dibuat berasal dari daun-daun dan akar-akar serta getah tumbuh-tumbuhan"
Dan malam itu rombongan penduduk yang pindah dari Pariaman ke Luhak Tanah Datar itu mendapat pelajaran yang amat bermanfaat. Yaitu belajar meramu obat-obatan.
Mereka sibuk mencari akar kayu daun tumbuh-tumbuhan yang ditunjukkan contohnya oleh anak muda itu. Dan diterangi api unggun mereka mem-buat obat-obatan.
Menjelang tengah malam, tak seorangpun yang berniat untuk tidur. Dan Datuk Sipasan mengerti apa yang diingjni oleh rombongannya.
Ketika mereka duduk sambil menghirup kopi yang dijerangkan oleh Siti Nilam, gadis berusia 17 tahun yang ayahnya mati di Bukit Tambun Tulang tadi, yang dirinya hampir pula dinistai penyamun itu. Datuk itu membuka pembicaraan dengan hati-hati.
"Maaf, sampai saat ini kami belum tahu harus memanggil apa pada engkau anak muda.
Maksud saya, kami belum tahu siapa namamu, di mana kampungmu dan akan ke mana engkau sebenar-nya. Sementara tentang diri kami semua, rasa-nya sudah tak ada lagi yang harus diceritakan..."
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia memandang ke arah air terjun di lembah anai itu.
Lambat-lambat menanggalkan giring-giring perak di kaki kanannya.
"Masih ingat pertanyaan saya tadi... ketika masih di bukit Tambun Tulang?" dia bertanya perlahan.
"Ya, saya masih ingat. Engkau menanyakan kalau-kalau ada diantara kami yang mengenal giring-giring ini..." jawab Datuk Sipasan. Anggota rombongan yang lain pada menggeser duduknya mendekat.
Anak muda itu menarik nafas panjang. Matanya menghadap lurus ke depan. Dan di depannya, justru duduk Siti Nilam di samping seorang perem-puan lain. Tanpa disadari, mereka bertatapan cukup lama. Akhirnya Nilam menundukkan muka-nya yang bersemu merah dalam cahaya api unggun.
"Siapa nama saya, darimana saya da tang, itu yang selalu ditanyakan orang...." anak muda itu berkata perlahan sambil menatap api unggun. Seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Namun, itu pula yang tak saya ketahui..." katanya lagi. Semua yang hadir jadi tertegun tak mengerti.
"Ya." dia melanjutkan lagi, "saya tak mengetahui siapa nama saya. Dan tak tahu di mana kampung halaman saya. Saya juga tak tahu siapa ayah dan ibu saya. Ketika saya mulai bisa berfikir, saya mendapati diri saya di puncak Gunung Talang bersama seorang lelaki tua yang saya sangka ayah saya. Namun setahun yang lalu, dia menceri-takan semuanya. Bahwa saya bukan anaknya. Bahwa dia menemukan saya di sebuah ladang yang dia sudah tak ingat di mana tempatnya. Saya dia temukan ketika masih berumur 5 bulan. Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada negeri hangus terbakar, penduduknya melarikan diri. Kabarnya baru kena rampok. Saya dia bawa ke Gunung Talang di mana dia tinggal. Satu-satunya tanda yang ada pada saya adalah giring-giring perak ini.
Orang tua yang merawat saya itulah guru saya bersilat dan belajar ilmu bathin serta ilmu obat-obatan. Tiga bulan yang lalu saya disuruhnya turun gunung mencari orang tua saya.
Mencari kampung saya. Dia tak mengetahui sia nama saya. Dan kalau dia memanggil, dia memanggil saya dengan sebutan si Giring-Giring Perak.
Sejak sebulan yang lalu, saya sudah mendatangi Padang dan Pesisir Selatan, mendatangi kampung demi kampung, memasuki belukar dan ladang, mencari kalau kalau ada orang yang kehilangan anak 20 tahun yang lalu. Dengan giring-giring perak di kaki kanannya.
Itulah sebabnya, giring-giring ini tak pernah saya lepaskan, meskipun sudah begim besar.
Saya yakin suatu hari, entah kapan, barangkali ibu atau ayah, atau barangkali kakak saya, kalau mereka masih hidup, mereka akan mendengar giring-giring ini, dan teringat pada saya... Saya akan mencari mereka, kemanapun jua...."
Ketika dia menghentikan ceritanya, perempuan perempuan pada mengusap air mata. Lelaki pada menunduk.
"Maafkan saya telah membangkitkan cerita yang membuat anda sedih..." kata Datuk Sipasan.
Anak muda itu menggeleng. Dia tersenyum lemah. Dan tiba-tiba matanya bertatapan lagi dengan Siti Nilam yang kebetulan lagi mencuri pandang padanya. Gadis itu basah pipinya karena air mata. Dia teringat ayahnya yang mati di bukit Tambun Tulang tadi. Kini dia juga sebatang kara, ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit perut di Pariaman.
Mereka bertatapan lama sekali.
Episode6 - Malam Mencekam di Batang Anai
Lewat tengah malam, ketika semua rombongan bergelung di keliling api untuk tidur, sementara yang perempuan masuk ke pedati, anak muda itu berjalan lambat-lambat menjauhi lingkaran api unggun itu.
Beberapa orang terbangun mendengar suara giring-giring perak di kakinya ketika dia melangkah. Suara giring-giring itu melantun lemah. Seperti se-buah dendang rindu dan putus asa seorang anak yang mencari kedua orang tuanya.
"Si giring-giring perak itu pergi" bisik seorang lelaki pada Datuk Sipasan. Datuk itu membuka matanya.
"Saya juga mendengar suara giring-giringnya. Tapi saya rasa dia takkan pergi..." jawab si Datuk perlahan.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, pokoknya saya rasa dia akan tetap bersama kita sampai besok. Dia takkan mau meninggalkan rombongan yang telah ditolongnya di kaki bukit ini. Tempat ini masih sangat berba-haya. Barangkali penyamun-penyamun itu tengah mengintai kita. . ."
"Aneh, siang tadi sama sekali saya tak melihat dia bersilat..."
"Maksudmu...?" seorang lain di dekat api unggun yang mendengar pembicaraan perlahan itu bertanya sambil mengangkat kepala dari batu yang dia jadikan sebagai bantal. Nada tanyanya agak berang.
"Maaf, bukan saya menyangsikan kepandaian-nya. Tapi...saya tak punya kesempatan melihat dia bergerak. Terlalu cepat..."
"Ya. saya sendiri tak tahu bagaimana cara dia bergerak. Hanya melesatnya bayangan putih yang nampak ketika dia menyerang Gampo Bumi dua kali. Dan tombak yang hampir menyudahi nyawa saya, dia hantam dengan ranting kayu.. Gerakannya benar-benar cepat.
Hei, dia memang belum mengatakan siapa gurunya tadi bukan"..." Ucapan Datuk Sipasan ini membuat beberapa lelaki bangkit dari pembaringan mereka. Pembicaraan itu memang menarik perhatian .mereka semua.
"Ya. Dia tak pernah bicara tentang siapa nama gurunya. Yang dia katakan hanyalah bahwa gurunya berdiam di Gunung Talang...."
"Gunung Talang... Seingat saya tak pernah ada seorangpun guru silat tinggal di sana. Ataukah pengetahuan saya demikian sempitnya hingga yang saya ketahui hanyalah perguruan-perguruan kecil saja?" Datuk Sipasan seperti bicara pada dirinya sendiri.
Suara giring-giring itu sudah senyap. Yang terdengar kini hanyalah suara desah air terjun Anai dan bisikan malam bersahutan dengan suara peng-huni hutan.
"Hei Datuk, bagaimana kalau dia kita jodohkan dengan Siti Nilam?" Seorang lelaki separoh baya bicara. Ucapannya tak begitu keras. Tapi hampir semua lelaki yang tidur di keliling api unggun itu pada menyumburkan kepala mereka dari bawah selimut. Beberapa orang di antaranya malah du-duk. Datuk Sipasan masih diam.
"Apa maksudmu?" tanyanya perlahan.
"Ehm...maksud saya... maksud saya mereka nampaknya saling jatuh hati."
"Darimana kau tahu?" Seorang lelaki dekat pohon tumbang yang telah duduk dari berbaring-nya bertanya.
"Saya melihat mereka saling menatap lama sekali tadi...."
"Ya, saya juga melihat..." kata lelaki lain.
"Ya, saya juga!"
"Saya juga..."
"Ketika berkelahi di Bukit Tambun Tulang tadi, dia bertatapan cukup lama dengan Kepala Penyamun itu. Juga dengan saya. Apakah itu pertanda cinta pula?" Suara Datuk Sipasan masih terdengar perlahan tanpa merobah posisinya ber-baring.
Ucapannya ini disambut oleh tawa bergumam beberapa orang. Tapi lelaki yang bicara pertama tadi menyela lagi:
"Pandangannya pada Datuk dan kepada Kepala Penyamun itu sudah tentu berlainan dengan pan-dangannya pada Nilam. Jangan disamakan. Dia pastilah anak muda normal Datuk...."
Kembali beberapa orang tertawa mendengar kilah ini. Datuk Sipasan sendiri ikut tersenyum.
"Ya. saya juga melihat dia menatap lama sekali pada Nilam"
"Tidak hanya dia Datuk. Nilam juga membalas tatapannya lama sekali. Dan itu bukan hanya seke-dar tatap-tatapan. Tatapannya punya arti"
"Arti yang dalam...." sambung yang lain.
"Dalam dan bermakna..." sahut yang lain pula.
"Bermakna dan indah...." yang lain lagi bicara.
Dan mereka jadinya bicara bergalau. Kemudian galau itu terhenti tatkala sayup-sayup terdengar suara bansi. Suara bansi di tengah malam!
Bunyi bansi itu lembut mendayu. Mereka saling pandang. Kemudian beberapa orang merebahkan badannya kembali. Beberapa orang lagi mengikuti berbaring perlahan. Menarik selimut, berkelumun. Namun suara bansi itu tetap mereka dengar. Ada relung hati mereka yang serasa teriris pilu bersama suara bansi yang alangkah menghibanya itu.
"Dia merindukan orang tuanya. Saudaranya. Kakaknya, atau siapa saja yang bisa mengenal nya.." seorang berkata dari balik kain sarung yang menutupi wajahnya.
"Suara bansi itu adalah suara hatinya..."
"Alangkah sepinya malam ini. Malam yang gelap di tengah rimba. Namun dirinya ratusan kali lebih sepi dari kesepian rimba ini. Hidup tanpa mengenal apa-apa. Bahkan nama dan "
dirinya sendiri tak dia kenal..." Datuk Sipasan berkata perlahan. Yang lain mendengarkan sementara hati mereka jatuh hiba mendengar suara bansi itu.
"Kalau dia memang punya hati pada Nilam, saya amat bersyukur. Nilam baru kehilangan ayah. Kehilangan ibu. Kini dia sebatang kara. Kalau mereka dijodohkan Tuhan, saya yakin mereka akan bahagia. Nilam akan mendapat pelindungan dari lelaki yang gagah perkasa.
Sementara anak muda itu akan menemukan ibu, adik dan saudaranya dalam diri Nilam..."
Datuk itu berkata perlahan.
Malampun berangkat larut. Tak ada lagi di antara mereka yang bicara. Barangkali semua ter-tidur karena lelah. Tapi barangkali juga tak seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Salah seorang di antara yang tak bisa memejamkan mata itu adalah Siti Nilam. Dia terbaring dengan gelisah dalam ruang pedatinya. Suara bansi itu amat menggelisahkan hatinya. Dia tak tahu kenapa dia menangis. Dia tak ingin menangis. Tapi air mata menggabak terus di pipinya.
Dia teringat pada almarhum ibunya. Pada ayah-nya yang baru saja meninggal siang tadi. Dia kini sebatang kara. Tak ada famili. Kemana dia harus pergi" Ikut terus dengan rombongan ini" Kemudian mengapa" Sebagai gadis yang baru saja mekar, dia tahu cukup banyak lelaki yangjatuh hati padanya. Namun dia tak pernah memikirkan lelaki sekali-pun. Tak pernah!
Tapi tatapan anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu membuat hatinya berdebar.
Dia berbalik ke kiri. Ke kanan. Menghapus air mata. Suara bansi tadi sudah lama lenyap.
Yang terdengar hanya suara burung hantu dan desahan air terjun. Desah air itu seperti desah hatinya yang sepi. Desah hatinya yang sendiri tanpa ayah dan ibu. Dia menghapus air mata.
Dia duduk Dia berdi-ri. Dia turun ketanah. Menghirup udara malam yang alangkah sejuk dan segarnya.
Dia melangkah. Di kanannya kelihatan api unggun. di mana para lelaki pada berbaring, di sekelilingnya. Dia melangkah ke kiri. Dia ingin ' menceritakan penderitaan hatinya pada orang lain. Pada perempuan lain. Dia menol'eh ke pedati Rahimah yang ada di belakang pedatinya. Sunyi. Sudah tidurkah dia" Pasti sudah. Ke sanakah aku" Ah, dia sudah tidur.
Kenapa harus kuikut serta . dia ke dalam rusuh hatikku"
Dengan fikiran demikian dia melangkah terus. Dia ingin ke dekat air mancur. Ingin mendengar resahnya air terjun itu. Barangkali keresahan air terjun itu bisa mengalahkan resah hatinya. Bukankah dengan mendengar keresahan lain keresahan kita terasa lebih ringan"
Tapi kenapa bansi itu tak lagi berbunyi" Ah, lebih baik memang dia tak berbunyi. Tapi aku ingin mendengar bunyinya lagi. pikirnya sambil tetap melangkah ke air terjun.
Namun gadis ini tak mengetahui bahwa ke-inginannya untuk lepas dari kegundahan hatinya itu justru menyeretnya ke dalam bahaya yang mengerikan.
Dugaan Datuk Sipasan memang benar. pimpinan Penyamun Bukit Tambun Tulang itu memang tak mau menyerah begitu saja.
Belum pernah dalam sejarah liidup mereka melepaskan mangsa pergi tanpa upeti. Apalagi rombongan Datuk ini telah mendatangkan celaka pada mereka.
Untuk itu Gampo Bumi mengirimkan empat orang anak buahnya yang tangguh-tangguh untuk mengikuti rombongan itu. Dan mereka jadi gcmbira bahwa rombongan itu justru bermalam dekat air terjun. Hariya mereka jadi kecut melihat anak muda itu tak pernah lepas dari rombongan ter-sebut.
Mereka menanti di seberang air terjun sana. Menanti saat yang baik untuk membalaskan sakit hati dan dendam. Nyamuk dan kegelapan malam bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Bahkan harimau dan ular tak bisa menggetarkan mereka. Mereka sudah terlalu biasa dengan hutan ini. Ini adalah rumah mereka. Mereka mengenal setiap jengkal hutan ini.
Karenanya ketika rombongan Datuk itu terlena tidur di serang kantuk nyamuk dan rasa dingin yang menusuk, mereka enak-enak saja di dahan kayu mengintai.
Suatu saat salah seorang di antara mereka berbisik: '
"Sst, lihat itu...."
Tiga orang lainnya menoleh. Dan mereka melihat sesosok tubuh berjalan ke air terjun.
"Hei, itu perempuan..."
"Sst, jangan ribut. Biarkan dia. Ini umpan yang empuk...."
"Hei, bukankah gadis itu yang gagal dilahap Lelo Cindai siang tadi?"
Lelaki yang bernama Lelo Cindai, yang memimpin rombongan kecil itu mempertajam pandangan. Dan jakunnya turun naik.
"Ya..Ya! Dialah gadis itu. Amboi, gadis yang jolong mekar. Susunya sekepalan tangan.
Mengkal dan harum. Aku sempat meremasnya tadi siang. Pinggulnya.... amboiii. Ini bahagianku. Daripada batang pisang, lebih baik merapalam dan kuini. Tak dapat tadi siang lebih nikmat malam ini...ke-marilah upik.. kemarilah sayang. Ini udamu.. ku-beri kau yang nikmat di dunia ini..." Lelo Cindai berbisik dan perpantun.
"Jangan terlalu panjang pantunnya Lelo. Yang perlu Lelo ingat adateh pantun ini: Di mana tumbuhnya padi, kalau tidak di sungai Batang Had. Kalau Lelo mendapat empat kali, jangan lupa kami seorang sekali".
Pantun ini disambut dengan tawa yang ditahan oleh tiga orang lainnya.
"Berees! Bukankah selama ini saya selalu mem-beri kalian giliran" Kalau saya selesai empat kali, kalian kuberi dua kali seorang Okey?"
"Oke sih Oke Lelo. Tapi apakah gadis itu akan tahan?"
"Jangan khawatir dia tidak hanya "tahan" tapi akan melayani kita semua dengan keahliannya".
"Dengan keahliannya?"
"Ya!"
"Saya rasa dia belum pernah disentuh lelaki Lelo..."
"Jahannam. Siang tadi saya meremasnya. Apakah saya kau anggap bukan lelaki?"
"Bukan! Bukan itu maksud saya Lelo. Selain Lelo saya rasa dia masih perawan. Barangkali umurnya paling tinggi delapan belas...."
"Enam belas! Dia pasti enam belas" kata Lelo Cindai membetulkan.
"Ya, saya percaya itu. Tapi ini dia datang. Lihat dia membasuh mukanya dengan air sedingin ini. Gila. Apakah dia seorang yang berdarah panas makanya malam sedingin ini mencuci muka"
"Ya, dia gadis berdarah panas. Itu bagus bukan" Nah siap-siaplah"
Episode7 - Penculikan Siti Nilam
Anak muda bergiring-giring perak itu bersandar ke batang kayu.Tiga bulan mengitari gunungTandikat. Datang dari kampung kekampung. Bertanya dari rumah ke rumah. Tapi tak seorangpun yang pernah kehilangan anak.
Tak seorangpun yang mengetahui, bahwa ada suatu keluarga yang kehilangan anak dua puluh tahun yang lain. Kalaupun ada, siapa yang masih ingat"
Dan mereka semua mengenal dan memanggil-nya dengan sebutan SI GIRING-GIRING
PERAK. Dia tak bernama, bukankah tanda pengenalnya lianya giring-giring perak itu"
Saya pasti punya nama. Saya pasti punya ayah dan ibu. Suatu saat kelak, kalau mereka masih liidup saya pasti bertemu dengan mereka. Pasti Tapi apakah mereka masih hidup" Dan acapkali, jika diu sampai pada fikiran seperti ini dia menun-duk. Menyeinbunyikan kepalanya diantara kedua lututnya.
Tangannya bergerak ke bawah perlahan. Meme-gang pergeiangan kaki kanannya. Menyentuh giring-giring perak itu. Talinya sudah dia perpan-jang. Karena sudah tak muat lagi. Jari-jarinya mempermainkan buah giring-giring itu.
Tapi tiba-tiba kepalanya tertegak. Dia seperti mendengar jerit tertahan. Salah dengarkah dia"
Suara burung malamkah itu" Atau suara anak harimau"
Tidak, itu pasti suara perempuan. Dia melang-kah sepat arah ke api unggun. Di sana Datuk Sipasan sudah tegak. Ketika dia melihat Anak muda itu datang, dia segera bicara:
"Saya mendengar suara pekik tertahan..."
"Entahlah. Hei bangun semua!!" Suara Datuk ini membangunkan semua lelaki.
"Ada suara pekik tertahan. Coba periksa semua pedati. Kumpulkan perempuan-perempuan."
Semua lelaki memasang suluh yang telah ter-sedia sejak dari Pariaman. Dan dengan suara keras memanggil perempuan-perempuan untuk berkumpul.
"Siti Nilam..." Datuk itu berkata cepat begitu perempuan-perempuan yang berjumlah enam belas orang itu berkumpul.
, "Ya dia yang tak ada. Saya lihat pedatinya kosong!"
"Harimau atau penculikan?" Datuk itu berkata perlahan.
"Saya rasa diculik" kata si Giring-giring Perak. Suaranya datar tanpa emosi.
"Bersebar tiga-tiga. Cari dia sampai da pat!" Datuk itu memerintahkan semua lelaki. Namun si Giring-Giring Perak mencegahnya.
"Tak ada gunanya Datuk. Malam terlalu gelap. Hutan ini terlalu lebat. Datuk pasti tak mengenal rimba ini. Sementara penyamun itu sudah kenal setiap jengkal hutan ini dengan baik" "Tapi kami bertanggung jawab padanya. Dia sebatang kara. Ayahnya meninggal siang tadi. Sementara ibunya sudah beberapa tahun yang lalu mati karena sakit perut..."
Si Giring-Giring Perak menatap Datuk Sipasan. Kemudian dia berkata perlahan:
"Saya akan mencarinya...."
"Kami akan ikut dengan anda..."
"Terimakasih. Tapi saya juga mengenal hutan ini dengan baik. Saya rasa sendiri akan lebih mudah Tunggulah di sini, Insya Allah, sebelum fajar datang, saya akan membawa gadis itu, siapa nama-nya tadi" Nilam?"
"Ya, Nilam. Siti Nilam..."
Dan sebelum mereka sadar apa yang terjadi, anak muda itu tiba-tiba lenyap dari hadapan mereka.
"Ya Tuhan, sebentar ini dia di sini. Di hadapan kita. Kenapa tiba-tiba lenyap?" Seorang lelaki tua bicara dengan mulut ternganga.
Datuk Sipasan menggeleng.
"Alangkah sempitnya dunia kita. Seumur hidup, saya tak pernah melihat orang mampu bergerak demikian cepat..."
"Apakah.. apakah dia memang manusia?" seorang perempuan bicara perlahan. Semua mata memandang padanya. Kemudian mereka saling tukar pandangan.
"Ya, apakah dia bukan jin" Kenapa dia mema-kai kain serba putih" Bukankah yang memakai pakaian serba putih itu hanyalah mayat" Apakah dia bukannya sebuah tamsil pada kita yang hidup, bahwa dia melintas membawa pesan kematian?" Datuk Sipasan tersenyum mendengar ucapan
anak muda ini. "Sebaiknya engkau menjadi seorang seniman buyung. Ucapanmu terlalu puitis. Tapi ada benar- nya. Dia memang membawa pesan kematian. Pesan kematian bagi Penyamun-penyamun itu".
Episode 8 - Nafsu Birahi Lelo Cindai
Si Giring-giring Perak segera menyeruak belukar ke arah di mana dia tadi mendengar suara itu. Rasanya tak jauh dari air terjun. Ketika ka kinya menginjak sebuah batu layah, dia merasa kan batu itu basah. Dan inderanya yang tajamse gera dapat menangkap, bahwa gadis itu di sekap dari atas batu itu.
Dan dari situ dia memandang keliling. Di sebe-lah kiri ada dinding batu setinggi puluhan meter dari mana air terjun itu berasal. Di sebelah bela-kangnya adalah rombongan itu bermalam. Dia memandang ke depan.
Delapan depa di depannya, setelah air terjun itu melintasi sebuah sungai kecil ada belukar. Di belukar itu ada pohon besar dan rimbun, Dia me-lompat. Dalam sekali lompatan yang ringan dia berada di salah satu cabang pohon tersebut.
Ada ranting kecil yang patah. Dan dia segera tahu, dari pohon inilah penyamun-penyamun itu mengintai. Dari tempat ini amat jelas rnelihat ke arah api unggun. Dan amat mudah untuk men-capai setiap orang yang datang ke air terjun.
"Hmm, ada empat atau tiga orang yang mengintai dari pohon ini...." bisiknya setelah memperhatikan dahan besar di kayu itu. Dengan memperhitungkan situasi tempat itu, dia segera tahu ke arah mana Siti Nilam dibawa lari.
Siti Nilam yang mencecahkan tangannya ke air yang sejuk, tiba-tiba merasa ada orang di belakangnya. Sebagai gadis Minang yang belajar silat meskitak begitu sempurna, dia berbalik dan langsung menendang. Tapi orang yang tegak di belakangnya melompat ke samping.
Tangannya langsung menangkap mulut gadis itu. Kemudian tangan yang lain memukul tengkuknya. Terdengar pekik tertahan Siti Nilam. Tapi mulutnya telah ditutup. Ketika dirinya jatuh pingsan karena pukulan ditengkuk itu, Lelo Cindai memangku tubuhnya. Kemudian membawa lari.
"Lekas lari..." katanya pada tiga temannya yang menanti di bawah pohon. Mereka berlari dalam gelap seperti berlari di siang hari. Demikian , hapalnya mereka akan tempat itu.
Sehingga belukar yang demikian lebatnya tak menghalangi mereka. Mereka menyelusup mendaki tebing yang curam. Naik ke atas. Jika orang biasa takkan menduga bahwa di tebing yang curam tak berapa jauh fcdi kiri air terjun Lembah Anai itu ada jalan setapak berupa tangga dari batu-batu alam ke atas sana.
"Ke gua di tepi sungai...!" Lelo Cindai berseru sementara tangannya yang memangku tubuh Siti Nilam meremas-remas. Mereka kini berada di Batang Anai bahagian atas air terjun tersebut.
Batang Anai di hulu Air Terjun itu tak begitu besar. Batu-batu besar bersumburan. Dengan melompati beberapa batu besar, mereka tiba diSeberang. Dan empat lompatan mereka tiba di mulut sebuah goa di tepi sungai itu.
"Kalian tunggu giliran di luar...." perintah Lelo Cindai. Dia sendiri melangkah masuk ke goa tersebut. Goa itu cukup lapang, diatasnya tum-buh pohon-pohon besar.
Lantainya terbuat dari batu yang rata dan licin. Berbeda dari udara di luar, dalam goa ini udaranya hanga't dan bersih.
Lelo menaruh tubuh .Nilam perlahan di lantai. Gadis itu masih belum sadar. Malam yang gelap membuat dia tak melihat apa-apa. Tapi begitu tubuh Nilam terletak. tubuh Lelo ikut bergolek di sisi tubuh gadis it?.
Tangannya mulai mejiggerayang. Menyentak-kan kain gadis tersebut. Meremas pinggulnya.
Mulutnya menjalari wajah Nilam, bibirnya leher-nya. Dadanya. Dan tangannya bergerak lagi.
Me-renggutkan baju kurung Nilam. Suara kain robek terdengar sampai ke luar goa.
Tiba-tiba tangannya terhenti Tiba-tiba gerak-annya terhenti. Tiba-tiba nafasnya juga rasa terhenti. Dia mendengar sesuatu. Dekat sekali. Seperti suara giring-giring.
Dia menanti. Senyap. Dia mendengarkan. Senyap. Tangannya bergerak lagi. Tapi suara giring-giring itu berbunyi lagi. Kali ini dia tak sempat mendengar banyak. Karena begitu dia coba bergerak, rambutnya rasa ada yang menarik. Dia ingin bercarut. Ingin menyumpah. Tapi tubuhnya dia rasa melambung. Sebelum carutnya keluar, tubuhnya menerpa dinding goa!
Dia merasakan tubuhnya remuk. Tubuhnya melosoh di dinding. Menggeletak di lantai goa yang keras. Tapi dia belum mati. Dia ingin membalas. Dia tahu, yang mencelakainya ini pastilah anakmuda bergiring-giring perak yang mengobrak-abrik mereka di Bukit Tambun Tulang siang tadi.
Dia meraba pinggang untuk mencabut keris dan melemparkannya diam-diam ke tubuh anak muda Namun usahkan keris, celana sajapun dia tak punya kini. Sudah dia tanggalkan tadi sebelum dia
menyentakkan pakaian gadis itu. Celakanya dia juga belum sempat menikmati tubuh gadis itu tatkala .anak muda itu tiba. Dan malangnya lagi, anak muda itu mendengar gerakkan tangannya yang perlahan mencari keris itu. Anak muda itu menggerakkan tangan. Sebuah kerikil sebesar jam tangan melesat dalam gelap itu. Menghantam jidatnya. Dan tanpa sempat melolong atau memekik, jidatnya berlobang, nyawanyapun berangkat ke neraka. Dia mati dengan menyumpahi temannya yang berdua yang dia tugaskan menanti di luar. Kenapa mereka tak memberitahu atau memberi kode ke dalam bahwa ada orang datang" Dan kalaupun ada orang datang, kenapa tak mereka halangi"
Dia tak tahu, bahwa kedua temannya juga sudah mati. Kedua lelaki itu tengah duduk di luar pintu goa ketika tiba-tiba saja anak muda itu telah tegak sedepa di depan mereka. Mereka seperti melihat hantu. Sebab pakaian anak muda itu serba putih. Dan dalam kegelapan yang remang-mang di pinggir batang Anai itu dia memang telihatan menakutkan.
Mereka meloncat tegak. Namun itu adalah gerakkan mereka yang terakhir. Sebab begitu mereka tegak, begitu kaki anak muda itu melayang menghantam mereka. Yang satu kena sepak kerampangnya. Anunya pecah ketika itu juga. Tubuhnya terangkat dan tercampak serta tersangkut di dahan kayu. Mati tergantung penyamun ini. Yang satu lagi kena terjang hulu jantungnya. Tubuhnya yang kena terjang itu terjerangkang dan tercebur ke dalam sungai.
Kemudian dihanyutkan oleh air deras. Dan jatuh bersama air terjun itu kebawah sana. Tak jauh dari. tempat Datuk Sipasan berke-rnah, di mana tadi Siti Nilam membasuh muka sebelum dia diculik.
Siti Nilam masih belum sadar dari pengaruh totokan. Dia terbaring diam. Si Giring-Giring Perak menyentuh belakang telinga gadis itu. Kemudian sebelum si gadis sadar, dia mengumpulkan pakaian-nya dan meletakkan di atas tubuhnya. Lalu dia melangkah keluar dari goa itu.
Siti Nilam segera sadar sesaat dia berada di luar. Gadis itu memekik-mekik. Tapi dia segera terdiam ketika suara si Giring-Giring Perak terdengar dari luar goa :
"Tenanglah - Nilam. Engkau telah selamat. Berpakaianlah...." Siti Nilam masih menggigil.
Tapi dia kenal betul suara anak muda yang telah menolong mereka siang tadi. Dia benar-benar merasa aman. Dia yakin dia belum ternoda. De-ngan masih menahan isak tangis, dia melekatkan pakaiannya sebisanya. Kemudian meraba-raba menuju titik yang agak terang.
Dan di luar di atas sebuah batu layah, Si Giring-Giring Perak itu tegak menantinya.
Siti Nilam yang merasa diselamatkan dari cemar seumur hidup, tak dapat menahan tangisnya.
Dia menangis dan tanpa disadari menjatuhkan diri kepelukan anak muda yang telah menyelamatkan dirinya itu.
"Terimakasih uda. Terimakasih. Engkau telah menyelamatkan diriku dari noda..." ujarnya di antara isak tangis.
Anak muda itu kaget ketika Nilam memeluk-nya. Dia membiarkan saja gadis itu memeluk dan menangis di bahunya tanpa berbuat suatu apapun. Dan ketika Nilam puas menangis, dia tegak sambil menunduk di depan anak muda itu.
"Mari kita ke bawah. Menemui rombongan Datuk Sipasan..." ujar si Giring-Giring Perak perla-han. Siti Nilam mengangguk. Tapi dia menjadi ngeri melihat batu bersumburan di sungai di dalam hutan Singgalang yang angker itu. Dia tak bergerak ketika Si Giring-Giring Perak mulai melangkah. Dan pemuda itupun segera sadar, bahwa gadis itu takkan mungkin melangkahi batu-batuan besar itu. Dia berbalik lagi ke tempat Nilam.
"Mari kubantu..." katanya. Dan sebelum Siti Nilam sadar bantuan bagaimana yang akan diberi-kan anak muda itu, dia merasakan tubuhnya di pangku. Kemudian si Giring-Giring Perak mengerahkan tenaga dan ilmu meringankan tubuh. Siti Nilam merasakan tubuhnya di bawa melompat dari batu ke batu, dalam kecepatan yang laju. Dia melingkarkan tangannya ke leher anak muda itu. Kemudian memejamkan mata sambil menyurukkan wajahnya ke dada si Giring-Giring Perak.
Anak muda itu mencium bau harum yang me-mancar dari tubuh Siti Nilam. Dadanya berdegup kencang. Dan dia memperkencang larinya untuk segera sampai ke tempat berkumpulnya rombongan
Datuk Sipasan. Dia harus hati-hati tatkala menuruni tebing curam menuju ke bawah. Kalau waktu naik tadi dia bisa berlari kencang, itu disebabkan karena ilmu-nya yang tinggi dan dia tak membawa beban. Tapi kini dia memondong tubuh seorang gadis. Dia harus hati-hati.
Sesuai dengan janjinya pada Datuk Sipasan, sebelum Subuh tiba, dia telah sampai kembali ke tempat mereka bermalam. Siti Nilam dia turun-kan tak jauh dari tempat orang-orang yang mengungsi dari Pariaman itu berkumpul. Dia tak ingin orang-orang itu melihat dia memangku tubuh gadis tersebut.
Episode9 - Nista Rukayah
Kedatangan mereka disambut dengan tempik sorak oleh rombongan yang menantinya dengan cemas. Siti Nilam segera dikerumuni oleh perempuan pempuan yang ikut dalam rombongan itu. Sementara Datuk Sipasan memberikan secangkir kopi panas kepada si Giring- Giring Perak. Kemudian seorang wanita menyendukkan rebus ubi yang dijerangkan di atas unggun api.
Anak muda itu memang sedang lapar. Dia memakan ubi rebus dan meminum kopinya dengan lahap. Tapi tiba-tiba mereka semua tersentak lagi ketika dari arah air terjun terdengar dua perempuan saling berpekikkan.
Semua lelaki menghunus keris dan golok. lalu menghambur ke arah pekik para perempuan tersebut. Air mancur itu terletak sekitar empat puluh depa dari tempat mereka membuat api unggun. Pada subuh yang mulai muncul itu, para perempuan pergi mengambil udhuk ke air terjun. Sesuatu yang menakutkan pasti telah terjadi pula atas diri perempuan-perempuan itu.
Ketika para lelaki itu sampai di sana mereka melihat Si Giring-Giring Perak yang tadi tengah minum kopi, telah berdiri di batu di tepi kolam kecil di bawah air terjun itu. Di tangannya dia masih memegang cangkir kopi. Sementara mulut-nya dia masih mengunyah potongan rebus ubi.
Perempuan yang tadi memekik, tegak dengan kaku di atas sebuah batu. Kaum lelaki yang ber-lompatan ke sana, pada mendekat. Si Giring-giring Perak ternyata telah mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dia sampai di sana lebih duluan dari yang lain.
"Ada apa...!?" Datuk Sipasan bertanya.
Kedua perempuan yang kini sedang berangkulan saking takutnya itu masih tak bisa bersuara.
Tapi salah seorang menunjuk pada sebuah batu yang berada dalam air.
Beberapa orang melompat untuk melihat. Mereka turun ke air. Lalu mengangkat sebuah benda yang menyebabkan kedua perempuan itu ketakutan.
Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut yang lain ketika benda diangkat itu ternyata seso-sok mayat lelaki. Tak ada bekas luka. Dan nampak-nya lelaki itu baru mati. Mayat itu mereka letakkan di atas batu dekat Datuk Sipasan. Sebelum mereka mengenali mayat itu, seorang perempuan yang datang kemudian berseru:
"Hei, dia salah seorang dari penyamun di Bukit Tambun Tulang itu. Dia yang merangkak ke pedati Rukayah....." Perempuan yang bernama Rukayah yang dia sebut itu ternyata salah seorang di antara yang terkejut tadi. Dia bergegas datang. Dan melihat mayat itu. Dan berangnya timbul tiba-tiba. Dia mengambil sebuah batu sebesar kelapa kecil. Kemudian dengan menyumpah-nyumpah, dia memukul kepala mayat itu.
"Kurejam kau... jahanam... jahannam! Ini atas nista yang kau perbuat pada diriku...
jahannam!!'' Perempuan itu menyumpah-nyumpah sambil memukuli mayat tersebut. Datuk Sipasanlah yang akhirnya menenangkannya.
"Tak baik menganiaya mayat. Betapapun juga, dia kini adalah jenazah yang tak berdosa.
" Ruhnya yang berbuat jahat itu telah pergi..."
"Tapi dia telah menistai diriku..." pekik perernpuan itu sambil menangis. Dia teringat lagi betapa lelaki itu sore kemaren menggerayangi tubuhnya yang padat itu. Meremasi dadanya.
Meremasi pinggulnya setelah merenggutkan kainnya. Dia menghimpitnya. Mengingat ini, perempuan itu tiba-tiba melemparkan batu besar itu ke kepala mayat tersebut. Kemudian dia berlari ke pedatinya.
Di sana dia memeluk suaminya yang dalam pertarungan tadi terluka parah. Dia menangis di dada suaminya. Sisuami mengerti nista yang telah menimpa diri isterinya. Dia pegang kepala isterinya itu dan mengelusnya dengan lembut:
"Tenanglah Rukayah... tenanglah. Jangan me-nangis juga. Tak ada yang perlu kau sesali..."
"Tak perlu kau pikirkan. Engkau tetap isteri yang kucintai. Dalam pertempuran banyak hal yang bisa terjadi Rukayah...."
"Tapi uda akan membenciku... Uda akan meninggalkan aku..." .
"Siapa yang mengatakan itu" Aku bangga, engkau melakukan perlawanan. Engkau telah berjuang melawan mereka. Dan aku bersyukur, engkau masih hidup. Engkau tetap ibu dari anak-anakku. Aku takkan meninggalkan dirimu. Percayalah Rukayah..."
Perempuan itu menangis lagi di dada suaminya.
Sementara itu, di tepi telaga kecil di bawah air terjun Batang Anai tadi kaum lelaki masih mempertanyakan tentang sebab kematian penya-mun tersebut.
"Dia mati di atas sana. Dan jatuh ke mari bersama air terjun..." Si Giring-Giring Perak berkata perlahan. Semua orang menoleh padanya.
"Di atas sana masih ada dua bangkai lagi. Yang satu di dalam goa. Yang satu tersangkut di dahan kayu..."
Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Merekakah yang menculik Siti Nilam?" Datuk Sipasan bertanya. Si Giring-Giring Perak meng-angguk. Kemudian berjalan perlahan ke dekat api unggun. Yang lain bubar satu-satu.
Episode 10 - Menguak tirai masa lalu
Pagi itu setelah mereka sholat su-buh berjamaah, anak muda ber-baju serba putih itu kembalime-ngobati yang luka-luka.Mengganti obat-obat dari daun dan akar kayu yang dia pasang malam tadi.Perempuan-perempuan bertanak mengeluarkan dendeng dan palai yang mereka bawa dari Pariaman.
'Kenapa Datuk meninggalkan Pariaman?" Anak muda itu bertanya pada Datuk Sipasan tatkala dia mengganti balut luka di rusuk Datuk itu
"Belanda menyerang negeri itu sejak enam bulan yang lalu. Mereka berhasil menduduki utara pantai. Setiap hari mereka menyerang perkampungan..."
'Lalu Datuk meninggalkan kampung itu"
"Ya Saya harus menyelamatkan sebahagian penduduk untuk tak jatuh menjadi tawanan dan budak. Banyak lelaki yang telah tertangkap, lalu dibawa dengan kapal dalam keadaan dirantai. Kabarnya mereka dijadikan budak belian di darat-an Eropah. Yang perempuan dijadikan penghuni harem..."
"Kenapa tak menyusun kekuatan untuk melawan?"
"Sudah kami coba. Tapi kekuatan kami amat terbatas. Apalagi diantara penghulu suku ada yang berkhianat. Lebih memerlukan uang dan pangkat daripada harga din."
"Kini apa rencana Datuk?" "Mengungsikan kaum wanita ke tempat arnan. Lalu coba menghubungi kaum Paderi di Luhak Agam. Kami akan coba minta bantuan mereka melawan Belanda,"
"Ya, saya pernah mendengar nama Kaum Paderi disebut-sebut..."
"Mereka adalah golongan Islam yang baru muncul. Dewasa ini pimpinannya adalah Tuanku Nan Renceh. Bermarkas di Kamang. Kami ingin menggabung dengan mereka..." Anak muda itu terdiam.
"Hei Giring-Giring Perak, maafkan, saya ingin bertanya lagi tentang dirimu. Boleh?" Anak muda itu mengangguk. "Saya sudah cukup lama mengenal daerah ini. Tapi seingat saya, tak seorangpun guru silat yang berdiam di Gunung Talang. Gunung itu terlalu angker dan angkuh. Malam tadi engkau bercerita bahwa engkau dan gurumu berdiam di sana. Begitu?"
Anak muda itu mengangguk lagi.
"Kalau saya boleh tahu, siapakah nama gurumu yg mulia itu?"
Anak muda itu tak menjawab
Matanya menatap ke air terjun. Lalu menghela nafas panjang.
Lalu berkata perlahan:
"Sulit untuk dipercaya, selama saya berguru padanya, hampir 20 tahun, saya tak pernah mengetahui nama ataupun gelarnya. Dia hanya datang ondok di mana saya belajar sekali seminggu.
Stiap hari Jum'at. Selain hari itu, saya tak pernah mengetahui ke mana dia..."
Datuk Sipasan ternganga heran. Ini benar-benar yang luar biasa. Seorang murid tak mengenal frma gurunya. Dan seorang guru mendidik muridnya sekali sepekan. Tapi betapapun juga, si guru tentulah pendekar yang amat sakti. Sebab muridnya saja sudah begini tangguh. Apalagi gurunya..
"Apakah engkau tak pernah menanyakan amanya?"
"Hal itu saya lakukan ketika saya dia suruh pencari ayah dan ibu. Namun orang tua itu hanya menarik nafas panjang. Dan berkata: Tak ada artinya nama nak. Seperti engkau juga tak punya nama. Carilah ayah dan ibumu. Kalau kelak engkau akan menemuiku, aku selalu berada di sini... Itu-ucapannya." Datuk Sipasan dan beberapa orang pengungsi dari Pariaman yang mendengar cerita itu pada terdiam.
"Giring-Giring Perak itu berada di kakimu sejak engkau kecil?"
"Ya. Begitu menurut penuturan guru..."
"Boleh saya melihat?"
Anak muda itu membuka giring-giring perak di kakinya. Tali giring-giring itu jelas sudah ditambah agar tetap sesuai dengan kakinya. Yaitu kaki seorang lelaki yang makin hari makin beranjak dewasa.
Dia memberikannya pada Datuk Sipasan. Datuk ini membalik-balik giring-giring perak itu.
Coba mencari kalau-kalau ada tanda-tanda yang bisa dijadikan pegangan. Namun giring-giring itu ' tak memberi petunjuk apa-apa. Tapi Datuk itu in gat sesuatu.
"Giring-Giring perak..." Dia terhenti. Lalu menatap anak muda itu.
"Anak muda, tak semua kanak-kanak di negeri ini bisa memakai giring-giring perak. Giring-giring ini memang banyak orang menganggapnya sebagai obat buat anak-anak. Tapi fungsinya yang lebih utama adalah sebagai mainan. Dan biasanya ada dua golongan orang yang sering memberi kaki anak-nya bergiring-giring."
Datuk itu berhenti. Anak muda itu kini jadi tegang. Dia terduduk kaku. Dia ingin mendengar penjelasan Datuk itu. Dia ingin mengungkapkan rahasia tentang dirinya yang sampai saat ini tetap merupakan tabir gelap.
"Kedua golongan itu adalah: Kaum Bangsawan, itau orang-orang kaya" Datuk itu berhenti lagi. lenanti reaksi anak muda yang duduk di depan-lya. Tapi anak muda itu masih menatap dan me-santi ucapannya selanjutnya. icapannya selanjutnya.
"Apakah engkau telah mendatangi Luhak tanah Datar dan Luhak Agam?"
Anak muda itu menggeleng. "Barangkali dapat kau coba di sana. Di kedua Luhak ini berdiam dan berasal kaum Bangsawan Minangkabau. Dan di kedua Luhak ini pula kaum hartawan dan orang-orang kaya bertempat tinggal. Mana tahu, di kedua luhak ini engkau dapat mengetahui siapa orang tuamu..."
Datuk itu berhenti. Si Giring-Giring Perak tetap diam. Lelaki-lelaki yang mengungsi dari Pariaman menatap padanya dengan perasaan iba.
Dia menatap ke air terjun. Air terjun itu keliha-indah dalam udara subuh. Berkubut tipis.
Suara indah dalam udara subuh. Berkabut tipis. Suara murai dan kicau burung pagi bersahutan dengan au air yang terjun melewati batu-batu gunung. lelingkar dan berbuih di kolan alam yang terjadi tbawahnya.
Lalu dia berkata perlahan: "Terimasih Datuk. Yang datuk katakan tadi terlintas dalam fikiran saya selama ini. Kini bisa memusatkan pencarian saya di kalangan Bangsawan atau orang-orang kaya. Meski tak begitu penting bagi saya. Yang ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya. Atau barangkali kakak dan adik-adik. Saya tak porduli bagaimana-pun keadaan mereka.Saya tak perduli apakah mereka kaya, miskin, buta, pincng atau tak bertangan. Yang saya inginkan adalah adanya mereka".
"Saya dan teman-teman yang datang dari Pariaman ini barangkali juga ti\iak akan menetap di suatu tempat. Mungkin kami akan berpencar guna mencari kekuatan untuk kembali menyerang Belanda di Pariaman. Kami akan mendatangi banyak tempat dan kampung. Kami berjanji akan menolong menayakan dan menyiasati tentang keluargamu. Kami janjikan itu demi persahabatan dan persaudaran kita. Demi budimu yang telah menolong kami dari maut..."
Si Giring-Giring Perak menatap pada Datuk ini tenang-tenang.
"Terimakasih Datuk. Terimakasih..."
Episode11 - Menetap di Silaiang
Rombongan itu bergerak mendaki pendakian Singgalang Kering. Merayap perlahan.
Kemudian berhenti di sebuah kampung kecil bernama Silaing.Di sini rombongan berdiam sepekan. Sipasan membagi-bagi rombongannya menjadi tiga bahagian besar.
Sepertiga yang dia pimpin sendiri tetap tinggal di Silaing sebagai Pos Komando. Sepertiga lagi dipimpin oleh seorang Penghulu, dia tugaskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung.
Sepertiga lagi yang dipimpin oleh adik Datuk ini,situgaskan ke Luhak Again untuk menemui Tuanku Nan Renceh.
Ketiga bahagian rombongan ini, akan menetap di kampung-kampung yang telah ditetapkan itu sebagai penduduk setempat. Mereka harus mengerjakan pekerjaan apa saja. Bertani, berdagang atau bertukang.
Di samping itu tugas utama mereka tetap mencari bantuan untuk membebaskan Pariaman dari Belanda. Dan tugas lain, yang juga amat penting adalah menanyakan pada setiap keluarga, kalau-kalau ada yang kehilangan seorang anak lelaki yang memakai giring-giring perak di kakinya sekitar 20 tahun yang lalu.
Mereka menetapkan, enam purnama setelah saat itu, semua sudah berkumpul di Silaing.
Mem-bawa segenap bala bantuan yang bisa dikumpulkan untuk menyerang Belanda. Tapi buat setiap berita tentang ditemukannya keluarga atau orang yang mengetahui tentang diri Si Giring-Giring Perak, harus melaporkan setiap saat ke tempat Datuk Sipasan di Silaing. Siti Nilam tinggal bersama keluarga Datuk Sipasan.
Si Giring-Giring Perak amat terharu atas bantuan rombongan Datuk itu untuk menolong mencarikan keluarganya. Dia sendiri berjanji untuk selalu datang kerumah Datuk itu untuk menanyakan kalau-kalau ada berita
*** Suatu hari Datuk Sipasan sedang kepasar. Menjual kayu api yang dia tebang dari belakang rumahnya. Empat orang lelaki mendatangi rumahnya yang baru saja dibangun secara darurat di pinggir kampung Silaing itu.
Keernpat lelaki itu berpakaian silat. Tampang mereka kelihatan kurang bersahabat.
Yang di rumah waktu itu hanyalah isteri Datuk Sipasan bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Siti Nilam saat itu tengah mengambil air pincuran.
Keempat lelaki itu nampaknya mengetahui kalau di rumah itu tak ada seorangpun lelaki.
Tanpa mengucapkan ba atau bu, mereka masuk rumah itu. Isteri Datuk Sipasan, yang bertubuh semampai dan cukup cantik, yang tengah menyuusukan anak di bilik jadi terperanjat tatkala dua orang lelaki tak dia kenal masuk ke biliknya. Dengan menjerit kecil dia menutup buah dadanya dengan tangan. Sementara anaknya tetap tak mau melepaskan ujung teteknya karena haus.
Kedua lelaki itu menjilati dada isteri Datuk Sipasan dengan tatapan mata yang nyalang.
Menatapi pinggulnya yang besar yang terbungkus dengan kain yang tak menentu letaknya.
Kemudian kedua lelaki itu mulai memeriksa rumah tersefeat.
Memeriksa di bawah kolong tempat tidur. Membalik bantal. Memeriksa dapur. Kemudian mereka saling berbisik.
Kedua lelaki tadi muncul lagi ke dalam bilik itu. Kembali matanya menjilat dada isteri Datuk itu yang tersimbah.
Dan isteri Datuk ini, yang sudah terbiasa meng-hadang mara bahaya, dan mengerti pula serba sedikit ilmu silat, tak bisa menahan berang hatinya. Dia meletakkan anaknya. .Kemudian membetulkan kain di pinggangnya. Semua tindakannya ini diperhatikan dengan tatapan bernafsu oleh kedua -lelaki yang masih saja tegak di pintu biliknya.
"Maaf sanak, siapa sanak sebenarnya. Datang mencari apa. Dan mengapa keluar masuk bilik orang tanpa minta izin..." Istri Datuk ini berkata tegas. Tapi dia masih berusaha untuk tetap pada batas-batasnya. Karena betapapun juga dia mengerti, bahwa mereka orang baru di kampung ini. Sebagai orang rantau, dia harus banyak bersabar.
Kedua lelaki itu tak menjawab. Hanya tertawa berguman "Keluarlah sanak. Ini bilik orang.
Saya lihat sanak seorang pesilat. Sebagai seorang pesilat saya rasa sanak tentu mengetahui sopan santun" !"
Bicara isteri datuk ini terhenti tatkala yang seorang justru duduk di pembaringan. Isteri Datuk
" ini tahu gelagat. Bahaya tengah mengaacamnya. sb Dia ingin suaminya segera pulang dari menjual kayu .api. Kenapa suaminya lambat benar pulang" Atau dia ingin agar Siti Nilam juga hadir di sini.
Kalau dengan Siti Nilam, dia rasa dia sanggup melawan kedua lelaki ini. Atau dia juga berdoa ,dalam keadaan seperti itu agar Si Giring-Giring Perak muncul. Ya, ke mana anak muda itu dalam litiga hari ini" Kenapa ia tak muncul-muncul" Sebelum isteri Datuk Sipasan sempat berbuat apa-apa, tamunya yang kurang ajar yang tegak tersandar di pintu terdengar bersuara.
"Kalian dari mana, akan ke mana dan apa maksud serta tujuan.." Suaranya terdengar serak.
Dan osteri Datuk itu segera menangkap bau tuak keluar dari mulut lelaki itu ketika bicara.
Dia jadi tambah jeri. kedua lelaki ini nampaknya baru saja minum. Akan tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Kami datang dari Pariaman..."
"Oo... kiranya kalian datang dari tanah jajahan nangkabau..." Isteri Datuk itu mengerenyitkan lening.
Kata-kata "Pariaman jajahan Minangkabau" sudah cukup lama dia dengar. Di Pariaman hal itu pernah dia dengar dari mulut kemulut. Ucapan itu menggambarkan, bahwa Pariaman dan Padang serta Pesisir Selatan, sebenarnya bukanlah tanah Minangkabau, tapi dianggap sebagai semacam tanah "jajahan".
Ucapan ini amat menyinggung perasaan orang Pariaman. Padahal mereka nyata-nyata berasal dari Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Yang datang ke Pariaman lewat masa peralihan ratusan tahun. Berpindah dari Banuhampu ke Koto Gedang, terus ke Balingka ke Malalak, kemudian turun ke sebelah gunung Singgalang. Ke Tiku, ke Sungai Limau dan Pariaman.
Atau yang datang dari Luhak Tanah Datar, menyeberang Danau Singkarak, ke Kayu Tanam, terus ke Pasar Usang, Duku dan Padang.
Sedikit sekali yang mengetahui, bahwa kata-kata ini sebenarnya "diciptakan" buat pertama kalinya oleh Kolonel de Craft Seorang Belanda yang bermarkas di Padang. Yang ingin mengadu domba anak suku Minangkabau. Sebab tanpa mengadu domba begitu, mereka susah, memecah persatuan Minang yang amat kuat. Dan siasat adu dombanya ini ternyata amat berhasil ketika itu.
Memang terjadi pertentangan yang tajam antara orang "Darat" dengan orang "Pesisir". Orang darat merasa. dirinya adalah orang Minang Asli. Dan menganggap orang Pesisir sebagai orang "lain".
Untunglah isteri Datuk Sipasan sudah arif tentang hal ini. Dia mendengar penjelasan bahwa ucapan itu adalah adu domba penjajah. Kini, ketika lelaki di biliknya itu mengucapkan kata-kata itu. ia hanya memandang dengan diam. Kemudian dia berkata dengan nada ketus :
"Keluarlah dari bilik ini...."
"Kami tak bisa diperintah orang upik. Ini negeri kami. Engkau dan lakimulah yang datang kemari. Mendirikan rumah di sini tanpa meminta izin kepada kami..."
Kembali isteri Datuk ini mengerutkan kening.
Lelaki-lelaki ini nampaknya memang ingin mencari seteru. Dia memangku anaknya yang tidur. Kemudian berjalan ke pintu. Tapi di pintu lelaki yang tegak bersandar tetap menghadang. Tak beranjak setapakpun. Isteri datuk ini hilang sabarnya. Dia menerjang lelaki itu.
Silelaki dengan tersenyum menangkap kakinya yang menendang itu dan berniat mengelus betisnya. Namun dia salah duga. Isteri Datuk ini sudah punya "bekal" yang lumayan. Begitu tangan silela-berusaha mencakau kakinya, begitu kakinya dia tarik segera, dan kini kakinya itu justru menyapu kaki lelaki tersebut.
Perobahan gerak yang begitu cepat, memang luar perhitungan silelaki di pintu. Kaki kirinya kena disapu. Dan meski tubuhnya tak langsung jatuh, tapi keseimbangan tubuhnya jadi lenyap. Saat itu tendangan berikutnya menyusul. Dan tubuh lelaki itu terguling ke ruang tengah!!
Sebelum yang duduk di pembaringan sadar apa ang terjadi, isteri Datuk itu melompat sambil Map memangku anaknya ke ruang tengah. Kemudian dalam sekali loncatan panjang dia sudah ber ada di halaman.
Saat itu pula Siti Nilam datang menyandang perian di bahunya. Dia terkejut melihat isteri Datuk Sipasan itu melompat sambil memangku anak. Rasa kejutnya bertambah ketika dari dalam rumah muncul empat lelaki.
Rumah mereka terletak di pinggir kampung Silaing. Di belakang rumah hanya ada hutan.
Rumah penduduk yang terdekat terletak jauh dari situ.
Jadi kalaupun mereka berteriak,
maka hal itu takkan banyak menolong. Teriakan
mereka takkan ada yang mendengar.
Keempat lelaki yang baru turun itu tertegun melihat kehadiran Siti Nilam. Mereka berbisik sesamanya. Siti Nilam masih menyandang perian berisi air di bahunya.
"Hemm. Tak kusangka perempuan Pariaman cantik-cantik seperti kalian..."
Lelaki yang tadi duduk di pembaringan ber-gumam. Matanya menyambar ke tubuh kedua perempuan itu.
"Sanak, kami datang kemari untuk mencari dunsanak. Kami tinggal dan mendirikan rumah di sini telah seizin wali dan kepala suku di Silaing ini. Kami tak mengerti apa yang sanak cari di rumah kami..."
Isteri Datuk Sipasan berkata tegas. Sementara dia masih memangku anaknya yang berusia 6
bulan.Anaknya yang seorang lagi yang berumur 2 tahun tegak dekat Siti Nilam diam-diam.
Keempat lelaki itu saling bisik lagi. Kini lelaki yang tadi kena tendang isteri Datuk yang maju selangkah.
"Kalian orang baru di sini, dan sebagai orang baru, kalian harus tahu peraturan. Yang berkuasa di nagari ini bukan Walinegari. Yang berkuasa sini adalah Pendeka Sangek. Dia yang berkuasa dinagari Silaing, Gunung Malintang, Kabun Sikolos, Tanah Hitam, Bukik Tui sampai ke Bukik Surungan. Adapun Walinagari Silaing, adalah kcepala kampung yang diangkat Pandeka Sangek. Kami bersedia untuk tidak menyampaikan kedatangan kalian ini pada Pandeka, asal kalian bersedia mememenuhi satu sarat..."
Isteri Datuk Sipasan sebenarnya tak mengerti kemana ujung cakap orang ini. Dia tak tahu siapa Pandeka Sangek dan di mana tumpaknya. Tapi yang jelas, kalau benar dia berkuasa dari kampung ampung yang baru disebutkan tadi, maka itu berarti Pandeka itu adalah penguasa dari sebuah nagari yang luas yang kelak disebut orang sebagai Padangpanjang.
Meski tak tahu dan tak mengerti, isteri Datuk itu ingin juga mengetahui apa "syarat" yangd ikehendaki keempat lelaki itu agar mereka bisa ian tinggal di sana.
Apa syaratnya....?""
Ah, masak uniang tak tahu..." Kami orang baru di sini. Kami tak tahu a syarat yang kalian maksudkan..."
"Ah, masak tak tahu. Biasanya kami meminta tiga malam berturut-turut. Tapi bagi uniang ber-dua cukup sekali ini saja..."
Isteri Datuk itu mengerutkan kening. Sementara Siti Nilam diam saja sejak tadi. Tapi dia menangkap bahaya kurang ajar pada cara lelaki itu menatap diri mereka.
"Berterus teranglah. Kalau duit, kami akan berikan sekedarnya. -Kalau ternak, kami hanya ada empat ekor kerbau pedati..."
, '"Kami tak perlu duit. Kami juga tak perlu kerbau. Kalau uniang setuju sekarang saja. Ayo ke bilik. Kami ada berempat, uning tak usah melayani kami keempatnya. Cukup satu orang melayani dua di antara kami... . Saya lebih senang dengan uniang, uniang sudah berpengalaman... he... he..."
Tubuh isteri Datuk itu menggigil saking berang nya. Sementara Siti Nilam ingin muntah mendengar ucapan kotor itu. Hampir serempak mereka meludah. Dan keempat lelaki itu tertawa bergumam. Selera mereka benar-benar menjejeh melihat kedua perempuan cantik dari Pariaman itu.
Mereka mulai beraksi. Pertama mereka mengepung kedua perempuan itu dengan tegak di empat
sudut, di mana kedua perempuan tersebut berada di titik tengah.
Isteri Datuk Sipasan tetap saja tegak dengan tenang. Sementara Nilam tegak membelakanginya engan demikian, masing-masing mereka kini lehghadapi dua lelaki. Isteri Datuk Sipasan masih tetap menggendong anaknya yang berusia enam lulan itu. Sementara Siti Nilam masih menyandang perian penuh berisi air. Di belakang mereka, tegak anak perempuan Datuk Sipasan yang berumur 2 tahun. Mereka semua, termasuk anak perempuan yang berusia dua tahun itu, tegak dengan perasaan be rang menatap keempat lelaki tersebut.
Tak terbayang sedikitpun rasa kecut di wajah mereka. Bagi kedua perempuan itu menghadapi bahaya bukan hal yang aneh lagi. Selama di Pariaman mereka sudah terbiasa melawan kekerasan.
Semula kekerasan datang dari Inggris Kemudian dari sesama orang Minang yang tidak menganut agama Islam. Lalu terakhir mereka terpaksa berperang melawan bangsa Belanda yang datang ke Pariaman atas permintaan orang Minang yang benci melihat Islam masuk ke Pariaman tewat pedagang pedagang Aceh. Pertempuran bagi lereka hal yang lumrah. Itulah sebabnya kini lereka tak merasa gentar menghadapi keempat lelaki ini.
Sebaliknya sikap menantang tak kenal takut begitu, menambah selera keempat lelaki tersebut.
'Hm... memang benar kata orang. Perempuan-srempuan Pariaman bukan hanya cantik, tapi iga berdarah panas dan ganas. Ganasnya akan lebih nyata bila di tempat tidur...he...he..."
Salah seorang berkata sambil memilin sungut.
"Kami mengira semua penduduk negeri ini lelaki terhormat. Karena Luhak Tanah Datar ini adalah Luhak di mana Raja-raja Monang dila-hirkan. Tapi hari ini ternyata dugaan kami meleset. Hari ini kami menemui empat orang jahannam.." Isteri Datuk Sipasan mendesis.
Keempat lelaki itu tak tersinggung sedikitpun. Mereka mulai berjalan berputar. Putarannya makin lama makin merapat. Dan suatu saat yang seorang maju menyergap isteri Datuk itu.
Kedua tangan isteri Datuk itu masih tetap memegangi anaknya. Tapi kakinya dia tendangkan menyambut terkaman silelaki.
Episode 12 - Ketidakberdayaan Dua Perempuan
Lelaki bersungut lebat itu sudah melihat makan kaki perempuan ini. Karena itu dia tak berani main-main, apalagi untuk menyambut terkaman kaki perempuan itu. Dia berjalan memutar.
Lelaki bersungut lebat itu sudah melihat makan kaki perempuan ini, Karena itu dia tak berani main-main, apalagi untuk menyambut terkaman kaki perempuan itu. Dia berjalan lagi memutar.
Yang berada di depan Siti Nilam tiba-tiba menyerahg sambil bergulingan ke bawah, Siti Nilam masih tetap tegak, Tiba-tiba lelaki itu mencengkam kain Nilam dan tanpa diduga dia merenggutkannya. Serangan jahat dan kotor begini tak pernah diperhitungkan Siti Nilam. Dia semula menyangka lelaki itu setelah bergulingan akan menyerang dengan tendangan dari bawah ke atas seperti jamaknya serangan berguling begitu. Dan dia sengaja menanti serangan itu hingga dekat, dan di saat lelaki itu menendang nantinya, dia akan menghantamnya dengan perian yang masih dia pangku.
Tapi ternyata lelaki itu merenggutkan kainnya. Dia berusaha menghantam lelaki itu dengan perian. Tapi silelaki telah bergerak bergulingan menjauh. Dan tak ampun, kainnya terenggut hingga lepas!!
Siti Nilam terpekik. Periannya dia campakkan dalam keadaan panik begitu. Tangannya memegang ujung baju kurungnya. Dan untung saja dia memakai baju kurung. Hingga tubuhnya hingga pertengahan paha tertutup oleh baju kurungnya. Namun kaki di atas lutut Siti yang putih itu, sudah cukup untuk menambah panasnya darah keempat lelaki itu. Mereka tertawa bergumam sambil menjilat bibir.
Lelaki tadi kini menerpa lagi ke arah Siti Nilam. Kawannya ikut membantu. Siti Nilam yang mengelakkan serangan dari depan, tahu-tahu kena dibekuk lehernya dari belakang. Siti Nilam terkunci dan tubuhnya terteteng ke belakang. Karena tubuhnya terteteng itu, baju kurung yang dia pakai bahagian depannya ikut terteteng naik. Dan lelaki yang di depannya terbelalak melihat pangkal paha gadis itu. Dia menerpa dan memagut paha gadis tersebut dan berusaha menciumnya. Namun dia salah duga karena terlalu menurutkan nafsu badaknya. Begitu dia menerpa, begitu tumit Nilam terangkat. Jidat lelaki itu diterpa oleh tumitnya yang dia hantamkan sekuat tenaga. Lelaki itu terhenti sejenak, kemudian terjengkang ke belakang.
Dia tak bergerak.
"Hei, Suman, tegak cepat. Gadis ini seperti belut. Ayo jangan lelap saja waang setelah mencium pahanya...!!"
Temannya yang masih mengatuk leher Nilam dari belakang berseru, Namun suaranya tertahan ketika isteri Datuk Sipasan yang berada di belakangnya tiba-tiba mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan ke tengkuk lelaki ini. .Lelaki itu kontan melosoh turun setelah terdengar suara berderak di lehernya!
Kedua mereka, yang kena tendang jidatnya oleh tumit Nilam, dan yang kena tetak lehernya oleh isteri Datuk Sipasan mati saat itu juga. Namun karena serangan ini, kedua perempuan itu menjadi lengah. Masih ada dua lelaki lain masih bergerak berputar di sekeliling mereka. Dan begitu kedua perempuan ini lengah, keduanya serentak menerpa dengan gerakan cepat.
Nampaknya kelengahan kedua perempuan ini sudah diperhitungkan benar oleh kedua lelaki yang kepandaiannya tak bisa dianggap rendah itu. Mereka bergerak tidak dengan melancarkan serangan. Tetapi mengirimkan totokan. Yaitu sejenis pukulan dengan jari ke arah urat saraf yang membuat lawan melosoh, melorot Siti Nilam kena totok di bahagian punggung-nya. Dan gadis ini jadi tertegak kaku. Sementara isteri Datuk Sipasan kena totok di belakang telinganya. Ini membuat perempuan itu lemah. Anak dalam pangkuannya jatuh ke tanah dan menangis.
Kedua lelaki itu tak membuang kesempatan. Kepergian Datuk Sipasan nampaknya telah mereka perhitungkan. Mereka intai benar, ketika Datuk itu pergi, mereka datang. Kini dengan gerakan cepat, kedua mereka memangku tubuh kedua
perempuan itu naik ke rumah Datuk Sipasan. Meninggalkan anak kecil berumur enam bulan itu menangis kuat dan ditunggui oleh kakaknya yang berusia dua tahun.
Kedua lelaki itu tidak membawa isteri Datuk Sipasan dan Siti Nilam ke bilik. Tidak. Itu tak sempat mereka lakukan. Terlalu banyak buang waktu. Mengapa harus kebilik, kalau di ruang tengah saja hal itu bisa dilakukan. Malah bukankah akan lebih nikmat lagi dilakukan bersama"
Dengan pikiran begini, kedua perempuan yang sudah tertotok uratnya itu yang tak sempat dan tak dapat melawan sedikitpun karena lumpuh, mereka baringkan di lantai yang terbuat dari tadir.
Dan mereka juga tak mau menunggu lama-lama. Segera saja kain dan baju kedua perempuan itu mereka renggutkan dengan kasar. Lalu tangan mereka mulai bertugas.
Episode 13 - Firasat Datuk Sipasan
Datuk Sipasan memasukkan pisang yang dia beli untuk anaknya ke dalam kambut. Kemudian menawar paniaram. Dia ingat isterinya. Isterinya sangat menyukai paniaram. Dan di pasar Tanah Sikolos ini, paniaram banyak sekali dijual orang. Namun tiba-tiba jantungnya rasa berdebar kencang. Telinganya jadi panas.
"Jadi membeli paniaram ini engku?"
Datuk itu terkejut mendengar pertanyaan perempuan yang menjual paniaram itu.
"Ya... eh maaf. Tidak jadi..."
Berkata begini, dia lalu bergegas. Aneh, hatinya jadi tak sedap. Dia teringat pada isterinya yang tinggal sendiri di rumah. Ada apa" Sebagai seorang guru silat, dan sebagai seorang pemeluk agama Islam yang mempercayai Tarikat, dia percaya pada isyarat-isyarat batin, Dia yakin, firasatnya tentang isterinya me-nunjukkan ada hal-hal yang menyeramkan yang tengah menimpa isterinya.
Dengan fikiran begini. Datuk itu berjalan cepat-cepat menuju ke Silaing di mana rumahnya berada. Makin lama hatinya makin tak sedap. Dan makin lama jalannya makin cepat. Makin cepat.Dan akhirnya dia berlari melompati petak petak sawah, Menempuh jalan memintas agar lebih cepat sampai kerumahnya.
Orang-orang yang tengah bekerja di sawah jadi terheran-heran melihat lelaki itu berlarian seperti dikejar setan. Tak ada yang menduga, bahwa lelaki itu sebenarnya bukan sedang dikejar setan. Melainkan tengah mengejar setan yang sedang melaknati tubuh isterinya!!
Dia seperti mendengar jerit anaknya. Jerit isterinya. Kambut yang dia bawa, yang berisi pisang, cabe dan minyak yang dia beli di pasar Sikolos tadi, tercampak entah di mana dalam lari-nya menuju rumah. Ketika atap rumah sudah kelihatan, dia terhenti.
Sayup-sayup, dia mendengar suara tangis anak-nya! Lelaki ini menyerahkan semua kepandaian yang pernah dia pelajari. Yaitu kepandaian meringankan tubuh ketika berlari.
Makin dekat, makin kuat debar hatinya. Makin kencang aliran darah-nya.
Dalam loncatan yang terakhir dia melihat anaknya tergolek di halaman, melihat gadis kecilnya yang berusia dua tahun duduk bersila di tanah. Berusaha mendiamkan adiknya yang tertelungkup dan menangis pilu. Gadis kecilnya itu juga me-nangis.
Dalam tangisnya, terdengar suara kanak-kanak-nya yang belum sempurna menyebut huruf, berusaha mendiamkan adiknya:
"Diamlah dik. Diamlah... sebentar lagi ayah pulang. Ayah akan memukul orang yang menyakiti ibu... diamlah diiik...!"
Dan saat itu Datuk Sipasan mengakhiri loncatannya di halaman tersebut. Selain anaknya, dia juga melihat ada kain panjang dihalaman itu.
Kain panjang! Seingatnya, kain itu milik Siti Nilam. Dan selain kain panjang, juga ada perian yang di sekitarnya terserak air. Pastilah gadis itu baru dari tepian mengambil air seperti biasa. Dan air yang masih mengalir dari dalam perian itu, Datuk ini mengetahui, peristiwa itu baru saja terjadi. Pasti baru saja!
Perian itu mungkirr belum sampai dua puluh bi-langan jari tergeletak di sana. Kalau isterinya dan Siti Nilam dibawa lari orang, maka jarak-nya pasti belum sampai lima puluh langkah dari rumahnya, Dia memandang keliling, tak ada yang mencurigakan, Hanya ada dua tubuh lelaki yang telah jadi mayat.
Dan tiba-tiba telinganya yang tajam menang-kap bunyi nafas memburu. Menangkap bunyi desah dan dengus nafas dari atas rumahnya!! Sekali loncat dia menerjang pintu rumah yang terletak di anak tangga keempat. Dengan menimbulkan suara bergedubrak keras, pintu terpelanting ke dalam. Menghantam kepala lelaki yang tengah menciumi dada Siti Nilam!
Kedua lelaki itu, yang tengah meremasi dan menciumi seganap tubuh kedua perempuan itu jadi terkejut separoh mati. Sepintas, Datuk Sipasan melihat betapa tubuh isterinya dan tubuh Siti Nilam sudah tak berkain secabikpun. Sementara kedua lelaki itu hanya tinggal celana kotoknya saja!
"Setan!" Datuk Sipasan berteriak di tengah gigilan tubuhnya karena berang. Lelaki yang tadi kepalanya kena hantam daun pintu yang berada di tubuh Nilam, tengah berusaha untuk tegak ketika tangan Datuk itu bergerak menghantam kepalanya.
Dia menangkis. Tapi tangannya ditangkap Datuk itu. Begitu tertangkap, begitu kukunya yang beracun dia tekankan sekuat tenaga. Kemu-dian dalam suatu sentakan tubuh lelaki itu dia putar dan dia hempaskan ke lantai. Tubuh lelaki itu berkelojotan sebentar, lalu dari mulutnya keluar buih hitam. Tubuhnya berobah pula jadi hitam. Dan dia mati diserang bisa sipasan yang amat tangguh yang merupakan senjata simpanan Datuk itu.
Tetapi saat itu lelaki yang satu lagi, menghan-tam Datuk Sipasan. Tubuh Datuk ini tersinjaja ke dinding kena hantaman itu. Punggungnya terasa linu. Dia berbalik segera, dan kini dia berhadapan dengan lelaki yang tadi menggeluti tubuh isterinya!
Lelaki itu kini memegang keris. Datuk Sipasan memajukan kaki kanan selangkah. Kemudian dia tegak dengan kuda-kuda yang kukuh menghadapi lelaki itu.
"Kau yang bernama Datuk Sipasan yang dari Piaman?" Lelaki berkeris itu bertanya. Datuk Sipasan tak menjawab. Amarahnya membuat dia menjadi muak dan benci separoh mati kepada lelaki yang hampir saja menodai isterinya itu.
Hampir saja. Kalau dia terlambat datang barang semenit lagi, mungkin isterinya dan Siti Nilam telah dinodai kedua lelaki ini. O, alangkah ter-kutuknya. Dan mengingat ini Datuk tersebut membuka serangan.
Dia mengirimkan tendangan dengan kaki kanan yang di depan. Tendangan ini tendangan pancingan dalam jurus Rantai Nan Empat. Yaitu jurus yahg mengandalkan kombinasi empat tendangan. Satu tendangan sapuan sambil menunduk rendah dengan kaki kiri berputar ke bawah menyapu kaki lawan, kemudian serangan kedua menghantam pangkal telinga lawan dengan punggung kaki sambil melompat, begitu kaki mencecah tanah, lalu berputar dan menghantamkan tumit ke pusat lawan. Dan serangan terakhir adalah serangan meloncat menghunjamkan kedua tumit ke tubuh lawan. Serangan terakhir ini tak memilih posisi lawan.
Jika lawan tengah terbaring karena serangan terdahulu, maka hentakkan kedua kaki ini bisa ber-bentuk hantaman sambil melompat tinggi, dan menghunjam ke bawah. Kalau lawan masih tegak, maka hantaman kaki itu menuju dadanya sambil melayang cepat.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7 Legenda Kematian Karya Gu Long Istana Pulau Es 2