Pencarian

Ilmu Ulat Sutera 2

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 2


orang yang menghalanginya dan bermaksud ke kamar.
Namun orang itu sengaja mundur beberapa langkah dan
menghadang di depannya kembali.
"Kau belum menjawab pertanyaan itu," katanya.
"Kalau memang mau tahu, mudah sekali. Kau toh tahu di
mana letak kandang babi. Coba saja diam di sana barang
setengah harian!" sahut Wan Fei-yang mendongkol.
"Eh?" mata orang itu melirik ke arah rekan-rekannya. "Coba
kalian lihat, Wan-toaya begitu bangga kembali dari kandang
babi," katanya.
Beberapa orang lainnya tertawa terpingkal-pingkal.
"Tubuhnya begitu bau. Kalau kita biarkan dia masuk ke dalam,
siapa yang tahan?" sindir yang lainnya.
"Kalau kita tidak mengizinkan dia masuk, Suhu pasti akan
mengatakan bahwa kita menghinanya lagi. Apa kira-kira yang
harus kita lakukan?" tanya yang lainnya.
"Berbuat baik jangan kepalang tanggung, buka saja bajunya
yang bau itu!" rekan yang lain memberi saran.
Saudara seperguruan yang lain segera bersorak menyetujui.
Mereka maju bersama. Ada yang mengerumuni dari kiri
kanan, ada juga dari depan dan belakang. Beberapa orang di
antaranya menarik sepasang tangan Wan Fei-yang. Sebagian
lagi memegangi perutnya. Tentu masih tersisa satu orang
84 yang membuka bajunya.
Wan Fei-yang benar-benar tidak dapat mengendalikan
emosinya lagi. Hawa amarah terasa bergemuruh di dadanya
dan tiba-tiba meledak. Dia berteriak sekuatnya. Tenaganya
dikerahkan. Orang-orang yang memeluk dan menariknya
terpental seketika. Mereka jatuh di atas tanah dan saling
bertindihan. "Bocah busuk! Ternyata kau mempunyai tenaga kerbau!"
bentak seseorang yang berusaha merangkak bangkit dengan
susah payah. Pantatnya sakit sekali. Rekannya yang terjatuh
dengan kepala membentur tanah lebih runyam lagi. Di
keningnya terlihat benjolan sebesar telur ayam.
Wan Fei-yang memandangi mereka dengan mata mendelik.
Hawa amarahnya belum sirna juga.
"Meskipun dia mempunyai tenaga sakti alamiah, tetap bukan
tandingan kita!" kata seseorang yang sudah berhasil berdiri
tegak. "Mari kita hajar dia habis-habisan. Biar dia tahu
kelihaian kita!"
Sarannya segera mendapat sambutan hangat. Mereka
beramai-ramai bersiap mengeroyokinya.
"Ada apa?" terdengar sebuah suara dari halaman depan.
Suara seorang gadis. Di dalam Bu-tong-pai hanya ada
seorang gadis. Dia adalah Lun Wan-ji. Orang yang melangkah
masuk dengan tergesa-gesa dan mengajukan pertanyaan
sudah dapat dipastikan dia adanya. Matanya mengedar
sekilas kemudian mendelik ke arah rombongan murid-murid
85 seperguruannya.
Tentu saja dia mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka pasti
sedang mempermainkan Wan Fei-yang. Sedangkan orang-
orang yang bersiap-siap mengeroyoki pemuda itu menjadi
tertegun melihat kehadiran Wan-ji.
"Kenapa?" Wan-ji berdiri dengan berkacak pinggang, "Lagi-
lagi kalian mengolok-olok Wan Fei-yang?" tanyanya ketus.
"Sumoay ... dia ... dia ...."
"Apa yang ingin kau katakan" Dia yang mengolok-olok
kalian?" mata Wan-ji mendelik kepada orang tersebut. "Tidak
tahu malu! Jumlah kalian begitu banyak, sedangkan dia hanya
sendirian. Lagi pula dia tidak bisa ilmu silat. Apakah dia
sanggup mempermainkan kalian" Aku ingin bertanya kepada
susiok!" Orang itu terpana. Wajah mereka menyiratkan kepanikan.
"Sumoay, urusan cakar ayam seperti ini lebih baik jangan
merepotkan Suhu orang tua."
"Apa lagi perasaan Suhu sedang tidak enak," tukas yang
lainnya cepat-cepat.
"Betul. Kami toh hanya main-main. Mengapa Sumoay
menanggapinya dengan serius?" kata yang lainnya ikut
memberi saran. Menghadapi Sumoay yang satu ini, mereka memang menaruh
rasa hormat yang dalam. Wan-ji menatap mereka satu per
86 satu. Dia menghampiri Wan Fei-yang dan memandanginya
dengan seksama.
"Bagaimana keadaanmu" Apakah kau terluka?" tanyanya
dengan penuh perhatian.
Wan Fei-yang membalas tatapan gadis itu dengan rasa terima
kasih. "Aku tidak ...." gumamnya dengan suara tak jelas.
"Tentang kejadian ini ...."
"Aku juga ikut bersalah. Lebih baik jangan diungkit lagi," sahut Wan Fei-yang.
"Kau tidak usah takut terhadap mereka," kata Wan-ji.
Wan Fei-yang terpaksa menganggukkan kepalanya. Wan-ji
mengalihkan pandangannya ke arah saudara-saudara
seperguruan yang lain.
"Mengapa kalian masih belum pergi juga" Apakah kalian ingin
menunggu kesempatan untuk mengolok-oloknya lagi?" bentak
gadis itu. Wajah orang-orang itu merah-padam. Mereka saling melirik
sekilas lalu memencarkan diri meninggalkan tempat itu. Mata
Wan-ji mengikuti kepergian mereka. Akhirnya ia menarik
napas panjang. "Mengapa mereka selalu mengolok-olok dirimu?" katanya
seakan kepada dirinya sendiri.
Wan Fei-yang tertawa getir, "Aku juga tidak tahu kenapa."
87 "Mungkin karena kau memang sasaran yang empuk untuk
mereka olok-olokan."
Tiba-tiba Wan-ji memijit hidungnya, "Mengapa kau begitu
bau?" Sekali lagi Wan Fei-yang tertawa getir, "Siapa suruh aku
mendapat tugas mengurusi babi-babi itu sepanjang hari!"
Wan-ji memijit hidungnya sekali lagi, "Pekerjaan semacam ini
seharusnya tidak dilimpahkan kepadamu," katanya.
"Hm ...." Wan Fei-yang tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba Wan-ji seakan ingat sesuatu, "Aku harus pergi
sekarang!" katanya.
"Hm ...." Wan Fei-yang menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau mereka masih mengolok-olok dirimu, beritahu aku,"
baru saja ucapannya selesai, tubuh gadis itu berkelebat.
Gerakannya seperti seekor walet menuju ke arah datangnya
tadi. Wan Fei-yang bermaksud memanggilnya, tapi
tenggorokannya seperti tercekat. Kata-kata yang sudah siap
dilontarkan ditelannya kembali. Dia sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu.
Dia termenung beberapa saat, kemudian mengendus
pakaiannya sendiri.
88 "Tidak salah, pekerjaan semacam ini seharusnya bukan
tugasku. Aku datang ke Bu-tong-san untuk belajar ilmu silat,
bukan mengurusi kandang babi yang baunya memuakkan!"
katanya kepada diri sendiri.
"Aku harus menemui Ciangbunjin dan minta penjelasan
darinya," pikirnya dalam hati. Langkah kakinya dipercepat. Dia
menuju ke arah tempat tinggal Ci Siong tojin. Saat itu malam
mulai menjelang.
***** Hari belum terlalu gelap. Namun penerangan di kamar sudah
dinyalakan. Ci Siong tojin berdiri membelakangi cahaya lentera. Dia
terpaku di jendela sebelah barat. Di depan jendela ada
beberapa pohon yang rimbun. Daun-daunnya berterbangan
tertiup angin barat. Suasana mencekam.
Meskipun malam belum terlalu larut, namun rembulan sudah
mulai bersinar. Ci Siong menatap ke arah kejauhan. Dia
seperti tenggelam dalam lamunannya. Kedua tangannya
menggenggam kepingan batu giok.
Batu giok itu hanya setengah keping. Batu aslinya bundar, tapi
sekarang bagai rembulan yang tertutup awan dan terbelah
persis di bagian tengah. Belahannya begitu rapi. Sungguh
sebuah batu giok yang sangat bagus buatannya. Cahaya
lampu membuat batu itu semakin jernih dan bening. Bahkan
guratan urat di dalamnya terlihat jelas. Di bagian luarnya
89 terukir seekor burung hong. Bagian sayapnya hanya terlihat
sebelah, tentu yang sebelahnya lagi berada di kepingan yang
lain. Ukiran itu begitu hidup. Sayapnya yang terbentang
seakan seekor burung yang sedang terbang di angkasa.
Ci Siong tojin meraba permukaan giok itu dengan lembut.
Tindakannya seperti mengandung arti yang dalam.
Tampaknya apa yang menggelayuti pikirannya saat itu ada
hubungannya dengan belahan giok tersebut.
***** Akhirnya Wan Fei-yang datang juga ke tempat tinggal Ci
Siong tojin. Melihat keadaannya dia seakan ingin menerjang
ke dalam rumah itu. Namun belum lagi mencapai depan pintu,
kakinya sudah terasa lemas. Sesampainya di depan pintu, dia
malah tidak sanggup menggerakkan kakinya lagi.
Dia sendiri tidak mengerti mengapa perasaannya begitu takut.
Sedangkan hawa amarahnya entah melayang ke mana.
Dengan gelisah dia berjalan mondar-mandir di depan koridor
panjang. Semakin banyak waktu yang berlalu, semakin dalam
rasa takutnya. Tepat pada saat itu, seorang tosu cilik berjalan menghampiri
dengan sebuah baki di tangan. Di atas baki itu terdapat
beberapa mangkuk dan sepasang sumpit. Juga ada dua
macam hidangan yang tertutup atasnya.
Mata Wan Fei-yang segera bersinar. Dia mendapatkan ide
yang cemerlang. Dengan cepat dia menyambut kedatangan
90 tosu tadi. "Tiang Ceng koko ...." sapanya dengan memamerkan seulas
senyuman. Tosu cilik yang bernama Tiang Ceng itu menatap ke arah Wan
Fei-yang, "Oh ... kau "."
Jari Wan Fei-yang menunjukkan ke arah baki yang dipegang
oleh tosu cilik itu, "Hidangan untuk makan malam Suhu?"
tanyanya. "Sudah tahu masih tanya!" sahut Tiang Ceng pura-pura
marah. Wan Fei-yang tersipu-sipu.
"Hei! Jangan menghalangi jalanku," kata Tiang Ceng kembali.
"Aku ...."
"Ada apa?"
"Baki ini ...."
"Mau mencuri makan" Kau benar-benar sudah tidak sayang
nyawamu lagi," kata Tiang Ceng sambil mendelikkan matanya.
"Kau jangan salah paham. Aku hanya ingin membantumu
mengantarkan makanan ini ke dalam," sahut Wan Fei-yang
menjelaskan. Tiang Ceng memandanginya lekat-lekat, tiba-tiba dia
91 mengedipkan sebelah matanya, "Apakah kau ingin
mengatakan sesuatu kepada Suhu, tapi kau tidak berani
masuk ke dalam?"
"Sebetulnya memang begitu maksudku," tanpa sadar Wan
Fei-yang memuji, "Apa yang dikatakan Suhu memang tidak
salah. Dalam generasi muda yang paling cerdas memang
engkau." "Tidak usah menjilat," kata Tiang Ceng,
Meskipun demikian dia termakan ocehan Wan Fei-yang.
Disodorkannya baki tersebut kepadanya.
Wan Fei-yang menerimanya dengan gembira, tapi Tiang Ceng
menariknya kembali, "Katakan dulu! Kebusukan apa yang
ingin kau katakan pada Suhu?" tanyanya.
"Aku tidak akan mengatakan kebusukan apa pun."
"Eh" Lalu apa yang ingin kau katakan kepada Suhu?" tanya
Tiang Ceng penasaran. Wan Fei-yang tertegun, dia tidak
menjawab pertanyaan itu.
"Kalau kau tidak mau mengatakannya, aku tidak akan
mengizinkan kau membawa baki ini!" ancam Tiang Ceng.
"Aku hanya ingin bertanya kepada Suhu .... Mengapa aku
selalu menjadi sasaran olok-olok para suheng?" sahut Wan
Fei-yang dengan tampang sedih.
Tiang Ceng memandang Wan Fei-yang lekat-lekat. Dia
menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang,
92 "Kau memang patut dikasihani. Baiklah, aku akan
membantumu kali ini."
Sekali lagi Wan Fei-yang mengulurkan tangannya menerima
baki tersebut. "Hati-hati kalau bicara, jangan menyusahkan aku," kata Tiang
Ceng selanjutnya.
"Jangan khawatir. Kau tentu bisa menilai bahwa aku bukan
manusia semacam itu," kata Wan Fei-yang sambil menatap ke
arah baki di tangannya dengan wajah berseri.
"Tampaknya sifatmu memang tidak demikian. Jangan lupa
yang kulakukan untukmu sekarang."
Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya berkali-kali, "Tentu
... tentu," sahutnya beruntun.
"Aih ... sebetulnya semua juga hanya omong kosong," kata
Tiang Ceng dengan gaya seperti orang tua. "Apa sih yang
disebut balas budi segala" Lagi pula, kau tidak menimbulkan
kesulitan untukku, aku malah boleh mengucapkan Bo-liang-
sou-hud. Mengharapkan balas budi darimu sih tidak mungkin
terjadi." Wan Fei-yang tertawa getir, "Aku masuk sekarang," dia
membalikkan tubuhnya. Dengan membawa baki di tangannya,
langkahnya berubah menjadi mantap.
Tiang Ceng tidak kepalang tanggung membantunya. Dia
mendekati pintu tempat tinggal Ci Siong tojin dan
mengetuknya tiga kali.
93 "Pintu tidak dikunci!" terdengar sahutan dari dalam.
Tiang Ceng mendorong pintu tersebut perlahan. Dia memberi
isyarat dengan kedipan mata. Wan Fei-yang segera


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelinap ke dalam.
***** Ci Siong tojin masih berdiri di depan jendela sebelah barat.
Dia seakan tahu siapa yang masuk. Tanpa menolehkan
kepala dia menuding ke arah meja.
"Taruh saja di situ," katanya.
Wan Fei-yang meletakkan baki di atas meja kemudian berdiri
termangu-mangu di samping.
Pendengaran Ci Siong tojin sangat tajam, dia tahu orang yang
mengantarkan hidangan tersebut masih ada di dalam
kamarnya. Keningnya berkerut, "Kau sudah boleh keluar,"
katanya. "Ciangbunjin ...." akhirnya Wan Fei-yang memberanikan diri
memanggil. Ci Siong tojin membalikkan tubuhnya. Matanya memandang
Wan Fei-yang lekat-lekat. Tampaknya dia merasa di luar
dugaan melihat anak muda tersebut.
"Kau?"
94 "Tecu menghadap Ciangbunjin," kata Wan Fei-yang sambil
menjura dalam-dalam.
"Mana Tiang Ceng?"
"Dia sedang kurang sehat, jadi aku ...."
"Tadi aku melihat dia segar bugar. Fei-yang, generasi muda
belajar hal yang berguna, jangan belajar berdusta. Itu bukan
hal yang baik dan terpuji," tukas Ci Siong tojin dengan suara
lembut. "Tecu tahu salah," sahut Wan Fei-yang dengan wajah merah
padam. "Seandainya ada sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku,
masuk saja. Tidak usah cari alasan. Apa lagi meminta bantuan
Tiang Ceng."
"Lain kali tecu tidak berani lagi."
"Oh ya ... sebetulnya apa yang ingin kau katakan?"
"Tecu ... tecu ..."
"Kalau mau bicara, bicara saja, mengapa ragu-ragu?"
Wan Fei-yang menggertakkan giginya.
"Suhu, aku benar-benar tidak tahan lagi," katanya setelah
mengumpulkan segenap keberanian.
95 "Dalam hal apa?"
"Misalnya saja latihan senjata rahasia .... Mengapa selalu
harus aku yang menjadi perisai pemegang papan mereka?"
Wan Fei-yang mengangkat kedua tangannya. "Ini masih
belum seberapa, senjata rahasia yang mereka lemparkan
bukan ditujukan kepada papan tersebut tetapi diarahkan pada
tubuhku. Seandainya aku tidak mengadakan persiapan
terlebih dahulu, mungkin sejak lama aku sudah tidak
bernyawa lagi."
"Bukankah kau masih hidup dengan baik-baik?"
"Kebetulan saja nasibku masih baik. Tapi nasib seseorang toh
tidak mungkin selamanya baik," sahut Wan Fei-yang.
"Maksudmu ...."
"Harus memperlakukan setiap orang dengan adil, jangan berat
sebelah," sahut Wan Fei-yang mulai berani.
"Dalam Bu-tong-pai, keadilan memang harus dijunjung tinggi,"
kata Ci Siong tojin tersenyum.
"Namun, selain aku tidak ada orang lain yang menjadi sasaran
hidup." "Mungkin Cia Peng akan mengerti. Kau harus membicarakan
hal ini kepadanya."
"Tidak .... Pagi ini aku justru mengeluh kepadanya. Memang
aku tidak perlu menjadi sasaran hidup lagi, tapi aku malah
disuruh menggantikan Lopek di bukit sana untuk mengurusi
96 babi-babi," gerutu Wan Fei-yang.
"Kau jangan mengira bahwa kehidupan sekarang sangat
menderita. Sebetulnya apa yang kau lakukan sekarang,
pernah dilakukan oleh para suhengmu. Tapi mereka tidak
secerewet engkau," kata Ci Siong tojin.
Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya.
"Ciangbunjin tidak mengerti. Aku sudah kenyang menghadapi
olok-olok mereka."
"Aku mengerti semuanya," kata Ci Siong tojin dengan lembut.
Wan Fei-yang tertegun mendengar perkataan Ci Siong tojin.
"Manusia yang jiwanya lapang tidak takut dihina, sebelum
berhasil jangan takut menghadapi kesusahan," kata Ci Siong
tojin selanjutnya.
"Tecu yang bodoh tidak paham," sahut Wan Fei-yang.
"Dengan kata lain, apa yang kau alami sekarang merupakan
ujian mental dan langkah dasar mempelajari ilmu Bu-tong-pai.
Misalnya jadi sasaran hidup, itu merupakan latihan untuk
perubahan gerakan manusia."
"Lalu mengurus, memberi makan dan memandikan babi
termasuk latihan apa?" tanya Wan Fei-yang tidak puas.
Ci Siong tojin tersenyum tanpa menyahut.
"Mereka memanggilku anak haram, latihan apa yang
97 memerlukan hinaan semacam itu" Tolong Ciangbunjin
jelaskan."
Bibir Ci Siong tojin masih terlihat seulas senyuman, namun
tampaknya kali ini senyuman itu terlalu dipaksakan.
"Aku akan menasihati mereka agar hati-hati kalau bicara,"
katanya. "Aku rasa kau orang tua harus lebih memperhatikan
segalanya lebih teliti. Mereka toh bukan anak kecil lagi."
"Justru karena mereka bukan anak kecil lagi, maka mereka
tentu mengerti peraturan yang ditentukan Bu-tong-pai. Mereka
tidak berani melanggarnya begitu saja."
"Tidak berani melanggarnya" Ciangbunjin, dalam hal ini kau
tidak sejelas aku. Misalnya saja kedua tianglo dari Cik-hoat-
tong. Di luarnya mereka manis-manis, dalam hati mereka tidak
menuruti peraturan. Seandainya terjadi sesuatu pada Suhu,
Bu-tong-pai pasti akan hancur lebur di tangan mereka ...."
Jilid 3 "Tutup mulut!" bentak Ci Siong tojin.
"Aku hanya berpikir demi kebaikan Bu-tong-pai "."
Tidak tampak senyuman lagi yang menghiasi bibir Ci Siong
tojin. "Aku hanya mengerti satu hal," katanya sinis.
98 "Apa itu?" tanya Wan Fei-yang kebingungan.
"Apa pun yang akan terjadi pada Bu-tong-pai, tidak perlu kau
khawatirkan," Ci Siong tojin mengucapkannya sepatah demi
sepatah. "Kau hanya seorang bawahan di Bu-tong-pai."
Wan Fei-yang terpana mendengar ucapan itu. Tampangnya
sungguh mengenaskan. Dia seakan baru ditonjok perutnya
oleh Ci Siong tojin. Dia sama sekali tidak menduga orang tua
itu bisa mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya.
Namun mau tidak mau dia harus mengakui bahwa apa yang
dikatakan oleh Ci Siong tojin memang beralasan.
"Di sini tidak ada urusanmu lagi!" kata Ci Siong tojin masih
dengan nada sinis seperti tadi. "Keluar!"
Wan Fei-yang merasa dadanya hampir meledak. Dia
mendengus dan menghambur keluar dari tempat itu. Namun
baru saja dia berlari beberapa langkah, dia merasa
tindakannya itu kurang sopan. Oleh karena itu dia kembali lagi
dan menjura di depan pintu.
"Suhu, tecu mengundurkan diri," katanya.
Setelah itu dia melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ci
Siong tojin memandangi bayangan punggung Wan Fei-yang
yang semakin menjauh. Di ujung bibirnya terhias senyuman.
Senyuman getir. Kemudian dia kembali lagi termenung seperti
sebelumnya. ***** 99 Malam sudah larut.
Wan Fei-yang membolak-balik tubuhnya di atas tempat tidur.
Pikirannya melayang-layang. Dia tidak bisa tidur sama sekali.
Namun matanya tetap terpejam. Setiap kali dia membuka
matanya, bayangan para suheng yang sedang mengolok-
oloknya segera bermunculan. Ia seakan mendengar kembali
sindiran-sindiran mereka yang menyakitkan.
Tanpa sadar dia menutup kepala dengan sepasang
tangannya. Tubuhnya mengkeret seperti orang yang
kedinginan. Kamarnya sangat kecil. Dan tempat tidurnya yang
terbuat dari papan tentu tidak enak dan membuatnya semakin
sulit pulas dalam mimpi. Sebetulnya Wan Fei-yang sudah
terbiasa dengan keadaan seperti itu. Namun apa yang
dialaminya hari ini memang terlalu banyak. Hinaan yang
diterimanya juga tidak kurang banyak.
Kamar itu tidak mempunyai penerangan. Sinar rembulan yang
menyorot dari celah-celah jendela terasa sedingin air es.
Angin bertiup semilir. Membawa suara kentungan dari
kejauhan. Dua kali!
***** "Kentungan kedua!" kata Wan Fei-yang dalam hatinya. Dia
seperti seekor kelinci yang kena panah. Tiba-tiba dia meloncat
dari atas tempat tidur.
Begitu tubuhnya membalik dia langsung meloncat dengan
100 sigap. Hanya dalam waktu beberapa detik dia sudah memakai
sepatunya. Kemudian sekali lagi dia berkelebat, bayangan
tubuhnya sudah berada di luar kamar. Tiba-tiba saja
gerakannya menjadi lincah.
Di luar jendela tidak ada orang. Sepanjang koridor sepi
mencekam. Pada saat seperti ini, kebanyakan orang sedang
pulas dalam mimpi. Dengan seksama Wan Fei-yang melirik ke
kiri dan kanan. Dia berkelebat secepat kilat. Sebentar saja dia sudah sampai di pintu depan. Perlahan didorongnya pintu
tersebut. Setelah yakin tidak ada orang di sekitar tempat itu,
dia segera menyelinap keluar dan menutup kembali pintu
tersebut. Kemudian Wan Fei-yang melintasi taman dan menuju bagian
belakang gunung. Kamarnya memang terpencil. Tidak ada
kamar lain di sekitar itu. Di bagian ujung taman terdapat hutan pohon Siong. Setelah melalui hutan kecil itu, sampailah dia di
bukit yang tidak pernah di njak murid Bu tong lainnya.
Di sana tidak ada jalan setapak. Bagi Wan Fei-yang hal itu
sama sekali tidak menjadi masalah. Dia berjalan di atas batu-
batu karang yang berilalang. Langkah kakinya demikian ringan
dan cepat. Akhirnya dia sampai pada sebuah padang rumput
yang tidak terurus.
Wan Fei-yang menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya
mencelat dan meluncur secepat anak panah. Kedua kakinya
seakan tidak berpijak pada tanah. Gerakan tubuhnya seperti
melayang di atas padang rumput tersebut. Dalam generasi
muda Bu-tong-pai, dapat dikatakan Yo Hong mempunyai
ginkang paling tinggi. Tapi seandainya dia ada di sana saat
itu, tentu dia akan terkejut setengah mati. Dia pasti terpaksa
101 harus mengakui bahwa dalam generasi muda, yang
menguasai ginkang paling tinggi bukanlah dirinya, namun Wan
Fei-yang! ***** Dari mana Wan Fei-yang mempelajari ginkang setinggi ini"
Angin bertiup semakin kencang. Wan Fei-yang seakan
mempunyai sayap di tubuhnya. Gerakannya seperti terbang
saja. Setelah melintasi padang tersebut, dia sampai pada
jalanan gunung yang terpencil. Langkahnya tidak berhenti. Dia
terus berlari melewati sebuah hutan lagi. Akhirnya dia
menghentikan gerakannya di sebuah tanah kosong.
Tanah kosong itu cukup luas. Ada tiga batang pohon di bagian
utara. Juga terdapat beberapa buah balok kayu yang
berserakan. Kalau dibilang terpencil, tempat itu memang
cukup terpencil dan seakan mengandung misteri yang dalam.
Wan Fei-yang menghentikan langkah kakinya di tempat itu.
Kemudian dia bersiul panjang. Kakinya tiba-tiba menutul, dia
melayang ke atas sebatang pohon dan berpegangan pada
sebuah ranting, kemudian dia berjungkir balik tiga kali di udara dan turun kembali ke tanah persis di tengah tanah kosong
tersebut. Kepalan tangannya diasongkan ke depan. Kakinya yang
sebelah kiri terangkat. Kemudian dengan gaya seekor bangau
dia berputaran. Gerakan tubuhnya sama sekali tidak kikuk.
Bahkan mengejutkan. Apabila dikatakan dia sama sekali tidak
102 mengerti ilmu silat, maka yang dimaksudkan tentu Wan Fei-
yang yang setiap hari menerima hinaan dari para suhengnya.
Siapa yang akan percaya kalau Wan Fei-yang yang sekarang
merupakan orang yang sama"
***** Rembulan tepat di tengah angkasa.
Di bawah sinar rembulan yang mencekam, kepalan tangan
Wan Fei-yang seakan berubah menjadi ribuan. Suara angin
menderu-deru. Lengan bajunya berkibaran. Dia berlatih
dengan pikiran terpusat penuh. Ketika gerakannya terhenti,
seluruh tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat. Segala
penderitaan, rasa sedih dan kecewa seperti menguap
bersama keringatnya yang mengucur deras.
Akhirnya dia duduk di atas tanah. Dengan sekuat tenaga dia
menarik napas dan mengembuskannya. Deru napasnya
begitu keras dan memancar sampai kejauhan serta menyusup
di telinga seseorang.
Orang itu bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya hitam pekat.
Kepalanya juga ditutupi sehelai kain hitam. Hanya sepasang
matanya yang kelihatan. Sekarang mata itu sedang
memperhatikan Wan Fei-yang, dia juga melangkahkan
kakinya menuju tempat di mana anak muda itu berada.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak, sama sekali tidak menerbitkan
suara. Manusia yang mengenakan pakaian hitam itu seperti
roh halus layaknya. Bukankah saat seperti ini juga memang
103 merupakan saat yang tepat di mana roh halus berkeliaran"
***** Wan Fei-yang duduk membelakangi orang tersebut. Dia terus
menarik napas dan sama sekali, tidak sadar akan kehadiran
orang tersebut. Ketika dia tersadar, kepalanya segera
menoleh, jarak orang itu tinggal tujuh depa dengannya. Dia
memandang dengan termangu-mangu. Setelah beberapa saat
dia baru menarik napas kembali. "Suhu rupanya."
Ilmu silatnya yang demikian tinggi, tidak usah diragukan lagi,
pasti hasil didikan manusia berpakaian hitam ini. Sekarang
manusia berpakaian hitam itu sedang memandangnya lekat-


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekat. "Apakah kau lelah sekali?" suaranya tidak berbeda dengan
gerakan tubuhnya, seakan bukan suatu yang nyata.
"Tidak ... aku tidak lelah," sahut Wan Fei-yang sambil
menggelengkan kepalanya.
"Dari jauh aku sudah mendengar suara napasmu. Lagi pula
seandainya kau tidak lelah, mengapa sampai aku berada
sedemikian dekat, kau masih tidak menyadari?"
Wan Fei-yang tidak tahu bagaimana harus menyahut.
"Seandainya yang datang tadi adalah musuhmu, maka
biarpun kau mempunyai sepuluh lembar nyawa, semuanya
tentu sudah melayang saat ini," kata manusia berpakaian
104 hitam selanjutnya.
Meskipun kata-kata yang diucapkannya seperti sedang
menggurui Wan Fei-yang, namun nada suaranya tetap datar
dan tidak mengesankan apa-apa.
"Aku "." untuk sesaat Wan Fei-yang menjadi gugup.
Manusia berpakaian hitam itu mengerling ke arah Wan Fei-
yang sekilas, "Apakah kau menerima hinaan lagi?"
"Siapa lagi kalau bukan para murid Bu-tong-pai. "Mereka
selalu menganggap aku sebagai semacam permainan yang
menyenangkan," kata Wan Fei-yang. Hawa amarahnya mulai
meluap, "Pada suatu hari nanti, aku akan menunjukkan
kelihaianku."
Manusia berpakaian hitam itu tidak menunjukkan reaksi apa-
apa. "Aku benar-benar tidak mengerti!" Wan Fei-yang makin kesal
mengingat semua yang dialaminya. "Apa maksud tua bangka
Ci Siong itu sebetulnya" Mengapa dia tidak bersedia
menerima aku sebagai murid?"
Manusia berpakaian hitam itu hanya memandanginya tanpa
mengucapkan apa-apa.
"Dia tahu aku selalu dihina, tapi dia tidak pernah menanggapi
persoalan ini!" gerutu Wan Fei-yang kembali.
"Mungkin dia masih belum tahu," akhirnya manusia
berpakaian hitam itu mengeluarkan pendapatnya.
105 "Huh! Tidak menerima ya sudah ... lagi pula kalau dilihat dari
ilmu yang dikuasai oleh para murid Bu-tong, tampaknya tidak
ada yang perlu dibanggakan. Pokoknya biasa-biasa saja.
Begitu aku mengerahkan sedikit tenaga, mereka bakal terjatuh
pontang-panting...!" berkata sampai di situ, Wan Fei-yang baru
merasa dia sudah kelepasan. Kata-katanya terhenti, dengan
pandangan takut-takut dia menatap manusia berpakaian hitam
itu. "Aku hanya ingin melepaskan diri dari cengkeraman
mereka, tidak satu jurus pun yang aku perlihatkan," Wan Fei-
yang menjelaskan.
"Aku hanya berharap kau akan memenuhi syarat yang aku
ajukan. Sebelum berhasil mempelajari ilmu Bu-tong-pai, kau
sama sekali tidak boleh menunjukkan bahwa kau mengerti
ilmu silat," kata manusia berpakaian hitam.
"Tecu selalu mengingatnya setiap saat," walaupun bibirnya
berkata demikian, namun hatinya tercekat. Kalau saja Wan-ji
tidak datang pada saat yang tepat, dia pasti tidak dapat
menahan diri lagi dan bocorlah rahasianya selama ini.
"Tidak mengerti ilmu silat lalu berpura-pura seakan mengerti
sudah merupakan hal yang sulit, tapi mengerti ilmu silat lalu
berpura-pura tidak mengerti sama sekali lebih sulit lagi," kata manusia berpakaian hitam dengan suara datar. "Tapi kau
sudah berjanji kepadaku, aku harap kau akan mematuhinya."
"Beberapa kali hampir saja aku tidak dapat menahan diri.
Rasanya ingin aku meninju mereka sampai babak belur.
Justru karena mengingat perjanjian antara aku dengan Suhu
maka terpaksa aku menahan sekuatnya dan menelan semua
hinaan itu," kata Wan Fei-yang.
106 "Seandainya rahasiamu sampai bocor oada saat kau belum
sempat mempelajari ilmu Bu-tong-pai, mereka pasti akan
menanyaimu panjang lebar. Dari mana kau bisa memperoleh
ilmu silat setinggi itu. Seringan-ringannya kau diusir dari Bu-
tong-pai, seberat-beratnya mereka akan memutuskan urat
nadimu dan kau akan menjadi orang cacat untuk selamanya."
Mimik wajah Wan Fei-yang berubah hebat.
"Kau tentu tahu bahwa aku bukan menakut-nakuti dirimu,"
lanjut manusia berpakaian hitam itu.
Wan Fei-yang hanya dapat menganggukkan kepalanya.
"Dengan berdasarkan ilmu yang kau miliki saat ini, untuk
melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, tentu tidak jadi masalah.
Hanya saja kau jangan berharap mendapatkan sejurus saja
ilmu silat dariku untuk selamanya," kata manusia berpakaian
hitam. Dia mendongakkan wajahnya dan menarik napas
dalam-dalam. Wan Fei-yang menjatuhkan diri berlutut di tanah. Matanya
menyorotkan kesedihan. Namun dia tidak berani mengatakan
apa-apa. "Apakah kau masih merasa lelah?" tanya manusia berpakaian
hitam itu. "Tidak ...." Wan Fei-yang meloncat bangun dan berjungkir
balik dua kali di udara.
"Bagus sekali!" kata manusia berpakaian hitam. Tubuhnya
107 berkelebat ke arah hutan dan sekejap saja dia sudah kembali
lagi. Dia membawa setangkup kayu bakar juga sebuah
pentungan. "Sambut!" teriaknya nyaring. Dia melemparkan pentungan itu
kepada Wan Fei-yang. Dalam waktu yang bersamaan, dia
mengeluarkan sebuah korek api dari balik pakaiannya.
Secepat kilat dia menyatakan kayu bakar yang diambilnya tadi
dan dilemparkan ke arah Wan Fei-yang satu per satu. Nyala
api berpijaran seketika.
Wan Fei-yang kelabakan. Dia tidak bersiap-siap sama sekali.
Tapi dia mengerti, Suhunya memang sengaja. Dengan
demikian dia dapat meningkatkan kewaspadaannya apabila
diserang secara tiba-tiba oleh pihak musuh. Dengan cepat dia
menenangkan hatinya dan memukul kayu-kayu bakar yang
sedang mengarah kepadanya.
Bukan sembarang memukul. Dia harus menunggu sampai
setiap batang kayu bakar itu hampir mencapai tanah baru
memukulnya agar terpental kembali di udara. Bayangan tubuh
Wan Fei-yang diselimuti cahaya api yang menyala.
Gerakannya begitu cepat sehingga susah ditangkap mata
biasa. Tampaknya apa yang dilakukan Wan Fei-yang sangat
sederhana. Tapi bagi orang biasa hanya melihat cahaya api
yang memenuhi udara saja sudah merasa kepalanya tujuh
keliling, apa lagi menunggu kayu bakar itu hampir mencapai
tanah baru memukulnya agar terpental kembali. Bukan saja
memerlukan ketajaman mata untuk melakukannya, tapi
gerakan juga harus gesit dan tidak boleh lambat sama sekali,
108 Meskipun Wan Fei-yang sanggup melakukannya, namun
tampaknya dia agak kewalahan juga. Perlahan gerakannya
mulai kacau. Sebatang kayu bakar hampir mencapai tanah,
tergesa-gesa Wan Fei-yang mengejarnya. Tapi baru saja dia
mengulurkan pentungan untuk memukul kayu bakar tersebut,
kayu bakar lainnya sudah menyusul tiba. Sebatang kayu bakar
pertama jatuh ke tanah. Disusul yang lain. Tiga batang sudah.
Siapa nyana gerakannya makin kacau dan pikirannya makin
tidak terpusat, maka konsentrasinya semakin buyar dan
semakin banyak kayu bakar yang luput dari sasaran.
Manusia berpakaian hitam itu menarik napas panjang.
Tubuhnya berkelebat. Empat puluh sembilan batang kayu
bakar sudah berada di pelukannya kembali. Semua api yang
tadi masih menyala sudah padam seketika. Dapat
dibayangkan tingginya ilmu yang dikuasai orang itu.
Dia mengambil pentungan dari tangan Wan Fei-yang dan
menyalakan kembali kayu-kayu bakar tadi. Tangannya
bergerak cepat. Satu batang dinyalakan, pentungan pun
segera menyambut. Sampai semua kayu bakar sudah
menyala dan melayang di angkasa, gerakannya semakin
cepat dan setiap kayu bakar yang kena pukulannya jatuh di
tengah tanah kosong dan membentuk barisan yang rapi.
Wan Fei-yang memandang dengan terkesima. Beberapa
tahun belakangan ini, setiap kentungan kedua tiap malam, dia
selalu datang ke tempat ini dan berlatih dengan giat. Dia tidak peduli meskipun hujan lebat atau angin kencang. Manusia
berpakaian hitam itu kadang-kadang muncul, kadang-kadang
tidak. Dia selalu mengenakan sehelai kain penutup muka.
Sampai sekarang Wan Fei-yang sama sekali belum pernah
melihat wajahnya.
109 Dia memang tidak tahu bagaimana bentuk wajah manusia
berpakaian hitam itu. Dia juga tidak tahu asal-usulnya dan
tidak tahu mengapa dia bersedia mengajarkan ilmu silat
kepadanya Namun dia tahu bahwa manusia berpakaian hitam
itu mengajarkan segenap ilmunya dengan sepenuh hati dan
sungguh-sungguh.
Waktu pada malam hari singkat sekali. Penderitaan Wan Fei-
yang dapat dibayangkan. Namun dia menahan semua
penderitaan itu. Tujuannya naik ke Bu-tong-san adalah untuk
mempelajari ilmu silat yang tinggi, agar suatu hari nanti dia
mendapat nama di dunia kangouw. Tapi karena asal-usulnya,
dia tidak pernah mendapat kesempatan dan selalu menjadi
bawahan. Selamna beberapa tahun terakhir ini, dia tidak pernah
diajarkan setengah jurus pun ilmu Bu-tong-pai, malah dia
bertemu dengan manusia berpakaian hitam yang
mengajarkannya bermacam-macam ilmu. Namun sampai
sekarang dia tidak tahu aliran perguruan mana ilmu yang
dipelajarinya selama ini. Manusia berpakaian hitam itu juga
tidak pernah menjelaskannya.
Oleh karena itu, Wan Fei-yang selalu mempunyai pikiran,
meskipun ilmu silat manusia berpakaian hitam itu sangat
tinggi, tapi belum tentu dari aliran lurus. Oleh sebab itu juga, sampai sekarang dia masih menaruh harapan besar untuk
mempelajari ilmu Bu-tong-pai.
Nama Bu-tong-pai sudah menggetarkan dunia kangouw. Bu-
tong-san sendiri terkenal sebagai tempat yang suci dan penuh
wibawa. Tidak sembarang orang berani naik ke atas Bu-tong-
110 san tanpa seizin Ciangbunjinnya. Perguruan tersebut
termasuk di antara sembilan partai besar di dunia kangouw.
Sejarahnya sudah ratusan tahun. Nama mereka tidak kalah
dengan Siau-lim-pai. Apa lagi sekarang Siau-lim-pai sedang
mengalami masa suram, maka Bu-tong-pai menjadi lebih
menonjol dibandingkan delapan partai lainnya. Itulah
sebabnya Bu-ti-bun selalu mengincar Bu-tong-pai sebagai
sasaran pertamanya.
Tapi, siapa yang menyangka bahwa di Bu-tong-san yang
terkenal angker dan disegani ternyata bersembunyi seorang
manusia berpakaian hitam yang ilmunya demikian tinggi"
***** Gerakan manusia berpakaian hitam itu sudah berhenti. Dia
berdiri dengan tenang dan memandang Wan Fei-yang dengan
sorot matanya yang tajam. Anak muda itu tidak tahu harus
berbuat apa. Dia mengakui bahwa dirinya belum sanggup
melakukan seperti apa yang ditunjukkan suhunya tadi.
Manusia berpakaian hitam itu membuang pentungannya ke
atas tanah. Matanya masih memandang Wan Fei-yang lekat-
lekat, "Ilmu apa pun yang kau pelajari, tetap harus dengan
latihan keras baru bisa berhasil. Perhatianmu sama sekali
tidak boleh berpencar. Terutama pikiranmu," katanya.
Wan Fei-yang menundukkan kepalanya. Dia diam seribu
bahasa. "Ikut aku!" ajak manusia berpakaian hitam tersebut. Dia
111 membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah hutan tadi.
Wan Fei-yang terpaksa mengikuti dari belakang.
Setelah melewati hutan tersebut. Mereka sampai di sebuah air
terjun yang deras. Percikan air yang disinari cahaya rembulan
membuat butiran-butiran seperti permata yang berkilauan. Di
bawah air terjun ada sebuah batu besar yang licin karena
diterpa air yang deras sepanjang jaman. Batu itu kokoh dan
bagai tertanam mati di sana.
Manusia berpakaian hitam itu menunjuk ke arah batu besar
tersebut. "Duduk di sana!" katanya.
Wan Fei-yang melongo mendengar perintah manusia
berpakaian hitam itu.
"Duduk di atas batu itu!" perintahnya sekali lagi.
Wan Fei-yang tertawa getir. "Apakah aku harus seperti batu itu
yang dapat menahan terjangan air terjun yang deras?"
tanyanya. "Memang demikian maksudku. Kau harus berlatih sampai
sekokoh batu itu. Sama sekali bergeming oleh terjangan air
terjun yang deras," sahut gurunya.
Wan Fei-yang terpaksa menguatkan hatinya dan berjalan ke
arah air terjun. Suara air yang jatuh dari atas bergemuruh. Apa lagi di malam yang sunyi dan mencekam seperti itu. Begitu
mendekat, suara gemuruh itu memekakkan telinga seketika.
Wan Fei-yang maju lagi beberapa langkah. Telinganya tidak
mendengar apa-apa lagi selain gemuruh air yang jatuh. Ketika
112 air terjun yang deras itu menerpa kepalanya, dia merasa
matanya berkunang-kunang dan hampir saja jatuh tidak
sadarkan diri. Tapi dia memang tidak pingsan. Kakinya perlahan menginjak
ke atas batu tersebut. Namun baru saja dia berusaha naik ke
atasnya, tubuhnya terempas kembali oleh terjangan air yang
deras. Batu itu telah diterpa air sepanjang jaman. Licinnya jangan
dikatakan lagi. Di bawahnya terdapat sebuah sungai yang
menampung jatuhnya air dari atas. Sejenak kemudian Wan
Fei-yang bangkit kembali. Dia terpaksa muncul tenggelam
beberapa kali sebelum berhasil. Namun dia sempat meneguk
air beberapa kali.
Sinar mata manusia berpakaian hitam itu semakin dingin.
"Naik lagi!" katanya sinis.
Wan Fei-yang menggertakkan giginya. Sekali lagi dia
berusaha naik ke atas batu tersebut, namun terempas kembali
oleh terjangan air terjun.
"Pusatkan perhatian. Kumpulkan hawa murni di perut. Alirkan
tenaga sinkang ke arah telapak tangan lalu naik ke atas batu
itu," kata manusia berpakaian hitam memberi petunjuk.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun air terjun itu menerbitkan suara yang bergemuruh,
namun kata-kata manusia berpakaian hitam tersebut dapat
ditangkap jelas oleh telinga Wan Fei-yang. Dia mendengarkan
dengan seksama. Otaknya berputar cepat menyimak arti
ucapan itu. Masih ada sedikit yang tidak dimengertinya. Baru
saja dia ingin bertanya, tubuh manusia berpakaian hitam itu
113 sudah bergerak. Dalam waktu singkat bayangannya sudah
menghilang dari pandangan mata.
Wan Fei-yang termangu-mangu memandang kepergian
suhunya. Setelah sekian lama, akhirnya dia tersadar. Dia
menyelamkan seluruh tubuh dan kepalanya ke dalam air.
Ketika muncul kembali, tampangnya menjadi serius. Dia
berenang kembali mendekati batu besar tadi.
Kali ini dia tidak tergesa-gesa. Bahkan dia sangat tenang.
Perhatiannya dipusatkan. Hawa murni dikumpulkan di daerah
pusar. Tenaga sinkang dialirkan pada kedua telapak tangan.
Sekali menyentak, dia naik ke atas batu itu. Tubuhnya sempat
terhuyung-huyung namun tidak terempas kembali seperti tadi.
Kedua telapak kakinya diberatkan memasang kuda-kuda lalu
duduk bersila. Wan Fei-yang mendapatkan keajaiban. Dia
berhasil duduk di atas batu itu.
***** Beberapa hari telah berlalu. Lonceng di Bu-tong-san berbunyi.
Suaranya saling susul-menyusul. Getarannya berkumandang
ke mana-mana. Kabut yang menutupi kuil-kuil di gunung itu
bagai buyar seketika olehnya.
Dengan di ringi oleh bunyi lonceng yang tidak putus-putus itu,
Ci Siong tojin duduk d tengah pendopo dengan sebuah
mahkota berbentuk topi emas di kepalanya. Sejak Tio Sam-
hong mendirikan Bu-tong-pai, peraturan untuk mengadakan
upacara sembahyang seperti itu sudah ada.
114 Ci Siong tojin menyembah satu kali. Setelah itu dia
menyembah lagi sebanyak tiga kali lalu bangkit kembali.
Seorang Hu-hoat yang berada di sebelah kiri mengeluarkan
sebatang pedang pusaka ke hadapan Ciangbunjin tersebut.
Seorang Hu-hoat-tianglo yang ada di sebelah kanan
mengasongkan sebuah baki dalam waktu yang bersamaan. Di
atasnya terdapat cap bertuliskan kuning keemasan dan
sepasang gelang emas.
Di samping pendopo tersebut ada sebuah kolam air yang
jernih. Bau hio wangi memenuhi ruangan tersebut. Ci Siong
tojin menepuk sepasang tangannya pada pakaiannya agar
sisa debu hio yang digenggamnya tadi hilang. Dia menerima
pedang pusaka itu dengan penuh hormat. Upacara itu
sederhana namun khidmat.
Setelah menerima pedang pusaka tersebut, Ci Siong tojin
mengambil cap yang diasongkan tadi dan dia mencap sehelai
kertas yang berisikan semacam pemberitahuan bahwa dia
mengangkat Pek Ciok sebagai penggantinya untuk
sementara. Sedangkan sepasang gelang emas itu
dimasukannya ke dalam saku pakaian.
Akhirnya dia melangkah keluar dari ruangan pendopo
tersebut. Semua anak murid Bu-tong-pai berkumpul di
pendopo. Mereka memencarkan diri menjadi dua bagian.
Tidak terlihat kecemasan yang terpancar di wajah mereka. Ci
Siong tojin duduk di atas sebuah kursi batu di luar pendopo.
Dua orang tosu setengah baya berdiri di kedua sisinya.
Mereka adalah murid-murid pendahulu Ci Siong tojin. Yang
satunya bernama Bok Ciok, sedangkan saudaranya bergelar
Ti Ciok. Mereka juga yang akan mengiringi kepergian Ci Siong
tojin dan bertugas melayani sepanjang jalan.
115 Bok Ciok menyandang sebuah bungkusan di bahunya. Ci
Siong tojin memang tidak mau membawa orang banyak. Dia
merasa kedua orang ini saja sudah cukup. Lonceng masih
berbunyi, ketiga orang itu melewati barisan para murid Bu
tong. Wajah mereka tenang sekali. Angin bertiup perlahan,
membawa kesejukan yang menggigil.
***** Wan Fei-yang tidak ikut meramaikan suasana di pendopo itu.
Ketika lonceng berbunyi, dia sudah menyibukkan diri di
kandang babi. Dari bukit di mana dia bekerja, dia dapat melihat batu-batu
tangga yang menuruni bawah gunung. Dia juga melihat ketika
Ci Siong dan kedua muridnya meninggalkan Bu-tong-san.
Angin mulai kencang. Rambutnya awut-awutan. Wan Fei-yang
memanjangkan lehernya memandang ke bawah. Dalam
hatinya diam-diam dia berdoa. Biarpun selama ini Ci Siong
tojin selalu membuat hatinya sedih, namun pada saat seperti
ini dia masih mendoakan keselamatan orang tua itu. Dia
sendiri merasa heran. Tak perlu diragukan lagi, sebetulnya dia
memang orang yang baik hati.
***** Para murid Bu-tong-pai berkumpul di kaki gunung untuk
116 mengantarkan kepergian Ci Siong tojin. Kuda-kuda sudah
disiapkan. Ketika orang itu naik ke atas kuda dan memulai
perjalanan. Pagi sudah merayap sedikit demi sedikit, tapi tidak terlihat
matahari bersinar. Awan kelabu menutupi langit. Apakah ini
suatu pertanda buruk"
***** Senja hari. Tembok kota sudah terlihat di kejauhan. Ci Siong malah
menghentikan kudanya di tepi jalan. Kuda yang mereka naiki
sekarang bukan kuda yang sama ketika mereka meninggalkan
Bu-tong-san. Selama tujuh belas hari perjalanan, mereka
sudah tiga kali ganti tunggangan.
Bok Ciok dan Ti Ciok mengikuti Ci Siong tojin dari belakang.
Melihat Suhunya berhenti, mereka segera menghampiri.
"Suhu, kota tidak seberapa jauh lagi," kelanjutan kata-kata Ti
Ciok tidak sulit dimengerti.
"Kota itu sudah termasuk wilayah Bu-ti-bun Kalau kita ingin
tenang, maka lebih baik tidak masuk ke kota itu," sahut Ci
Siong tojin. To Ciok menganggukkan kepalanya.
"Lebih baik kita menumpang satu malam di rumah penduduk
117 sini. Mungkin mereka bersedia menerima kita," kata Ci Siong
tojin seraya turun dari kudanya.
Bok Ciok dan Ti Ciok segera mengikuti tindakannya. Ti Ciok
mempercepat langkahnya mendahului Ci Siong tojin. Dia
mengulurkan tangan dan mengetuk sebuah rumah penduduk
yang terdapat di samping jalanan itu.
Tidak lama kemudian pintu rumah tersebut dibuka. Dari dalam
muncul seorang nenek tua. Begitu tuanya sehingga giginya
hanya tinggal dua saja. Wajahnya lembut, senyumannya juga
ramah. Dia agak tertegun melihat kehadiran ketiga orang itu.
"Totiang bertiga ...."
Ci Siong tojin merangkapkan sepasang telapak tangannya dan
menyebut nama Budha.
"Lo-jin-ke (orang tua), Pinto bertiga ingin menumpang satu
malam. Apakah kedatangan kami ini mengganggu?"
"Totiang terlalu banyak peradatan, Lo-pocu (nenek tua) tidak
berani menerimanya. Mari masuk," ajaknya sambil
melebarkan pintu rumah dan mempersilakan ketiga orang itu
masuk. "Hanya kami sepasang suami istri tua yang tinggal di
sini. Sama sekali tidak merasa terganggu oleh kehadiran para
totiang." "Kalau demikian, kami terpaksa merepotkan," sahut Ci Siong
tojin sambil tersenyum lebar.
"Jangan sungkan," nenek tua itu melangkah ke arah kamar
tidur di sebelah kanan. "Harap para totiang duduk di ruang
118 tamu. Aku akan menyuruh Tang-ke (panggilan untuk suami)
menyiapkan sedikit hidangan." Dia merandek sejenak, "Kuda
para totiang biar ditambatkan dekat sumur saja."
Ci Siong menolehkan kepalanya kepada Bok Ciok dan Ti Ciok.
"Ti Ciok, kau jaga kuda-kuda. Bok Ciok, coba kau lihat apa
yang dapat kau lakukan untuk membantu lo-jin-ke tersebut,"
katanya memerintahkan.
Ti Ciok dan Bok Ciok mengiakan. Ti Ciok segera keluar rumah
menuju sumur tua. Sedangkan Bok Ciok langsung masuk ke
dalam dapur. Sumur tua terdapat di halaman rumah. Dapur terletak di
sebelah kiri. Apabila membelok ke kanan, maka di sana
terdapat sebuah ruang duduk. Di kiri kanannya masing-masing
terdapat sebuah kamar. Kamar-kamar semacam itu memang
biasanya disewakan untuk pelancong-pelancong yang
kemalaman. ***** Di dalam kamar sebelah kiri, seorang kakek baru beranjak dari
tempat tidurnya. Melihat wajah sang nenek yang berseri-seri,
dia merasa heran.
"Siapa yang datang?" tanyanya ingin tahu.
"Tiga orang totiang yang sedang mengadakan perjalanan,"
sahut istrinya.
119 "Orang asing?" tanya kakek itu kembali.
"Aku belum pernah melihat mereka."
"Lebih baik kita laporkan saja. Beberapa waktu yang lalu,
utusan Bu-ti-bun sudah menurunkan perintah. Kalau melihat
orang asing, kita harus melapor ke kantor pusat," kata kakek
tersebut. "Sudahlah ... kau tua bangka ini .... Buat apa mondar-mandir"
Mereka hanya tiga orang totiang yang, mengadakan
perjalanan, sama sekali tidak tampak seperti orang dunia
kangouw lainnya. Lebih baik hemat sedikit tenagamu itu.
Layani para tamu .... Sarang kita ini sudah lama tidak
kedatangan tamu," sahut nenek itu mengomel.
Kakek tua itu tersenyum lebar, "Siapa tahu ketiga totiang itu
bisa melihat nasib. Mungkin mereka bisa mengatakan kapan
kita akan mendapat rezeki besar," sahutnya.
"Otakmu selalu memikirkan bagaimana caranya untuk kaya.
Bagi orang seusiamu, kesempatan untuk mendapatkan rezeki
besar sudah hampir tidak ada. Jangan berpikir yang bukan-
bukan lagi. Cepat bereskan kamar sebelah sana," kata
istrinya. "Baiklah...."
Suara pembicaraan mereka tidak terlalu keras, tapi Bok Ciok
yang berada di luar kamar dapat mendengarnya dengan jelas.
Dia segera kembali ke Ci Siong tojin.
120 "Suhu, orang-orang di rumah ini merupakan kaki tangan Bu-ti-
bun, katanya melaporkan.
"Mengapa heran?" sahut Ci Siong tojin sambil
membentangkan kedua tangannya, "Malam ini kita pasti tidak
bisa tidur tenang."
Bok Ciok tertegun mendengar perkataan orang tua itu.
"Tecu yakin mereka tidak akan melaporkannya."
"Sayangnya, kita sudah berada di bawah pengawasan orang
Bu-ti-bun," kata Ci Siong tojin sambil menarik napas sekali
lagi. Bok Ciok masih tidak mengerti. Ci Siong menolehkan
kepalanya ke arah pintu depan. Tiba-tiba dari luar terdengar
tiga kali ketukan.
"Ti Ciok ... buka pintu!" perintah Ci Siong tojin.
***** Pintu segera dibuka, empat orang laki-laki berpakaian merah
berdiri di depan pintu. Ketika melihat Ti Ciok, mereka langsung mengajukan pertanyaan, "Apakah Ci Siong tojin ada di
tempat?" "Pinto ada di sini," sahut Ci Siong tojin sambil melangkah
keluar. 121 Kedua suami istri tua itu mendengar suara percakapan.
Mereka segera ikut keluar. Melihat kehadiran keempat orang
laki-laki berpakaian merah tersebut, wajah mereka berubah
hebat. Ci Siong tojin menoleh kepada kedua orang itu.
"Pinto sungguh menyesal telah mengejutkan kedua orang
tua," katanya.
Kakek dan nenek itu tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Tamu agung telah datang dari jauh, maafkan kami terlambat
menyambut. Harap jangan disimpan dalam hati," kata salah
seorang laki-laki berpakaian merah tersebut.
"Tidak perlu banyak adat," sahut Ci Siong tojin sambil tampil
ke depan. Bok Ciok dan Ti Ciok mengawal di kedua sisinya.
"Kota Cui Hun Ceng di depan sana memiliki sebuah
penginapan bernama Go Hok Kek-can. Kami sudah
menyiapkan berbagai hidangan yang lezat untuk para totiang.
Kami juga sudah menyediakan tiga buah kamar. Anggota Bu-
ti-bun cabang Cui Hun Ceng berjumlah seratus tujuh puluh
dua orang sudah berkumpul di depan kota menyambut
kedatangan para totiang," kata laki-laki berpakaian merah
yang tadi. Ci Siong tojin tertawa datar.
"Pinto bertiga tentu tidak enak membiarkan mereka menunggu
begitu lama. Ti Ciok, siapkan semuanya."
Ti Ciok mengiakan. Dia segera menarik kuda-kuda mereka ke
depan rumah. Keempat laki-laki berpakaian merah juga
122 menunggangi kuda masing-masing. Dua orang berada di
depan sebagai penunjuk jalan. Malam sudah menjelang.
***** Belum lagi memasuki kota, lampu-lampu sudah terlihat. Dua
baris lentera di sepanjang jalan terlihat seperti dua ekor ular panjang. Malam semakin larut, lentera semakin terang.
Barisan lentera memanjang dari tembok kota sampai
penginapan Go Hok Kek-can. Seratus tujuh puluh dua
anggota Bu-ti-bun berdiri memanjang di kiri kanan jalan. Di
pinggang mereka terselip sebatang golok baja. Tangan kanan
memegang sebuah lentera. Dada mereka dibusungkan.
Berdiri tegak tanpa bergerak ataupun berbicara.
Di bawah sinar rembulan pakaian mereka yang berwarna
merah seperti segumpal darah. Mata mereka pun ikut
berwarna merah karena pantulan sinar lentera. Bumi dan
langit mencekam, jalan panjang membisu.
"Suhu ... lihat!" kata Ti Ciok sambil menunjuk ke arah barisan
orang-orang yang membawa lentera.
"Sungguh besar lagak Bu-ti-bun, semua kegagahan yang


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditampilkan ini sudah pasti memang sengaja dipamerkan
kepada Bu-tong-pai!" tukas Bok Ciok.
"Suatu hari apabila Bu-ti mengunjungi Bu-tong, kita harus
tunjukkan penyambutan yang lebih meriah. Biar mereka
mengerti bahwa Bu-tong-pai selamanya tidak kalah dengan
Bu-ti-bun," sahut Ti Ciok.
123 Ci Siong tojin hanya tertawa datar mendengar perkataan
kedua muridnya.
***** Mereka melintasi jalan panjang. Derap kaki kuda yang
berbunyi "Tik tak, tik tak" memecahkan kesunyian malam.
"Trang!", seratus tujuh puluh dua anggota Bu-ti-bun
menghunus golok mereka serentak. Mulut mereka
mengeluarkan suara teriakan nyaring. Sinar golok seperti
salju. Pakaian mereka yang merah ibarat lempengan besi.
Suara teriakan mereka seperti guntur yang menggelegar
memecah angkasa.
Sinar lentera bergerak-gerak. Untuk sesaat suasana bagaikan
langit runtuh ke bumi. Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok berubah
hebat. Sedangkan Ci Siong tojin tenang saja. Seakan tidak
ada apa-apa sama sekali.
Golok terhunus, sekali diputarkan kemudian masuk kembali ke
dalam sarungnya. Gerakan dan teriakan mereka sangat
teratur. Pasti sudah melalui latihan yang cukup lama. Apakah
ini termasuk acara penyambutan atau hanya sekadar
memamerkan kekuatan" Tentu hanya orang Bu-ti-bun sendiri
yang paling jelas.
Ci Siong tojin merangkapkan sepasang telapak tangannya di
depan dada. 124 "Bu-liang-sou-hud!" ujarnya. Suaranya begitu tenang,
demikian juga mimik wajahnya.
***** Malam belum terlalu larut. Lentera masih menyala.
Kamar itu bersih sekali. Lentera bersinar terang. Ci Siong
duduk seorang diri di sisi lentera. Tangannya menggenggam
belahan giok bergambar burung Hong. Tentu saja burung
Hong itu hanya berupa ukiran. Tidak mungkin keluar dari
belahan giok itu dan menembus langit biru.
Mata Ci Siong menatap belahan giok itu lekat-lekat.
Perasaannya malah seperti melihat burung Hong tersebut
terbang di angkasa. Mimik wajahnya aneh sekali. Sepertinya
sedang memikirkan suatu rencana. Entah berapa lama sudah
berlalu. Akhirnya dia berdiri dan berjalan menuju jendela.
Tirai jendela setengah terangkat. Dia dapat melihat jalanan di
bawah jendela tersebut. Beberapa anak murid Bu-ti-bun
mondar-mandir di bawah. Mereka mungkin diperintahkan
untuk menjaga ketat.
Kemunculan Ci Siong tojin di depan jendela segera menarik
perhatian mereka. Para penjaga itu mendongakkan wajahnya
serentak dan memandang ke arahnya. Ci Siong tojin
menurunkan tirai jendela. Dia berjalan kembali ke sisi meja
dan memadamkan lentera. Kemudian tubuhnya berkelebat
dan menyelinap ke tepi jendela satunya.
125 Di luar jendela yang satu ini adalah taman belakang
penginapan. Di sana juga terdapat murid-murid Bu-ti-bun yang
sedang berjaga. Ci Siong tojin memperhitungkan jarak yang
akan diambilnya. Tubuhnya melesat seperti segumpal asap
melintasi taman belakang tersebut. Dia hinggap di atas
sebatang pohon kui yang merapat di dinding. Tidak ada
seorang pun yang tahu perbuatannya itu.
Bunga-bunga yang bermekaran membawa keharuman
semerbak. Sekali lagi Ci Siong tojin melesat. Gerakan
tubuhnya membuyarkan keharuman bunga di kegelapan
malam. ***** Malam semakin larut. Rembulan masih memancar dengan
bangga. Sinarnya seperti air yang mengalir. Kesejukan yang
dibawanya juga ibarat malam di mana musim salju hampir
tiba. Gerakan tubuh Ci Siong semakin cepat. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun dia mendarat di dinding seberang yang
tinggi. Tembok itu hampir mencapai empat cang. Di bawah
sinar rembulan malah tampak hampir mencapai langit.
Ci Siong tojin menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya melesat
seringan kapas. Meskipun ginkangnya sangat tinggi, namun
mustahil mencapai dinding tersebut dengan satu kali loncatan.
Sekali menutul dia sudah meloncat setinggi tiga cang.
Sebelum berat tubuh membawanya turun kembali, kakinya
126 cepat menapak tembok dan mencelat lagi ke atasnya. Dengan
demikian dia berhasil mencapai tembok atas dinding tersebut.
Ilmu yang digunakannya merupakan salah satu dari pusaka
Bu-tong-pai yaitu Te-hun-cong (mendaki tangga awan).
***** Di balik tembok tersebut ditanam banyak pohon dan bunga-
bunga. Pemandangannya sangat indah. Di sudut sebelah kiri
ada sebuah kolam yang jernih. Air dalam kolam itu datar bagai
cermin. Halaman di sekitar sunyi mencekam.
Di samping kolam terdapat sebuah bangunan dua tingkat. Di
lantai atas terlihat penerangan masih menyala. Kertas jendela
memperlihatkan bayangan karena pancaran sinar lentera.
Terlihat bayangan seorang wanita yang sedang termenung.
Wanita itu berambut panjang dan mengenakan pakaian suatu
daerah tertentu yang bagian bahunya terbuka. Bayangan
wanita itu terpantul dari kertas jendela bagaikan sebuah
lukisan. Kertas jendela seputih salju. Bayangan hitam
menyendiri. Pemandangan itu membawa keindahan tersendiri.
Indah tapi mengenaskan.
***** Setelah berhasil naik ke atas dinding tinggi itu, Ci Siong tojin
langsung dapat melihat bayangan wanita yang indah dan
tampak kesepian itu. Dia seperti ikut merasakan kesepian hati
127 wanita tersebut. Tiba-tiba dia menarik napas panjang.
Sambil menarik napas, tubuhnya berkelebat mendekati tepi
jendela itu. Cahaya rembulan menyinari bayangan tubuhnya
yang laksana kelelawar terbang melintasi malam. Wanita di
dalam loteng itu masih tidak menyadari kehadirannya.
Bayangan itu sama sekali bergeming dari tempatnya.
Ci Siong tojin mengeluarkan dua buah uang logam dari balik
pakaiannya. Matanya menatap bayangan yang terpantul dari
jendela tersebut lekat-lekat. Tanpa sadar sepasang tangannya
gemetar. Apa gerangan yang membuat tokoh besar itu
demikian gugup"
***** Akhirnya Ci Siong tojin berhasil mengendalikan perasaannya.
Tangannya tidak gemetar lagi. Dia melemparkan uang koin itu
di angkasa dan keduanya saling berbenturan dan
menimbulkan bunyi "ting!". Bayangan di jendela itu bergerak
mundur kemudian maju kembali dan mengangkat tangannya
sejenak. Ci Siong memperhatikan semua gerak-gerik wanita itu.
Perasaannya agak tergugah.
Sebuah suara yang lembut terpancar dari balik jendela
tersebut, "Kau sudah datang?"
"Betul, aku sudah datang," sahut Ci Siong tojin kemudian
menarik napas sekali lagi.
128 "Aku mengira kau sudah melupakan tempat ini," kata wanita
tersebut. "Mana mungkin?"
"Tapi, sampai malam ini kau baru datang kembali."
"Aku yakin kau tahu alasannya."
"Aku justru terlalu mengerti," kemudian terdengar suara tawa
yang dingin dan datar.
Ci Siong tojin menundukkan kepalanya. Sulit menjelaskan
perasaannya saat itu. "Aku tahu ... selama ini aku terlalu
banyak salah padamu," katanya.
"Apakah kedatanganmu malam ini hanya untuk mengucapkan
kata-kata ini?" tanya wanita itu sendu.
Ci Siong tojin tidak menyahut.
"Banyak hal yang aku ketahui," kata wanita itu melanjutkan.
Dia kembali menarik napas panjang.
"Setelah tanggal sembilan bulan sembilan, pasti ada sesuatu
keputusan."
"Berapa bagian keyakinan yang kau miliki?" tanya wanita itu.
"Sepuluh bagian," sahut Ci Siong tojin dengan penuh
keyakinan. 129 "Lalu bagaimana?" tanya wanita itu kembali. "Apakah kau
akan meninggalkan Bu-tong-pai dan melepaskan jabatanmu
sebagai Ciangbunjin partai itu?"
"Aku memang berniat melepaskannya," sahut Ci Siong tojin
sambil menganggukkan kepalanya.
"Lalu?"
"Aku tidak pernah lupa apa yang pernah kujanjikan
kepadamu."
"Benarkah kau tidak pernah melupakannya?"
"Setiap saat selalu teringat dalam hati."
Tiba-tiba wanita itu tertawa terbahak-bahak. Suara tawa itu
sungguh mengenaskan. Ci Siong tojin termangu-mangu
menatap bayangannya.
"Sayang sekali ...." suara tawa itu terhenti seketika.
"Apanya yang harus disayangkan?"
"Masih ada satu hal yang kau lupakan," kata wanita itu.
"Apa?"
"Kau lupa sudah berapa tahun aku menunggumu."
Sekali lagi Ci Siong tojin tertegun.
"Sudahlah," wanita itu kembali menarik napas dalam-dalam.
130 "Aku toh sudah bersiap melupakan segalanya."
"Kau "."
"Kita sudah sama-sama tua. Buat apa kita demikian serius?"
Ci Siong tojin langsung terdiam mendengar ucapan itu.
"Meskipun kau mengatakan bahwa keyakinanmu sampai
mencapai sepuluh bagian, sebetulnya dalam pertarungan ini
kau sendiri belum seyakin itu."
Mata Ci Siong tojin bersinar tajam, "Bagaimana kau dapat
berkata begitu?"
"Kalau kau memang pasti yakin akan memenangkan
pertarungan, untuk apa kau datang ke sini lebih dahulu?"
Ci Siong tojin tidak sanggup menyahut.
"Biar bagaimana pun, aku tetap berharap kau dapat kembali
ke Bu-tong-san dengan selamat."
"Selama beberapa tahun ini, bagaimana kehidupanmu?" tiba-
tiba Ci Siong tojin mengajukan pertanyaan.
"Baik."
"Bolehkah aku masuk ke dalam kamarmu?" tanya Ci Siong
tojin dengan suara lirih.
"Apakah kau mempunyai demikian banyak perkataan yang
ingin kau utarakan?"
131 "Banyak sekali."
"Lebih baik tidak usah dikatakan lagi."
"Apakah ... kau benar-benar tidak ingin bertemu denganku?"
tanya Ci Siong tojin penasaran.
"Daripada bertemu namun menyakitkan, maka lebih baik
tidak." "Mengapa tidak biarkan kita saling bertemu?"
"Mengapa tidak dibiarkan saja seperti ini?"
Ci Siong tojin terdiam.
"Kau sudah boleh pergi," kata wanita itu masih dengan nada
datar dan dingin.
Ci Siong tojin termenung sekian lama. Wanita itu juga tidak
mengatakan apa-apa lagi. Bayangannya tetap bergeming.
***** Rembulan dingin membisu. Malam mencekam semakin sunyi.
Malam semakin larut. Rembulan mulai bergeser ke barat. Saat
menjelang fajar adalah saat paling gelap dan pekat. Kabut
mulai bertebaran di taman tersebut. Pakaian Ci Siong tojin
mulai basah oleh tetesan embun. Dia menatap bayangan di
132 kertas jendela itu. Meskipun banyak perkataan yang ingin
diutarakan, namun tenggorokannya bagai tercekat.
"Aku akan pergi," akhirnya dia hanya dapat mengucapkan
sepatah kata saja.
"Sejak tadi kau memang sudah harus pergi."
"Aku yakin akan kembali secepatnya."
Wanita itu berdiam diri mendengar perkataannya.
"Bagaimana keadaan anak itu?" tanya Ci Siong tojin.
Bayangan tubuh wanita itu bergetar. Suaranya juga agak
gemetar. "Dia bukan anak kecil lagi, tapi keadaannya baik-baik saja."
Ci Siong tojin menarik napas panjang. "Apakah aku benar-
benar tidak boleh melihatnya"
"Kau tentu tahu jelas bagaimana pendirianku selama ini."
Sekali lagi Ci Siong tojin menarik napas panjang. Tubuhnya
berkelebat melintasi kolam jernih. Lengan bajunya berkibaran.
Bayangan di atas loteng tetap tidak bergerak.
Ci Siong tojin meloncat ke atas tembok tinggi. Kepalanya
ditolehkan. Jendela masih tertutup rapat. Bayangan itu masih
saja terpaku di tempatnya. Akhirnya dia tahu bahwa
harapannya sudah pupus. Suara tarikan napasnya
133 menghilang di balik tembok yang tinggi.
Tepat pada saat itu juga, seseorang muncul dari balik
rumpunan bunga yang lebat di tepi kolam. Dia adalah seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar. Seluruh pakaiannya sudah
basah kuyup oleh tetesan embun. Dia berdiri tegak di depan
rumpun bunga-bunga yang lebat dan tampaknya sudah cukup
lama dia berada di tempat tersebut.
Ternyata Ci Siong tojin sama sekali tidak menyadari
kehadirannya sejak tadi. Ilmu silat yang dimiliki orang ini pasti hebat sekali. Kesabarannya dalam menahan perasaan juga
menakutkan! ***** Tanggal sembilan bulan sembilan.
Matahari belum terbit ...


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thai san tinggi menjulang ...
Tung-gi berada di sisinva ....
***** Di tengah bukit terdapat daerah yang luas. Untuk naik ke atas
bukit tersebut, paling tidak harus menaiki undakan sebanyak
enam ribu tujuh ratus tangga batu. Dari kejauhan
134 pemandangan di tempat tersebut sangat indah. Anak tangga
yang tinggi itu laksana jalan menuju surga.
Di antara awan-awan putih terlihat sebuah tembok merah.
Juga terdapat sebuah pintu besar berwarna kuning. Itulah
Lan-tian-bun (pintu langit selatan) yang sangat terkenal.
Setelah melewati pintu tersebut kita bisa melihat Giok-hong-
teng, karena jaraknya sudah dekat sekali.
***** Matahari masih belum terbit. Angin bertiup semilir. Seluruh
bukit itu diselimuti hawa dingin. Di bawah sebatang pohon
siong berdiri tegak seseorang. Bahunya menyandang sebuah
kotak persegi panjang. Di atas bukit itu hanya ada dia
seorang. Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai!
***** Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Lengan baju dan
pakaian Ci Siong tojin berkibaran. Jenggotnya yang panjang
juga melambai-lambai. Tampaknya sebentar lagi dia akan
melayang tertiup angin, namun rupanya tidak. Dia tetap berdiri
tegak seperti sebuah arca.
Matanya yang setengah terpejam tiba-tiba terbuka. Burung-
burung beterbangan dari bawah bukit dengan keadaan panik.
Jumlahnya beribu-ribu memenuhi angkasa. Pada saat itu,
udara dingin membuyar. Di atas sebuah batu berjarak sepuluh
135 depa dari tempatnya telah berdiri tegak seseorang. Burung-
burung masih beterbangan dengan panik. Orang itu
membalikkan tubuhnya. Dia adalah Tok-ku Bu-ti!
***** Dua pasang mata yang bersinar tajam laksana pedang saling
bertemu. Ci Siong tojin tidak bergerak, Tok-ku Bu-ti juga
berdiri bergeming. Pada saat itu juga, mata dan tubuh kedua
orang itu seakan telah membeku menjadi es batu. Sepasang
mata Ci Siong tojin dan mata Tok-ku Bu-ti tetap bersinar
tajam. Mereka tentu sedang mengukur kekuatan masing-
masing melalui pandangan tersebut. Keduanya tidak ada yang
saling mengalah.
Awan bergerak di langit di bagian timur. Segaris sinar
berwarna keemasan mulai muncul. Sinar yang indah itu
perlahan berubah menjadi bulatan. Kemudian berubah
menjadi bola api. Bulat dan merah. Bola api itu bergerak
perlahan melintasi awan putih dan bukit yang menghijau.
Bola api itu bangkit dengan kemalas-malasan. Warnanya
semakin lama semakin terang. Merahnya seperti batu manau.
Bulatan yang belum jelas semakin kentara. Menembusi awan
putih dan meninggalkan tepian laut. Naik ke atas langit dan
memancarkan cahayanya dengan gagah.
Menikmati matahari terbit di atas Thai-san merupakan
pemandangan yang demikian memikat hati. Ci Siong tojin dan
Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak tergerak oleh keindahan
tersebut. Angin masih bertiup. Lengan baju mereka melambai-
136 lambai. Di bawah cahaya sinar mentari, tongkat berkepala naga di
tangan kiri Tok-ku Bu-ti seperti benda hidup. Wajahnya
menghadap ke timur. Mata dan mentari sama-sama
bercahaya. Kelopak matanya bergerak sekilas. Demikian juga
ujung bibirnya. Akhirnya dia mengucapkan sepatah kata,
"Sepuluh tahun telah berlalu ...."
"Hm ...." Ci Siong tojin menyahut datar. Sepasang mata dan
tubuhnya yang bagaikan es tadi nampaknya mulai mencair.
"Sungguh tidak disangka, sepuluh tahun kemudian, hari ini ...
pendekar yang namanya masih menonjol di bu-lim masih juga
kita berdua." Tok-ku Bu-ti menarik napas panjang. "Setelah
hari ini berlalu, aku yakin diriku masih kesepian."
"Aku juga mempunyai perasaan yang sama," kata Ci Siong
tojin. Dia juga ikut-ikutan menarik napas panjang. "Di tempat
yang tinggi, hawa dingin selalu berkuasa. Apabila sudah
mencapai taraf tertentu, aku yakin setiap manusia pasti akan
merasakan hal yang sama."
"Tidak peduli bagaimana, dendam permusuhan antara Bu-ti-
bun dan Bu-tong-pai, hari ini harus ada keputusannya." Tiba-
tiba Tok-ku Bu-ti mengajukan pertanyaan, "Ci Siong, apakah
urusan Bu-tong-pai telah kau selesaikan sebelum berangkat
kemari:" "Belum ..."
"Tidak apa-apa. Masih ada aku yang akan mengurus
segalanya."
137 "Bu-tong-pai telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Tanpa Ci Siong, partai itu tetap akan cemerlang," kata-kata Ci Siong
tojin masih begitu datar dan dingin. "Berbeda dengan Bu-ti-
bun. Bila Tok-ku-heng sudah tiada, mungkin perguruan kalian
tidak akan bertahan lama."
Tok-ku Bu-ti tertegun sejenak. Kemudian dia tertawa terbahak-
bahak, "Bagus ... tidak disangka sepuluh tahun kita tidak
berjumpa, lidah to-heng semakin tajam saja. Namun, entah
bagaimana dengan ilmu silatnya?"
Penampilan Ci Siong tojin tetap sedemikian tenangnya.
Apabila Tok-ku-heng memang ingin tahu, bukankah caranya
mudah saja?"
Mata Tok-ku Bu-ti bersinar semakin tajam, "Waktunya
memang sudah tepat," sahutnya dingin.
"Wajah Tok-ku-heng berhadapan ke timur, punggung di
sebelah barat. Tepat menghadapi cahaya mentari. Lebih baik
pindah ke tempat lain," kata Ci Siong tojin menyarankan.
"Sekarang angin barat sedang bertiup. Wajahku menghadap
ke timur. Dengan demikian aku mengikuti arah angin. Sama
sekali tidak terasa dirugikan."
"Kalau kau dan aku sama-sama tidak merasa keberatan,
baiklah ...." Ci Siong tojin merandek sejenak. "Silakan!"
tangannya bergerak. Kotak persegi panjang yang ada di
bahunya segera terlempar dan melayang jauh. Akhirnya tepat
menyangkut di atas sebatang ranting pohon siong yang patah.
138 "Brak!", kotak kayu itu terbuka. Dasarnya dialasi selembar kulit kerbau. Sedangkan di atasnya terdapat empat macam
senjata. Toya, golok, pedang dan semacam senjata lagi yang
kedua ujungnya terbuat dari kayu namun disambungkan
dengan rantai di tengahnya.
Tok-ku Bu-ti mengentakkan tongkat kepala naganya ke atas
batu di mana dia berdiri. Batu itu hancur seketika. Kerikil dan pasir berhamburan di udara. Tiba-tiba tubuhnya berputar
menjadi bayangan dan mencelat. Tampaknya dia seakan-
akan sedang melayang-layang di udara.
Ci Siong tojin bergerak cepat. Tangan kanannya
menggenggam senjata sepasang kayu yang disambung
dengan rantai tadi. Sedangkan tangan kirinya menggenggam
toya. Dalam sekali gerakan, senjatanya yang pertama terulur
dan menjadi kaku. Tubuhnya juga mencelat di udara. Tongkat
Tok-ku Bu-ti bertemu dengan senjatanya dan mengeluarkan
suara keras. "Trang!!!" Keduanya mendarat kembali ke tanah.
Senjata Ci Siong tojin berputaran dan membentuk bayangan.
Tiba-tiba bayangan itu tidak berputar lagi namun meluncur
lurus ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti.
Tongkat berkepala naga Tok-ku Bu-ti dikibaskan. Tepat
menangkis datangnya serangan Ci Siong tojin. Namun
sebelum tongkat itu sampai, Ci Siong tojin sudah menarik
senjatanya kembali lalu secepat kilat diluncurkan lagi ke
depan. Senjata itu ibarat seekor ular yang bergerak-gerak
menuju mangsanya. Sasarannya masih juga tenggorokan
Tok-ku Bu-ti. Gerakan tubuh Tok-ku Bu-ti tiba-tiba berubah. Jarak senjata Ci
Siong tojin yang tinggal setengah cun itu luput juga dari
139 tenggorokannya. Tiga puluh enam kali serangan berturut-turut
dari Ci Siong tojin berhasil dihindarinya. Ci Siong tojin
berteriak nyaring menggelegar membuat suasana pagi jadi
mencekam. Toyanya diluncurkan ke arah bola mata Tok-ku
Bu-ti, sedangkan senjata yang satunya tetap mengarah
tenggorokan. "Ting! Ting! Ting!", tujuh belas kali suara benturan senjata
berdenting. Setiap kali dia menyerang, senjatanya selalu
berbenturan dengan tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti.
Meskipun gerakan tangan Ci Siong tojin amat cepat, namun
tangkisan Tok-ku Bu-ti lebih cepat lagi.
Serangan masih belum berhenti. Selama ini Tok-ku Bu-ti
tampaknya hanya bertahan. Tiba-tiba tubuhnya bergerak.
Sebuah jurus "Sin-liong-pa-bwe" dikerahkan. Seperti nama
jurusnya sendiri yang berarti naga sakti menggoyangkan ekor.
Tubuh Tok-ku Bu-ti hampir tidak dapat ditangkap oleh mata.
Tongkat kepala naganya berbalik menyerang. Kibasannya
menghalangi gerakan kaki Ci Siong tojin.
Kaki kiri Ci Siong tojin disentakkan. Tubuhnya mencelat tinggi
di udara. Toyanya diputar lalu dihunjamkan ke bawah.
Mengarah kepala Tok-ku Bu-ti. Lawannya segera mengangkat
tongkat kepala naga dan kakinya bergerak mundur. Ci Siong
tojin berjungkir balik tiga kali. Baru saja kakinya mencapai
tanah, senjatanya yang satu lagi langsung meluncur ke
tenggorokan Tok-ku Bu-ti.
Tongkat kepala naga segera dikibaskan. Berbarengan dengan
itu, mulut Tok-ku Bu-ti mengeluarkan teriakan keras. Senjata
Ci Siong tojin yang masih meluncur kembali berbenturan
dengan tongkat kepala naga tersebut. "Trang!" Keduanya
140 mengambil ancang-ancang sekali lagi. Senjata Ci Siong tojin
meluncur cepat. Tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti sudah
siap-siap menyambutnya. Mulut naga di atas tongkatnya
menggigit senjata Ci Siong tojin seketika. Tosu itu agak
terkejut. Kakinva cepat-cepat mundur tiga langkah. Namun
Tok-ku Bu-ti tak memberinya kesempatan.
Ci Siong tojin mundur lagi. Dia menggunakan gerakan Te-hun-
cong untuk menghadapi lawannya. Dengan bantuan jurus itu,
dia dapat menanggulangi kesulitannya tadi. Kedua senjatanya
kembali menyerang Tok-ku Bu-ti.
"Bagus!" seru Tok-ku Bu-ti melihat kelincahan lawannya.
Tubuhnya berkelebat. Senjata Ci Siong tojin lewat di samping
lehernya, kemudian membentur gunung-gunung yang ada di
belakangnya. "Prak!", batu itu terbelah menjadi dua. Sekali lagi tubuh Ci
Siong tojin mencelat ke udara. "Hati-hati senjata rahasia!"
katanya memperingatkan. Tiba-tiba tubuhnya tertutup oleh titik
putih yang berjumlah banyak.
Tujuh macam senjata rahasia dilancarkan dalam waktu yang
bersamaan. Masing-masing berjumlah sembilan batang.
Tangan kirinya membentang, tangan kanan mengibas. Enam
puluh tiga batang senjata rahasia segera meluncur mengarah
seluruh tubuh Tok-ku Bu-ti.
Terdengar suara menggelegar di angkasa, menggetarkan hati
siapa pun yang sempat mendengarnya. Gerakan tubuh Ci
Siong tojin masih belum berhenti. Dia berjungkir balik lagi
sebanyak tiga kali. Seratus delapan puluh sembilan batang
senjata rahasia diluncurkan dalam waktu yang bersamaan.
141 Gerakan tubuh Tok-ku Bu-ti sendiri ibarat seekor naga yang
dikurung titik hujan yang deras. Sekali lagi dia berteriak,
tubuhnya berputar. Telapak tangannya menghantam keras.
Terdengar suara menggelegar. Cahaya merah memenuhi
tempat itu. Berpijaran bagai bunga api. Dua ratus lima puluh
dua batang senjata rahasia yang dilancarkan Ci Siong tojin
terpental sejauh tiga depa.
Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak, "Ci Siong, kau sama
sekali tidak menyangka aku menguasai jurus yang satu ini,
bukan?" tanyanya dengan nada angkuh.
Ci Siong tojin tidak menyahut. Tubuhnya mendarat ke atas
tanah. Tangannya kembali terulur. Dengan cepat dia sudah
meraih kembali toya yang diletakkannya di tanah tadi. Toya itu
sebenarnya berukuran pendek. Namun dengan memencet
sebuah alat yang ada di atasnya, toya itu akan menjadi
panjang. Tak usah diragukan lagi bahwa senjata itu
merupakan benda pusaka yang tiada duanya. Ci Siong segera
menggerakkan senjatanya. Dalam waktu yang singkat,
mereka sudah bertarung sebanyak seratus delapan puluh
jurus. Masih belum terlihat siapa yang akan kalah dan siapa
yang akan meraih kemenangan. Namun, justru pada jurus
keseratus delapan puluh itulah, toya Ci Siong tojin dihantam
oleh tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti sehingga putus menjadi
dua. Ci Siong tojin sempat terkesima sejenak. Kemudian dia
tersadar dan cepat-cepat mengambil golok yang ada dalam
kotak persegi tadi. Kui-soa-to (golok pembuka gunung)
merupakan ilmu yang hebat dan keji dari Bu-tong-pai.
Seluruhnya berjumlah empat puluh sembilan jurus. Setiap
142 jurus memiliki tiga belas perubahan.
Golok dan tubuh Ci Siong tojin bergerak serentak. Dia
menyerang berturut-turut. Gerakannya begitu cepat, sehingga
bukan saja goloknya tidak terlihat. Bahkan bayangan tubuhnya
tertutup sinar golok tersebut. Tok-ku Bu-ti terdesak mundur
sebanyak sepuluh langkah. Meskipun demikian, tongkat
kepala naganya masih menangkis dengan cekatan. Malah
akhirnya mulut naga itu kembali menggigit ujung golok.
"Krek!", golok itu segera terputus ujungnya. Ci Siong tojin
melemparkan golok tersebut dan mengambil pedangnya.
Liong-gi-kiam segera dilancarkan. Segaris sinar pedang ibarat
pelangi di senja hari meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti.
Sejak tadi penampilan Tok-ku Bu-ti tenang-tenang saja.
Melihat serangan pedang tersebut, barulah mimik wajahnya
menjadi kelam. Dia tahu Ci Siong tojin sudah mengerahkan
ilmu andalannya. Pertarungan mereka sebelumnya ibarat
pemanasan saja. Gerakan kaki Ci Siong tojin mengikuti
langkah pat-kwa. Pedangnya bergerak mengikuti im dan yang.
Perlahan namun membawa kewibawaan yang sulit dilukiskan.
Setiap pedangnya bergerak, selalu ada ratusan titik putih
mengiringinya. Gerakan pedang di tangan Ci Siong tojin dari lambat berubah
cepat. Sebatang pedang laksana berubah menjadi ribuan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang. Lalu membias lingkaran sinar putih yang terang.
Dalam waktu sesaat, tiga puluh delapan kali serangan telah
dilancarkan oleh Ci Siong tojin. Tok-ku Bu-ti menyambutnya
dengan baik. Meskipun demikian, keringat sebesar kacang
kedelai telah membasahi kening kedua orang itu.
143 Sinar pedang yang berkumpul membuyar menjadi sinar terang
bagaikan lentera yang dinyalakan. Kadang-kadang terlihat
sebaris sinar yang lebih terang berkelebat. Persis seperti petir yang menyambar. Sinar mata Tok-ku Bu-ti semakin tajam.
Dari jarak yang jauh dia sudah dapat merasakan percikan
nyeri yang ditimbulkan oleh hawa pedang tersebut. Namun
Tok-ku Bu-ti bukanlah tokoh nomor satu kalau demikian saja
sudah kelabakan. Tongkat kepala naganya memang terpaksa
dilepas oleh tangannya. Tongkat itu melayang di udara
kemudian menancap di dalam tanah.
Tiba-tiba Tok-ku Bu-ti menggelindingkan badannya di atas
tanah. Sinar pedang mulai menyurut. Tok-ku Bu-ti mengambil
posisi setengah berjongkok. Tangannya menghantam ke atas.
Sinar merah sekali lagi memenuhi angkasa. Lalu terlihatlah
sesuatu yang mengejutkan. Warna kulit tubuh Tok-ku Bu-ti ikut
berubah menjadi merah. Seakan-akan ada darah yang
mengalir lewat celah-celah pori-porinya. Wajahnya juga
mengalami perubahan. Tok-ku Bu-ti seperti berubah menjadi
orang lain. Apa yang terlihat bukan wajah laki-laki itu
sebelumnya. Ikat rambutnya terlepas dan rambutnya
melambai-lambai oleh embusan angin.
Ci Siong tojin mengikuti perubahan itu dengan perasaan
tegang. Wajahnya pucat pasi, "Mit-kip-mo-kang tingkat
delapan!" katanya seperti memperingatkan dirinya sendiri.
"Tidak salah!" sahut Tok-ku Bu-ti. Sepasang telapak
tangannya yang semerah darah segera diluncurkan ke depan.
Pedang di tangan Ci Siong tojin tidak dapat dipertahankan lagi
dan lepas seketika.
144 ***** Sekali lagi Tok-ku Bu-ti mengangkat telapak tangannya.
Pedang Ci Siong tojin yang terjatuh di tanah seperti ditarik
oleh magnet yang tidak terlihat dan dengan kecepatan tinggi
menancap ke arah batu di belakang tubuh Tok-ku Bu-ti.
Ci Siong tojin melancarkan sebuah serangan dengan kedua
belah telapak tangannya. Tok-ku Bu-ti juga tidak kalah cepat.
Sepasang telapak tangan segera terulur menyambut
datangnya serangan itu.
"Blam!", Tok-ku Bu-ti terdesak mundur tiga langkah. Namun
tubuh Ci Siong tojin malah terpental dan melayang beberapa
depa. Jilid 4 Rona wajah Tok-ku Bu-ti semakin merah, sedangkan wajah Ci
Siong tojin semakin pucat ibarat selembar kertas. Lengan baju
kedua orang itu telah basah oleh keringat. Gerakan tubuh
keduanya sudah berhenti.
Meskipun wajah Ci Siong tojin pucat pasi, tapi tampaknya
tidak mendapatkan luka apa-apa. Malah napas Tok-ku Bu-ti
agak memburu. "Ci Siong, apakah pertarungan ini perlu
dilanjutkan?" tanyanya.
"Tidak usah. Kalah ya kalah, menang ya menang," sahut Ci
Siong tojin dengan nada dingin.
145 Tok-ku Bu-ti menganggukkan kepalanya, "Baik." Dia berjalan
menuju gunung-gunungan tadi dan mencabut pedang Ci
Siong tojin yang menancap di sana "Pedangmu "."
Ci Siong tojin mengulurkan tangan menerima pedangnya. "To
heng, harap hati-hati," kata Tok-ku Bu-ti sambil melambaikan
tangannya Ci Siong tojin tidak menyahut. Dia memasukkan pedang ke
dalam sarungnya lalu membalikkan tubuh menuruni gunung.
Tubuhnya tetap tegak seperti semula.
Tok-ku Bu-ti memandangi Ci Siong tojin. Matanya tidak
berkedip. Langkah kakinya agak lamban. Dia mengambil
kembali tongkat kepala naganya lalu berdiri terpaku. Angin
gunung bertiup semakin kencang, sinar matahari semakin
terik. ***** Di luar Lan-tian-bun. Di sana duduk menunggu Bok Ciok dan
Ti Ciok. Juga ada beberapa anggota Bu-ti-bun seperti
Kongsun Hong, Hu-hoat (bagian hukum), Cian-bin-hud (Budha
seribu wajah), Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-
ciang) dan beberapa murid lainnya. Para murid Bu-ti-bun
mengenakan pakaian serba hitam. Mereka berdiri tegak tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Mereka pasti sudah terlatih
baik. Namun dari mimik wajah mereka tetap terlihat kepanikan
dan kegugupan yang disembunyikan.
Awan berarak, kabut melayang. Mereka sama sekali tidak
dapat melihat jalannya pertarungan hidup mati antara Ci Siong
tojin dan Tok-ku Bu-ti. Hanya suara dentingan senjata dan
146 teriakan yang terdengar sayup-sayup.
Sekarang suara-suara itu sudah lenyap. Sinar mata mereka
semua terpusat pada jalan setapak di atas gunung tersebut.
Waktu berlalu perlahan. Akhirnya mereka melihat bayangan
seseorang menuruni gunung. Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai!
Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok berseri-seri seketika, sedangkan
wajah para murid Bu-ti-bun berubah menjadi kelam. Alis
Kongsun Hong bertaut erat, wajah Han-ciang Tiau-siu berubah
seputih kertas. Hanya Cian-bin-hud seorang yang paling
tenang. Kongsun Hong yang melihat kedatangan Ci Siong tojin segera
menggertakkan giginya. Hampir saja dia melabrak tosu tua itu
kalau tidak dihalangi oleh Cian-bin-hud. Kongsun Hong
menolehkan wajahnya kepada laki-laki itu. Cian-bin-hud hanya
menggelengkan kepalanya, mimik wajahnya masih tenang.
Ci Siong tojin langsung menghampiri Bok Ciok dan Ti Ciok.
Keduanya bagai baru tersadar dari mimpi buruk. Mereka
segera bangkit menyambutnya.
"Suhu ...!"
"Jalan!" Ci Siong hanya menyahut sepatah kata. Langkah
kakinya tidak berhenti. Dia tergesa-gesa menuruni setengah
undakan tangga batu sebanyak enam ribu tujuh ratus buah
tadi. Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok menyorotkan sinar kebingungan.
Namun mereka tidak berani bertanya apa-apa. Mereka
melangkah mengiringi belakang Ci Siong tojin.
147 ***** Setelah menuruni undakan tangga tersebut, Bok Ciok
memalingkan wajahnya. Lan-tian-bun seperti istana di langit
yang dikelilingi awan putih. Bok Ciok tidak dapat menahan
keinginan tahunya lagi. Baru saja ingin membuka mulut, dari
atas gunung berkumandang suara yang menggelegar, "Ci
Siong ...!" Suara Tok-ku Bu-ti, "Aku memberimu waktu dua
tahun. Apabila dalam waktu dua tahun tidak ada murid Bu-
tong yang sanggup mengalahkan aku, maka dua tahun
kemudian aku sendiri yang akan menuju Bu-tong-san dan
membasmi Bu-tong-pai!"
Suara itu ibarat gendang yang bertalu-talu. Kumandang dan
gemanya memenuhi seluruh Giok-hong-teng bahkan hutan di
bawah sana. Mendengar ucapan itu, wajah Bok Ciok dan Ti
Ciok segera berubah hebat. Ci Siong tojin memegangi
dadanya sendiri, "oakkk!", segumpal darah kental muntah dari
mulutnya. Batu-batu tangga tersebut merah oleh darah yang
dimuntahkan tadi. Wajah Ci Siong tojin bahkan lebih pucat
daripada selembar kertas. Bok Ciok dan Ti Ciok segera
menghampiri dan memapahnya.
"Suhu ...!"
"Jalan ...." suara Ci Siong demikian lemah.
Suara teriakan gembira berkumandang dari atas sana,
gemuruhnya bagai petir yang menyambar di siang hari.
148 "Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong (hanya langit yang paling
besar, ibarat mentari bercahaya di tengah hari)!" Teriakan itu
merupakan semboyan Bu-ti-bun. Mereka berulang-ulang
menyerukan kata yang sama.
***** Suara teriakan bergema sejauh puluhan li. Di ringi suara
teriakan itu, Tok-ku Bu-ti mengendarai kuda menuju kantor
pusat. Dia sudah berganti pakaian. Di tengah dadanya
tersulam matahari berwarna merah keemasan. Dengan
bangga dan angkuh dia melewati ruangan besar dan duduk di
atas sebuah kursi yang tinggi yang ditutupi sehelai kulit
harimau. Di sebelahnya terdapat sebuah lukisan yang
bergambarkan seekor naga yang sedang mengamuk ketika
badai menyerang.
Di tengah-tengah ruangan terhampar sebuah permadani
berwarna merah yang memanjang sampai depan pintu. Di
sebelah kiri dan kanan masing-masing terdapat dua buah
kursi yang diduduki oleh empat orang Hu-hoat. Di belakang
mereka berdiri tiga dan empat, tujuh orang tongcu dari
berbagai bagian.
Di bawah Buncu dari Bu-ti-bun, terdapat empat orang Hu-hoat
yang semuanya terdiri dari jago-jago kelas satu. Cian-bin-hud
mempunyai keahlian dalam mengubah wajah. Dengan sebuah
ruyung dia pernah menggetarkan lima propinsi di daerah
utara. Kiu-bwe-hu (musang berekor sembilan) memang sesuai
dengan namanya, orangnya licik dan otaknya penuh akal
busuk. Dia adalah seorang Im-yang-jin (banci). Ban-tok-siang-
ong (dewa selaksa racun) merupakan seorang ahli dalam
bidang racun. Han-ciang Tiau-siu selalu menggunakan
149 pancingan sebagai senjatanya. Sekali terkait, dia mampu
melempar orang tersebut sejauh tiga depa dan tidak jarang
membentur benda yang keras sehingga kepala lawannya
hancur berantakan.
Keempat orang ini mempunyai keahlian masing-masing.
Susah mengatakan siapa yang paling unggul di antara
mereka. Namun yang pasti tidak mudah mengajak mereka
bekerja sama, apa lagi bersedia menunduk dan menjadi Hu-
hoat Bu-ti-bun. Dari hal ini saja, dapat dibayangkan besarnya
pengaruh Tok-ku Bu-ti.
Selain empat orang Hu-hoat tadi, masih ada bagian luar dan
dalam. Bagian luar terdiri dari Tancu (kepala cabang), Hiongcu
(penasihat). Di mana-mana memang terdapat kantor cabang
mereka. Pokoknya di dalam dunia kangouw, tidak ada
perguruan atau pun partai lain yang dapat menandingi
banyaknya anggota Bu-ti-bun. Apa lagi sekarang, dia
bagaikan harimau tumbuh sayap. Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-
tiong! ***** Tok-ku Bu-ti duduk di atas kursi kebesaran. Tangannya
mengibas satu kali. Suara seruan yang berkumandang dari
dalam dan luar ruangan terhenti seketika. Salah satu dari
Tongcu bagian luar segera menghadap.
"Lapor Buncu, hamba sudah menyuruh orang mengawasi
perjalanan. Ci Siong tojin bertiga," katanya.
"Seluruh jagoan yang berada di bawah ruangan bagianku,
sudah siap bergerak. Begitu ada perintah, mereka akan
150 segera turun tangan membunuh Ci Siong tojin dan kedua
muridnya," sambung Kongsun Hong.
Tok-ku Bu-ti hanya mendehem.
"Kek-tong-tongcu!" panggilnya.
"Hamba di sini."
"Sebarkan Hiat-ciu-leng (panji tangan berdarah). Katakan
pada seluruh anak murid Bu-ti-bun agar tidak boleh ada yang
mengganggu perjalanan Ci Siong tojin dan kedua muridnya.
Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman berat,"
katanya. "Baik," sahut Kek-tong Tong-cu. Meskipun demikian dalam
hatinya merasa penasaran.
Bukan hanya dia saja, yang lainnya juga menampilkan wajah
kebingungan. Kongsun Hong segera menghampiri ....
"Suhu "."
"Aku tidak akan mengambil kesempatan orang sedang
terluka," kata Tok-ku Bu-ti.
"Buncu benar-benar berjiwa besar dan berhati lapang," tukas
Han-ciang Tiau-siu.
"Kalau tidak, bagaimana bisa disebut Bu-lim-pocu?" kata Ban-
tok-siang-ong. Tok-ku Bu-ti tertawa lebar mendengar pertanyaan anak
151 buahnya. "Lagi pula, dalam dua tahun ini aku berniat mengunci diri
berlatih ilmu. Dalam waktu itu, tidak boleh ada murid Bu-ti-bun yang menerbitkan masalah," katanya.
Seluruh murid dan anggota Bu-ti-bun segera mengiakan. Tok-
ku Bu-ti masih tertawa lebar.
"Kalian boleh keluar. Masalah lainnya akan kita bahas kembali
malam nanti," katanya. Suara dan senyum Tok-ku Bu-ti tiba-
tiba menjadi demikian datar. Siapa pun tidak dapat menduga
apa yang direncanakannya dalam hati.
Namun para muridnya dapat menduga bahwa sekarang
Buncu mereka ingin menyendiri. Semuanya mengundurkan
diri kecuali Kongsun Hong. Dia berjalan ke samping Tok-ku
Bu-ti. "Suhu .... Kau orang tua sering memuji tecu di depan
saudara lainnya. Tecu merasa malu sekali. Sebetulnya banyak
urusan yang tecu tidak pahami," katanya.
Sinar mata Tok-ku Bu-ti beralih ke arah muridnya.
"Suhu tidak memujimu secara percuma. Paling tidak kau dapat
mendengar nada suhu yang mengucapkan semuanya dengan
terpaksa."
"Tecu bersedia mendengarkan dengan seksama," sahut
Kongsun Hong. "Dengan menggunakan Mit-kip-mo-kang aku berhasil melukai
usus besar Ci Siong. Apabila dia berhasil menemukan obat
mujarab, maka tidak akan sampai cacat. Sungguh bukan akhir
152 yang gemilang dari suatu pertarungan. Oleh karena itu, aku
sengaja menunjukkan rasa gembira. Sebenarnya aku juga
mendapatkan sedikit luka dalam akibat pertarungan ini," kata
Tok-ku Bu-ti dengan suara berat.
Kongsun Hong terkejut mendengar keterangan itu.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu ... kau "."
"Tidak apa-apa. Asal beristirahat kurang lebih setengah atau
satu bulan, pasti akan pulih kembali."
"Si hidung kerbau (olok-olok jaman dulu untuk para pertapa)
Ci Siong itu ...."
"Ilmunya sangat tinggi, pasti di luar dugaan kalian," kata Tok-
ku Bu-ti. "Justru sekarang dia sedang mengalami luka parah, mengapa
kita tidak mengejarnya ke Bu-tong-san dan membasmi partai
itu sampai habis" Bukankah dengan demikian kita tidak
meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari?" sahut Kongsun
Hong memberi saran.
"Suhu mempunyai perjanjian dengan Ci Siong tojin untuk
bertarung setiap sepuluh tahun sekali. Selama tiga puluh
tahun ini, aku sudah meraih tiga kali kemenangan. Dan aku
tidak pernah bermaksud mengejarnya sampai ke Bu-tong-san
dan membunuh mereka. Tahukah kau apa sebabnya?" tanya
Tok-ku Bu-ti. "Maafkan tecu yang bodoh."
153 "Karena di atas Bu tong san masih ada seorang Yan Cong-
tian. " "Yan Cong-tian" Dia ...."
"Dia adalah suheng dari Ci Siong tojin. Dua puluh tahun yang
lalu sudah diakui sebagai jago nomor satu dari Bu-tong-pai.
Sepengetahuanku, selama ini dia selalu bersembunyi di
belakang Bu-tong-san dan berlatih keras untuk berhasil
mempelajari Tian-can-kiat (perubahan ulat sutera)," kata Tok-
ku Bu-ti. "Tian-can-kiat?"
"Kalau kau tidak pelupa, tentu kau ingat apa yang pernah aku
ceritakan. Beberapa generasi pendahulu Bu-ti-bun, justru
selalu dikalahkan oleh Tian-can-sin-kang (tenaga sakti ulat
sutera) dari Bu-tong-pai."
Kongsun Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali
mendengar penjelasan itu. "Kalau begitu, Ci Siong ...."
"Tampaknya dia tidak berhasil mempelajari ilmu itu. Ilmu Tian-
can-sin-kang merupakan suatu ilmu yang sangat tinggi. Tidak
sembarang orang dapat menguasainya. Yan Cong-tian sudah
berlatih keras selama dua puluh tahun, namun juga belum
berhasil menguasai seluruhnya. Apalagi Ci Siong tojin."
"Seandainya Yan Cong-tian masih ada di dunia ini, tampaknya
usaha kita untuk menguasai bu-lim sulit menjadi kenyataan,"
sahut Kongsun Hong.
"Itu hanya urusan dalam waktu dua tahun ini," kata Tok-ku Bu-
154 ti. Tampaknya Kongsun Hong belum mengerti juga. Tok-ku Bu-ti
terpaksa menjelaskan sekali lagi.
"Dua tahun kemudian, aku yakin Mit-kip-mo-kang yang aku
pelajari akan mencapai tingkat sembilan. Dengan demikian
aku berhasil mencapai rekor di mana para ketua pendahulu
dari Bu-ti-bun belum pernah berhasil melakukannya. Pada
waktu itu, Yan Cong-tian juga tidak akan luput dari kematian!"
Begitu perkataannya selesai. Tok-ku Bu-ti menggebrak meja
kecil di sampingnya.
"Brak!", meja itu hancur menjadi keping-keping kecil.
Kongsun Hong seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun
Tok-ku Bu-ti sudah menukasnya, "Oh ya ... dari lima orang
tongcu bagian dalam, tadi aku hanya melihat empat orang. Ke
mana perginya Tongcu dari Gin-hong-tong (ruangan merak
perak)" Kongsun Hong tampaknya serba salah.
"Dia ...."
"Masih marah?"
Kongsun Hong menganggukkan kepalanya. Tok-ku Bu-ti
tertawa terbahak-bahak.
***** Pintu tertutup rapat. Di atasnya terdapat lukisan seekor merak
155 perak. Di bawah sinar matahari, lukisan itu tampak berkilau.
Baru saja tangan Tok-ku Bu-ti mendorong pintu tersebut,
sebatang golok menyambut kedatangannya. Untung saja mata
laki-laki itu sangat awas, tangannya pun sangat cekatan.
Belum sempat mata menangkapnya dengan jelas, golok itu
sudah tergenggam di tangannya.
"Sungguh-sungguh gerakan golok terbang yang sangat cepat!"
Tok-ku Bu-ti tertawa lebar sambil melangkah ke dalam.
Di dalam ruangan hanya terdapat seorang gadis. Wajahnya
cantik penampilannya gagah. Kesan yang ditampilkannya
dingin dan angkuh. Kedua tangannya menimang-nimang tiga
bilah golok terbang. Matanya menatap tajam ke arah Tok-ku
Bu-ti. Bibirnya mencibir. Dia diam seribu bahasa.
Tok-ku Bu-ti terus menghampiri gadis itu.
"Hari ini seluruh anggota Bu-ti-bun mengucapkan selamat
kepadaku. Mengapa hanya engkau, Tongcu dari Gin-hong-
tong yang tidak hadir?" tanyanya tersenyum.
Gadis itu masih tidak menyahut.
"Kau masih marah kepada Tia (ayah)?" tanya Tok-ku Bu-ti
kembali. Gadis itu memang putri tunggal Tok-ku Bu-ti yang bernama
Tok-ku Hong. "Mana aku berani?" tangannya tetap memainkan ketiga bilah
golok terbang tersebut. "Pertarungan toh sudah lewat. Siapa
156 yang masih memikirkan urusan ini?"
Tok-ku Bu-ti memperhatikan putrinya dengan seksama.
Akhirnya dia menarik napas panjang. "Tia tidak mengajakmu
justru karena tidak yakin akan meraih kemenangan. Apabila
Tia sampai kalah, mungkin akan terjadi sesuatu pada dirimu,"
katanya. Mendengar kata-kata Tok-ku Bu-ti itu rasa amarah dalam hati
gadis itu sirna seketika. Dia meletakkan golok terbangnya di
atas meja dan menghampiri Tok-ku Bu-ti serta merangkul
bahunya mesra. "Tia, apakah kau tidak mendapatkan luka apa-apa?" tanyanya
khawatir. "Hanya sedikit luka dalam, sama sekali tidak berbahaya,"
sahut Tok-ku Bu-ti.
"Benar-benar tidak apa-apa?" tanya Tok-ku Hong.
"Apakah Tia pernah membohongimu?"
"Baiklah kalau begitu "." tiba-tiba dia menarik lengan Tok-ku
Bu-ti mengajaknya ke kursi tamu yang ada dalam ruangan
tersebut. "Tia, duduklah."
Tok-ku Bu-ti kebingungan.
"Ada apa?" tanyanya.
Tok-ku Hong hanya tersenyum. Dia menepuk kedua
tangannya beberapa kali. Empat orang pelayan yang masih
157 muda mengiakan dari luar dan masuk bersamaan. Di tangan
mereka masing-masing membawa sebuah baki berisi berbagai
hidangan. Pertama-tama Tok-ku Bu-ti tertegun melihat semuanya,
kemudian tertawa lebar. "Anak baik, rupanya kau sudah
mempersiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan
Tia," katanya dengan nada gembira.
Tok-ku Hong tersenyum-senyum. "Sejak semula aku sudah
yakin bahwa Tia pasti tidak akan kalah," katanya.
Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak sampai sekian lama.
Tok-ku Hong menuangkan arak ke dalam cawan dan
mengangkat cawannya.
"Tia, cawan yang satu ini untuk merayakan kemenanganmu
dan mudah-mudahan Tia dapat menghancurkan Bu-tong-pai,"
katanya. "Baik," Tok-ku Bu-ti tersenyum. Dia mengeringkan isi
cawannya sekaligus. Tiba-tiba sesuatu hal terlintas di
benaknya. "Hong-ji (anak Hong), sejak kecil kau hanya
merisaukan urusan bu-lim, apakah kau tidak pernah
merisaukan hal lainnya?"
"Urusan lainnya" Urusan apa?"
"Umpamanya urusan seumur hidupmu nanti ?"
Tok-ku Hong mengatupkan bibirnya erat-erat. Dia tidak
menyahut. 158 "Kau sudah berusia delapan belas tahun, Mana boleh hanya
mementingkan latihan ilmu silat saja" Anggota Bu-ti-bun
demikian banyak ...."
Tok-ku Hong mencibirkan bibirnya, "Aku akan memandang
mereka sebelah mata." Kemudian tersenyum lembut, "Yang
penting ada Tia yang menemani."
Tok-ku Bu-ti ikut tersenyum. "Sayang sekali, dalam dua tahun
ini, Tia tidak mempunyai kesempatan untuk menemanimu,"
katanya. Tok-ku Hong terkejut mendengar pernyataan itu.
"Mengapa?"
"Tia hanya ingin menutup diri selama dua tahun untuk berlatih
ilmu." sahut Tok-ku Bu-ti.
"Kalau begitu "."
"Maka dari itu, kelak kau tidak boleh terlalu keras kepala."
"Dengan mengandalkan ilmu yang aku miliki, tidak ada orang
yang perlu aku takuti," sahut Tok-ku Hong angkuh.
"Mulai lagi," Tok-ku Bu-ti menggeleng-gelengkan kepalanya
beberapa kali. Meskipun ilmu silatmu cukup tinggi, tapi
pengalamanmu masih cetek. Aku takut kau dapat
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, aku sengaja meminta
Kongsun Hong menjagamu baik-baik."
Wajah Tok-ku Hong berubah menjadi murung seketika.
159 Tampaknya tidak menaruh kesan baik terhadap Kongsun
Hong. Sedangkan Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak menyadari
hal ini. ***** Malam belum terlalu larut. Di dalam rumah terlihat
penerangan. Baik penunggang maupun kudanya sendiri
sudah lelah sekali. Ci Siong tojin, Bok Ciok dan Ti Ciok sampai kembali di rumah sepasang suami istri yang tua renta itu.
Wajah Ci Siong tojin pucat pasi. Dia memang sudah hampir
tidak dapat mempertahankan diri. Ti Ciok segera turun dari
kudanya. "Suhu ... kita bermalam di rumah ini saja," katanya
menyarankan. Ci Siong tojin mengangguk lemah. Baru saja Ti Ciok
bermaksud mengetuk pintu, terdengar suara, "krek", pintu
tersebut telah dibuka dari dalam. Kakek pemilik rumah itu
menyembulkan kepalanya. Melihat kedatangan Ci Siong tojin
bertiga, orang tua itu tertegun lalu menyurutkan kepalanya
kembali. Ti Ciok segera maju dan menahannya, "Lopek ini "."
Kakek itu tampaknya serba salah, tidak tahu harus menyahut
apa, malah sang nenek yang akhirnya keluar. Perempuan itu
juga tertegun melihat mereka.
"Suhu kami mengalami luka parah, tidak bisa melanjutkan
perjalanan, apa lagi malam sudah larut. Oleh karena itu, kami
160 bermaksud merepotkan kalian orang tua barang satu malam
saja," kata Ti Ciok menjelaskan.
"Totiang bertiga, kami adalah orang miskin, tentu kalian
memaklumi keadaan kami," sahut kakek tersebut.
"Bicara sejujurnya saja, kami tidak berani menerima ketiga
totiang. Begini saja " kami akan memasakkan sedikit bubur
sekadar penangsal perut. Kalian bertiga istirahat dulu sejenak
baru melanjutkan perjalanan. bagaimana?" tukas sang nenek.
Ti Ciok tampaknya keberatan, namun Bok Ciok segera
menerima usul tersebut.
"Baiklah " kami terpaksa merepotkan kalian orang tua,"
katanya. Kakek pemilik rumah mengerling sekilas ke arah istrinya,
kemudian menoleh kembali kepada Ci Siong tojin. Akhirnya
dia membuka juga pintu rumah itu. Ti Ciok cepat-cepat
memapah turun Ci Siong tojin dari kudanya.
***** Rumah penduduk itu masih sama seperti sebelumnya, namun
perasaan dalam hati sudah berbeda jauh. Sepasang suami
istri itu sama sekali tidak tahu siapa adanya Ci Siong tojin dan kedua muridnya itu, mereka langsung menyibukkan diri di
dapur. Ci Siong tojin menyandarkan diri pada sebuah kursi, matanya
setengah terpejam. Ti Ciok dan Bok Ciok berdiri di
sampingnya. Tiba-tiba Ci Siong tojin membuka matanya.
161 "Suhu, ada apa?" tanya Bok Ciok panik.
Ci Siong tojin menarik napas dalam-dalam, "Istirahat sebentar
tentu akan lebih baik," sahutnya. Belum lagi suara itu hilang,
terdengar dengusan dingin sebanyak dua kali. Asalnya dari
dapur. Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia langsung
berdiri. Ti Ciok segera memapahnya.
"Bok Ciok, kau jaga Suhu ... aku akan lihat ke sana," kata Ti
Ciok. Ci Siong mengajak Bok Ciok menyusul ke belakang.
***** Bubur sudah meluap, suaranya bergelembung-gelembung.
Namun perasaan suami istri itu tidak dapat lagi bersuara.
Mereka sudah menjadi orang mati. Darah mengalir deras dari
tenggorokan mereka. Persis seperti ayam yang baru
disembelih. Di leher mereka ada sebuah lubang yang
menganga. Ti Ciok sudah menghunus pedangnya. Dia
langsung menerjang ke dalam. Melihat kematian pasangan
suami istri tersebut, dia menjadi tertegun.
Ci Siong tojin dan Bok Ciok menyusul. Mata Bok Ciok beredar
ke sekitar tempat itu. Tiba-tiba dia menjerit terkesiap.
"Suhu! Lihat!" teriaknya.
Ci Siong mengikuti arah telunjuk muridnya. Di atas tembok di
ujung ruangan terpantek sehelai kain lebar seperti bendera. Di
tengahnya terdapat sebuah cap bergambar telapak darah.
162 "Panji telapak darah!" gumam Ci Siong tojin. Tubuhnya
langsung bergetar.
"Bukankah ini lambang yang selalu digunakan oleh Bu-ti-bun?"
tanya Ti Ciok. Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya. Wajahnya kelam.
Tangannya dikepalkan. Kukunya sampai memutih.
*****

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam hari ....
Pada saat ini usaha Cui-sian-lou (gedung dewa mabuk) paling
laris. Suara bising memenuhi seluruh ruangan depan. Tapi
ketika Ci Siong tojin dan kedua muridnya melangkah masuk,
suara-suara itu surut seketika.
Setiap tamu yang berada di dalam Cui-sian-lou memandang
mereka dengan heran. Ti Ciok tidak mempedulikan
pandangan mereka. Dia langsung menuju meja kasir. Lao-pan
(majikan) pemilik Cui-sian-lou menatapnya dengan curiga.
"Sam-wi, di sana ada tempat duduk yang kosong," katanya.
"Kami bermaksud menginap," sahut Ti Ciok.
"Oh ... selamat datang!" Lao-pan itu membuka buku
catatannya. "Numpang tanya ...."
"Kami dari Bu-tong-pai," kata Ti Ciok menjelaskan.
163 Belum lagi kata-katanya selesai, "plak!", Lao-pan itu cepat-
cepat menutup kembali buku catatannya. Wajahnya tampak
cemas. "Tempat kami sudah penuh, harap sam-wi tanya tempat lain
saja," katanya gugup.
Ti Ciok tertawa dingin. "Kami tidak menginap dengan cuma-
cuma," sahutnya kesal.
Lao-pan tersebut memaksakan seulas senyuman di bibirnya.
"Tempat kami benar-benar sudah penuh," katanya.
Baru saja ucapannya selesai, dari luar terdengar suara derap
langkah yang bisik. Seorang laki-laki berpakaian hitam
mendatangi dengan menunggang seekor kuda. Dia
mengeluarkan sehelai kain putih. Kudanya sama sekali tidak
berhenti sambil melintas di depan Cui-sian-lou membidikkan
panah. "Crep!", panah tersebut terikat dengan kain tadi. Meleset tepat ke arah tembok di tengah ruangan. Kain itu langsung
terbentang. Di atasnya tertera sebuah telapak darah!
Tamu-tamu di dalam ruangan itu segera menolehkan
kepalanya serentak. Wajah mereka segera berubah hebat.
Tanpa mengatakan sepatah pun antara satu dan lainnya,
beramai-ramai mereka mendorong kursi dan meja secara
serabutan dan melarikan diri dari dalam ruangan tersebut.
Dalam jangka waktu tidak lama, ruangan itu sudah hampir
kosong. Hanya tersisa satu orang yang masih duduk dengan
tenang. 164 Dia adalah seorang pemuda berpakaian mewah. Pasti dari
turunan hartawan. Dia hanya meletakkan cawan di atas meja
dan menoleh ke arah Ci Siong tojin. Wajahnya tampan sekali.
Dalam keadaan kacau balau seperti itu, penampilannya masih
tetap demikian tenang dan mantap.
Pemilik Cui-sian-lou saat itu sedang berteriak-teriak dengan
panik, "Hei! Kalian belum bayar! Mana boleh pergi begitu
saja?" Dia sama sekali tidak bisa mengadang tamu-tamunya yang
melarikan diri kalang kabut. Dia hanya dapat berteriak-teriak
sekenanya. Namun apa gunanya" Sama sekali tidak ada yang
menghentikan langkah dan mendengar ocehannya. Akhirnya
dia menengok ke arah Ci Siong tojin, tapi tidak berani
mengatakan apa-apa. Wajahnya kelam.
"Kali ini aku benar-benar disusahkan oleh kalian murid-murid
Bu-tong-pai," gumamnya seorang diri.
Ci Siong tojin tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Bok Ciok
dan Ti Ciok pucat pasi. Melihat kediaman ketiga orang itu,
pemilik tempat itu menjadi agak berani. "Coba kalian lihat ...
apa yang harus aku lakukan?" teriaknya kesal.
"Cang-lao-pan, buat apa kau demikian panik?" terdengar
sebuah suara menyahut dari belakangnya.
Laki-laki itu menolehkan kepalanya. Baru saja dia bermaksud
marah-marah, namun ketika melihat bahwa anak muda yang
perlente tadi yang mengucapkan kata-kata itu dia
mengurungkan niatnya.
165 "Fu-kongcu, tamu-tamu itu semuanya mearikan diri. Habislah
aku berikut modalku sekalian," katanya sambil tertawa getir.
Anak muda yang dipanggil Fu-kongcu itu tersenyum datar.
"Biar aku yang mengganti semua kerugian," katanya sambil
mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja.
Cang-lao-pan menerimanya dengan malu-malu, "Fu-kongcu,
mana enak aku menerimanya?"
"Soal kecil, tidak usah dipikirkan," kata Fu-kongcu sambil
mendorong kembali uang perak yang pura-pura ditolak oleh
Cang-lao-pan. Laki-laki itu segera menggenggam uang perak itu erat-erat.
Seakan takut kehilangan uang sebanyak itu.
"Tolong kau layani ketiga totiang ini," kata Fu-kongcu kembali.
Wajahnya segera mengesankan keadaan yang salah tingkah,
"Fu-kongcu ...."
"Apakah uangnya masih belum cukup?" tanya Fu-kongcu.
"Bukan "." mata Cang-lao-pan beralih ke arah gambar
telapak tangan yang tertera di atas kain putih, "Pahit getirnya kami yang membuka usaha seperti ini, tentu Fu-kongcu
mengerti sendiri."
Mendengar percakapan mereka, Ci Siong tojin segera
menukas, "Maksud baik-kongcu, kami guru dan murid merasa
berterima kasih sekali." Dia menoleh ke arah kedua muridnya,
"Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi." katanya.
166 Ti Ciok dan Bok Ciok memapah Ci Siong tojin dan melangkah
pergi. "Sam-wi totiang, tunggu dulu!" cegah Fu-kongcu sambil
mengejar keluar pintu.
Ci Siong tojin menghentikan langkah kakinya. Perlahan dia
membalikkan tubuh, "Entah apa maksud-kongcu ...."
"Totiang, aku lihat totiang sedang sakit, lebih baik istirahat di rumahku saja," kata Fu-kongcu menawarkan jasanya.
Ci Siong tojin tertegun sejenak.
"Fu-kongcu, apakah kau tidak melihat tanda telapak darah
itu?" tanya Ti Ciok.
"Aku tahu," sahut Fu-kongcu sambil menganggukkan
kepalanya. "Itu adalah lambang Bu-ti-bun."
"Apakah kongcu tidak takut terhadap Bu-ti-bun?"
"Almarhum ayahku adalah pejabat tinggi kerajaan. Rumahku
tidak jauh dari sini. Keluarga kami cukup berpengaruh. Aku
yakin Bu-ti-bun tidak berani bertindak sembrono sampai
mendatangi rumah keluarga kami," katanya.
Ti Ciok dan Bok Ciok menganggukkan kepalanya beberapa
kali mendengar keterangan itu. Pantas saja anak muda
tersebut demikian tenang meskipun melihat gambar telapak
darah. 167 "Fu-kongcu ..." panggil Ci Siong tojin.
"Cayhe bernama Fu Giok-su. Totiang jangan banyak adat.
Panggil saja namaku. Cayhe masih belum tahu gelar totiang
bertiga," sahut anak muda tersebut.
"Pinto Ci Siong ...."
"Suhu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai," tukas Ti Ciok.
Fu Giok-su melongo sejenak. Kemudian wajahnya berseri-
seri. "Rupanya tokoh yang selalu disanjung tinggi, Ci Siong
tojin adanya. Maafkan kelancangan cayhe yang sudah
bersikap kurang sopan," katanya sambil menjura dalam-
dalam. "Jangan sungkan dan banyak adat," sahut Ci Siong tojin.
Tanpa dapat ditahan lagi orang tua itu terbatuk-batuk.
Fu Giok-su memperhatikan Ci Siong tojin dengan seksama.
"Tampaknya penyakit yang diderita totiang tidak ringan. Lebih
baik selekasnya memeriksakan diri ke tabib," katanya
menyarankan. Ci Siong tojin tertawa datar. "Hidup dan mati adalah takdir
Thian," sahutnya sendu.
"Di dekat sini ada seorang tabib sakti bernama Mok Put-ciu
...." Bok Ciok terpana mendengar perkataannya. "Apakah Mok
Put-ciu yang mendapat julukan It-tiap-hue-cun (satu resep
kembali hidup)" tanyanya dengan nada gembira.
168 "Tidak salah. Coba periksakan diri di sana. Pasti dia
mempunyai obat mujarab yang akan memulihkan penyakit
totiang," sahut Fu Giok-su.
Ci Siong tojin hanya tertawa getir.
***** Tempat praktik Mok Put-ciu terletak di sebelah timur kota.
Adanya di samping sebuah sungai kecil. Kalau dilihat dari luar, tempat itu sudah agak reyot. Papan mereknya bergelantungan
tertiup angin dan tampaknya sebentar lagi copot. Ti Ciok
memicingkan matanya melihat keadaan tempat itu. "Rasanya
usaha tabib sakti ini kurang laris," katanya tanpa sadar.
Fu Giok-su tertawa lebar, "Tabib Mok orang yang berhati
luhur. Setiap kali mengobati orang miskin, bukan saja tidak
menerima bayaran malah memberikan obatnya sekalian
dengan percuma. Maka dari itu, mana mungkin dia
mempunyai banyak uang untuk memperbaiki rumahnya ini?"
sahutnya menjelaskan.
Wajah Ti Ciok merah padam mendengar keterangan itu. Dia
segera mengalihkan pokok pembicaraan, "Apakah Fu-kongcu
mempunyai hubungan yang baik dengan tabib Mok?"
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya, "Sejak kecil aku
belajar ilmu silat. Tubuhku menjadi sehat. Tapi para pembantu
di rumah sering meminta pertolongan tabib Mok apabila ada
keluarga mereka yang sakit."
"Ternyata Fu-kongcu juga mengerti ilmu silat. Entah aliran
169 partai mana yang dipelajari oleh Fu-kongcu?"
"Aku tidak memilih-milih. Setiap aliran aku pelajari," sahut Fu Giok-su.
"Mana boleh begitu?" tanya Ti Ciok heran.
"Ilmu silat cayhe diajarkan oleh para pengawal di rumah.
Mereka terdiri dari murid berbagai partai di bu-lim."
"Oh ... rupanya begitu."
Pada saat itu, mereka sudah masuk ke dalam ruangan praktik
Pendekar Pemetik Harpa 6 Golok Halilintar Karya Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet 14
^