Pencarian

Iblis Dan Bidadari 2

Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Ouwyang Sianjin, kalau kau hendak mencampuri urusanku, terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!" bentak hwesio itu dengan marah.
Tosu itu tersenyum tenang, "Penjahat gundul, kau mengenal namaku akan tetapi tidak tahu bahwa aku adalah sute (adik seperguruan) dari Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!"
"Begitukah?" teriak hwesio itu dengan kaget dan juga cemas, "Bagus, kalau begitu kau harus mampus!" Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan ilmu pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai dan ganas. Tosu tua ini maklum akan kelihaian ilmu pukulan ini, maka ia berlaku amat hati-hati. Dengan kipasnya yang mengandung tenaga lweekang tinggi ia selalu mengelak dan menangkis tenaga Racun Ular Hitam yang jahat itu, sedangkan kebutannya tiada hentinya menyambar-nyambar ke arah jalan darah lawan untuk melakukan totokan-totokan berbahaya.
Sementara itu, Bwe Kim yang juga sudah berlari keluar dan kini memeluk puterinya menangis sedih karena ia tidak tahu bagaimana harus mengobati puterinya yang tubuhnya lemas tak dapat bergerak lagi itu. Sedangkan keadaan Ciok-taijin lebih mengkhawatirkan lagi. Orang tua ini napasnya tinggal satu-satu, mukanya berobah hitam, tanda bahwa ia telah terkena racun pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai.
Menghadapi sepasang senjata Ouwyang Sianjin yang lihai, Leng Kok Hosiang menjadi sibuk juga. Pukulan-pukulan Hek-coa Tok-jiu yang telah dilatihnya selama lima tahun itu ternyata tidak berhasil merobohkan lawan ini, selalu kena dielakkan atau ditangkis oleh gerakan kipas itu.
Ia menjadi marah sekali dan juga penasaran dan hal inilah yang membuat ia akhirnya menderita kekalahan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ouwyang Sianjin juga sangat terkejut dan gelisah menghadapi pukulan yang luar biasa lihainya ini. Sungguhpun kipasnya dapat melindungi dirinya, namun hawa pukulan itu telah menyerang pernapasannya dan membuatnya pening kepala.
Akan tetapi kemarahan dan kegemasan hwesio itu membuat permainannya menjadi agak kacau. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Ouwyang Sianjin yang tajam, maka ia tidak mau mensia-siakan kesempatan baik ini dan cepat menyerang dengan kebutannya. Setelah bertubi-tubi melakukan serangan-serangan, akhirnya ia berhasil menotok jalan darah koan-goan-hiat di pundak kanan hwesio itu. Leng Kok Hosiang berteriak keras dan sebelah tangannya menjadi lumpuh.
"Ouwyang Sianjin! Biarlah kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi hati-hatilah kau dan muridmu kalau kelak bertemu dengan aku!" Ia lalu melompat pergi dengan cepat.
Ouwyang Sianjin tidak mau mengejar karena ia sendiripun perlu mengatur pernapasannya dan mengusir hawa busuk yang menyerangnya tadi sehingga untuk beberapa lama ia berdiri diam bagaikan patung sambil meramkan matanya. Akhirnya pernapasannya menjadi bersih kembali dan ia lalu membuka matanya.
Di depannya telah berlutut Bwe Kim sambil menangis. Agaknya sudah semenjak tadi perempuan ini menangis dan minta tolong kepadanya, akan tetapi tadi ia tidak mendengarnya sama sekali karena seluruh pancainderanya dipusatkan untuk pembersihan napasnya.
"Totiang, tolonglah .....tolonglah ayah dan anakku ..." berkali-kali Bwe Kim berkata, sedangkan para penjaga yang tidak terluka hanya berdiri dengan mata terbelalak, kagum menyaksikan pertempuran yang terjadi tadi.
"Tenanglah ... tenanglah, toanio," kata tosu itu, "biarlah kuperiksa keadaan mereka." Ia lalu diantar masuk ke dalam gedung itu karena Ciok-taijin dan Lian Hong telah dibawa masuk dan direbahkan ke dalam kamar masing-masing.
Ketika memeriksa keadaan Lian Hong, tosu itu tersenyum.
"Nona ini tidak apa-apa, hanya terkena totokan. Ia cukup kuat dan terlatih untuk menghadapi derita kecil ini." Ia lalu menepuk pundak Lian Hong dan mengurut punggungnya beberapa kali dan gadis itu sehat kembali, Lian Hong segera menghaturkan terima kasih dan berlutut.
"Anak baik," kata tosu itu, "ketahuilah bahwa kedatanganku ini atas kehendak ayahmu untuk melatih ilmu silat kepadamu."
Lian Hong menjadi girang sekali dan serta merta ia berlutut kembali sambil menyebut, "suhu!"
Ketika tosu itu memeriksa Ciok-taijin, ia menggeleng kepala. "Si gundul jahat itu benar-benar ganas sekali tangannya," katanya.
Nyonya bangsawan Ciok menjadi pucat dan sambil menangis ia bertanya tentang keadaan suaminya.
"Tak perlu khawatir," jawab tosu itu tenang, "biarpun tubuhnya telah terkena pengaruh hawa racun, akan tetapi pinto (aku) mempunyai obat penolaknya. Hanya harus diakui bahwa pembersihan darah di dalam tubuhnya akan makan waktu lama, sedikitnya satu bulan baru akan sembuh betul."
Demikianlah, semenjak hari itu, Ouwyang Sianjin tinggal di dalam gedung Ciok-taijin, merawat bangsawan yang dilukai oleh Leng Kok Hosiang itu. Ketika Ciok-taijin sadar dari pingsannya dan mendengar bahwa Ouwyang Sianjin datang atas permintaan Ong Han Cu untuk melatih ilmu silat kepada Lian Hong, orang tua ini tidak menyatakan keberatannya. Ia bahkan merasa girang bahwa kebetulan sekali datang tosu yang lihai ini, dan merasa pula betapa pentingnya mempelajari ilmu silat tinggi. Ia tidak mempunyai keturunan lain lagi dan cucunya hanya Lian Hong seorang, maka kalau gadis itu tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana untuk menjaga diri dan keluarganya dari serangan orang-orang jahat"
Selain membawa pesanan Ong Han Cu untuk mendidik gadis itu, juga Ouwyang Sianjin membawa sebatang pedang dari pendekar Liong-cu-san itu untuk diberikan kepada Lian Hong. Pedang ini adalah pedang mustika yang tipis dan lemas sekali sehingga dapat dijadikan ikat pinggang.
Liong-cu-kiam-hwat adalah kepandaian tunggal dari Ong Han Cu, maka biarpun Ouwyang Sianjin masih terhitung sutenya, akan tetapi tosu ini tidak paham akan ilmu pedang ini, sebaliknya ia memiliki dua macam kepandaian yang amat tinggi, yakni permainan silat dengan kipas dan hudtim (kebutan pendeta).
Ketika Ouwyang Sianjin mendengar bahwa muridnya yang baru ini pandai menari, ia tertarik sekali lalu minta kepada muridnya untuk menari. Lian Hong memenuhi permintaan suhunya dan menarilah ia dengan sehelai selendang merah. Melihat pergerakan yang lemas dan indah ini, tiba-tiba Ouwyang Sianjin berseru.
"Bagus! Selendangmu inilah yang akan merupakan senjata istimewa!"
Lian Hong menghentikan tariannya dan memandang kepada suhunya dengan heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi, tosu itu lalu minta selendang muridnya dan bersilatlah ia dengan selendang itu. Ujung selendang itu sama lemasnya dengan kebutan, maka dapat dipergunakan sebagai pengganti kebutannya.
Selain memberi pelajaran ilmu silat dengan selendang merah yang disebut Ang-kin-ciang-hwat (Ilmu Silat Selendang Merah) juga Ouwyang Sianjin melatih ilmu pedang kepada muridnya ini. Akan tetapi, ia tidak melarang muridnya berlatih Liong-cu-kiam-hwat, bahkan ia lalu memberi petunjuk untuk menggabungkan ilmu pedang yang diajarkannya dengan ilmu pedang Liong-cu-kiam-hwat yang lihai itu.
Tiga tahun lebih tosu itu menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi sehingga setelah berusia delapan belas tahun, Lian Hong telah memiliki kepandaian yang amat lihai. Keistimewaan dara jelita ini adalah permainan selendang merah dan pedangnya yang dapat dimainkan berbareng dengan kedua tangannya secara indah dan juga kuat sekali. Ia telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya dan selain ilmu silatnya yang tinggi, iapun terkenal akan kepandaiannya menari. Pernah ia dipanggil oleh permaisuri kaisar untuk menari di depan wanita agung ini dan ia mendapat pujian hebat dan menerima hadiah-hadiah yang amat berharga.
Setelah melihat bahwa muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, Ouwyang Sianjin lalu meninggalkan kota raja diiringi oleh penghormatan dan ucapan terima kasih dari keluarga bangsawan Ciok. Diam-diam Lian Hong berpesan kepada suhunya agar suka memberi kabar tentang ayahnya, Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu dan permintaan ini telah disanggupi oleh Ouwyang Sianjin.
Nama Lian Hong sebagai seorang gadis yang amat cantik jelita dan pandai menari amat terkenal di kota raja. Banyak sekali pemuda, sungguhpun belum menyaksikan kecantikan gadis ini dengan mata kepala sendiri dan hanya mendengar kabar saja, telah jatuh hati dan merindukan siang malam. Bahkan ada beberapa orang pemuda bangsawan dan hartawan telah memberanikan diri mengajukan pinangan, akan tetapi Ciok-taijin yang amat sayang dan bangga akan cucunya, telah menolak semua pinangan itu.
Lian Hong merasa girang melihat sikap kakeknya, karena gadis ini sendiripun tidak suka memikirkan tentang pernikahan. Adapun ibunya hanya menyerahkan persoalan ini kepada Ciok-taijin saja.
Di kota raja terdapat seorang pemuda yang amat terkenal. Nama pemuda ini terukir di dalam lubuk hati banyak gadis bangsawan dan hartawan, dan banyak pula orang-orang tua para gadis memikirkan pemuda ini dengan hati penuh keinginan memungutnya sebagai mantu.
Pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Sim Liok Ong yang berpangkat tinggi, berpengaruh, dekat dengan kaisar. Selain itu, juga pangeran Sim terkenal kaya raya dan budiman. Tidak saja keadaan orang tua pemuda ini yang amat menarik hati orang untuk mengajak berbesan, juga kegagahan pemuda itu sendiri menjadikan dia bayangan dalam mimpi setiap dara yang telah mendengar namanya.
Ia bernama Sim Tek Kun, terkenal tampan. Telah lulus dalam ujian siucai dan bentuk tulisan maupun gubahan syairnya amat indah. Kebaikan ini ditambah pula dengan kegagahannya karena ia adalah seorang murid terlatih dari Kun-lun-pai dan telah tamat mempelajari ilmu silat di pegunungan itu sehingga ia memiliki kepandaian ilmu silat tinggi.
Ketika terjadi pemberontakan dan kerusuhan yang ditimbulkan oleh segerombolan perampok di daerah utara, putera pangeran ini telah menunjukkan kegagahannya dan ikut membasmi perampok-perampok itu. Hal ini telah mengangkat namanya tinggi-tinggi dan ia mendapat jasa dan pujian dari kaisar sendiri.
Dengan keadaan seperti itu, gadis manakah yang tidak tergila-gila dan orang tua manakah yang tidak ingin sekali mempunyai seorang mantu seperti Sim Tek Kun" Akan tetapi, pemuda ini sendiri berkali-kali menolak bujukan ayah bundanya untuk menikah.
Sebaliknya, ia amat senang merantau, menjelajah di kalangan kang-ouw dan menuntut penghidupan sebagai seorang pendekar budiman. Ia keluar masuk di dusun-dusun dan kota-kota, mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Tangannya amat terlepas dan terbuka, baik untuk memberi uang maupun untuk menyumbangkan tenaga dan kegagahan demi kepentingan orang-orang yang lemah tertindas. Maka, sebentar saja namanya terkenal di kalangan kang-ouw dan ia dijuluki Bun-bu-taihiap (Pendekar Besar Ahli Sastra dan Silat).
Ketika Pangerang Sim Liok Ong dan isterinya melihat Lian Hong mereka menjadi amat tertarik. Di dalam kota raja jarang ada yang mengetahui bahwa nona ini pandai ilmu silat dan yang menjadikannya amat terkenal hanya kecantikan dan kepandaiannya menari. Melihat nona ini, Pangeran Sim dan isterinya merasa suka sekali dan mereka lalu mengajukan pinangan tanpa bertanya kepada putera mereka yang pada waktu itu entah sedang berada di mana.
Ciok-taijin ketika menerima pinangan ini, hampir menari kegirangan. Ia memeluk cucunya dengan air mata bercucuran sambil berkata, "Lian Hong ...... Lian Hong ..... akhirnya Thian menunjukkan kemurahannya kepada kita! Kau telah dipinang oleh Pangeran Sim! Ah, Alangka besar kehormatan ini. Ketahuilah, banyak puteri pangeran lain dari istana kaisar belum tentu akan dapat menerima kehormatan sebesar ini. Bwe Kim, anak baik, akhirnya kau mendatangkan kebahagiaan dan kehormatan kepada orang tuamu karena puterimu ini....."
Melihat kegirangan besar yang diperlihatkan oleh ibunya dan kakek serta neneknya ini, Lian Hong tidak tega untuk menolak. Sebetulnya ia tidak girang sama sekali mendengar berita perjodohannya ini karena ia memang tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk mengikat diri dengan perjodohan. Ia pernah mendengar nama Sim Tek Kun dan diam-diam iapun ingin sekali mengetahui sampai di mana kebenaran berita itu. Ia menganggap berita tentang pemuda itu amat berlebih-lebihan dan sering kali bibirnya yang manis itu ditarik mengejek.
"Hm, Bun-bu-taihiap ...." Pemuda sombong! Mana ada pemuda hartawan dan bangsawan yang patut disebut taihiap" Barangkali hanya seorang tukang pelesir dan tukang menghambur-hambur uang ayahnya belaka. Julukan itu tentu diberikan oleh orang-orang untuk menjilat pemuda bangsawan dan hartawan itu.
Dan kini ternyata pemuda itu telah meminangnya, yakni orang tua pemuda itu. Melihat kegembiraan orang-orang tuanya, ia tak dapat menyatakan sesuatu, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi sebagian besar karena marah. Ia marah kepada pemuda itu yang dianggapnya lancang dan kurang ajar telah berani meminangnya! Orang macam apakah pemuda itu maka berani mencoba hendak mengikatnya sebagai isterinya"
Demikianlah, diam-diam ia berpikir dengan hati penasaran. Memang Lian Hong adalah seorang gadis yang aneh, sikapnya lemah lembut, cantik jelita, dan amat jenaka. Akan tetapi dibalik semua itu ia memiliki kekerasan hati yang diwarisinya dari ayahnya.
Pertunangan diresmikan dan berita pertunangan ini telah tersiar di seluruh kota raja. Banyak sekali orang-orang tua dan puteri mereka merasa iri hati kepada keluarga Ciok atas keberuntungan mereka. Akan tetapi Lian Hong sendiri hanya menerima semua ini dengan hati dingin.
"Kong-kong," katanya dengan lemah lembut dan sikap manja, "aku selalu menurut dan taat kepadamu dan dalam hal perjodohan inipun aku menyerahkan diri kepada kong-kong saja. Akan tetapi ada satu hal yang ku minta kong-kong suka mengabulkannya, yakni aku tidak mau dinikahkan dengan terburu-buru. Biarlah pertunangan ini ditunda sedikitnya setahun!"
Kakeknya, dan juga ibu dan neneknya hanya memandang dengan melongo dan Ciok-taijin hanya menggeleng-geleng kepalanya saja. Baiknya pihak Pangeran Sim juga tidak terburu-buru dan menerima penundaan waktu ini oleh karena pada waktu itu, putera mereka juga belum pulang ke kota raja.
**** Kurang lebih sebulan kemudian, datanglah berita yang membuat Lian Hong dan Bwe Kim menangis tersedu-sedu, hingga Lian Hong jatuh pingsan ketika mendengarnya.
Berita ini merupakan sepucuk surat dari Ouwyang Sianjin yang diantarkan oleh seorang pesuruh, yang mengabarkan tentang kematian Ong Han Cu. Di dalam surat itu, Ouwyang Sianjin menjelaskan nama-nama dari lima orang yang telah membunuh Ong Han Cu dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang di antara lima musuh ini adalah Leng Kok Hosiang yang dulu pernah datang mengganggu mereka dan kemudian dikalahkan oleh Ouwyang Sianjin.
Ciok-taijin hanya menghela napas berkali-kali dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hm, demikianlah kalau orang hidup sebagai perantau yang berhubungan dengan para orang-orang kasar di dunia kang-ouw. Bertempur, melukai atau dilukai, menanam bibit permusuhan, menimbulkan sakit hati dan dendam dalam hati orang lain, kemudian bertempur lagi, membunuh atau dibunuh."
Lian Hong yang sudah siuman kembali ketika mendengar ucapan kakeknya ini, lalu cepat berdiri dan dengan dada terangkat ia berkata.
"Kong-kong, ucapanmu memang benar. Akan tetapi, jiwa seorang gagah menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, ia tidak takut dan segan-segan untuk mengorbankan nyawanya. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membasmi orang-orang jahat dan membela orang-orang lemah tertindas, bagaimanakah keadaan dunia ini" Kejahatan akan merajalela. Karena itu, aku harus pergi mencari musuh-musuh yang membunuh ayah. Aku harus membalasnya!"
"Jangan, Lian Hong, jangan!" seru Ciok-taijin, "Kau seorang gadis muda, bagaimana kau bisa merantau dan mencari penjahat-penjahat yang berbahaya itu?"
"Jangan kuatir, kong-kong," jawab gadis itu dengan sikap gagah. "Menurut surat suhu, sekarang juga suhu telah mencari jahanam Yap Cin yang berjuluk Si Luntung Sakti. Biarlah aku menyusul suhu dan membantunya untuk membasmi penjahat itu!"
"Jangan, Lian Hong, kau akan membuat kami merasa gelisah dan berkhawatir selalu," kata Ciok-taijin pula yang kini juga dibantu oleh nyonya Ciok. Bahkan Bwe Kim juga melarang anaknya jangan pergi menempuh bahaya itu. Lian Hong menjadi kewalahan dan tak dapat berkeras.
Akan tetapi pada malam harinya, gadis itu telah melarikan diri dan meninggalkan kamarnya dengan diam-diam. Hanya sepucuk surat surat yang ditinggalkan di meja kamarnya memberitahukan bahwa ia hendak menyusul suhunya di kota Kam-ciu untuk mencari Sin-wan (Lutung Sakti) Yap Cin. Ciok-taijin, isterinya, dan Bwe Kim merasa gelisah sekali dan Bwe Kim hanya dapat menangis.
Akan tetapi Ciok-taijin lalu memesan kepada isteri dan anaknya itu agar supaya hal ini jangan sempat terdengar oleh Pangeran Sim, akan berbahaya sekali. Tentu saja Pangeran Sim akan menjadi marah mendengar betapa calon mantunya lari minggat untuk merantau seperti gadis kang-ouw yang liar.
**** Semenjak berhasil membunuh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dengan cara yang amat curang bersama empat orang kawannya dan mendapat pembagian harta pusaka yang besar jumlahnya, Yap Cin menjadi seorang kaya raya. Ia tinggal di kota Kam-ciu sebagai seorang hartawan besar memiliki banyak rumah dan sawah, bahkan ia membeli sebuah kereta berkuda yang bagus sekali. Bekas penjahat ini lalu hidup dengan mewah dan kerjanya tiap hari hanya berpelesir, naik kereta bersama kawan-kawannya yang menjadi tukang pukulnya, pergi ke kota-kota terdekat dan menghamburkan uang bagaikan pasir saja.
Pada suatu hari, ia sedang berkereta dengan lima orang kawannya yang naik kuda, baru pulang dari kota lain di mana ia tinggal setengah bulan lamanya dan di mana ia mempunyai seorang sahabat baik yang mengajaknya berpelesir. Ketika rombongannya tiba di luar kota Kam-ciu, tiba-tiba mereka melihat seorang gadis cantik jelita berpakaian ringkas sedang berjalan seorang diri. Gadis ini bukan lain adalah Lian Hong yang sedang menuju ke Kam-ciu untuk menyusul suhunya dan mencari musuh besar ayahnya, yakni Yap Cin.
Melihat seorang dara muda jelita berjalan seorang diri di tempat yang sunyi, timbullah kegembiraan dan kekurangajaran Yap Cin dan kawan-kawannya. Mereka menghentikan kendaraan dan kuda di dekat gadis itu dan ketika Lian Hong menengok, enam orang laki-laki jahat itu menjadi bengong saking terpesona oleh kecantikan Lian Hong. Mereka merasa seakan-akan sedang mimpi bertemu dengan seorang bidadari dari kahyangan yang tersasar di dalam hutan.
Keteledoran si Hidung Bangor
YAP CIN segera melompat turun dari dalam keretanya dan untuk memamerkan kepandaiannya, ia melompat sambil mempergunakan gerakan Burung Walet Menyambar Air dan kedua kakinya turun dengan amat ringannya di depan nona itu. Diam-diam Lian Hong menjadi terkejut juga melihat laki-laki setengah tua yang berpakaian mewah ini memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya. Ia menjadi curiga dan berlaku hati-hati sekali.
"Nona, bolehkan aku bertanya, nona hendak pergi ke mana?" tanya Yap Cin sambil memberi hormat dan memainkan senyum dimulutnya.
Lian Hong adalah seorang gadis yang tabah dan banyak bergaul maka ia tidak berlaku malu-malu. Sungguhpun ia merasa tak senang melihat kelancangan laki-laki ini, namun ia menjawab juga dengan singkat.
"Hendak ke Kam-ciu,"
Semua orang yang merubungnya tersenyum mendengar jawaban ini dan laki-laki berpakaian mewah itu bahkan tertawa senang.
"Kebetulan sekali, kebetulan sekali!" serunya berkali-kali dengan muka girang. "Kami pun sedang menuju ke Kam-ciu. Silakan naik ke dalam keretaku saja, nona. Tidak enak berjalan seorang diri di tempat sunyi ini, lagi pula tentu lelah kalau berjalan kaki."
Lian Hong merasa mendongkol sekali. Ia maklum sedang berhadapan dengan orang-orang kurang ajar, akan tetapi agar jangan menimbulkan keributan, ia tersenyum dan menjawab,
"Terima kasih, tidak bisa aku menerima ajakan seorang yang tidak kukenal. Lebih baik aku berjalan kaki saja dan harap kalian jangan menggangguku lebih lama lagi."
Akan tetapi Yap Cin dan kawan-kawanya merasa seakan-akan kejatuhan bulan ketika menyaksikan senyum di bibir gadis itu. Memang Lian Hong amat cantik jelita, apalagi kalau ia sudah tersenyum. Sukarlah kiranya mencari laki-laki yang takkan jatuh hati apabila melihat ia tersenyum.
"Jangan berkata begitu, nona. Kau tentu hendak artikan belum mengenal, bukan tidak mengenal. Apa salahnya kalau sekarang kita berkenalan" Kau takkan merasa kecewa berkenalan dengan orang-orang seperti kami yang sudah terkenal di Kam-ciu," jawab Yap Cin sambil tertawa-tawa.
"Kau benar-benar takkan kecewa, nona manis!" kata seorang dari pada kawan-kawan Yap Cin. "Ketahuilah bahwa kau sedang berhadapan dengan Yap-wangwe (hartawan Yap), tokoh terkenal di kota Kam-ciu."
Bagaikan sinar terang she Yap ini terlintas diotak Lian Hong. Ia mainkan senyumnya lagi dan bertanya, "Ah, jadi kaukah yang terkenal sebagai Yap-wangwe di Kam-ciu" Bolehkah aku mengetahui siapakah nama wangwe yang selengkapnya?"
Yap Cin menyeringai dengan girang sekali. Disangkanya bahwa gadis ini mulai silau dan tertarik karena namanya sebagai seorang hartawan besar, maka cepat-cepat ia berkata, "nona yang baik, namaku Yap Cin, dan ketahuilah bahwa selain terkenal sebagai seorang hartawan yang berbudi baik, akupun terkenal di kalangan dunia persilatan sebagai Sin-wan (Si Lutung Sakti)!"
Saking terkejut dan girangnya dapat bertemu dengan musuh besarnya yang memang sedang dicari-cari, wajah yang cantik itu sampai menjadi pucat dan sepasang matanya memancarkan cahaya berapi-api.
"Jadi kaukah jahanam busuk yang bernama Sin-wan Yap Cin" Kau bersiap siagalah untuk mampus ditanganku!" Sambil berkata demikian, Lian Hong lalu mencabut keluar pedang tipisnya dan selendang merahnya. Tentu saja Yap Cin dan kawan-kawannya menjadi heran melihat sikap nona ini.
"Eh, nona manis, kau siapakah dan mengapa kau bersikap seperti ini" Apakah salahku kepadamu?" tanya Yap Cin yang masih memandang rendah kepada dara muda ini.
Lian Hong tersenyum dengan bibir mengejek. "kau hendak mengenal aku" Baiklah, buka telingamu lebar-lebar, binatang rendah! Aku adalah Ong Lian Hong dan Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu adalah ayahku!"
Pucatlah muka Yap Cin mendengar ini. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang puteri dan bahwa puterinya itu kini telah berdiri dihadapannya. Akan tetapi ia adalah seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya, maka tentu saja ia tidak takut menghadapi seorang gadis muda seperti Lian Hong.
"Nona manis, biarpun kau puteri dari Pat-jiu kiam-ong, akan tetapi dengarlah nasehatku . Kau takkan dapat berbuat sesuatu terhadapku dan sayanglah kalau kau menyia-nyiakan usia muda dan kecantikanmu. Dari pada kau memusuhiku, marilah kita bersahabat. Ayahmu sendiri tidak dapat mengalahkan aku, apalagi kau!"
"Mulut busuk! Kalau kau dan kawan-kawanmu tidak mempergunakan kecurangan dan kekejian, mana kau dapat menangkan ayah" Bersiaplah untuk mampus!" Gadis ini dengan sengit lalu maju menyerang dengan pedang dan selendangnya.
Tadinya Yap Cin masih memandang rendah, akan tetapi ketika pedang itu menyambar bagaikan kilat ke arah lehernya sedangkan selendang itu bagaikan seekor ular menotok ke arah ulu hatinya, ia menjadi terkejut juga. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang dengan gerak lompat Naga Hitam Memutar Tubuh sambil mencabut keluar senjatanya yang lihai, yakni sebatang ruyung lemas yang berduri. Tanpa banyak cakap iapun lalu membalas dengan serangan hebat, akan tetapi dengan amat lincahnya gadis itu mengelak.
Serang menyerang terjadi dan dalam beberapa gebrakan saja diam-diam Yap Cin mengeluh. Gadis ini gerakannya amat cepat, ginkangnya sudah amat tinggi dan ilmu silat yang dimainkan oleh kedua tangannya benar-benar aneh dan lihai sekali.
Pedang tipis itu menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, sedangkan selendang merah itupun tak boleh dipandang ringan, oleh karena angin sambarannya saja sudah terasa pada kulitnya. Maka ia tidak berani untuk mencoba-coba dan menyambut totokan selendang itu. Terpaksa Yap Cin mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus saja, ia terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.
"Bangsat terkutuk mampuslah kau!" berkali-kali Lian Hong berseru dengan gemas tiap kali senjatanya menyerang. Gadis ini merasa gemas dan benci sekali sehingga setiap serangannya merupakan pukulan maut yang amat berbahaya. Hanya berkat tenaganya yang besar serta pengalamannya bertempur yang banyak sajalah maka Yap Cin masih kuasa mempertahankan diri.
Akan tetapi pada suatu saat, selendang di tangan kiri Lian Hong bergerak sedemikian rupa menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Ketika Yap Cin mengelak ke kiri, bagaikan bermata dan hidup selendang merah itu mengejar ke kiri dan tahu-tahu telah melibat lehernya.
"Mampuslah jahanam!" kembali Lian Hong berseru keras dan ia menarik selendangnya kuat-kuat untuk mencekik leher musuh besarnya itu. Yap Cin merasa seakan-akan lehernya dicekik oleh tangan manusia yang amat kuat sehingga lidahnya menjulur keluar dan matanya mendelik.
Untung baginya bahwa pada saat itu, kelima orang kawannya lalu menyerbu dan mengeroyok Lian Hong. Terpaksa gadis ini melepaskan selendang merahnya dari libatan pada leher musuhnya sehingga Yap Cin dapat bernapas lagi sambil meraba-raba lehernya. Kemudian enam laki-kai itu lalu mengeroyok Lian Hong.
Lima orang kawan Yap Cin itu bukanlah ahli-ahli silat biasa saja dan rata-rata mereka telah memiliki ilmu silat tinggi. Karena mereka semua mempergunakan pedang dan mengurung dengan secara teratur pula, dikepalai oleh Yap Cin yang merasa sakit hati dan marah, agak sibuk jugalah Lian Hong menghadapi mereka.
Namun dara perkasa ini sedikitpun tidak menjadi gentar. Ia tidak mau mundur setapakpun dan melakukan perlawanan dengan sengit, bahkan membalas dengan serangan-serangan ke berbagai jurusan.
Yang paling berbahaya dan terhebat serangannya di antara enam orang pengeroyoknya itu adalah Yap Cin sendiri. Si Lutung Sakti ini selain maklum bahwa ia harus membinasakan puteri Ong Han Cu yang telah ditewaskannya bersama-sama kawan-kawannya itu, juga ia merasa amat penasaran dan marah sekali.
Ia adalah seorang kang-ouw yang tenar dan telah terkenal memiliki ilmu silat yang tidak rendah apakah sekarang ia benar-benar harus jatuh dan kalah oleh seorang dara remaja" Apa lagi kalau sampai terdengar orang lain bahwa ia, Si Lutung Sakti, bersama lima orang ahli silat lain mengeroyok seorang nona berusia belasan tahun.
Ah, alangkah akan malunya! Karena ini Si Lutung Sakti Yap Cin lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan mati-matian. Ruyungnya menyambar-nyambar mendatangkan angin sehingga Lian Hong harus berlaku waspada dan hati-hati sekali. Sekali saja terkena hantaman ruyung di tangan Yap Cin, akan celakalah dia.
Pertempuran telah dilakukan lima puluh jurus, namun belum juga enam orang laki-laki itu dapat merobohkan Lian Hong. Mereka merasa amat penasaran dan mengurung makin rapat, menyerang dengan bertubi-tubi sehingga keadaan Lian Hong amat terdesak.
Gadis inipun tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan enam orang lawannya karena senjata enam orang lawannya menyerang bagaikan hujan datangnya. Kalau ia mau, dengan menggunakan ginkangnya, ia akan dapat melarikan diri dari kepungan enam orang ini, akan tetapi gadis ini memiliki ketabahan dan kenekatan besar.
Biarpun ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran yang berat sebelah ini, ia takkan dapat menang, namun untuk meninggalkan musuh besarnya begitu saja, iapun merasa berat. Maka sambil mengerahkan tenaga dan mengumpulkan semangat, Lian Hong terus melakukan perlawanan.
Pada saat keadaan Lian Hong sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar seruan keras, "Yap Cin bangsat tak tahu malu! Kau mengandalkan keroyokan enam orang untuk mengepung seorang gadis muda! Hah, orang macam kau ini tak patut hidup lagi!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, muncullah seorang tosu tua dengan tangan kanan memegang kebutan dan tangan kiri memegang kipas.
"Suhu ....!" seru Lian Hong dengan girang sekali, akan tetapi ia segera berkata kepada suhunya. "Suhu, biarkan teecu membalas dendam ayah kepada jahanam she Yap ini dan tolong suhu usir saja lima orang anjing yang tak tahu malu ini!"
Ouwyang Sianjin tertawa bergelak dan begitu kebutannya bergerak, buyarlah kepungan itu. Seorang pembantu Yap Cin roboh terguling-guling terkena sambaran ujung kebutan dan empat orang yang lain segera mengeroyoknya, meninggalkan Yap Cin menghadapi gadis itu sendiri.
Pertempuran terbagi dua bagian dan kini keadaan menjadi terbalik. Empat orang kawan Yap Cin itu mana dapat menandingi Ouwyang Sianjin" Dengan enak dan mudahnya Ouwyang Sianjin mainkan kebutannya tanpa mempergunakan kipasnya untuk menyerang karena kipas itu bahkan digunakan untuk mengipasi tubuhnya sendiri seakan-akan pertempuran itu membuat ia merasa gerah.
Sementara itu, ketika mendengar dari Lian Hong bahwa tosu tua itu adalah suhu dari gadis perkasa ini, Yap Cin terkejut sekali. Iapun pernah mendengar dari sahabatnya, yakni Leng Kok Hosiang bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang saudara seperguruan yang bernama Ouwyang Sianjin, seorang tosu yang lihai dan bersenjata kebutan dan kipas, maka melihat tosu ini, tahulah dia bahwa yang datang ini tentulah Ouwyang Sianjin. Untuk melarikan diri, tak mungkin lagi karena Lian Hong mengurungnya dengan pedang dan selendangnya yang lihai, maka ia lalu melakukan perlawanan mati-matian.
Namun, karena ia memang kalah gesit dan kalah lihai ilmu silatnya, ditambah pula hatinya telah gentar dan ketakutan sehingga permainan senjatanya agak kacau. Baru saja bertempur belasan jurus, selendang ditangan kiri Lian Hong berhasil melibat lengan kanannya yang memegang ruyung.
Yap Cin mencoba untuk melepaskan tangannya akan tetapi sia-sia saja dan sebelum ia dapat mengelak, pedang di tangan kanan Lian Hong telah menusuk dadanya dengan gerak tipu Benang Mas Masuk Lubang jarum, sebuah gerak tipu serangan yang amat cepat dan tepat sekali datangnya. Yap Cin menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan dada menyemburkan darah dan ruyungnya terlepas dari pegangan.
Setelah berhasil menewaskan musuh besarnya, Lian Hong menengok ke arah suhunya yang tadi dikeroyok oleh empat orang kaki tangan Yap Cin, akan tetapi ternyata suhunya telah berdiri menganggur karena semua lawannya telah roboh sambil merintih-rintih tak dapat bangun lagi.
Lian Hong lalu maju dan berlutut di depan suhunya sambil menangis sedih karena ia teringat akan ayahnya.
Ouwyang Sianjin mengelus-elus kepala muridnya dan berkata.
"Anak baik, sudahlah jangan kau bersedih. Ayahmu telah tewas dan karena kematiannya tidak sewajarnya, maka sudah menjadi tugas kewajibanmu untuk membalas dendam agar roh ayahmu tidak menjadi penasaran. Kau telah berhasil menewaskan Yap Cin, dan kini masih ada empat orang lagi yang harus dibalas. Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak terburu nafsu, muridku, karena ketahuilah bahwa musuh-musuhmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Apalagi Leng Kok Hosiang yang memiliki ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu dan Cin Lu Ek yang berjuluk Naga bermata Emas. Kau harus menggunakan kecerdikan dan jangan sampai gagal menghadapi mereka. Ketahuilah bahwa murid ayahmu, yakni sucimu yang bernama Nyo Siang Lan dan yang telah dijuluki Hwe-thian Moli, juga telah mencari musuh-musuhmu ini. Kalau kau bertemu dengan dia, boleh kau bersama-sama dia melakukan tugas berbahaya ini."
"Teecu hanya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari suhu," jawab Lian Hong, setelah ia disuruh berdiri oleh suhunya itu. "Hanya seorang saja yang sudah kuketahui tempat tinggalnya, yakni Liok Kong yang berjuluk Toat-beng Sin-to. Ia tinggal di Kan-cou Propinsi Kiangsi dan kebetulan sekali pada bulan depan ia akan mengadakan pesta ulang tahunnya. Kau datanglah ke sana, akan tetapi sungguhpun permainan golok dari orang she Liok ini tak perlu kau takuti, namun di sana tentu terdapat kawan-kawannya yang menjadi tamu. Maka kau harus berlaku cerdik dan mengingat bahwa kau pandai menari, ada baiknya kalau kau menyamar sebagai seorang penari, pura-pura menjadi utusan seorang hartawan besar dan menari di depannya. Kemudian pada saat yang baik setelah kau dapat berhadapan dengan dia, kau turun tangan!"
Demikianlah, setelah mendapat pesan dan banyak nasihat dari gurunya, Lian Hong lalu di suruh pulang ke kota raja sedangkan tosu tua itu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang sungguh kebetulan sekali bahwa orang tua itu datang pada saat Lian Hong berada di dalam bahaya.
Sesungguhnya ketika orang tua itu mencari Yap Cin di Kam-ciu, sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Yap Cin tidak berada di kota dan sedang berpesta dan berpelesir di kota lain selama setengah bulan. Tosu itu menanti di Kam-ciu sampai setengah bulan sehingga akhirnya ia menjadi kesal dan hendak menyusul orang she Yap itu. Kebetulan sekali pada hari itu, Yap Cin juga pulang dari tempat pelesir dan bertemu dengan Lian Hong.
Kedatangan Lian Hong di rumah Ciok-taijin, disambut oleh kegembiraan dan juga teguran keras, terutama sekali dari Ciok-taijin. Akan tetapi dengan muka girang Lian Hong menuturkan betapa ia telah berhasil membalas dendam ayahnya kepada seorang di antara ke lima orang musuh besar itu.
"Lian Hong, dengarkan kata-kataku dengan baik, cucuku," kata Ciok-taijin sambil memandang tajam.
"Sungguhpun sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas sakit hati ayahmu, akan tetapi tidak selayaknya kalau kau sebagai seorang gadis bangsawan, tunangan putera Pangeran Sim, sampai melakukan perjalanan seorang diri mencari musuh-musuhmu dan membiarkan dirimu berada di dalam bahaya maut. Bagaimana kalau sampai kau dirobohkan oleh orang-orang jahat itu" Dan bagaimana pula kalau sampai ada yang mengetahui bahwa tunangan putera Pangeran Sim melakukan perjalanan seorang diri di dunia" Kau hanya membikin kami orang-orang tua merasa susah dan gelisah, cucuku. Pembalasan sakit hati ini bukankah sedang diusahakan oleh suhumu" Kalau perlu, aku dapat mengerahkan perwira-perwira untuk mencari penjahat-penjahat itu dan menghukumnya. Tidak perlu kau pergi sendiri seperti yang telah kau lakukan itu."
Akan tetapi, kembali watak ayahnya nampak jelas kepadanya ketika gadis itu menyahut,
"Kong-kong, gadis bangsawan maupun gadis biasa, tidak ada salahnya melakukan perjalanan seorang diri asalkan ia dapat menjaga dirinya. Dengan kepandaian yang telah kupelajari, apakah yang kutakuti" Membalas dendam ayah, harus dilakukan oleh aku sendiri. Kong-kong sendiri menyatakan bahwa itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, maka bagaimana aku dapat membiarkan suhu sendiri yang pergi membalas dendam" Tidak, kong-kong. Harus aku sendiri yang melakukan pembalasan ini sebagai darma baktiku kepada mendiang ayah yang semenjak kecil belum pernah kubalas kebaikannya. Adapun tentang pertunanganku dengan pemuda putera pangeran itu, aku tidak perduli apakah ia atau orang tuanya akan suka atau tidak melihat aku pergi melakukan pembalasan terhadap para penjahat itu. Kalau mereka suka, syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa karena aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah sebelum dapat membereskan tugas pembalasan sakit hati ini!"
"Lian Hong ....!" jerit ibunya.
"Ibu, apakah ibu juga akan suka melihat ayah terbunuh tanpa dapat membalas dendam" Dan pula, orang-orang kang-ouw tentu sudah maklum bahwa ayah adalah mantu dari Ciok-taijin, dan seandainya para pembunuh ayah itu tidak terhukum, bukankah itu berarti merendahkan nama kong-kong pula?"
Kemudian ketika melihat betapa kong-kongnya mendengarkan dengan penuh perhatian, ia lalu maju dan memegang tangan kong-kongnya yang amat menyayanginya itu sambil berkata,
"Kong-kong, janganlah kau khawatir. Aku dapat menjaga diri, dan apabila kong-kong tidak menghalangi, tak lama lagi ke empat orang jahat itu akan dapat kutewaskan semua. Selain itu, harap kong-kong jangan gelisah. Selain suhu yang ikut mengusahakan pembalasan dendam ini, juga seorang murid dari ayah, yang bernama Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, telah pula turun gunung dan mencari para penjahat itu!"
Dengan alasan-alasan ini, akhirnya Lian Hong mendapat kemenangan dan kong-kongnya sambil menarik napas panjang berkata,
"Sudahlah, lakukan apa yang kau kehendaki. Akan tetapi kau berlakulah hati-hati sekali dan jaga dirimu baik-baik. Pula, ada satu hal yang kuminta kau memperhatikan baik-baik, yakni jangan sekali-kali ada orang luar mengetahui bahwa kau adalah tunangan dari pada putera Pangeran Sim. Lakukanlah hal ini untuk menjhaga nama baikku, maukah kau, Lian Hong?"
Gadis ini dengan manja lalu memeluk kakek ini dan menyatakan kesanggupannya.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sebulan kemudian, dengan menyamar sebagai seorang penari, Lian Hong berhasil membunuh Liok Kong di rumahnya sendiridi waktu Toat-beng-sin-to Liok Kong sedang mengadakan pesta. Kemudian setelah mengajak Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan berlumba untuk sebanyak-banyaknya menewaskan musuh besar mereka, Lian Hong lalu kembali ke kota raja, pulang ke rumah kong-kongnya untuk menceritakan hasil usaha pembalasan dendam itu dengan girang.
Ketika Ciok-taijin mendengar bahwa kini jumlah musuh yang harus dibalas tinggal dua orang lagi dan bahwa Hwe-thian Moli juga ikut mencari musuh-musuh itu, hatinya menjadi agak lega. Ia bahkan membantu usaha cucunya dengan jalan menyuruh beberapa orang perwira sebagai penyelidik untuk mencari jejak dua orang musuh besar cucunya itu, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-gan-liong Cin Lu Ek.
Tentu saja Lian Hong merasa girang sekali mendapat bantuan kakeknya ini dan ia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam kakeknya juga memerintahkan kepada para penyelidik itu apabila telah bertemu dengan orang-orang yang dicari, supaya ditangkap atau dibunuh, dan kalau perlu boleh minta bantuan pembesar setempat. Untuk ini ia telah memberi sebuah surat perintah kepada mereka.
**** Kita ikuti lagi perjalanan Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, gadis gagah perkasa yang secara berani sekali telah mengacau di dalam pesta Liok Kong dan ilmu pedangnya bahkan berhasil menundukkan Lian Hong.
Semenjak berpisah dari Lian Hong, gadis ini masih saja merasa kagum dan heran kalau ia teringat akan gadis penari yang cantik jelita itu. Bagaimanakah suhunya dapat mempunyai seorang puteri yang sebaya dengan dia tanpa pernah menceritakannya kepadanya" Siapakah isteri suhunya dan di mana tinggalnya"
Ia merasa kecewa karena Lian Hong tidak mau menceritakan keadaannya dan sebetulnya ingin sekali berkenalan dengan sumoinya itu. Ia merasa amat kagum akan kepandaian Lian Hong dan melihat gerakan ilmu pedangnya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Lian Hong pernah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat secara baik, hanya masih kurang matang dan tercampur dengan ilmu pedang lain. Akan tetapi ilmu silat selendang yang dimainkan oleh gadis penari itu sungguh-sungguh hebat.
Ia tersenyum sendiri kalau teringat akan kelincahan dan kejenakaan Lian Hong, dan ia dapat menduga bahwa gadis penari itu membohong dan sengaja mempermainkannya ketika mengaku bahwa iapun mempunyai julukan Hwe-thian Sianli.
Semenjak turun gunung untuk mencari musuh yang membunuh suhunya, ia telah mengalami banyak peristiwa hebat. Setelah ia turun gunung, pertama-tama yang ia dapat ketemukan jejaknya adalah Santung taihiap Siong Tat, Pendekar Besar dari Santung.
Ia mendengar berita bahwa Siong Tat telah pergi pindah ke kota Kang-leng sebelah selatan Ibukota Cin-an. Dengan cepat ia lalu menyusul ke Kang-leng dan mudah saja ia mendapatkan alamat Santung taihiap Siong Tat karena orang she Siong inipun telah menjadi seorang hartawan besar yang membuka rumah gadai terbesar di kota Kang-leng.
Ketika ia hendak memasuki kota itu dan berada di jalan yang sunyi tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tua memanjat pohon sambil menangis. Tangan orang itu membawa sehelai tali. Gerakan orang ini amat mencurigakan hati Hwe-thian Moli, maka diam-diam sambil bersembunyi, gadis ini lalu mengintai.
Ternyata bahwa orang tua itu lalu menalikan tali yang dibawanya pada cabang pohon dan hendak menggantung diri. Melihat ini, tentu saja Siang Lan menjadi terkejut sekali. Ia merasa heran mengapa ada orang yang demikan putus asa sehingga mengambil keputusan pendek.
Kakek tua itu telah membuat ujung tali menjadi penjerat leher, mengalungkannya kepada lehernya dan hendak melompat turun. Akan tetapi alangkah herannya ketika tiba-tiba tali yang tergantung pada cabang itu menjadi putus dan tanpa diketahui sebabnya.
Ia memandang ke sekeliling dan melihat keadaan di situ sunyi saja. Ia berkata keras-keras. "setan penjaga tempat ini mengapa masih mau mengganggu seorang yang sengsara seperti aku" Awas, jangan mengganggu dan menghalangi maksudku, kalau aku sudah mampus dan menjadi setan penasaran pula, akan kucari kau dan kubalas perbuatanmu ini!"
Setelah berkata demikian, ia lalu menalikan talinya itu kembali pada cabang lain. Akan tetapi pada saat itu muncullah seorang gadis cantik yang tahu-tahu telah berada di bawah pohon. Orang tua ini memandang dengan mata terbelalak. Ia merasa pasti bahwa gadis cantik ini tentulah setan yang menjaga di situ, maka katanya.
"Mungkin kau adalah setan dari seorang gadis yang juga mati dalam penasaran. Maka biarlah aku mengakhiri penderitaanku di dunia ini!"
Akan tetapi gadis yang bukan lain adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, tanpa menjawab segera melompat ke atas, menggunakan kedua tangannya menangkap tubuh kakek itu dan membawanya lompat turun kembali ke bawah pohon.
"Lopek (uwak), mengapa kau begitu lemah dan bersikap seperti seorang pengecut?"
Marahlah kakek itu. "Siapa bilang aku pengecut" Aku tidak takut mati dan hendak menghabiskan nyawaku dengan tak gentar sedikitpun, dan kau masih menyebutku pengecut" Siapakah kau nona yang cantik jelita dan kasar ini?"
"Hm, menghabiskan nyawa sendiri dengan cara demikian adalah perbuatan rendah yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pengecut! Kau bilang berani mati, bukankah itu berarti bahwa kau takut untuk hidup" Lopek, bukan demikianlah cara untuk memecahkan kesulitan hidup! Kalau ada sesuatu hal yang menyulitkan keadaanmu, kau harus berusaha memecahkannya, bukan dengan cara menghabiskan nyawa dan lari dari pada kesulitan yang kau hadapi!"
Kakek yang tadinya menundukkan mukanya yang sedih itu kini memandang dengan penuh keheranan.
"Siapakah kau, nona" Siapakah kau yang semuda ini telah dapat mengeluarkan ucapan seperti itu?"
"Orang menyebutku Hwe-thian Moli, namaku Nyo Siang Lan. Sekarang lekaslah kau ceritakan kepadaku mengapa kau berlaku nekad seperti ini. Kalau kau sendiri tidak dapat memecahkan kesulitan yang kau hadapi, mungkin aku dapat menolongmu."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Sulit, sulit ...."Kemudian atas desakan Hwe-thian Moli ia lalu menuturkan keadaannya.
Kakek itu bernama Lim Bun dan hidup berdua dengan anak perempuannya di kota Kang-leng dalam keadaan miskin sebagai seorang petani yang memiliki sebidang kecil sawah. Anak perempuannya telah menjadi janda yang ditinggal mati suaminya dengan peninggalam lima orang anak yang kesemuanya lalu tinggal bersama kakek mereka, yakni Lim Bun itu.
Semenjak anak perempuan dan cucu-cucunya tinggal bersamanya dan hidup mereka menjadi tanggungannya, mulai sukarlah keadaan kakek ini. Biasanya ia hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri oleh karena anaknya telah mendapat perlidungan dari suaminya, akan tetapi sekarang ia harus dapat mencari makan untuk tujuh mulut. Tentu saja tenaganya yang sudah tua itu tidak kuat untuk mencari nafkah sebesar ini.
Cucu-cucunya masih kecil dan yang sulung adalah seorang perempuan pula sehingga tenaga bantuannya tak banyak dapat diharapkan. Cucunya yang sulung itu telah berusia lima belas tahun dan dapat dibilang cantik juga.
Makin lama makin sukarlah keadaan Lim Bun beserta cucu-cucunya Barang-barang yang kiranya laku dijual telah lama habis dan kini hanya tinggal sawah yang kecil itu saja yang masih ada. Namun agaknya Thian masih hendak menguji keuletan manusia di dunia, dan percobaan-percobaan berat diturunkan kepada manusia untuk diderita oleh makhluk-makhluk yang diturunkan di dunia tanpa mereka kehendaki sendiri itu.
Musim kering berlangsung amat lamanya sehingga dari sebidang kecil sawah itupun tidak dapat diharapkan hasilnya. Tanahnya mengering, pecah dan retak-retak, sedikitpun tidak dapat ditumbuhi apa-apa melainkan rumput-rumput kering menguning.
Di ambang pintu kelaparan, akhirnya Lim Bun dan anak perempuannya terpaksa lari ke sebuah rumah gadai yang istimewa. Rumah gadai ini amat besar dan pemiliknya adalah Santung-taihiap Siong Tat yang amat berpengaruh dan disohorkan sebagai seorang hartawan besar yang royal. Ketika Lim Bun dengan terbongkok-bongkok memasuki rumah gadai ini, penjaga rumah gadai menanyakan apakah maksud kedatangannya.
"Hamba hendak meminjam uang," jawab Lim Bun yang merendahkan diri sedemikian rupa terhadap pegawai itu karena mengharapkan pertolongan darinya.
Pegawai rumah gadai mengerutkan dahinya.
"Minta tolong pinjam uang" Di sini tidak mminjamkan uang tanpa ada barang tanggungan. Di sini adalah rumah gadai. Apakah kau mempunyai barang tanggungan?"
"Hamba mempunyai sebidang sawah, siauwya (tuan muda)."
Disebut "siauwya" yakni sebutan yang amat menghormat dan biasanya hanya ditujukan kepada orang-orang muda yang kaya atau berpangkat, pegawai rumah gadai yang masih muda itu berseri mukanya dan tersenyum, akan tetapi dahinya tetap dikerutkan.
"Sawah" Siapakah yang menghargai sawah pada musim kering seperti ini" Lagi pula, di sini hanya menerima sesuatu yang dapat dibawa ke sini untuk disimpan sebagai tanggungan."
"Siauwya, kasihanilah .... hamba sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali sawah itulah, semua barang sudah kami jual untuk dimakan."
"Hm, sukar juga, pak tua!" Kemudian pegawai rumah gadai itu menggigit-gigit tangkai pitnya seperti orang sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia memandang dan bertanya dengan suara perlahan. "Apakah kau mempunyai anak atau cucu yang masih gadis?"
Pertanyaan yang aneh ini membuat Lim Bun melenggong, akan tetapi ia menjawab juga. "Memang hamba mempunyai seorang cucu perempuan yang masih gadis bernama Siauw Kim, akan tetapi apakah hubungannya dengan urusan ini?"
Orang muda di dalam kantor rumah gadai itu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Kalau cucumu itu cantik, ia akan dapat dijadikan tanggungan untuk peminjaman uang. "Makin cantik, makin banyaklah kau dapat meminjam."
"Apa ...?" Untuk beberapa lama orang tua itu memandang dengan mata terbelalak. "Kau maksudkan ... seorang gadis dapat di ....digadaikan di sini ...." Alangkah ....alangkah ...."
"Sst, jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak-tidak, lopek."
Pegawai itu menempelkan pit pada bibirnya untuk mencegah orang tua itu berkata lancang. "Yang mengeluarkan peraturan ini adalah Siong-wangwe sendiri dan apakah buruknya itu" Orang miskin yang tidak mempunyai barang tanggungan tentu saja tak dapat meminjam uang, maka Siong-wangwe lalu mendapatkan pikiran yang amat baik ini. Dengan menggadaikan anak perempuannya, orang dapat meminjam uang dan setelah ia mempunyai uang penebus, ia dapat menebus kembali anak perempuannya. Apakah salahnya itu" Anak perempuannya akan diurus baik-baik, disuruh bekerja membersihkan halaman dan pekerjaan wanita lainnya, diberi makan cukup!"
"Akan tetapi .... mengapa diukur dari kecantikannya ...?"
Orang muda pegawai rumah gadai itu tersenyum dan menahan gelak ketawanya. "Lopek, kau seperti anak kecil saja! Bukankah semua benda di dunia ini, baik itu berjiwa atau tidak, selalu dinilai orang karena kebagusannya" Nah, kau pulanglah dan pikirlah baik-baik, kau membiarkan sekeluargamu mati kelaparan atau datang menyerahkan cucumu untuk menjadi tanggungan di sini dan dapat meminjam uang. Kami menanggung bahwa cucumu itu takkan diganggu oleh siapapun juga dan akan dapat ditebus dalam keadaan baik dan sama sekali tidak terganggu. Akan tetapi, kalau sampai kau tidak dapat menebus pada waktunya dan waktu pembayaran itu telah habis, maka cucumu akan menjadi hak milik Siong-wangwe dan dalam hal ini tentu saja dia dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap hak miliknya!"
Lim Bun menjadi pucat dan tanpa dapat bicara lagi ia lalu pergi dari rumah gadai itu dengan langkah terhuyung-huyung. Sepanjang jalan pikirannya bekerja keras. Haruskah ia menggadaikan cucu perempuannya, Siauw Kim yang manis" Haruskah ia mengorbankan perasaan dan kehormatan gadis cucunya itu untuk menolong keluarganya" Ah, tidak, tidak! Sekali lagi tidak! Biarpun ia miskin, ia masih mempunyai keangkuhan untuk melakukan hal itu. Sungguhpun ia harus mati kelaparan, ia tidak suka melihat cucunya itu dijadikan barang tanggungan yang tentu akan merendahkan nama baiknya, sebagai seorang anak gadis.
Akan tetapi, keangkuhan hatinya itu buyar sama sekali ketika sampai di rumah gubuknya disambut oleh tangisan-tangisan yang menyayat kalbu. Ternyata bahwa cucunya yang bungsu, yang menderita sakit panas ketika ditinggalkannya tadi, kini telah meninggal dunia.
Di dalam kehancuran hati mereka, ibu Siauw Kim dan gadis itu sendiri masih teringat kan kebutuhan uang guna pengurusan jenazah anak kecil itu dan juga untuk membeli makanan bagi anak-anak yang lain yang sudah menderita lapar semenjak kemarin.
"Bagaimana, ayah" Berhasilkah usahamu mencari pinjaman ke rumah gadai?" tanya anak perempuannya dengan suara terisak.
Lim Bun menjatuhkan diri di atas tanah karena mereka tidak mempunyai tempat duduk dari bangku lagi dan tak tertahan lagi kakek ini lalu menangis. Kemudian di antara sedu sedan dan elahan napasnya ia menceritakan tentang usul pegawai rumah gadai itu.
Mendengar betapa rumah gadai itu minta anak perempuannya untuk dijadikan barang tanggungan, nyonya itu menangis sedih.
"Alangkah kejamnya!" katanya sambil memeluk anaknya yang juga menangis sedih.
"Ibu, biarlah .....biarlah aku pergi ke sana, biar aku dijadikan barang tanggungan, asal kong-kong bisa mendapatkan uang guna membeli makan untuk adik-adikku ....." kata Siauw Kim dengan gagahnya.
"Tidak, tidak ..... bagaimana kalau kita tidak dapat menebusmu kembali?" kata ibunya sedangkan Lim Bun tak dapat berkata sesuatu seperti orang kehilangan akal.
"Tentu bisa, ibu, Bukankah uang pinjaman itu sebagian besar dapat dipergunakan untuk membeli bibit padi" Musim hujan mulai tiba dan sawah kita tentu akan menghasilkan padi!"
Mendengar ucapan cucunya ini, dengan terharu Lim Bun lalu berdiri dan memegang kedua pundak Siauw Kim. "Cucuku yang baik, memang hanya kaulah pada saat ini yang dapat menolong nyawa kita sekeluarga. Percayalah, Thian masih cukup adil untuk memberi berkah kepada sawah kita sehingga penghasilannya cukup untuk dipergunakan menebusmu kelak."
Pemilik Pegadaian Anak Manusia
DEMIKIANLAH, dengan hati hancur kakek ini pada keesokan harinya mengantar cucunya ke rumah gadai itu. Ia diterima oleh pegawai rumah gadai yang tersenyum-senyum memandang gadis berusia lima belas tahun ini. Dipandangnya dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan sedang menaksir nilai sebuah benda yang digadaikan. Kemudian ia mengangguk-angguk dan menulis pada sehelai surat gadai sambil bersungut-sungut.
"Kecantikannya cukup, potongan badan boleh, hanya sayang agak kurus dan pucat!"
"Se ...... semenjak kemarin ia belum .....makan ...."kata Lim Bun dengan hati seperti diremas-remas.
"Hm, seharusnya aku hanya berani memberi lima puluh tail, akan tetapi karena kasihan, biarlah kuberi tujuh puluh tail dalam waktu dua bulan. Bunganya seperlima bagian dan harus dikembalikan paling lambat tepat pada dua bulan kemudian. Kalau dalam waktu dua bulan belum terbayar, cucumu ini menjadi hak milik Siong-wangwe."
Kakek itu membelalakkan matanya,. "Hanya tujuh puluh tail ..." Kau hargai cucuku hanya untuk tujuh puluh ...?" Hampir saja kakek itu melempar surat gadai dan uang itu kembali ke meja pegawai rumah gadai, akan tetapi Siauw Kim lalu memegang tangan kong-kongnya dan memandangnya dengan mata mengembang air mata.
"Kong-kong, tujuh puluh tail perak sudah cukup untuk membeli benih. Kerjakanlah sawah kita baik-baik agar dapat menghasilkan uang penebusan diriku."
Dengan mata penuh air mata yang perlahan-lahan mengalir ke pipinya yang kisut, kakek itu melihat betapa cucunya dengan muka tunduk mengikuti seorang pegawai rumah gadai masuk ke dalam, entah kemana.
Dengan tersuruk-suruk Lim Bun lalu pulang ke rumahnya. Memang sekeluarganya tertolong dari bahaya kelaparan dengan uang itu dan jenazah cucu bungsunya dapat dikubur dengan pantas. Akan tetapi, ternyata bahwa musim hujan pada waktu itu amat kikir dengan air hujannya. Hanya sedikit saja hujan turun di bagian di mana terdapat sawah kakek Lim Bun dan hujan banyak turun di bagian lain.
Untuk mengairi sawahnya, terpaksa Lim Bun mengandalkan aliran anak sungai yang dibanjiri air dari daerah lain. Ia bekerja keras dibantu oleh anak perempuannya dan cucu-cucunya yang masih kecil, mencangkul tanah yang keras dan membuat selokan untuk mengalirkan air ke dalam sawahnya. Kemudian sisa uang itu dibelikannya benih-benih padi yang disebar disawahnya.
Biarpun waktu penebusan diri Siauw Kim hanya dua bulan, akan tetapi kalau padi di sawahnya sudah berusia dua bulan dan sudah nampak gemuk-gemuk dan subur, dengan mudah ia dapat menjual padi itu kepada orang-orang kaya yang biasa membeli isi sawah sebelum panen dengan harga jauh lebih murah.
Akan tetapi, ternyata bahwa Siong Tat dan kaki tangannya benar-benar amat kejam. Melihat betapa Siauw Kim setelah mendapat makan cukup dan pakaian pantas, kelihatan cantik dan manis sekali, Siong Tat merasa sayang kalau anak perempuan itu sampai dapat tertebus oleh Lim Bun.
Diam-diam ia lalu memberi perintah kepada anak buahnya dan sebulan kemudian, ketika sawah dari Lim Bun sudah mulai nampak penuh dengan batang padi menghijau, pada suatu pagi Lim Bun dengan terkejut melihat betapa sawahnya telah rusak binasa. Semua batang padi yang masih muda itu telah dicabuti orang dan rusak sama sekali.
Lim Bun menjadi pucat dan hampir saja ia menjadi pingsan melihat keadaan sawahnya ini. Sambil berlari-lari ke sana ke mari, ia berteriak-teriak.
"Siapa yang mencabuti padiku ......." Ah, manusia mana yang demikian kejam melakukan bencana ini kepadaku ....." Siapa yang mencabuti padiku ......?"
Orang-orang lain yang bekerja di sawah mereka, melihat dengan kasihan sekali kepada kakek yang hampir menjadi gila itu. Seorang tetangga yang tahu baik keadaan Lim Bun, lalu menghampirinya dan memegang tangannya.
"Kim-lopek, kalau bukan kaki tangan Siong-wangwe yang malam tadi melakukan perbuatan terkutuk ini, siapa lagi yang berani melakukannya?"
Lim Bun terbelalak memandang orang itu. "Akan tetapi mengapa" Mengapa?"" Orang itu hanya mengangkat pundaj dan melanjutkan pekerjaannya setelah melempar pandang penuh iba hati kepada kakek itu.
"Bangsat kejam Siong Tat! Aku harus membuat perhitungan!" teriak kakek itu dan ia segera berlari-lari menuju rumah gedung Siong Tat. Akan tetapi, sebelum ia memasuki halaman rumah gedung itu, ia telah diusir oleh lima orang penjaga dan ia segera dilempar keluar ketika ia berkeras hendak mencari Siong-wangwe.
Lim Bun bangun lagi dan kini ia berlari ke rumah gadai yang berada di dekat rumah gedung itu. Ia berlari masuk dan ketika tiba di depan meja pegawai rumah gadai, ia berteriak keras sambil menggebrak meja.
"Kembalikan cucuku! Lepaskan Siauw Kim! Kalian telah sengaja merusak sawahku agar aku tidak dapat menebus Siauw Kim! Kalian bangsat-bangsat kurang ajar yang berhati iblis! Lepaskan Siauw Kim cucuku!"
Pegawai rumah gadai itu keluar diikuti beberapa orang tukang pukul. Tukang-tukang pukul itu hendak turun tangan terhadap kakek yang membikin ribut ini, akan tetapi pegawai itu mengangkat tangan mencegah, lalu sambil tersenyum-senyum ia berkata kepada Lim Bun.
"Kakek tua, agaknya kau sudah pikun! Kau tidak becus mengurus sawahmu, janganlah kau persalahkan itu kepada orang lain. Kau sudah menggadaikan cucumu dan waktu dua bulan masih kurang dua minggu lagi. Kalau kiranya kau sudah tak sanggup menebus cucumu, relakanlah saja cucumu menjadi hamba sahaya Siong-wangwe karena keadaannya akan lebih senang dari pada menjadi cucumu. Nah, lihatlah, Siong-wangwe bahkan memberi tambahan tiga puluh tail perak kepadamu kalau kau tidak menebus cucumu!" Pegawai itu lalu mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja dihadapan kakek itu.
Akan tetapi Lim Bun menampar uang itu sehingga berdentingan jatuh di atas lantai. "Tidak sudi! Aku tidak sudi uang yang kotor ini! Lekas lepaskan cucuku, kalau tidak aku akan melaporkan kepada tikoan!"
Kini pegawai itu memberi tanda dengan matanya dan dua orang tukang pukul lalu melangkah maju, memegang lengan kakek itu dan sekali ayun saja tubuh kakek itu melayang keluar dari rumah itu. Lim Bun memekik dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah. Untung bagi kakek tua ini bahwa ia terjatuh dengan tubuh belakang lebih dulu, kalau kepalanya yang jatuh lebih dulu, banyak kemungkinan ia akan tewas. Namun karena ia sudah tua dan lemah, kejatuhannya itu cukup membuat ia sampai lama tak dapat bangun. Beberapa orang yang menaruh hati kasihan lalu menolongnya bangun.
Sambil menangis dan memaki-maki, Lim Bun langsung menuju ke rumah pembesar kota itu menghadap melaporkan keadaannya. Akan tetapi setelah tikwan itu memeriksa surat gadai, di situ ia membaca tulisan yang menyatakan bahwa anak perempuan Siauw Kim telah dijual sebagai budak kepada Siong-wangwe seharga seratus tail perak. Kakek itu ternyata buta huruf dan tak dapat membaca surat penjualan yang disangkanya surat gadai biasa ini.
"Orang tua, kau telah menjual anakmu dengan suka rela dan sah, mengapa sekarang kau hendak mungkir janji dan hendak membuat ribut" Tidak tahukah kau bahwa Siong-wangwe adalah seorang sopan dan mulia hatinya" Untuk kekurang ajaranmu ini seharusnya kau dihukum dengan lima puluh kali sambukan pada punggungmu, akan tetapi mengingat bahwa kau sudah tua dan mungkin otakmu agak miring, kau hanya diberi hukuman peringatan sepuluh kali cambukan!"
Hakim yang bijaksana dan adil bagi orang-orang hartawan ini lalu membuat perintah kepada algojonya yang cepat merobek baju kakek itu, menendang lututnya sehingga kakek itu roboh tertelungkup dan menghantam punggung kakek itu sepuluh kali dengan cambukan yang besar.
Kakek itu tentu saja menangis menggerung-gerung karena sakitnya. Kulit punggungnya pecah dan berdarah, namun sakit di dalam hatinya masih jauh lebih besar dari pada sakit pada punggungnya. Ia lalu diusir seperti anjing dan dengan terhuyung-huyung dan terpincang-pincang kakek ini lalu keluar dari rumah pengadilan itu.
Bagaimana ia dapat menyampaikan warta ini kepada anaknya dan cucu-cucunya di rumah" Kakek ini menjadi bingung sekali dan ia lalu mengambil keputusan nekat. Bunuh diri!
****** Mendengar penuturan kakek Lim Bun yang telah berputus asa dan hendak membunuh diri itu, Hwe-thian Moli menjadi marah sekali. Sepasang alisnya yang hitam dan bagus bentuknya itu berkerut dan sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat.
"Keparat jahanam!" sambil menggigit bibir saking gemasnya ia memaki, kemudian ia bertanya kepada kakek itu. "Lim-lopek, sudah banyakkah terjadi penggadaian manusia itu?"
Lim Bun menghela napas. "Setelah kutanya-tanyakan kepada beberapa orang, memang sudah banyak jumlahnya anak perempuan yang digadaikan seperti halnya cucuku Siauw Kim itu. Akan tetapi siapakah orangnya yang berani melawan Santung-taihiap Siong Tat yang selain kaya raya dan berkepandaian tinggi, juga agaknya dilindungi oleh pembesar setempat?"
"Kurang ajar! Akulah yang berani melawannya, lopek. Jangan kau kuatir. Pulanglah dengan tenang dan tunggulah saja. Hari ini juga akan kubawa pulang cucumu Siauw Kim!" Setelah berkata demikian, Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan lalu merogoh saku bajunya dan memberi beberapa potong uang perak kepada kakek itu.
Lim Bun menerima pemberian itu dengan amat berterima kasih, akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah gadis muda cantik jelita ini akan sanggup menghadapi Siong Tat. "Lihiap," katanya dengan suara terharu, "kau amat berbudi dan gagah perkasa. Akan tetapi kau seorang diri dan Siong Tat mempunyai banyak sekali kaki tangan. Kalau kau sampai mendapat celaka di tangan mereka yang kejam, bukankah dosaku akan makin bertambah?"
"Jangan pikirkan hal ini, lopek. Kau percayalah saja kepadaku. Kalau perlu, semua kaki tangan jahanam itu akan kubunuh mampus dan pembesar keparat itupun akan mendapat bagiannya!" Sebelum kakek itu dapat berkata sesuatu, tubuh nona itu berkelebat dan lenyap dari depan matanya.
Tentu saja Lim Bun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia tidak percaya akan pandangan matanya. Mimpikah dia tadi" Akan tetapi tidak, karena uang perak beberapa potong itu masih berada ditangannya. Mungkin ia bukan manusia, pikirnya, akan tetapi seorang dewi. Kakek itu lalu berlutut dan untuk beberapa lama mulutnya berkemak-kemik membaca doa menghaturkan terima kasih.
Dengan hati penuh dibakar api kemarahan, Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Kang-leng. Mudah saja ia mendapat keterangan di mana adanya rumah gadai dari Siong-wangwe dan melihat rumah gadai yang besar dan terjaga oleh lima orang yang tinggi besar, ia segera berjalan masuk dengan langkah lebar. Para penjaga itu memandang kepadanya dengan senyum menyeringaisebagaimana biasanya laki-laki mata keranjang melihat wanita cantik.
"Aduh, nona manis!" seru seorang di antara mereka yang termuda sambil senyum-senyum, "Kau hendak menggadaikan apakah" Kalau kau perlu uang, biarlah aku saja yang memberi pinjam kepadamu. Mari kau ikut aku pulang ke rumahku, maukah?"
Mendengar ucapan ini, kemarahan di dalam dada Siang Lan meluap-luap. Ia berhenti bertindak dan memandang kepada lima orang penjaga itu dengan mata mengancam akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Aku memang mau menggadaikan sesuatu di rumah gadai ini."
"Menggadaikan apakah nona?" tanya penjaga itu sambil melangkah maju. "Hati-hati jangan sampai kau terlihat oleh Siong-wangwe, lebih baik kau turut kepadaku dan segala kebutuhanmu akan kucukupi. Mari nona manis. Marilah ...." tangan penjaga itu secara krang ajar diulurkan kepadanya hendak memegang lengannya.
"Kaulah yang hendak kugadaikan!" tiba-tiba Siang Lan menggerakkan tangannya dan sebelum penjaga yang mata keranjang itu dapat mengelakkan diri, ia telah terkena tiam-hwat (totokan) dari Siang Lan. Saking gemasnya Siang Lan telah menotok dengan tenaga kuat sekali sehingga penjaga itu roboh dalam keadaan kaku dan mata mendelik.
Empat orang penjaga lain yang melihat kawan mereka dirobohkan oleh seorang gadis cantik, menjadi terkejut dan segera maju menyerbu untuk menangkap Siang Lan. Mereka masih memandang ringan dan tidak mempergunakan senjata, hanya mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu. Akan tetapi, begitu tubuh Siang Lan bergerak dan kedua kaki tangannya bekerja, empat tubuh penjaga itu terlempar ke sana ke mari dibarengi teriakan ngeri. Mereka terbanting roboh tanpa dapat bangun kembali.
Peristiwa ini terjadi di pintu gerbang rumah gadai itu, di dekat jalan raya sehingga banyak orang yang menyaksikan . Orang-orang ini menjadi terheran-heran melihat betapaseorang gadis muda yang cantik berani mengamuk dan mengacaukan rumah gadai Siong-wangwe, bahkan kini telah merobohkan lima orang penjaga yang biasanya amat ditakuti dan lebih galak dari pada lima ekor anjing penjaga itu. Hal ini amat menarik perhatian dan sebentar saja banyaklah orang berkerumun di tempat itu.
Akan tetapi Siang Lan tidak memperdulikan semua orang itu, lalu ia membungkukdan menjambak rambut penjaga mata keranjang tadi, lalu diseretnya menghampiri rumah gadai. Beberapa orang menjadi makin tertarik dan memberanikan diri untuk ikut masuk dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melihat gadis muda itu membawa tubuh penjaga sampai di depan meja pegawai rumah gadai yang bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak.
"Kau siapa dan apakah maksud kedatanganmu?" tanya pegawai itu dengan hati kebat-kebit. Ia telah melihat bahwa yang diseret masuk itu adalah seorang penjaga, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menegur karena ia adalah seorang ahli menulis surat gadai saja.
Siang Lan tertawa menghina ketika mendengar pertanyaan ini.
"Apakah matamu buta" Aku datang hendak menggadaikan orang. Inilah dia!" Ia lalu menjambak rambut penjaga yang tubuhnya kaku dan mata mendelik itu, diangkatnya dan dilemparkannya ke atas meja besar di depan pegawai itu.
Tentu saja pegawai itu menjadi pucat ketakutan dan tubuhnya menggigil. Ia merasa ngeri melihat penjaga itu matanya mendelik dan tubuhnya kaku seperti patung.
"Ti... Tidak ..... di sini tidak menerima penggadaian orang ...." katanya gagap.
"Ah, tidak menerima, ya" Kalau anak gadis dari kakek Lim yang bernama Siauw Kim, bukankah itu orang juga" Awas, jangan kau main-main!" bentak Siang lan. "Hayo lekas tulis surat gadainya! Dan aku minta benda busuk ini dihargai seratus ribu uang emas!"
Pegawai itu melongo dan wajahnya menjadi makin pucat. Ia maklum bahwa wanita gagah ini tentu datang hendak membikin ribut, maka ia menjadi serba salah. Ia memandang kepada kawan-kawannya yang juga sudah berkumpul di belakangnya dan ia berkata kepada mereka,
"Mengapa kalian diam saja" Lihiap ini hendak menggadaikan orang dan minta seratus ribu. Di mana kita ada uang sebanyak itu" Mana Tang-kauwsu dan Li-kauwsu" Mengapa tidak lekas memberi laporan kepada Siong-wangwe supaya membawa uang itu kemari?"
Siang Lan maklum bahwa orang ini hendak mencari bala bantuan, akan tetapi ia tidak perduli dan bahkan membentak. "Hayo lekas tulis surat gadainya!"
Pegawai itu makin ketakutan dan gelisah akan tetapi melihat kawan-kawannya lari ke belakang, ia menjadi lega karena tak lama lagi tentu datang bala bantuan. Ia memaksa mulutnya tersenyum dan menjawab,
"Sabarlah nona. Kita sedang berurusan dengan uang yang besar jumlahnya. Apakah tidak lebih baik nona duduk dulu" Ini.... benda yang kau gadaikan ini ........ia terlalu besar....." Ia menunjukkan kepada tubuh penjaga yang melintang di atas mejanya.
"Terlalu besar, ya?" tiba-tiba Siang Lan mencabut pedangnya sehingga sinar pedang yang tajam berkilau menyilaukan mata. Dengan sedikit gerakan pedangnya ke arah kepala penjaga itu, putuslah sebelah telinga penjaga mata keranjang itu dan Hwe-thian Moli lalu melemparkan tubuh itu ke atas lantai. Ia menunjuk ke arah daun telinga yang kini berada di atas meja lalu berkata.
"Nah biarlah kau terima daun telinganya saja, supaya lebih kecil dan mudah disimpan."
Penjaga itu makin ketakutan dan semua orang yang menonton diam-diam merasa terkejut juga. Nona ini datang mencari perkara, pikir mereka dengan hati berdebar-debar. Memang sesungguhnya telah lama penduduk Kang-leng menderita di bawah kekejaman Siong Tat dan kaki tangannya dan sekarang melihat seorang gadis gagah sengaja datang mengacaukan rumah gadai ini, tentu saja mereka tertarik sekali dan diam-diam berpihak kepada gadis ini.
"Hayo lekas keluarkan uang dan tulis surat gadainya!" kembali Siang Lan berseru mengancam.
"A .....Aku ti .... tidak bisa ....." pegawai itu berkata hampir menangis saking takutnya.
"Bangsat hina dina! Kalau menerima penggadaian seorang gadis, kau bisa menawar dan membuat suratnya, ya" Bagus, orang macam kau ini tidak patut memegang pit dan menulis lagi!" Dua kali pedang di tangan Siang Lan berkelebat dan pegawai itu berteriak ngeri lalu terhuyung-huyung roboh dengan kedua tangan berdarah, Ternyata bahwa sepuluh buah jarinya tinggal setengahnya saja sehingga kalau sudah sembuh, biarpun ia masih dapat melakukan pekerjaan kasar lainnya, jangan harap akan dapat menggerakkan alat tulis yang halus.
Pada saat itu, dari belakang berlari mendatangi dua orang yang berpakaian seperti guru silat dan di belakangnya masih nampak tujuh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam. Dua orang ini adalah Tang-kauwsu dan Li-kauwsu, dua orang guru silat yang menjadi kepala penjaga di situ. Oleh karena dua orang guru silat ini telah memiliki ilmu silat yang tinggi juga, maka Siong Tat mengangkat mereka sebagai kepala penjaga dan menyerahkan segala urusan kekerasan kepada mereka dan murid-murid mereka yang menjadi penjaga.
Ketika melihat seorang penjaga rebah di atas lantai dalam keadaan kaku dan sebelah telinganya putus sedangkan pegawai rumah gadai itu masih mengaduh-aduh di bawah meja tulisnya, Tang-kauwsu dan Li-kauwsu lalu mencabut golok mereka.
"Dari mana datangnya gadis liar yang membuat ribut?" tanya Tang-kauwsu dengan mata mendelik marah.
Melihat dua orang guru silat dan tujuh orang penjaga itu, Siang Lan tersenyum mengejek dan berdiri sambil bertolak pinggang,. Tangan kanannya yang memegang pedang ditudingkan ke arah mereka, lalu berkata,
"Ah, tidak tahunya di sini banyak terdapat anjing penjaga! Pantas saja orang-orang menjadi takut. He, anjing-anjing buduk pemakan sampah, lekas kau suruh jahanam yang bernama Siong Tat keluar. Aku hendak menebus dan mengambil barang yang dulu kugadaikan padanya!"
Li-kauwsu yang lebih tua dan banyak pengalaman, ketika melihat sikap gadis ini dan melirik keluar melihat betapa empat orang penjaga lainnya juga rebah di atas tanah, maklum bahwa gadis ini bukanlah orang biasa.
Ia menjura kepada Siang Lan dan berkata, "Nona, seungguhnya ada keperluan apakah maka nona datang di sini dan apakah sebabnya nona mengadakan keributan ini" Kalau ada kesalahan di pihak kawan kami, hendaknya urusan ini dirundingkan dengan baik-baik sebagaimana layaknya kita orang-orang kang-ouw berurusan."


Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anjing tua, kau telah menjadi anjing penjaga dari jahanam Siong Tat, masih dapat bicara tentang peraturan kang-ouw" Sungguh menjemukan! Dengarlah, dulu aku telah menggadaikan kepala dari manusia she Siong itu kepadanya dan karena telah terlalu lama ia memakai kepala itu, kini hendak kuminta kembali!"
Mendengar ucapan ini, tidak saja kedua orang kauwsu dan kawan-kawannya yang menjadi terkejut, bahkan para penduduk yang menonton di situpun menjadi kaget sekali. Alangkah beraninya nona cantik ini menghina Siong-wangwe yang berjuluk Santung-taihiap.
Tang-kauwsu yang mendengar ucapan ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka sambil berseru keras ia lalu maju menyerbu dengan goloknya. Li-kauwsu terpaksa juga maju pula menyerang dengan goloknya, diikuti oleh tujuh orang kawan mereka sehingga sebentar saja Siang Lan terkurung oleh sembilan orang.
Para penonton menjadi terkejut dan mundur ke tempat yang aman dengan hati kebat-kebit, karena bagaimanakah seorang gadis jelita seperti itu dapat menghadapi keroyokan sembilan orang ahli-ahli silat kaki tangan Siong-wangwe"
Akan tetapi kekhawatiran hati para penonton itu terganti oleh kekagetan dan kekaguman. Begitu melihat dirinya dikeroyok, Siang Lan lalu berseru panjang dan pedangnya berkelebat cepat sekali sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan ini disusul dengan jeritan dan robohnya dua tubuh penjaga yang telah kena terbabat pundaknya.
Tang-kauwsu dan Li-kauwsu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis ini selihai itu. Mereka lalu mengurung makin rapat dan menyerang dengan betubi-tubi. Siang Lan memutar pedangnya dan dengan mainkan ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, jangankan baru pengeroyok yang kini tinggal tujuh orang jumlahnya, biar ditambah sepuluh lagi ia masih sanggup menghadapinya.
Di antara para pengeroyok itu, yang tertinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Tang-kauwsu dan Li-kauwsu saja, terutama Li-kauwsu agak kuat ilmu goloknya. Namun kini menghadapi ilmu pedang dari Siang Lan, mereka itu hanya merupakan segerombolan anak-anak kecil yang mengeroyok seorang dewasa. Jeritan susul menyusul ketika Siang Lan menggunakan pedangnya bersilat dengan gerak tipu Halilinta Menyambar-nyambar di Hujan Lebat. Kembali empat orang telah dapat digulingkan sekali gus sehingga pengeroyoknya tinggal tang-kauwsu, Li-kauwsu dan seorang penjaga lagi.
"A-siok, lekas beritahukan kepada taihiap!" seru Tang-kauwsu kepada penjaga yang seorang itu sambil memutar goloknya menahan gerakan pedang Siang Lan yang luar biasa.
"Bukan dia yang harus melaporkan kepada jahanam she Siong!" Siang Lan berseru dan begitu pedangnya meluncur cepat, tubuh penjaga itupun terguling roboh.
"Sekarang giliranmu!" bentak Siang Lan kepada Tang-kauwsu sambil menusuk dengan gerakan Lai-liong-sin-jiauw (Naga Mas Menggeliat). Gerakan ini amat sukar ditangkis, karena jalannya pedang tidak lurus dari depan dan dilakukan dengan kecepatan yang tak terduga. Tang-kauwsu mencoba untuk mengelak, sedangkan Li-kauwsu tentu saja tak tinggal diam dan mencoba untuk menolong kawannya dengan serangan kilat dari belakang gadis lihai itu.
Akan tetapi, dengan ringan sekali Siang Lan lalu mengangkat kaki kanannya memutar sedikit tubuhnya dan sebelum golok di tangan Li-kauwsu mengenai tubuhnya, guru silat she Li itu menjerit kesakitan dan goloknya terlepas dari pegangan karena pergelangan tangannya telah terkena tendangan Kim-hong-twi. Adapun serangan pedang Hwe-thian Moli ke arah Tang-kauwsu itu masih diteruskan, dan akhirnya Tang-kauwsu memekik kesakitan. Goloknya terpental dan jatuh ke atas lantai, di susul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung dan kemudian roboh pula tak sadarkan diri. Sebelah lengannya, yakni yang sebelah kanan, telah terbabat putus oleh pedang si gadis itu.
"Nah, kau beritahukanlah kepada majikanmu!" kata Siang Lan kepada guru silat she Li yang masih memegangi tangan kanannya. Siang Lan sengaja mengampuni guru silat ini oleh karena ia melihat guru silat ini lebih pantas sikapnya dari pada yang lain. Akan tetapi sebelum Li-kauwsu pergi, tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dari sebelah dalam.
"ha, ha, ha kedua kauwsu dan kawan-kawanmu yang demikian banyak jumlahnya tak dapat mengalahkan seekor kucing betina liar ini" Sungguh memalukan!"
Ternyata yang keluar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi matanya bersinar liar, ganas, dan cabul. Pakaiannya gagah sekali, seperti pakaian seorang pendekar silat, akan tetapi terbuat dari pada sutera halus yang berkembang di sana sini dan memakai pita benang emas. Di pinggangnya tergantung sarung pedang dengan dua gagang pedang, tanda bahwa orang ini biasa menggunakan siangkiam (sepasang pedang).
"Li-kauwsu," kata orang itu kepada guru silat yang masih memegangi lengan kanan dengan muka sakit, "lekas singkirkan gentong-gentong nasi yang tiada gunanya ini ke belakang!"
Li-kauwsu dengan bantuan kawan-kawannya yang tidak ikut mengeroyok dan tidak menjadi kurban keganasan Hwe-thian Moli, lalu menggotong tubuh para penjaga itu ke belakang sehingga lantai itu kini menjadi bersih, hanya masih nampak darah berceceran di sana-sini. Sementara itu para penonton ketika melihat betapa kini Santung taihiap Siong Tat sendiri yang keluar, menjadi ketakutan dan segera keluar dari pekarangan rumah gadai itu, dan hanya menonton dari pinggir jalan.
"Sayang, sayang ......!" kata Siong Tat menyembunyikan kemarahannya di balik senyumnya yang menarik. "Kucing yang begini bagus bulunya ternyata amat liar dan ganas. Eh, boca, siapakah kau dan mengapa kau datang mengacaukan tempatku?"
Semenjak tadi Siang Lan memandang kepada Siong Tat dengan mata tajam. Inikah musuh suhunya" Kebenciannya meluap-luap dan ia menjawab singkat. "Siong Tat manusia busuk! Agar jangan mati penasaran, ketahuilah bahwa aku adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan!"
Siong Tat belum pernah mendengar nama julukan yang menyeramkan ini karena memang Hwe-thian Moli belum lama beraksi di dunia kang-ouw. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam kalangan kang-ouw, dan memiliki kepandaian tinggi, tentu saja ia tidak gentar mendengar nama julukan sehebat itu. Ia bahkan tertawa menghina.
"Hwe-thian Moli" Sungguh julukan yang tidak patut bagimu yang begini cantik! Hwe-thian Moli, sebenarnya apakah maksud kedatanganmu ini?"
"Kau belum mendengar" Aku datang untuk menebus barang yang kugadaikan di sini."
"Barang apakah yang kau maksudkan?" Siong Tat bertanya heran. "Apalagi kalau bukan kepalamu!"
"Kurang ajar!" seru Siong Tat sambil mencabut keluar sepasang pedangnya, akan tetapi ia masih tersenyum. "Kau kurang ajar dan lucu. Sejak kapankah kau menggadaikan kepalaku" Dan mana surat gadainya?" Ia hendak bersikap lucu agar tidak kalah hati, karena ia maklum bahwa menghadapi seorang lawan yang tangguh tidak boleh menurutkan nafsu hati dan marah.
"Sejak kau menjadi kaya raya, dan surat gadainya adalah nyawa dari suhuku Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!"
Kini terkejutlah Siong Tat demi mendengar bahwa gadis cantik yang ganas ini adalah murid dari Ong Han Cu. Akan tetapi ia masih dapat menyembunyikan rasa takutnya.
"Ah, jadi kau adalah murid setan tua itu" Pantas saja kau begitu ganas. Jadi kau datang karena kau merasa rindu kepada suhumu dan hendak menyusul ke neraka" Baik, baik! Mari kuantar kau menjumpai suhumu."
Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dulu, Santung Taihiap Siong Tat menubruk maju dengan sepasang pedangnya. Kedua pedang ini digerakkan dengan cepat dan berbareng, melakukan dua macam serangan. Dengan merobah kedudukan kakinya dan setengah berjongkok, tiba-tiba ia menusukkan pedang di tangan kiri ke arah ulu hati lawannya dan pedang kanan membabat kedua kaki. Inilah gerak tipu yang disebut Pengembala Menyabit Rumput yang lihai dan berbahaya sekali.
Biarpun diserang dengan tiba-tiba tanpa peringatan, Siang lan yang selalu bersikap waspada tidak menjadi gugup karenanya. Ia pergunakan ginkangnya yang sudah sempurna untuk mengenjot kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul ke atas dan tusukan pedang kiri lawannya itu ditangkis dengan pedangnya yang diputar ke bawah.
"Siuuut!" pedang kiri Siong Tat menyambar ke bawa kaki gadis itu dengan cepat dan mengeluarkan angin, kemudian disusul oleh bunyai nyaring "traaang!" ketika pedang kanannya terbentur oleh tangkisan pedang Siang Lan.
Melihat kegesitan lawan, Siong Tat tak berani memandang ringan dan ia mempergunakan kesempatan ketika tubuh gadis itu masih berada di atas, cepat menyusul serangannya dengan kedua pedangnya diguntingkan dari kiri ke kanan. Dan babatan pedang ke arah tubuh ini adalah sebuah serangan yang sungguh-sungguh berbahaya sekali karena tubuh Siang lan masih belum turun ke bawah.
Akan tetapi, gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia memukul pedangnya ke kanan, yakni ke arah pedang kiri lawan yang datang lebih dulu, dibarengi dengan pengerahan tenaga ginkangnya. Ketika kedua pedang bertemu, ia meminjam tenaga pertemuan ini dan melemparkan tubuhnya ke belakang berjungkir balik beberapa kali dalam bentuk poksai (salto) yang indah dan ia telah berhasil menggunakan ilmu lompat Kim-tiauw-hoan-sin (Rajawali Emas membalikkan Tubuh) dengan baik sekali. Karena gerakannya yang cepat ini, maka ia berhasil melepaskan diri dari sambaran pedang kanan lawannya yang tadi menyusul cepat.
Kalau Siong Tat merasa kagum melihat kelihaian ginkang dari lawannya, adalah Siang lan juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dari Santung Taihiap ini. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati sekali dan sebelum lawannya sempat menyerang lagi, ia telah mendahului dan menyerbu dengan gerakan-gerakan ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat yang selain cepat, juga kuat dan tidak terduga perubahannya.
Siong Tat memang amat takut kepada Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu dan maklum bahwa ilmu pedang dari Raja Pedang Bertangan Delapan itu amat tinggi. Kalau tidak takut, tidak nanti ia ikut bersekutu menjatuhkan pendekar itu dengan curang sekali.
Sungguhpun ia takut terhadap ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, namun melihat usia murid Raja pedang yang masih mudah ini, ia berbesar hati. Apalagi karena dua serangannya yang pertama tadi membuat ia menang kedudukan, maka hatinya makin tabah.
Akan tetapi, setelah kini ia menghadapi gadis itu yang mulai mainkan ilmu pedangnya, diam-diam ia merasa terkejut sekali. Ia melihat betapa pedang gadis ini berkelebatan bagaikan kilat menyambar dan gulungan sinar pedang ini demikian kuat dan menyilaukan matanya. Tak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat ternyata dapat dimainkan dengan cara yang begini dahsyat dan ganasnya.
Baru bertempur belasan jurus saja, kepalanya telah menjadi pening karena matanya harus mengikuti gerakan pedang yang benar-benar aneh dan sukar diduga perubahannya. Setiap tusukan atau babatan pedang lawannya terjadi demikian tiba-tiba sehingga ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk mempertahankan diri dan sukar sekali untuk dapat membalas.
Ia menggertak gigi dan melakukan perlawanan sengit, mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengeluarkan semua tipu-tipu yang didapat dalam pengalamannya bertempur selama puluhan tahun ini. Memang sukar sekali dipercaya bahwa seorang gadis yang baru dua atau tida tahun turun gunung dapat mendesak seorang pendekar seperti Santung Taihiap Siong Tat. Ini hanya dapat terjadi karena memang ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat luar biasa sekali. Apalagi pedang yang dipergunakan oleh Hwe-thian Moli adalah pedang mestika dan digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi pula.
Pertempuran berjalan sengit sampai lima puluh jurus dan akhirnya Siong Tat harus mengakui keunggulan musuh besarnya.
Pada saat ia menyerang dengan gerak tipu Harimau Lapar Menubruk Kelinci, yakni pedang di kedua tangannya berbareng membacok ke depan sebelum lawannya dapat menyerang, Siang Lan menggunakan gerakan yang benar-benar mengagumkan dan tidak terduga-duga. Gadis ini menggunakan ilmu tendang Kim-liong-twi dengan kaki kirinya, memapaki tangan kanan lawan bahkan mendahului pedang lawan dengan tendangan ke arah pergelangan tangan kanan lawannya, kemudian pedangnya sendiri dari sebelah dalam lalu dibenturkan kepada pedang kiri lawan dan dari tenaga benturan ini pedangnya diteruskan menusuk ke depan.
Bukan main hebatnya gerakan ini yang sekali gus dapat merobah kedudukan. Kalau tadi gadis pendekar itu terserang oleh kedua pedang lawan, kini sekali menangkis ia malah dapat melakukan dua serangan sekali gus. Kaki kirinya menyerang pergelangan tangan kanan lawan dan pedangnya menusuk dengan cepatnya ke arah tenggorokan Siong Tat.
Santung taihiap berseru kaget dan cepat ia miringkan kepalanya. Ia lebih mengutamakan penjagaan diri terhadap serangan pedang ke arah lehernya dari pada tendangan itu, maka tiada ampun lagi kaki kiri Siang Lan berhasil mendupak pergelangan tangan kanannya.
"Duk ..... traaanng ...!" pedangnya yang sebelah kanan terlepas dari pegangan dan ia merasa betapa lengan kanannya menjadi kejang. Siang Lan tidak mau berhenti sampai sekian saja dan menyusul dengan serangan maut yang disebut Giam-ong-toat-beng (Raja Maut Mengambil Nyawa), pedangnya menusuk ke arah ulu hati lawannya.
Siong Tat masih terhuyung mundur ketika lawannya melancarkan serangan hebat ini, akan tetapi jago Santung ini masih dapat melihat keadaannya yang amat berbahaya. Ia menggerakkan pedang kirinya menangkis dari kiri, disabetkan ke arah pedang lawan yang meluncur bagaikan anak panah ke arah dadanya itu.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa di dalam penyerangan ini, Siang Lan telah siap dengan tangan kirinya yang dikepal. Melihat betapa lawannya masih sempat menangkis, ia lalu membarengi dengan pukulan tangan kiri yang menuju ke arah leher lawan.
Berbareng terjadinya pertemuan pedang dengan pukulan yang mengenai leher itu. "Traang ....! Buk!" Leher Santung taihiap telah kena terpukul oleh tangan Siang Lan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya.
"Mati aku ....!" Siong Tat menjerit ngeri dan tubuhnya terpental membentur meja rumah gadai yang menjadi roboh pula. Siang Lan melompat cepat dan sekali pedangnya berkelebat, kepala musuh besarnya telah terpisah dari tubuh.
Keadaan menjadi kalut, para kaki tangan hartawan itu berteriak-teriak sambil melarikan diri, bahkan para penonton juga merasa ngeri dan melarikan diri pula. Siang Lang yang telah berhasil membalas dendam, tidak lekas pergi dari situ.
Sebaliknya, ia lalu menggunakan pedangnya untuk membuka pintu, mengeluarkan barang-barang yang digadai di rumah itu dan melempar-lemparkan semua barang itu ke jalan raya. Kemudian ia lalu mengumpulkan semua uang perak di dalam rumah gadai, memasukkannya di dalam kantong besar dan sambil menggendong kantong besar penuh uang itu ia lalu menyerbu terus ke belakang.
Ternyata bahwa antara rumah gadai dan rumah gedung Siang-wangwe terdapat sebuah pintu tembusan, Siang Lan terus memasuki pintu ini dan menyerbu ke dalam gedung hartawan itu. Beberapa orang penjaga yang berani menghalanginya dirobohkannya dengan mudah, bahkan ia lalu menangkap seorang penjaga yang bergemetaran saking takutnya.
Penyesalan Jago Tua Kim-gan-liong Cin Lu Ek
"HAYO lekas antar aku ke tempat penahanan gadis Siauw Kim yang digadaikan!" bentak nona pendekar ini.
Penjaga itu dengan tubuh menggigil lalu mengantarnya ke dalam gedung, di mana terdapat banyak sekali permpuan-perempuan muda yang cantik-cantik. Memang, gedung ini merupakan semacam "Harem" (keputren atau tempat di mana selir-selir berkeumpul) yang penuh dengan perempuan-perempuan cantik. Banyak di antara mereka ini yang dulunya juga menjadi "barang tanggungan" atau gadis-gadis yang digadaikan oleh orang tuanya yang miskin.
Siauw Kim masih merupakan barang tanggungan yang belum menjadi hak milik hartawan itu, maka ia masih dikurung di dalam sebuah kamar beserta tiga orang gadis lain. Ketika Siang Lan membuka kamar kurungan itu, ia mendapatkan empat orang gadis itu sedang menangis sedih.
"Yang mana di antara kamu yang bernama Siauw Kim?" tanya Siang Lan.
Seorang gadis yang manis dan agak kurus maju ke muka dan Siang Lan segera memegang lengannya. "Jangan takut adik yang baik, mari kuantar kau pulang! Semua orang yang berada di sini bukan atas kehendak sendiri, boleh pulang sekarang juga!"
Sambil berkata demikian, Siang Lan membagikan beberapa potong uang kepada mereka yang mau pulang dan mengantar mereka itu keluar dari gedung. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi mereka ini. Tujuh orang permpuan muda ikut keluar untuk pulang ke rumah masing-masing.
Setelah berada di luar, Siang Lan berkata kepada orang-orang yang berdiri di pinggir jalan, "Yang merasa punya barang digadaikan di sini, boleh ambil saja. Barang-barang itu sudah kukeluarkan di pinggir jalan!" Demi mendengar ucapan ini, orang-orang itu lalu menyerbu rumah gadai itu, yang jujur mengambil barang-barangnya sendiri, yang curang lalu mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil barang apa saja yang berharga, tidak perduli barang-barang itu bukan miliknya.
Siang Lan lalu mengantarkan Siauw Kim pulang. Kakek Lim Bun dan keluarganya menerima kedatangan Siauw Kim dengan tangis riuh dan penuh keharuan. Ketika mereka mengangkat muka, ternyata gadis itu telah pergi dari situ dan di dekat mereka terdapat setumpuk uang perak. Mereka hanya dapat berlutut ke arah pintu rumah dan mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka.
Uang perak sekantong penuh yang diambilnya dari dalam rumah gadai itu oleh Siang Lan habis disebar-sebarkan di rumah-rumah kecil dalam kota Kang-leng. Malam harinya, ketika tikoan sedang tidur, bagaikan bayangan iblis, Siang Lan melayang turun dari genteng dan langsung memasuki kamar tikoan itu.
Tikoan ini lelah sekali karena siang hari tadi ia telah mengerahkan para penjaga kota untuk menangkap-nangkapi orang-orang yang mengambil barang-barang dari rumah gadai yang telah terbuka oleh Siang Lan dan kini di tempat tahanan penuh orang-orang yang sampai empat puluh orang lebih jumlahnya.
Ketika tikoan itu melihat bayangan berkelebat di dalam kamarnya, ia cepat bangun dan membuka kelambunya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis yang cantik jelita dan memegang pedang berkilau, telah berdiri di depan tempat tidurnya dengan mata tajam mengancam.
"Jangan berteriak kalau tidak ingin mampus!" kata Siang Lan. "Sungguhpun kau ini seorang pembesar yang sudah patut dipenggal lehernya! Kau tahu bahwa Siong Tat berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Dan apakah yang kau lakukan sebagai pembesar yang seharusnya melindungi rakyat" Kau bahkan bersekutu dengan jahanam Siong Tat, menerima uang sogokannya dan selalu membelanya dalam semua perkara. Sekarang kau berani lancang menangkapi orang-orang yang mengambil barang-barang mereka sendiri dari rumah gadai. Apakah kau ingin mati?"
Siang Lan menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pembesar itu sehingga pedangnya mengeluarkan cahaya berkilauan.
"Ti........dak.....lihiap...... ampunkan aku ........jangan kau bunuh ........aku akan melepaskan semua tawanan itu, sekarang juga!" kata pembesar itu yang sudah tak bersemangat lagi karena semangatnya telah berlari pergi meninggalkan tubuhnya saking takutnya.
"Seharusnya bangsat macam kau ini dibunuh!" seru Siang Lan lagi dan pedang ditangannya bergerak cepat ke arah kepala pembesar itu.
"Ayaa........mati aku....!" teriak pembesar itu sambil meraba kepalanya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa kepalanya telah licin karena rambutnya yang dikuncir telah lenyap.
"Dengar, anjing busuk!" kata Siang Lan gemas. "Besok kau harus lepaskan semua tawanan, lalu mengatur agar supaya semua barang di rumah gadai itu kembali kepada pemiliknya. Kemudian, orang-orang perempuan yang telah dipermainkan oleh Siong Tat, supaya dikembalikan ke tempat masing-masing dengan diberi uang dari rumah gedung jahanam she Siong itu. Kalau keluarganya tidak rela memberi uang kepada korban-korban itu, aku akan datang dan membasmi mereka."
"Baik ........baik, lihiap ......!"
Melihat sikap pembesar itu yang matanya masih bergerak liar, Siang Lan dapat menduga bahwa pembesar ini adalah seorang yang berhati curang dan juga cerdik, maka ia pikir ada baiknya untuk menakut-nakutinya.
"Jangan kau kira aku hanya menggertak saja. Aku mengampunimu hanya agar kau dapat mengatur semua yang telah kupesankan itu dan untuk sementara ini aku menitipkan kepalamu kepada tubuhmu. Kalau kau tidak merobah watakmu, aku akan datang kembali dan menebus kepala yang kutitipkan. Untuk memberi tanda kepada kepala yang kutitipkan itu ........." Secepat kilat pedangnya bergerak lagi ke arah kepala tikoan itu.
"Aduh..... aduh ....mati aku .........!" Kali ini telinga kiri tikoan itulah yang lenyap dari kepalanya."
"Nah, lain kali lehermu yang akan putus!" kata Siang Lan yang segera melompat melalui jendela dan lenyap dari situ.
Setelah melakukan perbuatan yang menggemparkan dan yang membuat nama Hwe-thian Moli makin terkenal, gadis pendekat ini lalu mencari jejak musuh-musuh lainnya. Akhirnya ia mendengar tentang Toat-beng-sin-to Liok Kong, yang hendak mengadakan pesta perayaan ulang tahunnya di kota Kan-cou, maka cepat ia lalu menuju ke kota itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan ia telah "didahului" oleh Ong Lian Hong yang mengaku sebagai puteri suhunya.
Ia baru berhasil membalas dendam suhunya kepada Siong Tat, sedangkan Liang Hong telah berhasil menewaskan Yap Cin dan Liok Kong. Dengan demikian, apabila dapat dianggap mereka sedang berlumba, maka keadaan adalah dua satu untuk kemenangan Lian Hong.
Siang Lan menjadi penasaran sekali. Tidak, biarpun Lian Hong benar-benar puteri dari suhunya, ia harus dapat membalas dendam lebih dulu dan harus lebih banyak menewaskan musuh-musuh suhunya. Kini masih tinggal dua orang musuh, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-gan-liong Cin Lu Ek.
Mencari Leng Kok Hosiang bukanlah merupakan hal yang mudah, oleh karena biarpun hwesio itu bertempat tinggal di Sin-tok-san, akan tetapi ia mendengar bahwa hwesio itu adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Hanya beberapa bulan sekali saja hwesio itu kembali ke gunung Sin-tok-san, oleh karena itu, maka Hwe-thian Moli lalu berusaha mencari jejak Kim-gan-liong Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas.
Berita yang diperolehnya dari kalangan kang-ouw tentang Kim-gan-liong ini, sungguh membuat ia merasa heran dan ragu-ragu. Ia mendengar bahwa Kim-gan-liong Cin Lu Ek adalah seorang pendekar atau hiapkek yang gagah perkasa dan budiman, seorang yang mempunyai nama harum karena selalu bertindak sebagai seorang pendekar berbudi mulia. Kim-gan-liong seringkali menolong orang dan membasmi kejahatan.
Sungguh aneh, mengapa seorang yang memiliki nama besar ini dapat terlibat dalam pembunuhan secara curang dan pengecut terhadap suhunya" Betapapun baik nama Kim-gan-liong, akan tetapi Hwe-thian Moli tidak perduli. Kim-gan-liong adalah seorang di antara lima orang musuh besar suhunya, maka ia harus dicari dan dibinasakan.
Ketika ia tiba di propinsi Hopak, ia mendengar kabar bahwa pendekar tua Kim-gan-liong kini telah "cuci tangan" tidak mencampuri urusan dunia lagi. Pendekar tua ini kabarnya sekarang tinggal di kota Lun-cong sebelah selatan kota raja. Dengan hati girang Hwe-thian Moli lalu menyusul ke kota itu.
Ia menyewa sebuah kamar dalam hotel terbesar dan mudah saja baginya untuk mencari tempat tinggal pendekar tua itu. Akan tetapi kenyataan bahwa rumah yang dijadikan tempat tinggal Kim-gan-liong amat buruk dan kecil, membuatnya terheran-heran. Bukankah lima orang yang telah membunuh suhunya itu mendapatkan harta pusaka yang membuat mereka menjadi kaya raya" Mengapa Kim-gan-liong Cin Lu Ek bertempat tinggal di rumah yang buruk ini"
Teringatlah ia akan kata-kata terakhir dari suhunya yang juga merasa heran mengapa Cin Lu Ek ikut dalam persekutuan jahat itu. "sepanjang pengetahuanku, Cin Lu Ek bukanlah seorang yang berwatak jahat," demikian kata suhunya sebelum meninggal dunia.
Hwe-thian Moli menjadi ragu-ragu dan ia pikir untuk datang pada malam hari nanti, karena kalau ia turun tangan di waktu siang hari, hanya akan menimbulkan keributan saja. Maka pulanglah ia ke kamar di hotel yang disewanya dan ia beristirahat mengumpulkan tenaga untuk malam nanti.
Setelah senja terganti malam, Hwe-thian Moli bersiap mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya, lalu keluar dari hotel dan menuju ke rumah Cin Lu Ek yang berada di sebelah utara kota. Ketika ia sedang berjalan perlahan, tiba-tiba terdengar suara orang berseru, "Hwe-thian Moli .... !"
Siang Lan cepat mengangkat kepala memandang dan ternyata ia telah berhadapan dengan lima orang yang dikenalnya baik. Mereka ini bukan lain adalah Ngo-lian-hengte, kelima orang saudara she Kui yang menjadi ciangbun atau ketua dari Ngo-lian-kauw (Agama Lima Teratai). Teringatlah ia bahwa memang mereka ini tinggal di propinsi Hopak, di kota Po-teng.
"Ah kiranya ngo-ciangbun yang berada di sini!" kata gadis itu dengan suara dingin dan tidak mengacuhkan sama sekali.
"Bagus, Hwe-thian Moli, memang pertemuan inilah yang kami harapkan dan tunggu-tunggu. Bersiaplah kau membayar hutangmu kepada kami di rumah Liok Kong dulu itu!" kata Kui Sin saudara termuda dari Ngo-lian-hengte sambil mencabut pedangnya. Memang saudara termuda dari Ngo-lian-hengte ini memiliki watak yang paling keras, apalagi karena mengingat bahwa dulu ia pernah terluka oleh pedang Hwe-thian Moli ketika mereka mengeroyok dara ini di rumah Toat-beng sin-to Liok Kong.
"Jangan banyak lagak, kawan" Hwe-thian Moli mengejek tanpa mencabut pedangnya, "aku sedang menghadapi urusan penting dan tidak mempunyai waktu untuk melayani kalian bertempur!"
Memang Siang Lan tidak mempunyai nafsu untuk bertempur dengan mereka, karena selain hal ini memperlambat usahanya membalas dendam kepada Kim-gan-liong Cin Lu Ek, juga kalau sampai terjadi pertempuran di tempat itu, tentu terlihat oleh banyak orang. Hal ini kalau sampai terdengar oleh Kim-gan-liong akan memberi kesempatan kepada musuh besar itu untuk melarikan diri.
Mendengar ucapan gadis ini, Kui Sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.
"Ha, ha, ha! Hwe-thian Moli menjadi penakut. Kau takut menghadapi Ngo-lian-hengte?"
"Tutup mulutmu!" Siang Lan membentak marah dan hampir saja ia mencabut pedangnya. "Hwe-thian Moli tidak tahu akan artinya takut. Apalagi terhadap seekor tikus kecil macam kau!"
"Ngo-te (adik kelima), sudahlah jangan memaksa!" kata Kui Jin saudara tertua, lalu ia berkata kepada Siang Lan dengan suara halus, "Hwe-thian Moli, sungguhpun di antara kita tidak terdapat permusuhan besar, namun ada sedikit penasaran dalam hati kami terhadapmu. Kau tentu maklum bahwa kami yang pernah kau lukai, takkan merasa puas sebelum mencoba kepandaianmu sekali lagi untuk menentukan mana yang lebih kuat. Oleh karena itu, karena sekarang kau tidak ada waktu, beranikah kau datang ke kuil yang terletak di luar kota ini di sebelah barat pada besok pagi-pagi" Kami akan menanti di sana!"
Kui Jin yang cerdik sengaja menggunakan kata-kata "beranikah" yang bersifat menantang dan menghina, maka muka Hwe-thian Moli menjadi merah karena gemas!"
"Ngo-lian-hengte, jangan kau membuka mulut besar. Kalau aku tidak sedang menghadapi urusan penting, sekarang juga akan kuperlihatkan kepada kalian bahwa Hwe-thian Moli bukanlah orang yang boleh dibuat permainan oleh lima orang macam kalian. Baik, kalian tunggu saja sampai besok pagi-pagi di kuil sebelah barat kota ini. Aku pasti akan datang."
Setelah berkata demikian, Hwe-thian Moli lalu melompat pergi meninggalkan mereka. Kui Sin yang merasa penasaran hendak mengayun tangannya menyambit dengan senjata rahasia piauw, akan tetapi Kui Jin memegang lengan adiknya dan berbisik. "Bodoh! Tidak tahukah kau bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi" Kita belum tentu akan dapat menang terhadap dia maka aku sengaja menantangnya besok pagi-pagi agar kita mendapat kesempatan mengundang supek turun tangan."
Saudara-saudaranya menyatakan setuju dan menjadi girang. Akan tetapi tentu saja percakapan mereka ini tidak terdengar oleh Hwe-thian Moli yang sudah pergi jauh menuju ke rumah Kim-gan-liong Cin Lu Ek.
Dengan hati-hati sekali Siang Lan menghampiri rumah kecil terpencil itu. Ia melihat di dalam rumah masih terang dan bahkan ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tertarik mendengar suara yang nyaring sekali, maka dengan hati-hati ia lalu menghampiri jendela rumah itu. Karena ia mempergunakan kepandaian ginkangnya, maka langkah kakinya tidak mengeluarkan suara bagaikan langkah kaki seekor kucing. Jendela itu tertutup rapat maka ia hanya dapat mendengar suara dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap yang membuat hatinya berdebar keras.
"Susiok, benarkah berita yang kudengar tentang Pat-jiu kiam-ong itu?" suara yang nyaring itu terdengar lagi mendesak.
Terdengar suara elahan napas panjang tanda kekesalan hati yang diusul oleh jawaban suara yang dalam dan tenang akan tetapi mengandung nada sedih. "Memang benar, tak dapat kusangkal lagi. Aku memang terjerumus ke dalam komplotan jahat itu."
"Memalukan sekali!" tiba-tiba suara yang nyaring itu berseru keras. "Memalukan sekali dan mencemarkan nama susiok yang besar, terutama mengotorkan nama perguruan kita!"
Kembali orang yang disebut susiok (paman guru) itu menghela napas menyatakan kekesalan hatinya, lalu suaranya terdengar menggetar penuh keharuan.
"Tek Kun, memang tuduhanmu ini benar. Kau sudah mewarisi kepandaian cabang persilatan kita dan telah memiliki kepandaian tinggi. Kalau kau hendak mewakili sucouw kita, cabutlah pedangmu dan tabaslah leherku. Aku menerima salah, sungguhpun kejahatan itu tidak kulakukan dengan sengaja. Mataku telah buta dapat dibujuk oleh Leng Kok Hosiang!"
Hening sejenak dan Siang Lan tidak ragu-ragu lagi bahwa orang yang disebut susiok itu tentulah Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas dan agaknya orang yang suaranya nyaring itu adalah murid keponakannya. Namun ia merasa agak tertarik mendengar percakapan ini dan ia tidak mau menerjang masuk, bahkan ingin sekali melihat wajah kedua orang yang bercakap-cakap itu.
Ia lalu mengumpulkan tenaganya dan bagaikan seekor burung gesitnya, ia menggunakan gerak lompat Burung Walet Menerjang Mega dan melompat ke atas genteng. Ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkangnya untuk menjaga agar kedua kakinya tidak sampai mengeluarkan suara.
Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, terkejutlah ia ketika mendengar suara yang nyaring tadi berkata,
"Susiok, di atas genteng ada orang!"
"Biarlah, jawab suara yang tenang itu, "pintuku tidak terkunci, gentengku juga tipis mudah dibuka, sahabat yang berada di luar dengan mudah dapat masuk kalau mempunyai keperluan dengan aku."
Karena orang di dalam rumah sudah mengetahui kedatangannya yang menandakan bahwa ilmu kepandaian orang yang bersuara nyaring itu cukup tinggi, Siang Lan lalu berseru keras,
"Kim-gan-liong, kalau kau benar gagah, keluarlah untuk membayar hutangnya kepada Pat-jiu kiam-ong! Aku, Hwe-thian Moli telah menanti di luar. Aku tidak sudi bertindak seperti maling memasuki rumah orang, baik melalui pintu maupun genteng tanpa diundang!" Setelah berkata demikian, Siang Lan lalu melompat turun lagi dan berdiri dengan gagahnya didepan pintu rumah itu.
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah dua orang laki-laki. Yang berada di depan adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus, berusia kurang lebih lima puluh tahun, berjenggot panjang dan berpakaian serba putih yang amat sederhana. Orang ini keadaannya biasa saja, hanya sepasang matanya yang benar-benar amat berpengaruh, mengeluarkan sinar yang berapi-api. Kalau dia diberi julukan naga Bermata Emas, memang tepatlah karena sepasang matanya memang luar biasa sekali.
Orang kedua adalah seorang pemuda yang secara aneh telah memaksa sepasang mata Siang Lan memandang, kemudian melemparkan pandangannya dengan muka merasa jengah. Belum pernah selama hidupnya Siang Lan merasa tertarik untuk menatap wajah seorang pemuda dan belum pernah ada seorang pemuda yang dapat membuat hatinya berdebar lebih lebih cepat dari pada biasanya. Akan tetapi pemuda ini benar-benar membuatnya bingung dan untuk sesaat tak dapat berkata-kata.
Pemuda ini mengenakan pakaian seperti seorang pelajar, pakaiannya rapi sekali sungguhpun tidak mewah. Tubuhnya tegap dan dadanya bidang, menunjukkan bahwa tubuh itu mengandung tenaga yang kuat sekali. Kepalanya tertutup oleh kain kepala yang dililitkan sembarangan saja akan tetapi membuat wajahnya makin menarik. Sepasang alisnya hitam tebal dan berbentuk golok, sesuai benar dengan sepasang mata yang lebar dan berseri itu.
Hidungnya mancung dan lurus, cocok dengan bibirnya yang baik bentuknya dan membayangkan kekerasan dan kegagahan. Dagunya berlekuk sedikit pada tengahnya, membuat ia yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu nampak lebih masak. Kulit mukanya putih bersih dengan pipi kemerahan karena sehatnya.
Pendeknya, jarang Siang Lan melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya. Berapapun sungguh-sungguh ia mencoba untuk menghindarkan pandangan matanya menuju kepada pemuda tampan itu, namun beberapa kali sinar matanya menyeleweng dan menatap wajah yang menembus ke ulu hatinya itu.
Karena kelambatannya membuka mulut, ia didahului oleh Cin Lu Ek yang mengangkat kedua lengan dan menegur.
"Nona, apakah nona yang memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Moli tadi?"
"Benar!" jawab Siang Lan dengan dingin dan singkat tanpa membalas penghormatan orang. "Kau kah yang bernama Cin Lu Ek dan yang secara pengecut membunuh suhu?"
Kim-gan-liong Cin Lu Ek memandang tajam dan berkatalah dia dengan wajah duka. "Jadi kau adalah murid dari Pat-jiu kiam-ong" Setelah kau datang, bukankah maksudmu hendak membalas dendam atas kematian suhumu?"
Siang Lan mencabut pedangnya dan berkata keras, "Tentu saja! Anjing-anjing jahat Yap Cin, Siong Tat, dan Liok Kong telah mampus, tinggal kau dan Leng Kok Hosiang. Kalau kedatanganku bukan untuk membunuhmu dan membalas denda, apakah kau kira aku datang untuk beramah tamah dengan engkau?"
Akan tetapi aneh, tidak seperti musuh-musuhnya yang lain, Kim-gan-liong Cin Lu Ek ini tidak menjadi takut, juga tidak menjadi marah, bahkan tersenyum dengan tenang,
"Kau mau membalas dendam" Mau membunuhku" Nah, majulah dan lekas kau lakukan hal itu. Aku memang sudah bosan hidup!"
Untuk sejenak Siang Lan merasa ragu-ragu, Bagaimana ia dapat membunuh orang yang bersikap seperti itu" Orang yang tidak mau melawan sedikitpun juga" Akan tetapi, dia musuh besarnya. Dia seorang di antara lima orang yang telah membunuh suhunya secara curang dan pengecut. Tidak lekas dibunuh, mau menanti, sampai kapan lagi"
"Kalau begitu, bersedialah untuk menyusul suhu dan membuat perhitungan di akhirat!" serunya dan dengan gerakan Kwan-im hoan-hwa (Dewi Kan-im Mencari Bunga) pedangnya menusuk ke arah dada kiri Cin Lu Ek. Orang tua itu memandang tanpa berkejap sambil tersenyum sedih.
"Traaang ....!" Pedang Siang Lan terpental ke belakang dan nona ini dengan terkejut melompat pula ke belakang lalu bersiap dengan pandang mata marah. Ternyata bahwa pedangnya telah ditangkis oleh pemuda itu yang kini sudah memegang sebatang pedang pula.
"Kurang ajar!" seru Siang Lan dengan muka merah. "Siapakah kau" Apa maksudmu menghalangi seranganku?"
Pemuda itu hanya tersenyum saja dan Cin Lu Ek yang menjawab. "Hwe-thian Moli, dia ini adalah murid keponakanku yanbg bernama Sim Tek Kun."
"Perduli apa aku akan namanya" Aku tak ingin mengetahui nama orang!" kata Siang Lan marah akan tetapi nama Sim Tek Kun ini tanpa disadarinya telah terukir di dalam lubuk hatinya. "Ku ulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau menghalangi seranganku kepada musuh besar suhuku ini ?"
"Tidak baik bagi seorang gadis untuk berwatak seganas itu," akhirnya pemuda itu menjawab dengan suara tenang dan senyumnya masih belum meninggalkan mulutnya. "Aku ingin mencegah kau tersesat dan membunuh orang yang tidak melawanmu."
"Orang sombong! Lancang dan sombong! Apa perdulimu,akan urusanku" Apa hubungannya dengan segala sepak terjangku dengan kau?" Ia melangkah maju lagi hendak menyerang Cin Lu Ek, akan tetapi kembali pemuda itu menghadang dengan pedang di tangan.
"Jangan, sayang seorang gadis gagah perkasa seperti kau sampai tersesat dan membunuh seorang tua yang tidak mau melawan."
Siang Lan marah sekali dan hampir saja ia menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia masih dapat menahan tangannya dan hanya sepasang matanya saja yang memandang marah seakan-akan hendak membakar pemuda itu.
"Eh, kau ini orang macam apakah" Mengapa kau mencampuri urusanku" Aku tersesat atau tidak, kau peduli apakah?" bentaknya.
"Aku melakukan ini untuk membalas budi suhumu," jawab Sim Tek Kun tenang dan jawaban ini membuat mata Siang Lan yang indah bening itu terbelalak.
"Apa maksudmu?"
"Susiokku telah berdosa terhadap suhumu dan perbuatan dosa hanya dapat ditebus dengan perbuatan baik. Aku mencegah kau sebagai murid suhumu berbuat sesat dan hal ini kulakukan untuk membalas budi suhumu yang telah tewas karena susiok dan kawan-kawannya. Inilah yang kumaksud dengan pembalasan budi suhumu."
Bingunglah Siang Lan mendengar ucapan ini.
"Kalau aku terus menyerang dan membunuhnya?" tantangnya.
"Akan kuhalangi dengan pedangku!" jawab pemuda itu.
Siang Lan tersenyum menghina, "Hm, bagus sekali tipu busukmu yang berpura-pura membalas budi. Kalau seandainya kau terbunuh olehku, bukankah kau tidak berhasil membalas budi bahkan aku kau anggap makin tersesat."
"Tidak!" jawab pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Kalau aku mati olehmu, matiku adalah mati yang sudah sewajarnya, mati dalam pertempuran. Berbeda kalau kau membunuh susiok yang tidak mau melawan, itu adalah perbuatan yang yang amat rendah dan tidak selayaknya dilakukan oleh seorang gadis yang gagah perkasa."
Siang Lan tertegun. Ia ingin marah, akan tetapi tidak dapat. Entah mengapa, sikap pemuda yang berani dan lancang ini amat menarik hatinya dan sama sekali tidak dapat menimbulkan kebenciannya, bahkan ...... diam-diam ia merasa heran mengapa ia dapat merasa kagum kepada pemuda ini.
"Jadi kau rela mati untuk membela paman gurumu" Kau hendak membela orang yang sudah berbuat curang dan pengecut?" bentaknya pula.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Tidak, kalau yang datang bukan kau, aku tentu akan membela susiok dengan mati-matian. Akan tetapi, kalau seandainya susiok telah berdosa terhadap suhumu, aku melarang kau membunuh susiok yang tidak mau melawan hanya untuk mencegah kau berlaku sesat."
Siang Lan menjadi serba salah. Haruskah ia mengalah dan mundur, tidak jadi membalas dendam hanya karena adanya pemuda kurang ajar ini" Tidak, tidak! Ia tidak harus bersikap selemah ini.
"Kalau begitu, biarlah aku bunuh kau lebih dulu!" katanya sambil menyerang dengan pedangnya.
"Kalau kau dapat," pemuda itu membalas dengan suara mengejek lalu menangkis dengan pedangnya. Benturan kedua pedang ini membuat keduanya terpental mundur tiga tindak dan masing-masing merasa terkejut karena maklum bahwa kepandaian lawan tak boleh dibuat main-main.
Siang Lan menyerang lagi dan Tek Kun melayaninya dengan hebat sehingga mereka bertempur amat ramainya. Pedang mereka bergulung-gulung dengan cepat, mengeluarkan angin dan terdengar suara pedang bersuitan, kadang-kadang terdengar bunyi nyaring ketika pedang beradu, diikuti oleh bunga api yang berpijar menyilaukan mata.
Siang Lan diam-diam merasa kagum akan kehebatan ilmu pedang Kun-lun-pai yang dimainkan oleh pemuda ini. Ternyata bahwa ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali. Sebaliknya, Tek Kun juga kaget karena tidak disangkanya bahwa Hwe-thian Moli benar-benar amat ganas dan sukar dilawan ilmu pedangnya.
Sementara itu, Kim-gan-liong Cin Lu Ek menjadi bingung sekali. Ia lalu melompat maju dan dengan nekat berdiri ditangah-tengah, di antara kedua orang itu sambil berkata,
"Tahan! Berhentilah bertempur atau aku akan membiarkan tubuhku hancur oleh kedua pedangmu!"
Karena tidak ingin membunuh orang tua yang tidak mau melawan ini, kedua orang muda itu melompat mundur. Sambil mengeluarkan dua titik air mata dari sepasang matanya, Cin Lu Ek lalu berkata kepada Siang Lan.
"Nona, aku mengundang kau untuk masuk ke rumahku dan dengarlah penuturanku. Boleh kau anggap ini sebagai pengakuan dosaku terhadap mendiang suhumu dan kalau kemudian kau masih berkukuh hendak membunuhku, baiklah, aku akan melawanmu dengan senjata."
"Susiok!" bentak Tek Kun marah. "Apakah susiok masih ada muka untuk melawan murid dari Pat-jiu kiam-ong?"
"Biarlah, memang aku harus mati. Mengapa aku takut menambah sedikit dosa kalau aku tahu bahwa aku takkan dapat melawan nona yang lihai ini" Masuklah nona dan dengarlah ceritaku."
Karena ingin sekali mendengar penuturan orang ini dan untuk memperlihatkan keberaniannya dihadapan pemuda ini, Siang Lan lalu menyarungkan pedangnya kembali dan berkata kepadanya. "Pertempuran boleh kita tunda dulu untuk mendengarkan penuturannya. Tiada salahnya nanti dilanjutkan lagi kalau kau masih berani!"
Ketiganya lalu masuk ke dalam rumah itu dn menduduki bangku-bangku yang tua dan sederhana sekali. Setelah mereka duduk, Kim-gan-liong Cin Lu Ek menghela napas berkali-kali, barulah ia menuturkan riwayatnya.
Tadinya Cin Lu Ek adalah seorang hartawan yang suka menolong orang. Tidak saja ia kaya raya, akan tetapi juga ia terkenal sebagai anak murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi hidupnya penuh derita, yakni derita batin. Dengan isterinya yang tercinta, ia tidak mempunyai seorang keturunanpun dan ketika terjangkit penyakit menular, isterinya diserang penyakit itu sehingga mendahuluinya pulang ke alam baka.
Hal ini amat menyakitkan hati Cin Lu Ek sehingga hampir-hampir membuatnya gila. Ia tidak dapat merasakan kebahagiaan dalam kekayaannya, maka ia lalu mengambil keputusan yang membuat banyak orang merasa heran. Ia menjual semua rumah dan sawahnya, lalu membawa semua uangnya itu pergi merantau. Mungkin ada ribuan orang miskin yang terancam bahaya kelaparan yang telah ditolongnya, diberi uang sehingga lambat laun uangnya habis sama sekali. Akan tetapi Si Naga Mata Emas ini tidak berhenti merantau dan mengulurkan tangan kepada rakyat jelata. Namanya menjadi terkenal di kalangan kang-ouw, akan tetapi sekarang ia telah jatuh miskin. Harta satu-satunya yang dimilikinya hanyalah sebatang pedang dan sepotong pakaian yang dipakainya.
Disamping kegagahan dan kedermawanannya, Cin Lu Ek mempunyai cacad, yakni watak yang tidak mau kalah dalam hal ilmu silat. Di mana saja ia mendengar ada seorang ahli silat, maka didatangilah orang itu dan diajaknya pibu (mengadu kepandaian) secara persahabatan.
Selama merantau bertahun-tahun lamanya, baru dua kali ia kena dikalahkan orang dalam pibu. Pertama kali oleh Ouwyang Sianjin dan kedua oleh Leng Kok Hosiang maka ia menjunjung tinggi kedua orang tua ini, terutama sekali Ouwyang Sianjin yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya sendiri.
Perantauannya yang membuatnya menjelajah di seluruh propinsi itu membuat ia terkenal sekali. Banyak orang kang-ouw yang telah dikenalnya, dan di antara mereka, ia telah mengikat tali persahabatan dengan Toat-beng Sin-to Liok Kong, Sin Wan Yap Cin, Santung taihiap Siong Tat dan yang lain-lain.
Pada suatu hari ia bertemu dengan empat orang kang-ouw ini, yakni Liok Kong, Yap Cin, Siong Tat, dan dikepalai oleh Leng Kok Hosiang.
"Eh, eh, naga-naga turun dari gunung, keluar dari guanya, ada apakah yang terjadi dipermukaan bumi ini?" tanya Cin Lu Ek kepada mereka.
"Kebetulan sekali Kim-gan-liong berada disini!" Leng Kok Hosiang berseru. Hwesio ini pernah mengalahkan Kim-gan-liong dalam pibu, akan tetapi setelah bertempurhampir dua ratus jurus, maka ia merasa girang sekali karena tahu akan kelihaian Kim-gan-liong.
Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, hwesio cabul yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) ini pernah diberi hajaran keras oleh Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu. Setelah melatih diri, selama lima tahun dipuncak Sin-tok-san dan melatih ilmu pukulan Coa-tok-jin yang lihai, ia turun gunung mencari Ong Han Cu, akan tetapi kembali ia mendapat kekecewaan karena ia telah dirobohkan oleh adik seperguruan Pat-jiu kiam-ong, yakni Ouwyang Sianjin.
Dengan hati mengandung penuh dendam hwesio ini lalu merantau dan mencari kawan-kawan untuk melakukan pembalasan. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Yap Cin Si Lutung Sakti yang juga menaruh dendam sakit hati besar sekali terhadap Pat-jiu kiam-ong karena Ong Han Cu pernah merobohkannya.
Biarpun sudah mendapat kawan, namun Leng Kok Hosiang masih merasa jerih untuk mengganggu Ong Han Cu karena ia mendengar betapa pendekar ini telah menemukan ilmu pedang yang luar biasa. Ia mempunyai telinga yang amat tajam dan biarpun Ong Han Cu menyembunyikannya, namun hwesio itu mendengar bahwa pendekar itu selain ilmu pedang, juga telah menemukan harta pusaka yang besar jumlahnya di puncak bukit Liong-cu-san.
Berita inilah yang membuat ia berhasil menarik Toat-beng Sin-to Liok Kong dan Santung-taihiap Siong Tat, karena kedua orang gagah ini walaupun tidak mempunyai permusuhan apa-apa terhadap Ong Han Cu, namun mereka tertarik oleh harta pusaka itu. Maka berangkatlah empat orang kang-ouw ini dengan maksud buruk terhadap Pat-jiu kiam-ong, menuju ke gunung Liong-cu-san untuk mencari Ong Han Cu.
Leng Kok Hosiang maklum bahwa Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas adalah seorang yang jujur dan tidak tertarik akan harta pusaka.
Ia telah mendengar pula betapa Kim-gan-liong yang tadinya adalah seorang hartawan, telah menghamburkan hartanya guna menolong orang sehingga kini menjadi miskin, maka tentu saja pendekar ini takkan tertarik akan berita tentang harta pusaka itu. Maka ia lalu mempergunakan lain siasat.
"Kim-gan-liong," katanya, "Aku dan kawan-kawan ini hendak mencari Pat-jiu kiam-ong di bukit Liong-cu san. Kuharap saja kau suka pergi bersama kami untuk menambah semangat."
"Dengan maksud apakah cuwi sekalian hendak mencari Pat-jiu kiam-ong?" tanya Kim-gan-liong.
Hwesio itu tertawa. "Kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu kiam-ong adalah seorang yang usilan dan suka mencampuri urusan orang lain. Antara dia dan kami telah ada sengketa yang harus diselesaikan sekarang. Maka harap kau suka mengawani kami pergi mencarinya."
Peristiwa Merah Salju 9 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Kait Perpisahan 2
^