Imam Tanpa Bayangan 7
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Bagian 7
Chin Slang yang menggeletak disisi tubuhnya telah
mendesis lirih, s?""sang ular merangkul tengkuknya
kencang. Sekujur badannya bergetar keras, pikirnya :
"Aaaach, kenapa aku melupakan sesuatu hal ?"
bukankah Wie Chin Siang adalah anak murid dari Kim
Loceianpwee ?" aduuh .... kenapa aku bisa melakukan
perbuatan serendah ini ?""
Tatkala disaksikannya Wie Chin Siang berbaring disisi
tubuhnya dalam kcadaan telanjang bulat, saking cemas dan
gelisah nya keringat dingin sampai mengucur keluar tiada
hentinya membasahi seluruh tubuh pemuda itu, buru buru
dia lepaskan rangkulan gadis itu dan loncat turun dari atas
pembaringan. Belum sampai sepasang kakinya mencapai permukaan
tanah, terdengar Hoa ?"k Touw telah meraung gusar sambil
berteriak : "Omong kosong, kemarin malam ?"k In Hoei telah
menyusup masuk kedalam perkampungan kami dan
sekarang dia sudah mati terkurung didalam lorong Koen
Liong To, mana mungkin bajingan muda itu bisa keluar
dari perkampungan untuk menculik muridmu ?""
Pek In Hoei enjotkan badannya, bagaikan sebelai daun
kering dia melayang kesisi pintu kemudian dengan
pandangan terkejut bercampur bergidik diintipnya keadaan
luar lewat celah2 diatas pintu.
Tampakiah ditengah ruangan besar Hoa ?"k Touw
berdiri disisi sebuah meja besar yang terbuat dari kayu
cendana, sementara dihadapannya berdirilah seorang
perempuan yang memakai baju serba hitam dengan kepala
memakai kain kerudung hitam .
Dibawab sorotan cahaya mutiara yang samar samar
tampak air muka perempuan itu pucat pias bagaikan mayat,
kalau di tinjau dari lekukan mata serta potongan tubuhnya,
orang itu bukan lain adalah Kim In Eng yang pernah
dijumpainya sewaktu ada digunung Ging Shia tempo dulu.
Setelah berpisah dua tahun lamanya ternyata raut wajah
Kim In Eng sama sekali tidak berubah.
Diatas raut wajahnya yang bersih dan cantik, kini
tergores kepedihan serta kemurungan yang jauh lebih
banyak daripada dahnlu.
"Tetapi dengan mata kepalaku sendiri aku lihat dia
memasuki perkampungan ini .." " terdengar perempuan itu
berseru dengan napas ter-putus2.
Hoa ?"k Touw jadi naik pitam.
"Selama lima puluh tahun belakangan belum pernah aku
naik darah terhadap orang Iain walau satu kalipun, tapi In
Eng ......... "
Dia terbatuk-batuk sejenak .
"Kau harus tahu bahwa sepanjang hidupku semua
tenaga serta pikiranku telah kubuang untuk menyelidiki
ilmu pertabiban serta ilmu barisan, terhadap setiap
persoalan yang kuhadapi pasti kuketahui dahulu sebab-
sebabnya setelah itu baru kucari pengertiannya dalam
masalah tersebut, dan kini kaupun tak usah menyembunyikan sesuatu rahasia dihadapanku, sebenarnya
apa maksudmu mengirim muridmu memasuki lorong Koen
Liong To ini" apakah kau hendak memusuhi diriku ?""
?"oa ?"k Touw benar-benar seorang yang sangat lihay"
batin ?"k In ?""i dengan hati terperanjat.."Ternyata dia
bisa menebak dengan jitu bahwasanya Wie Chin Siang
telah diutus untuk memasuki lorong rahasia didasar telaga
ini, cuma entah ?"" maksudnya Kim cianpwe dengan
mengutus muridnya untuk mencari Cian Hoan Lang
Koen?""
Dalam pada itu sekujur badan Kim In Eng telah gemetar
dengan kerasnya, dia coba membantah :
"Gie-hu, putrimu sama sekati tiada maksud untuk
memusuhi dirimu ...... "
"Hmmmm ! terus terang kuberitahukan kepadamu .
"Cian Hoan Lang Koen" silelaki tampan berwajah seribu
Coa Kie Giok telah mati didalam lorong Koen Liong To
tersebut" dengus Hoa Pek Touw. "Kau jangan mimpi bisa
...... " Baru saja dia berbicara sampai disitu mendadak
terdengar Wie Chin Siang yang berbaring diatas ranjang
merintih lirih, seketika itu juga pembicarannya terputus
laksana kilat kakek she Hoa itu menoleh kearah ruangan
tersebut. (Oo-dwkz-oO 11 MENJUMPAI kakek tua itu telah berpaling sambil
memandang ke arahmya dengan sinar mata tajam, ?"k in
Hoei sadar bahwa keadaan sangat tidak menguntungkan
dirinya, buru-buru dia melayang balik kesisi pembaringan,
jarinya laksana kilat berkelebat menotok jalan darah bisu
ditubuh dara "yu itu .
Diikuti badannya berputar kencang bagaikan pusaran
angin, lengan kirinya bergerak cepat, tiga biji mutiara yang
berada diatas kelambu telah berhasil di sambarnya sekali
gencet hancurlah mutiara mutiara itu.
?""k in Hoei ayoh keluar dari sana !" terdenger Hoa Pek
Tauw yang ada diluar pintu telah meraung gusar.
Dengan tangan kanannya Pek In Hoei menekan diatas
kelambu sekali putar badan dia melayang keatas
pembaringan, sinar matanya berputar dengan cepat mutiara
penolak air tersebut dimasukkan kambali kedalam sakunya.
Dengan disimpannya mutiara itu suasana dalam
ruanganpun jadi gelap gulita, menggunakan selembar
selimut dia lantas bungkus tubuh Wie Chin Siang yang
telanjang, "Pek In Hoei !" suara ?"a ?"k Touw kembali
barkumandang diluar ruangan. "Kau tak akan berhasil
melarikan diri dari sini, ayoh keluar .......".
?"k In Hoei tarik napas dalam dalam ilmu aasti surya
kencana dihimpun kedalam telapak, sepasang mata
menatap pintu kayu tajam tajam, la bersiap sedia bilamana
Hoa Pek Touw buka pintu menerjang masuk kedalam maka
dia akan sambut ke datangannya dengan sebuah pukulan
mematikan, "Chin Siang, ayoh kaupun keluar dari situ!" Kim ln Eng
ikut berteriak keras.
"Sucouw tak akan melukai dirimu !".
"Mungkin Kim locianpwe masih belum mengetahui
kalau akupun berada disini" Pikir ?"k In Heoi. "Dia
mengira Wie Chin Siang masih menyaru sebagai diriku
bersembunyi disana, rupanya kalau aku menerjang keluar
hingga dia sampai tahu akan keadaan dari Wie Chin Siang,
sekali pun aku terjun kedalam sungai Hoang Koo untuk
mandi sepuluhkalipun tak nanti bisa membebaskan diri dari
kecurigaannya!".
Sekarang dia baru menyasal mengapa tak sanggup
menahan kobaran napsu birahi dalam tubuhnya sehingga
mengakibatkan terjadinya peristiwa yang tak diinginkan ini,
sementara dikala mengatur pernapasannya barusan secara
lapat lapat dia merasa kan pula racun yang mengeram
dalam tubuhnya dengan mengikuti peredaran hawa murni
perlahan lahan berhasil dipaksa ke luar dari badannya .
Dalam hati segera pikirnya.
"Sungguh tak kusangka rumput racun penghancur hati
adalah sejenis racun yang membangkitkan napsu birahi,
aaai .... hampir saja aku terjerumus kedalam lembah
kenistaan".
Saking kagetnya keringat dingin kembali mengucur
keluar membasahi seluruh badan.diam diam ia bersyukur
karena bagaimana pun juga ia berhasil sadar dari pengaruh
napsu birahi. "Untung Kim In Eng cianpwee muncul diruang tengah
tepat pada waktunya" pikir pemuda itu sembari menyeka
keringat . "Kalau tidak perawan seorang gadis bakal kulalap tanpa
sadar, seandainya sampai terjadi begitu bagaimana
mungkin aku bisa hidup jadi orang lagi dikemud?an hari " . .
lagi pula dendam berdarah sedalam lautan belum berhasil
kutuntut balas, tanggung jawab untuk membangun kembali
perguruan belum kulaksanakan seandainya sampai salah
langkah sehingga mempengaruhi langkah langkahku
selanjutnya akan kutaruh kemana wajahku ini " ".
Teringat akan dendam ayahnya yang belum dibalas
hatinya jadi tercekat, pikirnya lebih jauh :
"Jenazah ayahku telah ketinggalan digunung Ciang Shia
tempo dulu, entah Kim cianpwee telah mengebumikannya
atau b?lum " ini hari aku harus menanyakan dimanakah
letak makam ayahku. kalau tidak aku bakal dikutuk orang
sebagai anak yang put Hauw"
Mendadak. ..... Braaak ! pintu kayu ditendang orang
hingga berbunyi nyaring.
Dengan cepat ia langkahkan kaki kirinya maju kedepan,
telapak kanan diayun kemuka, dengan jurus "Yang Kong
Phu Cau" atau cahaya matahari memancar terang dari Tay
Yang Sam Sih ia siap malancarkan pukulan maut.
Pada detik yang terakhir sebelum serangan mautnya
dilepaskan, matanya yang tajam berhasil menangkep wajah
Kim In Eng yang berdiri didepan pintu.
Buru buru pemuda kita tarik napas dalam dalam,
pergelangannya diputar melindungi dada, mentah mentah
ia tarik kembali serangannya yang hampir dilepaskan itu.
Suasana dalam ruangan gelap gulita, lama sekali Kim In
Eng berdiri didepan pintu.rupanya ia tidak menjumpai diri
Pek ln Hoei yang berdiri dihadapannya .
Setelah lama ditunggu belum kadengaran juga suara
sahutan, perempaan itu segera berteriak :
"Chin Siang, cepat keluar !".
"Cianpwee, aku yang berada disini ! " jawab Pek In Hoei
seraya tarik napas dalam dalam,
Kim In Eng terkejut, rupanya dia tidak menyangka kalau
didalam ruangan masih terdapat seorang pria, dengan rasa
tercengang segera tanyanya :
"Siapa kau " ".
"Aku. Pek in Hoei ........ ! "
"Pek In Hoei, kau " ......... " karena goncangan batin
yang keras, kain kerudung diatas wajah perempuan itu
berkibar tiada hentinya.
"Cianpwee, baik baikkah selama kita berpisah " "
"Ooob bocah. sungguh payah kucari dirimu ....... "
Tampak bayangan manusia berkelebat,dengan gusar Hoa
Pek Touw telah membentak :
"Jangan masuk kedalam kamarku !".
Ujung bajunya segera dikebas kemuka, diiringi satu
hembusan angin puyuh yang maha dahsyat tubuh Kim In
Eng terdorong enam depa dari tempat semula, menggunakan kesempatan itu badannya meluncur kemuka
menerobos masuk kedalam kamar.
"Keparat cilik !" teriaknya penuh kegusaran.
"Kau berani menerobos masuk kedalam kamar Bong
Jien kesayanganku " akan kuhancur lumatkan dirimu jadi
perkedell ".
Pek ln Hoei mendengus dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun lengannya digetarkan kedepan, dalam satu
ayunan telepak kanannya yang dahsyat, hawa panas yang
menyengat badan segera menggulung kemuka.
Sepasang pundak Hoa Pek Touw bergerak, badannya
maju dua langkah kedepan tangan kirinya diayun kemuka
sementara tangan kanan menekan kedalam, didalam
gerakan yang berlawanan itu angin pusaran yang hebat
menyambut datangnya ancaman itu .
"Buuuuum . . . . ! " ledakan dahayat menggoncangkan
seluruh permukaan.
Pek In Hoei membentak keras, mendadak telapak
kanannya melancarkan kembali satu pukulan.
Setelah jurus "Yang Kong Phu Cau" digunakan
sepenuhnya, segulung hawa panas yang maha dahsvat
menggulung keluar dari dalam ruangan
menahan datangnya terjangan dari Hoa Pek Touw.
Tetapi mengikuti tenaga perputaran yang menggulung
datang itu jantungnya terasa bergetar pula sehingga darah
segar dalam dadanya bergolak kencang, badannya tak tahan
mundur satu langkah kebelakang.
Meskipun ilmu sakti "Thay Yang San Sie" adalah
kapandaian yang maha sakti, namun sayang pertama, ia tak
sanggup mengerahkan segenap tenaga murni yang ada
didalam tubuhnya untuk melancarkan serangan tersebut
dan kedua, baru saja la dimabuk napsu birahi sehingga
banyak tenaga serta semangatnya yang hilang. maka ilmu
tadi masih belum sanggup menandingi ilmu "Poh Giok
Cioe" dari Hoa Pek Touw.
Masih untung dia mengenakan kutang mustika
pelindung badan, kalau tidak mungkin isi perutnya telah
terluka termakan hantaman dahayat itu.
Dia tarik napas dalam dalam, dengan cepat hawa
murninya disalurkan mengelilingi seluruh tubuhnya satu
kali. kemudian dengan hati bergidik pikirnya :
"Sungguh tak kunyana kecuali pandai didalam ilmu
pertabiban. ilmu jebakan, ilmu barisan serta ilmu mengatur
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alat rahasia, kepandaian silat yang dimiliki Hoa Pek Touw
pun luar biasa lihaynya, kalau dibandingkan dengan si
Rasul Pembenci langit Ku Loei boleh dikata jauh lebih lihay
beberapa kali lipat Ehmmm ..... mula mula aku masih
mengira "Tay Yang Sin Kang" ilmu sakti Surya Kencana
dari negeri Tayli ini tiada tandingan dikolong langit, tak
tahunya masih juga tak mempan untuk mengalahkan
manusia aneh dari perguruan Liuw mah Boen ini ....... "
Dalam pada itu Hoa Pek Touw sendiri pun terperanjat
atas keliheyan lawannya,segera ia membentak :
"Keparat cilik, aku tidak mengira kalau kau telah
berhasil melatih kepandaian panas yang begini hebatnya . . .
. ''. Ia merandek sejenak. "Manusia berbahaya semacam kau
tak boleh dibiarkan hidup lebih lama lagi dikolong langit !".
Sambil berseru badannya bekelebat kemuka, bagaikan
sesosok bayangan setan dia mendekati lawannya, jari dan
telapak bekerja sama dengan hebatnya,dalam sekejap mata
ia telah mengirim tiga buah serangan berantai.
Sungguh dahsyat serangan dari kakek tua ini, laksana
gulungan ombak ditengah amukan badai, dengan hebatnya
menyerang dan menerjang pada pemuda itu.
Pek ln Hoei tak berani bertindak gegabah, buru buru
kakinya bergeser kesamping.. dalam keadaan gugup dan
cemas secara beruntun dia lancarkan tujuh buah serangan
berantai, satelah bersusah payah beberapa saat lamanya
ancaman maut dari pihak lawanpun berhasil juga diatasi.
Dalam melancarkan tujuh buah serangan berantai itu,dia
telah memasukkan kepandaian lihay dari partai Sauw lim,
Hoa san, Bu tong serta Tiam cong, diantara berkelebatannya sepasang telapak, kepala, jari, kaki serta
sikut bekerja keras menyodok kesana menghantam kemari.
Meski demikian badannya kena didesak mundur juga
sejauh setengah langkah.
Air mukanya seketika berubah hebat pikirnya :
"Aku tak boleh member? kesempatan kepadanya
sehingga bangsat tua ini berhasil mendahului diriku, kalau
tidak dalam dua satu jurus mendatang badanku bakal babak
belur kena gebukannya ..... "
Begitu ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
dengan cepat kakinya bergerak. dia melangkah maju tiga
tindak kemuka kemudian telapaknya diayun melancarkan
sebuah serangan dengan jurus "Liat Yang Hian Tian" atau
Terik sang surya menyengat badan.
"Gie-hu !" saat itulah Kim ln Eng teriak keras dan
menubruk masuk kedalam.
"Keluar ! " bentak Hoa ?"k Touw.
Badannya miring kesamping. laksana kilat kaki
kanannya Melancarkan sebuah tendangan, Sementara itu
Kim In Eng sedang menerjang masuk kedalam. dia tidak
menyangka kalau Hoa Pek Touw dapat melancarkan
tendangan kilat pada saat itu. seketika badannya merandek,
cepat kakinya melangkah kesamping dengan suatu gerakan
yang manis dia menghindarkan diri dari datangnya
tendangan tersebut.
Tanpa berpaling Hoa Pek Touw menekuk ujung kaki
kanannya kemudian dari suatu sudut yang aneh dan tak
disangka mengirim satu tendangan lagi.
Tendangannya ini sama sekali tidak ditarik kembali
sebaliknya malah bergeser tiga coen lagi kedepan,Dalam
keadaan seperti ini tak mungkin bagi Kim In Eng untuk
menghindarkan diri lagi, kakinya jadi kaku dan seluruh
badannya terpental hingga mencelat keluar dari pintu.
"Aduuuuh. . . . !" dia berseru tertahan, kebetulan sekali
tangan kananya membentur diatas pintu kayu . . . . . .
Bruuuk ! terkena tenaga sambaran itu, pintu tadi segera
menutup keras. Susana dalam ruangan seketika berubah jadi gelap gulita,
saking gelapnya sampai lima jaripun sukar dilihat.
Tatkala Pek In Hoei melancarkan serangannya tadi
mandadak pandangannya jadi gelap diam diam ia merasa
keadaan tidak menguntungkan, segera tenaga murni yang
dimilikinya dihimpun semua. badannya bergerak dengan
cepat ia bergeser lima langkah kesisi pintu.
Terasalah desiran angin tajam menyambar ditengah
kegelapan, begaikan sambaran kilat angin serangan tadi
menembusi ruangan menghantem diatas dinding.
Buuuum . . . ! pasir dan debu beterbangan memenuhi
angkasa.suara dengungan yang amat keras hingga menusuk
pendengeran menggema disemua penjuru ......
"Pek ln Hoei, kau hendak lari kemana?" bentak Hoa Pek
Touw sambil tertawa dingin.
Seakan akan dia dapat mengetahui bahwasann?a Pek In
Hoei telah bergeser dari tempatnya semula, bersamaan
dengan selesainya ucapan itu badannya segera menubruk
kembali kearah mana sianak muda itu berada sekarang.
Walaupum berdiri ditempat kegelapan namun sejak
semula Pek In Hoei sudah mampersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan yang tidak di inginkan, merasakan
datangnya serangan dahsyatnya dari Hoa Pek Touw ia jadi
sangat terperanjat.
Angin pukulan bagaikan sebuah jala besar mengurung
seluruh tubuhnya,bukan saja tenaga tekanan menyesakkan
dada bahkan sama sekali tidak memberi peluang barang
sedikitpun baginya untuk menghindar, empat penjuru
seolah olah dikelilingi oleh pisau tajam yang membabat
kearahnya bagaikan badannya hendak dibabat mentah
mentah ...... Dengan hati bergidik pemuda kita balas mengirim satu
serangan. menggunakan kesempatan dikala berdesingnya
angin tajam diapun balas melancarkan tujuh buah serangan
berantai. "Bluumm ......... Bluumm ......... ! "
Bluumm ......... ! " ditengah bentrokan nyaring kedua
belah pihak telah saling bertukar tiga buah pukulan
ditengah angkasa.
Napas Pak ln Hoei mulai tersengkal kakinya terhuyung
mundur dua langkah ke belakang.
"Hemm! cobalah lagi tujuh buah seranganku ini !"
Jengek Hoa Pek Touw dengan suara yang menyeramkam.
Dengan sempoyongan Pek In Hoei mundur kebelakang,
ia bermaksud menyingkir kesebelah kan?n tetapi setelah
mundur beberapa langkah dia baru merasakan bahwa
dirinya telah tiba disisi dinding, tiada jalan lagi baginya
untuk mengundurkan diri .
Dengan parasaan kaget bercampur terperanjat, pikirnya.
"Untuk menghadapi tujuh buah serangan nya itu aku
harus berusaha menjebolkan dinding tembok ini lebih
dahulu kemudian baru bisa dilawan, kalau tidak isi perutku
pasti akan terluka parah ......
Waktu berlalu dengan cepatnya, dalam keadaan seperti
in? t?ada kesempatan baginya untuk berpikir panjang,
pedang mustika penghancur sang suryanya segera dicabut
keluar dari dalam sarung.
Tampak cahaya pedang berkelebat lewat sebelum pedang
itu sempat lolos dari sarungnya, sebuah serangan maut dari
Hoa Pek Touw telah menghantam dengan telak nya diatas
dada pemuda itu.
Datangnya serangan tersebut sama sekali tidak membawa suara atau getaran menanti telapak lawan
menempel diatas dadanya ia baru merasai .
Menanti ia sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya
tenaga pukulan Hoa Pek Touw telah disalurkan keluar,
dengan telak dadanya kena dihantam keras keras.
Dengan menaban rasa sakit yang bukan kepalang sianak
muda itu meraung keras, darah seger muncrat keluar dari
mulutnya.telapak kanan dirapatkan dan segera bales
mengirim satu babatan.
Babatan ini dilancarkan didalam keadaan kacau dan
cemas, sama sekali tidak termasuk jurus serangan dari
aliran manapun apalagi di lancarkan dalam jarak yang
sangat dekat dan ditengah kegelapan ---- Bruuuk ! dengan
telak babatan itu bersarang pula di atas bahu kakek tua itu,
Dalam pada itu Hoa Pek Touw sedang miringkan
kepalanya untuk menghindarkan diri dari cipraan darah
segar yang ditumpahkan dari mulut Pek In Hoei, dia tidak
m?nyangka kalau pemuda itu masih sempat melepaskan
serangan balasan dikala isi perutnya telah terluka, apalagi
jarak diantara mereka terlalu dekat, serangan tadi tak
sempat dihindari lagi.
Ia mendengus berat, badannya mundur selangkah
kebelakang dimana kakinya berlalu ubin yang kena diinjak
segera hancur dan merekah.
Sekilas cahaya pedang mendadak berkelebat diangkasa,
meminjam kesempatan yang sangat baik itulah Pek In Hoei
mencabut keluar pedang mustika Si Jiet Kiamnya .
Tampak pedang itu digetarkan keras, cahaya tajam
segera berkilatan memenuhi angkasa mengikuti bergeser
langkah kaki, cahaya pedang mendadak sirap dan tahu2
sudah dilintangkan didepan dada .
Hoa Pek Touw tidak mengira tenaga lwekang yang
dimiliki Pek In Hoei sedemikian sempuma meskipua
usianya masih sangat muda, kendati dadanya sudah kena
dihantam namun sama sekali tidak roboh terjungkal keatas
tanah Dalam hati kakek tua ini merasa bergidik, sambil tarik
napas menahan rasa sakit diatas bahunya ia tatap wajah
sianak muda itu tajam tajam .
Tetkala dijumpainya Pak In Hoai berdiri serius
dihadapannya sambil menyilangkan pedang mustikamya
didepan dada, segera ia mendengus dingin.
"Hmmm ! isi perutmu sudah terluka parah, kalau tidak
cepat cepat kau obati luka dalammu itu dalam satu jam
mendatang jiwa mu bakel melayang. Heeeh ... heeeh ....
heeeh . . . . apa kau anggap aku tak dapat melihat bahwa
gayamu memegang pedang saat ini hanya gertak sambal
belaka " ... aku lihat lebih baik buang saja senjatamu itu ! "
Pek In Hoei sendiri diam diam merasa terperanjat, ia
kagum atas ketajaman mata pihak lawannya yang telah
berhasil mengetahui akan kekosongan gaya pedangnya itu.
Hatinya jadi bergidik, sambil menahan Pergelangannya
yang gemeter keras pikirnya didalam hati ;
"Saat ini paling banter aku cuma sanggup menghadapi
tiga jurus serangannya belaka, setelah itu urat nadiku bakal
pecah dan jiwaku bakal melayang, apa yang harus
kulakukan sekarang " menerjang keluar dari ruangan ini "
jelas tak mungkin !".
Hoa Pek Touw bukanlah manusia sembarangan, sebagai
orang Yang berhati licik sekilas memandang cahaya tajam
diujung senjata lawan, dia segera mengetahui kalau pemuda
itu sedang bertahan sebisa bisanya, maka dengan suara
dingin kembali jengeknya ;
"Dalam kendaan seperti ini loohu hanya cukup
menggunakan tiga jurus serangan saja sudah sanggup untuk
membinasakan dirimu ! .
Mendadak . . . . Pintu depan didorong orang diikuti Kim
In Eng menerjang masuk kedalam ruangan.
"In Hoei" serunya dengan hati cemas,
"Kau tidak terluka bukan "....."
"Aku tidak apa apa !"
"In Eng, ayoh cepat enyah dari sini !" " hardik Hoa Pek
Touw, "Gie-hu (ayah angkat) ! ampunilah jiwanya dan
lepaskanlah dia pergi dari sini!"
Hoa Pek Touw tertawa seram.
"Aku peras keringat puter otak dan banting tulang
selama lima puluh tahun sebenarnya apa tujuannya " kalau
ini hari kulepaskan keparat cilik ini maka dikemudian hari
jagoan Bu-lim manakah yang sanggup menaklukkan dirinya
...... " Mandadak ia menoleh dan menghardik :
"Pek In Hoei, jangan bergerak !"
Perlahan lahan Pak in Hoei tarik kembali kakinya yang
sudah melangkah kedepan, sahutnya lirih :
"Hoa Pek Touw .... janganlah kau terlalu memakan
diriku !". ia merandek sejenak kemudian tambahnya ketus.
"Kau harus tahu binatangpun mempunyai semangat
untuk bertempur hingga titik darah penghabisan, kau
anggap aku sudi takluk dan menyerah dengan begini saja,
?"" "
"Hmmm ! rupanya Cian Hoan Lang Koen telah
membeberkan semua rencana besarku kepadamu, heeeh .....
heeeeh .... heeeh .... kalau memang demikian adanya, kau
semakin tak boleh kulepaskan lolos dari perkampungan Tay
Bie San cung ini. Keparat cilik ! ini hari kau harus mati
disini !".
Keadaan dari Pek In Hoei saat ini benar2 amat kritis,
setiap saat kemungkinan besar jiwanya bisa melayang
ditangan jago tua itu, mendadak sinar matanya beralih
keatas lukisan yang tergantung diatas pembaringan satu
ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.
Meskipun dia punya tujuan kesitu namun pemuda kita
cukup cendik, sinar matanya justru malahan ditujukan
kepintu luar. Melihat sianak muda itu memperhatikan kearah pintu,
Hoa Pek Touw mangira d?a akan meloloskan diri dengan
menggunakan kesempatan itu, sambil mendengus dingin
badannya segera bergeser empat langkah kesamping dan
berdiri tepat didepan pintu .
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah itu sambil memandang kearah Pek In Hoei
ejeknya : "Akan kulihat bagaimana caramu menirukan binatang
yang akan bertahan hingga titik darah penghabisan, akan
kulihat apakah kau sanggup memaksa aku hingga mundur
selangkah kebelakang ".
"Setan tua kau tertipu !" seru Pak In Hoei, badannya
dengan cepat bergerak, bukan pintu depan yang dituju
sebaliknya malah meloncat naik keatas pembaringan.
Menyaksikan perbuatan sianak muda Itu,air muka Hoa
Pek Touw berubah hebat, diam diam ia berseru tertahan
lalu dengan penuh kegusaran makinya:
"Keparat cilik2, licin benar akal bulus mu !"
Dengan jurus "Pouw Giok Sheng Than" atau Berpeluk
tangan Menenggelamkan sampan telapaknya segera
menyamber kemuka meaghantam Pek In Hoei yaog ada
diatas pembaringan.
"Tahan !" bentak Pek ln Hoei sambil membetulkan
posisinya. Hoa Pek Touw melengak, dilihatnya si anak muda itu
telah tudingkan senjatanya diatas lukisan gadis di atas
dinding itu, air mukanya segera berubah, dengan menahan
perasaan batin yang tersiksa bentaknya penuh kegusaran ;
"Pak la Hoei, kalan kau berani merusak lukisanku itu
maka semua manusia she Pek yang ada dikolong langit
akan kubunuh hingga habis !"
Sambil berdiri tegak Pek ln Hoei menatap Hoa Pek
Touw yang sedang marah marah, terhadap makiannya dia
tidak menggubris dan tetap berlagak pilon.
"Apakah kau masih membutuhkan lukisan ini ?"
tanyanya. "Sekalipun aku tidak membutuhkan lagi lukisan itu.
jiwamu tetap akan kucabut !"
"Sungguh " kau benar benar tidak membutuhkan lukisan
ini lagi " .... "
Saking gusar dan mendongkolnya sepasang mata Hoa
Pek Touw berubah jadi merah berapi api, dengan gemas
dan penuh kebencian teriaknya :
"Kalau kau berani menggores lukisan itu seketika itu jaga
Kim In Eng akan kubinasakan lebih dahulu !"
Dengan pandangan bergidik Kim ln Eng menatap wajah
Hoa Pek Touw, bagaimana pun juga dia tidak mengira
kalau ayah angkatnya begitu kejam dan berhati keji, hatinya
jadi dingin dan bulu kuduk pada bangun berdiri ....
"Hmm ! kalau memang kau sudah tidak ingini lukisan
ini lagi, baiklah akan kuhancurkan lumatkan jadi berkeping
keping ",ancam Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Hoa Pek Touw merasa sangat mendongkol, selama
hidup dia cuma tahu menjebak orang lain siapa sangka ini
hari harus jatuh kecudang ditangan orang bahkan orang itu
adalah seorang pemuda yang masih muda belia.
Saking khekinya hampir saja dia muntah darah, dalam
hati iapun merasa tetcengang dan tidak habis mengerti,
darimana pemuda itu bisa tahu kalau lukisan tersebut
adalah benda yang paling disayanginya melebihi jiwa
sendiri. Berpuluh puluh macam akal berkelebat memenuhi
benaknya, tetapi sayang tak satupun bisa digunakan untuk
memaksa Pek In Hoei menggeserkan pedangnya dari atas
lukisan itu. Akhirnya dia menyerah dan berkata :
"Baiklah ! untuk kali ini akan kulepaskan dirimu pergi
dari sini dan aku berjanji tak akan membinanakan dirimu
pada hari ini ! " .
Pek ln Hoei mendengus dingin
"Masa dikolong langit benar benar terdapat persoalan
yang begini gampang bisa diselesaikan ?"" keluarkan dulu
obat pemunah dari rumput racun penghancur hati !".
"Bangsat ! jangan terlalu besarkan pentang mulut
anjingmu, kalau sampai melampa?i batas permintaan itu,
aku bisa korbankan lukisan itu detik ini juga: Hmm.....
kalau sampai aku berbuat nekad hati hati selembar jiwa
bangsatmu, tak nanti ku ampuni !".
"Sekalipun aku ajukan penawaram setinggi langit,
bukankah kaupun punya kesempatan untuk menawar " "
jengek sianak muda she Pek itu sambil tertawa hambar.
"Asal kan kedua belah pihak sudah setuju, maka dagangan
Itupun boleh dikatakan telah jadi".
"Heeeeh...heeeeeh. heech.. sekarang kau jangan keburu
merasa bangga dulu, suatu saat aku berhasil menangkap
dirimu ...... Hmm ! saat itulah kau tak akan bisa tertawa lagi
!". "Itu sih urusan belakangan, buat apa sekarang kita
membicarakannya lebih dahulu " "
Senyuman yang menghiasi bibirnya mendadak membeku, rasa sakit yang luar biasa segera tertera jelas
diates wajahnya, kembali pemuda itu muntahkan darah
segar. Melihat kesempatan baik yang sukar ditemukan telah
tiba Hoa Pek Touw tak mau sia siakan dengan begitu saja,
pundaknya segersabergerak siap loncat kedepan merampas
pedangnya atau bila mungkin sekalian membinasakan
pemuda itu. "Tahan " bentak Pek In Hoei dengan alis berkerut
kencang. "Criiiit . . " segulung angin desiran tajam meluncur
keluar. Tubuh Hoa Pek Touw yang, sedang menubruk tiba
seketike tertahan dicengah udara, terpaksa in harus
melayang turun keatas permukaan tanah.
Walaupun begitu kakek tua ini tak mau begitu saja
melepaskan mangsanya dari tangannya segera diayun
mengirim satu serangan balasan.
Bruuunk ....... ! angin pukulan itu dengan telak
menghantam diatas pergelangan tangan Pek In Hoei yang
mencekal pedang.
Sianak muda itu membentak nyaring,sambil ayun tangan
kirinya ia mengancam :
"Apakah kau hendak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri kuhancurkan lukisan ini ?"
Tangan kanan bergetar kencang. diantara berkelebatnya
cahaya pedang ia perlihatkan sikap hendak manggurat
lukisan gadis cantik itu.
Hoa Pek Touw jadi lemas, ancaman tersebut tepat
mengenai hati kecilnya, sambil menunjukkan sikap yang
sangat menderita bisiknya lirih :
"Kalau kau memang jantan, sekarang juga goreslah
lukisanku itu !, . . . . ,
Mula mula Pek In Hoei melengak namun segera dia
tertawa dingin.
"Apa susahnya berbuat demikian ?"
Sinar matanya berkelebat menyapu sekejap wajah Hoa
Pek Touw, kemudian tambahnya :
"Ooooh, betapa indah serta bagusnya lukisan yang luar
biasa serta susah dicari keduanya dikolong langit dewasa
ini, terutama sekali senyuman manis dari gadis dalam
lukisan itu serta pandangan mesrah penuh cinta kasih yang
dia perlihatkan, benarkah kau sudah tidak membutuhkannya dan rela kuhancurkan lukisan yang
demikian luar biasanya ini ..... aaaah ..... aku merasa
radaan sayang ...."
"Tutup mulut anjingmu !" teriak Hoe Pek Touw. titik air
mata mulai membasahi kelopak matanya "Baiklah, ini
adalah pil penolak racun, ambillah pergi ! .
Dari sakunya kakek tua itu ambil keluar dua butir pil
yang terbungkus dalam lilin dan dilemparkan keatas
pembaringan, setelah itu dengan sedih ia tundukkan
kepalanya rendah rendah,
Walaupun Pek In Hoei telah menggunakan titik
kelemahan dari Hoa Pek Touw untuk memaksa dia
meny?rahkan pil pemun?h racun itu, namun dalam hati
kecilnya dia merasa sangat kagum atas kesetiaan serta
kesungguhan cintanya yang telah berlungsung puluhan
tahun lamanya tanpa berubah sedikitpun itu,
Pikirnya didalam hati ;
"Sekalipun dia adalah seorang manusia durjana yang
paling kejam, paling telengas dan paling licik dikolong
langit, namun kesetiaannya serta kesunguhan cintanya
terhadap kekasih yang pernah dicintainya puluhan tahun
berselang sukar dicari keduanya Aaaaii . . . . entah dapatkah
aku meniru kesunguhan cintanya terbadap kekasihku
kemudian hari " . . . "
Tanpa menunjukkan pandangan mengejek atau pandang
rendah lawannya, la segera berkata serius :
"Aku telah menderita luka dalam yang amat parah, aku
berharap kaupun bisa menghadiahkan pula sebutir pil
"Tiang Coen Wan" yang baru saja kau buat itu kepadaku,
dengan demikian dalam perjumpaan kita yang akan datang
aku tidak sampai kau tundukkan dengan begitu mudah"
Dengan penuh rasa mendongkol ?"a ?"k Touw melotot
sekejap kearah pemuda itu, rasa gusar dan gemasnya tanpa
terasa ikut tersalur keluar lewat pandangan tadi.
Menyaksikan betapa benci dan gusarnya kakek itu
memandang dirinya, diam-diam ?"k In Hoei sendiripun
merasa bergidik sehingga bulu kuduknya pada bangun
berdiri. (Oo-dwkz-oO) Jilid 17 (edit by Sumahan)
DARI dalam sakunya Hoa Pek Tuo ambil keluar sebuah
botol porselen berwarna hijau, kemudian mengeluarkan
sebutir pil bewarna merah darah.
Sambil melemparkannya keatas pembaringan serunya
tertawa dingin: "Suatu saat kau terjatuh ditanganku, kalau
tidak kusuruh kau rasakan siksaan dikerubuti berlaksa-laksa
ekor binatang yang paling berbisa dikolong langit, aku
bersumpah tidak mau jadi orang!"
"Seandainya ilmu silat yang kumiliki telah punah,
kendati kau berhasil menangkap dirikupun percuma seja,
tiada artinya sama sekali. Begini saja, bila kiia bertemu
muka lagi dikemudian hari mari kita saling beradu
kecerdasan lagi! Aku sih ingin sekali berhasil kau tangkap
dikemudian hari sehingga dapat merasakan bagaimana
penderitaan seseorang yang dikerubuti berlaksa-laksa ekor
binatang beracun, tetapi aku takut tidak demikian
gampangnya kau bisa memenuhi keinginanmu itu!"
Dia ulapkan tangannya, kemudian tambahnya lagi
"Sekarang, silahkan kau keluar dari ruangan ini!"
Lama sekali Hoa Pek Tuo menatap wajah Pek In Hoei,
akhirnya dengan suara berat dia mengancam: "Bilamana
kubiarkan kau berhasil tinggalkan tempat ini sejauh tiga
puluh li, sejak ini hari aku tidak akan she Hoa lagi!"
Pek In Hoei tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah
katapun dia awasi wajah kakek tua itu tanpa berkedip.
Bagaikan dua ekor binatang buas yang saling berhadapan
kedua orang itu saling berpandangan beberapa waktu
lamanya. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya sambil tertawa
hambar Pek In Hoei berkata: "Kalau aku tak sanggup
tinggalkan daerah sejauh tiga puluh li dari sini dan keburu
kena kau tangkap lagi, mulai ini hari juga aku pun tak sudi
she Pek lagi"
"Bagus! perkataan seorang lelaki sejati berat laksana
gunung Thay-san, setelah diucapkan tak akan diingkari
kembali". Hoa Pek Tuo mendengus dingin, tanpa mengucapkan
separah kata lagi segera putar badan berlalu dari ruangan
itu. Pek In Hoei termenung berpikir sejenak, tiba-tiba
tanyanya lagi: "Berapa lama waktu yang kau berikan
kepada kami?"
"Dua jam!" sahut Hoa Pek Tuo sambil menoleh dan
tertawa, kemudian dengan cepatnya ia berlalu dari ruangan
tersebut. Mendengar waktu yang disebutkan itu sepasang alis Pek
In Hoei kontan berkerut kencang" pikirnya didalam hati:
"Kurang ajar.... kembali aku tertipu, waktu selama dua
jam hanya cukup bagiku untuk melakukan perjalanan
sejauh tiga puluh li.... bukankah terang-terangan aku bakal
kalah taruhan lagi"
Ia merandek sejenak, lalu pikirnya lebih jauh: "Aku
masih mengira dalam pertarungan ini dirikulah yang pasti
peroleh kemenangan siapa sangka ucapanku yang terakhir
justru telah terjatuh kedalam perangkap orang. Aaaiiii.....
rupanya aku harus lebih banyak berlatih diri lagi, dengan
demikian dikemudian hari baru tidak sampai tertipu lagi
oleh manusia licik yang banyak akalnya seperti dia...."
Dia hanya pusatan semua perhatiannya untuk mencari
akal bagaimana caranya melepaskan diri dari pengejaran
Hoa Pek Tuo dan telah melupakan bahwasanya Kim In
Eng masih berada disitu.
Dalam pada itu sidewi khiem sendiri sejak memasuki
ruangan itu hingga kini hanya berdiri bersandar disisi
dinding saja. menyaksikan Pek In Hoei dalam keadaan
yang kepepet dan terdesak ternyata masih sanggup
menolong dirinya dengan kecerdikan otaknya, diam-diam
ia jadi kagum dibuatnya.
Sambil tersenyum segera pikirnya didalam hati: "Kini
dia telah mulai bergerak menuju keposisi kursi singgasana
nomor wahid di kolong langit, suatu saat ia akan berhasil
melenyapkan semua rintangan didepan matanya dan
menjadikan dirinya sebagai manusia yang paling kosen
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikolong langit.....
Tapi.... belum lama senyuman girangnya menghiasi bibir
perempuan itu, tiba tiba ia saksikan sekujur badan Pek In
Hoei gemetar keras, dengan menahan rasa sakit tak
terhingga dia mendengus berat kemudian roboh terjungkal
dari atas tiang pembaringan.
Cahaya pedang berkelebat lewat, senjata Si Jiet Kiam
yang tajam seketika merobek kain kelambu berwarna merah
itu dan membawa tubuh Pek In Hoei yang berat roboh
terjengkang diatas ranjang.
Air muka Kim In Eng berubah hebat, cepat cepat dia
maju kedepan memayang bangun tubuh sianak muda itu,
tampaklah air mukanya telah berubah jadi pucat pias
bagaikan mayat, keringat sebesar kacang kedelai membasahi sekujur tubuhnya, sambil menggigit bibir ia
telah jatuh tidak sadarkan diri.
Dengan perasaan penuh kasih sayang dan kasihan
perempuan itu mengeluarkan saputangan untuk menyeka
air keringat yang telah membasahi wajah pemuda itu,
bagaimana pun juga dia merasa kagum dan memuji akan
kegagahan serta keberanian yang telah diperlihatkan sianak
muda itu barusan.
Tanpa berpikir panjang lagi diambilnya dua butir pil
yang berada diatas ranjang itu kemudian menghancurkannya dan dijejalkan ke dalam mulut Pek In
Hoei, selelah itu tangannya berkerja keras menguruti dada
serta lambung pemuda itu agar peredaran darah tubuhnya
bisa berjalan kembali dengan lancar.
Memandang raut wajahnya yang tampan dan menarik
hati, muncul perasaan kasihan serta sayang dari mata
perempuan itu, bisiknya dengan suara yang lirih: "Selama
dua tahun belakangan ini kau tentu sudah menelan banyak
pahit getir yang menyiksa tubuhmu, kalau tidak dari mana
mungkin dari seorang bocah cilik yang tak pandai ilmu silat
kini telah berubah jadi seorang pendekar muda yang cerdik,
berani serta memilki kepandaian silat maha sakti"
Tanpa terasa bayangan dari Cia Ceng Gak sijago pedang
sakti dari Tiam Cong Pay di kala masih mudanya terbayang
kembali dalam benak perempuan she Kim ini. Waktu itu
diapun sedang menginjak masa mudanya, bukan saja
ganteng, gagah dan berani, bahkan di masa mudanya telah
berhasil menduduki jabatan sebagai seorang ketua partai.
Senyuman sedih dan pedih tersungging di ujung
bibirnya, diam diam pikirnya kembali "Ketika itu meskipun
Cia lang dengan membawa pedang sakti kepandaian lihay
menginjakkan kakinya didaratan Tionggoan, namun
berhubung dia sudah masuki perguruan To boen maka
terhadap gadis gadis cantik yang ada didalam dunia sama
sekali tak memandang sebelah matapun. Oleh sebab itulah
orang orang sampai menyebut dirinya sebagai pemuda
yang tidak romantis...."
Ia menghela napas panjang, pikirnya lebih jauh:
"Aaaaai! meskipun ia telah menjabat sebagai ciangbunjin
dari partai Tiam Cong, namun cinta kasihnya terhadap
diriku tetap mendalam dan merasuk hingga ke tulang
sumsum. Ia rela tinggalkan segala galanya untuk menemani
aku berpesiar kesemua tempat yang indah dan menawan
hati. Cinta yang demikian dalamnya bukankah melebihi
dalamnya samudra" tapi aku sendiri.... sama sekali tidak
mengetahui dimana tulang belulangnya dipendam....".
Tetes air mata menetes keluar dari balik biji matanya
yang hitam, gumamnya: "Cia-lang, kau sebagai seorang
ciangbunjin sebuah partai besarpun dapat tinggalkan tata
kesopanan serta derajatmu sebagai ketua. Aaaai.... tapi
siapakah dikolong langit yang mengetahui bahwa kaulah
bianglala dan partai Tiam Cong"
Ditengah kesunyian yang mencekam seluruh ruangan
itu, pikirannya jadi melayang layang entah kemana,
bayangan Cia Ceng Gak yang gagahpun segera memenuhi
seluruh benaknya.
Perlahan-lahan ia cabut pedang Si Jiet Kiam itu, meraba
sarung pedang yang terbuat dari kulit ikan hiu itu ia
pejamkan matanya rapat rapat.
Ia merasakan dirinya seakan akan berada dalam pelukan
kekasihnya, seakan akan ia sedang membelai dadanya yang
bidang dan kekar....
"Aaaai...." dia menghela napas panjang. "Tingginya
langit lamanya waktu ada batasnya, namun sampai kapan
cinta kasihku bisa terpenuhi...."
Ia gelengkan kepalanya berulang kaii, kemudian dengan
tangannya yang putih halus dipunggutnya mutiara penolak
air yang menggeletak diatas selimut itu.
Hawa pedang, cahaya mutiara memancar di atas raut
wajahnya yang segar membuat perempuan itu kelihatan
lebih cantik, seolah-olah sebuah patung arca yang terbuat
dari baru pualam.
Mutiara yang besar dan bulat bergelindingan diatas
tandannya, sambil tersenyum cengang pikirnya:
"Mengapa perasaan hatiku pada hari ini bisa melayang
sampai begitu jauhnya" kenapa aku sudah melupakan
bahwa usiaku hampir mencapai angka empat puluh"
Aaaai.... kenangan lama apa gunanya dipikirkan kembali....".
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir lebih jauh: "Chin Siang adalah seorang bocah yang
halus dan menawan hati, untuk mencari kabar berita dari
Pek In Hoei aku pernah suruh ia berkelana didalam dunia
persilatan dengan menggunakan namanya
sehingga memperoleh sebutan sebagai jago pedang berdarah dingin
kenapa aku tidak jodohkan sama gadis manis itu dengan
diri Pek In Hoei?"
Teringat akan Wie Chin Siang, diapun lantas teringat
kembali bahwasanya kemarin malam ia telah mengutus
muridnya ini untuk menyusup kedalam lorong rahasia dan
berusaha untuk menjumpai Cian Hoan Lang Kosu guna
menanyakan nasib dari Cia Ceng Gak.
Dengan cepat ia meloncat bangun, pikirnya dengan hati
cemas. "Aaaah! kenapa aku telah melupakan dirinya" Sejak
kemarin malam masuk ke dalam perkampungan hingga kini
belum ada kabar beritanya sama sekali mengenai nasibnya.
Aaaiii.... kenapa setelah bertemu dengan Pek In Hoei
saking gembiranya aku telah melupakan dirinya...."
Sambil menggigit ujung bibirnya dia masukkan kembali
padang penghancur sang surya itu kedalam sarung,
kemudian putar badan dan loncat keluar dari ruangan itu.
Tiba tiba terdengar Pek In Hoei merintih, diikuti
matanya dibuka dengan memandang keempat penjuru
dengan sikap tertegun, akhirnya dia loncat bangun dari atas
pembaringan. Mendengar suara rintihan itu, Kim In Eng menoleh,
menyaksikan Pek In Hoei loncat turun dari pembaringan
dengan penuh kegirangan segera teriaknya: "Bocah, apakah
kau telah sehat kembali?".
"Cianpwee, Hoa Pek Tuo ada dimena?"
Kim In Eng tidak langsung menjawab, perlahan lahan ia
dekati sianak muda itu kemudian sambil memandangnya
dengan penuh kasih sayang pujinya. "Sungguh tak
kusangka setelah berpisah dua tahun, kau telah berhasil
mempelajari ilmu silat yang demikian lihaynya, terutama
sekali didalam situasi yang amat berbahaya kau masih
sanggup memaksa ayah angkatku mundur...."
Merah jengah selembar wajah Pek In Hoei. "Sebetulnya
aku tidak pantas menggunakan cara yang demikian
rendahnya untuk paksa dia keluar dari sini, tetapi kalau aku
tidak berbuat demikian maka jiwaku bakal terancam...."
"Tidak!" kata Kim In Eng sambil gelengkan kepalanya.
"Seseorang bilamana menghadapi situasi yang mengancam
keselamatan serta jiwanya, maka tindakan serta perbuatan
apapun yang dilakukan tak bisa di anggap sebagai suatu
perbuatan yang rendah dan memalukan...."
Ia tertawa getir, lalu tambahnya: "Seandainya kau tidak
berhasil menangkap titik kelemahan dari ayah angkatku,
mungkin akupun tidak punya harapan untuk tinggalkan
tempat ini dalam keadaan hidup. Selamanya dia paling
pantang kalau ada orang memasuki kamarnya...."
Kendati dalam hati Pek In Hoei merasa heran dari mana
Kim In Eng bisa jadi putri angkat dari Hoa Pek Tuo, tetapi
ia merasa kurang enak untuk menanyakannya.
Setelah terenung sebentar ujarnya dengan serius: "Kim
cianpwee, maaf kalau boanpwee akan bicara blak blakan
dengan dirimu. Berhubung Hoa Pek Toew mempunyai
sangkut paut yang amat besar dengan partai Tiam Cong
kami serta seluruh umat bu lim yang ada dikolong langit,
maka bilamana dikemudian hari boanpwee terpaksa harus
bertempur melawan dirinya, aku harap cianwee...."
"Tidak usah kau teruskan perkataanmu itu. Aku sudah
mengetahui apa yang kau maksudkan!" tukas Kim In Eng.
Ia menghela napas sedih. "Usiaku sudah hampir mencapai
empat puluh tahun. Sejak Cia leng mati hatiku telah
berubah jadi tawar bagaikan air. Nanti akan kuberitahukan
kepadamu dimana jenasah ayahmu aku kubur. Setelah itu
aku akan masuk menjadi pendeta dan selama hidup aku tak
mau mencampuri urusan keduniawian lagi. Janganlah kau
mengira aku akan mencampurkan diri didalam urusan ini
hingga menyulitkan dirimu"
Semua persoalan yang semula memurungkan hati Pek In
Hoei kini telah lenyap bagaikan asap diangkasa. Perlahan-
lahan ia menarik nafas dalam2.
"Pada dua tahun berselang, boanpwee telah berbuat
Puthauw terhadap orang tua sehingga merepotkan
cianpwee lah yang harus menguburkan jenasah ayah ku.
Atas bantuan serta kebaikan hati cianpwee terimalah
sekarang sebuah hormat dari aku Pek In Hoei"
Ia bertekuk lutut dan jatuhkan diri berlutut dihadapan
Kim In Eng untuk menjalani sebuah penghormatan besar.
Buru buru Kim In Eng membimbingnya bangun "Pek
hian-tit kau tak usah berbuat begitu, nanti akupun masih
ada sedikit persoalan yang ingin mohon bantuanmu".
Satelah merandek sejenak, katanya dengan nada sedih
"Selama hidup hanya satu persoalan yang mencemaskan
hatiku, yaitu hingga kini aku merasa belum mengetahui
bagaimana nasib Cia-leng. Apakah dia masih hidup atau
sudah mati" teringat dikala ia berpisah dengan diriku tempo
dulu, mustika penghancur sang surya ini ada bersama sama
dirinya, dan kini kau...."
"Supek-couw telah mati di kaki gunung Ching Shia...."
seru Pek In Hoei dengan suara berat.
Belum habis ia berkata, sekujur badan Kim In Eng telah
gemetar keras, Ia mundur selangkah kebelakang sementara
air matanya jatuh berlinang bagaikan hujan deras. Sambil
memegang pinggiran ranjang, tanyanya lagi dengan suara
terpatah patah "Bagai.... bagaimana mungkin.... apa.... apa
sebabnya dia.... dia mati dan bagaimana.... bagaimana pula
dengan ciangbungjin delapan partai lainnya?".
"Dia orang tua mati karena terkena racun yang maha
dahsyat, sedang ciangbunjin dari delapan partai lainnya pun
telah mati semua di dalam satu gua yang sama....".
Pucat pias selembar wajah Kim In Eng, sambil menggigit
kencang bibirnya ia tatap wajah Pek In Hoei dengan tajam,
air matanya mengucur keluar makin deras....
"Siapa.... siapakah yang telah membinasakan mereka
semua" Siapakah yang mempunyai kepandaian sedemikian
lihaynya hingga dapat meracuni mereka semua....?"
gumamnya. "Mereka semua dibokong dengan cara yang paling
rendah, perbuatan ini bukan dilakukan oleh orang yang tak
berkepandaian silat...." kata Pek In Hoei dengan nada
sedih. "Sebenarnya siapa yeng telah mencelakai mereka?" teriak
Kim In Eog, suaranya parau dan serak.
Pek In Hoei menjadi ragu, sebelum ia sempat mengambil
keputusan untuk memberitakan kerja sama antara Hoa Pek
Tuo dengan Cia Ka Sin-mo untuk mencelakai sembilan
partai besar di gunung Cing Shia, mendadak pintu digedor
orang disusul suara dari Hoa Pek Tauw yang dingin
menyeramkan berkumandang keluar: "Hey orang she Pek,
waktu satu jam telah lewat!".
Pek In Hoei tergetar keras, dengan hati bergidik ia
melongok ke pintu luar, sekarang ia pun ingat bahwa ia
telah berjanji dengan Hoa Pek Tuo, dimana dirinya hanya
diberi kesempatan selama dua jam untuk meninggalkan
perkampungan Tay Bie San cung.
Dengan hati bergidik segera pikirnya: "Seandainya
kuceritakan perbuatan terkutuknya yang telah mencelakai
ketua dari sembilan partai besar, kemungkinan besar ia
akan mengingkari janji. Bukan saja aku tidak dibiarkan
hidup, bahkan Kim cianpwee pun kemungkinan besar bakal
menemui ajalnya di tangan bajingan tua ini."
Berpikir demikian, ia lantas berseru lantang "Aku harap
kaupun bisa menepati janji yang telah kau ucapkan dan
segera mengundurkan diri dari lorong rahasia ini, kalau
tidak akupun bisa mengingkari janjiku"
"Bangsat cilik, sekarang baiklah kubiarkan kau berlagak
jumawa, nanti kalau aku tidak beset kulit anjingmu lalu
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suruh kau merasakan disiksa oleh lima jenis racun yang
terkeji dikolong langit, agar kau menderita siksa selama tiga
hari tiga malam baru mati, jangan panggil namaku Hoa Pek
Tuo". Suara itu makin lama semakin lirih dan makin jauh
hingga akhirnya lenyap dari pendengaran.
Pek In Hoei mendengus dingin pikirnya: "Walaupun
sekarang aku tak bisa menangkan dirimu, tetapi aku bisa
menghancurkan kekuatanmu, agar kalian tak dapat bersatu
padu untuk mewujudkan rencana besar kalian untuk
merajai dunia persilatan".
"Aaaaah, sungguh tak nyana begitu kejam dan
telengasnya hati bangsat tua itu" seru Kim In Eng dengan
nada terperanjat. "Selama hampir dua puluh tahun lamanya
aku masih mengira dia adalah seorang tabib sakti yang
berhati penuh welas kasih dan suka menolong sesamanya
dikolong langit"
Bibir Pek In Hoei bergerak ingin menguutarakan pula hal
hal kekejian serta kelicikan Hoa Pek Tuo, tetapi akhirnya ia
batalkan maksud hatinya itu.
Kembali pikirnya didalam hati: "Sekarang adalah
saatnya bagiku untuk melarikan diri dari perkampungan
Tay Bie San cung ini, pertama tama aku harus berusaha
untuk memancing perhatian Hoa Pek Tuo agar seluruh
kekuatan dan pikirannya ditujukan kepadaku, dengan
begitu, Kim cianpwee dapat melarikan diri dengan leluasa".
Dalam pada itu Kim In Eng telah berhasil menguasai
golakan hatinya, sambil membesut air mata katanya: "In
Hoei, sekarang aku hendak memberi tahukan sesuatu
kepadamu, yakni jenasah ayahmu telah kubakar hingga
tinggal abu...."
Dengan perasaan terperanjat, Pek In Hoei mendongak,
lalu menatap wajah Kim In Eng dengan pandangan
mendelong. Perempuan itu tertawa getir, ujarnya lebih lanjut: "Pada
malam itu aku harus bergebrak sebanyak dua ratus jurus
dengan Ku Loei, walaupun akhirnya dengan irama khiem
ku, aku berhasil mengalahjan dirinya, tetapi akupun
menderita luka parah, dalam keadaan seperti itu aku benar
benar tak bertenaga sama sekali untuk membawa jenasah
ayahmu turun dari gunung Cing Shia"
Ia merandek sejenak kemudian terusnya: "Oleh sebab itu
setibanya dilereng gunung Cing Shia, maka jenasah ayahmu
segera kuserahkan kepada Hoei Kak Loo Nie untuk dibakar
dan hingga kini abu dari ayahmu mauh berada didalam kuil
Hoei Kak An dibelakang hutan bambu, bila suatu saat kau
datang kesana carilah Hoei Kak Loo nie, maka dia akan
serahkan kembali abu orang tuamu itu kepadamu"
"Terima kasih atas bantuanmu, cianpwee...." seru Pek In
Hoei dengan amat terharu hingga titik air mata tanpa terasa
jatuh bercucuran.
Kim In Eng sendiripun dibuat sangat terharu oleh sikap
Pek In Hoei yang lugu itu, ia menghela napas panjang.
"Anakku, aku merasa amat menyesal karena tak dapat
mengubur jenasah ayahmu di puncak gunung kenamaan itu
agar sukmanya yang ada di alam baka memperoleh
ketenangan serta ketenteraman, maka dari itu, setelah turun
gunung siang malam, aku berusaha menemukan dirimu,
dan mohon kepadamu...."
Pak In Hoei berdiri termangu-mangu. Teringat kembali
olehnya bayangan tatkala sambil memboyong jenasah
ayahnya, per-lahan2 turun gunung, ketika itu tubuhnya
penuh dengan luka, hampir boleh dikata tak sebahagianpun
berada dalam keadaan utuh.
Air matanya jatuh bercucuran, hampir saja ia tak
sanggup menahan kepedihan hatinya, namun ia genggam
sepasang kepalannya kencang2 dan menekan penderitaan
serta siksaan batin itu dalam hatinya "Aku harus menuntut
balas terhadap orang orang itu. Perduli pada saat apapun,
dimanapun juga, ujung pedangku pasti akan menembusi
tubuh mereka"
Diam diam ia berdoa kepada ayahnya yang berada
dialam baka, agar memperoleh ketenangan dan ketenteraman. Perlahan-lahan Kim In Eng berpaling kearah lain,
menyeka air matanya dan berkata: "Menurut apa yang
kuketahui Hwie Kak Loo nie berasal dari partai Go-bie.
tetapi entah sejak kapan ternyata la berhasil mendapatkan
sejilid kitab pusaka ilmu silat yang telah lama lenyap dari
peredaran Bu-lim. Kitab tersebut adalah salinan asli kitab
"Ie Cin Keng" karangan Tat Mo Couwsu yang dibawa
kedaratan Tionggoan dari negeri Thian Tok...."
Wajahnya tiba tiba berubah jadi serius, sambungnya
lebih jauh: "Tetapi watak Hwie Kak Loo nie sangat aneh.
Bagaimanapun juga ia tak mau serahkan kitab pusaka
tersebut. katanya hanya sebiji Si Lek-cu dari Tong Sem
Chong Hoat-su saja yang dapat ditukar dengan salinan kitab
pusaka Ie Cin Keng tersebut"
Pek In Hoei tidak mengerti apa sebabnya secara tiba tiba
Kim In Eng mengungkap soal kitab pusaka "Ie Cin Keng"
dari Tat Mo Couwsu. Dengan pandangan tercengang ia
memandang kearahnya dan mencari tahu apakah sebenarnya maksud perempuan itu.
"Kelemahan dari ilmu pedang Thiam Cong Kiam Hoat
terletak pada terlalu kerasnya tenaga serangan, segala
sesuatu yang terlalu keras gampang dipatahkan. Karena itu
bila ilmu pedang itu bertemu dengan jagoan kenamaan,
maka kau tak akan bisa peroleh keuntungan dibawah
serangan tenaga dalam yang lembek dan dan panjang"
kembali Kim In Eng menerangkan.
"Boaopwee pun tahu bahwa tenaga lweekang dari partai
Sauw lim panjang tetapi...."
"Tenaga sim-hoat partai Sauw-lim dewasa ini tidak lebih
hanya kulit luarnya belaka. bukan sim hoat siaulim itu yang
kau butuhkan" tukas Kim In Eng. "Kalau kau tidak ingin
seperti halnya dengan Cia Lang yang mati keracunan, kau
harus melatih tenaga dalam semacam itu"
Tatkala dilihatnya wajah sianak muda menunjukkan rasa
terkejut bercampur melengak, dengan nada lirih katanya
lagi: "Karena terlalu menguatirkan dirimu dan memperhatikan dirimu, maka aku harus memberi petunjuk
kepadamu dengan suara keras. Aku berharap pada suatu
hari kau berhasil jadi manusia nomor satu dikolong langit.
Anakku, bukankah kau selalu berharap demikian?".
Dengan mulut membungkam Pek In Hoei mengangguk.
"Aku pasti akan mempelajari isi kitab Ie Cin Keng. Aku
pasti tak akan menyia-nyiakan harapan cianpwee."
"Sekarang akan kuberitahukan kepadamu dimanakah Si
Lak Cu tersebut disimpan"
Perempuan itu menengok dulu ke kiri ke kanan,
kemudian tangan kiri angkat mutiara penolak air tinggi
tinggi, tangan kanannya menulis beberapa patah kata
ditengah udara.
"Aaah. Kiranya berada di Ci Im..."
"Sssst...." cepat cepat Kim In Eng gunakan jari
telunjuknya diatas bibir larang si anak muda itu bicara lebih
lanjut, bisiknya lirih: "Aku telah berulang kali memerintahkan Chin Siang dengan alasan hendak pasang
hio untuk membicarakan soal agama dengan hwesio tua itu,
tapi ia cuma berhasil meyakinkan bahwa Si Lak Cu betul
betul berada di tengah patung arca. Benarkan Si Lak Cu
tersebut adalah peninggalan dari Tong Sam Cong Hoatsu,
hal ini terpaksa harus tergantung pada kecerdikannya"
Mendengar perkataan ini, Pek in Hoei lantas teringat
kembali akan kejadian di luar kota Sang Tok Hoe dua hari
setelah ia turun dari gunung Cing Shia, dimana ia
menjumpai Wie Chin Siang sedang pergi pasang hio dikuil
luar kota. Begitu teringat akan bayangan dari Wie Chin Siang,
pemuda inipun terbayang kembali segala tingkah lakunya
ketika ia dipengaruhi oleh napsu birahi belum lama
berselang hingga seluruh pakaian gadis itu dilepaskan.
Sekujur badannya gemetar keras, tanpa sadar ia bersin
berulang kali. Rupanya Kim In Eng masih belum
menyadari apa yang sedang dipikirkan sianak muda itu,
terdengar ia masih bergumam seorang diri: "Chin Siang ku
amat cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan. Bukan
saja menawan hati bahkan cerdas dan lincah. Dia
merupakan pasangan yang paling ideal bagimu. Sayang kau
belum pernah menjumpai dirinya"
"Cianpwee" tukas Pek In Hoei. "Dimanakah kedua butir
pil yang baru saja kuminta dari Hoa Pek Tuo?".
"Eeeei" bukankah sudah kuberikan kepadamu?" sahut
Kim In Eng melengak. "Ku tahu betapa dahsyatnya daya
kerja dari racun Rumput Penghancur hati itu..."
Keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar dengan
derasnya, cepat cepat sianak muda itu lari kesisi
pembaringan, kemudian menyingkap selimut yang menutupi badan gadis she Wie.
Rambut yang panjang dan hitam terurai dari balik
selimut. Air muka Wie Chin Siang merah padam seperti
semula, sedang matanya terpejam rapat rapat.
Ia gigit bibirnya kencang kencang. Urat nadi tangan
kanan dara itu dengan cepat disambar dan dicekalnya. tapi
hatinya segera jadi lega karena denyut nadi dara ayu itu
tetap normal seperti sedia kala.
Sementara itu Kim In Eng merasa terperanjat sewaktu
dilihatnya Pek In Hoei lari ketepi pembaringan bagaikan
kalap kemudian menemukan pula seseorang dibawah
selimut yang menutupi pembaringan tersebut.
Ia tidak mengira kalau sienak muda itu menyembunyikan seorang gadis didalam kamar itu, alisnya
kontan berkerut dan muncullah keinginan untuk memeriksa
siapakah gerangan gadis itu didalam benaknya.
"Aaaaah!" jeritan tertahan berkumandang memecahkan
kesunyian. "Chin Siang kau....?"
Ia maju semakin dekat lalu menatapnya makin tajam dan
kini ia benar benar merasa yakin bahwa perempuan yang
berbaring disitu bukan lain adalah muridnya Wie Chin
Siang. Tatkala dilihatnya wajah Wie Chin Siang merah padam
dan matanya terpejam rapat rapat, perempuan ini semakin
terperanjat lagi.
"Chin Siang, kenapa kau?" teriaknya
Pek In Hoei semakin kelabakan "Cianpwee, dia....
dia...." "Aaaah" ketika Kim In Eng membuka selimut yang
menutupi badan muridnya dan temukan gadis itu berbaring
disana dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai
benangpun yang menempel ditubuhnya, jeritan yang tinggi
melengking segera menggema dalam ruangan itu.
Wajah Pek In Hoei berubah semakin merah padam.
"Dia.... dia terkena...."
"Ploook" tanpa berpikir panjang, sebuah tempelengan
keras mendarat diatas wajah Pek In Hoei, makinya penuh
kegusaran. "Sungguh tak nyana kau adalah seorang
bajingan tengik yang berhati binatang!"
"Plook!" sebuah gaplokan kembali mendarat dipipi
sianak muda tatkala ia masih berdiri melengak tanpa sadar
air mata bercucuran membasahi pipinya.
Pek In Hoei jadi penasaran, rasa dongkol dan gelisah
bercampur aduk jadi satu dalam benaknya dan terakhir
meledak satu amarah yang meluap luap, ia cabut
pedangnya lalu bagaikan orang kalap menerjang keluar
pintu ruangan keras keras.
"Hoa Pek Tuo. ayoh keluar kau bangsat tua...."
Pintu kayu diterjangnya kerai keras hingga hancur
berantakan. Bagaikan banteng yang terluka Pek In Hoei
menerjang keluar dari ruangan meninggalkan Kim In Eng
yang sedang gusar, kaget bercampur melengak serta Wie
Chin Siang yang masih tertidur nyenyak!
"Aaaai.... Sungguh tak kusangka ia bisa melakukan
perbuatan serendah ini.... sungguh tak kunyana..."
terdengar perempuan itu bergumam seorang diri.
Bentakan gusar dan teriakan kalap dari Pek In Hoei
terdengar berkumandang datang dari luar ruangan, tiada
hentinya ia meneriakkan nama dari Hoa Pek Tuo.
Setelah mengetahui peristiwa tersebut, Kim In Eng
merasa kecewa sekali dengan diri pribadi Pek In Hoei,
sudah tentu ua tidak sudi memikirkan pula nasib dari si
anak muda itu itu serta apa yang bakal menimpa dirinya
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah berjumpa dengan Hoa Pek Tuo nanti, bukan saja ia
kecewa terhadap pemuda itu, iapun kecewa buat impian
serta khayalannya barusan....
Ia merasa dirinya tertipu mentah mentah, karena sejak
masuk kedalam ruangan itu ternyata hingga detik terakhir
sama sekali tidak tahu kalau dibawah selimut ternyata
disembunyikan seseorang, dan orang itu ada!ah muridnya
sendiri. "Huuuh....! anggap saja mataku buta" teriaknya penuh
kebencian. "Ternyata aku sudah anggap dia seperti halnya
Cia lang, seoreng lelaki sejati yang benar benar jantan dan
hebat. Sungguh tak nyana dia cuma seorang siauw jien yang
punya pikiran sesat. Hmmmm Untung aku belum
menjodohkan Chin Siang kepadanya".
Makin dipikir ia semakin benci akhirnya mutiara penolak
air yang ada ditangannya diangkat tinggi tinggi dan siap
ditsimpukkan kearah dinding
Cahaya mutiara berkilat membentuk satu lingkaran
busur dihadapannya mendadak satu ingatan berkelebat
didalam benaknya. "Chin Siang menyusup kemari dengan
jalan menyaru, darimana dia bisa tahu kalau dia adalah
seorang perempuan" lagi pula pakaian yang ia kenakan tadi
rajin dan masih lengkap. Seandainya dia hendak menodai
kesucian Chin Siang, semestinya pakaian kutang pelindung
badan yang di kenakan harus dilepaskan..."
Mutiara penolak air itu digenggamnya semakin erat,
pikirnya leblh jauh: "Kalau Chin Siang sudah dinodai
olehnya, diatas pembaringan pasti ada bekas noda darah,
agaknya aku tidak temui noda darah disitu".
Merah padam air mukanya, buru buru ia singkap selimut
yang menutupi tubuh muridnya dan diperiksa dengan
seksama, kini ia baru temukan bahwa perawan Wie Chin
Siang masih utuh dan belum sampai ditembusi oleh milik
kaum lelaki. Ia menghembuskan nafas panjang, pikirnya: "Tak
kusangka berhadapan dengan tubuh seorang gadis yang
begini indah merangsang, Pek In Hoei sama sekali tak
tergerak hatinya. Ia sedikitpun tiada minat untuk menodai
kesuciannya"
Sikap serta pandangannya terhadap Pek In Hoei pun
dengan cepat berubah seratus persen, karena itu iapun
mulai menguatirkan keselamatannya. Sambil menutupi
kembali kain selimut itu keatas tubuh Wie Chin Siang, ia
pandang gadis itu dengan pandangan sayang bercampur
kasihan. Kini, ia merasa rada mendongkol terhadap Pek In Hoei,
sebab berhadapan dengan gadis yang demikian cantiknya
ternyata ia tidak bertindak lebih jauh, sebaliknya malah
dibiarkan merana begitu saja. Apalagi gadis itu adalah
murid kesayangannya.
"Aku tidak percaya In Hoei tidak tergerak hatinya oleh
kecantikan wajah Chin Siang serta keindahan tubuhnya
yang bugil. Apakah ia benar benar sanggup menahan
godaan serta rangsangan yang berada di depannya. Aneh....
sungguh aneh...."
Tak bisa disalahkan kalau ia mempunyai pikiran
demikian, sebab barang siapapun yang mengetahui
peristiwa tersebut tentu akan berpendapat demikian. Siapa
yang sanggup menahan diri bila dihadapannya berbaring
seorang gadis yang amat cantik jelita dalam keadaan bugil
tanpa sepotong busanapun yang melekat ditubuhnya"
Dalam kenyataan ia tidak menyadari bahwa Pek In Hoei
beberapa kali sudah terpengaruh oleh kobaran napsu berahi
yang menggelora dalam dadanya, berulang kali kesadaran
serta kejernihan pikirannya harus bertentangan dengan
bisikan iblis.... dan akhirnya hampir saja ia terjerumus
kedalam lembah kehinaan.
Seandainya ia tidak muncul pada saat yang bersamaan
sehingga gelora birahi dalam dada pemuda itu berhasil di
lenyapkan, mungkin Pek In Hoei telah melakukan
perbuatan tersebut.
Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Kim In Emg,
akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aaaaai....! bagaimanapun juga Chin Siang adalah putri
seorang pembesar, setelah tubuhnya dilihat Pek In Hoei
dalam keadaan polos dan bugil seperti itu, dia harus
dikawinkan dengan pemuda itu!"
Cahaya mutiara berkelebat, ia letakkan mutiara penolak
air itu ke atas rambut Wie Chin Siang yang hitam pekat dan
bisiknya lirih: "Semoga dikemudian hari kau memperoleh
kehidupan yang bahagia, Jangan seperti aku harus
merasakan siksaan batin yang luar biasa karena kesepian,
selama dua puluh tahun tak dapat melupakan rinduku yang
telah merasuk kedalam tulang dan terukir didalam hati".
Belum habis ia berkata, tiba tiba dari belakang tubuhnya
berkumandang datang suara bentakan yang amat nyaring:
"Tutup mulut!"
Dengan rasa kaget bercampur melengah, perempuan itu
berpaling, tampaklah entah sejak kapan Hoa Pek Tuo telah
masuk ke dalam ruangan itu dan bagaikan sesosok
bayangan setan ia telah berdiri kurang lebih enam depa
dibelakang tubuhnya.
Dengan wajah penuh kepedihan Hoa Pek Tuo angkat
kepalanya memandang lukisan gadis sedang tersenyum
yang tergantung di atas pembaringan, lalu gumannya
seorang diri: "Rindu yang terukir dalam hati, cinta yang
membetot usus, kesepian yang sukar dijauhi, penderitaan
yang panjang dan tiada taranya....".
Dengan hati yang sakit seperti ditusuk tusuk dengan
beribu ribu jarum ia meraung keras, seraya menjejakkan
kakinya ketanah teriaknya keras keras: "Sebenarnya apakah
cinta itu?".
Selama hidup belum pernah Kim In Eng menyaksikan
Hoa Pek Tuo menunjukkan penderitaan semacam ini, dan
iapun belum pernah melihat begitu gusarnya sikekek tua itu
semacam hari ini.
Dengan pandangan terkesiap bercampur ngeri ia
memandang bekas telapak kaki yang membekas lima coen
di atas tanah pikirnya: "Selama dua puluh tahun belum
pernah ia tunjukkan ilmu silatnya dihadapan orang lain.
Sungguh tak nyana tenaga lweekang yang berhasil ia miliki
jauh melebihi suhu maupun subo. Kepandaiannya untuk
merahasiakan diri serta menyimpan kepandaiannya baik
baik sungguh sukar dicarikan tandingannya dikolong langit.
Tapi.... ternyata iapun terbelenggu oleh soal cinta asmara"
Ingatan tersebut bagaikan kilat berkelebat dalam
benaknya, tatkala ia saksikan betapa menderitanya Hoa Pek
Tuo, lama kelamaan Kim In Eng tidak tega, segera
tegurnya: "Gie hu, sebenarnya kau...."
"Tutup mulut!" bentak Hoa Pok Tuo dengan penuh
kegusaran, wajahnya berubah hebat.
Serentetan cahaya mata yang amat buas dan mengerikan
terpancar keluar dari balik kelopak matanya, dengan mata
yang dingin menyeramkan ia berkata lebih jauh: "Siapapun
yang ada di kolong langit tidak diperkenankan masuk ke
dalam ruangan ini. Karena barang siapa yang telah
menyaksikan iukisan tersebut maka dia harus kubunuh
sampai mati. In Eng! Walaupun kau adalah anak angkatku,
tetapi akupun tidak terkecualikan peraturanku ini. Nah kau
boleh segera bunuh diri!"
Kim In Eng tertawa sedih. "Berapa banyaknya kisah
pedih yang di alami umat manusia" Aku adalah orang yang
bersedih hati. Sungguh tak nyana Gie hu pun seorang
manusia yang bersedih hati, sejak Cia Lang mati tinggalkan
diriku, sejak itu pula hatiku sudah mati, sekalipun kau
hendak membinasakan diriku, akupun tak akan jeri".
Mula mula Hoa Pek Tuo rada tertegun. Diikuti
badannya bergerak kedepan kelima jari tangan kanannya
dipentangkan langsung menyambar lengan kiri Kim In Eng.
"Apa yang kau katakan!?" hardiknya
Kim In Eng sadar bahwa percuma baginya untuk
menghindarkan diri, karena itu dia ini sekali tidak berkutik
dari tempatnya ia biarkan Hoa Pek Tuo mencengkeram
lengan kirinya.
Seakan akan sebuah gelang baja yang mencengkeram
lengannya, kian lama jepitan tersebut kian mengencang
hingga membuat lengannya seolah olah hendak merekah
dan patah. Saking sakitnya sekujur tubuh perempuan itu mulai
gemetar keras. Keringat sebesar kacang kedelai mengucur
keluar tiada hentinya, namun ia tetap gertak gigil menahan
diri, ujarnya hambar: "Walau apapun hendak kau lakukan
terhadap diriku, aku tidak akan mendendam atau merasa
sakit hati kepadamu, karena hatimu benar benar tersiksa
den sangat menderita, perasaan tereebut bagaimanapun
juga memang sudah sepantasnya kalau kau lampiaskan
keluar". Sorot mata Hoa Pek Tno yang buas bagarikan serigala
liar dengan tajam menatap wajah Kim In Eng tanpa
berkedip, seolah olah dia hendak menembusi lubuk hatinya
Beberapa saat kemudian baruia kendorkan cekalannya
sambil berkata dengan suara berat: "Bagaimanapun juga
tetap kau harus mati, tak ada seorang manusiapun yang
dapat menyelamatkan jiwamu!"
"Bagaimana dengan Pek In Hoei?" tanya Kim In Eng
sambil tarik napas panjang panjang, "Bagaimana
keadaannya"..."
"Hmmmm aku hendak suruh dia rasakan siksaan yang
paling sadis dariku, agar dia mati daiam keadaan yang
mengerikan dia mengenaskan".
Ia tertawa seram setelah merandek sejenak terusnya:
"Sekarang dia telah terkurung didalam barisan Pak To
Ghiet Seng Tin ka yang lihay. Sebelum seluruh tenaga serta
kekuatannya habis tidak nanti kutangkap dirinya. He....
he.... he.... kau mengerti bukan kalau dalam barisan itu
masih tersedia tujuh jenis makhluk beracun" barangsiapa
yang memasuki barisan tersebut berarti dialah yang akan
menjadi "Chiet Seng Tiauw Goen" atau Kaisar daripada
tujuh bintang itu, ha.... ha.... ha...."
Air muka Kim In Eng berubah hebat: "Kau.... kau.... kau
benar benar amat keji...." makinya dengan penuh
kemarahan. "Kau adalah binatang liar yang tak mempunyai
peri kemanusiaan, Kau adalah binatang berkaki empat yang
berkedok manusia....".
"Hee.... hee.... hee.... In Eng, selama hampir dua puluh
tahun lamanya hanya kau saja yang sering kumaki dan
kutegor, belum pernah kau balas memaki atau menegur
diriku. Sekarang kau kuberi kesempatan bagimu untuk
memaki diriku sepuas puasnya!".
Kim In Eng mengerti bahwa barisan "Pek To Chiet Seng
Tin" adalah sebuah barisan yang telah dilatih oleh Hoa Pek
Tuo dengan susah payah selama banyak tahun dengan
mengambil tujuh jenis makhluk berbisa untuk menjaga
setiap pintu barisan.
Berhubung begitu hebat dan saktinya perubahan barisan
tersebut, maka barangsiapa yang memasuki barisan itu dia
akan kehilangan arah dan tersesat. Dalam keadaan seperti
itulah serangan bokongan dari tujuh jenis makhluk berbisa
sukar untuk dihindari.
Yang paling lihay adalah sebuah barisan Siauw Chiet
Seng Tin kecil yang dijaga oleh tujuh jenis makhluk beracun
tersebut. Barangsiapa yang masuk kedalam barisan itu
maka pada saat yang bersamaan diatas tubuhnya akan
muncul tujuh buah mulut luka yang akan menghantar
sukma orang itu kembali kealam baka.
Perasaan Kim In Eng pada saat ini bagaikan selaksa
kuda yang berlari kencang, ia merasa gemas dan Ingin
sekali menghantam roboh Hoa Pek Tuo kemudian lari
keluar untuk menolong Pek In Hoei.
Air mukanya berubah berulang kali, mendadak serunya
dengan nada dingin: "Hoa Pek Tuo, manusia kejam dan
berhati binatang semacam kau memang pantas dijauhi
orang, tidak aneh kalau tak seorang perempuan yang
mencintai dirimu"
"Kau bilang apa?" seru Hoa Pak tuo tertegun.
"Hmmmm. sekalipun kau gantungkan lukisan gadis itu
diatas pembaringan, kendati kau puja puja dia setiap hari
bagaikan malaikat, iapun tak nanti akan melirik kepadamu
barang sekejappun".
Hoa Pek Tuo meraung keras, ia lepaskan Kim In Eeg
lalu meloncat naik keatas pembaringan.
Mimpipun Kim In Eng tidak menyangka kalau
ucapannya ini bisa menghasilkan kebebasan bagi dirinya,
sementara ia masih tertegun tampaklah Hoa Pek Tuo sudah
loncat naik keatas pembaringan.
Perempuan itu tarik napas dalam dalam, kelima jarinya
dipentangkan ke muka lalu menghajar jalan darah penting
di atas punggung Hoa Pek Tuo, sementara tangan kirinya
dengan jurus "Hoei Hoa Gwat Lok" atau Bunga Terbang
Merontokkan Rembulan" membabat tekukan lutut si kakek
tua berhati keji itu.
Mengikuti serangan tersebut, tubuh Kim In Eng tidak
berhenti belaka, laksana anak panah yang terlepas dari
busurnya dia ikut meloncat naik keatas pembaringan....
12 SEMENTARA itu, begitu Hoa Pek Tuo meloncat naik
keatas pembaringan, kelima jarinya bagaikan cakar burung
elang segera menyambar kearah lukisan gadis yang
tergantung diatas dinding. Tetapi begitu ujung jarinya
menyentuh dasar lukisan, seeolah olah dipagut oleh ular
berbisa dengan wajah ngeri dan ketakutan cepat cepat ia
tarik kembali tangannya.
Sorot matanya yang buas dan mengerikan dalam sekejap
mata berubah jadi halus dan lunak. Dengan nada hampir
mendekati memohon teriaknya:
(Oo-dwkz-oO)
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(bersambung ke jiiid 18)
Jilid 18 (edit by Sumahan)
"BONG JIEN! Aku percaya kau tak akan berbuat
demikian terhadap diriku.... katakanlah kepadaku, bahwa
kau sangat mencintai diriku!"
Waktu iiu serangan jari serta telapak Kim In Eng sudah
hampir mengenai tubuh lawan tetapi tatkala secara tiba-tiba
ia mendengar pancaran suara kasih yang begitu hangat dan
mesra, seolah-olah sebatang batu semberani yang menghantam hatinya seketika membuat sekujur tubuhnya
gemetar keras dan gerakannyapun berubah jadi perlahan.
Pada saat itu semua semangat, pikiran serta kesadaran
Hoa Pek Tuo telah terjerumus dalam lamunan, ia sama
sekali tidak menduga kalau Kim In Eng yang berada
dibelakang tubuhnya melancarkan serangan bokongan, tapi
di kala pancaran cintanya di utarakan itulah gerakan
perempuan tersebut mendadak jadi perlahan.
Perubahan yang halus dan kecil inilah membuat kekek
kejam tadi seketika menyadari akan datangnya serangan
bokongan itu, dengan gerakan yang tercepat ia putar
badannya, ujung jubah segera dikebaskan keluar.
Seakan-akan sebuah papan baja yang sangat kuat
menghadang dihadapannya, jari tangan serta telapak Kim
In Eng yang sedang meluncur kemuka mendadak terpental
dan terasa amat sakit.
"Aaaaaah....!" ia berseru tertahan, buru-buru sikutnya
ditekuk dan pergelangannya diputar, sebuah tendangan
terbang laksana kilat menghajar perut pihak lawan.
Hoa Pek Tuo membentak nyaring, ujung bajunya segera
digulung keluar, telapak kanannya yang kurus kering
muncul dari balik jubah dan langsung membabat lutut Kim
In Eng. Angin serangan tajam bagaikan pisau, ganas melebihi
babatan goiok, air muka Kim In Eng seketika itu jaga
berubah hebat, ia membentak nyaring. Kesepuluh jarinya
direntangkan tegak kaku, bagaikan sebuah senjata garpu ia
sodok tenggorokan orang.
Jurus serangan ini lebih mengutarakan serangan
daripada pertahanan, ganasnya luar biasa, bukan saja tidak
memperdulikan keselamatan diri pribadi, bahkan hampir
mendekati suatu serangan adu jiwa bersama lawannya.
Sepasang alis Hoa Pek Tuo mengerut kencang, dari
tenggorokannya ia perdengarkan raungan rendah, sepasang
pundaknya bergetar dan tubuhnya segera membubung
empat coen dari tempat semula.
Dengan menggunakan tempat peluang yang amat
pendek itulah sepasang ujung jubahnya dikebaskan keluar
secara berbareng, hawa serangan segera meluncur keluar
bagaikan gulungan ombak, desiran tajam dan angin dingin
berkumandang memekikkan telinga.
"Aaaah, ilmu Poh Giok Kang....." jerit Kim In Eng
dengan wajah amat terperanjat bercampur ngeri.
Berada dalam keadaan seperti ini tak sempat lagi baginya
untuk berpikir panjang, segenap hawa murni yang
dimilikinya segera di salurkan keluar, sepasang telapak
menyerang senara berbareng sementare kakinya mundur
satu langkah lebar ke belakang untuk menghindari
datangnya serangan musuh.
Namun jarak antara masing pihak sangat dekat kendati
ia menghindar dengan gerakan yang cukup sebat dan cepat,
tak urung kena dihantam juga oleh gulungan hawa murni
yang maha dahsyat itu.
"Bluuuuumm...." Ditengah ledakan dahsyat, sekujur
badannya seolah olah di hajar oleh martil raksasa. Ia
menjerit keras karena kesakitan, tubuhnya mencelat
delapan depa dari tempat semata dan menumbuk diatas
dinding dengan diiringi suara nyaring rontok di atas tanah.
Darah segar menyembur keluar dari mulutnya, bagaikan
berkuntum-kuntum bunga merah berserakan diatas tanah....
Tubuh Hoa Pek Tuo bergetar keras, hawa murninya
segera disalurkan ke kaki dan ditekan ke bawah.
"Kreeek.... kreeeek... Diiringi suara nyaring seketika itu
juga pembaringan tersebut roboh kebawah, mutiara penolak
air itupun bergelinding ke ujung ruangan.
Ia menghembuskan nafas panjang, makinya dengan
penuh kebencian "Binatang sialan, manusia yang harus di
bunuh!". Pada saat ini ia sudah tidak menaruh perhatian lagi
terhadap mati hidupnya Kim In Eng, dengan pandangan
hambar ia awasi darah segar yang berceceran di atas tanah.
Mendadak cahaya matanya berputar. Ia telah melihat
cahaya mutiara disisi pembaringan, sekilas rasa girang
segera berkelebat diatas wajahnya.
Ia ragu-ragu sebentar.... namun dengan cepat rasa girang
tadi berubah menjadi kaget dan menghela napas panjang.
Dan dari kaget segera berubah jadi bernafsu.... dan ingin
melakukan sesuatu.... Sepasang matanya dengan tajam
mengawasi terus permukaan pembaringan
13 KETIKA kain selimut itu tersingkap, tubuh Wie Chin
Siang segera menggelinding keluar, tubuhnya yang padat
berisi dan berada dalam keadaan bugil tanpa busana itu
amat menarik perhatian Hoa Pek Tuo.
Air mukanya berulang kali berubah, nafsu birahi yang
bergelora dalam hatinya bagaikan gulungan ombak di
tengah samudera, dahsyat dan sukar terkendalikan.
Tubuh telanjangnya yang lembut menawan hati, kulit
tubuhnya yang putih halus, pahanya yang mulus dan
panjang, buah dadanya yang padat berisi den keras serta
lekukan lekukan dadanya yang mempersonakkan seakan
akan memancarkan hawa segar bagi kakek tua itu.
Segumpal kobaran api bara membakar keluar dari pusar
menyambar keempat penjuru. Napsu birahi yang sudah
puluhan tahun lamanya tak pernah berkobar kini
menggerakkan seluruh organ tubuhnya.... Ia telan air liur
yang memenuhi mulutnya lalu perlahan lahan maju
kedepan. Dengan tangan yang gemetar ia dekati
12 Halaman 13-14 Hilang
kasihan dia, napsu masih berkobar namun tak sanggup
melangkah lebih jauh daripada meraba belaka.
Sorot mata benuh kegusaran memancar keluar dari
matanya, ia memaki penuh kemarahan lalu menutupi tubuh
Wie Chin Siang yang telanjang dengan selimut, dan
akhirnya ia mengepos tenaga kemudian meloncat keluar
dari ruangan itu.
Dengan hawa amarah yang berkobar kobar, sebetulnya
Hoa Pek Tuo hendak memaki orang she Ke itu kalang
kabut, tetapi sewaktu dijumpainya orang itu masuk dengan
pakaian terkoyak koyak koyak serta darah kental
berkelepotan ditubuhnya, ia jadi kaget.
"Kau....!"
"Pek In Hoei. Dia...." Belum habis jeritan dari Ke Hong,
langkahnya gontai dan akhirnya roboh terjengkang diatas
tanah. Hoa Pek Tuo meloncat maju kedepan, ia sambar tubuh
Ke Hong seraya tanyanya dengan hati cemas: "Kenapa
dengan diri Pek In Hoei?".
Seluruh kulit dan otot Ke Hong diatas wajahnya berkerut
kencang, bibirnya bergetar perlahan, sebelum perkataannya
sempat diutarakan keluar kepalanya lunglai dan putus
nyawa. Hoa Pek Tuo amat terperanjat, dengan gusar ia
rentangkan tangan kanannya yaag ada diatas dadanya,
segera tampaklah sebuah babatan pedang yang sangat
dalam menembusi paru parunya dan mematahkan tiga
batang tulang iganya....
"Keparat cilik!" maki Hoa Pek Tuo penuh amarah.
"Sungguh tak kunyana Pek In Hoei berhasil menembusi
barisan tujuh bintang-ku, aku bersumpah akan membeset
kulit anjingnya!".
Laksana kilat ia melayang keluar dari ruang tengah dan
menuju kelorong rahasia, kemudian bagaikan anak panah
yang terlepas dari busurnya menyusup keluar dari mulut
lorong berkelebat kearah sisi hutan.
Dibawah sorot cahaya matahari, ditengah bergoyangnya
bayangan pohon tampaklah belasan orang lelaki berbaju
putih dengan bersenjata lengkap berdiri dalam sebuah
lapangan di tepi hutan tersebut, mereka berputar dan
berkelebat kesana kemari dengan tiada hentinya bagaikan
gasingan. Sementara itu Pek In Hoei dengan senjata terhunus
berdiri tegak tanpa berkutik barang sedikitpun ditengah
kepungan belasan orang lelaki berbaju putih tadi.
Diatas kutang mustika pelindung badannya tertancap
tujuh jenis makhluk berbisa, seakan akan sebuah lukisan
peta yang indah dan aneh terpancang dengan jalasnya
diatas dada. Ku Loei serta Chin Tiong dengan wajah tegang dan
serius memimpin belasan orang lelaki berbaju putih lainnya
berseliweran diantara tubuh sianak muda itu, bayangan
manusia yang rapat membentuk satu jaring yang kuat
mengurung sekujur badan musuhnya di tengah kalangan.
Lambat lambat Hoa Pek Tuo maju ke muka, tampaklah
mayat berserakan dimana mana, genangan darah menutupi
seluruh permukaan membuat pemandangan disana kelihatan ngeri dan menggidikkan.
Namun air muka Hoa Pek Tuo masih tetap dingin kaku
tanpa perubahan apapun juga. Ia memandang sekejap
tumpukan empat puluh sembilan batu cadas ditengah
kalangan kemudian alisnya baru berkerut kencang
Sekilas napsu membunuh berkelebat diantara benaknya.
Kakek itu segera mendengus. "Bagaimanapun juga ia tak
boleh dibiarkan tetap hidup dikolong langit!"
Pelbagai cara untuk membinasakan Pek In Hoei
berkelebat dalam benaknya, mendadak terdengar sianak
muda itu berteriak keras: "Hoa Pek Tuo!".
Kakek tua itu terperanjat, buru buru bentaknya: "Hati
hati terhadap sianak licik bangsat muda itu!"
Tetapi Pek In Hoei telah menggunakan kesempatan yang
sangat baik ini untuk turun tangan.
Ia bersuit panjang, telapak kirinya di dorong ke muka
dengan melancarkan serangan "Tay Yang Sinkang"
sementara tangan kanannya mengirim sebuah tusukan kilat
dengan jurus "Hoa Ek Si Jiet" atau Hoo Ek memanah
matahari. Udara disekitar situ segera berubah jadi panas menyengat
badan, segulung semburan api yang maha dahsyat langsung
menumbuk tubuh Chin Tiong sementara cahaya kilatan
sedang mengancam tubuh Ku Loei.
Serangan yang sudah dinantikan nantikan sejak tadi ini
benar benar luar biasa dahsyat. Seolah olah angin puyuh
yang menyapu kota menghancurkan semua benda yang
dilintasinya. Di bawah ancaman bahaya maut yang mungkin akan
mencabut jiwa mereka, baik Ku Loei maupun Chin Tiong
sama sama berseru kaget, air muka mereka berubah hebat
dan buru buru meloncat ke samping untuk menghindar.
Setelah jurus serangannya yang pertama mendatangkan
hasil, Pek In Hoei tidak diam diri sampai disitu saja.
Permainan senjatanya semakin hebat dan satu demi satu
dilancarkan dengan leluasa.
Hawa pedang yang berlapis lapis seketika memancar ke
angkasa dan mengurung belasan pendekar itu ke dalam
kepungan. Dalam sekejap mata. jeritan ngeri berkumandang silih
berganti, cipratan darah segar muncrat kemana mana.
Barisan "Seng Gwat Ciauw Hwie" yang hebat itupun
hancur berantakan diujung pedang Si Jiet Sin Kiam.
Menyaksikan barisan besar yang diciptakan dan dilatih
olehnya dengan susah payah kini hancur berantakan
ditangan Pek In Hoei, sudah tentu Hoa Pek Tuo merasa
amat gusar, ia berteriak keras, darah segar menyembur
keluar dari mulutnya saking mendongkol. Sambil mencelat
ke udara sepasang telapaknya secara beruntun menyapu
kebawah. Desiran tajam membelah angkasa, laksana tindihan
gunung Thay San menubruk dada musuh.
Pek In Hoei tarik napas dalam dalam, pedangnya ditarik
kebelakang sedang telapak kirinya perlahan lahan didorong
ke depan. Disaat telapaknya meluncur ditengah udara itulah
tampak cahaya merah membara memancar keempat
penjuru, udara disekeliling sana segera berubah jadi panas
menyengat badan....
"Bluuuummm" Ledakan keras menggema di angkasa,
pohon besar disekeliling kalangan goncang dan berayun
tiada henti diikuti.... "Kraaak .... Dahan pohon patah jadi
dua bagian, ranting dan dedaun beterbangan keempat
penjuru. Pek In Hoei mendengus dingin, badannya miring ke
samping, tangan kanannya bergetar kencang, dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat pedangnya membentuk
selapis cahaya yang menyilaukan mata menghadang
desakan hawa murni "Poh Ciok Kang" pihak lawan.
Untuk menghadapi serangan musuh yang mantap dan
berat ini, bukan saja Pek In Hoei harus dapat memgunakan
kelincahan untuk mencari kesempatan disamping itu dia
pun harus menggunakan telapak serta pedangnya secara
berbareng. Sekalipun begitu, dalam suatu bentrokan yang amat
dahsyat, ia masih tak sanggup menahan golakan darah
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panas dalam dadanya, tak kuasa ia mundur terdorong tiga
langkah ke belakang.
Lima buah bekas kaki sedalam dua coen tertera di depan
mata. Sekujur tubuhnya gemetar keras. Untuk menenangkan badannya yang limbung ia harus menancapkan pedangnya diatas tanah sebagai penyangga.
Sebaliknya tubuh Hoa Pek Tuo yang berada ditengah
udurapun dibikin bergetar keras oleh pantulan hawa
pukulan musuh. Dalam keadaan begini tak mungkin lagi
baginya untuk mengepos tenaga, tak ampun badannya
segera melayang balik kebawah.
"Hmmm! Sungguh tak nyana setelah merendam
semalaman didalam telaga Lok Kwat Ouw, badanmu telah
mengelupas dan merubah jadi manusia lain..." jengek Hoa
Pek Tuo dengan nada mengejek.
"Hey orang she Hoa, sekarang kau boleh rasakan betapa
lihaynya ilmu kepandaian dari Thiam Cong pay kami"
balas Pek In Hoei sambil menatap musuhnya tajam tajam.
Bau hangusnya pepohonan menyebar diempat penjuru
menyesakkan napas semua orang, mendadak diantara
percikan api ditengah pepohonan yang tumbang itu
terhembus angin dan berkobar jadi jilatan api yang kian
lama kian membesar.
Menyaksikan peristiwa itu, Hoa Pek Tuo merasa amat
terperanjat, rasa ini muncul di dalam lubuk hatinya, "Kalau
ia dibiarkan hidup satu dua tahun lagi, siapakah dikolong
langit dewasa ini yang sanggup menaklukkan dirinya?"
Dalam pada itu Ke Loei serta Chin Tiong berdiri
termangu mangu disisi kalangan sambil menatap Hoa Pek
Tuo serta Pek In Hoei yang telah saling berhadap hadapan,
kemudian mereka saling memberi tanda dan perlahan lahan
bergerak kesisi tubuh sianak muda itu.
"Hmmmmm Seandainya hawa murni tidak mengalami
kerusakan hebat akibat pengaruh oleh kobaran napsu birahi
terhadap perempuan cantik tadi, sekarang juga aku bisa
membinasakan dirinya" pikir Hoa Pek Tuo dengan mata
memancarkan cahaya buas "Tidak nanti kuberi kesempatan
bagimu untuk berdiri saling berhadap hadapan dengan aku"
Biji matanya berputar menyapu sekejap Chin Tiong serta
Ku Loei yang sedang bergeser ke belakang itu, pikirnya
lebih lanjut: "Sayang, kedua orang makhluk goblok itu tidak
mengetahui kalau Pek In Hoei telah terluka"
Bermacam macam ingatan berkelebat dalam benaknya
sementara hawa murninya sedikit demi sedikit dihimpun
kembali ke dalam pusar....
Sebaliknya Pek In Hoei sendiripun berusaha keras untuk
menenangkan golakan darah panas dalam dadanya, sambil
melotot sinis terhadap ketiga orang itu, iapun memutar otak
mencari akal. Segulung angin kencang berhembus lewat, percikan api
beterbangan keangkasa dan jatuh diatas ranting kayu,
seketika jilatan api berkobar makin besar dan kebakaran
hebatpun terjadi....
Air muka Ku Loei berubah hebat, badannya bergerak
hendak pergi memadamkan api.
"Berhenti!" bentak Pek In Hoei. "Kalau kau berani maju
selangkah lagi, segera kucabut jiwa anjingmu"
Perlahan lahan lahan diangkat pedang mustikanya dan
memperlihatkan gerakan pembukaan dari ilmu pedang
penghancur sang surya, seakan akan dia hendak
mempersiapkan diri untuk mengirim satu serangan kilat
yang maha dahsyat.
Ku Loei terkesiap menyaksikan posisi yang telah
disiapkan pihak lawannya, ia benar2 pecah nyali dan tak
berani maju lebih jauh, sebab posisi yang diperlihatkan Pek
In Hoei saat ini selalu hapal dan amat dikenal olehnya.
Pada masa yang silam, justru ia menelan kekalahan yang
paling parah dibawah posisi jurus tersebut yang ketika itu
dibawakan oleh Cia Ceng Gak.
Suasana disekeliling tempat itu barubah jadi sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Keempat orang itu
saling berhadapan dengan mulut membungkam, hanya
percikan api serta suara gemerutuknya ranting yang
terbakar kadang kala memecah kesunyian
Kobaran api makin lama makin besar hembusan angin
gunung menimbulkan asap hitam yang tebal dan seketika
mengurung seluruh tubuh keempat orang itu.
Jilatan api kian lama kian menjalar kemana mana.
Batang pohon yang terbakar mulai memperdengarkan suara
detakan yang nyaring, asap hitam semakin menutupi
pemandangan. Cahaya sang surya mulai terhalang.... Dalam sekejap
mata suasana dalam kalangan jadi gelap gulita.
Pek In Hoei yang berdiri tegak ia sambil silangkan
pedangnya di depan dada merasa amat girang setelah
menyaksikan keadaan itu pikirnya: "Kenapa aku tidak coba
melarikan diri dengan meminjam gelapnya asap hitam ini?"
Asap tebal menutupi seluruh pemandangan dan
menghalangi pula pandangannya terhadap posisi pihak
lawan. Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah
diam diam ia mulai menggeserkan tubuhnya menyingkir
kearah kanan. Baru saja melangkah tiga tindak, segara terdengarlah
suara batuk nyaring berkumandang dari depan tubuhnya.
Suara batuk itu tua dan serak, rupanya sudah ditahan
sejak tadi tetapi begitu berbatuk, dengan cepat suaranya
ditahan kembali.
Pek In Hoei adalah orang cerdas. Ia bungkam dalam
seribu bahasa sementara pedangnya sambil membetulkan
posisi yang tepat mendadak ditusuk kearah depan
membokong orang yang barusan berbatuk itu.
Sekilas cahaya tajam barkelebat lewat di tengah
kegelapan yang mencekam, jeritan kesakitan yang amat
lirih seketika menggema di
angkasa memecahkan kesunyian. "Buuum" mendadak asap hitam menyebar keempat
penjuru seolah olah terhembus angin puyuh, disusul
munculnya serentetan desiran angin tajam menghantam
punggung Pek In Hoei.
Sianak muda itu terperanjat. Ia putar badannya berkelit
sementara ujung pedangnya ditarik kembali, tak sempat lagi
ia meneruskan tusukannya untuk mencabut nyawa orang
itu. Bersamaan dengan menggesernya sang badan, ia himpun
segenap tenaga yang di milikinya kemudian melancarkan
satu babatan kilat dengan jurus "Yang Kong Phu Cau" atau
Sang Surya Memancar Terang.
Sungguh dahsyat tiga jurus ilmu surya kencana dari
keluarga Toan Ini. Desiran angin puyuh bagaikan
gelombang dahsyat menyapu kearah depan.
"Blaaaammm" Asap hitam tersapu kesamping dan
muncullah sebuah lubang besar.
Sebelum kabut merapat kembali itulah, ia saksikan Hoa
Pek Tuo sedang memandang kearahnya dengan wajah
penuh nafsu membunuh, sorot mata yang buas memancar
keluar dari balik matanya.
Sebaliknya Hoa Pek Tuo pun sempat menyaksikan
wajah Pek In Hoei yang menderita dan menggertak gigi
kencang2. "Keparat cilik" hardiknya. "Kau hendak melarikan diri
kemana?" Darah panas dalam dada Pek In Hoei bergolak kencang,
ia rasakan seluruh urat nadi dalam tubuhnya seakan akan
mau putus. Luka dalam yang dideritanya dalam kepungan
barisan "Seng Gwat Ciauw Hwie" tadi kini semakin perah
lagi keadaannya.
Terperanjat hati pemuda itu menyaksikan wajah Hoa
Pek Tuo yang seram. Ia segera berpikir: "Aaaah, tak
kunyana penderitaan yang kusembunyikan dengan susah
payah terlihat juga olehnya. Dengan demikian bukankah
usaha selama ini akan sia sia belaka". Aaaiii tampaknya
sulit bagiku untuk melepaskan diri dari cengkeramannya".
Bukan tersumbatnya hawa murni dalam tubuhnya yang
membuat ia menderita, melainkan pertaruhannya dengan
Hoa Pek Tuo itulah yang membuat dia pusing kepala.
Sebab ia telah bertaruh bila dalam tiga puluh li ia berhasil
ditangkap maka sejak detik itu dia tak akan she Pek lagi.
Walaupun dia mengerti satu kali dirinya tertangkap
maka dia akan merasakan siksaan yang mengerikan dari
Hoa Pak Tuo tapi penderitaan dibadan luar tidak lebih
menderita daripada ia harus mengasingkan diri dan
membuang she keluarga untuk selamanya.
Maka dari itu ia harus berusaha keras untuk melarikan
diri dari perkampungan Tay Bie San cung, tapi
gampangkah berbuat demikian"
"Kami anak cucu keluarga Pek adalah lelaki sejati yang
benar benar murni, kenapa aku harus jeri terhadap
kesulitan" aku harus merebut peluang untuk hidup di
tengah keadaan yang paling buruk!".
Ingatan tersebut laksana kilat berkelebat dalam
benaknya, ketika dilihatnya Hoa Pek Tuo mempersiapkan
serangannya untuk menubruk datang, buru buru ia
menahan penderitaan dalam tubuhnya dan menerobos
kedalam asap hitam yang menyelimuti angkasa.
Desiran angin tajam menyapu lewat, serangan Hoa Pak
Tuo yang dahsyat bagaikan membelah bukit segera
menggulung tiba.
Asap hitam tersapu lewat tetapi bayangan Pek In Hoei
sudah lenyap tak berbekas. Hoa Pek Tuo segera mendengus
dingin, Ia tarik kembali serangannya yang mengenai tempat
kosong kemudian menerobos pula ke dalam gumpalan asap
hitam. "Pek ln Hoei" jengek Hoa Pek Tuo sambil tertawa dingin
"Kau sudah menderita luka dalam yang amat parah,
sebentar lagi jiwamu bakal melayang, ayoh menyerah saja
kepadaku".
Suasana dikalangan tetap hening dan sunyi tak
kedengaran sedikit suarapun dari Pek In Hoei.
Perlahan lahan Hoa Pek Tuo menggeserkan tubuhnya
kedepan. sepasang telapak disilangkan didepan dada siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Hmmmmm Sekarang kau masih bisa menyembunyikan
badanmu didalam barisan asap yang tebal" kembali ia
mengejek. "Tapi setelah asap hitam ini buyar, akan kulihat
kau hendak lari kemana lagi".
Bicara sampai disini ia merandek sejenak, ialu dengan
gemas sambungnya: "Sampai saatnya, akan kubeset setiap
jengkal kulit tubuhmu dan kubetot setiap otot yang ada
didalam badanmu!".
Dari balik kabut hitam menggema datang suara batuk
manusia. Dengan cepat berputar pikirannya "Setelah
keparat cilik ini menderita luaa parah. tak nanti ia bisa
terlalu lama menahan panas"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang telapaknya direntangkan dan segera membebat keluar.
Dari balik kegelapan muncul pula segulung hawa
tekanan yang membendung datangnya serangan tersebut,
disusul suara dari Chin Tiong berkumandang datang: "Hoa
loo, aku disini!"
Hoa Pek Tuo terperanjat buru buru sepasang telapaknya
ditekan kebawah dan menarik balik tenaga pukulan yang
telah dipancarkan keluar itu. Tetapi serangan telah
dilepaskan dan hawa pukulanpun sudah terlanjur dilancarkan, tak mungkin baginya untuk menarik kembali
semua tenaganya.
"Ploook" Dua gulung tenaga pukulan seling membentur
satu sama lainnya menimbulkan suara ledakan keras, dari
sebelah sana terdengar Chin Tiong mendengus rendah.
"Apa Chin Tiong disitu?" hardik Hoa Pek Tuo dengan
kegusaran yang meluap luap. "kenapa kau....?"
"Tidak mengapa" sahut Chin Tiong sambil tertawa getir.
"Cuma sepasang telapakku jadi linu dan kaku".
"Dimasa Ku Losi?"
"Ia terluka ditangan keparat cilik she Pek itu"
"Parah tidak lukanya?".
"Ujung pedangnya menusuk dua coen di sisi jantung"
"Apa" kenapa tidak cepat kau bawa pergi dari sini?"
Belum habis ia berbicara, desiran angin tajam mendadak"
meluncur datang dari sisi kalangan langsung menghantam
dadanya. Hoa Pek Tuo membentak nyaring, telapak kanannya
membabat keluar menghajar datangnya ancaman senjata
itu, sementara telapak kirinya dengan membentuk gerakan
setengah busur tiba tiba berubah jadi kepalan menjotos dada
musuh. Cahaya pedang sirap seketika, jotosan yang maha hebat
tadi dengan telak menhantam dada Pek in Hoei
"Duuuukk" Tubuh Pek In Hoei mencelat kearah
belakang.
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haa.... haa.... haa.... Pek In Hoei, rupanya kau sudah
bosan hidup?" teriak Hoa Pek Tuo sambil tertawa seram.
Belum habis ia berkata mendadak kepalan kirinya terasa
jadi kaku. Serentetan rasa gatal dan nyeri dengan cepat
merambat naik dari kulit lengannya menuju ke jantung
Kakek tua ini kontan jadi terperanjat, dengan cepat
pikirnya "Aaaah, kenapa aku sudah melupakan ketujuh
jenis makhluk beracun yang tertancap diatas kutang
pelindung badannya" Bukankah seranganku ini justru telah
menghantam dadanya yang beracun?"
Ia mendengus berat, dengan eepat telapak kirinya ditarik
kembali dan meloncat mundur tiga depa kebelakang, hawa
murni ditarik dari pusar kemudian disalurkan kelengan kiri
untuk memaksa keluar cairan racun itu dari tubuhnya.
Sebentar kemudian rambutnya pada bangkit berdiri,
jubahnya menggelembung dan cairan hitam yang kental
setetes demi setetes mengucur keluar dari ujung jarinya.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya kakek tua itu setelah
mengalami kejadian seperti ini. Darah dalam tubuhnya
terasa mendidih, matanya melotot bulat sementara sinar
kemerah merahan memancar keluar dari matanya.
"Keparat cilik! modar kau....!" Raungnya keras. Dengan
langkah lebar ia segera maju ke kanan menghampiri Pek In
Hoei. Sambil berjalan ujung jubahnya dikebaskan kesana
kemari menghalau asap hitam yang menutupi pandangan
matanya. Buny gigi yang gemerutukan kedengaran amat
nyaring. Saking bencinya terhadap sianak muda itu diam
diam Hoa Pek Tuo bersumpah di dalam hati hendak
membedah perutnya dan mengunyah isi perutnya.
Tiba tiba.... "Hoa Pek Tuo, kau berani melukai Pek In Hoei?"
bentakan kasar muncul dari balik kegelapan.
Bentakan tersebut muncul dari jarak delapan depa dari
sisi tubuhnya. Begitu nyaring suaranya hingga membuat
kakek tua ini jadi kaget dan meloncat mundur sambil
mempersiapkan diri.
Rasa gusar yang hampir menutupi kejernihan otaknya
pun ikut tersadar kembali.
Setelah melengak beberapa saat ia putar biji matanya ke
arah kegelapan kemudian menegur: "Siapa kau?".
"Omitohud. Hudya adalah Thian Liong Toa Lhama
dari Tibet. Ini hari sengaja dengan membawa murid "Sin
Hoe Yong Su" sipendekar jantan berkapak sakti Chee Thian
Gak serta "Kim Liong Khek" si Jago Naga Sakti It Boan
Chiu datang mengunjungi Hoa Pek Tuo Sianseng".
Mendengar disebutkannya nama orang itu, Hoa Pek Tuo
terkesiap, segera pikirnya: "Thien Liong Toa Lhama adalah
padri sakti dari kuil Sila Sie di Tibet dan kini telah
dianugerahi kedudukan Kok su oleh Sri Baginda, entah apa
sebabnya pada hari ini ia berkunjung kemari beserta anak
muridnya?".
Dengan alis berkerut pikirnya lebih jauh: "Semula aku
ada maksud memancing Thiat Tie Loo Nie Hoo Bong Jieo
perempuan terkutuk itu masuk ke dalam perkampungan,
kemudian menceburkannya ke dalam telaga Lok Cwat Ouw
hingga modar maka kuperintahkan semua orang yang ade
di dalam perkampungan untuk bersembunyi didalam lorong
rahasia siapa sangka bukan saja kebakaran hebat ini tidak
diketahui mereka bahkan pada malam ini bisa terjadi begitu
banyak peristiwa yang ada diluar dugaan. sampai sempai
jago lihay dari istana Kaisar pun mengunjungi perkampungan Tayi Bie San cung"
Ingatan tersebut hanya sebentar berkelebat didalam
benaknya, dengan suara berat segera tegurnya: "Ada
keperluan apa Toa Lhama mengunjungi perkampungan
kami?". Gelak tertawa yeag amat berat berkumandang keluar dari
balik asap hitam. "Haa.... haa.... haa.... Hoa Pek Tuo.
bukankah kau ingin menguasai seluruh Bu lim di daratan
Tionggoan" Toa Lhama itu justru datang kemari untuk
membantu dirimu dalam mensukseskan cita citamu itu".
Hoa Pak Tuo terperanjat. Ia tidak menyangka kalau
hwesio sakti dari Tibet pun mengetahui rencana besarnya
untuk menguasai dunia persilatan.
Ia kebaskan ujung bajunya untuk menyingkirkan
sebagian asap hitam yang menutupi pandangannya, agar
wajah Hwesio Sakti itu dapat tertampak lebih jelas.
Mendadak suara bentakan nyaring muncul dari balik
kegelepan disusul berkelebatnya serentetan cahaya tajam
keemas emasan meluncur ke arahnya.
Hoa Pek Tuo terperanjat. Ia tidak menyangka kalau
Thian Liong Lua lhama secara mendadak bisa melancarkan
serangan senjata rahasia untuk membokong dirinya.
Ia melengak dan tahu tahu cahaya emas itu sudah berada
di depan mata. Kakek tua itu mendengus, ujung bajunya dikebaskan
keluar, diiringi hembusan angin tajam ia sapu datangnya
senjata rahasia berwarna keemas emasan itu.
Siapa sangka baru saja hawa murninya kerahkan, senjata
rahasia tersebut bagaikan seekor makhluk hidup mendadak
berputar dan menikung ditengah udara, setelah membentuk
gerakan satu lingkaran busur langsung menghajar
wajahnya. Kaget bercampur ngeri, Hoa Pek Tuo menyaksikan
perubahan ini, air mukanya berubah hebat. "Belum pernah
kusaksikan senjata rahasia yang bisa berubah arah dan
tujuan ketika terhantam hawa pukulan" pikirnya.
Cahaya emas memancar keempat penjuru, senjata
rahasia tersebut dengan membawa desiran nyaring yang
tajam meluncur kearah tubuhnya.
Kembali kakek she Hoa ini membentak nyaring, tubuh
bagian atasnya dibuang ke belakang sementara telapak
kirinya membentuk gerakan setengah lingkaran untuk
melindungi tubuhnya kemudian secara tiba tiba didorong
kedepan. Hawa murni menghembus keluar laksana tiupan angin
puyuh, senjata rahasia itu merandek sejenak ditengah udara
kemudian menembusi angin serangannya menekuk tiga
coen kebawah, setelah itu mengikuti lekukan telapaknya
meluncurkan ke arah tenggorokan.
Perubahan serta arah yang aneh dari senjata rahsia ini
sungguh jauh berada di luar dugaannya, tiba tiba ia
membentak keras, badannya laksana anak panah yang
terlepas dari busurnya meluncur keluar dari kalangan.
Disaat yang amat singkat itulah ia baru menyaksikan
dengan jelas bahwasannya senjata rahasia tersebut berupa
seekor naga emas kecil, ditengah daya luncurnya yang cepat
tampaklah kedua helai jenggotnya bergetar kencang,
sepintas lalu kelihatan seolah olah seekor naga sungguhan
yang sedang merentangkan cakarnya untuk menghajar
badannya. Tidak sempat untuk berpikir lebih jauh, telapak kirinya
yang melindungi badan segera digetarkan. Ujung jubah
laksana sebidang papan baja melayang keluar dengan
mendatar. "Criiiit" Naga emas itu menembusi ujung bajunya dan
meluncur kedalam lebih jauh.
Ia mendengus gusar, kelima jarinya dipentangkan lebar
lebar kemudian laksana kilat mencengkram naga emas
tersebut. Dalam keadaan yang kepepet dan terdesak, satu satunya
jaian yang bisa ia tempuh hanyalah mencengkram naga
emas itu agar tidak meluncur lebih jauh.
Tetapi.... begitu ia mencengkram, telapaknya segera
terasa amat sakit, jenggot naga emas yang panjang itu tahu2
sudah melukai kulitnya dalam dalam.
Darah segar segera mengucur keluar dengan derasnya.
Saking sakitnya, telapak yang terluka itu membuat hawa
amarahnya jadi memuncak. Ia mendengus dingin, kelima
jarinya dirapatkan dengan maksud menghancur lumatkan
benda tersebut.
"Hmmmm" Serentetan suara yang aneh muncul dari
balik asap hitam, "Naga emas itu terbuat dari pasir emas
yang dihasilkan di gunung Attai dalam bilangan propinsi
Lam Ciang, sanggupkah kau menghancur lumatkan
bendaku itu?".
"Toa Lhama" teriak Hoa Pek Tuo dengan penuh
kegusaran. "Maksudmu datang ke dalam perkampunganku
apakah hanya ingin melepaskan senjata rahasia belaka?".
"Haa.... haa.... haa.... harap Hoa sianseng suka
memaafkan kelancangan kami ini. Semua muridku adalah
orang orang liar dari luar perbatasan yang tidak begitu
mengerti akan adat-istiadat didaratan Tionggoan. Ketika ia
menjumpai kau mengayun telapak tadi disangkanya akan
hendak menyerang dia, maka dari itu...."
"Toa Lhama, sudahlah tak usah banyak bicara" tukas
Hoa Pek Tuo tidak sabar "Katakanlah apa sebenarnya
tujuanmu datang kedalam perkampungan kami?".
"Sewaktu berada di ibukota, aku telah berjumpa dengan
Cia Kak Sin Mo, dialah yang mengundang aku untuk
datang kemari menjumpai dirimu"
Ia merandek sejenak, kemudian dengan suara kasar
terusnya. "Hmmm. seandainya Pun Hoed-ya tidak
memandang di atas wajah Cia Kak Sin Mo, dengan
sikapmu yang begitu kurang ajar pada hari ini, pasti akan
kuberi sedikit pengajaran kepadamu."
Sepasang alis Hoa Pek Tuo berkerut kencang. Sebelum
mengetahui jelas bagaimanakah lihaynya Thian Liong Toa
Lhama yang berada ditengah kegelapan kabut hitam tu, ia
tidak ingin bertindak gegabah.
Maka sambil memandang asap yang tebal serta percikan
api ditengah udara pikirnya "Aaaaiii kenapa justru pada
hari ini bertiup angin barat laut yang kencang" Sehingga
semua asap tebal ini tertiuo ke arah kemari. Kalau tidak....
Sejak tadi tadi Pek In Hoei tentu sudah modar ditanganku"
---0d0w0--- Berbagai pertanyaan yang membingungkan kepalanya
berkelebat memenuhi benak kakek tua ini. Tiba tiba ia
tertawa kering seraya berkata "Hmm... hmm... Harap Toa
Lhama suka memaafkan"
Ia remas remas naga emas yang berada ditangannya lalu
berpikir: "Toa Lhama ini berasal dari Tibet, sungguh tak
nyana murid muridnya adalah jago melepaskan senjata
rahasia yang amat hebat. Kalau dibandingkan dengan
keluarga Tong dipropinsi Su Cuan. entah barapa kali lipat
lebih hebat. Terhadap manusia manusia semacam ini aku
tak boleh menyalahinya"
Maka ia mendehem dan berkata: "Ini hari aku hendak
menangkap buronan yang telah menerbitkan keonaran
dalam perkampungan kami, karena itu silahkan Toa Lhama
sekalian menanti dahulu di ruang tamu".
Belum habis ia berkata mendadak terdengar Chin Tiong
mendengus berat lalu menjerit lengking.
"Apa yang terjadi?" bentak Hoa Pek Tuo "Chin Tiong!
kenapa kau..."
Dari balik tebalnya asap hitam berkumandang suara
kasar dengan logat yang sangat aneh: "Siapa suruh ia
menangkap ikan diair keruh" Menggunakan kegelapannya
asap hitam, ia mau mencelakai kami sekalian. Hmmm Hoa
Pek Tuo, beginikah sikapmu menyambut tamumu?".
Hoa Pek Tuo benar benar naik pitam, hawa amarahnya
telah berkobar hingga mencapai pada puncaknya, namun ia
masih tetap menahan diri.
"Kaukah anak murid Thiao Liong Toa Hwesio yang
bernama sijago naga emas It Boen Chiu?"
"Sedikitpun tidak salah" jawaban orang itu sangat
jumawa. "Aku adalah sijago naga emas It Boen Chiu!".
"Apa yang telah kau lakukan terhadap Chin Tiong?".
"Dia hendak membokong diriku, maka kukirim dua
batang naga emas agar dicicipi olehnya".
"Chin Tiong.... Chin Tiong ....!
"Haa.... haa.... haa.... lebih baik tak usah kau panggil
sebab pertama, dia sudah modar!".
Hoa Pek Tuo gigit bibir menahan gusar, pikirnya:
"Kalau kau tidak suruh kau mati dalam keadaan yang sema
seperti kini, aku tidak ingin menguasai dunia persilatan
lagi" Diluaran ia tertawa terbahak bahak. "Haa... haa....
haa.... kalau memang sudah mati, yaah sudahlah, biarkan
modar!". "Chiu jie!" Suara dari Thian Liong Toa Lhama segera
menggema lagi dengan lantang. "Cepat minta maaf kepada
Hoa Loe sianseng, siapa yang suruh berbuat begitu
gegabah" bukankah sebelum kubawa kau datang kedaratan
Tionggoan telah kukatakan berulang kali bahwa daratan
Tionggoan berbeda dengan luar perbatasan?"
Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya: "Harap Hoa
Loo-sianseng suka memaafkan kelancangan serta kecerobohan dari muridku".
"Tidak mengapa, silahkan Toa Lhama duduk
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beristirahat dahulu di dalam ruang tamu".
"Entah Hoa Loo sianseng ada urusan apa" kenapa
mendekam terus di tengah kabut hitam yang tebal" apakah
kau memang ingin membakar hutan di sekitar ini agar bisa
melatih semacam ilmu silat di tengah kegelapan asap
hitam" "Heey tua bangka!" suara serak yang tak enak didengar
menyambung perkataan itu. Belum pernah kudengar orang
berkata bahwa di kolong langit terdapat kepandaian kentut
anjing yang harus dilatih dalam kegelapan asap hitam".
Ketika didengarnya suara orang itu kasar dan kaku
ditambah pula membawa logat propinsi Sa Cuau, alisnya
lantas berkerut. "Apakah kau adalah sipendekar Jantan
Berkapak sakti Chee Thian Gak?""
"Haa haa haa.... Tua bangka sialan, kau si cucu kura
kura darimana bisa tahu kalau aku adalah sipendeker jantan
berkapak sakti" Hebat.... hebat...."
Pedang Golok Yang Menggetarkan 20 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 20
Chin Slang yang menggeletak disisi tubuhnya telah
mendesis lirih, s?""sang ular merangkul tengkuknya
kencang. Sekujur badannya bergetar keras, pikirnya :
"Aaaach, kenapa aku melupakan sesuatu hal ?"
bukankah Wie Chin Siang adalah anak murid dari Kim
Loceianpwee ?" aduuh .... kenapa aku bisa melakukan
perbuatan serendah ini ?""
Tatkala disaksikannya Wie Chin Siang berbaring disisi
tubuhnya dalam kcadaan telanjang bulat, saking cemas dan
gelisah nya keringat dingin sampai mengucur keluar tiada
hentinya membasahi seluruh tubuh pemuda itu, buru buru
dia lepaskan rangkulan gadis itu dan loncat turun dari atas
pembaringan. Belum sampai sepasang kakinya mencapai permukaan
tanah, terdengar Hoa ?"k Touw telah meraung gusar sambil
berteriak : "Omong kosong, kemarin malam ?"k In Hoei telah
menyusup masuk kedalam perkampungan kami dan
sekarang dia sudah mati terkurung didalam lorong Koen
Liong To, mana mungkin bajingan muda itu bisa keluar
dari perkampungan untuk menculik muridmu ?""
Pek In Hoei enjotkan badannya, bagaikan sebelai daun
kering dia melayang kesisi pintu kemudian dengan
pandangan terkejut bercampur bergidik diintipnya keadaan
luar lewat celah2 diatas pintu.
Tampakiah ditengah ruangan besar Hoa ?"k Touw
berdiri disisi sebuah meja besar yang terbuat dari kayu
cendana, sementara dihadapannya berdirilah seorang
perempuan yang memakai baju serba hitam dengan kepala
memakai kain kerudung hitam .
Dibawab sorotan cahaya mutiara yang samar samar
tampak air muka perempuan itu pucat pias bagaikan mayat,
kalau di tinjau dari lekukan mata serta potongan tubuhnya,
orang itu bukan lain adalah Kim In Eng yang pernah
dijumpainya sewaktu ada digunung Ging Shia tempo dulu.
Setelah berpisah dua tahun lamanya ternyata raut wajah
Kim In Eng sama sekali tidak berubah.
Diatas raut wajahnya yang bersih dan cantik, kini
tergores kepedihan serta kemurungan yang jauh lebih
banyak daripada dahnlu.
"Tetapi dengan mata kepalaku sendiri aku lihat dia
memasuki perkampungan ini .." " terdengar perempuan itu
berseru dengan napas ter-putus2.
Hoa ?"k Touw jadi naik pitam.
"Selama lima puluh tahun belakangan belum pernah aku
naik darah terhadap orang Iain walau satu kalipun, tapi In
Eng ......... "
Dia terbatuk-batuk sejenak .
"Kau harus tahu bahwa sepanjang hidupku semua
tenaga serta pikiranku telah kubuang untuk menyelidiki
ilmu pertabiban serta ilmu barisan, terhadap setiap
persoalan yang kuhadapi pasti kuketahui dahulu sebab-
sebabnya setelah itu baru kucari pengertiannya dalam
masalah tersebut, dan kini kaupun tak usah menyembunyikan sesuatu rahasia dihadapanku, sebenarnya
apa maksudmu mengirim muridmu memasuki lorong Koen
Liong To ini" apakah kau hendak memusuhi diriku ?""
?"oa ?"k Touw benar-benar seorang yang sangat lihay"
batin ?"k In ?""i dengan hati terperanjat.."Ternyata dia
bisa menebak dengan jitu bahwasanya Wie Chin Siang
telah diutus untuk memasuki lorong rahasia didasar telaga
ini, cuma entah ?"" maksudnya Kim cianpwe dengan
mengutus muridnya untuk mencari Cian Hoan Lang
Koen?""
Dalam pada itu sekujur badan Kim In Eng telah gemetar
dengan kerasnya, dia coba membantah :
"Gie-hu, putrimu sama sekati tiada maksud untuk
memusuhi dirimu ...... "
"Hmmmm ! terus terang kuberitahukan kepadamu .
"Cian Hoan Lang Koen" silelaki tampan berwajah seribu
Coa Kie Giok telah mati didalam lorong Koen Liong To
tersebut" dengus Hoa Pek Touw. "Kau jangan mimpi bisa
...... " Baru saja dia berbicara sampai disitu mendadak
terdengar Wie Chin Siang yang berbaring diatas ranjang
merintih lirih, seketika itu juga pembicarannya terputus
laksana kilat kakek she Hoa itu menoleh kearah ruangan
tersebut. (Oo-dwkz-oO 11 MENJUMPAI kakek tua itu telah berpaling sambil
memandang ke arahmya dengan sinar mata tajam, ?"k in
Hoei sadar bahwa keadaan sangat tidak menguntungkan
dirinya, buru-buru dia melayang balik kesisi pembaringan,
jarinya laksana kilat berkelebat menotok jalan darah bisu
ditubuh dara "yu itu .
Diikuti badannya berputar kencang bagaikan pusaran
angin, lengan kirinya bergerak cepat, tiga biji mutiara yang
berada diatas kelambu telah berhasil di sambarnya sekali
gencet hancurlah mutiara mutiara itu.
?""k in Hoei ayoh keluar dari sana !" terdenger Hoa Pek
Tauw yang ada diluar pintu telah meraung gusar.
Dengan tangan kanannya Pek In Hoei menekan diatas
kelambu sekali putar badan dia melayang keatas
pembaringan, sinar matanya berputar dengan cepat mutiara
penolak air tersebut dimasukkan kambali kedalam sakunya.
Dengan disimpannya mutiara itu suasana dalam
ruanganpun jadi gelap gulita, menggunakan selembar
selimut dia lantas bungkus tubuh Wie Chin Siang yang
telanjang, "Pek In Hoei !" suara ?"a ?"k Touw kembali
barkumandang diluar ruangan. "Kau tak akan berhasil
melarikan diri dari sini, ayoh keluar .......".
?"k In Hoei tarik napas dalam dalam ilmu aasti surya
kencana dihimpun kedalam telapak, sepasang mata
menatap pintu kayu tajam tajam, la bersiap sedia bilamana
Hoa Pek Touw buka pintu menerjang masuk kedalam maka
dia akan sambut ke datangannya dengan sebuah pukulan
mematikan, "Chin Siang, ayoh kaupun keluar dari situ!" Kim ln Eng
ikut berteriak keras.
"Sucouw tak akan melukai dirimu !".
"Mungkin Kim locianpwe masih belum mengetahui
kalau akupun berada disini" Pikir ?"k In Heoi. "Dia
mengira Wie Chin Siang masih menyaru sebagai diriku
bersembunyi disana, rupanya kalau aku menerjang keluar
hingga dia sampai tahu akan keadaan dari Wie Chin Siang,
sekali pun aku terjun kedalam sungai Hoang Koo untuk
mandi sepuluhkalipun tak nanti bisa membebaskan diri dari
kecurigaannya!".
Sekarang dia baru menyasal mengapa tak sanggup
menahan kobaran napsu birahi dalam tubuhnya sehingga
mengakibatkan terjadinya peristiwa yang tak diinginkan ini,
sementara dikala mengatur pernapasannya barusan secara
lapat lapat dia merasa kan pula racun yang mengeram
dalam tubuhnya dengan mengikuti peredaran hawa murni
perlahan lahan berhasil dipaksa ke luar dari badannya .
Dalam hati segera pikirnya.
"Sungguh tak kusangka rumput racun penghancur hati
adalah sejenis racun yang membangkitkan napsu birahi,
aaai .... hampir saja aku terjerumus kedalam lembah
kenistaan".
Saking kagetnya keringat dingin kembali mengucur
keluar membasahi seluruh badan.diam diam ia bersyukur
karena bagaimana pun juga ia berhasil sadar dari pengaruh
napsu birahi. "Untung Kim In Eng cianpwee muncul diruang tengah
tepat pada waktunya" pikir pemuda itu sembari menyeka
keringat . "Kalau tidak perawan seorang gadis bakal kulalap tanpa
sadar, seandainya sampai terjadi begitu bagaimana
mungkin aku bisa hidup jadi orang lagi dikemud?an hari " . .
lagi pula dendam berdarah sedalam lautan belum berhasil
kutuntut balas, tanggung jawab untuk membangun kembali
perguruan belum kulaksanakan seandainya sampai salah
langkah sehingga mempengaruhi langkah langkahku
selanjutnya akan kutaruh kemana wajahku ini " ".
Teringat akan dendam ayahnya yang belum dibalas
hatinya jadi tercekat, pikirnya lebih jauh :
"Jenazah ayahku telah ketinggalan digunung Ciang Shia
tempo dulu, entah Kim cianpwee telah mengebumikannya
atau b?lum " ini hari aku harus menanyakan dimanakah
letak makam ayahku. kalau tidak aku bakal dikutuk orang
sebagai anak yang put Hauw"
Mendadak. ..... Braaak ! pintu kayu ditendang orang
hingga berbunyi nyaring.
Dengan cepat ia langkahkan kaki kirinya maju kedepan,
telapak kanan diayun kemuka, dengan jurus "Yang Kong
Phu Cau" atau cahaya matahari memancar terang dari Tay
Yang Sam Sih ia siap malancarkan pukulan maut.
Pada detik yang terakhir sebelum serangan mautnya
dilepaskan, matanya yang tajam berhasil menangkep wajah
Kim In Eng yang berdiri didepan pintu.
Buru buru pemuda kita tarik napas dalam dalam,
pergelangannya diputar melindungi dada, mentah mentah
ia tarik kembali serangannya yang hampir dilepaskan itu.
Suasana dalam ruangan gelap gulita, lama sekali Kim In
Eng berdiri didepan pintu.rupanya ia tidak menjumpai diri
Pek ln Hoei yang berdiri dihadapannya .
Setelah lama ditunggu belum kadengaran juga suara
sahutan, perempaan itu segera berteriak :
"Chin Siang, cepat keluar !".
"Cianpwee, aku yang berada disini ! " jawab Pek In Hoei
seraya tarik napas dalam dalam,
Kim In Eng terkejut, rupanya dia tidak menyangka kalau
didalam ruangan masih terdapat seorang pria, dengan rasa
tercengang segera tanyanya :
"Siapa kau " ".
"Aku. Pek in Hoei ........ ! "
"Pek In Hoei, kau " ......... " karena goncangan batin
yang keras, kain kerudung diatas wajah perempuan itu
berkibar tiada hentinya.
"Cianpwee, baik baikkah selama kita berpisah " "
"Ooob bocah. sungguh payah kucari dirimu ....... "
Tampak bayangan manusia berkelebat,dengan gusar Hoa
Pek Touw telah membentak :
"Jangan masuk kedalam kamarku !".
Ujung bajunya segera dikebas kemuka, diiringi satu
hembusan angin puyuh yang maha dahsyat tubuh Kim In
Eng terdorong enam depa dari tempat semula, menggunakan kesempatan itu badannya meluncur kemuka
menerobos masuk kedalam kamar.
"Keparat cilik !" teriaknya penuh kegusaran.
"Kau berani menerobos masuk kedalam kamar Bong
Jien kesayanganku " akan kuhancur lumatkan dirimu jadi
perkedell ".
Pek ln Hoei mendengus dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun lengannya digetarkan kedepan, dalam satu
ayunan telepak kanannya yang dahsyat, hawa panas yang
menyengat badan segera menggulung kemuka.
Sepasang pundak Hoa Pek Touw bergerak, badannya
maju dua langkah kedepan tangan kirinya diayun kemuka
sementara tangan kanan menekan kedalam, didalam
gerakan yang berlawanan itu angin pusaran yang hebat
menyambut datangnya ancaman itu .
"Buuuuum . . . . ! " ledakan dahayat menggoncangkan
seluruh permukaan.
Pek In Hoei membentak keras, mendadak telapak
kanannya melancarkan kembali satu pukulan.
Setelah jurus "Yang Kong Phu Cau" digunakan
sepenuhnya, segulung hawa panas yang maha dahsvat
menggulung keluar dari dalam ruangan
menahan datangnya terjangan dari Hoa Pek Touw.
Tetapi mengikuti tenaga perputaran yang menggulung
datang itu jantungnya terasa bergetar pula sehingga darah
segar dalam dadanya bergolak kencang, badannya tak tahan
mundur satu langkah kebelakang.
Meskipun ilmu sakti "Thay Yang San Sie" adalah
kapandaian yang maha sakti, namun sayang pertama, ia tak
sanggup mengerahkan segenap tenaga murni yang ada
didalam tubuhnya untuk melancarkan serangan tersebut
dan kedua, baru saja la dimabuk napsu birahi sehingga
banyak tenaga serta semangatnya yang hilang. maka ilmu
tadi masih belum sanggup menandingi ilmu "Poh Giok
Cioe" dari Hoa Pek Touw.
Masih untung dia mengenakan kutang mustika
pelindung badan, kalau tidak mungkin isi perutnya telah
terluka termakan hantaman dahayat itu.
Dia tarik napas dalam dalam, dengan cepat hawa
murninya disalurkan mengelilingi seluruh tubuhnya satu
kali. kemudian dengan hati bergidik pikirnya :
"Sungguh tak kunyana kecuali pandai didalam ilmu
pertabiban. ilmu jebakan, ilmu barisan serta ilmu mengatur
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alat rahasia, kepandaian silat yang dimiliki Hoa Pek Touw
pun luar biasa lihaynya, kalau dibandingkan dengan si
Rasul Pembenci langit Ku Loei boleh dikata jauh lebih lihay
beberapa kali lipat Ehmmm ..... mula mula aku masih
mengira "Tay Yang Sin Kang" ilmu sakti Surya Kencana
dari negeri Tayli ini tiada tandingan dikolong langit, tak
tahunya masih juga tak mempan untuk mengalahkan
manusia aneh dari perguruan Liuw mah Boen ini ....... "
Dalam pada itu Hoa Pek Touw sendiri pun terperanjat
atas keliheyan lawannya,segera ia membentak :
"Keparat cilik, aku tidak mengira kalau kau telah
berhasil melatih kepandaian panas yang begini hebatnya . . .
. ''. Ia merandek sejenak. "Manusia berbahaya semacam kau
tak boleh dibiarkan hidup lebih lama lagi dikolong langit !".
Sambil berseru badannya bekelebat kemuka, bagaikan
sesosok bayangan setan dia mendekati lawannya, jari dan
telapak bekerja sama dengan hebatnya,dalam sekejap mata
ia telah mengirim tiga buah serangan berantai.
Sungguh dahsyat serangan dari kakek tua ini, laksana
gulungan ombak ditengah amukan badai, dengan hebatnya
menyerang dan menerjang pada pemuda itu.
Pek ln Hoei tak berani bertindak gegabah, buru buru
kakinya bergeser kesamping.. dalam keadaan gugup dan
cemas secara beruntun dia lancarkan tujuh buah serangan
berantai, satelah bersusah payah beberapa saat lamanya
ancaman maut dari pihak lawanpun berhasil juga diatasi.
Dalam melancarkan tujuh buah serangan berantai itu,dia
telah memasukkan kepandaian lihay dari partai Sauw lim,
Hoa san, Bu tong serta Tiam cong, diantara berkelebatannya sepasang telapak, kepala, jari, kaki serta
sikut bekerja keras menyodok kesana menghantam kemari.
Meski demikian badannya kena didesak mundur juga
sejauh setengah langkah.
Air mukanya seketika berubah hebat pikirnya :
"Aku tak boleh member? kesempatan kepadanya
sehingga bangsat tua ini berhasil mendahului diriku, kalau
tidak dalam dua satu jurus mendatang badanku bakal babak
belur kena gebukannya ..... "
Begitu ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
dengan cepat kakinya bergerak. dia melangkah maju tiga
tindak kemuka kemudian telapaknya diayun melancarkan
sebuah serangan dengan jurus "Liat Yang Hian Tian" atau
Terik sang surya menyengat badan.
"Gie-hu !" saat itulah Kim ln Eng teriak keras dan
menubruk masuk kedalam.
"Keluar ! " bentak Hoa ?"k Touw.
Badannya miring kesamping. laksana kilat kaki
kanannya Melancarkan sebuah tendangan, Sementara itu
Kim In Eng sedang menerjang masuk kedalam. dia tidak
menyangka kalau Hoa Pek Touw dapat melancarkan
tendangan kilat pada saat itu. seketika badannya merandek,
cepat kakinya melangkah kesamping dengan suatu gerakan
yang manis dia menghindarkan diri dari datangnya
tendangan tersebut.
Tanpa berpaling Hoa Pek Touw menekuk ujung kaki
kanannya kemudian dari suatu sudut yang aneh dan tak
disangka mengirim satu tendangan lagi.
Tendangannya ini sama sekali tidak ditarik kembali
sebaliknya malah bergeser tiga coen lagi kedepan,Dalam
keadaan seperti ini tak mungkin bagi Kim In Eng untuk
menghindarkan diri lagi, kakinya jadi kaku dan seluruh
badannya terpental hingga mencelat keluar dari pintu.
"Aduuuuh. . . . !" dia berseru tertahan, kebetulan sekali
tangan kananya membentur diatas pintu kayu . . . . . .
Bruuuk ! terkena tenaga sambaran itu, pintu tadi segera
menutup keras. Susana dalam ruangan seketika berubah jadi gelap gulita,
saking gelapnya sampai lima jaripun sukar dilihat.
Tatkala Pek In Hoei melancarkan serangannya tadi
mandadak pandangannya jadi gelap diam diam ia merasa
keadaan tidak menguntungkan, segera tenaga murni yang
dimilikinya dihimpun semua. badannya bergerak dengan
cepat ia bergeser lima langkah kesisi pintu.
Terasalah desiran angin tajam menyambar ditengah
kegelapan, begaikan sambaran kilat angin serangan tadi
menembusi ruangan menghantem diatas dinding.
Buuuum . . . ! pasir dan debu beterbangan memenuhi
angkasa.suara dengungan yang amat keras hingga menusuk
pendengeran menggema disemua penjuru ......
"Pek ln Hoei, kau hendak lari kemana?" bentak Hoa Pek
Touw sambil tertawa dingin.
Seakan akan dia dapat mengetahui bahwasann?a Pek In
Hoei telah bergeser dari tempatnya semula, bersamaan
dengan selesainya ucapan itu badannya segera menubruk
kembali kearah mana sianak muda itu berada sekarang.
Walaupum berdiri ditempat kegelapan namun sejak
semula Pek In Hoei sudah mampersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan yang tidak di inginkan, merasakan
datangnya serangan dahsyatnya dari Hoa Pek Touw ia jadi
sangat terperanjat.
Angin pukulan bagaikan sebuah jala besar mengurung
seluruh tubuhnya,bukan saja tenaga tekanan menyesakkan
dada bahkan sama sekali tidak memberi peluang barang
sedikitpun baginya untuk menghindar, empat penjuru
seolah olah dikelilingi oleh pisau tajam yang membabat
kearahnya bagaikan badannya hendak dibabat mentah
mentah ...... Dengan hati bergidik pemuda kita balas mengirim satu
serangan. menggunakan kesempatan dikala berdesingnya
angin tajam diapun balas melancarkan tujuh buah serangan
berantai. "Bluumm ......... Bluumm ......... ! "
Bluumm ......... ! " ditengah bentrokan nyaring kedua
belah pihak telah saling bertukar tiga buah pukulan
ditengah angkasa.
Napas Pak ln Hoei mulai tersengkal kakinya terhuyung
mundur dua langkah ke belakang.
"Hemm! cobalah lagi tujuh buah seranganku ini !"
Jengek Hoa Pek Touw dengan suara yang menyeramkam.
Dengan sempoyongan Pek In Hoei mundur kebelakang,
ia bermaksud menyingkir kesebelah kan?n tetapi setelah
mundur beberapa langkah dia baru merasakan bahwa
dirinya telah tiba disisi dinding, tiada jalan lagi baginya
untuk mengundurkan diri .
Dengan parasaan kaget bercampur terperanjat, pikirnya.
"Untuk menghadapi tujuh buah serangan nya itu aku
harus berusaha menjebolkan dinding tembok ini lebih
dahulu kemudian baru bisa dilawan, kalau tidak isi perutku
pasti akan terluka parah ......
Waktu berlalu dengan cepatnya, dalam keadaan seperti
in? t?ada kesempatan baginya untuk berpikir panjang,
pedang mustika penghancur sang suryanya segera dicabut
keluar dari dalam sarung.
Tampak cahaya pedang berkelebat lewat sebelum pedang
itu sempat lolos dari sarungnya, sebuah serangan maut dari
Hoa Pek Touw telah menghantam dengan telak nya diatas
dada pemuda itu.
Datangnya serangan tersebut sama sekali tidak membawa suara atau getaran menanti telapak lawan
menempel diatas dadanya ia baru merasai .
Menanti ia sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya
tenaga pukulan Hoa Pek Touw telah disalurkan keluar,
dengan telak dadanya kena dihantam keras keras.
Dengan menaban rasa sakit yang bukan kepalang sianak
muda itu meraung keras, darah seger muncrat keluar dari
mulutnya.telapak kanan dirapatkan dan segera bales
mengirim satu babatan.
Babatan ini dilancarkan didalam keadaan kacau dan
cemas, sama sekali tidak termasuk jurus serangan dari
aliran manapun apalagi di lancarkan dalam jarak yang
sangat dekat dan ditengah kegelapan ---- Bruuuk ! dengan
telak babatan itu bersarang pula di atas bahu kakek tua itu,
Dalam pada itu Hoa Pek Touw sedang miringkan
kepalanya untuk menghindarkan diri dari cipraan darah
segar yang ditumpahkan dari mulut Pek In Hoei, dia tidak
m?nyangka kalau pemuda itu masih sempat melepaskan
serangan balasan dikala isi perutnya telah terluka, apalagi
jarak diantara mereka terlalu dekat, serangan tadi tak
sempat dihindari lagi.
Ia mendengus berat, badannya mundur selangkah
kebelakang dimana kakinya berlalu ubin yang kena diinjak
segera hancur dan merekah.
Sekilas cahaya pedang mendadak berkelebat diangkasa,
meminjam kesempatan yang sangat baik itulah Pek In Hoei
mencabut keluar pedang mustika Si Jiet Kiamnya .
Tampak pedang itu digetarkan keras, cahaya tajam
segera berkilatan memenuhi angkasa mengikuti bergeser
langkah kaki, cahaya pedang mendadak sirap dan tahu2
sudah dilintangkan didepan dada .
Hoa Pek Touw tidak mengira tenaga lwekang yang
dimiliki Pek In Hoei sedemikian sempuma meskipua
usianya masih sangat muda, kendati dadanya sudah kena
dihantam namun sama sekali tidak roboh terjungkal keatas
tanah Dalam hati kakek tua ini merasa bergidik, sambil tarik
napas menahan rasa sakit diatas bahunya ia tatap wajah
sianak muda itu tajam tajam .
Tetkala dijumpainya Pak In Hoai berdiri serius
dihadapannya sambil menyilangkan pedang mustikamya
didepan dada, segera ia mendengus dingin.
"Hmmm ! isi perutmu sudah terluka parah, kalau tidak
cepat cepat kau obati luka dalammu itu dalam satu jam
mendatang jiwa mu bakel melayang. Heeeh ... heeeh ....
heeeh . . . . apa kau anggap aku tak dapat melihat bahwa
gayamu memegang pedang saat ini hanya gertak sambal
belaka " ... aku lihat lebih baik buang saja senjatamu itu ! "
Pek In Hoei sendiri diam diam merasa terperanjat, ia
kagum atas ketajaman mata pihak lawannya yang telah
berhasil mengetahui akan kekosongan gaya pedangnya itu.
Hatinya jadi bergidik, sambil menahan Pergelangannya
yang gemeter keras pikirnya didalam hati ;
"Saat ini paling banter aku cuma sanggup menghadapi
tiga jurus serangannya belaka, setelah itu urat nadiku bakal
pecah dan jiwaku bakal melayang, apa yang harus
kulakukan sekarang " menerjang keluar dari ruangan ini "
jelas tak mungkin !".
Hoa Pek Touw bukanlah manusia sembarangan, sebagai
orang Yang berhati licik sekilas memandang cahaya tajam
diujung senjata lawan, dia segera mengetahui kalau pemuda
itu sedang bertahan sebisa bisanya, maka dengan suara
dingin kembali jengeknya ;
"Dalam kendaan seperti ini loohu hanya cukup
menggunakan tiga jurus serangan saja sudah sanggup untuk
membinasakan dirimu ! .
Mendadak . . . . Pintu depan didorong orang diikuti Kim
In Eng menerjang masuk kedalam ruangan.
"In Hoei" serunya dengan hati cemas,
"Kau tidak terluka bukan "....."
"Aku tidak apa apa !"
"In Eng, ayoh cepat enyah dari sini !" " hardik Hoa Pek
Touw, "Gie-hu (ayah angkat) ! ampunilah jiwanya dan
lepaskanlah dia pergi dari sini!"
Hoa Pek Touw tertawa seram.
"Aku peras keringat puter otak dan banting tulang
selama lima puluh tahun sebenarnya apa tujuannya " kalau
ini hari kulepaskan keparat cilik ini maka dikemudian hari
jagoan Bu-lim manakah yang sanggup menaklukkan dirinya
...... " Mandadak ia menoleh dan menghardik :
"Pek In Hoei, jangan bergerak !"
Perlahan lahan Pak in Hoei tarik kembali kakinya yang
sudah melangkah kedepan, sahutnya lirih :
"Hoa Pek Touw .... janganlah kau terlalu memakan
diriku !". ia merandek sejenak kemudian tambahnya ketus.
"Kau harus tahu binatangpun mempunyai semangat
untuk bertempur hingga titik darah penghabisan, kau
anggap aku sudi takluk dan menyerah dengan begini saja,
?"" "
"Hmmm ! rupanya Cian Hoan Lang Koen telah
membeberkan semua rencana besarku kepadamu, heeeh .....
heeeeh .... heeeh .... kalau memang demikian adanya, kau
semakin tak boleh kulepaskan lolos dari perkampungan Tay
Bie San cung ini. Keparat cilik ! ini hari kau harus mati
disini !".
Keadaan dari Pek In Hoei saat ini benar2 amat kritis,
setiap saat kemungkinan besar jiwanya bisa melayang
ditangan jago tua itu, mendadak sinar matanya beralih
keatas lukisan yang tergantung diatas pembaringan satu
ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.
Meskipun dia punya tujuan kesitu namun pemuda kita
cukup cendik, sinar matanya justru malahan ditujukan
kepintu luar. Melihat sianak muda itu memperhatikan kearah pintu,
Hoa Pek Touw mangira d?a akan meloloskan diri dengan
menggunakan kesempatan itu, sambil mendengus dingin
badannya segera bergeser empat langkah kesamping dan
berdiri tepat didepan pintu .
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah itu sambil memandang kearah Pek In Hoei
ejeknya : "Akan kulihat bagaimana caramu menirukan binatang
yang akan bertahan hingga titik darah penghabisan, akan
kulihat apakah kau sanggup memaksa aku hingga mundur
selangkah kebelakang ".
"Setan tua kau tertipu !" seru Pak In Hoei, badannya
dengan cepat bergerak, bukan pintu depan yang dituju
sebaliknya malah meloncat naik keatas pembaringan.
Menyaksikan perbuatan sianak muda Itu,air muka Hoa
Pek Touw berubah hebat, diam diam ia berseru tertahan
lalu dengan penuh kegusaran makinya:
"Keparat cilik2, licin benar akal bulus mu !"
Dengan jurus "Pouw Giok Sheng Than" atau Berpeluk
tangan Menenggelamkan sampan telapaknya segera
menyamber kemuka meaghantam Pek In Hoei yaog ada
diatas pembaringan.
"Tahan !" bentak Pek ln Hoei sambil membetulkan
posisinya. Hoa Pek Touw melengak, dilihatnya si anak muda itu
telah tudingkan senjatanya diatas lukisan gadis di atas
dinding itu, air mukanya segera berubah, dengan menahan
perasaan batin yang tersiksa bentaknya penuh kegusaran ;
"Pak la Hoei, kalan kau berani merusak lukisanku itu
maka semua manusia she Pek yang ada dikolong langit
akan kubunuh hingga habis !"
Sambil berdiri tegak Pek ln Hoei menatap Hoa Pek
Touw yang sedang marah marah, terhadap makiannya dia
tidak menggubris dan tetap berlagak pilon.
"Apakah kau masih membutuhkan lukisan ini ?"
tanyanya. "Sekalipun aku tidak membutuhkan lagi lukisan itu.
jiwamu tetap akan kucabut !"
"Sungguh " kau benar benar tidak membutuhkan lukisan
ini lagi " .... "
Saking gusar dan mendongkolnya sepasang mata Hoa
Pek Touw berubah jadi merah berapi api, dengan gemas
dan penuh kebencian teriaknya :
"Kalau kau berani menggores lukisan itu seketika itu jaga
Kim In Eng akan kubinasakan lebih dahulu !"
Dengan pandangan bergidik Kim ln Eng menatap wajah
Hoa Pek Touw, bagaimana pun juga dia tidak mengira
kalau ayah angkatnya begitu kejam dan berhati keji, hatinya
jadi dingin dan bulu kuduk pada bangun berdiri ....
"Hmm ! kalau memang kau sudah tidak ingini lukisan
ini lagi, baiklah akan kuhancurkan lumatkan jadi berkeping
keping ",ancam Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Hoa Pek Touw merasa sangat mendongkol, selama
hidup dia cuma tahu menjebak orang lain siapa sangka ini
hari harus jatuh kecudang ditangan orang bahkan orang itu
adalah seorang pemuda yang masih muda belia.
Saking khekinya hampir saja dia muntah darah, dalam
hati iapun merasa tetcengang dan tidak habis mengerti,
darimana pemuda itu bisa tahu kalau lukisan tersebut
adalah benda yang paling disayanginya melebihi jiwa
sendiri. Berpuluh puluh macam akal berkelebat memenuhi
benaknya, tetapi sayang tak satupun bisa digunakan untuk
memaksa Pek In Hoei menggeserkan pedangnya dari atas
lukisan itu. Akhirnya dia menyerah dan berkata :
"Baiklah ! untuk kali ini akan kulepaskan dirimu pergi
dari sini dan aku berjanji tak akan membinanakan dirimu
pada hari ini ! " .
Pek ln Hoei mendengus dingin
"Masa dikolong langit benar benar terdapat persoalan
yang begini gampang bisa diselesaikan ?"" keluarkan dulu
obat pemunah dari rumput racun penghancur hati !".
"Bangsat ! jangan terlalu besarkan pentang mulut
anjingmu, kalau sampai melampa?i batas permintaan itu,
aku bisa korbankan lukisan itu detik ini juga: Hmm.....
kalau sampai aku berbuat nekad hati hati selembar jiwa
bangsatmu, tak nanti ku ampuni !".
"Sekalipun aku ajukan penawaram setinggi langit,
bukankah kaupun punya kesempatan untuk menawar " "
jengek sianak muda she Pek itu sambil tertawa hambar.
"Asal kan kedua belah pihak sudah setuju, maka dagangan
Itupun boleh dikatakan telah jadi".
"Heeeeh...heeeeeh. heech.. sekarang kau jangan keburu
merasa bangga dulu, suatu saat aku berhasil menangkap
dirimu ...... Hmm ! saat itulah kau tak akan bisa tertawa lagi
!". "Itu sih urusan belakangan, buat apa sekarang kita
membicarakannya lebih dahulu " "
Senyuman yang menghiasi bibirnya mendadak membeku, rasa sakit yang luar biasa segera tertera jelas
diates wajahnya, kembali pemuda itu muntahkan darah
segar. Melihat kesempatan baik yang sukar ditemukan telah
tiba Hoa Pek Touw tak mau sia siakan dengan begitu saja,
pundaknya segersabergerak siap loncat kedepan merampas
pedangnya atau bila mungkin sekalian membinasakan
pemuda itu. "Tahan " bentak Pek In Hoei dengan alis berkerut
kencang. "Criiiit . . " segulung angin desiran tajam meluncur
keluar. Tubuh Hoa Pek Touw yang, sedang menubruk tiba
seketike tertahan dicengah udara, terpaksa in harus
melayang turun keatas permukaan tanah.
Walaupun begitu kakek tua ini tak mau begitu saja
melepaskan mangsanya dari tangannya segera diayun
mengirim satu serangan balasan.
Bruuunk ....... ! angin pukulan itu dengan telak
menghantam diatas pergelangan tangan Pek In Hoei yang
mencekal pedang.
Sianak muda itu membentak nyaring,sambil ayun tangan
kirinya ia mengancam :
"Apakah kau hendak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri kuhancurkan lukisan ini ?"
Tangan kanan bergetar kencang. diantara berkelebatnya
cahaya pedang ia perlihatkan sikap hendak manggurat
lukisan gadis cantik itu.
Hoa Pek Touw jadi lemas, ancaman tersebut tepat
mengenai hati kecilnya, sambil menunjukkan sikap yang
sangat menderita bisiknya lirih :
"Kalau kau memang jantan, sekarang juga goreslah
lukisanku itu !, . . . . ,
Mula mula Pek In Hoei melengak namun segera dia
tertawa dingin.
"Apa susahnya berbuat demikian ?"
Sinar matanya berkelebat menyapu sekejap wajah Hoa
Pek Touw, kemudian tambahnya :
"Ooooh, betapa indah serta bagusnya lukisan yang luar
biasa serta susah dicari keduanya dikolong langit dewasa
ini, terutama sekali senyuman manis dari gadis dalam
lukisan itu serta pandangan mesrah penuh cinta kasih yang
dia perlihatkan, benarkah kau sudah tidak membutuhkannya dan rela kuhancurkan lukisan yang
demikian luar biasanya ini ..... aaaah ..... aku merasa
radaan sayang ...."
"Tutup mulut anjingmu !" teriak Hoe Pek Touw. titik air
mata mulai membasahi kelopak matanya "Baiklah, ini
adalah pil penolak racun, ambillah pergi ! .
Dari sakunya kakek tua itu ambil keluar dua butir pil
yang terbungkus dalam lilin dan dilemparkan keatas
pembaringan, setelah itu dengan sedih ia tundukkan
kepalanya rendah rendah,
Walaupun Pek In Hoei telah menggunakan titik
kelemahan dari Hoa Pek Touw untuk memaksa dia
meny?rahkan pil pemun?h racun itu, namun dalam hati
kecilnya dia merasa sangat kagum atas kesetiaan serta
kesungguhan cintanya yang telah berlungsung puluhan
tahun lamanya tanpa berubah sedikitpun itu,
Pikirnya didalam hati ;
"Sekalipun dia adalah seorang manusia durjana yang
paling kejam, paling telengas dan paling licik dikolong
langit, namun kesetiaannya serta kesunguhan cintanya
terhadap kekasih yang pernah dicintainya puluhan tahun
berselang sukar dicari keduanya Aaaaii . . . . entah dapatkah
aku meniru kesunguhan cintanya terbadap kekasihku
kemudian hari " . . . "
Tanpa menunjukkan pandangan mengejek atau pandang
rendah lawannya, la segera berkata serius :
"Aku telah menderita luka dalam yang amat parah, aku
berharap kaupun bisa menghadiahkan pula sebutir pil
"Tiang Coen Wan" yang baru saja kau buat itu kepadaku,
dengan demikian dalam perjumpaan kita yang akan datang
aku tidak sampai kau tundukkan dengan begitu mudah"
Dengan penuh rasa mendongkol ?"a ?"k Touw melotot
sekejap kearah pemuda itu, rasa gusar dan gemasnya tanpa
terasa ikut tersalur keluar lewat pandangan tadi.
Menyaksikan betapa benci dan gusarnya kakek itu
memandang dirinya, diam-diam ?"k In Hoei sendiripun
merasa bergidik sehingga bulu kuduknya pada bangun
berdiri. (Oo-dwkz-oO) Jilid 17 (edit by Sumahan)
DARI dalam sakunya Hoa Pek Tuo ambil keluar sebuah
botol porselen berwarna hijau, kemudian mengeluarkan
sebutir pil bewarna merah darah.
Sambil melemparkannya keatas pembaringan serunya
tertawa dingin: "Suatu saat kau terjatuh ditanganku, kalau
tidak kusuruh kau rasakan siksaan dikerubuti berlaksa-laksa
ekor binatang yang paling berbisa dikolong langit, aku
bersumpah tidak mau jadi orang!"
"Seandainya ilmu silat yang kumiliki telah punah,
kendati kau berhasil menangkap dirikupun percuma seja,
tiada artinya sama sekali. Begini saja, bila kiia bertemu
muka lagi dikemudian hari mari kita saling beradu
kecerdasan lagi! Aku sih ingin sekali berhasil kau tangkap
dikemudian hari sehingga dapat merasakan bagaimana
penderitaan seseorang yang dikerubuti berlaksa-laksa ekor
binatang beracun, tetapi aku takut tidak demikian
gampangnya kau bisa memenuhi keinginanmu itu!"
Dia ulapkan tangannya, kemudian tambahnya lagi
"Sekarang, silahkan kau keluar dari ruangan ini!"
Lama sekali Hoa Pek Tuo menatap wajah Pek In Hoei,
akhirnya dengan suara berat dia mengancam: "Bilamana
kubiarkan kau berhasil tinggalkan tempat ini sejauh tiga
puluh li, sejak ini hari aku tidak akan she Hoa lagi!"
Pek In Hoei tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah
katapun dia awasi wajah kakek tua itu tanpa berkedip.
Bagaikan dua ekor binatang buas yang saling berhadapan
kedua orang itu saling berpandangan beberapa waktu
lamanya. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya sambil tertawa
hambar Pek In Hoei berkata: "Kalau aku tak sanggup
tinggalkan daerah sejauh tiga puluh li dari sini dan keburu
kena kau tangkap lagi, mulai ini hari juga aku pun tak sudi
she Pek lagi"
"Bagus! perkataan seorang lelaki sejati berat laksana
gunung Thay-san, setelah diucapkan tak akan diingkari
kembali". Hoa Pek Tuo mendengus dingin, tanpa mengucapkan
separah kata lagi segera putar badan berlalu dari ruangan
itu. Pek In Hoei termenung berpikir sejenak, tiba-tiba
tanyanya lagi: "Berapa lama waktu yang kau berikan
kepada kami?"
"Dua jam!" sahut Hoa Pek Tuo sambil menoleh dan
tertawa, kemudian dengan cepatnya ia berlalu dari ruangan
tersebut. Mendengar waktu yang disebutkan itu sepasang alis Pek
In Hoei kontan berkerut kencang" pikirnya didalam hati:
"Kurang ajar.... kembali aku tertipu, waktu selama dua
jam hanya cukup bagiku untuk melakukan perjalanan
sejauh tiga puluh li.... bukankah terang-terangan aku bakal
kalah taruhan lagi"
Ia merandek sejenak, lalu pikirnya lebih jauh: "Aku
masih mengira dalam pertarungan ini dirikulah yang pasti
peroleh kemenangan siapa sangka ucapanku yang terakhir
justru telah terjatuh kedalam perangkap orang. Aaaiiii.....
rupanya aku harus lebih banyak berlatih diri lagi, dengan
demikian dikemudian hari baru tidak sampai tertipu lagi
oleh manusia licik yang banyak akalnya seperti dia...."
Dia hanya pusatan semua perhatiannya untuk mencari
akal bagaimana caranya melepaskan diri dari pengejaran
Hoa Pek Tuo dan telah melupakan bahwasanya Kim In
Eng masih berada disitu.
Dalam pada itu sidewi khiem sendiri sejak memasuki
ruangan itu hingga kini hanya berdiri bersandar disisi
dinding saja. menyaksikan Pek In Hoei dalam keadaan
yang kepepet dan terdesak ternyata masih sanggup
menolong dirinya dengan kecerdikan otaknya, diam-diam
ia jadi kagum dibuatnya.
Sambil tersenyum segera pikirnya didalam hati: "Kini
dia telah mulai bergerak menuju keposisi kursi singgasana
nomor wahid di kolong langit, suatu saat ia akan berhasil
melenyapkan semua rintangan didepan matanya dan
menjadikan dirinya sebagai manusia yang paling kosen
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikolong langit.....
Tapi.... belum lama senyuman girangnya menghiasi bibir
perempuan itu, tiba tiba ia saksikan sekujur badan Pek In
Hoei gemetar keras, dengan menahan rasa sakit tak
terhingga dia mendengus berat kemudian roboh terjungkal
dari atas tiang pembaringan.
Cahaya pedang berkelebat lewat, senjata Si Jiet Kiam
yang tajam seketika merobek kain kelambu berwarna merah
itu dan membawa tubuh Pek In Hoei yang berat roboh
terjengkang diatas ranjang.
Air muka Kim In Eng berubah hebat, cepat cepat dia
maju kedepan memayang bangun tubuh sianak muda itu,
tampaklah air mukanya telah berubah jadi pucat pias
bagaikan mayat, keringat sebesar kacang kedelai membasahi sekujur tubuhnya, sambil menggigit bibir ia
telah jatuh tidak sadarkan diri.
Dengan perasaan penuh kasih sayang dan kasihan
perempuan itu mengeluarkan saputangan untuk menyeka
air keringat yang telah membasahi wajah pemuda itu,
bagaimana pun juga dia merasa kagum dan memuji akan
kegagahan serta keberanian yang telah diperlihatkan sianak
muda itu barusan.
Tanpa berpikir panjang lagi diambilnya dua butir pil
yang berada diatas ranjang itu kemudian menghancurkannya dan dijejalkan ke dalam mulut Pek In
Hoei, selelah itu tangannya berkerja keras menguruti dada
serta lambung pemuda itu agar peredaran darah tubuhnya
bisa berjalan kembali dengan lancar.
Memandang raut wajahnya yang tampan dan menarik
hati, muncul perasaan kasihan serta sayang dari mata
perempuan itu, bisiknya dengan suara yang lirih: "Selama
dua tahun belakangan ini kau tentu sudah menelan banyak
pahit getir yang menyiksa tubuhmu, kalau tidak dari mana
mungkin dari seorang bocah cilik yang tak pandai ilmu silat
kini telah berubah jadi seorang pendekar muda yang cerdik,
berani serta memilki kepandaian silat maha sakti"
Tanpa terasa bayangan dari Cia Ceng Gak sijago pedang
sakti dari Tiam Cong Pay di kala masih mudanya terbayang
kembali dalam benak perempuan she Kim ini. Waktu itu
diapun sedang menginjak masa mudanya, bukan saja
ganteng, gagah dan berani, bahkan di masa mudanya telah
berhasil menduduki jabatan sebagai seorang ketua partai.
Senyuman sedih dan pedih tersungging di ujung
bibirnya, diam diam pikirnya kembali "Ketika itu meskipun
Cia lang dengan membawa pedang sakti kepandaian lihay
menginjakkan kakinya didaratan Tionggoan, namun
berhubung dia sudah masuki perguruan To boen maka
terhadap gadis gadis cantik yang ada didalam dunia sama
sekali tak memandang sebelah matapun. Oleh sebab itulah
orang orang sampai menyebut dirinya sebagai pemuda
yang tidak romantis...."
Ia menghela napas panjang, pikirnya lebih jauh:
"Aaaaai! meskipun ia telah menjabat sebagai ciangbunjin
dari partai Tiam Cong, namun cinta kasihnya terhadap
diriku tetap mendalam dan merasuk hingga ke tulang
sumsum. Ia rela tinggalkan segala galanya untuk menemani
aku berpesiar kesemua tempat yang indah dan menawan
hati. Cinta yang demikian dalamnya bukankah melebihi
dalamnya samudra" tapi aku sendiri.... sama sekali tidak
mengetahui dimana tulang belulangnya dipendam....".
Tetes air mata menetes keluar dari balik biji matanya
yang hitam, gumamnya: "Cia-lang, kau sebagai seorang
ciangbunjin sebuah partai besarpun dapat tinggalkan tata
kesopanan serta derajatmu sebagai ketua. Aaaai.... tapi
siapakah dikolong langit yang mengetahui bahwa kaulah
bianglala dan partai Tiam Cong"
Ditengah kesunyian yang mencekam seluruh ruangan
itu, pikirannya jadi melayang layang entah kemana,
bayangan Cia Ceng Gak yang gagahpun segera memenuhi
seluruh benaknya.
Perlahan-lahan ia cabut pedang Si Jiet Kiam itu, meraba
sarung pedang yang terbuat dari kulit ikan hiu itu ia
pejamkan matanya rapat rapat.
Ia merasakan dirinya seakan akan berada dalam pelukan
kekasihnya, seakan akan ia sedang membelai dadanya yang
bidang dan kekar....
"Aaaai...." dia menghela napas panjang. "Tingginya
langit lamanya waktu ada batasnya, namun sampai kapan
cinta kasihku bisa terpenuhi...."
Ia gelengkan kepalanya berulang kaii, kemudian dengan
tangannya yang putih halus dipunggutnya mutiara penolak
air yang menggeletak diatas selimut itu.
Hawa pedang, cahaya mutiara memancar di atas raut
wajahnya yang segar membuat perempuan itu kelihatan
lebih cantik, seolah-olah sebuah patung arca yang terbuat
dari baru pualam.
Mutiara yang besar dan bulat bergelindingan diatas
tandannya, sambil tersenyum cengang pikirnya:
"Mengapa perasaan hatiku pada hari ini bisa melayang
sampai begitu jauhnya" kenapa aku sudah melupakan
bahwa usiaku hampir mencapai angka empat puluh"
Aaaai.... kenangan lama apa gunanya dipikirkan kembali....".
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir lebih jauh: "Chin Siang adalah seorang bocah yang
halus dan menawan hati, untuk mencari kabar berita dari
Pek In Hoei aku pernah suruh ia berkelana didalam dunia
persilatan dengan menggunakan namanya
sehingga memperoleh sebutan sebagai jago pedang berdarah dingin
kenapa aku tidak jodohkan sama gadis manis itu dengan
diri Pek In Hoei?"
Teringat akan Wie Chin Siang, diapun lantas teringat
kembali bahwasanya kemarin malam ia telah mengutus
muridnya ini untuk menyusup kedalam lorong rahasia dan
berusaha untuk menjumpai Cian Hoan Lang Kosu guna
menanyakan nasib dari Cia Ceng Gak.
Dengan cepat ia meloncat bangun, pikirnya dengan hati
cemas. "Aaaah! kenapa aku telah melupakan dirinya" Sejak
kemarin malam masuk ke dalam perkampungan hingga kini
belum ada kabar beritanya sama sekali mengenai nasibnya.
Aaaiii.... kenapa setelah bertemu dengan Pek In Hoei
saking gembiranya aku telah melupakan dirinya...."
Sambil menggigit ujung bibirnya dia masukkan kembali
padang penghancur sang surya itu kedalam sarung,
kemudian putar badan dan loncat keluar dari ruangan itu.
Tiba tiba terdengar Pek In Hoei merintih, diikuti
matanya dibuka dengan memandang keempat penjuru
dengan sikap tertegun, akhirnya dia loncat bangun dari atas
pembaringan. Mendengar suara rintihan itu, Kim In Eng menoleh,
menyaksikan Pek In Hoei loncat turun dari pembaringan
dengan penuh kegirangan segera teriaknya: "Bocah, apakah
kau telah sehat kembali?".
"Cianpwee, Hoa Pek Tuo ada dimena?"
Kim In Eng tidak langsung menjawab, perlahan lahan ia
dekati sianak muda itu kemudian sambil memandangnya
dengan penuh kasih sayang pujinya. "Sungguh tak
kusangka setelah berpisah dua tahun, kau telah berhasil
mempelajari ilmu silat yang demikian lihaynya, terutama
sekali didalam situasi yang amat berbahaya kau masih
sanggup memaksa ayah angkatku mundur...."
Merah jengah selembar wajah Pek In Hoei. "Sebetulnya
aku tidak pantas menggunakan cara yang demikian
rendahnya untuk paksa dia keluar dari sini, tetapi kalau aku
tidak berbuat demikian maka jiwaku bakal terancam...."
"Tidak!" kata Kim In Eng sambil gelengkan kepalanya.
"Seseorang bilamana menghadapi situasi yang mengancam
keselamatan serta jiwanya, maka tindakan serta perbuatan
apapun yang dilakukan tak bisa di anggap sebagai suatu
perbuatan yang rendah dan memalukan...."
Ia tertawa getir, lalu tambahnya: "Seandainya kau tidak
berhasil menangkap titik kelemahan dari ayah angkatku,
mungkin akupun tidak punya harapan untuk tinggalkan
tempat ini dalam keadaan hidup. Selamanya dia paling
pantang kalau ada orang memasuki kamarnya...."
Kendati dalam hati Pek In Hoei merasa heran dari mana
Kim In Eng bisa jadi putri angkat dari Hoa Pek Tuo, tetapi
ia merasa kurang enak untuk menanyakannya.
Setelah terenung sebentar ujarnya dengan serius: "Kim
cianpwee, maaf kalau boanpwee akan bicara blak blakan
dengan dirimu. Berhubung Hoa Pek Toew mempunyai
sangkut paut yang amat besar dengan partai Tiam Cong
kami serta seluruh umat bu lim yang ada dikolong langit,
maka bilamana dikemudian hari boanpwee terpaksa harus
bertempur melawan dirinya, aku harap cianwee...."
"Tidak usah kau teruskan perkataanmu itu. Aku sudah
mengetahui apa yang kau maksudkan!" tukas Kim In Eng.
Ia menghela napas sedih. "Usiaku sudah hampir mencapai
empat puluh tahun. Sejak Cia leng mati hatiku telah
berubah jadi tawar bagaikan air. Nanti akan kuberitahukan
kepadamu dimana jenasah ayahmu aku kubur. Setelah itu
aku akan masuk menjadi pendeta dan selama hidup aku tak
mau mencampuri urusan keduniawian lagi. Janganlah kau
mengira aku akan mencampurkan diri didalam urusan ini
hingga menyulitkan dirimu"
Semua persoalan yang semula memurungkan hati Pek In
Hoei kini telah lenyap bagaikan asap diangkasa. Perlahan-
lahan ia menarik nafas dalam2.
"Pada dua tahun berselang, boanpwee telah berbuat
Puthauw terhadap orang tua sehingga merepotkan
cianpwee lah yang harus menguburkan jenasah ayah ku.
Atas bantuan serta kebaikan hati cianpwee terimalah
sekarang sebuah hormat dari aku Pek In Hoei"
Ia bertekuk lutut dan jatuhkan diri berlutut dihadapan
Kim In Eng untuk menjalani sebuah penghormatan besar.
Buru buru Kim In Eng membimbingnya bangun "Pek
hian-tit kau tak usah berbuat begitu, nanti akupun masih
ada sedikit persoalan yang ingin mohon bantuanmu".
Satelah merandek sejenak, katanya dengan nada sedih
"Selama hidup hanya satu persoalan yang mencemaskan
hatiku, yaitu hingga kini aku merasa belum mengetahui
bagaimana nasib Cia-leng. Apakah dia masih hidup atau
sudah mati" teringat dikala ia berpisah dengan diriku tempo
dulu, mustika penghancur sang surya ini ada bersama sama
dirinya, dan kini kau...."
"Supek-couw telah mati di kaki gunung Ching Shia...."
seru Pek In Hoei dengan suara berat.
Belum habis ia berkata, sekujur badan Kim In Eng telah
gemetar keras, Ia mundur selangkah kebelakang sementara
air matanya jatuh berlinang bagaikan hujan deras. Sambil
memegang pinggiran ranjang, tanyanya lagi dengan suara
terpatah patah "Bagai.... bagaimana mungkin.... apa.... apa
sebabnya dia.... dia mati dan bagaimana.... bagaimana pula
dengan ciangbungjin delapan partai lainnya?".
"Dia orang tua mati karena terkena racun yang maha
dahsyat, sedang ciangbunjin dari delapan partai lainnya pun
telah mati semua di dalam satu gua yang sama....".
Pucat pias selembar wajah Kim In Eng, sambil menggigit
kencang bibirnya ia tatap wajah Pek In Hoei dengan tajam,
air matanya mengucur keluar makin deras....
"Siapa.... siapakah yang telah membinasakan mereka
semua" Siapakah yang mempunyai kepandaian sedemikian
lihaynya hingga dapat meracuni mereka semua....?"
gumamnya. "Mereka semua dibokong dengan cara yang paling
rendah, perbuatan ini bukan dilakukan oleh orang yang tak
berkepandaian silat...." kata Pek In Hoei dengan nada
sedih. "Sebenarnya siapa yeng telah mencelakai mereka?" teriak
Kim In Eog, suaranya parau dan serak.
Pek In Hoei menjadi ragu, sebelum ia sempat mengambil
keputusan untuk memberitakan kerja sama antara Hoa Pek
Tuo dengan Cia Ka Sin-mo untuk mencelakai sembilan
partai besar di gunung Cing Shia, mendadak pintu digedor
orang disusul suara dari Hoa Pek Tauw yang dingin
menyeramkan berkumandang keluar: "Hey orang she Pek,
waktu satu jam telah lewat!".
Pek In Hoei tergetar keras, dengan hati bergidik ia
melongok ke pintu luar, sekarang ia pun ingat bahwa ia
telah berjanji dengan Hoa Pek Tuo, dimana dirinya hanya
diberi kesempatan selama dua jam untuk meninggalkan
perkampungan Tay Bie San cung.
Dengan hati bergidik segera pikirnya: "Seandainya
kuceritakan perbuatan terkutuknya yang telah mencelakai
ketua dari sembilan partai besar, kemungkinan besar ia
akan mengingkari janji. Bukan saja aku tidak dibiarkan
hidup, bahkan Kim cianpwee pun kemungkinan besar bakal
menemui ajalnya di tangan bajingan tua ini."
Berpikir demikian, ia lantas berseru lantang "Aku harap
kaupun bisa menepati janji yang telah kau ucapkan dan
segera mengundurkan diri dari lorong rahasia ini, kalau
tidak akupun bisa mengingkari janjiku"
"Bangsat cilik, sekarang baiklah kubiarkan kau berlagak
jumawa, nanti kalau aku tidak beset kulit anjingmu lalu
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suruh kau merasakan disiksa oleh lima jenis racun yang
terkeji dikolong langit, agar kau menderita siksa selama tiga
hari tiga malam baru mati, jangan panggil namaku Hoa Pek
Tuo". Suara itu makin lama semakin lirih dan makin jauh
hingga akhirnya lenyap dari pendengaran.
Pek In Hoei mendengus dingin pikirnya: "Walaupun
sekarang aku tak bisa menangkan dirimu, tetapi aku bisa
menghancurkan kekuatanmu, agar kalian tak dapat bersatu
padu untuk mewujudkan rencana besar kalian untuk
merajai dunia persilatan".
"Aaaaah, sungguh tak nyana begitu kejam dan
telengasnya hati bangsat tua itu" seru Kim In Eng dengan
nada terperanjat. "Selama hampir dua puluh tahun lamanya
aku masih mengira dia adalah seorang tabib sakti yang
berhati penuh welas kasih dan suka menolong sesamanya
dikolong langit"
Bibir Pek In Hoei bergerak ingin menguutarakan pula hal
hal kekejian serta kelicikan Hoa Pek Tuo, tetapi akhirnya ia
batalkan maksud hatinya itu.
Kembali pikirnya didalam hati: "Sekarang adalah
saatnya bagiku untuk melarikan diri dari perkampungan
Tay Bie San cung ini, pertama tama aku harus berusaha
untuk memancing perhatian Hoa Pek Tuo agar seluruh
kekuatan dan pikirannya ditujukan kepadaku, dengan
begitu, Kim cianpwee dapat melarikan diri dengan leluasa".
Dalam pada itu Kim In Eng telah berhasil menguasai
golakan hatinya, sambil membesut air mata katanya: "In
Hoei, sekarang aku hendak memberi tahukan sesuatu
kepadamu, yakni jenasah ayahmu telah kubakar hingga
tinggal abu...."
Dengan perasaan terperanjat, Pek In Hoei mendongak,
lalu menatap wajah Kim In Eng dengan pandangan
mendelong. Perempuan itu tertawa getir, ujarnya lebih lanjut: "Pada
malam itu aku harus bergebrak sebanyak dua ratus jurus
dengan Ku Loei, walaupun akhirnya dengan irama khiem
ku, aku berhasil mengalahjan dirinya, tetapi akupun
menderita luka parah, dalam keadaan seperti itu aku benar
benar tak bertenaga sama sekali untuk membawa jenasah
ayahmu turun dari gunung Cing Shia"
Ia merandek sejenak kemudian terusnya: "Oleh sebab itu
setibanya dilereng gunung Cing Shia, maka jenasah ayahmu
segera kuserahkan kepada Hoei Kak Loo Nie untuk dibakar
dan hingga kini abu dari ayahmu mauh berada didalam kuil
Hoei Kak An dibelakang hutan bambu, bila suatu saat kau
datang kesana carilah Hoei Kak Loo nie, maka dia akan
serahkan kembali abu orang tuamu itu kepadamu"
"Terima kasih atas bantuanmu, cianpwee...." seru Pek In
Hoei dengan amat terharu hingga titik air mata tanpa terasa
jatuh bercucuran.
Kim In Eng sendiripun dibuat sangat terharu oleh sikap
Pek In Hoei yang lugu itu, ia menghela napas panjang.
"Anakku, aku merasa amat menyesal karena tak dapat
mengubur jenasah ayahmu di puncak gunung kenamaan itu
agar sukmanya yang ada di alam baka memperoleh
ketenangan serta ketenteraman, maka dari itu, setelah turun
gunung siang malam, aku berusaha menemukan dirimu,
dan mohon kepadamu...."
Pak In Hoei berdiri termangu-mangu. Teringat kembali
olehnya bayangan tatkala sambil memboyong jenasah
ayahnya, per-lahan2 turun gunung, ketika itu tubuhnya
penuh dengan luka, hampir boleh dikata tak sebahagianpun
berada dalam keadaan utuh.
Air matanya jatuh bercucuran, hampir saja ia tak
sanggup menahan kepedihan hatinya, namun ia genggam
sepasang kepalannya kencang2 dan menekan penderitaan
serta siksaan batin itu dalam hatinya "Aku harus menuntut
balas terhadap orang orang itu. Perduli pada saat apapun,
dimanapun juga, ujung pedangku pasti akan menembusi
tubuh mereka"
Diam diam ia berdoa kepada ayahnya yang berada
dialam baka, agar memperoleh ketenangan dan ketenteraman. Perlahan-lahan Kim In Eng berpaling kearah lain,
menyeka air matanya dan berkata: "Menurut apa yang
kuketahui Hwie Kak Loo nie berasal dari partai Go-bie.
tetapi entah sejak kapan ternyata la berhasil mendapatkan
sejilid kitab pusaka ilmu silat yang telah lama lenyap dari
peredaran Bu-lim. Kitab tersebut adalah salinan asli kitab
"Ie Cin Keng" karangan Tat Mo Couwsu yang dibawa
kedaratan Tionggoan dari negeri Thian Tok...."
Wajahnya tiba tiba berubah jadi serius, sambungnya
lebih jauh: "Tetapi watak Hwie Kak Loo nie sangat aneh.
Bagaimanapun juga ia tak mau serahkan kitab pusaka
tersebut. katanya hanya sebiji Si Lek-cu dari Tong Sem
Chong Hoat-su saja yang dapat ditukar dengan salinan kitab
pusaka Ie Cin Keng tersebut"
Pek In Hoei tidak mengerti apa sebabnya secara tiba tiba
Kim In Eng mengungkap soal kitab pusaka "Ie Cin Keng"
dari Tat Mo Couwsu. Dengan pandangan tercengang ia
memandang kearahnya dan mencari tahu apakah sebenarnya maksud perempuan itu.
"Kelemahan dari ilmu pedang Thiam Cong Kiam Hoat
terletak pada terlalu kerasnya tenaga serangan, segala
sesuatu yang terlalu keras gampang dipatahkan. Karena itu
bila ilmu pedang itu bertemu dengan jagoan kenamaan,
maka kau tak akan bisa peroleh keuntungan dibawah
serangan tenaga dalam yang lembek dan dan panjang"
kembali Kim In Eng menerangkan.
"Boaopwee pun tahu bahwa tenaga lweekang dari partai
Sauw lim panjang tetapi...."
"Tenaga sim-hoat partai Sauw-lim dewasa ini tidak lebih
hanya kulit luarnya belaka. bukan sim hoat siaulim itu yang
kau butuhkan" tukas Kim In Eng. "Kalau kau tidak ingin
seperti halnya dengan Cia Lang yang mati keracunan, kau
harus melatih tenaga dalam semacam itu"
Tatkala dilihatnya wajah sianak muda menunjukkan rasa
terkejut bercampur melengak, dengan nada lirih katanya
lagi: "Karena terlalu menguatirkan dirimu dan memperhatikan dirimu, maka aku harus memberi petunjuk
kepadamu dengan suara keras. Aku berharap pada suatu
hari kau berhasil jadi manusia nomor satu dikolong langit.
Anakku, bukankah kau selalu berharap demikian?".
Dengan mulut membungkam Pek In Hoei mengangguk.
"Aku pasti akan mempelajari isi kitab Ie Cin Keng. Aku
pasti tak akan menyia-nyiakan harapan cianpwee."
"Sekarang akan kuberitahukan kepadamu dimanakah Si
Lak Cu tersebut disimpan"
Perempuan itu menengok dulu ke kiri ke kanan,
kemudian tangan kiri angkat mutiara penolak air tinggi
tinggi, tangan kanannya menulis beberapa patah kata
ditengah udara.
"Aaah. Kiranya berada di Ci Im..."
"Sssst...." cepat cepat Kim In Eng gunakan jari
telunjuknya diatas bibir larang si anak muda itu bicara lebih
lanjut, bisiknya lirih: "Aku telah berulang kali memerintahkan Chin Siang dengan alasan hendak pasang
hio untuk membicarakan soal agama dengan hwesio tua itu,
tapi ia cuma berhasil meyakinkan bahwa Si Lak Cu betul
betul berada di tengah patung arca. Benarkan Si Lak Cu
tersebut adalah peninggalan dari Tong Sam Cong Hoatsu,
hal ini terpaksa harus tergantung pada kecerdikannya"
Mendengar perkataan ini, Pek in Hoei lantas teringat
kembali akan kejadian di luar kota Sang Tok Hoe dua hari
setelah ia turun dari gunung Cing Shia, dimana ia
menjumpai Wie Chin Siang sedang pergi pasang hio dikuil
luar kota. Begitu teringat akan bayangan dari Wie Chin Siang,
pemuda inipun terbayang kembali segala tingkah lakunya
ketika ia dipengaruhi oleh napsu birahi belum lama
berselang hingga seluruh pakaian gadis itu dilepaskan.
Sekujur badannya gemetar keras, tanpa sadar ia bersin
berulang kali. Rupanya Kim In Eng masih belum
menyadari apa yang sedang dipikirkan sianak muda itu,
terdengar ia masih bergumam seorang diri: "Chin Siang ku
amat cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan. Bukan
saja menawan hati bahkan cerdas dan lincah. Dia
merupakan pasangan yang paling ideal bagimu. Sayang kau
belum pernah menjumpai dirinya"
"Cianpwee" tukas Pek In Hoei. "Dimanakah kedua butir
pil yang baru saja kuminta dari Hoa Pek Tuo?".
"Eeeei" bukankah sudah kuberikan kepadamu?" sahut
Kim In Eng melengak. "Ku tahu betapa dahsyatnya daya
kerja dari racun Rumput Penghancur hati itu..."
Keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar dengan
derasnya, cepat cepat sianak muda itu lari kesisi
pembaringan, kemudian menyingkap selimut yang menutupi badan gadis she Wie.
Rambut yang panjang dan hitam terurai dari balik
selimut. Air muka Wie Chin Siang merah padam seperti
semula, sedang matanya terpejam rapat rapat.
Ia gigit bibirnya kencang kencang. Urat nadi tangan
kanan dara itu dengan cepat disambar dan dicekalnya. tapi
hatinya segera jadi lega karena denyut nadi dara ayu itu
tetap normal seperti sedia kala.
Sementara itu Kim In Eng merasa terperanjat sewaktu
dilihatnya Pek In Hoei lari ketepi pembaringan bagaikan
kalap kemudian menemukan pula seseorang dibawah
selimut yang menutupi pembaringan tersebut.
Ia tidak mengira kalau sienak muda itu menyembunyikan seorang gadis didalam kamar itu, alisnya
kontan berkerut dan muncullah keinginan untuk memeriksa
siapakah gerangan gadis itu didalam benaknya.
"Aaaaah!" jeritan tertahan berkumandang memecahkan
kesunyian. "Chin Siang kau....?"
Ia maju semakin dekat lalu menatapnya makin tajam dan
kini ia benar benar merasa yakin bahwa perempuan yang
berbaring disitu bukan lain adalah muridnya Wie Chin
Siang. Tatkala dilihatnya wajah Wie Chin Siang merah padam
dan matanya terpejam rapat rapat, perempuan ini semakin
terperanjat lagi.
"Chin Siang, kenapa kau?" teriaknya
Pek In Hoei semakin kelabakan "Cianpwee, dia....
dia...." "Aaaah" ketika Kim In Eng membuka selimut yang
menutupi badan muridnya dan temukan gadis itu berbaring
disana dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai
benangpun yang menempel ditubuhnya, jeritan yang tinggi
melengking segera menggema dalam ruangan itu.
Wajah Pek In Hoei berubah semakin merah padam.
"Dia.... dia terkena...."
"Ploook" tanpa berpikir panjang, sebuah tempelengan
keras mendarat diatas wajah Pek In Hoei, makinya penuh
kegusaran. "Sungguh tak nyana kau adalah seorang
bajingan tengik yang berhati binatang!"
"Plook!" sebuah gaplokan kembali mendarat dipipi
sianak muda tatkala ia masih berdiri melengak tanpa sadar
air mata bercucuran membasahi pipinya.
Pek In Hoei jadi penasaran, rasa dongkol dan gelisah
bercampur aduk jadi satu dalam benaknya dan terakhir
meledak satu amarah yang meluap luap, ia cabut
pedangnya lalu bagaikan orang kalap menerjang keluar
pintu ruangan keras keras.
"Hoa Pek Tuo. ayoh keluar kau bangsat tua...."
Pintu kayu diterjangnya kerai keras hingga hancur
berantakan. Bagaikan banteng yang terluka Pek In Hoei
menerjang keluar dari ruangan meninggalkan Kim In Eng
yang sedang gusar, kaget bercampur melengak serta Wie
Chin Siang yang masih tertidur nyenyak!
"Aaaai.... Sungguh tak kusangka ia bisa melakukan
perbuatan serendah ini.... sungguh tak kunyana..."
terdengar perempuan itu bergumam seorang diri.
Bentakan gusar dan teriakan kalap dari Pek In Hoei
terdengar berkumandang datang dari luar ruangan, tiada
hentinya ia meneriakkan nama dari Hoa Pek Tuo.
Setelah mengetahui peristiwa tersebut, Kim In Eng
merasa kecewa sekali dengan diri pribadi Pek In Hoei,
sudah tentu ua tidak sudi memikirkan pula nasib dari si
anak muda itu itu serta apa yang bakal menimpa dirinya
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah berjumpa dengan Hoa Pek Tuo nanti, bukan saja ia
kecewa terhadap pemuda itu, iapun kecewa buat impian
serta khayalannya barusan....
Ia merasa dirinya tertipu mentah mentah, karena sejak
masuk kedalam ruangan itu ternyata hingga detik terakhir
sama sekali tidak tahu kalau dibawah selimut ternyata
disembunyikan seseorang, dan orang itu ada!ah muridnya
sendiri. "Huuuh....! anggap saja mataku buta" teriaknya penuh
kebencian. "Ternyata aku sudah anggap dia seperti halnya
Cia lang, seoreng lelaki sejati yang benar benar jantan dan
hebat. Sungguh tak nyana dia cuma seorang siauw jien yang
punya pikiran sesat. Hmmmm Untung aku belum
menjodohkan Chin Siang kepadanya".
Makin dipikir ia semakin benci akhirnya mutiara penolak
air yang ada ditangannya diangkat tinggi tinggi dan siap
ditsimpukkan kearah dinding
Cahaya mutiara berkilat membentuk satu lingkaran
busur dihadapannya mendadak satu ingatan berkelebat
didalam benaknya. "Chin Siang menyusup kemari dengan
jalan menyaru, darimana dia bisa tahu kalau dia adalah
seorang perempuan" lagi pula pakaian yang ia kenakan tadi
rajin dan masih lengkap. Seandainya dia hendak menodai
kesucian Chin Siang, semestinya pakaian kutang pelindung
badan yang di kenakan harus dilepaskan..."
Mutiara penolak air itu digenggamnya semakin erat,
pikirnya leblh jauh: "Kalau Chin Siang sudah dinodai
olehnya, diatas pembaringan pasti ada bekas noda darah,
agaknya aku tidak temui noda darah disitu".
Merah padam air mukanya, buru buru ia singkap selimut
yang menutupi tubuh muridnya dan diperiksa dengan
seksama, kini ia baru temukan bahwa perawan Wie Chin
Siang masih utuh dan belum sampai ditembusi oleh milik
kaum lelaki. Ia menghembuskan nafas panjang, pikirnya: "Tak
kusangka berhadapan dengan tubuh seorang gadis yang
begini indah merangsang, Pek In Hoei sama sekali tak
tergerak hatinya. Ia sedikitpun tiada minat untuk menodai
kesuciannya"
Sikap serta pandangannya terhadap Pek In Hoei pun
dengan cepat berubah seratus persen, karena itu iapun
mulai menguatirkan keselamatannya. Sambil menutupi
kembali kain selimut itu keatas tubuh Wie Chin Siang, ia
pandang gadis itu dengan pandangan sayang bercampur
kasihan. Kini, ia merasa rada mendongkol terhadap Pek In Hoei,
sebab berhadapan dengan gadis yang demikian cantiknya
ternyata ia tidak bertindak lebih jauh, sebaliknya malah
dibiarkan merana begitu saja. Apalagi gadis itu adalah
murid kesayangannya.
"Aku tidak percaya In Hoei tidak tergerak hatinya oleh
kecantikan wajah Chin Siang serta keindahan tubuhnya
yang bugil. Apakah ia benar benar sanggup menahan
godaan serta rangsangan yang berada di depannya. Aneh....
sungguh aneh...."
Tak bisa disalahkan kalau ia mempunyai pikiran
demikian, sebab barang siapapun yang mengetahui
peristiwa tersebut tentu akan berpendapat demikian. Siapa
yang sanggup menahan diri bila dihadapannya berbaring
seorang gadis yang amat cantik jelita dalam keadaan bugil
tanpa sepotong busanapun yang melekat ditubuhnya"
Dalam kenyataan ia tidak menyadari bahwa Pek In Hoei
beberapa kali sudah terpengaruh oleh kobaran napsu berahi
yang menggelora dalam dadanya, berulang kali kesadaran
serta kejernihan pikirannya harus bertentangan dengan
bisikan iblis.... dan akhirnya hampir saja ia terjerumus
kedalam lembah kehinaan.
Seandainya ia tidak muncul pada saat yang bersamaan
sehingga gelora birahi dalam dada pemuda itu berhasil di
lenyapkan, mungkin Pek In Hoei telah melakukan
perbuatan tersebut.
Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Kim In Emg,
akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aaaaai....! bagaimanapun juga Chin Siang adalah putri
seorang pembesar, setelah tubuhnya dilihat Pek In Hoei
dalam keadaan polos dan bugil seperti itu, dia harus
dikawinkan dengan pemuda itu!"
Cahaya mutiara berkelebat, ia letakkan mutiara penolak
air itu ke atas rambut Wie Chin Siang yang hitam pekat dan
bisiknya lirih: "Semoga dikemudian hari kau memperoleh
kehidupan yang bahagia, Jangan seperti aku harus
merasakan siksaan batin yang luar biasa karena kesepian,
selama dua puluh tahun tak dapat melupakan rinduku yang
telah merasuk kedalam tulang dan terukir didalam hati".
Belum habis ia berkata, tiba tiba dari belakang tubuhnya
berkumandang datang suara bentakan yang amat nyaring:
"Tutup mulut!"
Dengan rasa kaget bercampur melengah, perempuan itu
berpaling, tampaklah entah sejak kapan Hoa Pek Tuo telah
masuk ke dalam ruangan itu dan bagaikan sesosok
bayangan setan ia telah berdiri kurang lebih enam depa
dibelakang tubuhnya.
Dengan wajah penuh kepedihan Hoa Pek Tuo angkat
kepalanya memandang lukisan gadis sedang tersenyum
yang tergantung di atas pembaringan, lalu gumannya
seorang diri: "Rindu yang terukir dalam hati, cinta yang
membetot usus, kesepian yang sukar dijauhi, penderitaan
yang panjang dan tiada taranya....".
Dengan hati yang sakit seperti ditusuk tusuk dengan
beribu ribu jarum ia meraung keras, seraya menjejakkan
kakinya ketanah teriaknya keras keras: "Sebenarnya apakah
cinta itu?".
Selama hidup belum pernah Kim In Eng menyaksikan
Hoa Pek Tuo menunjukkan penderitaan semacam ini, dan
iapun belum pernah melihat begitu gusarnya sikekek tua itu
semacam hari ini.
Dengan pandangan terkesiap bercampur ngeri ia
memandang bekas telapak kaki yang membekas lima coen
di atas tanah pikirnya: "Selama dua puluh tahun belum
pernah ia tunjukkan ilmu silatnya dihadapan orang lain.
Sungguh tak nyana tenaga lweekang yang berhasil ia miliki
jauh melebihi suhu maupun subo. Kepandaiannya untuk
merahasiakan diri serta menyimpan kepandaiannya baik
baik sungguh sukar dicarikan tandingannya dikolong langit.
Tapi.... ternyata iapun terbelenggu oleh soal cinta asmara"
Ingatan tersebut bagaikan kilat berkelebat dalam
benaknya, tatkala ia saksikan betapa menderitanya Hoa Pek
Tuo, lama kelamaan Kim In Eng tidak tega, segera
tegurnya: "Gie hu, sebenarnya kau...."
"Tutup mulut!" bentak Hoa Pok Tuo dengan penuh
kegusaran, wajahnya berubah hebat.
Serentetan cahaya mata yang amat buas dan mengerikan
terpancar keluar dari balik kelopak matanya, dengan mata
yang dingin menyeramkan ia berkata lebih jauh: "Siapapun
yang ada di kolong langit tidak diperkenankan masuk ke
dalam ruangan ini. Karena barang siapa yang telah
menyaksikan iukisan tersebut maka dia harus kubunuh
sampai mati. In Eng! Walaupun kau adalah anak angkatku,
tetapi akupun tidak terkecualikan peraturanku ini. Nah kau
boleh segera bunuh diri!"
Kim In Eng tertawa sedih. "Berapa banyaknya kisah
pedih yang di alami umat manusia" Aku adalah orang yang
bersedih hati. Sungguh tak nyana Gie hu pun seorang
manusia yang bersedih hati, sejak Cia Lang mati tinggalkan
diriku, sejak itu pula hatiku sudah mati, sekalipun kau
hendak membinasakan diriku, akupun tak akan jeri".
Mula mula Hoa Pek Tuo rada tertegun. Diikuti
badannya bergerak kedepan kelima jari tangan kanannya
dipentangkan langsung menyambar lengan kiri Kim In Eng.
"Apa yang kau katakan!?" hardiknya
Kim In Eng sadar bahwa percuma baginya untuk
menghindarkan diri, karena itu dia ini sekali tidak berkutik
dari tempatnya ia biarkan Hoa Pek Tuo mencengkeram
lengan kirinya.
Seakan akan sebuah gelang baja yang mencengkeram
lengannya, kian lama jepitan tersebut kian mengencang
hingga membuat lengannya seolah olah hendak merekah
dan patah. Saking sakitnya sekujur tubuh perempuan itu mulai
gemetar keras. Keringat sebesar kacang kedelai mengucur
keluar tiada hentinya, namun ia tetap gertak gigil menahan
diri, ujarnya hambar: "Walau apapun hendak kau lakukan
terhadap diriku, aku tidak akan mendendam atau merasa
sakit hati kepadamu, karena hatimu benar benar tersiksa
den sangat menderita, perasaan tereebut bagaimanapun
juga memang sudah sepantasnya kalau kau lampiaskan
keluar". Sorot mata Hoa Pek Tno yang buas bagarikan serigala
liar dengan tajam menatap wajah Kim In Eng tanpa
berkedip, seolah olah dia hendak menembusi lubuk hatinya
Beberapa saat kemudian baruia kendorkan cekalannya
sambil berkata dengan suara berat: "Bagaimanapun juga
tetap kau harus mati, tak ada seorang manusiapun yang
dapat menyelamatkan jiwamu!"
"Bagaimana dengan Pek In Hoei?" tanya Kim In Eng
sambil tarik napas panjang panjang, "Bagaimana
keadaannya"..."
"Hmmmm aku hendak suruh dia rasakan siksaan yang
paling sadis dariku, agar dia mati daiam keadaan yang
mengerikan dia mengenaskan".
Ia tertawa seram setelah merandek sejenak terusnya:
"Sekarang dia telah terkurung didalam barisan Pak To
Ghiet Seng Tin ka yang lihay. Sebelum seluruh tenaga serta
kekuatannya habis tidak nanti kutangkap dirinya. He....
he.... he.... kau mengerti bukan kalau dalam barisan itu
masih tersedia tujuh jenis makhluk beracun" barangsiapa
yang memasuki barisan tersebut berarti dialah yang akan
menjadi "Chiet Seng Tiauw Goen" atau Kaisar daripada
tujuh bintang itu, ha.... ha.... ha...."
Air muka Kim In Eng berubah hebat: "Kau.... kau.... kau
benar benar amat keji...." makinya dengan penuh
kemarahan. "Kau adalah binatang liar yang tak mempunyai
peri kemanusiaan, Kau adalah binatang berkaki empat yang
berkedok manusia....".
"Hee.... hee.... hee.... In Eng, selama hampir dua puluh
tahun lamanya hanya kau saja yang sering kumaki dan
kutegor, belum pernah kau balas memaki atau menegur
diriku. Sekarang kau kuberi kesempatan bagimu untuk
memaki diriku sepuas puasnya!".
Kim In Eng mengerti bahwa barisan "Pek To Chiet Seng
Tin" adalah sebuah barisan yang telah dilatih oleh Hoa Pek
Tuo dengan susah payah selama banyak tahun dengan
mengambil tujuh jenis makhluk berbisa untuk menjaga
setiap pintu barisan.
Berhubung begitu hebat dan saktinya perubahan barisan
tersebut, maka barangsiapa yang memasuki barisan itu dia
akan kehilangan arah dan tersesat. Dalam keadaan seperti
itulah serangan bokongan dari tujuh jenis makhluk berbisa
sukar untuk dihindari.
Yang paling lihay adalah sebuah barisan Siauw Chiet
Seng Tin kecil yang dijaga oleh tujuh jenis makhluk beracun
tersebut. Barangsiapa yang masuk kedalam barisan itu
maka pada saat yang bersamaan diatas tubuhnya akan
muncul tujuh buah mulut luka yang akan menghantar
sukma orang itu kembali kealam baka.
Perasaan Kim In Eng pada saat ini bagaikan selaksa
kuda yang berlari kencang, ia merasa gemas dan Ingin
sekali menghantam roboh Hoa Pek Tuo kemudian lari
keluar untuk menolong Pek In Hoei.
Air mukanya berubah berulang kali, mendadak serunya
dengan nada dingin: "Hoa Pek Tuo, manusia kejam dan
berhati binatang semacam kau memang pantas dijauhi
orang, tidak aneh kalau tak seorang perempuan yang
mencintai dirimu"
"Kau bilang apa?" seru Hoa Pak tuo tertegun.
"Hmmmm. sekalipun kau gantungkan lukisan gadis itu
diatas pembaringan, kendati kau puja puja dia setiap hari
bagaikan malaikat, iapun tak nanti akan melirik kepadamu
barang sekejappun".
Hoa Pek Tuo meraung keras, ia lepaskan Kim In Eeg
lalu meloncat naik keatas pembaringan.
Mimpipun Kim In Eng tidak menyangka kalau
ucapannya ini bisa menghasilkan kebebasan bagi dirinya,
sementara ia masih tertegun tampaklah Hoa Pek Tuo sudah
loncat naik keatas pembaringan.
Perempuan itu tarik napas dalam dalam, kelima jarinya
dipentangkan ke muka lalu menghajar jalan darah penting
di atas punggung Hoa Pek Tuo, sementara tangan kirinya
dengan jurus "Hoei Hoa Gwat Lok" atau Bunga Terbang
Merontokkan Rembulan" membabat tekukan lutut si kakek
tua berhati keji itu.
Mengikuti serangan tersebut, tubuh Kim In Eng tidak
berhenti belaka, laksana anak panah yang terlepas dari
busurnya dia ikut meloncat naik keatas pembaringan....
12 SEMENTARA itu, begitu Hoa Pek Tuo meloncat naik
keatas pembaringan, kelima jarinya bagaikan cakar burung
elang segera menyambar kearah lukisan gadis yang
tergantung diatas dinding. Tetapi begitu ujung jarinya
menyentuh dasar lukisan, seeolah olah dipagut oleh ular
berbisa dengan wajah ngeri dan ketakutan cepat cepat ia
tarik kembali tangannya.
Sorot matanya yang buas dan mengerikan dalam sekejap
mata berubah jadi halus dan lunak. Dengan nada hampir
mendekati memohon teriaknya:
(Oo-dwkz-oO)
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(bersambung ke jiiid 18)
Jilid 18 (edit by Sumahan)
"BONG JIEN! Aku percaya kau tak akan berbuat
demikian terhadap diriku.... katakanlah kepadaku, bahwa
kau sangat mencintai diriku!"
Waktu iiu serangan jari serta telapak Kim In Eng sudah
hampir mengenai tubuh lawan tetapi tatkala secara tiba-tiba
ia mendengar pancaran suara kasih yang begitu hangat dan
mesra, seolah-olah sebatang batu semberani yang menghantam hatinya seketika membuat sekujur tubuhnya
gemetar keras dan gerakannyapun berubah jadi perlahan.
Pada saat itu semua semangat, pikiran serta kesadaran
Hoa Pek Tuo telah terjerumus dalam lamunan, ia sama
sekali tidak menduga kalau Kim In Eng yang berada
dibelakang tubuhnya melancarkan serangan bokongan, tapi
di kala pancaran cintanya di utarakan itulah gerakan
perempuan tersebut mendadak jadi perlahan.
Perubahan yang halus dan kecil inilah membuat kekek
kejam tadi seketika menyadari akan datangnya serangan
bokongan itu, dengan gerakan yang tercepat ia putar
badannya, ujung jubah segera dikebaskan keluar.
Seakan-akan sebuah papan baja yang sangat kuat
menghadang dihadapannya, jari tangan serta telapak Kim
In Eng yang sedang meluncur kemuka mendadak terpental
dan terasa amat sakit.
"Aaaaaah....!" ia berseru tertahan, buru-buru sikutnya
ditekuk dan pergelangannya diputar, sebuah tendangan
terbang laksana kilat menghajar perut pihak lawan.
Hoa Pek Tuo membentak nyaring, ujung bajunya segera
digulung keluar, telapak kanannya yang kurus kering
muncul dari balik jubah dan langsung membabat lutut Kim
In Eng. Angin serangan tajam bagaikan pisau, ganas melebihi
babatan goiok, air muka Kim In Eng seketika itu jaga
berubah hebat, ia membentak nyaring. Kesepuluh jarinya
direntangkan tegak kaku, bagaikan sebuah senjata garpu ia
sodok tenggorokan orang.
Jurus serangan ini lebih mengutarakan serangan
daripada pertahanan, ganasnya luar biasa, bukan saja tidak
memperdulikan keselamatan diri pribadi, bahkan hampir
mendekati suatu serangan adu jiwa bersama lawannya.
Sepasang alis Hoa Pek Tuo mengerut kencang, dari
tenggorokannya ia perdengarkan raungan rendah, sepasang
pundaknya bergetar dan tubuhnya segera membubung
empat coen dari tempat semula.
Dengan menggunakan tempat peluang yang amat
pendek itulah sepasang ujung jubahnya dikebaskan keluar
secara berbareng, hawa serangan segera meluncur keluar
bagaikan gulungan ombak, desiran tajam dan angin dingin
berkumandang memekikkan telinga.
"Aaaah, ilmu Poh Giok Kang....." jerit Kim In Eng
dengan wajah amat terperanjat bercampur ngeri.
Berada dalam keadaan seperti ini tak sempat lagi baginya
untuk berpikir panjang, segenap hawa murni yang
dimilikinya segera di salurkan keluar, sepasang telapak
menyerang senara berbareng sementare kakinya mundur
satu langkah lebar ke belakang untuk menghindari
datangnya serangan musuh.
Namun jarak antara masing pihak sangat dekat kendati
ia menghindar dengan gerakan yang cukup sebat dan cepat,
tak urung kena dihantam juga oleh gulungan hawa murni
yang maha dahsyat itu.
"Bluuuuumm...." Ditengah ledakan dahsyat, sekujur
badannya seolah olah di hajar oleh martil raksasa. Ia
menjerit keras karena kesakitan, tubuhnya mencelat
delapan depa dari tempat semata dan menumbuk diatas
dinding dengan diiringi suara nyaring rontok di atas tanah.
Darah segar menyembur keluar dari mulutnya, bagaikan
berkuntum-kuntum bunga merah berserakan diatas tanah....
Tubuh Hoa Pek Tuo bergetar keras, hawa murninya
segera disalurkan ke kaki dan ditekan ke bawah.
"Kreeek.... kreeeek... Diiringi suara nyaring seketika itu
juga pembaringan tersebut roboh kebawah, mutiara penolak
air itupun bergelinding ke ujung ruangan.
Ia menghembuskan nafas panjang, makinya dengan
penuh kebencian "Binatang sialan, manusia yang harus di
bunuh!". Pada saat ini ia sudah tidak menaruh perhatian lagi
terhadap mati hidupnya Kim In Eng, dengan pandangan
hambar ia awasi darah segar yang berceceran di atas tanah.
Mendadak cahaya matanya berputar. Ia telah melihat
cahaya mutiara disisi pembaringan, sekilas rasa girang
segera berkelebat diatas wajahnya.
Ia ragu-ragu sebentar.... namun dengan cepat rasa girang
tadi berubah menjadi kaget dan menghela napas panjang.
Dan dari kaget segera berubah jadi bernafsu.... dan ingin
melakukan sesuatu.... Sepasang matanya dengan tajam
mengawasi terus permukaan pembaringan
13 KETIKA kain selimut itu tersingkap, tubuh Wie Chin
Siang segera menggelinding keluar, tubuhnya yang padat
berisi dan berada dalam keadaan bugil tanpa busana itu
amat menarik perhatian Hoa Pek Tuo.
Air mukanya berulang kali berubah, nafsu birahi yang
bergelora dalam hatinya bagaikan gulungan ombak di
tengah samudera, dahsyat dan sukar terkendalikan.
Tubuh telanjangnya yang lembut menawan hati, kulit
tubuhnya yang putih halus, pahanya yang mulus dan
panjang, buah dadanya yang padat berisi den keras serta
lekukan lekukan dadanya yang mempersonakkan seakan
akan memancarkan hawa segar bagi kakek tua itu.
Segumpal kobaran api bara membakar keluar dari pusar
menyambar keempat penjuru. Napsu birahi yang sudah
puluhan tahun lamanya tak pernah berkobar kini
menggerakkan seluruh organ tubuhnya.... Ia telan air liur
yang memenuhi mulutnya lalu perlahan lahan maju
kedepan. Dengan tangan yang gemetar ia dekati
12 Halaman 13-14 Hilang
kasihan dia, napsu masih berkobar namun tak sanggup
melangkah lebih jauh daripada meraba belaka.
Sorot mata benuh kegusaran memancar keluar dari
matanya, ia memaki penuh kemarahan lalu menutupi tubuh
Wie Chin Siang yang telanjang dengan selimut, dan
akhirnya ia mengepos tenaga kemudian meloncat keluar
dari ruangan itu.
Dengan hawa amarah yang berkobar kobar, sebetulnya
Hoa Pek Tuo hendak memaki orang she Ke itu kalang
kabut, tetapi sewaktu dijumpainya orang itu masuk dengan
pakaian terkoyak koyak koyak serta darah kental
berkelepotan ditubuhnya, ia jadi kaget.
"Kau....!"
"Pek In Hoei. Dia...." Belum habis jeritan dari Ke Hong,
langkahnya gontai dan akhirnya roboh terjengkang diatas
tanah. Hoa Pek Tuo meloncat maju kedepan, ia sambar tubuh
Ke Hong seraya tanyanya dengan hati cemas: "Kenapa
dengan diri Pek In Hoei?".
Seluruh kulit dan otot Ke Hong diatas wajahnya berkerut
kencang, bibirnya bergetar perlahan, sebelum perkataannya
sempat diutarakan keluar kepalanya lunglai dan putus
nyawa. Hoa Pek Tuo amat terperanjat, dengan gusar ia
rentangkan tangan kanannya yaag ada diatas dadanya,
segera tampaklah sebuah babatan pedang yang sangat
dalam menembusi paru parunya dan mematahkan tiga
batang tulang iganya....
"Keparat cilik!" maki Hoa Pek Tuo penuh amarah.
"Sungguh tak kunyana Pek In Hoei berhasil menembusi
barisan tujuh bintang-ku, aku bersumpah akan membeset
kulit anjingnya!".
Laksana kilat ia melayang keluar dari ruang tengah dan
menuju kelorong rahasia, kemudian bagaikan anak panah
yang terlepas dari busurnya menyusup keluar dari mulut
lorong berkelebat kearah sisi hutan.
Dibawah sorot cahaya matahari, ditengah bergoyangnya
bayangan pohon tampaklah belasan orang lelaki berbaju
putih dengan bersenjata lengkap berdiri dalam sebuah
lapangan di tepi hutan tersebut, mereka berputar dan
berkelebat kesana kemari dengan tiada hentinya bagaikan
gasingan. Sementara itu Pek In Hoei dengan senjata terhunus
berdiri tegak tanpa berkutik barang sedikitpun ditengah
kepungan belasan orang lelaki berbaju putih tadi.
Diatas kutang mustika pelindung badannya tertancap
tujuh jenis makhluk berbisa, seakan akan sebuah lukisan
peta yang indah dan aneh terpancang dengan jalasnya
diatas dada. Ku Loei serta Chin Tiong dengan wajah tegang dan
serius memimpin belasan orang lelaki berbaju putih lainnya
berseliweran diantara tubuh sianak muda itu, bayangan
manusia yang rapat membentuk satu jaring yang kuat
mengurung sekujur badan musuhnya di tengah kalangan.
Lambat lambat Hoa Pek Tuo maju ke muka, tampaklah
mayat berserakan dimana mana, genangan darah menutupi
seluruh permukaan membuat pemandangan disana kelihatan ngeri dan menggidikkan.
Namun air muka Hoa Pek Tuo masih tetap dingin kaku
tanpa perubahan apapun juga. Ia memandang sekejap
tumpukan empat puluh sembilan batu cadas ditengah
kalangan kemudian alisnya baru berkerut kencang
Sekilas napsu membunuh berkelebat diantara benaknya.
Kakek itu segera mendengus. "Bagaimanapun juga ia tak
boleh dibiarkan tetap hidup dikolong langit!"
Pelbagai cara untuk membinasakan Pek In Hoei
berkelebat dalam benaknya, mendadak terdengar sianak
muda itu berteriak keras: "Hoa Pek Tuo!".
Kakek tua itu terperanjat, buru buru bentaknya: "Hati
hati terhadap sianak licik bangsat muda itu!"
Tetapi Pek In Hoei telah menggunakan kesempatan yang
sangat baik ini untuk turun tangan.
Ia bersuit panjang, telapak kirinya di dorong ke muka
dengan melancarkan serangan "Tay Yang Sinkang"
sementara tangan kanannya mengirim sebuah tusukan kilat
dengan jurus "Hoa Ek Si Jiet" atau Hoo Ek memanah
matahari. Udara disekitar situ segera berubah jadi panas menyengat
badan, segulung semburan api yang maha dahsyat langsung
menumbuk tubuh Chin Tiong sementara cahaya kilatan
sedang mengancam tubuh Ku Loei.
Serangan yang sudah dinantikan nantikan sejak tadi ini
benar benar luar biasa dahsyat. Seolah olah angin puyuh
yang menyapu kota menghancurkan semua benda yang
dilintasinya. Di bawah ancaman bahaya maut yang mungkin akan
mencabut jiwa mereka, baik Ku Loei maupun Chin Tiong
sama sama berseru kaget, air muka mereka berubah hebat
dan buru buru meloncat ke samping untuk menghindar.
Setelah jurus serangannya yang pertama mendatangkan
hasil, Pek In Hoei tidak diam diri sampai disitu saja.
Permainan senjatanya semakin hebat dan satu demi satu
dilancarkan dengan leluasa.
Hawa pedang yang berlapis lapis seketika memancar ke
angkasa dan mengurung belasan pendekar itu ke dalam
kepungan. Dalam sekejap mata. jeritan ngeri berkumandang silih
berganti, cipratan darah segar muncrat kemana mana.
Barisan "Seng Gwat Ciauw Hwie" yang hebat itupun
hancur berantakan diujung pedang Si Jiet Sin Kiam.
Menyaksikan barisan besar yang diciptakan dan dilatih
olehnya dengan susah payah kini hancur berantakan
ditangan Pek In Hoei, sudah tentu Hoa Pek Tuo merasa
amat gusar, ia berteriak keras, darah segar menyembur
keluar dari mulutnya saking mendongkol. Sambil mencelat
ke udara sepasang telapaknya secara beruntun menyapu
kebawah. Desiran tajam membelah angkasa, laksana tindihan
gunung Thay San menubruk dada musuh.
Pek In Hoei tarik napas dalam dalam, pedangnya ditarik
kebelakang sedang telapak kirinya perlahan lahan didorong
ke depan. Disaat telapaknya meluncur ditengah udara itulah
tampak cahaya merah membara memancar keempat
penjuru, udara disekeliling sana segera berubah jadi panas
menyengat badan....
"Bluuuummm" Ledakan keras menggema di angkasa,
pohon besar disekeliling kalangan goncang dan berayun
tiada henti diikuti.... "Kraaak .... Dahan pohon patah jadi
dua bagian, ranting dan dedaun beterbangan keempat
penjuru. Pek In Hoei mendengus dingin, badannya miring ke
samping, tangan kanannya bergetar kencang, dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat pedangnya membentuk
selapis cahaya yang menyilaukan mata menghadang
desakan hawa murni "Poh Ciok Kang" pihak lawan.
Untuk menghadapi serangan musuh yang mantap dan
berat ini, bukan saja Pek In Hoei harus dapat memgunakan
kelincahan untuk mencari kesempatan disamping itu dia
pun harus menggunakan telapak serta pedangnya secara
berbareng. Sekalipun begitu, dalam suatu bentrokan yang amat
dahsyat, ia masih tak sanggup menahan golakan darah
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panas dalam dadanya, tak kuasa ia mundur terdorong tiga
langkah ke belakang.
Lima buah bekas kaki sedalam dua coen tertera di depan
mata. Sekujur tubuhnya gemetar keras. Untuk menenangkan badannya yang limbung ia harus menancapkan pedangnya diatas tanah sebagai penyangga.
Sebaliknya tubuh Hoa Pek Tuo yang berada ditengah
udurapun dibikin bergetar keras oleh pantulan hawa
pukulan musuh. Dalam keadaan begini tak mungkin lagi
baginya untuk mengepos tenaga, tak ampun badannya
segera melayang balik kebawah.
"Hmmm! Sungguh tak nyana setelah merendam
semalaman didalam telaga Lok Kwat Ouw, badanmu telah
mengelupas dan merubah jadi manusia lain..." jengek Hoa
Pek Tuo dengan nada mengejek.
"Hey orang she Hoa, sekarang kau boleh rasakan betapa
lihaynya ilmu kepandaian dari Thiam Cong pay kami"
balas Pek In Hoei sambil menatap musuhnya tajam tajam.
Bau hangusnya pepohonan menyebar diempat penjuru
menyesakkan napas semua orang, mendadak diantara
percikan api ditengah pepohonan yang tumbang itu
terhembus angin dan berkobar jadi jilatan api yang kian
lama kian membesar.
Menyaksikan peristiwa itu, Hoa Pek Tuo merasa amat
terperanjat, rasa ini muncul di dalam lubuk hatinya, "Kalau
ia dibiarkan hidup satu dua tahun lagi, siapakah dikolong
langit dewasa ini yang sanggup menaklukkan dirinya?"
Dalam pada itu Ke Loei serta Chin Tiong berdiri
termangu mangu disisi kalangan sambil menatap Hoa Pek
Tuo serta Pek In Hoei yang telah saling berhadap hadapan,
kemudian mereka saling memberi tanda dan perlahan lahan
bergerak kesisi tubuh sianak muda itu.
"Hmmmmm Seandainya hawa murni tidak mengalami
kerusakan hebat akibat pengaruh oleh kobaran napsu birahi
terhadap perempuan cantik tadi, sekarang juga aku bisa
membinasakan dirinya" pikir Hoa Pek Tuo dengan mata
memancarkan cahaya buas "Tidak nanti kuberi kesempatan
bagimu untuk berdiri saling berhadap hadapan dengan aku"
Biji matanya berputar menyapu sekejap Chin Tiong serta
Ku Loei yang sedang bergeser ke belakang itu, pikirnya
lebih lanjut: "Sayang, kedua orang makhluk goblok itu tidak
mengetahui kalau Pek In Hoei telah terluka"
Bermacam macam ingatan berkelebat dalam benaknya
sementara hawa murninya sedikit demi sedikit dihimpun
kembali ke dalam pusar....
Sebaliknya Pek In Hoei sendiripun berusaha keras untuk
menenangkan golakan darah panas dalam dadanya, sambil
melotot sinis terhadap ketiga orang itu, iapun memutar otak
mencari akal. Segulung angin kencang berhembus lewat, percikan api
beterbangan keangkasa dan jatuh diatas ranting kayu,
seketika jilatan api berkobar makin besar dan kebakaran
hebatpun terjadi....
Air muka Ku Loei berubah hebat, badannya bergerak
hendak pergi memadamkan api.
"Berhenti!" bentak Pek In Hoei. "Kalau kau berani maju
selangkah lagi, segera kucabut jiwa anjingmu"
Perlahan lahan lahan diangkat pedang mustikanya dan
memperlihatkan gerakan pembukaan dari ilmu pedang
penghancur sang surya, seakan akan dia hendak
mempersiapkan diri untuk mengirim satu serangan kilat
yang maha dahsyat.
Ku Loei terkesiap menyaksikan posisi yang telah
disiapkan pihak lawannya, ia benar2 pecah nyali dan tak
berani maju lebih jauh, sebab posisi yang diperlihatkan Pek
In Hoei saat ini selalu hapal dan amat dikenal olehnya.
Pada masa yang silam, justru ia menelan kekalahan yang
paling parah dibawah posisi jurus tersebut yang ketika itu
dibawakan oleh Cia Ceng Gak.
Suasana disekeliling tempat itu barubah jadi sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Keempat orang itu
saling berhadapan dengan mulut membungkam, hanya
percikan api serta suara gemerutuknya ranting yang
terbakar kadang kala memecah kesunyian
Kobaran api makin lama makin besar hembusan angin
gunung menimbulkan asap hitam yang tebal dan seketika
mengurung seluruh tubuh keempat orang itu.
Jilatan api kian lama kian menjalar kemana mana.
Batang pohon yang terbakar mulai memperdengarkan suara
detakan yang nyaring, asap hitam semakin menutupi
pemandangan. Cahaya sang surya mulai terhalang.... Dalam sekejap
mata suasana dalam kalangan jadi gelap gulita.
Pek In Hoei yang berdiri tegak ia sambil silangkan
pedangnya di depan dada merasa amat girang setelah
menyaksikan keadaan itu pikirnya: "Kenapa aku tidak coba
melarikan diri dengan meminjam gelapnya asap hitam ini?"
Asap tebal menutupi seluruh pemandangan dan
menghalangi pula pandangannya terhadap posisi pihak
lawan. Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah
diam diam ia mulai menggeserkan tubuhnya menyingkir
kearah kanan. Baru saja melangkah tiga tindak, segara terdengarlah
suara batuk nyaring berkumandang dari depan tubuhnya.
Suara batuk itu tua dan serak, rupanya sudah ditahan
sejak tadi tetapi begitu berbatuk, dengan cepat suaranya
ditahan kembali.
Pek In Hoei adalah orang cerdas. Ia bungkam dalam
seribu bahasa sementara pedangnya sambil membetulkan
posisi yang tepat mendadak ditusuk kearah depan
membokong orang yang barusan berbatuk itu.
Sekilas cahaya tajam barkelebat lewat di tengah
kegelapan yang mencekam, jeritan kesakitan yang amat
lirih seketika menggema di
angkasa memecahkan kesunyian. "Buuum" mendadak asap hitam menyebar keempat
penjuru seolah olah terhembus angin puyuh, disusul
munculnya serentetan desiran angin tajam menghantam
punggung Pek In Hoei.
Sianak muda itu terperanjat. Ia putar badannya berkelit
sementara ujung pedangnya ditarik kembali, tak sempat lagi
ia meneruskan tusukannya untuk mencabut nyawa orang
itu. Bersamaan dengan menggesernya sang badan, ia himpun
segenap tenaga yang di milikinya kemudian melancarkan
satu babatan kilat dengan jurus "Yang Kong Phu Cau" atau
Sang Surya Memancar Terang.
Sungguh dahsyat tiga jurus ilmu surya kencana dari
keluarga Toan Ini. Desiran angin puyuh bagaikan
gelombang dahsyat menyapu kearah depan.
"Blaaaammm" Asap hitam tersapu kesamping dan
muncullah sebuah lubang besar.
Sebelum kabut merapat kembali itulah, ia saksikan Hoa
Pek Tuo sedang memandang kearahnya dengan wajah
penuh nafsu membunuh, sorot mata yang buas memancar
keluar dari balik matanya.
Sebaliknya Hoa Pek Tuo pun sempat menyaksikan
wajah Pek In Hoei yang menderita dan menggertak gigi
kencang2. "Keparat cilik" hardiknya. "Kau hendak melarikan diri
kemana?" Darah panas dalam dada Pek In Hoei bergolak kencang,
ia rasakan seluruh urat nadi dalam tubuhnya seakan akan
mau putus. Luka dalam yang dideritanya dalam kepungan
barisan "Seng Gwat Ciauw Hwie" tadi kini semakin perah
lagi keadaannya.
Terperanjat hati pemuda itu menyaksikan wajah Hoa
Pek Tuo yang seram. Ia segera berpikir: "Aaaah, tak
kunyana penderitaan yang kusembunyikan dengan susah
payah terlihat juga olehnya. Dengan demikian bukankah
usaha selama ini akan sia sia belaka". Aaaiii tampaknya
sulit bagiku untuk melepaskan diri dari cengkeramannya".
Bukan tersumbatnya hawa murni dalam tubuhnya yang
membuat ia menderita, melainkan pertaruhannya dengan
Hoa Pek Tuo itulah yang membuat dia pusing kepala.
Sebab ia telah bertaruh bila dalam tiga puluh li ia berhasil
ditangkap maka sejak detik itu dia tak akan she Pek lagi.
Walaupun dia mengerti satu kali dirinya tertangkap
maka dia akan merasakan siksaan yang mengerikan dari
Hoa Pak Tuo tapi penderitaan dibadan luar tidak lebih
menderita daripada ia harus mengasingkan diri dan
membuang she keluarga untuk selamanya.
Maka dari itu ia harus berusaha keras untuk melarikan
diri dari perkampungan Tay Bie San cung, tapi
gampangkah berbuat demikian"
"Kami anak cucu keluarga Pek adalah lelaki sejati yang
benar benar murni, kenapa aku harus jeri terhadap
kesulitan" aku harus merebut peluang untuk hidup di
tengah keadaan yang paling buruk!".
Ingatan tersebut laksana kilat berkelebat dalam
benaknya, ketika dilihatnya Hoa Pek Tuo mempersiapkan
serangannya untuk menubruk datang, buru buru ia
menahan penderitaan dalam tubuhnya dan menerobos
kedalam asap hitam yang menyelimuti angkasa.
Desiran angin tajam menyapu lewat, serangan Hoa Pak
Tuo yang dahsyat bagaikan membelah bukit segera
menggulung tiba.
Asap hitam tersapu lewat tetapi bayangan Pek In Hoei
sudah lenyap tak berbekas. Hoa Pek Tuo segera mendengus
dingin, Ia tarik kembali serangannya yang mengenai tempat
kosong kemudian menerobos pula ke dalam gumpalan asap
hitam. "Pek ln Hoei" jengek Hoa Pek Tuo sambil tertawa dingin
"Kau sudah menderita luka dalam yang amat parah,
sebentar lagi jiwamu bakal melayang, ayoh menyerah saja
kepadaku".
Suasana dikalangan tetap hening dan sunyi tak
kedengaran sedikit suarapun dari Pek In Hoei.
Perlahan lahan Hoa Pek Tuo menggeserkan tubuhnya
kedepan. sepasang telapak disilangkan didepan dada siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Hmmmmm Sekarang kau masih bisa menyembunyikan
badanmu didalam barisan asap yang tebal" kembali ia
mengejek. "Tapi setelah asap hitam ini buyar, akan kulihat
kau hendak lari kemana lagi".
Bicara sampai disini ia merandek sejenak, ialu dengan
gemas sambungnya: "Sampai saatnya, akan kubeset setiap
jengkal kulit tubuhmu dan kubetot setiap otot yang ada
didalam badanmu!".
Dari balik kabut hitam menggema datang suara batuk
manusia. Dengan cepat berputar pikirannya "Setelah
keparat cilik ini menderita luaa parah. tak nanti ia bisa
terlalu lama menahan panas"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang telapaknya direntangkan dan segera membebat keluar.
Dari balik kegelapan muncul pula segulung hawa
tekanan yang membendung datangnya serangan tersebut,
disusul suara dari Chin Tiong berkumandang datang: "Hoa
loo, aku disini!"
Hoa Pek Tuo terperanjat buru buru sepasang telapaknya
ditekan kebawah dan menarik balik tenaga pukulan yang
telah dipancarkan keluar itu. Tetapi serangan telah
dilepaskan dan hawa pukulanpun sudah terlanjur dilancarkan, tak mungkin baginya untuk menarik kembali
semua tenaganya.
"Ploook" Dua gulung tenaga pukulan seling membentur
satu sama lainnya menimbulkan suara ledakan keras, dari
sebelah sana terdengar Chin Tiong mendengus rendah.
"Apa Chin Tiong disitu?" hardik Hoa Pek Tuo dengan
kegusaran yang meluap luap. "kenapa kau....?"
"Tidak mengapa" sahut Chin Tiong sambil tertawa getir.
"Cuma sepasang telapakku jadi linu dan kaku".
"Dimasa Ku Losi?"
"Ia terluka ditangan keparat cilik she Pek itu"
"Parah tidak lukanya?".
"Ujung pedangnya menusuk dua coen di sisi jantung"
"Apa" kenapa tidak cepat kau bawa pergi dari sini?"
Belum habis ia berbicara, desiran angin tajam mendadak"
meluncur datang dari sisi kalangan langsung menghantam
dadanya. Hoa Pek Tuo membentak nyaring, telapak kanannya
membabat keluar menghajar datangnya ancaman senjata
itu, sementara telapak kirinya dengan membentuk gerakan
setengah busur tiba tiba berubah jadi kepalan menjotos dada
musuh. Cahaya pedang sirap seketika, jotosan yang maha hebat
tadi dengan telak menhantam dada Pek in Hoei
"Duuuukk" Tubuh Pek In Hoei mencelat kearah
belakang.
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haa.... haa.... haa.... Pek In Hoei, rupanya kau sudah
bosan hidup?" teriak Hoa Pek Tuo sambil tertawa seram.
Belum habis ia berkata mendadak kepalan kirinya terasa
jadi kaku. Serentetan rasa gatal dan nyeri dengan cepat
merambat naik dari kulit lengannya menuju ke jantung
Kakek tua ini kontan jadi terperanjat, dengan cepat
pikirnya "Aaaah, kenapa aku sudah melupakan ketujuh
jenis makhluk beracun yang tertancap diatas kutang
pelindung badannya" Bukankah seranganku ini justru telah
menghantam dadanya yang beracun?"
Ia mendengus berat, dengan eepat telapak kirinya ditarik
kembali dan meloncat mundur tiga depa kebelakang, hawa
murni ditarik dari pusar kemudian disalurkan kelengan kiri
untuk memaksa keluar cairan racun itu dari tubuhnya.
Sebentar kemudian rambutnya pada bangkit berdiri,
jubahnya menggelembung dan cairan hitam yang kental
setetes demi setetes mengucur keluar dari ujung jarinya.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya kakek tua itu setelah
mengalami kejadian seperti ini. Darah dalam tubuhnya
terasa mendidih, matanya melotot bulat sementara sinar
kemerah merahan memancar keluar dari matanya.
"Keparat cilik! modar kau....!" Raungnya keras. Dengan
langkah lebar ia segera maju ke kanan menghampiri Pek In
Hoei. Sambil berjalan ujung jubahnya dikebaskan kesana
kemari menghalau asap hitam yang menutupi pandangan
matanya. Buny gigi yang gemerutukan kedengaran amat
nyaring. Saking bencinya terhadap sianak muda itu diam
diam Hoa Pek Tuo bersumpah di dalam hati hendak
membedah perutnya dan mengunyah isi perutnya.
Tiba tiba.... "Hoa Pek Tuo, kau berani melukai Pek In Hoei?"
bentakan kasar muncul dari balik kegelapan.
Bentakan tersebut muncul dari jarak delapan depa dari
sisi tubuhnya. Begitu nyaring suaranya hingga membuat
kakek tua ini jadi kaget dan meloncat mundur sambil
mempersiapkan diri.
Rasa gusar yang hampir menutupi kejernihan otaknya
pun ikut tersadar kembali.
Setelah melengak beberapa saat ia putar biji matanya ke
arah kegelapan kemudian menegur: "Siapa kau?".
"Omitohud. Hudya adalah Thian Liong Toa Lhama
dari Tibet. Ini hari sengaja dengan membawa murid "Sin
Hoe Yong Su" sipendekar jantan berkapak sakti Chee Thian
Gak serta "Kim Liong Khek" si Jago Naga Sakti It Boan
Chiu datang mengunjungi Hoa Pek Tuo Sianseng".
Mendengar disebutkannya nama orang itu, Hoa Pek Tuo
terkesiap, segera pikirnya: "Thien Liong Toa Lhama adalah
padri sakti dari kuil Sila Sie di Tibet dan kini telah
dianugerahi kedudukan Kok su oleh Sri Baginda, entah apa
sebabnya pada hari ini ia berkunjung kemari beserta anak
muridnya?".
Dengan alis berkerut pikirnya lebih jauh: "Semula aku
ada maksud memancing Thiat Tie Loo Nie Hoo Bong Jieo
perempuan terkutuk itu masuk ke dalam perkampungan,
kemudian menceburkannya ke dalam telaga Lok Cwat Ouw
hingga modar maka kuperintahkan semua orang yang ade
di dalam perkampungan untuk bersembunyi didalam lorong
rahasia siapa sangka bukan saja kebakaran hebat ini tidak
diketahui mereka bahkan pada malam ini bisa terjadi begitu
banyak peristiwa yang ada diluar dugaan. sampai sempai
jago lihay dari istana Kaisar pun mengunjungi perkampungan Tayi Bie San cung"
Ingatan tersebut hanya sebentar berkelebat didalam
benaknya, dengan suara berat segera tegurnya: "Ada
keperluan apa Toa Lhama mengunjungi perkampungan
kami?". Gelak tertawa yeag amat berat berkumandang keluar dari
balik asap hitam. "Haa.... haa.... haa.... Hoa Pek Tuo.
bukankah kau ingin menguasai seluruh Bu lim di daratan
Tionggoan" Toa Lhama itu justru datang kemari untuk
membantu dirimu dalam mensukseskan cita citamu itu".
Hoa Pak Tuo terperanjat. Ia tidak menyangka kalau
hwesio sakti dari Tibet pun mengetahui rencana besarnya
untuk menguasai dunia persilatan.
Ia kebaskan ujung bajunya untuk menyingkirkan
sebagian asap hitam yang menutupi pandangannya, agar
wajah Hwesio Sakti itu dapat tertampak lebih jelas.
Mendadak suara bentakan nyaring muncul dari balik
kegelepan disusul berkelebatnya serentetan cahaya tajam
keemas emasan meluncur ke arahnya.
Hoa Pek Tuo terperanjat. Ia tidak menyangka kalau
Thian Liong Lua lhama secara mendadak bisa melancarkan
serangan senjata rahasia untuk membokong dirinya.
Ia melengak dan tahu tahu cahaya emas itu sudah berada
di depan mata. Kakek tua itu mendengus, ujung bajunya dikebaskan
keluar, diiringi hembusan angin tajam ia sapu datangnya
senjata rahasia berwarna keemas emasan itu.
Siapa sangka baru saja hawa murninya kerahkan, senjata
rahasia tersebut bagaikan seekor makhluk hidup mendadak
berputar dan menikung ditengah udara, setelah membentuk
gerakan satu lingkaran busur langsung menghajar
wajahnya. Kaget bercampur ngeri, Hoa Pek Tuo menyaksikan
perubahan ini, air mukanya berubah hebat. "Belum pernah
kusaksikan senjata rahasia yang bisa berubah arah dan
tujuan ketika terhantam hawa pukulan" pikirnya.
Cahaya emas memancar keempat penjuru, senjata
rahasia tersebut dengan membawa desiran nyaring yang
tajam meluncur kearah tubuhnya.
Kembali kakek she Hoa ini membentak nyaring, tubuh
bagian atasnya dibuang ke belakang sementara telapak
kirinya membentuk gerakan setengah lingkaran untuk
melindungi tubuhnya kemudian secara tiba tiba didorong
kedepan. Hawa murni menghembus keluar laksana tiupan angin
puyuh, senjata rahasia itu merandek sejenak ditengah udara
kemudian menembusi angin serangannya menekuk tiga
coen kebawah, setelah itu mengikuti lekukan telapaknya
meluncurkan ke arah tenggorokan.
Perubahan serta arah yang aneh dari senjata rahsia ini
sungguh jauh berada di luar dugaannya, tiba tiba ia
membentak keras, badannya laksana anak panah yang
terlepas dari busurnya meluncur keluar dari kalangan.
Disaat yang amat singkat itulah ia baru menyaksikan
dengan jelas bahwasannya senjata rahasia tersebut berupa
seekor naga emas kecil, ditengah daya luncurnya yang cepat
tampaklah kedua helai jenggotnya bergetar kencang,
sepintas lalu kelihatan seolah olah seekor naga sungguhan
yang sedang merentangkan cakarnya untuk menghajar
badannya. Tidak sempat untuk berpikir lebih jauh, telapak kirinya
yang melindungi badan segera digetarkan. Ujung jubah
laksana sebidang papan baja melayang keluar dengan
mendatar. "Criiiit" Naga emas itu menembusi ujung bajunya dan
meluncur kedalam lebih jauh.
Ia mendengus gusar, kelima jarinya dipentangkan lebar
lebar kemudian laksana kilat mencengkram naga emas
tersebut. Dalam keadaan yang kepepet dan terdesak, satu satunya
jaian yang bisa ia tempuh hanyalah mencengkram naga
emas itu agar tidak meluncur lebih jauh.
Tetapi.... begitu ia mencengkram, telapaknya segera
terasa amat sakit, jenggot naga emas yang panjang itu tahu2
sudah melukai kulitnya dalam dalam.
Darah segar segera mengucur keluar dengan derasnya.
Saking sakitnya, telapak yang terluka itu membuat hawa
amarahnya jadi memuncak. Ia mendengus dingin, kelima
jarinya dirapatkan dengan maksud menghancur lumatkan
benda tersebut.
"Hmmmm" Serentetan suara yang aneh muncul dari
balik asap hitam, "Naga emas itu terbuat dari pasir emas
yang dihasilkan di gunung Attai dalam bilangan propinsi
Lam Ciang, sanggupkah kau menghancur lumatkan
bendaku itu?".
"Toa Lhama" teriak Hoa Pek Tuo dengan penuh
kegusaran. "Maksudmu datang ke dalam perkampunganku
apakah hanya ingin melepaskan senjata rahasia belaka?".
"Haa.... haa.... haa.... harap Hoa sianseng suka
memaafkan kelancangan kami ini. Semua muridku adalah
orang orang liar dari luar perbatasan yang tidak begitu
mengerti akan adat-istiadat didaratan Tionggoan. Ketika ia
menjumpai kau mengayun telapak tadi disangkanya akan
hendak menyerang dia, maka dari itu...."
"Toa Lhama, sudahlah tak usah banyak bicara" tukas
Hoa Pek Tuo tidak sabar "Katakanlah apa sebenarnya
tujuanmu datang kedalam perkampungan kami?".
"Sewaktu berada di ibukota, aku telah berjumpa dengan
Cia Kak Sin Mo, dialah yang mengundang aku untuk
datang kemari menjumpai dirimu"
Ia merandek sejenak, kemudian dengan suara kasar
terusnya. "Hmmm. seandainya Pun Hoed-ya tidak
memandang di atas wajah Cia Kak Sin Mo, dengan
sikapmu yang begitu kurang ajar pada hari ini, pasti akan
kuberi sedikit pengajaran kepadamu."
Sepasang alis Hoa Pek Tuo berkerut kencang. Sebelum
mengetahui jelas bagaimanakah lihaynya Thian Liong Toa
Lhama yang berada ditengah kegelapan kabut hitam tu, ia
tidak ingin bertindak gegabah.
Maka sambil memandang asap yang tebal serta percikan
api ditengah udara pikirnya "Aaaaiii kenapa justru pada
hari ini bertiup angin barat laut yang kencang" Sehingga
semua asap tebal ini tertiuo ke arah kemari. Kalau tidak....
Sejak tadi tadi Pek In Hoei tentu sudah modar ditanganku"
---0d0w0--- Berbagai pertanyaan yang membingungkan kepalanya
berkelebat memenuhi benak kakek tua ini. Tiba tiba ia
tertawa kering seraya berkata "Hmm... hmm... Harap Toa
Lhama suka memaafkan"
Ia remas remas naga emas yang berada ditangannya lalu
berpikir: "Toa Lhama ini berasal dari Tibet, sungguh tak
nyana murid muridnya adalah jago melepaskan senjata
rahasia yang amat hebat. Kalau dibandingkan dengan
keluarga Tong dipropinsi Su Cuan. entah barapa kali lipat
lebih hebat. Terhadap manusia manusia semacam ini aku
tak boleh menyalahinya"
Maka ia mendehem dan berkata: "Ini hari aku hendak
menangkap buronan yang telah menerbitkan keonaran
dalam perkampungan kami, karena itu silahkan Toa Lhama
sekalian menanti dahulu di ruang tamu".
Belum habis ia berkata mendadak terdengar Chin Tiong
mendengus berat lalu menjerit lengking.
"Apa yang terjadi?" bentak Hoa Pek Tuo "Chin Tiong!
kenapa kau..."
Dari balik tebalnya asap hitam berkumandang suara
kasar dengan logat yang sangat aneh: "Siapa suruh ia
menangkap ikan diair keruh" Menggunakan kegelapannya
asap hitam, ia mau mencelakai kami sekalian. Hmmm Hoa
Pek Tuo, beginikah sikapmu menyambut tamumu?".
Hoa Pek Tuo benar benar naik pitam, hawa amarahnya
telah berkobar hingga mencapai pada puncaknya, namun ia
masih tetap menahan diri.
"Kaukah anak murid Thiao Liong Toa Hwesio yang
bernama sijago naga emas It Boen Chiu?"
"Sedikitpun tidak salah" jawaban orang itu sangat
jumawa. "Aku adalah sijago naga emas It Boen Chiu!".
"Apa yang telah kau lakukan terhadap Chin Tiong?".
"Dia hendak membokong diriku, maka kukirim dua
batang naga emas agar dicicipi olehnya".
"Chin Tiong.... Chin Tiong ....!
"Haa.... haa.... haa.... lebih baik tak usah kau panggil
sebab pertama, dia sudah modar!".
Hoa Pek Tuo gigit bibir menahan gusar, pikirnya:
"Kalau kau tidak suruh kau mati dalam keadaan yang sema
seperti kini, aku tidak ingin menguasai dunia persilatan
lagi" Diluaran ia tertawa terbahak bahak. "Haa... haa....
haa.... kalau memang sudah mati, yaah sudahlah, biarkan
modar!". "Chiu jie!" Suara dari Thian Liong Toa Lhama segera
menggema lagi dengan lantang. "Cepat minta maaf kepada
Hoa Loe sianseng, siapa yang suruh berbuat begitu
gegabah" bukankah sebelum kubawa kau datang kedaratan
Tionggoan telah kukatakan berulang kali bahwa daratan
Tionggoan berbeda dengan luar perbatasan?"
Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya: "Harap Hoa
Loo-sianseng suka memaafkan kelancangan serta kecerobohan dari muridku".
"Tidak mengapa, silahkan Toa Lhama duduk
Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beristirahat dahulu di dalam ruang tamu".
"Entah Hoa Loo sianseng ada urusan apa" kenapa
mendekam terus di tengah kabut hitam yang tebal" apakah
kau memang ingin membakar hutan di sekitar ini agar bisa
melatih semacam ilmu silat di tengah kegelapan asap
hitam" "Heey tua bangka!" suara serak yang tak enak didengar
menyambung perkataan itu. Belum pernah kudengar orang
berkata bahwa di kolong langit terdapat kepandaian kentut
anjing yang harus dilatih dalam kegelapan asap hitam".
Ketika didengarnya suara orang itu kasar dan kaku
ditambah pula membawa logat propinsi Sa Cuau, alisnya
lantas berkerut. "Apakah kau adalah sipendekar Jantan
Berkapak sakti Chee Thian Gak?""
"Haa haa haa.... Tua bangka sialan, kau si cucu kura
kura darimana bisa tahu kalau aku adalah sipendeker jantan
berkapak sakti" Hebat.... hebat...."
Pedang Golok Yang Menggetarkan 20 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 20