Pencarian

Kisah Si Pedang Kilat 10

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya! Bagaikan seekor laba-laba yang memasang jerat, dia telah melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya, nona" Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat marah dari Kongcu."
"Jangan takut, aku yang tanggung kalau sampai koko mengetahui dan memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah saja. Kita tentukan
waktunya, kemudian setelah semua orang tidur dan keadaan sunyi, kita ketemu di pondok dan
melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang akan bertanggung jawab kalau sampai kakakmu mengetahui dan marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, tentu tidak sesukar itu dia menundukkannya, Liu Kiok Lan ini seorang gadis yang tegas, berani, memiliki harga diri yang tinggi. Seorang gadis seperti ini, walau misalnya sudah tertarik dan jatuh cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, amat menghargai
kehormatannya sebagai seorang bekas puteri istana. Buktinya, gadis itu begitu benci kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong adalah
pamannya sendiri. Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik
mungkin agar tidak sampai gagal. Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu untuk melaksanakan latihan itu. Suma Hok memilih waktu tiga malam
lagi. Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya bulan sedikitpun sehingga tentu malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan akan dibiarkan tidak terkunci daun pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu memang gelap seperti sudah diperhitungkan Suma Hok. Agaknya
keadaan malam itu membantu rencana siasatnya. Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam gelap pekat dan udara dingin, membuat orang
segan untuk keluar pintu. Taman rumah besar bekas kaisar itupun sunyi sekali. Yang terdengar hanya bunyi kerik jangkerik dan belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat terhenti sejenak dua kali karena adanya orang yang lewat memasuki taman menuju ke pondok dalam waktu yang sebentar saja
selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik terganggu dan terhenti.
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu pondok. Dia sudah berada di situ lebih dahulu. Ruangan pondok itu cukup luas, dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah, engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako." Bagaimanapun juga, berada berdua saja dengan pemuda itu di dalam pondok yang hanya diterangi lampu gantung dari luar sehingga keadaan ruangan itu remang-remang, pada malam
hari pula, mendatangkan perasaan rikuh di hatinya, maka ia pun hendak menutupi perasaan itu dengan cepat-cepat melaksanakan latihan yang dijanjikan Suma Hok kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau simpanan yang biasanya hanya diajarkan kepada anggauta keluarga turun temurun, dan yang melatih
ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti lajimnya, lalu minum ramuan obat yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah cawan dan sebungkus obat bubuk.
Dia menuangkan isi guci yang menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian
memasukkan bubuk putih dari bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk mengucapkan janji seperti yang diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan tirukan ucapanku, nona." katanya. Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji akan merahasiakan ilmu Lui-kong ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain kecuali anggauta keluarga Suma.
Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga Suma!" Lalu Suma Hok memberi isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan
keras, membuat ia tersedak, akan tetapi isi cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima
kembali cawan kosong dan berkata lembut.
"Engkau akan merasa pening sedikit, akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam
samadhi harus seperti ini, dan pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening
maka cepat ia bangkit dan menghampiri dipan, lalu duduk bersila di atas dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga bangkit dan pemuda itu agaknya duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu bertanya, "Apakah peningnya sudah hilang, nona?"
"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya! Dia tahu
benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah mempengaruhi seluruh tubuh dan juga hati dan pikiran gadis itu, membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat tanpa penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya, dan kedua telapak tangannya dia tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang, tariklah napas perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah menghimpun tenaga sakti Lui-kong-ciang!"
Kiok Lan yang sudah tidak merasa pening kini merasa seperti dalam mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main, seperti diayun-ayun, kemudian ia merasa betapa dua telapak tangan yang menempel di punggungnya, mengeluarkan hawa yang hangat
dan mendatangkan getaran yang menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat ia merasa seperti digelitik dan mula-mula bulu tengkuknya meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan. Sedikit demi sedikit, bagaikan api yang mulai membakar, ia merasakan suatu
rangsmgan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya panas, makin lama semakin panas
seperti dibakar.
"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya memburu dan suaranya seperti merintih.
Dan suara yang halus lembut itu terdengar dekat sekali dengan telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus, "Kalau panas dan gerah mengganggumu engkau boleh membuka pakaianmu, agar terasa nyaman, agar tidak mengganggu
latihanmu ... "
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi
keinginan hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang membuat ia berkeringat.
Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar teriakan, "Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin.
Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir
balik. Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-
goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan.
gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan. Kemudian Pouw Cin membalikkan tubuh karena dia mendengar angin menyambar dahsyat. Dia cepat membuat gerakan menangkis,
namun terlambat. Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari belakang terbuka dan perhatiannya masih tercurah kepada Kiok Lan sehingga tangkisannya agak terlambat.
"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat. Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah
membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali, perlawanannya tidak
berarti bagi Suma Hok. Berulang kali ujung sulingnya menemui sasaran dan tubuh Pouw Cin kembali
terjengkang atau terpelanting beberapa kali. Akhirnya, sebuah hantaman suling yang mengenai
kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Mukanya berubah kehitaman
karena keracunan, dari mata, telinga, mulut dan hidungnya keluar darah. Akan tetapi matanya masih melotot memandang kepada Suma Hok, dan bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau panglima besar yang amat setia kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis! Dia masih tersenyum ketika menghampiri dipan sambil kedua
tangannya membuka kancing bajunya, matanya berkilat dan senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok
berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...! Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang
yang bertugas menjadi pengawalnya. Mereka melihat Suma Hok berdiri di depan pondok dengan suling di tangan dan muka babak belur, pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi
mereka. "Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"
Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur
tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka telah menimpa orang yang paling Kongcu percaya ... "
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan mengguncangnya tidak sabar. Guncangan ini agaknya membuat Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua orang mundur, dan marilah kongcu bersama saya saja yang masuk melihat ... "
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua pembantunya untuk menjauh,
kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu
penerangan dari luar masuk, membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh.
Suma Hok cepat memegang lengannya.
"Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang mengetahuinya ... "
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan
mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas
panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia
mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh. Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan pakaian
setengah telanjang pula, telentang di atas dipan dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan orang lain sebelum ia sadar dari pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.
Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-
manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok
pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut, memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan yang masih agak nanar itu memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi" Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan.
Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ..." Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw mempunyai ilmu silat tinggi dan
bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan percaya kalau dikabarkan bahwa
yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal
mengerikan pada dirinya!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik. Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam rumah. Di dalam ruangan sebelah dalam yang tertutup, di
mana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak
beradik itu mendesak agar Suma Hok menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara tenang. "Kongcu, sebelumnya saya harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. Nona Liu sedang berlatih semacam ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui jendela. Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak dapat menjaga diri dan sayapun roboh tertotok dan tidak mampu bergerak sama sekali." Dia memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak. "Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak
mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan merobohkan saya dengan totokan."
(Bersambung jilid 14)
Jilid 14 MELIHAT Suma Hok berhenti bercerita dan kelihatan sedih dan bingung Kiok Lan yang sudah menduga
hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako" Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak kebingungan, sebentar memandang kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
"Toako, ceritakan, apa yang selanjutnya terjadi?" Siauw Tek mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur. Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ...
saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya memejamkan mata ... "
"Apa yang dia lakukan" Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ... "
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ... jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan merangkulnya, mencoba untuk menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan
terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui
tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya
menundukkan mukanya.
"Suma-toako, lalu apa yang terjadi" Bagaimana jahanam terkutuk itu dapat mampus?" Mendengar pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, Kongcu. Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu. Kemudian, jahanam busuk itu mengakhiri perbuatannya yang terkutuk dan agaknya hendak membunuh saya agar rahasianya tidak
sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh saya dengan totokan maut, saya
dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan menyerangnya. Kami
berkelahi dan akhirnya saya dapat merobohkan dan menewaskan manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari
dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga" Aih, aku dapat membayangkan betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu
bagaimana nanti masa depannya" Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur.
Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek menutupkan daun pintu dan kini
mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.
"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih" Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa orang, dan pembantuku yang paling baik, ternyata seorang jahanam dan kini telah tewas! Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang
setia." "Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri. Kongcu kehilangan
pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah
besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk membantu Kongcu sampai tercapai cita-cita Kongcu menumbangkan kerajaan Chi dan membangun kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.
"Terima kasih, Suma-toako. Agak terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi kenyataan, walaupun hanya kita bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya, akan tetapi hal itupun kiranya masih dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah" Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian" Justeru di situlah letak persoalannya.
Adikku, juga aku, tentu akan menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada,"
"Hemm, siapa yang akan mau" pria mana. yang akan suka berkorban seperti itu, menikahi seorang gai s yang sudah ... "
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ..."! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya. "Engkau, toako" Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ... "
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia untuk menutupi aib itu, dengan segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi menerima saya dan kalau paduka menyetujui. ... "
"Aku" Tentu saja aku setuju sepenuhnya, bahkan aku akan berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku, bagaimana mungkin ia akan menolak" Pengorbananmu ini akan menolongnya,
melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan
segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui adiknya di dalam kamar adiknya.
Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya
memasuki kamar. ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di
tepi pembaringan. "Tenangkan hatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia
masih belum dapat mengeluarkan kata-kata akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan
pertanyaan apa yang dimaksudkan kakaknya dengan ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk menikah denganmu, menjadi suamimu yang sah."
"Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "
"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan,
diperkosa oleh Pouw Cin!"
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah membalaskan sakit hatimu, telah membunuh jahanam yang berbuat keji
terhadap dirimu?"
"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk menolongku?" Ia meragu karena masih bimbang, tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan mengejutkan. Tadinya, ia sebagai seorang gadis yang lincah gembira, yang masih remaja karena usianya baru tujuh belas tahun, tiba-tiba saja telah dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan kepadamu, siauw-moi, dan dia menawarkan diri selain untuk
menggantikan Pouw Cin menjadi, pembantuku yang setia, dia juga bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu. Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi" Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang amat
baik. dan engkau mendapatkan seorang suami yang baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...!
Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan" Aku harus memberi keputusan kepada Suma-toako
sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa
tersinggung. Dia menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah
kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
Demikianlah, baru dua hari kemudian, setelah mata gadis itu tidak lagi membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis dukanya, ia memberi kesempatan kepada Suma Hok untuk bertemu
dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi Kiok Lan.
Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum
melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka. Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang,
bertaut dan akhirnya Kiok Lan lebih dahulu menundukkan mukanya, kedua pipinya agak kemerahan
karena kembali ia teringat akan peristiwa, yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda di
depannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika dengan suara lirih.
"Suma-toako, aku telah mendengar dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau menganggap aku lancang. Sesungguhnya, aku memang tidak cukup
berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... " Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap
rendah hati. "Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan itu karena engkau merasa iba kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok cepat. "Aku merasa amat iba kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap
wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik. "Hanya itu saja alasannya" Engkau hendak menikahiku hanya karena ingin menolongku, hanya karena engkau merasa iba kepadaku?" Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip. "Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan
menutup aib, bukan pula iba, melainkan sama sekali berlainan. Dia ingin memperisteri gadis itu selain untuk mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi! Sama sekali dia
tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun pertanyaan itu diam-diam mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia tersenyum malu-malu dan berkata dengan suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani mengatakan hal yang sejak dulu menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau bertanya, terpaksa aku memberanikan diri untuk mengaku terus
terang. Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya maafkan aku, akan tetapi ... sejak pertama kali kita berjumpa, sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu! Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini" Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri bangsawan, dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani menyatakan cintaku kepadamu. Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin
itu! Kemudian terjadilah malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk menyatakan kesediaanku menikahimu tentu
saja kalau nona sudi menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan. Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih
di hati gadis itu. Kalau pemuda itu hendak menikahinya hanya karena iba, hanya untuk menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan sandiwara belaka. Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan
adanya kasih sayang itu. Melihat gadis itu hanya menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga
tersenyum senang dan bangga, penuh kemenangan. Dia menanti sampai beberapa saat lamanya, dan
melihat gadis itu agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona" Percayalah andaikata nona merasa terlalu tinggi untuk menjadi
jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah
selamanya tidak akan menikah dengan wanita lain. Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan
membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama,
yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata
sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat
betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, aku minta agar urusan perjodohan ini ditunda sampai setahun lagi. Setahun kemudian, barulah aku bersedia untuk melangsungkan pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan kecewa. "Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi" Apa yang menjadi halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu kulakukan penuh kesadaran dan keikhlasan. Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun, karena bukan gairah berahi yang
mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat.
Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda") Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati. "Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki kepadamu. Bukankah
engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan
kedudukan Pouw Cin. Semua perwira diperkenalkan kepadanya, bahkan seluruh pasukan yang
jumlahnya tidak kurang dari lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata musuh, dan kini yang menjadi panglima adalah seorang tokoh kang-ouw
yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan). Para perwia juga sudah diberitahu bahwa
panglima atau komandan mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini
membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok. Pemuda yang amat cerdik inipun dapat
bertahan, mengekang gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi. Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk membujuk calon isterinya itu menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia bahkan mengajarkan ilmu silat tambahan kepada para perwira dan memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga
setiap orang perajurit merupakan tenaga yang tangguh. Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar
kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima tahun yang lalu. Dengan senang hati diapun menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek
semakin gembira dan bersemangat.
*** Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong. Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan
dari Agama Buddha yang memiliki banyak pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong membuka pintu lebar-lebar bagi kedua agama itu. Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap memusuhi para hwesio (pendeta
Buddha) yang dianggap sebagai orang-oran gasing. Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan,
menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini. Agama
Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar Siauw Bian Ong membuat permusuhan
yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut Agama Buddha tidak terbawa ke selatan. DI kerajaan ini, kedua pengikut agama itu dihargai dan dihormati, penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan perdagangan. Pedagang keluar
masuk kota raja Nan-king. dan tentu saja akibatnya banyak dibangun rumah-rumah penginapan dan
rumah-rumah makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu. Pasukan keamanan kota raja
Nan-king juga. terkenal dengan jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di kota raja itu. Tidak ada penjahat berani banyak lagak di kota raja ini, dan suasana yang terjamin keamanannya itulah yang membuat para pedagang menjadi semakin bersemangat melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan gembira. Apalagi
golongan penjahat kecil, bahkan para tokoh kang-ouw, baik golongan hitam atau putih, baik para
penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking. Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, tidak seperti bekas Kaisar Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi belaka, kurang memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya dicengkeram oleh para pembesar yang
korup. Para pembesar seperti itu, bukan hanya tidak memperhatikan nasib rakyat, bahkan lebih celaka lagi, sebaliknya dari pada mengayomi rakyat, mereka bahkan menekan rakyat dengan berbagai cara
untuk memenuhi gudang harta mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi baik" Kalau para penjahat tinggi korup, bagaimana mungkin mengharapkan para penjahat rendahan akan bersikap jujur" Dan pembesar
tinggi yang menjadi pengawas sendiri bertindak korup, bagaimana mungkin dia berani meindak
hawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil" Kalau yang di atasan jujur, sudah, pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya. Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw yang besar
yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan
Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan kokoh kuat kalau
mendapatkan dukungan rakyat jelata. Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau tidak mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat, maka kekuatan pasukan itu tidak akan banyak manfaatnya. Dan satu-satunya cara untuk memperoleh dukungan rakyat hanyalah
kalau pemerintah dapat mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata. Kalau rakyat merasa puas.
dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman
pemerintah, kalau rakyat dapat ditingkatkan taraf hidupnya, maka rakyat tentu akan mencintai
pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang mendatangkan kebahagiaan itu
sampai terancam oleh kekuasaan lain. Dan satu-satunya cara untuk mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata hanyalah dengan pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan,
menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman
dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka. Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang
memegang kemudi pemerintahan, terdiri dari orang-orang bijaksana yang tidak memetingkan diri
sendiri, tidak melakukan korupsi, tidak menekan rakyat, maka cita-cita untuk memakmurkan kehidupan rakyat bukan sekedar menjadi slogan dan mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke arah itu. Maka, tidaklah mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti Chi, kota raja Nan-king menjadi sebuah kota kerajaan yang besar, ramai dan perdagangan maju dalam segala bidang.
Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan, membunuhi seluruh keluarga raja yang ditaklukkan, bahkan
membunuhi para pejabat tinggi kerajaan yang kalah karena takut kalau-kalau mereka akan mengadakan pembalasan dan pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu, yaitu keturunan raja-raja yang memerintah kerajaan Liu-sung. Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu
pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah
kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang
baru adalah keluarga bangsawan Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang
jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah
seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut. Karena dia seorang yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar
yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan kekuasaannya, apalagi karena jabatannya mengurus kebudayaan, maka jabatannya sendiri tidak
memberi banyak kesempatan kepadanya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran.
Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.
Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya melarikan diri seperti banyak pembesar lainnya. Akan tetapi, diapun tidak lalu menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula penakut. Kalau dia tidak mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu
ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bj, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa memperdulikan keadaan rakyat, bahkan lengah terhadap
gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar
marah-marah kepadanya. Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya. Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dia tidak pernah merasa bersalah.
Kalau penguasa baru akan membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin ken mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li,
akan tetapi keluarga itu telah kehilangan puteri ini sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu! Sampai sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah.
Kwan-taijin dan isterinya merasa prihatin bukan main, apalagi ketika mereka mendengar bahwa puteri mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah
menjadi seorang hakim di kota Bi-ciu, dan setelah pergantian pemerintahan, di kerajaan Chi diapun masih tetap menjadi hakim, karena dia terkenal sebagai seorang hakim yang bijaksana dan adil sehingga pemerintah yang baru tetap mengangkat Kwan Hwe TJn ini menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua kekhawatirannya bahwa
keluarganya akan tertimpa malapetaka sebetulnya tidak terjadi. Suaminya tidak diganggu oleh penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan untuk tetap memegang jabatan lamanya.
Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi semenjak ematian isterinya, dia sudah tidak mempunyai semangat lagi, dan hanya ingin menghabiskan sisa usianya untuk bersamadhi dan melepaskan diri dari semua ikatan
keduniawian. Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya, dan empat orang pembantu rumah tangga. Hanya kadang saja, beberapa bulan atau
setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang
berkunjung, rumah gedung itu menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang
terdengar bunyi yang-kim (kecapi) yang dimainkan oleh seorang di antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut. Adapun wanita yang ke dua nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya juga cantik, pesolek dengan pakaian indah, mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun dan angkuh. Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah
jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis. Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat suasana rumah
itu, melihat pakaian pelayan wanita yang keluar menyambut, tiada bedanya dengan ramah orang biasa.
Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan kedua orang wanita cantik itu datang
berkunjung. "Ji-wi sio-cia (Nona berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.
Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia
meninggalkan rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung jatuh, semua pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak penduduk Nan-king yang lain, meninggalkan keluarga majikan mereka.
"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan telah menjadi datuk kang-ouw yang terkenal sekali, keras hati dan berwibawa, tidak urung hatinya tergetar ketika ia berada di rumah keluarga orang tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah kandungnya. Ia sudah mendengar bahwa
ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa kini yang tinggal di rumah itu tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini masih menjadi hakim di Bi-ciu.
"Maaf, nona. Saya tidak berani menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami diperbolehkan mengganggunya."
Hwe Li teringat bahwa menurut keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan
penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang
sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin bicara." katanya tak sabar.
"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian) menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan tamu yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay
memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang bentuknya kran. Diam-diam Kwan Hwe Li terharu melihat keadaan kamar itu. Semua perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai
nampak tua dan butut. Ruangan itu, yang dahulu nampak mewah, kini kehilangan kemewahannya dan
bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang semestinya minta ganti yang baru
dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.
Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke
arah pintu sebelah dalam yang terbuka. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun muncul di ambang pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengepalnya. Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit! Namun, di antara para ibu tirinya, wanita inilah yang sikapnya paling ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!" Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li! Bagaimana ibumu sekarang, nak" Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri dan merangkul pundak Hwe Li. Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa
terharu. Wanita ini, biarpun sekarang sudah tua dan keluarganya jatuh miskin, masih tetap ramah dan periang seperti dahulu. Pantas saja ayahnya masih mempertahankannya untuk menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...?"" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin!
Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan
ayah" Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li" Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan" Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."
Ling Ay cepat membungkuk dan memberi hormat. Wanita tua itu memandang, terheran-heran. "Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih secantik dan semuda dahulu, dan engkau bahkan seperti kakak beradik saja dengan muridmu ini."
"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani
mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk daun pintu, lalu mengerahkan khi kang sehingga biar suaranya hanya lirih, namun suara itu menembus ke dalam kamar dan akan
terdengar dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar. "Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan terdengar suara kaget dari dalam. Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... " Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas karena terharu melihat ayahnya kini telah menjadi seorang kakek tua renta! Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun ayahnya yang lemah
lembut itu memiliki gairah hidup yang timbul karena jiwa seninya. Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat, akan tetapi tubuhnya sudah lemah dan gemetaran!
"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua lengannya merangkul, ia merasakan betapa kedua lengannya memeluk kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya yang ke tiga tadi, dia
mendorong tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan penuh keheranan.
"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita.
Biasanya, perasaan wanita amatlah halus dan peka, dan hal ini membuat mereka emosionil dan air mata mereka selalu siap untuk dicucurkan dalam tangis. Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li bukan wanita biasa lagi. Hatinya sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi tangis. Namun kini, hampir ia tidak dapat menahan untuk tidak terisak menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada
sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk dengan penuh kegembiraan. Kakek Kwan meneriaki para
pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka mempersiapkan pesta seadanya
untuk merayakan pulangnya puteri itu.
"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay, muridku. Ling Ay, inilah ayahku, sekarang telah tua sekali." Ling Ay cepat memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata, "Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa engkau telah menjadi seorang tokoh dunia persilatan, dan kabar itu amat menggelisahkan hatiku karena engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang
berwatak iblis. Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita setengah tua yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang
membenci keluarga kita. Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.
"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, balikan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu. Beliau juga menawarkan kedudukan lama kepadaku, akan tetapi aku sudah merasa terlalu tua untuk bekerja, Hwe Li. Aku lebih suka menghabiskan sisa hidupku dengan mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi. Aku tidak bersemangat lagi untuk mencampuri urusan dunia yang penuh dengan pertentangan. Lalu sekarang ceritakan semua pengalamanmu setelah
engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay juga ingin sekali mendengarkan karena selama ini, gurunya belum pernah menceritakan dengan jelas tentang latar belakang kehidupannya. Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia segera mengenali Hwe Li. Segera iapun ikut pula duduk di ruangan itu dan mereka semua kini menanti Hwe Li menceritakan pengalamannya yang tentu akan
menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela napas panjang Hwe Li bertanya dan memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu" Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong,
melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi
meninggalkan keluargamu tanpa pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta.
Tekadku untuk membunuhnya karena ia telah menghancurkan kebahagiaan hatiku, telah
mengkhianatiku, dan kami saling mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak
senonoh dengan selir kaisar. Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Eehhh, kenapa engkau menuruti nafsu
amarah" Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku" Sekali kita
membiarkan nafsu merajalela di hati, nama kita akan diperhamba dan nafsu akan menjadi pembimbing kita yang akan menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam
petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang kebatinan dan agama. Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya hancur oleh perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin jauh meninggalkan segala yang berbau pelajaran kebatinan itu. Kini ia mendengas lagi petuah ayahnya, dan betapa
hambarnya semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu banyak perbuatan dilakukan tanpa memperhitungkan baik buruknya. Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran
itu telah sedemikian tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya! Bukannya ia tidak tahu bahwa ia telah menjadi seorang datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat,
berdosa dan sebagainya. Akan tetapi ia tidak mampu meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?"
tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan iar menggeleng kepala. "Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta, memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua percobaanku gagal. Aku tidak pernah dapat menang dalam pertandingan melawannya. Dia
memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia yang selalu mengalahkan aku,
tidak pernah mencoba untuk membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru dengan suara pujian. "Itu menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga tidak mau melukaimu, anakku.
Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan
telah menjadi buta matanya itu ternyata tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak. Tidak, dia sengaja memamerkan kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi. Akan
tetapi sekarang aku merasa puas, ayah. Aku telah menemukan jalan untuk membuat dia menderita
seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu, namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara tawa itu
terkandung sesuatu yang mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan menyadarkanmu, anakku. Dan setelah engkau pulang, kami harap engkau dan muridmu akan terus tinggal di sini. Engkau mau menemaniku ayahmu yang tidak akan lama lagi berada di dunia ini, bukan?" Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan
mengeluarkan ucapan itu karena rasa iba diri, melainkan mempunyai maksud lain. Dia menghendaki
agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga lambat laun dia akan mampu membersihkan hati
puterinya dan menyadarkannya bahwa cara hidupnya yang lalu adalah suatu penyelewengan dari pada
kebenaran. "Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana. Mungkinkah itu, ayah" Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan keluarga kaisar yang baru dan dapatkah ayah membantuku, seperti dahulu ketika aku masih gadis muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku" Dahulu, ayahmu ini masih mempunyai kedudukan, apalagi ayahmu ini yang mengajarkan sastra kepada para pangeran dan putri istana. Sekarang aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan pejabat di istana yang dapat membantu kami. Aku dan Ling Ay ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan kepandaianku sekarang, aku dapat menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, arau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri. Kalau perlu, kami bersedia diuji kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai
banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan nasihatnya sebagai seorang
sasterawan yang berpengalaman dengan urusan istana, maka diapun berhasil. Kwan Hwe Li yang
biarpun usianya sudah lima puluh tahun masih nampak cantik itu diterima sebagai pelatih silat dan tugasnya melatih para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal
permaisuri dan para puteri. Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan
komandan pasukan pengawal istana.
*** Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan
tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua matanya tidak buta, tentu dia akan mampu melakukan
perjalanan cepat sekali. Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan
perjalanan sambil meraba-raba dengan tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya,
Tiauw Hui Hong, dan melihat keadaan kerajaan Chi di Nan-king, baru kurang lebih dua li saja dia
melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat
meraba-raba jalan itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi karena mereka hanya berpapasan di jalan, diapun tidak memperdulikan lagi, tidak tahu bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari
belakang. Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia" Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi selangkah mempergunakan
tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku tahu bahwa aku bukan tandingannya. Kau bantu aku membunuh keparat jahanam itu seperti yang
telah kaujanjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi
dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus mengeroyok seorang laki-laki tua yang buta, namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah
benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu. Kalau ternyata wanita cantik itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil mencabut pedangnya. "Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini engkau akan mati di tanganku!" bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya, menusuk dada pria itu dengan kuat dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong menggerakkan tongkatnya dan tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im Sianli ..." Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi, mampuslah!?" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum
bahwa wanita bekas kekasihnya ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat hebat. Dan dia tidak mungkin hanya menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im Sianli yang menjadi seorang datuk persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas. Tongkatnya bergerak cepat dan kini Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat,
karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi semakin sakit hati kepadanya. Maka, Tiauw Sun Ong juga mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar tongkatnya
bergulung-gulung dan tongkat itu bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, membuat sinar pedang Kwan Im Sianli semakin menyempit. Melihat betapa wanita cantik itu benar-benar terdesak oleh si buta, barulah Hui Hong percaya betapa lihainya orang buta itu. Melihat jalannya pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah. Ia pun mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga
yang cukup kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang wanita itu menyerangnya dengan hebat. Akan tetapi karena tenaga kedua orang itu disatukan dalam
suatu serangan yang berbareng, tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah mengambil keputusan untuk membunuh pria yang pernah membuatnya tergila-gila ini. Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu merindukannya tanpa ada harapan sedikitpun. pria yang dicintanya ini tidak mau menjadi teman hidupnya, maka lebih baik melihat dia mati! Kwan Im Sianli memperhebat serangannya dan Hui Hong juga mengerahkan tenaga karena ia tadi merasakan betapa
kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.
Maklum bahwa bicara tidak ada gunanya terhadap Kwan Im Sianli yang berhati keras, terpaksa Tiauw Sun Ong memutar tongkat membela diri. Dia maklum bahwa orang yang membantu Bwe Si Ni itu bukan
Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti
tidak mau bekerja sama dengan saingannya itu. Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya,
Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai
terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya. Bajunya robek dan pundak itu berdarah. Maklum bahwa akhirnya dia akan roboh dan
tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan untuk melarikan
diri melainkan mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!
Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan memutar pedangnya menyerang dahsyat! Thiauw Sun Ong menangkis, akan tetapi tangan kiri wanita itu menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia bergulingan menjauh, dikejar oleh Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini menggerakkan pedangnya untuk mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun
Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat
menangkis dari samping.
"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan melompat ke belakang, tertawa nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat membencinya. Aku ingin anaknya sendiri yang membunuhnya, hi-
hik!" "Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im Sianli dan begitu pedang mereka bertemu Hui Hong terhuyung ke belakang. "Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu anakku, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Tiauw Sun Ong kini menerjang dengan
tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang! Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Perasaan girang karena ia bertemu ayahnya, juga rasa haru melihat ayahnya buta, dan bangga karena ternyata ayahnya seorang yang berilmu tinggi. Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan terdesak, apalagi setelah Hui Hong mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari kesempatan untuk melarikan diri ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal budi orang, engkau patut dibunuh. Sejak kecil aku merawatmu, mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong menjawab. Tiauw Sun Ong yang menegur orang itu, "Ouwyang Sek.
engkau manusia busuk. Hui Hong adalah anakku, anak kandung, engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang mencarimu untuk membalas atas kematian isteriku! Kwan Im Sianli, mari kita bunuh ayah dan anak keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya.
Nampak pedang berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Memang datuk ini, lihai ilmu pedangnya
sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga
menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua.
Sejenak Hui Hong terbelalak dengan muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi Ouwyang Sek mengatakan
bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian isterinya. Mungkin Tiauw


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sun Ong yang membunuh ibunya"
"Tahan ... !!" Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.
"Ayah ... " Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, "apa maksudmu dengan mengatakan kematian
ibu?" Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya
ditudingkan ke arah si buta itu.
"Dia datang dan dia yang menyebabkan ibumu mati!"
Hui Hong memutar tubuh menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya,
"Benarkah itu" Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"
Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu menunjukkan pertanyaannya
kepadanya. Dia menghela napas panjang, "Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah
bertemu denganku, karena kini ia tidak lagi perlu menyiksa batin menjadi isteri iblis ini. Dahulu ibumu terpaksa menjadi isterinya karena hendak menyelamatkan engkau."
"Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan
kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal budi, hendak membelamu. iapun
akan kubunuh!"
Ouwyang Sek menerjang lagi, menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im
Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.
Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar tongkat menangkis dan
membuat pedang kedua orang datuk itu terpental.
"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu anakku, demi Tuhan, aku tidak akan pantang membunuh kalian!"
Dua orang datuk itu kembali mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih. Sejenak Hui Hong bimbang, akan tetapi entah
mengapa, ia merasa kagum dan percaya kepada orang buta yang ia tahu adalah ayah kandungnya itu,
maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu ayahnya!
Kekurangan tingkat kepandaian Hui Hong dibandingkan kedua orang lawannya ditutup oleh kelebihan
tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya. Namun, tanpa diketahui orang lain karena dia tidak pernah mengendurkan semangatnya dan tidak pernah mengeluarkan keluhan, diam-diam Tiauw Sun Ong merasa khawatir karena luka di
pundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi kekuatannya. Oleh karena itu,
dia mengeluarkan suara melengking panjang ketika membentak dan tiba-tiba saja gerakannya amat
dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, mencoba untuk mengelak, namun tetap
saja ujung tongkat Tiauw Sun Ong berhasil menotok dada kanannya dan datuk itupun terpelanting
roboh dan mengerang kesakitan. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong
membuat ia terhuyung ke belakang. Kini, ayah dan anak itu berdiri berdampingan dan menghadap ke
arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek, sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi.
Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang
penuh kebencian. "Tiauw Sun Ong, engkau boleh menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati." Setelah berkata demikian, ia membantu Ouwyang Sek bangun berdiri, lalu menggandeng dan memapah datuk yang sudah dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ, diikuti pandang mata ayah dan anak itu. Setelah mereka pergi jauh. barulah Tiauw Sun Ong menghela napas, kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak terengah lemah.
"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan merasa kikuk untuk menyebut ayah. Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia menghampiri orang tua buta itu, merobek baju di dadanya dan memeriksa pundak yang terluka. Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di pundak ayahnya itu. Kemudian ia mengeluarkan
sehelai kain ikat pinggang dari buntalan pakaian dan membalut pundak ayahnya. Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah, merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.
"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu.
"Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini.
Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta.
"Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami
berdua?" Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun berkata, "Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya mengatakan bahwa ayah kandungku bernama
Tiauw Sun Ong. Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli mengajakku untuk
menunjukkan di mana Tiauw Sun Ong, aku ikut dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya
membunuh laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang
hendak dibunuh itu adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh ibu dikatakan ayah kandungku itu. Apakah
engkau ini yang bernama Tiauw Sun Ong" Apakah engkau ini suami ibuku, dan engkau ini sebenarnya
ayah kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah mendengar cerita ibunya mengenai hubungan ibunya dengan Tiauw Sun
Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.
"Aku Tiauw Sun Ong. dahulu pangeran kerajaan Liu-sung, dan ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. Namun, hubungan antara kami diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua
mataku, diampuni dan aku lolos dari istana, menuntut ilmu. Aku mendengar bahwa ibumu dihukum
buang oleh Kaisar, sama sekali aku tidak tahu bahwa ia ditolong oleh Ouwyang Sek dan diperisteri. Ia mau menjadi isteri Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong. Ia ingin
menyelamatkanmu. Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, dan
ketika aku datang kesana untuk meminangmu, setelah aku mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk
mencari aku. Ibumu begitu bertemu dengan aku, merasa malu dan menyesal, dan ia membunuh diri."
Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan
kesedihan hatinya dan iapun meraba-raba ke arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.
"Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah anak dari hubungan gelap antara pangeran Tiauw Sun Ong dan selir kaisar, dan hubungan itu mengakibatkan ayah kandungnya
membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri! "Ayah, kasihan sekali ibu ... "
ia meratap. Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah takdir demikikian, anakku. Aku membutakan mata, ibumu membunuh diri, dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami. Marilah, anakku, kita
kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka
ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah
kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya
menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.
*** Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang
digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram
dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh
penguasa yang bijaksana dan pandai pula.
Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan
dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing,
memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan
mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat
negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah
serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha
sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang
pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan
kekuasaannya. Jilid 15 TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah
mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika
kerajaan Liu-sung masih berdiri. Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka,
membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah. Orang tua yang cerewet, hanya
memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.
Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana.
Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru
yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat
mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini
akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.
Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai
orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.
Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari
pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara. Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. Pemerintah daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.
Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya
dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para
pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai
untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu
dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.
Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah
gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su
(Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir.
Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman.
Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara
seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam
pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan
Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara) bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan
Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!
Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk melawat ke selatan dan membawa anak buah pilihan
mereka untuk mengguncang kerajaan Chi tanpa melalui perang, melainkan melalui pengrusakan dan
pengacauan. Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh,
mengumpulkan seratus orang dan membentuk kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te-kwi pang
(Perkumpulan Setan Bumi Langit), nama yang dipakai untuk menghormati guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin. Bagaikan segerombolan iblis yang menyeramkan, seratus orang ini bersama tiga orang
pemimpin mereka, melakukan perjalanan, menyusup ke selatan secara berpencar.
Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan penyusupan itupun dilakukan
secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan
manusia iblis menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau setidaknya mengacaukan
ketenangan hidup mereka.
Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan tumbuh-tumbuhan sedang segar
segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil menikmati keindahan bumi yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang segar. Di dalam sebuah hutan, di
luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu binatang dengan anak panah mereka.
Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian
mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita bangsawan, akan tetapi bukan
puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para pengawal wanita dari istana kaisar. Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan
tahun yang masih cantik manis seperti berusia tiga puluh tahun saja itu adalah Bi Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan, sedangkan yang muda, berusia dua puluh tiga tahun dan cantik manis, adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, yang kini bekerja di istana sebagai pengawal pribadi permaisuri dan juga mengajarkan silat kepada para puteri istana dan para pengawal wanita.
Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan memburu binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li
telah merobohkan seekor kijang dengan panahnya, sedangkan muridnya, Cia Ling Ay, telah merobohkan dua ekor kelinci. Mereka manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.
Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka,
mereka tidak lagi milihat binatang buruan. Ling Ay yang merasa perutnya lapar karena mereka tadi berangkat pagi sekali dan ia belum makan apa-apa, teringat akan dua ekor kelinci hasil buruannya dan seekor kijang hasil buruan gurunya.
"Subo, sebaiknya kita sudahi saja perburuan ini. Perut teecu (murid) lapar sekali dan sebaiknya daging kelinci dan kijang itu dipanggang selagi masih segar."
Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak
dimakan binatang hutan yang lain.
Ketika mereka tiba di tempat itu, mereka melihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri dan mengangkat muka, memandang ke arah dua ekor kelinci dan seekor kijang yang tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka
terbelalak heran melihat bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik. Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa
tentu mereka itu juga pemburu-pemburu yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun
terdapat gendewa dan anak panah.
Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua
orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"
Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio.
Kami adalah tiga orang pemburu yang hendak mencoba peruntungan berburu di hutan ini. Kami
biasanya berburu di sebelah selatan, akan tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak
pemburu sehingga hasil buruan hutan amatlah kurangnya. Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini dan kami merasa heran melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana," tanya di antara mereka yang mukanya brewokan, suaranya lantang namun sikapnya tegas dan sopan. Mereka memandang ke arah gendewa dan anak panah Bi Moli.
"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambil ah kelinci dan kijang itu!"
"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun dengan gerakan yang ringan dan gesit.
Tiga orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang mukanya licin halus seperti wajah perempuan, memuji, "Kepandaian nona sungguh hebat sekali. Kami kagum dan taluk."
Orang ke tiga, yang pendek gemuk, tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi ini telah merobohkan tiga ekor binatang buruan yang gemuk dan lezat dagingnya, sedangkan kami bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"
"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu yang luar biasa!" kata pula si brewok. Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang dianggapnya palsu, maka ia ingin menghentikan rayuan
mereka dan berkata dengan suara yang agak ketus.
"Kami bukanlah wanita pemburu! Kami hanya iseng-iseng dan kami tidak ingin berkenalan dengan para pemburu."
Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru heran, "Aih, bukan pemburu" Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi tentulah wanita-wanita kangouw yang bernama besar dan berilmu tinggi!"
Ling Ay semakin tak senang. Diberi tanda untuk menghentikan percakapan, malah menjadi-jadi! Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana!
Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"
Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari pasukan pengawal
istana! Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi pimpinan dari tiga orang itu, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, di kuti dua orang kawannya. "Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf kepada kami yang lancang berani mengganggu ji-wi. Akan tetapi, karena jiwi
Sepasang Pedang Iblis 21 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1
^