Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 2


Pintu pekarangan, atau pintu besar dari Giok tayjin ada
terkunci rapat. Di situ pun tidak ada barang seekor anjing.
Cuma cabang-cabang pohon yang menerbitkan suara
berisik. Coa Kiu ada memakai baju luar, tapi sekarang baju itu ia lolosi, terus dilipat atau digulung, buat digantung di
sebatang cabang pohon, kemudian ia menoleh ke belakang,
ke kiri dan kanan.
Tay Po mendekam di tanah, dari itu Coa Kiu tak dapat
lihat padanya. Sesudah menampak kesunyian, Coa Kiu enjot tubuhnya
akan loncat naik ke atas genteng di mana sebentar
kemudian ia melenyapkan diri.
"Ia mau apa, ha" Apa bisa jadi ia hendak mencuri
barang?" Tay Po menduga-duga dengan tidak ada hasilnya. Ia pun
bersangsi akan turut naik, akan menguntit terlebih jauh, karena ia anggap, taruh kata ia bantu Giok tayjin, tentulah tak ada faedahnya untuk ia sendiri, ia pasti tidak bisa
sembarangan cuci diri dan sangkaan. Di lain pihak, Coa
Kiu bisa bersakit hati terhadap ia dan nona Siang Moay
tentulah akan jadi terluka hatinya ...
"Buat menonton saja, aku juga mesti berlaku hati-hati,"
Tay Po pikir lebih jauh. "Jikalau ia kena ditangkap dan aku tertawan sekalian, sungguh celaka bagiku ... "
Ia terus mendekam. Tapi dengan sekonyong-konyong, ia
dapat pikiran. "Biarlah ia mencuri, aku baik mendahului padanya!"
demikian pikirannya. Ia segera berbangkit dan lari ke pohon di mana tadi Coa Kiu sembunyikan bajunya dan baju itu ia terus ambil, buat dibawa lari ke pojok tembok di mana ia lalu berdiam. Akan memasang mata.
"Coa Kiu bisa hadapi bahaya jikalau kepandaiannya
tidak cukup tinggi, terutama dalam ini beberapa hari, Giok tayjin tentu telah atur penjagaan istimewa," demikian ia berpikir pula. "Jikaliu Coa Kiu kena ditangkap, Siang Moay akan jadi sebatang kara ..."
Sembari berpikir, Tay Po terus pasang mata ke gedung
Giok tayjin. Sampai sekian lama, di dalam gedung tidak terdengar
suara apa-apa dan Coa Kiu pun tak tertampak keluar. Tapi dengan sabar, Tay Po terus menunggu.
Akhir-akhirnya, Tay Po lihat satu bayangan berkelebat,
dari atas genteng loncat turun kebawah terus lari ke jurusan pohon. Ia kenalkan bayangan itu ada Coa Kiu, dan di
tangannya ada tercekal entah barang apa. Coa Kiu berdiri tercengang waktu ia sampai di bawah pohon, matanya
celingukan ke segala jurusan. Terang sekali ia bingung atau heran karena lenyapnya bungkusannya.
Dari tempatnya sembunyi, Tay Po loncat naik ke atas
tembok sebelah selatan, di situ, rebah di atas tembok, ia memandang ke bawah.
"Tua bangka, kau jangan bingung!" kata ia dalam hatinya, sembari bersenyum. "Bajumu ada padaku, aku sedang pakai ... "
Coa Kiu jalan berputaran, kemudian sembari bersenyum,
ia ucapkan beberapa kata-kata rahasia dalam kalangan
Sungai Telaga. Tay Po dengar itu dan ia mengerti, toh ia diam saja, ia terus bersenyum-senyum.
Ucapan Coa Kiu itu berarti: "Sahabat baik, harap kau tidak main-main! Silahkan kau perlihatkan diri untuk kita bicara! Ini kali aku tak peroleh hasil, jikalau kau tidak percaya, kau boleh periksa saja, kalau kau dapatkan apa-apa, itu ada kepunyaanmu. Hawa udara ada dingin, dengan
tak pakai itu jubah hebat bagiku. Tolong kau pulangkan
baju kapasku itu, besok aku akan undang kau bersantap!"
Ucapan itu tidak mendapat jawaban, dari bersenyum,
mukanya Coa Kiu menjadi guram, karena ia ada
mendongkol. Kemudian lagi, ia lantas mendamprat. Tapi ia rupanya tak berani diam lama-lama di situ, ia lantas
bertindak ke jurusan barat, jalannya cepat.
Tay Po loncat turun dari genteng, ia menguntit. Coa Kiu
jalan dengan sering menoleh ke belakang, tetapi malam ada gelap, ia tak mampu lihat Tay Po, siapa sengaja pisahkan diri cukup jauh dan kadang-kadang pun minggir, akan
sembunyikan diri.
Sebentar kemudian, mereka telah sampai di Ceksui Tha,
Coa Kiu loncati tembok pekarangan, akan masuk ke dalam.
Tay Po menyusul setelah beberapa saat ia berdiam di
sebelah luar sambil pasang kuping. Di sebelah timur tidak ada cahaya api. Ia telah buka bajunya Coa Kiu, yang ia
pakai, dan kempit itu. Dengan berindap-indap dengan tak
mengasih dengar suara, ia hampirkan jendela. Ia dengar
suara menggeros, ia tak dengar suara orang bicara. Maka ia
lalu jongkok, akan tunggu waktu, sampai orang sudah tidur dengan nyenyak.
"Aku mesti curi hasil curiannya Coa Kiu itu untuk
ketahui apa adanya ... " demikian ia pikir.
Tapi ia tidak usah jongkok lama ketika tiba-tiba pinggang belakangnya ada yang tendang, hingga ia rasakan sakit.
Cepat ia lompat bangun seraya terus balik badannya dan di hadapannya ada berdiri si hitam manis, yang pinggangnya
langsing ... Ia baru saja mau tertawa, atau si nona mendului tarik ia, hingga ia batal menanya, malah terus ia ikut si nona yang ajak ia loncati tembok pekarangan.
Si nona lari di depan, ke jurusan barat, Tay Po menyusul sampai di tepi di sebelah barat dari telaga.
"Adikku, berhenti!" kata Tay Po sambil tertawa.
"Pertunjukanmu ini hari ada jauh terlebih menarik daripada kemarin ini, kau bukan hanya bisa injak tambang tapi juga pandai berpura-pura mati! Hanya sayang kau tak mampu
kelabui mataku! Kau nyata kecele, adikku! Untuk bisa
masuk ke dalam gedung Giok tayjin, kau sebenarnya mesti
minta bantuanku. Coba kau bicara terus terang kemarin ini, hari ini kau tidak usah jatuhkan diri yang toh tetap tidak bisa masuk ke gedung itu! ... "
"Jadinya kau pandai!" sahut si nona, yang ayun tangannya menggebuk. "Mau apa kau datang lagi?"
"Aku hendak antarkan baju ayahmu!" sahut si guru silat sambil tertawa.
"Tadi ayah pulang dengan mendongkol," SiangMoay kata. "Ia telah duga kau! Kau bukannya sahabat dari cengtong! Aku lihat kau ada orang satu golongan dengan
kita!" "Dugaanmu itu keliru!" Tay Po bilang.
Separuh meminta separuh nasehat, "Selanjutnya kau
baik jangan ganggu lagi usaha kita," kata pula si nona.
"Bisakah kau melulusinya" Kau harus ketahui, dengan ganggu kita, bagimu tak ada kebaikannya!"
"Kau jangan gertak aku!" Tay Po jawab. "Sebenarnya kau tidak usah berkuatir! Coba aku ada kandung maksud
akan mengganggu, tadi ayahmu tentulah tak akan bisa
pulang lagi ... "
"Tetapi ayahku tidak takut!" kata si nona sambil bersenyum tawar.
"Sekarang baik kita bicara terus terang," kata Tay Po.
"Aku telah ketahui tentang kau berdua, maka kau juga baiklah ketahui tentang aku. Aku bukannya orang yang tak punya asal-usul! Aku adalah guru silat dari Pweelek-hu dan aku ada Itto Lianhoa Lauw Tay Po! Setelah kau ketahui
diriku siapa, sekarang silahkan kau kembalikan itu pedang mustika padaku!"
Siang Moay terkejut.
"Apa kau bilang?" tanya ia. "Pedang apa yang aku punyakan?"
"Jangan kau berpura-pura!" Lauw Tay Po mendesak sambil tertawa.
Si nona banting-banting kaki.
"Berpura-pura"
Apakah perlunya! Jangan kau menyangka jelek pada kita!"
"Aku tak peduli kau ada penjahat atau bukan," Lauw Tay Po bicara dengan jelas. "Asalkan kau keluarkan itu pedang mustika, yang bisa dipakai menabas baja dan besi, lantas sudah tidak ada urusan lagi!"
"Ngaco!" berseru si nona yang banting-banting kaki pula.
"Mana ada pedang yang bisa dipakai menabas baja dan besi. Jangan kau pedayakan orang. Di hadapan sang
rembulan dan bintang, aku berani sumpah jikalau kita ayah dan anak pernah curi pedangmu, kita akan binasa tak
keruan!" Setelah kata begitu, Siang Moay hampirkan sebuah
pohon di mana ia menangis.
Tay Po berdiri tertegun. Tapi segera ia menghampiri.
"Jangan menangis," ia menghibur. "Angin ada dingin sekali, dan kau pakai pakaian tipis, nanti kesehatanmu
terganggu ... "
"Aku pasti tidak menuduh kau ... " Tay Po kata, sambil menghela napas. "Lenyapnya pedang itu bikin aku
penasaran. Sekarang sudah malam dan hawa ada begini
dingin, aku tidak mau bicara lama-lama, maka tunggulah
besok aku nanti datang pula untuk kita bicara dengan jelas.
Sekarang di antara kita sudah jadi terang, maka selanjutnya urusan kau aku tak nanti gerecoki pula. Cuma satu hal aku perlu peringatkan, terhadap Giok tayjin kau jangan terlalu mendesak, itulah berbahaya. Nah, sudah, jangan kau
menangis. Sampai besok!"
Tay Po lantas serahkan baju orang.
Siang Moay tidak menangis lagi, ia malah tertawa.
"Kau jadinya ada Itto Lianhoa?" ia kata. "Sudah sejak lama aku telah dengar nama itu, malah katanya bugee-mu
ada melebihi Lie Bouw Pek!"
Lauw Tay Po tertawa
"Jikalau aku ada Lie Bouw Pek, kau adalah Jie Siu
Lian!" ia bilang. "Di mana sekarang kita telah ketahui satu
pada lain dengan baik, selanjutnya anggap saja bahwa kita ada orang-orang sendiri, maka persahabatan kita mesti jadi terlebih erat, bila ada suatu urusan, kita mesti saling
membantu! Baiklah kita jangan bicara banyak-banyak,
angin ada sangat dingin! Pergilah pulang! Sampai besok!"
Tay Po lalu bertindak ke arah timur.
Siang Moay mengikuti di belakangnya anak muda itu.
"Bila besok kau datang, datanglah lebih malam sedikit,"
ia pesan. Ketika mereka mendekati rumah pondokan, Siang Moay
dupak pula Tay Po, lantas ia tertawa dan loncat masuk ke dalam pekarangan.
Tay Po diam saja, ia ngeloyor terus, dengan lesu.
"Sia-sia saja semua capai lelahku," kata ia dalam hatinya,
"aku menduga pasti bahwa si tukang dangsu adalah satu pencuri ... Bagaimana sekarang" ... "
Dengan tindakan perlahan, ia menuju pulang ke
Pweelek-hu. Ketika itu ada kira-kira pukul lima. Tadinya ia pikir akan masuk ke dalam dengan meloncat tembok, tetapi ia ubah pikiran itu kapan ia ingat bahwa orang akan lebih keras curigai ia. Jika kepergok, itulah berbahaya. Maka ia terus mutar, jalan ke gang-gang yang sunyi dan gelap,
melulu untuk meluangkan tempo, maka kapan fajar
menyingsing ia telah sampai di Cianmui. Di sini, di sisi pintu ada berkumpul sejumlah orang yang sedang tunggui
dibukanya pintu kota. Maka ia Lintas bercampuran dengan
mereka itu. Kapan pintu kota telah dibuka, Tay Po terus menuju ke
kamar mandi membersihkan tubuh, setelah mana, ia pergi
tidur. Ia mendusin sesudah pukul dua lohor, ia terus minta
nasi dan sayurannya. Sehabisnya dahar, ia keluar menuju
ke Coanhin Piauwtiam.
Itu hari ada tanggal satu bulan duabelas, Yo Kian Tong
tidak ada di kantornya. Ia biasa pergi bersujud ke gereja-gereja yang ia setujui. Demikian pun setiap tanggal
limabelas. Karena ini, Tay Po cuma bisa bercakap-cakap
dengan beberapa piauwsu, sesudah mana barulah ia pulang
ke Pweelek-hu. Ia ada sangat masgul, tetapi Lie Tiang Siu saban-saban godai ia.
"Tentu tadi malam kau pergi ke rumah hina, karena
semalaman kau tidak pulang!" demikian itu kawan.
Atas godaan itu, Tay Po berdiam saja, ia gunakan
temponya akan memikirkan pedang, dan membayangkan
"keelokannya" Coa Siang Moay, akan pikirkan akalnya si nona yang berpura-pura jatuh dari tambang, melulu supaya bisa memasuki gedungnya Giok tayjin.
"Inilah mencurigai ... " pikir ia. "Kenapa ia begitu memaksa hendak masuk ke gedungnya Giok tayjin"
Apakah maksudnya" Rupanya di sini tidak mengenai
melulu soal uang ... "
Ia pun heran atas sikapnya Giok sam-siocia yang tolak
Siang Moay secara getas.
"Apakah Giok sam-siocia telah ketahui yang Siang Moay jatuh dengan berpura-pura?" ia menduga-duga terlebih jauh.
"Benar-benar heran! Apakah bisa jadi yang nona Giok juga ada seorang luar biasa yang hatinya terang dan matanya
jeli" Oh, oh, ini sungguh menarik hati! Sekarang, tidak
peduli ada hubungannya atau tidak dengan pedang, aku
mesti mencari tahu, aku mesti ketahui duduknya hal yang
terang! ... "
Setelah ambil keputusan ini, Tay Po rasakan otaknya
tidak lagi pepat sebagai tadi. Ia berbangkit sambil berloncat, semangatnya sebagai terbangun. Ia tunggu sampai Lie
Tiang Siu telah keluar, ia keluarkan "pek polong" nya, atau kantong wasiat. Sejak sepuluh tahun ia masuk dalam
kalangan kangouw, itu ada kantong yang paling penting
baginya. Di dalam situ ada terdapat anak-anak kunci
rahasia, hingga kunci yang bagaimana sukar pun, ia bisa
buka dengan mudah. Di situ pun ada hweecipcu, pesawat
dan bahan untuk nyalakan api, yang rak padam meski ada
angin besar. Yang lainnya lagi ada pisau kecil, gaetan,
arang untuk menulis surat dan pupur putih dan abu-abu
untuk mencompreng muka.
Dengan bawa kantongnya itu, Tay Po berlalu dari
Pweelek-hu menuju langsung ke Ceksui Tha. Itu waktu
baru kira-kira pukul empat lohor. Ketika ia sampai di
telaga, ia lihat ada beberapa bocah sedang memain di air beku. Ia jalan terus dan masuk ke dalam pekarangan, terus ke pondok. Di sini ia berdiri bengong, karena ia lihat pintu rumah terkunci.
"Tentu itu ayah dan anak pergi buka pertunjukan lagi ...
" ia menduga-duga. "Kemarin si nona jatuh dan terluka parah, ia sembuh dengan cepat dan sekarang ia jalan pula di atas
tambang! Tidaklah itu ada membangkitkan kecurigaannya orang?"
Dengan berani Tay Po keluarkan anak kuncinya dan
buka rumahnya Coa Kiu.
Tiba-tiba dari sebelah tetangga satu nyonya tua dan
miskin mencegah: "Eh, eh, jangan buka pintunya orang!
Orangnya tak ada! ... "
"Tidak apa!" sahut Tay Po sambil menoleh. "Aku ada iparnya nona Coa ... "
Cepat sekali pintu telah terbuka dan Tay Po terus masuk
ke dalam. Ia dapat lihat sepasang tombak, bandring dan
gembreng terletak di atas pembaringan tanah, dan peti kayu terletak tetap pada tempatnya. Ia lompat pada peti itu yang terus dibuka, akan akhirnya ia jadi kecele. Isinya peti itu cuma dua tiga potong baju perempuan dan kun, beberapa
rupa perhiasan rambut serta dua atau tigapuluh tail perak.
Karena penasaran, Tay Po menggeledah terus, maka
akhirnya dari dalam salah satu kun ia dapatkan sepucuk
surat dengan cap yang berbunyi: "Hweeleng koan
Kongbun", yang berarti "surat resmi dari Hweeleng".
"Heran ... " kata Tay Po dalam hatinya. Tapi ia buka surat itu dan baca bunyinya:
"Pembawa surat ini ada Coa Tek Kong, hamba polisi
dari Hweeleng. Ia ada dalam tugas mencari penjahat besar Pekgan Holie Kheng Liok Nio, untuk ditangkap dan
dihukum. Maka di kota mana saja ia sampai, harap ia
diberikan bantuan sepenuhnya."
Di sebelah itu ada lukisan dari umur dan roman dari Coa
Tek Kong, lukisan mana cocok benar dengan Coa Kiu.
Mau atau tidak, Tay Po menjadi terperanjat dan
tercengang. "Aha!" ia pikir kemudian.Aku jadi polisi rahasia mencurigai polisi rahasia juga. Siapa sangka bahwa Coa
Kiu ada orang polisi dan Siang Moay, dengan main dangsu
sedang membantu ayahnya. Untuk menjalankan tugas,
ayah dan anak ini masuk dalam kalangan kangouw, dengan
segala daya mereka memaksa hendak masuk ke dalam
gedung Giok tayjin, ini menandakan bahwa si penjahat
yang dipanggil Kheng Liok Nio itu, yang gelarnya Pekgan
Holie, si Rase Mata Biru tentu berada di dalam gedung itu.
Rupanya, sebab belum dapat bukti cukup dan jeri terhadap
pengaruhnya Giok tayjin, mereka telah gunakan segala
daya akalnya ... "
Setelah berpikir begitu, Tay Po tutup pula itu peti, baru saja ia hendak kunci pula, tiba-tiba pintu rumah yang ia cuma rapatkan, ada yang buka, dan Coa Siang Moay
bertindak masuk!
Wajahnya si nona menjadi berubah kapan ia lihat
petinya telah dibuka, dengan mata tajam ia awasi anak
muda itu. Tay Po tidak kaget atau takut, sebaliknya ia bersenyum
dan tertawa. "Bagus, bagus!" ia berkata. "Kau ketahui namaku dan aku ketahui tentang kau berdua! Kita ada orang dari satu golongan, sudah seharusnya kita bergaul lebih rapat ... "
Dengan mata terbuka lebar, si nona memandang terus.
"Kau telah ketahui hal kita, baiklah," ia kata kemudian.
"Sekarang aku minta supaya tentang kita, kau jangan omong pada lain orang, dan kau, aku harap jangan kau
ganggu usaha kita."
Itto Lianhoa tertawa.
"Sudah pasti aku tak akan mengganggunya," ia
menyahut. "Kau toh sedang menjalankan tugas! Bukankah kau telah datang dari tempat yang jauh dan tugasmu ada
berat" Hanya, aku ada sedikit berkuatir. Itu adalah karena tugasnya teetok tayjin justru untuk bekuk orang-orang jahat dan kau berdua justru hendak masuki gedungnya teetok itu!
Apakah bisa jadi, penjahat yang kau sedang cari berada di dalam gedungnya teetok" Maukah kau memberi keterangan
padaku, supaya aku mendapat ketahui duduknya perkara?"
"Sekarang lekas kau pergi!" kata Siang Moay. "Ayah bakal lekas kembali! Ayah larang aku buka rahasia kita, ia kuatir usahanya jadi terhalang. Ayah sudah ketahui yang
kita telah berkenalan. Mengenai kau, ayah kata padaku Itto Lianhoa Lauw Tay Po ada adik misan dari Sinchio Yo
Kian Tong. Yo Kian Tong itu ada orang satu kaum dengan
Lie Bouw Pek, dan Lie Bouw Pek ada orang satu kaum
dengan Kheng Liok Nio."
Tay Po menjadi heran.
"Jadinya Lie Bouw Pek ada segolong dengan penjahat
yang kau hendak bekuk ini?" ia tegaskan.
Nona Coa manggut.
"Ya. Dua-dua mereka ada dari kaum Bu-tong-pay."
"Benar aneh!" kata Itto Lianhoa. "Coba jelaskan padaku siapa itu Pekgan Holie Kheng Liok Nio. Ia ada bujang dari keluarga Giok atau terhitung sanak" Kau kasih keterangan padaku, nanti aku bantu kau dalam usahamu ini."
"Sekarang kau pergi dahulu!" Siang Moay mendesak, agaknya ia ada berkuatir. "Besok malam kau datang kemari, itu waktu aku nanti berikan keterangan yang jelas ... ,"


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembari kata begitu, nona ini tolak tubuhnya Tay Po, ia
mengusir separo memohon.
Buat sesaat, Tay Po tahan tubuhnya, ia tertegun, tetapi
segera juga ia tertawa.
"Baiklah, sampai besok!" ia kata seraya bertindak keluar.
Si nona tidak ikut keluar, dari dalam ia kata: "Besok kau datang jam dua, tunggu saja di luar, jangan kau tepuk
tangan dan jangan nyanyi juga! ... "
Lauw Tay Po bersenyum, ia berjalan terus, hatinya
bungah. Tapi, kapan ia sampai di tepi telaga sebelah timur,
ia tahan tindakannya, ia balik bertindak ke belakang sebuah pohon yangliu, ia mengawasi ke rumahnya si nona itu.
Tidak berselang lama, kelihatan Coa Tek Kong alias Coa
Kiu sedang mendatangi, dengan tindakan cepat, seperti ada urusan penting, dan sesampainya di depan pintu, ia terus saja tolak daun pintu dan bertindak masuk.
Tay Po terus menantikan, matanya ia pasang. Ia tidak
usah menantikan lama atau pintu dibuka dan Coa Kiu serta gadisnya bertindak keluar. Si nona ada bawa sepasang
tombak cagaknya, yang biasa dipakai sebagai tiang.
"Inilah heran ... " pikir Tay Po.
Sang sore sedang mendatangi, matahari telah bersinar
layung, maka mustahil itu tukang dangsu mau pergi buka
pertunjukan ... Tapi ia tidak boleh ngelamun, ketika itu ayah dan anaknya berangkat, ia menguntit dari kejauhan.
Coa Kiu bertindak sampai di jalan besar, lalu ia menuju
ke utara, ke Teltseng-mui, tetapi di sini ia jalan terus, anaknya terus mengintil di belakangnya.
"Sudah sore, mereka bawa tombak, ke mana mereka
mau pergi?" Tay Po menduga-duga pula. Ia terus terbenam dalam keheranan. Toh ia terus ikut pergi ke luar kota.
Jalan besar itu waktu ada ramai sekali, karena banyak
orang kampung, orang pelancongan, yang pada menuju ke
luar kota. Adanya banyak orang itu ada baiknya bagi Lauw Tay Po, yang bisa menguntit dengan leluasa. Berapa kali
Coa Kiu dan gadisnya menoleh ke belakang, tetapi mereka
tak dapat lihat itu guru silat.
Tidak lama mereka sudah berada di luar Kwansiang, dari
sini ayah dan anaknya itu tetap menuju ke utara, sesudah melalui dua atau tiga lie, mereka lalu menghadapi suatu
tempat yang tanahnya tinggi lima atau enam tombak. Itu
adalah yang penduduk Pakkhia panggil "Touwshia" atau Tembok Tanah. Itu adalah tembok kota tanda peninggalan
dari jaman Liauw dan Kim. Di situ biasanya tak
sembarangan orang mau naik ke tembok tinggi itu. Tetapi
Coa Kiu dan gadisnya bertindak di tangga, naik ke atas
tembok. Sampai di situ, Tay Po tidak mampu sembunyikan diri
lagi. Ketika Coa Siang Moay menoleh dan dapat lihat itu
guru silat, ia memberi tahu ayahnya, atas mana Coa Kiu
menoleh dan kemudian turun di tangga, akan samperi guru
silat itu pada siapa ia memberi hormat dengan angkat kedua tangannya.
"Tuan Lauw," ia berkata dengan tegurannya. "Kau telah ikuti kita, apakah kau juga hendak menonton keramaian?"
Tay Po membalas hormat, ia tertawa.
"Memang aku hendak saksikan Coa pantauw perlihatkan kepandaiannya yang tinggi untuk membekuk penjahat
besar," ia menyahut.
"Kau terlalu memuji, tuan," Coa Kiu bilang. "Namamu, tuan Lauw memang aku telah ketahui, dan sekarang
dengan kau bekerja di Pweelek-hu selaku kauwsu, kau telah menjadi seorang yang mulia. Kau telah ketahui siapa diriku, aku tidak usah sembunyikan diri lebih lama pula di
hadapan kau. Di Hweeleng, Kamsiok, sudah duapuluh
tahun lebih aku pangku jabatanku, perkara besar yang aku berhasil bikin terang, sudah banyak juga jumlahnya, tetapi semua itu tak ada yang timpali ini satu perkara, yang aku lagi urus, terutama karena si penjahat sekarang lagi
sembunyikan diri di rumahnya seorang besar dan
berpengaruh. Umpama kita bisa ketemui orang itu, kita pun tidak bisa datang-datang bekuk padanya. Penjahat ini ada punya bugee yang tinggi, ia pandai ilmu lari keras dan lari
di atas genteng, jikalau kita salah tindak dan ia bisa lolos akibatnya bakal hebat. Tentu majikannya bakal marah besar dan kita bisa berbalik dituduh sudah memfitnah padanya,
apabila itu terjadi, aku bisa dapat susah, jangan-jangan jiwaku pun akan tak dapat ditolong. Maka itu, sesudah
putus asa, kita telah janjikan, si penjahat akan datang
kemari, untuk kita bertanding. Sebentar ia akan datang.
Perjanjian kita adalah: Kalau ia kalah, ia akan serahkan diri untuk dibelenggu, tetapi kalau aku yang kalah, aku akan
berangkat pulang, buat serahkan tugas pada sep-ku dan
meletakkan jabatan, buat seterusnya tidak satrukan lagi
penjahat itu."
Dengan perkataan "ia", Coa Kiu maksudkan penjahat itu ada penjahat perempuan.
Lauw Tay Po melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada
lain orang. "Coa pantauw," ia kata, dengan separuh berbisik, "aku lihat, pada mulanya, tindakan kau ada sedikit keliru.
Kenapa sesampainya kau di Pakkhia kau tidak lantas pergi melaporkan diri pada pembesar kota" Kau toh punya surat
dinas?" "Aku telah laporkan diri di Wanpeng," Coa Kiu memberi tahu. "Aku anggap percuma saja aku bikin laporan. Sebab penjahat sembunyikan diri di gedungnya Giok tayjin.
Apakah pembesar dari Wanpeng berani kirim orang akan
lakukan penangkapan di gedung teetok?"
"Sebenarnya penjahat itu ada orang macam apa?" Tay Po tanya, "Cara bagaimana ia bisa sembunyikan diri di
gedungnya teetok?"
"Kheng Liok Nio sudah berusia limapuluh lebih," Coa Tek Kong kasihkan keterangannya. "Pada tigapuluh tahun yang lalu, ia ada penjahat besar dan terkenal di Siamsay
dan Kamsiok. Bugee-nya ada pelajaran dari Bu-tong-pay, ia malah mengerti ilmu menotok jalannya darah. Bugee-nya
itu ada satu asal dengan bugee-nya Kang Lam Hoo!"
Tay Po kaget apabila ia telah dengar keterangan itu.
"Sebenarnya selama belasan tahun ini, Kheng Liok Nio sudah sembunyikan diri, hingga orang tak tahu ia berada di mana," Coa Kiu menerangkan lebih jauh. "Ia baru muncul pula pada enam tahun yang lalu. Pada satu waktu di daerah kita ada kelihatan seorang perempuan tua, yang pandai
mengobati luka dengan pakai jarum sebagai alat. Sejak
munculnya ini tabib perempuan, hampir beruntun di daerah kita terjadi perkara-perkara jiwa, di antaranya ada dua
hartawan yang jadi korban. Sesudah sekian lama aku bikin penyelidikan, aku dapat kenyataan, kejahatan itu ada
perbuatannya orang perempuan itu, ialah Pekgan Holie
Kheng Liok Nio. Lantas aku berdaya untuk bekuk
perempuan tua itu. Dalam hal ini, isteri dan anakku telah membantu aku. Di luar sangkaanku, kita bukannya
tandingan dari itu penjahat. Isteriku binasa di ujung
goloknya, aku sendiri roboh karena kena ditotok, dengan
begitu, ia jadi bisa loloskan diri."
"Ia ada satu penjahat, cara bagaimana ia bisa masuk ke gedungnya Giok tayjin?" Tay Po tanya. "Bagaimana duduknya maka kau bisa cari tahu ia berada di dalam
gedungnya teetok?"
"Itu ada secara kebetulan saja," jawab Coa Kiu. "Sejak kaburnya Kheng Liok Nio tidak ada kabar ceritanya lagi.
Karena lukaku, setengah tahun lamanya aku mesti berobat
terus. Dengan kebinasaannya isteriku, aku tidak punya
pembantu lagi, maka aku turunkan kepandaianku pada
anak perempuanku ini. Tidak pernah aku lupakan sakit hati isteriku, maka pada tahun yang sudah, di musim keempat,
aku menghadap pada tiekoan, untuk minta perkenan akan
cari Kheng Liok Nio. Buat itu, aku minta surat keterangan.
Demikian, dengan anakku turut aku, aku bikin perjalanan.
Kita hidup sebagai tukang dangsu. Kita telah pergi ke
banyak kota, ikhtiar kita tak ada hasilnya. Kebetulan sekali, di sini kita dapat tahu Kheng Liok Nio berada di dalam
gedungnya Giok tayjin. Ia ada jadi budak, tetapi budak
dengan pengaruh besar, karena ia telah dapatkan
kepercayaan besar dari nyonya dan nona Giok. Maka itu,
coba kau pikir, bagaimana kita bisa sembarangan turun
tangan?" Tay Po jadi berpikir.
"Sekarang kau ambil tindakan ini, akan mengadu
kepandaian, apa kau merasa pasti bahwa kau akan dapat
kemenangan?" ia tanya.
"Sebenarnya, bukannya aku yang tantang ia, hanya ialah yang tantang aku," Coa Kiu kasih keterangan. "Kemarin ini anakku berpura-pura jatuh dari tambang, maksudnya
adalah supaya ia bisa masuk ke gedung keluarga Giok.
Siapa tahu, ia bisa bade maksud kita. Ialah yang minta nona Giok jangan ijinkan anakku ini dibawa masuk."
"Tadi malam dengan diam-diam aku masuk ke dalam
gedungnya teetok. Tentang kedatanganku itu, si penjahat
telah dapat tahu. Ia rupanya kuatir juga yang kita selalu desak padanya, ia rupanya kuatir nanti rahasianya
terbongkar di matanya keluarga Giok, maka tadi pagi ia
telah suruh satu bocah pengemis datang cari aku akan
sampaikan suratnya ... "
Tay Po heran berbareng kagum buat keberaniannya si
penjahat itu. "Dalam suratnya itu," Coa Kiu lanjutkan keterangannya,
"Kheng Liok Nio janjikan aku akan hari ini jam dua datang ke tempat ini untuk adu kepandaian. Sekian lamanya aku
menunggu, ia tidak juga muncul, maka kita terpaksa pergi ke dalam kota. Ketika kita sampai di jalan besar di Tekseng-mui, kita ketemu pula si pengemis cilik dan ia ini memberi tahu kita bahwa ia telah ketemu satu nyonya tua, nyonya
mana minta disampaikan bahwa waktu piebu diubah
menjadi di waktu malam, di kota tanah ini ... "
"Apakah kau ada bawa suratnya Pekgan Holie itu?" Tay Po tanya. "Apa kau suka perlihatkan surat itu padaku untuk aku kenalkan tulisannya?"
"Percuma untuk kau lihat suratnya itu, ia menulis
dengan ujung hio dan tulisannya ada sangat tidak nyata.
Kheng Liok Nio ada satu penjahat ulung, ia selalu bekerja dengan hati-hati, untuk tidak meninggalkan tanda-tanda
atau bekas-bekas. Demikianpun orang suruhannya, ia
sengaja ambil satu pengemis bocah di tengah jalan, hingga si pengemis pun tak ketahui siapa dan di mana tempat
kediamannya."
Lauw Tay Po berdiam sedetik.
"Coa pantauw ia kata kemudian, untuk bicara terus
terang, kita berdua ada orang-orang segolongan. Aku
sekarang lagi cari orang yang curi pedang di dalam
Pweelek-hu. Menurut keteranganmu ini, mungkin kita
sedang urus perkara-perkara buah tangan dari satu orang.
Maka aku pikir untuk kita bekerja sama dan bantu
membantu. Aku harap Pekgan Holie nanti datang kemari
dan kita berdaya untuk membekuknya. Bila sebentar ia
datang, marilah kita keluarkan tenaga dengan terlebih
sungguh-sungguh!"
Itu waktu Coa Siang Moay telah sampai di atas dan
berdiri di sisi ayahnya.
Coa Tek Kong percaya Lauw Tay Po, tawaran siapa ia
terima bilik. Ia ada merasa girang yang ia telah bisa
dapatkan kawan atau pembantu. Dari tangan gadisnya, ia
ambil sebatang tombak.
"Saudara Lauw," ia berkata, "kau tidak bawa senjata, maka kau pakailah tombak ini. Pekgan Holie ada liehay,
kejam dan licin, aku harap sebentar kau berlaku hati-hati, terutama jagalah agar kau tidak terkena totokannya!"
Tay Po tertawa buat nasehat itu.
"Aku tidak takut ilmu menotok jalannya darah," ia menyahut. "Di tubuhku tidak ada jalan darah yang bisa ditotok! Dengan serahkan tombak padaku, senjata apakah
yang kau akan gunakan" Dalam hal ini, kau adalah yang
pegang peranan, aku melulu ada jadi pembantu. Apakah
bisa jadi kau akan layani penjahat itu dengan bertangan
kosong?" Dari pinggangnya, Coa Tek Kong loloskan bandringnya.
"Aku punya senjata ini dengan apa aku bisa layani
musuh itu," ia kata. "Di sebelah itu, aku dan anakku masing-masing pun ada bekal lima buah piauw."
Tay Po manggut.
"Piauw aku tak biasa menggunainya, begitupun ini
tombak," ia bilang. "Baiklah kau pinjamkan liu-seng-twie padaku. Lauwko baik ketahui, juga dahulu aku pernah
menjual silat, maka aku jadi bisa mainkan bandring ... "
Coa Kiu setujui sahabat baru itu, ia serahkan
bandringnya dan ambil pulang tombaknya.
Siang Moay tertawa apabila ia dengar perkataannya guru
silat itu. Demikian, bertiga mereka telah siap.
Dengan bersemangat tiga orang ini naik ke kota tanah
dan memandang ke arah selatan. Di jalanan sudah tak
tertampak orang, karena waktu itu sudah mulai magrib.
Lama juga mereka memandang, tiba-tiba Lauw Tay Po
lari turun dari Touwshia dan menuju ke jurusan selatan,
beberapa tindak jauhnya.
Dari jurusan itu ada mendatangi seorang dengan tubuh
bongkok, dengan tongkat di tangan, jalannya sangat
perlahan. Dari kejauhan, ia nampaknya sebagai seorang
perempuan. Lekas-lekas Lauw Tay Po tengkurap di tanah,
bandringnya sudah siap. Sebentar kemudian, orang itu telah datang semakin dekat.
Langit sudah gelap, mukanya orang itu tak kelihatan
nyata, tetapi menampak roman atau sikap orang tua itu,
Tay Po bersangsi.
"Aku mesti hati-hati!" demikian ia pikir. "Tidak boleh dengan satu bandring aku bikin mampus seorang tua yang
tak bersalah dosa, itulah hebat ... "
Demikian, ketika orang tua yang bertongkat itu lewat di
sisinya, Tay Po tak menyerang.
Akan tetapi Coa Kiu dan gadisnya dengan cekal
tombaknya masing-masing telah memburu turun dan
memegat orang tua itu.
"Pekgan Holie, apakah sekarang kau masih berniat merat lagi?" berteriak hamba polisi dari Hweeleng. "Lekas kau serahkan diri!"
"Hari ini aku mesti balas sakit hatinya ibuku!" Siang Moay juga berseru.
Di saat itu, Lauw Tay Po telah berbangkit, dari sebelah
belakang orang, ia bisa lihat si orang tua, tubuh siapa yang bongkok telah berubah menjadi lempeng, hingga ia tampak
orang itu berbadan tinggi.
Adalah di itu saat juga, itu orang tua dengan tongkatnya menghajar tanah, hingga menerbitkan suara nyaring, yang
menyatakan tongkat itu terbuat dari besi!
Tay Po tercengang.
"Coa Kiu, kau terlalu menghina aku!" segera terdengar suara luar biasa dari si orang tua. "Kau harus ketahui, dahulu aku sedang melakukan perbuatan-perbuatan gagah
dan mulia, untuk mana aku mesti habiskan jiwanya
beberapa orang, tetapi karena itu, kau telah desak aku,
sampaikan aku tak punya tempat di mana aku mesti
pernahkan diri. Sudah lima tahun lamanya aku tinggal pada keluarga Giok, aku hidup tenteram dan damai, belum
pernah aku berselisih pada siapa juga, tetapi kenapa kau dari Kamsiok yang jauh datang kemari mendesak padaku
pula" Kemarin ini hampir saja gadismu bisa masuk ke
dalam gedung teetok untuk bongkar rahasiaku, baiknya aku dapat mencegahnya. Kau ada kejam sekali! Maka kini
terpaksa aku kehendaki jiwamu berdua, ayah dan anak! ... "
Sekonyong-konyong Coa Siang Moay menikam dengan
tombaknya. Kapan Pekgan Holie menangkis, segera terdengar suara
nyaring dari beradunya dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi.
Tombaknya Coa Tek Kong menyusul, tetapi juga
serangan ini telah ditangkis oleh Kheng Liok Nio.
Setelah itu, ayah dan anak daranya, sudah lantas
merangsek secara hebat, tombak mereka turun dan naik
secara sebat. Didesak secara demikian, Pekgan Holie putar tongkatnya
laksana senjata itu terbang berdansa-dansa, terputar-putar menutupi dirinya, membikin kedua ujung tombak tak
mampu mampir pada badannya.
Berulang-ulang terdengar suara nyaring dari beradunya
ketiga senjata Coa Kiu dan Siang Moay mendesak terus dengan sia-sia,
sebab musuh meskipun berada sendirian, benar-benar ada
tangkas sekali, tongkatnya sukar digempur terlempar atau terlepas dari cekalan.
Demikian, sepuluh jurus telah dikasih lewat.
Pekgan Holie telah pusatkan perhatiannya kepada dua
musuh, ia tidak menyangka bahwa di belakangnya ada satu
musuh lain, tidak heran ketika Lauw Tay Po turun tangan, sesudah guru silat ini anggap waktunya telah tiba, ia
merasakan sakit dan kaget dengan berbareng, oleh karena
sebuah bandring telah menimpa pinggangnya bagian
belakang! Dengan menahan sakit ia loncat ke samping.
Menggunai saat itu, gesit laksana kunyuk, Tay Po lompat
menyerang pula.
Akan tetapi setelah mengetahui ada musuh ketiga, cepat
luar biasa, ia loncat lebih jauh ke kanan, sebelum bandring mengenai kepalanya, ujung tongkatnya sudah mendahului
belajar kenal pada iga kirinya Tay Po.
Bukan kepalang kagetnya Lauw Tay Po, terutama ia
rasai iganya jadi kesemutan atau bergemetar, maka tidak
tempo lagi, ia lempar dirinya jatuh tengkurap dan
bergulingan, hingga secara demikian, dirinya jadi terpisah jauh dari musuh yang liehay itu.
Itu ada ilmu bergulingan "Ciutee Sippatkoan", suatu ilmu untuk tolong diri dari serangannya ilmu menotok
darah. Sementara itu, Siang Moay sudah lepaskan dua batang
piauw hampir beruntun, tetapi Kheng Liok Nio benar-benar liehay, dua-dua senjata rahasia itu ia bisa kasih lewat
dengan berkelit. Ia sangat jeli dan gesit luar biasa.
Coa Kiu merangsek pula dengan tombak cagaknya,
diturut oleh puterinya yang bantu ia mendesak musuh besar itu.
Akan tetapi Pekgan Holie selalu bisa menyingkir dari
ujung tombak, sedang tongkatnya senantiasa mencari
lowongan terhadap kedua musuh itu.
"Hati-hati terhadap tiamhiat hoat-ku!" demikian si Rase Mata Biru berseru dengan berani.
Justru itu, menyusul itu peringatan atau ancaman,
bandring menyambar di atasan leher dari si orang tua ini, hampir saja senjata itu mengenai batok kepalanya. Ia


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi sangat gusar, maka sambil putar tubuh, ia serang Tay Po.
Kauwsu dari Pweelek-hu ada licin sekali, ketika musuh
serang ia, bukannya menangkis atau berkelit, hanya ia
buang dirinya akan bergulingan pula.
"Kurang ajar!" berseru si nyonya tua yang terus loncat agaknya ia hendak kejar Lauw Tay Po, tetapi sebenarnya ia terus lari. Karena ia rasai sangat sakit pada pinggangnya dan atasan leher itu. Jika seorang lain yang kena dua
hajaran bandring dari si guru silat tentulah sudah rubuh atau kegesitannya jadi kurang. Ia mencaci maki.
Dengan menerbitkan suara angin, dua batang piauw
menyambar pula dengan dahsyat. Kembali dua-dua
serangan itu bisa dikasih lewat. Cuma karena mesti
mengegos, Kheng Liok Nio bikin Coa Tek Kong dan
gadisnya bisa loncat dekat padanya, akan lagi-lagi kepung ia, tombak mereka menikam berulang-ulang.
Lauw Tay Po yang cerdik dan licin telah kembali, ia
menyerang selalu dari belakang, setiap kali musuh hadapi padanya, setiap kali juga ia mundur atau berguling diri, di mana musuh sedang repot melayani itu ayah dan anak,
bandringnya tentu datang melayang pula. Serangannya itu
membikin repot pada tongkat musuh.
Bukan kepalang mendongkol dan gusarnya Kheng Liok
Nio, sebab ia mesti tahan sakit dan berbareng mesti hadapi musuh-musuh yang berada di depan dan belakangnya,
sedangkan dua musuh di depan itu ia tidak boleh pandang
ringan. Ia telah pikir akan totok kedua musuh di depannya itu, tetapi pikiran itu tak dapat diwujudkan. Oleh karena Coa Kiu dan gadisnya telah bersiap diri, sebisa-bisa mereka ingin lolos dari totokan yang berbahaya. Sebab satu kali ujung tongkat musuh dapat berkenalan pada badan mereka,
ini berarti kekalahan mereka, ataupun kecelakaan ...
Semakin lama pertempuran berjalan, semakin Kheng
Liok Nio menjadi sibuk. Ia tidak mampu desak itu ayah dan anak, karena di belakangnya ia ada Tay Po yang menanti
ketika, tentu hajar ia, sebaliknya kalau ia rangsek Tay Po, guru silat ini main mundur. Terhadap guru silat ini,
tiamhiat hoat-nya seperti tidak mempan, sebab asal ujung tongkatnya mampir, Tay Po tentu lekas buang diri dan
bergulingan, jalan darahnya lantas hidup pula ...
Demikian, mau atau tidak, ia jadi kena dikurung. Ia pun
sibuk karena rasa sakitnya bekas terbandring, Coa Kiu
merasa puas melihat jalannya pertempuran itu.
"Anakku! Lauw toako!" ia berseru. "Ini kali kita mesti dapat bekuk penjahat ini!"
"Jangan banyak mulut!" membentak Kheng Liok Nio.
Sekali ini si Rase Mata Biru telah gunakan antero tenaga dan kebisaannya akan rangsek musuh, maka setelah
berselang lima puluh jurus, ia peroleh satu lowongan,
hingga ia bisa lolos dan menyingkir ke atas tembok tanah.
Mendahului yang lain-lain, Coa Kiu mengejar, disusul
oleh Siang Moay dan Tay Po paling belakang.
Selagi empat orang ini main uber-uberan, dari jurusan
selatan ada terdengar berketopraknya kaki kuda yang
dikasih lari keras ke jurusan mereka, mendengar mana, dari atas tembok kota Kheng Liok Nio lompat turun dan lari ke jurusan kuda itu. Segera juga terdengar teriakannya:
"Muridku, muridku, lekas bantui aku!"
Lauw Tay Po terkejut.
"Oh, kiranya ia ada punya murid! ... " berseru ia.
"Peduli apa!" berseru Coa Kiu. "Mari kita bekuk mereka semua!" Bertiga mereka loncat turun dari tembok akan mengejar terus.
Si penunggang kuda telah datang semakin dekat, di
antara sinar bulan dan bintang yang guram, kelihalan
pakaiannya yang hijau atau biru.
Siang Moay tidak peduli siapa adanya penunggang kuda
itu yang ia anggap ada muridnya Pekgan Holie, ia segera
menyerang dengan piauw.
Penunggang kuda itu ada liehay, ia bukan berkelit tetapi sebaliknya, ia ulur sebelah tangannya menyambuti piauw
itu, akan segera ditimpukkan kembali untuk balas
menyerang. Tay Po kaget sampai menjerit, karena piauw justru lewat
di sisi kupingnya.
Penunggang kuda itu sekarang loncat turun sambil lebih
dahulu hunus pedangnya, ia maju memburu.
"Kasih aku liuseng-twie!" kata Coa Kiu pada Tay Po.
Mereka lantas ganti senjata.
"Binatang, kau siapa?" Tay Po menegur seraya maju memapaki penunggang kuda itu. "Lekas beritahukan she dan namamu!"
Orang yang ditegur itu tak menyahut, hanya maju terus.
Dalam mendongkolnya, Tay Po maju dengan tikamannya, tetapi kapan si penunggang kuda menangkis,
nampaknya gerakan pedang ada tenang sekali, segera
terdengar suara senjata beradu, bukannya suara bentrokan keras, hanya suara barang besi putus!
Bukan main kagetnya si guru silat, karena ia dapat
kenyataan tombaknya telah tertabas buntung, tidak tempo
lagi ia angkat kakinya, akan buka tindakan lebar.
"Ha, kiranya kau yang curi pedang mustika!" demikian ia berseru.
Penunggang kuda itu tetap bungkam, tetapi ia loncat,
akan candak Tay Po.
Siang Moay lihat kawannya berada dalam bahaya, ia
maju menghalangi, tombaknya dikasih kerja.
Si penunggang kuda menangkis, seperti tadi, ia pun bikin sapat tombak cagaknya Siang Moay.
Kaget berbareng penasaran, Siang Moay ganti menggunakan piauw, tetapi musuh benar liehay, meskipun
piauw dilepas berhadapan, tidak urung ia bisa tangkap
dengan tangannya. Setelah itu, orang ini pun balas
membabat dengan pedangnya yang tajam itu.
Untuk tolong diri, Siang Moay berkelit sambil mendek,
tetapi di luar dugaannya, kakinya orang itu telah melayang, hingga tahu-tahu ia telah terdupak terpelanting.
Adalah di saat itu, Coa Tek Kong merangsek dengan
bandringnya. Sekali ini, penunggang kuda itu tidak tangkis serangan,
hanya ia berkelit ke samping, dari mana ia menusuk dengan pedangnya.
Dengan satu loncatan, Coa Kiu berkelit, kemudian ia lari beberapa tindak, setelah mana, ia berbalik seraya tangannya bergerak berulang-ulang, karena dengan beruntun-runtun, ia lepaskan 4 batang piauw.
Musuh yang tangguh itu telah geraki pedangnya bulak-
balik, dengan itu cara ia bikin semua piauw kena tertangkis dan jatuh ke tanah, hingga kegagahannya itu bikin si hamba polisi dari Kamsiok menjadi heran dan kaget.
"Kau siapa?" tanya itu tukang dangsu tetiron.
Pertanyaan ini tidak dijawab oleh si penunggang kuda
itu, jawaban satu-satunya adalah terayunnya tangannya,
akan menimpuk piauw yang tadi ia sambuti dari Siang
Moay, atas mana Coa Tek Kong menjerit keras dan
tubuhnya roboh terguling ke tanah!
Tay Po berada di tempat yang tinggi, ia pungut batu
berulang-ulang menimpuk pada musuh itu, siapa bisa
loloskan diri dengan tiap kali berkelit.
Melihat demikian. Siang Moay jumput tombaknya yang
kutung, dengan itu ia maju pula menerjang lagi pada
musuhnya. Ia ada berkuatir untuk ayahnya, maka ia jadi
sengit. Si penunggang kuda tidak hendak tabas tombak musuh,
atau ia tidak mampu berbuat demikian, karena si nona Coa sekarang berlaku gesit dan waspada, tetapi ketika satu kali ia menyabet, dari kiri ke kanan, ia bikin nona itu berkelit dengan kepala mendek, berbareng dengan mana, kembali
kakinya bekerja dengan berhasil, sebab dengan satu
tendangan, Siang Moay kembali kena dibikin terguling.
Ketika itu, dengan putar tongkatnya si nyonya tua maju
pula. Dari tadi ia nonton dari pinggiran, sambil mengaso, dengan napasnya tak lagi memburu.
"Mereka semua mesti dibasmi habis!" ia berteriak dengan sengit.
Tapi si penunggang kuda mencegah, malah ia tarik orang
tua itu dipondong dikasih naik atas kudanya, setelah mana ia kasih kudanya kabur pergi, sedang pedangnya siang-siang telah dikasih masuk pula ke dalam serangkanya. Mereka
kembali ke jurusan selatan.
Tay Po penasaran, ia coba mengejar, tetapi tak berhasil.
"Binatang, lekas kembalikan pedang ke Pweelek-hu!" ia berteriak. "Awas jikalau kau tidak lakukan itu, Itto Lianhoa nanti maui jiwamu! ... "
Ancaman itu tidak digubris, penunggang kuda itu kabur
terus. Dengan napas sengal-sengal, terpaksa Tay Po tidak
mengubar terus, kemudian dengan masgul dan berkuatir ia
bertindak balik.
"Rupanya Coa Kiu terluka parah ... " pikir ia. "Entah bagaimana dengan Siang Moay."
Selagi mendekati Touwshia, guru silat ini segera dengar
suaranya si nona yang ia kenalkan betul. Tapi ini kali ia dengar jeritan dari tangisan ...
"Ayali, ayah ... " demikian suaranya si nona.
Bahna kaget, Tay Po lantas saja lari, kapan ia sudah
datang dekat, ia lihat si nona mendekam di atas tubuh
ayahnya, nona itu menangis menggerung-gerung.
"Bagaimana?" menanya ia sesudah sampai di dekat mereka. Ia terus jongkok, ia sambar tangannya Tek Kong
buat dipegang, buat kagetnya, ia merasai tangan yang sudah beku dingin. Ia pun raba nadi, yang telah tak berkedut lagi
... "Celaka!" kemudian berseru guru silat ini. Ia kaget berbareng duka dan panas hatinya. "Bagus betul, orangnya keluarga Giok telah binasakan hamba polisi yang datang
dari luar daerah! Ini perkara mesti ditarik panjang ... "
"Tarik panjang!" kata Siang Moay, yang tahan
tangisannya, "Apakah artinya itu" Sekalipun pembesar negeri minta keterangan kita, apa kita bisa bilang" Apakah kau kira tiekoan dari Wanpeng nanti berani bertindak
terhadap Giok teetok" Jangan-jangan bukannya perkara kita yang diurus, Giok tayjin nanti justru tuduh kita sudah
memfitnah kepadanya ... "
Lauw Tay Po tercengang.
"Kau benar," ia akui kemudian sambil manggut.
"Tidaklah kecewa yang kau ada jadi gadisnya seorang polisi ulung. Tapi sekarang ayahmu telah menutup mata, kau
menangis pun tak ada faedahnya. Buat kita adalah
menunggu tempo, akan berikhtiar mencari balas. Apakah
kau ada bawa surat dinas?"
Sesudah berdiam sekian lama, Siang Moay menyahut:
"Ada."
"Bagus," kata Tay Po. "Sekarang kita bawa mayat ayahmu ke Kwansiang untuk dilaporkan dan diperiksa,
kemudian kita nanti urus lebih jauh. Jikalau ditanya
sesuatu, kau tidak usah bicara banyak. Apabila orang tanya kau siapa adanya aku, kau akuilah aku sebagai engku-mu
(paman)." "Tidak tepat kau sebagai engku," kata si nona. "Aku nanti bilang saja bahwa kau adalah sahabat kita ... "
"Begitupun baik," sahut Tay Po. "Sekarang kumpulkan potongan tombakmu, itu semua bisa dijadikan barang
bukti." Siang Moay menurut, ia berbangkit akan punguti empat
batang tombaknya. Ia ada sangat berduka, ia terus
menangis sesenggukan, kendati dengan perlahan.
Tay Po pondong tubuhnya Coa Kiu buat digendol di
punggungnya. "Marilah," ia kata dengari terus jalan mendahului.
Mereka tinggalkan Touwshia dan menuju ke arah
selatan, sembari jalan Siang Moay terus menangis, maka
Tay Po mesti saban-saban hiburkan padanya.
Langit ada gelap, angin meniup keras, hawa pun sangat
dingin. Di empat penjuru tak ada tertampak sinar api.
Jalanan pun ada sunyi, karena di situ mereka hanya
berduaan saja, bertiga dengan mayatnya si orang polisi
ulung. Di saat mereka sampai di dalam Kwansiang dari
Tekseng-mui, kentongan berbunyi dua kali. Di sini toko-
toko kebanyakan sudah tutup pintu.
Kapan sebentar kemudian mereka sampai di muka
kantor pembesar negeri, Tay Po letaki tubuhnya Coa Kiu, ia menghampiri pintu kantor seraya memanggil-manggil
penjaga kantor itu akan beritahukan telah terjadinya
perkara jiwa. Di kantor itu cuma ada satu pembesar sebawahan serta
dua serdadu yang giliran menjaga malam. Mereka ini
terperanjat tetapi mereka toh keluar.
"Mari itu surat dinas," kata Tay Po pada Siang Moay, dan terus berkata pada si pembesar: "Ini nona adalah Coa Siang Moay, puterinya pantauw Coa Tek Kong dari
Hweeleng, Kamsiok. Coa pantauw datang kemari dengan
tugas mencari dan menangkap penjahat besar yang bernama
Pekgan Holie Kheng Liok Nio. Aku sendiri ada Itto
Lianhoa Lauw Tay Po, sahabat dari mereka ini,
pekerjaanku adalah kauwsu di dalam Tiat siauw-pweelek-
hu. Sinchio Yo Kian Tong, toa-piauwsu dan pemilik dari
Coanhin Piauwtiam di luar Cianmui adalah engko
misanku, dan Tiatciang Tek ngoya di Kota Timur adalah
sahabat karibku. Sekarang bersama ini nona, aku datang
untuk melaporkan apa yang kejadian barusan. Menurut
Coa pantauw, Pekgan Holie ada sembunyikan diri di suatu
gedung besar, entah gedung siapa dan di mana letaknya.
Hanya tadi secara kebetulan Coa pantauw mendapat tahu
penjahat itu keluar dari Tekseng-mui yang ia lantas kuntit.
Ia telah ajak aku dan puterinya ini. Kita menyusul sampai di Touwshia di mana kita berhasil menyandak Pekgan
Holie. Penjahat besar itu bikin perlawanan waktu kita
hendak menangkapnya. Ketika hampir kita berhasil
membekuk ia, mendadak ada datang satu penjahat lain
yang menunggang kuda membantui Pekgan Holie. Ia ada
muridnya si penjahat itu. Karena angkasa sudah gelap, kita tak dapat mengenalinya, kita cuma bisa duga ia masih
berusia muda, hanya terang ia ada satu penjahat yang
sembunyi di gedung besar sebagai Pekgan Holie sendiri. Ia ini ada bersenjata pedang ... Dan looya baiklah ketahui
bahwa pedang itu justru adalah pedang yang belum lama ini lenyap dari Pweelek-hu, yang Giok teetok sendiri sedang
cari dengan keras. Tombak kita telah kena dibabat putus
oleh pedang mustika itu ... ,"
Sembari kata begitu, Tay Po ambil sisa tombak dari
tangannya Siang Moay, setelah mengasih unjuk sisa itu ia letaki di jubin.
"Di luar dugaan, muridnya Pekgan Holie itu dengan
piauw telah serang kita selagi kita tidak waspada untuk
menjaga diri, maka Coa pantauw telah terluka dan roboh,
setelah mana, kedua penjahat itu lantas kabur. Ketika
kemudian kita lihat Coa pantauw, ternyata ia sudah tak
bernyawa, maka mayatnya aku lantas bawa kemari, harap
looya suka periksa. Kedua penjahat itu barangkali belum
masuk ke dalam kota, kita mohon looya suka lekas ambil
tindakan akan cari dan tangkap mereka itu. Kita pun
mohon, sesudahnya looya bikin peperiksaan, tolong looya
melaporkan terlebih jauh pada kantor teetok agar Giok
teetok juga turut mencari penjahat-penjahat itu, yang ada bersembunyi di rumah orang besar, mungkin gedung itu
berada di dekat Konglauw."
Wajahnya si pembesar menjadi pucat. Perkara itu
menurut bunyinya laporan, ada hebat.
"Lekas ambil lentera," ia kata pada orangnya. "Mari kita periksa mayat."
Coa Kiu terluka di dada, darah keluar banyak. Piauw
masih menancap.
Siang Moay kembali mendekam dan menangis di atas
mayat ayahnya. Itu waktu ada datang belasan orang ronda, koanjin yang
menjadi kepala kenalkan Lauw Tay Po.
"Lauw jieya, kenapa kau ada di sini?" ia tanya.
"Ya," sahut Tay Po, yang kembali ulangi keterangannya.
Setelah peperiksaan sementara itu, mayatnya Coa Kiu
lantas dibawa ke dalam, Tay Po sendiri bersama Siang
Moay diminta cari pondokan yang berdekatan untuk
mereka lewatkan malam, karena katanya, peperiksaan akan
dilanjutkan besok.
Tay Po ajak Siang Moay pergi ke rumah penginapan di
depan kantor itu, di situ mereka ambil masing-masing satu kamar.
Bahna dukanya, Seantero malam Siang Moay menangis
saja sedang Tay Po pun tak dapat tidur, sebab ia pun ada berduka dan kusut pikirannya. Sekarang toh ia ketahui
tentang pedang mustika itu.
"Apa yang sukar sekarang," demikian kauwsu ini berpikir, "Pekgan Holie ternyata liehay dan muridnya ada terlebih liehay lagi. Siapa tahu jikalau mereka diam-diam datang satroni kita" Maka kila mesti bersiap ... "
Demikian, malam itu ia jadi tak dapat tidur. Adalah
setelah fajar mendatangi, ia bisa pulas juga, melainkan
sekejaban, sebab segera ia mesti keluar lagi ke kantor, akan saksikan jalannya peperiksaan mayat, akan kasih laporan
lebih jauh pada pembesar di Wanpeng dan ke kantor teetok.
Di lain pihak, kantor pembesar di Kwansiang jadi ramai,
karena waktu orang banyak dengar hal kejadian semalam,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berduyun-duyun pergi menyaksikan mayat.
Baru sekarang orang dapat tahu bahwa si penjual silat
yang apes itu sebenarnya ada orang polisi rahasia dari
Kamsiok yang sedang menjalankan tugas dan jadi korban
dari tugasnya itu. Tentang si penjahat, orang banyak lantas menduga-duga di gedung siapa sembunyinya mereka itu.
Malah beberapa orang yang kenal Lauw Tay Po telah cari
kauwsu ini buat minta keterangan lebih jauh.
Itu hari Tay Po ada sangat repot, terutama di waktu ia
bantu Siang Moay urus mayatnya Coa Kiu setelah
selesainya peperiksaan. Penguburan dilakukan itu hari juga, tapi itu sebenarnya bukan penguburan, hanya peti jenazah dititipkan di Kamsiok Gietee, tempat penitipan mayat
untuk orang asal Kamsiok.
Oleh karena Siang Moay berada sendirian, Tay Po
anggap tidak cocok buat si nona tetap mondok di rumah
pondokan yang butut, dari itu ia lantas cari tempat baru, di jalan Bwee-sie-kay di luar Cianmui, ia sendiri lantas pergi ke Coanhin Piauwtiam.
Malamnya kira-kira jam satu, Tay Po kata pada Yo Kian
Tong: "Sekarang sudah tidak siang lagi, hatiku tidak tenteram. Siang Moay tinggal bersendiri di rumah
penginapan, aku anggap ia berada di tempat yang tidak
aman ... "
"Kau berpikir terlalu dalam," Yo Kian Tong menghibur.
"Toh rumah penginapan itu letaknya di depan piauwtiam kita dan itu ada rumah penginapan yang besar! Siapa berani satroni ia dan membunuhnya?"
Lauw Tay Po menggelengkan kepala.
"Siapa berani pastikan?" ia bilang. "Makin rumah penginapan besar, tetamunya makin banyak dan terdiri dari segala golongan. Aku merasa bahwa muridnya Pekgan
Holie tak mau begitu saja bikin habis perkara ini. Kota telah menjadi gempar, mereka tentu merasa gelisah di tempatnya mengumpat itu. Mustahil mereka tak kuatirkan yang
rahasia mereka nanti terbongkar" Oleh karena ini, aku
menduga kalau mereka tidak lantas angkat kaki, mereka
tentu akan cari Siang Moay, untuk dibikin habis jiwanya!
Malah jiwaku sendiri ada turut terancam bahaya! Piauwhia, sebagai kandaku, kau sendiri pun mesti waspada!, ... "
"Aku tidak takuti segala Pekgan Holie!" kata Yo Kian Tong yang nyalinya besar, "Tetapi yang di dalam kota raja ada penjahat ulung sebagai ia itu, inilah menyebalkan! Aku pikir akan besok ketemui Tek ngoya, supaya ia pergi
menghadap Tiat pweelek, Khu Kong Ciauw dan Giok
tayjin akan sampaikan pengharapan kita untuk membantu
pada pembesar negeri buat cari dan bekuk penjahat itu. Kau bilang penjahat itu berdiam di satu gedung besar, bukti apa kau punya?"
"Ada," jawab Tay Po, "hanya sekarang aku belum berani jelaskan itu, sebab kedua penjahat itu katanya ada dari fihak Bu-tong-pay dan segolong dengan Kang Lam Hoo dan Lie
Bouw Pek, malah katanya mereka pun ada kenal satu pada
lain ... "
"Aku tidak mengerti," kata Yo Kian Tong. "Turut apa yang aku ketahui, Kang Lam Hoo tidak punya murid dan
Lie Bouw Pek tidak punya suheng atau sutee. Aku percaya
penjahat-penjahat itu telah bersenderkan namanya Kang
Lam Hoo dan Lie Bouw Pek untuk gertak atau pengaruhi
orang." "Benar atau tidak itulah bukannya soal," Tay Po terangkan, "tetapi tadi malam aku telah tempur mereka dan aku dapat kenyataan bugee mereka benar berasal Bu-tong
Pay. Ilmu silat pedang dari Bu-tong-pay aku tidak takuti, tetapi yang aku buat jeri adalah ... " ia menunjuk ke luar jendela dan meneruskan: "Kita sekarang bicara dengan leluasa di dalam kamar, di luar siapa tahu jikalau mereka sedang mencuri dengar, dan jika aku sebut dengan jelas
tentang mereka, bisa-bisa dari luar akan menyambar pedang yang akan meminta jiwaku! ... "
Wajahnya YoKian Tong berubah dengan segera, sambil
tangannya menyambar ke belakang, pada tombaknya, ia
berbangkit dan mengawasi ke luar jendela.
"Tay Po, bicaralah!" ia kata kemudian, dengan sengit, sebagai juga di luar benar ada orang yang asyik intai
mereka. "Beritahukanlah di mana tempat mengumpatnya kawanan penjahat itu, besok aku telah bisa berdaya ... "
Tetapi Lauw Tay Po tertawa.
"Piauwhia, baik kau jangan usilan," ia kata. "Seorang yang membuka dua piauwtiam dengan berbareng, ia tak
mampu membagi dirinya dengan sempurna, beda dengan
aku yang sebatang kara dan luntang-lantung saja, tak ada yang aku pikirkan. Sekarang ini aku merasa berlega hati, sebab meski benar Coa Tek Kong telah mesti korbankan
diri, aku toh sudah ketahui di mana adanya itu pedang
mustika, yang mana menyatakan bahwa aku bukanlah si
pencuri. Benar si penjahat belum dapat ditangkap, tetapi dalam penyelidikanku, aku sudah peroleh hasil. Maka kini tinggal usahaku selanjutnya akan tempur penjahat-penjahat itu. Aku belum puas sebelum mereka dapat dibekuk dan
dibelenggu untuk dipasrahkan kepada pembesar negeri!"
Di waktu bicara, kauwsu ini nampaknya keren sekali.
Sehabis itu Tay Po lantas minta kandanya pergi tidur, ia sendiri pun beristirahat, setelah sampai jam tiga, dengan bawa sebatang golok ia pergi keluar untuk meronda.
Di waktu demikian, malam ada sunyi dan senyap.
Semua pemilik toko atau rumah penginapan sudah tidur
dengan nyenyak. Tay Po pergi ke hotel di mana Siang
Moay menumpang, ia menghampirkan jendela kamarnya si
nona. Ia dengar si nona masih menangis mengalun
perlahan-lahan.
"Kasihan ... " pikir ia yang lantas saja lompat naik ke atas genteng, akan mendekam di situ. Ia mandah kasih dirinya
ditimpa embun dan diserang angin, ia berdiam di tempat
gelap sampai kira-kira dua jam lamanya. Karena cuaca fajar mulai perlihatkan diri, ia lalu loncat turun dari atas genteng, kembali ke piauwtiam, masuk ke kamarnya dan tidur. Ia
tidur tak lama atau sang pagi telah datang, maka ia lalu bangun dan bersihkan tubuh, akan kemudian lekas pergi ke seberang.
Tatkala itu Siang Moay sudah bangun dari tidurnya, ia
sedang bukai sepasang gelungnya, buat diubah menjadi
sebuah kuncir yang panjang, yang ia libatkan benang putih.
Bajunya yang merah ia telah tukar dengan baju biru,
begitupun celananya. Sepatunya ia tandai kain putih.
Karena ia tak pakai pupur, kulit mukanya tertampak lebih hitam, tetapi manisnya tak hilang ...
Kapan nona ini lihat Tay Po masuk ke dalam kamarnya,
ia lekas turun dari pembaringan.
"Tadi malam ada datang orang kemari, masuk ke dalam
... " si nona beri tahukan.
Tay Po bersenyum
"Aku tahu, itulah aku. Aku datang untuk melindungi kau karena aku kuatirkan akan dirimu ... "
Si nona nampaknya berduka atau tak mengerti.
"Kau tinggalkan uang di sisi bantalku, apa artinya itu?"
ini nona tanya. Di waktu mengucap demikian, tampak
mukanya berubah menjadi merah.
Tapi Tay Po terperanjat sampai ia keluarkan jeritan
tertahan. "Apa kau bilang" Uang?" ia tanya dengan cepat.
Dari peti kayunya, Siang Moay tarik keluar sebungkus
uang. "Ini uangnya! Tadi malam sebelumnya tidur, aku telah tutup pintu kamar dan kunci sendiri, akan tetapi barusan ketika aku mendusin, aku dapatkan ini bungkusan uang di
sisi bantal kepalaku. Pintu kamarku juga telah terbuka ... "
Bahna heran, wajahnya si kauwsu menjadi pucat.
"Inilah heran," ia berpikir, "Tadi malam toh aku mendekam di atas genteng dua jam lamanya dan pasang
mata, kenapa aku tidak tahu dan tak melihat ada orang
datang dan pergi" Apakah di dalam ini rumah penginapan
ada iblisnya?"
Tapi ia tak mau hilang muka, lantas ia tertawa,
"Kau tentu kaget, bukan?" ia bilang. "Aku main-main saja, uangku tak ada tempat untuk disimpan, aku sengaja
bawa kemari buat kau tolong simpani ... Tetapi di sini juga bukan ada tempat yang aman, aku pikir kau harus pindah ...
" Nona Coa awasi itu kauwsu. Ia tak pakai yancie tetapi
pada pipinya tampak sedikit semu merah.
"Lain kali aku harap kau tidak berbuat pula sebagai ini,"
ia bilang, sikapnya malu-malu. jikalau kau pikir hendak
pengaruhi aku dengan uang, aku akan gusar! Aku sekarang
sudah yatim piatu, kau telah bantu banyak padaku, apalagi yang aku bisa bilang" Aku tidak bisa berbuat lain daripada ikut kau. Hanya sekarang aku baru saja kematian ayahku,
maka taruh kata aku mesti menikah dalam perkabungan, itu
baru bisa terjadi selang lagi satu bulan... Biarlah uang ini dititipkan padaku, kemudian kau boleh pakai untuk undang tetamu-tetamumu!"
Lauw Tay Po girang tak kepalang, ia berseri-seri. Tapi
kapan ia ingat itu uang, hatinya berdebaran.
"Orang yang tengah malam buta rata menghantarkan
uang itu niscaya uangnya bukan untuk kita berpesta pora ...
" ia berpikir. "Boleh jadi sekali ini ada perbuatannya murid dari Pekgan Holie ... Tadi malam ia cegah gurunya
bertindak lebih jauh, ia agaknya masih bisa menimbang
atau mempunyai perasaan kasihan ... Mungkin sekali
binasanya Coa Tek Kong bukanlah maksudnya. Tadi
malam kita tidak bongkar rahasianya, rupanya ia bersyukur, maka ia lantas datang menghantarkan uang untuk Siang
Moay rawat mayat ayahnya."
Oleh karena sudah terlanjur, Tay Po tidak bisa buka
rahasia terhadap nona Coa. Begitulah, sesudah ajak bicara dan hiburkan si nona, ia pulang kembali ke piauwtiam dari saudara misannya. Ia ketemui Yo Kian Tong, ia tidak sebut hal ada orang mengantar uang pada Coa Siang Moay,
hanya ia beritahukan yang si nona suka menikah padanya.
"Kau telah kenal begitu baik anak dara orang, kau
memang pantas menikah dengannya," kata sang engko
piauw. "Apa yang aku harap adalah kau selanjutnya bisa bekerja dengan jujur. Aku sendiri, tidak lama lagi tentu akan berhasil membekuk dua penjahat itu, kemudian teetok tentu akan kasih pekerjaan padaku, sedikitnya untuk kepala beberapa opas ... "
Tay Po bersenyum.
"Aku harap!" ia kata.
Kapan beberapa piauwsu ketahui Tay Po bakal beristeri,
mereka lantas memberi selamat.
"Kau mesti undang kita minum arak kegirangan!" kata mereka. "Kau mesti antar kita akan ketemui nona
pengantinmu!"
"Toh aku masih belum menikah!" kata Tay Po, yang tidak menjadi likat. "Sekarang ini tentu enso-mu merasa malu akan ketemui kau beramai, maka bersabarlah sampai
sudah tiba waktunya! Untuk minum arak, sekarang juga
aku bisa undang kau!"
"Bagus, bagus!" berseru beberapa kawan itu. "Nah, mari kita pergi!"
Tay Po ambil uang, ia benar-benar ajak beberapa kawan
itu pergi tenggak susu macan di sebuah rumah makan.
Setelah berpisahan dari kawan-kawannya, di tengah jalan ia memikirkan daya untuk dapat menangkap kedua penjahat
yang liehay itu.
"Bagaimana aku mesti bertindak sebentar malam" Apa
aku boleh lantas satroni gedung teetok" Bagaimana aku bisa masuk ke dalam gedungnya pembesar itu?"
Demikian ia berpikir, dengan
tidak ada hasil keputusannya. "Eh, ke mana kau hendak pergi?" tiba-tiba ia dengar orang menegur selagi ia jalan sambil tunduki kepada.
Ia terperanjat dan segera memandang ke jurusan dari
mana teguran itu datang. Maka ia lantas dapat lihat seorang umur kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi dan besar, mukanya merah tercampur hitam, bajunya dilapis
makwa, dengan memakai kopiah batok. Dandanan itu
mirip dengan dandanan lhama dari Tibet ...
Tapi Lauw Tay Po kenalkan orang itu, maka ia lekas-
lekas menghampiri.
"Sun toako, sudah lama kita tak bertemu!" ia kata sambil memberi hormat.
Orang itu ada piauwsu yang ternama di kota Pakkhia,
karena ia ada suheng dari Jie Siu Lian atau Ngojiauw-eng Sun Ceng Lee, si Garuda Berkuku Lima. Ia memang kenal
itu kauwsu dari Pweelek-hu.
"Lauw Tay Po," berkata piauwsu itu, "aku dengar kemarin malam kau telah berbuat suatu apa?"
"Kau ada sedikit keliru, Sun toako!" Tay Po jawab sambil tertawa. "Aku hanya urus suatu perkara yang hingga
sekarang ini masih belum peroleh hasil apa juga ... "
"Kalau begitu, pergi lekas kau cari keterangan," kata Ngojiauw-eng, suaranya berubah jadi sungguh-sungguh dan
keras. "Asal kau dapat tahu di mana adanya Pekgan Holie, tak peduli ia sembunyi di gedung mana, lantas kau
beritahukan aku, aku nanti pergi bekuk padanya! Jika di
kota raja ini masih ada Ngojiauweng, ia tak dapat
mengijinkan kawanan penjahat itu malang melintang!"
Bukan main girangnya Lauw Tay Po akan dengar
ucapan itu. Ini adalah hal yang ia tak pernah sangka. Maka itu, kembali ia tertawa.
"Itu benar!" ia bilang, "Toako memang ada garuda sakti, yang istimewa pandai menyengkeram siluman rase!"
Ceng Lee pun tertawa.
"Tahukah kau bahwa sumoay-ku bakal lekas datang?"
kemudian Ngojiauw-eng tanya pula.
Tay Po terperanjat, tetapi segera ia jadi kegirangan.
"Apakah itu benar toako" Dan bagaimana dengan Lie
Bouw Pek, apakah ia juga akan turut datang bersama?"
"Mereka tak tinggal satu rumah, cara bagaimana Lie
Bouw Pek bisa datang sama-sama?" kata si Garuda Berkuku Lima. "Kemarin dahulu dari Kielok ada datang seorang sekampung dengan aku, dialah yang bilang bahwa sumoay
sudah kembali dari Kanglam dan tak lama lagi akan datang kemari. Sudah tentu kita tidak usah tunggu sampai sumoay datang, malah lebih baik lagi bila kita bisa mendahului ia membekuk siluman rase itu ..."
"Benar juga! Mustahil orang-orang lelaki sebagai kita, tak mampu membekuk rase" Mustahil untuk itu kita mesti
tunggui datangnya orang perempuan" Apakah dengan
begitu kita bisa sebut diri kita enghiong?"
Sun Ceng Lee gembira sekali akan dengar kata-katanya
kawan itu. "Nah, pergilah kau cari keterangan!"
"Baik, toako!" sahut Lauw Tay Po.
Berdua mereka berpisahan. Dengan tindakan lebar Sun
Ceng Lee berlalu dengan lekas ke jurusan selatan.
Lauw Tay Po jalan beberapa tindak ke arah utara lantas
ia mengkol ke Bwee-sie-kay. Ia mampir di Coanhin
Piauwtiam akan pinjam dua batang golok, dari situ dengan lekas ia menuju ke hotel buat tengok Coa Siang Moay.
Nona Coa sedang duduk sendirian, dengan kepala
tunduk dan air muka guram. Pada pipinya masih ada tanda-
tanda air mata. Di atas mejanya, nasi dan sayurannya
masih belum terganggu.
"Sampai sekarang kau masih berduka saja, itulah sudah tak perlu," Itto Lianhoa lantas menghibur. "Apa gunanya
akan bersedih terus" Kita justru mesti makan nasi biar
banyak, agar semangat kita terbangun supaya kita bisa
bekuk si penjahat guna membalas sakit hati! Kau tahu, aku telah dapat kabar girang!"
Coa Siang Moay menoleh dengan lesu.
' Baru saja aku ketemu satu sahabat di tengah jalan," Tay Po memberi tahu lebih jauh. "Ia adalah Ngojiauw-eng Sun Ceng Lee, suheng dari nona Jie Siu Lian. Ia beritahukan
aku bahwa sumoay-nya akan datang ke kota raja ini. Yang
menggirangkan adalah Sun Ceng Lee telah janjikan
bantuannya kepadaku. Sun Ceng Lee ada bangsa sembrono,
aku sebenarnya masih sangsi akan terima bantuannya itu,
tetapi bantuannya Jie Siu Lian benar-benar sangat berharga bagi kita! Selama tiga tahun, nona itu sudah malang
melintang di seluruh Kanglam, kabarnya bugee-nya telah
tambah maju bukan sedikit, apabila ia datang, sepuluh
Pekgan Holie masih bukan tandingannya! Sekarang ini
yang paling penting bagi tindakan kita adalah kita mesti bikin rase itu tetap berada di tempatnya, jangan kita keprak-keprak rumput hingga ular kaget dan kabur, sambil berbuat begitu, kita tunggui datangnya pembantu ... "
Nampaknya Siang Moay tak terlalu ketarik hati.
"Kenapa kau masih mengharapi bantuan orang?" ia tanya.
"Aku bukannya terlalu mengharap bantuan orang. Sejak kemarin bertempur di Touwshia, aku baru dapat tahu
Pekgan Holie itu benar-benar liehay ... Bertiga kita tidak mampu lantas bekuk padanya, apapula sekarang, kita hanya berdua. Apakah yang kita bisa berbuat" Di sebelah itu, kita jangan lupakan muridnya! Aku lihat justru si murid ada
jauh terlebih gagah daripadanya, lebih-lebih pedangnya!
Meskipun kita liehay, kita toh mesti pikirkan senjatanya ini
... Satu hal aku hendak beritahukan, tetapi kau jangan kaget dan takut. Mulai kemarin terus sampai hari ini, saban-saban aku lihat ada orang yang sikapnya mencurigai, yang seperti ada bayangi aku ... "
Mendengar itu, wajahnya Siang Moay menjadi pucat.
"Sudah aku bilang, jangan kau kaget," Tay Po
tambahkan. "Selama kita ada di sini, Pekgan Holie tak akan merasa tetap hatinya. Sebab kita adalah orang satu-satunya, yang ketahui rahasianya! Mungkin ia berdaya akan
singkirkan kita. Maka aku anggap, tempat ini tidak aman
untuk kau tinggal sendirian, kau harus cari lain pondokan.
Selama ini dua hari, sikap kita adalah menjaga saja dahulu, jangan menyerang. Bukankah pepatah ada bilang, sebelum
pergi perang, kita mesti pelajari pembelaan dahulu" Kita tunggu sampai lewat beberapa hari lagi, selama itu mungkin pihak kantor pun sudah mulai peroleh rahasia mereka" Dan mungkin itu waktu pembantu kita pun telah sampai! Waktu
itu barulah kita gerebek Pekgan Holie, supaya ia tak dapat kesempatan kendatipun buat kabur saja! ... "
Tay Po bicara secara menarik, hingga Siang Moay
menyetujuinya, berdua mereka sudah lantas pindah secara
diam-diam. Pondokan yang baru ini ada sebuah kamar dari satu
rumah penginapan di Siangtauwtiauw Hotong. Kamar itu
ada punya dua lapis pintu yang kuat, perabotannya ada
sebuah kursi serta dua buah bangku.
Tidak lama tuan rumah datang masuk ke dalam kamar.
"Tuan datang dari mana?" ia tanya, seraya memberi hormat.
"Kita datang dari Hangciu," jawab Tay Po, yang gunakan lidah Kanglam.
Kapan sebentar kemudian tuan rumah berlalu, Tay Po
kata pada si nona.
"Bagus kau tidak campur bicara. Kita akan berdiam di sini untuk beberapa hari saja, jangankan manusia, setan pun tak akan dapat tahu ... Selama ini, aku mau lihat,
bagaimana sepak terjangnya si rase ... "
Siang Moay tidak puas dengan sikapnya Tay Po itu.
"Kenapa kau ketakutan sampai begini rupa?" ia tanya.
"Kalau kau sendiri turut mengumpat di sini, keterangan apa yang kau akan dapat" Jangan kau anggap aku tak punya
guna! Walau ayah telah menutup mata, aku sendiri tentu
akan bisa bekuk penjahat itu!"
Tay Po ulap-ulapkan tangannya.
"Mengertikah kau pepatah yang membilang: kalau kita kenal musuh, seratus kali berperang kita akan seratus kali menang?" ia kata. "Apabila kau dengan sendirian pergi menangkap penjahat tak akan tertangkap bahkan kau
sendiri mungkin dapat bahaya! Dengan sebenar-benarnya
aku tak takut terhadap Pekgan Holie tetapi aku ngeri
terhadap muridnya dan pedangnya yang tajam luar biasa!
Lihat saja, ia bisa lari di depan kita dengan kita tak mampu melihat padanya ... "
Siang Moay angkat kepalannya menghajar meja, di atas
mana justru ada terletak gembrengnya, hingga suaranya jadi nyaring berisik, ia nampaknya gusar sekali.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku lihat!" ia kata. "Aku lihat kau telah terlalu kena dipengaruhi oleh bangsat itu! Baiklah, kalau begitu, kau jangan campur urusanku ini!"
Kembali Tay Po ulap-ulapkan tangannya. Ia tak
mendongkol yang orang perlakukan ia demikian rupa.
"Kau dengarlah dahulu perkataanku," ia membujuk pula.
"Dalam beberapa hari ini, di waktu siang aku yang pergi akan menyerepi kabar, kau sendiri boleh berdiam di dalam kamar, jangan keluar-keluar ... Kau ada seorang perempuan dan sendirian saja, pun pernah menjual silat, maka hampir sesuatu orang ada kenal kau ... "
Nona Coa kerutkan alisnya, ia diam saja. Ia rupanya
anggap yang orang she Lauw itu ada benarnya.
Tay Po bisa bade hati orang, maka ia terus membujuk
dan menghibur. Antero hari ia turut mendekam di dalam
kamar, kecuali di waktu perlu bersantap atau ke belakang.
"Kau telah ajak aku sembunyikan diri di sini," kata Siang Moay sesudah malam. "Dengan begini kau pun sia-sia
tempomu. Mustahil kau tidak akan pulang ke istana buat
berikan pelajaran pada murid-muridmu?"
Tay Po bersenyum.
"Kerjaan di istana tidak ada!" ia menyahut. "Aku bekerja sebagai guru silat melainkan nama saja, sebenarnya
pweelek-ya berlaku baik padaku dengan berikan aku gaji
dan makan, sedangkan gaweku tak ada ... Sejak aku
bekerja, belum pernah sekali juga aku memberikan
pelajaran silat ... Kalau toh aku berlatih sendirian, tak ada seorang lain yang perhatikan aku ... "
Siang Moay diam.
Sehabisnya dahar, api lantas dinyalakan, karena cuaca
mulai gelap. Tidak lama kemudian, Lauw Tay Po jumput sepasang
goloknya, tapi, dengan pintu hanya dirapatkan, ia duduk
depan berdepan dengan si nona she Coa. Mereka lantas
bicara tentang lain-lain urusan, terutama hal peristiwa-
peristiwa di kalangan kangouw, hanya perlahan-lahan,
mereka sampai pada halnya diri mereka sendiri. Sekarang
mereka bicara dengan perlahan sekali. Beberapa kali si nona susut air matanya, karena kedukaannya tetapi pun beberapa kali ia bersenyum.
Selama bicara, perhatiannya Tay Po juga tertarik oleh
pintu, asal ia dengar suara orang minta kamar, ia lantas berbangkit dan keluar akan berdiri di belakang api untuk perhatian orang yang minta kamar itu. Sikapnya hati-hati ini, mau atau tidak, ada menggoncangkan sedikit
keberaniannya Siang Moay.
Begitu sudah lewat jam dua, Tay Po kata pada
kawannya: "Kita mesti siap. Kau berdiam tetap di dalam, aku nanti pasang mata di luar. Asal tidak ada terjadi apa-apa yang mencurigai, sudah terang musuh tak perhatikan
kita lebih jauh, tetapi apabila sebaliknya, terpaksa kita mesti pindah pula. Kau ngantuk atau tidak?"
Nona Coa geleng kepala.
"Tidak," ia menjawab. "Aku anggap ada terlebih baik buat kau yang berdiam di dalam dan aku di luar. Aku lihat bahwa buat ilmu kepandaian jalan malam, aku ada terlebih tinggi dari padamu.
Tay Po pikirkan itu usul.
"Baiklah!" ia jawab kemudian. "Tapi kau ada bawa piauw, kau mesti hati-hati di waktu menggunai itu!"
"Kau jangan kuatir," si nona menyahut.
Tay Po tertawa. Kemudian dengan pisau belati ia
congkel jendela, untuk dipentang, setelah itu, ia tutup pula.
Ia pun kunci pintu, yang ia palang dan ganjal dengan kursi dan bangku.
"Apakah maksudnya Tay Po?" tanya Siang Moay, yang
tertawa, tangannya sambil menepuk pundak. "Kau kunci pintu kuat-kuat tetapi jendela dibikin gampang terbuka"
Apakah kau sangka penjahat melainkan bisa masuk dari
pintu dan tidak dari jendela?"
"Jendela kamar-kamar di sini jarang dibuka," Tay Po menyahut dengan perlahan. "Umpama kata ada penjahat datang, paling dahulu ia tentu bongkar pintu yang akan
bersuara, meski bagaimana perlahan pun dibukanya. Maka
itu waktu, selagi ia bongkar pintu, aku membarengkan buka jendela dan loncat keluar akan hajar padanya!"
Siang Moay bersenyum buat itu pikiran panjang.
"Tidak usah kau gunakan golokmu, dengan piauw aku
yang akan beri hajaran!" ia memberi tahu.
Nona Coa juga bicara dengan perlahan.
Tadinya dari dalam lain-lain kamar di rumah penginapan
itu masih terdengar orang bicara, pun ada yang nyanyi,
tetapi dengan lewatnya sang waktu, sekarang segala apa ada sunyi. Apa yang terdengar tegas adalah suara angin di luar.
Jauh suaranya, ada terdengar tiga kali penandaan dari si tukang ronda.
Tay Po dan Siang Moay siap dengan senjata mereka
masing-masing, Itto Lianhoa telah padamkan api, hingga
kamar menjadi gelap. Mereka berdiam bagaikan menahan
napas. "Agaknya kau bercuriga tak keruan ... " akhir-akhirnya si nona berbisik. "Mustahil akan ada penjahat datang kemari?"
"Bila penjahat tidak datang, itulah lebih bagus lagi," Tay Po menyahut, dengan perlahan. "Tetapi, andaikata ia datang ... "
Itto Lianhoa berhenti dengan tiba-tiba karena di atas
genteng terdengar suara genteng berbunyi. Sambil tolak
tubuhnya Siang Moay, ia menghampirkan jendela. Di situ
ia mendekam di atas pembaringan tanah.
Siang Moay pun menulad di sisinya kauwsu itu dengan
sebelah tangan menyekal golok, sebelah yang lain meraba
piauw. Di atas, suara jadi terlebih nyata atau berisik.
Nona Coa hendak pentang jendela, tetapi Tay Po
mencegah dan berbisik katanya: "Jangan kesusu! Aku
sangsikan ada kerjaannya penjahat. Kalau benar, ia ada
penjahat tolol!..."
Hampir berbareng dengan itu, terdengar suara "Ngeong!
ngeong!" "Kucing! Kucing yang menyebalkan! ... " Siang Moay menggerutu.
Tay Po diam saja, tetapi ia terus pasang kuping, sampai
suara berisik sirap, sebab dua kucing, yang berkelahi atau bercanda itu sudah lari entah ke mana.
Kembali suara angin adalah yang terdengar, yang
mendampar-dampar kertas jendela.
'"Kasihlah aku keluar," kata Siang Moay kemudian.
Baru saja nona ini hendak pentang jendela atau di kamar
tetangga ia dengar jeritan hebat, hingga ia, begitupun Lauw Tay Po, menjadi kaget sekali.
Kemudian terdengar suara lain: "Jieko, jieko bangun!
Kau kenapa, eh?"
Jeritan itu tidak terdengar lagi, hanya apa yang
kedengaran: "Aku mimpi telah kecemplung dalam sumur!
... " Kemudian lantas terdengar suara tertawa dari mereka
itu. "Menyebalkan! ... " nona Coa menggerutu. Sebab ini, ia gagal untuk keluar. Ia menyender di tembok dan menguap.
Tay Po terus mendekam sambil pegangi goloknya,
sampai ia dengar suara menggeros dalam di kamar
tetangga. "Jangan tidur," kata Tay Po yang masih terus mendekam dengan golok di tangan, ia tolak-tolak tubuhnya si nona.
"Aku mau keluar ... "
Ia buka jendela dengan perlahan-lahan sambil putar
goloknya ia loncat keluar akan terus loncat naik ke atas genteng. Ia telak disampok angin yang keras yang ia tak
pedulikan. Dari atas genteng, ia memandang ke sekitarnya.
Di empat penjuru semua ada gelap. Bintang-bintang jarang, pun rembulan ada guram. Di bawah, sedikit pun tak ada
cahaya terang, api di semua kamar telah padam. Ia mesti
berdiri sekian lama, sampai hatinya menjadi tawar.
"Aku terlalu bercuriga sendirian ... " pikir ia akhirnya.
"Ini hari kita pindah dengan diam-diam, siapakah yang dapat ketahui?"
Selagi ia berpikir begitu, tiba-tiba ia lihat satu bayangan loncat naik, maka ia lantas mundur setindak, goloknya
dipakai membabat.
"Aku!" demikian satu suara yang halus.
"Kau!" kata Itto Lianhoa. "Kau baik tetap berdiam di dalam, aku akan menunggu di luar ... Sebentar kita nanti tukar giliran. "
"Sudah cukup!" kata Siang Moay, yang ada sedikit mendongkol. "Buat apa kau berdiam di sini menjadi
korbannya angin" Sudah tengah malam kau masih belum
mau tidur, kau repoti diri tak keruan. Dari mana datangnya orang jahat" Lihat, sekalipun bayangannya, tak ada!"
"Kau jangan sibuki aku," ia kata, dengan bandel.
"Pergilah masuk ke dalam kamar, aku akan berdiam terus di sini, sebentar saja ... "
Justru itu, di luar sangkaan nona Coa tolak tubuhnya
Tay Po, karena mana dengan bersuara, Tay Po lantas
roboh, sedang nona itu terus susul ia, akan terus ajak ia masuk ke dalam kamarnya.
Itu waktu di kamar sebelah ada suara berdehem atau
batuk-batuk. Si nona tertawa, hingga ia mesti cegah itu dengan tutupi mulutnya, sedang Tay Po mengurut-urut kakinya berbareng
dengan mana ia berseru menyatakan kagetnya: "Ada
maling!" Ia segera kasih nyala lampu.
Siang Moay tak bisa cegah lagi suara tertawanya.
Selagi nona ini tertawa, adalah Tay Po yang menjerit
bahna terperanjat. Sebab berbareng sama nyalanya lampu,
di atas meja ia lihat sehelai surat.
Dengan tangan rada gemetaran, Tay Po jumput surat itu.
Siang Moay pun dari belakang bahunya Itto Lianhoa
turut melihat dan baca surat itu.
Dengan huruf-huruf yang rapi, Tay Po membaca:
"Kemarin aku ada kirim sejumlah uang, tentunya itu
sudah dapat kau terimanya. Itu adalah uang untuk kau
berdua pakai dalam perjalananmu. Aku minta kau berdua
lekas tinggalkan kota raja, supaya dengan begitu kau bisa terluput dari ancaman maut!"
Tay Po berdiri tertegun, tetapi Siang Moay segera bawa
goloknya dan lompat keluar jendela.
Tay Po tak tetap hatinya, malah ia sibuk. Begitu, dengan bawa goloknya, ia pun terus lompat keluar, akan susul si hitam manis itu. Ketika ia sampai di atas genteng ia tak lihat Siang Moay, di seputarnya.
"Siang Moay," ia memanggil. "Siang Moay, hayo
pulang!" Panggilan itu tidak mendapat jawaban, maka Itto
Lianhoa jadi sibuk. Ia pun sibuk karena ia tak berani
tinggalkan kamarnya. Maka akhirnya, dengan terpaksa, ia
lompat turun, dengan hati-hati ia hampirkan jendela.
Dengan golok, ia congkel jendela, yang tertutup, apabila ia sudah dapat kenyataan kamar itu kosong, ia baru lompat
masuk ke dalam. Di dalam kamarnya, setelah mencari-cari, ia tidak dapatkan benda apa juga, yang mencurigai ia.
Tidak terlalu lama, ada suara di daun jendela. Cepat Tay Po putar tubuhnya seraya ia siapkan goloknya. Tapi yang
masuk adalah Siang Moay.
"Ke mana kau pergi?" ia tanya dengan perlahan.
"Aku memburu sampai di jalan besar!" sahut nona itu, dengan muka merah.
"Apakah yang kau lihat?" tanya pemuda itu, yang terperanjat.
"Aku lihat dua pengemis mendekam di depan sebuah
toko," sahut si nona.
"Apakah kau tidak tanya mereka itu?"
"Dengan ancaman golok, aku tegur mereka. Mereka
bungkam." Hatinya Tay Po menjadi lega.
"Cukup," ia kata. "Sekarang apa juga kita boleh tunda sampai besok. Kita anggap saja bahwa penjahat itu ada
liehay, ... "
Coa Siang Moay tidak kata apa-apa, ia jumput kertas
tadi, akan dibaca pula, sesudah itu, ia angkat kepalanya, akan awasi kawannya.
"Uang yang kemarin, yang kedapatan dibantalku, jadi ada antarannya itu orang?" ia tanya.
Mukanya Tay Po menjadi merah, tetapi ia menjawab
dengan cepat. "Benar!" demikian jawabannya. "Begitu aku dengar kau bilang hal uang, aku sudah lantas menduga pada itu orang, tetapi aku tak ingin bikin kau kaget, maka aku bilang saja aku main-main dengan kau ... Coba pikir, jikalau tidak ada hal yang itu, apa perlunya aku bikin penjagaan secara begini hati-hati" Sekarang kau tentu telah mengerti, bukan"
Menurut aku, maksudnya itu orang ada baik. Ia telah
berikan kita uang, ia nasehati kita untuk kita berlalu dari kota raja ini. Sudah terang ia ingin agar rahasianya tidak pecah. Cuma ... "
"Biar bagaimana, aku tak mengerti!" kata si nona dengan suara tetap. "Aku tak mau berhenti kecuali aku telah balaskan sakit hatinya ayahku!"
"Perlahan sedikit!" Tay Po mengingati, seraya goyangi tangan. Kemudian ia berbisik di kupingnya si nona: "Kau jangan terburu napsu. Besok aku tentu akan peroleh daya ...
Tak peduli bagaimana mereka licik aku pasti berhasil akan
... " Dengan tak lanjuti ucapannya, Tay Po jatuhkan diri di
atas kursi. Api pun ia padamkan.
Siang Moay turut berduduk diam.
Maka itu, sampai besoknya pagi, mereka tidak tidur
pula. Selanjutnya malam itu tidak terjadi suatu apa lagi.
Tapi Siang Moay telah sangat berduka dan ia mesti
begadang, ia merasa lelah, maka ia terus rebahkan diri
dengan kerobongi diri.
Tay Po coba empos semangatnya, setelah cuci muka dan
rapikan pakaian, ia bertindak keluar. Begitu ia sampai di depan pintu, ia lihat satu bocah pengemis dengan rambut
yang panjang, yang tubuhnya ketutupan kain kasar,
tangannya memegang tempat nasi yang butut. Ketika Tay
Po keluar dari gang dan menjurus ke utara, bocah itu ikuti ia.
Diam-diam, Tay Po tertawa dalam hatinya.
Tidak lama Tay Po sampai di Cianmui, dari sini dengan
ikuti tembok, ia menjurus ke barat. Ia belum jalan jauh
ketika ia menoleh ke belakang, akan dapatkan si pengemis terus membuntuti ia, jauhnya tiga atau empatpuluh tindak.
Ia gendong tangan, ia jalan terus, matanya memandang
langit dengan matahari pagi. Kemudian ia mengkol ke
timur, dengan begitu ia jadi balik ke jurusan dari mana ia datang.
Si pengemis lantas numprah di kaki tembok sambil
hadapi matahari.
Kapan Tay Po telah datang dekat bocah itu, dengan
bengis ia dupak bocah itu sehingga menjerit kesakitan,
tubuhnya rubuh terguling. Meski demikian, dengan maju
terus, Itto Lianhoa terus injak dadanya.
"Binatang cilik!" ia membentak. "Cara bagaimana kau berani menjadi mata-mata penjahat akan intip aku" Kenapa kau kuntit aku" Hayo bangun, ikut padaku, aku mesti gusur kau ke hadapan pembesar negeri!"
"Looya, aku tidak kuntit kau ... " bocah itu menyangkal.
"Aku hendak menjemur diri di kaki tembok ini ... "
Tay Po gaplok orang dua kali.
"Hayo mengaku!" ia mengancam. "Jikalau kau bicara benar, Lauw thayya barangkali bisa kasih ampun, jikalau
tidak, kau boleh lihat!"
Ia lantas perlihatkan pisau belatinya, yang ia tancap di kaus kakinya.
"Lekas mengaku!" ia membentak pula, matanya
mendelik bengis. "Kau tahu, matanya Lauw thayya tidak kelilipan! Bilang, penjahat mana sudah kasih perintah
padamu untuk intip aku" Lekas bilang, kau diupahkan apa
maka kau mau turut perintah itu" Lekas!"
Pengemis itu bergemetaran.
"Thayya, bukannya aku niat kuntit kau ... " ia menyahut.
"Adalah Tiang Ciong siauwjie yang perintah kita intip kau
... " "Siapa itu Tiang Ciong siauwjie?" Tay Po desak.
"Ia adalah pemimpin kita. Ia yang perintah kita
berdelapan intip dan kuntit kau. Kita dimestikan ketahui di mana kau tinggal dan apa yang kau kerjakan dalam
seantero hari, malamnya kita mesti berikan laporan
lengkap. Dalam satu hari kita diberikan upah duaratus chie.
Di antara kita, siapa tidak mau dengar perintahnya ketua itu, atau kita berikan keterangan ngaco belo, lantas kita dipukuli!"
Tay Po mau percaya itu keterangan, karena pengemis-
pengemis di kota raja memang punya kepala dan titahnya si kepala tak ada pengemis yang berani bantah. Rupanya
Pekgan Holie telah gunakan kepala pengemis itu sebagai
pusat pengintai. Oleh karena ini, ia jadi sangat mendongkol.
"Sekarang Tiang Ciong siauwjie itu berdiam di mana?" ia tanya. "Hayo antar aku pada ketuamu itu!"
"Ia tinggal di Kuikee Sietong, rumah abu kaum keluarga Koci," jawab si pengemis cilik. "Aku tidak berani antar kau ke sana, thayya ... Satu kali aku antar kau, lantas ia bakal inginkan jiwaku ... "
Habis kata begitu, pengemis itu menangis, ia berlutut,
akan minta dikasih ampun dan dikasihani ...
Mau atau tidak, TayPo jadi tak tega hati.
"Di mana adanya rumah abu itu?" ia tanya.
"Di dalam Houwmui," itu pengemis memberi tahu. "Di sana ada berdiam banyak tukang minta-minta. Tiang Ciong
siauwjie sendiri tidak turut mengemis, kalau ia toh mau
dahar, ia pilih orang punya yang enak-enak, untuk ia
makan. Ia mempunyai banyak uang, semua tak ada yang
berani tak dengar perkataannya. Sebentar lagi ia tentu pergi ke Lamshia ... "
"Bagaimana romannya ketuamu itu?"
"Ia berbatok kepala kecil, begitupun batang lehernya, hingga ia mirip dengan ular manjangan. Ini pun sebabnya
kenapa ia dapat nama Tiang Ciong itu. Tapi ia ada kuat,
siapa saja tidak sanggup kalahkan ia ... "
Tay Po masih saja mendongkol.
"Kau memberi tahu padanya, ia mesti sedikit hati-hati berhadapan dengan Lauw thayya!" ia kata dengan sengit.
"Nanti datang waktunya yang aku akan cekuk ia, dan hajar padanya sampai setengah mampus! Kau juga mesti
memberi tahu kawan-kawanmu lainnya, siapa saja yang
masih berani intip dan kuntit aku, itu artinya ia sudah tak sayang jiwanya!"
Lagi-lagi ia dupak pula itu pengemis lalu ia bertindak
pergi, akan kembali ke hotelnya.
"Hayo siap, mari kita pindah!" ia kata pada Siang Moay.
Nona Coa baru saja bangun tidur, ia sedang duduk
menghadapi kaca muka akan rapikan rambutnya untuk
dijadikan kuncir.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak mau pindah," ia kata ada mendongkol. "Aku adalah
orang yang mesti cari penjahat, dengan meninggalnya ayahku, akulah yang mesti jadi wakilnya,
buat meneruskan tugasnya sebagai hamba polisi dari
Hweeleng! Buat tangkap penjahat masih belum berhasil,
kenapa justru kita yang mesti main sembunyi-sembunyian"
Apa nanti orang bilang apabila orang ketahui tentang sikap kita ini" Bukankah orang bakal tertawakan kita" Jikalau kau takut, kau boleh pergi, sebab yang akan dapat malu adalah Itto Lianhoa sendiri, aku si orang she Coa tak akan
terbawa-bawa!"
"Hm, kau jangan kira aku si orang she Lauw penakut!"
kata Tay Po. "Jikalau aku takut, apa kau kira aku tidak bisa angkat kaki dari Pakkhia ini" Tapi aku berpendirian lain, seorang yang cerdik tak mau cari malu sendiri! Penjahat, kepandaian
jalan malamnya ada demikian tinggi, sembarang waktu ia bisa ambil batok kepala kita, maka
jikalau kita binasa dengan tak berdaya, apa itu tidak
kecewa" Apakah kita bisa tak penasaran" Dayaku sekarang
adalah di satu pihak kita sembunyikan diri, supaya ia tidak bisa cari kita, di lain pihak, kita cari dan kumpul bukti-bukti untuk kita bisa bekuk padanya. Asal aku peroleh satu saja bukti, aku akan lantas menghadap Giok cengtong supaya
cengtong bikin bersih rumah sendiri!"
Siang Moay bersenyum secara tawar.
"Cara bagaimana bukti bisa didapatkan dengan
gampang?" ia kata. "Kalau bukti tak didapatkan, sampai seumur hidupmu, apa juga sampai seumur hidupmu, kau
tak mau turun tangan akan bekuk si penjahat" Aku lihat,
jikalau orang bekerja lambat secara kau ini, ada seratus penjahat, seratus-seratusnya juga bakal keburu kabur!"
Mukanya Tay Po menjadi merah, ia banting-banting
kakinya. "Jangan kau bilang begitu!" ia kata. "Dalam tempo tiga hari, aku nanti bekuk penjahat itu! Andaikata aku gagal
dalam tempo tiga hari, selanjutnya aku tak mau ketemu lagi sama kau! ... "
Sembari kepang rambutnya, Siang Moay buka lebar
matanya mengawasi itu sahabat.
"Ya, Itto Lianhoa memangnya pintar!" ia bilang. "Jikalau kau tak mampu cekuk penjahat, kau bisa angkat kaki! Apa
yang ditakuti oleh kau akan kabur menyingkir" Di lain
tempat juga kau bisa hidup, untuk mengebul pula! Di manamana, kau bisa cari sesuap nasimu! Hanya tinggal aku,
yang lacur ... Kau bisa tinggalkan aku dan habis perkara! ...
" Tay Po tertawa akan dengar ucapan itu, tetapi akhirnya,
ia menghela napas.
"Kau tidak tahu," ia kata kemudian. "Aku pikir ini hari juga aku bisa ringkus itu penjahat! Barusan saja aku telah bekuk satu pengemis, aku telah korek keterangan dari
mulutnya tentang siapa yang sudah perintah mereka intip
dan kuntit kita! Aku pikir, setelah peroleh keterangan
lengkap, aku hendak bikin laporan, supaya penangkapan
bisa dilakukan. Pemimpin pengemis itu ada Tiang Ciong
siauwjie, aku duga ia kebanyakan ada muridnya Pekgan
Holie." "Muridnya Pekgan Holie bertunggang kuda dan punya
banyak uang, mustahil ia ada satu pengemis?" Siang Moay utarakan kesangsiannya.
"Siapa bisa bilang?" kata Tay Po, sambil geleng kepala.
"Kota Pakkhia ini adalah kota tempatnya naga melingkar dan harimau mendekam. Lihatlah kau sendiri! Bukankah
Coa Siang Moay telah menyamar sebagai si nona tukang
dangsu, untuk selidiki perkara" Apakah lain orang tak bisa menjadi pengemis, untuk bisa mencuri?"
"Maka hari ini aku mesti cekuk Tiang Ciong siauwjie!
Aku mesti berlaku hati-hati, sebab percuma aku bekuk si
pengemis jikalau tidak berbareng bisa menawan Pekgan
Holie sendiri ... Pekgan Holie liehay, ada baik jikalau dia kaget dan kabur, tetapi celaka andaikata ia justru kehendaki jiwa kita! Ia sudah tahu yang kita berdiam di sini, dari itu, untuk ia turun tangan, apakah itu tak gampang sekali?"
Siang Moay tercengang, ia dapat dikasih mengerti.
"Habis, sebentar kita berdiam di mana?" ia tanya akhirnya. "Apakah kau telah dapatkan tempat yang aman?"
"Pertama-tama aku hendak ajak kau pergi ke Pweelek-
hu," sahut Tay Po. "Di sana ada banyak orang, sedang selama beberapa malam ini, penjagaan pun telah diperkuat.
Dengan kita berdiam di sana, meskipun penjahat mendapat
tahu, tak nanti ia berani satroni kita ... "
"Apakah orang bisa terima kita" Aku, aku maksudkan ...
" "Mengapa tidak" Kita toh bukannya hendak ambil kamar besar atau pertengahan ... Kita hanya berdiam di kamar
yang kecil di dekat istal, untuk satu atau dua hari saja ...
Asal perkara sudah dapat dibikin terang, kita nanti pindah ke lain rumah!"
"Apa anggapan orang nanti tentang diriku?" si nona tanya. "Sudah dua tiga hari kau tak pulang ke Pweelek-hu, sekarang kau balik dengan ajak seorang perempuan, apakah tidak akan ada orang yang mengatakan apa-apa" Ada
orang-orang yang usilan, kau tahu ... " Tay Po tertawa.
"Usilan apa?" ia bilang. "Apakah orang larang aku menikah?"
Mukanya Siang Moay menjadi merah, ia cubit pemuda
itu. "Sampai sebegitu jauh kita telah tinggal bersama-sama,"
Tay Po bilang. "Benar kita belum menikah, tetapi di matanya lain orang, perbedaan sukar dijelaskan ... Sekarang selagi kuncirmu belum rampung, baiklah kau ubah itu
menjadi konde dan kau pakai pakaian-mu yang lebih
mentereng ... Kita akan menikah untuk bekerja sama-sama, guna balaskan sakit hati ayahmu. Asal kita bisa bekuk
Pekgan Holie, untuk wujudkan pembalasan, aku percaya
ayahmu bakal meram di dunia baka ... Sampai waktu itu,
untuk kau, berkabung atau tidak, ada urusan kecil ... "
Mendengar itu, air mukanya Siang Moay menjadi
guram. Tapi usulnya Tay Po benar dan ia setujui itu, maka dengan tidak kata apa-apa, ia menurut. Begitulah ia lantas mulai berkonde.
Tay Po lantas pergi keluar, akan cari kereta, ketika tidak lama berselang ia kembali, nona Coa sudah selesai
menyisir, dan rambutnya dikondekan menjadi dua.
"Coba kau keluar sebentar," kata si nona.
Tay Po menurut, karena ia tahu nona itu hendak tukar
pakaian. Ia menunggu sampai ia dipanggil masuk, maka
sesampainya di dalam, ia dapat kenyataan Siang Moay
sudah dandan rapi, bajunya sutera abu-abu dan tersulam
bunga dan pipinya dipulas dengan yancie, hingga nona ini jadi menarik hati, mirip dengan nona pengantin, Tay Po tak dapat tahan akan tidak bersenyum dan tertawa, hingga
nona itu tunduk, karena ia likat sendirinya.
Lantas juga Tay Po benahkan pauwhok, ke dalam mana
ia masukkan sepasang golok, gembreng dan tambang. Ia
teriaki jongos, akan
bikin perhitungan persewaan, kemudian dengan dibantui oleh si jongos, ia mengangkut
keluar. Siang Moay ikuti pemuda itu, sampai di luar, ia
mendahului naik kereta keledai. Tay Po adalah yang
perintah tenda diturunkan.
"Ke utara," ia kata pada kusir, setelah mana, sesudah roda-roda menggelinding, ia bertindak di belakang kereta itu.
Baru saja kereta keluar dari gang, dua pengemis
kelihatan di ujung jalanan, tapi melihat Tay Po, mereka
segera lari kabur, ke timur.
Kereta jalan terus, sampai di Cianmui. Di sini kembali
tertampak satu pengemis cilik, yang menguntit. Maka
dengan berpura-pura betulkan sepatunya, Tay Po berhenti
dan jongkok, tapi tangannya
bukan membetulkan sepatunya, hanya ia jemput batu, kemudian ia jalan pula
perlahan-lahan. Ia tunggu sampai si pengemis sudah datang lebih dekat, tiba-tiba ia putar tubuhnya dan ayun
tangannya. Ia timpuk kepalanya si pengemis sampai
menjerit dan kabur.
"Kurang ajar," menggerutu kauwsu ini, yang lanjutkan perjalanannya. Ia ikuti kereta dengan pasang mata tajam ke kiri dan kanan, sering-sering ia menoleh ke belakang.
Sebentar kemudian keretanya Siang Moay telah sampai
di jalan besar di Anteng-mui, di situ ada dua orang tukang luntang-lantung, yang sedang berdiri menganggur, kapan
mereka lihat Tay Po, mereka lantas mengunjuk hormat,
mereka manggut sambil menjura.
"Saudara-saudara, tolong kau carikan Toh Tauw Eng,"
Tay Po kata pada mereka itu. "Lekas sedikit! Minta ia susul aku di Pweelek-hu."
Dua orang terima perintah itu dan berlalu.
Tay Po terus iringi keretanya, sampai ke Pweelek-hu. Ia
berhenti di depan istana, dan bayar sewa kereta. Sesudah Siang Moay turun, ia sembat buntalan, buat terus dibawa
masuk, sedang si nona ngintil di belakangnya. Ia menuju
langsung ke pekarangan istal.
Beberapa bujang yang lihat kauwsu ini pulang dengan
satu nona manis, datang menghampirkan untuk melihat.
Tay Po tidak ladeni mereka, ia jalan terus dengan tampang muka berseri-seri. Ia ajak si nona masuk ke kamarnya di
mana itu waktu justru berada Lie Tiang Siu, yang sedang
baca buku sambil rebahan.
Melihat sahabatnya datang dengan satu nona manis,
Tiang Siu terperanjat hingga lekas-lekas ia merayap bangun dan turun, pakai sepatunya.
Tay Po itu waktu pun undang bujang-bujang yang ikuti
ia. "Nah, ini ialah enso-mu," ia kata pada mereka seraya tunjuk Siang Moay, pada siapa sebaliknya ia perkenalkan
mereka itu. Kemudian pada Tiang Siu ia kata: "Aku tidak
bisa omong banyak padamu tetapi minta mulai hari ini kau suka mengalah dan pindah ke lain tempat. Kamar ini aku
hendak jadikan kamar pengantin kami."
Tiang Siu melongo.
"Habis aku pindah ke mana?" ia tanya.
Mendengar pertanyaan itu, semua kawan pada tertawa.
Siang Moay tunduk saja dengan muka merah, toh ia
turut tertawa. "Dengan mendadak kau ajak keluargamu pindah kemari, sebenarnya ini tak mungkin," kata salah satu kawan. "Di dalam istana ini tidak pernah ada itu aturan. Sekarang baik kau cari Tek Lok, untuk berdamai dahulu sama ianya."
"Nanti saja," Tay Po jawab. "Beberapa hari ini aku sangat repot dan lelah, aku sibuk urus pernikahan sampai aku tak dapat kesempatan mencari rumah tinggal, hingga
terpaksa aku ajak isteriku ini datang kemari. Umpama Tek Lok tak ijinkan kami tinggal di sini, ia mesti carikan rumah untuk kami. Hawa udara begini dingin dan sekarang bakal
lekas sampai di akhir tahun, mustahil kami berdua mesti
berdiam di udara terbuka?"
"Kau benar juga," kata itu kawan.
Kemudian orang tanya hal pertempuran di Touwshia
dan tentang kebinasaannya Coa pantauw. Mereka itu sudah
ketahui tentang Tay Po repot dengan halnya Coa pantauw
dan mereka menduga, nyonya Tay Po ini adalah nona
tukang dangsu itu.
Selagi mereka bicara, Tek Lok datang.
"Lauw suhu, selama dua hari ini, kau pergi ke mana
saja?" kata Tek Lok. "Pweelek-ya panggil kau, ada urusan yang hendak dibicarakan."
Tay Po menurut, ia ambil thungsha-nya, selelah pakai
itu, ia ikut Tek Lok pergi kepada Tiat siauw-pweelek. Ia merasa girang karena panggilan ini, ia merasa dapat
kehormatan, sebab sejak tahun yang sudah ia bekerja
sebagai guru silat, belum pernah tuan rumah panggil ia
secara langsung. Maka dengan bersemangat ia ikuti Tek
Lok. Mereka telah lewatkan empat ruangan dalam, yang
berupa pekarangan, kemudian mereka masuk ke dalam
sebuah kamar di gedung sebelah utara, di situ Tiat siauw-pweelek sudah menantikan, dengan pakaian biasa, dengan
tangan menyekal cuihun. Pangeran ini baru pulang dari
istana raja. Ia duduk di atas kursi Hak-su-ie dengan sikap tenang dan sabar.
Tay Po unjuk hormatnya pada orang bangsawan itu.
"Di mana sembunyinya si penjahat?" pweelek tanya.
"Apa kau sudah berhasil dengan penyelidikanmu?"
Sambil geleng kepala, Tay Po jawab bahwa ia belum
berhasil. "Kalau begitu, mengapa kau dapat menyatakan penjahat itu berdiam di suatu gedung besar?" pweelek tegaskan.
"Sebab Coa pantauw dan gadisnya telah lihat penjahat itu duduk atas sebuah kereta besar, romannya sebagai
budak saja," Tay Po menyahut. "Di dalam kereta itu duduk keluarga dari orang berpangkat. Coa pantauw hendak susul kereta itu tetapi ia tak dapat menyandak ... "
"Di mana kau dapat lihatnya kereta itu?"
"Di Kouwlauw," sahut Tay Po dengan cepat.
Pweelek-ya nampaknya tertegun, tetapi ia segera tertawa.
"Apa mungkin penjahat itu sembunyi di sini?" ia tanya.
Tay Po goyang-goyang kepalanya dengan cepat.
"Semua pegawai di sini orang-orang terang," ia kata.
"Penjahat tidak nanti berani bercampur baur di sini!"
Kemudian ia nyatakan bahwa ia hendak mohon suatu
apa. "Apakah itu?" tanya Siauw pweelek.
"Halnya gadis dari Coa pantauw, yang jadi hidup yatim piatu," sahut Tay Po, dengan keterangannya, "karena ia sebatang kara, ia telah ikut aku. Aku telah ambil putusan mencari dan bekuk si penjahat. Dengan ini pertama aku
hendak dapatkan kembali pedang mustika dan kedua untuk
balaskan sakit hati mertuaku lelaki. Aku mohon ijin."
Tiat siauw-pweelek tertawa mendengar pengutaraan ini.
"Baiklah, aku berikan kekuasaan untuk kau cari tahu perkara itu!" ia kata. "Tapi kau melainkan boleh lakukan penyelidikan, kau tidak perlu turun tangan sendiri
membekuk penjahat itu. Kalau kau sudah peroleh
keterangan, aku nanti sampaikan laporanmu pada Giok-
tayjin. Ingat, kau harus hati-hati, jangan kau melaporkan secara sembrono! Jikalau kau menuduh dengan tanpa bukti, pihak tertuduh tentu tak mau mengerti. Apabila itu sampai terjadi, aku tidak mampu tolong padamu ... "
Tay Po girang dengan ijin itu.
"Aku tidak akan bekerja secara sembarangan," ia berikan kepastiannya, "Nona Coa telah ikut aku, kita tak punya tempat tinggal, maka aku ajak ia kemari, aku mohon
diperkenankan untuk memakai dua kamar, untuk beberapa
hari saja."
Tiat pweelek tertawa pula, ia tidak lantas menjawab.
Hanya ia menoleh pada Tek Lok.
"Apakah di rumahmu ada kamar kelebihan?" ia menanya hamba itu.
"Ada, tetapi semuanya kecil," Tek Lok jawab.
Mendengar itu, Tiat pweelek baru kata pada Tay Po:
"Adalah aturan di dalam istanaku yang melarang orang sebawahan menempati kamar beserta anak isterinya.
Aturan ini tak dapat dikecualikan sekalipun untuk kau.
Pergilah kau pindah ke rumah Tek Lok."
Tek Lok tidak menyatakan keberatan dan Tay Po terima
usul itu, lalu menghaturkan terima kasih. Ia memberi
hormat dan undurkan diri.
Di kamarnya ia dapatkan Siang Moay berada sendirian.
"Beruntung kita mendapat bantuan!" ia kata pada nona itu, sikapnya agung-agungan.
Siang Moay angkat kepalanya mengawasi.
"Pweelek-ya telah berikan kekuasaan untuk aku selidiki perkara kita," Tay Po beritahu. "Kewajiban kita adalah mencari tahu sarangnya penjahat dan dapatkan buktinya
yang kuat, setelah itu pweelek-ya yang akan berdaya terus guna bekuk si penjahat itu. Pweelek-ya perintah aku pindah ke rumahnya Tek Lok. Sebagai koankee, Tek Lok tentu
punya rumah luas dan banyak kamarnya, dan ke sana pasti
penjahat tak akan berani datang untuk satroni kita."
Tek Lok muncul selagi dua orang itu bicara.
"Lok-ya, terima kasih untuk kebaikanmu!" kata Tay Po, dengan girang.
"Pweelek-ya inginkan itu, tidak apa," Tek Lok jawab.
"Hanya aku harap, kalau nanti Lauw suhu berdiam
bersama-sama aku, tolong kau bersikap lebih hati-hati
sedikit ... "
"Tentang itu Lok-ya jangan kuatir," sahut Tay Po sambil manggut. "Kau lihat sendiri isteriku ini, bukankah ia lemah lembut" Kalau nanti kita tinggal bersama kau, aku tanggung ia tak nanti nongol dari pintu pekarangan!"
Tek Lok manggut.
"Bagus, bagus," ia kata. "Aku sudah perintah orang bersihkan kamar untukmu, kalau sebentar orangku datang,
ia akan bantu kau pindah. Dan ini," ia tambahkan, sambil letaki dua potong uang goanpo di atas meja, "ini hadiah dari pweelek-ya untuk kau. Tentang tanda mata dari aku,
aku nanti serahkan belakangan saja."
"Tidak perlu, Lok-ya, terima kasih," kata Tay Po.
"Pweelek-ya begini baik, aku mesti masuk pula ke dalam untuk haturkan terima kasihku ... "
"Jangan," Tek Lok goyangi tangan, "Aku telah wakilkan kau mengucap terima kasih. Aku mau beritahu padamu, di
rumah aku sedia segala macam perabot rumah tangga,
semua itu aku dapat pinjamkan padamu, jadi kau tidak
perlu beli lagi yang baru. Buat kau cukup asal kau bawa
pauwhok-mu ... "
Tay Po tertawa.
"Terima kasih. Pauwhok kita pun sederhana ... "


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lantas Tek Lok pamitan dan Tay Po antar padanya.
Seperginya Tek Lok, kacung tukang roskam kuda
memberi tahu Tay Po bahwa di luar menunggu Toh Tauw
Eng. Tay Po segera bertindak ke luar.
Toh Tauw Eng menunggu di pintu pekarangan,
tangannya menenteng tiga kurungan burung.
"Lauw-ya, kionghie!" kata Toh Tauw Eng ketika orang samperi ia.
"Kionghie apa?" sahut Tay Po. "Selama dua hari ini aku satrukan penjahat, kepalaku sendiri hampir turut pindah!"
Lantas Tay Po tuturkan pengalamannya.
"Sekarang aku hendak minta bantuanmu," kemudian ia lanjutkan.
"Biar bagaimana juga, hari ini kau mesti cekuk Tiang Ciong siauwjie untuk dihadapkan padaku."
"Untuk cekuk Tiang Ciong siauwjie bukan pekerjaan
terlalu gampang," Toh Tauw Eng kata. "Kalau ia sudah dapat dibekuk, ke mana aku mesti bawa ia?"
"Sebentar jam tiga lohor aku akan pergi ke Seetay
Hicwan," sahut Tay Po, "maka kau bawa saja ia ke sana."
Toh Tauw Eng manggut, lantas dengan bawa
burungnya, ia ngeloyor pergi.
Tay Po kembali ke kamarnya. Ia tidak usah menunggu
lama, atau orangnya Tek Lok datang dengan warta bahwa
kamar sudah tersedia.
"Apakah Lauw suhu mau pindah sekarang?" hamba itu tanya. "Tempatnya ialah di utara, yang dipanggil Hoawan Taywan."
"Baik, kita pindah sekarang!" Tay Po menjawab. Ia lantas minta hamba itu bantu ia, ia sendiri bawa petinya Siang Moay. Mereka tidak naik kereta.
Rumahnya Tek Lok rumah yang baru dibangun,
kamarnya belasan, terbagi antara bagian dalam dan luar,
Tek Lok dan isteri serta anaknya dan ibunya dan satu
budak, tinggal di sebelah dalam. Kamar-kamar di sebelah
luar ialah dua di selatan dan dua di utara, semua ini
diserahkan pada Tay Po.
Itto Lianhoa puas dengan rumah yang baru itu, yang
pintu dan jendelanya kuat, dengan gentengnya yang tak
akan pecah kalau diinjak. Ia taruh perabotannya di kamar utara.
"Nah, pergi kau tolong sediakan nasi dan arak," kata Tay Po pada si kacung.
Kemudian, setelah hamba itu pergi, ia kata pada Siang
Moay, "Sekarang kita dapat lewatkan hari-hari di sini!
Perkara yang kita urus, kita selidiki dengan perlahan-lahan.
Kau jangan berduka. Kalau sebentar Tiang Ciong siauwjie
sudah dicekuk, ia tentu dapat memberikan keterangan
berfaedah. Apa yang aku harap adalah agar penjahat tak
ketahui kita berdiam di sini, hanya meskipun demikian, di waktu malam, kita tetap harus berhati-hati dan bersiaga."
Siang Moay manggut, ia puas dengan rumah baru ini,
maka ia segera bekerja membereskan kamarnya, hingga
dengan segera ia merupakan satu nyonya rumah yang asyik
bekerja. Tidak lama kemudian kacung tadi datang dengan barang
makanan, maka "suami isteri" ini lantas duduk bersantap.
Selesai ini, si kacung diminta pergi dengan sisa makanan.
Tay Po dan Siang Moay pasang omong sekian lama, lalu
Tay Po rebahkan diri dan tidur. Ia mendusin sesudah lohor, jam tiga, maka lekas-lekas ia pakai bajunya dan terus
berlalu. Ia bekal pisau belati. Ketika ia keluar dari
pekarangan rumah, ia melihat ke empat penjuru. Buat
kelegaan hatinya, ia tidak melihat pengemis atau orang
yang mencurigai, maka dengan hati besar, ia bertindak ke Seetay Hiewan.
Di depan warung teh ini nongkrong satu pengemis
dengan pakaian butut, kepalanya kecil begitupun lehernya, mukanya kotor, usianya kira-kira tujuh atau delapanbelas tahun, mukanya itu berlepotan darah dan penuh pasir,
rupanya bekas dipukul. Di sampingnya pengemis ini berdiri dua orang, yang kemudian ternyata orang-orangnya Toh
Tauw Eng, yang sedang menjaga padanya.
Kapan mereka lihat Lauw Tay Po, dua orang itu segera
menegur. "Lauw-ya, inilah Tiang Ciong siauwjie, yang kita telah bekuk!" kata mereka, seraya tunjuk pengemis itu.
Tay Po awasi pemimpin tukang minta-minta itu.
"Kau jadinya Tiang Ciong siauwjie?" ia tanya. "Kau menjadi mata-matanya Pekgan Holie, kau tentu punya
banyak uang, tetapi mengapa pakaianmu butut?"
Tiang Ciong lantas saja berlutut, ia manggut-manggut.
"Aku tidak tahu bahwa perempuan tua itu ada satu
penjahat," ia kata dengan pengakuannya. "Ia berikan aku uang dan perintah aku membawa surat ke Pweelek-hu, juga
menguntit itu dua tukang dangsu. Pada beberapa hari yang lalu, perempuan tua itu datang pula, bersama seorang
berpakaian hijau, sekali ini ia titahkan aku kuntit looya, untuk intip sepak terjangnya looya. Untuk itu, ia minta
laporan setiap hari."
Air mukanya Tay Po berubah dengan cepat. Ia telah
mendapat keterangan dengan lekas sekali. Tapi itu belum
cukup. "Yang berpakaian hijau itu tua atau muda?" ia tegaskan.
"Bagaimana romannya" Apa kau dapat mengenalinya
umpama kau sekarang bertemu dia di tengah jalan?"
Tiang Ciong siauwjie geleng kepala.
"Aku tak ingat betul," ia menyahut. "Mereka itu datang sendiri mencari aku dalam biara, datangnya di waktu tiap-tiap tengah malam. Kalau mereka datang, yang berpakaian
hijau itu berdiri jauh-jauh, ia tidak turut bicara. Selain dari itu, muka mereka juga dialingi tutupan, hingga tidak dapat kelihatan tegas."
"Berapa ia beri upah padamu setiap kali ia perintah kau?"
"Dalam satu hari ia berikan dua renceng uang," Tiang Ciong aku. "Uang itu aku mesti bagi di antara orang-orangku."
Sampai di situ, Toh Tauw Eng datang.
"Tidak leluasa untuk bicara di sini," kata si Garuda Botak. "Meskipun ia mau bicara, ia tak akan keluarkan itu.
Mari, bawa ia ke luar kota! Di sana ia mesti lebih dahulu diajar adat, baru nanti kita periksa padanya!"
Tiang Ciong ketakutan, ia menangis sambil manggut-
manggut. "Apa yang barusan aku katakan, adalah yang
sebenarnya," ia kata.
Tay Po ulapkan tangan pada sahabatnya.
"Jangan takut, jangan kau takut," ia kata, dengan sabar.
"Aku tahu yang kau bicara hal yang benar. Kau mau jadi pekakasnya perempuan tua itu melulu untuk peroleh uang,
tetapi kau tidak tahu bahwa Lauw jieya-mu juga punya itu!"
Sehabis kata begitu Tay Po rogoh sakunya, dan
keluarkan sepotong perak, yang ia sesapkan di tangannya si Ular Menjangan itu.
"Kau terima ini lebih dahulu," ia kata. "Aku ingin kau ingat baik-baik romannya penjahat perempuan tua itu serta
si pakaian hijau, begitupun kau mesti perhatikan lagu
suaranya. Jikalau kau ketahui juga rumah mereka,
bagianmu ialah dua tail perak! Coba berdaya, dapatkan
potongan pakaian mereka, dengan jalan gunting atau
Pendekar Jembel 1 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah 5
^