Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 6
sedang di kalangan kangou banyak orang yang licin, ada
yang tenaganya besar istimewa, ada yang pandai
menggunakan senjata rahasia juga. Kau ada satu siocia,
usiamu masih muda, pengalaman tidak punya, kau belum
pernah hadapi pertempuran besar, maka jangan kau anggap
diri terlalu tinggi, terutama jangan kau lakukan apa yang di luar garis. Kau harus ketahui apabila kau nampak bahaya
disebabkan perbuatanmu yang salah, aku tidak akan
menolongnya. Aku hendak berangkat besok, maka ingatlah
pesananku ini. Di sini aku ada simpan peti kecilku dalam mana ada kitab tentang turunan keluargaku yang aku ingin lain orang tidak ketahui begitupun kau, jangan kau coba
curi baca. Jagalah buku itu baik-baik."
Kho Long Ciu bungkus rapi petinya itu, ia segel dan
berikan cap namanya, sembari lakukan itu ia curi lirik
muridnya dan ia mendapati murid itu cuma sahuti ia sambil tunduk dan manggut, sedang air mukanya pun tak berubah.
"Dasar ia masih muda," pikir Kho Long Ciu. "Aku telah yakinkan pelajaranku enam atau tujuh bagian, aku telah
turunkan kepandaianku padanya kira-kira empat atau lima
bagian, maka cukuplah sampai di sini dahulu, untuk
menjaga kalau-kalau di belakang hari ia main gila, aku bisa berkuasa padanya."
Giok Kiau Liong terima itu peti dan dibawa ke
kamarnya. Kho Long Ciu masih berkuatir, diam-diam ia kuntit
muridnya ini, ketika si nona masuk ke dalam kamarnya, ia mengintip dari luar jendela. Ia lihat sendiri si nona simpan peti itu ke dalam lemari, terus api dipadamkan dan nona itu tidur. Maka itu, besoknya pagi, Kho Long Ciu tinggalkan
Ciehoat koan dengan hati lega.
Melalui padang pasir Long Ciu masuk ke Yangkwan,
dari sini ia menuju dan sampai di Kamsiok. Sekarang ia
bukannya pergi ke Holam, akan tengok kandanya dan cari
persaudaraan Yo, hanya ia niat pergi ke Pakkhia, sebab
baru saja ia dengar cerita orang yang kembali dari kota raja, katanya di sana baru muncul satu pemuda kosen, Lie Bou
Pek namanya, yang ada jadi keponakan murid dari Kang
Lam Hoo atau muridnya Kie Kong Kiat atau puteranya Lie
Hong Kiat, bahwa di kota raja pemuda itu sudah rubuhkan
banyak orang gagah, sampai tak ada tandingannya, hingga
namanya jadi kesohor.
"Aku telah belajar sepuluh tahun, belum pernah aku coba kepandaianku," demikian ia berpikir. "Mustahil aku bawa mati kepandaianku dengan peluki saja dua kitab itu"
Adalah seharusnya aku cari tempat di mana aku bisa angkat nama dengan pecundangi beberapa cabang atas, agar orang
ketahui namaku dan kenal aku sebagai Kho Long Ciu Kho
In Gan ..."
Begitulah, ia ambil putusannya. Ketika itu hari ia sampai di Liangciu, Kamsiok, hari telah menjadi magrib. Dengan
tuntun kudanya, ia pergi ke Saykwan, Kota Barat, buat cari rumah penginapan. Selagi jalan tiba-tiba ia dengar
panggilan "Kho Long Ciu!" berbareng dengan mana, tangan bajunya ada yang betot, hingga ia terperanjat, ia segera menoleh.
Satu nyonya, umur kurang lebih limapuluh tahun,
adalah orang yang betot Kho Long Ciu dan pun segera
menegur lebih dahulu: "Apakah kau masih mengenali aku?"
Pertanyaan itu ada dengan lagu Kimseekang dan
mendengar itu, Kho Long Ciu bertambah curiga.
"Pada duapuluh tahun yang lalu, sehabisnya Ah Hiap
menutup mata, kau telah bawa pergi dua kitab dari
rumahku!" demikian nyonya itu, yang dandan sebagai
pengemis. "Sekarang kedua buku itu kau mesti pulangkan padaku!"
Dalam kagetnya, Kho Long Ciu bisa tetapkan hati.
"Jangan berisik!" ia kata. "Mari kita cari tempat untuk bicara!"
Lantas ia naik pula kudanya dan keluar dari bilangan
kota, dan si nyonya terus ikuti ia sampai di luar kota di mana ia mendahului tahan kudanya akan loncat turun. Di
sini, di antara cuaca magrib mereka lantas bicara.
Pengemis perempuan itu bukan lain daripada Pekgan
Holie Kheng Liok Nio, yang telah menikah dengan Ah
Hiap melulu untuk bisa cangkok kepandaian silatnya, sebab kemudian, sesudah menjadi pandai ia lalu berkongkol
dengan Hwie Pek Sin dan berdua mereka atur tipu dan
turun tangan hingga Ah Hiap binasa. Sehabisnya itu, Kheng Liok Nio tinggalkan Hwie Pek Sin dan berangkat dari
Inlam menuju ke daerah Tiangkang, dengan niatan malang
melintang di kalangan kangou, guna tindih jago-jago di
daerah Sungai Besar itu. Dalam hal tujuannya ini, ia tidak peroleh hasil, sebaliknya, beberapa kali ia tampak
kegagalan. Ketika itu Lie Hong Kiat masih belum undurkan diri dan Kang Lam Hoo sering-sering muncul di muka
umum, guna menghalangi sesuatu orang jahat mainkan
peranan yang merusak masyarakat. Gagal di Tiangkang, ia
pergi ke Hoopak, tetapi di sini Kie Kong Kiat tidak boleh dibuat permainan, dari itu ia terpaksa angkat kaki pula ke daerah antara Siamsay dan Kamsiok, akan akhirnya jadi
ratu gunung di sebuah bukit di mana ada mengeram kira-
kira duaratus berandal. Lacur baginya, baru berdiam
sepuluh tahun di gunung itu, tentara negeri telah labrak ia, hingga laskarnya pun ludas, suaminya binasa dan ia sendiri mesti merat. Selanjutnya, karena sudah biasa dengan
penghidupan penjahat, ia bekerja sendirian saja, ia bekerja di tempat di mana saja ia sampai. Ia hendak balas sakit hati suaminya, tapi ia musuhkan sembarang orang, dari itu, ia telah binasakan beberapa jiwa, sehingga semua orang polisi
di Hweeleng, Tiangbu, Hongsiang dan Cinciu hendak
tangkap padanya, hingga ia mesti menyingkir sana dan
menyingkir sini. Ia merantau beberapa tahun lamanya,
sampai paling akhir ia berada di Liangciu di mana terpaksa ia menyamar sebagai pengemis untuk mengelabui mata
polisi. Di sini, di luar dugaannya ia ketemu Kho Long Ciu,
orang yang ia sedang cari. Maka itu, ia terus cekal siucay ini.
"Oho, Kho siucay yang jempolan!" demikian nyonya gula-gula itu, dengan suara ejekannya. "Bukankah dahulu kau telah ambil dua jilid kitab dari tanganku" Tatkala itu aku masih belum tahu apa kefaedahannya buku itu, hanya
belakangan, sesudah nyebur dalam dunia Sungai Telaga,
aku dengar dan mengerti dengan baik. Nyatalah Kang Lam
Hoo telah merantau, untuk cari suheng-nya demikian pun
kedua buku itu, sebab itu dua buku ada pusaka mereka!
Siapa saja, siapa dapati kedua buku itu, ia bakal bisa
pahamkan kepandaian silat sama tingginya seperti
kepandaiannya Kang Lam Hoo sendiri! Aku tidak sangka
bahwa kau telah pedayakan aku dan kau telah menghilang,
hingga sekarang ini sudah duapuluh tahun lamanya! Coba
aku mendapati dua buku ini, tidak nanti aku sampai terhina orang!"
Kho Long Ciu pun tertawa.
"Beruntung dua buku itu aku bisa ambil dan bawa
menyingkir dari kau!" ia kata, "kalau tidak, entah berapa banyak kejahatan kau telah lakukan!"
Pekgan Holie tak gubris jengekan itu.
"Aku tahu," ia kata, "aku tahu, selama duapuluh tahun, kau tentunya telah dapat pahamkan itu kepandaian
istimewa. Cuma, karena kau tidak masuk dalam kalangan
kangou, apakah gunanya kepandaian itu bagimu" Maka
sekarang, lekas kau keluarkan buku itu dan serahkan
padaku! Kau harus mengerti, jikalau buku diserahkan
padaku, urusan habis sampai di sini, tetapi jikalau kau
membantah, aku akan segera cari Kang Lam Hoo, akan
kasih tahu padanya bahwa kaulah yang dahulu membuat
mampus pada Ah Hiap dan bukunya Ah Hiap berada pada
kau!" Kho Long Ciu kasih dengar tertawa menghina apabila ia
dengar ancaman itu, "Apakah kau sangka aku takut jikalau Kang Lam Hoo cari aku?" ia kata secara menantang. Baru ia tutup mulutnya, atau tubuhnya telah bergerak
membarengi gerakan tangannya, yang menyerang itu bekas
gula-gula. Dan ia telah keluarkan pukulan dari kematian, guna membuat tamat lelakonnya perempuan jahat ini, si
Rase Mata Biru. Ia anggap, dengan tindakannya ini, tidak saja ia bisa singkirkan manusia jahat, ia pun boleh tak usah kembalikan
dua kitabnya yang berharga, bahwa selanjutnya, sepak terjangnya tidak lagi bakal mendapati rintangan dari perempuan ini. Tetapi maksudnya ini ia tak bisa lantas capai.
Nyata Pekgan Holie ada liehay, kendatipun ia diserang
secara demikian mendadak, ia masih bisa lihat gerakan
orang, ia bisa membade maksud orang, maka ketika tangan
lawan sampai, ia berkelit seraya menangkis dengan seketika juga membalas menyerang, hingga di situ, di tempat yang
luas dan sunyi, keduanya lantas adu kepandaian.
"Hm, beginilah kelakuanmu!" menyindir nyonya itu.
Kho Long Ciu tidak mau banyak omong, sudah
terlanjur, ia teruskan serangannya, malah ia mendesak.
Sesudah bertempur sekian lama, segera ternyata
perbedaan di antara dua orang ini. Dalam hal ilmu silat,
Kheng Liok Nio kalah, tetapi di dalam hal kegesitan dan
tenaga, ia menang. Dalam hal ilmu silat, Kho Long Ciu ada terlebih paham, tetapi apa mau, gerakannya terlebih lambat, tenaganya kurang.
Lama mereka adu kepandaian, akhir-akhirnya, Kho In
Gan yang mengalah.
"Sudah, sudahlah,"
ia kata, sambil berhentikan
pertempuran. "Sudah, kita jangan bertempur lebih lama, buku aku akan kembalikan padamu!" Kemudian, sambil
menghela napas, ia tambahkan: "Sayang buku itu aku
dapati terlambat sepuluh tahun ... Ilmu silat mesti
diyakinkan sedari usia masih muda dan dengan dasarnya
sekalian ... Sekarang aku yakinkan itu dalam usia sudah
cukup tinggi, aku hanya seperti orang bisa membaca, tapi buat menggunai secara sungguh-sungguh, aku sudah gagal
... Sekarang ini aku batal buat pergi ke Pakkhia, maka kau baiklah ikut aku kembali ke Sinkiang akan ambil buku itu
..." Pekgan Holie akur dengan usul itu, pertempuran jadi
berakhir dan mereka pun hidup sebagai suami isteri.
Mereka pulang ke Sinkiang dan Kho Long Ciu menghadap
Giok tayjin sambil perkenalkan "isterinya".
Giok tayjin dan Giok thaythay percaya itu keterangan,
malah mereka sambut suami isteri itu dengan girang.
Mereka anggap yang si guru sekolah telah pergi untuk
sambut isterinya ...
Pekgan Holie ada seorang yang pandai, berdiam di
dalam kantor pembesar negeri ia telah ubah sikapnya dan
dengan Kho Long Ciu ia unjuk watak yang baik sekali,
seperti juga Kho Long Ciu benar ada suaminya dengan
siapa ia sudah berpisah lama. Ia berlaku lemah lembut dan hormat.
Untuk suami isteri guru ini, Giok tayjin berikan
rumahnya di samping barat dari Seehoa thia, di situ ada
beberapa kamar dan di bagian belakangnya ada dua buah
pohon kayu yang memberikan hawa teduh dan nyaman.
Di hari itu juga Giok Kiau Liong muncul, akan kasih
hormat pada gurunya yang baru pulang, begitupun pada
sunio-nya atau nyonya guru.
Sebagai seorang cerdik, Pekgan Holie sudah lantas
perhatikan nona itu, yang menjadi murid dari suaminya,
kemudian dengan hampir berbisik, ia kata pada Kho Long
Ciu: "Muridmu ini ada sangat cantik! Apakah boleh aku bawa ia pergi?"
Kho Long Ciu cegah maksud isterinya dengan diam-
diam ia berikan tanda.
Kemudian ini guru minta kembali peti simpanannya,
yang mana Kiau Liong telah lantas kembalikan, apabila ia sudah periksa, ia mendapati peti itu tidak terganggu, maka diam-diam ia girang dan puji kejujuran dan ketertibannya murid ini.
Malam itu, ya, jauh malam, Kho Long Ciu dan Pekgan
Holie masih belum tidur. Di dalam kamarnya, mereka
berada berduaan, mereka tidak hiraukan hawa udara yang
dingin luar biasa, angin pun meniup sangat keras. Mereka duduk berhadapan dalam kamar, di bawah penerangan
sebatang lilin. Kho Long Ciu keluarkan dua jilid buku dan taruh di atas meja, untuk kasih lihat itu pada kawan
perempuannya. Peta-peta yang merupakan gambar terlukis nyata, disertai huruf-huruf yang membantu berikan keterangan-keterangan
tetapi Pekgan Holie masih tak mengerti itu semua dengan
jelas, dari itu, Kho Long Ciu telah bantu ia dengan
memberikan penjelasan. Sekarang barulah ia mengerti,
karena ia pun sudah punyakan dasar. Sesudah itu Kho
Long Ciu simpan pula bukunya, kemudian ia ajak "isteri"-
nya pergi keluar, ke latar di Seehoa thia.
Tatkala itu sudah jam tiga, langit ada gelap karena
bintang-bintang sangat sedikit.
"Di sini kita bisa berlatih dengan leluasa," kata Klio Long Ciu kemudian, suaranya perlahan.
Kheng Liok Nio manggut.
Di situ Kho Long Ciu berikan pengunjukan-pengunjukan
pada "isteri"nya siapa pun bergerak-gerak menuruti pengunjukannya Long Ciu.
"Beginilah gerakan pertama," ia kata, "dan begini gerakan kedua ..."
Meski demikian di dalam hatinya, "suami" ini berpikir lain.
"Jikalau aku beritahukan semua padanya, di belakang hari sukar untuk aku berkuasa atas dirinya. Aku mesti bisa kira-kira ..."
Karena ini, ia berikan pelajaran dengan ayal-ayalan.
Di lain pihak, Kheng Liok Nio telah berlatih sangat rajin, ia umpamakan di hadapannya benar ada musuh dan
bagaimana musuh itu harus dibuat rubuh ...
Sedangnya asyik mereka berlatih sekonyong-konyong
ada angin yang membawa asap yang tebal dan bergumpal
sampai Kho Long Ciu batuk-batuk.
"Tahan!" akhirnya ia kata pada gula-gulanya. "Lihat, dari mana datangnya asap ini ..."
Kheng Liok Nio berhenti bersilat, ia menoleh ke jurusan
asap itu. Mereka segera ketahui dari mana datangnya asap, malah
Kho Long Ciu ada begitu kaget, segera ia lari ke jurusan rumahnya, dari belakang mana sekarang telah tertampak
api menghembus naik.
Api telah datang dari belakang gedung, api itu yang
menyebabkan asap, dan karena ditiup angin, tidak heran
kalau api itu lekas berkobar.
Dengan tak pedulikan asap, Kho Long Ciu nyerbu ke
dalam. Ia ambil panci untuk cuci muka yang airnya ia pakai menyiram api. Apa mau air ada terlalu sedikit dan api ada terlebih besar, siraman itu tidak memberikan hasil. Malah karena diseblok, api itu lantas menjalar menghembus
terlebih tinggi.
"Kebakaran!" berteriak Kheng Liok Nio. "Kebakaran!"
Tukang ronda pun yang lihat asap, ia lantas palu
gembrengnya sekeras-kerasnya, hingga sekejap kemudian
orang-orang di dalam gedung menjadi kaget dan pada
memburu, antaranya ada yang membawa air dalam tahang.
Sekali ini, api dapat dibuat padam.
Kho Long Ciu telah ditarik keluar, karena ia ayal-ayalan berdiam di dalam.
Gedung kecil itu tidak sampai terbakar musnah, yang
jadi korban api hanya daun jendela dan pintu berikut segala rupa barang perabotan, tidak terkecuali kelambu dan kasur.
Sambil mengawasi kamarnya, Kho Long Ciu menghela
napas berulang-ulang,
kakinya ia banting-banting.
Tangannya ada menyekal selembar papan kecil di atas
mana ada kertas tempelan. Rupanya karena ia sambar
papan itu, tangannya telah kena terbakar sedikit.
"Syukur tidak ada orang yang tertambus!" kata beberapa hamba gedung sambil tertawa, "Beruntung! Ini tandanya kita masih dipayungi malaikat! Barangkali karena sunio
datang, suya menjadi sangat kegirangan, sampaikan dengan tak merasa mereka kena tendang lampu yang jadi jatuh dan apinya menyambar kasur! ..."
Kho Long Ciu tahu orang godai ia tetapi ia bungkam,
karena ia ada sangat berduka dan menyesal.
Kapan Giok tayjin dikabarkan perihal bahaya api itu,
tidak tegur atau persalahkan itu guru silat suami dan isteri, bahkan ia merasa kasihan terhadap itu guru yang ia sangka uang simpanannya habis semua.
Untuk sementara, Kho Long Ciu dan Kheng Liok Nio
lantas dikasih lain kamar yang diperlengkapi dengan
perabotan baru pula.
Masih saja Kho Long Ciu berduka, sering ia duduk
bertopang dagu dan menghela napas panjang.
"Buku telah terbakar habis, apa gunanya akan tarik napas panjang pendek?" kata Kheng Liok Nio. "Sudah duapuluh tahun kau simpan itu dua jilid buku, mustahil kau masih
belum dapat apalkan di luar kepala" Sudahlah, hayo
sekarang kau ajarkan aku!"
Kho Long Ciu tarik napas untuk sekian kalinya.
"Buku begitu tebal dan sulit isinya, mana aku dapat apalkan semua?" ia menyahut kemudian, dengan suara
dalam. "Buku itu penuh gambar, suratnya begitu sedikit, bagaimana aku bisa ingat di luar kepala" Sekarang yang aku bisa ajarkan melulu apa yang aku masih ingat ... " Ia menghela napas lagi, baru menyambungi: "Ya, begini saja, aku akan ajarkan kau apa yang aku ingat ... Isinya buku ada sangat penting, apabila itu dapat dipelajarkan oleh orang-
orang dengan hati busuk, entah berapa banyak kejahatan ia akan lakukan! Kalau aku ingat itu, aku memang lebih suka kedua buku itu terbakar ludas! Hanya ... sayang aku telah punyakan murid dan murid itu belum keburu memperoleh
kesempurnaannya pimpinanku ..."
"Siapa murid itu?" Kheng Liok Nio tanya. "Di mana adanya ia?" Ia tadinya cuma tahu Kiau Liong ada murid ilmu surat dan bukannya murid ilmu silat. Ia pun
menyangka murid lelaki.
"Ia ada Giok siocia," sahut Kho Long Ciu dengan berbisik. "Aku harap kau tidak beritahukan hal ini pada lain orang. Aku telah ajarkan ia tidak hanya ilmu surat tetapi pun ilmu silat, malah ia telah belajar lima tahun lamanya.
Cuma aku tidak ingin ajarkan ia terlebih jauh ..."
"Kenapa kau tidak ingin ajar terus padanya?" tanya Pekgan Holie.
"Mulanya aku inginkan ia menjadi satu hiaplie," suami sampiran itu kasih tahu, "tetapi setelah berselang lama, aku dapat
kenyataan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia ada terlalu terpengaruh oleh
penghidupan mewah, hingga aku kuatir, di saatnya ia
menikah dan bersuami seorang berpangkat atau turunan
berpangkat yang jahat. Bagaimana kalau ia pun gunakan
kepandaiannya untuk maksud buruk" Tidakkah ia jadi
mencelakai sebaliknya daripada berbuat kebaikan?"
Pekgan Holie manggut-manggut, tetapi di dalam hatinya
ia dapat pikiran:
"Si nona ada gagah, ia harus menjadi muridku,"
demikian cita-citanya. "Aku mesti pergi pada nona ini, agar ia bisa menjadi pembantuku. Aku mesti ajak ia guna bantu aku membalas musuh-musuhku!"
Oleh karena memikir begini, Kheng Liok Nio lantas
bawa diri jauh terlebih hati-hati. Ia bawa kelakuan yang harus dipuji, karena berlaku hormat dan kenal kewajiban.
Di lain pihak ia terus desak Kho Long Ciu supaya ajarkan ia berbagai-bagai ilmu pukulan yang liehay.
Di samping mengajar "isterinya" selambat mungkin, ia pun asah otaknya akan pengaruhi hati orang. Ia lalu karang ceritera:
"Kau harus hati-hati, kau mesti bisa umpatkan diri,"
demikian dongengannya terhadap isteri yang licin itu.
"Kejahatanmu di luaran ada terlalu banyak, hingga segala pihak sedang cari kau dengan seksama. Kantor Giok tayjin pun ada terima beberapa surat yang mengenai segala
perbuatanmu dan tayjin diminta suka bantu cari dan bekuk padamu. Sekarang ini sudah ada beberapa hamba polisi
yang kenamaan yang datang cari kau ke Sinkiang."
Ceritera ini dipercaya oleh Kheng Liok Nio, ia merasa
kuatir juga. "Maka
baiklah kau ubah adat dan kelakuanmu," sering-sering Kho Long Ciu kasih nasehat.
"Kau mesti menyesal dan tobat akan semua perbuatanmu, selanjutnya kau mesti menjadi orang baik-baik. Bukankah
kau merasa penghidupan seperti sekarang ini ada jauh
terlebih baik daripada hidup merantau tak berketentuan di dalam kalangan kangou?"
Nasehat itu agaknya memakan, nampaknya Kheng Liok
Nio senang tinggal di gedungnya Giok tayjin, temponya ia lewatkan dengan mencuci pakaian dan menjahit. Ia berlaku rajin. Kadang-kadang ia pun ikut Giok thaythay dan Giok
siocia pergi ke rumah-rumah suci untuk bersembahyang.
Maka kemudian orang telah puji bahwa Kho sunio adalah
satu nyonya yang baik dan sabar.
Demikian, dua tahun telah lewat. Selama ini dua tahun
Giok Kiau Liong tidak lagi belajar silat di bawah pimpinan gurunya, hanya ia melatih diri sendiri, begitupun dalam hal ilmu surat dan melukis. Kho Long Ciu tidak punya gawe,
hampir setiap hari ia temani Giok tayjin main catur,
kedudukannya mirip dengan satu tetamu. Adalah Kheng
Liok Nio, yang hidup sebagai separo budak, semua
penjahitannya si nona rumah ia yang kerjakan. Ia tidak mau unjuk tembaganya, tetapi ia senantiasa mencoba cari tahu tentang kepandaiannya si nona. Nona, bagaimana dengan
kepandaianmu?" begitu ia suka tanya.
"Semua aku telah lupa!" sahut nona itu. "Memang sebenarnya aku tidak gemar belajar, adalah suhu yang
perintah aku yakin itu, ketika kemudian aku hilang
kegembiraanku akan belajar lebih jauh, suhu pun lantas
bosan mengajarkan aku! ... ,"
Dalam usia enambelas tahun, Giok Kiau Liong ada
cantik laksana bidadari.
Di dalam musim pertama di itu tahun, Giok tayjin telah
dapat panggilan untuk pulang ke kota raja, berbareng
dengan itu, iparnya atau bouku (paman) dari Kiau Liong,
ialah Sui ciangkun, telah diangkat jadi lengtwie taysin, yaitu pembesar tentara dari tangsi Kozak di Ielee, maka jenderal ini telah kirim wakil akan sambut Kiau Liong dan ibunya
pergi ke Ielee, untuk saudara lelaki dan saudara perempuan, bouku dan keponakan, saling bertemu. Atas ini, Pekgan
Holie nyatakan suka ikut, buat sekalian jalan-jalan. Begitu juga Kho Long Ciu, ia pun ingin turut, karena ia merasa tak tenteram melihat orang pergi membuat perjalanan.
Demikian di harian keberangkatan, orang berangkat
dalam satu rombongan dari enambelas buah kereta dengan
limapuluh ekor kuda, dengan pengantar enam punggawa
serta empatpuluh serdadu pengiring. Di dalam kereta
barang-barang pun ada dibawa banyak rangsum kering serta guci-guci arak yang besar yang muat air dingin. Air minum ini ada perlu, karena perjalanan ke barat itu, buat duaratus lie jauhnya, ada padang pasir belaka, dan dalam dua tiga hari, orang tak akan ketemukan setetes air juga di tengah perjalanan.
Dalam rombongan ini ada turut juga anggauta-anggauta
keluarga dari dua pembesar lain dari kantornya Giok tayjin.
Meninggalkan Chieboat koan, rombongan besar itu
lantas menuju ke barat.
Di dekat-dekat Chieboat koan ada bertinggal juga orang
Boan atau Kiejin asal tangsi Hieso lun-eng dengan mereka punya sawah ladang yang luas lebar di mana mereka tanam
kecuali gandum juga anggur yang tumbuhnya melapay
melulahan di atas tanah, di atas tegalan atau pinggiran
bukit. Perjalanan ini dilakukan di bulan ketiga, maka hawa
udara ada hangat, angin meniup halus. Ini ada suatu
perjalanan yang menyenangkan.
Di hari pertama, sorenya, mereka singgah di suatu dusun
besar yang berupa sebagai kota. Besoknya, di hari kedua, sebelumnya
berangkat, dua serdadu
yang menjadi pengunjuk jalan telah amat-amati udara, setelah sekian
lama, mereka geleng-geleng kepala.
"Hawa udara hari ini tidak bagus," kata mereka. "Jikalau di Gobi ada angin, itulah hebat!"
Atas itu, satu punggawa lantas hampirkan Giok
thaythay, untuk beritahu hal hawa udara itu.
Giok thaythay sudah naik atas keretanya, ia tidak bisa
ambil putusan. "Kau lihat sendiri saja," ia bilang. "Kalau bisa, mari kita berangkat, jikalau tidak, baik tunda saja ..."
Giok Kiau Liong yang duduk di lain kereta dapat dengar
bicaraan itu, lantas nona ini kirim budak perempuannya,
akan mengasih tahu.
"Siocia bilang, hawa udara ada begini bagus, awan
sedikit pun tidak ada, kenapa tidak mau berangkat" Apa
gunanya akan singgah lebih lama di sini?"
Mendengar itu, punggawa yang bersangkutan segera
berikan perintahnya.
"Berangkat!" katanya. "Hayo berangkat!" Begitulah, laksana seekor ular yang panjang, rombongan ini lantas
berlerot jalan. Jalanan tetap ada menuju ke barat.
Di antara serdadu-serdadu pengiring lantas juga
terdengar helaan napas serta ucapan dari kekuatiran.
"Sebenarnya, kalau di Gobi kita ketemu angin, masih mending ... " demikian suara itu. "Hanya kalau kita ketemu Poan Thian In, itu barulah celaka! ..."
Atas ini, tukang kereta dan serdadu-serdadu lantas
membicarakan tentang Poan Thian In. Maka Kho Long Ciu
dan Pekgan Holie yang juga naik kereta, turut mendapat
dengar. "Poan Thian In adalah satu penjahat besar yang baru untuk Sinkiang," kata sang suami pada isterinya. "Di bawah perintahnya ada tigaratus lebih pengikut, yang semua ada penunggang-penunggang kuda yang jempolan. Mereka
sering muncul di tengah-tengah gurun pasir, kita harus
berhati-hati ..."
"Aku tidak bekal senjata, bagaimana?" Kheng Liok Nio tanya.
"Bawa senjata juga tak ada gunanya," jawab Khong Long Ciu , alias Ko In Gan. "Mereka berjumlah tigaratus lebih, jikalau mereka meluruk dengan berbareng meskipun
kita punya kepadaian sebagai Kang Lam Hoo, masih kita
tak mampu berbuat suatu apa!"
"Diam!" Pekgan Holie kata pada suaminya, dengan air muka bengis. "Kita selanjutnya jangan sebut-sebut lagi Kang Lam Hoo!"
Kho Long Ciu bisa mengerti larangan ini, itulah
disebabkan Kheng Liok Nio paling takuti Kang Lam Hoo,
karena Ah Hiap, suheng dari itu jago Kanglam, telah binasa di tangannya ini perempuan yang ganas. Ia berdiam, akan
akhirnya menghela napas, sebab, ingat pada Kang Lam
Hoo, ia jadi ingat dua jilid kitabnya yang berharga, yang musnah terbakar ...
Waktu itu Giok Kiau Liong duduk di kereta dengan tiga
budak perempuan sebagai kawan, yang duduk di sebelah
depan ada Siu Hiang, hingga ia ini ada leluasa buat
memandang luas ke sebelah depan, kiri dan kanan.
"Lihat di sana, siocia, lekasan!" kata budak ini tiba-tiba.
"Itulah Bongkou pau!"
Sambil berkata begitu, budak ini menunjuk ke tempat
yang jauh di mana ada tertampak ladang yang luas dan
hijau, di mana pun ada kelihatan banyak kambing dan
kerbau malahan pun ada rumah atau gubuk-gubuk yang
bundar. Bujang perempuan Su-ma yang duduk di belakang
nonanya memandang ke jurusan yang ditunjuk itu, ia tarik ujung
baju nonanya dan kata: "Siocia, lihatlah pemandangan di sana sungguh indah, sebagai gambar saja!"
"Apa yang jadi indah?" sahut si nona, kemudian dengan sapu tangan putihnya, ia kebuti rambutnya yang ketutupan debu, sedang kakinya, yang ia geser, telah membentur
serupa barang ialah "Toan-goat", pedang ayahnya, pedang mana ada tajam, meskipun bukannya pedang mustika. Dan
pedang ini ia bawa di luar tahu ibunya.
Roda-roda kereta menggelinding terus, hingga kemudian,
rumput hijau mulai tertampak jarang, warna hijau di empat penjuru mulai tertukar dengan warna gelap, sementara
suara roda kereta jadi terlebih nyaring. Itu adalah tanda bahwa orang telah mulai injak daerah padang pasir, dengan pasirnya yang hitam kasar. Tempat pun telah mulai menjadi sepi. Kalau tadinya orang masih bisa lihat beberapa
rombongan orang Mongol yang bertunggang kuda,
sekarang mereka itu lenyap dari pemandangan mata.
Benar saja, di gurun pasir orang tak melihat sebatang
rumput ... Di sini hati orang bisa menjadi ciut atau putus harapan ... Demikian, tidak ada satu tukang kereta atau
serdadu yang berani bicara dengan suara keras ... Malah
kuda pun seperti malas berjalan ...
Kho Long Ciu melongok ke luar jendela kereta, ia
mendapati matahari telah menyorotkan sinar kuning di
empat penjuru, tanda datangnya sore.
"Aku kuatir angin bakal datang!" kata ia. "Memang, penunjuk jalan biasanya ketahui baik tentang perubahan
hawa udara ... Kita berjalan dengan begini banyak orang, kenapa kita mesti turut suaranya siocia satu orang" ..."
Selagi guru ini ngoceh sendirian, kereta mulai tukar
jurusan, ke utara. Kedua penunjuk jalan tetap berjalan di muka, di atas kuda mereka, dan semua kereta mengikuti
mereka. Suara roda kereta dan kaki kuda sangat berisik
sekali ... Ketika rombongan melalui sepuluh lie lebih, mereka
telah mulai berjalan di tanah yang terlebih rendah, di empat penjuru ada tumpukan-tumpukan pasir, yang berupa
sebagai tanjakan atau bukit kecil, hingga di situ orang tidak lagi merasai tiupan angin seperti tadi-tadi. Kemudian,
enambelas buah kereta telah berkumpul menjadi satu
bundaran laksana sebuah kota atau bentengan kecil!
Adalah itu waktu semua punggawa, serdadu dan tukang
kereta, masing-masing berkata: "Kita tidak bisa jalan terlebih jauh. Lihat, angin besar segera akan datang!"
Giok Kiau Liong sudah lantas muncul dari keretanya,
akan lihat langit dan alam sekitarnya.
Warnanya langit mirip dengan rupanya bumi di waktu
itu. Tukang-tukang kereta sedang loloskan kuda mereka.
Serdadu-serdadu sedang pelihara kuda mereka, ada yang
lagi masak air dan dahar rangsum kering. Tatkala itu baru jam sebelas tengah hari lewat sedikit. Di antara serdadu-serdadu pun ada yang sudah rebah-rebahan di atas pasir,
seperti siap untuk lewatkan sang malam ...
Kemudian nona Giok duduk di keretanya, budak Siu
Hiang sudah lantas bawakan ia semangkok air teh merah
serta sepiring kue yang tebuat dari telur ayam. Ia baru mulai dahar kuenya dan minum tehnya, ketika angin mulai
meniup. "Silahkan siocia duduk di dalam," kata tukang kereta yang terus turunkan tenda, akan dipasang dengan rapi,
sedang ia sendiri kemudian, pergi umpatkan diri di kolong kereta itu!
Angin meniup semakin kencang hingga sebentar
kemudian kereta menerbitkan suara bagaikan ketimpa
hujan, karena angin telah membawa pasir yang jatuh
meluruk atau menimpa tak berhentinya. Suaranya angin
semakin menderu-deru. Di empat penjuru jagat jadi gelap, seperti malam di waktu gelap bulan.
Semua orang pada meringkuk, tidak ada yang berani
berkutik, melainkan sang kuda yang perdengarkan suara
berbenger mereka, suaranya menambahkan berisiknya sang
taufan. Berapa lama angin telah mengamuk, orang tidak tahu,
hanya lambat laun angin mulai sirap, semua serdadu dan
tukang kereta baru berani berbangkit, hati mereka lega.
Mereka mendapati seperti dunia baru melek membuka
mata. Tetapi kekuatiran datang pula dengan lekas. Kalau tadi
mereka kuatirkan pengaruh alam, sekarang terhadap
penyamun, yang bikin mereka kaget dan menjerit. Semua
nampaknya sangat ketakutan.
"Berandal datang! Poan Thian In! ... " demikian jeritan mereka.
Segera juga terdengar suara dari berlari-larinya kuda, lari mendatangi, seumpama angin datang mengamuk untuk
kedua kalinya. Dengan pedang di tangan, Kho Long Ciu loncat turun
dari keretanya. Ia masih merasai sedikit sambarannya pasir yang terbawa sisa angin, maka sambil menoleh ke
keretanya, ia pesan Pekgan Holie: "Kau jangan turun dari kereta!"
Berandal-berandal mendatangi semakin dekat disertai
seruan-seruan mereka: "Maju, maju! Hayo, maju!"
Sebentar kemudian, serombongan penunggang kuda
telah sampai. Tidak tempo lagi, Kho Long Ciu loncat maju, pedangnya ia putar. Ia maju menyerang guna cegah
kejahatan dilakukan atas pihaknya. Apamau, kedua
kakinya telah kejeblos di pasir sampai ia susah bergerak, sedang pasir telah menyambar matanya membikin ia
gelagapan. Selagi begitu, tahu-tahu kaki kuda telah
mendupak dadanya hingga ia kaget dan terguling. Untuk
tolong jiwanya, ia terus bergulingan ke kolong kereta!
Segeralah terdengar suara pertempuran, suara jeritan.
Long Ciu cuma bisa dengar itu dengan sendirinya tak
berdaya. Pasir telah seperti memendam kedua kakinya. Ia
pun susah melek. Ia jadi sangat berduka dan mengeluh.
"Dasar aku sudah tua ... Percuma kedua kitab jatuh ke dalam tanganku ... Buat duapuluh tahun aku telah sia-siakan tempoku, pelajaranku ... "
Sementara itu suara pertempuran telah berhenti, suara
berketoprakannya kaki-kaki kuda mulai lenyap, melainkan
sang angin yang belum mau berhenti benar-benar. Di antara deruannya sang angin sekarang pun ada terdengar rintihan dari kesakitan ...
Kho Long Ciu yang sendirinya teruruk pasir, tidak
mampu gerakkan tubuhnya.
Sampai lagi berselang sekian lama, barulah angin sirap
benar-benar. Barulah itu waktu ada datang orang yang
menolongi si guru she Kho, tubuh siapa diangkat dari
urukan pasir, Pakaian dan kumisnya penuh dengan pasir. Ia diangkat naik ke atas keretanya.
Pekgan Holie pun rebah di atas keretanya, rebah laksana
mayat ... Tetapi itu belum semua. Segera terdengar teriakannya
punggawa-punggawa pengantar dan sejumlah serdadu
pengiring: "Siocia lenyap! Siocia kena dilarikan berandal!"
Saking kaget Kho Long Ciu bisa paksakan diri
berbangkit, akan loncat turun dari keretanya. Tetapi itu tak
dapat dilakukannya. Ia hanya bisa lihat orang sedang
menggali tumpukan pasir buat mengangkat mayat yang
hilang tangan atau kakinya. Ia pun lihat kuda-kuda yang
terluka dan dengar keluhannya orang yang terluka hampir
mati ... Menurut pemeriksaan segera ternyata hasilnya kejahatan
yang diperbuat itu. Dari pihak rombongannya dua orang
telah binasa, empat orang telah terluka, sedang dari pihak berandal tigabelas jiwa binasa dan sembilan orang terluka.
Kho Long Ciu heran akan mengetahui kesudahan itu.
Bagaimana kerugian bisa berada jauh lebih besar di pihak berandal" Bagaimana barisan pengiring bisa pertahankan
diri dan sanggup memberikan semacam pukulan bagi pihak
berandal" Tiba-tiba Kho Long Ciu dengar suaranya bujang
perempuan tua dari dalam keretanya nona Giok: "Aku juga tidak tahu bagaimana caranya siocia terlenyap! Siocia
punya sebatang pedang di atas keretanya, pedang itu pun
hilang! ... Tadi aku pingsan, hingga aku tidak tahu yang siocia dibawa lari berandal! ... " Kata bujang itu, agaknya ia mau mewek ...
Lalu, setelah itu, terdengar tangisan dari Giok thaythay dan budak-budak si nona. Nyonya Giok jadi sangat berduka dan berkuatir ...
Beberapa punggawa dengan ajak sejumlah serdadu lantas
berpencaran guna cari Giok siocia.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kho Long Ciu bengong saja, otaknya berpikir. Segera
juga ia mengerti atas duduknya perkara. Ialah sejak
terbakarnya secara aneh kamarnya sampai kedua bukunya
lenyap, dan sekarang lenyapnya si nona Giok. Kalau
tadinya ia merasa puas, segera ia menjadi lesu, hingga ia
menghela napas. Ia masuk pula ke dalam keretanya dan
jatuhkan diri dengan habis kegembiraannya.
"Jangan kau tunggu sampai di Ielee, lekas kau singkirkan diri!" ia terus pesan Kheng Liok Nio, bicaranya sambil berbisik. "Apabila kau tidak pergi, kau akan hadapi bencana yang akan meminta jiwamu! Aku menyesal bahwa aku
telah lakukan satu kekeliruan, aku telah pelihara seekor naga yang jahat! ... "
Sama sekali kawanan berandal terdiri dari limapuluh
jiwa lebih, mereka benar ada pengikut-pengikut dari Poan Thian In si "Awan di Tengah Langit". Mereka semua ada garang, memang sudah biasanya mereka bekerja di antara
angin ribut untuk membikin rudin atau celaka sekalian
mangsanya. Mereka semua menunggang kuda dan
bergegaman golok panjang. Tetapi sekali ini, mereka telah hadapi lawanan yang tangguh, yang di luar sangkaan
mereka. Selagi mereka merangsek dengan bengis, sambil
perdengarkan seruan-seruan mereka yang menakuti, tiba-
tiba mereka diterjang oleh seorang yang bersenjatakan
sebatang pedang, yang kepalanya dibungkus dengan pelangi putih, bajunya berwarna putih perak dan celananya biru air.
Dengan satu tikaman, yang dilakukan sambil berlompat
dari keretanya, Giok Kiau Liong telah bikin rubuh satu
berandal yang menunggang seekor kuda besar, hingga
dengan merdeka ia bisa loncat naik atas kuda itu, hingga selanjutnya, dari atas itu binatang rampasan, ia bisa lakukan penyerangan terlebih jauh pada rombongan penyamun
gurun pasir itu. Ia berlaku sangat gesit dan gagah, sedang Toan-goat kiam-nya tajam sekali. Musuh yang bagaimana
gagah pun hanya bisa layani ia tiga atau empat jurus, lantas musuh itu mesti kabur atau celaka nasibnya, ada yang rebah luka, ada yang hilang buntung tangannya.
Dalam tempo yang pendek, kawanan berandal jadi
ketakutan. "Lekas, lekas kabur!" demikian beberapa penyamun berteriak. "Lekas! Ini perempuan sangat liehay!"
Dan sekejab kemudian, semua mereka angkat kaki
meninggalkan kawan-kawannya yang telah rubuh sebagai
korban. Selagi musuh mundur dengan lari terpencar, Giok Kiau
Liong ubar mereka, ia ubar sana dan ubar sini, setelah
musuh tak tertampak pula barulah ia tahan kudanya. Ia
memandang ke sekitarnya sambil tenangkan napasnya yang
ada sedikit memburu. Ia lihat pasir melulu, tidak ada benda atau makhluk lainnya.
Buat sesaat nona Giok tertegun, lantas ia tersenyum. Ia
ingat ibunya, hatinya jadi lega. Ia percaya benar, di bawah perlindungan dari Kho In Gan, ibunya tak akan menampak
bahaya. Ia tak pernah mimpi bahwa orang yang ia andalkan itu justru telah jadi korbannya angin dan pasir, sampaikan sendirinya tak berdaya ...
Sesudah simpan pedangnya, Kiau Liong jalankan
kudanya dengan perlahan-lahan. Ia telah terpisah jauh dari ibu atau rombongannya, ia tidak tahu di jurusan mana
rombongannya itu. Dengan lepaskan les, kudanya itu jalan terus maka ia dapat ketika akan buka ikatan kepalanya akan buka juga rambut yang tergulung buat dikepang pula
menjadi sebuah kuncir yang panjang dan hitam yang ia
kasih turun meroyot di kiri dan kanan di depan dadanya.
Nona Giok ini telah dengar bahwa nona-nona Kozak
dan Mongol biasa memelihara rambut panjang yang
dikepang menjadi dua cacing, bahwa mereka biasa dengan
merdeka mundar-mandir di padang pasir atau pergi berburu di tegalan tanah datar yang penuh rumput dan gombolan.
"Sekarang aku dandan sebagai ini, siapa akan kenali aku?" demikian ia kata dalam hatinya. "Kenapa aku tak mau gunai ketika ini untuk merantau ke mana aku suka,
akan sekalian coba kepandaianku yang aku telah yakinkan
dengan susah payah dalam tempo sepuluh tahun" ... "
Begitulah ia maju dengan tak kenal jurusan. Ia lihat
hanya lautan pasir melulu, ia tidak ketemu orang, rumah
atau kota. Ia telah jalan jauh sampaikan merasa dahaga,
kudanya pun lelah. Baru sekarang ia bingung, karena ia
tahu, segera ia akan hadapi bencana apabila ia lambat-
lambatan di lautan pasir yang kering itu. Ia pun telah
merasa lapar. "Aku bakal binasa secara kecewa di sini, akhirnya ia pikir. Maka dengan ujung dari sarung pedangnya ia keprak kudanya dikasih lari ke arah barat.
Dan kuda itu segera kabur di atas pasir, larinya keras,
sebab kuda itu sudah biasa dengan penghidupan di daerah
kering itu. Kiau Liong tidak tahu ia sudah kaburkan kudanya
berapa jauh tatkala di sebelah depan ia tampak
berterbangannya
serombongan "ayam gurun", ialah
sebangsa burung yang biasa hidup di padang pasir. Ia jadi girang, hingga melupai lapar dan dahaga, kembali ia keprak kudanya dikasih lari terus ke depan. Tapi lacur baginya, kudanya sudah sangat letih, tidak bisa lari keras lagi,
jalannya ayal-ayalan.
Dengan lewatnya sang tempo, langit pun telah mulai
menjadi gelap. Oleh karena kudanya jalan seperti merayap, Kiau Liong
jadi mendelu, tetapi sejenak kemudian, lenyap kedukaannya, berbalik jadi kegirangan, sebab di depannya,
ia lihat sebuah gunung yang tinggi dan di atas gunung
samar-samar ia tampak pepohonan.
"Jikalau di atas gunung ada pohon, di sana mesti ada sumber air dan rumah orang juga!" demikian ia pikir. "Aku mesti lekas pergi ke sana!"
Dan kudanya kembali ia keprak.
Dan binatang ini seperti juga mendapat harapan, ia
gerakkan empat kakinya dan bisa lari keras pula.
Dengan perlahan-lahan jalanan telah menjadi rata, tidak
lagi penuh dengan pasir yang sukar dilintasi, pun ada
meniup-niup angin halus, yang membawa bau wangi dari
rumput. Ini adalah tanda bahwa orang telah lewati gurun pasir
dan mulai masuk dalam bilangan tanah datar. Cuma sang
langit yang lelah menjadi gelap.
Jalan pula sedikit jauh, Kiau Liong tahan kudanya dan
loncat turun dari tunggangannya hingga kudanya itu bisa
lantas makan rumput. Ia jatuhkan diri ke tanah, akan
berduduk di atas rumput, tangannya terus mencabut dua
pohon rumput yang ia coba cium, akan endus baunya
rumput itu. Ketika ia dongak, ia lihat rembulan sisir dan bintang.
Kuda itu, yang berbulu merah, beberapa kali angkat
kepalanya dan perdengarkan suaranya yang berkumandang
jauh di atas gunung, tetapi yang bikin Kiau Liong
terperanjat adalah ketika ia dapat dengar suara sambutan dari kuda lain dari tempat kejauhan ...
"Celaka!" pikir ia. "Jangan-jangan gunung ini ada sarang penjahat! ... "
Ia lompat bangun, ia pasang kupingnya. Ia dengar suara
kuda yang kalut yang datangnya dari atas gunung. Ia lantas berpikir keras untuk ambil putusan. "Biarlah," akhirnya ia kata dalam hatinya, "biarlah aku pergi ke sarang penjahat itu! Jikalau si kepala penjahat betul Poan Thian In adanya, aku nanti coba-coba tempur padanya! Aku harap aku dapat
singkirkan ia itu! ... "
Ia terus samper kudanya dan loncat naik atas binatang
itu yang ia kasih lari ke depan, menuju ke gunung.
Sekarang sinar bulan ada menerangi jagat, dari itu, Kiau Liong bisa maju dengan matanya bisa melihat nyata segala apa. Jalan tidak seberapa lama ia lantas sampai di kaki
gunung. Dengan mencari jalanan Giok Kiau Liong kasih kudanya
maju terus akan panjat gunung itu. Di mana ada rintangan pepohonan atau gombolan, ia gunakan pedangnya akan
membuka jalan. Ia sudah naik tinggi juga, ia tidak
mendapati orang jahat dan pun tak melihat rumah atau
gubuk, kecuali pepohonan dan kesunyian. Sinar bulan
membikin ia bisa lihat jurang atau tubir.
Ia masih maju terus, sampai dengan tiba-tiba ia dengar
suara nyanyian, hingga ia merandek. Sang angin adalah
yang membawa suara itu. Dalam keheranan, ia turun dari
kudanya akan pasang kuping dan mata ke jurusan dari
mana nyanyian itu datang. Kemudian, dengan sebelah
tangan cekal pedangnya dan sebelah tangan lainnya
menuntun kuda, ia bertindak maju. Semakin ia maju,
semakin nyata ia dengar nyanyian itu, hingga akhir
akhirnya ia pun dapat tangkap bunyinya sesuatu kata-kata.
Ia dengar: "Dunia geram suram, menurunkan bencana,
Hingga kita bersaudara, mesti tercerai berai
Ayah terbinasa, ibu racuni dirinya,
Sampai kita hidup mengandal sanak beraya.
Kita berempat, dunia ketahui semua,
Hanya kita sendiri, tak saling mengenalnya.
How adalah aku, Pa adikku punya nama ... "
Itulah lagu yang sifatnya sedih sekali, tetapi suaranya
tedas dan nyata. Itu adalah suaranya seorang lelaki.
Kiau Liong terperanjat.
"Aneh," pikir ia. "Apakah benar di sini tinggal sembunyi seorang cerdik pandai" Adakah ia satu penyair?"
Oleh karena penasaran dan pun ingin mendapat tahu,
nona Giok segera manjat terus. Ia sekarang maju sambil
menunggang kudanya.
Dan aneh adalah si binatang tunggangan, ia seperti
berada di tempat yang ia kenal, karena ia bisa naik sambil berlari congklang. Jalanan yang tak meruncing membantu
banyak binatang ini.
Sebentar kemudian tibalah si nona di atas puncak,
melihat ke depan ia mendapati sebuah lembah yang
tanahnya datar dan rata, di mana pun Kelihatan cahaya api berkelak-kelik di beberapa tempat, seperti berkelak-keliknya bintang-bintang di langit. Saking jauhnya tempat itu,
sinarnya bulan tak dapat menolong banyak pada si nona.
Tapi di sebelah itu, nyanyian terdengar pula dengan tedas sekali.
Kiau Liong dengar pula:
" ... Duapuluh tahun kemudian, kalau kita bertemuan.
Kita akan balas budi dan dendam, tak ayal-ayalan!"
Tidak tempo lagi, nona ini lantas larikan kudanya turun
ke lembah. Kuda itu nampaknya ngeri, ia mundur dan mundur pula
sebaliknya daripada maju dan berulang-ulang perdengarkan suara berbengernya.
Nona Giok loncat turun, ia coba tolak belakangnya
binatang itu, yang ia pun keprak, tetapi binatang ini tetap tidak mau maju, melainkan mulutnya perdengarkan
suaranya lebih gencar pula, sampai suara itu berkumandang di dalam lembah dari mana segera terdengar suara
sambutan yang ramai dari binatang sebangsanya di dalam
lembah itu. Akhir-akhirnya, di antara suara kuda itu pun terdengar
juga suara berisik dari orang disusul dengan menyalanya
sejumlah obor. Di depannya Kiau Liong ada sebuah batu besar, batu ini
ia dupak dengan kakinya sampai tergerak dan menggelinding jatuh ke bawah lembah. Menyusul jatulmya
batu itu, ia berseru dengan nyaring:
"Jangan kau naik kemari! Jawab dahulu pertanyaanku!
Apakah namanya ini tempat?"
Jawaban yang dimendapati oleh nona Giok adalah
menyambarnya beberapa batang anak panah, hingga ia
mesti gunakan pedangnya akan sampok itu semua, hingga
tak ada sebatang juga yang bisa mengenai dirinya. Ini bikin ia jadi sengit, dengan lepaskan cekalannya pada les kuda, dengan berani ia loncat turun berlari-lari ke bawah, kadang-kadang dengan loncat sana dan loncat sini di antara batu-batu besar. Ia tidak membutuhkan banyak tempo akan
sampai di bawah, di mana segerombolan orang segera
bergerak hendak menyerang padanya.
"Awas!"
ia membentak dengan bengis sambil mengancam dengan pedangnya. "Siapa maju akan binasa!"
Orang-orang itu merandek, beberapa di antaranya angkat
naik obor mereka buat melihat dengan terlebih nyata.
"Aha, ini dianya!" tiba-tiba beberapa suara berseru.
"Dialah yang tadi binasakan beberapa saudara kita!"
Mendengar itu, kawanan berandal itu maju pula
menyerang dengan senjata mereka, golok, tombak, toya dan ruyung!
Kiau Liong tidak menjadi jeri oleh karenanya, ia
menangkis dan balas menyerang hingga suara senjata
beradu jadi berisik terdengarnya. Ia berhasil desak mundur kawanan itu, setelah mana dengan tiba-tiba ia loncat
mundur. Hampir berbareng dengan itu, di sebelah belakang dari
kawanan penyamun terdengar seruan yang hebat, atas
mana semua berandal lantas hentikan serangan mereka.
Giok Kiau Liong berdiam sambil memasang mata. Ia
lihat beberapa berandal maju menghampiri, di antaranya,
ada satu yang menegur: "Kau siapa" Apakah benar kau ada itu orang yang tadi siang membantu rombongan kereta
tentara satrukan pihak kita" Dan sekarang kau datang ke
gunung kita, apa kau mau?"
"Benar, itulah aku adanya!" sahut nona Giok dengan
berani. "Kau ada kawanan penyamun, di padang pasir
entah berapa banyak orang yang telah menjadi korban-
korban kejahatanmu! Aku datang untuk temui pemimpinmu, ialah Poan Thian In!"
"Kau mesti terlebih dahulu perkenali dirimu!" kata satu penyamun.
"Jangan banyak omong!" memotong Kiau Liong seraya gerakkan pedangnya. "Aku cuma mau temui Poan Thian
In!" "Baik!" berseru berandal itu. "Kau tunggu sebentar!"
Kiau Liong menunggu dengan waspada, karena sekalian
penyamun sudah lantas kurung padanya, senjata mereka
semua siap sedia. Toh dari sinar matanya, nyata bahwa
mereka ada heran dan kagum, mereka ngeri ...
Belum lama menantikan, Kiau Liong disamperi oleh satu
penyamun. "Ceecu kita undang kau menghadap padanya!" ia
memberi tahu. Kiau Liong manggut, sambil tenteng pedangnya ia lantas
ikut penyamun itu yang di belakangnya ada mengikuti
semua berandal. Obor ada di depan dan belakang untuk
menerangi jalanan.
Mereka pergi ke dalam sebuah rumah gubuk yang besar,
di thia situ ada menantikan si kepala penyamun, tetapi ia rupanya sedang sakit, karena ia duduk menyender atas
kursinya yang beralas dengan selembar kulit biruang hitam.
Di kiri kanannya ada dua orang perempuan yang sedang
melayani ia. Dilihat dari romannya yang jelek, dua orang perempuan itu rupanya ada orang-orang rampasan dari
kampung. Tay-ong itu tak memakai baju dan badannya
yang kiri dibalut dengan kain hijau. Mukanya sedang
miring ke samping, tak terlihat nyata karena separuh
ketutupan oleh tamburnya yang panjang, sedang brewoknya
pun kusut. Dilihat sepintas lalu ia beroman bengis.
Selagi Kiau Liong mendatangi, kepala penyamun itu
mengawasi, maka melihat potongan tubuh dan tampangnya, terutama rambut yang bagus dan muka yang
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cantik, ia terperanjat sendirinya. Lekas-lekas ia melengos, agaknya sebagai orang yang kemalu-maluan.
"Lekas pakaikan bajuku," ia kata pada orang perempuan di sebelahnya
Sementara itu nona Giok telah datang dekat.
"Kau datang padaku, ada urusan apa?" kepala berandal itu tanya.
"Apakah kau ada Poan Thian In sendiri?" si nona tak menyahut hanya balik menanya.
"Benar," kepala berandal itu manggut. "Apakah kau kenal aku?"
"Aku tidak kenal, tetapi aku tahu kau adalah berandal besar dari Sinkiang!" sahut si nona dengan berani.
"Perjalanan di atas gurun pasir ada sangat sukar, dan dibikin terlebih sukar lagi dengan adanya gerombolanmu,
hingga kaum saudagar jadi tidak berdaya. Hari ini
kebetulan aku ketemu rombonganmu, aku memangnya niat
membasmi, demikianlah aku terus saja datang kemari!
Adalah maksudku akan menasehati agar kau ubah cara
hidupmu. Apabila kau tetap membantah, pasti aku tidak
akan mengasih ampun, aku akan basmi kau semuanya!"
Mendengar suara kosen itu, Poan Thian In tertawa
menghina. "Sungguh liehay!" ia kata. "Sudah satu tahun lebih aku datang ke Sinkiang ini, aku tak sangka bahwa di sini ada seorang perempuan yang begini galak sebagai kau! Sayang
aku sedang sakit, tadi aku tidak turut keluar, jikalau tidak, tentulah di antara angin dan pasir hebat tadi, aku telah coba-coba padamu! Tapi kau telah datang kemari, kita
boleh bicara secara baik. Sekarang aku hendak ketahui dulu she dan namamu dan asal orang mana?"
Kiau Liong melotot mengawasi kepala berandal itu.
"Apa perlunya kau ketahui she dan namaku?" ia tanya.
"Jikalau kau suka ubah penghidupanmu, lekas kau
bubarkan semua orangmu ini dan segera angkat kaki dari
sini! Jikalau tidak, awas, jagalah pedangku ini!"
Dan ia tunjukkan Toan-goat kiam yang tajam.
Poan Thian In kembali tertawa.
"Apakah kau kira urusan dapat dibereskan secara
demikian gampang?" ia tanya. "Sedikitnya kau harus beritahukan dulu she, nama serta asal kampungmu.
Sesudah kau perkenali diri, barulah aku mau bicara lebih jauh padamu!"
Kiau Liong kena terdesak.
"Aku ada orang she Liong!" ia jawab.
"Apakah kau bukannya orang asal Hoolam?"
Kiau Liong agaknya heran.
"Pergi ke sana pun belum pernah!" ia jawab. "Aku terlahir di padang pasir, aku hidup di Sinkiang! Sejak masih kecil aku yakinkan ilmu silat untuk maksud yang suci
murni, guna tolong pada sesamanya yang lemah."
Poan Thian In tertawa secara menghina.
"Secara begini, terang Thian telah antarkan aku satu isteri yang elok!" ia kata. "Mari, mari kita coba-coba buat beberapa jurus. Bila aku kalah, aku nanti turut
perkataanmu, dan tidak akan lakukan pula penghidupan
semacam ini! Tetapi bila sebaliknya, jangan harap kau bisa berlalu pula dari sini, kau mesti jadi nyonya Poan Thian In!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba kepala berandal itu
mencelat bangun dari kursinya, dari kolong meja ia sambar sebatang golok. Gerakannya ini membikin kaget dua orang
perempuan itu, yang lantas pada lari masuk ke kolong meja!
Giok Kiau Liong siap dengan pedangnya.
"Mari!" ia menantang dengan sengit. Ia mundur ke tempat yang lapang.
Poan Thian In bertindak maju seraya menunjuk pada
orang-orangnya, atas mana semua pengikut itu lantas
undurkan diri keluar dari thia, setelah itu ia loncat pada si nona, menyerang dengan goloknya.
Kiau Liong lompat minggir akan berkelit, tetapi dengan
pedangnya ia tangkis bacokan, dengan begitu, selanjutnya berdua mereka lantas saling menyerang.
Kepala berandal ini berbadan kekar laksana harimau,
kumis brewoknya perlihatkan roman bengis, gerak-
gerakannya sebat dan hebat. Di lain pihak si nona, meski kalah gagah, toh punya kelemasan tubuh dan kesehatan,
yang bisa dipakai melayani keganasan lawan.
Pertempuran baru jalan empat jurus, mendadak Poan
Thian In loncat ke pintu akan terus lari keluar.
Giok Kiau Liong segera memburu, ia agaknya tak mau
kasih kesempatan akan kepala penyamun itu kabur.
Di luar, kawanan penyamun telah merupakan pagar
hidup. Mereka mengurung dengan siap senjata. Belasan
obor ada menerangi sekitar mereka.
"Jangan maju!" kepala berandal itu pesan orang-orangnya.
Kapan nona Giok sudah sampai di luar, di sini berdua
mereka lanjutkan pertarungan mereka. Sekarang kelihatan
nyata kegagahannya si kepala penyamun.
Melihat kegagahan musuh, nona Giok melawan dengan
tak kalah gesitnya, ia tidak mau gampang-gampang
menyerah kalah, demikian, mereka bertempur dengan hebat
sekali. Saking kagum, semua berandal bersorak berseru, dengan
begini mereka jadi sekalian bantu mengempos semangat
pemimpinnya. Kiau Liong berkelahi dengan sebat dan hati-hati, setelah bertempur lebih daripada tigapuluh jurus, bukannya ia jadi letih atau lemah, bahkan sebaliknya ia bertambah mantap
dan lebih banyak mendesak.
Juga kepandaian silat dari Poan Thian In tidaklah
rendah, pantas ia telah jadi satu pemimpin penyamun yang dimalui, yang namanya tersohor. Setiap kali ujung pedang menusuk atau menyambar, ia bisa tangkis itu dengan
goloknya, atau dengan berkelit ia loloskan diri dari
ancaman bahaya.
Demikian, kembali belasan jurus telah lewat.
Sekarang tertampak nyata yang Giok Kiau Liong ada
penasaran, gerak-gerakannya pedang segera berubah, naik
dan turun, ke kiri dan ke kanan, gesitnya luar biasa.
Saking kagum, semua berandal lantas berhenti berteriak-
teriak dan bertepuk tangan, sebaliknya mereka berdiri
tenegun mengawasi. Belum pernah mereka saksikan
pertempuran sedahsyat ini.
Beberapa jurus masih lewat tatkala kemudian dengan
sekonyong-konyong Poan Thian In lintangkan goloknya
akan menahan satu bacokan yang berbahaya, berbareng
dengan mana ia bergerak mundur seraya berseru: "Tahan!
Sudah cukup, aku kagumi ilmu pedangmu!"
Kiau Liong tahan penyerangannya, dengan mata tajam
ia pandang kepala berandal itu. Ia kendalikan napasnya
yang ada sedikit memburu, karena ia terlalu keluarkan
banyak tenaga. Di pihak yang lain, Poan Thian In juga awasi si nona
dengan tajam. Orang-orang hendak maju, tetapi dengan
satu gerakan tangan ia bikin mereka itu urungkan niatan
mereka. "Kau telah mengaku kalah, sekarang lekas kau bubarkan sekalian pengikutmu ini!" kata si nona. "janganlah kau tunggu sampai aku gunakan pedangku akan hajar mereka
satu per satu!"
"Nona Liong, jangan kau terlalu jumawa!" kata Poan Thian In, yang belum lepaskan goloknya. Ia bicara dengan unjuk senyuman mengejek. "Ini hari aku tidak sanggup lawan kau bukan karena ilmu golokku kurang sempurna,
tidak, itu hanya disebabkan aku sedang sakit dan belum
sembuh. Tentang ilmu pedangmu, aku telah dapat ketahui
kau ada mendapati warisan sejati dari pihak Bu-tong Pay!
Meski begini, andaikata aku tidak sedang sakit dan lawan padamu, masih belum dapat dipastikan siapa yang bakal
rubuh!" Nona Giok kasih dengar tertawa menghina, tetapi ia
diam saja. "Jangan tertawa saja, nona!" kata Poan Thian In, dengan suara keras. "Jika aku bukan satu laki-laki sejati, pasti aku telah titahkan orang-orangku akan kepung kau. Untuk
bekuk kau di sini bukannya pekerjaan sukar!"
"Baiklah!" Kiau Liong menantang. "Hayo, majulah kau semua!"
"Itu adalah pekerjaan hina!" kata Poan Thian In. "Tidak nanti Poan Thian In andalkan banyak orang akan menghina
pada seorang perempuan! Tadi aku telah berjanji, bila aku kalah, aku akan bubarkan orang-orangku, maka ini janji
aku akan buktikan. Besok aku akan bongkar gubuk ini dan
aku pun akan angkat kaki. Dan mulai besok aku akan
bubarkan semua saudaraku dan larang mereka mengganggu
pula keamanan di Sinkiang ini. Tetapi, meskipun begini,
aku masih mau berjanji padamu. Lagi satu tahun lamanya,
atau cepatnya enam bulan, kita nanti bertempur lagi dengan sepuas-puasnya untuk menetapkan kemenangan ada di
pihak siapa! Sekarang, tolong kau tinggalkan namamu!"
"Aku adalah Liong Kim Coan," sahut Kiau Liong
dengan getas. "Baik, Liong siocia!" kata si kepala penyamun, sambil manggut. "Ini hari aku akan ingat betul namamu. Apakah kau barangkali masih butuhkan suatu apa" Kuda atau uang"
Bilang saja, semua aku akan sediakan!"
Kiau Liong berpikir dahulu ketika kemudian ia
menyahut: "Aku perlu seekor kuda yang jempolan!"
Poan Thian In manggut.
"Inilah gampang," ia kata. "Kita di sini punya kuda-kuda pilihan, kau boleh pilih saja! Lainnya apa lagi?"
Nona Giok berdiam, agaknya ia bersangsi.
"Kau bilang bahwa kau hendak ubah kelakuan mulai
besok, inilah aku masih sangsikan," ia bilang kemudian.
"Aku belum puas apabila aku tidak saksikan dengan mata
sendiri. Maka sekarang hayolah kau berikan kamar buat
aku dan sediakan juga makanan dan air minum. Besok,
sesudah melihat kau berlalu, baru aku pun mau berlalu dan sini. Jikalau tidak ... "
Kepala penyamun itu tertawa.
"Aku tahu, kau tentunya lapar dan dahaga!" ia bilang.
"Ini pun ada sebabnya kenapa aku sudah lekas-lekas
mengaku kalah dan tak ingin bertempur lebih lama, ialah
untuk berikan ketika buat kau dapat beristirahat! ... "
Dengan sebenarnya, walaupun ia sedang sakit dan telah
bertempur begitu lama, Poan Thian ln tak kelihatan
bernapas memburu sebagai si nona.
Mukanya Giok Kiau Liong menjadi merah, ia segera
angkat tangannya yang masih menyekal pedangnya. Akan
tetapi, mendahului gerakannya si nona, dengan tandanya
Poan Thian In telah bikin semua orangnya mundur, hingga
dengan sekejab, obor lenyap separuhnya.
Dan ketika nona kita menoleh, ia mendapati si kepala
penyamun pun lenyap di antara orang-orangnya. Selagi ia
memandang ke sekitarnya, dua orang perempuan yang tadi
melayani Poan Thian In sekarang keluar dan menghampiri
ia, buat undang ia masuk ke dalam, ke sebuah kamar yang
terlebih kecil, yang daun jendelanya tidak ada, yang hanya teralingkan sepotong kain.
Di dalam kamar ini ada sebuah pembaringan kayu, ada
satu meja yang kakinya miring, di atas meja itu ada satu ciaktay dengan lilinnya yang menjadi penerangan satu-satunya bagi kamar itu.
"Silahkan duduk, nona," kata perempuan yang satu, sedang yang lainnya terus pergi keluar akan kembali
bersama satu theekoan batu dan satu cangkir yang kasar
buatannya. Kiau Liong sangat berdahaga, lehernya ia rasakan
kering, tetapi ketika si pelayan menyuguhkan teh yang
warnanya hitam campur merah, ia sangsi akan minum itu,
hanya ia perintah si perempuan yang coba terlebih dahulu, setelah itu barulah ia minum. Dan ia rasakan teh yang enak, meskipun itu bukan teh wangi jempolan yang biasa ia
minum di gedungnya. Ia minum habis sampai tiga cawan.
Ia tidak usah menunggu terlalu lama, atau satu berandal
datang dengan barang hidangan yang terdiri dari daging
dan arak melulu, sebab di situ tidak ada nasi. Arak ia tak mau minum, yang ia makan hanya daging, ia ambil
sepotong dan sepotong lagi. Dan ia dahar daging itu dengan tangannya yang sebelah masih pegangi pedangnya! Daging
apa yang ia dahar itu, ia tak dapat menduganya, daging
kambing atau kerbau, ia dahar terus beberapa potong
karena ia merasa terlalu lapar.
"Kau ada orang-orang macam apa?" ia tanya kedua pelayan perempuan sambil ia awasi mereka itu, seraya ia
cenderungkan sedikit tubuhnya. "Apakah kau ada dari keluarga baik-baik yang Poan Thian In rampas atau culik?"
"Bukan!" menyahut dua nyonya itu sambil geleng kepala.
Kemudian yang satunya menambahkan: "Kita datang
dari Kamsiok! Lo toaya adalah yang panggil kita bekerja di sini, karena kita bisa menyanyi!"
Kiau Liong merasa heran.
"Apakah tadi adalah kau yang menyanyi?" ia tanya.
"Aku dengar nyanyian 'Dunia Suram Guram ... "
"Tadi kita tidak menyanyi," mereka terangkan.
Kembali nona Giok nampaknya heran.
"Poan Thian In ada satu berandal besar," ia kata pula.
"Tempat ini dekat dengan gurun pasir, gunung ini tinggi dan berbahaya, maka itu, kenapa kau suka datang kemari
akan bekerja di sini?"
"Lo toaya ada banyak uangnya," sahut salah satu nyonya. "Ia bukannya berandal! Piaraannya ada lebih daripada seribu ekor kuda! Ia ada seorang yang murah
hatinya dan bukannya seorang jahat!"
Untuk sekian kalinya, Kiau Liong terperanjat, hanya ia
coba tetapkan hati untuk tidak sembarangan kentarakan itu.
Ia ingat sekarang, meski juga romannya bengis tapi dalam pembicaraannya Phoan Thian In berlaku sopan santun,
malah dengan manis budi, secara laki-laki, sementara ilmu goloknya ada liehay.
"Apakah ia ada seorang gagah yang terpelajar tinggi yang nasibnya malang, maka ia jadi terpendam di padang pasir
ini?" akhirnya ia menduga-duga. "Apakah ia menjadi berandal karena sangat terpaksa?"
Selama itu, Kiau Liong merasa badannya letih. Ia berniat rebahkan diri di atas pembaringan papan itu, tetapi ia masih curiga, ia kuatir nanti ada orang jahat yang serbu padanya.
Maka ia paksakan diri akan bangunkan semangatnya.
Sementara itu, di sebelah luar, tidak lagi terdengar suara berisik seperti semula tadi, apa yang kedengaran hanya
tindakan beberapa kaki atau suara berbengernya kuda.
"Sungguh aku sembrono," pikir nona ini kemudian.
"Cara bagaimana sendirian saja aku merantau kemari"
Benar aku pandai bugee tetapi mereka ada berjumlah besar, apabila mereka berbareng kepung aku, bagaimana aku bisa
loloskan diri" Poan Thian In berlaku begini hormat dan
sopan, sikapnya ini ada mencurigai ... Apakah ia bukannya sedang menggunai daya upaya untuk besok satrukan aku?"
Mengingat begini, nona ini lantas loncat bangun, ia
memikir untuk pergi keluar karena kesangsian dan
kecurigaannya itu. Tetapi ...
Segera juga terdengar suara menyanyi:
"Dunia geram suram, menurunkan bencana,
Hingga kita bersaudara, mesti tercerai berai
Ayah terbinasa, ibu racuni dirinya,
Sampai kita hidup mengandal sanak beraya ..."
Itu adalah suara yang ia kenal, suara itu dekat sekali,
kata-katanya terdengar jelas, suaranya berlagu dengan
terlebih bersemangat.
"Siapakah itu yang menyanyi?" ia menoleh seraya tanya dua orang perempuan yang melayani padanya.
"Itu ada ceecu Poan Titian In ... " sahut salah satu nyonya, dengan suara seperti berbisik. "Ceecu sering kali nyanyikan lagu itu ... "
Kiau Liong heran, ia tak dapat membade.
"Di sini ia ada punya saudara, engko dan adik
perempuan?" tanya ia.
"Tidak!" sahut orang yang ditanya.
"Nah, kenapa ia berdiam sendirian?" ia tanya pula.
"Kenapa ia menjadi berandal" Kenapa ia piara rambutnya dan kumis jenggot begitu panjang" Kenapa romannya ada
demikian bengis?"
Dua perempuan yang ditanya itu geleng-geleng kepala
mereka. "Kita tidak tahu," mereka menyahut.
Di luar kembali terdengar suaranya kuda yang berisik
disusul dengan suara bicara dari sejumlah orang.
Tidak tempo lagi, sekarang Kiau Liong bertindak keluar.
Di antara sinarnya Puteri Malam, ia lihat orang sedang
repot menyiapkan barang-barang atau buntalan serta kuda.
Dan di antara suara berisik dari banyak orang itu samar-
samar ia dengar nyanyian:
"Hou adalah aku, Pa nama adikku " "
"He, rombongan berandal, apa lagi yang kau hendak
kerjakan sekarang?" Kiau Liong menegur dan menghampiri lebih dekat kepada mereka.
Pertanyaan ini tidak ada yang sahuti, hanya mereka itu
pada tertawa, kemudian dengan menunggang kuda mereka
berlalu, meninggalkan lembah mereka. Maka sekarang
terdengarlah berisiknya tindakan kaki kuda, yang semakin lama terdengar semakin jauh, hingga kemudian lembah
menjadi sunyi. Suara nyanyian pun berhenti, entah ke mana parannya ...
Dengan menenteng terus pedangnya, Kiau Liong
bertindak mencari orang. Ia dapat kenyataan di tempat itu sekarang orang telah berkurang banyak. Ia cekuk seorang
yang ia ketemukan.
"Ke mana perginya itu semua orang tadi?" ia tanya dengan bengis sambil mengancam dengan pedangnya.
"Mereka semua berlalu meninggalkan ini gunung," sahut orang yang ditanya itu, "Ceecu bilang bahwa kau ada satu liehiapkek, seorang perempuan gagah yang budiman,
karena kau inginkan kita bubar. Kita sekarang tidak mau
tinggal lebih lama pula di sini. Ceecu telah berangkat lebih dahulu dengan ajak mereka itu, maka besok, sehabisnya
kita bongkar gubuk di sini, kita juga mau berangkat akan menyusul mereka!"
Kiau Liong terperanjat dengan berbareng menjadi gusar.
"Aku perintah mereka ubah cara hidupnya menjadi
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang baik-baik!" ia berseru. "Siapa perintah kau pindah ke lain tempat untuk di sana melakukan kejahatan pula" Lekas siapkan seekor kuda, aku hendak susul mereka itu, aku
hendak tanya Poan Thian In."
Di bawah paksaan, laskar berandal itu telah sediakan
kuda yang diminta, maka dengan menunggang kuda itu
Giok Kiau Liong terus kabur keluar dari lembah itu, ia telah mesti lewatkan dahulu jalanan yang sukar, baru ia sampai di tanah datar. Di sini ia simpan pedangnya ke dalam
sarungnya, lantas ia kaburkan lebih jauh kudanya akan
susul rombongannya Poan Thian In.
Tatkala itu bulan dan bintang-bintang ada guram, angin
meniup-niup pula dengan pasirnya yang berhamburan,
dengan lawan itu Kiau Liong kaburkan terus kudanya,
tetapi orang rupanya telah pergi jauh, ia tak dapat
menyandaknya. Maka akhirnya, ia tahan kudanya. Ia
merasa sebagai juga ia sedang mimpi.
"Benar-benar Poan Thian In ada seorang berandal yang aneh ... " berpikir ia.
Sesudah berdiam sekian lama, Kiau Liong lantas ambil
putusan lain. Ia tak ingin kembali ke lembah, ia tak hendak susul Poan Thian In lebih jauh, si Awan di Tengah Langit.
Ia kasih kudanya berjalan dengan tak bertujuan, sedang
sang malam ada suram.
Dalam keadaan sebagai itu, nona ini lantas ingat pada
perbuatannya di waktu ia berumur sebelas tahun, ketika
gurunya tinggalkan ia pergi dengan padanya dititipkan itu
peti dalam mana ada tersimpan dua kitab yang berharga:
"Butong Kun Kiam Coa Sie", kitab pelajaran ilmu silat dan pedang dari Butong Pay. Di luar tahu gurunya ia sudah
buka peti itu dan baca isinya buku, akan terus yakinkan itu sambil catat bagian-bagian yang terahasia. Ia pelajarkan sendiri di luar tahu gurunya. Ia telah berlaku begitu teliti, sampaipun sang guru tak ketahui yang petinya telah dibuka dan isinya dicuri baca.
Sudah enam atau tujuh tahun Giok Kiau Liong melatih
diri sampai pada tadi siang untuk pertama kali ia coba
kepandaiannya dengan berkesudahan ia sanggup pukul
mundur dan rusak pada kawanan berandal Poan Thian In,
sedang tadi baru saja ia bikin keok pada Poan Thian In
sendiri, hingga ia jadi merasa sangat girang dan puas,
karena ia beranggapan bahwa dirinya sudah tak ada
tandingannya lagi.
Tentu saja Kho Long Ciu sendiri tak ketahui
kepandaiannya murid yang cerdik ini.
"Aku telah punyakan kepandaian yang tinggi, kenapa
aku tidak mau lakukan sesuatu yang menggemparkan?"
demikian si nona ngelamun terlebih jauh. "Kenapa aku mesti siksa diri mengeram di dalam kamar saja?"
Ini pun ada pikiran yang menyebabkan ia sengaja
tinggalkan rombongannya.
Memikir demikian, yang bikin ia girang tak kepalang,
Kiau Liong menjadi lupa penat dan ngantuk, ia kasih lari kudanya lebih jauh, sampai sesudah melewatkan banyak lie, ia mendapati munculnya cuaca pagi. Sang fajar telah mulai perlihatkan diri dari jurusan timur, hingga selanjutnya nona ini mendapat tahu bahwa ia sedang menuju ke arah barat.
Tanah tambah luas dengan tanah datar yang berumput.
Di empat penjuru tidak kelihatan bukit atau gunung, hanya
samar-samar ada terdengar suaranya kuda. Maka dengan
perhatikan suara kuda itu, si nona kasih kudanya berjalan terus, tidak terlalu lama ia telah tiba di suatu tempat di mana ada kedapatan serombongan dari ribuan ekor atau
lebih yang sedang asyik geragoti rumput yang hijau ...
"Ini adalah suatu pusat pemeliharaan kuda," pikir si nona. Ia pun dapat lihat tenda putih dari suatu kemah yang berdiri sedikit jauh dari tempat di mana ia tahan kudanya.
Karena ia merasa dahaga, maka ia kedut lesnya akan kasih kudanya lari ke jurusan kemah itu. Ia telah mesti gunakan cambuknya akan membuka jalan di antara rombongan kuda
itu. "Itulah tentu ada kemahnya seorang Mongol," pikir Kiau Liong selagi ia mendekati tenda itu.
Di saat ia hampir sampai di muka kemah, dari dalam situ
muncul satu orang perempuan muda dengan baju pendek
yang berkembang, kakinya ditutup dengan sepatu dari kulit kuda, dengan rambutnya dikepang menjadi dua cacing
seperti cacingnya sendiri. Ia lihat perempuan itu berumur sedikit lebih tinggi daripada umurnya sendiri. Nona itu ada berkulit putih meletak, hidungnya mancung.
"Dia tentu ada satu nona Kozak," pikir ia, yang tenis saja angkat tangannya untuk mengasih tanda, atas mana nona
itu lantas menghampiri, yang segera menegur dalam bahasa Kozak. Atas ini ia geleng kepala.
"Aku tidak mengerti," ia kasih tahu.
Rupanya nona itu ketahui yang ia berhadapan dengan
seorang Han, maka ia lantas menanya pula dalam bahasa
Tionghoa: "Dari mana kau datang?"
Itu adalah suara yang lancar dan bagus, hingga Kiau
Liong menjadi kagum. Ia loncat turun dari kudanya, ia
tertawa pada nona itu.
"Aku sangat haus," ia memberi tahu. "Apa kau punya air untuk aku minum?"
"Ada," sahut nona itu sambil manggut. Tapi ia
mendekati, untuk
pandang kuda tetamunya, yang
nampaknya sangat menarik perhatiannya, sampaikan ia
agak tak sudi omong lebih banyak lagi ...
Kiau Liong tarik palangnya tetapi ini pun tidak
membikin kaget pada nona Kozak itu, dengan kedua
tangannya ia buka mulut kudanya Kiau Liong bagaikan ia
hendak menghitung gigi kuda itu.
"Bukankah kau ada orang Kozak?" tanya Kiau Liong seraya tepuk pundaknya nona Kozak.
Nona itu manggut.
"Dan kau bisa omong Tionghoa baik sekali?" kata pula nona kita.
"Itulah sebab aku sering turut ayah pergi berdagang di Ielee," sahut nona asing itu. "Bahasa apa pun aku mengerti
... " Meskipun ia menyahut demikian, si nona tetap
perhatikan kudanya.
"Marilah!" kata Kiau Liong kemudian.
Baru sekarang si nona Kozak tinggalkan kuda dan ajak
tetamunya pergi masuk ke dalam kemahnya yang terbikin
dari bulu kuda, bentuknya bundar, nampaknya tidak tinggi, tetapi satu kali orang masuk ke dalam, rasanya ada tinggi dan lebar. Inilah disebabkan tanahnya digali dalam dan
dibikin rata, lalu dialaskan permadani. Orang dan segala
barang duduknya di atas permadani itu. Begitulah ada
"rumahnya"
orang Kozak yang hidup dalam penggembalaan berpindah-pindah.
Kapan Kiau Liong sampai di dalam, ia lihat di situ ada
berduduk seorang perempuan tua, siapa tidak bisa bicara
Tionghoa, sebagaimana ia cuma bisa mengawasi saja.
"Inilah ibuku," si nona Kozak memperkenali.
Kiau Liong unjuk hormat pada nyonya itu, kemudian ia
berduduk sambil bersila.
Nona Kozak itu sudah lantas menyuguhkan teh,
cangkirnya ada terbikin dari kayu, tehnya bukan teh biasa hanya susu kuda yang ada bersari asam. Teh begini tidak
cocok bagi nona kita.
"Eh, kenapa kau tidak ikat kecil kakimu?" tanya si nona Kozak, yang pegang-pegang sepatunya Kiau Liong yang
indah. "Aku ada golongan kiejin," sahut Kiau Liong. "Orang perempuan kiejin ada sama dengan bangsamu, ialah tidak
mengikat kaki. Dan apa namamu?"
Nona itu sebutkan namanya, yang dalam bahasa
Tionghoa berarti "Bie Hee" atau sinar layung yang indah.
"Dan kau, nona?" ia balik menanya.
Kiau Liong perkenali diri sebagai seorang she Liong,
bahwa sendirian saja ia mau pergi ke Ielee (Illi).
Agaknya Bie Hee ada sangat ketarik pada nona tetamu
ini. "Mari," ia kata seraya mengajak keluar. Di sini ia menunjuk pada rombongan kuda. "Dua laksa ekor kuda itu ada kepunyaan keluargaku. Ayahku ada satu saudagar
besar dan kepala juga dari seratus keluarga. Sekarang ini
akan dibikin perlombaan kuda dan karena itu ayah telah
pergi untuk membikin persiapan. Kau telah datang dengan
menunggang kuda, bagaimana kalau kita berdua mendahului akan coba berlomba" Nanti, lagi dua hari, aku akan ajak kau menyaksikan pacuan kuda itu! Akurkah
kau?" Kiau Liong geleng kepala.
"Sejak kemarin aku menunggang kuda satu hari terus, sekarang aku sangat penat lelah," ia bilang. "Aku tidak bisa berlomba denganmu ..."
Bie Hee tertawa, ia hampiri kudanya nona Giok ke atas
mana ia terus loncat naik, sesudah mana, kuda itu ia kasih lari terputar-putar di muka kemah itu. Selagi ia dekati Kiau Liong, ia tertawa, setelah itu, ia kasih kuda itu lari jauh, semakin jauh, hingga kuda dan orang jadi tertampak kecil, seperti satu titik saja ...
Kiau Liong tidak kuatir kudanya dibawa kabur,
sebaliknya hatinya jadi gembira. Ia awasi itu rombongan
kuda, akhirnya ia jadi tertarik. Ia pilih satu di antaranya yang berbulu hitam yang ia segera naiki.
Itu adalah seekor kuda yang belum pernah dipakai dan
sangat binal, maka kuda itu terus berjingkrakan. Tapi Kiau Liong ada satu penunggang kuda yang ulung, meskipun ia
tidak pakai les dan sela, ia toh bisa berkuasa atas kuda itu, ia jepit perutnya dengan kedua kakinya, dan menjambak
keras bulu surinya. Dan ketika kuda itu ditepuk kepalanya, ia segera lari kabur ke jurusan ke mana si nona Kozak tadi pergi. Tapi ia lari belum jauh, si nona Kozak segera
tertampak sedang mendatangi.
Nona rumah terperanjat waktu ia lihat tetamunya naiki
kuda hitam itu.
"Jangan, jangan naiki kuda itu!" ia berteriak. "Itu ada kuda nakal!"
Kiau Liong tidak gubris pemberian ingat itu, malah
dengan sebat ia sambar cambuk dari tangannya Bie Hee,
dengan itu ia hajar kudanya, hingga kuda itu terus kabur dengan terlebih hebat.
Sebentar saja dua atau tigapuluh lie telah dikasih lewat, ketika Kiau Liong menoleh, ia lihat rombongan kuda
sebagai sekumpulan binatang kecil. Sekarang ia tahan
kudanya buat diputar balik, tetapi apa mau, bulunya
binatang itu rontok, binatangnya sendiri loncat berjingkrak, maka tidak tempo lagi Kiau Liong terlempar jatuh. Benar ia jatuh atas rumput yang tebal, tetapi ia toh terbanting dengan tak berdaya, dari itu tidak heran kalau ia rasakan matanya gelap dan kepalanya pusing, hingga ia mesti rebah dengan tak ingat apa-apa ...
Entah berselang berapa lama, baru Kiau Liong sadar
akan dirinya, ia merayap bangun, akan lompat berdiri.
Tetapi ia rasakan kepalanya berat, percuma ia berdaya, ia terpaksa mesti rebah pula.
Di antara rumput yang gemuk, angin meniup-niup
dengan hawanya yang sejuk. Rasa sejuk ada baiknya bagi si nona, yang perlahan-lahan jadi merasa segar. Ia melihat
langit, yang bersih, tetapi tak dapat dengar suaranya kuda.
Kuda hitamnya sendiri sudah kabur sejak ia kena dibikin
terlempar jatuh. Di situ pun tidak ada lain orang.
Berselang pula sekian lama, Kiau Liong coba bangun
akan duduk di atas rumput. Nyata kedua tangannya telah
terluka dan berdarah terkena tusukannya rumput yang
kaku. Dan ketika ia raba kepalanya, ia dapat raba barang cair yang kental dan melekat pada rambutnya. Dan itu
adalah darah yang sudah beku! Maka ia mendapat tahu
bahwa ia telah terbanting dan kepalanya terkena tanah dan luka sedikit.
"Celaka ... " pikir ia dengan masgul.
Dengan paksakan diri nona Giok lantas berbangkit. Ia
memandang ke sekitarnya, ia tampak hanya lautan rumput
yang seperti tidak ada ujung pangkalnya. Dan rumput itu
rebah bangun dengan teratur terkena sampokannya angin.
Di udara ada terlihat juga burung-burung yang terbang.
Dengan pengikat kepalanya, Kiau Liong seka darah di
tangannya, kemudian setindak demi setindak ia berjalan
pergi. Niatannya adalah mencari kemahnya si nona Kozak.
Apamau ia sukar berjalan, karena kedua kakinya pun ia
rasakan sakit. Ia menjadi bingung, sebab ia merasa pasti padang rumput mestinya ada ratusan lie luasnya.
"Ke mana aku mesti cari kemahnya si nona?" ia berpikir.
Ia sudah jalan lama tetapi ia dapat kenyataan yang ia belum terpisah jauh dari tempat di mana ia rubuh. Ia jalan sangat perlahan.
"Padang ini ada sebagai gurun pasir saja, aku pun bisa mati karena dahaga dan kelaparan di sini ... " ia berpikir, dengan hati ciut. Ia bisa berlari keras tetapi sekarang dua-dua kakinya sakit, jangankan lari atau lompat, jalan cepat saja ia tak mampu Dengan meringis menahan sakit ia paksa bertindak terus ...
Sampai matahari mulai doyong ke arah barat, masih
Kiau Liong belum bisa lewati padang rumput, masih ia
belum ketemui kemah atau orang. Ia sekarang merasa lapar, dan berdahaga juga, sedang kedua kakinya sakit bukan
main, hingga sangat terpaksa ia rebahkan diri di atas
rumput. Beberapa kali ia menghela napas.
Dengan lambat laun, cahaya langit bersorot merah, dan
di tengah udara serombongan gagak terbang lewat sambil
kadang-kadang perdengarkan suaranya yang tak sedap
didengarnya. Angin malam kemudian telah menyusul
menghembus-hembus.
Melihat datangnya sang magrib, Kiau Liong bingung tak
kepalang. Ia pun rasakan seperti tenaganya habis, hingga ia lantas picingkan kedua matanya.
Tiba-tiba dari kejauhan ada terdengar suara tindakan
kuda. Kiau Liong terperanjat, ia segera berbangkit. Sambil duduk ia mengawasi ke jurusan dari mana suara tindakan
kaki kuda terdengar. Di antara cuaca yang remang-remang
ia lantas lihat beberapa ekor kuda sedang lari mendatangi.
Penglihatan ini bikin semangatnya terbangun, karena
sekarang harapannya timbul.
"Tolong!" ia berteriak, apabila ia lihat beberapa ekor kuda itu sudah datang lebih dekat.
Suaranya itu dapat didengar, karena beberapa ekor kuda
itu, yang ada penunggangnya, lantas menindak, dan
penunggangnya mengawasi ke tempat dari mana suara
datang. Kemudian, semua mereka lantas menghampiri.
"Aku di sini!" Kiau Liong berseru pula.
"Oh, kiranya siocia di sini!" berseru beberapa orang itu.
"Kita justru sedang cari kau, siocia!"
Kiau Liong melengak. Ia dapat kenyataan, orang-orang
itu berdandan sebagai serdadu-serdadu ayahnya, antaranya ada satu punggawa yang kepalanya pakai kopiah kebesaran
dan tubuhnya tertutup jubah hijau yang gerombongan.
Kapan punggawa itu sudah loncat turun dari kudanya,
Kiau Liong awasi padanya. Dia ada bertubuh tinggi dan
besar, mukanya hitam, sepasang matanya bersinar tajam,
tidak berkumis atau jenggot, mukanya tercukur licin. Ia
seperti kenali punggawa ini tetapi ia tidak ingat she dan namanya, tetapi ia merasa pasti bahwa orang itu bukan
pegawai ayahnya. Ia lantas mundur.
"Kau datang dari mana?" ia lantas tanya.
"Kita datang dari Peksee kang," sahut punggawa itu.
"Ketika kemarin siocia lenyap selagi angin besar, thaythay jadi sangat bingung dan kuatir, maka kita lantas diperintah cari siocia buat diajak pulang. Di padang pasir, di padang rumput, kita cari siocia sudah seharian penuh. Silahkan
siocia turut kita!"
Kiau Liong mau percaya keterangan itu, akan tetapi
ketika ia awasi yang lain-lain, ia jadi tercengang. Bersama itu punggawa ada datang tiga serdadu, tetapi sekarang
semua serdadu itu pada putar kuda mereka dikasih lari
menuju ke utara.
"Eh, kenapa mereka itu pada pergi?" ia tanya.
"Mereka bukannya rombonganku," kata si punggawa.
"Mereka ada serdadu-serdadu yang mesti pergi ke Seekie koan, tadi kita ketemu di tengah jalan secara kebetulan saja.
Thaythay cuma perintah aku seorang. Sekarang ini
thaythay dan rombongannya berada di Peksee kang, tidak
jauh dari sini. Silahkan siocia turut aku "
Kesangsiannya Kiau Liong menjadi bertambah, apapula
kapan ia lihat di selanya punggawa itu ada tergantung satu buntalan cita merah, yang ia rasanya kenal. Itu ada salah satu buntalannya, yang ia perintah Siu Hiang bawa.
Dengan tidak kata apa-apa, dengan air muka tak
berubah, nona ini lantas awasi itu punggawa, siapa
sebaliknya sudah lantas tunduk.
Buat sedetik, Kiau Liong tercengang, tetapi segera ia
samperi kuda dan naik ke atasnya, atas mana itu punggawa, dengan memegang les kuda, bertindak melewatkan kuda
itu. Matahari sore telah menyinari mereka ini pada
punggung mereka. Punggawa itu jalan sebagai penunjuk
jalan dengan tindakan perlahan, dan Kiau Liong pun kasih kudanya jalan perlahan sekali. Sembari jalan, nona ini terus mengawasi orang, hingga ia dapat kenyataan, kopiahnya itu punggawa ada tak pas pada kepalanya dan bajunya juga ada gerombongan.
"Kau she apa?" tiba-tiba ia tanya.
"Aku she Lo," sahut itu punggawa, dengan tak menoleh.
"Orang panggil aku Lo cheekhoa. Aku turut siocia sama-sama dari Cieboat. Mustahil siocia tidak kenali aku?"
"Mana aku kenal semua punggawa dalam tangsi?" nona ini baliki.
Punggawa itu berdiam, ia jalan terus.
Di dalam hatinya, Kiau Liong tertawa mengejek, tetapi,
memandang tubuhnya yang kekar, diam-diam ia merasa
girang. Itu punggawa berjalan dengan sudah tak pegangi lagi les
kuda, maka Kiau Liong bisa berkuasa atas binatang
tunggangannya itu. Begitu, dengan tiba-tiba, ia kasih maju kudanya sampai ia lewatkan itu punggawa, di depan siapa, tiba-tiba ia tahan kuda itu seraya ia menoleh, akan
mengawasi muka orang.
Cuaca masih terang, itu punggawa pun tak menyangka,
maka tampang mukanya bisa terlihat dengan nyata.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di matanya Kiau Liong, punggawa ini baru berumur dua
puluh lebih, romannya cakap ganteng. Ia rasanya kenal ini orang, tetapi ia tak tahu, di mana ia orang pernah bertemu satu pada lain. Maka sendirinya, air mukanya menjadi
merah. Toh ia tetap berpikir, oleh karena kecurigaannya.
Punggawa ske Lo itu tertawa kapan ia lihat tingkah
lakunya si nona.
"Kita semua tak ketahui bahwa siocia ada berkepandaian tinggi," ia kata.
"Siapa omong itu pada kau?" Kiau Liong tanya. "Jikalau aku benar punya kepandaian, mustahil aku rubuh dengan
begini parah" Sudah, kau jangan ngobrol saja, hayo antar aku ke Peksee kang!"
"Tetapi, siocia," kata punggawa itu, seraya maju menghampiri, "hari ini kita tidak bakalan sampai ke Peksee kang ... "
"Habis, apa kita mesti rebah tidur di atas rumput, di udara terbuka sebagai ini?" si nona balik menanya. "Kau tunjuki aku jurusannya Peksee kang, aku bisa pergi sendiri ke sana!"
"Cuaca sudah mulai gelap, siocia," punggawa itu kata pula. "Taruh kata aku beritahukan siocia jurusannya itu tempat, pasti nona tidak bakal keburu sampai di sana.
Umpama siocia kesasar, habis bagaimana aku mesti
melaporkannya kepada thaythay" Tidak jauh dari sini ada
sebuah kampung, aku hendak antar siocia ke sana untuk
bermalam, besok pagi baru kita susul thaythay...."
"Aku tak sangka bahwa kau kenal baik keadaan tempat ini!" kata nona itu.
"Harap siocia jangan heran, tempat ini biasa aku
lewatkan. Semua surat-surat dinas untuk Ielee adalah aku yang biasa antarkan," punggawa itu kasih keterangan.
Kiau Liong manggut. Jawaban itu ada tepat dan
beralasan. "Apakah kau ketahui tayjin pergi ke mana"'"
kemudian tanya pula.
"Bukankah tayjin pulang ke Pakkhia?" si punggawa baliki.
Mau atau tidak, nona Giok mesti percaya punggawa ini,
ia sangsikan kecurigaannya barusan. Demikian ia kasih
jalan kudanya, dengan ikuti si anak muda.
Langit jadi semakin gelap dan gelap, dan sang bintang,
dengan rembulan sisa, mulai pencarkan sinarnya yang
lemah. Angin malam meniup-niup, sampai Kiau Liong
merasai keletihan tubuhnya.
Sekian lama mereka berjalan, akhir-akhirnya mereka
sampai dalam sebuah kampung yang terdiri dari belasan
rumah. Di situ ada dipelihara anjing, karena binatang itu terus menggonggong apabila dua orang asing ini dan
kudanya mulai masuk ke dalam bilangan kampung itu.
Punggawa she Lo itu menghampiri sebuah rumah, yang
pintunya ia terus tolak, akan ia masuk ke dalam
pekarangan, maka tidak lama kemudian, muncullah satu
petani tua, yang tangannya menenteng lentera, yang
mengundang masuk.
Kiau Liong bawa kudanya masuk ke dalam pekarangan,
di sini ia loncat turun, dengan tenteng buntalan, yang ia jumput dari atas kuda, ia bertindak masuk mengikuti tuan rumah itu.
Di dalam tidak ada lain orang, si petani letakkan
lenteranya di atas meja.
Si orang she Lo masuk belakangan, rupanya ia habis
tambat kuda. "Ada makanan apa di sini?" ia tanya "Tolong lekas sajikan!"
"Baik, baik!" menyahut si orang tua, agaknya ia sangat ketakutan. Ia berlalu dengan lekas.
Kiau Liong bikin lentera menjadi terang, atas mana,
punggawa itu lekas menoleh ke lain jurusan.
"Di dalam itu ada pakaian siocia," ia kata, seraya menunjuk buntalan. "Sudah dua hari siocia tidak kembali, thaythay kuatir pakaian kau sudah kotor, dari itu ia
perintah aku bawa ini buntalan, untuk siocia salin!"
Kiau Liong bertindak, akan mendekati, tetapi punggawa
itu mundur ke samping, mukanya terus dibikin teraling dari sinar api.
Kiau Liong buka itu buntalan, ia dapati isinya benar ada pakaiannya sendiri. Cuma di situ tidak ada sepatu dan kaus kaki. Ia berpaling, akan awasi pula punggawa itu, yang
tidak lantas undurkan diri dengan pergi ke luar.
"Sekarang pergilah kau keluar!" ia kata, dengan suaranya satu nona majikan. "Jikalau aku tidak panggil, jangan kau datang kemari!"
Orang she Lo itu menyahuti, "ya," lantas ia berlalu.
Lantas Kiau Liong duduk di atas pembaringan,
pikirannya bekerja. Tiba-tiba ia dapat gangguan dari
tangisannya satu anak kecil, yang bersuara dua kali, lantas berhenti, sebagai juga ada orang menekap mulutnya.
Kemudian terdengar hanya tangisan perlahan sekali.
Dengan kecurigaan, Kiau Liong menghampiri bilik
papan, akan pasang kuping. Di sini ia dengar terang, anak itu hendak menangis tetapi batal.
"Jangan nangis! Kalau kau nangis, kau binasa!" demikian terdengar suaranya seorang perempuan, suara ancaman
yang tertekan. Kiau Liong merasa heran, tetapi ia lekas kembali ke
pembaringannya.
Dari luar rumah terdengar suara kuda berbenger, dan
dari luar jendela terdengar suara helaan napas berat dari orang lelaki.
Diam-diam nona Giok tersenyum tawar.
Tidak berselang lama, pintu kamar dibuka dari luar dan
si orang tani datang dengan membawa tehkoan teh, sepiring garam, sepotong kue dan bubur yang mana ia terus atur di atas meja.
Kiau Liong turun dari pembaringan selagi orang bekerja,
di saat orang itu sudah selesai, tiba-tiba ia menghampiri, akan cekal lengannya.
"Apakah kau telah kenal lama orang she Lo itu?" ia tanya, dengan perlahan, tetapi suaranya berpengaruh.
"Apakah kau takuti ia?"
Matanya petani tua itu mendelong, kumis dan
jenggotnya bergerak-gerak. Ia tidak jawab itu pertanyaan.
Sementara itu, daun pintu terbuka renggang dan di
depan pintu berdiri si orang she Lo.
"Sekarang pergilah kau keluar!" kata Kiau Liong, dengan suara nyaring. "Kalau nanti aku sudah pulang, aku nanti kirim orang untuk membalas kebaikanmu ini!"
Orang tua itu tetap bungkam, ia terus ngeloyor keluar.
Kiau Liong turut bertindak ke pintu, untuk menutup
pintu itu sekeluarnya si petani tua, tetapi berbareng dengan
itu ia melihat keluar di mana cuaca ada gelap. Si orang she Lo sudah tidak berada lagi di depan pintu.
Tatkala si nona rapati pintu, ia dapat kenyataan kunci
cuma sebatang sorok, hingga pintu itu tidak bisa dikunci dengan kuat, sedang di dalam kamar itu tidak ada benda
apa juga yang bisa dipakai menapai atau mengganjal pintu.
Bertindak ke meja, nona ini dahar sepotong kue,
kemudian ia padamkan api, meraba pembaringan, di situ ia terus rebahkan diri. Ia rebah sambil pasang kuping. Ia tidak usah menunggu lama, akan dengar suara helaan napas yang
berat di luar jendela.
Lekas-lekas ia berpura-pura menggeros.
Lewat pula sekian lama, tiba-tiba terdengar pintu
berkelotekan. Kiau Liong terperanjat, tetapi ia diam saja, melainkan matanya mengawasi. Ia rebah miring tangan kiri menandai pembaringan, tangan kanan siap dengan dua
jeriji telunjuk dari tengah. Ia terus perdengarkan suara mengoroknya.
Daun pintu telah terbuka dan tertutup pula, setelah mana di muka pembaringan ada berdiri seorang dengan tubuh
besar dan tinggi, tangannya seperti ada menyekal suatu apa, yang mana dengan hati-hati dia letaki di atas pembaringan, kemudian tangan itu dipakai meraba dan mengusap-usap
rambutnya si nona.
Dengan tiba-tiba Kiau Liong geraki tubuhnya loncat
bangun dan berduduk, sedang tangan kanannya, dengan
dua jarinya, menotok tubuhnya orang. Tapi orang itu
menangkis dengan cepat, karena mana, si nona terus loncat turun seraya membarengkan menyerang pula.
"Jangan, jangan menyerang, aku tidak bermaksud jahat!"
kata itu orang, yang gerakannya sebat luar biasa, sebab
begitu berkelit dari serangan, ia bisa menubruk dan coba bikin tak berdaya tangannya si nona.
"Kau tidak bermaksud jahat?" menegur nona Giok.
"Jangan kira aku tidak tahu siapa kau ada!" Sambil mengucap demikian, Kiau Liong geraki kakinya, menjejak,
hingga orang itu seloyongan di depan ia.
"Benar-benar aku tidak bermaksud jahat!" kata pula orang itu, yang tidak melakukan penyerangan membalas.
"Jikalau aku berpikiran lain tentu sejak di tempat sunyi, aku sudah culik pada kau! Mustahil aku mau tunggu sampai aku antar kau kemari ... Jikalau kau tidak percaya aku, coba lihat!"
Dengan cepat orang ini keluarkan bahan api dan
nyalakan itu, untuk dipakai menyuluhi ke atas pembaringan. "Lihatlah itu!" ia kata.
Kiau Liong lihat sebatang pedang dan sebungkus uang di
atas pembaringannya, meski demikian, ia toh tidak segera lepaskan kedua lengannya orang, yang ia tadi telah sambar dan cekal.
"Kau toh Poan Thian In?" ia tanya. "Kenapa kau pedayakan aku dengan kau menyamar sebagai punggawa
negeri" Dari mana kau mendapati bungkusan pakaianku
itu" Apa maksud kau maka tengah malam buta rata, secara
diam-diam ini, kau antarkan aku ini pedang dan uang"
Lekas terangkan!"
Sementara itu, Kiau Liong pun lihat orang itu ada
memakai ikat pinggang hijau di mana ada menyelip
sebatang golok kangtoo yang panjangnya tidak ada dua
kaki, maka dengan sebat luar biasa, ia sambar dan cabut
golok itu, hingga segeralah terdengar satu suara nyaring,
dari gelang-gelangan pada gagangnya golok! Goloknya
sendiri pun berkelebat bersinar.
Atas itu, itu orang segera ulapkan tangannya.
"Hati-hati!" ia peringati. "Golok itu tajam luar biasa, nanti tanganmu terluka!"
Kiau Liong angkat tangannya yang menyekal golok itu,
dengan itu senjata ia ancam dadanya orang.
Orang itu tidak unjuki roman takut, bajunya malah
terbuka kancingnya, hingga kelihaian dadanya. Dengan
tenang ia menoleh, ia geraki tubuhnya, buat nyalakan api di meja.
"Jangan gusar, siocia," ia bilang. "Kau dengarlah keteranganku."
Kiau Liong berdiam, ia mengawasi terus.
"Dengan sebenarnya aku ada Poan Thian In Lo Siau
Hou," kata pula pemuda itu, yang menyamar sebagai
punggawanya Giok tayjin. "Siocia telah datang ke sarangku di dalam lembah, aku dapat kenyataan, kecuali cantik, kau pun gagah, maka aku jadi ingin cari tahu tentang asal-usul kau. Aku percaya siocia tidak nanti mau cerita jikalau aku menanyakan kau, dari itu, aku lantas berdaya upaya sendiri.
Dengan ajak sejumlah orangku, malam-malam juga aku
berangkat ke Peksee kang. Di sana ada bersanggerah
serombongan kereta pembesar negeri, di sana aku dapat
keterangan hal lenyapnya Giok siocia selama terjadi
penyerbuan rombongan begal. Dari keterangan ini, aku
mendapat tahu siapa adanya siocia, maka sengaja, dari
kereta keluarga, aku curi buntalan ini. Kita lantas datang kemari, dengan pakai pakaian yang kita dapat rampas. Aku ada bawa tiga pengikut. Dari satu nona Kozak aku dapat
tahu siocia telah pergi dengan menunggang kuda, bahwa
selagi kudanya kembali, kau tidak turut muncul. Nona
Kozak itu kuatir siocia dapat celaka. Aku pun berkuatir, maka kita segera mencari, berputar-putar, sampai setengah harian. Aku kuatir siocia menyangka jelek, maka tiga
orangku itu, aku perintah segera undurkan diri, sedang
siocia, aku pedayakan sampai datang ke sini. Aku tidak
bermaksud lain, siocia. Aku pikir akan besok antar sioijia ke Peksee kang, hanya aku kuatir, mereka tentu tidak berdiam lama di sana, barangkali mereka sudah pergi terus sampai di kota Keklieah. Boleh jadi dari sana barulah mereka akan
kirim orang, untuk mencari siocia. Jalanan di sini ada
buruk, aku sendiri tidak merdeka akan ikuti kau, dari itu, siocia, aku sengaja bawakan kau ini pedang dan bungkusan.
Aku juga telah rawat kuda kau, aku akan bekali rangsum
kering dan air. Dan aku akan kirim orang untuk menjadi
pengantar siocia. Aku tidak kandung maksud jelek, aku
lihat kau cantik dan gagah, aku kagumi itu, maka aku ingin berbuat suatu apa untuk kau! ... "
Poan Thian In, si Awan di Tengah Langit, bicara dengan
tetap dan sambil tersenyum, tubuhnya sedikit bergerak,
suatu tanda dari tabahnya hati. Karena gerakan tubuhnya
itu, beberapa kali dadanya membentur goloknya yang
tajam, yang berada dalam cekalannya si nona, hingga Kiau Liong mesti setiap kali-setiap kali tarik mundur tangannya itu.
Selama itu, perlahan-lahan hatinya Kiau Liong jadi sabar dan sabar. Di lain pihak, ia ketarik dengan itu golok yang gagangnya bergelang. Ia pun jadi ketarik oleh ini kepala berandal dari Sinkiang.
Tadinya Poan Thian In piara rambut panjang dan kusut,
mukanya berewokan, hingga jadi tidak keruan, tetapi
sekarang ia merupakan satu anak muda yang cakap,
tubuhnya tinggi besar dan kekar, usianya paling juga baru
duapuluh empat atau duapuluh lima tahun. Hampir Kiau
Liong tidak mau percaya bahwa pemuda ini telah mampu
kendalikan ratusan berandal yang ganas, yang sangat
ditakuti. "Jangan kau omong bahwa kau hendak berbuat suatu
apa untuk aku ... " kemudia dia kata, "tidak usah sebut-sebut hendak kirim orang untuk antar aku pada
rombonganku. Aku memberi tahu kau, memang sengaja
aku pisahkan diri dari rombonganku di saat yang kalut itu, karena aku berniat merantau, pesiar ke mana aku suka, dan aku tidak pikir untuk segera pulang! Tapi aku dengar, dari suaramu, kau bukannya asal sini, dan kau masih begini
muda! Mengapa kau datang ke tempat begini jauh, untuk
menjadi berandal?"
Poan Thian In geleng-geleng kepala, tetapi ia tersenyum.
"Kau tidak tahu tentang urusanku," ia bilang. "Dan aku tidak hendak jelaskan itu pada kau! Tetapi aku ingin kau tidak anggap aku ada satu berandal sejati! Aku tahu aturan, aku tidak hidup melulu sebagai begal. Kau tahu, aku pun
ada pelihara banyak kuda. Hanya, aku ada seorang yang
bernasib buruk, hingga karenanya, aku telah merantau dan bersengsara sampai di sini ... "
Ia menghela napas, ia kancing bajunya.
Kiau Liong mundur, akan berduduk di atas pembaringan. Ia masih cekal terus goloknya orang.
"Ini hari aku suka kasih ampun pada kau!" kata ia, dengan masih mendongkol.
Poan Thian In geleng kepala sambil tertawa.
"Aku tidak takut mati!" ia bilang dengan gagah. "Siocia, kau ada terlalu cantik, umpama kau bunuh aku dengan
golok itu, aku tak penasaran!"
"Sudah, keluar!" nona itu membentak, matanya
mendelik. Poan Thian In tetap tertawa, ia putar tubuhnya, akan
bertindak pergi.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Kiau Liong memanggil. "Nama apa kau pakai barusan?"
Poan Thian In berpaling dan menjawabnya: "Lo Siau
Hou." Nona itu perdengarkan suara dari hidung, sampai
beberapa kali, ia tertawa tawar.
"Biasanya kau ada sangat galak, sampai semua orang di sini sangat takuti kau!" ia kata pula. "Lihat saja itu bocah di kamar sebelah, sampai ia takut nangis!"
Poan Thian In tidak kata apa-apa, ia terus bertindak
keluar, daun pintu ia rapati di belakangnya.
Kiau Liong mengawasi sampai pintu sudah tertutup,
lantas ia pasang kuping. Sampai sekian lama, ia masih
dengar tindakan kaki bulak balik. Ia mengerti, Lo Siau Hou tentu tidak punyakan tempat tidur. Samar-samar, ia pun
dengar itu nyanyian yang ia kenal: " " Hou adalah aku, Pa nama adikku ... "
"Aneh ... " ia berpikir, "ia benar-benar ada satu berandal yang aneh ... "
Kiau Liong rasai mukanya panas sendirinya kapan ia
ingat bagaimana barusan Lo Siau Hou telah raba dan usap-
usap rambutnya.
"Aku telah berlaku sembrono, sampai aku rubuh dari
kuda dan tak berdaya," ia lalu ngelamun, "coba tidak ada Lo Siau Hou, yang datang menolong, sekarang ini aku
tentu masih rebah di padang rumput. Ia berlaku sopan
santun terhadap aku, ia malah sangat perlukan kebutuhanku, hingga ia sudah bawakan aku pakaian,
pedang dan uang, dan besok ia berniat mengirim wakil buat antar aku ... Benar aku berlalu dengan suka sendiri, tetapi dari pihakku, tidak ada datang orang yang mencari, maka
beruntung aku ketemu ini orang ... "
Di luar sang angin telah meniup keras pada jendela
sampai kertas jendela perdengarkan suara, di antara itu, pun ada terdengar suaranya Lo Siau Hou:
"Dunia suram guram, memancarkan bencana " "
"Kau nyanyikan apa di sana?" akhirnya menegur ini nona.
"Ini adalah nyanyian yang orang ajarkan aku," sahut Lo Siau Hou, yang datang menghampiri jendela. "Jikalau aku sedang berduka atau pikiran pepat, seringkali aku
nyanyikan lagu ini ... "
"Mengapa kau tidak cari kamar untuk tidur?" tanya Kiau Liong, yang tidak pedulikan jawaban itu.
"Aku merasa berat akan tinggalkan kau, siocia," ada penyahutan dari luar. "Biar aku berdiam di luar jendela ini, buat satu malaman untuk temani kau karena begitu lekas
besok kita berpisahan, untuk selama-lamanya, kita tak akan bertemu pula ... "
Kiau Liong mau tertawa tetapi ia cegah itu, kendati
demikian, ia tunduk sendirinya. Ia merasa mukanya jadi
semakin panas. Tiba-tiba terdengar daun pintu berbunyi dan si berandal
muda masuk pula ke dalam.
"Berhenti!" berseru nona Giok, selagi orang hendak bertindak terus.
Lo Siau Hou benar-benar tunda tindakannya.
Nona Giok mengawasi dengan mata terbuka lebar.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba kau nyanyikan pula nyanyianmu, untuk aku
dengar," ia kata kemudian.
Lo Siau Hou menurut dengan tidak kata apa-apa, ia
menyanyi, tapi, baru saja ia nyanyi sampai di bagian si ibu menelan racun, suaranya menjadi semakin perlahan dan
mengharukan hati, rupanya ia sangat berduka.
Kiau Liong tunduk, hatinya berdebar-debar.
Api telah berkelak-kelik di antara sampokannya angin,
yang molos dari pintu.
Siau Hou lanjuti nyanyiannya, meskipun dengan
suaranya yang sember. Ia nyanyi sampai di bagian masih
ada dua adik perempuan, lantas ia berhenti dan kata: "Di belakang ini masih ada dua rintasan, yang aku telah lupa syairnya, hanya apa yang aku masih ingat, adalah dua yang terakhir, ialah ... Duapuluh tahun kemudian, kalau kita
bertemuan, kita akan balas budi dan dendam, tak ayal-
ayalan ... "
Habis berkata begitu, dengan lengan bajunya, ia susut air matanya, yang telah keluar dengan tak terasa ...
Kiau Liong telah gigit rapat kedua baris giginya atas dan bawah.
"Apakah nyanyian itu ada mengenai kejadian yang
benar?" ia tanya. "Apa benar ayahmu binasa di tangan musuh dan ibumu telah racuni diri?"
"Itulah aku tak tahu," sahut Siau Hou. "Aku ada asal orang Lulamhu, sejak aku ingat, aku hanya punya engkong
tukang warung arak, siapa tak tahu tentang ayahku. Dalam umur sembilan tahun, engkong kirim aku ke sekolah
kampung. Engkong punya sepucuk surat, ketika ia buka
surat itu, di dalam situ ada tertulis ini nyanyian yang aku nyanyikan dan guruku ajarkan itu padaku, sebagai mata
pelajaran, yang aku mesti apalkan. Katanya adikku dan
saudara perempuan berada di lain tempat, bahwa mereka
pun bisa nyanyikan nyanyian ini, maka kalau aku menyanyi dan mereka dapat dengar, mereka bakal kenali aku sebagai saudara mereka. Sayang itu waktu aku ada sangat gemar
memain, sampai aku tak ingat seluruhnya nyanyian itu,
hingga berselang satu tahun, aku lantas lupa benar-benar.
Aku telah merantau ke beberapa propinsi, aku telah
yakinkan ilmu silat. Di saat-saat hati pepat, aku tentu
nyanyi, tetapi sampai sebegitu jauh, aku masih belum juga dapat cari atau ketemu sekalian saudaraku itu ... "
"Kau harus dikasihani ... " kata si nona, yang terharu bukan main. "Mengapa kau sampai di Sinkiang ini?"
Buat sesaat, Lo Siau Hou bersangsi, tetapi toh ia
menyahut. "Biarlah aku omong terus terang," ia kata. "Ketika aku berumur sepuluh tahun, lantaran ayah dan ibu angkatku
perlakukan buruk padaku, sedang juga aku tidak ketarik
akan bersekolah, aku lantas minggat. Aku buron mengikuti satu pengemis. Ia ada satu panca longok, maka juga ia telah ajarkan banyak ilmu untuk mencuri, hingga aku selanjutnya bantu ia cari penghasilan dengan itu jalan sesat. Satu kali aku kepergok dan orang telah hajar aku sampai hampir aku binasa, baiknya kemudian aku dapat ditolong oleh satu
saykong, yang bawa aku ke Butong San. Semua imam di
atas gunung ini mengerti ilmu silat, maka aku juga turut belajar, antaranya aku utamakan ilmu menggunai pedang.
Kemudian lagi, karena lakukan satu kesalahan, suhu usir
aku dari gunung ... "
"Apakah itu yang kau lakukan?" memotong Kiau Liong.
Poan Thian In unjuki roman malu.
"Oleh karena aku permainkan satu nona, aku telah
langgar pantangan gereja," ia akui. "Sejak turun gunung, aku hidup dalam perantauan, sampai beberapa tahun. Aku
datang kemari untuk cari satu orang. Di sini tempat
memang ada bersarang serombongan berandal, mereka
pegat aku, tetapi dalam satu pertempuran, aku bisa takluki mereka, dengan kesudahannya mereka angkat aku sebagai
pemimpin mereka. Aku tinggal di Angsiong Nia, tempat di
mana kemarin kau dibegal, belum ada satu tahun.
Bukannya cita-citaku akan hidup terus sebagai berandal,
pekerjaan ini aku lakukan selama menantikan berhasilnya
usahaku memelihara banyak kuda, agar dengan hasil kuda
itu, kita bisa punyakan cukup uang untuk hidup kita
selanjutnya. Setelah bisa andalkan kuda, aku berniat cuci tangan. Umpama kata aku dapat cari orang yang aku cari
itu, barangkali aku sudah angkat kaki terlebih siang ... "
"Siapa itu yang kau cari?" si nona menanya terus.
"Ia ada satu tuan penolong dari aku," sahut Lo Siau Hou, yang mau omong terus terang. "Sejak perpisahan aku
dengan penolong itu, sepuluh tahun lebih sudah lewat.
Dahulu ialah yang pesan aku, andaikata aku ingin ketemu
padanya, aku mesti susul dan cari ia di Sinkiang.
Nyanyianku itu adalah ia yang karang untuk kita. Aku ini ada anak siapa dan di mana adanya adik laki-laki dan adik perempuanku, semua itu adalah penolong itu sendiri yang
ketahui." "Jadinya ia itu ada seorang aneh," pikir Kiau Liong. Ia lalu tanya: "Siapa namanya orang itu?"
"Ia ada Kho Long Ciu ... "
Nona Giok terperanjat.
"Kho Long Ciu?" ia ulangi. "Apakah ia ada Kho In Gan, itu orang yang telah berusia limapuluh tahun lebih, yang putih kumis jenggotnya?"
Siau Hou pun agaknya heran, tetapi ia menyahuti:
"Tatkala dulu aku ketemu Kho Long Ciu, itu waktu aku baru berumur tujuh atau delapan tahun, maka kalau
sekarang aku ketemu padanya, tentu aku sudah tidak dapat mengenalkan lagi. Aku cuma dengar ia dipanggil Kho Long
Ciu, belum pernah aku dengar ia dipanggil Kho In Gan. Ia ada seorang terpelajar surat."
"Inilah tentu dianya!" kata Giok Kiau Liong sambil
berbangkit. "Aku kenal orang yang kau cari itu. Ia adalah guruku, ia memang ada seorang luar biasa. Ia berada dalam rombongan kita, dan mempunyai isteri. Isterinya pun
mengerti ilmu silat. Ketika kemarin ini orang-orangmu
datang menyerbu, ia berada dalam sebuah kereta, karena
aku berlalu dalam kekalutan, aku tidak tahu apa jadinya
dengan mereka. Besok aku nanti antar kau menyusul
rombongan keretaku, akan cari penolongmu itu. Aku
percaya, asal ia mendapati kau, kau tentu akan diajak
bersama-sama, hingga kau tak usah menjadi berandal terus
... " Lo Siau Hou girang mendengar keterangan ini, ia
manggut-manggut.
"Baiklah!" ia bilang, "Asal aku ketemu penolongku itu dan mendapati keterangan perihal adik-adikku, aku tentu
akan pergi cari mereka. Hanya ... " ia lantas beroman lesu dan masgul. "Bagaimana, siocia, andaikata gurumu itu bukan tuan penolongku she Kho itu" Bagaimana bila aku
ikut kau dan di antara hamba-hamba negeri dalam
rombonganmu itu ada yang kenali aku sebagai Poan Thian
In" Bagaimana aku mesti menyingkir dari gangguan hamba-
hamba negeri itu?"
Kiau Liong tersenyum ewa.
"Jangan kau menyangka aku hendak pedayakan kau!" ia kata. "Apa kau menyangka aku berniat membekuk
padamu" Jikalau aku berniat demikian, untuk tangkap kau, itulah sangat gampang!"
Lo Siau Hou tidak kata apa-apa, ia melainkan
tersenyum. "Tapi, apakah perlunya bagiku akan tangkap kau?" si nona baliki kemudian. "Mendengar kau, aku merasa
kasihan padamu. Benar aku ada satu siocia dari keluarga
berpangkat, tetapi aku paling ketarik kepada orang-orang gagah yang nasibnya malang ... "
Mendengar ini, air mukanya Poan Thian In sedikit
berubah. "Ini!" kata si nona, seraya ia kembalikan goloknya Poan Thian In. "Ambillah ini, aku tak perlu dengan golok ini! ... "
Tetapi Lo Siau Hou tidak mau sambuti goloknya itu.
"Golok ini aku mendapati di kota Tekhoa, di waktu
berjudi, dari satu punggawa dari tangsi Solun, ia kata. "Ini golok pendek tetapi tajamnya luar biasa, dapat dipakai
menabas putus segala macam kuningan atau besi, selama
bertahun-tahun aku senantiasa simpan di pinggangku. Kau
ada baik sekali, siocia, untuk balas kebaikanmu, aku suka serahkan senjata yang aku sayangi ini!"
Kiau Liong pandang pula golok itu, ia suka senjata itu,
tetapi mengingat yang itu ada buah kemenangan judi,
hatinya berubah dengan segera. Malah sambil lemparkan
golok itu hingga jatuh sambil bersuara, ia kata dengan
cepat: "Ambillah ini, aku tak sudi!"
Siau Hou pungut goloknya, ia berdiri dan awasi si nona,
yang duduk atas pembaringan. Ia agaknya tidak niat
undurkan diri. Ketika itu, api di atas meja sudah hampir padam.
Melihat orang belum mau berlalu, Kiau Liong angkat
kepalanya. "Apakah kau belum mau keluar?" ia tanya.
Poan Thian In berdiri tetap, matanya terus mengawasi.
"Siocia, kau terlalu manis, bugee-mu bikin aku kagum ...
" ia bilang.
Tiba tiba Kiau Liong sambar pedangnya, ujungnya ia
tandkan pada dadanya kepala penyamun itu.
"Lekas keluar!" ia membentak. "Kau bernyali besar sekali. Cara bagaimana berani bicara begini padaku?"
Masih saja Lo Siau Hou berdiri tegak.
"Aku harap kau suka memikir, siocia," ia kata pula. "Kau telah tinggalkan rumah, kau sekarang sedang merantau,
sendirian saja, dari itu, kenapa kita tak mau berjalan
bersama-sama" Aku bersedia akan tinggalkan semua orang
dan kudaku, untuk ajak kau menjaga gunung-gunung!"
"Pergi!" berseru pula si nona dengan roman gusar, dan sambil berseru demikian pedangnya ia tusukkan.
Lo Siau Hou egos tubuhnya dengan gesit, setelah itu
tubuhnya itu ia bungkukkan.
Menampak demikian, Kiau Liong kaget, hingga sambil
tarik pulang pedangnya, ia loncat turun dari pembaringan.
Lebih dahulu ia bikin lampu menyala lebih besar, kemudian ia awasi itu anak muda.
Sekarang ini Siau Hou sudah angkat pula tubuhnya,
hingga ia berdiri pula dengan tegak seperti tadinya, cuma, selagi tangan kanan menyekal goloknya, tangan kirinya
menekan dada, dan dari celah-celah jarinya ada benda cair yang mengalir keluar, darah hidup!
"Kau masih tidak mau pergi?" nona ini tanya pula dengan mata melotot. "Apakah kau mau mati?"
Meskipun tampang mukanya pucat, Siau Hou toh
tertawa, tertawa meringis. Ia manggut.
"Aku pergi, aku akan pergi," ia kata. "Siocia, silahkan kau beristirahat! Harap besok siocia ajak aku akan ketemui penolongku she Kho!"
Habis kata begitu, dengan menahan rasa sakitnya, kepala
penyamun tersohor dari Sinkiang ini putar tubuhnya, akan bertindak keluar dari kamar.
Baru sekarang Giok Kiau Liong menyesal.
"Ia tentu terluka hebat ... " pikir ia. "Tidak seharusnya aku tikam ia ... "
Selagi nona ini berhenti berpikir, tiba-tiba kupingnya
dengar suara jatuhnya barang berat, sebagai tubuh manusia, hingga ia kaget, hingga lekas juga ia sambar lampu buat
dibawa keluar. Sang angin telah sambar api dan bikin itu padam,
kendati demikian, nona Giok sudah lantas dapat lihat tubuh rebah di tanah dari Poan Thian In, hingga ia jadi
bertambah-tambah kaget, tak tempo lagi, dengan tidak
pedulikan apa juga, ia letaki lampu dan lompat pada anak muda itu, yang ia terus pondong dikasih bangun.
"Bagaimana?" ia tanya, dengan suara dari kesibukan.
Istana Pulau Es 11 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Pendekar Latah 4
sedang di kalangan kangou banyak orang yang licin, ada
yang tenaganya besar istimewa, ada yang pandai
menggunakan senjata rahasia juga. Kau ada satu siocia,
usiamu masih muda, pengalaman tidak punya, kau belum
pernah hadapi pertempuran besar, maka jangan kau anggap
diri terlalu tinggi, terutama jangan kau lakukan apa yang di luar garis. Kau harus ketahui apabila kau nampak bahaya
disebabkan perbuatanmu yang salah, aku tidak akan
menolongnya. Aku hendak berangkat besok, maka ingatlah
pesananku ini. Di sini aku ada simpan peti kecilku dalam mana ada kitab tentang turunan keluargaku yang aku ingin lain orang tidak ketahui begitupun kau, jangan kau coba
curi baca. Jagalah buku itu baik-baik."
Kho Long Ciu bungkus rapi petinya itu, ia segel dan
berikan cap namanya, sembari lakukan itu ia curi lirik
muridnya dan ia mendapati murid itu cuma sahuti ia sambil tunduk dan manggut, sedang air mukanya pun tak berubah.
"Dasar ia masih muda," pikir Kho Long Ciu. "Aku telah yakinkan pelajaranku enam atau tujuh bagian, aku telah
turunkan kepandaianku padanya kira-kira empat atau lima
bagian, maka cukuplah sampai di sini dahulu, untuk
menjaga kalau-kalau di belakang hari ia main gila, aku bisa berkuasa padanya."
Giok Kiau Liong terima itu peti dan dibawa ke
kamarnya. Kho Long Ciu masih berkuatir, diam-diam ia kuntit
muridnya ini, ketika si nona masuk ke dalam kamarnya, ia mengintip dari luar jendela. Ia lihat sendiri si nona simpan peti itu ke dalam lemari, terus api dipadamkan dan nona itu tidur. Maka itu, besoknya pagi, Kho Long Ciu tinggalkan
Ciehoat koan dengan hati lega.
Melalui padang pasir Long Ciu masuk ke Yangkwan,
dari sini ia menuju dan sampai di Kamsiok. Sekarang ia
bukannya pergi ke Holam, akan tengok kandanya dan cari
persaudaraan Yo, hanya ia niat pergi ke Pakkhia, sebab
baru saja ia dengar cerita orang yang kembali dari kota raja, katanya di sana baru muncul satu pemuda kosen, Lie Bou
Pek namanya, yang ada jadi keponakan murid dari Kang
Lam Hoo atau muridnya Kie Kong Kiat atau puteranya Lie
Hong Kiat, bahwa di kota raja pemuda itu sudah rubuhkan
banyak orang gagah, sampai tak ada tandingannya, hingga
namanya jadi kesohor.
"Aku telah belajar sepuluh tahun, belum pernah aku coba kepandaianku," demikian ia berpikir. "Mustahil aku bawa mati kepandaianku dengan peluki saja dua kitab itu"
Adalah seharusnya aku cari tempat di mana aku bisa angkat nama dengan pecundangi beberapa cabang atas, agar orang
ketahui namaku dan kenal aku sebagai Kho Long Ciu Kho
In Gan ..."
Begitulah, ia ambil putusannya. Ketika itu hari ia sampai di Liangciu, Kamsiok, hari telah menjadi magrib. Dengan
tuntun kudanya, ia pergi ke Saykwan, Kota Barat, buat cari rumah penginapan. Selagi jalan tiba-tiba ia dengar
panggilan "Kho Long Ciu!" berbareng dengan mana, tangan bajunya ada yang betot, hingga ia terperanjat, ia segera menoleh.
Satu nyonya, umur kurang lebih limapuluh tahun,
adalah orang yang betot Kho Long Ciu dan pun segera
menegur lebih dahulu: "Apakah kau masih mengenali aku?"
Pertanyaan itu ada dengan lagu Kimseekang dan
mendengar itu, Kho Long Ciu bertambah curiga.
"Pada duapuluh tahun yang lalu, sehabisnya Ah Hiap
menutup mata, kau telah bawa pergi dua kitab dari
rumahku!" demikian nyonya itu, yang dandan sebagai
pengemis. "Sekarang kedua buku itu kau mesti pulangkan padaku!"
Dalam kagetnya, Kho Long Ciu bisa tetapkan hati.
"Jangan berisik!" ia kata. "Mari kita cari tempat untuk bicara!"
Lantas ia naik pula kudanya dan keluar dari bilangan
kota, dan si nyonya terus ikuti ia sampai di luar kota di mana ia mendahului tahan kudanya akan loncat turun. Di
sini, di antara cuaca magrib mereka lantas bicara.
Pengemis perempuan itu bukan lain daripada Pekgan
Holie Kheng Liok Nio, yang telah menikah dengan Ah
Hiap melulu untuk bisa cangkok kepandaian silatnya, sebab kemudian, sesudah menjadi pandai ia lalu berkongkol
dengan Hwie Pek Sin dan berdua mereka atur tipu dan
turun tangan hingga Ah Hiap binasa. Sehabisnya itu, Kheng Liok Nio tinggalkan Hwie Pek Sin dan berangkat dari
Inlam menuju ke daerah Tiangkang, dengan niatan malang
melintang di kalangan kangou, guna tindih jago-jago di
daerah Sungai Besar itu. Dalam hal tujuannya ini, ia tidak peroleh hasil, sebaliknya, beberapa kali ia tampak
kegagalan. Ketika itu Lie Hong Kiat masih belum undurkan diri dan Kang Lam Hoo sering-sering muncul di muka
umum, guna menghalangi sesuatu orang jahat mainkan
peranan yang merusak masyarakat. Gagal di Tiangkang, ia
pergi ke Hoopak, tetapi di sini Kie Kong Kiat tidak boleh dibuat permainan, dari itu ia terpaksa angkat kaki pula ke daerah antara Siamsay dan Kamsiok, akan akhirnya jadi
ratu gunung di sebuah bukit di mana ada mengeram kira-
kira duaratus berandal. Lacur baginya, baru berdiam
sepuluh tahun di gunung itu, tentara negeri telah labrak ia, hingga laskarnya pun ludas, suaminya binasa dan ia sendiri mesti merat. Selanjutnya, karena sudah biasa dengan
penghidupan penjahat, ia bekerja sendirian saja, ia bekerja di tempat di mana saja ia sampai. Ia hendak balas sakit hati suaminya, tapi ia musuhkan sembarang orang, dari itu, ia telah binasakan beberapa jiwa, sehingga semua orang polisi
di Hweeleng, Tiangbu, Hongsiang dan Cinciu hendak
tangkap padanya, hingga ia mesti menyingkir sana dan
menyingkir sini. Ia merantau beberapa tahun lamanya,
sampai paling akhir ia berada di Liangciu di mana terpaksa ia menyamar sebagai pengemis untuk mengelabui mata
polisi. Di sini, di luar dugaannya ia ketemu Kho Long Ciu,
orang yang ia sedang cari. Maka itu, ia terus cekal siucay ini.
"Oho, Kho siucay yang jempolan!" demikian nyonya gula-gula itu, dengan suara ejekannya. "Bukankah dahulu kau telah ambil dua jilid kitab dari tanganku" Tatkala itu aku masih belum tahu apa kefaedahannya buku itu, hanya
belakangan, sesudah nyebur dalam dunia Sungai Telaga,
aku dengar dan mengerti dengan baik. Nyatalah Kang Lam
Hoo telah merantau, untuk cari suheng-nya demikian pun
kedua buku itu, sebab itu dua buku ada pusaka mereka!
Siapa saja, siapa dapati kedua buku itu, ia bakal bisa
pahamkan kepandaian silat sama tingginya seperti
kepandaiannya Kang Lam Hoo sendiri! Aku tidak sangka
bahwa kau telah pedayakan aku dan kau telah menghilang,
hingga sekarang ini sudah duapuluh tahun lamanya! Coba
aku mendapati dua buku ini, tidak nanti aku sampai terhina orang!"
Kho Long Ciu pun tertawa.
"Beruntung dua buku itu aku bisa ambil dan bawa
menyingkir dari kau!" ia kata, "kalau tidak, entah berapa banyak kejahatan kau telah lakukan!"
Pekgan Holie tak gubris jengekan itu.
"Aku tahu," ia kata, "aku tahu, selama duapuluh tahun, kau tentunya telah dapat pahamkan itu kepandaian
istimewa. Cuma, karena kau tidak masuk dalam kalangan
kangou, apakah gunanya kepandaian itu bagimu" Maka
sekarang, lekas kau keluarkan buku itu dan serahkan
padaku! Kau harus mengerti, jikalau buku diserahkan
padaku, urusan habis sampai di sini, tetapi jikalau kau
membantah, aku akan segera cari Kang Lam Hoo, akan
kasih tahu padanya bahwa kaulah yang dahulu membuat
mampus pada Ah Hiap dan bukunya Ah Hiap berada pada
kau!" Kho Long Ciu kasih dengar tertawa menghina apabila ia
dengar ancaman itu, "Apakah kau sangka aku takut jikalau Kang Lam Hoo cari aku?" ia kata secara menantang. Baru ia tutup mulutnya, atau tubuhnya telah bergerak
membarengi gerakan tangannya, yang menyerang itu bekas
gula-gula. Dan ia telah keluarkan pukulan dari kematian, guna membuat tamat lelakonnya perempuan jahat ini, si
Rase Mata Biru. Ia anggap, dengan tindakannya ini, tidak saja ia bisa singkirkan manusia jahat, ia pun boleh tak usah kembalikan
dua kitabnya yang berharga, bahwa selanjutnya, sepak terjangnya tidak lagi bakal mendapati rintangan dari perempuan ini. Tetapi maksudnya ini ia tak bisa lantas capai.
Nyata Pekgan Holie ada liehay, kendatipun ia diserang
secara demikian mendadak, ia masih bisa lihat gerakan
orang, ia bisa membade maksud orang, maka ketika tangan
lawan sampai, ia berkelit seraya menangkis dengan seketika juga membalas menyerang, hingga di situ, di tempat yang
luas dan sunyi, keduanya lantas adu kepandaian.
"Hm, beginilah kelakuanmu!" menyindir nyonya itu.
Kho Long Ciu tidak mau banyak omong, sudah
terlanjur, ia teruskan serangannya, malah ia mendesak.
Sesudah bertempur sekian lama, segera ternyata
perbedaan di antara dua orang ini. Dalam hal ilmu silat,
Kheng Liok Nio kalah, tetapi di dalam hal kegesitan dan
tenaga, ia menang. Dalam hal ilmu silat, Kho Long Ciu ada terlebih paham, tetapi apa mau, gerakannya terlebih lambat, tenaganya kurang.
Lama mereka adu kepandaian, akhir-akhirnya, Kho In
Gan yang mengalah.
"Sudah, sudahlah,"
ia kata, sambil berhentikan
pertempuran. "Sudah, kita jangan bertempur lebih lama, buku aku akan kembalikan padamu!" Kemudian, sambil
menghela napas, ia tambahkan: "Sayang buku itu aku
dapati terlambat sepuluh tahun ... Ilmu silat mesti
diyakinkan sedari usia masih muda dan dengan dasarnya
sekalian ... Sekarang aku yakinkan itu dalam usia sudah
cukup tinggi, aku hanya seperti orang bisa membaca, tapi buat menggunai secara sungguh-sungguh, aku sudah gagal
... Sekarang ini aku batal buat pergi ke Pakkhia, maka kau baiklah ikut aku kembali ke Sinkiang akan ambil buku itu
..." Pekgan Holie akur dengan usul itu, pertempuran jadi
berakhir dan mereka pun hidup sebagai suami isteri.
Mereka pulang ke Sinkiang dan Kho Long Ciu menghadap
Giok tayjin sambil perkenalkan "isterinya".
Giok tayjin dan Giok thaythay percaya itu keterangan,
malah mereka sambut suami isteri itu dengan girang.
Mereka anggap yang si guru sekolah telah pergi untuk
sambut isterinya ...
Pekgan Holie ada seorang yang pandai, berdiam di
dalam kantor pembesar negeri ia telah ubah sikapnya dan
dengan Kho Long Ciu ia unjuk watak yang baik sekali,
seperti juga Kho Long Ciu benar ada suaminya dengan
siapa ia sudah berpisah lama. Ia berlaku lemah lembut dan hormat.
Untuk suami isteri guru ini, Giok tayjin berikan
rumahnya di samping barat dari Seehoa thia, di situ ada
beberapa kamar dan di bagian belakangnya ada dua buah
pohon kayu yang memberikan hawa teduh dan nyaman.
Di hari itu juga Giok Kiau Liong muncul, akan kasih
hormat pada gurunya yang baru pulang, begitupun pada
sunio-nya atau nyonya guru.
Sebagai seorang cerdik, Pekgan Holie sudah lantas
perhatikan nona itu, yang menjadi murid dari suaminya,
kemudian dengan hampir berbisik, ia kata pada Kho Long
Ciu: "Muridmu ini ada sangat cantik! Apakah boleh aku bawa ia pergi?"
Kho Long Ciu cegah maksud isterinya dengan diam-
diam ia berikan tanda.
Kemudian ini guru minta kembali peti simpanannya,
yang mana Kiau Liong telah lantas kembalikan, apabila ia sudah periksa, ia mendapati peti itu tidak terganggu, maka diam-diam ia girang dan puji kejujuran dan ketertibannya murid ini.
Malam itu, ya, jauh malam, Kho Long Ciu dan Pekgan
Holie masih belum tidur. Di dalam kamarnya, mereka
berada berduaan, mereka tidak hiraukan hawa udara yang
dingin luar biasa, angin pun meniup sangat keras. Mereka duduk berhadapan dalam kamar, di bawah penerangan
sebatang lilin. Kho Long Ciu keluarkan dua jilid buku dan taruh di atas meja, untuk kasih lihat itu pada kawan
perempuannya. Peta-peta yang merupakan gambar terlukis nyata, disertai huruf-huruf yang membantu berikan keterangan-keterangan
tetapi Pekgan Holie masih tak mengerti itu semua dengan
jelas, dari itu, Kho Long Ciu telah bantu ia dengan
memberikan penjelasan. Sekarang barulah ia mengerti,
karena ia pun sudah punyakan dasar. Sesudah itu Kho
Long Ciu simpan pula bukunya, kemudian ia ajak "isteri"-
nya pergi keluar, ke latar di Seehoa thia.
Tatkala itu sudah jam tiga, langit ada gelap karena
bintang-bintang sangat sedikit.
"Di sini kita bisa berlatih dengan leluasa," kata Klio Long Ciu kemudian, suaranya perlahan.
Kheng Liok Nio manggut.
Di situ Kho Long Ciu berikan pengunjukan-pengunjukan
pada "isteri"nya siapa pun bergerak-gerak menuruti pengunjukannya Long Ciu.
"Beginilah gerakan pertama," ia kata, "dan begini gerakan kedua ..."
Meski demikian di dalam hatinya, "suami" ini berpikir lain.
"Jikalau aku beritahukan semua padanya, di belakang hari sukar untuk aku berkuasa atas dirinya. Aku mesti bisa kira-kira ..."
Karena ini, ia berikan pelajaran dengan ayal-ayalan.
Di lain pihak, Kheng Liok Nio telah berlatih sangat rajin, ia umpamakan di hadapannya benar ada musuh dan
bagaimana musuh itu harus dibuat rubuh ...
Sedangnya asyik mereka berlatih sekonyong-konyong
ada angin yang membawa asap yang tebal dan bergumpal
sampai Kho Long Ciu batuk-batuk.
"Tahan!" akhirnya ia kata pada gula-gulanya. "Lihat, dari mana datangnya asap ini ..."
Kheng Liok Nio berhenti bersilat, ia menoleh ke jurusan
asap itu. Mereka segera ketahui dari mana datangnya asap, malah
Kho Long Ciu ada begitu kaget, segera ia lari ke jurusan rumahnya, dari belakang mana sekarang telah tertampak
api menghembus naik.
Api telah datang dari belakang gedung, api itu yang
menyebabkan asap, dan karena ditiup angin, tidak heran
kalau api itu lekas berkobar.
Dengan tak pedulikan asap, Kho Long Ciu nyerbu ke
dalam. Ia ambil panci untuk cuci muka yang airnya ia pakai menyiram api. Apa mau air ada terlalu sedikit dan api ada terlebih besar, siraman itu tidak memberikan hasil. Malah karena diseblok, api itu lantas menjalar menghembus
terlebih tinggi.
"Kebakaran!" berteriak Kheng Liok Nio. "Kebakaran!"
Tukang ronda pun yang lihat asap, ia lantas palu
gembrengnya sekeras-kerasnya, hingga sekejap kemudian
orang-orang di dalam gedung menjadi kaget dan pada
memburu, antaranya ada yang membawa air dalam tahang.
Sekali ini, api dapat dibuat padam.
Kho Long Ciu telah ditarik keluar, karena ia ayal-ayalan berdiam di dalam.
Gedung kecil itu tidak sampai terbakar musnah, yang
jadi korban api hanya daun jendela dan pintu berikut segala rupa barang perabotan, tidak terkecuali kelambu dan kasur.
Sambil mengawasi kamarnya, Kho Long Ciu menghela
napas berulang-ulang,
kakinya ia banting-banting.
Tangannya ada menyekal selembar papan kecil di atas
mana ada kertas tempelan. Rupanya karena ia sambar
papan itu, tangannya telah kena terbakar sedikit.
"Syukur tidak ada orang yang tertambus!" kata beberapa hamba gedung sambil tertawa, "Beruntung! Ini tandanya kita masih dipayungi malaikat! Barangkali karena sunio
datang, suya menjadi sangat kegirangan, sampaikan dengan tak merasa mereka kena tendang lampu yang jadi jatuh dan apinya menyambar kasur! ..."
Kho Long Ciu tahu orang godai ia tetapi ia bungkam,
karena ia ada sangat berduka dan menyesal.
Kapan Giok tayjin dikabarkan perihal bahaya api itu,
tidak tegur atau persalahkan itu guru silat suami dan isteri, bahkan ia merasa kasihan terhadap itu guru yang ia sangka uang simpanannya habis semua.
Untuk sementara, Kho Long Ciu dan Kheng Liok Nio
lantas dikasih lain kamar yang diperlengkapi dengan
perabotan baru pula.
Masih saja Kho Long Ciu berduka, sering ia duduk
bertopang dagu dan menghela napas panjang.
"Buku telah terbakar habis, apa gunanya akan tarik napas panjang pendek?" kata Kheng Liok Nio. "Sudah duapuluh tahun kau simpan itu dua jilid buku, mustahil kau masih
belum dapat apalkan di luar kepala" Sudahlah, hayo
sekarang kau ajarkan aku!"
Kho Long Ciu tarik napas untuk sekian kalinya.
"Buku begitu tebal dan sulit isinya, mana aku dapat apalkan semua?" ia menyahut kemudian, dengan suara
dalam. "Buku itu penuh gambar, suratnya begitu sedikit, bagaimana aku bisa ingat di luar kepala" Sekarang yang aku bisa ajarkan melulu apa yang aku masih ingat ... " Ia menghela napas lagi, baru menyambungi: "Ya, begini saja, aku akan ajarkan kau apa yang aku ingat ... Isinya buku ada sangat penting, apabila itu dapat dipelajarkan oleh orang-
orang dengan hati busuk, entah berapa banyak kejahatan ia akan lakukan! Kalau aku ingat itu, aku memang lebih suka kedua buku itu terbakar ludas! Hanya ... sayang aku telah punyakan murid dan murid itu belum keburu memperoleh
kesempurnaannya pimpinanku ..."
"Siapa murid itu?" Kheng Liok Nio tanya. "Di mana adanya ia?" Ia tadinya cuma tahu Kiau Liong ada murid ilmu surat dan bukannya murid ilmu silat. Ia pun
menyangka murid lelaki.
"Ia ada Giok siocia," sahut Kho Long Ciu dengan berbisik. "Aku harap kau tidak beritahukan hal ini pada lain orang. Aku telah ajarkan ia tidak hanya ilmu surat tetapi pun ilmu silat, malah ia telah belajar lima tahun lamanya.
Cuma aku tidak ingin ajarkan ia terlebih jauh ..."
"Kenapa kau tidak ingin ajar terus padanya?" tanya Pekgan Holie.
"Mulanya aku inginkan ia menjadi satu hiaplie," suami sampiran itu kasih tahu, "tetapi setelah berselang lama, aku dapat
kenyataan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia ada terlalu terpengaruh oleh
penghidupan mewah, hingga aku kuatir, di saatnya ia
menikah dan bersuami seorang berpangkat atau turunan
berpangkat yang jahat. Bagaimana kalau ia pun gunakan
kepandaiannya untuk maksud buruk" Tidakkah ia jadi
mencelakai sebaliknya daripada berbuat kebaikan?"
Pekgan Holie manggut-manggut, tetapi di dalam hatinya
ia dapat pikiran:
"Si nona ada gagah, ia harus menjadi muridku,"
demikian cita-citanya. "Aku mesti pergi pada nona ini, agar ia bisa menjadi pembantuku. Aku mesti ajak ia guna bantu aku membalas musuh-musuhku!"
Oleh karena memikir begini, Kheng Liok Nio lantas
bawa diri jauh terlebih hati-hati. Ia bawa kelakuan yang harus dipuji, karena berlaku hormat dan kenal kewajiban.
Di lain pihak ia terus desak Kho Long Ciu supaya ajarkan ia berbagai-bagai ilmu pukulan yang liehay.
Di samping mengajar "isterinya" selambat mungkin, ia pun asah otaknya akan pengaruhi hati orang. Ia lalu karang ceritera:
"Kau harus hati-hati, kau mesti bisa umpatkan diri,"
demikian dongengannya terhadap isteri yang licin itu.
"Kejahatanmu di luaran ada terlalu banyak, hingga segala pihak sedang cari kau dengan seksama. Kantor Giok tayjin pun ada terima beberapa surat yang mengenai segala
perbuatanmu dan tayjin diminta suka bantu cari dan bekuk padamu. Sekarang ini sudah ada beberapa hamba polisi
yang kenamaan yang datang cari kau ke Sinkiang."
Ceritera ini dipercaya oleh Kheng Liok Nio, ia merasa
kuatir juga. "Maka
baiklah kau ubah adat dan kelakuanmu," sering-sering Kho Long Ciu kasih nasehat.
"Kau mesti menyesal dan tobat akan semua perbuatanmu, selanjutnya kau mesti menjadi orang baik-baik. Bukankah
kau merasa penghidupan seperti sekarang ini ada jauh
terlebih baik daripada hidup merantau tak berketentuan di dalam kalangan kangou?"
Nasehat itu agaknya memakan, nampaknya Kheng Liok
Nio senang tinggal di gedungnya Giok tayjin, temponya ia lewatkan dengan mencuci pakaian dan menjahit. Ia berlaku rajin. Kadang-kadang ia pun ikut Giok thaythay dan Giok
siocia pergi ke rumah-rumah suci untuk bersembahyang.
Maka kemudian orang telah puji bahwa Kho sunio adalah
satu nyonya yang baik dan sabar.
Demikian, dua tahun telah lewat. Selama ini dua tahun
Giok Kiau Liong tidak lagi belajar silat di bawah pimpinan gurunya, hanya ia melatih diri sendiri, begitupun dalam hal ilmu surat dan melukis. Kho Long Ciu tidak punya gawe,
hampir setiap hari ia temani Giok tayjin main catur,
kedudukannya mirip dengan satu tetamu. Adalah Kheng
Liok Nio, yang hidup sebagai separo budak, semua
penjahitannya si nona rumah ia yang kerjakan. Ia tidak mau unjuk tembaganya, tetapi ia senantiasa mencoba cari tahu tentang kepandaiannya si nona. Nona, bagaimana dengan
kepandaianmu?" begitu ia suka tanya.
"Semua aku telah lupa!" sahut nona itu. "Memang sebenarnya aku tidak gemar belajar, adalah suhu yang
perintah aku yakin itu, ketika kemudian aku hilang
kegembiraanku akan belajar lebih jauh, suhu pun lantas
bosan mengajarkan aku! ... ,"
Dalam usia enambelas tahun, Giok Kiau Liong ada
cantik laksana bidadari.
Di dalam musim pertama di itu tahun, Giok tayjin telah
dapat panggilan untuk pulang ke kota raja, berbareng
dengan itu, iparnya atau bouku (paman) dari Kiau Liong,
ialah Sui ciangkun, telah diangkat jadi lengtwie taysin, yaitu pembesar tentara dari tangsi Kozak di Ielee, maka jenderal ini telah kirim wakil akan sambut Kiau Liong dan ibunya
pergi ke Ielee, untuk saudara lelaki dan saudara perempuan, bouku dan keponakan, saling bertemu. Atas ini, Pekgan
Holie nyatakan suka ikut, buat sekalian jalan-jalan. Begitu juga Kho Long Ciu, ia pun ingin turut, karena ia merasa tak tenteram melihat orang pergi membuat perjalanan.
Demikian di harian keberangkatan, orang berangkat
dalam satu rombongan dari enambelas buah kereta dengan
limapuluh ekor kuda, dengan pengantar enam punggawa
serta empatpuluh serdadu pengiring. Di dalam kereta
barang-barang pun ada dibawa banyak rangsum kering serta guci-guci arak yang besar yang muat air dingin. Air minum ini ada perlu, karena perjalanan ke barat itu, buat duaratus lie jauhnya, ada padang pasir belaka, dan dalam dua tiga hari, orang tak akan ketemukan setetes air juga di tengah perjalanan.
Dalam rombongan ini ada turut juga anggauta-anggauta
keluarga dari dua pembesar lain dari kantornya Giok tayjin.
Meninggalkan Chieboat koan, rombongan besar itu
lantas menuju ke barat.
Di dekat-dekat Chieboat koan ada bertinggal juga orang
Boan atau Kiejin asal tangsi Hieso lun-eng dengan mereka punya sawah ladang yang luas lebar di mana mereka tanam
kecuali gandum juga anggur yang tumbuhnya melapay
melulahan di atas tanah, di atas tegalan atau pinggiran
bukit. Perjalanan ini dilakukan di bulan ketiga, maka hawa
udara ada hangat, angin meniup halus. Ini ada suatu
perjalanan yang menyenangkan.
Di hari pertama, sorenya, mereka singgah di suatu dusun
besar yang berupa sebagai kota. Besoknya, di hari kedua, sebelumnya
berangkat, dua serdadu
yang menjadi pengunjuk jalan telah amat-amati udara, setelah sekian
lama, mereka geleng-geleng kepala.
"Hawa udara hari ini tidak bagus," kata mereka. "Jikalau di Gobi ada angin, itulah hebat!"
Atas itu, satu punggawa lantas hampirkan Giok
thaythay, untuk beritahu hal hawa udara itu.
Giok thaythay sudah naik atas keretanya, ia tidak bisa
ambil putusan. "Kau lihat sendiri saja," ia bilang. "Kalau bisa, mari kita berangkat, jikalau tidak, baik tunda saja ..."
Giok Kiau Liong yang duduk di lain kereta dapat dengar
bicaraan itu, lantas nona ini kirim budak perempuannya,
akan mengasih tahu.
"Siocia bilang, hawa udara ada begini bagus, awan
sedikit pun tidak ada, kenapa tidak mau berangkat" Apa
gunanya akan singgah lebih lama di sini?"
Mendengar itu, punggawa yang bersangkutan segera
berikan perintahnya.
"Berangkat!" katanya. "Hayo berangkat!" Begitulah, laksana seekor ular yang panjang, rombongan ini lantas
berlerot jalan. Jalanan tetap ada menuju ke barat.
Di antara serdadu-serdadu pengiring lantas juga
terdengar helaan napas serta ucapan dari kekuatiran.
"Sebenarnya, kalau di Gobi kita ketemu angin, masih mending ... " demikian suara itu. "Hanya kalau kita ketemu Poan Thian In, itu barulah celaka! ..."
Atas ini, tukang kereta dan serdadu-serdadu lantas
membicarakan tentang Poan Thian In. Maka Kho Long Ciu
dan Pekgan Holie yang juga naik kereta, turut mendapat
dengar. "Poan Thian In adalah satu penjahat besar yang baru untuk Sinkiang," kata sang suami pada isterinya. "Di bawah perintahnya ada tigaratus lebih pengikut, yang semua ada penunggang-penunggang kuda yang jempolan. Mereka
sering muncul di tengah-tengah gurun pasir, kita harus
berhati-hati ..."
"Aku tidak bekal senjata, bagaimana?" Kheng Liok Nio tanya.
"Bawa senjata juga tak ada gunanya," jawab Khong Long Ciu , alias Ko In Gan. "Mereka berjumlah tigaratus lebih, jikalau mereka meluruk dengan berbareng meskipun
kita punya kepadaian sebagai Kang Lam Hoo, masih kita
tak mampu berbuat suatu apa!"
"Diam!" Pekgan Holie kata pada suaminya, dengan air muka bengis. "Kita selanjutnya jangan sebut-sebut lagi Kang Lam Hoo!"
Kho Long Ciu bisa mengerti larangan ini, itulah
disebabkan Kheng Liok Nio paling takuti Kang Lam Hoo,
karena Ah Hiap, suheng dari itu jago Kanglam, telah binasa di tangannya ini perempuan yang ganas. Ia berdiam, akan
akhirnya menghela napas, sebab, ingat pada Kang Lam
Hoo, ia jadi ingat dua jilid kitabnya yang berharga, yang musnah terbakar ...
Waktu itu Giok Kiau Liong duduk di kereta dengan tiga
budak perempuan sebagai kawan, yang duduk di sebelah
depan ada Siu Hiang, hingga ia ini ada leluasa buat
memandang luas ke sebelah depan, kiri dan kanan.
"Lihat di sana, siocia, lekasan!" kata budak ini tiba-tiba.
"Itulah Bongkou pau!"
Sambil berkata begitu, budak ini menunjuk ke tempat
yang jauh di mana ada tertampak ladang yang luas dan
hijau, di mana pun ada kelihatan banyak kambing dan
kerbau malahan pun ada rumah atau gubuk-gubuk yang
bundar. Bujang perempuan Su-ma yang duduk di belakang
nonanya memandang ke jurusan yang ditunjuk itu, ia tarik ujung
baju nonanya dan kata: "Siocia, lihatlah pemandangan di sana sungguh indah, sebagai gambar saja!"
"Apa yang jadi indah?" sahut si nona, kemudian dengan sapu tangan putihnya, ia kebuti rambutnya yang ketutupan debu, sedang kakinya, yang ia geser, telah membentur
serupa barang ialah "Toan-goat", pedang ayahnya, pedang mana ada tajam, meskipun bukannya pedang mustika. Dan
pedang ini ia bawa di luar tahu ibunya.
Roda-roda kereta menggelinding terus, hingga kemudian,
rumput hijau mulai tertampak jarang, warna hijau di empat penjuru mulai tertukar dengan warna gelap, sementara
suara roda kereta jadi terlebih nyaring. Itu adalah tanda bahwa orang telah mulai injak daerah padang pasir, dengan pasirnya yang hitam kasar. Tempat pun telah mulai menjadi sepi. Kalau tadinya orang masih bisa lihat beberapa
rombongan orang Mongol yang bertunggang kuda,
sekarang mereka itu lenyap dari pemandangan mata.
Benar saja, di gurun pasir orang tak melihat sebatang
rumput ... Di sini hati orang bisa menjadi ciut atau putus harapan ... Demikian, tidak ada satu tukang kereta atau
serdadu yang berani bicara dengan suara keras ... Malah
kuda pun seperti malas berjalan ...
Kho Long Ciu melongok ke luar jendela kereta, ia
mendapati matahari telah menyorotkan sinar kuning di
empat penjuru, tanda datangnya sore.
"Aku kuatir angin bakal datang!" kata ia. "Memang, penunjuk jalan biasanya ketahui baik tentang perubahan
hawa udara ... Kita berjalan dengan begini banyak orang, kenapa kita mesti turut suaranya siocia satu orang" ..."
Selagi guru ini ngoceh sendirian, kereta mulai tukar
jurusan, ke utara. Kedua penunjuk jalan tetap berjalan di muka, di atas kuda mereka, dan semua kereta mengikuti
mereka. Suara roda kereta dan kaki kuda sangat berisik
sekali ... Ketika rombongan melalui sepuluh lie lebih, mereka
telah mulai berjalan di tanah yang terlebih rendah, di empat penjuru ada tumpukan-tumpukan pasir, yang berupa
sebagai tanjakan atau bukit kecil, hingga di situ orang tidak lagi merasai tiupan angin seperti tadi-tadi. Kemudian,
enambelas buah kereta telah berkumpul menjadi satu
bundaran laksana sebuah kota atau bentengan kecil!
Adalah itu waktu semua punggawa, serdadu dan tukang
kereta, masing-masing berkata: "Kita tidak bisa jalan terlebih jauh. Lihat, angin besar segera akan datang!"
Giok Kiau Liong sudah lantas muncul dari keretanya,
akan lihat langit dan alam sekitarnya.
Warnanya langit mirip dengan rupanya bumi di waktu
itu. Tukang-tukang kereta sedang loloskan kuda mereka.
Serdadu-serdadu sedang pelihara kuda mereka, ada yang
lagi masak air dan dahar rangsum kering. Tatkala itu baru jam sebelas tengah hari lewat sedikit. Di antara serdadu-serdadu pun ada yang sudah rebah-rebahan di atas pasir,
seperti siap untuk lewatkan sang malam ...
Kemudian nona Giok duduk di keretanya, budak Siu
Hiang sudah lantas bawakan ia semangkok air teh merah
serta sepiring kue yang tebuat dari telur ayam. Ia baru mulai dahar kuenya dan minum tehnya, ketika angin mulai
meniup. "Silahkan siocia duduk di dalam," kata tukang kereta yang terus turunkan tenda, akan dipasang dengan rapi,
sedang ia sendiri kemudian, pergi umpatkan diri di kolong kereta itu!
Angin meniup semakin kencang hingga sebentar
kemudian kereta menerbitkan suara bagaikan ketimpa
hujan, karena angin telah membawa pasir yang jatuh
meluruk atau menimpa tak berhentinya. Suaranya angin
semakin menderu-deru. Di empat penjuru jagat jadi gelap, seperti malam di waktu gelap bulan.
Semua orang pada meringkuk, tidak ada yang berani
berkutik, melainkan sang kuda yang perdengarkan suara
berbenger mereka, suaranya menambahkan berisiknya sang
taufan. Berapa lama angin telah mengamuk, orang tidak tahu,
hanya lambat laun angin mulai sirap, semua serdadu dan
tukang kereta baru berani berbangkit, hati mereka lega.
Mereka mendapati seperti dunia baru melek membuka
mata. Tetapi kekuatiran datang pula dengan lekas. Kalau tadi
mereka kuatirkan pengaruh alam, sekarang terhadap
penyamun, yang bikin mereka kaget dan menjerit. Semua
nampaknya sangat ketakutan.
"Berandal datang! Poan Thian In! ... " demikian jeritan mereka.
Segera juga terdengar suara dari berlari-larinya kuda, lari mendatangi, seumpama angin datang mengamuk untuk
kedua kalinya. Dengan pedang di tangan, Kho Long Ciu loncat turun
dari keretanya. Ia masih merasai sedikit sambarannya pasir yang terbawa sisa angin, maka sambil menoleh ke
keretanya, ia pesan Pekgan Holie: "Kau jangan turun dari kereta!"
Berandal-berandal mendatangi semakin dekat disertai
seruan-seruan mereka: "Maju, maju! Hayo, maju!"
Sebentar kemudian, serombongan penunggang kuda
telah sampai. Tidak tempo lagi, Kho Long Ciu loncat maju, pedangnya ia putar. Ia maju menyerang guna cegah
kejahatan dilakukan atas pihaknya. Apamau, kedua
kakinya telah kejeblos di pasir sampai ia susah bergerak, sedang pasir telah menyambar matanya membikin ia
gelagapan. Selagi begitu, tahu-tahu kaki kuda telah
mendupak dadanya hingga ia kaget dan terguling. Untuk
tolong jiwanya, ia terus bergulingan ke kolong kereta!
Segeralah terdengar suara pertempuran, suara jeritan.
Long Ciu cuma bisa dengar itu dengan sendirinya tak
berdaya. Pasir telah seperti memendam kedua kakinya. Ia
pun susah melek. Ia jadi sangat berduka dan mengeluh.
"Dasar aku sudah tua ... Percuma kedua kitab jatuh ke dalam tanganku ... Buat duapuluh tahun aku telah sia-siakan tempoku, pelajaranku ... "
Sementara itu suara pertempuran telah berhenti, suara
berketoprakannya kaki-kaki kuda mulai lenyap, melainkan
sang angin yang belum mau berhenti benar-benar. Di antara deruannya sang angin sekarang pun ada terdengar rintihan dari kesakitan ...
Kho Long Ciu yang sendirinya teruruk pasir, tidak
mampu gerakkan tubuhnya.
Sampai lagi berselang sekian lama, barulah angin sirap
benar-benar. Barulah itu waktu ada datang orang yang
menolongi si guru she Kho, tubuh siapa diangkat dari
urukan pasir, Pakaian dan kumisnya penuh dengan pasir. Ia diangkat naik ke atas keretanya.
Pekgan Holie pun rebah di atas keretanya, rebah laksana
mayat ... Tetapi itu belum semua. Segera terdengar teriakannya
punggawa-punggawa pengantar dan sejumlah serdadu
pengiring: "Siocia lenyap! Siocia kena dilarikan berandal!"
Saking kaget Kho Long Ciu bisa paksakan diri
berbangkit, akan loncat turun dari keretanya. Tetapi itu tak
dapat dilakukannya. Ia hanya bisa lihat orang sedang
menggali tumpukan pasir buat mengangkat mayat yang
hilang tangan atau kakinya. Ia pun lihat kuda-kuda yang
terluka dan dengar keluhannya orang yang terluka hampir
mati ... Menurut pemeriksaan segera ternyata hasilnya kejahatan
yang diperbuat itu. Dari pihak rombongannya dua orang
telah binasa, empat orang telah terluka, sedang dari pihak berandal tigabelas jiwa binasa dan sembilan orang terluka.
Kho Long Ciu heran akan mengetahui kesudahan itu.
Bagaimana kerugian bisa berada jauh lebih besar di pihak berandal" Bagaimana barisan pengiring bisa pertahankan
diri dan sanggup memberikan semacam pukulan bagi pihak
berandal" Tiba-tiba Kho Long Ciu dengar suaranya bujang
perempuan tua dari dalam keretanya nona Giok: "Aku juga tidak tahu bagaimana caranya siocia terlenyap! Siocia
punya sebatang pedang di atas keretanya, pedang itu pun
hilang! ... Tadi aku pingsan, hingga aku tidak tahu yang siocia dibawa lari berandal! ... " Kata bujang itu, agaknya ia mau mewek ...
Lalu, setelah itu, terdengar tangisan dari Giok thaythay dan budak-budak si nona. Nyonya Giok jadi sangat berduka dan berkuatir ...
Beberapa punggawa dengan ajak sejumlah serdadu lantas
berpencaran guna cari Giok siocia.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kho Long Ciu bengong saja, otaknya berpikir. Segera
juga ia mengerti atas duduknya perkara. Ialah sejak
terbakarnya secara aneh kamarnya sampai kedua bukunya
lenyap, dan sekarang lenyapnya si nona Giok. Kalau
tadinya ia merasa puas, segera ia menjadi lesu, hingga ia
menghela napas. Ia masuk pula ke dalam keretanya dan
jatuhkan diri dengan habis kegembiraannya.
"Jangan kau tunggu sampai di Ielee, lekas kau singkirkan diri!" ia terus pesan Kheng Liok Nio, bicaranya sambil berbisik. "Apabila kau tidak pergi, kau akan hadapi bencana yang akan meminta jiwamu! Aku menyesal bahwa aku
telah lakukan satu kekeliruan, aku telah pelihara seekor naga yang jahat! ... "
Sama sekali kawanan berandal terdiri dari limapuluh
jiwa lebih, mereka benar ada pengikut-pengikut dari Poan Thian In si "Awan di Tengah Langit". Mereka semua ada garang, memang sudah biasanya mereka bekerja di antara
angin ribut untuk membikin rudin atau celaka sekalian
mangsanya. Mereka semua menunggang kuda dan
bergegaman golok panjang. Tetapi sekali ini, mereka telah hadapi lawanan yang tangguh, yang di luar sangkaan
mereka. Selagi mereka merangsek dengan bengis, sambil
perdengarkan seruan-seruan mereka yang menakuti, tiba-
tiba mereka diterjang oleh seorang yang bersenjatakan
sebatang pedang, yang kepalanya dibungkus dengan pelangi putih, bajunya berwarna putih perak dan celananya biru air.
Dengan satu tikaman, yang dilakukan sambil berlompat
dari keretanya, Giok Kiau Liong telah bikin rubuh satu
berandal yang menunggang seekor kuda besar, hingga
dengan merdeka ia bisa loncat naik atas kuda itu, hingga selanjutnya, dari atas itu binatang rampasan, ia bisa lakukan penyerangan terlebih jauh pada rombongan penyamun
gurun pasir itu. Ia berlaku sangat gesit dan gagah, sedang Toan-goat kiam-nya tajam sekali. Musuh yang bagaimana
gagah pun hanya bisa layani ia tiga atau empat jurus, lantas musuh itu mesti kabur atau celaka nasibnya, ada yang rebah luka, ada yang hilang buntung tangannya.
Dalam tempo yang pendek, kawanan berandal jadi
ketakutan. "Lekas, lekas kabur!" demikian beberapa penyamun berteriak. "Lekas! Ini perempuan sangat liehay!"
Dan sekejab kemudian, semua mereka angkat kaki
meninggalkan kawan-kawannya yang telah rubuh sebagai
korban. Selagi musuh mundur dengan lari terpencar, Giok Kiau
Liong ubar mereka, ia ubar sana dan ubar sini, setelah
musuh tak tertampak pula barulah ia tahan kudanya. Ia
memandang ke sekitarnya sambil tenangkan napasnya yang
ada sedikit memburu. Ia lihat pasir melulu, tidak ada benda atau makhluk lainnya.
Buat sesaat nona Giok tertegun, lantas ia tersenyum. Ia
ingat ibunya, hatinya jadi lega. Ia percaya benar, di bawah perlindungan dari Kho In Gan, ibunya tak akan menampak
bahaya. Ia tak pernah mimpi bahwa orang yang ia andalkan itu justru telah jadi korbannya angin dan pasir, sampaikan sendirinya tak berdaya ...
Sesudah simpan pedangnya, Kiau Liong jalankan
kudanya dengan perlahan-lahan. Ia telah terpisah jauh dari ibu atau rombongannya, ia tidak tahu di jurusan mana
rombongannya itu. Dengan lepaskan les, kudanya itu jalan terus maka ia dapat ketika akan buka ikatan kepalanya akan buka juga rambut yang tergulung buat dikepang pula
menjadi sebuah kuncir yang panjang dan hitam yang ia
kasih turun meroyot di kiri dan kanan di depan dadanya.
Nona Giok ini telah dengar bahwa nona-nona Kozak
dan Mongol biasa memelihara rambut panjang yang
dikepang menjadi dua cacing, bahwa mereka biasa dengan
merdeka mundar-mandir di padang pasir atau pergi berburu di tegalan tanah datar yang penuh rumput dan gombolan.
"Sekarang aku dandan sebagai ini, siapa akan kenali aku?" demikian ia kata dalam hatinya. "Kenapa aku tak mau gunai ketika ini untuk merantau ke mana aku suka,
akan sekalian coba kepandaianku yang aku telah yakinkan
dengan susah payah dalam tempo sepuluh tahun" ... "
Begitulah ia maju dengan tak kenal jurusan. Ia lihat
hanya lautan pasir melulu, ia tidak ketemu orang, rumah
atau kota. Ia telah jalan jauh sampaikan merasa dahaga,
kudanya pun lelah. Baru sekarang ia bingung, karena ia
tahu, segera ia akan hadapi bencana apabila ia lambat-
lambatan di lautan pasir yang kering itu. Ia pun telah
merasa lapar. "Aku bakal binasa secara kecewa di sini, akhirnya ia pikir. Maka dengan ujung dari sarung pedangnya ia keprak kudanya dikasih lari ke arah barat.
Dan kuda itu segera kabur di atas pasir, larinya keras,
sebab kuda itu sudah biasa dengan penghidupan di daerah
kering itu. Kiau Liong tidak tahu ia sudah kaburkan kudanya
berapa jauh tatkala di sebelah depan ia tampak
berterbangannya
serombongan "ayam gurun", ialah
sebangsa burung yang biasa hidup di padang pasir. Ia jadi girang, hingga melupai lapar dan dahaga, kembali ia keprak kudanya dikasih lari terus ke depan. Tapi lacur baginya, kudanya sudah sangat letih, tidak bisa lari keras lagi,
jalannya ayal-ayalan.
Dengan lewatnya sang tempo, langit pun telah mulai
menjadi gelap. Oleh karena kudanya jalan seperti merayap, Kiau Liong
jadi mendelu, tetapi sejenak kemudian, lenyap kedukaannya, berbalik jadi kegirangan, sebab di depannya,
ia lihat sebuah gunung yang tinggi dan di atas gunung
samar-samar ia tampak pepohonan.
"Jikalau di atas gunung ada pohon, di sana mesti ada sumber air dan rumah orang juga!" demikian ia pikir. "Aku mesti lekas pergi ke sana!"
Dan kudanya kembali ia keprak.
Dan binatang ini seperti juga mendapat harapan, ia
gerakkan empat kakinya dan bisa lari keras pula.
Dengan perlahan-lahan jalanan telah menjadi rata, tidak
lagi penuh dengan pasir yang sukar dilintasi, pun ada
meniup-niup angin halus, yang membawa bau wangi dari
rumput. Ini adalah tanda bahwa orang telah lewati gurun pasir
dan mulai masuk dalam bilangan tanah datar. Cuma sang
langit yang lelah menjadi gelap.
Jalan pula sedikit jauh, Kiau Liong tahan kudanya dan
loncat turun dari tunggangannya hingga kudanya itu bisa
lantas makan rumput. Ia jatuhkan diri ke tanah, akan
berduduk di atas rumput, tangannya terus mencabut dua
pohon rumput yang ia coba cium, akan endus baunya
rumput itu. Ketika ia dongak, ia lihat rembulan sisir dan bintang.
Kuda itu, yang berbulu merah, beberapa kali angkat
kepalanya dan perdengarkan suaranya yang berkumandang
jauh di atas gunung, tetapi yang bikin Kiau Liong
terperanjat adalah ketika ia dapat dengar suara sambutan dari kuda lain dari tempat kejauhan ...
"Celaka!" pikir ia. "Jangan-jangan gunung ini ada sarang penjahat! ... "
Ia lompat bangun, ia pasang kupingnya. Ia dengar suara
kuda yang kalut yang datangnya dari atas gunung. Ia lantas berpikir keras untuk ambil putusan. "Biarlah," akhirnya ia kata dalam hatinya, "biarlah aku pergi ke sarang penjahat itu! Jikalau si kepala penjahat betul Poan Thian In adanya, aku nanti coba-coba tempur padanya! Aku harap aku dapat
singkirkan ia itu! ... "
Ia terus samper kudanya dan loncat naik atas binatang
itu yang ia kasih lari ke depan, menuju ke gunung.
Sekarang sinar bulan ada menerangi jagat, dari itu, Kiau Liong bisa maju dengan matanya bisa melihat nyata segala apa. Jalan tidak seberapa lama ia lantas sampai di kaki
gunung. Dengan mencari jalanan Giok Kiau Liong kasih kudanya
maju terus akan panjat gunung itu. Di mana ada rintangan pepohonan atau gombolan, ia gunakan pedangnya akan
membuka jalan. Ia sudah naik tinggi juga, ia tidak
mendapati orang jahat dan pun tak melihat rumah atau
gubuk, kecuali pepohonan dan kesunyian. Sinar bulan
membikin ia bisa lihat jurang atau tubir.
Ia masih maju terus, sampai dengan tiba-tiba ia dengar
suara nyanyian, hingga ia merandek. Sang angin adalah
yang membawa suara itu. Dalam keheranan, ia turun dari
kudanya akan pasang kuping dan mata ke jurusan dari
mana nyanyian itu datang. Kemudian, dengan sebelah
tangan cekal pedangnya dan sebelah tangan lainnya
menuntun kuda, ia bertindak maju. Semakin ia maju,
semakin nyata ia dengar nyanyian itu, hingga akhir
akhirnya ia pun dapat tangkap bunyinya sesuatu kata-kata.
Ia dengar: "Dunia geram suram, menurunkan bencana,
Hingga kita bersaudara, mesti tercerai berai
Ayah terbinasa, ibu racuni dirinya,
Sampai kita hidup mengandal sanak beraya.
Kita berempat, dunia ketahui semua,
Hanya kita sendiri, tak saling mengenalnya.
How adalah aku, Pa adikku punya nama ... "
Itulah lagu yang sifatnya sedih sekali, tetapi suaranya
tedas dan nyata. Itu adalah suaranya seorang lelaki.
Kiau Liong terperanjat.
"Aneh," pikir ia. "Apakah benar di sini tinggal sembunyi seorang cerdik pandai" Adakah ia satu penyair?"
Oleh karena penasaran dan pun ingin mendapat tahu,
nona Giok segera manjat terus. Ia sekarang maju sambil
menunggang kudanya.
Dan aneh adalah si binatang tunggangan, ia seperti
berada di tempat yang ia kenal, karena ia bisa naik sambil berlari congklang. Jalanan yang tak meruncing membantu
banyak binatang ini.
Sebentar kemudian tibalah si nona di atas puncak,
melihat ke depan ia mendapati sebuah lembah yang
tanahnya datar dan rata, di mana pun Kelihatan cahaya api berkelak-kelik di beberapa tempat, seperti berkelak-keliknya bintang-bintang di langit. Saking jauhnya tempat itu,
sinarnya bulan tak dapat menolong banyak pada si nona.
Tapi di sebelah itu, nyanyian terdengar pula dengan tedas sekali.
Kiau Liong dengar pula:
" ... Duapuluh tahun kemudian, kalau kita bertemuan.
Kita akan balas budi dan dendam, tak ayal-ayalan!"
Tidak tempo lagi, nona ini lantas larikan kudanya turun
ke lembah. Kuda itu nampaknya ngeri, ia mundur dan mundur pula
sebaliknya daripada maju dan berulang-ulang perdengarkan suara berbengernya.
Nona Giok loncat turun, ia coba tolak belakangnya
binatang itu, yang ia pun keprak, tetapi binatang ini tetap tidak mau maju, melainkan mulutnya perdengarkan
suaranya lebih gencar pula, sampai suara itu berkumandang di dalam lembah dari mana segera terdengar suara
sambutan yang ramai dari binatang sebangsanya di dalam
lembah itu. Akhir-akhirnya, di antara suara kuda itu pun terdengar
juga suara berisik dari orang disusul dengan menyalanya
sejumlah obor. Di depannya Kiau Liong ada sebuah batu besar, batu ini
ia dupak dengan kakinya sampai tergerak dan menggelinding jatuh ke bawah lembah. Menyusul jatulmya
batu itu, ia berseru dengan nyaring:
"Jangan kau naik kemari! Jawab dahulu pertanyaanku!
Apakah namanya ini tempat?"
Jawaban yang dimendapati oleh nona Giok adalah
menyambarnya beberapa batang anak panah, hingga ia
mesti gunakan pedangnya akan sampok itu semua, hingga
tak ada sebatang juga yang bisa mengenai dirinya. Ini bikin ia jadi sengit, dengan lepaskan cekalannya pada les kuda, dengan berani ia loncat turun berlari-lari ke bawah, kadang-kadang dengan loncat sana dan loncat sini di antara batu-batu besar. Ia tidak membutuhkan banyak tempo akan
sampai di bawah, di mana segerombolan orang segera
bergerak hendak menyerang padanya.
"Awas!"
ia membentak dengan bengis sambil mengancam dengan pedangnya. "Siapa maju akan binasa!"
Orang-orang itu merandek, beberapa di antaranya angkat
naik obor mereka buat melihat dengan terlebih nyata.
"Aha, ini dianya!" tiba-tiba beberapa suara berseru.
"Dialah yang tadi binasakan beberapa saudara kita!"
Mendengar itu, kawanan berandal itu maju pula
menyerang dengan senjata mereka, golok, tombak, toya dan ruyung!
Kiau Liong tidak menjadi jeri oleh karenanya, ia
menangkis dan balas menyerang hingga suara senjata
beradu jadi berisik terdengarnya. Ia berhasil desak mundur kawanan itu, setelah mana dengan tiba-tiba ia loncat
mundur. Hampir berbareng dengan itu, di sebelah belakang dari
kawanan penyamun terdengar seruan yang hebat, atas
mana semua berandal lantas hentikan serangan mereka.
Giok Kiau Liong berdiam sambil memasang mata. Ia
lihat beberapa berandal maju menghampiri, di antaranya,
ada satu yang menegur: "Kau siapa" Apakah benar kau ada itu orang yang tadi siang membantu rombongan kereta
tentara satrukan pihak kita" Dan sekarang kau datang ke
gunung kita, apa kau mau?"
"Benar, itulah aku adanya!" sahut nona Giok dengan
berani. "Kau ada kawanan penyamun, di padang pasir
entah berapa banyak orang yang telah menjadi korban-
korban kejahatanmu! Aku datang untuk temui pemimpinmu, ialah Poan Thian In!"
"Kau mesti terlebih dahulu perkenali dirimu!" kata satu penyamun.
"Jangan banyak omong!" memotong Kiau Liong seraya gerakkan pedangnya. "Aku cuma mau temui Poan Thian
In!" "Baik!" berseru berandal itu. "Kau tunggu sebentar!"
Kiau Liong menunggu dengan waspada, karena sekalian
penyamun sudah lantas kurung padanya, senjata mereka
semua siap sedia. Toh dari sinar matanya, nyata bahwa
mereka ada heran dan kagum, mereka ngeri ...
Belum lama menantikan, Kiau Liong disamperi oleh satu
penyamun. "Ceecu kita undang kau menghadap padanya!" ia
memberi tahu. Kiau Liong manggut, sambil tenteng pedangnya ia lantas
ikut penyamun itu yang di belakangnya ada mengikuti
semua berandal. Obor ada di depan dan belakang untuk
menerangi jalanan.
Mereka pergi ke dalam sebuah rumah gubuk yang besar,
di thia situ ada menantikan si kepala penyamun, tetapi ia rupanya sedang sakit, karena ia duduk menyender atas
kursinya yang beralas dengan selembar kulit biruang hitam.
Di kiri kanannya ada dua orang perempuan yang sedang
melayani ia. Dilihat dari romannya yang jelek, dua orang perempuan itu rupanya ada orang-orang rampasan dari
kampung. Tay-ong itu tak memakai baju dan badannya
yang kiri dibalut dengan kain hijau. Mukanya sedang
miring ke samping, tak terlihat nyata karena separuh
ketutupan oleh tamburnya yang panjang, sedang brewoknya
pun kusut. Dilihat sepintas lalu ia beroman bengis.
Selagi Kiau Liong mendatangi, kepala penyamun itu
mengawasi, maka melihat potongan tubuh dan tampangnya, terutama rambut yang bagus dan muka yang
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cantik, ia terperanjat sendirinya. Lekas-lekas ia melengos, agaknya sebagai orang yang kemalu-maluan.
"Lekas pakaikan bajuku," ia kata pada orang perempuan di sebelahnya
Sementara itu nona Giok telah datang dekat.
"Kau datang padaku, ada urusan apa?" kepala berandal itu tanya.
"Apakah kau ada Poan Thian In sendiri?" si nona tak menyahut hanya balik menanya.
"Benar," kepala berandal itu manggut. "Apakah kau kenal aku?"
"Aku tidak kenal, tetapi aku tahu kau adalah berandal besar dari Sinkiang!" sahut si nona dengan berani.
"Perjalanan di atas gurun pasir ada sangat sukar, dan dibikin terlebih sukar lagi dengan adanya gerombolanmu,
hingga kaum saudagar jadi tidak berdaya. Hari ini
kebetulan aku ketemu rombonganmu, aku memangnya niat
membasmi, demikianlah aku terus saja datang kemari!
Adalah maksudku akan menasehati agar kau ubah cara
hidupmu. Apabila kau tetap membantah, pasti aku tidak
akan mengasih ampun, aku akan basmi kau semuanya!"
Mendengar suara kosen itu, Poan Thian In tertawa
menghina. "Sungguh liehay!" ia kata. "Sudah satu tahun lebih aku datang ke Sinkiang ini, aku tak sangka bahwa di sini ada seorang perempuan yang begini galak sebagai kau! Sayang
aku sedang sakit, tadi aku tidak turut keluar, jikalau tidak, tentulah di antara angin dan pasir hebat tadi, aku telah coba-coba padamu! Tapi kau telah datang kemari, kita
boleh bicara secara baik. Sekarang aku hendak ketahui dulu she dan namamu dan asal orang mana?"
Kiau Liong melotot mengawasi kepala berandal itu.
"Apa perlunya kau ketahui she dan namaku?" ia tanya.
"Jikalau kau suka ubah penghidupanmu, lekas kau
bubarkan semua orangmu ini dan segera angkat kaki dari
sini! Jikalau tidak, awas, jagalah pedangku ini!"
Dan ia tunjukkan Toan-goat kiam yang tajam.
Poan Thian In kembali tertawa.
"Apakah kau kira urusan dapat dibereskan secara
demikian gampang?" ia tanya. "Sedikitnya kau harus beritahukan dulu she, nama serta asal kampungmu.
Sesudah kau perkenali diri, barulah aku mau bicara lebih jauh padamu!"
Kiau Liong kena terdesak.
"Aku ada orang she Liong!" ia jawab.
"Apakah kau bukannya orang asal Hoolam?"
Kiau Liong agaknya heran.
"Pergi ke sana pun belum pernah!" ia jawab. "Aku terlahir di padang pasir, aku hidup di Sinkiang! Sejak masih kecil aku yakinkan ilmu silat untuk maksud yang suci
murni, guna tolong pada sesamanya yang lemah."
Poan Thian In tertawa secara menghina.
"Secara begini, terang Thian telah antarkan aku satu isteri yang elok!" ia kata. "Mari, mari kita coba-coba buat beberapa jurus. Bila aku kalah, aku nanti turut
perkataanmu, dan tidak akan lakukan pula penghidupan
semacam ini! Tetapi bila sebaliknya, jangan harap kau bisa berlalu pula dari sini, kau mesti jadi nyonya Poan Thian In!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba kepala berandal itu
mencelat bangun dari kursinya, dari kolong meja ia sambar sebatang golok. Gerakannya ini membikin kaget dua orang
perempuan itu, yang lantas pada lari masuk ke kolong meja!
Giok Kiau Liong siap dengan pedangnya.
"Mari!" ia menantang dengan sengit. Ia mundur ke tempat yang lapang.
Poan Thian In bertindak maju seraya menunjuk pada
orang-orangnya, atas mana semua pengikut itu lantas
undurkan diri keluar dari thia, setelah itu ia loncat pada si nona, menyerang dengan goloknya.
Kiau Liong lompat minggir akan berkelit, tetapi dengan
pedangnya ia tangkis bacokan, dengan begitu, selanjutnya berdua mereka lantas saling menyerang.
Kepala berandal ini berbadan kekar laksana harimau,
kumis brewoknya perlihatkan roman bengis, gerak-
gerakannya sebat dan hebat. Di lain pihak si nona, meski kalah gagah, toh punya kelemasan tubuh dan kesehatan,
yang bisa dipakai melayani keganasan lawan.
Pertempuran baru jalan empat jurus, mendadak Poan
Thian In loncat ke pintu akan terus lari keluar.
Giok Kiau Liong segera memburu, ia agaknya tak mau
kasih kesempatan akan kepala penyamun itu kabur.
Di luar, kawanan penyamun telah merupakan pagar
hidup. Mereka mengurung dengan siap senjata. Belasan
obor ada menerangi sekitar mereka.
"Jangan maju!" kepala berandal itu pesan orang-orangnya.
Kapan nona Giok sudah sampai di luar, di sini berdua
mereka lanjutkan pertarungan mereka. Sekarang kelihatan
nyata kegagahannya si kepala penyamun.
Melihat kegagahan musuh, nona Giok melawan dengan
tak kalah gesitnya, ia tidak mau gampang-gampang
menyerah kalah, demikian, mereka bertempur dengan hebat
sekali. Saking kagum, semua berandal bersorak berseru, dengan
begini mereka jadi sekalian bantu mengempos semangat
pemimpinnya. Kiau Liong berkelahi dengan sebat dan hati-hati, setelah bertempur lebih daripada tigapuluh jurus, bukannya ia jadi letih atau lemah, bahkan sebaliknya ia bertambah mantap
dan lebih banyak mendesak.
Juga kepandaian silat dari Poan Thian In tidaklah
rendah, pantas ia telah jadi satu pemimpin penyamun yang dimalui, yang namanya tersohor. Setiap kali ujung pedang menusuk atau menyambar, ia bisa tangkis itu dengan
goloknya, atau dengan berkelit ia loloskan diri dari
ancaman bahaya.
Demikian, kembali belasan jurus telah lewat.
Sekarang tertampak nyata yang Giok Kiau Liong ada
penasaran, gerak-gerakannya pedang segera berubah, naik
dan turun, ke kiri dan ke kanan, gesitnya luar biasa.
Saking kagum, semua berandal lantas berhenti berteriak-
teriak dan bertepuk tangan, sebaliknya mereka berdiri
tenegun mengawasi. Belum pernah mereka saksikan
pertempuran sedahsyat ini.
Beberapa jurus masih lewat tatkala kemudian dengan
sekonyong-konyong Poan Thian In lintangkan goloknya
akan menahan satu bacokan yang berbahaya, berbareng
dengan mana ia bergerak mundur seraya berseru: "Tahan!
Sudah cukup, aku kagumi ilmu pedangmu!"
Kiau Liong tahan penyerangannya, dengan mata tajam
ia pandang kepala berandal itu. Ia kendalikan napasnya
yang ada sedikit memburu, karena ia terlalu keluarkan
banyak tenaga. Di pihak yang lain, Poan Thian In juga awasi si nona
dengan tajam. Orang-orang hendak maju, tetapi dengan
satu gerakan tangan ia bikin mereka itu urungkan niatan
mereka. "Kau telah mengaku kalah, sekarang lekas kau bubarkan sekalian pengikutmu ini!" kata si nona. "janganlah kau tunggu sampai aku gunakan pedangku akan hajar mereka
satu per satu!"
"Nona Liong, jangan kau terlalu jumawa!" kata Poan Thian In, yang belum lepaskan goloknya. Ia bicara dengan unjuk senyuman mengejek. "Ini hari aku tidak sanggup lawan kau bukan karena ilmu golokku kurang sempurna,
tidak, itu hanya disebabkan aku sedang sakit dan belum
sembuh. Tentang ilmu pedangmu, aku telah dapat ketahui
kau ada mendapati warisan sejati dari pihak Bu-tong Pay!
Meski begini, andaikata aku tidak sedang sakit dan lawan padamu, masih belum dapat dipastikan siapa yang bakal
rubuh!" Nona Giok kasih dengar tertawa menghina, tetapi ia
diam saja. "Jangan tertawa saja, nona!" kata Poan Thian In, dengan suara keras. "Jika aku bukan satu laki-laki sejati, pasti aku telah titahkan orang-orangku akan kepung kau. Untuk
bekuk kau di sini bukannya pekerjaan sukar!"
"Baiklah!" Kiau Liong menantang. "Hayo, majulah kau semua!"
"Itu adalah pekerjaan hina!" kata Poan Thian In. "Tidak nanti Poan Thian In andalkan banyak orang akan menghina
pada seorang perempuan! Tadi aku telah berjanji, bila aku kalah, aku akan bubarkan orang-orangku, maka ini janji
aku akan buktikan. Besok aku akan bongkar gubuk ini dan
aku pun akan angkat kaki. Dan mulai besok aku akan
bubarkan semua saudaraku dan larang mereka mengganggu
pula keamanan di Sinkiang ini. Tetapi, meskipun begini,
aku masih mau berjanji padamu. Lagi satu tahun lamanya,
atau cepatnya enam bulan, kita nanti bertempur lagi dengan sepuas-puasnya untuk menetapkan kemenangan ada di
pihak siapa! Sekarang, tolong kau tinggalkan namamu!"
"Aku adalah Liong Kim Coan," sahut Kiau Liong
dengan getas. "Baik, Liong siocia!" kata si kepala penyamun, sambil manggut. "Ini hari aku akan ingat betul namamu. Apakah kau barangkali masih butuhkan suatu apa" Kuda atau uang"
Bilang saja, semua aku akan sediakan!"
Kiau Liong berpikir dahulu ketika kemudian ia
menyahut: "Aku perlu seekor kuda yang jempolan!"
Poan Thian In manggut.
"Inilah gampang," ia kata. "Kita di sini punya kuda-kuda pilihan, kau boleh pilih saja! Lainnya apa lagi?"
Nona Giok berdiam, agaknya ia bersangsi.
"Kau bilang bahwa kau hendak ubah kelakuan mulai
besok, inilah aku masih sangsikan," ia bilang kemudian.
"Aku belum puas apabila aku tidak saksikan dengan mata
sendiri. Maka sekarang hayolah kau berikan kamar buat
aku dan sediakan juga makanan dan air minum. Besok,
sesudah melihat kau berlalu, baru aku pun mau berlalu dan sini. Jikalau tidak ... "
Kepala penyamun itu tertawa.
"Aku tahu, kau tentunya lapar dan dahaga!" ia bilang.
"Ini pun ada sebabnya kenapa aku sudah lekas-lekas
mengaku kalah dan tak ingin bertempur lebih lama, ialah
untuk berikan ketika buat kau dapat beristirahat! ... "
Dengan sebenarnya, walaupun ia sedang sakit dan telah
bertempur begitu lama, Poan Thian ln tak kelihatan
bernapas memburu sebagai si nona.
Mukanya Giok Kiau Liong menjadi merah, ia segera
angkat tangannya yang masih menyekal pedangnya. Akan
tetapi, mendahului gerakannya si nona, dengan tandanya
Poan Thian In telah bikin semua orangnya mundur, hingga
dengan sekejab, obor lenyap separuhnya.
Dan ketika nona kita menoleh, ia mendapati si kepala
penyamun pun lenyap di antara orang-orangnya. Selagi ia
memandang ke sekitarnya, dua orang perempuan yang tadi
melayani Poan Thian In sekarang keluar dan menghampiri
ia, buat undang ia masuk ke dalam, ke sebuah kamar yang
terlebih kecil, yang daun jendelanya tidak ada, yang hanya teralingkan sepotong kain.
Di dalam kamar ini ada sebuah pembaringan kayu, ada
satu meja yang kakinya miring, di atas meja itu ada satu ciaktay dengan lilinnya yang menjadi penerangan satu-satunya bagi kamar itu.
"Silahkan duduk, nona," kata perempuan yang satu, sedang yang lainnya terus pergi keluar akan kembali
bersama satu theekoan batu dan satu cangkir yang kasar
buatannya. Kiau Liong sangat berdahaga, lehernya ia rasakan
kering, tetapi ketika si pelayan menyuguhkan teh yang
warnanya hitam campur merah, ia sangsi akan minum itu,
hanya ia perintah si perempuan yang coba terlebih dahulu, setelah itu barulah ia minum. Dan ia rasakan teh yang enak, meskipun itu bukan teh wangi jempolan yang biasa ia
minum di gedungnya. Ia minum habis sampai tiga cawan.
Ia tidak usah menunggu terlalu lama, atau satu berandal
datang dengan barang hidangan yang terdiri dari daging
dan arak melulu, sebab di situ tidak ada nasi. Arak ia tak mau minum, yang ia makan hanya daging, ia ambil
sepotong dan sepotong lagi. Dan ia dahar daging itu dengan tangannya yang sebelah masih pegangi pedangnya! Daging
apa yang ia dahar itu, ia tak dapat menduganya, daging
kambing atau kerbau, ia dahar terus beberapa potong
karena ia merasa terlalu lapar.
"Kau ada orang-orang macam apa?" ia tanya kedua pelayan perempuan sambil ia awasi mereka itu, seraya ia
cenderungkan sedikit tubuhnya. "Apakah kau ada dari keluarga baik-baik yang Poan Thian In rampas atau culik?"
"Bukan!" menyahut dua nyonya itu sambil geleng kepala.
Kemudian yang satunya menambahkan: "Kita datang
dari Kamsiok! Lo toaya adalah yang panggil kita bekerja di sini, karena kita bisa menyanyi!"
Kiau Liong merasa heran.
"Apakah tadi adalah kau yang menyanyi?" ia tanya.
"Aku dengar nyanyian 'Dunia Suram Guram ... "
"Tadi kita tidak menyanyi," mereka terangkan.
Kembali nona Giok nampaknya heran.
"Poan Thian In ada satu berandal besar," ia kata pula.
"Tempat ini dekat dengan gurun pasir, gunung ini tinggi dan berbahaya, maka itu, kenapa kau suka datang kemari
akan bekerja di sini?"
"Lo toaya ada banyak uangnya," sahut salah satu nyonya. "Ia bukannya berandal! Piaraannya ada lebih daripada seribu ekor kuda! Ia ada seorang yang murah
hatinya dan bukannya seorang jahat!"
Untuk sekian kalinya, Kiau Liong terperanjat, hanya ia
coba tetapkan hati untuk tidak sembarangan kentarakan itu.
Ia ingat sekarang, meski juga romannya bengis tapi dalam pembicaraannya Phoan Thian In berlaku sopan santun,
malah dengan manis budi, secara laki-laki, sementara ilmu goloknya ada liehay.
"Apakah ia ada seorang gagah yang terpelajar tinggi yang nasibnya malang, maka ia jadi terpendam di padang pasir
ini?" akhirnya ia menduga-duga. "Apakah ia menjadi berandal karena sangat terpaksa?"
Selama itu, Kiau Liong merasa badannya letih. Ia berniat rebahkan diri di atas pembaringan papan itu, tetapi ia masih curiga, ia kuatir nanti ada orang jahat yang serbu padanya.
Maka ia paksakan diri akan bangunkan semangatnya.
Sementara itu, di sebelah luar, tidak lagi terdengar suara berisik seperti semula tadi, apa yang kedengaran hanya
tindakan beberapa kaki atau suara berbengernya kuda.
"Sungguh aku sembrono," pikir nona ini kemudian.
"Cara bagaimana sendirian saja aku merantau kemari"
Benar aku pandai bugee tetapi mereka ada berjumlah besar, apabila mereka berbareng kepung aku, bagaimana aku bisa
loloskan diri" Poan Thian In berlaku begini hormat dan
sopan, sikapnya ini ada mencurigai ... Apakah ia bukannya sedang menggunai daya upaya untuk besok satrukan aku?"
Mengingat begini, nona ini lantas loncat bangun, ia
memikir untuk pergi keluar karena kesangsian dan
kecurigaannya itu. Tetapi ...
Segera juga terdengar suara menyanyi:
"Dunia geram suram, menurunkan bencana,
Hingga kita bersaudara, mesti tercerai berai
Ayah terbinasa, ibu racuni dirinya,
Sampai kita hidup mengandal sanak beraya ..."
Itu adalah suara yang ia kenal, suara itu dekat sekali,
kata-katanya terdengar jelas, suaranya berlagu dengan
terlebih bersemangat.
"Siapakah itu yang menyanyi?" ia menoleh seraya tanya dua orang perempuan yang melayani padanya.
"Itu ada ceecu Poan Titian In ... " sahut salah satu nyonya, dengan suara seperti berbisik. "Ceecu sering kali nyanyikan lagu itu ... "
Kiau Liong heran, ia tak dapat membade.
"Di sini ia ada punya saudara, engko dan adik
perempuan?" tanya ia.
"Tidak!" sahut orang yang ditanya.
"Nah, kenapa ia berdiam sendirian?" ia tanya pula.
"Kenapa ia menjadi berandal" Kenapa ia piara rambutnya dan kumis jenggot begitu panjang" Kenapa romannya ada
demikian bengis?"
Dua perempuan yang ditanya itu geleng-geleng kepala
mereka. "Kita tidak tahu," mereka menyahut.
Di luar kembali terdengar suaranya kuda yang berisik
disusul dengan suara bicara dari sejumlah orang.
Tidak tempo lagi, sekarang Kiau Liong bertindak keluar.
Di antara sinarnya Puteri Malam, ia lihat orang sedang
repot menyiapkan barang-barang atau buntalan serta kuda.
Dan di antara suara berisik dari banyak orang itu samar-
samar ia dengar nyanyian:
"Hou adalah aku, Pa nama adikku " "
"He, rombongan berandal, apa lagi yang kau hendak
kerjakan sekarang?" Kiau Liong menegur dan menghampiri lebih dekat kepada mereka.
Pertanyaan ini tidak ada yang sahuti, hanya mereka itu
pada tertawa, kemudian dengan menunggang kuda mereka
berlalu, meninggalkan lembah mereka. Maka sekarang
terdengarlah berisiknya tindakan kaki kuda, yang semakin lama terdengar semakin jauh, hingga kemudian lembah
menjadi sunyi. Suara nyanyian pun berhenti, entah ke mana parannya ...
Dengan menenteng terus pedangnya, Kiau Liong
bertindak mencari orang. Ia dapat kenyataan di tempat itu sekarang orang telah berkurang banyak. Ia cekuk seorang
yang ia ketemukan.
"Ke mana perginya itu semua orang tadi?" ia tanya dengan bengis sambil mengancam dengan pedangnya.
"Mereka semua berlalu meninggalkan ini gunung," sahut orang yang ditanya itu, "Ceecu bilang bahwa kau ada satu liehiapkek, seorang perempuan gagah yang budiman,
karena kau inginkan kita bubar. Kita sekarang tidak mau
tinggal lebih lama pula di sini. Ceecu telah berangkat lebih dahulu dengan ajak mereka itu, maka besok, sehabisnya
kita bongkar gubuk di sini, kita juga mau berangkat akan menyusul mereka!"
Kiau Liong terperanjat dengan berbareng menjadi gusar.
"Aku perintah mereka ubah cara hidupnya menjadi
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang baik-baik!" ia berseru. "Siapa perintah kau pindah ke lain tempat untuk di sana melakukan kejahatan pula" Lekas siapkan seekor kuda, aku hendak susul mereka itu, aku
hendak tanya Poan Thian In."
Di bawah paksaan, laskar berandal itu telah sediakan
kuda yang diminta, maka dengan menunggang kuda itu
Giok Kiau Liong terus kabur keluar dari lembah itu, ia telah mesti lewatkan dahulu jalanan yang sukar, baru ia sampai di tanah datar. Di sini ia simpan pedangnya ke dalam
sarungnya, lantas ia kaburkan lebih jauh kudanya akan
susul rombongannya Poan Thian In.
Tatkala itu bulan dan bintang-bintang ada guram, angin
meniup-niup pula dengan pasirnya yang berhamburan,
dengan lawan itu Kiau Liong kaburkan terus kudanya,
tetapi orang rupanya telah pergi jauh, ia tak dapat
menyandaknya. Maka akhirnya, ia tahan kudanya. Ia
merasa sebagai juga ia sedang mimpi.
"Benar-benar Poan Thian In ada seorang berandal yang aneh ... " berpikir ia.
Sesudah berdiam sekian lama, Kiau Liong lantas ambil
putusan lain. Ia tak ingin kembali ke lembah, ia tak hendak susul Poan Thian In lebih jauh, si Awan di Tengah Langit.
Ia kasih kudanya berjalan dengan tak bertujuan, sedang
sang malam ada suram.
Dalam keadaan sebagai itu, nona ini lantas ingat pada
perbuatannya di waktu ia berumur sebelas tahun, ketika
gurunya tinggalkan ia pergi dengan padanya dititipkan itu
peti dalam mana ada tersimpan dua kitab yang berharga:
"Butong Kun Kiam Coa Sie", kitab pelajaran ilmu silat dan pedang dari Butong Pay. Di luar tahu gurunya ia sudah
buka peti itu dan baca isinya buku, akan terus yakinkan itu sambil catat bagian-bagian yang terahasia. Ia pelajarkan sendiri di luar tahu gurunya. Ia telah berlaku begitu teliti, sampaipun sang guru tak ketahui yang petinya telah dibuka dan isinya dicuri baca.
Sudah enam atau tujuh tahun Giok Kiau Liong melatih
diri sampai pada tadi siang untuk pertama kali ia coba
kepandaiannya dengan berkesudahan ia sanggup pukul
mundur dan rusak pada kawanan berandal Poan Thian In,
sedang tadi baru saja ia bikin keok pada Poan Thian In
sendiri, hingga ia jadi merasa sangat girang dan puas,
karena ia beranggapan bahwa dirinya sudah tak ada
tandingannya lagi.
Tentu saja Kho Long Ciu sendiri tak ketahui
kepandaiannya murid yang cerdik ini.
"Aku telah punyakan kepandaian yang tinggi, kenapa
aku tidak mau lakukan sesuatu yang menggemparkan?"
demikian si nona ngelamun terlebih jauh. "Kenapa aku mesti siksa diri mengeram di dalam kamar saja?"
Ini pun ada pikiran yang menyebabkan ia sengaja
tinggalkan rombongannya.
Memikir demikian, yang bikin ia girang tak kepalang,
Kiau Liong menjadi lupa penat dan ngantuk, ia kasih lari kudanya lebih jauh, sampai sesudah melewatkan banyak lie, ia mendapati munculnya cuaca pagi. Sang fajar telah mulai perlihatkan diri dari jurusan timur, hingga selanjutnya nona ini mendapat tahu bahwa ia sedang menuju ke arah barat.
Tanah tambah luas dengan tanah datar yang berumput.
Di empat penjuru tidak kelihatan bukit atau gunung, hanya
samar-samar ada terdengar suaranya kuda. Maka dengan
perhatikan suara kuda itu, si nona kasih kudanya berjalan terus, tidak terlalu lama ia telah tiba di suatu tempat di mana ada kedapatan serombongan dari ribuan ekor atau
lebih yang sedang asyik geragoti rumput yang hijau ...
"Ini adalah suatu pusat pemeliharaan kuda," pikir si nona. Ia pun dapat lihat tenda putih dari suatu kemah yang berdiri sedikit jauh dari tempat di mana ia tahan kudanya.
Karena ia merasa dahaga, maka ia kedut lesnya akan kasih kudanya lari ke jurusan kemah itu. Ia telah mesti gunakan cambuknya akan membuka jalan di antara rombongan kuda
itu. "Itulah tentu ada kemahnya seorang Mongol," pikir Kiau Liong selagi ia mendekati tenda itu.
Di saat ia hampir sampai di muka kemah, dari dalam situ
muncul satu orang perempuan muda dengan baju pendek
yang berkembang, kakinya ditutup dengan sepatu dari kulit kuda, dengan rambutnya dikepang menjadi dua cacing
seperti cacingnya sendiri. Ia lihat perempuan itu berumur sedikit lebih tinggi daripada umurnya sendiri. Nona itu ada berkulit putih meletak, hidungnya mancung.
"Dia tentu ada satu nona Kozak," pikir ia, yang tenis saja angkat tangannya untuk mengasih tanda, atas mana nona
itu lantas menghampiri, yang segera menegur dalam bahasa Kozak. Atas ini ia geleng kepala.
"Aku tidak mengerti," ia kasih tahu.
Rupanya nona itu ketahui yang ia berhadapan dengan
seorang Han, maka ia lantas menanya pula dalam bahasa
Tionghoa: "Dari mana kau datang?"
Itu adalah suara yang lancar dan bagus, hingga Kiau
Liong menjadi kagum. Ia loncat turun dari kudanya, ia
tertawa pada nona itu.
"Aku sangat haus," ia memberi tahu. "Apa kau punya air untuk aku minum?"
"Ada," sahut nona itu sambil manggut. Tapi ia
mendekati, untuk
pandang kuda tetamunya, yang
nampaknya sangat menarik perhatiannya, sampaikan ia
agak tak sudi omong lebih banyak lagi ...
Kiau Liong tarik palangnya tetapi ini pun tidak
membikin kaget pada nona Kozak itu, dengan kedua
tangannya ia buka mulut kudanya Kiau Liong bagaikan ia
hendak menghitung gigi kuda itu.
"Bukankah kau ada orang Kozak?" tanya Kiau Liong seraya tepuk pundaknya nona Kozak.
Nona itu manggut.
"Dan kau bisa omong Tionghoa baik sekali?" kata pula nona kita.
"Itulah sebab aku sering turut ayah pergi berdagang di Ielee," sahut nona asing itu. "Bahasa apa pun aku mengerti
... " Meskipun ia menyahut demikian, si nona tetap
perhatikan kudanya.
"Marilah!" kata Kiau Liong kemudian.
Baru sekarang si nona Kozak tinggalkan kuda dan ajak
tetamunya pergi masuk ke dalam kemahnya yang terbikin
dari bulu kuda, bentuknya bundar, nampaknya tidak tinggi, tetapi satu kali orang masuk ke dalam, rasanya ada tinggi dan lebar. Inilah disebabkan tanahnya digali dalam dan
dibikin rata, lalu dialaskan permadani. Orang dan segala
barang duduknya di atas permadani itu. Begitulah ada
"rumahnya"
orang Kozak yang hidup dalam penggembalaan berpindah-pindah.
Kapan Kiau Liong sampai di dalam, ia lihat di situ ada
berduduk seorang perempuan tua, siapa tidak bisa bicara
Tionghoa, sebagaimana ia cuma bisa mengawasi saja.
"Inilah ibuku," si nona Kozak memperkenali.
Kiau Liong unjuk hormat pada nyonya itu, kemudian ia
berduduk sambil bersila.
Nona Kozak itu sudah lantas menyuguhkan teh,
cangkirnya ada terbikin dari kayu, tehnya bukan teh biasa hanya susu kuda yang ada bersari asam. Teh begini tidak
cocok bagi nona kita.
"Eh, kenapa kau tidak ikat kecil kakimu?" tanya si nona Kozak, yang pegang-pegang sepatunya Kiau Liong yang
indah. "Aku ada golongan kiejin," sahut Kiau Liong. "Orang perempuan kiejin ada sama dengan bangsamu, ialah tidak
mengikat kaki. Dan apa namamu?"
Nona itu sebutkan namanya, yang dalam bahasa
Tionghoa berarti "Bie Hee" atau sinar layung yang indah.
"Dan kau, nona?" ia balik menanya.
Kiau Liong perkenali diri sebagai seorang she Liong,
bahwa sendirian saja ia mau pergi ke Ielee (Illi).
Agaknya Bie Hee ada sangat ketarik pada nona tetamu
ini. "Mari," ia kata seraya mengajak keluar. Di sini ia menunjuk pada rombongan kuda. "Dua laksa ekor kuda itu ada kepunyaan keluargaku. Ayahku ada satu saudagar
besar dan kepala juga dari seratus keluarga. Sekarang ini
akan dibikin perlombaan kuda dan karena itu ayah telah
pergi untuk membikin persiapan. Kau telah datang dengan
menunggang kuda, bagaimana kalau kita berdua mendahului akan coba berlomba" Nanti, lagi dua hari, aku akan ajak kau menyaksikan pacuan kuda itu! Akurkah
kau?" Kiau Liong geleng kepala.
"Sejak kemarin aku menunggang kuda satu hari terus, sekarang aku sangat penat lelah," ia bilang. "Aku tidak bisa berlomba denganmu ..."
Bie Hee tertawa, ia hampiri kudanya nona Giok ke atas
mana ia terus loncat naik, sesudah mana, kuda itu ia kasih lari terputar-putar di muka kemah itu. Selagi ia dekati Kiau Liong, ia tertawa, setelah itu, ia kasih kuda itu lari jauh, semakin jauh, hingga kuda dan orang jadi tertampak kecil, seperti satu titik saja ...
Kiau Liong tidak kuatir kudanya dibawa kabur,
sebaliknya hatinya jadi gembira. Ia awasi itu rombongan
kuda, akhirnya ia jadi tertarik. Ia pilih satu di antaranya yang berbulu hitam yang ia segera naiki.
Itu adalah seekor kuda yang belum pernah dipakai dan
sangat binal, maka kuda itu terus berjingkrakan. Tapi Kiau Liong ada satu penunggang kuda yang ulung, meskipun ia
tidak pakai les dan sela, ia toh bisa berkuasa atas kuda itu, ia jepit perutnya dengan kedua kakinya, dan menjambak
keras bulu surinya. Dan ketika kuda itu ditepuk kepalanya, ia segera lari kabur ke jurusan ke mana si nona Kozak tadi pergi. Tapi ia lari belum jauh, si nona Kozak segera
tertampak sedang mendatangi.
Nona rumah terperanjat waktu ia lihat tetamunya naiki
kuda hitam itu.
"Jangan, jangan naiki kuda itu!" ia berteriak. "Itu ada kuda nakal!"
Kiau Liong tidak gubris pemberian ingat itu, malah
dengan sebat ia sambar cambuk dari tangannya Bie Hee,
dengan itu ia hajar kudanya, hingga kuda itu terus kabur dengan terlebih hebat.
Sebentar saja dua atau tigapuluh lie telah dikasih lewat, ketika Kiau Liong menoleh, ia lihat rombongan kuda
sebagai sekumpulan binatang kecil. Sekarang ia tahan
kudanya buat diputar balik, tetapi apa mau, bulunya
binatang itu rontok, binatangnya sendiri loncat berjingkrak, maka tidak tempo lagi Kiau Liong terlempar jatuh. Benar ia jatuh atas rumput yang tebal, tetapi ia toh terbanting dengan tak berdaya, dari itu tidak heran kalau ia rasakan matanya gelap dan kepalanya pusing, hingga ia mesti rebah dengan tak ingat apa-apa ...
Entah berselang berapa lama, baru Kiau Liong sadar
akan dirinya, ia merayap bangun, akan lompat berdiri.
Tetapi ia rasakan kepalanya berat, percuma ia berdaya, ia terpaksa mesti rebah pula.
Di antara rumput yang gemuk, angin meniup-niup
dengan hawanya yang sejuk. Rasa sejuk ada baiknya bagi si nona, yang perlahan-lahan jadi merasa segar. Ia melihat
langit, yang bersih, tetapi tak dapat dengar suaranya kuda.
Kuda hitamnya sendiri sudah kabur sejak ia kena dibikin
terlempar jatuh. Di situ pun tidak ada lain orang.
Berselang pula sekian lama, Kiau Liong coba bangun
akan duduk di atas rumput. Nyata kedua tangannya telah
terluka dan berdarah terkena tusukannya rumput yang
kaku. Dan ketika ia raba kepalanya, ia dapat raba barang cair yang kental dan melekat pada rambutnya. Dan itu
adalah darah yang sudah beku! Maka ia mendapat tahu
bahwa ia telah terbanting dan kepalanya terkena tanah dan luka sedikit.
"Celaka ... " pikir ia dengan masgul.
Dengan paksakan diri nona Giok lantas berbangkit. Ia
memandang ke sekitarnya, ia tampak hanya lautan rumput
yang seperti tidak ada ujung pangkalnya. Dan rumput itu
rebah bangun dengan teratur terkena sampokannya angin.
Di udara ada terlihat juga burung-burung yang terbang.
Dengan pengikat kepalanya, Kiau Liong seka darah di
tangannya, kemudian setindak demi setindak ia berjalan
pergi. Niatannya adalah mencari kemahnya si nona Kozak.
Apamau ia sukar berjalan, karena kedua kakinya pun ia
rasakan sakit. Ia menjadi bingung, sebab ia merasa pasti padang rumput mestinya ada ratusan lie luasnya.
"Ke mana aku mesti cari kemahnya si nona?" ia berpikir.
Ia sudah jalan lama tetapi ia dapat kenyataan yang ia belum terpisah jauh dari tempat di mana ia rubuh. Ia jalan sangat perlahan.
"Padang ini ada sebagai gurun pasir saja, aku pun bisa mati karena dahaga dan kelaparan di sini ... " ia berpikir, dengan hati ciut. Ia bisa berlari keras tetapi sekarang dua-dua kakinya sakit, jangankan lari atau lompat, jalan cepat saja ia tak mampu Dengan meringis menahan sakit ia paksa bertindak terus ...
Sampai matahari mulai doyong ke arah barat, masih
Kiau Liong belum bisa lewati padang rumput, masih ia
belum ketemui kemah atau orang. Ia sekarang merasa lapar, dan berdahaga juga, sedang kedua kakinya sakit bukan
main, hingga sangat terpaksa ia rebahkan diri di atas
rumput. Beberapa kali ia menghela napas.
Dengan lambat laun, cahaya langit bersorot merah, dan
di tengah udara serombongan gagak terbang lewat sambil
kadang-kadang perdengarkan suaranya yang tak sedap
didengarnya. Angin malam kemudian telah menyusul
menghembus-hembus.
Melihat datangnya sang magrib, Kiau Liong bingung tak
kepalang. Ia pun rasakan seperti tenaganya habis, hingga ia lantas picingkan kedua matanya.
Tiba-tiba dari kejauhan ada terdengar suara tindakan
kuda. Kiau Liong terperanjat, ia segera berbangkit. Sambil duduk ia mengawasi ke jurusan dari mana suara tindakan
kaki kuda terdengar. Di antara cuaca yang remang-remang
ia lantas lihat beberapa ekor kuda sedang lari mendatangi.
Penglihatan ini bikin semangatnya terbangun, karena
sekarang harapannya timbul.
"Tolong!" ia berteriak, apabila ia lihat beberapa ekor kuda itu sudah datang lebih dekat.
Suaranya itu dapat didengar, karena beberapa ekor kuda
itu, yang ada penunggangnya, lantas menindak, dan
penunggangnya mengawasi ke tempat dari mana suara
datang. Kemudian, semua mereka lantas menghampiri.
"Aku di sini!" Kiau Liong berseru pula.
"Oh, kiranya siocia di sini!" berseru beberapa orang itu.
"Kita justru sedang cari kau, siocia!"
Kiau Liong melengak. Ia dapat kenyataan, orang-orang
itu berdandan sebagai serdadu-serdadu ayahnya, antaranya ada satu punggawa yang kepalanya pakai kopiah kebesaran
dan tubuhnya tertutup jubah hijau yang gerombongan.
Kapan punggawa itu sudah loncat turun dari kudanya,
Kiau Liong awasi padanya. Dia ada bertubuh tinggi dan
besar, mukanya hitam, sepasang matanya bersinar tajam,
tidak berkumis atau jenggot, mukanya tercukur licin. Ia
seperti kenali punggawa ini tetapi ia tidak ingat she dan namanya, tetapi ia merasa pasti bahwa orang itu bukan
pegawai ayahnya. Ia lantas mundur.
"Kau datang dari mana?" ia lantas tanya.
"Kita datang dari Peksee kang," sahut punggawa itu.
"Ketika kemarin siocia lenyap selagi angin besar, thaythay jadi sangat bingung dan kuatir, maka kita lantas diperintah cari siocia buat diajak pulang. Di padang pasir, di padang rumput, kita cari siocia sudah seharian penuh. Silahkan
siocia turut kita!"
Kiau Liong mau percaya keterangan itu, akan tetapi
ketika ia awasi yang lain-lain, ia jadi tercengang. Bersama itu punggawa ada datang tiga serdadu, tetapi sekarang
semua serdadu itu pada putar kuda mereka dikasih lari
menuju ke utara.
"Eh, kenapa mereka itu pada pergi?" ia tanya.
"Mereka bukannya rombonganku," kata si punggawa.
"Mereka ada serdadu-serdadu yang mesti pergi ke Seekie koan, tadi kita ketemu di tengah jalan secara kebetulan saja.
Thaythay cuma perintah aku seorang. Sekarang ini
thaythay dan rombongannya berada di Peksee kang, tidak
jauh dari sini. Silahkan siocia turut aku "
Kesangsiannya Kiau Liong menjadi bertambah, apapula
kapan ia lihat di selanya punggawa itu ada tergantung satu buntalan cita merah, yang ia rasanya kenal. Itu ada salah satu buntalannya, yang ia perintah Siu Hiang bawa.
Dengan tidak kata apa-apa, dengan air muka tak
berubah, nona ini lantas awasi itu punggawa, siapa
sebaliknya sudah lantas tunduk.
Buat sedetik, Kiau Liong tercengang, tetapi segera ia
samperi kuda dan naik ke atasnya, atas mana itu punggawa, dengan memegang les kuda, bertindak melewatkan kuda
itu. Matahari sore telah menyinari mereka ini pada
punggung mereka. Punggawa itu jalan sebagai penunjuk
jalan dengan tindakan perlahan, dan Kiau Liong pun kasih kudanya jalan perlahan sekali. Sembari jalan, nona ini terus mengawasi orang, hingga ia dapat kenyataan, kopiahnya itu punggawa ada tak pas pada kepalanya dan bajunya juga ada gerombongan.
"Kau she apa?" tiba-tiba ia tanya.
"Aku she Lo," sahut itu punggawa, dengan tak menoleh.
"Orang panggil aku Lo cheekhoa. Aku turut siocia sama-sama dari Cieboat. Mustahil siocia tidak kenali aku?"
"Mana aku kenal semua punggawa dalam tangsi?" nona ini baliki.
Punggawa itu berdiam, ia jalan terus.
Di dalam hatinya, Kiau Liong tertawa mengejek, tetapi,
memandang tubuhnya yang kekar, diam-diam ia merasa
girang. Itu punggawa berjalan dengan sudah tak pegangi lagi les
kuda, maka Kiau Liong bisa berkuasa atas binatang
tunggangannya itu. Begitu, dengan tiba-tiba, ia kasih maju kudanya sampai ia lewatkan itu punggawa, di depan siapa, tiba-tiba ia tahan kuda itu seraya ia menoleh, akan
mengawasi muka orang.
Cuaca masih terang, itu punggawa pun tak menyangka,
maka tampang mukanya bisa terlihat dengan nyata.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di matanya Kiau Liong, punggawa ini baru berumur dua
puluh lebih, romannya cakap ganteng. Ia rasanya kenal ini orang, tetapi ia tak tahu, di mana ia orang pernah bertemu satu pada lain. Maka sendirinya, air mukanya menjadi
merah. Toh ia tetap berpikir, oleh karena kecurigaannya.
Punggawa ske Lo itu tertawa kapan ia lihat tingkah
lakunya si nona.
"Kita semua tak ketahui bahwa siocia ada berkepandaian tinggi," ia kata.
"Siapa omong itu pada kau?" Kiau Liong tanya. "Jikalau aku benar punya kepandaian, mustahil aku rubuh dengan
begini parah" Sudah, kau jangan ngobrol saja, hayo antar aku ke Peksee kang!"
"Tetapi, siocia," kata punggawa itu, seraya maju menghampiri, "hari ini kita tidak bakalan sampai ke Peksee kang ... "
"Habis, apa kita mesti rebah tidur di atas rumput, di udara terbuka sebagai ini?" si nona balik menanya. "Kau tunjuki aku jurusannya Peksee kang, aku bisa pergi sendiri ke sana!"
"Cuaca sudah mulai gelap, siocia," punggawa itu kata pula. "Taruh kata aku beritahukan siocia jurusannya itu tempat, pasti nona tidak bakal keburu sampai di sana.
Umpama siocia kesasar, habis bagaimana aku mesti
melaporkannya kepada thaythay" Tidak jauh dari sini ada
sebuah kampung, aku hendak antar siocia ke sana untuk
bermalam, besok pagi baru kita susul thaythay...."
"Aku tak sangka bahwa kau kenal baik keadaan tempat ini!" kata nona itu.
"Harap siocia jangan heran, tempat ini biasa aku
lewatkan. Semua surat-surat dinas untuk Ielee adalah aku yang biasa antarkan," punggawa itu kasih keterangan.
Kiau Liong manggut. Jawaban itu ada tepat dan
beralasan. "Apakah kau ketahui tayjin pergi ke mana"'"
kemudian tanya pula.
"Bukankah tayjin pulang ke Pakkhia?" si punggawa baliki.
Mau atau tidak, nona Giok mesti percaya punggawa ini,
ia sangsikan kecurigaannya barusan. Demikian ia kasih
jalan kudanya, dengan ikuti si anak muda.
Langit jadi semakin gelap dan gelap, dan sang bintang,
dengan rembulan sisa, mulai pencarkan sinarnya yang
lemah. Angin malam meniup-niup, sampai Kiau Liong
merasai keletihan tubuhnya.
Sekian lama mereka berjalan, akhir-akhirnya mereka
sampai dalam sebuah kampung yang terdiri dari belasan
rumah. Di situ ada dipelihara anjing, karena binatang itu terus menggonggong apabila dua orang asing ini dan
kudanya mulai masuk ke dalam bilangan kampung itu.
Punggawa she Lo itu menghampiri sebuah rumah, yang
pintunya ia terus tolak, akan ia masuk ke dalam
pekarangan, maka tidak lama kemudian, muncullah satu
petani tua, yang tangannya menenteng lentera, yang
mengundang masuk.
Kiau Liong bawa kudanya masuk ke dalam pekarangan,
di sini ia loncat turun, dengan tenteng buntalan, yang ia jumput dari atas kuda, ia bertindak masuk mengikuti tuan rumah itu.
Di dalam tidak ada lain orang, si petani letakkan
lenteranya di atas meja.
Si orang she Lo masuk belakangan, rupanya ia habis
tambat kuda. "Ada makanan apa di sini?" ia tanya "Tolong lekas sajikan!"
"Baik, baik!" menyahut si orang tua, agaknya ia sangat ketakutan. Ia berlalu dengan lekas.
Kiau Liong bikin lentera menjadi terang, atas mana,
punggawa itu lekas menoleh ke lain jurusan.
"Di dalam itu ada pakaian siocia," ia kata, seraya menunjuk buntalan. "Sudah dua hari siocia tidak kembali, thaythay kuatir pakaian kau sudah kotor, dari itu ia
perintah aku bawa ini buntalan, untuk siocia salin!"
Kiau Liong bertindak, akan mendekati, tetapi punggawa
itu mundur ke samping, mukanya terus dibikin teraling dari sinar api.
Kiau Liong buka itu buntalan, ia dapati isinya benar ada pakaiannya sendiri. Cuma di situ tidak ada sepatu dan kaus kaki. Ia berpaling, akan awasi pula punggawa itu, yang
tidak lantas undurkan diri dengan pergi ke luar.
"Sekarang pergilah kau keluar!" ia kata, dengan suaranya satu nona majikan. "Jikalau aku tidak panggil, jangan kau datang kemari!"
Orang she Lo itu menyahuti, "ya," lantas ia berlalu.
Lantas Kiau Liong duduk di atas pembaringan,
pikirannya bekerja. Tiba-tiba ia dapat gangguan dari
tangisannya satu anak kecil, yang bersuara dua kali, lantas berhenti, sebagai juga ada orang menekap mulutnya.
Kemudian terdengar hanya tangisan perlahan sekali.
Dengan kecurigaan, Kiau Liong menghampiri bilik
papan, akan pasang kuping. Di sini ia dengar terang, anak itu hendak menangis tetapi batal.
"Jangan nangis! Kalau kau nangis, kau binasa!" demikian terdengar suaranya seorang perempuan, suara ancaman
yang tertekan. Kiau Liong merasa heran, tetapi ia lekas kembali ke
pembaringannya.
Dari luar rumah terdengar suara kuda berbenger, dan
dari luar jendela terdengar suara helaan napas berat dari orang lelaki.
Diam-diam nona Giok tersenyum tawar.
Tidak berselang lama, pintu kamar dibuka dari luar dan
si orang tani datang dengan membawa tehkoan teh, sepiring garam, sepotong kue dan bubur yang mana ia terus atur di atas meja.
Kiau Liong turun dari pembaringan selagi orang bekerja,
di saat orang itu sudah selesai, tiba-tiba ia menghampiri, akan cekal lengannya.
"Apakah kau telah kenal lama orang she Lo itu?" ia tanya, dengan perlahan, tetapi suaranya berpengaruh.
"Apakah kau takuti ia?"
Matanya petani tua itu mendelong, kumis dan
jenggotnya bergerak-gerak. Ia tidak jawab itu pertanyaan.
Sementara itu, daun pintu terbuka renggang dan di
depan pintu berdiri si orang she Lo.
"Sekarang pergilah kau keluar!" kata Kiau Liong, dengan suara nyaring. "Kalau nanti aku sudah pulang, aku nanti kirim orang untuk membalas kebaikanmu ini!"
Orang tua itu tetap bungkam, ia terus ngeloyor keluar.
Kiau Liong turut bertindak ke pintu, untuk menutup
pintu itu sekeluarnya si petani tua, tetapi berbareng dengan
itu ia melihat keluar di mana cuaca ada gelap. Si orang she Lo sudah tidak berada lagi di depan pintu.
Tatkala si nona rapati pintu, ia dapat kenyataan kunci
cuma sebatang sorok, hingga pintu itu tidak bisa dikunci dengan kuat, sedang di dalam kamar itu tidak ada benda
apa juga yang bisa dipakai menapai atau mengganjal pintu.
Bertindak ke meja, nona ini dahar sepotong kue,
kemudian ia padamkan api, meraba pembaringan, di situ ia terus rebahkan diri. Ia rebah sambil pasang kuping. Ia tidak usah menunggu lama, akan dengar suara helaan napas yang
berat di luar jendela.
Lekas-lekas ia berpura-pura menggeros.
Lewat pula sekian lama, tiba-tiba terdengar pintu
berkelotekan. Kiau Liong terperanjat, tetapi ia diam saja, melainkan matanya mengawasi. Ia rebah miring tangan kiri menandai pembaringan, tangan kanan siap dengan dua
jeriji telunjuk dari tengah. Ia terus perdengarkan suara mengoroknya.
Daun pintu telah terbuka dan tertutup pula, setelah mana di muka pembaringan ada berdiri seorang dengan tubuh
besar dan tinggi, tangannya seperti ada menyekal suatu apa, yang mana dengan hati-hati dia letaki di atas pembaringan, kemudian tangan itu dipakai meraba dan mengusap-usap
rambutnya si nona.
Dengan tiba-tiba Kiau Liong geraki tubuhnya loncat
bangun dan berduduk, sedang tangan kanannya, dengan
dua jarinya, menotok tubuhnya orang. Tapi orang itu
menangkis dengan cepat, karena mana, si nona terus loncat turun seraya membarengkan menyerang pula.
"Jangan, jangan menyerang, aku tidak bermaksud jahat!"
kata itu orang, yang gerakannya sebat luar biasa, sebab
begitu berkelit dari serangan, ia bisa menubruk dan coba bikin tak berdaya tangannya si nona.
"Kau tidak bermaksud jahat?" menegur nona Giok.
"Jangan kira aku tidak tahu siapa kau ada!" Sambil mengucap demikian, Kiau Liong geraki kakinya, menjejak,
hingga orang itu seloyongan di depan ia.
"Benar-benar aku tidak bermaksud jahat!" kata pula orang itu, yang tidak melakukan penyerangan membalas.
"Jikalau aku berpikiran lain tentu sejak di tempat sunyi, aku sudah culik pada kau! Mustahil aku mau tunggu sampai aku antar kau kemari ... Jikalau kau tidak percaya aku, coba lihat!"
Dengan cepat orang ini keluarkan bahan api dan
nyalakan itu, untuk dipakai menyuluhi ke atas pembaringan. "Lihatlah itu!" ia kata.
Kiau Liong lihat sebatang pedang dan sebungkus uang di
atas pembaringannya, meski demikian, ia toh tidak segera lepaskan kedua lengannya orang, yang ia tadi telah sambar dan cekal.
"Kau toh Poan Thian In?" ia tanya. "Kenapa kau pedayakan aku dengan kau menyamar sebagai punggawa
negeri" Dari mana kau mendapati bungkusan pakaianku
itu" Apa maksud kau maka tengah malam buta rata, secara
diam-diam ini, kau antarkan aku ini pedang dan uang"
Lekas terangkan!"
Sementara itu, Kiau Liong pun lihat orang itu ada
memakai ikat pinggang hijau di mana ada menyelip
sebatang golok kangtoo yang panjangnya tidak ada dua
kaki, maka dengan sebat luar biasa, ia sambar dan cabut
golok itu, hingga segeralah terdengar satu suara nyaring,
dari gelang-gelangan pada gagangnya golok! Goloknya
sendiri pun berkelebat bersinar.
Atas itu, itu orang segera ulapkan tangannya.
"Hati-hati!" ia peringati. "Golok itu tajam luar biasa, nanti tanganmu terluka!"
Kiau Liong angkat tangannya yang menyekal golok itu,
dengan itu senjata ia ancam dadanya orang.
Orang itu tidak unjuki roman takut, bajunya malah
terbuka kancingnya, hingga kelihaian dadanya. Dengan
tenang ia menoleh, ia geraki tubuhnya, buat nyalakan api di meja.
"Jangan gusar, siocia," ia bilang. "Kau dengarlah keteranganku."
Kiau Liong berdiam, ia mengawasi terus.
"Dengan sebenarnya aku ada Poan Thian In Lo Siau
Hou," kata pula pemuda itu, yang menyamar sebagai
punggawanya Giok tayjin. "Siocia telah datang ke sarangku di dalam lembah, aku dapat kenyataan, kecuali cantik, kau pun gagah, maka aku jadi ingin cari tahu tentang asal-usul kau. Aku percaya siocia tidak nanti mau cerita jikalau aku menanyakan kau, dari itu, aku lantas berdaya upaya sendiri.
Dengan ajak sejumlah orangku, malam-malam juga aku
berangkat ke Peksee kang. Di sana ada bersanggerah
serombongan kereta pembesar negeri, di sana aku dapat
keterangan hal lenyapnya Giok siocia selama terjadi
penyerbuan rombongan begal. Dari keterangan ini, aku
mendapat tahu siapa adanya siocia, maka sengaja, dari
kereta keluarga, aku curi buntalan ini. Kita lantas datang kemari, dengan pakai pakaian yang kita dapat rampas. Aku ada bawa tiga pengikut. Dari satu nona Kozak aku dapat
tahu siocia telah pergi dengan menunggang kuda, bahwa
selagi kudanya kembali, kau tidak turut muncul. Nona
Kozak itu kuatir siocia dapat celaka. Aku pun berkuatir, maka kita segera mencari, berputar-putar, sampai setengah harian. Aku kuatir siocia menyangka jelek, maka tiga
orangku itu, aku perintah segera undurkan diri, sedang
siocia, aku pedayakan sampai datang ke sini. Aku tidak
bermaksud lain, siocia. Aku pikir akan besok antar sioijia ke Peksee kang, hanya aku kuatir, mereka tentu tidak berdiam lama di sana, barangkali mereka sudah pergi terus sampai di kota Keklieah. Boleh jadi dari sana barulah mereka akan
kirim orang, untuk mencari siocia. Jalanan di sini ada
buruk, aku sendiri tidak merdeka akan ikuti kau, dari itu, siocia, aku sengaja bawakan kau ini pedang dan bungkusan.
Aku juga telah rawat kuda kau, aku akan bekali rangsum
kering dan air. Dan aku akan kirim orang untuk menjadi
pengantar siocia. Aku tidak kandung maksud jelek, aku
lihat kau cantik dan gagah, aku kagumi itu, maka aku ingin berbuat suatu apa untuk kau! ... "
Poan Thian In, si Awan di Tengah Langit, bicara dengan
tetap dan sambil tersenyum, tubuhnya sedikit bergerak,
suatu tanda dari tabahnya hati. Karena gerakan tubuhnya
itu, beberapa kali dadanya membentur goloknya yang
tajam, yang berada dalam cekalannya si nona, hingga Kiau Liong mesti setiap kali-setiap kali tarik mundur tangannya itu.
Selama itu, perlahan-lahan hatinya Kiau Liong jadi sabar dan sabar. Di lain pihak, ia ketarik dengan itu golok yang gagangnya bergelang. Ia pun jadi ketarik oleh ini kepala berandal dari Sinkiang.
Tadinya Poan Thian In piara rambut panjang dan kusut,
mukanya berewokan, hingga jadi tidak keruan, tetapi
sekarang ia merupakan satu anak muda yang cakap,
tubuhnya tinggi besar dan kekar, usianya paling juga baru
duapuluh empat atau duapuluh lima tahun. Hampir Kiau
Liong tidak mau percaya bahwa pemuda ini telah mampu
kendalikan ratusan berandal yang ganas, yang sangat
ditakuti. "Jangan kau omong bahwa kau hendak berbuat suatu
apa untuk aku ... " kemudia dia kata, "tidak usah sebut-sebut hendak kirim orang untuk antar aku pada
rombonganku. Aku memberi tahu kau, memang sengaja
aku pisahkan diri dari rombonganku di saat yang kalut itu, karena aku berniat merantau, pesiar ke mana aku suka, dan aku tidak pikir untuk segera pulang! Tapi aku dengar, dari suaramu, kau bukannya asal sini, dan kau masih begini
muda! Mengapa kau datang ke tempat begini jauh, untuk
menjadi berandal?"
Poan Thian In geleng-geleng kepala, tetapi ia tersenyum.
"Kau tidak tahu tentang urusanku," ia bilang. "Dan aku tidak hendak jelaskan itu pada kau! Tetapi aku ingin kau tidak anggap aku ada satu berandal sejati! Aku tahu aturan, aku tidak hidup melulu sebagai begal. Kau tahu, aku pun
ada pelihara banyak kuda. Hanya, aku ada seorang yang
bernasib buruk, hingga karenanya, aku telah merantau dan bersengsara sampai di sini ... "
Ia menghela napas, ia kancing bajunya.
Kiau Liong mundur, akan berduduk di atas pembaringan. Ia masih cekal terus goloknya orang.
"Ini hari aku suka kasih ampun pada kau!" kata ia, dengan masih mendongkol.
Poan Thian In geleng kepala sambil tertawa.
"Aku tidak takut mati!" ia bilang dengan gagah. "Siocia, kau ada terlalu cantik, umpama kau bunuh aku dengan
golok itu, aku tak penasaran!"
"Sudah, keluar!" nona itu membentak, matanya
mendelik. Poan Thian In tetap tertawa, ia putar tubuhnya, akan
bertindak pergi.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Kiau Liong memanggil. "Nama apa kau pakai barusan?"
Poan Thian In berpaling dan menjawabnya: "Lo Siau
Hou." Nona itu perdengarkan suara dari hidung, sampai
beberapa kali, ia tertawa tawar.
"Biasanya kau ada sangat galak, sampai semua orang di sini sangat takuti kau!" ia kata pula. "Lihat saja itu bocah di kamar sebelah, sampai ia takut nangis!"
Poan Thian In tidak kata apa-apa, ia terus bertindak
keluar, daun pintu ia rapati di belakangnya.
Kiau Liong mengawasi sampai pintu sudah tertutup,
lantas ia pasang kuping. Sampai sekian lama, ia masih
dengar tindakan kaki bulak balik. Ia mengerti, Lo Siau Hou tentu tidak punyakan tempat tidur. Samar-samar, ia pun
dengar itu nyanyian yang ia kenal: " " Hou adalah aku, Pa nama adikku ... "
"Aneh ... " ia berpikir, "ia benar-benar ada satu berandal yang aneh ... "
Kiau Liong rasai mukanya panas sendirinya kapan ia
ingat bagaimana barusan Lo Siau Hou telah raba dan usap-
usap rambutnya.
"Aku telah berlaku sembrono, sampai aku rubuh dari
kuda dan tak berdaya," ia lalu ngelamun, "coba tidak ada Lo Siau Hou, yang datang menolong, sekarang ini aku
tentu masih rebah di padang rumput. Ia berlaku sopan
santun terhadap aku, ia malah sangat perlukan kebutuhanku, hingga ia sudah bawakan aku pakaian,
pedang dan uang, dan besok ia berniat mengirim wakil buat antar aku ... Benar aku berlalu dengan suka sendiri, tetapi dari pihakku, tidak ada datang orang yang mencari, maka
beruntung aku ketemu ini orang ... "
Di luar sang angin telah meniup keras pada jendela
sampai kertas jendela perdengarkan suara, di antara itu, pun ada terdengar suaranya Lo Siau Hou:
"Dunia suram guram, memancarkan bencana " "
"Kau nyanyikan apa di sana?" akhirnya menegur ini nona.
"Ini adalah nyanyian yang orang ajarkan aku," sahut Lo Siau Hou, yang datang menghampiri jendela. "Jikalau aku sedang berduka atau pikiran pepat, seringkali aku
nyanyikan lagu ini ... "
"Mengapa kau tidak cari kamar untuk tidur?" tanya Kiau Liong, yang tidak pedulikan jawaban itu.
"Aku merasa berat akan tinggalkan kau, siocia," ada penyahutan dari luar. "Biar aku berdiam di luar jendela ini, buat satu malaman untuk temani kau karena begitu lekas
besok kita berpisahan, untuk selama-lamanya, kita tak akan bertemu pula ... "
Kiau Liong mau tertawa tetapi ia cegah itu, kendati
demikian, ia tunduk sendirinya. Ia merasa mukanya jadi
semakin panas. Tiba-tiba terdengar daun pintu berbunyi dan si berandal
muda masuk pula ke dalam.
"Berhenti!" berseru nona Giok, selagi orang hendak bertindak terus.
Lo Siau Hou benar-benar tunda tindakannya.
Nona Giok mengawasi dengan mata terbuka lebar.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba kau nyanyikan pula nyanyianmu, untuk aku
dengar," ia kata kemudian.
Lo Siau Hou menurut dengan tidak kata apa-apa, ia
menyanyi, tapi, baru saja ia nyanyi sampai di bagian si ibu menelan racun, suaranya menjadi semakin perlahan dan
mengharukan hati, rupanya ia sangat berduka.
Kiau Liong tunduk, hatinya berdebar-debar.
Api telah berkelak-kelik di antara sampokannya angin,
yang molos dari pintu.
Siau Hou lanjuti nyanyiannya, meskipun dengan
suaranya yang sember. Ia nyanyi sampai di bagian masih
ada dua adik perempuan, lantas ia berhenti dan kata: "Di belakang ini masih ada dua rintasan, yang aku telah lupa syairnya, hanya apa yang aku masih ingat, adalah dua yang terakhir, ialah ... Duapuluh tahun kemudian, kalau kita
bertemuan, kita akan balas budi dan dendam, tak ayal-
ayalan ... "
Habis berkata begitu, dengan lengan bajunya, ia susut air matanya, yang telah keluar dengan tak terasa ...
Kiau Liong telah gigit rapat kedua baris giginya atas dan bawah.
"Apakah nyanyian itu ada mengenai kejadian yang
benar?" ia tanya. "Apa benar ayahmu binasa di tangan musuh dan ibumu telah racuni diri?"
"Itulah aku tak tahu," sahut Siau Hou. "Aku ada asal orang Lulamhu, sejak aku ingat, aku hanya punya engkong
tukang warung arak, siapa tak tahu tentang ayahku. Dalam umur sembilan tahun, engkong kirim aku ke sekolah
kampung. Engkong punya sepucuk surat, ketika ia buka
surat itu, di dalam situ ada tertulis ini nyanyian yang aku nyanyikan dan guruku ajarkan itu padaku, sebagai mata
pelajaran, yang aku mesti apalkan. Katanya adikku dan
saudara perempuan berada di lain tempat, bahwa mereka
pun bisa nyanyikan nyanyian ini, maka kalau aku menyanyi dan mereka dapat dengar, mereka bakal kenali aku sebagai saudara mereka. Sayang itu waktu aku ada sangat gemar
memain, sampai aku tak ingat seluruhnya nyanyian itu,
hingga berselang satu tahun, aku lantas lupa benar-benar.
Aku telah merantau ke beberapa propinsi, aku telah
yakinkan ilmu silat. Di saat-saat hati pepat, aku tentu
nyanyi, tetapi sampai sebegitu jauh, aku masih belum juga dapat cari atau ketemu sekalian saudaraku itu ... "
"Kau harus dikasihani ... " kata si nona, yang terharu bukan main. "Mengapa kau sampai di Sinkiang ini?"
Buat sesaat, Lo Siau Hou bersangsi, tetapi toh ia
menyahut. "Biarlah aku omong terus terang," ia kata. "Ketika aku berumur sepuluh tahun, lantaran ayah dan ibu angkatku
perlakukan buruk padaku, sedang juga aku tidak ketarik
akan bersekolah, aku lantas minggat. Aku buron mengikuti satu pengemis. Ia ada satu panca longok, maka juga ia telah ajarkan banyak ilmu untuk mencuri, hingga aku selanjutnya bantu ia cari penghasilan dengan itu jalan sesat. Satu kali aku kepergok dan orang telah hajar aku sampai hampir aku binasa, baiknya kemudian aku dapat ditolong oleh satu
saykong, yang bawa aku ke Butong San. Semua imam di
atas gunung ini mengerti ilmu silat, maka aku juga turut belajar, antaranya aku utamakan ilmu menggunai pedang.
Kemudian lagi, karena lakukan satu kesalahan, suhu usir
aku dari gunung ... "
"Apakah itu yang kau lakukan?" memotong Kiau Liong.
Poan Thian In unjuki roman malu.
"Oleh karena aku permainkan satu nona, aku telah
langgar pantangan gereja," ia akui. "Sejak turun gunung, aku hidup dalam perantauan, sampai beberapa tahun. Aku
datang kemari untuk cari satu orang. Di sini tempat
memang ada bersarang serombongan berandal, mereka
pegat aku, tetapi dalam satu pertempuran, aku bisa takluki mereka, dengan kesudahannya mereka angkat aku sebagai
pemimpin mereka. Aku tinggal di Angsiong Nia, tempat di
mana kemarin kau dibegal, belum ada satu tahun.
Bukannya cita-citaku akan hidup terus sebagai berandal,
pekerjaan ini aku lakukan selama menantikan berhasilnya
usahaku memelihara banyak kuda, agar dengan hasil kuda
itu, kita bisa punyakan cukup uang untuk hidup kita
selanjutnya. Setelah bisa andalkan kuda, aku berniat cuci tangan. Umpama kata aku dapat cari orang yang aku cari
itu, barangkali aku sudah angkat kaki terlebih siang ... "
"Siapa itu yang kau cari?" si nona menanya terus.
"Ia ada satu tuan penolong dari aku," sahut Lo Siau Hou, yang mau omong terus terang. "Sejak perpisahan aku
dengan penolong itu, sepuluh tahun lebih sudah lewat.
Dahulu ialah yang pesan aku, andaikata aku ingin ketemu
padanya, aku mesti susul dan cari ia di Sinkiang.
Nyanyianku itu adalah ia yang karang untuk kita. Aku ini ada anak siapa dan di mana adanya adik laki-laki dan adik perempuanku, semua itu adalah penolong itu sendiri yang
ketahui." "Jadinya ia itu ada seorang aneh," pikir Kiau Liong. Ia lalu tanya: "Siapa namanya orang itu?"
"Ia ada Kho Long Ciu ... "
Nona Giok terperanjat.
"Kho Long Ciu?" ia ulangi. "Apakah ia ada Kho In Gan, itu orang yang telah berusia limapuluh tahun lebih, yang putih kumis jenggotnya?"
Siau Hou pun agaknya heran, tetapi ia menyahuti:
"Tatkala dulu aku ketemu Kho Long Ciu, itu waktu aku baru berumur tujuh atau delapan tahun, maka kalau
sekarang aku ketemu padanya, tentu aku sudah tidak dapat mengenalkan lagi. Aku cuma dengar ia dipanggil Kho Long
Ciu, belum pernah aku dengar ia dipanggil Kho In Gan. Ia ada seorang terpelajar surat."
"Inilah tentu dianya!" kata Giok Kiau Liong sambil
berbangkit. "Aku kenal orang yang kau cari itu. Ia adalah guruku, ia memang ada seorang luar biasa. Ia berada dalam rombongan kita, dan mempunyai isteri. Isterinya pun
mengerti ilmu silat. Ketika kemarin ini orang-orangmu
datang menyerbu, ia berada dalam sebuah kereta, karena
aku berlalu dalam kekalutan, aku tidak tahu apa jadinya
dengan mereka. Besok aku nanti antar kau menyusul
rombongan keretaku, akan cari penolongmu itu. Aku
percaya, asal ia mendapati kau, kau tentu akan diajak
bersama-sama, hingga kau tak usah menjadi berandal terus
... " Lo Siau Hou girang mendengar keterangan ini, ia
manggut-manggut.
"Baiklah!" ia bilang, "Asal aku ketemu penolongku itu dan mendapati keterangan perihal adik-adikku, aku tentu
akan pergi cari mereka. Hanya ... " ia lantas beroman lesu dan masgul. "Bagaimana, siocia, andaikata gurumu itu bukan tuan penolongku she Kho itu" Bagaimana bila aku
ikut kau dan di antara hamba-hamba negeri dalam
rombonganmu itu ada yang kenali aku sebagai Poan Thian
In" Bagaimana aku mesti menyingkir dari gangguan hamba-
hamba negeri itu?"
Kiau Liong tersenyum ewa.
"Jangan kau menyangka aku hendak pedayakan kau!" ia kata. "Apa kau menyangka aku berniat membekuk
padamu" Jikalau aku berniat demikian, untuk tangkap kau, itulah sangat gampang!"
Lo Siau Hou tidak kata apa-apa, ia melainkan
tersenyum. "Tapi, apakah perlunya bagiku akan tangkap kau?" si nona baliki kemudian. "Mendengar kau, aku merasa
kasihan padamu. Benar aku ada satu siocia dari keluarga
berpangkat, tetapi aku paling ketarik kepada orang-orang gagah yang nasibnya malang ... "
Mendengar ini, air mukanya Poan Thian In sedikit
berubah. "Ini!" kata si nona, seraya ia kembalikan goloknya Poan Thian In. "Ambillah ini, aku tak perlu dengan golok ini! ... "
Tetapi Lo Siau Hou tidak mau sambuti goloknya itu.
"Golok ini aku mendapati di kota Tekhoa, di waktu
berjudi, dari satu punggawa dari tangsi Solun, ia kata. "Ini golok pendek tetapi tajamnya luar biasa, dapat dipakai
menabas putus segala macam kuningan atau besi, selama
bertahun-tahun aku senantiasa simpan di pinggangku. Kau
ada baik sekali, siocia, untuk balas kebaikanmu, aku suka serahkan senjata yang aku sayangi ini!"
Kiau Liong pandang pula golok itu, ia suka senjata itu,
tetapi mengingat yang itu ada buah kemenangan judi,
hatinya berubah dengan segera. Malah sambil lemparkan
golok itu hingga jatuh sambil bersuara, ia kata dengan
cepat: "Ambillah ini, aku tak sudi!"
Siau Hou pungut goloknya, ia berdiri dan awasi si nona,
yang duduk atas pembaringan. Ia agaknya tidak niat
undurkan diri. Ketika itu, api di atas meja sudah hampir padam.
Melihat orang belum mau berlalu, Kiau Liong angkat
kepalanya. "Apakah kau belum mau keluar?" ia tanya.
Poan Thian In berdiri tetap, matanya terus mengawasi.
"Siocia, kau terlalu manis, bugee-mu bikin aku kagum ...
" ia bilang.
Tiba tiba Kiau Liong sambar pedangnya, ujungnya ia
tandkan pada dadanya kepala penyamun itu.
"Lekas keluar!" ia membentak. "Kau bernyali besar sekali. Cara bagaimana berani bicara begini padaku?"
Masih saja Lo Siau Hou berdiri tegak.
"Aku harap kau suka memikir, siocia," ia kata pula. "Kau telah tinggalkan rumah, kau sekarang sedang merantau,
sendirian saja, dari itu, kenapa kita tak mau berjalan
bersama-sama" Aku bersedia akan tinggalkan semua orang
dan kudaku, untuk ajak kau menjaga gunung-gunung!"
"Pergi!" berseru pula si nona dengan roman gusar, dan sambil berseru demikian pedangnya ia tusukkan.
Lo Siau Hou egos tubuhnya dengan gesit, setelah itu
tubuhnya itu ia bungkukkan.
Menampak demikian, Kiau Liong kaget, hingga sambil
tarik pulang pedangnya, ia loncat turun dari pembaringan.
Lebih dahulu ia bikin lampu menyala lebih besar, kemudian ia awasi itu anak muda.
Sekarang ini Siau Hou sudah angkat pula tubuhnya,
hingga ia berdiri pula dengan tegak seperti tadinya, cuma, selagi tangan kanan menyekal goloknya, tangan kirinya
menekan dada, dan dari celah-celah jarinya ada benda cair yang mengalir keluar, darah hidup!
"Kau masih tidak mau pergi?" nona ini tanya pula dengan mata melotot. "Apakah kau mau mati?"
Meskipun tampang mukanya pucat, Siau Hou toh
tertawa, tertawa meringis. Ia manggut.
"Aku pergi, aku akan pergi," ia kata. "Siocia, silahkan kau beristirahat! Harap besok siocia ajak aku akan ketemui penolongku she Kho!"
Habis kata begitu, dengan menahan rasa sakitnya, kepala
penyamun tersohor dari Sinkiang ini putar tubuhnya, akan bertindak keluar dari kamar.
Baru sekarang Giok Kiau Liong menyesal.
"Ia tentu terluka hebat ... " pikir ia. "Tidak seharusnya aku tikam ia ... "
Selagi nona ini berhenti berpikir, tiba-tiba kupingnya
dengar suara jatuhnya barang berat, sebagai tubuh manusia, hingga ia kaget, hingga lekas juga ia sambar lampu buat
dibawa keluar. Sang angin telah sambar api dan bikin itu padam,
kendati demikian, nona Giok sudah lantas dapat lihat tubuh rebah di tanah dari Poan Thian In, hingga ia jadi
bertambah-tambah kaget, tak tempo lagi, dengan tidak
pedulikan apa juga, ia letaki lampu dan lompat pada anak muda itu, yang ia terus pondong dikasih bangun.
"Bagaimana?" ia tanya, dengan suara dari kesibukan.
Istana Pulau Es 11 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Pendekar Latah 4