Pencarian

Jangan Ganggu Aku 1

Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Bagian 1


" JANGAN GANGGU AKU
Karya: Wen Rui An Oleh: Tjan LD
Pemuda itu, setelah tiga kali tersesat jalan, telah membunuh empat orang. Mereka
mengepungnya, tapi tidak seorang pun yang berani mendekat.
Setelah cukup lama situasi bertahan dalam keadaan seperti itu, akhirnya peristiwa
itu mengejutkan Bengcu dari 'Pa-beng' (persekutuan macan kumbang) Thio Ou-ya.
"Siapa dia?" hardik Thio Ou-ya, "apa yang menyebabkan kematian Kiu Seng-hui?"
Semua orang tahu, Thio Ou-ya punya anak buah yang dijuluki 'Pa-beng-sam-ciu'
(Tiga arak dari persekutuan macan kumbang). 'Liat-ciu' si arak keras Lui Lian, 'Tokciu'
si arak beracun Un Sim dan 'Hoa-ciu' si arak bunga Tong Kim-ang.
Konon belakangan ini Kiu Seng-hui sudah banyak berjasa bagi Persekutuan macan
kumbang, bahkan segera akan dipromosikan menjadi 'si arak keempat', tapi sayang
Kiu Seng-hui belum sempat menikmati 'arak harum', selembar nyawanya justru harus
menelan lebih dulu 'arak kegetiran'. Seseorang telah membunuhnya!
Kiu Seng-hui sudah lama tahu kalau ada orang ingin mencabut nyawanya, bahkan
Thio Ou-ya sendiri pun sudah mendengar berita itu.
Sejak beberapa tahun terakhir, Kiu Seng-hui telah banyak menjual tenaga baginya,
telah banyak menyalahi dan memusuhi teman-teman sungai telaga, bila Kiu Seng-hui
terbunuh di tangan seseorang, siapa lagi yang berani berbakti dan setia kepada Thio
Ou-ya" Untuk mengatasi ancaman itu, secara khusus dia mengutus 'Sip-kau-kiu-khong'
(sepuluh isi sembilan kosong), kesembilan belas anak muridnya untuk melindungi
keselamatan jiwa Kiu Seng-hui.
Sip-kau-kiu-khong adalah sembilan belas orang pembunuh, pembunuh berarti jago
lihai yang ahli membunuh musuh.
Jangankan orang lain, bahkan Thio Ou-ya sendiri pun amat jarang mengirim
orang-orang itu, memakai pembunuh untuk melindungi orang yang akan dibunuh,
keputusan ini memang sebuah keputusan yang sangat hebat. Karena hanya pembunuh
sesungguhnya yang dapat membunuh seorang pembunuh.
Tak ada pembunuh yang lebih tahu bagaimana cara menghadapi seorang
pembunuh, asal tahu siapa, dimana dan kapan seseorang akan membunuh, mereka
pasti dapat mencegah pembunuh itu melaksanakan tugasnya, dapat mencegah dan
menggagalkan misinya.
Anak murid Thio Ou-ya ditambah anak buah Kiu Seng-hui sendiri, telah
menempatkan dia di dalam gedung Kiong-ciok-lau (loteng burung merak), gedung itu
dijaga dan dikepung rapat, setiap dua belas jam berganti penjaga, siang malam
penjagaan selalu ketat dan rapat, jangankan ada orang menerobos masuk, angin yang
menggoyang rerumputan pun sudah cukup alasan bagi kawanan jago itu untuk
melakukan serangan.
Selain itu, selama dua puluh empat jam, selama sehari penuh, Kiu Seng-hui tak
pernah keluar dari ruangannya, sehari tiga kali makan, semuanya diantar orang
3 kepercayaannya langsung ke dalam kamar, bahkan daun jendela pun tidak dibiarkan terbuka .
Semuanya ini dilakukan hanya lantaran mereka mendengar ada seseorang yang
menyebut diri sebagai 'Pui Lok-ji' hendak membunuhnya, sejak detik itu Kiu Senghui
selalu dicekam perasaan tegang dan ngeri.
Kepada Thio Ou-ya ia memohon pertolongan sambil menangis.
"Pui Lok-ji" Siapa dia?" waktu itu Thio Ou-ya tidak menganggap penting berita
itu, "apa pekerjaannya" Kenapa dia ingin membunuhmu?"
"Pui Lok-ji adalah salah seorang anggota Siau-ma-gi (si Semut kecil), dan satusatunya
anggota Semut kecil yang masih hidup," Kiu Seng-hui menjelaskan dengan
wajah murung, "tempo hari Ou-ya meminta aku untuk menghabisi si Raja semut Pui
Hong-huan, aku pun mempersembahkan batok kepalanya kepada Ou-ya, ketika Pui
Lok-ji tahu akan kejadian itu, dia pun ingin membunuhku."
"Ooh, rupanya hanya seekor semut kecil," biarpun Thio Ou-ya tidak menganggap
serius ancaman itu, dia toh masih tetap mengutus Sip-kau-kiu-khong, si sepuluh isi
sembilan kosong untuk melindungi jiwa Kiu Seng-hui .... Kiu Seng-hui pun menjadi
label Thio Ou-ya, dia tak boleh mati, juga tak boleh terluka. Tapi pada akhirnya Ku
Seng-hui tetap mati.
"Hari itu, seperti pada hari-hari biasa, Kiu-kongcu mengurung diri di dalam
gedung merak, di dalam gedung penuh dengan orang-orang kita, di luar gedung pun
penuh dengan orang kita, hampir semua yang ada di situ adalah orang-orang kita,
bahkan aku pun ada di gedung itu," kenang Tham Gong-gong, komandan kelompok
kosong dari Sip-kau-kiu-khong, "menjelang tengah hari, udara amat panas dan
sumpek, Kiu Seng-hui berniat membuka jendela untuk mencari hawa, dia ingin
membuka sendiri daun jendela kamarnya, aku pun bilang, biar aku yang bantu
membukakan. Maka aku pun membuka jendela, tiba-tiba terasa ada angin berhembus
lewat, lalu aku mendengar ada suara aneh bergema dari belakang, ketika aku
membalik badan, tampak Kiu-kongcu sudah terkapar di lantai, sementara di dalam
ruangan telah bertambah dengan seseorang, dia adalah..."
"Maksudmu sebelum kau sempat melihat jelas apa yang telah terjadi, musuh telah
muncul dalam ruangan bahkan telah berdiri di belakangmu?" tukas Thio Ou-ya.
"Benar!"
"Dan sebelum kau melihat jelas bagaimana dia menyerang, Kiu Seng-hui sudah
tergeletak sebagai orang mati?"
"Benar!"
"Sewaktu terbunuh, Kiu Seng-hui sendiri tak sempat melawan atau menghindar,
bahkan berteriak minta tolong pun tak sempat lagi?"
"Mungkin sampai saat ajalnya tiba pun dia masih belum tahu kalau dirinya telah
mati." "Senjata apa yang ia gunakan?"
4 "Sebilah pedang."
"Pedang yang amat cepat!" gumam Thio Ou-ya dengan kening berkerut.
"Gerakan tubuhnya jauh lebih cepat."
"Oleh sebab itu kalian gagal membekuknya."
"Ketika ia mencoba menerjang keluar, kami segera pasang barisan untuk
mengepungnya, karena gagal untuk meloloskan diri, terpaksa ia berbalik melakukan
perlawanan, hingga kini ia sudah mencoba tiga kali, tapi selalu gagal menerjang
keluar dari barisan, namun Tio Si-gong dan Gong-bun Hwesio yang berjaga di posisi
'Sin', Sim Ci-kau yang berjaga di posisi 'Cho' dan Lok Peng-kau yang menjaga di
posisi 'Jan' telah tewas di ujung pedangnya. Dia memang gagal untuk lolos dari
kepungan, tapi orang-orang itu harus kehilangan nyawanya dan kami tak berhasil
membekuknya."
"Maksudmu kalian telah berhasil mengurungnya, karena ingin membekuknya
maka dia baru membunuh orang?" tanya Thio Ou-ya.
"Benar!"
"Bila ia tak mampu melepaskan diri dari barisan Cian-siang-liong-tin (barisan naga
menyusup) yang kita pasang, berarti dia pun tak mungkin bisa menerjang masuk ke
dalam barisan ini."
"Maksud Ou-ya, sejak awal dia sudah bersembunyi di dalam gedung merak dan
sudah lama menunggu sambil menanti datangnya peluang emas itu?" tanya Cia-kau
Long-tiong, komandan kelompok isi dari Sip-kau-kiu-khong.
Thio Ou-ya tidak menanggapi pertanyaan itu, ia bertanya lagi, "Dia bernama Pui
Lok-ji?" "Benar."
"Apa hubungannya dengan Pui Hong-huan?"
"Pui Hong-huan adalah Raja semut, sedang Pui Lok-ji hanya seekor semut kecil."
"Jadi dia membunuh Kiu Seng-hui karena ingin membalaskan dendam atas
kematian Pui Hong-huan?"
"Konon begitu."
Thio Ou-ya segera mengernyitkan dahinya.
"Sekali lagi aku bertanya kepadamu, jangan coba kau menjawab dengan kata
'konon', apa hubungan orang itu dengan perkumpulan Seng-sian-pang (Perkumpulan
kaum kudis)?"
Cia-kau Long-tiong menarik napas panjang, selang sesaat kemudian baru ia berani
menjawab, "Tidak ada."
la tahu jawaban itu punya kekuatan yang amat besar untuk menentukan mati
hidupnya. Thio Ou-ya manggut-manggut, lalu katanya, "Tokoh macam apakah dia?"
5 Tampaknya Cia-kau Long-tiong masih terasa sesak napasnya gara-gara harus
menjawab pertanyaan itu, untuk sesaat ia tak sanggup berkata-kata.
Tham Gong-gong segera mewakilinya untuk menjawab ... mereka semua tahu,
Thio Ou-ya selain tangguh, otaknya pun cerdas dan sangat teliti, kelemahannya yang
terutama adalah tidak sabar.
Pernah satu kali anak buahnya menjawab agak lamban, gara-gara kesalahan itu,
orang itu harus kehilangan lidahnya, pernah juga ada seorang tamu yang tertawa
terbahak-bahak setelah mendengar banyolan tuan rumah, akibatnya Thio Ou-ya
menyiram wajahnya dengan sebaskom ikan kukus kuah yang masih panas.
"Pui Lok-ji berusia dua puluh tujuh-delapan tahunan, wajahnya tampan dan bersih
hingga sekilas tampak seperti seorang anak muda berusia tak lebih dua puluh tahun.
Ilmu silat yang dimiliki adalah ilmu pedang 'Hui-ji-put-ko' (Harus dengan yang ini).
Selama ini malang melintang seorang diri, siapa baik terhadapnya, dia lebih baik
terhadap orang itu, siapa jahat terhadapnya, dia akan lebih jahat terhadap orang itu."
"Siapa baik terhadapnya, dia lebih baik terhadap orang itu, siapa jahat terhadapnya,
dia akan lebih jahat terhadap orang itu?" gumam Thio Ou-ya.
Lekas Cia-kau Long-tiong menambahkan, "Ketika hamba sekalian sudah tahu
siapa yang hendak dihadapinya, maka kami pun minta petunjuk nona Tu Ay-hoa,
nona Tu hanya bilang, 'Oh, Pui Lok-ji"' Orang ini ... siapa menghormatinya satu
depa, dia akan menghormati orang delapan kaki! Siapa berani mengganggunya, kalau
kaki yang terlihat, dia akan patahkan kaki itu, melihat jari akan membacok jari itu,
melihat kepala akan memenggal kepala! Dia tak takut ia membalas gigitan dengan
gigitan, dan paling suka bertemu orang jahat. Satu-satunya orang yang paling ditakuti
hanya orang baik, mengenai keistimewaan ilmu silatnya, nona Tu tidak bilang apaapa."
Thio Ou-ya tertawa. Begitu tertawa, kerutan di wajahnya nampak bagai sebuah
gelombang besar di tengah samudra, katanya, "Memang tak usah bilang apa-apa lagi,
sudah lebih dari cukup."
Kemudian ia pun menurunkan perintah, "Tak perlu dikepung lagi, lepaskan dia,
undang dia kemari, aku hendak bicara dengannya."
Tapi Pui Lok-ji tidak datang, ia tak sudi datang. Bahkan Cia-kau Long-tiong serta
Tham Gong-gong tak berhasil menemukan jejaknya. Dia sudah tidak berada di dalam
barisan lagi. la berhasil menjebol barisan itu, ketika Thio Ou-ya bilang hendak mengundangnya,
ia sudah berhasil lolos dari barisan Cian-siang-liong-tin dan tiba di gedung 'Lau-sanglau'
(loteng di atas loteng) untuk bertemu dengan Tu Ai-hoa.
Sewaktu ia bertemu Tu Ai-hoa, perempuan itu sedang muntah.
Tu Ai-hoa dari 'Lau-sang-lau, hoa-tiong-hoa' (loteng di atas loteng, bunga di antara
bunga) memang sudah tersohor di seantero jagad, tak sedikit bangsawan, lelaki
hidung belang, kongcu kenamaan, semuanya ingin bertemu dan menyaksikan
6 kecantikan wajahnya, sayang biarpun ada banyak pengagum, tapi tak semuanya
tertampung, malah ada juga yang ditolak mentah-mentah oleh nona itu.
Lau-sang-lau adalah sebuah rumah bordil yang amat termashur, di situlah para
pengembara sungai telaga, para seniman kesepian datang untuk minum, bersenangsenang
dan mencari hiburan.
Di situ banyak tersedia perempuan cantik, banyak nyanyian dan tarian yang bisa
dinikmati, kaum lelaki berduit hampir semuanya diterima sebagai tamu terhormat,
hanya saja bunga di antara bunga dari rumah bordil 'loteng di atas loteng' ini meski
banyak penggemarnya, banyak tamu yang suka kepadanya, bukan berarti perempuan
itu mau melayani setiap tamunya.
Tu Ai-hoa hanya mau menerima tamu bila ia sedang gembira, baru mau menerima
tamu jika dia menyukainya.
Menghadapi ulah perempuan itu, baik dari kalangan Hek-to maupun dari kalangan
Pek-to, malah dari pihak pejabat kerajaan serta tokoh kenamaan sungai telaga pun tak
ada yang berani menegur atau marah kepadanya, sebab Tu Ai-hoa adalah sahabat
karib Thio Ho, congtongcu perkumpuan Tian-keng-tong, dia pun terhitung sahabat
dekat Seng It-tiau, ketua perkumpulan kaum kudis, malah konon dia punya hubungan
yang sangat akrab dengan Thio Ou-ya dari Persekutuan macan kumbang Pa-beng.
Yang lebih hebat lagi Liu Pian-soat, ketua mahkamah agung kerajaan pun sering
berkunjung ke sana untuk sekedar melihat nona itu menari dan menemaninya minum
arak. Justru lantaran kedekatannya dengan tokoh-tokoh kelas satu dunia persilatan,
maka tak seorang manusia pun berani merecoki atau mengganggunya.
Tu Ai-hoa sendiri pun sering memanfaatkan hubungan akrabnya dengan para
pentolan sungai telaga untuk menolong orang yang ingin dia tolong, la pernah
membujuk Liu Pian-soat agar menghukum berat para pejabat yang memeras kaum
petani miskin dan kelaparan. Dia juga pernah meminta 'Heng-ciang-ciu-bok'
(manusia yang hampir masuk kubur) Seng It-tiau agar tidak mengganggu
perdagangan garam yang dilakukan rakyat kecil di lima belas karesidenan dalam dua
propinsi. Dia juga pernah memohon kepada ketua Persekutuan macan kumbang agar
memberi jalan hidup untuk si Semut kecil. Dia pun mampu membukakan jalan bagi
ketua Tian-keng-tong sehingga bisa menyeberangi wilayah kekuasaan Perserikatan
Ku-tu-beng (perserikatan penyendiri) dengan selamat.
Walaupun apa yang dikatakan Tu Ai-hoa belum tentu mereka dengar, sedikit
banyak para pentolan sungai telaga itu masih mau memberi muka kepadanya,
menaruh sedikit rasa sungkan kepadanya.
Siapa pun tahu, bisa jadi suatu ketika mereka pun butuh bantuan Tu Ai-hoa untuk
menyelesaikan kesulitan sendiri, maka semua orang merasa wajib menjalin hubungan
yang akrab dengan perempuan itu, menyisihkan jalan mundur bagi mereka agar bisa
dimanfaatkan di kemudian hari. Dan inilah kepandaian utama yang dimiliki Tu Aihoa.
7 Karena ia mempunyai kepandaian itu, siapa pun tak ingin mengganggunya. Karena
ia memiliki kemampuan itu maka tidak leluasa baginya untuk kelewat mementingkan
hubungan perasaan dan gengsi.
la pandai minum, tapi bila tak senang maka dia tak akan minum. Dia hobi minum,
tapi baru minum bila sedang ingin minum. Tapi berbeda keadaan yang harus
dialaminya hari ini, mau tak mau dia harus minum. Karena pihak lawan adalah Liatciu,
si arak keras Lui Lian, salah seorang anggota 'Pa-beng-sam-ciu' (Tiga arak dari
Persekutuan macan kumbang), murid Thio Ou-ya.
Lui Lian mengundangnya minum arak. Mau tak mau dia harus minum ... karena ia
tahu, bila ia mau minum arak di kala Lui Lian menyuguhkan arak kehormatan, maka
dia baru akan lolos dari arak hukumannya. Arak hukuman dari Lui Lian tak akan
mampu ditahan oleh siapa pun.
Akan tetapi arak kehormatan yang harus dia minum, kenyataannya jauh lebih
sengsara ketimbang minum arak hukumannya. Takaran minum Lui Lian luar biasa
hebatnya, kalau bukan begitu, dia tak akan disebut si arak keras. Ketika Lui Lian
pergi meninggalkan tempat itu, dia sudah mabuk tujuh puluh persen. Sementara
mabuk Tu Ai-hoa sudah mencapai delapan bagian.
Pada saat itulah kebetulan Siau-pangcu (ketua muda) Perkumpulan kaum kudis,
Seng Hau-siu datang berkunjung, Seng Hau-siu memang kesemsem dengan
kecantikan Tu Ai-hoa, tak heran kalau dia memaksa perempuan itu untuk
menemaninya minum arak. Terpaksa perempuan itu harus melayaninya.
Kau bersedia menemani orang she Lui dari Pa-beng minum arak, kenapa tak sudi
menemani aku orang she Seng" Perkataan semacam ini paling ditakuti oleh Tu Aihoa,
dia tak sanggup mendengar tuduhan seperti itu, terpaksa dia pun minum lagi.
Dengan kondisi mabuk delapan bagian, ia gunakan sisa kesadarannya yang dua
bagian untuk meloloh Seng Hau-siu, jago minum nomor wahid dari Perkumpulan
kaum kudis hingga mabuk berat. Butuh sebelas orang anak buahnya untuk
membopong ketua muda mereka ketika meninggalkan rumah bordil Lau-sang-lau.
Tapi kondisi tubuh Tu Ai-hoa sendiri pun sangat payah. Ketika Seng Hau-siu dan
rombongan sudah angkat kaki dari situ, secara diam-diam perempuan itupun
mengeluyur pergi meninggalkan ruangan.
Rumah bordil Lau-sang-lau memang bukan rumahnya. Tiap malam dia harus
pulang ke rumah sendiri.
Hanya di dalam 'rumah' sendiri, ia baru merasakan hangatnya sebuah 'rumah',
merasakan nikmatnya memiliki 'rumah'.
Tertiup angin dingin membuat sekujur tubuhnya menjadi panas, langkahnya makin
limbung, setelah melewati lorong gelap di sisi Lau-sang-lau, tiba di tepi pekarangan
belakang gedung yang becek, Tu Ai-hoa mulai merasa kepalanya pening, dunia
seolah berputar keras, perutnya mual dan sakit, akhirnya tak tahan seluruh isi
perutnya tertumpah keluar.
8 Rasanya orang sedang muntah ibarat orang sudah setengah mampus. Siapa pun
orangnya, saat muntah adalah saat yang paling buruk dipandang. Bukan hanya
bajunya yang ternoda, lentera dalam genggaman pun ikut tersembur tumpahan isi
perutnya. Tu Ai-hoa mencoba menahan badannya yang limbung dengan berpegangan pada
dinding pekarangan, ia merasa sekujur tubuhnya amat sakit seperti ditusuk beribu


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang jarum. Baru saja ia akan membersihkan mulut dan pakaiannya dari noda tumpahan,
kembali rasa mual yang berat merambah sekujur badannya, bagai bakmi yang
mendidih karena dimasak dalam lambungnya, kembali tumpahan menyembur keluar
lewat kerongkongannya.
Seorang wanita yang sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, muntah seorang diri
di tengah lorong yang gelap dan besek, sebuah pemandangan yang tragis dan amat
menyedihkan hati.
Lau-sang-lau begitu megah dan mewah, tapi lorong di belakang gedung itu gelap,
bau dan becek. Bagaimana keadaan di dalam" Dan bagaimana di luar" Apakah semua
keadaan di dalam dan di luar gedung megah selalu memiliki perbedaan yang
mencolok" Apakah ibarat seorang wanita cantik sewaktu dandan dan jelek sewaktu
muntah" Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berkata dari balik kegelapan malam,
"Biar sedang muntah pun kau tetap kelihatan cantik!"
Ternyata di balik kegelapan masih hadir orang lain, Tu Ai-hoa amat terkejut,
saking kagetnya hampir saja lentera dalam genggamannya terlepas.
Ternyata orang itu sedang mengawasinya yang sedang muntah.
Orang itu mengatakan, ia tetap cantik walau sedang muntah.
Muntah pun membuat orang tetap cantik"
Bagaimana kalau aku yang muntah"
Kira kira bagus tidak kalau aku sedang muntah"
Siapa kira-kira yang akan memujiku bagus ketika sedang muntah"
Dia mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, cahaya yang redup menyinari wajah
seorang pemuda kurus dengan alis mata tebal dan sinar yang kuyu, walau hanya
separoh mukanya yang nampak.
Itulah saat Tu Ai-hoa untuk pertama kalinya bersua dengan Pui Lok-ji.
Perkenalan Pui Lok-ji dengan Tu Ai-hoa berlangsung di saat perempuan itu berada
dalam keadaan paling mengenaskan, di kala ia sedang buruk muka karena
muntahannya. Saat pemuda itu bertemu Tu Ai-hoa untuk pertama kalinya, ia sedang muntah.
"Selagi muntah pun kau tetap cantik!", perkataan itu selalu diulang Pui Lok-ji tiap
kali bersua dengan perempuan itu.
9 Bagi Tu Ai-hoa sendiri, ia lebih suka orang melihat dia sedang telanjang bulat
ketimbang membiarkan orang lain melihatnya di saat sedang paling kotor, paling
jelek dan paling mengenaskan kondisinya.
Ketika masih seorang bocah cilik dulu, dia telah dinodai ayah angkatnya,
kemudian dia pun harus menderita dan tersiksa ketika kandungannya digugurkan,
kejadian itu tidak sampai mencabut nyawanya, tapi dia amat membenci tabib itu,
karena wajahnya yang paling mengenaskan telah disaksikan tabib itu. Setelah
peristiwa itu, kembali ia dinodai si tabib, hal ini membuat ia sangat membencinya,
sangat mendendamnya dan ingin sekali menghabisi nyawa tabib itu.
Perkosaan yang berulang kali menimpa dirinya menyeret dia terjerumus ke dalam
lembah kenistaan, akhirnya dia pun melacurkan diri, seperti sekuntum bunga yang
tercebur ke dalam comberan, tak ada kesempatan lagi baginya untuk berpaling.
Nasib membuat ia menderita, apa boleh buat, masih adakah pilihan lain baginya"
Dalam kondisi seperti ini, diapun nekad, ia mulai berdandan, mulai berbenah diri,
mempercantik diri, mulai merayu dan menampilkan diri, akhirnya bukan saja
kecantikannya merontokkan banyak wanita saingan, kaum lelaki pun mulai tergilagila
padanya, terpikat olehnya dan tak bisa lepas dari pikatannya.
Pada saat seperti itulah dia bertemu dengan Pui Lok-ji.
"Siapa kau?" tegurnya keras, lenteranya diangkat semakin tinggi untuk menyinari
wajahnya, bila orang itu bermaksud jelek, dia pasti akan membenci cahaya api.
"Seorang pembunuh!" orang itu menjawab, seakan tak bisa membedakan antara
cahaya api dengan kegelapan.
"Kau ingin membunuhku?" tanya Tu Ai-hoa dengan mata setengah terpejam.
"Mereka sedang menantimu di mulut lorong," pemuda itu menjawab sangat
santai, seperti sedang berbicara dengan orang yang sangat dikenalnya.
"Mereka?" Tu Ai-hoa tidak habis mengerti, "Siapa?"
Pemuda itu tak perlu menjawab karena Tu Ai-hoa sudah mendengar suara langkah
kaki yang berjalan mendekat, bukan langkah satu orang, malah ia mulai mendengar
tanya jawab orang-orang itu,
"Aneh, kenapa begitu lama belum muncul juga" Padahal aku melihat dengan jelas
ia sudah meninggalkan Lau-sang-lau"
"Memangnya dia mampus di dalam lorong" Kalau dia tak mau keluar, lebih baik
kita yang masuk mencarinya!"
"Jangan-jangan dia sudah mendengar kabar angin hingga bersembunyi, akan
kulihat malam ini kau bisa bersembunyi dimana!" Perkataan itu seketika terhenti
karena mereka melihat dalam lorong gelap ada cahaya lentera, ada manusia.
Cahaya api sangat redup dan lemah, tapi cukup bagi Tu Ai-hoa untuk melihat
dengan jelas siapa mereka itu.
10 "Kukira siapa?" Tu Ai-hoa coba memeriksa jalan mundur di dalam lorong, ia lihat
di situ pun ada orang sedang mengejarnya, satu, dua, tiga, empat, lima ... Wouw, tak
lebih tak kurang, termasuk Seng Hau-siu berjumlah dua belas orang.
Kedua belas orang itu sudah pada mabuk air kata-kata, kesadaran yang tersisa dari
kedua belas orang itu bila digabungkan mungkin masih belum cukup mampu untuk
menyulut sebatang hio, apalagi mereka semua adalah orang kalangan Hek-to yang
sudah biasa bersikap bagai serigala rakus, harimau ganas, perampok ulung dan jago
pemogoran, situasi yang dihadapi nona itu memang sangat gawat.
"Ooh, rupanya Seng-siaupangcu!"
"Kukira kau sedang berbuat apa bersembunyi lama sekali di dalam lorong gelap,"
kata Seng Hau-siu sambil menguap, "rupanya sedang bertemu dengan kekasih hati."
Tu Ai-hoa memandang pemuda itu sekejap, mabuknya telah hilang tiga bagian.
"Ternyata kegembiraan Seng-siaupangcu masih belum hilang," katanya kemudian,
"bagaimana kalau kita balik ke Lau-sang-lau dan minum lagi sampai mabuk?"
"Kau tak perlu mempermainkan aku! Sudah pernah kubayangkan, tiap kali kita
bertemu, kau selalu berusaha menghindar, aku tak berselera dengan cara begitu!"
selera arak Seng Hau-siu telah melembung dan pecah, kini yang tersisa tinggal selera
main wanita yang sedang menggebu, "Sudah cukup lama aku menantimu di sini,
saudara-saudara yang lain pun sedang menunggu untuk menonton kita bermain di
tempat terbuka.. Kali ini kau tak bakal bisa kabur lagi, sebelum berhasil menidurimu
malam ini, aku tak akan balik ke Perkumpulan kaum kudis! Konon tak seorang pun
bisa menidurimu, hmmm ... pelacur yang sombong! Cuma ... biar secantik dan
sesombong apapun, kau tetap seorang pelacur! Jika kau mau menuruti kemauanku,
aku sendiri yang akan menidurimu, kalau kau tak tahu diri ... hehehe ... akan kusuruh
saudara-saudara yang lain untuk menggilirmu secara bergantian!"
Kemudian dengan langkah sempoyongan ia mendekati Tu Ai-hoa, dirabanya wajah
yang putih halus itu dengan kasar, lalu ia mendekati pula pemuda itu, serunya
sembari menuding wajah anak muda itu dengan jari telunjuknya, "Aku beritahukan
kepadamu, aku tidak keberatan kau menidurinya lebih dulu ... aku tak peduli, aku tak
mau tahu, tapi kau ... kau mesti tahu, aku pun ingin menidurinya ... lebih baik kau tak
usah ikut campur, berdiri di samping dan tonton aku bekerja, asal kau tak banyak
lagak, kau bakal selamat, kalau tidak ... hehehe ... kau bakal tertimpa bencana"
Pemuda itu tidak menghindar. Sepasang matanya mengawasi terus jari tangan Seng
Hau-siu, mengawasi jari telunjuk yang berada di hadapannya.
"Jangan ganggu aku!" dia berseru, "jangan ganggu aku!"
"Kalau kuganggu, mau apa kau" Seng Hau-siu tertawa, dengan mulutnya yang
berbau arak dan giginya yang kuning seperti jagung ia mendekati wajah pemuda itu,
kemudian sekuat tenaga menginjak kaki pemuda itu kuat-kuat, "Aku justru sengaja
mau mengganggumu
Tiba-tiba ucapannya terpotong di tengah jalan.
11 Dalam sekejap jari telunjuknya telah putus jadi dua. Cahaya api hanya kelihatan
sedikit berkedip bagai mata kucing yang berkilauan, tahu-tahu semuanya telah
berakhir. Dia masih mengira matanya kabur karena kelewat banyak minum arak ... sesaat
sebelumnya, jari telunjuk itu masih utuh, kenapa dalam sekejap mata telah hilang
lenyap tak berbekas"
Hampir saja dia akan meneruskan tudingannya ke wajah pemuda itu dengan jari
telunjuknya yang kutung, darah belum sempat menyembur keluar.
"Oooh, Thian!" jeritnya dengan nada mengerikan, "apa yang sebenarnya telah
terjadi?" Jari telunjuknya yang terkurung nampak hijau menghitam, saat itulah darah mulai
menyembur keluar.
"Tidak ada apa-apa," kata pemuda itu lagi, "asal kau jangan ganggu aku!"
Dalam genggaman pemuda itu nampak sebilah pedang, pedang yang amat pendek
dengan pita yang panjang. Dengan satu kelebatan pedang itu sudah disarungkan
kembali, sarung pedang tergembol di atas punggungnya.
Sebelas orang pengawal Seng Hau-siu kontan terkesiap, sebagian segera
memayang Seng Hau-siu, sebagian menghiburnya, sebagian mulai mencaci-maki,
sebagian mengobati lukanya dan sebagian lagi mencabut goloknya..
Pemuda itu tidak menggubris, dia sudah berpaling ke arah Tu Ai-hoa seraya
berkata, "Mari kita pergi, aku ingin bertanya beberapa hal kepadamu."
Waktu itu kesadaran Tu Ai-hoa kembali pulih tiga bagian, sinar matanya juga
mulai memancarkan sinar kegenitan.
"Aku tahu siapakah kau," ia berkata dengan wajah berseri, "kau pasti orang yang
disebut kaum persilatan sebagai Yok Put-tek (si Tabu terganggu) Pui Lok-ji."
Kini kesadarannya sudah pulih enam bagian, sisa mabuk yang tertinggal pun sudah
amat sedikit, biar sedang berada di lorong becek, namun di bawah pantulan cahaya
lentera, kecantikan wajahnya telah pulih kembali.
"Akhirnya kau berhasil juga melepaskan diri," katanya.
Dalam pada itu, kesebelas anggota Perkumpulan kaum kudis telah mencabut keluar
senjatanya, diiringi bentakan nyaring, mereka mulai mengepung pemuda itu.
"Jangan ganggu aku!" kembali Pui Lok-ji berseru, "kalau kau tidak mengganggu
aku, aku pun tak akan menghajar pemabuk."
Perkataan itu belum selesai diucapkan, para jago Perkumpulan kaum kudis yang
masih sanggup berdiri hanya tinggal enam orang.
Rekan lainnya sudah begitu berat mabuknya sehingga kemampuan untuk berdiri
pun sudah hilang.
12 Padahal bukan begitu kenyataannya, yang roboh tergeletak justru lima orang yang
punya kesadaran jauh lebih baik.
Justru lantaran kesadaran mereka baik maka serangan yang mereka lancarkan jauh
lebih cepat ketimbang keenam orang rekannya.
Sayangnya begitu serangan dilancarkan, mereka langsung roboh terkapar di tanah.
Tapi apa yang menyebabkan mereka roboh" Bukan saja enam orang yang masih
berdiri tak sempat melihat dengan jelas, bahkan mereka sendiri pun tidak tahu
mengapa bisa terluka parah.
Orang lain tidak melihat, Seng Hau-siu justru dapat melihat dengan sangat jelas,
jari tangannya yang kutung membuat ia jauh lebih sadar dari pengaruh air kata-kata,
cucuran darah telah membantunya memunahkan pengaruh alkohol.
la melihat seorang anak buahnya membacok tubuh Pui Lok-ji dengan
menggunakan golok besarnya, tapi pemuda itu melepaskan sebuah tusukan langsung
ke atas golok itu, tahu-tahu golok besar itu bergetar keras dan berbalik membacok
tuannya sendiri.
Dia juga sempat melihat jago yang menggunakan senjata gembrengan menyerang
Pui Lok-ji dengan serangan mautnya, tapi Pui Lok-ji langsung menusuk ke atas
senjatanya, membuat senjata gembrengan itu mencelat balik dan menghajar dada jago
itu. la melihat pula jagonya yang memakai senjata ruyung beruas sembilan menyerang
Pui Lok-ji, tapi dengan sebuah tusukan langsung mengarah ruas ruyungnya, senjata
itu berbalik menancap di perut penyerangnya, dalam waktu sekejap kelima orang itu
sudah terluka parah.
Yang tak mampu dilihat Seng Hau-siu secara jelas hanya serangan dari Pui Lok-ji,
karena serangan pedangnya kelewat cepat, dia hanya tahu senjata itu berupa cahaya
hijau sepanjang dua kaki dan memancarkan cahaya berkilauan.
Apa yang terpampang di hadapannya membuat kesadarannya pulih dengan lebih
cepat. Sebelum sisa keenam orang jagoannya melancarkan serangan, Seng Hau-siu telah
membentak nyaring, "Tahan!"
Bentakan itu sangat nyaring dan bergaung dalam lorong yang sempit itu, beberapa
orang membuka jendela untuk melongok keluar, tapi setelah melihat keadaan di luar
sana, cepat-cepat mereka menutup kembali jendelanya, nyawa dan keselamatan
sendiri memang jauh lebih penting ketimbang perasaan ingin tahu.
Enam orang jago yang tersisa sudah siap melakukan serangan, tapi gerakan mereka
terhenti separuh jalan, bagaikan orang yang tiba-tiba tertotok jalan darahnya.
Kini yang masih bergerak hanya cahaya api di dalam lentera.
"Siauhiap, maafkan kami, mungkin gara-gara kelewat banyak menenggak air katakata,
maka kami melakukan tindakan yang bodoh seperti ini," kata Seng Hau-siu
sambil berjalan mendekat.
13 la berjalan sangat lamban, sepasang tangannya direntangkan ke samping,
menandakan kalau dia tak punya niat jahat, setelah itu terusnya, "Selama gunung
masih menghijau hijau, air sungai tetap mengalir, harap kau sudi menyudahi masalah
pada malam ini hingga di sini saja, besok kami pun akan melupakan kejadian malam
sebelumnya."
Pui Lok-ji manggut-manggut, baginya selama orang tidak mengganggu dia, dia
pun enggan melukai orang.
"Anak-anak!" kembali Seng Hau-siu berseru, "kita sudahi kejadian memalukan
pada malam ini hingga di sini, kenapa kalian masih belum minta maaf kepada Puisiauhiap?"
Mendadak ia menyayat secuil daging dari pipi kanannya, kemudian sambil
dilemparkan ke arah Pui Lok-ji, katanya lagi, "Saudara kecil, anggaplah benda ini
sebagai pengakuan kalahku padamu."
"Tidak perlu," tampik Pui Lok-ji dengan kening berkerut. Tapi sayatan daging
Seng Hau-siu berikut darah yang berceceran telah dilemparkan ke hadapannya.
Kalau orang lain ingin berbuat begitu, dia pun tak bisa menolaknya!
Padahal dia tak pernah memojokkan orang, tak pernah melakukan pembantaian
untuk mencabut rumput hingga seakar-akarnya..
Suasana dalam lorong itu sangat gelap, ketika menerima lemparan daging berdarah
itu, ia merasa seperti menyentuh sebuah benda hidup yang dingin, berlendir dan mirip
seekor ular. "Jangan dipegang!" tiba-tiba terdengar Tu Ai-hoa menjerit. Satu ingatan melintas
dalam benak Pui Lok-ji. Dalam pada itu keenam jago dari Perkumpulan kaum kudis
juga telah merobek selapis kulit daging dari lengan kiri masing-masing, daging yang
berdarah itu serentak dilemparkan ke arah Pui Lok-ji.
Buru-buru anak muda itu menghindar, mendadak ia merasa tangan kirinya sudah
bukan merupakan sebuah tangan lagi, tapi semacam perasaan yang sangat aneh,
perasaan tangan miliknya itu mulai membusuk!
Saat itulah terdengar Seng Hau-siu tertawa tergelak, suara tertawanya penuh
ejekan. "Hebat amat kau anak muda, kudis terbang dari Perkumpulan kaum kudis pun
berani kau pegang?"
Sambil tertawa dia melompat mundur, cepat sekali gerak mundurnya. Kemudian
ejeknya lagi, "Konon kau pernah berduel dengan Ciang Tay-hu, jago pembunuh
nomor wahid dari perkumpulan kami" Hebat, aku sungguh kagum!" Ketika selesai
bicara, dia sudah mundur hingga ke luar barisan.
Dia telah berhasil, hanya terluka sebuah jari, hanya terkelupas selapis kulit, tapi tak
perlu menyerempet bahaya lagi.
Mereka yang roboh sudah memaksakan diri untuk bangkit, sedang yang masih
berdiri sudah mulai mengepung Pui Lok-ji. Sebelas orang membentuk sebuah
14 barisan. Dalam pandangan mereka, siapa yang sudah terkena 'Kudis terbang', dia tak
ubahnya seperti orang mati.
Pui Lok-ji mulai merasakan adanya tiga puluh lembar golok tajam yang sedang
mengiris sekujur badannya, menyayat dagingnya, mencongkel isi perutnya, membuat
ia mulai pusing, mulai kelimpungan.
Kegelapan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya. Sebuah giginya
telah patah karena gertakkan giginya menahan sakit. Yang lebih menakutkan, tangan
kirinya sama sekali tak terasa sakit ... sama sekali tidak merasakan apa-apa ...
kehilangan seluruh perasaannya!
"Ada api?" ia bertanya kepada Tu Ai-hoa, "api!"
Tu Ai-hoa segera merobek lenteranya dan mengambil keluar lilin dari dalam
lentera itu dan diserahkan kepadanya.
"Tu Ai-hoa, kau baik sekali," ejek Seng Hau-siu sambil tertawa, "kau pandai betul
membuat senang hati kekasihmu."
Sekarang dia sudah tak perlu bertarung lagi, ia sudah yakin berada dipihak
pemenang, tak pernah ada seorang manusia pun bisa mempertahankan nyawanya
setelah terkena racun kudis yang dilepaskan anggota Perkumpulan kaum kudis.


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecuali ketua Perkumpulan kaum kudis atau wakil ketua Cang-tayhu atau juga dia
sendiri yang turun tangan memunahkan racun itu, bisa juga dengan mungharapkan
bantuan dari orang-orang keluarga Un yang tersohor sebagai kakek moyangnya
racun, mustahil pemuda itu bisa lolos dalam keadaan selamat.
Padahal semua harapan itu tak mungkin bisa terjadi. Karena itu, hal yang bisa ia
lakukan sekarang adalah menyaksikan Pui Lok-ji sekarat dan menemui ajalnya.
Bila kehidupan seseorang harus menghadapi banyak rintangan dan persoalan, mati
memang merupakan jalan termudah untuk melepaskan semua masalah.
Semua orang tahu, bila sudah terkena racun kudis yang dilancarkan Seng Hau-siu
beserta begundalnya, daripada hidup memang lebih baik mati.
Pui Lok-ji tak bisa berdiam diri begitu saja, dia tak sudi menyerah sebelum
berusaha, tiba-tiba ia mencabut keluar pedangnya, sekilas cahaya hijau segera
berkelebat di angkasa.
"Hmmm, masih belum mau menyerah?" ejek Seng Hau-siu sambil tertawa dingin.
Tapi hawa pedang yang terpancar keluar dari senjata lawan begitu tajam dan kuat,
memaksa ia harus mundur selangkah dengan sempoyongan.
Pui Lok-ji tidak berbicara, mendadak ia tebas kutung lengan kiri sendiri, darah
segar segera menyembur keluar membasahi lantai, darah yang keluar berwarna hitam
kental, darah beracun!
Selesai mengurungi lengan sendiri, Pui Lok-ji menancapkan senjatanya ke lantai,
lalu dengan api lilin dia bakar mulut lukanya.
15 Butiran keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi jidatnya,
namun pemuda itu tetap mengertak gigi tanpa mengeluarkan sedikit suara pun.
Kini pengaruh arak sudah lenyap dari tubuh kawanan jago Perkumpulan kaum
kudis, bukan saja pikirannya kembali jernih, bahkan bernapas pun seolah-olah telah
terlupakan. Mendadak terdengar Seng Hau-siu membentak nyaring, "Tangkap dia, aaah ....
tidak, bunuh dia!"
Manusia macam Pui Lok-ji kelewat menakutkan, kelewat berbahaya, dia tak boleh
ditangkap hidup-hidup, jauh lebih pantas bila dilenyapkan untuk selamanya dari
muka bumi. Ketika perintah itu diturunkan, Pui Lok-ji telah selesai membalut lukanya dan
menghentikan menjalarnya pengaruh racun, ia segera membuang lilin yang
digenggam, melemparkannya ke arah Tu Ai-hoa.
Api lilin tampak bergoncang keras terkena hembusan angin, ketika Tu Ai-hoa
menerima lemparan benda itu, tangannya terasa amat panas, rupanya ada setetes
cairan lilin yang menyengat kulitnya.
Pada detik yang teramat singkat itulah suasana di arena telah terjadi perubahan
drastis, kawanan jago Perkumpulan kaum kudis yang semula mengepung arena, kini
tinggal satu orang yang masih hidup.
Tentu saja yang masih hidup adalah Seng Hau-siu.
Sebetulnya Seng Hau-siu punya rencana akan mengeroyok Pui Lok-ji bersama
anak buahnya, tapi dalam waktu singkat semua anak buahnya sudah mati, pecah
sudah nyalinya, tanpa banyak bicara ia segera putar badan dan berusaha melarikan
diri dari situ.
Siapa tahu, baru saja dia putar badan, Pui Lok-ji dengan tangan sebelahnya telah
menghadang persis di mulut gang.
Dalam kagetnya, buru-buru Seng Hau-siu mencabut keluar pedangnya, bau busuk
yang menyengat segera memenuhi udara diikuti kilauan cahaya yang amat
menyilaukan mata.
Sehebat apapun musuhnya, kini dia sudah keracunan, lengannya sudah terkurung
sebelah, darah masih bercucuran deras, dia tak percaya 'pedang terbang' miliknya tak
sanggup mengurungi sisa lengan Pui Lok-ji yang tinggal sebelah. Dan dia sangat
percaya dengan kemampuannya ini.
Berbeda dengan Tu Ai-hoa, dia hampir tak percaya dengan pandangan matanya
sendiri. Dengan jelas dia melihat Seng Hau-siu melancarkan tusukan dan langsung
mengenai tubuh lawannya, tapi tidak tahu bagaimana Pui Lok-ji menghindar, dia
memang tak sempat berkelit, dengan memakai lengannya yang kutung dia diamkan
tusukan pedang lawan, kemudian berbalik melepaskan sebuah tusukan balasan untuk
mengakhiri nyawa Seng Hau-siu.
16 Lama setelah peristiwa ini, Tu Ai-hoa baru paham tabiat atau kebiasaan dari Pui
Lok-ji ini, dia tahu, karena pemuda itu menganggap lengannya toh sudah kutung dan
setelah itu tak akan berguna lagi, maka dia menggunakan anggota badannya yang
bakal tak terguna itu untuk melakukan tugas terakhirnya yang amat berguna.
Dengan perasaan cemas bercampur kuatir, Tu Ai-hoa memayang tubuh Pui Lok-ji
yang mulai sempoyongan, paras mukanya pucat-pias bagaikan mayat.
"Kau Tu Ai-hoa berpendapat, kalau bukan lantaran dia, Pui Lok-ji tak akan
membunuh orang, tak perlu kehilangan lengan, terlebih tak usah menjalin
perselisihan yang dalam dengan pihak Perkumpulan kaum kudis, Kenapa kau berbuat
begini?" "Mulai sekarang aku tidak berhutang apa-apa lagi padamu, selama hidup aku
paling benci berhutang kepada seorang perempuan, lagi pula ilmu pedangku bukan
ilmu pedang sembarangan," ujar Pui Lok-ji.
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku bisa belajar ilmu pedang Hui-ji-put-ko
karena kau yang membiarkan aku berlatih ilmu itu Setelah berbicara, Pui Lok-ji pun
jatuh pingsan. Tiga hari kemudian Pui Lok-ji baru sadar dari pingsannya, lima hari kemudian ia
baru mulai bersantap dan tujuh hari kemudian baru dapat berbicara.
Selama tujuh hari dia berdiam terus dalam kamar pribadi Tu Ai-hoa di rumah
bordil Lau-sang-lau, tatkala pemuda itu mulai dapat bicara, Tu Ai-hoa pun bertanya,
"Malam itu, kenapa kau datang mencariku?"
"Karena aku baru saja lolos dari dalam barisan Cian-liong-toa-tin dari Thio Ou-ya,
waktu itu secara kebetulan aku mendengar pembicaraan antara Cia-kau Long-tiong
dan Tham Gong-gong dengan Thio Ou-ya, mereka menyinggung soal pandanganmu
tentang aku, seolah kau sangat kenal tabiatku, aku lantas berpikir, orang yang selama
beberapa tahun belakangan ini selalu merawat dan memperhatikan kebutuhanku
selama dalam penjara pastilah kau, maka aku ingin membuktikan dugaanku itu."
"Cian-liong-toa-tin" Itu kan sebuah barisan yang sulit dipecahkan, dengan cara apa
kau dapat menjebolnya?"
"Aku sendiri pun tak sanggup menjebolnya, justru mereka yang mengajarkan
kepadaku cara menjebol barisan itu. Telingaku tajam, daya ingatanku baik,
Ginkangku juga hebat. Mereka melihat aku tak mampu menembus barisan itu, tapi
mereka pun tak sanggup membekuk aku, maka mereka pun mengutus orang untuk
minta petunjuk Thio Ou-ya. Diam-diam kuhapalkan langkah kaki mereka, lalu
mengintilnya secara diam-diam, alhasil ketika mereka berjumpa dengan Thio Ou-ya,
aku pun berhasil keluar dari kepungan barisan itu."
"Kenapa Thio Ou-ya harus menggunakan barisan Cian-liong toa-tin untuk
menghadapimu?"
"Karena aku telah membantai panglima kesayangannya, Kiu Seng-hui."
"Kenapa kau bunuh Kiu Seng-hui?"
17 "Karena aku pernah menjadi anggota semut kecil, dulu Kiu Seng-hui mengangkat
saudara dengan Raja semut Pui Hong-huan, tapi akhirnya dia berkhianat sehingga Pui
Hong-huan harus saling bantai dengan bininya, Cia Pa-hoa. Dia tidak setia kawan,
maka aku harus membunuhnya."
"Padahal kau tahu Thio Ou-ya melindunginya, membunuhnya bisa menyalahi
Persekutuan macan kumbang, kau masih nekad melakukannya?"
"Dia berani mengkhianati teman, kenapa aku tak berani membantainya?"
"Kau hanya membunuh Kiu Seng-hui yang mengkhianati Pui Hong-huan, kenapa
tidak sekalian kau bantai Thio Ou-ya yang membuat Pui Hong-huan harus mengalami
nasib tragis?"
"Thio Ou-ya bermusuhan dengan Pui Hong-huan, siapa bunuh siapa itu wajar dan
siapa kuat dialah yang pantas menang, kejadian seperti ini tak pantas dipersoalkan
dan tak perlu mesti membalaskan dendam bagi pihak yang lemah"
"Tapi kau telah membunuh Kiu Seng-hui, hingga membuat dia kehilangan muka,
ia pasti bersumpah untuk membunuhmu."
"Dia tak ingin membunuhku, tapi justru ingin memperalat aku, tapi aku tak ingin
diperalat olehnya dalam situasi terkurung."
"Maka dia akhirnya tetap akan mencarimu dan membunuhmu?"
"Siapa ingin membunuh aku, aku pasti akan membunuhnya lebih dulu."
"Seandainya kau tidak berada dalam kondisi terkurung, mungkinkah kau akan
bergabung dengan 'Pa-beng'" Asal kau bergabung dengan Persekutuan macan
kumbang, dia tak bakal membunuhmu."
"Belum tentu dia menghargai kemampuanku, kini aku telah menyelesaikan
tugasku, aku akan kembali ke tempat asalku."
"Kau datang darimana?"
"Bukit Huang-san, gua Ci-ji-tong."
"Pekerjaan seorang pembunuh tak mungkin dikerjakan seorang diri. Dalam dunia
persilatan sudah tak ada jagoan yang malang melintang seorang diri. Semua orang
bicara soal beking, bicara soal kekuatan yang sesungguhnya, Apa gunanya naik ke
bukit golok terjun ke lautan api seorang diri, jangankan kekuatannya minum, nama
tak punya, salah-salah bukan hanya gagal dalam tugas, nyawa pun bisa ikut
digadaikan! Sekarang kau telah menyalahi Thio Ou-ya, telah membantai putra Seng
It-tiau, bahkan menjadi duri dalam mata bagi Liu Pian-soat serta Persekutuan elang
Ing-beng, jika tidak memiliki beking yang kuat, dalam sekejap saja kau bisa gugur
sebagai pahlawan, mati tanpa liang kubur."
"Konon kau punya hubungan yang sangat akrab dengan Thio Ou-ya, ketua Pabeng,
Seng It-tiau dari Perkumpulan kaum kudis, Ciu Sip-si dari Persekutuan elang,
Thio Hou dari Cian-keng-tong dan Liu Pian-soat si ketua Mahkamah agung."
18 "Dengan statusku sebagai seorang perempuan murahan, apa lagi yang tak bisa
kujual" Untuk hidup terus, aku harus lebih banyak menjadi setan dan jarang menjadi
manusia, apalagi muncul sebagai malaikat," senyum Tu Ai-hoa nampak penuh
kegetiran, "aku punya hubungan khusus dengan mereka. Terus terang, aku harus
berbaikan dengan mereka, bila tidak membaiki mereka berarti aku tak bisa
menyelamatkan jiwaku! Sesungguhnya aku memang satu aliran dengan mereka, satu
kelompok manusia yang sama-sama rendah dan bejad, jadi amat tak berharga bagimu
untuk kehilangan sebuah lengan gara-gara kejadian dalam gang sempit malam itu."
"Aku menolong kau dengan menggunakan ilmu pedang pemberianmu, kenapa
tidak berharga untuk kulakukan?" kata Pui Lok-ji.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku selalu berbuat bila aku suka,
aku turun tangan bila kuanggap sudah semestinya kulakukan, tak pernah peduli apa
berharga atau tidak setiap tindakanku itu."
"Aku tak mengira ilmu pedang itu begitu hebat. Selama ini banyak pejabat,
hartawan, pedagang kaya mencari hiburan di sini. Di antara mereka terdapat juga
jago-jago berilmu tinggi yang mencari hiburan. Banyak di antara mereka yang tak
punya uang sepeser pun. Biasanya kalau aku memandang dia bisa diandalkan, maka
akan kuterima, kuberi makan yang enak dan tempat tidur yang nyaman, sebagai
penggantinya mereka sering meninggalkan senjatanya atau kitab ilmu pukulannya,
bahkan barang mestika keluarganya. Padahal aku tidak butuh barang-barang
semacam itu, kalau bisa kukembalikan pasti akan kukembalikan, tapi kalau mereka
ngotot minta aku menerimanya, maka barang itu akan kuhadiahkan kepada mereka
yang berjodoh," Tu Ai-hoa menerangkan.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Begitu juga ceritanya tentang ilmu pedang
'Hui-ji-put-ko', aku lupa siapa yang memberikan kitab itu kepadaku, juga tak tahu
apakah si pemberi kitab telah mempelajari ilmu pedang itu atau sampai taraf mana
kepandaian ilmu pedang itu ia kuasai" Aku juga tak tahu ilmu pedang itu hasil
ciptaannya atau bukan, apalagi mengetahui sampai dimana kedahsyatan ilmu pedang
itu. Aku hanya tahu ada seorang pembunuh muda, hanya gara-gara orang lain
mengganggunya maka dia melukai orang itu, bahkan orang yang dilukai adalah adik
ipar ketua mahkamah agung Liu Pian-soat yang bernama Ciu Yang-ho. Padahal aku
tahu jelas tentang manusia busuk yang bernama Ciu Yang-ho itu, dia selalu
mendompleng kekuasaan kakak iparnya untuk berbuat jahat dimana-mana, manusia
semacam itu memang sepantasnya dihajar sejak dulu, tapi selama ini tak ada yang
berani merecokinya."
Dia menghela napas panjang, lanjutnya setelah berhenti sejenak, "Begitu kau
melukainya, aku segera tahu kau bakal kena masalah besar, benar juga, akhirnya aku
mendengar kau dijebloskan ke dalam penjara, maka aku pun meminta tolong kepada
Thio Hou, ketua kejaksaan 'Cian-keng-tong' yang merupakan sahabat karib Liu Piansoat
untuk memintakan kelonggaran untukmu. Selain itu aku pun mengirim uang
untuk kepala sipir agar kau mendapat perlakuan istimewa selama berada di penjara.
Aku dengar kau di penjara selama tiga tahun, agar selama menanti pembebasan kau
tak murung, kesepian dan akhirnya menjadi emosi, sengaja kuutus orang untuk
19 menghadiahkan kitab ilmu pedang itu kepadamu, agar bisa kau gunakan waktu
selama tiga tahun untuk mempelajarinya, tak disangka ternyata kau berhasil
mempelajari sebuah ilmu pedang yang luar biasa hebatnya!"
"Kau tak pernah berjumpa denganku," Pui Lok-ji berbaring di ranjang sambil
memandang Tu Ai-hoa, lengannya yang kutung sudah tak seberapa sakit, namun
kondisi tubuhnya masih amat lemah, "Kenapa kau begitu baik kepadaku?"
"Bagi perempuan seperti aku, memangnya harus baik terhadap kau seorang?" Tu
Ai-hoa senang membuka pembicaraan dengan kata-kata seperti itu, tapi melihat Pui
Lok-ji tak dapat mencerna perkataan semacam begitu, kembali ia teruskan, "aku sama
seperti kau, hanya melakukan perbuatan yang kusukai, aku selalu beranggapan
banyak orang berbakat, punya kemampuan, sangat menawan hati, tapi mempunyai
nasib yang kurang beruntung, padahal mereka bersemangat, punya cita-cita yang
tinggi dan luhur. Bila berjumpa orang semacam ini, aku harus berusaha melindungi
mereka, berupaya semaksimal mungkin membantu mereka! Waktu itu aku mengirim
orang untuk menjengukmu, mengirim pakaian dan makanan, sekembalinya dari
penjara mereka selalu bercerita bahwa kau selalu bertanya kepada mereka, siapa yang
mengutus mereka datang" Waktu itu, mungkin kau beranggapan ada orang ingin
membaikimu, karena dia ingin membelimu" Mereka selalu bilang, kau tak tahu diri,
tapi bisa membedakan dengan tegas mana budi mana dendam. Siapa berani
mengusikmu, kau akan mengganggu dia! Aku pikir, jika selama meringkuk dalam
penjara pun kau punya nyali sebesar itu, setelah keluar dari penjara tentu kau seorang
manusia yang luar biasa. Benar juga, begitu keluar dari penjara, kau telah melakukan
dua pekerjaan besar, membunuh ketua muda Perkumpulan kaum kudis Seng Hau-siu
dan menjebol barisan Cian-liong-toa-tin dari Thio Ou-ya!"
"Aku tidak menjebol barisan," sela Pui Lok-ji.
"Berhasil lolos dari barisan sama artinya berhasil menjebol barisan," kata Tu Aihoa,
"justru lantaran Thio Ou-ya memandang tinggi kemampuanmu, maka ia baru
menggunakan barisan Cian-liong-toa-tin. Orang bilang, 'Bila naga ingin melejit, dia
pasti menyusup dulu kemudian baru terbang'. Selama dalam penjara kau telah banyak
menderita dan merasa terkurung, keberhasilanmu lolos dari barisan pasti akan
mendatangkan perasaan nyaman bagimu, seakan sesuatu benda yang selama ini
digencet, akhirnya bisa melejit kembali ke angkasa."
Memandang dengan sinar mata yang aneh Pui Lok-ji mengawasi perempuan itu
sekejap, tapi dengan cepat ia telah pulih kembali dengan sorot matanya yang acuh
dan cuek, katanya dengan suara hambar, "Aku paham maksudmu, kau sengaja
berbicara berputar-putar padahal tujuannya hanya ingin membujukku, biar sudah
kehilangan sebuah lengan, tapi jangan sedih hingga putus asa karenanya."
"Mungkin saja aku bermaksud begitu, mungkin juga tidak, tapi aku tetap merasa
telah berhutang sesuatu kepadamu," sorot mata Tu Ai-hoa dialihkan ke arah lukanya
yang telah dibalut, "atau mungkin aku telah berhutang sebuah lengan kepadamu."
"Kau tidak berhutang sebuah lengan, kita masing-masing tidak berhutang kepada
yang lain," ucap Pui Lok-ji, "selama aku berada dalam penjara, kau telah
20 melindungiku, memberi kesempatan kepadaku untuk berlatih sebuah ilmu pedang
yang hebat, padahal isi kiam-boh itu hanya mengandung sebuah makna, sebuah garis
besar, kitab itu telah membangkitkan daya imajinasiku, hal ini membuat setiap jurus
pedang yang kugunakan selalu mengandung makna, 'Harus dengan yang ini', maka
dengan mengambil makna itu kuciptakan gerakan jurus seperti yang terjadi sekarang,
sedang mengenai lenganku yang kutung, lengan ini kutung bukan lantaran kau, tapi
karena aku kelewat memandang enteng kemampuan musuh, sekali telah bersalah,
membuat aku selalu ingat dengan kesalahan itu dan membuat aku tak berani
melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari, hanya sayang ... kau masih tetap
telah menolongku, kalau tidak, mungkin aku sudah tak berhutang apa-apa lagi
kepadamu."
Tu Ai-hoa berjalan mendekat, mengawasi pemuda yang masih berbaring di
ranjang, alis matanya nampak kusam, sorot matanya kusam, hidungnya juga kusam,
bahkan bibir tipisnya yang terkatup pun nampak kusam, kusam ditambah rasa
kesepian yang mendalam.
"Biar kuperiksa lebih jelas," dia berkata, "kau nampak begitu kesepian."
la mulai tertawa, meski tertawanya kelihatan agak dingin, agak sendu.
Di dalam pandangannya, setiap bagian tubuh lelaki di atas ranjang itu seperti
memiliki kehidupan, termasuk rambutnya sekalipun, ketika melihat ada rambutnya
yang rontok, dia seperti merasa sayang untuk dibuang, maka dipungutnya sehelai


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi sehelai, lalu disimpan di dalam peti besi.
Semenjak bersua lelaki ini, masa lalunya yang suram seolah telah tumbuh dan
bersinar kembali, la merasa pemuda itu memiliki semacam kekuatan yang aneh,
walau dalam keadaan terluka pun tenaga itu masih memancar kuat, yang mampu
membuat hatinya menggelora, membuat cintanya menghangat, padahal pemuda itu
sendiri nampak begitu kesepian, begitu kusam, sama persis seperti keadaan dirinya
sendiri. Tapi dia pun merasa pemuda itu seperti seekor naga, bila tidak menyusup terlalu
lama tak akan terbang dan menggeliat di angkasa.
"Konon banyak perempuan suka denganmu," kata Tu Ai-hoa sambil duduk di sisi
pembaringan, "tapi kau tak pernah menanggapi gadis-gadis itu, benar begitu?"
Paras muka Pui Lok-ji sama sekali tak berubah, dia hanya berbisik, "Di
belakangmu ada orang!"
"Apa?" Tu Ai-hoa seperti tak mendengar jelas.
"Ada orang datang!" kembali Pui Lok-ji berbisik dengan wajah tak berubah.
Tapi Tu Ai-hoa seperti tidak mengerti. "Apa?" kembali tanyanya.
Tiba-tiba Pui Lok-ji berteriak keras, membalikkan badan sembari meloncat
bangun, lalu mencabut keluar pedangnya.
Biar sedang merawat luka, kecepatan dan kelincahan gerak serangan pemuda itu
tetap hebat dan mengagumkan.
21 Hawa pedang menyambar lewat di sisi rambut Tu Ai-hoa, persis lewat dari sisi
kepala dan pipinya, perempuan itupun dapat merasakan percikan bunga api akibat
benturan pedang Pui Lok-ji dengan senjata lawan, ini menunjukkan bahwa posisinya
ketika itu sangat bahaya.
Karena ingin melindungi keselamatan jiwanya, Pui Lok-ji telah menyerempet
bahaya dengan melancarkan tusukan kilat.
Ketika berpaling ke belakang, Tu Ai-hoa segera melihat ada seorang manusia
berwajah pucat, berjubah putih dengan mata berwarna putih sedang duduk di atas
bangku dengan sebilah pedang tipis terhunus di tangannya, bila diukur, pedang yang
dicekal Pui Lok-ji panjangnya tak sampai separuh pedang lawan.
"Cang Tay-hu"!" pekik Tu Ai-hoa dengan wajah berubah.
"Menyingkir kau dari situ!" seru orang itu sambil tertawa dingin, "jangan harap
permainanmu bisa menipu aku. Sejak bapak angkatmu menyuruh aku membuang
janin dalam perutmu, aku sudah melihat jelas semua bagian tubuhmu, Hmm! Apa
lagi yang menarik."
Begitu berjumpa dengan orang itu, Tu Ai-hoa seperti telah kehilangan seluruh
kekuatan dan kesadarannya.
Pui Lok-ji memandang sekejap Tu Ai-hoa yang nampak amat menyedihkan, lalu
memandang dingin Cang Tay-hu, tiba-tiba tanyanya, "Kau amat membencinya?"
Dengan menahan cucuran air mata Tu Ai-hoa mengangguk. Dia tak pernah mau
melelehkan air mata, sekalipun teramat sedih dan harus menahan sesenggukan, dia
tak akan membiarkan air matanya mengucur keluar.
Sebab perempuan ini tahu, jika air mata sampai bercucuran maka keadaan akan
ibarat bendungan yang jebol, segala sesuatunya akan berantakan, setelah tangisan
lewat, maka yang tersisa hanya rengekan dan lolongan yang mengibakan hati.
"Itu gampang sekali," ujar Pui Lok-ji santai, "kalau dia dibunuh, urusan akan
selesai." Gemetar sekujur badan Tu Ai-hoa, perkataan itu seakan sebilah golok yang
mengorek persis di atas lukanya yang telah dideritanya sejak lama.
"Jadi kau yang bernama Pui Lok-ji?" Cang Tay-hu mulai menegur.
"Pertanyaan yang tak berarti!"
"Konon kau menguasai ilmu pedang Hui-ji-put-ko?"
"Dengan ilmu pedang itulah aku telah menghabisi nyawa ketua muda kalian."
Cahaya pedang yang terpancar keluar dari senjatanya membuat paras muka ketiga
orang yang berada dalam ruangan itu nampak hijau membesi.
Cang Tay-hu memandang pedangnya sekejap, lalu memandang pula pemuda itu,
setelah terbatuk-batuk, katanya lagi, "Konon kau juga ingin membunuhku?"
22 "Tiga bulan berselang, aku punya seorang teman bernama Wi Cong-cong yang
mengajak kau berdiskusi soal ilmu pedangku, kau bilang, 'Itu permainan anak-anak,
kentut pun bunyinya tidak nyaring', ketika Wi Cong-cong membelaiku, kau bahkan
menghajarnya hingga dia pun terluka?"
"Betul, aku hanya mematahkan kedua kakinya, tahu begitu mestinya sekalian
kupatahkan tulang pinggangnya."
"Tapi kemudian ia telah membunuh diri," kembali Pui Lok-ji berkata, "kau
mengganggu temanku, sama artinya telah menggangguku."
"Kalau memang mengganggu kau, mau apa?"
"Siapa berani mengganggu aku, dia harus mampus!"
"Mampuslah kau," jengek Cang Tay-hu sinis, "tapi sebelum itu dia mesti mampus
duluan." Tiba-tiba ia mencabut pedangnya sambil menusuk Tu Ai-hoa.
la sudah memperhitungkan dengan masak, Tu Ai-hoa merupakan titik kelemahan
Pui Lok-ji, asal dia ingin menolong perempuan itu, maka Tu Ai-hoa akan menjadi
lubang kelemahan yang bisa diserang, sebab pada diri Pui Lok-ji sendiri sama sekali
tak ditemukan lubang kelemahan.
Ketika Cang Tay-hu menusuk tubuh Tu Ai-hoa, betul juga Pui Lok-ji segera
melesat ke hadapan perempuan itu untuk menghadang. Pucuk dicinta ulam tiba,
memang itulah keinginan Cang Tay-hu. Dengan pedangnya yang lebih panjang dia
yakin bisa mengatasi pedang pendek lawan, apalagi pada saat bersamaan dia telah
menyambitkan kudis terbangnya.
Pui Lok-ji tidak menghindar, dia memang tak mungkin berkelit. Jika ia berkelit,
mungkin tidak masalah baginya untuk menghindar, tapi Tu Ai-hoa pasti tak mampu
meloloskan diri, maka pemuda itu nekad, pedangnya balas menusuk tubuh musuh.
Dengan pedang pendek menusuk orang yang berpedang panjang, dia sudah edan
atau sudah bosan hidup.
Semuanya tidak, yang mampus justru Cang Tay-hu.
Ketika ajal datang menjemput, sepasang matanya masih terbelalak lebar, karena
dia tak habis mengerti, dengan pedangnya yang lebih panjang menghadapi pedang
Pui Lok-ji yang pendek, kenapa justru ujung pedang pemuda itu yang menembus
hulu hatinya, dan bukan dia yang membunuh Pui Lok-ji duluan" Ilmu pedang apa
yang digunakan pemuda itu" Kenapa harus begini"
Ketika Pui Lok-ji berhasil menusuk hulu hati Cang Tay-hu, dia sendiri pun terhajar
sebuah kudis terbang.
Bila dia belum kehilangan sebuah lengan, mungkin dia tak sanggup menerima
serangan maut itu.
Bila dia bisa menghindar, ia pasti akan berusaha untuk berkelit.
23 Bila dia tak perlu melindungi keselamatan Tu Ai-hoa, sejak tadi dia pasti sudah
menghindar ke luar arena.
Dia yang terhajar kudis terbang, bersandar di sisi ranjang dengan napas terengah,
sambil memegangi ujung pedang dan menyodorkan gagang pedangnya ke arah Tu
Ai-hoa, dia berkata lirih, suaranya tenang seolah tak pernah terjadi sesuatu apa pun,
"Bunuhlah aku, tolong! Bunuhlah aku!"
Pedang itu memancarkan cahaya hijau, seluruh batang pedang seakan dilapisi
lumut hijau yang amat tebal.
Pedang itu memang sebilah pedang mestika, 'Kim-tay-kiam', pedang lumut hijau.
Tu Ai-hoa menyambut sodoran pedang itu. Banyak kejadian tak berkenan memang
sering harus dialami seorang manusia dalam kehidupannya, misal terhadap orang
yang dicintai atau terhadap persoalan yang paling ditakuti, mau menerima apa adanya
pun sering sulit.
Bagi Tu Ai-hoa, di masa lalu dia tak pernah punya masalah, tak punya ganjalan,
bila perlu dia bisa menghabisi nyawa sendiri seketika. Kalau tak bisa hidup kenapa"
Kalau masih bisa hidup juga kenapa" Dia selalu berpandangan terbuka, bisa
melepaskan semua yang ada dan bisa mengambil keputusan sekehendak hati. Tapi
kini, siapa suruh dia telah bertemu Pui Lok-ji"
Dia terima pedang itu, tindakan pertama yang dia lakukan adalah pergi mencari si
kakek yang kekar bagai seekor singa itu.
Kepada Thio Ou-ya dia mempersembahkan pedang itu, pedang lumut hijau milik
Pui Lok-ji. "Dia berada di tanganku, pedang ini miliknya," kata Tu Ai-hoa, "Ou-ya, asal kau
suka, gunakanlah pedang itu untuk membunuhnya "
Kelihatannya, bukan saja dia telah mempersembahkan pedang milik Pui Lok-ji, dia
juga telah mempersembahkan kehidupan anak muda itu.
Bila pedang mestika milik seorang pendekar pedang telah dijual, tak salah bukan
bila dia pun mengkhianati si pendekar pedang itu"
Kakek angker bagai seekor singa itu menatapnya dengan sorot mata tajam, lalu
diambilnya pedang itu, seraya meraba batang pedang berwarna hijau itu dia seperti
sedang membatin, "Pedang ini ditumbuhi begitu tebal lumut hijau, aneh, kenapa
pedang semacam ini dapat dipakai untuk membunuh Kiu Seng-hui serta Cang Tayhu?"
Selang sesaat kemudian dia pun menegaskan, "Jadi kau suruh aku membunuhnya?"
"Tidak!" jawab Tu Ai-hoa, "aku minta kau memakainya, menghargai
kemampuannya."
"Oya?"
"Karena bila kau dapat menghargai kemampuannya, maka kemampuan orang
macam dia jauh lebih hebat ketimbang kau memiliki tiga ribu orang prajurit," ujar Tu
24 Ai-hoa, "selama ini kau pandai menghargai kemampuan orang, kau suka memakai
orang yang berguna, kenapa kau tidak mencoba untuk memakainya?"
Dengan pandangan aneh Thio Ou-ya mengawasi wajah Tu Ai-hoa, lalu turun ke
dadanya, pinggangnya, lalu menyapu sekujur badannya, seolah dia sedang melihat
perempuan cantik itu sedang berdiri di hadapannya dalam keadaan telanjang bulat.
"Darimana kau tahu kalau aku bakal memakai orang macam dia?" ia balik
bertanya. "Karena kau sudah terbiasa melakukan pekerjaan besar. Untuk bisa melakukan
pekerjaan besar, dia mesti pandai menilai orang, pandai memanfaatkan kemampuan
seseorang. Bila kau bunuh orang macam Pui Lok-ji, sama artinya kau telah
kehilangan sebuah peluang emas, peluang yang tak mungkin bisa diperoleh kembali,"
Tu Ai-hoa berusaha senyumannya sewajar mungkin, biarpun tangannya kini telah
basah, kakinya telah dingin, namun setelah muncul di sana, dia hanya bisa maju, tak
mungkin mundur, hanya boleh berhasil, tak boleh gagal.
"Ou-ya," kembali ujarnya, "tak lama berselang, dari Pa-beng-sam-ciu (tiga arak
dari Persekutuan macan kumbang) yaitu Cia Pa-hoa, Wan Bong-tek serta Toan Tun,
kau telah dikhianati satu orang dan kehilangan dua orang yang lain, tapi dalam waktu
relatif singkat kau berhasil menarik Un Sim Lo-ki, Tong Kim-ang dan Lui Lian, jago
Am-gi, obat peledak dan jago racun untuk bekerja menggantikan mereka, hal ini
menunjukkan kalau kau memang pandai merekrut orang pintar bahkan sedang
bersiap sedia melakukan sebuah operasi akbar, kalau orang tak setia kawan macam
Kiu Seng-hui saja bisa kau pakai, rasanya tak ada alasan untuk tidak menghargai
kemampuan yang dimiliki Pui Lok-ji."
Bagaikan sedang mengamati seekor anak ayam, Thio Ou-ya mengawasi wajah Tu
Ai-hoa tanpa berkedip, lama kemudian ia baru berkata, "Darimana kau tahu jika Pui
Lok-ji bakal setia kepadaku?"
"Musuh nomor satu Persekutuan macan kumbang saat ini adalah Perkumpulan
kaum kudis, padahal Pui Lok-ji telah membantai ketua muda mereka, Seng Hau-siu,
kemudian menghabisi juga nyawa si pembunuh nomor wahid dari Perkumpulan
kaum kudis Cang Tay-hu, bayangkan sendiri, memangnya Seng It-tiauw bakal
melepaskan dia?" Tu Ai-hoa balik bertanya, "jika Pui Lok-ji tidak membantumu, dia
masih dapat membantu siapa?"
Thio Ou-ya tertawa keras, suara tawanya menggelegar bagaikan gulungan ombak
samudra yang menghantam di atas batu karang.
"Hahaha, benar, tempo hari aku memang pernah mau menggunakannya, tapi dia
kelewat sombong, kelewat takabur, tak sudi kugunakan, dan sekarang ... tangannya
juga tinggal sebelah."
"Jangan lupa Ou-ya," Tu Ai-hoa segera mengingatkan, "dalam kondisi lengannya
kutung sebelah, Pui Lok-ji telah membantai Cang Tay-hu."
Thio Ou-ya menarik kembali senyumannya, lalu dengan sorot mata yang lebih liar
dari seekor raja hutan, katanya lagi, "Bila aku mau memakai dia, kau ingin aku
25 berbuat apa" Kalau bukan keadaannya sudah terdesak, rasanya kau tak bakal datang
memohon kepadaku."
"Baik, kalau begitu aku akan berterus terang," Tu Ai-hoa segera bicara lantang,
"dia terkena kudis terbang milik Cang Tay-hu, kecuali keluarga Seng, hanya jagoan
dari keluarga Un yang bisa memunahkan pengaruh racun itu
"Hahaha, ternyata dugaanku betul," Thio Ou-ya tertawa tergelak sembari mengelus
jenggotnya yang berwarna kuning, "rupanya kau ingin aku memerintahkan Un-sim
Lo-ki untuk menunahkan racun di tubuh Pui Lok-ji."
"Jika kau punahkan racun dalam tubuhnya, sama artinya kau telah menyelamatkan
jiwanya," kata Tu Ai-hoa, "nyawanya berarti sudah menjadi milikmu."
Dengan lidahnya yang panjang berwarna merah, Thio Ou-ya menjilat ujung hidung
singanya, ia seperti sangat menikmati jilatan itu, katanya, "Waah, kalau begitu aku
yang sangat diuntungkan."
"Bukan kau yang diuntungkan, tapi ini semua berkat tawaranku yang bagus!" Tu
Ai-hoa menimpali.
"Jadi kau memang berniat membantuku" Pantas diberi hadiah!" seru Thio Ou-ya
sambil tertawa nyaring.
"Kau ingin menghadiahkan apa kepadaku?"
"Aku ingin menghadiahkan satu perkawinan, kawin denganku, jadi gundikku yang
ke-28. Jangan takut, setelah kawin, kau masih boleh selingkuh dengan lelaki lain,
tentu saja asal tidak ketahuan aku, selain itu aku pun tak akan peduli kau ingin
berbuat apa saja. Apalagi jika kau bisa membuat aku sayang kepadamu, kau boleh
berupaya untuk menyingkirkan semua gundikku termasuk bini resmiku, asal kau
mampu singkirkan mereka semua, aku tak bakal marah dengan ulahmu itu."
Walaupun di wajah Thio Ou-ya sedang tertawa, sinar matanya sama sekali tak
mengandung tertawa, "kau boleh menganggap ucapanku sebagai syarat. Tu Ai-hoa!
Selama ini, aku sama seperti Seng It-tiau, Thio Hou, Coa Kok-han, Liu Pian-soat, Ciu
Sip-si, Khou Yong-sian, hampir semuanya ingin mendapatkan dirimu, tapi walaupun
semua orang punya keinginan, tak seorang pun berani menyentuhmu. Dan sekarang,
kau sendiri yang datang mengantarkan diri, maka kau mesti menerima syaratku tadi,
boleh saja bila kau ingin aku menolong Pui Lok-ji, aku pun tak keberatan memakai
pemuda itu ... cuma tentu saja kau pun harus membuktikan dulu imbalan yang setara
dengan permintaanmu!"
la tertawa keras seperti orang sedang batuk, terusnya, "Aku Thio Ou-ya selalu
pegang janji, tapi bukan berarti aku akan baik terhadap setiap orang, siapa tahu di
kemudian hari Pui Lok-ji akan mengkhianati pula perkumpulan kami?"
la duduk di bangku, tapi badannya lebih tinggi daripada orang yang sedang berdiri,
lengannya lebih kasar daripada pinggang kebanyakan orang, ketika duduk di kursi
beralas kulit singa, apalagi berhadapan dengan seorang wanita, keadaannya lebih
mirip dengan seekor rubah, seekor rubah yang sedang mengawasi anak ayam, mirip
juga seekor ayam jago yang sedang mengawasi seekor ulat kecil.
26 Apa yang dipikir seekor anak ayam" Apa pula yang dipikir seekor ulat kecil"
Tak seorang pun tahu apa yang sedang dipikirkan Tu Ai-hoa saat itu.
Jika dia memang seekor ulat kecil, mimik muka yang ditampilkan saat ini
seharusnya seekor ulat kecil yang sedang gembira. Pedang kesepian yang tak
berperasaan telah melukai perasaan hatinya.
Ketika Pui Lok-ji sadar dari pingsannya, ia jumpai seluruh bibirnya sudah dipenuhi
semut hitam, begitu banyak semut yang menempel hingga mirip seperti berewok
tebal. Kemudian ia sadar, ternyata bukan semut yang menempel, melainkan sejenis
obat, obat yang dapat bergerak.
Cepat dia melompat bangun, tapi seluruh badannya lemas tak bertenaga, kepalanya
amat pening seakan seluruh dunia sedang berputar kencang. Tapi pedangnya masih
ada di situ, di bawah cahaya lentera, tampak Tu Ai-hoa duduk di sana, dia seperti satu
stel baju yang amat indah dan megah, seperti juga seorang wanita dengan dua
bayangan tubuh ....
Tu Ai-hoa tak punya dua bayangan, di sana memang hadir seseorang yang lain,
seorang dengan wajah putih dan mimik muka yang amat lucu. Entah lantaran bentuk
rambutnya atau karena bentuk pinggangnya, bentuk orang itu mengingatkan Pui Lokji
akan sebuah nanas.
Terdengar orang yang mirip nanas itu menyapa, "Kau telah sadar?"
"Sekarang aku sudah bangun dan duduk, kalau bukan telah sadar, memangnya aku
sedang berbuat apa?" tegur Pui Lok-ji dengan suara lemas.
"Kau tak usah marah," kata orang berbentuk nanas itu cepat, "bagaimanapun aku
terhitung tuan penolongmu."
Pui Lok-ji merasa sangat tidak nyaman dengan benda yang sedang 'merangkak'
memenuhi bibirnya, sambil menuding benda yang sedang bergerak itu, tanyanya,
"Apakah ini?"
"Bisul!"
"Bisul?" Pui Lok-ji keheranan.
"Ya, sejenis obat yang mampu menyembuhkan kudis terbang. Tanpa obat ini,


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang pipimu akan merah membengkak, sepasang bibirmu juga akan merah
membengkak, pada akhirnya napasmu semakin susah dan kemudian ... mati tercekik."
"Siapa kau?"
Orang seperti nanas itu tertawa.
"Padahal aku tak pantas disebut tuan penolongmu," katanya, kemudian sambil
menuding perempuan cantik yang sedang duduk di bawah lentera, lanjutnya, "Dialah
orang yang telah menolong jiwamu."
Selesai berkata ia segera pergi, pergi secepat hembusan angin puyuh.
27 Kini dalam kamar hanya tertinggal dia yang masih duduk penuh kesangsian serta
'dia' yang sedang meneteskan air mata di bawah cahaya lentera, ditambah sebuah
lentera di meja.
Padahal mereka berdua sama-sama masih berada di dalam kamar, siapa pun tak
pernah pergi dari situ, namun suasana di tempat itu justru begitu senyap, begitu
hening, seolah-olah berada dalam liang kubur.
"Dia adalah Un-sim Lo-ki, seorang tokoh dunia persilatan yang sukar ditangkap
ekornya," Tu Ai-hoa menjelaskan sambil tertawa, "dialah yang telah mengobatimu."
"Berapa lama dia mengobati penyakitku?" tanya
Pui Lok-ji dengan suara tenang. "Sudah sebelas hari."
"Dalam sebelas hari ini kau selalu berada di sini?"
"Tidak, aku masih ada tugas yang harus kukerjakan, aku telah menikah."
"Menikah dengan Thio Ou-ya?"
"Darimana kau bisa tahu?" Tu Ai-hoa nampak sangat terperanjat.
"Tanpa sebab tanpa musabab tak mungkin Thio Ou-ya mau mengutus Un-sim Loki
untuk mengobati keracunanku."
"Ou-ya mau menolongmu karena dia sangat menghargai bakatmu," buru-buru Tu
Ai-hoa menjelaskan.
"Aku tak punya bakat apa-apa."
"Kau berbakat tapi tak punya pilihan, aku pernah bilang, mau hidup dalam dunia
persilatan, tenaga satu orang tidak cukup untuk menjelajahi seluruhnya. Kini kau
telah memusuhi Liu Pian-soat, Cian-keng-tong juga tak akan melepaskan dirimu,
bahkan sekarang kau telah bermusuhan dengan Perkumpulan kaum kudis, jika tidak
berpaling kepada Persekutuan macan kumbang, hanya sebuah jalan kematian yang
bisa kau pilih," ujar Tu Ai-hoa setengah emosi, "padahal Thio Ou-ya telah bersusah
payah menggunakan segala akal dan cara untuk mengundang Un-sim Lo-ki agar mau
berpihak kepadanya, tak lain lantaran dia ingin menghadapi kekuatan serta pengaruh
Perkumpulan kaum kudis, khusus untuk mengatasi serangan kudis terbang dari
Perkumpulan kaum kudis. Begitu juga dengan Seng It-tiau, demi menghadapi ilmu
Toa-ci-jit-jiu (ilmu serangan patahan) dari Thio Ou-ya, dia telah mengundang Ciam
Miau-miau dari perguruan Toa-ku-san-pay, malah posisi wakil ketua Perkumpulan
kaum kudis telah diserahkan kepadanya. Ilmu pukulan sakti Sin-jiu-toa-pit-koan dari
Ciam Miau-miau memang merupakan ilmu tandingan dari pukulan Toa-ci-jit-jiu. Ini
berarti jika Thio Ou-ya berkeinginan menghancurkan Perkumpulan kaum kudis, dia
sangat butuh bantuanmu, karena kemampuanmu bisa dipakai untuk menghadapi Seng
It-tiau maupun Ciam Miau-miau."
"Jadi kau mengoceh panjang lebar, tujuannya hanya ingin aku setia kepada
Persekutuan macan kumbang?" sela Pui Lok-ji tiba-tiba.
"Tidak, aku hanya tak ingin melihat kau menjadi musuh bersama seluruh jago
dunia persilatan," jawaban Tu Ai-hoa sangat murung dan sedih.
28 "Kau tak usah kuatir," Pui Lok-ji tertawa, "aku memang punya rencana untuk
bergabung dengan sebuah kekuatan. Setelah cukup lama berkelana seorang diri, aku
memang mulai merasa lelah, mulai kaku sekujur badanku, tak mampu berkonsentrasi.
Aku pun ingin punya anak buah, ingin ternama dengan mengandalkan kekuatan
orang lain"
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Jangan kuatir, kau sudah banyak berkorban
demi aku, sekarang mau tak mau aku memang harus bergabung dengan Persekutuan
macan kumbang." Sejak bergabung dengan Persekutuan macan kumbang, tugas
pertama yang diberikan Thio Ou-ya kepada Pui Lok-ji adalah, membunuh ...
menghabisi nyawa si siluman sakti Ciam Cong-cong.
"Orang yang kau hadapi adalah jago nomor wahid dari Perkumpulan kaum kudis,
ciri khas dari jago tangguh itu adalah mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa,
karena sepanjang tahun dia hanya makan lumut, makan jamur putih. Dia persis
seperti hewan yang biasa tidur di musim salju, bisa bernapas seperti kura-kura dalam
air. Daya tahan serta kemampuannya jauh melebihi orang biasa. Kau harus
membunuhnya, tak boleh melukainya, karena betapa parahnya luka yang ia derita,
dengan cepat luka itu akan sembuh kembali, bahkan kesembuhannya begitu cepat
jauh di luar dugaan siapa pun."
Ketika menurunkan perintahnya, berulang kali Thio Ou-ya telah berpesan wantiwanti,
bahkan dia secara khusus mengutus Un-sim Lo-ki untuk mendampingi Pui
Lok-ji. "Seandainya kau terkena kudis terbang lagi, biar lebih gampang luka itu
disembuhkan!" begitu alasan Thio Ou-ya waktu itu.
Tampaknya Thio Ou-ya masih kuatir dengan pendekar berlengan satu Pui Lok-ji.
Pui Lok-ji sendiri butuh waktu tujuh belas hari sebelum berhasil membantai
siluman sakti Ciam Cong-cong.
Setelah bersusah payah, akhirnya Un-sim Lo-ki baru berhasil menguntit jejak Ciam
Cong-cong, dengan susah payah menanti dia masuk jebakan, dengan susah payah
memisahkan musuhnya dari rombongan hingga akhirnya terkepung oleh 'sepuluh isi
sembilan kosong' dan dikeroyok lima belas orang jago. Selama pertempuran sengit
berlangsung, Pui Lok-ji hanya menonton sambil berpeluk tangan, sama sekali tak
punya niat untuk ikut menyerang.
"Pengkhianat!" umpat Un-sim Lo-ki penuh gusar, saking gemasnya dia sampai
bersumpah akan melampiaskan semua kemarahannya kepada Pui Lok-ji bila
pertarungan telah berakhir nanti.
Pada saat itulah tiba-tiba Pui Lok-ji turun tangan, serangan pedangnya langsung
menusuk ke atas sepotong kayu balok.
'Kayu balok' itu tiba-tiba menjerit kesakitan, tergelepar di tanah, lalu mengejang
kaku ... ternyata Ciam Cong-cong yang dikepung lima belas orang jago itu bukan
Ciam Cong-cong asli, karena Ciam Cong-cong yang asli telah menyamar menjadi
sebatang balok kayu.
29 Akhirnya Ciam Cong-cong tewas di ujung pedang Pui Lok-ji.
Sekembalinya ke markas Pa-beng, Thio Ou-ya menganugerahi jabatan Hiang-cu
kepada Pui Lok-ji, kemudian memberinya tugas kedua ... membunuh Jan-hay Kongcu
(tuan muda tengkorak cacad) Ciam Mao-mao.
"Orang yang kau hadapi adalah seorang jago tangguh dari Perkumpulan kaum
kudis, ilmu silatnya sudah mencapai tingkat kesempurnaan, seluruh badannya
ditumbuhi selapis sisik, sisik itu ada yang tumbuh di antara jari, ada yang tumbuh di
telapak kaki, di wajah dan di kepala. Tenaga dalamnya luar biasa, saking tebalnya
sisik yang tumbuh di atas badannya, ia menjadi kebal, tenaga pukulan tak mampu
tembus, tusukan pedang pun tidak mempan ... aku kurang tahu apakah pedangmu
sanggup ...' Perkataan Thio Ou-ya kali ini jauh lebih lembut dan hangat dibandingkan ketika
bicara pada tujuh belas hari berselang.
Dia bahkan sempat bertanya, "Darimana kau bisa tahu kalau Ciam Cong-cong
gemar menyamar menjadi sebatang balok kayu" Dengan cara apa kau berhasil
menusuk balok kayu itu hingga tembus?"
"Aku tidak tahu," jawab Pui Lok-ji hambar, "aku hanya tahu 'harus dengan cara itu'
untuk menusukkan pedangku."
Pui Lok-ji butuh waktu dua puluh tujuh hari untuk menghabisi nyawa Ciam Maomao,
ketika balik ke markas, dia sudah kelelahan dan kehabisan tenaga.
Sewaktu Un-sim Lo-ki melaporkan kejadian itu kepada Thio Ou-ya, dia berkata
dengan nada suara penuh rasa kagum, "Pui Lok-ji berhasil menemukan Ciam Maomao
pada saat masih amat pagi, secara keseluruhan dia sudah menusuk sebanyak dua
puluh tujuh kali, di antaranya dua puluh enam kali berhasil bersarang di bagian
tubuhnya yang mematikan, namun semua tusukan tak mempan. Sekujur badan Ciam
Mao-mao telah ditumbuhi sisik yang amat tebal, boleh dibilang tak ada bagian tubuh
yang lemah atau terbuka. Hingga akhirnya tiba hari kedua puluh tujuh, kali ini Pui
Lok-ji sama sekali tidak menusuk dengan menggunakan ujung pedangnya, waktu itu
dia menusuk dengan memakai ujung pita yang ada di gagang senjatanya, ujung tali
itu menancap telak di dada Ciam Mao-mao
Thio Ou-ya tertawa tergelak, dia selenggarakan pesta besar untuk menghormati Pui
Lok-ji, arak wangi segera diedarkan, tarian, nyanyian menghibur seluruh hadirin,
hadiah berlimpah datang mengalir. Setelah berpesta-pora selama tiga puluh tiga hari
dan menaikkan pangkat pemuda itu menjadi seorang Thamcu yang mengepalai dua
belas cabang, dengan suara lirih dia berbisik di sisi telinga pemuda itu, katanya,
"Biarpun Ai-hoa sudah kukawini, tapi dia bersikeras ingin tetap tinggal di Lau-sanglau."
Bicara sampai di situ, ia segera mengedipkan sebelah matanya. Buat seorang kakek
macam singa jantan begini, kedipan mata macam anak muda itu nampak lucu sekali,
tapi justru di balik kelucuan mengandung makna yang jauh lebih dalam. Tambahnya,
"Dia pasti kesepian"
30 Tapi Pui Lok-ji tidak menanggapi, dia sudah kelewat lelah.
Ketika pesta mencapai hari ketiga puluh empat, tiba-tiba Thio Ou-ya mengulapkan
tangannya, musik segera berhenti, nyanyian berhenti, akrobat berhenti, hadirin pun
mulai bubar. Setelah itu dia pun menurunkan perintahnya yang ketiga ... membunuh
'Toa-lui-sin' si Dewa geledek Ciam Miau-miau.
"Orang yang bakal kau hadapi adalah ketua muda dari Perkumpulan kaum kudis,
Ciam Miau-miau, biarpun dia sudah menjadi anggota perkumpulan itu, namun ilmu
silat yang dia kuasi adalah Sin-jiu-toa-pit-koan, sebuah pukulan maut andalan partai
Toa-ku-san-pay, konon ilmu itu sengaja dipersiapkan untuk mematahkan ilmu
pukulan Toa-ci-cip-jiu milikku. Jika kau berhasil menghabisi orang ini, maka posisi
wakil Bengcu dari Persekutuan Pa-beng akan menjadi milikmu!"
Pui Lok-ji butuh waktu selama tiga puluh tujuh hari untuk menghabisi nyawa Ciam
Miau-miau, begitu tiba kembali ke dalam markas, ia segera jatuh tak sadarkan diri.
Kali ini Un-sim Lo-ki menuturkan kisah pertarungan itu dengan nada ngeri
bercampur ketakutan,
"Aku ... aku menyaksikan mereka bertempur sengit ... pertempuran itu kelewat
cepat ... kelewat menakutkan ... aku ... aku tertinggal.."
Dengan penuh kegembiraan Thio Ou-ya tertawa tergelak, sambil tertawa dia
mengelus cambangnya. Setiap kali sedang gembira, dia punya kebiasaan mengelus
cambangnya. "Jadi kau telah menghabisi nyawa Ciam Miau-miau?" tegasnya di tengah dengusan
napas Pui Lok-ji yang terengah-engah, "bagus! Hebat! Dengan cara apa kau
membunuhnya?"
"Ciam Miau-miau ... dia adalah seorang jago yang susah dibunuh," jawab Pui Lokji
kehabisan tenaga, keadaannya sekarang persis seperti lelaki mabuk yang kehabisan
tenaga, "aku hanya sanggup mendesaknya hingga terjatuh ke dalam jurang sedalam
ribuan kaki, Ban-ciang-nia."
"Itu sudah lebih dari cukup!" saking girangnya, cambang di wajah Thio Ou-ya
seolah ikut meradang bagai landak, dia tepuk-tepuk bahu Pui Lok-ji dengan kuat,
membuat pemuda itu seolah merasa tulang bahunya retak, "Bagus! Mulai hari ini kau
akan menjadi pembantu utamaku!"
Tapi dia sama sekali tidak menyinggung soal janjinya tempo hari, mempromosikan
Pui Lok-ji menjadi wakil Bengcu. Pui Lok-ji sendiri pun tidak bertanya ... mereka
berdua seakan sudah lupa akan janji itu, sudah tak teringat lagi.
Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu Tu Ai-hoa, perempuan itu sedang
muntah. Ketika ia bertemu Siau-ci untuk pertama kalinya, ia sedang berdarah, bagi
Pui Lok-ji, muntah sambil mengucurkan darah, pemandangan seperti itu
mendatangkan perasaan seakan dia sedang menghabisi nyawa seseorang.
31 Dia adalah seorang pembunuh, sehabis menghabisi nyawa orang, pihak lawan
tentu akan mengucurkan darah, bila saat itu dia sendiri tidak berdarah, akan timbul
perasaan mual dalam perutnya yang akan membuat dia ingin muntah.
Ada sementara orang, bila mengendus sejenis bau harum maka dia akan segera
teringat akan seorang wanita; Ada juga sementara orang, bila melihat sejenis bunga
sedang mekar, dia akan teringat suatu pertemuan. Demikian juga halnya dengan Pui
Lok-ji, saban kali melihat orang sedang muntah, tanpa terasa dia akan
membayangkan Tu Ai-hoa yang cantik jelita, bila melihat darah bercucuran, dia pun
akan segera terbayang wajah nona Siau-ci yang imut-imut.
Waktu itu dia pergi ke Lau-sang-lau ingin mencari Tu Ai-hoa, sebetulnya dia ingin
memberitahu perempuan itu, bahwa baru saja dia menerima tiga buah tugas penting
dari Thio Ou-ya, mungkin beberapa hari belakangan ini tak ada waktu untuk datang
menjenguknya. Tapi sewaktu tiba di bawah loteng Lau-sang-lau, di situ banyak sekali orang
berkerumum, namun anehnya sewaktu Tu Ai-hoa turun dari loteng, hanya sebagian
kecil dari kerumunan itu yang mendongakkan kepala memandang ke arahnya.
Peristiwa semacam ini jarang sekali terjadi. Biasanya bila Tu Ai-hoa muncul di
jalan raya, walau secara kebetulan ada orang terjun dari loteng untuk bunuh diri pun
kebanyakan orang masih tetap akan menengok sekejap lebih dulu ke arahnya.
Pui Lok-ji bukan orang yang suka banyak urusan, dia pun sungkan mencampuri
urusan semacam itu.
la sambut kedatangan Tu Ai-hoa, sambil berdiri dua anak tangga lebih tinggi dari
lantai, perempuan itu berkata, "Pergilah ke sana, coba periksa nona kecil itu, dia
sedang berdarah!" Dari atas loteng Pui Lok-ji melongok ke bawah, diapun segera
melihat si nona kecil itu dengan kepolosannya, ia melihat jari tangan gadis itu sedang
berdarah, air mata membasahi wajahnya. Terlepas dia sedang berdarah atau
menangis, kecantikan nona itu membuat Pui Lok-ji tertegun, sebuah kecantikan yang
terasa asing, tapi terasa juga amat mengenalnya ....
Melihat gadis kecil itu, lamat-lamat dia merasa sedang menjerit dari dasar hatinya,
apalagi ketika memandang tahi lalat kecil di atas bibir gadis itu, dia merasa termangu,
merasa tertegun hingga lama sekali dia tidak bergerak, tidak berkutik, malah tidak
tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan gadis itu.
"Hei, kenapa kau?" tiba-tiba Tu Ai-hoa menegur. Bagai baru mendusin dari
impian, Pui Lok-ji balik bertanya, "Kenapa dengan dia?"
Setelah bertanya jelas, Pui Lok-ji baru tahu, ternyata rumah bordil Lau-sang-lau
selain menyediakan perempuan-perempuan penghibur, di situ pun tersedia dapur
sehingga para tamu bisa memesan hidangan lezat untuk dinikmati.
Hari ini, putra kedua dari Liu Pian-soat yang bernama Liu Ci-ok datang mencari
hiburan, mula-mula dia datang ke kolam ikan untuk memilih seekor ikan emas yang
gemuk untuk dibuatkan hidangan ikan asam manis, sewaktu memilih ikan itulah ia
32 berjumpa dengan gadis cilik itu, si nona secara kebetulan memilih ikan yang sama,
maksudnya ingin dipelihara di rumah.
Akibatnya terjadi bentrokan dengan Liu Ci-ok, melihat nona itu masih kecil tapi
cantik dan menarik, maka dia pun menjahilinya.
Si nona tak tahan dijahili, dia merampas ikan itu dan diceburkan kembali ke dalam
kolam, tapi karena kurang hati-hati, jari tangannya tergores sirip ikan itu yang
mengakibatkan jari tangannya berdarah.
Karena terluka, nona itu menangis, tangisannya amat menyedihkan. Menggunakan
peluang itu, Liu Ci-ok mengolok sambil menjahilinya, para pengawal si nona
berusaha melindungi, namun tidak mampu menandingi kehebatan Liu Ci-ok beserta
begundalnya, ini membuat si nona semakin dijahili dengan lebih kasar.
"Kau kenal nona kecil itu?" tanya Pui Lok-ji kemudian.
Tu Ai-hoa seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian diurungkan, dia hanya
bilang, "Dia adalah seorang nona baik, jangan biarkan para begundal itu
menyakitinya."
Pui Lok-ji segera menerjang ke depan, menghadang di muka nona kecil itu seraya
mendorong mundur beberapa orang begundal yang sedang menjahili gadis itu,
tegurnya, "Kalian jangan ganggu nona itu!"
"Hmm, siapa kau" Monyet dari mana, berani amat mengusik kesenanganku,"
umpat Liu Ci-ok.
"Lebih baik kalian jangan ganggu aku!" kata Pui Lok-ji ketus.
"Aku bukan hanya akan mengganggumu, akan kutonjok mulutmu!" teriak Liu Ciok
dengan suara melengking.
Perkataan itu tak sempat diselesaikan karena Liu Ci-ok sudah keburu ngacir pergi,
ngacir seperti anjing kena gebuk karena dia sudah kehilangan tiga biji giginya.
Melihat tuannya ngacir, kawanan begundalnya tak berani berdiam diri lagi,
serentak mereka kabur meninggalkan Lau-sang-lau.
Setelah kawanan begundal itu kabur, si nona baru bertanya dengan wajah
keheranan, "Siapa kau?"
"Aku bernama Pui Lok-ji!" kemudian tanyanya pula, "bagaimana dengan jari
tanganmu?"
Si nona segera menunjukkan jari tangannya, jari tangan itu kecil, mulus dan halus,
ketika disodorkan ke muka, darah masih meleleh keluar dari mulut luka, merah tapi
terasa indah. Pui Lok-ji belum pernah melihat merahnya darah secantik ini, apalagi ketika
meleleh keluar dari ujung jari yang mungil, dia merasa seakan punya kawajiban
untuk melindungi jari tangan itu agar tidak terluka sekali lagi.


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tergopoh-gopoh Pui Lok-ji membalut luka itu, ia membalut dengan gugup
seperti belum pernah membalut luka saja.
33 "Kenapa lenganmu tinggal satu?" terdengar nona kecil itu bertanya lagi, "sewaktu
dipotong tentu terasa sakit sekali bukan" Jahat sekali orang itu."
Untuk sesaat Pui Lok-ji jadi tertegun, dia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Melihat si nona yang makin dipandang semakin manis itu, tak tahan pemuda itu
bertanya, "Siapa namamu?"
Nona itu membenahi rambutnya yang terurai karena hembusan angin, dia cuma
menaruh jari tangannya di ujung hidung sendiri, mengawasi pemuda itu sambil
tersenyum, tak sepatah kata pun diucapkan.
"Kenapa?" tanya Pui Lok-ji keheranan.
"Aku bernama ini!" sahut nona itu sambil tertawa cekikikan. "Jari (Siau-ci)?"
Kembali nona kecil itu tertawa cekikikan, tertawa sembari menggigit tahil lalat di
tepi bibirnya yang mungil.
Pui Lok-ji kuatir bila ia terbiasa menggigit tahi lalat itu, suatu hari tahi lalat itu
dapat habis ditelan olehnya ....
"Memangnya tahi lalat di atas bibirmu enak digigit?" tegurnya kemudian.
Mungkin nona itu tak paham dengan pertanyaan itu, dia hanya tersenyum tanpa
menjawab. "Kau dari marga apa?" kembali Pui Lok-ji bertanya.
"Aku tak mau menjawab," sahut si nona sambil menarik kembali jari tangannya.
"Kalau begitu, biar aku panggil kau nona Siau-ci saja, boleh kan?"
"Terserah," sahut nona Siau-ci, kemudian setelah memandang jarinya yang terluka,
dia berpaling ke arah kolam sambil mengumpat, "Dasar ikan tak tahu diri, sudah
kuselamatkan, kau malah melukai jariku ..."
"Masakah kau anggap ikan seperti manusia?" goda Pui Lok-ji sambil tertawa.
"Kalau kau tidak menganggap dia sebagai manusia, tentu dia pun tak akan
menganggap kau sebagai ikan!" sahut Siau-ci sambil mengerling nakal.
"Wow, tajam amat mulutmu!" seru Pui Lok-ji.
Sementara itu beberapa orang pengawal nona Siau-ci telah maju mengucapkan
terima kasih, kemudian minta gadis itu pulang bersama mereka.
Pui Lok-ji merasa gelisah, dia kuatir setelah berpisah, tak ada kesempatan lagi
bertemu dengan gadis itu. Dalam perjalanan hidup seseorang, kejadian seperti ini
memang sering terjadi, bila kau melepaskannya, maka selama hidup dia tak akan
muncul kembali. Biarpun baru bertemu dengan Siau-ci, tapi ia merasa hatinya begitu
gembira dan perasaannya begitu tenang, belum pernah ia merasa senyaman sekarang.
Saking cemasnya, tak tahan dia berseru, "Kau.." Siau-ci mengedipkan matanya,
menunggu pemuda itu berbicara lebih lanjut.
34 Tapi sebelum ia sempat bicara, Siau-ci kembali telah bertanya sambil tertawa,
"Kau suka makan ikan?"
"Suka, suka sekali!" jawab pemuda itu sejujurnya.
"Kalau kau berani makan ikan lagi, aku tak mau kenal denganmu," kata Siau-ci
serius. "Kalau kau larang aku makan, aku tak akan makan," jawaban dari Pui Lok-ji tak
kalah seriusnya.
Siau-ci segera tertawa, ketika tertawa seakan menyebarkan bau harum yang khas.
"Lain hari aku akan mengajakmu melihat ikan peliharaanku," katanya merdu.
Selesai berkata ia segera pergi dari situ, meski sudah jauh orangnya, namun
suaranya yang merdu seakan masih mendengung di sisi telinganya. Diam-diam Pui
Lok-ji berjanji tak akan makan ikan lagi. Bahkan secara khusus dia membeli ikan
"yang bisa menggigit jari' itu dari dapur Lau-sang-lau ... dalam pandangannya, ikan
itu sama sekali 'tak lupa budi', melainkan 'budi harus dibalas', hanya caranya
membalas budi berbeda, yaitu dengan menggigit jari tangan si nona, tapi gara-gara
kejadian itu, dia dapat berkenalan dengan nona Siau-ci.
Ketika ia berbicara lagi dengan Tu Ai-hoa, baru diketahui bajunya telah kotor
ternoda darah, darah itu pastilah darah nona Siau-ci.
Membayangkan hal itu, lamat-lamat dia merasa jari tangan sendiri ikut terasa sakit,
namun perasaannya justru terasa hangat sekali.
"Ada urusan apa hari ini kau datang kemari?" terdengar Tu Ai-hoa menegur,
sikapnya berubah amat dingin dan ketus, "biasanya kalau tak ada urusan yang
istimewa, kau tak bakal datang kemari."
"Aku hanya ingin memberitahu kepadamu, Ou-ya kembali menyerahkan tiga tugas
kepadaku, paling cepat tiga hari kemudian aku baru kembali," jawab Pui Lok-ji
seperti baru teringat tujuan utamanya datang ke situ.
"Oya?"
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, kapan kau akan berangkat?"
"Sekarang, segera berangkat!" Pui Lok-ji baru sadar dia sudah terlambat.
Setiap tugas yang diberikan Thio Ou-ya tentu saja merupakan tugas yang sulit
dikerjakan, tapi bagaimana pun juga dia harus menyelesaikan tugas-tugas itu.
"Sebetulnya ada masalah yang ingin kukatakan kepadamu, masalah mengenai nona
Siau-ci, Cuma...." Tu Ai-hoa tertawa, "lebih baik kita bicarakan setelah kau
selesaikan semua tugasmu itu, toh paling hanya tiga hari".
Maka Pui Lok-ji pun berpamitan dan pergi dari situ.
Dia pergi dengan membawa noda darah di bajunya ... noda darah itu seakan
menjadi salah satu pertanda yang membuatnya merasa gembira dan bangga.
35 Dengan termangu Tu Ai-hoa mengawasi Pui Lok-ji pergi meninggalkan tempat itu,
dia merasa pemuda itu seakan telah berganti tulang, seakan pertemuannya dengan
nona kecil itu membuat dia seperti lahir sebagai pemuda yang lain, pemuda yang
bersemangat, pemuda yang penuh dengan kegembiraan ... semua itu membuat dia
merasa sedih, murung dan terharu.
Dia murung dan terharu karena ada satu hal penting yang harus dia katakan kepada
Pui Lok-ji, pemuda itu perlu tahu dengan jelas bahwa nona Siau-ci sebenarnya
berasal dari keluarga Seng ... dia adalah putri paling kecil dari Seng It-tiau, ketua
Perkumpulan kaum kudis.
Dalam sangkaan Tu Ai-hoa, paling tiga hari kemudian ia sudah dapat memberitahu
hal ini kepada Pui Lok-ji ... selisih pun tak lebih dari tiga hari. Siapa tahu tiga hari
kemudian Pui Lok-ji belum juga muncul di situ.
Dia mencari kabar, diketahui pemuda itu sudah menyelesaikan tugasnya bahkan
telah balik, namun setiap kali menyelesaikan satu tugas, dia selalu balik dulu baru
kemudian keesokan harinya berangkat lagi untuk menyelesaikan tugas berikutnya.
Kenapa dia mesti bolak-balik" Apakah karena ingin bertemu dengan seseorang"
Tiga hari kemudian dia tidak muncul, tiga puluh hari kemudian pun dia belum
nampak bayangan Pui Lok-ji.
Pui Lok-ji yang tak pernah ingkar janji, tak pernah berbohong, kini telah ingkar
janji, telah berbohong kepadanya.
Pada hari ketiga puluh satu, Tu Ai-hoa berhasil bertemu dengan Pui Lok-ji, dia
memberitahu identitas nona Siau-ci yang sesungguhnya.
"Tak ada gunanya," pemuda itu berkata sedih, "tiga hari setelah aku bersama dia,
identitas ini telah kuketahui, jika aku sudah tahu identitasnya sebelum turun tangan
menolongnya, mungkin kabarmu ini masih berguna"
Setelah tertawa pedih, lanjutnya, "Sekarang segala sesuatunya sudah tak penting
lagi." la tertawa, sikapnya sudah tak kusam, senyumannya juga sudah jauh berbeda
ketimbang senyumannya dulu.
Tu Ai-hoa ingin bertanya kepadanya, "Pernahkah kau bayangkan bagaimana bila
Seng It-tiau mengetahui kejadian ini?" Tapi dia urung bertanya, sebab dia tahu Pui
Lok-ji bukan orang bodoh, dia tentu sudah berpikir akan hal itu.
"Baiklah," kata perempuan itu kemudian, "bila kau sudah tahu bagaimana akhir
kisah ini, pergilah dan lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kau tak perlu
memikirkan diriku, aku tak lebih hanya sahabat karibmu."
"Aku selalu melakukan apa yang ingin kulakukan," dengan penuh rasa terharu dan
terima kasih Pui Lok-ji berkata, "ada kalanya aku bukan seorang pembunuh, aku
hanya seorang gila, orang edan!"
Dengan wajah lebih cerah dan senyuman lebih lebar, dia menambahkan, "Dan
sekarang aku adalah orang edan yang paling beruntung."
36 Apa bedanya orang edan yang beruntung dan orang edan yang tidak beruntung"
Paling orang edan yang beruntung adalah orang pintar, sedang orang edan yang tak
beruntung adalah orang goblok, hanya itu bedanya.
Perkataan macam apa itu" Sebenarnya Pui Lok-ji adalah orang gila yang pintar
atau orang goblok" Semua perilakunya menggelikan, sebuah lelucon, langkah yang
goblok, sudah tahu sesuatu yang mustahil, tapi tetap dilakukan"
Terhadap Tu Ai-hoa, dia menaruh rasa terima kasih dan hutang budi, tapi terhadap
Seng Siau-ci... dia hanya tahu perasaan cinta, perasaan senang yang menggelora,
semacam perasaan jatuh cinta, seakan bertemu pujaan hati, untuk memperoleh pujaan
hati itu, dia rela mempertaruhkan keselamatannya, tak peduli bagaimana akhirnya ....
Bagi Pui Lok-ji pribadi, kejadian ini dianggapnya sebagai suatu keberuntungan,
suatu kesempatan baginya untuk kabur dari sebuah musibah, keberuntungan ini
dipandang bagai sebuah bintang kejora, sebuah bintang yang kelewat terang, kelewat
bening .... Sayang keberuntungan tak berlangsung lama, kejadian yang tak beruntung segera
menyusul tiba ... kejadian pertama yang harus dihadapi adalah ... Seng It-tiau
mengetahui peristiwa itu.
Dia menangkap Seng Siau-ci, membawanya pulang dan mengurungnya di dalam
sebuah kamar hingga gadis itu tak dapat keluar rumah.
Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, seorang diri Pui Lok-ji menyerbu ke
dalam markas besar Perkumpulan kaum kudis.
Dia telah membantai Cho-hu-hoat (pelindung hukum kiri) dari Perkumpulan kaum
kudis, si siluman sakti Ciam Cong-cong, telah membantai pelindung hukum kanan si
tuan muda tengkorak cacad Ciam Mao-mao, telah membantai putra ketuanya, Seng
Hau-siu, telah menghabisi nyawa pembunuh nomor wahid Cang Tay-hu, membantai
wakil ketuanya, si Dewa geledek Ciam Miau-miau, hampir seluruh jago andalan
perkumpulan itu telah dihabisinya, dibikin kocar-kacir, tercerai-berai ... rasa benci,
rasa dendam orang-orang Perkumpulan kaum kudis terhadapnya telah merasuk ke
tulang sumsum, merasuk ke dalam jantung, paru-paru ... dan kini, seorang diri ia
berani menyerbu ke dalam markas besar mereka, ingin meminang putri ketua mereka,
Seng Siau-ci....
Dulu, Seng It-tiau, ketua Perkumpulan kaum kudis pernah menggunakan putri
sulungnya untuk mengikat tali perkawinan dengan pihak Perkumpulan To-lo-hwe,
dia ingin menggunakan tali perkawinan itu untuk merekrut kekuatan To-lo-hwe, tapi
hasil yang diperoleh adalah suatu kejadian yang tragis, Seng Siau-ya tewas
mengenaskan gara-gara kejadian itu.
Seng It-tiau merasa amat sedih, amat sakit hati bila teringat kejadian itu, dia
putuskan untuk melarang putrinya yang paling kecil Seng Siau-ci mencampuri urusan
dunia persilatan ... tak heran kalau Seng Siau-ci sama sekali tak tahu kalau orang
yang telah memporak-porandakan kekuatan Perkumpulan kaum kudis tak lain adalah
Pui Lok-ji. 37 Ketika dia tahu akan hal ini, sama seperti yang dirasakan Pui Lok-ji, segala
sesuatunya sudah terlambat.
Sedemikian terlambatnya sampai mereka sendiri pun tak sanggup melepaskan diri,
sedemikian terlambatnya sampai mereka tak mengerti bagaimana mesti 'membenci'
lawannya. Bagi Pui Lok-ji sendiri, untuk bisa menyerbu masuk ke dalam markas besar
Perkumpulan kaum kudis, mustahil baginya untuk tidak melukai orang, tanpa
melukai orang, tak mungkin dia bisa meluruk masuk ke dalam, yang bisa dia lakukan
hanya berusaha untuk tidak membunuh, paling tidak seandainya harus melukai orang,
luka itu tidak terlampau parah. Akhirnya dia berhasil menjebol pertahanan
perkumpulan itu.
Pada saat Pui Lok-ji berhasil tiba di dalam markas besar Perkumpulan kaum kudis,
pada saat yang bersamaan Seng Siau-ci baru saja melarikan diri dari sekapan ayahnya
dan siap pergi ke markas Persekutuan macan kumbang untuk mencari Pui Lok-ji.
Ketika tahu kejadian ini, nyaris Pui Lok-ji muntah darah saking gelisahnya, dia
mulai merasa kehendak Thian seolah sedang mempermainkan dia. Lekas dia balik ke
markas Persekutuan macan kumbang dengan membawa sebelas buah luka.
Tapi sayang waktu itu Seng Siau-ci sudah terjatuh ke tangan Liat-ciu, si arak keras
Lui Lian. Lui Lian benar-benar sebuah arak keras!
Baik arak kehormatan maupun arak hukuman, yang pasti arak itu tak enak
diminum. Sama sekali tak enak diminum.
Selama hidup Pui Lok-ji tak pernah mau mengganggu orang lain, tapi orang lain
pun jangan mencoba mengganggunya.
Kini, dia lebih suka orang lain mengganggunya daripada membiarkan orang
mengganggu Seng Siau-ci, dia tak ingin gadis itu diganggu siapa pun.
Tempat itu merupakan sebuah ruang rahasia yang terbuat dari batu sekeras baja.
"Ou-ya sudah mengetahui urusanmu", itulah perkataan pertama yang diucapkan
Lui Lian kepadanya. Perkataan itu seakan sebuah pintu terali yang sedang ditarik ke
atas, Pui Lok-ji mulai merasa kesakitan pada kesebelas luka di badannya.
Tapi yang lebih sakit adalah hatinya, karena ia melihat separuh wajah Seng Siau-ci
sudah sembab membengkak lantaran ditonjok orang, air matanya jatuh bercucuran,
bahkan beberapa helai rambutnya ikut rontok ke lantai. Tapi dia tidak menangis, dia
berusaha menahan diri agar tidak menangis.
Menangis dan mengucurkan air mata adalah dua kejadian yang berbeda, ada orang
hanya melelehkan air mata tapi tidak menangis; Ada pula yang menangis tapi tidak
melelehkan air mata. Tentu saja ada juga yang menangis sambil melelehkan air mata.
Seng Siau-ci tak mau perhatian Pui Lok-ji terpecah lantaran dia.
Tapi perhatian Pui Lok-ji terpecah juga setelah bertemu dengan Seng Siau-ci,
karena hatinya teramat sakit.
38 "Kata Ou-ya, jika kau masih setia terhadap Persekutuan macan kumbang, kau
harus bunuh dia di hadapanku, habisi nyawanya!" paras muka Lui Lian sekeras baja
sewaktu mengucapkan perkataan itu.
"Bila kau habisi nyawanya, dengan kebesaran jiwa Ou-ya Tayjin, dia tak akan
mengungkit perbuatanmu di masa lalu," sehabis berkata ia tertawa, senyuman
membuat wajahnya nampak perot.
Pui Lok-ji tahu, Lui Lian adalah jago tangguh dari benteng keluarga Lui, sebuah
keluarga persilatan yang sangat ternama di wilayah Kanglam, tak ada yang tak kenal
Pek-lek-tong (Gedung geledek), juga tak ada yang tak kenal 'Hong-to-kwa-kiam'
(menyegel golok menggantung pedang).
Semenjak keluarga Lui bersumpah tak mau menggunakan golok dan memainkan
pedang lagi di dalam dunia persilatan, mereka lebih menekuni ilmu tenaga dalam,
ilmu jari serta bahan peledak, dengan kepandaian yang terakhir itulah nama besar
mereka semakin berkibar di seantero jagad.
Terlebih Lui Lian, dia adalah jago pilihan dari keluarga Lui, kalau tidak, mustahil
Thio Ou-ya mau merekrutnya dengan imbalan tinggi.
Yang paling menakutkan dari Lui Lian adalah kedahsyatan bahan peledaknya.
Sebaliknya bagi Lui Lian, yang paling menakutkan dari Pui Lok-ji adalah orang ini
tak pernah mau mengalah.
Dalam pandangan Pui Lok-ji, pertempuran adalah mengalahkan lawan, bukan saja
ia tak pernah mau mengalah, setiap tusukan pedang yang dilancarkan selalu
membawa motto "harus dengan yang ini", membantai musuh dalam satu tusukan!
"Kau tak mau membunuhnya?" senyuman Lui Lian mulai bernada mengejek,
"dugaan Ou-ya ternyata sangat tepat, kau memang mau berkhianat."
"Kau tak mau melepaskan dia?" tanya Pui Lok-ji sambil menahan rasa gusar yang
amat menyakitkan hatinya.
"Bukan saja aku tak akan membebaskan dia, bahkan akan kubunuh dirimu," ujar
Lui Lian sinis, "terus terang nona itu masih cukup beruntung nasibnya karena hari ini
jatuh ke tanganku, coba kalau terjatuh ke tangan Tong Kim-ang Pui Lok-ji tahu, dia
memang berkata sejujurnya.
"Sekujur badanmu sudah terluka," kembali Lui Lian berkata dengan nada tegas,
lebih tegas dari sepotong baja, "Jangankan kau sudah terluka, dalam keadaan sehat
pun belum tentu kau mampu menandingi aku. Sudahlah, kedudukanmu dalam
Persekutuan macan kumbang bukan diperoleh secara gampang, biarlah aku saja yang
mewakilimu membunuhnya."
Sambil berkata dia mulai mendekati tubuh Seng Siau-ci yang terbaring lemas di
atas lantai. "Jangan sentuh dia!" hardik Pui Lok-ji gusar. Serangan pedang dilancarkan, karena
dia sudah sehati dengan senjatanya, boleh dibilang sebelum ia selesai bicara,
pedangnya sudah menyerang lebih dulu.
39 Tampaknya Lui Lian sudah menduga akan datangnya serangan itu.
la segera berkelit ke samping dengan gaya membalik kereta dengan dorongan
tangan. Karena kelitannya itu, tusukan pedang Pui Lok-ji langsung mengarah tubuh
Seng Siau-ci, bila serangan itu tidak segera diurungkan, ujung senjata segera akan
bersarang di tubuh si nona.
Dalam keadaan begitu, segera pemuda itu membatalkan serangannya.
Gara-gara membatalkan serangan, posisinya segera berada di bawah angin, dalam


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan begini mau tak mau dia mesti menerima pukulan lawan dengan keras lawan
keras. "Braaak!", telapak tangan segera saling beradu.
Pui Lok-ji merasakan datangnya satu gelombang angin pukulan yang maha dahsyat
menghimpit dadanya, beruntun dia mundur sejauh sebelas langkah sebelum berhasil
berdiri tegak, tapi lantaran gempuran ini, tubuhnya yang sekeras baja mulai retak,
mulai rontok kekuatannya, nyaris badannya serasa mau meledak dan hancur
berkeping-keping.
Dengan susah payah Pui Lok-ji menarik napas panjang, tapi ia merasa masih ada
sisa tenaga pukulan yang menghimpitnya, terpaksa dia mundur tiga langkah lagi dari
posisi semula. Mendadak ia merasa angin pukulan yang semula telah sirna, di luar dugaan muncul
dan menghantam lagi ke dadanya dengan kekuatan yang lebih dahsyat. "Uaah !" tak
ampun pemuda itu muntah darah sambil mundur lagi tiga langkah, napasnya
tersengal-sengal, paras mukanya pucat-pias bagaikan mayat.
"Kau ... kenapa kau.." terdengar Seng Siau-ci menjerit takut.
Baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu untuk menghibur, lagi-lagi gelombang
angin pukulan melanda datang, tubuhnya bagaikan tergulung di tengah longsoran
salju, dadanya terasa amat sesak dan sakit, sekali lagi dia muntah darah. Tenaga
pukulan Lui Lian memang maha dahsyat.
Satu cawan arak keras yang menakutkan! Rasanya tak seorang pun sanggup
menghabiskan arak sekeras itu!
"Nah, apa aku bilang," ejek Lui Lian sambil tertawa terkekeh, "sudah kuberitahu,
kau bukan tan ..."
Perkataan itu tak sempat diselesaikan, dia memang tak mungkin bisa
menyelesaikan ucapannya.
Pui Lok-ji sudah melejit ke udara sambil mencabut pedangnya dari lantai, di antara
kilauan cahaya hijau, ujung pedang menancap di iga kanan Lui Lian.
Dalam waktu yang amat singkat, Lui Lian telah menggunakan delapan macam
gerakan tubuh, lima macam gerak langkah ditambah tiga belas macam ilmu berkelit,
tapi semuanya percuma, semuanya terlambat, tak mampu berkelit dan tak ada
gunanya. 40 Begitu tertusuk, seluruh tenaga murni yang terhimpun dalam tubuh Lui Lian tak
mampu dipancarkan keluar, bukan cuma itu, tenaga itu bahkan meledak lebih dulu di
dalam tubuhnya, nyaris membuat dia sendiri mati karena ledakan.
"Selama kau tidak mengganggu aku, aku pun tak akan mengganggumu, tahukah
kau mengapa aku tidak mencabut nyawamu?" kata Pui Lok-ji dengan napas tersengal,
"karena tadi kau tidak memakai nona Siau-ci untuk mengancamku ... kau bisa saja
berbuat begitu, namun kau tidak melakukannya."
Ketika selesai berkata, kembali ia mundur tujuh delapan langkah dengan
sempoyongan, ternyata pukulan yang dilancarkan Lui Lian tadi masih belum
mencapai ujungnya.
Menyaksikan apa yang terjadi, Lui Lian menghela napas panjang, ucapannya
sudah tidak sekeras baja, cucuran darah segar telah mengempiskan semangatnya,
memunahkan hawa membunuhnya.
Dari dalam saku dia keluarkan sebutir pil penghenti darah, pil itu sangat lembut,
lebih kecil dari sebutir pasir besi, sambil disodorkan ke hadapan Pui Lok-ji, katanya,
"Setelah terhajar ilmu pukulan Ciang-sim-lui (pukulan inti geledek) dari keluarga
Lui, lebih baik telanlah pil ini ... Ou-ya tak bakal melepaskan dirimu, sementara
lukaku ini ... ai, tak ada harganya untuk disinggung lagi."
Jangan dilihat penampilan Lui Lian sekeras baja, padahal hatinya lembek dan baik
budi, dia termasuk seorang jago yang mempunyai perasaan, kalau tidak, mana
mungkin dia mau menghadiahkan sebutir pil penawar untuk pemuda itu.
Sebaliknya Pui Lok-ji yang bertampang lembek justru memiliki semangat bagai
sembilan ekor macan kumbang yang terlepas dari kerangkeng, keteguhan hatinya
bagai sepuluh ekor banteng yang masuk ke arena pertarungan.
Di balik semua itu, Pui Lok-ji juga telah menemukan sesuatu, dia tak menyangka
Seng Siau-ci memiliki keteguhan yang jauh di luar perkiraannya.
"Aku telah membantai jago-jago perkumpulan ayahmu," ia berbisik.
"Aku tahu, tapi sewaktu melakukan pembunuhan, kau belum kenal aku."
"Aku telah mencerai-beraikan kekuatan perkumpulan ayahmu, memporakporandakan
pertahanan kalian "
"Aku tahu, kau dipaksa untuk berbuat begitu."
"Aku telah menggusarkan ayahmu."
"Selama ini semua perbuatan serta sepak terjangnya memang melanggar norma
hukum serta norma kehidupan."
"Aku bahkan telah membunuh kakakmu ... tapi demi menebus dosa dan kesalahan
ini, aku ikhlas mengurungi lenganku yang lain."
"Apa gunanya kau mengurungi lenganmu yang lain" Kau anggap satu tebasan
sudah cukup untuk menghidupkan kembali kakakku?" dengan nada polos tapi
bersungguh hati Seng Siau-ci berkata, kepolosan yang muncul dari kejujuran hatinya,
41 "Bila kau benar-benar baik kepadaku, aku pun akan baik kepadamu, segala urusan
kecil tak berharga untuk disinggung lagi, aku tak peduli apa yang pernah kau
lakukan, aku pun tak peduli apa yang akan kita lakukan setelah bersatu, bagiku yang
penting kita harus selalu bersama, sampai mati pun tetap bersama."
Setelah mendengar perkataan Seng Siau-ci ini, Pui Lok-ji segera mengajaknya
pergi, melarikan diri semampu mungkin, dia lebih percaya diri, lebih nekad untuk
kabur bersama pujaan hatinya.
Akhirnya mereka berhasil kabur dari kejaran musuh.
Hingga suatu hari, mereka telah tiba di gua Ci-ji-tong, bertemu dengan sahabat
karibnya salah seorang anggota "Semut kecil" yang berhasil lolos dari pembantaian
orang-orang Persekutuan macan kumbang, Ho Gwan-yap. Dari mulut Ho Gwan-yap
mereka baru tahu kalau Persekutuan macan kumbang telah menyebar 'Lencana
hukuman mati' ke seluruh dunia persilatan, mereka minta agar semua jago baik dari
golongan Hek-to maupun dari kalangan Pek-to bersatu padu menghadapi Pui Lok-ji
dan menghukum mati dirinya, adapun alasan yang digunakan, selain telah
mengkhianati Persekutuan macan kumbang, mereka pun menuduh pemuda itu telah
mencelakai Lui Lian hingga tewas.
Tentu saja Lui Lian bukan tewas di tangan Pui Lok-ji ... siapa yang telah
membunuhnya" Bukan hanya Pui Lok-ji, siapa pun tentu sangat paham.
Konon berita yang tersiar itu telah mengejutkan orang-orang keluarga Lui, mereka
bersumpah akan membunuh Pui Lok-ji untuk membalaskan dendam atas kematian
Lui Lian. Selain itu, lencana hukum mati juga mencantumkan selembar keterangan yang
mengatakan, Tu Ai-hoa telah terjatuh ke tangan Thio Ou-ya, karena perempuan itu
yang menyelundupkan Pui Lok-ji ke dalam Persekutuan macan kumbang sebagai
mata-mata, jadi Thio Ou-ya merasa berhak untuk menghukum mati Tu Ai-hoa, bila
Pui Lok-ji benar-benar seorang lelaki sejati, seharusnya dia balik ke markas untuk
menolong atau menggantikan posisi perempuan itu.
"Tentu saja kau tak boleh balik," selesai menceritakan berita itu Ho Gwan-yap
berkata, "kau tidak seharusnya balik, bahkan kau memang tak boleh balik."
Ketika selesai mendengar berita itu, Pui Lok-ji tidak mengatakan apa-apa, dia
hanya menemani Seng Siau-ci bermain seharian dengan penuh kegembiraan.
Menjelang senja, dengan jari tangannya yang lebih dingin dari es, Seng Siau-ci
menggenggam tangan Pui Lok-ji erat-erat, kepalanya disandarkan di atas dadanya
yang bidang, lalu sepasang matanya dengan alis yang panjang mengawasi rembulan
serta bintang yang bertaburan di angkasa, kemudian dengan suara gemetar ia
berbisik, "Kau tetap akan balik?"
"Ya!"
la merasa jari tangan Seng Siau-ci yang memegang tangannya semakin dingin dan
kaku, sampai lama kemudian nona itu baru bertanya lagi, "Kenapa?"
42 "Siau-ci, aku rela hidup demi kau, tapi jika dia menghadapi bahaya, aku pun rela
mati demi dia."
Seng Siau-ci tidak bicara lagi, dia hanya berdiri termangu sambil memandang
lentera di rumah penduduk yang padam satu demi satu, suasana kembali dalam
kegelapan dan keheningan yang luar biasa kembali mencekam seluruh jagad ... dia
merasa yang terdengar bukan hanya dengus napas manusia, ternyata pohon pun ikut
bernapas... Alam semesta ikut bernapas walaupun nona itu merasa dengusan napas membuat
ia semakin terlena, semakin terjerumus dalam kepedihan.
Lelaki yang berada di sampingnya, biarpun hanya berlengan sebelah, namun dari
dadanya yang bidang justru memancarkan kehangatan, dia sama sekali tidak iba atau
risau, seakan-akan dia tak pernah merasa bahwa segala sesuatunya mungkin segera
akan berakhir, dia seperti merasa yakin kalau mereka masih bisa hidup terus untuk
selamanya .... Ketika tiba hari akan berpisah, Pui Lok-ji hanya mengajukan satu pertanyaan
kepadanya, "Siau-ci, memangnya tahi lalat di bibirmu enak dimakan?"
Waktu itu tahi lalat yang berada di bibirnya sudah nampak sangat tipis, setipis daya
ingatnya akan masa lalu.
Setiap keluarga besar, sama seperti setiap grup atau perkumpulan yang ada di
dunia ini, begitu anggotanya makin banyak, maka segera akan muncul kelompok
"sampah". Hal yang paling menakutkan dari kelompok "sampah" ini adalah
mencelakai orang lain, mencelakai keluarga lain, bahkan mencelakai seluruh
kelompok, seluruh komunitas yang ada, tapi dia sendiri sama sekali tidak menyadari
kalau perbuatannya terkutuk, bahkan selalu beranggapan dialah orang yang paling
berjasa, dialah yang paling pantas disembah sebagai seorang pemimpin besar,
pemimpin tertinggi.
Keluarga Tong dari wilayah Suchuan termasuk keluarga kenamaan, mereka pun
sama saja mempunyai kelompok "sampah", masyarakat "sampah", Tong Kim-ang tak
diragukan merupakan "sampah di antara sampah".
Thio Ou-ya telah menyerahkan Tu Ai-hoa ke tangan Tong Kim-ang. Keputusan ini
tentu saja penuh mengandung niat jahat dan busuk ... siapa pun tahu, Tong Kim-ang
adalah seorang lelaki yang tersohor karena keganasan, kekasaran serta kekejamannya
terhadap kaum wanita, kalau bukan begitu, orang tidak menjulukinya sebagai Hoaciu,
si arak bunga. Sekarang dia sedang mengungkit masalah itu di hadapan Tu Ai-hoa, katanya,
"Tentu saja aku punya cara untuk memaksamu bicara, kalau tidak, aku tak disebut
orang sebagai arak bunga, untuk bisa minum arak bunga, orang harus membayar
dengan harga tinggi. Jadi ada baiknya kau bicara terus terang, jangan sampai makin
banyak minum arak bunga, makin menumpuk rekening yang harus dibayar."
Kemudian sambil menunjukkan gigi taringnya yang berwarna kuning dan tertawa
busuk, lanjutnya, "Kini aku sudah ketujuh kalinya bertanya, bila kau tetap tidak mau
43 menjawab, di atas tubuhmu akan bertambah lagi dengan sebuah tanda mata ... hehehe
... padahal buat apa sih kau keras kepala?"
Di atas lantai tampak ceceran darah, ada juga sampah dan kotoran bekas muntah.
Selain itu terlihat juga sebuah telinga, tiga gigi depan, sebuah geraham, secomot
rambut bercampur kulit dan darah, malah tampak sebuah kuku jari tangan.
Ketujuh macam benda itu berasal dari tubuh seseorang ... tapi sayang, dari
hilangnya ketujuh macam benda itu sama sekali tidak membuahkan sebuah jawaban
pun. Tu Ai-hoa terkapar di atas genangan darah dengan napas tersengal, dia tertawa
pedih dan katanya, "Aku tidak tahu dia berada dimana ..."
Selama hidup dia takut sakit, tapi Tong Kim-ang justru menggunakan cara yang
paling sakit dan mengarah bagian yang paling sakit untuk menyiksanya.
"Kalau tidak tahu, mana mungkin aku bisa menjawab?" serunya. Jawaban itulah
yang membuat dia kehilangan kuku jarinya, kuku itu bukan dipatahkan, tapi dicabut
keluar seakarnya.
"Tahukah kau, kenapa Ou-ya memilih aku yang menanyai kau?" tanya Tong Kimang
sambil tertawa santai.
Melihat perempuan itu memandang ke arahnya dengan penuh kebencian, kembali
ia berkata, "Tak usah kuatir, anggap saja jawabanku kali ini adalah jawaban gratis.
Pertama, Ou-ya tahu kau memang sengaja menyusupkan Pui Lok-ji ke dalam
Persekutuan macan kumbang sebagai mata-mata, dia minta aku memberi pelajaran
yang setimpal kepadamu. Kedua, Ou-ya juga tahu perempuan macam kau tak
gampang berkhianat, maka ia secara khusus mengutus aku datang kemari. Ketiga, dia
percaya hanya aku yang bisa memaksa kau untuk bicara jujur. Keempat.."
Tampaknya Tong Kim-ang mulai kesal, mulai lelah, sembari menekuk jari
jemarinya, ia melanjutkan, "Dia tak keberatan bila aku melakukan tindakan apapun
terhadapmu, kau adalah perempuan yang sudah terlalu sering dia tiduri, ia merasa kau
sudah tak berguna, maka sengaja diserahkan kepadaku, sebagai seorang jago yang
paling hebat di antara kawanan jagonya, aku tak boleh membuat dia kecewa, oleh
sebab itu kuanjurkan kau bersedia untuk bekerja sama.."
Tu Ai-hoa merangkak di lantai, memandang ke luar jendela dengan pandangan
kabur, ia merasa ujung langit di luar jendela sangat jauh ... di luar jendela adalah
loteng, ia merasa loteng itu terpisah jauh sekali dengannya.
Cahaya lentera yang menerangi ruangan itu sangat terang, seterang itukah cahaya
lentera di kamar pengantin" Bagi perempuan macam dia, selama hidup belum pernah
mencicipi kamar pengantin, bukankah hal ini sangat mengenaskan"
Bukit Huang-san, gua Ci-ji-tong. Tu Ai-hoa masih ingat benar, ketika pertama kali
berkenalan dengan Pui Lok-ji, pemuda itu pernah memberitahu alamat itu.
44 Bukit Huang-san, gua Ci-ji-tong. Dari tempat itulah pertama kali dia muncul,
walaupun dia tak tahu pemuda itu benar-benar baik kepadanya atau hanya baik di
luarnya saja, tapi ada satu hal dia percaya, pemuda itu tak bakal membohonginya.
Mungkinkah dia bersama Siau-ci berada di gunung Huang-san, gua Ci-ji-tong"
Tu Ai-hoa merasa sedih, kenapa dia tak pernah berpikir ke situ sedari awal"
Bukankah dari nama gua itu seolah Thian telah menakdirkan dia akan kawin dengan
Seng Siau-ci" Yang menggelikan, ia justru telah memperkenalkan Siau-ci padanya,
minta dia menolong nona kecil itu hingga akhirnya Pui Lok-ji terpikat oleh nona itu
.... "Aaai ... Tu Ai-hoa, Tu Ai-hoa ia berkeluh di dalam hati, "percuma kau hidup setua
ini, percuma jadi wanita cantik ... percuma jadi manusia ... Gunung Huang-san, gua
Ci-ji-tong ... sejak awal dia tak pernah membohongi aku ... hari ini, aku pun tak boleh
mengkhianatinya ..."
Dengan keadaan setengah sadar, dalam keadaan kabur dan bingung dia merangkak
menuju ke arah sumber api ... cahaya lentera itu seakan begitu jauh letaknya, lebih
jauh dari rembulan di angkasa sana
Tong Kim-ang hanya mengawasi perempuan itu tanpa bicara, dia tahu perempuan
itu tak bakal sanggup merangkak terlalu jauh.
"Sekali lagi aku bertanya kepadamu, sekarang Pui Lok-ji bersembunyi dimana?"
kembali Tong Kim-ang bertanya sepatah demi sepatah, "kau pasti tahu bukan" Cepat
katakan kepadaku, dia berada dimana ..."
Gigi depan Tu Ai-hoa sudah dihajar hingga patah, darah segar masih memenuhi
mulutnya, dengan suara terbata-bata dan tak jelas katanya, "Aku ... tii... tidak ... taa ...
tahu ... aa ... aku ... mm ... mesti jaa ... jawab baa ... gai... manaa?"
Kembali Tong Kim-ang turun tangan, ia turun tangan lebih kejam lagi, lebih sadis.
Dicengkeramnya dada Tu Ai-hoa yang lunak, lalu dengan kasar dia mencomot
payudara perempuan itu dan membetot sekalian dengan kulitnya, darah segar segera
menyembur keluar membasahi seluruh lantai, tak puas dengan cengkeraman itu,
sebuah tonjokan keras sekali lagi dilontarkan ke tubuh perempuan itu. Tu Ai-hoa
segera muntah-muntah ....
"Sekali lagi aku bertanya ..." teriak Tong Kim-ang dengan beringas, tampaknya dia
sangat menikmati cucuran darah bercampur kulit yang mengotori sekujur badan Tu
Ai-hoa, "Jika kau tetap tak mau menjawab juga, hehehe ... kau bakal kehilangan
wajah ayumu untuk selamanya."
Sembari muntah-muntah Tu Ai-hoa mencoba untuk merangkak maju sekuat
tenaga. Luka memar bercampur kucuran darah dan sobekan kulit badan telah mencuat
keluar dari balik pakaiannya yang compang-camping, keadaannya saat ini tak
ubahnya bagai sebuah sosis.
Tiba-tiba Tong Kim-ang turun tangan lagi, kali ini dia malah sama sekali tidak
mengajukan pertanyaan.
45 Lagi-lagi pipi sebelah kiri Tu Ai-hoa membengkak besar, tiga kali lipat lebih besar
dari pipi biasa, tulang mukanya ikut berubah bentuk bagai baru habis dipermak.
"Tiba-tiba saja aku sangat ingin menonjokmu," kata Tong Kim-ang sembari
menyeringai seram, "jadi jangan salahkan bila aku langsung menonjok tanpa
mengajukan pertanyaan dulu."
Sesudah tertawa keras bagai seekor hewan kelaparan, kembali dia melanjutkan,
"Sekarang kau sudah bukan wanita cantik lagi, bila pertanyaan berikut tidak kau
jawab juga, hehehe ... jangan salahkan kalau kau akan segera berubah menjadi
perempuan jelek bermata satu ... bayangkan sendiri, seorang perempuan jelek rupa,
bermata satu, berwajah perot... woww betapa seramnya ... cctt... cttt... ccctt ... bila
aku jadi suaminya, mendingan kujagal bagai babi."
"Jangan ... tolong jangan menghajar lagi," pinta Tu Ai-hoa sambil merangkak ke
sisi meja, dengan susah payah memegangi ujung meja, lalu dengan tangannya yang
gemetar mulai menggerayang di atas meja itu seperti sedang mencari sesuatu,
"Jangan ... kumohon jangan menghajar lagi, sekali lagi kau memukul ... mungkin aku


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bakal mengkhianati teman."
"Apa gunanya teman?" berkilat sepasang mata Tong Kim-ang, "kegunaan seorang
teman adalah untuk dikhianati, kalau tidak, kenapa mesti bersusah payah mencari
teman?" "Sayang manusia busuk macam kau, masih belum cukup peringkat untuk memaksa
aku berkhianat ..." ejek Tu Ai-hoa sambil tertawa.
Begitu selesai bicara, tenggorokannya langsung dihujamkan ke atas lilin yang
masih terbakar, "Ceesss!", api lilin segera padam, batang lilin patah jadi dua, tempat
lilin dengan besi yang meruncing tajam langsung menghujam ke atas
tenggorokannya, tembus hingga ke belakang leher, percikan darah segar menyembur
ke seluruh ruangan.
Gunung Huang-san, gua Ci-ji-tong ... masih ingatkah Pui Lok-ji dengan sebatang
lilin yang pernah ia hadiahkan kepadanya ketika berjumpa pertama kali dulu" Setitik
cahaya api tak akan bisa menerangi kegelapan seluruh lorong yang panjang ....
Tatkala Pui Lok-ji menjumpai jenazah Tu Ai-hoa yang penuh luka, tak utuh dan
berpelepotan darah kering membujur kaku di atas lantai, dia sama sekali tidak gusar,
juga tidak sedih. Tidak berteriak juga tidak menyesal... dia seakan sedang menikmati
kembang api yang dilepaskan di tengah udara di saat merayakan sebuah perayaan
besar.... Kemudian ia berangkat langsung ke markas besar Persekutuan macan
kumbang, sebuah tempat lilin terselip di pinggangnya, tempat lilin yang telah
mengakhiri hidup Tu Ai-hoa.
Sejak detik itu, dia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan hidupnya.
Ketika dia berhasil menembus markas besar Perkumpulan macan kumbang, empat
belas buah luka telah menghiasi sekujur rubuhnya, empat belas buah luka tidak
terhitung banyak karena sebelum menyerbu kemari, dia sudah menggembol sebelas
buah luka, ditambah bekas luka pukulan guntur hadiah Lui Lian.
46 Tampaknya pihak Persekutuan macan kumbang juga tidak melakukan perlawanan
sepenuh tenaga, tidak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghalangi
serbuannya ke dalam markas besar.
Thio Ou-ya sudah menanti kedatangannya di tengah ruangan, menanti dengan
wajah "penuh sambutan kehormatan". Kata pertama yang diucapkan kakek kekar
macam singa itu adalah, "Akhirnya aku berhasil menggiringmu datang kemari."
"Mana Tong Kim-ang?" itulah ucapan pertama yang dilontarkan Pui Lok-ji.
"Hahaha ... dia sedang menantimu!" sahut Thio Ou-ya sambil tertawa tergelak.
Tong Kim-ang dengan wajah yang putih bersemu merah, hidung yang mancung
dan tulang jidat yang tinggi berjalan keluar dengan sedikit malu-malu.
Bukan cuma Tong Kim-ang, tampak Un-sim Lo-ki dengan bentuk badannya
macam buah nanas serta delapan isi dan tujuh kosong dari "Sip-kou-kiu-khong" ikut
muncul di tempat itu. Kelihatannya mereka pun sudah cukup lama menunggu
kedatangannya. "Mampus kau kali ini!" dengan nada berbelas kasihan Thio Ou-ya berseru,
dipandangnya binatang buruannya itu dengan sinar mata iba, pandangan sedih.
Kucing menangisi tikus!
Pui Lok-ji tidak meladeni ejekan itu, ditatapnya satu per satu kawanan jago yang
mulai mengepungnya, lalu katanya, "Mereka semua adalah jago-jago tangguhmu?"
"Hahaha ... tentu saja mereka adalah kawanan jago tangguh yang kumiliki," gelak
tawa Thio Ou-ya sangat nyaring bagai deburan ombak samudra.
"Kau yang membunuh Lui Lian?" tiba-tiba Pui Lok-ji menegur.
"Dia sudah terluka parah, lagi pula telah menyerahkan obat pemunah kepadamu,"
kata Thio Ou-ya, "dia sudah melakukan dua kesalahan besar, apalagi ilmu silat yang
dia miliki kelewat tinggi, ambisi dari Perguruan geledek memang terlalu besar, aku
tidak berharap peristiwa Cia Yok-hoa di masa lampau terulang kembali, aku harus
sedia payung sebelum hujan."
"Maka kau membantainya lebih dulu?" sambung Pui Lok-ji dingin.
"Siapa yang turun tangan paling belakang dia pasti akan celaka, begitulah
kebiasaan yang terjadi di dalam dunia persilatan," kata Thio Ou-ya sambil mengelus
cambangnya, "jadi ... perkataanmu tepat sekali!"
"Siapa menyerang dulu, dialah yang menang!" hardik Pui Lok-ji nyaring, sebuah
tusukan kilat langsung ditujukan ke tubuh Thio Ou-ya.
Tong Kim-ang menggerakkan sepasang bahunya, paling tidak ada tiga ratus butir
kedelai merah, tiga ratus butir kedelai hijau, serentak menerjang ke tubuh Pui Lokji....
Jangan dilihat bentuk kedelai-kedelai itu kecil dan lembut, kekuatan serangan yang
dipancarkan ternyata mengerikan, setiap butir keledai itu sanggup menghajar dada
hingga tembus sampai punggung.
47 Pada saat itulah tampak sesosok bayangan manusia berkelebat, ujung bajunya yang
lebar mengembang di tengah udara ....
Un-sim Lo-ki tampil dengan gaya yang sama sekali berbeda, dengan cahaya terang
memancar dari wajahnya, dia mengayunkan ujung bajunya ke arah datangnya
serangan kedelai kedelai lembut itu.
Itulah Tan-siu-cing-hong (angin lembut di balik baju), sebuah jurus maut dalam
ilmu Tok-bun-sim-hoat (sim-hoat ilmu beracun) dari keluarga Un, sebuah keluarga
ahli racun yang amat tersohor di propinsi Leng-lam karesidenan Bwe-sian.
Kedelai merah, kedelai hijau itu serentak mental balik ke arah Tong Kim-ang ...
yang berbeda adalah kumpulan kedelai itu, baik yang merah maupun yang hijau kini
telah berubah menjadi kedelai beracun!
Buru-buru Tong Kim-ang berusaha melompat mundur untuk menghindarkan diri,
sayang Pui Lok-ji dengan pedang terhunus telah menanti di belakangnya!
Dengan mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya, dia mengegos ke
samping setelah bersusah payah akhirnya berhasil jug dia menghindar dari serangan
balik kumpulan kedelai beracun yang kini disertai tenaga yang sepuluh kali lipat
lebih dahsyat daripada serangannya tadi, dia pun berhasil lolos dari tusukan pedang
Pui Lok-ji yang datang dari belakang.
Segera dia lari keluar dari arena pertarungan, maksudnya hendak mengatur napas
terlebih dulu sebelum terlibat kembali dalam pertarungan sengit, namun Pui Lok-ji
tak mau memberi peluang padanya, waktu itu dia sudah mendesak sambil
melancarkan sebuah tebasan kilat.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa dia menggunakan ilmu mencengkeraman
Ki-na-jiu, berusaha untuk merebut pedang Pui Lok-ji.
Siapa sangka pada saat yang berbarengan, sebuah tempat lilin dengan besi yang
tajam telah menusuk tenggorokannya, tembus hingga ke belakang leher.
Perubahan yang sama sekali tak terduga ini membuat ia ketakutan, merasa seram,
ngeri, bergidik dan marah, satu ingatan masih sempat melintas dalam benaknya,
"Kenapa Ou-ya tidak menolongku" Kenapa" Kenapa Ou-ya tidak menolong?"
Jangankan Thio Ou-ya datang menolong, bahkan "delapan isi tujuh kosong" pun
tak punya kesempatan untuk mengalihkan perhatian, karena pada saat itulah ada dua
orang telah menerjang masuk ke arena pertarungan, mereka menyerang dengan ganas
dan garang bagaikan seekor serigala dan seekor harimau.
Orang pertama berperawakan tinggi besar dengan pedang panjang, dia adalah Ho
Gwan-yap. Seorang diri dengan mengandalkan sebilah pedang panjang berhasil mengurung
"delapan isi tujuh kosong", lima belas orang jago tangguh itu sama sekali tak mampu
berkutik, sementara orang yang lain adalah si tangan sakti Sim-jiu-toa-pit Ciam
Miau-miau, selangkah demi selangkah dia menghampiri Thio Ou-ya, seakan setiap
saat dia bisa mencabut nyawa kakek bertubuh singa itu.
48 Begitu bertemu Ciam Miau-miau, kerutan di wajah Thio Ou-ya seakan bertambah
banyak ... tentu saja dia tak akan melupakan ilmu tangan sakti Sim-jiu-toa-pit yang
memang khusus diciptakan untuk mematahkan ilmu Toa-ci-cip-jiu miliknya ... itulah
sebabnya kenapa dia mengutus orang untuk membantai Ciam Miau-miau.
Rupanya Pui Lok-ji tidak melaksanakan tugasnya, pemuda itu tidak pernah
menghabisi nyawa Ciam Miau-miau ....
Kini semua jago tangguh telah muncul di hadapannya, padahal semua jago tangguh
itu telah menjadi pembantu handal Pui Lok-ji.
Dalam pada itu Pui Lok-ji yang terluka parah, ditambah Un-sim Lo-ki dan Ciam
Miau-miau telah mengepung Thio Ou-ya dari tiga arah.
Menyaksikan akhir dari semua peristiwa ini, Thio Ou-ya menghela napas panjang,
katanya kepada Pui Lok-ji, "Ternyata dugaanku amat tepat... ternyata kau memang
mata-mata!"
"Kau keliru besar!" tukas Pui Lok-ji dengan nada penuh gusar, "sebetulnya aku
bukan mata-mata! Tapi kau telah membunuh Tu Ai-hoa, maka aku pun berbalik
melawanmu!"
Thio Ou-ya tak mau percaya, dia tak yakin pemuda itu bicara jujur.
Tiba-tiba Ciam Miau-miau bicara, ujarnya setelah menghela napas panjang,
"Dalam pertarungan tempo hari, dia berhasil melukai aku, lukaku amat parah, tapi
untuk menghabisi nyawaku mungkin dia pun harus ikut mengorbankan nyawa
sendiri. Aku tak ingin mati, tapi aku pun yakin Ou-ya tak bakal melepaskan dia, aku
ajak dia bertaruh, jika suatu hari kau benar-benar akan melenyapkan dirinya, maka
aku boleh muncul kembali dalam dunia persilatan."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Sungguh tak beruntung, dugaanku ternyata
tepat. Ketika melihat dia melepaskan mercon tanda bahaya, aku nyaris tertawa
terpingkal-pingkal hingga sakit perut."
Un-sim Lo-ki tertawa keras, katanya pula, "Sejak kau utus aku untuk mengawasi
gerak-gerik Pui Lok-ji, aku sudah dapat menduga ke arah mana jalan pikiranmu.
Demi mengembalikan nama baik Persekutuan macan kumbang, kau telah merekrut
jago-jago tangguh dari keluarga Un, keluarga Lui dan keluarga Tong untuk
membantu usahamu. Tapi kau pun takut kepada kami, curiga dengan kami, maka dari
itu terpaksa aku harus berlagak menjadi seorang jago yang paling tak berguna, agar
kau sama sekali tidak mewaspadai aku, tidak mengawasi gerak-gerikku."
Sesudah menarik napas, lanjutnya, "Dugaanku kali ini memang tepat sekali, kami
jago dari keluarga Un memang tak sudi mendukung cita-cita busuk Persekutuan
macan kumbang."
Selesai mendengar semua penjelasan itu, Thio Ou-ya mendongakkan kepalanya
dan menghela napas panjang, ditatapnya sekejap wajah Pui Lok-ji yang masih berdiri
penuh rasa dendam, kemudian keluhnya, "Aaai, aku memang tak seharusnya
mengganggumu!" TAMAT
Kisah Sepasang Rajawali 27 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Harpa Iblis Jari Sakti 33
^