Pencarian

Ilmu Ulat Sutera 5

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 5


tidak puas melihat keadaan itu, namun mereka tidak berani
mengambil tindakan apa-apa. Mereka terpaksa memberi jalan
kepada kedua orang itu.
Gi-song dan Cang-song hampir muntah darah karena
jengkelnya. "Mari kita naik ke atas dan minta penjelasan!"
teriaknya mengajak.
Dia mendahului mereka melesat ke atas. Sedangkan para
murid Bu-tong lainnya terpaksa mengikuti di belakang.
***** Suara lonceng berbunyi.
Di dalam ruangan pendopo sunyi mencekam. Yang terdengar
hanya kumandang suara lonceng. Selain itu tidak terdengar
lagi suara lainnya. Seluruh murid Bu-tong berkumpul di dalam
ruangan tersebut. Sinar mata mereka terpusat pada Ci Siong
tojin yang duduk di tengah ruangan.
340 Ci Siong tojin tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Matanya
setengah terpejam. Entah berapa lama sudah berlalu,
akhirnya Ci Siong tojin membuka matanya. Gi-song tidak
dapat menahan kedongkolan hatinya.
"Ciangbun-suheng, kedua murid Bu-ti-bun sudah pasti akan
mati dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng, mengapa kau malah
membubarkan barisan itu dan melepaskan mereka?" tanyanya
penasaran. "Dengan berbuat demikian dan tersebar di luaran, teman-
teman di dunia kangouw pasti akan menganggap kita bernyali
kecil dan takut urusan. Kelak meskipun orang-orang Bu-ti-bun
tidak datang menyerang kita, partai lainnya mungkin akan naik
ke Bu-tong dan mencari masalah dengan kita," sambung
Cang-song. "Seandainya kali ini suheng tidak mempunyai alasan yang
tepat, para murid Bu-tong pasti tidak mau mengerti," kata Gi-
song sengaja membakar-bakar.
"Betul!" lanjut Cang-song sok serius.
Sinar mata Ci Siong tojin bercahaya bagai kilat. Dia menatap
tajam kepada Gi-song dan Cang-song.
"Kali ini, toh tidak ada anak murid kita yang mati. Kita sudah
memberikan pelajaran yang pahit kepada kedua bocah itu.
Sudahlah... tidak usah diperpanjang lagi," sahutnya.
Gi-song mendengus dingin, "Datang seenaknya, pergi
sesukanya. Kelak mana ada orang lagi yang akan menghargai
Bu-tong-pai kami"
341 "Orang menghargai Bu-tong-pai bukan hanya karena ilmu silat
kita, tapi juga pribadi kita yang bijaksana dan adil dalam
mengambil keputusan," sahut Ci Siong tojin tenang.
Cang-song tertawa dingin, "Aku justru menganggap musuh
akan melihat kelemahan kita."
Gi-song menganggukkan kepalanya.
"Suheng, sejak kau menjadi Ciangbunjin, Bu-tong-pai
tampaknya semakin lemah kian hari," katanya.
"Kalau menurut liong-wi sute, apa yang seharusnya kita
lakukan?" tanya Ci Siong tojin dengan wajah tidak berubah
meskipun disindir secara terang-terangan.
"Seharusnya membiarkan kedua orang itu terbunuh di dalam
barisan Jit-sing-kiam-ceng," kata Gi-song.
"Memang seharusnya begitu." sahut Cang-song menyetujui.
"Keenam muridku belum sempurna ilmunya Apabila Tok-ku
Bu-ti marah karena kematian putri dan muridnya lalu langsung
menyerang dalam waktu dekat, coba liong-wi sute katakan
bagaimana kita harus menghadapinya?" tanya Ci Siong tojin
kembali. Gi-song dan Cang-song tertegun.
"Kalau kita tidak dapat menahan diri dalam masalah kecil,
maka masalah besar akan timbul." Ci Siong menarik napas
panjang. Tiba-tiba matanya mengedar, "Kemana perginya
342 Kuan Tiong-liu?"
"Apakah suhu ingin tecu mencarinya untuk menanyakan letak
duduk persoalan yang sebenarnya?" tanya Fu Giok-su.
Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya. Yo Hong yang
berada di sudut ruangan segera berdiri. "Tidak perlu dicari
lagi. Tadi aku melihat dia membawa dua pelayannya turun
gunung dengan tergesa-gesa," katanya menjelaskan.
Cang-song mendengus dingin, "Pergi tanpa pamit, orang ini
benar-benar tidak tahu sopan santun!"
Sebuah ingatan melintas di benak Gi-song. "Mungkinkah dia
turun gunung mengejar kedua murid Bu-ti-bun itu?" katanya
dengan suara lirih.
Mata Cang-song bercahaya seketika. "Bisa jadi ...."
gumamnya. "Kedua orang itu sudah terkurung demikian lama di dalam
barisan. Dan mereka juga sudah terluka. Pasti bukan
tandingan bocah she Kuan itu."
"Tidak salah!" suara Cang-song semakin rendah sehingga
menyerupai bisikan. "Ci Siong tua bangka itu pasti sudah
memperhitungkan segalanya."
"Hm ... benar-benar siasat melempar batu sembunyi tangan
yang hebat."
"Jangan dikira musang tua ini tidak lihai," kata Cang-song
sambil melirik sekilas kepada Ci Siong tojin. Sebelah
343 tangannya menutup di samping bibir agar suaranya tidak
terdengar oleh orang lain.
Ci Siong tojin tidak mempedulikan mereka sama sekali. Dia
hanya tertawa datar.
***** Angin bertiup kencang. Dua ekor kuda yang gagah melangkah
perlahan di sebuah jalan kecil. Tok-ku Hong berusaha
mempertahankan diri, dia tidak kuat lagi melarikan kudanya
cepat-cepat. Kongsun Hong mengendarai kudanya di belakang Tok-ku
Hong, tanpa sadar kepalanya berulang kali menoleh ke
sekitarnya. Rasanya tidak ada orang yang mengejar. Setelah
melalui jalan kecil tadi, Tok-ku Hong baru bisa bernapas lega.
Pinggangnya diluruskan, dia menggigit bibir sendiri.
"Pada suatu hari nanti, aku akan mencuci Bu-tong-san dengan
darah," gerutunya.
Kongsun Hong menjalankan kudanya perlahan. "Dendam ini
pasti harus dibalas. Lain kali apabila kita datang lagi ke Bu-
tong-san jangan beri ampun. Ketemu satu bunuh satu. Kita
gunakan api dan bakar habis seluruh Bu-tong!" sahutnya
dengan amarah yang meluap di dada.
Tok-ku Hong mendengus dingin. Dia mengedarkan
pandangannya, "Heran " mengapa tidak terlihat adanya
orang kita yang menyambut?"
344 Kongsun Hong tertawa datar, "Apakah kau lupa, kau sendiri
yang menyuruh mereka menunggu di tepi sungai?"
Tok-ku Hong mendengus sekali lagi
***** Setelah melintasi padang rumput, di kejauhan sudah tampak
air sungai yang beriak-riak. Sebuah perahu besar berlabuh di
tepi sungai dan ditambatkan pada sebatang pohon besar.
Kongsun Hong menjalankan kudanya menuju ke tempat itu.
Dia segera mengenali bahwa yang terlihat di sana memang
perahu Bu-ti-bun. Tapi anehnya tidak ada yang berjaga-jaga.
Juga tidak ada orang yang menyambut mereka. Kuda dilarikan
ke tepi sungai. Mata Kongsun Hong mengedar sekelilingnya.
Tanpa sadar dia tertegun.
Tok-ku Hong melarikan kudanya menyusul. Wajahnya merah
padam karena marah. "Mereka benar-benar mencari mati.
Satu orang pun tidak ada yang menjaga di sini!" gerutunya.
Wajah Kongsun Hong malah sedingin es. Tiba-tiba dia
menuding, "Sumoay ... lihat!"
Tok-ku Hong juga sudah melihat. Seorang anggota Bu-ti-bun
tertelungkup di dalam sungai. Tubuhnya terombang-ambing
oleh gerakan air dan membentur badan perahu.
Kongsun Hong segera turun dari kudanya dan menghambur
345 ke sana. Sebuah titian kayu sudah terpasang sebagai
landasan dari daratan untuk naik ke atas perahu. Sekarang
terlihat beberapa mayat bergeletak di atas titian kayu tersebut.
Darah masih menetes. Air di bawah titian kayu telah berubah
warna menjadi merah.
Di atas perahu tergantung beberapa sosok mayat. Tanpa ragu
lagi, mereka adalah anggota Bu-ti-bun. Perasaan Kongsun
Hong tergetar. Dia meloncat naik ke atas titian kayu. Tepat
pada saat itu, terdengar suara harpa.
Suara itu berasal dari sebuah hutan kecil di ujung sungai. Di
depan hutan itu sendiri tidak terlihat satu orang pun.
Kongsun Hong cepat-cepat mundur ke samping Tok-ku Hong.
"Siapa yang membunuh orang-orang dari Bu-ti-bun kita?"
tanyanya marah.
Tidak ada yang menyahut. Suara harpa masih terus
terdengar. Nadanya mengandung hawa pembunuhan yang
tebal. Kongsun Hong celingak-celinguk. Tok-ku Hong perlahan
turun dari kudanya. Dia mendengus dingin. Sepasang
goloknya disiapkan di tangan.
"Hati-hati," kata Kongsun Hong memperingatkan. Dia
melindungi Tok-ku Hong dari depan.
Suara harpa semakin cepat.
"Cepat gelinding keluar!" bentak Tok-ku Hong sinis.
Suara harpa meninggi satu kali, lalu berhenti. Dua orang
346 bocah cilik, satu membawa harpa dan satunya lagi membawa
pedang melangkah keluar dari dalam hutan. Mereka adalah Jit
Po dan Liok An. Kuan Tiong-liu menampakkan diri di
belakang. Kedua belah tangannya dipeluk di depan dada.
Sikapnya angkuh sekali. Dia menatap angkasa seakan tidak
ada orang lain di tempat itu.
"Kau rupanya!" kata Kongsun Hong terkesiap.
"Tidak salah!" sahut Kuan Tiong-liu dengan wajah tetap
mendongak ke atas.
"Sejak semula aku sudah menduga tentu semua ini hasil
perbuatanmu," kata Kongsun Hong sambil bersiap diri dengan
sepasang Jit-guat-lun di tangannya.
"Bukankah kalian datang untuk menagih utang" Sekarang kita
sudah jauh dari Bu-tong-san, utang piutang kita sudah dapat
dihitung dengan tenang," sahut Kuan Tiong-liu tenang.
Tok-ku Hong tertawa dingin.
"Menggunakan kesempatan ketika orang terluka, itukah
tindakan yang dilakukan partai jurus dan ternama?"
"Untuk menghadapi manusia-manusia iblis seperti kalian, buat
apa harus mematuhi peraturan dunia bu-lim?" sinar mata
Kuan Tiong-liu menatap Tok-ku Hong lekat-lekat.
"Enak sekali kedengarannya."
"Apa pun yang kalian katakan ...." Kuan Tiong-liu merandek
sejenak, "hari ini, bagaimana pun aku tidak akan melepaskan
347 kalian." Tok-ku Hong menggetarkan kedua bilah goloknya. "Kuan
Tiong-liu, jangan dikira kau bisa meraih keuntungan besar
hanya karena kami sedang terluka," sahutnya sinis.
"Kalian boleh maju bersama," Kuan Tiong-liu mengulurkan
tangannya. "Pedang!" perintahnya kepada pelayannya.
Jit Po segera menyerahkan pedang ke tangan anak muda itu.
Tok-ku Hong mendengus dingin.
"Untuk menghadapimu, aku seorang saja sudah cukup!?"
katanya. Baru saja tubuhnya bergerak, Kongsun Hong sudah
mendahului dan melindungi di depannya. Kuan Tiong-liu
tertawa dingin. Tubuhnya melesat bagaikan terbang di
angkasa, kemudian berjungkir balik dan mendarat di hadapan
Kongsun Hong. Jit-guat-lun di tangan Kongsun Hong segera dibenturkan oleh
pemiliknya, "trang!", terdengar suara sangat nyaring. Dia
langsung menerjang ke arah Kuan Tiong-liu. Dengan gesit
pemuda itu menggeserkan tubuhnya. Pedangnya yang
panjang menyapu ke kiri dan kanan. Sembilan belas kali
sabetan dilancarkannya sekaligus. Kongsun Hong terdesak
mundur sepuluh langkah.
"Lebih baik kalian maju bersama!" katanya.
Dengan marah Tok-ku Hong tidak memikirkan gengsi lagi. Dia
menerjang ke depan. Tangannya masing-masing
348 menggenggam sebilah golok. Kongsun Hong takut terjadi apa-
apa pada Tok-ku Hong. Jit-guat-lunnya menyerang Kuan
Tiong-liu dengan kalap.
Seandainya mereka tidak terluka, dengan bergabung mereka
pasti bisa mengalahkan Kuan Tiong-liu. Tapi keadaan mereka
sekarang justru bertolak belakang. Luka yang mereka derita
tidak ringan dan sangat lelah karena telah terkurung dalam
barisan Jit-sing-kiam-ceng selama sehari semalam. Keadaan
mereka sekarang sudah kembang kempis.
Oleh karena itu, meskipun hanya dengan seorang diri, Kuan
Tiong-liu dapat menghadapi kedua orang lawannya dengan
tenang. Pedangnya bagai menari-nari, bayangan tubuh bagai
kupu-kupu. Melayang ke kiri dan ke kanan. Tangan masih
membalas serangan!
Belum sampai seratus jurus dia sudah berhasil mendesak
Tok-ku Hong berdua sampai tidak dapat melancarkan
serangan dan hanya bertahan saja. Pedangnya bergerak,
jurus yang digunakan adalah Si-yang-sie-cao. Cia Peng saja
tidak sanggup menerima jurus tersebut, apa lagi Tok-ku Hong
yang sedang terluka parah. Melihat keadaan itu, Kongsun
Hong panik sekali, tanpa memikirkan akibatnya dia segera
menerjang ke depan.
"Crep!", pedang Kuan Tiong-liu menusuk bahu Kongsun Hong
sedalam tiga cun. Anak muda itu meraung murka, namun rasa
sakit hampir tak tertahankan. Jit-goat-lun di tangan kanan
terlepas jatuh, Jit-goat-lun di tangan kiri segera melancarkan
sebuah serangan, tapi kecepatannya sudah jauh berkurang.
Dengan seenaknya Kuan Tiong-liu berhasil menghindarkan
diri dari serangan tersebut. Telapak tangan anak muda itu
349 bergerak secepat kilat. Dada Kongsun Hong terpukul telak, ia
terdesak mundur beberapa langkah kemudian muntah darah.
Kuan Tiong-liu tidak berhenti sampai di situ saja. Pedangnya


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berkelebat mengarah tenggorokan Tok-ku Hong.
Dengan panik gadis itu menggerakkan kedua bilah goloknya
berputaran. Namun biar bagaimana dia berusaha, pedang
Kuan Tiong-liu tetap mengejarnya ketat. Sekali lagi pedang
meluncur bagai kilat mengancam tenggorokan Tok-ku Hong!
Kongsun Hong berniat menolong, namun tidak keburu lagi.
Tok-ku Hong juga tampaknya tidak akan berhasil
menghindarkan diri lagi. Keadaannya mengenaskan sekali.
Rambutnya sudah acak-acakan. Pakaiannya kotor tidak
karuan. Dia hanya dapat memejamkan mata menunggu
kematian. "Trang!", benturan senjata terdengar memekakkan telinga.
Sebatang pedang menangkis serangan Kuan Tiong-liu.
"Srettt!", pedang pemuda itu terdorong ke samping. Dengan
terkejut Kuan Tiong-liu menolehkan kepalanya. Dilihatnya
seorang manusia berpakaian hitam dengan wajah tertutup
berdiri di sana. Dia pernah melihat Wan Fei-yang, tapi mana
pernah dia membayangkan bahwa manusia berpakaian hitam
itu Wan Fei-yang adanya.
Hanya sepasang mata yang tersembul dari balik kain hitam
tersebut. Mata itu menyorotkan sinar kemarahan yang sulit
dilukiskan dan mendelik ke arah Kuang Tiong-liu. Pemuda
berpakaian putih itu marah sekali. Dia memperhatikan Wan
Fei-yang dari atas kepala sampai ke ujung kaki.
350 "Siapa kau?" tanyanya garang.
Wan Fei-yang hampir saja menyebut namanya sendiri. Namun
untung dia cepat tersadar dan membatalkannya. Dia sama
sekali tidak menyahut.
"Katakan!" bentak Kuan Tiong-liu sekali lagi.
"Bu-beng-siau-cut (prajurit tanpa nama)! Aku katakan juga kau
tidak kenal," sahutnya dengan pada suara dibuat-buat.
"Menampakkan ekor menyembunyikan kepala, rasanya kau
juga bukan manusia baik-baik!" kata Kuan Tiong-liu kemudian.
"Paling tidak aku tidak pernah menggunakan kesempatan
ketika orang terluka untuk menyerang," sahut Wan Fei-yang.
Kuan Tiong-liu semakin marah, pedangnya bergerak bagai
kilat meluncur cepat ke arah Wan Fei-yang. Dengan mudah
pemuda itu berhasil menghindarinya! Sementara itu Tok-ku
Hong dan Kongsun Hong yang melihat keadaan itu menjadi
terheran-heran. Mereka tidak habis pikir siapa orangnya yang
akan membantu mereka dalam keadaan seperti ini.
"Apakah orang itu anggota Bu-ti-bun kita?" tanya Tok-ku Hong
dengan suara rendah.
"Rasanya bukan" sahut Kongsun Hong setelah
memperhatikan sejenak. "Lagi pula, kalau dia memang
anggota Bu-ti-bun, buat apa di menutupi wajahnya?"
"Lalu, siapa dia?" tanya Tok-ku Hong dengan alis berkerut.
351 "Kalau bukan orang yang kita kenal, dia pasti orang yang
dikenal Kuan Tiong-liu. Itulah sebabnya dia takut dikenali
sehingga menutupi wajahnya dengan kain hitam," sahut
Kongsun Hong. "Lalu, mengapa dia harus menolong kita?"
Tok-ku Hong masih tidak habis pikir.
Kongsun Hong juga tidak tahu, maka dia hanya dapat
menggelengkan kepala. Pada saat itu, pertarungan antara
Wan Fei-yang dengan Kuan Tiong-liu semakin seru. Mereka
sudah bergebrak sebanyak seratus jurus lebih. Pada mulanya
Wan Fei-yang masih agak gugup. Selama hidupnya dia belum
pernah benar-benar bertarung dengan seseorang, namun
lambat laun dia mulai bisa menguasai dirinya. Gerakannya
semakin mantap dan tenang, tangan juga semakin cepat.
Setelah menyambut tiga puluh enam kali serangan Kuan
Tiong-liu, akhirnya dia terdesak ke tepi sungai. Dengan
kemarahan yang meluap Kuan Tiong-liu tertawa dingin.
Gerakannya berubah. Dia mulai menggunakan jurus Si-yang-
sie-cao andalannya. Wan Fei-yang cepat-cepat menggeser
kakinya. Ternyata jurus yang digunakan adalah Tian-liong-kia-
ka, lalu tangannya memainkan Cao-yang-sut. Melihat gerakan
itu, wajah Kuan Tiong-liu berubah hebat. Pedang di tangannya
digerakkan, sebuah jurus Kim-ciau-si-yi langsung dikerahkan.
Telapak tangan Wan Fei-yang ditarik kembali. Jari tengah dan
telunjuknya langsung meluncur ke depan dan menotok
pergelangan tangan Kuan Tiong-liu.
Kuan Tiong-liu menjerit lantang. Pedang di tangan kanannya
terlepas. Namun kakinya segera menutul, dengan gesit tangan
352 kirinya menyambut pedang yang masih meluncur di udara.
Setelah berhasil, secepat kilat dia menyabet ke arah wajah
Wan Fei-yang! "Bret!", kain penutup wajah Wan Fei-yang tersayat koyak. Di
keningnya terdapat segaris luka kecil bekas tebasan pedang
Kuan Tiong-liu. Pedang pemuda itu sendiri masih terus
diluncurkan menyerang ke arah tenggorokan Kuan Tiong-liu.
Pemuda murid Go-bi-pai itu terkesiap. Gerakannya terhenti.
Wajahnya berubah hebat. Dia mendelikkan matanya lebar-
lebar. "Kau rupanya!"
Pedang Wan Fei-yang tidak lagi menusuk tenggorokan anak
muda itu. Dia memang hanya berniat menghentikan
pertarungan antara Kuan Tiong-liu dengan kedua murid Bu-ti-
bun. Sekarang kain penutupnya sudah terlepas. Wajahnya
berubah pucat. Sejenak kemudian dia tertawa getir.
"Memang aku," sahutnya sambil memasukkan pedangnya ke
dalam sarung. Seluruh tubuh Kuan Tiong-liu bergetar saking marahnya. Tiba-
tiba dia tertawa terbahak-bahak. "Bu-tong-san memang
tempat bersarangnya naga dan harimau. Tidak tersangka hari
ini, aku Kuan Tiong-liu terjungkal di tangan seorang Bu-beng-
siau-cut!" katanya.
Wan Fei-yang ikut tersenyum, "Hal ini hanya kebetulan saja."
Kuan Tiong-liu mendengus dingin. "Anggap saja aku sedang
353 sial!" Tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya dengan maksud
menggorok lehernya sendiri.
Untung saja gerakan Wan Fei-yang cukup cepat. Dia segera
merebut pedang di tangan Kuan Tiong-liu.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Kuan Tiong-liu marah.
Wan Fei-yang mengembangkan kedua tangannya, "Tidak apa-
apa." "Apa urusanmu dengan mati hidupku?" bentak Kuan Tiong-liu
kesal. "Mana bisa tidak ada hubungannya. Selama ini aku belum
pernah membunuh orang. Andai kata kau mati begitu saja,
bagaimana aku bisa hidup tenang kelak?" sahut Wan Fei-yang
sembarangan. "Sebetulnya, kau pernah belajar pedang bukan?" tanya Kuan
Tiong-liu marah. "Tentu pernah ...."
"Kalau begitu, kau tentu mengerti bagaimana menderitanya
perasaanku sekarang."
Wan Fei-yang tertegun, "Apa yang kau derita" Kau kan tidak
terluka?" Dia mengusap luka kecil di keningnya. "Malah aku
yang menderita," katanya.
Hampir saja Kuan Tiong-liu jatuh pingsan karena jengkel.
"Cukup ... kau memang sudah mengalahkan aku, tidak perlu
mengucapkan kata-kata yang menghibur."
354 Wan Fei-yang tidak mengerti apa yang dikatakan Kuan Tiong-
liu. Dia menatap anak muda itu lekat-lekat. "Aku sering
mendengar orang mengatakan bahwa kalah menang dalam
suatu pertarungan adalah hal yang umum. Mengapa
pikiranmu begitu sempit?" tanyanya heran.
Akhirnya Kuang Tiong-liu dapat merasakan kalau Wan Fei-
yang bukan sedang mengejeknya.
"Usiamu juga masih sangat muda. Belum tujuh atau delapan
puluh tahun. Asal kau berlatih dengan giat, siapa tahu kelak
kau akan berhasil mengalahkan aku," kata Wan Fei-yang
selanjutnya. Kuan Tiong-liu menggertakkan giginya erat-erat, "Baik ... aku
pasti akan berlatih dengan giat. Tapi, kau harus berhati-hati
kelak." "Terima kasih," sahut Wan Fei-yang lugu. Dia sama sekali
tidak mengerti maksud Kuan Tiong-liu yang sebenarnya.
"Kelak, apabila aku datang kembali mencarimu dan engkau
tidak ada atau pendek usia, maka aku akan lebih menderita
daripada sekarang," kata Kuan Tiong-liu kembali.
Tanpa menunggu jawaban dari Wan Fei-yang, tubuhnya
segera melesat meninggalkan tempat itu. Baru beberapa
langkah dia kembali lagi untuk mengambil pedangnya yang
ketinggalan. Kemudian dia melesat dan naik ke atas sebatang
pohon. "Jit Po, Liok An, mari kita pergi!" teriaknya. Pada saat itu, jarak 355
mereka agak berjauhan dengan orang lainnya. Tanpa sadar
mereka bertarung terus sehingga tubuh mereka bergeser
sampai tepian sungai bagian hulu.
"Cara bicara orang ini aneh sekali," gumam Wan Fei-yang
seorang diri. Suara langkah kaki terdengar mendatangi. Wan
Fei-yang cepat-cepat memungut kain hitam tadi dan menutup
wajahnya kembali.
Orang yang mendatangi ternyata Kongsun Hong dan Tok-ku
Hong. Tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung. Tampaknya
tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kongsun Hong
menjura dalam-dalam kepada Wan Fei-yang.
"Sobat, terima kasih atas pertolonganmu," katanya.
Kesan Wan Fei-yang kepada kedua orang ini memang kurang
bagus. "Tidak perlu berterima kasih. Apa yang aku lakukan
bukan kehendakku sendiri," sahutnya datar.
"Kalau begitu ...."
"Buat apa bertanya banyak-banyak?"
"Aku masih belum tahu nama besar tuan," kata Kongsun Hong
menahan sabar. "Apakah kau tidak bisa kurangi pembicaraanmu?"
"Sobat ...."
"Jangan memanggilku demikian mesra. Aku tidak akan
bersobat dengan manusia sepertimu!" kata-kata Wan Fei-yang
356 sama sekali tidak sungkan-sungkan.
Tanpa sadar Kongsun Hong mendengus dingin. Dan pada
saat itu juga, terdengar suara.
"Bruk!", Tok-ku Hong yang berada di belakangnya jatuh tidak
sadarkan diri di atas tanah. Wan Fei-yang menghampiri
dengan tergesa-gesa. Dia memeriksa gadis itu sejenak.
Kemudian dia menarik napas panjang.
"Rupanya keluar darah terlalu banyak." Dia menoleh kepada
Kongsun Hong. "Kemari kau!" teriaknya.
Sejak tadi Kongsun Hong memang berniat menghampiri, tapi
kakinya sulit digerakkan. Sebetulnya luka yang dideritanya
malah lebih parah daripada Tok-ku Hong, hanya saja tenaga
dalamnya lebih tinggi, dia masih dapat memaksakan diri untuk
bertahan. Mendengar panggilan Wan Fei-yang dia menyeret
kakinya dengan susah payah untuk mendekati Tok-ku Hong.
Wan Fei-yang tidak sabar melihat kelambatannya. Dia
menarik lengan baju Kongsun Hong dan merobeknya, lalu
di katnya luka Tok-ku Hong. Mulutnya malah menggerutu,
"Sumoay sendiri saja tidak becus melindungi. Buat apa jadi
suheng!" Dada Kongsun Hong terasa hampir meledak. Langkah kakinya
terhuyung-huyung. Segumpal darah segar muncrat dari
mulutnya. Tubuhnya segera terkulai di atas tanah. Dia juga
jatuh pingsan seketika.
***** 357 Tengah hari, sebuah kereta bergerak perlahan di atas jalanan
bebatuan. Kongsun Hong sudah sadar. Dia duduk di sebelah kanan
dalam kereta. Tok-ku Hong di sebelah kiri. Gadis itu masih
pingsan. Sambil mendorong kereta, Wan Fei-yang
bersenandung kecil. Tampangnya sungguh menyedihkan.
Kongsun Hong malah panik sekali. Tanpa sadar dia berteriak,
"Sobat ... apakah kau tidak bisa mendorongnya lebih cepat?"
Senandung Wan Fei-yang berhenti seketika. Matanya
mendelik ke arah Kongsun Hong. "Kalau mau cepat,
doronglah sendiri!" sahutnya acuh tak acuh.
Kongsun Hong menahan sabar sebisanya, "Aku hanya
mengkhawatirkan luka yang diderita sumoayku."
"Apa yang harus dikhawatirkan?" tanya Wan Fei-yang
seenaknya. Dia kembali bersenandung.
Di kejauhan sana tembok kota sudah terlihat. Beberapa puluh
depa di ujung sana terlihat serombongan manusia berpakaian
hitam keluar dari balik pepohonan. Mereka menyongsong
kedatangan kereta Kongsun Hong. Yang paling depan
memakai ikat kepala berwarna merah. Wan Fei-yang terpana
melihat rang-orang itu. Kongsun Hong malah kegirangan.
"Bagus sekali! Orang yang menyambut kami sudah datang,"
katanya tanpa sadar.
358 Wan Fei-yang mendengus dingin. Dia menghentikan
keretanya seketika. Rombongan manusia berpakaian hitam itu
sudah sampai di hadapan Wan Fei-yang. Melihat keadaan
Kongsun Hong dan Tok-ku Hong, mereka merasa sesuatu
terjadi luar dugaan. Namun mereka tidak berani bertanya apa-
apa. Laki-laki yang memakai ikat kepala berwarna merah
segera menjura dalam-dalam. "Hiongcu cabang kedelapan,
Ciang Ping menghadap Kongsun-tongcu dan Toa-siocia,
katanya. Belum lagi Kongsun Hong menyahut, Wan Fei-yang yang
sudah berpindah ke belakang segera menukas, "Kebetulan
orang-orang kalian sudah menyambut, aku mau pergi."
Begitu mengatakan hendak pergi, dia benar-benar melangkah
meninggalkan tempat itu.
"Harap tunggu sebentar!" panggil Kongsun Hong gugup.
Wan Fei-yang menghentikan langkah kakinya tanpa menoleh,
"Ada apa?"
"Bolehkah sobat mengatakan nama besarmu?"
"Untuk apa kau ingin mengetahuinya?"
"Kalau tidak tahu, bagaimana kelak aku bisa mencari sobat."
"Oh ... kau ingin membalas budi ...." Wan Fei-yang
menggoyang-goyangkan tangannya. "Ada pepatah yang
mengatakan bantuan yang tulus tidak mengharapkan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembalasan budi."
359 "Budi menyelamatkan jiwa, bagaimana pun harus dibalas,"
kata Kongsun Hong serius "Tapi, meskipun sobat tidak
menghargai aku, budi ini tetap harus kubalas."
Wan Fei-yang terpana.
"Kalau begitu, aku semakin tidak bisa mengatakannya!"
Tubuhnya melesat. Dalam sekejap mata menghilang dari
pandangan. Kongsun Hong memandangi kepergian penolongnya dengan
tatapan dingin. Dia juga tidak memanggilnya kembali.
***** Warna kemerahan mulai tenggelam di ufuk barat. Senja hari
hampir berlalu. Keringat membasahi tubuh Wan Fei-yang. Dia
mendongakkan kepalanya menatap langit. Dia agak terkejut.
"Celaka! Sudah hampir malam. Aku harus mengambil jalan
kecil melintas kembali ke Bu-tong-san," gumamnya.
Dia membelok ke sebuah jalan kecil. Tubuhnya berkelebat
laksana terbang.
***** Matahari sudah tenggelam secara keseluruhan. Malam pun
tiba. Ruang makan di Bu-tong-san kalang kabut. Tidak ada
360 Wan Fei-yang, tidak ada yang menanakkan nasi untuk
mereka. Perut mereka sudah keroncongan dan menimbulkan
bunyi keriyuk ... keriyuk ....
"Sudah sehari penuh ... kemana perginya si Wan Fei-yang
itu?" "Mungkinkah karena sudah tidak tahan dipermainkan oleh kita,
maka sekarang dia kabur dari Bu-tong-san?"
"Bisa jadi ...."
"Kalau bocah itu ada di sini, kita tidak pernah merasakan apa-
apa. Sekali tidak ada, kita malah jadi kelabakan."
"Apa tidak. Lihat dia sebal, tidak ketemu malah rindu."
"Ha ... ha ... ha ...."
"Masih sempat tertawa" Lebih baik kita ramai-ramai mencari
dia." "Kalian saja yang pergi, hanya Thian yang tahu apakah dia
masih hidup."
"Jangan berpikiran jahat."
"Seandainya mati, kita juga tidak perlu heran. Selama
beberapa tahun ini, mana pernah dia tidak kelihatan
sepanjang hari."
"Oh ya ... biasanya dia paling sering ke mana?" yang
mengajukan pertanyaan ini adalah Fu Giok-su.
361 "Dia paling suka pergi ke telaga menangkap ikan," sahut Lun
Wan-ji. "Kalau begitu kita mencarinya di tempat itu."
Tentu saja Wan-ji setuju. Murid yang lainnya juga mengikuti
dari belakang. Ucapan mereka terdengar oleh Wan Fei-yang.
Sebetulnya dia sudah sampai dan bersembunyi di luar ruang
makan. Dia sedang kebingungan mencari alasan untuk masuk
ke dalam dan menjawab pertanyaan mereka. Sekarang dia
justru menemukan akal yang bagus.
***** Air telaga itu sangat jernih. Wan Fei-yang mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Setelah yakin tidak ada orang,
dia segera masuk ke dalam telaga. Kemudian dia mendengar
suara langkah kaki dan seruan orang ramai. Dia segera
merendam seluruh tubuhnya ke dalam telaga tersebut.
Oleh karena itu, ketika orang ramai sampai di tepi telaga,
tubuh bahkan kepalanya sudah basah kuyup. Dia malah
berpura-pura terapung-apung di dalam air. Wan-ji merupakan
orang pertama yang menemukannya.
"Hei! Kalian lihat!" serunya terkejut.
"Bocah ini sungguh keterlaluan. Berkali-kali dinasihati agar
main di tempat lain. Sekali kurang hati-hati, nyawa
taruhannya. Tapi dia tidak mau mendengar perkataanku,"
362 sambung Yo Hong menggerutu.
"Coba kalian pikir, mungkinkah dia putus asa dan merasa
tidak ingin hidup lagi maka bunuh diri di sini?" tanya salah
seorang murid Bu-tong yang ikut dalam pencarian itu.
"Ngaco! Kalau dia benar-benar ingin bunuh diri pasti memilih
tempat yang lain!" bentak Cia Peng marah.
"Siapa tahu setan air sedang mencari pengganti dirinya."
"Jangan banyak mulut!" teriak Cia Peng semakin kesal. "Cepat
bawa dia naik!"
Fu Giok-su segera turun ke dalam air. Dengan cepat dia
menghampiri tubuh Wan Fei-yang dan menggendongnya naik.
"Apakah dia masih hidup?" teriak Cia Peng dari ujung sana.
"Napasnya masih ada." sahut Fu Giok-su sambil tergesa-gesa
menggendongnya ke atas. "Hanya keningnya saja yang
terluka." Beramai-ramai mereka menghampiri tubuh Wan Fei-yang.
***** Malam sudah mulai larut. Wan Fei-yang digotong oleh para
murid Bu-tong ke dalam kamarnya. Pakaiannya sudah diganti.
Dan tubuhnya terbaring di tempat tidur. Tapi dia masih pura-
pura tidak sadarkan diri.
363 Yang lainnya sudah pada keluar. Di dalam kamar hanya
tersisa Fu Giok-su dan Lun Wan-ji. Giok-su menatap luka di
kening Wan Fei-yang lekat-lekat. Sekilas kecurigaan tersirat di wajahnya. Aneh ... luka itu seperti tersayat pedang.
Fu Giok-su sudah tahu, tapi tidak mengatakan apa-apa. Lun
Wan-ji yang melihat Fu Giok-su memandangi Wan Fei-yang
dengan termangu-mangu malah merasa heran.
"Fu-toako ... kenapa kau?"
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa."
"Tampaknya kau juga sudah lapar," kata Wan-ji dengan suara
lembut. "Aku akan memasakkan sedikit makanan untukmu."
"Aku ikut bersamamu," sahut Giok-su.
"Apakah kau bisa masak?"
"Tidak bisa kan ada engkau yang mengajari."
Keduanya saling pandang sekilas. Lalu Giok-su bangkit dan
bersama Wan-ji mereka meninggalkan kamar tersebut. Baru
saja pintu tertutup, Wan Fei-yang sudah membuka matanya.
Tadinya dia gembira sekali, sekarang perasaan hatinya seperti
tertekan. Suara tawa dan canda Giok-su dan Wan-ji sayup-
sayup tertangkap oleh telinganya.
364 ***** Malam semakin larut.
Di hutan yang terpencil berdiri tegak si manusia berpakaian
hitam. Dia mendengarkan dengan seksama laporan Wan Fei-
yang tentang pertarungannya dengan Kuan Tiong-liu. Anak
muda itu makin cerita makin bersemangat. Perasaannya yang
tertekan sudah hilang sejak tadi.
Manusia berpakaian hitam menutupi wajahnya dengan kain.
Tidak terlihat bagaimana perasaannya saat itu. Dia hanya
mengangguk-angguk sekali-kali. Sampai Wan Fei-yang
menyelesaikan ceritanya, baru dia membuka suara, "Rasa
percaya dirimu sangat tinggi. Oleh karena itu juga kau berhasil mengalahkan Kuan Tiong-liu. Aku sangat gembira
mendengarnya."
Mendengar perkataan itu, hati Wan Fei-yang semakin senang.
Manusia berpakaian hitam itu maju dua langkah kemudian dia
menggelengkan kepalanya.
"Tapi kau juga mempunyai kelemahan. Lain kali kau harus
mengubahnya."
Wan Fei-yang tertegun seketika.
"Eh?"
"Hatimu kurang kejam."
"Bagaimana suhu bisa berkata demikian?"
365 "Kalau hatimu cukup kejam, Kuan Tiong-liu pasti tidak
mempunyai kesempatan merebut kembali pedangnya dan
membuka kedokmu."
"Hanya luka ringan, tidak apa-apa," sahut Wan Fei-yang.
"Seandainya tenaga dalam Kuan Tiong-liu lebih tinggi dari
sekarang, tebasan pedangnya itu pasti akan membelah
kepalamu menjadi dua bagian."
Wajah Wan Fei-yang berubah pucat.
"Ingat! Biar bagaimana, musuh adalah musuh. Turun tangan
harus cepat, tepat dan keji. Hati dan pedang bersatu, jangan
memencarkan perhatian," kata manusia berpakaian hitam itu
sepatah demi sepatah.
"Tecu akan mengingatnya dalam hati."
"Bagus! Malam ini kau harus berlatih terus cara memecahkan
Jit-sing-kiam-ceng yang aku ajarkan tadi malam."
Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya. Mata manusia
berpakaian hitam itu bersinar tajam. Dia membalikkan
tubuhnya dan melesat meninggalkan tempat itu.
***** Begitu masuk ke dalam hutan, mata manusia berpakaian
hitam itu bersinar semakin tajam. Dia mengedarkan
366 pandangan ke sekelilingnya, seakan ada sesuatu yang tidak
beres. "Apakah aku salah dengar?" gumamnya seorang diri.
Tiba-tiba, "cittt!", seekor kera melintas di hadapannya.
"Rupanya hanya seekor kera," katanya dalam hati.
Manusia berpakaian hitam itu kembali menggerakkan
tubuhnya menuju luar hutan. Tubuhnya berkelebat melewati
jalan bebatuan.
Sesaat kemudian, seseorang berjalan keluar dari balik
pepohonan. Dia adalah Fu Giok-su! Anak muda tersebut
menatap ke arah manusia berpakaian hitam itu menghilang.
Wajahnya mengandung kecurigaan yang dalam. Matanya
sama sekali tidak berkedip.
Siapakah orang ini sebetulnya" Mengapa dia harus
bersembunyi di Bu-tong-san dan mengajarkan ilmu silat
kepada Wan Fei-yang" Fu Giok-su benar-benar tidak habis
pikir. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, petir meyambar.
Seluruh bumi bagai tergetar olehnya. Sekali lagi petir
menunjukkan kekuasaannya. Mata Fu Giok-su bersinar. Dia
membalikkan tubuh dan melesat ke arah yang berlawanan
***** Petir menyambar saling susul-menyusul. Mereka seakan
sedang mengadakan perlombaan. Jeritan yang histeris
memekakkan telinga. Menggetarkan seluruh Bu-tong-san.
367 Gerakan tubuh Fu Giok-su bagai anak panah. Dia melesat
menuju bagian belakang gunung.
Di langit terlihat guratan putih melintas cepat. Petir
menyambar sekali lagi. Suara jeritan yang mengenaskan
kembali terdengar. Mendebarkan hati siapa pun yang
mendengarnya. Gerakan tubuh Fu Giok-su tidak berhenti. Dia terus menerjang
ke depan. Setelah melewati sebuah jalan kecil, dia sampai di
tempat yang penuh dengan batu karang. Kemudian ia
membelok ke kanan.
Setelah berlari puluhan depa, dia melintasi sebuah jembatan
gantung yang bergoyang-goyang tertiup angin. Fu Giok-su
menolehkan kepalanya memandang ke sekeliling. Kakinya lalu
menutul dan melayang melalui jembatan gantung tersebut.
Di ujung sana terlihat pohon-pohon yang rimbun. Batu-batu
kerikil memenuhi tanah. Fu Giok-su melambatkan langkah
kakinya. Di berjalan perlahan melalui jalan kecil tadi. Terhadap keadaan sekitar itu, tampaknya dia sudah mengenal baik.
Apabila melangkah ke depan, terlihat gerombolan pohon di
sana sini. Kabut tebal melayang-layang. Hawa dingin
menggigilkan tubuh. Tidak terdengar suara serangga atau pun
kicauan burung. Di dalam gerombolan pohon, suasana
demikian sepi bagai alam orang mati.
Fu Giok-su maju terus. Di depan sana malah jauh berbeda
dengan tempat sebelumnya. Satu batang pohon pun tidak
terlihat. Batu-batu besar berbentuk aneh justru banyak. Kabut
semakin tebal. 368 Di tengah batu-batu besar yang aneh itu ada sebuah gua.
Langkah kaki Fu Giok-su tidak berhenti. Dia masuk ke dalam
gua tersebut. Dari balik saku pakaiannya dia mengeuarkan
sebuah benda yang dapat bercahaya di dalam gelap.
Cahaya api segera menerangi sekitarnya. Tembok sekitar gua
itu sudah dilapisi es. Pantas saja kabut demikian tebal dan
hawa begitu ingin. Malah ada beberapa gumpalan es batu
yang bergelantungan sepanjang gua itu. Kurang lebih tiga
depa di depan sana, terlihatlah sebuah telaga. Uap dingin
mengepul-ngepul dari telaga itu. Seluruh telaga itu seolah
baru dididihkan sehingga uapnya meninggi.
Fu Giok-su tahu bahwa uap yang terlihat itu justru
menandakan dinginnya air di dalamnya puluh tahun. Hawa
dingin semakin menusuk bagai ribuan jarum kecil yang
ditancapkan ke dalam daging. Sekeliling tembok situ penuh
luapan air telaga. Kira-kira beberapa meter dari tepian telaga
tersebut ada sebuah batu aneh berwarna hijau. Meskipun
demikian, seluruh gua dan permukaan telaga dapat terlihat
jelas. Seorang kakek yang sudah tua renta dengan pakaian
compang-camping dan rambut panjang beriapan duduk di atas
batu hijau yang aneh tadi. Rambut dan alisnya sudah
memutih, bahkan terlihat bulu-hulu halus yang juga berwarna
putih memenuhi keningnya. Wajahnya sendiri sudah penuh
keriput. Demikian tuanya sehingga keriput di wajahnya tampak
bagai guratan pisau.
Kaki tangannya terikat sebuah rantai pajang. Kakinya
mengecil sehingga tinggal tulang belulang. Matanya menatap
369 ke dalam telaga. Terlihat sinar ketakutan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dialah makhluk tua aneh yang dikatakan
murid-murid Bu-tong. Dan dia sudah terkurung di tempat itu
kurang lebih dua puluh tahun.
Setiap kali hujan turun dan kilat menyambar, air telaga itu
akan meluap dan naik ke batu hijau yang didudukinya. Dan
separo tubuh bagian bawah pun terendam dalam air yang
dingin seperti es itu. Oleh karena itu, terhadap bunyi guntur
atau kilat, dia mempunyai rasa takut yang tidak terkirakan. Dia selalu menjerit histeris. Hal ini disebabkan oleh penderitaan
yang telah dirasakannya bertahun-tahun setiap hari hujan dan
air telaga meluap.
*****

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fu Giok-su telah melihat makhluk aneh itu. Rasa perih di
hatinya tidak terkirakan. Dia memadamkan penerangan di
tangannya dan bermaksud mendekati. Tiba-tiba petir
menyambar, kumandangnya bergema di dalam gua. Tubuh
makhluk tua itu bergetar. Dia menjerit lagi. Tangannya
mencakar ke kiri kanan batu dan tingkahnya sudah berubah
kalap. Suara jeritannya begitu menyayat hati. Orang yang
mendengar dari luar pasti akan tergetar hatinya. Namun,
tampaknya kilat tidak menaruh belas kasihan kepada orang
tua itu. Sambarannya malah saling susul menyusul. Suara
jeritan pun tidak berhenti. Tubuh tua itu bergulingan di atas
batu. Rantai yang mengikat kaki dan tangannya bergerincing.
Tentunya dia sangat menderita.
370 Mendengar suara itu, air mata Fu Giok-su mengalir deras. Dia
langsung melayang ke atas batu dan memeluk bahu orang tua
itu erat-erat. Makhluk aneh itu terus menjerit. Dia
mengerahkan tenaganya dan pelukan Fu Giok-su pun
terlepas. Tubuh Fu Giok-su menggelinding di atas batu, dengan kalap
dia bangkit kembali dan memeluk lagi orang tua itu. Kali ini
tenaganya ditambah. Makhluk aneh itu terus memberontak.
Berulang kali dia berhasil melepaskan diri dari pelukan Fu
Giok-su. Tapi anak muda itu pantang menyerah. Dia
mencobanya lagi dan lagi. Akhirnya dia mengambil sebutir pil
dari balik pakaiannya dan memasukkannya k dalam mulut
makhluk aneh itu.
Setelah lewat sejenak, makhluk aneh tersebut tidak berontak
lagi. Napasnya tersengal-sengal. Mulutnya terengah-engah
dan mengeluarkan suara "krok! krok!".
Sekian lama telah berlalu, akhirnya suara mengorok dari mulut
makhluk aneh itu berhenti juga. Dia menarik napas dalam-
dalam kemudian memandang Fu Giok-su.
"Akhirnya kau datang juga," katanya lirih.
Orang tua itu mengulurkan tangannya mengelus wajah Fu
Giok-su. "Kau jauh lebih kurus dari pada terakhir kalinya kau
datang ke sini."
"Sun-ji (cucu) datang terlambat, harap Yaya maafkan. Yaya
sudah terlalu menderita," kata Fu Giok-su dengan air mata
berlinang. 371 Ternyata mereka adalah kakek dan cucu. Siapa Fu Giok-su
sebenarnya"
Fu Giok-su menggenggam tangan tua itu erat-erat. "Yaya...
aku akan menjagamu. Jangan khawatir," katanya sedih.
"Betul ... kau kan sudah tumbuh menjadi orang dewasa," sahut
orang tua itu tertawa getir.
"Waktu berlalu dengan cepat ...."
"Cepat?" teriak orang tua itu marah. "Sama sekali tidak cepat.
Setiap hari aku duduk terkurung di sini dan memandangi air
telaga!" Matanya menyorotkan kebencian hatinya. "Maling busuk Yan
Cong-tian! Pada suatu hari nanti, aku akan
menghancurleburkan tubuhnya."
Fu Giok-su memeluk bahu orang tua itu, "Yaya ... hari itu pasti akan tiba. Sebentar lagi kau sudah bisa meninggalkan tempat
ini," katanya menghibur.
"Keluar?" Sepasang mata orang tua itu beralih ke kakinya
yang mengecil. "Apa gunanya keluar" Sepasang kakiku ini ...."
Suara orang tua itu demikian menyayat. Tiba-tiba dia tertawa
terbahak-bahak. Suara tawa itu sungguh tidak enak didengar
karena lebih mirip tangisan dan ratapan.
"Yaya ... aku mempunyai kabar yang baik," kata Fu Giok-su
panik. 372 "Kabar baik apa?"
"Kami sudah mendapatkan Ban-ni-sik-tuan (penyambung
ampuh laksaan tahun)"
"Apa" Ban-ni-sik-tuan?" teriak orang tua itu. Dia
mencengkeram tangan Fu Giok-su erat-erat. "Hah! Benarkah
apa yang kau katakan?"
"Benar."
"Kau tidak membohongi aku?"
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Ban-ni-sik-tuan segera akan dikirim ke sini, Pada saat itu,
urat-urat Yaya yang terputus dapat tersambung kembali."
Sembari mendengarkan bibir orang tua itu terus
mengembangkan senyuman. Dia tertawa lebar kemudian tiba-
tiba dia menangis. "Kalian tentunya berdusta. Kalian hanya
ingin menghibur hatiku dan memberi harapan kepadaku!"
ratapnya pilu. "Tidak ... tidak bohong. Mereka mendapatkannya dalam
sebuah gua terpencil di daerah Taili. Sekarang sedang dalam
perjalanan," kata Fu Giok-su panik.
Makhluk tua itu memandangi Fu Giok-su. Akhirnya dia
percaya juga. Wajahnya berseri-seri seketika.
"Kami sudah mendapat berita bahwa tidak lama lagi
373 Congkoan akan sampai di sini," kata Fu Giok-su selanjutnya.
Makhluk tua itu tertawa terbahak-bahak. Kalau diperhatikan
tingkahnya sudah mirip orang yang kurang waras. "Bagus!
Yan Cong-tian, hari kematianmu sebentar lagi akan tiba!"
teriaknya lantang.
"Yaya, bagaimanapun kau harus bersabar," sahut Fu Giok-su
mengingatkan. "Aku ... aku pasti bisa bersabar." Wajah makhluk tua itu
berubah serius, seolah ada sesuatu yang teringat olehnya.
"Oh ya.... Giok-su, malam ini kilat sudah menyambar demikian
lama kau baru tiba. Apakah telah terjadi sesuatu di atas Bu-
tong-san?"
"Aku tadi mengikuti seorang manusia aneh berpakaian hitam,"
sahut Fu Giok-su. "Apanya yang aneh"
"Orang ini selain berpakaian hitam juga menutupi wajahnya
dengan secarik kain hitam pula. Tampaknya setiap malam dia
menyelinap ke dalam lembah yang terpencil dan mengajarkan
ilmu silat kepada seorang pelayan," kata Fu Giok-su
menjelaskan. "Bagaimana hasilnya?"
"Rasanya ilmu murid orang itu masih di atas sun-ji."
Makhluk tua itu terpana, "Hm ... siapa nama pelayan itu?"
"Wan Fei-yang," Fu Giok-su merandek sejenak. "Dialah yang
selalu mengantarkan makanan untuk Yaya."
374 Makhluk tua itu terkejut sekali. "Hah?"
"Manusia berpakaian hitam itu kemungkinan besar Ci Siong
tojin sendiri," kata Fu Giok-su dengan nada berat. "Hanya dia
yang dapat mengajarkan ilmu demikian tinggi kepada Wan
Fei-yang."
"Ci Siong tojin adalah Ciangbunjin sebuah partai besar.
Rasanya dia tidak perlu berbuat demikian," sahut makhluk tua
itu. "Mungkinkan Yan Cong-tian?"
"Jangan sebut nama orang ini di hadapanku!" teriak makhluk
tua itu marah. "Baik ... baik. Sun-ji tidak akan menyebutnya lagi," kata Fu
Giok-su beruntun.
Hati makhluk tua itu tenang kembali. "Apakah dia mata-mata
yang ditanamkan di sini oleh Bu-ti-bun?" gumamnya
kemudian. ***** Menjelang senja.
Laksaan li tidak terlihat awan. Air sungai tenang sekali.
Sebuah kapal besar berlayar tiga berhenti di tengah sungai. Di
tiang atas berkibar sebuah bendera berwarna putih. Di
375 tengahnya tampak sebuah telapak darah. Tidak usah
diragukan lagi, kapal tersebut pasti milik Bu-ti-bun.
Memang benar, salah satu dari empat Hu-hoat Bu-ti-bun, Han-
ciang Tiau-siu duduk di dalam kapal. Tidak lama kemudian dia
mengeluarkan pancingannya dan melemparkannya ke dalam
sungai. Entah apa yang dipancingnya kali ini.
Di angkasa terlihat seekor merpati melintas. Tali pancing Han-
ciang Tiau-siu segera dilontarkan. Kaki burung merpati itu
terkait dan ditariknya. Dia segera membuka tabung yang
terikat di kaki burung tersebut dan mengambil surat yang ada
di dalamnya. Setelah itu dilepaskannya burung itu kembali..
Cepat dia membuka surat tersebut dan membaca isinya.
Wajahnya menjadi semakin tegang. Tergesa-gesa dia masuk
ke dalam kabin kapal. Tok-ku Hong sedang beristirahat di
dalam sebuah kabin. Lukanya hampir sembuh secara
keseluruhan. Kongsun Hong malah masih duduk di atas
tempat tidur. Dia masih belum bisa bergerak.
"Kabar apa yang dibawa oleh merpati pos kita?" tanya Tok-ku
Hong. Han-ciang Tiau-siu membeberkan surat tersebut di atas meja.
"Orang kita sudah berhasil menyelidiki komplotan yang
menyamar dan memalsukan kita serta melakukan berbagai
pembunuhan." sahutnya serius.
Tok-ku Hong melihat sekilas. Kemudian dia menyerahkan
surat itu kepada Kongsun Hong.
"Tampaknya orang-orang kita harus disuruh ke Go-hok-kek-
376 can dan menyelidiki semuanya."
"Biar lohu saja yang pergi," sahut Han-ciang Tiau-siu.
"Aku juga," kata Tok-ku Hong.
"Sumoay ...." panggil Kongsun Hong.
"Lukamu belum sembuh, kau tinggal saja di kapal ini," tukas
Tok-ku Hong yang mengerti maksud hati suhengnya.
Kongsun Hong tertawa getir.
Han-ciang Tiau-siu mengerlingnya sekilas dan tersenyum.
"Jangan khawatir. Aku akan menjaga Toa-siocia baik-baik,"
katanya. Kongsun Hong terpaksa menganggukkan kepalanya.
***** Go-hok-kek-can adalah sebuah penginapan besar. Di
bawahnya terdapat sebuah rumah makan yang mewah. Tamu
berdatangan tiada hentinya.
Han-ciang Tiau-siu dan Tok-ku Hong tidak mencari tempat
duduk. Mereka langsung menuju meja kasir. Han-ciang Tiau-
siu mengeluarkan sebuah tanda pengenal bertuliskan "Bu-ti"
dan meletakkannya di atas meja. Dia menyebut "Wi-tian-wei-
toa, Ju-jit-fang-tiong" dengan suara lirih.
377 Ciangkuijin (pemilik penginapan) tertegun. "Huruf Thian kamar
nomor tiga," sahutnya dengan suara berbisik. Kemudian dia
menolehkan kepalanya dan memanggil, "Cang Po!"
Seorang pelayan segera mendatangi dengan tergesa-gesa.
"Antar kedua tamu ke kamar nomor tiga dengan huruf Thian,"
kata Ciangkui itu selanjutnya.
Cang Po membungkukkan tubuhnya dengan hormat.
"Liongwi, silakan!" katanya.
***** Kamar itu berada di tingkat dua. Dari jendela orang bisa
melihat ke jalanan. Ruangannya besar sekali. Di dalamnya
sudah menunggu dua orang laki-laki berpakaian mewah. Pintu
kamar didorong. Kedua laki-laki berpakaian mewah itu segera
menyongsong ke depan.
"Tancu cabang kedua belas Lim Seng dan Hu-tancu Cen Bu
menghadap Toasiocia dan Hu-hoat," kata mereka serentak.
Tok-ku Hong menyahut dengan datar.
"Bagaimana hasil penyelidikan kalian?" tanya Han-ciang Tiau-
siu. "Liongwi silakan duduk dulu," kata Lim Seng ambil menarik
dua buah bangku ke hadapan meja.
378 Cen Bu segera mengeluarkan dua buah kertas gambar dan
membentangnya di atas meja. Di atas gambar-gambar itu
terlihat dua rang wanita dengan dandanan yang berlainan,
keduanya berusia setengah baya.
"Setelah kejadian itu, kami menangkap dua ratus empat puluh
tujuh orang dari sembilan puluh tujuh keluarga untuk ditanyai.
Setelah melalui pemeriksaan yang panjang, kami
menggunakan cara mengenali orang dengan lukisan. Akhirnya
kami mendapatkan lukisan yang satu ini," kata Lim Seng
sambil mengunjuk ke gambar yang sebelah kiri.
"Siapa orang ini?"
Lim Seng menunjuk ke arah wajah di lukisan itu.
"Wanita ini adalah ibu kandung Fu Giok-su. Dialah Fu-hujin
yang sebenarnya."
"Lalu, yang ini ...?" tanya Tok-ku Hong.
"Dialah wanita yang terbunuh itu. Kami mengutus sejumlah
anak buah untuk menggali kuburan sepanjang malam, setelah
itu kami melukis wajah perempuan ini dan kami, perlihatkan
kepada para tetangga yang kami tangkap itu. Mereka semua
mengenalinya sebagai inang pengasuh keluarga Fu," sahut
Lim Seng. Mata Tok-ku Hong beralih ke arah lukisan ibu kandung Fu
Giok-su. "Aku takut yang ini juga palsu," gumamnya.
379 "Tentang palsu atau benarnya, kami hanya tahu dari para
penduduk sebelum Ci Siong tojin diajak masuk ke rumah itu,"
sahut Lim Seng.
Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Memang Fu-hujin ini juga jadi masalah," kata Lim Seng
selanjutnya. Cen Bu mengeluarkan lagi secarik kertas dan membebernya
kembali di atas meja. Di atasnya tertera huruf-huruf kecil. Cen Bu segera membacanya.
"Menurut laporan dari pedagang Yu Tian, tahun lalu bulan
enam tanggal enam, pernah terlihat orang-orang ini muncul di
jalan raya di kota Hun Liong. Pada saat itu, mereka
menggotong babi panggang dalam jumlah yang banyak, maka
dari itu menarik perhatian orang."
"Teruskan!" kata Tok-ku Hong.
"Menurut laporan pedagang Wang Kiat, tahun yang sama
bulan delapan tanggal dua belas, orang-orang ini pernah
muncul di Ceng-bwe-ceng dan membeli kain dalam jumlah
yang besar. Menurut laporan pedagang Cai Sing, tahun kedua
bulan tiga tanggal sembilan, orang-orang ini pernah muncul di
Pek-ka-cik. Pada saat itu, mereka memesan berbagai senjata


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam jumlah yang besar pula."
"Orang-orang ini memang mencurigakan," kata Tok-ku Hong.
"Ada bukti apa lagi?"
380 "Di sini juga terdapat beberapa kuitansi dari berbagai toko.
Menurut laporan, keluarga Fu membeli peti mati sejumlah lima
puluh sembilan buah. Namun ketika orang-orang kami
menggali kuburan, jumlah mayat hanya ada lima puluh. Dan
mereka bukan terdiri dari orang-orang yang sehari-harinya
keluar masuk rumah keluarga Fu."
"Ada lagi," tukas Lim Seng. "Kami berhasil menyelidiki toko
yang membuat panji telapak darah palsu. Kami memaksa
pemiliknya berbicara. Dia mengatakan bahwa tiga bulan
sebelumnya keluarga Fu memesan panji tersebut sebanyak
tiga kodi."
"Kemudian kami berhasil menemukan setengah kodi dalam
kamar keluarga Fu. Dua kodi lainnya ditemukan tertanam di
dalam tanah," kata Cen Bu.
"Urusan ini kalian selidiki dengan baik. Pulang ke rumah nanti
aku akan mengatakannya kepada ayah. Agar kalian menerima
hadiah yang sesuai," puji Tok-ku Hong.
Lim Seng dan Cen Bu senang sekali mendengar janji itu.
Mereka segera berdiri dan menjura dalam-dalam.
"Terima kasih, Toa-siocia," kata mereka serentak.
"Di mana orang-orang itu sekarang?"
Di toko obat seberang jalan," sahut Lim Seng sambil
melangkah menuju jendela. Dia menyingkapkan tirai jendela
tersebut. 381 Han-ciang Tiau-siu dan Tok-ku Hong menghampiri. Tampak
sebuah toko obat ada di seberang jalan. Toko itu tidak
seberapa besar. Di atasnya terdapat sebuah papan merek
bertulisan "Po-ci" dua huruf.
"Kita sudah menyelidiki toko obat ini kurang lebih dua bulan
lamanya," kata Lim Seng menjelaskan.
"Apakah kau melihat adanya orang yang mencurigakan keluar
masuk toko tersebut?" tanya Tok-ku Hong.
"Setiap tujuh hari sekali, pasti ada seseorang yang sangat
misterius datang ke tempat ini."
"Jelaskan."
"Orang itu memakai topi pandan berbentuk aneh. Sebagian
wajahnya tertutup oleh topi tersebut, seakan takut ada orang
yang mengenali wajah aslinya. Setiap kali keluar masuk selalu
bertangan kosong. Tampaknya dia serang tokoh penting
dalam komplotan tersebut."
"Apakah kalian ada melakukan gerakan apa-apa?" tanya Han-
ciang Tiau-siu.
"Kami takut memukul rumput mengejutkan ular. Oleh karena
itu, kami hanya mengutus dua orang anak buah kami yang
menyamar dan mengawasi di depan toko tersebut."
"Kapan orang misterius itu akan muncul kembali?"
"Hari ini!"
382 "Turunkan perintah agar mereka mengawasi lebih ketat," kata
Han-ciang Tiau-siu.
Lim Seng dan Cen Bu mengiakan kemudian mengundurkan
diri. ***** Keadaan di luar toko obat tenang sekali. Dekat tembok
sebelah kiri ada seorang tukang ramal sedang meramalkan
nasib seseorang tamu. Ujung tembok sebelah kanan ada
seorang pedagang buah. Tanpa sengaja, kereta buah
tersenggol oleh tangannya dan buah-buahan jatuh
bergelimpangan di tanah.
Dia memungutnya cepat-cepat. Keadaan di dalam toko lebih
sepi. Seorang laki-laki duduk di belakang meja sedang
menyiapkan obat-obatan. Seorang laki-laki berpakaian abu-
abu muncul dari jalan raya. Dengan langkah santai dia masuk
ke dalam toko obat tersebut. Dia memakai sebuah topi pandan
berbentuk aneh. Begitu rendahnya topi itu sehingga seluruh
wajahnya hampir tidak terlihat.
Dialah orang misterius yang dikatakan oleh Lim Seng dan Cen
Bu. Dia juga yang muncul belakangan di rumah keluarga Fu
dan membunuh Ti Ciok dan Bok Ciok. Orang aneh tanpa
wajah! Orang tua yang duduk di belakang meja segera berdiri
menyambut. 383 "Silakan ... silakan masuk ke ruangan dalam," katanya.
Orang itu tidak menyahut sama sekali. Masih dengan gerakan
santai dia masuk ke ruangan dalam.
***** "Orang itu yang kau maksudkan?" tanya Tok-ku Hong yang
mengintip lewat celah jendela.
"Tidak salah ... dialah orangnya," sahut Lim Seng cepat-cepat.
"Apakah semuanya sudah siap?"
"Semuanya sudah siap," sahut Lim Seng sambil mengepalkan
tinjunya. "Kapan waktu saja kita bisa bergerak."
"Tidak usah tergesa-gesa," sahut Tok-ku Hong sambil tertawa
dingin. "Mereka sudah terkepung oleh orang-orang kita. Lihat
saja perkembangan selanjutnya."
"Bagus!" Han-ciang Tiau-siu setuju dengan usul itu.
Apa lagi Lim Seng dan Cen Bun, mereka tidak berani
mengatakan apa-apa. Kenyataannya di luar toko obat sudah
bersembunyi banyak anggota Bu-ti-bun. Asalkan ada perintah
dari atasan, mereka akan segera bergerak.
***** 384 Ruangan dalam toko obat agak gelap. Belasan orang
menunggu perintah di sekeliling situ. Mereka semua menatap
ke arah manusia berpakaian abu-abu. Tidak ada seorang pun
yang bersuara. Manusia berpakaian abu-abu itu berjalan mondar-mandir.
Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu. Mata setiap
orang mengikuti gerakan si manusia berpakaian abu-abu. Hati
mereka tegang sekali.
"Kalian benar-benar ceroboh!" tiba-tiba manusia berpakaian
abu-abu itu berkata. Langkah kakinya terhenti.
***** Tepat pada saat itu, di depan toko obat berhenti sebuah
tandu. Tandu itu sangat mewah. Empat laki-laki bertubuh
tegap menggotong tandu tersebut dan langsung masuk ke
dalam toko obat.
Orang tua yang duduk di belakang meja itu berubah hebat
wajahnya melihat kedatangan tandu tersebut. Cepat ia berdiri
untuk menyambut.
Siapakah sebetulnya orang yang berada dalam tandu itu"
***** 385 "Kami ..." semua orang tertegun.
"Rahasia tempat ini sudah bocor. Kalian malah tidak ada yang
tahu!" nada suara manusia berpakaian abu-abu itu terdengar
marah sekali. Semua orang yang ada dalam ruangan itu kembali tertegun.
Mereka saling lirik satu sama lainnya.
"Sekarang tempat ini sudah berada di bawah pengawasan
pihak musuh."
"Tidak mungkin," tukas seorang laki-laki berusia setengah
baya. "Tindak-tanduk kita selama ini selalu dirahasiakan. Kami
selalu berhati-hati."
"Kalau sampai rahasia di sini bocor ...?"
"Tidak mungkin."
Manusia berpakaian abu-abu itu tertawa dingin, "Entah siapa
yang melaporkan kepada Congkoan (petugas dari pusat)."
"Kalau yang dimaksudkan tukang ramai dan bocah penjual
buah-buahan yang ada di luar toko ...."
"Mereka sudah ada di sini sejak dua bulan yang lalu."
"Apakah tidak terlihat apa-apa yang mencurigakan pada diri
mereka?" "Rasanya tidak ...."
386 "Justru aku merasa mereka terlalu istimewa," kata manusia
berpakaian abu-abu itu sambil tertawa dingin terus-menerus.
"Peramal itu meramal berdasarkan dewa Cu-kek. Seharusnya
dia menggunakan lima uang logam. Tapi tadi aku lihat dia
hanya menggunakan empat mata uang logam saja. Dengan
bukti ini, sudah terang dia itu peramal gadungan," dia
merandek sejenak, "mengenai bocah penjual buah-buahan itu,
juga patut dicurigai. Tadi gerobaknya tersenggol. Aku sempat
mendengar suara berdenting dari bawah gerobak tersebut.
Dapat dipastikan bahwa dia menyembunyikan beberapa buah
senjata di bawah gerobaknya."
"Lagi pula ...." terdengar sahutan suara seorang wanita
berkumandang dari luar. "Di atas penginapan Go-hok-kek-can
sudah ada yang mengawasi kita."
***** "Siapa lagi orang yang berada dalam tandu itu?" tanya Tok-ku
Hong heran. "Tidak tahu ...." Lim Seng mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebelumnya belum pernah aku melihat adanya tandu
semacam itu muncul di situ."
"Kemungkinan orang yang kedudukannya lebih tinggi dan
diutus oleh ketua mereka untuk mengontrol keadaan," kata
Han-ciang Tiau-siu dengan nada berat.
Tok-ku Hong juga mempunyai pendapat yang sama. Tapi dia
diam saja. 387 Jilid 9 Selesai berkata, pintu didorong dari depan, seorang wanita
melangkah masuk ke dalam. Wanita itu mencolok sekali
dandanannya. Pakaiannya mewah, gayanya genit. Setiap kali
melangkah pinggangnya lenggak-lenggok. Tangan kanannya
menggenggam sebuah kotak kain yang sangat halus
buatannya. Belasan orang yang melihat kedatangan wanita itu, tampak
berubah hebat wajahnya. Manusia berpakaian abu-abu itu
segera menghampiri dan membungkuk hormat. Wanita yang
berpakaian warna-warni itu tertawa merdu, "Semua jendela
yang menghadap ke tempat kita ini setengah terbuka. Hal ini
tidak sulit diduganya."
Manusia berpakaian abu-abu menganggukkan kepalanya.
Wanita berpakaian abu-abu itu membalikkan tubuhnya dan
menutup kembali pintu tadi. Manusia berpakaian abu-abu tadi
segera menghunus pedangnya dan menikam leher laki-laki
berusia setengah baya tadi.
"Congkoan...!" setiap orang yang ada dalam ruangan
menyiratkan rasa terkejut yang tidak terkirakan.
Gerakan pedang manusia berpakaian abu-abu berhenti.
Pedangnya berkelebat ke kiri dan kanan. Kembali dia
membunuh lima orang yang ada dalam ruangan itu. Sisa
orang-orang itu panik sekali. Mereka mengeluarkan
senjatanya masing-masing. Manusia berpakaian abu-abu
seakan memandang sebelah mata. Pedangnya kembali
388 bergerak menembus jantung salah seorang yang tersisa.
Hujan darah menciprat di mana-mana. Dua orang lagi tertikam
oleh pedangnya. Kedua orang itu menjerit ngeri lalu roboh ke
tanah. Ketika tubuh manusia berpakaian abu-abu itu melesat
ke udara, salah seorang berusaha menerobos lewat jendela.
Baru dia bermaksud menyelinapkan kepalanya ke dalam
jendela tersebut, pedang manusia berpakaian abu-abu tadi
sudah menebasnya dari belakang tepat di bagian kepala. Dia
masih belum ingin berhenti. Selesai dengan yang satu, dia
mengincar yang lain. Seorang laki-laki berusaha menghindar
dan menyusup ke kolong meja, namun percuma. Pedang
manusia berpakaian abu-abu itu menebas batang lehernya
dan kepalanya segera melayang di udara dan jatuh ke tanah.
Orang terakhir yang masih hidup tentu saja ketakutan
setengah mati. Dia sadar tidak ada jalan keluar lagi. Akhirnya
dia hanya berdiri menempelkan punggungnya di tembok
menunggu kematian. Pedang manusia berpakaian abu-abu
tidak mengenal kata belas kasihan. Dada orang itu ditikamnya
sehingga menembus ke belakang. Belum sempat orang itu
menjerit kesakitan, tubuhnya sudah roboh bermandikan darah.
Warna merah menghiasi seluruh ruangan. Tembok maupun
meja dan lantainya. Manusia berpakaian abu-abu itu tertawa
dingin beberapa kali. Rasa bangganya belum lenyap, namun
orang yang berada dalam ruangan itu sudah mati semua.
***** Tandu mewah tadi digotong keluar kembali, mereka
389 mengambil arah yang sama dengan datangnya. Orang tua
pemilik toko obat itu mengantarkan sampai di depan dan
menutup pintunya rapat-rapat.
Melihat keadaan itu, kening Tok-ku Hong segera berkerut.
Han-ciang Tiau-siu juga merasa curiga.
"Tampaknya ada yang tidak beres," katanya.
"Su-hu-hoat, cepat kau kejar tandu itu. Kalau bisa, selidiki di mana letak markas mereka yang lain!" perintah Tok-ku Hong.
Han-ciang Tiau-siu menganggukkan kepalanya dan
mengundurkan diri.
"Yang lainnya ikut aku menyerbu ke dalam!" perintah Tok-ku
Hong selanjutnya. Sepasang goloknya sudah disiapkan di
tangan. Dia keluar menerobos jendela.
Lim Seng dan Cen Bu segera mengikuti gerakannya. Begitu
mencapai tanah, Lim Seng mengibaskan tangannya. Puluhan
anak buah Bu-ti-bun yang tadi menyamar sebagai tamu
sebuah kedai minum segera berhamburan mendatangi.
Pintu toko obat sudah tertutup rapat, dari dalam tidak
terdengar sedikit suara pun.
"Dobrak pintu itu!" kata Tok-ku Hong.
Para anggota Bu-ti-bun segera mengiakan. Mereka
mengeluarkan senjata masing-masing dan menggempur pintu
itu hingga roboh. Berbondong-bondong mereka menyerbu ke
dalam. Untuk sesaat mereka tidak bisa melihat apa-apa,
390 karena dalam ruangan itu dipenuhi asap tebal. Tentu ada
orang yang melemparkan semacam granat sehingga ada
waktu baginya untuk melarikan diri.
Sekejap kemudian asap mulai menipis. Tampak orang tua
pemilik toko obat duduk di belakang meja dengan kening


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergurat luka. Orang tua itu sudah mati.
"Serbu!" teriak Tok-ku Hong. Dia langsung menerjang ke
dalam. Lim Sen dan Cen Bu takut terjadi apa-apa pada nona
besarnya, mereka mengikuti dari belakang.
Di ruangan dalam terlihat mayat berserakan, darah segar
masih menggenang di mana-mana, benar-benar sebuah
pemandangan yang mengerikan. Tok-ku Hong mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling ruangan.
"Pihak lawan sudah tahu kalau tindak-tanduk mereka diawasi
oleh kita, maka dia membunuh semua anak buahnya sendiri
agar tidak sempat membocorkan rahasia lainnya," kata gadis
itu. Baru saja selesai berkata, terdengar suara jeritan menyayat.
Tok-ku Hong membalikkan tubuhnya dan menghambur ke
arah asal suara. Sampai di depan toko obat dia melihat
beberapa mayat anggota Bu-ti-bun tergeletak di sana. Tukang
ramal dan bocah penjaja buah juga sudah roboh dengan luka
mengerikan. Seorang manusia berpakaian abu-abu sedang
bertempur dengan beberapa anggota Bu-ti-bun lainnya.
Gerakan manusia berpakaian abu-abu itu sangat cepat.
Berhasil membunuh dua orang, dia segera menutul kakinya
meninggalkan tempat itu. Namun masih ada dua orang
391 anggota Bu-ti-bun yang mengadang di depannya. Pedangnya
berkelebat, keduanya mati seketika.
Tok-ku Hong menggertakkan giginya erat-erat. Dia mengejar
manusia berpakaian abu-abu itu. Lim Seng dan Cen Bu
segera mengikuti dari belakang. Tanpa memalingkan kepala
sekalipun, manusia berpakaian abu-abu itu terus lari ke
depan. Di jalanan para penduduk kalang kabut, mereka masuk
ke dalam rumah masing-masing dan mengunci pintu rapat-
rapat. ***** Keluar dari kota, melintas daerah terpencil kemudian masuk
ke dalam hutan.
Tok-ku Hong akhirnya berhasil mengejar manusia berpakaian
abu-abu. Secepat kilat goloknya meluncur, manusia
berpakaian abu-abu itu berkelit ke samping, kemudian
meloncat ke atas sebatang pohon. Tampaknya dia hanya
menghindar terus. Tok-ku Hong curiga melihat tindak
tanduknya. Namun dia tidak mau melepaskan manusia
berpakaian abu-abu itu begitu saja. Dia menutulkan kakinya
dan mencelat ke atas pohon yang sama. Goloknya sulit
mencapai sasaran karena dedaunan yang lebat.
Manusia berpakaian abu-abu itu seolah tengah
mempermainkannya. Begitu Tok-ku Hong naik ke atas pohon,
dia meloncat turun kembali. Tok-ku Hong gagal menebas
manusia berpakaian abu-abu itu. Dia segera menyusul turun.
Tepat pada saat itu, kaki si manusia berpakaian abu-abu baru
392 mencapai tanah.
Tok-ku Hong yang menyusul belakangan mengayunkan
goloknya ke bawah.
"Crep!", manusia berpakaian abu-abu sempat menggeser
tubuhnya, namun topi pandannya yang berbentuk aneh
tertebas juga oleh golok Tok-ku Hong. Gadis itu segera
mendarat di tanah dan berdiri berhadapan dengan manusia
berpakaian abu-abu itu.
Topi orang itu sudah terlepas. Sekarang terlihatlah apa yang
ada di balik topi tersebut. Tok-ku Hong berdiri tertegun. Orang itu sama sekali tidak mempunyai alis hidung atau pun mata.
Wajahnya rata. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat
manusia semacam ini. Meskipun dia seorang gadis yang
pemberani, namun menemui wajah semacam ini rasanya
menggetarkan hatinya juga.
Manusia berpakaian abu-abu itu segera menggunakan
kesempatan ketika Tok-ku Hong terlongong-longong untuk
melesat dan meninggalkan tempat tersebut. Beberapa saat
kemudian, Tok-ku Hong baru tersadar, namun manusia
berpakaian abu-abu itu sudah lenyap dari pandangan.
Lim Seng dan Cen Bu menyusul tiba. "Siocia, apakah orang
itu sudah kabur?" tanya mereka panik.
Tok-ku Hong mengangguk kecil. Sinar matanya mengandung
kecurigaan. "Apakah kalian bertemu dengan Su-hu-hoat di
perjalanan tadi?" tanyanya tiba-tiba.
Lim Seng dan Cen Bu menggelengkan kepalanya serentak.
393 "Dia pasti akan meninggalkan jejak sepanjang perjalanan,
coba kalian cari," kata Tok-ku Hong datar.
"Apakah siocia khawatir terjadi sesuatu pada Su-hu-hoat?"
tanya Lim Seng.
Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali.
***** Pada saat itu, Han-ciang Tiau-siu berada dalam jarak tiga li
dari luar hutan. Empat orang laki-laki bertubuh tegap itu
semakin lari semakin cepat. Gerakan mereka tidak seperti
sedang menggotong sebuah tandu yang ada orang di
dalamnya. Mereka masuk ke dalam hutan yang lebat.
Daun-daun berguguran. Di dalam hutan juga tersorot sinar
mentari. Cahaya menembus ranting-ranting dan dedaunan.
Kabut mulai menebal. Han-ciang Tiau-siu berlari melintasi
daun-daun yang berguguran. Gerak-geriknya hati-hati, mata
terus mengawasi tandu di depan sana.
Meskipun di tanah berserakan daun-daun namun kaki Han-
ciang Tiau-siu yang menginjaknya tidak menerbitkan suara.
Hal ini membuktikan tingginya ginkang yang dimiliki Su-hu-
hoat dari Bu-ti-bun itu. Setelah berlari kurang lebih tiga depa, tiba-tiba empat orang laki-laki itu menghentikan langkah
kakinya. Mereka menurunkan tandu yang mewah tersebut.
Mereka berpencaran dan meninggalkan tandu itu lalu melesat
ke depan. 394 Melihat keadaan itu, Han-ciang Tiau-siu merasa heran sekali.
Dia bergerak maju lagi beberapa langkah kemudian
bersembunyi di balik sebatang pohon. Tandu itu sama sekali
tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan.
Kabut di dalam hutan semakin tebal. Tidak terdengar kicauan
burung ataupun deru suara angin. Begitu sunyinya bagai
menginjak alam kematian. Tubuh Han-ciang Tiau-siu
berkelebat lagi. Persis seperti seekor kuda terbang melintasi
atap tandu. "Sret!", tangannya bergerak. Tali pancingnya mengait atap
tandu dan tersingkap seketika. Tidak ada reaksi apa pun dari
dalam tandu. Tubuhnya mendarat di tanah. Telapak tangannya segera
menghantam tandu tersebut. Suara hantaman telapak
tangannya menggelegar. Tandu itu hancur berantakan. Di
antara keping-kepingan yang berjatuhan, Han-ciang Tiau-siu
menatap dengan tajam. Tidak ada orang yang meloncat keluar
dari dalam tandu. Ternyata yang di kutinya sejak tadi adalah
sebuah tandu kosong.
Tiba-tiba sebuah suara tawa yang merdu bagai irama musik
berkumandang, sebentar jelas sebentar sayup. Han-ciang
Tiau-siu mendongakkan kepalanya. Sinar matahari masih
menyorot lewat celah-celah pohon. Angin mulai bertiup
kencang. Secarik sinar seperti pelangi melintas dari arah timur atas pohon dan melayang ke bawah.
Sinar mata Han-ciang Tiau-siu berpendar. Hatinya bergetar.
Cahaya pelangi belum memudar. Kenyataannya yang
395 melintas tadi memang bukan pelangi, melainkan seorang
wanita dengan pakaian warna-warni. Dialah orang yang
berada dalam tandu dan di kuti oleh Han-ciang Tiau-siu sejak
keluar dari toko obat.
Tadinya dia memang duduk di dalam tandu, tapi entah sejak
kapan dia sudah keluar dari tandu dan bersembunyi di atas
pohon. Kabut semakin menebal. Wanita itu juga semakin
mempesona. Han-ciang Tiau-siu memandanginya tanpa
berkedip. Tampak sinar mata ketakutan yang mencekam hati.
Rupanya dia sudah tahu asal usul wanita itu.
Wanita itu tersenyum manis. Dia merapikan rambut di
keningnya dengan jari tangannya yang indah.
"Sepuluh tahun tidak berjumpa, tidak disangka sifatmu masih
juga berangasan," katanya dengan suara merdu.
Han-ciang Tiau-siu tidak menyahut. Jari tangannya tidak henti
bergerak di atas bambu pancingannya. Tampaknya dia
sedang mengukir, tapi matanya menatap wanita itu lekat-lekat.
"Kenapa" Sekarang kau sudah pandai menahan emosi?"
tanya wanita itu masih mengembangkan senyuman. Dia maju
ke depan satu langkah.
Tanpa sadar Han-ciang Tiau-siu malah ikut mundur satu
langkah. "Kau belum mati?"
"Kau senang kalau aku mati?" tanya wanita itu. Senyumnya
sudah lenyap. "Senang sekali," sahut Han-ciang Tiau-siu sambil meluncurkan
396 tali pancingnya ke arah tenggorokan wanita berpakaian
warna-warni itu.
Dengan tertawa dingin wanita itu menggeser tubuhnya. Tali
pancing Han-ciang Tiau-siu lewat di samping lehernya. Hati
Su-hu-hoat dari Bu-ti-bun ini semakin tegang. Sepuluh tahun
tidak bertemu, tampaknya ilmu wanita itu sudah maju pesat.
Dulu saja dia bukan tandingannya, apa lagi sekarang. Han-
ciang Tiau-siu sudah dapat membayangkan akibat yang akan
diterimanya. Namun dia tidak sudi menerima kematian begitu
saja. Paling tidak namanya juga pernah menggetarkan dunia
kangouw. Tali pancingnya dilontarkan kembali. Kali ini mengarah bagian
belakang kepala wanita itu. Jaraknya sudah demikian dekat,
tapi wanita itu masih tenang-tenang saja. Pada saat terakhir
dia membungkukkan tubuhnya tangan kanannya terangkat
dan dengan sigap menyambut tali pancing tersebut. Belum
lagi Han-ciang Tiau-siu tersadar, tangan kiri wanita itu sudah
mengebas, serangkum hawa dingin menerpa. Beberapa buah
senjata rahasia dilontarkan ke arah jantung Han-ciang Tiau-
siu. Laki-laki itu segera berkelit namun terlambat. Meski tidak semua senjata rahasia mengenai tubuhnya, tapi yang pasti
tiga buah paku sudah menancap di dalam dadanya. Wajahnya
berubah hebat. Dia merasa dadanya panas sekali. Dengan
susah payah dia berusaha menengok lukanya. Dadanya
sudah hangus terbakar dan kulit di seluruh bagian depan
tubuhnya berubah warna menjadi kebiru-biruan. Ternyata
paku itu mengandung racun yang sangat keji.
Wanita itu tertawa terkekeh. Gayanya memikat. Namun bagi
Han-ciang Tiau-siu, wanita itu ibarat iblis yang demikian
menakutkan. Matanya mendelik lebar-lebar. Tubuhnya
397 terkapar di tanah, napas pun berhenti.
Dengan tenang wanita itu menghampirinya. Dia menatap
mayat Han-ciang Tiau-siu dengan kegairahan yang
menyeramkan. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah botol kecil
dari balik pakaiannya. Isi botol itu berbentuk cairan,
dituangkannya ke atas tubuh Han-ciang Tiau-siu.
"Wes!", perlahan tubuh laki-laki lumer bagai es batu yang
disiram air panas. Dalam waktu sekejap mata mayat itu tinggal
seonggok darah dan uap yang mengepul dan perlahan sirna.
Bahkan pakaian Han-ciang Tiau-siu tinggal potongan-
potongan kecil saja. Bagaimana mungkin seorang wanita yang
demikian cantik dapat melakukan perbuatan yang demikian
keji" Rasanya mustahil, tapi kenyataannya memang benar
ada. ***** Angin bertiup semilir. Cahaya matahari makin terik. Kabut
mulai menipis. "Sret! Sret!", golok di tangan Tok-ku Hong sibuk menyibak
ranting pohon yang menjuntai menutupi jalan. Lim Seng dan
Cen Bu masih mengikuti dari belakang. Han-ciang Tiau-siu
memang meninggalkan petunjuk-petunjuk di sepanjang
perjalanan. Dalam Bu-ti-bun ada kode tersendiri yang hanya
dikenal oleh anak muridnya. Oleh karena itu, akhirnya Tok-ku
Hong berhasil juga mencapai tempat tersebut.
"Tandunya ada di sana!" teriak Lim Seng sambil menuding ke
398 depan. "Aneh!" kata Tok-ku Hong yang malah menghentikan langkah
kakinya. Cen Bu sendiri juga merasa heran. "Mengapa tandu itu hancur
tidak karuan?"
"Mereka pasti pernah bertarung di tempat ini," gumam Tok-ku
Hong. Sepasang goloknya digenggam erat-erat. Dia
menerjang ke depan
Lim Seng dan Cen Bu saling melirik sekilas kemudian ikut
menerjang. Namun sampai di depan hancuran tandu itu, tetap
tidak ada reaksi yang mencurigakan. Tidak terlihat seorang
manusia pun di tempat itu.
Tok-ku Hong mengedarkan pandangan matanya. Tiba-tiba dia
melihat senjata Han-ciang Tiau-siu tergeletak di atas tanah.
Hatinya mulai tidak enak.
"Pancingan ...!" serunya lirih.
Mendengar seruan itu, Lim Seng segera menolehkan
kepalanya. Matanya terbelalak. "Bukankah itu senjata Su-hu-
hoat?" "Sudah pasti." Kening Tok-ku Hong berkerut, "Su-hu-hoat
memandang senjata lebih-lebih dari nyawanya sendiri.
Bagaimana sekarang bisa ditinggalkan di sini?"
Lama sekali gadis itu termenung. Kemudian dia melihat
genangan darah di dekat semak-semak. Genangan darah itu
399 masih belum mengering. Angin bertiup, serangkum hawa amis
menerpa. Tok-ku Hong mengendus-endus pucuk hidungnya.
Dia membungkukkan tubuhnya dan mengambil batang bambu
senjata Han-ciang Tiau-siu lalu diperhatikannya dengan
seksama. "Siocia, coba kau lihat ...." kata Lim Seng seraya berjalan ke
arah genangan darah tadi.
"Su-hu-hoat pasti gugur dalam tugas." Sinar mata Tok-ku
Hong mengikuti langkah Lim Seng. "Sedangkan genangan
darah itu ...." dia hampir tidak sanggup meneruskan kata-
katanya. "Jangan-jangan genangan darah ini ...." lidah Lim Seng dan
Cen Bu juga ikut menjadi kaku.
Tubuh Tok-ku Hong menggigil.
"Siapa yang mempunyai kemampuan melakukan semua ini?"
tanya Cen Bu penasaran.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Tok-ku Hong beralih kembali pada batang bambu di
tangannya. "Aku yakin jawabannya ada pada huruf di batang
bambu ini," katanya.
"Apakah siocia dapat mengerti apa yang dimaksudkannya?"
"Aku tidak mengerti," sahut Tok-ku Hong sambil
menggelengkan kepalanya. "Rasanya huruf ini serupa dengan
'Yi' (hujan)."
Hujan, tebakan Tok-ku Hong memang benar.
400 "Hujan?" Lim Seng mengulangi kata-kata itu kembali.
"Apa yang dimaksudkan oleh Han-ciang Tiau-siu dengan
'hujan'?" Tok-ku Hong mendongakkan wajahnya ke langit.
Kembali angin bertiup. Kali ini lebih kencang. Tiba-tiba
terdengar suara menggelegar dan hujan pun turun dengan
deras membasahi wajah dan tubuh Tok-ku Hong. Gadis itu
mengangkat tangannya mengusap air hujan yang membasahi
wajahnya. Perasaannya semakin sendu.
***** "Hujan!" kata-kata yang sama keluar dari mulut ketiga Hu-hoat
lainnya dari Bu-ti-bun. Nada dan wajah mereka sama
kelamnya. Melihat guratan di atas bambu Han-ciang Tiau-siu, wajah
mereka sudah berubah hebat. Tangan Kiu-bwe-hu yang
menggenggam batang bambu itu gemetar. Cian-bin-hud
menarik napas panjang.
"Kalau bukan karena bertemu dengan hujan, Lao-su tidak
mungkin akan mati demikian mengenaskan," katanya.
Tok-ku Hong tidak dapat menahan perasaannya lagi. "Siapa
sebetulnya 'hujan' itu?" desaknya.
"Orang dari Pik-lok-sit (organisasi batu giok berjatuhan)."
401 "Langit bergerak, hujan angin melanda, kilat dan geledek
mengguncang bumi. Langit terdiam, tanah bagai cermin, batu
giok berjatuhan." Suara Cian-bin-hud semakin bergetar.
"Menurut cerita yang tersebar, di bu-lim pernah muncul
serombongan manusia. Ilmu mereka sangat tinggi. Tidak
banyak orang yang sanggup menghadapi mereka. Karena
mereka datang dari Pik-lok. Di mana tempat itu tidak ada yang
tahu. Ada yang mengatakan di batas langit. Dan ilmu mereka
kuasai rata-rata keji dan telengas dan hampir tidak masuk
akal." "Benar?" tanya Tok-ku Hong penasaran.
Cian-bin-hud tertawa.
"Tentu saja tidak. Meski urusan apa pun, kalau sudah tersebar
di dunia bu-lim, pasti banyak bumbu yang ditambahkan.
Sebuah cerita yang biasa saja bisa berubah menjadi
menegangkan. Tapi cerita ini paling bertahan. Selama
beberapa puluh tahun cerita ini menjadi semacam legenda."
"Mungkin karena bumbu-bumbu cerita masyarakat itulah,
akhirnya orang-orang itu mengambil nama hujan, angin, kilat
dan geledek. Kibasan lengan baju Angin, paku dan jarum
Hujan, golok Kilat, pedang Geledek. Mereka mengguncangkan
dunia persilatan dengan keahlian masing-masing. Namun
mereka bukan ketuanya. Di balik mereka masih ada tokoh lain
yang menjadi kepala. Orang itu disebut Langit.
"Siapa 'langit' yang kau maksud?"
"Langit adalah Thian-ti (raja langit). Konon ilmunya jauh di atas hujan, angin kilat ataupun geledek. Dia mempunyai
402 permaisuri, selir, putra mahkota dan putri. Sayangnya,
generasi demi generasi, kekuasaan mereka semakin pudar.
Dua puluh tahun yang lalu, karena banyaknya perbuatan jahat
yang mereka lakukan, tempat persemayaman mereka yang
disebut istana Pik-lok diserbu oleh kaum pendekar."
"Bagaimana kesudahannya?" tanya Tok-ku Hong semakin
tertarik. "Mereka berhasil meraih kemenangan, namun akhirnya
mereka berhasil dikalahkan oleh Buncu."
"Maksudmu ... ayahku?" tanya Tok-ku Hong tercengang.
"Betul!" Sinar mata Cian-bin-hud memancarkan semangat
ketika menceritakan bagian itu. "Sejak kekalahan itu, tidak
pernah terdengar kabar berita mereka lagi. Setelah sekian
lama, di dunia kangouw tersebar lagi berita bahwa mereka
melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat yang disebut
Siau-yau-kok (lembah bebas merdeka)."
"Siau-yau-kok?"
"Mereka sendiri yang mengubah dan mengganti lembah
tersebut dengan nama Siau-yau-kok. Mungkin maksudnya
bahwa mereka telah terlepas dari kejaran orang-orang dunia
kangouw dan sudah bebas merdeka." Cian-bin-hud tertawa
getir. "Tempat itu belum tentu menyenangkan dan sudah pasti
sangat terpencil serta misterius. Begitu misteriusnya sampai
saat ini orang-orang kita masih belum berhasil menemukan di
mana letaknya."
"Bu-ti-bun ada menyelidikinya" Mengapa selama ini aku tidak
403 pernah tahu?" tanya Tok-ku Hong dengan nada tidak senang.
"Kalau dikatakan, sebetulnya sepuluh tahun yang lalu kita
sudah mulai mengurangi kegiatan penyelidikan ini. Kalaupun
diteruskan, hanya karena atasan belum benar-benar
menurunkan perintah untuk berhenti. Sebuah organisasi yang
sudah lenyap selama sepuluh tahun, siapa pun, lama
kelamaan orang pasti mulai melupakannya," kata Cian-bin-hud
sambil menarik napas panjang.
Mau tidak mau Tok-ku Hong harus menyetujui pendapat ini.
"Kemunculan Hujan kali ini, kalau dilihat dari berbagai jejak
yang ditinggalkan, pasti mempunyai rencana tertentu.
Tampaknya orang-orang Siau-yau-kok sudah mulai bergerak
kembali," kata Cian-bin-hud kemudian.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Mata setiap orang terpusat pada wajah Cian-bin-hud. Hwesio
itu mengelus-elus kepalanya yang gundul.
"Buncu sampai sekarang masih menutup diri. Pinceng rasa
untuk sementara kita lihat dulu perkembangan. Lo-ji,
bagaimana pendapatmu?"
Kiu-bwe-hu menganggukkan kepalanya.
"Aku juga merasa lebih baik kita menunggu Buncu baru
mengambil keputusan."
Tok-ku Hong tertawa dingin. "Apakah kita harus mendiamkan
saja masalah ini?" katanya tajam.
404 Kiu-bwe-hu buru-buru menjelaskan, "Tentu saja tidak.
Masalahnya pihak lawan tampaknya tidak ingin terang-
terangan bentrok dengan kita. Mereka tidak segan-segan
membunuh semua anak buahnya yang ada di toko obat agar
rahasianya tidak bocor. Lagi pula sampai sekarang kita tidak
tahu di mana letak markas mereka yang sebenarnya. Andai
kata kita mau mencari mereka, juga bukan urusan yang
mudah." "Betul," Cian-bin-hud menganggukkan kepalanya. "Hal
pertama yang harus kita lakukan sekarang adalah
menurunkan perintah ke semua anak cabang agar mereka
harus berhati-hati dalam segala tindak-tanduk dan secara
diam-diam menyelidiki di mana letak Siau-yau-kok. Mereka toh
sudah menyebarkan orang-orangnya di dunia kangouw, maka
kita bisa mendapatkan sedikit petunjuk."
"Bagaimana kalau kita sudah menemukannya?" tanya Tok-ku
Hong. "Lihat dulu apakah kita berhasil mengikut mereka sampai
menemukan Siau-yau-kok, setelah Buncu keluar nanti, kita
langsung serang markas mereka."
Tok-ku Hong terdiam mendengar keterangan itu. Seorang
tokoh yang berjuluk Hujan saja sanggup membuat salah satu
Hu-hoat mereka Han-ciang Tiau-siu berubah menjadi
genangan darah. Meskipun pengalaman Tok-ku Hon dalam
dunia kangouw belum luas, namun dia dapat membayangkan
kehebatan orang-orang Siau-yau-kok.
405 ***** Satu kentungan kemudian ratusan burung merpati dilepaskan
dari kantor pusat Bu-ti-bun. Suara keliningan berdenting.
Suara kepak sayap bergemuruh. Serangkum ketegangan
yang sulit diuraikan dengan kata-kata memenuhi tempat itu.
Suara keliningan dari dekat lalu menjauh akhirnya
menghilang. Puluhan penunggang kuda menghambur cepat
dari pintu kantor pusat Bu-ti-bun. Mereka adalah orang-orang
pilihan yang sudah melalui latihan yang keras. Mereka
bertugas menyebarkan berita ke cabang-cabang yang agak
jauh. Bagi Bu-ti-bun sendiri, muncul kembalinya Siau-yau-kok lebih
membahayakan dari pada Bu-tong-pai. Dilihat dari ahli-ahli
berkuda yang mereka kerahkan, dapat membuktikan bahwa
mereka menaruh perhatian khusus terhadap Siau-yau-kok.
Sebelum Tok-ku Bu-ti keluar dari ruang latihannya, anggota
Bu-ti-bun pasti tidak berani mengambil tindakan yang akan
menggemparkan dunia kangouw. Juga tidak ada orang yang
berani memikul tanggung jawab seberat itu.
Bu-ti-bun mempunyai banyak cabang yang tersebar di mana-
mana. Orang pilihan yang keluar dengan mengendarai kuda
tadi juga bertugas melanjutkan penyelidikan setelah
mengabarkan perintah dari kantor pusat. Kekuatan Bu-ti-bun
sekarang tentu jauh lebih hebat dibandingkan dua puluh tahun
yang lalu. Hasil penyelidikan yang akan didapat sekarang juga tentu
406 akan lebih banyak. Persiapan yang dilakukan sekarang adalah
untuk berjaga-jaga andai kata mereka terpaksa harus
bertarung atau mengadakan perang dengan orang-orang
Siau-yau-kok. Sementara itu penjagaan di dalam kantor pusat
otomatis lebih diperketat lagi.
***** Demikian juga yang terjadi di Bu-tong-san. Di sepanjang
perjalanan menuju puncak gunung dibangun tenda-tenda
beratap rumput. Di setiap tenda terdapat empat anak murid
Bu-tong-pai yang berjaga-jaga. Mereka membagi diri menjadi
dua rombongan, bergantian berjaga siang dan malam.
Sayangnya ilmu silat yang mereka kuasai cukup terbatas.
Mereka tidak pernah memergoki Wan Fei-yang yang sering
keluar menuju tempat terpencil untuk belajar silat. Mereka juga tidak pernah memergoki Fu Giok-su yang sering berkunjung
ke telaga dingin. Bagi orang yang berilmu tinggi, tentu tidak
sulit melepaskan diri dari penjagaan murid-murid Bu-tong itu.
Seperti malam ini.
Malam belum larut. Bulan belum sepenuhnya bulat.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, Fu Giok-su melewati
koridor panjang dan sampai di depan pintu kamar.
Baru saja dia mendorong pintu, sudah dirasakan ada seorang
yang mendekatinya dari belakang. Langkah kakinya terhenti
seketika. 407 "Siapa?"
"Aku!" seiring sahutan itu, seseorang melintas di samping dan
menerobos masuk ke dalam kamar.
Tanpa bersuara sedikit pun, Fu Giok-su mengikutinya masuk
ke dalam. Kemudian dia merapatkan pintu kamarnya kembali.
Orang itu sudah duduk di sisi meja. Pakaiannya berwarna
abu-abu, kepalanya memakai sebuah topi pandan berbentuk
aneh. Sebagian besar wajahnya tenggelam dalam topi
tersebut. Siapa lagi kalau bukan manusia tanpa wajah dari
Siau-yau-kok. "Jangan khawatir. Tidak ada yang melihat aku," nada
suaranya juga sama.
Fu Giok-su baru bisa menghela napas mendengar
keterangannya. "Mengapa kau bisa menyelinap ke sini"
Apakah telah terjadi sesuatu?" tanyanya.
Manusia tanpa wajah itu menganggukkan kepalanya. "Kongcu
...." sapanya kepada Fu Giok-su.
Tubuh Fu Giok-su berkelebat mendekati jendela. Dia
menurunkan tirai jendela kamarnya. Sekejap kemudian,
terlihat dua orang penjaga dengan lentera di tangan melintas
di depan kamarnya. Fu Giok-su masih menunggu sejenak.
"Kau sudah boleh bicara," katanya.
"Bu-ti-bun sudah mengetahui bahwa kita yang menyamar
anggota mereka dan mengejar Ci Siong tojin."
408 Fu Giok-su terkejut sekali. "Hah?"
"Menurut laporan, mereka juga menggali kuburan dan
membuka setiap peti mati. Mereka juga meringkus semua
tetangga rumahmu dan menanyakan masalah ini."
"Ternyata mereka gesit juga."
"Toko obat yang kita gunakan sebagai penghubung sudah
terbongkar rahasianya. Untung saja cepat diketahui oleh pihak
kita. Mereka belum berhasil menemukan apa-apa dan juga
tidak mendatangkan jagoannya."
"Mendengar nada bicaramu, tampaknya telah terjadi sesuatu
yang berada di luar rencana kita?" tanya Fu Giok-su.
"Hm ...." manusia tanpa wajah itu menyunggingkan sebuah
senyuman yang mengerikan.
Dapat dibayangkan bagaimana kalau seseorang yang tidak
memiliki bibir tapi dapat tersenyum. Tentu saja yang terlihat
hanya kerutan-kerutan pada wajahnya yang polos itu.
"Sam-kokcu malah berhasil membunuh salah seorang dari Hu-
hoat mereka. Han-ciang Tiau-siu."
"Suatu pembunuhan yang hebat!" Fu Giok-su merenung
sejenak. "Kemungkinan besar mereka tidak akan mengambil
tindakan membalas dendam dalam waktu dekat ini."
"Karena kita melakukannya dengan rapi, mereka belum tentu
tahu siapa yang melakukannya. Apa lagi Tok-ku Bu-ti masih
mengunci diri berlatih ilmu."
409 Fu Giok-su mengelus-elus dagunya. "Oh ya ... Ban-ni-tua-sik
itu ...." "Sudah aku bawakan."
"Bagus sekali! Yaya akhir-akhir ini terus mendesak aku.
Kadang-kadang aku sampai tidak tahu bagaimana harus
memberi jawaban kepadanya."
"Hal ini tidak dapat menyalakan Lao-cujin (majikan tua). Kalau
sudah tidak ada harapan, ya tentu tidak usah dikatakan lagi.
Namun begitu ada harapan, bagaimana dia tidak panik. Beliau
sudah cukup menderita terkurung sekian lama di telaga
dingin," kata si manusia tanpa wajah. Dia mengeluarkan
sebuah kotak kecil dari balik pakaiannya.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fu Giok-su menerima kotak itu dan membukanya. Serangkum
bau harum segera terpancar dari kotak itu. Fu Giok-su cepat-
cepat menutupnya kembali. Dia mengeluarkan secarik kertas
dari sakunya dan menyodorkannya kepada manusia tanpa
wajah itu. "Di sini ada seorang pelayan bernama Wan Fei-yang. Riwayat
hidupnya mungkin tidak sederhana. Di atas kertas ini ada
bahan-bahan mengenai dirinya. Kalian selidiki asal-usul orang
ini," perintahnya.
"Serahkan saja kepadaku."
"Ada lagi, lain kali kita jangan bertemu di sini lagi. Setiap
tanggal satu dan lima belas aku akan turun gunung
menemuimu," kata Fu Giok-su selanjutnya.
410 "Baik" sahut manusia tanpa wajah sambil menyimpan kertas
pemberian Fu Giok-su. "Apakah masih ada hal lainnya?"
"Tidak ada lagi," Fu Giok-su membukakan pintu kamar dan
melongok ke sekitar. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, dia
baru menggeser tubuhnya ke samping.
Manusia tanpa wajah itu segera melintas di samping Fu Giok-
su dan menyelinap keluar. Tubuhnya bergerak bagai
segumpal asap dan menghilang di kegelapan malam.
Fu Giok-su menutup kembali pintu kamarnya. Setelah itu dia
membuka kembali kotak yang dibawa si manusia tanpa wajah
dan memandangnya dengan wajah menyiratkan kepuasan.
Berkali-kali dia menganggukkan kepalanya.
***** Makhluk aneh di dalam telaga dingin juga puas sekali.
Wajahnya berseri-seri. Keampuhan Ban-ni-tuan-sik mulai
memancar dalam tubuhnya. Rasanya sejuk sekali. Akhirnya
dia dapat merasakan kesegaran yang tidak pernah ditemuinya
selama dua puluh tahun ini. Oleh karena itu, suaranya juga
berubah menjadi lembut.
"Lain kali kau harus berhati-hati. Di tempat ini tidak ada orang baik. Seandainya mereka mengetahui rahasiamu, maka tidak
dapat dibayangkan akibat yang akan kau terima."
"Yaya jangan khawatir, selamanya aku selalu berhati-hati."
411 Melihat keadaan makhluk aneh itu, hati Fu Giok-su jauh lebih
tenang. "Bagaimana keadaan di luar?"
"Semuanya sudah disiapkan. Asal Yaya sudah bisa keluar dari
tempat ini, kita sudah bisa mengadakan gerakan."
"Rasanya kita harus menunggu satu setengah tahun lagi."
"Waktu berlalu sekejap mata."
"Betul ... betul ...." makhluk tua itu tertawa terkekeh. "Aku telah mengajarkan Bu-tong-liok-kiat kepadamu. Bagaimana
hasilnya?"
"Setiap kali ada kesempatan aku selalu berlatih dengan giat.
Sebelum Yaya meninggalkan telaga dingin kelak, tentunya
aku sudah menguasainya secara keseluruhan."
"Kau harus lebih rajin lagi."
"Sun-ji mengerti, Yaya tenangkan diri saja merawat luka."
"Yang paling penting, kau harus berusaha mendapatkan ilmu
pusaka Bu-tong-pai yang ketujuh, yakni Tian-can-kiat," kata
makhluk itu kembali. .
"Justru ini yang jadi masalah. Menurut apa yang Sun-ji
ketahui, hanya Yan Cong-tian seorang yang menguasai ilmu
yang satu ini. Namun sampai sekarang dia juga belum
berhasil" 412 "Yang Cong-tian!", mendengar nama orang ini, hawa amarah
makhluk tua itu meluap kembali.
"Dalam urutan enam murid Ci Siong tojin, Sun-ji menduduki
urutan terakhir, padahal Tian-can-kiat hanya diwariskan
kepada Ciangbunjin saja."
"Apabila tidak mempelajari Tian-can-kiat, jangan harap dapat
mengalahkan Tok-ku Bu-ti, kita juga tidak mungkin bisa
menguasai dunia persilatan."
Fu Giok-su terdiam mendengar kata-kata itu. Makhluk tua itu
menjambak rambutnya yang acak-acakan. "Pasti ada jalan
lain, coba pikirkan lagi," katanya.
Tiba-tiba Fu Giok-su mendongakkan kepalanya, matanya
bersinar terang. "Mungkin Lun Wan-ji itu dapat diperalat,"
sahutnya. Makhluk tua itu mendengus dingin, "Apa kegunaan bocah
perempuan itu?"
"Dia adalah murid Yan Cong-tian. Kita bisa menggunakannya
sebagai. alat untuk mendekati Yan Cong-tian," sahut Fu Giok-
su. "Aku rasa perasaanmu sendiri yang sudah tersentuh oleh
budak itu."
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.
"Yang aku takutkan justru kau benar-benar menyukai budak
perempuan itu sehingga melupakan dendam keluarga dan
413 hanya mementingkan berpacaran saja," kata makhluk tua itu
kembali. "Tidak mungkin ... tujuan Sun-ji menyelundup ke Bu-tong-san
adalah untuk mencari tahu kabar tentang Yaya dan berusaha
menyelamatkan Yaya dari tempat ini."
Makhluk tua itu tertawa dingin, "Bagus kalau kau masih ingat."
Fu Giok-su terdiam tanpa berani mengucapkan kata-kata lagi.
"Apakah hubunganmu dengan budak perempuan itu sangat
dekat?" "Aku dapat merasakan kalau semakin hari ia semakin
menyukai aku. Setelah lewat beberapa waktu lagi, tentu aku
dapat memperalatnya untuk mendekati Yan Cong-tian."
"Baik ... kalau kau rasa rencana ini dapat dijalankan dengan
sempurna, kau lakukan saja." Makhluk tua itu menarik napas
panjang. "Toh aku memerlukan waktu yang cukup lama untuk
menyambung kembali urat-urat putus ini. Dalam waktu dekat
pasti belum terlihat hasil apa-apa."
Tanpa sengaja mata Fu Giok-su bertemu pandang dengan
mata makhluk tua tersebut. Hatinya bergetar. Mata kakeknya
beralih dan menatap di kejauhan. Namun sinar matanya
sangat keji dan menyeramkan.
***** 414 Waktu berlalu dengan tenang. Tentu saja ketenangan ini
hanya terlihat dari luarnya saja. Tampaknya tidak ada hal
istimewa yang terjadi di Bu-tong-san. Bu-ti-bun juga tidak
melakukan gerakan apa-apa. Sedangkan Siau-yau-kok
terlebih-lebih lagi. Nama itu ibarat hanya dongeng yang
kenyataannya tidak ada.
Dalam waktu-waktu ini, di bawah pengawasan manusia
berpakaian hitam, ilmu silat Wan Fei-yang maju semakin
pesat. Pelajaran mengenai membaca dan menulis juga sudah
lancar. Seandainya dia menulis surat lagi, tentu tidak ada
huruf yang salah seperti sebelumnya. Tentu saja dia tidak
berani menulis surat lagi kepada Lun Wan-ji. Dia juga dapat
melihat bahwa hubungan antara Lun Wan-ji dengan Fu Giok-
su semakin lama semakin dekat.
Keenam murid yang mempelajari Bu-tong-liok-kiat juga
semakin matang ilmunya di bawah didikan Ci Siong tojin.
Sementara itu secara diam-diam, Fu Giok-su juga mendapat
ajaran dari makhluk tua yang terkurung dalam telaga dingin
yang konon dulu pernah mencuri pelajaran Bu-tong-liok-kiat
dua puluh tahun yang lalu. Ilmunya sudah jauh di atas kelima
orang murid Ci Siong tojin lainnya. Tapi tentu saja dia pandai, menyembunyikan kepandaiannya sehingga tidak ada orang
yang curiga. Urat nadi makhluk tua itu sudah mulai tersambung sedikit
demi sedikit. Tapi setiap kali kilat menyambar, dia masih juga
menjerit histeris. Tampaknya rasa takut dalam hatinya sudah
mendarah daging.
Sementara itu cinta kasih Wan-ji terhadap Fu Giok-su juga
semakin berakar. Terhadap Wan Fei-yang dia hanya kasihan,
415 tapi terhadap Fu Giok-su baru benar-benar cinta. Tentu saja
dia tidak tahu siapa Fu Giok-su sebenarnya. Juga tidak tahu
bahwa jalinan hubungan mereka hanya sebuah perangkap.
***** Bunga-bunga bermekaran, bunga-bunga layu. Pemandangan
di Bu-tong-san berubah mengikuti pergantian musim. Hanya
tempat tinggal Yan Cong-tian yang tampaknya sama saja
walau pada waktu apa pun.
Tentu saja daun-daun jauh lebih segar dan menghijau ketika
musim semi tiba. Yan Cong-tian sama sekali tidak
memperhatikan. Kenyataannya. dalam jangka waktu setahun,
belum tentu dia melangkah keluar dari rumahnya satu kali. Dia
masih berlatih Tian-can-kiat. Dan tampaknya masih belum
berhasil juga. Tapi dia tidak putus asa. Walau kadang-kadang
rasa jenuh memenuhi hatinya.
***** Tembok rumah bercahaya terang. Mestinya sekarang sudah
tengah hari. Yan Cong-tian duduk di atas tempat tidur.
Matanya setengah terpejam.
"Tok! Tok! Tok!", terdengar suara ketukan pintu. Yan Cong-
tian seperti tidak mendengar. Dia sama sekali tidak menyahut.
Sekali lagi pintu diketuk. Yan Cong-tian membuka matanya.
Wajahnya seperti kesal karena terganggu.
416 "Buat apa ketuk terus" Kalau mau masuk, masuk saja!"
teriaknya marah.
Pintu didorong. Yang masuk ternyata Lun Wan-ji.
"Suhu ...."
Rasa kesal yang tersirat pada wajah Yan Cong-tian sirna
seketika. "Oh ... Wan-ji. Mengapa demikian lama tidak
mengunjungi suhu?" Lun Wan-ji menghampiri. Dia duduk di
samping meja yang terdapat di sisi tempat tidur.
Dituangkannya secawan teh untuk Yan Cong-tian. Lalu
disodorkannya kepada suhunya itu.
"Suhu kan sibuk berlatih terus, Wan-ji mana berani
mengganggu?"
Yan Cong-tian meminum teh itu seteguk. "Kau paling banyak
alasan." Wan-ji tersenyum tersipu-sipu. Kepalanya tertunduk. Seakan
banyak kata-kata yang ingin diucapkannya namun tidak tahu
bagaimana cara mengutarakannya. Yan Cong-tian
memperhatikan gadis itu lekat-lekat. Dia merasa heran.
"Aku lihat wajahmu mengandung misteri. Apa sebetulnya yang
ingin kau katakan kepadaku?"
Lun Wan-ji menggigit-gigit bibirnya.
"Suhu, berapa usiaku sekarang?" tiba-tiba dia bertanya.
417 Yan Cong-tian terpana. "Ada apa?"
"Tidak usah peduli, jawablah pertanyaan Wan-ji," kata Wan-ji
merajuk. Dia mendorong-dorong lengan gurunya.
Kerut di kening Yan Cong-tian segera timbul, jarinya bergerak-
gerak menghitung.
"Tujuh belas ... ya, tujuh belas tahun."
"Salah ... delapan belas," sahut Wan-ji manja.
"Oh ... delapan belas tahun," Yan Cong-tian menggaruk-garuk
kepalanya. "Kalau kau sendiri sudah tahu, buat apa kau
tanyakan lagi?"
"Aku ...." Wan-ji menjadi gugup. Wajahnya merah padam.
Yan Cong-tian tertegun. Kemudian dia tertawa lebar. "Apakah
kau ingin mengatakan bahwa kau sudah hampir keluar pintu
(menikah)?"
"Suhu ..." Wan-ji malu diejek terang-terangan oleh gurunya.
Yan Cong-tian tertawa terbahak-bahak. "Siapa pemuda yang
beruntung itu?"
"Dia she Fu. Murid terakhir Ciangbun-susiok," sahut Wan-ji
lirih. "Oh?" Yan Cong-tian masih tertawa lebar. "Kapan kalian akan
menikah?" 418 "Mana bisa begitu cepat" Wan-ji belum menyatakan bersedia
...." "Apakah menganggukkan kepala saja begitu sulit?" goda Yan
Cong-tian. "Atau kau ingin aku menjadi walimu?"
"Kalau Suhu tidak menjadi wali, mana boleh Wan-ji
sembarangan menikah?"
Yan Cong-tian tersenyum-senyum. "Asal kau sendiri sudah
suka, ya terserah."
"Wan-ji ingin suhu menemuinya terlebih dahulu."
"Oh ... kau meminta penilaian suhumu, soal mudah .... Kapan
kau akan mengajaknya ke sini?" tanya Yan Cong-tian.
"Dia ... sekarang dia ada di luar pintu." Wajah Yan Cong-tian
segera berubah. "Ini adalah daerah terlarang. Apa kau sudah
lupa?" Tampaknya Lun Wan-ji baru teringat. Wajahnya panik sekali.
"Suhu, maksudmu ...."
"Kali ini tentu tidak masuk hitungan," kata Yan Cong-tian
kembali tertawa terbahak-bahak. "Lihat dirimu, belum menikah
saja sudah begitu mencemaskannya."
"Suhu ...." Wan-ji kembali merajuk.
"Masih tidak suruh dia masuk segera ...."
Wan-ji bergegas bangkit. Namun baru beberapa langkah. Dia
419 menoleh kembali kepada Yan Cong-tian. "Suhu ... nanti kalau
dia masuk ke dalam, sikapmu jangan demikian garang ...."
"Kau khawatir dia akan lari ketakutan?"
Wan-ji tersenyum tersipu-sipu.
"Coba lihat, anak gadis kalau sudah dewasa memang sudah
jadi milik orang lain. Belum lagi melangkah keluar pintu sudah
membelanya mati-matian," kata Yan Cong-tian tertawa
terbahak- bahak.
Wan-ji semakin malu. Dia mempercepat langkahnya. Yan
Cong-tian masih tertawa terus.
***** Fu Giok-su menunggu di depan pintu. Tangannya membawa
sebuah bungkusan. Tampak wajahnya panik sekali. Dia sama
sekali tidak meragukan perasaan Wan-ji kepadanya. Tapi
selama menunggu, hatinya tegang sekali. Dia sendiri tidak
mengerti mengapa bisa demikian.
Sebetulnya seperti apa manusia yang bernama Yan Cong-tian
itu" Dan bagaimana reaksinya setelah mengetahui
hubungannya dengan Wan-ji" Apakah hanya dengan cara
demikian dia pasti bisa berhasil mendapatkan ilmu Tian-can-
kiat" Berpuluh-puluh pertanyaan menggelayuti pikiran Fu
Giok-su.

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juga dalam waktu yang bersamaan, Wan Fei-yang membawa
420 baki makanan mendatangi. Fu Giok-su masih tidak menyadari.
Wan Fei-yang yang melihatnya justru panik. Dia segera
menghampiri. "Fu-toako ...."
Mendengar panggilan itu, Fu Giok-su menolehkan kepalanya.
Dia tersenyum kepada Wan Fei-yang. "Apa yang kau lakukan
di tempat ini?" tanyanya gugup. Dia segera menarik lengan Fu
Giok-su. "Aku ...." Fu Giok-su melepaskan tangan Wan Fei-yang dari
cekalannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu.
"Aku ... aku apa" Bukankah aku pernah mengatakan bahwa di
sini daerah terlarang. Kalau sampai kepergok, paling tidak urat nadi kakimu diputuskan semuanya," kata Wan Fei-yang
menyeret Fu Giok-su.
Fu Giok-su semakin bingung bagaimana harus menjelaskan
masalahnya. Tepat pada saat itu, Wan-ji keluar dari rumah
Yan Cong-tian. "Siau-fei, mengapa kau menarik-narik tangan Fu-toako?"
tanyanya. "Wan-ji kouwnio, jangan teriak-teriak. Fu-toako tidak tahu di
sini daerah terlarang. Kalau sampai ketahuan ...." suara Wan
Fei-yang seperti bisikan.
Fu Giok-su hanya tertawa getir. Sedangkan untuk sesaat
Wan-ji tidak tahu harus marah atau tertawa. "Aku yang
mengajaknya menemui suhu. Siapa suruh kau ikut campur?"
421 Wan Fei-yang terpana. Dia menatap ke arah Fu Giok-su
kemudian mengalihkan pandangannya kepada Wan-ji.
Akhirnya dia melepaskan eekalannya. Fu Giok-su merapikan
lengan bajunya yang kusut karena tarikan Wan Fei-yang.
Wan-ji mengedipkan matanya.
"Hayo, ikut aku," ajaknya.
Dengan baki di tangan, Wan Fei-yang tertegun memandangi
mereka. Tiba-tiba Wan-ji menghentikan langkah kakinya. Dia
menoleh kepada Fei-yang.
"Serahkan saja baki itu kepadaku," katanya. Tidak menunggu
jawaban dari Fei Yang, dia segera merebut baki yang berisi
makanan itu. Wan Fei-yang berdiri termangu-mangu melihat kedua orang
itu melangkah masuk ke dalam rumah. Hatinya sungguh tidak
enak. Berkali-kali dia menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak
meninggalkan tempat itu dan tetap menunggu di luar.
***** Fu Giok-su sungguh pandai bersandiwara. Sikapnya sangat
wajar dan sopan. Lun Wan-ji menyenggol lengan bajunya.
"Cepat panggil Supek," katanya.
"Tecu Fu Giok-su, menanyakan keadaan Supek," dia menjura
dalam-dalam. Yan Cong-tian memperhatikan Fu Giok-su dari ujung kepala
422 sampai ujung kakinya. Dengan wajah berseri-seri dia
menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Boleh juga ...." Dia beralih ke Lun Wan-ji. "Kau sungguh
pandai memilih,"
Wajah Lun Wan-ji merah padam karena malu. Yan Cong-tian
menunjuk ke sebuah kursi yang ada di sampingnya.
"Duduk," katanya mempersilakan.
"Tecu tidak berani," sahut Fu Giok-su. Kemudian dia
menyodorkan bungkusan yang ada di tangannya. "Tecu
membawakan sedikit makanan. Harap supek
menyenanginya."
Yan Cong-tian menerima bungkusan itu lalu membukanya.
"Akh ... lumpia ... bagus! Bagus!" katanya berulang-ulang.
Lun Wan-ji dan Fu Giok-su saling lirik sekilas. Mata Yan Cong-
tian mengerling ke arah pasangan itu.
"Kau tahu aku suka makanan ini?"
Fu Giok-su ragu-ragu menjawabnya. Yan Cong-tian sudah
bertanya lagi, "Bagaimana kau bisa tahu aku suka makanan
ini" Apakah Wan-ji yang mengatakannya?"
Lun Wan-ji memalingkan wajahnya. Melihat keadaan itu, Fu
Giok-su semakin tidak berani mengatakannya. Untung saja
Yan Cong-tian segera mengalihkan pokok pembicaraan,
"Sudah berapa lama kau menjadi murid Bu-tong-pai?"
423 "Setahun lebih ...."
Yan Cong-tian seakan teringat sesuatu. "Eh" Apakah kau
yang membela Ci Siong mati-matian tempo hari?"
"Suhu adalah Ciangbunjin dari partai terkemuka. Tecu tidak
bisa mendiamkan dia orang tua dihina begitu saja."
"Bagus! Bagus!"
"Suhu ...." panggil Lun Wan-ji sambil mencuri pandang kepada
Yan Cong-tian. "Mengapa harus terburu-buru?" Yan Cong-tian tertawa
terbahak- bahak. "Urusan kalian aku pasti setuju, lagi pula Bu-
tong-san memang sudah lama tidak membuat pesta."
Hati Lun Wan-ji melonjak gembira. Fu Giok-su baru bisa
menghela napas lega.
"Bagaimana kalau kalian menikah sekarang saja" Pestanya
boleh menyusul," kata Yan Cong-tian tiba-tiba.
Lun Wan-ji tertegun, Fu Giok-su kaget setengah mati, "Supek
... kau ...."
"Sifatku selamanya memang begini. Kau tidak mau, jangan
dibicarakan. Sekali setuju maunya dilaksanakan sekarang
juga. Wan-ji ... undang susiokmu kemari!"
Wajah dan leher Wan-ji merah padam.
"Hm ...." terpaksa dia menganggukkan kepalanya.
424 "Supek ... apakah urusan ini tidak dapat ditunda ...."
"Kenapa?" tanya Yan Cong-tian kurang senang.
"Tecu masih berkabung," sahut Fu Giok-su sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Benar juga." Wajah Yan Cong-tian menjadi lembut kembali.
"Kalau begitu kalian boleh bertunangan dulu."
Kali ini Fu Giok-su terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Wan-ji, mengapa kau masih belum mengundang Ciangbun-
susiokmu?" tanya Yan Cong-tian.
Dengan wajah tersipu-sipu Wan-ji melirik Giok Su sekilas.
Anak muda itu merasa serba salah. Mengejar salah, tidak
mengejar juga salah. Akhirnya dia hanya berdiri termangu-
mangu. Yan Cong-tian merenung sejenak.
"Kau merupakan murid paling akhir yang masuk perguruan.
Tentunya kau juga yang mempelajari Bu-tong-liok-kiat yang ke
enam, Sou-hou-cang?"
"Betul," sahut Fu Giok-su terus terang.
"Sudah mencapai taraf bagaimana?"
"Tecu sudah bisa melancarkannya sesuai perasaan hati.
Namun selalu merasa tenaga tecu masih kurang kuat, tak bisa
425 menyalurkan tenaga sepenuhnya."
"Lumayan ...." kata Yan Cong-tian sambil menganggukkan
kepalanya berkali-kali.
Fu Giok-su tahu Yan Cong-tian sedang memujinya. Dia
merasa tidak enak juga.
"Tidak heran ...." kata Yan Cong-tian setengah jalan.
Fu Giok-su tidak mengerti maksud perkataannya. Dia menatap
Yan Cong-tian dengan mata mengandung pertanyaan.
"Tidak heran kau rela melepaskan jabatan Ciangbunjin demi
Wan-ji." Mendengar ucapan itu, hati Fu Giok-su menjadi galau. Tapi
dia memaksakan sebuah senyuman di bibirnya.
***** Bu-tong-san memang sudah lama tidak mengadakan pesta.
Maka dari itu, begitu kabar gembira mengenai Wan-ji dan
Giok-su tersebar, seluruh Bu-tong-san menjadi gempar.
Ci Siong tojin juga sangat gembira. Dia tidak menolak ketika
ada yang mengusulkan untuk memasak berbagai hidangan
yang lezat untuk merayakan berita gembira tersebut. Orang
yang paling kesal dan tidak senang mendengar kabar itu tentu
Wan Fei-yang seorang.
426 ***** Suara tawa dan canda dari ruang makan berkumandang
sampai jauh. Wan Fei-yang tidak dapat mendengarnya
dengan jelas. Dia berada di tempat yang jauh. Namun sayup-
sayup kumandang suara riuh masih juga tertangkap oleh
telinganya. Hatinya bagai tersayat-sayat.
Wan Fei-yang duduk di taman belakang sambil melamun.
Tanpa sadar jari tangannya mencabut daun-daun dan
merobek-robeknya. Ci Siong tojin sudah sampai di
sampingnya, dia masih belum sadar juga. Sampai akhirnya dia
melihat sepasang kaki manusia di depannya, baru dia
mendongakkan wajahnya. Melihat yang datang Ci Siong tojin,
dia menjadi tertegun.
"Ciangbunjin ...." sapanya.
Wajah Ci Siong tojin pucat sekali.
"Mengapa duduk seorang diri di tempat ini" Masuklah ke
dalam dan ikut bersenang-senang dengan yang lainnya," kata
orang tua itu. Wan Fei-yang menggeleng-gelengkan kepalanya sambit
tertawa getir. "Biar aku duduk di sini saja." Tiba-tiba dia bertanya,
"Ciangbunjin ... mengapa kau hanya sebentar di dalam sana?"
Belum sempat Ci Siong tojin menjawab pertanyaan itu, tiba-
427 tiba wajahnya berubah hebat. Tubuhnya gemetar dan kakinya
limbung. Dengan cepat dia menggenggam batang pohon yang
ada di samping. Keningnya basah oleh keringat. Melihat
keadaan itu, Wan Fei-yang cepat-cepat berdiri.
Bibir Ci Siong tojin tampak bergetar. Akhirnya dia tidak dapat
mempertahankan dirinya. Segumpal darah segar muncrat dari
mulutnya. Wan Fei-yang terkejut sekali. Dia segera
membalikkan tubuhnya bermaksud mencari pertolongan, tapi
Ci Siong tojin mencegahnya. "Jangan mengacaukan suasana.
Papah aku ke kamar," katanya.
Rupanya sejak di dalam ruangan makan dia sudah merasa
tubuhnya kurang sehat maka dia cepat-cepat keluar.
***** Setelah berbaring di tempat tidur dan mengatur napasnya
sejenak, wajah Ci Siong tojin tampak lebih lumayan. Tapi
masih agak pucat dan lemah. Wan Fei-yang terus menemani
di samping. "Kau boleh keluar sekarang," akhirnya Ci Siong tojin membuka
suara. Wan Fei-yang mengundurkan diri. Baru saja dia
melangkahkan kakinya ke arah kanan dan membelok, Fu
Giok-su muncul dari arah kiri. Karena arah mereka
berlawanan, maka mereka tidak sempat bertemu muka.
Fu Giok-su mengetuk pintu kamar dua kali. Tidak terdengar
428 sahutan. Dia mengetuk lagi tiga kali. Kali ini baru terdengar
suara Ci Siong tojin.
"Masuklah."
Fu Giok-su mendorong pintu kamar tersebut dan masuk ke
dalam. Ci Siong tojin sudah duduk tegak di atas tempat tidur.
Bunga Ceplok Ungu 7 Pendekar Kembar Karya Gan K L Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 10
^