Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 3


mencuri, atau kau curi barangnya, apa saja, untuk
diserahkan padaku, nanti kau dapat sepuluh tail perak! Lain daripada itu, selanjutnya, setiap waktu aku dapat sering-sering tunjang kau ... "
"Kau mesti ketahui siapa adanya Lauw jieya ini!" kata Toh Tauw Eng.
"Lauw jieya-mu!" kata Toh Tauw Eng. "Lauw jieya ialah guru silat dari Tiat siauw-pweelek, maka jikalau kau dapat mengandal pada jieya, kau tidak usah mengemis lagi!"
Si Garuda Botak pun segera tukar siasatnya.
Tiang Ciong paykui, untuk haturkan terima kasihnya. Ia
telah berikan janjinya untuk bekerja pada jieya ini.
"Sekarang kau boleh pergi!" kata Tay Po. "Apa juga yang kau dapatkan, kau mesti sampaikan pada Toh thayya ini,
nanti aku lantas mendapat tahu juga."
Habis kata begitu, Tay Po tinggalkan pengemis itu, ia
ajak Toh Tauw Eng dan dua kambratnya masuk ke dalam
warung teh. "Lauw-ya," kata Toh Tauw Eng dengan perlahan sekali,
"siasatmu barusan bagus sekali! Tapi, mengapa kau tidak mau pergi saja ke tempatnya dua orang itu, kita
sembunyikan diri, kalau mereka keluar, kita lantas bekuk mereka" Kita dapat melakukan pekerjaan kita ini di waktu malam ... "
"Kau punya berapa banyak Lawan untuk bantu aku?"
Tay Po tanya. "Sepuluh diinginkan, sepuluh sedia," sahut Toh Tauw Eng, "dua-puluh dikehendaki, duapuluh akan siap!"
"Lebih baik jumlah itu seratus jiwa!" kata Tay Po.
"Seratus orang pun aku sanggup kumpulkan!" Toh Tauw Eng jawab. "Tapi jumlah seratus terlalu banyak! Taruh kata mereka pada rebah tengkurup di tanah, mereka pun akan
tertampak menggelempeng hitam! Masa penjahat mau
datang dekat jikalau mereka lihat suatu apa yang
mencurigai?"
Lauw Tay Po bersenyum.
"Bukannya aku bersenda gurau, jumlah dua dan tigaratus juga tak ada faedahnya!" ia terangkan. "Meskipun di sini ada kunsu Gouw Yong dari Liangsan, kita masih belum
dapat berbuat apa-apa ... Kau tahu, bugee dari dua penjahat itu liehay sekali, kepandaian mereka jalan malam sangat
sempurna! Sudah dua tiga kali aku ngalami sendiri
kekosenan mereka itu, lantaran itu aku jadi tidak berani hadapkan pula mereka secara terang-terangan! Sekarang ini, apa yang aku inginkan, adalah barang bukti. Atau kalau
tidak, aku mesti bersabar pula beberapa hari lagi menunggu sahabatku datang ke Pakkhia ini, untuk minta bantuannya."
Dengan "ia", Lauw Tay Po maksudkan "orang perempuan".
"Siapa itu sahabatmu?" Toh
Tauw Eng tanya "Bagaimana dengan bugee-nya?"
Tay Po bersenyum
"Ia seorang perempuan ... "
Si Garuda Botak menjadi heran, hingga ia mengawasi
sahabatnya. "Orang perempuan" Cara bagaimana kau dapat
berkenalan dengan ia itu?"
Tay Po tidak menjawab, hanya ia berbangkit. Ia rogoh
sakunya dan bayar uang teh dan kue-kue.
"Nona itu seorang luar biasa," ia menyahut kemudian.
"Aku sendiri belum pernah lihat padanya, aku baru saja dengar namanya. Tentang bugee-nya, belum tentu ia
terlebih liehay daripadaku, toh ia tetap bakal jadi
pembantuku yang berharga. Jikalau ia bantu aku, dan
bersama ia isteriku juga keluarkan antero kepandaiannya, hingga kita jadi bertiga, dua perempuan dan satu lelaki, aku merasa pasti yang si penjahat tak bakal mampu loloskan
diri! Sekarang ini biarlah kau bertiga tetap menduga-duga saja ... "
Lantas, dengan unjuk hormatnya, Lauw Tay Po
tinggalkan tiga kawan itu. Dalam perjalanan pulang, ia beli beras dan terigu, juga bahan bakar, untuk dibawa pulang.
Pada Siang Moay ia pun tuturkan keterangan yang ia dapat dari Tiang Ciong.
Coa Siang Moay terima baik tindakannya kawan hidup
yang baru itu, kemudian ia masak nasi dan lain-lain, untuk bersantap malam.
Sore itu Lie Tiang Siu dan kawan-kawannya datang
dengan membawa barang antaran, sebagai tanda mata dan
penghaturan selamat, dan itu Tay Po mesti haturkan terima kasihnya seraya jamu mereka ini.
Sampai malam, barulah Tiang Siu semua pulang.
Pada jam dua, Tay Po dan Siang Moay sudah lantas
dandan siapkan diri, golok mereka tak dilupakan. Mereka
berdiam di dalam kamar mereka sampai jam tiga, mereka
tidak dengar atau lihat apa-apa. Sudah dua tiga malam
mereka begadang saja, inilah hebat buat mereka begadang
pula, maka dengan duduk berhadapan, sering-sering mereka menguap. Akhir-akhirnya, Tay Po bersenyum sendirinya.
"Hari ini kita dapat menaklukkan mata-mata musuh," ia berkata, "dan kita telah pindah kemari, maka aku percaya, penjahat tentulah tak ketahui yang kita tinggal di sini.
Mengapa kita mesti berkuatir tak keruan" Baik kita kunci pintu dan tidur!"
Siang Moay setujui ucapan itu, maka ia tak membantah.
Ketika Tay Po kunci pintu, nona Coa rebahkan dirinya
secara malas-malasan. Pintu telah ditapal dan diganjal
dengan kursi. Baru saja Tay Po selesai dengan bentengannya itu, tiba-
tiba terdengar sedikit suara berkeresek, yang disusul dengan molosnya sepotong kertas dari sela-sela pintu itu!
Saking kaget, Lauw Tay Po lantas berjongkok untuk
menyingkir ke pembaringan tanah di mana ia colek
pahanya Siang Moay, hingga si nona menjadi kaget dan
loncat bangun. Tay Po menunjuk ke pintu, di situ kelihatan kertas yang
diselusupkan ke dalam telah jatuh.
Siang Moay menjadi gusar, hingga ia hunus goloknya.
"Siapa di luar?" ia menegur dengan bengis.
"Sabar!" Tay Po cegah isterinya itu.
Dalam murkanya, Siang Moay paksa turun dari
pembaringan, ia niat membuka pintu dan menerjang keluar.
Sebelum ia bisa wujudkan itu, mendadak terdengar suara
barang menyambar, yang noblos dari jendela. Meskipun ia
lekas berkelit, dengan mendek, tidak urung sebatang panah tangan telah menyambar dan nancap di kondenya.
Panah tangan itu panjangnya hanya tiga dim dan halus,
mirip dengan tusuk konde.
Saking kaget dan kuatir, nona ini terpaksa bungkam,
dengan mendekam ia diam saja, melainkan matanya
mengawasi ke jendela.
Tay Po pun terus berdiam.
Selanjutnya tidak terdengar suara apa-apa lagi, tidak
tertampak gerakan apa juga, tapi Tay Po dan Siang Moay
masih terus menunggu, sampai kira-kira satu jam, hingga, waktu mereka berbangkit, mereka merasakan kesemutan.
Siang Moay cabut panah tangan dari kondenya, ia
kagum buat senjata kecil dan tajam itu.
Tay Po sebaliknya pungut kertas yang dipoloskan dan
membacanya: "Dalam tempo tiga hari, jikalau kau berdua tak
menymgkir dari kota raja ini, bencana besar akan menimpa dirimu!"
Beda daripada tadi, Tay Po tidak jeri atas ancaman itu,
benar mukanya menjadi pucat, tetapi itu disebabkan
mendongkol dan gusar.
"Bagus, bagus!" ia kata. "Secara beginilah ia desak kita!
Maka tak dapat tidak, kita mesti adu jiwa!"
Siang Moay pun turut mendongkol.
Tay Po geser meja untuk bantu kursi mengganjal pintu.
"Mari kita tidur!" ia kata dengan masih penasaran, dan ia padamkan api.
Siang Moay terus tidak banyak omong, ia menurut saja.
Selanjutnya, sampai pagi, tidak terjadi apa juga.
Paginya, Tay Po dandan dan pergi ke Pweelek-hu pinjam
seekor kuda, dengan itu ia kabur ke Lamshia, Kota Selatan, ke Coanhin Piauwtiam. Di sini ia ketemui Yo Kian Tong
dan beritahukan yang ia sudah pindah, bahwa tempatnya
yang baru ini tidak aman, sebab baru satu hari pindah,
malamnya sudah ada yang satroni.
"Maka itu, aku minta supaya padaku dikirim orang
untuk bantu aku," ia minta pada saudara misan itu.
Yo Kian Tong suka memberikan bantuannya.
Di waktu mau berangkat, Tay Po pun pinjam dua batang
tombak, kemudian ia pergi ke Tayhin Piauwtiam mencari
Sun Ceng Lee, apa mau, Ngojiauw-eng kebetulan tidak ada
di kantornya, maka ia hanya tinggalkan pesanan saja,
kalanya ia sudah pindah ke Hoawan Taywan di Anteng-
mui dan minta sebentar malam Ceng Lee kunjungi ia di
rumahnya, untuk satu urusan penting. Ia juga pesan agar
Sun Ceng Lee jangan lupa bawa senjatanya.
Dari piauwtiam, Tay Po masuk pula ke dalam kota dan
pulang ke rumahnya. Pada Siang Moay ia tuturkan
siasatnya untuk sebentar malam.
"Kalau begitu, pergi lekas kembalikan kuda itu, supaya kita dapat bersiap dan berangkat," kata Siang Moay dengan gembira.
"Jangan kesusu!" kata Tay Po sambil bersenyum.
"Sekarang kau masuk dahulu, sebentar malam bakal datang sahabat-sahabat kita!"
"Nah, pergilah lekas, agar kau cepat kembali!" kata nona Coa, yang tetap bergembira.
Tay Po berlalu sambil tertawa, ia gembira luar biasa. Ia pergi ke Pweelek-hu kembalikan kudanya. Dari Pweelek-hu
ia pergi ke Seetay Hiewan menemui Toh Tauw Eng. Di
sini, dengan suara nyaring, dengan cara merdeka, ia bicara hal ia hendak bekuk penjahat, ia unjuk sikap gusar, ia pun gebrak-gebrak meja dan bikin bangku-bangku terbalik. Ia
tidak lagi bersikap hati-hati sebagai kemarin yang
mengunjuk nyalinya yang kecil. Sekarang ia jadi berani luar biasa.
Tidak lama kemudian, ia keluar dari Seetay Hiewan dan
pulang. Siang Moay sudah selesai masak, maka berdua
mereka bersantap.
"Nah, mari kita pergi!" kata Tay Po, sesudah ia dahar cukup dan bersihkan mulutnya.
Siang Moay berbenah sebentar, tetapi karena ia memang
sudah dandan, ia tidak pakai banyak tempo untuk itu.
Begitulah berdua mereka keluar, si nona bawa tambang
dan gembrengnya, dan Tay Po bawa sepasang tombak yang
ia dapat pinjam, begitupun goloknya. Pakaian mereka ada
ringkas dan rapi.
Mereka berhimpasan dengan Tek Lok di pintu
pekarangan. "Eh, ke mana kau berdua hendak pergi?" tanya koankee dari Tiat pweelek, dengan heran.
"Kami hendak buka pertunjukan!" sahut Lauw Tay Po sambil tertawa. "Kami ingin dapatkan beberapa chie untuk penghidupan kami! ... "
"Awas, jangan kau nanti merabu!"
"Merabu?" Tay Po baliki. "Tugas yang diberikan pweelek adalah menyerepi kabar!"
"Tapi kemarin pweelek sedang gembira dan ia
mengatakan seenaknya saja ... "
"Ucapannya pweelek-ya ada ucapan emas dan kumala!"
Tay Po membantah. "Meski ia mengatakan secara
sembarangan, kata-katanya itu tetap merupakan titah,
seperti firman saja! Lok-ya, dengan kepergian kami ini,
siapa tahu kami akan bisa dapatkan kabar yang berharga,
atau mungkin kami akan hadapi bahaya. Harap kau tolong
perhatikan kami, umpama kata dalam satu hari kami tidak
pulang, tolong kau kirim orang untuk mencarinya!"
Lalu, sambil tertawa ia ajak Siang Moay ngeloyor pergi.
Di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap satu pada lain
dengan asyik, sampai mereka tiba di See Toa-kay di
Kouwlauw, di depan rumahnya Giok-tayjin.
Ketika itu, di belakang mereka sudah mengintil sejumlah
orang. "Aneh," kata seorang. "Apa ia ini bukannya gadisnya dari si tukang dangsu yang sebenarnya ada hamba polisi"
Pantauw itu telah binasa dibunuh penjahat, kenapa
sekarang ia ikut orang lain membuka pertunjukan pula?"
"Apakah kau tidak kenal orang lelaki itu?" kata yang lain. "Ia ada Itto Lianhoa Lauw Tay Po! Mereka sekarang berkumpul jadi satu untuk buka pertunjukan, maksud
mereka yang sebenarnya kita tak mengetahuinya!"
Tay Po tak pedulikan apa yang orang banyak bilang, ia
dapat dengar itu tetapi berpura-pura budek. Ia hanya lantas siapkan tombaknya untuk ditancap di tanah dan diikat
tambangnya. Ketika itu mendekati tengah hari tetapi
mereka dapat tarik perhatiannya penonton. Kemudian,
selagi si nona betulkan sepatunya, ia memalu gembrengnya, hingga menerbitkan suara berisik.
"Dua hari pertunjukan sudah terhalang, itu sama saja dengan dua tahun!" ia kata dengan nyaring. Setiap bicara ia tunda gembrengnya: "Tuan-tuan tentu telah ketahui apa
yang terjadi pada malam baru-baru ini di Touwshia, maka
itu, selama beberapa hari ini, aku repot dengan penguburan jenazahnya mertuaku dan dengan pernikahan kami, hingga
kami tak dapat kesempatan akan buka pertunjukan! Baru
hari ini aku ajak isteriku untuk berikan pertunjukannya, guna melegakan hati tuan-tuan yang pepat! Tapi aku tidak boleh ngobrol saja!"
Dan ia palu pula gembrengnya: "Breng! breng! breng!"
Dengan satu lompatan, Siang Moay naik ke atas
tambang, di mana ia berdiri dengan tubuh sebagai
terumbang-ambing, hingga mirip dengan walet yang sedang
terbang melayang-layang ...
"Hayo, mulailah, mulai jalan, jalan sampai ke kota raja!"
Tay Po berkata-kata, seperti terhadap Siang Moay, tetapi sebenarnya ia ada kandung maksud, karena ia lalu
melanjutkan: "Hayo jalan sampai di kota raja untuk
tangkap Pekgan Holie! Ada berapakah Pekgan Holie" ... "
Ia memandang pada Siang Moay siapa sudah lantas
pertunjukkan kepandaiannya jalan mondar-mandir, dengan
kadang-kadang berputar dan berlompat. Atas pertanyaannya Tay Po, nona ini menyahut: "Ada dua!"
Tay Po manggut-manggut.
"Ya, ada dua!" ia kata, seraya ia pun jalan mondar-mandir, gembrengnya ia bunyikan. "Dua rase itu adalah satu siluman rase besar, yang satunya lagi siluman rase
kecil! Jikalau kita dapat bekuk rase yang besar, ia masih bisa dimaafkan," ia tambahkan, dengan suara sengit, "tetapi yang kecil, ia ini tak akan dapat ampun! Kulitnya mesti
dibeset buat aku bikinkan sabuk! Tulangnya aku nanti bakar habis beserta dagingnya! Tuan-tuan maukah tuan-tuan
ketahui she dan namaku?" Dan ia tepuk-tepuk dadanya.
"Aku ada Itto Lianhoa Lauw enghiong!" Kemudian ia
tunjuk Siang Moay di atas tambang: "Ia itu ada isteriku, nona dari keluarga Coa!"
Kembali Tay Po bunyikan gembrengnya semakin seru.
"Rase kecil, rase besar, hayo keluar,'" begitu ia berseru-seru pula. "Hayo kau keluar. Jangan sampai kemalaman, nanti aku ... "
Terang si Setangkai Bunga Teratai bukan sedang
menabuh gembreng saja, tetapipun sedang mengumpat caci
atau menantang ke jurusan gedungnya Giok layjin, teetok
dari Pakkhia lama-lama orang bia menduga maksud ini,
maka siapa yang nyalinya kecil sudah lantas angkat kaki
hingga penonton jadi berkurang dengan cepat.
Kemudian datanglah hamba-hamba teetok dengan
cambuk mengusir orang banyak berkerumun itu.
Siang Moay loncat turun dari atas tambang akan sambar
goloknya. "Jangan sembrono," Tay Po mencegah. '"Kau lihat aku nanti layani mereka.'
Dua koanjin serta enam bujangnya Giok-tayjin, dengan
garang menghampiri dua tukang dangsu istimewa itu, satu
di antaranya sambil ayun cambuknya tegur Itto Lianhoa:
"Siapa kasih perintah buka pertunjukan di sini?"
Lauw Tay Po tidak menjadi keder.
"Kau hendak ketahui siapa yang perintah kita?" ia jawab dengan menantang. "Itu adalah Tiat pweelek Tiat jieya, orang bangsawan kelas satu dari ini kerajaan!"
Orang-orangnya Giok-tayjin itu terperanjat.
"Bukti apa kau ada punya?" satu koanjin tanya.
"Buktinya adalah bahwa aku ada kauwsu dari Pweelek-
hu! Main dangsu adalah untuk pelabi belaka!" sahut Tay Po sambil tertawa.
"Baiklah aku omong terus terang. Kita datang ke mari
untuk melakukan tugas penyelidikan. Di istana kita ada
kehilangan sebatang pedang lantaran itu pweelek-ya
perintah kita cari pedang itu serta pencurinya. Sesudah
sekian lama diselidiki, ternyata si pencuri ada sembunyikan diri di dalam suatu gedung. Inilah sebabnya, kenapa, tak peduli gedung bagaimana besar, aku mesti pergikan untuk
lanjutkan penyelidikan kita!"
Beberapa bujang itu deliki mata mereka.
"Kenapa kau justru datang ke gedung kita saja?" mereka menegur.
"Lain-lain gedung belum sempat aku pergikan!" sahut Tay Po, yang masih bisa tertawa terus. "Kita datang kemari karena gedung ini dekat dengan gedung kita. Demikian
lebih dahulu kita buka pertunjukan di sini ... "
Wajahnya itu beberapa hambanya Giok tayjin menjadi
merah dan pucat, mereka bicara satu pada lain.
"Terang mereka datang kemari untuk mengganggu," kata yang satu. "Karena sudah nyata mereka hendak bikin malu pada tayjin, bekuk saja padanya!"
Meski begitu, mereka toh tidak berani ambil tindakan.
Akhirnya kedua koanjin ngeloyor ke timur.
"Jangan kau pergi dahulu!" kata satu dari beberapa bujang itu. "Kita hendak memberi warta pada tayjin untuk memohon putusannya ..."


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa tayjinmu itu?" Tay Po berpura-pura.
"Tayjin kita ialah teetok Giok cengtong! Binatang, hati-hatilah dengan batok kepalamu!" kata satu bujang.
"Oh, ianya?" kata Tay Po sambil bersenyum ewah. "Bila ia yang datang, itulah kebetulan kita memang hendak
kasihkan pertunjukan untuk minta persenan!" Lantas ia berpaling pada Siang Moay: "'Kawan, jangan diam saja!
Hayo kau berikan pertunjukan lagi, untuk menyenangkan
hatinya beberapa tuan-tuan ini, mereka ini hendak
datangkan kita Malaikat Uang!"
Siang Moay tertawa, tetapi ia segera lompat pula ke atas tambang memulai lagi pertunjukannya sedang Tay Po pun
mulai dengan gembrengnya, yang menerbitkan suara
berisik. "Sungguh berjodoh yang kita bisa bertemu Giok
cengtong!" ia kata dengan ocehannya. "Cengtong dan aku adalah rang-orang asal satu kampung! ... "
Satu budak gusar karena ia anggap tukang dansu kurang
ajar, ia menghampiri untuk cegah ocehan terlebih jauh,
tetapi Tay Po dengan berani telah sambut orang dengan
dupakan, sampai hamba itu rubuh terguling!
Siang Moay lompat-lompatan di atas tambang, sembari
tertawa cekikikan.
"Mereka tak tahu bahwa kau adalah saudaranya
cengtong!" ia kata.
"Dan cengtong punya siocia adalah ibu angkatmu!" ia tambahkan.
Orang-orangnya Giok-tayjin jadi gusar sekali, hingga
mereka mengepal-ngepal tinjunya.
"Binatang, kau benar-benar ngaco belo!" mereka berseru.
Tapi Tay Po bikin satu gerakan menyapu dengan sebelah
kakinya. "Tuan-tuan, jangan maju! Kalau kau kena bentur kakiku, kau akan merasai kesakitan!" ia mengancam. Dan ia
perdengarkan pula suara berisik dari gembrengnya. Segera ia menyanyi:
"Di dalam gedung Giok cengtong ada dipelihara
beberapa ekor anjing ... "
Coa Siang Moay dari atas tambang menimpali kawannya
itu dengan tangan menunjuk-nunjuk ke gedung:
"Juga ada dipiara dua ekor rase yang pandai lompat naik ke atas tembok!"
Segera juga tertampak dari jurusan timur ada mendatangi
belasan koanjin atau hamba polisi yang sikapnya garang,
sedang tangan mereka pada memegang golok dan thiecio,
tambang dan belengguan leher.
Melihat datangnya rombongan itu, Tay Po menoleh
pada nona Coa. "Kawan-kawan sudah datang, lekas siap! Giok-tayjin
rupanya mau undang kita pergi ke kantornya! ..., '
Siang Moay menurut, ia loncat turun.
Lekas sekali, belasan koanjin itu sudah sampai di
depannya dua tukang dangsu itu, malah salah satu
antaranya segera kalungi Tay Po dengan rantai.
"Ini benar," kata Tay Po, seraya serahkan gembrengnya pada satu koanjin. "Dengan mengalungi aku apakah kau mau bikin aku jadi seperti kunyuk?"
Satu koanjin gusar, ia menggaplok.
Tay Po terima itu dengan tak berkelit atau menangkis,
bahkan ia bersenyum.
"Gaplokan kau bersuara nyaring!" ia kata. "Tapi baiklah kau buka matamu! Lihat biar nyata, siapa ini Lauw Tay Po!
Bila sebentar madap di kantor, Giok si tua bangka pasti
akan merdekakan aku! Atau jika ia tidak melepaskannya,
kita bikin perkara menjadi besar! Buat aku, batok kepalaku tak ada artinya, tetapi ia, kopiah kebesarannya tak akan dapat dipertahankan pula!" Ia menoleh pada Siang Moay:
"Kawanku, jangan takut, besarkan nyalimu! Dalam perkara ini pasti kita akan peroleh kemenangan!"
Siang Moay pun telah turut terbelenggu.
"Jangan kau rejang aku!" kata nona itu. "Awas, jika kau berlaku kasar, aku nanti damprat kau semua! Jangan
dorong-dorong aku, aku mampu jalan sendiri! Oh, kelinci, binatang cilik!"
Tay Po lantas jalan di depan dengan gembira atau agung-
agungan, juga Siang Moay tak kurang beraninya, hanya ia
jalan dengan kepala tunduk.
Di sepanjang jalan, ada banyak orang yang menyaksikan
dari kejauhan. Giok-tayjin sedang duduk di kantornya ketika Tay Po
dan Siang Moay sampai, dan kapan ia dengar "orang-orang yang bikin kacau di depan rumahnya" sudah tertangkap, ia terus perintah hadapkan mereka.
Tay Po unjuk hormatnya pada teetok, ia bersikap
sewajarnya dan bebas.
"Apakah tayjin ada baik?" ia tanya sembari tertawa.
Giok-tayjin gebrak meja.
"Kurang ajar!" ia membentak. "Kau berani kurang ajar di kantor sini?"
Dari kedua pinggiran, opas-opas pun turut membentak:
"Jangan kurang ajar!" Kemudian mereka paksa dua tukang dangsu itu tekuk lutut
Giok-tayjin murka sehingga kumis dan jenggotnya yang
ubanan bergerak-gerak.
"Siapa kau?" ia tanya dengan sengit. "Apa she dan namamu?"
"Aku ada orang she Lauw nama Tay Po, di luaran orang juluki aku Itto Lianhoa, si Setangkai Bunga Teratai," sahut Tay Po, tetap dengan tenang sekali. "Di Pweelek-hu aku bekerja sebagai kauwsu dengan dapat perlakuan sangat
baik, sedang sekarang aku tengah menjalankan tugas.
Pweelek-hu telah kecurian sebatang pedang mustika, yang
bisa dipakai menabas besi dan baja, karena itu, pweelek-ya titahkan aku cari pedang itu dan pencurinya. Aku tidak
mau bekerja dengan terang-terangan, demikian aku ajak
nona ini menjual pertunjukan untuk menyerepi si pencuri
pedang. Nona ini adalah gadisnya pantauw Coa Tek Kong
dari Hweeleng. Ia datang kemari sebulan yang berselang
dengan tugas menyelidiki orang jahat. Sebagai bukti bahwa mereka benar ada orang polisi sah, mereka ada melaporkan diri ke kantor di Wanpeng dan Sunthian hu. Sayang Coa
pantauw telah menemui ajalnya kemarin dahulu di
Touwshia, Tekseng-mui, ketika ia bertempur dengan si
penjahat. Pembesar negeri sudah periksa mayatnya. Si
penjahat adalah Pekgan Holie Kheng Liok Nio, ia sekarang sembunyikan diri di satu gedung besar di mana ia
menyamar sebagai budak perempuan. Ia ada dibantu oleh
satu muridnya. Ia sudah curi pedang dan bunuh satu hamba polisi. Ia pun telah gunakan pengemis nama Tiang Ciong
siauwjie sebagai mata-mata, hingga beruntun siang dan
malam ia bisa datang ke pondokan kami mengirim surat-
surat ancaman ... Dan ini adalah surat ancamannya itu!
Silahkan tayjin periksa ... "
Tay Po keluarkan surat ancaman itu dari sakunya.
Hamba yang berdiri paling dekat sambuti surat itu, buat
diperlihatkan pada pembesarnya.
Duduk tegak di kursinya Giok-tayjin baca surat ancaman
itu yang bunyinya dengan sendirinya telah menyebabkan
berubah air mukanya, hingga ia tanya Siang Moay sampai
beberapa kali. "Tahan mereka ini," akhirnya ia memberi perintah.
Selagi titah itu dijalankan, Giok-tayjin perintah sepuluh orang polisi pergi ke depan akan menjaga keras pintu besar buat cegah siapa juga keluar atau masuk, kemudian ia
perintah siapkan kereta, dengan ajak empat pengawal ia
berkendaraan menuju ke Pweelek-hu.
Sementara itu lekas sekali telah tersiar warta bahwa Itto Lianhoa Lauw Tay Po bersama si nona tukang dangsu
sudah mengacau di depan gedung Giok-tayjin hingga
mereka dibekuk dan ditahan. Tapi, pada jam tiga lohor,
orang segera dapat kenyataan Lauw Tay Po dan si nona itu sudah dimerdekakan. Orang lihat si Setangkai Bunga
Teratai bersama si nona jalan-jalan dengan sikapnya yang gembira dan jumawa, mereka mondar-mandir perlihatkan
diri di Hoawan Taywan ...
Kapan kemudian Lauw Tay Po sampai di depan
rumahnya, di depan pintu sudah menantikan seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar, dengan pakaian ringkas dan
golok di tangan!
"He, kenapa baru sekarang kau pulang?" orang itu
menegur dengan suara yang nyaring. "Aku lelah tunggui kau sampai hilang sabar!"
Tay Po tertawa.
"Oh, benar-benar kau beradat keras, Sun toako!" ia kata.
"Aku minta kau datang malam, kenapa kau justru datang masih begini siang?"
"Aku tak dapat menunggu lagi! Sehabis dahar aku lalu datang kemari!"
"Bagus!" berseru Tay Po. "Memang, dengan meminta bantuanmu, aku tak pernah gagal!"
Lantas Tay Po perkenalkan Siang Moay, setelah mana,
ia undang sahabat itu masuk ke dalam rumahnya. Pada
sahabat ini ia tidak berani tuturkan peranan apa tadi mereka sudah mainkan di depan Giok teetok, sebab ia tahu piauwsu ini adatnya ada keras sekali. Dulu pun di waktu ikut Siu Lian ke Hoolam, di sepanjang jalan si sembrono ini telah bikin nona Jie jadi sangat pusing.
"Masaklah air dan seduh teh," Tay Po minta isterinya setelah mereka berada di dalam, sedang Sun Ceng Lee
dipersilahkan duduk.
Selagi mereka berunding dengan cara bagaimana akan
bekuk penjahat, di luar terdengar suara pintu diketok.
Sun Ceng Lee sambar goloknya dan lari ke luar, Tay Po
segera susul padanya.
Yang minta pintu ternyata adalah Tek Lok yang baru
pulang. Ia terperanjat ketika dapat lihat seorang tinggi besar dan bersenjata golok keluar memburu, hingga mukanya
menjadi pucat. Tetapi Sun Ceng Lee kenalkan koankee itu.
"Toako sabar," kata Tay Po, yang ajak sahabat itu masuk pula. "Penjahat tidak nanti berani datang di waktu begini!
Itu ada tuan rumahku."
III Selagi Ceng Lee manggut, kedengaran suaranya Tek
Lok: "Pweelek perintah kau lekas datang menghadap!"
"Aku tahu," sahut Tay Po. Kemudian ia kata pada Ceng Lee: "Sun toako, harap kau suka duduk sebentar. Pweelekya panggil aku, aku perlu segera menghadap padanya. Aku
akan lekas kembali. Saudara misanku Yo Kian Tong juga
akan datang kemari. Aku percaya, sebentar malam penjahat mungkin akan datang, maka waktu itulah aku sangat
mengandal padamu. Sekarang silahkan kau beristirahat!"
"Ya, tetapi kau mesti lekas kembali!" Ceng Lee pesan.
Tay Po berikan janjinya dan lantas pergi bersama Tek
Lok. "Kau lakukan keonaran macam apa hari ini?" tanya Tek Lok. Selagi mereka berada di tengah jalan. "Kalau tidak ada pweelek-ya yang menanggungnya, Giok-tayjin tentu akan
berikan hukuman padamu."
"Jikalau tidak ada pweelek-ya sebagai penunjang, aku pun tidak nanti berani berbuat demikian!" jawab Tay Po sambil tertawa.
"Sekarang Giok-tayjin masih ada di istana," Tek Lok memberi tahu. "Ia ada sangat mendongkol dan gusar. Ia mau kau unjuk macamnya penjahat yang ada di rumahnya
itu!" Tay Po tertawa.
"Aku toh tidak sebut si penjahat ada sembunyi di dalam gedungnya!" ia kata. "Tadinya aku sudah pikir akan tilik
setiap gedung, begitulah karena gedungnya yang terdekat, maka lebih dahulu aku pergi ke gedungnya Giok-tayjin."
"Pengakuanmu ini siapa pun tak akan percaya bahwa
perbuatanmu tadi bukannya tanpa maksud. Memang, sejak
beberapa hari di luaran kau uwarkan cerita yang si penjahat berada di gedungnya Giok-tayjin, dan tadi pun di depan
gedungnya kau telah memaki kalang kabutan. Apa ini
belum cukup terang bahwa kau menyangka si penjahat ada
di gedungnya teetok?"
"Aku tidak memaki," Tay Po tetap menyangkal.
Pembicaraan mereka berakhir waktu mereka sudah
sampai dan Tek Lok masuk lebih dahulu akan memberi
kabar, kemudian ia keluar pula akan ajak kauwsu itu
masuk. Tampang mukanya Tiat pweelek tidak sabar sebagaimana biasanya.
"Kenapa tadi kau pergi bikin kacau di depan gedung
Giok-tayjin?" orang bangsawan ini lantas saja menanya.
Tay Po unjuk hormat yang dalam ketika ia menyahut:
"Aku tidak membikin kacau, aku tidak berani. Karena kemarin aku terima tugas dari pweelek-ya, maka ini hari
aku mulai dengan penyelidikanku. Aku bekerja untuk cari
pulang pweelek-ya punya pedang mustika ... "
Giok-tayjin ada di sampingnya tuan rumah, ia tak tahan
sabar lagi, hingga ia campur bicara.
"Lauw Tay Po," demikian tegurannya, "tentu kau telah menduga bahwa si penjahat ada sembunyikan diri di dalam
gedungku?"
"Itulah aku tidak berani bilang," menyangkal Tay Po, yang pandai bicara. "Hanya ketika Coa pantauw hendak
menutup mata, ia telah beritahukan anak perempuannya
bahwa si penjahat sembunyi di dekat-dekat Kouwlauw, di
dalam suatu gedung ... "
Giok-tayjin berbangkit.
"Sekarang aku mau bawa kau ke gedungku!" ia kata dengan nyaring. "Di sana kau boleh kenalkan orang-orangku! Bila kau bisa tunjuk orang yang tersangka, orang itu aku akan segera hadapkan pada pembesar negeri,
kemudian aku sendiri akan menghadap sri baginda untuk
menerima putusan hukuman! ... "
"Aku tidak berani pergi mengenali, tayjin," Tay Po menolak. "Ketika pertempuran terjadi di Tekseng-mui,
langit sudah gelap, hingga aku tak dapat melihat tegas
romannya penjahat itu. Apa yang aku tahu adalah penjahat itu seorang perempuan tua, yang pinggangnya sudah mulai
melengkung, tangannya menyekal tongkat panjang seperti
toya, yang terbikin dari baja. Itulah senjatanya. Ia bongkok dengan berpura-pura dalam penyamarannya, sebenarnya ia
ada jangkung melebihi aku."
Nampaknya Giok teetok ada sedikit terperanjat.
"Iapun punya satu murid yang umurnya kira-kira
duapuluh tahun," Tay Po memberi tahu lebih jauh. "Itu murid ada bertubuh kecil dan langsing, pakaiannya serba
hijau. Ia ini adalah si pencuri pedang yang tulen, si
pembunuh yang sejati. Setiap malam ia satroni aku akan
ganggu kita. Ia telah tinggalkan uang di atas pembaringan kita dan tinggalkan surat ancaman mendesak kita untuk
menyingkir dari kota ini. Karena kita ketahui rahasianya, ia merasa tidak tenteram adanya kita di sini! Demikian ia cari jalan untuk usir kita!"
Tay Po keluarkan surat ancaman tadi malam dan surat
ancaman ini ia persembahkan pada Tiat pweelek.
Pangeran Boan itu tertawa waktu ia sudah baca surat
ancaman itu. "Penjahat itu pandai menulis huruf indah!" ia kata dengan pujiannya.
Sebaliknya daripada pweelek itu, Giok-tayjin merasa tak
enak sendirinya.
"Sama sekali orang-orangku lebih daripada seratus jiwa,"
ia kata kemudian, "bisa menjadi umpama kata ada orang jahat yang nyelundup di antaranya. Sekarang ini aku telah perintah lakukan penjagaan akan larang siapa juga masuk
dan keluar dengan tiada perlunya. Sekarang aku mau
pulang untuk bikin peperiksaan, andaikata benar ada
kedapatan orang jahat, aku akan bekuk padanya dan aku
sendiri pun ingin minta hukuman!"
Ia lalu berpamitan dari Tiat pweelek.
"Selanjutnya kau tidak boleh berlaku lancang," Tiat pweelek, kemudian nasehati Lauw Tay Po. "Jikalau kau pergi pula ke suatu gedung dan bikin onar di sana, aku tak nanti mau melindunginya pula!"
Tay Po berikan janjinya, dan minta perkenan akan
undurkan diri. Ia ada sangat girang. Justru sang magrib
sudah mendatangi, ia pulang dengan lekas.
Sementara itu di rumahnya sudah datang lima
sahabatnya, ialah di sebelahnya Sun Ceng Lee, yang lain-
lainnya adalah Tenggan Sie Pat, Cengtauw Pheng Kiu,
Hoagujie Lie Seng, dan Thieloto Nio Cit. Semua mereka ini adalah orang-orangnya YoKian Tong yang datang dengan
senjata lengkap, untuk bantu membekuk penjahat.
Di lain pihak, Toh Tauw Eng pun datang dengan warta
bahwa Tiang Ciongsiauwjie sudah dicekuk orangnya teetok
dan digiring ke kantor teetok itu.
"Bagus!" kata Tay Po dengan girang. "Kelihatannya tindakan kita ini hari tidak akan gagal! Kita sekarang tinggal lihat saja kepandaiannya itu kedua penjahat, mereka bisa lolos atau tidak dari tangan kita!"
Sebentar kemudian, cuaca telah mulai menjadi gelap.
Di Kouwlauw, di gedungnya Giok teetok, malam itu ada
dibikin penjagaan kuat. Teetok pun sudah sampai di
gedungnya dengan dikawal oleh dua pengawalnya, Kui Lay
dan Lok Lay. Ia ada seorang yang sudah berusia
enampuluh tahun lebih, pernah pangku beberapa jabatan
tinggi, jasanya pun sudah banyak. Dua anaknya laki-laki
telah menjadi tiehu di luar wilayah Titlee. Maka itu, ia ada seorang dengan kedudukan tinggi. Tetapi kini ia toh kena dipermainkan oleh satu Lauw Tay Po, yang ia pandang
sebagai seorang tukang luntang-lantung, tidak heran kalau ia telah jadi sangat mendongkol dan penasaran.
Penjaga-penjaga di muka pintu unjuk hormatnya waktu
Giok teetok melawat masuk.
Biasanya, jikalau teetok pulang dari bepergian, ia masuk langsung ke dalam untuk salin pakaian, tetapi ini kali tidak, hanya ia menuju terus ke kamar tetamu. Kamar ini ada
sepi, tidak ada seorang pun tertampak di situ. Di sini ada terdapat banyak perabotan mahal dan antik yang terawat
baik, tetapi itu waktu, kamar ada gelap gulita. Maka Kui Lay lekas-lekas nyalakan dua batang lilin, yang ditancap atas sepasang ciaktay perunggu, yang pun ada barang tua.
"Api!" kata Giok teetok ketika ia telah bertindak ke sudut timur.
Kui Lay dan Lok Lay datang mendekati dengan masing-
masing sebuah ciaktay di tangan, mereka berdiri di kiri dan kanan majikan itu.
Giok-tayjin dongak memandang tembok. Di atas itu ada
digantung sepasang lian yang huruf-hurufnya indah, Lian
itu pemberian dari keponakannya bernama Lou Kun Pwee,
satu tamhoa. Setelah memperhatikan huruf-huruf itu sekian lama,


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok-tayjin keluarkan dari sakunya surat ancaman yang
tadi ia dapatkan dari Lauw Tay Po, yang berbunyi:
"Dalam tempo tiga hari, jika kau berdua tak menyingkir dari kota raja ini, bencana besar akan menimpa dirimu!"
Ia pandang lian dan meneliti surat itu berulang-ulang
dengan bergantian, sedang pada wajahnya, dengan
perlahan-lahan memperlihatkan perubahan, dari heran
menjadi kaget. "Terang ini ada buah tangannya satu orang!" akhirnya teetok ini berpikir. Dengan tangan bergemetaran ia usap-usap kumis jenggotnya yang putih. "Inilah aneh," demikian ia berpikir lebih jauh. "Lou Kun Pwee ada anak muda yang aku paling sayang, ia sering datang kemari. Aku sudah pikir akan ambil ia sebagai baba mantuku."
"Ia ada lulusan cinsu nomor tiga yang paling belakang, ia ada jadi pengarang di dalam Hanlim-ih, sedang ayahnya
pernah menjabat Kongpou Sielong. Apa bisa menjadi yang
ia jadi penjahat" Inilah aneh, inilah aneh! Tak mungkin! ... "
Ia lantas simpan pula surat ancaman itu, ia keluar dari
ruangan tetamu itu dengan bertindak perlahan-lahan
sampai di dalam.
Budak-budak sudah lantas mengasih kabar ke pedalaman. "Tayjin pulang!" katanya.
Itu waktu, penerangan telah dinyalakan di sana-sini.
Di kamar utara, kamarnya Giok thaythay, pintu sudah
lantas dipentang dan muilie disingkap. Dua budak
perempuan muncul akan melakukan penyambutan.
"Tayjin baru pulang!" mereka menyambut.
Biasanya Giok-tayjin belum pernah mengawasi atau
perhatikan budak-budak atau bujangnya, tetapi hari ini ia ada sangat beda daripada biasanya, dengan teliti ia
mengawasi dua budak itu.
"Ah, tayjin pulang!" thaythay menyambut.
Suami itu manggut, ia bertindak ke pembaringan di atas
mana ia duduk. Satu budak segera datang membawakan teh, dan satu
yang lain dengan cuihun.
"Apakah, tayjin sudah dahar?" thaythay tanya.
"Sudah di Pweelek-hu," sahut suami itu sambil manggut.
Nyonya teetok pandang suaminya, sikap siapa ada beda
daripada biasanya, ucapannya pun ringkas sekali, hingga ia tak berani banyak omong. Giok teetok hisap huncwee-nya,
beberapa kali ia kepulkan asapnya yang tebal, kemudian ia melirik pada budak-budaknya, atas mana semua hamba itu
segera undurkan diri. Hingga di dalam kamar itu tinggal ia dan isterinya saja.
"Ada terjadi hal aneh," ia kata kemudian pada isterinya, pada siapa ia tuturkan kejadian itu. Ia pun perlihatkan surat ancaman itu.
Giok thaythay ada heran luar biasa.
"Apakah bisa menjadi Kun Pwee ada hubungannya
dengan perkara ini?" ia tanya.
"Pasti tidak!" sahut sang suami. "Ia ada satu hanlim dan berbadan gemuk sekali, cara bagaimana ia bisa menjadi satu huicat, penjahat yang bisa lari cepat dan loncat tinggi?" ia lalu minum tehnya. "Hanya Lauw Tay Po katakan," ia meneruskan dengan perlahan, "katanya Pekgan Holie
Kheng Liok Nio, itu penjahat, telah sembunyikan diri di
dalam gedung kita sebagai bujang perempuan, usianya
sudah lima-puluh lebih dan tubuhnya melengkung ... pun ia punyai murid yang umurnya kira-kira duapuluh tahun,
bertubuh kecil langsing, yang mungkin ada salah satu budak kita ... Apakah tidak menguatirkan andaikata benar di
antara semua hamba itu ada terdapat si penjahat" Karena
ini, tadi aku telah perintahkan jaga gedung kita buat larang orang sembarangan keluar dan masuk. Aku pikir sekarang
aku hendak kumpulkan semua hamba kita, lelaki dan
perempuan, untuk diperhatikan kalau-kalau di antaranya
ada yang sikapnya mencurigakan, kita kasih ontslag dan
berikan ia dua bulan gaji serta suruh ia pergi dengan segera!
... " "Tidak!" thaythay kata, sambil ulapkan tangan. "Tidak, itu tak dapat dilakukan!"
Giok teetok pandang isterinya, sebagai orang yang
hendak minta penjelasan.
"Lauw Tay Po ada satu buaya darat!" kata nyonya agung itu. "Siapa tahu jikalau ia pakai pengaruhnya pweelek-ya untuk memeras kita?"
"Itulah tak bisa jadi," kata Giok teetok sambil geleng kepala. "Kemarin ini di Touwshia, di luar Tekseng-mui, sudah ada satu hamba polisi dari luar Pakkhia, yang telah binasa di tangannya si penjahat. Hamba itu datang kemari bersama gadisnya dengan menyamar sebagai tukang-tukang
dangsu untuk bikin penyelidikan. Kabarnya mereka sering
buka pertunjukan di depan kita dan anak kita si Liong pun suka nonton pertunjukannya itu."
Nyonya teetok berdiam, ia berpikir.
"Bujang dan budak kita benar banyak, tetapi mereka
dapat dihitung," ia kata kemudian. "Di antara budak-budak perempuan, empat masih kecil. Dari budak-budak tua, yang aku percayakan, See-ma dan Cia-ma sudah ikuti aku
banyak tahun, mereka telah rawat aku sejak kita tinggal di Sinkiang. Dua yang lain ada Keng-ma dan Thio-ma.
Mereka benar ada orang-orang baru, tetapi mereka terang
asal-usulnya dan usianya pun belum terlalu tua. Di sana ada Ouw-ma Kho sunio, yang rawati anak kita si Liong, tetapi kau kenal ia dengan baik, ia telah ikuti kita sudah lima atau enam tahun, sampai sebegitu jauh ia belum pernah lakukan kesalahan apa juga. Kalau dibilang yang bongkok, itulah
cuma Phang-ma, yang rambutnya sudah ubanan, tetapi ia
ada punya penyakit bengek. Toh ia ada babu susu dari
putera sulung kita, yang bekerja pada kita sejak setahun menikahnya kita. Apakah ia bisa tak dipercaya?"
Sekarang ada gilirannya Giok teetok yang berdiam. Tiba-
tiba ia ingat Kho sunio, dan teringat kejadian pada lima tahun yang berselang, ketika mereka masih sama-sama
berada di Sinkiang (Turkestan Tionghoa). Untuk belasan
tahun ia telah jadi orang peperangan yang kenamaan.
Ketika itu adalah si Liong, atau Kiauw Liong, puterinya, yang ikuti ia. Dalam umur enam tahun, Kiauw Liong sudah
bisa baca buku dan menulis. Gurunya si nona ada satu guru tua, satu siucay banrut dari Inlam bernama Kho In Gan.
Guru ini ada seorang luar biasa, kecuali ilmu surat, ia pun pandai
menggambar dan indah tulisannya, pun pengetahuannya dalam urusan ilmu perang ada luas. Dalam
beberapa pertempuran yang berhasil, Giok-tayjin ada
mengandal buah pikirannya guru sekolah ini. Maka itu,
selain jadi guru sekolah di dalam rumah, Kho In Gan
berbareng pun jadi penasehat di dalam kantor atau kemah.
Guru ini hidup bersendiri, belum pernah ia ceriterakan
tentang keluarganya. Kesukaannya adalah pesiar, setiap tiga tahun ia tentu pergi melancong atau merantau, dan setiap kalinya pergi, sedikitnya untuk setengah tahun. Pada lima tahun yang berselang, Kho In Gan kembali dari pesiar
dengan ajak seorang perempuan yang ia perkenalkan
sebagai isterinya. Mereka tinggal sama-sama di dalam
kantor. Dua tahun kemudian sejak pernikahannya itu, Kho
In Gan mendapat sakit yang meminta jiwanya, hingga Kho
sunio, isterinya, hidup sebatang kara. Karena ini, kemudian ia diterima di dalam gedung Giok-tayjin, sebagian sebagai bujang tukang menjahit dan sebagian sebagai tetamu.
Semua orang di dalam gedung, majikan dan bujang, telah
panggil Kho sunio pada nyonya guru ini dan ia terima
panggilan itu. Kini, mengingat nyonya guru itu, Giok teetok hanya
menaruh curiga. Tapi, yang dicurigai adalah suaminya
almarhum. Sebab ia sendiri walau sudah bemmur
limapuluh lebih kurang, tubuhnya tidak bongkok dan tak
suka banyak bicara. Ia ada pendiam dan tahu aturan. Sudah berjalan empat atau lima tahun, gawenya nyonya guru ini
adalah terus menjahit, belum sekalipun melakukan
kesalahan. Giok-tayjin urut-urut kumis dan jenggotnya, ia mesti
berpikir keras.
"Tidak, di gedungku tidak ada Pekgan Holie ... " ia berpikir. "Tidak ada budak perempuan lain yang dapat dicurigai. Budak atau bujang selebihnya adalah lelaki
semua." "Dalam hal ini baiklah tayjin berlaku tenang," kemudian nyonya teetok peringatkan suaminya. "Di luar dan di
dalam, kita memang harus menjaga baik-baik, tetapi
walaupun demikian, kita jangan kentarakan itu. Kita
berjaga-jaga agar si penjahat tak bercuriga dan melakukan lain-lain kejahatan. Umpama benar di gedung kita tak ada orang jahat, tetapi kalau kita bikin banyak berisik, orang luar niscaya akan tertawakan kita ... "
Suami itu manggut. Kata-kata isterinya benar adanya. Ia
sedot pula huncui sampai dua kali.
"Besok baik kita panggil Kun Pwee datang kemari, kita perlihatkan surat ancaman ini padanya," kemudian ia berkata pula.
Giok thaythay tertawa.
"Menurut pendapatku, tak ada perlunya beritahukan
Kun Pwee tentang peristiwa ini," ia nyatakan. "Kalau ia mendapat tahu, ia pasti akan jadi gusar. Kau tentu
mengetahuinya, sejak jaman purbakala sehingga kini, di
mana ada hanlim yang menjadi pencuri?"
Giok teetok bersenyum.
"Memang banyak tulisan-tulisannya yang bagus tersiar di luar, tetapi ada aneh yang penjahat bisa tiru tulisannya demikian surup ... "
Mengenai ini, Giok thaythay pun heran. Cuma, karena
lihat suaminya tidak lagi berduka seperti tadi, pikirannya pun turut terbuka. Begitulah ia bisa tertawa.
"Beruntung si Liong tidak sampai dirangkapi jodohnya dengan ia!" kata ia.
Mendengar isterinya itu, Giok-tayjin lantas ingat satu hal lain. Ia menghela napas, agaknya ia masgul.
"Sebenarnya, Kun Pwee adalah satu pemuda yang
pintar," ia kata. "Baru berumur duapuluh empat tahun, ia
sudah menjadi tamhoa dan masuk dalam Hanlim-ih! Jarang
ada orang sepintar ia. Sejak ibunya menampik siocia dari Tan Tiongtong, ia sebenarnya sudah menjadi timpalan dari anak kita si Liong, maka asal fihak Lou timbulkan soal
perjodohan mereka berdua, kita boleh lantas terima
lamarannya itu. Kedua keluarga memang bersahabat rapat,
maka apabila perjodohan diikat, perhubungan jadi terlebih erat pula. Sekarang si Liong telah berusia delapan belas tahun, perlu jodohnya kita persoalkan."
Giok thaythay agaknya masgul mendengar ucapannya
suami itu. "Rupa-rupanya si Liong telah dapat tahu yang kita
hendak recoki jodohnya," ia nyatakan. ' Agaknya ia tak begitu setuju dengan perjodohannya ini. Harus diakui
memang Kun Pwee ada muda dan pintar, akan tetapi
romannya ada tolol-tololan ... "
Giok teetok tidak senang mendengar kata-kata itu,
mukanya tiba-tiba jadi merah.
"Urusan jodohnya satu anak perempuan bagaimana bisa diserahkan pada si anak perempuan sendiri?" ia kata dengan sengit. "Aku
justru ingin tetapkan perjodohannya,
kemudian kita lantas larang ia sering-sering melangkah
keluar dari pintu! Apa artinya akan satu gadis berdiri di muka pintu menonton segala pertunjukan dangsu?"
Giok thaythay tidak berani banyak omong akan tentangi
suaminya itu. Giok teetok isap pula cuihun beberapa kali, lantas ia
bangun dan ngeloyor ke kamarnya di mana ia salin
pakaian. Cepat sekali sang waktu sudah hampir jam dua.
Menurut aturan di gedung teetok ini, setelah jam dua,
semua penerangan mesti dipadamkan dan semua orang,
kecuali yang giliran menjaga malam, mesti mulai
beristirahat. Demikian pun Giok thaythay, ia mengeram di dalam kamarnya dengan cuihun tak ketinggalan, ia duduk
dengan masgul, otaknya bekerja.
"Siocia datang!" tiba-tiba suaranya Sie-ma, si budak tua, yang mendampingi nyonya besar itu.
Adalah aturan orang Boan, satu puteri atau putera atau
nyonya mantu, setiap pagi atau malam mereka mesti
ketemui orang tua atau mertua mereka buat mengasih
selamat pagi atau sore dan menanyakan kesehatannya.
Aturan ini tidak menjadi kecuali bagi Giok Kiauw Liong.
Sehabisnya memberi hormat, sembari tertawa Kiauw
Liong tanya ibunya:
"Bu-cin, ini hari di rumah kita ada urusan apa" Tadi Kho sunio mau pergi pasang hio di kuil, ia tak dikasih keluar oleh penjaga pintu."
Terhadap ibunya itu nona ini sangat manja bagaikan
anak kecil. Ia tertawa, kepalanya dibuat main, hingga
perhiasan dan mutiara di rambutnya turut memain di antara sinar api. Rambutnya hitam mengkilap. Tubuhnya yang
kecil langsing tertutup oleh kiepauw sutera warna hijau
yang tersulam indah. Kancingnya atas pun ada diganduli
mutiara dan kumala. Sepasang anting-antingnya bergoyang
memain di antara sinar penerangan. Ia memang ada satu
nona yang cantik molek dan menarik hati.
Melihat puterinya itu, Giok thaythay lantas perintahkan
semua budaknya undurkan diri, kemudian ia tuturkan
semua pembicaraan dengan suaminya tadi pada puterinya
ini. Giok Kiauw Liong tidak jadi kaget mendengar
keterangan itu, melainkan sepasang matanya bersorot
tajam. Baru belakangan ia nampaknya sedikit masgul.
"Di rumah kita toh tak ada orang yang dapat dicurigai!"
ia kemudian kata.
Sang ibu manggut.
"Aku memang tak percaya di rumah kita ada
bersembunyi orang jahat. Tapi ayahmu ada dapatkan
sehelai kertas, tulisannya seorang jahat. Menurut ayahmu, itu ada tulisannya Lou Kun Pwee!"
"Lou Kun Pwee memang bukan orang baik, tetapi ayah
justru perintah ia suka sering datang kemari!"
Nyonya Giok menghela napas.
"Bagaimana kau bisa mengucap demikian, anak?" ia kata. "Keluarga Lou adalah sanak kita. Lou Kun Pwee sendiri ada satu tamhoa muda dan haksu dan Hanlim-ih ...
" Nampaknya si nona jadi gusar.
"Kenapa toh ia jadi penjahat dan membunuh orang
juga?" ia tanya.
Kembali nyonya itu menghela napas.
"Bagaimana ia bisa menjadi penjahat?" ia balik
menanya. "Dalam halnya derajat, keluarga Lou ada terlebih atas daripada pihak kita. Aku duga penjahat sudah tiru
tulisannya ... "
Kiauw Liong bersenyum dingin.
"Apakah benar satu penjahat perlu meniru tulisan
orang?" ia tanya pula.
Alis Giok thaythay jadi melengkung bahna kesalnya.
"Nampaknya ayahmu sudah pasti dengan niatannya," ia kata dengan perlahan tetapi sungguh-sungguh. "Ia
menunggukan peminangannya pihak Lou, ia hendak terima
itu dengan baik. Aku lihat, meskipun Kun Pwee tolol,
tapinya ia ada pintar."
Mendengar ini, mukanya Kiauw Liong menjadi pucat
dan lesu dan air matanya segera keluar membasahi bulu
matanya yang lentik itu. Giok thaythay ketahui hati
puterinya, ia menghela napas. Ia pun berduka.
"Tetapi soal ini masih belum diputuskan," ia coba membujuk. "Dalam dua hari ini, ayahmu ada sangat
pusing, ia tentu tak punyai kesempatan untuk mengurus
soal perjodohanmu. Bersabarlah dan tetapkan hatimu,
jangan kau berduka, nanti aku perlahan-lahan berdaya akan cegah niatan ayahmu itu. Nah, pergilah kau tidur ... "
Dengan sangat berduka Kiauw Liong lalu undurkan diri.
"Silahkan siocia tidur," kata budaknya yang menunggui di luar kamar thaythay.
Kiauw Liong manggut, ia jalan terus. Budak Siu Hiang
ikuti ia. Di muka kamarnya sendiri, si nona disambut oleh lain-
lain budaknya, yang membawa tengloleng. Kamarnya ada
di sebelah barat.
Itu waktu suara kentongan di luar tepat jam dua. Langit
ada gelap, bintang satu pun tidak ada, agaknya hendak
turun salju sebagaimana angin utara ada meniup-niup keras membikin api lentera tertiup padam.
Pembaringannya sudah diatur rapi oleh lain budaknya
bernama Kim Sie, dan perapian telah berkobar-kobar. Ia
duduk di dekat perapian.
Siu Hiang hangati tangannya di perapian, setelah itu ia
tolongi nonanya copoti anting-anting, begitupun perhiasan kepalanya. Kim Sie di lain pihak bawakan teh dalam cawan perak, ia letaki itu di meja kayu merah.
Kiauw Liong terus duduk dengan diam dan tunduk,
matanya masih basah.
Seekor kucing kecil, yang bulunya panjang dan putih
bagaikan salju loncat naik ke atas pangkuannya si nona
dengan menggusak-gusakkan kepalanya dan perdengarkan
suaranya: meong, meong.
Dengan tangannya yang halus dan lentik, di mana pun
ada cincin-cincin permata, nona Giok usap-usap binatang
peliharaannya yang ia sayang itu, karena datangnya
binatang ini ia mulai menjadi sabar, hingga sebentar
kemudian, tertampaklah senyumannya walau senyuman itu
masih tercampur sisa kedukaan.
Siu Hiang dan Kim Sie turut bersenyum. Mereka ini ada
budak yang pasangan betul, keduanya baru berumur empat
atau limabelas tahun, pakaiannya serupa.
"Siocia, kau nampaknya berduka saja, kenapa?" akhirnya Siu Hiang tanya.
"Lagi beberapa hari tahun baru akan tiba," kata Kim Sie, yang tak tunggu jawabannya si nona terhadap kawannya.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tahun ini siocia akan ajak kami pergi pula
menyaksikan keramaian seperti tahun yang telah silam?"
"Nanti saja, sesudah tiba waktunya kita bicara lagi,"
sahut Kiauw Liong. "Belum tentu aku bisa hidup sampai lewat tahun baru ... "
Dua budak itu heran dan terkejut sampai mulut mereka
bungkam, air mata mereka lantas turun.
Melihat demikian, Kiauw Liong sebaliknya tertawa geli.
"Kau berduka untuk apa?" ia tanya. "Lihat, aku tidak nangis! Nah, pergilah tidur ... "
Dua budak itu tertegun, mereka seka air matanya. Selagi
mereka hendak melangkah pintu kamar, dari luar terdengar pertanyaan: "Apakah siocia sudah tidur?"
"Belum," sahut Siu Hiang dari dalam kamar. "Silahkan Kho sunio masuk."
Di ambang pintu kelihatan nyonya yang dipanggil Kho
sunio, atau nyonya guru, yang umurnya lebih kurang
limapuluh tahun, berbadan jangkung dan mukanya
panjang, kulitnya sudah mulai keriputan, sedang rambutnya sudah ubanan. Ia pakai baju dan celana abu-abu, ujung
bajunya dilapis dengan cita putih. Pada tangannya ada satu bungkusan dari sutera warna merah dan putih, yang
atasnya tersulam bunga. Ia bertindak masuk sambil tertawa, bungkusannya itu ia sodorkan pada nona rumah.
"Ini ada kutang yang siocia suruh aku jahit," ia kata.
"Aku lihat kutang ini ada terlalu panjang, baik dipotong lagi sedikit ... "
Kiauw Liong memeriksa sambil lalu.
"Tidak usah dipotong lagi," katanya. "Kho sunio, kau juga pergilah tidur. Kutang ini tak akan lantas dipakai, boleh dikerjakan besok saja."
Kho sunio manggut, ia sambuti bungkusan itu dan terus
undurkan diri. Sembari bersenyum, Kiauw Liong lantas usap-usap
kucingnya. Ia pun suruh dua budaknya, Siu Hiang dan Kim
Sie, undurkan diri. Setelah tutup pintu, mereka lalu masuk ke kamar mereka.
Kiauw Liong punya tiga kamar. Di ujung utara ada
sebuah pintu ke mana tadi dua budaknya masuk, di situ
adalah kamarnya budak-budak itu. Kamar sebelah luar ia
pakai untuk menempatkan kim, biji tiokie, kitab-kitab dan gambar-gambar. Menghadapi jendela ada meja untuk
menulis surat dan melukis gambar. Di musim dingin dari
jendela itu orang bisa lihat pemandangan salju yang indah, di musim pertama tertampak bunga haytong dan lain-lain
bunga yang permai. Jendela ada memakai kaca yang dilapis dengan tirai sutera. Kamarnya sendiri ada dibikinkan pintu berdaun dua yang kuat. Di sini ia tidur sendirian, jauh dari budak-budaknya. Ia gemar akan kesunyian, ia benci
mendengar suara orang tidur menggeros. Kamarnya itu
dihias dengan gambar-gambar lukisan atau tulisan huruf-
huruf yang indah, yang semua ditandai cap seniwatinya,
ialah "Ie In Hian Cujin". Semua budak ketahui semua gambar dan tulisan itu ada buah tangan dari si nona sendiri.
Juga di kamar ini, di sebelah kiri jendela, ada meja lengkap dengan perabot tulis. Di situ ada kedapatan juga dua jilid kitab "Su Kie" dan "Tong Sie", yang si nona paling gemar baca selagi iseng. Di sebelah kanan ada meja hias di alas mana ada dua ciaktay perak. Meja teh pun terletak dekat
jendela dengan dua kursi di kiri kanan, tetapi di atas itu tidak ada teekoan atau cangkir, hanya sebuah tokpan
kumala dengan setangkai bunga mekar. Jendela kaca, di
sebelah dalamnya dilapis dengan tirai sutera, di luarnya dilindungi dengan daun jendela kayu. Di luar, di bawah
jendela, ada jalanan dan pekarangan.
Kiauw Liong duduk seorang diri di dekat meja tulis,
tangannya mengusap-usap kucingnya yang bagus dan
mungil, yang rebah di pangkuannya, kemudian ia
berbangkit. "Soat Houw," ia memanggil dengan perlahan. Demikian namanya si binatang peliharaan itu, yang berarti "harimau salju".
Kucing itu buka matanya dan berbunyi, kapan ia diletaki
di lantai, ia terus loncat naik ke atas kursi yang teralas bantal empuk dan indah, di situ ia rebahkan diri dan tidur pula ...
Dengan lesu Kiauw Liong hampirkan meja hias. Dalam
kaca ia lihat romannya yang kucel dan tak bergembira.
Dari laci Kiauw Liong tarik keluar satu ciaktay kecil
terbuat dari perak, ia tancap sebatang lilin kecil dan sulut itu, setelah mana, ia tiup padam dua lilin yang besar, hingga kamarnya jadi suram. Dengan bawa lilin itu ia bertindak
perlahan ke kamar sebelah luar akan periksa pintu dan
jendela. Kemudian baru ia kembali ke dalam kamarnya dan
kunci pintu. Lilinnya ia letaki di atas meja kecil. Tatkala ia singkap kelambu, bau harum menyerbu hidungnya. Setelah
salin pakaian tidur, ia naik ke atas pembaringan dan
rebahkan diri dengan berselimut. Ia jemput sejilid buku
yang kecil sekali tetapi tebal, dikulit buku ada tertulis satu huruf "A" yang berarti "Gagu"'. Dari caranya ia perlakukan buku itu, mestinya buku itu ada berharga sekali. Dengan
penerangan api lilin yang sekecil itu ia dapat membacanya.
Dengan tak merasa, kentongan sudah berbunyi tiga kali,
suaranya terdengar dari depan terus ke belakang, ke taman bunga.
Malam itu, orang ronda di gedungnya Giok teetok
diperkuat, tetapi sang malam lewat dengan tidak ada
keonaran apa juga.
Jauh dari gedung ini, juga Itto Lianhoa dan isterinya,
bersama kawan-kawannya, bisa lewatkan sang malam
dengan tenteram, hanya mereka tidak tidur antero malam
itu. Adalah setelah fajar dan cahaya langit mulai terang, Ceng Lee lemparkan goloknya sampai berbunyi nyaring.
'"Binatang, kau telah pedayakan aku!" kata ia dengan tiba-tiba seraya tonjok Tay Po. "Lihat, mana ada penjahat yang datang?"
Lauw Tay Po tertawa.
"Toako, jangan kau gusar," ia kata. "Ini tentu disebabkan Giok teetok telah bikin penjagaan terlalu keras, atau nama toako sudah bikin jeri penjahat itu, hingga mereka tak
berani datang! Toako, dan cuwie, terimalah terima
kasihku!" Lantas Tay Po kiongchiu terhadap semua sahabatnya itu.
"Tidak apa," Sie Pai dan kawan-kawannya berkata.
"Sebentar malam kita nanti datang pula. Dengan datang kemari, kita jadi tak berjudi di piauwtiam ... Apabila kau tidak mencela kita, kita suka berdiam di sini sampai
setengah bulan. Kita percaya, adalah si penjahat sendiri yang nanti angkat kaki dari Pakkhia ini!"
"Ini pun cuma daya penjagaan sementara saja," Tay Po bilang sambil tertawa. "Buat kita sembunyi saja di dalam rumah, dengan cuwie yang tetap lindungi kita, itulah
bukannya maksudku. Tiat pweelek telah pesan kita agar
kita jangan terbitkan onar pula, menyesal pesanan itu tak dapat diturut terus. Isteriku tentu tak akan mau mengerti sakit hatinya dibikin habis begitu saja. Apakah mertuaku mesti binasa secara kecewa" Tidak! Kita tunggu sampai
lima hari lagi, akan lihat sikapnya Giok cengtong,
andaikata ia tetap tidak berdaya, sedang di gedungnya ada mengumpat si siluman rase tua dan muda, aku mesti
jalankan siasat! Hanialah sekarang ini siasat itu aku belum dapat pikir ... Dengan kecerdikanku dan bantuan cuwie,
nanti datang saatnya aku bikin kedua siluman rase itu
perlihatkan diri dan rampas pulang pedang yang terhilang itu untuk diserahkan kembali pada pweelek-ya!"
Semua piauwsu itu turut tertawa.
"Baik, baik, kita nanti terus bantu kau sampai di
akhirnya!" mereka berikan janjinya.
"Ya, aku hendak lihat nanti!" kata Sun Ceng Lee, yang masih uring-uringan. "Jikalau kau hanya permainkan aku, aku nanti cekuk batang lehermu ... "
"Baik, toako, baik!" Tay Po jawab piauwsu tersohor itu.
"Apabila aku gagal di akhir tahun, aku nanti serahkan batok kepalaku padamu!"
Semua orang tertawa, tidak terkecuali Siang Moay.
Kemudian Ceng Lee ajak empat piauwsu pulang, dan
Tay Po berdua antar mereka sampai di depan. Kemudian
suami isteri ini masuk dan tidur.
Pada jam tiga, ketika mendusin Tay Po dan Siang Moay
lihat turunnya salju. Nyonya itu terus saja ke dapur buat masak nasi. Sehabisnya dahar, Tay Po pergi ke Seetay Wan akan cari Toh Tauw Eng, dan Siang Moay minta pulangnya
dibelikan bahan pakaian.
Sampai sore barulah Tay Po kembali, selagi mereka
bersantap, datang Ceng Lee yang kemudian menyusul
datangnya Sie Pai berempat. Sie Pat ada bawa dadu,
dengan berjudi mereka lewatkan sang malam dengan peng-
an. Beruntun dua malam tiada terjadi suatu apa. Meski
demikian mereka tambah kawan dengan datangnya Toh
Tauw Eng dan Lie Tiang Siu yang kedatangannya untuk
berjudi belaka. Rumahnya Tay Po lantas menjadi serupa
tempat judi! Tek Lok tidak puas dengan kejadian ini karena merasa
terganggu, ia datang pada Tay Po, ia beritahukan
keberatannya. "Maafkan aku, Lok-ya," Tay Po kata, sambil menjura.
"Ini ada apa yang dibilang muka terang. Mereka datang dengan maksud baik, untuk membantu bikin penjagaan,
cara bagaimana mereka bisa ditolak" Mereka berjudi karena iseng saja."
"Apa yang mesti dijaga?" kata Tek Lok. "Kalau tidak kau pindah kemari, rumahku ada tenang dan aman! ... "
"Itulah tak dapat dipastikan, Lok-ya ... " kata Tay Po, yang terus tertawa. "Dahulu memang tak ada pencuri, siapa tahu kemudian" Andaikata kau tak percaya, baiklah, aku
nanti pindah ... Cuma, seandainya kemudian benar ada
gangguan penjahat, ingatlah meski kau undang kita dan
sediakan meja perjamuan, aku tak akan mempedulikannya!"
Tek Lok kalah bicara, ia bungkam.
Sebenarnya, Lauw Tay Po sendiri ada ibuk, karena ia
tetap belum berhasil dapat cari dan bekuk si pencuri pedang mustika. Ia juga tidak merasa enak tinggal bersama Tek Lok yang ia bikin pusing dengan perjudiannya Sie Pat beramai.
Juga Siang Moay tak setuju perjudian itu yang mengganggu ketenteramannya, sedangkan ia sangat berduka mengingat
ayahnya yang binasa secara kecewa. Tapi, dalam hal
hidupnya ia puas sekali, karena ia dapatkan Tay Po yang
sangat menyinta ia. Iapun tidak setuju suaminya turut
berjudi, tetapi ia tidak bisa melarang, karena suami itu perlu temani kawan-kawannya. Malamnya bisa tidur sebab letak
kamarnya jauh daripada kamar tempat berjudi. Tetapi di
waktu siang ia jadi iseng, sebab siangnya Tay Po terus tidur.
Maka jika sedang pepat pikiran, dengan dandanan serba
merah ia suka berdiri nyender di depan pintunya, yang baru dicat hitam mengawasi beberapa bocah memain di salju
atau berkelahi, atau lewatnya pedagang-pedagang keliling yang jual segala rupa barang keperluan tahun baru. Ia pun sudah mulai kenal nyonya-nyonya atau nona-nona
tetangganya, yang seperti ia suka ngeloneng di depan pintu.
Ketika itu ada tanggal limabelas bulan duabelas,
mendekati tahun baru. Tepat sehabisnya Tay Po dan isteri dahar, rombongannya Sun Ceng Lee telah datang seperti
biasa. Siang Moay dan suaminya sambut semua sahabat itu, kemudian
seorang diri ia duduk terpekur atas pembaringannya.
"Jangan kau berduka," kata Tay Po, ketika ia masuk ke kamar dan menghampirkan isterinya itu. Ia bicara dengan
suara perlahan. "Lagi beberapa hari, Sun Ceng Lee dan kawan-kawannya tak akan datang pula kemari, nanti kita
belanja untuk keperluan tahun baru. Sehabisnya Goansiauw, kita mulai bekerja pula, akan mencari daya
upaya. Aku percaya, itu waktu nona Jie Siu Lian tentu
sudah dalang kemari. Isengkah kau" Pergilah pada Lok
thaythay, akan pasang omong ..."
"Mereka itu sudah biasa pegang aturan dari kalangan atas. Kita menikah dengan tak pakai orang perantaraan,
mereka mana pandang mata pada kita" Lebih baik aku pergi pada Lie Jie-so."
"Pergilah," kata sang suami. "Sekarang masih siang, pintu aku akan kunci."
Siang Moay berbangkit, ia geser lampu dan berkaca
untuk rapikan rambutnya, setelah mana ia lalu keluar dari rumahnya. Selagi melewat kamar selatan, ia dengar suara
nyaring dan kaku dari Sun Ceng Lee yang mengancam
kawannya akan jangan main curang ...
Lie Jie-so tinggal berdua dengan suaminya, karena
mereka tak punya anak. Lie Jie kerja di Pweelek-hu juga, ia pulang setiap jam dua. Bukan baru ini kali Siang Moay
datang pada tetangga itu, maka itu Lie Jie-so tahu yang
Siang Moay sedang urus perkara pedangnya pweelek-ya,
bahwa pada itu ada tersangkut si pencuri yang disebut
Pekgan Holie. Dalam percakapan Lie Jie-so menuturkan,
menurut engko-nya yang bekerja sebagai bujang dapur
dalam gedungnya Lou sielong di Sayshia, bahwa Lou
siauwya, satu cinsu, bakal menikah pada Giok sam-siocia.
"Hanya sayang," kata Lie Jie-so terlebih jauh, "meskipun Lou siauwya ada muda dan pintar, ia beroman sangat tolol, tubuhnya jangkung dan gemuk sekali, hingga sikap
dedaknya mirip dengan patung malaikat di dalam bio,
sedikit pun ia tak punya sifat yang menarik hati. Giok sam-siocia sebaliknya ada cantik luar biasa. Katanya si nona tak setuju, akan tetapi perjodohan sudah ditetapkan, habis
tahun baru ini mereka akan menikah ... "
Siang Moay ketarik kapan ia dengar disebutnya nama
Giok sam-siocia.
"Dialah yang larang aku masuk ke dalam gedungnya. Ia
akan menikah dengan suami tolol! Hm, biarlah ia terluka
hatinya, seumur hidupnya! ... " pikir ia.
Itu waktu ada datang satu tetangga lain, maka bertiga
mereka lantas keluarkan kartu, akan lewatkan tempo sambil main bohong dan mengobrol. Dengan begitu, dengan tak
diketahui, Lie Jie telah pulang. Dan itu waktu ternyata
sudah jam tiga.
"Jie-so, sampai besok!" kala Siang Moay, yang
berbangkit dan pamitan.
Lie Jie-so mengantar sampai di depan pintu.
"Baik-baik di jalan," ia memesan.
"Silahkan masuk, Jie-so!" kata Siang Moay sambil tertawa, sedang tindakannya ia lantas pergancangkan.
Langit ada guram, karena sang Puteri Malam ketutupan
awan. Hoawan Taywan ada satu tempat luas dengan sedikit
ramah. Lie Jie dan Tek Lok ada bertetangga tapi
terpisahnya rumah mereka ada puluhan tindak. Di saat
Siang Moay mendekati pintu rumahnya, tiba-tiba ia lihat
satu bayangan orang berkelebat melesat ke bagian belakang rumahnya. Bayangan itu tinggi dan besar. Tidak membuan
tempo lagi ia lari ke depan pintu, dari mana ia enjot
tubuhnya naik ke atas tembok dan terus loncat turun ke
sebelah dalam. "Ada penjahat!" berteriak satu orang bertubuh besar, yang loncat keluar sambil terus membacok.
"Sun toako, inilah aku!" berteriak nona Coa, yang kenalkan Ngojiauw-eng.
Selagi Sun Ceng Lee tahan goloknya, Lauw Tay Po
memburu keluar.
"Eh, kenapa kau tidak ketok pintu?" tanya sang suami.
"Kenapa kau masuk dengan meloncat tembok?"
"Aku lihat satu bayangan melesat ke belakang ... " sahut Siang Moay.
"Apa" Bayangan" Bagus!" berseru Sun Ceng Lee dengan nyerocos. Dan ia terus loncat naik ke atas genteng di mana ia pasang mata keempat penjuru.
"Toako, mari turun," Tay Po memanggil. "Barangkali bayangan itu bukannya penjahat ... "
Suara berisik di luar membikin Sie Pat beramai lempar
dadu dan sambar senjata akan turut keluar. Itu waktu Ceng
Lee telah loncat turun keluar pekarangan di mana sia-sia ia mencari bayangan orang, hingga ia menggerutu.
"Pekgan Holie! Bangsat perempuan! Hayo kau keluar
ketemui Ngojiauw-eng!"
ia lalu mendamprat dan menantang. Suara galak itu baru saja habis diucapkan ketika satu
senjata datang menyambar, atas mana piauwsu itu berkelit seraya putar goloknya menangkis.
Kedua senjata beradu dengan keras. Menyusul itu, si
penjahat dari samping terus menyerang ke arah kakinya
Sun Ceng Lee. Sambil meloncat Sun Ceng Lee balas membacok, lagi-
lagi kedua senjata bentrok pula.
Tatkala itu Tay Po dan kawan-kawannya muncul di
pintu pekarangan. Melihat orang banyak, bayangan itu
menyingkir. Sun Ceng Lee lantas memburu. Sekarang ia bisa lihat
nyata, penjahat itu ada seorang perempuan dengan tubuh
jangkung dan besar, lehernya dililit sabuk lebar, yang
sampai menutupi muka.
Lari belum jauh, penjahat itu berhenti dan putar tubuh.
Ngojiauw-eng dapat menyandak, keduanya jadi bertempur pula.
Tay Po dan kawan-kawannya datang menyusul dan
mengurung, mereka menyerang sambil berteriak: "Tangkap!
Tangkap!" Pekgan Holie, demikian orang yang dikepung itu, bikin
perlawanan dengan gagah. Ia loncat ke kiri dan kanan, akan menyingkir dari sesuatu serangan yang berbahaya, di lain


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihak goloknya sendiri pun balas membacok dan menikam,
atau ia putar senjatanya itu menyapu semua serangan.
"Aku tidak bermusuh sama siapa juga!" ia berseru. "Aku hanya inginkan jiwanya Itto Lianhoa!"
Lauw Tay Po jawab itu dengan serangannya yang hebat,
"Saudara-saudara, bekerjalah keras sedikit!" ia berseru.
"Rase ini tak boleh dikasih lolos!"
Lima batang golok dan sepasang tombak telah kepung si
"rase" itu, siapa ternyata ada sangat licin dan kosen, karena selalu ia bisa luputkan diri dari ancaman bahaya.
Sebaliknya, sesudah bertempur sekian lama, ia telah
berhasil merubuhkan tiga lawan, hingga selanjutnya ia
tinggal hadapi Sun Ceng Lee, Lauw Tay Po dan Coa Siang
Moay. Kapan mereka sudah bertarung lagi lima atau enam
jurus, tiba-tiba Pekgan Holie balik badannya dan loncat
akan terus kabur.
Sun Ceng Lee penasaran, ia mengejar.
Lauw Tay Po pungut batu, dengan itu ia menimpuk,
tetapi musuhnya ada sangat gesit dan mendahului lari ke
tembok di mana ia melenyapkan diri.
Sun Ceng Lee memaki kalang kabutan.
Tay Po dan Siang Moay menyusul tetapi karena musuh
sudah tidak ada, mereka ajak Ngojiauw-eng kembali.
Orang-orang yang terluka sudah kumpul di pekarangan
dalam. Nio Cit terluka bahu kiri, darah mengalir dari
tempat lukanya, ia rebah dengan mata terpejam dan
merintih. Lie Seng dan Pheng Kiu tidak terluka, cuma
rubuh waktu berkelit bahna kagetnya. Sie Pat dan Toh
Tauw Eng tidak sampai turun tangan.
Sun Ceng Lee naik ke atas genteng, akan memeriksa
pula. Tay Po pergi ambil obat luka buat obati Nio Cit, setelah mana ia menoleh pada Toh Tauw Eng dan kata: "Pergi kau laporkan kejadian ini pada pembesar negeri dan minta
koanjin datang kemari! Apakah mereka mau tunggu sampai
ada yang mampus baru mau bekerja" Itu waktu tentu sudah
kasep ..."
Tetapi si Garuda Botak geleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak bisa pergi!" ia menolak. "Aku mesti pertahankan batok kepalaku sampai tahun baru untuk
dibawa-bawa di waktu pergi memberi selamat! ... "
Siang Moay jadi sebal dan mendongkol.
"Nanti aku yang pergi!" ia berkata.
"Daripada kau terlebih baik aku yang pergi," kata Tay Po, yang cegah isterinya.
Itu ketika Ceng Lee telah kembali.
"Ada apa?" tanya si sembrono ini.
"Perkara ini mesti dilaporkan pada pembesar negeri,"
Tay Po terangkan.
"Umpama Nio Cit binasa, perkara berubah menjadi
perkara jiwa. Mereka ini takut pergi ke jalan besar, terpaksa aku mesti pergi sendiri untuk melaporkan..."
"Bila demikian, kasihlah aku yang pergi," Ceng Lee kata.
"Kau mesti jaga rumah!"
Benar-benar Ceng Lee bertindak keluar. Ia tidak buka
pintu hanya ia keluar dengan meloncat tembok pekarangan.
Tay Po merasa tidak aman, ia turut pergi keluar, akan
segera dengar caciannya Sun Ceng Lee: "Bangsat
perempuan! ... "
"Celaka!" berseru Tay Po, yang lantas loncat naik ke tembok. Tapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari
sebelah luar seorang telah mendahului loncat naik, hingga ia jatuh terbalik sambil menjerit.
Itu adalah si penjahat yang terus loncat turun ke dalam
akan susul Itto Lianhoa, terhadap siapa ia ayun goloknya.
"Adalah jiwamu yang aku kehendaki!" penjahat itu berseru.
Dengan bergulingan Tay Po kelit bacokan, kemudian ia
balas menyabat kaki musuh, atas mana penjahat itu
apungkan tubuh, tetapi di waktu kakinya menginjak tanah
pula, dengan goloknya ia menyerang lagi, hingga Itto
Lianhoa kembali mesti bergulingan pula. Meski demikian,
penjahat itu merangsek.
Sekonyong-konyong sebuah piauw melayang mengenai
punggungnya si penjahat, yang berseru dan mengutuk. Di
saat itu muncul Siang Moay dengan tombaknya, yang
menjuju musuh. Pekgan Holie tangkis tombak itu.
Dengan tetap bergulingan, Tay Po berbalik maju
bersama sabatan goloknya pada kaki musuh.
Dengan menahan sakit, penjahat itu loncat menghindarkan diri, kemudian sambil putar goloknya ia
terus lari. "Tangkap! Tangkap penjahat!" begitu terdengar teriakan berulang-ulang dari sebelah dalam.
Toh Tauw Eng sambar gembrengnya Siang Moay dan ia
palu sekeras-kerasnya menambahkan suara berisik.
Sun Ceng Lee yang telah terluka, masih bisa merayap
naik di tembok akan coba hampirkan musuh, guna
menyerang terlebih jauh.
Pekgan Holie loncat naik ke atas genteng.
"Uber padanya!" berteriak Ceng Lee, yang kini tidak mampu lagi loncat naik ke atas genteng.
Lauw Tay Po tidak berani loncat ke tembok.
Siang Moay uber musuh dengan sebatang piauw-nya,
kali ini penjahat itu bisa sampok piauw itu hingga jatuh ke tanah, kemudian ia naik ke genteng belakang dari mana ia perdengarkan tertawa mengejek serta ancamannya: "Lauw Tay Po, hari ini aku kasih ampun padamu! Lain kali,
apabila kau berani menghina pula padaku, aku nanti ... "
"Bangsat perempuan, turunlah kau!" Tay Po memotong dengan tantangannya. "Tidak pakai kau mengancam! Aku nanti adu jiwaku! ... "
Tay Po tidak bisa berkata terus, ia mesti loncat berkelit, karena selembar genteng telah menyambar kepadanya.
Sun Ceng Lee ada begitu mendongkol dan gusar, hingga
ia berteriak-teriak dengan caciannya.
Lie Seng, Pheng Kiu dan Sie Pat muncul dengan senjata
di tangan, tetapi mereka tidak maju lebih jauh.
Siang Moay rampas goloknya Lie Seng, dengan bawa
itu, ia loncat naik ke atas genteng.
Melihat demikian, Tay Po segera menyusul. Tetapi si
penjahat sudah menghilang.
Di bawah tembok Sun Ceng Lee masih memaki kalang
kabutan. Dengan terpaksa, mendongkol dan masgul, Tay
Po dan isterinya loncat turun.
Di dalam rumah, Toh Tauw Eng masih saja memalu
gembrengnya. "Sudah, sudah, jangan memukul gembreng!" Tay Po mencegah. Tapi suara gembreng masih teras berbunyi. Tay
Po masuk ke dalam di mana ia lihat si Garuda Botak
mengumpat di kolong meja sambil memukul gembreng.
"Sudah!" berseru Tay Po seraya mendupak.
"Apa penjahat sudah kabur?" tanya Toh Tauw Eng seraya merayap keluar dari kolong meja.
Tay Po tidak menjawab, karena ia lantas menoleh dan
lihat Siang Moay dan Lie Seng pepayang Sun Ceng Lee. Ia
ini masih saja mencaci kalang kabutan, pinggangnya basah dengan darah, karena ia terluka belakangnya, lukanya tidak besar tapi darah mengucur banyak. Ia direbahkan di
pembaringan. Semua orang tertampak sangat berduka.
"Piauw-ku mesti mengenai si penjahat, jikalau tidak, tidak nanti ia kabur," kata Siang Moay.
"Sebatang piauw tak bisa membikin ia mampus," kata Tay Po, "lewat beberapa hari ia tentu akan datang pula mencari kita. Kita harus berdaya lebih jauh."
"Besok aku nanti majukan pengaduan pada pemerintah
agung," kata Ceng Lee dengan sengit, "aku hendak dakwa Giok teetok ada sembunyikan penjahat di gedungnya! ... "
Tay Po geleng kepala, ia menghela napas.
"Bukti tidak ada, romannya penjahat pun tidak
dikenalinya, bagaimana kita bisa ajukan pengaduan"
Jikalau kita ajukan dakwaan secara sembrono, kita sendiri bisa dapat susah ... " ia samperi Ceng Lee di pembaringan tanah. "Sun toako, bagaimana kau rasakan lukamu?" ia tanya.
"Tidak berarti!" sahut Ceng Lee, tetapi ia toh kertak gigi dan keringat di jidatnya mengetes sebesar kacang kedele.
"Tolong ambilkan obat luka! Sebentar malam kita mesti menjaga pula datangnya penjahat!"
Ketika itu, Nio Cit merintih semakin hebat.
Siang Moay dan Tay Po repot mengobati dua orang yang
luka itu. Tidak lama datang Tek Lok, yang menanyakan
bagaimana hasilnya pengepungan penjahat. Tapi ketika Tay Po berikan keterangannya, ia ketakutan berbareng tidak
senang. "Pengaduan mesti dimajukan!" ia kata.
"Tadi pun kita memikir demikian!" kala Tay Po. "Tetapi sekarang kita batalkan itu! Apakah gunanya pengaduan"
Penjahat toh sembunyi di gedungnya Giok teetok! Aku tak
percaya yang Giok-tayjin tidak ketahui hal ini! ... Siapa tahu bahwa Pekgan Holie adalah Isterinya ... "
"Ah, kau jangan ngaco!" Tek Lok menegur. "Giok hujin ada gadisnya satu haksu!"
"Gadisnya satu haksu" Apakah itu menjadi tanggungan?"
Tek Lok bengong sampai sekian lama, kemudian ia lari
ke dalam rumahnya di mana orang-orang perempuan ada
dalam ketakutan. Mereka semua tak bisa tidur lagi.
Kapan kemudian sang pagi datang, Tay Po pergi mencari
kereta keledai dua buah, untuk angkut Nio Cit dan Ceng
Lee pulang ke masing-masing piauwtiam-nya, Lie Seng
bertiga yang diminta mengantarkannya.
Toh Tauw Eng turut berlalu.
Tay Po ada sangat mendongkol dan masgul, tapi toh ia
bisa tidur karena lelah dan ngantuk. Satu hari itu ia tidak pergi ke mana-mana.
Sorenya, Yo Kian Tong datang, Sie Pa, Pheng Kiu dan
Lie Seng, begitupun Toh Tauw Eng, tidak muncul lagi.
Kedatangan jago tua ini membikin hatinya Tay Po
menjadi besar pula, karena ia tahu Sinchio ada terlebih
gagah daripada Sun Ceng Lee. Tetapi malam itu lewat
dengan tenteram.
"Tentu lukanya bekas piauw tidak enteng," pikir Tay Po.
Setelah Yo Kian Tong pulang, Tay Po cari Toh Tauw
Eng buat perintah si Garuda Botak pergi menyelidiki siapa yang terluka atau sakit di gedungnya Giok teetok.
Sampai sore barulah Toh Tauw Eng pulang dengan tak
peroleh hasil. Ia kata penjagaan di gedung Giok teetok ada keras sekali, tidak ada orang yang boleh keluar atau masuk.
"Biarlah piauw itu bikin ia mampus!" Tay Po mengutuk, bahna mendongkol
Sejak itu, sampai lewat tujuh hari penjahat tidak lagi
datang mengganggu.
Sesudah menjaga sia-sia beberapa hari, Yo Kian Tong
jadi malas buat datang terus-terusan.
Hari tahun baru mendatangi semakin dekat dan semua
orang sudah repot betul belanja dan siap akan sambut hari yang penuh kegembiraan itu.
Melainkan Tay Po, yang tak pernah bergirang, setiap
malam ia masih repot menjaga diri. Ketika Siang Moay
suruh ia belanja, ia geleng kepala dan menyahut: "Buat apa"
Kenapa mesti repot tak keruan" Kita toh akan turut
merayakan tahun bani meski tidak seperti lain-lain orang ...
" Pada tanggal duapuluh tiga, Tay Po pun tidak
sembahyangi malaikat dapur.
Malamnya, Siang Moay ada berduka sekali mendengar
bunyinya petasan. Maka itu, setelah nyalakan api dan
rapikan pembaringannya, ia lalu naik dan meringkuk sambil tutupi diri dengan selimut!
Tay Po kunci pintu, dengan terus cekal goloknya ia
duduk di kepala pembaringan.
"Kau mirip anak kecil," ia kata pada isterinya sambil menghela napas. Ia mesti saban-saban membujuki isteri itu.
"Pikir saja, aku mana mempunyai kegembiraan akan
rayakan tahun baru ini" Tadinya aku ada jumawa dan
agulkan kepandaianku, maksudku datang ke Pakkhia
adalah untuk temui Lie Bouw Pek yang namanya sangat
tersohor, tetapi sekarang, aku dipermainkan oleh satu
Pekgan Holie serta seekor rase cilik ... Sekarang, melihat orang aku jadi malu sendirinya. Bagaimana aku bisa turut bersuka ria?"
"Bila demikian, marilah kita serbu gedungnya teetok!"
mengajak Siang Moay.
Tay Po menghela napas.
"Tindakan itu tak ada faedahnya," ia berkata. "Kita belum mengenali Pekgan Holie dan muridnya, walau
berhadapan dengan mereka, kita tak dapat menuduhnya!
Sebaliknya kita bisa didakwa membikin kacau rumahnya
orang dengan membawa-bawa golok. Di sebelah itu justru
Giok-tayjin sendiri sedang membenci kita! ... "
Siang Moay bersenyum tawar.
"Habis bagaimana sekarang?" ia kata. "Keluar tidak, bertahun baru pun tidak! Sampai pun toapekong dapur tak
disembahyangi! Apakah dengan keadaan kita seperti ini
bisa dianggap telah berumah tangga?"
Air matanya isteri itu lantas meleleh dan mengalir.
Tay Po sekai air mata isterinya.
"Jangan kau bersusah hati," ia membujuki pula, "jangan kau tak tahan sabar ... Bila kita sudah bekuk Pekgan Holie dan rampas pulang pedang curiannya, nah, itu waktu kita
nanti berselamat tahun baru setiap hari! Setiap hari kita nanti makan enak! ... "
Siang Moay jebikan bibirnya.
"Jangan kau ngelindur!" ia berkata. "Cara bagaimana kau mampu bekuk Pekgan Holie" Bagaimana kau masih
mengharap akan rampas pulang pedang mustika itu"
Jangan kau mimpi!"
"Ah, lacur betul!" Tay Po menghela napas. "Kalau isteri sendiri sampai tak pandang mata padaku, apakah aku
masih dapat disebut Itto Lianhoa, satu enghiong" Baiklah, kalau kau mengatakan demikian. Tunggu nanti, apabila
penjahat datang pula, kau tidak usah turun tangan, kau lihat dengan sendirian aku layani padanya! ... "
Ketika itu tiba-tiba gelang pintu di luar berbunyi nyaring, hingga keduanya kaget, terutama Tay Po.
"Dengar!" kata Siang Moay, yang berbangkit seraya tolak suaminya.
Sambil bersenyum ewah, Tay Po berbangkit, goloknya
tercekal keras. Ia hampirkan pintu yang ia segera buka, dan bertindak keluar dengan gagah.
"Siapa?" ia tanya.
Siang Moay pun berbangkit, ia segera pakai sepatunya,
setelah singsatkan pakaiannya, ia ambil goloknya dan
piauw. Ketika ia hendak memburu keluar, ia dengar
suaranya Yo Kian Tong, begitupun suara suaminya yang
sedang mempersilahkan orang masuk ke dalam rumahnya.
Karena ini, ia lepaskan pula goloknya, ia lalu nyalakan
lampu. Ia lihat seoang perempuan bertindak masuk, rambutnya
yang bagus dibikinkan kuncir, menyatakan tetamu ini ada
satu nona yang belum menikah, umurnya kira-kira
duapuluh empat tahun, tubuhnya tidak tinggi dan tidak
kate, potongannya langsing, matanya bersinar. Nona ini
berkeredong mantel, yang bahannya tak terlalu indah.
Di belakangnya si nona mengiring Yo Kian Tong dan
Lauw Tay Po. Sesampainya di dalam Tay Po segera kata
pada isterinya: "Mari, mari berkenalan! Inilah Jie toacie-mu!"
Siang Moay tidak tahu siapa adanya encie she Jie ini,
tetapi ia lekas-lekas maju akan unjuk hormat, dan si Jie toacie itu membalasnya sambil bersenyum.
"Silahkan duduk," Tay Po mempersilahkan, dengan sikapnya yang sangat menghormat. Kemudian ia repot
tambahkan api di perapian dan minta isterinya menyuguhkan teh.
Dengan tetap masih heran, Siang Moay pergi tuang teh.
Ia lihat nona itu ambil kursi dengan takseejie lagi. Tatkala
ia menyuguhkan teh, dengan manis nona itu kata: "Jangan berabe, terima kasih!" suaranya halus.
Kemudian, sambil berdiri di sisi meja, diam-diam nona
Coa mencuri perhatikan nona tetamunya ini, muka siapa
tidak putih, kupingnya tak pakai anting-anting dan
sepatunya ada sepatu hitam.
Yo Kian Tong duduk berhadap-hadapan si nona, yang
toapan itu.

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus!" ia kata sambil tertawa. "Sekarang aku mengharap benar Pekgan Holie dan muridnya nanti datang,
agar mereka ketemu batunya!"
"Itulah tak usah disebut lagi!" Tay Po turut berkata. "Jika Pekgan Holie datang, pasti ia tak akan mampu kabur lagi!
Siapakah yang tak ketahui nona Jie dari Kielok, yang
dengan piauw telah binasakan Biauw Cin San dan telah
pecundangi Thio Giok Kin juga" Sedang selama tiga tahun
ini, nona juga telah pahamkan Tiamhiat hoat!"
Baru sekarang Coa Siang Moay terperanjat. Ia tak
pernah sangka bahwa tetamunya ini adalah nona Jie Siu
Lian yang namanya sangat tersohor. Tapi ia segera tertawa.
"Jie toacie," ia berkata, "pada dua tahun yang berselang, selagi berada di Kamsiok, aku pernah dengar namamu, itu
waktu aku berkeinginan sangat akan bertemu dengan kau.
Toat jie, apakah kau baru saja datang?"
"Baru tadi lohor aku sampai di sini," sahut Siu Lian, demikian nona tetamu itu sambil bersenyum manis.
"Kedatanganku kemari terutama untuk menyambangi Tek ngoko dan ngoso. Kedua putera mereka adalah murid-muridku, sedang nona mantunya, Yo Lee Hong, memang
aku telah kenal lama. Aku hanya berniat tinggal dua hari di sini, lantas aku hendak pulang ke kampungku guna
lewatkan hari tahun baru di sana, tetapi dari Tek ngoko aku dengar halnya Pekgan Holie, bahwa kau telah diperhinakan olehnya. Kejadian itu membikin aku tidak senang. Cara
bagaimana di kota raja bisa diantap penjahat malang
melintang" Begitulah aku perintah orang undang Yo toako
datang padaku, setelah mana aku minta Yo toako antar aku kemari. Kau jangan kuatir, bila sebentar penjahat itu
datang, aku akan bikin mereka tak bisa lolos dengan masih bernyawa ... "
Kalau tadinya ia bicara dengan halus dan sabar, ucapan
terakhir ini ia keluarkan dengan keras, dan romannya pun turut menjadi keren.
Bukan main girangnya Tay Po, yang toh tetap berlaku
hormat. Ia menuturkan peranannya si penjahat, Pekgan
Holie, yang ada sangat maui jiwanya itu.
Selama mendengar keterangan itu, Siu Lian tidak
mengunjukkan keheranannya.
"Umpama sebentar malam ia tidak datang mengganggu,
besok kau mesti berdaya akan pancing padanya agar ia
datang kemari, aku ada punya daya akan menghadapinya.
Seperti aku sudah katakan, aku tidak mau berdiam lama di Pakkhia ini, aku tidak mau orang luar ketahui aku datang kemari, maka kau mesti jaga akan tidak omong apa-apa di
luaran perihal aku."
Tay Po manggut berulang-ulang.
"Aku akan jaga itu, nona," ia kata. "Umpama aku siarkan perihal kedatanganmu ini, bahwa kau hendak
membantu aku, usaha kita pun bisa gagal. Dengan
mendengar hal kedatanganmu, Pekgan Holie dan muridnya
bisa kabur jauh, hingga pedang mustika itu sukar untuk
didapat pulang!"
Sampai di situ, Yo Kian Tong ajak Lauw Tay Po pergi
ke kamar selatan, hingga di kamar itu tinggal Siu Lian
bersama nyonya rumah. Siang Moay pun sudah lantas
rapikan pembaringannya untuk dipakai bersama tetamunya.
Siu Lian berbangkit, untuk loloskan mantelnya. Ia pakai
baju dan celana hijau, yang sepan dan pendek, hingga
kelihatan tubuhnya yang langsing. Hawa sebenarnya dingin tetapi nona ini tampaknya tak menghiraukan itu. Di
pinggangnya, yang terlibat angkin sutera hijau, ada
tergantung sepasang goloknya yang diikatkan pita sutera
hijau juga, yang panjang.
"Apakah ini ada senjata pemakaian toacie?" ia tanya seraya menghampirikan dan pegang-pegang gagang golok
itu. Ia bicara sambil tertawa.
Siu Lian manggut dengan perlahan.
Siang Moay angkat golok itu, waktu ia coba hunus, baru
saja separuh, ia telah lihat cahayanya yang berkilauan, ia seperti rasakan hawa dingin menghembus padanya.
"Entah berapa banyak penjahat sudah binasa di ujung golok ini ... " ia berpikir. Tapi ia lantas memuji: "Sungguh sepasang golok yang bagus!" ia telah unjuk kekagumannya yang ia tidak mampu umpatkan. Kemudian ia tanya: "Ada seorang yang bernama Lie Bouw Pek, ia itu toacie punya
apa?" "Ia adalah inheng-ku," sahut Siu Lian, dengan
sewajarnya. "Baiknya aku tak menanya sembarangan ... " pikir Siang Moay, yang hatinya jeri, sebab ia hampir-hampir keliru.
Siu Lian tarik tangannya Siang Moay sembari
mengawasi, ia tertawa.
"Aku dengar kau ada punya bugee tinggi," ia kata. "Kau pandai mainkan piauw dan pandai jalan di atas tambang ...
" Mukanya nona Coa menjadi merah.
"Harap toacie jangan sebut-sebut tentang bugee, aku malu ... Toacie fahamkan bugee dari Butong Pay asli dan
apa yang aku yakinkan adalah bugee dari kalangan
kangouw biasa ... "
"Ah, jangan kau sangat merendahkan diri," kata Siu Lian, seraya tepuk-tepuk bahunya Siang Moay. Ia
bersenyum. Siang Moay pun bersenyum.
"Ketika dahulu aku dengar nama besarmu, toacie," ia kata, "aku menyangka kau ada seorang berbadan tinggi dan besar, bermuka hitam, bengis sebagai Ngojiauw-eng Sun
toako, tetapi sekarang, melihat kau, aku telah menduga
keliru." Sambil mengawasi nyonya rumah, Siu Lian hanya
bersenyum. "Dalam keluarga Giok juga ada satu nona, yang cantik sekali," Siang Moay berkata pula. "Aku sudah berdaya buat dapat masuk ke dalam gedungnya si nona meski dengan
menjadi budaknya, supaya aku bisa selidiki si penjahat
sembunyi di sana sebagai apa, sayang aku tak berhasil ...
Nona itu ada bersahabat kekal dengan toa-naynay dan
siauw-naynay dari keluarga Tek, mereka saling datang
berkunjung, maka satu waktu, di rumahnya keluarga Tek,
toacie pasti akan bisa lihat padanya. Ia ada begitu elok, hingga aku suka sekali padanya."
"Nona-nona dari keluarga berharta memang biasanya
sangat cantik," ia bilang. "Satu siocia mesti selamanya
punya budak-budak yang melayani, jikalau satu siocia kalah cantik daripada budaknya, bukankah ia akan jadi buah
tertawaan orang" Kau pun cantik. Sebaliknya aku tak dapat dibandingkan dengan kau. Sejak umur enambelas tahun,
aku sudah terumbang-ambing di kalangan Sungai Telaga,
selama ini sudah berjalan enam atau tujuh tahun. Ke mana saja aku pergi, aku biasa bersendirian. Dari sini pun aku dapat pengalaman bahwa merantau sendirian ada sangat
sulit, sampai mondok di rumah penginapan pun ada sukar.
Aku menyesal yang aku terlahir dan menjelma sebagai
seorang perempuan ... "
Dari suaranya, nona ini ada menyesal dan berduka,
tetapi pada wajahnya tidak sedikit pun mengunjukkan
penyesalan. Demikian berdua mereka bercakap-cakap sebagai
sahabat-sahabat lama saja, hingga mereka tak merasa sang waktu telah lewat dan lewat terus.
Di ruangan sebelah selatan, sinar api pun masih
tertampak, suatu tanda Tay Po dan Yo Kian Tong pun
asyik bicara satu pada lain.
Begitulah satu malam dilewatkan dengan tak terjadi apa-
apa. Yo Kian Tong lantas pulang ke piauwtiam-nya, dan
Siu Lian, dengan naik kereta yang Tay Po carikan, pulang ke Tong Su Paylauw, ke rumahnya Tek Siauw Hong di
Samtiauw Hotong.
Siang Moay merasa lega hatinya, ia terus tidur. Tapi Tay Po pergi ke Seetay Wan akan cari Toh Tauw Eng. Kalau
selama beberapa hari ia ada lesu sebagai bunga teratai yang layu, sekali ini ia unjuk kegembiraan istimewa.
"Eh, Lauw Toh, ada kabar apa?" demikian ia menegur lebih dahulu begitu ia lihat sahabatnya itu.
"Tidak apa-apa," sahut si Garuda Botak seraya geleng kepala. "Kemarin, sehabisnya sembahyang aku telah pergi ke Kouwlauw barat di mana aku berputar-putaran, tetapi
aku lihat gedungnya Giok-tayjin tetap ditutup rapat-rapat, hingga aku tidak dengar sekalipun suara cecowetannya rase-rase. Menurut dugaanku jangan-jangan kau keliru ... Rase punya sarangnya sendiri, pasti sarang itu bukannya di
dalam gedung Giok-tayjin ... "
Tay Po mainkan bibirnya, ia tertawa.
"Kau boleh percaya aku, Itto Lianhoa Lauw Tay Po pasti akan berhasil," ia kata dengan perlahan. "Dalam tempo satu dua hari ini, aku tanggung si rase bakal tertawan dan
pedang yang terhilang didapat pulang!"
Toh Tauw Eng mengawasi, agaknya ia kurang percaya.
"Aku bukannya mengebul, eh!" Tay Po bilang, dengan kepastian. "Aku sekarang telah tambah bahu dan lengan!
Ada orang yang akan bantu aku!"
"Siapa bantu kau" Apakah ia ada seorang yang
kenamaan?" si Garuda Botak tanya.
"Tentu saja!" sahut Tay Po dengan bangga. "Ia adalah encie dari isteriku!"
Kembali kawan itu tertawa. Agaknya ia masih bersangsi.
"Encie-nya isterimu cuma bisa bantui isterimu menjahit sepatu!..." ia kata dengan ejekan main-main.
"Kau percaya atau tidak, itu ada urusanmu!" kata Tay Po. "Sekarang mari kau ikut aku ke rumahku, ada urusan buat mana aku hendak minta bantuanmu."
"Urusan apakah itu ?"
"Kau baik jangan tanya-tanya!"
Tay Po sambar dan tarik tangannya sahabat itu buat
diajak ke rumahnya. Di sini mereka masuk di kamar utara.
Siang Moay masih tidur.
Setelah kunci pintu, Tay Po pergi ke selatan.
"Tunggu sebentar," ia kata pada sahabatnya itu. Ia masuk ke dalam dan batuk-batuk.
"Apakah Tek toako sudah bangun?" ia tanya.
Tek Lok ketika itu sedang gosok gigi, ia dengar suaranya Tay Po.
"Silahkan masuk!" ia mengundang seraya buka pintu.
Tay Po lihat tuan rumah itu ada sabar sekali.
"Tidak usah," ia kata. "Aku mau minta pinjam kertas dan perabot tulis. Aku tidak punya uang hingga aku mesti tulis surat untuk pinjam uang ... "
Tek Lok berikan kertas, pit, bak dan bakhie.
Tay Po menyambuti, buat terus berlalu.
"Tunggu dulu!" Tek Lok memanggil. Dan ketika orang
menoleh, ia teruskan: "Kau tahu tidak yang Jie Siu Lian sudah datang?"
"Aku tidak tahu," Itto Lianhoa berpura-pura, seraya gelengkan kepala.
"Aku dengar hal ini kemarin, dari orang dari keluarga Tek," Tek Lok berkata pula. "Nona Jie gemar campur urusan lain orang," ia berkata pula, "ia suka belai hal-hal yang tak semestinya, maka itu cobalah kau pergi pada Tek Siauw Hong, akan cari nona itu, untuk minta bantuannya."
"Lok toako, kau sangat tak lihat mata padaku!" kata Tay Po, yang masih terus berpura-pura. "Aku telah terbitkan gara-gara dengan itu pencuri, sudah aku tidak berdaya buat
bekuk padanya, bagaimana aku bisa pergi pada seorang
perempuan untuk mohon bantuannya" Sungguh lacur ... "
Lantas ia jalan terus, pulang ke kamarnya, ia taruh
bakhie, pit dan bak serta kertas itu di atas meja. Kemudian ia betot Toh Tauw Eng seraya berkata: "Tolong kau
bikinkan aku sebuah gambar. Aku ingin kau lukiskan
seorang perempuan tua dengan sepasang kaki kecil, dengan di belakangnya ada ekornya rase ... "
"Mana aku bisa melukis gambar?" kata Toh Tauw Eng, yang tak mengerti maksud orang. "Buat lukiskan
cecongornya satu manusia hina, barangkali aku bisa ... Buat menggambar seorang perempuan, inilah sukar ... "
"Jikalau kau tidak mau," Tay Po mengancam, tangannya ia angkat di kepalanya itu sahabat, "awas, aku nanti hajar padamu! Hayo, lukiskanlah! Bikin gambar sembarangan
saja, seperti potongannya isteriku, lantas kau tambahkan buntut!"
Toh Tauw Eng tak berdaya, dengan separuh geli di hati
dan separuh mendongkol, ia coba juga bikin gambarnya
seorang perempuan, untuk ini, ia mesti pakai banyak
tempo. Ia lukiskan satu nyonya tua dengan kepala gede,
sepasang kaki pendek. Mata dan hidung ia totol saja,
begitupun mulutnya. Adalah Tay Po sendiri yang mesti
tambahkan buntutnya, buntut mirip sesapu. Di sebelah itu lantas dilukiskan romannya satu anak rase, tapi lukisan
yang jelek dan tak keruan itu bikin binatang itu menjadi rase bukan dan kucing pun bukan. Lantas, di pinggiran,
dengan pegangi tangannya Toh Tauw Eng, Tay Po menulis
delapan huruf yang berarti: "Kematiannya Pekgan Holie ada didepan mata."
"Bagus!" akhirnya kata Itto Lianhoa. "Aku telah bikin kau banyak capai!"
Toh Tauw Eng ketawa sendirinya kapan ia awasi
lukisannya itu.
"Lauwko, kau sebenarnya hendak berbuat apa?" ia tanya.
"Jangan kau banyak tanya!" jawab Tay Po, yang tetap masih mau pegang rahasia. "Tunggu tiga hari, aku akan tangkap rase supaya dagingnya bisa dibikinkan bahpauw
untuk kau dahar! Kulitnya rase pun aku nanti kasihkan
padamu untuk dibikinkan kopiah isterimu! Itu waktu, aku
nanti bikin kau juga pentang matamu buat lihat bagaimana macamnya pedang mustika yang bisa bikin putus besi dan
baja!" Habis berkata begitu, dengan tak sungkan-sungkan lagi,
ia tolak Toh Tauw Eng keluar.
Dan Toh Tauw Eng ngeloyor pergi dengan tak mengerti
... Lantas Tay Po naik ke pembaringannya buat tidur.
Sorenya sesudah bangun dari tidurnya, ia lihat nona Jie Siu Lian datang yang ia sambut dengan manis.
"Mari kasihkan aku sebatang piauw," Tay Po minta pada isterinya.
Siang Moay luluskan permintaan suaminya.
Piauw itu Tay Po bungkus dengan rapi dengan gambar
lukisan si perempuan tua yang berbuntut rase, setelah ia beritahukan maksudnya
pada Siu Lian, ia bawa bungkusannya itu keluar. Ia berputar-putar di jalan besar, sampai ia berada di depan gedung Giok teetok. Itu waktu
belum jam dua tetapi gedungnya Giok teetok sudah ditutup semua dengan rapat dan kuat, di luar tak kelihatan seorang penjaga pun. Langit ada gelap waktu itu, dan angin ada
besar. Setelah memperhatikan pula sekian lama, Tay Po buka
sepatunya akan simpan itu dalam sakunya, dari mana
sebaliknya ia keluarkan piauw yang dibungkus dengan
gambarnya yang luar biasa. Dengan enjot tubuhnya, ia coba naik ke atas tembok, terus ke atas rumah. Ia mencari tempat yang leluasa, sesudah mana, piauw itu ia timpukkan ke
pekarangan pedalaman.
Sesudah ini, buru-buru ia lari balik dan loncat turun ke bawah, dengan tak sempat pakai lagi sepatunya ia terus
kabur. Ia masih dengar suara gembreng di sebelah belakang ia tetapi ia kabur langsung ke rumahnya. Ia rasakan hatinya goncang, karena ia duga musuh akan satroni ia. Tapi,
kesudahannya, sampai sang fajar datang, rumahnya tidak
ada yang satroni atau ganggu.
Siu Lian telah menantikan pula dengan sia-sia, itu pagi ia pulang kembali ke rumahnya Tek Siauw Hong.
Oleh karena dayanya yang pertama tidak mengasihkan
hasil, itu pagi Tay Po ngeloyor ke barat, ke selatan, ke utara, ke rumah-rumah teh, di mana ia mampir, ia lantas
buka suara bahwa dalam tempo tiga hari ia akan bekuk
Pekgan Holie. Di lain pihak hatinya tertarik oleh seorang yang dengan berbisik bilang, "Tadi malam di rumahnya Giok-tayjin ada terbit entah kejadian apa ... "
Atas ini ia buru-buru menyingkir. Tapi ia tidak terus
pulang, itu hari ia terus berada di luaran, hanya sesadah jam dua malam, baru ia kembali. Sesampainya di rumah, nona
Jie sudah menunggui ia sambil bercakapan dengan
isterinya. "Oh, kau baru pulang?" Siang Moay tegur suaminya.
"Tadi ada datang dua koanjin mencari kau ... "
"Aku tahu," sahut sang suami. "Itu ada hamba-hamba dari Teetok Geemui. Kalau besok mereka datang pula,
beritahukan mereka bahwa pada Chiagwee Cee-it aku nanti
pergi memberi selamat tahun baru pada mereka!"
Kemudian ia menoleh pada nona Jie seraya terus berkata:
"Toacie, ini malam penjahat pasti datang, harap kau suka siap!"
"Aku ingin ia datang sekarang," sahut Siu Lian sambil manggut. "Aku ingin lekas bereskan urusanmu ini supaya aku bisa lekas pulang ke rumahku!"
"Aku harap demikian, toacie," kata Tay Po, yang terus minta isterinya tukar teh si nona dengan yang baru,
kemudian dengan bawa goloknya dan kantong Pekpolong,
ia pergi ke kamar selatan. Sebelum ia masuk ke dalam
kamarnya, lebih dahulu ia nyalakan api menyuluhi ke
segala penjuru, sesudah itu dengan pasang goloknya di
depan, ia bertindak masuk. Lagi sekedi ia suluhi seluruh kamar, baru ia tutup pintu. Ia berebahan diri di
pembaringan dengan api penerangan ia kasih padam.
Dari jendela kelihatan langit ada gelap sekali, angin
menderu-deru, hawanya dingin sekali.
Dekat dengan tembok kota ada sukar untuk orang
mendengar kentongan, maka dengan demikian, sukar pula
untuk mengetahui jam.
Di kamar utara, api masih menyala dengan terang. Siang
Moay dan Siu Lian kelihatan cocok satu pada lain, karena mereka terus bercakap-cakap asyik sekali sampai lupa
ngantuk dan lelah.
"Sayang kau sudah menikah," kata Siu Lian, "jika belum, kau bisa menjadi sahabat dan kawanku, hingga aku bisa
ajak kau pesiar ke berbagai-bagai tempat yang indah dan
tersohor, umpama Kiuhoa San, Ganthong San, Ngobie ... "
Tiba-tiba Siu Lian putuskan ucapannya, karena dengan
mulutnya ia segera tiup lampu.
Siang Moay terkejut, tetapi di dalam kegelapan ia masih
samar-samar dapat lihat nona Jie berbangkit dengan
perlahan dan terus hunus goloknya, maka ia pun tidak
berayal akan siap dengan goloknya, begitupun piauw-nya.
Siu Lian memberi tanda pada kawannya sambil
menggeleng kepala.
Di luar jendela terdengar melulu suara angin, tak ada
suara lain, tetapi nona Jie bertindak ke pintu yang ia buka dengan perlahan sekali, setelah mana, ia membarengkan
loncat ke luar, akan dari situ terus lompat naik ke atas genteng bagian utara.
Berbareng dengan itu dari sebelah belakangnya segera
muncul satu orang dengan bacokannya yang hebat.
Siu Lian lihat serangan itu, dengan tangan kirinya ia
menangkis dengan keras, dua senjata beradu dan
menerbitkan suara nyaring, tetapi berbareng goloknya yang kanan menyabet dengan cepat sekali.
Atas ini, si penyerang yang rupanya kaget karena


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangkisan hebat, tidak melalaikan perlawanan, dengan putar tubuhnya ia loncat ke tembok terus keluar. Ketika kedua
kakinya baru injak tanah, tahu-tahu si nona Jie sudah
menyusul, dan sinar golok, yang berkeredepan, sudah
menyambar pula padanya. Dalam keadaan demikian ia
terpaksa balik tubuh seraya angkat senjatanya untuk
menangkis. Gerakan senjata dari Siu Lian ada cepat luar biasa, selagi golok kirinya ditangkis, golok kanannya sudah menyambar
pada bahu kiri dari si penyerang gelap itu, si penjahat. Dan
serangan ini disusul sama jeritannya penjahat itu, yang lagi sekali buka langkah panjang.
Siu Lian tidak mau mengasih hati, ia mengejar.
Penjahat itu bisa lari pesat, rupanya lukanya bikin ia jadi gunakan antero tenaganya untuk menyingkir dari bahaya.
Tetapi di belakang ia, pengejarnya tak mau ketinggalan, ia terus dibuntuti. Menuruti tembok, ia lari ke arah barat, kapan ia sudah lewati empat atau lima lie, ia balik menuju ke selatan.
Siu Lian terus mengejar, semakin lama ia datang
semakin dekat pada penjahat itu, di saat ia mendekati
sampai tinggal enam atau tujuh tindak, tiba-tiba ia lihat musuh balik tubuhnya dan tangannya diayun, atas mana
golok kanan terbang melayang menyambar ke jurusannya,
hingga ia mesti berkelit ke pinggir.
Menggunai ketika yang baik ini, lagi sekali penjahat itu balik badannya dan kabur pula, Tetapi Siu Lian yang tak
ingin dipermainkan, justru menguber semakin sengit.
Segera juga mereka berlari-larian sampai di jalan besar di Kouwlauw barat.
Di sini si penjahat lari ke jurusan sebuah rumah besar,
yang keletakannya tinggi, ia loncat naik ke atas tembok, terus ke genteng. Tapi ia berlaku sedikit ayal, entah
disebabkan lelah atau karena luka di bahunya yang
merintangkan kegesitannya, maka selagi ia loncat naik,
goloknya nona kita menyambar ia, berbareng dengan mana
ia keluarkan jeritan seram dan tertahan, segera tubuhnya rubuh terguling, jatuh ke bawah rumah dalam sebuah
taman bunga. Siu Lian lompat turun akan menyusul. Penjahat itu
rebah bergulingan di tanah, sambil merintih: "Aduh, aduh!"
Dalam keadaan sebagai itu, nona Jie tidak mau
mengasih ampun, ia lompat maju akan bikin habis lelakon
penghidupannya.
Itu adalah saat sangat berbahaya bagi si penjahat, tetapi justru itu telah datang bintang penolong. Satu bayangan
yang berbadan jangkung dan langsing sekonyong-konyong
muncul dari samping, dengan pedangnya yang berkilauan
telah menyambar ke jurusan nona kita.
Melihat datangnya serangan yang tiba-tiba itu, Siu Lian
batalkan maksudnya semula, ia segera tangkis serangan
bokongan itu. Kapan kedua senjata beradu, terdengar suara janggal dari beradunya kedua senjata. Sebab golok kanan dari nona Jie telah terbabat kutung, ujungnya jatuh ke tanah!
Dalam terperanjatnya, Siu Lian masih bisa berseru: "Oh, kaulah si pencuri pedang mustika!"
Meski demikian, nona Jie tidak menjadi takut. Ia lempar
gagang goloknya, golok tangan kiri ia geser ke tangan
kanan. Ia berlaku sebat luar biasa, karena setelah itu, ia sudah mulai menyerang dengan beruntun dan seru.
Pihak penyerang pun telah bikin perlawanan. Ia ada
gesit. Ia coba membabat golok yang terlihat nyata dan
berkelit buat bacokan yang berbahaya. Ia berani mendesak, karena ia mengandel dengan pedangnya yang tajam itu.
Sekejab saja, sepuluh jurus sudah lewat.
Siu Lian tidak berhasil akan memapas tangannya musuh,
ia sebaliknya mesti jaga betul goloknya agar senjata itu tidak lagi kena dibikin sapat oleh senjata musuh yang tajam luar biasa itu. Lawan itu nyata ada liehay.
Pertempuran ini, yang menerbitkan suara berisik,
menyebabkan sebentar kemudian terdengar suara gembreng
ramai dari sebelah depan dari tukang ronda atau pengawal-pengawal
gedung yang telah mengetahui adanya pertempuran itu, mereka lantas datang memburu.
Selagi nona Jie pikir apa baik ia tinggal pergi lawan itu atau melayani terus, tiba-tiba pedangnya lawan itu dari atas turun ke bawah, begitu hebat, hingga ia mesti maju
merapatkan, ia angkat tangan kirinya untuk menyanggapi
lengannya musuh. Berbareng dengan itu tangan kiri lawan
itu juga coba pertahankan tangannya nona Jie agar tak bisa gunakan goloknya.
Di saat tangannya menyekal lengan musuh, Siu Lian
terperanjat bahna herannya. Ia dapat menyekal lengan yang empuk dan kena raba juga gelang pada tangan itu, rupanya gelang kumala.
Lawan itu ada pakai baju hijau, separuh mukanya
ditutup dengan sutera hitam, sehingga tak dapat dikenalkan.
Dengan gunai kaki kiri, Siu Lian coba dupak perutnya
musuh atas mana, lawan ini menangkis dengan kakinya
juga. Dan itu adalah kaki sewajarnya, bukan kaki yang
diikat! Suara riuh dari banyak orang telah bertambah-tambah,
demikian juga suara gembreng dan suara itu semua ada
membikin sibuk si orang bertopeng, sebagaimana ternyata
ia berontak-rontak akan melepaskan diri dari cekalannya
Siu Lian. Nona Jie tidak sanggup cekal lebih lama tangan yang
empuk tetapi bertenaga besar itu, terpaksa ia lepaskan
cekalannya, selagi lompat mundur, ia membarengkan
membacok. Pihak lawan itu menangkis tetapi kedua senjata tidak
sampai beradu, karena Siu Lian selanjutnya berlaku hati-
hati dan sebat, akan bikin goloknya tidak lagi bentrok
dengan pedang. Ia menyerang dan menyerang pula, dengan
desakannya, setelah mana, si orang bertopeng lompat
mundur dan lari.
Siu Lian tidak mau melepasnya dengan gampang-
gampang, ia mengejar. Lawan itu lari ke belakang, sampai dekat sebuah jendela ke dalam mana ia loncat masuk
dengan gesit sekali.
Tatkala itu cahaya lentera telah mendatangi dekat sekali, maka Siu Lian tidak menguber masuk ke dalam jendela,
hanya ia lompat naik ke atas genteng, dari atas genteng
yang paling tinggi ia memandang ke bawah, ia lihat kira-
kira duapuluh orang sedang mendatangi, semua memegang
lentera, gembreng dan senjata, hingga taman itu umpama
kata jadi sesak ...
Dengan tak hiraukan rombongan ronda itu, Siu Lian
jalan terus di atas genteng, sesampainya di ujung gedung, ia lompat ke genteng tetangga, di sini ia jalan terus, sampai akhirnya ia loncat turun di tempat sepi. Ia masuk dalam
sebuah gang kecil dan gelap. Setelah mengkol di dua gang kecil, ia lalu menghadapi tembok kota yang tinggi dan
teguh. Di sini ia jalan ke arah timur. Ia masgul akan lihat goloknya yang sebelah jadi buntung. Sebab sepasang golok itu ada buatan ayahnya, sebagai barang tetinggalan.
Siu Lian tahu, pedang tajam yang si lawan pakai adalah
pedang mustika yang Bouw Pek biasa pakai, yang tiga
tahun yang lalu Bouw Pek dapatkan dari tangannya Liu
Kian Cay, wangwee dari Liukee chung, pedang mana di
saat terakhir telah dipersembahkan pada Tiat siauw-
pweelek. "Lawanku itu ada mencurigai," pikir nona Jie selagi ia berjalan terus. "Bagaimana pandai ia mainkan pedangnya, gerakannya dan permainannya mirip dengan saudara Bouw
Pek. Dan lengannya ... kenapa ia memakai gelang kumala?"
Ia tidak sempat memikir lebih lama, karena ia telah
sampai di rumahnya Lauw Tay Po. Ia tidak minta
dibukakan pintu, ia masuk dengan meloncat tembok
pekarangan, dengan cepat ia menuju ke rumah.
Tay Po dan isterinya memburu keluar, tangan mereka
menyekal golok.
"Aku!" kata nona Jie sembari tertawa.
"Oh, Jie toacie!" berseru suami isteri itu. "Apakah kau berhasil?"
Siu Lian bertindak masuk, goloknya ia geletakkan di atas meja.
"Sebelah golokku kena terpapas kutung oleh si penjahat, besok aku mesti bikin sebatang yang baru," ia kata. "Aku kuatir timbangannya tidak bisa cocok ... "
Tay Po dan Siang Moay tercengang.
Siu Lian tuang teh yang lalu ia minum.
"Jangan kau berkuatir," ia menghibur, kapan ia saksikan sikapnya mereka. "Besok kau akan segera peroleh kabar penting! Tapi urusan ini ada sangat besar, besok harap kau jangan keluar dan jangan siarkan cerita tak keruan.
Sebelumnya tahun baru aku nanti bikin si pencuri antarkan kembali pedang mustika itu, aku akan kasih mengerti agar ia tak main gila pula. Perkara ini mesti dibikin habis secara damai. Terutama sebab aku mesti lekas pulang ke Kielok,
karena aku tidak bisa berdiam di sini untuk selamanya.
Lagian kita kenal baik Tek Siauw Hong, jikalau kita terlalu
desak pada Giok cengtong, mungkin Giok teetok akan
mendendam sakit hati pada keluarga Tek."
Tay Po manggut, tetapi dengan mata memain dan
pikiran sedikit kusut. Sebab ia tidak tahu jelas, apa yang si nona Jie pikir, dan ia tidak ke tahui juga bagaimana
jalannya pertempuran tadi.
Melihat nona itu unjuk roman lesu, Tay Po lantas saja
ngeloyor ke kamar selatan.
"Coba kunci pintu," kata Siu Lian pada Siang Moay.
"Mari kita tidur, dengan nyenyak. Aku tanggung penjahat tidak bakal berani datang pula kemari ... "
Siang Moay rapikan pembaringannya, ia tidak lantas
naik, maka Siu Lian dului ia, akan rebah dengan tidak salin pakaian lagi, sesudah itu, baru ia turut naik. Ia tidak berani lantas lepaskan sepatunya.
Keduanya rebah miring, dengan muka berhadapan.
Selimut ada satu dan dipakai berdua.
"Toacie barusan kau kejar penjahat sampai di mana?"
tanya Siang Moay dengan perlahan.
"Kau tidak usah tanya banyak-banyak, besok kau akan ketahui sendiri," jawab nona Jie. "Sekarang aku berani tanggung yang penjahat tidak akan datang pula untuk
mengganggu. Asal aku telah dapat pulang pedang mustika
itu, aku hendak berangkat pergi. Hanya, sebelumnya aku
berangkat, aku ingin bertemu kendati satu kali saja dengan siocia Giok Kiauw Liong. Tadi siang di rumahnya Tek
Ngoko aku dengar nona mantunya keluarga itu bilang
bahwa Giok Kiauw Liong ada sangat cantik dan pandai
ilmu surat dan melukis gambar, bahwa ia katanya sering
datang ke rumahnya Tek Ngoko. Ketika pada tiga tahun
yang lalu Tek Siauw Hong dibuang ke Sinkiang, di sana
kebetulan Giok-tayjin ada menjadi pembesar tertinggi dan Tek Ngoko ada dapat banyak tunjangannya. Adalah di sana
yang Tek Ngoko ketahui halnya si nona Giok. Menurut
kabar, semasa di Sinkiang, nona Giok tidak ada seanteng di sini. Ia pandai menunggang kuda, ia pandai mainkan
panah, ia suka pergi memburu di hutan atau pegunungan.
Aku duga nona Giok ada satu nona luar biasa, maka itu
besok aku ingin lihat padanya."
"Yang benar," kata Siang Moay, "nona Giok itu cuma romannya elok dan pakaiannya mewah, lainnya tidak. Aku
kuatir, kuda pun ia takut tunggang. Ia barangkali cuma bisa tarik panah mainan anak-anak. Kalau besok toacie ketemu
padanya, barulah toacie mendapat tahu terang. Ia bertubuh lemah, nyalinya pun kecil. Baru-baru ini ayahku almarhum buka pertunjukan di depan gedungnya, ayah mainkan
bandringan dan ia mau lihat, tetapi kesudahannya ia kuatir kena ketimpa. Toacie belum lihat jalannya yang ayu, coba tidak ada beberapa budak yang mengiringnya, barangkali
bisa ditiup rubuh oleh sang angin ... Toacie bilang ia
mengerti surat dan bisa melukis gambar, itulah mungkin
benar, tetapi aku percaya, ia tak semua-semua pandai ... apa pula buat mainkan piauw dan jalan di atas tambang!"
Siu Lian tertawa.
"Ya, benar juga," ia menyahut. "Air laut pun tak dapat ditakar! Siapa tahu jikalau di belakang hari aku juga bisa berpakaian mewah seperti ia! Melainkan roman dan
tubuhku tak dapat disamakan seperti nona Giok!"
"Berapakah tingginya ia itu?" Siu Lian tanya.
"Dipadu dengan kau ia ada terlebih tinggi," menerangkan Siang Moay, seraya mempetakan dengan
tangannya, "hanya pinggangnya ada terlebih langsing, tidak sekekar pinggangmu."
Kisah Si Rase Terbang 2 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Pukulan Naga Sakti 19
^