Pencarian

Kisah Si Pedang Kilat 12

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


mengeroyok seorang calon, perajurit pengawal!
Tiga orang pengawal itu setelah memberi hormat kepada Kaisar, lalu siap dan mengepung Bun Houw
yang juga sudah memberi hormat dan bangkit berdiri, membiarkan dirinya dikepung oleh tiga orang
lawan yang membentuk segi tiga. Seorang di depannya, seorang di kanan dan seorang di kiri. Diam-diam dia mengamati mereka dan gerak-gerik mereka. Seorang yang menghadapinya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang mukanya penuh brewok tebal dan nampak menyeramkan.
Yang berada di kirinya seorang laki-laki tinggi kurus muka hitam arang, sedangkan yang berada di sebelah kanannya seorang laki-laki bertubuh sedang dan didahinya terdapat codet bekas bacokan
senjata tajam. Sikap mereka ketika memegang kuda-kuda saja memperlihatkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang kuat dan usia mereka rata-rata tiga puluh tahun.
Bun Houw memutar tubuhnya membelakangi mereka, memberi hormat lagi kepada kaisar dan diapun
berkata, "Hamba telah siap, Yang Mulia. Mereka itu boleh mulai menyerang sekarang."
"Hei , Koan Ji, kenapa engkau membelakangi tiga orang lawanmu?" tiba-tiba Koan-thaikam berseru karena merasa cemas melihat betapa pemuda itu membelakangi tiga orang pengeroyoknya.
"Ha-ha, kenapa engkau melakukan itu, Koan Ji" Bagaimana engkau dapat melawan tiga orang itu kalau engkau berdiri membelakangi mereka?" Kaisar juga bertanya heran dan geli.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak berani sedemikian kurang sopan untuk berdiri membelakangi
paduka." "Ha-ha-ha-ha-ha!" Sribaginda Kaisar tertawa bergelak. Pemuda ini memang lucu dan aneh. Pikirnya
"Kalau begitu, kalian saling berhadapan di sebelah kiri dan kanan, jadi tidak adanya membelakangiku."
katanya. Kini tiga orang itu sudah siap, ketiganya menghadapi Bun Houw yang berdiri seenaknya, namun
waspada dan siap siaga. "Aku sudah siap, kalian boleh mulai!" katanya tenang.
Tiga orang anggauta Thian-te Kui pang itu sebetulnya menanti agar Bun How menyerang lebih dulu.
Mereka merasa diri mereka tangguh, dan bagaimanapun mereka agak malu karena harus mengeroyok
seorang calon pengawal yang kelihatannya lemah. Akan tetapi karena pemuda itu tidak mau
menyerangnya dan mempersilakan mereka yang maju lebih dulu, merekapun mulai menyerang.
Serangan mereka merupakan pukulan yang kuat dan berat, juga cepat. Bun Houw menggerakkan tubuh,
dia menangkisi semua pukulan itu. Begitu kedua lengan bertemu, seorang penyerang mengeluh karena merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan besi panas yang amat keras! Demikian pula orang ke
dua dan ke tiga. Si raksasa brewok yang merasa paling kuat dan besar tenaganya, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dari atas ke arah kepala Bun Houw. Pemuda ini mengangkat lengan kiri
menangkis. "Dukk ...! suhhh ...!" Si raksasa brewok berteriak kesakitan, dan terhuyung ke belakang.
Bun Houw hanya mengandalkan tanaga sinkangnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan
kepandaiannya sehingga akan mencurigakan hati Ouwyang Toan. Dia tidak mau memperkenalkan diri
dan dengan tenaga sin-kang dia menangkis, juga mengelak sehingga dia sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang akan dikenal Ouwyang Toan.
Karena merasa malu, tiga orang itu menahan rasa nyeri dan mereka menyerang semakin kuat dan
gencar. Bahkan si raksasa brewok mengandalkan kakinya yang besar, kokoh dan panjang, mengayun
kaki kirinya menendang. Tendangan itu kuat bukan main dan sekiranya mengenai tubuh Bun Houw,
agaknya tubuh yang tidak berapa besar itu akan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Akan tetapi, Bun Houw tidak mengelak, bahkan menggerakkan pula kaki kanannya menyambut atau menangkis
tendangan itu. "Dukkk!" Kini si brewok raksasa itu menggigit bibir. Kiut-miut rasa kakinya, seperti patah-patah tulangnya, rasa nyeri sampai menyengat seluruh tubuh sampai ke ubun-ubun dan karena dia menahan
rasa nyeri sambil menggigit bibir, kakinya yang tidak tahan dan diapun mengangkat kaki kiri ke belakang, memeganginya dap berloncat-loncatan dengan kaki kanan!
Sribaginda Kaisar tertawa bergelak-gelak karena memang pemandangan itu lucu bukan main. Akan
tetapi Ouwyang Toan dan anak buahnya terbelalak, hampir tidak percaya betapa pemuda yang agaknya tidak pandai silat itu karena tidak pernah mengeluarkan jurus silat, ternyata memiliki kaki tangan yang agaknya kebal dan kuat sekali.
Dua orang yang lain menjadi marah dan menyerang sekuat tenaga, hanya untuk meringis karena ketika lengan mereka ditangkis, mereka merasa lengan mereka semakin nyeri seperti patah-patah. Lengan
mereka, kanan dan kiri, sudah matang biru dan bengkak-bengkak! Pada hal, lengan dan kaki mereka itu terlatih baik, sekali hantam saja lengan mereka dapat memecahkan bambu. Akan tetapi sekarang,
lengan mereka seperti diadu dengan baja!
Biarpun mereka bertiga menahan nyeri, akhirnya lengan mereka yang tidak tahan. Kedua lengan mereka itu akhirnya tergantung lemah, terkulai dan tak dapat diangkat, juga kaki mereka hampir tak kuat untuk berdiri dan dengan sendirinya perlawanan merekapun terhenti!
"Ha-ha-ha, bagaimana ini" Mengapa kalian bertiga tidak menyerang lagi?" tanya Kaisar Siauw Bian Ong gembira, pada hal dia sebagai seorang ahli silat tahu bahwa tiga orang itu sudah kalah, walaupun Koan Ji belum pernah memukul mereka!
"Kenapa kalian bertiga" Hayo jawab pertanyaan Yang Mulia!" bentak Ouwyang Toan marah dan merasa malu, juga terheran-heran melihat ulah tiga orang anak buahnya itu.
Dua orang berlutut, dan si raksasa brewok akhirnya juga berlutut menghadap kaisar dan mewakili dua orang temannya. "Mohon paduka mengampuni hamba bertiga. Yang Mulia. Hamba bertiga tidak
mampu melanjutkan pertandingan, agaknya lawan hamba itu memasang baja pada kaki tangannya ... "
"Yang mulia, hamba mohon ijin untuk memeriksa kaki dan tangan calon perajurit pengawal ini." kata Ouwyang Toan dan kaisar mengangguk.
"Periksalah, apakah benar di dalam lengan baju dan kaki celananya terdapat potongan baja." kata kaisar sambil tersenyum geli.
Sebetulnya Ouwyang Toan bukanlah seorang yang demikian bodohnya. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, iapun maklum bahwa orang yang sin-kangnya sudah amat kuat, dapat saja membuat kaki
tangannya keras seperti baja. Akan tetapi, dia tidak percaya Koan Ji memiliki sin-kang sedemikian kuatnya, maka mendengar keluhan tiga orang anak buahnya tadi, diapun merasa curiga. Setelah
mendapat ijin kaisar, Ouwyang Toan lalu menghampiri Bun Houw dan menyingkap lalu menggulung ke
atas kedua lengan baju dan pipa celananya. Akan tetapi tentu saja dia tidak menemukan apa-apa kecuali kaki dan tangan biasa yang bertulang, berotot dan berkulit!
Tentu saja Ouwyang Toan tidak dapat berkata apa-apalagi, lalu mundur sambil menundukkan mukanya.
Seorang tokoh pengawal pribadi kaisar yang sejak tadi hanya menjadi penonton bersama para pengawal pribadi lainnya, kini berkata dengan hormat, '"mpun, Yang Mulia. Menurut pendapat hamba, saudara Koan Ji ini cukup pantas untuk menjadi pengawal pribadi paduka, menambah kekuatan pasukan
pengawal pribadi paduka."
Kaisar Siauw Bian Ong menoleh ke arah lima orang pengawal pribadinya dan mereka semua
mengangguk menyetujui. Kaisar tersenyum girang. Dia menemukan seorang pengawal lain yang lihai
dan tentu saja dapat dipercaya karena pemuda itu adalah keponakan Koan-thaikam, seorang yang
sudah dipercayanya penuh sebagai seorang hamba yang setia.
Demikianlah, mulai saat itu, Bun Houw diterima sebagai seorang pengawal pribadi kaisar sehingga kini pengawal pribadi kaisar berjumlah sebelas orang yang melakukan penjagaan terhadap keselamatan
Kaisar Siauw Bian Ong pribadi, Bun Houw juga berjumpa dengan Kwan Hwe Li yang menjadi pengawal
permaisuri, akan tetapi datuk wanita itu tidak mengenalnya.
Koan-thaikam yang cerdik tidak memberitahu kepada kaisar tentang siapa sebenarnya Koan Ji, akan
tetapi, dia diam-diam mengumpulkan sepuluh orang pengawal pribadi kaisar yang lain. Dia percaya
sepenuhnya kepada sepuluh orang itu sebagai orang-orang yang setia kepada kaisar dan merupakan
pengawal lama, sejak Kaisar Siauw Bian Ong menduduki singasana kerajaan Chi yang baru. Tentu saja sepuluh orang itu tidak dapat dia kumpulkan sekaligus, hal itu tidak mungkin karena setiap saat harus ada sedikitnya dua orang pengawal yang mengawal kaisar. Bahkan kalau kaisar sedang berada di dalam kamar tidurnya, dua atau tiga orang pengawal berjaga di luar kamar itu, walaupun sudah ada pasukan istana yang melakukan penjagaan di seluruh istana. Koan-thaikam dengan cerdik dapat mengajak
sepuluh orang pengawal pribadi kaisar itu untuk mengadakan pertemuan, setiap kali hanya dengan lima orang. Dalam dua kali pertemuan saja dia sudah dapat mengadakan perundingan dengan mereka.
Sepuluh orang pengawal pribadi itu terkejut bukan main mendengar laporan Koan-thaikam yang telah mendengar rahasia Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan yang mengadakan persekutuan dengan kaki tangan
kerajaan Wei untuk melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Siauw Bian Ong.
"Koan-taijin, kalau begitu, kenapa kita tidak langsung saja menangkap para pengkhianat itu!" kata para pengawal atau jagoan istana itu dengan penasaran.
"'Atau kita langsung laporkan kepada Sri-baginda biar mereka itu ditangkap?" kata yang lain.
Akan tetapi Koan Thai-kam menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin kita lakukan, walaupun persekongkolan mereka sudah jelas karena aku telah mendengarnya sendiri. Akan tetapi apa buktinya"
Tanpa bukti, apa yang dapat kita lakukan terhadap mereka" Ingat, selain mereka itu merupakan dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga mereka telah berhasil memperoleh kedudukan yang tinggi pula, dan mendapat kepercayaan Sribaginda, Kwan Hwe Li telah menjadi pengawal permaisuri, sedangkan Ouwyang Toan telah menjadi perwira pasukan pengawal istana. Tanpa bukti, kalau kita
melaporkan kepada Sribaginda, kemudian mereka berbalik menuduh kita melakukan fitnah, kita tidak akan menang. Demikian pula, melakukan kekerasan tanpa bukti, tentu akan membuat Sribaginda marah kepada kita."
"Habis, bagaimana baiknya" Kalau kita melihat Sribaginda terancam keselamatannya, apakah kita harus tinggal diam saja?" mereka mencela.
"Tidak begitu," kata Koan-thaikam, "tentu saja kita harus bertindak dan karena itulah cu-wi (anda sekalian) saya undang untuk berunding. Kita sekarang, para pengawal pribadi Sribaginda, telah tahu akan rencana jahat mereka dan dapat melakukan penjagaan yang lebih ketat tanpa menimbulkan
kecurigaan mereka. Selain itu, kita mengadakan hubungan rahasia dengan para panglima pasukan
pengawal dan pasukan keamanan, agar mereka mempersiapkan pasukan untuk bergerak sewaktu-
waktu diperlukan. Kita mau tidak mau harus membiarkan para pengkhianat itu bergerak, agar kita dapat menindak mereka dengan bukti."
"Akan tetapi, hal itu berarti membiarkan Sribaginda terancam bahaya! Bagaimana kalau mereka turun tangan secara tiba-tiba sehingga kita terlambat dan Sribaginda dan keluarganya tertimpa bencana?"
kembali para pengawal pribadi itu membantah dan mencela dengan hati khawatir sekali, "Kami lebih condong melapor kepada Sribaginda!"
"Jangan! Cu-wi tentu telah mengenal watak Sribaginda. Beliau amat bijaksana menghargai kegagahan, juga beliau selalu bersikap adil. Kalau kita melapor, akan tetapi beliau tidak menemukan bukti,
bagaimana mungkin beliau akan menangkap dan menghukum para pengkhianat itu" Kitalah yang akan
mendapat kemarahan, atau bukan mustahil kita yang akan ditangkap dan dihukum karena dianggap
malakukan fitnah dan membuat kekacauan. Tentang keselamatan Sribaginda dan keluarganya, kenapa
khawatir" Bukankah ada cu-wi yang selalu menjaga dan mengawal Sribaginda" Dan hendaknya cu-wi
tahu bahwa pemuda yang baru saja diterima sebagai pengawal pribadi itu ... "
"Koan Ji, keponakan Koan-aijin itu?"
"Ya, dialah yang akan menjamin keselamatan Sribaginda!"
"Ah, maaf, taijin. Memang Koan Ji memiliki tubuh yang kebal dan kuat, akan tetapi apa artinya itu"
Ingat, Ouwyang-ciangkun amat lihai dan Kwan Hwe Li jauh lebih lihai lagi. Kami semua sudah
membuktikannya sendiri ketika mereka diuji. Bahkan kami akan kewalahan melawan mereka berdua.
Biarpun ditambah Koan Ji itu ... maaf. bukan kami hendak memandang rendah keponakan tai-jin,"
"Ketahuilah, Koan Ji itu bukan keponakanku! Saya memang sengaja mencari bantuan dari luar dan dia adalah orang yang dipilih oleh Hek-tung Lo-kai untuk tugas penting melindungi Sribaginda. Hanya dialah yang akan mampu menandingi Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan. Karena saya tidak ingin membuat
persekutuan itu curiga, maka saya mengakuinya sebagai keponakan dan juga agar Sri baginda percaya kepadanya."
Sepuluh orang pengawal pribadi itu merasa kagum. Kalau benar pemuda itu pilihan Hek-tung Lo-kai
yang mereka kenal sebagai seorang tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan juga mendukung
pemerintah baru, tentu pemuda itu bukan orang sembarangan.
"Akan tetapi, siapa dia sesungguhnya, taijin" Kami merasa tidak pernah mengenal seorang tokoh dunia persilatan yang wajahnya seperti dia itu."
"Tentu saja, karena itu adalah wajah penyamaran, bukan wajah aselinya. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan dia berjuluk Si Pedang Kilat! Bahkan oleh Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu dia dicalonkan menjadi beng-cu dunia persilatan."
"Bukan main! Siapa namanya, taijin?"
"Namanya Kwa Bun Houw, memang belum begitu terkenal di dunia persilatan, akan tetapi dia
merupakan seorang bintang baru yang hebat. Kalian tahu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan ... "
"Datuk sesat majikan Bukit Bayangan Iblis itu?"
"Benar, Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, dibantu oleh Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi kaki tangan kerajaan Wei, hendak memaksa Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang untuk
bekerja sama. Ketika mereka hendak membunuh kedua pang-cu itu, muncul ah Si Pedang Kilat ini dan dia yang mengalahkan para tokoh sesat itu."
Tentu saja para pangawal pribadi kaisar itu terbelalak dan sukar dapat percaya berita ini. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu mengalahkan Kui-siauw Giam-ong Suma Koam yang mereka tahu amat
sakti itu"
Para jagoan istana ini masih belum yakin benar kalau belum mengerti kepandaian Bun Houw. Mereka
mempunyai sebuah tempat tersendiri untuk berlatih silat dan tidak ada orang lain yang boleh menonton mereka berlatih. Sebagai pengawal-pengawal pribadi kaisar, tentu saja mereka memiliki pengaruh dan wibawa. Kesempatan inilah mereka pergunakan untuk menguji sendiri kepandaian Bun Houw. Kwa Bun
Houw sudah mendengar dari Koan-thaikam bahwa keadaan dirinya sudah bukan rahasia lagi bagi
sepuluh orang pengawal pribadi kaisar, maka diapun tidak berpura-pura terhadap mereka. Dalam
kesempatan berlatih, dia membiarkan dirinya dikeroyok oleh lima orang pengawal yang paling tangguh dan tanpa banyak kesukaran dia dapat mengalahkan mereka semua, baik dalam pertandingan tangan
kosong maupum mempergunakan pedang kilatnya.
Setelah sepuluh orang pengawal pribadi itu membuktikan sendiri kemampuan Bu Houw, barulah
mereka merasa tenang dan kini Bun Houw merupakan pengawal pribadi kaisar yang paling depan, selalu paling dekat dengan kaisar, terutama kalau di ruangan terbuka di mana terdapat para anggauta pasukan pengawal istana yang dipimpin oleh Ouwyang Toan. Sementara itu, Koan-thaikam juga sudah
menghubungi para pimpinan pasukan pengawal, bahkan panglimanya dan merekapun mempersiapkan
pasukan untuk turun tangan sewaktu-waktu para pengkhianat itu mengadakan gerakan.
Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan memang telah terbujuk dan mau mengadakan persekutuan
dengan kerajan Wei. Hal ini terjadi ketika Ouwyang Toan bertemu dengan ayahnya, Ouwyang Sek di luar kota raja, ketika Ouwyang Sek sengaja datang untuk bertemu dengan puteranya. Datuk sesat ini
mendengar bahwa puteranya kini menjadi seorang perwira pasukan pengawal di istana kerajaan Chi
yang baru. Hal ini membuat Ouwyang Sek marah sekali. Puteranya, putera majikan Lembah Bukit
Siluman, yang terkenal sebagai datuk besar dunia persilatan, kini merendahkan diri menjadi seorang perwira pasukan pengawal saja! Kalau menjadi pembesar yang tinggi kedudukannya, tentu akan lain
pendapatnya. Dalam keadaan marah dan murung ini, Ouwyang Sek menerima kunjungan Bu-tek Sam-kui yang telah
dikenalnya. Dia mendapat uluran tangan utusan kerajaan Wei ini yang mengajak dia untuk bersekongkol membantu bekas kaisar Cang Bu untuk merebut kembali kerajaan dari tangan kaisar Chi, dan adanya
Ouwyang Toan di istana kaisar Siauw Bian Ong sungguh merupakan keuntungan besar dan kesempatan
yang baik sekali. Ouwyang Sek mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu telah menghimpun pasukan,
bahkan kini dibantu oleh Suma Koan dan Suma Hok yang telah menjadi adik iparnya, menikah dengan
adik bekas kaisar itu, dan bahwa bekas Kaisar Cang Bu kini telah bekerja sama dengan kerajaan Wei di utara. Dengan janji bahwa kalau gerakan itu berhasil. Ouwyang Sek dan puteranya akan mendapatkan kedudukan tinggi sebagai menteri dan panglima. Ouwyang Sek menjadi bersemangat. Lenyaplah
kemarahannya terhadap puteranya dan diapun mencari puteranya, mengirim orang untuk memanggil
puteranya itu menemuinya di luar kota raja.
Ouwyang Sek yang menceritakan semua penawaran Bu-tek Sam-kui sebagai utusan ke puteranya, dan
dia menuntut agar Ouwyang Toan dapat membujuk Bi-moli untuk bekerja sama.
Bi-moli Kwan Hwe Li adalah seorang wanita yang haus cinta. Setelah ia mengalami kekecewaan karena cintanya terhadap Tiauw Sun Ong putus, kemudian setelah mereka menjadi tua, Tiauw Sun Ong tetap
tidak mau hidup bersamanya, maka kini bertemu dengan Ouwyang Toan yang muda dan pandai
mengambil hati, tentu saja membuat ia takluk. Ketika Ouwyang Toan membujuknya untuk menerima
uluran tangan kerajaan Wei, iapun tanpa berpikir panjang lagi menerimanya. Ia rela hidup dan mati bersama kekasihnya yang masih muda itu.
Demikianlah, kedua orang yang mendapatkan kepercayaan Kaisar Siauw Bian Ong ini mulai siap-siap
melaksanakan perintah dari persekutuan itu. Ouwyang Toan yang telah mendapat kepercayaan itu
berhasil menyelundupkan beberapa orang anggauta Thian-te Kui-pang reka menanti saatnya yang
matang, bukan hanya mempersiapkan para anggauta Thian-te Kui-pang yang diselundupkan sebagai
anggauta pasukan pengawal, akan tetapi juga menyebar para anggauta perkumpulan Iblis itu di kota raja agar pada saat yang ditentukan, para anggauta itu, dipimpin oleh Bu-tek Sam-kui sendiri, dapat menyerbu ke istana. Kalau penyerbuan dan pembunuhan terhtdap kaisar dan keluarganya dilaksanakan, maka pasukan bekas Kaisar Cang Bu dan pasukan bantuan dari kerajaan Wei yang sudah
mempersiapkan diri akan menyerbu masuk ke daerah kerajaan Chi, dimulai dari sarang pasukan yang
dihimpun bekas Kaisar Cang Bu.
Persiapan pertempuran! Persiapan perang! Persiapan bunuh membunuh. Kapankah keadaan seperti ini
akan berakhir" Dunia dilanda perang, permusuhan, kebencian sejak sejarah tercatat sampai kini. Tak pernah ada henti-hentinya. Perang saling bunuh, demi kemenangan, demi kedudukan, demi
keuntungan, demi nama baik, demi pemuasan dendam.. Perang senjata, perang ekonomi, perang sosiaL
perang ideologi, bahkan ada perang agama dan yang disebut perang suci! Ada yang menganggap perang satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian! Betapa palsunya omong kosong semua itu. Perang
adalah pencetusan dari kebencian, dendam, permusuhan, perebutan kekuasaan atau harta. Perang
antara bangsa hanya peluasan dari pada perang antara dua manusia yang juga menjadi akibat dari pada perang yang terjadi di dalam batin kita sendiri! Konflik batin berkembang menjadi konflik dengan manusia lain. Kemelut yang berkecamuk di dalam mencuat keluar.
Manusia yang sudah tidak memiliki lagi kasih sayang, menjadi mahluk yang lebih buas dari pada
binatang yang paling buas. Kebuasan binatang hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya, dan kebuasan
itu dituntut oleh kebutuhan untuk hidup. Akan tetapi manusia memiliki hati akal pikiran yang membuat dia menjadi lebih buas dan lebih berbahaya. Dalam perang, manusia menjadi haus darah yang ada
hanyalah membunuh atau dibunuh, cara menyelamatkan diri dengan jalan membunuh dan membunuh
lagi. Kalau sudah begini, segala kepalsuan manusiapun nampak . Bahkan Tuhan dibawa-bawa ke dalam perang saling bantai itu. Kedua pihak yang berperang memohon kepada Tuhan untuk diberi bantuan
agar menang. Tuhan dimintai bantuan untuk membunuh manusia lain sebanyak-banyaknya!
Dan yang menyedihkan sekali, setiap peperangan selalu menjadikan rakyat sebagai korban. Mereka
yang tidak tahu apa-apa, yang tidak ikut berperang, bahkan yang paling parah menderita karena perang.
Melarikan diri mengungsi ke sana ini, menjadi korban perampokan, pembunuhan, perkosaan dan
penghinaan. Mereka yang sama sekali tidak berdosa kehilangan harta milik, kehilangan rumah tinggal, kehilangan kehormatan, bahkan kehilangan nyawa.
Melihat betapa ketatnya panjagaan terhadap istana dan seluruh penghuninya, Bi Moli dan Ouwyang
Toan tidak berani melakukan gerakan dan mereka seringkali mengadakan perundingan rahasia di luar istana dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan Bu-tek Sam-kui.
"Lalu kapan rencana kita dapat dilaksanakan" Kami sudah mempersiapkan anak-buah di kota raja dan hal ini tidak dapat dilakukan terlalu lama. Kalau sampai ketahuan, tentu sebelum kita bergerak, pasukan keamanan sudah akan melakukan penggerebekan dan, semua usaha akan gagal. Bahkan dari Kaisar
Cang Bu kami sudah mendapat berita bahwa selain beliau sudah mampersiapkan pasukannya, juga Kui-
siauw Giam-ong sudah berhasil mengerahkan para tokoh kang-ouw berikut anak buah mereka yang
berhasil diajak bergabung, untuk membantu kalau terjadi keributan di kota raja." kata Pak-thian-kui yang sudah kehilangan kesabaran.
"Pak-thian-kui, semua pekerjaan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Kalau tanya serampangan saja lalu gagal, apa artinya?" Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menegur orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi itu yang tadi nadanya menegur puterinya yang dianggap bekerja lambat dan belum juga siap.
Melihat Bu-eng-kiam marah, Bi Moli cepat berkata, "Sebaiknya kita tidak meributkan persoalan ini.
Ouwyang Kongcu benar. Memang penjagaan di istana amatlah ketatnya sehingga menyulitkan kami
untuk bergerak. Kalau kami nekat, tentu akan gagal. Akan tetapi, Pak-thian-kui juga benar. Persiapan sudah dilakukan, kalau tidak cepat cepat gerakan dilakukan dan ketahuan, tentu semua akan gagal.
Sebaiknya kita mencari jalan terbaik bagaimana agar kita dapat cepat bergerak dan tidak sampai gagal."
Sejenak dalam ruangan itu menjadi hening.
Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencari jalan terbaik agar semua rencana
mereka dapat dilaksanakan. Bu-tek Sam-kui bertanggung jawab terhadap kaisar mereka yang tentu saja menghendaki agar semua rencana berhasil baik, sedangkan bekas Kaisar Cang Bu juga tentu saja sudah menanti saat terbaik yang sudah lama dinanti-nanti itu.
"Ada satu jalan yang kurasa paling baik untuk dilaksanakan," kata Kwan Hwe Li dan semua orang memandang kepadanya penuh harap.
"Jalan apa itu, Mo-li" Cepat ceritakan!" kata Bu-eng-kiam Ouwyang Sek.
"Sudah kuperhitungkan baik-baik, kalau kami yang bertugas di istana harus menyerang Kaisar
sekeluarganya, hal itu amatlah sulitnya. Penjagaan amat ketat, bahkan kurasa, pengawal pribadi yang baru dan kelihatan tidak meyakinkan itu, bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Karena itu sulit rasanya kalau sekaligus kita harus menyerang seluruh keluarga."
"Akan tetapi, Mo-li. Menurut Kaisar kami, kalau hanya membunuh kaisar kerajaan Chi saja tidak ada gunanya, karena tentu akan segera diganti oleh seorang pangeran. itulah sebabnya mengapa kami
ditugaskan untuk membasmi seluruh keluarga. Dengan demikian, tentu pemerintahannya akan menjadi
kacau seolah ular tanpa kepala, dan dalam keadaan kacau tanpa adanya raja itulah pasukan akan mulai menyerbu masuk."
Kwan Hwe Li mengangguk-angguk. "Aku mengerti, dan kiranya hanya ada satu jalan, yaitu menawan kaisar. Sebetulnya, menawan permaisuri jauh lebih mudah, akan tetapi kurang berguna. Sebaliknya, kalau kita dapat menawan kaisar, kita tentu dapat melumpuhkan semua kekuatan di istana. Dengan
kaisar sebagai sandera, kita dapat memaksa semua menteri, panglima dan pangeran untuk menyerah.
Sandera itu dapat kita pergunakan untuk menangkapi seluruh keluarga kaisar!"
"Hebat! Engkau memang lihai dan pintar sekali, Bi Moli. Akan kami laporkan jasamu ini kepada kaisar kami dan juga kepada Kaisar Ceng Bu agar kelak mereka tidak melupakan jasamu, Nah, kita laksanakan saja seperti yang direncanakan Moli tadi."
Mereka lalu mangadakan perundingan, Bi Moli dan Ouwyang Toan akan melaksanakan penawanan
terhadap kaisar itu, dengan bantuan enam orang anggauta Thian-te Kui-pang yang menjadi pengawal.
Kalau mereka berdua telah berhasil menawan kaisar, maka mereka akan menggunakan kaisar sebagai
sandera untuk memasukkan semua anggauta Thian-te Kui-pang yang sudah berada di kota raja untuk
menguasai istana. Kesempatan itu pula akan dipergunakan oleh Bu-tek Sam-kui dan Bu-eng-kiam untuk memasuki istana, memim pin pasukan Thian-te Kui-pang untuk menangkapi semua keluarga kaisar dan
sekutunya. Bahkan mereka telah menentukan harinya, yaitu tiga hari lagi ketika Kaisar Siauw Bian Ong pergi ke kuil istana dan melakukan sembahyang bersama permaisuri. Saat itu memang tepat karena
kaisar dan permaisuri berada di satu tempat sehingga tentu saja Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan dapat pula berada di sana dan bersama-sama mereka dapat melaksanakan penawanan itu. Kalau mungkin,
mereka bahkan dapat menawan kaisar dan permaisurinya, sedangkan anak buah Ouwyang Toan yang
enam orang dapat membantu melumpuhkan para pengawal lain yang hendak menghalangi gerakan
mereka. Mereka sudah memperhitungkan bahwa paling banyak akan ada tiga atau empat orang
pengawal pribadi kaisar dan Kwan Hwe Li yakin akan mampu mengatasi mereka, sedangkan Ouwyang
Toan akan menawan kaisar dilindungi anak buahnya yang penting, asal kaisar sudah jatuh ke tangan mereka, tentu semua perlawanan akan dapat dihentikan dengan menjadikan kaisar itu seorang sandera yang amat penting dan berharga.
Kuil istana pagi itu nampak meriah dan sibuk sekali. Para hwesionya mengenakan jubah bersih dan
wajah merekapun nampak segar berseri. Semua orang menyambut pagi itu dengan hati gembira karena
hari itu Kaisar Siauw Bian Ong dan permaisuri akan melakukan sembahyang leluhur di kuil istana. Jarang sekali kaisar sendiri melakukan sembahyang di kuil dan setiap kali hal ini terjadi, para hwesio di kuil itu merasa mendapat kehormatan besar. Kaisar Siauw Bian Ong memang pandai sekali mengambil hati
rakyat dari semua golongan. Dia bijaksana pula terhadap para hwesio di kuil ini sehingga para pendeta itu juga kagum dan memujinya, tak pernah melalaikan menyebut nama sribaginda dalam sembahyangan
mereka mendoakan yang baik-baik bagi kaisar yang bijaksana itu.
Sejak pagi tadi, sebelum kaisar dan permaisuri pergi ke kuil itu, Ouwyang Toan telah sibuk bersama dua belas orang anak buahnya, melakukan pembersihan, di kuil itu.
Hanya para hwesio saja yang diperkenankan berada di kuil. Para hwesio dipesan agar dalam sehari itu, tidak seorangpun boleh berkunjung ke kuil, demi keamanan kaisar dan permaisuri. Para hwesio menaati perintah perwira pasukan pengawal ini dan mereka sibuk mempersiapkan semua keperluan
sembahyang itu. Semua perlengkapan telah dipersiapkan, meja diberi tilam baru yang indah, bahkan seluruh ruangan sembahyang telah dibersihkan dan dicat baru sejak beberapa hari yang lalu.
Lantainyapun mengkilap karena dipel sampai beberapa kali oleh para hwesio. Pendeknya, ruangan
sembahyang itu menjadi tempat yang bersih dan menyenangkan. Pot-pot bunga dengan yang mekar
semerbak menghiasi semua sudut ruangan. Sejak pagi, dupa harum dibakar sehingga ruangan itu berbau harum dan terasa nyaman. Ouwyang Toan sengaja mengatur agar penjagaan di sebelah dalam ruangan
sembahyang dilakukan oleh enam orang anak buahnya sedangkan perajurit pasukan pengawal yang lain berjaga di ruangan depan dan belakang. Setelah semua persiapan selesai, dia lalu melapor kepada Kaisar Siauw Bian Ong yang sudah bersiap dengan permaisurinya.
Matahari sudah naik tinggi dan hawa udara tidak begitu dingin lagi katika Kaisar Siauw Bian Ong dan permaisurinya berjalan melalui lorong di taman istana, menuju ke istana, yang berada di ujung taman, di atas sebuah bukit buatan yang kecil. Kaisar dan permaisuri tidak mau duduk di joli, hanya terjalan kaki karena pagi itu cerah dan sinar matahari hangat. Juga pemandangan di taman itu amat indahnya. Musim bunga membuat taman itu nampak indah bukan main, juga jarak ke kuil tua itu tidaklah terlalu jauh.
(Bersambung jilid 17)
JILID 17 Karena kaisar dan permaisuri hanya pergi ke kuil istana, ke dalam lingkungan istana, maka penjagaan tidaklah luar biasa ketatnya. Rombongan itu hanya terdiri dari kaisar, permaisuri, dua orang selir terdekat dan tujuh orang gadis dayang saja. Tentu saja Bi Moli Kwan Hwe Li sebagai pengawal pribadi permaisuri, tidak ketinggalan dan wanita cantik ini berjalan di belakang rombongan. Di belakang kaisar dan permaisuri berjalan tiga orang pengawal pribadi, yaitu Koan Ji atau Kwa Bun Houw dan dua orang pengawal lain. Koan Thai-kam sebagai kepala thai-kam, ikut pula dalam rombongan itu karena dia yang akan mengatur sembahyangan itu bersama para hwesio kuil. Di depan, kanan kiri dan belakang nampak pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang, dipimpin oleh Ouwyang Toan.
Baik Bi Moli Kwan Hwe Li maupun Ouwyang Toan sama sekali tidak pernah menduga sedikit pun juga
bahwa semua rencana mereka dan yang mereka atur bersama Bu-tek Sam-kui, telah diketahui oleh Kwa Bun Houw! Bersama Koan-thaikam, Bun Houw sudah mengatur siasat untuk menghadapi usaha
pemberontakan yang membahayakan keselamatan keluarga kaisar itu. Memang Bun Houw belum
mengetahui dengan tepat, tindakan apa yang akan dilakukan oleh Bi Moli dan Ouwyang Toan, akan
tetapi dia dan Koan Thai-kam telah menduga bahwa hari itu, saat Kaisar dan permaisuri bersembahyang, merupakan saat yang amat gawat, dan mereka menduga bahwa tentu para pemberontak akan bergerak
pada saat itu. Koan Thai-kam sudah mengadakan kontak dengan panglima pasukan pengawal dan
keamanan, dan mata-mata telah disebar. Mata-mata ini yang melaporkan bahwa ada kurang lebih
seratus orang asing bukan penduduk kota raja yang nampak bersembunyi di sekitar pintu gerbang
istana, ada yang menyamar sebagai pedagang keliling, menjadi pengemis dan ada yang seperti
pelancong biasa. Keterangan tentang gerakan orang-orang asing ini didapatkan oleh komandan pasukan dari para anggauta Hek-tung Kai-pang yang seperti biasa berkeliaran di kota raja. Karena mereka adalah anggauta kai-pang, maka kehadiran mereka tidak mencurigakan orang, juga para anggauta Thian-te Kui-pang tak mencurigai mereka. Pada hal, para anggauta pengemis ini adalah orang-orang yang mengamati gerak-gerik mereka!
Juga Bun Houw telah dapat menduga bahwa di antara dua belas orang perajurit pengawal, termasuk
yang pernah disuruh mengujinya, adalah kaki tangan komplotan itu, maka diapun sudah bersikap
waspada. Agar jangan sampai mencurigakan Ouwyang Toan dan Bi Moli, maka penjagaan terhadap
kaisar dan permaisuri hanya dilakukan oleh dia dan dua orang pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi, telah diatur dengan rapi agar banyak pengawal yang setia terhadap kaisar, mengatur barisan pendam di sekitar tempat sembahyang itu.
Setelah tiba di kuil, para hwesio menyambut kaisar dan permaisuri dengan sikap hormat. Semua
berlangsung seperti biasa, tidak ada perubahan sedikitpun dan ini memang dikehendaki Koan-thaikam agar tidak mencurigakan komplotan pemberontak. Dia bersama lima orang hwesio melayani kaisar dan permaisuri, menemani mereka memasuki ruangan sembahyang, ditemani pula oleh dua orang selir dan
tujuh orang gadis dayang yang setelah masuk ke ruangan sembahyang lalu duduk bersimpuh di
pinggiran. Kwa Bun Houw dan dua orang rekannya ikut pula masuk, akan tetapi merekapun berdiri di pinggiran. Demikian pula Ouwyang Toan dan enam orang pengawal ikut masuk dan berjaga di pintu
ruangan. Bi Moli ikut pula masuk dan ia yang paling dekat dengan kaisar dan permaisuri dan dua orang selir yang kini sudah berlutut di depan meja sembahyang, dilayani oleh lima orang hwesio yang menyerahkan hio-swa (dupa biting) untuk sembahyang, dan menyerahkan alat penyulut lilin yang akan dinyalakan Kaisar.
Saat yang dinanti-nanti itu tiba. Saat ini memang yang sudah ditentukan oleh Bi Moli dan Ouwyang Toan untuk bertindak. Pada saat kaisar hendak menyalakan lilin dan permaisuri beserta dua orang selir berlutut dan menerima hio-swa dari para hwesio. Saat itu memang amat baik karena tiga orang
pengawal pribadi kaisar tidak berani mendekat, dan juga para pengawal yang bukan kaki tangan mereka berada di luar. Sudah mereka rencanakan bahwa Ouwyang Toan akan menangkap kaisar dan Bi Moli
menangkap permaisuri, sedangkan enam orang kaki tangan mereka menjaga agar tidak ada yang berani menghalangi perbuatan kedua orang itu menawan kaisar dan permaisuri. Kalau kaisar dan permaisuri sudah ditawan, maka segalanya akan menjadi mudah!
Dan memang perhitungan itu tepat sekali. Ketika tiba-tiba sekali Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat ke depan sambil mencabut pedang, Bun Houw sempat dibuat tertegun.
Tak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang itu akan bergerak pada saat yang khidmat itu, di mana kaisar dan permaisuri baru mulai melakukan sembahyang. Juga kedua orang rekannya terbelalak.
Ouwyang Toan dengan pedang di tangan meloncat ke dekat kaisar, dan Bi Moli juga meloncat ke dekat permaisuri sambil menendang seorang selir yang menghalang di samping sehingga selir itu terguling sambil menjerit.
"Semua diam! Kaisar dan Permasuri kami tawan!" kata Ouwyang Toan dengan suara nyaring. Enam orang pengawal yang menjadi kaki tangannya juga tiba-tiba mencabut pedang dan hendak melindungi
dua orang itu. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali di luar perhitungan Ouwyang Toan dan Bi Moli. Lima orang hwesio yang tadinya melayani kaisar, permaisuri dan dua orang selir, yang nampaknya adalah hwesio-hwesio yang lemah dan lembut, tiba-tiba saja mereka itu menerjang ke arah Bi Moli dan Ouwyang Toan!
Mereka yang lebih dekat dengan kaisar dan permaisuri sehingga mereka dapat menyerang sambil
membelakangi kaisar dan permaisuri. Terkejutlah Ouwyang Toan ketika hwesio yang tadi menyerahkan alat penyulut lilin kepada kaisar tiba-tiba menyambutnya dengan serangan tusukan alat penyulut lilin itu. Dan Bi Moli juga terkejut ketika dua orang hwesio sudah menyerangnya dari depan. Karena para hwesio itu menyerang Ouwyang Toan dan Bi Moli dari depan dan sekaligus menghalangi mereka
menawan kaisar dan permaisuri, terpaksa kedua orang pengkhianat itu lalu menggerakkan pedang
mereka menyerang para hwesio itu! Dan mereka semakin terkejut. Kiranya mereka bukanlah hwesio-
hwesio lemah, karena mereka mampu melakukan perlawanan dengan gerakan yang cukup gesit dan
tangkas.

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun akhirnya lima orang hwesio itu roboh mandi darah oleh pedang Ouwyang Toan dan Bi Moli
Kwan Hwe Li, namun telah memberi waktu yang cukup bagi Kwa Bun Houw untuk turun tangan. Dia dan
dua orang rekannya berloncatan.
"Amankan Sribaginda!" teriak Bun Houw kepada dua orang rekannya. Dua orang pengawal pribadi kaisar itu lalu menggandeng kaisar dan permaisuri, menarik mereka keluar dari ruangan sembahyang itu,
sedangkan dua orang selir itu menangis dan lari ke sudut ruangan bersama para dayang. Kini tinggal Bun Houw seorang yang berdiri di pintu samping dari mana kaisar tadi menyelamatkan diri dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan.
"Si Pedang Kilat ... !" Ouwyang Toan berseru kaget bukan main melihat pedang yang berkilauan di tangan Bun Houw itu. Juga Bi Moli yang telah merobohkan tiga orang hwesio itu terkejut mendengar teriakan yang mengandung rasa gentar yang amat sangat dari kekasihnya itu.
"Siapa ..."!?" tanyanya.
"Kwa Bun Houw ... murid Tiauw Sun Ong ...!" kata Ouwyang Toan dan diapun sudah memberi isarat kepada enam orang anggauta Thian-te Kui-pang untuk menerjang dan mengeroyok Bun Houw. Enam
orang itu-pun maklum bahwa usaha mereka gagal, maka dengan nekat mereka lalu menggerakkan
senjata dan menerjang pemuda yang memegang sebatang pedang yang berkilauan itu.
"Moli, kita lari!" teriak Ouwyang Toan kepada kekasihnya dan mereka berloncatan keluar pintu ruangan sembahyang. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu telah terkepung ratusan orang pasukan keamanan istana yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di situ. Tahulah mereka bahwa kesemuanya telah gagal sama sekali. Kekecewaan membuat mereka menjadi marah, ditambah
lagi dengan rasa takut. Mereka menumpahkan semua kesalahannya kepada Bun Houw dan seperti ada
persetujuan tanpa kata, keduanya membalik dan meloncat masuk lagi untuk membuat perhitungan
dengan Kwa Bun Houw! Ouwyang Toan memang membenci pemuda itu, dan Bi Moli mengingat bahwa
pemuda itu adalah murid Tiauw Sun Ong, maka iapun amat membencinya!
Sementara itu, melihat dia diserang oleh enam orang kaki tangan Ouwyang Toan, Bun Houw tidak mau membuang banyak waktu melayani mereka. Dia tahu bahwa kaisar dan permaisuri sudah selamat, dan
dua orang pengkhianat itu tidak akan mungkin dapat lolos dari tempat itu, maka diapun menggerakkan pedang di tangannya. Enam orang itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka
merupakan para anggauta di-lihan dari Thian-tc Kui-pang. Akan tetapi, berhadapan dengan. Si Pedang Kilat, enam orang itu seperti berhadapan kakek guru mereka! Nampak gulungan sinar pedang
berkelebatan menyilaukan mata dan satu demi satu, enam orang itu roboh dan tewas seketika.
Nampaknya saja mereka tidak terluka, saking tajamnya pedang pusaka itu sehingga ketika menembus
dada atau leher lawan, hampir tidak meninggalkan bekas dan hanya diketahui orang itu terluka setelah darah mengalir keluar dan orang itu tewas seketika!
Ketika Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat kembali memasuki ruangan sembahyang, mereka
terbelalak. Di samping mayat lima orang hwesio yang sebenarnya merupakan pengawal-pengawal yang
menyamar, nampak mayat enam orang anggauta Thian-te Kui-pang itu rebah malang melintang dalam
keadaan tewas. Begitu cepatnya enam orang itu tewas dan hal ini saja sudah membuktikan betapa
lihainya pemuda yang masih berdiri dengan pedang berkilauan di tangan itu.
"Kwa Bun Houw! Engkau selalu menjadi penghalang bagiku dan selalu memusuhiku!" bentak Ouwyang Toan marah.
"Engkau keliru, Ouwyang Toan. Engkau tentu tahu bahwa aku menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tak terkecuali engkau. Adalah engkau dan Bi Moli yang sungguh tidak tahu diri, tak mengenal budi. Sribaginda telah memberikan kedudukan yang baik bagi kalian, akan tetapi kalian bahkan
mengkhianati dan bersekutu dengan pemberontak dan dengan kerajaan Wei."
'Bocah she Kwa, hari ini engkau harus menebus dosa gurumu kepadaku!" Bi Moli membentak dan ia sudah menggerakkan pedangnya. Ouwyang Toan juga membantu kekasihnya itu dan dia sudah
menerjang ke depan dengan pedangnya pula. Akan tetapi, Bun Houw memutar Lui-kong-kiam dan
nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata dan dua orang itu terpaksa meloncat keluar dari
ruangan itu karena tempat itu terlalu sempit dengan adanya sebelas sosok mayat yang bergelimpangan.
Bun Houw juga menerjang keluar karena diapun menghendaki agar dapat melawan kedua orang
musuhnya itu di tempat yang lebih luas.
Melihat dua orang pengkhianat itu berloncatan keluar, disusul oleh pengawal pribadi yang baru, para pengawal siap untuk mengepung dan mengeroyok.
"Tahan, jangan keroyok, biarkan Si Pedang Kilat sendiri menghadapi dua orang itu." kata Kaisar Siauw Bian Ong.
Kaisar ini tadi telah mendapat laporan yang singkat dan jelas dari Koan Thai-kam tentang diri Kwa Bun Houw yang dijuluki Si Pedang Kilat, mendengar pula bahwa dia dan Hek-tung Kai-pang mengatur agar pendekar itu melindungi kaisar, kemudian tentang persekutuan pemberontak dan betapa dia sudah
mengadakan kontak dengan para panglima untuk menanggulangi pengkhianatan itu. Juga dia
beritahukan mengapa dia tidak melapor lebih dahulu kepada kaisar, yaitu karena kedua orang
pengkhianat itu telah mendapatkan kedudukan, maka dia khawatir kalau-kalau kaisar tidak percaya
begitu saja tanpa adanya bukti. Kaisar dapat memaklumi dan mendengar bahwa Kwan Bun Houw yang
berjuluk Si Pedang Kilat adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi, maka melihat kedua orang pengkhianat itu kini bertanding melawan Si Pedang Kilat, kaisar ini yang juga suka ilmu silat ingin sekali menontonnya.
"Kalau dia terdesak, barulah kalian boleh membantunya," pesannya kepada para pengawal pribadi dan para pengawal yang mengerti apa yang dikehendaki junjungan mereka, mengangguk dan mereka siap
dengan senjata di tangan untuk membantu kalau-kalau Si Pedang Kilat terdesak.
Kaisar lalu memberi isarat kepada panglima pasukan keamanan untuk mendesak, lalu berkata,
"Panglima, cepat kerahkan pasukan dan tangkapi semua anggauta gerombolan Thian-te Kui-pang yang berkeliaran di kota raja."
Panglima itu memberi hormat lalu mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu, berkat latihan yang diterimanya dari Tiauw Sun Ong, gurunya yang buta, Kwa Bun Houw telah dapat melatih
pendengarannya menjadi amat tajam, pengganti kedua mata bagi gurunya dan bagi dia, membantu
pekerjaan mata, pendengarannya menjadi amat peka dan dengan kepekaan inilah dia dapat pula
mendengar perintah kaisar kepada para pengawalnya tadi, walaupun dia menghadapi dua lawan yang
tangguh. Bun Houw maklum bahwa tentu kaisar telah mendengar dari Koan Thai-kam siapa dia, maka
kini kaisar ingin menyaksikan pertandingan yang seru, maka dia-pun segera mengerahkan tenaganya
dan memutar Lui-kong-kiam dengan dahsyat sekali.
Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan sudah maklum bahwa mereka telah terkepung ratusan orang
pasukan pengawal. Dengan gagalnya mereka menawan kaisar dan permaisuri, mereka tidak dapat
mengandalkan apapun untuk melindungi diri, maka mereka menjadi gelisah, kecewa dan akhirnya
membuat mereka menjadi nekat. Semua kemarahan mereka tumpahkan kepada Kwa Bun Houw yang
mereke anggap sebagai penghalang dan penghancur semua rencana mereka yang sudah tersusun rapi.
Bi Moli Kwan Hwe Li mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia menggerakkan pedangnya secara
dahsyat karena selain didorong oleh tenaga sin-kang, juga ada kekuatan sihir dalam gerakannya itu.
Karena maklum akan kelihaian murid bekas pacarnya ini, Bi Moli mengerahkan seluruh tenaga sin-kang dan sihirnya untuk membunuh lawan. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan lolos dari hukuman, namun setidaknya ia harus dapat melampiaskan kemarahannya dengan membunuh Kwa Bun Houw. Demikian
pula dengan Ouwyang Toan. Pemuda inipun sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak akan mungkin
bebas dari hukuman mati, maka dia ingin lebih dulu membunuh Bun Houw sebelum mengamuk sampai
titik darah terakhir.
Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw juga maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang tangguh,
tidak berani memandang ringan. Dia tahu bahwa Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk sesat yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, setingkat dengan kepandaian para datuk seperti Suma Koan, Ouwyang Sek, Kwan Im Sianli, bahkan tidak begitu jauh selisihnya dengan tingkat gurunya, Tiauw Sun Ong. Kalau saja dia tidak secara kebetulan minum sari Akar Bunga Gurun Pasir sehingga tubuhnya
menjadi kokoh kuat dan tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa, dan kemudian tidak
menemukan ilmu Im-yan Bu-tek Cin-keng secara kebetulan pula, kiranya akan sukar baginya untuk
dapat menandingi Bi Moli. Apalagi di situ terdapat pula Ouwyang Toan yang mengeroyoknya dan putera datuk Bu-eng-kiam Ouwyang Sek majikan. Lembah Bukit Siluman inipun termasuk seorang yang
tangguh. Kwa Bun Houw mengandalkan pedang pemberian suhunya. Didorong oleh kekuatan sin-kangnya yang
ampuh, diapun menyambut kedua orang lawannya dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan
mata, membuat kagum Kaisar Siauw Bian Ong dan pari pengawal dan penonton lainnya.
"Roboh kau ... !" Bi Moli Kwan Hwe Li menjerit dengan suara melengking dan di antara para perajuiit keamanan yang mendengar lengking suara yang mengandung tenaga sihir yang berpengaruh dan
berwibawa itu. ada yang merasa kedua lutut mereka lemas dan kalau tidak saling berpegangan, tentu mereka itu akan roboh terguling!
Demikian hebatnya pengaruh yang terkandung dalam lengking itu. Apalagi terhadap Bun Houw yang
dijadikan sasaran, dan bentakan itu diikuti pula oleh tusukan pedang yang meluncur bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat berbahaya, diperhebat
oleh kecepatan gerakan, kekuatan sin-kang, dan kekuatan sihir!
Namun, kekuatan sihir itu tidak ada artinya bagi Bun Houw. Lewat begitu saja seperti angin kencang meniup batu karang. Pemuda ini maklum bahwa di antara kedua orang lawannya, yang paling tangguh
adalah Bi Moli, maka kepada Iblis Wanita Cantik inilah dia harus mencurahkan perhatian dan
perlawanannya. Pada saat itu, Ouwyang Toan juga sudah membacokkan pedangnya dari samping ke
arah kepalanya. Dengan gerakan ringan dia memutar tubuh sehingga terlepas dari bacokan pedang, dan pedangnya sendiri dengan cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Bi Moli yang menusuknya,
gerakan itu memutar dari samping. Bi Moli terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa tusukannya akan disambut oleh bacokan dari samping yang mengancam pergelangan tangannya. Kalau ia melanjutkan
serangan, maka sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, lebih dulu pergelangan tangannya
akan terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu. Terpaksa ia menarik kembali tusukannya.
Ouwyang Toan yang serangannya mengenai tempat kosong, menjadi penasaran sekali karena serangan
itu dapat dihindarkan sedemikian mudahnya. Dia menyerang lagi, diikuti oleh Bi Moli dan kedua orang ini agaknya hendak berlumba untuk dapat lebih dulu merobohkan Bun Houw.
Bun Houw memperlihatkan keringanan tubuhnya dan tubuh itu seperti dibungkus gulungan sinar kilat pedangnya dan menyusup di antara sambaran kedua pedang lawan, dan dari gulungan sinar pedangnya
kadang mencuat sinar bagaikan kilat menyambar ke arah lawan. Terjadilah serang menyerang yang
amat seru dan menyilaukan mata. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus
jen gotnya. Diam-diam dia amat mengagumi Kwa Bun Houw, walapun ada pula perasaan menyesal
mengapa dua orang seperti Ouwyang Toan dan Bi Moli, yang memiliki kepandaian demikian hebat pula, telah mengkhianatinya. Sungguh patut disayangkan ilmu kepandaian seperti itu dikuasai orang-orang yang menjadi hamba nafsu angkara murka.
Pertandingan itu memang amat hebat. Jarang mereka semua yang hadir di situ menyaksikan
pertandingan sehebat itu, bukan sekedar pengujian ilmu seperti yang sering terjadi di istana, melainkan suatu pertandingan yang merupakan perkelahian sungguh-sungguh! Setiap kali sinar pedang
menyambar berarti tangan maut yang haus darah mencari korban.
Diam-diam Kwa Bun Houw mengeluh. Sudah lewat dari tiga puluh jurus, belum juga dia mampu
merobohkan dua orang lawannya walaupun mereka sendiri juga tidak pernah dapat mendesaknya. Dia
maklum bahwa kalau mengadu ilmu pedang, akan sukarlah baginya untuk dapat merobohkan mereka.
Dengan mengeroyok, mereka benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dirobohkan.
Ilmu pedangnya hanyalah ilmu pedang Lui-kong-kiamsut (Ilmu Pedang Kilat) yang dia pelajari dari
gurunya, dan hanya karena dia memiliki kelebihan sin-kang dari pengaruh Akar Bunga Gurun Pasir
sajalah maka dia mampu mengimbangi kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa yakin
bahwa kalau mereka mengadu ilmu tangan kosong, dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pasti akan
lebih unggul. Dia sejak tadi tidak berani mengadu pedangnya secara langsung sambil mengerahkan sinkang. Dengan cara itu, tentu pedang kedua orang pengeroyoknya akan patah-patah, seperti yang sudah sering dia lakukan dengan Lui-kong-kiam itu. Akan tetapi, sekali ini dia merasa khawatir kalau-kalau pedang pusaka pemberian gurunya itu akan menjadi rusak karena dia menduga bahwa kedua orang
lawan ini tentu juga memegang pedang pusaka yang ampuh.
Kemudian dia teringat akan persiapan persekutuan pemberontak untuk menyerbu kota raja seperti yang didengarnya dari Koan Thai-kam. Hal ini membuat dia terpaksa harus cepat mengakhiri pertandingan itu agar perhatian dapat dialihkan untuk menghadapi persiapan para pemberontak di luar kota raja. Maka, secara tiba-tiba saja Bun Houw mengubah gerakannya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan
menggunakan pedangnya untuk langsung menyambut pedang lawan, sengaja mengadukan pedangnya
dengan pedang lawan.
Terdengar bunyi nyaring berdentang dua kali dan kedua orang lawannya itu mengeluarkan teriakan
kaget. Bi Moh meloncat ke belakang, demikian pula Ouwyang Toan dan mereka memandang ke arah
tangan kanan masing-masing yang kini hanya memegang sebatang pedang buntung! Ternyata pedang
mereka telah patah oleh Lui-kong-kiam yang ampuh. Hal ini sesungguhnya bukan terjadi hanya karena keampuhan pedang di tangan Bun Houw karena sesungguhnya, pedang kedua orang lawan itupun
terbuat dari bahan yang kuat dan ampuh. Akan tetapi, pedang Bun Houw itu disaluri tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat, maka getarannya tak tertahan oleh kedua pedang lawan sehingga menjadi patah.
Bun Houw menyimpan pedangnya setelah dengan lega melihat bahwa pedang pusakanya tidak rusak
dan kini dia menghadapi kedua orang lawan dengan tangan kosong. Mereka berdua juga melemparkan
sisa pedang ke atas tanah dan mereka siap melanjutkan perkelahian itu dengan tangan kosong. Kembali Kaisar Siauw Bian Ong memandang kagum dan memberi isarat kepada para pengawalnya agar jangan
mencampuri. Dia sedang menikmati pertandingan yang jarang dilihatnya itu.
Bi Moli dan Ouwyang Toan lega melihat Bun Houw menyimpan pedangnya yang ampuh itu, Hal itu
mereka anggap sebagai suatu kesombongan dari Bun Houw, maka keduanya mempergunakan
kesempatan setelah Bun Houw menyarungkan kembali pedangnya untuk cepat menerjang dengan
pukulan-pukulan mereka.
Akan tetapi sekali ini Bun Houw sudah siap dengan ilmunya yang amat hebat yaitu Im-yang Bun-tek Cin-keng. Bahkan gurunya sendiri tidak mampu menandingi ilmu ini! Begitu melihat kedua orang lawan
sudah menyerang, Bun Houw segera menggerakkan kaki tangannya secara aneh dan akibatnya hebat.
Kedua orang lawan itu seperti terdorong badai yang amat kuat, membuat mereka terjengkang dan
terguling-guling. Keduanya tentu saja terkejut bukan main, akan tetapi karena tidak melihat lain jalan, keduanya sudah mengeluarkan hentakan nyaring dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya, mereka
seperti menyerang gelombang dahsyat yang membuat mereka kembali terjengkang dan terbanting.
Mereka bangkit lagi, menyerang lagi roboh lagi dan hal ini berulang sampai liga kali dan Ouwyang Toan tidak mampu bangkit kembali karena kehabisan tenaga dan sudah terluka dalam. Bi Moli masih terus menyerang mati-matian akan tetepi dengan menggunakan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) Bun Houw berhasil merobohkannya dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Sorak-sorai menyambut
kemenangan Kwa Bun Houw, Kaisar Siauw Bian Ong kagum bukan main karena ternyata pemuda itu
tidak membunuh kedua orang lawannya, hanya membuat mereka tak berdaya! Kini maklumlah kaisar
itu bahwa kalau dia menghendaki agaknya pemuda itu sudah sejak tadi dapat membunuh kedua orang
lawannya. Karena tidak ingin membunuh itulah yang membuat pertandingan berlangsung lebih lama.
Kaisar itupun memerintahkan petugas untuk menangkap kedua orang itu dan menjebloskan mereka
kepenjara untuk menanti diadili kelak.
Kwa Bun Houw kini menghadap kaisar dan berlutut. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum, "Orang muda
yang gagah, kami sungguh bersukur bahwa negara kita mempunyai seorang pendekar seperti engkau
yang gagah perkasa dan bijaksana. Kami ingin melihat wajahmu yang aseli."
Bun Houw terpaksa melepaskan penyamarannya, mencabut alis palsu dan juga kedok tipis seperti kulit yang menutupi mukanya, monggosok-gosok cat dan nampaklah wajah aselinya. Oleh perintah kaisar, dia mengangkat mukanya dan kaisar beserta permaisurinya melihat wajah seorang pemuda yang cukup
tampan dan gagah.
"Kwa Bun Houw, kami berterima kasih kepadamu dan kami ingin memberi hadiah yang sesuai dengan kehendak hatimu. Katakanlah, apa yang kau kehendaki" Kedudukan" Atau harta benda?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah dan imbalan, karena apa yang hamba lakukan ini hanya merupakan suatu kewajiban hamba menentang segala bentuk kejahatan.
Hamba hanya dimintai bantuan oleh Hek-tung Lo-kai dan Koan Thai-kam." dan maklumlah dia bahwa pemuda itu memang seorang pendekar sejati yang tidak mempunyai keinginan demi kesenangan atau
kepentingan diri sendiri. Apa yang diajukan oleh seorang pendekar sejati semata-mata membela
kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, tanpa pamrih sedikitpun.
"Hemm, biarlah kita bicarakan lagi hal ini setelah segalanya selesai. Kita masih harus membasmi para pemberontak yang berkeliaran di kota raja, kaki tangan kerajaan Wei, dan juga memadamkan
pemberontakan yang dikobarkan oleh bekas kaisar Cang Bu."
Pada saat itu, komandan pasukan keamanan yang bertugas membasmi para anggauta Thian-te Kui-pang
yang berkeliaran di luar pintu gerbang istana, datang menghadap dan melapor kepada Kaisar bahwa
usahanya gagal karena semua anggauta Thian-te Kui-pang telah melarikan diri dan pasukannya hanya berhasil menangkap tiga orang saja!
"Bawa mereka ke sini! Kami ingin mendengar keterangan mereka tentang ikut campurnya kerajaan Wei dalam pemberontakan ini!" perintah kaisar penasaran.
"Ampun, Yang Mulia. Begitu tertawan, tiga orang anggauta Thian-te Kui-pang itu membunuh diri dengan menelan sebutir racun."
Kaisar mengepal tinju, "Kirim pasukan dan tundukkan pemberontak bekas kaisar yang tak tahu diri itu.
Kami sengaja mengalah dan tidak mengejarnya, akan tetapi dia malah menghimpun pasukan dan
hendak memberontak!"
"Yang Mulia, biar hamba yang melakukan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kui yang memimpin Thian-te Kui-pang." kata Bun Houw.
Setelah kaisar menyatakan persetujuannya, Bun Houw meninggalkan istana dan diapun melakukan
pengejaran ke sarang Thia-te Kui-pang, di daerah tak bertuan, yaitu di dusun Tai-bun. Dia sudah
mendengar tentang dusun ini yang dikuasai oleh Thian-te Kui-pang, sesuai dengan petunjuk yang
diperolehnya dari Koan Thai-kam.
*** Setelah tiba di luar kota raja, Bun Houw bukan langsung pergi ke sarang Thian-te Kui-pang, melainkan menuju ke Kui-cu, ke lembah sungai untuk mengunjungi bekas kaisar Cang Bu! Bagaimanapun juga,
kaisar itu adalah bekas kaisar yang kalah perang dan Bun Houw sama sekali tidak dapat menyalahkan kaisar ini kalau hendak berusaha merebut kembali tahta kerajaan yang telah direbut oleh Kaisar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi. Dia tidak hendak mecampuri urusan perebutan kekuasaan itu.
Akan tetapi, dia merasa tidak enak mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu bersekutu dengan kerajaan Wei di utara. Ini berbahaya sekali karena mungkin saja kelak kerajaan Wei akan menguasai kerajaan di selatan. itulah sebabnya mengapa dia kini melakukan perjalanan cepat ke pusat gerakan yang dilakukan bekas kaisar itu, mendahului pasukan yang dikirim Kaisar Siauw Bian Ong untuk membasmi
pemberontakan ini. Kalau teringat kepada Liu Kiok Lan, puteri adik bekas kaisar itu, dia merasa kasihan karena kalau tempat itu diserbu, tentu gadis bangsawan itu akan menjadi korban pula. Dia ingin
menyadarkan bekas Kaisar Cang Bu agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei, dan agar cepat
melarikan diri sebelum terlambat.
Pada saat itu, bekas kaisar Cang Bu sudah mendengar laporan dari seorang mata-matanya yang
ditugaskan mengamati keadaan di kota raja bahwa usaha membunuh atau menawan kaisar telah gagal!
Bahkan mata-mata itu mengabarkan betapa orang-orang Thian-te Kui-pang yang tadinya siap di kota
raja, telah pula melarikan diri setelah mendengar kegagalan itu. Juga Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, yang tadinya memimpin orang orang kang-ouw dan anak buah mereka sendiri, bersiap-siap untuk membantu gerakan di kota raja kalau penawanan terhadap kaisar berhasil, terpaksa mengundurkan diri dan ayah beserta puteranya itu kini telah kembali ke Kui-cu. Melihat Suma Koan dan Suma Hok kembali dengan wajah lesu, bekas kaisar Cang Bu mengepal tinju dan membanting-banting kaki. "Celaka, kenapa sampai gagal" Dan kenapa pula paman Suma pulang dengan tangan hampa" Semestinya paman
membantu usaha di dalam istana itu sampai berhasil! Ah, aku telah mempercayakan urusan penting
kepada orang-orang yang tak dapat diandalkan."
Kaisar Cang Bu benar-benar merasa menyesal sekali karena kegagalan ini memusnakan harapannya
untuk dapat menguasi kembali kerajaan yang telah dirampas oleh Siauw Bian Ong.
Kui-siauw Giam-ong mengerutkan alisnya. Dia memang tadinya tidak begitu ingin mencampuri urusan
pemberontakan. Hanya karena puteranya telah menjadi adik ipar bekas kaisar itu maka dia mendapat semangat untuk ikut meraih kedudukan yang tinggi. Kini semua telah gagal dan dia kehilangan
semangat. Dia menghela napas panjang.
"Sudahlah, Liu-kongcu. Saya tidak mempunyai semangat lagi dan akan pulang ke tempat tinggalku.
Selamat tinggal!" Sebelum bekas kaisar itu sempat menjawab, kakek kurus itu telah berkelebat dan pergi dari tempat itu. Puteranya, Suma Hok, maklum bahwa ayahnya tidak pulang karena mereka tadi telah bersepakat untuk bergabung dengan Bu-tek Sam-kui dan mencari kedudukan di kerajaan Wei, di utara sana! Suma Hok sendiri lalu memasuki perkemahan di mana isterinya, Liu Kiok Lan, telah
menantinya. Seolah tidak melihat isterinya yang cantik, Suma Hok langsung saja mengumpulkan pakaian dan barang berharga, berkemas seperti orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Melihat ini, Liu Kiok Lan mengerutkan alisnya dan menghampiri suaminya yang sedang berkemas.
"Aku mendengar bahwa usaha di kota raja itu gagal. Benarkah itu, suamiku?"
Tanpa menoleh Suma Hok menjawab, "Benar. Sialan! Hancurlah semua cita-citaku."
Hening sejenak. Suma Hok tetap saja mengumpulkan semua barang berharga, emas permata, sisa
kekayaan yang dibawa dari istana oleh Liu Kiok Lan ketika lari mengungsi, memasukkan semua itu ke dalam buntalan pakaian.
"Engkau hendak mengajak aku pergi ke manakah?" tanya isterinya.
"Siapa yang hendak mengajak engkau pergi" Aku akan pergi sendiri!" jawab Suma Hok.
Liu Kiok Lan terkejut dan kerut di keningnya semakin dalam. "Apa maksudmu" Engkau mengemasi semua barang, termasuk perhiasan dan barang berharga milikku, dan engkau akan meninggalkan aku?"
Kini Suma Hok membalik dan isterinya terkejut melihat wajah yang tampan itu kini berubah seperti iblis, begitu bengis dan kasar. "Sialan! Setelah semua yang kulakukan, hanya barang-barang ini yang
kudapatkan! Sungguh rugi besar selama berbulan-bulan ini aku memaksa diri tinggal di sini dan
menghambakan diri kepada bekas kaisar yang ternyata kini gagal segala-galanya. Huh!"
Wajah Liu Kiok Lan menjadi pucat.
'"Kau ... kau ...! Bukankah engkau telah menjadi suamiku dan aku ini isterimu" Dan kau mengatakan semua cita-citamu sia-sia" Dan aku ini kau anggap apa" Kalau memang hendak pergi, tinggalkan semua barangku!"
"Ha-ha-ha, barang-barang ini untuk imbalan semua jasaku! Kalau bukan karena aku, engkau akan menjadi seorang gadis yang ternoda aib, gadis yang bukan perawan lagi. Tadinya, aku mengharapkan untuk menjadi seorang yang berkedudukan, akan tetapi melihat keadaannya sekarang, kakakmu sudah
tidak ada harapan. Untuk apa aku harus merendahkan diri lebih lama lagi di sisimu?"
"Suma Hok!" Liu Kiok Lan membentak marah dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suaminya.
"Setelah semua apa yang kaulakukan terhadap diriku, dan semua itu kuterima dengan perasaan hancur namun terpaksa kudiamkan saja demi menjaga nama baik keluarga kami, dan engkau sekarang hendak
meninggalkanku begitu saja" Setelah engkau membunuh Paman Pouw Cin yang setia, kemudian
melakukan fitnah pula kepadanya, kemudian engkau membohongi kakakku dan aku, engkau kini tidak
mau bertanggung jawab" "
Suma Hok terbelalak. "Apa ..." Apa yang kaumaksudkan ...?"
Sebelum Kiok Lan menjawab, terdengar langkah kaki dan muncul seorang pengawal sehingga suami
isteri yang sedang bertengkar itu menahan kemarahan mereka dan menghentikan pertengkaran.
"Ada keperluan apa engkau datang ke sini tanpa dipanggil?" bentak Suma Hok marah.
"Maaf, tai-hiap. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa pemuda yang dulu pernah menjadi buronan, yang bernama Kwa Bun Houw itu sekarang datang dan bercakap-cakap dengan Sribaginda."
Diam-diam Suma Hok terkejut bukan main, sebaliknya Kiok Lan yang mendengar disebutnya nama
pendekar itu, nampak girang.
"Pergilah kami tidak ingin diganggu!"' kata Suma Hok dan pengawal itu lalu pergi. Setelah dia pergi, Suma Hok menutupkan kembali daun pintu kamarnya dan menghadapi isterinya.
"Sekarang katakan, apa maksudmu dengan mengatakan semua tadi" Engkau bilang aku melakukan
fitnah kepada Paman Pouw Cin" Apa maksudmu?"
"Kaukira aku dapat percaya begitu saja ketika dahulu itu engkau mengatakan bahwa engkau membunuh Paman Pouw Cin karena dia memperkosaku" Aku tidak pernah percaya seujung rambutpun! Paman
Pouw Cin adalah orang yang paling setia kepada kakakku dan aku, sudah kukenal sejak aku kecil. Aku tahu dan mengenal betul orang macam apa dia. Bagaimana mungkin dia mendadak saja berubah
menjadi demikian keji" Akan tetapi karena engkau bersedia mencuci aib pada diriku dengan menikahiku, akupun hanya menyimpan semua keraguan itu di dalam hatiku. Kemudian, setelah aku mengenal benar
watakmu. aku semakin yakin bahwa dahulu engkaulah yang memperkosaku. Engkau membuat aku tidak
sadar, kemudian engkau memperkosaku. Ketika Paman Pouw Cin memergoki perbuatanmu, dia kau
bunuh, lalu engkau memutar balik kenyataan dan mengatakan bahwa engkau melihat Paman Pouw Cin
memperkosaku dan engkau membunuhnya. Kemudian, engkau memperlihatkan kebaikanmu dengan
bersedia mencuci aib dan menikahiku. Semua itu kaulakukan dengan pamrih mendapatkan kedudukan!
Dan sekarang, setelah usaha kakakku gagal, engkau hendak meninggalkan aku begitu saja" Suma Hok, aku tidak akan tinggal diam, akan ku-laporkan perbuatanmu itu kepada kakakku!"
Wajah Suma Hok berubah pucat ketika dia mendengar kata-kata itu. Kalau bekas kaisar Cang Bu
mendengar laporan adiknya ini, tentu dia akan ditangkap dan dihukum berat. Maka, dia lalu pura-pura terkejut setengah mati dan dengan muka dibuat sedih dia mendekati isterinya.
"Isteriku, bagaimana engkau dapat mengeluarkan kata-kata sekeji itu" Tidak kusangkal bahwa aku memang ingin mendapatkan kedudukan, akan tetapi siapakah orangnya yang tidak mempunyai cita-cita tinggi" Akan tetapi, aku sama sekali tidak memperkosamu aku bahkan menikahimu karena aku kasihan padamu, aku cinta padamu. Paman Pouw Cin yang melakukannya, aku berani bersumpah Isteriku, kalau engkau tidak ingin aku pergi akupun tidak akan pergi, akan tetapi jangan menuduhku yang bukan-bukan! Aku yang sudah mengorbankan segalanya untukmu, kini masih menerima tuduhan keji ... " dan pemuda itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.
Kiok Lan terkejut juga melihat suaminya menangis dan berlutut di depan kakinya. Bagaimanapun juga, pria ini telah menjadi suaminya dan iapun sudah pernah berusaha memaksa hatinya untuk
mencintainya. Sikap suaminya yang menangis sedih dan berlutut di depan kakinya itu membuat ia
sejenak meragukan dugaannya sendiri dan iapun membungkuk untuk membangunkan Suma Hok. Akan
tetapi pada saat ia membungkuk untuk membangunkan suaminya, Suma Hok menggerakkan tangan
memukul dada istrinya. Pukulan itu datangnya sama sekali tidak terduga-duga oleh Kiok Lan.
"Dukkk!!" Dadanya kena hantaman tangan Suma Hok dan seketika ia muntah darah. Akan tetapi matanya melotot dan wanita itu masih mampu melakukan serangan totokan dengan ilmu totok It-sin-ci, yaitu totokan satu jari. Namun, Suma Hok dapat menangkisnya sehingga jari tangan Kiok Lan hanya
mengenai lengan baju dan lengan baju itu berlubang, akan tetapi tubuh wanita muda itu terkulai dan roboh, tewas seketika dengan mulut mengalirkan darah.
Suma Hok berteriak-teriak setelah mendorong jendela kamar itu terbuka dan diapun menangis.
Beberapa orang pengawal datang dan melihat adik majikan mereka tewas ditangisi Suma Hok, mereka
segera melapor kepada bekas kaisar Cang Bu.
Pada saat itu, Liu Tek atau bekas kaisar Cang Bu sedang menerima kunjungan Kwa Bun Houw. Mula-
mula, bekas kaisar itu terkejut bukan main melihat munculnya Kwa Bun Houw di depannya. Akan tetapi karena sikap Bun Houw baik, tidak seperti musuh, diapun mempersilakan tamu itu duduk dan diam-diam dia memberi isarat agar para pengawalnya melakukan penjagaan.
"Kwa Bun Houw, apakah maksud kedatanganmu sekarang ini" Sebagai kawan atau sebagai lawan?"
tanya bekas kaisar itu sambil menatap tajam.
"Kongcu, saya datang bukan sebagai kawan maupun lawan karena sesungguhnya saya tidak mempunyai urusan pribadi apapun dengan kongcu. Akan tetapi mengingat akan kebaikan kongcu dan terutama
sekali Nona Liu Kiok Lan, saya datang untuk memberi nasihat kepada kongcu. Pertama, sebaiknya kalau kongcu menghentikan hubungan kongcu dengan kerajaan Wei di utara. Dan ke dua sebaiknya kongcu
cepat meningalkan tempat ini karena pasukan kerajaan Chi akan melakukan penyerbuan setelah usaha pembunuhan terhadap Kaisar Siauw Bian Ong dapat digagalkan."
Pada saat itulah pengawal datang berlari-larian dan melaporkan dengan napas memburu bahwa adik
bekas kaisar itu telah tewas di kamarnya. Mendengar ini, Liu Tek terbelalak dan segera lari ke dalam, diikuti oleh Bun Houw yang juga terkejut bukan main mendengar laporan itu. Dia belum tahu bahwa
adik bekas kaisar itu telah menikah dengan Suma Hok.
Ketika mereka tiba di kamar itu, mereka melihat Kiok Lan telah diangkat ke pembaringan dan Suma Hok duduk di tepi pembaringan sambil menangisi kematian isterinya.
"Suma Hok, apa yang telah terjadi?" Liu Tek berteriak ketika memasuki kamar. Bun Houw juga berdiri tertegun memandang ke arah mayat Kiok Lan yang masih nampak mengalirkan darah dari mulutnya.
Suma Hok menoleh dan begitu melihat Kwa Bun Houw, diapun meloncat dan menyerang Bun Houw
dengan marah sambil membentak, "Engkau pembunuh! Engkau telah membunuh isteriku!"
Bun Houw cepat mengelak ketika tangan Suma Hok menyambar ke arah mukanya. Suma Hok yang
serangannya luput itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
Namun, Bun Houw menangkis dan Suma Hok terhuyung.
"Suma Hok, hentikan ini! Engkau menuduhku yang bukan-bukan!" kata Bun Houw.


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Hok sudah menyambar sulingnya yang tadinya terletak di atas meja. "Jahanam Kwa Bun Houw, engkau telah membunuh isteriku, aku harus membalas kematian isteriku!"
Mendengar ini, Liu Tek menengahi. "Nanti dulu, apa artinya ini, Suma Hok" Saudara Kwa Bun Houw ini baru saja datang dan menghadap padaku, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia telah
membunuh Kiok Lan?"
"Ah, paduka tidak tahu. Jahanam ini memang licik sekali. Sebelum menghadap paduka dia telah menyelinap ke kamar ini dan membunuh dinda Kiok Lan. Saya melihat sendiri ketika saya memasuki
kamar, jahanam ini melarikan diri melalui jendela!" Dia menunjuk ke arah daun jendela yang terbuka.
Bekas kaisar ini kini menghadapi Bun Houw dan memandang penuh perhatian dan keraguan. Bun Houw
segera berkata, "Kongcu, harap diteliti dulu peristiwa ini. Mungkinkah saya akan masih berada di sini, mengingatkan kongcu akan datangnya bahaya, kalau benar saya membunuh nona Kiok Lan" Kalau
boleh, saya ingin memeriksa jenazah nona Kiok Lan untuk meneliti apa yang menyebabkan
kematiannya."
Bekas kaisar itu mengangguk dan bersama Bun Houw dia mendekati jenazah adiknya. Bun Houw
memeriksa dan membuka baju di bagian dada. Nampak tanda pukulan membiru di dada itu, pukulan
yang amat kuat dan mengandung hawa panas! Akan tetapi bekas pangeran itu lebih tertarik melihat
tangan kanan adiknya seperti menekan atau mencengkeram ke arah perut. Ketika dia menarik tangan
itu, Bun Houw melihat betapa jari telunjuk tangan kanan itu bengkak dan ketika dirabanya, maka tulang telunjuk itu patah pada buku jarinya. Bekas kaisar Cang Bu melihat ujung lipatan kertas menyembul dari balik baju di pinggang adiknya. Diambilnya benda itu yang ternyata sehelai kertas berlipat yang agaknya disembunyikan di ikat pinggang. Dia membuka dan merabanya. Wajahnya berubah pucat sekali, dan
tanpa bicara dia menyerahkan kertas itu kepada komandan pengawalnya. Panglima itu membaca pula
dan cepat dia berlari keluar entah apa yang dilakukannya, hanya dia dan bekas kaisar itu yang
mengetahuinya. Sementara itu, Bun Houw yang memeriksa telunjuk, kini memandang kepada Suma Hok yang masih
berdiri tegak. Dan diapun menemukan apa yang dicarinya. Lengan baju Suma. Hok berlubang dan
tahulah dia bahwa agaknya tangkisan Suma Hok membuat jari telunjuk wanita itu patah buku jarinya dan lubang pada lengan baju itu akibat ilmu totokan It-sin-ci dari mendiang Liu Kiok Lan Suma Hok,
"Engkaulah yang telah membunuh Nona Liu Kiok Lan dengan pukulan Lui-kong-ciang (Tangan Halilintar), dan agaknya Nona Liu menyerangmu dengan totokan It-sin-ci yang mengenai lenganmu ketika kau
tangkis. Buktinya, lengan bajumu itu berlubang. Dan engkau masih berani menuduh, aku yang
membunuhnya!" kata Bun Houw.
"Ha-ha-ha, Kwa Bun Houw, engkau murid Tiauw Sun Ong, tentu tidak jauh berbeda dari gurunya! Tidak perlu menyangkal atau memutarbalikkan kenyataan. Kenapa aku membunuh isteriku sendiri yang
tercinta" Engkaulah yang membunuhnya dan ketika aku memasuki kamar ini, aku masih melihat
bayanganmu meloncat keluar melalui jendela!"
Pada saat itu, komandan pengawal tadi muncul lagi bersama tujuh orang perwira, termasuk pengawal yang tadi mengabarkan kepada Suma Hok tentang kedatangan Kwa Bun Houw.
"Yang Mulia." kata panglima itu kepada Liu Tek. "Pengawal ini menjadi saksi bahwa ketika dia melapor tentang kedatangan tamu, dia melihat Nona itu dan suaminya berada di kamar ini dan agaknya sedang bertengkar."
"Suma Hok, engkau hendak berkata apalagi?" bekas kaisar itu menegur marah. "Bukan itu saja, bukan hanya engkau membunuh adikku, juga dahulu engkaulah yang berbuat keji terhadap adikku, lalu
mengatakan bahwa Jenderal Pouw Cin yang melakukannya!"
Wajah Suma Hok menjadi pucat. "Sribaginda, semua itu bohong!" katanya membantah.
"Hemm, bohongkah surat yang ditulis sendiri oleh adikku ini" Agaknya adikku telah mendapatkan firasat tidak enak dan membuat pengakuan ini di atas kertas. Sayang sebelum melapor kepadaku, engkau
sudah membunuhnya. Engkau manusia iblis!"
"Sudahlah, kalau engkau tidak percaya lagi kepadaku, aku mau pergi!" Suma Hok mencabut sulingnya dan hendak menerjang keluar.
"Nanti dulu, engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!" kata Kwa Bun Houw dan diapun menghadang di pintu.
"Kwa Bun Houw, pengecut busuk. Engkau, hendak mengandalkan pengeroyokan?" teriak Suma Hok yang tidak melihat jalan keluar lagi dan bersikap gagah untuk menyembunyikan rasa takutnya.
"Siapa hendak mengeroyokmu" Hayo kita bertanding satu lawan satu di luar. Harap Kongcu tidak memerintahkan orang mengeroyoknya, biar saya sendiri melawanuya."
Mendengar ucapan Kwa Bun Houw itu, Li Tek mengangguk, hanya memerintahkan para perwiranya
untuk mengatur pasukan mengepung agar Suma Hok tidak sampai lolos. Melihat bahwa tidak mungkin
lagi baginya untuk mololoskan diri, maka Suma Hok menjadi nekat. Semuanya sudah gagal dan tidak ada jalan lain kecuali menunjukkan kegagahannya. Maka, melihat Kwa Bun Houw sudah melangkah keluar,
diapun dengan mengangkat dada, membawa sulingnya, mengikuti keluar. Mereka saling berhadapan di
ruangan terbuka sebelah luar kamar. Maklum bahwa lawannya adalah putera seorang datuk besar dan
sama sekali tidak boleh dipandang ringan, Bun-Houw sudah mencabut pula senjatanya, yaitu Lui-kong-kiani (Pedang Kilat)! dan semua orang terkesiap karena pedang itu seperti mengeluarkan sinar kilat ketika dicabut.
"Kwa Bun Houw, sejak dahulu engkau menentangku dan menjadi penghalang bagiku! Sekali ini, engkau atau aku yang mati!" bentak Suma Hok.
"Yang kutentang kejahatanmu, bukan dirimu!" bentak pula Bun Houw akan tetapi dia sudah harus cepat menghindar karena selagi dia bicara, Suma Hok telah menyerang dengan suling mautnya. Suling
digerakkan dan ada sinar hitam menyambar dari ujung suling Bun Houw miringkan tubuhnya dan
menggerakkan pedang. Beberapa batang jarum beracun halus dapat dipukul runtuh oleh pedangnya
dan diapun memutar pedang membalas serangan lawan.
Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya. Dia telah mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya dan bahkan dia amat keji
mempergunakan racun sehingga dijuluki Suling Beracun. Sulingnya yang disepuh perak itu bukan saja mampu mengeluarkan jarum beracun, juga permukaan suling itu mengandung racun yang amat jahat.
Ketika dia mengamuk dan menerjang Bun
Houw, bentuk suling itu lenyap dan yang nampak hanyalah gulungan sinar putih dibarengi suara
mendengung-dengung.
Akan tetapi, yang dilawannya adalah Kwa Bun Houw, Si Pedang Kilat yang dalam segala hal jauh lebih tinggi tingkatnya. Bahkan ayahnya sendiri, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, tidak akan mampu
menandingi Si Pedang Kilat, apalagi dia! Ketika Bun Houw memainkan pedangnya, nampak sinar kilat bergulung-gulung dan menggulung sinar perak dari suling di tangan Suma Hok. Pemuda ini terkejut
bukan main karena ke manapun sulingnya bergerak, selalu bertemu sinar pedang yang bagaikan
benteng yang kokoh. Sebaliknya, dari gulungan sinar pedang itu kadang mencuat sinar yang menyambar bagaikan kilat, membuat Suma Hok berulang kali harus melempar tubuh ke belakang dengan muka
pucat karena nyaris dia disambar sinar pedang kilat.
Mulailah rasa takut dan panik mencengkeram hati Suma Hok. Dia maklum bahwa dia tidak akan menang bertanding melawan Kwa Bun Houw, maka dari pada melanjutkan perkelahian yang tidak memberi
harapan itu. lebih baik dia mencoba menerobos kepungan dan melarikan diri ...
Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat ke sebelah kiri. Dia
disambut todongan golok dan tombak pasukan, akan tetapi Suma Hok menggerakkan sulingnya dan
sinar hitam dari jarum-jarum halusnya merobohkan lima orang! Dan diapun mengamuk dengan
sulingnya dan berhasil merobohkan lagi lima orang! Dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan
sepuluh orang lawan yang tidak mungkin dapat ditolong lagi karena keracunan. Melihat ini, sekali melompat Bun Houw sudah berada di depannya dan menggerakkan pedangnya.
"Trangg ...!!" Nampak bunga api berpijar ketika suling di tangan Suma Hok menangkis dan patah menjadi dua potong! Iblis Suling Beracun ini terkejut dan marah, lalu dengan nekat dia menubruk ke depan dengan sulingnya yang buntung, akan tetapi kaki Bun Houw menyambutnya dengan tendangan.
"Desss ...!!" Dada Suma Hok tertendang dan diapun terjengkang pingsan.
"Tangkap dia hidup-hidup!" bentak bekas kaisar Cang Bu yang sudah marah sekali terhadap bekas adik iparnya itu. Banyak tangan membelenggu Suma Hok yang sudah pingsan itu sehingga kaki tangannya
terikat kuat-kuat, membuat dia setelah siuman tak mampu bergerak lagi.
Bun Houw segera menghadapi bekas kaisar itu dan berkata, "Kongcu, seperti pernah saya katakan dahulu, saya tidak ingin mencampuri urusan perebutan kekuasaan. Kedatangan saya ini hanya untuk
memberi tahu agar kongcu suka cepat menyelamatkan diri. Saya ikut bersedih dengan peristiwa
terbunuhnya Nona Liu Kiok Lan. Sekarang, perkenankan saya untuk berparait."
Bekas kaisar itu merasa kecewa sekali bahwa seorang yang lihai seperti Si Pedang Kilat itu tidak mau bekerja sama dengan dia. Biarpun dia berterima kasih dengan peringatan dan pemberitahuan bahwa
pasukan kerajaan Chi akan menyerbu, namun dia tidak ingin mundur lagi. Dia sudah bersusah payah
mengumpulkan tenaga untuk melakukan perang merebut kembali tahta kerajaan, maka dia tidak mau
melarikan diri lagi.
"Terima kasih, Kwa-taihiap. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aku merasa menyesal sekali telah terkena bujukan dan tipuan penjahat macam Suma Hok
sehingga pernah memusuhimu."
Bun Houw meninggalkan tempat itu dan benar seperti yang dia peringatkan kepada bekas kaisar itu, dua hari kemudian, tempat itu diserbu pasukan yang amat besar jumlahnya. Terjadi perang karena bekas Kaisar Cang Bu melakukan perlawanan mati-matian. Namun semua usahanya itu sia-sia. Kerajaan Wei di utara juga tidak mengirim bantuan melihat sekutunya diserang itu, hanya memperkuat penjagaan di
perbatasan. Pasukan dari bekas kaisar Cang Bu itu dapat dihancurkan setelah pertempuran selama
sehari semalam. Kaisar Cang Bu sendiri tidak mau ditawan dan membunuh diri, setelah dia dengan
pedangnya sendiri membunuh Suma Hok yang menjadi tawanan.
Perang merupakan puncak merajalelanya nafsu, karena perang memperebutkan kemenangan tanpa
menghiraukan pengorbanan banyak nyawa manusia. Mengapa di seluruh dunia ini, kehidupan manusia
tidak terbebas dari pada perang, baik perang antara bangsa, antara kelompok, antar keluarga, maupun antar perorangan" Perang terjadi setiap hari, dimulai dari perang atau konflik dalam batin pribadi, mencetus keluar menjadi konflik antar perorangan, membengkak menjadi perang antar kelompok,
sampai antar bangsa. Sumbernya terletak kepada si aku yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga. Si aku adalah pikiran yang bergelimang nafsu, dan nafsu selalu memang mengejar kesenangan dan kepuasan.
Memperebutkan kemenangan karena yang menang itu berkuasa, dan yang berkuasa tentu saja selalu
benar, selalu berada di atas, karenanya menginjak yang di bawah dan tidak mungkin terinjak karena yang di bawah tidak mungkin dapat menginjak yang berada di atas. Menang, berkuasa, duduk di atas, selalu benar, selalu baik, selalu dapat menentukan apa saja, karenanya, tentu saja senang! Jadi, semua pencarian itu menuju ke arah satu, yaitu kesenangan! Kedudukan diperebutkan karena kedudukan
merupakan sarang kesenangan. Segala macam kebutuhan terpenuhi, segala macam keinginan tercapai,
dan di dalam kekuasaan itu terdapat segalanya. Kekayaan, identitas, dan kemuliaan.
Betapa kita mudah melupakan kenyataan: yang dapat kita lihat dati sejarah, bahwa makin besar
kesenangan yang kita raih dan dapatkan, makin besar pula kesusahan menanti di ambang pintu.
Seseorang yang disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai pendukungan, pada lain keadaan
mungkin akan disambut dengan cemooh dan binaan, sebagai korban dari kedudukannya. Seorang yang
kaya raya dan menikmati kekayaannya di satu saat, di lain saat mangkin saja akan dicekam ketakutan hebat akan kehilangan kekayaannya, atau disiksa kedukaan besar karena kehilangan kekayaannya.
Seorang yang berada di puncak kemashuran dan dipuja-puja, sekali waktu dapat saja jatuh ke bawah dan pujaan itu berubah menjadi ejekan dan kutukan. Bagaikan sebuah biduk kecil dipermainkan
gelombang samudera. kitapun dipermainkan oleh hasil dan gagal, kepuasan dan kekecewaan,
kesenangan, dan kesusahan, kebosanan, iri hati, iba diri, dan segala macam permainan pikiran yang dicengkeram nafsu daya rendah.
*** Sekelompok orang yang berada di dalam ruangan besar itu nampak muram, bahkan ada beberapa orang
di antara mereka yang marah-marah. Mereka duduk mengelilingi meja besar dan yang duduk di kepala meja adalah tiga orang yang kelihatan berwibawa. Mereka merupakan pimpinan dari pasukan Kerajaan Wei yang kini menduduki dusun Thai-bun dan yang membentuk sebuah perkumpulan bernama Thian-te
Kui-pang. Tiga orang pimpinan itu merupakan saudara-saudara seperguruan, yaitu yang pertama
berjuluk Pek-thian-kui (Iblis Putih dari Utara) berusia lima puluh tahun dengan tubuh gendut bundar dan mukanya halus. Orang ke dua berjuluk Huang-ho Kui (Iblis Sungai Ku ning) berusia empat puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot dan kumis jarang. Yang ke tiga berjuluk Toar beng-kui (Iblis Pencabut Nyawa) bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun dan wajahnya tampan, matanya liar.
Mereka inilah yang dikenal sebagai Bu-tek Sam kui (Tiga Iblis Tanpa Tanding) yang menjadi jagoan-jagoan istana kaisar kerajaan Wei dan nama mereka amat terkenal di utara. Kini mereka menerima
tugas dari kaisar mereka untuk membawa seratus orang anak buah, menyusup ke selatan untuk
membikin kacau kerajaan baru Chi yang nampak semakin berkembang. Di dusun Thai-bun, pasukan itu
membunuhi penduduk, menjadikan dusun itu sebagai markas mereka dan mereka tidak lagi memakai
seragam pasukan kerajaan Wei, melainkan berpakaian hitam-hitam sebagai anggauta. Thian-te Kui-
pang. Di sisi lain dari meja panjang itu, menghadap tiga orang Bu-tek Sam-kui, duduk tokoh-tokoh persilatan yang dikenal sebaga datuk-datuk persilatan yang lihai. Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis) Suma Koan, datuk besar majikan bukit Bayangan Iblis berada di situ. Juga nampak Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek, datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman yang berusia lima puluh tiga tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Suma Koan.
Di samping Ouwyang Sek duduk pula Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im) Bwe Si Ni yang biarpun sudah
berusia hampir lima puluh tahun akan tetapi masih nampak cantik manis seperti baru berusia tiga puluh tahun saja. Seperti kita ketahui, wanita yang dahulunya merupakan seorang dayang istana ini, yang pernah jatuh cinta dan tergila-gila kepada bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, dalam usahanya membalas dendam karena ditolak cintanya oleh bekas pangeran itu, kalah oleh Tiauw Sun Ong dan ia dibantu oleh Ouwyang Sek. Semenjak waktu itu, ia bersahabat dengan Ouwyang Sek dan memang keduanya memiliki
watak yang sama, apalagi Ouwyang Sek telah menjadi seorang duda, maka keduanya menjadi akrab.
Oleh karena itu, ketika Ouwyang Sek dibujuk oleh Bu-tek Sam kui untuk bekerja sama, dia mengajak pula Kwan Im Sian-li sehingga keduanya sekarang berada di markas Thian-te Kui-pang itu.
Selain tiga pimpinan Thian-te Kui-pang dan tiga orang datuk ini, masih ada lagi lima orang pembantu Butek Sam-kui yang merupakan perwira atau pimpinan pasukan Thian-te Kui-pang. Mereka agaknya
nampak murung dan marah, membicarakan sesuatu yang penting dengan penuh semangat.
"Brakk!" Tangan kiri Kui-siauw Giam-ong menggebrak meja di depannya sehingga tergetar. "Puteraku Suma Hok mati terbunuh! Akan tetapi aku tidak mau melakukan balas dendam karena pembunuhnya,
bekas Kaisar Cang Bu, juga sudah mampus. Sungguh membuat hati merasa penasaran sekali!" Kakek
yang kecil kurus namun amat lihai ini menyambar cawan araknya dan sekali tuang, arak dalam cawan sudah memasuki perutnya. Agaknya dia masih belum puas dan menyambar guci arak lalu menuangkan
isinya, menggelogoknya, seolah arak itu akan dapat mengusir ke marahannya.
"Giam-ong, kenapa penasaran kepada bekas kaisar itu" Yang menjadi biang keladi kematian puteramu bukanlah dia, melainkan orang yang juga menjadi biang keladi puteraku Ouwyang Toan tertangkap dan dihikum mati. Orang itulah yang telah membunuh anakmu dan anakku!"
"Siapakah dia !" Suma Koan bertanya dan memandang kepada rekannya dengan mata merah.
"Siapalagi kalau bukan si jahanam Kwa Bun Houw" Menurut para penyelidik yang berhasil lolos ketika markas bekas Kaisar Cang Bu diserbu pasukan pemerintah, sebelum pasukan pemerintah menyerbu,
Kwa Bun Houw datang berkunjung untuk memperingatkan bekas kaisar itu agar tidak bergabung dengan kerajaan Wei dan agar melarikan diri karena akan diserbu pasukan pemerintah. dan dalam pertemuan itulah Kwa Bun Houw menyerang dan merobohkan puteramu. Dia ditangkap dengan tuduhan
membunuh isterinya serdiri, adik bekas Kaisar Cang Bu. Kemudian, setelah terjadi penyerbuan dan
Kaisar Cang Bu kalah, dia membunuh anakmu yang telah tertawan sebelum membunuh diri. Nah.
bukankah kematian anakmu itu gara-gara Kwa Bun Houw" Karena Kaisar Cang Bu sudah mati, engkau
harus membalas kematian anakmu kepada Kwa Bun Houw, seperti juga aku akan menuntut balas atas
kematian anakku."
"Bukankah Ouwyang Toan, anakmu itu mati karena dihukum mati oleh pemerintah kerajaan Chi?" tanya Suma Koan.
Bu-eng kiam Ouwyang Sek menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara sedih. "Memang
benar, akan tetapi kegagalan Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li juga gara-gara campur tangannya Kwa Bun Houw yang menyamar dan menjadi pengawal pribadi kaisar. Karena dialah maka penyerangan
itu gagal dan anakku bersama Bi Moli tertawan dan dijatuhi hukuman mati." Dia mengepal tinju dan berteriak. "Kwa Bun Houw, aku pasti akan menghancurkan kepalamu untuk membalas kematian
anakku!" Dua orang datuk yang biasanya tidak pernah saling mengacuhkan itu, kini bersatu hati untuk menentang dan membalaskan kematian putera mereka kepada Kwa Bun Houw.
Melihat kedua orang datuk itu marah-marah, Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi,
berkata, "ji wi (kalian berdua) suka bersabar. Kami mengetahui akan dendam kemarahan hati ji-wi, akan tetapi kita harus mengingat bahwa selain Kwa Bun Houw itu memiliki ilmu silat yang amat tangguh, juga agaknya dia memiliki pula kawan-kawan dari golongan kang-ouw yang menentang kita, seperti terbukti ketika dia membantu Thian-beng-pai dan Hek-tung Kai-pang yang tidak mau tunduk kepada kita. Oleh karena itu, harap ji-wi suka bersabar dan bergabung dengan kami. Kalau kita bersatu, dengan kekuatan anak buah kita, kiranya tidak akan sukar untuk membalas dendam kita terhadap Kwa Bun Houw."
"Akupun harus menghajar pemuda sombong itu!" Kwan Im Sian li Bwe Si Ni berkata. "Beberapa kali diapun berani menentangku!"
"Kalau begitu, bagus sekali! Pek-thian-kui, kami rasa, kami bertiga saja sudah cukup untuk menemukan Kwa Bun Houw dan memenggal lehernya! Tidak perlu kalian Bu-tek Sam-kui ikut-ikut!" kata Ouwyang Sek.
"Apa yang dikatakan Bu-eng-kiam itu benar, Bu-tek Sam-kui." kata pula Kui-siauw Giam-ong Suma Koan.
"Setelah usaha kita bersama gagal, bahkan kami berdua telah mengorbankan putera kami, maka tidak ada gunanya lagi kerja sama ini. Kaisar Cang Bu telah tewas, pasukannya telah hancur, untuk apalagi kita bekerja sama" Kalian adalah petugas dari kerajaan Wei, akan tetapi kami bertiga tidak mempunyai
urusan dengan perebutan kekuasaan antara kerajaan di utara dan kerajaan di selatan. Kami bertiga hendak mencari dan menghukum Kwa Bun Houw karena urusan pribadi, tidak ada lagi sangkut-pautnya
dengan kerajaan Wei."
"Akupun setuju," kata Kwan Im Sian-li. "Yang jelas, kerja sama itu ternyata tidak menguntungkan, bahkan merugikan kami. Giam-ong dan Bu-eng-kiam, mari kita bertiga mencari Kwa Bun Houw dan
kalau Tiauw Sun Ong membela muridnya, kita bunuh sekalian manusia sombong itu!"
Tiga orang datuk itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu tanpa ada yang berani mencegah. Bu-tek Sam-kui hanya dapat saling pandang saja. Mereka mendapat tugas memimpin anak buah mereka untuk
mengacau dan melemahkan kerajaan Chi, dan untuk melaksanakan tugas itu mereka berhasil menarik
banyak tokoh kang-ouw golongan sesat untuk membantu mereka dengan janji yang muluk. Bahkan
mereka berhasil mengikat kerja sama dengan bekas Kaisar Cang Bu dan bersama-sama mengatur siasat untuk membunuh Kaisar kerajaan Chi dan menguasai dunia kang-ouw. Akan tetapi, ternyata usaha
membunuh Kaisar Siauw Bian Ong itu gagal, juga mereka tidak berhasil menguasai dunia kang-ouw
sepenuhnya. Tadinya, mereka mengharapkan para datuk seperti Ouwyang Sek dan Suma Koan untuk
mereka jadikan jago dan beng-cu dalam pemilihan beng-cu dunia kang-ouw. Hal inipun gagal karena
sekarang, dua orang datuk itu bersama Kwan Im Sian-li meninggalkan mereka dalam usaha mereka
untuk mencari musuh pribadi mereka.
'Tidak ada jalan lain, kita harus mulai dari pertama, yaitu mengadakan pengacauan di sepanjang tapal batas selatan sambil mengirim laporan tentang kegagalan itu kepada Sribaginda dan menanti perintah selanjutnya," kata Pek-thian-kui. Dua orang sutenya setuju dan segera mereka membuat laporan untuk dikirim kepada kaisar mereka di utara.
Mulailah para anggauta Thian-te Kui-pang itu mengganas lagi di perbatasan, mengganggu dusun-dusun, merampok dan membunuh dan mereka dikenal sebagai gerombolan iblis Hitam karena pakaian mereka
serba hitam dan kebuasan mereka seperti iblis. Gegerlah perbatasan dan banyak penduduk mengungsi ke pedalaman. Kalau ada pendekar atau petugas keamanan berani menentang, mereka semua dibunuh.
Sementara itu, Ouwyang Sek, Bwe Si Ni dan Suma Koan melakukan perjalanan bersama menuju Hoa-
san. Bwe Si Ni yang menjadi penunjuk jalan karena wanita itu pernah mendatangi tempat bekas
pangeran itu mengasingkan diri, yaitu di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Hoa-san. Mereka bertiga sudah bertekad untuk mencari Bun Houw di sana dan kalau pemuda yang menjadi musuh besar
mereka itu tidak berada di sana, mereka akan menawan Tiauw Sun Ong untuk memancing datangnya
pemuda itu yang mereka yakin pasti akan membela gurunya.
"Si Buta itu lihai bukan main," Ouwyang Sek memperingatkan rekannya, Suma Koan. "Babkan aku dan Sian-li pernah mengeroyoknya dan biarpun kami dapat melukainya, dia masih mampu memaksa kami
pergi membawa luka."
"Akan tetapi aku yakin bahwa dengan adanya Giam-ong membantu, kita akan dapat menundukkan
jahanam buta itu," kata Kwa Im Sian-li gemas karena kini ia amat membenci pria yang pernah dicintanya setengah mati itu.
Cintakah itu kalau dapat berubah menjadi benci" Cinta yang mengandung cemburu, ingin memiliki,
kemudian berubah menjadi kebencian sesungguhnya hayalah gairah nafsu belaka Cinta seperti itu tentu saja menimbulkan berbagai masalah, mendatangkan konflik-konflik-Sudah menjadi sifat nafsu untuk
selalu mengejar kesenangan. Aku cinta padamu, karena kamu mendatangkan kesenangan padaku,
demikianlah isi cinta gairah nafsu itu, baik itu cinta antara pria dan wanita, kitara orang tua dan anaknya, antara sahabat, bah kan cinta seseorang terhadap apa saja. Selama terkandung pamrih demi
kesenangan diri pribadi, walaupun pamrih ini seringkali bersembunyi di balik siogan dan gagasan agung maka cinta seperti itu pasti menimbulkan konflik, dan dapat berubah meojadi benci, karena cinta gairah dan kebencian bersumber satu, yaitu nafsu. Aku cinta kamu selama kamu menyenangkan. Begitu kamu
tidak menyenangkan, maka aku benci kamu! Karena itu, cinta seperti ini selalu memilih, yang paling menyenangkan, itulah yang dicinta.
Demikian pula "cinta" yang pernah mengusik hati Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni. Ia pernah jatuh cinta kepada seorang pangeran yang tampan dan menyenangkan, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Biarpun
cintanya tidak mendapat balasan, namun ia tetap mencinta karena ia kagum dan suka kepada pangeran itu, bahkan setelah dia tidak lagi menjadi pangeran dan menjadi seorang buta, ia tetap mengharapkan menjadi pasangan hidupnya. Namun, penolakan-penolakan Tiauw Sun Ong, bahkan yang
mengakibatkan perkelahian, mengubah cintanya menjadi benci. Kalau ia masih mengharapkan diterima sebagai pasangan hidup, adalah karena biarpun sudah tua dan buta, Tiauw Sun Ong masih amat menarik hatinya sebagai seorang yang amat lihai ilmu silatnya. Penolakan itu menyakitkan hatinya dan sekaligus mengubah cintanya menjadi benci dan kini ia hanya mempunyai satu keinginan terhadap Tiauw Sun
Ong, yaitu membunuhnya!
Pada waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya setelah anak itu berusia dua puluh satu tahun!
Bahkan baru saja dia mengetahui bahwa dia mempunyai seorang keturunan dari selir kaisar yaitu
kakaknya, yang menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu telah mengandung keturunannya ketika
mereka tertangkap dan dipisahkan. Tentu saja ayah dan anak ini merasa berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu
simpanannya. Karena gadis itu memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan murid datuk majikan Lembah Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini diajarkan ayah kandungnya kepadanya. Selama beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di
Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai
dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam (Sepasang
Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok dengan tongkat yang
dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya tetap memainkan pedangnya. Kalau
tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang pedang, kini ia mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat diambilnya di mana saja, sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya. bagi lawan dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang! Juga pedang di
tangan kanannya mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun Ong menambahkan jurus-jurus
baru. Juga bekas pangeran ini mengajarkan cara menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga
dalam hal tenaga sakti, Hui Hong juga menjadi semakin kuat.
Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat ayahnya, dapat mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk ayahnya dan menerima pelajaran ilmu dari
ayahnya. Akan tetapi juga karena ayahnya menjodohkan ia dengan Bun Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya pemuda yang memang sebelum ayahnya menjodohkannya, telah menjadi pujaan hatinya itu.
Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak semakin cantik jelita karena wajahnya selalu cerah. Kalau
dahulu, sebagai puteri datuk Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu nampak senyum manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung
kelembutan, dan wajahnya selalu berseri.
Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang pondok ayahnya. Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya, dengan sehelai kain. Ia
harus mengeringkan dulu keringatnya sebelum mandi! Dalam udara dingin puncak dapat berkeringat
seperti itu, menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong mengerahkan banyak tenaga. Namun ia
merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling sulit yang diajarkan ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini dapat ia lakukan dengan baik. Ayahnya tentu akan girang sekali.
Melihat Hui Hong duduk di atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan
kemerahan karena mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan bibirnya lebih merah lagi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum. Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir kaisar yang memadu kasih dengan ayahnya.
Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di balik batu-batu gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu saja tiga orang itu tidak dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong yang duduk di atas batu.
"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?" Suma Koan berbisik.
"Ia bukan anakku lagi," jawab Ouwyang Sek gemas.
"Ahhh, kiranya begitu" Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?" kata pula Suma Koan.
"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li, "Ia merupakan umpan yang lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."
"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek, "Hemm, kalau begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika datuk itu hendak keluar dari tempat sembunyinya.
"Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan pandang ringan
bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun Ong bertiga, tentu kita akan mampu
menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong keluar, kita dapat
menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera puterinya saja. Dan dengan
mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."
Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li. Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya berindap-indap menghampiri Hui Hong yang masih
duduk menyeka keringat dan menikmati kenyamanan hawa udara sejuk yang mengipasi tubuhnya yang
masih panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga orang itu adalah datuk-datuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga mereka mampu bergerak tanpa menimbulkan
suara. Akan tetapi, selama beberapa bulan menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah
diajar pula mempertajam pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas matanya
yang tidak dapat melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat,
pendengarannya dapat menangkap pernapasan mereka dan cepat ia meloncat turun dari atas batu.
Namun terlambat. Tiga orang itu sudah terlampau dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong
dari tiga jurusan.
Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari ayahnya dan sepasang senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, ketika ia
melihat siapa yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan maklum bahwa ia berhadapan dengan
Elang Terbang Di Dataran Luas 10 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Lambang Naga Panji Naga Sakti 9
^