Pencarian

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 5


penjagaannya sudah kurangan kerasnya, kita akan berdaya
pula, terutama untuk mendapati bukti. Lihat, Lau Tay Po
nanti lakukan suatu apa yang akan menggoncangkan langit
dan bumi, supaya Giok cengtong menjura terhadap aku,
supaya Giok Kiau Liong datang sendiri kemari akan minta
ia diambil olehku sebagai gundikku! ... "
Siang Moay sambar panah dari tangan suaminya,
dengan itu ia hendak menikam, tapi suami itu berkelit
seraya menangkis, sambil tertawa.
"Sampai habis tahun baru!" ia kata. "Kau harus bantu aku, supaya kita bisa lampiaskan kemendongkolan kita!"
"Ya, repotkan saja kemendongkolan tetapi tidak mencari uang!" kata Siang Moay. "Apakah kita cukup dengan minum angin barat utara saja?"
"Jangan kuatir," Tay Po bilang. "Sebelumnya jadi guru silat, aku bisa hidup, sekarang, sesudah berhenti, aku pun bisa kerjakan segala apa!"
Ia ngeloyor keluar buat ambil goloknya, yang ia bawa
masuk, kemudian ia kunci pintu akan terus naik ke
pembaringan dan tidur.
Siang Moay juga coba tidur, tetapi ia rasakan sakit pada kakinya, ia merintih-rintih, dengan demikian ia tidak bisa tidur benar.
Di waktu fajar Tay Po sudah pergi ke Lamshia, pintu
Kota Selatan, akan cari engko misannya buat minta obat
luka. Pulangnya ia membawa gincoa (uang-uangan dari
kertas), lilin dan hio, begitu juga sayuran, daging ayam, ikan dan bebek. Di pintu ia tempel lian merah. Di dalam
rumah, ia tempel gambar anak-anakan bocah gemuk. Ia pun
tidak jadi pindah, karena di akhir tahun ada sukar untuk cari rumah dan rumah-rumah penginapan juga tidak terima
tetamu. Tek Lok ada berlaku baik pada ini bekas rekan. Ia bawa
pulang uang limapuluh tail perak, persenan dari Tiat siau-pweelek, yang si guru silat tampik. Dengan bujukannya, ia bikin Tay Po suka terima itu, hingga buat sementara itu
guru silat ini boleh tak usah "makan angin barat utara! ... "
Siang Moay lukanya belum sembuh tapi ia tak hiraukan
itu, ia bisa pergi ke dapur akan masak, akan kemudian
dandan dengan mentereng. Ia memangnya pandai berhias.
"Sekarang kita jangan pikirkan apa juga, selainnya tahun baru!" kata Tay Po dengan gembira. "Sang hari masih panjang, musuh kita tidak bisa lari, aku pun tidak bakalan mati ... Kita tentu akan berhasil! ... "
Demikian tibalah tahun baru. Cee-it, cee-jie, cee-sha.
Pakkhia seperti salin rupa, karena di mana-mana, tua dan muda, lelaki dan perempuan, semua berpakaian baru,
semua unjuk roman gembira. Mereka yang mengunjungi
sanak saudara ada yang naik kereta, ada yang duduk joli.
Di mana-mana ada terdengar suaranya petasan.
Cuma ada sebuah rumah di mana orang tak bergembira.
Itu ada rumahnya Giok cengtong. Teetok ini baru beberapa bulan saja pulang ke kota raja. Tadinya ia biasa tinggal di luar perbatasan, dan paling belakang ia berdiam lama di
Sinkiang. Selama menjalankan tugas, di gedungnya cuma
ada sanak dan bujang-bujangnya, tetapi walau demikian,
masa itu di rumahnya masih terlebih ramai. Tahun ini ada banyak kunjungan, bujang-bujang pada dapat banyak
persenan, namun teetok sendiri, isterinya, dan gadisnya
semua tidak bergembira.
Giok teetok pusing dengan banyaknya urusan dan rumah
tangga. Karena ia tidak bisa bersuka ria, thaythay pun turut jadi tak bisa senangkan hati, sedang selama belakangan ini ia sering terganggu oleh sakit uluhatinya, yang suka kumat.
Dan si nona mengaku bahwa kesehatannya terganggu,
sering ia tidak keluar-keluar dari kamarnya.
Giok Kiau Liong mesti turut berduka karena urusan
rumah tangga itu dan karena kesehatannya tak sempurna.
Dan sebab yang ketiga adalah cara menghias rambutnya,
yang sudah berubah. Taucang-nya tidak lagi menjadi
kuncir, ia telah mesti rombak itu menjadi sebuah gelung
(konde). Ini berarti ia bukan lagi satu gadis yang masih merdeka pergi ke mana ia suka, tibalah masanya ia menanti orang meminang.
Menurut adat orang Boan, kalau satu anak perempuan
sudah masuk umur tiga atau empatbelas tahun, ia mesti
piara rambut lengkap, dan satu kali ia berumur tujuh atau delapanbelas tahun, kuncirnya mesti diubah menjadi
gelung. Ini ada tanda bahwa orang telah boleh datang
meminang. Gelung itu tiada bedanya dengan gelung dari
satu nyonya, kecuali ujungnya ada sedikit lain.
Selama berada di dalam rumah, gelung itu dibikin tinggi, tapi bila mengunjungi sanak atau pesta, gelung itu dibikin melintang dengan bantuannya sutera hitam. Ini apa yang
dinamakan gelung Liangpoantau. Bagi gadis Boan, itu ada
tanda bahwa bunga sudah mekar, sudahlah saatnya orang
datang memetik.
Menuruti titah orang tuanya, Giok Kiau Liong tak bisa
tidak tunduk terhadap adat kebiasaan itu. Ini hal membikin ia sangat masgul dan berduka. Lewatlah masa gadisnya,
karena tidak lama pula datanglah saatnya akan orang
melamar. Malah bakal suaminya kebanyakan adalah Lou
hanlim, itu pemuda tolol dan jelek. Ingat ini ia bersedih dan masgul. Tapi ia tidak berani bantah kehendak ayah dan
ibunya. Ia sangat menyesal akan kekusutan rumah
tangganya dan kesengsaraan hati ayahnya, sebab semua itu timbul karena gara-garanya sendiri. Maka sekarang ia
hendak unjuk kebaktiannya untuk tebus dosanya ... Putusan dan pengorbanannya melainkan ia sendiri yang ketahui.
Pada harian cee-it, hanlim Lou Kun Pwee telah datang
untuk memberi selamat tahun baru, dan sekarang, tanggal
tigabelas, ia datang berkunjung pula.
Ketika Giok Kiau Liong ketahui kedatangannya hanlim
itu, ia sangat mendeluh, ia sekap diri di dalam kamarnya, dengan sepit kuningan ia buat main arang di perapian. Dua budaknya, Siu Hiang dan Gim Sie, yang satu sedang gosok
bakhie kuningan, yang lainnya lagi guntingi kembang bwee di dalam tokpan dan bunga suisian di dalam paso ...
Mereka semua bekerja sambil tunduk, tidak ada yang
bicara. Di samping si nona agung ada nongkrong kucingnya
yang putih dan mungil.
Tapi kesunyian itu terpecahkan oleh datangnya Cian-ma
dengan suaranya: "Siocia, loo-thaythay dari keluarga Lou telah datang, thayhay
minta siocia keluar untuk menemuinya."
Kiau Liong terperanjat.
"Baru Lou Kun Pwee datang, kenapa sekarang ibunya
datang juga?" pikir ia. "Apa ini hari bakal terjadi apa-apa?"
Meski demikian, ia manggut pada Cian-ma, maka bujang
tua itu segera undurkan diri pula. Di lain pihak, Gim Sie sudah lantas hampirkan nonanya akan rapikan bunga wol
di kepalanya nona itu.
"Tak perlu!" tegur Kiau Liong pada budaknya itu, ia egoskan kepalanya akan bikin si budak tidak bisa rapikan bunganya itu.
Gim Sie segera tarik pulang kedua tangannya, mukanya
menjadi merah. Nona Giok berbangkit dengan segera.
"Untuk ketemui ia itu, buat apa aku dandan dengan
rapi?" kata ia seorang diri.
Siu Hiang hampirkan Gim Sie, yang tubuhnya ia tolak,
hingga ia jadi berada dekat nonanya, lalu dengan suara
perlahan tetapi berlagak tak puas, ia kata: "Ya, siocia tidak usah kau berhias lagi, secara begini saja kau ketemui Lou thaythay itu! Kau pun tidak usah gunakan adat peradatan
terhadap ia, bahkan kau boleh sengaja berlaku sedikit
kurang hormat, supaya ia ... "
Kiau Liong pelototkan budaknya itu. Iapunya muka ada
merah. "Siapa suruh kau banyak bacot?" ia menegur. Tapi segera ia bertindak keluar.
Dengan tak mempedulikan teguran nonanya itu, Siu
Hiang ikut keluar
Tatkala itu sudah lewat tengah hari, hawa udara tidak
lagi terlalu panas. Pohon labwee dan Gengcun hoa, sedang mekar indah dengan warnanya kuning emas.
Buat pergi ke rumah sebelah utara, Kiau Liong mesti
jalan ke arah umur, di waktu mulai datang dekat, ia sudah lantas dengar suara orang bicara.
Siu Hiang mendahului nonanya akan membuka pintu.
Dari sebelah dalam, lantas ada budak yang menyingkap
sero. "Siocia datang!" demikian kata budak itu.
Kiau Liong terperanjat ketika ia bertindak masuk ke
dalam ruangan. Sebab di situ ia mendapati ayahnya,
dengan pakaian biasa sedang menyedot cuihun, sementara
di depan ayah itu ada bercokol Lou Kun Pwee, si hanlim,
tubuh siapa ada besar, tinggi dan gemuk, pakaian
kebesarannya gerombongan, hidungnya melesak, matanya
kecil, hingga nampaknya tak keruan ... Di sisinya ada
terletak kopiah kebesarannya dari tingkatan keempat.
Baru melihat sepintas lalu saja, Kiau Liong sudah merasa jemu, maka sambil tundukkan kepala, ia kasih hormat pada ayahnya.
"Kasih hormat pada Lou toako-mu!" kata Giok teetok pada puterinya.
Dengan sangat terpaksa Kiau Liong berbalik kepada
hanlim itu siapa sudah lantas berbangkit, maka dengan
hampir berbareng, mereka saling memberi hormat.
"Aku harap kau ada baik, adikku!" kata hanlim itu sambil tertawa.
Kiau Liong tidak menjawab, hanya ia terus ikut budak
yang undang ia masuk ke pedalaman di mana Giok
thaythay sedang menemani Lou thaythay bicara.
Nyonya Lou ada seorang dengan tubuh tinggi dan
gemuk, umurnya sudah limapuluh lebih, pakaiannya
mentereng. Suaminya, Lousielong, ada dari tingkatan
kedua. Sielong ini telah letakkan jabatan
karena kesehatannya terganggu, maka itu, pemerintah kasih ia
kehormatan nama saja sebagai menteri kelas satu, dengan
begitu Lou thaythay jadi dandan sebagai itpin hujin.
Turut perintah ibunya, Kiau Liong menjalankan
kehormatan sambil berlutut pada itu nyonya tamu siapa
lekas-lekas perintah budaknya memimpin bangun.
Setelah itu, Giok thaythay kata pada puterinya: "Toako-mu Kun Pwee telah diangkat jadi tiehu dari Sunthian,
kenapa kau tidak kasih selamat pada pebo-mu ini?"
Kiau Liong kembali menurut, ia memberi hormat pula
pada itu nyonya.
Lou thaythay pegang tangannya.
"Di harian tahun baru kenapa kau tidak datang ke
rumahku?" ia tanya. "Aku kangen padamu!"
Nyonya ini bicara dengan manis, mukanya ramah
dengan senyuman.
Kiau Liong tidak menyahut, hanya ibunya yang
menalangi ia bicara.
"Tahun ini aku tidak ajak ia pergi ke rumah siapa pun juga untuk memberi selamat tahun baru, karena ia kata ia merasa kesehatannya terganggu."
"Apakali ia sakit?" tanya Lou thaythay, yang nampaknya terkejut. "Apakah tidak dipanggilkan tabib?"
"Sakitnya nona tidak berat," Siu Hiang dengan berani mewakilkan nonanya. "Kadang-kadang saja ia engap dan batuk-batuk ... "
Tapi ini sudah cukup untuk bikin kaget nyonya tetamu.
"Itulah tidak boleh diantap saja," ia kata. "Kenapa aku tidak pernah dengar akan hal ini?"
"Ia pun mendapati itu baru selama habis tahun baru,"
berkata Giok thaythay yang lebih dahulu telah pandang
puterinya. "Keadaannya tidak berbahaya dan sedangnya di akhir tahun, maka aku tidak panggilkan tabib. Ia hanya
dikasih makan obat yang kita ada sedia di rumah."
"Bisa jadi ia sakit disebabkan kaget," kata Lou thaythay kemudian. "Apa yang telah terjadi, siapa pun yang
mendengarnya tentu akan kurang senang! Suamiku
sekalipun sedang sakit sampai tidak bisa gerakkan badan, waktu ia dengar lantas mau pergi pada Hengpou Phoa
tayjin dan Toucat-ih Kong tayjin. Kun Pwee juga turut
gusar, karena ia kuatir sam-moaymoay-nya turut menjadi
kaget. Kita dengar bahwa buaya darat she Lau itu katanya telah dilindungi oleh Tiat pweelek ... "
"Itulah bukan semuanya," menerangkan Giok thaythay.
"Lau Tay Po itu tidak lebih tidak kurang ada guru silat di istananya Tiat pweelek, sebelumnya tahun baru ia sudah
dipecat, maka itu kini ia tidak berani mengadakan
gangguan pula."
Lou thaythay manggut-manggut.
Nyonya-nyonya ini sedang asyiknya bercakap-cakap,
pun di sebelah luar Giok teetok dan Lou hanlim sedang
membicarakan urusan yang sama.
"Selama belakangan ini, kesehatanku sangat terganggu,"
kata Giok teetok. "Sudah sekian lama aku pikir buat letakkan jabatan saja. Aku anggap bahwa nama baikku
telah ternoda. Tapi Tiat pweelek telah cegah aku tarik diri.
Aku tidak mengerti, dengan cegahannya itu pweelek-ya ada beranggapan bagaimana ... "
"Aku anggap tidak usah loope dukai urusan itu," Kun Pwee menghibur. "Adalah biasanya Tiat pweelek bersiap aneh. Di istananya ia memang suka pelihara segala buaya
darat. Lihat saja beberapa tahun yang lalu, ketika di kota raja ini ada kedatangan Lie Bou Pek. Bukankah Lie Bou
Pek itu telah terbitkan
kekacauan yang melebihi
perbuatannya Lau Tay Po ini" Ia juga ada Tiat pweelek
yang melindunginya. Kita juga kenal Tek Ngo diri Kota
Tunur. Ia benar bekerja di dalam istana, tetapi pangkatnya rendah, malah ia pernah dihukum buang ke Sinkiang, tetapi ia ada bersahabat dengan Tiat pweelek, lantas ia jadi
berpengaruh Begitulah Tek Ngo ini paling suka bergaul
dengan orang-orang yang kelakuannya tidak baik, penjahat-penjahat dan dunia Sungai Telaga. Lau Tay Po itu tentulah bekerja pada Tiat pweelek dengan perantaraannya Tek
Ngo." "Inilah aku tahu!" kata Giok cengtong. "Memang, kesatu Tek Siau Hong, kedua Khu Kong Ciau, mereka semua suka
bawa diri sebagai Beng Siang Kun saja, sebagai Peng Goan Kun! Hanya tentang Tek Ngo itu, aku tahu juga ia tidak
dapat dicela. Ketika ia dibilang di Sinkiang, aku telah
banyak tolong padanya. Kita berdua keluarga ada
bersahabat satu pada lain sebagai sanak saja. Aku pun
ketahui selama ini kelakuannya Tek Ngo ada baik. Aku
percaya, perbuatannya Lau Tay Po itu tiada hubungannya
dengan Tek Ngo ... "
Lou Kun Pwee manggut-manggut.
"Sabar saja, pehu, aku nanti berdaya akan hajar adat pada Lau Tay Po itu," ia berjanji. "Pehu kuatir orang ceritakan kau, sebagai teetok pehu tidak bisa bekuk ia,
tetapi jika aku dan Sunthianhu yang ringkus ia, orang
niscaya tidak akan kata apa juga."
"Tidak usah, hiantit, tidak usah kau berbuat demikian,"
berkata teetok itu. "Ia ada seorang rendah, perlu apa kita layani padanya?"
Apa yang dibicarakan di luar, Kiau Liong dapat dengar
dengan nyata karena perhatiannya tertarik dengan
pembicaraan itu, hingga ia agaknya tidak pedulikan sikap manis budi dari Lou Lhaythay terhadapnya, sampaikan ia
tidak lihat nyonya itu sudah loloskan ikat pinggang kumala.
Pada kumala atau giokpwee itu ada terukir sepasang
naga asyik main rebutan mutiara. Itu adalah ukiran yang
disebut "Jie Liong Hie Cu". Dua naga itu masing-masing ada putih dan hijau. Di tengah-tengah kedua naga itu ada sepotong emas yang merupakan sebutir mutiara.
"Giokpwee ini adalah untukmu, anak," kata nyonya tamu itu. "Ini ada ikat pinggang warisan dari keluarga kita.
Katanya, siapa pakai giokpwee ini, ia tak bisa mendapat
kaget. Ketika dulu toako-mu pergi bikin ujian, aku telah suruh ia pakai ikat pinggang ini. Sekarang aku lihat kau banyak sakit, maka pakailah kumala ini, sesudah beberapa hari dipakainya, tentu penyakitmu akan sembuh!"
Kiau Liong terperanjat. Itu bukannya pengasihan biasa
saja, ikat pinggangku adalah tanda mata perjodohan. Ia
menduga bahwa ayah dan ibunya telah terima baik lamaran
orang. Ini hal bikin ia mendongkol, hingga ia pikir akan sambar saja giokpwee itu buat dibanting hancur di atas
lantai. "Terimalah giokpwee itu, anak," kata Giok thaythay pada anaknya. "Bilang terima kasih pada pebo-mu!"
Bukan main berdukanya ini nona. Ia sebenarnya tidak
sakit, itu adalah akalnya melulu. Yang benar-benar
kesehatannya terganggu adalah ayah dan ibunya yang
dibikin jengkel oleh aksinya Lau Tay Po. Tapi sekarang
justru ia yang dikatakan sakit! Di sebelah itu, ia berkasihan terhadap ibunya, dan ia tidak ingin bikin Lou thaythay
hilang muka. Maka dengan sangat terpaksa ia terima ikat
pinggang itu. Untuk haturkan terima kasihnya ia menjura
pada itu nyonya tamu
Begitulah, Lou thaythay sendiri yang pakaikan ikat
pinggang itu pada nona ini, siapa diam sambil tundukkan
kepala bahna berduka dan mendongkolnya.
Tatkala itu, Lou Kun Pwee di sebelah luar sudah diajak
oleh Giok teetok pergi duduk di kamar tulis, katanya untuk melihat gambar dan huruf-huruf tulisan.
Sekian lama Giok Kiau Liong berdiri saja, maka
akhirnya ibunya ijinkan ia duduk, tetapi ia tidak mau
duduk, hingga Lou thaythay lantas kata padanya: "Kau lagi terganggu kesehatanmu, pergilah masuk ke kamarmu.
Tidak usah kau temani kita ... "
"Benar, anak, pergilah!" kata Giok thaythay.
Ini ada apa yang Kiau Liong inginkan, tidak tempo lagi
ia minta perkenan dan lantas berlalu.
Siu Hiang ikuti nonanya itu.
Selama di dalam, Kiau Liong bertindak dengan perlahan,
tetapi satu kali ia berada di luar, tindakannya dibuka lebar-lebar, cepat benar jalannya, hingga sebentar saja ia sudah berada di dalam kamarnya. Di sini paling dahulu ia buka
giokpwee yang dilemparkan ke atas kursi, hingga angkin


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kumala itu memperdengarkan suara berisik.
Si kucing bulu putih, yang bulunya panjang dan mungil,
lantas lompat menubruk angkin kumala itu.
Siu Hiang kaget, ia kuatir angkin itu kena dibikin pecah, maka ia lekas-lekas menghalaukan, ia angkat angkin itu,
yang kumalanya kuat, tidak pecah, kecuali tanduknya
kedua naga ukiran telah patah. Ia segera simpan angkin itu ke dalam laci meja.
"Siocia, baik kau rebahkan diri," ia lantas bujuki nonanya.
Kiau Liong tidak menyahuti, ia melainkan tersenyum
sindir. Dengan tindakan berat ia jalan bulak-balik, bunga wol di rambutnya telah bergerak-gerak. Ketika ia angkat
kepalanya, matanya kebentrok dengan gambar lukisan yang
tergantung di sisi pembaringan. Gambar itu memuat
tulisannya sendiri yang pakai nama samaran "Ie In Hian Cujin". Nama samaran ini ia bikin jadi cap. Tapi yang mengguncangkan hatinya ada itu huruf "In" yang berarti mega atau awan. Maka juga ia lantas berhentikan
tindakannya, ia mengawasi dengan menjublek.
Kucing mungil itu loncat naik ke atas meja kecil, melihat mana, Gim Sie lantas memburu seraya berkata: "Eh, eh, Soat Hou, jangan naik ke atas meja! Jangan kau langgar
tokpan! Hayo, Soat Hou, dengarlah kata! " "
Huruf "Hou" dari Soat Hou pun membikin air mukanya si nona menjadi berubah. Huruf itu berarti "harimau".
Dalam keadaan si nona sebagai itu, tiba-tiba datang pula Cian-ma.
"Lou thaythay hendak pulang, thaythay minta siocia
hantar padanya," kata ini bujang tua.
"Aku tidak mau!" sahut nona itu, dengan geleng kepala.
Cian-ma tertegun akan dengar jawaban itu, yang pun
diucapkannya dengan ketus.
Selagi bujang tua ini bengong, Gim Sie kedipkan mata
mengasih tanda untuk ia lekas undurkan diri, maka ia lantas lekas-lekas menyingkir.
Seberlalunya bujang tua itu, Kiau Liong menghela napas.
Ia merasa sangat bersusah hati. Ia insyaf bahwa ibunya
akan mendapat malu apabila ia tidak keluar. Bukankah
nyonya tamu itu telah begitu baik budi menghadiahkan ia
angkin kumala" Maka ia lekas bertindak keluar, tetapi
ketika ia sampai di muka pintu luar, ia lihat Lou thaythay sudah berangkat, dari itu, ia lalu balik kembali ke
kamarnya. Gim Sie kenal kewajibannya dengan baik. Ia samperi
nonanya akan loloskan pita dan bunga dari kondenya nona
itu, maka dengan begitu nona ini bisa lantas naik ke
pembaringan akan beristirahat. Meski demikian, toh si nona tidak dapat menghilangkan hatinya yang kesal.
"Siocia jangan berduka," kata Siu Hiang malamnya, waktu ia masuk ke kamar nonanya dan lantas bicara seperti berbisik. "Aku telah mendapati keterangan bahwa Lou thaythay datang hanya dengan maksud untuk memberi
selamat tahun baru belaka. Juga Cian-ma dalam
percakapannya dengan budaknya Lou thaythay peroleh
keterangan, bahwa Lou siauya, berhubung dengan dapat
kenaikan pangkat ada banyak keluarga yang datang
melamar siauya itu, sebab ini, aku berpendapat ada
kemungkinan pihak Lou tak akan meminang kemari."
"Siapa kesudian usil urusan mereka?" kata Kiau Liong dengan sengit. "Lain kali, siapa saja dari keluarga itu yang datang, aku tak mau temui!"
Meski ia berkata begitu rupa, toh Kiau Liong merasa
hatinya sedikit lega. Ia memang harap Lou hanlim menikah pada lain gadis, agar ia tidak mendapat gangguan lagi ...
Suara petasan di luar ada sangat riuh, suara itu datang
dari tempat dekat dan jauh, bunyinya saling susul atau
berbareng. Itu ada tanda bahwa tahun yang lama telah
berlalu ... Kiau Liong berduka kapan ia ingat lewatnya sang waktu.
Lagi satu hari atau orang telah sampai di harian tanggal lima belas, harian perayaan Sianggoan yang indah.
Biasanya di Sinkiang, selama hari raya ini di semua
gedung pemerintah ada dibikin pesta, atau sedikitnya orang menghias
gedung dengan macam-macam tanglung (tengloleng) yang mentereng. Di waktu begitu Giok Kiau
Liong merasakan paling gembira. Maka juga ketika pindah
ke Pakkhia ia telah pikir bahwa di malaman Goansiau, ia
hendak tinjau seluruh kota raja, guna lihat bagaimana
penduduk kota rayakan pesta itu. Buat beberapa malam ia
niat putar kayun tetapi tak disangka sedang hari raya telah sampai, justru ia mesti alami gangguan yang memusingkan
kepala, hingga ludaslah semua kegembiraannya.
Giok thaythay ketahui kesukaannya puterinya itu.
Mengetahui kelesuan puterinya ia berkuatir puteri ini nanti mendapat sakit. Dari itu, sekalipun ia sendiri merasa tidak sehat, ia paksakan diri akan ajak si nona pergi pesiar. Baru saja habis bersantap tengah hari, ia sudah perintah budak-budak bersiap. Ia pun sudah pikir tempat mana yang ia
akan pergikan, ialah Koulau depan, yang terpisahnya tidak jauh dari gedungnya di mana perayaan biasanya paling
ramai, dan yang lainnya ialah di Tongsee dan Seesian.
Pada jam delapan malam, langit ada biru terang sekali.
Si Puteri Malam, dari timur, dengan perlahan-lahan
menggeser ke barat. Tapi orang umumnya tidak pedulikan
rembulan, semua mata ditujukan pada tengloleng atau
pajangan. Di kedua tepi jalan ada toko-toko atau warung
yang semuanya mementang pintu dan jendela, semua
memasang tanglung dengan apinya, yang terang benderang.
Tanglung pun ada yang terbuat dari kaca dan cita halus,
ada yang dilukiskan gambar ceritera Sam Kok, Sui Hou
Toan, Liau Cay, Hong Sin dan lain-lain, malah ada yang
diruntunkan hingga merupakan satu ceritera bergambar
yang lengkap. Penonton berjubelan saking banyaknya,
belum kereta kuda dengan kudanya yang bersuara berisik.
Di waktu demikian, sekalipun nona-nona dan nyonya-
nyonya pembesar negeri yang jarang keluar rumah, juga
turut pesiar dengan pakaian mereka yang beraneka macam
yang indah. Yang luar biasa gembira adalah anak-anak.
Pemuda-pemuda yang beruang, yang turut pesiar, telah
gembirakan diri dengan kembang api macam-macam yang
mereka sulut atau pasang di sepanjang jalan, hingga apinya menyambar ke sana-sini. Mereka pun pasang petasan
dengan suaranya yang sangat berisik menulikan kuping. Di antara toko-toko juga ada yang pertontonkan pot bunga di mana ada kedapatan rupa-rupa bunga yang seperti bisa salin rupa ...
Yang paling puas adalah bangsa hidung belang atau
buaya darat yang nyelak di antara nyonya-nyonya muda
dan nona-nona. Tetapi yang paling celaka adalah mereka,
yang bukan hendak pesiar semata-mata hanya pun
mengganggu, dengan rusakkan pakaian baru orang yang
indah atau "tolong simpankan" uang orang ... Maka di antara suara tertawa riuh pun ada terdengar cacian dan
kutukan dari mereka yang dapat gangguan ... Juga dari
mereka yang kehilangan anak ...
Tatkala itu, keluarga Giok ada berkumpul di atas lauteng dari suatu toko besar. Tempat ini sudah dipesan dari siang-siang. Pemilik toko cita itu girang menerima pesanan ini,
sebab dengan begitu ia jadi dapat tambah kenalan, yang di belakang hari bisa menjadi langganan, apalagi langganan
keluarga teetok. Ia malah telah bersiap dan atur pelayanan yang
menyenangkan. Ia sediakan perapian dan menyuguhkan teh wangi. Semua kursi teratur rapi di muka
larikan, hingga orang dengan leluasa dapat memandang ke
jalan besar. Giok thaythay datang bersama puterinya, keduanya
berhiaskan gelung Liangpantau, malah si nona ada pakai
banyak bunga dan perhiasan kumala rupa-rupa. Pakaiannya
yang indah terbikin dari bahan yang mahal.
Siu Hiang mendampingi nonanya. Ia telah sisirkan
rambutnya menjadi sebuah kepangan yang besar, pakaiannya juga indah.
Empat budak perempuan lain ada jadi tukang melayani.
Di muka tangga ada dua budak lelaki serta beberapa
hambanya teetok, sebagai pahlawan. Hingga sekalipun
pegawai-pegawai toko, tidak bisa naik ke atas lauteng itu.
Sampai kira-kira jam dua, berhubung lilin sudah mau
habis, kementerengannya tanglung telah mulai jadi
kurangan, demikianpun penonton berkurang sendirinya.
Pun suara mercon telah terdengar dengan jarang-jarang.
"Dasar kota raja!" kata Giok thaythay dengan gembira.
"Belasan tahun kita tinggal di Sinkiang, baru sekarang kita dapat saksikan keramaian pesta Capgomeh seperti ini.
Banyaknya orang dan tanglung membikin mataku seperti
kabur! Toh aku sendiri ada kelahiran Pakkhia ... "
Giok Kianw Liong pun nampaknya gembira, ia tertawa
mendengar kata-kata ibunya itu.
"Menurut aku, Sinkiang pun punya keindahan sendiri,"
ia kata sambil tersenyum. "Aku jadi terkenang dengan Sinkiang ..."
"Dan kau ... " tanya Giok diaythay pada Siu Hiang, "kau lihat mana lebih indah, Pakkhia atau Sinkiang?"
"Dua-dua indah!" sahut Siu Hiang yang cerdik sambil tertawa.
"Kau benar pandai bicara!" kata nyonya besar itu sambil tertawa juga. "Sekarang sudah jauh malam, beritahukan kusir untuk siapkan kereta, kita hendak pulang."
Perintah ini dijalankan, dari budak perempuan ke budak
lelaki sampai ke kusir, maka sebentar kemudian, tiga buah kereta kurung yang besar sudah siap di muka toko, diapit kiri kanan oleh hamba-hamba kantor teetok yang bekal
golok di pinggang masing-masing.
Nyonya teetok dan puterinya turun dari lauteng dengan
dipimpin oleh budak-budak perempuan. Dari jauh banyak
mata ditujukan pada mereka, terutama nona Giok ada tarik perhatian, karena meski sinar bulan dan api telah mulai
guram, kecantikan dan dandanannya yang mentereng tidak
menjadi kurangan. Di mata orang banyak itu, ia mirip
dengan satu puteri khayangan ...
Kiau Liong jalan sambil tunduk, perhiasan di gelungnya
bersinar bergemerlapan. Selagi menghampirkan kereta, ia
jadi terkejut, karena tiba-tiba ia dengar ada suatu benda menyambar ia.
Budak-budak pada kaget, sampai mereka keluarkan
jeritan. Ternyata ada suatu benda yang nancap di gelung
Liangpantau dari si nona, ketika Siu Hiang sambil berjingke ulur tangannya akan cabut benda itu, kembali ia terperanjat.
"Ah, sebatang panah!" demikian ia berseru.
Kiau Liong terkejut kapan ia telah lihat panah itu yang
kecil sekali dan panjangnya melainkan tiga dim.
Semua pahlawan sudah lantas hunus golok mereka dan
dengan bengis usir mundur pada sekalian penonton, tidak
peduli lelaki atau perempuan, sehingga mereka ini, dalam ketakutan pada menjerit. Mereki saling tubruk dan banyak yang menangis. Orang sukar mundur, karena mereka ada
lapis berlapis.
"Ada apa?" tanya Giok thaythay yang sudah naik atas keretanya.
'"Ada orang jahat yang telah panah siocia," sahut satu budak.
Giok thay-thay kaget dan berseru.
"Apakah siocia terluka?" ia segera tanya.
"Tidak! Panahnya kecil sekali dan mengenai Liangpantau, bunga rusak tetapi siocia tidak kurang suatu apa!"
Nyonya itu gusar, tetapi ia berbareng sibuk melihat orang banyak lari serabutan sambil menjerit-jerit dan menangis, karena mereka sedang dikepung-kepung dan dihajar dengan
cambuk oleh hamba-hamba negeri yang sedang gusar.
"Jangan pukul orang!" nyonya Giok melarang "Cari saja si penjahat!"
Karena adanya perintah itu orang banyak tidak dikejar-
kejar atau dianiaya lagi, tetapi mereka lari terus, hingga sebentar saja jalan besar di situ menjadi sepi.
Nona Giok terus naik ke keretanya, maka sekejab
kemudian tiga kereta besar sudah lantas berangkat dengan dihantar oleh hamba-hamba teetok.
Nyonya Giok berlega hati karena mendapati anaknya tak
terluka. Ia hanya kaget melihat panah yang mungil itu.
"Bukankah panah ini sama dengan itu panah yang
dahulu melukai isterinya Lau Tay Po?" ia tanya. Ia masih ingat benar macamnya kedua panah itu.
Semua budak pun ingat itu, tetapi mereka bungkam.
Juga Giok siocia tidak bilang, apa-apa.
"Sesarang pergilah ke kamarmu dan mengaso," akhirnya Giok thay-thay kata pada puterinya itu. "Terang si penjahat sengaja berbuat begini untuk terbitkan onar. Jangan-jangan ini pun ada perbuatannya Lau Tay Po. Kau jangan takut,
dengan kau pakai giokpwee dari Lou thaythay, kau tidak
bakal dapat bencana! Pergilah tidur ... "
"Baiklah, ibu," kata si nona, yang terus mengasih selamat malam, kemudian bersama budaknya ia pergi ke kamarnya.
Rembulan ada bersih dan putih, jernih laksana air.
Harumnya bunga tersebar di sekitar situ.
Ketika Kiau Liong sampai di kamarnya, ia disambut oleh
Gim Sie yang sudah siapkan pembaringannya, lampu dan
lilin telah dipasang, maka ia terus duduk di kursi, antap kedua budaknya loloskan perhiasan rambutnya, akan
kemudian bantui ia salin pakaian. Selama itu ia diam saja, sepasang alisnya yang lentik dan bagus ada mengkerut,
suatu tanda ia sedang berduka atau berpikir keras.
"Pergi kau semua tidur," ia kata pada dua budaknya, sesudah mereka selesai melayani ia.
Gim Sie lantas undurkan diri dengan diturut oleh
kawannya. Di situ Siu Hiang beritahukan kawannya apa
yang telah terjadi tadi di muka toko cita.
Berada sendirian di dalam kamarnya, Kiau Liong segera
jatuhkan kepalanya di atas meja dan menangis, tetapi
dengan tak berani kasih dengar suara, karena itu, tubuhnya jadi bergerak-gerak.
Soat Hou, si Harimau Salju, yang nongkrong di lantai,
mengawasi saja majikannya. Ia seperti bengong dalam
keheranan, karena dulu-dulu ia belum pernah lihat nonanya bersedih demikian rupa.
Kiau Liong menangis dengan tidak ada lain orang yang
ketahui, sebagaimana pun tidak ada orang yang tahu
sebabnya ia bersedih itu. Ia menangis terus sampai jauh
malam, hingga ia ketiduran dan pulas sendirinya. Ketika
besoknya pagi ia tersadar, ia terus tidak bisa turun dari pembaringan. Pada wajahnya tertampak sinar kedukaan,
tidak ada tanda dari gangguan penyakit.
Tabib sudah lantas diundang untuk memeriksa, tetapi
tabib beritahukan bahwa si nona tidak sakit, hingga orang anggap ia dapat sakit karena kaget saja. Karena ini lantas datang usul dari beberapa sahabat buat mengundang
saykong atau hweeshio, buat bikin sembahyangan mengusir
roh jahat yang datang mengganggu. Tapi usul ini ditolak
oleh Giok teetok yang tidak percaya tahayul.
Kemudian ada usul supaya si nona lekas dicarikan
tunangan agar lekas dikasih menikah. Dan usul ini
mendapat persetujuan dari Giok teetok. Demikianlah
dengan diam-diam sering ia berunding dengan isterinya
tentang perjodohannya gadis itu.
Sementara itu Lou thaythay dan puteranya lebih sering
berkunjung ke gedung keluarga Giok, hingga beberapa hari kemudian, semua budak atau bujang lantas dapat tahu
bahwa sam-siocia mereka sudah dirangkap jodohnya pada
Lou hanlim, tiehu yang baru dari Sun-thianhu, bahwa lain
bulan akan dilangsungkan upacara pertunangan, dan di
musim ketiga pernikahan bakal dirayakan. Cuma Gim Sie
dan Siu Hiang serta siocia mereka ini, yang belum tahu
tentang tindakannya Giok teetok dan Giok thaythay itu,
dan semua bujang lainnya tidak berani mengasih tahu atau bicara sembarangan.
Sampai pada akhirnya bulan pertama, penjagaan malam
di gedung teetok telah menjadi kurangan kuatnya
sebagaimana yang sudah-sudah. Ini ada disebabkan, sampai sebegitu jauh, belum pernah lagi terjadi keonaran. Malam itu, selewatnya tengah malam, gedung teetok terbenam
dalam kesunyian. Semua penjaga telah berkumpul di kamar
jaga mereka. Semua penerangan juga telah dibikin padam.
Kiau Liong berada sendirian di dalam kamarnya, sebab
sudah sejak dua hari ia telah mulai sembuh dari "sakitnya", hingga ia ijinkan Gim Sie dan Siu Hiang kembali tidur di kamar mereka sendiri.
Dua batang lilin yang besar, apinya sudah padam, tetapi
dekat pada nona Giok masih ada sebuah lampu kecil yang
merupakan penerangan satu-satunya untuk kamar itu.
Lampu itu bisa ditaruh di dalam pembaringan. Sekarang si nona bukan sedang baca buku yang ia rahasiakan, ia hanya rebah celentang dengan pikiran kusut karena kedukaannya.
Hanya sekonyong-konyong ia berbangkit dan duduk karena
ia dapat dengar ada suara apa-apa.
"Meong ... meong ... " demikian terdengar suara di atas genteng. Atas suara ini, kucing putih di sampingnya si nona sudah lantas mendusin dan bangun, untuk terus pasang
kupingnya ... Dengan cekal lampunya, Kiau Liong turun dari
pembaringan dan bertindak perlahan-lahan keluar. Segera ia lihat sinar lampu yang lemah berkelebat di belakang
jendela, setelah mana, dengan tidak usah menunggu lama
kupingnya lalu tangkap suara sambaran angin, sebagai


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rontok terbangnya daun pohon.
Dan menyusul itu, dari luar jendela terdengar: "Kiau Liong! Kiau Liong! Buka jendela, lekas, aku di sini!" Itu ada suaranya seorang lelaki yang masuk ke kupingnya si nona.
Dan itu ada suara yang ia kenal baik, hingga ia segera tiup padam lampunya. Ia mendekati jendela, di mana ia
perdengarkan suara yang perlahan tapi keras sifatnya:
"Secara begini kau datang kemari, kau bikin aku tak ada muka untuk ketemui kau ... "
Ucapan ini disusul oleh mengalirnya turun air mata,
sedang dari luar jendela ada terdengar suara tertawa
perlahan. "Adik Kiau Liong, buka jendela, kasih aku lihat
wajahmu!" demikian suara yang menyusul.
Kiau Liong menghela napas, tetapi ia buka jendela,
berbareng dengan terbukanya itu, gesit bagaikan kucing ada melesat masuk seorang pemuda, dan sesampainya di dalam,
orang itu terus cekal keras kedua tangannya si nona.
"Mundurlah sedikit ... " begitulah ada ucapan satu-satunya dari si nona, yang keluar dari mulutnya. Tetapi, sedetik kemudian, ia tambahkan: "Apa yang aku bilang
ketika kita hendak berpisahan di Sinkiang" Apakah kau
lupa itu" Kenapa kau lepaskan panahmu pada malaman
Capgomeh" Apa benar kau hendak paksa aku mati" ... "
Suara itu ada suara dari kesedihannya hati, saking
lemahnya. Tetapi orang yang baru datang itu tertawa.
"Aku datang ke Pakkhia ini melulu untuk kau!" ia kata.
"Coba nyalakan api, aku ingin lihat wajah mukamu ... "
Tapi si nona geleng-geleng kepalanya berulang-ulang.
"Lekas kau pergi, lekas," ia berkata. "Sekarang ini aku bukan lagi Kiau Liong yang berada di Sinkiang dahulu! Jika kau masih ingat kata-kataku, lekaslah pergi! Kau mesti lekas lakukan apa yang aku bilang, nanti berselang satu tahun
baru kau datang pula kemari. Tentu saja kau tidak mestinya datang secara begini, bila kelak kau datang secara begini pula lebih baik jangan bertemu lagi!"
"Walau bagaimana, kau mesti ijinkan aku lihat pula
tampangmu!" mendesak itu orang lelaki. "Sesudah kita berpisahan, di dalam impian, di waktu sadar, kau sajalah yang berbayang di depan mataku! Di gurun pasir, di atas
gunung yang tinggi, di dalam rimba yang lebat, di dalam
sungai, di dalam cawan arak, ya, di mana saja, mesti ada petaan dirimu! Kemarin ini di antara cahaya tanglung, aku belum lihat nyata, maka di sini aku ingin lihat kau sejelas-jelasnya! Kiau Liong, setelah memandangnya, aku akan
pergi, aku nanti bekerja menuruti ucapanmu, supaya di
kemudian hari kita bisa menjadi suami isteri!"
Setelah itu, dengan tidak menunggu perkenan, orang itu
segera nyalakan apinya. Cuma dengan sekali tiup, bahan
api itu segera menyala menerangi seluruh kamarnya, hingga di situ tertampaklah pakaian yang indah, rambut yang kusut dari si nona, muka yang penuh air mata, paras yang
menunjukkan kemenyesalan dan penasaran ...
Di lain pihak, sinar api pun telah menerangi orang lelaki yang tidak dikenal itu. Ia ada seorang muda yang cakap
dengan tubuh besar dan kekar, dengan dandanan yang
sangat singsat dan rapi, ialah pakaian serba hijau, kopiah hitam, di pinggangnya ada terselip golok panjang tak
sampai dua kaki, gagangnya memakai gelang-gelangan.
Kapan empat mata beradu, pemuda itu tertawa.
Kiau Liong tidak gusar, tetapi tangannya menolak.
"Lekaslah kau pergi," ia kata. "Kau mesti bekerja menuruti kata-kataku! Jangan kau datang pula secara
begini! Siau Hou, kau mesti dengar ucapanku ... "
Pemuda yang dipanggil Siau Hou itu menghela napas,
"Kau jangan berduka," ia bilang, "aku akan pergi, aku akan turut pesananmu. Baiklah, sampai kita ketemu lagi!"
Ia terus padamkan api, ia bertindak ke jendela yang
daunnya ia tolak, di situ ia loncat dan menghilang.
Kiau Liong berdiam sesaat, lantas ia menghela napas
akan bikin lega hatinya. Kemudian ia lekas kunci jendela dan kembali ke kamarnya. Setelah letakkan lampunya ia
lalu rebahkan diri. Kembali air matanya mengalir keluar
membasahi bantal sulamnya.
Malam ada sangat sunyi, melainkan kentongan terdengar
berbunyi empat kali.
Soat Hou meringkuk pulas di samping nonanya, siapa
menangis sesenggukan dengan perlahan, karena di depan
matanya telah berbayang pula segala kejadian di Sinkiang yang jauh, selama ia tinggal di sana belasan tahun ...
Giok Kiau Liong ikut ayahnya pindah dari Sinkiang ke
Pakkhia baru empat atau lima bulan. Sedari kecil sehingga berumur belasan, ia lewatkan penghidupannya di itu
wilayah luar dari Tiongkok Asli. Tentang bugee-nya yang
liehay, sampai pada saat ini, ayah dan ibunya pun tidak
mendapat tahu. Gurunya, Kho Long Ciu alias In Gan, si
Belibis Awan, ada hubungannya dengan Ah Hiap, si Jago
Gagu, juga dengan Yo Pa, Yo Lee Eng dan Yo Lee Hong.
Maka untuk ketahui semua ini, baiklah kita mundur
sedikit dari cerita ini. Kita harus mulai dari saat tigapuluh enam tahun yang telah lampau. Karena sekarang Kiau
Liong berusia sembilan belas tahun, kejadian itu jadinya di
masa tujuh belas tahun sebelumnya Kiau Liong menjelma.
Dan itu adalah saatnya munculnya jago-jago yang kesohor, seperti Kie Kong Kiat, Lie Hong Kiat, Ceng Hian Siansu
dan lain-lain, yang semua berkedudukan di Kanglam dan
Kangpak, di kedua tepi Honghoo. Tapi di saat itu, jago
yang istimewa, ialah Kang Lam Hoo, ada sedang
"bersembunyi" di atas gunung Kiuhoa San di Anhui Selatan, hidup sebagai tukang tanam pohon teh, dengan tak campur urusan di kalangan Sungai Telaga. Sementara itu,
Kang Lam Hoo punyakan satu suheng, yang punya mulut
tapi tidak bisa bicara, punya kuping tidak dapat mendengar, tak ada orang yang ketahui she dan namanya, hingga orang panggil ia Ah Hiap. Sedang menurut keterangannya Kang
Lam Hoo, bugee dari suheng ini ada jauh terlebih tinggi
daripada kebisaannya sendiri. Tapi pada suatu hari, suheng ini lenyap tak keruan paran, ia mati atau masih hidup Kang Lam Hoo tidak dapat ketahui. Hanya, lenyapnya Ah Hiap
pada tigapuluh tahun yang lalu itu, sekarang ada
hubungannya dengan puterinya Giok teetok ialah Kiau
Liong ... Distrik Suikang letaknya di dekat sungai Kimsee Kang,
Inlam. Di luar kota itu ada sebuah kampung kecil yang
penduduknya cuma duapuluh pintu lebih. Di kampung ini
ada tumbuh banyak pohon goutong, hoay dan yangliu,
maka setiap permulaan musim kedua, pasti sekali itu
kampung seperti tertabur dengan daun-daun hijau.
Itu hari, magrib, ada turun hujan gerimis. Awan yang
mendung ada seperti melekaskan datangnya cuaca gelap. Di jalanan sudah tidak ada orang yang berlalu lintas. Tapi tiba-tiba dari kejauhan terdengar tindakan kaki kuda di atas air dari jalanan kampung yang becek.
Itu adalah seekor kuda hitam, dengan penunggangnya
seorang yang berpakaian hitam juga, yang kepalanya
ditutup rapat dengan tudung bambu yang besar. Ia tidak
bertubuh jangkung pun tidak kate. Ia telah berusia kurang lebih limapuluh tahun dengan kumis dan jenggotnya yang
panjang tak terawat, warnanya sudah abu-abu. Di belakang kudanya ada tergendol satu bungkusan yang tidak besar dan sebatang pedang, bungkusan ini tidak basah, sebab terbikin dari kain minyak, melainkan pakaiannya si penunggang
kuda yang semuanya kuyup lepek.
Terus saja penunggang kuda ini masuk ke perbatasan
kampung, ia memandang ke kiri dan kanan secara sambil
lalu. Di waktu begitu, penduduk kampung umumnya sudah
bersantap malam dan naik ke atas pembaringan, tetapi
masih ada sebuah rumah dari mana ada sinar api molos
keluar. Maka si penunggang kuda lantas jalankan kudanya
menuju ke rumah atap itu. Ia loncat turun dari kudanya,
dengan kaki pakai sepatu rumput, ia tuntun kudanya akan
masuk ke dalam pekarangan. Ia tolak daun pintu dengan
tidak mengetok atau memanggil-manggil lagi. Ia terus saja bertindak masuk. Di situ ada dua pintu.
Selama orang asing ini bertindak masuk, dari dalam
rumah tidak ada orang yang keluar akan melihat atau
menanya. Dari itu, setelah lepaskan cekalannya pada les
kuda, tetamu ini segera samperi pintu yang ia rerus dorong, dengan ia sendiri terus masuk ke dalamnya ...
Rumah itu kosong dengan perabotan, kecuali kwali dan
mangkok dan beberapa rupa yang lain. Tapi di atas
beberapa para-para ada kedapatan sejumlah kitab. Sedang
penghuninya, yang dandan sebagai anak sekolah, ada
sedang duduk membaca buku.
Tuan rumah jadi kaget dan loncat bangun apabila
nampak ada tetamu yang tak diundang itu.
"Eh, kau dari mana?" ia menegur. "Kenapa dengan tidak mengetok pintu lagi kau lancang masuk ke rumahku?"
Orang itu gerak-gerakkan kedua tangannya, dan matanya
juga, antaranya ia tunjuk mulutnya. Terang ia memberitahukan bahwa ia tidak bisa bicara.
Tuan rumah nampaknya heran.
"Kenapa di waktu hujan dan malam begini ada ini
tetamu gagu" ... " demikian ia berpikir. Karena tidak ada lain jalan, ia ambil pit dan kertas. Dengan surat ia mau tanya orang punya she dan nama, dari mana datangnya,
dan ada keperluan apa.
Baru saja tuan rumah angkat pit atau si tetamu sudah
keluarkan satu buntalan kecil yang sudah lepek yang ia
letakkan di atas meja buat terus dibuka, hingga di dalam buntalan itu kelihatan beberapa potong emas hancur dan
selembar surat. Dan surat itu terus ditunjukkan pada tuan rumah.
Anak sekolah itu membaca:
"Kheng Liok Nio, dusun Tonghoa-cun, distrik Suikang".
Tidak mengerti akan maksudnya surat itu, tuan rumah
mengawasi tetamunya.
Dengan mempeta-petakan tangannya si gagu mau tanya
di mana tinggalnya Kheng Liok Nio itu.
Terpaksa anak sekolah itu menggunakan surat menanyakan si gagu datang dari mana dan apa perlunya
cari Kheng Liok Nio.
Apa mau, si gagu ini juga tidak mengerti surat, hingga
percuma saja si anak sekolah corat-coret kertasnya. Dengan
terpaksa ia ajak si gagu keluar. Ia dapat lihat kudanya si gagu, buntalan dan pedang, kemudian dengan satu tanda ia suruh si gagu tuntun kudanya buat ikut ia pergi keluar
pekarangan, di sini ia tunjukkan ke mana tetamu ini mesti pergi, akan cari alamat yang tertulis itu. Itu adalah rumah tetangga seling dua rumah.
Setelah dapat keterangan, si gagu itu tertawa, sambil
angkat kedua tangannya ia memberi hormat menghaturkan
terima kasih, kemudian dengan tuntun kudanya ia
bertindak ke jurusan rumah yang ditunjuk itu.
Si anak muda masih saja heran kendati ia sudah kembali
ke dalam rumahnya, hingga ia tidak ketarik akan
melanjutkan baca bukunya. Sebenarnya hujan telah turun
lebih besar, tetapi dengan tidak pedulikan itu ia keluar pula, pergi ke rumahnya Kheng Liok Nio, ke pintu pekarangan,
di situ ia berdiri akan pasang kuping.
Di dalam pekarangan ada terdengar berbengernya kuda,
dan di dalam rumah terdengar suara ah-ah-uh-uh dari si
gagu serta haha-hihinya seorang perempuan.
Mendengar demikian, anak sekolah itu jadi sangat tidak
mengerti dan berbareng mendongkol juga, lekas-lekas ia
pulang ke rumahnya.
Anak sekolah ini adalah Kho Long Ciu alias In Gan. Ia
ada siucay yang berulang-ulang turut ujian tetapi tidak bisa lulus, hingga ia tetap jadi calon saja. Ia sudah berumur duapuluh Tujuh tahun, ayah dan ibunya telah meninggal
dunia, karena ia tidak bisa jadi kiejin, ia batalkan
pertunangannya yang telah diikat ketika ia masih kecil.
Engko-nya, Bou Cun, ada jadi tiekoan di Hoolam, maka itu sekarang ia tinggal sebatang kara di rumahnya yang kecil ini, yang terdiri dari dua pintu. Dan karena ia tidak punya sawah atau kebun, ia juga tidak usah pergi meluku atau
memacul buat jadi pak tani. Hanya setiap hari di dalam
rumahnya ia melatih menulis huruf, membikin karangan
atau syair, melukis gambar, main kim, atau membaca kitab.
Kitab yang ia baca bermacam-macam, dari bahasa kuno
sampai hikayat, dari ilmu alam sampai ilmu bumi,
begitupun ilmu obat-obatan dan ilmu petang-petangan, pun ilmu perang dan ilmu silat pedang. Ia ada begitu kesohor di desanya itu, hingga orang sebutkan ia sebagai siucay yang bunbu coancay!
Demikian, meskipun Kho Long Ciu belum berusia
tinggi, kalau orang-orang di desanya ada urusan apa-apa, mereka datang padanya untuk memohon pikiran.
Sementara itu, di sebelahnya siucay ini, di desa itu pun ada lain orang yang sama terkenalnya, kendati juga dalam lain sifat. Ia ini sangat ditakuti. Ia ini adalah Kheng Liok Nio gelar Pekgan Holie, si Rase Mata Biru.
Ayah dari Kheng Liok Nio ini ada satu penjahat besar.
Pada tiga tahun yang lalu, ayah itu kena ditangkap
pembesar negeri dan dihukum mati, maka itu, ia jadi hidup sendirian saja, hingga ia suka pergi mengembara, sering
beberapa bulan tak pulang-pulang. Ia ada satu gadis,
umurnya itu waktu baru duapuluh empat atau duapuluh
lima tahun. Ia punya satu sahabat baik, ialah juru tulis di kantor tiekoan yang sering datang kepadanya, seperti juga mereka ada suami dan isteri.
Juru tulis tiekoan itu bernama Hwie Pek Sin, umurnya
kira-kira tigapuluh tahun. Ia ada teman sekolah dan sahabat baik dari Kho Long Ciu, sering mereka berdua duduk
berkumpul sambil minum arak atau berunding. Hanya
sudah sejak beberapa hari, Hwie Pek Sin tidak pernah
datang. Dan apa mau, Kheng Liok Nio itu sekarang
kedatangan si gagu yang tidak dikenal itu dan mereka
berdua lantas saja bersenda gurau, maka bisa dimengerti
yang siucay itu jadi tidak senang.
Di hari kedua, hujan masih belum mau berhenti. Itu hari
pun Hwie Pek Sin tidak datang dari kota dan Kho Long Ciu juga tidak mau pergi menyusul ke kantor tiekoan. Di lain pihak, ia tidak punya hak untuk tegur Pekgan Holie.
Kapan lewat lagi satu hari, barulah langit terang.
Si gagu masih tetap tinggal di rumahnya Kheng Liok
Nio, dan ketika si nona muncul itu pagi, rambutnya yang
dikepang panjang sudah salin rupa menjadi gelung, dan
waktu ia ketemu dengan beberapa tetangga, dengan toapan
ia kata pada mereka:
"Suamiku telah datang, benar ia gagu tetapi ia ada punya banyak uang. Kita berkenalan sejak tahun yang lalu, salah satu sahabat kita yang menjadi orang perantaraan. Ia punya kebun teh yang semua ia telah jual, ia telah datang susul aku di sini untuk tinggal sama-sama. Kita sekarang punya beberapa ribu tail, maka kita ingin beli sawah dan kebun, kita mau beli tanah untuk dirikan rumah."
Mendengar keterangan itu, semua orang cuma manggut-
manggut, tetapi di dalam
hati, mereka mencaci perbuatannya si nona yang tak tahu malu itu. Di sebelahnya Kheng Liok Nio yang berani dan garang itu, si gagu tak
dapat dicela. Ia tidak bisa bicara, tapi setiap hari ia dandan dengan rapi seperti biasa lain-lain hartawan. Kalau ia
bertemu tetangga, lelaki atau perempuan, ia bisa unjuk
hormat sambil tersenyum, dan kalau ia ketemu anak-anak,
ia suka ajak main anak-anak itu yang kepalanya ia usap-
usap. Dan kalau ia ketemu orang miskin, ia tidak berat
merogoh saku, akan mengamal. Ia suka pergi ke kota buat
belanja, umpama obat-obatan, benang wol, cita dan kue,
yang mana ia suka bagikan pada tetangga-tetangganya.
Maka kesudahannya tidak ada orang cela ia, malah semua
orang bilang ia adalah si gagu yang baik hati.
Sejak itu, kelakuannya Kheng Liok Nio juga turut
berubah, ia nampaknya telah menjadi satu nyonya muda
yang baik martabatnya, hingga pandangan orang atas
dirinya juga jadi ikut berubah sendirinya.
Adalah berselang sepuluh hari kemudian, Hwie Pek Sin
dari kota telah datang ke rumahnya Kho Long Ciu, apabila ia sudah dengar perihal kelakuannya Kheng Liok Nio, ia
menjadi tidak senang dan gusar, hingga dengan keras ia
kata: "Itu rase perempuan tidak punya liangsim! jikalau bukan aku yang lindungi ia di kantor, mana ia bisa tinggal senang dan merdeka di sini" Ia punya beberapa perkara
besar yang semua tergenggam di dalam tanganku, asal aku
hendak mengganggu, ia tentu bakal diseret ke muka
pengadilan di mana ia akan dijatuhkan hukuman mati! Dari mana ia mendapati si gagu itu dengan siapa ia berani hidup sebagai suami isteri" Bagaimana seorang gagu bisa
punyakan banyak uang" Pasti si gagu juga ada satu penjahat besar! Saudara Long Ciu, pergilah kau turun tangan, hajar padanya! Bila orang terluka atau binasa, semua aku yang
tanggung!"
Kho Long Ciu memang sedang gusar, anjurannya Hwie
Pek Sin bikin ia tambah panas dan berani, maka selagi
percaya yang bugee-nya boleh diandalkan, ia bawa
pedangnya pergi satroni Kheng Liok Nio. Begitu ia sampai, ia lantas gedor pintu, tetapi sebelum pintu dibuka, ia
mendahului mengintai ke dalam.
Di dalam pekarangan kelihatan si gagu sedang ajarkan
Kheng Liok Nio silat, ia lagi berikan pengunjukan dengan ia sendiri jalankan ilmunya, gerakannya gesit bagaikan
monyet atau burung, kepalannya sebat seumpama kilat
menyambar-nyambar.
Melihat itu, Kho Long Ciu tercengang, kemudian lekas-
lekas ia umpatkan pedangnya di belakangnya sebuah batu
besar. Ia pun tidak berani lantas ikut Hwie Pek Sin masuk ke dalam.
Tidak antara lama, pintu pekarangan dipentang. Dengan
hati panas, Hwie Pek Sin bertindak masuk.
Di antara pagar kate, dari luar Kho Long Ciu mengawasi


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam. Kelihatan Kheng Liok Nio seperti yang belum melupai
sahabat lama, menyambut Hwie Pek Sin dengan manis.
"Jangan kau cemburuan, kata nyonya muda itu. "Aku ikuti ia ini karena ia ada punya banyak uang dan sekalian untuk belajar silat. Perhubungan kita mesti dibikin seperti biasa, asalkan harus dijaga supaya ia ini tak mendapat
tahu." Si gagu mengawasi dengan bengong, ia tak tahu apa
yang orang sedang bicarakan.
"Si gagu ini orang macam apa?" tanya Hwie Pek Sin dengan mata melotot. "Apa she dan namanya" Kau suka menikah padanya, apa itu disebabkan ia pandai bugee dan
ia paksa rampas kau?"
Kheng Liok Nio, yang tubuhnya jangkung dan mukanya
panjang, tersenyum dengan tenang. Dengan sebelah
tangannya ia buat main kembang yang nancap di
gelungnya. "Bukan," ia menyahut, "aku bukannya dipaksa olehnya.
She dan namanya aku pun tak tahu tetapi aku ketahui ia
ada seorang yang tersohor di kalangan Sungai Telaga, tak ada orang yang tak kenal padanya. Percuma aku terangkan
padamu, kau niscaya tidak bisa mengerti. Dengan ianya aku sebenarnya tidak punya perhubungan yang berani. Aku
kenal ia pada tahun yang baru lalu waktu aku pergi ke
Kanglam akan cari suheng-ku. Kita bertemu di tengah
jalan. Tidak kusangka bahwa ia telah ketarik padaku. Ia
tanya di mana aku tinggal. Dan pun aku tak sangka, dari
tempat begitu jauh ia bisa susul dan cari aku!"
Pek Sin tetap mendongkol, hingga ia banting-banting
kaki. "Ia datang dan kau lantas nikah padanya!" ia kata dengan nyaring.
Sampai begitu jauh, mukanya Kheng Liok Nio pun
menjadi merah. "Jangan kau bikin aku gusar!" ia lalu kata dengan sengit.
"Aku bukannya dinikah olehmu, hanya dibeli! Jangankan baru aku nikah si gagu, walau aku nikah seorang buta
sekalipun kau tidak berhak akan merintangi!"
Hwie Pek Sin begitu gusar sampai tubuhnya
bergemetaran. "Baik, baik, inilah ucapan yang aku nanti ingatkan!"
berseru ia secara mengancam. "Di kemudian hari jangan kau menyesal!"
Si gagu mengawasi saja. Ia rupanya bisa duga apa yang
diributi, karena tiba-tiba ia angkat kakinya dan Hwie Pek Sin lantas saja rubuh terguling dan celentang.
Dengan kesakitan dan kemurkaan, juru tulis ini merayap
bangun. "Bangsat gagu!" ia mendamprat, "kau berani pukul aku" Awas, kau kenali aku, juru tulis dari kantor tiekoan!"
Si gagu tetap tidak ketahui apa yang orang katakan,
hanya terus ia merangsek dan mengulur tangannya,
sebelum Hwie Pek Sin bisa berbuat apa-apa, tubuhnya
sudah terangkat naik, karena pahanya disambar dan sekejab
kemudian tubuhnya sudah melayang melewati pagar terus
jatuh terbanting di tanah, suara jatuhnya dibarengi sama jeritannya yang hebat. Nyata lututnya telah patah hingga ia tidak mampu merayap bangun ... !
Sesudah itu, si gagu gabrukkan pintu pagar dan kunci itu.
Kho Long Ciu lari pada sahabatnya, tubuh siapa ia
lantas pondong dibawa pulang ke rumahnya.
Hwie Pek Sin kesakitan, sambil teraduh-aduh ia pun
mencaci dan mengutuk tidak berhentinya, ia tidak gubris
sahabatnya yang membujuki agar ia suka bersabar.
"Lekas hantar aku pulang, aku mesti bawa orang polisi!"
berseru juru tulis pemogoran ini. Ia ingin bekuk si gagu dan kekasihnya itu.
"Sabar, sahabatku," kata Kho Long Ciu sambil
mencegah dengan tangannya. "Jangan kau sembarangan
bertindak. Apa kau tidak dengar apa katanya si perempuan tadi" Si gagu ada orang luar biasa, aku pun ketahui dengan melihat caranya ia bersilat. Kalau kau panggil polisi, bukan saja kau akan nampak kegagalan kembali, malah apabila si gagu benci padamu, ia bisa bunuh kau!"
Mendengar begitu, Hwie Pek Sin bergidik. Maka
akhirnya, ia menahan sabar. Kemudian ia berangkat
pulang, akan paling dahulu rawat diri.
Dasar ia ada juru tulis yang pintar dan berpengaruh, di
hari kedua Hwie Pek Sin telah dikunjungi Kheng Liok Nio
yang datang di luar tahunya si gagu. Si gagu hanya tahu
isterinya pergi ke kota untuk belanja. Di sini mereka tidak bertengkar lagi, sebaliknya, mereka bercakap-cakap dengan asyik. Dan sejak itu, Hwie Pek Sin tidak lagi tertampak
pergi ke Tonghoa cun, hingga si gagu bisa bersenang-senang dengan isterinya tanpa gangguan siapa juga.
Dalam hidupnya yang tenteram dan senang si gagu terus
ajarkan Kheng Liok Nio silat. Karena ini, sampaikan ia
lupakan sutee-nya Kang Siau Ho di Kiuhoa San. Setiap kali ia mengajar silat, tentu dari luar pagar, ada orang yang mengintai dan mencuri lihat, ialah si siucay bunbu coancay.
Ia ketahui ini tetapi ia tidak mempedulikannya, ia tetap berikan pimpinan pada isterinya. Rupanya ia anggap,
peduli apa orang curi lihat kepandaiannya, orang toh tidak akan mampu curi semuanya.
Kheng Liok Nio juga tahu Kho Long Ciu selalu intip
mereka akan curi pelajaran, ia merasa tidak puas, tetapi karena si gagu diam dan tidak mencegah. Ia lalu pikir:
"Ia ada siucay tersohor di ini desa, ia pun ada sahabatnya Hwie Pek Sin, biarlah ia belajar terus. Ia sebenarnya ada satu kutu buku, benar ia mengerti ilmu silat pedang, tetapi dengan belajar secara mencuri, mana ia bisa peroleh
kepandaian sejati" Belajar secara demikian ada sukar ...
Demikian, hari lewat hari, satu tahun lebih telah lewat.
Selama itu, karena tidak punya penghasilan dan biaya
hidupnya besar, uang simpanan si gagu dari berharta ia jadi bersengsara. Lebih celaka lagi, Kheng Liok Nio perlakukan ia semakin tawar, sementara tubuhnya yang tadinya kekar, lalu menjadi lemah, disebabkan terlalu umbar hawa napsu
dan layani saja isterinya yang muda dan gagah.
Selama itu, Hwie Pek Sin juga mulai sering tertampak
pula di Tonghoa cun, ia suka bikin pertemuan rahasia
dengan Kheng Liok Nio.
Pada suatu hari di bulan ketiga, sorenya telah turun
hujan gerimis. Dengan tiba-tiba dari rumahnya Kheng Liok Nio telah terdengar suara menangis.
Kho Long Ciu sedang yakinkan ilmu silat curian di
rumahnya ketika ia dapat dengar suara itu, hingga ia jadi
kaget dan heran. Segera ia berhenti berlatih, ia pergi keluar rumahnya akan perdatakan suara itu. Ternyata suara itu
adalah tangisannya Pekgan Holie, cuma sampai tiga kali,
lantas tangisan itu sirap. Ia lantai memburu ke rumah
tetangganya itu, ia mendapati dalam pintu dikunci, ia mau coba kepandaiannya yang dimendapati asal mencuri.
Dengan hanya satu kali enjot tubuhnya ia bisa melesat
loncati pagar sampai di sebelah dalam.
Begitu lekas siucay bunbu coancay ini sampai di dalam
rumah, ia mendapati si gagu tidur celentang dengan sudah tak bernyawa, tubuhnya dikerebongi, melainkan tertampak
mukanya yang unjuk roman menyeramkan, satu tanda
bahwa ia mati bukan melulu disebabkan sakitnya.
"Ini tentulah ada sebab
Pekgan Holie merasa kepandaiannya sudah sempurna dan hartanya si gagu sudah
ludas, hingga ia anggap si gagu sebagai duri di matanya ... "
demikian Kho Long Ciu pikir.
Kheng Liok Nio menangis sebentaran, rupanya buat
mengelabui matanya tetangga-tetangga, lantas ia geledah
buntalannya si gagu, ia jadi kecele karena Isinya bukan
emas atau perak, hanya dua jilid buku tua yang ia tidak
tahu buku apa karena ia tidak tahu mata surat.
Ketika Kho Long Ciu masuk secara tiba-tiba, Kheng
Liok Nio sedang pandang buku tua itu, melihat orang
datang, ia terperanjat, tapi si siucay yang telah lantas dapat lihat namanya buku itu, hatinya girang tak kepalang, tetapi sebagai orang yang pintar, ia tidak utarakan kegirangannya itu.
"Jangan takut!" ia kata, sambil tersenyum sindir.
"Memang-sudah sejak lama aku menduga, kau dan Hwie
Pek Sin mesti mainkan ini macam muslihat. Sebenarnya
tidak usah kau ambil tindakan ini, dia toh bakal mati juga ...
Legakan hatimu, aku tidak akan buka rahasia! Hanya itu
dua jilid buku kau kasih aku pinjam lihat."
"Pergilah ambil," kata Pekgan Holie. "Sekarang barulah aku menyesal ... "
"Ya, menyesal sesudah kasep!" kata Kho Long Ciu sambil terus tersenyum sindir. "Selanjutnya kau mesti jaga baik-baik pembalasan sakit hati dari sahabat-sahabatnya si gagu ini!"
Dengan bawa dua buku itu Kho Long Ciu terus ngeloyor
pergi. Di lain harinya, Kheng Liok Nio rawat mayatnya si gagu
dan Hwie Pek Sin datang membantui. Semua diurus dengan
cepat dan sederhana.
Dan Kho Long Ciu, sejak itu jarang sekali keluar dari
rumahnya. Selama itu, sampai satu bulan lebih, di kampung
Tonghoa cun itu tidak ada terjadi perkara apa juga,
kampung ada tenteram seperti sediakala.
Hanya Kho Long Ciu telah lantas jual rumahnya dan
kumpulan buku, ia berangkat dari Suikang, ke mana ia
pindah, penduduk desanya tak ada yang ketahui.
Dua jilid buku dari si gagu yang setiap jilidnya terdiri dari empat atau limaratus halaman, sebenarnya ada
memakai kulit muka dengan tulisan: "Kiu Hoa Koan Kiam Coan Sie, Kang Lam Hoo Hui Cie", atau artinya: "Buku pelajaran silat dari Kiuhoa San dengan hiasan gambar oleh Kang Lam Hoo". Di dalamnya ada tercatat rupa-rupa ilmu silat, tangan kosong dan bersenjata, dengan tulisan dan
lukisan gambar, benar tulisannya jelek dan gambarnya
kasar, toh semua ada terang. Itu ada buah pelajaran dari Kiuhoa San Loojin. Yang penting di dalam buku itu adalah
lukisan Tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah atau nadi.
Kang Lam Hoo sengaja bikin itu buku untuk suheng-nya,
Ah Hiap si Jago Gagu itu. Siapa punyakan kitab itu, ia bisa pelajarkan itu dengan baik, asalkan ada punya keyakinan
dan kekerasan hati.
Kho Long Ciu ada seorang pandai, ia tahu apa artinya
dua buku itu, maka ia sudah lantas menyingkir ke Hoolam
di mana ia cari engko-nya, Kho Bou Cun, siapa sementara
itu sudah naik pangkat menjadi Thongpoan di Lulam dan
dengan tiehu Ho Siong ada bersahabat kekal, maka engko
ini pujikan ia pada Ho tiehu, hingga kesudahannya ia
diterima bekerja sebagai juru tulis. Ia terima pekerjaan ini hanya untuk sembunyikan diri, supaya Kheng Liok Nio tak
dapat cari ia. Di sini siang ia bekerja, malamnya ia terus berlatih diri menuruti pengunjukan-pengunjukan di dalam
buku. Siang, di luarnya jam kerja ia gemar sekali menulis dan melukis, minum arak dan bersyair, hingga semua orang sangka ia ada satu kutu buku tulen, tidak tahunya, setiap malam, selagi orang lain tidur menggeros, ia lagi yakinkan ilmu. Begitulah, di Lulam ini ia jadi mendapati satu tempat sembunyi yang aman.
Di kota Lulam itu pun ada tinggal seorang terpelajar she Yo nama Siau Cay yang hidupnya senang dan nganggur,
hingga dalam usia hampir empat puluh tahun ia merdeka,
ia bisa pesiar setiap waktu ia suka. Ia bersahabat pada Ho tiehu, begitupun dengan Kho Bou Cun, tidak heran kalau ia pun lantas jadi sahabatnya Kho Long Ciu, malah berdua
mereka ini jadi bergaul sangat rapat. Arak dan syair adalah perantaraan di antara mereka berdua. Meski begitu, Yo
Siau Cay tak mengetahui yang Kho siucay diam-diam ada
paham-kan ilmu silat yang tinggi.
Diceritakan pada Gogwee Toanngo, semua kantor
sedang bercuti, maka Kho Long Ciu ikut kandanya pergi ke
gedungnya Ho tiehu untuk memberi selamat, tetapi setelah itu, ia ngeloyor seorang diri. Itu siang matahari sangat panas terik, di tengah jalan ia setiap kali-setiap kali
menguap karena tadi malam ia sukar pulas dan otaknya
telah bekerja berat luar biasa. Ia telah dibikin pusing oleh Ah Hiap punya pelajaran pedang "Kauhun Toatpekkiam"
atau ilmu pedang "Menggaet roh dan merampas arwah."
Sampai itu siang ia masih tidak dapat tangkap
kesempurnaannya ilmu itu. Begitulah, sembari jalan ia terus berpikir, sampaikan ia tak lihat orang di kanan kiri dan di depannya juga.
Tiba-tiba ia dengar: "Saudara Long Ciu!"
Atas ini, ia merandek dan berpaling ke sekitarnya, tetapi ia tidak lihat orang yang ia kenal, yang memanggil ia.
"Kanda Long Ciu mari, naik ke lauteng!" demikian suara itu memanggil pula.
Ia dongak ke jurusan lauteng dari satu rumah makan
kecil di mana ia lihat Yo Siau Cay yang berdiri menyender di atas lauteng sedang menggapei ia.
"Oh, aku justru hendak kunjungi kau, sahabatku!" kata ia, kemudian dengan cepat ia bertindak ke rumah makan itu terus naik ke lauteng. Ia mesti melalui gang di mana ada banyak rumah orang, barulah sampai di rumah makan yang
sempit itu. Di atas lauteng cuma ada tiga empat meja dan tetamu lainnya belum ada, kecuali Yo Siau Cay.
"Saudara Siau Cay!" kata Klio Liong Ciu sambil tersenyum dan memberi hormat, "ini hari ada hari
peringatan Toanngo, bukannya kau minum arak di
rumahmu, kenapa kau datang kemari sendirian saja"
Nampaknya Siau Cay ada tidak leluasa akan berikan
penyahutan, tetapi ia tersenyum.
"Silahkan duduk, silahkan duduk!" ia mengundang. "Kau di sini sebatang kara, kau niscaya kesepian, maka marilah duduk di sini! Mari kita sama-sama minum!"
Kho Long Ciu bisa mengerti kesukaran dari sahabatnya
ini, yang punya isteri sangat bercemburuan, sebab meski
mereka sudah berusia hampir empatpuluh dan tidak peroleh anak, lelaki atau perempuan, nyonya itu tetap tak mau
ijinkan suaminya menikah pula atau ambil gundik untuk
memperoleh turunan. Sekarang Siau Cay keluar sendirian,
tentu di rumahnya ia sudah bercidrah dengan isterinya yang galak itu.
"Tambah satu poci arak!" Siau Cay teriaki pemilik
rumah makan. Dari antara alingan kere ada terdengar suara penyahutan
dari pihak pemilik, lantas kere tersingkap dan satu tangan yang putih dan halus, dengan jeriji-jeriji yang kukunya dicat merah, menonjol keluar bersama satu poci arak. Di antara jari tangan itu pun ada yang memakai cincin emas dengan
batu kuning indah.
Tuan pemilik bertubuh kate dan dampak, umurnya kira-
kira limapuluh tahun. Ia sambutkan poci arak itu untuk
dibawa pada kedua tetamunya.
"Apakah pemilik ini tinggal bersama anggauta-anggauta keluarganya?" diam-diam Kho Long Ciu berbisik di kuping kawannya, seperginya tuan rumah itu.
"Ya, suami isteri berdua serta satu anak gadisnya," sahut Sau Cay sambil tertawa.
Hampir berbareng dengan itu, dari bawah lauteng ada
bertindak naik satu nona dengan pakaiannya baru, ia masuk terus ke dalam kere dari mana lekas juga ia keluar pula
bersama satu nona yang tubuhnya lebih tinggi, yang
parasnya elok, umurnya baru lima atau enambelas tahun,
rambutnya hitam dan mengkilap, di ujung rambutnya di
dekat kuning ada ditancap kembang wol yang merupakan
seekor harimau, sedang warna pakaiannya ada hijau.
Ketika ia memandang Yo Siau Cay, ia tertawa urung, lantas ia jalan terus, turun ke bawah, mengikuti kawannya itu.
"Ha!" tertawa Kho Long Ciu. "Pantas begini hari kandaku sudah berada di sini, kiranya di sini bukan melulu ada arak hanya juga si cantik manis!"
"Kau toh lihat itu harimau di rambutnya si nona,
bukan?" kata Yo Siau Cay sambil tertawa, dengan tak gubris godaan orang. "Mari kita ambil itu sebagai kalimat, untuk bersyair. Siapa tidak bisa atau tak mau, ia akan
didenda arak!"
Lantas ia keluarkan pit, bak, bakhie dan kertas yang ia
senantiasa bekal, akan atur itu di atas meja. Ia tenggak kering araknya. Setelah itu, dengan cepat sekali ia telah tulis syair, yang mana terus ia sodorkan pada sahabatnya.
Kho Long Ciu menyambuti dan membaca:
"Di harian Toanngo, setiap rumah menggantung
deringo. Tapi aku, di ujung rambut menampak kecantikan.
Diantara angin dan rembulan, lenyap suara nyanyian.
Hendak Temani si nona sebagai kawan ingat macan ... "
"Bagus!" memuji sahabat ini, yang terus saja menulis timpalannya.
Maka keduanya lantas minum dan makan, dengan
sangat gembira, sebab mereka ada sama pintar dan sama
kesukaan. Mereka pun bisa berunding tentang ilmu sastra.
Sampai sore, baru mereka berpisahan.
Sejak itu, Kho Long Ciu dan sahabatnya sering bersantap
dan minum di rumah makan ini, hingga kemudian ia dapat
tahu bahwa namanya si nona puterinya tuan rumah, Lo
Loo Sit, adalah Lo Cian Nio dan masih gadis, bahwa nona
ini terpaksa bantu ayahnya urus rumah makan, karena si
ayah tak sanggup piara pegawai atau jongos. Kemudian, ia pun jadi kenal si nona dan ayahnya. Nona itu ada menarik hati, tetapi Long Ciu tidak memikir akan mempunyainya,
kesatu ia tahu Siau Cay sudah jatuh hati, kedua ia sendiri sedang pusatkan perhatiannya pada pelajarannya, paras
elok belum dapat merubuhkan hatinya.
Pada suatu hari, sebagaimana biasanya, atas undangannya Siau Cay, Kho Liong Ciu datang ke rumah
makan she Lo itu. Baru saja ia sampai di bawah lauteng, ia sudah dengar suara berisik di rumah makan itu, seperti
orang berkelahi, maka ia segera lari memburu. Di atas, ia lihat dua orang sedang terjang dan pukuli Loo Sit sembari mencaci.
Nyonya Lo, sambil menangis dan mencegah berkata
berulang-ulang: "Jangan, jangan pukuli suamiku, jiewie! ..."
Di lain pihak Cian Nio, dengan ketakutan, dengan tubuh
lemah, berada dalam rangkulannya Yo Siau Cay siapa
sambil banting-banting kaki berteriak-teriak: "Tidak ada wet, tidak ada wet negeri! ... "
Orang she Yo itu telah lantas lihat sahabatnya datang, ia berseru: "Kanda Long Ciu, lekas lari ke kantor! Lekas panggil polisi! ..."
Tapi Long Ciu tidak lari turun, sebaliknya ia hampiri dua orang itu, tangan siapa ia pegang dan tarik, "Sudah, sudah!"
ia kata berulang-ulang.
Dua orang itu menjadi tidak senang, mereka serang ini
orang yang baru datang, yang disangka hendak merintangi
mereka. Long Ciu pun jadi gusar, dengan jeriji tangannya ia totok dua orang itu. Ia telah gunakan tiamhiat hoat yang baru
saja ia pelajarkan dari kitab warisannya Ah Hiap.
Sekejab saja dua orang itu lantas rubuh, rebah dengan
tak bergerak laksana mayat ...
Dari bawah lauteng ada beberapa orang lari naik, karena


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pun dengar suara berisik, tetapi kapan mereka lihat rubuhnya dua orang itu, dengan ketakutan mereka lari
turun pula. Loo Sit borboran darah pada kepalanya, ia rebah di
dekat tembok. Melihat rubuhnya dua orang itu, ia menjerit bahna ketakutan. "Celaka! Sebentar tentu akan datang orang-orang dari piautiam mereka untuk mencari balas!
Tentulah rumah makanku ini akan habis diobrak-abrik! ... "
"Kau jangan khawatir dan takut!" berkata Yo Siau Cay.
"Perkara apa juga, ada aku yang tanggung jawab!"
Kemudian ia kata pada Long Ciu: "Kanda Long Ciu, tolong kau lindungi ini suami isteri, aku mau bawa si nona
menyingkir dahulu ke rumah tetangganya, supaya ia jangan kaget ... "
"Baiklah," manggut Long Ciu.
Siau Cay lantas ajak Cian Nio turun dari lauteng, tetapi baru saja hartawan Yo itu turun beberapa tindak, dari luar rumah makan ada datang beberapa orang, yang jalan di
muka berumur kira-kira empatpuluh yang tampaknya keren
sekali, tangannya menyekal golok. Ia tidak lihat Yo Siau Cay, sebaliknya si orang she Yo lihat padanya. "Yo loosu!
Sudah sejak beberapa hari kita tidak bertemu!"
Orang yang dipanggil Yo loosu itu angkat kepalanya,
kapan ia lihat Siau Cay, roman kemurkaannya lantas sirap dan tampangnya jadi tenang kembali.
"Oh, Siau Cay toaya, kau di sini!" ia kata.
"Ya, loosu," kata Siau Cay. "Ada urusan apa loosu datang kemari?"
"Aku dengar dua sahabatku ada yang perhinakan ... "
sahut orang she Yo itu.
Siau Cay lantas goyang-goyang tangannya. "Tidak apa-apa, loosu," ia kata. "Ini ada kejadian di antara orang sendiri. Aku tidak tahu bahwa kedua tuan itu ada sahabat-sahabat dari loosu. Tadi aku datang kemari untuk minum
arak, lantas ada datang dua orang itu. Lo ciangkui ada
kenal baik padaku, tidak heran bila ia layankan aku
melebihi lain-lain tamu, dan ini menyebabkan tidak
senangnya kedua sahabat loosu itu, dengan kesudahannya
mereka damprat Lo ciangkui dan hajar padanya. Kebetulan
sekali itu waktu ada datang sahabatku, Kho sianseng dari tiehu geemui yang melihat dua orang kepung satu orang
jadi gusar, lantas ... " Ia menoleh ke muka tangga, di situ ia lihat Long Ciu sedang berdiri dengan sikap gagah, maka ia lantas bertindak naik. "Mari aku ajar kenal." ia kata.
Orang yang dipanggil Yo loosu itu naik ke atas lauteng.
"Inilah dianya Kho sianseng," kata Yo Siau Cay seraya tunjuk Long Ciu, "ini Kho sianseng ada sahabat baikku.
Dan ini ada loosu-ku, Hoolam piausu yang tersohor, Yo
Kong Kiu dari Luma ..."
Kho Long Ciu angkat kedua tangannya memberi
hormat, dan Yo Kong Kiu membalasnya. Kemudian piausu
ini serahkan goloknya pada pengikutnya yang pun ia larang naik ke lauteng.
"Karena kita di antara orang sendiri, ini ada urusan gampang," ia kata.
"Kau jangan takut," ia kata pada Cian Nio. "Ini loosu ada sahabatku kekal sejak duapuluh tahun yang lalu...."
Cian Nio diam saja, tetapi ia sudah tidak takut lagi.
Yo Kong Kiu lantas pandang Lo Loo Sit yang mandi
darah, kemudian ia awasi dua orangnya, yang masih pada
rebah, tubuhnya seperti mati tetapi matanya berjelilatan dan mulutnya bisa memaki kalang kabutan.
"Ciangkui, tolong balaskan sakit hati kita!" mereka kata pada ketuanya. "Kau hajarlah sampai mampus pada itu orang yang pakai thungsha!"
Tapi Yo Kong Kiu mengawasi dengan gusar.
"Balaskan sakit hatimu?" ia balik menegur. "Kenapa kau berdua pergi di luar tahuku dan datang kemari untuk
menghina orang" Justru kebetulan kau ketemu ini suhu,
hingga ia bisa wakilkan aku akan mengajar adat pada kau!"
Lantas piausu ini menghadapi Long Ciu mengasih
hormat pula. "Maafkan aku, sianseng," ia kata. "Aku tidak sangka bahwa di sini aku telah ketemu satu ahli dari Butong Pay.
Karena kau pun ada sahabat dari Yo sianseng ini, maka kau pun adalah sahabatku. Dengan Yo sianseng, perkenalan
kita sudah berjalan duapuluh tahun lebih. Karena kita ada di antara orang sendiri, aku minta sukalah kau tolong
sadarkan dua orangku ini, nanti aku perintah mereka hatur maaf padamu."
Ucapannya piausu ini membikin Kho Long Ciu jadi
bingung. Karena gusar ia telah totok itu dua orang. Tapi
sekarang, untuk
menyadarkannya, ia
belum dapat mengapalkannya, maka ia mesti pulang buat lihat bukunya.
"Jangan kuatir," ia kata pada Yo Kong Kiu sambil membalas hormat, "aku pun hanya main-main saja. Mereka telah serang Lo Loo Sit keterlaluan, aku anggap biarlah
mereka rebah lamaan. Tunggu sampai aku balik, baru aku
bikin mereka bisa bergerak pula sebagaimana biasa ... "
Setelah kata begitu, Kho Long Ciu turun dari lauteng,
dengan cepat ia pulang ke rumahnya akan ambil dan
periksa bukunya yang ia simpan dalam sebuah peti dan
diumpatkan di kolong pembaringannya. Ia mesti memeriksa
dan mengapalkan sekian lama cara-cara untuk menyadarkan orang yang ditotok pada saat seperti itu, ia pun mempeta-petakan dengan tangannya. Setelah apal
betul, barulah ia simpan pula kitabnya dan lantas lari
kembali ke rumah makan.
Dua orang piautiam itu masih saja rebah. Yo Kong Kiu
bersama Yo Siau Cay sedang duduk minum arak untuk
menantikan ia. Sesampainya di situ, Long Ciu lantas
gunakan kepandaiannya akan tolok dua bekas lawannya
yang ia terus kasih bangun seraya sambil tertawa ia kata,
"Maaf, maafkan aku."
Dengan muka merah Yo Kong Kiu kasih tanda pada dua
orangnya, atas mana dengan kemalu-maluan mereka itu
terus ngeloyor turun dari lauteng.
Siau Cay tarik sahabatnya buat diundang duduk
bersama-sama, ia pun tuangkan secawan arak.
"Kanda Long Ciu, kau berlaku tak jujur terhadap
sahabatmu!" ia kata, sembari tertawa. "Buat banyak hari kau telah pedayakan aku, baru sekarang aku ketahui yang
kau bukan hanya sasterawan tetapipun seorang gagah!"
Long Ciu cuma tertawa pada sahabatnya itu.
"Piautiam-ku adanya di Sinyang," turut berkata Yo Kong Kiu dengan muka masih merah, "kalau aku sekarang berada di sini, kebetulan saja aku sedang singgah, aku tidak tahu bahwa sianseng ada ahli silat dari Butong Pay, hingga aku sudah berlaku kurang hormat dan tidak mengunjungi
sianseng dari siang-siang. Tadi orang-orangku telah main gila sudah menganiaya tuan rumah di sini, syukur ada
sianseng yang ajar adat pada mereka. Mengenai ini, aku
berterima kasih. Cuma, dalam halnya kau antap mereka
rebah lama-lama, aku lihat
sianseng ada kurang memandang kepadaku. Tapi, ini pun tidak menjadi soal,
sebab seperti katanya saudara Yo, kau ada sahabatnya
saudara Yo dan ia adalah sahabatku dari banyak tahun ... "
Kho Long Ciu angkat tangannya, akan kasih hormat
pada piausu itu.
"Maafkan aku," ia kata. Ia mengerti akan kekeliruannya telah gunakan tiamhoat yang untuk menyadarkannya ia
mesti lari pulang dahulu dan lari bulak-balik.
"Sudahlah, sudah!" kata Yo Siau Cay sambil tertawa dan nyelak sama tengah. "Mari minum!"
Tapi Yo Kong Kiu geleng kepala.
"Aku tidak persalahkan siapa juga, aku hanya sesalkan yang namaku kurang tersohor," ia kata. "Aku merasa bahwa bugee-ku ada terlalu lemah. Tapi, dengan
memberanikan hati aku ingin sekali menerima pelajaran.
Maka, Kho sianseng, harap besok pagi kita bisa bertemu di luar Lammui, di sana aku ingin peroleh pengunjukannya
satu ahli Butong Pay. Nah, sampai ketemu pula!"
Ia lalu berbangkit seraya rangkap kedua tangannya
berkiongchiu. Yo Siau Cay lekas berbangkit, ia tarik sahabatnya itu.
"Jangan begitu, Yo loosu, jangan ..." ia coba mencegah.
Tapi Yo Kong Kiu kipatkan tangannya, ia terus turun,
tindakan kakinya terdengar berisik di undakan lauteng.
Mukanya Kho Long Ciu jadi pucat, tetapi ia diam saja.
"Tidak apa, tidak apa!" kata Yo Siau Cay. "Ia tantang kau piebu, besok kau jangan pergi, aku yang nanti pergi
padanya guna mendamaikan kau berdua. Aku percaya
urusan bisa dibikin habis. Pada sepuluh tahun yang lalu, dalam hidupnya yang melarat, aku yang telah tolong ia, aku undang ia datang ke rumahku buat jadi cinteng. Satu tahun lebih ia jatuh sakit dengan tak berdaya, aku juga yang
panggilkan tabib, sehingga sembuh. Belakangan lagi, ketika ia hendak pergi untuk mencari lain pekerjaan, aku telah
bekalkan ia uang kontan tigapuluh tail perak. Dari itu
karena adanya persahabatan ini, aku percaya ia akan suka pandang mata padaku.'
Tapi Kho Long Ciu tersenyum tawar.
"Aku tidak takut padanya!" ia kata. "Kalau besok jadi adu kepandaian, belum tentu siapa yang akan rubuh!"
"Jangan, jangan!" Siau Cay kata pula. "Kita ada bangsa sasterawan, kita jangan berpemandangan sebagai orang-orang kaum Sungai Telaga. Laginya, aku tahu betul Yo
Kong Kiu bukannya seorang lemah. Ia telah kenal jago-jago dari ini jaman, seperti Kang Lam Hoo dan Kie Kong Kiat."
Kho Long Ciu berkuatir juga, karena ia tahu
kepandaiannya belum sempurna, dari itu ia jadi jeri
sendirinya. Ketika itu Loo Sit sudah suruh gadisnya isikan cawan
kosong dari itu kedua sahabat. Cian Nio melayani dengan
sudah salin pakaian yang bersih, cita kembang yang bagus.
Siau Cay sangat riang akan hadapi arak dan si elok
berbareng, hingga kumat pula kesukaannya bersyair,
sebaliknya Long Ciu, yang sedang kusut pikiran, tidak bisa turut sahabatnya bergembira, ia pulang tak lama kemudian, ia terus masuk ke kamarnya sendiri. Ia menyesal atas apa yang sudah terjadi terutama sudah lancang perlihatkan
kepandaiannya. Ia sangsi akan pertandingan besok di mana ia akan tandingi satu piausu kenamaan. Dari itu, ia harap benar munculnya Siau Cay guna pisahkan mereka.
"Sekarang orang telah ketahui aku pandai tiamhiat hoat, bagaimana selanjutnya?" pikir ia lebih jauh. "Pelajaranku masih jauh dari sempurna, bagaimana andaikata Kang Lam
Hoo dan Kie Kong Kiat datang untuk minta main-main
padaku?" Semalaman Long Ciu berpikir, ia terbenam dalam
kedukaan, maka akhirnya ia pikir mesti pindah akan cari
lain tempat sembunyi sambil terus berlatih sehingga sudah yakin cukup kepandaiannya. Apabila ia sudah ambil
keputusan, lantas ia duduk menulis surat, satu buat Yo
Kong Kiu dan satu pula buat Yo Siau Cay. Pada piausu she Yo itu ia janjikan piebu pada lima tahun kemudian, dan
pada Siau Cay ia ambil selamat berpisah. Pada sahabatnya ini ia tulis surat dalam rupa syair, pertama ia unjuk
niatannya pesiar ke Shoatang Timur, dan kedua ia anjurkan si sahabat lekas ambil isteri pula. Ia harap, si nona Lo akan lekas jadi pasangannya.
Besoknya pagi, sesudah perintah opas sampaikan surat-
suratnya itu, Kho Long Ciu berangkat meninggalkan kantor tiehu, sedang pada sep-nya itu ia pun tinggalkan surat lain.
Ia telah berangkat ke Kimleng. Ia cari pondokan di dalam kota, dengan pakai nama In Gan Sanjin, ia tuntut
penghidupan sebagai tukang tulis huruf dan gambar. Lima
tahun telah berselang. Selama itu ia diam-diam teruskan
pelajarannya yang sekarang ia anggap sudah belajar cukup, maka ia tinggalkan Kimleng dan kembali ke Lulam.
Pada saat ini, tiehu tetap masih Ho Siong, tetapi Bou
Cun sudah naik pangkat jadi tongtie. Di kantor tiehu telah bekerja satu juru tulis baru, dan ia ini bukan lain daripada sahabat sekampungnya, ialah Hwie Pek Sin.
Sejak matinya si gagu, Kheng Liok Nio dan Hwie Pek
Sin hidup sebagai suami isteri. Tapi, dengan mendapati
kepandaiannya si gagu, Kheng Liok Nio jadi lebih berani, hingga kemudian ia malang melintang di Kimsee kang.
Kapan Hwie Pek Sin ketahui kekasihnya itu tetap jadi
penjahat, ia kuatir dirinya kerembet-rembet, maka
kemudian ia berangkat dari Suikang, ia pergi pada Kho Bou Cun dengan pertolongan Bou Cun ia dapat bekerja di
kantor tiehu. Ia pandai bawa diri, belum dua tahun ia sudah jadi orang kepercayaannya Ho tiehu.
"Kau harus hati-hati," kata Pek Sin pada sahabatnya, yang ia terus ajak ke tempat sepi. "Pekgan Holie cari kau! Ia bilang buku yang dahulu kau ambil baru belakangan ia
dapat tahu bahwa dua buku itu ada sangat berharga! Ia
sedang cari kau untuk minta pulang buku itu!"
Long Ciu terima peringatan itu dengan tersenyum sindir.
Kemudian Long Ciu pergi kunjungi Yo Siau Cay. Nyata
sahabat ini telah turut anjurannya dan telah ambil Lo Cian Nio sebagai isteri muda dan dari siapa ia telah peroleh satu anak lelaki dan satu anak perempuan, yang lelaki sudah
berumur tiga tahun, namanya Pa, sedang yang perempuan
bernama Lee Eng.
Bukan main girangnya Yo Siau Cay dapat bertemu pula
dengan sahabatnya itu, ia panggil keluar pada Cian Nio
guna ketemui tuan penolong itu.
Di matanya Kho Long Ciu, Lo Cian Nio jauh terlebih
elok daripada masanya gadis. Inilah sebab nyonya itu telah berpakaian indah dan hidup mewah sejak lama.
Long Ciu juga ketarik melihat romannya Yo Pa, yang
cakap dan gagah.
Ketika Cian Nio undurkan diri, dengan separuh berbisik
Long Ciu kata pada sahabatnya: "Puteramu ini ada bagus sifatnya, ia bukan lagi sebagai kau yang bertubuh lemah.
Kenapa kau namakan ia Pa dan bukannya Hou" Bukankah
huruf Hou ada berhikayat" Apakah kanda lupa kejadian
pada lima tahun yang lalu, di harian Toanngo ketika kau
lihat bakal isterimu dengan itu macan-macanan di ujung
rambutnya" Apa kau telah lupa surat yang aku tinggalkan
untukmu?" Long Ciu bicara sambil tertawa dan Siau Cay sambut ia
sambil tertawa juga.
"Huruf Hou sudah digunakan," ia kasih tahu.
"Jadinya kau telah peroleh lain anak?" kata Long Ciu.
"Bagaimma itu telah terjadi?"
Yo Siau Cay percaya habis sahabatnya ini, ia suka
memberi keterangan. Ia telah berikan keterangannya sambil berbisik juga, sebagai berikut:
Menurut anjurannya Kho Long Ciu, Yo Siau Cay sudah
lantas lamar Lo Cian Nio sebagai isteri muda. Lo Loo Sit terima baik lamaran itu. Oleh karena Yo Siau Cay tetap
takut isterinya yang cemburuan dan galak, buat sementara ia takut ajak isteri muda itu pulang ke rumahnya.
Kemudian dari Cian Nio ia peroleh satu anak lelaki yang
diberikan nama Hou, lengkapnya Yo Siau Hou.
Empe Lo ada satu pemilik rumah makan, meski
perusahaannya itu kecil, ia toh ada punya banyak kenalan,
maka ia jadi malu yang anaknya menikah dengan diam-
diam dan tahu-tahu telah dapat anak, malah ini anak tidak diaku sepenuhnya oleh Yo Siau Cay, hingga kejadian Yo
Siau Hou dititipkan pada enso jauh dari Cian Nio. Dengan rahasia Yo Siau Cay bantu mengongkosi anaknya itu.
Ketika Kho Long Ciu datang, itu anak sudah lima tahun,
karena dititipkan, ia tidak dipanggil Yo Siau Hou hanya Lo Siau Hou. Adalah di lain tahunnya, baru Yo Siau Cay
sambut Cian Nio ke rumahnya di mana isteri muda ini
melahirkan pula anak yang kedua tetapi dianggap sebagai
anak pertama. Siau Cay berikan nama Pa pada anak yang
kedua ini. Di akhir keterangannya, Yo Siau Cay pesan Kho Long
Ciu, katanya: "Bilamana aku menutup mata, aku harap pertolonganmu agar kedua anak itu bisa saling mengenali satu pada lain.
Mereka adalah saudara-saudara sekandung!"
Kho Long Ciu berikan janjinya, ia lalu kasih selamat
pada sahabatnya ini.
"Apakah kau tahu maksudku datang kemari?" kemudian Long Ciu tanya sahabatnya. "Inilah tidak lain daripada untuk temui Yo Kong Kiu, guna menetapi janjiku pada
lima tahun yang lampau!"
Yo Siau Cay tertawa apabila ia dengar keterangan ini.
"Yo Kong Kiu sudah tidak bisa piebu lagi denganmu!" ia kata. "Pada tiga tahun yang lalu, dalam pertempuran Kong Kiu terluka parah, kakinya yang kiri telah menjadi cacat.
Baru pada tahun yang lalu di sini ia telah lukai satu orang hingga ia kena ditangkap oleh pembesar negeri. Syukur
dengan pertolonganku tiehu suka membebaskannya."
Yo Siau Cay tutup penuturannya dengan adakan
perjamuan, dengan tidak malu-malu ia suruh Cian Nio
keluar akan melayani mereka.
Selagi dua sahabat ini makan dan minum dengan
gembira, tiba-tiba muncul satu tetamu yang tidak diundang, ialah Hwie Pek Sin, siapa pun telah menjadi sahabatnya Yo Siau Cay, hingga hartawan Yo ini tidak suruh kedua
isterinya menyingkir dari sahabat ini.
"Bagus, Pek Sin, bagus kau datang," kata tuan rumah dengan kegirangan. "Kau dan Long Ciu memang ada
sahabat karib!"
Pek Sin cuma tertawa, dan pada Cian Nio ia terus
menanya: "Apa kau sudah mencicipi kue-kue yang tadi pagi aku perintah orang antar padamu" Kue itu bukan dibeli di
luaran, itu adalah membuatan Ho tiehu sendiri."
"Ho tiehu bisa mempunyai kelebihan waktu untuk
membuat kue sendiri, sungguh luar biasa!" Yo Siau Cay mendahulukan isterinya. "Ya benar-benar istimewa!"
Dan tuan rumah ini tertawa besar.
Long Ciu lirik Cian Nio dan pandang Pek Sin, lantas ia
turut tertawa. Tapi ia tidak kata apa-apa.
Mereka bersantap sampai puas, setelah itu Long Ciu ikut
Pek Sin pulang ke kantor. Karena mereka tidur dalam satu kamar maka malamnya, mereka dapat ketika leluasa untuk
ngobrol. Dari sini Long Ciu tahu yang persahabatan tiehu dengan Siau Cay ada sangat rapat, sampai Siau Cay sering ajak Cian Nio berkunjung kepada tiehu. Sementara itu,
nyonya Yo yang cemburuan telah tetap dengan cemburuannya hingga Cian Nio dan anak-anaknya sering
dapat gangguan. Dalam hal ini Siau Cay tidak bisa berbuat banyak guna isteri muda dan anak-anaknya itu.
Setelah ketahui segala apa, pada suatu hari Kho Long


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciu kunjungi Yo Siau Cay. Selagi berada berduaan, ia kata dengan
perlahan pada sahabatnya itu: "Kanda, persahabatan kita ada sangat kekal, maka itu aku harap kau sudi dengar pembicaraan dari hati ke hati. Pertama-tama
aku minta kau jangan lanjutkan pergaulanmu yang terlalu
rapat dengan tiehu tayjin. Kedua aku harap kau jangan
terlalu bergaul pada Hwie Pek Sin."
Yo Siau Cay terima nasehat itu sambil manggut-
manggut. "Tapi persahabatanku dengan mereka itu melulu ada
pergaulan umum. Enso-mu Cian sudah punyakan beberapa
anak, ada siapa yang hendak rampas ia?"
"Tidak demikian seperti yang kau kirakan, sahabatku,"
Long Ciu kata. "Kau harus ketahui sendiri, hati manusia susah diduga."
"Baiklah aku akan turut perkataanmu!" kata Siau Cay.
Mereka lalu bersantap, kemudian Long Ciu pamitan,
untuk selanjutnya pergi pula akan pesiar dan merantau ke selatan ke utara. Di mana saja ia sampai, ia tetap tulis "In Gan Sanjin" sebagai tanda dari lukisan gambarnya dan tulisan huruf-hurufnya. Dengan ini usaha ia peroleh uang untuk menutup belanja, perjalanannya itu. Ia nginap di
mana saja ia sampai, atau kadang-kadang mondok di kuil,
akan bantui si padri menyalin kitab, kerjaan mana ia tukar dengan penginapan dan makannya. Setiap waktu yang
senggang ia gunakan melatih pelajarannya. Selama
merantau, ia pun pernah beberapa kali tolong orang, akan belakan keadilan. Cuma terhadap Kang Lam Hoo, Kie
Kong Kiat, Lie Hong Kiat dan beberapa imam dari Butong
San, ia tidak berani minta piebu main-main, ia masih jeri terhadap mereka.
Selama dalam pengembaraan, tidak sedetik pun Kho
Long Ciu lupakan Yo Siau Cay, ia berkawatir terhadap
sahabatnya itu, maka baru berselang tiga tahun ia sudah
lantas kembali ke Lulam. Ketika ia sampai di kota ini, benar saja hatinya mencelos. Karena satu perubahan besar telah terjadi!
Pada keluarga Yo ia tampak apa yang ia sekian lama
buat kuatir. Rumah yang besar dan indah telah jadi tidak keruan, pintu depan telah jadi korban hujan dan matahari, di situ ada ditempel kertas warna kuning, tanda dari
kematian. Maka itu Long Ciu lantas cari engko-nya, akan
minta keterangan.
Secara rahasia Bou Cun kata pada adiknya itu. "Selama tujuh atau delapan tahun ini, satu perubahan besar sudah terjadi! Yo Siau Cay dan isterinya muda yang ia cinta, telah meninggal dunia! Tiga anaknya, satu laki-laki dan dua
perempuan, telah lenyap tak keruan!"
Kho Long Ciu jadi bertambah kaget.
Kho Bou Cun lanjutkan keterangannya: "Kebusukan hati manusia benar-benar harus ditakuti! Paras elok betul-betul ada bibit bencana! Ketika pada tujuh tahun yang lampau
ketika Siau Cay tergila-gila pada Cian Nio, berbareng Ho tiehu juga ada taruh hati pada nona itu, yang satu kali ia pernah lihat. Sejak itu Ho tiehu sudah memikir akan
memiliki si nona, sayang ia tidak berani segera wujudkan itu, kesatu sebagai tiehu ia tidak berani bertindak secara sembarangan, kedua ia belum punyakan orang kepercayaan
yang bisa jadi orang perantaraannya, kelambatannya ini
menyebabkan Yo Siau Cay bisa dului ia. Karena ini, tiehu sampai seperti jatuh rindu. Apa mau belakangan tiehu
mendapati Hwie Pek Sin, siapa bisa cepat ambil hatinya,
maka tenaganya Pek Sin lantas, diminta Ia ini mau bekerja sungguh-sungguh guna tiehu itu. Tian Nio sudah
melahirkan tiga anak tetapi kecantikannya tidak menjadi
hilang. Walau ada gadisnya satu rakyat jelata, tetapi
hatinya ada keras, ia menteri, akan kesucian dirinya. Pek Sin memancing dengan bujukan dan kekerasan, semua itu
tidak memberikan hasil. Belakangan Yo Siau Cay ketahui
maksudnya orang busuk ini, ia lantas putuskan persahabatan dengan Ho tiehu dan Hwie Pek Sin. Tapi ini
pun ada tanda dari naibnya yang celaka, sebab tiehu dan
kaki tangannya itu jadi benci padanya. Baru pada satu
tahun yang lalu dengan alasan merampas tanah, Yo Siau
Cay ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Ia ada
seorang hartawan dan sasterawan, ia pun punya banyak
kenalan, sampai di kantor butay, maka ada orang tolong
padanya, baru mendekam 1 bulan ia sudah dimerdekakan
pula. Hanya karena ia mendongkol dan bersakit hati, ia
terus jatuh sakit. Hwie Pek Sin masih tebalkan muka, ia
tetap datang menyambangi sahabatnya, tapi ini juetru ada berarti kecelakaan. Entah ia salah makan obat, selanjutnya Yo Siau Cay tidak bisa bangun pula dari pembaringannya!"
Kho Long Ciu ada begitu sengit, sampai ia banting-
banting kakinya.
Tapi Bou Cun masih melanjutkan penuturannya. "Pada
malam hari matinya Yo Siau Cay. Lo Cian Nio juga telah
mati karena racuni diri. Ia berkorban untuk suaminya.
Suami isteri itu telah tinggalkan anak mereka, Yo Pa, dan dua anak perempuan, Lee Eng dan Lee Hong. Dan Lee
Hong ini baru berumur 8 bulan. Sejak itu, tiga anak itu pun telah merasai hebatnya siksaan dari nyonya Yo. Kemudian, pada musim keempat dari tahun yang baru lalu keluarga Yo ini telah kedatangan rampok jumlahnya lima atau enam
penjahat, yang masuk dengan jalan lompati tembok.
Anehnya uang dan barang permata tak ada yang diganggu,
yang lenyap justru adalah itu tiga anak. Berbareng itu
malam, gedung tiehu juga kedatangan penjahat, yang
terbitkan kacau, tetapi karena penjagannya kuat, keonaran tidak sampai terjadi."
Setelah dengar itu semua, dan gusar Kho Long Ciu
menjadi tenang. Sebagai orang sadar, ia lantas bisa
menduga. Ia percaya, semua itu ada perbuatannya Yo Kong
Kiu. Maka diam-diam ia puji perbuatannya piausu pincang
itu. Akhirnya Kho Bou Cun kata: "Sejak itu, tidak pernah lagi ada datang orang-orang jahat dan sehingga kini tentang tiga bocah itu pun terus tidak terdengar pula kabar
ceritanya! Tentang ini aku harap kau tidak omong pada lain orang, tidak peduli siapa. Dan kau sendiri pun baik lekas berlalu dari sini. Sekarang Hwie Pek Sin ada pegang
kekuasaan besar di dalam kantor tiehu, ia ada jadi guru, tetapi pengaruhnya ada melebihi pengaruh tiehu sendiri! ..."
"Tidak apa," Long Ciu kata. "Pek Sin dan aku adalah teman sekolah dan sahabat karib. Benar ia tahu yang aku
dan Yo Siau Cay ada bersahabat tetapi terhadap aku, ia
tentu tidak akan ambil tindakan apa-apa. Sekarang aku
hendak pergi mengunjungi beberapa sahabatku, besok aku
akan angkat kaki dari sini!"
Sehabis bicaranya itu ia lantas berpisahan. Ketika Kho
Long Ciu sudah pergi jauh dan berada sendirian, air
matanya lantas turun dengan deras. Ia bersedih untuk Yo
Siau Cay, hartawan dan sasterawan yang nasibnya sangat
buruk. Kemudian Long Ciu pergi ke rumah makannya empe
Lo, di sana ia mendapati Loo Sit dan isterinya masih tetap
dengan perusahaannya, yang mereka urus berdua saja. Ia
tanya mereka tentang Siau Cay dan Cian Nio, mereka ini
cuma bisa menangis. Mereka percaya bahwa baba mantu
mereka binasa secara gelap, bahwa anak mereka mestinya
orang paksa bunuh diri. Tentang tiga cucunya, mereka
percaya cucu itu kena diculik rampok.
Adalah belakangan dengan perlahan-lahan empe Lo dan
isterinya bisa tambahkan keterangan berikut:
"Sebelumnya si Cian ikut Siau Cay, tieho tayjin telah beberapa kali mengirim orang kemari buat beli anakku itu untuk dijadikan budak di dalam gedungnya yang kemudian
akan diambil sebagai gundiknya. Kita tolak itu usul, sebab juga si Cian tidak sudi menjadi budak. Kita pun pikir,
adalah jauh terlebih baik ia jadi isteri muda Siau Cay dari pada dijual dan kemudian jadi gundiknya pembesar negeri
..." Kedua orang tua itu masih hendak menutur terus tetapi
kesedihannya merintanginya, mereka lantas menangis
sesenggukan. "Bagaimana dengan Siau Hou?" tanya Long Ciu
kemudian. "Ia ikut kita, ia sekarang ada di depan sedang memain di rumah tetangga."
Kho Long Ciu lantas turun dari lauteng buat pergi cari
bocah itu yang kedapatan di warung peti selang beberapa
rumah di arah selatan. Di situ ada berkumpul sekawanan
bocah, ada yang sedang memain secara gila-gilaan, ada juga yang berkelahi, hingga pakaian mereka kotor dan pecah.
"Yang mana satu anak she Lo?" tanya Long Ciu sambil berdiri mengawasi sekalian anak-anak itu.
"Aku," sahut satu bocah umur tujuh atau delapan tahun.
"Ada apa?"
Long Ciu pandang bocah itu yang mirip dengan Siau
Cay, juga mirip dengan Yo Pa.
"Mari, aku hendak bicara denganmu," ia memanggil dengan sabar.
Lo Siau Hou geleng kepala.
"Tidak, aku lagi memain," ia menolak.
Long Ciu rogoh sakunya dan keluarkan sepotong perak.
"Mari, aku nanti berikan ini uang," ia membujuk.
Melihat uang, Lo Siau Hou lari menghampirkan.
Atas itu, anak-anak lainnya pun datang mengerumuni In
Gan Sanjin. "Mundur! Aku cuma mau bicara pada ia ini!" Long Ciu gebah mereka itu. Dan terus ia ajak Siau Hou pergi ke
rumah makan. "Apa kau kenal Yo Siau Cay Yo toaya?" ia tanya sesampainya mereka di lauteng.
"Aku kenal!" sahut Siau Hou. "Yo toaya dan isterinya mati berbareng, sebagaimana peti mereka digotong
bersama-sama. Kita memang bersanak. Nyonya Yo itu
adalah bibiku ..."
Bukan main sakit hatinya Long Ciu akan dengar itu,
tetapi ia keraskan hati seberapa bisa. Sebaliknya, Loo Sit dan isterinya, telah menangis dengan tutupi muka mereka.
Mereka ini tetap masih belum berani aku bocah ini adalah cucu mereka, tetesan dari anak dan mantu mereka ...
Long Ciu berdiam sekian lama, dalam kedukaan rupanya
ia sedang berpikir. Kemudian ia minta kertas dan pit, lantas ia menulis seruntun syair sebagai berikut:
"Thian tee beng beng, bang bin biong Ngo kee beng moay, thay piau leng Hu cou put cek, bu giang yoh Hukoh tianggie, lay tong cong Ngo kee kee sie, cut su tie Wie ngoheng moay, put siang tie Ngo beng wat Hou, ngo tee Pa Siang yu Eng Hong, sie lie
die It kee leng san, bo yu sit Wie yu tiang ko, sie heng pwee Jie sip lian cie hou, jiak siang kian Ciat po in beng, mo cay tie,'
Artinya: Dunia guram suram, menurunkan bencana. Hingga kita bersaudara mesti tercerai berai, Ayah terbinasa, ibu racun dirinya, Sampai kita hidup mengandal sanak beraya, Kita berempat, dunia ketahui semua, Hanya kita sendiri, tak saling mengenalnya. Hou adalah aku, Pa adikku punya nama, Tapi masih ada Eng dan Hong, perempuan dua.
Serumah

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangga terpencar, siapa yang ketahui" Maka aku bernyanyi, penasaran, bersedih ... Dua puluh tahun kemudian, kalau kita bertemuan,
Kita akan balas budi dan dendam, tak ayal-ayalan!
Syair itu ia tutup rapi, yang lalu diserahkan pada Loo Sit buat disimpan, kemudian Kho Long Ciu pandang Siau Hou
dan kata pada bocah ini: "Di dalam sampul ini ada
seruntunan syair, sepuluh tahun kemudian, kau harus buka dan baca syairnya, itu waktu kau niscaya akan mengerti
semua. Kau boleh pergi ke mana saja akan nyanyikan itu,
nanti pasti kau akan dapat cari dan ketemui adik-adik lelaki dan perempuanmu!"
"Aku mana punya adik lelaki dan perempuan?" katanya Siau Hou. "Aku ada sebatang kara. Ayahku ada seorang petukangan ..."
Kho Long Ciu tidak mau ladeni bocah itu bicara, hanya
ia rogoh saku akan keluarkan uang tigapuluh tail perak
yang ia serahkan pada Loo Sit, yang sedari tadi bengong
saja. "Kau simpan ini uang untuk dipakai mengongkosi Siau Hou bersekolah," ia pesan. "Aku harap kau suka tolong tilik supaya ia jangan lagi memain sama itu kawanan anak-anak
tidak keruan."
Lo Loo Sit sambuti uang itu sambil mengucurkan air
mata, ia bungkus uang itu jadi satu dengan itu surat wasiat.
Tapi Siau Hou sambil goyang kepala kata: "Aku tidak mau bersekolah. Aku mau merantau, ke selatan dan ke
utara! Aku hendak jadi si imam tua, untuk bisa pergi ke
mana suka akan meminta derma, untuk tinggal di atas
gunung! Aku ingin jadi enghiong dari dunia Rimba Hijau,
agar tidak ada orang yang main gila terhadap aku!"
"Jikalau di belakang hari kau hendak merantau, itulah gampang," Kho Long Ciu bilang. "Sepuluh tahun
kemudian, sesudah besar, kau boleh cari aku ..."
"Di mana" Jauh atau tidak?" tanya si bocah. "Kalau tempatnya dekat, aku tidak mau!"
"Jauh sekali!" jawab Long Ciu. "Itu ada tempat paling jauh, ialah Sinkiang!"
Siau Hou lantas tertawa, ia manggut.
"Nah, terima ini buat kau," kata Kho Long Ciu akhirnya.
Ia serahkan sepotong perak pada bocah itu. Kemudian,
sesudah tinggalkan pesanan pula pada Loo Sit dan isteri, ia turun dari lauteng dan berlalu.
Siau Hou telah mendahului lari pada kawan-kawannya
buat memain, dengan berjudi juga.
Mengawasi bocah itu, air matanya Kho Long Ciu
menetes turun. Buat sementara, Kho Long Ciu berpikiran buat pergi cari
Hwie akan bunuh padanya, tetapi niatan ini ia batalkan.
Pek Sin tetap ada teman sekolahnya dan sahabatnya, dan
kawan ini melulu ada jadi gundalnya orang. Ia niat bunuh Ho Siong, tetapi ini pun ia tak jadi lakukan. Akhirnya
dalam kemasgulan ia pulang ke kantor, ia tidak ke temui
lagi pada Hwie Pek Sin, ia ambil buntalannya dan terus
pergi. Kembali Kho Long Ciu hidup dalam pengembaraan,
sekali ini untuk cari si piausu gagah Yo Kong Kiu, Yo Pa, Yo Lee Eng dan Yo Lee Hong tiga saudara. Ia ingin kasih
tahu tiga saudara itu, bahwa mereka masih punyai saudara nama Hou, buat kasih tahu hal syairnya itu, agar di
kemudian hari, empat saudara itu saling kenal mengenal.
Apa mau, meskipun ia sudah merantau jauh dan lama, ia
tidak berhasil mencari Yo Pa dan dua adiknya perempuan
itu, ia tidak tahu bahwa mereka tinggal di dekat kota raja, dengan Yo Kong Kiu hidup sebagai penjual bunga dengan
kaki bercacat, ...
Sampai lamanya sepuluh tahun Kho Long Ciu masih
terumbang-ambing hidupnya, ia tidak mau bekerja tetap, ia tetap menjual tulisan dan gambar lukisan, baru kemudian ia ingat akan Sinkiang, di mana ada banyak kejadian penting.
Ketika ia pergi ke itu wilayah, di sana ia bekerja di bawah
perintahnya Giok tayjin, yang menjadi wakil pemerintah
yang paling agung. Ia pakai nama Kho In Gan.
Sinkiang ada salah satu propinsi paling besar dari
Tiongkok, luas daerahnya ada seperti Titlee, Shoatang,
Hoolam, Shoasay, Siamsay dan Kangsoaw digabung
menjadi satu, dan penduduknya ada campuran: Han,
Boans, Islam, Mongol, Solun, Kozak dan Turk, tetapi
kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah Boan
yang tempatkan wakil-wakil dengan pangkat ciangkun dan
sunbu, begitupun sejumlah tangsi besar setempat-tempat
dengan masing-masing kepalanya (taysin) sendiri, yang
kedudukannya mirip dengan congciu atau congpeng, tetapi
sebab pangkat ini langsung diberikan oleh raja, itu adalah pangkat yang terhormat dan agung. Dan Giok tayjin adalah pembesar dengan pangkat itu, lengtwie taysin, dengan
tempat kedudukan di Cieboatkoan, pusat propinsi: di utara mengandal sungai Tarim dan Khongciakhay, dan di selatan
adalah padang rumput yang luasnya beberapa ratus lie,
tempat gembala dari bangsa Mongol, Kozak dan lain-lain.
Di sebelah timur ada jalan besar untuk ke Tatyangkwan
terus ke Kamsiok. Dan di barat adalah gurun pasir Gobi
dengan pasir hitamnya yang luas ribuan lie, di mana tak ada sebatang rumput juga. Tapi di dekat-dekat Boatyang,
pemandangan alam ada indah, melebihi kepermaiannya
Kanglam: Ada airnya, ada bukitnya, ada kebun anggurnya
yang seperti tertabur di tempat luasnya beberapa ratus bau, ada hutan hengtoh yang sembarang orang bisa petik
buahnya. Dan di lamping-lamping gunung ada rombongan-
rombongan dari kuda Kozak, yang kalau dipandang dari
atas gunung mirip seperti segerombolan semut yang sukar
untuk dihitung jumlahnya. Di sini, sekalipun orang paling miskin mesti mempunyai satu atau dua ekor. Kuda adalah
hasil utama, dagingnya boleh dimakan, susunya boleh
diminum, kulitnya bisa dibuat barang perabotan rupa-rupa.
Maka setelah berada di Sinkiang, Kho Long Ciu lantas
memikir untuk tinggal lama. Kebetulan bagi ia, ia disuka oleh Giok tayjin. Mula-mula ia dijadikan juru tulis di dalam tangsi, kemudian ia dipindahkan ke gedungnya diangkat
jadi guru. Muridnya, ialah Giok Kiau Liong yang ketika itu baru berusia tujuh atau delapan tahun, orangnya cantik dan otaknya terang. Karena jadi guru sekolah, pergaulannya
dengan Giok tayjin jadi semakin rapat, sampai belakangan Giok tayjin percayai ia untuk diajak damaikan urusan
tentara. Ia telah perlihatkan kepandaiannya, ia telah bantu Giok tayjin dirikan banyak jasa. Tapi sementara itu, bugee-nya masih ia simpan saja. Di sebelah kewajibannya, ia telah perhatikan
muridnya, siapa ternyata punya kaki sewajarnya, pinggangnya langsing, gerak-gerakan gesit, dan gemar menunggang kuda.
Asal ia lolos dari mata ayah dan ibunya. Giok Kiau
Liong suka lari keluar dari dalam gedung, kalau ia lihat kuda, tak peduli siapa punya, ia terus tunggangi dan kasih kabur ke luar kota, sampai ia mandi keringat. Mula-mulanya ia sering terbanting jatuh, tapi segera juga ia
menjadi pandai, sampaipun kuda yang binal ia dapat
kendalikan. Hingga dalam ilmu menunggang kuda, semua
orang di kantor atau gedungnya, puji ia. Oleh karena ini, akhirnya pada suatu hari, dia di dalam jam belajar, selagi senggang dengan diam-diam Kho Long Ciu kata pada
muridnya itu: "Kau ada berotak terang, juga gemar gerak badan, maka itu, meskipun kau ada seorang perempuan, apabila di
kemudian hari di sebelahnya ilmu surat dan ilmu melukis
kau pun mengerti ilmu perang dan silat, pasti kau bakal
angkat kehormatannya keluargamu. Di jaman dahulu ada
perempuan pintar Pan Ciau, ada panglima perempuan Cin
Liang Giok, tetapi perempuan gagah, ialah liehiap, belum
ada. Kita kenal Ang Sian dan Liap In Nio tetapi mereka
tercatat dalam cerita gaib. Seorang perempuan, apabila ia mendapati guru yang pandai, ia bisa jadi satu liehiap sejati melulu karena ilmu silat sejati. Maka itu sekarang semua kepandaianku yang aku yakinkan sepuluh tahun, aku niat
wariskan padamu, agar kau mengerti ilmu perang dan ilmu
silat pedang dengan berbareng, agar dalam dirimu telah
tercampur semua kepandaian dari Pan Ciau, Cin Liang
Giok dan Ang Sian. Aku ingin membuat kau menjadi satu
liehiap, apa kau setuju" Hanya aku hendak terangkan, ilmu surat, ilmu perang, aku bisa ajarkan kau berterang, tetapi ilmu silat itu akan aku berikan secara sembunyi, di luar tahunya siapa juga, umpama kata ayah dan ibumu
mendapat tahu, sudah pasti aku akan tidak bisa tinggal
lebih lama pula di sini!"
Giok Kiau Liong masih kecil, ia tidak bisa berpikir
panjang, karena ia suka akan kepandaian, ia lantas saja
terima janji itu, maka sejak itu, kecuali surat ia pun
mendapati pelajaran ilmu silat. Ia yakin ini begitu lekas ia senggang dan budaknya, yang biasa dampingi ia, bisa
disuruh keluar dari kamar tulis, dengan gunakan satu dan lain alasan. Atau itu pelajaran diberikan di waktu malam, selagi semua orang tidur dan Kiau Liong sendirian datang pada gurunya di Seehoa thia, paseban sebelah barat.
Sebagai pedang, untuk permulaan dipakai sebatang bambu.
Belum sampai dua tahun, Giok Kiau Liong pun sudah
bisa loncat ke atas genteng, di mana ia bisa berlarian pergi datang dengan leluasa.
Di tahun ketiga, Kho Long Ciu telah minta perkenan
akan pergi pesiar, ketika ia hendak berangkat, peti kecilnya ia umpatkan di kolong pembaringan. Di dalam peti itu ada tersimpan dua jilid bukunya yang berharga, ialah dua
bukunya Ah Hiap, si gagu yang liehay.
Nyata Kho Long Ciu membuat perjalanan ke Hoolam
untuk cari Lo Siau Hou yang ia hendak ajak ke Sinkiang.
Sekarang Siau Hou sudah berumur duapuluh tahun.
Pertama ia sampai, ia cari engko-nya, Bou Cun, tetapi
waktu ia kunjungi Lo Loo Sit dan isteri, nyata suami isteri pemilik rumah makan itu telah pada menutup mata dan
tentang Lo Siau Hou, tidak ada yang ketahui, hanya ada
yang bilang bahwa kira-kira sepuluh tahun yang lalu bocah itu sudah dibawa oleh satu pengemis. Ia jadi sangat
menyesal, karena selama sepuluh tahun ia sudah alpa tidak tengok-tengok anak itu.
Pada itu waktu, Kho Bou Cun, tetap masih memangku
pangkat, tetapi ia sudah berusia tinggi, ia sudah punya anak dan cucu yang tinggal menetap, hanya Ho tiehu sudah
dipindah ke lain tempat. Dan Hwie Pek Sin tetap ikuti tiehu itu.
Dalam kemenyesalan, Kho Long Ciu lantas mengembara, akan terus cari Lo Siau Hou, juga Yo Pa, Yo
Lee Eng dan Yo Lee Hong, tetapi dalam tempo setengah
tahun sia-sia ia tidak peroleh hasil. Akhirnya ia kembali ke Sinkiang, dua jilid bukunya yang ia simpan masih tetap
berada di tempatnya. Malah buat kegirangannya, ia lihat
kepandaiannya Giow Kiau Liong maju di semua jurusan.
Sekarang ia didik muridnya dengan pakai aturan tetap:
Siang, belajar surat termasuk hikayat, syair, pantun, ilmu perang, melukis gambar dan belajar menulis huruf; malam, dari jam tiga sampai jam empat, meyakini silat di Seehoa thia. Dalam hal ini, mereka bisa sekali pegang rahasia. Kiau Liong pun telah gunakan akal dengan minta ibunya
pisahkan ia tidur dari babu susunya supaya ia tidur
sendirian di kamarnya. Giok thaythay melulusinya. Hanya, sebagai gantinya babu, budak nama Hoan Cun diperintah
melayani anak ini, tetapi di waktu malam, Kiau Liong
suruh budaknya tidur di luar kamar. Dan setiap malam,
sejak jam sembilan, ia larang budak itu masuk pula ke
kamarnya. "Tentang ini aku larang kau bicara pada thaythay!"
demikian Kiau Liong ancam budak itu.
Hoan Cun menurut. Kadang-kadang dari dalam
kamarnya Kiau Liong ia dengar suara kertas dirobek, bak
digosok, atau tindakan kaki, ia menduga yang nonanya
sedang belajar dan tidak ingin diganggu. Ia merasa heran kalau ia dengar suara seperti jendela dibuka, sedang api telah dibuat padam.
Kembali tiga tahun telah lewat, Kho Long Ciu minta ijin
pula untuk pesiar. Ketika itu Kiau Liong sudah berusia
empat belas tahun. Pada itu malam, di Seehoa thia, sehabis mengajarkan semacam ilmu pedang, Kho Long Ciu ajak
muridnya ke kamarnya. Ia duduk dengan sinar api ia alingi dengan buku, Kiau Liong berdiri di depannya. Ia kata pada muridnya itu: "Aku ajarkan kau silat sejak umur sembilan tahun, sampai sekarang kau telah belajar lima tahun,
kepandaianmu sudah sempurna, maka dengan peroleh
pelajaran pedang yang terakhir, kau boleh dianggap telah menjadi satu liehiap. Ilmu pedang barusan adalah yang
dinamakan Koh-in Cuigoat Toan Kunlun. Sampai di sini,
selesailah ilmu pedang dari Butong Pay. Aku rasa, kecuali aku, melainkan Kang Lam Hoo yang mengerti ilmu pedang
ini. Bila kau telah dapat pahamkan ilmu ini, janganlah kau jadi kepala besar dan jumawa. Ilmu silat ada untuk menjaga diri, bukan buat berkelahi dan merebut kemenangan,
Pendekar Jembel 6 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Satu Jurus 8
^