Pencarian

Iblis Dan Bidadari 1

Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


"Iblis dan Bidadari (tamat)
Kho Ping Ho 1. Gadis Penari Misterius
SIAPAKAH orangnya yang tidak mengenal nama Liok Kong, hartawan besar di kota Kan-cou di propinsi Kiangsi" Seluruh penduduk kota Kan-cou tentu telah mengenal hartawan yang kaya raya, pemilik dari berbagai toko dan rumah gadai yang kenamaan ini. Sesungguhnya bukan karena kekayaannya maka ia amat dikenal, karena di kota Kan-cou memang banyak sekali terdapat orang-orang hartawan. Liok Kong dikenal banyak orang bukan hanya sebagai seorang hartawan, akan tetapi lebih lagi sebagai seorang jago tua yang mempunyai julukan Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa).
Toat-beng Sin-to Liok Kong adalah seorang yang telah banyak merantau dan diwaktu mudanya, ia malang melintang di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli golok yang jarang menemukan tandingannya. Setelah usianya menjadi tua, ia pindah ke dalam kota Kan-cou dalam keadaan sudah kaya raya. Sungguh amat mengherankan orang betapa cepatnya ia mendirikan rumah-rumah gedung, membuka toko-toko dan membeli rumah-rumah gadai yang terbesar. Bahkan dalam usia lima puluh tahun, ia lalu mengawini seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, hidup mewah, memelihara banyak pelayan dan penjaga-penjaga yang banyak jumlahnya dan memiliki kepandaian silat tinggi.
Agaknya para penjaga atau lebih tepat disebut "tukang pukul" ini amat mengandalkan pengaruh kekayaan dan nama besar Toat-beng Sin-to Liok Kong, karena kadangkala mereka melakukan hal-hal yang menunjukkan kesombongan mereka. Tangan mereka amat ringan menjatuhkan pukulan kepada siapa saja yang tidak mau tunduk, dan bahkan di antara mereka tidak segan-segan untuk mengganggu si lemah.
Akan tetapi, siapakah orangnya yang berani menentang mereka" Tidak saja mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi orang-orang merasa segan terhadap Liok Kong yang kaya raya, terutama sekali karena Liok Kong telah mengadakan hubungan amat baiknya dengan para pembesar setempat.
Pada hari itu keadaan kota Kan-cou berbeda dari biasanya, lebih ramai dan yang amat menarik hati penduduk adalah banyaknya orang-orang asing, pendatang-pendatang dari tempat-tempat jauh. Para penduduk maklum bahwa orang-orang ini adalah para tamu yang hendak mengunjungi pesta yang diadakan oleh Liok-wangwe (hartawan Liok), yakni sebutan baru bagi Toat-beng Sin-to Liok Kong setelah ia menjadi hartawan.
Hotel-hotel di kota itu penuh dengan para tamu ini, dan keadaan mereka memang amat menarik hati. Ada orang yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat, sebagai piauwsu (pengawal kiriman barang berharga), ada pula wanita-wanita yang membawa pedang, banyak pula yang berpakaian sebagai hwesio (pendeta Buddah) dan tosu (pendeta agama To). Hal ini sesungguhnya tak perlu diherankan, oleh karena di masa mudanya, Liok Kong telah merantau di seluruh propinsi. Biarpun propinsi Kiangsi berada di selatan, namun pendatang-pendatang itu datang dari propinsi amat jauh di utara, seperti propinsi-propinsi Santung, Honan, Ho-pak, Sansi, dan lain-lain.
Rumah gedung Liok-wangwe sendiri menjadi pusat keramaian dan kemewahan. Gedung yang besar dan tinggi bertingkat dua itu dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari, para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya.
Sebagaimana biasanya dalam setiap pesta yang diadakan orang di masa itu, ruang bagi tamu terbagi dalam beberapa bagian. Ada tempat atau ruang bagi tamu-tamu "biasa", yakni penduduk kota Kan-cou yang dianggap tak berapa penting. Mereka ini dipersilakan menduduki ruang di sebelah kiri dan hanya dilayani oleh pelayan-pelayan hartawan itu.
Para pembesar tinggi mendapat tempat yang lebih mewah, bersama dengan para hartawan, yakni di ruang sebelah kanan. Yang paling istimewa adalah tamu-tamu yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tinggi dan pembesar-pembesar yang berpengaruh, karena mereka ini diistimewakan dan mendapat ruangan yang amat luas yakni di sebelah dalam. Mereka ini disambut sendiri oleh Liok-wangwe.
Bertumpuk-tumpuk barang antaran atau sumbangan memenuhi belasan meja yang dipasang berderet di ruang tengah, di jaga oleh belasan orang penjaga yang memegang golok, nampaknya gagah dan keren sekali. Hampir semua tamu tidak lupa untuk membawa sumbangan sebagai pernyataan selamat atas perayaan ulang tahun atau hari lahir yang ke lima puluh lima dari Toat-beng Sin-to Liok Kong.
Hartawan she Liok ini merasa gembira sekali melihat banyaknya tamu yang datang memberi selamat kepadanya, terutama sekali karena ia melihat kawan-kawan lama dari dunia kang-ouw yang memerlukan datang. Hampir setiap cabang persilatan mengirim wakil-wakilnya sehingga di situ terdapat wakil-wakil dari cabang persilatan Siauw-lim, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi yang amat menggembirakan hatinya adalah hadirnya lima orang gagah yang amat terkenal yakni yang disebut Ngo-lian Hengte (Kakak Beradik Lima Teratai). Ngo-lian Heng-te ini terdiri dari lima orang laiki-laki yang usianya telah empat puluh tahun lebih. Yang tertua bernama Kui Jin, kedua Kui Gi, ketiga Kui Le, keempat Kui Ti. Dan kelima Kui Sin. Ke lima kakak beradik ini juga disebut Ngo ciangbun (Lima Ketua) dari perkumpulan Agama Ngo-lian-kauw (Agama Lima Teratai) yang berkedudukan di kota Po-teng di propinsi Hopak.
Pesta berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-hidangan mahal dan lezat dikeluarkan. Arak yang wangi dituang berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai terpengaruh oleh arak wangi. Makin banyak arak keras ini memasuki perut, makin terlepaslah lidah makin bebaslah pikiran, lenyap segala keraguan dan kesusahan, yang terasa hanyalah kegembiraan hidup.
Berulang-ulang para tamu mengangkat cawan arak untuk keselamatan tuan rumah sehingga muka Liok Kong telah menjadi merah seperti udang direbus. Toat-beng Sin-to ini telah berusia lima puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan sehat. Rambutnya masih hitam dan pakaiannya yang mewah dan indah membuat ia nampak masih muda. Pada pinggang kirinya tergantung gagang goloknya yang terbuat dari pada emas terhias mutiara, dan sarung goloknya juga terukir indah sekali.
Pada saat pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba seorang penjaga dengan sikap hormat menghadap Liok Kong dan melaporkan,
"Lo-ya (tuan besar), di luar terdapat serombongan penari yang datang untuk menghibur lo-ya."
Liok Kong menjadi heran akan tetapi juga gembira.
"Penari" Dari manakah dan siapa yang menyuruh dia datang?"
"Maaf, lo-ya. Hamba juga tidak berani langsung memberi perkenan masuk karena hamba juga merasa heran. Akan tetapi menurut penarinya, ia diperintah oleh seorang piauwsu di kota Buncu di Propinsi Cekiang sebagai sumbangan, karena piauwsu itu tidak dapat datang sendiri."
Liok Kong mengingat-ingat dan tidak merasa mempunyai seorang kenalan piauwsu di Cekiang, akan tetapi karena ia ingin sekali melihat penari itu, ia lalu memberi perintah,
"Suruh dia masuk, biar aku sendiri yang bertanya kepadanya."
Penjaga itu tersenyum penuh arti. "Lo-ya takkan kecewa. Penarinya benar-benar cantik seperti bidadari!"
Biarpun hatinya merasa amat girang mendengar kata-kata ini, akan tetapi dihadapan sekian banyaknya tamu-tamu orang kang-ouw yang memandang sambil tertawa-tawa, ia pura-pura marah,
"Jangan banyak cakap! Lekas suruh dia masuk!"
Penjaga itu memberi hormat lalu keluar lagi dan tak lama kemudian ia datang mengiringkan serombongan orang terdiri dari seorang penari wanita dan tiga orang laki-laki tua yang memegang alat musik. Melihat penari itu, seketika itu juga lenyaplah niat Liok Kong untuk mencari keterangan tentang piauwsu itu.
Ia hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak dan ternyata bukan hanya dia seorang yang memandang dengan kagum sekali. Bahkan hampir semua mata para tamu laki-laki memandang dengan kagum dan terdengar pujian-pujian di sana-sini dari mulut tamu-tamu muda.
Penari itu adalah seorang dara berusia paling banyak delapan belas tahun dan cantik jelita bagaikan bidadari, tepat seperti yang dikatakan oleh penjaga tadi. Wajahnya yang berkulit kuning putih bersih bagaikan susu, membayangkan kemerahan pada sepasang pipinya, bagaikan bunga botan sedang mekar. Sepasang matanya jeli dan indah sekali, bersinar halus dan sayu akan tetapi amat tajam dan bening seperti mata burung Hong.
Entah mana yang lebih indah, sepasang matanya atau sepasang bibirnya. Bibir ini berbentuk indah, kecil penuh berkulit halus tipis, berwarna segar kemerahan bagaikan buah yang sudah masak. Hidungnya yang kecil mancung dan sepasang lesung pipit di kanan-kiri pipinya menyempurnakan kecantikannya. Rambutnya agak awut-awutan kurang teratur rapi, akan tetapi hal ini, sekali-kali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan mendatangkan kewajaran kepada wajahnya, menambah kemanisan yang benar-benar menggairahkan kalbu tiap laki-laki.
Bentuk tubuhnya menggiurkan, ramping dan penuh, terbungkus oleh pakaian dari sutera indah dan ringkas potongannya. Bajunya berwarna merah muda dan baju yang terbuat dari pada sutera di waktu tertiup angin mencetak tubuhnya dan mendatangkan pemandangan yang benar-benar luar biasa. Celananya ringkas, dari sutera biru dan pakaian ini masih tertutup oleh sehelai mantel kuning yang lebar. Sepatunya hitam dan penuh debu, tanda bahwa gadis cantik ini telah datang dari tempat jauh.
Tiga orang laki-laki tua yang mengikutinya dan membawa alat musik nampak seperti penabuh musik biasa saja, dan mereka nampak agak takut-takut memasuki ruangan gedung yang indah mewah dan penuh dengan tamu-tamu yang berwajah menyeramkan itu. Akan tetapi, gadis penari itu cepat maju dan berlutut di depan Liok Kong setelah penjaga memberitahukannya bahwa orang tua berbaju mewah itulah adanya Liok-wangwe.
"Hamba datang membawa pesan dari Tan-piauwsu di Buncu untuk menyampaikan ucapan selamat panjang umur dan hormat yang setinggi-tingginya kepada Liok-loya." Suara yang keluar dari bibir indah ini amat merdu bagaikan nyanyian burung.
Liok Kong masih berdiri terpaku di atas lantai, tak dapat bergerak dan agaknya hanya jantungnya saja yang bergerak lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak perdulikan lagi siapa adanya Tan-piauwsu itu, akan tetapi ia cepat membungkuk dan memegang kedua pundak penari itu, mengangkatnya bangun dan berkata,
"Nona yang baik, sungguh merupakan kehormatan besar sekali mendapat sumbangan sedemikian hebatnya dari Tan-piauwsu. Kebetulan sekali kau datang hendak menghibur para tamu, maka cepatlah kau perlihatkan kepandaianmu menari!"
Orang tua mata keranjang ini merasa betapa pundak penari itu biarpun tertutup pakaian, namun terasa halus, lunak, dan hangat. Juga dari rambut penari itu tercium olehnya keharuman yang membuat semangatnya melayang jauh ke sorga ketujuh. Cepat ia lalu memberi perintah kepada para pelayannya untuk mempersiapkan tempat kosong di tengah ruangan itu untuk penari ini agar pertunjukkannya dapat dinikmati oleh semua pengunjung.
"Maaf, lo-ya," kata pula penari itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan lirikan matanya yang tajam mengiris jantung. "Ketiga lopek (paman tua) ini adalah penabuh-penabuh musik biasa saja yang hamba sewa, karena dari Buncu, hamba tidak membawa tukang penabuh musik sendiri."
"Tidak apa, tidak apa!" jawab tuan rumah yang kaya raya itu gembira. "Yang penting bukan gamelannya, melainkan tarianmu. Eh, siapakah namamu, nona?"
"Apakah artinya nama seorang penari seperti hamba, lo-ya?"
Liok Kong tersenyum dan berusaha membuat bibirnya yang tebal itu tersenyum manis, tidak merasa bahwa usahanya ini gagal sama sekali dan senyumnya membuat wajahnya nampak menyeringai tidak menarik.
"Seorang nona yang demikian cantiknya tentu mempunyai nama yang indah pula!" kata seorang tamu muda yang bermata liar. Melihat betapa seorang yang masih muda dapat menduduki ruangan ini, dapat diduga bahwa ia adalah orang yang cukup penting. Memang demikian adanya.
Pemuda ini adalah seorang yang telah menjunjung tinggi nama sendiri karena kepandaian silatnya dan ia adalah seorang perampok tunggal yang telah terkenal sekali di daerah barat, yakni di Propinsi Kansu. Namanya Thio Kun, akan tetapi di daerah barat, ia terkenal sebagai si Pedang Maut.
Mendengar ucapan Thio Kun ini, para tamu yang duduk terdekat di tempat itu tertawa dan semua bibir tersenyum dengan mata mengerling penuh arti ke arah penari itu.
"Ha, ha, ha! Ucapan Thio taihiap tepat sekali!" kata Liok Kong lalu berkata pada penari itu. "Nona manis, sebelum kau mempertunjukkan tarianmu yang indah, lebih dulu beritahukanlah namamu."
Dengan gaya yang amat menarik hati sambil menundukkan muka kemalu-maluan, nona penari yang cantik sekali itu lalu memperdengarkan suaranya yang merdu. Melihat keadaan yang sunyi senyap padahal ruangan itu penuh dengan para tamu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang memperhatikan jawaban ini dan semua orang ingin mendengar siapakah nama penari yang luar biasa ini.
"Lo-ya, hamba she Ong bernama Lian Hong, seorang gadis yatim piatu miskin yang mengandalkan hidup dari sedikit kepandaian menari."
"Bagus, bagus! Benar-benar indah sekali namanya!" Thio Kun berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. "Lian Hong .... sungguh nama yang merdu terdengar. Liok lo-enghiong, suruhlah nona Lian Hong lekas menari. Aku tak sabar lagi untuk segera menikmati tariannya yang indah!"
Ucapan ini mendapat sambutan sebagai pernyataan setuju dari sebagian besar para tamu yang hadir di situ. Tiba-tiba orang tua penabuh gamelan segera memulai memperdengarkan lagu yang merdu. Mereka bertiga mainkan tiga macam alat musik, sebuah suling, sebuah pipa (seperti gitar), dan yang seorang lagi memegang tambur kecil untuk mengatur irama.
Merndengar bunyi-bunyian ini, semua orang menjadi kecewa karena ternyata bahwa musik terdiri dari tiga orang ini tidak merupakan sesuatu keistimewaan. Banyak rombongan musik yang dapat main jauh lebih bagus dari pada yang tiga orang ini.
Akan tetapi, setelah nona Ong Lian Hong menjura keempat penjuru dan mulai berdiri tegak, lalu mendengarkan irama musik, kemudian mulailah dengan tariannya, buyarlah semua kekecewaan para pendengar tadi. Bukan main indahnya tarian nona ini, atau mungkin juga bukan tariannya yang indah, melainkan gerakan tubuhnya yang menggiurkan itu.
Tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai bagaikan sebatang pohon yang-liu tertiup angin lalu. Sepuluh jari tangannya yang kecil dan halus itu seakan-akan sepuluh ekor ular yang hidup dan bergerak amat indahnya. Pinggang yang sudah amat ramping itu bagaikan makin mengecil lagi tatkala tubuhnya bergerak melenggang-lenggok. Kerling matanya mengalahkan sambaran halilintar, senyumnya menyaingi bulan purnama.
Ternganga semua tamu, termasuk tuan rumah. Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan tarian yang indah seperti ini, atau lebih tepat, seorang penari muda secantik dan sebagus bentuk tubuhnya.
Setelah menari beberapa lama, Ong Lian Hong lalu mengeluarkan sehelai selendang merah yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya dan kini ia menari dengan selendang itu. Makin terpesonalah semua tamu menyaksikan tari selendang ini, karena benar-benar amat indahnya.
Dengan cekatan sekali sepuluh jari tangan itu menggerakkan selendang sehingga selendang itu menari-nari di udara bagaikan seekor ular naga. Akan tetapi ketika ia merobah gerakan tangannya, selendang itu menjadi seperti bunga mawar merah yang tercipta di udara dan sebentar kemudian melambai lagi lalu terlepas pula, merupakan selendang sutera yang halus membelai kepala, leher, dan pinggang penari itu.
Ketika nona penari itu menghentikan tariannya, barulah terdengar suara pujian yang seakan-akan menumbangkan tiang-tiang rumah gedung itu dan menggetarkan genteng-genteng. Sorak sorai menggegap gempita, diselingi teriakan-teriakan kagum.
Suara pujian ini demikian kerasnya sehingga para penduduk yang tadinya tinggal di rumah menjadi tertarik dan berbondong-bondonglah mereka datang mengunjungi gedung yang sedang dipergunakan untuk tempat pesta itu. Di pekarangan depan berjejal-jejal penduduk yang ingin menjenguk ke dalam. Para tamu yang tadinya berada di ruang kanan dan kiri tanpa dapat dicegah lagi telah masuk ke ruang dalam. Hal ini dapat terjadi karena di situ tidak terdapat penjaga lagi, karena semua penjaga juga telah masuk ke dalam dan menonton.
"Bagus, bagus! Bukan main, Ong-siocia (nona Ong)!" Liok Kong memuji sambil menghampiri gadis penari itu. "Berikanlah selendangmu itu kepadaku, biarlah kutukar dengan ini!" Ia meloloskan sebuah hiasan topi terbuat dari pada emas ditabur batu permata.
"Nanti dulu, Liok lo-enghiong!" Thio Kun melompat dan mengulurkan tangan. "Berikanlah selendang itu kepadaku saja, nona! Akan kutukar dengan benda yang jauh lebih berharga lagi. Lihatlah ini!"
Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku dalamnya dan semua orang memandang kagum. Di tangan Thio Kun terlihat sebuah patung terbuat dari batu pualam yang merupakan seekor kilin (binatang keramat seperti singa). Benda ini amat indah, sepasang matanya terbuat dari pada permata merah yang mengeluarkan cahaya gemilang. Tak dapat ditaksir berapa besarnya harga benda serupa ini.
Sepasang mata penari itu seakan-akan mengeluarkan sinar kilat ketika ia melihat benda ini, akan tetapi sambil tersenyum ia lalu berkata,
"Terima kasih banyak, siauw-ya (tuan muda), akan tetapi hamba hanyalah seorang utusan yang harus menghormat kepada tuan rumah. Oleh karena itu, selendang ini terpaksa hamba serahkan kepada Liok-loya!" Sambil berkata demikian, dengan gaya manis dan dengan kedua tangannya ia memberikan selendang merah itu kepada Liok Kong yang menerima sambil tertawa besar.
Kakek mata keranjang ini ketika menerima selendang sengaja hendak memegang lengan yang halus itu, akan tetapi ia merasa heran sekali ternyata ia menangkap angin. Entah bagaimana, yang tertangkap olehnya hanya selendang merah itu saja. Liok Kong menganggap hal ini hanya kebetulan saja dan tertawalah ia bergelak sambil berkata kepada Thio Kun yang menyimpan kembali patungnya.
"Kau mendengar sendiri kata-katanya, Thio-taihiap, maka kau harus mengalah kepadaku!"
Thio Kun tersenyum masam dan berkata sambil menghela napas.
"Kau yang beruntung, lo-enghiong. Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau lain kali aku akan dapat kesempatan menarik tangan nona ini menjadi kawan selama hidupku!"
Semua tamu yang sudah terpengaruh arak keras, tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Beberapa orang tamu yang sopan, seperti para hwesio dan tosu, hanya menggeleng kepala saja, namun mereka sudah maklum akan adat orang kang-ouw yang aneh dan kadang-kadang kasar, maka mereka juga mendiamkan saja.
"Mari ... marilah nona, kau mendapat kehormatan untuk duduk menemani kami dimeja besar. Untuk tarian sehebat itu kau harus diberi penghormatan dengan tiga cawan arak wangi!" kata Liok Kong.
Nona penari itu tidak menolak, lalu duduk dengan sikapnya yang sopan santun dan halus, sedikitpun tidak nampak kikuk atau canggung, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan sikap kegenit-genitan seperti sebagian besar para penari bayaran. Justru sikap yang sewajarnya, dandanan yang sederhana, bedaknya yang tipis itulah yang membuat hati para lelaki di situ tergila-gila.
Pada saat semua orang bergembira karena melihat betapa nona Ong Lian Hong menenggak tiga cawan arak tanpa berkedip mata, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri seorang gadis dengan sikap gagah sekali.
"Manusia she Liok, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu!" demikian gadis ini membentak.
Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar bentakan ini dan semua mata memandang ke arah gadis yang baru datang ini. Dia adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih dua puluh tahun, cantik jelita dan luar biasa sekali. Pakaiannya sederhana berwarna biru seluruhnya, rambutnya diikat dengan saputangan merah dan di pinggangnya tergantung sarung pedang yang buruk dan sudah luntur catnya.
Memang aneh melihat gadis ini, karena sesungguhnya kalau dipandang dengan teliti, kecantikannya sempurna sekali. Dari rambutnya yang hitam mengkilap dan panjang, sampai kepada wajahnya yang bentuknya indah dan sempurna sehingga turun kepada tubuhnya yang padat dan ramping, sukarlah untuk mencari cacat celanya. Akan tetapi, begitu berhadapan dengan dia, orang mau tak mau harus merasa keder dan jerih, karena di balik kecantikan ini tersembunyi tenaga dan keganasan yang menakutkan.
Mungkin sinar matanya yang bagaikan sepasang mata harimau marah itulah, atau tekukan bibirnya yang manis, entahlah. Pendeknya, melihat ia berdiri dengan tubuh tegak dan dadanya membusung ke depan seperti orang yang menantang, kedua kakinya dipentang sedikit ke kanan kiri, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri meraba gagang pedang, orang yang kurang tabah hatinya merasa bulu tengkuknya berdiri.
Liok Kong cepat menengok dan terheranlah ia karena selama hidupnya ia merasa belum pernah bertemu dengan nona cantik ini. Sambil memutar tubuh di atas tempat duduknya, ia menghadapi gadis itu dan membentak garang,
"Siapakah kau dan mengapa datang-datang berkata kasar" Apakah kau seorang gila?"
Mulut gadis itu tersenyum, akan tetapi alangkah jauh bedanya dengan senyuman gadis penari tadi. Senyuman gadis ini biarpun amat manis akan tetapi merupakan penghinaan bagi orang dihadapannya.
"Liok Kong, manusia rendah! Aku tidak mau berbuat seperti orang lain, merendahkan diri memperkenalkan nama kepada binatang macam kau. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Hwe-thian Mo-li (Iblis Wanita Terbang)!"
Tidak hanya Liok Kong yang terkejut dan pucat mendengar nama ini, bahkan semua tokoh kang-ouw yang berada di situ menjadi tercengang. Nama Hwe-thian Mo-li ini di dalam dua tahun akhir-akhir ini telah terkenal sekali, terutama di kalangan hek-to (jalan hitam), yakni kalangan penjahat.
Jarang ada orang dapat melihat Hwe-thian Mo-li, karena iblis wanita itu bekerja dengan cepat, ganas, dan tidak pernah memperlihatkan diri. Oleh karena ini, jarang ada orang kang-ouw yang pernah melihat wajahnya, sungguhpun namanya telah didengar oleh semua orang.
Kini mendengar nama ini disebut, semua orang menjadi bengong dan terheran-heran. Memang pernah mereka dengar dari orang-orang yang telah bertemu muka dengan iblis wanita itu, bahwa Hwe-thian Mo-li adalah seorang dara yang cantik sekali, akan tetapi tidak pernah mereka sangka bahwa iblis wanita itu semuda dan secantik ini. Bagaimanakah seorang dara yang usianya kurang dua puluh tahun, yang demikian cantik jelita, disebut seorang iblis"
Adapun Toat-beng Sin-to Liok Kong, ketika mendengar nama ini, berdebarlah hatinya. Ia pernah mendengar bahwa iblis wanita ini memang berusaha mencarinya, dan bahkan seorang kawan baiknya telah tewas pula di dalam tangan Hwe-thian Mo-li. Ia masih belum mengerti mengapa wanita muda ini mencarinya dan hendak membunuhnya, dan mengapa pula iblis wanita ini telah membunuh kawan baiknya di Santung itu.
Dengan mengangkat dada, Liok Kong lalu turun dari tempat duduknya, berdiri dihadapan Hwe-thian Mo-li dan berkata,
"Hwe-thian Mo-li! Kau adalah seorang kang-ouw yang baru saja muncul dan boleh dibilang masih seorang kanak-kanak. Akan tetapi ternyata mulutmu besar sekali. Kau berani menghina Toat-beng Sin-to Liok Kong, apakah kau telah bosan hidup" Sayang kemudaan dan kecantikanmu! Dan sebagai seorang kang-ouw, kaupun telah bertindak secara serampangan dan membabi buta. Kau datang memaki dan memusuhi aku tanpa alasan sama sekali. Bilakah kita pernah bertemu" Pernahkah aku, Toat-beng Sin-to mengganggumu atau memusuhimu" Ingat, gadis kecil, di sini berkumpul puluhan tokoh kang-ouw, dan kau tidak boleh berlaku sombong dan sewenang-wenang!"
Pada saat itu terdengar suara ketawa nyaring dan tahu-tahu Thio Kun Si Pedang Maut telah melompat dan berdiri di dekat Liok Kong menghadapi Hwe-thian Mo-li. Jago pedang dari Kansu yang baru berusia tiga puluh tahun dan masih membujang ini, ketika tadi melihat Hwe-thian Mo-li, ia menjadi demikian kagum sehingga sampai beberapa lama tak dapat mengeluarkan sepata katapun. Dalam pandangan matanya, bahkan Hwe-thian Mo-li ini lebih cantik dan menarik dari pada gadis penari itu. Mungkin karena sikap Hwe-thian Mo-li yang gagah itulah yang menarik hatinya.
"Liok-lo-enghiong, serahkanlah yang galak ini kepadaku. Kau telah mempunyai kawan minum arak, sekarang datang giliranku. Ha, ha, ha!"
Biarpun hatinya agak merasa gelisah, mendengar ucapan Thio Kun ini, Liok Kong tersenyum senang. Ia maklum bahwa orang she Thio ini boleh diandalkan.
"Nanti dulu, Thio-taihiap, biar aku bertanya dulu kepada nona ini mengapa dia demikian rindu untuk memiliki kepalaku yang tidak muda lagi!"
Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Thio Kun, bahkan ia lalu berkata kepada Liok Kong,
"Toat-beng-sin-to, mungkin kau belum pernah mendengar namaku, akan tetapi tentu kau takkan lupa akan Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan), bukan?"
Tiba-tiba wajah orang she Liok itu menjadi pucat sekali. Teringatlah ia akan pengalamannya belasan tahun yang lalu dan ketika ia teringat akan sahabat baiknya di Santung yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li, diam-diam ia bergidik. Liok Kong adalah seorang yang cerdik dan ia maklum bahwa gadis ini lihai sekali. Kebetulan sekali Thio Kun yang sombong datang mencampuri urusan ini, maka ia pikir lebih baik mengoperkan gadis ganas ini kepada Si Pedang Maut.
"Thio-taihiap, kau minta aku menyerahkan nona ini kepadamu" Akan tetapi tidak dengarkah kau akan nama besarnya Hwe-thian Mo-li?"
Thio Kun tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, biarpun ia disebut Iblis Wanita, kalau cantiknya seperti ini, siapakah yang akan takut menghadapinya?"
Liok Kong melompat mundur dan semua orang memandang ke arah Thio Kun dan Hwe-thian Mo-li dengan hati tegang dan tertarik. Pasti akan ada pertunjukan yang amat menarik, pikir mereka. Apalagi orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar nama Hwe-thian Mo-li, mereka ingin sekali menyaksikan nona itu bersilat. Nama Thio Kun tidak asing lagi dan sebagian besar orang kang-ouw yang hadir di ruangan itu maklumlah sudah akan kelihaian ilmu pedang dari Thio Kun.
"Nona," kata Thio Kun dengan lagak sombong, "sudah lama aku mendengar nama Hwe-thian Mo-li dan oleh karena kita berdua adlah orang segolongan, mengapakah kau tidak ikut ke mejaku dan menikmati hidangan sambil minum arak wangi?"
Hwe-thian Mo-li tersenyum manis, akan tetapi dibalik senyumnya mengintai kemarahan besar. "Cih, orang she Thio! Siapakah yang tidak tahu bahwa kau adalah seorang perampok keji" Bagaimana orang macam kau berani menganggap aku orang segolongan" Aku datang untuk merenggut nyawa orang she Liok karena urusan dendam pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan kau atau dengan orang lain yang berada di sini! Akan tetapi ......"
Ia berhenti sebentar lalu melemparkan pandang mata menantang ke empat penjuru, "jangan anggap bahwa kata-kataku ini menunjukkan bahwa aku takut! Siapa pun juga yang menghalangi aku mengambil kepala orang she Liok, boleh maju dan berkenalan dengan pedangku!"
"Aduh lagaknya! Pedang tumpul macam apakah yang kau bawa-bawa ke sini?" Thio Kun mentertawakan, akan tetapi segera ia berseru kaget dan cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak dari sambaran sinar kuning yang menyerang ulu hatinya. Entah bagaimana, tanpa kelihatan pandangan mata, tahu-tahu Hwe-thian Mo-li telah mencabut pedangnya dan telah mengirim serangan kilat menusuk ulu hatinya.
Pucatlah wajah Thio Kun, bukan hanya karena kaget, akan tetapi juga karena marah. Ia melihat betapa buruknya sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu, akan tetapi setelah pedangnya dicabut, ternyata pedang itu berkilau mengeluarkan cahaya kekuningan.
"Masih adakah pikiranmu untuk membela jahanam she Liok dan menghadapi pedangku Thio Kun?" Hwe-thian Mo-li mengejek.
"Iblis wanita, kau kira kau akan dapat menyombongkan sedikit kepandaianmu di sini dan berani mengacau" Jangan kau membikin aku sampai menjadi marah. Kalau sekali pedang maut telah kucabut, sebelum ia mencium bau darah, ia takkan masuk kembali ke sarangnya!"
"Perampok hina dina, siapa takuti pedangmu ?" kata pula Hwe-thian Mo-li dan ia memandang dengan cara menghina sekali.
Thio Kun tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Ia berseru keras dan mencabut pedangnya yang berkilau dan mengeluarkan sinar putih kehijauan.
"Kau perlu dihajar!" bentaknya dan cepat sekali pedang di tangannya bergerak menyerang dengan hebat sekali. Hwe-thian Mo-li menangkis dan terdengar suara keras dibarengi bunga api yang berpijar. Thio Kun menjadi gentar sekali ketika pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan karena benturan ini. Baiknya ia memiliki pedang mustika, kalau tidak, tentu pedangnya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Hwe-thian Mo-li.
Nama besar Thio Kun sebagai si Pedang Maut bukan timbul karena ilmu pedangnya terlalu lihai, melainkan sebagian besar ditimbulkan oleh kekejaman pedangnya. Memang benar seperti yang dikatakannya tadi, tiap kali pedangnya meninggalkan sarung pedang, pedang itu belum dikembalikan ke dalam sarung sebelum berlepotan darah. Oleh karena kekejamannya inilah maka perampok tunggal yang masih muda ini mendapat julukan Si Pedang Maut, walaupun maut yang tersebar dari pedangnya itu selalu mengambil kurban nyawa orang baik-baik.
Kini menghadapi pedang pusaka di tangan Hwe-thian Mo-li, mana dia dapat berdaya banyak" Hwe-thian Mo-li adalah murid terkasih dari seorang gagah perkasa di bukit Liong-cu san yang bernama Ong Han Cu dan berjuluk Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya. Dengan serangan-serangan dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat, baru beberapa belas jurus saja,
Thio Kun menjadi sibuk sekali. Ia masih berusaha mempertahankan dengan ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun karena tingkat ilmu pedangnya memang kalah jauh, dalam jurus kedua puluh terdengar ia menjerit keras dan robohlah ia dengan pundak terbabat pedang.
"Liok Kong, kau majulah untuk membuat perhitungan secara gagah. Kalau tidak mau maju, terpaksa aku turun tangan!" berkata Hwe-thian Mo-li dengan suaranya yang masih merdu akan tetapi mengandung ancaman maut.
Tadi ketika Liok Kong menyaksikan kelihaian Hwe-thian Mo-li, hatinya telah menjadi jerih. Ia sendiri adalah seorang ahli golok dan belum tentu ia akan kalah terhadap permainan pedang Hwe-thian Mo-li, akan tetapi oleh karena hatinya telah tidak karuan rasanya ketika ia mendengar nama Pat-jiu Kiam-ong tadi, ia lalu mencari jalan paling aman. Ia telah mendekati Ngo-lian Hengte, sahabat-sahabat baiknya, ketua dari Ngo-lian-kauw di Hopak itu.
Ngo-ciangbun atau lima ketua dari Ngo-lian-kauw ini memang telah lama merasa gemas dan penasaran melihat sepak terjang Hwe-thian Mo-li yang dianggapnya tidak tahu aturan. Mereka berlima takkan memperdulikan andaikata Hwe-thian Mo-li melakukan perhitungan dengan Liok Kong secara pribadi, akan tetapi jangan di dalam pesta seperti ini. Menantang tuan rumah dalam sebuah pesta tanpa mengingat akan kehadiran sekian banyak orang-orang gagah yang menjadi tamu, berarti menghina para tamu itu pula. Oleh sebab itu, ketika Liok Kong minta bantuan mereka, dengan segera mereka menyanggupi.
Maka ketika mereka melihat Hwe-thian Mo-li melompat maju hendak menyerang Liok Kong, kelima orang itu segera berdiri dari tempat duduk mereka dan menghadang di depan tuan rumah.
"Hwe-thian Mo-li, kau benar-benar terlalu menghina orang!" bentak Kui Jin, saudara tertua dari kelima jago Hopak itu. "Urusan pribadi dan sakit hati memang sewajarnya diurus, akan tetapi sikapmu yang mendesak tuan rumah di depan para tamu dari dunia kang-ouw yang sekian banyaknya ini benar-benar keterlaluan sekali. Kami harap kau suka memandang kepada kami dan pergi dari sini, jangan mengacaukan pesta ini. Kalau kau melanjutkan sikapmu yang kurang ajar, terpaksa kami Ngo-lian Hengte takkan tinggal diam saja!"
Hwe-thian Mo-li tetap tersenyum mengejek seakan-akan nama Ngo-lian Hengte yang amat tersohor itu bukan apa-apa baginya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa siapa saja yang membela jahanam Liok Kong, ia akan berhadapan dengan pedangku!"
"Wanita buas!" bentak Kui Sin anggauta termuda dari kelima ketua itu sambil mencabut pedangnya lalu menyerang hebat.
"Bagus, makin banyak lawan makin gembira!" seru Hwe-thian Mo-li dan ia segera memutar pedangnya untuk menangkis. Sebentar saja ia dikurung oleh kelima orang kakak beradik she Kui yang mainkan ilmu pedang Ngo-lian-kauw dan mengurungnya rapat-rapat. Akan tetapi, Hwe-thian Mo-li tidak menjadi gentar, bahkan nampak gembira sekali, mulutnya tersenyum-senyum dan pedangnya bergerak makin lama makin kuat.
Sementara itu, Liok Kong masih merasa gelisah lalu minta tolong kepada beberapa orang tamu lain yang sepaham dengan dia, maka kini telah ada belasan orang yang siap sedia dengan senjata di tangan. Mereka bersiap untuk mengeroyok Hwe-thian Mo-li andaikata kelima jago dari Hopak itu sampai kalah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Liok Kong dan diam-diam ia lalu melarikan diri melalui pintu belakang. Akan tetapi, baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, tiba-tiba ia mendengar suara halus merdu dibelakangnya.
"Liok lo-ya, kau hendak pergi kemanakah?"
Bab Sesudah: 02. Perlombaan Mencari Musuh Besar
2. Perlombaan Mencari Musuh Besar
LIOK KONG cepat menengok dan alangkah herannya ketika ia melihat Ong Lian Hong, nona penari cantik jelita tadi telah berdiri dengan sikap menarik dihadapannya. Ketegangan yang ditimbulkan oleh Hwe-thian Mo-li membuat semua orang lupa kepada nona penari ini yang hanya berdiri memandang Hwe-thian Mo-li dengan mata tajam dan sebentar-sebentar menenggak arak wangi sehingga habis beberapa belas cawan tanpa menjadi mabok sedikitpun.
Kalau saja ia tidak sedang ketakutan sangat, dan keadaan tidak sedang berbahaya bagi keselamatannya, tentu Liok Kong akan menjadi girang sekali dan akan menubruk tubuh yang amat menggiurkan itu untuk dibawa ke dalam kamarnya. Akan tetapi pada saat seperti itu, siapakah yang ingat akan kesenangan?"
"Siocia, kau bersembunyilah! Nanti kalau sudah aman aku akan kembali ke sini!" katanya lalu hendak berlari melalui pintu itu.
"Eh, perlahan dulu, loya!" tiba-tiba terdengar nona manis itu mencegah dengan halus dan bagaikan seekor naga merah, selendang merah yang serupa benar dengan yang tadi dibeli oleh Liok Kong, melayang melalui atas kepala si kakek itu dan ujungnya lalu membalik menyambar ke arah kedua matanya.
Liok Kong terkejut sekali karena sambaran ini bukan main kerasnya sehingga anginnya telah mendahului ujung selendang itu. Ia cepat mengelak dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat nona penari itu masih tersenyum, bahkan lebih manis dari pada tadi, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang aneh dan yang mengingatkan Liok Kong akan pandang mata seorang yang dulu amat dibenci dan ditakuti.
"Nah, nah, kau mulai teringat, bukan" Pandanglah, pandanglah baik-baik, Liok Kong. Adakah persamaan antara wajahku dengan wajah mendiang ayahku Ong Han Cu yang telah kau binasakan dengan curang?"
Menggigil seluruh tubuh Liok Kong mendengar ucapan ini. Ia merasa betapa lehernya seperti dicekik. Dengan muka pucat ia menudingkan telunjuk ke arah nona itu sambil berkata gemetar.
"Kau..... kau ..... puteri Pat-jiu Kiam-ong ....?""
Lian Hong tersenyum dan begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mengeluarkan sebuah pedang yang amat indah dan aneh. Pedang ini demikian tipisnya sehingga tadi telah ia pakai sebagai sabuk tanpa diketahui oleh orang lain karena gagangnya juga kecil dan sebagian dari pada gagang tipis ini tertutup oleh mantelnya yang lebar.
"Bangsat she Liok, bersiaplah untuk mampus!" Suara Lian Hong masih terdengar halus, akan tetapi tiba-tiba pedang dan selendangnya meluncur ke depan melakukan dua serangan maut yang amat berbahaya.
Sementara itu, Liok Kong telah mencabut goloknya dan ia segera melakukan perlawanan. Rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu lenyap seketika itu juga, terganti oleh rasa takut dan nafsu membunuh. Ia pikir bahwa belum tentu gadis ini selihai Hwe-thian Mo-li dan dengan ilmu goloknya tentu ia akan dapat merobohkan puteri musuh besarnya ini, maka begitu bergerak, ia lalu mengeluarkan ilmu goloknya yang ganas dan dahsyat.
Tidak percuma Liok Kong mendpat julukan Toat-beng Sin-to atau Golok sakti pencabut nyawa, karena memang ilmu goloknya lihai sekali. Kalau saja ia tidak sedang gugup dan ketakutan, belum tentu nona jelita itu akan dapat mengalahkannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, segera ia mengeluh karena ternyata olehnya bahwa Ong Lian Hong, nona yang menjadi puteri dari Pat-jiu Kiam-ong dan yang telah menyamar seperti seorang penari ini memiliki kepandaian yang amat mengagumkan dan sama sekali tidak terduga-duga!
Tidak saja ilmu pedangnya luar biasa sekali, merupakan campuran dari ilmu pedang Liong-cu-kiam hwat dan ilmu pedang lain cabang, juga selendang merahnya amat lihai dan berbahaya. Selendang merah itu menyambar-nyambar mendatangkan kekacauan terhadap pandangan mata Liok Kong dan ujungnya merupakan senjata penotok jalan darah yang amat berbahaya!
Oleh karena mereka bertempur di ruang sebelah dalam lagi, maka tak seorangpun tamu yang melihat pertempuran mereka, kecuali beberapa orang pelayan yang hanya berlari ke sana ke mari tidak berani membantu. Di luar masih terdengar senjata beradu, tanda bahwa Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok oleh orang banyak.
Memang inilah yang dikehendaki oleh Lian Hong, yakni berhadapan satu lawan satu dengan musuh besarnya ini! Dengan mengerahkan kepandaiannya, akhirnya ia dapat mendesak lawannya yang menjadi makin bingung dan gugup.
"Lebih baik lari saja," pikir Liok Kong yang mencari kesempatan dan jalan keluar.
Lian Hong ketika melihat permainan golok lawannya diam-diam mengakui akan kelihaian lawan dan apabila lawannya bertempur dengan tenang, agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan orang tua ini. Nona yang cerdik dan gagah ini ketika melihat gerakan Liok Kong dan pandangan matanya yang selalu mencari kesempatan, maklum akan maksud lawannya. Ia lalu menggunakan akal dan sengaja mengendurkan serangannya dan menjahui pintu yang menuju ke belakang.
Melihat kesempatan yang dinanti-nantikan ini, cepat Liok Kong menyerang hebat sehingga Lian Hong terpaksa mengelak mundur dan kakek itu lalu melompat melalui pintu yang terbuka. Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu itu, ia mendengar suara angin dan melihat selendang merah dari lawannya meluncur cepat mengarah kakinya.
Ia cepat melompat ke atas akan tetapi tiba-tiba pedang ditangan Lian Hong telah digerakkan dengan tipu gerakan Naga Sakti Menyemburkan Mustika. Gadis pendekar ini telah melontarkan pedangnya yang meluncur cepat bagaikan anak panah dan tanpa dapat ditangkis atau dielakkan oleh Liok Kong yang sedang melompat menghindarkan diri dari serangan selendang merah, pedang itu nancap pada punggungnya dan berhenti di antara tulang-tulang iganya.
Inilah kepandaian istimewa dari Ong Lian Hong. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu serangan istimewa ini, karena selain bentuk pedang tidak seperti bentuk senjata rahasia yang mudah dilemparkan, juga pedangnya itu amat tipis, namun berkat kemahirannya menyambitkan dan berkat tenaganya yang sudah cukup terlatih, pedang itu dapat menancap ke arah sasaran dengan tepat dan juga kuat sekali.
Liok Kong hanya dapat mengeluarkan teriakan satu kali, karena Lian Hong segera mencabut pedangnya dan sekali sabet, leher Liok Kong telah putus.
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok rapat-rapat oleh para tamu yang membela tuan rumah. Tadi ketika Ngo-lian Hengte maju mengurungnya, ia telah menjadi amat marah. Pedangnya bergerak ganas sekali dan baru beberapa jurus saja, Kui Ti dan Kui Sin terpaksa telah mengundurkan diri karena terluka oleh ujung pedang pada lengan dan paha. Tiga orang kakak mereka yang masih mengurung juga agaknya tidak akan dapat menang, melihat betapa sinar pedang Hwe-thian Mo-li bergulung-gulung makin membesar dan mengganas.
Melihat keganasan Hwe-thian Mo-li, belasan orang yang sudah menerima permintaan Liok Kong untuk membantu, segera mengepung maju dan sebentar saja kepungan orang terhadap Hwe-thian Mo-li makin rapat saja. Namun nona ini benar-benar luar biasa sekali.
Biarpun senjata para pengeroyoknya datang bagaikan air hujan menimpa ke arah tubuhnya, ia dapat mainkan pedangnya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, bahkan ia masih dapat merobohkan beberapa orang lagi. Akan tetapi, lambat laun ia mulai merasa lelah juga dan hatinya amat mendongkol. Ia sengaja datang hendak membalas dendamnya kepada Liok Kong, kini orang yang dicari dapat melarikan diri sedangkan ia terpaksa harus menghadapi beberapa orang kang-ouw yang mengeroyoknya.
Selagi ia mencari jalan untuk meninggalkan semua lawannya dan mengejar Liok Kong, tiba-tiba terdengar seruan halus, "Hwe-thian Mo-li, inilah hadiah untukmu!" dan sebuah benda besar bulat menyambar ke arah nona yang sedang mengamuk ini. Tidak hanya Hwe-thian Mo-li yang merasa kaget dan heran, akan tetapi juga para pengeroyoknya memandang benda yang menyambar itu dan ketika melihat benda itu jatuh di atas lantai, mereka berseru terkejut dengan muka pucat karena benda itu adalah kepala dari Liok Kong.
Sebaliknya, ketika Hwe-thian Mo-li memandang dan melihat kepala musuh besarnya ini, ia menjadi heran sekali. Pedangnya berkelebat ke arah kepala itu dan "Crack!" kepala itu terbelah menjadi dua.
Keadaan menjadi kacau balau. Melihat tuan rumah telah tewas dalam keadaan amat mengerikan ini, semua tamu yang tadinya mengurung Hwe-thian Mo-li, menjadi kehilangan semangat dan mulai mengundurkan diri.
Dan di dalam kekacauan ini, Hwe-thian Mo-li yang masih mainkan pedangnya, melihat bayangan penari cantik itu bergerak lincah sekali, melompat dari ruang dalam dan dengan sebuah tendangan ia merobohkan Thio Kun yang berdiri menonton pertempuran sambil memegangi pundaknya yang tadi terluka oleh ujung pedang Hwe-thian Mo-li. Tanpa dapat berteriak lagi, Thio Kun roboh terguling dan cepat sekali tangan penari yang cantik itu menyambar ke bawah, terdengar pakaian robek dan patung Kilin tadi kini telah berada ditangan penari itu yang cepat melompat pergi dari ruangan itu.
Hwe-thian Mo-li merasa tak perlu lagi melanjutkan pertempuran karena kini musuhnya telah tewas. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok bergerak mundur, lalu tiba-tiba tubuhnya dienjotkan ke atas dan melompatlah ia ke ruang depan sambil berseru.
"Sahabat lancang, tunggu dulu!" Ia masih dapat melihat bayangan nona penari itu berlari di sebelah kanan rumah gedung maka iapun lalu mempercepat gerakan kakinya mengejar.
Nona penari itu menengok dan mulutnya tersenyum geli ketika ia melihat Hwe-thian Mo-li mengejar. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat dengan ilmu lari Teng-peng-touw-sui. Melihat betapa bayangan yang ramping di depan itu kini berlari makin cepat keluar dari kota, Hwe-thian Mo-li menggigit bibir dan mempercepat pengejarannya dengan ilmu lari Hwe-hong-sut.
Kejar mengejar terjadi dan Hwe-thian Mo-li menjadi makin mendongkol, gemas, marah dan penasaran oleh karena betapapun ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat, ia tidak dapat mengejar gadis penari itu. Sebaliknya, yang dikejar juga tak dapat memperjauh jarak di antara mereka ternyata bahwa ilmu kepandaian mereka dalam hal ilmu berlari cepat ternyata setingkat. Setelah kejar mengejar sejauh tiga puluh li dan mereka telah tiba di tepi sungai Yang-ce, nona penari itu sambil tertawa-tawa lalu berhenti menanti kedatangan Hwe-thian Mo-li.
Dengan muka merah, Hwe-thian Mo-li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus, "Siapakah kau yang sombong dan lancang ini" Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong" Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-thian Mo-li dapat mengampuni kelancanganmu?"
Dara penari yang lihai itu tersenyum manis sekali dan menahan gelinya. "Kau mau mengetahui namaku?"
"Ya, sebutkan namamu. Cepat!"
"Aku bernama Hwe-thian Sian-li (Bidadari Terbang)!"
Makin merahlah muka Hwe-thian Mo-li mendengar ini. Terang bahwa gadis penari ini main-main terhadapnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya dari pinggang dan memandang dengan mata melotot.
"Kau hendak mengembari julukanku" Mengapa tidak memakai julukan Hwe-thian Mo-li sekali agar sama?" bentaknya.
Ong Lian Hong, dara penari itu tersenyum. "Untuk apa memakai nama seperti itu" Siapa suka menyebut diri sebagai Mo-li atau Iblis Wanita" Sungguh nama yang buruk dan menakutkan. Bagiku, lebih baik aku memakai nama Hwe-thian Sian-li!"
Hwe-thian Mo-li merasa terpukul oleh alasan ini. "Hm, tidak saja kau cantik, akan tetapi juga lidahmu amat lihai bicara. Lekas kau katakan mengapa kau berlancang tangan mendahului aku membunuh Liok Kong!"
"Cici, bukankah aku telah membantumu" Mengapa kau marah-marah?" gadis penari itu bertanya sambil memandang heran. Ia belum kenal adat yang keras dari Hwe-thian Mo-li dan karena adatnya inilah maka gadis ini disebut Hwe-thian Mo-li atau Iblis Wanita.
"Membantu" Siapa sudi kau bantu" Kau boca sombong, dengan sedikit kepandaianmu itu, kau sudah berani membantu tanpa kuminta" Kau benar-benar lancang sekali!"
"Enci Siang Lang, kau benar-benar galak sekali!" tiba-tiba penari ini berkata sambil tersenyum manis. "Kau hendak membalas dendam kepada jahanam Liok Kong, apakah orang lain juga tidak hendak membalas dendam" Apakah dendam hanya boleh kau miliki sendiri?"
Hwe-thian Mo-li tidak memperhatikan ucapan ini karena ia masih berdiri bengong mendengar betapa gadis cantik ini menyebut namanya yang jarang sekali diketahui orang lain.
"Bagaimana kau bisa mengetahui namaku" Siapakah kau?" tanyanya.
"Tentu saja aku mengenal namamu. Kau bernama Nyo Siang Lan, murid dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu di Liong-cu san! Bukankah ini cocok sekali?"
"Bocah! Kau makin memperolok-olokku. Hayo katakan kau siapa dan bagaimana sampai dapat mengetahui keadaanku!"
"Kalau aku tidak mau memberi tahu padamu?"
"Terpaksa ku paksa dengan pedangku!"
"Hm, Hwe-thian Mo-li, memang aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Marilah kita main-main sebentar! Sambil berkata demikian, Lian Hong meloloskan pedangnya yang tipis dan bersiap memasang kuda-kuda yang disebut Bunga Teratai Mengambang di Air. Sikapnya menarik sekali, matanya yang indah berseri, mulutnya tersenyum manis dan lagaknya nakal sekali.
Hwe-thian Mo-li diam-diam merasa kagum melihat kecantikan lawannya ini, akan tetapi ia juga merasa amat penasaran. Belum pernah ada orang, apalagi seorang gadis muda seperti ini, berani mengganggunya sampai sedemikian rupa.
"Bagus, kau memang perlu diberi sedikit hajaran!" bentaknya dan secepat kilat ia menyerang gadis itu. Serangannya, seperti biasa, cepat dan ganas sekali sehingga Lian Hong menjadi terkejut dan tidak berani main-main lagi. Gadis ini lalu memutar pedangnya yang tipis dan bersilat sama cepatnya mengimbangi permainan silat Hwe-thian Mo-li.
Kalau saja Lian Hong bersilat mempergunakan ilmu pedang lain dan sanggup menghadapinya, Hwe-thian Mo-li tidak akan demikian terheran, karena memang di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Akan tetapi yang membuatnya merasa terheran-heran adalah bahwa ilmu pedang gadis cantik ini mirip sekali dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Liong-cu-kiam-hwat. Pada dasarnya sama, hanya terdapat kembangan-kembangan lain yang agaknya terjadi dari percampuran dua ilmu pedang.
"Bocah sombong, dari mana kau mencuri ilmu pedang Liong-cu-kiam-hwat?" Hwe-thian Mo-li mmbentak sambil mengirim tusukan dengan gerak tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh di Tanah) yang dilakukan cepat sekali.
Lian Hong dengan tenang sekali karena sudah mengenal gerakan ini dengan baik, lalu mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya menangkis dengan gerakan Sayap Walet Mengipas Air.
"Siapa mencuri ilmu pedang" Hayo keluarkanlah seluruh kepandaianmu kalau kau bisa!" Lian Hong menantang sambil tersenyum-senyum.
Senyum yang manis sekali dan dapat melumpuhkan kalbu setiap laki-laki, ternyata bagi Hwe-thian Mo-li merupakan api yang panas membakar hatinya. Ia menggertak giginya dan berseru keras.
"Kau tidak tahu diberi hati! Kau minta dirobohkan dengan kekerasan" Baik, kau lihatlah!" Sambil berkata demikian, Hwe-thian Mo-li lalu mendesak maju dan mainkan pedangnya dengan luar biasa cepatnya. Ia benar-benar telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari kemenangan. Tadipun ketika menghadapi banyak orang di rumah gedung Liok Kong, ia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya seperti sekarang ini.
"Hebat!" Lian Hong tak tertahan lagi berseru kagum dan iapun harus mengerahkan ginkang dan ilmu pedangnya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Pertempuran antara kedua nona jelita ini benar-benar hebat dan ramai sekali. Kian lama kian terheran-heranlah hati Hwe-thian Mo-li, karena jarang sekali ada orang yang dapat mempertahankan diri lebih dari tiga puluh jurus apabila ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya seperti ini.
Akan tetapi gadis muda ini dapat melayaninya sampai lima puluh jurus, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan dahsyat, mempergunakan pedang tipis dan selendang merah. Memang, melihat kehebatan sepak terjang Hwe-thian Mo-li, terpaksa Lian Hong mengeluarkan selendang merahnya untuk membantu gerakan pedang di tangan kanan.
Setelah memegang dua macam senjata yang lihai ini, barulah ia dapat mengimbangi permainan Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi, Lian Hong makin lama makin kagum saja karena ia maklum bahwa biarpun kepandaian mereka seimbang, namun ia kalah tenaga dan kalah ulet. Juga gerakan-gerakan Hwe-thian Mo-li amat ganas dan benar-benar merupakan penyebar maut sehingga sekali saja terkena serangannya, sukarlah untuk menyelamatkan diri.
Perlahan akan tetapi pasti, Lian Hong mulai terdesak mundur setelah dapat mengadakan perlawanan sengit selama tujuh puluh jurus lebih. Tiba-tiba Lian Hong menangkis pedang Hwe-thian Mo-li sambil mengenjot kedua kakinya, melompat ke belakang empat tombak jauhnya dan ketika ia turun ke atas tanah, ia berkata,
"Sudah, sudah, enci Siang Lan! Aku terima kalah! Biarlah kuceritakan kepadamu siapa sebenarnya aku ini!"
Hwe-thian Mo-li menyimpan pedangnya, menghampiri gadis itu sambil menghela napas berulang-ulang dan memandang kagum. "Hebat sekali ilmu pedangmu adik yang baik. Baru menyaksikan kepandaianmu saja aku tak dapat marah lagi kepadamu. Sekarang, jadilah seorang adik yang baik budi dan jangan kau mengganggu aku lebih jauh dan ceritakanlah sebenarnya siapakah kau ini?"
Wajah yang cantik jelita dari gadis penari itu menjadi bersungguh-sungguh dan ia memandang dengan mata sayu mengharukan ketika ia berkata,
"Enci Siang Lan, aku mendengar namamu dari ayahku sendiri."
"Siapakah ayahmu?"
"Tentu ayah tak pernah menceritakan halnya kepadamu. Aku bernama Ong Lian Hong dan orang yang selama ini menjadi gurumu, yakni Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, adalah ayahku!"
Terbelalaklah mata Hwe-thian Mo-li memandang Lian Hong, penuh ketidak percayaan.
"Betapa mungkin" Mendiang suhu tak pernah mempunyai anak!" serunya sambil memandang tajam dengan mata menyelidik.
Wajah yang manis itu kembali berseri dan bagaikan disulap, senyum yang menggiurkan itu timbul kembali pada bibirnya. Lian Hong memang berwatak gembira dan jenaka sekali, sukar baginya untuk bertahan lama-lama dalam keharuan atau kesedihan.
"Tentu saja, cici!" jawabnya menahan ketawa. "Bagaimana ayah bisa beranak" Yang melahirkan aku adalah ibuku, bukan ayah!"
Hwe-thian Mo-li tertegun mendengar ini. Ia merasa betapa aneh gadis muda ini, bahkan ia menganggap otak gadis ini sudah miring. Memang, watak Lian Hong adalah kebalikan dari pada wataknya yang selalu bersungguh-sungguh dan keras bagaikan batu karang.
"Adik Lian Hong, jangan kau main-main! Aku telah ikut suhu selama sembilan tahun dan belum pernah aku mendengar suhu menyebut tentang isteri atau puterinya. Belum pernah pula aku melihat suhu menjumpai isteri dan anaknya. Benar-benarkah ceritamu tadi?"
"Terserah kepadamu, enci Siang Lan, terserah kau percaya atau tidak, bagiku tiada bedanya." Gadis ini lalu bangkit berdiri.
"Eh........adikku yang baik, Andaikata benar kau puteri mendiang suhu, siapakah gerangan ibumu dan di mana kau dan ibumu tinggal?"
Lian Hong menghela napas panjang. "Enci, harap kau maafkan. Untuk pertanyaan ini aku belum dapat menjawab, belum tiba waktunya. Mendiang ayah sendiri merahasiakan kepadamu, dan aku mempunyai alasan yang amat kuat untuk merahasiakannya pula. Yang terpenting sekarang adalah usaha pembalasan dendam dari sakit hati ayah. Tahukah kau bahwa masih ada dua orang lagi yang harus kita balas ?"
"Tiga, bukan dua. Seorang she Yap yang menjadi kauwsu (guru silat), seorang hwesio, dan seorang hartawan she Cin!"
"Salah." Jawab Lian Hong sambil tersenyum, "Hanya ada dua, yakni hwesio itu dan hartawan she Cin. Adapun orang she Yap itu hanya dapat kau cari di dasar neraka!"
Hwe-thian Mo-li memandang tajam. "Hm, tentu kau telah berhasil membunuh orang she Yap itu, bukan?"
"Dan kau sudah berhasil membunuh seorang lagi di Santung!"
Hwe-thian Mo-li memandang tak puas. "Masih kalah olehmu, karena Liok Kong pun tewas dalam tanganmu. Kau telah membalas dua orang musuh dan aku hanya baru seorang saja."
Lian Hong tersenyum gembira. "Mari kita berlumba, cici. Musuh kita tinggal dua orang dan marilah kita berlumba. Kau sudah kalah satu olehku, maka kalau yang dua ini kau tak dapat tewaskan semua, kau takkan dapat menang dari ku! Nah, sampai bertemu kembali, cici yang baik!"
Setelah berkata demikian, Lian Hong melompat jauh dan berlari cepat.
"Nanti dulu, adik Liang Hong ....! Mengapa kita tidak melakukan perjalanan bersama dan bersama pula mencari musuh-musuh kita ?"
Tanpa menoleh Lian Hong menjawab, "Tidak bisa cici! Tak Mungkin ! Selamat berpisah!"
Hwe-thian Mo-li hendak mengejar, akan tetapi ia menghela napas dan mengurungkan niatnya. Ia maklum bahwa usahanya mengejar gadis itu akan sia-sia belaka, karena kepandaian mereka dalam ilmu berlari cepat seimbang. Dan lagi, kalau orang tidak mau didekati, untuk apa ia harus mendesak dan memaksanya"
Ia lalu duduk di bawah pohon, menyandarkan punggungnya pada batang pohon itu dan mengenangkan suhunya. Sungguh amat mengherankan, kalau betul-betul suhunya itu mempunyai isteri dan puteri seperti Lian Hong, mengapa suhunya tak pernah menceritakan hal itu kepadanya"
**** Agar jelas bagi pembaca tentang timbulnya permusuhan dan dendam yang terkandung di dalam hati Hwe-thian Mo-li dan Lian Hong, baiklah kita biarkan dulu Hwe-thian Mo-li duduk termenung di bawah pohon itu dan marilah kita menengok kembali kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, yakni sebelum pendekar besar Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu tewas secara amat menyedihkan.
Ong Han Cu yang berjuluk Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) adalah seorang tokoh persilatan yang tinggal di Gunung Liong-cu-san. Dari julukannya saja, yakni raja pedang, dapat diduga bahwa ia adalah seorang ahli silat pedang yang luar biasa.
Memang, di antara semua ilmu pedang pada waktu itu, boleh disebut ilmu pedang dari Ong Han Cu menduduki tempat yang amat tinggi. Ilmu pedang ini, ia peroleh dari seorang pertapa yang mengasingkan diri di sebuah gua di Gunung Liong-cu-san dan secara tak sengaja tempat ini didapatkan olehnya. Ketika ia mendapatkan gua itu, yang ia lihat hanyalah rangka manusia yang masih utuh sedang duduk bersila di dalam gua, tanda bahwa manusia ini dulu telah meninggal dunia dalam keadaan bersila.
Memang luar biasa sekali mengapa rangka itu masih dapat berduduk dan telah membatu. Agaknya hal ini terjadi karena dari langit-langit gua itu menetes-netes turun air kapur yang membuat tulang-tulang itu menjadi kuat dan tidak terlepas sambungannya. Selain rangka ini, Ong Han cu juga menemukan sebuah kitab pelajaran ilmu pedang yang diciptakan oleh orang sakti yang telah menjadi rangka itu.
Demikianlah, dengan amat tekunnya Ong Han Cu mempelajari ilmu pedang ini yang kemudian ia beri nama Liong-cu Kiam-hwat, sesuai dengan nama gunung di mana ia mendapatkan ilmu pedang ini. Semenjak saat itu, ia menjadi jago pedang yang luar biasa dan pernah ia sengaja naik ke Kun-lun-san dan Go-bi-san untuk menguji ilmu pedang dengan tokoh-tokoh ilmu pedang di kedua cabang persilatan besar itu. Ternyata ia telah berhasil baik dan jarang sekali ada ahli pedang yang dapat mengalahkan Liong-cu Kiam-hwat.
Kemudian, ia bertemu dengan Nyo Siang Lan, seorang anak perempuan yatim piatu yang berusia sepuluh tahun dan hampir mati kelaparan di sebuah kampung yang dilanda banjir. Tergeraklah hati Ong Han Cu melihat anak perempuan yang ia lihat berbakat baik sekali itu, maka ia lalu mengambil Siang Lan menjadi muridnya. Mungkin karena terlalu menderita di waktu kecilnya, Nyo Siang Lan menjadi seorang gadis yang amat keras hati dan selalu bersungguh-sungguh jarang sekali bergembira. Hal itu sesuai pula dengan watak Ong Han Cu yang juga pendiam.
Sebagai seorang pendekar gagah yang budiman, Ong Han Cu telah banyak mengulurkan tangan mempergunakan pedangnya yang tajam untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas dan membasmi kejahatan. Hal ini membuat nama Pat-jiu Kiam-ong terkenal sekali dan nama ini dipuja-puja oleh banyak orang yang telah ditolongnya. Akan tetapi sebaliknya juga menimbulkan sakit hati kepada banyak orang-orang kang-ouw yang mengambil jalan hitam.
Dengan amat tekunnya, Nyo Siang Lan mempelajari ilmu silat dari suhunya. Ong Han Cu amat sayang kepada murid tunggalnya ini karena selain amat rajin, juga muridnya ini benar-benar berbakat baik dan amat berbakti kepadanya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Nyo Siang Lan tidak hanya menganggap dia sebagai gurunya, bahkan menganggapnya sebagai pengganti orang tuanya.
Sering kali Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu turun gunung meninggalkan Siang Lan seorang diri dan memesan agar supaya murid itu berlatih dengan rajin. Tiap kali guru ini kembali ke puncak Liong-cu-san dengan hati bangga dan girang ia melihat kemajuan-kemajuan luar biasa pada muridnya. Diam-diam ia merasa girang sekali karena tidak keliru memilih murid.
Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, ketika Siang Lan telah berusia sembilan belas tahun, gurunya berkata,
"Siang Lan, muridku yang baik. Mungkin tidak kau sadari bahwa kau telah mewarisi seluruh kepandaianku. Kau benar-benar memuaskan hatiku, Siang Lan, dan aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu, Liong-cu Kiam-Hwat telah kau pelajari sampai habis."
"Bagaimana teecu dapat percaya ucapan ini, suhu," bantah Siang Lan. "Tiap kali berlatih dengan suhu, teecu masih merasa amat berat dan takkan dapat menahan diri lebih dari empat puluh jurus."
Gurunya tersenyum tenang. "Tentu saja, anak bodoh. Hal ini bukan karena aku masih memiliki gerak tipu yang belum kau pelajari, akan tetapi hanya karena selain kalah tenaga dan kegesitan, kaupun kalah pengalaman. Ketahuilah bahwa ilmu silat hanya akan bertambah maju dengan pesat apabila kau pergunakan dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan apabila kau seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh, dengan sendirinya ilmu pedangmu akan menjadi makin sempurna. Aku telah menghadapi banyak sekali ahli silat, maka dengan sendirinya gerakanku lebih matang dari padamu. Oleh karena itu muridku, sudah menjadi hak mu untuk turun gunung dan meluaskan pengalamanmu. Kau turunlah dari gunung ini, pergunakanlah kepandaianmu yang kau pelajari selama sembilan tahun dariku itu untuk menolong sesama hidup. Dengan demikian, takkan sia-sialah kau membuang sekian banyak tenaga, pikiran, dan waktu untuk mempelajari ilmu silat dan tidak sia-sia pula aku mengambil kau sebagai murid."
Maka turunlah Siang Lan dari puncak Liong-cu-san dan mulailah ia merantau di dunia kang-ouw. Sebentar saja pedangnya telah berbuat banyak dan karena ia selalu berlaku keras terhadap golongan penjahat, tanpa mengenal ampun, maka ia lalu mendapat julukan Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi, setelah merantau selama satu setengah tahun dan kembali ke Gunung Liong-cu-san, ia mendapatkan suhunya dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sebulan yang lalu, suhunya itu telah didatangi oleh lima orang dan kini suhunya telah dibuntungi kedua kaki tangannya dan berada dalam perawatan seorang penduduk kampung di lereng gunung itu.
Tentu saja Siang Lan merasa terkejut dan sedih sekali. Ia menubruk suhunya dan menangis tersedu-sedu.
"Suhu, kau kenapakah, suhu" Siapakah yang melakukan perbuatan keji ini" Katakanlah, suhu, siapa yang berani mencelakakan suhu seperti ini" Biar teecu pergi mencarinya, membunuh dan menghancur-leburkan kepalanya!"
Biarpun keadaannya amat lemah dan payah, Ong Han Cu masih dapat tersenyum melihat muridnya yang terkasih. "Syukurlah Siang Lan, syukurlah bahwa kita masih sempat bertemu muka."
Kemudian Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu lalu menceritakan pengalamannya kurang lebih sebulan yang lalu. Di atas puncak bukit Liong-cu-san, ia kedatangan lima orang kang-ouw yang telah dikenalnya baik. Mereka ini adalah Toat-beng Sin-to Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, kedua adalah Si Lutung Sakti Yap Cin, ketiga Santung Taihiap Siong Tat Pendekar gagah dari Santung, keempat adalah seorang hwesio bernama Leng Kok Hosiang, dan kelima seorang gagah lain, yakni Kim-gan-liong Cin Lu Ek Si Naga Mata Emas.
Sebagai seorang kang-ouw yang menghormat kawan-kawannya dari satu golongan, Ong Han Cu lalu menyambut mereka dengan gembira sekali. Akan tetapi ternyata bahwa kedatangan mereka itu tidak mengandung maksud baik. Dengan secara licin sekali, diam-diam Leng Kok Hosiang, hwesio berkepandaian tinggi dari Sin-tok-san, telah memasukkan racun pada arak yang dihadapi oleh Ong Han Cu.
"Demikianlah," Pat-jiu Kiam-ong melanjutkan penuturannya kepada muridnya yang mendengarkan semua itu sambil bercucuran air mata, setelah minum racun dalam arak yang luar biasa kerasnya, aku rebah pingsan tidak merasa apa-apa lagi. Ketika aku tersadar, ternyata bahwa mereka telah pergi, meninggalkan aku dalam keadaan begini. Baiknya ada sahabat ini yang kebetulan melihatku dan menolong merawatku, kalau tidak, tentu aku telah tewas karena kecurangan mereka yang biadab itu!"
"Akan tetapi mengapakah, suhu" Mengapa mereka melakukan perbuatan sekeji ini ?"
Ong Han Cu tersenyum. "Ada dua hal yang mendorong mereka melakukan hal ini muridku. Bagi Leng Kok Hosiang dan Yap Cin, mereka itu memang mengandung dendam sakit hati terhadap aku karena aku pernah merobohkan mereka itu dan menghalangi perbuatan mereka yang jahat. Adapun Liok Kong, Siong Tat, dan Cin Lu Ek ikut datang melakukan perbuatan pengecut dan hina dina ini karena mereka silau harta terpendam yang berada di dalam guaku. Mereka pergi membawa harta terpendam yang dulu kudapatkan di dalam gua bersama kitab ilmu pedang. Sungguh aku tidak mengerti mengapa manusia dapat menjadi mata gelap dan kejam karena pengaruh harta dunia. Sepanjang pengetahuanku, Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas itu bukanlah seorang yang memiliki watak jahat!" Ong Han Cu menghela napas bukan menyesali nasibnya, akan tetapi menyesali kejahatan orang-orang itu.
Memang sesungguhnya, ketika mendapatkan rangka manusia dan kitab pelajaran ilmu pedang di gua itu, Ong Han Cu juga menemukan sebuah peti besar terisi penuh harta berupa emas dan permata yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, hal ini dirahasiakan oleh Ong Han Cu dan barang itu masih disimpannya di dalam guanya. Hanya kadang-kadang saja ia mengeluarkan sepotong emas atau permata untuk dijualnya dan dipergunakan sebagai biaya hidupnya.
Dan betapapun rapatnya ia menutup rahasia ini, ternyata mata para penjahat amat tajam dan telinga mereka amat kuat pendengarannya. Entah bagaimana, rahasia ini terdengar oleh ke lima orang berkepandaian tinggi itu yang lalu berkumpul, berunding dan mempergunakan siasat yang curang untuk merobohkan pendekar tua ini, membuntungi tangan kaki nya serta merampas harta bendanya itu.
**** Tentu saja Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menjadi marah sekali dan dengan bercucuran air mata ia bersumpah di depan suhunya untuk membalas dendam besar ini. Kemudian ia membawa pedang suhunya dan turun gunung, mencari musuh-musuh gurunya itu.
Pertama-tama ia pergi ke Santung untuk mencari Santung Thaihiap Siong Tat dan dalam pertempuran yang amat hebat sehingga ia berhasil membunuh Siong Tat dan membawa kepala musuh besarnya ini naik ke atas gunung Liong-cu-san. Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata bahwa suhunya yang telah menjadi orang tak berguna lagi dan buntung kaki tangannya, sudah meninggal dunia.
Siang Lan bersembahyang di depan kuburan suhunya sambil menaruh kepala Santung Thaihiap Siong Tat di depan makam itu, kemudian ia lalu mulai merantau dan mencari empat orang musuh besar yang telah mencelakai gurunya itu. Mereka ini adalah Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, Yap Cin Si Luntung Sakti, Lengkok Hosiang yang meracuni suhunya dan Cin Su Lek Si Naga Bermata Emas.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, secara kebetulan sekali Siang Lan yang telah mendapat keterangan tentang musuh besarnya yang bernama Liok Kong, bertemu dengan Ong Lian Hong, gadis manis yang mengaku menjadi puteri suhunya.
Tentu saja ia tidak dapat mempercaya keterangan ini karena bagaimanakah suhunya tahu-tahu telah mempunyai seorang puteri demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula" Menurut pengakuan gadis itu, Yap Cin Si Luntung Sakti telah terbunuh dan karena Liok Kong telah mampus pula, maka kini musuh besar mereka tinggal Leng Kok Hosiang dan Cin Lu Ek.
Sampai lama Hwe-thian Mo-li duduk termenung di bawah pohon itu, tiada hentinya memikirkan keadaan Lian Hong nona yang aneh dan yang mengaku sebagai puteri suhunya. Akhirnya ia merasa khawatir juga kalau-kalau ia sampai kalah oleh gadis cantik itu, kalau-kalau dua orang musuh yang lain itupun akan tewas dalam tangan gadis itu pula.
"Tidak, bagaimanapun juga, aku harus mendahuluinya!" pikirnya dan ia lalu bangun berdiri dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat. Dia telah mendengar bahwa Leng Kok Hosiang sekarang berada di Sin-tok-san, yakni pegunungan yang berada di selatan, adapun Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas amat sukar dicari. Agaknya orang ini telah melarikan diri karena takut akan pembalasannya, dan mungkin juga si Naga Bermata Emas ini telah mengganti namanya.
"Tidak perlu mencari dia yang bersembunyi." Pikir Hwe-thian Mo-li sambil berlari cepat. "Lebih baik menuju ke pegunungan Sin-tok-san untuk mencari Leng Kok Hosiang.
Demikianlah, ia lalu membelok ke selatan dan langsung menuju ke pegunungan itu tanpa mengenal lelah. Ia melakukan perjalanan secepatnya agar jangan sampai didahului oleh nona yang mengaku puteri dari Mendiang suhunya itu!
**** Bab Sesudah: 03. Penderitaan Anak Mantu Ciok-taijin
03. Penderitaan Anak Mantu Ciok-taijin
SEBELUM kita mengikuti perjalanan Hwe-thian Mo-li yang menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya di pegunungan Sin-tok-san, marilah kita melihat dulu keadaan Ong Lian Hong, gadis penari yang cantik jelita dan penuh rahasia itu agar kita dapat mengenalnya lebih baik.
Memang benar gadis yang menyamar sebagai penari dan yang berhasil menewaskan Liok Kong ini adalah seorang puteri dari Ong Han Cu. Dahulu, sebelum Ong Han Cu menemukan ilmu pedang di Liong-cu-san dan sewaktu ia masih muda, pada suatu hari melihat serombongan keluarga bangsawan yang sedang melakukan perjalanan, dicegat dan dikeroyok oleh belasan orang perampok yang ganas.


Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pengawal keluarga bangsawan itu kewalahan menghadapi perampok-perampok yang dipimpin oleh seorang perampok yang berkepandaian tinggi. Tidak saja banyak pengawal yang tewas dan harta benda keluarga itu mulai diangkut oleh para anak buah perampok, bahkan seorang gadis cantik puteri bangsawan itupun telah dipondong oleh kepala rampok dan hendak dibawa pergi ke dalam hutan. Gadis itu meronta-ronta dan menjerit-jerit dan jeritan inilah yang menarik perhatian Ong Han Cu dan membuatnya berlari menolong.
Pertempuran hebat terjadi antara Ong Han Cu dan kepala perampok, akan tetapi akhirnya kepala rampok itu bersama beberapa orang anak buahnya tewas dalam tangan pemuda gagah perkasa ini. Melihat betapa pemuda gagah perkasa dan tampan itu telah menyelamatkan jiwa sekeluarganya, dan bahkan mendapatkan kembali harta benda yang tadi telah dirampok, maka bangsawan she Ciok ini menjadi amat kagum, terharu dan berterima kasih.
Tanpa disadarinya pula, di depan para pengawal dan pelayan, ia lalu menyatakan ingin mengambil mantu kepada Ong Han Cu, dijodohkan dengan puteri tunggalnya, yakni gadis cantik yang tadi hampir terculik oleh kepala rampok, yang bernama Ciok Bwe Kim. Ong Han Cu merasa bahagia sekali oleh karena memang semenjak bertemu muka dengan Ciok Bwe Kim, ia telah jatuh hati kepada gadis cantik ini. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan calon mertuanya dan menghaturkan terima kasihnya.
Baru setelah kembali ke tempat tinggalnya yang aman, yakni di dalam sebuah gedung besar di kota raja, Ciok-taijin (pembesar she Ciok) yang berpangkat teetok, merasa menyesal akan janjinya terhadap Ong Han Cu tadi. Ia adalah seorang pembesar berpangkat tinggi dan berdarah bangsawan, adapun pemuda itu sungguh pun tampan dan gagah perkasa, akan tetapi bukan keturunan bangsawan, tidak kaya raya, dan juga bukan ahli kesusasteraan sehingga takkan dapat memegang pangkat tinggi.
Namun janji telah diucapkan dan banyak saksi mendengarkan janji ini. Lagi pula, puterinya agaknya sudah suka kepada pendekar muda itu dan iapun merasa jerih untuk mengingkari janjinya terhadap Ong Han Cu.
Maka pernikahan lalu dilangsungkan dengan amat sederhana. Masih besar harapan hati pembesar itu untuk memberi bimbingan kepada mantunya agar mantu ini suka mempelajari ilmu tulis menulis dan kelak bisa diberi kedudukan yang akan mengangkat derajatnya. Akan tetapi bagaimanakah hasilnya"
Ong Han Cu adalah seorang pemuda yang semenjak kecilnya dididik dalam kegagahan dan kedua orang tuanyapun adalah pendekar-pendekar ilmu silat yang ternama di kalangan kang-ouw, maka tentu saja ia tidak tahan untuk duduk di belakang meja dan mengerahkan otak untuk menghafal huruf-huruf yang amat sukar baginya itu. Ia lebih suka keluar rumah dan berpesiar dari pada harus mengeram diri di dalam kamarnya. Karena inilah maka usaha mertuanya sia-sia belaka dan seringkali ia mendapat teguran dan marah dari mertuanya.
Isterinya, yakni Ciok Bwe Kim, yang melihat betapa ayah ibunya seringkali marah-marah, bersedih dan amat kecewa melihat suaminya, terpaksa memberi nasehat kepada suaminya agar suka merobah cara hidupnya dan dapat menyesuaikan diri sebagai mantu bangsawan. Akan tetapi inipun sia-sia belaka. Sifat yang gagah dalam batin Ong Han Cu tidak membolehkan dia berlaku pura-pura dan melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan jiwanya.
Demikianlah, disamping isterinya yang cantik jelita, di dalam gedung yang besar dan mewah, dan berjalan di atas tumpukan harta, Ong Han Cu tidak menemui kebahagiaan rumah tangga. Ia amat mencinta isterinya, akan tetapi pertentangan-pertentangan watak atau kebiasaan hidup membuat ia merasa seakan-akan hidup di dalam neraka.
Apalagi setelah setahun kemudian isterinya melahirkan seorang anak perempuan. Mertuanya makin kecewa dan seringkali secara berterang menyatakan kekecewaannya ini di depan mantunya. Ong Han Cu menahan sabar seberapa bisa, akan tetapi kian lama kian beratlah perasaan itu menekan hatinya. Setelah puterinya berusia setengah tahun, ia menyatakan kepada isterinya untuk pergi merantau menghibur diri dan melakukan tugas sebagai seorang pendekar dan berdarma bakti kepada rakyat yang sengsara.
Mertuanya yang mendengar niatnya ini menjadi marah sekali dan melarang dia pergi. Akan tetapi Ong Han Cu memaksa sehingga terjadilah percekcokan mulut yang pertama kalinya.
"Hiansai (mantu laki-laki)!" Bangsawan she Ciok itu menegur marah. "Ingatlah baik-baik. Kau bukanlah seorang pemuda liar lagi yang bebas merdeka dan boleh berbuat apa saja di luar rumah, boleh hidup secara liar dan kasar mengandalkan ketajaman pedang dan kekerasan tangan. Kau adalah mantu dari seorang teetok, dan ingatlah bahwa nama mertuamu berada di atas pundakmu pula. Kalau kau main berandalan-berandalan di luar, dan ada orang yang mengenalmu sebagai mantuku, bukankah itu berarti bahwa kau akan mengotori dan mencemarkan namaku?"
"Gakhu!" jawab Ong Han Cu yang sudah marah, "Ingatlah bahwa dulu gakhu (ayah mertua) memungut mantu kepadaku karena aku pandai bermain pedang. Kalau dulu tidak ada aku yang gakhu anggap liar dan berandalan, apakah keluarga Ciok masih dapat diharapkan hidup lagi?"
"Hiansai, kau selalu menggali hal-hal yang sudah lalu. Pertolonganmu dulu adalah hal kebetulan saja dan sudah menjadi kehendak Thian pula kau berjodoh dengan puteri tunggalku. Akan tetapi, kau harus menurut kehendakku. Apakah kau buta dan tidak dapat melihat bahwa segala usahaku ini untuk kebaikanmu" Untuk kebaikan isterimu dan anakmu" Kalau kau sampai menjadi pandai, dan menduduki pangkat tinggi, siapakah yang akan bahagia" Kau dan anak isterimu, kami orang-orang tua hanya ikut merasa senang saja!"
"Aku tidak suka memegang jabatan! Aku tidak suka duduk dibelakang meja sampai punggungku bongkok! Aku tidak suka hidup mewah berlebih-lebihan di rumah gedung sedangkan rakyat jelata banyak yang kelaparan kedinginan!"
"Bagus, jadi apa kehendakmu?" membentak Ciok-taijin yang sudah menjadi marah sekali.
"Aku hendak merantau untuk beberapa bulan lamanya, atau bahkan sampai satu dua tahun!"
"Baik, kalau begitu, pergilah dan jangan kau kembali ke sini lagi! Aku tidak mau mengaku kau sebagai anak mantu lagi!" bentak bangsawan itu.
Terkejutlah Ong Han Cu mendengar ini dan terdengar isak tangis isterinya. Dengan tenang Ong Han Cu lalu menghampiri isterinya dan sambil memegang pundak isterinya dengan mesra, ia berkata,
"Bwee Kim, isteriku. Marilah kau dan anak kita ikut kepadaku. Kita keluar dari rumah gedung ini dan akan kuperlihatkan kepadamu bahwa kehidupan di luar gedung besar ini lebih menyenangkan!"
Akan tetapi isterinya memandangnya dengan air mata bercucuran. Bwee Kim adalah seorang puteri bangsawan yang semenjak kecilnya hidup di gedung besar itu. Bagaimana ia dapat mengikuti suaminya keluar dari situ tanpa tujuan" Bagaimana ia tidak merasa ngeri dan takut diajak merantau di dunia yang penuh kejahatan ini" Kalau teringat akan pengalamannya ketika dirampok dulu, ia masih menggigil ketakutan. Apalagi kini ia sudah mempunyai seorang anak. Bagaimanakah nasib anaknya kelak"
"Bwe Kim!" kata Ciok-taijin dengan suara keras. "Kau boleh memilih. Kalau kau mau pergi dengan suamimu, jangan kau kembali lagi ke rumah ini. Sebaliknya kalau kau memilih tinggal di sini, berarti kau bercerai dengan suamimu!"
"Ayah .....!" Bwe Kim hanya dapat mengeluh dengan wajah pucat dan pikiran bimbang sekali.
"Isteriku, apakah susahnya memilih hal yang demikian mudah" Kau adalah isteriku, isteriku yang tercinta, dan ibu dari pada Lian Hong anak kita yang mungil. Tentu saja kau akan ikut padaku! Apakah artinya gedung besar kedudukan tinggi kalau bercerai dari suami" Dan akupun akan menderita kalau harus berpisah darimu!"
Sampai lama Bwe Kim dalam keadaan bimbang ragu dan hanya dapat menangis sehingga Ong Han Cu yang beradat keras menjadi hilang kesabarannya.
"Bwe Kim, berlakulah sedikit gagah dan ambilah keputusan!" tegurnya. "Pilihlah mana yang lebih berat, menjadi anak berbakti atau menjadi isteri setia!"
Akhirnya Bwe Kim dapat juga menjawab. "Suamiku ...... mengapa kau tidak mau menurut omongan ayahku" Mengapa kau membiarkan aku berada dalam keadaan bingung" Bagaimana aku harus memilih, suamiku" Tentu saja aku ingin sekali menjadi seorang anak yang berbakti, sama besarnya dengan keinginanku untuk menjadi seorang isteri yang setia dan menyinta. Akan tetapi, kedua hal ini bagiku sekarang masih belum menyamai besarnya keinginanku untuk melihat anak kita hidup dengan pantas dan berbahagia. Aku tidak perdulikan lagi keadaanku, akan tetapi bagaimanakah dengan Lian Hong anak kita" Aku tidak bisa melihat dia hidup terlantar, tidak berumah, tidak berpendidikan, jauh kesenangan dan jauh dari kedudukan serta nama baik. Ah, bagaimanakah aku harus memilih .....?"
"Nah, Han Cu, kau dengarlah baik-baik ucapan isterimu ini!" kata Ciok-taijin yang kini tidak menyebut "anak mantu" lagi. "Kalau kau memiliki pribudi, tidak mengingat kepentingan diri sendiri saja, kau tentu suka pula berkorban untuk anakmu. Bapak macam apakah kau ini yang hendak menyeret anak isterimu ke dalam jurang kemiskinan dan kesengsaraan?"
Ong Han Cu menggigit bibirnya. Ia maklum bahwa percuma saja ia membantah. Orang-orang kaya ini, bangsawan-bangsawan ini takkan dapat mengerti bagaimana orang-orang yang miskin dapat hidup berbahagia. Bagi orang-orang seperti ini ukuran bahagia hanya diukur dengan ukuran harta dan dipertimbangkan dengan timbangan pangkat. Ia maklum bahwa kalau ia memaksa tinggal terus di situ akhirnya mereka akan bentrok juga sehingga rumah tangganya akan makin hancur. Maka ia lalu mengambil keputusan tetap dan berkata.
"Baiklah, Bwe Kim. Kalau begitu, biarlah aku pergi dan kau bersama Lian Hong tinggallah bersama orang tuamu yang kaya raya. Harap kau suka merawat dan mendidik Lian Hong baik-baik!"
"Hm, kau keras kepala sekali, Han Cu!" kata Ciok-taijin. "Kalau kau memaksa, akupun berkeras pula dan kau tidak boleh kembali menjadi mantuku! Ingatlah ini baik-baik!"
"Tidak apa, kalau memang demikian yang dikendaki. Menjadi mantu berbeda dengan menjadi budak belian. Aku tidak sudi menjadi mantu dengan ikatan yang sedemikian rupa sehingga aku tidak boleh bergerak sedikitpun juga!"
Isterinya hanya dapat menangis dan memeluk Lian Hong yang masih kecil. Setelah Ong Han Cu pergi, Ciok-taijin lalu mengumumkan perceraian anaknya dengan mantu itu untuk menjaga agar sepak terjang Ong Han Cu di luaran tidak akan mencemarkan dan mempengaruhi nama dan kedudukannya. Ciok Bwe Kim hanya dapat menangis di dalam kamarnya. Apakah daya seorang wanita muda seperti dia"
Lima tahun lewat dengan cepat sekali akan tetapi banyaklah terjadi perobahan dalam waktu lima tahun itu. Kalau dulu para bangsawan menganggap ilmu silat hanya sebagai permainan orang-orang kasar dan liar belaka, kini ilmu silat merupakan mode yang mulai meresap di kalangan bangsawan.
Hal ini terjadi oleh karena banyaknya perampokan yang terjadi di waktu itu dan setelah beberapa kali terjadi perampokan pada orang-orang bangsawan, maka mereka barulah merasa sadar akan pentingnya ilmu kepandaian silat. Mulailah mereka memanggil guru-guru silat untuk memberi latihan kepada putera-putera mereka, bahkan diam-diam ada pula yang memberi didikan kepada puteri-puteri mereka setelah dikalangan kang-ouw muncul beberapa orang pendekar wanita yang gagah perkasa.
Ternyata bahwa Liang Hong mewarisi sifat seperti ayahnya yakni suka akan ilmu silat. Mendengar bahwa beberapa orang kawan-kawannya juga belajar ilmu silat, ia merengek-rengek kepada ibunya minta agar supaya ia diberi pelajaran ilmu silat pula.
Pada waktu itu, Ciok-taijin telah menerima lamaran seorang hartawan untuk Bwe Kim, nyonya janda yang masih muda dan yang kecantikannya tidak kalah oleh gadis-gadis cantik lainnya. Bwe Kim menolak keras, akan tetapi terpaksa ia tunduk terhadap ayahnya pula. Nyonya ini merasa berduka sekali, terutama sekali ia merasa kasihan kepada Lian Hong. Akan tetapi calon suaminya menyatakan suka menerima Lian Hong sebagai anak sendiri, sehingga hati nyonya janda ini menjadi lega juga.
Akan tetapi, setelah perkawinan dilangsungkan dan Bwe Kim menjadi nyonya hartawan itu, ternyata bahwa suaminya ini adalah seorang bandot tua yang mata keranjang sekali. Baru menikah beberapa bulan saja, sikap suaminya ini menjadi dingin, bahkan suaminya berani menunjukkan sikap kurang ajar dan kurang sopan kepada Lian Hong yang baru berusia hampir tujuh tahun itu.
Tentu saja Bwe Kim menjadi marah sekali dan baiknya ia adalah puteri dari seorang pembesar tinggi sehingga ia dapat mengancam suaminya. Kalau saja suaminya tidak takut kepada Ciok-taijin, tentu hidup Bwe Kim akan menjadi makin sengsara saja.
Akan tetapi Bwe Kim dapat menekan penderitaan hatinya, bahkan ia merasa terhibur melihat sikap dingin dari suaminya yang dibencinya itu. Ia malahan menganjurkan agar supaya suaminya ini memelihara isteri muda sebanyak mungkin sehingga ia terhindar dari pada gangguan suami hartawan ini. Memang, pada waktu itu, lebih baik menjadi isteri seseorang yang kurang bijaksana dari pada menjadi janda muda karena hal ini akan merendahkan namanya. Menjadi isteri orang berarti mendapat tempat perlindungan yang aman sentausa, sungguhpun suaminya itu merupakan seorang suami yang tidak baik.
Kini Bwe Kim mengundang seorang guru silat yang pandai untuk mendidik Lian Hong dalam ilmu silat. Ternyata gadis kecil ini berbakat sekali sehingga gurunya merasa kagum dan juga bangga. Sayangnya, guru silat ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja.
Ketika Lian Hong berusia sembilan tahun, pada suatu hari di dalam kebun bunga di mana ia berlatih silat di bawah bimbingan guru silat itu, ia sedang berlatih ilmu silat pedang dengan sebatang pedang kayu. Ilmu pedang yang dimainkan adalah ilmu pedang asal dari cabang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi bagi mata seorang ahli, yang dimainkan oleh guru silat yang mengajar gadis cilik itu hanyalah ilmu pedang kembangannya saja yang indah dilihat akan tetapi kurang berguna dalam pertempuran.
"Nah, sekarang cobalah kau meniru gerakan-gerakanku tadi!" kata guru silat itu kepada Lian Hong yang semenjak tadi memandang dengan kagum.
Pada saat gadis cilik ini hendak berlatih, tiba-tiba dari atas pagar tembok kebun bunga itu melayang turun seorang laki-laki yang pakaiannya tidak karuan akan tetapi wajahnya tampan dan gagah sekali. Dengan ringan kedua kakinya turun menginjak tanah di depan guru silat she Liong itu.
"Eh, siapakah kau dan apa maksudmu datang ke sini?" bentak guru silat she Liong itu kepada orang ini.
Orang ini tersenyum mengejek dan berkata, "Orang macam kau ini hendak mengajar silat kepadanya" Gila! Dengarlah, mulai sekarang, setiap kali waktu latihan, kau berdiri saja di sini dan akulah yang akan mengajarnya! Mengerti?"
"Eh .... kurang ajar ... siapakah kau ....?"
"Kau boleh menyebutku seperti orang lain, yakni Pat-jiu Kiam-ong!"
Guru silat she Liong ini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap dan mukanya pucat sekali seakan-akan ia melihat setan di siang hari.
"Pat ... pat jiu ... kiam-ong .." Be.. benarkah?" tanyanya gagap dan masih tidak percaya.
"Sudah diamlah dan jangan banyak bergerak!" kata Pat-jiu Kiam-ong sambil menepuk pundak guru silat she Liong itu. Seketika itu juga orang she Liong ini berdiri kaku bagaikan patung batu karena ia telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai dari Pat-jiu Kiam-ong ini.
Orang ini, yakni Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) sebenarnya bukan lain adalah Ong Han Cu sendiri. Di dalam perantauannya, ia telah berhasil menemukan kitab ilmu pedang di puncak Gunung Liong-cu-san dan telah mempelajari ilmu pedang itu sampai sempurna betul. Bahkan ia telah mendapatkan seorang murid wanita, yakni Nyo Siang Lan yang dibawa ke atas Gunung Liong-cu-san dan dididik ilmu silat tinggi.
Pada hari itu, ia meninggalkan muridnya berlatih seorang diri di gunung itu dan turunlah ia ke kota raja mencari rumah mertuanya. Ia tidak mempunyai niatan untuk mengganggu, hanya karena ia merasa rindu sekali kepada isterinya, terutama sekali kepada puterinya, maka ia ingin melihat mereka.
Ia tidak menjadi marah ketika mendengar bahwa isterinya itu telah menikah lagi dengan seorang hartawan, karena ia maklum bahwa hal ini tentulah kehendak mertuanya. Ia maklum pula bahwa memang kedudukan seorang janda muda amat tidak baik, maka pernikahan itu hanya membuat ia menarik napas panjang beberapa kali saja.
Namun, rindunya terhadap puterinya makin membesar dan akhirnya ia lalu mencari rumah hartawan yang menjadi suami Bwe Kim itu. Dari hasil penyelidikannya ia memperoleh keterangan bahwa puteri keluarga kaya ini yang bernama Lian Hong setiap senja berlatih silat di kebun bunga yang berada di belakang rumah. Oleh karena memang niatnya hanya hendak bertemu dengan puterinya, maka pada hari itu ia sengaja melompati pagar tembok di belakang rumah dan kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat seorang gadis cilik yang amat cantik jelita tengah dilatih silat oleh seorang guru silat yang kepandaiannya biasa saja.
Lian Hong yang menyaksikan perbuatan pendekar ini, menjadi terheran-heran, akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan memandang dengan sepasang matanya yang bening seperti burung hong itu. Ingin sekali Ong Han Cu memeluk puterinya, akan tetapi ia menahan hasratnya ini dan tersenyum manis dan ramah kepada gadis cilik itu.
"Kau bernama Lian Hong, bukan?" akhirnya setelah dapat menekan keharuan hatinya ia bertanya lembut.
Lian Hong mengangguk heran dan bertanya, "Orang tua, kau apakan Liong-suhu ini" Mengapa ia menjadi kaku seperti patung?"
Pat-jiu Kiam-ong tertawa geli, "Tidak apa, jangan kau khawatir, anak baik. Orang she Liong ini hanya kutotok jalan darahnya agar tidak membikin ribut."
"Sebetulnya, apakah maksudmu datang kesini dan membikin Liong-suhu tidak berdaya?" tanya pula Lian Hong.
"Anak yang manis, tiada gunanya kau belajar kepada orang macam ini. Apakah kau ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi?"
Lian Hong adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perbuatan orang itu terhadap suhunya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia mengangguk.
"Bagus," kata Ong Han Cu. "Kalau begitu, mulai sekarang biarlah aku menggantikan orang ini mengajar ilmu silat kepadamu!" Ia berhenti sebentar, memandang tajam kepada gadis cilik itu lalu bertanya, "Sukakah kau menjadi muridku?"
Lian Hong ragu-ragu, "Aku ..... aku ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi, akan tetapi ... aku tidak tahu siapa lopek ini, dan baiknya aku bertanya dulu kepada ibuku!" Sambil berkata demikian, gadis itu hendak lari masuk, akan tetapi sekali melompat saja Pat-jiu Kiam-ong telah berada di depannya menghadang di tengah jalan. Gadis cilik itu terkejut sekali karena tidak tahu bagaimana orang tua ini tahu-tahu telah berada didepannya.
Pat-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya dan menggerak-gerakkan tangan itu ke kanan kiri. "Jangan ..... jangan kau memanggil ibumu. Aku tidak apa-apa, hanya akan menurunkan ilmu pedang yang bagus dan tinggi kepadamu. Jangan kau menceritakan kepada siapa juga bahwa aku mengajar ilmu silat kepadamu. Nah, kau lihat pohon itu, bukankah cabang-cabang dan daun-daunnya tidak rata. Perhatikan pedangku dan kemudian katakanlah apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini!" Orang tua ini lalu melepaskan ikat pinggangnya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis sekali, lalu ia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke atas ke arah pohon itu. Lian Hong tidak melihat bagaimana orang itu bergerak, hanya melihat sinar pedang bergulung"gulung disektar pohon itu dan tahu-tahu cabang dan daun-daun pohon jatuh berhamburan di bawah pohon.
Ketika sinar pedang itu lenyap, orang itu telah turun dan berdiri pula di depannya sambil tersenyum. Apabila ia menengok ke arah pohon itu, ternyata kini cabang-cabang dan daun-daun itu telah dibabat menjadi rata sehingga pohon itu berubah menjadi berbentuk payung yang bagus sekali. Hampir saja Lian Hong bersorak girang melihat kehebatan ini.
"Nah, sukakah kau mempelajari ilmu pedang ini?"
"Hebat, hebat ......!" gadis cilik itu memuji. "Bagaimanakah aku dapat mempelajari ilmu semacam itu" Seperti sulap saja!"
Pat-jiu Kiam-ong tertawa geli, "Bukan sulap, juga bukan sihir, anak baik. Perbuatan itu dapat kau lakukan apabila kau telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan pergerakan pedang yang cepat dan tepat. Nah, apakah kau suka menjadi muridku?"
Dengan hati yang amat girang, serta merta Lian Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu dan Ong Han Cu lalu memegang pundak gadis itu, diangkatnya bangun. Ingin sekali ia memeluk anaknya ini, akan tetapi karena ia tidak mau membikin kaget anak itu, dan tidak mau membuka rahasianya, maka ia hanya memegang kedua pundak gadis itu dan memandang mukanya dengan mesra sekali. Keharuan besar membuat kedua matanya tiba-tiba mengeluarkan air mata tanpa dapat dicegah lagi.
"Eh ..... suhu, mengapa kau mengalirkan air mata?" tanya Lian Hong dan entah mengapa, di dalam hatinya gadis cilik ini merasa kasihan sekali kepada orang yang kini menjadi gurunya ini.
Mendengar pertanyaan ini, sadarlah Ong Han Cu dari lamunannya dan ia segera melepaskan tangannya dan memaksa bibirnya tersenyum. "Ah, tidak apa-apa, nak, ...tidak apa-apa. Kau mulai sekarang perhatikanlah segala petunjukku dan belajarlah baik-baik." Ia lalu mulai memberi pelajaran kauwkoat (teori ilmu silat) kepada anaknya itu, disertai contoh-contoh menjalankan ilmu pukulan. Sampai beberapa lama mereka tekun sekali, yang seorang memberi petunjuk, yang lain meniru gerakan dan mengingat semua petunjuk yang diberikan.
Setelah senja berganti malam, Ong Han Cu lalu menghampiri guru silat she Liong yang masih berdiri di situ bagaikan patung, menepuk pundaknya sekali sehingga guru silat ini mengeluh dan jatuh duduk di atas tanah.
"Sahabat, kau kini tahu bahwa kau berhadapan dengan Pat-jiu Kiam-ong, maka janganlah kau main-main!" kata Ong Han Cu. "Mulai sekarang, anak ini menjadi muridku dan tiap sore aku datang kemari untuk melatihnya. Kau datanglah seperti biasa dan jangan kau ceritakan tentang kedatanganku ini kepada siapapun juga. Mengerti!!?"
"Baiklah, taihiap!" kata guru silat itu dengan takut. Telah lama ia mendengar nama Raja Pedang Bertangan Delapan dan baru sekarang ia menyaksikan sendiri kehebatan pendekar ini karena biarpun ia berada dalam keadaan tertotok, tadi ia masih dapat menyaksikan ilmu pedang pendekar itu ketika berdemonstrasi membabat pohon.
Demikianlah hampir dua tahun lamanya Pat-jiu Kiam-ong melatih ilmu silat dan ilmu pedang kepada puterinya sendiri tanpa diketahui oleh seorangpun kecuali guru silat she Liong yang takut membocorkan rahasianya. Bahkan Lian Hong sendiri sama sekali tak pernah mimpi bahwa orang yang menjadi suhunya ini adalah ayahnya sendiri.
Pada senja hari itu, tidak seperti biasanya, Liong-kauwsu tidak datang di kebun bunga itu. "Mana Liong-kauwsu?" tanya Ong Han Cu kepada Lian Hong ketika ia melompat masuk ke dalam kebun itu.
"Entahlah, suhu. Liong-suhu sejak tadi tidak ada, mungkin ada halangan."
Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu mengerutkan alis dan merasa tidak enak hati.
"Lian Hong, aku suka sekali memberi pelajaran silat kepadamu karena kau adalah seorang anak yang cerdik dan pandai. Aku merasa seakan-akan kau anakku sendiri dan karenannya, aku hendak menurunkan seluruh kepandaianku kepadamu. Akan tetapi, hal ini baru bisa terlaksana kalau kau ikut dengan aku pergi ke Liong-cu-san dan berlatih bersama-sama dengan sucimu yakni Siang Lan."
Memang sudah seringkali Ong Han Cu menceritakan Lian Hong tentang muridnya itu, dan selama dua tahun ini, ia selalu mondar-mandir dari Liong-cu-san ke kota raja. Sebentar melatih Siang Lan, sebentar melatih Lian Hong."
"Apakah teecu (murid) harus ..... tinggalkan ibu, suhu?"
Ong Han Cu menghela napas. "Kalau terpaksa, apa boleh buat. Belajar silat dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini, kemajuannya akan lambat sekali. Disini aku membawa kitab pelajaran ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat untuk kau pelajari sendiri dengan baik, karena aku tidak mungkin harus datang setiap sore di tempat ini. Setelah lewat satu dua bulan, barulah aku akan datang dan melihat kemajuanmu."
"Lebih baik demikianlah diaturnya, suhu. Karena sesungguhnya, untuk meninggalkan ibu seorang diri di sini, teecu merasa tidak tega."
"Seorang diri ?" Bukankah .... bukankah ... ada ayahmu?"
Lian Hong menarik napas panjang. Ia tidak suka membicarakan hal ayahnya karena entah mengapa ia tidak suka kepada ayahnya yang mempunyai banyak bini muda dan yang sama sekali tidak memperdulikan ibunya itu. Akan tetapi, tentu saja hal ini tak dapat ia katakan kepada orang lain.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita yang muncul dari pintu belakang.
"Lian Hong! Kau bercakap-cakap dengan siapakah?" Dan dari balik pintu muncullah Ciok Bwe Kim, Ibu Lian Hong.
Ong Han Cu hendak melarikan diri, namun sudah terlambat dan tidak dapat berbuat lain berdiri memandang bekas isterinya itu dengan hati berdebar. Bwe Kim ketika mengenal bekas suaminya ini, tiba-tiba menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak.
"Kau ....kau...?" katanya gagap. "Setelah meninggalkan kami ... kau ... kau kini datang untuk melumuri muka kami dengan kecemaran ... " Pergi! Pergilah kau orang yang hanya ingat akan kesenangan diri sendiri saja. Pergi!"
"Bwe Kim ... aku ... aku hanya datang untuk melatih ilmu silat kepada ... Lian Hong ..." Ong Han Cu mencoba untuk membela diri.
"Aku tahu! Bagus benar, kau melatih ilmu silat dengan diam-diam seperti seorang maling. Apakah kau sedikit juga tidak mempunyai pikiran betapa akan ributnya kalau sampai kehadiranmu di sini diketahui orang lain" Apakah namaku tidak akan rusak dan tercemar apabila orang lain mengetahui siapa adanya kau dan bahwa kau hampir setiap hari datang ke tempat ini" Ah, Han Cu .... kau sungguh tidak memperdulikan keadaan orang lain ..." Nyonya muda ini lalu menangis.
Lian Hong yang semenjak tadi berdiri melengong, terheran-heran karena tidak mengerti apakah artinya percakapan antara ibunya dan suhunya ini, lalu memeluk ibunya dan bertanya.
"Ibu, apakah artinya semua ini?" Ibunya tidak menjawab dan ketika Lian Hong memandang ke arah suhunya dengan mata bertanya, Ong Han Cu berkata.
"Lian Hong, bawalah ibumu masuk ke dalam. Aku hendak pergi dari sini. Ibumu memang benar, aku seorang yang hanya mengingat akan diri sendiri saja. Jagalah baik-baik kitab itu, kemudian belajarlah dengan giat. Selamat tinggal!" Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, Ong Han Cu melompat keluar dari pagar tembok itu.
"Ibu, kau sudah kenal kepada suhu?" tanya Lian Hong yang masih memeluk ibunya.
Makin keraslah tangis ibunya ketika mendengar pertanyaan ini, dan sambil merangkul leher anaknya ia berkata. "Anakku ... dia ...dia adalah ..... ayahmu sendiri!"
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di waktu itu, belum tentu Lian Hong sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak ibunya, menatap wajah ibunya yang basah dengan air mata itu dan berkata gagap.
"Apa ...." Apakah artinya ucapan ini, ibu?"
Di antara isak tangisnya, Bwe Kim berkata, "Dia adalah ayahmu .... yang telah meninggalkan kita ketika kau baru berusia enam bulan!" Kemudian ia menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada waktu dulu, semenjak Ong Han Cu menolong keluarga Ciok-taijin sampai ia dikawinkan dengan pendekar itu dan bagaimana pendekar yang menjadi suaminya itu akhirnya meninggalkan mereka.
Pucatlah wajah Lian Hong mendengar cerita ini dan berulang kali ia menghela napas, menyesali nasib ibunya.
"Ah, ibu ... kau ... kau dulu telah berlaku keliru ..."
Ibunya mengangguk sedih. "Aku melakukan pengorbanan perasaan demi kebahagiaanmu, anakku. Aku tidak ingin melihat kau terbawa dalam pengembaraan yang penuh kesengsaraan ...."
"Salah ibu," gadis yang baru berusia dua belas tahun itu berkata sambil mengerutkan kening, "kalau dulu ibu ikut dengan ayah, keadaan ibu takkan menjadi begini. Pantas saja aku selalu tidak suka kepada ayah yang sekarang, tidak tahunya ia bukan ayahku sendiri."
"Sudahlah, Lian Hong nasi telah menjadi bubur, hal ini tak dapat disesalkan lagi. Jangan kau menceritakan hal kita ini kepada siapapun juga. Kau harus menjaga nama baik kong-kongmu. Kau tahu bagaimana baiknya ayah ibuku terhadap kau."
"Akan tetapi mereka berlaku kejam karena memaksa ibu menikah lagi!" kata Lian Hong cemberut.
"Hush, jangan berkata demikian, nak. Kau masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan orang dewasa. Kau tidak mengerti nasib seorang janda muda."
Semenjak terbukanya rahasia itu sikap Lian Hong terhadap ayah tirinya makin dingin. Diam-diam ia merasa girang sekali dengan kenyataan, bahwa dia bukanlah puteri hartawan bandot tua yang mata keranjang dan tiada guna itu, melainkan puteri dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, pendekar besar yang juga menjadi suhunya yang dikagumi itu. Sebagai puteri seorang pendekar besar, iapun bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar, maka makin giatlah ia melatih diri, mempelajari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat dari kitab pelajaran yang ditinggalkan oleh guru atau ayahnya itu.
Sementara itu, Ciok-taijin suami isteri juga amat sayang terhadap Lian Hong. Pembesar ini hanya mempunyai seorang anak saja, yakni Ciok Bwe Kim dan kini ternyata bahwa Bwe Kim juga hanya mempunyai seorang puteri. Maka tentu saja bangsawan ini amat sayang kepada cucu tunggal mereka. Karena mereka tinggal se kota, yakni di kota raja, maka seringkali bangsawan Ciok menitah pelayan-pelayan untuk menjemput Lian Hong dan gadis cilik itu dengan gembira bermain-main di rumah kakeknya.
Setelah Lian Hong berusia empat belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis remaja puteri yang cantik jelita dan makin mengilerlah bandot tua yang menjadi ayah tirinya itu. Setiap hari mata yang sipit dan keriputan itu menatap wajah dan tubuh gadis ini dengan penuh gairah.
Pada suatu hari, ketika Lian Hong sedang berlatih ilmu silat di kebun belakang, tiba-tiba ayah tirinya datang sambil tersenyum-senyum. Seperti biasa, apabila ia sedang berlatih silat, Lian Hong mengenakan pakaian yang ringkas sehingga tubuhnya yang mulai berkembang itu tercetak oleh pakaiannya yang ringkas. Pemandangan ini cukup merangsang hati bandot tua itu, maka sambil tersenyum ia menghampiri Lian Hong dan hendak menaruh kedua tangannya pada pinggang itu sambil berkata.
"Lian Hong, anakku. Kau cantik sekali dalam pakaian seperti ini. Bagaimana dengan latihanmu, anakku yang manis?"
Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Lian Hong telah dapat mengelak dari pelukan "ayahnya" dan menjauhkan diri sambil memandang dengan mulut merengut.
"Jangan ayah pegang-pegang aku! Aku bukan gundik ayah!" katanya.
"Eh, eh ... ibumu sendiri tidak cemburu melihat aku mempunyai banyak bini muda, akan tetapi kau agaknya cemburu .... ha, ha, ha!"
"Siapa yang cemburu" Biarpun ayah akan memelihara seribu orang gundik, aku tidak perduli! Akan tetapi jangan ayah hendak menyamakan aku dengan gundik-gundik itu!" Lian Hong membentak.
"Eh, Lian Hong, kau kenapakah" Aku ayahmu, tidak bolehkah seorang ayah mendekati anaknya?"
"Siapa bilang tidak boleh, akan tetapi ayah jangan menyentuhku, jangan memelukku, aku bukan gundikmu!" kata Lian Hong makin marah. Ia masih menahan keinginannya dan tidak hendak membuka rahasia bahwa ia sudah tahu akan kedudukan orang tua ini terhadap dia.
Guru Silat Kiriman
KAKEK itu melangkah maju lagi penasaran. "Apakah salahnya kalau aku menyentuhmu, memelukmu" Apakah dulu ketika kau masih kecil tidak kugendong-gendong, kuciumi dan kupeluk" Lian Hong, janganlah kau bersikap seaneh ini. Ibumukah yang mengajarmu bersikap sekurang ajar ini terhadap ayahmu sendiri?"
Sambil berkata demikian, ia melompat maju dan memegang lengan tangan Lian Hong lalu hendak memeluknya. Sikap gadis yang luar biasa cantiknya ini telah merangsang hatinya dan membuatnya mata gelap saking besarnya nafsu jahat bergelora di dalam dadanya. Hartawan ini pernah belajar ilmu silat maka ia berhasil menangkap tangan Lian Hong, akan tetapi sekali gadis itu menggetakkan lengannya, ia dapat melepaskan tangan itu dan kini ia tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia berdiri dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena marah.
"Tua bangka! Kau masih tidak malu menyebut aku sebagai anakmu" Aku bukan anakmu! Kau kira aku tidak tahu akan hal ini" Aku adalah anak dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, seorang pendekar gagah perkasa, bukan seorang bandot tua gila perempuan macam kau!"
Bukan main kagetnya hartawan itu mendengar ucapan ini. Ia merasa kaget dan juga marah sekali karena ia amat terhina. Sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu, ia berkata, "Bagus, tentu ibumu yang telah berlancang mulut dan membuka rahasia kebusukkan ini! Sungguh tidak tahu malu! Bagus sekali kalau kau sudah tahu bahwa kau adalah anak dari seorang perampok, seorang liar hina dina, seorang petualang miskin. Kau tentu tidak mengira bahwa kau adalah hasil perjinaan dari bangsat perampok itu dengan ibumu yang tak tahu malu ....."
"Plak!!" tiba-tiba tubuh hartawan itu terhuyung ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah. Secepat kilat tangan Lian Hong tadi telah menampar mulutnya, membuat bibirnya pecah dan mengeluarkan darah.
"Bangsat tua bangka!" Lian Hong memaki dengan marah sekali. "Kalau kau tidak lekas menarik kembali ucapanmu yang busuk dan minta ampun, aku akan membunuhmu!"
Kembali kedua tangannya bertubi-tubi menyerang, membuat tubuh ayah tirinya itu terguling-guling dan kakek bandot tua itu berkuik-kuik menjerit kesakitan.
"Hayo lekas minta ampun!" seru Lian Hong sambil memukul lagi. Biarpun gadis ini baru berusia empat belas tahun namun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi sehingga tenaganya sudah besar dan lihai sekali. Kalau ia mau, dengan sekali pukul ia dapat mengirim nyawa bandot tua itu ke neraka, akan tetapi Lian Hong masih teringat bahwa hal ini akan menimbulkan kegemparan.
Pada saat itu, muncullah Bwe Kim yang mendengar suara suaminya menjerit-jerit, seperti anjing dipukul. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang menghajar suaminya adalah Lian Hong.
"Lian Hong .... jangan ...!" teriaknya sambil menubruk dan merangkul anaknya.
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Lian Hong berkata.
"Biarlah ibu ...... bangsat tua bangka ini telah menghina ibu dan ayah .... biar kuhajar dia sampai mampus!"
"Jangan, Lian Hong, sabarlah .... amat memalukan kalau terdengar oleh orang lain ...."
Sementara itu, hartawan yang tadinya bergulingan di atas lantai, ketika mendapat kesempatan, lalu bangun berdiri.
"Baik sekali!" katanya dengan marah sambil menuding ke arah isterinya. "Orang-orang tidak tahu diri, tidak kenal budi dan tidak tahu malu! Aku sudah menolongmu dari seorang janda hina dina yang mempunyai anak, aku telah mengangkatmu menjadi isteriku yang terhormat. Sekarang kau lakukan hal ini terhadapku, bagus! Aku akan ceraikan kau, dan kalian boleh mengikuti perampok hina dina itu ...."
Akan tetapi tiba-tiba Lian Hong memberontak dari pelukan ibunya dan sekali gadis ini mengirim pukulan ke arah iga ayah tirinya, robohlah bandot tua itu dengan mata mendelik dan pingsan. Bwe Kim menjerit, akan tetapi Lian Hong lalu menarik tangan ibunya.
"Ibu, mari kita pulang ke rumah kong-kong (kakek)," kata Lian Hong.
"Ayah tidak akan mau menerima kita ...!"
"Biarlah," kata Lian Hong gemas, "Kalau tidak mau menerima, kita pergi berdua mencari ayah!"
Demikianlah dengan setengah memaksa, Lian Hong membawa ibunya keluar dari rumah ayah tirinya dan pergi ke rumah Ciok-taijin.
Pembesar ini bersama isterinya menerima kedatangan mereka dengan terheran-heran. Bwe Kim tak dapat berkata sesuatu hanya menjatuhkan diri berlutut di depan ayah bundanya sambil menangis sedih.
Sebaliknya, dengan sikap gagah dan menantang seperti ayahnya dulu, Lian Hong berkata kepada Ciok-taijin suami isteri yang amat sayang kepadanya.
"Kong-kong telah menjerumuskan ibu ke dalam jurang kehinaan dan penderitaan!" Dengan lancar ia lalu menceritakan betapa ayah tirinya telah memelihara banyak sekali gundik tanpa memperdulikan ibunya, dan juga terus terang ia ceritakan betapa ayah tirinya selalu berlaku kurang ajar dan tidak sopan terhadap dia sehingga ia menceritakan pula tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
"Sekarang terserah kepada kong-kong. Kalau kong-kong mau menerima ibu dan aku untuk kembali tinggal di sini, baiklah, ibu dan aku akan tinggal di sini, merawat kong-kong berdua dan akan menurut segala kata-kata kong-kong. Akan tetapi kalau tidak mau menerima kita, juga tidak apa. Kami berdua akan pergi mencari ayah!"
Ciok-taijin dan isterinya saling pandang. Nyonya Ciok tak terasa lagi mencucurkan airmata sambil merangkul cucunya, sedangkan Ciok-taijin lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,
"Bwe Kim, sungguh tidak kunyana sekali bahwa kau puteri kami satu-satunya selalu mendatangkan kepusingan dan kekecewaan kepada orang tuamu ...."
Bwe Kim memeluk kaki ayahnya dan berkata lirih memilukan.
"Ampun, ayah .... ampunkan anak yang puthauw (tidak berbakti atau durhaka)."
Akan tetapi Lian Hong lalu melepaskan diri dari pelukan neneknya dan sambil menghadapi kakeknya dengan mata bernyala ia berkata membela ibunya. "Kong-kong! Mengapa kong-kong menyalahkan ibu" Dalam hal ini ibulah yang menderita, padahal ibu selalu hanya menurut perintah kong-kong! Ibu menikah dengan ayah atas perintah kong-kong, kemudian ibu menikah dengan jahanam itupun atas perintah kong-kong. Kalau pernikahan itu gagal dan ibu menderita karenannya, apakah itupun harus disalahkan kepada ibu" Sungguh tidak adil!"
Tertegun kedua suami isteri bangsawan itu mendengar ucapan dan melihat sikap cucu mereka ini. Mereka saling pandang dan Ciok-taijin lalu memeluk cucunya sambil berkata,
"Kau keras kepala dan berani seperti ayahmu, dan kau jauh lebih uhauw (berbakti) daripada ibumu. Baiklah, kami menerima kalian, akan tetapi semenjak saat ini, kalian harus mentaati segala kata-kataku."
Dengan girang sekali Bwe Kim menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedan. Ia merasa amat girang bahwa akhirnya ia dapat kembali ke rumah orang tuanya di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kembali ke rumah orang tuanya berarti bahwa ia terlepas dari pada kesengsaraan batin dan penderitaan.
Demikianlah, semenjak hari itu, Lian Hong bersama ibunya tinggal di rumah gedung Ciok-taijin. Bwe Kim memesan kepada puterinya agar supaya mentaati segala nasehat kong-kongnya. Tentu saja Lian Hong menurut akan pesan ibunya ini dan ia mulai belajar ilmu surat sebagaimana yang dikehendaki oleh Ciok-taijin. Bahkan, ketika Ciok-taijin memuji-muji kepandaian menari dari seorang selir kaisar, gadis remaja inipun lalu belajar menari. Ternyata ia berbakat baik sekali dalam tari-tarian dan gerakannya amat indah sehingga guru tarinya, seorang guru tari kerajaan, amat memujinya.
Setahun kemudian, pada suatu hari, di luar gedung Ciok-taijin datang seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk sekali. Hwesio ini adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pernah dirobohkan oleh Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu lima tahun yang lalu. Dengan amat sakit hati penjahat yang berpura-pura menjadi pendeta ini lalu melatih diri di puncak gunung dan mempelajari ilmu silat yang disebut Hek-coa Tok-jiu (Pukulan Tangan Racun Ular Hitam), semacam ilmu pukulan yang luar biasa jahat dan lihainya. Jangankan sampai terkena pukulan tangan yang telah diisi bisa ular hitam ini, baru terkena sambaran anginnya saja sudah merupakan bahaya maut yang sukar sekali dihindarkan. Selama lima tahun hwesio ini melatih diri dengan amat giatnya dan setelah mempelajari dengan sempurna, ia lalu turun gunung untuk membalas dendam kepada Ong Han Cu.
Ia mendengar bahwa Ong Han Cu adalah mantu dari Ciok-taijin, maka langsung ia mendatangi rumah gedung bangsawan itu. Kepada penjaga pintu ia berkata kasar.
"Katakan kepada Ong Han Cu bahwa aku Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang hendak bertemu."
Penjaga itu menjadi mendongkol melihat sikap kasar ini dan menjawab dengan kasar pula. "Di sini tidak ada orang bernama Ong Han Cu dan kalau kau mau minta derma, pergilah ke rumah orang lain. Jangan kau mengganggu, karena ini adalah rumah Ciok-taijin yang tentu takkan mengampuni kalau kau berani berlaku kurang ajar!"
Hwesio itu tertawa bergelak. "Hm, kau bohong! Kalau dia tidak ada, suruhlah pembesar she Ciok itu keluar untuk membayar hutang mantunya!"
"Eh, hwesio kurang ajar dari manakah kau berani mengacau di sini" Hayo pergi sebelum kupukul!" kata penjaga itu. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tubuhnya telah terlempar jauh padahal hwesio itu hanya mengebutkan ujung lengan bajunya saja.
Penjaga itu berteriak-teriak kesakitan dan minta tolong, maka dari dalam pekarangan gedung itu berserabutan keluar sepuluh orang penjaga yang setiap hari secara bergiliran menjaga keselamatan bangsawan she Ciok itu. Dengan marah para penjaga itu lalu mencabut golok dan mengurung hwesio gemuk itu yang tertawa bergelak sambil memandang dengan mata mengejek.
"Ha, ha, anjing-anjing penjaga yang menjemukan! Kalau kalian tidak ingin digebuk, lekas beritahukan kepada Ong Han Cu atau mertuanya she Ciok itu agar keluar bertemu dengan pinceng!"
Akan tetapi tentu saja para penjaga tidak meladeni omongan hwesio yang dianggap kurang ajar ini dan mereka segera menyerang dengan golok mereka. Hwesio itu kembali tertawa bergelak dan bagaikan kitiran angin, kedua tangannya diputar dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar-nyambar ke arah sepuluh orang penjaga itu. Kalau dilihat sungguh mengherankan sekali oleh karena begitu senjata-senjata tajam para penjaga bertemu dengan ujung lengan baju, para penjaga itu berteriak kaget dan senjata mereka terlepas dari pegangan. Hiruk pikuk suara senjata-senjata itu terlempar dan jatuh di atas tanah, berbareng dengan robohnya tubuh para penjaga dan teriakan-teriakan kesakitan dari mereka.
Peristiwa ini telah dilihat oleh seorang pelayan yang segera memberi laporan ke dalam. Kebetulan sekali Ciok-taijin sedang duduk bersama isterinya, Bwe Kim, dan Lian Hong. Mendengar laporan pelayan bahwa di luar ada seorang hwesio hendak bertemu dengan Ong Han Cu atau bangsawan Ciok, dan betapa hwesio itu mengamuk, Lian Hong menjadi marah sekali dan gadis cilik ini segera berlari keluar membawa sebatang pedang.
"Eh, Lian Hong, hati-hatilah ........" kata pembesar itu yang amat sayang kepada cucunya ini. Serta merta iapun lalu berlari keluar untuk melihat sendiri siapa adanya hwesio yang berani berlaku kurang ajar itu.
Ketika Lian Hong dan kakeknya tiba di luar, para penjaga telah roboh semua merintih-rintih dengan kepala benjol atau tulang patah.
"Hwesio kurang ajar dari manakah berani main gila di sini?" teriak Ciok-taijin.
Leng Kok Hosiang menyipitkan matanya ketika ia menyaksikan seorang gadis muda yang amat cantik berdiri di depannya bersama seorang tua yang berpakaian seperti pembesar tinggi. Ia lalu tersenyum-senyum dan berkata.
"Apakah kau yang bernama Ciok-taijin" Kalau kau ingin keluargamu selamat, lekaslah kau suruh keluar jahanam Ong Han Cu yang menjadi mantumu itu!"
"Bangsat gundul bermulut lancang!" tiba-tiba Lian Hong tak dapat menahan marahnya dan cepat ia menerjang dengan pedangnya, melompat maju sambil menusuk dengan gerak tipu Hui-eng-bok-tho (Elang Terbang Menyambar Kelinci).
Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang tertawa gembira. "Aduh, masih mudah remaja telah mempunyai gerakan yang demikian indah! Bagus, kau siapakah nona?" tanyanya sambil mengelak cepat dari tusukan Lian Hong.
"Bukalah matamu, setan gundul dan lihatlah baik-baik. Aku adalah puteri dari Ong Han Cu yang hendak mewakili ayah mematahkan lehermu!"
"Lian Hong .....!" Ciok-taijin berseru keras. Ia telah melarang kepada gadis itu untuk memberitahukan kepada siapapun juga bahwa gadis itu adalah puteri dari Ong Han Cu.
Dalam kemarahannya mendengar ayahnya dihina orang ia baru sadar akan kesalahannya, maka dengan gemas ia lalu maju menyerang lagi dengan gerak tipu Merak Sakti Mengangkat Ekornya, yakni gerak tipu yang amat lihai dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat. Terkejut jugalah hwesio gendut itu ketika melihat gerakan yang amat cepat dan lihai ini, karena pedang di tangan gadis ini bergerak berputar-putar dan menyerangnya dari berbagai jurusan secara bertubi-tubi.
Lian Hong telah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, akan tetapi oleh karena ia hanya mempelajarinya dari kitab pelajaran ilmu pedang tanpa mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, dan pula karena ia memang belum berpengalaman, maka sungguhpun ia dapat melakukan gerakan yang indah dan cepat, namun gerakkannya ini masih kurang isi dan kurang tenaga.
Kalau hanya menghadapi ahli silat tingkat pertengahan saja, belum tentu ia akan kalah, akan tetapi sekarang ia menghadapi Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) Leng Kok Hosiang yang selain berilmu tinggi, juga sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Apalagi selama lima tahun hwesio ini telah melatih diri dengan tekun, maka ilmu silatnya masih jauh berada di atas tingkat kepandaian gadis itu.
Masih baik nasib Lian Hong bahwa hwesio mata keranjang ini tertarik akan kecantikkannya maka hwesio ini tidak menurunkan tangan kejam. Kalau saja Leng Kok Hosiang mempergunakan ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu, tentu gadis ini akan tewas dengan sekali pukul saja. Karena berniat hendak menangkap gadis cantik jelita ini, maka Leng Kok Hosiang hanya mainkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan-serangan Lian Hong.
Akan tetapi, Liong-cu kiam-hwat benar-benar hebat dan sukar sekali diketahui perobahan gerakannya. Ketika pedang di tangan Lian Hong menusuk ke arah tenggorokan hwesio itu dan ditangkis dengan kebutan ujung lengan baju kanan, tiba-tiba pedang itu dirobah gerakannya dan membabat ke bawah memapaki lengan hwesio itu. Gerakan ini demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sama sekali sehingga hampir saja tangan hwesio itu kena terbabat. Ia berseru keras dan menarik lengannya, akan tetapi ujung lengan bajunya masih kena babatan pedang sehingga putus.
Bukan main marahnya Leng Kok Hosiang melihat hal ini. Dengan berseru keras ia lalu menubruk maju, mainkan kedua tangannya dan menyerang dengan ilmu pukulan Eng-jiau-kang (Pukulan Kuku Garuda). Serangan ini hebat sekali, Lian Hong masih berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan hwesio itu lebih cepat lagi sehingga lengan kanannya kena dicengkeram. Sambil berteriak kesakitan, Lian Hong terpaksa melepaskan pedangnya dan sesaat kemudian, ia telah terkena tiam-hwat (ilmu menotok) dari hwesio yang lihai itu sehingga tubuhnya menjadi lemas dan dipondong oleh lawannya."
"Lepaskan cucuku!" Ciok-taijin berseru sambil memerintahkan para penjaga untuk menyerbu.
Leng Kok Hosiang tertawa terbahak-bahak. "Ha, ha, ha, biarpun aku tidak berhasil membinasakan Ong Han Cu, sebagai gantinya aku telah mendapatkan puterinya yang cantik molek!" Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan kirinya ke arah Ciok-taijin. Biarpun tangannya tidak mengenai tubuh pembesar itu, namun Ciok-taijin segera menjerit ngeri dan roboh pingsan. Ternyata bahwa ia terkena pukulan Hek-coa Tok-jiu yang ganas dari Leng Kok Hosiang.
Hwesio itu dengan sengaja melakukan pukulan itu karena selain hal ini dapat mencegah para penjaga yang sibuk menolong pembesar itu menghalangi perginya, juga ia dapat membuat hati musuh besarnya menjadi lebih sakit lagi. Kemudian ia lalu melompat keluar dari pekarangan itu sambil memondong tubuh Lian Hong.
Akan tetapi baru saja ia tiba di pintu pekarangan itu, tiba-tiba di pintu itu muncul seorang tosu (pendeta To) yang memegang kebutan di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri. Tosu ini berdiri menghadang di tengah jalan, menggerakkan kipasnya sambil berkata.
"Siancai ..... Leng Kok Hosiang sudah tua bangka masih tetap mengambil jalan hitam!" Baru saja ia menutup mulutnya, tubuh tosu yang tinggi kurus ini bergerak bagaikan seekor burung melayang dan kebutannya menyambar ke arah kepala hwesio gendut itu.
Sejak melihat tosu itu, wajah Leng Kok Hosiang berobah dan ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, cepat ia mengelak jauh dan melepaskan tubuh Lian Hong yang terguling di atas tanah. Kemudian ia melompat ke depan tosu itu dengan mata merah dan wajahnya menakutkan sekali.
Pendekar Sakti 8 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 6
^