Pencarian

Kisah Si Pedang Kilat 13

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia mengenal Ouwyang Sek, orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil. Dan ia mengenal pula Suma Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang
pernah melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li, datuk wanita yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah kandungnya sendiri. Tiga orang
datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya! Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan
berbahaya. Namun, ia siap dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi mereka dengan sikap gagah
sekali. "Kalian ...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak memperlihatkan sikap takut.
"Tangkap ...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan dahsyat ketika dia berusaha untuk
merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu dengan totokan dan cengkeraman. Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak mengelak, bahkan tongkat di tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan
Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan itu, dan pedangnya menyambar ke arah
pergelangan tangan yang menotoknya!
(Bersambung jilid 18)
JILID 18 "AHHH ...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya, bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan main. Terpaksa dia meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan Suma Koan sudah bergerak maju membantu rekan mereka. Suma Koan menggunakan
suling mautnya untuk melakukan serangan totokan, sedangkan Bwe Si Ni menerkam dari samping
dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau. Serangan kedua orang ini hebat sekali
sehingga Hui Hong terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua orang inipun amat kuat.
Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiha belakang lutut kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh berlutut dengan sebelah kaki dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.
"Jangan berserak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.
Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa melepaskannya karena
ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat berseru nyaring, "Ayaaaahhh ...!!"
Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar bagaikan seekor burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu sudah siap dan pedang yang menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong sudah berdiri di depan tiga
orang itu, tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring karena dia menggunakan tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk mendengarkan gerakan tiga orang itu. Biarpun kedua
matanya tidak dapat melihat lagi, namun perasaan dan pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu dan dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!
"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau merasa jerih juga.
"Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong, namun ia tidak berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat memenggal lehernya.
"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"
"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka. Mereka sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang dengan tertawannya puteri bekas
pangeran itu. Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya, "Bwe Si Ni! dan tentu seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa yang seorang lagi?"
"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.
"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong" Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok dan menawan seorang muda!"
"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-i marah. "Engkau tidak dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah menempel di leher puterimu. Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan lebih dulu memenggal batang leher puterimu yang putih mulus ini!"
Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya, "Bwe Si Ni, apa kehendak kalian bertiga" Katakan!" Dia tahu bahwa tiga orang manusia curang itu sengaja menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.
"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau puterimu akan
kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.
"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka. Aku tidak takut mati!"
teriak Hui Hong.
"Bwe Si Ni, aku selamannya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian sampai berani mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai dapat membunuh kalian bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga orang itu.
Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di depan Tiauw Sun Ong
agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan untuk menolong puterinya.
"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan keselamatan nyawa puterinya tergantung
kepada sikapnya.
"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.
"Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si Ni, "Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh, "Kwan Im Sian-li, lepaskan pedangmu! Cepat!"
Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, terutama sekali
Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan pedangnya yang tadi dipergunakan untuk
mengancam Hu Hong.
"Hui Hong, cepat!" teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya, akan tetapi sebetulnya Hui Hong tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu meninggalkan lehernya, iapun
menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa melangkah
mundur menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk bergerak cepat ke
kiri dan menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma Koan dan dilemparkan ke
atas tanah. "Hai i ttt ...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya sehingga kedua orang datuk ini mundur, dan
kesempatan itu dia pergunakan untuk memungut kembali tongkatnya.
Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncullah seorang wanita muda yang cantik. Hui Hong memandang penuh perhatian. "Kau ..." Bukankah engkau ... Cia Ling Ay ... " Nama ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.
Ling Ay tersenyum dan mengangguk. "Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!" katanya.
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan tongkatnya menyerang Kwan
Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya membantu. Dalam hal ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, tentu saja Ling Ay bukan tandingan Kwan Im Sian-li yang mempunyai
tingkat sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir! Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya, namun sudah cukup untuk dapat mempengaruhi
seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li sehingga ia dapat menyelamatkan Hui Hong. Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia merasa menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa meninggalkan Bun Houw seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak menemui dan minta kepada bekas
tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru pemuda
itu. Ia pernah bersama gurunya datang ke tempat ini. maka ia dapat mengunjungi pondok dari arah
belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang datuk. Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh
mengandalkan ilmu silatnya terhadap tiga orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan tiba-tiba
mengejutkan Kwan Im Sian-li sehingga datuk wanita itu terkejut dan melepaskan pedangnya dan Hui
Hong dapat terbebas dari ancaman maut.
Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi pengeroyokan Suma Koan
dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa puterinya terbebas dari ancaman maut, dan
dia belum tahu siapa wanita yang menyelamatkan puterinya dengan sihir tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih merasa kasihan dan tidak tega untuk membunuh
bekas dayang itu.
Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang berilmu
tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah bahwa berkat
kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang biasa, dan pendengarannya menjadi amat tajam
sehingga dia dapat mengetahui setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu dilakukan dari arah
belakangnya. Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya merupakan datuk-datuk yang berilmu
tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang. Dia terdesak
sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah untuk dapat merobohkannya.
Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang wanita muda itu.
Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya. Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama yang baik, dua orang wanita muda ini perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri dan jarang ia dapat membalas serangan mereka.
Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun Houw ini, pada kurang
lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai seorang wanita yang lemah. Akan tetapi
sekarang mendadak muncul sebagai seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya, bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia dan ayahnya!
Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini bersungguh-sungguh
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat ini, timbul semangatnya dan iapun menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.
Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda itu memperhebat
serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua orang rekan mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka berdua itu masih bertanding seru
mengeroyok Tiauw Sun Ong dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek,
Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan terancam bahaya karena dua orang datuk itu memang lihai bukan
main. Ia harus dapat merobohkan Kwan Im Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya,
karena kalau ia tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan
membunuh wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.
Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba merobohkan wanita itu
secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan mudah dapat menjadi kenyataan. Kwan Im Sian-
li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan. Dan melihat betapa ayahnya mulai
terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru membuat gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat
Kwan Im Sian-li nampak semakin kuat dan sukar dikalahkan.
Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan di dua gelanggang
pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang. Tiauw Sun Ong terdesak oleh dua orang
pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan Ling Ay juga mendesak Kwan Im Sian-li. Mereka semua
maklum bahwa pihak yang kalah lebih dulu berarti akan kalah semua karena pihak yang menang tentu akan dapat membantu perkelahian yang lain.
"Enci Ling Ay, cepat kaubantu ayahku!" tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan sepenuh
tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil keputusan untuk membiarkan ia
seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk membantu ayahnya. Ling Ay menjadi agak bingung mendengar permintaan itu
karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li sendiri saja merupakan bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja
membiarkan dirinya terancam asal ayahnya terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa bagaimanapun juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau
merobohkan Hui Hong. walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau melawan datuk wanita
itu seorang diri saja. Maka, iapun meloncat dan memutar pedangnya, terjun ke dalam gelanggang
pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.
Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat mengetahui bahwa wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang membantunya. Hal ini berarti bahwa puterinya itu seorang diri saja menghadapi Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa puterinya sengaja mengorbankan diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita penolong tadi membantunya agar dia terbebas
dari desakan dan ancaman dua orang datuk yang mengeroyoknya.
"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.
"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!" teriak pula Hui Hong.
Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga membuat Tiauw Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya sehingga membuyar atau terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya menyambar ke arah lehernya, agak
lambat ia mengelak dan pundak kirinya disambar ujung pedang sehingga berdarah
Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah menyambar lagi ke
arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu terbebas dari maut dan mereka berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li. Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika pundaknya terluka, dapat tertangkap telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi sedemikian kaget dan gelisahnya
sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil menghantam paha kaki kirinya.
"Dukk_ ...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan tetapi dalam keadaan terhuyung itu.
tentu saja dia membuka kesempatan bagi kedua orang pengeroyoknya untuk mendesak maju. Melihat
ini, Ling Ay mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya menyambar cepat untuk
melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang mengandung wibawa karena dikerahkan dengan
kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk itu agak tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah membebaskan Tiauw Sun Ong dari ancaman maut. Ketika kedua orang datuk itu mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat
memutar tongkatnya membela diri, juga Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya. Namun,
bantuan Ling Ay ini tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi, pahanya telah terluka terasa nyeri.
Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali menyelamatkan
Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka dari desakan tiga orang datuk itu.
Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi
korban tusukan pedang Kwan Im Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-i ba kaki Kwan Im Sian-li berhasil menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan suara tawa dan pedangnya berkelebat.
"Tranggg ...!"
"Aihhh ...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi hanya melihat kilat menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan menjadi buntung! Ketika ia memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang yang dicari-cari tiga erang datuk itu, yaitu Kwa Bun Houw yang sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan dengan tangan kirinya dia menarik tangan Hui Hong dan
membantu gadis itu bangkit berdiri.
"Houw-koko, kau bantu ayah ...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun Houw.
Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat oleh Ouwyang Sek dan
Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan mati-matian, hal yang membuat ia
terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui Hong dan ayahnya, maka diapun cepat berseru, "Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."
Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw. "Baik!" katanya dan dengan penuh semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li dengan pedangnya. Hui Hong menggerakkan
pedang dan tongkatnya mengeroyok. Hui Hong sedemikian gembiranya melihat kedatangan Bun Houw
sehingga ia melupakan luka di pundaknya dan gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina
mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang sudah buntung pedangnya, menjadi semakin panik dan
menurun semangatnya.
Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang perkelahian. Dua orang
datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya pemuda itu. Tadinya mereka memang ingin
bertemu Bun Houw untuk membalas dendam, akan tetapi bukan sekarang, di mana terdapat Tiauw Sun
Ong, Tiauw Hui Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya. Menghadapi bekas pangeran dan dua
orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya mereka belum mampu menundukkan mereka,
apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi, dua orang datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi kegelisahan mereka.
"Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di tanganku sebagai
pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.
"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati. Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.
"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.
Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw yang bukan saja telah menguasai
hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong, namun bahkan kini dia lebih lihai dari gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya amat kuat, mengandung
tenaga sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang secara kebetulan diminumnya.
Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk melawan, terjadi pertandingan seru dan
hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera terdesak hebat!
Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang itu, dan perlahan-lahan, sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit.
Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu Hui Hong dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit dan menekan datuk wanita yang
pedangnya sudah buntung, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, apalagi
melarikan diri. Kwan Im Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengelak atau menangkis dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat membuat ia bertahan selama belasan jurus
saja karena ketika mendapat kesempatan baik, ranting di tangan kiri Hui Hong berhasil menotok
dadanya, membuat datuk wanita itu terhuyung lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk menusukkan pedangnya ke lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu menjerit, akan
tetapi jeritnya tertahan karena saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk
tembus lehernya. Wanita itu terkulai dan tewas seketika, mandi darah.
Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan tenaga dahsyat Im-yang
Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah dada lawan. Pada saat itu pedang Ouwyang
Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk itu tidak patah karena
terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali. Pedang itu melekat dengan
pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya. Ouwyang Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan
sin-kang untuk membuat dadanya dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.
Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa agaknya gurunya tidak
ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat dan kalau gurunya menghendaki, tentu
tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat membunuh lawan. Diapun melompat ke depan dan berseru,
"Suhu, biar teecu menghadapinya!"
Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma Koan menjadi lega
bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan muridnya. Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua
tenaganya. Bun Houw menyambut dan mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg ...!!" Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia terkejut dan nekat, namun matanya
silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu. Dia berusaha untuk
membela diri, namun baru dia tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan bekas pangeran itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu, tiba-tiba kilat menyambar berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh terjengkang dengan dada ditembusi pedang. Raja
Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas seketika.
"Ya Tuhan ... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini ...!" terdengar Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram.!
"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka memang amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai suhu." kata Bun Houw.
Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya. "Ayah. Houw-ko tidak bersalah.
Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu. Mereka mencari kematian sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah tewas di tangan mereka."
"Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir ... engkau seperti Kwan Hwe Li, bagaimana tiba-liba dapat menolong kami" Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.
"Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."
"Ahhh ... !" Tiauw Sun Ong berseru kaget. "Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi ... kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"
"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli." kata Hui Hong. "Bahkan ia dahulu adalah ... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko."
Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu. Tentu Bun Houw
sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka dahulu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya.
Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.
"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon diri. Locianpwe, saya mohon pamit ... akan melanjutkan perjalanan ... "
"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita ini muncul sebagai penyelamat
gurunya dan kekasihnya. "Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan pergi begitu saja" Kami ingin mendengar bagaimana engkau dapat muncul di
sini dan ... "
"Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab denganmu."
kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.
"Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali kalau nona tidak sudi
menerima undangan kami ... " kata pula Tiauw Sun Ong.
Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak. "Kalau itu yang kalian inginkan, baiklah saya akan singgah sebentar ... "
"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh penghormatan."
kata Tiauw Sun Ong.
"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.
"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan kita yang patut dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."
Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari pondok itu karena
mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak batu sehingga mudah menggali lubang.
Kemudian, dengan sederhana namun cukup khidmat, mereka mengubur jenazah tiga orang datuk itu di
dalam tiga buah lubang. Tidak urung Hui Hong yang pada dasarnya berhati lembut itu menangis di
depan makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan segala kebaikan yang telah dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa. Harus diakuinya bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan
hendak dijodohkan dengan Suma Hok datuk ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak
sendiri. Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakap-cakap. Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang datuk yang lihai itu. Akan tetapi ceritanya itupun merupakan
karangannya saja, karena bagaimana mungkin ia mengaku kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa
ia datang untuk mencari Bun Houw dan menyampaikan permintaan maafkan atas sikapnya kepada Bun
Houw tempo hari ketika pemuda itu menolak harapannya untuk menyambung tali pertunangan mereka
yang putus"
Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota raja, bahkan
mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya bekerja sama dengan Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar niat mereka untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang
Toan, ia lalu melarikan diri. Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan hampir saja ia celaka di tangan mereka.
"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku berpisah dari guruku, aku lalu merantau
seorang diri tanpa tujuan tertentu dan kebetulan sekali aku lewat di bawah pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka iseng-iseng saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku lalu membayangi mereka dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu kalian."
"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"
"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa kaukira kita juga akan mampu bertahan" Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti membela Bun Houw.
Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita tentang penyerangan
yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap kaisar dan betapa dengan perantaraan
Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk menjaga keselamatan kaisar dengan menyamar sebagai seorang
pengawal baru. "Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil diselamatkan.
Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mengingatkan beliau bahwa gerakan
beliau untuk memberontak itu tidak akan benar dan hanya akan mendatangkan perang yang
menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan Suma Hok yang mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya sehingga dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak mencampuri pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan pengejaran
terhadap Bu-tek Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang, gerombolan yang telah mengacau di
perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu menceritakan
kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang dikirim oleh Kerajaan Wei untuk mengacau daerah perbatasan.
Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. "Semua orang tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya manusia telah lupa bahwa kekuasaan mutlak
berada di Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi bukan untuk saling
memperebutkan kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat bagi manusia pada umumnya,
berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari kekuasaan Tuhan. Akan tetapi nafsu
mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri, mereka memegang kekuasaan bukan demi
kesejahteraan rakyat melainkan demi kesenangan diri pribadi. Karena itu timbul ah perang dan
pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua memang benar. Sebagai orang-orang muda yang pernah dengan susah payah mempelajari
kepandaian, setelah menguasai ilmu harus dipergunakan demi menolong manusia yang sengsara, demi
menegakkan kebenaran, dan keadilan, menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan
kekuasaan. Sayang aku sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja
gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan sepanjang
perbatasan."
"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu untuk


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghancurkan perkumpulan iblis itu." kata Bun Houw.
"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan sendiri" Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan perkumpulan, iblis itu!" kata pula Hui Hong dengan
penuh semangat.
"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Sayapun siap membantu membasmi
perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui Hong suka menerima saya untuk membantu mereka."
"Hei , enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian" Tentu saja kami senang sekali kalau engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan sekalipun, tentu aku akan memintamu!"
kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.
Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada Bun Houw untuk
melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak ingin mengganggu kalau memang
pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan tetapi Bun Houw juga mengangguk dan berkata
dengan sungguh-sungguh. "Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami merasa senang mendapat
bantuanmu, adik Ling Ay."
Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis itu, Tiauw Sun Ong
memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan tugas sebagai pendekar-pendekar muda
yang perkasa. *** Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan ilmu berlari cepat
menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di tengah. Bun Houw berada di samping
kanannya sedangkan Ling Ay berada di samping kirinya. Akan tetapi di dalam perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah kanan Bun Houw sehingga dengan
sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan hatinya dan berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara ia dan pemuda itu.
Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua buah kamar di rumah
penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah kamar lagi untuk dua orang wanita itu. Dan
hubungan antara kedua orang wanita itu menjadi semakin akrab saja. Mereka merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah mendapatkan seorang isteri yang benar-benar
gagah perkasa dan baik budi, di samping kecantikannya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan menyeberangi daerah tak bertuan,
untuk berdagang, maka dusun itu berkembang menjadi tempat yang ramai. Rumah rumah penginapan
didirikan orang karena banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang)
berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap berada di tempat itu.
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan untuk sarapan.
Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar keterangan bahwa dusun Tai-bun
yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kui-pang berada sekitar lima puluh li dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan sebelum itu hendak sarapan
dulu dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak bertuan itu kakang-kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun yang sudah ditinggalkan penduduknya yang lari
mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.
Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk menghampiri mereka.
Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang usianya sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampiri meja mereka yang berada di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara tongkat yang
dibawanya, dan dia berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan bunyi yang berat.
Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun Houw memandang kearah
tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari logam berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.
"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)," bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu. Mereka melirik dan melihat pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan alis merasa tidak senang
sedang makan di dekati seseorang pengemis yang bajunya nampak kotor. Akan tetapi Bun Houw yang
tidak ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong uang dan memberikan kepada pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.
"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kai-pangcu (Ketua
Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."
Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali. "Ah, kiranya saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut Perdekar
Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap bertiga untuk bertemu dengannya."
Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam) Kam Cu berada di
sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"
'"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.
"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu. "Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku keluar dusun." Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik peihatian orang, pengemis itu
menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun keluar dari rumah makan itu.
Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung Kai-pang,
perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan Thian-te Kui-pang.
"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai makan, mereka membayar harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan itu dengan sikap santai sehingga tidak akan menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter dari tempat itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan keluar diri dusun itu. Dari jauh Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya. Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan cepat pula dan dia
menghilang di dalam sebuah hutan.
Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke tengah, mereka telah
ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan kesemuanya memegang tongkat hitam,
yang berada di depan sendiri adalah seorang pengemis berusia lima puluhan tahun yang bertubuh
kurus. Bun Houw segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu, ketua dari Hek-tung Kaipang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan pakaian pengemis. Sebatang golok besar tergantung di
pinggangnya. Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw ketika mereka hendak dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang dibantu oleh Suma Hok dan Suma Koan.
"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thai hiap di sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.
Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong dan Ling Ay. Dua
orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai berkata, "Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara ji wi li hiap (kedua pendekar wanita) berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."
"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?"
"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.
"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu tai-hiap bertiga dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami membiarkan sam-wi
beristirahat semalam baru pagi ini kami hubungi. Kami yakin bahwa tai-hiap tentu akan membasmi
gerombolan Thian-te Kui pang, maka kami sudah siap di tempat ini menanti tai-hiap dan kami telah mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus orang. Tentu tai hiap bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang, bukan?"
"Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak buah ji wi.
Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."
"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Pangcu salah kira. Dahulu mereka dibantu oleh para datuk sesat seperti Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, Bu-eng-kiam Ouwyang
Sek dan puteranya, Ouwyang Toan. Akan tetapi kini mereka semua itu telah tewas. Mereka hanya
tinggal bertiga, bagaimana pangcu mengatakan bahwa Bu-tek Sam-kui kini menjadi lebih kuat?"
"Ah, engkau tidak mengerti. Lui-kong Kiam hiap (Pendekar Pedang Kilat)," kata Hek-tung Lo kai. "Biarpun para datuk itu sudah tidak ada, akan tetapi kini Bu-tek Sam kui dibantu sendiri oleh guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin yang menjadi Koksu (Guru Negara) Kerajaan Wei. Kabarnya, Thian-te Seng-jin memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ilmu sihirnya amat berbahaya."
"Hemm, betapapun lihainya pihak lawan, kita harus tetap menentang kejahatan, pang-cu." kata Bun Houw tenang.
"Akupun tidak takut!" kata Hui Hong penuh semangat.
"Kalau mereka menggunakan kekuatan sihir, biar aku yang menghadapi mereka!" kata Ling Ay yang selain ilmu silat, juga pernah mempelajari ilmu sihir dari mendiang gurunya, yaitu Bi Moli Kwan Hwe Li.
Melihat semangat tiga orang muda itu. kedua orang pangcu menjadi kagum bukan main. "Kami juga sama sekali tidak menjadi gentar taihiap, hanya amat baik kalau kita berhati-hati dan mempergunakan siasat dalam penyerbuan kita."
"Memang begitulah sebaiknya, dan kami serahkan saja kepada ji-wi pangcu untuk mengatur siasat penyerbuan itu." kata Bun Houw karena dia sendiri belum pernah mengatur pasukan sehingga tidak tahu bigaimana harus mengatur anak buah untuk menyerbu sarang gerombolan iblis itu.
Kedua orang pangcu itu lalu mengutarakan siasat yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
Tiga ratus orang anak buah mereka akan dibagi empat, masing-masing tujuh puluh lima orang dan setiap pasukan dipimpin oleh mereka berdua dan tiga orang pendekar muda itu. "Kami berdua akan memimpin sebuah pasukan dari tujuh puluh lima orang dan akan menyerbu dari pintu depan," kata Hek-tung Lokai. "Kedua lihiap memimpin masing-masing sebuah pasukan menyerbu dari kanan dan kiri, sedangkan tai-hiap memimpin sebuah pasukan menyerang dari belakang. Dengan cara demikian, mereka tidak
akan mendapat kesempatan untuk kabur atau membokong kita. Juga diserang dari empat penjuru,
tentu mereka akan menjadi kacau dan di dalam sarang mereka, empat pasukan kita dapat saling bantu.
Bagaimana pendapat tathiap dan ji-wi lihiap dengan yaiasat kami itu?"
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay merasa kagum. "Bagus sekali, pangcu!" kata Bun Houw. Setelah terjadi pertempuran nanti, biar aku yang menghadapi Thian-te Seng-jin, sedangkan Hong-moi, adik Ling Ay dan ji-wi pangcu mengeroyok Bu-tek Sam-kui, dibantu pula oleh anak buah yang memiliki kepandaian
tinggi." Mereka juga merencanakan bahwa gerakan itu akan dilakukan malam hari itu karena kalau dilakukan
shang hari, tentu gerak gerik tiga ratus orang akan menarik perhatian dan sebelum mereka tiba di sarang gerombolan, pihak Thian-te Kai-pang akan lebih dulu mengetahui dan dapat membuat persiapan yang akan menjebak mereka.
*** Berita yang didapat oleh kedua orang ketua itu memang benar. Kaisar Thai Wu dari kerajaan Wei
merasa penasaran dan marah sekali mendengar laporan akan gagalnya usaha Bu-tek Sam kui untuk
membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi, bahkan gerakan bekas Kaisar Cang Bu yang menjadi sekutu mereka juga dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Chi. Mendengar betapa kerja-sama yang sudah amat baik, kemajuan yang mendatangkan harapan itu akhirnya, hancur karena ulah seorang
pendekar muda yang dijuluki Si Pedang Kilat, Kaisar Thai Wu segera memanggil penasihatnya, juga
gurunya, Thian-te Seng-jin untuk dimintai pendapatnya, juga setengah ditegur mengapa tugas yang
dipikul saudara-saudara seperguruannya yaitu Bu-tek Sam-kui, menjadi gagal.
Thian-te Seng-jin sendiri juga merasa penasaran. "Biarlah hamba sendiri yang akan datang membantu Bu-tek Sam-kui, Yang Mulia. Hamba akan menangkap dan menyeret bocah bernama Kwa Bun Houw itu
ke depan kaki paduka!"
Demikianlah, tosu yang berusia empat puluh lima tahun itu segera menyusul tiga orang muridnya itu ke Tai-bun, tinggal di sarang gerombolan itu untuk menyusun rencana baru setelah rencana yang pertama itu mengalami kegagalan.
Malam itu gelap. Tidak ada sebuahpun bintang nampak di langit yang tertutup mendung. Suasana di
dusun Tai-bun yang kini menjadi sarang gerombolan itupun nampak sunyi. Hanya di sana-sini di antara rumah-rumah penduduk yang kini menjadi rumah-rumah anggauta gerombolan, terdengar isak tangis
wanita. Mereka adalah para wanita yang diculik oleh gerombolan Thian-te Kui-pang dan menjadi korban kebuasan mereka, dipaksa untuk melayani mereka. Tentu saja gerombolan ini tidak membutuhkan harta kekayaan karena para penduduk dusun mana ada yang kaya" Pula, mereka sudah mendapatkan upah
cukup dari kerajaan Wei. Yang mereka butuhkan dalam tugas mereka mengacau di daerah wilayah
kerajaan Chi adalah wanita-wanita, dan kadang mereka juga merampok, akan tetapi bukan harta yang mereka rampok, melainkan bahan makanan seperti ternak, gandum dan lain-lain. Tentu saja banyak
wanita yang mereka culik dan mereka paksa tinggal di sarang mereka.
Sore tadi Thian-te Seng-jin sudah merencanakan siasat baru dengan para muridnya. Mereka mengambil keputusan untuk menguasai dunia kang-ouw dengan merebut kedudukan beng-cu, dan Thian-te Seng-jin sendiri akan muncul sebagai calon beng-cu, mengalahkan para tokoh kang-ouw. Tentu saja dia akan menggunakan penyamaran dan menggunakan nama lain. Kalau mereka sudah dapat menguasai dunia
kang-ouw, akan mudah menimbulkan kekacauan di wilayah kerajaan Chi, sehingga kerajaan itu akan
menjadi lemah sehingga akan membuka kesempatan bagi kerajaan Wei untuk meluaskan wilayah
kekuasaan mereka ke selatan.
Tanpa ada yang mengetahui, dari kegelapan malam muncul ah pasukan yang bergerak perlahan-lahan,
datang dari empat jurusan dan kini mereka, menjelang tengah malam, telah mengepung sarang
gerombolan iblis itu dari empat penjuru. Mereka semua masih bersembunyi di luar dusun Tai bun,
menanti datangnya isarat seperti yang telah mereka rencanakan, isarat itu tak lama kemudian nampak oleh mereka semua, yaitu hujan anak panah berapi yang mula-mula dilepaskan oleh pasukan dari depan yang dipimpin oleh Hek-tung Lo-kai dan Thian-beng Pang-cu. Begitu melihat anak panah api menghujani sarang itu dan mulai nampak kebakaran pada atap beberapa buah rumah, pasukan dari empat penjuru
itu lalu menyerbu, baik melalui pintu gerbang dusun maupun merobohkan pagar dusun, sambil
berteriak-teriak.
Anak buah Thian-te Kui-pang memang merupakan perajurit pilihan di kerajaan Wei, akan tetapi sekali ini, mereka menjadi panik juga karena sebagian besar di antara mereka sudah tidur nyenyak dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dan terjadi kebakaran di mana-mana, kemudian sarang mereka diserbu banyak orang. Mereka sendiri ada yang masih belum bersepatu, bahkan banyak yang dalam keadaan
setengah telanjang! Mereka mengira bahwa pasukan pemerintah yang menyerbu, maka mereka
menjadi semakin panik.
Bu-tek Sam kui sendiri berlompatan keluar dan mereka berteriak-teriak kepada anak buah mereka agar tidak panik dan melakukan perlawanan. Juga Thian-te Seng-jin keluar dari pondoknya, sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Sebagai orang-orang berpengalaman. Bu-tek Sam kui dan guru mereka itu sekali melihat saja maklum bahwa yang menyerbu sarang mereka bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang bergolok
dan orang-orang berpakaian pengemis dan bertongkat hitam.
"Lawan, jangan panik!" Mereka berteriak-teriak sambil mengamuk dan menyambut para penyerbu.
"Mereka hanya jembel-jembel busuk! Hajar mereka!!"
Akan tetapi, dibawah sinar api dari rumah-rumah yang terbakar, Bu-tek Sam-kui terkejut ketika melihat dua orang wanita muda yang cantik dan gagah menerjang mereka, dibantu pula oleh dua orang
setengah tua gagah yang mereka kenal sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu ketua Hek-tung Kai-pang dan
Thian-beng-pangcu Ciu Tek. Hui Hong yang sudah diberi tahu oleh Bun Houw segera menerjang Pek-
thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata pedang. Dengan pedang di tangan kanan dan sebatang ranting di tangan kiri, Hui Hong menyerang Pek-thian-kui. Orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini terkejut bukan main karena dari gerakan pedang meluncur bagaikan kilat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang rendah lawannya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis,
akan tetapi sebelum dia sempat membalas, ranting di tangan kiri Hui Hong sudah menotok ke arah
dadanya dan yang membuat Pek-thian-kui terkejut adalah bahwa serangan ranting di tangan kiri ini bahkan lebih lihai dibandingkan serangan pedang di tangan kanan. Terpaksa dia membuang diri ke
belakang dan membuat salto sampai empat kali, baru dapat terbebas dari susulan serangan Hui Hong yang bertubi-tubi. Kini mereka berhadapan dengan penasaran, dan diam-diam mereka mengerahkan
seluruh tenaga karena maklum menghadapi lawan tangguh.
Huang-ho-kui, orang ke dua dari Bu-tek Sam kui, juga menghadapi lawan berat ketika Ciu Tek, ketua Thian-beng-pang dibantu oleh tujuh orang murid kepala mengeroyoknya. Dia mengamuk dengan
senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang dayung dari besi yang dimainkan seperti sebuah toya.
Andaikata Ciu Tek hanya maju seorang diri, tentu ketua ini akan payah menandingi Huang-ho-kui yang tingkat kepandaiannya sedikit lebih tinggi. Akan tetapi karena ada tujuh orang muridnya membantu kini Huang-ho-kui yang terdesak hebat dan dia harus memutar dayungnya secepatnya untuk melindungi
tubuhnya dari hujan serangan para pengeroyoknya.
Adapun Toat beng-kui, orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata golok, segera diterjang oleh Ling Ay yang dibantu oleh Hek-tung lo-kai seperti yang telah mereka atur sebelumnya. Orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui inipun segera terdesak hebat karena tingkat kepandaian kedua orang itu masing-masing hanya terpaut sedikit di bawah tingkatnya. Karena mereka maju bersama, maka dialah yang terdesak.
Bu-tek Sam-kui yang kewalahan ini mengharapkan bantuan guru mereka, namun ketika mereka
menengok, mereka terkejut melihat guru merekapun sedang didesak hebat oleh seorang pemuda yang
bukan lain adalah Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw! Thian-te Seng-jin yang seperti juga tiga orang
muridnya terkejut melihat penyerbuan tiba-tiba di tengah malam itu, tadinya tidak merasa khawatir karena mengira bahwa yang menyerbu hanya orang-orang biasa saja yang pasti akan mampu dihadapi
tiga orang muridnya dan anak buahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang muridnya itu
menghadapi lawan berat, diapun terkejut dan melolos pedang dari punggungnya. Dia bermaksud
hendak menggunakan ilmu sihir untuk membantu para muridnya, akan tetapi pada saat itu, Bun Houw
sudah melompat di depannya.
"Hemm, agaknya engkau yang bernama Thian-te Seng-jin, guru Bu-tek Sam-kui yang mendirikan Thian-te Kui-pang dan mengacau di daerah ini" Sebagai guru mereka, engkau harus bertanggung jawab atas kejahatan mereka, Thian-te Seng-jin!"
Melihat seorang pemuda berani bersikap seperti itu di depannya, Thian-te Seng-jin menjadi marah.
Matanya mencorong dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan menudingkan pedangnya
ke arah muka pemuda itu dan membentak, suaranya lantang berpengaruh. "Orang muda, siapakah
engkau berani bicara seperti itu di depan pinto?"
"Aku bernama Kwa Bun Houw, dan aku tahu bahwa engkau adalah Thian-te Seng-jin. Koksu Kerajaan Wei yang bertugas mengacau di daerah kerajaan Chi!"
Diam-diam Thian-te Seng-jin terkejut. Tugas tiga orang muridnya adalah tugas rahasia yang tidak boleh diketahui orang, karena Kaisar Thai Wu yang juga muridnya tidak menghendaki perang terbuka dengan kerajaan Chi. Tugas mereka hanya mengacau dan melemahkan kerajaan Chi yang semakin kuat dan kini ternyata rahasia itu telah diketahui oleh pemuda yang bernama Kwa Bun Houw ini.
"Kwa Bun Houw, lihat baik-baik, aku adalah Naga Merah dari Utara yang akan menghukum kamu atas kelancanganmu. Berlututlah kamu! !" Suara itu melengking nyaring menggetarkan siapa saja yang
berada di dekatnya.
Terutama sekali Bun Houw yang langsung menerima serangan yang ditujukan kepadanya. Dia terbelalak karena benar-benar lawannya telah berubah menjadi seekor naga bersisik merah! Mata naga itu
mencorong dan moncongnya terbuka lebar mengeluarkan api. Sungguh merupakan penglihatan yang
menyeramkan sekali. Seandainya Bun Houw tidak memiliki keberanian yang amat kuat, tentu dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi dia seorang pemberani dan tabah, apalagi ada tekad di hatinya bahwa dia akan melawan kejahatan tanpa mengenal rasa takut dan siap mengorbankan dirinya demi
membela kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, biarpun dia terkejut sekali, dia tetap tabah dan tidak mau berlutut.
Akan tetapi apa yang dilihatnya memang menggiriskan hati. Naga itu siap untuk menerkamnya, dan
biarpun Bun Houw sudah siap dengan pedang Lui kong kiam (Pedang Kilat) di tangan, namun wajahnya tetap saja berubah agak pucat karena memang penglihatan itu cukup untuk membuat jerih hati orang yang paling tabah sekalipun. Bun Houw menerjang dengan pedang kilatnya membacok ke arah kepala
naga merah itu.
"Singg ... wuuuttt ... plakkk!" Tubuh Bun Houw terpelanting. Ketika pedangnya bertemu kepala naga merah, pedang itu tembus seperti membacok bayang-bayang saja dan ekor naga itu menghantamnya
dari samping, sedemikian kerasnya sehingga dia terpelanting!
Pada saat yang gawat itu, Ling Ay muncul di depan naga merah itu. Wanita ini tadi merasakan getaran hebat dari pengaruh sihir yang dikerahkan Thian-te Seng-jin, maka ia lalu berteriak kepada Hek-tung Lokai untuk menghadapi Toat-beng-kui sendiri bersama anak buahnya karena ia akan membantu Bun
Houw. Hek-tung Lo-kai berteriak memanggil para murid kepala dan lima orang murid Hek-tung Lo-kai membantu ketua mereka mengeroyok Toat-beng-kui sedangkan Ling Ay sudah meloncat ke depan Naga
Merah buatan itu. Ia meraih tanah dan setelah berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan
segenap tenaga sihir seperti yang pernah ia pelajari dari mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, iapun
menyambitkan tanah itu ke arah naga sambil berteriak dengan suara melengking, suara yang
berpengaruh karena mengandung tenaga sakti.
"Asal dari tanah kembali kepada tanah!!"
Tanah yang disambitkan itu meluncur mengenai naga merah. Terdengar suara letupan keras dan naga
jadi-jadian itupun lenyap berubah menjadi asap! Bun Houw merasa girang sekali dan kini dia melihat lagi tosu siluman itu, maka diapun menggerakkan pedangnya untuk menyerang dengan dahsyat.
"Trang-trang-trang ...!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang di tangan Thian-te Seng-jin bertemu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bun Houw-Pedang tosu itu juga merupakan sebatang pedang
pusaka yang terbuat dari logam pilihan, maka tidak menjadi rusak ketika beradu dengan Lui kong-kiam.
Akan tetapi, tosu itu merasa betapa telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas
dan nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa lawannya itu, biarpun masih muda, memiliki teaaga sakti yang amat kuat. Juga tosu ini merasa penasaran sekali betapa ilmu sihirnya tadi dapat dipunahkan oleh seorang wanita muda yang kini hanya menjadi penonton dan siap untuk menandingi ilmu sihirnya.
Mulailah dia merasa jerih, apalagi ketika melihat betapa tiga orang muridnya menghadapi lawan-lawan berat, dan anak buah Thian-te Kui-pang juga mulai kocar kacir menghadapi pengeroyokan jumlah musuh yang jauh lebih banyak.
Tiba-tiba Thian-te Seng-jin mengeluarkan gerengan aneh dan Ling Ay sudah siap untuk menghadapi ilmu sihirnya. Akan tetapi ternyata kakek tinggi kurus bermuka pucat itu tidak menggunakan sihir, melainkan mengeluarkan ilmu silat yang amat aneh. Tubuhnya tiba-tiba saja ditekuk seperti seekor binatang
menggiling dan dia menjatuhkan diri di atas tanah, bagaikan seekor menggiling atau sebuah bola dia lalu menggelundung ke arah Bun Houw. Pemuda ini terkejut dan cepat menggerakkan pedangnya untuk
menangkis ketika bola menggelundung itu tiba dekat dan dari gulungan itu mencuat sinar pedang yang menyerang kakinya.
"Trangg ... !" Kembali bunga api berpijar akan tetapi kini Bun Houw yang terhuyung ke belakang. Kiranya pedang yang diserangkan sambil bergulingan itu kini menjadi amat kuat, seolah memperoleh tenaga
aneh dari dalam bumi, dan tangan kiri tosu itupun ikut pula menyerang dengan dorongan yang kuat
sekali. Kembali tubuh tosu yang seperti menggiling melingkar itu sudah bergulingan dengan cepat menyerang Bun Houw lagi. Bun Houw menyambutnya dengan tangkisan yang akan dilanjutkan tusukan balasan,
namun dia tidak sempat membalas karena begitu pedangnya bertemu pedang lawan ada kekuatan
dahsyat yang membuat dia terhuyung, bahkan semakin keras sampai lima langkah ke belakang. Banyak sudah dia melihat ilmu silat yang dimainkan dengan bergulingan, terutama sekali bagi orang yang
bersenjatakan golok dan perisai, dan permainan silat dengan bergulingan itu memang berbahaya bagi lawan. Akan tetapi, belum pernah melihat cara bergulingan seperti ini, tosu itu benar-benar mirip seekor trenggiling. Tubuhnya melingkar menjadi bulat dan tenaganya menjadi berlipat ganda ketika menyerang dari atas tanah seperti itu.
Berulang kali Bun Houw diserang dan dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas, dan setiap kali serangan lawan itu menjadi semakin kuat saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau dilanjutkan seperti itu mungkin akhirnya dia akan terluka, baik oleh pedang lawan maupun oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat. Setelah memperhatikan gerakan lawan yang
menyerangnya berulang kali, begitu tubuh lawan menggelundung ke arahnya, sebelum Thian-te Seng-jin menyerang, dia menghindar dengan loncatan. Tubuh yang seperti bola itu cepat mengejarnya dan kini Bun Houw sudah siap siaga. Dia bahkan menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga dari ilmunya
yang dahsyat, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ketika bola manusia itu menggelundung dekat, dia
menyambut dengan dorongan kedua tangannya, pada saat lawan menyerang.
Satu di antara keanehan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah daya tolak yang membuat seorang
penyerang akan diserang oleh tenaganya sendiri yang membalik!"
"Desas ... !!" Bertemu dengan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, tosu itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti sebuah bola yang ditendang, terlempar dan menggelundung jauh. Beberapa orang yang sedang bertempur, ketika terlanda bola ini, terlempar dan tak mampu bangkit kembali.
Bun Houw berloncatan mengejar, diikuti oleh Ling Ay.
"Houw-ko, hati-hati!" teriak Ling Ay dan pada saat itu terdengar ledakan kecil dan nampak asap hitam mengepul tebal. Tosu itu menghilang di balik asap dan mendengar peringatan Ling Ay, Bun Houw tidak mengejar melainkan meloncat jauh ke belakang. Hal ini menguntungkan karena asap hitam yang keluar dari bahan peledak itu adalah asap beracun. Tidak kurang dari lima orang, baik dari pihak penyerbu maupun anak buah Thian-te Kui-pang sendiri, roboh dan tewas ketika terlanda asan hitam itu. Dan tentu saja Thian-te Seng-jin sendiri sudah lenyap dari tempat itu. Bun Houw menengok dan melihat betapa Bu-tek Sam kui masih terdesak hebat, namun belum juga dapat dirobohkan. Hanya Pek-thian-kui yang benar-benar payah melawan Hui Hong. Pundak kirinya sudah terluka pedang di tangan Hui Hong dan
kini dia yang tidak mampu melarikan diri kerena tempat itu sudah dikepung anak buah Hek-tung
Kaipang dan Thian-beng-pang, mengamuk mati-matian sehingga membuat Hui Hong harus berlaku hati-
hati. Melawan seorang yang sudah nekat untuk mengadu nyawa memang berbahaya sekali, sama
dengan melawan seorang gila. Tongkat di tangan kiri Hui Hong membuat orang pertama dari Bu-tek
Sam-kui itu benar-benar repot. Biarpun dia berusaha untuk mengamuk dan membalas dengan
pedangnya, namun selalu pedangnya bertemu dengan periasi sinar pedang yang dibuat oleh putaran
pedang Hui Hong, sedangkan luncuran tengkat di tangan kiri Hui Hong mengirim totokan-totokan yang benar-benar amat dahsyat karena sekali saja totokan itu mengenai tubuhnya, tentu dia akan roboh!
Melihat ini, Bun Houw lalu berkata kepada Ling Ay, "Adik Ling Ay, kau bantulah Hong-moi, dan aku akan menghadapi dua orang iblis yang lain."
Ling Ay mengangguk dan ia lalu menerjang maju dengan pedang di tangan, membantu Hui Hong. "Adik Hong, mari kita basmi iblis busuk ini!" bentaknya sambil menggerakkan pedang menusuk ke arah lambung Pek-thian-kui.
Menghadapi Hui Hong seorang saja, Pek-thian-kui sudah kewalahan, apalagi kini ditambah dengan
seorang wanita selihai Ling Ay. Nyaris tusukan itu mengenai lambungnya dan diapun melempar tubuh ke belakang dan begitu dia meloncat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Hui Hong dan Ling Ay. Namun, dengan mudah kedua orang wanita itu menangkis dan paku-paku hitam
beracun yang menyambar ke arah mereka tadi dipukul runtuh semua dan kini kedua orang wanita
perkasa itu sudah menghujani lawan dengan serangan pula, Hek-tung Lo-kai Kam Cu dan anak buahnya mengepung dan mengeroyok Toat-beng-kui, demikian pula Thian-beng Pang-cu Ciu Tek dibantu anak
buahnya mengeroyok Huang-ho-kui. Namun, kedua orang lawan itu memang lihai bukan main dan
mereka dapat mengamuk sehingga beberapa orang anak buah kedua orang ketua itu roboh terkena
senjata mereka.
Melihat betapa dayung di tangan Huang-ho-kui memang dahsyat sekali sehingga orang-orang Thian-
beng-pang nampaknya menjadi jerih, Bun Houw yang sudah kehilangan lawan, lalu meloncat dan tangan kirinya menyambar dengan pengerahan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng.
"Wuuuuttt ... dessas ... !" Huang-ho-kui mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti dilanda badai, terlempar sampai sejauh beberapa meter dan sebelum dia sempat bangun lagi karena masih
merasa nanar, orang-orang Thian-beng-pang, dipimpin oleh Ciu Tek, telah menghujaninya dengan
senjata mereka sehingga tewaslah orang ke dua dari Cu-tek Sam-kui ini dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Bun Houw kini meloncat dan melihat Hek-tung Lo-kai dan anak buahnya masih belum mampu
merobohkan Toat-beng-kui, diapun menyerang Toat-beng-kui dengan dorongan tangan yang
mengandung kekuatan dahsyat itu. Seperti juga rekannya, tubuh Toat-beng-kui terlempar dan diapun tewas di bawah hujan senjata Hek-tung Lo-kai dan para anak buahnya.
Bun Houw kini melihat ke arah dua orang wanita yang mengeroyok Pek-thian kui. Tepat pada saai dia memandang, Pek-thian-kui mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya terjungkal dengan dada
ditembusi dua batang pedang!
Anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang bersorak gembira melihat Bu-tek Sam-kui tewas dan mereka menjadi lebih bersemangat. Sebaliknya, anak buah Thian-te Kui-pang yang sudah kehilangan
pimpinan dan banyak pula di antara mereka yang sudah tewas, menjadi panik dan mereka berusaha
untuk melarikan diri. Namun, kedua orang ketua itu bersama anak buah mereka mengejar dan
menganuk dan akhirnya hanya belasan orang saja di antara para anak buah Thian-te Kui-pang yang
berhasil lolos. Juga Thian-te Seng-jin sendiri sudah lebih dulu melarikan diri dan kembali ke utara untuk melapor kepada kaisarnya tentang kegagalan gerakan Thian-te Kui pang.
Bun Houw sendiri bersama Hui long dan Ling Ay segera berpamit dari dua orang ketua itu setelah Bun Houw terpaksa menyanggupi untuk kelak dicalonkan menjadi beng-cu (pemimpin) kalau tiba saatnya
diadakan pemilihan beng-cu atau pemimpin dunia persilatan. Bagi dia, siapa saja yang menjadi beng-cu baik atau bukan tokoh dunia sesat yang akan menyeret dunia persilatan ke arah kejahatan.
*** Mereka bertiga sudah jauh meninggalkan dusun Tai-bun yang berada diperbatasan daerah tak bertuan
itu. Setelah melewati sebuah bukit terakhir, mereka tiba di persimpangan jalan. Sejak tadi Ling Ay tidak banyak bicara dan hanya menjawab dengan ya atau tidak kalau Hui Hong mengajaknya bicara.
Wajahnya yang cantik manis itu nampak muram, sinar matanya suram seperti lampu kehabisan minyak
atau seperti bintang terselaput kabut.
Setelah tiba di persimpangan jalan, Ling Ay menahan langkahnya dan berkata, "Sudah, sampai di sini saja ... " suaranya lirih. Bun Houw dan Hui Hong juga berhenti dan mereka memandang kepada janda muda itu.
"Enci Ling Ay, kenapa berhenti?" tanya Hui Hong.
Ling Ay memaksa senyum, namun wajahnya agak pucat dan layu sehingga senyumnya nampak
menyedihkan, "Adik Hong, dan Houw ko, aku tidak ingin mengganggu kalian lebih lama lagi. Kita harus berpisah, aku akan pergi ... entah ke mana, mungkin merantau ke mana saja kaki ini membawa diriku dan ... aku hanya memujikan semoga kalian diberkahi Tuhan ... selamat berpisah ... " tanpa menanti jawaban, Ling Ay cepat membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan mereka.
"Enci Ling Ay, berhenti dulu?" Hui Hong berseru karena ia melihat betapa Ling Ay cepat membalik untuk tidak memperlihatkan mukanya. Ketika Ling Ay tetap berjalan tanpa menoleh, Hui Hong melompat dan tiba di belakang Ling Ay terus ia memegang kedua pundak wanita itu dan memutarnya menghadapinya.
Tepat seperti diduganya, Ling Ay menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran.
"Enci, kau kenapa" Engkau ... menangis?" Hui Hong bertanya heran.
"Adik Hong ...!" Ling Ay menjadi semakin bersedih dan mereka berangkulan.
"Adik Hong, lepaskan aku, kuharap engkau dapat membahagiakan Houw-koko. Kalian berhak menikmati
kebahagiaan hidup, kalian orang-orang baik, dan aku ... ahh, biarkan aku pergi ... "
Hui Hong mengerti. Ia merasa iba sekali kepada janda yang kini menjadi sahabat baiknya itu. Sudah berulang kali Ling Ay membantu dan menolongnya, memperlihatkan kebaikan hati dan kesungguhannya
dalam persahabatan. Memang jauh sebelum hari ini ia telah mengambil suatu keputusan dalam hatinya dan apa yang hendak diputuskannya sekarang ini bukan sekedar dorongan keharuan belaka.
"Tidak, enci Ay, engkau tidak boleh pergi. Aku ingin bicara berdua denganmu. Mari ...!" Hui Hong masih merangkul pundak janda itu dan diajaknya menjauh.
"Hei i ... ! Kalian hendak pergi ke mana?" teriak Bun Houw melihat betapa kedua orang wanita pergi menjauh.
Hui Hong menengok dan berteriak kembali. "Houw-ko, engkau tunggu saja di situ sebentar jangan mendekati kami!"
Bun Houw membelalakkan matanya, menggerakkan kedua pundaknya lalu mencari tempat duduk di


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah sebatang pohon, tidak mengerti akan ulah kedua orang wanita itu. Setelah berada agak jauh
sehingga suara mereka tidak akan dapat didengar oleh Bun Houw, Hui Hong menoleh. Ia melihat Bun
Houw duduk di atas batu besar seperti arca dan iapun tersenyum.
"Adik Hong, apa yang ingin kaubicarakan dengan aku?"" Ling Ay telah dapat menguasai keharuan hatinya dan bertanya sambil memandang heran. Mereka sendiri saling berhadapan, dua orang wanita
muda yang cantik jelita dan sebaya. Hui Hong berusia dua puluh satu tahun dan Ling Ay berusia dua puluh tiga tahun.
"Enci Ling Ay, sebelum aku bertanya, lebih dulu aku mengharapkan kejujuranmu. Dapatkah dan maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur, sejujur-jujurnya?"
Ling Ay mengerutkan alisnya, tidak mengerti ke mana maksud tujuan ucapan itu, akan tetapi selama ini ia memang bersikap jujur maka ia mengangguk, bahkan dapat tersenyum kini, senyum seorang yang
merasa lebih dewasa menghadapi seorang gadis yang masih kekanak-kanakan. "Tanyalah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Sambil menatap tajam wajah Ling Ay, Hui Hong bertanya, "Enci Ling Ay, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Mata itu terbelalak, mulut itu ternganga dan wajah itu menjadi agak pucat, lalu kemerahan. "Adik Hong, apa artinya pertanyaanmu ini" Mengapa engkau bertanya begini?" Mata yang terbelalak itu
memandang penuh selidik untuk menjenguk isi hati dari penanyanya.
"Enci Ling Ay, engkau berjanji akan menjawab sejujurnya!"
"Adik Hong, aku sudah tidak berhak lagi bicara tentang itu. Hubungan antara kami sudah lama putus, dan aku ... aku tidak berhak menjawab." Ling Ay menundukkan mukanya, dan sekilas matanya
mengerling ke arah Bun Houw duduk.
"Enci Ling Ay, itu bukan jawaban. Yang kutanyakan, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Didesak begitu, Ling Ay berkata, "Adik Hong, cinta adalah cinta, sekali ada akan tetap ada, tidak berkurang tidak berlebih, bagaimana bisa ditanyakan masih ada atau sudah tidak ada lagi" Akan tetapi, aku sudah tidak berhak mengenang tentang itu.'"
"Kenapa tidak berhak?"
"Kenapa" Engkau tentu sudah mengetahui. Aku telah mengkhianati cinta kasih Houw-koko. Ketika kami masih bertunangan, pihak keluargaku yang memutuskan pertunangan itu dan aku menikah dengan pria
lain. Aku ... aku malu untuk bicara tentang cintaku itu."
"Tidak, engkau tidak mengkhianatinya" enci. Aku sudah mendengar semuanya. Engkau dipaksa ayah ibumu untuk menikah dengan pemuda bangsawan. Engkau tidak berdaya karena ketika itu engkau
bukanlah enci Ling Ay yang sekarang, engkau hanya seorang gadis lemah. Engkau sama sekali tidak
mengkhianati cintanya, enci."
"Adik Hong, apa perlunya engkau mengorek-ngorek hal yang telah lampau" Semua itu hanya
menyakitkan hatiku. Apakah engkau merasa cemburu kepadaku karena urusan yang lampau itu?"
"Sama sekali tidak. enci. Bahkan aku merasa iba kepadamu, aku merasa suka kepadamu dan aku ingin menolongmu, aku ingin melihat engkau berbahagia pula. Karena itu aku ingin melihat engkau
menyambung kembali pertalian jodoh yang dirusak orang tua mu dengan paksa. Aku ingin engkau
menjadi isteri Houw-koko."
"Gila ...!!" Saking kagetnya Ling Ay meloncat ke belakang. "Hong-moi, apa maksudmu ini" Jangan engkau memperolok dan menggodaku!" Wajah itu berubah kemerahan karena marah, mengira bahwa Hui Hong sengaja hendak mempermainkannya.
"Siapa menggodamu, enci" Aku bicara sungguh-sungguh!" jawab Hui Hong serius pula.
"Tapi ... Houw-koko sendiri pernah mengaku kepadaku bahwa dia telah bertunangan denganmu, bahwa dia saling mencinta dengan mu!"
"Memang benar, enci Ay, dan kami memang akan menikah, menjadi suami isteri ... "
"Nah, kalau begitu kenapa engkau mengusulkan hal yang gila itu kepadaku?"
"Bukan usul gila, enci. Aku ingin agar engkaupun menikmati kebahagiaan keluarga bersama kami, menjadi keluarga kita. Perjodohanku dengan Houw-koko tidak akan menghalangi engkau menjadi isteri pula dari Houw-koko ... "
"Gila. Kaumaksudkan ... aku ... engkau ... kita berdua menjadi isterinya ... ?"
"Kenapa tidak, enci" Aku telah mengenalmu dan tahu bahwa engkau seorang wanita yang berbudi baik, gagah perkasa dan aku tahu pula bahwa engkau masih mencinta Houw-koko. Aku akan suka sekali
menjadi saudaramu dan kita bersama menjadi isteri Houw-koko yang sama-sama kita cinta."
Wajah itu berubah merah sekali dan kedua mata itu menjadi basah kembali. Ling Ay meraba betapa
jantungnya seperti diremas-remas. "Tapi ... bagaimana ini, adik Hong" Aku ... aku pernah memusuhimu, bahkan hampir membunuh ayah kandungmu dan sekarang ... kau ... " Ia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hui Hong merangkulnya. "Semua itu kaulakukan karena hendak menaati guru, bukan salahmu, enci.
Akan tetapi, yang lalu biarkan lalu, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, aku ingin engkau menjadi saudaraku, bersama-sama membahagiakan Houw-koko. Nah, bagaimana jawabanmu?"
"Adik Hui Hong, bagaimana aku harus menjawab" Aku tidak memiliki apa-apalagi, tidak berhak apa-apalagi untuk memilih atau memutuskan. Semua terserah kepada ... Houw-ko dan kepadamu ... "
"Jadi, kalau aku setuju dan Houw-koko setuju, engkau mau menjadi isteri Houw-koko, hidup sekeluarga dengan aku?"
Dengan salah tingkah dan merasa malu dan sungkan, terpaksa Ling Ay mengangguk. Habis, apalagi yang dapat ia lakukan" Menolak tawaran itu" Berarti ia gila! Ia memang tak pernah kehilangan cintanya terhadap Bun Houw, dan kini ia melihat betapa Hui Hong adalah seorang gadis yang baik sekali.
"Nah, kau tunggu sebentar di sini, enci. Aku mau bicara dengan Houw-ko."
"Tapi ... tapi ... jangan membikin malu padaku, adik Hong. Jangan sekali-kali memaksa dia ... "
Hui Hong hanya tersenyum dan iapun ber lari-lari menghampiri kekasihnya yang masih duduk melamun karena tidak dapat menduga apa yang dibicarakan oleh kedua orang wanita itu.
"Houw-koko, aku ingin bertanya kepadamu, akan tetapi aku minta engkau menjawab sejujurnya!" Hui Hong berkata. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan menatap wajah kekasihnya dengan heran. Belum
pernah dia melihat Hui Hong seserius sekarang ini.
"Tentu saja, Hong-moi. Pernahkah aku tidak jujur kepadamu?"
"Nah, sekarang jawablah sejujurnya. Apakah engkau masih mencinta enci Ling Ay?"
Bun Houw terbelalak, lalu mengerutkan alisnya. "Aih, Hong-moi, setelah engkau kini bersahabat baik dengannya, kenapa engkau mengorek peristiwa dahulu yang hanya akan menimbulkan perasaan tidak
enak" Apakah engkau merasa cemburu !"
"Jangan berlika-liku, Houw ko. Aku hanya bertanya apakah engkau masih cinta kepada enci Ling Ay itu saja dan jawablah sejujurnya."
"Bagaimana aku dapat menjawabnya" Engkau sudah kuberitahu bahwa dahulu memang Ling Ay adalah tunanganku, akan tetapi sejak ia dipisahkan dariku dan menikah dengan orang lain, lalu aku bertemu denganmu dan kita saling mencinta. Aku tidak lagi berhak untuk memikirkan dirinya, Hong-moi! Engkau tidak adil kalau mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku."
"Sudahlah, jangan bertele-tele. Sekarang jawab, apakah engkau cinta padaku?"
"Ehh" Tentu saja!"
"Dan engkau akan memenuhi semua keinginanku" Engkau mau memenuhi syaratku untuk menjadi
isterimu?"
"Wah" Engkau mengajukan syarat lagi?" Bun Houw tersenyum. "Syarat apakah itu, calon isteriku yang manis?"
"Syaratku bukan harta bukan kedudukan, syaratku hanya satu. Aku mau menjadi isterimu hanya kalau ...
engkau juga memperisteri enci Ling Ay."
Mata itu terbelalak, memandang penuh selidik, tidak percaya.
"Apa kata-katamu tadi" Aku belum mengerti!" kata Bun Houw, bingung dan menduga-duga apakah ucapan tadi hanya untuk menguji kesetiaannya!
"Kukatakan bahwa aku mengajukan syarat agar engkau juga mengambil enci Ling Ay sebagai isterimu, hidup bersamaku dalam satu keluarga."
"Hei ! Kenapa begini" Apa alasanmu mengambil keputusan yang aneh ini?"
"Aku sayang kepada enci Ling Ay, aku kasihan kepadanya dan aku tahu ia masih mencintamu.
Perpisahan kalian bukan kehendaknya. Kalau kita membiarkan ia pergi, ia akan hidup merana dan aku akan selalu terkenang kepadanya dengan hati duka. Karena itu, aku ingin ia hidup berbahagia bersama kita."
Sampai lama Bun Houw termenung. Harus diakuinya bahwa di samping keheranan dan kekejutan,
jantungnya berdebar tegang dan girang. Dia memang tak pernah dapat melupakan Ling Ay, dan dia
merasa kasihan kepada bekas tunangannya itu. Akan tetapi tak pernah terbayangkan olehnya akan
dapat hidup bersama dengan wanita itu, Apalagi, menjadi isterinya atas kehendak Hui Hong! Bagaikan mimpi saja!
"Bagaimana, Houw-ko" Jawablah. Maukah engkau memenuhi syaratku itu?"
Bun Houw menghela napas panjang dan melirik ke arah di mana Ling Ay berdiri dengan kepala
ditundukkan. Baru sekarang dia teringat betapa dalam perjalanan mereka bertiga, Hui Hong berpindah tempat ke sebelah kanannya sehingga dia berada di tengah diapit kedua orang wanita itu. Agaknya
memang sudah lama Hui Hong mempunyai gagasan aneh itu.
"Apa yang harus kujawab, Hong-moi?" katanya, sikapnya seperti seorang kanak-kanak yang ditawari kembang gula, sebetulnya hatinya senang dan ingin sekali menerimanya, akan tetapi karena malu-malu maka sukar melaksanakan. "Hal ini tentu terserah kepadamu sajalah."
Hui Hong tertawa. "Hi-hik, seperti diatur saja. Enci Ling Ay menjawab terserah kepadaku, dan engkau juga menjawab begitu. Kalau terserah kepadaku, maka jadilah! Engkau akan memiliki dua isteri
sekaligus, koko, aku dan enci Ling Ay! Tunggu di sini!" Gadis itu lalu berlari cepat menghampiri Ling Ay dan Bun Houw hanya melihat betapa kekasihnya itu menarik-narik tangan Ling Ay dibawa mendekat.
Dia berdiri dan ketika menatap wajah itu, kebetulan Ling Ay juga memandang kepadanya dan keduanya menunduk dengan muka kemerahan dan jantung berdebar keras.
"Hong-moi, bagaimana aku dapat menghadapi suhu dalam urusan ini?"
"Benar, Hong-moi. Akupun malu berhadapan dengan ayahmu." kata Ling Ay lirih.
"Aih, ayahku adalah seorang yang bijaksana. Akulah yang akan menghadapinya dan aku yakin dia akan menyetujuinya. Aku yang akan bicara kepadanya dan memberi penjelasan."
"Kalau begitu, terserah kepadamu, Hong-moi."
"Akupun hanya menyerahkan kepadamu, adik Hong."
Hui Hong memandang mereka bergantian lalu tertawa, membuat keduanya tersipu malu. "Hik-hik, jawaban kalian selalu sama, seolah kalian telah bersekutu!"
"Ihh, engkau nakal, adik Hong. Siapa yang bersekutu?" Ling Ay mencubit.
Hui Hong lalu menggandeng tangan kanan Bun Houw dan memaksa kekasihnya itu untuk menggandeng
Ling Ay di sebelah kirinya, kemudian mereka meninggalkan tempat itu, berjalan bergandeng tangan
dengan wajah penuh seri bahagia, menyosong masa depan yang cerah.
Sampai di sini, selesailah sudah KISAH SI PEDANG KILAT ini, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
TAMAT Solo, akhir April 1986
Kisah Pedang Bersatu Padu 4 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Jodoh Rajawali 5
^