Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 11

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 11


Jauh di tepi jalan ada debu mengulek tebal dan tinggi,
tetapi seekor kuda pun tak terlihat. Ia menduga ada orang-orang yang mengejar ia, bahwa orang telah ambil lain
jalanan, boleh jadi jalanan memotong.
"Aku tidak perlu takut!" demikian ia pikir. Maka ia lekas majukan kudanya, akan dekati Siu Hiang. Ia simpan
kipasnya, ia gunakan cambuknya.
"Mari!" ia kata pada budaknya, supaya budak itu larikan kudanya.
Mereka telah maju sampai lima atau enam lie, lantas
mereka menghadapi sebuah gunung yang berwarna hijau.
"Di depan ada gunung," kata si budak. "Apa ada jalanan di situ?"
"Jikalau ada gunung mesti ada jalanannya," sahut Kiau Liong. "Di atas gunung biasanya juga ada rumah orang!
Mari kita cari rumah, untuk kita singgah. Paling dulu kita perlu air panas, untuk seduh teh."
Ia jalan terus, di sebelah depan, hingga akhirnya mereka sampai di kaki bukit.
Gunung itu tidak tinggi, hanya di situ tidak ada
pepohonannya, semua ada gundul, penuh dengan batu
hijau, malah rumput pun sedikit. Di situ ada terlihat satu jalanan kecil, yang tidak rata, terang sukar untuk dilaluinya.
Kiau Liong tidak perhatikan jalanan sukar itu, tidak
demikian budaknya.
"Di atas situ ada orang!" kata Siu Hiang, yang sedari tadi ada perhatikan itu jalanan kecil. Ia menunjuk ke atas.
Kiau liong segera angkat kepalanya, tetapi orang yang
budaknya sebut sudah tidak tertampak. Tapi karena ini, ia jadi curiga Ia segera perhatikan itu jalanan kecil, yang tanahnya keras, di situ ada batu malang melintang. Yang
paling menarik perhatian adalah kotoran kuda.
"Jangan takut!" akhirnya ia kata, dengan bersenyum sindir. "Gunung ini bisa dipakai sebagai jalanan kuda! Mari kita maju terus! Cuma kau tidak bisa duduk di atas kuda
sendirian, mari kau naik atas kudaku, supaya aku bisa
sekalian peluki tubuhmu."
Lantas mereka datang dekat satu pada lain, Siu Hiang
turun dengan perlahan-lahan dari atas kudanya, akan Kiau Liong bantui ia naik atas kudanya. Kudanya budak itu
sekarang jadi muat barang saja, begitupun Soat Hou, yang ditaruh di pundaknya. Dan lesnya kuda diikat pada bagian belakang dari kudanya si nona.
Mukanya Siu Hiang menjadi merah sendirinya, tetapi ia
toh bersenyum. "Sungguh tidak bagus untuk dipandang!" ia kata. "Dan kau ada seorang lelaki!"
Kiau Liong pun tertawa.
Kuda lantas dikasih jalan, Kiau Liong cekal cambuk
dengan sebelah tangan, yang lain memeluki budaknya.
"Ingat, kau jangan andalkan saja padaku," pesan si nona selagi mereka maju terus. "Kau harus berpegangan padaku, supaya dudukmu jadi tetap. Jangan takut!"
Jalanan ada nanjak, di tengah jalan ada kedapatan batu-
batu besar, seperti juga sengaja batu itu ditaruh di situ, guna
membikin sukar orang yang berjalan di jalanan gunung itu.
Beberapa kaki kuda mesti berloncat, dan setiap kali
kudanya Kiau Liong loncati batu, yang di belakang pun
turut loncat juga.
Sesudah jalan sekian lama, Kiau Liong jadi mendongkol.
Itu macam cara jalan ada meminta tempo dan
menyebalkan. Lewat lagi sedikit jauh, ketika Kiau Liong memandang
ke atas, ia lantas dapat lihat seorang sedang berdiri di alas sebuah batu besar, tangannya orang itu ada menyekal
golok. Orang itu sedang memandang ke jurusan mereka.
Berbareng bisa menduga siapa adanya orang itu,
darahnya si nona menjadi naik, hingga tidak tempo lagi, ia ambil panah tangannya dan ayun tangannya itu, menyusul
mana orang itu lantas terjungkal.
Siu Hiang kaget, sampai ia menjerit.
"Pegang aku biar keras!" Kiau Liong kata pada budaknya seraya ia terus hunus pedang mustikanya, sedang kudanya
ia kasih maju terus.
Berbareng dengan itu, dari sebelah atas ada menyambar
beberapa batang anak panah, ada yang sampai kepada
mereka, ada yang jatuh di tengah jalan, di depan mereka.
Ada anak panah yang hampir mengenai si nona tetapi dia
ini sampok itu dengan pedangnya.
Kapan Kiau Liong mengawasi ke atas, ia dapatkan di
antara banyak orang itu ada Huipiau Siang dan Lou Pek
Hiong, maka ia lantas mengerti bahwa ia sedang
berhadapan dengan rombongan dari To Hong, dan semua
orang itu adalah orang-orangnya si Harimau Hitam dan Bie Tay Piu. Tapi, meski adanya semua musuh itu, ia tidak
takut, malah ia bersenyum ewa.
Dari atas sekarang ada turun selainnya anak panah juga
piau dan batu. Dengan putar pedangnya, Kiau Liong larikan kudanya.
Ia lindungkan dirinya berbareng tubuhnya Siu Hiang juga.
Budak ini ketakutan, ia berpegangan dengan keras. Tusuk
kondenya telah jatuh karena kondenya kebentur-bentur,
hingga kondenya lantas terlepas dan rambutnya teriap-riap.
Kudanya Kiau Liong bisa lari keras, ia bisa lewatkan
jalanan yang berbahaya, hingga sebentar kemudian, pihak
musuh bukan lagi berada di sebelah atas hanya di sebelah belakang ianya, karena mereka itu telah ambil jalan
samping di mana tadi mereka sembunyikan diri.
Sekarang mereka menjadi pengejar.
Di depan ia, Kiau Liong lantas dapati jalanan yang
mudun ke bawah dan curam. Ia merasa ada sangat
berbahaya untuk lari terus, maka ia memikir akan putar
kudanya guna papaki musuh. Dari suara mereka itu, ia
duga musuh telah datang semakinan dekat. Tapi pikirannya itu ia tidak bisa wujudkan. Di luar sangkaannya, kudanya telah lari terus, dan kuda di belakangnya, turut larat juga.
Sedetik saja, Kiau Liong lantas rasai tubuhnya bukan
seperti sedang dilarikan kuda hanya lagi melayang di awan, kemudian disusul dengan suara yang keras dan lelatu putih telah muncrat ke empat penjuru. Ia segera merasakan
dingin pada mukanya. Siu Hiang juga merasai hawa dingin
itu. Lalu di lain saat, tubuh mereka pun kuyup semua!
Adalah sesaat kemudian, Kiau Liong ketahui apa yang
sudah terjadi. Kudanya nyata sudah loncat ke tempat
kosong, ke kali atau selokan di belakang gunung itu, hingga mereka, orang dan kuda, kecebur ke kali. Hanya syukur
kuda itu tidak kelelap, meskipun ada penunggangnya,
binatang itu bisa terus berenang.
Selagi mereka ini menghadapi bencana kelelap mampus,
dari atas bukit lantas datang serangan dengan batu-batu
besar, hingga murkanya Kiau Liong bukan main. Ia kertak
gigi dengan tidak berdaya, sebab musuh berada jauh di atas bukit. Beruntung tidak ada batu yang meminta kurban.
Sesudah berenang lama juga, akhir-akhirnya Kiau Liong
sampai di pinggiran kali di mana kudanya lantas mendarat.
Ia berada di seberang. Ia memandang ke hilir dan udik, di bagian hilir, atau barat, kira-kira empat atau lima lie
jauhnya, ada sebuah jembatan yang panjang.
Cahaya matahari merah telah mencorot ke muka air,
sampai muka air berupa sebagai tanah datar. Di lain pihak, rombongan musuh rupanya sudah tidak mengejar lebih
jauh, karena mereka sudah lantas hilang dari pemandangan mata.
Kiau Liong loncat turun dari kudanya, akan terus bantui
Siu Hiang turun. Tubuh mereka basah dengan keringat dan
air begitupun rambut mereka. Dan Siu Hiang terus saja
numprah di tanah, napasnya masih memburu, karena ia
kaget bukan main dan kecapaian. Ia peras rambutnya itu.
Nona Giok tidak bisa lupakan kucingnya, ia kuatir
binatang piaraan itu hilang, maka ia samperi kuda yang
satunya, yang terus ikuti ia. Ketika ia buka tutupnya naya, yang merupakan kurungan, ia girang bukan main. Sebab
Soat Hou, sambil berbunyi "Meong!" telah loncat keluar dan kurungan, bulunya basah. Hanya binatang itu loncat ke tanah, rupanya lantaran kaget dan ketakutan, bekas
kerendam air, ia lari terus, kabur seperti kelinci.
"Soat Hou! Soat Hou!" Kiau Liong memanggil. "Soat Hou, hayo balik!"
Si Harimau Salju seperti tidak kenali majikan lagi, ia lari terus.
"Soat Hou!" Kiau Liong memanggil pula seraya loncat memburu.
Soat Hou masih lari terus, ketika majikannya hampir
menyandak, akan tubruk ia, mendadakan ia mendekam,
akan loncat ke samping, buat loncat lebih jauh dan lari pula!
"Soat Hou! Soal Hou!" si nona memanggil, berulang-ulang sambil mengubar pula.
Siu Hiang pun jadi ibuk.
"Soat Hou!" ia pun memanggil. Ia berbangkit, dengan niatan cegat binatang itu yang lari, balik ke jurusannya.
"Soat Hou, mari, mari makan! Soat Hou yang manis, kau dengar kata!"
Tetapi Soat Hou telah jadi binal, dicegat oleh Siu Hiang, ia lari ke lain jurusan, ketika Kiau Liong ubar ia, ia lari ke jurusan yang lain lagi, ke timur dan ke barat, seperti ia main petak dengan itu majikan dan bujang. Ia ada terlalu gesit dan licik untuk ditangkap, kecuali bila ia dihajar dengan panah atau disambar dengan pedang.
Hampir Kiau Liong mewek bahna jengkelnya
Selagi orang repot dan sibuk dengan kucing, dari jurusan jembatan lantas kelihatan mendatanginya rombongan dari
Lou Pek Hiong, jumlahnya lebih daripada tigapuluh orang, alat senjata mereka bergemerlapan di antara sorotannya
matahari. Nyata mereka itu jalan memutar buat mengejar
musuh mereka. Melihat rombongan musuh itu, Kiau Liong gusar bukan
main. Soat Hou telah tidak berlari-lari lagi, karena si nona dan budaknya tidak lagi kejar padanya. Ia nongkrong sambil
angkat berdiri kedua kupingnya, matanya celingukan,
rupanya ia ketakutan dan berniat cari jalan untuk lari ...
Kiau Liong bisa duga kekuatirannya binatang itu. Ia
kuatir, kalau sampai terjadi pertempuran dan Soat Hou
kaget, kucingnya bisa lari jauh dan hilang. Maka ia suruh Siu Hiang jagakan kucing itu, ia sendiri dengan bawa
pedangnya lantas lari ke barat buat papaki musuh.
Sembari lari nona Giok telah siap dengan panah di
tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Tangan bajunya ia telah gulung, dan bajunya yang panjang, ia singsatkan.
Siu Hiang hampir menangis karena melihat ancaman itu.
Akhir-akhirnya kedua pihak telah datang dekat satu pada
lain. "Berhenti!" Kiau Liong berseru. "Siapa maju terlebih jauh, aku nanti bunuh padanya!"
Di antara orang banyak itu, kecuali Lou Pek Hiong,
tertampak pula To Hong.
"Jangan kau bertingkah!" si Harimau Hitam berseru.
"Sekarang kita sudah dapat tahu! Kau bukannya orang lelaki, hanya perempuan! Lekas kau perkenalkan dirimu!
Kau mesti kembalikan kudaku, nanti kita tidak bikin celaka padamu!"
"Kau ngaco!" Kiau Liong membentak. "Aku ada satu laki sejati, Citra bagaimana kau berani tuduh aku
perempuan" Sungguh menjemukan! Kau tidak berhak akan
tanya she dan namaku! Kuda juga tidak bisa dikasih pulang!
Kalau kau hendak bertempur, hayo maju!"
Hocipiau Siang menjadi sangat mendongkol, ia sambut
tantangan dengan sebatang piau.
Kiau Liong lihat datangnya senjata rahasia, ia sampok
itu dengan pedangnya, hingga piau itu terlempar, jatuh ke tanah. Setelah ini, dengan satu lompatan, si nona maju
menyerang. "Kurung padanya!" To Hong teriaki orang-orangnya.
"Jangan takut, kalau dia terbunuh, tidak ada perkaranya! Di sini tidak ada lain orang!"
Benar-benar di situ tidak ada lain orang kecuali mereka
berdua pihak, seruannya si Harimau Hitam telah diturut,
rombongannya lantas maju mengurung dan menjerang.
Kiau Liong tidak takut sedikit juga, ia hadapi mereka,
ketika pedangnya membentur senjata musuh, tombak atau
golok, senjata musuh itu segera sapat ujungnya. Dengan
kegesitannya ia tidak kasih musuh ketika. Sesaat kemudian terdengar jeritan hebat dari Huipiau Siang, tubuhnya rubuh untuk tidak berkutik lagi, karena Cengbeng-kiam telah
minta jiwanya, sedang beberapa chungteng pun ada yang
telah kelanggar pedang, hingga mereka terluka. Dan
mereka, yang senjatanya kutung, sudah lantas menyingkir.
To Hong juga lari ke samping, ia gusar berbareng kuatir, karena goloknya juga tinggal separuh, separuh yang lainnya sudah dibikin sapat dan jatuh. Ia disamperi oleh beberapa chungteng, yang antarkan kudanya.
"Maju ke sana!" si Harimau Hitam ini berseru. "Maju!
Rampas itu dua kuda!"
Perintah itu diturut, beberapa orang segera larikan kuda mereka ke jurusannya Siu Hiang.
Kapan Kiau Liong lihat itu, ia menyerang dengan hebat,
ia rubuhkan dua orang, lantas ia loncat akan menghadangi musuh yang hendak rampas kudanya itu. Ia dapat cegat
satu penunggang kuda, yang ia terus babat dengan
pedangnya, hingga dia itu terjungkal bersama-sama
kudanya. Meski begitu, tujuh penunggang kuda bisa kabur
terus. Bukan main gusarnya si nona Giok, ia lari akan kejar
mereka itu. Siu Hiang lihat orang memburu ke jurusannya, ia jadi
kaget dan takut, sambil menjerit, ia lari. Baru saja ia lari beberapa tindak, ia sudah keserimpat dan jatuh.
Soat Hou pun kaget, ketakutan dan lari.
Kedua kuda, yang masih tertambat satu pada lain, turut
lari ke arah timur.
Orang-orangnya To Hong mengejar terus, buat bisa
rampas dua kuda itu.
Dalam murkanya, Kiau Liong mengejar terus, sembari
lari ia gunakan panah tangannya atas mana, tiga
penunggang kuda rubuh saling bergantian.
"Kembali!" berteriak To Hong,yang menyusul jauh di belakangnya Kiau Liong. Ia ulangkan teriakannya itu
beberapa kali. Empat penunggang kuda dengar perintah itu, mereka
lantas kembali. Tentu saja mereka memutar sedikit, untuk tidak berpapasan dengan nona Giok.
Lou Pek Hiong serta rombongannya terus memburu,
mereka kebanyakan ada berjalan kaki, maka lagi sekali,
mereka bisa kurung Kiau Liong, hingga ia ini jadi tambah sengit.
Lagi dua senjata kena ditabas kutung, satu penunggang
kuda kena dibikin rubuh. Setelah ini, dengan sebat nona
Giok loncat ke atas kuda musuh, hingga ia selanjutnya bisa
bertempur dari atas binatang tunggangan. Berulang-ulang ia berbongkok ke kiri atau kanan, akan serang lawannya.
"Gunakan panah," menjerit To Hong, yang berdiri di kejauhan. "Hati-hati kawan sendiri!"
"Dia ada sangat menjemukan!" pikir Kiau Liong, yang dengar teriakan orang itu, yang diulangkan beberapa kali. Ia tingalkan Pek Hiong semua dan memburu kepada si
Harimau Hitam itu.
Dengan memburu ini jago dari Pooteng, Kiau Liong
terpisah dari musuh-musuhnya, maka musuhnya dengan
leluasa lantas serang ia dengan anak panah.
Sebatang panah menyambar ke kepala, dengan mendek
sedikit, bahaya itu bisa dikasih lewat. Apa mau, dua batang panah menyambar ke kempolan kuda, saking kesakitan,
kuda itu berjingkrak menjimbul. Itulah ada hebat, Kiau
Liong tidak bisa pertahankan diri, ia terlempar jatuh. Tetapi ia ada liehay, ia jatuh dengan kedua kaki terpasang, hingga ia tidak rubuh terguling-guling. Dengan cepat ia memburu pula ke jurusannya To Hong.
Hek Hou tidak berani layani musuh yang tangguh itu, ia
kabur, hingga ia kena dikejar. Di belakang mereka, Pek
Hiong dan belasan orangnya juga mengejar terus, hingga
mereka jadi saling susul.
Sebentar kemudian, mereka sudah mendekati jembatan
di sebelah barat itu. Jembatan itu yang terbikin dari kayu, ada panjang dan lebar, bisa muat kereta. Ini ada jembatan yang hidup di jalanan itu, karena dari selatan orang bisa lintasi gunung ke utara.
Tatkala itu sudah jauh lohor, dari jurusan selatan ada
tertampak debu yang terbang naik, itu adalah karena
datangnya beberapa buah kereta serta sejumlah orang yang
berjalan kaki sambil memikul atau menggendol buntalan.
Tapi itu waktu, lantaran mereka lihat ada orang berkelahi, mereka berdiri diam jauh-jauh, atau ada juga yang ambil
jalan cabang. Hanya di antaranya, cuma ada dua orang,
yang menunggang masing-masing kuda putih dan kuda
hitam, yang maju terus, malah kuda mereka telah
dikaburkan. Itu waktu To Hong sudah lari naik ke atas jembatan, dari dua batang goloknya, ketinggalan hanya satu. Napasnya
juga ada memburu keras, saking lelahnya. Ia telah menoleh ke belakang, hingga kira-kira seratus tindak jauhnya, ia lihat jurusan lain, ia lihat mendatanginya dua penunggang kuda itu.
Selagi ia mengawasi penunggang
kuda itu, si penunggang kuda telah tegur ia dengan suaranya yang
nyaring: "Oh, Hekhou To Hong! Sudah tiga tahun aku tidak ketemu padamu, kenapa kau bantong tetap bantong juga"
Kenapa kau yang berjumlah banyak tidak sanggup lawan
orang yang bersendirian saja?"
To Hong kaget sekali apabila ia dengar suara itu, suara
yang ia kenal baik sekali, ialah suara dengan lidah Shoasay dari si terokmok itu, seorang dengan usia empatpuluh
kurang lebih, kepalanya ditutup dengan tudung rumput
yang besar dan lebar, yang celananya hijau, hingga
romannya mirip dengan seorang dagang. Hanya, di
sampingnya, di atas sela, ada tergantung sebatang golok.
Bersama si gemuk ini, berjalan dengan kuda berendeng,
ada satu penunggang kuda yang tubuhnya kekar, yang ada
piara kumis hitam, tetapi umurnya belum melebihi
tigapuluh tahun. Ia membawa tudung lebar, tetapi tudung
itu terlepas tergantung di belakangnya. Ia memakai celana biru. Ia pun membawa pedang yang ia cantelkan di selanya.
Dan orang ini asyik awasi Giok Kiau Liong, yang coba
dirintangi oleh orang-orangnya Lou Pek Hiong, hingga


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya yang tajam telah membikin sapat pula beberapa
senjata musuh. To Hong tak mengawasi lebih lama pula pada kedua
penunggang kuda itu, ia lari menghampiri seraya angkat
kedua tangannya,
"Saudara Lie, lekas, lekas bantui aku!" begitu ia berteriak.
Tapi penunggang kuda itu, yang bersenyum dingin,
goyang kepalanya.
Sementara itu, Kiau Liong, dengan kegesitannya yang
luar biasa, sudah sampai di jembatan, hingga ia telah papaki To Hong, yang saking kegirangan, sudah memburu kepada
si penunggang kuda, hingga ia tak lihat bahwa musuhnya
sedang mendatangi kepadanya.
Tapi sekarang, meskipun telah berhadapan, ia jadi berani pula, malah sebelum orang bisa membacok atau menikam
ia, ia mendahului angkat goloknya membacok.
Kiau Liong lihat serangan musuh, ia menangkis.
Kedua senjata telah beradu dengan tak bisa dicegah lagi
suara yang getas lantas kedengaran, To Hong kaget sekali, sebab kembali goloknya kena ditabas kutung, hingga ia
mesti pegangi saja gagang goloknya Ia putar tubuhnya, ia lari di sepanjang jembatan ke jurusan utara.
Gesit laksana elang menyambar kelinci, demikian ada
gerakan tubuh dari si nona Giok. Dengan satu loncatan ia mengejar, pedangnya diayun, karena ia benci betul pada si Harimau Hitam ini.
"Aduh!" menjerit To Hong, yang lihat pedang berkelebat, sembari menjerit ia berkelit mendek, hingga pedang lewat di atasan kepalanya.
Selagi begitu, kakinya Kiau Liong melayang, maka ini
kali, Hek Hou tak mampu lindungkan diri lagi, dupakan itu membikin ia segera rubuh ngusruk di lantai jembatan
hingga kembali ia menjerit, karena lubuhnya terus
tergelincir melewati jembatan, kecemplung ke dalam kali!
Suara menjerit "Tolong!" adalah jeritannya yang hebat, yang disusul dengan suara nyaring dari air yang ketimpa
barang berat. Di air pun masih saja si Harimau Hitam
menjerit-jerit, akan akhirnya ia tenggelam ...
Si terokmok di atas kudanya yang hitam bersorak sambil
tepuk-tepuk tangan.
"Bagus, bagus! Sungguh liehay!"
Lou Pek Hiong sementara itu masih mengejar terus, ia
sekarang ada bersama tujuh kawannya, karena rombongannya telah jadi semakinan ciut. Nyata ia ada
berani, karena meski musuh ada tangguh, ia masih belum
mau menyrerah kalah. Ia ada gusar sekali dan penasaran.
Kiau Liong sambut datangnya musuh-musuh itu, ia
pertahankan diri di kepala jembatan. Ia kembali bikin ada golok atau tombak yang tertabas ujungnya, sedang
dupakannya bikin ada musuh yang terpelanting ke kali!
Baru sekarang rombongan itu tahu takut, mereka putar
tubuh untuk lari kabur, hingga tinggal Pek Hiong sendirian.
Goloknya masih utuh, tetapi sekarang ia pun jeri.
Celakanya bagi ia, buat menyingkir sekarang temponya
sudah tak ada. Si terokmok telah saksikan itu semua, ia lalu menjerit
pula: "Sahabatku, orang sesama kampung, larilah ke dalam
kali! Kau toh sudah tidak sanggup melawan lebih jauh! ... "
Lou Pek Hiong dengar kata, karena benar-benar ia terjun
ke kali, sebab jalan lain sudah tidak ada. Coba ia lari di darat, pasti ia akan kena dikejar oleh musuhnya. Di air ia bisa berenang buat menyingkir, kecuali beberapa orangnya, yang masih berkutetan, selulup timbul ... seperti To Hong, yang selulup untuk tidak timbul pula ...
Di tepi kali, di atas jembatan, sekarang ketinggalan
mereka yang terluka, yang tidak bisa lari, hingga mereka mesti rebah dengan merintih-rintih, sedang di samping
mereka ada bergeletakan senjata mereka, yang sudah pada
kutung dua ... Beberapa ekor kuda berlarian di tepi sungai ...
Tapi, sementara itu, di sebelah timur, ada empat
chungteng dari To Hong, yang dengan goloknya sedang
ancam Siu Hiang, yang numprah di tanah sedang nangis
menggerung-gerung.
Kiau Liong lihat keadaan budaknya itu, ia gusar bukan
main, tidak tempo lagi, ia bawa pedangnya lari ke
jurusannya itu budak, untuk menolong.
"Jangan, jangan!" mencegah si penunggang kuda
terokmok, apabila ia lihat niatan orang itu. "Jangan kau sembrono! Asal kau pergi ke sana, mereka bisa lantas bunuh isterimu itu! Tunggu, kasih aku yang pergi pada mereka,
akan bicara dengan baik! Kau toh suka kasih ampun pada
mereka?" Sembari bicara, si terokmok itu majukan kudanya.
Kiau Liong heran dan mengawasi si gemuk, ia pun ada
bernapas sengal-sengal, karena ia telah gunakan terlalu
banyak tenaga, sedang tadi, di waktu ia mulai bertempur
pula, ia masih lelah bekas kecemplung di kali. Ia dapat
kenyataan, orang itu tidak saja gemuk, hanya tubuhnya
pasak, pundaknya besar dan dadanya lebar, sedang
perutnya tidak gendut. Ia lantas menduga pada seorang
tukang merantau. Selagi ia mengawasi, orang itu sering kali menerbitkan suara karena kebentur-bentur.
"Sahabat-sahabat baik!" demikian dia ini perdengarkan pula suaranya yang nyaring, tangannya diulap-ulapkan,
wajahnya tersungging senyuman. "Sahabat-sahabat, jangan ganggu orang perempuan! Mari, sahabat-sahabat, mari aku
bikin akur kau satu pada lain!"
Kiau Liong pun memburu ke jurusan budaknya.
Justru itu, si penunggang kuda putih, yang sedari tadi
Kiau Liong tidak perhatikan, juga telah larikan kudanya ke jurusan yang sama, hingga Kiau Liong jadi kena dihalangi.
Sebat luar biasa, penunggang kuda itu loncat turun dari atas kudanya, hingga menampak kegesitan orang, nona Giok
menjadi kagum. Ia lalu mengawasi, hingga ia bisa lihat
roman gagah orang itu, kulit mukanya sedikit hitam, kumis yang hitam juga, mata yang bercahaya.
Penunggang kuda itu angkat kedua tangannya, ia
bersikap sangat menghormat
"Tuan, seorang diri telah lawan banyak musuh, kau
sungguh gagah! Sudah sekian lama aku saksikan jalannya
pertempuran. Aku kenal rombongan itu ialah Hekhou To
Hong dan orang-orangnya. Aku kenal mereka itu. To Hong
ada Pooteng punya cabang atas yang sering melakukan
perbuatan sewenang-wenang dan jahat, dari itu aku
percaya, tuan, kau adalah seorang gagah yang mulia, yang sedang membela keadilan. Apakah tuan sudi perkenalkan
she dan namamu kepadaku" Siapakah guru tuan yang
terhormat" Dan itu pedang apakah namanya?" Habis kata begitu, ia terus awaskan pedang orang itu.
Kiau Liong mundur satu tindak, kembali ia awasi
penunggang kuda itu, yang sekarang telah berdiri
berhadapan dengan ia.
"Sekarang ini aku tidak punya tempo untuk bicara
denganmu," kata ia kemudian. "Pedangku ini adalah yang dinamai Cengbeng-kiam dan namaku Liong Kim Cun!
Yang lainnya kau tidak usah tanya!"
Sikapnya nona ini mengancam, hingga orang di
depannya minggir sedikit. Ini ketika digunakan oleh nona itu untuk lari pula ke timur.
Ketika itu si terokmok sudah sampai di tempatnya Siu
Hiang, ia sudah turun dari kudanya dan sedang bicara
dengan empat orangnya To Hong.
Cepat luar biasa, Kiau Liong telah sampai di antara
mereka itu, ia maju untuk serang mereka.
Itu empat chungteng ada berani, mereka hendak
melawan. Siu Hiang kaget, ia menjerit.
"Tahan, tuan!" berkata si gemuk, yang telah cabut goloknya Ia tertawa "Aku justru sedang mendamaikan kau berdua fihak! Harap kau jangan berlaku keras, sedang kau mestinya tidak bermusuhan hebat. Tolong kau pandang aku
dan biarkanlah mereka ini pergi. Umpama kau masih
penasaran, kau tabas saja golokku ini dan bunuh juga
padaku! Aku ingin lepaskan mereka ini, sebab mereka
belum ganggu isterimu."
Setelah kata begitu, si gemuk angsurkan goloknya. Ia
bicara dengan manis, sikapnya sabar dan menghormat.
Tetapi pedangnya Kiau Liong, dengan sekali tabas saja,
bikin goloknya menjadi kutung dua, yang sepotong jatuh ke lanah, yang sepotong masih dipegangi si gemuk itu.
Meskipun kejadian ada hebat, si gemuk ini tidak kaget
atau heran, sebaliknya, ia justru tertawa berkakakan.
"Sungguh satu pedang yang tajam!" ia berseru dengan pujiannya,
dengan kekagumannya. "Hanya tuan, perbuatanmu ini, caramu, ada mirip dengan cara
bertindaknya seorang perempuan! ... "
Kiau Liong deliki matanya.
"Apakah kau ada konconya mereka ini?" ia menegur.
Dan teguran ini dibarengi sama berkelebatnya pedang.
Si gemuk itu berkelit, karena pedang menyambar
lehernya. Ia berkelit sambil loncat mundur.
Tapi Kiau Liong penasaran, ia membabat pula.
Sekali ini, si gemuk menangkis dengan goloknya yang
buntung. "Nah, babatlah lagi golokku!" ia kata sambil tertawa, tantangannya ada tantangan secara jenaka.
Kiau Liong tidak jadi babat golok buntung itu, ia tarik
pedangnya, buat terus menikam perut orang.
Di saat yang berbahaya itu, tiba-tiba ada datang
tendangan dari belakang kepada lengannya si nona Giok,
hingga Cengbeng-kiam terlepas dan jatuh ke tanah.
Bukan main kagetnya nona ini, tetapi ia tidak lantas
berbalik, akan lihat siapa penyerangnya, hanya dengan
sebat ia loncat ke depan, akan jumput pedangnya itu,
sesudah itu barulah ia memutar tubuh, justru penyerangnya, si anak muda yang berkumis, pun loncat ke depannya, akan hadapi ia. Ini adalah kebetulan sekali, hingga dengan tak
usah maju lagi, ia bisa kirim sabetannya yang berkelebat laksana kilat.
Tidak kurang sebatnya adalah gerakan si anak muda,
yang mencelat ke samping, mencelat sekejab saja untuk
kasih ujung pedang lewat, setelah mana, kakinya dimajukan pula, akan mendesak, dan selagi tangannya nona kita masih berada di atas, tangannya menyusul naik.
"Marilah!" kata si anak muda, yang barengi gerakan tangannya itu.
Kiau Liong rasakan tangannya sakit dan kesemutan,
hampir di luar tahunya, pedang mustikanya telah kena
dirampas oleh pemuda itu, hingga ia jadi sangat terperanjat.
Tapi karena ia ada seorang yang berani, yang pandai ambil putusan, bukannya ia berdiam atau menegur, tiba-tiba ia
maju seraya kirim kepalannya.
Si anak muda telah rampas pedang untuk diperiksa
dengan teliti, ia seperti tak bersedia untuk satu
penyerangan, akan tetapi waktu kepalannya Kiau Liong
sampai, kepalan itu ia papaki dengan tangannya, untuk
terus didorong.
Dan Kiau Liong kena terdorong mundur beberapa
tindak! Oleh karena ia ada sangat penasaran dan panas hati,
Kiau Liong maju untuk kedua kalinya. Ia sekarang
menyerang dengan dua jarinya terbuka, tujuannya ada
tenggorokannya itu orang, yang ia anggap ada usilan. Ia
telah gunakan ilmu totok kepada jalan darah yang dinamai Liamcoan-hiat.
Masih saja anak muda itu tidak mau layani serangan itu,
tidak peduli totokan itu ada sangat mengancam dan
berbahaya. Ketika totokan sampai, ia sambut itu dengan
tangannya dengan tolakan yang keras, atas mana Kiau
Liong lagi-lagi mundur sendirinya sampai dua-tiga tindak!
Nona Giok telah bisa pertahankan diri, kalau tidak, ia
bisa rubuh celentang karena itu dorongan yang luar biasa.
Ia jadi gusar, ia jadi kalap, hingga dengan segera ia
gunakan panah tangannya. Beberapa
batang telah menyambar dengan saling susul.
Si anak muda tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia
tidak menangkis, ia tidak berkelit, tatkala anak panah
sampai, ia cuma gerakkan jari-jari tangannya, menyusul
mana tiga batang panah telah nyelip di antara jerijinya!
Si gemuk berdiri di pinggiran, sebagai penonton
pertunjukan, ia tertawa berkakakan.
"Ini ada pertunjukan yang tidak ada artinya, buat apa kau pertontonkan?" ia mengejek. Ia ada lebih banyak membanyol daripada mengejek.
Kedua matan ya Giok Kiau Liong mendelik, dadanya
berombak. Ia awasi si anak muda, yang lagi-lagi sedang
periksa pedangnya. Dengan tiba-tiba ia menubruk,
tangannya menyambar pedang itu.
Anak muda itu loncat ke samping, dari situ ia angkat
kakinya. Dengan satu tendangan, Kiau Liong kena dibikin
terguling, ketika ia loncat bangun, akan ulangi tubrukannya, si anak muda susul ia dengan satu tendangan lain, hingga lagi-lagi ia terjungkal. Tetapi ia rubuh untuk sering kali gulingkan tubuh dan berdiri pula, karena tendangan dan
jatuhnya tidak membikin ia terluka.
Kapan beberapa chungteng lihat musuh yang kosen itu
kena dibikin rubuh, mereka maju buat hajar adat pada
musuh ini, yang tadi bikin mereka tidak berdaya.
Melihat aksinya Kiau Liong, si anak muda angkat
pedangnya, pedang Cengbeng-kiam yang ia dapat rampas
dari si pemuda tetiron.
"Lekas mabur!" ia berseru. "Apakah kau semua hendak cari mampus?"
Justru anak muda ini angkat pedangnya, cepat laksana
kilat, Kiau Liong lompat menubruk padanya, hingga
tangannya kena dicekal. Ia jadi mendongkol, maka untuk
lepaskan diri, ia dupak orang bandel itu, atas mana, si Naga Sinkiang lantas saja terlempar sampai jumpalitan!
Tetapi percobaannya Kiau Liong tidak sia-sia, karena
meskipun ia sungsang sumbel, pedangnya toh telah dapat ia rampas. Hingga sekarang, dengan pedang mustika itu di
tangannya, ia jadi semakin berani. Ia memang ada sangat
mendongkol dan panas. Tak ayal sedetik pun ia maju pula, akan berdiri di depannya si anak muda dengan kuda-kudanya Sian-jin-pou atau Teng-jie-pou dengan apa ia bisa bersiap untuk maju atau mundur. Ia pun menuding.
"Bilang, siapakah namamu?" ia tanya.
Anak muda itu berlaku tenang.
"Aku adalah Lie Bou Pek!" ia menyahut. "Pedang di tanganmu itu asalnya adalah pedangku, yang dahulu aku
telah hadiahkan kepada satu sahabatku di Pakkhia! Cara
bagaimana kau bisa dapatkan pedang itu" Kau ada seorang
perempuan, aku tidak ingin bertempur dengan kau! Buat
sementara ini, pedang itu kau boleh pegang, hanya aku
larang kau gunakan itu untuk segala maksud jahat! Di
belakang hari, apabila aku dapat kenyataan yang kau lelah
peroleh pedang ini dengan jalan tidak halal, pasti aku nanti cari kau akan ambil pulang itu!"
Kiau liong terperanjat apabila ia dengar namanya orang
itu, tetapi sesaat kemudian, ia tertawa menghina.
"Kau jadinya ada Lie Bou Pek?" ia lalu tegasi. "Kau kemari!" Ia keluarkan syairnya, yang ia beber, agar si pemuda bisa baca. "Lihat ini!" ia kata pula. Lalu, dengan cara jumawa, ia bacakan:
"Aku ada satu dewa pedang, satu kiamsian. Pedangku Cengbeng menangkan pedang Liangcoan!
Biarnya si Lie, Jie dan Kang Lam Hoo semua.
Mereka mesti tunduk minta ampun!"
Mendengar demikian, si gemuk tertawa terbahak-bahak.
"Ha, ini perempuan yang menyamar lelaki ada sangat
jumawa!" ia berkata, "Hayolah kau baca terus!"
Kiau Liong benar-benar melanjutkan membaca syairnya
itu, yang ia telah ubah sedikit, yang huruf-hurufnya sudah luntur:
"Dari laut aku terbang sebagai seekor

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naga. Sebagai juga malaikat dan iblis tak berpeta, Kau, tikus dan rase, padaku berani melawan" Kau bagaikan capung yang menggoyang gunung Taysan!"
"Oh, sungguh terkebur!" si gemuk berkata pula sambil bersenyum. Lie Bou Pek gusar, hingga ia samperkan
kudanya akan ambil pedangnya.
Kiau Liong mundur beberapa tindak.
"Kau minggir!" ia kata pada Siu Hiang, sedang baju panjangnya ia loloskan dan lemparkan kepada budaknya itu bersama kipasnya. Ia malah buka kancing baju dalamnya
hingga kelihatan sedikit baju merah yang menjadi lapisan
dalam. Ia lantas pasang kuda-kudanya untuk siap buat
sesuatu serangan. Ia tidak keder kendatipun tadi ia telah berulang-ulang dibikin jumpalitan.
Bou Pek hunus pedangnya, setelah mana, dengan satu
lompatan ia maju kepada nona yang binal itu, yang ia terus tikam. Kiau Liong angkat pedangnya guna menangkis.
Mengetahui yang pedangnya pihak lawan ada liehay, dan
kuatir pedangnya nanti terbabat putus, Bou Pek lekas tarik pulang pedangnya, hingga penyerangannya menjadi urung,
ini ketika digunakan oleh Kiau Liong, ia maju akan balas menyerang.
Gesit sekali, Bou Pek lompat ke samping, dari mana
ujung pedangnya ia pakai menyontek lengan orang.
Kiau Liong balik tangannya, akan mengegos dari
sontekan sambil berbareng menyampok dengan pedangnya
pada senjata orang itu.
Lagi sekali Bou Pek berkelit, selelah mana, ia putar
pedangnya, akan arah uluhati orang.
Mau atau tidak, karena terdesak, Kiau Liong loncat
minggir. Karena
ini, si anak muda melanjutkan desakannya, dari atas turun ke bawah.
Kiau Liong mencelat jauh ke kiri, hingga ketika ia putar tubuhnya, ia dapat ketika akan perbaiki diri, maka tempo Bou Pek maju pula, ia bisa menyambut. Dengan pedangnya
ia menyabet, waktu si anak muda berkelit, ia merangsek,
hingga sekarang ia jadi di pihak penyerang. Ia siap buat sesuatu tusukan, ia gunakan pedang untuk melayani
pedang, hingga Bou Pek mesti sering kali menyingkir diri beradunya senjata.
Sesudah bertempur sampai sebegitu jauh, Bou Pek segera
dapat kenyataan ilmu silat pedang dari si nona adalah sama
dengan kepandaian yang ia punyakan, berbareng merasa
heran dan kagum, ia jadi berlaku waspada. Ia menjaga
pedangnya supaya tidak menjadi korbannya Cengbeng-
kiam, tetapi ia juga berhati-hati untuk tidak melukakan
lawan itu. Lalu ia gunakan akal akan senantiasa
memancing musuh.
Kiau Liong telah mendapat hati, ia jadi bersemangat, ia
merangsek terus. Setindak dengan setindak ia maju,
pedangnya berkelebatan seperti juga kilat atau menyambarnya bintang melesat.
Selama itu, Bou Pek terus mundur atau nyamping, ia
masih saja awasi sesuatu gerakan orang, tindakan kaki dan memainnya pedang. Sambil bersikap begini, ia juga
menunggu waktu. Maka itu, lagi sekian lama telah mesti
berlalu. Kemudian, sebat luar biasa, ia ubah caranya bertempur.
Mendadakan ia maju dan menyabet, waktu si nona berkelit, ia berlompat sebagai suatu ancaman, pedangnya dari dalam merangsek menikam!
Oleh karena ia tahu pedangnya liehay, dengan tidak
sangsi-sangsi, Kiau Liong tangkis tikaman itu. Dengan ini jalan ia bisa bela diri sambil berbareng mencoba menabas pedang lawan.
Bou Pek terus tidak mau adu senjata, ia angkat
pedangnya naik sampai tinggi, akan dari situ ia putar, untuk menyabar dari samping.
Sama sebatnya, Kiau Liong juga gerakkan tangannya ke
samping, guna tangkis serangan itu, hingga Bou Pek
senantiasa gagal dengan semua serangannya.
Tetapi sekarang pemuda dari Kiu-hoa San ini berlaku
luar biasa cepat, satu kali ia membabat leher, sampai
hampir-hampir Kiau Liong dapat celaka, baiknya ia keburu kelit, karena untuk menangkis, ia sudah tak dapat ketika saking seringnya serangan datang, bahna gesitnya pihak
lawan. Tapi ia pun penasaran, maka setelah melewatkan
bencana itu, ia mengancam dengan tusukan yang tidak
disangka-angka.
Bou Pek terperanjat, ia loncat berkelit, karena pedangnya disambar, hampir saja kedua senjata bentrok satu pada lain, syukur di saat terakhir, ia masih bisa menarik pulang
pedangnya itu. "Sudah cukup!" akhirnya ini anak muda berseru, seraya ia tunda serangannya terlebih jauh. "Bugee-mu ada
sempurna! Gerak-gerakan pedang dan kakimu mirip dengan
pelajaran dari Kiu-hoa San, dari satu golongan. Sekarang aku hendak tanya kau, siapakah gurumu" Dan aku hendak
tanya juga, apa kau ketahui tentang di mana adanya Ah
Hiap?" Kiau Liong berhenti berkelahi dengan napasnya
tersengal-sengal, beda dengan si anak muda, yang ada
tenang seperti tadinya Ia menjawab sambil menggeleng
kepala. "Kau tak akan ketahui itu semua!" ia menjawab, dengan suaranya tetap jumawa. "Biar apa juga aku tidak puas, aku tidak menyerah kalah. Ini hari aku telah bertempur terus-terusan dengan penjahat-penjahat itu, aku telah gunakan
tenagaku terlalu banyak, jikalau tidak, Lie Bou Pek sekejab saja aku nanti bikin mampus di ujung pedangku."
Bou Pek bersenyum tawar buat kecongkakan orang itu.
Si gemuk melengak, saking heran atas kejumawaan
orang. Sementara itu sisanya orang-orangnya To Hong sudah
kabur semua, kecuali ketinggalan beberapa ekor kuda yang bergelandangan di tepi kali, sedang dua kudanya Kiau
Liong sudah kabur jauh, hanya untuk kelegaan hati dari si nona, kuda itu tidak sampai menghilang seperti juga tak
lenyapnya barang-barangnya.
Dengan bawa pedangnya, Kiau Liong lari pada Siu
Hiang, yang tadi menyingkir dengan ketakutan.
"Mana Soat Hou?" adalah pertanyaan paling dulu dari Kiau Liong, napas siapa masih saja belum tenteram.
"Tadi aku peluki itu binatang " sahut si budak, "tetapi seekor kuda langgar aku hingga aku terjatuh dan Soat Hou terlepas, terus ia kabur, rupanya karena kaget dan ketakutan
... Soat Hou, Soat Hou! ... " ia teruskan memanggil berulang-ulang. Ia ada sangat berduka, hingga ia hampir
mewek. Kiau Liong kaget, sampai ia tertegun.
"Soat Hou! Soat Hou!" ia pun segera memanggil-
manggil. Ia memandang ke empat penjuru, ia melainkan
lihat bukit yang tinggi dan kali yang airnya tetap mengalir.
Ia tampak tegalan, ia dapatkan sawah-sawah di sebelah kiri dan pepohonan yangliu di sebelah kanan. Ia juga
memandang jembatan yang panjang. Tapi Soat Hou, si
kucing mungil, tidak ada di antara itu semua ...
Lie Bou Pek, bersama-sama si gemuk, sedang berdiri
mengawasi. "Hari sudah mulai gelap, toaya," lalu terdengar suaranya Siu Hiang, "mari kita cari tempat untuk mondok, besok kita datang pula kemari akan cari Soat Hou ... Dia tentu tidak akan hilang, dia tentu sedang sembunyi ... "
"Soat Hou, Soat Hou ... " kembali si nona memanggil, suaranya sember. Matanya mengembeng air mata.
Itu waktu Lie Bou Pek sudah naik ke atas kudanya, yang
ia terus kasih jalan ke arah barat, si gemuk ikuti ia, hanya si gemuk ini beberapa kali masih menoleh ke belakang, akan
lihat si lelaki tetiron.
Akhir-akhirnya Kiau Liong jatuhkan dirinya, numprah
di tanah, ia duduk bengong, mengantap angin magrib
meniup-niup dirinya, ia tak ambil peduli meskipun angin
ada sangat dingin.
Cuaca dengan cepat mulai menjadi gelap dan burung-
burung gagak terbang melewati puncak gunung untuk
pulang ke sarangnya.
"Siocia, mari kita cari pondokan," membujuk pula Siu Hiang, yang menghampiri nonanya.
Kiau Liong tepas air matanya, ia berbangkit dengan
malas-malasan. "Ambillah kuda kita," kita ia pada Siu Hiang.
Sebentar kemudian Kiau Liong sudah buka buntalannya,
akan ambil seperangkat pakaian lelaki, untuk salin. Ia pun raba satu bungkusan kecil, ia merasa girang, karena ia dapat kenyataan barang-barang perhiasannya dan dua jilid kitab
"Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie" masih ada dalam
bungkusan itu. Baru sekarang hatinya menjadi tetap. Ia
lantas memandang ke sekelilingnya.
"Soat Hou hilang tetapi masih bisa dicari, asal jangan kita kehilangan ini," ia kata pada budaknya.
"Kau benar, siocia," sahut budak itu.
Siu Hiang rapikan buntalannya, akan dimuatkan pula ke
atas kuda seperti biasa tadi. Kemudian ia naik atas kudanya dengan dibantu oleh nonanya itu.
Kiau Liong masih menoleh ke empat penjuru
sebelumnya ia loncat naik atas kudanya, setelah ia duduk dengan benar, segera ia merasakan tubuhnya pada meluang, terutama kedua kakinya. Ia mengerti, itu semua ada karena dorongan dan tendangannya Bou Pek berulang-ulang,
sedang ketika ia jumpalitan lengannya pun lecet di sana
sini. Ia menahan sakit, ia jadi sengit, hingga ia kertak gigi.
"Aku mesti beristirahat beberapa hari, kemudian aku mesti cari pula Lie Bou Pek akan tempur padanya!"
demikian ia pikir. Di lain pihak, ia pun berduka, bersedih, karena lenyapnya Soat Hou.
"Ke mana dia pergi" Bagaimana ia bisa bergelandangan di tegalan" Bagaimana kalau dia kena orang tangkap dan
dibinasakan?" demikian ia ngelamun dalam hatinya.
"Kenapa mendadakan Soat Hou tidak mau dengar
panggilanku" Ia sungguh menyebalkan ... Tapi ia ada begitu mungil, bulunya begitu indah ... Selanjutnya, siapakah yang bisa hiburkan hatiku" Oh, Soat Hou, Soat Hou ... "
akhirnya ia memanggil-manggil pula. "Soat Hou, mari datang padaku! ... "
Siu Hiang mengikuti di belakangnya si nona, ia pun
sangat berduka.
Suara pohon padi di tepi jalan yang tersampok angin,
ada berisik. Jalanan ada kecil. Langit semakin gelap, malah kebetulan di mana tidak ada awan, beberapa bintang telah muncul.
Kiau Liong jalan terus, jauh di depan mereka lihat
cahaya api berkelak-kelik.
"Lihat di sana, toaya, itu ada cahaya api atau bintang!"
kata Siu Hiang, yang sangsikan penglihatan matanya.
"Itu ada cahaya api, di sana tentu ada rumah orang,"
sahut Kiau Liong. "Kau ingat, di rumah penginapan kau boleh panggil aku toaya, tetapi di rumah orang, tidak ada halangannya akan kau berbahasa siocia. Di muka umum
tak bagus nampaknya akan orang-orang perempuan
berjalan berduaan saja sedang buat menumpang di rumah
orang, kurang bagus yang orang perempuan berkawan
orang lelaki. ... Dulu Kho suhu ada omong banyak perihal kejadian-kejadian di kalangan kangou, sekarang aku telah dapatkan pengalaman sendiri. Lihat saja pemuda tadi, yang layani aku bertempur, matanya ada liehay sekali, lantas saja ia ketahui yang aku ada seorang perempuan ... "
"Siapa itu pemuda yang berkumis?"
"Ia ada orang kangou yang tersohor yang dipanggil Lie Bou Pek. Apa kau ingat itu nona Jie yang pernah tinggal di rumahnya Tek ngo-naynay" Nona itu katanya ada isterinya
pemuda itu. Tapi itu ada omongan orang, omongan itu
tidak bisa lantas dipercaya. Hanya, yang benar, mereka
suka berada berduaan saja, sedang buat sekarang ini,
mereka bisa dibilang ada orang-orang yang ilmu silatnya
paling liehay. Lihat kejadian hari ini, aku bisa lawan itu kawanan penjahat, tetapi ada sukar untuk aku menangkan
padanya. Bugee-nya didapatkan dari Kang Lam Hoo, tetapi
aku, aku dari ... "
Ia tidak melanjutkan, ia hanya keprak kudanya.
"Mari lekasan! Kita mesti cari tempat mondok!" ia kata kemudian. "Kau sudah ikut aku, jangan takut! Tidak ada orang yang bisa lawan bugee-ku, tidak ada lain senjata yang bisa bentur pedangku!"
"Sebenarnya, aku jeri, ... " sahut Siu Hiang. "Perjalanan kita sungguh berbahaya, di luaran ada banyak sekali orang jahat ... "
Kiau Liong tidak sahuti perkataan itu, ia maju terus.
Mereka telah melalui belasan lie tanpa mereka merasa.
Sekarang di sebelah depan mereka dengar suara anjing.
Itu ada tanda bahwa mereka sudah mendekati rumah orang
atau sudah masuk dalam sebuah kampung.
Siu Hiang kaget ketika ia lantas saja digonggong anjing
sampai ia menjerit.
Sekarang kelihatan rumah orang, tidak banyak, tetapi
kebanyakan ada memakai tembok batu yang tinggi. Dari
belakangnya salah satu rumah ada kelihatan cahaya api dari jendela. Dua-tiga rumah lain nampaknya ada rumah-rumah
orang melarat, dari situ pun ada menyorot keluar cahaya
api. Beberapa ekor anjing lantas muncul, mengurung dan
menggonggong, hingga Kiau Liong menjadi mendongkol
dan usir mereka dengan bentakannya dan ancaman
cambuknya. Ia pun teriaki orang untuk membuka pintu.
Segera keluar dua orang, dari pintu yang mereka buka.
"Siapa?" mereka itu tanya. "Ada apa?"
"Aku numpang tanya, di sini ada rumah penginapan atau tidak?" Kiau Liong tanya.
"Di sini tidak ada rumah penginapan, di sini ada satu kampung," demikian ia dapat jawaban. "Di sana, belasan lie di sebelah selatan, ada dusun Cio-kau-tin, di sana ada
tempat menginap. Kau berdua datang dari mana?"
"Kita datang dari Pooteng," sahut Kiau Liong dengan sabar. "Kita sudah lakukan perjalanan terlalu jauh dan
lelah, maka tuan-tuan, tolonglah kita, sukalah kau berikan kita tempat bermondok, untuk satu malam saja ... Besok
pagi-pagi kita akan berangkat pula, kita tidak akan lupakan budi kau ini ... "
"Kita tidak punya kelebihan kamar, sukar," ada suara penyahutan. "Di sini tidak leluasa ..."
"Kenapa tidak leluasa?" Kiau Liong tanya, "Dua-dua kita ada orang-orang perempuan ... ,"
Kelihatannya orang ada heran mendengar mereka ini
ada orang perempuan semua.
"Mana orang lelakimu?"
Mukanya Siu Hiang menjadi merah, Kiau Liong pun
jengah. "Kita semua ada nona-nona, kita belum punya suami ... "
"Kasihlah mereka masuk," lalu terdengar satu suara lain.
"Kasih mereka tempat di kamarnya naynay. Bagaimana
mereka bisa melanjutkan perjalanan malam-malam begini?"
"Tetapi kita harus menanyakan dahulu," kata satu suara lagi. Dan kemudian ia ini benar-benar menanya:
"Bagaimana kau bisa berjalan berduaan saja" Bagaimana orang-orang di rumah kau bisa antap saja kau bepergian"
Ke mana kau hendak pergi?"
Kiau Liong tidak bersangsi akan berikan jawabannya,
hanya sebelum itu ia menghela napas.
"Kita bikin perjalanan karena terpaksa. Kita ada encie dan adik, kita tidak punya engko atau adik lelaki. Ayah kita memangku pangkat, jauh di Hengsan, Oulam. Sudah tiga
tahun tidak ada kabar apa-apa dari ayah, ibu. Kita
berkuatir, maka terpaksa ia perintah kita pergi menyusul.
Kita terpaksa ... "
Rupanya dua orang itu percaya keterangan ini, mereka
lantas gebah anjing mereka dan persilahkan tetamunya
masuk. "Masuklah." demikian kata mereka. "Tuntun kudamu ke dalam, tambat itu di sana, di pohon angco. Syukur kau ada orang-orang perempuan, kalau tidak, tidak bisa kita
mengasih tempat. Kita juga ada punya anak perempuan ... "
Kiau Liong loncat turun dari kudanya, ia bantui Siu
Hiang turun, kemudian mereka tuntun kuda mereka masuk
ke dalam pekarangan, yang lebar, di mana ada dua pohon
angco. Dari sebelah timur ada datang seorang tua, yang
membawa pelita. Dua orang yang bicara berumur masing-
masing kira-kira empat puluh tahun. Semua mereka
sekarang mengawasi kedua tetamunya. Maka itu mereka
bisa lihat yang Kiau Liong ada memiara kuncir sebagai
orang lelaki dan Siu Hiang berkonde.
"Eh, eh, tunggu dulu, jangan turunkan pauhok-mu!" kata salah satu dari mereka itu. "Kita tidak punya kamar untuk kau, kau baik pergi ke lain tempat akan cari rumah
penginapan!"
Kiau Liong dapat mengerti kecurigaan orang, maka ia
maju mendekati.
"Lihat dahulu aku dengan teliti," ia kata sambil tertawa.
"Aku ada seorang perempuan yang menyamar jadi lelaki!
Kita sengaja mengaku sebagai suami dan isteri. Bila tidak demikian, cara bagaimana kita encie dan adik bisa lakukan perjalanan ini?"
Seorang maju akan lihat kakinya Kiau Liong.
"Tetapi kaki kau besar?" ia kata. "Tidak, tidak bisa!
Jangan kau main gila! ... "
Kiau Liong jadi mendongkol, hingga wajahnya jadi
berubah. "Siapa mau main gila?" ia kata. "Apa cuma mereka yang kakinya kecil baru dianggap sebagai orang perempuan"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita, nona-nona dari Pakkhia, semuanya tidak ikat kaki!
Kita berangkat dari Pakkhia sampai di Pooteng dan kini
sampai di sini. Mustahil kita datang buat melulu bikin kau celaka?"
Biarnya ia omong dengan keras, suaranya Kiau Liong
tetap ada suara orang perempuan.
"Kasihlah mereka masuk," akhirnya terdengar suara seorang perempuan tua dari dalam.
"Mereka tentu ada nona-nona suku Kie dari Pakkhia.
Lekas undang mereka masuk! Aku hendak tanya mereka,
barangkali aku kenal mereka ... "
Kiau Liong dan Siu Hiang terperanjat.
Pintu di ruangan barat lantas dibuka, dari situ muncul
cahaya api. Di pintu segera tertampak satu nona umur enam atau
tujuh belas tahun, yang dandan sebagai orang desa, dengan tubuh menyender di pintu sedang mengawasi, romannya
ada keheran-heranan.
"Silahkan masuk!" terdengar pula suaranya si perempuan tua. "Rupanya malaikat tanah yang mengantarkan tetamu agung datang ke rumah kita! Kemarin malam aku telah
mimpi melihat kota Pakkhia, sekarang datang tetamu dari
Pakkhia sekali! Lekas undang mereka masuk, supaya aku
bisa ketemukan mereka!"
Dua orang lelaki di pekarangan masih saja bersangsi, apa pula kapan mereka lihat dua buntalan besar di punggung
kuda, di antaranya ada pedang. Tapi si orang tua, yang
nampaknya sebagai ayah mereka, perintah mereka
turunkan bungkusan itu untuk dibawa masuk ke rumah,
sedang Kiau Liong dan Siu Hiang, ia persilahkan masuk ke ruangan barat itu.
Kiau Liong lihat rumah yang kecil dan di tembok ada
banyak debunya. Di atas sebuah meja ada terletak satu
lampu minyak tanah, berikut dua perangkat sumpit, piring dan mangkuk kasar. Di belakang adalah pembaringan
tanah. Si orang tua bertindak masuk dengan masih bawa
pelitanya. Dari kamar sebelah segera terdengar tangisannya satu
bocah. Hatinya Kiau Liong tergerak. Ia segera ingat gubuknya
di Sinkiang, ketika dahulu ia berada berduaan dengan Lo
Siau Hou. Ia jadi terharu sendirinya.
Di atas pembaringan ada dua helai selimut, tidak terlalu kotor, tetapi sudah banyak tambalannya. Di situ ada rebah seorang perempuan muda, tubuhnya nempel dengan
tembok, tubuh itu ditutup dengan selimut, hanya matanya
ditujukan kepada dua tetamunya. Di samping dia ini ada
pula seorang perempuan tua, yang rambutnya sudah
ubanan, mukanya sudah kisutan, umurnya barangkali
sudah delapanpuluh lahun. Dia niat merayap bangun tetapi gagal.
"Maafkan aku, nona-nona," ia berkata dengan manis, suaranya perlahan. "Aku sudah tua. Yang tinggal di sini semua ada aku punya anak-anak, cucu, cucu mantu dan
buyut ... Aku sekarang sudah jompo, aku tidak bisa bangun, kalau tidak, tidak nanti aku ijinkan kau bicara terlalu lama di luar. Mereka semua ada orang-orang yang telah
melupakan budi, sedang mereka telah hidup terpelihara
oleh uangnya orang-orang suku Kie! Sejak umur duapuluh
tahun aku telah menjadi janda, di Pakkhia aku tinggal di rumahnya Khu houya di mana aku rawati thaythay dan
naynay ... "
Baru sekarang Kiau Liong tahu bahwa nyonya tua ini
ada babu di rumahnya Khu Kong Ciau, sedang Khu siau-
naynay adalah sahabat baiknya.
"Aku dengar naynay sekarang telah menjadi loo-
thaythay," kata pula perempuan tua ini. "Aku ingat ketika naynay baru menikah. Dua bulan setelah itu, mataku sakit dan menjadi buta. Karena itu, houya dan thaythay telah
persen aku limapuluh tail perak, sedang siau-houya perintah siau-naynay persen aku dengan dua potong goanpo. Aku
telah diperintah pulang, akan rawat diri. Demikian kita
pulang kemari dan dirikan ini rumah gubuk serta beli juga beberapa petak sawah ... "
Kiau Liong berdiam saja mendengari orang bicara, tetapi
Siau Hiang telah cari tempat untuk beber seprei dan
selimutnya yang mentereng.
Si nona desa bengong melihat barang-barang yang indah
itu, yang harganya tentu mahal.
Di muka piniu sekarang tambah dua orang perempuan
desa, rupanya mereka ada isteri-isterinya dua lelaki tadi.
Satu di antara mereka ini ada mengempo anak. Mereka pun
asyik mengawasi Siu Hiang dan selimutnya ...
Siu Hiang berlaku manis, sembari kerja, ia ajak bicara
dua nyonya itu. Ia bicara sambil bersenyum-senyum.
Kiau Liong telah buka pakaian luarnya, hingga sekarang
kelihatan saja pakaian dalamnya, pakaian orang perempuan. Ia diam saja tetapi ia tidak berlaku malu-malu.
Si orang tua sudah lantas suruh cucu perempuannya
pindah kamar dengan bawa selimut mereka. Si nona desa
telah pondong selimutnya, tetapi ia tidak mau lantas pergi, hingga si orang desa desak padanya.
"Adik, besok kita bicara lagi ... " kata Siu Hiang.
Setelah itu baru si nona dapat diajak pergi oleh
engkongnya. Pintu pun terus ditutup.
Si nyonya tua masih bicara pula, ia kata: "Kau sediakan barang makanan untuk dua nona ini. Sembelihlah beberapa
ekor ayam ... "
Suara itu dapat jawaban dari luar.
"Tidak usah berabe," Siu Hiang bilang.
"Tidak apa," kata si nenek.
"Aku tahu, kau di Pakkhia biasa bersantap sampai
malam, bukan seperti kita kaum tani, selagi matahari masih tinggi sudah dahar dan lantas masuk tidur! Nona-nona, kau she apa" Di mana looya jabat pangkatnya?"
Siu Hiang tidak berani lancang bicara, ia awasi nonanya.
"Aku ada orang she Liong, orang suku Kie dari tentara Han," Kiau Liong menyahut. "Rumah kita ada di luar Cianmui. Ayahku ada menjadi ciangkun di Oulam."
Nyonya tua itu masih punya pendengaran yang baik.
"Jikalau begitu, nona tentu kenal keluarga Khu," ia berkata. "Keluarga Khu itu pun ada Hankun Kiejin dan Khu houya pernah jadi ciangkun juga. Adalah Tek ngoya
dari Kota Timur yang terhitung dari Lwee-bu-hu ... "
Kiau Liong terperanjat akan dengar ucapan yang
belakangan ini.
"Apakah kau masih ada punya perhubungan dengan
keluarga Khu?" ia tanya.
Ditanya demikian, nenek itu menghela napas.
"Sudah lama tidak ... " ia menyahut. "Duabelas tahun telah lewat, orang barangkali sudah melupakan aku!
Anakku dan cucuku semua tak punya guna, mereka
melainkan tahu tinggal di rumah bercocok tanam, mereka
takut merantau. Dulu satu hari pernah anakku pergi ke
Pakkhia, satu kali ia masuk ke dalam kota, ia kata matanya kekunangan! Ia kata kakinya jadi lemas begitu lekas ia
bertindak masuk ke dalam gedung ... Ia sekarang sudah
berumur enampuluh tahun, kakinya akan lekas menjadi
sama dengan kakiku, jikalau tidak, hubungan kita dengan
keluarga Khu belum menjadi putus ... "
Kiau Liong lega hati mendengar keterangan ini, karena
ia percaya, dengan singgah di sini, tak nanti ada orang di Pakkhia yang mendapat tahu. Ia lantas rebahkan dirinya. Ia suruh Siu Hiang sulut dua batang hio wangi, hingga
sebentar kemudian, kamar itu menjadi berbau wangi karena menguleknya asap hio itu.
Si nyonya tua tertawa apabila hidungnya menangkap bau
harum itu. "Sudah sejak duabelas tahun lebih aku tak dapat lagi cium bau hio wangi seperti ini," ia kata. "Nona Liong, adakah ini Bansiu-hio atau Liongyan-hio?"
"Ini ada hio biasa saja, yang aku beli di tengah
perjalanan, bukan hio bawaan dari Pakkhia," Kiau Liong jawab.
Nyata, orang tua itu doyan bicara, ia masih tanya ini dan itu, omong dari lain-lain hal, semua ini kebanyakan Siu
Hiang yang layani, hingga beberapa kali nonanya kedipi ia atau bentur lengannya.
Sementara itu di sebelah, ada terdengar orang
menyalakan api dan bekerja.
Lewat sekian lama, nyonya mantunya si nenek, satu
nyonya yang kurus, datang dengan barang makanan yang
terdiri dari delapan telur rebus, sayur dan phia serta bubur.
Ia tidak biasa dengan bau hio yang wangi, sampai ia batuk-batuk, hingga ia lekas-lekas keluar kembali.
Siu Hiang kebuti bangku, yang ia lapis dengan bajunya,
baru ia undang nonanya duduk dahar. Ia bantui si nona
mengupas kulit lelur.
Kiau Liong duduk dengan lesu, matanya mengawasi
bubur. Ia teringat kepada nasibnya. Bagaimana bedanya
penghidupan dulu dan sekarang. Kalau ia ingat itu, ia
menyesal yang ia telah ketemu Lo Siau Hou di Sinkiang. Ia menyesal yang ia telah terlalu turutkan suara hati sendiri.
Sekarang ia keliru dan keliru terus ... Sudah tiga tahun ia hidup dalam keruwetan pikiran, ia sekarang masih
menunggu saja ...
"Kapan ia bisa ubah sifatnya" Kapan ia bisa peroleh kedudukan yang pantas" Sekarang aku mesti merantau,
hidup terlunta-lunta ... Benar aku tidak takut, tetapi sampai kapan aku bisa dapatkan tempat yang setimpal, yang aman
dan senang" Tadi aku telah hadapi Lie Bou Pek yang
tangguh, aku telah kehilangan kucing yang aku sayangi. Di mana adanya Siau Hou sekarang," Apakah ia ketahui aku
sekarang berada di sini" Apakah ia ketahui kesengasaraan hatiku" Apa ia bisa datang untuk membantu dan hipurkan
aku" Cara bagaimana aku bisa lupakan dia" ... "
Dengan tidak merasa, karena ngelamunnya ini, air
matanya Kiau Liong turun menetes.
Siu Hiang lihat nonanya itu, ia turut terharu. Ia bisa
mengarti kesengsaraan hati si nona. Nona itu, gagah
laksana naga, lemah sebagai kambing ...
"Siocia, jangan kau berduka ... " ia menghibur, seraya ia tunduki kepala. Ia tidak berani awasi nonanya itu. "Besok kita tentu akan dapatkan Soat Hou, ... "
Kiau Liong goyang kepala.
Budak itu angsurkan selembar saputangan.
"Aku tak melulu sedihkan Soat Hou," ia kata. "Aku ada memikirkan lain ... Kenapa dia tak menahu hatiku?"
Siu Hiang berduka bukan main, ia dekati nonanya. Ia
pasang mulutnya di kuping si nona itu.
"Nenek ini adi bekas orangnya keluarga Khu, apa tidak baik jikalau kita minta pertolongannya?" ia usulkan. "Ia boleh diperintah pergi pada Khu houya dan Khu naynay,
untuk minta mereka ini bicara pada tayjin, supaya tayjin bisa kirim orang akan menyambut kita pulang. Khu naynay
tentu suka menolong kita. Perihal urusannya kelarga Lou, kita nanti pikir pula bagaimana baiknya.,.."
Kiau Liong pandang budaknya, matanya terbuka lebar.
"Jangan kau mimpi!" ia kata. Tetapi suaranya perlahan.
"Kita berdua, sampai kapan juga, tidak bisa kembali ke Pakkhia ..."
Ia tutupi mukanya dengan saputangan, ia menangis.
Siu Hiang pun menepas air mataa.
"Kalau begitu," kata budak ini kemudian, "baiklah kita pergi ke Sinkiang saja. Di sana kita boleh cari siocia punya engku ... "
Tetapi Kiau Liong tidak setujui usul itu.
"Mengapi mesti mengandal pada lain orang?" ia kata.
Soe Hiang berdiam.
Nona dan budaknya ada sangat berduka, hingga mereka
tidak napsu dahar. Mereka makan sedikit sekali. Lebih
banyak mereka menepis air mata.
Kemudian Kiau Liong sendiri yang kunci pintu,
pedangnya ia taruh di bawah kasur.
Api telah dipadamkan.
Oleh karena sangat lelah, malam itu Kiau Liong bisa
tidur nyenyak. Ia tahu sang malam lewat dengan tidak ada kejadian apa juga, karena biarnya ia ada sangat ngantuk, ia ada seorang yang getap. Ketika ayam jago berkokok dan
sinar matahari mencorot ke jendela, Siu Hiang yang
mendusin terlebih dahulu untuk terus berbenah.
Si nenek telah mendusin juga, ia bicara. Dengan separuh
berbisik, Siu Hiang layani nenek itu bicara, karena ia tak mau bikin nonanya kaget.
Ketika pintu dibuka, si nona desa dan dua nyonya telah
datang masuk dengan membawa air untuk cuci muka dan
sesapu. Di luar rumah, si anak kecil terdengar menangis
dan tuan rumah batuk-batuk, tetapi Kiau Liong terus tak
pedulikan itu, ia rebah berselimut, Cuma taucang-nya saja yang kelihatan disisi bantal. Ia pakai pakaian perempuan tetapi kuncirnya lelaki. Di depan pembanngan, di tanah ada sepatu lelakinya juga. Ia tidur seperti orang pulas nyenyak Siu Hiang berlaku manis pada semua orang di dalam
rumah tu. Ia menyisir dengan cepat, ia rapikan pakaiannya, kemudian ia keluar akan ketemui tuan rumah dan isteri dan anak mantunya.
Keluarga itu ada dari kaum keluarga Ciok, jumlah
anggautanya ialah si nenek, si empe, Ciok toako dan jieko serta dua isterinya dan anaknya. Si nona, yang umurnya
enam belas, bernama Ciau Tee. Dia ada anaknya Ciok
toako. Dia ini tidak punya adik lelaki, hanya satu adik
perempuan umur tiga tahun. Ciok jieko punnya tiga anak,
dua lelaki dan satu perempuan. Mereka hidup bertani di itu desa Liu-hu-cun di mana ada terdapat seratus keluarga.
Sawahnya keluarga Ciok ada kira-kira limapuluh bahu,
maka itu, mereka hidup cukup. Semua ini Siu Hiang bisa
lantas dapat tahu. Romannya yang cantik, pakaiannya yang bagus dan rapi, sikapnya yang manis budi. semua itu lantas menawan hatinya pihak tuan rumah, hingga ia lantas saja
disukai. Ia pun buka rahasia ialah bahwa ia dan kawannya adalah majikan dan budak, bahwa karena majikan itu ada
sangat baik hati, ia telah diperlakukan sebagai adik
kandung, hingga ia jadi suka ikut nona majikan itu, siapa katanya sedang menjalankan titah ibunya untuk cari
ayahnya ... Ocehan itu dipercaya betul oleh keluarga Ciok, yang
merasa girang mendapat tetamu-telamu yang tidak
diundang itu. Kemudian ada beberapa tetangga pun datang melongok,
cuma mereka itu tidak berani masuk ke dalam untuk
menonton nona Giok.
Kemudian Siu Hiang cerita bahwa nonanya kemarin, di
tepi utara dari kali, kehilangan kucingnya yang ia sangat sayang, bahwa karena itu, semalaman nona itu menangis
saja, maka kalau sebentar kucing itu tidak dapat dicari, belum tentu ia bisa lanjutkan perjalanannya.
"Nanti kita coba cari kucing itu," kata Ciok toaso, yang lantas minta suaminya pergi tolong cari kucing itu.
"Pousat dari Pousat Bio di Cio-kio-tin ada sangat lengkham, baiklah pergi ke sana akan minta ciamsie guna
tanyakan siapa yang dapat pungut kucing itu,' kata Ciok
jieso. "Asal ketahuan siapa yang dapat kucing itu, gampang untuk dicari dan diminta pulang."
"Sebentar aku kirim orang ke tepi kali akan cari kucing itu," kata empe Ciok. "Tidak halangan si nona tinggal lamaan di sini, sampai sepuluh hari atau setengah bulan
pun boleh, asal kemudian ia suka berikan kita sedikit
persenan."
"Jangan kuatir," kata Siu Hiang, yang cerdik, "asal kucingku bisa didapat pulang, siocia sedikitnya akan
mengasi, persen duapuluh tail perak."
Jumlah itu bikin orang terperanjat, karena buat di dusun itu, ada jumlah yang luar biasa. Ciok toaso sudah lantas lari keluar, rupanya untuk pergi ke tepi sungai, sedang empe
Ciok terus pergi ke dalam, pada ibunya, untuk minta si ibu pendah ke lain kamar, supaya kamarnya itu dipakai
istimewa oleh si siocia dan budaknya saja ...
Sampai dekat tengah hari barulah Kiau Liong bangun
tidur, ia terus cuci muka dan dandan, sedang Siu Hiang
tolong kepang taucang-nya. Ia tetap berpakaian sebagai
lelaki. " Kau ingin dahar apa, siocia?" tanya sang budak. "Aku aku lantas sediakan. Di sini kita bisa dapatkan daging babi dan kambing, ayam dan telurnya pun sedia ... "
"Sembarangan saja, asal lekasan sedikit," si nona bilang.
"Habis dahar, aku hendak cari Soat Hou, sebelum ia
didapat, aku tidak mau berlalu dari sini!"
Siu Hiang lantas undurkan diri, untuk siapkan barang
makanan. Ciok toaso telah bikin bakso dan Ciok jieso
keluarkan simpanan telur ayamnya, keduanya repot bekerja di dapur. Maka sebentar kemudian, Siu Hiang bisa
suguhkan nonanya dengan dua tiga rupa barang makanan
yang lezat. Benar sebagaimana katanya, sehabisnya bersantap, Kiau
Liong ambil pedangnya dan pergi keluar. Pada Siu Hiang ia perintah keluarkan sepuluh tail perak, untuk di serahkan terlebih dahulu pada keluarga Ciok. Ia naik kudanya yang ia tldak pakaikan sela lagi, ia menuju langsung ke utara.
Dengan cepat ia telah sampai di tepi kali, hingga, ia bisa lihat airnya yang mengalir deras.
Turun dari kudanya, Kiau Liong lihat bekas ia kemarin
bertempur. Ia punguti panah tangannya, yang masih
bergeletakan di atas rumput, ia lihat ujung golok dan
tombak, tetapi di antara itu, tidak ada satu juga korbannya, yang rupanya semua telah diangkut pergi oleh kawan-kawan mereka.
"Soat Hou, Soat hou ... " demikian si nona memanggil-manggil, suaranya keras tetapi lemah terdengarnya, suatu tanda yang ia ada sangat berduka. Ia memang sibuk karena di sekitar itu ia tak dapatkan kucingnya yang disayang. Ia jalan mundar mandir dengan mata celingukan dan dibuka
lebar-lebar. Dengan tuntun kudanya, Kiau Liong jalan di sepanjang
tepi kali sampai jauh terpisahnya dari jembatan. Ia tadinya mau seberang kali itu dengan nerobos di air, ketika ia lihat dua orang lelaki serta satu bocah umur kira-kira sepuluh tahun yang ada membawa ikan asin yang baunya keras
serta tambang kalakan untuk menangkap kucing, malah
salah satu bocah ada membawa-bawa seekor tikus yang
masih hidup. Nyata mereka ada Ciok toako serta
rombongannya. "Kucing itu sungguh sukar dicari," kata orang she Ciok ini, yang napasnya ada sedikit memburu. "Jangan-jangan dia telah ada yang pungut atau binasa digigit anjing, cuma disini tidak ada bangkainya ... "
Bukan main susah hatinya Kiau Liong, akan dengar itu
keterangan. "Tolong cari, tolong tari terus" ia kota. "Kucing itu berbulu putih mulus, di hidungnya ada satu titik bulu hitam.
Kau panggil namanya yaitu Soat Hou, dia tentu mengerti.
Asal kucing itu bisa didapatkan, aku akan mengusih upah
tigapuluh tail perak." Upah itu ada hebat, Ciok toako jadi bersemangat lagi, sedang itu beberapa bocah pada
berjingkrak. "Mari kita cari terus!" berseru mereka. Dan lantas mereka berteriak-teriak: "Soat Hou, Soat Hou!"
Kiau Liong awasi mereka, ia batal pergi nyeberang, ia


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas jalan pulang. Ia ada sangat berduka, sembari jalan, ia pun masih terus memanggil-manggil kucingnya itu ...
Tetapi hari itu lewat dengan sia-sia, Soat Hou tak dapat dicari. Kedukaannya nona Giok jadi ketambah-tambah.
"Besok ada hari pasar di selatan Cio-kio-tin," kata Siu Hiang.
"Ciok toaso hendak ajak aku pergi ke sana, untuk
sekalian mampir di Pousat Bio, yang katanya lengkham, ia ingin aku ambil ciamsie. Siapa tahu kalau Soat Hou lari
nyeberang dan di sana ada yang pungut" ... "
Mendengar budaknya itu, Kiau Liong berpikir. Ia
sebenarnya kurang percaya segala ramalan, akan tetapi
sekarang, sebagai orang sakit yang tabrak-tubruk segala
macam obat, ia memikir lain.
"Ya kau boleh pergi coba," ia menjawab kemudian. "Dan lihat-lihat dan dengar-dengar di pasar kalau-kalau ada orang yang pungut Soat Hou, aku nanti persen padanya, tetapi
bila ada yang ambil dengan terus tidak mau dipulangkan,
hati-hatilah dia!" Dengan tiba-tiba, nona ini jadi gusar.
"Jangan kuatir, siocia," Siu Hiang menghibur. "Di desaan, orang tidak sebagai di kotaan, di sini orang tidak sanggup piara kucing semacam Soat Hou ... Baik siocia
jangan bersusah hati ... "
"Kalau Soat Hou dapat diketemukan, aku nanti bunuh
padanya!" kata si nona, yang darahnya naik tiba-tiba. "Dia tak berharga, dia melupakan budi orang!"
Meski begitu, toh air mukanya lantas menjadi guram.
Siu Hiang kembali hiburkan nonanya itu.
Besoknya pagi, Siu Hang ikut pergi ke pasar. Ciok jieko
telah pasangkan kerbau pada gerobaknya dan Ciok toako
telah ajak jieso, Ciau Tee dan satu nona tetangga.
Pasar dari Cio-kio-tin selatan ada belasan lie jauhnya, itu ada tempat yang besar juga jalanannya panjang. Karena
kerbau jalannya perlahan, kira-kira jam sepuluh barulah Siu Hiang sampai di sana. Pasar sedang ramainya. Warung
atau loko ada banyak juga, tetapi yang meramaikan adalah mereka yang berjualan menggelar. Orang pun ada banyak,
orang-orang desa, lelaki dan perempuan, yang pakaiannya
macam-macam, cuma meski begitu, tidak ada yang bisa
tandingi Siu Hiang dengan konde Han-nya, kiepau yang
indah dan kakinya yang tidak besar, sedang cahaya
mukanya ada merah dadu, hingga ia lantas saja menarik
perhatiannya penduduk Cio-kio-tin itu.
Ciok toaso dan jieso ketemu beberapa kenalannya, pada
mereka ia omong perihal lenyapnya Soat Hou dan
upahannya bagi siapa yang bisa ketemukan itu kucing.
Keterangan mereka lantas saja menggemparkan seluruh
pasar. "Hayo, siapa mau harta karun?" demikian orang berseru-seru. ' Di Liu-hoo-cun ada yang cari kucing, siapa bisa
antarkan, ia akan dapat persenan tigapuluh tail perak!"
Selagi pasar menjadi gempar, kupingnya Siu Hiang
dengar suara genta.
"Mari kita ambil ciamsie," ia kata pada Ciau Tee.
Nona itu suka diajak pergi ke bio, hanya Ciok toaso dan
jieso, yang menantikan di sebuah warung.
Mereka melalui sebuah gang sampai mereka berada di
tempat di mana ada beberapa rumah, di situ, di sebelah
utara, ada keletakannya Pousat Bio. Di muka pekarangan
ada beberapa pedagang gelar.
"Nona Ciau!" kata satu empe pedagang. "Mau apa nona datang kemari?"
"Mau ambil ciamsie, empe."
"Ambil ciamsie apa" Mau cari mertua nih?"
Mukanya Ciau Tee menjadi merah, dengan roman gusar,
ia hendak ketok empe itu, yang tertawai ia. Siu Hiang pun tertawa. Ia lantas beli hio pada empe itu dan bertindak ke bio.
Di hadapan patung Pousat, Siu Hiang berlutut akan
unjuk hormatnya, dengan sujut ia utarakan maksud
kedatangannya itu ialah mohon pengunjukan tentang Soat
Hou, kemudian pendeta pelayan ambilkan ia bumbung
ciamsie, maka terus saja ia mengocok, sampai sebatang
ciam keluar dan jatuh ke jubin.
Dengan menuruti nomor ciam itu, si pendeta ambilkan
selembar ciamsie, yang memakai tanda "Tiong Hee". Ia anggap tanda itu ada alamat baik juga. Setelah mengasih
persen pada pendeta itu, ia ajak Ciau Tee berlalu, akan cari Ciok toaso dan jieso.
"Mari kita lekas pulang!" ia kata pada mereka.
Di rumah, Kiau Liong sedang periksa uangnya, yang
semua ada uang simpanannya, karena setiap tahun ia dapat persenan dari ayah dan ibunya, terutama ibunya, yang
dengan itu jalan ingin puterinya bisa punya uang simpanan, agar bila nanti anaknya menikah, pergi ke rumah
mertuanya, anak ini ada punya uang sendiri. Maka itu,
melihat itu uang, nona ini berduka.
"Aku telah sia-sia budinya ibu ... " ia mengeluh.
Sedangnya ia berduka, Siu Hiang pulang.
"Siocia, aku dapatkan ciam ini," kata budak itu, seraya terus kasihkan ciamsie yang ia dapat dari bio.
Kiau Liong sambuti ciamsie itu, untuk dibaca:
"Tanya jodoh, inilah tak akan kesampaian, Waletnya di selatan, sarangnya di utara! Tidak ketemu
emas dan api, tak usah tanya, Tetapi ingat cabang yangliu di angin wetan. "
Sebagai keterangan, di bawah itu ada ini catatan:
Pernikahan : Tak ada harapan.
Harta : Tak akan menambah.
Cari orang : di barat-selatan, seribu lie lebih.
Membaca itu, Kiau Liong rasakan tubuhnya panas,
saking mendongkol dan gusar.
"Aku cari kucing, di sini disebut jodoh, ada apakah hubungannya?" pikir ia.
Hampir ia umbar napsu amarahnya, ketika ia ingat lebih
jauh. "Biar bagaimana, bunyinya ciam ada mirip juga dengan hal ikhwal-ku ... " kemudian ia berpikir, hingga ia jadi tenang pula. "Aku memang sayang Soat Hou, tetapi karena
Soat Hou, aku selalu ingat Siau Hou. Ciam bilang, burung di selatan, sarang di utara. Apa ini tidak mirip dengan aku"
Sekarang kita berpisahan, dan aku, dari utara, berangkal ke selatan. Katanya juga emas perlu ketemu api. Emas ada
barat dan api ada selatan, jadi buat cari orang, jurusannya ada barat-selatan. Garis-garis terakhir bermaksud buah
pikiran ... Mustahil kucing itu bisa lari jauh sampai lebih daripada seribu lie lebih" Apa ini bukan berarti selagi aku tanya Soat Hou, jawabannya ada pengunjukan tentang Siau
Hou" Ketika dahulu Siau Hou panah aku, dengan apa ia
coba bikin aku malu, ia terus lari ke jurusan barat-selatan, dan sekarang ciamsie ini ... "
Ia tidak bisa brpikir lebih jauh, ia kertak gigi, mukanya menjadi pucat.
"Apakah aku bisa bertemu pula denganmu" Kau berada
jauh di barat-selatan, di luar dari seribu lie! Jangankan aku memangnya tidak pergi cari kau, umpama kata kau datang
padaku, aku pun tidak bisa pedulikan lagi padamu! ...
Sekarang ini, meskipun aku sedang merantau, terlunta-
lunta, aku masih berkuasa atas diriku, aku masih bisa
berdiri sendiri, aku bisa lakukan segala apa yang baik dan adil, tidak nanti aku memperkosa keadilan atau mengganas harta orang. Kau adalah berandal yang tak mampu
mengubah diri, cara bagaimana aku bisa hidup berkumpul
lagi dengan kau?"
Kapan ia memikii demikian, dalam sengitnya, Kiau
Liong robek ciansie dan genggam itu di tangannya.
Siu Hiang kaget, sampai mukanya pucat.
"Kau kenapa, siocia?" Ia tanya, separuh menegur.
"Andaikata bunyinya ciam tidak cocok, kau masih harus ingat bahwa ciamsie itu kita mohon dari Pousat, maka
janganlah kau robek ... "
Kiau Liong menggoyang kepala. Wajahnya dari merah
padam, menjadi pucat dan lesu, hingga nampaknya ia harus dikasihani. Ia serahkan sobekan ciamsie pada budaknya dan ia jatuhkan dirinya ke atas pembaringan.
Siu hiang menghela napas, ia tidak berani banyak
omong. Berselang belum terlalu lama, di luar ada terdengar suara berisik dan nyata sekali di antaranya ada teriakan: "Kucing telah didapatkan!"
Siu Hiang kaget tetapi ia segera lari keluar. Ia lalu
dapatkan seorang perempuan desa, umurnya setengah tua,
yang pakaiannya rombeng, adalah yang terbitkan suara
berisik itu. "Tadi suamiku pungut kotoran di tengah jalan," berkata nyonya itu, "ia dapat lihat itu kucing, yang katanya sudah dipungut oleh tukang kereta yang memuat minyak, yang
telah melanjutkan perjalanannya ke arah selatan, boleh jadi tujuannya ada Lamkiong atau Kieciu. Kalau sekarang
kereta itu lantas disusul, barangkali ia masih bisa dicandak.
Siu Hiang lantas mementang pintu, akan melongok ke
kamar nonanya, siapa sedang turun dari pembaringan.
"Kau dengar," ia berkata, "ada orang yang lihat kucing itu dipungut oleh tukang kereta dan dibawa ke Lamkiong
atau ke Kieciu!"
"Aku nanti segera menyusul!" berseru Kiau Liong.
"Kalau nanti aku sudah dapatkan itu kucing, baru aku nanti kasihkan persenannya!"
Ia sambar cambuknya dan lari keluar, tetapi baru
melewati pintu, ia sudah merandek akan kembali ke dalam, pintunya ia rapatkan di belakangnya.
"Kasihlah tromol perhiasan padaku'" ia kata pada budaknya.
Siu Hiang tidak mengerti maksudnya si nona, ia buka
pauhoknya dan ambil itu teromol atau peti kecil, buat
diserahi pada Kiau Liong.
Di kolong pembaringan ada lubang peranti mengisi
arang, yang arangnya dibutuhkan setiap musim dingin,
supaya kapan arang itu dibakar, hawa di kamar menjadi
hangat. Sekarang peti berharga itu, Kiau Liong masukkan
ke dalam lobang itu dan ia dorong masuk lebih jauh dengan ujung pedangnya, setelah selesai, baru ia berbangkit.
"Disimpan di sini ada terlebih baik," ia berbisik pada budaknya. "Kau hanya harus berlaku hati-hati saja. Aku akan susul si tukang kereta minyak, barangkali aku tidak bisa kembali dalam dua tiga hari ini. Umpama kata ada
penjahat datang kemari, ia boleh ambil segala apa, asal
jangan barang perhiasanku ini. Sebegitu lama aku belum
kembali, meski apa pun akan terjadi, jangan kau berlalu
dari sini. Ingat, di sini kau jangan sembarangan bicara pada segala orang!"
Siu Hiang manggut tetapi tubuhnya bergemetaran. Kiau
Liong lantas ambil beberapa potong emas dan setali perak
hancur, yang ia simpan dalam sakunya, kemudian dengan
bawa pedangnya, ia bertindak dengan cepat keluar
pekarangan, akan ambil kudanya. Ia siapkan kudanya
secara cepat sekali, hingga sebentar kemudian ia sudah
tuntun kuda itu keluar pekarangan dan loncat naik atas
kudanya itu Ciok toako dan isterinya serta yang lain-lain ikut keluar.
Semua mereka merasa heran dan kagum buat sikapnya si
nona ini. Ciok toako sudah lantas menunjuk ke jurusan
selatan: "Sekeluarnya dari kampung ini menuju ke barat adalah jalan besar," kata ia dengan pengunjukannya.
Dan si nyonya pembawa kabar pun terus berkata:
"Kereta minyak itu dikendarai oleh dua orang. Kucing itu mereka tangkap terus dimasukkan ke dalam keranjang
minyak. Tadi pagi suamiku telah mendapat lihat dengan
nyata sekali."
Kiau Liong manggut, lantas ia cambuk kudanya, akan
dikasih lari, keluar dari kampung.
Nona Giok dandan sebagai satu pemuda. Ia pakai baju
hijau daun dengan ikat pinggang putih, ujung bajunya
ditekuk sebatas ikat pinggang itu, hingga ia seperti memakai baju pendek. Celananya ada biru tua. Romannya yang
cakap nampaknya tambah gagah dengan pedangnya di
tangannya. Ia kasih kudanya lari dengan kencang, tetapi di mana perlu, ia tahan itu akan minta keterangan pada
sesuatu orang, baik di tengah jalan maupun di
perkampungan, hingga ia menarik perhatiannya banyak
orang. Hawa udara itu waktu ada panas, lekas juga Kiau Liong
telah berkeringatan, hingga ia mesti gunakan saputangan
akan susuti mukanya, hanya keringat sering kali keluar
pula. Maka di satu dusun yang besar, ia lantas beli satu
tudung rumput yang besar, yang ia terus pakai, hingga ia jadi semakin mirip dengan seorang lelaki.
Kira-kira magrib, nona ini telah sampai di Kielok, di
sebuah dusun. Lantas saja ia tanya-tanya orang, apa ada
yang lihat lewatnya sebuah kereta, yang menarik muatan
minyak. Dua tiga orang yang ditanya menjawab dengan
menggeleng kepala, tetapi satu bocah segera menyahuti
sambil tangannya menunjuk: "Di timur sana, di rumah penginapan Phe Kee Tiam, barusan ada masuk dua buah
kereta minyak!"
Dengan tidak menanya melit lagi, Kiau Liong larikan
kudanya ke arah timur, menuruti pengunjukannya bocah
itu. Dengan lekas ia sampai di rumah penginapan yang
disebutkan, yang gampang dikenali dari mereknya yang
digantung di depan pintu. Di situ pun ada pemberitahuan
bahwa orang pun bisa beli barang makanan.
Itu ada satu rumah penginapan yang kecil, melainkan
ada satu ruangannya yang besar, tetapi di situ telah
kedapatan sejumlah orang dengan suaranya yang berisik. Di dalam pekarangan ada sebuah kereta yang di atasnya ada
bersusun keranjang minyak.
Kiau Liong lantas turun dari kudanya, yang ia tambat
pada satu pelatok. Dengan bawa pedangnya, dengan
tudungnya ia jatuhkan ke belakang kepalanya ia bertindak masuk ke dalam pekarangan. Sekejap saja ia bikin suara
berisik menjadi sirap, karena semua orang mengawasi ia
dengan agaknya merasa heran.
Dengan matanya yang jeli, Kiau Liong memandang
keempat penjuru. Di kiri ada dapur, di situ tuan rumah
sedang matangi mie, nyonyanya yang tua, yang empo anak,
sedang menarik kipas angin. Di sebelah kanan ada satu
pembaringan yang besar, di situ ada rebah atau duduk kira-kira tigapuluh orang, ada yang sedang sedot hun-cwee, ada yang lagi pasang omong. Semua mereka ini mengawasi si
nona, yang di mata mereka ada satu pemuda.
Kiau Liong hampirkan kereta minyak, pedangnya
dipakai menepuk sebuah keranjang.
"Kereta ini siapa yang punya?" ia tanya.
"Itu adalah kereta kita," menyahut dua orang, yang duduk di atas pembaringan. "Ada apa?"
Kiau Liong tarik pulang pedangnya, ia memandang dua
orang itu, yang satu ada terbuka kancing bajunya, yang
satunya tidak memakai baju sama sekali. Dan semua
mereka ada berlepotan minyak. Yang telanjang itu sedang
susuti tubuhnya dengan sepotong baju biru.
"Katanya kau ada pungut seekor kucing di jalan besar di utara jembatan?"
"Apa, kucing" Bulunya pun tidak!" sahut orang yang sedang seka badannya itu.
"Kucing itu berbulu putih dengan pitak hitam di
hidungnya!"
Seorang di sampingnya si tukang minyak menyahuti: "Di
hidungku benar ada satu titik hitam, juga di pundakku. Aku ada satu kuli tukang manggul arang!"
Sembari kata begitu, orang itu bersikap jenaka.
"Ada orang beritahukan aku bahwa kucingku itu adalah kau yang pungut, maka itu aku menyusul kemari," ia
berkata pula. "Baiklah kau lekas kembalikan kucing itu padaku, nanti aku kasih persen uang perak sebagai
tebusan!" "Aku ada punya seekor kucing, coba lihat itu ada
kepunyaanmu atau bukan ... " kata seorang lain.
"Di mana adanya kucing itu" Mari kasih aku lihat!"
Itu orang lantas saja angkat sebelah kakinya yang hitam
legam berlepotan kotoran tanah, sambil goyang-goyang
kaki itu, mulutnya pun bersuara meniru bunyinya kucing.,..
Atas ini, banyak orang lantas pada tertawa berkakakan.
Selagi orang ini goyang-goyang terus kakinya dengan
merasa sangat puas, mendadakan ada berkelebat satu sinar kilat, menyusul mana ia segera keluarkan jeritan yang
hebat! Kiau Liong tidak babat kaki orang itu, tetapi satu
sampokan dari pedangnya sudah cukup akan bikin orang itu terkuing-kuing sambil pegangi kakinya itu.
"Lekas bayar kucingku!" Kiau Liong segera mengancam.
"Kalau tidak ... "
Ia menusuk satu keranjang minyak, yang masih ada
isinya, maka minyak lantas saja ngocor keluar ...
Kedua tukang minyak menjadi kaget, lekas-lekas mereka
mencegah, "Eh, kenapa kau begini jail?" mereka menegur. "Mana kucing bisa disembunyikan di dalam tahang minyak" Hayo
ganti minyakku itu!"
Kiau Liong angkat sebelah kakinya, bikin terpelanting
orang yang berada di depannya.
Tukang minyak yang satunya segera menubruk,
menyekal tangan orang itu buat merampas pedang, akan
tetapi satu totokan dari si nona bikin ia rubuh terguling.
Oleh karena ini kejadian, semua orang jadi kaget dan
suara mereka jadi sangat berisik.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soat Hou! Soat Hou!" memanggil Kiau Liong pada kucingnya, sedang dengan ujung pedangnya, ia tusuk-tusuk pula beberapa keranjang lain, hingga minyaknya semua
ngocor keluar, "Bangsat! Bangsat!" berteriak-teriak kedua tukang
minyak sambil mereka masih rebah di tanah.
Tuan rumah dalam ketakutannya lari keluar sambil
berteriak-teriak memanggil polisi, sedang isterinya, sambil pondong si bocah, ikut lari keluar juga.
Semua orang di dalam rumah lari serabutan keluar,
sedang mereka, yang tadi berada di luar, berkerumunan di muka pekarangan buat menonton.
Kiau Liong mengerti bahwa kucingnya pasti tidak ada di
situ, sedang ia telah terbitkan onar, maka lantas saja ia bertindak keluar. Karena ia ada membawa pedang, semua
orang ketakutan, semua lekas-lekas menyingkir akan
membuka jalan. Ia samperi kudanya, ia loncat naik ke
atasnya yang ia segera cambuki buat dikasih lari.
Berbareng dengan itu ada terdengar teriakan: "Lekas turun!"
Bahna heran, Kiau Liong menoleh, ke jurusan dari mana
bentakan itu datang, maka segera ia lihat Lie Bou Pek, yang sedang membuka jalan di antara orang banyak, menuju ke
jurusannya. Tidak tempo lagi, ia teruskan cambuk kudanya, kasih kudanya lompat dan lari, sedang orang banyak ia usir dengan cambuknya di bulang-balingkan ke kiri dan ke
kanan, hingga sebentar saja ia sudah kabur jauh ke jurusan selatan, akan keluar dari dusun ini.
"Berhenti! Ke mana kau hendak kabur! Murid dari Kiuhoa San tak bisa ijinkan kau begini galak tidak keruan!
Pedangku juga bukannya itu pedang yang kau boleh
sembarangan pakai mengganggu orang-orang tidak berdaya!
Lekas lepaskan pedang itu! Kau dengar aku, jikalau tidak, aku nanti tidak pedulikan kau ada seorang lelaki atau
seorang perempuan!"
Itu adalah suaranya Lie Bou Pek, yang telah mengejar.
Kiau Liong dengar suara itu, ia putar tubuhnya, ia
lepaskan panahnya. Tetapi panah itu kena disanggapi oleh si orang she Lie, kuda siapa segera dibedal untuk bisa
menyandak. Dan ia berhasil oleh karena kudanya bisa lari lebih pesat.
Kembali Kiau Liong putar tubuhnya, sekarang sambil
geraki pedangnya ia menikam. Ia telah membarengi ketika
pihak lawan telah datang dekat.
Bou Pek tidak bersenjata, tetapi dengan egos diri ia bisa berkelit dari tikaman itu, lalu ia menyambar untuk rampas pedang.
Kiau Liong tarik pulang pedangnya seraya tahan
kudanya untuk dikasih mundur. Ia memikir untuk kabur
pula. Apa mau, pemuda itu telah lintangkan kudanya,
menghalaukan. Dengan terpaksa Kiau Liong turun dari kudanya.
Pemuda itu tidak mau sudah dengan begitu saja, ia pun
loncat turun akan mengejar.
Melihat orang loncat turun, Kiau Liong segera sambut
dengan tikamannya. Ini ada serangan yang berbahaya,
dilakukannya pun dengan hebat. Tetapi orang yang
diserang ada gesit luar biasa, ia telah bisa berkelit dari tikaman itu.
Bukan main sengitnya si nona Giok.
"Lie Bou Pek!" ia berseru. "Apa kau sangka aku takut padamu?"
Lagi-lagi, dengan kemendongkolannya Kiau Liong
menyerang pula. Ia putar pedangnya sampai berkilau-kilau, akan kemudian ujung pedang menyambar lawan.
Bou Pek berkelit pula, karena ia tetap tidak memegang
senjata. Dan ketika si nona rangsek ia, ia terus main egos diri, ke kiri, ke kanan dan ke belakang. Ia menyingkir
dengan imbangi serangan.
Rangsekannya Kiau Liong ada hebat, serangannya pun
sebat. Sedikit juga si nona tidak mau memberi ketika.
Tetapi, di depan ia adalah lawanan yang gerakannya gesit dan enteng seperti berterbangannya seekor burung hoo.
Tubuh yang gesit itu tidak pernah bisa di dekati oleh ujung pedang, baik tikaman maupun babatan.
Satu kali Kiau Liong menikam, tetapi sekali ini Bou Pek
tidak lompat mundur atau ke samping, ia melainkan egos
sedikit tubuhnya, mengasih pedang lewat di sisi iganya,
berbareng dengan itu, sebelah tangannya diulur ke depan, dua jerijinya mengancam tenggorokan, sedang tangan Kiau
Liong yang menyekal pedang itu ia tekan dengan tangan
yang lainnya. Bukan main kagetnya Kiau Liong. Celakalah ia apabila
ia terkena serangan itu. Maka lekas sekali ia lompat
mundur, dari situ ia loncat ke samping, akan samperi
kudanya. Ia berniat loncat naik ke kudanya dan niat kabur lagi. Ia rupanya telah kewalahan melayani ini anak muda
itu. Bou Pek mengejar pula.
"Kau ada punya bugee yang liehay, maka kalau kau
dibantu oleh ini pedang mustika dan main gila, inilah
hebat!" kata Lie Bou Pek, yang peringatkan nona itu. "Kau mesti dicegah untuk berbuat sewenang-wenang!"
"Kau katakan aku sewenang-wenang, kau sendiri orang busuk!" berseru nona Giok.
"Apabila kau bukannya seorang perempuan, siang-siang aku sudah bikin kau tunduk!" Bou Pek kata pula.
"Cis jumawa!" berseru si nona, dengan hinaannya.
Saking sengit, ia maju pula dengan serangannya.
Bou Pek berkelit, akan kasih senjata melewati tubuhnya
sesudah itu, ia bangun pula, akan cekal lengan orang untuk merampas pedangnya.
Cepat sekali, Kiau Liong tarik pulang pedangnya. Tapi
justru ia lindungi pedangnya, ia tidak menyangka pada
orang maka dengan satu dupakan, ia kena dibikin terpental, sia-sia ia mencoba pertahankan diri, tidak urung ketika
kakinya injak tanah, ia terus rubuh terpelanting, sampai tudungnya ketindihan dan gepeng.
Bou Pek lompat maju, rupanya buat mendesak.
Kiau Liong lihat orang susul ia, ia tidak dapat ketika
untuk loncat bangun, maka itu, sekalian jatuh, ia gulingkan tubuhnya beberapa kali, sampai ia bisa jauhkan diri.
Bou Pek belum mau sudah, dengan berloncat menyusul
terus, ketika ia bisa datang dekat, ia berbongkok untuk
tekan nona itu. Akan tetapi sekarang ini si nona sudah
bersiap, ketika pemuda itu sampai, ia menikam sambil
berbangkit bangun.
Bou Pek terperanjat dan loncat mundur.
Sekarang si nona tidak mau mengasih ketika, ia pun
lompat mengejar, pedangnya dipakai menusuk atau
menyabet. Ia mendesak pula. Sesudah beberapa tikaman
sia-sia, ia membacok, dari atas ke bawah.
Bou Pek berkelit, tubuhnya seperti terhilang dari
pemandangan mata.
Kiau Liong terperanjat, selagi ia hendak celingukan,
tahu-tahu ia rasakan lengannya tercekal keras, sampai
merasakan sakit, hingga pedangnya lantas terlepas dan
jatuh ke sampingnya. Tapi ia segera mengerti bahwa musuh berada di sisinya, maka sambil berontak, ia angkat kakinya mendupak.
Bou Pek jaga dupakan orang, tangannya dipakai menarik
keras, akan bikin ngusruk si nona, yang ia hendak bikin jadi tidak berdaya.
Kiau Liong benar-benar liehay. Waktu tubuhnya hendak
rubuh terpelanting, ia tidak pertahankan diri, malah ia
teruskan menjatuhkan diri, hingga ia jatuh tidak terbanting.
Ia pun rubuh tepat di atas pedangnya, maka waktu ia
gulingkan tubuh buat menyingkir, Ceng-beng-kiam kembali
berada di tangannya!
Sia-sia saja Bou Pek menendang, nona itu telah
mendahului kesebatannya.
Sambil loncat bangun, Kiau Liong berdiri mengawasi
anak muda itu. Ia telah kasih lihat senyuman menyindir.
Bou Pek mundur satu tindak, ia manggut-manggut.
"Bugee-mu benar-benar sempurna!" kata ia. "Aku lihat gerak-gerakanmu sama dengan gerak-gerakanku, pasti
sekali kita berasal dari satu ilmu pelajaran, maka justru kau ada seorang perempuan, aku tidak berniat berlaku
keterlaluan terhadapmu. Sekarang baiklah kau bicara terus terang padaku, kau sebenarnya ada murid siapa ... "
"Tidak usah kau tanya!" sahut Kiau Liong dengan ketus, dan napasnya memburu. "Tidak nanti aku mau beritahukan
padamu! Sekalipun pada Jie Siu Lian, aku telah tidak mau beritahukan tentang guruku!"
Bou Pek mendongkol mendengar jawaban itu, hingga air
mukanya jadi guram.
Kiau Liong segera bertindak mundur, tetapi pedangnya
siap terus dan matanya dibuka lebar-lebar. Dan ia mundur terus, karena berniat lari ke kudanya guna kabur.
Lie Bou Pek juga mundur, hanya mundur buat terus
loncat ke kudanya, guna sambar pedangnya, setelah hunus
itu, ia lari kepada si nona.
Kiau Liong tidak dapat ketika akan lari ke kudanya,
maka terpaksa ia hadapi pula anak muda itu. Ia sudah
lantas pikir buat tabas kutung pedang orang, ia menunggu.
Bou Pek sampai dengan cepat, lantas saja ia menyerang.
Kiau Liong gerakkan pedangnya menangkis, guna
wujudkan apa yang ia pikir. Akan tetapi sekali ini, Bou Pek berlaku
sebat luar biasa. Ketika
pedang mustika menyambar, ia tarik pulang pedangnya, buat terus dipakai menusuk pula, berulang-ulang. Dengan jalan ini ia bikin si nona repot, repot menangkis sambil mundur-mundur,
karena percuma ia membabat, pedang musuh dipakai
menikam dan ditarik pulang sebat laksana kilat berkelebatan. Dalam sibuknya, nona Giok masih bisa berkelit ke
samping, dari mana ia kembali menabas. Tangannya turun
dari atas ke bawah.
Bou Pek berkelit buat itu bacokan yang berbahaya, justru tangannya Kiau Liong turun, belakang pedangnya
menimpa bahu Kiau Liong.
Kiau Liong merasakan sakit sangat pada tangannya
selagi begitu, pedang berkelebat pula, hingga ia jadi kaget dan perlu loncat mundur. Ia pun berniat putar tangannya
buat dipakai menyerang pula. Akan tetapi kali ini ia gagal.
Selagi memutar tangan, lengannya kena ditekan dan tahu-
tahu pedangnya telah kena dirampas. Ia tidak bisa
menyekal keras, karena sampai waktu itu tangannya masih
dirasakan sakit.
Selelah mendapat pedang, Bou Pek lompat mundur
sampai jauh. "Kembalikan pedangku!" berteriak si nona seraya loncat maju. "Lekas kembalikan pedangku!"
Selagi orang merangsek, Bou Pek ayun pedangnya. Ia
sekarang menyekal pedang di kiri dan kanan dan kedua
pedangnya itu ia ayun berbareng.
Tetapi Kiau Liong sudah jadi kalap, dengan tidak
pedulikan ancaman pedang, ia merangsek terus, seperti tak hiraukan senjata tajam,
"Kembalikan pedangku!" ia berseru pula secara nekat.
Menampak sikap orang itu Bou Pek buru-buru tarik
pulang kedua pedangnya, ia lompat dan lari ke kudanya
akan terus loncat naik atas kudanya itu.
"Kembalikan! ... Kembalikan pedangku!" si nona berteriak-teriak pula, sambil memburu.
Bou Pek keprak kudanya dikasih lari, setelah itu ia
menoleh. Ia pegang dua pedang di sebelah tangan dan
sebelah tangannya yang lain memegang cambuk.
"Aku tidak bisa bikin kau celaka!" ia berkata. "Aku harus hargakan kau sebagai seorang dari satu golongan. Tapi
sekarang aku pergi untuk cari keterangan tentang dirimu, sesudah itu, barangkali aku nanti cari kau untuk berikan hajaran padamu! Pedang ini tak bisa dikasih kembali
padamu! Ingat olehmu, jikalau kau tidak ubah kelakuanmu
dan kemudian ketemu pula padaku, kau tidak akan dapat
ampun!" Kiau Liong panas bukan main, maka lagi-lagi ia gunakan
panahnya yang liehay
Terhadap murid dari Kiu-hoa San, panah tangan itu
tidak ada harganya. Dengan mudah agaknya Bou Pek
sampok anak panah sampai terpental jatuh ke tanah, setelah mana ia kaburkan kudanya, ke jurusan selatan.
Kiau Liong penasaran, ia tidak mau sudah dengan begitu
saja. Dengan tak punya pedang, ia tak menjadi takut. Ia lari kepada kudanya, yang ia kasih larat buat mengejar. Iapun sering kali lepaskan panahnya, tetapi semua itu tidak
mengenai pada sasarannya.
Bou Pek kabur terus, kadang-kadang saja ia berpaling ke
belakang. Kiau liong mengejar terus, cuma, buat kemendongkolannya, ia bukannya dapat menyandak,
sebaliknya kenyataan ia ketinggalan semakin jauh dan
semakin jauh di belakang. Ia baru putus asa ketika
kemudian ia tak tampak lagi bayangannya si anak muda,
yang telah bawa kabur pedangnya ...
Angin sore telah mulai meniup-niup, kecuali suara angin, sekitarnya ada sunyi.
Kiau Liong ada sangat mendongkol, ia sekarang
bertangan kosong, tubuhnya mandi keringat, napasnya
memburu keras. Ia hampir menangis tetapi ia segera kertak gigi. Ia tak pedulikan pakaiannya, yang penuh debu. Ia
keprak kudanya akan mengejar pula.
"Jikalau aku tidak dapat candak Lie Bou Pek dan rampas
pedangnya, lebih baik aku mati saja! ... " demikian ia kata dalam hatinya.
Kuda lari terus, tidak peduli cuaca telah mulai berubah.
Tujuan ada langsung selatan. Satu dusun kecil telah
dilewati. Sesudah lari lagi satu lie lebih, di langit sudah mulai tertampak cahaya rembulan dan bintang. Di
sekitarnya, jagat telah mulai menjadi gelap. Api, dari rumah atau kampung, tidak ada tertampak. Tidak ada suara
manusia, tidak ada gonggongannya anjing.
Mau atau tidak, Kiau Liong tahan kudanya.
"Lie Bou Pek ada seorang gagah, ia telah dapatkan
pedangku, tidak nanti ia pergi jauh," begitu ia berpikir.
"Jangan-jangan ia telah singgah di dusun yang tadi aku lewati. Dia tentunya sangat licin, ia mestinya bisa menduga yang aku pasti akan kejar terus padanya. Mustahil ia kabur terus-terusan di antara gelap gulita ini. Tapi, biar
bagaimana, aku toh mesti bisa susul padanya ..."
Ia putar kudanya, yang ia kasih lari balik. tidak
menggunai banyak waktu, akan sampai di dusun yang tadi.
Di situ cuma ada kira-kira duapuluh warung atau toko. Ia percaya di situ tidak akan ada banyak rumah penginapan.
Ia samperi satu rumah yang pintunya dikunci. Ia tidak
lantas mengetok, hanya ia mengintip di pintu. Maka itu ia bisa melihat ke dalam Keadaan ruangan mirip dengan
rumah di mana tadi siang ia mengamuk.
"Aku numpang tanya," demikian suaranya yang
pertama, "apa di sini ada menumpang seorang yang tadi
datang kemari dengan menunggang kuda" Dia sampai
belum lama ... "
Suara di dalam sebenarnya ada berisik, tetapi kapan
mereka dengar suara itu, yang tajam sebagai suara orang
perempuan, semua menjadi sirap.
Dengan sebelah tangan menuntun kudanya, Kiau Liong
terus mengintip ke dalam. Agaknya orang telah bergerak
sana dan sini. Ia tidak bisa melihat nyata. Ia telah dapat cium bau tak sedap dari dalam, hingga ia lekas-lekas tekap hidungnya dengan sapu tangan.
"Apa suaranya orang perempuan?" demikian ada suara menduga.
"Jangan-jangan suaranya satu bocah!" kata yang lain.
"Peduli apa padanya! Tuan rumah, tolong kasih tahu bahwa di sini tidak ada penunggang kuda, ada juga penunggang
kepiting! Suruh dia lekas pergi, jangan dia bikin berisik di sini, suaranya itu sungguh tak enak didengarnya! ... "
Setelah itu, daun pintu dibuka sedikit, oleh satu tetamu yang tak memakai baju dan tak memakai sepatu juga. Ia
nongol di mulut pintu dengan perdengarkan suaranya yang
serak: "Tidak ada! Di sini tidak ada orang yang
menunggang kuda, ada juga yang menunggang kepiting!"
Kiau Liong jadi mendongkol, hingga ia tendang daun
pintu. "Eh, bocah!, Oh, adikku! Apakah kau bikin?" demikian satu suara, yang rupanya gusar. "Jangan kau tendang pintunya kakek moyangmu!"
Kiau Liong mendongkol, ia hendak gunakan panahnya,
tetapi daun pintu segera tertutup, maka terpaksa ia tuntun kudanya pergi ke lain rumah penginapan. Di sini ia
dapatkan sebuah hotel yang terbesar. Ia pun dapatkan
pegawai hotel yang manis penyambutannya. Ia dapatkan
istal di mana ada dua ekor keledai dan tidak ada seekor
kuda juga, hingga ia melengak.
"Apakah tuan cari orang?" tanya si jongos. "Di sebelah sana ada Cu Kee Tiam, coba tuan pergi dan menanya ke
sana." Nona ini manggut seraya mengucap terima kasih, ketika
ia bertindak, hatinya ada panas. Ia pergi ke hotel yang


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditunjuk. "Apa tuan cari orang?" tanya jongos yang menyambut ia.
Ia tidak menjawab, hanya ia terus bertindak ke istal di mana ia lihat lima ekor kuda, di antaranya ada si kuda putih
binatang tunggangannya Lie Bou Pek. Ia awaskan kuda itu
dipunggung siapa tidak ada pauhok-nya dan tidak ada
pedangnya juga.
Si jongos, yang mengikuti, sudah lantas menyambuti
kuda. "Toaya datang dari mana?" ia bertanya.
"Dari Pooteng," sahut Kiau Liong dengan perlahan. "Di mana kawannya orang yang punyai kuda putih ini?"
Jongos itu menunjuk ke sebelah barat.
"Di situ, di itu kamar kecil," ia memberi tahu. "Apa toaya datang bersama-sama tuan itu?"
Tetapi jawabannya nona kita ada ketus, matanya pun
melotot. "Jangan banyak mulut!"
Jongos itu kaget, sampai ia tercengang.
Kiau Liong menunggu sampai jongos itu telah tambat
kudanya, ia minta supaya disediakan kamar, untuk
sendirian saja. Habis kata begitu, ia melirik ke kamar barat itu di mana ia tampak tak ada cahaya api.
Jongos itu telah kasihkan satu kamar utara kepada
tetamunya. Kiau Liong masuk dengan cepat ke dalam
kamarnya itu. Si jongos pergi sebentar akan ambil api, ialah lampu minyak, yang lantas digantung di tembok.
Dengan sengaja, Kiau Liong berdiri menghadapi
tembok. "Tuan ingin dahar apa?"
"Tidak, aku sudah dahar."
"Bagaimana kalau aku sediakan air teh?"
Kiau Liong tidak menjawab, ia hanya manggut. Ketika
jongos itu hendak berlalu, ia kata: "Ambilkan aku api, api buat sulut hun-cwee!"
Jongos itu menyahuti seraya terus berlalu.
Kiau Liong turunkan tudungnya, ia pasang kuping, ia
ingin dengar suara apa-apa dari kamar barat tetapi ia tidak dengar apa juga, hanya di kamar lain, orang sedang bicara dengan asyik, urusan dagangan. Dari istal terdengar suara bergedukannya kaki kuda. Dari sebelah depan ada
terdengar suara orang menimba air.
Masih saja Kiau Liong mendongkol, lama rasanya ia
mesti menunggu ketika jongos muncul pula dengan teh,
coa-lian dan batu api.
"Apa tuan perlu kasur dan selimut?" jongos itu tanya.
Sebagai jawaban, si nona dalam penyamaran goyang
kepala, maka jongos itu lantas berlalu.
Dengan lantas Kiau Liong rapatkan pintu. Ia menoleh ke
pembaringan, ia dapatkan sepotong tikar dan dua potong
batu bata. Mana ia bisa tidur di atas pembaringan semacam itu"
Ia pun bingung, karena ia tidak punya senjata. Ia ada
punya panah tangan, ketika dihitung, panahnya itu tinggal enam batang. Karena menghitung panah ini, ia jadi ingat
Lo Siau Hou. Segera segala rupa pikiran datang mengaduk
menjadi satu. Ia berduka, rindu, ia ingat ayah dan ibunya.
Setiap kali ingat Bou Pek, hatinya jadi panas.
Akhir-akhirnya ia berbangkit dan padamkan api. Ia
lempar tudungnya ke atas pembaringan. Dengan hati-hati ia tarik pintunya dan berundak keluar. Ia berdiri di depan
payon dengan tidak kasih dengar suara apa juga. Ia juga
tidak dengar suara lilinnya kecuali roda untuk timba air.
Semua tetangga sudah tidur, api mereka dibikin padam.
Dari istal juga tidak ada suara kuda berbenger atau
bergedukan. Malah jongos juga tidak ada yang mundar-
mandir. Dari kejauhan, ada terdengar suara kentongan dari si
tukang ronda, tiga kali.
Di langit ada sisa rembulan serta bintang yang berkelak-
kelik, awan hitam lewat dengan perlahan-lahan, kadang-
kadang mengalingi bintang.
Sebaliknya, angin musim Cun ada hangat.
Kiau Liong gulung tangan bajunya, ia bawa bahan api,
dengan hati-hati ia bertindak ke kamarnya Bou Pek, baru
saja ia sampai di depan pintu, dari dalam kamar ia segera dengar teguran:
"Jikalau kau masih tidak mau menyesal dan ubah
sikapmu, awas, aku nanti tidak pedulikan lagi bahwa kau
ada dari satu golongan dengan aku, tidak peduli kau ada
orang lelaki atau perempuan! Aku tak akan sudi mengasih
ampun lagi padamu!"
Kiau Liong terkejut, sampai ia loncat mundur dan terus
jongkok. Tidak ada orang yang memburu keluar, tetapi suaranya
Bou Pek terdengar pula:
"Sekarang aku sudah lihat nyata, bugee-mu, mestinya ada hubungannya dengan Ah Hiap, tetapi karena kau ada
seorang perempuan, aku tidak mau paksa pada kau! Aku
peringatkan padamu, bugee-mu masih jauh daripada
sempurna, maka jangan kau paksakan bertingkah! Pedang
telah terjatuh ke dalam tanganku, baik kau jangan harap
akan bisa dapatkan itu pula! Aku juga tidak berniat
membunuh kau ... Hanya bila kau lakukan kejahatan dan
merusak namanya Kiu-hoa San, lantas aku tidak akan
menaruh kasihan dan memandang-mandang lagi!"
Kiau Liong terus bungkam, dan terus jongkok sambil
pasang matanya ke arah pintu.
Justru itu dari kamar utara ada satu tetamu yang
membuka pintu dan keluar, rupanya ia itu hendak pergi ke belakang.
Melihat orang itu, Kiau Liong loncat naik ke atas
genteng, dari mana ia putar tubuhnya dan ayun tangannya, menyusul mana tetamu itu menjerit dan rubuh, karena
sebatang panah telah mengenai tubuhnya.
"Ada orang jahat, ada orang jahat! Aduh! Ia telah panah aku, kempolanku ... Aduh, aduh! ... "
Bou Pek dengar suara itu, ia gusar bukan main.
"Manusia jahat, apa kau inginkan aku bunuh padamu?"
ia berseru. Dengan terpentangnya daun pintu, pemuda itu loncat
keluar dengan pedang di tangan, hingga ia bisa lihat, tetamu yang terkena panah masih saja kekoseran ...
Justru Bou Pek loncat keluar, Kiau Liong loncat turun
dari genteng, akan lari masuk ke dalam kamar orang, yang pintunya ia terus kunci.
Bou Pek lihat orang loncat, ia memburu, tapi
ketinggalan. Di dalam kamar, Kiau Liong sudah lantas nyalakan api,
akan periksa isinya kamar itu. Ia tidak lihat apa-apa, kecuali selembar tikar di atas pembaringan, maka tikar itu ia
singkap. Di bawah situ ia dapatkan sebatang pedang, ialah pedangnya Bou Pek, bukannya Cengbeng-kiam.
Di luar telah terdengar suara berisik, karena lain-lain
tetamu telah terbangun dari tidurnya begitupun pihak tuan rumah dan jongos-jongosnya.
Bou Pek telah gedor pintu kamarnya.
"Keluar!" ia berseru. "Orang jahat sebagai kau tidak bisa diantap lebih lama!"
Kiau Liong tahu yang ia tidak bisa berdiam terus di
dalam kamar, maka ia sambar pedangnya Bou Pek, ia buka
pintu dengan mendadakan dan lompat keluar.
Bou Pek lihat orang berlompat, ia menyerang.
Dengan pedang di tangan, Kiau Liong menangkis,
hingga kedua senjata beradu, tapi begitu beradu, pedangnya terpapas kutung, hingga tinggal sepotong saja dengan
gagangnya. Toh ia tidak buang pedang buntung ini, ia terus loncat balik, akan masuk pula ke dalam kamar. Sebelumnya kunci pintu, ia sembat kursi, yang ia terus lemparkan
keluar, hingga dengan begitu ia bisa halangi Bou Pek, yang mau susul ia.
Pemuda itu jadi bertambah mendongkol.
"Kau keluar!" ia berseru.
Kiau Liong tidak mempedulikan, malah ia menimpuk
pula dengan dua batang panah. Kemudian, dalam
mendongkolnya, ia nyatakan api dan sulut tikar di atas
pembaringan, hingga tikar itu lantas saja menyala dan
berkobar. "Lekas air!" berteriak Bou Pek, yang pertama lihat api. Ia sendiri tidak bergeming, ia mau tunggu keluarnya si nona.
Tetapi nona Giok tidak berani keluar, ia terus berdiam di dalam, meskipun asap sudah lintas melulahan ke seluruh
kamar, sedang api sudah mulai menyambar ke jendela, ke
kertas jendela. Pun ada api yang hendak menjilat bajunya nona itu.
Bahna kaget, Kiau Liong loncat ke tembok di mana ia
senderkan diri. Ia mulai batuk-batuk, karena asap telah
bikin matanya perih dan lehernya gatal ... Ia jadi lebih kaget kapan api menjilat pula kepadanya, hingga ia menjerit.
Sambil enjot tubuhnya, ia loncat tinggi, akan sambar
penglari. Api berkobar-kobar di sebelah bawah. Sepatunya pun copot sebelah.
Di luar, suara orang banyak jadi semakin berisik, air pun telah disiramkan berulang-ulang. Kapan air mengenai api, asapnya mengepul ke atas.
Hampir-hampir Kiau Liong pingsan karena gangguan
asap itu, hampir saja cekalannya terlepas. Ia kuatkan hati dan memegang keras pada penglari. Sebelah tangannya
masih terus pegang pedang buntung, dengan ini ia
membacok dan menusuk pada wuwungan rumah, hingga
kotoran meluruk.
Akhirnya di wuwungan ada terbuka satu lubang, ke situ
asap menyerbu keluar, tetapi ke situ juga nona Giok molos keluar, dari mana ia lari ke belakang, akan loncat ke
genteng bawah, di bawah mana ada satu pekarangan. Di
sini barulah ia lemparkan pedang buntungnya, ia menghela napas, akan legakan dirinya.
Dan kamar yang terbakar, asap keluar semakin banyak,
api jadi berkobar besar.
Melihat itu, Kiau Liong tidak berayal akan lari ke arah
selatan, dari situ ia loncat naik ke istal. Di sini ia berdiri di wuwungan, matanya celingukan. Ia lihat orang repot
memadamkan api, kecuali orang-orang hotel dan tetamu,
juga tetangga-tetangga. Suara kebakaran, suara orang
berisik menjadi satu.
Di antara orang-orang yang menolongi api, yang
menggunai tahang akan menjeblok air ke dalam kamar
yang sedang menyala-nyala, Kiau liong pun lihat Lie Bou
Pek Pemuda itu bisa lari lebih tinggi dan jauh dari pada lain-lain orang. Dan di punggungnya si anak muda ia lihat Cengbeng-kiam ada menggemblok.
Rupanya, karena repot membantu memadamkan api,
untuk sementara, Bou Pek lupakan si nona yang binal.
Orang pun menyangka bahwa penumpang hotel yang lari
ke dalam kamar itu telah menjadi korbannya api.
Dalam keadaan sebagai itu, tidak ada orang yang ingat
istal kuda. Dengan berani Kiau Liong loncat turun dari wuwungan
istal, akan samperi orang banyak di antara siapa ia
campurkan diri, dengan hati-hati ia mendesak ke jurusan
Lie Bou Pek, siapa masih lari mundar-mandir dari tempat
air ke kamar yang terbakar. Begitu satu kali, ketika si anak muda lari dengan tahang air ke kamar, ia pun lari di
belakangnya akan mengikuti. Dalam keadaan seperti itu
dan rada gelap, tidak ada orang yang perhatikan atau
curigai nona ini.
Bou Pek ayun tangannya akan menjeblok pula air dari
tahang kepada api, tetapi justru ia menjeblok, Kiau Liong gunakan ketika akan ulur tangannya buat sambar pedang di punggungnya Bou Pek. Pemuda itu dapat merasa, ia putar
tubuh seraya menyerang dengan tahangnya.
Kiau Liong tidak keburu menyingkir, ia kena disampok,
sampai ia rubuh terguling, hingga ia kena langgar satu
orang, yang turut rubuh, akan tetapi ia terus gulingkan diri, akan loncat bangun dan lari Ia loncat naik ke atas genteng bagian utara.
Kiau Liong lari terus, sampai ia tak pilih jalanan. Ia lari di atas genteng, melewati beberapa rumah orang, kapan
kemudian ia loncat turun ke tanah, ia lari terus keluar
dusun. Ia kaget kapan ia dengar tindakan kaki samar-samar di belakangnya, ia menoleh dan lihat Bou Pek mengejar,
maka ia lari terus, secara mati-matian.
Di tempat itu jagat ada gelap, maka dengan tidak
merasa, Kiau Liong kena bentur sebuah pohon, sampai ia
rasakan kepalanya pusing, sedang tubuhnya rubuh
terpental. Tapi, dengan tak pedulikan sakit pada kepalanya, ia bangun pula. Berkat kecerdikannya, ia ingat pohon itu bisa menolong. Laksana kucing hutan, ia lantas panjat
pohon itu, akan kemudian berdiam pada suatu cabang,
napasnya memburu keras. Ia ketutupan daun-daun, ia
berduduk atas sebuah cabang yang besar. Pedang berada di tangannya. Sambil sembunyi, ia pasang mata ke bawah.
Sampai sekian lama, tidak kelihatan Lie Bou Pek
menyusul ke pohon itu.
"Rupanya ia tak sanggup susul aku dan kembali pergi memadamkan api," pikir nona ini, barulah hatinya menjadi lega. Ia puas kalau ia ingat yang ia telah dapatkan pulang Cengbeng-kiam, tetapi ia berduka kapan ia lihat, untuk itu, ia telah membakar kamar hotel. Itu ada perbuatan rendah
dan jahat. Ia berduka, lantas ingat kata-katanya gurunya.
Kho Long Ciu almarhum pernah berkata; "Adalah satu
nona keluarga Han, sebagai anak burung hong ia berbunyi
sebagai burung malam."
Dan pada Kho sunio, guru itu pun berkata:
"Aku telah pelihara seekor naga yang jahat!"
"Nyata suhu telah menduga jitu tentang diriku ... " ia berpikir, dengan masgul.
Suling Emas Dan Naga Siluman 5 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Rahasia Peti Wasiat 4
^