Pencarian

Ilmu Ulat Sutera 6

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 6


Melihat yang datang Fu Giok-su, dia agak terpana. "Mengapa
kau tidak di ruangan sana menemani saudara-saudaramu?"
tanyanya. "Tecu melihat suhu meninggalkan ruang makan padahal
hidangan masih belum dikeluarkan semua. Dan wajah suhu
tampak agak pucat, maka Tecu sengaja datang menjenguk
sebentar."
"Oh!" Ci Siong tojin menarik napas panjang.
Dengan perasaan heran Fu Giok-su menatap Ci Siong tojin.
"Mengapa suhu menghela napas?"
"Suhu mengkhawatirkan keadaan Bu-tong-pai yang tidak
memiliki generasi penerus yang dapat diandalkan," wajah Ci
Siong tojin kelam sekali.
"Tecu tidak merasa demikian."
"Sejak cosu Tio Sam-hong mendirikan partai Bu-tong-pai
selalu ada generasi yang dapat diandalkan. Hanya generasi
ini ...." kembali Ci Siong menarik napas panjang.
Fu Giok-su semakin bingung.
429 "Lihat beberapa orang suhengmu ... kalau tidak otaknya yang
kurang encer, pendirian mereka yang kurang tegas. Pokoknya
tidak dapat diandalkan."
"Suhu, menurut pandangan Tecu, beberapa suheng
mempunyai modal yang cukup. Mengapa suhu malah
menganggap ...?"
"Kau belum lama bergaul dengan mereka. Umpamanya Toa-
suhengmu Pek Ciok, orangnya terlalu lembut dan hatinya
kurang keji. Ji-suheng malah pemarah dan mudah
terpengaruh orang lain. Sam-suheng, Kim Ciok terlalu kaku
dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Su-suheng juga lembut, kurang berwibawa. Go-suheng,
Yo Hong sering meremehkan lawan. Pokoknya ereka tidak
ada yang sesuai dengan minat," mata Ci Siang tojin beralih
kepada Fu Giok-su. "Hanya kau seorang, aku selalu menaruh
harapan yang tinggi padamu. Bakatmu lebih tinggi daripada
lima orang suhengmu yang lain. Kau juga merupakan orang
pilihan. Seandainya kau yang mempelajari Tian-can-kiat,
mungkin kau akan berhasil dan kelak dapat mengalahkan Tok-
ku Bu-ti serta mengangkat nama Bu-tong-pai."
Mendengar kata-kata itu, diam-diam Fu Giok-su merasa
senang. Tapi rupanya kata-kata Ci Siong tojin masih ada
kelanjutannya ....
"Sayang sekali kau sudah menjalin cinta kasih dan
bertunangan dengan Lun Wan-ji. Kau tidak bisa menjabat
sebagai Ciangbunjin lagi. Sedangkan Tian-can-kiat turun
temurun hanya diwariskan kepada Ciangbunjin saja."
Fu Giok-su terpana. Hatinya segera tertekan. Keringat dingin
430 menetes di keningnya.
"Lalu, mengapa Yan-supek boleh mempelajarinya?" tanyanya
penasaran. "Kau tidak tahu, sebetulnya Ciangbunjin generasi ini memang
suhengku itu. Setelah menjabat beberapa tahun, dia merasa
jenuh dan menyerahkan kedudukannya kepadaku. Oleh
karena itu dia boleh mempelajari Tian-can-kiat."
"Kalau begitu, Tecu bersedia membatalkan pernikahan."
Kali ini, gantian Ci Siong tojin yang tertegun. "Bagaimana
pendirianmu demikian mudah berubah?" katanya kurang
senang. Fu Giok-su menundukkan kepalanya. "Tecu sudah menjadi
murid Bu-tong, bagaimana pun harus mementingkan Bu-tong-
pai daripada diri sendiri."
Ci Siong tojin terharu sekali. Dia tidak dapat mengatakan apa-
apa. "Lagi pula dendam keluarga Tecu belum terlepas, seharusnya
tidak boleh memikirkan urusan asmara terlebih dahulu!" nada
suara Fu Giok-su semakin bersemangat.
"Giok-su, ternyata aku tidak salah menilai orang. Kalau saja
seluruh murid Bu-tong mempunyai pandangan yang sama,
tentu nama perguruan kita akan cemerlang dan tidak takut
terhadap siapa pun." Ci Siong tojin menarik napas panjang.
"Tapi, apabila demikian, tentu tidak adil bagi Lun Wan-ji."
431 Fu Giok-su juga ikut-ikutan menarik napas panjang.
"Hal ini aku harus pikirkan baik-baik. Kau juga kembali ke
kamarmu dan pikirkan sekali lagi," kata Ci Siong tojin
selanjutnya. Fu Giok-su mundur satu langkah. Setelah menjura dalam-
dalam, dia baru mengundurkan diri. Perasaan hatinya tegang
dan kacau. ***** Bulan lima tanggal empat belas. Hari itu merupakan hari
kedua setelah pengumuman pertunangan antara Lun Wan-ji
dengan Fu Giok-su. Juga merupakan hari terpenting bagi Bu-
tong-pai. Setelah sembahyang pagi, Ci Siong tojin mengumpulkan
seluruh murid Bu-tong-pai di dalam ruangan pendopo. Dia
mengatakan sudah mengambil keputusan untuk menyatakan
siapa Ciangbunjin generasi mendatang. Semua orang
menduga salah satu dari Pek Ciok, Cia Peng, Kim Ciok, Yo
Hong dan kemungkinan terakhir pasti Fu Giok-su.
Kalau yang disebut nama Pek Ciok, Cia Peng, Kim Ciok, Giok
Ciok atau Yo Hong, mereka tidak akan begitu heran. Tapi
ketika nama Fu Giok-su yang disebut, seluruh murid Bu-tong
terpana. Gi-song dan Cang-song langsung protes.
"Fu Giok-su adalah murid preman, lagi pula dia sudah
mengikat diri dan akan menikah. Meskipun kau mengatakan
432 namanya jatuh pada urutan ketiga, mana ada hak untuk
menjadi Ciangbunjin?"
Ci Siong tojin tidak memberi jawaban. Dia hanya memanggil
Fu Giok-su untuk menyatakan sendiri isi hatinya.
"Demi Bu-tong-pai dan dendam darah sekeluarga, kalau
memang berniat menjadi Ciangbunjin generasi akan datang,
Tecu terpaksa membatalkan pernikahan, lalu menyucikan diri
masuk agama To."
Karena Fu Giok-su berkata demikian, Gi-song dan Cang-song
terpaksa menyetujui. Tapi sampai mereka semua
meninggalkan ruangan pendopo, kedua tianglo itu masih
merasa tidak puas. Fu Giok-su sendiri seperti orang mabuk,
pikirannya kacau. Kenyataannya hati kecil anak muda itu
memang benar-benar mulai menyukai Lun Wan-ji. Kejadian
sudah sampai taraf begini, dia semakin tidak tahu bagaimana
menjelaskannya.
***** Terhadap keputusan yang diambil Fu Giok-su, makhluk tua itu
pun sama tidak senang. Baru mendengar setengah dari kisah
cucunya saja, dia sudah berteriak-teriak marah, "Si tua bangka
Yan Cong-tian itu tidak bersedia mengajarkan Tian-can-kiat
kepadamu?"
"Seandainya dia bersedia mengajarkan, juga percuma. Bu-
tong-pai mempunyai sebuah peraturan, hanya Ciangbunjin
yang boleh mempelajari ilmu itu."
433 "Kalau kau berniat menjadi Ciangbunjin mudah sekali. Bu-
tong-liok-kiat secara diam-diam aku ajarkan kepadamu.
Dengan ilmu yang kau miliki sekarang, siapa lagi yang
sanggup menandingimu?"
"Tapi tadi pagi Suhu sudah mengumumkan. Aku hanya berada
di deretan ketiga. Salah satu dari tiga orang pilihannya. Kalau Pek Ciok dan Cia Peng mati, aku baru boleh menerima
jabatan itu."
Makhluk tua itu langsung terbahak-bahak.
"Kalau begitu, bunuh saja mereka!"
Fu Giok-su bagai tersadar dari mimpi, matanya menyorotkan
hawa pembunuhan yang tebal.
"Cepat pergi! Cepat pergi!" kata orang tua itu menyarankan.
"Yaya, urusan ini tidak bisa dilakukan secara spontan."
"Kenapa?"
"Karena kita belum berhasil menyelidiki asal-usul Wan Fei-
yang, kita masih belum tahu siapa yang mengajarkan ilmu silat
kepadanya." Fu Giok-su merenung sejenak. "Sebelum
lingkaran misteri ini belum terungkapkan, kita jangan
mengambil tindakan sembrono. Lagi pula kaki Yaya belum
sembuh seluruhnya."
"Sebetulnya bagaimana hasil penyelidikan orang-orang kita?"
Makhluk tua itu menekan hawa amarahnya, namun
434 kesabarannya hampir habis.
"Besok tanggal lima belas, Sun-ji akan turun gunung. Siapa
tahu sudah ada kabar berita untuk kita," kata Fu Giok-su
tenang-tenang aja.
Makhluk tua itu mendengus dingin beberapa kali. Namun dia
tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
***** Bulan lima tanggal lima belas. Tengah hari sudah lewat,
matahari tidak seberapa terik. Manusia tanpa wajah dengan
dandanan seperti biasanya melangkah di sebuah jalan kecil di
luar kota. Kira-kira sepuluh depa di belakangnya, mengikuti belasan
anggota Bu-ti-bun. Mereka menyamar menjadi orang biasa.
Sama sekali tidak mencolok. Lagi pula mereka menguntit
dengan cara bergantian.
Manusia tanpa wajah tampaknya tidak menyadari hal itu. Dia
terus melangkah ke depan dan menuju ke sebuah kuil yang
sudah tua. ***** Kuil itu sudah lama tidak terpakai. Keadaannya sudah parah
sekali. Debu-debu tebal terlihat di mana-mana. Atapnya sudah
435 hampir roboh, demikian pula tembok dan lantainya. Di
halaman luar penuh ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang
yang tinggi. Manusia tanpa wajah itu melewati rumput-rumput tersebut dan
melangkah ke dalam. Sarang laba-laba menutupi
pemandangan. Keadaan di dalam lebih parah lagi. Jendela-
jendela tidak ada yang utuh.
Manusia tanpa wajah itu berhenti di ruangan depan. Baru saja
dia mengedarkan pandangannya, terdengar kibasan lengan
baju. Seseorang melayang turun dari atap genting yang sudah
kolong. Manusia tanpa wajah sama sekali tidak bergerak. Dia
menjura dalam-dalam.
"Kongcu ...." sapanya.
Orang itu memang Fu Giok-su. Wajahnya menyiratkan
perasaannya yang kurang senang. "Hari ini aku datang
terlambat," katanya dingin.
Manusia tanpa wajah itu menggelengkan kepalanya. "Orang-
orang Bu-ti-bun tersebar di mana-mana. Tidak mudah
melepaskan diri dari pengintaian mereka," sahutnya.
"Apakah kau berhasil melepaskan diri?"
Manusia tanpa wajah menggelengkan kepalanya sekali lagi.
"Belum!"
"Empat belas orang mengikuti kau sampai ke tempat ini.
Tahukah kau?"
436 "Akhirnya aku mengambil keputusan untuk berbuat demikian."
"Oh?" Fu Giok-su merasa heran.
"Aku memang sengaja memancing mereka kemari. Biar
kongcu coba Bu-tong-liok-kiat dan lihat bagaimana
kemajuannya." Manusia tanpa wajah itu tertawa kering. "Lagi
pula tempat ini tidak bisa digunakan lagi lain kali. Dibuang
begitu saja kan sayang."
Jilid 10 Alis Fu Giok-su terangkat. Dia tertawa terbahak-bahak, "Bagus
... perasaan hatiku memang sedang kesal, lumayan juga
membunuh beberapa orang untuk melampiaskannya."
Manusia tanpa wajah tidak banyak bicara lagi, tubuhnya
berkelebat melalui genting yang melompong dan entah
kemana perginya. Fu Giok-su tertawa dingin. Tangannya
menggenggam senjatanya erat-erat. Dengan langkah lebar dia
berjalan ke halaman.
Empat belas anggota Bu-ti-bun yang mengikuti sejak tadi,
sekarang sudah ada sepuluh yang mengendap-endap di
halaman kuil. Tindak-tanduk mereka sangat berhati-hati, sinar
mata terpaku pada ruangan depan kuil tersebut. Jarak mereka
sudah dekat sekali, tapi selalu memberi isyarat kepada teman-
temannya apabila menemukan sesuatu.
Meskipun sudah berhati-hati, namun karena jumlah mereka
banyak, bagaimanapun sulit menyembunyikan diri secara
437 baik. Saat itu mereka sudah melihat Fu Giok-su melangkah
keluar dari ruangan dalam. Semuanya tertegun seketika.
"Yang ini bukan orang yang tadi!"
"Tentu satu komplotan!"
Baru saja dua anggota Bu-ti-bun mengucapkan kata-kata ini,
terdengar suara jeritan ngeri. Empat orang yang disuruh
menunggu di luar berlari pontang-panting menuju ke dalam.
Tentu saja bukan keinginan mereka berlari seperti itu. Mereka
tersuruk ke celah-celah ilalang yang tinggi. Dengan berusaha
sekuat kemampuan mereka bangkit kembali dan berlari
serabutan. Tidak seorang pun yang wajahnya tidak
menyiratkan ketakutan.
Sepuluh orang anggota Bu-ti-bun yang sudah berada di dalam
halaman kuil terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Baru
saja mereka bermaksud berlari keluar untuk melihat apa yang
terjadi, senjata di tangan Fu Giok-su sudah diangkat tinggi-
tinggi. "Para anggota Bu-ti-bun, cepat gelinding keluar!" teriaknya
lantang. Tangannya menunjuk ke arah di mana para anggota
Bu-ti-bun itu menyembunyikan diri.
Karena jumlah mereka lebih banyak, maka setelah saling lirik
sejenak, mereka keluar dari tempat persembunyiannya.
"Saudara-saudara! Kita bunuh komplotan penjahat ini!" seru
seorang laki-laki yang menjadi pemimpin rombongan tersebut.
Beramai-ramai mereka menerjang. Fu Giok-su tertawa dingin.
438 Wajahnya tenang sekali meskipun dia sudah terkurung di
tengah-tengah. Senjatanya diputar.
"Hati-hati!" serunya sambil menyerang orang yang ada di
sebelah kanannya.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu menghindar ke samping, namun bagaimanapun dia
tetap bukan tandingan Fu Giok-su. Gerakannya yang pertama
sudah memakan korban. Begitu dadanya terhantam telak oleh
senjata di tangan Fu Giok-su, yang lainnya terpana sejenak,
kemudian mata mereka menyorotkan kemarahan. Suara
jeritan orang pertama yang menjadi korban tadi masih belum
lenyap ketika senjata Fu Giok-su kembali menelan korban.
"Apakah kau orang Siau-yau-kok?" tanya sang pemimpin
anggota Bu-ti-bun.
"Tidak salah!" sahut Fu Giok-su terus terang.
"Letakkan senjatamu, ikut kami pulang untuk menghadap
Tancu!" katanya. Sebetulnya hati orang itu sudah tegang
sekali, tapi di hadapan anak buahnya dia tidak mau
kehilangan wibawa.
"Apakah kalian kira masih ada kesempatan untuk kembali?"
tanya Fu Giok-su dingin.
Orang itu berteriak marah dan menerjang ke arah Fu Giok-su.
Pedang berkilauan, suara angin menderu-deru. Hal ini
membuktikan bahwa tenaga orang itu cukup besar. Namun Fu
Giok-su sudah dapat gemblengan Ci Siong tojin dan makhluk
tua di dalam telaga dingin. Kelima orang suhengnya saja
sudah bukan tandingannya lagi, apa lagi murid-murid cabang
439 Bu-ti-bun. Belum lagi senjata orang itu sampai pada
sasarannya, Fu Giok-su sudah mengulurkan tangannya
menghantam dada orang itu. Jantungnya tergetar dan berhenti
berdetak. Dalam sekejap mata lima orang lagi roboh memandikan
darah. Halaman itu bukan hanya penuh dengan mayat tapi
warna darah merah dari darah juga menghiasi di mana-mana.
Sekejap mata anggota Bu-ti-bun tinggal lima orang. Fu Giok-
su tertawa lerbahak-bahak.
"Sekarang aku akan mencoba ilmu Bu-tong-liok-kiat lainnya!"
serunya tiba-tiba.
Kelima orang itu terpana. Tadi mereka mendengar sendiri Fu
Giok-su mengaku sebagai orang Siau-yau-kok. Mengapa
sekarang dia malah menggunakan ilmu Bu-tong. Tapi anak
muda itu tidak memberi kesempatan mereka untuk berpikir
lebih lama. "Pertama! Jurus dari Liong-gi-kiam!" serunya dan secepat kilat
kedua jari tangan telunjuk dan yang tengah menuding ke
depan membentuk pedang. Orang pertama yang paling dekat
dengannya langsung roboh dengan kening terluka.
"Kedua! Jurus dari Pik-lek-ciang!" orang kedua roboh.
"Ketiga! Jurus dari Fei-hun-cong!" orang ketiga roboh. Fu
Giok-su semakin bersemangat.
"Keempat! Jurus dari Suang-kiat-kun!"
Orang keempat pun roboh.
440 "Kelima! Jurus dari Kui-sua-to!" orang terakhir terhempas ke
lantai dengan tenggorokan berlubang.
Tidak ada seorang pun yang tersisa. Fu Giok-su
menyentakkan kakinya dan meleset kembali ke dalam kuil.
Manusia tanpa wajah sudah menunggu di sana. Dia tertawa
lebar. "Bu-tong-liok-kiat ternyata luar biasa!" katanya memuji.
Fu Giok-su semakin bangga mendengar kata-kata itu. Dia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Manusia tanpa wajah membalikkan tubuhnya dan mengambil
senjata Fu Giok-su yang berlumuran darah. Dia mengeluarkan
sehelai sapu tangan dan membersihkannya, lalu
mengembalikan lagi kepada Fu Giok-su.
"Senjata ini dapat melakukan banyak perubahan, makanya
daya kerjanya hebat sekali," kata manusia tanpa wajah itu.
"Hanya agak ruwet menggunakannya. Sayang tidak ada cara
untuk mempermudah," sahut Fu Giok-su sambil mengangkat
bahunya. "Sekarang juga sudah lumayan."
"Oh ya ... aku meminta kau menyelidiki riwayat hidup Wan Fei-
yang. Bagaimana hasilnya?" tanya Fu Giok-su mengalihkan
pokok pembicaraan.
"Menurut bahan yang Kongcu berikan, akhirnya kami berhasil
mendapat keterangan bahwa Wan Fei-yang mempunyai
441 seorang gwakong (kakek luar) _yang tinggal di Lok Yang.
Kami sudah menyelidiki kota itu. Menurut sumber yang dapat
dipercaya, mereka baru pindah ke kota itu dua puluh tiga
tahun yang lalu. Sebelumnya mereka berasal dari mana, kita
belum tahu. Maksudku, pada waktu itu. Kami meninggalkan
beberapa anak buah untuk menetap di sana selama lima
bulan dan bertanya di sana sini. Namun para tetangganya
juga tidak jelas. Nada suara maupun cara berpakaian mereka
seperti orang Lok Yang asli. Sampai bulan lima tahun ini, kami
berhasil mengetahui dari bacang yang dibuat oleh
gwakongnya. Jenis bacang seperti itu hanya dibuat oleh
orang-orang Hu Ciu. Akhirnya kami mengutus beberapa orang
lagi ke Hu Ciu untuk menyelidiki."
"Apa lagi yang berhasil kalian temukan?"
"Ternyata orang manusia she Wan di Hu Ciu memang tidak
banyak. Kami berhasil menemukan beberapa sanak
keluarganya. Menurut apa yang kami dengar, kakeknya
pernah menjabat sebagai camat. Karena putrinya hamil
dengan keponakannya sendiri dan keponakan itu akhirnya
memilih jalan menyucikan diri menjadi pendeta agama To,
mereka terpaksa pindah ke Lok Yang untuk menghindari
gunjingan para tetangga."
"Keponakannya itu ...."
"She Gi bernama Ban-li."
Wajah Fu Giok-su berubah hebat.
"Gi Ban-li adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai yang sekarang,"
kata manusia tanpa wajah selanjutnya.
442 "Kalau begitu ... Wan Fei-yang adalah putra Ci Siong tojin."
"Tidak salah! Tampaknya manusia berpakaian hitam itu
memang Ci Siong tojin."
Fu Giok-su mengibaskan lengan bajunya dan mendengus
dingin. ***** Malam sudah larut. Di lembah terpencil ada sebuah tanah
kosong. Di bawah pengawasan manusia berpakaian hitam,
Wan Fei-yang berlatih ilmu silat tanpa mengenal lelah. Cahaya
pedang berkilauan. Manusia berpakaian hitam berteriak
lantang kemudian menusukkan pedangnya ke arah Wan Fei-
yang. Anak muda itu dengan gesit menghindar ke samping.
Pergelangan tangannya memutar, meluncur ke arah dada
manusia berpakaian hitam. Namun berhasil dielakkan pula.
Sembilan belas jurus berlalu dalam waktu sekejap. Wan Fei-
yang mengubah gaya gerakannya. Ketika pedang manusia
berpakaian hitam tinggal tiga cun di depan wajahnya,
tangannya terangkat, dan kedua jari tangannya menjepit
pedang tersebut.
"Trak!", pedang itu patah menjadi dua bagian.
Gerakan keduanya terhenti seketika. Manusia berpakaian
hitam itu menatap ke arah pedang di tangannya yang telah
patah menjadi dua bagian. Tiba-tiba dia menarik napas
panjang. 443 "Pedang ada manusia ada, pedang hilang manusia mati.
Pedang ini telah mengikuti aku selama beberapa puluh tahun,
tidak disangka hari ini terputus menjadi dua bagian.
Tampaknya jodoh di antara kita juga hanya sampai di sini
saja," katanya.
Wan Fei-yang menjadi panik seketika.
"Suhu, kalau kau pergi, kelak tidak ada orang yang
mengajarkan ilmu silat kepadaku lagi," sahutnya gugup.
Manusia berpakaian hitam menggelengkan kepalanya.
"Apa yang ingin aku ajarkan, semuanya sudah kuturunkan
kepadamu. Di dunia ini tidak ada pesta yang tidak berakhir,
kau dan aku juga tidak luput dari perpisahan ini."
"Tapi "."
"Anak bodoh "." manusia berpakaian hitam kembali menarik
napas panjang. "Suhu, sebenarnya ke mana kau akan pergi?"
"Ke mana yang harus dituju, ke sanalah aku pergi," nada
suara manusia berpakaian hitam itu menjadi berat. "Kalau aku
masih mengingat hubungan kita guru dan murid, kabulkanlah
dua macam permintaanku."
"Silakan Suhu katakan saja."
"Pertama, kau harus berlatih lebih giat lagi. Kedua ...." dia
444 merandek sejenak, kemudian melanjutkan kembali, "harus
membantu Bu-tong-pai sekuat kemampuanmu, tidak boleh
menentang Bu-tong."
"Baik "." hatinya penasaran, dia tidak dapat menahan dirinya
untuk bertanya.
"Suhu ... mengapa kau ingin aku berbuat demikian?"
"Jangan banyak tanya."
"Kalau begitu kelak Suhu "."
"Kalau ada kesempatan, aku akan datang menjengukmu."
"Suhu "." suara Wan Fei-yang pilu sekali. "Kau telah
mengajar tecu sekian tahun. Terimalah sembah tecu tiga kali,"
dia menjatuhkan diri berlutut di tanah dan membenturkan
kepalanya tiga kali berturut-turut. Ketika dia mendongakkan
wajahnya. Air mata sudah mengalir dengan deras.
Manusia berpakaian hitam itu menarik napas sekali lagi. "Fei-
yang, baik-baiklah menjaga diri. Bila ada kesempatan, pergilah
ke Bu-ti-bun dan cari Sen Man-cing."
"Sen Man-cing?" baru Wan Fei-yang ingin bertanya lebih
lanjut, manusia berpakaian hitam itu sudah melesat pergi.
***** Malam semakin larut, di ruangan tempat Ci Siong tojin biasa
menenangkan diri tampak bayangan melintas. Bayangan itu
bagai segumpal asap menyelinap lewat jendela yang
445 setengah terbuka.
Ini merupakan gerakan yang tidak mudah dipergoki orang.
Lagi pula ruangan menenangkan diri itu begitu sunyi dan
jarang ada orang yang menginjak tempat tersebut. Orang itu
bukan orang lain. Dia adalah Ci Siong tojin. Dia memakai
pakaian berwarna kuning muda seperti biasanya.
Di dalam kamar tidak ada penerangan. Ci Siong tojin
menghilang dalam kegelapan. Tanpa menerbitkan sedikit
suara pun, dia merapatkan kembali daun jendela dalam
ruangan tersebut. Pada saat itu juga, Fu Giok-su melayang
turun dari atas tembok halaman dan melintasi taman bunga.
Sejak malam mulai menjelang, dia sudah bersembunyi di
tempat itu. Tanpa suara dan tidak bergerak sama sekali.
Sebelumnya, dia sudah beberapa malam bersembunyi di
tempat yang sama. Dia sudah menyelidiki dengan hati-hati
dan berhasil mengetahui bahwa setiap bulannya, paling sedikit
Ci Siong tojin keluar mengendap-endap kurang lebih sepuluh
kali. Tentu saja selalu pada malam hari.
Untuk mengetahui apakah Ci Siong tojin berada dalam
ruangan tersebut, baginya mudah sekali. Sebuah masalah
yang kelihatannya rumit, ditanganinya dengan remeh. Tengah
malam tertentu, dia mengetuk ruangan itu. Tidak terdengar
sahutan. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa Ci
Siong tojin memang tidak ada di sana. Sedangkan arah mana
yang diambil Ci Siong tojin, lebih mudah lagi diketahuinya.
Ruangan itu mempunyai empat buah jendela. Jendela mana
yang setengah terbuka, tentu arah itu pula yang diambil Ci
Siong tojin. 446 Kalau hanya satu kali, mungkin dia bisa mengatakan
kebetulan. Tapi beberapa kali berturut-turut, Fu Giok-su sudah
dapat memastikan bahwa manusia berpakaian hitam itu
memang Ci Siong tojin adanya.
Sedangkan alasan Ci Siong tojin melakukan semua itu, Fu
Giok-su sudah mendapat jawabannya. Sejak makhluk tua
dalam telaga dingin mencuri belajar Bu-tong-liok-kiat dan
ketahuan lalu diputuskan urat nadi kakinya dan dikurung
selama dua puluh tahun, Bu-tong mulai menentukan sebuah
peraturan haru. Hanya orang yang asal-usul maupun riwayat
hidupnya bersih baru dapat diterima sebagai murid.
Ci Siong tojin tidak dapat mengakui Wan Fei-yang sebagai
anaknya. Wan Fei-yang sendiri hanya mengikuti she ibunya.
Seseorang yang ayahnya siapa saja tidak diketahui, mana
bisa disebut riwayat hidupnya bersih. Oleh karena itu,
meskipun Ci Siong tojin sendiri yang membawa Wan Fei-yang
ke Bu-tong-san, dia tetap tidak dapat menerimanya sebagai
murid. Oleh karena itu pula, Ci Siong tojin hanya dapat
mengajarkan ilmu silat kepada Wan Fei-yang secara diam-
diam. Kalau dia tidak mengenakan penutup wajah, tentu Wan Fei-
yang akan mendesaknya dengan berbagai pertanyaan dan
pasti akan menimbulkan banyak kesulitan. Sebetulnya Ci
Siong tojin juga terpaksa berbuat demikian.
***** Begitu keluar dari halaman tempat Ci Siong tojin
menenangkan diri, Fu Giok-su segera melesat ke bagian
belakang gunung. Di sekitarnya sunyi sekali. Angin malam
447 bertiup sejuk, namun kening Fu Giok-su basah oleh keringat.
Sebetulnya keringat dingin atau keringat biasa yang
membasahi keningnya itu"
Di dalam telaga tidak pernah tersorot cahaya. Sulit
membedakan kapan siang ataupun malam. Padahal dalam
cuaca yang bagaimanapun, hawa di sana selalu dingin. Saat
itu malam hari, angin bertiup kencang. Fu Giok-su melangkah
ke dalam telaga dingin. Makhluk tua sedang duduk termangu-
mangu di atas batu berwarna hijau itu.
Mendengar cerita dari Fu Giok-su bahwa manusia berpakaian
hitam memang Ci Siong tojin, dia hampir melonjak-lonjak
saking terkejutnya. "Hidung kerbau yang satu ini ternyata genit juga."
"Yaya, tentang urusan ini ...."
"Mencabut rumput harus sampai akar-akarnya, bunuh sekalian
Wan Fei-yang itu!"
"Sun-ji juga mempunyai pikiran yang sama," sahut Fu Giok-su
dengan wajah kelam.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu apa lagi" Bereskan dulu Pek Ciok dan Cia Peng!"
"Tapi Yaya ... kakimu ...."
Belum lagi ucapannya selesai, makhluk tua itu sudah melonjak
berdiri. Sebelah kakinya terangkat dan menyepak Fu Giok-su.
Karena tidak menduga, anak muda itu terpental jatuh. Dia
malah gembira sekali.
448 "Yaya, rupanya kedua kakimu sudah sembuh!" teriaknya
girang. "Belum seluruhnya, tapi sudah mencapai sembilan bagian."
"Bagus! Kalau begitu Sun-ji akan segera bertindak. Biar
mereka rasakan sekali lagi kehebatan Sou-hou-cang."
Wajah makhluk tua berubah hebat." Jangan sekali-kali kau
gunakan Sou-hou-cang," katanya.
Fu Giok-su tertegun sesaat. Kemudian tampaknya dia sadar
apa yang dimaksudkan oleh kakeknya.
"Tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik, kalau begitu aku
akan menggunakan Liong-gi-kiam untuk menghadapi Pek
Ciok dan Pik-lek-ciang untuk menghadapi Cia Peng. Biar
mereka rasakan senjata makan tuan."
"Kau benar-benar anak yang pandai. Ada lagi, untuk menjadi
Ciangbunjin tidak boleh terikat pernikahan. Apabila budak Lun
Wan-ji itu tidak mau mengerti dan memaksamu menikahinya,
maka kau boleh bunuh dia sekalian!"
"Yaya ...." wajah Fu Giok-su tampak serba salah.
"Ada apa" Tidak sampai hati membunuh perempuan itu?"
teriak makhluk tua marah.
Fu Giok-su terpaksa mengangguk mengakui.
"Apakah kau sudah lupa bahwa Bu-tong-pai dengan pihak kita
449 adalah musuh bebuyutan?" tanya makhluk tua itu dengan
wajah kurang senang.
"Sun-ji tidak lupa," Fu Giok-su menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki makhluk tua.
"Tapi Sun-ji benar-benar tidak tega ...."
"Lalu, kau tega membiarkan dendam hati Yayamu tidak
terbalas."
"Yaya ... ampunilah Wan-ji."
"Baik ... kalau kau memang tidak sampai hati, Yaya akan
merestui kalian!"
Tentu saja Fu Giok-su senang sekali, namun belum sempat
dia mengucapkan terima kasih, tiba-tiba makhluk tua
membalikkan tangannya dan rantai yang menjadi pengikat
tangan itu dilingkarkan ke lehernya. Fu Giok-su panik sekali.
Dia segera mencegahnya. Dengan sekuat tenaga dia menarik
rantai tersebut dan mengeluarkannya.
"Yaya, jangan sekali-kali kau berbuat demikian lagi! Jangan
bunuh diri. Sun-ji akan menuruti semua permintaanmu!"
teriaknya kalap.
Makhluk tua itu terharu melihat air mata Fu Giok-su yang
mengalir dengan deras.
"Ini baru pantas disebut "tidak keji bukan laki-laki'. Kalau hanya perempuan saja, jumlahnya tidak terkira di kolong langit ini.
Kalau Yaya sudah meninggalkan tempat ini, aku akan
450 mencarikan seribu atau pun selaksa istri cantik untukmu!"
Fu Giok-su tidak bersuara, dia terpaku di tempatnya.
Bayangan Lun Wan-ji kembali berkecamuk di sanubarinya.
Hatinya hancur berkeping-keping.
***** Senja mulai merayap. Wan-ji dan Giok-su duduk
berdampingan di bawah sebatang pohon liu. Tiba-tiba Wan-ji
mengeluarkan dompet kain dari selipan pinggangnya, "Fu-
toako, dompet ini selalu mengiringi aku sejak kecil, sekarang
aku memberikannya kepadamu."
Fu Giok-su menerima dompet kecil yang harum itu. Dia sendiri
sulit melukiskan bagaimana perasaan hatinya saat itu.
Kemudian kilat menyambar. Suaranya menggelegar. Tubuh
Giok-su menggigil. Dia teringat kakeknya yang berada di
telaga dingin serta permintaannya. Tanpa sadar matanya
menyorotkan hawa pembunuhan.
Wan-ji sama sekali tidak memperhatikan. Dia hanya menghela
napas berkali-kali, "Fu-toako ... apakah kau menyukainya?"
Tampaknya Fu Giok-su tidak mendengar kata-katanya. Wan-ji
memanggil satu kali lagi, "Fu-toako."
"Ada apa?" Fu Giok-su bagai baru tersadar dari mimpi buruk.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Aku ... aku ...." Sebuah ingatan lerlintas di benaknya. "Aku
sedang berpikir, kau menghadiahkan dompet kain ini
451 kepadaku. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kuberikan
kepadamu."
"Aku tidak ingin apa-apa."
"Begini saja. Besok aku akan ke kota, akan kubelikan
beberapa macam kain cita untukmu." Ucapannya belum
selesai, Fu Giok-su kembali teringat sesuatu, "Tidak bisa.
Suhu sudah menurunkan amanat, tidak ada kepentingan,
siapa pun tidak boleh turun gunung."
"Kalau begitu aku saja yang mengatakannya kepada susiok.
Aku akan berkata bahwa ini merupakan gagasanku, pasti
dikabulkan," kata Wan-ji sambil tertawa lebar.
Fu Giok-su tersenyum. "Boleh juga. Sekalian saja kita beli
keperluan kita sepasang suami istri kelak."
"Siapa yang menjadi suami istri denganmu?" kata Wan-ji
manja. Dia mendorong lengan Fu Giok-su dan pura-pura
marah. Anak muda itu tersenyum. Sekelumit perasaan yang amat
manis menyusup dalam hati kecilnya.
***** Di dalam kota sangat ramai. Fu Giok-su menggandeng Lun
Wan-ji berkeliling. Akhirnya mereka membeli sejumlah barang.
Ada mainan kesayangan Lun Wan-ji, ada sebuah selimut
indah yang dipilih oleh Fu Giok-su. Sebuah pajangan
berbentuk orang tua, sebuah kendi arak. Dia juga membeli
452 beberapa buah bacang. Dan terakhir sepasang burung
dengan warna indah berikut sarangnya.
Kemudian mereka makan di sebuah rumah makan yang
ternama. Fu Giok-su merasa agak lelah. Dia mengajak Wan-ji
pulang. Namun gadis itu rupanya masih ingin menikmati
pemandangan kota yang jarang dikunjunginya. Akhirnya Giok-
su mengusulkan untuk bermain di dekat telaga yang berada di
tengah pegunungan Bu-tong. Lun Wan-ji setuju.
Baru saja mereka mencapai tempat itu, Wan Fei-yang sedang
menggiring babi-babi pulang ke kandang. Keringat membasahi
seluruh tubuhnya. Melihat keadaannya, Wan-ji merasa
kasihan sekali. "Fu-toako, coba kau lihat, Siau-fei memang
cukup menderita," katanya.
"Memang tugasnya terlalu banyak," sahut Giok-su
menampilkan perasaan terharu, namun dalam hatinya dia
tertawa dingin.
Wan-ji melambatkan langkahnya. Dia mengeluarkan sehelai
sapu tangan dari pinggangnya, "Siau-fei, istirahatlah sebentar, usaplah keringatmu."
Wan Fei-yang mendongakkan wajahnya menatap Wan-ji
sekilas. Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak usah,"
sahutnya. Dia mengusap keringat dengan lengan bajunya.
Wan-ji kembali menyodorkan sebutir bacang yang ada di
tangannya. "Bagaimana kalau kau makan saja bacang ini"
Aku tahu, kau paling suka makan bacang," katanya.
Akhirnya Wan Fei-yang mengulurkan tangannya dan
453 menerima bacang tersebut. "Terima kasih, Wan-ji kouwnio."
Baru saja kata-katanya selesai, Giok-su sudah merebut
kembali bacang di tangannya itu, "Bacang ini ... tidak boleh
kau makan!"
Lun Wan-ji dan Wan Fei-yang sama-sama terpana, "Fu-toako,
mengapa ...?"
Otak Fu Giok-su memang encer, sebentar saja dia sudah
menemukan alasan yang tepat.
"Wan-ji, apakah kau tidak melihat" Siau-fei sudah kepanasan.
Tubuhnya penuh keringat. Kalau makan bacang, dia akan
bertambah kehausan," katanya.
"Benar juga ...." Wan-ji tidak curiga sama sekali.
"Lebih baik makan buah-buahan saja," kata Fu Giok-su sambil
menyodorkan beberapa macam buah-buahan ke tangan Wan
Fei-yang. Wan Fei-yang juga tidak memikirkan hal lainnya. Dia
menerima buah-buahan tersebut. "Fu-toako, kalian baik sekali
terhadapku."
Fu Giok-su takut Wan Fei-yang akan mengajukan pertanyaan
yang bukan-bukan. Dia menyahut beberapa patah kata
dengan gumaman dan cepat-cepat menarik tangan Wan-ji
meninggalkan tempat tersebut.
***** 454 Setelah melepaskan diri dari Wan-ji, Giok-su kembali ke
kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Dia juga menutup
jendela. Diambilnya sehelai kain hitam lalu membeberkannya
di atas meja. Setelah itu dia membuka bacang-bacang yang
dibelinya tadi.
Ternyata isi bacang itu bukan daging, tapi bahan peledak.
Demikian juga patung berbentuk orang tua. Di bawahnya
terdapat sebuah lubang yang disumpal dengan kain. Di
dalamnya berisi bahan peledak. Juga kendi arak. Itulah
sebabnya, mati-matian dia merebut kembali bacang itu tadi
dari tangan Wan Fei-yang.
Fu Giok-su menuangkan bahan-bahan peledak tadi ke atas
kain hitam. Kemudian dia membungkusnya dengan rapi dan
menyimpannya dalam laci. Akhirnya Fu Giok-su baru bisa
menghela napas lega.
"Rencana kedua sudah boleh dijalankan," katanya dalam hati.
Sepasang kepalannya mengepal erat. Matanya menyiratkan
hawa pembunuhan.
***** Pagi hari. Kabut belum buyar.
Di bawah air terjun terlihat butiran-butiran seperti mutiara
memercik. Pek Ciok duduk di atas sebuah batu di depan air
terjun. Tampangnya demikian suci seperti dewa kayangan.
Dia sedang berlatih diri bernapas dengan perut. Semangatnya
bangkit bersama terbitnya matahari. Pedangnya tergenggam
erat di tangan. Baru saja dia hendak memulai latihan
455 pedangnya, dilihatnya Fu Giok-su mendatangi dari kejauhan.
Dari jauh sutenya itu sudah menyapa.
"Toa-suheng, selamat pagi!"
"Selamat pagi!" Pek Ciok memandangnya dengan perasaan
heran. "Sedemikian pagi kau datang kemari ...."
"Justru karena aku tahu biasanya Toa-suheng selalu berlatih
di sini." "Suasana dan hawa di sekitar tempat ini cocok untuk melatih
pernapasan."
Pek Ciok masih penasaran, "Sebetulnya ada apa kau
mencariku?",
"Ceritanya panjang ...." Fu Giok-su menutul kakinya dan
melesat. Pek Ciok masih belum sadar. Dia menggeser tubuhnya sejauh
tiga cun. Fu Giok-su melayang turun tepat di sampingnya.
Pedangnya sudah terhunus, dengan kecepatan kilat menusuk
dada kiri Pek Ciok
Toa-suhengnya itu terkejut sekali. Tapi kesadarannya masih
ada. Tubuhnya menggelinding ke tanah. Darah mengucur
deras dari dadanya dan membasahi atas batu di mana dia
duduk bersila sebelumnya.
"Kau sudah gila!" teriak Pek Ciok.
456 "Kalau aku sudah gila, bagaimana mungkin aku bisa
menggerakkan pedang ini dan melukai Toa-suheng?" sahut
Fu Giok-su tertawa dingin.
Tangan kiri Pek Ciok mendekap luka di dada, tangan kanan
menghunus pedang. "Katakan! Mengapa kau melakukan hal
ini?" "Untuk menjadi Ciangbunjin!" Wajah Fu Giok-su demikian
tenang. Keringat dingin membasahi kepala Pek Ciok. "Aku sama sekali
tidak menyangka kau dapat turun tangan sekeji ini terhadap
saudara seperguruanmu sendiri!" katanya gemetar.
"Hah! Kalau begitu siaute akan mengantar kepergian Toa-
suheng dengan pedang. Toa-suheng mempelajari ilmu
pedang, apabila mati di bawah pedang siaute, tentu sudah
puas bukan?" Fu Giok-su menggerakkan pedangnya.
Ternyata jurus yang dimainkan adalah jurus pembukaan dari
Liong-gi-kiam. Wajah Pek Ciok berubah hebat melihatnya.
"Liong ... Liong-gi-kiam-hoat!"
"Tidak salah!" pedang Fu Giok-su meluncur ke depan.
Tubuhnya mencelat di udara dan sekaligus melancarkan tiga
buah serangan. Semuanya jurus Liong-gi-kiam-hoat yang
sangat sulit dipelajari. Pek Ciok gugup sekali. Dadanya sudah
terluka. Dia dapat melihat kematangan Liong-gi-kiam-hoat Fu
Giok-su ternyata tidak di bawahnya.
457 Dengan susah payah Pek Ciok menerima enam puluh kali
serangan Fu Giok-su. Lwekang Pek Ciok sebetulnya lebih
tinggi dari Fu Giok-su. Tapi lukanya cukup parah. Hawa
murninya tidak dapat disalurkan. Pada jurus kedelapan belas,
pedangnya sudah terlepas dari tangan. Dadanya sakit sekali,
mata mulai berkunang-kunang. Pada saat itulah, sekali lagi
pedang Fu Giok-su meluncur datang dan menikam
jantungnya. Pek Ciok menjerit ngeri lalu jatuh ke dalam air.
Mayat Pek Ciok langsung terbawa aliran air.
Fu Giok-su tahu di bawah sana ada sebuah telaga. Para murid
Bu-tong sering mandi di sana. Mayat Pek Ciok pasti akan
mereka temukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu
dia tidak ingin berdiam diri di tempat itu lama-lama. Dia
merendam pedangnya di dalam sungai agar darah yang masih
menempel tercuci bersih. Tubuhnya berkelebat kembali dari
arah yang dia datangi tadi. Darah segar segera buyar di dalam
air sungai. ***** Senja hari. Suasana dalam pendopo sangat mencekam. Asap
dupa dan hio mengepul. Mayat Pek Ciok sudah dimasukkan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam peti mati dan diletakkan di tengah ruangan pendopo
tersebut. Di sekitar peti mati berkumpul para murid Bu-tong. Wajah
mereka menyiratkan kesedihan yang dalam. Mayat Pek Ciok
ditemukan sebelum tengah hari. Semua orang terkejut
mendengar berita itu. Setelah gempar setengah harian,
perasaan mereka sampai saat ini masih juga tertekan.
Meskipun sifat Pek Ciok Agak kaku, tapi dia mencintai sesama
458 saudara seperguruannya tanpa pilih bulu. Sikapnya juga
sangat lembut. Hanya rada pendiam. Oleh karena itu, tidak
ada satu pun murid Bu-tong yang tidak menyayanginya.
Kematiannya benar-benar menikam sanubari rekan-rekannya.
Orang yang paling sedih-tentu saja Ci Siong tojin. Beberapa
kali dia menghampiri mayat Pek Ciok dan memperhatikannya
dengan seksama. Wajahnya kelam, hatinya terguncang. Dia
tidak berkata apa-apa, hanya memberi pesan agar setiap
orang berhati-hati. Setelah itu dia meninggalkan ruangan
pendopo tersebut dengan wajah murung. Para murid Bu-tong
juga ikut meninggalkan ruangan itu satu per satu.
***** Malam semakin larut. Cahaya lilin mulai redup. Suasana di
dalam ruangan pendopo semakin mencekam karena
penerangan yang remang-remang.
Di dalam ruangan pendopo demikian luas hanya tersisa Cia
Peng seorang. Dia diterima sebagai murid oleh Ci Siong tojin
dalam waktu yang bersamaan dengan Pek Ciok. Hubungan
mereka sangat erat. Oleh karena itu, dia menawarkan diri
untuk berjaga sepanjang malam.
Papan atas peti mati belum ditutup, tubuh Pek Ciok yang
sudah dingin terbaring di dalamnya. Sepasang matanya
tertutup rapat. Wajahnya pucat seperti kapas. Kelopak
matanya agak bengkak. Tidak ada lagi sinar kehidupan pada
seluruh diri Pek Ciok. Hanya ada hawa kematian yang
menggigilkan. Cia Peng duduk di bilah papan yang terdapat di samping peti
459 mati Pek Ciok. Kadang kala dia berdiri dan melongok wajah
suhengnya. Dia sama sekali tidak takut. Selamanya dia tidak
pernah menganggap kematian sebagai sesuatu yang
menakutkan. Apa lagi dia selalu hormat kepada Pek Ciok.
Pada saat itu dia mulai lelah. Matanya baru terpejam ketika
terdengar suara "Krak!", dia terlonjak bangun. Angin kencang
bertiup, bayangan lilin menari-nari. Seiring suara tadi, Cia
Peng memalingkan wajahnya. Tidak terlihat apa-apa, hanya
jendela yang tadinya tertutup sekarang sudah membentang.
"Bagaimana angin ini bisa membuka jendela seberat itu?"
gumamnya sambil membalikkan tubuh menghampiri.
Jika melongok lewat jendela, maka akan terlihat seonggok api
unggun di dekat halaman depan. Dua murid Bu-tong sedang
menjaga di tempat tersebut. Setelah berpikir sejenak, akhirnya
Cia Peng melesat keluar melalui jendela.
Di sepanjang koridor yang terdapat di depan jendela, tidak ada
seorang pun. Kedua murid Bu-tong yang berjaga di halaman
depan masih mengobrol dengan asyik. Mereka bahkan tidak
menyadari kehadiran Cia Peng di koridor. Setelah melongok
sekitarnya sekali lagi, Cia Peng tertawa getir. Dia masuk
kembali ke ruangan pendopo lewat pintu depan.
Pada saat itu pula, lilin-lilin dalam ruangan memperdengarkan
suara "Bess!", keadaan dalam ruangan menjadi gelap gulita.
Hati Cia Peng tergetar. Tubuhnya berkelebat dan bersembunyi
di belakang papan di mana dia duduk tadi. Perlahan matanya
mulai terbiasa. Apa lagi ada cahaya yang menerobos lewat
jendela. Dengan hati-hati dia memperhatikan sekelilingnya.
Semuanya biasa saja, tapi ketika matanya mengerling ke arah
460 peti mati, dilihatnya sepasang kaki.
Peti mati itu ditopang dengan dua batang kayu. Di sanalah
kaki itu terlihat. Cia Peng tertawa dingin dalam hati. Tubuhnya bergerak dan melesat ke arah sana. Tangan kirinya diulurkan
dan memegang kaki tersebut. Dia menariknya dengan sekuat
tenaga. Tangan kanan menyambut tubuh yang jatuh itu.
"Toa-suheng!" teriaknya terkejut.
Orang yang ditarik olehnya tenyata memang mayat Pek Ciok,
tidak heran Cia Peng demikian terkesiap. Ketika dia masih
kebingungan itulah, Fu Giok-su keluar dari dalam peti mati,
sepasang telapak tangannya dengan telak menghantam dada
Cia Peng. "Plak!", suaranya menyakitkan hati. Tidak ada
tempat bagi Cia Peng untuk menghindar. Dan dia memang
tidak menyangka sama sekali.
Pada saat itu juga dia sudah melihat bahwa orang yang
membokongnya adalah Fu Giok-su. "Kau?" ucapnya tanpa
sadar. Satu patah perkataan keluar dari bibirnya, tubuh Cia Peng
telah mencelat ke tengah ruangan. Segumpal darah segar
mengalir di sudut mulutnya. Setelah terhuyung-huyung,
akhirnya dia bangkit kembali. Fu Giok-su meloncat turun dari
peti mati. Dia tertawa lebar.
"Ji-suheng, bagaimana hasil latihan Pik-lek-ciang siaute tadi?"
Cia Peng ingin mengatakan sesuatu, namun tenggorokan
tercekat. Dia berusaha membuka mulutnya, segumpal darah
kembali muncrat dari bibirnya. Dia menjerit ngeri. Tubuhnya
461 menerjang ke depan, tapi baru beberapa langkah, tangan Fu
Giok-su sudah menghantam batang lehernya.
Batang leher dan pita suara tenggorokannya tergetar putus.
Tubuhnya jatuh dan dengan kepala terkulai. Fu Giok-su
menghampiri tubuh Cia Peng dan merabanya sejenak. Dia
tertawa dingin. Bayangan tubuhnya meleset mundur dan
hilang dalam kegelapan malam.
***** Kedua murid Bu-tong yang sedang berjaga di halaman sempat
mendengar jeritan ngeri Cia Peng. "Seperti suara Cia-loji!"
"Mari kita lihat," kata rekannya sambil menghunus golok dan
berlari ke arah ruangan pendopo.
"Mengapa lilin di dalam ruangan ini padam semuanya?"
"Pasti ada yang tidak beres." Tepat pada saat itu, langkah
keduanya berhenti serentak.
Ruangan itu tiba-tiba menjadi terang. Kedua murid Bu-tong itu
berdiri terpaku. Untung saja Kim Ciok dan Giok Ciok juga
sudah menyusul tiba.
"Ada apa?" tanya Kim Ciok cepat.
"Rasanya kami tadi mendengar suara jeritan ngeri Ji-suheng."
"Mengapa masih belum masuk dan melihat apa yang terjadi?"
bentak Kim Ciok langsung melangkah ke dalam. "Ji-suheng!"
teriaknya memanggil.
462 Tidak terdengar sahutan. Mereka melangkah ke dalam. Wajah
Kim Ciok dan Giok Ciok berubah hebat. Apa lagi kedua murid
Bu-tong tadi. Mereka terpaku dengan lutut gemetar. Lilin
dalam ruangan pendopo ternyata sudah menyala kembali.
Mayat Pek Ciok duduk di tempat Cia Peng sebelumnya.
Kim Ciok segera menghambur ke samping peti mati. Dia
melongokkan kepalanya. Sekali lagi dia terkejut. Ternyata Cia
Peng sudah membujur kaku di dalam peti mati.
"Cepat undang suhu kemari!" teriak Kim Ciok panik.
Kedua murid Bu-tong segera menghambur keluar dari
ruangan. ***** Mendengar berita itu, Ci Siong tojin bergegas menuju ruangan
pendopo. Wajahnya kelam sekali. Sebelum dia sampai di
ruangan pendopo tersebut, lonceng sudah berbunyi nyaring.
Tanpa menunggu perintah lagi, para murid Bu-tong keluar
berhamburan dengan senjata masing-masing di tangan.
Setiap rombongan terdiri dari delapan orang. Mereka
mengawasi seluruh tempat itu dan menjaga dengan ketat.
Gi-song dan Cang-song juga sudah menyusul tiba. Tidak lama
setelah Ci Siong tojin memasuki ruangan pendopo, Fu Giok-su
juga menyusul di ringi dua murid Bu-tong lainnya.
Wajah Ci Siong tojin hijau membesi. Dia menghampiri mayat
Cia Peng. Tampak bekas dua telapak tangan di dada
muridnya. Bekas luka memar itu berwarna ungu kehitam-
463 hilaman, juga seperti ada bekas rona merah seperti terbakar
sesuatu. "Pik-lek-ciang?" seru Ci Siong tojin tanpa sadar.
Seluruh murid Bu-tong yang mendengar seruannya menjadi
tertegun. Ci Siong tojin menggeleng-gelengkan kepalanya
berkali-kali. "Pek Ciok diserang dengan pedang yang mana menusuk dada
kirinya sedalam tiga cun. Tikaman itu langsung menembus
jantung. Tidak diragukan lagi ilmu yang digunakan
penyerangnya pasti Liong-gi-kiam-hoat."
"Suhu pernah mengatakan ...." Kim Ciok menggertak giginya
erat- erat. Barang siapa yang mempelajari ilmu pedang mati
pun oleh tusukan pedang. Barang siapa mempelajari ilmu
telapak, mati pun dihantam oleh telapak tangan. Kalau begitu
...." "Tujuan pihak lawan pasti keenam murid yang mempelajari
Bu-tong-liok-kiat." Wajah Ci Siong tojin semakin tidak sedap
dipandang. "Orang itu juga paham sekali Bu-tong-liok-kiat
kita." Giok Ciok terkejut sekali, "Siapa orang itu?"
Ci Siong tojin tidak menyahut. Dia merenung sejenak. Tiba-
tiba tangannya menunjuk ke arah Fu Giok-su.
"Fu Giok-su ...!"
Fu Giok-su terkesiap mendengar namanya disebut, "Suhu ...
464 aku ...." "Sasaran pembunuh itu berikutnya pasti engkau. Mulai
sekarang kau harus lebih berhati-hati," kata Ci Siong tojin.
Keringat dingin membasahi punggung Fu Giok-su. Wajahnya
pucat pasi. "Tecu tidak takut mati, malah Tecu dapat
menggunakan kesempatan ini untuk membalas dendam bagi
kedua orang suheng," sahutnya gugup.
Kala-kata ini sangat beralasan. Ci Siong sampai terharu
mendengarnya. Dia menatap Fu Giok-su dengan mata lembut.
Akhirnya dia menarik napas panjang. "Dengan mengandalkan
ilmu silatmu sekarang, kau masih bukan tandingan pembunuh
tersebut," katanya.
Kepala Fu Giok-su tertunduk rendah-rendah.
"Ilmu silat Pek Ciok paling tinggi di antara kalian berenam, tapi dia sendiri mati tanpa jejak sedikit pun. Cia Peng yang berada
di dalam ruangan pendopo ini, hanya sempat menjerit ngeri
satu kali. Kalau saja dia bisa berteriak dua kali, para murid Butong pasti sempat datang memberikan pertolongan. Hal ini
membuktikan bahwa ilmu silat pembunuh itu sudah demikian
tingginya."
Para hadirin saling memandang satu dengan yang lainnya.
"Oleh karena itu, mulai sekarang, Fu Giok-su, Kim Ciok, Giok
Ciok dan Yo Hong harus bisa selalu bersama-sama. Kalian
harus saling menjaga. Jangan berkeliaran sendirian. Pasti bisa
terjadi musibah lagi," kata Ci Siong tojin selanjutnya.
465 "Baik," sahut keempat orang itu serentak.
Mata Ci Siong tojin beralih kembali pada mayat Cia Peng.
Tanpa sadar dia menarik napas panjang sekali lagi.
"Suhu, coba kau lihat tangan kiri Ji-suheng seperti memegang
sesuatu," tiba-tiba Giok Ciok berkata.
Ci Siong tojin mengerutkan keningnya. Tangannya terulur dan
membuka kepalan tangan Cia Peng. Di dalamnya terdapat
secarik kain robekan baju. Melihat sobekan baju itu, kening Ci
Siong tojin tertaut semakin erat.
Yo Hong yang ada di sampingnya memiringkan kepala dan
melongok. "Kain semacam itu hanya dipakai kaum pelayan atau
bawahan," katanya tanpa sadar.
"Mungkinkah pembunuh itu menyamar sebagai seorang
pelayan untuk menyelinap ke Bu-tong-san ini?" tukas Kim Ciok
memberikan pendapatnya.
Wajah Ci Siong tojin terlihat semakin kelam.
"Biar bagaimanapun, kalian berempat harus berhati-hati." Dia
merandek sejenak, "Kalian tinggal saja di ruangan yang biasa
digunakan Pek Ciok untuk menenangkan diri."
"Tempat itu terbuka, mudah melihat kedatangan musuh.
Memang tempat yang paling sesuai," sahut Fu Giok-su.
"Perketat penjagaan di luar pintu. Biar siang ataupun malam,
466 jangan sekali-kali teledor,?" kata Ci Siong tojin selanjutnya.
Para murid Bu-tong-pai mengiakan serentak. Sinar mata Ci
Siong tojin beredar kembali di wajah para muridnya secara
bergantian. "Ingat baik-baik! Kalian harus saling mengawasi. Jangan
bertindak sendiri-sendiri sampai kita temukan pembunuh itu,"
katanya. Keempat orang itu menganggukkan kepalanya.
"Suhu, kau sendiri harus menjaga diri baik-baik," tak lupa Fu
Giok-su menambahkan.
Ci Siong tojin menyahut sekenanya kemudian meninggalkan
ruangan itu. ***** Malam semakin larut. Tangan Ci Song tojin meremas sobekan
pakaian tadi. Dia duduk sendiri di dalam kamarnya, wajahnya
resah, pikiran kalut.
"Pembunuh itu menggunakan ilmu Bu-tong-liok-kiat. Ketika
Cia Peng terbunuh, Wan Fei-yang berada di bawah
pengawasanku, tidak mungkin dia. Selain Yan-suheng dan
aku sendiri, siapa lagi yang mengerti Bu-tong-liok-kiat"
Apakah makhluk tua yang terkurung di dalam telaga dingin?"
Begitu pikirannya tergerak, mata Ci Siong tojin terbuka lebar-
lebar. Dia langsung berdiri tegak.
467 ***** Di dalam telaga dingin, makhluk tua itu sudah dapat duduk
tegak. Dia sedang mengatur hawa murninya dan berlatih ilmu
silat. Dia sudah dalam keadaan tidak sadar.
Seandainya Ci Siong tojin datang pada saat itu, makhluk tua
pasti tidak akan menyadarinya. Dan berdasarkan pengalaman
Ci Siong tojin yang sudah begitu luas, sekali lihat keadaannya
saja, dia tentu akan merasakan keadaan si makhluk tua yang
tidak seperti biasanya.
Sayangnya, ketika Ci Siong tojin datang ke telaga dingin,
makhluk tua sudah selesai berlatih. Lagi pula dia segera


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari hadirnya seseorang di tempat itu. Tadinya dia
mengira Giok-su yang datang, namun sesaat kemudian dia
tersadar bahwa Fu Giok-su tidak pernah datang pada saat
seperti ini. Suara langkah kaki mereka juga tidak sama.
Makhluk tua mendengar lagi lebih seksama. Wajahnya
berubah berat. Cepat-cepat dia menyembunyikan berbagai
barang yang ada di sampingnya. Barang-barang itu diantarkan
oleh Giok-su. Kebanyakan berupa makanan. Dan untung saja
sekarang hanya tersisa tidak seberapa. Kemudian dia
melonjorkan tubuhnya seperti orang yang tidak berdaya.
Mulutnya mengeluarkan suara rintihan.
Akhirnya dia melihat kedatangan Ci Siong tojin. Untuk sesaat
dia terkejut setengah mati. Kebenciannya terhadap Ci Siong
tojin dan Yan Cong-tian sudah menyusup sampai ke tulang
sumsum. Mengapa Ci Siong tojin tiba-tiba bisa datang ke tempat ini"
468 Apakah rahasia Fu Giok-su sudah terbongkar" Berpikir
demikian, hati makhluk tua itu tegang sekali. Namun ia tidak
memperlihatkannya. Dia sudah terkurung dalam telaga dingin
itu selama dua puluh tahun. Kesabarannya sudah dalam
sekali. Tidak mudah dia terguncang oleh urusan apa pun.
Ci Siong tojin menghentikan langkah kakinya di seberang
telaga. Dengan sinar mata dia memperhatikan makhluk tua
yang meringkuk di atas batu hijau dengan seksama. Alisnya
masih bertaut ketat. Wajahnya menimbulkan perasaan
penasaran, hatinya sedih sekali.
Mata makhluk tua itu terpejam rapat-rapat. Sinar mata
seseorang paling sulit berdusta, oleh karena itu makhluk tua
tersebut tidak berani membuka matanya karena dia yakin
sinar matanya pasti tidak dapat mengelabui Ci Siong tojin.
Ci Siong tojin menatap makhluk tua itu lekat-lekat. Tiba-tiba
tubuhnya melesat dan melayang ke seberang, dia mendarat
tepat di samping makhluk tua tersebut. Dengan pandai
makhluk tua itu terus pura-pura merintih, seakan tidak
menyadari kehadiran Ci Siong tojin. Tubuhnya terus gemetar,
sandiwaranya memang meyakinkan.
Ci Siong tojin sama sekali tidak curiga. Kakinya melangkah
maju satu tindak. Dia mengangkat rantai yang mengikat kaki
tangan makhluk tua. Pada saat itu si makhluk tua mau tidak
mau membuka matanya. Dengan segenap kemampuannya
dia berusaha memperlihatkan sinar penderitaan di matanya.
Tidak sulit baginya melakukan semua itu. Pada dasarnya dia
memang sudah cukup menderita selama ini. Dia juga
memasang wajah ketolol-tololan. Seakan sama sekali tidak
mengenali Ci Siong tojin.
469 Dia berusaha memberontak dengan merangkak, tangannya
mencengkeram ujung baju Ci Siong tojin. Tangan itu
tampaknya tidak mengandung tenaga sama sekali.
Cengkeramannya bergetar. Ci Siong tojin mengibaskan
lengan bajunya. "Plak!", terdengar suara yang mengarah
wajah makhluk tua.
Wajah makhluk tua yang terkena tamparan itu merah seketika.
Tubuhnya terpelanting dan jatuh menabrak di atas batu. Ci
Siong tojin memang sengaja mengujinya. Kibasan lengan
bajunya tidak ringan juga. Bukan saja makhluk tua itu tidak
mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, malah dia
membiarkan wajahnya kena tamparan tanpa membela diri
sedikit pun. Dia juga tidak mengelak. Kibasan lengan baju Ci
Siong tojin cukup membuatnya kesakitan. Dia merintih
semakin keras. Dengan memberontak dia berusaha duduk.
Tampaknya dia demikian lemah.
Ci Siong tojin memperhatikan makhluk tua itu dengan
seksama. Sama sekali tidak ada petunjuk yang membuat
kecurigaannya tergugah. Perasaan khawatir semakin tersirat
di wajah tosu tua itu. Akhirnya dia menutul sepasang kakinya
dan tubuhnya melayang kembali ke seberang. Setelah
menengok sekali lagi, dia berjalan ke arah goa. Makhluk tua
itu masih merintih terus.
Sampai di mulut goa, kembali Ci Siong tojin memalingkan
wajahnya. Kemudian melanjutkan langkahnya dan benar-
benar meninggalkan tempat tersebut. Pada saat itulah, mata
makhluk tua itu menyiratkan kekejian yang sukar dilukiskan.
Tapi dia tidak menegakkan tubuhnya bahkan mulutnya masih
juga mengeluarkan suara rintihan.
470 Sebetulnya Ci Siong tojin belum pergi. Dia menyelinap di
belakang batu dan memperhatikan gerak-gerik si makhluk tua.
Sayangnya jarak antara dirinya dengan makhluk tua itu cukup
jauh. Dia dapat melihat apa yang dilakukan makhluk tua
tersebut, namun dia tidak dapat menangkap sinar matanya.
Sedangkan makhluk tua itu juga selicik ular berbisa. Dia sudah
memikirkan kemungkinan itu.
Kurang lebih sepeminuman teh, Ci Siong tojin baru benar-
benar pergi. Malah dia melangkah dengan hati senang. Juga
karena terlalu tenang, dia menjadi lupa diri. Langkah kakinya
tidak diperingan. Kibasan lengan bajunya ketika melangkah
juga terdengar jelas. Makhluk tua dapat mendengarnya
dengan jelas, bibirnya menyunggingkan senyuman ejekan.
Wajahnya menyiratkan rasa bangga. Orang sepandai dia tentu
tahu mengapa Ci Siong tojin berlalu dengan tenang. Dan tentu
dia juga sudah dapat menerka apa tujuannya.
***** Setelah meninggalkan telaga dingin, dengan tenang Ci Siong
tojin menuju tempat tinggal Yan Cong-tian.
Mendengar cerita Ci Siong tojin, Yan Cong-tian mencak-
mencak. Tinjunya menghantam sebuah meja kecil yang ada di
sampingnya sehingga pecah berantakan. Ketika mendengar
kisah tentang kematian Pek Ciok dan Cia Peng, dari marah
dia malah terkejut. "Apa" Pek Ciok mati di bawah jurus Liong-
gi-kiam-hoat kita" teriaknya.
"Dari lukanya dapat dibuktikan bahwa dia terluka oleh pedang
setebal setengah cun dan menembus sedalam tiga cun.
471 Hanya Liong-gi-kiam-hoat kita yang dapat membuat luka
seperti itu."
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. "Menurut
pendapatku, Hue-hong-bu-liu-kiam (tarian pedang searah
angin) dari Pasan juga dapat membuat luka yang sama,"
sahutnya. "Bekas tusukan pedang menyimpang setengah cun dari
jantung, ditikam dari atas ke bawah. Hanya Liong-gi-kiam-hoat
yang mempunyai jurus seperti itu," kata Ci Siong tojin kukuh
pada pendapatnya.
"Mungkin juga "."
"Taruh kata luka yang terdapat pada tubuh Pek Ciok
kebetulan, maka bagaimana dengan Cia Peng ?""
"Bagaimana dengan kematian Cia Peng?"
"Terhantam oleh telapak tangan. Tulang dan nadinya tidak
putus, namun isi dadanya hancur berantakan. Bekas luka
berwarna ungu kehitam-hitaman. Seperti bekas luka bakar."
"Bukankah itu salah satu ilmu dari Bu-tong-liok-kiat kita, Pik-
lek-ciang?"
"Tepat!" Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya dengan
wajah muram. "Kurang ajar!"
"Sedangkan Bu-tong-liok-kiat, hanya kita suheng-te berdua
472 yang mempelajarinya. Orang lain tidak ada yang menguasai
semuanya sekaligus. Maka ...." Ci Siong tojin merasa berat
meneruskan kata-katanya.
"Apa?" Wajah Yan Cong-tian memperlihatkan
ketidaksabarannya. "Katakan!"
Hati Ci Siong tojin sakit tidak terperikan. Mulutnya mengatup
erat. "Lihat tampangmu yang plintat-plintut. Apakah kau sengaja
ingin membuat aku marah?"
"Siaute tidak berani," sahut Ci Siong tojin memperlihatkan
tawa getir. "Ada satu pertanyaan yang menggelayuti hati
siaute, tapi siaute takut suheng tidak senang mendengarnya "
"Sekarang saja aku sudah tidak senang," kata Yan Cong-tian
kesal. "Cepat katakan saja!"
"Siaute hanya ingin bertanya ... apakah ada orang lain yang
mempelajari ... nya dari suheng?"
Yan Cong-tian mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Apa maksud ucapanmu ini" Apakah kau kira aku tidak tahu
peraturan Bu-tong bahwa orang yang ditentukan oleh
Ciangbunjin baru boleh mempelajari Bu-tong-liok-kiat" Masa
aku sembarangan menurunkan Bu-tong liok-kiat kepada orang
luar?" Yan Cong-tian langsung melonjak bangun. Tangannya
menuding Ci Siong tojin. "Barang siapa yang mengajarkan Bu-
tong-liok-kiat kepada orang luar, maka dia akan mati di bawah
serangan ilmu Bu-tong-liok-kiat pula."
473 Dia tidak sengaja mengucapkan kata-kata itu. Namun Ci Siong
tojin merasa dirinya tertikam langsung. Wajahnya terpana,
bibir bergetar.
"Suheng jangan marah, maksud Siaute hanya ...."
"Hanya apa?" Yan Cong-tian mendelik kepadanya dengan
mata menyorotkan kemarahan.
"Umpamanya, ketika suheng berlatih Bu-tong-liok-kiat, dan
ada orang yang mengintainya secara diam-diam?"
"Apakah kau kira ada orang yang sanggup terlepas dari
pengetahuanku?"
"Sekarang ...."
"Aku rasa sebaiknya kau tidak usah melelahkan diri menanyai
aku yang bukan-bukan. Kalau mau periksa, periksa saja orang
lain yang kemungkinannya lebih besar," kata Yan Cong-tian
ketus. Ci Siong tojin terpaksa menganggukkan kepalanya. "Baik ...."
"Misalnya ...." Sinar mata Yan Cong-tian menjadi tajam
seketika. "Tua bangka yang terkurung dalam telaga dingin ilu."
"Sebelum datang kemari, Siaute sudah menengoknya.
Meskipun belum mati, tapi hanya separo nyawanya yang
tertinggal."
Yan Cong-tian menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak
474 gatal. "Selain tua bangka itu, siapa lagi?"
"Siaute sendiri masih bingung memikirkannya."
"Lalu, buat apa kau masih termangu-mangu di sini" Bukannya
cepat pergi menyelidiki, apakah kau ingin menunggu sampai
keenam muridmu itu mati semuanya?"
Ci Siong tojin menarik napas panjang. "Keenam murid yang
mempelajari Bu-tong-liok-kiat sudah mulai terlihat hasilnya,
sekarang mati dua. Tahun depan kalau Tok-ku Bu-ti menyerbu
Bu-tong-san, entah bagaimana kita harus menghadapinya"
Apakah Bu-tong-pai benar-benar harus hancur di tanganku?"
gumamnya sedih.
Mendengar kata-kata itu, Yan Cong-tian ikut sedih. Hatinya
juga sama tertekannya dengan Ci Siong tojin. Hanya saja dia
tidak mau memperlihatkannya. Dia adalah seorang laki-laki
yang teguh dan tabah. Keduanya saling pandang sekilas,
tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun, mereka sudah
saling memahami.
***** Satu malam telah berlalu. Sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Fu Giok-su berempat tidak tidur sepanjang malam. Mereka
duduk berkeliling di ruangan yang biasa digunakan Pek Ciok
untuk menenangkan diri.
Hari berikutnya mereka juga tidak meninggalkan ruangan
tersebut. Mereka juga tidak masuk ke dalam kamar tidur Pek
Ciok yang terletak di sebelahnya. Terhadap Toa-suhengnya
itu, Kim Ciok dan Giok Ciok menaruh hormat yang tinggi.
475 Tidak demikian dengan Fu Giok-su.
Dia memang harus meminjam kamar Pek Ciok baru dapat
menjalankan rencana yang selanjutnya namun dia juga takut
ada yang memergokinya. Jadi terpaksa untuk sementara dia
berdiam diri. Tentu saja Kim Ciok, Giok Ciok maupun Yo Hong tidak curiga
sama sekali terhadap Fu Giok-su. Meskipun anak muda itu
tampak resah dan selalu mondar-mandir, mereka hanya
menduga Fu Giok-su mencemaskan keselamatannya sendiri
dan sama sekali tidak terpikirkan hal lainnya.
Rasanya lama sekali malam baru tiba. Akhirnya Fu Giok-su
baru tenang kembali. Berbalik Kim Ciok bertiga yang malah
menjadi tegang. Meskipun pintu dan jendela tertutup rapat dan
di luar terdapat berpuluh murid Bu-tong yang berjaga-jaga,
namun kepandaian pembunuh itu demikian tinggi. Bagaimana
hati mereka tidak cemas.
Oleh karena itu, ketika pintu terdorong dari luar, ketiga orang itu, kecuali Fu Giok-su, segera menggenggamnya senjata
masing-masing erat-erat. Yang masuk ternyata Ci Siong tojin.
"Suhu ...." sapa mereka berempat sambil menjura dalam-
dalam. "Kejadian ini membuat kalian menderita," kata Ci Siong tojin
dengan nada pilu.
"Tecu sekalian menjadi tidak tenang karena menguras
perhatian," sahut Fu Giok-su dengan wajah terharu.
476 Sinar mata Ci Siong tojin terpusat pada wajah Fu Giok-su.
"Giok-su, ada beberapa patah kata yang ingin suhu ucapkan
kepadamu. Kemarilah."
Hati Fu Giok-su menjadi tegang. Tapi dia terpaksa mengikuti.
Dia tidak berani membantah kata-kata Ci Siong tojin. Pintu
dirapatkan. "Entah apa yang ingin suhu katakan kepada
Tecu?" tanyanya dengan hati penasaran.
"Kedua suhengmu Pek Ciok dan Cia Peng sudah meninggal.
Sekarang kau seorang yang harus meneruskan kesejahteraan
Bu-tong. Tinggal kau juga yang terpilih menjadi Ciangbunjin."
"Tecu takut tidak bisa menjalankannya dengan baik," mulut Fu
Giok-su berkata demikian, padahal dalam hatinya senang
sekali. "Yang paling memusingkan kepala justru bagaimana
mengatakannya kepada Wan-ji," kata Ci Siong tojin kemudian
menarik napas panjang
Fu Giok-su menundukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa.
"Masalah ini lebih baik kau mengatakannya lebih dini. Biar
pikirannya terbuka. Dan ketika pengangkatan diumumkan,
hatinya tidak akan begitu terpukul."


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tecu mengerti," kepala Fu Giok-su tertunduk semakin
rendah. "Tapi masalah ini juga harus kau pertimbangkan baik-baik." Ci
Siong tojin menarik napas sekali lagi. "Kau harus tegas
mengambil keputusan tentang urusan Wan-ji. Jangan
477 mengucapkan janji-janji muluk yang akan membuat
harapannya berkembang."
Fu Giok-su ikut-ikutan menarik napas dalam-dalam, "Tecu
bisa berhati-hati mengatakannya."
Ci Siong tojin tidak berkata apa-apa lagi. Dia membuka pintu
dan keluar dengan langkah lebar. Fu Giok-su tidak
mengikutinya. Perasaannya benar-benar kacau saat itu.
Matanya mengikuti bayangan tubuh Ci Siong tojin. Akhirnya
dia mengambil keputusan.
Pada saat itu, mereka berbicara di dalam kamar Pek Ciok. Fu
Giok-su memang ingin menjalankan rencananya di kamar itu.
Jadi sebuah kebetulan yang memang sangat diharapkan
olehnya. Dia mengeluarkan sebuah orang-orangan yang
terbuat dari papan dari balik pakaiannya. Kemudian sepotong
bambu sepanjang dua jengkal. Dipasangkan bambu tersebut
pada bagian belakang orang-orangan tadi. Setelah itu
diselipkan ke sisi meja. Dia juga mengeluarkan seutas tali
yang sudah ditaburi bahan peledak pada ujungnya dan
diselipkan pada batang bambu lalu di katnya erat-erat. Ujung
tali satunya ditempelkan pada sebatang lilin dan di kat dengan
seutas benang. Kalau lilin menyala terus sampai batas itu, tali tadi pun akan tersulut dan menyambar batang bambu yang
menempel di papan orang-orangan. Dan akhirnya papan
tersebut akan mencelat membuat bayangan orang-orangan
tadi terlihat dari kertas jendela di luar. Hasilnya akan tampak seperti ada orang yang melintas di dalam kamar dan
menerobos lewat jendela.
Sebelumnya Fu Ciok Su sudah pernah mencobanya berkali-
kali. Dan hasilnya memuaskan. Sampai waktu lilin membakar
478 tali pun sudah diperhitungkan dengan matang. Setelah
merapikan semua keperluannya, Fu Giok-su segera keluar
dari kamar tersebut. Tentu saja dia tidak lupa memasang
wajah seperti orang yang pikirannya sedang kalut. Dan pasti
dia melakukannya dengan sempurna. Pada dasarnya pikiran
anak muda itu memang sedang kalut.
***** Ci Siong tojin yang masuk ke dalam ruangan di mana Kim
Ciok dan dua rekannya berada. Dia tidak lupa berpesan
kepada mereka agar lebih berhati-hati. Terutama dalam
menjaga Fu Giok-su, sebab dia yakin anak muda itulah yang
di ncar oleh sang pembunuh kali ini.
Mereka juga bukan orang bodoh. Tentu saja mereka mengerti
apa maksud Ci Siong tojin mencari Fu Giok-su. Hati mereka
menerima semua keputusan gurunya dengan tulus.
"Suhu tidak perlu khawatir. Dengan adanya kami bertiga yang
mengawasi, pembunuh tersebut pasti tidak akan berhasil kali
ini." "Jangan terlalu berbesar hati," pesan Ci Siong tojin sekali lagi.
Pada saat itu Fu Giok-su juga sudah menyusul tiba. Dia
merapatkan pintu perlahan. Ia kelihatan seperti orang yang
pikirannya sedang melayang-layang. Wajahnya kusut. Melihat
keadaannya, tanpa sadar Ci Siong tojin menggelengkan
kepala. Kemudian dia melangkah keluar dari kamar itu.
Keempat muridnya menjura dalam-dalam mengantar
kepergiannya. Tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah
kata. 479 Setelah itu mereka duduk kembali. Kim Ciok dan Giok Ciok
ingin sekali menghibur hati Fu Giok-su. Namun mereka tidak
tahu bagaimana mengatakannya dan apa pula yang harus
dikatakan. Yo Hong hanya tertawa sumbang.
Fu Giok-su menundukkan kepalanya. Dia tidak mengatakan
apa-apa. Padahal dalam hatinya dia sedang menghitung.
Pada hitungan ketujuh ratus baru dia mendongakkan
kepalanya. "Apakah sam-wi suheng mendengar sesuatu?"
tanyanya tiba-tiba.
"Apakah kau maksud apa yang dikatakan Suhu kepada kami
tadi?" tanya Yo Hong membalikkan pertanyaannya.
"Tidak ada apa-apa. Suhu hanya berpesan kepada kami agar
hati-hati menjagamu," tukas Kim Ciok.
Giok Ciok malah menarik napas panjang. "Sute ... kali ini kau
benar-benar menderita," katanya.
***** Fu Giok-su tertawa getir.
"Aku bertanya apakah sam-wi suheng mendengar suara
langkah kaki yang aneh itu?"
"Oh?" Kim Ciok terpana.
"Tadi siaute seperti mendengar ada orang yang mengerahkan
ginkangnya berjalan di atas genting."
480 "Apa iya?" Kim Ciok segera menjadi panik.
Yo Hong malah tertawa lebar. "Mungkin hanya seekor kucing,"
tukasnya. Giok Giok ikut-ikutan tersenyum, "Mana mungkin si pembunuh
mempunyai nyali sebesar itu?"
Belum lagi Fu Giok-su menyahut, di kamar Pek Ciok terlihat
bayangan orang melintas. Kebetulan wajah Kim Ciok
menghadap ke arah situ. Dia terkejut sekali dan langsung
melonjak berdiri.
"Hati-hati!" kata Fu Ciok Su. Senjatanya dikeluarkan, tubuhnya
melesat bagai anak panah.
Bayangan hitam itu masih terlihat jelas di jendela.
"Brak!", jendela itu hancur berantakan. Fu Giok-su masuk
dengan menerobos jendela. Senjatanya dikibaskan. Lilin
segera padam. Tangan kirinya dengan sigap memasukkan
peralatan tersebut ke selipan ikat pinggangnya bagian dalam.
Tangan kanannya mengeluarkan beberapa butir benda
berwarna hitam.
"Bum! Bum!", dia melemparkan butiran benda hitam itu ke atas
lantai. Asap langsung memenuhi ruangan tersebut. Senjata di
tangan kanannya dihantam ke atas meja. Kaki kanannya
menyepak. Meja dan kursi terguling dan menimbulkan suara
bising. Teko teh yang terbuat dari keramik juga pecah
berantakan. Terdengar dari luar, suara-suara itu seperti Fu
Giok-su sedang bertarung dengan seseorang.
481 Kim Ciok bertiga takut terjadi sesuatu atas diri Fu Giok-su.
Mereka menghambur mendekati. Kim Ciok menerobos lewat
jendela. Giok Ciok menendang pintu depan sehingga roboh
dan masuk lewat pintu tersebut. Mereka semua menerjang
masuk. Namun begitu kakinya menginjak ke dalam, kamar
tersebut penuh dengan asap hitam.
Di ujung sana Fu Giok-su menggunakan asap hitam itu untuk
mengelabui pandangan pada suhengnya. Dia segera
menghantamkan senjatanya ke bahunya sendiri. Dia melonjak
ke atas. Mulutnya mengeluarkan suara jeritan dan dalam
waktu yang bersamaan, tangannya menghantam atap genting
dan melayang turun kembali.
Asap hitam mulai buyar. Tubuh Fu Giok-su terlihat sedang
bergulingan di tanah. Dengan cepat dia membuang
senjatanya ke sudut ruangan dan sekali lagi mengeluarkan
suara rintihan. Kim Ciok, Giok Ciok dan Yo Hong tentu saja
tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka mendengarkan
suara-suara itu dengan hati tercekam. Kim Ciok mengibaskan
lengan bajunya dengan harapan dapat mengipas asap
tersebut agar buyar dan matanya dapat melihat dengan jelas.
"Fu Giok-su .... Fu-sute!" teriaknya memanggil.
"Di sini!" sahut Fu Giok-su dengan susah payah.
Kim Ciok berlari ke arah asal suara. Pada saat itu juga, para
penjaga yang berada di luar berhamburan mendatangi. Asap
buyar keluar dari ruangan tersebut. Penglihatan Giok Ciok dan
Yo Hong mulai jelas.
"Cepat buka semua jendela!" seru Giok Ciok memberi
482 perintah. Para murid Bu-tong pai segera menurut dan membuka setiap
jendela yang ada di kamar itu.
Akhirnya asap benar-benar membuyar bersih. Kim Ciok dan
Giok Ciok memapah Fu Giok-su dari kiri kanan.
Dibaringkannya tubuh anak muda itu di atas tempat tidur. Yo
Hong segera membawakan obat Kim-cang-yok. Mereka
membungkus lengan atas Fu Giok-su yang terluka. Tepat
pada saat itu, Ci Siong tojin beserta Gi-song dan Cang-song
yang mendengar berita itu juga sudah mendatangi.
Lun Wan-ji juga menyusul di belakang. Melihat Fu Giok-su
yang terluka, dia segera menyibakkan kerumunan para murid
Bu-tong dan menghampiri sang kekasih. "Fu-toako,
bagaimana keadaan lukamu?" tanyanya khawatir.
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa. Hanya terkena beberapa buah senjata
rahasia dan terluka pada bagian bahu," sahutnya dengan
suara lirih. "Melihat luka di bahu Fu-sute, tampaknya tertusuk benda
tajam. Jangan-jangan orang yang melukai Fu-sute
menggunakan senjata Sou-hou-cang," kata Kim Ciok
memberikan pendapatnya.
"Tidak salah. Malah senjata yang digunakan persis seperti
yang biasa aku pakai. Untung sebelumnya aku sudah bersiap
diri. Sehingga bagian leher tidak terserang olehnya," sahut Fu
Giok-su. 483 Ci Siong tojin mendengarkan percakapan mereka dengan
seksama. Tiba-tiba dia bertanya, "Bagaimana raut wajah
orang itu" Apakah kau mengenalinya?"
"Dia mengenakan pakaian hitam, wajahnya terselubung. Yang
terlihat hanya sepasang matanya saja," sahut Fu Giok-su
setelah merenung sejenak.
"Kami hanya melihat bayangannya dari kertas jendela," tukas
Kim Ciok. "Pada saat itu Fu-sute langsung menghambur dan menerobos
lewat jendela."
"Kalian sebetulnya harus memberikan bantuan kepada Fu-
sute," kata Ci Siong tojin.
Jilid 11 "Sam wi suheng ada masuk ke dalam kamar saat itu," sahut
Fu Giok Su buru-buru.
"Sayang sekali asap memenuhi kamar. Kami takut kesalahan
tangan dan melukai Fu sute, terpaksa kami berhati-hati," kata
Kim Ciok. "Dari mana datangnya asap itu?" tanya Ci Siong Tojin.
"Serangannya yang pertama kali gagal. Orang itu segera
mengeluarkan beberapa butir benda berwarna hitam dan
melemparkannya ke tanah. Pada saat itu juga asap tebal
484 memenuhi ruangan," sahut Fu Giok Su menerangkan.
"Kemudian?"
"Orang itu mengeluarkan tujuh macam senjata rahasia.
Dilemparkannya kepada Teecu lalu melesat pergi melalui atap
genting." "Tujuh macam senjata rahasia?"
"Tidak diragukan lagi, ilmu senjata rahasia Bu Tong Pai pula
yang digunakannya." Keringat dingin membasahi Fu Giok Su.
"Tetapi" tetapi?"
"Tetapi apa?"
"Senjata rahasia itu dibubuhi racun!" seru Fu Giok Su.
Tubuhnya menggeliat satu kali, kemudian dia jatuh tidak
sadarkan diri. Ci Siong Tojin terkejut. Dia membuka pakaian Fu Giok Su.
Bahu anak muda itu masih mengalirkan darah. Warnanya
sudah berubah kehitaman. Ci Siong Tojin cepat-cepat
membuka kain pembungkus luka Fu Giok Su. Selain luka di
bahu, bintik-bintik kecil bekas senjata rahasia pada lengannya
sudah membengkak. Warnanya malah kehijauan.
Kim Ciok melongok sekilas. Wajahnya berubah hebat.
"Warnanya tidak demikian ketika kami membungkus lukanya."
Alis Ci Siong Tojin bertaut erat.
485 "Racun yang dibubuhkan di atas senjata rahasia itu sungguh
hebat sekali," gumamnya lirih.
Lun Wan Ji panik sekali.
"Susiok, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya
gugup. "Kami sama sekali tidak mengerti tentang racun. Satu-satunya
jalan hanya dapat mengerahkan lweekang dan mendesak
keluar racun tersebut," sahut Ci Siong Tojin.
"Aku saja".".
"Lweekangmu belum memadai," kata Ci Siong Tojin sambil
menggelengkan kepalanya.
"Susiok?"
"Luka dalamku belum sembuh. Meskipun aku berniat
menolong juga tidak bisa." Ci Siong Tojin tertawa getir.
Lun Wan Ji terpaku di tempat. Air matanya mengalir dengan
deras. "Suhu, kalau begitu Fu sute kemungkinkan tidak
tertolong lagi?" kata Kim Ciok tanpa sadar.
Ci Siong Tojin segera mengambil keputusan. "Bawa dia ke
belakang gunung tempat Yan supek," katanya.
Bibir Lun Wan Ji segera mengembangkan senyuman.
"Mengapa aku melupakan suhu?" katanya kepada diri sendiri.
Hati Ci Siong Tojin semakin tertekan melihat keadaan gadis
486 itu. Kim Ciok dan Giok Ciok segera memapah Fu Giok Su
keluar dari kemar. Tentu saja Lun Wan Ji tidak mau
ketinggalan. Ci Siong Tojin tidak mengikuti mereka. Dia berjalan mondar-
mandir di dalam kamar Pek Ciok, Gi Song dan Cang Song
memeriksa seluruh kamar tersebut. Cang Song yang bertugas
sebagai kepala penjaga dan keamanan Bu Tong masih
merasa penasaran. Dia terus menggerutu panjang lebar.
"Tidak mungkin orang itu bisa lolos dari pengawasanku. Aku
sudah menyuruh berpuluh-puluh orang menjaga dengan
ketat." Gi Song tertawa dingin. "Tapi kenyataannya sekarang
terpapar di depan mata," sindirnya tajam.
"Kalau begitu ginkangnya pasti seperti orang yang bisa
menguap di udara."


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi dia tidak berani menerobos keluar kamar. Hal ini
membuktikan bahwa pembunuh itu menyadari bahwa dirinya
masih bukan tandingan keempat orang murid Ciang bun
suheng." Ci Siong Tojin seperti tidak mendengar. Dia terus mondar-
mandir saja. Seorang murid Bu Tong menghampiri.
"Suhu, para murid di kaki gunung membawa berita. Mereka
tidak menemukan sedikit jejak pun," lapornya.
"Suruh mereka mengawasi lebih ketat lagi. Jangan
memencarkan perhatian," perintah Ci Siong tojin.
487 Murid itu mengundurkan diri. Yo Hong menyusul masuk ke
dalam kamar untuk menyampaikan laporan.
"Setelah peristiwa itu terjadi, para murid yang ada di luar tidak ada seorang pun yang melihat ada orang meninggalkan
tempat ini."
"Hm?" Ci Siong to jin menjawab datar.
Tiba-tiba Cang Song menunjuk ke langit-langit yang pecah. "Di
atap genting itu ada bekas darah," katanya.
Ci Siong segera keluar. Ternyata di pinggir batang kayu yang
mana gentingnya pecah ada beberapa titik noda darah.
"Itulah buktinya FU Giok Su belum berpengalaman dalam
menghadapi musuh," tukas Gi song.
"Apa maksud ucapanmu?" tanya Cang song.
"Sebetulnya dia sudah berhasil melukai musuh. Kalau tidak,
mana mungkin kayu itu terdapat noda darah," sahut Gi song
bangga. Hati Ci Siong to jin tergerak mendengar ucapan itu.
"Kemungkinan asap sangat tebal waktu itu sehingga dia tidak
dapat melihat dengan jelas," sahut Cang song.
Suatu ingatan melintas di benak Ci Siong to jin. Dia
memalingkan wajahnya kepada Yo Hong dan bertanya.
488 "Sebelum kejadian itu, apakah kalian mendengar sesuatu?"
tanyanya. "Fu sute seperti mendengar ada orang yang berjalan di atas
genting. Kami semua tidak merasa apa-apa. Malah kami
sempat bergurau dan mengatakan bahwa kemungkinan hanya
seekor kucing," sahut Yo Hong.
"Oh?" wajah Ci Siong to jin semakin muram.
"Pembunuh itu bukan hanya memiliki ginkang yang tinggi, tapi
dia juga sangat teliti," kata Cang song tiba-tiba.
"Darimana kau mendapat kesimpulan seperti itu?" tanya Ci
Siong to jin. "Aku sudah menanyai para penjaga. Setelah kejadian itu,
mereka baru membuka jendela. Hal itu membuktikan bahwa
pembunuh itu pasti masuk melalui salah satu jendela dan
menutupnya kembali."
"Sebetulnya dia tidak perlu melakukan hal yang demikian
merepotkan," tukas Gi song.
"Kau mana tahu" Dengan berbuat demikian, asap itu tidak
menyebar kemana-mana," kata Cang song tidak mau kalah.
Gi song menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Kalau begitu, sang pembunuh memang benar teliti.
Sebelumnya dia sudah merencanakan semua dengan rapi.
Sejak semula dia sudah tahu serangannya akan gagal dan
bagaimana melarikan diri tanpa ketahuan orang lain."
489 "Kau salah lagi. Maksudku, lebih baik dia membuka jendela
dan begitu asap memenuhi ruangan, dia juga dapat
menerobos lewat jendela," kata Cang song.
Gi song tertawa lebar. "Ginkangnya toh demikian tinggi, buat
apa dia mengkhawatirkan hal itu?"
Mereka berdua saling berdebat. Wajah Ci Siong to jin tidak
menampilkan perasaan apa-apa. Padahal setiap patah kata
kedua orang itu terpateri dalam hatinya. Sekarang yang
menggelayuti pikirannya juga merupakan hal yang
diperdebatkan Gi song dan Cang song.
*** Darah dari hitam berubah ungu. Kemudian dari ungu menjadi
merah segar. Senjata rahasia dan racunnya sudah terdesak
keluar. Fu Giok Su masih belum sadar dari pingsannya. Lun
Wan Ji memegangi bahunya. Wajah gadis itu ketakutan juga
gelisah. Senjata rahasia yang berhasil didesak keluar tidak berbeda
dengan senjata rahasia umumnya. Tidak ada tanda istimewa
yang dapat dijadikan petunjuk. Sebelum menjalankan rencana
ini, Fu Giok Su sudah menyiapkan segalanya dengan teliti.
Dia menjalankan rencana yang satu ini, tujuannya untuk
menghapus kecurigaan orang pada dirinya. Pek Ciok dan Cia
Peng sudah terbunuh. Seandainya pada dirinya sendiri tidak
terjadi apa-apa, orang-orang pasti akan merasa aneh. Dan hal
490 ini pasti akan mempengaruhi gerakannya di masa yang akan
datang. Sekarang ini dia benar-benar jatuh pingsan. Yan Cong Tian
menarik kembali telapak tangannya. Keringat sebesar-besar
kacang kedelai menetes deras dari keningnya. Meskipun
hawa murninya kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak
ada, namun untuk menyembuhkan luka dan mendesak racun
keluar saja tidak akan menyulitkan dirinya. Racun yang
terdesak keluar dari tubuh Fu Giok Su hanya sedikit lebih
keras dari racun biasa.
Lun Wan Ji sibuk memborehkan obat Kim cang yok pada luka
Fu Gios Su kemudian dia membungkus dengan teliti. Pada
saat itulah Ci Siong to jin berjalan masuk. Yan Cong Tian tidak memperdulikan. Matanya setengah terpejam. Tampangnya
letih sekali. Ci Siong to jin segera menghampiri.
"Suheng, bagaimana perasaanmu?"
Yan Cong Tian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa," sahutnya datar.
Mata Ci Siong to jin beralih kepada Fu Giok Su. Alisnya
terangkat ke atas.
"Susiok, Giok Su sudah tidak apa-apa lagi," Wan Ji cepat-
cepat memberitahukan.
Ci Siong to jin hanya tertawa datar. Akhirnya Fu Giok Su
tersadar juga. Tampangnya masih belum segar. Matanya
terbuka dan dipaksakan memperhatikan sekelilingnya.
Kemudian dia menatap ke arah Ci Siong to jin.
491 "Suhu, teecu sudah menyusahkan kau orang tua," katanya.
"Suhuku yang mendesak racunmu keluar," tukas Lun Wan Ji
menjelaskan. Yan Cong Tian tertawa lebar. "Bocah cilik, siapa pun apa
bedanya?" "Giok Su, ketika pembunuh itu melarikan diri lewat atap
genteng, apakah kau sempat mengejarnya?" tanya Ci Siong to
jin tiba-tiba. Fu Giok SU menggelengkan kepalanya dengan lemah. Lun
Wan Ji segera membantu Fu Giok Su mengenakan kembali
pakaiannya. Gi bagian pundak pakaian itu terdapat beberapa
helai sarang laba-laba. Ci Siong to jin mengambil sarang laba-
laba dengan kukunya. Tampangnya kusut. Mulutnya
menggumam tidak jelas.
Yan Cong Tian membuka matanya perlahan-lahan.
Tangannya dikibaskan. "Kalian sudah boleh membawanya
keluar," katanya.
"Kim Ciok, Giok Ciok," panggil Ci Siong to jin.
*** Kim Ciok dan Giok Ciok menggotong Fu Giok Su keluar dari
492 kamar. Lun Wan Ji cepat-cepat memohon diri kepada Yan
Cong Tian dan Ci Siong to jin. Yan Cong Tian hanya tertawa.
Lun Wan Ji malah tersipu-sipu.
Menunggu mereka semua meninggalkan tempat itu, Ci Siong
to jin baru duduk di sudut kamar.
"Suheng?"
"Ilmu aliran mana yang dipelajari Fu Giok Su sebelum menjadi
murid Bu Tong?" tanya Yan Cong Tian menukas perkataan Ci
Siong to jin. Ci Siong to jin terpana mendengar pertanyaan itu. "Kalau tidak
salah, dia mempelajarinya dari para pengawal yang bekerja di
rumahnya."
"Tidak heran." Wajah Yan Cong Tian berseri-seri. "Kau
memang tidak salah menilai dan menerimanya sebagai murid.
"Oh?"
"Saya ingat anak ini sangat baik. Otaknya juga sangat cerdas.
Pernah aku membahas tentang ilmu silat dengannya. Setiap
kali aku mengajukan pertanyaan, dia dapat menjawabnya
dengan tepat," Yan Cong Tian tertawa lebar. "Rasanya para
pengawal yang bekerja di rumahnya juga bukan tukang pukul
kasar seperti umumnya. Ilmu mereka pasti cukup tinggi."
"Bagaimana suheng bisa tahu?"
"Tadi aku mengerahkan lweekang untuk mendesak racun
keluar dari tubuhnya. Aku merasa adanya segulungan arus
493 kuat mengalir dalam tubuhnya. Hal ini membuktikan bahwa
anak ini pernah mendapat ajaran lweekang tingkat tinggi.
Sayangnya dia tidak tahu cara menggunakannya. Kalau tidak,
dengan mengandalkan tenaga dalamnya sendiri, tidak perlu
mendapat bantuan orang lain, dia dapat mendesak keluar
racun dalam tubuhnya sendiri," kata Yan Cong Tian.
Ci Siong to jin tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Partai Bu Tong pada generasi mendatang mungkin harus
mengandalkan anak ini."
Ci Siong to jin hanya tertawa datar. Terhadap Fu Giok Su,
kecurigaannya sudah mulai timbul.
*** Di antara keenam murid Ci Siong to jin sudah ada dua yang
meninggal dan satu orang terluka. Hati setiap murid Bu Tong
Pai terasa tertekan. Demikian juga Gi song dan Cang song.
Apalagi kalau mengingat mereka adalah generasi "Song" yang
mempunyai kedudukan cukup tinggi dalam partai it,
kemungkinan mereka juga bisa menjadi sasaran si pembunuh.
Oleh karena itu hati mereka tercekam ketakutan. Hanya
keangkuhan mereka yang melarang mereka
memperlihatkannya.
Ketika mereka masih memperdebatkan masalah itu, Lun Wan
Ji, Kim Ciok, Giok Ciok beserta beberapa murid Bu Tong
lainnya membawa Fu Giok Su ke kamar itu. Mereka
mendudukkan anak muda itu di atas kursi. Wajah Gi song dan
494 Cang song berubah hebat.
"Apa-apaan ini?"
"Fu suheng sudah terkena senjata rahasia beracun si
pembunuh. Susiok mengatakan para suheng tidak dapat
melindunginya. Oleh karena itu, susiok memerintahkan kami
membawanya kemari dan meminta kedua susiok
melindunginya baik-baik," kata Lun Wan Ji.
Gi song dan Cang song terpana mendengar keterangan itu.
"Apa" Minta kami melindunginya?" tanya Cang song tanpa
sadar. Gi song juga terkejut sekali. "Seandainya pembunuh itu tidak
mau melepaskannya begitu saja, bukankah kami yang akan
kerepotan?"
"Dengan mengandalkan ilmu yang dimiliki susiok berdua,
seharusnya tidak menjadi masalah," tukas Kim Ciok.
Gi song dan Cang song mengerling ke arah Kim Ciok sekilas.
Mereka tidak mengatakan apa-apa.
"Aku akan mengambilkan selimut," kata Lun Wan Ji sambil
mengundurkan diri.
Kim Ciok dan Giok Ciok juga memohon diri. Cang song
langsung menarik tangan Gi song ke sudut kamar.
"Kali ini kalau aku tidak mati terbunuh, paling tidak bisa mati ketakutan," bisiknya.
495 "Mendingan kalau pembunuh itu tidak datang lagi. Kalau tidak
jiwa kita berdua kemungkinan sulit dipertahankan lebih lama,"
sahut Gi song sambil tertawa getir.
"Coba kau katakan, apa yang harus kita lakukan untuk
menghadapinya?"
"Bagaimana lagi" Kita toh tidak mungkin melaporkannya
kepada Ci Siong bahwa kita takut mati dan meminta mereka
membawa bocah ini kembali?" sahut Gi song.
Cang song menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Memang
tidak mungkin. Apabila kita berbuat demikian, kelak kita pasti
tidak punya muka lagi untuk menetap di Bu Tong san."
"Bagus kalau kau mengerti," Gi song membusungkan dadanya
dengan setengah dipaksakan. "Satu-satunya harapan kita
ialah pembunuh itu tidak akan kembali lagi setelah berhasil
melukai bocah ini."
"Memang hanya itu yang dapat kita harapkan."
*** Lun Wan Ji sudah mengambil selimut dan meninggalkan
kamar Fu Giok Su. Tidak lama kemudian ada seseorang lagi
yang masuk ke dalam kamar tersebut. Orang itu adalah Ci
Siong to jin. Pintu kamar itu ditutup rapat-rapat. Ci Siong to jin mulai
496 mencari-cari di dalam kamar. Dia tidak berhasil menemukan
tempat yang mencurigakan, juga tidak menemukan barang
apa pun yang mencurigakan. Laci yang tadinya digunakan
untuk menyimpan bahan peledak sekarang sudah kosong
melompong. *** Bahan peledak sudah berada di tangan si makhluk tua. Dia
memasukkan bahan peledaki itu ke dalam beberapa batang
bambu. Bahan peledak itu memang tidak cukup untuk
meledakkan seluruh Bu Tong san, tapi cukup untuk
meledakkan batu-batu yang menyambung rantai pengikat kaki
dan tangan. Kalau batu-batu itu sudah meledak, maka makhluk tua itu
sudah bisa bebas merdeka dan melarikan diri dari telaga
dingin tempat dia terkurung sekian lama. Urat nadi di kakinya
sudah tersambung kembali. Keadannya sudah seperti biasa.
Akibat yang akan ditimbulkan orang ini setelah berhasil
melarikan diri, ngeri untuk dibayangkan.
Makhluk tua itu sendiri bagaikan segentong bahan peledak
yang sanggup menghancurkan seluruh Bu Tong san. Bila
manakah peledak yang satu ini akan memperlihatkan
reaksinya "
*** 497

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya Fu Giok Su bisa juga menegakkan tubuhnya dan
duduk sendiri. Padahal dia berharap pingsan terus. Paling
tidak, dia tidak perlu menjawab berbagai pertanyaan yang
aneh-aneh dari Gi song dan Cang song.
Sebetulnya kedua orang itu hanya membanggakan pendapat
mereka masing-masing. Tapi semakin lama mendengarkan,
hati Fu Giok Su semakin terkesiap. Tiba-tiba dia merasa
petunjuk yang ditinggalkan olehnya terlalu banyak.
Melihat Fu Giok Su tidak memberikan reaksi apa-apa, Gi song
malah mendesaknya. "Bagaimana pendapatmu tentang
dugaan kami?"
"Masuk akal," kata Fu Giok Su terpaksa mengembangkan
seulas senyuman.
"Tapi suhumu malah menganggap kata-kata emas kami
sebagai omong kosong."
Fu Giok Su mengerutkan alisnya. "Manusia yang sepintar
kami, sebetulnya tidak banyak di dunia ini."
"Tidak salah," Fu Giok Su langsung memuji setinggi langit.
"Ketika teecu percama kali melihat kedua susiok, teecu sudah
tahu bahwa kalian termasuk manusia yang luar biasa. Meski
urusan apapun, kedua susiok dapat meliahtnya dari sudut
yang lain. Berbeda dengan orang lain."
Gi song dan Cang song senang sekali. Cang song malah
menghampiri dan menepuk-nepuk bahu Fu Giok Su.
"Pandanganmu memang hebat. Masa depanmu pasti cerah,"
katanya. 498 Dalam hati Fu Giok Su tertawa dingin.
*** Setiap larut malam, Wan Fei Yang melatih Bu Tong liok kiat
yang diajarkan Ci Siong to jin kepadanya. Sampai saat ini, dia
masih tidak tahu asal-usul manusia brepakaian hitam itu dan
dia juga tidak tahu bahwa Ci Siong to jin adalah ayah
kandungnya. Malam ini, manusia berpakaian hitam yang merupakan
samaran Ci Siong to jin berdri di sampingnya kemudian
berjalan mondar-mandir. Hatinya tampak tidak tenang. Wan
Fei Yang sudah selesai berlatih ilmu pedang.
"Tidak tersangka Bu Tong pai kalian banyak sekali
cobaannya," kata manusia berpakaian hitam itu tiba-tiba.
"Masalah yang satu belum selesai, datang lagi masalah
lainnya." "Ilmu pembunuh itu sangat tinggi. Bahkan Pek Ciok, Cia Peng
dan Fu Giok Su bukan tandingannya," sahut Wan Fei Yang.
Ci Siong to jin menganggukkan kepalanya. "Tidak sulit
dibayangkan."
Sinar mata Wan Fei Yang mengerling. "Oh ya, Suhu"
Dengan kepandaianmu yang demikian tinggi, mengapa kau
tidak turun sekali saja guna membantu Bu Tong pai?"
tanyanya. 499 "Itu urusan Bu Tong sendiri, biar orang-orang Bu Tong pai
yang membereskannya. Misalnya engkau, sudah waktunya
kau menunjukkan sedikit jasamu kepada mereka," sahut
manusia berpakaian hitam.
"Tapi aku?"
"Menurut dugaanku, selain tinggi ilmu yang dimiliki pembunuh
itu, dia juga paham sekali seluk beluk Bu Tong pai.
Kemungkinan besar dia bersembunyi di antara murid Bu Tong
sendiri," kata manusia bepakaian hitam selanjutnya.
"Apa?" Wan Fei Yang terkejut sekali.
"Di Bu Tong san kau hanya seorang pelayan. Sedangkan kau
tidak pernah membocorkan bahwa kau mengerti ilmu silat.
Pembunuh itu tentu tidak akan menaruh perhatian."
Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya.
"Yang menjadi sasaran pembunuh ialah murid yang
mempelajari Bu Tong liok kiat. Fu Giok Su hanya terluka saja.
Kemungkinan besar pembunuh itu tidak akan melepaskannya
begitu saja."
"Tapi sekarang Gi song dan Cang song kedua tianglo?"
"Kedua tianglo itu, kau sendiri pasti mengerti. Mereka hanya
pandai mengumbar gertakan, sama sekali tidak ada
kegunaannya."
"Suhu, benar-benar?"
500 "Kecuali engkau, siapa lagi yang mempunyai kemampuan
setinggi itu untuk membela Bu Tong pai" Apakah kau takut?"
"Tidak!" sahut Wan Fei Yang sambil membusungkan dadanya.
*** Oleh karena itu, pada hari kedua, pagi-pagi sekali Wan Fei
Yang sudah muncul di luar kamar Gi song dan Cang song. Dia
membawa seteko air yang baru mendidih. Sama sekali tidak
mencari alasan yang lain. Dia mengetuk pintu lalu langsung
masuk ke dalam.
Fu Giok Su yang melihat kedatangannya, tanpa sadar
tertegun. Hatinya agak tegang. Tapi dari luar dia tidak
memperlihatkan perasaan apa-apa. Sembari menyeduh air
teh, Wan Fei Yang menyapanya. "Fu toako, bagaimana
lukamu?" "Sudah lumayan," Fu Giok Su menyahut datar. Dia memang
tidak ingin banyak bicara.
Kebetulan Lun Wan Ji mendatangi. Tangannya membawa
sangkar burung yang mereka beli di kota tempo hari. Kedua
ekor burung yang ada di dalam sarang itu berloncat-loncatan.
Kadangkala terdengar suara kcauan mereka. Enak juga
kedengarannya. Lun Wan Ji duduk di samping tempat tidur, dia meletakkan
sangkar burung di atas meja yang terletak di sampingnya.
501 "Suheng, untuk apa kau meminta aku membawakan sangkar
burung ini?" tanyanya.
Fu Giok Su tertawa lebar.
"Kalau kau sedang tidak ada, biar mereka yang menemani
aku. Lebih enak mendengar kicauan mereka daripada ocehan
kedua orang susiok," katanya.
Lun Wan Ji tertawa terkekeh-kekeh mendengar keterangan Fu
Giok Su. Wan Fei Yang juga ikut tertawa. Tepat pada saat itu,
Gi song dan Cang song kembali ke kamar. Melihat ketiga
orang itu tertawa dengan gembira, hatinya merasa heran.
"Apa yang kalian tertawakan?"
"Tidak apa-apa," sahut Lun Wan Ji cepat-cepat mendekap
mulutnya sendiri.
Wan Fei Yang segera maju menghampiri dan menjura dalam-
dalam. "Untuk apa kau ke sini" Apakah tempat ini juga pantas
didatangi olehmu?" bentak Gi song dengan wajah garang.
"Dia hanya menyeduh the untuk kita," sahut Fu Giok Su.
Wan Fei Yang cepat-cepat menganggukan kepalanya. Dia
mengangkat teko the yang masih dipegang di tangannya.
"Sudah selesai belum?" bentak Cang song tidak mau kalah.
502 "Sudah" sudah," sahut Wan Fei Yang gugup.
"Mengapa masih diam di sini " epat pergi!" kata Cang song
sambil mengibaskan lengan bajunya.
Wan Fei Yang cepat-cepat mengundurkan diri.
"Sam susiok, mengapa kau begitu galak" Aku sampai
ketakutan," kata Lun Wan Ji dengan nada kurang senang.
Cang song mengelus jenggotnya yang seperti jenggot
kambing. "Ini bukan galak, tapi wibawa," sahutnya tenang.
*** Wan Fei Yang tidak dapat digertak oleh wibawa Cang song.
Setelah pergi tidak lama, dia kembali lagi. Dalam sehari
penuh, dengan alasan menyeduh the saja dia sudah bolak-
balik belasan kali.
Bukan hanya Fu Giok Su yang merasa enggan, Gi song dan
Cang song juga merasa curiga. Tapi mereka tidak tahu apa
yang dipikirkan oleh Wan Fei Yang.
"Apakah Ci Siong sudah curiga kepadaku
sehingga mengutus Wan Fei Yang mengawasi
aku?" pikir Fu Giok Su dalam hati.
Setelah Gi song dan Cang song masuk ke
503 dalam kamar tidur yang berhubungan dengan
kamar yang ditinggali Fu Giok Su. Anak muda
itu melepaskan diri dari Lun Wan Ji. Setelah
itu cepat-cepat dia mengeluarkan secarik kertas kecil berisi
tulisan dari balik ikat pinggangnya. Belum sempat dia
menyematkan kertas kecil tadi ke kaki burung di dalam
sangkar telinganya mendengar suara derit pintu ter
buka. Cang song keluar dari kamar sebelah. Fu
Giok Su cepat-cepat menyelipkan surat kecil
tadi di dalam genggaman tangannya.
Cang song melirik Fu Giok Su sekilas. Dia menjadi heran
sekali. "Untuk apa kau mengeluarkan burung itu?" tanyanya.
"Aku sedang mengajaknya bermain," sahut Fu Giok Su cepat.
Cang song menggelengkan kepalanya. "Sudah begini besar,
masih seperti anak-anak saja. Lihat kami, main catur sambil
mengasah otak," katanya. h
Gi song mendorong pintu dan menyusul keluar dari kamar.
"Siapa yang main catur mengasah otak?"
"Tentu saja aku. Kau kira siapa" Giok Su" Dia hanya mengerti mengajak burung bermain-main," sahut Cang song bangga.
Gi song mengerlingkan matanya ke arah sangkar burung.
"Burung seperti ini mana bisa diajak main" Di mana kau
membelinya?"
"Dekat kota di kaki gunung," sahut Fu Giok Su.
504 "Berapa harganya?"
"Satu uang perak saja."
"Satu uang perak" Mana ada harganya?" Gi song
menggelengkan kepalanya. "Kicauan bu rung seperli ini tidak enak didengar. Warnanya juga tidak bagus. Dihadiahkan pun
aku tidak sudi."
Fu Giok Su tertawa getir.
"Sebelum membelinya, kau seharusnya me nanyakan dahulu
kepadaku," kata Gi song kembali.
Belum lagi Fu Giok Su menyahut, Cang song sudah
menukas.... "Apakah kau paham soal burung?"
"Mengapa tidak?"
"Aku belum pernah mendengar kau mengungkit masalah ini."
"Kau kira aku manusia macam apa" Punya kemampuan
sedikit langsung gembar-gembor! "Kalau begitu, coba kau
katakan, apa nama burung ini?"
"Kalau tidak salah burung beo," sahut song sambil
mengerutkan keningnya.
"Kalau tidak salah?" Cang song tertawa di ngin. "Padahal kau sendiri tidak berani memastikan."
"Kalau bukan beo, apa?" "Burung semprit." Cang song tertawa 505
dingin "Jangan membual di hadapanku. Ketika aku
memelihara burung, kau masih belum bisa jalan."
"Semprit?" Gi song tertawa terbahak-bahak. "Baru pertama kali ini aku mendengar ada burung yang namanya seperti itu.
Kau kapan pernah memelihara burung. Baik, coba kau
katakan apa kekurangan burung sejenis ini"! Cang song
terpana. Padahal dia hanya asal buka mulut saja karena dia
melihat Gi song juga bukan benar-benar paham tentang
burung. "Tidak bisa menjawab?" sindir Gi song. Cang song
mendengus dingin. "Apa kekurangan burung ini" Burung jenis ini tidak bisa terbang!" sahutnya sinis.
Gi song tertawa terbahak-bahak kembali. "Mana ada burung
yang tidak bisa terbang?"
"Kalau kau tidak percaya, coba saja," sahut Cang song kukuh pada pendiriannya.
"Baik," kata Gi song. Dia langsung mengham-piri sangkar burung tersebut.
Fu Giok Su panik sekali. Cepat-cepat dia menutupi sangkar
burungnya. "Burung ini sudah aku hadiahkan kepada sumoay. Kalau
sampai terbang, bagaimana aku harus menjelaskan
kepadanya?" katanya gu gup.
"Kalau memang milik Wan Ji. Ya...." sahut Cang song.
506 "Kau takut bohongmu ketahuan bukan?" sindir Gi song.
Cang song mana mau mengalah. "Aku hanya takut Wan Ji
akan menyalahkan aku sebagai orang tua yang tidak tahu
diri!" teriaknya sambil mendelik kepada Gi song.
"Kan mudah saja" Kalau sudah terbang, kita belikan lagi,"
sahut Gi song. "Baik," sahut Cang song mengeraskan hati.
"Jangan... di toko burung itu hanya tinggal dua ekor ini saja,"
kata Fu Giok Su gugup. "Tidak usah khawatir. Tutup saja pintu dari jendela, kan beres?" sahut Gi song.
Tidak menunggu jawaban dari Fu Giok Su dia langsung
berjalan menuju setiap jendela dan menutupnya rapat-rapat.
Cang song tidak bergerak. Matanya mendelik. Dia tidak tahu
harus bagaimana. Setelah menutupi semua jen dela, Gi song
segera menghampiri sangkar burung.
"Giok Su, biar kau yang menjadi saksinya." Fu Giok Su masih panik setengah mati. Tapi dia tidak menemukan akal untuk
mencegah kedua orang tua yang gila-gilaan itu. Dengan mata
kepalanya sendiri, dia menyaksikan Gi song membuka
sangkar burung tersebut dan mengeluarkan burung itu satu
per satu serta meletakkannya di atas meja.
Mungkin karena belum terbiasa, kedua burung itu meloncat-
loncat beberapa kali ke mudian berhenti dan menolehkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat keadaan itu, hati Cang
song jadi lega. Dia tertawa terbahak-bahak.
507 "Benar kan" Kedua ekor burung itu tidak bisa terbang, hanya bisa meloncat-loncat." Kata tanya bangga. Hati Fu Giok Su
semakin tegang. Baru saja dia mengulurkan tangannya untuk
memasukkan burung-burung itu kembali ke dalam
sangkarnya, tapi Gi song keburu mencegahnya.
"Tunggu, lihat sebentar lagi!" Kata-katanya selesai, kedua ekor burung itu sudah mengepakkan sayapnya dan terbang.
"Celaka!" teriak Fu Giok Su dengan suara parau.
"Tidak usah takut. Pintu dan jendela semua terkunci rapat.
Tidak akan terbang ke luar," kata Gi song sambil mengerling ke arah Cang song. Nada suaranya bangga sekali.
Sedangkan wajah Cang song berubah muram seketika.
Tiba-tiba terdengar suara Lun Wan Ji di luar pintu. "Siang hari bolong, menutup pintu rapat-rapat. Apa tidak kepanasan?"
"Jangan masuk. Jangan!" teriak Fu Giok Su
Namun terlambat, pintu sudah didorong oleh Lun Wan Ji.
Kedua ekor burung itu me-lihat pintu yang terbuka langsung
terbang ke-luar. Lun Wan Ji termangu-mangu di tempat-nya.
"Siapa yang melepaskan burung yang aku pelihara?"
tanyanya marah.
Fu Giok Su terpaksa menunjuk ke arah Gi song.
"Kami hanya... hanya...." Gi song menjadi serba salah.
Lun Wan Ji menghentakkan kakinya kesal "Aku tidak mau.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pokoknya kalian harus men carinya kembali," katanya dengan 508
bibir bersu ngut-sungut.
"Baik... baik.... Besok kami akan turun gunung dan
membelinya untukmu," sahut Gi song dengan maksud
menghibur. "Aku tidak mau yang lain. Aku mau yang kedua ekor tadi...."
Gi song mengangkat bahunya. Dia mendelik kepada Cang
song. "Gara-gara kau. Terus saja mengatakan bahwa burung
itu tidak bisa ter
bang" "Aku memang pernah melihat beberapa.. beberapa jenis yang
tidak bisa terbang." sahut Cang song malu dikatakan tidak
tahu apa-apa. Kedua orang itu langsung mendebat lagi Mata Lun Wan Ji
sudah merah. Air matanya hampir meleleh. Melihat keadaan
itu, Fu Giok Su tidak tahu apa yang harus diperbuatnya Tepat
pada saat itu, Wan Fei Yang melangkah masuk ke dalam.
Tangannya masing-masing memegang seekor burung.
Ternyata kedua ekor burung yang terbang keluar tadi.
Gi song dan Cang song memandangnya de ngan terpana. Lun
Wan Ji terus menghampiri Wan Fei Yang. "Wan Ji kouwnio,
bukankah ini burung peliharaanmu?" tanya Wan Fei Yang.
Lun Wan Ji menganggukkan kepalanya ber kali-kali. Bibirnya
mengembangkan senyuman. Dia menyambut burung yang
disodorkan oleh Wan Fei Yang dan memasukkannya kembali
ke dalam sangkar.
509 "Terima kasih."
"Kebetulan kedua burung itu menemplok di pundakku. Lain
kali harus lebih berhati-hati," kata Wan Fei Yang.
Lun Wan Ji mendelik sekilas ke arah Gi song. Orang tua itu
memalingkan wajahnya dan melampiaskan kekesalannya
kepada Wan Fei Yang.
"Untuk apa kau masuk lagi ke sini" Cepat pergi! Pergi!"
bentaknya kasar. Wan Fei Yang cepat-cepat mengundurkan
diri. Cang song menyusulnya. Dia ingin meng gunakan
kesempatan ini untuk keluar dari kamar itu. Tapi dicegah oleh
Gi song. I "Kau sudah kalah. Bagaimana pun kau harus
dihukum" Bukankah kau mengatakan...."
Sebuah ingatan melintas di benak Cang song. "Omong
kosong, kau yang kalah!" sahutnya.
"Kedua ekor burung itu...."
"Kalau benar-benar bisa terbang tinggi bagaimana mungkin
bisa menomplok di pundak Wan Fei Yang?"
Mendengar kata-kata itu, malah hati Giok Su yang tergerak.
*** Di sebuah gedung yang sudah hancur dan tidak terpakai lagi,
manusia tanpa wajah duduk di atas sebatang kayu. Di
hadapannya terdapat seonggok api unggun. Matanya
menatap ca haya api dengan termangu-mangu. Entah apa
510 yang dipikirkannya.
Udara malam sejuk. Tiba-tiba terdengar ke pakan sayap
burung di angkasa. Dalam waktu singkat, burung itu sudah
menukik ke arah api unggun. Manusia tanpa wajah itu
mengulurkan tangannya dan menangkap burung tersebut.
ia mengambil secarik kertas yang terikat pada kaki burung dan
membukanya. Tulisan yang terdapat di kertas itu tidak banyak.
Manusia tanpa wajah membacanya se-kias kemudian
meremas kertas itu dan dilem-parkannya ke dalam api
unggun. Dalam se-kejap mata kertas itu berubah menjadi abu.
Manusia tanpa wajah itu mengibaskan tangan-nya dan burung
tadi pun terbang kembali. Tubuhnya sendiri langsung melesat
melalui tembok yang sudah hancur dan menghilang dalam
kegelapan malam.
** Lun Wan Ji baru sadar bahwa burungnya sudah berkurang
satu ekor. Dia segera me-nanyakannya kepada Fu Giok Su.
"Aku melihat sayap kedua ekor burung tadi sangat kotor, maka aku bermaksud meman-dikannya. Siapa tahu tanganku licin
sekali se-hingga yang seekor terlepas dan terbang," sa-hut Fu Giok Su dengan wajah bersalah.
Lun Wan Ji bersungut-sungut mendengar keterangan itu. "Aku tidak mau...."
Cang song segera mencari muka. "Wan ji tidak usah marah.
Aku akan menghukum Giok Su bermain harpa untukmu,"
katanya. 511 "Hukuman yang pantas... hukuman yang pantas," sahut Giok Su cepat-cepat.
Melihat tingkah laku Fu Giok Su, Lun Wan Ji tidak marah lagi.
"Pokoknya harus memainkan lagu yang belum pernah
kudengar sebelumnya."
Tentu saja Fu Giok Su menyetujuinya.
* "Ting! Tang!" Suara harpa berkumandang sampai di kejauhan.
Wan Fei Yang duduk di depan taman dengan punggung
bersandar tembok. Dia mendengarkan dengan perasaan
terbuai. Di tempat yang lebih jauh lagi, manusia tanpa wajah sudah
mengganti pakaiannya de ngan setelan berwarna hitam.
Wajahnya juga diselubungi sehelai kain berwarna hitam pula.
Dandanannya persis dengan dandanan (Ci Siong to jin ketika
mengajarkan ilmu silat kepada Wan Fei Yang.
Tidak lama kemudian si manusia tanpa wajah melesat jauh
menuju kamar Gi song dan Cang song. Langkah kakinya
ringan sekali. Tampaknya dia sudah hapal sekali keadaan di
sekitarnya. Oleh karena itu, sebentar saja dia sudah sampai di
depan Wan Fei Yang.
Suara harpa masih terus mengalun. Wan Fei Yang tersentak.
Telinganya menangkap langkah kaki seseorang. Lirih sekali.
Matanya langsung mengedar mencari-cari. Pada saat itulah
dia melihat manusia berpakaian hitam yang merupakan
512 samaran manusia tanpa wajah.
"Suhu...." panggilnya lirih. Manusia berpakaian hitam itu menggerakkan tangannya. Sebatang ranting yang terikat
sehelai kertas kecil melayang ke arah Wan Fei Yang. Anak
muda itu segera menyambutnya. matanya melirik sekilas.
--Kentungan ketiga, tempat biasa --
Di atas kertas itu hanya terdapat beberapa huruf saja. Wan
Fei Yang terpana. Dia men-dongakkan kepalanya. Manusia
berpakaian hitam itu sudah tidak tampak lagi.
"Suhu belum pernah memanggil aku dengan cara begini, pasti
ada hal yang penting," pikirnya dalam hati.
*** Irama harpa sudah berhenti. Gerakan tangan Fu Giok Su juga
terhenti di atas tali senar. Lun Wan Ji bagai tersadar dari
mimpi. Gi song dan Cang song memuji terus. Kenyataannya
Fu Giok Su memang pandai memainkan harpa.
Setelah sejenak, tiba-tiba Lun Wan Ji menuju meja dan
mengambil sangkar burung.
"Fu toako, kasihan sekali burung ini. Tentu dia kesepian tanpa
kawan. Bagaimana kalau kita melepaskannya saja dan
biarkan mereka berkumpul kembali kelak?" katanya
menyarankan. 513 Fu Giok Su sama sekali kau tidak menyangka Lun Wan Ji
akan mengeluarkan usul seperti itu. Dia menjadi
tegang."Tidak". usulmu tidak baik."
"Mengapa?"
"Kau tidak mengerti. Burung yang terbang itu adalah
jantannya. Yang betina masiha da di sini, yang jantan pasti
akan kembali mencarinya."
"Benarkah?"
"Apakah tidak memperhatikan bagaimana mereka saling
menyayangi sehari-harinya?"
Lun Wan Ji menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak
merasakan apa-apa."
"Tentu saja. Usiamu masih muda," tukas Cang song. "Kalau
di ngat lagi, cara terbang burung itu juga tidak lambat."
"Sekarang kau mengaku burung itu memang bisa terbang?"
sindir Gi song.
Cang song terpana. "Kau jangan mengusik aku. Aku sedang
berpikir. Bagaimana caranya Wan Fei Yang menangkap
burung-burung itu?"
Fu Giok Su segera mempergunakan kesempatan itu.
"Mungkin ginkangnya cukup tinggi," sahutnya.
"Wan Fei Yang mana mungkin mengerti ginkang?" protes Gi
song. "Kalau menanak nasi, dia memang ahlinya."
514 "Tapi, kalau dia memang tidak mengerti, bagaimana dia bisa
menangkap kedua ekor burung itu sedemikian mudah?" tanya
Cang song. Lun Wan Ji menggeleng-gelengkan kepalanya. "Seandainya
dia mengerti ginkang, tentu sehari-harinya dia tidak akan
menerima hinaan para suheng begitu saja," sahutnya.
"Itu yang disebut pandai menyembunyikan kepandaian," kata
Gi song. "Menurutku, dia tidak mengerti," sahut Cang song.
"Mengerti, dia pasti mengerti."
"Liong wi susiok tidak usah berdebat lagi. Kalau benar ingin
tahu, coba saja." Mata Fu Giok Su bersinar terang. "Toh dia
tidak pernah kemana-mana. Sepanjang hari selalu di luar.
"Bagaimana cara kita mengujinya?" tanya Cang song
mendesak. "Mudah sekali," kata Cang song sambil mengerjapkan
matanya. "Aku mempunyai akal yang baik. Hanya saja kita
memerlukan bantuan dari Wan Ji."
Lun Wan Ji mendengarkan dengan mata terbelalak.
*** 515 Wan Fei Yang masih duduk dengan punggung bersandar
pada tembok. Matanya setengah terpejam. Tapi dia belum
tertidur. Sebuah teriakan mengejutkannya.
"Siapa?"
Wan Fei Yang melonjak bangun. Kepalanya menoleh ke arah
kamar Gi song dan Cang song. Suara tadi berasal dari sana.
Dan dia dapat mengenali yang berteriak adalah Cang song.
Tiba-tiba penerangan dalam kamar itu padam seketika. Suara
teriakan Lun Wan Ji berkumandang. Kemudian disusul
dengan suara benturan senjata, meja dan kursi yang terbalik
lalu suara jeritan Gi song dan Fu Giok Su.
Wan Fei Yang semakin terkesiap. Tubuhnya melesat ke arah
kamar tersebut. Dia mengkhawatirkan keselamatan Lun Wan
Ji. Dua kali loncatan saja dia sudah sampai di depan kamar
kedua orang tianglo. Telapak tangannya menghantam. Pintu
Kisah Sepasang Rajawali 11 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pendekar Pemetik Harpa 7
^