Pencarian

Golok Naga Kembar 5

Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bagian 5


gagal itu. Dalam keadaan begitu, Phang Tek baru mengetahui, selain Ciok Tiauw Beng dan
Liok Houw yang terluka dan kena ditawan oleh pihak musuh, ada pula beberapa belas
orang antara kawan-kawan mereka yang telah ketinggalan dan tidak diketahui
bagaimana nasibnya.
Hal mana, telah mebuat Phang Tek jadi semakin gusar dan penasaran.
"Aku merasa amat tidak senang telah dilukai oleh piauw Sun Giok Hong di bagian
punggungku!" gerutu Wan Gu, "maka buat itu aku bersumpah untuk menuntut
balas!". "Sudah jelas bahwa pembalasan itu harus kita lakukan" kata Phang Tek, "hanya
amat disayangkan bahwa pada petang hari ini kita telah mengalami kegagalan karena
tidak mempunyai orang-orang yang berkepandaian cukup tinggi!".
"Kalau begitu, mengapakah kita tidak mengundang seorang yang berkepandaian
tinggi untuk membantu kita sekalian?" selak Ong Kui yang merasa tersinggung dan
disindir oleh omongan orang she Phang itu.
"Kita boleh kumpulkan sejumlah uang yang cukup besar jumlahnya untuk menyewa
orang-orang gagah!".
"Siapakah gerangan orang gagah yang dapat menandingi Sun Giok Hong itu?"
Phang Tek bertanya.
"Dialah kepala berandal di gunung Ngo-tay-san yang bernama Han Eng, yang di
kalangan Kang-ouw terkenal dengan nama julukan Hui-san-houw atau si harimau
terbang" menerangkan Wan Gu. "Oleh karena ia mahir ilmu pedang dan biasa
merantau dengan berkuda sendirian di daerah sembilan propinsi, maka iapun digelari
orang sebagai Kiu-seng-kiam-khek atau jago pedang dari sembilan propinsi. Ilmu
pedangnya sama tingkatannya dengan Tiang-kang-tay-hiap (pendekar agung di
sepanjang sungai Tiang-kang) yang bernama Oey Cu Sin. Oleh sebab itu, maka
timbullah suatu peribahasa Lam Oey Pak Han atau Oey Cu Sin menjagoi di Selatan
dan Han Eng menjagoi di Utara. Nama mereka berdua sangat tersohor di kalangan
Kang-ouw, hingga tuan-tuan sekalianpun mungkin pernah mendengarnya".
"Oh, benar, benar!" sahut Phang Tek, "jika Wan Hian-tee tidak menyebut-nyebut
namanya, aku hampir lupa dengan Hui-san-houw yang tergolong sebagai seorang ahli
pedang kelas satu ini. Tapi sayang, tempat kediamannya kurang jelas, juga belum
diketahui apakah ia sudi mendukung maksud kita untuk melakukan pembalasan atas
diri Sun Giok Hong". Hal ini perlu juga kita selidiki dahulu dengan sebaik-baiknya".
"Persoalan ini tak usah dikhawatirkan lagi" kata Wan Gu. "Aku dan Han Eng
mempunyai hubungan sebagai sanak saudara. Isteri kemenakan pamanku yang juga
berdiam di desa Han-kee-chung, masih saudara sepupu dengan Hui-san-houw Han
Eng. Dengan bantuan isteri kemenakan pamanku itu, bukan saja kita akan dapat
mencari tempat kediaman Han Eng, juga aku berani pastikan bahwa Han Eng takkan
menampik permintaan kita, asalkan kita sediakan uang yang cukup banyak untuk
diberikan kepadanya sebagai tanda jasa".
Phang Tek jadi girang sekali mendengar keterangan Wan Gu.
"Kalau begitu, aku ada suatu sumber untuk kita mencari uang dengan secara
mudah" katanya. "Kota Thay-goan dalam propinsi Shoasay terdapat banyak sekali
Gin-chung atau bank-bank partikelir kecil dan besar. Dari Shanghai hampir setiap hari
ada uang yang diangkut ke kota Thay-goan dengan melalui jalan gunung di daerah
Thay-heng-san. Kita sekalian boleh menantikan di sana sambil beristirahat. Jika ada
kereta-kereta yang mengangkut uang, kita serang dengan serentak dan rampok
semua urang dan apa yang ada".
Semua orang menyatakan mupakat dengan usul Phang Tek itu.
Dengan meninggalkan beberapa belas orang yang terluka dan perlu dirawat
terlebih dahulu, Phang Tek telah mengajak duapuluh orang kawannya yang masih
segar untuk bersembunyi di suatu tempat yang terpisah 50 lie jauhnya di arah selatan
dari pegunungan Thay-heng-san. Di situ terdapat sebuah jalan raya penting yang
menghubungkan lalulintas antara propinsi-propinsi Shoasay dan Kangsouw. Tidak
berapa jauh dari jalan itu ada sebuah anak bukit yang bernama Beng-houw-kong.
Daerah di sekitar anak bukit itu ditumbuhi oleh pohon-pohon besar yang rindang dan
semak-semak yang lebat, hingga kawanan perampok dengan mudah mengintai keluar
dari dalam rimba, tapi sukar sekali untuk orang melihat mereka yang bersembunyi di
dalamnya. Dengan berpura-pura mengantuk sambil meletakkan golok Toa-ma-to di
pangkuannya, Phang Tek duduk melenggut di bawah sebuah pohon yang berdaun
rindang. Keduapuluh kawan-kawannya bersembunyi di dalam rimba di bawah anak
bukit Beng-houw-kong sambil menantikan mangsanya.
Tidak berapa lama, dari kejauhan Phang Tek tampak serombongan kereta-kereta
yang tediri dari sepuluh buah lebih banyaknya, tengah mendatangi ke arah bawah
anak bukit itu. Dengan girang ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil
berkata, "Disana sudah tampak rombongan kereta-kereta yang sedang mendatangi!.
Bersiap-siaplah untuk turun tangan begitu mendengar komandoku!".
Rombongan kereta-kereta pio yang sedang mendatangi itu, ternyata mengibarkan
panji-panji yang bertuliskan lima huruf SHOA SAY ENG SIN TONG atau kantor
angkutan Eng Sin Tong di Shoasay. Di muka kereta yang pertama tampak seorang
pemuda yang menunggang seekor kuda besar dengan membahwa golok Tay-kam-to
di tangannya. Mula-mula Phang Tek sudah hendak mencegatnya sambil memberi komando untuk
kawan-kawannya yang berjumlah banyak itu untuk keluar melakukan penyerbuan
kilat. Tapi ia jadi kaget waktu melihat di pinggang pio-su muda itu menyoren sepucuk
senjata api yang masih baru, maka ia batalkan maksudnya dan tinggal berpura-pura
melenggut untuk menantikan saat yang baik untuk merampas senjata api itu dari
tangan pemiliknya.
Si pio-su muda yang terlebih dahulu telah mengetahui bahwa Phang Tek sedang
berlagak mengantuk, segera menahan tali kekang kudanya sambil tersenyum dan
berkata, "Kawan, tak usah engkau berpura-pura mengantuk disini!. Enyahlah engkau
dari situ, kalau tidak janganlah engkau mengatakan bahwa peluruku ini terlampau
ganas!". Phang Tek tetap tinggal bersandar pada pohon sambil menundukkan kepalanya.
Walaupun dengan "meram-meram ayam" ia telah melihat jelas segala gerak-geriknya
pio-su muda itu.
"Kurang ajar!" pikir si pio-su yang menganggap peringatannya dianggap "sepi" oleh
Phang Tek yang ia duga pasti bukan lain daripada seorang kepala berandal.
Segera saja dicabutnya senjata apinya itu, yang larasnya ditujukan ke arah Phang
Tek dan menjalankan kudanya menghampiri ke jurusan Phang Tek yang sedang
berpura-pura melenggut di bawah pohon.
Ketika ia berada tidak berapa jauh lagi dari si berandal, tiba-tiba dari dalam rimba
melesat keluar puluhan anak panah yang ditembakkan dengan serentak ke diri pio-su
muda itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, ia jatuh dari kudanya dan putus
nyawanya seketika itu juga.
Sementara Phang Tek yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang terbaik itu,
segera melompat bangun dan merampas senjata api pio-su muda itu dan mengancam
setiap orang yang berani coba membuat perlawanan. Kemudian ia memberi komando
supaya Wan Gu dan kawan-kawan yang lainnya merampas kereta-kereta pio itu,
setelah terlebih dahulu mengusir tukang-tukang kereta yang bertugas mengangkut
peti-peti uang itu dengan diancam akan dibunuh jika mereka sekalian tidak lekaslekas
meninggalkan tempat itu.
Setelah masing-masing mengambil sebagian dari hasil rampokan itu, selebihnya
yang berjumlah cukup besar akan mereka serahkan kepada Hui-san-houw Han Eng
sebagai "uang jago" untuk membunuh Sun Giok Hong.
"Dengan sejumlah emas dan perak yang kita peroleh dan sediakan untuk Hui-sanhouw
ini" kata Phang Tek, "niscaya akan tamatlah riwayat hidup si bocah she Sun itu.
Tapi kita belum tahu emas dan perak ini harus kita angkut ke mana, agar supaya
mudah dipersembahkan kepada Hun-san-houw Han Eng?".
"Emas dan perak ini baiknya kau simpan saja dahulu" kata Wan Gu. "Jika nanti aku
kembali dari Han-kee-chung dan telah mengetahui di mana ia berada, barulah kita
beramai-ramai mempersembahkan kepadanya".
Orang banyak menyatakan mupakat dengan usul Wan Gu itu. "Kalau begitu, aku
serahkan pekerjaan ini ke dalam tangan Wan Hian-tee saja" kata Phang Tek.
Wan Gu berjanji akan melakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya dan kembali
selekas mungkin. Kemudian ia berangkat ke desa Han-kee-chung hari itu juga.
Berselang dua atau tiga hari kemudian, benar saja Wan Gu telah kembali serta
memberitahukan kepada Phang Tek dan kawan-kawannya. Hui-san-houw Han Eng
telah menyatakan kesanggupannya untuk menumpas Sun Giok Hong di desa Sunkee-
chung, hingga semua orang jadi girang dan berangkat ke Ngo-tay-san pada
keesokan harinya.
Oleh karena Wan Gu telah membuka hubungan antara mereka dan Hui-san-houw
dengan menerangkan tentang "syarat-syaratnya" yang terpenting, maka sudah
barang tentu hubungan itu menjadi "sangat licin". Kedatangan mereka sekalian telah
disambut di muka pintu gerbang desa Han-kee-chung oleh Han Eng dengan
senyuman paling lebar yang pernah ditunjukkan seumur hidupnya!.
Hui-san-houw Han Eng mengajak para tamunya berkumpul di kelenteng leluhur
dari keluarga Han, dimana diadakan perjamuan untuk mengundang mereka sekalian
untuk makan minum sepuas-puasnya.
Hui-san-houw Han Eng yang berusia tigapuluh dan bertubuh katai, tegap, wajahnya
keren dan tenaganya kuat, sedang sinar matanya amat jeli dan tajam."
Sambil menyampaikan kata-kata yang bukan-bukan, orang banyak sengaja
memanaskan hati si Harimau Terbang, yang katanya dianggap "sepi" oleh Sun Giok
Hong, hingga Han Eng mendongkol bukan buatan.
"Kalau nanti aku berhadapan dengan bocah she Sun itu" kata Hui-san-houw,
"niscaya akan kuputar lehernya sehingga tulang kepalanya copot dari tubuhnya!".
"Ya benar. Memang demikianlah ia harus dikasih pelajaran" Phang Tek sengaja
membesar-besarkan hatinya. "Orang she Sun itu sering membual, ia punya nama
julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli golok dari lima propinsi utara. Tapi dia lupa, bahwa
disamping dia masih ada orang lain yang punya nama julukan jauh lebih tinggi
daripada dirinya. Apakah dia mampu menandingi Han Lo-su, yang mempunyai nama
julukan Kiu-seng-kiam-khek (ahli pedang dari sembilan propinsi)". Lima mana bisa
menang dengan sembilan". Tapi toh dia masih berani mengejek dan mencela orang.
Ilmu pedang Han Lo-su dikatakan boleh memungut dari keranjang sampah!. Apakah
omongan itu bukan berarti menghina orang lebih dari aturan?".
"Apa betul bocah she Sun itu pernah menghina aku begitu rupa?" tanya Han Eng
dengan hati mendongkol.
"Kata-kata ini bukan hanya aku seorang yang dapat mendengarnya" kata Phang
Tek pula, "tapi banyak diantara saudara-saudara yang berkumpul di sini ada juga
yang pernah mendengar".
"Ya, ya, aku membenarkan apa kata Phang Toa-ko itu" kata beberapa orang
dengan suara yang hampir berbarengan.
Karuan saja Han Eng jadi amat gusar, lalu mengambil pedangnya dan memberi
hormat kepada sekalian tamunya sambil berkata, "Saudara-saudara, untuk
menunjukkan sedikit ilmu pedangku yang rendah, dengan demikian engkau semua
dapat melihat bahwa aku bukan memperoleh nama julukan Kiu-seng-kiam-khek yang
kosong melompong. Kini perlu kiranya aku juga bermain-main untuk menyenangkan
hati para saudara-saudara dengan pedangku ini".
Sesudah berkata demikian, Han Eng lalu mempererat angkinnya, menyingsingkan
lengan bajunya dan bersilat di tengah ruangan kelenteng Han-sie-tay-tiong-su yang
luas itu dengan bergerak bagaikan merak yang membentangkan sayap. Kemudian,
dengan gerak-gerik yang hampir tidak kelihatan, ia putar pedangnya bagaikan balingbaling
diterjang angin topan, bersuara menderu-deru dengan sinar pedangnya
menyamber ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Begitu ia berseru, "Aku pergi!",
dalam waktu sekejapan mata saja ia telah mencelat ke atas genteng. Kemudian dari
sana ia berlompat sambil menukik dan kembali ke ruangan sembahyang bagaikan
burung walet yang pulang ke dalam sarangnya, hingga Phang Tek dan kawan-kawan
jadi bertepuk tangan riuh sebagai tanda amat kagum akan kepandaian permainan
pedang Han Eng yang sangat lihay itu.
"Orang she Sun itu kerap membual bahwa dia Thian-he-tee-it atau paling jago di
kolong langit" kata Phang Tek, "itu mungkin hanya ditujukan terhadap orang-orang
penakut saja. Kali ini jika ia bertempur dengan Han Lo-su, niscaya ia akan 'kena
batunya'. Dia pasti akan mewek bertempur dengan Kiu-seng-kiam-khek!. Ha, ha,
ha!". Han Eng jadi sangat bangga dan menganggap bahwa Phang Tek dan kawan-kawan
baru pernah menyaksikan permainan pedang sehebat apa yang barusan
dipertunjukkannya itu.
"Apakah kepandaianku ini kiranya cukup untuk meladeni bertanding bocah she Sun
itu?" tanyanya bangga.
"Jangankan seluruh kepandaian Han Lo-su, jika ia mampu meladeni separuh saja
dari itu. Aku boleh namakan dia pendekar agung It-ho-it atau nomor wahid dari yang
nomor wahid!" ucap Wan Gu yang dalam keadaan separuh mabuk.
Hingga hari larut malam, barulah perjamuan itu ditutup dan para tamu
dipersilahkan masuk beristirahat ke kamar masing-masing, yang memang telah
disediakan oleh Han Eng pada beberapa hari di muka sebelum kedatangan mereka.
Begitulah, setelah menyimpan emas dan perak "hadiah" Phang Tek dan kawankawan,
Han Eng segera bersiap-siap untuk berangkat ke desa Sun-kee-chung untuk
"menjumpai" Sun Giok Hong di sana.
Dari desa Han-kee-chung mereka mengajak Han Eng ke desa Phang-kee-chung,
dimana mereka beristirahat dua hari lamanya. Dengan membekal senjata, mereka
berangkat ke Sun-kee-chung pada hari yang ketiga. Di perbatasan propinsi Ho-pak,
karena hari sudah menjelang malam, maka terpaksa mereka menginap dalam sebuah
rumah penginapan di desa Yo-bwee-kie, yang letaknya hanya terpisah 20 lie lebih
jauhnya dari desa kelahiran Sun Giok Hong yang dituju itu.
Pada petang hari, hawa udara justru agak panas. Sambil duduk makan dan minum
dengan asiknya, Phang Tek dan kawan-kawannya melayani Hui-san-houw Han Eng
mengobrol dan terus memanaskan hatinya dengan cara yang licik, dengan harapan
napsu amarahnya kepada Sun Giok Hong semakin menjadi-jadi.
Tidaklah heran jika Han Eng yang kurang berakal jadi sangat gusar dan
menggebrak meja di hadapannya sehingga roboh dan sesumbar, "Jika aku kalah
dengan bocah she Sun itu, aku rela membuang nama julukanku, meninggalkan rumah
tanggaku sendiri dan mencukur rambutkan dan menjadi hweeshio!".
Tapi apa mau dikata, suara Hui-san-houw yang begitu nyaring dan dapat didengar
dengan jelas oleh setiap orang, telah menarik perhatian orang-orang yang berkumpul
di luar kedai dalam rumah penginapan itu, tanpa mereka sekalian sadar. Banyak di
antara orang-orang yang berada di situ adalah murid-murid Sun Giok Hong. Setelah
mengetahui bahwa kawanan perampok itu hendak menyerbu ke tempat kediaman
guru mereka, orang-orang itu segera melaporkan kejadian tersebut kepada Sun Giok
Hong selekas mungkin. Giok Hong segera bersiap-siap mengatur penjagaan dengan
dibantu oleh isterinya, Louw Tek Keng, Sun Giok Tien dan yang lain-lainnya.
"Dalam penyerangan yang pertama, kebanyakan dari mereka telah berhasil
meloloskan diri" kata Sun Giok Hong sambil tertawa, "tapi kali ini kita tak boleh lagi
mengampuni mereka, lagipula untuk menghindari bahaya yang mungkin mereka
timbulkan dimasa-masa yang akan datang".
"Di antara keduapuluh orang penyamun itu" kata Louw Tek Keng, "kabarnya ada
seorang yang bersenjatakan sepucuk pistol model yang terbaru dan sangat
berbahaya. Saudara Giok Hong harus lebih waspada dan berhati-hati menghadapi
orang itu dalam pertempuran nanti".
"Orang yang bersenjatakan pistol itu hanya Hui-san-houw seorang" kata Sun Giok
Hong, "maka disamping dia, tak usahlah kita merasa khawatir apa-apa. Aku akan
turun tangan sendiri untuk meladeni dia".
Selanjutnya, untuk mengetahui terlebih dahulu tentang kedatangan kawanan
perampok itu. Giok Hong telah memerintahkan orang melepaskan beberapa belas
ekor anjing galak di luar pagar tembok desa Sun-kee-chung. Kalau kemudian
terdengar anjing-anjing itu menyalak, orang-orang seluruh desa dapat segera
bersiap-siap untuk menyambut kedatangan musuh. Dengan demikian, mereka tak
usah bersusah payah keluar meronda sendiri di sekitar desa itu.
Pada keesokan harinya di waktu tengah hari, beberapa keluarga Sun telah
melaporkan kepada Giok Hong, bahwa ada seorang laki-laki yang bertubuh gemuk
katai datang menantang Sun Chit-ya berkelahi satu lawan satu di luar desa Sun-keechung.
Orang itu mengaku bernama Hui-san-houw dari Ngo-tay-san.
Tatkala Giok Hong menanyakan ada berapa orang yang turut dengannya, sanak
saudara Giok Hong menjawab, "Hanya Hui-san-houw seorang diri".
"Orang telah memberitahukan kepadaku" kata Sun Giok Hong, "bahwa Hui-sanhouw
datang kemari dengan mengajak 20 orang lebih kawan-kawannya. Maka kalau
ia datang hanya seorang diri saja, kawan-kawannya pasti bersembunyi di tempattempat
yang berdekatan untuk membokong selagi kita berlaku lengah".
Begitulah, setelah memerintah Giok Tien supaya memberi komando untuk seluruh
penduduk desa yang paham ilmu silat melakukan penjagaan di sekitar desa Sun-keechung,
Giok Hong sendiri dengan diiring oleh isterinya, Louw Tek Keng dan beberapa
orang sanak saudaranya keluar dari dalam desa untuk memenuhi tantangan Hui-sanhouw
itu. Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah mendapat kabar bahwa Hui-san-houw
Han Eng membawa juga senjata api modern, selalu berlaku waspada dan lebih banyak
menaruh perhatian terhadap senjata asing tersebut.
Agar jangan dikatakan bahwa ia hendak mengeroyok musuh yang datang


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menantangnya bertempur satu lawan satu, maka Giok Hong telah minta isterinya,
Louw Tek Keng dan yang lain-lainnya untuk pergi bersembunyi dan memperhatikan
pertempuran itu dari kejauhan saja, sedang ia sendiri menghampiri Han Eng.
Setelah saling berhadapan, Hui-san-houw Han Eng telali mendahului menegur
dengan suara bengis, "Apakah engkau yang bernama julukan Ngo-seng-to-ong Sun
Giok Hong?" katanya dengan matanya yang menyala-nyala.
"Aku yang rendah memang kebetulan bernama Sun Giok Hong" sahut Giok Hong
tenang. "Apakah benar engkau telah mengatakan bahwa ilmu silat yang kupunyai berasal
dari tong sampah!" bentak Hui-san-houw dengan gusar.
"Sepanjang ingatanku, belum pernah aku membuat atau menghina siapapun juga"
jawab Giok Hong. Lalu ia menambahkan dengan berkata, "Tapi, janganlah engkau
menganggap dengan jawaban ini aku hendak mengelakkan tantanganmu sehingga
engkau jadi tidak puas nanti!".
Mata Han Eng jadi membelalak karena sangat gusar mendengar omongan Giok
Hong yang "manis-manis pahit" itu. Dengan suatu gerakan yang hampir tidak
kelihatan, ia telah menyerang dengan pedangnya dalam siasat Pan-ken-ciok-kiat atau
mencabut arah dan membacok cabang. Pedangnya ganas sekali menusuk ke arah ulu
hati si orang she Sun, yang jadi terperanjat sekali dengan serangan tiba-tiba itu. Giok
Hong pernah mendengar bahwa Hui-san-houw Han Eng yang bernama julukan Kiuseng-
kiam-khek, pasti ilmu pedangnya tidak mengecewakan dan tak boleh dibuat
gegabah. Sembari mencabut goloknya sendiri, ia telah menjejaknk kedua kakinya
dengan siasat Tui-hong-hoa-tian atau mengejar angin memburu kilat. Tubuhnya
segera mencelat tinggi di udara lalu turun dengan gaya yang manis sekali sambil
mencekal Golok Naga Kembar di tangannya.
"Ilmu meringankan tubuh yang bagus sekali!" Hui-san-houw tanpa dapat ditahan
telah mengucapkan kata-kata pujian itu. Ia tak mundur ketika untuk lawannya
menyerang, segera ia menerjang lagi dengan siasat Hong-pai-yo-cit atau angin
meniup patah cabang pohon, pedangnya menyabet batang leher Giok Hong dahsyat
sekali. Giok Hong lekas-lekas menangkis dengan belakang goloknya, lalu dengan siasat
Pa-ong-keng-ciu atau Raja Co Pa Ong menyuguhkan arak, ia menusuk tenggorokan
Hui-san-houw. Si berandal harus mundur menghindari serangan itu, lalu pertempuran
hebat lantas terjadi antara kedua jago silat itu.
Setelah pertempuran berlangsung selama sepuluh jurus lebih dan masih juga tak
ada yang kalah, si berandal yang merasa khawatir tidak dapat mengalahkan
musuhnya, sekonyong-konyong memekik keras dan menyerang berturut-turut dengan
tiga tusukan maut. Ketiga tusukan itu mengarah ke bagian lawan yang terlemah, ulu
hati, tenggorokan dan perut, yang dilancarkan dengan nekad sekali, tapi serangannya
itu dapat dielakkan dengan baik sekali oleh Giok Hong.
Pada suatu ketika Hui-san-houw menyerang dengan siasat Kong-ciok-kai-peng atau
burung merak membentangkan kedua sayapnya, pedangnya disabetkan ke tubuh
Giok Hong ganas bukan main. Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara
berkontrangan dari kedua senjata yang saling beradu itu, lelalu api segera tampak
muncrat kian kemari. Tubuh kedua orang itu tampak tergetar seluruhnya karena
dengan sekuat tenaga mereka tengah mempertahankan keseimbangan diri masingmasing.
"Ah!" seru Han Eng dengan hati terkesiap, ketika melihat pedang mustika miliknya
putus menjadi dua potong kena ditabas Golok Naga Kembar.
Giok Hong segera masukkan goloknya ke dalam serangka, lalu tangannya merogo
tiga batang piauw. Setelah itu ia bersiap sedia untuk menyerang Hui-san-houw,
kalau-kalau dia ini menggunakan pistolnya.
Tepat sebagaimana dugaan Giok Hong semula, Hui-san-houw sudah berniat
mencabut senjata api itu dari pinggangnya. Tapi, cepat bagaikan menyambernya sinar
kilat, Giok Hong telah berhasil dapat mendahului menyambit dengan piauwnya ke
arah tangan Hui-san-houw yang baru saja mencabut senjata api tersebut. Pistol itu
jatuh ke tanah dan tampak tangan yang semula menyekal pistol itu terluka dan
mengeluarkan banyak darah.
Hui-san-houw tidak mau menyerah mentah-mentah, lekas-lekas ia berjongkok
untuk memaksakan diri memungut pistol itu. Tapi, piauw yang kedua telah
menyamber dan nancap pada lengannya, hingga lengannya kembali tampak
berlumuran darah. Hui-san-houw lekas bangun berdiri tatkala melihat Giok Hong telah
berada di hadapannya, tanpa ia sendiri mengetahui bagaimana caranya Giok Hong
dapat bergerak sedemikian cepatnya.
Dengan menggunakan salah satu serangan dari ilmu Eng-jiauw-kun, Giok Hong
telah menerjang musuhnya dari tiga jurusan, atas, tengah dan bawah sekaligus.
Begitupun kedua kakinya tidak dilupakan untuk dipergunakan dengan sehebathebatnya,
menendang, menyapu atau menggaet kaki musuh dengan gerakan secepat
kilat. Hui-san-eng Han Eng terpaksa menangkis serangan-serangan Giok Hong dengan
tangan kirinya, berhubung tangan kanannya telah dua kali dilukai oleh piauw-piauw si
pemuda she Sun sehingga tangan itu basah dengan darah yang mengucur tidak hentihentinya.
Melihat demikian, Giok Hong terpaksa harus menyimpan sebuah piauwnya
yang belum dipergunakan.
Ketika pertempuran berlangsung beberapa jurus lamanya, Hui-san-houw yang
merasa tidak sanggup lagi melawan Giok Hong dengan hanya mempergunakan
sebelah tangannya saja. Lekas-lekas Han Eng lompat mundur sambil mengelakkan
jotosan yang meluncur ke arah dadanya. Tapi Giok Hong mendesak terus dengan
amat dahsyatnya, sehingga akhirnya si Harimau Terbang kena juga ditendang
punggungnya sehingga jatuh meringkuk di atas tanah dan tidak ingat orang lagi.
Tatkala Louw Tek Keng dan yang lainnya keluar dari tempat persembunyian
mereka, Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah memungut senjata api yang jatuh
di tanah itu, lalu minta supaya Tek Keng mengambil air untuk menyiram Hui-sanhouw
sehingga siuman. Dengan suara tenang ia berkata, "Hui-san-houw, mengingat
bahwa kita tak pernah bermusuhan satu sama lain, maka aku tak mau menurunkan
tangan jahat untuk membinasakan jiwamu. Mengapakah tanpa angin atau hujan
engkau telah memusuhi aku?".
Hui-san-houw Han Eng tinggal membisu saja, tidak menyahut barang sepatah
katapun. "Apakah barangkali engkau disuap oleh para berandal dari gunung Thay-heng-san
untuk mencelakai diriku". Segeralah engkau jawab, agar aku ketahui duduk
persoalannya".
Tapi Han Eng masih saja tinggal membisu, hingga Sun Giok Hong jadi gusar dan
membentak, "Hui-san-houw, ternyata engkau tidak mengindahkan persahabatan di
kalangan Kang-ouw, sehingga tampaknya lebih kemaruk pada harta daripada
persaudaraan. Kalau dugaanku itu benar, niscaya pada suatu hari engkau akan
mencelakai diriku dengan secara membokong. Karenanya, lebih baik aku mendahului
turun tangan untuk mencelakai dirimu daripada membiarkan diriku dilukai olehmu di
kemudian hari!".
Sesudah berkata demikian, dengan tidak segan-segan lagi Sun Giok Hong segera
ayun sebelah kakinya ke arah tubuh Hui-san-houw Han Eng dengan sehebathebatnya.
Han Eng coba mengelakkan tendangan itu, tapi ternyata ia berlaku kurang
sebat berhubung barusan ia telah tertendang punggungnya dan rasa sakitnya belum
lagi lenyap. Maka dengan memperdengarkan satu jeritan ngeri, tubuh si Harimau Terbang
mencelat sampai 20 kaki lebih tingginya sambil muntah-muntahkan darah dan patah
dua tulang iganya, jatuh keluar pagar tembok bagaikan pohon yang tumbang
diterjang angin topan. Han Eng meringkuk dalam keadaan pingsan untuk kedua
kalinya, hingga biarpun ia kelak dapat disembuhkan dari luka-lukanya, pasti ia akan
menjadi seorang cacad yang tak mungkin mampu menuntut balas atau bersilat pula
dengan sama lihaynya seperti pada sebelum ia menderita luka-luka itu.
Sementara Phang Tek dan kawan-kawan yang semula menganggap si orang she
Sun akan tamat riwayat hidupnya pada hari itu juga, diam-diam" jadi heran juga tidak
mendengar suara ledakan pistol yang telah diserahkannya kepada Hui-san-houw itu.
Setelah mereka baru hendak menyelidiki lebih jauh hal apa yang telah terjadi di muka
desa tempat kediaman Sun Giok Hong, tiba-tiba dari antara semak-semak mereka
menyaksikan rubuh Hui-san-houw mencelat ke udara dan kemudian jatuh menukik di
sisi pagar tembok desa Sun-kee-chung. Phang Tek sekalian jadi terkejut dan
mengerti, bahwa Hui-san-houw telah kena dilukai oleh si orang she Sun, hingga
mereka pikir lebih baik kabur daripada mereka dilabrak untuk kedua kalinya oleh
orang-orang dari desa Sun-kee-chung.
Sebelum mereka keburu berbuat begitu, Sun Giok Hong dan kawan-kawan telah
keluar mengepung mereka dari segala jurusan hingga kawanan berandal itu jadi lari
pontang pancing bagaikan binatang-binatang buruan yang memberi jalan untuk kabur
dari dalam hutan.
Adik Sun Giok Hong yang bernama Sun Boan yang telah diberikan senjata api
untuk menjaga diri, dengan segera mempergunakan senjata tersebut dan menembak
tiga kali ke arah Phang Tek dan Wan Gu. Dua peluru telah berhasil melukai musuh,
yakni Phang Tek telah kena tertembak pada bagian belakang otaknya, sedang Wan
Gu terluka pada bagian punggungnya. Sedang peluru yang satunya lagi meleset entah
ke mana. Setelah itu, Sun Boan telah menembakkan pula pistol itu hingga tiga kali, dengan
mana ia telah dapat merobohkan pula tiga orang berandal yang hendak kabur itu.
Dengan demikian, diantara 20 orang kawanan berandal itu, ada 9 orang yang telah
dilukai dan ditawan oleh kawan-kawan Sun Giok Hong, yang kemudian menyerahkan
mereka semua kepada pihak yang berwajib. Tapi Hui-san-houw, Phang Tek dan Wan
Gu yang menderita luka-luka parah, telah menghembuskan napas yang penghabisan
sebelum sampai di kantor pembesar yang dituju.
Demikianlah riwayat penyerbuan Phang Tek dan kawan-kawan yang telah gagal,
sebelum berhasil dapat membalas dendam kepada Sun Giok Hong yang menjadi
musuh besar mereka.
Setelah berdiam kira-kira 3 bulan lamanya di desa Sun-kee-chung, barulah Giok
Hong mengajak isteri dan para pelayannya kembali ke Shanghai melalui propinsi
Shoatang, untuk melanjutkan tugasnya sebagai guru silat dalam gedung perkumpulan
Ceng Bu Hwee. Sesampainya di Shanghai, Giok Hong mendapat kabar bahwa Ho Su-ya Ho Goan Ka
tengah menderita sakit, hingga tanpa beristirahat pula ia langsung datang menjenguk
ke tempat kediaman pendiri rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee itu untuk
menanyakan kesehatan dirinya.
Ketika itu Ho Goan Ka tengah berbaring di atas ranjang sambil memejamkan
matanya, tatkala salah seorang pelayan melaporkan tentang kedatangan Sun Giok
Hong. Ho Goan Ka perlahan-lahan membuka matanya sambil berkata dengan suara
perlahan, "Silahkan Sun Chit-ya masuk".
Tidak beberapa lama kemudian Sun Giok Hong masuk ke kamar Ho Goan Ka
dengan diantar oleh si pelayan tadi.
Giok Hong mendapati wajah Ho Goan Ka sangat pucat dan napasnya pun terengahengah.
"Sun Hian-tee" kata Ho Su-ya, "engkau adalah salah seorang sahabatku yang
cukup mengetahui segala riwayat hidupku, cara bagaimana aku telah berjuang untuk
kebaikan kita bangsa Tionghoa, yang diejek orang asing sebagai Orang-orang Sakit
dari Timur. Maka untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kita bukan bangsa yang
begitu lemah sebagaimana mereka duga, aku segera berichtiar mendirikan
perkumpulan Ceng Bu Hwee untuk memberikan kesampatan kepada bangsa kita
menghidupkan kembali ilmu silat yang menjadi warisan daripada leluhur kita,
walaupun ilmu silat di negeri kita tidak bersumber dari satu cabang saja. Maksudku
yang pertama-tama, adalah hendak menggabungkan semua cabang perguruan silat di
seluruh Tiongkok dalam perguruan silat Ceng Bu Hwee kita ini. Supaya semua
kepandaian silat dari pelbagai golongan tidak musnah karena tidak ada penganutnya
atau kalaupun ada, hanya dianut oleh orang-orang dari golongan sendiri saja yang
jumlahnya kian lama tentu akan menjadi kian berkurang hingga akhirnya ilmu silat itu
musnah dengan sendirinya dari kalangan persilatan di kemudian hari".
Giok Hong manggut-manggu sebagai tanda mupakat dengan omongan Ho Su-ya
itu. "Tapi bangsa asing yang melihat gerakan kita ini" Ho Goan Ka melanjutkan
bicaranya, "tampaknya jadi jerih dan lalu timbul aksi untuk memusnahkan dan
merongrong kita dengan segala daya keji dan busuk yang mereka dapat pikirkan.
Sebagai contoh yang pernah aku alami selama perguruan Ceng Bu Hwee didirikan,
ada saja orang luar yang iseng hendak menjajal kepandaianku, antara lain aku pern.ili
merobohkan orang kuat Rusia dan beberapa orang jago Judo Jepang Engkau
sendiripun tentu telah mengetahuinya".
"Benar, benar" sahut Sun Giok Hong, "terutama jago Judo Ito dan kawankawannya".
"Peristiwa tersebut telah lampau dan hampir tidak kuingat lagi dalam pikiranku"
kata Ho Goan Ka pula, "ketika pada 10 hari yang lampau aku lewat di Un-co-pin di
Lam-sie, suatu pembokongan telah terjadi atas diriku. Tatkala itu, hari telah
menjelang senja dan justru hujan turun rintik-rintik hingga di jalan tidak tampak
terlampau banyak orang yang lalu lintas. Tidak kunyana bahwa disaat itu ada
serombongan orang yang turun dari kereta dan sekonyong-konyong mengeroyok
diriku dengan tidak banyak bicara pula. Hal mana, sudah barang tentu sangat
mengejutkan sekali hatiku, lebih-lebih karena aku tidak membawa barang sepotong
besipun di dalam tanganku".
"Aku dikeroyok pihak lawan yang terdiri dari beberapa belas orang banyaknya
dengan mempergunakan besi potongan dan pentungan, hingga aku sibuk juga
meladeni mereka. Meski 8 atau 9 orang yang menyerbu pertama telah dapat kuusir
dengan tinju, tendangan atau kubanting sehingga ada beberapa orang yang patah
kaki dan tangan serta tewas seketika itu juga. Biarpun demikian, aku sendiri tidak
luput dari luka-luka karena terpukul besi potongan dan pentungan.
Kesudahannya, mereka kabur dengan membawa pergi beberapa orang mayat kawan
mereka, sedang aku sendiri muntah-muntah darah akibat darpada pukulan-pukulan
musuh itu. Aku telah berobat kepada dokter yang terkenal di kota Shanghai ini, tapi
hasilnya ternyata nihil belaka. Aku hanya merasa sangat menyesal, bahwa aku
menderita kecelakaan ini karena serangan gelap yang telah dilakukan oleh pihak
musuh. Kalau tidak, aku takkan begitu penasaran seperti apa yang pernah kualami
seumur hidupku ini".
"Apakah penyerang-penyerang itu adalah bangsa asing?" kata Sun Giok Hong
dengan perasaan hati mengkelap.
"Benar" sahut Ho Goan Ka. "Karena biarpun hari sudah agak gelap, tapi aku masih
dapat mengenali mereka semua. Mereka adalah bangsa Jepang dan beberapa orang
buaya darat Tionghoa dan Korea yang menjadi kaki tangan mereka. Mula-mula aku
tidak mengetahui, tapi setelah coba menyelidiki, barulah aku ketahui bahwa mereka
semua kebanyakan mahir Judo dan Jiu Jit Su..........".
"Apakah Ho Lo-su ketahui juga siapa nama mereka sekalian?" tanya Sun Giok Hong
dengan sangat bernapsu.
"Waktu aku masih berdiam di Thian-cin" kata Ho Goan Ka, "aku pernah
merobohkan seorang ahli Judo Jepang yang bernama Kawai Saburo. Sikap bangsa
Jepang yang semula amat sombong dan tidak mengindahkan perikesopanan,
semenjak itu telah kuncup dan tidak berani 'main kayu' atau menganggap orang 'sepi'
lagi. Aku tidak tahu siapa nama-nama orang yang telah membokongku itu, tapi sudah
pasti bahwa peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan jago Judo Jepang Kawai Saburo
yang telah kurobohkan itu. Namun yang aku ketahui, bahwa kawanan gelandangan
Jepang itu adalah orang-orang yang baru datang ke sini dari Mishima".
Giok Hong gusar bukan buatan dan berjanji di hadapan Ho Goan Ka untuk
menuntut balas kepada para penyerang gelap yang curang itu. Maka sekeluarnya dari
rumah Ho Goan Ka, Sun Giok Hong lalu pergi keluyuran keluar dengan berkuda.
Ketika hampir sampai di Pek-touw-kio di konsesi Jepang, tiba-tiba dari tepi jalan ada
seorang yang menghampiri dan menarik bajunya sambil bertanya, "Apakah Giok Hong
Heng hendak masuk ke konsesi Jepang?".
Sesaat kemudian Giok Hong telah mengenali orang itu sebagai salah seorang
sahabatnya Oey Hay Cee yang bertugas sebagai peronda yang berpakaian preman di
dalam International Settlement atau Konsesi Internasional. Ia ini selain kenal baik
keadaan di kota Shanghai, juga banyak kenalannya di antara para ahli silat yang
berdiam di kota itu, antara mana Sun Giok Hong adalah salah seorang sahabatnya
yang paling akrab.
Maka setelah mengenali siapa adanya orang itu. Giok Hong pun segera menahan
tali kekang kudanya sambil menjawab, "Aku ada suatu urusan yang perlu dibereskan
di konsesi Jepang".
"Kapan engkau pulang dari kampungmu?" tanya Oey Hay Cee.
"Baru kemarin" sahut Giok Hong. "Barusan aku habis berkunjung ke rumah Ho
Goan Ka Lo-su".
Oey Hay Cee menatap wajah Giok Hong sambil mengerutkan kening, lalu tertawa.
"Pada wajahmu tampak jelas sekali keberingasan" katanya, "maka kepergianmu ke
konsesi Jepang kali ini, niscaya di sana akan ada kejadian jiwa yang melayang!".
Sun Giok Hong jadi terkejut dan balas bertanya, "Mengapa engkau bisa
mengetahuinya?".
Oey Hay Cee kembali tertawa dan menjawah, "Aku yang bertugas sebagai polisi
sudah barang tentu dapat memperhatikan air muka orang. Aku percaya, bahwa
dengan kepergianmu ke konsesi Jepang hari ini, niscaya maksudnya bukan lain
daripada hendak membalaskan sakit hati Ho Goan Ka".
"Apakah engkau mendapat dengar juga bahwa Ho Lo-su telah dikeroyok kaum
gelandangan bangsa Jepang sehingga menderita luka-luka?".
"Itu sudah pasti aku ketahui" sahut Oey Hay Cee. "Tapi aku nasehati agar Giok
Hong Heng jangan berlaku semberono dalam urusan ini karena ada kemungkinan
engkau juga akan mengalami pembokongan dari mereka itu. Sekarang paling benar


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita pergi ke kedai kopi untuk minum kopi sambil berembuk bagaimana baiknya untuk
membereskan persoalan ini".
Kemudian tanpa menantikan pula jawaban orang, ia telah menarik Sun Giok Hong
turun dari kuda dan menuntun tangannya menuju ke sebuah kedai kopi yang
terdekat. Di situ, sesudah menambatkan kudanya di luar kedai, Giok Hong lalu memesan dua
gelas kopi untuk Hay Cee dan dirinya. Sambil menghirup kopi yang harum, mereka
berembuk secara diam-diam.
"Maksud Giok Hong Heng untuk membalaskan sakit hati Ho Lo-su" kata Oey Hay
Cee, "memang suatu perbuatan yang harus dipuji. Amat disayangkan bahwa bangsa
Jepang sangat mengeloni bangsanya sendiri, tak perduli apakah bangsanya benar
atau salah, mereka selalu mau menang sendiri. Kini pengaruh orang Jepang di
konsesinya sendiri ada begitu besar, sehingga mereka berani membawa senjata api
bagaikan barang mainan, sedangkan jiwa orang lain yang bukan menjadi bangsa
mereka dianggap jiwa semut atau kecoa belaka. Jika mereka berkelahi dan tak
sanggup mengalahkan musuhnya satu lawan satu, mereka segera mengajak kawankawan
untuk mengeroyok atau membokong secara keji. Syukur juga di waktu
mengeroyok Ho Lo-su mereka tidak mempergunakan senjata api, jika tidak niscaya
jiwa Ho Lo-su sudah tewas. Janganlah Giok Hong Heng menuruti napsu hati pergi
menyatroni mereka ke dalam konsesinya, karena mereka dapat bertindak dengan
seenaknya saja. Taruh kata^Giok Hong Heng berhasil membalaskan sakit hati Ho Losu,
engkau pasti tak dapat menolong dirimu sendiri dari keroyokan dan mereka pasti
belum mau berhenti jika belum mengeroyok Giok Hong Heng hingga binasa. Itulah
sebabnya mengapa aku melarang Giok Hong Heng berlaku semberono".
Sementara Giok Hong yang mendengar demikian, barulah pikirannya menjadi
terang dan mau mengakui bahwa apa kata sabahatnya itu memang sesungguhnya
benar sekali. Lalu ia menanyakan apakah Hay Cee ada akal apa untuk dapat
membantu membalaskan sakit hati Ho Goan Ka, yang baginya tidak berbeda daripada
pelampiasan amarah bangsa Tionghoa selayaknya terhadap kesombongan dan sikap
bangsa Jepang yang curang itu.
"Menurut pendapatku" kata Oey Hay Cee, "paling betul kita pancing bangsa Jepang
masuk ke Konsesi Internasional, dimana engkau dapat melawannya bertempur tanpa
khawatir dipedayakan atau dikeroyok mereka dengan curang dan keji. Lagi pula
mereka agak segan terhadap bangsa Inggris, hingga mereka tak berani membawa
senjata api ke dalam konsesi dimana bangsanya tidak mempunyai hak luar biasa.
Sedang polisi-polisi disitu adalah saudara-saudara kita sendiri yang pasti akan
memihak pada kita daripada bangsa Jepang yang busuk itu. Kami dari golongan
kepolisian akan bersiap sedia sebelum terjadinya perkelahian itu. Maka sesudah
engkau berkelahi dan berhasil melukai mereka, Giok Hong Heng boleh berpura-pura
kabur dan kami sekalian akan mengejar. Di mata umum kita berlomba untuk
menangkapmu, tapi maksud sebenarnya adalah untuk melindungi Giok Hong Heng
agar dapat kabur dengan selamat. Selain pihak kami tidak dipersalahkan.
pihak Jepang pun tak dapat mengadukan perkara kerusuhan ini kepada pemerintah
Tiongkok".
Giok Hong jadi sangat girang mendengar petunjuk sahabatnya itu, hingga dengan
bernapsu ia bertanya, "Kapankah siasat ini dapat kita laksanakan?".
"Orang yang mengatur penyerangan gelap terhadap Ho Lo-su itu, bukan lain
daripada Yasan, jago Judo kawakan. Gurunya Kawai Saburo diberi orang nama
julukan Jago Judo dari Timur Jauh" menerangkan Oey Hay Cee. "Karena Saburo telah
dikalahkan oleh Ho Lo-su di Thian-cin, maka Yasan jadi sakit hati dan menuntut balas
dengan jalan melakukan penyerangan gelap terhadap Ho Lo-su. Jika Ho Lo-su belum
binasa, ia bersumpah takkan menyudahi usahanya untuk menuntut balas karena
gurunya sendiri telah meninggal dunia sesampainya di Jepang".
"Hay Cee Heng rupanya telah mengetahui keadaan pihak lawan dengan sejelasjelasnya"
kata Sun Giok Hong. "Disamping si Yasan, masih ada berapa orang pula
berkepandaian Judo yang boleh dikatakan cukup lihay?".
"Mereka berjumlah 8 atau 9 orang" kata Oey Hay Cee, "yang kesemuanya adalah
saudara-saudara seperguruan Yasan sendiri. Mereka semua terkenal sebagai jagojago
Judo yang disegani orang di negeri mereka. Untuk memancing mereka masuk ke
Konsesi Internasional, bukan suatu perkara yang terlalu sukar".
"Aku belum paham dengan petunjuk Hay Cee Heng itu" kata Sun Giok Hong
dengan rupa yang lebih bernapsu. "Aku mohon supaya saudara sudi memberikan
petunjuk-petunjuk yang jelas kepadaku, agar siasat ini dapat segera dijalankan".
"Esok hari Giok Hong Heng boleh mencari salah seorang wartawan untuk minta dia
memuat berita di suratkabar" kata Oey Hay Cee, "bahwa ilmu Eng-jiauw-kun bukan
saja tersohor di seluruh negeri tapi teristimewa dapat dipergunakan untuk
menaklukkan ilmu Judo Jepang. Biar jago Judo yang bagaimana lihaypun pasti akan
roboh dalam beberapa gebrakan saja jika bertempur dengan seorang jago Eng-jiauwkun.
Yasan dan kawan-kawan yang membaca berita tersebut akan berjingkrak dan
marah besar. Ia pasti akan sesumbar dan menantang hingga mudah untuk kita
pancing dia dan kawan-kawannya masuk ke Konsesi Internasional. Disana Giok Hong
Heng boleh hantam mereka habis-habisan agar mereka selanjutnya merasa kapok
untuk omong besar dan berlaku sombong lagi".
Sun Giok Hong mupakat dengan saran sahabatnya itu. Kemudian ia membayar
harga minuman dan berjanji kepada Oey Hay Cee untuk saling bertemu lagi jika
berita untuk memanaskan hati Yasan itu telah disiarkan di suratkabar yang paling
populer dan banyak dibaca orang dari segala lapisan.
Tidak berapa hari kemudian, dengan bantuan seorang wartawan yang menjadi
sahabatnya, Sun Giok Hong melihat dalam suratkabar telah dimuat berita tentang
dirinya sendiri, yang antara lain tertulis sebagai berikut:
"Guru silat Sun Giok Hong dari rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee paham ilmu
silat Eng-jiauw-kun, Thiat-see-ciang dan ilmu tendangan. Sedang permainan goloknya
yang sangat lihay telah membuat ia memperoleh nama julukan Ngo-seng-to-ong atau
ahli golok dari lima propinsi. Ho Goan Ka sangat mengaguminya dan mengundangnya
untuk membantu sebagai salah seorang guru dalam rumah perguruan silatnya.
Sebelum menjadi guru silat di gedung Ceng Bu Hwee, ia menjadi pemilik dari kantor
angkutan Hin Liong Pio Kiok di Thian-cin. Tatkala ia masih bertugas sebagai Kiok-cu,
Sun Giok Hong pernah bertempur dengan ahli-ahli Judo Jepang kenamaan, yang
kesemuanya telah dirobohkan dengan tidak banyak susah payah. Oleh karena adanya
pengalaman bertempur ini, maka ia berani memastikan, bahwa ilmu Eng-jiauw-kun
itu adalah khusus untuk menaklukkan ilmu Judo. Hal mana telah diberitahukan
kepada para murid-muridnya dan para sahabat karibnya untuk meyakinkan Engjiauw-
kun guna melawan ilmu silat bangsa asing dari daerah Timur itu".
Tatkala berita ini dapat dibaca oleh Yasan dan kawan-kawannya, sudah barang
tentu mereka mendongkol bukan buatan hingga tak terasa pula Yasan telah
memindahkan kegusarannya kepada suratkabar yang dibacanya itu, yang seketika itu
juga segera dirobek-robek sehingga menjadi beberapa keping.
"Sungguh takabur sekali mulut bocah she Sun itu!" Yasan menumbukkan tinjunya
yang besar dan kuat pada sebuah meja besar sehingga meja itu terbelah menjadi dua
dan ambruk!. "Bocah ini kita harus bikin mampus, demi prestasi Judo kita yang telah
dibuat guram oleh perbuatan si orang she Ho, yang telah membanting guru kita
sehingga kemudian meninggal setibanya di Tokyo. Kepada Ho Goan Ka telah kita
lancarkan pembalasan, sehingga dia kini menghadapi keadaan mati atau hidup.
Sekarang kita harus salurkan pembalasan kita kepada si orang she Sun yang
sombong ini. Kita harus banting dia sehingga tulang belulangnya berantakan di muka
bumi!". Yasan ucapkan kata-katanya yang terakhir itu dengan suara menggeledek dan laku
yang tak berbeda dengan seorang yang kemasukan setan. Suatu tanda bahwa dia
gemas bukan main kepada Sun Giok Hong yang diberitakan mampu mengalahkan
ilmu Judo dengan Eng-jiauw-kun yang disohorkan orang sangat lihay itu.
"Sekarang kita harus cari tahu tentang keadaan bocah sialan yang sombong itu!"
kata Yasan dengan wajah gusar dan merah bagaikan kepiting rebus.
Para kawan-kawannya menyatakan mupakat dan menunjukkan kesediaannya
untuk sama-sama mempertahankan ilmu Judo mereka, agar kekalahan guru mereka
dapat dipulihkan dan ilmu Judo dianggap orang sedunia tidak kalah dengan ilmu silat
Orang-Orang Sakit dari Timur.
"Kita harus selidiki dahulu sebelum menghajar si bocah she Sun itu sehingga
setengah manusia!" kata Yasan pada kawan-kawannya.
"Untuk menghajarnya" kata salah seorang kawan Yasan yang bernama Noma
Minoru, "boleh dikatakan sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan!".
"Cobalah jelaskan" Yasan meminta dengan bernapsu.
"Aku nanti mengajak saudara-saudara sekalian untuk mencari bocah sombong itu"
kata Noma Minoru. "Begitu bertempur, aku nanti bokong dia, biar dia terkuing-kuing
bagaikan anjing kena pentungan. Jika ia masih sanggup melawanku, akan kukeroyok
dia hingga dia modar sekalian.'. Coba saja engkau buktikan, bagaimana kami telah
keroyok Ho "Goan Ka yang terkenal sebagai salah seorang ahli silat paling jempolan
dalam kalangan persilatan di sini. Bukankah dia sekarang sudah tinggal beberapa hari
lagi saja bisa hidup di kolong langit ini?".
"Aku tidak mupakat dengan usulmu itu" kata Yasan sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Sun Giok Hong boleh kita bikin mampus, tapi nama baik bangsa dan ilmu
Judo kita jangan sampai jadi ternoda!. Aku pikir paling baik kita tantang dia
bertempur di suatu tempat yang tertentu, dimana kita boleh hantam dia sehingga
tamat riwayat hidupnya di kolong langit ini. Dengan begitu, orang seluruh dunia akan
mengakui ilmu Judo kita sebagai ilmu bela diri Jepang yang tiada bandingnya!".
Noma Minoru dan kawan-kawannya menyatakan mupakat akan usul itu.
"Tapi tempat mana yang akan kita pilih?" bertanya seorang kawan Yasan yang
bernama Naka Haruo. "Sun Giok Hong pasti takkan berani datang ke konsesi kita".
"Tempatnya akan kita pilih dan tentukan nanti" kata Noma Minoru, "tapi yang
pertama-tama kita perlu cari ialah bocah itu sendiri untuk dicoba sampai dimana
kemampuannya".
Yasan mupakat dengan omongan kawannya itu.
Kemudian Noma Minoru menyuruh Ho Lo Ke untuk memata matai kemana Sun
Giok Hong biasanya keluyuran pada waktu-waktu luangnya.
Ho Lo Ke seorang buaya darat Tionghoa yang menjadi alat d.m kaki tangan
kawanan gelandangan bangsa Jepang itu.
Dua hari kemudian Ho Lo Ke telah melaporkan bahwa Sun Giok Hong kerap terlihat
keluyuran ke Konsesi Internasional dan minum trli di kedai nasi Shanghai setiap lohor.
Padahal pihak Jepang tidah
mengetahui bahwa cara berkunjung Giok Hong ke Konsesi Internasional ini sudah
terlebih dahulu mendapat petunjuk-petunjuk dari Oey Hay Cee, agar kalau nanti terbit
kerusuhan, pihak Jepang takkan memprotes atau mengadukan kepada pemerintah
Tiongkok. Sedang Hay Cee sendiri telah bersepakat dengan kawan-kawan sejawatnya
untuk bertindak jika sampai Sun Giok Hong terlibat rusuh dengan kawanan
gelandangan asal Jepang tersebut.
"Dengan siapa ia biasa keluar berjalan-jalan?" Noma Minoru bertanya kepada
buaya darat Tionghoa itu.
"Ia biasa keluar berjalan-jalan hanya seorang diri saja" kata Ho LoKe.
Noma Minoru jadi girang dan lalu menyoren sebilah pisau kecil di bawah
pakaiannya dan mengajak Ho Lo Ke dan dua orang kawannya yang bernama Sano Rin
dan Yoshi Nakamura untuk menemaninya.
Ketiga orang Jepang itu semua bertubuh katai dan tegap, mahir ilmu Judo dan
bertenaga sangat kuat.
Begitulah, dari konsesi Jepang mereka berempat lewat di jembatan Pek-touw-kio,
melintasi sungai Souw-ciu-ho dan tiba di Konsesi Internasional.
Konsesi Internasional ini, atau apa yang umum dikenal dengan sebutan
International Settlement, dikuasai oleh bangsa Inggris. Bangsa Jepang boleh tidak
pandang mata pada pemerintah Tiongkok yang di masa itu sangat lemah dan lembek,
tapi mereka agak segan terhadap bangsa Inggris yang berkuasa dalam Konsesi
Internasional itu. Mereka tak berani melanggar tata tertib di situ, hingga mereka tak
berani bawa senjata api yang biasa disoren mereka di konsesi Jepang.
Noma Minoru yang paham undang-undang bangsa Inggris di situ, jika mabuk arak
kerap memukuli orang dengan seenaknya saja, dalam Konsesi Internasional itu dia
tak berani sembarangan bertindak, maka di waktu memasuki kedai nasi Shanghai
pada lohor itu, terlebih dahulu ia telah berpesan kepada Sano Rin, Yos'hi Nakamura
dan Ho Lo Ke, agar mereka sekalian berlaku sopan dan jangan berbuat sesuatu yang
melanggar peraturan.
Ketiga orang itu berjanji mentaati segala petunjuk Minoru itu. Kemudian mereka
berempat masuk ke kedai nasi Shanghai, dimana mereka memesan Cognag, yang lalu
mereka minum dengan amat asyiknya. Selagi duduk minum dan telah mulai sedikit
mabuk, Ho Lo Ke yang tak sengaja menolah ke arah jendela di sisi kiri, tiba-tiba
tampak terkejut lalu berbisik ke telinga Minoru, "Tengok, tengoklah orang yang duduk
minum teh di sana sambil membaca suratkabar!". Minoru dan kawan-kawannya jadi
turut memandang pada seorang tamu yang usianya lebih kurang 30 tahun, bertubuh
tegap dan mengenakan thung-sha atau pakaian panjang yang sederhana sekali. "Dia
itulah Sun Giok Hong yang kita sedang cari!" Ho Lo Ke menambahkan. Hal mana,
sudah barang tentu telah membuat Minoru dan kawan-kawan jadi agak terkejut.
"Sun Giok Hongkah dia itu?" kata si jago Judo yang seolah-olah tidak mempercayai
pendengarannya.
Ho Lo Ke manggut-manggut sambil mengedipkan matanya.
Noma Minoru turut mengangguk-anggukkan kepalanya, tatkala ia menoleh kepada
Sano Rin dan Yoshi Nakamura.
Segera mereka bangkit dari tempat duduk masing-masing. Minoru membayar
harga minuman, sedang yang lain-lainnya berpura-pura berjalan keluar dan berdiri di
sana sambil melihat-lihat pada etalase yang memamerkan pelbagai macam barangbarang
makanan dalam kaleng buatan luar negeri.
Dalam pada itu, Minoru menantikan Sun Giok Hong di muka kedai nasi itu untuk
mencari masalah lalu berkelahi dengan si orang she Sun itu.
Sementara Sun Giok Hong yang memang kerap berkunjung ke kedai nasi itu
dengan maksud tertentu, telah lebih dulu memperhatikan gerak gerik Minoru dan
kawan-kawan, meski di luarnya ia tampak tenang-tenang saja. Minoru dan kawankawannya
boleh berpakaian cara barat tapi pakaian tersebut tidak dapat
menyembunyikan diri mereka, apalagi raut muka macam Jepang mereka yang dapat
dilihat dengan jelas sekali. Giok Hong segera dapat mengenali dan jadi curiga, kalaukalau
mereka ini adalah komplotan bajingan Jepang yang pada beberapa waktu yang
lampau pernah mengeroyok Ho Goan Ka secara keji sekali. Maka ia merasa perlu
sekali berlaku waspada terhadap ketiga orang Jepang dan seorang bajingan Tionghoa
ini. "Ternyata dugaan Oey Hay Cee tepat juga" pikirnya. "Karena dengan siasat yang
telah diberitahukannya itu kepadaku, benar saja komplotan bajingan Jepang itu telah
kena juga terpancing datang ke sini. Sesudah dapat menerka maksud kedatangan
mereka yang tidak baik itu, paling benar aku segera beritahukan hal ini kepada Oey
Hay Cee yang duduk makan minum memisahkan diri di lain kamar".
Kemudian, sambil berpura-pura menjenguk ke kamar yang terletak di sebelahnya,
Giok Hong memberi isyarat dengan kedipan mata kepada Oey Hay Cee, yang segera
mengerti apa maksudnya dan lalu keluar ke jalan raya untuk berembuk dengan
rekan-rekannya di sana dengan secara diam-diam.
Kepada rekan-rekan itu, Oey Hay Cee telah berpesan bahwa jika nanti ada orang
Tionghoa dan orang Jepang yang berkelahi, mereka sekalian harus perhatikan. Jika
dalam perkelahian itu pihak orang Tionghoa yang memperoleh kemenangan, mereka
boleh tak usah ambil pusing. Tapi jika pihak Jepang yang menang, rekan-rekan itu
boleh segera turun tangan untuk menangkap orang-orang Jepang itu.
Polisi-polisi dalam Konsesi Internasional yang kebanyakan terdiri dari orang-orang
Tionghoa, sudah barang tentu lebih memihak kepada Sun Giok Hong, hingga
merekapun diam-diam bersiap sedia untuk mengatur siasat seperti apa yang telah
dituturkan oleh Oey Hay Cee tadi.
Setelah itu, barulah Giok Hong bangun dari tempat duduknya, membayar harga
makanan dan minuman yang telah dimakannya tadi. Kemudian ia meninggalkan kedai
itu dengan laku yang tenang dan tiada seorangpun yang dapat menyangka bahwa dia
inilah bukan lain daripada jago silat yang bernama julukan Ngo-seng-to-ong, yang
namanya telah sekian lama harum di kalangan persilatan Tiongkok Utara!.
0oo0 IX KETIKA hendak melangkahkan kakinya keluar kedai itu, Sun Giok Hong telah
melihat sikap Noma Minoru yang seolah-olah hendak mencari gara-gara dengan
dirinya. Maka biarpun tampaknya ia berjalan dengan tenang-tenang saja, sebenarnya
ia telah berlaku waspada sekali.
Denyutan jantung Noma Minoru jadi memukul keras sekali waktu Giok Hong lewat
tepat di belakangnya. Dengan cepat ia memutar tubuhnya untuk mengikuti, tatkala si
orang she Sun itu telah terpisah beberapa puluh tindak jauhnya.
Giok Hong sengaja berjalan lebih cepat, untuk menuju ke suatu tempat yang agak
luas karena ia merasa tidak bijaksana untuk menghadapi musuh-musuhnya di tempat
yang sempit. Noma Minoru yang keliru menyangka bahwa musuhnya itu berlaku lengah, maka
secepat kilat ia menyerang dengan Shime-wasa, atau ilmu cekikan Judo yang tediri
dari tujuh jurus. Yang hendak digunakannya ialah jurus ke empat yang bernama
Ushiro-jime atau mencekik dengan lengan. Tangannya diulurkan melalui kepala Giok
Hong, untuk kemudian menyeret lawannya itu ke bawah sambil kemudian merangkul
dan menekankan lengannya pada tenggorokan lawannya itu.
Giok Hong yang mengetahui musuhnya sedang menguntit di belakangnya,
senantiasa bersiap sedia. Waktu melihat tangan Noma Minoru berkelebat di atas


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya, ia segera menjambret tangan itu dengan tangan kirinya sembari
membungkukkan tubuhnya sedikit, bersamaan dengan itu sikutnya menyerang ke
belakang dan ............
"Aaaaaa.......V'. Noma Minoru terdengari menjerit ngeri, tampak tubuhnya
terdorong ke belakang sambil memegang dadanya dan batuk-batuk. Kemudian ia
menjadi kaget sekali waktu meludah, karena yang ia keluarkan bukan air liur
melainkan darah!.
Minoru memaki Giok Hong dengan menggunakan bahasanya sendiri, tapi yang
dimaki sambil tersenyum-senyum lari menuju ke suatu tempat. Melihat demikian,
Minoru segera mengejar dan menyerang lagi dengan satu tebasan tangan ke arah
batang leher lawannya. Giok Hong kagum sekali dengan gerakkan lawan itu yang
demikian gesit, karena dalam beberapa detik saja lawannya itu telah dapat
menyusulnya dan menyerangnya pula. Dengan terpaksa Giok Hong segera
membalikkan badannya dan melancarkan serangan dengan siasat Peng-hong-tiang-ho
atau membekukan arus sungai yang deras, siasat ini dilancarkan dengan tenaga
dalam yang amat hebat. Bukan saja dapat menahan tabasan, bahkan berhasil
menghajar tulang pundak Minoru hingga seketika itu juga terdengar jeritan kesakitan,
sedang tangannya tampak terkulai karena tulang pundaknya itu telah patah!. Tapi
sebagai seorang yang mempunyai ambisi yang besar, dengan wajah yang
menunjukkan rasa sakit yang hebat, ia segera mencabut pisau dengan tangan kirinya,
yang kemudian dengan sebat ditusukkan ke arah perut Giok Hong.
Tusukkan itu dilakukan Minoru dari arah bawah ke atas, maka Giok Hong terpaksa
mundur setindak untuk membiarkan tangan si ahli Judo meluncur ke atas. Kemudian
ia segera mempergunakan jurus Kim-na-ciu dari ilmu Eng-jiauw-kun untuk
menyergap pergelangan tangan lawannya sambil berseru dengan suara nyaring,
"Pergi!". Berbarengan dengan bentakan itu, tampaklah tubuh Noma Minoru terlempar
ke udara lalu jatuh menukik ke tengah jalan raya sehingga mengakibatkan hidungnya
berdarah-darah, bahkan beberapa giginya pun telah rontok.
Meski Minoru kerap dibanting atau dilemparkan ke udara oleh kawannya waktu
berlatih Judo, tapi kali ini tak dapat menguasai lagi jatuhnya itu, karena tulang
pundaknya dirasakan sakit sekali. Waktu dilemparkan, Minoru dapat dikatakan sudah
berada dalam keadaan setengah pingsan.
Melihat kejadian itu, Sano Rin dan Yoshi Nakamura yang berada sedikit jauh dari
kalangan pertempuran itu, segera maju dengan serentak dari kiri dan kanan untuk
menyerang serta mengepung si orang she Sun itu.
Ternyata Sano Rin mahir ilmu Karate, maka dengan satu pekikan yang menakutkan
ia telah menyerang kepala Giok Hong dengan telapak tangannya. Kalau saja telapak
tangan itu mengenai sasarannya, niscaya batok kepala Giok Hong akan remuk karena
telapak tangan itu telah terlatih dan dapat meremukkan dua batu-bata yang tersusun
sekaligus!. Giok Hong lekas-lekas miringkan sedikit kepalanya untuk mengelakkan pukulan itu,
tapi Sano Rin tidak demikian mudah menyudahi serangan-serangannya. Segera ia
tarik pulang -tangannya, untuk langsung disodokkan ke arah mata Giok Hong yang
segera lompat dengan siasat Yan-cu-coan-liam atau burung walet menerobos tirai,
tubuhnya mencelat melalui kepala Sano Rin. Baru saja kaki si pemuda menyentuh
tanah, terdengar satu pekikan panjang dan tampak di udara satu bayangan
menerjang Giok Hong dengan sikap yang garang sekali. Ternyata Yoshi Nakamura
telah melancarkan satu tendangan terbang, kedua tangannya diangkat untuk
melindungi dada, kedua kakinya ditekuk sedikit, yang kanan lebih ke dalam, siap
untuk ditendangkan. Tapi, dengan satu enjotan tubuh yang bertenaga, Giok Hong
telah mundur beberapa langkah.
Sano Rin segera memberi isyarat kepada Yoshi Nakamura agar jangan menyerang
tapi membantunya apabila dirasakan perlu. Dia sendiri maju ke dalam kalangan
pertempuran dengan sikap yang dapat dikatakan hampir sama dengan salah satu
jurus silat, yakni jurus Kim-kee-tok-lip atau ayam jago berdiri satu kaki. Bedanya
Sano Rin tidak berdiri dengan satu kaki tapi mempergunakan kedua kakinya, yang kiri
lebih ke depan dari yang kanan. Ia tidak bertindak waktu maju, hanya menggeser
kedua telapak kakinya, dengan jalan diputar-putar ke kanan dan ke kiri. Seluruh
tubuhnya tampak bergetar, karena bersamaan dengan itu ia sebenarnya sedang
menyalurkan tenaga dalamnya ke tangan dan kakinya.
Giok Hong terperanjat juga melihat sikap Sano Rin ini, karena ia belum pernah
bertemu dengan orang yang mahir ilmu Karate. Sebelum ia dapat mendugaduga...............
"Ciaaaaaaaaaaaattttt..........!!" Sano Rin telah melancarkan serangan yang
dahsyat sekali, tinju dan tumitnya menerjang ulu hatinya dengan berbarengan.
Giok Hong tidak jadi gugup, dengan sebat ia mengegos dan menangkis dengan
siasat Siang-liong-cui-hai atau sepasang naga keluar dari lautan, kedua lengannya
dengan keras menghalau tinju dan kaki Sano Rin, sehingga kuda-kudanya
tergoncang. Hampir-hampir Sano Rin yang menyerang dengan nekad sekali jatuh
tersungkur terkena tangkisan itu.
Serangan-serangan Sano Rin yang demikian ganas dan mematikan itu telah
membuat Giok Hong jadi gusar bukan main. Maka setelah Sano Rin memperbaiki
kuda-kudanya, ia segera menyerang dengan siasat Cit-yan-hui-siang atau burung
walet terbang melayang, sambil lompat di udara dengan kedua tinju menumbuk
kepala si ahli Karate. Untuk menghindari tumbukan ini, Sano Rin lekas-lekas lompat
mundur dan setelah itu terjadilah pertarungan yang amat seru dan menarik sekali
untuk ditonton.
Pada suatu ketika, Rino San telah menyerang dengan siasat Tai-oto-shi atau
membanting dengan tangan. Tangan kanannya menyambar ke leher baju Giok Hong,
sedang tangan kiri ke lengan dan memalangkan kaki kanannya di sisi kaki kanan
lawannya, untuk kemudian sambil memutar tubuh dan menghentakkan tubuh
lawannya itu. Baru saja leher bajunya kena dipegang, Giok Hong telah bergerak dengan siasat
Chut-liu-hui-hong atau daun pohon liu terhembus angin, tangan kanannya setelah
menangkis lalu menangkap dan memijak pergelangan tangan Sano Rin. Lalu sambil
memutar tangan lawannya yang sedang menahan sakit karena dipijak itu, kakinya
menyapu betis lawan. Maka tumbanglah tubuh yang katai dan tegap itu menghantam
bumi!. Nakamura yang maju menerjang dari arah kanan, hampir saja kena disergap oleh
si orang she Sun itu, kalau saja ia tidak membatalkan maksudnya untuk menyerang
dan lekas melompat mundur ke dalam rombongan orang banyak yang sedang
menonton pertarungan itu. Perbuatan Nakamura juga diikuti oleh Ho Lo Ke yang
pandai melihat gelagat.
Tatkala polisi dari Konsesi Internasional datang campur tangan, Nakamura yang
khawatir kehilangan muka setelah dihajar oleh seorang Tionghoa yang umumnya
mereka anggap sebagai Orang Sakit dari Timur, dengan cengar cengir lalu
menerangkan di hadapan polisi bahwa semua itu hanya merupakan suatu insiden kecil
yang tidak perlu diperpanjang lagi persoalannya. Maka, para polisi pun segera
meninggalkan mereka dengan tidak banyak bicara pula.
Sementara Sun Giok Hong yang seolah-olah telah diberi kesempatan untuk
menyingkir oleh rekan-rekan Oey Hay Cee, segera mengikuti orang banyak keluar
dari Konsesi Internasional untuk pulang ke tempat kediamannya yang terletak dalam
batas kekuasaan pemerintah Tiongkok.
Maka Yoshi Nakamura dengan bantuan Ho Lo Ke segera memanggil tandu untuk
mengangkut Noma Minoru dan Sano Rin yang luka-luka pulang ke konsesi Jepang.
Sesampainya di kantor dinas istimewa di dalam konsesi Jepang, Yasan jadi terkejut
sekali melihat para anak buahnya telah jadi babak belur, lebih-lebih ketika melihat
napas Noma Minoru yang sudah senin kamis. Dengan amat gusar, ia menanyakan
kepada Yoshi Nakamura yang beruntung tidak terluka, bagaimana Noma Minoru dan
Sano Rin dapat dilukai begitu hebat oleh si bocah she Sun itu.
Setelah mendapat keterangan yang jelas, Yasan jadi sangat penasaran dan tidak
mengerti, mengapa ketiga adik seperguruannya itu begitu tidak berguna dan tak
mampu mengalahkan satu Sun Giok Hong, meski mereka itu telah berlatih Judo, Jiu
Jit-su dan Karate sehingga bertahun-tahun lamanya.
Sano Rin dan Yoshi Nakamura yang didamprat Yasan, tinggal membisu dan
menundukkan kepala bagaikan ayam-ayam sabungan yang patah lehernya.
Setelah itu Noma Minoru yang masih pingsan itu diangkut ke dalam untuk
kemudian diobati dan dirawat luka-lukanya, barulah pada keesokan harinya ia
tersadar dari pingsannya.
Karena ilmu kepandaian Minoru lebih tinggi daripada kawan-kawan yang lainnya,
maka begitu ia tersadar dari pingsannya. Yasan yang belum puas dengan keterangan
Nakamura, segera minta keterangan lagi daripadanya, bagaimana cara mereka
bertiga telah dapat dikalahkan oleh musuhnya itu dengan cara yang begitu
mudahnya. "Menurut pendapatku" kata Noma Minoru sambil merintih, "ilmu silat bocah she
Sun ini ada beberapa bagian yang menyerupai ilmu Judo Dai Nippon kita, hanya
gerakannya begitu cepat sehingga aku hampir tak dapat melihat dengan gerakan
bagaimana ia dapat menyergap serta membanting diriku. Selain itu, cekalannya pun
sangat kuat dan lihay, sehingga tenagaku seolah-olah lenyap dan tak berdaya begitu
pergelangan tanganku kena dicekal olehnya. Aku tidak menyerah kalah mentahmentah
begitu saja kepadanya, tapi jika kecepatan kita masih kalah, rasanya sangat
sukar untuk kita dapat mengalahkannya!".
"Ngaco!" Yasan membentak dengan gusar.
"Ini menandakan bahwa engkau bukan ahli Judo Dai Nippon yang harus dihormati
orang, tapi hanya jago makan yang tak punya guna sama sekali!" kata jago Judo
yang gemuk katai itu. "Bukannya engkau menjunjung tinggi ilmu Judo sendiri, tapi
sebaliknya memuji-muji ilmu bela diri bangsa lain. Apakah engkau sebagai putera Dai
Nippon mau terima saja dihinakan dan dicaci maki orang". Hm, semakin aku pikirkan
persoalan ini, semakin mendidih saja darah yang mengalir di tubuhku ini!".
Noma Minoru tinggal membisu saja karena ia memang sangat takut pada
suhengnya yang sudah sangat terkenal sekali dikalangannya sebagai seorang yang
galak dan pemarah.
"Dasar ilmu Judo, Karate atau Jiu Jit-su kita" kata Yasan pula, "adalah siasat-siasat
yang cerdik dan memang memerlukan kecepatan atau kegesitan yang luar biasa.
Ketiga ilmu-ilmu kita ini telah memenuhi semua siasat-siasat untuk menandingi ilmu
silat apapun!. Maka aku tak percaya bahwa ilmu silat Tiongkok dapat bergerak jauh
lebih cepat lagi daripada ilmu silat Dai "Nippon kita. Kecuali setan atau malaikat, tak
pernah ada manusia lain yang dapat bergerak melebihi gerakan Judo cepatnya di
kolong langit ini!. Apakah engkau belum ketahui hal ini?".
Noma Minoru dengan mendongkol sekali tetap tinggal membisu, kemudian ia coba
memejamkan matanya sejenak karena pundaknya dirasakan amat sakit.
Yasan jadi semakin marah dan membentak, "Ah!. Nyatanya engkau hanya tidur
saja dan tidak mau mendengarkan bicaraku!".
"Aku -tidak tidur!. Aku tidak tidur!" kata Minoru dengan memaksakan dirinya untuk
berbicara. "Aku tetap memasang kuping mendengar segala nasihat-nasihatmu!".
"Sungguh kalian sekalian telah melenyapkan segala pengharapan dan rasa
banggaku!" kata Yasan pula sambil menghela napas. Kemudian ia berkata pada
dirinya sendiri, "Jika aku tidak turun tangan sendiri, niscaya orang-orang Tionghoa itu
akan mengejek dan mentertawai karena ternyata kami belum sanggup mengalahkan
ilmu silat mereka. Orang-orang asing lain yang sampai sebegitu jauh masih
menghormati dan mengindahkan kami para putera Dai Nippon, ada mungkin pada
suatu ketika merekapun akan turut juga mencemoohkan kami. Dengan demikan,
runtuhlah pengaruh bangsa Jepang di Timur Jauh dan negeri-negeri yang
berkedudukan di arah Barat!. Disamping itu semua, nama harum bangsa Jepang yang
terkenal sebagai negeri leluhur ahli-ahli Judo, Karate dan Jiu Jit-su akan hancur lebur
oleh perbuatan bocah she Sun ini!. Hmm!".
Sambil menghela napas dan mengertak gigi, Yasan berpikir sejenak sambil
mengerutkan dahinya.
Tidak lama kemudian, ia memanggil secara tiba-tiba, "Ho Lo Ke!. Ho Lo Ke, dimana
kamu!". Begundal Tionghoa itu jadi terkejut, lalu dengan gugup menjawab, "Saya, tuan
besar!" "Muatlah iklanku di pelbagai suratkabar yang terbit di kota Shanghai ini" kata jago
Judo yang bertubuh gemuk katai itu, "tidak perduli berapa harga iklan itu. Semua
akan kubayar secara tunai!. Lekas lakukan perintahku ini sekarang juga!".
"Tapi tuan besar" kata Ho Lo Ke dengan suara merendah, "bagaimana bunyi iklan
yang hendak dimuat itu". Dan dalam suratkabar mana iklan itu hendak tuanku
siarkan?".
Yasan baru ingat bahwa dia telah berbuat suatu kekhilafan. Karena belum lagi
menyediakan teks-teks iklan yang hendak dimuat, ia telah berlaku terburu napsu
memerintahkan begundal Tionghoanya untuk menyiarkan iklannya itu. Tawanya
terasa terkurung di dalam perutnya yang gendut itu dan telah siap akan meledak
keluar, tapi ia memaksakan dirinya untuk tetap memasang wajah yang bengis untuk
membuat dirinya lebih berwibawa dalam pandangan para begundalnya itu dan kawankawannya.
Namun dia tak mau mengakui kekhilafannya itu dan berkata, "Iklanku itu
boleh saja engkau muat di seluruh suratkabar yang berbahasa Tionghoa, Jepang,
Inggris atau yang lain-lainnya pula".
Kemudian ia memerintahkan salah seorang jurutulisnya untuk menuliskan bunyi
iklan itu dan Yasan membubuhi tandatangannya di bawah iklan tersebut menurut she
dan namanya yang lengkap, yaitu Yasan Sheicike. Setelah selesai ditulis, lalu tak lupa
ditelitinya pula isi naskah iklan tersebut, ketika Naka Harao yang duduk di
sampingnya menyelak dengan mengatakan, "Hong Kouw Park itu terletak dalam
konsesi Jepang. Apakah ada kemungkinan Sun Giok Hong berani datang ke sana?".
Yasan berdiam sejenak. Sesudah memutar otak sebentar, barulah ia berkata,
"Mula-mula aku memang berniat untuk menantang si orang she Sun di Konsesi
Internasional atau di konsesi Perancis. Karena khawatir melanggar undang-undang di
sana, maka terpaksa aku membatalkan maksudku untuk mempergunakan wilayah
negeri lain itu. Tapi jika aku bertempur dengan Sun Giok Hong dalam daerah
kekuasaan pemerintah Tiongkok, niscaya kita bisa dikeroyok oleh orang-orang
Tionghoa di sana, hingga menang atau kalah kita tetap saja akan mengalami akibat
yang tidak baik. Engkau pikir bagaimana baiknya?".
"Untuk membunuh si bocah she Sun, kenapa harus kita bersusah payah sampai
begitu?" kata Naka Harao pula. "Apakah siasat serbuan kilat yang telah kita
pergunakan terhadap Ho Goan Ka masih kurang efektif untuk diulangi terhadap diri
monyet she Sun ini". Kita serang saja dirinya dengan serentak, yah syukur-syukur
kalau kita dapat membunuhnya sekalian, agar kelak dikemudian hari dapat membuat
kapok para jago-jago silat Tionghoa yang lain untuk berhadapan dengan kita sebagai
jago-jago Dai Nippon!".
Tapi Yasan tidak mupakat dengan usul rekannya itu. "Aku yakin" katanya, "bahwa
aku akan dapat mengalahkan jago silat Tionghoa itu!. Aku hendak menaklukkan si
orang she Sun secara laki-laki dan bertarung dengannya dengan disaksikan oleh
orang banyak, hingga kelihayan ilmu Judo kita dapat dikagumi semua orang, bahkan
oleh orang di seluruh dunia!".
"Jika demikan halnya" kata Ho Lo Ke, "dimanakah kiranya kita harus mengubah
tempat pertemuan itu?". Lagi-lagi Yasan berpikir sebentar kemudian ia gerakkan
telunjuknya sambil berkata, "Nama Hong Kouw Park yang sudah dituliskan tadi,
bolehlah engkau ubah menjadi suatu tempat atau lapangan yang terletak di luar kota
Liong-hoa!"
Tapi tiba-tiba wajah Naka Harao berubah karena mengingat pada beberapa waktu
yang-lalu Yasan pernah mengatakan bahwa dia ingin pulang ke Tokyo untuk
menjenguk keluarga gurunya yang baru saja meninggal dunia. Maka lekas-lekaslah
Naka Harao bertanya, "Saudara Yasan, apakah engkau tidak jadi pulang ke Tokyo
untuk menjenguk keluarga gurumu yang baru meninggal itu?".
Yasan jadi merandek mendengar pertanyaan itu. Memang tidaklah mungkin untuk
pergi dan pulang ke tanah airnya dalam waktu hanya beberapa hari saja. Yasan
adalah seorang yang tidak suka menerima kesalahannya sendiri, maka setelah
berpikir sejenak, ia lalu berkata, "Ah, itu soal mudah!" katanya sombong, "ubah saja
naskah yang terakhir jadi tanggal 15, 2 bulan yang akan datang, tepat jam 12 tengah
hari". Pada keesokan harinya ketika iklan itu dimuat dalam pelbagai harian yang
berbahasa Tionghoa, Inggris, Jepang, dan lainnya dan dibaca oleh khalayak ramai dari
segala lapisan. Iklan tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut:
"Nama Sun Giok Hong telah lama terkenal dalam Rimba Persilatan di Tiongkok
sebagai seorang tokoh yang jarang dapat lawan yang setimpal dalam kalangan
persilatan di negerinya. Hal itu, cukup diketahui oleh orang banyak di dalam dan di
luar daerah Tiongkok. Aku sebagai salah seorang putera Dai Nippon yang sangat
gemar pada ilmu silat di negeri sendiri dan di Tiongkok, tidak jarang meminta
pelajaran dari para ahli untuk saling berkenalan atau bertukar pendapat.
Aku Yasan Sheicike secara pribadi sangat mengagumi Sun Giok Hong, maka
dengan jalan memasang iklan ini aku telah menyampaikan undangan untuk saling
bertemu di luar kota Liong-hoa pada tanggal 15, 2 bulan yang akan datang jam 12
tepat". Sudah barang tentu masyarakat jadi sangat tertarik sekali dan dalam sekejap saja
telah menjadi buah bibir di kedai-kedai kopi dan di mana-mana, bahwa 2 bulan yang
akan datang mereka akan menyaksikan pertandingan yang pasti menarik hati sekali.
Meskipun dalam iklan itu Yasan tidak menyebutkan bahwa dalam pertemuannya nanti
dengan Sun Giok Hong itu akan dilanjutkan dalam suatu pertempuran atau hanya
sekedar berbincang-bincang biasa saja. Tapi masyarakat sudah terlanjur menganggap
kata-kata orang Jepang itu sebagai suatu tantangan terbuka dari pihak jago Judo
Jepang. Sementara Giok Hong yang melihat siasatnya telah berhasil membuat pihak


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya memilih tempat untuk bertempur di tempat yang agak jauh dari daerah
konsesi Jepang. Diam-diam Giok Hong jadi merasa girang sekali akan reaksi pihak
Jepang itu, walaupun dia sendiri masih tetap curiga kalau-kalau ia nanti akan
dikeroyok oleh kawan-kawan dari si jago Judo itu.
Sambil menanti kedatangan Yasan Sheicike dari Tokyo, marilah kita tengok Ho
Goan Ka yang menderita luka-luka berat akibat pengeroyokan murid-murid Kawai
Saburo. Luka-luka Ho Goan Ka meski telah diobati dengan cara pengobatan Timur maupun
Barat, tapi penyakitnya kian hari kian bertambah buruk saja, hingga akhirnya lukaluka
bekas pengeroyokan bajingan-bajingan Jepang itu telah membawanya ke liang
kubur juga. Hal mana, bukan saja telah membuat sanak saudara dan para handai
taulannya dari kalangan persilatan turut berkabung, tapi juga telah membuat Sun
Giok Hong menjadi sangat gusar. Saking tidak kuatnya menahan amarahnya yang
bergolak-golak, ia jadi menangis tersedu-sedu sambil berjanji untuk menuntut balas.
Sedari meninggalnya Ho Goan Ka, maka para Kauw-thauw atau guru silat di
gedung Ceng Bu Hwee di Shanghai, selain Sun Giok Hong sendiri, boleh disebutkan
juga nama-nama Tan Cu Ceng, Lo Kong Giok, Sun Lok Tong, Lie Hway Teng, Tio Lian
Ho, Pouw Cin Siong dan lainnya, yang semua tergolong sebagai ahli-ahli silat kelas
satu. Sun Giok Hong yang telah belasan tahun lamanya menjadi guru silat di gedung
Ceng Bu Hwee, bukan saja kenal baik dengan mereka semua, tapi juga karena
kepandaian silat dan pengetahuan ilmu suratnya cukup dalam. Tidak heran jika ia
dihormati oleh rekan-rekannya sekalian, yang telah menganggap dirinya sebagai
ketua diantara mereka, walaupun Giok Hong sendiri tidak menjadi bangga atau besar
kepala karena penghormatan yang dirasanya begitu dibesar-besarkan itu.
Pada suatu ketika, perkumpulan Ceng Bu Hwee telah kedatangan seorang guru
yang silat baru asal dari propinsi Ouw-lam, she Co bernama Hian Pang, seorang ahli
silat dari cabang Bu-tong-pay. Karena ilmu silatnya yang lihay, maka pengurus dari
Ceng Bu Hwee telah mengundangnya untuk membantu mengajar dalam gedung
perkumpulan tersebut.
Usia Co Hian Pang baru mencapai 32 tahun, berbadan tegap dan gerak geriknya
gesit sekali. Tapi sayang, ia berperangai sangat buruk karena suka memandang
rendah ahli-ahli silat lainnya. Dengan demikian mudah timbullah dalam pikirannya
bahwa dialah yang berkepandaian paling tinggi dan ahli-ahli lainnya tidak mampu
atau belum cukup baik untuk disamakan kedudukannya dengan diriny.i sendiri. Maka
timbullah rasa iri dalam hatinya atas penghormatan yang telah diberikan orang-orang
kepada Giok Hong.
Dari perasaan iri, ia jadi penasaran dan mempunyai maksud yang tidak baik. Maka
biarpun ia dan Giok Hong bekerja di suatu perkumpulan yang sama, tapi lambat-laun
mereka jadi saling berselisih, sehingga di waktu saling bertemu muka, mereka tidak
lagi saling hormat menghormati satu sama lain.
Pada suatu hari, Giok Hong yang memperoleh murid-murid baru, lalu mulai
memberikan pelajaran ilmu Eng-jiauw-kun tingkat pertama. Ia menjelaskan jurusjurus
yang harus mereka lakukan itu dengan secara teliti dan sabar. Ia sendiri
memberi contoh dalam tiap-tiap gerakan yang perlu diperhatikan.
Sementara dilain pihak, Co Hian Pang yang justru telah terlebih dahulu
menyelesaikan tugas mengajar para muridnya, lalu duduk-duduk di bawah mimbar
sambil menonton Giok Hong yang sedang mengajar murid-muridnya dari kejauhan.
Justru di bawah mimbar itupun masih berkumpul beberapa orang guru silat Ceng
Bu Hwee rekan-rekan Giok Hong yang duduk mengobrol sambil turut menonton.
Co Hian Pang yang umumnya memandang rendah kepada Sun Giok Hong, di dalam
hatinya pun menganggap remeh ilmu Eng-jiauw-kun yang diajarkan Giok Hong
kepada para muridnya itu. Selama ia turut menonton di situ, tidak henti-hentinya ia
mentertawai Giok Hong dengan cara yang begitu menghina sehingga menerbitkan
rasa tidak enak bagi guru-guru lain yang berada di situ. Giok Hong sendiri merasa
tersinggung dan merasa telah dihinakan oleh rekan barunya yang usianya lebih muda
itu. Maka kumatlah sifat-sifat pemarah Giok Hong yang lama, yang meski sudah
diperingati supaya berlaku sabar dan tak mudah naik darah oleh para gurunya, urung
dia tidak dapat lagi menahan kegusarannya itu. Karena kesabaran pastilah ada
batasnya, semutpun menggigit tatkala terinjak, hingga sambil mendekati sisi mimbar
ia menuding rekannya yang sombong itu sambil berseru, "Hai, Lauw Co, apakah
engkau sudah tidak mengenal aturan lagi". Tampaknya engkau terlampau
menganggap rendah kepada diriku!. Kita sama-sama bekerja di sini sebagai guru
silat, tapi bagaimana caranya engkau yang berkedudukan sebagai salah seorang guru
di sini, masih juga berani menunjukkan sikap yang begitu tidak sopan di hadapan
para murid-murid sekalian?".
Co Hian Pang yang sombong tentu saja tidak bersedia menunjukkan kelemahan
dirinya sendiri, bukan saja ia tak mau terima teguran itu, malah sebaliknya segera
bangkit dari kursinya sambil balas mendamprat, "Sun Giok Hong, engkau juga
sebenarnya bukan seorang goblok!. Jika ilmu silatmu baik dan sesungguhnya lihay,
masakah ada orang yang akan mencela dan mentertawai dirimu". Cobalah berpikir
sedikit, jika ilmu silat yang seburuk ini diturunkan kepada para murid yang belum
mengerti apa-apa, bukankah kelak akan membuat kapiran serta sesalan mereka
kepada dirimu sendiri". Suatu peribahasa pernah mengatakan 'Keledai yang takut
cambuk takkan dapat berlari cepat'. Jika dia takut dikritik, bagaimana caranya dia
bisa memperoleh kemajuan?".
Bagaikan api disirami minyak, amarah Giok Hong jadi semakin berkobar
mendengar sindiran kasar yang dilancarkan si orang she Co itu. Dengan suara keras,
ia membentak, "Bocah she Co!. Alangkah baiknya jika engkau "dapat segera naik ke
mari, untuk membuktikan bahwa Eng-jiauw-kun mampu merobek bacotmu yang
besar itu!".
Co Hian Pang gusar bukan kepalang mendengar dirinya ditantang, seketika itu juga
ia merasa sudah dihinakan oleh kata-kata Giok Hong itu. Dengan satu enjotan,
tubuhnya telah mencelat ke atas mimbar dengan sikap yang garang sekali, sambil
berkata, "Memang sudah sejak lama aku berniat mencoba ilmu Eng-jiauw-kun yang
jelek itu!".
Maka tanpa banyak bicara pula Hian Pang telah maju menerjang Giok Hong dengan
ganas sekali, Giok Hong-pun segera meladeninya dengan mempergunakan jurus Engjiauw-
kun yang oleh pihak lawannya selama ini dianggap buruk itu.
Begitulah kedua orang itu telah terlibat pertempur dengan posisi yang sama lihay
dan dahsyatnya, kedua-duanya tak mau mundur sebelum ada salah seorang dari
mereka yang roboh dalam keadaan mati atau menderita luka parah.
Syukur juga sebelum ada salah seorangpun dari mereka berdua yang celaka, para
rekan guru Ceng Bu Hwee segera melaporkan peristiwa tersebut kepada para
pengurus gedung perkumpulan itu, yang segera datang ke situ untuk memisahkan
kedua orang guru silat yang sedang berkelahi itu. Maka terhindarlah sebuah kejadian
yang lebih mengerikan terjadi.
"Memandang muka para pengurus perkumpulan kita ini" kata Sun Giok Hong,
"maka mau juga aku mengampuni jiwamu. Kalau tidak, entahlah apa yang akan
terjadi pada dirimu selanjutnya".
"Hm, pandai sekali engkau memutar lidah!" Co Hian Pang mengeluarkan suara
dengusan dari lobang hidungnya. "Apakah sangkamu aku takut". Jangakan di waktu
siang hari, tapi di waktu malam hari sekalipun, jika perlu engkau boleh bangunkan
aku untuk bertempur di mana saja kau kehendaki!".
Giok Hong jadi sengit lalu berniat kembali menghajar si orang she Co seketika itu
juga. Para pengurus segera membujuk dan mengajaknya pergi ke sebuah ciu-lauw
atau kedai minuman untuk menanyakan bagaimana duduk persoalan sebenarnya
sehingga Giok Hong jadi berkelahi dengan guru silat she Co yang baru diundang oleh
para pengurus Ceng Bu Hwee itu.
Giok Hong lalu menuturkan di hadapan mereka, bagaimana caranya ia telah dihina
oleh Co Hian Pang di hadapan para anggota-anggota baru yang sekaligus menjadi
muridnya juga. Ia merasa sangat dihina dan selanjutnya dengan terpaksa menantang
berkelahi untuk menentukan siapa diantara mereka berdua yang lebih lihay ilmu
silatnya. "Karena untuk berurusan dengan orang serupa bocah she Co itu" Sun Giok Hong
melanjutkan, "hanya ada suatu jalan saja yang harus ditempuh, yakni dengan
kepalan!".
"Sun Lo-su" kata para pengurus itu, "kami harap supaya sudilah kiranya Lo-su
menimbang-nimbang dengan seadil-adilnya, untuk memaafkan Lauw Co sekali ini.
Karena disamping memandang bahwa kita sebagai sesama kaum dan rekan dari suatu
gedung perkumpulan yang sama, Lo-su pun harus jangan lupa memikirkan juga nama
baik perkumpulan Ceng Bu Hwee kita ini, yang tentunya nanti akan bisa memberi
kesan yang tidak baik bagi pandangan orang di luar jika permusuhan Lo-su dan Lauw
Co sampai berlarut-larut tanpa para pengurusnya bertindak sebagaimana layaknya
untuk memperbaiki hubungan Lo-su dengan Lauw Co yang telah retak itu. Atas
kebijaksanaan Lo-su ini yang telah sudi menjelaskannya, bukan saja kami sangat
berterima kasih dan mengerti duduk persoalannya, tapi kami juga jadi mempunyai
bahan yang cukup jelas untuk minta Lauw Co meminta maaf kepadamu dalam suatu
perjamuan yang akan kami adakan nanti".
Barulah amarah Giok Hong mulai sedikit mereda dan berjanji bahwa diapun
bersedia untuk menyudahi perselisihan itu serta memaafkan Co Hian Pang kalau saja
guru silat dari Ouw-lam itu suka mengakui kesalahannya serta berjanji juga bahwa
selanjutnya takkan terjadi lagi peristiwa serupa ini.
Sayangnya, ketika jamuan sebagai tanda perdamaian kedua belah pihak diadakan
di sebuah rumah makan internasional kelas satu di kota Shanghai oleh para pengurus
Ceng Bu Hwee, ternyata Co Hian Pang tidak muncul. Perjamuan itu terpaksa
dilangsungkan dengan tidak dihadiri oleh pihak orang yang harusnya meminta maaf
kepada Sun Giok Hong. Para pengurus telah mengajukan alasan kepada Sun Giok
Hong bahwa ada kemungkinan Co Hian Pang merasa malu atas perbuatannya yang
tidak baik itu, sehingga dia tidak berani datang untuk menjumpai Giok Hong dan para
pengurus yang mengundangnya untuk maksud tersebut.
Sungguh diluar dugaan orang, bahwa seteleh berselang tiga hari semenjak
diadakannya jamuan perdamaian itu, tiba-tiba Giok Hong menerima sepucuk surat
dari Co Hian Pang, yang bunyinya antara lain sebagai berikut:
"Sun Giok Hong, pada beberapa hari yang lampau, karena memandang muka para
pengurus, maka aku mengampuni jiwamu untuk beberapa waktu lamanya!. Tapi siapa
kira engkau telah menjadi semakin besar kepala dengan mengajukan permintaan
supaya aku meminta maaf kepadamu. Sudah jelaslah bahwa engkau tak dapat
melihat gelagat atau menimbang tentang kemampuanmu sendiri yang masih begitu
terbatas!. Maka kalau engkau sesungguhnya berhati mantap dan menginginkan juga aku
meminta maaf kepadamu, kini aku membuka suatu kesempatan untuk kita bertanding
satu lawan satu di bawah gunung Houw-kiu-san dalam kabupaten Souw-ciu, pada tiga
hari setelah engkau menerima surat ini. Aku tunggu kedatanganmu di sana pada
waktu tengah hari.
Jika engkau tak berani datang, itulah tandanya bahwa engkau takut, hingga selain
engkau harus meminta maaf kepadaku, engkaupun harus mengumumkan kepada
orang banyak bahwa ilmu kepandaianmu masih kalah jauh denganku, seorang ahli
silat dari cabang Bu-tong-pay.
Sekianlah apa yang hendak kukatakan kepadamu. Tertunda,
CO HIAN PANG Tidak usah dikatakan lagi betapa gusarnya Sun Giok Hong setelah selesai membaca
bunyi surat tantangan tersebut. Tanpa terasa lagi ia telah menumbukkan tinjunya ke
atas meja sambil berseru, "Kurang aja sekali si orang she Co itu!. Apakah dia
menyangka aku gentar dengan semua gertakannya ini". Hm!".
Mula-mula ia berniat mengadukan persoalan ini kepada para pengurus
perkumpulan Ceng Bu Hwee. Tapi setelah berpikir sejenak dan menganggap bahwa
dengan berbuat demikian ia bisa dituduh berlaku pengecut oleh pihak lawannya,
maka ia sengaja mendiamkan saja surat itu tanpa diserahkannya kepada para
pengurus. Diam-diam ia memberitahukan ini kepada isterinya dan dua orang murid
kesayangannya Lauw Toan In dan Lo Hok Yauw, untuk membantu melindungi dirinya
dengan secara sembunyi-sembunyi karena Co Hian Pang yang sifatnya licik tidak
mungkin berani menghadapinya dengan hanya seorang diri saja.
Begitulah, dengan menumpang kereta api Nanking-Shanghai, mereka telah
berangkat ke Souw-ciu dan menumpang tinggal dalam kelenteng Han-san-ie di luar
kota tersebut, setelah terlebih dahulu Giok Hong menderma sejumlah 50 dollar untuk
dana pembangunan kelenteng di situ.
Kelenteng ini terletak di tepi sungai di luar kota Souw-ciu yang berpemandangan
alam sangat indah, dimana perahu-perahu setiap saat tampak hilir mudik
mengangkut para pelancong yang sedang pesiar dan menikmati keindahan kota
Souw-ciu dan daerah sekitarnya. Ciok Hong teringat akan sebuah sajak karya Thio Kie
dari jaman dinasti Tong yang berjudul "Pesiar di sungai di malam hari", yang sangat
ia gemari. Pada petang hari itu setelah habis makan dan minum, ia mengajak isteri beserta
para muridnya untuk menikmati keindahan-keindahan alam di tepi sungai seperti apa
yang pernah dilukiskan dalam sajak Thio Kie itu. Ternyata ia menjadi kecewa,
berhubung di sana hanya tampak kegelapan, tak tampak perahu-perahu yang hilir
mudik atau suara nyanyian dari orang-orang yang sedang pesiar dengan berperahu di
waktu malam hari. Karenanya, Giok Hong segera mengajak Cay In dan dua orang
muridnya kembali ke kelenteng Han-san-sie dengan perasaan menyesal.
Pada keesokan harinya, sesudah menyelesaikan sarapannya, mereka berempat lalu
menyewa perahu menuju ke gunung Houw-kiu-san. Dari kejauhan telah tampak lima
orang laki-laki yang telah sampai ke sana terlebih dahulu dan kini tengah berdiri
menantikan Sun Giok Hong dan kawan-kawan di bawah sebuah pagoda yang
menjulang tinggi ke angkasa raya. Salah seorang diantara kelima orang itu, ternyata
bukan lain daripada Co Hian Pang adanya.
Begitu melihat kedatangan Sun Giok Hong dan kawan-kawannya, orang she Co itu
segera menuding sambil membentak, "Bocah she Sun, tempo hari jika aku tidak
memandang muka para pengurus, niscaya engkau sudah kuhantam sampai mampus
saat itu juga. Hari ini engkau telah menerima baik tantanganku, itulah sesungguhnya
suatu perbuatan yang terlampau gegabah dan tidak mengimbangi kemampuan dirimu
sendiri.'. Akan kulihat bagaimana caranya engkau akan menghadapiku.
Tanpa menantikan dahulu jawaban orang, Co Hian Pang sudah lantas maju
menerjang, untuk menghantamkan pukulannya sebelum Sun Giok Hong bersiap sedia.
Giok Hong yang terlebih dahulu telah berjaga-jaga, dengan sebat telah
memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan pukulan tersebut, kemudian dengan jurus
Eng-jiauw-kun ia hendak menyekal pergelangan tangan si orang she Co. Ketika
melihat gelagat tidak baik, Co Hian Pang lekas-lekas lompat mundur untuk
menghindarkan dirinya dari cekalan itu. Dengan berdasarkan penglihatannya selagi
Giok Hong mengajar para muridnya, kini ia baru mengetahui bahwa apa yang
disaksikannya waktu itu hanyalah bagian-bagian yang terlampau rendah dari ilmu
Eng-jiauw-kun tersebut, sedangkan "isinya" yang ia saksikan sekarang ternyata jauh
lebih hebat dan lihay daripada apa yang semula dipikirkannya. Maka diapun dengan
diam-diam tak berani lagi memandang rendah Giok Hong yang semula sangat
dihinakannya itu.
Maka pada waktu Giok Hong balas menyerang, iapun segera mengeluarkan seluruh
kepandaiannya untuk mempertahankan dirinya agar jangan sampai kena dikalahkan
oleh musuhnya itu.
Demikianlah pertempuran itu telah berlangsung dengan amat hebatnya hingga 30
atau 40 jurus dalam keadaan seri. Orang-orang dari kedua pihak menyaksikan dari
pinggiran dengan perasaan hati yang berdebar-debar.
Orang-orang Co Hian Pang yang diperintah untuk segera mengeroyok jika ternyata
Sun Giok Hong lebih unggul dalam pertempuran itu, kini terpaksa berlaku pasif dan
tinggal menonton guru mereka yang sedang bertempur itu dengan perasaan khawatir.
Karena Sun Giok Hong ternyata tidak datang ke Houw-kiu-san hanya seorang diri saja,
maka jika mereka maju mengeroyok lawan guru mereka itu, apakah orang-orang Sun
Giok Hong akan tinggal diam saja".
Gunung Houw-kiu-san yang menjadi salah suatu daerah pariwisata yang terkenal
dalam kota Souw-ciu, banyak sekali dikunjungi oleh para pelancong yang datang dari
pelbagai propinsi di daerah Tiongkok. Tidaklah heran jika para pelancong jadi
berkerumun menonton kedua orang yang sedang pie-bu itu, yang semula hanya
ditonton oleh beberapa orang saja. Begitu orang banyak mengetahui tentang adanya
pertandingan yang ramai sekali di daerah itu, dengan segera jumlah penonton
menjadi berlipat ganda, kemudian semakin bertambah sehingga berjumlah beberapa
ratus orang banyaknya. Dalam waktu sekejapan saja, di bawah gunung itu telah
menjadi ramai oleh para penonton yang sengaja datang ke situ untuk menyaksikan
orang pie-bu. Semakin banyak orang-orang yang datang menonton, semakin khwatir pula hati Co
Hian Pang. Ia semula tidak pernah menyangka bahwa di situ akan datang begitu
banyak orang hingga kalau nanti ia kalah dalam pertempuran itu, berita tentang
kekalahannya pasti akan segera tersiar kemana-mana.
Untuk mencegah kejadian tidak enak ini, ia perlu mengeluarkan seluruh kepandaian
dan tenaga sekuat-kuatnya agar dapat segera merobohkan Sun Giok Hong pada saat
itu juga. Kalau tidak, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia sendirilah yang pasti
akan merasa lebih kecewa.
Sementara Giok Hong yang sedari tadi memperhatikan perlawanan si orang she Co,
begitu mengetahui dimana letak kelemahan musuhnya itu, segera maju mendesak
dengan cepat dan dahsyat, sedangkan tendangan-tendangannya yang lihay segera


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilancarkannya dengan bertubi-tubi.
Hal ini telah memaksa Co Hian Pang mundur dan mempergunakan kedua
tangannya untuk menyampok atau membabat kaki Sun Giok Hong, namun dia tak
berdaya mengubah terjangan terjangan lawannya menjadi lebih lunak. Tatkala diapun
mencoba melancarkan tendangan Houw-hwee-kiak yang terkenal lihay dan sukar
dijaga musuh, tiba-tiba Giok Hong berkelit dan dengan gerak yang hampir tidak
kelihatan ia telah menggerakkan tangan kirinya mempergunakan jurus Eng-jiauwkim-
na-ciu sambil membentak, "Hai orang she Co!. Inilah apa yang dinamakan ilmu
Eng-jiauw-kun!". Tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan, tahu-tahu Co Hian
Peng telah terlempar sehingga duapuluh kaki jauhnya dan jatuh meloso di bawah
sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi jalan.
Syukur juga si orang she Co jatuh di atas rumput. Kalau tidak, niscaya tulang
punggungnya akan patah terbentur batang pohon.
Para murid Co Hian Pang yang menyaksikan guru mereka telah dipecundangi orang
segera mencabut thie-cio untuk melindungi Co Hian Pang yang sudah roboh di tanah,
khawatir nanti dibinasakan oleh Sun Giok Hong.
Giok Hong yang tidak bermaksud untuk mencelakai lawannya, dengan segera ia
berseru dengan suara keras, "Tidak usah kalian khawatir aku si orang she Sun tidak
akan sembarangan mencelakai orang!. Co Hian Pang bukanlah musuh besarku hingga
kita harus bertempur sampai ada yang mati!. Aku hanya mengajar adat sombong
guru kalian itu, yang telah menghinakan orang sehingga melampaui batas!".
Setelah itu ia menoleh kepada si orang she Co sambil berkata, "Co Hian Pang,
apakah engkau sekarang sudah puas?".
Hian Pang jadi merah mukanya karena jengah.
"Kini aku harus akui" katanya, "bahwa ilmu kepandaianmu lebih unggul daripadaku.
Selamat tinggal, sampai kita jumpa pula nanti!".
Setelah berkata demikian, dengan menahan rasa sakit ia segera bangkit dan lekaslekas
berlalu dari situ dengan diiringi oleh kelima orang muridnya.
Para pelancong yang justeru berkunjung ke gunung Houw-kiu-san hanya
mengetahui bahwa di situ telah terjadi pie-bu yang ramai sekali antara kedua jago
silat itu, tapi tidak tahu menahu siapa dan dari mana asal usul mereka berdua.
Sun Giok Hong dan isteri serta dua orang muridnya, baru pulang ke Shanghai
setelah terlebih dahulu pesiar dua hari lamanya di kota Souw-ciu. Karena dia tak
pernah membicarakan tentang pertempurannya dengan orang she Co dari Ouw-lam
itu, maka tidak heran jika tiada seorang pun yang mengetahui peristiwa yang terjadi
di bawah kaki gunung Houw-kiu-san pada beberapa hari yang lampau.
Sementara Co Hian Pang bersama para muridnya, setelah berdiam beberapa hari
lamanya di dalam sebuah rumah penginapan di Souw-ciu sambil mengobati lukalukanya
yang telah dideritanya dari pertempuran dengan Sun Giok Hong itu, hatinya
menjadi jengkel bukan kepalang lalu timbul pikiran untuk menuntut balas.
Ia pikir, syukur juga dirinya tidak dikenali oleh para pelancong yang justru datang
ke situ dan menyaksikan pertempurannya dengan si orang she Sun. Kalau tidak,
niscaya kekalahannya itu akan segera tersiar ke mana-mana, sehingga membuat
guram nama baiknya yang sudah sekian lama dikenal oleh para penduduk di tanah
kelahirannya sebagai salah seorang tokoh dari cabang Bu-tong-pay.
Maka untuk menutup rasa malu terhadap para muridnya, Hian Pang segera
mengatakan bahwa tingkat kepandaiannya dengan Sun Giok Hong sebenarnya sama,
tapi karena dia agak terburu napsu dan terlampau memandang ringan kepada lawan
itu, maka kesudahannya dia telah menderita kekalahan. Dengan kata lain, dia seolaholah
hendak mengatakan bahwa dia belum tentu kalah jika pertempuran itu sampai
diulang kembali. Sedang di dalam hatinya ia bersumpah jika Sun Giok Hong belum ia
binasakan, belumlah puas perasaan hatinya.
Setelah berpikir demikian, ia segera memerintahkan seorang muridnya
menumpang kereta api Nanking-Shanghai untuk mengundang kedua orang Su-teenya
Yo Ah Po dan Tio Kee Cun di Nanking, yang tatkala itu membuka Bu-koan atau rumah
perguruan silat di muka kelenteng Hu-cu-bio di sana.
Empat hari kemudian, kedua orang Su-tee itu telah datang ke rumah penginapan
Co Hian Pang dengan diantar oleh muridnya yang telah diperintahkan untuk
mengundang mereka itu.
Yo Ah Po dan Tio Kee Cun kedua-duanya baru berusia kurang lebih 30 tahun,
tubuhnya tinggi besar dan tenaganya pun sangat kuat. Yo Ah Po biasa menggunakan
sebilah pedang Liong-coan-kiam, sedang Tio Kee Cun mahir menggunakan Ngo-ciatkong-
pian atau cambuk baja yang berbuku lima.
Kepada kedua orang Su-teenya ini Co Hian Pang telah menuturkan cara bagaimana
ia telah bertempur dengan Sun Giok Hong, yang dikatakannya "terlampau menghina"
terhadap ilmu silat mereka dan cabang Bu-tong-pay. Ia telah sengaja mengundang
kedua orang itu untuk sama-sama menumpas si orang she Sun yang sombong itu,
agar kewibawaan partai Bu-tong jangan sampai dicemoohkan orang lain lagi di luaran.
Ketika kedua orang itu mendengar hasutan si orang she Co, dengan segera mereka
jadi gusar dan berkata dengan suara yang hampir berbareng, "Perlu apakah kita mesti
berkelahi dengan cara keroyokan, sedangkan lawan kita hanya seorang she Sun
saja". Pendeknya kami tidak mupakat dengan siasat Su-heng dalam menghadapi
musuh itu. Meski akhirnya kita memperoleh kemenangan juga, itupun tak dapat
dibilang sebagai perbuatan orang-orang gagah. Malah kita akan dicela serta disindir
sebagai orang-orang pengecut oleh para rekan kita dalam Dunia Persilatan!".
Tapi Co Hian Pang menggelengkan kepalanya dan berkata, "Jie-wie Su-tee, jangan
menganggap 'sepi' si orang she Sun itu. Aku ada suatu siasat untuk kamu berdua
agar dapat mengalahkan Sun Giok Hong tanpa harus dicap sebagai kawanan pengecut
oleh rekan-rekan kita dalam Dunia Persilatan".
Yo Ah Po dan Tio Kee Cun lalu hendak coba memotong pembicaraan Su-hengnya,
ketika si orang she Co mendahului berkata, "Engkau berdua dengarkan dahulu siasat
yang hendak kuajukan ini, yakni harus mencari gara-gara diwaktu berpapasan dengan
Sun Giok Hong. Setelah kalian berhasil membuatnya menderita luka-luka, kalian
harus segera kabur. Dengan demikian, khalayak ramaipun pasti takkan menyangka,
bahwa semua ini adalah suatu siasat yang memang telah diatur. Lagipula, orang tak
kenal she dan namamu berdua, hingga orang takkan menduga sama sekali bahwa
penyerangan gelap atas diri Sun Giok Hong mempunyai hubungan yang erat dengan
persoalanku pribadi!".
Mendengar demikian, terpaksa Yo Ah Po dan Tio Kee Cun menyanggupi juga,
hingga Co Hian Pang jadi sangat girang lalu mengatar siasat untuk selanjutnya kedua
Su-tee i-tu laksanakan.
Sekarang kita menilik kepada Sun Giok Hong. Sekembalinya dari gunung Houw-kiusan
ke Shanghai, ia telah meiakukan pula tugasnya sebagai guru silat dari Ceng Bu
Hwee, tapi tak pernah menyebut-nyebut perihal pertempurannya dengan Co Hian
Pang di luar kota Souw-ciu. Tiada seorang rekan-rekannya yang mengetahui tentang
peristiwa perkelahiannya dengan guru silat dari Ouw-lam itu.
Setiap hari setelah selesai mengajar silat, Giok Hong kerap mengajak muridnya
Lauw Toan in pergi makan minum di kedai minuman Pak Lay Sun di Ka-pak. Pada
suatu hari menjelang senja ketika Giok Hong dan muridnya keluar dari gedung
perkumpulan Ceng Bu Hwee untuk pergi ke Ka-pak, tanpa sadar bahwa dua bayangan
tengah menguntitnya dari kejauhan.
Sesampainya di muka kedai minuman Pak Lay Sun, lalu lintas justru macet. Selagi
Giok Hong hendak mampir ke kedai minuman tersebut, tiba-tiba ia telah diterkam
oleh seorang laki-laki tinggi besar yang beroman bengis dan berusia kira-kira 30
tahun. Syukur juga Giok Hong bermata jeli dan segera melompat mundur sehingga
dua tindak jauhnya, dengan mana ia telah berhasil dapat mengelakkan bertubrukan
dengan orang itu. Seorang laki-laki yang lainnya segera menyerang dari arah
belakang dengan menggunakan sebatang Ngo-ciat-kong-pian, hingga Giok Hong
terpaksa membuang diri untuk dapat menghindarkan serangan gelap itu.
Ketika baru saja ia terhindar daripada bahaya itu, tiba-tiba orang yang pertama
hendak menerkamnya telah menjotos lagi dengan hebatnya. Giok Hong lekas berkelit
sambil menyambar untuk menyekal pergelangan tangan musuh itu. Dengan cepat
orang itu juga melihat gelagat, kalau tidak niscaya tulang pergelangan tangannya
akan dicengkeram oleh salah satu jurus Eng-jiauw-kim-na-ciu Sun Giok Hong.
Rahasia 180 Patung Mas 6 Pendekar Kembar Karya Gan K L Anak Harimau 1
^