Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 12

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 12


Oleh karena kemasgulannya, Kiau Liong jadi ingat akan
nasibnya, tentang kejadian yang sudah-sudah.
"Sejak aku turut nasehatnya Jie Siu Lian, sejak matinya Pekgan Holie, aku telah keram diriku di dalam rumah,"
demikian ia ngelamun, "aku telah ambil putusan untuk tidak terbitkan onar pula, akan tetapi ternyata masih saja ada orang yang ganggu aku. Pertama-tama adalah Lau Tay
Po, yang kedua ada itu keluarga she Lou dengan Kun Pwee
biang keladinya. Yang menjemukan adalah Lo Siau Hou. Ia
tidak bersemangat, ia tidak mampu menanjak, ia datang ke Pakkhia untuk mengacau. Dengan aksinya mencegat joliku,
ia telah kehilangan muka. Nyata bugee-nya belum cukup
tinggi. Setelah onar itu, ia kabur. Menyesal telah terjadi pertemuan di gurun pasir itu. Tapi kalau diingat, Siau Hou pun harus dikasihani. Ia tak beruntung sedari masih kecil, ia mesti terlunta-lunta, ia mesti merantau. Ia mencoba
mencari pangkat tetapi ia gagal, sedang untuk menemui
aku, ia tidak punya jalan yang sah. Sudah begitu, aku pun telah menyerah untuk dinikahkan dengan Lou Kun Pwee ...
Apakah ia bisa dipersalahkan?"
Saking berduka, air matanya Naga dari Sinkiang ini
meleleh keluar. Ia merasa hatinya perih. Ia pun merasa
tangannya pegal, sampai hampir ia bikin Cengbeng-kiam
terlepas jatuh. Maka di akhirnya, ia kuatkan hati, ia terus loncat turun. Ia melihat ke segala jurusan, semua jurusan ada hitam. Malah dari dusun juga tidak ada tertampak
cahaya api, kecuali sisa asap bekas tempat kebakaran, yang masih mengepul naik!
"Dengan api sudah padam, Lie Bou Pek bisa datang pula mencari aku," ia berpikir. "Aku mesti lekas menyingkir..."
Tetapi, dengan sepatu hanya di sebelah kaki, ia
menampak kesukaran, sesudah jalan sedikit jauh, ia rasakan kakinya sakit sekali, hingga lantas saja ia mendelepok di pinggir jalan. Ia beristirahat sekian lama, baru ia jalan pula.
Ia jalan dengan terpaksa. Ia pun tidak tahu, berapa lama ia sudah jalan, ketika di sebelah depan, ia dengar gonggongan anjing.
Di sebelah depan itu ada pepohonan lebat.
"Itu tentu rumah orang ... " ia berpikir. Karena ia kuatir terbit onar pula, ia tahu dandanannya tidak keruan, ia lalu jalan mutar, guna menyingkir dari rumah orang itu. Karena ia jalan mutar, ia terjang sawah orang, hingga batang padi menusuk-nusuk kaus kakinya, sampai kakinya lecet, hingga ia kembali merasakan sakit. Karena ini, sering kali ia
berhenti pula, ia singgah tiga atau empat kali.
Sesudah dongak sekian lama memandang ke langit,
dengan perhatikan bintang, Kiau Liong mendapat tahu
yang ia lagi menuju ke arah barat-selatan, bahwa ia telah
jalan jauh, karena cuaca sudah mulai terang. Kembali ia
cari tempat untuk singgah, ia duduk dengan merasa sangat lelah, kepalanya pun pusing dan berat, hingga terpaksa ia rebahkan diri. Dengan kedua tangannya terus cekal keras
pedangnya, ia kepulasan dengan tak merasa. Ia mendusin
dengan terkejut tatkala ia rasakan tubuhnya dingin. Nyata ia telah dibikin kedinginan oleh sang embun, yang
membikin pakaiannya demak. Ia juga rasakan mukanya
gatal, waktu ia buka matanya, ia dapatkan bahwa mukanya
ada ketimpa daun yangliu.
Sekarang Kiau Liong lihat tegas yang ia sudah tidur
pulas di sampingnya sebelah gereja tua, di mana ada pohon yangliu yang besar dan pohon itu telah ganggu ia, maka
saking mendongkol, ia menabas dengan pedangnya, dua
kali, sehingga dua cabang pohon lantas putus dan jatuh.
"Bagaimana macamku sekarang?" ia kata seorang diri, kapan ia awasi tubuhnya, terutama sepatunya sebelah dan
kaus kakinya tidak keruan. "Kalau aku masih dekat dengan dusun tempat aku mondok ...
Saking panasnya hati, nona Giok sampai memikir untuk
kembali ke pondokan, guna tempur pula Lie Bou Pek,
sampai seratus jurus, sampai ada keputusan, supaya ia bisa sekalian ambil kudanya ...
Sejumlah burung walet berterbangan di dekat nona ini.
Di sebelah timur, langit telah mulai menjadi terang, satu tanda sang Batara Surya hendak mulai muncul, akan
menerangi jagat.
Di antara sampokannya angin, pohon padi, pohon
gandum, telah berombak-ombak, seperti juga gelombang
yang bersinar kuning emas. Itu ada pemandangan yang
sedikit mirip dengan pemandangan di Sinkiang.
Kiau Liong lantas saja berbangkit, tetapi ia berdiri seperti tercengang. Ia dengar ocehannya burung-burung, seperti
juga itu makhluk bersayap menanya ia: "Sekarang kau hendak perbuat apa?"
Nona ini tunduk, ia lihat pedangnya bersinar kena
sorotan matahari, warnanya sedikit hijau.
"Tidak bisa lain!" akhirnya ia kata seorang diri, sambil ia kertak giginya.
Kiau Liong buka baju hijau lapis luar, yang mana ia
pakai membungkus pedangnya. Di sebelah dalam itu, ia ada pakai baju biru, hanya baju ini ada sedikit sepan, hingga tubuh perempuan berpeta lebih nyata.
"Tidak apa," ia pikir pula. Ia
memang tahu, penyamarannya melulu ada guna kelabui orang-orang
bodoh, karena satu orang ulung di kalangan kangou sukar
untuk dipedayakan. Maka itu, ia lantas rapikan pakaian.
Kemudian ia senderkan diri di pohon yangliu. Ia buka
rambutnya, ia sisiri itu dengan jeriji tangannya. Ia berniat mengepang pula kuncirnya itu.
Justru itu dari kejauhan, ada kelihatan tiga buah kereta sedang mendatangi.
"Bagus!" ia berpikir. "Aku ada punya uang, aku baik pakai salah satu kereta itu."
Dengan tidak tunggu sampai selesai membikin cacing,
hanya dengan lilit saja rambutnya, sambil kempit
pedangnya Kiau Liong segera lari menghampiri tiga buah
kereta itu. "Tahan! Tahan!" ia perdengarkan suaranya berulang-ulang.
Suaranya ini terdengar ketika ia mendatangi semakin
dekat, maka tiga buah kereta itu lantas dikasih berhenti.
"Ada apa?" tanya seorang lelaki, yang loncat turun dari kereta. Ia berusia kira-kira empatpuluh tahun dan tubuhnya kekar.
Kiau Liong berhenti berlari-lari, ia mengawasi pada tiga kereta itu, yang masing-masing adi ditancapi sebatang
bendera putih dengan setiap benderanya dituliskan dua
huruf besar "Hiong Wan".
"Jadinya ini ada kereta piau?" ia tanya, dengan roman heran.
"Bukan, kita ada orang dagang," sahut orang lelaki itu.
"Dua huruf di bendera kita ada namanya perusahaan kita.
Kau mau apa?"
Kiau Liong betulkan rambutnya.
"Aku ada orang asal Pooteng," ia perkenalkan diri, dengan ocehannya. "Aku pun ada orang dagang dan
berusaha barang-barang permata seperti mutiara. Oleh
majikanku aku diperintah pergi ke Taybeng akan belanja,
tetapi tadi malam, di ini tempat aku ketemu orang jahat, semua barangku kena dirampas, syukur aku sendiri tidak
sampai terbunuh. Tadi malam aku terpaksa tidur di sana, di dekat gereja. Aku hendak lanjutkan perjalananku, tetapi
sukar. Lihat, sepatuku sampai hilang sebelah. Memangnya, sedari masih kecil, tubuhku lemah, ayah dan ibuku rawat
aku sebagai satu anak perempuan saja. Dengan tidak ada
kereta, aku tidak bisa lanjutkan perjalananku, maka itu, tolong kau berlaku murah, kasihkan aku sebuah kereta. Aku hanya mengharap sampai di suatu kota atau dusun ... "
"Lagi tigapuluh lie di sana ada kota," ia kasih tahu.
"Itulah bagus," kata Kiau Liong sambil manggut, "Kau ajak aku naik keretamu, sesampainya di sana, aku nanti
turun, keretamu boleh kau ambil kembali, padamu aku
nanti kasihkan duapuluh tail perak. Aku masih punya uang
... " Dan ia tepuk-tepuk sakunya. "Maka itu kau tolonglah aku ... " ia kata pula sambil bersenyum.
Orang itu tercengang, kemudian ia goyang kepala.
"Sukar," ia kata. "Keretaku sudah penuh. Eh, apa itu yang kau bungkus?"
Kiau Liong mengawasi, romannya menjadi keren.
"Kau tidak berhak menanyakan ini!" ia jawab. "Dengan cara baik aku hendak sewa keretamu, tetapi kau tidak
menghargakan dirimu sendiri, kau anggap aku tidak punya
uang! Lihat, di sini aku masih ada punya emas!"
Dari sakunya, ia keluarkan sepotong emas, akan diunjuki
pada orang-orang yang berada di atas kereta. Maka, tertojo oleh cahayanya matahari, emas itu telah perlihatkan sorot kuning mengkilap, yang membikin mata silau.
Dari kereta yang belakang lantas ada orang yang loncat
turun, tubuhnya sangat kurus, hingga ia tak mirip dengan satu piausu.
"Mari, mari, bicaralah dengan baik, jangan berselisih!" ia kata dengan suara yang memisahkan. Sedang kepada
kawannya, ia melirik, kedipi mata. Kemudian, menghadap
si nona, ia berkata: "Tolong kau simpan emasmu! Syukur barang ini kau perlihatkan pada kita, kalau terhadap lain orang, jangan kata sampai tigapuluh lie, hanya tiga tindak saja, kau tak akan mampu melangkah! Melihat tingkah
lakumu ini, kau nyata ada seorang yang baru pernah bikin perjalanan ... "
"Sudah, kau tidak usah ucapkan kata-kata yang tak ada perlunya!" Kiau Liong menegur.
"Ya, sudah, jangan mengucap kata-kata yang tak ada
perlunya!" kata orang itu, sambil tertawa pula. "Kita juga tak membutuhkan emasmu! Oleh karena kau ada seorang
yang sedang mendapat kesusahan, kita juga tak bisa tak
melakukan kebaikan. Nah, kau naiklah kereta kita!
Terpisahnya dari sini ke kota cuma tigapuluh lie, tidak ada halangannya untuk kita lakukan perjalanan sejauh itu ... "
"Tempat ini masuk dalam bilangan apa?" Kiau Liong tanya.
"Ini tempat?" orang itu ulangkan. "Ini ada daerah Taybeng-hu, lagi tigapuluh lie kita akan sampai di kota
Taybeng. Silahkan kau naik!?"
Kiau Liong girang sekali mendengar keterangan itu.
"Aku akan segera beli sepatu!" pikir ia. "Aku nanti cari rumah penginapan yang bersih untuk aku beristirahat,
kemudian aku nanti beli kuda, untuk
lanjutkan perjalananku ... Tapi, ke mana aku mesti pergi" Apa lebih baik aku terus cari kucingku" Atau aku kembali saja kepada Siu Hiang?"
Dengan pikiran belum ada ketentuannya, Kiau Liong
loncat naik ke atas kereta.
Tetapi ia curigai semua orang di atas kereta, ia tidak mau masuk ke dalam kereta, ia duduk di luar saja, pedangnya ia lelaki di pangkuannya, tangannya ia pakai menggulung
rambutnya. Kereta sudah lantas bergerak, berjalan maju.
Kusir sering-sering mengawasi nona Giok, agaknya ia
bercuriga, ia lebih mirip dengan seorang yang berkuatir.
Si orang kurus, setelah bicara dengan dua orang lain,
lantas samperi kereta depan. Dua orang,yang ia ajak bicara, lantas mengikuti dengan jalan kaki.
"Apakah nama perusahaanmu di Pakkhia?" ia tanya nona Giok. "Kau tahu atau tidak Pek Sie Lau?"
Kiau Liong menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu," jawabnya. "Tokoku ada Cie Poo Hoo, letaknya di Kota Barat, dan majikanku ada Hekhou To
Hong ... "
Air mukanya si kurus berubah.
"Namanya To toaya sudah lama aku dengar ... " ia kata.
"Ia ada punya banyak uang, ia ada satu hoohan, ... "
"Tetapi ia bukannya hoohan yang berarti banyak ... "
Kiau Liong tambahkan.
Mendengar ini, si kurus melengak.
"Hanya, bila dibanding dengan aku, ia ada lebih
terkenal," ia kata pula. "Tuan, kau she apa?"
"Aku she Liong "
"Oh, tuan Liong! Cie Poo Hoo ada banyak maju."
Si kurus satunya, yang ada lebih muda usianya, tarik
sahabatnya, maka kemudian, keduanya ketinggalan di
belakang. Mereka lantas bicara dengan perlahan sekali.
Kiau Liong tidak takut sekalipun ia curigai mereka itu. Ia ada punya Cengbeng-kiam di tangannya Ia pun tidak jeri
andaikata orang bawa ia ke sarang mereka atau Lie Bou
Pek datang pula ... Maka ia duduk dengan tenang, akan
rampungkan cacingnya. Diam-diam, ia siapkan panahnya.
Ketiga kereta telah jalan jauh, jalanan sekarang ada rata, yang mana membikin keledai-keledai tampaknya segar
kembali, jalannya tetap.
Tidak antara lama, di kejauhan, ada tertampak tembok
kota. "Apakah itu temboknya kota Taybeng?" Kiau Liong tanya, seraya menunjuk.
Si dua orang kurus manggut.
Nampaknya Kiau Liong jadi sangat bersangsi.
"Tuan, kau she apa?" ia tanya.
"Aku she Cui," sahut si kurus, yang jangkung.
Ketika itu mereka mendatangi kota semakin dekat,
tembok kelihatan semakin nyata. Orang-orang yang berlalu-lintas ada banyak, di tepi jalan pun ada warung teh dan
warung kecil lainnya. Di depan sebuah warung teh sekali
mendadakan Kiau Liong loncat turun.
"Silahkan naik kereta!" ia kata pada si orang she Cui.
"Maafkan aku, sudah lama aku bikin kau mesti berjalan kaki. Berapa kau minta?"
"Kau cuma duduk kereta sebentaran, tuan, tidak ada
artinya," sahut si orang she Cui itu. "Mana kita berani minta pembayaran" Apa tidak baik tuan ikut kita ke kota, akan mampir di toko kita?"
"Tidak usah, terima kasih!" jawab Kiau Liong. "Nah, sampai ketemu pula!"
Si orang she Cui jadi melongo, sedang orang di atas
kereta, melirik padanya.
"Sudah, jalan terus!" kata orang yang tubuhnya gagah.
"Kita mesti lekas masuk ke kota!"
Orang she Cui itu lantas manggut pada si nona.
"Sampai ketemu pula!" kata ia, yang terus naik ke atas kereta.
Kiau Liong mengawasi sampai kereta sudah pergi jauh,
ia bertindak ke warung teh, yang ada pasang tetarep. Di
dalam situ pun ada dijual mie. Di situ sudah ada banyak
pembeli, kebanyakan ada tukang kereta atau tukang sayur, sebagaimana dada mereka kebanyakan dideblekan. Mereka
semua mengawasi apabila mereka lihat ini tetamu baru,
dengan sepatunya sebelah, banyak yang lantas kasak-kusuk
... Kiau Hong masuk ke dalam di mana ia cari meja, akan
berduduk. "Bawakan aku teh, lantas mie!" kala si nona. "Lekas sedikit."
Tukang warung, yang terokmok, menyahuti.
Di sebelahnya tukang warung ini ada satu nyonya
dengan muka kuning dan gigi hitam, kakinya kecil, ia awasi tetamunya, lantas ia bisik-bisik pada si tukang warung, yang rupanya ada suaminya. Ia rupanya sangsikan tetamunya
lelaki atau perempuan.
"Siapkanlah teh, jangan banyak tanya!" kata si suami.
Ruangan itu ada panas, karena masakan mie apinya
berkobar. Kedua daun jendela telah dipentang, di luar situ ada dua orang, seperti tukang batu asyik bicara satu pada lain, tetapi pembicaraan mereka, Kiau Liong tak mengerti.
Sebentar kemudian, si nyonya datang dengan air teh.
"Apakah kota ini kota Taybeng?" Kiau Liong tanya.
Tapi si nyonya melengak, hingga ia diam saja.
"Apa namanya tempatmu ini?" Kiau Liong ulangkan.
"Inilah Kielok," sahut si nyonya akhirnya.
Nona Giok lantas berpikir.
"Kalau ini Kielok, kenapa si orang she Cui dustakan aku?" pikir ia. "Kenapa dia bilang Taybeng" Ia kandung maksud apa?"
Karena kecurigaannya ini, Kiau Liong memikir buat
angkat kaki, ketika ia segera ingat sepatunya sebelah.
"Kalau aku pergi secara begini, orang tentu terus
perhatikan aku ... " ia berpikir pula. Maka ia lantas bawa sikap tenang. Ia manggut pada nyonya rumah. "Apa di sini ada toko sepatu?" Ia tanya. Ia angkat sebelah kakinya, akan kasih lihat sepatunya. Ia tertawa. "Kau lihat, sepatuku rusak sebelah, maka aku telah buang! Apa di dekat-dekat sini ada yang jual sepatu?"
Nyonya itu mengawasi, rupanya ia merasa aneh buat
orang punya sepatu, tetapi kemudian ia geleng kepala.
"Kita di sini tidak ada yang jual sepatu," ia menyahut.
"Buat beli sepatu, kau mesti pergi ke kota ... "
Justru itu waktu, ada datang dua tetamu, melihat siapa
semua tetamu lainnya agak terperanjat, mereka melengak.
Dua orang itu memakai kopiah merah, di pinggangnya
yang satu ada tergantung golok, sedang yang jalan
belakangan ada membawa rantai borgolan. Mereka adalah
orang-orang polisi.
Kiau Liong tidak jeri akan lihat orang-orang polisi.
Selama di Pakkhia, selama di Sinkiang juga, sering ia lihat orang-orang sebangsa mereka ini, di kantor ayahnya malah mereka semua menghormati ia. Ia lantas isikan cangkirnya dengan teh, dengan perlahan, ia bersihkan bubuk tehnya.
"Eh, kenapa teh ini kotor?" ia kata. "Coba tukar dengan yang baru!"
Itu waktu kedua hamba polisi telah masuk ke dalam,
dengan sikap tak mengenal adat istiadat, mereka pandang
nona Giok, hingga nona ini balik mengawasi dengan mata
yang dibuka lebar.
Orang polisi yang memegang rantai lantas mendekati.
"Kau datang dari mana?" ia tanya dengan kaku.
"Dari Pooteng!" sahut nona kita, dengan cepat.
"Kau datang dari Pooteng, kenapa kau bicara dengan
suara Pakkhia?"
"Aku ada orang Pakkhia!"
"Kau kerja apa di Pakkhia?"
"Perlu apa kau usil aku" Aku bukannya penjahat!"
"Apa ini yang terbungkus bajunya?" tanya pula si opas seraya ulur tangannya hendak raba pedangnya si nona.
Tapi Kiau Liong mendahului dengan kedua tangannya
menekan pedangnya itu.
"Jangan sembarangan raba barangku!" ia peringatkan.
"Angkat tanganmu!" membentak dua hamba negara itu dengan berbareng. "Aku ingin lihat isinya bungkusan ini!
Kau bukannya seorang yang terang ... "
"Kalau kau mau lihat, boleh!" kata Kiau Liong
kemudian. "Tapi kau mesti mundur sedikit dan jangan bergerak! Nah, lihatlah ini!"
Nona Giok bicara sambil tertawa, ia buka bungkusannya
dengan sebat dan pedangnya segera terhunus, hingga
cahayanya berkeredepan.
Kedua opas itu terperanjat, yang satu sampai hunus
goloknya. Semua tetamu di luar pada berbangkit, mereka
mengawasi dari jendela.
"Kau jangan curigai aku," kata pula Kiau Liong kemudian, sambil bersenyum. "Aku bukannya penjahat, dan pedangku ini adalah untuk menjaga diriku."


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Opas itu serahkan golok pada kawannya, rantai siapa ia
sambuti. "Kau tak usah membantah," ia kata. "Sudah ada orang yang adukan kau karena dandananmu separuh lelaki dan
separuh perempuan ini! Kau pakai cuma sebuah sepatu, toh kau ada bawa banyak uang, dan kata-katamu bertentangan
satu pada lain, seperti keledai berbeda dan kuda! Kau
mestinya ada satu penjahat! Sudah, kau jangan bikin aku
berabe, mari kasih aku rantai padamu untuk dibawa ke
geemoci!" Kiau Liong jadi tidak senang, dengan mendadakan ia
mencelat naik ke atas meja, dari mana ia lompat terus ke jendela.
Semua orang di luar jendela kaget, mereka lantas lari.
Kedua opas itu memburu, yang satu ayun goloknya,
yang lain rantainya.
"Kau hendak kabur?" mereka kata.
Kiau Liong bersenjatakan pedang, tak ada orang yang
berani menghalaukannya.
"Jangan fitnah aku!" ia kata. "Aku ada orang baik-baik!
Ayahku di Pakkhia ada menjabat pangkat besar!"
"Apa pangkal ayahmu?" tanya si opas yang memakai golok. "Lekas bilang! Kau she apa dan apa namamu?"
Sebelumnya Kiau Liong menyahuti, ke situ ada datang
seorang lain. Orang itu datang dari jurusan selatan sambil menunggang kuda, yang dikasih lari keras. Dan selagi
mendekati, orang itu berteriak berulang-ulang: "Jangan tangkap padanya! Dia ada sahabat karibku! Dia bukannya
orang jahat, aku berani tanggung!"
Kiau Liong dengar suara itu yang bikin ia terperanjat. Ia menoleh dengan segera. Ia lihat orang itu sudah datang
masuk sambil berlari-lari. Dia berumur duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun, bajunya hijau, romannya manis.
Dia adalah Jie Siu Lian!
Setelah kenali si nona, Kiau Liong mundur dua tindak ke
pinggiran. Siu Lian datang dengan tangan menyekal cambuk, ia
maju akan tarik tangannya si nona. Tapi nona Giok sangka dia ini mau bantui hamba polisi, ia mundur pula seraya
gerakkan pedangnya guna bela diri, kedua kakinya
terpasang. Melihat sikap orang itu, nona Jie lantas saja bersenyum
... "Dia ini adalah sahabatku," ia kata pada orang polisi itu.
"Dia ada satu piausu perempuan. Sedari masih kecil ia sudah seperti lelaki saja. Adatnya sangat keras tetapi dia boleh dipercaya. Tadi Cui Sam dan kawan-kawannya telah
menyangka keliru! Sekarang aku berani tanggung dia ini,
harap jiewie jangan tangkap padanya."
Dua orang polisi itu tertawa, yang satu lantas simpan
goloknya. "Kita juga tidak niat lantas tangkap padanya," ia berkata.
"Mula-mula kita minta keterangannya, tetapi dia tidak mau bicara dengan sebenarnya. Kalau nona Jie kenal padanya,
baik kita tak akan menduga jelek lagi atas dirinya. Hanya harap nona nasehatkan dia supaya dia salin pakaian, jangan seperti sekarang, lelaki bukan, perempuan bukan yang dapat membikin orang bercuriga ... "
Lalu dua orang polisi itu manggut pada Siu Lian, mereka
lantas berlalu sambil bersenyum.
Nona Jie dekati pula Naga dari Sinkiang itu, tangan
siapa ia pegang. Ia berlaku sangat ramah tamah, ia tertawa.
"Aku tidak sangka bahwa kau telah dalang kemari?" ia kata. "Mari! Mari ikut ke rumahku!"
Di luar warung, di pinggiran, ada sebuah kereta keledai, tukang keretanya sedang minum teh, tetapi Siu Lian panggil tukang kereta itu, untuk tarik muatan.
"Mari ikut aku," kata Siu Lian, yang tarik si nona, buat diajak naik ke kereta.
Kiau Liong bersangsi, tetapi toh ia naik juga.
Tukang warung hampirkan nona itu.
"Mie sudah matang, kau jadi dahar atau tidak?" ia tanya.
"Tidak!" Siu Lian talangi menjawab. "Sebentar aku suruh orang antarkan uangnya."
"Oh, tidak apa, nona Jie!" kata tukang warung itu sambil tertawa. Terhadap nona ini, ia ada berlaku sangat hormat.
Nyonya rumah itu keluarkan baju bungkusan pedang,
maka Kiau Liong sambuti bajunya itu.
Siu Lian lantas loncat naik ke atas kudanya, yang ia
kasih jalan di samping kereta. Di sepanjang jalan ke kota, ia terus ajak Kiau Liong bicara. Antaranya ia tanya: "Apakah Tek ngoso dan anaknya dan nona mantunya ada baik"
Bagaimana dengan Khu siau-naynay" Apa kau ketemu
dengan ia ketika kau berangkat dari Pakkhia?" Tapi nona itu terus bungkam, hingga akhirnya ia juga tutup mulutnya
... Tidak lama kereta telah sampai di pintu Kota Utara dari
Kielok, selagi mendekati pintu kota, keadaan ada ramai, di situ pun ada banyak rumah. Di sini Kiau Liong merasa
hatinya kurang tenteram.
Tiba-tiba Siu Lian larikan kudanya ke depan, belum
seberapa jauh, mendadakan ia tahan binatang tunggangannya itu. Di sebelah barat situ ada sebuah rumah yang besar, yang memakai pagar pekarangan. Di tembok
yang putih ada tertulis empat huruf besar:
"Hong Wan Piau tiam".
Baru sekarang Kiau Liong tahu bahwa tadi ia sudah
membonceng kereta dari piautiam itu. Dan si orang she Cui itu waktu tertampak sedang berdiri di depan pintu, malah ia terus bicara dengan nona Jie itu.
Dengan sekonyong-konyong
Kiau Liong jadi mendongkol, ia hendak turun diri kereta sambil berloncat, tetapi Siu Lian telah suruh orang she Cui itu berlalu dan dia sendiri maju akan memapak padanya.
"Jangan gusar," kata nona Jie ini. "Dia ada orang bekas pegawainya ayahku almarhum, namanya Cui Sam. Tadi
mereka kembali dari Kieciu, di tengah jalan mereka ketemu denganmu. Cui Sam jadi curiga, maka ia telah pedayakan
kau. Dia juga yang telah kasih kisikan pada orang polisi tadi, maka kejadianlah peristiwa di warung teh itu. Ketika Cui Sam sampai di rumah, ia telah omong dengan aku, aku
segera menduga padamu, karena aku kuatir terjadi onar,
aku segera menyusul. Syukur aku datang sebelumnya kasep, jikalau tidak, aku mesti tanggungi kau di muka tiekoan."
Kiau Liong bersenyum dingin.
"Aku lihat di Kielok ini kau berpengaruh sekali," ia kata.
Sembari jalankan kudanya, nona Jie menoleh.
"Aku tak punya pengaruh apa-apa," ia jawab. "Hanya Kielok ini ada kampung kelahiranku dan penduduk sini
banyak yang kenal aku. Di masa hidupnya, dulu mendiang
ayahku telah buka Hiongwan Piaukiok di sini, setelah
usianya lanjut, ia berhenti berusaha. Aku sendiri pulang kemari sejak musim dingin tahun yang baru silam, aku
kembali dari Kanglam. Aku ada seorang perempuan, di sini aku tidak punya kerjaan. Piautiam yang sekarang baru saja dibuka. Cui Sam dan beberapa bekas orangnya ayahku pun
terpencar dan tidak punya pekerjaan, melihat aku kembali, mereka datang berkumpul dengan aku. Di lain pihak, sukoku Yok Thian Kiat dari Hoolam, telah datang kemari. Ia
ada punya sedikit uang. Ia datang kemari karena ia kuatir diganggu
musuh-musuhnya.
Dahulu pun, karena bertempur, kakinya telah bercacat. Di Hoolam, ia telah jual semua milik bendanya, maka uangnya itu, di sini ia jadikan modal buat piautiam ini. Ia sengaja pakai nama piautiam
yang lama, ia sendiri yang jadi pemilik merangkap kuasa, dan aku terhitung juga jadi piausu kepala ... "
Setelah habis kata-katanya itu, nona Jie tertawa,
"Meski demikian, aku tidak pernah keluar sendiri untuk mengantar piau," ia kata pula, "namaku saja yang dipakai.
Syukur di utara sampai di Pooteng, Titlee, dan di selatan sampai di Weehui, Hoolam, namaku masih terdengar juga,
sudah beberapa tahun, belum pernah terjadi kegagalan,
sedang hasilnya ada lumayan untuk hidup kita. Tentang
kerjaanku ini aku tidak beritahukan pada Tek ngoso ketika baru ini aku pergi ke Pakkhia, sebabnya ialah aku kuatir
nanti dia godai aku dengan katakan aku jadi kuasa piautiam atau piausu ... "
Kiau Liong tertawa.
"Tunggu saja!" ia bilang. "Kalau nanti lerotan piau-mu ketemu aku di tengah jalan, itu waktu aku nanti lakukan
pembalasanku!"
Nona Jie pun tertawa.
"Aku lihat kepandaianmu masih belum cukup untuk
lakukan itu!" ia kata.
Nona Giok tertawa, nona kawannya tertawa juga, maka
mereka tertawa berdua.
Kereta dijalankan terus, kudanya Siu Lian mengikuti.
Mereka masuk ke dalam kota. Di jalanan ada ramai,
banyak orang yang mundar mandir. Orang tua, lelaki dan
perempuan, asal melibat nona Jie, banyakyang manggut
atau menegur sambil bersenyum. Si nona turun dari
kudanya, yang ia tuntun, dengan manis ia balas sesuatu
penghormatan. Tukang kereta juga seperti sudah kenal nona Jie, selama
di jalanan, ia tidak tanya apa-apa, kudanya dikasih jalan terus, sampai masuk di dalam satu gang. Rupanya ia
ketahui baik rumahnya si nona, karena kemudian ia
berhenti di depan sebuah rumah dengan pintu bercat hitam, yang berada di sebelah utara jalanan.
Di dalam gang itu ada beberapa bocah sedang memain,
kapan mereka lihat Siu Lian, lantas mereka berhenti
memain, semua berlari-lari menghampiri, sembari tertawa
mereka perdengarkan suara yang berisik: "Oh, Jie kohnio, kau telah kembali, dengan menunggang kuda lagi! Eh,
kenapa hari ini kohnio tidak bawa golokmu?"
Siu Lian tertawa, ia antapi orang betot-betot ujung
bajunya, meski ia ada menyekal cambuk, ia tidak gunakan
itu untuk mengusir atau mengancam beberapa bocah itu.
Nyata ia ada sabar dan manis budi.
Kiau Liong lihat keadaan orang itu, ia menjadi kagum.
Tetapi, di lain pihak, ia berduka kapan ia ingat dirinya sendiri: Gadisnya satu pembesar tinggi, banyak uang dan
hidup senang, tetapi mesti terlunta-lunta, merantau tanpa juntrungan. Dalam segala hal ia tak usah kalah dari Siu
Lian, tidak dalam ilmu silat juga, toh di ini bagian ia mesti menyerah. Semua penduduk Kielok, tua dan muda, ada
sangat suka dan hargai nona ini.
Karena suara berisiknya bocah-bocah itu, orang seperti
ketahui baliknya si nona Jie. Pintu hitam yang kecil lantas dibuka, di situ muncul seorang perempuan umur kira-kira
tigapuluh tahun.
Kiau Liong loncat turun dari keretanya, sebelah tangan
menyekal pedangnya, sebelah tangan yang lain menengteng
baju. Ia bertindak masuk ke dalam pintu itu.
Si nyonya terus mengawasi, dari bermula, sampai orang
masuk. Beberapa bocah itu, di luar, segera perdengarkan
suaranya: "Sepatunya cuma sebelah!"
Kiau Liong mendongkol, akan tetapi ia masuk terus. Di
dalam pekarangan, antaranya segera ia lihat pohon-pohon
bunga, juga jambangan ikan emas.
Siu Lian pun masuk akan terus tambat kudanya di
pekarangan dan satu bocah umur dua belas tahun segera
datang, untuk kasih makan kuda itu.
Ketika pintu pekarangan dikunci, di luar situ terdengar
suara menggelindingnya
roda-roda, tanda dari berangkatnya kereta tadi.
Sambil menarik tangan orang, Siu Lian bertindak ke
pintu rumah. "Mari masuk!" ia mengajak.
Kiau Liong ikut masuk ke rumah sebelah utara. Di sini,
di tengah-tengah ruangan, ia tampak sebuah meja abu
leluhur dengan tiga sinchie yang dua melebihi tingginya
yang ketiga. Yang dua itu rupanya ada hiolou dari ayah dan ibunya si nona Jie. Yang ketiga, yang misah jauh, ada
tertutup cita hitam, entah hiolou siapa itu.
Dari sini, Siu Lian ajak sahabatnya masuk ke kamar
barat, ialah kamarnya sendiri. Di tembok ada tergantung
golok, di lantai ada terletak sela kuda. Di atas sebuah meja panjang, antaranya ada satu kaca-rasa, dua jilid cerita "Sam Kok". Di atas pembaringan kelihatan kain seprei kasar tetapi bersih. Di pinggiran ada bersusun peti atau tromol, di atas itu ada satu tempat penjahitan.
Segera nona Giok duduk di atas pembaringan, goloknya
diletaki di atas pembaringan itu. Dengan cepat ia buka
sepatunya, yang tinggal sebelah. Kemudian ia duduk diam, sambil menghela napas lega.
Orang perempuan tadi lantas datang dengan air teh.
Kapan orang perempuan itu telah keluar pula, Siu Lian
awasi tetamunya sambil ia kerutkan alis.
"Bagaimana caranya kau keluar dari rumahmu?" ia tanya. "Ketika aku di Pakkhia, aku toh telah pesan kau, bukan" Kau ada beda daripada aku, kau tidak bisa
disamakan dengan aku! Aku percaya, seperginya aku, kau
kembali terbitkan onar! Mengapa ini pedang telah kembali berada di tanganmu?"
Kiau Liong susut mukanya ia ada sangat masgul.
"Aku terbitkan onar pula?" ia balik tanya. "Kau tak tahu apa yang terjadi selama ini di Pakkhia! Kalau aku tak
terdesak hebat, tak nanti aku terpaksa tinggalkan rumahku!
Andaikan aku tidak tinggalkan rumahku, tak nanti aku
ambil pula pedang ini! ... "
Siu Lian agaknya heran.
"Siapa desak kau" Lau Tay Po?"
"Dia ada salah satu di antaranya. Desakan datang dari banyak pihak. Tapi tentang ini, aku tidak mau kasih lahu siapa juga! Apa gunanya akan berceritera" Aku tak
mengharap bantuan siapa juga! Baiklah kau jangan tanya
banyak-banyak padaku. Asal kau tak percaya yang aku
sudah mencuri, di sini, di rumahmu, tidak nanti aku bawa lelakon hebat. Habis perkara! Tapi, andaikata kau tetap
ingin ketahui duduknya perkara, terserah! Kau ada punya
kuda, kau boleh kaburkan itu ke Pakkhia! Kau boleh pergi pada keluarga Tek, mereka di sana tentu akan bisa kasih
keterangan!"
Siu Lian tepuk dada orang, tetapi dia tertawa.
"Lihatlah adatmu ini!" ia kata. "Sekalipun kau sudah sampai di dalam rumahku ini, kau tetap masih bawa sifat
siocia-mu."
Kiau Liong tertawa.
"Kau tak tahu keadaanku selama yang belakangan ini,"
ia kata. "Urusan ada banyak, aku mendongkol! ... Malah kucingku pun lenyap ... "
"Apa, kucing" Dari Pakkhia kau bawa-bawa kucing?"
"Sudahlah, kau jangan tanya!" Kiau Liong ulapkan tangannya. Ia bersenyum, lantas ia perlihatkan roman
sungguh-sungguh. "Aku mau tanya, Lie Bou Pek itu
sebenarnya kau punya apa?"
Siu Lian tercengang buat pertanyaan ini.
"Apa perlunya kau menanyakan ini?" ia tegaskan.
"Bilanglah padaku, ia sebenarnya kau punya apa?" kata nona itu, dengan sengit. "Tidak ada halangannya untuk kau beritahukannya padaku. Tek ngoso pernah cerita padaku
tentang hal ikhwal kau berdua, ia menyangka bahwa kau
telah menikah satu pada lain ... "
Mukanya nona Jie menjadi merah.
"Dia menduga saja, secara sembarangan," ia bilang kemudian. "Aku tidak hendak membantah, karena cerita burung tetap ada cerita burung. Baiklah aku jelaskan, aku pandang dan perlakukan Lie Bou Pek sebagai saudara
kandungku. Sejak bulan sembilan tahun yang baru silam,
kita telah berpisah di Kiu-hoa San, dia menuju ke Shoasay akan sambangi sahabatku, dan aku pulang ke rumahku ini.
Sejak itu, kita tak pernah dapat kabar satu dari lain. Ketika baru ini aku pergi ke Pakkhia, itulah melulu untuk tengok Tek ngoso dan Yo Lee Hong. Aku tidak lewatkan tahun
baru di Pakkhia. Adatku ialah kalau ada urusan, aku tidak bisa tinggal diam saja, aku kuatir, nanti terbit urusan yang bisa merembet-rembet keluarga Tek itu. Kedua, aku perlu
lekas pulang, guna menutup buku, membikin perhitungan
untung ruginya perusahaan piau di sini. Kalau aku tidak
pulang, aku kuatir ada orang yang mengganggu. Dan kalau
aku pulang, selagi lewat di Cengteng, aku bisa sekalian
tengok Yo Lee Eng, encie-nya Lee-Hong. Inilah rupanya
yang menyebabkan Tek ngoko semua menduga-duga
tentang diriku. Tapi, sudahlah! Dan kenapa kau tanya
begini melit tentang Lie Bou Pek?"
"Di tengah jalan aku telah ketemu dengan dianya dan untuk tiga kali kita telah bertempur!" Kiau Liong aku terus terang. "Mulanya pedangku ini kena dia rampas, tetapi di saat terakhir, aku bisa rampas pulang! Baru sekarang aku dapat tahu, Lie Bou Pek yang namanya begitu kesohor di
kalangan Sungai Telaga, kepandaiannya melainkan sebegitu saja ... "
Mendengar itu, wajahnya Siu Lian berubah, ia tidak
puas buat sikap jumawa atau menantang dari Kiau Liong.
'Tahukah kau bahwa pedang ini kepunyaannya Lie Bou
Pek?" ia kata, "Lie Bou Pek dapatkan pedang ini dari lain orang, kemudian ia persembahkan itu pada Tiat siau-pweelek ... "
"Tetapi sekarang, habis perkara!" kata nona Giok, yang tetap jumawa. "Pedang ada sama dengan Cap Kerajaan!
Cap Kebesaran didapat oleh orang yang arif bijaksana,
siapa tidak bijaksana, ia justru lenyapkan itu! Dan pedang, siapa yang punya kepandaian silat tinggi, dialah yang
punyakan!"
Siu Lian tidak puas, tetapi ia toh bisa berlaku sabar.
"Kau jangan kuatir," ia bilang. "Kita pasti tak sudikan pedangmu ini! Selama di Pakkhia, karena mencuri pedang
ini, kau telah terbitkan onar besar, untuk mencegah
kehebatan, aku terpaksa campur tangan. Lain maksud, aku
tak mempunyainya. Aku lihat kau tak ada celanya, sedang
kau ada bersahabat dengan Tek ngoso dan nona mantunya
pun dengan Khu siau-naynay juga. Mereka itu pun ada
sahabat-sahabat baikku. Hingga aku anggap, kita berdua
bersahabat juga. Demikian aku nasehati kau agar kau
kembalikan pedang itu. Apabila perkara jadi hebat, oleh
karenanya, kedudukan ayah dan kandamu pun bisa turut


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi goncang, dan ibumu, apabila ia ketahui sepak
terjangmu, akan jadi sangat berduka ... "
Kiau Liong terharu, hingga keluar air matanya.
"Sudah, jangan bicara terus!" ia mencegah. "Dari mana kau dapatkan kepandaian bicara ini" Kau mirip dengan
isterinya Lau Tay Po! Aku tak punya kebanyakan tempo
akan bicarakan urusan itu. Sekarang lekas kau tolong
carikan aku sepasang sepatu, dan pinjamkan juga seekor
kuda, aku mau berangkat sekarang! Percaya aku, aku tahu
kau ada seorang berhati baik, kau bisa mengasihani aku.
Nanti saja kita bertemu pula! ... "
"Mengapa begitu kesusu?" Siu Lian tanya. "Sebenarnya kau ada punya urusan apa lagi?"
Nona Giok menggeleng kepala.
"Aku tidak punya urusan apa-apa lagi. Hanya, ketika aku berangkat, aku ada ajak budak perempuanku dan ia
sekarang sedang menunggui aku ... "
"Lihat!" Siu Lian tertawa, "Kau berlalu dari Pakkhia dengan menyamar sebagai orang lelaki, dan toh kau ajak-ajak budak perempuan! Dan kau bawa-bawa kucing juga!
Sebenarnya, apakah maksud tujuanmu" Apa kau ada punya
tempat tujuan yang tertentu?"
Kiau Liong agaknya mendapat pikiran dengan mendadakan. "Apakah di sini tak ada lain orang yang suka datang?"
tiba-tiba ia menanya dengan ia simpangkan pertanyaan
orang atas dirinya.
"Tidak ada orang lain," Siu Lian goyang kepala, "kecuali orang perempuan tadi yang membantui aku,"
Kiau Liong lantas loloskan sepasang kaus kakinya yang
kotor, terus ia rebahkan dirinya.
"Dibilang aku tak punyakan tempat tujuan yang tertentu,
itulah keliru," kemudian ia menyahut, "tetapi pun sukar akan dibilang yang aku telah pasti akan menuju ke mana .."
Siu Lian heran buat jawaban orang itu, tetapi ia
bersenyum. "Sebenarnya, apa artinya kata-katamu ini?" ia tanya.
Kiau Liong menghela napas, tangannya ia goyang-
goyang. "Sabar," ia bilang. "Kasihlah aku beristirahat dulu, kasih aku tenteramkan hatiku. Aku nanti omong jelas padamu ...
Memang, memang aku tidak punya orang dengan siapa aku
bisa omong dengan sabar dan leluasa ... "
Siu Lian awasi itu nona yang aneh adatnya, aneh
kelakuannya. Kiau Liong rebah dengan kedua matanya meram, ia
terus berdiam saja.
"Kaus kakimu itu menyukarkan," nona Jie kata. "Di mana bisa dicari kaus kaki yang cocok besarnya" Kau ada
perempuan bukan, lelaki bukan, habis kau sebenarnya mau
jadi apa" Aku pikir baik kau tinggal padaku di sini buat beberapa hari, selama itu kaus kakimu boleh dicuci, dan
sepatu boleh dipesan."
Mendengar demikian, Kiau Liong manggut.
"Encie, bikinlah apa yang kau suka," kata ia akhirnya.
"Sekarang pikiranku sedang kusut, aku tidak bisa berpikir dengan benar."
Siu Lian panggil si nyonya muda, buat suruh dia bawa
pergi itu kaus kaki dan sepatu, baliknya, ia minta
dibawakan mie. Kiau Liong sedang lapar, ia lantas saja dahar. Kemudian
ia rebahkan diri, ia tidur pulas dengan ia tak merasa. Ketika ia mendusin, ia tidak lihat Siu Lian. Ia hanya lantas lihat si nyonya datang dengan kausnya yang sudah dicuci bersih
dan kering. "Nona Jie pergi ke mana?" ia tanya nyonya itu.
"Ia pergi ke piau tiam. Tadi ada orang datang dari sana memanggil ia.
Mendengar ini, Kiau Liong merasa sedikit curiga. Tapi ia tidak kata apa-apa, hanya ia ajak nyonya itu bicara. Ia
tanyakan cara hidupnya nona rumah. Maka ia lantas dapat
tahu, setiap hari Siu Lian ada memasang hio, atau menjahit atau membaca buku, atau pergi ke pekarangan berlatih silat, atau dia piara ikannya dan menyiram kembang. Dan setiap
hari, tentu satu kali nona itu pergi ke piautiam di Pakkwan, Kota Utara, tetapi bukan pasti untuk memeriksa buku
keuangan, hanya buat pasang omong dengan Yok Thian
Kiat dan isterinya Cui Sam.
Mendengar itu semua nona Giok kagumi cara hidupnya
orang yang tenteram dan senang itu, hanya ia merasa, kalau ia sendiri mesti tuntut penghidupan demikian macam,
barangkali ia tak kerasan. Hatinya sudah "terbuka", ia telah jadi binal, kalau umpama ia mesti pulang, hidup damai
seperti dahulu, belum tentu ia sanggup. Ia gembira kalau ia ingat bagaimana di Pooteng ia telah tempur banyak cabang atas, ia puas dengan pertarungannya dengan Lie Bou Pek,
sebab ia anggap, ia kalah dengan terhormat! Cuma ia tak
puas dengan penghidupannya selama di perjalanan, seperti
gangguannya itu beberapa orang ceriwis, kamar hotel yang sempit dan kotor, dengan para tetamunya menjemukan.
Lantas Kiau Liong membayangkan Lo Siau Hou, dalam
dua sikapnya. Satu seperti Poan Titian In yang berewokan dan tidak keruan, romannya bengis, satu pula sesudah
dandan, sebagai pemuda yang cakap dan gagah, romannya
menarik hati. Nyanyiannya bersemangat.
"Entah ia kabur ke mana sekarang?" ia tanya dalam hatinya. "Aku kuatir selanjutnya, selama hidupku, aku akan tidak ketemu pula dengan ianya ... "
Ingat begini, nona ini jadi berduka.
Selama itu, Siu Lian belum juga kembali, dan si nyonya
tak pernah datang-datang. Ia telah pakai kaus kakinya,
tetapi karena memakai kaus melulu, ia tidak bisa turun dari pembaringan, hingga ia jadi masgul. Ia memandang ke
bawah. Ia lihat sepasang sepatu hijau, yang sudah tua,
terletak di pojokan. Sambil menduga itu ada sepatunya
nona Jie, ia korek dengan pedangnya, ia coba pakai, tetapi tidak sedang. Sepatu itu kecil dan kakinya sendiri besar!
Toh, sambil berjing-ke, ia turun dari pembaringan, ia mesti jalan sambil berlompatan, sampai di luar kamar. Di sini ia buang diri di atas sebuah kursi. Kemudian, bahna
nganggurnya, ia singkap cita hitam yang menutup sinchie
yang mencil sendirian, maka ia bisa lantas baca tulisan
sinchie itu, yang berbunyi: "Soanhoa Beng Su Ciau Cie Sinwie" atau "Sinchie-nya Beng Su Ciau dari Soanhoa".
Membaca itu, Kiau Liong terperanjat sendirinya.
Itu adalah sinchie dari tunangannya Jie Siu Lian. Hal ini ia dengar dari Tek naynay, menurut siapa, kedua tunangan itu malah belum pernah melihat satu pada lain, bahwa
bugee-nya Beng Su Ciau
ada berimbang dengan kepandaiannya Lie Bou Pek, bahwa pemuda she Beng itu
pernah tolong jiwanya si orang she Lie. Hanya sekarang,
Beng Su Ciau telah tinggal arwahnya saja, dan Lie Bou Pek hidup dalam perantauan. Dan Siu Lian, hidup sebatang
kara, masih tak lupakan tunangannya itu, dengan siapa ia belum pernah ketemu, roman siapa ia belum pernah lihat.
Toh sinchie itu membuktikan bahwa ia tak lupai
tunangannya, yang sudah tinggal namanya saja ...
Memegangi sinchie itu, Kiau Liong merasa lucu dan
terharu dengan berbareng.
"Nyata ia ada seperti aku, gagal dalam percintaan ... " ia pikir kemudian.
Tiba-tiba, Siu Lian pulang, dan nona ini lihat bagaimana orang sedang pegangi sinchie-nya Beng Su Ciau, air
mukanya berubah dengan sekonyong-konyong.
Dengan jengah, Kiau Liong lekas kembalikan sinchie itu.
"Aku telah suruh orang belikan kau sepasang sepatu,"
kemudian kata nona Jie. "Ini ada sepasang sepatu yang paling kecil yang dipilih, barangkali masih kebesaran untuk kau, hanya ini tentu ada lebih mendingan daripada
sepatuku ... "
"Kau baik sekali," Kiau Liong bilang. "Coba sejak dahulu aku ada punya encie semacam kau ... "
Tapi Siu Lian unjuk roman keren.
"Andaikata aku ada encie-mu, pasti sekarang aku larang kau pergi ke mana-mana!" ia bilang. "Tentu sekali, aku pun akan cegah ayah dan ibumu nikahkan kau dengan Lou Kun
Pwee, sebagaimana aku akan tak biarkan kau merdeka
berkenalan dengan Lo Siau Hou ... "
Kiau Liong terkejut akan dengar ucapan itu.
Siu Lian tidak gubris sikap orang itu, ia lemparkan
bungkusan sepatu pada itu nona, ia sendiri terus bertindak ke dalam.
Kiau Liong buka bungkusan dan pakai sepatunya dengan
cepat, untuk bisa susul nona itu di dalam. Ia ada bermuka merah karena malu, tetapi toh ia gerembengi nona itu.
"Apa kau bilang barusan?" ia tanya. "Aku tidak mengerti."
Ia memegang keras, ia seperti gujeng nona rumah itu.
"Kau tidak mengerti?" sahut si nona, dengan senyuman tawar. "Kau tidak mengerti, akan tetapi aku tahu semua!
Dan aku akan omong padamu, dengan tak tunggu sampai
kau sudah bisa tenteramkan hati! Tadi ada datang orang
dari Pakkkia, dan ia telah bercerita. Lo Siau Hou sudah
datang ke kota raja di mana ia telah terbitkan kekacauan!
Kau juga telah menikah tetapi kau terus minggat!"
Kiau Liong kaget dan heran.
"Siapa dia itu?" ia tanya. "Apakah Itto Lianhoa Lau Tay Poyang datang kemari, untuk lagi-lagi memohon bantuan?"
Siu Lian geleng kepala.
"Dia bukannya Lau Tay Po," ia jawab. "Kau tidak usah tahu siapa adanya dia, umpama kata aku kasih tahu, kau
juga tak kenal padanya. Dia datang kemari bukan untuk
cari kau, dan aku telah pesan semua orang untuk tidak
beritahukan padanya bahwa kau telah berdiam di rumahku
ini." "Siapa dia sebenarnya?" Kiau Liong masih tanya. "Apa dia Lie Bou Pek?"
"Bukan! Lie Bou Pek sudah beberapa tahun tak pernah pergi ke Pakkhia. Maka Lie Bou Pek juga tak dapat ketahui
bahwa ada satu Giok sam-siocia yang telah berkenalan
rapat dengan penjahat besar Lo Siau Hou ... "
Kiau Liong mendongkol mendengar itu godaan, hingga
ia hendak sambar pedangnya.
"Jangan!"
berkata Siu Lian, yang mendahului menyambar pedang itu dibawa ke belakangnya, sedang
dengan tangan kiri, ia tolak tubuhnya Kiau Liong.
Kiau Liong mundur sampai dua tindak karena dorongan
itu, hampir ia rubuh karena terpelanting. Siu Lian telah unjuk tenaganya terhadap ia.
Nona Jie berkata pula, dengan adem:
"Baiklah aku beritahukan padamu!" demikian katanya.
"Orang itu datang kemari bukan untuk cari kau, hanya untuk menyampaikan surat kepadaku. Coba kau baca ini
surat!" Dari sakunya, Siu Lian keluarkan selembar surat.
Kiau Liong menyambuti, dengan lekas ia buka dan baca.
"Adik Siu Lian yang baik!
Orang dengan siapa dahulu kau pernah bertemu satu kali, sekarang ini telah lakukan tindakan yang luar biasa, ia telah pergi jauh, entah ke mana. Ia ada sebangsa kau, adikku, akan tetapi dia tak sebaik dan toapan sebagai kau. Perbuatannya ada di luar sangkaan. Kejadian ada hebat, tetapi rasanya, masih bisa tertolong. Keterangan lebih jauh, adikku tanyakan saja pada pembawa surat ini. Hanya, kalau umpama adikku ketemu dia itu tolong dayakan agar ia bisa diajak pulang secara diam-diam.
Kalau dia mesti terus merantau di luaran, itulah hebat. Sayang.
Tentang Lee Hong aku telah minta si pembawa surat bicara sendiri dengan adikku. Maka, aku tak menulis lebih panjang lagi
..." Diam-diam Kiau Liong terperanjat. Ia percaya,
pembawa surat itu ada orang kepercayaannya Tek naynay
dan Khu siau-naynay sebagaimana surat itu ada suratnya
nyonya Tek Siau Hong, yang menulis atas namanya nyonya
Khu Kong Ciau juga. Terang kedua nyonya itu minta Siu
Lian antar ia pulang, andaikata si nona Jie ketemu dengan ia. Dan sekarang, ia justru berada di rumahnya si nona Jie ini.
Tapi akhirnya sambil remas surat itu, ia bersenyum
tawar. "Duduklah," kata Siu Lian, seraya tunjuk pembaringan.
"Mari kita bicara, dengan perlahan-lahan."
Kiau Liong mencoba keraskan hati, sedang hatinya ada
pilu. "Ini ada surat dari Tek ngoso, yang ia minta sukoku Sun Ceng Lee yang bawa," kemudian Siu Lian terangkan. "Sun suko berangkat kemarin dari Pakkhia dan ia sampai di sini tadi malam, ketika tadi aku pergi ke piautiam, aku ketemu suko itu dan ia serahkan ini surat sambil menutur. Sekarang ia sedang tidur ... "
"Cerita terus!" Kiau Liong lantas mendesak.
"Sabar," Siu Lian bilang, "Sun suko datang kemari untuk panggil aku kembali ke Pakkhia. Yo Lee Hong sekarang
telah dapat tahu yang musuhnya, itu orang yang dahulu
bikin celaka ayah dan ibunya hingga mereka ini binasa,
berada di Lulam, Hoolam. Ia mau membikin pembalasan,
ia mau pergi cari musuhnya itu. Niat ini telah dicegah oleh kedua mertuanya, sebabnya terutama karena luka suaminya
pun baru saja sembuh, karena cegahannya mertua itu,
sekarang Lee Hong menangis saja, hingga Tekngoso jadi
kewalahan. Nona mantu itu sampai tidak mau makan nasi,
kecuali dia diijinkan pergi menuntut balas. Begitulah, ngoso tulis suratnya meminta aku datang kepadanya."
Kiau Liong manggut, ia bisa mengerti keterangan ini.
"Dan apa kabar tentang aku di Pakkhia?" kemudian ia tanya. "Kabar tak bisa ditutup anteronya, tetapi orang
tuamu tetap berdaya akan tutup rahasia. Mereka kasih
alasan bahwa, setelah kau menikah, kau mendapat sakit,
hingga kau sampai sekarang ini belum bisa ketemui sanak-
beraya ... ,"
Kiau Liong bersenyum sindir, ia susut mukanya.
"Oleh karena urusannya Yo Lee Hong itu, besok aku
mesti berangkat bersama Sun suko," Siu Lian kasih tahu.
"Sesampainya di Pakkhia, aku nanti bertindak dengan melihat gelagat. Bisa jadi aku bisa bujuki Lee Hong akan bersabar, atau aku terpaksa antar ia ke Hoolam, guna
wujudkan pembalasannya, sebab aku perlu bantu padanya.
Aku pun ingin bisa bertemu dengan Lo Siau Hou, guna
dapatkan ketegasan ia benar ada saudara kandungnya Lee
Hong atau bukan ... "
"Bahwa mereka ada bersaudara, itulah tak salah lagi!"
berkata Kiau Liong. Ia bicara sambil kerutkan alis.
"Tentang ini, aku berani tanggung!"
"Apa kau ada punya hubungan dengan Lo Siau Hou?"
tanya Siu Lian dengan perlahan.
Kiau Liong manggut, mukanya menjadi merah, tetapi ia
kertak gigi, karena berbareng pun ia berduka.
"Apakah kau ingin bertemu pada Lo Siau Hou?" Siu Lian tanya pula.
Kiau Liong manggut, tetapi ia terus kata, dengan sengit.
"Aku ingin ketemu padanya, buat terus tabas kutung
batang lehernya! ... "
"Ah ... " kata Siu Lian. "Kenapa mesti begitu" ... "
"Jangan kau pedulikan aku! Siapa juga kau boleh campur tahu urusannya, tetapi aku, tidak!"
Nona Jie tak ambil perhatian buat suara keras itu.
"Apakah bukan lebih baik kau turut aku ke Pakkhia?" ia tanya.
Kiau Liong mengawasi, dengan mata mendelik.
"Turut kau?" ia tegaskan. "Buat apa?"
"Turut aku, artinya," tertawa si nona Jie, "di sana aku nanti minta perantaraannya Tek ngoso dan Khu naynay
buat antar kau kembali kepada keluarga Lou, dengan
katakan bahwa sakitnya sudah sembuh, buat kau tetap
menjadi pengantin baru. Dengan begitu, urusan tak jadi
urusan lagi dan kabar angin akan sirap sendirinya, ... "
Kiau Liong tertawa. Ia ambil tempat penjahitan dari atas tromol, ia ambil dua potong kain hitam kecil dan jarum,
buat bikin tali sepatu.
Siu Lian mengawasi, ia pun tertawa.
"Jikalau kau tidak suka turut Lo Siau Hou, lebih baik kau turut Lou Kun Pwee," ia kata pula. "Kau ada satu ciankim siocia, kau harus menjadi satu siau-naynay! Merantau di
dunia Sungai Telaga bagi kau sangat tak surup! Aku bicara dari hal yang benar, dengan maksud baik ... "
Kiau Liong tertawa, dua potong tali sepatunya sudah
dipasang di sepatunya.
Siu Lian berbangkit seraya membawa pedang, ia pergi ke
pintu di mana ia berdiri menghadang.
"Setelah selesai ikat sepatumu apa kau hendak kabur?" ia tegasi. Ia bicara sambil bersenyum.
Kiau Liong mengawasi, sambil tertawa dingin.
"Aku hendak kabur?" ia ulangi. "Kalau aku hendak kabur, apa kau kira kau bisa rintangi aku dengan kau
menghalau di pintu" Nyatalah kau sendiri pandang Jie Siu Lian terlalu tinggi!"
Siu Lian tidak gusar, sebaliknya ia tertawa.
"Biarnya kau sangat licin, Siau-ho-lie, di depanku, jangan kau banyak tingkah!" ia kata. Ia tertawa pula, kemudian ia menambahkan: "Buat kau, balik ke Pakkhia atau tidak, ada urusanmu! Aku tak akan memaksanya. Urusanmu ini tidak
ada sangkut pautnya dengan aku, kalau toh aku bicara juga padamu, itu disebabkan aku anggap pikirannya Tek ngoso
dan Khu naynay ada cenglie-nya. Apakah artinya buat kau
merantau di luaran" Bagaimana nanti akhirnya jikalau kau terus ikut Lo Siau Hou?"
"Dan bagaimana akhirnya dengan kau sendiri?" Kiau
Liong membaliki. Ia rupanya sengit karena ucapannya yang terakhir ini. "Apakah itu sinchie di luar ada tanda dari akhirnya urusan dirimu sendiri?"
Sembari menanya begitu, Kiau Liong mengawasi nona
Jie, ia bersenyum tawar.
Mukanya si nona Jie menjadi merah. Ia merasa bahwa ia
telah terserang.
"Jangan kau usil aku!" ia kata. "Keluarga kita ada tetap keluarga kaum kangou!"
"Dan keluargaku, mulai dari aku, akan jadi keluarga kangou juga!" kata si nona Giok dengan jumawa.
'"Pikirlah baik-baik," kata Siu Lian kemudian, yang menjadi sabar pula,
"Tentang ini aku sudah pikir masak-masak," Kiau Liong bilang, "Baiklah kau urus saja urusanmu sendiri, tidak usah kau pedulikan perkaraku!"
"Baiklah," sahut nona Jie akhirnya. "Aku tak akan campur urusanmu!"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Cengbeng-kiam dilemparkan ke atas pembaringan.
Dengan sebat Kiau Liong jumput pedangnya itu, untuk
dilibat dengan bajunya. Ia lantas berbangkit.
Siu Lian mengawasi dengan mata terbuka lebar.
"Apakah kau hendak berangkat sekarang juga?" tanya ia.
"Buat kau berangkat sekarang, tidak ada halangannya!
Pedang kau hendak bawa, juga tidak ada halangannya! Tapi ingat baik-baik, aku larang kau dengan ini pedang berbuat sewenang-wenang di kalangan kangou, berbuat sesukanya
saja! Aku pun larang kau campur lagi segala penjahat
sebangsa Pekgan Holie! Jikalau kau lakukan pula perbuatan seperti kau binasakan Coa Kiu dengan piau, aku nanti
putuskan persahabatan dengan kau! Baiklah aku tegaskan:
Aku bersahabat denganmu sebab aku pandang mukanya
Tek ngoso! Dan aku nasehatkan kau pulang ke Pakkhia
lantaran kau tidak kenal adat kebiasaan di kalangan
kangou, kau biasa turuti kehendak sendiri ... "
Selagi si nona Jie berpitutur, tiba-tiba Kiau Liong maju, sambil dorong tubuh orang, ia telah mencelat keluar,
kemudian sambil berpaling, ia tertawa..
"Kau mesti angkat sumpah di depanku," kata pula Siu Lian, yang tak melawan karena dorongan itu. "Kau mesti sumpah bahwa kau tidak lakukan lagi perbuatan gila-gila, dengan begitu baru aku bisa kasih kau pergi!"
Tetapi Kiau Liong jawab kata-kata itu dengan tertawa
menyindir. "Aku main gila atau tidak, kau tidak berhak akan
mengusilnya!" ia kata. "Kalau kau memohon, itulah lain perkara, itulah boleh. Di hadapanku, tidak ada gunanya
akan kau bicara secara keras!"
Siu Lian loncat memburu, tetapi tetamunya telah
mendahului akan loncat keluar, akan kabur ke pekarangan
depan. Siu Lian coba memburu terus, meskipun ia ada
mendongkol berbareng merasa lucu melihat tingkah
lakunya Kiau Liong.
"Apa kau kira aku bisa antap kau kabur?" ia kata pula, sambil tertawa, "janganlah kau jumawa dan anggap bahwa bugee-mu sudah sangat sempurna! ... "
Tapi Kiau Liong jawab nona itu dengan gerakan
tangannya seperti menuding, atas mana sebatang anak
panahnya melesat, mengenai iga kiri dari Siu Lian dengan dia ini tak menduga apa-apa, hingga ia terkena panah itu.
Sekarang ia jadi sengit, ia lari ke dalam akan ambil
sepasang goloknya.
Kiau Liong lari terus, akan buka pintu pekarangan,
kemudian ia hendak buka kudanya Siu Lian dari
tambatannya. Itu waktu nona Jie telah kembali, kedua tangannya
bersenjata golok.
"Kau kurang ajar!" ia berseru. "Aku tak bisa izinkan kau berlalu!"
Kiau Liong tidak mau berkutetan sama tali les, ia
gunakan pedangnya membabat putus tali les dari tambatan,
setelah mana, kuda itu ia keprak dikasih lari keluar. Dengan sebelah tangan terus cekal pedangnya, dan sebelah tangan memegang les, ia loncat naik ke atas binatang itu yang ia segera kasih lari. Ia ada satu penunggang kuda yang pandai, sambil lari keluar, ia berpaling tangannya kembali diayun.
Siu Lian menyangka orang menggunai lagi panah gelap,
ia merandek, pedangnya sudah siap, guna menangkis
senjata. Tapi ternyata, nona Giok telah gunakan tipu, sebab ia tidak menyerang pula, dan di saat si nona merandek, ia tertawa.
"Sampai ketemu pula!" ia kata.
Sekali ini, ia keprak kudanya terus dikasih lari ke arah timur. Di situ ada jalanan kecil, setelah keluar dari situ, ia sampai di jalan besar. Di sini terpaksa ia tahan kudanya, agar tak larat terus. Kapan kemudian ia ke luar dari
Tongkwan, Kota Timur, ia patahkan sebatang yangliu,
guna pakai itu sebagai cambuk. Pedangnya ia tancap di sela kudanya lalu dikaburkan.
Ada banyak orang di tengah jalan, tetapi mereka semua
lekas-lekas menyingkir ke pinggiran.
Baru si nona lintasi jembatan batu, di belakang mereka
tertampak menyusul dua penunggang kuda. Kedua
penunggang itu datang dengan pesat. Mereka ada Jie Siu
Lian dan Sun Ceng Lee.
Kiau Liong tahu orang kejar ia, ia bersenyum sindir, ia
sabet kudanya dengan cambuk yangliu-nya, akan laratkan
kudanya itu. Setelah lari jauhnya empat atau lima lie, di sebelah depan Kiau Liong lihat ada mendatangi sebuah kereta yrang
rupanya bermuatan berat, binatang penariknya ada seekor
kerbau, karena itu, ia lantas larikan kudanya di pinggiran, guna menyingkir dari tabrakan.
Di luar dugaan, dengan tiba-tiba, dari belakang ada
menyambar selembar tambang besar atau dadung. Kiau
Liong berkelit, guna loloskan diri dari tambang itu tetapi apa mau tambang itu, yang memakai bandringan, sudah
mengenai kaki kudanya, hingga kuda itu lantas tertahan
dan tidak bisa lari, lekas-lekas ia loncat turun, ia hunus pedangnya.
Hampir berbareng dengan itu Jie Siu Lian, ialah si
pengejar, juga sudah loncat turun dari kudanya, maju
seraya putar goloknya, yang terus dipakai membacok.
Dengan pedangnya, dengan berani, Kiau Liong
menangkis. Ia tak jadi jeri, sebab ia bersenjatakan pedang mustika, yang tajam luar biasa.
Siu Lian tarik pulang goloknya, tetapi ia tak mundur,
dengan golok kiri, ia menyerang pula. Ia merangsek.
Percuma Kiau Liong coba adu senjatanya, senjata itu tak
bisa menabas goloknya gadis dari almarhum Jie Hiong
Wan. Melihat desakan lawan, ia jadi memikir lain. Maka ia loncat mundur, akan lari kabur.
Tiba-tiba Ngojiau-eng Sun Ceng Lee, si Garuda Berkuku
Lima, ialah orang yang telah gunakan bandringan, telah
membandring pula, malah bandringnya itu bisa sambar
pedangnya sampai terlilit.
"Giok Kiau Liong, bangsat perempuan, lekas berlutut!"
berseru orang she Sun ini.
Berbareng dengan itu, Siu Lian yang berlompat pun telah
sampai. Gesit luar biasa, Kiau Liong jatuhkan dirinya, buat terus bergulingan di tanah, hingga berbareng lolos dari kepungan, pedangnya pun terbebas dari lilitan tambang, yang ia
teruskan menabas, hingga bandring itu jadi terbabat putus!
Dalam sengitnya, Sun Ceng Lee loncat turun dari
kudanya, akan pakai golok besarnya untuk serang si nona.
Kiau Liong tidak takut senjata berat dari lawan, ia malah loncat akan menangkis, atas mana, Ceng Lee terpaksa tarik pulang senjatanya.
Siu Lian memburu dengan bacokannya, tetapi si nona
Giok ada gesit luar biasa, selagi Ceng Lee menarik pulang goloknya, ia ayun tangan kirinya, maka dengan tidak
ampun lagi, dadanya Ngojiau-eng kena terpanah. Di lain
pihak saking sebatnya, nona ini pun tangkis golok lawan, yang ia hendak bikin kutung.
Ceng Lee lompat ke pinggir, guna cabut panah di
tubuhnya. Siu Lian juga mesti loncat mundur, buat orang punya
tabasan yang berbahaya.
Ini ketika yang baik, Kiau Liong sudah gunai. Dengan
satu loncatan jauh dan tinggi, ia mencelat ke atas kudanya Sun Ceng Lee, yang berada tidak jauh dari kudanya, kapan ia telah sambar les kuda dan kedua kakinya dipakai
menjepit perutnya kuda itu, ia bikin itu binatang lompat dan kabur.
Siu Lian juga berlaku sebat, sambil berloncat pesat, ia
menyerang. Tetapi Kiau Liong kembali menangkis, hingga
terpaksa ia mesti tarik pulang goloknya itu.
Sun Ceng Lee telah gunakan tambangnya yang sepotong,
akan membandring pula, tetapi ia gagal, si nona bisa
berkelit. Setelah itu, Kiau Liong kaburkan kudanya,
Siu Lian loncat naik atas kudanya yang ia kasih lari buat mengejar.
"Tidak bisa tidak, aku mesti bekuk kau untuk dibawa ke Pakkhia!" ia berseru.
"Hm! Sudah bagus bagimu yang aku tak ganggu
jiwamu!" Kiau Liong membalasi dengan caranya yang
menghina. Sekarang berdua mereka saling susul, kuda merah di
depan, kuda hitam di belakang. Dan di belakang sekali
menyusul Sun Ceng Lee, sambil berteriak-teriak.
Kuda merah dari Kiau Liong bisa lari keras, dari timur ia membelok ke utara. Ia telah kabur jauh, sampai di depan ia, ia menghadapi sebuah kali. Ketika itu, matahari sudah
sangat doyong ke barat, maka juga air sungai telah
bercahaya merah dan berkilau-kilau. Di sebelah depan ada tempat penyeberangan, yang kelihatannya ramai sekali.
Nona Giok tidak ingin tabrak orang, ia menyingkir dari
jalanan yang ramai, ia menuju ke barat. Tapi, di luar
sangkaannya, tiba-tiba ada satu penunggang kuda, yang
melintang di depannya yang coba mencegat ia. Dan buat
kekagetannya, ia dapatkan penunggang kuda itu ada Lie
Bou Pek! "Bangsat perempuan!" menegur pencegat itu. "Di sana kau telah lepas api, lantas kau merat kemari! Apa kau
sangka hari ini aku bisa kasih kau lolos lagi?" Bou Pek menegur dengan terus menyerang dengan pedangnya.
Biarnya ia terperanjat, Kiau Hong tidak takut, pedang
penyerang itu ia sambut dengan tangkisan pedang untuk
bikin kedua senjata beradu.
Bou Pek tarik pulang pedangnya, untuk kemudian
dipakai menyerang pula, malah ia mendesak.
Itu waktu, Siu Lian dan Solu Ceng Lee pun telah
memburu sampai, malah Ngojiau-eng terus saja perdengarkan suaranya yang nyaring: "Lie hiantee, bekuk itu budak perempuan! Dia telah pakai senjatamu sendiri!
Dia ada puterinya Giok Cengtong dari Pakkhia! Dia telah
jadi nona pengantin tetapi dia minggat! Dia juga ada itu siluman rase cilik yang tersohor!"
Kiau Liong gusar sekali atas itu kata-kata tajam, maka ia ayun tangannya ke jurusan si Garuda Berkuku Hina, T jeng Lee rubuh seketika, karena panah tangan telah menyambar
ia dengan ia tak berdaya, akan menghalaunya. Ia jatuh dari atas kudanya.
Siu Lian segera merangsek, sedang Bou Pek mendesak,
maka juga sebatang pedang dan sepasang golok menimpa
berbareng kepada puteri dari Giok cengtong.
Kiau Liong tidak takut, dengan bengis ia tangkis tiga
senjata lawan itu, hingga mereka ini mesti lekas-lekas tarik pulang senjatanya.
Lantas, setelah itu, Kiau Liong mencoba akan mendesak,
pedangnya membulang-baling, sinarnya berkeredepan. Di
lain pihak, di waktu membela diri, tubuhnya pun
nampaknya sebagai ada terlibat atau tergulung sinar putih berkilau-kilau dari pedangnya yang tajam dan liehay itu.
Tetapi nona Giok tidak mau mendesak terus, di saat
orang menyingkir buat kegarangannya itu, dengan tiba-tiba ia larikan kudanya buat menyingkir. Ia beranggapan angkat kaki dari situ ada jalan paling selamat.
Siu Lian mengejar begitu lekas orang mencoba kabur,
perbuatannya itu ditelad oleh Lie Bou Pek.
Dengan tak diketahui maksudnya, Kiau Liong kaburkan
kudanya ke jurusan kali dan terjunkan diri ke air.
Dan selagi terjun, ia putar tubuhnya, tangannya terayun
sebelah. Lie Bou Pek menangkis dengan pedangnya, karena ia
lihat menyambarnya sebatang anak panah yang liehay dari
nona itu, hingga ia luput menjadi kurbannya anak panah
itu. Kalau Lie Bou Pek telah tahan kudanya, sebaliknya Siu
Lian turut terjun.
Sungai itu ialah sungai Huyang Hoo yang lebar tetapi
airnya cetek. Di situ ada sebuah penyeberangan atau
pelabuhan, di mana ada banyak orang. Maka itu, banyak
orang yang memandang itu pertempuran, malah ada yang
berteriak-teriak ...
Kiau Liong paksa kudanya serbu air, akan sampai di tepi
seberang. Ia tidak menoleh sama sekali. Ketika ia
mendekati tepi seberang, tiba-tiba kudanya terbebas di
dalam lumpur di pinggiran, hingga ia jadi ibuk, ia cambuki kudanya itu yang sia-sia mencoba akan lepaskan diri dari lumpur yang lembek dan dalam. Maka di akhirnya, nona
Giok bangkit berdiri di atas kudanya, ia enjot tubuhnya
akan loncat ke pinggiran sambil ia tinggalkan kudanya itu.
Ketika ia menoleh ke belakang, ia lihat Siu Lian, yang
hampir menyandak.
Jauh di belakang nona Jie ini, kelihatan Lie Bou Pek pun menyusul dengan kudanya, sedang di belakang lagi dari
orang she Lie itu, ada Ngojiau-eng Sun Ceng Lee dengan
tubuhnya yang besar.
Di air yang berlumpur, Kiau Liong lintas lari ke jurusan darat. Ia mesti hadapi kesukaran, karena jalanan yang sukar
ada sangat memperlambat ia. Ia pun masgul dan
mendongkol, karena sekarang ia telah kehabisan panahnya.
Tapi ia toh sampai di pinggiran dan naik ke darat, akan
berlari-lari. Hanya, ketika ia baru lari kira-kira setengah lie, Jie Siu Lian dan Lie Bou Pek serta Sun Ceng Lee, yang
masih menunggang kuda, dapat mengejar ia, hingga ia kena dikurung pula.
"Rase cilik, apa kau masih tak mau menyerah?" Ceng Lee berseru dengan murkanya. Ia barengi teriakannya itu
dengan bacokannya.
Kiau Liong berkelit dari bacokan itu, di saat mana,
sepasang goloknya Siu Lian menyambar ia, hingga ia mesti beraksi terus, menangkis serangan ini.
Adalah di saat ini, Bou Pek telah datang dekat sekali,
hingga ia bisa menyerang dengan si nona tak berdaya, tetapi pemuda ini tidak menusuk atau membabat dengan
pedangnya, hanya ia pakai ujung pedang mengetok kepala
orang hingga terkena itu, Kiau Liong rasai kepalanya
pusing. Selagi nona itu seloyongan, Ceng Lee maju dengan
goloknya. Tetapi Siu Lian lantas menghalanginya, sebab ia tahu. Satu kali golok besar melayang, Kiau Liong bisa
menghadapi bahaya maut. Setelah itu, nona Jie loncat turun dari kudanya, dengan niatan tubruk dan ringkus si Naga
dari Sinkiang ini.
Tapi Kiau Liong bisa melihat dan lupa akan pusingnya
kepala, ia menyabet dengan pedangnya, sehingga nona Jie
merandek dan batalkan niatnya untuk meringkus Kiau
Liong. Lio Bou Pek masih berada dekat nona yang binal ini,
selagi orang serang Siu Lian, ia ayun sebelah kakinya yang
mengenai jitu seperti tadi pedangnya menghajar kepala
orang. Tidak tempo lagi, Kiau Liong rubuh, sampai meloso!
Lagi sekali, Siu Lian merangsek. Tapi, gesit luar biasa, Kiau Liong keburu loncat bangun dengan pedangnya
mengancam. Dan ketika si nona dan Kielok merandek, ia
gunakan ketika ini akan loncat mundur, terus lari ...
Bersama-sama Ceng Lee, Siu Lian lompat mengejar.
Kiau Liong lari keras sekali, sampai tiba-tiba Lie Bou
Pck, yang masih menunggang kuda, tahu-tahu muncul
menghalau di depan ia, pedangnya dilintangkan. Ia lantas saja menyerang dengan hebat, akan kemudian balik lari
pula ke lain jurusan, akan manjat ke satu tempat tinggi.
Karena nona ini lari ke lain jurusan, ia telah dapat
disusul oleh Sun Ceng Lee. Dan Ngojiau-eng sudah lantas
menyerang dengan goloknya.
"Jangan lukai padanya!" berteriak Siu Lian, yang berada di sebelah belakang.
Tapi Kiau Liong telah tangkis serangan golok itu, dari
sebab Ngojiau-eng tidak tarik pulang goloknya, golok itu lantas terkutung ujungnya begitu lekas kedua senjata beradu satu pada lain.
Selagi si suheng melengak, Siu Lian sudah sampai.
"Sumoay, kau mundur!" mencegah Lie Bou Pek, yang sudah lantas loncat turun dari kudanya, buat terus berlari naik ke tanjakan di mana Kiau Liong berada.
Kiau Liong tidak kabur, ia justru sambut si orang she Lie dengan sabetan pedangnya.
Bou Pek tidak menangkis, ia egos diri sambil merangsek
lebih dekat, sebelah kakinya ia angkat hingga satu suara beradu telah kedengaran.
Hampir Kiau Liong menjerit kesakitan, karena ia rasai
tangannya menggetar dan jadi hilang tenaga, hingga
pedangnya terlepas, jatuh ke bawah. Di lain pihak,
pedangnya si anak muda menyambar ke jurusan kepalanya.
Dalam saat berbahaya itu, nona Giok masih tidak bisa
lupa akan senjatanya, ia berkelit sambil buang diri, hingga ia jatuh bergelindingan, tetapi justru karena ini, ia bisa sampai pada pedangnya, yang ia terus jumput pula, untuk
segera dibawa lari.
Siu Lian mencegat, kedua goloknya dipakai menyerang.
"Orang licin!" berseru si nona Jie ini.
Sambil menangkis, Kiau Liong loncat ke samping guna
lari lebih jauh, tetapi Lie Bou Pek kembali mengadang di depannya, maka terpaksa ia loncat ke sebelah kanan, dari mana, lari baru beberapa tindak, ia hadapi sebuah pohon
besar. Tidak tempo lagi, gesit laksana kunyuk, ia melapai naik di atas pohon itu!
"Ke mana kau hendak kiri?" membentak Siu Lian, yang lemparkan sebelah goloknya, hingga dengan sebelah golok
yang lainnya, ia pun manjat, akan mengubar.
Melihat demikian, Kiau Liong melapai ke satu cabang,
dari mana ia merayap ke bawah dan lompat turun, hingga
bersama ia, ia bikin banyak daun pada rontok.
Lie Bou Pek berada di bawah pohon, selagi orang loncat
turun, ia berlompat sambil geraki pedangnya.
"Aduh!" berteriak Naga dari Sinkiang, karena ia tidak sempat berdaya akan lindungi bahunya, yang telah mesti
terkena ketokan pedang. Karena ini, ia jadi gusar dan nekat, hingga ia rangsek pemuda itu sambil kertak gigi.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bou Pek tidak mundur karena desakan itu, ia bikin
perlawanan sama sengitnya.
Tiba-tiba Kiau Liong merasai sakit sekali pada lengannya yang kanan, karena kembali ia kena terketok tetapi meski demikian, ia masih tidak mau lepaskan pedangnya, hingga
menyekal itu keras-keras ia lari pula.
Siu Lian sudah turun kembali dari pohon dan jumput
goloknya, ia terus mengejar, atas mana, Kiau Liong balik akan bikin perlawanan. Karena ini Bou Pek keburu sampai, hingga nona itu lagi-lagi kena dikepung.
Baru empat atau lima jurus, Kiau Liong rubuh terbanting
karena satu dupakan dari Bou Pek, yang telah pancing
pedangnya ke atas, hingga bagian bawahnya menjadi
kosong. Siu Lian kempit goloknya lalu ia loncat untuk
menyergap. Gesit luar biasa, Kiau Liong mencelat bangun. Sekarang
ia telah perlihatkan roman luar biasa, mirip dengan iblis atau siluman. Pakaiannya sudah tidak keruan, kotor dan
berdarah, rambutnya pun kusut, sedang antara mukanya
yang dekil, kelihatan sepasang matanya yang mencorong,
saking gusar. Ia toh masih tidak mau menyerah, ia lantas menyerang dengan keluarkan ilmu pedangnya yang liehay
yang ia dapat cangkok dari kitab Kiu Hoa Koan Kiam Coan
Sie. Bou Pek segera kenalkan ilmu pedang orang itu, karena
ini, ia jadi semakin tidak tega akan bikin celaka nona itu, yang terang ada asal satu rumah perguruan dengan mereka.
Ia pun mengagumi kepandaiannya bersilat pedang itu.
Siu Lian juga kenalkan ilmu silat itu, hingga ia pun suka mengalah.
"Kau harus mengasokan diri!" ia lantas berkata. "Kita tidak akan desak padamu. Mengapa kau melawan begini
nekat hingga kau seperti paksa kita mesti binasakan
padamu?" "Cis," berseru si nona Giok. sedang dari ludahnya, yang merah warnanya, kelihatan darah, satu tanda ia telah kertak gigi sampai melukai lidahnya. Ia tidak mengucap lebih, ia balik badannya, akan lari pula.
Tidak jauh dari situ ada sebuah rumah dengan tembok
tanah, gesit laksana kucing hutan, nona ini berloncat naik ke atas tembok itu, akan segera menghilang di lain sebelah.
Bou Pek dan Siu Lian mengejar sampai di tembok.
"Kita jangan masuk untuk tempur padanya, baik kita
ajak ia bicara!" kau si anak muda.
Itu waktu, Ceng Lee juga telah datang pada sumoay atau
kawannya. Berdua, Bou Pek dan Siu lian lantas mengetok pintu,
hingga mereka terbitkan suara berisik.
Pintu latas dibuka oleh seorang perempuan tani, yang
mengempo satu bocah.
"Maaf kan kita, kita lagi ubar seorang perempuan," kata Siu Lian, yang bicara dengan sabar dan manis. Kemudian
bersama-sama Bou Pek dan Ceng Lee juga, ia masuk ke
dalam rumah akan cari Kiau Hong, siapa ternyata sudah
bisa menghilang, karena meskipun itu rumah tidak ada
tempat sembunyi, ia tak kedapatan di situ. Hanya, dari
tanda darah, yang cerecetan, terang puteri cengtong itu dari depan sudah lari terus ke belakang, akan dari belakang
panjat pula tembok dan kabur ke luar ...
Bertiga mereka pergi keluar, di situ mereka dapatkan satu jalanan kecil yang menuju ke ladang gandum, yang dari
jauh nampaknya seperti lautan yang hijau. Sang sore lagi mendatangi, burung gagak sedang berterbangan pula, tetapi Kiau Liong tidak kelihatan di situ di mana pun tidak ada orang lain ...
"Lolos ... " kata mereka, yang lantas berlalu bersama-sama.
Nyonya rumah telah berdiri melongo, bahna heran.
Jangan kata orang lari keluar, orang masuk pun ia tidak
lihat, maka ia tidak mengerti, kenapa rumahnya telah
digeledah ... Ketika tadi Siu Lian pergi, ia menggantikan periksa rumahnya, ia pun tidak peroleh hasil.
Bocah yang diempo itu sudah umur lima tahun, dia ada
bocah lelaki dengan tubuh yang kurus, muka dan kulitnya
semua ada bersemu kuning, ia menggemblok sambil
menangis di bahu ibunya.
"Diam, jangan menangis!" kata Sang ibu. "Kau nanti mati karena menangis saja ... Sudah begini sore, beras tidak ada, anak menangis saja, sudah begitu, ada setan masuk ke dalam rumah! ... Bagaimana" Sampai begini, bapamu yang
mampus di luar masih belum pulang ... "
Dengan masgul dan uring-uringan nyonya itu masuk ke
dalam, ia turunkan anaknya di atas pembaringan, tetapi
karena anak itu terjatuh, dia menangis sambil menjerit!
"Sudah, Sam Hie, jangan menangis ... " akhirnya si ibu membujuk. "Ayahmu akan lekas pulang, ia tentu akan
bawa obat untukmu, andaikata sesudah makan obat kau
masih belum sembuh juga, aku nanti ajak kau sembahyang
di Kongbeng Su, akan meminta berkahnya sinbeng ... "
Ketika itu di luar ada terdengar suara pintu diketok.
"Ayah pulang!" kata si bocah yang seperti ada dapat semangat,
"Bagus kalau ayahmu yang pulang ... " kata si nyonya, yang romannya berkuatir. "Aku takut melihat itu dua orang yang bersenjata golok itu nona yang pegang golok sepasang
... Entah mereka dari kantor mana ... "
Ia bertindak keluar akan membukakan pintu. Ia pun
lantas dengar suara orang batuk-batuk, hingga ia kenalkan suaminya. Ia lantas membukakan pintu akan kasih
suaminya masuk. Lalu, sembari sama-sama menuju ke
dalam, ia tururkan pengalamannya tadi yang menakutkan.
Sang suami, yang telah berusia empatpuluh lebih ada
satu petani yang kurus tubuhnya. Ia ada gendong karung
beras yang berisi separuh pada pundaknya, sembari
turunkan beras itu, ia batuk-batuk pula.
"Apa yang kau tuturkan barusan, aku tahu," ia berkata kemudian. ' Nona yang bersenjata sepasang golok itu, yang menunggang kuda, ada pemilik dari piautiam di Pakkwan,
Kielok. Ia ada nona gadisnya Jie Lau Tiau yang tersohor, ia bukannya orang jahat. Orang lelaki yang satunya ada
suheng-nya, Ngojiau-eng Sun Ceng Lee, juga orang kota
sini, cuma sudah banyak tahun ia hidup di luaran, baru hari ini ia kembali ke sini. Tadi, selagi berada di penyeberangan, aku dengar orang banyak cerita halnya si nona Jie itu,
bersama dua orang lelaki sedang menggar-ngejar seorang
yang bertubuh kecil langsing, yang membawa-bawa pedang.
Katanya orang itu ada liehay, tiga orang tak sanggup
membekuk padanya ... "
Nyonya itu melengak, tetapi si bocah memanggil
ayahnya. "Apa kau merasa baikan, Sam Hie?" tanya sang ayah yang samperi anaknya, untuk diusap-usap kepalanya.
"Tubuhmu tidak panas lagi ... Obat dari ma-tuamu, asal kau sudah makan, akan bikin kau sembuh besok ... Minta
ibumu aduk obat itu dengan air ... "
Ia lantas duduk di pinggir pembaringan, ia menghela
napas. "Sesampainya di rumah ma-tuanya, aku tidak bisa buka mulut," kemudian ia kata pada isterinya, "sampai lama baru aku bisa buka mulut, mengatakan anak kita sakit, dan kita tak punya beras dan uang ... Ibumu baik hati, sebelum aku bicara lebih jauh, ia lantas pinjamkan kita dua batok beras.
Melainkan nyonya mantunya yang kelihatannya tidak puas
... " Selagi suami ia bicara, isterinya sudah mulai nyalakan
api. Ketika itu di dalam, juga di luar langit sudah gelap.
Maka di dapur, nyata sekali sinarnya api. Malah di waktu bersantap, suami isteri ini dan anaknya, dahar dengan
bantuannya cahaya api di dapur itu. Sampai mereka sudah
bersantap, mereka tetap tidak nyalakan api. Kemudian,
mereka Lunas masuk yidur. Si bocah telah jatuh pulas
siang-siang, hingga tak terdengar lagi suara rintihannya ...
Karena jagat gelap, maka bulan sisir kelihatan semakin
nyata. Di antara rumah tetangga juga tidak tertampak cahaya
api, melainkan ada terdengar suara anjing, yang seperti
saling sahutan. Ladang gandum merupakan sebagai lautan
hitam yang luas, dan tenang.
Malam lewat dengan tidak ada kejadian apa-apa, kecuali
di waktu fajar, bintang-bintang kealingan mega, guntur
berbunyi berulang-ulang, lantas hujan turun, benar tidak
besar, tetapi turunnya melit, sampai pagi belum mau
berhenti. Tempat itu memang sepi, jarang ada orang yang melintas
di situ, tidak heran kalau sekarang, selagi turun hujan, tiada tertampak orang lain siapa juga ...
Jalanan ada becek, pohon tertebak angin, suara angin
pun keras, lebih-lebih di ladang gandum, di mana pohon
gandum bergelombang sebagai ombak lautan.
Di rumah si orang tani, api di dapur sudah dinyalakan,
tetapi asap tidak mengepul keluar seperti biasanya. Entah kenapa, sudah batuk-batuk, sang suami pun adu mulut
dengan isterinya suara mereka diramaikan dengan
rintihannya anak mereka yang rebah di pembaringan.
Tiba-tiba, daun pintu ada yang tolak, seorang bertindak
masuk, sampai suami isteri itu terperanjat, sedang si isteri menjerit keras. Akan tetapi mereka dapat lihat bahwa orang yang masuk ini ada seorang kecil jangkung, cacingnya kusut dan basah, air membasahi mukanya, pakaiannya juga,
pakaian yang kotor dengan lumpur dan kecampuran darah
yang merah, ada nempel sedikit rumput hijau, satu tanda
bahwa dia ini telah umpetkan diri di ladang gandum ... ia ada membawa pedang, yang basah juga, airnya masih
menetes. Ia masih berusia sangat muda.
"Jangan kaget," katanya, sambil goyang tangan, suaranya pun perlahan. "Apa itu orang she Lie dan Jie tidak datang pula menggeledah kemari?"
Saking takut, si nyonya mengawasi saja, ia tak
menyahut, dan anaknya yang merayap bangun, memeluk
padanya. Si petani ada berkuatir, tetapi dia menjura.
"Hoohan, silahkan duduk," ia mengundang dengan suara tidak lancar. "Silahkan beristirahat! Mereka itu tidak datang pula kemari, apapula sekarang, selagi hujan ... "
"Sekalipun mereka datang, aku tak takut!" kata tetamu yang tak diundang itu, napasnya sedikit memburu,
pedangnya ia terus letaki.
Kemudian, ia hadapi nyonya rumah seraya berkata:
"Toaso, jangan takut! Tolong kau ambilkan air, untuk aku cuci muka ... "
Nyonya itu heran, ia mengawasi dengan mata
mendelong. "Jangan takut, aku bukannya orang jahat," Kiau Liong kata pula.
"Mereka bertiga ada musuhku, mereka telah datang
mengepung, tetapi aku tidak takut, aku malah akan bikin
pembalasan! Kalau sekarang mereka datang pula, aku nanti adu jiwaku! ... "
Mereka dapat kenyataan, meski dandanannya cara
lelaki, tetamu mereka ini adalah orang perempuan, suara
atau lagu bicaranya menyatakan itu. Kupingnya pun ada
satu bukti lain. Hanya, saking heran, mereka masih,
mengawasi saja.
"Jangan kau bersangsi, aku ada orang Pakkhia," Kiau Liong kasih tahu pula.
Mendengar itu, si petani nampaknya jadi hormat sekali.
"Oh, orang Pakkhia?" kata ia. "Apa kau ada menjabat pangkat?"
Si nyonya rumah sudah lantas ambil air, dengan
sepotong handuk yang kotor tanpa sabun.
Kiau Liong kerutkan alis, tetapi dengan terpaksa ia lantas cuci mukanya. Kemudian ia pinjam sisir, sambil duduk di
pembaringan, ia sisiri rambutnya, akan dikepang menjadi
kuncir. Tuan rumah dan isterinya, dan anaknya juga, mengawasi
saja. Mereka pun lihai bagaimana tetamu mereka meraba
sakunya, dari mana ada dikasih keluar sepotong emas, yang kuning mengkilap, hingga mereka tercengang.
Emas itu, Kiau Liong serahkan di tangannya si orang
tani siapa masih berdiam saja, tangannya merasai barang
sedikit berat, tangan itu bergemetar sedikit.
"Kau bawa uangku ini, tolong belikan aku seekor kuda,"
kata nona Giok. "Sekalian kau belikan aku seperangkat pakaian orang lelaki. Kau mesti lekas pergi dan lekas
kembali, nanti aku kasih upah padamu. Hanya ingat, pada
siapa juga, jangan kau kasih tahu yang aku berada di sini, kalau kau buka rahasia, aku nanti bunuh mati kau semua!"
Ancaman ini diperdengarkan dengan keras, sampai tuan
dan nyonya rumah melengak, anak mereka pun menangis.
"Diam, diam," kata sang ibu pada anaknya itu.
Kiau Liong agaknya menyesal, maka ia keluarkan lagi
sepotong emas,yang ia serahkan pada si bocah.
"Jangan takut!" katanya. "Kau ada orang baik-baik, tetapi aku terpaksa mesti omong tandas, supaya kau
mengerti. Ada orang-orang yang sedang musuhi aku. Siapa
namamu" Berapa usiamu?"
Anak itu tidak menangis lagi.
"Anakku ini Sam Hie namanya," kata si nyonya. "Kita ada dari keluarga Liu. Kita belum pernah melihat emas,
nona ... "
"Terima kasih, nona," kata si petani Liu. "Nona duduk saja dahulu, aku nanti cari sanakku, untuk ia bantu aku
membeli kuda. Cuma kampungku ini tidak ada penjual
kuda. Di sebelah timur sana, ada satu keluarga Thio, yang punya kuda untuk dipakai meluku, dan kudanya pun sudah
tua, larinya kalah daripada seekor anak keledai ... "
"Keledai pun boleh," kata Kiau Liong. "Aku ingin kau lekas-lekas, karena aku mesti segera berlalu dari sini. Hanya
... " "Jangan kuatir, nona," kata si petani. "Meskipun aku ketemu sanakku, tidak nanti aku bicara dari hal yang
sebenarnya."
Lalu petani itu ambil tudungnya dan lantas berlalu,
dengan menerjang hujan.
Nyonya rumah lantas sediakan nasi buat tetamunya,
siapa dahar itu dengan merasa bahwa nasi itu wangi.
Hujan masih terus turun, rumah itu seperti bertambah
gelap. Lama juga Kiau Liong bercokol, ia mulai jadi tidak
sabaran. Si Liu belum juga kembali. Ia lihat pakaiannya, ia masgul. Pakaian itu kemarinnya bersih, tapi sekarang telah jadi kotor luar biasa, ada darahnya juga. Satu malaman ia mesti mendekam di ladang gandum. Lukanya tidak berarti,
sakitnya terasa sedikit, tetapi lebih sakit adalah hatinya.
Sebab satu ciankim siocia mesti bersengsara seperti ini ...
Semua ini gara-garanya ia hendak ikut Siau Hou, sebab
Kun Pwee hendak nikah padanya ...
Tiba-tiba ada terdengar suara pintu. Kiau Liong lompat
bangun, ia ambil pedangnya akan memburu keluar. Ketika
ia mengintip di jendela, ia dapatkan si Liu pulang sambil menuntun seekor keledai kecil bulu hitam, perutnya putih, bacotnya putih juga, meskipun kecil, binatang itu mungil.
Dan si Liu pun ada beli cambuk, tudung dan baju luar
terbikin dari rumput.
Setelah cangcang keledainya, petani itu masuk ke dalam,
dari dalam baju rumput ia keluarkan seperangkat pakaian
baru, kainnya kasar tetapi bahannya baru.
"Ini ada keledai kepunyaannya ma-tua dari anakku,"
kata si Liu sambil tertawa. "Duluan si Thio dari Kampung timur hendak beli buat delapan tail, mertuaku tak mau jual.
Pakaian ini pun baru, belum pernah dipakai, ini ada untuk engku kedua dari anakku, yang tadinya mau dipakai di
harian nikah. Dan ini baju rumput ada kepunyaan
mertuaku. Nona harus hati-hati, jangan sampai kau
kehujanan, nanti kau dapat sakit. Dan ini tudung, kalau
nona tak mencelanya, aku suka kasihkan kau pakai ... "
Kiau Liong, mau atau tidak, turut tertawa.
"Baik, baik," ia kata. Terima kasih untuk kebaikanmu!
Sekarang tolong kau menyingkir sebentar, aku hendak tukar pakaian ... "
Si Liu lekas pergi keluar, dan isterinya, dengan empo
anaknya, pun menyingkir ke samping.
Kiau Liong buka pakaian dengan cepat, setelah
bersihkan badannya, ia pakai pakaian baru, yang nyata
kebesaran, hingga ia merasa tidak puas, cuma saking
terpaksa, ia pakai juga. Dengan bajunya yang basah, ia
bungkus pedangnya. Ia pun pakai itu baju rumput dan
tudung butut. Setelah beres, ia bertindak keluar.
Si Liu hampiri tetamunya, akan serahkan cambuk dan
kemudian keledai, yang ia tuntun sampai ke depan pintu.
Kiau Liong keluarkan sepotong perak, yang ia kasihkan
pada si bocah, yang bersama ibunya turut keluar.
"Oh, nona, terima kasih, terima kasih!" berseru si petani.
"Nyata kita beruntung sekali, karena Thian telah kirimkan dewi uang kepada kita!"
Sang nyonya pun girang dan tertawa.
"Sam Hie, lekas haturkan terima kasih pada nona!" ia kata pada anaknya. "Nona ada sangat baik, ia telah
memberikan banyak uang pada kita!"
Kiau Liong bersenyum. Ia tuntun keledainya sampai di
luar, terus ia loncat naik ke atasnya.
Si Liu, isteri dan anaknya, berdiri di muka pintu.
"Hujan besar, masuklah!" kata Kiau liong, yang mencegah orang antar ia sampai di luar pekarangan.
"Sampai kita ketemu pula!"
Ia cambuk keledainya, yang terus lari. Akhirnya, ia
merasa puas. Jangan dipandang keledai ini kecil karena meskipun
jalanan licin, binatang ini benar-benar bisa lari keras, tak usah kalah dengan kuda sembarangan ... Karena ini, nona
Giok sampai lupakan lukanya ...
Hujan turun terus, langit tetap mendung.
Kiau Liong telah lalui beberapa kampung ketika ia
berhadapan dengan satu jalanan di antara ladang gandum
yang bercagak tiga: ke utara, ke timur, dan ke barat.
"Ke mana aku mesti pergi?" ia berpikir sambil merandek,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke timur, akan susul Siu Hiang" Jangan-jangan Lie Bou
Pek telah pergi pada budakku itu" Mereka dapatkan uang,
tidak apa, asal jangan itu kitab berharga ... Kalau aku tidak kembali, belum tentu mereka akan paksa Siu Hiang, tetapi bila aku ketemu mereka, tentu mereka akan paksa aku ...
Kalau aku menuju ke utara dan ke barat, lantas aku tidak punyakan tujuan lagi ... "
Meski begitu, setelah sekian lama, nona ini tujukan
keledainya ke utara. Ia niat cari tempat, dusun atau kota, di mana ia bisa beristirahat di dalam rumah penginapan. Ia
mau singgah sedikitnya satu hari, untuk cari tukang besi, guna bikin piau. Ia berniat keras mencari Bou Pek dan Siu Lian, guna lampiaskan kemendongkolannya.
Nona ini sedang kasih keledainya lari tatkala tiba-tiba ia dengar suara nyaring di belakang ia: "Kau bikin apa, he"
Lekas berhenti!"
Kiau Liong terperanjat, tetapi ia toh lekas berpaling.
Maka itu ia bisa lihat dua orang lelaki, dengan memakai
payung rombeng, yang berjalan kaki, adalah orang-orang
yang perdengarkan suara kasar dan keren itu. Ia tidak takut malah ia terus tahan keledainya. Ketika itu dua orang sudah datang lebih dekat, ia percaya mereka bukannya orang baik-baik.
"Mau apa kau suruh aku berhenti?" ia segera menegur.
Dua orang itu angkat dada, mereka unjuk roman keren.
"Apa itu yang kau gendol di pundakmu?" mereka balik menanya. "Lekas keluarkan!"
Sekarang nona Giok dapat kepastian bahwa dua orang
itu adalah begal-begal, sebagaimana gagang golok mereka
lantas kelihatan. Ia bersenyum sindir.
"Dan kau sendiri, apa itu yang kau sembunyikan?" ia pun balik menanya. "Kenapa kau tanya aku?"
Itu dua orang lantas hunus golok mereka, yang pendek.
Mereka mendekati, yang satu terus pegang ekornya keledai, yang satu pula, sambil sebelah tangan pegangi payungnya
mengancam dengan senjatanya itu.
"Lekas turun!" ia kata dengan bengis. "Berapa banyak uang kau ada bawa" Apa itu dalam buntalanmu" Lekas
keluarkan, barangkali kita bisa kasih ampun padamu!"
Orang ini belum tutup rapat mulutnya atau ia terus
menjerit kesakitan, karena dengan tiba-tiba, cambuknya si nona telah menyambar mukanya, dan ia merasai begini
sakit, sampai ia rubuh dan kekoseran di tanah yang becek, payungnya bergelindingan.
Sang kawan, yang memegangi ekor keledai jadi sangat
gusar, ia menyerang dengan goloknya.
Kiau Liong mendahului dengan kerjakan cambuknya,
sampai dua kali, hingga sambil lindungkan kepalanya
dengan tangan, begal itu undurkan diri. Kawannya yang
tadi rubuh, sudah merayap bangun. Ia ini tidak kapok,
kembali ia maju untuk menyerang dengan goloknya.
"Oh, binatang, kau cari mampus!" ia menjerit. "Kau belum tahu siapa kita!"
Baru sekarang Kiau Liong cabut pedangnya, yang
bercahaya berkeredepan, dengan itu, ia tangkis serangan
musuh. Begal itu kaget, ia tarik pulang goloknya, tetapi sudah
kasep, golok itu kena tertabas pedang, segera kutung
menjadi dua! Tidak tempo lagi, begal itu lari kabur diturut oleh
kawannya. Angin menyambar keras, payung tersampok sampai
bergelindingan dengan menerbitkan suara berisik. Kedua
penjahat sangka mereka diubar, bahna takut, mereka
berhenti berlari-lari dan tekuk lutut.
"Ampun, ampuni kita! ... " mereka memohon.
Tapi, kapan mereka menoleh dan angkat kepala, mereka
lihat payung mereka, yang lagi bergelindingan mendatangi, hingga mereka melongo.
Hujan turun semakin besar, angin meniup keras. Dan si
penunggang keledai telah larikan keledainya, akan
melanjutkan perjalanannya.
Kiau Liong tidak mau ladeni segala kurcaci, ia malah
malu mesti cabut pedang akan layani mereka itu. Sekarang ia dapat tambah pengalaman, hingga ia jadi semakin jemu.
"Benar-benar selanjutnya aku mesti hati-hati." pikir ia.
"Kenapa aku boleh berkenalan dengan Lo Siau Hou"
Kenapa aku lindungi Kho sunio, hingga aku kebentrok
dengan Lau Tay Po" Coba tidak ada Lou Kun Pwee, aku
tentu tetap ada ciankim siocia yang tinggal di rumah dengan tenang dan senang ... Benar aku mengerti silat, tetapi orang tak ketahui itu, hingga tak usah seperti sekarang, segala kurcaci berani menghina aku ... Sungguh menjemukan!"
Hujan turun semakin keras, sang keledai merasa capai,
napasnya memburu, kakinya seperti kaku sukar diangkat,
karena rupanya ia sudah lari terlalu keras, meski hawa ada dingin, ia toh lelah sekali. Di tanah, air ada mengembeng, suara jatuhnya hujan berisik.
Di empat penjuru, langit nampaknya mulai gelap.
Biar ia ada pakai baju rumput, yang menjadi seperti jas
hujan, toh Kiau Liong rasakan air hujan tembus ke dalam, punggungnya telah basah dan lukanya ia rasai sakit.
Dengan tangannya, Kiau Liong susut mukanya, lantas ia
melihat ke depan di mana samar-samar seperti ada
tertampak banyak pepohonan.
"Di sana tentu ada rumah orang ... " pikir ia. Ia angkat cambuknya, akan sabet keledainya. Karena hujan dan
basah, cambuknya itu tidak bergerak cepat, tetapi
mengenainya ada hebat, saking kaget, keledai itu bergerak sampai
kaki depannya terpeleset, hampir-hampir penunggangnya jatuh ngusruk
Saking mendongkol, Kiau Liong hajar itu binatang, yang
terus tak mau bangun, atau tak bisa bangun, maka akhirnya nona ini turun, akan bantu angkat membanguni, kemudian
sambil menuntun binatang itu, ia berjalan kaki.
Jalanan ada penuh air dan berlumpur, ada sukar akan
melakukan perjalanan di waktu demikian, toh dengan
terpaksa, Kiau Liong jalan terus. Ia merasa kasihan pada keledainya.
Segera juga Kiau Liong lihat ada suatu apa yang
mendatangi dari sebelah depan ia, dengan tangan bajunya, ia susut mukanya, ia buka matanya, maka sekarang ia bisa lihat datangnya sebuah kereta keledai, kereta mana ada
memakai tenda atau gubuk. Seluruh kereta ada tertutup
kain minyak. Tidak kelihatan ada orang di atas kereta itu, kecuali si kusir, yang lagi ayun cambuknya yang panjang.
Dia ini juga ada berkerodong kain minyak.
Segera Kiau Liong kasih dengar suaranya akan tegur si
tukang kereta, tetapi rupanya orang tidak dengar ia, karena ia tak dapat penyahutan. Adalah sebentar kemudian,
mereka toh datang dekat juga satu pada lain.
"Eh, kau hendak pergi ke mana?" nona Giok menegur.
"Kali aku sewa keretamu ini!"
Kereta itu dikasih berhenti.
"Kau toh ada punya keledai?" sahut si kusir. "Tidak, aku tak bisa menyewakannya!"
Kiau Liong heran dengan itu jawaban kaku, ia bertindak
mendekati. "Aku sewa keretamu, aku membayar dengan uang!" ia kata. "Aku tidak akan pakai dengan cuma-cuma! Kenapa kau tidak mau muat aku?"
"Kau toh ada punya keledai, ada punya baju rumput dan tudung!" kata tukang kereta itu. "Keretaku ini ada kepunyaan nyonya besar dari Liap-kee-chung. Liap loo-thaikun perintah aku tolong orang-orang yang kehujanan
dan kesasar, buat diantar ke rumahnya, guna ditolongi, ia memang ada berhati murah, ia terutama suka menolong
orang-orang perempuan ... Karena nyonya besar lagi
mengamal, aku tidak butuhkan uang sewaan!"
Kiau Liong heran juga.
"Apa kau tidak lihat bahwa aku ... " ia kata, dengan setengah jalan, sebab tiba-tiba ia curigai si tukang kereta dan keretanya itu. Tapi, ia teruskan: "Aku pun kesasar.
Keledaiku ini terpeleset, ia sampai tak bisa dipakai lagi.
Aku ada orang dari lain tempat, yang kehujanan di tengah jalan ini, malah aku pun tersesat. Kau ditugaskan untuk
berbuat baik, mengapa kau tidak mau tolong aku?"
Tukang kereta itu agaknya bersangsi.
"Baiklah," ia kata kemudian, "tidak apa aku tolong orang, supaya aku lekas pulang. Kawan-kawanku tentu
sedang tunggui aku, untuk berjudi. Nah, kau ikatlah
keledaimu di belakang dan lekas naik kemari! Hati-hati,
jangan kau bikin kotor kereta ini, ini kereta biasanya
dipakai oleh Pat thayya kita!"
Kecurigaan Kiau Liong bertambah, tetapi ia tambat
keledainya dan loncat naik ke atas kereta itu, karena ia buka baju rumputnya pedangnya jadi kelihatan, hingga si kusir menjadi kaget dan heran. Tapi dia ini kemudian tertawa, ia cambuk keledainya, untuk dikasih jalan, maju terus.
Dengan tiba-tiba, Kiau Liong cekal lengan orang, hingga
mukanya si kusir menjadi pucat.
"Kau hendak bawa ke mana kereta ini?" tanya si nona, dengan mata melotot. "Di mana letaknya kampungmu!"
"Kampungku adanya di sebelah barat-selatan sana, tetapi kita mesti pergi dahulu ke timur," sahut si tukang kereta.
"Coba lihat, apakah jalanan bukannya mutar?"
Kiau Liong lepaskan cekalannya yang keras, dan air
mukanya si kusir dengan perlahan-lahan kembali menjadi
biasa. Kemudian, seorang diri, kusir itu kata pula:
"Pekerjaanku
ini ada tidak menyenangkan, meski
sebenarnya aku lebih banyak menganggur. Aku selalu mesti antar loo-thaykun, Pat thaythay; Pat siau-ie-thaythay, ke Ciebie Bio, akan pasang hio ... "
Kiau Liong heran akan dengar begitu banyak thaythay.
"Pat thaythay sendiri jarang keluar, kecuali di waktu bikin kunjungan pada tiehu dan tiekoan ... " si kusir ngoceh pula.
"Apa pangkatnya Pat thayya-mu itu?" Kiau Liong tanya.
"Ia tidak menjabat pangkat," sahut si kusir, sambil menggeleng kepala. "Biarnya ia diundang, tidak nanti ia kesudian menjabat pangkat. Pembesar tinggi panggil ia Pat-hia, dan pembesar rendah bahasakan ia Pat wangwee ... "
"Apakah ia ada hartawan besar?"
"Uangnya ada sangat banyak! Dalam ini satu distrik, tanah separuh-nya ada kepunyaannya! ... "
"Apakah leluhurnya ada orang berpangkat?"
"Tidak, leluhurnya tidak memangku pangkat," sahut si kusir seraya menggeleng kepala pula. "Leluhurnya ada lebih bangpak daripada aku, barangkah dia mirip dengan kau!
Hidup leluhurnya ada dari hasil mengendarai keledai ...
Dan Pat thayya ini, semasa kecilnya, orang panggil Pat-cie-chiu, si Delapan Tangan ... "
Ketika bicara sampai di situ, kusir itu merandek, karena ia bergidik saking kedinginan, tetapi dengan lantas ia
menyambung!. "Tentang asal-usulnya keluarga Pat thayya ini semua penduduk sini ketahui dengan jelas," demikian katanya,
"meski demikian, aku minta, sukalah kau jangan cerita lagi pada lain orang, pada siapa juga. Ini adalah untuk
kebaikanmu sendiri. Sebab asal kau cerita, lantas kau tidak nanti bisa jalan di seluruh daerah ini dengan kepalamu
masih utuh! ... Siapa tidak kenal Liap Pat thayya?"
Kembali kusir ini bergidik, lehernya mengkeret, matanya
terbalik ... Itu ada tanda bahwa ia ada sangat jeri atau takut.
Kiau Liong sebaliknya telah tertawa dan bersenyum
tawar ... Hujan turun semakin besar, sampai jatuhnya ke atas
tenda kereta menerbitkan suara berisik sekali. Keledai
sekarang jalan dengan susah, roda kereta setiap kali mebes, atau lumpur yang ikut roda lantas terbang melayang ...
Kereta ini menuju ke barat-selatan.
Kusir setiap kali gunakan cambuknya, setiap kali ia
menggebah keledainya, tapi pun beberapa kali ia menyanyi seorang diri:
"Nona manis, jangan kau sibuk tidak karuan, kalau
suamimu tidak datang ini hari, besok mesti ... Jikalau kau senderkan kepalamu di bantal, bisa-bisa kau nanti dapat
sakit rindu ... Oh, hatiku benar-benar tidak gembira ... "
Kiau Liong menjadi sebal, hampir-hampir ia gunakan
jeriji tangannya, akan kasihkan totokan padanya supaya dia rubuh terguling dari keretanya, tetapi ia lantas ingat pada Pat thayya, tentang siapa ia ingin mengetahui lebih jauh. Ia ingin dapat kepastian, Pat thayya itu ada okpa macam apa.
Ia bisa bersabar, karena ia memikir untuk lakukan sesuatu yang menggemparkan.
Segera juga kereta masuk ke dalam sebuah kampung,
akan akhirnya sampai di depan satu rumah besar dengan
pekarangan lebar dan bertembok bata. Dua orang pun
berlari-lari menghampiri, mereka ada pakai baju hujan.
"Sudah datang, sudah datang!" demikian suara mereka.
"Bagus, bagus! Nah, silahkan turun! ... "
Kiau Liong terperanjat, sampai ia hunus pedangnya, dan
matanya dibuka lebar-lebar.
Tiba-tiba terdengar seorang menjerit dan seorang lain
lagi lari ke dalam, sedang dua orang yang tadi berkata-kata sudah lantas angkat kedua tangan mereka sebagai tanda
pengunjukan kehormatan.
"Liong enghiong, jangan curiga," kata satu di antara mereka. "Kita bukan orang-orang sebangsa Hekhou To
Hong dan rombongannya, kita ada dari Pat thayya dan Pat
thayya adalah sangat suka bergaul. Pada beberapa hari yang lalu ada datang orang dari Pooteng, ia ada omong
bagaimana To Hong sekalian telah lakukan kesalahan
terhadap satu enghiong she Liong yang bersenjatakan
pedang mustika, bagaimana mereka itu telah mendapat
hajaran. Ketika Pat thayya kita dengar cerita itu, ia tertawa, ia kata mereka semua ada bangsa telur busuk, sebab siapa ada punya pedang mustika, orang itu mesti ada seorang
gagah perkasa, bahwa siapa tidak berlaku menghormat
pada orang gagah semacam itu, dia mesti mendapat
kerugian atau mencari matinya sendiri ... "
"Nyata mereka telah ketahui hal ikhwalku dan sekarang mereka lagi undang aku," pikir Kiau Liong, yang toh masih merasa gelap.
"Sudah sejak beberapa hari, Pat thayya kita kirim orang ke beberapa tempat akan cari dan dengar-dengar tentang
kau, Liong enghiong " kata pula orang itu, "dan tadinya ia sudah sering menarik napas panjang, karena ia anggap
barangkali selama hidupnya ini, ia tak akan dapat ketika buat bertemu denganmu. Siapa tahu tadi, selagi turun
hujan, telah datang kabar yang menggirangkan thayya. Dua kacung dari sini telah minum arak dan menjadi sinting, di tengah jalan mereka kitanya sudah ganggu padamu,
enghiong, ketika mereka kabur pulang, mereka cerita bahwa mereka sudah ketemu satu orang pedang siapa bisa
menabas kutung alat senjata lainnya. Begitu dengar itu
cerita, Pat thayya lantas menduga pada enghiong, maka itu ia lantas kirim kita untuk menyambut enghiong datang
kemari ... "
Sejak ia keluar dari Pakkia, belum pernah Kiau Liong
mendapat penyambutan atau perlakuan begini manis dan
hormat, tidak heran kalau ia lantas saja menjadi sabar. Tapi ia melainkan manggut pada mereka.
Selagi dua orang itu mengundang tetamunya untuk
masuk, dari dalam gedung kelihatan keluar seorang dengan
pakaian indah, yang tubuhnya sebanding dengan tubuhnya
Sun Ceng Lee, tidak pelihara kumis, tetapi kumis itu sudah putih, umurnya sedikitnya sudah lima puluh tahun,
mukanya merah segar, dengan air mukanya berseri-seri, ia angkat kedua tangannya memberi hormat.
"Selamat datang, Liong enghiong!" demikian katanya, dengan suaranya yang nyaring. "Silahkan masuk! Sudah lama aku dengar nama enghiong yang tersohor, sekarang
kau telah datang kemari, ini adalah satu kehormatan besar bagi kita!"
Kiau Liong awasi orang itu.
"Kau siapa?" ia tanya. Ia mengawasi dengan tajam.
"Inilah Pat thayya," kata seorang yang berdekatan, dengan perlahan.
Nona Giok bersenyum Ia bersikap tawar.
"Aku adalah Liap Jie Hui," kata pula Pat thayya, dengan menghormat. "Aku ada saudara yang kedelapan, dari itu, orang panggil Pat thayya padaku. Tentu sekali, di depan
Liong enghiong, aku tidak berani sebut diriku thayya ... "
Kiau Liong tertawa karena orang bersikap demikian
merendah. "Aku mengucap terima kasih untuk kebaikanmu," ia
kata kemudian. "Ini hari aku telah diganggu oleh hujan yang menjemukan dan justru lagi mencari tempat untuk
berlindung, maka, undanganmu ini, aku tak berani tampik.
Biarlah kita menjadi sahabat! Di belakang hari, apabila kau nampak suatu kesukaran, aku pasti suka bantu padamu ... "
Liap Jie Hui memberi hormat pula, ia tertawa besar.
"Bagus!" ia kata dengan nyaring. "Aku merasa sangat beruntung! Nah, silahkan masuk, enghiong, silahkan!
Harap tidak buat celaan buat rumah kita yang sempit ini ...
" Kemudian Pat thayya itu perintah orangnya akan tambat
dan pelihara keledai tetamunya, supaya baju rumputnya
dibawa ke thia.
Kiau Liong loncat turun dari kereta, ia bertindak ke
dalam. Liap Jie Hui memimpin masuk, ia berlaku sangat
hormat, di belakang ia ada mengikuti beberapa bujang.
Kiau Liong lihat thia yang lebar tetapi tak dengan tiang-tiang yang terukir, ia dapati lantai yang tak berjubin, malah ada air hujannya yang mengembeng, hingga keadaannya
mirip sama pekarangan luar.
"Silahkan masuk ke kamar utara!" Jie Hui mempersilahkan.
Satu bujang sudah lantas singkap layar atau kere.
Di sini Kiau Liong dapati satu ruangan yang besar dan
bersih, kursi mejanya pun lengkap, cuma tidak ada
perabotannya yang berharga. Yang aneh adalah waktu ia
dapatkan pian atan merek yang berbunyi: Tiong Gie Cau
Tong, atau Ruangan Kesetiaan Kejujuran. Di sebelah kiri
ada sebuah pigura besar, lukisannya ada ditambahkan enam huruf "Liang San Po Tiong Gie Tong" yang berarti
"Ruangan Tiong Gie Tong dari Liangsan". Ia pernah baca cerita "Sui Hou Toan", lelakonnya Song Kang dan saudara-saudara angkatnya, maka ia mengerti maksudnya ruangan
itu. "Bagaimana kau lihat gambar ini, Liong enghiong?"
tanya Pat thayya pada tetamunya, yang asyik awasi gambar itu, jiplakan dari buku Sui Hou Toan itu.
"Gambar ini aku beli buat lima ratus tail perak dari seorang yang datang dari selatan. Katanya gambar ini
diselesaikan sesudah setengah tahun. Lihat itu rumah di
atas gunung, di situ ada orangnya. Nah, ini dia ada Hengcia Bu jieya, ini ada Hoa hoosiang Lou tay-suhu, keduanya
sedang minum arak. Dan itu ada Bu-ya-cee Sun Jie Nio dari keluarga Thio, sungguh ia cantik sekali! Ha-ha! Dan ini ada Hou Sam Nio! Itu yang duduk di tengah Tiong Gie Tong
ada Song Kong Beng ... "
Lantas Kiau Liong lihat tuan rumahnya menjura pada


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pigura itu, seperti dia menjura terhadap patung Budha,
hingga hampir saja ia tertawa.
Setelah penghormatannya itu, Jie Hui kata pada
tetamunya: "Sejak masih kecil aku memang hormati
sekalian enghiong dari Liangsan, maka itu sedari umur
belasan, aku sudah ceburkan diri dalam kalangan kangou,
hingga aku telah bersahabat dengan banyak kangou hiapkek dan hoklim enghiong, asal orang ada ternama, tentu aku
suka bergaul padanya, hanya, sampai begitu jauh, aku
belum pernah ketemu orang semacam Kip-sie-ie Song Kong
Beng ini ... "
"Apakah kau kenal Lie Bou Pek?" Kiau Liong tanya.
"Sudah lama aku dengar namanya, orangnya aku belum
pernah ketemui."
Jie Hui jawab. "Kalau dia lewat di sini, aku suka sekali berkenalan dengan ianya ... "
"Bagaimana dengan Lo Siau Hou?" Kiau Liong tanya
pula. "Kau kenal dia atau tidak?"
Ketika menyebut nama itu, mukanya si nona merah
sendirinya. Jie Hui seperti tercengang, tetapi ia lantas goyang kepala.
"Nama itu aku belum pernah dengar," ia menyahut, "dia rupanya ... ada hoohan baru ... Di Okgu San ada Ciau Toa Hou, dia adalah saudara angkatku. Silahkan duduk,
enghiong ... "
Tuan rumah ini berlaku sangat ramah tamah.
Kiau Liong buka tudungnya, yang ia lemparkan ke kursi
di pinggiran, setelah singkap taucang-nya, ia lantas duduk.
Pedangnya ia letaki di sampingnya.
Satu bujang lantas datang dengan dua poci arak dan
empat piring makanan sayur, cangkirnya ada besar. Jie Hui sendiri yang terus isikan cangkir tetamunya.
'Aku tidak minum arak!" kata Kiau Liong.
"Jangan curiga, enghiong," Jie Hui kata, "Aku Liap Jie Hui bugee-ku tidak liehay tetapi hatiku ada putih bersih, di dalam arak ini pasti tidak ada obat atau racunnya! Nanti aku minum lebih dahulu, untuk kau lihat!"
Liap Jie Hui benar tuang arak ke dalam cangkirnya dan
keringkan itu sekali cegluk, kemudian ia tertawa.
"Tetapkan hatimu, enghiong, jangan kuatir!" ia kata pula. "Apapula kau, orang gagah yang datang dari tempat jauh, yang membawa keberkahan bagi kita ... "
Kiau Liong memandang dengan melengak Liap Jie Hui
antap tetamunya berdiam, ia melanjutkan: "Sekalipun orang pelancongan lain atau orang dagang, siapa datang kemari, tak nanti aku melayani secara sembarangan. Orang-orang
kangou ada orang-orang mulia, gemar bergaul, suka
menolong orang-orang miskin ... "
Mendengar ucapan yang belakangan ini, nona Giok
bersenyum. Tidak lama datang nasi, Jie Hui undang
tetamunya dahar, ia coba lebih dahulu sayurannya.
Kiau Liong turut dahar, cuma arak ia tidak berani
minum. Berbareng ia pun, perhatikan tuan rumahnya, yang
gegares dengan gembul, hingga ia semakinan percaya, tuan rumah ini bukannya "thayya" hanya "tay-ong" ...
Liap Jie Hui dahar dengan bernapsu, araknya pun setiap
kali dibikin kering, hingga mukanya menjadi merah. Ia
dahar dengan terus bicara banyak, ada saja yang ia katakan.
Dengan begini, ia telah perlihatkan sifatnya. Tapi, selama itu, ia tetap ada menghormat tetamunya.
Terang dari segala ucapannya itu, Pat thayya ini ada
punya perkenalan dengan To Hong, dan dia ini tahu
tentang ia telah tempur To Hong, Phang Bou, Hoat Kong,
Lou Pek Hiong, Bie Tay Piu dan malah binasakan Hocipiau
Siang. Dan itu semua kejadian ada yang menyebabkan
sekarang dia hormati tetamunya yang gagah.
Cuaca di luar telah mulai menjadi gelap. Angin terus
bertambah besar, seperti juga sang hujan. Maka sebentar
kemudian, ada datang orang yang memasang dua batang
lilin, hanya karena ruangan besar dan lilin kecil, cahayanya kurang terang.
Sesudah minum banyak, Kiau Liong lihat Jie Hui ada
beroman bengis seperti juga beberapa bujangnya.
Sebentar kemudian ada datang seorang dengan kasur dan
selimut, enam kursi lantas diatur rapi di pinggiran.
"Ini tentu ada pembaringanku ... " pikir nona Giok.
Liap Jie Hui belum berhenti tetapi orang-orangnya sudah
lantas berbenah, maka thayya ini segera berbangkit, dengan tangan bajunya, ia susuti mulutnya.
"Liong enghiong, silahkan kau beristirahat," ia kata.
"Besok kita nanti pasang omong pula! Ini hari aku ada sangat gembira, aku telah minum terlalu banyak arak,
sampai aku rasakan aku tak kuat menahan terlebih lama ...
Ha-ha!" Lantas, dengan tubuh sempoyongan, ia undurkan diri,
dan semua orangnya ikuti ia.
Yang aneh adalah Kiau Liong lihat semua bujang itu ada
menyoren golok di pinggangnya masing-masing.
Begitu lekas semua orang telah keluar dan pintu
dirapatkan di belakang mereka, sambil sambar pedangnya,
Kiau Liong mencelat ke pintu, akan mengintip ke luar,
hingga ia masih bisa lihat Pat thayya menuju terus ke
pedalaman tetapi orang-orangnya ke depan.
Hujan ada sangat bandel, langit pun sangat gelap, air
hujan naik sampai ke tangga lorak. Dari atas genteng, di payon, suara jatuhnya air hujan berisik sekali, sedang
halilintar berkeredepan berulang-ulang, hingga bisa bikin hati orang terkesiap ...
Baru saja Kiau Liong menapal pintu, atau tiba-tiba ia
dengar suara berlari-larinya kuda di jalanan yang becek dan penuh air, sampai suara air terdengar nyata. Suara itu
mendatangi dari tempat jauh, kemudian disusul dengan
suara dibukanya pintu pekarangan.
"Siapa datang begini waktu?" pikir nona Giok, yang merasa curiga. Ia lantas pasang kuping.
Segera juga terdengar suara keprikan baju, suara
gedrukan kaki, dan suara orang bicara.
Cepat sekali Kiau Liong padamkan dua batang lilinnya,
setelah itu ia lompat pula ke pintu, akan melanjutkan
mengintip. Tiga orang bertindak ke dalam, selagi melewat, ada
orang yang menunjuk seraya berkata dengan perlahan: "Tu, di dalam kamar itu! ... "
Kiau Liong menjadi heran dan curiga, apa pula setelah
sekian lama, orang-orang itu tidak tertampak keluar pula. Ia jadi ngantuk, sampai ia nguap dua kali. Kedua kakinya pun ia rasai pegal ... Lantas ia hampiri kursi ke atas mana ia jatuhkan diri. Di saat ia layap-layap, ia terperanjat dengar suara berisik, hingga ia loncat bangun sambil mementang
mata. Di luar, di jendela, ada berkelebat sinar api, yang disusul dengan suara keras, seperti juga pintu sedang digempur
hebat, sebab kamar itu seperti tergetar. Dan akhirnya,
terdengarlah gedoran pada pintu.
"Siapa?" Kiau Liong menegur seraya angkat pedangnya.
Ia maju ke dekat pintu. Ia tidak dengar jawaban. Maka ia segera ulangi tegurannya: "Siapa" Lekas bicara!"
Akhirnya terdengar jawaban yang keras dan serak, yang
hampir saru dengan menderunya angin: "Liong enghiong, lekas buka pintu, tolong kasih aku masuk! Aku Liap Jie
Hui! Aku hendak minta pertolonganmu ... "
Kiau Liong terperanjat, tetapi ia ketok jendela.
"Bicara saja dari luar jendela!" Ia bilang. "Jikalau kau menerjang masuk, pedangku akan melayang, aku sendiri
tak dapat mencegahnya."
"Tetapi aku hendak berdamai, bicara dengan perlahan,"
ada jawaban dari luar. "Kau lekas buka pintu, kasih aku masuk ... "
Jawabannya Kiau Liong adalah ujung pedangnya
ditusukkan ke pintu sampai tembus keluar berbareng
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 19 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Peristiwa Burung Kenari 1
^