Pencarian

Golok Naga Kembar 2

Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bagian 2


belakang sambil memberi isyarat untuk masing-masing berlaku waspada, jangan
sampai nanti kena diperdayakan kawanan penyamun itu.
Tatkala hari telah menjelang senja, hingga disana sini orang telah mulai memasang
lampu untuk menyambut kedatangan sang malam.
Bu Kee Tee dan kawan-kawannya menuju ke sebuah lapangan kosong dengan
diikuti oleh Sun Giok Hong, yang sambil berjalan sambil menyingsingkan lengan baju
dan ujung bajunya dilibatkan pada pinggangnya.
Kawan-kawan Bu Kee Tee yang berjumlah tigabelas orang itu, lalu mulai
mengambil posisi untuk mengepung Sun Giok Hong dari empat penjuru, dengan Bu
Kee Tee sendiri menghadapinya di tengah kalangan pertempuran.
Giok Hong menghunus goloknya, dengan apa ia telah mendahului membuka
serangan. "Lihat golokku!" bentaknya.
Bu Kee Tee yang tahu bahwa dia bukan tandingan Sun Giok Hong, bukan saja tidak
berani sembarangan menyambut serangan itu, tapi sebaliknya lantas lompat mundur
sambil memberi isyarat, agar seluruh anak buahnya segera mengepung si pemuda
she Sun dengan sekaligus. Meski Giok Hong seorang diri saja, tidak urung ia meladeni
musuh-musuhnya dengan gagah dan tidak mundur barang setapakpun. Dan setiap
waktu sinar goloknya berkelebat, terdengarlah orang berteriak karena goloknya
terpukul jatuh atau kena dilukai. Begitulah pertempuran telah berlangsung dengan
amat dahsyatnya, walaupun Giok Hong terkepung rapat bagaikan talang air yang
dilapis plat baja.
Selagi ia mengamuk dan menyerang setiap musuh yang berani dengan
mendekatinya, tiba-tiba Ciu Tiong Gak mengajak Thio In Han dan Kwan Chit Long
datang membantu, hingga semangat Sun Giok Liong jadi semakin meluap dan
melawan musuh-musuhnya lebih hebat lagi daripada waktu pertempuran pertama itu
terjadi. Thio In Han yang bersenjatakan sepasang gaetan Houw-thauw-k.mw dan Kwan
Chit Long yang bersenjatakan golok Chit-seng-po-to, maju dari kiri kanan untuk
menggempur kepungan Bu Kee Tee dan kawan-kawan. Maka Sun Giok Hong yang
melihat tenaga mereka bertiga sudah lebih dari cukup untuk meladeni ketigabelas
orang kawanan penyamun itu, segera memberi isyarat agar Ciu Tiong Gak tak usah
maju membantu mereka. Oleh karena itu, terpaksa Tiong Gak berdiri menonton di
luar kalangan pertempuran, meski iapun diam-diam tetap siap sedia untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pertempuran kali ini, tidak sedikit kawanan penyamun yang telah kabur
dengan menderita luka-luka, badan babak belur atau matang biru karena terpukul
atau tertendang. Sun Giok Hong yang Ingin membekuk Bu Kee Tee yang pernah
menipunya dan memasukkan obat bius kedalam araknya, hatinya belum puas jika
belum menghajar musuh besarnya itu sehingga setengah mati.
Maka dengan membiarkan Thio In Han dan Kwan Chit Long menawan musuhmusuh
yang lainnya. Giok Hong telah menerjang Bu kee Tee yang terpaksa melawan
mati-matian dengan sebilah golok Tanin lapi setelah pertempuran baru saja
berlangsung beberapa belas jurus lamanya, goloknya telah dibikin terpental oleh Giok
Hong, yang kemudian telah menendangnya sehingga dirinya mencelat beberapa belas
kaki jauhnya. Melihat musuh besarnya jatuh meloso. Giok Hong segera melompat maju dan
menginjak punggung Bu Kee Tee yang sudah tak berdaya sambil membentak,
"Engkau pernah menipu dan menaklukkan aku dengan obat bius, kini engkau telah
kubekuk dan menjadi tawananku. Ada omongan apa lagi yang hendak kau ucapkan?".
Bu Kee Tee malu bukan buatan telah dipecundangi oleh seorang bocah yang baru
berusia belasan tahun, tapi karena ia sekarang sudah tak berdaya lagi, maka terpaksa
ia menebalkan kulit mukanya dan meratap, "Siauw-eng-hiong, mengenai peristiwa
yang telah terjadi itu bukanlah menjadi tanggung jawabku, karena aku hanya
menerima perintah Khong Giok Kong Toako, yang telah mengatur semua siasat
perampokan tersebut. Oleh karena itu, sudilah kiranya Siauw-eng-hiong mengampuni
dosaku itu?".
"Jika aku hendak membunuhmu" kata Giok Hong, "itu sama mudahnya dengan
mengambil barang di dalam saku. Tapi karena mengingat akan kebaikan Khong Giok
Kong yang tidak mencelakai diriku, akupun bersedia mengampunimu. Tapi setelah
aku mengampunimu, hendaknya engkau segera kembalikan kesepuluh kereta-kereta
pioku yang telah kau rampas itu. Bawa kembali kereta-kereta itu dalam keadaan
masih utuh, kalau tidak, akan kuringkus kau dan kuserahkan kepada pembesar yang
berwajib!".
"Kesepuluh kereta pio itu telah kuserahkan kepada Khong Toako" kata Bu Kee Tee,
"hingga selanjutnya akupun tidak berhak lagi untuk meminta itu dari padanya. Oleh
karena itu, Siauw-eng-hiong harus meminta sendiri dari Khong Toako, karena hanya
dialah yang berhak mengembalikan atau mempertahankan................".
Giok Hong jadi sangat mendongkol, lalu mencaci maki si orang she Bu, "Jahanam!.
Engkau sendiri yang telah merampok kereta-kereta pioku dengan secara keji, tapi
sekarang sebaliknya engkau menyatakan tidak berhak mengembalikan. Lebih baik
aku bunuh saja engkau yang sudah menjadi'boneka si orang she Khong itu".
Sesudah berkata demikian, Sun Giok Hong yang memang berdarah panas, segera
memukul muka Bu Kee Tee dengan tinjunya, sehingga hidung dan mulutnya keluar
darah. Syukur juga Ciu Tiong Gak telah keburu menahan tinju si pemuda yang hendak
memukuli musuh besarnya itu, hingga Bu Kee Tee terbebas dari bahaya maut.
"Sun Hian-tit!" kata pio-su tua itu, "lebih baik kita tahan saja si orang she Bu ini.
Jika nanti Khong Giok Kong datang hendak menolongnya, barulah kita bertindak
untuk menangkapnya sekalian".
Sun Giok Hong lalu membelenggu Bu Kee Tee dengan selembar tambang besar dan
menahannya di dalam rumah penginapan tempat mereka menginap.
Pada esok harinya pagi-pagi sekali, benar saja para penjaga rumah penginapan itu
telah masuk melaporkan kepada Ciu Tiong Gak dan kawan-kawannya, bahwa Khong
Giok Kong telah datang menyatroni dengan mengajak tidak kurang daripada 20 atau
30 orang anak buahnya. Sementara Ciu Tiong Gak yang menerima laporan tersebut,
segera mengajak Giok Hong, Thio In Han dan Kwan Chit Long untuk menyambut
mereka. Diantara para liauw-lo yang berkerumunan di muka rumah penginapan, tampak
Khong Giok Kong yang berdiri paling depan dengan bersenjatakan sebatang tombak
Hong-eng-chio di tangannya. Dan tatkala melihat Sun Giok Hong muncul bersama tiga
orang kawan yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya sendiri, lantas ia menuding
dengan tombaknya sambil membentak, "Bocah she Sun!. Engkau begitu berani
menangkap dan menahan anak semangku". Hari ini aku datang untuk bertempur
denganmu sehingga ada salah seorang yang binasa!".
Sehabis berkata begitu, Giok Kong segera maju menerjang Sun Giok Liong, tapi
Thio In Han dari samping segera tampil ke muka sambil menangkis tombak itu
dengan sepasang gaetan di tangannya. Giok Kong lekas-lekas menarik pulang ujung
tombaknya yang hendak digaet lawan, untuk kemudian memutar senjatanya itu dan
ditusukkan ke arah tenggorokan In Han dengan gerakan secepat kilat. Tapi In Han
tidak kalah gesit, iapun lekas berkelit dan menyambar dengan kedua gaetannya untuk
merobek lawan. Khong Giok Kong segera menahan kedua senjata lawan itu sambil membentak,
"Enyahlah engkau dari hadapanku!". Thio In Han tak terasa lagi jadi terdesak mundur
sehingga hampir sepuluh kaki jauhnya. Kemudian ia balas menyerang Giok Kong
dengan tidak kalah bebalnya dari desakan pemuda tampan itu. Orang-orang dari
kedua pihak menonton dengan perasaan kagum akan kepandaian dan kegagahan
kedua orang lawan yang sedang bertanding itu. Sementara orang-orang yang hilir
mudik di jalan raya jadi berkerumun dan turut menonton pertempuran itu dari tepi
jalan yang terdekat.
Hingga pertempuran berlangsung tigapuluh jurus lebih limanya, kedua lawan
itu masih tetap sama unggul dan gagahnya. Jika yang seorang maju menerjang, yang
lainnya sengaja mundur untuk kemudian balas menerjang dengan tak kalah serunya.
Tiba-tiba Thio In Han sengaja membiarkan dirinya didesak si pemuda, kesempatan
yang baik itu tidak disia-siakan oleh Giok Kong, tombaknya menusuk kearah ulu hati
Thio In Han dengan ganas sekali. Pio-su dari Hin Liong Pio Kiok itu segera
memiringkan sedikit tubuhnya untuk menghindar tusukan tersebut, berbarengan
dengan itu gaetan di tangan kirinya menangkis ujung jombak, sedangkan gaetan
yang kanan menyamber ke batok kepala si kepala berandal.
Giok Kong yang tidak menyangka sama sekali bahwa pio-su itu dapat menyerang
demikian cepat, malah sekaligus dengan kedua senjatanya, jadi terkesiap dan
terpaksa lekas-lekas menarik pulang tombaknya. Gaetan kanan In Han yang datang
tanpa permisi dulu itu, tak dapat dielakkan lagi dan ...........TAK!.
Sambil berteriak keras karena kesakitan, ia jatuh meloso di tanah tanpa sadarkan
diri. Ternyata ubun-ubunnya telah terpatuk gaetan In Han, walaupun tidak berdarah,
tapi cukup keras untuk membuat Giok Kong pusing dan matanya berkunang-kunang.
Thio In Han yang dapat berpikir panjang dan tidak ingin membuat permusuhan jadi
berlarut-larut, sengaja tidak memukul terlampau keras, sehingga kepala Giok Kong
tidak sampai menderita luka-luka hebat, selain lecet-lecet sedikit dan benjol. Tapi
ketigapuluh liauw-lo Khong Giok Kong yang tidak mengetahui kebaikan Thio In Han,
serentak maju untuk mengepung pio-su yang telah merobohkan induk semang
mereka. Sun Giok Hong dan Kwan Chit Long yang telah siap sedia untuk melawan
musuh, segera lompat masuk ke dalam kalangan pertempuran untuk membantu.
Tapi pertempuran kali ini tidak memakan terlampau banyak waktu, karena meski
jumlah kawanan perampok itu berlipat ganda, namun mereka semua bukanlah lawanlawan
yang setimpal bagi ketiga pelindung pio itu. Maka setelah seorang demi
seorang kena dirobohkan, para liauw-lo itu lekas-lekas angkat kaki lari tunggang
langgang bagaikan sekawanan lebah yang sarangnya terbakar, hingga dalam sekejap
waktu saja, kalangan pertempuran hanya tertinggalan Khong Giok Kong seorang yang
tergeletak di tanah dan belum sadarkan diri.
Melihat demikian, tanpa ragu Giok Hong lalu mendukung tubuh si berandal dan
meletakkannya di atas ranjang, kemudian setelah mukanya dibasahkan dengan air
dingin, barulah Giok Kong siuman.
Tatkala melihat Sun Giok Hong dan kawan-kawannya berdiri di muka ranjang, Giok
Kong segera mengerti bahwa pihak si pemuda she Sun telah mengampuni jiwanya.
Maka dengan perasaan bersyukur, perlahan-lahan ia berbangkit dan berkata, "Siauweng-
hiong, aku sungguh harus mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas
kebaikan hatimu. Meski kereta-kereta piomu telah kurampas, namun kau masih dapat
berlaku baik padaku, tapi paras mukamu tidak menunjukkan kerelaan hati untuk
menerima kekalahanmu yang lampau!".
Giok Hong mengakui kebenaran kata-kata si berandal she Khong, dengan agak
mendongkol ia berkata, "Beberapa waktu yang lalu kau lelah berhasil mengalahkan
aku, lalu membebaskanku tanpa mengganggu selembarpun rambutku. Budi itu telah
terbalas sekarang, pada suatu waktu aku pun berharap dapat membalas
kekalahanku!".
Si berandal she Khong jadi tersenyum dan memuji semangat besar yang dimiliki
pemuda cilik itu. "Selanjutnya" ia menambahkan, "Aku turut berdoa untuk
kemajuanmu dimasa depan. Maka sebagai rasa kagumku akan kekerasan dan
keuletan hatimu itu, sejak hari ini dan selanjutnya biarlah kita menyudahi
permusuhan kita dan mengubah itu menjadi persahabatan yang akrab. Seperti telah
kujanjikan dahulu, kereta-kereta piomu akan kukembalikan dalam keadaan utuh dan
tidak kurang suatu apapun. Hanya ada suatu hal yang kusesalkan, yaitu Bu Kee Tee
tanpa minta persetujuanku dahulu, telah berlaku lancang mengusir kedua orang piosumu
serta para pengendara kereta keluar perbatasan. Aku mohon maaf sebesarbesarnya
darimu sekalian".
Mendengar pernyataan bersahabat itu yang diucapkan dengan wajah sungguhsungguh,
Sun Giok Hong serta kawannya sudah tentu
menyambut maksud baik itu dengan penuh rasa gembira. Selain itu, persahabatan
dengan si berandal ini berarti satu keuntungan untuk kantor angkutan Hin Liong Pio
Kiok, karena akan terbebas dari gangguan perampok Beng-kui-san. Sedang Bu Kee
Tee yang merasa bersalah telah mengusir Ma Tiauw Hoan dan The Kee Hu, segera
mohon maaf atas kelancangannya itu.
Demikianlah permusuhan telah berubah menjadi persahabatan yang mengharukan.
Khong Giok Hong berjanji untuk mengubah cara merampoknya, yaitu hanya
merampok harta benda pembesar-pembesar yang korup saja. Diterangkan juga
olehnya, bahwa ia jadi kepala berandal karena merasa sangat penasaran melihat
rakyat kecil dipermainkan dan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh bangsa
Boan-ciu yang menjajah Tiongkok serta para penghianat-pengkhianat bangsa Han
yang menjadi kaki tangannya. Disamping itu iapun sangat membenci saudagarsaudagar
yang bersifat serakah, yang kerap kali memonopoli barang-barang
kebutuhan pokok untuk kemudian dipermainkan harganya.
Setelah mendengar keterangan itu, Ciu Tiong Gak dan kawan-kawannya jadi
memuji, "Saudara Khong, waktu rombonganku menuju ke sini, telah kubayangkan
dalam pikiranku, bahwa kepala berandal yang akan kuhadapi tentu seorang yang
bengis dan selalu mementingkan diri sendiri, ternyata sekarang aku tengah
menghadapi seorang patriot bangsa.'".
Segera juga si kepala berandal menjura sambil menekuk sebelah lututnya dan
berkata, Ciu Lo-cian-pwee sangat memuji, aku yang rendah tak sanggup
menerimanya.'". Lalu tanpa malu-malu Giok Kong menceritakan juga tentang hal
ihwalnya, bahwa ia berasal dari Kiok-hu dalam propinsi Shoatang, keturunan terakhir
dari Nabi Agung KHONG HU CU. Karena tak tahan melihat perlakuan-perlakuan
bangsa Boan-ciu yang sewenang-wenang itu, ia telah melarikan diri dari sekolah
untuk belajar ilmu silat. Setelah mahir lalu dikumpulkannya para liauw-lo dan
membuat "sarang" di atas gunung Beng-kui-san, hingga ia dikalahkan Thio In Han.
Ciu Tiong Gak dan kawan-kawan mendengar penuturan Khong Giok Hong dengan
perasaan kagum dan gembira. Setelah selesai menuturkan riwayat hidupnya. Giok
Hong lalu mengundang keempat orang pio-su itu untuk berkunjung ke tempat
kediamannya di atas gunung, yang mana telah diterima pula oleh keempat orang itu
dengan senang hati dan tanpa merasa ragu-ragu lagi.
Begitulah sesudah mengobati luka-luka Khong Giok Hong dan Itu Kee Tee, maka
Ciu Tiong Gak berempat lalu mengikut kedua orang itu naik ke gunung tempat
kediaman si orang she Khong, dimana mereka dijamu bagaikan sahabat yang telah
kenal lama. Mereka makan minum sambil bicara dengan gembira, hingga hari larut
malam barulah perjamuan itu ditutup dan keempat orang pio-su itu dipersilahkan
menginap dalam pesanggerahan di atas gunung Beng-kui-san.
Pada esok harinya sesudah sarapan dan masing-masing mengucap terima kasih
dan selamat jalan, Khong Giok Hong lalu memerintahkan para liauw-lonya
mengantarkan kesepuluh kereta Hin Liong Pio Kiok yang telah dirampoknya beberapa
pekan yang lalu, keluar perbatasan Lim-ie, dimana Ma Tiauw Hoan dan kawan-kawan
diusir oleh Bu Kee Tee. Dan tatkala Ma Tiauw Hoan, The Kee Hu dan para pengendara
kereta pio dapat diketemukan dengan selamat, barulah kereta-kereta itu diserahkan
sekalian, lalu mereka meminta diri dan kembali ke pesanggerahan mereka di atas
gunung. Setelah itu, maka Sun Giok Hong, Ma Tiauw Hoan dan The Kee Hu segera
melanjutkan tugas mereka untuk mengantar kereta-kereta pio Hu ke kota Kim-leng,
dengan Ciu Tiong Gak dan dua orang kawannya turut juga mengantarkan sampai ke
tempat yang dituju.
Setelah kereta-kereta pio diterimakan kepada orang yang berkepentingan di kota
Kim-leng, rombongan Ciu Tiong Gak beristirahat untuk beberapa hari lamanya.
Kesempatan yang baik ini digunakan untuk pesiar ke pegunungan Cie-kim-san, sungai
Cin-hway-Ko telaga-telaga Mo-ciu-ouw dan Hian-bu-ouw, kelenteng Hu-cu-bio, dan
lain lain tempat tamasya indah. Pada suatu hari, mereka pergi ke kelenteng Keebeng-
sie yang keadaannya begitu sunyi, sehingga tak terdengar suara lain kecuali
kicauan burung-burung gereja yang hinggap di tepi atap atau di celah-celah mercu
kelenteng itu. Selagi Sun Giok Hong memperhatikan keadaan di sekitar halaman kelenteng itu,
tiba-tiba ia mendengar suatu bok-hie yang dipalu dari sebelah dalam dengan gencar
sekali sehingga ia tahu bahwa di dalamnya ada seorang hwee-shio yang sedang
membaca mantera.
Dari situ Sun Giok Hong mengikuti rombongan Ciu Tiong Gak ke arah taman yang
terletak di sebelah kiri, dari mana dengan sekonyong-konyong terdengar sebuah
suara yang agak luar biasa, seolah-olah di sebelah dalam sana ada orang yang
sedang menumbuk padi. Maka karena terdorong oleh rasa ingin tahunya yang besar,
diam-diam Giok Hong mengintip ke sebelah dalam dari celah-celah pintu samping
kelenteng itu. Si pemuda cilik sama sekali tak menyangka, bahwa di suatu halaman dalam
kelenteng Kee-beng-sie itu nampak sebuah rak yang berisikan delapanbelas senjatasenjata
yang biasa dipergunakan dalam kalangan persilatan. Di samping rak senjata
itu, terletak harter batu, gembok batu dan alat senjata yang lainnya, suatu tanda
bahwa halaman itu dipergunakan orang untuk berlatih ilmu silat.
Di suatu sudut dari ruangan itu, didirikan lima buah tonggak besi yang tampaknya
sudah licin mengkilat karena sering diraba atau diinjak, yang susunannya mirip
dengan sebuah bunga bwee. Tinggi tonggak-tonggak itu kira-kira tiga ciok, di atas
tonggak-tonggak tersebut kelihatan seorang hwee-shio tua yang bertubuh kurus
kering dan berkulit kehitam-hitaman bagaikan kerap terjemur, usianya kira-kira 60
tahun, tapi gerakannya masih amat gesit.
Di situ ia sedang berlatih menendang dan berlompatan ke kiri dan kanan bagaikan
seekor kera lincahnya. Suara-suara aneh tadi bukan lain daripada suara kaki hweeshio
tua itu yang menginjak tonggak-tonggak tersebut, yang seolah-olah tergetar
karena tak sanggup menahan khie-kang atau tenaga dalam yang telah


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikeluarkannya.
Dengan memperhatikan sikap hwee-shio itu, Sun Giok Hong segera menarik
kesimpulan, bahwa ia itu pasti bukan seorang hwee-shio sembarangan. Dari caranya
memasang kuda-kuda dan menendang, sunggung mirip sekali dengan apa yang
pernah diajarkan oleh pamannya kepadanya, tapi kuda-kuda si hwee-shio tua jauh
lebih lincah dan kokoh, hingga tanpa terasa lagi ia jadi berseru, "Itulah sesungguhnya
ilmu tendangan yang lihay sekali, sehingga Lo-hwee-shio boleh dipuji sebagai hweeshio
yang tak boleh dipandang ringan di atas gunung yang terkenal ini!".
Sementara hwee-shio tua itu yang telah mengetahui bahwa di sebelah ada
seseorang yang mengintip dan mencuri lihat latihan menendang dan memasang kudaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kudanya di atas tonggak Bwee-hoa-thung itu, maka dengan tenang ia menjawab,
"Jika engkau memang gemar ilmu silat, bolehlah engkau masuk ke sini. Mengapakah
engkau mesti berlaku diam-diam dan mencuri lihat dari luar?".
Giok Hong segera mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci itu, kemudian
menghampiri dan berlutut di hadapan hwee-shio tua itu sambil berkata, "Ilmu
tendangan dan cara memasang kuda-kuda Tay su, sungguh mirip sekali dengan ilmu
tendangan dan bee-sie yang dipelajari oleh keluarga kami. Bukankah Tay-su ini
merupakan Cian-pwee (seorang golongan yang lebih tua) dari golongan kami?".
Hwee-shio tua itu lalu mengangkat bangun si bocah sambil dipandang sesaat
lamanya. Kemudian ia tersenyum dan bertanya, "Engkau ini berasal dari mana?".
"Aku berasal dari desa Sun-kee-chung dalam propinsi Tit-lee" sahut Giok Hong,
"namaku Sun Giok Hong. Pamanku Sun Sin Bu alias In Hu yang membuka sebuah
kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di kota Thian-cin. Hari ini setelah mengantarkan
barang-barang angkutan titipan orang lain ke kota Kim-leng, maka aku telah
mengikuti kawan-kawanku yang lainnya untuk dating ke sini menikmati pemandangan
alam di daerah Kang-lam yang tersohor diseluruh dunia. Tapi aku sama sekali tidak
menyangka, bahwa aku bisa berjumpa dengan Tay-su di kelenteng Kee-beng-sie ini".
Hwee-shio tua itu jadi tertawa mengakak dan mengusap-usap kepala si pemuda
cilik sambil berkata, "Ah, ternyata engkau ini adalah Tit-sun ku!. Pamanmu In Hu
adalah Su-titku. Maka pertemuanku denganmu hari ini, tidak berbeda dengan waktu
aku berjumpa dengan pamanmu. Pinceng sudah lama sekali tidak berjumpa dengan
pamanmu itu sekarang marilah engkau mengikuti Pinceng masuk ke dalam
kelenteng".
"Di luar masih ada lima orang kawan-kawanku yang turut juga pesiar ke sini" Giok
Hong melaporkan.
"Mereka juga boleh engkau undang masuk" berkata hwee-shio tua itu.
Sun Giok Hong jadi girang lalu keluar dan mengundang Ciu Tiong Gak, Thio In Han,
Kwan Chit Long, Ma Tiauw Hoan dan The Kee Hu untuk masuk ke dalam, dimana
mereka sekalian diantar oleh hwee-shio tua itu melihat-lihat keindahan pemandangan
di dalam kelenteng Kee-beng-sie.
Dari pembicaraan yang dilakukan oleh tuan rumah, barulah diketahui bahwa hweeshio
tua itu adalah salah seorang murid dari golongan Siauw-lim yang memakai nama
It Kok Siansu. Ia mahir ilmu tendangan dan kuda-kudanya begitu kokoh, sehingga
tiada seorangpun yang pernah merobohkannya. Keluarga Sun mendapat warisan ilmu
tendangan dan bee-sie yang sama dari salah seorang tokoh golongan Siauw-lim juga,
yakni It Beng Siansu yang menjadi su-heng atau kakak seperguruan dari It Kok
Siansu. Oleh karena itu, tidaklah heran jika ilmu tendangan dan bee-sie It Kak Siansu sama
benar dengan apa yang Giok Hong pernah pelajari dari pamannya. Dikalangan Kangouw,
It Kak hwee-shio dikenal orang sebagai Thiat-hwee-shio atau si Paderi Besi,
berhubung kakinya sangat kuat dan tendangannya sangat disegani oleh para orangorang
gagah yang pernah mengenalnya dan mengetahui betapa lihaynya tendangantendangannya
itu. Sesampainya di ruangan tempat berlatih ilmu silat, It Kak Siansu telah minta Giok
Hong untuk mempertunjukkan kepandaiannya dan untuk melihat sampai seberapa
jauh ia mendapat kemajuan dalam ilmu tendangan dan bee-sie yang pernah dipelajari
dari pamannya. Sun Giok Hong menurut. Begitulah, setelah menyingsingkan lengan baju dan
melibatkan ujung baju ke pingganggnya, si pemuda cilik segera mempertunjukkan
ilmu tendangan dan bee-sienya, yang ternyata memang benar sama corak dan gerakgeriknya
dengan apa yang telah dipertunjukkan si hwee-shio tua tadi.
It Kak Siansu memperhatikan secara teliti semua gerak-gerik Giok Hong sesaat
lamanya. Tatkala Giok Hong selesai mempertunjukkan kepandaiannya, barulah hweeshio
tua itu membahasnya dengan mengatakan, "Tit-sun, dengan menilik gerakgerikmu
yang begitu kuat dan sungguh-sungguh, maka dapat diharapkan bahwa
kelak engkau akan memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tapi usiamu masih
terlampau muda untuk mengikuti po-pio. Tendangan dan bee-siemu agak ketinggian,
hingga dengan begitu engkau tak dapat menyesuaikan diri untuk dapat bergerak
dengan lebih sebat dan tak terduga oleh pihak lawan. Oleh karena gerak
tendanganmu itu kurang cepat, maka pihak lawan dapat dengan mudah mengelak,
walaupun tendanganmu itu cukup lihay dan santer. Oleh karena itu, cobalah engkau
berlatih dengan lebih rajin dan sungguh-sungguh".
Sun Giok Hong mendengar demikian, lekas-lekas berlutut dihadapan It Kak Siansu,
mohon diterima sebagai murid. Sedangkan Ciu liong Gak dan kawan-kawan yang juga
menaruh harapan besar atas diri Sun Giok Hong dikemudian hari, merekapun lalu
turut membujuk agar hwee-shio tua itu sudi menerima si pemuda cilik sebagai
muridnya. "Pinceng bersedia mengabulkan permintaan kalian". Setelah itu ia menoleh dan
mempersilahkan Giok Hong bangkit sambil melanjutkan bicaranya. "Sun Tit-sun" kata
hwee-sio tua itu pula, "dengan memperhatikan pada sorot matamu yang agak
beringas, maka dapatlah kuterka bahwa engkau ini adalah seorang yang mudah naik
darah!, Pin Ceng sangat mengharap, jika nanti setelah engkau tamat belajar,
janganlah selalu menurut hati yang panas dan menerbitkan keonaran. Pinceng,
sebagai guru dan orang yang berkedudukan lebih tinggi dalam golongan kita, pasti
akan dipersalahkan orang serta harus bertanggung jawah atas segala perbuatanmu
itu. Oleh karenanya, Pinceng banyak harap supaya Tit-sun sudi memperhatikan hal ini
sebaik-baiknya".
Sun Giok Hong jadi sangat girang, lalu menyatakan bersedia untuk mematuhi
segala sesuatu yang dikatakan oleh hwee-shio tua itu. In Kak Siansu telah minta Giok
Hong mengambil pakaiannya di rumah penginapan dan pindah berdiam di kelenteng
Kee-beng-sie selama ia belajar ilmu silat dibawah pimpinannya. Sementara Ciu Tiong
Gak dan kawan-kawan yang dipesan oleh hwee-shio tua itu untuk menyampaikan
salam dan berita kepada Sun Sin Bu (paman Giok Hong) tentang Giok Hong yang
akan tinggal di kelenteng Kee-beng-sie tempat kediamannya untuk memperdalam
kepandaian silatnya. Setelah itu merekapun meminta diri kepada hwee-shio tua itu
dan si pemuda cilik untuk kemudian berangkat pulang ke Thian-cin, dan
menyampaikan pesan It Kak Siansu kepada induk semang mereka.
Begitulah Sun Giok Hong dengan tak disangka-sangka, sejak hari itu dan
selanjutnya telah berguru kepada su-siok pamannya sendiri.
0oo0 III MAKA dengan beralihnya waktu dan bertukarnya musim, tanpa terasa lagi empat
tahun telah berlalu dengan cepat sekali. Selama itu pula Sun Giok Hong telah dapat
menguasai dengan baik ilmu tendangan, bersilat dengan tangan kosong maupun
dengan menggunakan senjata, serta menguasai pula ilmu melempar piauw dengan
mata yang tertutup.
Pada suatu hari, It Kak Siansu memanggil muridnya itu sambil berkata, "Muridku,
kini ilmu kepandaianmu telah mencapai tingkat yang lumayan, walau belum sampai
ketingkat yang tertinggi. Cukuplah kiranya untuk bekal kau merantau dikalangan
Kang-ouw sambil membantu usaha pamanmu, tapi ada sepatah dua patah kata yang
kiranya perlu aku beritahukan kepadamu".
Giok Hong mengangguk-angguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan.
"Yang pertama-tama, engkau harus berlaku sabar dan jangan mudah naik darah"
kata hwee-shio tua itu pula. "Karena seorang yang selalu suka mengumbar
amarahnya, bukanlah seorang gagah yang cerdik".
Giok Hong berjanji untuk mengubah kebiasaannya yang aseran dan tidak baik itu.
It Kan Siansu kelihatan girang sekali mendengar pernyataan muridnya itu. "Jika
selanjutnya engkau berlaku tawakal dan memperhatikan segala ajaranku" hweeshio
tua itu melanjutkan, "Akupun akan merasa lega hati melepaskan engkau turun
gunung dan kau boleh berangkat ke Thian-cin pada hari ini juga".
Demikianlah, dengan bercucuran air mata. Giok Hong lalu minta diri kepada
gurunya yang telah menurunkan pelajaran silat dengan sungguh-sungguh sehingga
empat tahun lamanya. It Kak Siansu menghibur dan membesarkan hati si pemuda
dengan mengatakan bahwa waktu untuk mereka saling bertemu masih banyak. Giok
Hong berjanji untuk menjumpai sang guru jika sewaktu-waktu ia
diperintahkan oleh pamannya untuk po-pio (melindungi barang) ke daerah Kang-lam.
Kemudian dengan hati sangat sedih ia meninggalkan kelenteng Kee-beng-sie yang
indah itu dalam usianya yang waktu itu sudah menginjak enambelas tahun.
Setibanya di kota Cee-lam dalam perjalanan pulang ke kota Thian-cin, tiba-tiba
teringatlah dalam hati si pemuda tentang pesan Thio Ciam Goan yang telah
memberikan sepucuk surat perkenalan kepadanya untuk berguru kepada adik orang
tua itu yang bernama Thio Ciam Kui yang membuka kantor pengangkutan Gie Cee Pio
Kiok di kota yang tengah dilaluinya itu.
Maka dengan membawa surat itu yang telah disimpan baik-baik selama empat
tahun, Sun Giok Hong segera menuju ke kantor angkutan Thio Ciam Kui dengan
perasaan hati yang agak ragu. Tubuh si pemuda sekarang sudah tumbuh menjadi
jauh lebih besar daripada empat tahun yang lalu, demikian juga pikirannya telah
bertambah jauh lebih cerdik seiring dengan bertambahnya usia.
Pada empat tahun yang lampau ia menganggap Thio Ciam Kui sebagai salah
seorang ahli golok terlihay di Tiongkok Utara. Tapi kini karena ia sendiripun telah
paham ilmu golok berkat ajaran It Kak Siansu, tidaklah heran jika di dalam hatinya
timbul rasa ragu mengenai kepandaian ilmu golok Thio Ciam Kui, meski orang tua she
Thio itu tersohor serta disegani orang sebagai "Ngo-seng-to-ong" atau raja golok dari
lima propinsi. Apakah dia sesungguhnya mempunyai kepandaian yang begitu tinggi".
Atau bukankah gelar itu hanya diberikan sebagai tanda hormat belaka". Demikan Giok
Hong menduga-duga.
Dalam pada itu, maka timbullah rasa curiga si pemuda yang dibarengi dengan
munculnya pikiran untuk menjajal dahulu orang tua itu, sebelum ia menyerahkan
surat perkenalan Thio Ciam Goan kepada oarang yang bersangkutan.
Ia pernah mendengar bahwa Thio Ciam Kui adalah murid kesayangan jago kawakan
Ma Hiang, ahli golok yang sukar dicari tandingan dimasa itu. Tapi benarkah ilmu golok
Ciam Kui pun dapat menyamai kepandaian ilmu golok It Kak Siansu, gurunya".
Setelah menetapkan pikiran. Giok Hong lalu menuju ke kantor angkutan Gie Cee
Pio Kiok untuk berkenalan dan menjajal sampai dimana kelihayan jago tua yang
dikenal orang dengan gelar "Ngo-seng-Loong" itu.
Kantor angkutan Gie Cee Pio Kiok ternyata adalah sebuah bangunan besar
berloteng dan dikelilingi oleh pagar tembok dengan pintu gerbang yang mentereng.
Sedangkan di kiri kanan papan merek Gie- Cee Pio Kiok yang dapat dilihat tegas dari
jarak yang agak jauh, digantungkan dua buah papan merek lain yang dasarnya hitam
dengan huruf-huruf yang dituliskan dengan air emas.
Sun Giok Hong yang sudah biasa dengan pekerjaan di kantor angkutan, langsung
menuju ke meja tempat pembayaran dan bertanya kepada kasir yang sedang duduk
di hadapan meja tersebut, "Apakah Thio Ciam Kui Lo-su ada di rumah?".
"Tuan ini orang dari mana". She dan bernama siapa?" balik bertanya si kasir sambil
memperhatikan si pemuda cilik dari kaki sampai kepala, kemudian dari kaki balik
kembali pada wajah sang tamu yang, masih muda itu.
"Aku seorang dari utara" Giok Hong berdusta, "she Sun bernama In San. Aku
mendengar kabar yang tersiar luas di luar, bahwa Thio lo-su di sini mempunyai gelar
'Ngo-seng-to-ong'. Oleh sebab itu, aku dari jauh telah sengaja datang kesini untuk
minta berkenalan dengan beliau".
Si kasir mendengar omongan si pemuda dan mengerti apa yang dimaksud dengan
kata-katanya itu, matanya menatap lebar-lebar lalu berkata, "Nak, usiamu baru saja
mencapai belasan tahun, tapi toh engkau sudah mempunyai keberanian untuk
menantang Thio Lo-su. Tahukah engkau, bahwa Thio Lo-su sudah berusia empatpuluh
tahun lebih dan lebih daripada cukup untuk menjadi ayahmu". Maka jika beliau
bertanding denganmu dan memperoleh kemenangan, bukan saja dia tak akan
menjadi lebih tersohor, malah sebaliknya akan dicaci maki oleh rekan rekannya
dikalangan Kang-ouw, sebagai seorang tua yang ta tahu harga diri dan suka meladeni
tantangan kanak-kanak yang belum mengerti urusan. Maksud Thio Lo-su membuka
kantor angkutan ini adalah untuk bersahabat dengan orang-orang sedunia, tapi sama
sekali bukan membuka gedung perguruan silat atau lui-tay dimana sembarang orang
diperbolehkan naik ke atas panggung untuk mengadu ilmu silat. Maka jika
kedatanganmu ini bermaksud untuk pi-bu atau mengadu ilmu silat, ternyata engkau
telah datang ke tempat yang keliru. Aku harap supaya saudara tidak menjadi gusar
atau berkecil hati jika aku minta saudara pergi saja kelain tempat".
"Akan tetapi" Giok Hong memaksa, "apakah Thio Lo-su ada di rumah?".
"Thio Lo-su tengah melindungi pio dan tak ada di rumah" sahut si kasir.
"Lagipula engkau ini bukanlah tandingan Thio Lo-su. Taruh kata dia ada di rumah,
diapun pasti tak akan suka meladeni tantanganmu itu. Oleh karenanya, sekali lagi aku
nasihatkan supaya engkau segera berlalu saja ke lain tempat, agar tidak mengganggu
usaha kami di sini".
Giok Hong yang mudah naik darah segera menjadi gusar. Semula ia hendak
menghajar kasir itu, tapi mendadak pesan-pesan It Kak Siansu bagaikan kilat
menyambar dalam pikirannya. Selain itu, pikirnya, maksud kedatangannya ke situ
adalah untuk berguru, maka tidak jadi ia laksanakan tindakan yang semberono itu.
Lagipula si kasir hanya seorang pegawai yang dibayar olah induk semangnya, hingga
tidaklah benar jika ia ingin bertindak seenaknya saja hanya sekedar untuk
melampiaskan napsu amarahnya.
Oleh sebab itu, ia hanya mengatakan, "Maafkanlah aku", kemudian segera berlalu
sambil pikirannya bekerja keras, mencari cara bagaimana untuk dapat memancing
Thio Ciam Kui hingga menjadi gusar dan suka meladeni tantangannya itu.
Pikir punya pikir, ia melihat di samping kantor angkutan Gie Cee Pio Kiok ada
empat buah kereta pio yang rupanya hendak diberangkatkan pada hari itu juga. Maka
diam-diam ia coba menanyakan pada salah seorang pengendara kereta itu,
kemanakah gerangan kereta-kereta pio itu hendak diberangkatkan.
Setelah mendapat keterangan ke mana dan arah mana yang hendak dituju oleh
rombongan keempat kereta pio itu, lekas-lekas Giok 1 long mendahului menuju ke
suatu tempat yang terpisah kira-kira lima atau enam lie di luar pintu kota selatan dari
kota Cee-lam dimana ia menantikan sambil meletakkan pauw-hoknya di bawah
sebuah pohon yang rindang.
Tidak lama kemudian, benar saja keempat kereta pio dari Gie Cee Pio Kiok tadi
kelihatan mendatangi dengan diiringi oleh dua orang l>io-su yang berkuda. Maka Giok
Hong yang sedari tadi telah mengatur siasat perampokan untuk memancing
kegusaran Thio Ciam Kui, dengan pegcra melompat turun dan menghadang di tengah
jalan sambil bertolak pinggang dan berdiri tegak.
Pio-su yang bertanggung jawab bernama Oey Cu Hui, salah seorang pio-su
kenamaan dari Gie Cee Pio Kiok, usianya telah mencapai limapuluh dua tahun dan
mahir mempergunakan pelbagai macam senjata, hingga ia mendapat kepercayaan
Thio Ciam Kui untuk melindungi pio ke tempat jauh. Tatkala melihat kereta-kereta
dicegat oleh seorang pemuda cilik, segera ia tampil ke muka dengan golok terhunus di
tangannya. "Bocah cilik" katanya, "apakah maksudmu mencegat kereta-kereta pioku ini?".
"Apakah engkau bermaksud akan lewat di jalan ini?" Giok Hong balas bertanya.
"Ini jalan raya milik negara" sahut Oey Cu Hui, "apakah maksudmu bertanya
demikian". Kami memang biasa lewat di sini!".
"Jika demikan halnya" kata Giok Hong pula, "aku ada suatu syarat yang hendak
diajukan kepadamu, yaitu barang siapa yang hendak lewat di sini, ia harus bertanding
dahulu denganku. Jika ia menang, ia boleh jalan terus, tapi sebaliknya kalau kalah, ia
harus pulang kembali dan aku melarang dia lewat di sini lagi!".
"Dasar anak goblok!" kata Oey Cu Hui sambil tertawa mengakak, "apakah engkau
yang belum disapih berani melawan aku yang sudah bangkotan begini". Ayoh,
mari, akan kuajar adat kepadamu".
Tapi Giok Hong yang tidak bermaksud melukai Cu Hui untuk menghindari
permusuhan menjadi berlarut-larut, terpaksa tidak mempergunakan ilmu
tendangannya yang sangat dahsyat itu, yang pernah dilatih sekian tahun lamanya
dibawah pimpinan It Kak Siansu di kelenteng Kee-beng-sie. Karena jika sampai
kejadian ia salah kaki, pihak lawan bisa patah kakinya terkena tendangan itu. Giok
Hong berusia lebih muda dan bertenaga lebih kuat, maka tidaklah heran jika napas Cu
Hui jadi terengah-engah, ketika pertempuran baru berlangsung beberapa belas jurus
saja. Kemudian, karena merasa bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan si bocah she
Sun, ia merasa lebih baik mendahului keluar dari kalangan pertempuran, sebelum ia
kehilangan muka karena dirobohkan oleh lawannya yang masih sangat muda tapi
lihay itu. Giok Hong tertawa mengakak. Ia tidak mengejar Cu Hui, tapi langsung
menudingkan telunjuknya ke arah kawan lawannya yang berdiri menonton
pertempuran itu sambil menantang, "Mari, sekarang engkau yang menggantikan dia
bertempur denganku!".
Pio-su kawan Oey Cu Hui ini bernama Lauw Kee Peng, seorang Shoalang yang


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mahir ilmu tendangan berantai Wan-yo-tui dan ilmu permainan toya Tam-kun-hoat.
Selama pertempuran itu berlangsung, pio-su ini telah melihat dengan jelas bahwa
pada akhirnya kawannya itu akan kena juga dirobohkan oleh Sun Giok Hong. Maka
dalam hati ia merasa tidak enak, sedari tadi iapun telah siap sedia untuk membantu
bilamana ia rasa perlu. Tidak tahunya, sebelum ia keluar membantu, C ;iok 1 long
telah mendahului menantangnya bertempur, hingga dengan wajah yang menandakan
kegusaran dan mata mendelik, ia membentak, "bocah cilik, tidak perlu engkau
menjual lagak yang tengik begitu!".
Sambil berkata demikan, Lauw Kee Peng segera menyerang dada Giok Hong
dengan menggunakan tinju kanannya, sehingga si pemuda she Sun terpaksa
mengegos untuk menghindari pukulan tersebut, sedang tinjunya yang kanan telah
dipergunakannya untuk menyabet tinju lawan.
Sret.......!!!. Pukulan Kee Peng luput, tapi bersamaan dengan itu kakinya telah
menyambar ke arah perut si pemuda cilik bagaikan kilat cepatnya. Giok Hong
sekarang telah mempunyai ketangkasan dan kesebatan luar biasa berkat latihannya
di Kee-beng-sie selama empat tahun. Dengan gerak yang hampir tak kelihatan. Giok
Hong telah mengelakkan tendangan itu sambil balas menabas kaki itu dengan telapak
tangannya. Sret.......!!!. Sebelum tendangan Kee Peng yang pertama keburu dielakkan, tibatiba
kaki yang lain si pio-su telah menyambar pada si pemuda cilik yang telah
dijadikan sasaran dari tendangan yang berantai itu.
Sret.......!!!. "Ah.........!" suara Kee Peng yang menandakan rasa terkejut tiba-tiba
terdengar di antara suasana yang gawat itu. Kemudian, karena kagetnya, entah
dengan gerak apa Lauw Kee Peng merasakan dirinya melayang di udara dan jatuh
terlempar ke suatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya!.
Ternyata pada waktu pertama Kee Peng menggerakkan kakinya, Sun Giok Hong
telah sadar pula betapa hebat tendangan lawannya itu. Inilah tendangan Wan-yo-tui
yang pasti akan dilakukan lawan dengan berturut-turut. Dengan dugaan itu dalam
hatinya, maka selain mengelakkan tendangan Kee Peng yang pertama, iapun berlaku
waspada untuk menjaga tendangan lawan itu selanjutnya. Kee Peng sendiri sampai
tidak merasa ketika kedua kakinya dicekal oleh Giok liong yang segera melemparkan
dirinya kelain jurusan dengan meminjam tenaga yang dilancarkan oleh tendangannya
yang kedua itu.
Setelah itu. Giok Hong mentertawainya sambil berkata, "Kawan, ternyata ilmu
kepandaianmu masih belum cukup untuk bertanding denganku. Oleh sebab itu,
apakah engkau sekarang telah merasa takluk dan suka menyerah kalah?".
Lauw Kee Peng bukan main gusarnya mendengar kata-kata itu, hingga dengan
tidak banyak bicara lagi ia berlari-lari ke arah kereta pionya untuk mengambil toya
Siang-thauw-kun. Dengan senjata itu ia hendak menempur kembali si bocah, Giok
Hong segera menghunus goloknya begitu melihat lawannya balik kembali dengan
bersenjatakan toya.
"Mari" Giok Hong balas menantang, "engkau boleh rasakan dahulu tinjuku ini
sebelum engkau bicara takabur!".
Dengan perasaan yang tidak memandang sebelah mata kepada si pemuda cilik,
Oey Cu Hui segera memasukkan goloknya ke dalam serangka, kemudia ia turun dari
kudanya dan berkata, "Mari, mari, hendak kulihat sampai dimana ilmu kepandaianmu
yang sangat kau andalkan itu!".
Sun Giok Hong tidak banyak bicara lagi. Begitu melihat Oey Cu Hui turun dari
kudanya, lantas ia maju menyerang dengan gerakan secepat kilat. Tapi Oey Cu Hui
yang juga bermata sangat jeli, segera berkelit sambil berseru dan balas menyerang si
pemuda cilik dengan siasat Tok-pek-hoa-san atau dengan sebelah tangan membelah
gunung Hoa-san. Giok Hong lekas mengelakkan pukulan tersebut dan bersilat dalam
ilmu Eng-jiauw-kun atau ilmu pukulan cakar garuda, yang merupakan ilmu silat
warisan dari keluarga Sun. Dengan mana ia mendesak dan hendak mencekal
pergelangan tangan Oey Cu Hui, hkigga pio-su dari Gie Cee Pio Kiok itu jadi sangat
terkejut dan lekas-lekas melompat mundur sambil berseru, "Tahan dulu!".
Si pemuda cilik lalu menarik pulang tinjunya sambil berkata, "Apakah itu tandanya
bahwa engkau telah menyerah kalah?".
"Pertempuran ini baru saja berlangsung" kata Oey Cu Hui, "kedua belah pihak
belum lagi menunjukkan kelihayannya masing-masing, maka bagaimana engkau
sudah menganggap aku kalah". Barusan dengan memperhatikan gerak-gerikmu
dalam cara yang telah cukup kukenal, aku jadi teringat akan ilmu Eng-jiauw-kun dari
keluarga Sun di Thian-cin. Apakah barangkali engkau ini adalah salah seorang
anggota keluarga Sun itu?".
Sun Giok Hong tersenyum dan berkata, "Ya, memang benarlah apa katamu. Aku ini
kemenakan pemilik kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di kota Thian-cin yang
bernama Sun Giok Hong. Oleh karena aku tergolong sebagai anak yang ke tujuh,
maka orang biasa menyebutku Sun Lo-cit. Kakakku bukan lain daripada Thiat-kun
Sun atau Sun si Tinju Besi.
Mendengar pengakuan si pemuda cilik, Oey Cu Hui jadi terkejut dan berkata, "Aiii,
tidak tahunya engkau ini adalah Sun Sie-tit, pamanmu Sin Bu Su-hu adalah sahabat
karibku. Hari ini jika tidak bertempur, benar-benar kita tak akan saling mengenal. Jadi
dengan begitu sudah jelaslah bahwa kita semua adalah orang-orang sendiri, hingga
patut sekali untuk kita saling maaf-memaafkan".
Tapi Sun Giok Hong yang melihat ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk
membuat pihak Thio Ciam Kui jadi semakin gusar, bukan saja tidak menghiraukan
kata-kata Oey Cu Hui, malah sebaliknya setelah mengejek dengan mengatakan,
"Tidak perlu engkau mengaku-aku kenal atau tidak kenal pada pamanku, tapi yang
paling aku perlukan sekarang adalah berkelahi!. Jika engkau mampu mengalahkanku,
bolehlah engkau lewat di sini, kalau tidak engkau boleh kembali ke kota Cee-lam
untuk mengaku kepada induk semangmu. Katakanlah kepadanya, bahwa aku sedang
menunggu kedatangannya di sini!".
Mendengar kata-kata yang menghina itu, lagi tidak mengenal budi kebaikan dan
menganggap dirinya 'sepi' itu, sudah barang tentu Oey Cu Hui jadi merasa sangat
tersinggung, lalu membentak, "Anak ingusan, sekarang hendak kujajal sampai
dimana kelihayanmu yang sebenarnya!".
Sambil berkata demikian, pio-su dari Gie Cee Pio Kiok itu segera menerjang si
pemuda she Sun dengan perasaan hati yang sangat mendongkol.
Giok Hong lekas berkelit ke arah kiri, kemudian dengan sebat ia mempergunakan
ilmu Thiat-see-ciang atau telapak tangan pasir besi untuk membabat tangan si orang
she Oey dengan telapak tangan kanannya Cu Hui yang berlaku kurang sebat untuk
mengelakkan sabetan itu, merasakan telapak tangan Giok Hong yang menyerempet di
sisi lengannya, membuat ia terkejut dan merasakan linu. Kemudian dengan kedua
tinjunya ia menyerang dada si pemuda cilik dengan suatu gerakan yang dahsyat
sekali. Demikianlah kedua orang itu telah bertempur dengan mengeluarkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk mempertahankan keunggulan diri masing-masing.
Begitulah, dengan masing-masing memegang senjata, pertempuran itu
berlangsung dengan tak kalah serunya daripada sebelumnya. Bahkan dalam keadaan
bersenjata, Sun Giok Hong tampaknya lebih lincah dan tangkas dalam menandingi
lawannya. Sedangkan Lauw Kee Peng yang memang seorang ahli dalam hal
memainkan toya Siang-thauw-kun, mana mau mengalah mentah-mentah kepada
seorang pemuda cilik yang dianggap masih hijau dan belum berpengalaman.
Sementara Giok Hong yang menyaksikan pihak lawan begitu bernapsu untuk
mengalahkan dirinya, lalu mengubah siasat dari menyerang jadi menjaga, karena
dengan siasat ini ia hendak menjajal sampai dimana keuletan dan kelihayan
lawannya, disamping itu iapun tak usah mengeluarkan terlampau banyak tenaga.
Tapi Lauw Kee Peng yang keliru menyangka si pemuda cilik merasa jeri karena
serangan-serangan Siang-thauw-kunnya yang begitu dahsyat, jadi semakin hebat
melancarkan pukulan-pukulan hingga Giok Hong hanya kelihatan dapat menjaga diri
saja tapi tak sanggup membalasnya.
Melihat demikan, Lauw Kee Peng segera memperhebat serangan-serangannya.
Siang-thauw-kun diputar sedemikian dahsyatnya hingga mengeluarkan suara
menderu-deru, bagaikan baling-baling yang diterjang angin taufan. Ganas, dahsyat
dan tak mengenal kasihan. Giok Hong terdesak, tapi anehnya dia sama sekali tidak
mengeluh. Ditangkisnya semua serangan Lauw Kee Peng dari segala jurusan dengan wajah
berseri-seri. "Dasar anak goblok!" kata pio-su dari Gie Cee Pio Kiok itu dalam hatinya. "Nyatalah
bahwa engkau benar-benar tidak mengetahui akan datangnya bahaya yang begitu
besar dan dapat membahayakan jiwamu!".
Akhirnya Kee Peng sendirilah yang tak sadar, bahwa dia kini tengah dipancing oleh
Giok Hong untuk terus mengobral tenaganya. Dan tatkala beberapa kali ia menyerang
dengan sia-sia dan merasakan tenaganya telah hilang sampai separuh, barulah ia
menyadari segala akibat daripada kelalaiannya tadi. Dengan sebat, ia mengubah
siasat penyerangannya, tapi Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah "mengunci"
jalan mundur pihak lawan, telah membuat Lauw Kee Peng terpaksa mesti melawan
dengan mati-matian untuk menyelamatkan mukanya sendiri. Karena jika sampai
kejadian ia kena dirobohkan oleh si pemuda cilik yang gesit dan lihay itu, bukan saja
ia akan mendapatkan malu dari induk semangnya tapi juga nama besarnya yang
sudah sekian tahun terkenal di kalangan Kang-ouw akan hancur lebur saat itu juga.
Oleh sebab itu, mau tak mau ia harus mempertahankan diri sekuat mungkin untuk
menghindari ejekan orang-orang yang akan menamakannya seorang "pecundang".
Demikianlah, bagaikan seekor kerbau yang mendadak kalap, kee Peng mengamuk
dan "nge-phia" untuk merobohkan pemuda she Sun itu. Sun Giok Hong yang
menyaksikan ilmu toya lawannya telah mulai kalut, telah siap sedia untuk
melancarkan serangan-serangan kilat tanpa dia sendiri mengeluarkan terlampau
banyak tenaga. Maka sambil bertempur. Giok Hong terus mentertawai lawannya
sambil berkata, Kawan, lebih baik engkau menyerah kalah saja, agar supaya
pertempuran ini dapat dihentikan tanpa engkau sendiri mesti hilang muka di hadapan
orang banyak.'".
Mendengar ejekan itu, bukan alang kepalang gusarnya si orang She Louw,
sehingga tanpa pikir panjang lagi ia hujani pukulan-pukulan yang maha dahsyat
kepada diri si pemuda cilik itu. Tapi serangan-serangannya selalu saja jatuh di tempat
yang kosong, berhubung Giok Hong senantiasa berlaku waspada dan berkelit dari
segala pukulan yang dilakukan lawan dalam keadaan bagaikan orang yang sedang
kerasukan setan.
Pada suatu ketika si pemuda cilik yang telah memperhatikan titik titik kelemahan
lawannya, dengan secara cerdik telah sengaja berlaku agak kendur dan sedikit lalai.
Lauw Kee Peng yang menduga si pemuda she Sun sudah kehabisan tenaga, tidak
lama kemudian melancarkan pukulan mautnya yang bernama Lui-kong-tha-lam-san
atau geledek memukul gunung Ciong-lam-san. Sifat dan gerak pukulan itu demikian
hebat dan ganasnya, sehingga para anak buahnya yang menyaksikan Kee Peng
melancarkan pukulan tersebut, hati mereka jadi jeri dan tanpa terasa mereka
berteriak, "Celaka!". Karena jika pukulan itu betul-betul mengenai sasarannya,
dengan batok kepala si pemuda cilik itu dijadikan sasaran, jangankan kena terpukul
tepat hingga batok kepala itu hancur lebur, tapi meski kena terserempet sedikit saja
sudah cukuplah untuk membuat jiwa Giok Hong melayang ke alam baka.
Syukur juga si pemuda bermata sangat jeli dan berotak cerdik. Walaupun dalam
keadaan segawat itu, ia masih dapat memperhitungkan masak-masak tindakan apa
yang akan diambil untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya maut itu. Maka begitu
melihat toya Siang-thauw-kun Lauw Kee Peng berkelebat untuk merenggut jiwanya,
dengan cermat sekali ia mengegos sambil memutar badan dalam siasat Soan-hongsauw-
tee atau angin puyuh menyapu bumi. Tatkala toya lawan meleset disamping
badannya, dengan sebat ia ayun goloknya untuk menindih toya tersebut dengan
siasat Sam-san-tien-hay atau tiga gunung menindih lautan.
Karena merasa pasti akan berhasil mengirim lawannya menghadap Giam-lo-ong
atau Raja Akherat, Lauw Kee Peng telah mencurahkan seluruh tenaga pada ujung
toyanya. Dengan gerak yang sedemikian cepat dan hampir tak dapat dilihat dengan
mata kasar, Giok Hong telah menindih toya Siang-thauw-kun lawan itu dengan
goloknya, kemudian dibarengi dengan tekanan golok dari atas. Maka Kee Peng jadi
sempoyongan dan hampir jatuh mengusruk.
Tiba-tiba ia rasakan golok si pemuda menyambar batok kepalanya dan
.............Dak!!!. "Aduh!". Lauw Kee Peng jadi menjerit karena kesakitan, bersamaan
dengan itu iapun jatuh tersungkur dengan kepala dirasakan bagaikan berputar dan
mata berkunang-kunang. Kemudian terdengar suara tertawa Sun Giok Hong yang
disusul dengan kata-kata, "Kawan, ternyata engkau belum mempunyai kepandaian
yang cukup untuk melakukan tugas sebagai pelindung pio. Ilmu silatmu masih
terlampau rendah, sedangkan gerak kaki dan tanganmu masih agak kacau dan
lamban. Oleh sebab itu, paling benar engkau segera melaporkan kejadian ini kepada
Thio Kiok-cu dan katakan pula kepadanya bahwa aku Sun Giok Hong menantikannya
di sini!".
Ketika Kee Peng meraba batok kepalanya, ia mendapati Kenyataan bahwa batok
kepalanya telah benjut tapi tidak berdarah. Dengan begitu ia segera mengetahui
bahwa barusan Giok Hong bukan membacok, tapi hanya membabat dengan belakang
goloknya saja. Kalau tidak, niscaya kepalanya bisa terbelah dua karena hebatnya
bacokan itu. Maka dengan perasaan malu bercampur gusar, lekas-lekas ia
menyerukan para tukang kereta untuk mengangkut balik semua kereta-kereta pio
yang akan diantarnya itu. Kemudian bersama-sama Oey Cu Hui ia pergi melaporkan
peristiwa yang dialami kepada Thio Ciam Kui yang menjadi induk semang mereka.
Sesudah Thio Ciam Kui mendengar laporan tersebut, meski di dalam hati merasa
sangat mendongkol, tapi lahirnya ia tetap tenang. Sambil tersenyum, ia menghibur
kedua orang pio-sunya itu dengan mengatakan bahwa dalam pertempuran orang tak
dapat mengukur tua atau mudanya usia lawan. Lebih-lebih karena Sun Giok Hong
adalah keturunan keluarga Sun yang tergolong sebagai keluarga yang sudah tersohor
dalam Rimba Persilatan di Tiongkok Utara, maka tidak-heran jika kepandaiannya
begitu lihay dan dapat mengalahkan mereka berdua sekaligus dalam tempo yang
singkat. "Aku dan keluarga Sun meski tidak bersahabat akrab" Ciam Kui melanjutkan, "tapi
ia dan aku masih tergolong rekan-rekan yang bekerja dalam usaha sejenis dan
sewaktu-waktu saling berjumpa juga selagi mengurus pekerjaan kami masingmasing.
Tapi mengenai tindak tanduk sibocah she Sun ini, menurut pendapatku sama
sekali tidak bermaksud untuk melakukan perampokan atau berbuat yang tidak baik
terhadap pihak kita. Karena disamping aku belum pernah bermusuhan dengan
mereka, merekapun belum pernah berlaku tidak jujur atau merebut langganan
langgananku".
tapi apakah artinya si bocah she Sun mengatakan bahwa dia akan menantikan kau
di luar kota?" kata Lauw Kee Peng. "Bukankah itu berarti bahwa dia sudah
menghinamu yang berusia lebih tua?".
Thio Ciam Kui tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Bukan begitu" kata orang
tua itu. "Dia bukan menghinaku, tapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia telah
menantangku. Oleh karena itu, akan kulihat bagaimana perkembangannya nanti".
Tapi di dalam hati ia menduga bahwa Sun Giok Hong pasti mempunyai maksud
tertentu yang ia sendiri tak mau mengatakannya kepada lain orang, kecuali kepada
dirinya sendiri.
Maka sesudah berpesan agar anak semang yang lainnya menunggu dahulu di
dalam kantornya, Thio Ciam Kui lalu mengajak Lauw Kee Peng dan Oey Cu Hui pergi
menjumpai si bocah she Sun di luar kota Cee-lam. Giok Hong yang berdiri menanti di
bawah pohon segera menghadang di tengah jalan dan melihat Lauw dan Oey kedua
orang pecundangnya telah balik kembali dengan mengajak seorang laki-laki setengah
tua yang berbadan tegap dan menyoren sebilah golok di pinggangnya.
"Orang ini pasti Thio Ciam Kui adanya" pikir Sun Giok Hong, tapi ia tetap berdiri
tegak dengan sikap yang sombong sekali.
Thio Ciam Kui yang dengan diam-diam telah memperhatikan perawakan dan sikap
si pemuda cilik dari kejauhan, dengan wajah berseri-seri dan tidak memandang
rendah lalu maju menghampiri sambil memberi hormat dan berkata, "Sun Sie-tit,
sungguh tidak kunyana ilmu kepandaianmu begitu lihay sehingga engkau mampu
mengalahkan kedua orang pio-suku".
Sun Giok Hong yang mendengar omongan itu, lalu menganggukkan kepalanya dan
berkata, "Benar, tapi maksudku yang sebenarnya bukanlah mereka yang hendak
kujajal, tapi Thio Kiok-cu yang hendak kuuji kelihayannya!".
"Aku bersedia, nak!" kata orang tua itu yang segera menghunus goloknya.
Kemudian tanpa banyak bicara lagi, cepat bagaikan kilat ia terjang si bocah she Sun,
sehingga dengan hati terkesiaplah Giok Hong, sambil membuang diri ia juga
menghunus goloknya sendiri. Dan diwaktu kedua golok itu saling beradu, percikan api
segera tampak berhamburan meletik kian kemari. Sesudah itu Giok Hong balas
menerjang Thio Ciam Kui dengan siasat Kun-tong-to sambil bergulingan di tanah
menyabet kaki si jago tua dengan goloknya.
Thio Ciam Kui yang sudah kawakan dan dapat bergerak bagaikan seekor kera
gesitnya, dengan mudah saja telah dapat mengelakkan bacokan Sun Giok Hong, yang
kemudian mencelat ke atas dan mengubah permainan goloknya dengan siasat Pekho-
liang-cie atau bangau putih membentangkan sayap.
Sun Giok Hong mendesak orang tua itu dengan tidak sungkan-sungkan lagi, tapi
tiap serangannya telah dapat ditahan atau ditangkis oleh Thio Ciam Kui dengan
tenangnya, bahkan nampaknya acuh tak acuh. Sebaliknya, setiap serangan balasan
lawan telah cukup membuat Ciok Hong terkejut dan merasa kesombongannya
tertindas bagaikan api ditimpa hujan.
Karena jika semula telah ditimbang-timbang didalam lamunannya cara bagaimana
orang tua itu hendak dipermainkan dan dibuatnya kewalahan, ternyata sekarang ia
sendiri yang jadi kelojotan bagaikan seekor cacing yang jatuh di abu panas!. Dalam
keadaan sebagai seorang yang menunggang harimau, ia menjadi serba salah dan


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ragu, apakah pertempuran itu harus ditunda setengah jalan atau hingga ia kena
dirobohkan oleh lawannya itu.
"Aiiii, celaka, celaka aku kali ini!!!" pikir si cilik. Setelah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri betapa lihaynya ilmu golok Thio Ciam Kui yang dikenal orang dengan
gelar "Ngo-seng-to-ong", sekarang ia baru mau mengakui secara lahir batin bahwa
pujian para pendekar dikalangan Kang-ouw atas diri orang tua itu sesungguhnya
bukanlah omong kosong belaka.
Maka selagi ia terkurung oleh sinar golok Thio Ciam Kui yang seolah olah jadi
berjumlah berpuluh-puluh banyaknya dan menyilaukan mata, tiba tiba ia mendengar
orang tua itu membentak dengan suara yang, angker, "Hai bocah she Sun, kini telah
tiba saatnya untuk kau menerima sedikit ganjaran untuk kesombonganmu itu!".
Sun Giok Hong pernah membaca riwayat orang-orang gagah yang kerap memotong
telinga atau hidung orang-orang sombong yang berani mempermainkan diri mereka!.
Diam-diam hatinya menjadi jeri dan khawatir akan kehilangan daun telinga atau
hidungnya yang akan membuat dirinya cacat seumur hidup, sehingga dengan
menebalkan muka ia terpaksa meratap, "Lo-su, ampunilah aku!".
Thio Ciam Kui yang sesungguhnya tidak ingin melukai Giok Hong, tatkala
mendengar ratap itu segera menarik pulang goloknya yang mengurung diri si pemuda
cilik itu. Giok Hong lekas-lekas menjatuhkan diri berlutut dihadapan orang tua itu
sambil berkata, "Lo-su, maafkanlah Tee-cu yang telah berani mempermainkanmu!".
Ciam Kui menekuk goloknya dibawah ketiak sambil membentak, "Apakah
maksudnya engkau berbuat demikian". Coba engkau lekas jelaskan padaku!".
"Tee-cu bukan sekali-kali hendak mempermainkan jiwa orang" sahut si bocah she
Sun. "Tee-cu tidak bermaksud melukai orang. Jika Lo-su tak percaya, bolehlah Lo-su
tanyakan kepada dua orang pio-sumu ini".
Oey Cu Hui dan Lauw Kee Peng yang menganggap bahwa Sun Giok Hong telah
melepas budi kebaikan kepada mereka berdua, dengan suara yang hampir berbareng
berkata, "Benar. Bocah ini memang tidak mempunyai maksud yang tidak baik. Dia
tidak berdusta".
"Engkau ini adalah orangnya Hin Liong Pio Kiok yang kantornya berkedudukan jauh
sekali di kota Thian-cin" kata Thio Ciam Kui, "tapi mengapa tanpa sebab musabab
yang jelas engkau telah datang mempermainkan orang di sini". Apakah engkau
bermaksud hendak menjatuhkan namaku untuk dapat menjagoi kalangan perusahaan
angkutan di sini?".
"Itu juga bukan maksudku" selak Sun Giok Hong, "harap Lo-su tidak menjadi salah
paham". "Kalau begitu, apa maksudmu menantangku?" tanya jago kawakan itu pula dengan
heran. Giok Hong yang sekarang tidak ragu lagi akan kepandaian silat Thio Ciam Kui, lalu
menuturkan peristiwa perampokan terhadap kereta-kereta pionya di desa Han-keechung,
sehingga kemudian ia berjumpa denga Thio Ciam Goan yang telah
menganjurkannya untuk berguru pada Ciam Kui pada empat tahun yang lampau. Lalu
surat perkenalan Ciam Goan segera dipersembahkannya kepada Ciam Kui sebagai
bukti daripada ketulusan hatinya untuk berguru.
Ciam Kui menerima surat kakaknya yang ditulis pada empat tahun yang lampau
itu. Dengan girang, ia segera menyobek sampul surat itu dan membaca isinya, yang
antara lain tertulis sebagai berikut:
"Pembawa surat ini bukan lain daripada kemenakan saudara Sun Sin Bu alias In Hu
yang ketujuh, yaitu Giok Hong Sie-tit. Dia yang berusia masih sangat muda, giat
belajar dan berbakat sangat baik, sungguh sayang sekali jika tidak mendapat guru
yang tepat dan pandai.
Maka teringatlah aku dengan ilmu golokmu yang begitu lihay dan sangat terkenal di
tanah utara, tapi sayang tidak mudah bagimu untuk mendapat orang yang tepat
untuk menjadi ahli warismu.
Kini karena mengingat dan menganggap bahwa Sun Sie-tit ini adalah orang yang
tepat sekali untuk mewariskan ilmu kepandaianmu itu, maka hari ini aku telah
memberikan kepadanya sepucuk surat perkenalan untuk disampaikannya kepadamu.
Kita manusia takkan dapat hidup ratusan tahun, tapi ilmu kepandaian dapat
diwariskan turun temurun sehingga berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, aku
harap supaya saudara sudi mengabulkan saranku dan tidak menolak hendaknya".
Dibawah surat itu dibubuhi tanda tangan Ciam Goan yang cukup dikenal oleh
adiknya. Ciam Kui merasa gembira sekali menerima saran tersebut karena dalam usia
empatpuluh tahun dan tersohor sebagai "Ngo-seng-Huang" yang hingga sebegitu jauh
belum terkalahkan orang, memang perlu sekali pada suatu waktu mempunyai seorang
Ciang-bun-jin atau ahli waris dan pengganti kedudukannya sebagai Kiok-cu dan yang
dapat diandalkan untuk mewarisi ilmu goloknya yang hendak dihidupkannya dari satu
masa kelain masa.
Karena sebagai seorang yang baik hati dan tak mau membiarkan ilmu silat pusaka
Tiongkok musnah di tengah jalan, maka hanya dengan cara waris mewarisi itulah
gengsi ilmu persilatan di tanah tumpah darahnya dapat dipertahankan dan
dipupuknya dengan sebaik-baiknya.
Maka dengan saran yang diperoleh dari kakaknya itu, terbukalah pikirannya yang
telah sekian lama belum dapat dilaksanakan karena belum adanya orang yang tepat
untuk mewarisi ilmu kepandaiannya itu. Ciam Kui sudah barang tentu lantas
menerima baik saran yang menganjurkan ia untuk menerima Giok Hong sebagai
murid. Lebih jauh dengan kesan-kesan yang telah diperolehnya dari pengalaman
bertempur dengan si pemuda cilik tadi, pendapat Ciam Kui jadi semakin mantap, lagi
pula ia sangat tertarik sekali akan kegesitan serta ilmu tendangan Giok Hong yang
begitu mengagumkan hatinya.
Maka tanpa ragu-ragu iapun menyatakan tidak keberatan apabila Giok Hong
hendak berguru kepadanya. Mendengar demikan, Giok Hong jadi girang bukan buatan
dan segera menjatuhkan diri berlutut dihadapan Thio Ciam Kui sambil menyebut guru
dan meminta maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangajarannya yang telah ia
buat tadi. Tapi Ciam Kui lekas mengangkat bangun sambil tak lupa berpesan agar supaya
kelak si pemuda itu tidak menyia-nyiakan pengharapannya untuk menurunkan pula
ilmu kepandaian goloknya itu kepada generasi lain yang lebih muda. Giok Hong
berjanji akan membantu melaksanakan cita-cita mulia gurunya itu.
Demikianlah semenjak hari itu dan selanjutnya, Sun Giok Hong telah mengangkat
Thio Ciam Kui sebagai gurunya dan juga ikut membantu pekerjaan-pekerjaan di
kantor angkutan Gie Cee Pio Kiok. Selama itu, ia telah mewariskan ilmu permainan
golok Thio Ciam Kui yang dikemudian hari membuat namanya terkenal sebagai Raja
Golok dari lima propinsi utara.
Tiga tahun telah berlalu dengan cepatnya. Dengan beralihnya sang musim, ilmu
kepandaian silat Sun Giok Hong dibawah pimpinan Thio Ciam Kui pun telah
memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Ilmu golok Pat-kwa-to, Kun-tong-to dan
pelbagai macam rahasia permainan golok yang sangat tinggi dan dahsyat. Thio Ciam
Kui dengan penuh kesungguhan telah menurunkan semua ilmu kepandaiannya
kepada Sun Giok Hong, hingga akhirnya Ciam Kui sendiri mau tak mau harus
mengaku kalah terhadap kepandaian murid kesayangannya itu.
Pada suatu hari Thio Ciam Kui menganjurkan agar Sun Giok Hong pulang ke kota
Thian-cin untuk membantu pamannya di sana mengelola kantor angkutan Hin Liong
Pio Kiok. "Ilmu kepandaianmu sekarang sudah lebih dari cukup dan lebih tinggi daripada
kepandaianku sendiri" kata jago kawakan itu, "aku anjurkan engkau pulang ke Thiancin
karena mengingat usia pamanmu yang sudah lanjut. Beliau takkan dapat
melanjutkan usahanya tanpa ada seorang yang mempunyai kecakapan sepertimu
untuk mewakili atau kelak menggantikan kedudukannya".
"Tapi aku masih mempunyai seorang kakak dan seorang adik laki-laki" Giok Hong
memotong pembicaraan gurunya, "yang aku percaya akan dapat membantu usaha
paman. Oleh karena itu, aku pikir hendak menetap di sini untuk merawat guru
seumur hidup".
Ciam Kui tersenyum dan berkata, "Giok Hong Hian-touw, segala sesuatu di dunia
ini tak dapat berlangsung dengan langgeng, tiada sesuatu yang kekal dan dapat
berkumpul terus sepanjang masa. Mengenai saudara-sauradamu, akupun bukan tidak
tahu. Kakakmu Thiat Kun Sun memang mempunyai ilmu kepandaian yang hebat juga,
hanya amat disayangkan tabiatnya yang sangat ganas dan gemar berkelahi. Maka
kalau menurut pendapatku, dia bukan seorang yang pandai bergaul, bahkan
sebaliknya ia bisa menimbulkan bencana besar karena tabiatnya yang pemarah itu.
Kukira ada baiknya juga jika engkau selalu menasehatinya agar ia dapat berlaku lebih
sabar dan mengalah dalam segala urusan remeh yang tidak berharga. Sedangkan
adikmu Giok Tien masih terlampau muda untuk dapat membantu pamanmu.
Menurut penglihatanku, hanya engkau sajalah yang paling tepat untuk menjadi
pembantu dalam kantor angkutan pamanmu itu. Maka aku anjurkan engkau supaya
berangkat ke Thian-cin selekas mungkin".
Oleh karena menganggap kata-kata gurunya itu benar juga, maka Giok Hong
terpaksa mengabulkannya. Ciam Kui selanjutnya berpesan kepadanya sebagai
berikut, "Pesanku kepadamu adalah, yang pertama-tama supaya engkau juga dapat
menghadapi segala persoalan dengan otak dingin, jangan sekali-kali engkau berlaku
sembrono dan bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu segala akibatnya dikemudian
hari. Kita boleh berlaku berani, walaupun mesti pertaruhkan jiwa dan raga demi
kehormatan negara dan diri, tapi kau jangan lupa ada batas-batasnya dimana kita
mesti mengalah dan bertindak lunak dalam segala persoalan yang tengah kita
hadapi". Sun Giok Hong manggut-manggut sambil berkata, "Murid perhatikan dengan
sepenuh hati pesan guru itu".
"Soal kedua" Thio Ciam Kui melanjutkan bicaranya, "aku wariskan ilmu golokku
seluruhnya kepadamu dengan harapan agar engkau kelak dapat juga menurunkannya
kepada generasi yang lebih muda. Bertepatan dengan kata kakakku Ciam Goan, usia
kita memang bisa menjadi tua, tapi ilmu kepandaian akan hidup sepanjang masa. Aku
tidak setuju dengan sistem perguruan ilmu silat yang sedikit kheng-pouw atau
merahasiakan siasat-siasat silat yang dianggap lihay, untuk secara istimewa
diturunkan kepada anak cucu atau murid-murid tertentu yang dianggap paling baik
dan disayang.'. Maka dengan berdasarkan ilmu golokku yang telah kuwariskan
kepadamu itu, semoga dunia silat akan terbuka matanya dan mengetahui bahwa
sistem kheng-pouw tidak akan memperoleh kemajuan-kemajuan, bahkan sebaliknya
pasti dikutuk habis-habis oleh generasi muda yang tentu menganggap kita selalu
mementingkan sanak keluarga dan sekelompok manusia yang disayangi saja!. Dan
sangat kuharapkan juga, generasi-generasi muda akan meneruskan cita-citaku ini.
Dengan demikian aku matipun puas, tetapi sebelum aku tinggalkan dunia yang fana
ini, gelar 'Ngo-seng-to-ong' akan kuserahkan padamu untuk dijaga baik-baik dan
selanjutnya diserahkan pula kepada seseorang yang kau kira tepat untuk
menerimanya!".
Begitulah Thio Ciam Kui telah menutup kata-katanya dengan tertawa terbahakbahak.
Hal manapun diturut oleh Sun Giok Hong, walaupun airmatanya mengucur karena
terharu mendengar kata-kata gurunya itu.
"Sekarang engkau boleh berkemas-kemas" kata jago silat kawakan itu sambil
menepuk-nepuk bahu muridnya.
"Segala pesan guru" kata Sun Giok Hong sambil menghapus airmata, "akan
kusimpan di dalam hati untuk selama-lamanya. Dan selaras dengan itu, akupun
berjanji untuk memuliakan nama guru dengan menurunkan ilmu golok kita kepada
para pemuda dan pemudi yang, berbakat serta dapat diharapkan akan juga
menurunkan ilmu golok guru kepada generasi yang lebih muda".
"Ha, ha, ha!. Nyata hanya engkaulah yang dapat menjajaki maksud hatiku"
bersorak Thio Ciam Kui dengan hati sangat gembira, hingga Giok Hong jadi menangis
tersedu-sedu karena rasa girang dan terharu yang bercampur aduk di dalam hatinya.
Sementara Thio Ciam Kui yang menyaksikan demikian, dengan tersenyum lalu
berkata, "Hus!. Kenapa mesti membuang-buang airmata dengan percuma". Seorang
gagah tak pernah menangis begitu rupa, kau tahu itu". Ha, ha, ha.'. Anak baik, mari
engkau temani aku minum arak sebagai landa cintaku dan mendoakan engkau agar
memperoleh sukses dalam penghidupanmu dimasa yang akan datang!. Mari, mari, tak
usah engkau menampik. Anggaplah aku ini sebagai ayahmu sendiri!".
Sambil berkata demikian, Ciam Kui lalu menyekal tangan muridnya untuk
kemudian diajaknya makan minum sebagai tanda selamat jalan.
Dan tatkala selesai berkemas-kemas, Giok Hong dengan rasa terharu mengucapkan
selamat tinggal kepada gurunya dan seluruh keluarga serta rekan-rekannya di kantor
Gie-cee Pio Kiok, maka segerlah ia berangkat.
Setibanya di kota Thian-cin, Giok Hong disambut dengan hangat oleh paman dan
saudara-saudara sepupunya. Giok San dan Giok Tian yang segera menjamunya
makan minum dengan gembira. Dan selama perjamuan itu berlangsung, Giok Hong
telah menuturkan riwayat perantauannya, dari kereta-kereta pio yang tengah
dilindunginya dirampok orang di Han-kee-chung sehingga kemudian ia berguru pada
It Kak Siansu dan Thio Ciam Kui. Sin Bu sekeluarga menjadi kagum dan berterima
kasih untuk kebaikan kedua jago-jago silat tersebut.
Sun Sin Bu alias In Hu yang sejak lama telah merasa usianya sudah agak lanjut
dan kurang leluasa untuk keluar bepergian mengurus pekerjaan kantor angkutannya
ke tempat-tempat jauh. Setelah menyaksikan sendiri kegagahan Giok Hong waktu
berlatih berpasangan dengan Giok San, maka tanpa ragu-ragu ia telah minta Giok
Hong untuk menjadi wakilnya untuk mengurus serta melindungi kereta-kereta pio di
manapun diperlukan.
Untuk tidak menyinggung perasaan Giok San yang namanya sudah terkenal dengan
nama julukan Thiat-kun Sun atau Sun si Tinju Besi, Giok Hong dengan rendah
mengalah supaya tugas itu diserahkan saja kepada saudara sepupunya itu. Tapi Giok
San lalu mendesak agar Giok Hong suka menerima tawaran ayahnya itu, hingga Giok
Hong terpaksa menerima baik tawaran tersebut dengan mengucap banyak-banyak
terima kasih atas kepercayaan sang paman itu.
Pada suatu hari Sun Giok Hong dan kakak sepupunya Sun Giok San pergi
menonton di gedung kesenian Tay Sie Kay di dalam kota Thian-cin. Apa mau dikata,
tatkala mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba punggung Giok San ditabrak orang.
Dia menjadi gusar dan mencaci maki, "Apakah matamu buta, hingga jalan yang ramai
ini kau anggap sepi". Nih.......Kau rasakan tinjuku!".
Sambil berkata begitu, Sun Giok San lalu menjotos dada orang itu sehingga jatuh
terpelanting dan muntah-muntah darah. Kemudian ia tertawa tergelak-gelak dan
berkata, "Kawan, itu tandanya bahwa aku Thiat-kun Sun masih suka mengampuni
jiwamu. Kalau tidak, niscaya kau akan kujotos hingga tulang-tulangmu remuk dan
jiwamu melayang seketika ini juga!".
Setelah itu ia mengajak Giok Hong berlalu meninggalkan orang laki-laki yang
tergeletak di tanah itu.
Di tengah jalan Giok Hong berkata kepada kakak sepupunya, "Kakakku, ilmu
kepandaianmu itu memang sangat lihay, tapi sayang tabiatmu terlampau keras dan
berangasan hingga tabiat itu perlu sekali kau ubah, agar kelak tidak sampai
mengakibatkan keonaran yang akan membahayakan bagi dirimu sendiri. Orang lakilaki
yang telah kau pukul tadi, sebenarnya tidak seberapa besar kesalahannya tapi
engkau telah main pukul orang tanpa-berpikir panjang lagi. Bukankah itu suatu
perbuatan yang keterlaluan sekali!".
Sun Giok San lalu bersenyum dingin dan berkata, "Kita hidup di jaman sekarang,
hendaknya dititikberatkan kepada keadaan yang memang sudah layak dan sesuai
dengan cara penghidupan di jaman ini. karena umumnya orang lebih segan
berhadapan dengan orang yang berintju keras daripada terhadap orang yang baik hati
dan bertabiat lemah lembut. Kita tidak berbuat salah kepadanya, tapi dia sendirilah
yang telah berlaku kurang hati-hati dan menabrakku. Maka jika aku telah
memukulnya, itu hanya untuk membuat ia berpikir dan selanjutnya jangan sampai
terjadi pula kesembronoan yang serupa, sama sekali bukan aku yang harus
dipersalahkan!. Aku sangat heran, mengapa engkau memihak kepada orang itu?".
Sun Giok Hong merasa tidak baik untuk bertengkar dengan Sun Giok San yang
keras kepala dan bertabiat berangasan itu. Maka dengan tidak berkata-kata, mereka
segera menonton pertunjukan yang diadakan digedung kesenian Tay Sie Kay.
Pada keesokan harinya, kira-kira di waktu lohor, seorang laki-laki setengah tua
telah datang ke kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok
untuk mencari Sun Giok San. Orang laki-laki ini bertubuh tegap dan kokoh,
dadanya berbulu, gerak-geriknya gesit dan wajahnya diliputi dengan kegusaran.
Biarpun ditilik dengan sepintas lalu saja, orang segera dapat mengetahui bahwa dia
itu adalah seorang yang paham ilmu silat.
Kebetulan waktu itu Sun Sin Bu tidak ada di kantornya, sedangkan Giok San sendiri
kebetulan juga sedang pergi keluar. Karenanya Giok Hong yang keluar menyambut,
menanyakan she dan nama orang itu serta apa maksud kedatangannya ke kantor Hin
Liong Pio Kiok.
"Aku she Ong bernama Kim Houw" sahut orang laki-laki setengah tua itu,
"dikalangan Kang-ouw orang mengenal aku dengan nama julukan Thiat-kun Ong atau
Ong si Tinju besi. Aku dengar di sini ada juga orang yang mempunyai nama julukan
yang sama, Thiat-kun Sun. Hari ini aku telah sengaja datang ke sini untuk menjajal
sampai dimana kelihayan tinju besinya si orang she Sun itu!".
Sun Giok Hong mendengar keterangan demikian, lekas-lekas mengangkat kedua
tangan memberi hormbat sambil berkata, "Oh, tidak tahunya tuan ini adalah Ong
Suhu. Silahkan duduk, silahkan duduk. Kakakku yang disebut Thiat-kun Sun itu,
kebetulan sedang pergi keluar hingga tidak dapat menyambut kedatangan Suhu".
Ong Kim Houw tampak agak kecewa lalu berkata, "Kalau begitu, bolehlah engkau
sampaikan pesanku ini kepadanya. Orang yang dipukulnya sehingga hampir mati
pada hari kemarin, bukan lain daripada saudara sepupuku, seorang yang tidak paham


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu silat sama sekali dan pekerjaannya adalah berjual beli barang-barang keperluan
sehari-hari. Kini aku hendak menuntut balas kepada Thiat-kun Sun untuk
perbuatannya yang ganas itu. Beritahukanlah padanya bahwa aku menunggu
kedatangannya esok hari di kelenteng Touw-tee-bio yang terletak 3 lie di luar kota.
Jika dia tak berani datang, akan kusiarkan tentang kepengecutannya itu kepada
seluruh pendekar di kalangan Kang-ouw, agar semua orang dapat mengetahui bahwa
Thiat-kun Sun hanya berani memukul orang yang lemah dan tak mengerti ilmu silat.
Jika sesudah itu ia masih tak mau meladeni juga tantanganku, walau ke ujung
langitpun akan kukejar dia, dan jangan harap ia akan dapat lolos dari cengkeraman
Thiat-kun Ong!".
Setelah berkata demikian, ia segera membalikkan badannya dan meninggalkan
kantor angkutan itu.
Sun Giok Hong jadi terbengong-bengong menyaksikan sikap orang itu yang begitu
kasar dan tidak memiliki kesopanan sama sekali. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri
untuk tidak memberitahukan tentang sikap Ong Kin Houw itu kepada kakak
sepupunya, selain menyampaikan tantangannya untuk bertempur di kelenteng Touwtee-
bio di luar kota Thian-cin.
Giok Hong mengetahui dengan baik bahwa pamannya Sin Bu adalah seorang tua
yang jujur dan adil dalam menimbang-nimbang urusan. Pasti pamannya itu akan jadi
gusar dan menghukum Giok San jika dia mengetahui bahwa hanya disebabkan
tertubruk sedikit saja, anaknya itu telah memukul orang hingga hampir mati. Maka
Giok Hong telah berlaku sangat hati-hati waktu menyampaikan berita tantangan kim
Houw kepada Giok San, yang telah menerima tantangan tersebut dengan satu
senyuman sinis.
Pada esok harinya, sesudah sarapan tengah hari, Giok San dengan diam-diam telah
mengajak Giok Hong menuju ke kelenteng Touw-tee-bio. Benar saja, di dalam
halaman kelenteng yang sudah tidak diurus itu telah menanti seorang laki-laki
setengah tua, yang bukan lain daripada Thiat-kun Ong adanya.
"Apakah engkau ini bukan Thiat-kun Ong Kim Houw yang telah menantang aku
kemarin?" Giok San menegur lebih dulu dengan suara keras.
"Benar" sahut laki-laki setengah tua itu sambil maju setindak dan membusungkan
dadanya. "Apakah engkau ini bukan Thiat-kun Sun?".
Orang yang ditanya lalu membenarkan sambil berkata, "Telah kukelahui dengan
jelas maksudmu dan untuk tidak membuang-buang waktu. jelaskanlah dengan cara
apa engkau hendak berkelahi dengan aku"
"Kemarin dahulu saudara sepupuku telah kau pukul, hanya karena dia lelah
menabrakmu dan kini jiwanya tengah terancam bahaya maut." kata Ong Kim Houw.
"Engkau dan aku mempunyai nama julukan yang sama Thiat-kun atau si Tinju Besi,
maka hari ini aku hendak mengetahui Thiat-kun Sun atau Thiat-kun Ong yang
tinjunya lebih keras!".
Giok San yang menganggap dirinya sendiri Thian-hee-tee-it atau nomor wahid di
kolong langit, sambil bersenyum dingin lalu menjawab, "Boleh..tentu boleh!.
Katakanlah cara bagaimana pertandingan itu hendak kau lakukan!".
"Begini" kata Ong Kim Houw tegas. "Engkau boleh mendahului memukulku tiga
kali. Jika engkau mampu merobohkanku, akan kubuang nama julukanku Thian-kun
Ong dan mengaku kalah. Tapi jika engkau yang kena kukalahkan, apakah engkau
juga bersedia untuk membuang nama julukanmu dan menyerah kalah kepadaku?".
Sun Giok San gusar bukan main mendengar kata-kata orang she Ong itu.
"Bagus!" katanya tanpa banyak pikir lagi. "Syaratmu itu kusetujui dan segeralah
engkau bersiap-siap untuk menerima pukulan-pukulanku!".
Dengan bersandar pada dinding tembok kelenteng, Ong Kim Houw lalu memasang
kuda-kuda dan berkata, "Thiat-kun Sun, engkau dapat segera mulai, aku telah siap!".
Giok San segera menyadari bahwa dia hendak diperdayai oleh lawannya itu. Maka
setelah menyingsingkan lengan bajunya serta melibatkan ujung bajunya ke
pinggangnya, Thiat-kun Sun lalu mengayun tinjunya untuk menghajar ulu hati orang
sambil berseru,
"Sambut tinjuku ini!".
Ong Kim Houw pasang mata betul-betul. Begitu melihat tinju lawannya
menyambar, lekas-lekas ia mengegos untuk menghindarkan pukulan itu. Dengan
mengeluarkan suara "buk" yang keras sekali, tinju Giok San telah menghantam
dinding tembok yang sudah tua itu sehingga gugur dan berlobang!. Debu dan
hancuran batu-bata berhamburan kian kemari tertiup angin lalu.
Tapi dengan mengambil kesempatan selagi Giok San hendak menarik pulang
tinjunya yang nyasar itu, Ong Kim Houw secara curang telah menyerang dengan
siasat Hek-houw-tauw-sim atau harimau kumbang mencuri hati, balas menumbuk ulu
hati Giok San dengan tinjunya yang besar dan kuat.
Syukur juga Giok San bermata jeli. Begitu melihat lawannya berlaku curang,
dengan segera ia mengegos untuk megelak pukulan yang datang itu. Kemudian
dengan sengit ia menyerang batok kepala Kim Houw dengan siasat Thay-san-ap-teng
atau Gunung Thay-san menindih kepala. Dahsyat dan ganas gerakan tinju Giok San
itu hingga untuk kedua kalinya Kim Houw lekas berkelit dan.............Duk!. Tinju Giok
San menghantam dinding tembok hingga membuat lobang yang lebih besar daripada
pukulannya yang pertama.
Ong Kim Houw yang melihat muslihatnya untuk membokong Ciok San telah gagal,
jadi sangat penasaran dan segera bersiap-siap untuk membarengi memukul agar ia
dapat berkelit dari serangan lawan yang akan datang itu.
"Engkau telah berlaku curang!" bentak Sun Giok San. Ong Kim Houw hanya
mengganda mesem saja tanpa perasaan jengah atas perbuatannya yang telah "phoatang"
atau tertangkap basah itu.
Kali ini dia tak menunggu sampai tinju Giok San menyamber tempat kosong dan
hendak langsung memotongnya di tengah jalan dengan siasat Hui-in-heng-kang atau
awan melayang-layang di sungai. Begitu tinju Giok San meluncur, lekas-lekas ia
mengangkat tinjunya sendiri dan terus dihantamkannya pada lengan Giok San sambil
berseru, "Nah rasakanlah, ini bagianmu!".
Giok San yang tidak mudah dikelabui orang, dengan sebat manarik- pulang
tinjunya, untuk kemudian berbalik dipukulkan kearah tinju lawannya.
Duk...........!. Suara beradunya kedua tinju itu telah membuat Sun Gio Hong yang
menonton di suatu pinggiran jadi terkejut bukan buatan. Karena begitu tinju kedua
orang itu saling beradu, Sun Giok San tampak terdorong mundur dan hampir jatuh
terlentang. Sedangkan Ong Kim Houw tak terasa lagi jadi menjerit dan terpental
menabrak dinding tembok di belakangnya sehingga jatuh keluar tembok yang telah
berlubang karena gugur dihantam dua kali oleh tinjunya Sun Giok.
Kemudian dengan perasaan yang masih ngilu pada tangannya yang bekas bertemu
dengan tinju Ong Kim Houw tadi. Giok San mendekati dinding tembok yang berlobang
itu dan berkata kepada Ong Kim Houw yang saja bangkit di sebelah luar, "Apakah
sekarang engkau suka menyerah?".
Ong Kim Houw yang mendengar demikian, lalu mencibirkan bibirnya sambil
mengejek, "Menyerah". Aku toh belum kalah, bagimana engkau dapat
menyuruh aku menyerah". Sekarang lebih baik kita bertempur dahulu untuk
mengetahui siapa yang lebih unggul dalam pertempuran ini'".
"Mulailah" kata Sun Giok San dengan hati yang sangat mendongkol.
"Sambut seranganku ini!" seru Ong Kim Houw sambil maju menerjang dengan
siasat Tay-peng-pok-niauw atau garuda menyambar burung. Dengan tinjunya yang
melancarkan pukulan maut, Kim Houw berniat membunuh tawannya dengan sekali
gebrak dan Giok Hong yang sedang menonton jadi terkesiap hatinya. Sambil
membanting kaki ia berseru, "Celaka!".
Tapi Sun Giok San yang juga sudah berpengalaman dalam pertempuran dan
sepasang tinju besinya telah sering membuat jiwa orang melayang dengan batok
kepala remuk atau tulang-tulang lengan patah dan kaki cacat, tampaknya tidak
menjadi kaget dengan serangan kilat lawannya itu.
Begitu Ong Kim Houw maju melancarkan serangan mautnya, dengan segera ia
menangkis pukulan lawannya itu. Setelah itu dengan gesit sekali tangan kirinya
menyerang kepala, sedangkan tangan kanannya menerjang tulang iga Kim Houw
sambil membentak, "Terimalah hadiahku ini!".
Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Kim Houw, bahwa bukan saja lawannya
mampu menangkis serangannya, malah ia sekaligus dapat balik" menyerang dirinya!.
Dalam keadaan bingung bercampur khawatir itu, Kim Houw tak lagi dapat
mengelakkan kedua tinju besi Giok San yang tepat mendarat di sasarannya dengan
mengeluarkan suara yang keras dan mengerikan sekali.
Duuuukkk............!. "Aduh!!" dan muncratlah darah segar dari mulutnya bagaikan
air mancur!. Dilain saat tubuh Kim Houw telah terpental ke suatu tempat yang
terpisah tidak kurang dari limabelas kaki jauhnya dan jatuh di tanah dengan tulang
iga patah serta batok kepala remuk terpukul tinju besi Giok San. Ternyata ia telah
menghembuskan napasnya yang penghabisan tepat di muka meja sembahyang
kelenteng Touw-tee-bio yang tidak terurus itu!.
Giok San yang khawatir apabila kematian Kim Houw diketahui I orang, mengajak
Giok Hong untuk segera mengubur mayat itu. Dalam perjalanan pulang ke dalam
kota, Giok San telah berpesan kepada Giok Hong dengan berkata, "Adikku, janganlah
kau beritahukan peristiwa ini kepada ayahku. Jika sampai ia mengetahui hal ini
...................".
Dengan paras muka khawatir Giok San tidak berani lagi meneruskan kata-katanya.
Giok Hong berjanji akan menutup mulutnya rapat-rapat, meskipun di dalam hati ia
merasa sangat menyesal menyaksikan Giok San yang begitu ganas telah mengirim
jiwa lawannya tanpa memikirkan pula akibatnya nanti.
0oo0 IV TAPI bagaikan asap yang sukar ditutupi, akhirnya ada juga orang yang mengetahui
tentang Sun Giok San yang bertempur dengan Ong Kim Houw sehingga yang tersebut
belakangan tewas jiwanya. Peristiwa tersebut dengan cepat tersiar luas dan
mengakibatkan kegemparan di seluruh kota Thian-cin. Lebih-lebih ketika pada esok
harinya kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok telah kedatangan seorang tua yang minta
bicara dengan Sun Sin Bu. Setelah dipersilahkan masuk ke ruangan tengah orang tua
itu mengadu kepada pemilik pio-kiok itu.
"Lo-hu bernama Ong Hoa Liong. Ong Kim Houw dan Ong Kim Giok adalah
kemenakan-kemenakanku. Mula-mula Kim Giok karena tidak disengaja telah
menubruk anakmu Giok San di muka gedung kesenian Tay Sie Kay, mengakibatkan
kemarahan anakmu yang lalu memukulnya sehingga muntah darah karena menderita
luka dalam. Sesudah itu Kim Houw datang menegur anakmu, tapi Giok San telah
menjadi gusar dan lalu memukulnya sehingga tewas. Kematian Kim Houw, sangat aku
sesalkan, karena bukan saja ia tidak memecahkan persoalan yang rumit ini tapi
sebaliknya ia telah menantang berkelahi anakmu itu. Jadi dalam hal ini, kesalahan
anakmu mungkin juga tidak seberapa besar, dan kusesalkan sekali tindak tanduk Kim
Houw yang terlampau semberono itu. Tapi bagaimana dengan kemenakanku Kim
Giok". Ia bukan seorang tukang berkelahi, bukan ahli silat, tapi hanya seorang
pedagang biasa. Mengapa anakmu main pukul saja dengan membabi-buta, hingga
mengakibatkan ia menderita luka-luka berat?".
Sin Bu jadi melongo dan bungkam sejenak bagaikan orang yang terkesima. Ia
menatap wajah orang tua itu yang angker dan bersinar mata tajam dan meski
tubuhnya tidak besar tapi tampak kekar dan gerakannya juga gesit. Dengan hanya
memperhatikan sepintas lalu saja, Sin Bu segera tahu bahwa dia itu adalah seorang
yang mahir ilmu silat
Sin Bu yang terlebih dahulu telah memperhatikan dengan seteliti-telitinya, lalu
dengan wajah yang berseri-seri menanyakan dengan sikap yang ramah, katanya,
"Ong Lo-su, anakku Giok San memang seorang yang mudah naik darah. Ia bertabiat
sangat keras dan tak suka mengalah kepada orang lain. Maka setelah terjadi
pemukulan atas kedua orang kemenakanmu itu, yang seorang menderita luka berat
dan yang seorang lagi meninggal. Pertama-tama terimalah rasa turut
berbelasungkawaku atas kematian saudara Kim Houw dan rasa sesalku yang
sedalam-dalamnya atas terluka parahnya saudara Kim Giok. sesungguhnya kejadian
ini terjadi diluar tahuku, maka aku mohon tanya kepsda Lo-su, cara bagaimana
baiknya peristiwa ini harus kita elesaikan ?".
"Lo-hu juga pernah belajar ilmu silat" kata Ong Hoa Liong, kemudian berkeliaran di
kalangan Kang-ouw sehingga berapa tahun lamanya. Bukan sekali-kali maksud Lo-hu
untuk membereskan persoalan ini dengan kekerasan. Jika semenjak kini Kiok-cu tidak
bertindak tegas terhadap anakmu itu, niscaya dikemudian hari ia akan mengulangi
perbuatannya yang tidak baik itu. Oleh karenanya, aku mohon supaya Kiok-cu segera
bertindak dengan secara bijaksana, tegas dan menghukum anakmu sebagaimana
mestinya. Kalau tidak, tak laluilah aku apa yang kelak akan terjadi atas dirinya".
Sun Sin Bu yang bertabiat jujur dan biasa bertindak bijaksana tanpa memilih bulu,
segera berjanji untuk menghukum anaknya itu menurut ketentuan-ketentuan yang
merupakan undang-undang rumah tangga bagi semua keluarga Sun. Hoa Liong
tampak merasa puas juga dan segera berjalan pulang dengan pikiran tenang dan
tidak banyak bicara pula.
Seperginya orang tua itu, Sin Bu segera memanggil Giok San yang semula dikutuk
keras perbuatannya yang tidak memandang perikemanusiaan dan main pukul orang
saja tanpa menimbang-nimbang dahulu duduk persoalannya. Kemudian ia tahan Giok
San dalam penjara rumah tangga yang terletak di belakang kantor angkutan Hin
Liong Pio Kiok.
Disitu Giok San ditahan tanpa dapat berbantahan, karenanya ia hanya berani
marah di dalam hati tapi "kuncup" dilahir. Tinjunya dikepal kepalkan kemudian
dipukulkan pada jubin di bawah kakinya yang segera hancur berhamburan bagaikan
tanah kering yang dihantam godam yang besar dan berat.
Giok Hong yang merasa kasihan, telah coba memintakan ampun kepada pamannya
agar Giok San bisa dibebaskan. Permintaan itu ternyata sia-sia belaka, paman Sun
tak mau mengabulkan permintaannya. Giok San tetap ditahan di situ untuk kemudian
baru dibebaskan jika tabiatnya yang aseran telah berubah menjadi baik dan sabar.
Demikianlah Giok Hong mendapat jawaban dari sang paman yang memegang sangat
keras peraturan rumah tangganya.
Setengah tahun kemudian ketika Giok Hong sedang menemani pamannya pergi
melindungi kereta-kereta pio kelain tempat, Giok San yang ditahan dalam penjara
rumah tangga telah meninggal dunia karena kesal dan tak dapat melampiaskan nafsu
amarahnya. Kedudukannya dalam kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok telah digantikan oleh
adiknya Giok Tien, yang kelak namanya terkenal sebagai seorang ahli silat yang
gagah perkasa, budiman dan luas pergaulannya di kalangan Kang-ouw.
Kala itu Giok Hong telah berusia 26 tahun, tapi dalam usia yangi masih cukup muda
itu, oleh pamannya ia telah diberi kekuasaan penuh untuk melindungi sendiri pio-pio
dengan tak pernah mengalami kerugian atau kegagalan dalam tugasnya sebagai piosu.
Disamping ia disegani karena kelihayan ilmu golok dan ilmu tendangannya, iapun
sangat ramah tamah. Tak heran, lambat laun hubungannya dengan orang-orang
gagah dan ahli-ahli silat yang mencari nafkah di kalangan Kang-ouw bertambah rapat
dan luas. Sedangkan para saudagar yang pernah menyewanya untuk melindungi
barang-barang mereka dengan selamat ke tempat yang dituju, jadi semakin banyak
dan selalu meminta dirinya untuk keluar melindungi sendiri pio-pio mereka itu.
Sebagai seorang muda yang masih gemar dengan pujian-pujian orang, Giok Hong tak
pernah menampik semua itu walau tempat yang dituju jauh dan berbahaya. Rekanrekannya
pun kerap kali memperingati untuk ia menolak saja melindungi pio-pio yang
kurang menguntungkan itu.
Pada suatu hari Sun Giok Hong telah menerima perintarj pamannya untuk
melindungi pio yang mengangkut bahan obat-obatan seperti Lok-jiong, Jim-som, dan
lain sebagainya. Dari kota Thian-cin ia menuju ke Thay-goan dalam propinsi Shoasay
dengan melalui kota Poleng, mendaki daerah pegunungan Thay-heng-san dan
memasuki wilayah propinsi Shoasay.
Selama Giok Hong bertugas sebagai pio-su, inilah untuk pertama kalinya ia
melakukan perjalanan ke barat. Dengan mengiringi duabelas buah kereta-kereta pio,
pada suatu hari ia tiba di sebuah kota kecil yang bernama Oey-po-tien dan terletak di
bawah kaki gunung Thay-hong-san, yang termasuk dalam wilayah propinsi Shoasay.
Kota ini hanya terdiri dari seratus rumah lebih, keadaannya cukup ramai dan serba
ada. Ada toko pakaian, kedai nasi dan minuman yang, seolah-olah dibuka untuk para
pelancong yang berkunjung ke situ. Rombongan Sun Giok Hong memasuki kota Oeypo-
tien diwaktu hari menjelang petang, oleh karena itu lekas-lekas ia mencari rumah
penginapan dan kedai nasi untuk mereka makan dan beristirahat.
Tatkala anak buahnya telah makan dan masuk tidur, Giok Hong yang belum makan
lalu keluar dari rumah penginapan dan menuju ke sebuah kedai minuman untuk
mencari makan dan arak yang menjadi kegemarannya.
Begitulah, setelah memesan arak dan daging, si pemuda lalu duduk makan dan
minum sambil menikmati pemandangan gunung Thay heng-san di waktu malam hari.
Dia belum duduk terlampau lama disitu, ketika dari kejauhan sekonyong-konyong
terdengar bunyi genta yang bergemerincing dengan dibarengi oleh suara kaki kuda
yang berjalan menuju ke kedai arak itu. Tatkala Giok Hong coba menjenguk keluar
jendela, dari arah jalan raya ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang berjenggot
pendek dan menunggang seekor kuda bulu gambir.
Usianya kira kira empatpuluhan, perawakan badannya tegap dan kekar, kepalanya
besar dan matanya bundar, alisnya yang hitam dan tebal, seimbang dengan kumis
dan jenggotnya yang pendek tapi lebat. Di pinggangnya ia menyoren golok yang
serangkanya diukir dan nampaknya sudah tua sekali.
Giok Hong yang melihat kedatangan orang itu, di dalam hatinya jadi tercekat
karena tiba-tiba ia teringat dengan istilah "Hiang-ma" atau penyamun tunggal, begal
berkuda yang biasa berkeliaran dengan hanya seorang diri saja dan merampok tanpa
bantuan konco-konconya yang lainnya. Para "Hiang-ma" serupa itu kerap berkeliaran


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di daerah propinsi Shoatang.
Sesampainya di muka kedai, orang laki-laki setengah tua itu lalu menambatkan
kudanya di bawah sebuah pohon, kemudian dengan tindakan yang garang ia
melangkah masuk ke dalam.
Setelah memilih tempat duduk yang justru tepat di seberang meja Giok Hong, ia
lalu memanggil seorang pelayan dan minta disediakan arak dan daging.
Dari situ ia memandang kearah si pemuda she Sun sambil bersenyum simpul. Giok
Hong tidak menegornya berhubung ia belum kenal siapa tamu yang baru datang itu.
Sambil makan dan minum, orang itu mencabut goloknya dan sambil meneliti golok
itu sesaat lamanya, kemudian berkata seorang diri, "Petang hari ini akan terbit hujan
ribut!". Giok Hong tidak paham apa yang dimaksud orang itu, tapi ia tinggal membisu.
"Dapatkah sebilah golok meramalkan keadaan hawa udara?" pikirnya heran. Diamdiam
ia merasa sangat kagum juga melihat sinar golok itu yang berkilau-kilau karena
sinar api yang terpantul di atasnya. "Inilah sesungguhnya sebilah golok mustika yang
baik sekali!" pikir si pemuda di dalam hatinya.
Lekas ia bangkit dari tempat duduknya, membayar harga arak dan makanan yang
dimakannya dan terus kembali ke rumah penginapan. Setelah memeriksa keretakereta
pio dan anak buahnya, ia masuk ke kamarnya dengan hati lega.
Pada esok harinya pagi-pagi benar, setelah membayar uang makan dan sewa
kamar, Giok Hong lalu memberangkatkan rombongannya seperti pada waktu mereka
berangkat semula, yakni tenang dan tidak tergesa-gesa.
Waktu sedang melalui tempat-tempat di sepanjang pegunungan Thay-heng-san,
kira-kira terpisah 10 lie dari kota Thay-goan, tiba-tiba Giok Hong telah dikejutkan oleh
suara genta yang gemerincing dan dibarengi dengan suara kaki kuda yang
mendatangi dari arah belakang rombongan kereta-kereta pionya. Giok Hong segera
mengetahui, bahwa di sebelah belakangnya ada orang yang sedang membuntutinya.
Tidak begitu lama terdengar suara sebatang hiang-cian atau panah bersuara melesat
dilepaskan orang ke jurusannya. Lekas-lekas ia mendekam di atas punggung kuda
untuk menghindari hiang-cian tersebut, yang ternyata benar menyamber dari
belakang dan lewat di sebelah atas kepalanya.
Tatkala ia menoleh ke belakang, barulah ia ketahui bahwa orang yang melepaskan
hiang-cian itu bukan lain daripada si jenggot yang lelah dijumpai di kedai arak
kemarin petang. Giok Hong jadi mendongkol dan siap sedia untuk menghadapi segala
kemungkinan. Orang itu, yang melihat Giok Hong dengan lincahnya telah dapat menghindarkan
diri dari hiang-ciannya, tertawa mengakak lalu berkata, "Hai bocah, sungguh berani
engkau melindungi kereta-kereta pio lewat disini!".
"Siapa kau, yang telah melepaskan hiang-cian secara pengecut sekali!" bentak Giok
Hong sambil menahan tali kekang kudanya.
"Lo-hu diwaktu berjalan tak pernah mengganti nama, diwaktu dudukpun tak
bersedia menukar she!" sahut si jenggot dengan sikap yang jumawa. "Aku Kwan Ban
Piu dari Shoasay yang sudah tidak asing lagi bagi semua orang. Kali ini Lo-hu telah
berturut-turut kalah berjudi hingga Lo-hu berhutang pada banyak orang dan belum
mampu melunaskannya. Maka engkau harus bisa melihat gelagat dan lekas-lekas
serahkan kereta-kereta piomu kepadaku. Kalau tidak, harus engkau ingat baik-baik
bahwa golokku ini tidak bermata!".
Sesudah berkata begitu, Kwan Ban Piu segera menghunus goloknya untuk
menggertak Sun Giok Hong, tapi Giok Hong bukanlah seorang pengecut. Mendengar
ancaman itu, segera ia menghunus goloknya sambil berkata, "Hai, begal she Kwan!.
Ternyata engkau keliru jika beranggapan bahwa dengan semudah itu engkau dapat
menggertakku!. Tapi jika engkau dapat mengalahkanku dengan secara jujur, akan
kuserahkan kereta-kereta pio ini padamu!".
Kwan Ban Piu tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" sahutnya. "Seorang laki-laki sejati
pasti takkan mengingkari kata-kata yang telah diucapkannya!. Sekarang mari aku uji
kata-katamu!".
"Sambil berkata demikian, si jenggot segera menepuk pantat kudanya yang lalu
melompat maju, sedang golok di tangannya dipakai membacok si pemuda dengan
gerakan secepat kilat.
Giok Hong lekas menahan tali kekang kudanya, kemudian menyambut bacokan itu
dengan goloknya sendiri.
Sret.....!. "Ah!" Giok Hong berseru kaget. Dengan mengeluarkan percikan api yang
berhamburan kian kemari, goloknya telah terpapas putus menjadi dua potong dan
membuat si pemuda terkejut bukan kepalang. Dengan begitu ia ketahui bahwa golok
Kwan Ban Piu itu sesungguhnya bukan golok sembarangan. Giok Hong yang tidak
mau menunjukkan kelemahan dirinya segera balas menabas si orang she Kwan
dengan goloknya sudah kutung itu.
Sret.....!. Buat kedua kalinya golok Giok Hong telah terpapas putus. Terpaksa ia
melemparkan goloknya yang sudah menjadi sangat pendek itu sambil menarik
mundur kudanya dengan secara tiba-tiba.
Kwan Ban Piu tertawa mengakak. "Apakah engkau sekarang telah mengetahui
sampai dimana kelihayanku?" tanyanya bangga.
"Engkau hanya mengandalkan pada golokmu yang baik itu" ejek Sun Giok Hong,
"tapi ingat baik-baik bahwa bukan engkau saja yang sungguh-sungguh dapat
dikatakan lihay".
Giok Hong merasa percuma saja untuk bertempur dengan lawannya itu karena
golok mustika yang dimiliki Ban Piu itu betul-betul amat tajam dan tiada tandingnya.
Untuk tidak merendahkan harga diri, diambilnya sebilah pedang, dengan apa ia maju
pula menempur berandal dari Shoasay itu.
Seperti juga pertempuran dalam babak pertama, perkelahian dalam babak inipun
berkesudahan sama. Pedang Giok Hong putus menjadi beberapa potong!.
"Ha, ha, ha!" tertawa si berandal she Kwan. "Apakah sekarang engkau suka
menyerah kalah kepadaku?".
Giok Hong tidak menjawab tapi segera membalikkan kudanya untuk lari
meninggalkan lawan itu.
Kwan Ban Piu membedal kudanya untuk menyusul sambil membentak, "Jangan
lari!". Diwaktu kejar-kejaran itu terjadi, Sun Giok Hong telah mendapat suatu pikiran
yang bagus sekali untuk merobohkan Kwan Ban Piu, ialah dengan menggunakan
senjata rahasia. Ketika Kwan Ban Piu berada pada jarak yang terpisah 20 tindak lagi
jauhnya, tiba-tiba si pemuda menjumput sebuah hui-piauw dari dalam kantong kulit
lalu disambitkan ke belakang untuk melukai si pengejar.
Kwan Ban Piu yang sedari tadi telah dapat menduga maksud sang lawan, begitu
melihat piauw itu meluncur ke arahnya, dengan sebal ia menyampok dengan goloknya
hingga piauw itu jatuh ke tanah.
Giok Hong jadi terkejut. Ia tak putus asa, malah ia sambitkan pula piauw yang
kedua. Piauw inipun telah dapat dibacok jatuh oleh golok Kwan Ban Piu sehingga
putus menjadi potongan-potongan besi
"Celaka!" pikir si pemuda. "Untuk dapat mengalahkan Kwan Ban Piu, aku harus
mempunyai senjata yang cukup kebal!".
Kemudian dengan nekad ia putar kudanya 180 derajat sehingga ia tepat berhadaphadapan
dengan kuda si begal she Kwan yang sedang mendatangi itu.!.
"Sekarang sambutlah baik-baik jimatku ini!" bentaknya dengan suara penasaran
dan mendongkol. Bersamaan dengan berakhirnya bentakan itu, meluncurlah tiga buah
piauw berturut-turut ke jurusan Kwan Ban Piu, yang terpaksa harus putar goloknya
demikian keras hingga bagaikan baling-baling saja cepatnya. Tiba-tiba Kwan Ban Piu
King sedang sibuk sekali menghalau ketiga piauw itu jadi sangat terkejut karena
kudanya telah meringkik keras sambil secara keras pula menggoncangkan tubuhnya
yang besar itu. Ia tidak berdaya menahan tali kekang kudanya, dilain saat ia telah
jatuh terjungkal dan roboh terjerumus ke dalam solokan!. ternyata Giok Hong telah
Pedang Tanpa Perasaan 13 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Ksatria Negeri Salju 6
^