Pencarian

Golok Naga Kembar 6

Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bagian 6


Sementara Giok Hong yang sama sekali tidak membawa senjata, justeru itu
melihat seorang yang berjualan buah Lay berjalan lewat di tepi jalan raya. Dengan
tidak membuang waktu lagi, ia segera hentikan pedagang buah itu, yang pikulannya
lalu diambilnya dan dipergunakannya sebagai gegaman untuk melawan kedua orang
laki-laki yang telah menyerangnya secara tiba-tiba itu.
Mereka ini bukan lain daripada kedua orang Su-tee Co Hian Pang yang bernama Yo
Ah Po dan Tio Kee Cun adanya. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
pembokongan mereka itu akan mendapat sambutan yang sedemikian hangat dan
hebatnya dari pihak si orang she Sun.
Maka Yo Ah Po yang bersenjatakan sepasang thie-cio sebagai pengganti pedangnya
yang berbentuk panjang dan mudah menarik perhatian orang, segera menyerang.
Kedua thie-cionya berbareng menerjang, yang kiri menusuk tenggorokan, sedang
yang kanan disabetkan ke arah tulang rusuk.
Dengan gerakan yang dahsyat sekali Giok Hong telah menyapu dan sekaligus
menabas pinggang Ah Po dengan pikulannya, sehingga Ah Po lekas-lekas lompat
mundur ke belakang. Giok Hong hendak mengejar, tapi ia batalkan maksudnya
tatkala Kee Cun menyerangnya dari sebelah kanan.
Tio Kee Cun yang bersenjata sebatang Ngo-ciat-kong-pian, berniat membetot
pikulan yang dipakai sebagai senjata oleh Giok Hong. Cambuk bajanya berhasil
melibat pikulan, tapi sebelum ia keburu membetot, ujung pikulan itu telah lebih
dahulu menerjang dadanya!. Kee Cun terkejut sekali, lekas-lekas ia lepaskan cambuk
bajanya sambil lompat. Tak urung pundaknya kena juga tersodok sedikit, maka
jatuhlah ia terpelanting ke tanah. Ia segera bangkit lagi, lalu lari menghampiri
seorang pedagang sayuran untuk ia rampas pikulannya.
Sedang Lauw Toan In yang tidak mau membiarkan orang mengepung gurunya
dengan seenaknya saja, begitu melihat ada kesempatan iapun segera turut merampas
pikulan seorang pedagang yang lainnya. Dengan pikulan itu ia telah melakukan
serangan kilat kepada Tio Kee Cun, yang sama sekali tidak menyangka bahwa dia
akan menjadi tandingan murid lawannya yang telah menghalangi pikulannya yang
dihantamkan ke arah batok kepala Giok Hong dengan sekuat-kuat tenaganya.
Seketika itu juga terdengar suara beradunya dua pikulan yang telah membuat orangorang
yang hilir mudik di jalan jadi berteriak, "Aduh!". Kemudian mereka cepat
berlarian menyingkir untuk menghindarkan salah paham kedua pihak yang sedang
bertempur. Tenaga Tio Kee Cun dan Lauw Toan In ternyata sama kuat dan dahsyatnya karena
begitu pikulan yang mereka pergunakan saling beradu, segera terdengar suara "DAK!"
yang keras sekali. Bersamaan dengan itu, kedua pikulan yang saling beradu itu telah
patah menjadi empat potong!. Kedua orang itu yang tak mau saling mengalah
mentah-mentah, bukan saja tidak mau mundur malah sebaliknya lantas
mempergunakan pikulan yang patah itu untuk memukul musuh sebagai ganti
senjatanya. Tanpa banyak bicara pula, kedua orang itu segera saling serang menyerang dengan
ditonton oleh orang banyak yang berjalan hilir mudik di kedua tepi jalan Ka-pak yang
ramai itu. Dengan demikian, pertempuran telah terpecah menjadi dua rombongan, yakni Sun
Giok Hong lawan Yo Ah Po dan Lauw Toan In lawan Tio Kee Cun. Semakin hebat
pertempuran-pertempuran itu berlangsung, semakin banyak pula orang-orang di jalan
raya yang berkerumun menonton keramaian tersebut.
Menggunakan pikulan sebagai senjatanya, Giok Hong telah melabrak Yo Ah Po
sehingga sibuk bukan main untuk melindungi diri dengan thie-cio yang
dipergunakannya sebagai senjata itu. Selanjutnya, ia hanya mampu menjaga diri
daripada serangan-serangan Sun Giok Hong, tapi sama sekali tak mampu balas
menyerang musuh kakak sepergurannya itu.
Sementara Lauw Toan In yang masih muda dan bertenaga sangat kuat, telah
melancarkan serangan-serangannya dengan tidak kepalang tanggung. Tio Kee Cun
agak terkejut juga melihat kegagahan dan keberanian pihak lawannya yang meski
usianya masih muda belia tapi ternyata tak boleh dipandang ringan atau
dipersamakan dengan pemuda-pemuda lain.
Karena terjadinya pertempuran itu dan banyak orang yang sedang hilir mudik di
jalan raya jadi berkerumun di sana untuk menonton dua rombongan orang-orang
yang sedang berkelahi itu. Tidaklah heran jika lalu lintas di jalan raya menjadi macet,
hingga menarik perhatian pihak kepolisian yang segera mengirim serombongan polisi
untuk menangkap orang-orang yang sedang membikin kerusuhan itu guna menjaga
keamanan dan ketentraman di dalam kota.
Dalam keadaan begitu, Yo Ah Po dan Tio Kee Cun menjadi sangat bingung dan
sesaat lamanya tidak mengetahui dengan jalan bagaimana mereka harus meloloskan
diri. Jika mereka kabur dengan tergesa-gesa, pihak musuh-musuh mereka akan
menjadi lebih leluasa untuk melukai mereka berdua, jika tidak lekas-lekas kabur,
niscaya mereka akan ditangkap oleh polisi.
Sebagai orang-orang yang telah memulai mencari gara-gara dan membawa thie-cio
dan cambuk baja untuk mencelakai orang, maka sudah barang tentu jelas sekali
kesalahan mereka, bahwa perbuatan mereka itu telah direncanakan terlebih dahulu.
Untuk ini, mereka tentu sangat sukar untuk mungkir dalam segala alasan. Oleh sebab
itu, apa akal mereka sekarang untuk dapat menyelamatkan diri dengan berbarengan
meloloskan diri dari tangan undang-undang negeri".
"Celaka!", berbareng dengan suara teriakan tanpa terasa yang keluar dari mulut Yo
Ah Po dan Tio Kee Cun. Di sebelah sana rombongan polisi telah melepaskan tembakan
dua kali untuk memberi peringatan supaya kedua belah pihak menghentikan
pertempuran itu dengan segara.
Begitu pertempuran berhenti, polisi segera menggiring Sun Giok Hong, Lauw Toan
In, Yo Ah Po dan Tio Kee Cun berempat ke kantor polisi untuk ditanyakan siapa yang
semula telah membuat kerusuhan dan sebab musabab daripada kerusuhan tersebut.
Sun Giok Hong sebagai orang yang pertama-tama hendak diserang dengan cara
dibokong, lalu menuturkan segala kejadian yang telah ia alami tadi, dengan
menerangkan bahwa dia tak kenal atau mengetahui apa sebab musabab orang itu
mencari gara-gara terhadap dirinya. Tapi sebagai seorang yang diserang dengan cara
tiba-tiba, sudah barang tentu dia berhak untuk melindungi dirinya dengan segala
cara. Lebih-lebih ia menerangkan bahwa dia tak membawa senjata apapun di waktu
penyerangan gelap itu terjadi.
Sebagai pencuri yang tidak mengakui bahwa dia mencuri, Yo Ah Po telah coba
membersihkan dirinya di hadapan polisi dengan mengatakan bahwa dia telah
dihinakan oleh Sun Giok Hong, sehingga dia naik darah dan terjadi perkelahian
tersebut sama sekali bukan sengaja merencanakan pembokongan itu dari awal.
Kesaksian dari para pedagang yang telah dirampas pikulan mereka oleh orangorang
yang berkelahi itu telah menjelaskan, bahwa semua itu telah terjadi karena
perbuatan sengaja dari Yo Ah Po, yang telah sengaja mengatur siasat dengan
kawannya yang bersenjatakan cambuk baja itu untuk mencelakai diri Sun Giok Hong.
Berdasarkan kesaksian para pedagang itu, Sun Giok Hong dan Lauw Toan In telah
dibebaskan dari tuntutan. Yo Ah Po dan Tio Kee Cun telah disita senjata-senjatanya
yang berupa thie-cio dan cambuk baja sebagai bukti-bukti kejahatan mereka dan
mereka ditahan, kemudian dijatuhi hukuman sebulan penjara dan diwajibkan
membayar semua ongkos perkara.
Bersamaan dengan itu, merekapun harus berterima kasih kepada pihak kepolisian
yang telah keburu datang menangkap mereka. Jika penggerebekan itu tidak dilakukan
cukup cepat, niscaya mereka sudah menderita luka-luka karena dihajar oleh Sun Giok
Hong dan muridnya. Sebagai ganti dari bencana besar itu, mereka hanya dijatuhi
hukuman kurungan yang begitu murah dan selamat, yakni hukuman kurungan untuk
sebulan saja lamanya.
Hingga Giok Hong kembali ke gedung perkumpulan Ceng Bu Hwee, dia masih tak
menyangka bahwa penyerangan gelap itu mempunyai sangkut paut yang erat sekali
dengan sengketa yang telah terjadi atas dirinya dan Co Hian Pang beberapa waktu
yang lalu. Setelah membayangkan sejenak dalam pikirannya, cara-cara kedua orang musuh
gelap itu telah menyerangnya, sedikit banyak ia segera mengetahui bahwa jurusjurus
mereka itu banyak benar kesamaannya dengan jurus-jurus yang pernah
diperhatikannya dari pelbagai gerak gerik serta serangan-serangan yang dilakukan
terhadap dirinya oleh Co Hian Pang. Maka timbullah rasa curiga di dalam hatinya,
bahwa setelah Co Hian Pang dikalahkannya di bawah kaki gunung Houw-kiu-san di
luar kota Souw-ciu, ia telah menghasut saudara-saudara seperguruannya untuk
melakukan pembokongan kilat atas dirinya dengan mempergunakan pelbagai
muslihat buruk yang dapat dilakukannya selagi ia sendiri berlaku lengah. Ia merasa
sangat mendongkol dan berjanji pada diri sendiri, di suatu waktu akan menegur
perbuatan si orang she Co dan lalu mengganyangnya jika dirasakan perlu.
Co Hian Pang yang juga menyadari akan aksi pihak Sun Giok Hong selanjutnya,
diam-diam menjauhkan diri untuk jangan sampai berpapasan atau bertemu muka
dengan pihak lawannya. Sun Giok Hong sendiri merasa tidak enak untuk sengaja
mencari gara-gara dan membereskan segala "perhitungannya" ini.
"Aku sepertinya perlu bicara dengan si bocah she Co itu empat mata" kata Giok
Hong pada dirinya sendiri.
Sun Giok Hong dan Co Hian Pang, tetap tinggal dan menjabat tugas sebagai guruguru
silat dari Ceng Bu Hwee. Kedua pihakpun tidak pernah membicarakan persoalan
pie-bu di gunung Houw-kiu-san kepada para rekan mereka.
Pada beberapa saat kemudian setelah selesai mengajar silat, tiba-tiba Sun Giok
Hong telah berpapasan dengan Co Hian Pang yang hendak membeli arak di kedai
minuman. Para pengurus dan rekan mereka di Ceng Bu Hwee justru telah pergi keluar
untuk berjalan-jalan, hingga kesempatan yang sebaik itu tidak mau lagi dilewatkan
oleh si orang she Sun yang lalu maju menghampiri Co Hian Pang sambil berkata,
"Lauw Co, sungguh tidak kunyana bahwa engkau bisa bertindak dengan cara yang
begitu licik dan rendah!".
Co Hian Pang yang menganggap bahwa Sun Giok Hong tidak mengenal Yo Ah Po
dan Tio Kee Cun yang telah mengeroyoknya sebagai kedua Su-teenya, dengan lantas
ia berpura-pura menjawab,
"Dari mana datangnya engkau menuduh aku berlaku licik dan rendah terhadap
dirimu?". Giok Hong lalu mengeluarkan suara dengusan dari lobang hidungnya sambil
berkata, "Hm!. Engkau telah mengatur siasat pembokongan selagi aku berlaku lengah
dengan meminjam tangan kedua orang Su-teemu Yo Ah Po dan Tio Kee Cun!. Apakah
cara ku bukan suatu perbuatan yang licik dan rendah?".
Co Hian Pang yang kini sudah tak bisa mungkir lagi atas perbuatannya yang tidak
baik itu, tiba-tiba timbul pikiran untuk membunuh Giok Hong dengan tinju mautnya.
Tanpa banyak bicara pula, segera ia membentak sambil memukul muka Giok Hong
dengan siasat Siang-hong-koan-jie atau dua hembusan angin mendampar kuping,
tinjunya yang besar dan keras menyerang belakang kuping Giok Hong.
Giok Hong yang terlebih dahulu telah membayangkan dalam otaknya, sikap apa
yang akan dilakukan oleh pihak lawan itu, dengan sebat ia telah miringkan kepalanya
sehingga tinju Co Hian Pang menyamber tempat kosong dengan mengeluarkan suara
angin yang tajam dan pasti akan membuat berdiri bulu roma orang yang
mendengarnya. Begitulah pertempuran yang dahsyat itu tak dapat dicegah lagi, berhubung di situ
tak ada orang ketiga yang turut menyaksikan atau datang memisahkan kedua guru
silat yang bermusuhan itu.
Co Hian Pang yang berasal dari cabang Bu-tong, sudah tentu telah mengeluarkan
seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan nama baik perguruan silat partainya.
Sedangkan Sun Giok Hong yang sangat mahir dalam ilmu Eng-jiauw-kun, ingin juga
membela nama baik peguruan Siauw-lim yang menjadi anutannya. Karena kedua
belah pihak sama-sama lihay dan uletnya, maka pertempuran itu belum dapat segera
ditetapkan pihak mana yang unggul sebelum berlangsung sehingga beberapa puluh
jurus lamanya. Serangan-serangan atau kelitan-kelitan kedua belah pihak menakjubkan sekali,
egosan dan tangkisan yang diteruskan dengan sodokan-sodokan maut yang dilakukan
Hian Pang adalah jurus-jurus terhebat yang jarang dimiliki oleh sembarang orang.
Kalau Giok Hong dapat melayaninya, itu disebabkan ia sendiri memiliki ilmu silat yang
tinggi disamping pengalaman bertempurnya yang banyak.
Selagi pertempuran berlangsung terus, Giok Hong yang nampaknya terdesak,
mendadak membalas menyerang tiga kali dengan cara saling menyusul. Karena ini,
dadanya menjadi terbuka dengan sendirinya. Hian Pang melihat tempat lowong itu,
iapun berkata dalam hatinya, "Sungguh lucu engkau yang dinamakan ahli golok lima
propinsi, tidak mengerti bahaya. Di hadapan musuh, kau membuka dirimu secara
begini, itu tandanya kau mencari mampus sendiri!". Segera tangannya bergerak,
tangan kirinya menahan tangan Giok Hong, sedang tangan kanannya membabat
lengan lawannya.
Kelihatan lengan Giok Hong itu bakal terhajar hingga patah, sedang dadanya pun
seperti terjambret tangan kiri lawannya, yang sudah bergerak lebih jauh menyusul
tangan kanannya itu.
Tapi, tiba-tiba terdengar jeritan Hian Pang dan tampak ia menarik pulang kedua
tangannya, tubuhnya mundur tiga tindak. Setiap langkahnnya menjadi berat, dan ia
mundur sambil berusaha mempertahankan dirinya agar tidak roboh!.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi".
Giok Hong tidak ingin pertempurannya itu diketahui orang banyak, karena ia
merasa malu kepada pengurus perkumpulan Ceng Bu Hwee yang pernah
mendamaikan urusan perkelahiannya dengan Hian Pang dahulu. Ia ingin lekas-lekas
menyelesaikan pertempuran kali ini selekas mungkin, tapi ternyata Hian Pang dapat
bertahan sampai sekian lamanya. Ia melihat kesulitan untuk bertempur tanpa tipu
daya, maka sesudah melayani sekian lama ia lantas menggunakan akal. Dengan
sengaja ia membuat tempat yang lowong pada dirinya sendiri, sambil memasang
umpan ia mengumpulkan tenaganya di dada untuk melindungi diri dan senantiasa
berlaku waspada untuk melindungi juga bagian-bagian tubuh lain yang lemah. Tepat
dugaannya, tangan kiri Hian Pang menyambar ke tempat yang berbahaya di dada,
tapi segera Hian Pang menjadi kaget dengan sendirinya. Dada itu telah melejit, bukan
dia yang dapat menjambak justeru jari-jari tangannya telah terpelintir, telapak
tangannya dirasakan sakit hingga tubuhnya terhuyung. Ia menyambar tangan Giok
Hong untuk mempertahankan diri tapi Giok Hong meronta melepaskan tangannya itu,
sedang tangan kirinya dipakai untuk menyambar ke tenggorokan lawan, jari-jari
tangannya mengancam ke bagian leher yang berbahaya!.
Hian Pang kaget bukan main melihat ancaman itu, sebab ia telah mengenal dengan
baik hebatnya Eng-jiauw-kim-na-ciu dari lawannya itu, dengan terpaksa ia menarik
pulang kedua tangannya untuk mengundurkan diri. Karena ia kesusul, ia bertindak
cepat tetapi berat dan wajahnya merah karena jengah. Setelah dapat memperbaiki
posisinya, ia telah menyerang lagi dengan siasat Pai-san-in-ciang atau dengan kedua
tinju mendorong lautan, kedua tinjunya berbarengan menerjang dada musuh dengan
amat ganasnya. Melihat serangan yang demikian mematikan, Giok Hong segera menangkis dengan
siasat Hun-ceng-tan atau membuyarkan abu menjernihkan suasana. Tapi sebelum
menangkis, ia terlebih dahulu menggeser kedua kaki karena tak berani memandang
ringan tenaga lawannya itu, lalu dengan cepat tangannya menyapu bersih kedua tinju
maut itu dan segera membarengi dengan serangan Tui-ciong-bong-goat atau menolak
jendela untuk menjenguk rembulan, untuk menjegal Hian Pang.
Sungguh gesit sekali Hian Pang ini, sembari menangkis iapun telah membarengi
dengan satu serangan yang bernama Hoay-sim-tui, satu ilmu tendangan Bu-tong-pay
yang terdahsyat, yang tidak sembarangan diturunkan kepada murid kecuali yang
betul-betul telah mahir ilmu silatnya. Sifat tendangan ini sangatlah kejam dan
mematikan, jika tidak mau dikatakan keji!. Dan jika sampai Hian Pang
mempergunakannya juga tendangan maut ini, karena ia sendiri sudah merasa sangat
terdesak dan kewalahan menghadapi Giok Hong.
Saking terkejutnya menyaksikan serangan itu, Giok Hong dengan satu gerak reflek
telah mencelat dengan siasat Koay-bong-hoan-sin atau ular naga siluman jumpalitan,
ia lompat berputar sedemikian rupa, hingga dapat ia menghindari tendangan itu
dengan manisnya.
Selagi masih di udara, ia telah melepaskan satu tumbukan ke kepala Hian Pang,
yang walaupun terkesiap telah menendang angin, tapi masih dapat melepaskan satu
terjangan tinju ke atas dan.............
"Buk!!!". Satu suara yang keras terdengar karena beradunya dua tinju raksasa itu
dan tampak Hian Pang seolah-olah terbenam ke dalam tanah, sedangkan Giok Hong
mental ke atas!.
Hian Pang sesungguhnya telah berlaku terlampau nekad, tidaklah seharusnya
serangan Giok Hong itu ia balas dengan kekerasan pula, karena ia sendiri yang akan
menderita kerugian besar!. Sedangkan Giok Hong, meski merasa sakit juga pada tinju
dan sambungan tulang pundaknya, ia dapat turun dari udara tanpa kesukaran. Tidak
demikian halnya dengan Hian Pang, yang jadi terjongkok untuk sekian lamanya
karena merasakan matanya kabur dan pinggangnya sakit sekali!.
Baru saja Hian Pang dapat berdiri, ia telah dikejutkan oleh satu bentakan bengis,
"Orang she Co!. Jagalah baik-baik jurusku ini!". Tampak Giok Hong telah menyerang
dengan siasat Houw-yauw-kiu-san atau harimau melompati sembilan gunung.
Hian Pang meski kaget sekali, ia berusaha mengelakkan serangan ini dengan siasat
Tui-po-lian-hoan atau mundur berantai, tubuhnya mencelat di udara sambil
menangkis. Karena pinggangnya masih dirasakan sakit, tidak heran siasatnya itu tak
dapat ia laksanakan dengan sempurna. Maka Giok Hong berhasil menyergapnya, lalu
dengan siasat Kim-lie-hoan-sin atau ikan mas membalikkan diri, membanting tubuh
Hian Pang sekuat tenaganya. Tak terasa lagi Hian


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pang menjerit, "Celaka...........!" dan bersamaan dengan terdengarnya suara jeritan
itu, tampak tubuh Hian Pang terapung lalu jatuh terguling di suatu tempat yang
terpisah kurang lebih lima belas kaki jauhnya dengan tulang kaki patah dan merintihrintih
kesakitan. Tapi amarah Giok Hong telah meluap-luap, segera ia lompat mengejar dan hendak
melancarkan tendangan mautnya agar lawannya itu mati seketika itu juga.
Syukur ketika baru saja Giok Hong mengayunkan kaki kanannya, tiba-tiba ada
orang yang menarik lengannya ke belakang sambil berseru, "Giok Hong Heng, sabar
dulu!". Oleh karena hentakan yang sekonyong-konyong itu, tendangan Giok Hong jadi
ngawur dan tidak mengenai sasarannya. Giok Hong jengkel bukan buatan dan lantas
hendak membentak, tapi ia segera mengenali siapa adanya orang-orang itu. Maka
terpaksa ia menahan amarahnya dan bertanya, "Kenapa saudara-saudara merintangi
perbuatanku?".
Orang-orang itu ternyata bukan lain daripada rekan-rekannya sendiri yakni Lo Kong
Giok dan Tan Cu Ceng.
"Giok Hong Heng" kata Lo Kong Giok pula, "duduk persoalanmu dengan Co Hian
Pang telah kami ketahui dengan jelas. Kini dia telah kau robohkan, ini kiranya sudah
cukup untuk menentukan siapa yang lebih unggul kepandaiannya".
"Jika setelah ia roboh engkau menendangnya pula, niscaya Lauw Co akan tewas
jiwanya dan urusan pasti akan jadi semakin sulit. Demi kebaikan nama perkumpulan
kita, sudilah kiranya saudara memaafkannya serta menyudahi permusuhan ini sampai
disini saja. Janganlah saudara lupakan, bahwa Lauw Co telah diundang oleh para
pengurus Ceng Bu Hwe untuk membantu mengajar ilmu silat di dalam gedung
perkumpulan kita ini. Untuk menjaga muka para pengurus tersebut, kami sangat
harap supaya saudara sudi juga mengampuni kesalahan-kesalahan Lauw Co yang
telah lampau itu".
Sementara Giok Hong yang mendengar permintaan rekan-rekannya itu dan
mengingat bahwa urusan jiwa tidak dapat dibuat permainan, diapun akan berurusan
juga dengan polisi jika sampai kejadian Co Hian Pang tewas di dalam tangannya.
Maka apa boleh buat ia mau juga untuk menyudahi semua perselisihan itu.
Selanjutnya, untuk membujuk serta meredakan hati Giok Hong yang masih panas,
Lo Kong Giok dan Tan Cu Ceng segera mengajak Giok Hong ke sebuah kedai
minuman untuk makan minum. Mereka mengundang juga para pengurus
perkumpulan Ceng Bu Hwee untuk diberitahukan tentang duduk perselisihan yang
sebenarnya antara Giok Hong dan Co Hian Pang tersebut dan agar Hian Pang segera
diberi tegoran keras atas segala perbuatannya yang tidak baik itu.
Setelah itu, barulah Giok Hong merasa lega di dalam hati dan suka menyudahi
perselisihan itu serta memaafkan Hian Pang atas kesombongannya itu. Tapi Hian Pang
yang diundang untuk datang juga ke perjamuan perdamaian itu, ternyata tidak
kelihatan batang hidungnya dan ada kemungkinan ia malu atau penasaran sekali atas
kekalahannya itu. Tetapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kegembiraan orang
banyak yang berkumpul dalam perjamuan itu.
0oo0 X SEWAKTU kejadian di atas terjadi, sebuah kapal besar tengah berlayar dengan
megahnya dari Tokyo menuju ke daratan Tiongkok dengan membawa seorang
penumpang berkebangsaan Jepang, itulah Yasan Shiecike!.
Sementara Naka Haruo, Sano Rin, Noma Minoru, Yoshi Nakamura dan yang lainlainnya
lagi, tampak sibuk untuk menyelenggarakan sambutan yang sehangathangatnya
dan kelihatan mereka mondar mandir di pelabuhan dengan rupa tidak
sabaran menunggu kapal besar itu melemparkan sauhnya.
Tepat jam 5 sore baru kapal itu dapat menrunkan penumpang-penumpangnya ke
darat dan tampak Yasan menuruni tangga kapal untuk kemudian dirangkul dan dieluselus
oleh kawan-kawannya itu. Mereka langsung menuju ke konsesi yang khusus
disediakan untuk bangsa mereka, dimana Yasan tanpa istirahat lagi lalu mengajak
kawan-kawannya berlatih Judo dan Karate, bersiap-siap menghadapi Giok Hong!.
Dilain pihak. Giok Hong yang khawatir dikeroyok oleh kawan-kawan Yasan, telah
terlebih dahulu berpesan kepada para murid-muridnya, yakni Lauw Toan In, Lo Hok
Yauw, dan lain-lain, untuk membekal tan-pian atau cambuk yang dapat dilibatkan di
pinggang masing-masing. Kemudian mereka disuruh menyamar dan pura-pura
sebagai orang luar yang sengaja datang ke luar kota Liong-hoa untuk turut
menyaksikan pertandingan yang ia dan Yasan akan lakukan nanti. Hal mana telah
diturut oleh Lauw Cay In, yang dengan diam-diam akan membaur di antara para
penonton untuk melindungi diri suaminya pada tanggal 15 atau 2 hari yang akan
datang. Dan tanggal 15 yang dinanti-nantikan itupun akhirnya datang.
Pada hari itu, sesudah sarapan dan minum dua cawan arak, Sun Giok Hong lalu
menukar pakaiannya dengan pakaian yang lebih ringkas. Disebelah luarnya ia
mengenakan baju panjang, hingga romannya tidak mirip dengan seorang yang paham
ilmu silat. Dari tempat kediamannya ia berangkat keluar kota Liong-hoa dengan kereta api
dan sampai di sana di antara orang-orang yang telah berkerumun di sebuah lapangan
yang luas, mereka telah menyambut kedatangannya dengan bersorak sorai riuh
sekali. Tapi Yasan dan kawan-kawannya belum tampak batang hidungnya.
Giok Hong berjalan di antara orang banyak sambil memperhatikan keadaan di
sekitar lapangan itu, dimana ia melihat para murid dan isterinya sudah sampai pula di
situ terlebih dahulu. Masing-masing telah mengambil posisi yang tepat sekali untuk
menjaga dirinya dari musuh-musuh yang ingin berbuat curang dengan cara
membokongnya. Tatkala jam yang ditentukan telah tiba, sekonyong-konyong terdengar orang
banyak yang berkata, "Kawan-kawan Jepang itu baru saja tiba!".
Dari dua buah mobil yang dilarikan dengan cepat dan berhenti di sisi lapangan itu,
tampak turun Yasan diiringi oleh 6 atau 7 orang kawannya yang bertubuh kasar dan
beroman bengis.
Sun Giok Hong dan para murid yang melihat seorang Jepang yang berperawakan
tegap, berkumis dan berjenggot pendek tengah memasuki lapangan itu dengan
langkah yang garang. Segera ia ketahui bahwa orang itu tentulah bukan lain daripada
Yasan Shiecike yang menjadi penantangnya itu. Maka dengan kedipan mata ia telah
memberi isyarat kepada isteri dan murid-muridnya yang sudah bercampur baur di
antara para penonton itu agar mereka berlaku waspada dan selalu siap sedia untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Sementara Yasan yang melihat seorang tengah berdiri dengan tenang di tengah
lapangan itu, segera dapat menduga bahwa orang itu tentu bukan lain daripada Sun
Giok Hong adanya. Dengan suara bengis ia segera membentak, "Apakah engkau ini
adalah Sun Giok Hong?".
"Sungguh baik sekali daya indra matamu!" kata Giok Hong. "Aku inilah Sun Giok
Hong yang telah menghajar banyak ahli-ahli silat Jepang, sehingga mereka terkuingkuing!".
Lalu sambil menudingkan jari telunjuk dan tengahnya, ia melanjutkan,
"Engkau ini tentu orang yang telah memasang iklan di banyak suratkabar beberapa
waktu yang lalu, yang bernama Yasan Shiecike, bukan?".
Yasan gusar sekali mendengar kata-kata yang menghina itu, sehingga kumis dan
jenggotnya seolah-olah berdiri. Tidak urung ia berkata juga, "Aku Yasan Shiecike,
murid kesayangan guru Judo terkenal Kawai Saburo, yang dijuluki orang Jago Judo
dari Timur Jauh!. Aku dengar kabar bahwa engkau telah mengakui dirimu sendiri
sebagai Ngo-seng-to-ong, seorang ahli silat yang sangat tinggi kepandaiannya".
Katanya lagi dengan suara geledek, "Tapi engkau lupa, bahwa ilmu silat Dai Nippon
bukan saja takkan kalah dengan ilmu silat dari negeri manapun, malah kini tengah
menjagoi di kolong langit. Aku sendiri memang gemar dengan ilmu silat, maka kini
aku telah sengaja mengundangmu untuk sama-sama berlatih sambil saling menukar
pendapat dalam kalangan persilatan. Keluarkanlah seluruh kemampuanmu untuk coba
melawan ilmu Judo kami, agar supaya dapat dibandingkan mana yang lebih unggul
antara ilmu silat Tiongkok dan ilmu silat Negeri Matahari Terbit!".
Sun Giok Hong selalu mengganda tertawa saja dan berkata, "Aku bersedia
meluluskan segala kehendakmu dengan senang hati!".
"Apakah engkau mengetahui" membual Yasan, "bahwa Ho Goan Ka pernah
dikalahkan oleh ilmu Judo kami?".
Bagaikan harimau yang dibangunkan dari tidurnya, tiba-tiba wajah Sun Giok Hong
jadi berubah dan teringat akan kecurangan bangsa Jepang yang telah mengeroyok
jago silat she Ho itu. Dengan perasaan amat gusar ia segera bertanya, "Apakah
engkau inilah orangnya yang telah merobohkan Ho Goan Ka Lo-su?".
Yasan menengadah sambil mengeluarkan tawa yang sangat tidak enak bagi
pendengaran kuping. Dengan roman sangat bangga ia menyahut, "Tidak salah!.
Akulah Yasan Sheicike, yang telah menghajar orang she Ho itu sehingga ia jadi
mampus!". "Mengeroyok orang secara curang dan keji memang menjadi kemampuanmu yang
terlihay!" bentak Giok Hong dengan wajah merah padam. "Justeru engkau inilah yang
hendak kuhajar untuk membalas sakit hati Ho Lo-su!".
Dengan amarah yang berkobar-kobar, Giok Hong segera mendahului menerjang
dengan gerakan secepat kilat, hingga Yasan yang juga selalu berlaku waspada lekaslekas
lompat mundur dengan secara gesit sekali.
Ahli Judo Jepang itu cukup cerdik untuk tidak menghambur-hamburkan tenaganya.
Ia yakin pertarungan ini akan memakan waktu yang cukup lama sebelum ia dapat
merobohkan lawannya yang hebat ini.
Matanya yang sipit dan bersinar tajam ditatapkan ke wajah Giok Hong untuk
memperhatikan serangan-serangan selanjutnya. Giok Hong sendiri yang pernah
berkali-kali berkenalan dengan orang-orang yang mahir Judo, terlebih dahulu telah
mengetahui bahwa sungguh berbahaya jika sampai lawannya itu dapat menyekal
bajunya. Bukan saja Yasan mahir sekali ilmu Judonya, tapi iapun ternyata mahir ilmu
Karate dan ilmu silat Tiongkok, yang dipelajarinya dari beberapa guru silat Tionghoa
yang telah menjadi warganegara Jepang.
Giok Hong berlaku cerdik, ia sengaja berkelahi dalam jarak yang agak jauh.
Pukulan-pukulan dengan telapak tangan atau tinju hanya dipergunakan sebagai
susulan saja jika tendangan-tendangan telah diluncurkannya untuk mendesak Yasan,
yang selalu dapat mengelakkannya dengan bagus sekali.
Para penonton bersorak sorai karena asyiknya menonton pertempuran yang baru
pernah mereka saksikan seumur hidup itu, yakni ahli silat Tionghoa melawan jago
Judo Jepang. Pada suatu ketika, setelah dapat mengelakkan tabasan-tabasan telapak tangan
maut Yasan, Giok Hong telah melontarkan jotosan yang tidak kalah hebat dan
dahsyatnya daripada tabasan-tabasan lawannya itu. Tapi dengan indahnya Yasan
dapat menangkis serangan itu, malah dengan kecepatan yang hampir sukar dilihat
orang, ia telah berhasil mencekal baju Giok Hong dan..........."Ciiaaaaaaattt...............
"Celaka!". Kata-kata itu tiba-tiba tercetus dari mulut setiap penonton, sedang Lauw
Cay In dan para murid Giok Hong jadi mencelot hati mereka waktu menyaksikan
peristiwa yang sangat mengejutkan itu. Berbarengan dengan kata "celaka" itu,
tampak tubuh Giok Hong terlempar di udara bagaikan sebuah roket yang
ditembakkan dari sebuah meriam. Bersamaan dengan itu, terdengar suara yang
sangat riuh di sebelah sana, karena tubuh yang terlempar itu menuju langsung ke
arah penonton di sebelah depan, yang jadi terkejut dan tak keburu menyingkirkan
diri. Mereka terpaksa harus mengangkat tangan-tangan mereka untuk menyongsong
tubuh yang dilemparkan oleh Yasan itu!.
Sesaat lamanya keadaan tempat pertarungan menjadi sunyi sekali, semua mata
ditujukan ke arah penonton di seberang sana, untuk mengetahui perkembangannya
lebih lanjut. Hanya sebentar saja kesunyian telah tersobek oleh sorak sorai penonton
yang berteriak-teriak, "Belum kalah, belum kalah!. Masih ada pertandingan!. Sambil
bersorak-sorai dan kelihatan Giok Hong berjalan keluar dari antara orang banyak itu,
sambil tak henti-hentinya berkata, "Terima kasih, terima kasih!".
Dalam hal ini Yasan telah membuat kekeliruan besar. Bantingan yang telah ia
lakukan itu, tidak seharusnya dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga Giok Hong jadi
terlempar ke antara penonton. Dengan demikian lawannya bukan saja jadi tidak
terluka malah kesempatan yang terbaik telah terbuang begitu saja.
Lauw Cay In dan para murid Giok Hong menjadi lega sekali setelah mendapati
kenyataan Giok Hong selamat dan tidak kurang suatu apapun. Tapi Naka Haruo dan
kawan-kawannya yang menyaksikan Yasan gagal membanting mampus lawannya itu,
hampir semua jadi membanting-banting kaki karena amat kecewa dan berseru,
"Sungguh sayang sekali!. Sungguh amat sayang sekali!". Sedangkan Yasan sendiri
jadi mengomel di dalam hatinya, "Benar-benar sialan monyet she Sun itu!!!!".
Ini bukan berarti bahwa dia telah putus asa untuk dapat merobohkan lawannya itu.
Jika maksudnya gagal untuk dapat menumpas si orang she Sun, maka pihak dialah
yang akan mendapat malu dari banyak orang. Lebih-lebih karena dialah yang telah
mulai menantang Sun Giok Hong dengan jalan memuat iklan di suratkabar di seluruh
kota Shanghai 2 bulan yang lampau.
Mengingat ini semua, dalam pertempuran kali ini dia harus keluar sebagai
pemenang, kalau tidak maka hancurlah namanya yang sedang tenar sebagai jago
Judo Jepang satu-satunya dan terakhir yang dapat mempertahankan nama baik dunia
Judo, semenjak Jepang memperoleh hak-hak istimewa dan konsesi di daratan
Tiongkok!. Sedang Giok Hong sendiri yang mengandung maksud untuk membalaskan sakit
hati Ho Goan Ka yang pernah dibokong manusia-manusia keji itu, sudah barang tentu
tak mau mengalah atau mundur setapakpun jika maksud hatinya belum tercapai.
Begitulah kedua pihak segera mulai berhadap-hadapan lagi dengan mata hampir
tak berkesip saling menatap wajah masing-masing. Setelah berdiam sejenak, hati
para penonton tak henti-hentinya berdebar-debar. Tiba-tiba tampak Yasan telah
memasang kuda-kudanya, kedua tinjunya dikepal keras dan perlahan-lahan tangan
kirinya diajukan ke depan, tangan kanannya diangkat keatasan kepalanya. Seluruh
tubuhnya tergetar keras, itulah Karate atau ilmu pukulan tangan kosong yang
dahsyat!. "Ciaaaaaaaatttt.....!". SRET!. BET!. Yasan telah melontarkan dua serangan susul
menyusul, tinju kirinya menerjang dada dan tinju kanannya meyerangan pilingan Giok
Hong dengan amat dahsyatnya.
Giok Hong lekas mengegos sambil bergerak dengan separuh membengkokkan
sebelah lututnya, sedangkan dengan gerak menjatuhkan diri ia telah meyabetkan
kakinya ke arah kaki musuh dalam siasat Chiu-hong-sauw-yap atau angin musim
kemarau menyapu daun.
Cepat dan dahsyat samberannya kaki Giok Hong itu, tapi Yasan yang juga bermata
sangat jeli, dengan sekali berlompat saja telah berhasil dapat menhindarkan diri
daripada kaki pihak lawannya itu. Kemudian ia maju mendesak serta memukul
dengan mempergunakan siasat cara Tiongkok yang hampir menyerupai pukulan Tokpek-
hoa-san atau dengan sebelah tangan membelah gunung Hoa-san, yaitu memukul
batok kepala orang dengan mempergunakan telapak tangan kanannya.
Hampir saja kepala Giok Hong terpapas oleh serangan yang dilancarkan dengan
sangat tiba-tiba itu, kalau saja ia tidak lekas-lekas mengelak dan mundur beberapa
langkah. Setelah itu tinjunya menerjang bertubi-tubi ke arah dada Yasan, yang
dengan tabah sekali telah menangkis sembari menyabetkan tangannya ke arah
batang leher lawan.
Tatkala serangan Giok Hong yang kedua datang menyerang, Yasan telah
pergunakan tangan kirinya untuk mengorek tangan lawannya sambil menyergap,
sedang tangan kanannya sendiri meluncur ke arah dada. Lalu sambil lompat ke
depan, ia tekuk kaki kanannya dan dalam keadaan berlutut satu kaki, ia bermaksud
membanting dengan siasat Ukioshi atau melempar lawan melalui pundak.
Giok Hong yang telah kena tercekal lengan kanan dan baju di dadanya, dengan
satu putaran tangan kanan ia telah berhasil menyergap tangan kiri Yasan, lalu tangan
kirinya disodokkan ke lambung Yasan, yang seketika itu juga segera lompat mundur
gesit sekali. Kemudian dengan kecepatan kilat telah menerjang pula dengan siasat Uchimata
atau dengan kaki membanting lawan, kaki kanannya hendak menerobos ke tengahtengah
kedua kaki orang, tangan kirinya menyergap lengan baju, tangan kanannya
tetap menerjang baju di dada, lalu sambil berputar badan dan mengangkat kaki
kanannya, ia membuang lawan.
Tapi Giok Hong gesit sekali, dengan menggunakan siasat Cit-yan-hui-siang atau
burung walet terbang melayang, tubuhnya mencelat di udara dengan kedua tinju
menumbuk kepala Yasan, yang dengan cepat pula telah menekuk sebelah lututnya
sembari menengadah dengan lirikan penuh kekaguman menyaksikan gerak lawannya
yang demikian indah itu!.
Para penonton yang menyaksikan pertarungan hebat itu detik demi detik, jantung
mereka jadi bertambah keras debarannya. Pertarungan ini memang satu pertarungan
yang amat dahsyat, tapi sangat mengasyikkan untuk dapat disaksikan. Meski harus
membeli karcis masukpun, niscaya mereka akan membayarnya!.
Di suatu pinggiran lapangan, kelihatan enam pasang mata yang bersinar tajam,
senantiasa ditujukan ke suatu arah tertentu. Itulah sinar-sinar mata Lauw Cay In,
Lauw Toan In dan Lo Hok Yauw, yang selalu bersiap sedia untuk membantu kalaukalau
kawanan Jepang itu berniat untuk mengeroyok.
Pada suatu ketika, selagi Giok Hong melancarkan serangan ke arah lambung
lawannya, kelihatan Yasan dengan lincah sekali telah melejit. Tatkala jotosan kanan
Giok Hong menerjang, Yasan menangkis lalu cepat sekali tangan kiranya menyambar
belakang baju, tangan kanannya ditekankan di perut lawannya. Dengan tiba-tiba dia
memutar tubuhnya, dan.............."Ciiaaaatttttttt..........!!!.
Itulah salah satu siasat bantingan Judo yang lihay, yang disebut Urangge atau
membanting lawan melalui kepala. Seketika itu juga tampak sesosok tubuh terlempar


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di udara, berputar dua kali, tapi akhirnya dengan satu gerak yang indah jatuh turun
ke muka bumi dengan kedua kakinya mendarat terlebih dahulu. Itulah siasat Yen-lokpeng-
sa atau burung belibis terbang turun.
"Bangsat .........!" Yasan memaki kalang kabut saking kecewanya. "Hai monyet!.
Ilmu siluman dari mana yang telah engkau pergunakan barusan!" katanya dengan
gemas. "Itulah ilmu sakti Orang Sakit dari Timur!" sahut Giok Hong mengejek.
Wajah Yasan yang memang sudah merah karena minum sake (arak Jepang) jadi
tambah merah, karena saking gusarnya tampak dari kedua lobang hidungnya seolah
mendesis keluar hawa gas!. Tiba-tiba ia mengirim jotosan kanan, siasat serangannya
itu di kalangan Kang-ouw lazim disebut Thian-goa-lai-in atau awan menghembus dari
balik angkasa. Giok Hong telah siap, ia sambut tinju lawannya itu dengan satu dongkrakan ke atas
dengan lengan kirinya. Tapi, lagi-lagi Yasan dengan amat gesitnya telah menyerang,
kali ini dengan telapak tangannya. Giok Hong tidak mengegos, dengan cepat sekali
kedua tangannya menjaga batok kepalanya, lalu tangan kirinya menangkis tabasan
itu. Karena menyerang dengan amat hebatnya dan Giok Hong menangkis dengan
sekuat tenaganya, maka tidaklah heran akibat daripada tabasan dan tangkisan itu
telah menghembuskan angin santar.
Pertempuran makin lama makin hebat, Yasan telah menggunakan semua tenaga
dan kepandaian untuk menjatuhkan lawannya selekas mungkin. Terlihat ia
menyerang lawannya dengan kedua tinjunya bertubi-tubi dan tiap-tiap jotosan atau
pukulan telapak tangannya, seolah-olah seperti martil besi saja hebatnya.
Giok Hong tampaknya hanya dapat menangkis atau berkelit, tapi sebenarnya ia
sedang menggunakan siasat meletihkan lawan sambil menanti suatu kesempatan
untuk mengirim pukulan mautnya atau lemparan Eng-jiauw-kim-na-ciu yang dahsyat
itu. Setelah pertempuran berjalan lebih kurang 40 jurus, Yasan Sheicike kelihatan mulai
letih dan tanpa ragu Giok Hong telah sengaja berlaku kendur. Yasan dengan bernapsu
sekali telah menyerang dengan kedua telapak tangannya, yang disodokkan dengan
keras ke ulu hati Giok Hong.
Menghadapi serangan ini, Giok Hong tidak menjadi gugup, segera ia merangkap
kedua telapak tangannya dalam siasat Tong-cu-pay-hud atau anak dewata
menyembah Buddha. Begitu telapak tangan Yasan yang disodokkan hampir tiba pada
sasarannya, sekonyong-konyong Giok Hong menjepit telapak tangan musuhnya
sambil membentak, "Inilah jurus Orang Sakit dari Timur membuang kotoran kerbau!".
Bersamaan dengan itu, para penonton hanya melihat Yasan terlempar ke udara,
tapi mata mereka tidak cukup gesit untuk menyaksikan cara Giok Hong melemparkan
jago Judo itu. Yasan melepaskan satu pekikan nyaring dan ia dapat dengan baik menguasai
jatuhnya itu. Ia memang kerap dilempar atau dibanting di kala berlatih Judo dan kini
meski bantingan Giok Hong agak berlainan tapi dengan satu gerak yang lincah sekali
ia masih dapat menghindarkan diri dari bantingan itu.
Tiada seorangpun di antara para penonton yang berkumpul di situ bisa menduga
bahwa pertempuran itu belum habis sampai disitu saja. Waktu Yasan melayang turun,
tiba-tiba Giok Hong tampak turut melayang mengejarnya serta menyergap dengan
siasat Tay-peng-pok-yang atau burung garuda menerkam kambing.
Tapi Yasan keburu turun dan waktu melihat Giok I long menerkam, dengan gesit ia
lompat mundur untuk kemudian membarengi menyergap lawannya dan menyerang
dengan siasat yang pernah dipergunakan oleh Kimura Shiro dahulu, yakni Tomoi-nage
atau melempar lawan sambil menjatuhkan diri.
Giok Hong yang pernah merasai lemparan tersebut, kali ini tak mau dikelabui lagi.
Selagi kaki Yasan hendak menunjang ke perutnya, ia telah menangkis dengan satu
korekan tangan kiri, lalu dengan cepat luar biasa tinju mautnya tangan kanannya
telah menerjang ke arah dada lawannya dan........."Aaaaaaahhhhhhh........!!!!!!".
Berbarengan dengan jeritan Yasan itu, terpecah kesunyian di sekitar lapangan dan
suara yang menunjukkan rasa terkejut dari para penonton. Tampak tubuh Yasan
terpental mundur, sambil batuk-batuk keras, mukanya pucat. Dilain saat tampak ia
memuntahkan darah segar dari mulutnya dan akhirnya jatuh terlentang di muka
bumi!. Sementara Naka Harao dan kawan-kawannya yang melihat pemimpin mereka
dirobohkan musuh, sudah barang tentu jadi sangat gusar bercampur penasaran. Pistol
yang ia soren secara rahasia lalu dicabut dan langsung dibidikkan ke arah Giok Hong!.
Satu bayangan berkelebat menerjang tangan yang sedang membidik itu dan Naka
Harao yang tak menduga bakal dapat rintangan jadi terpental. Dengan sekuat
tenaganya, ia mempertahankan genggaman pada pistol itu dan sembari jatuh ia telah
berhasil melepaskan satu tembakan yang tepat mengenai sasarannya sehingga
bayangan yang tadi menerjangnya jatuh tersungkur seketika itu juga. Lekas-lekas ia
bangkit dan segera membidik lagi untuk melaksanakan maksudnya yang keji itu. Tapi
tiba-tiba ia melepaskan pistolnya, lalu roboh!.
Ternyata sebuah badik telah nancap di pundak kanannya. Itulah hasil sambitan
badik Sun Giok Hong yang tatkala mendengar suara tembakan telah menoleh dan
melihat Toan In roboh tersungkur. Ia jadi terkejut sekali, lalu tanpa banyak pikir lagi
dicabutnya badik di pinggangnya dan segera menyerang si pemegang senjata api.
Sedangkan kawan-kawan Naka Harao yang terdiri dari 6 atau 7 orang, seorang demi
seorang telah dipersen bogem mentah oleh Lauw Cay In dan Lo Hok Yauw.
Para penonton yang berhati kecil segera pada kabur pontang-panting, tapi
penonton-penonton yang benci pada bangsa Jepang segera bantu mengeroyok sisa
kambrat-kambratnya Yasan hingga tiada seorangpun diantara mereka yang bertubuh
utuh. Giok Hong tidak berniat membunuh orang untuk menerbitkan keonaran yang lebih
besar, lekas-lekas ia cegah para penonton untuk mengeroyok lebih jauh. Kemudian
mengangkut Yasan dan Harao yang terluka parah dan kambrat-kambratnya ke atas
mobil-mobil mereka dan membawanya ke rumah sakit di konsesi Jepang untuk
dirawat dan diobati sebagaimana mestinya.
Tatkala keadaan telah menjadi tenang kembali, Giok Hong segera memeriksa Lauw
Toan In, si bayangan yang menerjang Harao waktu dia ingin menembak Giok Hong.
Ternyata Toan In tidak luka sedikitpun dan kalau sampai ia jatuh tersungkur waktu
Harao melepaskan tembakan, itu disebabkan ia hendak mengelakkan peluru, tapi
kakinya tersangkut batu saking tergesa-gesanya dan tersungkur.
Giok Hong tertawa terbahak-bahak mendengar cerita muridnya itu.
Demikianlah pertandingan antara Orang Sakit dari Timur melawan Anak Dewa
Matahari, dan yang disebut terdahulu telah menutup layar pertandingan dengan
kemenangan yang mutlak.
0oo0 XI PADA suatu hari, beberapa utusan dari cabang perkumpulan Ceng Bu Hwee di Kwitang
telah tiba ke pusat perkumpulan di Shanghai. Maksud kedatangan mereka ialah
agar dari pusat dapat dikirim ke selatan, seorang guru silat untuk memimpin kursus
silat dalam gedung perkumpulan di sana.
Kesempatan yang baik ini telah dipergunakan oleh para pengurus Ceng Bu Hwee
untuk mencegah sengketa selanjutnya antara Giok Hong dan Hian Pang, dengan
mengutus Giok Hong mengepalai perguruan silat di gedung perkumpulan Ceng Bu
Hwee di Kwi-tang dan Giok Hong menyatakan kesediaannya untuk memenuhi tugas
itu. Sebelum berangkat ke Kwi-tang, Giok Hong telah mengadakan perjamuan
perpisahan dengan para sahabat dan murid-muridnya. Kemudian ia menghadiahkan
badik beracun miliknya kepada murid kesayangannya, Lauw Toan In.
Dengan demikian, pada waktu berangkat ke selatan Giok Hong hanya membawa
sebilah golok pusaka untuk melindungi dirinya, yakni golok Siang-liong-touw-cu-to
atau Golok Naga Kembar yang terkenal itu.
Maka setelah berkemas-kemas dan memilih hari baik, Giok Hong segera berangkat
ke Kwi-tang dengan disertai oleh puteranya Sun Bun Yong dan menantu
perempuannya. Sedang isterinya sendiri pulang ke kampung halamannya untuk
mengurus sawah-sawah mereka dan tidak pergi ke selatan.
Pada masa Sun Giok Hong memimpin pelajaran ilmu silat di gedung perkumpulan
Ceng Bu Hwee di Kwi-tang, kala itu di kota Kong-ciu ada sebuah perkumpulan
olahraga rakyat yang bernama Kok Bin Tee Yok Hwee yang dipimpin oleh Oey Siauw
Hiap. Oey Siauw Hiap ini ada seorang yang sangat gemar ilmu silat dan pernah belajar
ilmu silat dari cabang perguruan silat Coa Lie Hut. Setelah ia tamat belajar, lalu
mendirikan perkumpulan olahraga Kok Bin Tee Yok Hwee dengan meminjam tempat
di kelenteng Tay-hut-sie, dimana para anggotanya khusus diberi pelajaran ilmu silat
dari cabang perguruan silat Coa Lie Hut dan disamping itu mereka diajarkan pula
pelbagai jenis olahraga yang lain untuk membuat tubuh menjadi kuat dan sehat.
Selain kaya raya dan gemar ilmu silat, Siauw Hiap juga terkenal sebagai seorang
dermawan yang suka bergaul. Maka ia mempunyai hubungan luas dengan orangorang
yang paham ilmu silat. Meski kepandaian silatnya sudah cukup tinggi, Siauw
Hiap selalu masih merasa kurang puas dan ingin mencari guru silat lain untuk
diangkat menjadi gurunya. Selain mencari sahabat-sahabat baru, diapun mengharap
akan memperoleh juga kemajuan dalam ilmu silat.
Waktu mendengar bahwa di jalan Thay-peng-lam-louw telah didirikan cabang
perkumpulan Ceng Bu Hwee dengan Sun Giok Hong dari utara sebagai pemimpin
perguruan silat tersebut, Oey Siauw Hiap jadi sangat gembira hatinya dan dengan
perantaraan para sahabat dan handai taulannya ia meminta untuk diperkenalkan
kepada Sun Giok Hong, yang sangat Siauw Hiap, tentu saja dengan harapan agar Sun
Giok Hong sudi menerimanya sebagai murid
Sebelum kenal secara pribadi dengan Giok Hong, Siauw Hiap telah lama mendengar
nama si orang she Sun yang di tanah utara begitu disohorkan orang dengan nama
julukan Ngo-seng-to-ong atau raja golok dari lima propinsi. Kabarnya Giok Hong
memiliki sebilah golok pusaka yang bernama Golok Naga Kembar yang amat disegani
oleh cabang-cabang atas dari kalangan Liok-lim di masa Giok Hong masih menjadi
seorang pio-su.
Karena Siauw Hiap sendiri merupakan salah seorang kenamaan di kota Kong-ciu,
maka tidak heran jika akhirnya dapat juga ia berkenalan dengan Sun Giok Hong yang
telah menerimanya sebagai murid diluar tugasnya sebagai guru dari perkumpulan
Ceng Bu Hwee. Demikianlah perkenalan Giok Hong dengan Oey Siauw Hiap, yang kelak menjadi
salah seorang murid Giok Hong yang tidak mengecewakan.
Meski dirinya sendiri telah menjadi guru, Giok Hong tidak pernah lupa untuk
berlatih silat setiap hari dengan giatnya. Meski usianya telah mencapai 50 tahun,
keadaan tubuh dan kesehatannya tidak berbeda dengan keadaan di waktu ia masih
berusia tigapuluhan.
Disamping itu, iapun melatih anaknya Bun Yong dengan tidak kurang hebatnya.
Hingga tidak jarang Bun Yong mengeluh di dalam hati dan berpura-pura lelah dengan
jalan membasahi dahinya dengan air, seakan-akan peluh telah mengucur karena
saking dahsyatnya ia berlatih ilmu silat.
Setiap kali diadakan perlombaan olahraga di kota Kong-ciu, Bun Yong hampir selalu
menjadi juara, terutama dalam hal memainkan pedang yang menjadi kegemarannya.
Giok Hong menurunkan semua kepandaiannya kepada puteranya itu, ilmu pukulan
Eng-jiauw-kun, Thiat-see-ciang, ilmu pedang, ilmu golok, dan lainnya. Pendeknya tak
ada sedikitpun pelajaranpun yang tidak ia turunkannya kepada puteranya itu.
Berkat kedatangan Sun Giok Hong ke selatan, maka di kemudian hari di Kwi-tang
telah banyak orang yang juga mempelajari ilmu silat Eng-jiauw-kun. Nama-nama ahli
ilmu silat golongan Eng-jiauw-kun yang boleh disebutkan antara lain, Ma Kiam Hong,
Lim Siauw Lip, dan lain sebagainya. Bahkan dalam membantu memajukan
perkumpulan olahraga Kok Bin Tee Yok Hwee yang dipimpin oleh Oey Siauw Hiap itu,
jasa Giok Hong boleh dikatakan tidak kecil adanya.
Jenderal Tan Cee Tong yang pegang komando atas pasukan ke 8 di Kwi-tang,
sangat gemar pula dengan ilmu silat dan setiap tahun kerap mengadakan
pertandingan silat berhadiah dengan mengundang para ahli silat dari segala cabang
perguruan silat. Diantaranya yang diundang adalah Sun Giok Hong, golongan Tonglong-
pay, Lo Kong Giok, Tan Cu Ceng, silat Thay-kek golongan keluarga Yo yang
bernama Tan Eng Kiat, ahli silat Thay-kek golongan keluarga Gouw Kong Gie, para
ahli silat dari golongan Siauw-lim, Kouw Lu Ciang, Pouw Cin Siong, Yap Ie Teng, Sun
Lok Tong, dan nama-nama terkenal lainnya. Tempat pie-bu yang dipilih adalah di
taman umum Ceng Hui Park, sedang ketua pertandingan telah diangkat Lim In Kay,
pembesar dari propinsi Kwi-tang.
Dalam pertandingan yang diadakan pada waktu itu, ahli silat Sun Po Kong telah
mengalami kecelakaan terkena bacokkan pada lengannya, sehingga darah keluar dari
luka itu tidak henti-hentinya. Segala daya upaya telah diambil untuk menghentikan
mengucurnya darah itu, tapi ternyata sia-sia belaka. Syukur saja Sun Giok Hong yang
mengetahui peristiwa ini telah keburu datang dan segera menggunakan mantra untuk
menghentikan darah Sun Po Kong. Kalau tidak, niscaya jiwa Sun Po Kong akan tewas
karena sudah mengeluarkan terlampau banyak darah.
Hal mana, sudah barang tentu sangat menakjubkan hati orang banyak. Lebih-lebih
menurut pertimbangan Oey Siauw Hiap yang menjadi muridnya sendiri, hingga ia
berharap di suatu waktu dapat menanyakan kepada gurunya bagaimana caranya luka
yang mengeluarkan begitu banyak darah dapat segera dihentikan dengan mantra
tanpa diobati. Begitu pertandingan silat ditutup, Siauw Hiap telah mengundang Giok Hong makan
minum di atas perahu. Ia mendapat kesempatan untuk bertanya kepada sang guru,
bagaimana beliau telah dapat menghentikan pendarahan yang dialami oleh si ahli silat
Sun Po Kong. Giok Hong yang sudah minum banyak arak dan tampaknya agak mabuk, lalu
tertawa dan berkata, "Soal ini adalah merupakan peristiwa lampau. Hingga kini telah
20 tahun lamanya sejak aku terakhir bekerja sebagai seorang pio-su dari Hin Liong
Pio Kiok di kota Thian Cin. Semenjak pamanku meninggal dunia, pengurusan pio-kiok
tersebut telah dipimpin olehku sendiri. Pada suatu hari aku telah menerima duapuluh
kereta barang-barang seharga ratusan ribu tael emas yang dititipkan orang kepada
kantor angkutan kami untuk dikirim ke propinsi Ouw-pak. Mengingat akan jumlah dan
harga barang-barang yang sedemikian besarnya, aku pikir patut juga jika aku keluar
sendiri mengantarkan barang-barang itu ke tempat yang dituju.
Begitulah, dari kota Thian-cin aku segera mengiringi keduapuluh kereta itu menuju
ke propinsi Shoatang, keluar ke proponsi Kangsouw utara dan memasuki kota Lamkhia.
Dari sana aku melanjutkan perjalanan ke Han-kouw dengan mengambil jalan
air. Perjalanan dari Thian-cin sampai ke Lam-khia, boleh dikatakan aku sudah hapal
betul, hingga dalam perjalanan itu aku tidak mengalami suatu rintanganpun dari
pihak kawan-kawan kalangan Rimba Hijau. Dari Lam-khia aku mengambil jalan air
dan setelah berlayar tiga atau empat hari lamanya menyusuri sepanjang sungai
Tiang-kang, pada suatu hari tibalah rombongan kami di kota An-Keng, dari sana
kemudian kami telah sampai di bawah sebuah gunung di waktu hari menjelang senja.
Karena turun hujan lebat dan terbit angin ribut, maka terpaksa aku memerintahkan
anak buahku untuk segera berlabuh di pantai timur.
Hujan dan angin baru mulai reda tatkala hari telah jauh malam lalu kami bersiapsiap
melanjutkan perjalanan pada waktu hari menjelang pagi. Tiba-tiba di tepi sungai
terdengar suara ribut-ribut, dibarengi dengan derap kaki kuda yang gegap gempita.
Mendengar suara-suara yang sudah biasa kudengar selama bertugas sebagai piosu,
aku segera mengetahui bahwa di arah tepi sungai ada kawanan perampok yang
hendak mencegat rombonganku. Jumlah mereka pasti tidak kurang dari sepuluh
orang lebih, hal mana telah kuperhatikan dari banyaknya suara kaki kuda yang
terdengar disaat itu.
Lalu aku memerintahkan keempat orang pio-suku untuk melakukan penjagaan
dengan cara berpencar. Dua orang diantara mereka Lauw Couw dan Lim Lu namanya,
menjaga di arah kiri sedang dua orang lainnya, Lie Han dan Kwan Houw menjaga di
arah kanan. Aku sendiri berdiri di tengah-tengah dengan Golok Naga Kembar yang
sudah terhunus di tanganku.
Tidak begitu lama, betul saja ada duabelas orang perampok muncul dengan
berkuda dan bersenjatakan tombak dan golok besar. Mereka semua bermuka bengis
dan bertubuh tinggi besar. Tiba-tiba terdengar komando yang diserukan dengan suara
nyaring, 'Serbu!'. Tanpa diperintah sampai dua kali, orang-orang itu segera turun dari
kuda dan maju menerjang ke atas perahu kami dengan tidak banyak cakap lagi.
Kedatangan mereka telah kami sambut dengan tidak kurang hebatnya. Setiap piosuku
mendapat seorang lawan, tapi aku sendiri telah dikeroyok oleh delapan orang
dari segala jurusan. Tombak dan golok musuh telah kubabat sehingga menjadi
beberapa potong, tapi kesudahannya tak sanggup juga aku meladeni musuh-musuh
yang berjumlah banyak dan berilmu kepandaian cukup tinggi itu, hingga terpaksa aku
melarikan diri dengan cara menceburkan diri ke dalam sungai. Dari tepi sungai aku
mendarat dan masuk ke kota An-keng, dimana aku mendapat keterangan dari
penduduk, bahwa kawanan perampok itu bukan lain daripada anak buah seorang
cabang atas yang biasa merajalela di suatu tempat yang terpisah 50 lie jauhnya dari
gunung Oey-san.
Kepala rampok itu bernama Oey Tay Tok, usianya baru 40 tahun, ia sangat mahir
mempergunakan tombak Hong-eng-chio dan pedang. Oey Tay Tok ini merupakan raja
tak bermahkota di perbatasan dua propinsi Ciat-kang dan An-hwie, tabiatnya sangat
ganas dan dapat membunuh orang dengan mata tidak berkedip. Di kalangan Kangouw
ia umum dikenal nama julukan si Racun Besar atau Tay Tok yang olehnya
sengaja dicantumkan sebagai namanya sendiri. Ia mengacau di sepanjang sungai
Tiang-kang dan pihak pemerintah disitu tak berdaya untuk menindasnya".
"Terhadap Oey Tay Tok yang demikian Iihay dan ganas itu" selak Oey Siauw Hiap,


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"selanjutnya Su-hu bertindak bagaimana?".
"Aku tak dapat berbuat lain daripada mempertaruhkan jiwa ragaku untuk
mempertahankan nama baikku sebagai seorang pemimpin kantor pengangkutan Hin
Liong Pio Kiok yang pantang mundur terhadap segala rintangan" sahut Sun Giok Hong
sambil meminum kering arak yang diisi berulang-ulang oleh sang murid. "Karena jika
aku tak mampu mengambil pulang barang-barang angkutan yang dirampok oleh anak
buah Oey Tay Tok itu, bagaimana aku ada muka bercokol di kota Thian-cin lagi,
dimana telah sekian tahun lamanya aku dikenal orang sebagai Ngo-seng-to-ong".
Keempat orang pio-suku telah menghilang entah kemana, hingga tidak jelas apakah
mereka masih hidup atau telah mati. Syukur juga di dalam sakuku masih ada
beberapa tael urang perak, maka aku dapat mendarat d.in masuk kt- d.il.im kota
setelah membeli dua stel pakaian dan barang-barang keporlu.in yang lainnya,
kemudian balik ke tepi sungai.
Tapi di situ tak kudapatkan perahu-perahu yang mengangkut barang-barang
angkutanku, kecuali air sungai yang luas dan gunung biru yang tampak tidak berapa
jauh dari tepi sungai Tiang-kang itu. Lalu aku coba mencari kemana jejak keempat
orang pio-suku itu, tapi ternyata sia-sia saja.
Letaknya gunung Oey-san adalah di arah selatan sungai Tiang-kang. Ada
kemungkinan mata-mata gerombolan Oey Tay Tok telah mendengar kabar bahwa kali
ini kami tengah mengangkut barang-barang yang berharga ratusan ribu tael emas
untuk dibawa lewat di situ, maka mereka segera lakukan serangan kilat sebelum aku
keburu mengatur penjagaan. Setelah aku mendapat keterangan dimana letakny.i
sarang perampok itu, segera aku menyewa sebuah perahu untuk melintasi sungai
Tiang-kang sambil bertanya di sepanjang jalan kepada tukang-tukang perahu yang
justru berpapasan di tengah sungai, kemana diangkutnya perahu-perahu yang
memuat barang-barang berharga itu. Salah seorang tukang perahu telah
menerangkan kepadaku, bahwa barang-barang itu didapatkan di tepi sungai bagian
timur, tapi entah kemana selanjutnya diangkut oleh mereka.
Maka berdasarkan keterangan yang telah kuperoleh ini, lekas-lekas aku menyuruh
tukang perahu membawa aku ke tepi sungai di timur itu, mendarat di luar kota Kiebun,
sebuah kota yang terletak tidak berapa jauh dari kaki gunung Oey-san di arah
selatan. Di sini karena hari sudah malam, apa boleh buat aku mencari rumah
penginapan untuk bermalam dan beristirahat.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi aku segera masuk ke sebuah dusun yang
bernama Gie-liong-lie, dimana aku mendapat kebar ada sebuah rumah pelacur yang
menjadi tempat istirahat dari si kepala perampok Oey Tay. Tapi untuk tidak
mengusik-usik harimau tidur, aku terpaksa mesti mencari pondok dan melakukan
penyelidikan ke rumah pelacuran itu pada malam harinya.
Kira-kira pada kentongan kedua, aku tiba di muka rumah pelacuran itu, dimana aku
melihat ada dua orang laki-laki tinggi besar berjalan keluar sambil membawa poci
arak. Maka dengan tidak membuang-buang waktu pula, aku segera hampiri mereka
dan segera mengenali, bahwa mereka ini adalah dua orang diantara para perampok
yang telah merampok barang-barang angkutanku. Tanpa banyak bicara lagi aku
segera pergunakan tinjuku menghantam orang yang berjalan duluan sehingga dengan
menjerit kesakitan ia jatuh meloso di tanah. Yang seorang lagi menjotos ke arah
mukaku, dengan sebat aku pergunakan jurus Eng-jiauw-kim-na-ciu atau tangkisan
menurut ilmu cakar garuda dan membantingnya sehingga jatuh terguling menimpa
kawannya. Kemudian dengan menyekal batang leher yang seorang dan menginjak
dada orang yang lainnya yang terlentang di tanah, aku menanyakan di mana tempatsembunyinya
Oey Tay Tok. Tatkala mereka menerangkan dengan separuh meratap agar diri mereka tidak
dianiaya lagi, aku segera lepaskan mereka dan menuju ke desa Kiu-lie-kie (desa
sembilan lie) yang ditunjuk oleh mereka sebagai sarang Oey Tay Tok. Di sana aku
dicegat oleh empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang menjaga di muka
sebuah gedung besar, salah seorang diantaranya segera membentak dan minta
supaya golokku diserahkan kepadanya.'
Tanpa banyak bicara lagi aku segera hantam orang itu sehingga terhuyung-huyung
dan akhirnya jatuh meloso di tanah.
'Engkau berani melawan"' kata tiga orang yang lain sambil menghunus golok, lalu
mengepungku dari segala jurusan.
Amarahku jadi semakin meluap dan segera menempur mereka semua dengan cara
yang tidak kepalang tanggung. Dua bilah golok mereka dengan sekejap saja telah
kubuat putus. Salah seorang diantaranya yang telah kulukai, lekas-lekas lari masuk
ke dalam gedung itu, rupanya hendak melaporkan tentang kedatanganku ke situ
kepada induk semangnya. Perbuatan mana juga diturut oleh orang pertama yang
telah kuberi hadiah bogem mentah.
Tapi kedua orang lawan yang masih mengepung diriku dari kiri kanan, ternyata
ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan hatinya gagah berani. Selain tidak
meninggalkan aku mentah-mentah, merekapun lekas mempergunakan jwan-pian atau
cambuk lemas sebagai ganti golok yang telah kubabat tadi.
Selagi pertempuran berlangsung, tiba-tiba dari dalam gedung itu muncul seorang
laki-laki berjenggot, berusia kira-kira 40 tahun, romannya bengis, tubuhnya tinggi
besar. Sambil menjinjing golok Toa-ma-to di tangannya, ia maju ke medan
pertempuran dan menuding kepadaku sambil membentak, 'Hai, engkau ini kerbau
hutan dari mana yang bernyali besar berani membikin rusuh di dalam daerah
kekuasaanku"'. Sesudah itu ia menyerukan anak buahnya yang turut juga keluar
mengiringinya sambil memerintahkan, 'Saudara-saudara, segeralah bekuk binatang
liar ini!'. Mendengar diriku dimaki 'kerbau hutan' dan 'binatang liar', sudah barang tentu aku
menjadi sangat mendongkol hingga dengan sengit aku telah menerjangnya sambil
balas memaki, 'Setan gunung, aku justeru sengaja datang kesini untuk menjajal
sampai berapa tinggi ilmu kepandaianmu!'.
Setelah itu aku desak kedua orang lawanku yang masih menghadang di hadapanku
sehingga kedua-duanya jatuh terpelanting, kemudian aku ladeni si kepala rampok
yang baru datang itu. Ternyata tepat sekali dengan dugaan hatiku, yakni bahwa dia
itu bukan lain daripada Oey Tay Tok adanya.
Kepala berandal itu membacok ke arah batok kepalaku dengan sekuat tenaganya.
Syukur juga aku tidak menjadi gugup, hingga aku dapat mengelakkan bacakannya itu
dengan siasat Tay-peng-ciong-thian atau burung garuda menoblosi langit, dengan
mana aku mengegos sambil mencelat ke atas. Kemudian dari arah atas aku balas
menyerang Oey Tay Tok dengan siasat Tiang-coa-cu-tong atau ular keluar dari
lobang. Tatkala Oey Tay Tok melintangi goloknya untuk menahan golokku segera
terdengar suara dua senjata yang beradu, dibarengi oleh meletiknya percikanpercikan
api yang berhamburan kian kemari, hingga kepala berandal itu jadi terkejut
dan lekas mundur untuk memeriksa mulut goloknya dan ternyata telah terkupas
sebagian oleh golokku.
Oey Tay Tok tampak sangat terkejut, tapi ia maju menerjang lagi dengan cara yang
lebih hati-hati. Setiap seranganku ia kelit atau hindarkan dengan jalan mengegos, tapi
sama sekali tak mau lagi mengadu senjatanya dengan golok pusakaku.
Pada suatu waktu ketika ia menabas pinggangku dengan siasat Hie-ong-sat-bong
atau tukang ikan menebarkan jalan, segera juga aku mundur sambil berjongkok.
Bersamaan dengan itu, aku sapukan kakiku dengan kecepatan yang tak terduga,
hingga seketika itu juga ia jadi menjerit karena amat kagetnya dan sebelum ia keburu
lompat, kakinya telah kena kusengkat hingga ia jatuh terguling di tanah. Kemudian
aku lompat mengejar menginjak pinggangnya sambil menekankan golokku ke batang
lehernya. 'Ayoh, jika engkau tak mau membayar pulang semua barang-barang angkutanku
tanpa kurang sepotongpun' ancamku, 'golokku ini pasti akan bikin jiwamu melayang
seketika ini juga!".
Karena masih sayang akan jiwanya, maka ia berjanji akan segera mengembalikan
barang-barang angkutanku yang telah dirampok oleh anak buahnya.
Dengan menuruti segala petunjukku, barang-barang itu lalu dikumpulkan dan
kuperiksa dengan teliti dan ternyata semua itu tiada sepotongpun yang hilang.
Barulah aku menanyakan kepada kepala rampok itu di mana adanya keempat orang
pio-suku. Tapi Tay Tok mengatakan bahwa dia tak tahu menahu ke mana perginya
para pio-suku itu, yang diduganya telah kabur dikala aku sendiri terjun ke dalam
sungai. Aku terpaksa menyewa para kuli untuk mengangkut semua barang-barang itu ke
atas perahu untuk kemudian menyewa kereta dan melangsungkan pengangkutan itu
ke propinsi Ouw-pak.
Sekembalinya dari mengantarkan barang-barang itu ke propinsi Ouw-pak, aku
telah kembali dicegat oleh Tay Tok dan anak buahnya yang telah menghujani anak
panah ke arah perahu yang kutumpangi. Disaat itu pinggangku terkena anak panah
dan mengucurkan darah tidak henti-hentinya, hingga aku jatuh di geladak perahu
dalam keadaan tidak ingat orang. Syukur saja tukang perahu itu telah membacakan
mantra penghenti darah, kalau tidak niscaya aku tidak tl.ip.it bercinta seperti
sekarang ini. Aku jadi sangat berterima kasih akan pcrtolong.in luk.ing perahu itu, hingga
kemudian aku mengangkatnya sebagai guru dan mempelajari mantra penghenti darah
yang telah kupergunakan atas diri Sun Po Kong yang terluka oleh golok lawannya itu.
Demikianlah riwayat kepandaian aneh yang telah kuperoleh dari guruku yang
bernama Thio Pauw Peng".
Siauw Hiap jadi sangat tertarik dan minta juga Giok Hong mengajarinya ilmu
tersebut. Giok Hong berjanji kelak akan mengajarinya meski ia sendiri tidak berani
memastikan apakah Siauw Hiap akan berhasil menerima warisan ilmu yang agak aneh
itu. Tapi, hingga Siauw Hiap menjadi salah seorang ahli Eng-jiauw kun yang tersohor,
ternyata dia tak berhasil mempelajari mantra penghenti darah itu. Ilmu itu lenyap
setelah kemudian Giok Hong menutup mata, bahkan anaknya sendiri Bun Yong pun
tidak berhasil mempelajarinya.
Tatkala Giok Hong mencapai usia 60 tahun, ternyata tabiatnya yang keras dan
pemarah tidak menjadi berkurang. Pada waktu itu di antara golongan persilatan di
selatan hidup seorang ahli silat yang bernama Lim Yauw Kwie. Ia paham ilmu Liongheng-
kun atau ilmu silat naga di daerah Tong-kang, maka dia telah diberikan orang
nama julukan Tong-kang-lo-houw atau harimau Tong-kang. Usianya baru 40 tahun,
tapi tidak kurang dari seratus lebih ahli-ahli silat telah ia robohkan hingga selanjutnya
tak pernah ada lagi orang yang berani datang "meminta pelajaran" kepadanya.
Lim Yauw Kwie meski sudah menjadi seorang ahli silat dari golongan selatan, tapi
dalam hatinya masih selalu belum puas dan ingin mencari kepandaian yang lebih
tinggi lagi. Ilmu silat Liong-heng-kun yang dipelajari Lim Yauw Kwie itu, merupakan salah satu
cabang dari lima pokok ilmu silat dari golongan perguruan silat kaum Siauw-lim.
Sedang cabang perguruan ilmu silat kaum Siauw-lim pun terbagi menjadi lima
golongan, yaitu cabang Siauw-lim dari Go-bie-pay dipimpin oleh Pek Bie Too-jin di Sucoan,
cabang Siauw-lim dari Siong-san-pay dipimpin oleh Tong Sian Siang-jin, cabang
Siauw-lim dari Hok-kian dipimpin oleh Cie Sian Sian-su, cabang Siauw-lim dari Butong-
pay dipimpin oleh Pang Too Tek dan cabang Siauw-lim dari Kwi-tang dipimpin
oleh Ang Hie Koan, Phui Sie Giok, Sam Tek Hwee-shio, Ouw Hui Kian, dan lainnya.
Cabang Siauw-lim dari Kwi-tang ini juga dinamakan cabang Siauw-lim golongan
selatan. Dengan demikian, ilmu Liong-heng-kun yang dipelajari Lim Yauw Kwie
dengan sendirinya tergolong pada ilmu silat Siauw-lim dari Kwi-tang. Sedang ilmu
Eng-jiauw-kun Sun Giok Hong tergolong pada ilmu pelajaran Siauw Lim cabang Siongsan.
Sebab itu, Sun Giok Hong dan Lim Yauw Kwie boleh dikatakan sebagai saudara
dari satu golongan perguruan silat juga, hanya yang seorang berasal dari utara,
sedangkan yang lainnya berasal dari selatan.
Pada waktu Lim Yauw Kwie mendengar tentang kedatangan seorang ahli silat
kenamaan dari utara ke selatan, di dalam hatinya segera timbul pikiran untuk datang
ke tempat kediaman Sun Giok Hong untuk berkenalan dan berbarengan dengan itu ia
juga ingin mencoba mengajukan permintaan untuk bertanding secara persahabatan.
Ketika mengingat bahwa cara ini dapat menyinggung perasaan orang dan ada
kemungkinan menerbitkan juga salah paham dalam diri Sun Giok Hong. Terlebih
dahulu ia minta perantaraan Oey Siauw Hiap yang menjadi murid kesayangan Giok
Hong untuk menyampaikan maksudnya itu, sambil tidak lupa menambahkan bahwa
maksud daripada pertandingan itu bukanlah semata-mata untuk mencari ketenaran
saja. Setelah Siauw Hiap menyampaikan pesan itu kepada gurunya, Sun Giok Hong lalu
berkata, "Dia dan aku sama-sama keluar dari cabang perguruan ilmu silat Siauw-lim
juga dan perbedaannya adalah dia keluar dari perguruan selatan, sedangkan aku
sendiri keluar dari perguruan utara. Benar, dia dan aku tidak mengutamakan menang
atau kalah dalam pertandingan itu, tapi jika khalayak ramai mengetahui ini, apakah
nama baik masing-masing tidak menjadi terpengaruh oleh karenanya. Aku khawatir
hal ini akan mengakibatkan sesuatu yang kurang baik bagi pihak yang kalah. Tapi jika
Lim Su-hu tidak menaruh keberatan, aku mengusulkan supaya pertandingan itu
dilakukan dengan pintu tertutup, hingga orang luar atau siapapun dilarang keras
untuk menyaksikan pertandingan itu!. Maka kalau nanti sampai ada yang kalah,
kedua pihak janganlah banyak mulut dan menyiarkan kabar tersebut di luaran. Maka
kalau Lim Su-hu sudi menerima syaratku ini, aku pasti bersedia mengabulkan
permintaannya".
Tatkala Oey Siauw Hiap menyampaikan pesan gurunya kepada Liu Yauw Kwie, ahli
silat Liong-heng-kun itu jadi girang dan lalu berkata, "Syarat Sun Lo-su itu memang
cocok sekali dengan pendapatku. Aku bukan berniat menjagoi, juga bukan bermaksud
merobohkan nama baik Sun Lo-su. Jika sampai aku berniat mengadu juga kepandaian
dengan beliau, adalah hanya sekadar untuk menambah pengetahuanku dalam ilmu
silat. Harap Siauw Hiap Hian-tee sudi menyampaikan maksudku ini kepada Sun Losu".
Sementara Sun Giok Hong yang diberitahukan demikian oleh muridnya, merasa
gembira dan menganggap bahwa Lim Yauw Kwie itu sesungguhnya seorang yang
bersifat sportif. Kemudian kedua pihak saling berembuk, agar pertandingan itu
dilaksanakan di gedung perkumpulan Kok Bin Tee Yok Hwee di kelenteng Tay-hut-sie
pada tanggal 13 dalam bulan itu juga.
Ketika tiba waktu yang telah ditetapkan itu, Oey Siauw Hiap lalu mengadakan suatu
perjamuan untuk memperkenalkan kedua ahli silat yang hendak bertanding itu,
dengan mengundang juga Tan Cu Ceng, Lo Kong Giok, Kouw Lu Ciang, dan lainnya
untuk turut hadir.
Lim Yauw Kwie datang ke perjamuan itu dengan mengenakan baju panjang dan
sama sekali tidak mirip dengan orang yang hendak pergi pie-bu. Giok Hong tampak
girang sekali dapat berkenalan dengan ahli silat Liong-heng-kun yang sopan santun
lagi ramah tamah itu. Sesudah itu, iapun diperkenalkan juga kepada Tan Cu Ceng, Lo
Kong Giok, Kouw Lu Ciang, dan lainnya.
Karena Lim Yauw Kwie dan mereka adalah orang-orang dari kaum Siauw-lim juga,
maka dengan cepat mereka dapat bergaul dengan akrabnya dan tidak sungkansungkan
lagi membicarakan ilmu kepandaian masing-masing secara terbuka.
Setelah itu Siauw Hiap mengusulkan, agar supaya pie-bu itu dilakukan sebelum
perjamuan itu dibuka. Karena setelah orang minum banyak arak, dikhawatirkan piebu
itu akan mengakibatkan peristiwa-peristiwa tidak baik.
Giok Hong dan Yauw Kwie menyatakan mupakat. Maka sesudah berada di ruangan
belakang kelenteng Tay-hut-sie, kedua orang yang hendak pie-bu itu segera menutup
pintu dari sebelah dalam. Siauw Hiap dan yang lain-lainnya hanya bisa pasang kuping
mendengarkan jalannya pertempuran dari sebelah luar, tapi sama sekali tidak
diijinkan untuk turut menyaksikan pertandingan itu.
Mula-mula kedua orang yang hendak pie-bu itu saling mengucapkan kata-kata
yang merendah dan saling mengalah, kemudian terdengar suara orang saling serang
menyerang, dimulai dari perlahan-lahan, tapi kian lama kian bertambah seru,
sehingga jubin dan dinding tembok agak tergetar karena gerakan kaki tangan orangorang
yang sedang bertempur itu.
Hal mana, telah membuat hati Oey Siauw Hiap jadi berdebar-debar dan berniat
untuk mengetok pintu dan menghentikan pie-bu itu. Setelah mengingat akan janji
pada gurunya, bahwa tiada seorangpun yang boleh merintangi pie-bu itu jika belum
sampai diakhirnya.
Apa boleh buat, Oey Siauw Hiap mencoba untuk berlaku sabar. Walaupun merasa
tidak enak dan selalu berdoa di dalam hati, agar kedua belah pihak akan keluar dari
ruangan tertutup itu dalam keadaan sehat walafiat tanpa ada seorangpun yang
menderita luka-luka atau kurang suatu apapun juga!.
Begitulah Siauw Hiap dan para ahli silat Ceng Bu Hwee mendengarkan jalannya
pertempuran itu dengan perasaan tegang. Akhirnya suara orang pukul memukul dan
tendang menendang itu tiba-tiba terhenti, dibarengi oleh suara Sun Giok Hong yang
tertawa mengakak dan memuji, "Sungguh tidak kecewa Lim Su-hu diberi orang nama
julukan Harimau Tong-kang, ahli silat kenamaan dari golongan Siauw-lim selatan!".
Sementara Lim Yauw Kwie kedengaran balas memuji, "Sun Lo-su sendiri tak beda
dengan seekor naga agung yang melintasi sungai, hingga selain mempunyai nama
julukan Ngo-seng-to-ong, juga tidak salahnya jika engkau diberi nama julukan Kunong
atau Raja Tinju dengan serentak!".
Sudah itu mereka berdua melangkah ke muka pintu dengan bergandengan tangan.
Siauw Hiap dan para rekan Sun Giok Hong yang menyaksikan demikian, semua jadi
lega hatinya dan segera berlomba mengucapkan selamat kepada kedua orang yang
baru saja menyelesaikan pie-bu itu, meski tidak mengetahui pihak mana yang kalah
dan menang. Tatkala mereka menanyakan bagaimana kesudahannya pertempuran itu, dengan
tersenyum Giok Hong lalu menjawab, "Kita telah berjanji dari awal bahwa hasil
pertempuran ini takkan diberitahukan kepada siapapun juga. Maka aku mohon
dengan sangat supaya kalian sudi memaafkan sikapku yang merahasiakannya pada


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian semua".
Kemudian Siauw Hiap menyilahkan gurunya dan Yauw Kwie serta para rekan Sun
Giok Hong untuk duduk makan minum dan ia sendiri menuangkan arak kepada semua
orang dengan wajah sangat gembira.
Semenjak dilakukan pie-bu itu, Lim Yauw Kwie jadi bersahabat akrab sekali dengan
Sun Giok Hong, walaupun orang terus bertanya-tanya di dalam hati, "Siapakah yang
ilmu kepandaiannya lebih lihay dan unggul diantara mereka berdua?".
Tapi sifat manusia memang aneh dan terdiri dari pelbagai ragam dan corak. Ada
yang sportif, ada juga yang curang dan licik. Ada yang berilmu kepandaian tinggi, tapi
sikapnya selalu merendah dan sopan santun. Ada juga orang yang berilmu
kepandaian masih sangat rendah, tapi kepingin dianggap orang sebagai cabang atas
lalu berlaku sombong terhadap orang lain yang dianggapnya gentar kepada dirinya.
Diantara orang-orang tingkat rendah atau jago-jago kepalang tanggung serupa itu,
terhitung juga seorang yang bernama Oey Som, yang tinggal di kota Kong-ciu.
Karena bentuk rubuhnya tinggi besar, maka para buaya darat telah memberikannya
nama julukan Kho-tay Som atau si Som yang bertubuh tinggi besar. Usia si jangkung
ini baru 36 tahun. Meski kepandaian silatnya belum seberapa tinggi, tapi tenaganya
sesungguh amat kuat. Disamping tenaga tangan kanannya dapat mengangkat barang
seberat 400 atau 500 kati, tangan kirinya pun mampu mengangkat barang yang
beratnya mencapai tidak kurang dari 400 kati.
Di Tong-kwan, Kho-tay Som membuka rumah perguruan ilmu silat dan menerima
murid-murid yang kebanyakan terdiri dari kaliber orang-orang serupa dirinya sendiri.
Setelah mendengar kabar tentang pie-bu yang dilakukan oleh Sun Giok Hong dan
Lim Yauw Kwie dengan pintu tertutup, si guru silat she Oey itu telah tertawa
mengakak dan berkata, "Hm, itu tandanya mereka hanya punya nama julukan kosong
belaka, bukan sesungguhnya mempunyai kepandaian yang cukup untuk disegani
orang. Jika nanti aku bisa bertemu dan bertanding dengan mereka, sudah pasti akan
kuhantam mereka sehingga nyebur ke dasar danau Pek-go-tam!".
Tapi seorang muridnya yang bernama Seng Kun Peng lalu memotong bicaranya
dengan suara separuh mengejek, "Guru mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai
ilmu kepandaian yang cukup untuk disegani orang, tapi buktinya nama mereka
dikenal oleh lapisan rakyat dan para ahli Rimba Persilatan di Utara dan Selatan,
apakah itu tidak cukup untuk menjamin kelihayan mereka berdua". Sedangkan nama
guru hanya terbatas di daerah Tong-kwan ini saja, bukankah berarti guru hanya
pandai mencela orang saja?".
Kho-tay Som jadi mendongkol sekali dengan omongan muridnya itu, tapi ia tak
berani marah karena omongan itu memang cukup beralasan.
"Aku akan tantang mereka bertanding secara terbuka!" katanya uring-uringan tidak
berketentuan kemana juntrungannya. "Cobalah engkau selidiki, kemana orang she
Sun itu biasa berkunjung?".
Seng Kun Peng menyanggupi dan segera berlalu. Pada keesokan harinya ia datang
melaporkan kepada Kho-tay Som, bahwa Sun Giok Hong kerap berkunjung dan
minum arak dengan Oey Siauw Hiap di gedung perkumpulan Kok Ben Tee Yok Hwee
di kelenteng Ty-hut-sie.
"Jika guru datang ke sana di waktu petang pada waktu kentongan pertama" kata si
murid itu pula, "niscaya guru akan dapat bertemu dengan Sun Giok Hong yang
membantu Oey Siauw Hiap mengajar ilmu silat. Berhubung di sana banyak berkumpul
para murid yang belajar silat, maka ada baiknya juga jika suhu dapat merobohkan
Sun Giok Hong dan Oey Siauw Hiap di hadapan para murid mereka. Belum tahu
bagaimana pendapat guruku?".
Kho-tay Som menganggap usul itu memang baik juga, maka ia berjanji akan pergi
menyatroni kedua orang ahli silat itu di gedung perkumpulan Kok Bin Tee Yok Hwee
pada keesokan malamnya sesudah bersantap.
Selanjutnya untuk tambah memperkuat rombongannya, Kho-tay Som lalu
mengajak Seng Kun Peng pergi ke Toa-see-thauw untuk mengundang seorang
sahabat karibnya Ho Hok untuk sama-sama pergi ke gedung perkumpulan Kok Bin
Tee Yok Hwee dan menyaksikan pertandingan itu.
Ho Hok ini adalah seorang laki-laki usia 37 tdahun yang bertubuh gemuk pendek,
romannya tidak beda dengan boneka Touw Tee Kong atau malaikat tanah, hingga
orang telah memberikan dia nama julukan Touw-tee Hok atau Hok si Malaikat Tanah.
Sedari kecil Touw-tee Hok tidak menaruh banyak perhatian terhadap ilmu surat, tapi
sangat gemar berkeliaran di luar sambil mempelajari ilmu silat pasaran dari kawankawannya
yang lebih besar dan mengerti juga sedikit ilmu silat. Karena hatinya cukup
mantap, maka di kemudian hari ia telah berani membuka Bu-koan dan menerima
orang untuk menjadi muridnya, walaupun banyak antara murid-muridnya itu terdiri
dari kaum buaya darat dan para pegawai kecil dan tukang angkut barang-barang di
stasiun kereta api.
Dari Toa-see-thauw ini, orang bisa naik kereta untuk pergi ke Kowloon, maka jalan
kereta api di stasiun itu dinamakan jalan kereta api Kwitang - Kowloon.
Para kuli di situ semula berguru pada seorang say-hu kun-thauw she Lie, tapi
karena guru silat itu telah dirobohkan oleh Touw-tee Hok, maka selanjutnya telah
pindah berguru dalam Bu-koan si orang Ho tersebut. Sedang guru silat she Lie itu
akhirnya mati mereras karena kekalahannya itu dan dengan demikian Touw-tee Hok -
telah dapat menerima 50 atau 60 murid dengan sekaligus!.
Dalam daerah Toa-see-thauw banyak terdapat rumah-rumah pelacuran yang
dilindungi oleh para buaya darat yang menjadi murid-muridnya, tiada seorangpun
yang bagaimana besar pengaruhnya sekalipun berani mencampuri segala urusan yang
diperbuat oleh manusia-manusia jalang itu.
Kho-tay Som memang pernah berkenalan dengannya dan saling harga menghargai
sebagai dua orang sahabat karib. Waktu mendapat kunjungan si jangkung, sudah
barang tentu Touw-tee Hok segera keluar menyambut dan menanyakan maksud
kedatangan tamunya itu. Tatkala Kho-tay Som memberitahukan bahwa dia akan
menantang Sun Giok Hong di gedung perkumpulan Kok Bin Tee Yok Hwee, Touw-teee
Hok lalu menyelak sambil bertanya, "Macam apakah orang she Sun itu yang mengakui
dirinya sebagai Ngo-seng-to-ong dan datang mengendon di tanah kita". Apakah
barang kali dia hendak menjagoi di daerah sini dan berniat juga 'membalikkan bakul
nasi' kita". Orang macam ini memang tak boleh dibiarkan berkeliaran di negeri orang.
Kita harus hajar sehingga dia kapokkan 'pulang kandang'!".
Kemudian ia mengundang Kho-tay Som dan muridnya minum arak sambil
mengobrol dan membual untuk menghajar Sun Giok Hong sehingga terpelanting 30
kaki jauhnya. Begitulah, setelah tiba saatnya yang ditunggu-tunggu, Kho-tay Som dengan diamdiam
telah membawa Sam-ciat-pian atau cambuk berbuku tiga yang diselipkan di
pinggangnya yang ditutupi dengan baju panjang yang dikenakannya. Sedang
muridnya Seng Kun Peng, Touwtee Hok dan 5 atau 6 orang kawannya mengikuti di
belakang untuk membantunya apabila dirasa perlu.
Sesampainya di gedung Kok Bin Tee Yok Hwee, Kho-tay Sam melihat lampu-lampu
di dalam gedung perkumpulan itu dipasang dengan amat terangnya, sehingga setiap
orang yang berlatih ilmu silat di situ dapat dikenali satu persatu. Tapi aneh. Giok
Hong tidak tampak ada di situ. Si jangkung lalu menanyakan pada salah seorang yang
sedang berlatih, "Apakah boleh aku bertemu dengan Sun Giok Hong?".
Ia mendapat keterangan bahwa Sun Giok Hong hanya mengajar silat di situ setiap
hari Senin, Rabu dan Jumat, sedang pada hari-hari Selasa, Kamis dan Sabtu ia
mengajar di gedung Ceng Bu Hwee di jalan Thay-peng-lam-louw. Kho-tay Som segera
mengubah haluannya dan menuju ke jalan Thay-peng-lam-louw dengan perasaan
yang mendongkol.
Perkumpulan Ceng Bu Hwee dibuka di atas loteng gedung Ko-lam-tong. Waktu
Kho-tay naik ke atas, benar saja di sana ia telah bertemu dengan Sun Giok Hong yang
sedang mengajar ilmu Eng-jiauw-kun. Sebelumnya, Kho-tay Som sama sekali tak
pernah menyangka bahwa Sun Giok Hong itupun seorang yang bertubuh tinggi besar
seperti juga dirinya sendiri. Dengan berpura-pura tidak tahu, ia menganggukkan
kepalanya memberi hormat pada salah seorang pengurus di situ sambil bertanya,
"Tuan, aku mohon tanya, apakah Sun Giok Hong Su-hu ada di rumah?".
"Sun Su-hu justeru sedang mengajar ilmu silat" sahut pengurus itu, "apakah
maksud kedatangan saudara?".
"Maksud kedatanganku ini tak lain daripada hendak minta bertemu dengan beliau
saja" jawab Kho-tay Som.
"Harap saudara sudi menunggu di kamar tamu, sampai nanti Sun Su-hu selesai
mengajar" kata pengurus itu yang khawatir Sun Giok Hong akan merasa terganggu
oleh kedatangan orang yang tidak dikenalnya itu.
Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah melihat kedatangan Kho-tay Som dan
mendengar juga maksud kedatangannya, jadi merasa tidak enak membuat orang
menunggu. Maka lekas-lekaslah ia maju menghampiri sambil bertanya, "Tuan ini dari
mana". Siapakah she dan nama tuan yang terhormat?".
"Apakah kamu ini yang bernama Sun Giok Hong?" Kho-tay Som balik bertanya
sambil menatap wajah orang dengan sorot mata yang hampir tak berkesip. "Aku ini
bukan lain daripada Kho-tay Som dari Tong-kwan-hwan. Aku mendengar cerita bahwa
Lim Yauw Kwie telah pernah pie-bu denganmu dengan pintu tertutup serta tak mau
disaksikan orang. Sekarang aku hendak menanyakan, ada hal apa sih yang tidak
boleh disaksikan orang?".
Giok Hong jadi terbengong sejenak mendengar pertanyaan orang yang tidak sopan
itu. "Itu urusanku sendiri" sahurnya kurang senang, "dan tiada sangkut pautnya
dengan diri siapapun. Sekarang aku numpang bertanya kepada Lauw-hia, untuk
maksud apakah engkau bertanya demikian?".
"Maksudku bukan lain daripada begitu" kata Kho-tay Som sambil menatap wajah
Sun Giok Hong. "Lim Yauw Kwie bernama julukan Tong-kang-ko-houw (harimau
Tong-kang). Aku sendiri dikenal orang dengan nama julukan Kwi-tang Thiat-kun-ong
atau Raja Tinju dari Kwi-tang. Maka jelaslah sudah bahwa maksud kedatanganku ini
adalah untuk sengaja membuat kau dapat merasakan tinjuku ini!", sambil
mengacungkan tinjunya yang besar dan berbulu lebat.
Giok Hong jadi sengit, lalu iapun membentak, "Kho-tay Som, engkau sengaja
datang ke sini untuk menantangku!".
"Ya, ya, memang demikian maksudku!" potong si jangkung sambil menyengir. "Kita
akan bertanding di sini untuk mencoba sampai dimana kelihayan kita. Apakah engkau
Ngo-seng-to-ong yang rendah ilmu silatnya atau aku Kwi-tang Thiat-kun-ong yang
lebih tinggi kepandaiannya!".
Giok Hong gusar bukan kepalang mendengan omongan si jangkung yang
menganggap dirinya "sepi" itu. Ia terpaksa menahan sabar tatkala mengingat akan
tugasnya dan di mana ia sekarang berada.
"Tugasku di sini belum selesai" katanya, "maka akan kuladeni tantanganmu itu
pada esok hari jam duabelas tengah hari di muka kuburan 72 pendekar di Oey-hoakong.
Di sana akan kita tentukan siapa diantara kita berdua yang ilmu kepandaiannya
lebih unggul!".
"Akur!" menyetujui Kho-tay Som. "Petang ini aku suka mengampuni jiwamu, tapi
pada esok hari akan kucabut jiwamu tanpa ampun lagi!".
Setelah berada di luar gedung perkumpulan itu, Kho-tay Som memberitahukan
kepada kawan-kawannya tentang pertemuannya tadi dengan Sun Giok Hong. Touwtee
Hok segera mengusulkan supaya petang itu juga mereka mencegat dan
mengeroyok si orang she Sun diwaktu ia pulang ke rumahnya. Usul mana telah
diterima baik oleh si jangkung.
Sesudah menunggu agak lama juga di tempat gelap, tiba-tiba mereka melihat Sun
Giok Hong berjalan mendatangi sendirian, hingga Kho-tay Som jadi sangat girang dan
berkata, "Dasar dia mesti mampus dalam tanganku petang ini juga!".
Sambil berkata demikian, si jangkung mencabut Sam-ciat-pian dari pinggangnya
dan bersembunyi di belakang sebuah pohon besar di tepi jalan. Sedang Seng Kun
Peng, Touw-tee Hok dan para muridnya bersiap-siap untuk menerjang dengan
serentak begitu melihat si jangkung keteter melawan Sun Giok Hong.
Tapi lamunan itu ternyata terlampau muluk daripada kenyataan yang dialami oleh
mereka sekalian. Begitu Sun Giok Hong berjalan melalui pohon di mana Kho-tay Som
bersembunyi, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang agak mencurigakan di kiri kanan jalan
itu, hingga ia merandek dan menghentikan langkahnya sejenak.
Sementara Kho-tay Som yang sudah tak sabar menantikan sehingga Giok Hong
datang terlebih dekat, segera lompat keluar dari balik pohon sambil membentak, "Sun
Giok Hong, kini telah tiba saat kematianmu!. Nih, kau coba rasakan cambukku!".
Tapi Giok Hong yang bermata jeli itu, segera mencelat mundur sambil tertawa
menyindir, "Terlebih dahulu aku telah mengetahui bahwa engkau ini adalah kaum
buaya darat yang tak dapat dipercaya mulutnya!. Mana lagi kambrat-kambratmu".
Ayoh, kalian maju serentak, agar aku dapat memberi pengajaran kepada kalian!".
Setelah itu, dengan gerak Kong-siu-jip-pek-jim atau dengan tangan kosong
melawan musuh yang bersenjata, Giok Hong balas menyerang Kho-tay Som dengan
siasat Tay-peng-pok-touw atau burung garuda menerjang kelinci. Tangan kirinya
menangkis tangan si jangkung yang menyabetkan Sam-ciat-pian, sedang dengan
telapak tangan kanannya memukul muka orang sambil membentak, "Tuh, kau
rasakan telapak tanganku!".
PLOK!!!. "Aduh!". Begitu cepat dan dahsyat pukulan telapak tangan Sun Giok Hong
itu, sehingga disaat itu juga Kho-tay Som jatuh meloso sambil menjerit kesakitan,
Sam-ciat-piannya turut jatuh juga ke muka bumi. Tatkala Giok Hong hendak
mengirim satu tendangan, tiba-tiba Touw-tee Hok dan kawan-kawannya telah
melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang si orang she
Sun dengan satu bentakan keras, "Jangan lukai saudaraku".
Karena mereka bersenjata thie-cio dan ruyung, maka Giok Hong lekas-lekas
mengambil Sam-ciat-pian si jangkung yang menggeletak di tanah dan dengan
cambuk itu ia meladeni semua musuh-musuhnya.
Pertempuran berlangsung dengan amat dahsyatnya, tapi sayang mereka semua
bukanlah lawan Sun Giok Hong yang setimpal. Setelah pertempuran berlangsung
beberapa belas jurus lamanya, Kho-tay Som telah kena ditendang dadanya sehingga
muntah-muntah darah. Touw-tee Hok patah tangan kirinya karena terpukul oleh Samciat-
pian kawannya yang dipergunakan Giok Hong sebagai senjata. Hingga mereka
semua terpaksa lari pontang-panting bagaikan daun-daun kering tertiup angin.
Kemudian Giok Hong yang selamat, lalu membawa Sam-ciat-pian Kho-tay Som, thiecio
dan ruyung komplotan buaya darat yang hendak membokongnya itu untuk
diserahkan kepada Oey Siauw Hiap dan disimpan untuk sementara sebelum diambil
pulang oleh para pemiliknya.
0oo0 P E N U T U P Karena biang keladi para buaya darat klio uy Som dan kambrat-kambratnya telah
"dihancurkan" dalam piMli'iiipni.tn yang berlangsung hanya beberapa belas jurus saja,
maka para calung .il.r. d.iri kelompok lain yang berniat mengganggu dan
menjatuhkan n.im.i Sun Giok Hong jadi jerih dan bungkam seribu bahasa untuk
sesumbar seperti apa yang pernah dilakukan oleh Kho-tay Som dan kawan-kawannya
itu. Berselang beberapa minggu lamanya setelah kejadian di atas, ada pula seorang
say-hu kun-thauw she Coa yang coba-coba mendesak minta bertanding dengan Giok
Hong di atas panggung lui-tay. Untuk mempertahankan nama baiknya sebagai guru
silat dari kedua perkumpulan Ceng Bu Hwee dan Kok Bin Tee Yok Hwee, terpaksalah
i.i turun tangan juga. Walaupun ia sendiri sudah bosan untuk meladeni tantangan
orang-orang yang merasa iri hati dengan kedudukannya yang begitu baik dan
disegani oleh sebagai besar ahli-ahli silat di daerah Tiongkok Selatan.
Seperti juga dalam pertempuran yang telah lampau, kali inipun Giok Hong telah
berhasil mengirim pulang sayhu kun-thauw itu ke Ku koannya dalam keadaan pingsan
dan menderita luka di dada karena tendangannya yang lihay yang ia pelajari dari It
Kak Sian-su dari kelenteng Kee-beng-sie di kota Kim Leng.
Sejak waktu itu dan selanjutnya, Giok Hong dan puteranya Bun Yong mengajar
ilmu silat di kota Kong-ciu dan mempunyai beberapa orang murid yang namanya
terkenal, antara lain dapat disebut, Oey Siauw Hiap, Ma Kiam Hong, Lim Siauw Lip,
dan lain-lainnya.
Golok Sun Giok Hong yang terkenal, yang bernama Siang-liong-touw-to atau Goiok
"Naga Kembar, di kemudian hari telah dihadiahkan kepada murid kesayangannya Oey
Siauw Hiap. Pada masa pasukan Jepang menyerang ke selatan, Sun Bun Yong dan adiknya Bun
Eng termasuk dalam sukarelawan yang dikirim untuk melawan musuh yang hendak
menjajah Tiongkok. Tapi sungguh amat disayangkan bahwa Bun Eng telah gugur
sebagai seorang prajurit bunga bangsa. Dan ketika kota Kong-ciu diduduki Jepang,
Sun Giok Hong beserta segenap keluarganya telah mengungsi ke Kiok-kang, kota
dimana kemudian Sun Giok Hong meninggal dalam usia 74 tahun.
Para murid Sun Giok Hong yang taat kepada pesannya, segera menyebarkan ilmu
silat warisan cabang Siauw-lim. Oey Siauw Hiap sendiri menetap di kota Kong-ciu, Lim
Siauw Lip di Tay-wan, sedang Ma Kiam Hong membuka sekolah olahraga di Kowloon
dengan memakai merek Kiam Hong Kian Sin Hak Ie.
Dengan demikan, maka cerita inipun telah berakhir sampai disini.
TAMAT Pendekar Panji Sakti 15 Amanat Marga Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 1
^