Golok Naga Kembar 3
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bagian 3
berhasil menimpukkan piauwnya tepat kemata kuda Kwan Ban Piu, selagi dia sibuk
menghalau piauw si pemuda. Karena kesakitan, kuda itu menjadi marah dan
melemparkan juga beban yang duduk di punggungnya.
"Sialan kau!" si penyamun tunggal memaki Sun Giok Hong dengan hati sangat
mendongkol. "Engkau berani mencurangi tuan besarmu". Aku belum puas jika belum
melintir batang lehermu sehingga kepala copot!".
"Engkau sendiri yang berlaku curang dan hanya pandai mengandalkan golokmu
yang sangat tajam itu!" sahut Sun Giok Hong. "Jika engkau sesungguhnya seorang
Ho-han, aku tantang kau untuk bertempur dengan bertangan kosong!".
Tapi Kwan Ban Piu tak mau meladeni, hanya bangkit dan kembali menaiki kudanya
yang ternyata hanya dapat luka di mata saja, untuk kemudian dengan golok di tangan
mengejar pula lawannya. Giok Hong yang merasa percuma jika harus menempur Ban
Piu dengan senjata, pun ikut lari guna mengelak dari bacokan golok lawannya yang
ganas itu. "Aku bisa dikatakan pengecut kalau main kabur-kaburan ?begini I rupa" pikir Giok
Hong. Oleh sebab itu, ia segera tahan tali kekang kudanya dan menantikan datangnya
si orang she Kwan sambil duduk tegak di atas pelana kudanya.
"Hai bocah, sungguh memalukan sekali perbuatanmu yang curang itu!" bentak
Kwan Ban Piu yang terpaksa menahan juga tali kekang kudanya tatkala melihat Sun
Giok Hong menghadapinya dengan sikap yang gagah berani.
"Curang". Mengapa tidak engkau tanyakan begitu kepada! dirimu sendiri": Si
pemuda she Sun mengembalikan kata-kata si begal itu dengan cara spontan. "Engkau
berkelahi dengan hanya mengandalkan pada golokmu yang tajam itu, tapi kau tak
mau bertanding dengan tangan kosong. Apa salahnya jika aku pergunakan huipiauw".
Sekarang apa maksudmu mengejar-ngejarku?".
"Jadi engkau belum mau menyerah kalah?".
"Aku toh belum kalah dalam perkelahian denganmu tadi, maka apa sebabnya aku
mesti menyerah kalah?" si pemuda she Sun balik bertanya.
Kwan Ban Piu tanpa menghiraukan kata-kata Sun Giok Hong lalu mengejarnya
dengan golok siap sedia untuk membunuh pemuda itu. Terpaksa Giok Hong
mempergunakan toyanya untuk melawan tapi pertempuran itu tidak berlangsung
terlalu lama. Begitu toya itu terbacok kutung sehingga beberapa kali, lagi-lagi si
pemuda mesti kabur karena takut terbacok oleh golok Kwan Ban Piu yang sangat
tajam itu. Akhirnya kereta-kereta pionya dapat dirampas si begal dengan secara
mudah. "Engkau suka menyerah?" kata Kwan Ban piu sambil mengejar terus.
"Tidak!. Kecuali aku sesungguhnya kalah dalam perkelahian dengan tangan kosong
atau dengan senjata yang sama baiknya seperti senjatamu itu!" sahut Sun Giok Hong
dengan hati penasaran.
Kwan Ban Piu tahan tali kekang kudanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sementara engkau belum mau menyerah kalah" katanya pada akhir-akhirnya, "akan
kutahan kereta-kereta piomu hingga sebulan lamanya tanpa diganggu. Tapi jika lewat
sebulan engkau tidak datang mencariku, aku anggap engkau telah menyerah kalah
dan kereta kereta piomu akan menjadi milikku yang sah!".
"Apakah kata-katamu itu dapat dipercaya?" kata Giok Hong dengan perasaan ragu
bercampur dongkol.
"It gan kie chut, su ma lan rui (sepatah kata yang telah diucapkan oleh seorang
laki-laki sejati, empat pasang kuda sukar mengejarnya)" kata Ban Piu dengan lancar.
"Jika engkau mengatakan demikian" kata Sun Giok Hong, "akupun berjanji akan
mencarimu dalam waktu yang telah kau tetapkan itu. Jika aku tidak datang
mencarimu, bolehlah engkau anggap aku kalah tapi jika aku balik
kembali.................".
"Akan kita lanjutkan pertandingan itu" si begal she Kwan memotong pembicaraan
orang sambil ketawa mengakak.
Demikianlah, dengan hati yang sangat penasaran Giok Hong terpaksa menyerahkan
kereta-kereta pionya diangkut oleh si begal ke dalam sarangnya di atas gunung.
Pada petang hari itu si pemuda tidak kembali ke rumah penginapan di Oey-po-tien,
tapi langsung menuju ke kota Po-teng untuk mencari senjata yang baik guna dipakai
menandingi golok Kwan Ban Piu yang luar biasa tajamnya itu. Karena telah
menyaksikan sendiri ketajaman golok tersebut, maka ia merasa pasti senjata itu akan
mampu membacok putus segala macam barang logam dan batu bagaikan orang
menabas tanah liat saja empuknya.
Setelah menginap semalaman, pada esok harinya ia mencari bengkel besi yang
terkenal kerap membuat golok-golok dan alat-alat senjata di kota Po-teng. Ternyata
tidak diperolehnya senjata yang sama tajamnya dengan golok si begal berkuda itu
hingga Giok Hong menjadi pusing kepala dan tak tahu ke mana mesti membeli
senjata yang dibutuhkannya itu.
Berlalunya sang hari yang dirasakan Giok Hong begitu cepat, tidak berbeda dengan
melesatnya anak panah yang ditembakkan dari busurnya. Semenjak kereta-kereta pio
Hin Liong Pio Kiok dikangkangi oleh Kwan Ban Piu, tiga minggu telah lewat tanpa
terasa pula. Begitu cepatnya waktu, tapi si pemuda belum juga dapat mencari senjata
yang tepat untuk dipakai menandingi golok Kwan Ban Piu.
Pada suatu hari ia telah datang ke sebuah bengkel yang membuat tombak, golok
dan pelbagai macam senjata tajam. Tatkala ditanyakan oleh pemilik bengkel itu
senjata macam apa yang dibutuhkannya, Giok Hong lalu mengarang suatu cerita
khayalan sambil berkata bahwa dia sedang bertaruh dengan seorang sahabat untuk
dapat mengalahkan goloknya yang sangat tajam dan dapat membacok barang logam
dan batu gunung bagaikan tanah liat mudahnya.
Ia minta nasihat pemilik bengkel itu, dengan senjata apa dia dapat mengalahkan
atau merampas golok mustika itu sehingga terlepas dari tangan pemiliknya. Si pemilik
bengkel senjata yang hanya dapat membuat pelbagai macam senjata menurut
pesanan orang, tidak mampu memberikan keterangan cara bagaimana untuk
mengalahkan golok yang tajam selain mengalahkannya dengan golok yang lebih
tajam dan keras.
Syukurlah salah seorang tukang dalam bengkel itu mengerti juga ilmu silat dan
paham mempergunakan pelbagai macam senjata. hingga ia lantas memberikan toya
Kong-sun-kun untuk Giok Hong agar dapat mengalahkan golok "kawannya" yang
dikatakannya sangat tajam itu.
"Golok yang tajam harus dilawan dengan toya Kong-sun-kun yang terbagi menjadi
dua bagian serta digabungkan dengan mempergunakan rantai besi di bagian
tengahnya" menerangkan si tulang dari bengkel senjata tersebut. "Jika toya yang
separuhnya terbacok putus, toya yang separuhnya lagi dapat dipergunakan untuk
menghantam belakang golok itu sehingga dapat terpukul jatuh. Selain mudah
dipergunakan, toya Kon-sun-kun biasa dibuat daripada bagian kayu yang liat dan
tidak mudah patah dan membal bagaikan rotan.
Sebilah golok yang tajam mudah membacok putus barang yang keras, tetapi tak
mudah memutuskan barang yang liat dan membal. Maka kalau tuan ingin
mengalahkan golok kawanmu yang tajam itu, aku nasihati supaya tuan melawannya
dengan mempergunakan toya Kong-Sam Kun".
Sun Giok Hong mendengar keterangan demikian, sudah barang tentu jadi sangat
girang dan lalu membeli sepasang toya tersebut.
Sesudah itu ia kembali ke rumah penginapannya untuk bersiap-siap menyusul
Kwan Ban Piu di sarangnya.
Keesokan harinya setelah ia selesai sarapan dan membayar sewa kamar. Sun Giok
Hong segera membedal kudanya untuk kembali ke kaki gunung Ihay-heng-san
dimana ia telah dicegat oleh Hiang-ma dari Shioasai pada tiga minggu yang lampau.
Selanjutnya untuk mempercepat pekerjaannya menyusul Kwan Ban Pu, ia kembali
ke tempat penginapan yang dahulu di kota Oey-po-Ban. Ia menanyakan keterangan
tentang di mana letaknya sarang si begal berkuda kepada seorang pelayan rumah
penginapan yang ia kenal dengan nama Ah Lay.
"Hiang ma she Kwan ini memang sangat ganas" kata pelayan rumah penginapan
itu. "Ia bersarang di puncak Hui-go-hong di pergunungna Thav heng-san. Ia berasal
dari desa Kwan-kee-chung, waktu mudanya belajar ilmu silat kepada Cu In Too-jin di
pegunungan Thing Pek san. Delapan tahun kemudian setelah tamat belajar silat, ia
datang ke Thay-heng-san dan menjadi seorang Hiang-ma atau penyamun tunggal,
begal berkuda yang biasa berjalan seorang diri saja. Dari sini hingga ke kota Thaygoan
yang terletak 300 lie jauhnya, namanya cukup disegani orang serta dikenal
bukan saja oleh orang-orang dewasa tapi juga oleh kaum wanita dan anak-anak. Ia
merampok tanpa memilih bulu, barang-barang milik perorangan atau milik negara,
semua 'dikerjakannya' tanpa segan-segan lagi. Banyak jiwa manusia telah melayang
di dalam tangannya hingga karena itu orang telah memberikannya nama julukan
Seng-giam-ong atau Elmaut Hidup. Karena ia kerap berkeliaran di sini, maka hampir
semua orang mengetahui riwayat hidupnya yang 'hitam'. Para pemilik kantor
angkutan yang lewat di sini dan tidak membayar 'pajak jalan' kepadanya, niscaya
akan diganggu, barang-barangnya dirampok dan para pio-sunya dibunuh. Pada tiga
minggu yang lampau tuan telah menginap di sini dengan membawa kereta-kereta pio,
apakah barangkali barang-barangmu itu telah dirampok olehnya di tengah jalan?".
Sun Giok Hong mengangguk membenarkan. "Enam buah keretaku telah
dirampasnya" sahut si pemuda, "sedangkan 12 orang pengendara kereta-kereta
itupun telah turut lenyap juga berikut kereta-keretanya, hingga tidak diketahui
apakah mereka sekarang masih hidup atau sudah mati ditangan begal jahanam itu!".
"Jika demikian halnya" kata Ah Lay, "ada kemungkinan mereka semua telah
dibunuh oleh si Hiang-ma yang haus darah itu. Rupanya tuan baru pertama kali ini
lewat sambil mengantar kereta-kereta pio di sini, bukan?".
"Benar" sahut Sun Giok Hong. "Inilah untuk pertama kalinya aku mengantar pio ke
daerah ini. Maka kali ini aku mesti bertempur dengan si begal jahanam untuk
mengambil pulang kereta-kereta pio yang dirampasnya serta membasminya untuk
membebaskan rakyat yang selalu ketakutan dan menjadi korban-korban
keganasannya!".
Tatkala itu Ah Lay yang melihat Sun Giok Hong membawa toya Kong-sun-kun lalu
jadi tersenyum dan berkata, "Tuan, senjatamu ini bukanlah menjadi lawan golok Lo
Kwan Si (si tua she Kwan) yang sangat tajam itu. Selain itu, iapun mempunyai
kepandaian silat yang tinggi dan lihay sekali. Goloknya itu bernama Siang-liong-touwcu-
to atau apa yang biasa dikenal orang dengan nama sebutan "Golok Naga
Kembar"'. Mendengar si pelayan menyebut nama golok itu, Giok Hong jadi menduga bahwa
Ah Lay pasti mengetahui juga tentang asal usul golok mustika itu dan bertanya, "Ah
Lay, sudikah kiranya engkau memberitahukan kepadaku tentang asal usul golok itu?".
"Menurut cerita orang, golok Siang-liong-touw-cu-to itu asal mulanya dimiliki oleh
seorang berandal terkenal yang bernama Thio Bun Siang di luar kota San-hay-kwan"
menerangkan pelayan rumah penginapan itu.
"Di atas permukaan golok itu terdapat ukiran sepasang naga yang sedang
memuntahkan mustika. Dengan mengandalkan golok ini, Thio Bun Siang telah
menjagoi kalangan para perampok di luar Tembok besar. Menurut kabar yang pernah
kudengar dari cerita orang lain, golok yang berlumuran dengan noda darah itu dapat
meramalkan keadaan hawa udara!. Jika ia berkilau-kilauan sinarnya di bawah panas
matahari, maka haripun akan cerah, jika noda-noda darah itu tampak memerah
kehitam-hitaman, maka sudah barang tentu udara akan beruhan dan akan ada terbit
angin ribut. Pada suatu hari Kwan Ban Piu lewat di Kim-ciu dan merasa sangat tertarik
untuk dapat memiliki golok tersebut, tapi tak mungkin untuk memperoleh golok
mustika itu dengan jalan kekerasan. Maka ia sengaja mengundang Thio Bun Siang
makan minum dan melolohnya minum arak sehingga mabuk berat, lalu
membunuhnya dan dirampas goloknya yang bernama Golok Naga Kembar itu
kemudian Kwan Ban Piu menjagoi kalangan Kang-ouw hitam di daerah ini. Sekianlah
apa yang telah kuketahui tentang asal-usul golok tersebut".
Oengan begitu, Sun Giok Hong baru mengetahui asal mula Kwan Han Piu
memperoleh Golok Naga Kembar itu. Dengan bersenyum dingin ia berkata,
"Membunuh orang yang sedang mabuk dan merampas miliknya, itu bukanlah
perbuatan seorang Ho-han. Dia bukan seorang gagah yang sejati, tidak bedanya
dengan seorang bajingan rendah yang berkulit muka sangat tebal. Jika aku
tidak memusnahkannya, itu sama saja dengan mengumbar harimau haus darah
diantara rakyat jelata yang lemah dan tidak berdosa!".
Maka pada keesokan harinya sesudah sarapan. Giok Hong dengan berbekal 20
buah hui-piauw dan sepasang toya Kong-sun-kun yang diselipkan di kiri kanan
pelananya, berangkat menuju ke puncak Hui-go-hong.
Sesampainya di tempat dahulu ia bertempur dengan Kwan Ban Piu, dia tak melihat
bayangan kereta-kereta dan para kusirnya itu. Malah ia mengendus bau bangkai yang
sangat memuakkan di antara semak-semak yang lebat di sisi jalan. Tatkala si pemuda
coba menyingkap semak-semak tersebut, di sana ia melihat dua orang laki-laki yang
berpakaian seragam kusir kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok telah menjadi mayat
dan dikerumuni lalat-lalat hijau serta menebarkan bau yang amat tidak sedap.
Giok Hong yang menyaksikan kejadian tersebut, jadi sangat terharu dan
bersumpah takkan mau selesai jika belum membunuh si begal she Kwan yang tidak
mengenal perikemanusiaan itu.
Begitulah sesudah mengubur mayat kedua orang pengendara kereta pionya itu,
Giok Hong lalu menaiki kudanya untuk melanjutkan pengejaran terhadap si Elmaut
Hidup itu ke atas puncak Hui-go-hong.
Perjalanan menuju puncak Hui-go-hong selain berbelit-belit dan sukar sekali dilalui,
keadaannya pun sangat berbahaya. Karena di samping jalanan-jalanan yang sempit
dan buruk, di kiri kanan lereng gunung terdapat jurang-jurang yang amat dalam dan
sukar didaki. Lebih-lebih karena jurang-jurang itu amat licin dan tidak ditumbuhi
rumput-rumput selembarpun.
Beberapa banyak puncak-puncak berdiri berbaris dan tampak dari kejauhan
bagaikan tonggak-tonggak batu yang runcing. Sukar bagi Giok Hong untuk
mengetahui puncak yang mana bernama Hui-go-hong.
Hari telah menjelang senja, dari kejauhan dengan samar-samar terdengar suara
genta diantara kesunyian itu. Setelah Giok Hong mendengar sesaat lamanya, barulah
diketahuinya bahwa di lembah gunung yang sedang dilaluinya itu terdapat sebuah
kelenteng kaum Buddha. Lekas-lekas ia menuju ke sana untuk menumpang menginap
dan berlindung, baru esok harinya melanjutkan perjalanan ke puncak Hui-go-hong.
Tapi sebelum tiba di muka kelenteng, tiba-tiba ia mendengar suara genta
gemerincing yang dibarengi dengan suara kaki kuda. Giok Hong segera mengenali
suara genta itu serta mengetahui juga siapa adanya orang yang sedang mendatangi
ke jurusannya itu.
"Itulah si bangsat she Kwan!" pikirnya gemas.
Sambil berpikir demikian, Giok Hong lalu mencabut toya Kong-sun-kun dari
pelananya. Ia bersiap sedia untuk melakukan serangan terhadap musuhnya di mulut
selat gunung yang semula hendak dilaluinya itu.
Tidak begitu lama, benar saja dari sebelah selat gunung datang seorang laki-laki
yang bertubuh tegap dan menunggang kuda bulu gambir yang gentanya berbunyi
gemerincingan. Dengan hati berdebar-debar si pemuda she Sun menantikan dengan
tidak sabaran. Tapi ketika orang itu telah datang cukup dekat, barulah diketahui bahwa dia itu
bukan Kwan Ban Piu. Wajah orang itu dan segala galanya memang hampir mirip
dengan si begal she Kwan. Barusan karena Giok Hong tak dapat melihat cukup jelas,
berhubung di tempat yang berjarak puluhan tombak jauhnya itu telah diliputi oleh
kabut putih yang mulai turun sebagai pertanda daripada datangannya sang malam
hari, maka Giok Hong sama sekali tak menyangka bakal ada orang kedua yang
berkuda dengan memakai genta yang biasa dipakai oleh Kwan Ban Piu itu.
Sementara orang itu yang seolah-olah telah mengetahui bahwa ia hedak diserang,
dengan mengeluarkan suara bentakan yang nyaring segera maju menerjang dengan
golok terhunus di tangannya, "Engkau Ini bocah liar dari mana, hingga begitu berani
mengusik harimau yang sedang tidur?".
Tapi Giok Hong yang ketahui bahwa orang itu bukanlah Kwan Ban Piu yang menjadi
musuh besarnya, lekas-lekas menarik tali kekang kudanya dan dan mundur ke sisi
jalan sambil berseru, "Ho-han, sabar dulu!, Aku bukan mata-mata pemerintah yang
sengaja datang ke sini untuk menyelidiki keadaan, tapi aku bukan lain daripada pio-su
Hin Liong Pio Kiok di Thian-cin yang bernama Sun Giok Hong. Aku dan engkau tak
pernah mengikat permusuhan apa-apa, maka apakah untungnya kita berkelahi?".
"Jika bukan hendak memata-matai kami di sini, apakah maksud kedatanganmu
yang sebenar-benarnya?" orang itu balik bertanya sambil melintangkan goloknya di
atas kuda. Sun Giok Hong lalu menerangkan maksud kedatangannya ke situ, bahwa dia
hendak menempur Kwan Ban Piu untuk mengambil pulang pionya di puncak Hui-gohong,
namun belum mengetahui di mana letaknya puncak tersebut.
Orang itu jadi tertawa mengakak dan berkata, "Sungguh gegabah sekali engkau ini,
nak. Apakah kau sangka dengan toya Kong-sun-kun itu kau akan dapat mengalahkan
golok Kwan Ban Piu yang begitu tajam". Menurut pendapatku, paling betul engkau
segera pulang saja untuk menyelamatkan dirimu. Hilang barang gampang dicari, tapi
hilang jiwa darimana hendak kau cari penggantinya?".
Tapi dengan hati tak gentar Giok Hong menjawab, "Jika kereta-kereta pioku tak
dapat kuambil pulang, maka namaku pasti akan hancur dan takkan dipercaya orang
pula. Maka aku rela kehilangan nyawa daripada kehilangan barang-barang angkutan
milik orang lain yang dipercayakan kepadaku itu!. Jadi dengan lain perkataan, dalam
pertempuran kali ini aku hanya punya satu keputusan, dia atau aku yang harus
musnah dari muka bumi ini!".
"Aiii, engkau ini sesungguhnya adalah seorang pemuda yangj keras hati dan patut
dipuji keberanianmu itu" kata orang laki-laki itu sambil memasukkan goloknya ke
dalam serangka. "Dengan secara terus terang aku hendak mengatakan kepadamu
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa aku ini bukan lain daripada saudara sepupu Kwan Ban Piu yang bernama Kwan
Liok Ciang, yang oleh orang-orang di kalangan Kang-ouw dikenal dengan nama
poyokan Ko-lo Ciang. Aku dan Kwan Ban Piu memang beroperasi di daerah
pegunungan Thay-heng-san ini sebagai penyamun-penyamun tunggal atau begalbegal
yang berkuda dan masing-masing melakukan pekerjaan sendiri-sendiri"
Sun Giok Hong yang mendengar keterangan bahwa Kwan Liok Ciang inipun saudara
sepupu Kwan Ban Piu, sudah barang tentu hatiya jadi terkejut. Kwan Liok Ciang yang
seolah-olah dapat membaca pikiran orang, sambil tertawa lalu berkata, "Lo Sun, tak
usah engkau khawatir apa-apa. Kwan Ban Piu dan aku meski punya hubungan
saudara sepupu, tapi cara bekerja kita berdua tidak sama. Aku tidak setuju dengan
cara kakak sepupuku yang selalu main bunuh saja biarpun orang-orang yang
dirampok barang-barangnya itu tidak melakukan perlawanan, karena itu sudah jelas
bukanlah perbuatan seorang gagah yang budiman dan aku jadi tak dapat hidup rukun
dengannya. Perihal engkau hendak mencarinya untuk mengadu jiwa, akupun tak
dapat melarangmu, hanya engkau harus berlaku hati-hati dan waspada. Disamping ia
berkepandaian silat tinggi, iapun mempunyai golok mustika yang tentu telah kau
ketahui betapa tajam dan berbahayanya. Amat aku sayangkan apabila jiwamu yang
masih muda belia ini sampai tewas di dalam tangannya".
"Ho-han" kata Sun Giok Hong dengan hati mantap, "bukan sekali kali aku hendak
membual. Jika aku berani keluar melindungi pio ke tempat yang jauh, niscaya tak jeri
juga aku menghadapi musuh sebagai Kwan Ban Piu. Terima kasih untuk perhatianmu
atas keselamatanku".
Kwan Liok Ciang jadi menghela napas dan berkata, "Apa mau dikata. Sekarang
baiknya kita atur begini saja. Kau dan aku boleh bertempur sehingga beberapa jurus
lamanya. Jika engkau dapat mengalahkanku, bolehlah engkau pergi mencari Kwan
Ban Piu. Jika engkau yang kalah, segeralah engkau tinggalkan tanah pegunungan ini.
bagaimanakah pendapatmu tentang saranku ini?".
"Usul yang baik sekali!" Giok Hong menyetujui, "harap Ho-han denga menjadi
gusar dan sudi memaafkan aku sebesar-besarnya jika nanti sampai kejadian aku
salah tangan".
"Akupun sudah terlebih dahulu berpikir sampai ke situ" kata Kwan Liok Ciang.
Begitulah kedua orang itu lalu turun dari kuda masing-masing dan segera
bertempur dengan menggunakan senjata yang dimiliki.
Pertempuran berlangsung dengan sungguh-sungguh, keras lawan keras, tiada
satupun yang ingin mengalah. Sinar golok Kwan Liok Ciang mengurung diri si pemuda
dari segala jurusan, tapi berkelebatnya toya Kong-sun-kun dapat memecahkan
serangan-serangan si orang she Kwan dengan tidak kalah gencar dan hebatnya.
Tatkala pertempuran sudah berlangsung beberapa belas jurus lamanya dalam
keadaan seri, Kwan Liok Ciang segera dapat melihat tegas betapa dahsyatnya
permainan toya Sun Giok Hong yang berusia masih muda itu. Dalam hatinya ia
merasa sangat kagum dan lalu melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil
berseru, "Sun Hian-tit, tahan dulu!".
Giok Hong lekas menarik pulang toyanya dan berdiri tegak untuk mendengarkan
pembicaraan si penyamun tunggal itu selanjutnya.
"Ilmu kepandaian Sun Hian-tit sesungguhnya tak dapalj dikatakan lemah" kata si
orang she Kwan, "dengan begitu, besar kepercayaanku bahwa engkau tak mungkin
terkalahkan oleh Kwan Ban Piu. Hanya ada satu hal yang perlu kuberitahukan
kepadamu, ialah Kwan Ban Piu memiliki Golok Naga Kembar yang luar biasa tajamnya
hingga engkau perlu berlaku sangat hati-hati diwaktu berhadapan dengannya nanti".
Giok Hong mengucapkan banyak terima kasih atas petunjuk si penyamun tunggal
yang berharga dan baik hati itu. Tapi bersamaan dengan itu, ia menyatakan
keheranannya mengapa si orang she Kwan membahasakan dirinya "Hian-tit" atau
kemenakan yang mulia".
Kwan Liok Ciang lalu menerangkan bahwa dahulu ia pernarj ditolong oleh Sun Sin
Bu, paman Giok Hong, selagi ia terlunta-lunta di kota Thian-cin. Karena belum dapat
membalas budi kebaikan orang tua itu, maka ia merasa tidak ada salahnya untuk
membalas budi itu kepada Giok Hong, yakni dengan memberikan si pemuda petunjukpetunjuk
yang berharga untuk menghadapi Kwan Ban Piu dan mengakuinya sebagai
kemenakan. "Kini karena sang haripun sudah menjelang malam demikianlah Kwan Liok
Ciang melanjutkan bicaranya, "maka aiU baiknya juga jika engkau menumpang
menginap di kelenteng yang letaknya tidak berapa jauh itu, agar pada esok harinya
engkau bisa berangkat ke puncak Hui-go-hong dalam keadaan segar dan gagah".
Sesudah berkata demikian, Kwan Liok Ciang segera naik ke atas kudanya, sambil
mengucap selamat tinggal kepada Sun Giok Hong maka iapun terus turun gunung
melalui jalan yang dilewati si pemuda tadi.
Sementara Giok Hong yang memang belum kenal jalanan di situ alau mengetahui
puncak yang mana yang diberi nama puncak Hui-go-hong itu, terpaksa menuruti
petunjuk Kwan Liok Ciang lalu segera menuju ke kelenteng yang ditunjuknya.
Ternyata kelenteng itu diketuai oleh seorang paderi Buddha yang bernama Hoat Beng
Hwee-shio, orang satu satunya yang disegani oleh Kwan Ban Piu. Penyamun tunggal
itu tak berani sembarangan "main kayu" terhadap sang paderi yang paham ilmu silat
itu. Kedatangan si pemuda she Sun disambut dengan manis oleh Hoat Beng Hwee-shio,
yang lalu menyuruh seorang muridnya untuk menuntun kuda tunggangan Giok Hong
ke belakang kelenteng untuk diberi air minum dan rumput. Giok Hong sendiri lalu
diundang masuh keruangan tengah, dimana ia disuguhkan teh wangi yang hangat dan
sedikit buah-buahan kering. Dalam tanya jawab selanjutnya, Sun Giok Hong lelah
menjelaskan kedatangannya ke situ adalah atas petunjuk Liok Ciang, tapi tak pernah
ia nyatakan niatnya membunuh Ban Piu.
Hoat Beng menyatakan tidak berkeberatan untuk mengabulkan permintaan Giok
Hong yang hendak menumpang nginap di situ. Si pemuda dipersilahkan makan
dengan sayur mayur yang khusus dimasak bagi kaum paderi Buddha yang tidak
makan barang berjiwa, kemudian Sun Giok Hong dipersilahkan masuk untuk
beristirahat. Pada kira kira tengah malam, ia terbangun karena dikejutkan oleh suara
genta yang berbunyi gemerincingan dan dibarengi dengan suara kaki sehingga si
pemuda segera menyambar toya Kong-sun-kun dari sisi ranjang, kemudian berniat
untuk membuka pintu dan melihat apakah itu suara genta yang digantungkan pada
kuda Kwan Liok Ciang atau Kwan Ban Piu.
Jika dia itu adalah Kwan Liok Ciang, urusan dapat ia sudahi sampai disitu saja, tapi
jika dia itu adalah Kwan Ban Piu yang sedang dicarinya, maka petang hari itu juga
akan berarti malam penghabisan bagi ia atau Ban Piu. Semenjak ia bertekad
menyatroni sarang penyamun tunggal si Elmaut Hidup itu, Giok Hong telah
mengambil suatu keputusan tak mau hidup bersama-sama dengan penyamun tunggal
yang menjadi musuh besarnya itu.
Tidak disangka, ketika baru saja ia berjalan sampai di ruangan sembahyang Tayhiong-
po-tian, disitu ia telah berpapasan dengan Hoat Beng Hwee-shio yang juga
telah tersadar dari tidurnya dan keluar dengan membawa toya Siang-thauw-kun.
Paderi Buddha itu jadi amat terkejut melihat Giok Hong pun mendadak keluar dengan
membawa toya Kong-sun-kun di tangannya.
"Hendak kemana Sun Sie-cu keluar dengan membawa senjata?" tanya Hoat Beng
Hwee-shio. "Di luar ada penyamun tunggal yang datang menyatroni kelenteng kami.
Apakah barangkali ia menaruh dendam kepadamu sehingga petang hari ini ia datang
kemari untuk mencarimu?".
"Memang dia hendak mencariku" sahut Giok Hong. "Tadi aku tidak
memberitahukan Tay-su bahwa aku ini adalah seorang pio-su dari kantor angkutan
Hin Liong Pio Kiok. Tiga minggu yang lalu, enam buah kereta pioku telah dirampok
oleh bangsat she Kwan ini, sedang dua orang kusirku telah dibunuh dengan cara yang
kejam dan mayat-mayatnya dilemparkan begitu saja ke dalam semak-semak.
Rupanya ia telah mengetahui bahwa aku menumpang menginap di sini, maka ia
sengaja menyatroniku untuk mengadu jiwa".
Setelah berkata begitu, Giok Hong segera hendak keluar, yangi lantas dicegah oleh
Hoat Beng Hwee-shio seraya berkata, "Malam ini Sun Sie-cu boleh tidur dengan
tenang, dia pasti tak berani mendobrak pintu atau membikin ribut di sini. Pin-ceng
tahu bahwa dia menyegani diriku dan para muridku yang berjumlah banyak. Besok
pagi masih ada waktu untuk Sie-cu meladeninya bertempur".
Sun Giok Hong menganggap bahwa omongan si Hwee-shio it J memang ada
benarnya juga. Sambil mengucap terima kasih atas nasihat Hoat Beng Hwee-shio, ia
lalu masuk dan tidur lagi tanpa menukar pakaian.
Pada esok harinya, Giok Hong baru tersadar tatkala matahari telah naik tinggi.
Lekas-lekas ia pergi mandi dan berpakaian dengan seringkas-ringkasnya, kemudian
bersiap sedia untuk keluar menempur Kwan Ban Piu. Di tengah ruangan Tay-hiongpo-
tian ia bertemu dengan IHoat Beng Hwee-shio yang telah memberitahukan
kepadanya, bahwa waktu ia membuka pintu pada pagi hari itu, di muka pintu
kelenteng sudah tampak menunggu Kwan Ban Piu dengan menghunus Golok Naga
Kembar di tangannya. "Rupanya ia telah menunggu di situ sedari tengah malam" si
Hwee-shio menambahkan.
"Pada beberapa waktu yang lampau" kata Giok Hong, "aku pernah bertempur
dengannya. Aku kewalahan karena dia mempunyai golok yang sangat tajam, tapi kali
ini aku yakin sanggup menandingi goloknya yang sangat tajam itu".
Hoat Beng Hwee-shio masih agak ragu akan keterangan si pemuda, tapi ia merasa
tidak enak untuk mencegah Giok Hong keluar melawan si penyamun tunggal yang
telah merampok kereta-kereta pionya itu.
Begitulah, dengan langkah yang lebar Sun Giok Hong keluar dari dalam kelenteng
dan langsung menghampiri Kwan Ban Piu yang sedang duduk menantikan di bawah
sebuah pohon cemara yang hijau dan rindang, sambil meletakkan Golok Naga Kembar
di atas lututnya, Segera Ban Piu melompat bangun begitu melihat si pemuda datang
menghampiri dengan menjinjing toya Kong-sun-kun di tangannya.
"Ah-ha!" katanya sambil tertawa. "Engkau dengan cara diam-diam telah datang ke
daerah operasiku ini, apakah sangkamu aku tidak mengetahui". Nyatalah bahwa
nyalimu besar sekali, hingga berani datang menyatroni sarangku. Sekarang marilah
kita lanjutkan pertempuran yang sudah tertunda tiga minggu itu!".
Sun Giok Hong gusar bukan buatan, lalu menuding si penyamun tunggal sambil
membentak, "Seng Giam Ong!. Hari ini ajalmu telah tiba. Lihat toyaku!".
Sambil berkata begitu, ia segera mengayunkan toya Kong-sun-kun sedemikian
hebatnya sehingga angin yang keluar dari senjata itu menderu-deru menyamber ke
arah Ban Piu. "Bagus sekali!" seru Kwan Ban Piu yang juga segera menggerakkan Golok Naga
Kembarnya untuk menabas toya si pemuda.
Suatu pertempuran yang hebat sekali telah terjadi di muka kelenteng dengan
disaksikan oleh Hoat Beng Hwee-shio serta para muridnya.
Sun Giok Hong yang telah mengetahui betapa tajamnya golok si orang she Kwan,
maka selalu berlaku hati-hati sekali untuk tidak membikin toyanya sampai beradu
dengan golok itu. Ia kelihatan lebih banyak mengelak daripada maju menyerang,
sedangkan Kwan Ban Piu sangat bernapsu untuk lekas dapat mengakhiri pertempuran
tersebut. Walaupun sebagai seorang muda Giok Hong sudah punya banyak
pengalaman dalam pertempuran dengan lawan-lawan yang tangguh, tapi ia selalu
berlaku cerdik dan tak mau mengobral tenaganya secara sia-sia.
Pada suatu waktu, ketika Kwan Ban Piu mendesak sambil menghujani bacokanbacokan
yang tak mengenal kasihan, si pemuda she Sun segera berlompatan mundur
untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut itu. Celakanya, Giok Hong
berlaku terlampau tergesa-gesa sehingga kakinya membentur akar pohon cemara
yang menonjol keluar dari dalam tanah dan dengan mengeluarkan suara jeritan ngeri,
ia jatuh terguling.
Kwan Ban Piu yang melihat ada kesempatan terbaik untuk menamatkan jiwa
lawannya, menjadi sangat girang. Dengan sorot mata beringas, ia lompat maju sambil
mengayunkan goloknya ke arah batok kepala Giok Hong. Syukur juga pikiran Giok
Hong tidak lekas menjadi gugup dan begitu melihat golok Ban Piu berkelebat ke arah
kepalanya, lekas-lekas ia bergulingan di tanah beberapa belas kaki jauhnya.
Berbareng dengan itu, dahsyat sekali golok si orang she Kwan telah membacok putus
akar pohon yang sebesar mangkok seperti juga ia membacok lilin empuknya. "Ah!"
seru si penyamun tunggal dengan perasaan kecewa.
Giok Hong telah berhasil bangun berdiri dan dengan cepat sekali ia hantamkan
toyanya ke arah tangan kanan lawan yang menyekal golok mustika. Ban Piu ternyata
dapat bergerak bukan main sehatnya, begitu melihat bayangan toya Kong-sun-kun
menghantam ke jurusannya, lekas-lekas ia tarik pulang goloknya sambil berlompat
mundur. Sembari memasang kuda-kuda separuh jongkok, ia sabetkan Golok Naga
Kembar ke arah kaki si orang she Sun. Seketika itu Giok Hong yang telah mencoba
menancing sang lawan dengan berlaku agak kendur dalam gerak-gerakannya dan
tatkala melihat golok Kwan Ban Piu menyamber kakinya, lekas-lekas ia geser kakinya
sambil menghantamkan toyanya ke bagian atas golok lawan dengan sekuat-kuatnya.
Tak........!!. "Ah.........!!" Ban Piu berseru keras karena kaget dan merasa
cekalannya tergetar oleh hantaman toya Giok Hong, tapi goloknya tetap tidak
terlepas!. "Sungguh kuat sekali tenaga bangsat ini!" Giok Hong diam-diam memuji sambil
terus mengelak dari tusukan-tusukan ujung golok yang menerjang dadanya dengan
cepat dan ganas.
Hoat Beng Hwee-shio dan para muridnya menonton dari samping dengan perasaan
kagum akan kepandaian kedua orang itu. Lebih lebih terhadap Giok Hong yang masih
muda, tapi toh dapat dengan baik sekali meladeni Ban Piu yang sudah banyak
pengalaman di kalangan Kang-ouw.
Ban Piu bertubi-tubi melancarkan serangan-serangan yang mematikan. Giok Hong
berlaku agak pasif dan membiarkan musuh besarnya mengobral serangan-serangan
dengan bebas. Ia hanya mengegos, berkelit, menyampok belakang golok lawan atau
mundur untuk mengelakkan bacokan-bacokan yang agak sukar atau tak mungkin
dilawan dengan kecepatan. Baru pada waktu menyaksikan napas Ban Piu terengahengah,
ia mendesak, menyabet, menyodok atau menumbuk batok kepala lawan
dengan toyanya. Sedang kakinyapun dengan gerakan bagaikan angin puyuh melibat
pohon, sekali-kali disapukannya atau ditendangkan untuk membuat kalut pikiran
lawannya. Sekujur badan kedua orang itu tampak basah mandi keringat dan belum
tampak pihak mana yang lebih unggul ilmu kepandaiannya.
Demikianlah, ketika pertempuran menjelang pada jurus yang kelimapuluh. Giok
Hong merasa bahwa dia takkan berhasil merobohkan lawan itu jika tidak
mempergunakan kecerdikan. Ban Piu yang merasa bahwa dia mempunyai tenaga
yang sangat kuat, selalu hendak menerjang si pemuda dengan ganas dan sepenuhpenuh
tenaganya. Si penyamun tunggal tampaknya sangat penasaran, dengan Golok Naga Kembar
yang begitu diandalkan ia belum memperoleh mangsa atau membuat senjata Giok
Hong putus sehingga terpotong-potong seperti halnya dalam pertempuran yang
pertama kali dilakukannya dulu.
"Jika engkau dapat mengalahkanku kali ini" ejek si pemuda, "barulah kau dapat
miliki semua kereta pioku berikut para pengendaranya sekalian. Tapi kalau kau tidak
mampu, lebih baik engkau potong saja kepalamu, agar jangan sampai mendengar
dirimu diejek yang bukan-bukan oleh para jagoan di kalangan Kang-ouw. Ayoh,
pertunjukkanlah kepandaian serta tenagamu yang disohorkan lihay dan kuat itu!".
Kata-kata yang telah diperhitungkan dengan cerdik ini, diucapkan Giok Hong
sedemikian rupa, seakan-akan dia bicara dengan adiknya saja. Mendengar demikian,
Kwan Ban Piu menjadi demikian murka bukan kepalang dan masih penasaran karena
serangan-serangannya yang tak kunjung membawa hasil.
"Hai, orang she Sun, akan kuminum darahmu hingga tetes terakhir untuk
menghilangkan rasa dendamku!" seru Kwan Ban Piu menggeledek sambil putar
goloknya dan menerjang musuhnya dari empat penjuru dengan nekad.
Sun Giok Hong menjadi sangat girang mengetahui musuh besarnya telah dapat ia
pancing kemurkaannya, berlaku lebih hati-hati lagi menghadapi serangan-serangan si
penyamun tunggal yang mematikan itu. Ia putar toyanya sedemikian cepat sehingga
angin yang menderu-deru membuat Hoat Beng Hwee-shio dan para muridnya jadi
bergidik saking tegangnya menyaksikan pertempuran hidup mati itu.
Dalam detik-detik yang gawat itu, Kwan Ban Piu telah berhasil juga menabas
separuh dari toya Sun Giok Hong hingga dua kali. Yang pertama, sebagian dari toya
itu telah putus dan ini sukar terjadi jika Ban Piu menggunakan golok biasa. Tapi
tabasan yang kedua tidak berhasil memutuskan, hanya nancap di toya yang liat dan
tidak mudah patah itu.
Giok Hong tidak menyia-nyiakan saat yang baik itu, segera ia tarik pulang toyanya
dengan keras. Ban Piu yang tidak menyangka goloknya bisa nancap di toya, menjadi
terhuyung-huyung dan meski cekalannya tergetar, ia berusaha sekuat mungkin
mempertahankan genggamannya pada golok mustika itu.
Maka dengan mengambil kesempatan selagi Ban Piu terhuyung-huyung, Giok Hong
segera menyerang dengan tendangan kilatnya, yang lak dapat dielakkan lagi oleh si
penyamun. Ban Piu menjerit kesakitan dan mundur ke belakang beberapa tindak.
Sebelum Ban Piu dapat memperbaiki kuda-kudanya, tendangan kaki kiri Giok Hong
telah menerjang tepat pada perutnya hingga dengan satu teriakan keras, tubuhnya
mencelat dan jatuh terlentang ke suatu tempat yang terpisah beberapa belas kaki
jauhnya. Tapi anehnya. Golok Naga Kembar tetap tak terlepas dari genggaman
tangannya!. "Lekas hantam terus!" Hoat Beng Hwee-shio menganjurkan si pemuda.
Giok Hong menjadi ragu-ragu mendengar anjuran itu karena dalam saat itu hati
nuratinya seolah-olah berbisik, "Barang siapa membunuh lawan yang tak berdaya, dia
bukanlah seorang laki-laki sejati!".
Giok Hong telah mengambil keputusan dengan cepat. Ia berdiri tegak di tengah
kalangan sambil mengawasi si penyamun tunggal yang menggeletak disana tanpa
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diganggu. "Sie-cu, engkau mau tunggu sampai kapan lagi untuk turun tangan?" Hoat Beng
memperingatkan Sun Giok Hong dengan suara keras.
Tapi si pemuda she Sun lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku bukan
Tay-tiang-hu (laki-laki sejati), jika mencelakai musuh yang sudah tak berdaya!. Akan
kutunggu sampai ia bangun berdiri dan melanjutkan pertempuran ini!".
Dengan langkah yang agak terhuyung, Kwan Ban Piu bangun berdiri dan menatap
wajah Sun Giok Hong dengan sorot mata yang menyala-nyala.
"Apakah sekarang engkau suka menyerah kepadaku?" tanya si pemuda she Sun
sambil tertawa mengejek.
Tapi Kwan Ban Piu tidak menjawab barang sepatah katapun, hanya bagaikan
seekor harimau terluka, ia mengayunkan goloknya dan menerjang si pemuda dengan
membabi buta karena gusarnya.
"Jika tidak aku, tentulah engkau!" teriaknya dengan tiba-tiba. Dengan
diucapkannya kata-kata yang nekad dan berapi-api itu, ia melancarkan seranganserangannya
yang terakhir dengan tidak memperhitungkan pula akan segala akibatakibatnya
nanti. Giok Hong maju dengan sikap yang lebih hati-hati dan cerdik. Untuk meladeni
seorang musuh yang sudah benar-benar kalap, orang harus berlaku waspada dan
jangan tergesa-gesa. Nasihat ini ia dapat dari kedua gurunya. It Kak Siansu dan Thio
Ciam Kui, yang selalu diingatnya baik-baik di dalam hatinya.
Kwan Ban Piu yang baru pertama kali ini kena ditendang musuh sehingga mencium
tanah, jadi marah bukan kepalang. Pada waktu-waktu yang lampau, dia belum pernah
bertemu dengan lawan yang setimpal. Berbarengan dengan itu, iapun merasa sangat
malu ditonton oleh Hoat Beng dan para muridnya, maka dengan tidak banyak pikir
lagi ia telah mengobral tenaganya habis-habisan untuk dapat secepatnya merobohkan
si pemuda gagah itu.
Perlawanan Giok Hong kali ini telah dipecah menjadi dua bagian, yakni yang
pertama-tama ditujukan untuk menjatuhkan dahulu golok yang amat disegani itu,
baru kemudian membunuh Kwan Ban Piu.
Selanjutnya, karena rasa sakit bekas tendangan Giok Hong di perutnya belum
lenyap sama sekali, tidaklah heran jika gerakan Kwan Ban Piu tampak lebih kendur
daripada biasanya. Walaupun sebagai harimau yang tidak bergigi, kukunya masih
tetap ditakuti jika ia masih hidup. Demikianlah juga pandangan Sun Giok Hong
terhadap si penyamun tunggal ini.
Maka dengan mencurahkan seluruh perhatiannya pada Golok Naga Kembar, Giok
Hong terus memutar toyanya dengan amat gencar sekali. Sasarannya yang utama
ialah tangan si penyamun yang memegang golok mustika itu. Sementara Kwan Ban
Piu sendiri yang bukan seorang bodoh, telah mengetahui siasat lawannya, sedapat
mungkin berusaha untuk menggagalkan serangan-serangan itu.
Apa mau dikata, bagian dalam perutnya telah terluka hingga semakin cepat ia
bergerak, semakin sakit saja dirasakannya luka itu. Maka disuatu waktu ketika ia
menabas dengan sekuat tenaganya, Giok Hong sengaja berpura-pura hendak
menyodok dada si penyamun dengan ujung toyanya. Dan tatkala Ban Piu memutar
haluan untuk menangkisnya, ujung lain dari toya Kong-sun-kun si pemuda telah
menyamber pada lengannya dengan gerakan secepat kilat, hingga Ban Piu yang tak
keburu menarik pulang lengan itu dengan menjerit keras sekali lengannya tampak
terkulai. Golok Siang-liong-touw-cu-tonya terlempar sehingga beberapa belas kaki
jauhnya dari kalangan pertempuran dan menancap sehingga beberapa dim dalamnya
pada pangkal pohon cemara yang tumbuh di muka kelenteng itu.
Kwan Ban Piu dengan terhuyung memburu untuk mengambil pulang goloknya
dengan wajah yang menunjukkan rasa was-was dan menahan sakit yang hebat. Tapi
sebelum dia mencapai maksudnya, terdengar bentakan Giok Hong yang keras, "Inilah
hadiahmu yang terakhir!", sambil menghantamkan toyanya kearah batok kepala
musuh besarnya. Ban Piu yang berusaha untuk berkelit, tiba-tiba kepalanya jadi
terkulai, tubuhnya mencelat ke muka dan akhirnya dengan jeritan yang menyayat
hati, kepalanya menabrak pohon cemara tanpa dapat dicegah lagi. Disana ia roboh
terlentang dan dengan perlahan-lahan dari mulut, hidung dan telinganya menetes
keluar darah hidup!.
Pada saat-saat terakhir itu, Ban Piu masih berusaha untuk memperpanjang
hidupnya dan dengan tenaganya yang penghabisan ia merayap-rayap dan mencakarcakar
tanah. Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan dirinya akan binasa di dalam
tangan Sun Giok Hong, karena kejahatannya yang telah melampaui balas dan akan
semakin merusak jika dia dibiarkan hidup lebih lama lagi. Maka meski diluar
keinginannya, Ban Piu akhirnya jatuh untuk tidak bangun lagi.
Hoat Beng dan para muridnya jadi sangat kagum melrhat kelihayan Sun Giok Hong
dan memuji, "Lu Sun, ternyata engkau tidak percuma menjadi keturunan keluarga
Sun yang ilmu silatnya begitu tersohor di tanah utara. Pin-ceng semula hanya
mendengar dari cerita orang. Sebenarnya Pin-ceng masih belum mau percaya bahwa
ilmu silat keluarga Sun sampai sebegitu lihaynya, tapi hari ini setelah
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, ternyata kabar itu bukan isapan jempol
belaka. Maka dengan ini Pin-ceng memberi selamat atas kemenanganmu ini!".
Sun Giok Hong lekas membungkukkan badannya membalas hormat sambil
merendah atas pujian Hoat Beng yang muluk itu. "Semua ini hanya merupakan
kejadian yang kebetulan saja" katanya, "atau Thian memang telah melindungiku
dalam melaksanakan maksudku membasmi si penyamun ganas itu".
Setelah berkata demikian, si pemuda perlahan-lahan menghampiri Golok Naga
Kembar yang nancap di pohon cemara, lalu dengan rasa hormat dan kagum dicabut
dan diperiksanya dengan teliti sesaat lamanya. "Ini sesungguhnya sebilah golok
mustika yang baik sekali dan tidak boleh disia-siakan" pikirnya. Kemudian ia
membuka tali serangkan golok yang masih terlibat di pinggang Kwan Ban Piu,
memasukkan golok itu dan menyoren di pinggangnya sendiri sebagai hadiah
kemenangan dari pertandingan itu.
Dengan bantuan Hoat Beng dan para muridnya, Giok Hong telah mengubur mayat
penyamun tunggal itu dan di muka kuburan ia telah menyampaikan hormatnya yang
penghabisan sambil berkata, "Kawan, kini engkau telah meninggalkan dunia yang
fana ini, dengan demikian habislah perhitungan-perhitungan kita dahulu. Semasa
hidupmu, engkau telah melakukan banyak sekali pembunuhan terhadap orang-orang
yang bukan tandinganmu, maka aku sangat mengharap engkau tidak jadi kecewa dan
penasaran di alam baka, karena aku membunuhmu dengan maksud mengakhiri
penderitaan rakyat yang pernah kau aniaya dan perlakukan sewenang-wenang. Aku
juga mewakili Thio Bun Siong menuntut balas atas perbuatanmu yang keji terhadap
berandal itu, yang kau rampas goloknya sewaktu dia mabok diloloh arak olehmu.
Disamping itu semua, akupun telah menunaikan tugasku sebagai seorang pio-su,
maka ucapanku yang terakhir adalah selamat tinggal dan sekali lagi aku mengharap
agar kau bersemayam dengan tenang di alam baka". Sambil menjura tiga kali, Giok
Hong mengakhiri kata-katanya itu.
Sementara Hoat Beng Hwee-shio yang mendengar begitu dengan tersenyum lalu
berkata, "Lo Sun, Kwan Ban Piu yang telah menemui ajalnya pasti takkan merasa
kecewa di alam baka, berhubung dia telah dikalahkan dan terbunuh oleh seseorang
yang justru mempunyai kepandaian tinggi dan tepat menjadi lawannya yang setimpal.
Kini satu bahaya besar telah kau singkirkan dari muka bumi maka dengan ini
ijinkanlah Pin-ceng menjamu dengan ala kadarnya atas kemenanganmu ini".
Demikianlah dengan menuntun kuda Kwan Ban Pui, Giok Hong mengikuti Hoat
Beng dan para muridnya pulang ke dalam kelenteng dimana ia dijamu oleh paderi
Buddha itu beserta sekalian keluarga kelenteng itu tua dan muda. Hingga larut
malam, barulah perjamuan ditutup.
Pada kesokan harinya dengan menunggang kuda, menyoren golok Siang-liongtouw-
cu-to dan membawa toya Kong-sun-kun, Giok Hong menuju ke puncak Hui-gohong
dengan diantar oleh dua orang murid Hoat Beng yang berlaku sebagai penunjuk
jalan. Begitulah, sesudah melalui jalanan-jalanan gunung yang berliku-liku dan licin di
waktu turun hujan, akhirnya Giok Hong telah sampai di muka sebuah pintu gerbang
yang agak tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang dan semak-semak lebat yang
tumbuh di kiri kanannya.
"Inilah pintu masuk desa Kwan-kee-chung" salah seorang murid Hoat Beng itu
memberitahukan kepada Sun Giok Hong.
Dan selagi ia hendak melanjutkan bicaranya, tiba-tiba terdengar suara gembreng
yang dipalu dengan riuh. Bersamaan dengan itu, pintu gerbang tadi tampak terbuka
dan berlompatan keluar dari dalamnya antara 30 atau 40 orang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar, dengan masing-masing membawa golok, tombak atau
pentungan. Salah seorang yang menjadi pemimpinnya segera tampil ke muka sambil
membentak, "Jika engkau mengerti selatan, lekaslah turun dari kudamu dan
menyerah untuk diringkus!".
Mendengar bentakan yang garang itu, kedua murid Hoat Beng menjadi ketakutan
sehingga wajah mereka jadi pucat pasi dan lekas berlindung di belakang Sun Giok
Hong sambil berkata, "Sie-cu, engkau harus berhati-hati dengan mereka ini!".
Tapi Giok Hong lekas menenangkan mereka sambil berkata, "Jangan khawatir, aku
ada di sini untuk melindungimu". Setelah itu, ia menoleh pada kawanan berandal
sambil menambahkan, "Apakah kalian ini anak buah Kwan Ban Piu?".
"Benar!" sahut mereka sekalian.
"Pada kalian perlu juga kiranya kuberitahukan" kata Sun Giok Hong, "beberapa
waktu yang lalu Kwan Ban Piu telah merampas kereta-kereta pioku. Dia berjanji untuk
mengembalikan itu semua jika aku dapat mengalahkan dia. Kemarin petang, dalam
satu pertempuran yang jujur, aku telah berhasil membunuh pemimpinmu itu dan kini
aku datang untuk mengambil pulang semua barang-barangku itu".
"Tidak perlu engkau banyak bacot!" seru pemimpin berandal itu. "Kini yang
berkuasa disini adalah aku sendiri!. Maka kalau engkau dapat mengalahkan kami
sekalian, barulah engkau boleh mengambil pulang kereta-kereta piomu itu. Kalau
tidak, engkau boleh pergi tanpa banyak bicara pula!".
Sesudah berkata demikian, ia segera memberi isyarat kepada anak buahnya sambil
memberi komando, "Serang!".
Dengan tidak banyak bicara pula, kawanan berandal itu segerai maju mengepung
Sun Giok Hong dari segala jurusan. Si pemuda she Sun yang tidak berniat untuk
melukai orang dengan secara membabi buta, lekas-lekas memutar toya Kong-sun-kun
di tangannya sambil berteriak, "Aku dengan kalian tidak mempunyai permusuhan,
sedang orang yang menjadi musuh besarku, yaitu Seng-giam-ong Kwan Ban Piu yang
menjadi pemimpinmu, telah binasa di dalam tanganku. Jika engkau tak percaya,
cobalah kenali ini golok siapa?".
Sambil berkata begitu, lalu ia menghunus Golok Naga Kembar yang lalu
diacungkannya ke arah mereka sekali sambil berkata, "Lihatlah ini!".
Pemimpin berandal dan para anak buahnya jadi sangat terkejut ketika dapat
mengenalinya, bahwa golok itu bukan lain daripada milik Kwan Ban Piu yang bernama
Siang-liong-touw-cu-to atau Golok Naga Kembar. Si kepala berandal dan anak
buahnya jadi terbengong memandang pada golok mustika itu dengan mata yang
hampir tak berkesip.
"Aku hanya bermusuhan dengan Seng-giam-ong Kwan Ban Piu yang telah
mengakui dirinya sebagai thian-hee-bu-tek (tiada tanding di kolong langit), tapi
sekarang dia sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Mengingat aku tidak mempunyai
permusuhan dengan kalian, maka apakah perlunya kalian mencari masalah tanpa
alasan". Selanjutnya, jika kalian bisa melihat gelagat, segeralah hantarkan aku ke
atas gunung untuk mengambil pulang kereta-kereta pioku dan membebaskan juga
kusir-kusirnya. Kalau tidak, ingatlah baik-baik bahwa Golok Naga Kembar ini tidak
bermata atau mengenal apa artinya kasihan!. Apa yang telah terjadi dengan
pimpinanmu, kini akan terulang terhadapmu!".
Selanjutnya, kepala berandal itu beserta seluruh anak buahnya terpaksa menyerah
lalu mengantarkan Sun Giok Hong dan kedua orang murid Hoat Beng Hwee-shio naik
ke atas gunung untuk menolong kesepuluh kusir dan enam buah kereta pio yang
dirampok oleh Seng-giam-ong Kwan Ban Piu itu, yang ternyata semuanya masih utuh
dan tidak kurang suatu apapun.
Petang hari itu, si pemuda she Sun menumpang bermalam di kelenteng tempat
kediaman Hoat Beng Hwee-shio. Beberapa hari kemudian, setelah merasa cukup
beristirahat dan merawat kusir-kusir yang sakit. Giok Hong berjanji akan mampir ke
situ sekembalinya dari mengantarkan pio ke Thay-goan. Setelah berpamitan maka
Giok Hong kembali melanjutkan perjalanannya ke barat dan sampai dengan selamat
ketempat yang dituju. Diwaktu ia kembali dari sana dan mampir ke kelenteng tempat
kediaman Hoat Beng, tidak lupa ia membawa oleh-oleh berupa makanan dan uang
untuk membantu ongkos perawatan serta pembetulan kelenteng yang sudah agak tua
itu. Semenjak waktu itu dan selanjurnya, antara Giok Hong dan Hoat Beng Hwee-shio
telah terikat persahabatan yang sangat akrab, yang baru berakhir setelah masingmasing
pulang ke alam baka.
Sekarang kita lanjutkan perjalanan si pemuda she Sun yang kembali ke kota Thiancin.
Setibanya di sana, ia mendapatkan pamannya In Hu tengah dihinggapi penyakit
berat dan telah beberapa waktu lamanya tidak masuk kantor atau keluar dari kamar
tidurnya. Tatkala Giok Hong datang menyambangi, orang tua itu lalu berkata, "Giok Hong
Hian-tit, usiaku sekarang telah lanjut dan sering sakit-sakitan, aku mempunyai firasat
bahwa aku takkan dapat hidup lebih lama lagi dalam dunia ini. Oleh sebab itu, baikbaiklah
engkau mengurus pekerjaan dalam kantor angkutan kita, berhubung Giok
Tien usianya masih terlampau muda dan masih sangat membutuhkan bimbingan dari
orang-orang yang sudah berpengalaman sepertimu. Maka jika nanti aku menutup
mata, engkau boleh pegang pimpinan sebagai kepala dari Hin Liong Pio Kiok, karena
selain engkau sudah berpengalaman dan mempunyai banyak relasi, engkau juga
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi serta mempunyai nama yang baik di
kalangan Kang-ouw. Aku sudah tidak khawatir lagi untuk menyerahkan seluruh
pekerjaan Hin Liong Pio Kiok ke dalam tanganmu. Bersamaan dengan itu, rajinrajinlah
engkau bekerja agar nama baik Hin Liong Pio Kiok yang telah terkenal sedari
lama, akan bertambah harum kemashurannya ke propinsi-propinsi lain yang terletak
di Tiongkok Barat dan Utara".
Giok Hong mendengarkan omongan pamannya dengan airmata berlinang-linang.
"Hian-tit tak usah bersedih hati" kata orang tua itu pula, "karena segala sesuatu
yang ada di dunia ini tiada suatupun yang dapat hidup kekal. Sudah selayaknya jika
ada waktu kita berkumpul, ada waktu juga kita saling berpisah. Dunia ini bagi kita tak
lebih dan tak kurang daripada panggung sandiwara belaka, dimana kita semua
manusia menjadi pemain-pemainnya, sedangkan Thian Yang Maha Esa menjadi
dalang agung bagi semua makhluk yang hidup di alam dunia ini. Oleh karena itu,
sekali lagi aku nasihatkan kepadamu, agar engkau tak bersedih atas kepergianku
ini.................".
Giok Hong berjanji akan mentaati segala pesan pamannya dengan sebaik-baiknya,
sambil tidak lupa menuturkan juga tentang pertempurannya dengan Seng-giam-ong
Kwan Ban Piu sehingga ia memperoleh golok bersejarah yang bernama Siang-liongtouw-
cu-to atau Golok Naga Kembar yang tersohor itu. Hal mana jelas sekali telah
membuat orang tua itu jadi sangat gembira.
Demikianlah, pada suatu hari baik. Sun In Hu telah menutup mata untuk selamalamanya.
Maka Sun Giok Hong menggantikan kedudukannya sebagai Kiok-cu atau
kepala dalam kantor angkutan itu, sedang Sun Giok Tien bertugas sebagai wakilnya.
0oo0 V DENGAN terbunuhnya Seng-giam-ong di tangan Sun Giok Hong, maka di kalangan
Kang-ouw telah terbit kegemparan besar diantara cabang-cabang atas yang namanya
sudah tidak asing lagi. Cabang-cabang atas ini telah berdaya upaya keras untuk
merobohkan Ban Piu dengan maksud memiliki Golok Naga Kembar, tapi tidak
beruntung, malahan mereka telah menjadi pecundang-pecundang penyamun tunggal
she Kwan itu. Selain mempunyai golok yang sangat disegani, diapun berkepandaian
tinggi. Disamping orang-orang yang memuji kegagahan dan kelihayan Sun Giok Hong,
juga tidak sedikit orang yang merasa iri hati dan mencari-cari alasan untuk
mengurangi kebesaran nama si pemuda yang merupakan tokoh muda yang baru
muncul dalam kalangan Kang-ouw dengan nama julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli
golok dari lima propinsi.
Pada suatu hari Sun Giok Hong telah menerima suatu titipan besar yang terdiri dari
barang-barang buatan luar negeri yang berharga mahal dan harus diangkut dari kota
Thian-cin ke kota Cee-lam di dalam propinsi Shoatang. Barang-barang ini telah
diangkut dalam dua buah kereta dengan mengirim pio-su Wan Teng Kok sebagai
pelindungnya. Pio-su she Wan ini adalah seorang Ho-han yang bertubuh tinggi besar, berusia 32
tahun dan mahir mempergunakan pelbagai macam senjata, antara lain golok Toa-mato,
yang mana terhitung sebagai sebilah senjata yang paling ia mahir
mempergunakannya. Ia adalah orang kelahiran propinsi Tit-lee dan telah banyak
pengalamannya dalam hal pengangkutan barang-barang dari satu ke lain propinsi.
Giok Hong sangat menghormati dan mempercayai kejujurannya serta merasa
terjamin keselamatan suatu barang angkutan yang dilindungi olehnya.
Dengan menyusuri sepanjang tepi sungai Un-ho, Wan Teng Kok memberangkatkan
kedua kereta pio itu dari Thian-cin menuju ke selatan dengan menunggang seekor
kuda yang dapat berlari cepat dan punya daya tahan untuk melakukan perjalanan
yang jauh. Pada hari yang kedua, rombongannya telah tiba di daerah pegunungan
Ngo-liong-san yang terletak dalam propinsi Shoatang. Haripun telah menjelang senja
oleh karena itu lekas-lekas ia menuju kesebuah kota kecil yang bernama Hoay-jintien,
yang terletak 6 atau 7 lie pula jauhnya untuk bermalam dan melepaskan letih
dari perjalanan sehari penuh tanpa mengaso itu.
Apa mau dikata, selagi baru saja Wan Teng Kok membelok ke arah kanan jalan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunung, tiba-tiba dihadapannya nampak serombongan berandal yang berjumlah 20
sampai 30 orang dengan seorang muda yang berusia lebih kurang 26 atau 27 tahun
sebagai pemimpinnya, bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio serta
menyoren sebilah badik di pinggangnya. Dia tampil ke muka sambil berseru, "Hai, pio
su dari Hin Liong Pio Kiok, lekas-lekaslah serahkan kereta-kereta piomu kepada kami.
Kalau tidak, engkau harus mengerti sendiri segala akibatnya nanti!".
Tapi Wan Teng Kok bukanlah seorang yang mudah digertak atau tinggal diam saja
diperlakukan orang dengan seenaknya. Maka sambil melintangi goloknya, ia majukan
kudanya ke muka kcreta kereta pio untuk menyambut kedatangan kepala berandal
itu. begitu berhadapan dengan si berandal, Wan Teng Kok segera mendului membuka
serangan tanpa banyak bicara lagi.
Demikianlah, kedua orang itu telah saling menguji tenaga di tepi jalan gunung yang
sunyi itu. Segera juga tampak dengan jelas, bahwa kepala berandal itu bukan
tandingan Teng Kok yang sepadan. Ketika pertempuran baru saja berlangsung
beberapa jurus, si kepala berandal sudah tampak kewalahan dan lekas-lekas
melarikan diri sambil memerintahkan anak buahnya melakukan pengepungan dari
segala jurusan. Tatkala Teng Kok tengah sibuk melawan para liauw lo,tiba-tiba ia
melihat si kepala berandal telah balik kembali dan sambil lari dia lalu menyambitkan
sebuah benda yang berkilauan yang menyamber kearah Teng Kok bagaikan kilat
cepatnya. Dengan sebat ia menyampok benda yang menyambar kearah ulu hatinya, tapi tak
urung benda itu menggores juga bahunya Teng Kok menjadi tambah gusar, dia
menyerang dengan ganas sekali hingga tidak kurang dari lima atau enam orang
liauw-lo telah ia lukai. Ia berniat membasmi semua berandal-berandal itu, sayangnya
dengan sekonyong-konyong Teng Kok merasakan kepalanya pusing dan matanya jadi
berkunang-kunang. Dilain saat, ia terguling jatuh dari kudanya
dan........menghembuskan napasnya yang terakhir seketika itu juga. Setelah
diselidiki, ternyata benda yang berkilauan itu bukan lain daripada sebilah badik yang
mengandung racun hebat dan orang yang terlukai oleh badik itu dalam waktu
beberapa detik saja akan tewas tanpa dapat ditolong lagi.
Setelah dapat kepastian Wan Teng Kok tidak berkutik lagi, si kepala berandal
segera memberikan komando kepada anak buahnya untuk merampas kedua kereta
pio Hin Liong Pio Kiok. Mayat pio-su yang malang itu lalu dimusnahkan dengan jalan
dibakar sehingga tulang belulangnya berserakan di muka bumi!. Kemudian si kepala
berandal mengusir para kusir kereta pio tersebut untuk pulang ke kota Thian-cin dan
melaporkan kejadian ini kepada Sun Giok Hong yang menjadi induk semang mereka.
"Pergilah kamu beritahukan kepada induk semangmu Sun Giok Hong yang
mempunyai nama julukan Ngo-seng-to-ong" dengan senyum mengejek ia
melanjutkan, "bahwa aku Chit-seng-chio-ong atau raja tombak dari tujuh propinsi
mengundang ia datang kemari untuk bertanding!. Aku pasti akan menantikannya di
kelenteng Siang-in-koan di pegunungan L'o-san, yang terletak di bagian barat
pegunungan Ngo-liong-san. Katakan padanya bahwa aku Chit-seng-chio-ong
memerintahkan ia untuk membuang nama julukannya jika ia takut menghadap
kepadaku!".
Pada waktu keempat kusir kereta itu tiba di kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di
kota Thian-cin, mereka segera melaporkan tentang kecelakaan yang diderita Wan
Teng Kok yang mayatnya telah dibakar dengan tidak hormat., seolah-olah si berandal
memendam dendam yang hebat terhadap Hin Liong Pio Kiok. Juga mereka tak lupa
menyampaikan tantangan yang diajukan oleh kepala berandal tersebut terhadap
induk semangnya itu. Sun Giok Hong menjadi terkejut dan bertanya, "Siapakah she
dan nama berandal yang bernyali begitu besar itu?".
Keempat orang kusir itu menjawab, "Entahlah, karena dia hanya mengaku bernama
julukan Chit-seng-chio-ong saja". Kemudian salah seorang diantaranya
memberitahukan tentang di mana Giok Hong mesti mencarinya.
"Aiii, sungguh kurang ajar sekali si kerbau hutan itu!" kata Sun Giok Hong dengan
gusar. "Hampir semua jagoan dari kalangan Liok-lim atau Rimba Hijau di Shoatang
aku kenal baik serta mempunyai hubungan persahabatan. Hanya binatang ini saja
yang berani menghinaku, hingga dia perlu kuhajar supaya lebih mengenal aturan dan
sopan santun!".
Saat itu Sun Giok Tien yang mengetahui bahwa Giok Hong telah mengambil
keputusan untuk menerima tantangan kepala berandal yang mengaku punya nama
julukan Chit-seng-chio-ong itu, dalam hatinya jadi agak cemas dan berkata, "Chit-ko,
mereka di sana tentunya akan membuat segala persiapan untuk menyambut
kedatanganmu. Engkau yang dating hanya sendirian saja, aku khawatirkan sukar
meladeni kawanan perampok itu yang berjumlah banyak. Sebaiknya aku ikut serta
dengan membawa beberapa orang kusir sebagai teman di jalan".
Giok Hong mupakat dengan saran adik sepupunya itu. Maka sesudah meninggalkan
pesan yang kepada beberapa orang kepercayaannya, esok harinya dengan membawa
Golok Naga Kembar dan kantong kulit yang berisikan piauw, Giok Hong berangkat ke
propinsi Shoatang dengan ditemani oleh Sun Giok Tien serta para kusirnya.
Dua hari kemudian mereka telah tiba di perbatasan propinsi Shoatang. Dari sana
mereka menuju ke pegunungan Ngo-liong-san untuk kemudian menyusuri jalan ke
kelenteng Siang-in-koan yang terletak di pegunungan Lo-san.
Selama dalam perjalanan, Sun Giok Hong tidak habis-habisnya memikirkan,
siapakah gerangan kepala berandal yang menamakan dirinya Chit-seng-chio-ong itu".
Ia kenal tidak sedikit orang-orang gagah di kalangan Kang-ouw putih dan hitam, tapi
belum pernah mendengar ada orang yang memakai nama julukan demikian.
Setelah berjalan beberapa lamanya dengan melalui jalan-jalan gunung yang
berliku-liku dan diapit oleh jurang-jurang yang curam di kiri kanannya, tiba-tiba dari
kejauhan tampak atap kelenteng yang merah di antara pohon-pohon yang rindang
dan hijau kehitam-hitaman. Giok Hong segera mengetahui bahwa mereka telah tiba di
tempat yang dituju dan diam-diam ia lalu memperingati agar Giok Tien dan para
kusirnya itu untuk berjaga-jaga. Kemudian ia menghunus golok Siang-liong-touw-cuto
sambil menoleh ke kiri kanan jalan dengan laku yang hati-hati sekali.
Setelah berjalan beberapa belas tindak jauhnya, tiba-tiba dari arah semak-semak
yang lebat di tepi jalan telah melompat keluar seorang berandal muda yang
bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio menghadang di tengah jalan sambil
membentak, "Sun Giok Hong, ternyata engkau adalah seorang yang bisa menepati
janji. Engkau telah menerima baik undanganku dan datang kemari untuk minta
dikembalikan kereta-kereta piomu yang telah kurampok itu, bukan?".
Sun Giok Hong memperhatikan sejenak wajah begal muda itu yang tampaknya
ganas. Kemudian ia balas membentak, "Apakah engkau ini bukan Chit-seng-chio-ong
yang telah membunuh pio-suku?".
"Memang benarlah apa katamu!" sahut si begal muda. "Engkau punya nama
julukan Ngo-seng-to-ong, aku punya nama julukan Chit-seng-chio-ong. Seharusnya
sedari tadi engkau ketahui siapa aku ini!. Sekarang hendak kubuktikan sendiri, yang
mana diantara kita berdua Chio-ong atau To-ong yang ternyata lebih unggul!.
Sambutlah tombakku!!!".
Sambil berkata begitu, si begal muda segera maju menerjang hingga Sun Giok
Hong lekas melompat turun dari kudanya dan meladeni dengan tidak banyak bicara
pula. Selama pertempuran itu berlangsung, Giok Hong tak mau menabas tombak
orang, selain menangkis dengan belakang golok saja. Jika ia bertempur dengan cara
yang layak dan mengandalkan ketajaman Golok Naga Kembar, niscaya dalam waktu
beberapa jurus saja ia sudah mampu menabas putus tombak itu. Dia akan
ditertawakan orang karena Ngo-seng-to-ong dapat menang karena tajamnya golok
yang dimilikinya, sama sekali bukan sebab ia mahir ilmu golok dalam arti yang
sebenar-benarnya.
Bersamaan dengan itu, Giok Hong segera dapat menguji sampai dimana kelihayan
begal muda penantangnya itu. Bukan saja lawan itu tidak mempunyai kepandaian
yang cukup berharga, malah ilmu tombaknya pun agak ngawur. Ia jadi heran
mengapa orang lain telah memberikan dia nama julukan yang begitu mentereng,
padahal Giok Hong tak sadar bahwa nama julukan itu adalah buatan si begal itu
sendiri. Tidak heran jika ia tak pernah mendengar ada nama julukan demikian dalam
daftar para cabang atas dalam golongan Liok-lim.
Sementara si begal muda yang melihat bahwa ilmu kepandaian Sun Giok Hong
sesungguhnya tidak boleh dibuat gegabah, diam-diam ia berniat untuk melukainya
dengan mempergunakan badik beracun. Maka setelah mengambil keputusan yang
pasti, lekas-lekas ia membalikkan badannya melompat keluar dari kalangan
pertempuran sambil berseru dan membarengi dengan menyambit Sun Giok Hong
yang mengejar dirinya sambil membentak, "Jangan lari!". Tapi -begitu melihat sebilah
badik menyamber ke jurusannya. Giok Hong segera menyampok barang tajam itu
dengan Golok Naga Kembar hingga badik itu putus menjadi dua potong dan terpental
entah ke mana jatuhnya..
Si begal jadi terkejut dan segera mengulangi sambitannya itu. Badik yang kedua
itupun tidak berhasil mencapai sasarannya karena Giok Hong yang bermata jeli dan
tidak mudah diperdayakan orang, kali inipun telah membuat barang tajam itu kutung
dan mencelat entah ke mana melesatnya.
Akhirnya karena melihat kedudukannya sangat berbahaya, si begal muda segera
bersiul memberi isyarat kepada anak buahnya. Dilain saat kelihatan melayang
puluhan anak panah yang ditembakkan ke arah Ngo-seng-to-ong, yang segera
memutar goloknya bagaikan baling-baling cepatnya. Tidak urung ia mengalami juga
luka-luka di bahu kiri, kaki dan lengan kanan. Luka-luka itu tidak berbahaya dan
perlawanan tidak menjadi kandas oleh karenanya.
Selagi Giok Hong yang dibantu dengan Giok Tien dan para kusir berperang tanding
dengan rombongan kepala begal yang mengaku bernama julukan Chit-seng-chio-ong
itu, tiba-tiba dari dalam kelenteng Siang-in-koan telah muncul beberapa puluh Too-su
yang bersenjatakan pentungan menerjang keluar untuk membantu rombongan Giok
Hong menempur kawanan begal itu. Rombongan begal Chit-seng-chio-ong terpaksa
kabur dengan menderita luka-luka pulang ke sarang mereka di atas gunung.
Karena pertolongan dan bantuan yang tidak diduga-duga ini, Sun Giok Hong dan
kawan-kawannya telah bisa berkenalan dengan kepala kelenteng Siang-in-koan yang
bernama Ban Ceng Too-jin, yang telah mempersilahkan mereka masuk untuk
beristirahat dan menginap di situ. Berhubung hari telah hampir petang dan tak ada
tempat lain untuk menumpang menginap, sudah barang tentu Sun Giok Hong dan
kawan-kawannya jadi sangat berterimakasih atas kebaikannya Too-jin tua itu.
"Kawanan begal hutan ini sudah kerap kali membikin ribut di sini" kata Ban Ceng
Too-jin dengan gusar, "tapi sampai sebegitu jauh mereka belum pernah kena kuajar
adat, berhubung mereka lantas kabur setiap kali Pin-too keluar untuk menghajarnya.
Tidak kunyana pada hari ini mereka kena juga kita pukul mundur sehingga lari
pontang panting".
Bersamaan dengan itu, Sun Giok Tien pun telah turut juga bertanya, siapa
gerangan she dan nama si begal muda yang mengaku bernama julukan Chit-sengchio-
ong itu. Dengan tersenyum getir, si Too-jin tua menjawab, "Chit-seng-chio-ong".
Hm, apakah seorang yang berkepandaian begitu rendah dapat menerima nama
julukan yang demikian tingginya". Dia bukan ahli silat kelas satu, juga bukan seorang
ahli tombak, nama julukan itu adalah buatannya sendiri, maka apakah yang perlu
disegani orang". Bisanya hanya menyambit orang dengan mempergunakan badik
beracun dengan cara yang licik. Dia sebenarnya berasal dari desa Bu-kee-chung dan
bernama Bu Pin Tiauw, oleh sanak saudaranya di sana ia telah diasingkan. Lebih gila
lagi, dia mengaku keturunan .......... Bu Siong! (salah satu dari 108 pendekar gunung
Liang-san). Bu Pin Tiauw sebenarnya hanya seorang anak nakal dan sesat yang
pandai menggertak. Jelas dapat diketahui dengan nama julukannya yang mentereng,
Chit-seng-chio-ong!".
"Kalau begitu, apakah Too-tiang kenal baik padanya?" Giok Tien coba meminta
keterangan. "Pin-too berdiam di sini sudah lama sekali" kata si Too-su, "maka sudah barang
tentu kenal baik dengan hampir semua orang yang berdiam di daerah pegunungan
ini. Rupanya Sie-cu hendak meminta kembali piomu yang telah dirampoknya itu,
bukan?". Giok Tien mengangguk. "Ya" sahutnya.
"Kalau begitu Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin. "Pin-too bisa
menyuruh orang untuk minta kereta-kereta pio itu segera dikembalikan kepadamu".
Giok Hong mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan Too-su tua itu
tapi menolak dengan halus tawaran bantuan yang hendak meminta kereta-kereta
pionya dikembalikan dari tangan si begal muda Chit-seng-chio-ong itu. Sebagai
seorang pio-su dan pengusaha pio-kok, ia merasa sangat amat terhina oleh pihak si
begal, dan para langganannya tentu akan merasa sangat kecewa jika dia tak dapat
mengambil pulang pio yang dirampas orang dengan tangannya sendiri.
Ban Ceng Too-jin pun menyatakan kekagumnya atas kekerasan hati Giok Hong dan
adik sepupunya dan Too-su tua itu berjanji akan memberikan bantuan-bantuannya
dari "garis belakang" saja.
Duapuluh hari kemudian, setelah luka-luka Giok Hong sembuh betul, Bu Pin Tiauw
telah datang pula memaki-maki Sun Giok Hong di muka kelenteng. Mendengar
makian tersebut, si pemuda she Sun segera menukar pakaian yang ringkas dan
keluar dengan membawa golok Siang-liong-tauw-cu-to dan kantong piauw dengan
diiringi oleh Sun Giok Tien. Begitu melihat si begal muda Chit-seng-chio-ong hanya
diiringi oleh 6 atau 7 orang anak buahnya saja, maka diam-diam ia membisikkan
beberapa patah kata di telinga adik sespupunya. Sun Giok Tien berlalu sambil
menjawab dengan mantap, "Aku paham akan petunjuk Chit-ko itu". Giok ong sendiri
lalu menuju ke luar kelenteng dengan sikap yang tenang.
Begitu melihat Sun Giok Hong muncul, si kepala berandal itu sambil tersenyum
mengejek sambil berkata, "Bocah she Sun, setelah engkau menjadi pecundangku
masih saja engkau enak-enakan berdiam di daerah orang lain. Apakah barangkali
engkau sudah bosan hidup?".
Si pemuda she Sun tidak banyak bicara lagi dan segera maju menerjang dengan
Golok Naga Kembar hingga kepala berandal itu lekas-lekas melompat mundur sambil
memainkan tombak Hong-eng-chio di tangannya.
Karena dia memang bukan tandingan Sun Giok Hong yang setimpal, maka setelah
pertempuran baru berlangsung beberapa jurus, ia tampak sudah hampir tak berdaya
dan lekas-lekas kabur sambil mencabut badik beracun dari pinggangnya. Segera
disambitkannya badik itu ke arah ulu hati si pemuda she Sun dengan sekuat-kuat
tenaganya. "Mampus kau!" serunya.
Sun Giok Hong kini telah mengetahui sampai dimana kelicikan Bu Pin Tiauw. Begitu
melihat barang tajam itu menyambar ke jurusannya, dengan sebat Giok Hong telah
memiringkan tubuhnya sambil menangkap badik itu dengan tangannya. "Ah-ha!.
Bagus sekali kepandaian menyambitmu ini!" sindirnya sambil tertawa mengakak.
Bu Pin Tiauw jadi merah wajahnya karena jengah dan mendongkol.
"Sialan kau!" gerutunya sambil membalikkan badannya dan menusukkan
tombaknya ke arah dada Sun Giok Hong.
"Ha, masih juga engkau berani banyak tingkah di hadapan Ngo-seng-to-ong!. Nih,
kau boleh rasakan!". Berbareng dengan bentakan itu, si pemuda she Sun lalu
menyabetkan goloknya dengan tidak segan-segan lagi ke arah tombak lawannya itu.
Dilain saat terdengar suara "Crasss!!", yang telah membuat tombak Bu Pin Tiauw
patah menjadi dua potong!. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat si orang
she Bu kaget bukan kepalang dan segera kabur ke atas gunung. Anak buahnya yang
bersembunyi di belakang semak-semak lalu menghujani anak panak ke arah Sun Giok
Hong. Giok Hong yang sudah terlebih dahulu bersiap-siap, segera memutar goloknya
untuk melindungi dirinya. Tidak satupun anak panah musuh yang mampu mendekati
dirinya. Selagi anak panah itu masih menyamber serabutan, tiba-tiba dari semaksemak
di belakang kawanan liauw-lo itu terdengar suara bentakan yang
nyaring "Kawanan tikus hutan!. Aku Sun Giok Tien ada di sini!". Para liauw Lo yang
mendengar begitu, karuan saja jadi sangat terkejut dan segera lari pontang-panting.
Mereka tidak menyangka bahwa kedatangan Sun Giok Tien itu hanya diiringi oleh
beberapa orang kusir saja.
Giok Tien dan para kusir telah memberikan pukulan yang tidak kepalang tanggung
terhadap kawanan perampok yang berjumlah puluhan orang itu.
Giok Hong sendiri lantas mengejar Bu Pin Tiauw ke atas gunung sambil berseru,
"Meski engkau terbang ke langit atau menyusup ke dalam tanah, tidak urung akan
kususul dan kubekuk dirimu untuk membereskan persoalan kereta-kereta pioku yang
telah kau rampas dengan cara yang licik itu!".
Dengan mempercepat larinya Giok Hong berusaha menyusul Bu Pin Tiauw yang lari
pontang panting bagaikan tikus dikejar kucing. Ke arah mana saja yang dituju oleh si
kepala berandal itu, Giok Hong selalu mengikuti dengan tidak kurang bernapsunya.
Sesudah itu, muncul Giok Tien dan para kusir yang menyusul belakangan, setelah
mereka berhasil membubarkan pengepungan para liauw-lo si Chit-seng-chio-ong.
Sementara itu, Bu Pin Tiauw yang dikejar-kejar, dengan secara nekad telah
menerjang semak-semak berduri untuk memperpendek buronannya menuju ke
sebuah desa di lembah gunung. Karena dia asal penduduk situ yang kenal baik jalanjalan,
maka ia telah sampai terlebih dahulu di muka pintu gerbang desa, yang
kemudian ditutup dengan tergesa-gesa.
Pada waktu Giok Hong dan Giok Tien serta para kusirnya tiba di muka pintu
gerbang desa, tiba-tiba dari atas loteng pintu gerbang telah dilontarkan batu-batu dan
ditembaki dengan anak panah yang turun bagaikan hujan lebat ke arah mereka. Giok
Hong dan kawan-kawan terpaksa mundur untuk menghindarkan diri dari bahaya
maut. Desa ini ternyata bukan lain daripada desa Bu-kee-chung, dimana hampir seluruh
penduduknya terdiri daripada keluarga she Bu yang turun termurun telah hidup disitu
sebagai petani-petani dan pemburu. Bu Pin Tiauw sendiri berasal dari desa ini, tapi ia
tak dapat hidup rukun dengan sanak saudaranya, disebabkan dia sangat nakal dan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahat perbuatannya hingga dia tidak diperbolehkan masuk ke desa tersebut.
Pada hari itu karena terdesak dan tak ada jalan untuk dapat meloloskan diri dari
tangan Sun Giok Hong, Bu Pin Tiauw terpaksa menerobos masuk ke desa Bu-keechung.
Para penduduk di situ yang mengira ada kawanan perampok menyerbu
dengan secara tiba-tiba ke adalam desa mereka, segera beramai-ramai keluar untuk
menyambut kedatangan musuh dengan batu dan anak panah.
Dalam pada itu, Sun Giok Hong jadi berpikir dalam hatinya. Menurut kata Ban Ceng
Too-jin, si bangsat she Bu ini diasingkan oleh sanak saudaranya, tapi mengapakah
sekarang mereka telah bantu melindunginya".
Tatkala sudah berpikir sekian lamanya dan belum juga dapat pemecahan. Giok
Hong lalu mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke kelenteng Siang-in-koan
untuk menanyakan persoalan kepada Ban Ceng Too-jin.
Sementara si Too-jin yang mendengar keterangan demikian, berpendapat tentu
ada udang di balik batu. Ia lantas berjanji kepada si pemuda untuk" menyuruh orang
pergi ke sana dan coba menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.
"Jika Bu Pin Tiauw mengetahui maksud Too-tiang mengirim orang ke sana, apakah
dia takkan membunuh orang suruhanmu itu untuk menutup rapat rahasia
kebusukannya?" kata Sun Giok Hong yang merasa ragu-ragu atas saran Too-su tua
itu. "Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin sambil tertawa. "Pin-too di sini
mempunyai seorang penjaga kelenteng yang bernama Yo Kak Too-jin, ilmu silatnya
lihay dan sanggup meladeni beberapa puluh orang sekaligus. Bu Pin Tiauw kenal baik
kelihayan penjaga kelenteng itu, hingga ia segan berhadapan dengannya, apalagi
untuk turun tangan dan mencelakainya. Mana dia mampu dan mempunyai nyali
sampai begitu besar?".
Setelah mendengar demikian, barulah Giok Hong jadi berlega hati dan percaya
keterangan Ban Ceng Too-jin itu.
Pada petang hari itu juga, Yo Kak Too-jin telah diutus ke desa Bu-kee-chung oleh
Ban Ceng Too-jin untuk mengundang sanak saudara Bu Pin Tiauw.
Tatkala sanak saudara Bu Pin Tiauw dan Yo Kak Too-jin telah datang ke kelenteng
Siang-in-koan, Ban Ceng Too-jin lalu menerangkan maksud undangannya, kemudian
memperkenalkan mereka kepada Sun Giok Hong dan kawan-kawan.
Sanak saudara Bu Pin Tiauw tatkala mendengar keterangan tentang kereta-kereta
pio Hin Liong Pio Kiok yang dilindungi oleh Wan Teng Kok, telah dirampok oleh Bu Pin
Tiauw serta membunuh po-sunya. Sudah tentu saja mereka jadi terkejut dan berkata,
"Oh, kalau demikian halnya, ternyata kita telah salah paham dan menyangka bahwa
rombongan Sun Kiok-cu adalah kawanan perampok yang menyerbu masuk ke dalam
desa kami. Harap Sun Kiok-cu sekalian sudi memaafkan atas kealpaan kami itu".
Ketika itu, karena hari sudah larut malam, Ban Ceng Too-jin telah menahan mereka
menginap di dalam kelenteng. Pada esok harinya, para saudara she Bu itu telah
mengajak Sun Giok Hong dan kawan-kawan berkunjung ke Bu-kee-chung, untuk
kemudian mengembalikan kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang dirampok dan
disembunyikan oleh Bu Pin Tiauw di atas gunung.
Sesudah mengucap terima kasih kepada sekalian keluarga Bu dan Ban Ceng Toojin,
Yo Kak Too-jin dan para Too-su di kelenteng Siang-in-koan, Sun Giok Hong dan
kawan-kawan segera turun gunung untuk mengantarkan kereta-kereta pio itu
ke kota Cee-lam.
Sesampainya di kota Giok-san-tien yang terletak di arah selatan dari pegunungan
Ngo-liong-san, haripun telah menjelang senja kala. Maka terpaksa Sun Giok Hong dan
kawan-kawan bermalam di sebuah rumah penginapan untuk kemudian berangkat ke
kota Cee-lam keesokan harinya.
Tapi sungguh tidak dinyana, ketika semua orang sedang tidur dengan nyenyaknya,
tiba-tiba di luar rumah penginapan telah terdengar suara ribut-ribut, hingga Sun Giok
Hong jadi terbangun dan lekas-lekas membangunkan Giok Tien dan kusir untuk
bersiap sedia. Dari teriakan orang-orang yang berlarian kian kemari, mereka
mendengar teriakan-teriakan, "Kawanan perampok datang menyerbu!. Perampok
datang menyerbu!".
Ketika Giok Hong berlompatan keluar dengan membawa Golok Naga Kembar, di
luar rumah penginapan tampak sinar api obor yang terang benderang. Beberapa
liauw-lo kelihatan mengurung tempat itu sambil berteriak-teriak mengancam
penghuni penginapan, yang jadi sangat ketakutan. Seorang bertubuh tinggi besar
dengan berewok yang tebal, berdiri di muka pintu dengan bersenjatakan sebilah golok
Kwan-to di tangannya dan berseru, "Mana itu bocah she Sun yang mengumpat di
sini". Ayoh, lekas-lekas keluar untuk menerima ajalnya!". Setelah berkata demikian,
matanya yang seolah-olah berapi-api itu disapukan ke arah ruangan dalam
penginapan. Di belakang orang tinggi besar itu ada pula seorang muda yang bersenjata
sebatang tombak Hong-eng-chio. Sun Giok Hong yang melihat dan mengenalinya
segera jadi sangat mendongkol, karena orang itu bukan lain daripada Bun Pin Tiauw,
yang telah kabur dari Bu-kee-chung bersama sisa liauw-lonya sewaktu menderita
kekalahan dari kepungan Sun Giok Tien dan para kusirnya.
Semula Giok Hong menyangka bahwa kawanan berandal itu dikepalai oleh Huithian-
eng Ma Tay Piauw atau Ko-san-houw Ce Kiu Kong, ternyata kepala penjahat itu
ia tidak kenal sama sekali. Bu Pin Tiauw, yang pernah menjadi pecundangnya, kini
rupanya telah menghasut kepala berandal itu untuk merampas pula kereta-kereta
yang dilindunginya itu.
Begitu melihat Giok Hong tampil ke muka dengan diiringi oleh adik sepupunya,
kepada berandal yang berjenggot tebal dan berusia kira-kira tigapuluhan itu segera
maju sambil membusungkan dadanya dan berkata, "Sudah lama aku ingin minta
pengajaran dari Sun Giok Hong, apakah engkau ini benar-benar orang yang
kumaksudkan itu?".
"Aku yang rendah ini memang bernama Sun Giok Hong" sahut si pemuda sambil
memberi hormat sebagaimana layaknya. "Mohon tanya she dan nama saudara".
"Aku bernama Cia Ah Han" kata kepala berandal itu, "oleh karena aku mahir
mempergunakan golok Kwan-to, maka orang orang di kalangan Kang-ouw
memberikan aku nama julukan Toa-to Han atau Han si Golok Besar. Setiap kali
engkau mengantar pio, engkau selalu mampir ke tempat kediaman Hui-thian-eng (si
garuda terbang) dan Ko san-houw (si harimau yang melewati gunung), tapi sama
sekali tidak mau bersahabat denganku. Apakah itu bukan berarti bahwa engkau
memandang rendah kepadaku". Hari ini hendak kujajal sampai dimana kelihayanmu".
Kemudian dengan gerakan secepat kilat, ia ayunkan goloknya untuk menabas
batok kepala Giok Hong, hingga si pemuda lekas berkelit untuk menghindarkan
bacokan tersebut. Bersamaan dengan itu, Giok Hong pun tidak tinggal diam untuk
tidak balas menyerang sang lawan dengan secara tunai. Giok Hong juga bermaksud
untuk menunjukkan "giginya" terhadap lawan ini, yang telah berani menantangnya.
Dengan tidak segan-segan lagi, iapun telah putar goloknya bagaikan baling-baling
cepatnya, hingga disuatu saat Cia Ah Han terdengar menjerit ngeri, "Ah!", ketika
goloknya ditabas putus menjadi dua potong oleh Golok Naga Kembar.
Sementara Bu Pin Tiauw yang khawatir si jenggot kena dilukai, lekas-lekas maju
menerjang dan menusukkan ujung tombaknya ke arah ulu hati Giok Hong sambil
membentak, "Aku datang!".
Si pemuda she Sun tersenyum dingin sambil berkata, "Bagus sekali!. Kitapun masih
punya perhitungan lama yang belum dibereskan!".
Setelah berkata demikian, dengan sebat ia miringkan sedikit badannya, kemudian
membarengi membacok pada tombak itu dan kakinya pun menendang sambil
membentak, "Enyahlah engkau ke sana!". Bu Pin Tiauw yang tidak menduga akan
diserang secara demikian cepat dan ganas, sudah tentu saja jadi gugup dan tak
keburu mengegos. Pada pertempuran yang lampau, Giok Hong telah berlaku lunak
sekali padanya, maka dengan tombak kutung jadi dua, badannya mencelat berjungkir
balik di udara dan jatuh beberapa kaki jauhnya. Bertepatan dengan itu, Giok Hong
telah membacok ganas sekali saking gusarnya, sehingga dengan jeritan seram Bu Pin
Tiauw rebah di tanah dengan mandi darah dan bahu kanannya telah terpapas hampir
putus oleh bacokan golok mustika Giok Hong.
Cia Ah Han yang melihat begitu, lekas-lekas mengambil sebilah golok Toa-ma-to
dari tangan anak buahnya. Ia maju menerjang Sun Giok Hong untuk menolong Bu Pin
Tiauw yang sudah tidak berkutik lagi.
Tapi Cia Ah Han hanya dapat bertahan tiga jurus saja dari terjangan Giok Hong,
selanjutnya lagi-lagi golok Toa-ma-to telah kutung kena tertabas oleh Golok Naga
Kembar. "Aiiii!", katanya dengan putus asa.
Giok Hong segera menghentikan serangannya karena ia merasa jengah juga
melihat lawannya tak berdaya menghadapi goloknya sendiri. Ia bertanya sambil
membentak, "Apakah engkau masih hendak melanjutkan pertempuran ini". Atau
hendak bertanding dengan tangan kosong". Aku bersedia untuk meladenimu.
Katakanlah!".
Kali ini Cia Ah Han beru merasa gentar akan kegagahan dan kelihayan si orang she
Sun. Dia yang mahir mempergunakan golok Kwan-to, masih sukar mengalahkannya,
apalagi jika bertempur dengan tangan kosong, yang memang dia kurang mahir. Cara
bagaimanakah dia dapat meladeni Sun Giok Hong".
Dengan menebalkan muka, Cia Ah Han terpaksa mengangkat kedua tangannya
memberi hormat kepada si pemuda she Sun sambil berkata, "Sungguh tidak benar
apa kata si orang she Bu, bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih rendah daripadaku.
Kenyataannya engkau masih tepat untuk menjadi guruku".
Sun Giok Hong yang tidak bermaksud mendesak terus terhadap seseorang yang
sudah mengaku kalah, lantas memasukkan goloknya ke dalam serangka. Giok Hong
menghampiri Cia Ah Han dengan sikap yang ramah tamah dan tersenyum lebar
sambil berkata, "Cia Lo-hia, ternyata engkau telah memujiku dengan secara berlebihlebihan
dan mohon maaf sebesar-besarnya jika aku telah salah tangan melukaimu".
Sementara Cia Ah Han yang melihat Sun Giok Hong adalah seorang pemuda yang
rendah hati dan tidak sombong, iapun jadi merasa girang dan jengah atas
perbuatannya yang sekasar tadi. Ia lekas-lekas minta maaf atas kecongkakannya dan
segala perbuatannya yang tidak baik tadi.
"Jika tidak berkelahi, kita tidak menjadi sahabat!" Giok Tien menyelak dengan
wajah yang berseri-seri.
Demikianlah, semenjak hari itu dan selanjutnya, Giok Hong dan kawan-kawan jadi
bersahabat akrab dengan Cia Ah Han, yang berjanji akan selalu membantu
melindungi kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang kelak akan melewati daerah
jagaannya di situ.
Tatkala kemudian kedua pihak saling berpisah, ternyata Bu Pin Tiauw yang terluka
parah telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Sun Giok Hong lalu
memerintahkan para kusirnya untuk membuat kuburan dan mengubur mayat Bu Pin
Tiauw sebagaimana layaknya.
Setelah menaklukkan Cia Ah Han dan membunuh kepala berandal Bu Pin Tiauw,
maka nama Sun Giok Hong jadi semakin termashur dan disegani oleh jago-jago silat
di kalangan Kang-ouw. Sedangkan para cabang atas di kalangan Liok-lim selalu
berpikir dahulu sampai beberapa kali, jika mereka berniat untuk merampok keretakereta
pio Hin Liong Pio Kiok yang dikepalai oleh Ngo-seng-to-ong Sun Giok Hong.
Dengan begitu, keributan itu pun telah selesailah sampai di situ, semua orang
kembali pula ke kamar masing-masing. Cia Ah Han dan anak buahnya kembali ke atas
gunung dengan rasa menyesal karena main sembarangan percaya saja hasutan Bu
Pin Tiauw yang hendak mengadudomba dia dengan Sun Giok Hong.
Ketika Giok Hong dan rombongannya tiba di Cee-lam dan menyerahkan barangbarang
angkutannya ke tempat yang dituju, maka lugas merekapun telah selesai
sampai disitu. 0oo0 VI DENGAN mengambil kesempatan selagi istirahat untuk beberapa hari lamanya,
Giok Hong telah menyambangi gurunya Thio Ciam Kui di kantor angkutan Gie Cee Pio
Kiok. Orang tua itu jadi girang bukan main dapat berjumpa kembali dengan muridnya,
setelah mereka saling berpisah dan tidak bertemu muka 10 tahun lamanya.
Usia Ciam Kui tatkala itu telah mencapai 60 tahun dan tenaganyapun sudah jauh
berkurang daripada waktu 10 tahun yang lampau. Pengurusan kantor angkutan Gie
Cee Pio Kiok itupun telah diserahkan kepada anaknya, Thio Kin Gie. Handai taulan
Giok Hong yang masih membantu dalam kantor angkutan gurunya, seorang demi
seorang telah datang bertemu dan saling berjabatan tangan dengan rasa akrab sekali.
Setelah saling memberi hormat dan menanyakan tentang keselamatan diri dan
pekerjaan masing-masing, Ciam Kui lalu mempersilahkan Giok Hong dan Giok Tien
masuk ke ruangan tengah, dimana mereka duduk mengobrol sambil minum teh wangi
untuk melepaskan dahaga.
"Sudah banyak tahun aku tidak menjumpaimu" kata Thio Ciam Kui, "engkau
tentunya sibuk sekali selama itu, bukan?".
Giok Hong mengangguk sambil menjawab, "Benar. Telah 10 tahun lamanya murid
berpisah dengan guru, tapi karena pekerjaan amat sibuk, ditambah dengan pamanku
telah menutup mata, maka aku tak dapat meninggalkan pekerjaan di Thian-cin
barang sekejappun. Kali ini karena kereta pioku dirampok orang dan pio-suku telah
menemui ajalnya dalam pertempuran dengan si perampok, aku terpaksa keluar juga
untuk mengantarkan sendiri pio itu kemari. Dengan demikian, aku mendapat
kesempatan yang terbaik untuk menyambangi guru. Aku belum tahu bagaimana
keadaan kesehatan guru selama beberapa waktu ini?".
"Aku sendiri selalu baik-baik saja" kata orang tua itu. "Menurut cerita kawan-kawan
dan handai taulan di kalangan Kang-ouw, kini namamu telah semakin tenar di daerah
Tiongkok Utara dan terkenal dengan nama julukan Ngo-seng-to-ong. Apakah kabar ini
benar?". "Nama julukan Ngo-seng-to-ong itu adalah milik guru" sahut Sun Giok Hong
dengan perasaan agak jengah, "maka aku punya kemampuan apakah yang
melampaui ilmu kepandaian guru?".
"Ombak di lautpun mempunyai waktu surut dan pasang" kata Thio Ciam Kui, "maka
kalau Ngo-seng-to-ong yang tua mundur ke belakang, maka sudah selayaknya Ngoseng-
to-ong yang muda tampil ke muka. Nama julukan ini dapat hidup langgeng
sehingga di masa datang, sedang kemashuranmu itu bukan saja karena engkau
sendiri yang telah membuat namamu semakin tenar di kalangan Kang-ouw, tapi juga
berbarengan dengan engkau menghidupkan dan memuliakan nama-nama keluarga
Sun dan Thio hingga kelain jaman. Aku girang sekali jika semua kabar yang telah
kudengar itu semua benar dan bukan isapan jempol belaka".
Giok Hong lalu merendahkan dirinya sendiri atas pujian gurunya yang sangat muluk
itu. Selagi mereka masih asyik mengobrol, tiba-tiba kasir dari Gie Cee Pio Kiok berlari
masuk dengan tersipu-sipu dan menyampaikan beberapa patah perkataan dengan
bisik-bisik di telinga induk semangnya itu.
Thio Ciam Kui yang menerima laporan tersebut jadi berubah wajahnya, sambil
mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang kemudian ia menggelenggelengkan
kepalanya. Tampaknya ada sesuatu hal yang membuat Ciam Kui tidak
enak hati. "Guru sudah berusia agak lanjut" kata Sun Giok Hong yang merasa heran melihat
sikap orang tua itu yang tiba-tiba saja kelihatan berubah, "oleh karena itu, segala
pekerjaan di kantor baiklah diserahkan kepada puteramu. Hari ini, kalau aku tidak
keliru, guru tengah menghadapi sesuatu persoalan yang agak pelik. Kalau guru tidak
berkeberatan, murid bersedia untuk membantu memecahkan persoalan yang sulit
ini". Thio Ciam Kui kembali menghela napas dan menjelaskan persoalannya sebagai
berikut: "Persoalanku ini agak panjang untuk diceritakannya" katanya. "Pada 20 tahun yang
lampau, ketika melindungi pio dan lewat di gunung Ngo-tay-san, aku telah dicegat
oleh seorang kepala berandal bernama Lie Kiam Hong yang hendak merampok
kereta-kereta pioku. Kepala penyamun ini ilmu silatnya sangat lihay, mahir
mempergunakan pelbagai senjata serta mempunyai liauw-lo yang tidak sedikit
jumlahnya. Setelah berhasil kukalahkan dan kabur entah ke mana perginya. Tiga
tahun kemudian, ia telah muncul lagi dan mencari diriku untuk menuntut balas. Kali
ini ia tidak mencegatku di jalan sunyi, tapi datang sendiri ke sini menantangku untuk
bertempur dengannya. Karena ia begitu mendesak, akhirnya aku terpaksa
meladeninya juga dan ia kembali dapat kukalahkan dengan menggunakan ilmu golok
Pat-kwa-to. Tidak kapok dengan kekalahan itu, ia berjanji akan balik kembali dalam
waktu tiga tahun".
"Berselang tiga tahun lamanya, benar saja Lie Kiam Hong telah datang kembali
menantangku, hingga kita bertanding pula untuk kedua kalinya. Hasilnya, ia kembali
menderita kekalahan dan berjanji akan datang lagi tiga tahun kemudian, dan begitu
seterusnya. Jika dia selalu masih kena dikalahkan olehku, pasti dia akan datang
kembali dengan tidak bosan-bosannya. Demikianlah katanya disetiap waktu hendak
meninggalkan kantor Gie Cee Pio Kiok. Usiaku kian lama kian bertambah tua, sedang
tenagaku pun kian berkurang dan rupanya ia bertekad untuk mengalahkanku. Kini
aku benar-benar sudah payah, sudah terlampau lemah untuk dapat meladeninya. Di
kantor, aku tidak mempunyai pio-su yang dapat menandinginya, maka aku merasa
tidak sanggup lagi untuk mempertahankan nama baikku............"
"Kalau begitu, mengapa dahulu guru tidak membunuhnya saja?" kata Sun Giok
Hong dengan rupa mendongkol.
"Membunuh orang gampang, tapi kita harus pikirkan bagaimana akibat-akibatnya
nanti" sahut Thio Ciam Kui. "Aku sama sekali tidak menduga bahwa si orang she Lie
itu mempunyai hati yang begitu keras dan selalu balik kembali setiap 3 tahun sekali
dan berdaya upaya untuk mengalahkanku...........".
"Biarlah murid menggantikan guru untuk melawannya" kata Sun Giok Hong dengan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati yang mantap.
"Jika engkau hendak menggantikanku untuk bertempur dengannya" kata Thio Ciam
Kui, "itupun tidak ada salahnya. Hanya engkau harus berhati-hati, sebab setiap 3
tahun sekali dia akan balik kembali, ilmu kepandaiannya selalu bertambah lihay saja.
Ilmu tinjunya yang terakhir, yakni yang bernama Beng-houw-hui-thauw atau harimau
galak membalikkan kepalanya, sesungguhnya amat lihay dan senantiasa
dipergunakannya dengan secara tiba-tiba untuk membokong selagi kita sibuk
melayaninya dengan golok. Aku sendiri hampir saja kena diperdayakannya, syukur
juga aku berlaku cukup jeli hingga pukulan mautnya selalu jatuh di tempat yang
kosong. Dia sendiri berbalik kena ditendang sehingga jatuh melosoh dan menderita
luka-luka ringan. Kalau engkau hendak coba meladeninya, perlu sekali engkau
berlaku waspada dan jangan sampai terjebak oleh siasatnya yang licik itu".
Giok Hong berjanji akan memperhatikan segala petunjuk orang tua itu. Ia berjalan
keluar dengan diiringi oleh Sun Giok Tien dan kasir Lo Ho Jie yang datang membawa
kabar itu. Di muka kantor Gie Cee Pio Kiok benar saja sudah menanti seorang laki-laki
berperawakan tinggi besar yang berusia empatpuluh tahun lebih, wajahnya bengis
dan menyoren sebilah golok Toa-ma-to yang bentuknya tebal dan beratnya tidak
kurang dari 30 kati lebih. Ia tampak berdiri disitu dengan rupa yang tidak sabaran dan
menggerutu tidak ada habis-habisnya.
Begitu keluar berhadapan dengan orang laki-laki itu, Giok Hong segera menyoja
sambil bertanya, "Apakah-Ho-han ini adalah Lie Kiam Hong Su-hu?".
Orang laki-laki itu menatap wajah Sun Giok Hong sambil kemudian membentak,
"Engkau ini siapa". Lekaslah engkau panggil si tua bangka she Thio itu keluar
menjumpai aku!".
"Aku ini bukan lain daripada Sun Giok Hong dari kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok
di Thian-cin" sahut si pemuda. "Guruku Thio Ciam Kui sudah jemu bertanding
denganmu yang selalu kena dipecundanginya. Guruku mengirim aku yang menjadi
muridnya untuk bermain-main denganmu sehingga engkau menjadi puas dan jemu
untuk bertempur lagi!".
"Tutup bacotmu!" bentak Lie Kiam Hong. "Engkau bocah yang baru disapih
bukanlah tandinganku yang setimpal. Pergilah panggil gurumu untuk meladeniku!".
Giok Hong menertawainya sambil berkata, "Dalam kantor kami di sini, kini telah
diadakan suatu aturan tertentu. Siapa yang belum mampu mengalahkanku, tidak
berhak menantang guruku. Tuan telah beberapa kali bertempur dengan guruku, tapi
engkau selalu kena dipecundangi. Oleh sebab itu, dimana ada aturan engkau
memonopoli bertanding dengan Kiok-cu kami saja". Aiiii, engkau ini betul-betul tidak
tahu diri!".
Sambil berkata demikian, si pemuda tudingkan jari tangannya ke arah Lie Kiam
Hong, yang jadi gemetar karena amarah yang mendadak bergolak di dalam hatinya.
Orang she Lie itu menganggap dia telah dihina dihadapan orang banyak oleh
seorang yang justru dianggapnya masih bocah itu. Ia membentak dengan suara
menggeledek, "Dasar bocah tak tahu penyakit!. Jika engkau berani buka mulut besar,
tentunya engkau punya juga kepandaian yang cukup mengejutkan orang!. Nih, terima
bagianmu!".
Dengan gerak yang hampir tidak kelihatan karena saking cepatnya, Lie Kiam Hong
segera melancarkan pukulannya dalam siasat Pai-san-in-ciong atau dengan kedua
tinju mendorong lautan, kedua tinjunya menyodok dada si pemuda. Giok Hong yang
kini sudah punya banyak pengalaman dan lihay ilmu silatnya, segera menangkis tinju
si orang she Lie yang hampir menumbuk dadanya dengan Hoat-in-kian-gwat atau
menghalau awan untuk melihat rembulan. Bersamaan dengan itu, cekalannya telah
dipergunakan menurut cekalan ilmu Eng-jiauw-kun (ilmu ceker garuda) untuk
menyergap pergelangan tangan pihak lawannya.
Lie Kiam Hong jadi terkejut dan dengan sebat melancarkan pukulan maut yang
bernama Beng-houw-hui-thauw itu. Giok Hong segera pergunakan tinjunya untuk
"membeset" serangan tersebut.
Kemudian ia menyapu kaki Lie Kiam Hong dengan gerakan secepat kilat hingga si
orang she Lie yang tak keburu berkelit, dilain saat telah jatuh terlentang dengan
kedua kaki "menuding" langit. Ia jatuh di tanah bagaikan daun yang gugur dari
tangkainya dan merasakan pinggangnya sakit bukan buatan.
Dalam pada itu, Giok Hong tinggal berdiri tegak, menghentikan serangan-serangan
selanjutnya sambil mengawasi Lie Kiam Hong.
"Sudah cukupkah sebegitu saja". Atau perkelahian ini masih perlu juga kiranya
untuk diperpanjang?" katanya tenang.
Lie Kiam Hong tidak menyahut barang sepatah katapun, tapi lekas-lekas berbangkit
sambil menghunus goloknya.
Giok Hong juga segera maju sambil menghunus golok Siang-liong-touw-cu-to dari
dalam serangkanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka telah bertempur dengan
mempergunakan golok masing-masing.
Dengan hanya memperhatikan beberapa jurus yang diperlihatkan pihak lawan
dalam permainan goloknya, Giok Hong segera mengetahui bahwa Lie Kiam Hong ini
boleh diakui sebagai salah seorang ahli golok yang lihay sekali, gesit gerakannya dan
berbahaya setiap serangan yang dilancarkannya. Maka Giok Hong pun tidak berani
sembarangan berlaku lengah dalam pertempuran ini.
Pertempuran berlangsung dengan cepat dan beberapa belas jurus telah dilampaui
dengan hampir tak terasa lagi. Para pio-su, pegawai Gie Cee Pio Kiok dan orang luar
yang datang berkerumunan di muka kantor angkutan untuk menonton keramaian, tak
berbeda dengan orang-orang yang sedang berjualan di pasar.
Selama pertempuran itu berlangsung, diam-diam Lie Kiam Hong mengeluh di
dalam hatinya. Diluar dugaannya, ilmu kepandaian Sun Giok Hong ternyata tidak di
bawah kepandaian gurunya Thio Ciam Kui. Jika ia diberi kebebasan untuk memilih, ia
lebih suka bertempur dengan Thio Ciam Kui daripada Sun Giok Hong yang selain
tinggi ilmu silatnya, tenaganyapun masih penuh dan hebat sekali.
Anehnya, Giok Hong seolah-olah tidak mau mengalahkan musuhnya dalam waktu
yang terlampau cepat, dia tak mau membuat malu atau melukai lawannya. Inilah
syarat utama yang dimiliki oleh Sun Giok Hong semenjak ia berguru kepada It Kak
Sian-su. Pikirnya, jika musuh itu akhirnya kena dikalahkan juga, biarlah ia merasa
rela dan tidak mendendam kekalahannya itu di dalam hati untuk selama-lamanya.
Benar kepandaian Lie Kiam Hong cukup tinggi, tapi Giok Hong dapat menyudahi
pertempuran itu dengan jalan menabas goloknya sehingga putus dalam waktu
beberapa jurus saja lamanya. Tapi, akibat daripada perbuatannya ini tentunya akan
menyebabkan rasa penasaran yang tidak kecil di dalam hati orang she Lie itu. Bahkan
bisa juga karena kejadian itu, permusuhan di antara mereka akan berlangsung
dengan berlarut-larut sehingga tak ada habis-habisnya.
Giok Hong hendak mencegah sedapat mungkin agar tidak terjadi peristiwa yang
kelak dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak enak bagi dirinya dan gurunya.
Untuk memperoleh kebaikan bagi kedua pihak, Giok Hong telah berlaku cukup
bijaksana dengan bertempur tanpa menggunakan mulut goloknya yang sangat hebat
itu. Dan untuk tidak menunjukkan kelemahan dirinya, ia desak Lie Kiam Hong dengan
cara yang tidak mengenal kasihan, hingga Lie Kiam Hong jadi kelabakan dan matanya
berkunang-kunang melihat sinar golok si pemuda she Sun yang menyamber
mengurung tubuhnya bagaikan naga yang sedang mengaduk gelombang di lautan.
Tatkala ia sedang sibuk untuk berusaha memecahkan kurungan sinar golok
lawannya itu, tiba-tiba penglihatannya telah dibikin kabur oleh puluhan golok yang
mengepung dirinya dari segala jurusan. Ketika sebilah golok menyamber ke batok
kepalanya, Kiam Hong luput menangkisnya dan berteriak ngeri, "Matilah aku sekali
ini!" katanya. Bersamaan dengan itu, Kiam Hong merasakan golok Sun Giok Hong
Golok Halilintar 9 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Sakti Suling Pualam 10
berhasil menimpukkan piauwnya tepat kemata kuda Kwan Ban Piu, selagi dia sibuk
menghalau piauw si pemuda. Karena kesakitan, kuda itu menjadi marah dan
melemparkan juga beban yang duduk di punggungnya.
"Sialan kau!" si penyamun tunggal memaki Sun Giok Hong dengan hati sangat
mendongkol. "Engkau berani mencurangi tuan besarmu". Aku belum puas jika belum
melintir batang lehermu sehingga kepala copot!".
"Engkau sendiri yang berlaku curang dan hanya pandai mengandalkan golokmu
yang sangat tajam itu!" sahut Sun Giok Hong. "Jika engkau sesungguhnya seorang
Ho-han, aku tantang kau untuk bertempur dengan bertangan kosong!".
Tapi Kwan Ban Piu tak mau meladeni, hanya bangkit dan kembali menaiki kudanya
yang ternyata hanya dapat luka di mata saja, untuk kemudian dengan golok di tangan
mengejar pula lawannya. Giok Hong yang merasa percuma jika harus menempur Ban
Piu dengan senjata, pun ikut lari guna mengelak dari bacokan golok lawannya yang
ganas itu. "Aku bisa dikatakan pengecut kalau main kabur-kaburan ?begini I rupa" pikir Giok
Hong. Oleh sebab itu, ia segera tahan tali kekang kudanya dan menantikan datangnya
si orang she Kwan sambil duduk tegak di atas pelana kudanya.
"Hai bocah, sungguh memalukan sekali perbuatanmu yang curang itu!" bentak
Kwan Ban Piu yang terpaksa menahan juga tali kekang kudanya tatkala melihat Sun
Giok Hong menghadapinya dengan sikap yang gagah berani.
"Curang". Mengapa tidak engkau tanyakan begitu kepada! dirimu sendiri": Si
pemuda she Sun mengembalikan kata-kata si begal itu dengan cara spontan. "Engkau
berkelahi dengan hanya mengandalkan pada golokmu yang tajam itu, tapi kau tak
mau bertanding dengan tangan kosong. Apa salahnya jika aku pergunakan huipiauw".
Sekarang apa maksudmu mengejar-ngejarku?".
"Jadi engkau belum mau menyerah kalah?".
"Aku toh belum kalah dalam perkelahian denganmu tadi, maka apa sebabnya aku
mesti menyerah kalah?" si pemuda she Sun balik bertanya.
Kwan Ban Piu tanpa menghiraukan kata-kata Sun Giok Hong lalu mengejarnya
dengan golok siap sedia untuk membunuh pemuda itu. Terpaksa Giok Hong
mempergunakan toyanya untuk melawan tapi pertempuran itu tidak berlangsung
terlalu lama. Begitu toya itu terbacok kutung sehingga beberapa kali, lagi-lagi si
pemuda mesti kabur karena takut terbacok oleh golok Kwan Ban Piu yang sangat
tajam itu. Akhirnya kereta-kereta pionya dapat dirampas si begal dengan secara
mudah. "Engkau suka menyerah?" kata Kwan Ban piu sambil mengejar terus.
"Tidak!. Kecuali aku sesungguhnya kalah dalam perkelahian dengan tangan kosong
atau dengan senjata yang sama baiknya seperti senjatamu itu!" sahut Sun Giok Hong
dengan hati penasaran.
Kwan Ban Piu tahan tali kekang kudanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sementara engkau belum mau menyerah kalah" katanya pada akhir-akhirnya, "akan
kutahan kereta-kereta piomu hingga sebulan lamanya tanpa diganggu. Tapi jika lewat
sebulan engkau tidak datang mencariku, aku anggap engkau telah menyerah kalah
dan kereta kereta piomu akan menjadi milikku yang sah!".
"Apakah kata-katamu itu dapat dipercaya?" kata Giok Hong dengan perasaan ragu
bercampur dongkol.
"It gan kie chut, su ma lan rui (sepatah kata yang telah diucapkan oleh seorang
laki-laki sejati, empat pasang kuda sukar mengejarnya)" kata Ban Piu dengan lancar.
"Jika engkau mengatakan demikian" kata Sun Giok Hong, "akupun berjanji akan
mencarimu dalam waktu yang telah kau tetapkan itu. Jika aku tidak datang
mencarimu, bolehlah engkau anggap aku kalah tapi jika aku balik
kembali.................".
"Akan kita lanjutkan pertandingan itu" si begal she Kwan memotong pembicaraan
orang sambil ketawa mengakak.
Demikianlah, dengan hati yang sangat penasaran Giok Hong terpaksa menyerahkan
kereta-kereta pionya diangkut oleh si begal ke dalam sarangnya di atas gunung.
Pada petang hari itu si pemuda tidak kembali ke rumah penginapan di Oey-po-tien,
tapi langsung menuju ke kota Po-teng untuk mencari senjata yang baik guna dipakai
menandingi golok Kwan Ban Piu yang luar biasa tajamnya itu. Karena telah
menyaksikan sendiri ketajaman golok tersebut, maka ia merasa pasti senjata itu akan
mampu membacok putus segala macam barang logam dan batu bagaikan orang
menabas tanah liat saja empuknya.
Setelah menginap semalaman, pada esok harinya ia mencari bengkel besi yang
terkenal kerap membuat golok-golok dan alat-alat senjata di kota Po-teng. Ternyata
tidak diperolehnya senjata yang sama tajamnya dengan golok si begal berkuda itu
hingga Giok Hong menjadi pusing kepala dan tak tahu ke mana mesti membeli
senjata yang dibutuhkannya itu.
Berlalunya sang hari yang dirasakan Giok Hong begitu cepat, tidak berbeda dengan
melesatnya anak panah yang ditembakkan dari busurnya. Semenjak kereta-kereta pio
Hin Liong Pio Kiok dikangkangi oleh Kwan Ban Piu, tiga minggu telah lewat tanpa
terasa pula. Begitu cepatnya waktu, tapi si pemuda belum juga dapat mencari senjata
yang tepat untuk dipakai menandingi golok Kwan Ban Piu.
Pada suatu hari ia telah datang ke sebuah bengkel yang membuat tombak, golok
dan pelbagai macam senjata tajam. Tatkala ditanyakan oleh pemilik bengkel itu
senjata macam apa yang dibutuhkannya, Giok Hong lalu mengarang suatu cerita
khayalan sambil berkata bahwa dia sedang bertaruh dengan seorang sahabat untuk
dapat mengalahkan goloknya yang sangat tajam dan dapat membacok barang logam
dan batu gunung bagaikan tanah liat mudahnya.
Ia minta nasihat pemilik bengkel itu, dengan senjata apa dia dapat mengalahkan
atau merampas golok mustika itu sehingga terlepas dari tangan pemiliknya. Si pemilik
bengkel senjata yang hanya dapat membuat pelbagai macam senjata menurut
pesanan orang, tidak mampu memberikan keterangan cara bagaimana untuk
mengalahkan golok yang tajam selain mengalahkannya dengan golok yang lebih
tajam dan keras.
Syukurlah salah seorang tukang dalam bengkel itu mengerti juga ilmu silat dan
paham mempergunakan pelbagai macam senjata. hingga ia lantas memberikan toya
Kong-sun-kun untuk Giok Hong agar dapat mengalahkan golok "kawannya" yang
dikatakannya sangat tajam itu.
"Golok yang tajam harus dilawan dengan toya Kong-sun-kun yang terbagi menjadi
dua bagian serta digabungkan dengan mempergunakan rantai besi di bagian
tengahnya" menerangkan si tulang dari bengkel senjata tersebut. "Jika toya yang
separuhnya terbacok putus, toya yang separuhnya lagi dapat dipergunakan untuk
menghantam belakang golok itu sehingga dapat terpukul jatuh. Selain mudah
dipergunakan, toya Kon-sun-kun biasa dibuat daripada bagian kayu yang liat dan
tidak mudah patah dan membal bagaikan rotan.
Sebilah golok yang tajam mudah membacok putus barang yang keras, tetapi tak
mudah memutuskan barang yang liat dan membal. Maka kalau tuan ingin
mengalahkan golok kawanmu yang tajam itu, aku nasihati supaya tuan melawannya
dengan mempergunakan toya Kong-Sam Kun".
Sun Giok Hong mendengar keterangan demikian, sudah barang tentu jadi sangat
girang dan lalu membeli sepasang toya tersebut.
Sesudah itu ia kembali ke rumah penginapannya untuk bersiap-siap menyusul
Kwan Ban Piu di sarangnya.
Keesokan harinya setelah ia selesai sarapan dan membayar sewa kamar. Sun Giok
Hong segera membedal kudanya untuk kembali ke kaki gunung Ihay-heng-san
dimana ia telah dicegat oleh Hiang-ma dari Shioasai pada tiga minggu yang lampau.
Selanjutnya untuk mempercepat pekerjaannya menyusul Kwan Ban Pu, ia kembali
ke tempat penginapan yang dahulu di kota Oey-po-Ban. Ia menanyakan keterangan
tentang di mana letaknya sarang si begal berkuda kepada seorang pelayan rumah
penginapan yang ia kenal dengan nama Ah Lay.
"Hiang ma she Kwan ini memang sangat ganas" kata pelayan rumah penginapan
itu. "Ia bersarang di puncak Hui-go-hong di pergunungna Thav heng-san. Ia berasal
dari desa Kwan-kee-chung, waktu mudanya belajar ilmu silat kepada Cu In Too-jin di
pegunungan Thing Pek san. Delapan tahun kemudian setelah tamat belajar silat, ia
datang ke Thay-heng-san dan menjadi seorang Hiang-ma atau penyamun tunggal,
begal berkuda yang biasa berjalan seorang diri saja. Dari sini hingga ke kota Thaygoan
yang terletak 300 lie jauhnya, namanya cukup disegani orang serta dikenal
bukan saja oleh orang-orang dewasa tapi juga oleh kaum wanita dan anak-anak. Ia
merampok tanpa memilih bulu, barang-barang milik perorangan atau milik negara,
semua 'dikerjakannya' tanpa segan-segan lagi. Banyak jiwa manusia telah melayang
di dalam tangannya hingga karena itu orang telah memberikannya nama julukan
Seng-giam-ong atau Elmaut Hidup. Karena ia kerap berkeliaran di sini, maka hampir
semua orang mengetahui riwayat hidupnya yang 'hitam'. Para pemilik kantor
angkutan yang lewat di sini dan tidak membayar 'pajak jalan' kepadanya, niscaya
akan diganggu, barang-barangnya dirampok dan para pio-sunya dibunuh. Pada tiga
minggu yang lampau tuan telah menginap di sini dengan membawa kereta-kereta pio,
apakah barangkali barang-barangmu itu telah dirampok olehnya di tengah jalan?".
Sun Giok Hong mengangguk membenarkan. "Enam buah keretaku telah
dirampasnya" sahut si pemuda, "sedangkan 12 orang pengendara kereta-kereta
itupun telah turut lenyap juga berikut kereta-keretanya, hingga tidak diketahui
apakah mereka sekarang masih hidup atau sudah mati ditangan begal jahanam itu!".
"Jika demikian halnya" kata Ah Lay, "ada kemungkinan mereka semua telah
dibunuh oleh si Hiang-ma yang haus darah itu. Rupanya tuan baru pertama kali ini
lewat sambil mengantar kereta-kereta pio di sini, bukan?".
"Benar" sahut Sun Giok Hong. "Inilah untuk pertama kalinya aku mengantar pio ke
daerah ini. Maka kali ini aku mesti bertempur dengan si begal jahanam untuk
mengambil pulang kereta-kereta pio yang dirampasnya serta membasminya untuk
membebaskan rakyat yang selalu ketakutan dan menjadi korban-korban
keganasannya!".
Tatkala itu Ah Lay yang melihat Sun Giok Hong membawa toya Kong-sun-kun lalu
jadi tersenyum dan berkata, "Tuan, senjatamu ini bukanlah menjadi lawan golok Lo
Kwan Si (si tua she Kwan) yang sangat tajam itu. Selain itu, iapun mempunyai
kepandaian silat yang tinggi dan lihay sekali. Goloknya itu bernama Siang-liong-touwcu-
to atau apa yang biasa dikenal orang dengan nama sebutan "Golok Naga
Kembar"'. Mendengar si pelayan menyebut nama golok itu, Giok Hong jadi menduga bahwa
Ah Lay pasti mengetahui juga tentang asal usul golok mustika itu dan bertanya, "Ah
Lay, sudikah kiranya engkau memberitahukan kepadaku tentang asal usul golok itu?".
"Menurut cerita orang, golok Siang-liong-touw-cu-to itu asal mulanya dimiliki oleh
seorang berandal terkenal yang bernama Thio Bun Siang di luar kota San-hay-kwan"
menerangkan pelayan rumah penginapan itu.
"Di atas permukaan golok itu terdapat ukiran sepasang naga yang sedang
memuntahkan mustika. Dengan mengandalkan golok ini, Thio Bun Siang telah
menjagoi kalangan para perampok di luar Tembok besar. Menurut kabar yang pernah
kudengar dari cerita orang lain, golok yang berlumuran dengan noda darah itu dapat
meramalkan keadaan hawa udara!. Jika ia berkilau-kilauan sinarnya di bawah panas
matahari, maka haripun akan cerah, jika noda-noda darah itu tampak memerah
kehitam-hitaman, maka sudah barang tentu udara akan beruhan dan akan ada terbit
angin ribut. Pada suatu hari Kwan Ban Piu lewat di Kim-ciu dan merasa sangat tertarik
untuk dapat memiliki golok tersebut, tapi tak mungkin untuk memperoleh golok
mustika itu dengan jalan kekerasan. Maka ia sengaja mengundang Thio Bun Siang
makan minum dan melolohnya minum arak sehingga mabuk berat, lalu
membunuhnya dan dirampas goloknya yang bernama Golok Naga Kembar itu
kemudian Kwan Ban Piu menjagoi kalangan Kang-ouw hitam di daerah ini. Sekianlah
apa yang telah kuketahui tentang asal-usul golok tersebut".
Oengan begitu, Sun Giok Hong baru mengetahui asal mula Kwan Han Piu
memperoleh Golok Naga Kembar itu. Dengan bersenyum dingin ia berkata,
"Membunuh orang yang sedang mabuk dan merampas miliknya, itu bukanlah
perbuatan seorang Ho-han. Dia bukan seorang gagah yang sejati, tidak bedanya
dengan seorang bajingan rendah yang berkulit muka sangat tebal. Jika aku
tidak memusnahkannya, itu sama saja dengan mengumbar harimau haus darah
diantara rakyat jelata yang lemah dan tidak berdosa!".
Maka pada keesokan harinya sesudah sarapan. Giok Hong dengan berbekal 20
buah hui-piauw dan sepasang toya Kong-sun-kun yang diselipkan di kiri kanan
pelananya, berangkat menuju ke puncak Hui-go-hong.
Sesampainya di tempat dahulu ia bertempur dengan Kwan Ban Piu, dia tak melihat
bayangan kereta-kereta dan para kusirnya itu. Malah ia mengendus bau bangkai yang
sangat memuakkan di antara semak-semak yang lebat di sisi jalan. Tatkala si pemuda
coba menyingkap semak-semak tersebut, di sana ia melihat dua orang laki-laki yang
berpakaian seragam kusir kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok telah menjadi mayat
dan dikerumuni lalat-lalat hijau serta menebarkan bau yang amat tidak sedap.
Giok Hong yang menyaksikan kejadian tersebut, jadi sangat terharu dan
bersumpah takkan mau selesai jika belum membunuh si begal she Kwan yang tidak
mengenal perikemanusiaan itu.
Begitulah sesudah mengubur mayat kedua orang pengendara kereta pionya itu,
Giok Hong lalu menaiki kudanya untuk melanjutkan pengejaran terhadap si Elmaut
Hidup itu ke atas puncak Hui-go-hong.
Perjalanan menuju puncak Hui-go-hong selain berbelit-belit dan sukar sekali dilalui,
keadaannya pun sangat berbahaya. Karena di samping jalanan-jalanan yang sempit
dan buruk, di kiri kanan lereng gunung terdapat jurang-jurang yang amat dalam dan
sukar didaki. Lebih-lebih karena jurang-jurang itu amat licin dan tidak ditumbuhi
rumput-rumput selembarpun.
Beberapa banyak puncak-puncak berdiri berbaris dan tampak dari kejauhan
bagaikan tonggak-tonggak batu yang runcing. Sukar bagi Giok Hong untuk
mengetahui puncak yang mana bernama Hui-go-hong.
Hari telah menjelang senja, dari kejauhan dengan samar-samar terdengar suara
genta diantara kesunyian itu. Setelah Giok Hong mendengar sesaat lamanya, barulah
diketahuinya bahwa di lembah gunung yang sedang dilaluinya itu terdapat sebuah
kelenteng kaum Buddha. Lekas-lekas ia menuju ke sana untuk menumpang menginap
dan berlindung, baru esok harinya melanjutkan perjalanan ke puncak Hui-go-hong.
Tapi sebelum tiba di muka kelenteng, tiba-tiba ia mendengar suara genta
gemerincing yang dibarengi dengan suara kaki kuda. Giok Hong segera mengenali
suara genta itu serta mengetahui juga siapa adanya orang yang sedang mendatangi
ke jurusannya itu.
"Itulah si bangsat she Kwan!" pikirnya gemas.
Sambil berpikir demikian, Giok Hong lalu mencabut toya Kong-sun-kun dari
pelananya. Ia bersiap sedia untuk melakukan serangan terhadap musuhnya di mulut
selat gunung yang semula hendak dilaluinya itu.
Tidak begitu lama, benar saja dari sebelah selat gunung datang seorang laki-laki
yang bertubuh tegap dan menunggang kuda bulu gambir yang gentanya berbunyi
gemerincingan. Dengan hati berdebar-debar si pemuda she Sun menantikan dengan
tidak sabaran. Tapi ketika orang itu telah datang cukup dekat, barulah diketahui bahwa dia itu
bukan Kwan Ban Piu. Wajah orang itu dan segala galanya memang hampir mirip
dengan si begal she Kwan. Barusan karena Giok Hong tak dapat melihat cukup jelas,
berhubung di tempat yang berjarak puluhan tombak jauhnya itu telah diliputi oleh
kabut putih yang mulai turun sebagai pertanda daripada datangannya sang malam
hari, maka Giok Hong sama sekali tak menyangka bakal ada orang kedua yang
berkuda dengan memakai genta yang biasa dipakai oleh Kwan Ban Piu itu.
Sementara orang itu yang seolah-olah telah mengetahui bahwa ia hedak diserang,
dengan mengeluarkan suara bentakan yang nyaring segera maju menerjang dengan
golok terhunus di tangannya, "Engkau Ini bocah liar dari mana, hingga begitu berani
mengusik harimau yang sedang tidur?".
Tapi Giok Hong yang ketahui bahwa orang itu bukanlah Kwan Ban Piu yang menjadi
musuh besarnya, lekas-lekas menarik tali kekang kudanya dan dan mundur ke sisi
jalan sambil berseru, "Ho-han, sabar dulu!, Aku bukan mata-mata pemerintah yang
sengaja datang ke sini untuk menyelidiki keadaan, tapi aku bukan lain daripada pio-su
Hin Liong Pio Kiok di Thian-cin yang bernama Sun Giok Hong. Aku dan engkau tak
pernah mengikat permusuhan apa-apa, maka apakah untungnya kita berkelahi?".
"Jika bukan hendak memata-matai kami di sini, apakah maksud kedatanganmu
yang sebenar-benarnya?" orang itu balik bertanya sambil melintangkan goloknya di
atas kuda. Sun Giok Hong lalu menerangkan maksud kedatangannya ke situ, bahwa dia
hendak menempur Kwan Ban Piu untuk mengambil pulang pionya di puncak Hui-gohong,
namun belum mengetahui di mana letaknya puncak tersebut.
Orang itu jadi tertawa mengakak dan berkata, "Sungguh gegabah sekali engkau ini,
nak. Apakah kau sangka dengan toya Kong-sun-kun itu kau akan dapat mengalahkan
golok Kwan Ban Piu yang begitu tajam". Menurut pendapatku, paling betul engkau
segera pulang saja untuk menyelamatkan dirimu. Hilang barang gampang dicari, tapi
hilang jiwa darimana hendak kau cari penggantinya?".
Tapi dengan hati tak gentar Giok Hong menjawab, "Jika kereta-kereta pioku tak
dapat kuambil pulang, maka namaku pasti akan hancur dan takkan dipercaya orang
pula. Maka aku rela kehilangan nyawa daripada kehilangan barang-barang angkutan
milik orang lain yang dipercayakan kepadaku itu!. Jadi dengan lain perkataan, dalam
pertempuran kali ini aku hanya punya satu keputusan, dia atau aku yang harus
musnah dari muka bumi ini!".
"Aiii, engkau ini sesungguhnya adalah seorang pemuda yangj keras hati dan patut
dipuji keberanianmu itu" kata orang laki-laki itu sambil memasukkan goloknya ke
dalam serangka. "Dengan secara terus terang aku hendak mengatakan kepadamu
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa aku ini bukan lain daripada saudara sepupu Kwan Ban Piu yang bernama Kwan
Liok Ciang, yang oleh orang-orang di kalangan Kang-ouw dikenal dengan nama
poyokan Ko-lo Ciang. Aku dan Kwan Ban Piu memang beroperasi di daerah
pegunungan Thay-heng-san ini sebagai penyamun-penyamun tunggal atau begalbegal
yang berkuda dan masing-masing melakukan pekerjaan sendiri-sendiri"
Sun Giok Hong yang mendengar keterangan bahwa Kwan Liok Ciang inipun saudara
sepupu Kwan Ban Piu, sudah barang tentu hatiya jadi terkejut. Kwan Liok Ciang yang
seolah-olah dapat membaca pikiran orang, sambil tertawa lalu berkata, "Lo Sun, tak
usah engkau khawatir apa-apa. Kwan Ban Piu dan aku meski punya hubungan
saudara sepupu, tapi cara bekerja kita berdua tidak sama. Aku tidak setuju dengan
cara kakak sepupuku yang selalu main bunuh saja biarpun orang-orang yang
dirampok barang-barangnya itu tidak melakukan perlawanan, karena itu sudah jelas
bukanlah perbuatan seorang gagah yang budiman dan aku jadi tak dapat hidup rukun
dengannya. Perihal engkau hendak mencarinya untuk mengadu jiwa, akupun tak
dapat melarangmu, hanya engkau harus berlaku hati-hati dan waspada. Disamping ia
berkepandaian silat tinggi, iapun mempunyai golok mustika yang tentu telah kau
ketahui betapa tajam dan berbahayanya. Amat aku sayangkan apabila jiwamu yang
masih muda belia ini sampai tewas di dalam tangannya".
"Ho-han" kata Sun Giok Hong dengan hati mantap, "bukan sekali kali aku hendak
membual. Jika aku berani keluar melindungi pio ke tempat yang jauh, niscaya tak jeri
juga aku menghadapi musuh sebagai Kwan Ban Piu. Terima kasih untuk perhatianmu
atas keselamatanku".
Kwan Liok Ciang jadi menghela napas dan berkata, "Apa mau dikata. Sekarang
baiknya kita atur begini saja. Kau dan aku boleh bertempur sehingga beberapa jurus
lamanya. Jika engkau dapat mengalahkanku, bolehlah engkau pergi mencari Kwan
Ban Piu. Jika engkau yang kalah, segeralah engkau tinggalkan tanah pegunungan ini.
bagaimanakah pendapatmu tentang saranku ini?".
"Usul yang baik sekali!" Giok Hong menyetujui, "harap Ho-han denga menjadi
gusar dan sudi memaafkan aku sebesar-besarnya jika nanti sampai kejadian aku
salah tangan".
"Akupun sudah terlebih dahulu berpikir sampai ke situ" kata Kwan Liok Ciang.
Begitulah kedua orang itu lalu turun dari kuda masing-masing dan segera
bertempur dengan menggunakan senjata yang dimiliki.
Pertempuran berlangsung dengan sungguh-sungguh, keras lawan keras, tiada
satupun yang ingin mengalah. Sinar golok Kwan Liok Ciang mengurung diri si pemuda
dari segala jurusan, tapi berkelebatnya toya Kong-sun-kun dapat memecahkan
serangan-serangan si orang she Kwan dengan tidak kalah gencar dan hebatnya.
Tatkala pertempuran sudah berlangsung beberapa belas jurus lamanya dalam
keadaan seri, Kwan Liok Ciang segera dapat melihat tegas betapa dahsyatnya
permainan toya Sun Giok Hong yang berusia masih muda itu. Dalam hatinya ia
merasa sangat kagum dan lalu melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil
berseru, "Sun Hian-tit, tahan dulu!".
Giok Hong lekas menarik pulang toyanya dan berdiri tegak untuk mendengarkan
pembicaraan si penyamun tunggal itu selanjutnya.
"Ilmu kepandaian Sun Hian-tit sesungguhnya tak dapalj dikatakan lemah" kata si
orang she Kwan, "dengan begitu, besar kepercayaanku bahwa engkau tak mungkin
terkalahkan oleh Kwan Ban Piu. Hanya ada satu hal yang perlu kuberitahukan
kepadamu, ialah Kwan Ban Piu memiliki Golok Naga Kembar yang luar biasa tajamnya
hingga engkau perlu berlaku sangat hati-hati diwaktu berhadapan dengannya nanti".
Giok Hong mengucapkan banyak terima kasih atas petunjuk si penyamun tunggal
yang berharga dan baik hati itu. Tapi bersamaan dengan itu, ia menyatakan
keheranannya mengapa si orang she Kwan membahasakan dirinya "Hian-tit" atau
kemenakan yang mulia".
Kwan Liok Ciang lalu menerangkan bahwa dahulu ia pernarj ditolong oleh Sun Sin
Bu, paman Giok Hong, selagi ia terlunta-lunta di kota Thian-cin. Karena belum dapat
membalas budi kebaikan orang tua itu, maka ia merasa tidak ada salahnya untuk
membalas budi itu kepada Giok Hong, yakni dengan memberikan si pemuda petunjukpetunjuk
yang berharga untuk menghadapi Kwan Ban Piu dan mengakuinya sebagai
kemenakan. "Kini karena sang haripun sudah menjelang malam demikianlah Kwan Liok
Ciang melanjutkan bicaranya, "maka aiU baiknya juga jika engkau menumpang
menginap di kelenteng yang letaknya tidak berapa jauh itu, agar pada esok harinya
engkau bisa berangkat ke puncak Hui-go-hong dalam keadaan segar dan gagah".
Sesudah berkata demikian, Kwan Liok Ciang segera naik ke atas kudanya, sambil
mengucap selamat tinggal kepada Sun Giok Hong maka iapun terus turun gunung
melalui jalan yang dilewati si pemuda tadi.
Sementara Giok Hong yang memang belum kenal jalanan di situ alau mengetahui
puncak yang mana yang diberi nama puncak Hui-go-hong itu, terpaksa menuruti
petunjuk Kwan Liok Ciang lalu segera menuju ke kelenteng yang ditunjuknya.
Ternyata kelenteng itu diketuai oleh seorang paderi Buddha yang bernama Hoat Beng
Hwee-shio, orang satu satunya yang disegani oleh Kwan Ban Piu. Penyamun tunggal
itu tak berani sembarangan "main kayu" terhadap sang paderi yang paham ilmu silat
itu. Kedatangan si pemuda she Sun disambut dengan manis oleh Hoat Beng Hwee-shio,
yang lalu menyuruh seorang muridnya untuk menuntun kuda tunggangan Giok Hong
ke belakang kelenteng untuk diberi air minum dan rumput. Giok Hong sendiri lalu
diundang masuh keruangan tengah, dimana ia disuguhkan teh wangi yang hangat dan
sedikit buah-buahan kering. Dalam tanya jawab selanjutnya, Sun Giok Hong lelah
menjelaskan kedatangannya ke situ adalah atas petunjuk Liok Ciang, tapi tak pernah
ia nyatakan niatnya membunuh Ban Piu.
Hoat Beng menyatakan tidak berkeberatan untuk mengabulkan permintaan Giok
Hong yang hendak menumpang nginap di situ. Si pemuda dipersilahkan makan
dengan sayur mayur yang khusus dimasak bagi kaum paderi Buddha yang tidak
makan barang berjiwa, kemudian Sun Giok Hong dipersilahkan masuk untuk
beristirahat. Pada kira kira tengah malam, ia terbangun karena dikejutkan oleh suara
genta yang berbunyi gemerincingan dan dibarengi dengan suara kaki sehingga si
pemuda segera menyambar toya Kong-sun-kun dari sisi ranjang, kemudian berniat
untuk membuka pintu dan melihat apakah itu suara genta yang digantungkan pada
kuda Kwan Liok Ciang atau Kwan Ban Piu.
Jika dia itu adalah Kwan Liok Ciang, urusan dapat ia sudahi sampai disitu saja, tapi
jika dia itu adalah Kwan Ban Piu yang sedang dicarinya, maka petang hari itu juga
akan berarti malam penghabisan bagi ia atau Ban Piu. Semenjak ia bertekad
menyatroni sarang penyamun tunggal si Elmaut Hidup itu, Giok Hong telah
mengambil suatu keputusan tak mau hidup bersama-sama dengan penyamun tunggal
yang menjadi musuh besarnya itu.
Tidak disangka, ketika baru saja ia berjalan sampai di ruangan sembahyang Tayhiong-
po-tian, disitu ia telah berpapasan dengan Hoat Beng Hwee-shio yang juga
telah tersadar dari tidurnya dan keluar dengan membawa toya Siang-thauw-kun.
Paderi Buddha itu jadi amat terkejut melihat Giok Hong pun mendadak keluar dengan
membawa toya Kong-sun-kun di tangannya.
"Hendak kemana Sun Sie-cu keluar dengan membawa senjata?" tanya Hoat Beng
Hwee-shio. "Di luar ada penyamun tunggal yang datang menyatroni kelenteng kami.
Apakah barangkali ia menaruh dendam kepadamu sehingga petang hari ini ia datang
kemari untuk mencarimu?".
"Memang dia hendak mencariku" sahut Giok Hong. "Tadi aku tidak
memberitahukan Tay-su bahwa aku ini adalah seorang pio-su dari kantor angkutan
Hin Liong Pio Kiok. Tiga minggu yang lalu, enam buah kereta pioku telah dirampok
oleh bangsat she Kwan ini, sedang dua orang kusirku telah dibunuh dengan cara yang
kejam dan mayat-mayatnya dilemparkan begitu saja ke dalam semak-semak.
Rupanya ia telah mengetahui bahwa aku menumpang menginap di sini, maka ia
sengaja menyatroniku untuk mengadu jiwa".
Setelah berkata begitu, Giok Hong segera hendak keluar, yangi lantas dicegah oleh
Hoat Beng Hwee-shio seraya berkata, "Malam ini Sun Sie-cu boleh tidur dengan
tenang, dia pasti tak berani mendobrak pintu atau membikin ribut di sini. Pin-ceng
tahu bahwa dia menyegani diriku dan para muridku yang berjumlah banyak. Besok
pagi masih ada waktu untuk Sie-cu meladeninya bertempur".
Sun Giok Hong menganggap bahwa omongan si Hwee-shio it J memang ada
benarnya juga. Sambil mengucap terima kasih atas nasihat Hoat Beng Hwee-shio, ia
lalu masuk dan tidur lagi tanpa menukar pakaian.
Pada esok harinya, Giok Hong baru tersadar tatkala matahari telah naik tinggi.
Lekas-lekas ia pergi mandi dan berpakaian dengan seringkas-ringkasnya, kemudian
bersiap sedia untuk keluar menempur Kwan Ban Piu. Di tengah ruangan Tay-hiongpo-
tian ia bertemu dengan IHoat Beng Hwee-shio yang telah memberitahukan
kepadanya, bahwa waktu ia membuka pintu pada pagi hari itu, di muka pintu
kelenteng sudah tampak menunggu Kwan Ban Piu dengan menghunus Golok Naga
Kembar di tangannya. "Rupanya ia telah menunggu di situ sedari tengah malam" si
Hwee-shio menambahkan.
"Pada beberapa waktu yang lampau" kata Giok Hong, "aku pernah bertempur
dengannya. Aku kewalahan karena dia mempunyai golok yang sangat tajam, tapi kali
ini aku yakin sanggup menandingi goloknya yang sangat tajam itu".
Hoat Beng Hwee-shio masih agak ragu akan keterangan si pemuda, tapi ia merasa
tidak enak untuk mencegah Giok Hong keluar melawan si penyamun tunggal yang
telah merampok kereta-kereta pionya itu.
Begitulah, dengan langkah yang lebar Sun Giok Hong keluar dari dalam kelenteng
dan langsung menghampiri Kwan Ban Piu yang sedang duduk menantikan di bawah
sebuah pohon cemara yang hijau dan rindang, sambil meletakkan Golok Naga Kembar
di atas lututnya, Segera Ban Piu melompat bangun begitu melihat si pemuda datang
menghampiri dengan menjinjing toya Kong-sun-kun di tangannya.
"Ah-ha!" katanya sambil tertawa. "Engkau dengan cara diam-diam telah datang ke
daerah operasiku ini, apakah sangkamu aku tidak mengetahui". Nyatalah bahwa
nyalimu besar sekali, hingga berani datang menyatroni sarangku. Sekarang marilah
kita lanjutkan pertempuran yang sudah tertunda tiga minggu itu!".
Sun Giok Hong gusar bukan buatan, lalu menuding si penyamun tunggal sambil
membentak, "Seng Giam Ong!. Hari ini ajalmu telah tiba. Lihat toyaku!".
Sambil berkata begitu, ia segera mengayunkan toya Kong-sun-kun sedemikian
hebatnya sehingga angin yang keluar dari senjata itu menderu-deru menyamber ke
arah Ban Piu. "Bagus sekali!" seru Kwan Ban Piu yang juga segera menggerakkan Golok Naga
Kembarnya untuk menabas toya si pemuda.
Suatu pertempuran yang hebat sekali telah terjadi di muka kelenteng dengan
disaksikan oleh Hoat Beng Hwee-shio serta para muridnya.
Sun Giok Hong yang telah mengetahui betapa tajamnya golok si orang she Kwan,
maka selalu berlaku hati-hati sekali untuk tidak membikin toyanya sampai beradu
dengan golok itu. Ia kelihatan lebih banyak mengelak daripada maju menyerang,
sedangkan Kwan Ban Piu sangat bernapsu untuk lekas dapat mengakhiri pertempuran
tersebut. Walaupun sebagai seorang muda Giok Hong sudah punya banyak
pengalaman dalam pertempuran dengan lawan-lawan yang tangguh, tapi ia selalu
berlaku cerdik dan tak mau mengobral tenaganya secara sia-sia.
Pada suatu waktu, ketika Kwan Ban Piu mendesak sambil menghujani bacokanbacokan
yang tak mengenal kasihan, si pemuda she Sun segera berlompatan mundur
untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut itu. Celakanya, Giok Hong
berlaku terlampau tergesa-gesa sehingga kakinya membentur akar pohon cemara
yang menonjol keluar dari dalam tanah dan dengan mengeluarkan suara jeritan ngeri,
ia jatuh terguling.
Kwan Ban Piu yang melihat ada kesempatan terbaik untuk menamatkan jiwa
lawannya, menjadi sangat girang. Dengan sorot mata beringas, ia lompat maju sambil
mengayunkan goloknya ke arah batok kepala Giok Hong. Syukur juga pikiran Giok
Hong tidak lekas menjadi gugup dan begitu melihat golok Ban Piu berkelebat ke arah
kepalanya, lekas-lekas ia bergulingan di tanah beberapa belas kaki jauhnya.
Berbareng dengan itu, dahsyat sekali golok si orang she Kwan telah membacok putus
akar pohon yang sebesar mangkok seperti juga ia membacok lilin empuknya. "Ah!"
seru si penyamun tunggal dengan perasaan kecewa.
Giok Hong telah berhasil bangun berdiri dan dengan cepat sekali ia hantamkan
toyanya ke arah tangan kanan lawan yang menyekal golok mustika. Ban Piu ternyata
dapat bergerak bukan main sehatnya, begitu melihat bayangan toya Kong-sun-kun
menghantam ke jurusannya, lekas-lekas ia tarik pulang goloknya sambil berlompat
mundur. Sembari memasang kuda-kuda separuh jongkok, ia sabetkan Golok Naga
Kembar ke arah kaki si orang she Sun. Seketika itu Giok Hong yang telah mencoba
menancing sang lawan dengan berlaku agak kendur dalam gerak-gerakannya dan
tatkala melihat golok Kwan Ban Piu menyamber kakinya, lekas-lekas ia geser kakinya
sambil menghantamkan toyanya ke bagian atas golok lawan dengan sekuat-kuatnya.
Tak........!!. "Ah.........!!" Ban Piu berseru keras karena kaget dan merasa
cekalannya tergetar oleh hantaman toya Giok Hong, tapi goloknya tetap tidak
terlepas!. "Sungguh kuat sekali tenaga bangsat ini!" Giok Hong diam-diam memuji sambil
terus mengelak dari tusukan-tusukan ujung golok yang menerjang dadanya dengan
cepat dan ganas.
Hoat Beng Hwee-shio dan para muridnya menonton dari samping dengan perasaan
kagum akan kepandaian kedua orang itu. Lebih lebih terhadap Giok Hong yang masih
muda, tapi toh dapat dengan baik sekali meladeni Ban Piu yang sudah banyak
pengalaman di kalangan Kang-ouw.
Ban Piu bertubi-tubi melancarkan serangan-serangan yang mematikan. Giok Hong
berlaku agak pasif dan membiarkan musuh besarnya mengobral serangan-serangan
dengan bebas. Ia hanya mengegos, berkelit, menyampok belakang golok lawan atau
mundur untuk mengelakkan bacokan-bacokan yang agak sukar atau tak mungkin
dilawan dengan kecepatan. Baru pada waktu menyaksikan napas Ban Piu terengahengah,
ia mendesak, menyabet, menyodok atau menumbuk batok kepala lawan
dengan toyanya. Sedang kakinyapun dengan gerakan bagaikan angin puyuh melibat
pohon, sekali-kali disapukannya atau ditendangkan untuk membuat kalut pikiran
lawannya. Sekujur badan kedua orang itu tampak basah mandi keringat dan belum
tampak pihak mana yang lebih unggul ilmu kepandaiannya.
Demikianlah, ketika pertempuran menjelang pada jurus yang kelimapuluh. Giok
Hong merasa bahwa dia takkan berhasil merobohkan lawan itu jika tidak
mempergunakan kecerdikan. Ban Piu yang merasa bahwa dia mempunyai tenaga
yang sangat kuat, selalu hendak menerjang si pemuda dengan ganas dan sepenuhpenuh
tenaganya. Si penyamun tunggal tampaknya sangat penasaran, dengan Golok Naga Kembar
yang begitu diandalkan ia belum memperoleh mangsa atau membuat senjata Giok
Hong putus sehingga terpotong-potong seperti halnya dalam pertempuran yang
pertama kali dilakukannya dulu.
"Jika engkau dapat mengalahkanku kali ini" ejek si pemuda, "barulah kau dapat
miliki semua kereta pioku berikut para pengendaranya sekalian. Tapi kalau kau tidak
mampu, lebih baik engkau potong saja kepalamu, agar jangan sampai mendengar
dirimu diejek yang bukan-bukan oleh para jagoan di kalangan Kang-ouw. Ayoh,
pertunjukkanlah kepandaian serta tenagamu yang disohorkan lihay dan kuat itu!".
Kata-kata yang telah diperhitungkan dengan cerdik ini, diucapkan Giok Hong
sedemikian rupa, seakan-akan dia bicara dengan adiknya saja. Mendengar demikian,
Kwan Ban Piu menjadi demikian murka bukan kepalang dan masih penasaran karena
serangan-serangannya yang tak kunjung membawa hasil.
"Hai, orang she Sun, akan kuminum darahmu hingga tetes terakhir untuk
menghilangkan rasa dendamku!" seru Kwan Ban Piu menggeledek sambil putar
goloknya dan menerjang musuhnya dari empat penjuru dengan nekad.
Sun Giok Hong menjadi sangat girang mengetahui musuh besarnya telah dapat ia
pancing kemurkaannya, berlaku lebih hati-hati lagi menghadapi serangan-serangan si
penyamun tunggal yang mematikan itu. Ia putar toyanya sedemikian cepat sehingga
angin yang menderu-deru membuat Hoat Beng Hwee-shio dan para muridnya jadi
bergidik saking tegangnya menyaksikan pertempuran hidup mati itu.
Dalam detik-detik yang gawat itu, Kwan Ban Piu telah berhasil juga menabas
separuh dari toya Sun Giok Hong hingga dua kali. Yang pertama, sebagian dari toya
itu telah putus dan ini sukar terjadi jika Ban Piu menggunakan golok biasa. Tapi
tabasan yang kedua tidak berhasil memutuskan, hanya nancap di toya yang liat dan
tidak mudah patah itu.
Giok Hong tidak menyia-nyiakan saat yang baik itu, segera ia tarik pulang toyanya
dengan keras. Ban Piu yang tidak menyangka goloknya bisa nancap di toya, menjadi
terhuyung-huyung dan meski cekalannya tergetar, ia berusaha sekuat mungkin
mempertahankan genggamannya pada golok mustika itu.
Maka dengan mengambil kesempatan selagi Ban Piu terhuyung-huyung, Giok Hong
segera menyerang dengan tendangan kilatnya, yang lak dapat dielakkan lagi oleh si
penyamun. Ban Piu menjerit kesakitan dan mundur ke belakang beberapa tindak.
Sebelum Ban Piu dapat memperbaiki kuda-kudanya, tendangan kaki kiri Giok Hong
telah menerjang tepat pada perutnya hingga dengan satu teriakan keras, tubuhnya
mencelat dan jatuh terlentang ke suatu tempat yang terpisah beberapa belas kaki
jauhnya. Tapi anehnya. Golok Naga Kembar tetap tak terlepas dari genggaman
tangannya!. "Lekas hantam terus!" Hoat Beng Hwee-shio menganjurkan si pemuda.
Giok Hong menjadi ragu-ragu mendengar anjuran itu karena dalam saat itu hati
nuratinya seolah-olah berbisik, "Barang siapa membunuh lawan yang tak berdaya, dia
bukanlah seorang laki-laki sejati!".
Giok Hong telah mengambil keputusan dengan cepat. Ia berdiri tegak di tengah
kalangan sambil mengawasi si penyamun tunggal yang menggeletak disana tanpa
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diganggu. "Sie-cu, engkau mau tunggu sampai kapan lagi untuk turun tangan?" Hoat Beng
memperingatkan Sun Giok Hong dengan suara keras.
Tapi si pemuda she Sun lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku bukan
Tay-tiang-hu (laki-laki sejati), jika mencelakai musuh yang sudah tak berdaya!. Akan
kutunggu sampai ia bangun berdiri dan melanjutkan pertempuran ini!".
Dengan langkah yang agak terhuyung, Kwan Ban Piu bangun berdiri dan menatap
wajah Sun Giok Hong dengan sorot mata yang menyala-nyala.
"Apakah sekarang engkau suka menyerah kepadaku?" tanya si pemuda she Sun
sambil tertawa mengejek.
Tapi Kwan Ban Piu tidak menjawab barang sepatah katapun, hanya bagaikan
seekor harimau terluka, ia mengayunkan goloknya dan menerjang si pemuda dengan
membabi buta karena gusarnya.
"Jika tidak aku, tentulah engkau!" teriaknya dengan tiba-tiba. Dengan
diucapkannya kata-kata yang nekad dan berapi-api itu, ia melancarkan seranganserangannya
yang terakhir dengan tidak memperhitungkan pula akan segala akibatakibatnya
nanti. Giok Hong maju dengan sikap yang lebih hati-hati dan cerdik. Untuk meladeni
seorang musuh yang sudah benar-benar kalap, orang harus berlaku waspada dan
jangan tergesa-gesa. Nasihat ini ia dapat dari kedua gurunya. It Kak Siansu dan Thio
Ciam Kui, yang selalu diingatnya baik-baik di dalam hatinya.
Kwan Ban Piu yang baru pertama kali ini kena ditendang musuh sehingga mencium
tanah, jadi marah bukan kepalang. Pada waktu-waktu yang lampau, dia belum pernah
bertemu dengan lawan yang setimpal. Berbarengan dengan itu, iapun merasa sangat
malu ditonton oleh Hoat Beng dan para muridnya, maka dengan tidak banyak pikir
lagi ia telah mengobral tenaganya habis-habisan untuk dapat secepatnya merobohkan
si pemuda gagah itu.
Perlawanan Giok Hong kali ini telah dipecah menjadi dua bagian, yakni yang
pertama-tama ditujukan untuk menjatuhkan dahulu golok yang amat disegani itu,
baru kemudian membunuh Kwan Ban Piu.
Selanjutnya, karena rasa sakit bekas tendangan Giok Hong di perutnya belum
lenyap sama sekali, tidaklah heran jika gerakan Kwan Ban Piu tampak lebih kendur
daripada biasanya. Walaupun sebagai harimau yang tidak bergigi, kukunya masih
tetap ditakuti jika ia masih hidup. Demikianlah juga pandangan Sun Giok Hong
terhadap si penyamun tunggal ini.
Maka dengan mencurahkan seluruh perhatiannya pada Golok Naga Kembar, Giok
Hong terus memutar toyanya dengan amat gencar sekali. Sasarannya yang utama
ialah tangan si penyamun yang memegang golok mustika itu. Sementara Kwan Ban
Piu sendiri yang bukan seorang bodoh, telah mengetahui siasat lawannya, sedapat
mungkin berusaha untuk menggagalkan serangan-serangan itu.
Apa mau dikata, bagian dalam perutnya telah terluka hingga semakin cepat ia
bergerak, semakin sakit saja dirasakannya luka itu. Maka disuatu waktu ketika ia
menabas dengan sekuat tenaganya, Giok Hong sengaja berpura-pura hendak
menyodok dada si penyamun dengan ujung toyanya. Dan tatkala Ban Piu memutar
haluan untuk menangkisnya, ujung lain dari toya Kong-sun-kun si pemuda telah
menyamber pada lengannya dengan gerakan secepat kilat, hingga Ban Piu yang tak
keburu menarik pulang lengan itu dengan menjerit keras sekali lengannya tampak
terkulai. Golok Siang-liong-touw-cu-tonya terlempar sehingga beberapa belas kaki
jauhnya dari kalangan pertempuran dan menancap sehingga beberapa dim dalamnya
pada pangkal pohon cemara yang tumbuh di muka kelenteng itu.
Kwan Ban Piu dengan terhuyung memburu untuk mengambil pulang goloknya
dengan wajah yang menunjukkan rasa was-was dan menahan sakit yang hebat. Tapi
sebelum dia mencapai maksudnya, terdengar bentakan Giok Hong yang keras, "Inilah
hadiahmu yang terakhir!", sambil menghantamkan toyanya kearah batok kepala
musuh besarnya. Ban Piu yang berusaha untuk berkelit, tiba-tiba kepalanya jadi
terkulai, tubuhnya mencelat ke muka dan akhirnya dengan jeritan yang menyayat
hati, kepalanya menabrak pohon cemara tanpa dapat dicegah lagi. Disana ia roboh
terlentang dan dengan perlahan-lahan dari mulut, hidung dan telinganya menetes
keluar darah hidup!.
Pada saat-saat terakhir itu, Ban Piu masih berusaha untuk memperpanjang
hidupnya dan dengan tenaganya yang penghabisan ia merayap-rayap dan mencakarcakar
tanah. Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan dirinya akan binasa di dalam
tangan Sun Giok Hong, karena kejahatannya yang telah melampaui balas dan akan
semakin merusak jika dia dibiarkan hidup lebih lama lagi. Maka meski diluar
keinginannya, Ban Piu akhirnya jatuh untuk tidak bangun lagi.
Hoat Beng dan para muridnya jadi sangat kagum melrhat kelihayan Sun Giok Hong
dan memuji, "Lu Sun, ternyata engkau tidak percuma menjadi keturunan keluarga
Sun yang ilmu silatnya begitu tersohor di tanah utara. Pin-ceng semula hanya
mendengar dari cerita orang. Sebenarnya Pin-ceng masih belum mau percaya bahwa
ilmu silat keluarga Sun sampai sebegitu lihaynya, tapi hari ini setelah
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, ternyata kabar itu bukan isapan jempol
belaka. Maka dengan ini Pin-ceng memberi selamat atas kemenanganmu ini!".
Sun Giok Hong lekas membungkukkan badannya membalas hormat sambil
merendah atas pujian Hoat Beng yang muluk itu. "Semua ini hanya merupakan
kejadian yang kebetulan saja" katanya, "atau Thian memang telah melindungiku
dalam melaksanakan maksudku membasmi si penyamun ganas itu".
Setelah berkata demikian, si pemuda perlahan-lahan menghampiri Golok Naga
Kembar yang nancap di pohon cemara, lalu dengan rasa hormat dan kagum dicabut
dan diperiksanya dengan teliti sesaat lamanya. "Ini sesungguhnya sebilah golok
mustika yang baik sekali dan tidak boleh disia-siakan" pikirnya. Kemudian ia
membuka tali serangkan golok yang masih terlibat di pinggang Kwan Ban Piu,
memasukkan golok itu dan menyoren di pinggangnya sendiri sebagai hadiah
kemenangan dari pertandingan itu.
Dengan bantuan Hoat Beng dan para muridnya, Giok Hong telah mengubur mayat
penyamun tunggal itu dan di muka kuburan ia telah menyampaikan hormatnya yang
penghabisan sambil berkata, "Kawan, kini engkau telah meninggalkan dunia yang
fana ini, dengan demikian habislah perhitungan-perhitungan kita dahulu. Semasa
hidupmu, engkau telah melakukan banyak sekali pembunuhan terhadap orang-orang
yang bukan tandinganmu, maka aku sangat mengharap engkau tidak jadi kecewa dan
penasaran di alam baka, karena aku membunuhmu dengan maksud mengakhiri
penderitaan rakyat yang pernah kau aniaya dan perlakukan sewenang-wenang. Aku
juga mewakili Thio Bun Siong menuntut balas atas perbuatanmu yang keji terhadap
berandal itu, yang kau rampas goloknya sewaktu dia mabok diloloh arak olehmu.
Disamping itu semua, akupun telah menunaikan tugasku sebagai seorang pio-su,
maka ucapanku yang terakhir adalah selamat tinggal dan sekali lagi aku mengharap
agar kau bersemayam dengan tenang di alam baka". Sambil menjura tiga kali, Giok
Hong mengakhiri kata-katanya itu.
Sementara Hoat Beng Hwee-shio yang mendengar begitu dengan tersenyum lalu
berkata, "Lo Sun, Kwan Ban Piu yang telah menemui ajalnya pasti takkan merasa
kecewa di alam baka, berhubung dia telah dikalahkan dan terbunuh oleh seseorang
yang justru mempunyai kepandaian tinggi dan tepat menjadi lawannya yang setimpal.
Kini satu bahaya besar telah kau singkirkan dari muka bumi maka dengan ini
ijinkanlah Pin-ceng menjamu dengan ala kadarnya atas kemenanganmu ini".
Demikianlah dengan menuntun kuda Kwan Ban Pui, Giok Hong mengikuti Hoat
Beng dan para muridnya pulang ke dalam kelenteng dimana ia dijamu oleh paderi
Buddha itu beserta sekalian keluarga kelenteng itu tua dan muda. Hingga larut
malam, barulah perjamuan ditutup.
Pada kesokan harinya dengan menunggang kuda, menyoren golok Siang-liongtouw-
cu-to dan membawa toya Kong-sun-kun, Giok Hong menuju ke puncak Hui-gohong
dengan diantar oleh dua orang murid Hoat Beng yang berlaku sebagai penunjuk
jalan. Begitulah, sesudah melalui jalanan-jalanan gunung yang berliku-liku dan licin di
waktu turun hujan, akhirnya Giok Hong telah sampai di muka sebuah pintu gerbang
yang agak tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang dan semak-semak lebat yang
tumbuh di kiri kanannya.
"Inilah pintu masuk desa Kwan-kee-chung" salah seorang murid Hoat Beng itu
memberitahukan kepada Sun Giok Hong.
Dan selagi ia hendak melanjutkan bicaranya, tiba-tiba terdengar suara gembreng
yang dipalu dengan riuh. Bersamaan dengan itu, pintu gerbang tadi tampak terbuka
dan berlompatan keluar dari dalamnya antara 30 atau 40 orang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar, dengan masing-masing membawa golok, tombak atau
pentungan. Salah seorang yang menjadi pemimpinnya segera tampil ke muka sambil
membentak, "Jika engkau mengerti selatan, lekaslah turun dari kudamu dan
menyerah untuk diringkus!".
Mendengar bentakan yang garang itu, kedua murid Hoat Beng menjadi ketakutan
sehingga wajah mereka jadi pucat pasi dan lekas berlindung di belakang Sun Giok
Hong sambil berkata, "Sie-cu, engkau harus berhati-hati dengan mereka ini!".
Tapi Giok Hong lekas menenangkan mereka sambil berkata, "Jangan khawatir, aku
ada di sini untuk melindungimu". Setelah itu, ia menoleh pada kawanan berandal
sambil menambahkan, "Apakah kalian ini anak buah Kwan Ban Piu?".
"Benar!" sahut mereka sekalian.
"Pada kalian perlu juga kiranya kuberitahukan" kata Sun Giok Hong, "beberapa
waktu yang lalu Kwan Ban Piu telah merampas kereta-kereta pioku. Dia berjanji untuk
mengembalikan itu semua jika aku dapat mengalahkan dia. Kemarin petang, dalam
satu pertempuran yang jujur, aku telah berhasil membunuh pemimpinmu itu dan kini
aku datang untuk mengambil pulang semua barang-barangku itu".
"Tidak perlu engkau banyak bacot!" seru pemimpin berandal itu. "Kini yang
berkuasa disini adalah aku sendiri!. Maka kalau engkau dapat mengalahkan kami
sekalian, barulah engkau boleh mengambil pulang kereta-kereta piomu itu. Kalau
tidak, engkau boleh pergi tanpa banyak bicara pula!".
Sesudah berkata demikian, ia segera memberi isyarat kepada anak buahnya sambil
memberi komando, "Serang!".
Dengan tidak banyak bicara pula, kawanan berandal itu segerai maju mengepung
Sun Giok Hong dari segala jurusan. Si pemuda she Sun yang tidak berniat untuk
melukai orang dengan secara membabi buta, lekas-lekas memutar toya Kong-sun-kun
di tangannya sambil berteriak, "Aku dengan kalian tidak mempunyai permusuhan,
sedang orang yang menjadi musuh besarku, yaitu Seng-giam-ong Kwan Ban Piu yang
menjadi pemimpinmu, telah binasa di dalam tanganku. Jika engkau tak percaya,
cobalah kenali ini golok siapa?".
Sambil berkata begitu, lalu ia menghunus Golok Naga Kembar yang lalu
diacungkannya ke arah mereka sekali sambil berkata, "Lihatlah ini!".
Pemimpin berandal dan para anak buahnya jadi sangat terkejut ketika dapat
mengenalinya, bahwa golok itu bukan lain daripada milik Kwan Ban Piu yang bernama
Siang-liong-touw-cu-to atau Golok Naga Kembar. Si kepala berandal dan anak
buahnya jadi terbengong memandang pada golok mustika itu dengan mata yang
hampir tak berkesip.
"Aku hanya bermusuhan dengan Seng-giam-ong Kwan Ban Piu yang telah
mengakui dirinya sebagai thian-hee-bu-tek (tiada tanding di kolong langit), tapi
sekarang dia sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Mengingat aku tidak mempunyai
permusuhan dengan kalian, maka apakah perlunya kalian mencari masalah tanpa
alasan". Selanjutnya, jika kalian bisa melihat gelagat, segeralah hantarkan aku ke
atas gunung untuk mengambil pulang kereta-kereta pioku dan membebaskan juga
kusir-kusirnya. Kalau tidak, ingatlah baik-baik bahwa Golok Naga Kembar ini tidak
bermata atau mengenal apa artinya kasihan!. Apa yang telah terjadi dengan
pimpinanmu, kini akan terulang terhadapmu!".
Selanjutnya, kepala berandal itu beserta seluruh anak buahnya terpaksa menyerah
lalu mengantarkan Sun Giok Hong dan kedua orang murid Hoat Beng Hwee-shio naik
ke atas gunung untuk menolong kesepuluh kusir dan enam buah kereta pio yang
dirampok oleh Seng-giam-ong Kwan Ban Piu itu, yang ternyata semuanya masih utuh
dan tidak kurang suatu apapun.
Petang hari itu, si pemuda she Sun menumpang bermalam di kelenteng tempat
kediaman Hoat Beng Hwee-shio. Beberapa hari kemudian, setelah merasa cukup
beristirahat dan merawat kusir-kusir yang sakit. Giok Hong berjanji akan mampir ke
situ sekembalinya dari mengantarkan pio ke Thay-goan. Setelah berpamitan maka
Giok Hong kembali melanjutkan perjalanannya ke barat dan sampai dengan selamat
ketempat yang dituju. Diwaktu ia kembali dari sana dan mampir ke kelenteng tempat
kediaman Hoat Beng, tidak lupa ia membawa oleh-oleh berupa makanan dan uang
untuk membantu ongkos perawatan serta pembetulan kelenteng yang sudah agak tua
itu. Semenjak waktu itu dan selanjurnya, antara Giok Hong dan Hoat Beng Hwee-shio
telah terikat persahabatan yang sangat akrab, yang baru berakhir setelah masingmasing
pulang ke alam baka.
Sekarang kita lanjutkan perjalanan si pemuda she Sun yang kembali ke kota Thiancin.
Setibanya di sana, ia mendapatkan pamannya In Hu tengah dihinggapi penyakit
berat dan telah beberapa waktu lamanya tidak masuk kantor atau keluar dari kamar
tidurnya. Tatkala Giok Hong datang menyambangi, orang tua itu lalu berkata, "Giok Hong
Hian-tit, usiaku sekarang telah lanjut dan sering sakit-sakitan, aku mempunyai firasat
bahwa aku takkan dapat hidup lebih lama lagi dalam dunia ini. Oleh sebab itu, baikbaiklah
engkau mengurus pekerjaan dalam kantor angkutan kita, berhubung Giok
Tien usianya masih terlampau muda dan masih sangat membutuhkan bimbingan dari
orang-orang yang sudah berpengalaman sepertimu. Maka jika nanti aku menutup
mata, engkau boleh pegang pimpinan sebagai kepala dari Hin Liong Pio Kiok, karena
selain engkau sudah berpengalaman dan mempunyai banyak relasi, engkau juga
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi serta mempunyai nama yang baik di
kalangan Kang-ouw. Aku sudah tidak khawatir lagi untuk menyerahkan seluruh
pekerjaan Hin Liong Pio Kiok ke dalam tanganmu. Bersamaan dengan itu, rajinrajinlah
engkau bekerja agar nama baik Hin Liong Pio Kiok yang telah terkenal sedari
lama, akan bertambah harum kemashurannya ke propinsi-propinsi lain yang terletak
di Tiongkok Barat dan Utara".
Giok Hong mendengarkan omongan pamannya dengan airmata berlinang-linang.
"Hian-tit tak usah bersedih hati" kata orang tua itu pula, "karena segala sesuatu
yang ada di dunia ini tiada suatupun yang dapat hidup kekal. Sudah selayaknya jika
ada waktu kita berkumpul, ada waktu juga kita saling berpisah. Dunia ini bagi kita tak
lebih dan tak kurang daripada panggung sandiwara belaka, dimana kita semua
manusia menjadi pemain-pemainnya, sedangkan Thian Yang Maha Esa menjadi
dalang agung bagi semua makhluk yang hidup di alam dunia ini. Oleh karena itu,
sekali lagi aku nasihatkan kepadamu, agar engkau tak bersedih atas kepergianku
ini.................".
Giok Hong berjanji akan mentaati segala pesan pamannya dengan sebaik-baiknya,
sambil tidak lupa menuturkan juga tentang pertempurannya dengan Seng-giam-ong
Kwan Ban Piu sehingga ia memperoleh golok bersejarah yang bernama Siang-liongtouw-
cu-to atau Golok Naga Kembar yang tersohor itu. Hal mana jelas sekali telah
membuat orang tua itu jadi sangat gembira.
Demikianlah, pada suatu hari baik. Sun In Hu telah menutup mata untuk selamalamanya.
Maka Sun Giok Hong menggantikan kedudukannya sebagai Kiok-cu atau
kepala dalam kantor angkutan itu, sedang Sun Giok Tien bertugas sebagai wakilnya.
0oo0 V DENGAN terbunuhnya Seng-giam-ong di tangan Sun Giok Hong, maka di kalangan
Kang-ouw telah terbit kegemparan besar diantara cabang-cabang atas yang namanya
sudah tidak asing lagi. Cabang-cabang atas ini telah berdaya upaya keras untuk
merobohkan Ban Piu dengan maksud memiliki Golok Naga Kembar, tapi tidak
beruntung, malahan mereka telah menjadi pecundang-pecundang penyamun tunggal
she Kwan itu. Selain mempunyai golok yang sangat disegani, diapun berkepandaian
tinggi. Disamping orang-orang yang memuji kegagahan dan kelihayan Sun Giok Hong,
juga tidak sedikit orang yang merasa iri hati dan mencari-cari alasan untuk
mengurangi kebesaran nama si pemuda yang merupakan tokoh muda yang baru
muncul dalam kalangan Kang-ouw dengan nama julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli
golok dari lima propinsi.
Pada suatu hari Sun Giok Hong telah menerima suatu titipan besar yang terdiri dari
barang-barang buatan luar negeri yang berharga mahal dan harus diangkut dari kota
Thian-cin ke kota Cee-lam di dalam propinsi Shoatang. Barang-barang ini telah
diangkut dalam dua buah kereta dengan mengirim pio-su Wan Teng Kok sebagai
pelindungnya. Pio-su she Wan ini adalah seorang Ho-han yang bertubuh tinggi besar, berusia 32
tahun dan mahir mempergunakan pelbagai macam senjata, antara lain golok Toa-mato,
yang mana terhitung sebagai sebilah senjata yang paling ia mahir
mempergunakannya. Ia adalah orang kelahiran propinsi Tit-lee dan telah banyak
pengalamannya dalam hal pengangkutan barang-barang dari satu ke lain propinsi.
Giok Hong sangat menghormati dan mempercayai kejujurannya serta merasa
terjamin keselamatan suatu barang angkutan yang dilindungi olehnya.
Dengan menyusuri sepanjang tepi sungai Un-ho, Wan Teng Kok memberangkatkan
kedua kereta pio itu dari Thian-cin menuju ke selatan dengan menunggang seekor
kuda yang dapat berlari cepat dan punya daya tahan untuk melakukan perjalanan
yang jauh. Pada hari yang kedua, rombongannya telah tiba di daerah pegunungan
Ngo-liong-san yang terletak dalam propinsi Shoatang. Haripun telah menjelang senja
oleh karena itu lekas-lekas ia menuju kesebuah kota kecil yang bernama Hoay-jintien,
yang terletak 6 atau 7 lie pula jauhnya untuk bermalam dan melepaskan letih
dari perjalanan sehari penuh tanpa mengaso itu.
Apa mau dikata, selagi baru saja Wan Teng Kok membelok ke arah kanan jalan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunung, tiba-tiba dihadapannya nampak serombongan berandal yang berjumlah 20
sampai 30 orang dengan seorang muda yang berusia lebih kurang 26 atau 27 tahun
sebagai pemimpinnya, bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio serta
menyoren sebilah badik di pinggangnya. Dia tampil ke muka sambil berseru, "Hai, pio
su dari Hin Liong Pio Kiok, lekas-lekaslah serahkan kereta-kereta piomu kepada kami.
Kalau tidak, engkau harus mengerti sendiri segala akibatnya nanti!".
Tapi Wan Teng Kok bukanlah seorang yang mudah digertak atau tinggal diam saja
diperlakukan orang dengan seenaknya. Maka sambil melintangi goloknya, ia majukan
kudanya ke muka kcreta kereta pio untuk menyambut kedatangan kepala berandal
itu. begitu berhadapan dengan si berandal, Wan Teng Kok segera mendului membuka
serangan tanpa banyak bicara lagi.
Demikianlah, kedua orang itu telah saling menguji tenaga di tepi jalan gunung yang
sunyi itu. Segera juga tampak dengan jelas, bahwa kepala berandal itu bukan
tandingan Teng Kok yang sepadan. Ketika pertempuran baru saja berlangsung
beberapa jurus, si kepala berandal sudah tampak kewalahan dan lekas-lekas
melarikan diri sambil memerintahkan anak buahnya melakukan pengepungan dari
segala jurusan. Tatkala Teng Kok tengah sibuk melawan para liauw lo,tiba-tiba ia
melihat si kepala berandal telah balik kembali dan sambil lari dia lalu menyambitkan
sebuah benda yang berkilauan yang menyamber kearah Teng Kok bagaikan kilat
cepatnya. Dengan sebat ia menyampok benda yang menyambar kearah ulu hatinya, tapi tak
urung benda itu menggores juga bahunya Teng Kok menjadi tambah gusar, dia
menyerang dengan ganas sekali hingga tidak kurang dari lima atau enam orang
liauw-lo telah ia lukai. Ia berniat membasmi semua berandal-berandal itu, sayangnya
dengan sekonyong-konyong Teng Kok merasakan kepalanya pusing dan matanya jadi
berkunang-kunang. Dilain saat, ia terguling jatuh dari kudanya
dan........menghembuskan napasnya yang terakhir seketika itu juga. Setelah
diselidiki, ternyata benda yang berkilauan itu bukan lain daripada sebilah badik yang
mengandung racun hebat dan orang yang terlukai oleh badik itu dalam waktu
beberapa detik saja akan tewas tanpa dapat ditolong lagi.
Setelah dapat kepastian Wan Teng Kok tidak berkutik lagi, si kepala berandal
segera memberikan komando kepada anak buahnya untuk merampas kedua kereta
pio Hin Liong Pio Kiok. Mayat pio-su yang malang itu lalu dimusnahkan dengan jalan
dibakar sehingga tulang belulangnya berserakan di muka bumi!. Kemudian si kepala
berandal mengusir para kusir kereta pio tersebut untuk pulang ke kota Thian-cin dan
melaporkan kejadian ini kepada Sun Giok Hong yang menjadi induk semang mereka.
"Pergilah kamu beritahukan kepada induk semangmu Sun Giok Hong yang
mempunyai nama julukan Ngo-seng-to-ong" dengan senyum mengejek ia
melanjutkan, "bahwa aku Chit-seng-chio-ong atau raja tombak dari tujuh propinsi
mengundang ia datang kemari untuk bertanding!. Aku pasti akan menantikannya di
kelenteng Siang-in-koan di pegunungan L'o-san, yang terletak di bagian barat
pegunungan Ngo-liong-san. Katakan padanya bahwa aku Chit-seng-chio-ong
memerintahkan ia untuk membuang nama julukannya jika ia takut menghadap
kepadaku!".
Pada waktu keempat kusir kereta itu tiba di kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di
kota Thian-cin, mereka segera melaporkan tentang kecelakaan yang diderita Wan
Teng Kok yang mayatnya telah dibakar dengan tidak hormat., seolah-olah si berandal
memendam dendam yang hebat terhadap Hin Liong Pio Kiok. Juga mereka tak lupa
menyampaikan tantangan yang diajukan oleh kepala berandal tersebut terhadap
induk semangnya itu. Sun Giok Hong menjadi terkejut dan bertanya, "Siapakah she
dan nama berandal yang bernyali begitu besar itu?".
Keempat orang kusir itu menjawab, "Entahlah, karena dia hanya mengaku bernama
julukan Chit-seng-chio-ong saja". Kemudian salah seorang diantaranya
memberitahukan tentang di mana Giok Hong mesti mencarinya.
"Aiii, sungguh kurang ajar sekali si kerbau hutan itu!" kata Sun Giok Hong dengan
gusar. "Hampir semua jagoan dari kalangan Liok-lim atau Rimba Hijau di Shoatang
aku kenal baik serta mempunyai hubungan persahabatan. Hanya binatang ini saja
yang berani menghinaku, hingga dia perlu kuhajar supaya lebih mengenal aturan dan
sopan santun!".
Saat itu Sun Giok Tien yang mengetahui bahwa Giok Hong telah mengambil
keputusan untuk menerima tantangan kepala berandal yang mengaku punya nama
julukan Chit-seng-chio-ong itu, dalam hatinya jadi agak cemas dan berkata, "Chit-ko,
mereka di sana tentunya akan membuat segala persiapan untuk menyambut
kedatanganmu. Engkau yang dating hanya sendirian saja, aku khawatirkan sukar
meladeni kawanan perampok itu yang berjumlah banyak. Sebaiknya aku ikut serta
dengan membawa beberapa orang kusir sebagai teman di jalan".
Giok Hong mupakat dengan saran adik sepupunya itu. Maka sesudah meninggalkan
pesan yang kepada beberapa orang kepercayaannya, esok harinya dengan membawa
Golok Naga Kembar dan kantong kulit yang berisikan piauw, Giok Hong berangkat ke
propinsi Shoatang dengan ditemani oleh Sun Giok Tien serta para kusirnya.
Dua hari kemudian mereka telah tiba di perbatasan propinsi Shoatang. Dari sana
mereka menuju ke pegunungan Ngo-liong-san untuk kemudian menyusuri jalan ke
kelenteng Siang-in-koan yang terletak di pegunungan Lo-san.
Selama dalam perjalanan, Sun Giok Hong tidak habis-habisnya memikirkan,
siapakah gerangan kepala berandal yang menamakan dirinya Chit-seng-chio-ong itu".
Ia kenal tidak sedikit orang-orang gagah di kalangan Kang-ouw putih dan hitam, tapi
belum pernah mendengar ada orang yang memakai nama julukan demikian.
Setelah berjalan beberapa lamanya dengan melalui jalan-jalan gunung yang
berliku-liku dan diapit oleh jurang-jurang yang curam di kiri kanannya, tiba-tiba dari
kejauhan tampak atap kelenteng yang merah di antara pohon-pohon yang rindang
dan hijau kehitam-hitaman. Giok Hong segera mengetahui bahwa mereka telah tiba di
tempat yang dituju dan diam-diam ia lalu memperingati agar Giok Tien dan para
kusirnya itu untuk berjaga-jaga. Kemudian ia menghunus golok Siang-liong-touw-cuto
sambil menoleh ke kiri kanan jalan dengan laku yang hati-hati sekali.
Setelah berjalan beberapa belas tindak jauhnya, tiba-tiba dari arah semak-semak
yang lebat di tepi jalan telah melompat keluar seorang berandal muda yang
bersenjatakan sebatang tombak Hong-eng-chio menghadang di tengah jalan sambil
membentak, "Sun Giok Hong, ternyata engkau adalah seorang yang bisa menepati
janji. Engkau telah menerima baik undanganku dan datang kemari untuk minta
dikembalikan kereta-kereta piomu yang telah kurampok itu, bukan?".
Sun Giok Hong memperhatikan sejenak wajah begal muda itu yang tampaknya
ganas. Kemudian ia balas membentak, "Apakah engkau ini bukan Chit-seng-chio-ong
yang telah membunuh pio-suku?".
"Memang benarlah apa katamu!" sahut si begal muda. "Engkau punya nama
julukan Ngo-seng-to-ong, aku punya nama julukan Chit-seng-chio-ong. Seharusnya
sedari tadi engkau ketahui siapa aku ini!. Sekarang hendak kubuktikan sendiri, yang
mana diantara kita berdua Chio-ong atau To-ong yang ternyata lebih unggul!.
Sambutlah tombakku!!!".
Sambil berkata begitu, si begal muda segera maju menerjang hingga Sun Giok
Hong lekas melompat turun dari kudanya dan meladeni dengan tidak banyak bicara
pula. Selama pertempuran itu berlangsung, Giok Hong tak mau menabas tombak
orang, selain menangkis dengan belakang golok saja. Jika ia bertempur dengan cara
yang layak dan mengandalkan ketajaman Golok Naga Kembar, niscaya dalam waktu
beberapa jurus saja ia sudah mampu menabas putus tombak itu. Dia akan
ditertawakan orang karena Ngo-seng-to-ong dapat menang karena tajamnya golok
yang dimilikinya, sama sekali bukan sebab ia mahir ilmu golok dalam arti yang
sebenar-benarnya.
Bersamaan dengan itu, Giok Hong segera dapat menguji sampai dimana kelihayan
begal muda penantangnya itu. Bukan saja lawan itu tidak mempunyai kepandaian
yang cukup berharga, malah ilmu tombaknya pun agak ngawur. Ia jadi heran
mengapa orang lain telah memberikan dia nama julukan yang begitu mentereng,
padahal Giok Hong tak sadar bahwa nama julukan itu adalah buatan si begal itu
sendiri. Tidak heran jika ia tak pernah mendengar ada nama julukan demikian dalam
daftar para cabang atas dalam golongan Liok-lim.
Sementara si begal muda yang melihat bahwa ilmu kepandaian Sun Giok Hong
sesungguhnya tidak boleh dibuat gegabah, diam-diam ia berniat untuk melukainya
dengan mempergunakan badik beracun. Maka setelah mengambil keputusan yang
pasti, lekas-lekas ia membalikkan badannya melompat keluar dari kalangan
pertempuran sambil berseru dan membarengi dengan menyambit Sun Giok Hong
yang mengejar dirinya sambil membentak, "Jangan lari!". Tapi -begitu melihat sebilah
badik menyamber ke jurusannya. Giok Hong segera menyampok barang tajam itu
dengan Golok Naga Kembar hingga badik itu putus menjadi dua potong dan terpental
entah ke mana jatuhnya..
Si begal jadi terkejut dan segera mengulangi sambitannya itu. Badik yang kedua
itupun tidak berhasil mencapai sasarannya karena Giok Hong yang bermata jeli dan
tidak mudah diperdayakan orang, kali inipun telah membuat barang tajam itu kutung
dan mencelat entah ke mana melesatnya.
Akhirnya karena melihat kedudukannya sangat berbahaya, si begal muda segera
bersiul memberi isyarat kepada anak buahnya. Dilain saat kelihatan melayang
puluhan anak panah yang ditembakkan ke arah Ngo-seng-to-ong, yang segera
memutar goloknya bagaikan baling-baling cepatnya. Tidak urung ia mengalami juga
luka-luka di bahu kiri, kaki dan lengan kanan. Luka-luka itu tidak berbahaya dan
perlawanan tidak menjadi kandas oleh karenanya.
Selagi Giok Hong yang dibantu dengan Giok Tien dan para kusir berperang tanding
dengan rombongan kepala begal yang mengaku bernama julukan Chit-seng-chio-ong
itu, tiba-tiba dari dalam kelenteng Siang-in-koan telah muncul beberapa puluh Too-su
yang bersenjatakan pentungan menerjang keluar untuk membantu rombongan Giok
Hong menempur kawanan begal itu. Rombongan begal Chit-seng-chio-ong terpaksa
kabur dengan menderita luka-luka pulang ke sarang mereka di atas gunung.
Karena pertolongan dan bantuan yang tidak diduga-duga ini, Sun Giok Hong dan
kawan-kawannya telah bisa berkenalan dengan kepala kelenteng Siang-in-koan yang
bernama Ban Ceng Too-jin, yang telah mempersilahkan mereka masuk untuk
beristirahat dan menginap di situ. Berhubung hari telah hampir petang dan tak ada
tempat lain untuk menumpang menginap, sudah barang tentu Sun Giok Hong dan
kawan-kawannya jadi sangat berterimakasih atas kebaikannya Too-jin tua itu.
"Kawanan begal hutan ini sudah kerap kali membikin ribut di sini" kata Ban Ceng
Too-jin dengan gusar, "tapi sampai sebegitu jauh mereka belum pernah kena kuajar
adat, berhubung mereka lantas kabur setiap kali Pin-too keluar untuk menghajarnya.
Tidak kunyana pada hari ini mereka kena juga kita pukul mundur sehingga lari
pontang panting".
Bersamaan dengan itu, Sun Giok Tien pun telah turut juga bertanya, siapa
gerangan she dan nama si begal muda yang mengaku bernama julukan Chit-sengchio-
ong itu. Dengan tersenyum getir, si Too-jin tua menjawab, "Chit-seng-chio-ong".
Hm, apakah seorang yang berkepandaian begitu rendah dapat menerima nama
julukan yang demikian tingginya". Dia bukan ahli silat kelas satu, juga bukan seorang
ahli tombak, nama julukan itu adalah buatannya sendiri, maka apakah yang perlu
disegani orang". Bisanya hanya menyambit orang dengan mempergunakan badik
beracun dengan cara yang licik. Dia sebenarnya berasal dari desa Bu-kee-chung dan
bernama Bu Pin Tiauw, oleh sanak saudaranya di sana ia telah diasingkan. Lebih gila
lagi, dia mengaku keturunan .......... Bu Siong! (salah satu dari 108 pendekar gunung
Liang-san). Bu Pin Tiauw sebenarnya hanya seorang anak nakal dan sesat yang
pandai menggertak. Jelas dapat diketahui dengan nama julukannya yang mentereng,
Chit-seng-chio-ong!".
"Kalau begitu, apakah Too-tiang kenal baik padanya?" Giok Tien coba meminta
keterangan. "Pin-too berdiam di sini sudah lama sekali" kata si Too-su, "maka sudah barang
tentu kenal baik dengan hampir semua orang yang berdiam di daerah pegunungan
ini. Rupanya Sie-cu hendak meminta kembali piomu yang telah dirampoknya itu,
bukan?". Giok Tien mengangguk. "Ya" sahutnya.
"Kalau begitu Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin. "Pin-too bisa
menyuruh orang untuk minta kereta-kereta pio itu segera dikembalikan kepadamu".
Giok Hong mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan Too-su tua itu
tapi menolak dengan halus tawaran bantuan yang hendak meminta kereta-kereta
pionya dikembalikan dari tangan si begal muda Chit-seng-chio-ong itu. Sebagai
seorang pio-su dan pengusaha pio-kok, ia merasa sangat amat terhina oleh pihak si
begal, dan para langganannya tentu akan merasa sangat kecewa jika dia tak dapat
mengambil pulang pio yang dirampas orang dengan tangannya sendiri.
Ban Ceng Too-jin pun menyatakan kekagumnya atas kekerasan hati Giok Hong dan
adik sepupunya dan Too-su tua itu berjanji akan memberikan bantuan-bantuannya
dari "garis belakang" saja.
Duapuluh hari kemudian, setelah luka-luka Giok Hong sembuh betul, Bu Pin Tiauw
telah datang pula memaki-maki Sun Giok Hong di muka kelenteng. Mendengar
makian tersebut, si pemuda she Sun segera menukar pakaian yang ringkas dan
keluar dengan membawa golok Siang-liong-tauw-cu-to dan kantong piauw dengan
diiringi oleh Sun Giok Tien. Begitu melihat si begal muda Chit-seng-chio-ong hanya
diiringi oleh 6 atau 7 orang anak buahnya saja, maka diam-diam ia membisikkan
beberapa patah kata di telinga adik sespupunya. Sun Giok Tien berlalu sambil
menjawab dengan mantap, "Aku paham akan petunjuk Chit-ko itu". Giok ong sendiri
lalu menuju ke luar kelenteng dengan sikap yang tenang.
Begitu melihat Sun Giok Hong muncul, si kepala berandal itu sambil tersenyum
mengejek sambil berkata, "Bocah she Sun, setelah engkau menjadi pecundangku
masih saja engkau enak-enakan berdiam di daerah orang lain. Apakah barangkali
engkau sudah bosan hidup?".
Si pemuda she Sun tidak banyak bicara lagi dan segera maju menerjang dengan
Golok Naga Kembar hingga kepala berandal itu lekas-lekas melompat mundur sambil
memainkan tombak Hong-eng-chio di tangannya.
Karena dia memang bukan tandingan Sun Giok Hong yang setimpal, maka setelah
pertempuran baru berlangsung beberapa jurus, ia tampak sudah hampir tak berdaya
dan lekas-lekas kabur sambil mencabut badik beracun dari pinggangnya. Segera
disambitkannya badik itu ke arah ulu hati si pemuda she Sun dengan sekuat-kuat
tenaganya. "Mampus kau!" serunya.
Sun Giok Hong kini telah mengetahui sampai dimana kelicikan Bu Pin Tiauw. Begitu
melihat barang tajam itu menyambar ke jurusannya, dengan sebat Giok Hong telah
memiringkan tubuhnya sambil menangkap badik itu dengan tangannya. "Ah-ha!.
Bagus sekali kepandaian menyambitmu ini!" sindirnya sambil tertawa mengakak.
Bu Pin Tiauw jadi merah wajahnya karena jengah dan mendongkol.
"Sialan kau!" gerutunya sambil membalikkan badannya dan menusukkan
tombaknya ke arah dada Sun Giok Hong.
"Ha, masih juga engkau berani banyak tingkah di hadapan Ngo-seng-to-ong!. Nih,
kau boleh rasakan!". Berbareng dengan bentakan itu, si pemuda she Sun lalu
menyabetkan goloknya dengan tidak segan-segan lagi ke arah tombak lawannya itu.
Dilain saat terdengar suara "Crasss!!", yang telah membuat tombak Bu Pin Tiauw
patah menjadi dua potong!. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat si orang
she Bu kaget bukan kepalang dan segera kabur ke atas gunung. Anak buahnya yang
bersembunyi di belakang semak-semak lalu menghujani anak panak ke arah Sun Giok
Hong. Giok Hong yang sudah terlebih dahulu bersiap-siap, segera memutar goloknya
untuk melindungi dirinya. Tidak satupun anak panah musuh yang mampu mendekati
dirinya. Selagi anak panah itu masih menyamber serabutan, tiba-tiba dari semaksemak
di belakang kawanan liauw-lo itu terdengar suara bentakan yang
nyaring "Kawanan tikus hutan!. Aku Sun Giok Tien ada di sini!". Para liauw Lo yang
mendengar begitu, karuan saja jadi sangat terkejut dan segera lari pontang-panting.
Mereka tidak menyangka bahwa kedatangan Sun Giok Tien itu hanya diiringi oleh
beberapa orang kusir saja.
Giok Tien dan para kusir telah memberikan pukulan yang tidak kepalang tanggung
terhadap kawanan perampok yang berjumlah puluhan orang itu.
Giok Hong sendiri lantas mengejar Bu Pin Tiauw ke atas gunung sambil berseru,
"Meski engkau terbang ke langit atau menyusup ke dalam tanah, tidak urung akan
kususul dan kubekuk dirimu untuk membereskan persoalan kereta-kereta pioku yang
telah kau rampas dengan cara yang licik itu!".
Dengan mempercepat larinya Giok Hong berusaha menyusul Bu Pin Tiauw yang lari
pontang panting bagaikan tikus dikejar kucing. Ke arah mana saja yang dituju oleh si
kepala berandal itu, Giok Hong selalu mengikuti dengan tidak kurang bernapsunya.
Sesudah itu, muncul Giok Tien dan para kusir yang menyusul belakangan, setelah
mereka berhasil membubarkan pengepungan para liauw-lo si Chit-seng-chio-ong.
Sementara itu, Bu Pin Tiauw yang dikejar-kejar, dengan secara nekad telah
menerjang semak-semak berduri untuk memperpendek buronannya menuju ke
sebuah desa di lembah gunung. Karena dia asal penduduk situ yang kenal baik jalanjalan,
maka ia telah sampai terlebih dahulu di muka pintu gerbang desa, yang
kemudian ditutup dengan tergesa-gesa.
Pada waktu Giok Hong dan Giok Tien serta para kusirnya tiba di muka pintu
gerbang desa, tiba-tiba dari atas loteng pintu gerbang telah dilontarkan batu-batu dan
ditembaki dengan anak panah yang turun bagaikan hujan lebat ke arah mereka. Giok
Hong dan kawan-kawan terpaksa mundur untuk menghindarkan diri dari bahaya
maut. Desa ini ternyata bukan lain daripada desa Bu-kee-chung, dimana hampir seluruh
penduduknya terdiri daripada keluarga she Bu yang turun termurun telah hidup disitu
sebagai petani-petani dan pemburu. Bu Pin Tiauw sendiri berasal dari desa ini, tapi ia
tak dapat hidup rukun dengan sanak saudaranya, disebabkan dia sangat nakal dan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahat perbuatannya hingga dia tidak diperbolehkan masuk ke desa tersebut.
Pada hari itu karena terdesak dan tak ada jalan untuk dapat meloloskan diri dari
tangan Sun Giok Hong, Bu Pin Tiauw terpaksa menerobos masuk ke desa Bu-keechung.
Para penduduk di situ yang mengira ada kawanan perampok menyerbu
dengan secara tiba-tiba ke adalam desa mereka, segera beramai-ramai keluar untuk
menyambut kedatangan musuh dengan batu dan anak panah.
Dalam pada itu, Sun Giok Hong jadi berpikir dalam hatinya. Menurut kata Ban Ceng
Too-jin, si bangsat she Bu ini diasingkan oleh sanak saudaranya, tapi mengapakah
sekarang mereka telah bantu melindunginya".
Tatkala sudah berpikir sekian lamanya dan belum juga dapat pemecahan. Giok
Hong lalu mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke kelenteng Siang-in-koan
untuk menanyakan persoalan kepada Ban Ceng Too-jin.
Sementara si Too-jin yang mendengar keterangan demikian, berpendapat tentu
ada udang di balik batu. Ia lantas berjanji kepada si pemuda untuk" menyuruh orang
pergi ke sana dan coba menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.
"Jika Bu Pin Tiauw mengetahui maksud Too-tiang mengirim orang ke sana, apakah
dia takkan membunuh orang suruhanmu itu untuk menutup rapat rahasia
kebusukannya?" kata Sun Giok Hong yang merasa ragu-ragu atas saran Too-su tua
itu. "Sie-cu tak usah khawatir" kata Ban Ceng Too-jin sambil tertawa. "Pin-too di sini
mempunyai seorang penjaga kelenteng yang bernama Yo Kak Too-jin, ilmu silatnya
lihay dan sanggup meladeni beberapa puluh orang sekaligus. Bu Pin Tiauw kenal baik
kelihayan penjaga kelenteng itu, hingga ia segan berhadapan dengannya, apalagi
untuk turun tangan dan mencelakainya. Mana dia mampu dan mempunyai nyali
sampai begitu besar?".
Setelah mendengar demikian, barulah Giok Hong jadi berlega hati dan percaya
keterangan Ban Ceng Too-jin itu.
Pada petang hari itu juga, Yo Kak Too-jin telah diutus ke desa Bu-kee-chung oleh
Ban Ceng Too-jin untuk mengundang sanak saudara Bu Pin Tiauw.
Tatkala sanak saudara Bu Pin Tiauw dan Yo Kak Too-jin telah datang ke kelenteng
Siang-in-koan, Ban Ceng Too-jin lalu menerangkan maksud undangannya, kemudian
memperkenalkan mereka kepada Sun Giok Hong dan kawan-kawan.
Sanak saudara Bu Pin Tiauw tatkala mendengar keterangan tentang kereta-kereta
pio Hin Liong Pio Kiok yang dilindungi oleh Wan Teng Kok, telah dirampok oleh Bu Pin
Tiauw serta membunuh po-sunya. Sudah tentu saja mereka jadi terkejut dan berkata,
"Oh, kalau demikian halnya, ternyata kita telah salah paham dan menyangka bahwa
rombongan Sun Kiok-cu adalah kawanan perampok yang menyerbu masuk ke dalam
desa kami. Harap Sun Kiok-cu sekalian sudi memaafkan atas kealpaan kami itu".
Ketika itu, karena hari sudah larut malam, Ban Ceng Too-jin telah menahan mereka
menginap di dalam kelenteng. Pada esok harinya, para saudara she Bu itu telah
mengajak Sun Giok Hong dan kawan-kawan berkunjung ke Bu-kee-chung, untuk
kemudian mengembalikan kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang dirampok dan
disembunyikan oleh Bu Pin Tiauw di atas gunung.
Sesudah mengucap terima kasih kepada sekalian keluarga Bu dan Ban Ceng Toojin,
Yo Kak Too-jin dan para Too-su di kelenteng Siang-in-koan, Sun Giok Hong dan
kawan-kawan segera turun gunung untuk mengantarkan kereta-kereta pio itu
ke kota Cee-lam.
Sesampainya di kota Giok-san-tien yang terletak di arah selatan dari pegunungan
Ngo-liong-san, haripun telah menjelang senja kala. Maka terpaksa Sun Giok Hong dan
kawan-kawan bermalam di sebuah rumah penginapan untuk kemudian berangkat ke
kota Cee-lam keesokan harinya.
Tapi sungguh tidak dinyana, ketika semua orang sedang tidur dengan nyenyaknya,
tiba-tiba di luar rumah penginapan telah terdengar suara ribut-ribut, hingga Sun Giok
Hong jadi terbangun dan lekas-lekas membangunkan Giok Tien dan kusir untuk
bersiap sedia. Dari teriakan orang-orang yang berlarian kian kemari, mereka
mendengar teriakan-teriakan, "Kawanan perampok datang menyerbu!. Perampok
datang menyerbu!".
Ketika Giok Hong berlompatan keluar dengan membawa Golok Naga Kembar, di
luar rumah penginapan tampak sinar api obor yang terang benderang. Beberapa
liauw-lo kelihatan mengurung tempat itu sambil berteriak-teriak mengancam
penghuni penginapan, yang jadi sangat ketakutan. Seorang bertubuh tinggi besar
dengan berewok yang tebal, berdiri di muka pintu dengan bersenjatakan sebilah golok
Kwan-to di tangannya dan berseru, "Mana itu bocah she Sun yang mengumpat di
sini". Ayoh, lekas-lekas keluar untuk menerima ajalnya!". Setelah berkata demikian,
matanya yang seolah-olah berapi-api itu disapukan ke arah ruangan dalam
penginapan. Di belakang orang tinggi besar itu ada pula seorang muda yang bersenjata
sebatang tombak Hong-eng-chio. Sun Giok Hong yang melihat dan mengenalinya
segera jadi sangat mendongkol, karena orang itu bukan lain daripada Bun Pin Tiauw,
yang telah kabur dari Bu-kee-chung bersama sisa liauw-lonya sewaktu menderita
kekalahan dari kepungan Sun Giok Tien dan para kusirnya.
Semula Giok Hong menyangka bahwa kawanan berandal itu dikepalai oleh Huithian-
eng Ma Tay Piauw atau Ko-san-houw Ce Kiu Kong, ternyata kepala penjahat itu
ia tidak kenal sama sekali. Bu Pin Tiauw, yang pernah menjadi pecundangnya, kini
rupanya telah menghasut kepala berandal itu untuk merampas pula kereta-kereta
yang dilindunginya itu.
Begitu melihat Giok Hong tampil ke muka dengan diiringi oleh adik sepupunya,
kepada berandal yang berjenggot tebal dan berusia kira-kira tigapuluhan itu segera
maju sambil membusungkan dadanya dan berkata, "Sudah lama aku ingin minta
pengajaran dari Sun Giok Hong, apakah engkau ini benar-benar orang yang
kumaksudkan itu?".
"Aku yang rendah ini memang bernama Sun Giok Hong" sahut si pemuda sambil
memberi hormat sebagaimana layaknya. "Mohon tanya she dan nama saudara".
"Aku bernama Cia Ah Han" kata kepala berandal itu, "oleh karena aku mahir
mempergunakan golok Kwan-to, maka orang orang di kalangan Kang-ouw
memberikan aku nama julukan Toa-to Han atau Han si Golok Besar. Setiap kali
engkau mengantar pio, engkau selalu mampir ke tempat kediaman Hui-thian-eng (si
garuda terbang) dan Ko san-houw (si harimau yang melewati gunung), tapi sama
sekali tidak mau bersahabat denganku. Apakah itu bukan berarti bahwa engkau
memandang rendah kepadaku". Hari ini hendak kujajal sampai dimana kelihayanmu".
Kemudian dengan gerakan secepat kilat, ia ayunkan goloknya untuk menabas
batok kepala Giok Hong, hingga si pemuda lekas berkelit untuk menghindarkan
bacokan tersebut. Bersamaan dengan itu, Giok Hong pun tidak tinggal diam untuk
tidak balas menyerang sang lawan dengan secara tunai. Giok Hong juga bermaksud
untuk menunjukkan "giginya" terhadap lawan ini, yang telah berani menantangnya.
Dengan tidak segan-segan lagi, iapun telah putar goloknya bagaikan baling-baling
cepatnya, hingga disuatu saat Cia Ah Han terdengar menjerit ngeri, "Ah!", ketika
goloknya ditabas putus menjadi dua potong oleh Golok Naga Kembar.
Sementara Bu Pin Tiauw yang khawatir si jenggot kena dilukai, lekas-lekas maju
menerjang dan menusukkan ujung tombaknya ke arah ulu hati Giok Hong sambil
membentak, "Aku datang!".
Si pemuda she Sun tersenyum dingin sambil berkata, "Bagus sekali!. Kitapun masih
punya perhitungan lama yang belum dibereskan!".
Setelah berkata demikian, dengan sebat ia miringkan sedikit badannya, kemudian
membarengi membacok pada tombak itu dan kakinya pun menendang sambil
membentak, "Enyahlah engkau ke sana!". Bu Pin Tiauw yang tidak menduga akan
diserang secara demikian cepat dan ganas, sudah tentu saja jadi gugup dan tak
keburu mengegos. Pada pertempuran yang lampau, Giok Hong telah berlaku lunak
sekali padanya, maka dengan tombak kutung jadi dua, badannya mencelat berjungkir
balik di udara dan jatuh beberapa kaki jauhnya. Bertepatan dengan itu, Giok Hong
telah membacok ganas sekali saking gusarnya, sehingga dengan jeritan seram Bu Pin
Tiauw rebah di tanah dengan mandi darah dan bahu kanannya telah terpapas hampir
putus oleh bacokan golok mustika Giok Hong.
Cia Ah Han yang melihat begitu, lekas-lekas mengambil sebilah golok Toa-ma-to
dari tangan anak buahnya. Ia maju menerjang Sun Giok Hong untuk menolong Bu Pin
Tiauw yang sudah tidak berkutik lagi.
Tapi Cia Ah Han hanya dapat bertahan tiga jurus saja dari terjangan Giok Hong,
selanjutnya lagi-lagi golok Toa-ma-to telah kutung kena tertabas oleh Golok Naga
Kembar. "Aiiii!", katanya dengan putus asa.
Giok Hong segera menghentikan serangannya karena ia merasa jengah juga
melihat lawannya tak berdaya menghadapi goloknya sendiri. Ia bertanya sambil
membentak, "Apakah engkau masih hendak melanjutkan pertempuran ini". Atau
hendak bertanding dengan tangan kosong". Aku bersedia untuk meladenimu.
Katakanlah!".
Kali ini Cia Ah Han beru merasa gentar akan kegagahan dan kelihayan si orang she
Sun. Dia yang mahir mempergunakan golok Kwan-to, masih sukar mengalahkannya,
apalagi jika bertempur dengan tangan kosong, yang memang dia kurang mahir. Cara
bagaimanakah dia dapat meladeni Sun Giok Hong".
Dengan menebalkan muka, Cia Ah Han terpaksa mengangkat kedua tangannya
memberi hormat kepada si pemuda she Sun sambil berkata, "Sungguh tidak benar
apa kata si orang she Bu, bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih rendah daripadaku.
Kenyataannya engkau masih tepat untuk menjadi guruku".
Sun Giok Hong yang tidak bermaksud mendesak terus terhadap seseorang yang
sudah mengaku kalah, lantas memasukkan goloknya ke dalam serangka. Giok Hong
menghampiri Cia Ah Han dengan sikap yang ramah tamah dan tersenyum lebar
sambil berkata, "Cia Lo-hia, ternyata engkau telah memujiku dengan secara berlebihlebihan
dan mohon maaf sebesar-besarnya jika aku telah salah tangan melukaimu".
Sementara Cia Ah Han yang melihat Sun Giok Hong adalah seorang pemuda yang
rendah hati dan tidak sombong, iapun jadi merasa girang dan jengah atas
perbuatannya yang sekasar tadi. Ia lekas-lekas minta maaf atas kecongkakannya dan
segala perbuatannya yang tidak baik tadi.
"Jika tidak berkelahi, kita tidak menjadi sahabat!" Giok Tien menyelak dengan
wajah yang berseri-seri.
Demikianlah, semenjak hari itu dan selanjutnya, Giok Hong dan kawan-kawan jadi
bersahabat akrab dengan Cia Ah Han, yang berjanji akan selalu membantu
melindungi kereta-kereta pio Hin Liong Pio Kiok yang kelak akan melewati daerah
jagaannya di situ.
Tatkala kemudian kedua pihak saling berpisah, ternyata Bu Pin Tiauw yang terluka
parah telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Sun Giok Hong lalu
memerintahkan para kusirnya untuk membuat kuburan dan mengubur mayat Bu Pin
Tiauw sebagaimana layaknya.
Setelah menaklukkan Cia Ah Han dan membunuh kepala berandal Bu Pin Tiauw,
maka nama Sun Giok Hong jadi semakin termashur dan disegani oleh jago-jago silat
di kalangan Kang-ouw. Sedangkan para cabang atas di kalangan Liok-lim selalu
berpikir dahulu sampai beberapa kali, jika mereka berniat untuk merampok keretakereta
pio Hin Liong Pio Kiok yang dikepalai oleh Ngo-seng-to-ong Sun Giok Hong.
Dengan begitu, keributan itu pun telah selesailah sampai di situ, semua orang
kembali pula ke kamar masing-masing. Cia Ah Han dan anak buahnya kembali ke atas
gunung dengan rasa menyesal karena main sembarangan percaya saja hasutan Bu
Pin Tiauw yang hendak mengadudomba dia dengan Sun Giok Hong.
Ketika Giok Hong dan rombongannya tiba di Cee-lam dan menyerahkan barangbarang
angkutannya ke tempat yang dituju, maka lugas merekapun telah selesai
sampai disitu. 0oo0 VI DENGAN mengambil kesempatan selagi istirahat untuk beberapa hari lamanya,
Giok Hong telah menyambangi gurunya Thio Ciam Kui di kantor angkutan Gie Cee Pio
Kiok. Orang tua itu jadi girang bukan main dapat berjumpa kembali dengan muridnya,
setelah mereka saling berpisah dan tidak bertemu muka 10 tahun lamanya.
Usia Ciam Kui tatkala itu telah mencapai 60 tahun dan tenaganyapun sudah jauh
berkurang daripada waktu 10 tahun yang lampau. Pengurusan kantor angkutan Gie
Cee Pio Kiok itupun telah diserahkan kepada anaknya, Thio Kin Gie. Handai taulan
Giok Hong yang masih membantu dalam kantor angkutan gurunya, seorang demi
seorang telah datang bertemu dan saling berjabatan tangan dengan rasa akrab sekali.
Setelah saling memberi hormat dan menanyakan tentang keselamatan diri dan
pekerjaan masing-masing, Ciam Kui lalu mempersilahkan Giok Hong dan Giok Tien
masuk ke ruangan tengah, dimana mereka duduk mengobrol sambil minum teh wangi
untuk melepaskan dahaga.
"Sudah banyak tahun aku tidak menjumpaimu" kata Thio Ciam Kui, "engkau
tentunya sibuk sekali selama itu, bukan?".
Giok Hong mengangguk sambil menjawab, "Benar. Telah 10 tahun lamanya murid
berpisah dengan guru, tapi karena pekerjaan amat sibuk, ditambah dengan pamanku
telah menutup mata, maka aku tak dapat meninggalkan pekerjaan di Thian-cin
barang sekejappun. Kali ini karena kereta pioku dirampok orang dan pio-suku telah
menemui ajalnya dalam pertempuran dengan si perampok, aku terpaksa keluar juga
untuk mengantarkan sendiri pio itu kemari. Dengan demikian, aku mendapat
kesempatan yang terbaik untuk menyambangi guru. Aku belum tahu bagaimana
keadaan kesehatan guru selama beberapa waktu ini?".
"Aku sendiri selalu baik-baik saja" kata orang tua itu. "Menurut cerita kawan-kawan
dan handai taulan di kalangan Kang-ouw, kini namamu telah semakin tenar di daerah
Tiongkok Utara dan terkenal dengan nama julukan Ngo-seng-to-ong. Apakah kabar ini
benar?". "Nama julukan Ngo-seng-to-ong itu adalah milik guru" sahut Sun Giok Hong
dengan perasaan agak jengah, "maka aku punya kemampuan apakah yang
melampaui ilmu kepandaian guru?".
"Ombak di lautpun mempunyai waktu surut dan pasang" kata Thio Ciam Kui, "maka
kalau Ngo-seng-to-ong yang tua mundur ke belakang, maka sudah selayaknya Ngoseng-
to-ong yang muda tampil ke muka. Nama julukan ini dapat hidup langgeng
sehingga di masa datang, sedang kemashuranmu itu bukan saja karena engkau
sendiri yang telah membuat namamu semakin tenar di kalangan Kang-ouw, tapi juga
berbarengan dengan engkau menghidupkan dan memuliakan nama-nama keluarga
Sun dan Thio hingga kelain jaman. Aku girang sekali jika semua kabar yang telah
kudengar itu semua benar dan bukan isapan jempol belaka".
Giok Hong lalu merendahkan dirinya sendiri atas pujian gurunya yang sangat muluk
itu. Selagi mereka masih asyik mengobrol, tiba-tiba kasir dari Gie Cee Pio Kiok berlari
masuk dengan tersipu-sipu dan menyampaikan beberapa patah perkataan dengan
bisik-bisik di telinga induk semangnya itu.
Thio Ciam Kui yang menerima laporan tersebut jadi berubah wajahnya, sambil
mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang kemudian ia menggelenggelengkan
kepalanya. Tampaknya ada sesuatu hal yang membuat Ciam Kui tidak
enak hati. "Guru sudah berusia agak lanjut" kata Sun Giok Hong yang merasa heran melihat
sikap orang tua itu yang tiba-tiba saja kelihatan berubah, "oleh karena itu, segala
pekerjaan di kantor baiklah diserahkan kepada puteramu. Hari ini, kalau aku tidak
keliru, guru tengah menghadapi sesuatu persoalan yang agak pelik. Kalau guru tidak
berkeberatan, murid bersedia untuk membantu memecahkan persoalan yang sulit
ini". Thio Ciam Kui kembali menghela napas dan menjelaskan persoalannya sebagai
berikut: "Persoalanku ini agak panjang untuk diceritakannya" katanya. "Pada 20 tahun yang
lampau, ketika melindungi pio dan lewat di gunung Ngo-tay-san, aku telah dicegat
oleh seorang kepala berandal bernama Lie Kiam Hong yang hendak merampok
kereta-kereta pioku. Kepala penyamun ini ilmu silatnya sangat lihay, mahir
mempergunakan pelbagai senjata serta mempunyai liauw-lo yang tidak sedikit
jumlahnya. Setelah berhasil kukalahkan dan kabur entah ke mana perginya. Tiga
tahun kemudian, ia telah muncul lagi dan mencari diriku untuk menuntut balas. Kali
ini ia tidak mencegatku di jalan sunyi, tapi datang sendiri ke sini menantangku untuk
bertempur dengannya. Karena ia begitu mendesak, akhirnya aku terpaksa
meladeninya juga dan ia kembali dapat kukalahkan dengan menggunakan ilmu golok
Pat-kwa-to. Tidak kapok dengan kekalahan itu, ia berjanji akan balik kembali dalam
waktu tiga tahun".
"Berselang tiga tahun lamanya, benar saja Lie Kiam Hong telah datang kembali
menantangku, hingga kita bertanding pula untuk kedua kalinya. Hasilnya, ia kembali
menderita kekalahan dan berjanji akan datang lagi tiga tahun kemudian, dan begitu
seterusnya. Jika dia selalu masih kena dikalahkan olehku, pasti dia akan datang
kembali dengan tidak bosan-bosannya. Demikianlah katanya disetiap waktu hendak
meninggalkan kantor Gie Cee Pio Kiok. Usiaku kian lama kian bertambah tua, sedang
tenagaku pun kian berkurang dan rupanya ia bertekad untuk mengalahkanku. Kini
aku benar-benar sudah payah, sudah terlampau lemah untuk dapat meladeninya. Di
kantor, aku tidak mempunyai pio-su yang dapat menandinginya, maka aku merasa
tidak sanggup lagi untuk mempertahankan nama baikku............"
"Kalau begitu, mengapa dahulu guru tidak membunuhnya saja?" kata Sun Giok
Hong dengan rupa mendongkol.
"Membunuh orang gampang, tapi kita harus pikirkan bagaimana akibat-akibatnya
nanti" sahut Thio Ciam Kui. "Aku sama sekali tidak menduga bahwa si orang she Lie
itu mempunyai hati yang begitu keras dan selalu balik kembali setiap 3 tahun sekali
dan berdaya upaya untuk mengalahkanku...........".
"Biarlah murid menggantikan guru untuk melawannya" kata Sun Giok Hong dengan
Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati yang mantap.
"Jika engkau hendak menggantikanku untuk bertempur dengannya" kata Thio Ciam
Kui, "itupun tidak ada salahnya. Hanya engkau harus berhati-hati, sebab setiap 3
tahun sekali dia akan balik kembali, ilmu kepandaiannya selalu bertambah lihay saja.
Ilmu tinjunya yang terakhir, yakni yang bernama Beng-houw-hui-thauw atau harimau
galak membalikkan kepalanya, sesungguhnya amat lihay dan senantiasa
dipergunakannya dengan secara tiba-tiba untuk membokong selagi kita sibuk
melayaninya dengan golok. Aku sendiri hampir saja kena diperdayakannya, syukur
juga aku berlaku cukup jeli hingga pukulan mautnya selalu jatuh di tempat yang
kosong. Dia sendiri berbalik kena ditendang sehingga jatuh melosoh dan menderita
luka-luka ringan. Kalau engkau hendak coba meladeninya, perlu sekali engkau
berlaku waspada dan jangan sampai terjebak oleh siasatnya yang licik itu".
Giok Hong berjanji akan memperhatikan segala petunjuk orang tua itu. Ia berjalan
keluar dengan diiringi oleh Sun Giok Tien dan kasir Lo Ho Jie yang datang membawa
kabar itu. Di muka kantor Gie Cee Pio Kiok benar saja sudah menanti seorang laki-laki
berperawakan tinggi besar yang berusia empatpuluh tahun lebih, wajahnya bengis
dan menyoren sebilah golok Toa-ma-to yang bentuknya tebal dan beratnya tidak
kurang dari 30 kati lebih. Ia tampak berdiri disitu dengan rupa yang tidak sabaran dan
menggerutu tidak ada habis-habisnya.
Begitu keluar berhadapan dengan orang laki-laki itu, Giok Hong segera menyoja
sambil bertanya, "Apakah-Ho-han ini adalah Lie Kiam Hong Su-hu?".
Orang laki-laki itu menatap wajah Sun Giok Hong sambil kemudian membentak,
"Engkau ini siapa". Lekaslah engkau panggil si tua bangka she Thio itu keluar
menjumpai aku!".
"Aku ini bukan lain daripada Sun Giok Hong dari kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok
di Thian-cin" sahut si pemuda. "Guruku Thio Ciam Kui sudah jemu bertanding
denganmu yang selalu kena dipecundanginya. Guruku mengirim aku yang menjadi
muridnya untuk bermain-main denganmu sehingga engkau menjadi puas dan jemu
untuk bertempur lagi!".
"Tutup bacotmu!" bentak Lie Kiam Hong. "Engkau bocah yang baru disapih
bukanlah tandinganku yang setimpal. Pergilah panggil gurumu untuk meladeniku!".
Giok Hong menertawainya sambil berkata, "Dalam kantor kami di sini, kini telah
diadakan suatu aturan tertentu. Siapa yang belum mampu mengalahkanku, tidak
berhak menantang guruku. Tuan telah beberapa kali bertempur dengan guruku, tapi
engkau selalu kena dipecundangi. Oleh sebab itu, dimana ada aturan engkau
memonopoli bertanding dengan Kiok-cu kami saja". Aiiii, engkau ini betul-betul tidak
tahu diri!".
Sambil berkata demikian, si pemuda tudingkan jari tangannya ke arah Lie Kiam
Hong, yang jadi gemetar karena amarah yang mendadak bergolak di dalam hatinya.
Orang she Lie itu menganggap dia telah dihina dihadapan orang banyak oleh
seorang yang justru dianggapnya masih bocah itu. Ia membentak dengan suara
menggeledek, "Dasar bocah tak tahu penyakit!. Jika engkau berani buka mulut besar,
tentunya engkau punya juga kepandaian yang cukup mengejutkan orang!. Nih, terima
bagianmu!".
Dengan gerak yang hampir tidak kelihatan karena saking cepatnya, Lie Kiam Hong
segera melancarkan pukulannya dalam siasat Pai-san-in-ciong atau dengan kedua
tinju mendorong lautan, kedua tinjunya menyodok dada si pemuda. Giok Hong yang
kini sudah punya banyak pengalaman dan lihay ilmu silatnya, segera menangkis tinju
si orang she Lie yang hampir menumbuk dadanya dengan Hoat-in-kian-gwat atau
menghalau awan untuk melihat rembulan. Bersamaan dengan itu, cekalannya telah
dipergunakan menurut cekalan ilmu Eng-jiauw-kun (ilmu ceker garuda) untuk
menyergap pergelangan tangan pihak lawannya.
Lie Kiam Hong jadi terkejut dan dengan sebat melancarkan pukulan maut yang
bernama Beng-houw-hui-thauw itu. Giok Hong segera pergunakan tinjunya untuk
"membeset" serangan tersebut.
Kemudian ia menyapu kaki Lie Kiam Hong dengan gerakan secepat kilat hingga si
orang she Lie yang tak keburu berkelit, dilain saat telah jatuh terlentang dengan
kedua kaki "menuding" langit. Ia jatuh di tanah bagaikan daun yang gugur dari
tangkainya dan merasakan pinggangnya sakit bukan buatan.
Dalam pada itu, Giok Hong tinggal berdiri tegak, menghentikan serangan-serangan
selanjutnya sambil mengawasi Lie Kiam Hong.
"Sudah cukupkah sebegitu saja". Atau perkelahian ini masih perlu juga kiranya
untuk diperpanjang?" katanya tenang.
Lie Kiam Hong tidak menyahut barang sepatah katapun, tapi lekas-lekas berbangkit
sambil menghunus goloknya.
Giok Hong juga segera maju sambil menghunus golok Siang-liong-touw-cu-to dari
dalam serangkanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka telah bertempur dengan
mempergunakan golok masing-masing.
Dengan hanya memperhatikan beberapa jurus yang diperlihatkan pihak lawan
dalam permainan goloknya, Giok Hong segera mengetahui bahwa Lie Kiam Hong ini
boleh diakui sebagai salah seorang ahli golok yang lihay sekali, gesit gerakannya dan
berbahaya setiap serangan yang dilancarkannya. Maka Giok Hong pun tidak berani
sembarangan berlaku lengah dalam pertempuran ini.
Pertempuran berlangsung dengan cepat dan beberapa belas jurus telah dilampaui
dengan hampir tak terasa lagi. Para pio-su, pegawai Gie Cee Pio Kiok dan orang luar
yang datang berkerumunan di muka kantor angkutan untuk menonton keramaian, tak
berbeda dengan orang-orang yang sedang berjualan di pasar.
Selama pertempuran itu berlangsung, diam-diam Lie Kiam Hong mengeluh di
dalam hatinya. Diluar dugaannya, ilmu kepandaian Sun Giok Hong ternyata tidak di
bawah kepandaian gurunya Thio Ciam Kui. Jika ia diberi kebebasan untuk memilih, ia
lebih suka bertempur dengan Thio Ciam Kui daripada Sun Giok Hong yang selain
tinggi ilmu silatnya, tenaganyapun masih penuh dan hebat sekali.
Anehnya, Giok Hong seolah-olah tidak mau mengalahkan musuhnya dalam waktu
yang terlampau cepat, dia tak mau membuat malu atau melukai lawannya. Inilah
syarat utama yang dimiliki oleh Sun Giok Hong semenjak ia berguru kepada It Kak
Sian-su. Pikirnya, jika musuh itu akhirnya kena dikalahkan juga, biarlah ia merasa
rela dan tidak mendendam kekalahannya itu di dalam hati untuk selama-lamanya.
Benar kepandaian Lie Kiam Hong cukup tinggi, tapi Giok Hong dapat menyudahi
pertempuran itu dengan jalan menabas goloknya sehingga putus dalam waktu
beberapa jurus saja lamanya. Tapi, akibat daripada perbuatannya ini tentunya akan
menyebabkan rasa penasaran yang tidak kecil di dalam hati orang she Lie itu. Bahkan
bisa juga karena kejadian itu, permusuhan di antara mereka akan berlangsung
dengan berlarut-larut sehingga tak ada habis-habisnya.
Giok Hong hendak mencegah sedapat mungkin agar tidak terjadi peristiwa yang
kelak dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak enak bagi dirinya dan gurunya.
Untuk memperoleh kebaikan bagi kedua pihak, Giok Hong telah berlaku cukup
bijaksana dengan bertempur tanpa menggunakan mulut goloknya yang sangat hebat
itu. Dan untuk tidak menunjukkan kelemahan dirinya, ia desak Lie Kiam Hong dengan
cara yang tidak mengenal kasihan, hingga Lie Kiam Hong jadi kelabakan dan matanya
berkunang-kunang melihat sinar golok si pemuda she Sun yang menyamber
mengurung tubuhnya bagaikan naga yang sedang mengaduk gelombang di lautan.
Tatkala ia sedang sibuk untuk berusaha memecahkan kurungan sinar golok
lawannya itu, tiba-tiba penglihatannya telah dibikin kabur oleh puluhan golok yang
mengepung dirinya dari segala jurusan. Ketika sebilah golok menyamber ke batok
kepalanya, Kiam Hong luput menangkisnya dan berteriak ngeri, "Matilah aku sekali
ini!" katanya. Bersamaan dengan itu, Kiam Hong merasakan golok Sun Giok Hong
Golok Halilintar 9 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Sakti Suling Pualam 10